Upload
iip-alifatu-zulfah
View
6
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
I.I Latar Belakang
Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi yang ditimbulkan oleh
Mycobacterium tuberculosis. Penyakit tuberkulosis (TB) paru masih menjadi
masalah kesehatan masyarakat. Sejak tahun 1993, WHO menyatakan bahwa TB
merupakan kedaruratan global bagi kemanusiaan. Dengan berbagai kemajuan
yang dicapai sejak tahun 2003, diperkirakan masih terdapat sekitar 9,5 juta kasus
baru TB, dan sekitar 0,5 juta orang meninggal akibat TB di seluruh dunia (WHO,
2009). Selain itu, pengendalian TB mendapat tantangan baru seperti ko-infeksi
TB/HIV, TB yang resisten obat dan tantangan lainnya dengan tingkat
kompleksitas yang makin tinggi.
Hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga DEPKES tahun 1995 menunjukan
angka kematian nomor satu dari seluruh golongan penyakit infeksi. WHO
memperkirakan (2000) setiap tahun terjadi 583.000 kasus tuberkulosis baru dan
kematian mencapai 140.000. Laporan Internasional (1999) bahkan menunjukan
Indonesia adalah “penyumbang kasus penderita tuberkulosis terbesar ke tiga di
dunia sesudah Cina dan India”. Padahal pada tahun 1980 berdasarkan survei
Departemen Kesehatan tergolong empat besar.
WHO menyatakan bahwa kunci keberhasilan penanggulangan tuberkulosis
adalah menerapkan strategi DOTS. Oleh karena itu pemerintah menggalakan Stop
TB yang baru berdasarkan strategi DOTS dengan standar pelayanan mengacu
pada International Standard for TB Care (ISTC), yang telah teruji ampuh di
berbagai negara. Karena itu, pemahaman tentang DOTS merupakan hal yang amat
penting agar tuberkulosis dapat ditanggulangi dengan baik
I.2 Tujuan
Secara keseluruhan referat ini bertujuan :
1) Untuk mengetahui TBC dan permasalahannya secara umum.
2) Untuk mengetahui pengertian DOTS dan ISTC.
2
3) Sebagai salah satu tugas untuk memenuhi persyaratan mengikuti
ujian akhir blok (UAB).
I.3 Manfaat
1. Agar mahasiswa lebih mengerti tentang stadar penanganan TB secara
nternasional
2. Memberikan wawasan tambahan pada mahasiswa bagaimana penangan
baku TB.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Tuberkulosis pada Dewasa
Tuberculosis adalah penyakit infeksius yang terutama menyerang parenkim
paru. Tuberculosis dapat juga ditularkan ke bagian tubuh lainnya, terutama
meningens, ginjal, tulang, dan nodus limfe. Tuberculosis (TB) adalah penyakit
infeksi menular yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis dengan gejala
yang bervariasi, akibat kuman Mycobacterium tuberkulosis sistemik sehingga
dapat mengenai semua organ tubuh dengan lokasi terbanyak di paru paru yang
biasanya merupakan lokasi infeksi primer (Isselbacher, 1999). Kuman batang
aerobik dan tahan asam ini, dapat merupakan organisme patogen dan saprofit. Ada
beberapa mikrobakteri patogen tetapi, hanya strain bovin dan tuberculosa yang
menyerang manusia. (Price, 2006)
Klasifikasi tuberculosis di Indonesia yang banyak dipakai berdasarkan
kelainan klinis, radiologist dan mikrobiologis :
1. Tuberkulosis paru
2. Bekas tuberkulsis paru
3. Tuberkulosis paru tersangka.
Tuberkulosis tersangka yang terbagi dalam :
a. TB paru tersangka yang diobati (sputum BTA negatif, tapi tanda-
tanda lain positif)
b. TB paru tersangka yang tidak diobati (sputum BTA negatif dan
tanda-tanda lain meragukan) (Aru, 2009)
A. Etiologi
Tuberkulosis disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis, sejenis
kuman yang berbentuk batang dengan ukuran panjang 1 – 4 µm dan tebal 0,3
– 0,6 µm dan digolongkan dalam basil tahan asam (BTA). (Aru, 2009. Price,
2006)
B. Epidemiologi
4
Indonesia sekarang berada pada ranking kelima negara dengan beban TB
tertinggi di dunia. Estimasi prevalensi TB semua kasus adalah sebesar
660,000 (WHO, 2010) dan estimasi insidensi berjumlah 430,000 kasus baru
per tahun. Jumlah kematian akibat TB diperkirakan 61,000 kematian per
tahunnya.
Tabel 1.1 Data WHO terhadap insidensi sakit , prevalensi dan mortalitas
TBC di regio asia tenggara
Indonesia merupakan negara dengan percepatan peningkatan epidemi
HIV yang tertinggi di antara negara-negara di Asia. HIV dinyatakan sebagai
epidemik terkonsentrasi (a concentrated epidemic), dengan perkecualian di
provinsi Papua yang prevalensi HIVnya sudah mencapai 2,5% (generalized
epidemic). Secara nasional, angka estimasi prevalensi HIV pada populasi
dewasa adalah 0,2%. Sejumlah 12 provinsi telah dinyatakan sebagai daerah
prioritas untuk intervensi HIV dan estimasi jumlah orang dengan HIV/AIDS
di Indonesia sekitar 190.000- 400.000. Estimasi nasional prevalensi HIV pada
pasien TB baru adalah 2.8%.
