Upload
nasrul-fuad-erfansyah
View
153
Download
12
Embed Size (px)
Citation preview
Pengantar Singkat Studi Islam
Hammis Syafaq
Pendahuluan
Islam adalah agama yang datang dari Allah, diwahyukan kepada Nabi Muhammad
dan disampaikan kepada seluruh umat manusia, yang dimulai ketika Nabi Muhammad
berada di Gua Hira. Wahyu itu berlanjut hingga hampir 23 tahun dan dibukukan dalam
bentuk mushaf al-Qur’an dengan menggunakan bahasa Arab, karena Nabi Muhammad,
sebagai penerima wahyu, adalah berasal dari bangsa Arab.
Itu artinya bahwa bahasa al-Qur’an itu bersifat partikular, sementara pesannya
adalah universal. Oleh karena itu, Islam yang disampaikan melalui bahasa Arab yang
bersifat lokal tersebut harus selalu digali dan diformulasikan ke dalam lokus bahasa dan
budaya non-Arab, sehingga Islam tidak menjadi agama yang eksklusif dengan khas
bangsa Arab. Maka, dalam memahami Islam diperlukan pemahaman terhadap beberapa
hal, di antaranya adalah konteks historis seputar kehidupan Nabi Muhammad (sirah
Nabawiyah) sebagai penerima wahyu dan sekaligus sebagai juru bicara Tuhan bagi
manusia dan kedua adalah makna yang terkandung di balik pesan ayat-ayat al-Qur’an
yang berbahasa Arab tersebut atau biasa disebut dengan penafsiran.
Tulisan ini adalah sebagai tawaran yang dikemas dalam bentuk refleksi singkat
dengan menguraikan beberapa upaya obyektif manusia dalam memahami pesan-pesan
Allah yang terkandung dalam al-Qur’an dan Hadits Nabi Muhammad saw.
Peran Islam dalam Kehidupan Manusia
Berbicara tentang peran, pada dasarnya adalah berbicara tentang fungsi atau
kegunaan. Berkaitan dengan hal tersebut, ada sebuah pertanyaan mendasar yang harus
dijawab, yaitu apakah umat Islam itu beragama untuk Allah ataukah untuk dirinya
sendiri. Jika mereka beragama untuk Allah, dapat dipastikan bahwa seluruh aktivitas
keberagamaan yang dilakukannya selalu berorientasi vertikal. Sebaliknya, jika mereka
beragama untuk kepentingan dirinya, tentu orientasi keberagamaannya selalu pada
sektor horisontal.
Kedua orientasi di atas sangat kontradiktif, karena di antara ciri dari model
keberagamaan pertama (beragama untuk Allah), adalah bahwa intensitas keimanan
seorang muslim terimplementasi dalam frekuensi pelaksanaan ibadah yang
dilakukannya. Dalam perspektif keberagamaan seperti ini, logika yang digunakan
adalah bahwa umat Islam berkewajiban melayani Allah, bukan sebaliknya. Dalam cara
beragama yang selalu diorientasikan pada Allah ini segala bentuk kewajiban beragama
yang tertuang dalam teks suci (al-Qur’an dan Hadits) selalu diinterpretasikan secara
rigid dan taken for granted. Dalam hal ini, tidak ada tawaran bagi proses penafsiran,
terutama yang bercorak kontekstual. Bagi kelompok ini, banyak rahasia misterius yang
terkandung di balik doktrin tersebut, di mana hal itu tidak akan mampu dijangkau
dengan pemahaman rasio manusia yang kapasitasnya sangat terbatas. Prinsip dasarnya
adalah melaksanakan perintah Allah dengan tidak banyak memberikan komentar.
Menyerahkan segala rahasia tersebut hanya pada Allah dan meyakini bahwa apapun
bentuk rahasia tersebut adalah yang terbaik bagi umat Islam. Dampak lebih jauh dari
kecenderungan pola pikir keagamaan semacam ini adalah munculnya batas pemisah
antara agama dan realitas sosial.
Bertolak belakang dengan sikap beragama pertama, sikap beragama yang
diorientasikan pada umat Islam selalu besandar dan berdasar pada paradigma
kemanusiaan. Islam terlahir untuk umat Islam, bukan untuk Allah. Karenanya, agama
kemudian harus berpartisipasi aktif dalam menyelesaikan berbagai problematika
kemanusiaan. Dalam konteks ini, logika yang dikedepankan adalah bahwa Islam lahir
sebagai pahlawan pembebas umat Islam dari segala bentuk belenggu problematika
hidup yang dihadapinya, bukan justru menjadi belenggu yang mengekang kebebasan
berpikir dan bertindak umat Islam itu sendiri.
Dalam orientasi beragama jenis kedua ini, berpegang pada simbol serta satu pola
penafsiran sama halnya dengan membunuh relevansi dan mematikan peran signifikan
Islam itu sendiri. Sebab umat Islam, selaku konsumen, selalu hadir dalam realitas sosio-
kultural yang berbeda dan selalu dinamis. Oleh karena itu, diperlukan adanya upaya
untuk melampaui tataran simbolik ajaran sebuah agama yang dapat melahirkan
penafsiran-penafsiran dengan wajah yang senantiasa baru, namun dengan tetap
mengusung orientasi otentis serta berpegang pada makna substantifnya. Dua alternatif
orientasi beragama di atas merupakan pilihan bebas kita sebagai umat beragama.