5
Meskipun memiliki beban penyakit TB yang tinggi, Indonesia
merupakan negara pertama diantara High Burden Country (HBC) di wilayah
WHO South-East Asian yang mampu mencapai target global TB untuk
deteksi kasus dan keberhasilan pengobatan pada tahun 2006. Pada tahun
2009, tercatat sejumlah sejumlah 294.732 kasus TB telah ditemukan dan
diobati (data awal Mei 2010) dan lebih dari 169.213 diantaranya terdeteksi
BTA+. Dengan demikian, Case Notification Rate untuk TB BTA+ adalah 73
per 100.000 (Case Detection Rate 73%). Rerata pencapaian angka
keberhasilan pengobatan selama 4 tahun terakhir adalah sekitar 90% dan pada
kohort tahun 2008 mencapai 91%. Pencapaian target global tersebut
merupakan tonggak pencapaian program pengendalian TB nasional yang
utama.
Tabel 1.2 data WHO terhadap persentasi penanggulangan TBC di
Indonesia
Meskipun secara nasional menunjukkan perkembangan yang meningkat
dalam penemuan kasus dan tingkat kesembuhan, pencapaian di tingkat
provinsi masih menunjukkan disparitas antar wilayah (Tabel 3). Sebanyak 28
provinsi di Indonesia belum dapat mencapai angka penemuan kasus (CDR)
70% dan hanya 5 provinsi menunjukkan pencapaian 70% CDR dan 85%
kesembuhan.
CDR ≥ 70% CDR < 70%
SR
≥85%
Jabar, Sulut, Maluku, DKI Jakarta, Bali, Sulbar, Babel,
Jateng, Lampung, NTB, Jambi,
6
Sumbar, Kalteng, Jatim, Sulsel,Banten (5)
NAD, Kalsel,Sumsel, Sultra, Kepri, Sumut, Gorontalo, Bengkulu,Kalbar, NTT Kaltim, Sulteng (23)
SR <
85%
Tidak ada Papua Barat, Papua, DIY, Malut, Riau (5)
Tabel 1.3 Pencapaian target pengendalian TB per provinsi 2009
C. Patofisiologi
Individu rentan yang menghirup basil tuberculosis dan terinfeksi. Bakteri
dipindahkan melalui jalan nafas ke alveoli untuk memperbanyak diri, basil
juga dipindahkan melalui system limfe dan pembuluh darah ke area paru lain
dan bagian tubuh lainnya.
Sistem imun tubuh berespon dengan melakukan reaksi inflamasi. Fagosit
menelan banyak bakteri, limfosit specific tuberculosis melisis basil dan
jaringan normal, sehingga mengakibatkan penumpukkan eksudat dalam
alveoli dan menyebabkan bronkopnemonia. Massa jaringan paru/granuloma
(gumpalan basil yang masih hidup dan yang sudah mati) dikelilingi makrofag
membentuk dinding protektif.
Granuloma diubah menjadi massa jaringan fibrosa, yang bagian
sentralnya disebut komplek Ghon. Bahan (bakteri dan makrofag) menjadi
nekrotik, membentuk massa seperti keju. Massa ini dapat mengalami
klasifikasi, membentuk skar kolagenosa. Bakteri menjadi dorman, tanpa
perkembangan penyakit aktif.
Individu dapat mengalami penyakit aktif karena gangguan atau respon
inadekuat sistem imun, maupun karena infeksi ulang dan aktivasi bakteri
dorman. Dalam kasus ini tuberkel ghon memecah, melepaskan bahan seperti
keju ke bronki. Bakteri kemudian menyebar di udara, mengakibatkan
penyebaran lebih lanjut. Paru yang terinfeksi menjadi lebih membengkak
mengakibatkan bronkopnemonia lebih lanjut.
7
D. Manifestasi klinik
Gambaran klinis tuberculosis mungkin belum muncul pada infeksi awal
dan mungkin tidak akan pernah timbul bila tidak terjadi infeksi aktif. Bila
timbul infeksi aktif klien biasanya memperlihatkan gejala : batuk purulen
produktif disertai nyeri dada, demam (biasanya pagi hari), malaise, keringat
malam, gejala flu, batuk darah, kelelahan, hilang nafsu makan dan penurunan
berat badan.
E. Tanda dan Gejala
1. Tanda
a. Penurunan berat badan
b. Anoreksia
c. Dispneu
d. Sputum purulen/hijau, mukoid/kuning.
2. Gejala
a. Demam
Biasanya menyerupai demam influenza. Keadaan ini sangat dipengaruhi
oleh daya tahan tubuh penderita dengan berat-ringannya infeksi kuman
TBC yang masuk.
b. Batuk
Terjadi karena adanya infeksi pada bronkus. Sifat batuk dimulai dari
batuk kering kemudian setelah timbul peradangan menjadi batuk
produktif (menghasilkan sputum). Pada keadaan lanjut berupa batuk
darah karena terdapat pembuluh darah yang pecah. Kebanyakan batuk
darah pada ulkus dinding bronkus.
c. Sesak nafas.
Sesak nafas akan ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut dimana
infiltrasinya sudah setengah bagian paru.
d. Nyeri dada
Timbul bila infiltrasi radang sudah sampai ke pleura (menimbulkan
pleuritis)
e. Malaise
8
Dapat berupa anoreksia, tidak ada nafsu makan, berat badan turun, sakit
kepala, meriang, nyeri otot, keringat malam
G. Penatalaksanaan
1. Pengobatan
Tujuan terpenting dari tata laksana pengobatan tuberkulosis adalah
eradikasi cepat M. tuberculosis, mencegah resistensi, dan mencegah
terjadinya komplikasi.
Jenis dan dosis OAT :
a. Isoniazid (H)
Isoniazid (dikenal dengan INH) bersifat bakterisid, efektif terhadap
kuman dalam keadaan metabolik aktif, yaitu kuman yang sedang
berkembang. Efek samping yang mungkin timbul berupa neuritis
perifer, hepatitis rash, demam Bila terjadi ikterus, pengobatan dapat
dikurangi dosisnya atau dihentikan sampai ikterus membaik. Efek
samping ringan dapat berupa kesemutan, nyeri otot, gatal-gatal. Pada
keadaan ini pemberian INH dapat diteruskan sesuai dosis.
b. Rifampisin (R)
Bersifat bakterisid, dapat membunuh kuman semi-dorman (persisten).
Efek samping rifampisin adalah hepatitis, mual, reaksi demam,
trombositopenia. Rifampisin dapat menyebabkan warnam merah atau
jingga pada air seni dan keringat, dan itu harus diberitahukan pada
keluarga atau penderita agar tidak menjadi cemas. Warna merah
tersebut terjadi karena proses metabolism obat dan tidak berbahaya.
c. Pirazinamid (P)
Bersifat bakterisid, dapat membunuh kuman yang berada dalam sel
dengan suasana asam. Efek samping pirazinamid adalah
hiperurikemia, hepatitis, atralgia.
d. Streptomisin (S)
Bersifat bakterisid, efek samping dari streptomisin adalah nefrotoksik
dan kerusakan nervus kranialis VIII yang berkaitan dengan
keseimbangan dan pendengaran.
9
e. Ethambutol (E)
Bersifat bakteriostatik, ethambutol dapat menyebabkan gangguan
penglihatan berupa berkurangnya ketajaman penglihatan, buta warna
merah dan hijau, maupun optic neuritis (Aru, 2006).
2. Pembedahan
Dilakukan jika pengobatan tidak berhasil, yaitu dengan mengangkat
jaringan paru yang rusak, tindakan ortopedi untuk memperbaiki kelainan
tulang, bronkoskopi untuk mengangkat polip granulomatosa tuberculosis
atau untuk reseksi bagian paru yang rusak.
3. Pencegahan
Menghindari kontak dengan orang yang terinfeksi basil tuberkulosis,
mempertahankan status kesehatan dengan asupan nutrisi adekuat, minum
susu yang telah dilakukan pasteurisasi, isolasi jika pada analisa sputum
terdapat bakteri hingga dilakukan pengobatan, pemberian imunisasi BCG
untuk meningkatkan daya tahan tubuh terhadap infeksi oleh basil
tuberkulosa (Isselbacher, 1999)
II.2 Permasalahan Pengobatan TB Paru
Banyak faktor yang mempengaruhi keberadaan penyakit ini disamping faktor
medis faktor sosio, ekonomi dan budaya sifat dan prilaku orang terhadap penyakit
ini sangat mempengaruhi keberhasilan dalam penanggulangan penyakit ini.
Faktor-faktor yang mempengaruhi pengobatan:
1) Faktor sarana
a. Tersedianya obat yang cukup dan kontinue
b. Oedikasi petugas pelayanan kesehatan
c. Pemberian regimen OAT yang adekuat
2) Faktor penderita ( yanf ditentukan oleh )
a. Pengetahuan penderita yang cukup mengenai TB paru, cara pengobatan
dan bahaya akibat berobat tidak adekuat
10
b. Menjaga kondisi tubuh yang baik dengan makanan yang bergizi, cukup
istirahat, tidur teratur dan tidak minum alkohol atau merokok
c. Menjaga kebersihan diri dan lingkungan dengan tidak membuang dahak
sembarangan, bila batuk menutup mulut dengan saputangan, jendela yang
cukup besar untuk mendapat lebih banyak sinar matahari
d. Tidak perlu merasa rendah diri atau hina karena TB paru adalah penyakit
infeksi biasa yang dapat disembuhkan bila berobat dengan benar.
e. Kesadaran dan tekad penderita untuk sembuh
3) Faktor Keluarga Masyarakat atau Lingkungan
a. Dukungan keluarga sangat mendukung keberhasilan seseorang dengan
selalu mengingatkan penderita agar makan obat, pengertian yang dalam
terhadap penderita yang sedang sakit dan memberi semangat agar tetap
rajin berobat.
Faktor-faktor lain menurut dr. Erina burhan adalah
a. Penyedia pelayanan kesehatan:Buku paduan yang tidak sesuai.
1) Tidak mengikuti paduan yang tersedia.
2) Tidak memiliki paduan.
3) Pelatihan yang buruk.
4) Tidak terdapatnya pemantauan program pengobatan.
5) Pendanaan program penanggulangan TB yang lemah.
b. Obat: Penyediaan atau kualitas obat tidak adekuat.
1) Kualitas obat yang buruk.
2) Persediaan obat yang terputus.
3) Kondisi tempat penyimpanan yang tidak terjamin.
4) Kombinasi obat yang salah atau dosis yang kurang.
c. Pasien: Kepatuhan pasien yang kurang.
1) Kepatuhan yang kurang.
2) Kurangnya informasi.
3) Kekurangan dana (tidak tersedia pengobatan cuma-cuma).
4) Masalah transportasi.
5) Masalah efek samping.
6) Masalah sosial.
11
7) Malabsorpsi.
8) Ketergantungan terhadap substansi tertentu
(Annisa, 2010)
II.3 Strategi DOTS dan ISTC
Keberhasilan upaya penanggulangan TB diukur dengan kesembuhan
penderita. Kesembuhan ini selain dapat mengurangi jumlah penderita juga
mencegah terjadinya penularan. Oleh karena itu, untuk menjamin kesembuhan,
obat harus tersedia di setiap tempat dan setiap saat, selama periode pengobatan,
obat harus diminum dan penderita harus diawasi secara ketat oleh keluarga
maupun teman sekelilingnya dan jika memungkinkan dipantau oleh petugas
kesehatan agar terjamin kepatuhan penderita minum obat. Upaya menjamin
kesembuhan ini memerlukan teknologi tersendiri. Teknologi yang sudah
dipergunakan diberbagai negara dan telah menunjukkan hasil yang
menggembirakan adalah strategi DOTS (directly observed treatment, short-
course). Strategi ini dikembangkan sejak tahun 1993, dan telah terbukti cukup
efektif dalam menyembuhkan penderita TB di beberapa negara (Idris, 2004).
Di Indonesia, konsep strategi DOTS telah diterapkan sejak tahun 1995
(Depkes, 2002). Saat ini pelaaksanaan strategi DOTS melalui sarana pelayanan
kesehatan pemerintah sedang dikembangkan. Di puskesmas-puskesmas yang
sudah menjalankan DOTS, secara keseluruhan komponen-komponen DOTS
sudah dijalankan, termasuk ketersediaan obat secara gratis (Idris, 2004).
Strategi DOTS terdiri dari lima komponen, yaitu:
1. Komitmen bersama untuk mengobati TB (terutama komitmen politik)
2. Penemuan penderita atau diagnosis TB dimulai dengan pemeriksaan
sputum secara mikroskopis langsung
3. Adanya pengawas menelan obat ( PMO )
4. Jaminan kelangsungan penyediaan obat
5. Pencatatan dan pelaporan yang baku dalam memantau dan mengukur hasil
pengobatan TB (WHO, 2005)
1) Komitmen
12
Komitmen berarti keterikatan untuk melakukan sesuatu (Depdikbud
RI, 1988). Dalam menjalankan strategi DOTS, komitmen merupakan
komponen yang pertama. Komitmen yang dimaksud adalah komitmen
dari seluruh pelaksana strategi DOTS. Untuk membangun komitmen
bersama, departemen kesehatan telah membentuk gerakan Terpadu
Nasional Penanggulangan Tuberkulosis (Depkes, 2011).
Gerakan terpadu Nasional Tuberkulosis adalah satu gerakan multi
sektor dan multikoponen dalam masysarakat yang terkait dalam P2TB
(Depkes RI, 2000 . Gerdunas TB, 2000). Upaya penanggulangan TB
dilakukan melalui Gerakan Terpadu Nasional Penanggulangan
Tuberkulosis (Gerdunas-TB) yang merupakan forum lintas sektor
dibawah koordinasi Menko Kesra. Menteri Kesehatan R.I. sebagai
penanggung jawab teknis upaya penanggulangan TB (Depkes, 2006).
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 203/Menkes/ SK/ III/1999
tentang Gerakan Terpadu Nasional Penanggulangan Tuberkulosis.
2) Diagnosis dengan Pemeriksaan Sputum
Hampir sebagian besar dokter memerlukan sarana rontgen untuk
menegakkan diagnosa TB. Sebagian besar dokter menganggap bahwa
rotgen adalah sarana diagnosis yang utama, dan sebaliknya sputum
adalah pelengkap (idris,2004). Padahal secara etiologis, diagnosis TB
dengan sputum memiliki kesahihan dan tingkat kepercayaan yang jauh
lebih tinggi.
Diagnosis TB melalui pemeriksaan kultur atau biakan dahak
merupakan metode baku emas. Namun, pemeriksaan kultur
memerlukan waktu lebih lama (paling cepat sekitar 6 minggu) dan
mahal. Pemeriksaan 3 spesimen (SPS) dahak secara mikroskopis
nilainya identik dengan pemeriksaan dahak secara kultur atau biakan.
Pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan pemeriksaan yang paling
efisien, mudah, murah, bersifat spesifik, sensitif dan dapat
dilaksanakan di semua unit laboratorium. (Annisa, 2010)
Untuk mendukung kinerja program, diperlukan ketersediaan
Laboratorium Tuberkulosis dengan pemeriksaan dahak mikroskopis
13
yang terjamin mutunya dan terjangkau di seluruh wilayah Indonesia
(Depkes, 2006)
3) Pengawas Minum Obat (PMO)
Permasalahan utama dalam program eliminasi TB adalah
ketidakpatuhan penderita untuk minu obat. Untuk mengatasi hal ini
WHO mengembangkan metode DOTS (Idris, 2004). Salah satu
komponen DOTS adalah pengobatan paduan OAT jangka pendek
dengan pengawasan langsung. Untuk menjamin keteraturan
pengobatan diperlukan seorang PMO.
a. Persyaratan PMO
i. Seseorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui, baik oleh
petugas kesehatan maupun pasien, selain itu harus disegani
dan dihormati oleh pasien.
ii. Seseorang yang tinggal dekat dengan pasien.
iii. Bersedia membantu pasien dengan sukarela.
iv. Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama-
sama dengan pasien
b. Siapa yang bisa menjadi PMO
i. Sebaiknya PMO adalah petugas kesehatan, misalnya Bidan
di Desa, Perawat, Pekarya, Sanitarian, Juru Immunisasi, dan
lain lain.
ii. Bila tidak ada petugas kesehatan yang memungkinkan,
PMO dapat berasal dari kader kesehatan, guru, anggota
PPTI, PKK, atau tokoh masyarakat lainnya atau anggota
keluarga.
c. Tugas seorang PMO.
i. Mengawasi pasien TB agar menelan obat secara teratur
sampai selesai pengobatan.
ii. Memberi dorongan kepada pasien agar mau berobat teratur.
iii. Mengingatkan pasien untuk periksa ulang dahak pada
waktu yang telah ditentukan ( Depkes, 2006 ).
4) Jaminan ketersediaan obat
14
Paduan obat yang efektif merupakan elemen pokok dari strategi DOTS
yang dapat menjamin kesembuhan penderita Tbdan mencegah MDR (
multidrug resistance ). Dan untuk itu diperlukan jaminan kelangsungan
ketersediaan obat (Idris, 2004).
Upaya pemerintah meningkatkan mutu pelayanan dan menjamin
ketersediaan obat dan sarana lainnya.
a. Peningkatan manajemen manajemen OAT dan sarana lainnya di
kab/kota dan UPK.
b. Faktor yang paling berpengaruh dalam meningkatkan mutu kerja
petugas pelaksana program, termasuk mutu kinerja laboratorium.
c. Faktor-faktor yang menjamin kepuasan pasien dalam memperoleh
pelayanan di UPK DOTS. (Depkes,2006)
5) Pencatatan dan pelaporan
Pemantauan yang baik dalam hal deteksi kasus,manajemen kasus dan
hasil pengobatan merupakan faktor penting untuk menjamin kualitas
P2TB. Untuk melaksanakan pemantauan, diperlukan suatu
sistempencatatan dan pelaporan baku yang dilaksanakan dengan baik
dan benar. Hasil pemantauan sangat diperlukan untuk mengevaluasi
kinerja dari P2TB.
Sistem pencatatan dan pelaporan program TB nasional dikembangkan
mengacu pedoman internasional dari WHO dengan TB03 sebagai
register utama yang dikelola oleh wasor kabupaten/kota sebagai
penanggung jawab. Meskipun pencatatan dan pelaporan dari tingkat
fasilitas pelayanan kesehatan ke pusat telah semakin membaik,
rekapitulasi data tahun 2009 masih menunjukkan beberapa
permasalahan. Permasalahan tersebut meliputi ketepatan waktu
pelaporan, kelengkapan data, akurasi data (misalnya tidak mengikuti
kaidah dalam penutupan data, registrasi ganda) serta kemampuan
untuk memilah berdasarkan jenis fasilitas pelayanan kesehatan.
Masalah yang lebih spesifik dalam pencatatan pelaporan antara lain
format TB 12 dan TB 13 yang belum standar, surveilans TB-HIV
yang masih lemah, demikian pula surveilans rumah sakit dan sektor
15
swasta lainnya. Selain itu analisis data dan indikator program di
beberapa daerah juga masih lemah. Meskipun berbagai perbaikan
sistem telah mulai diujicoba, yaitu penyempurnaan TB elektronik,
pengisian dan distribusi data berbasis web, otomatisasi software, akan
tetapi inovasi ini masih membutuhkan investasi waktu, tenaga dan
biaya yang cukup besar sebelum dapat diterapkan secara optimal.
Pertemuan monitoring dan evaluasi yang diselenggarakan setiap
triwulan di hampir seluruh provinsi dan kabupaten/kota memberikan
kontribusi terhadap perbaikan manajemen data dan monitoring kinerja
program. Depkes RI menetapkan indikato-indikator nasional yang
dipergunakan untuk mengevaluasi kinerja P2TB, yaitu: angka
penemuan penderita (case detection rate), angka kesembuhan ( cure
rate), angka konversi (convertion rate) dan anka kesalahan
laboratorium ( eror rate) (Idris, 2004).
Banyak kemajuan telah dicapai dalam perluasan program pengendalian TB
nasional, namun penatalaksanaan TB di sebagian besar rumah sakit dan praktik
swasta belum sesuai dengan strategi DOTS dengan penerapan standar pelayanan
berdasar International Standards for Tuberculosis Care (ISTC). ISTC merupakan
serangkaian standar yang digunakan secara internasional yang diharapkan dapat
digunakan oleh semua praktisi medis, baik swasta maupun pemerintah. ISTC
menunjang peningkatan pelayanan terhadap pasien TB dengan strategi DOTS oleh
para pemberi layanan kesehatan (Depkes,2011).
Organisasi profesi pada saat ini telah merekomendasikan ISTC sebagai
standar untuk penatalaksanaan TB bagi seluruh anggotanya. Di tingkat nasional
dan provinsi telah dibentuk kelompok kerja ISTC untuk penguatan kebijakan dan
implementasinya. Pada periode ini (2011–2014), intervensi terfokus pada
implementasi ISTC melalui kelompok kerja ISTC di semua tingkatan melalui
cabang-cabang organisasi profesi.
Sosialisasi ISTC versi kedua kepada tenaga kesehatan di berbagai fasilitas
pelayanan kesehatan terutama dokter spesialis, dokter umum dan perawat akan
ditingkatkan intensitas dan efektivitasnya. Selain mensosialisasikan ISTC secara
16
langsung kepada penyedia pelayanan, diseminasi ISTC juga akan dilakukan oleh
rumah dan fasilitas pelayanan kesehatan yang telah terlibat dalam inisiatif PPM.
Pelatihan berbasis kasus dan pelatihan berbasis komputer (computer-based
training) akan dikembangkan. Untuk mempersiapkan calon tenaga kesehatan di
masa mendatang, ISTC akan dimasukkan dalam kurikulum pendidikan dan
pendidikan berkelanjutan, khususnya bagi tenaga kesehatan dokter dan perawat.
Model sertifikasi pelatihan ISTC untuk para praktisi swasta akan dikembangkan
untuk proses perijinan.
Penilaian efektivitas pelatihan tersebut akan diintegrasikan dengan kegiatan
monitoring dan evaluasi penerapan ISTC di berbagai fasilitas pelayanan
kesehatan. Sistim monitoring dan evaluasi pelaksanaan ISTC tersebut perlu
dikembangkan oleh organisasi profesi (Depkes,2006)
Pada tahun 2007, organisasi-organisasi profesi secara resmi sudah
mengesahkan ISTC sebagai standar pelayanan TB. UU Nomor 4/1984
mewajibkan seluruh fasilitas pelayanan kesehatan umum dan swasta untuk
melaporkan kejadian penyakit menular prioritas kepada pihak yang berwenang,
dalam hal ini dinas kesehatan setempat (Depkes, 2011).
ISTC tidak hanya mencakup panduan penatalaksanaan kasus TB nonresisten,
namun juga mencakup panduan untuk pencegahan TB MDR. Panduan
pencegahan TB MDR ini telah dijelaskan dalam standard 14, di mana pada semua
pasien seharusnya dilakukan penilaian kemungkinan resistensi obat berdasarkan
riwayat pengobatan terdahulu, pajanan dengan sumber yang mungkin resisten,
dan prevalensi resistensi obat dalam masyarakat.
Pasien gagal pengobatan dan kasus kronik juga harus selalu dipantau
kemungkinan resistensi obatnya. Untuk pasien dengan kemungkinan resistensi
obat, biakan dan uji sensitiviti obat terhadap isoniazid, rifampisin, dan etambutol
seharusnya dilaksanakan segera. Jika penanganan TB dilakukan dengan benar
sesuai dengan standard ISTC dan memakai strategi DOTS maka kemungkinan
untuk terjadi MDR akan sangat kecil.
Berikut adalah standar-standar ISTC
17
INTERNATIONAL STANDARDS FOR TUBERCULOSIS CARE
STANDARD UNTUK DIAGNOSIS
Standard 1
Setiap orang dengan batuk produktif selama 2-3 minggu atau lebih, yang
tidak jelas penyebabnya, harus dievaluasi untuk tuberkulosis.
*) Lihat addendum
Standard 2
Semua pasien (dewasa, remaja dan anak yang dapat mengeluarkan dahak)
yang diduga menderita tuberkulosis paru harus menjalani pemeriksaan dahak
mikroskopik minimal 2 dan sebaiknya 3 kali. Jika mungkin paling tidak satu
spesimen harus berasal dari dahak pagi hari.
Standard 3
Pada semua pasien (dewasa, remaja dan anak) yang diduga menderita
tuberkulosis ekstraparu, spesimen dari bagian tubuh yang sakit seharusnya
diambil untuk pemeriksaan mikroskopik dan jika tersedia fasiliti dan sumber
daya, dilakukan pemeriksaan biakan dan histopatologi.
*) Lihat addendum
Standard 4
Semua orang dengan temuan foto toraks diduga tuberculosis seharusnya
menjalani pemeriksaan dahak secara mikrobiologi.
Standard 5
Diagnosis tuberkulosis paru sediaan apus dahak negatif harus didasarkan
kriteria berikut : minimal pemeriksaan dahak mikroskopik 3 kali negatif
(termasuk minimal 1 kali dahak pagi hari); temuan foto toraks sesuai tuberkulosis
dan tidak ada respons terhadap antibiotika spektrum luas (Catatan :
fluorokuinolon harus dihindari karena aktif terhadap M.tuberkulosis complex
sehingga dapat menyebabkan perbaikan sesaat pada penderita tuberkulosis).
Untuk pasien ini, jika tersedia fasiliti, biakan dahak seharusnya dilakukan. Pada
pasien yang diduga terinfeksi HIV evaluasi diagnostik harus disegerakan.
Standard 6
18
Diagnosis tuberkulosis intratoraks (yakni, paru, pleura dan kelenjar getah
bening hilus atau mediastinum) pada anak dengan gejala namun sediaan apus
dahak negatif seharusnya didasarkan atas kelainan radiografi toraks sesuai
tuberkulosis dan pajanan kepada kasus tuberkulosis yang menular atau bukti
infeksi tuberkulosis (uji kulit tuberkulin positif atau interferron gamma release
assay). Untuk pasien seperti ini, bila tersedia fasiliti, bahan dahak seharusnya
diambil untuk biakan (dengan cara batuk, kumbah lambung atau induksi dahak).
*) Lihat addendum
STANDARD UNTUK PENGOBATAN
Standard 7
Setiap praktisi yang mengobati pasien tuberkulosis mengemban tanggung
jawab kesehatan masyarakat yang penting. Untuk memenuhi tanggung jawab ini
praktisi tidak hanya wajib memberikan paduan obat yang memadai tapi juga harus
mampu menilai kepatuhan pasien kepada pengobatan serta dapat menangani
ketidakpatuhan bila terjadi. Dengan melakukan hal itu, penyelenggara kesehatan
akan mampu meyakinkan kepatuhan kepada paduan sampai pengobatan selesai.
Standard 8
Semua pasien (termasuk mereka yang terinfeksi HIV) yang belum pernah
diobati harus diberi paduan obat lini pertama yang disepakati secara internasional
menggunakan obat yang biovalibilitinya telah diketahui. Fase awal seharusnya
terdiri dari isoniazid, rifampisin, pirazinamid, dan etambutol. Etambutol boleh
dihilangkan pada fase inisial pengobatan untuk orang dewasa dan anak dengan
sediaan hapus dahak negatif, tidak menderita tuberkulosis paru yang luas atau
penyakit ekstraparu yang berat, serta telah diketahui HIV negatif. Fase lanjutan
yang dianjurkan terdiri dari isoniazid dan rifampisin diberikan selama 4 bulan.
Isoniazid dan etambutol selama 6 bulan merupakan paduan alternatif pada fase
lanjutan yang dapat dipakai jika kepatuhan pasien tidak dapat dinilai, akan tetapi
hal ini berisiko tinggi untuk gagal dan kambuh , terutama untuk pasien yang
terinfeksi HIV. Dosis obat antituberkulosis yang digunakan harus sesuai dengan
rekomendasi internasional. Kombinasi dosis tetap yang terdiri kombinasi 2 obat
(isoniazid dan rifampisin), 3 obat (isoniazid, rifampisin dan pirazinamid), dan 4
19
obat(isoniazid, rifampisin, pirazinamid dan etambutol) sangat direkomendasikan
terutama jika menelan obat tidak diawasi.
*) Lihat addendum
Standar 9
Untuk membina dan menilai kepatuhan (adherence) kepada pengobatan, suatu
pendekatan pemberian obat yang berpihak kepada pasien, berdasarkan kebutuhan
pasien dan rasa saling menghormati antara pasien dan penyelenggara kesehatan,
seharusnya dikembangkan untuk semua pasien. Pengawasan dan dukungan
seharusnya sensitif terhadap jenis kelamin dan spesifik untuk berbagai usia dan
harus memanfaatkan bermacam-macam intervensi yang direkomendasikan serta
layanan pendukung yang tersedia, termasuk konseling dan penyuluhan pasien.
Elemen utama dalam strategi yang berpihak kepada pasien adalah penggunaan
cara-cara menilai dan mengutamakan kepatuhan terhadap paduan obat dan
menangani ketidakpatuhan, bila terjadi.
Cara-cara ini seharusnya dibuat sesuai keadaan pasien dan dapat diterima
oleh kedua belah pihak, yaitu pasien dan penyelenggara pelayanan. Cara-cara ini
dapat mencakup pengawasan langsung menelan obat (directly observed therapy -
DOT) oleh pengawas menelan obat yang dapat diterima dan dipercaya oleh pasien
dan sistem kesehatan.
Standard 10
Semua pasien harus dimonitor responsnya terhadap terapi; penilaian terbaik
pada pasien tuberkulosis ialah pemeriksaan dahak mikroskopik berkala (dua
spesimen) paling tidak pada waktu fase awal pengobatan selesai (dua bulan), pada
lima bulan, dan pada akhir pengobatan. Pasien dengan sediaan apus dahak positif
pada pengobatan bulan kelima harus dianggap gagal pengobatan dan pengobatan
harus dimodifikasi secara tepat (lihat standard 14 dan 15).
Pada pasien tuberkulosis ekstraparu dan pada anak, respons pengobatan
terbaik dinilai secara klinis. Pemeriksaan foto toraks umumnya tidak diperlukan
dan dapat menyesatkan.
*) Lihat addendum
Standard 11
20
Rekaman tertulis tentang pengobatan yang diberikan, respons bakteriologis
dan efek samping seharusnya disimpan untuk semua pasien.
Standard 12
Di daerah dengan prevalensi HIV tinggi pada populasi umum dan daerah
dengan kemungkinan tuberkulosis dan infeksi HIV muncul bersamaan, konseling
dan uji HIV diindikasikan bagi semua pasien tuberkulosis sebagai bagian
penatalaksanaan rutin. Di daerah dengan prevalensi HIV yang lebih rendah,
konseling dan uji HIV diindikasikan bagi pasien tuberkulosis dengan gejala
dan/atau tanda kondisi yang berhubungan dengan HIV dan pada pasien
tuberkulosis yang mempunyai riwayat risiko tinggi terpajan HIV.
Standard 13
Semua pasien dengan tuberkulosis dan infeksi HIV seharusnya dievaluasi
untuk menentukan perlu/tidaknya pengobatan antiretroviral diberikan selama
masa pengobatan tuberkulosis. Perencanaan yang tepat untuk mengakses obat
antiretroviral seharusnya dibuat untuk pasien yang memenuhi indikasi. Mengingat
kompleksnya penggunaan serentak obat antituberkulosis dan antiretroviral,
konsultasi dengan dokter ahli di bidang ini sangat direkomendasikan sebelum
mulai pengobatan serentak untuk infeksi HIV dan tuberkulosis, tanpa
memperhatikan mana yang muncul lebih dahulu. Bagaimanapun juga pelaksanaan
pengobatan tuberkulosis tidak boleh ditunda. Pasien tuberkulosis dan infeksi HIV
juga seharusnya diberi kotrimoksazol sebagai pencegahan infeksi lainnya.
Standard 14
Penilaian kemungkinan resistensi obat, berdasarkan riwayat pengobatan
terdahulu, pajanan dengan sumber yang mungkin resisten obat dan prevalensi
resistensi obat dalam masyarakat seharusnya dilakukan pada semua pasien. Pasien
gagal pengobatan dan kasus kronik seharusnya selalu dipantau kemungkinannya
akan resistensi obat. Untuk pasien dengan kemungkinan resitensi obat, biakan dan
uji sensitiviti obat terhadap isoniazid, rifampisin, dan etambutol seharusnya
dilaksanakan segera.
Standard 15
Pasien tuberkulosis yang disebabkan kuman resisten obat (khususnya MDR)
seharusnya diobati dengan paduan obat khusus yang mengandung obat
21
antituberkulosis lini kedua. Paling tidak harus digunakan empat obat yang masih
efektif dan pengobatan harus diberikan paling sedikit 18 bulan. Cara-cara yang
berpihak kepada pasien disyaratkan untuk memastikan kepatuhan pasien terhadap
pengobatan. Konsultasi dengan penyelenggara pelayanan yang berpengalaman
dalam pengobatan pasien dengan MDR- TB harus dilakukan.
STANDARD UNTUK TANGGUNG JAWAB KESEHATAN
MASYARAKAT
Standard 16
Semua penyelenggara pelayanan untuk pasien tuberkulosis seharusnya
memastikan bahwa semua orang (khususnya anak berumur di bawah 5 tahun dan
orang terinfeksi HIV) yang mempunyai kontak erat dengan pasien tuberkulosis
menular seharusnya dievaluasi dan ditatalaksana sesuai dengan rekomendasi
internasional. Anak berumur di bawah 5 tahun dan orang terinfeksi HIV yang
telah terkontak dengan kasus menular seharusnya dievaluasi untuk infeksi laten
M.tuberkulosis maupun tuberkulosis aktif.
Standard 17
Semua penyelenggara pelayanan kesehatan harus melaporkan kasus
tuberkulosis baru maupun kasus pengobatan ulang serta hasil pengobatannya ke
kantor dinas kesehatan setempat sesuai dengan peraturan hukum dan kebijakan
yang berlaku.
*) Lihat addendum
ADDENDUM
Standard 1.
Untuk pasien anak, selain gejala batuk, entry untuk evaluasi adalah berat
badan yang sulit naik dalam waktu kurang lebih 2 bulan terakhir atau gizi buruk.
Standard 3.
Sebaiknya dilakukuan juga pemeriksaan foto toraks untuk mengetahui ada
tidaknya TB paru dan TB millier. Pemeriksaan dahak juga dilakukan, bila
mungkin pada anak.
Standard 6.
Untuk pelaksanaan di Indonesia, diagnosis didasarkan atas pajanan kepada
kasus tuberkulosis yang menular atau bukti infeksi tuberkulosis (uji kulit
22
tuberkulin positif atau interferron gamma release assay) dan kelainan radiografi
toraks sesuai TB.
Standard 8.
a. Etambutol boleh dihilangkan pada fase inisial pengobatan untuk orang
dewasa dan anak dengan sediaan hapus dahak negatif, tidak menderita
tuberkulosis paru yang luas atau penyakit extraparu yang berat, serta telah
diketahui HIV negatif.
b. Secara umum terapi TB pada anak diberikan selama 6 bulan, namun pada
keadaan tertentu (meningitis TB, TB tulang, TB milier dan lain-lain) terapi TB
diberikan lebih lama (9-12) dengan paduan OAT yang lebih lengkap sesuai
dengan derajat penyakitnya.
Standard 10.
Respons pengobatan pada pasien TB milier dan efusi pleura atau TB paru
BTA negatif dapat dinilai dengan foto toraks .
Standard 17.
Pelaksanaan pelaporan seharusnya difasilitasi dan dikoordinasikan oleh Dinas
Kesehatan setempat, sesuai dengan kesepakatan yang dibuat (Erlina, 2010).
23
BAB III
PENUTUP
III.1 Kesimpulan
1. TB masih merupakan masalah di Indonesia
2. Faktor- faktor yang mempengaruhi masalah pengobatan adalah
a. faktor sarana
b. faktor penderita
c. faktor keluarga dan masyarakat lingkungan
3. Penanggulangan TB yang dilaksanakan pemerintah berdasarkan strategi DOTS
dengan standar pelayanan mengacu pada International Standard for TB Care
(ISTC)
4. Strategi DOTS terdiri dari 5 komponen kunci:
a. Komitmen politis
b. Pemeriksaan dahak mikroskopis yang terjamin mutunya.
c. Pengobatan jangka pendek yang standar bagi semua kasus TB dengan
tatalaksana kasus yang tepat, termasuk pengawasan langsung
pengobatan.
d. Jaminan ketersediaan OAT yang bermutu.
e. Sistem pencatatan dan pelaporan yang mampu memberikan penilaian
terhadap hasil pengobatan pasien dan kinerja program secara
keseluruhan.
6. Standar internasional untuk penanggulangan TB ( ISTC)
a. Standard Diagnosis (1-6) mencakup:
1. Identifikasi suspek TB ( Standard 1 )
2. Pemeriksaan Dahak SPS ( Standard 2 )
3. Diagnosis extra paru ( Standard 3 )
4. Tetap lakukan pemeriksaan dahak walaupun ada foto toraks ( Standard 4)
5. Diagnosis TB BTA negatif ( Standard 5 )
6. Diagnosis TB anak ( Standard 6 )
24
b. Standard untuk Pengobatan (standard 7- 15)
1. Tanggung jawab kesehatan masyarakat praktisi menilai kepatuhan
pengobatan (Standard 7)
2. Paduan obat lini pertama bagi pasien yang belum pernah diobati
(Standard 8)
3. Pengawasan/ dukungan pengobatan yg berpusat kepada pasien
(Standard 9)
4. Monitor respon terhadap terapi pada akhir bulan ke-2 dan akhir
bulan ke 5 (Standard 10)
5. Rekam medis tertulis tentang pengobatan, respon bakteriologis dan
efek samping (Standard 11)
6. Konseling dan uji HUV bagi Pasien TB (Standard 12)
7. Obat ARV bagi pasien TB-HIV (Standard 13)
8. Penilaian kemungkinan Resisrtensi Obat (Standard 14)
9. Pengobatan pasien TB resissten obat (Standard 15)
c. Pengobatan pasien TB resisten obat Standard Kesehatan masyarakat (16-
17).
1. Keharusan memastikan anak di bawah 5 tahun dan orang dengan
infeksi HIV yang berkontak erat dengan pasien TB menular
dievaluasi untuk TB (Standard 16)
2. Keharuskan melaporkan pasien TB sesuai peraturan yang berlaku
(Standard 17)
III.2 Saran
Dalam praktik keseharian hendaklah seorang dokter mendiagnosis pasien TB
berdasarkan strategi DOTS dengan standar pelayanan mengacu pada International
Standard for TB Care (ISTC).
25
DAFTAR PUSTAKA
1. Burhan, Erlina. (2010). Peran ISTC dalam pencegahan MDR. Departemen
pulmonologi dan ilmu kedokteran respirasi FKUI
2. Depkes RI. (2002). Program Nasional Penanggulangan Tuberkulosis
Cetakan ke 8
3. Depkes RI. (2006). Program Nasional Penanggulangan Tuberkulosis edisi 2,
cetakan 1
4. Depkes RI. (2011). Stop TB Trobasan Menuju Akses Universal Strategi
Nasional Pengendalian TB di Indonesia 2010-2014
5. Gerdunas TB. (2000). Gerakan Terpadu Nasional (GERDUNAS) TBC
Kongres Nasional TBC I Stop TB
6. Idris, fachmi. (2004). Manajemen Public Private Mix Penanggulangan
Tuberculosis Strategi DOTS Dokter Praktik Swasta. Cikal Media. Jakarta
7. Isselbacher, et al. 1999). Harrison Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam
ed:13 vol:2. EGC. Jakarta
8. Permatasari, fAnnisa. (2010). Pemberantasan penyakit TB paru dan strategi
DOTS. USU. Sumatera Utara.
9. Price, S.L. dan Lorraine M.W. (2006). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-
proses Penyakit, vol:2 Ed:6. EGC. Jakarta.
10. Sudoyo, Aru W. Dkk. (2009). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalan Jilid III edisi
V. Balai pusat penerbitan FKUI. Jakarta
11. WHO. (2010). TB in South East Asia. Communicable Disease Department