Secara faktual, dalam realitas keberagamaan dewasa ini, mayoritas pilihan masih
banyak jatuh pada orientasi beragama jenis pertama, yaitu beragama untuk Allah. Oleh
karena itu, tidak mengherankan jika peran dan kontribusi aktif Islam dalam ranah sosial
kemudian cenderung mandul.
Sejarah Perkembangan Islam
Islam pada Periode Klasik
Terdapat dua pendapat populer tentang awal dimulainya sejarah Islam pada masa
Nabi. Pertama, yang mengatakan bahwa sejarah Islam dimulai sejak Nabi Muhammad
diangkat menjadi Rasul. Kedua, yang mengatakan bahwa sejarah Islam dimulai
semenjak Nabi hijrah dari Makkah ke Madinah. Tetapi, jika berdasar pada dimulainya
penghitungan tahun hijrah, maka pilihan akan jatuh pada pendapat kedua, karena tahun
Islam dimulai dengan hijrahnya Nabi Muhammad dari Makkah ke Madinah pada tahun
622 M.1
Islam pada masa Nabi, terbagi menjadi dua; masa di Makkah dan di Madinah.
Ketika Nabi di Makkah, ia bersama pengikutnya selalu mendapatkan tekanan dari
kalangan Qurays yang tidak setuju dengan ajaran yang disampaikannya. Maka Nabi pun
kemudian mengirim sejumlah pengikutnya ke Abesinia yang beragama Kristen Koptik
untuk mendapatkan suaka. Itulah fase Makkah yang membuat Nabi bertahan di Makkah
atas dukungan keluarga.
Setelah Khadijah (istrinya) wafat, kepala sukunya juga wafat dan digantikan oleh
orang yang tidak simpati kepadanya. Maka pada tahun 620 M, Nabi membuat
persetujuan dengan sejumlah penduduk Yatsrib yang terkemuka agar dapat diterima di
kalangan mereka. Setelah itu ia hijrah ke Yatsrib, yang di kemudian hari kota ini
berubah nama menjadi Madinah. Di Madinah, umat Islam dikelompokkan menjadi dua;
Muhajirin dan Anshor.
Pada masa Nabi, segala permasalahan tentang umat Islam selalu dikembalikan
kepadanya, sebagai rujukan umat Islam. Karena itu, segala perselisihan yang terjadi di
antara umat Islam segera bisa diselesaikan. Setelah Nabi wafat, umat Islam mulai
berselisih. Perselisihan itu terjadi diawali tentang masalah penentuan siapa yang berhak
mengganti posisi kepemimpinannya. Ada kelompok yang mengatakan bahwa sebelum
Nabi wafat, Nabi sudah berwasiat tentang penggantinya. Kelompok ini disebut dengan
kelompok Syi’ah. Sementara kelompok lain mengatakan bahwa ia tidak pernah
menentukan penggantinya, sehingga mereka bermusyawarah di Tsaqifah Bani Sa’dah
untuk memilih pengganti Nabi. Kelompok ini dikenal dengan kelompok Sunni. Pada
periode-periode ini, umat Islam mulai melakukan berbagai penyebaran Islam ke
wilayah-wilayah luar Makkah dan Madinah.
1 Harun Nasution, Islam Ditinjau dari berbagai Aspeknya (Jakarta: UI Press, 2001), Jilid I, 50.
Ketika masa Khulafa’ al Rashidin, sampai pada wafatnya Uthman, umat Islam
mulai terpecah menjadi dua kubu; pendukung Ali bin Abi Talib dan pendukung
Mu’wiyyah bin Abi Sufyan. Perang antara keduanya diatasi dengan damai yang dikenal
dengan arbitrasi (tahkim). Metode damai dengan cara tahkim ini mengecewakan
beberapa pendukung Ali, sehingga mereka menyatakan keluar dari barisan Ali dan
berbalik menyerang mereka yang menyetujui proses tahkim dengan sebutan kafir.
Kelompok ini dikenal dengan nama Khawarij.
Islam pada Periode Pertengahan
Islam pada zaman pertengahan dapat dibagi menjadi dua; zaman kemunduran dan
zaman tiga kerajaan besar. Zaman kemunduran berlangsung sekitar 250 tahun, dan
zaman tiga kerajaan besar berlangsung sekitar 300 tahun.
Kemunduran umat Islam pada zaman pertengahan diawali dengan kehancuran
Baghdad oleh Hulagu Khan (cucu Jengis Khan). Di bidang politik misalnya, dinasti
yang berkuasa di Mesir silih berganti dan saling menjatuhkan. Dimulai dari Dinasti
Fatimiyyah, yang beraliran Syi’ah, digantikan oleh Dinasti Ayyubiyyah yang beraliran
Sunni. Ayyubiyyah berakhir pada tahun 1250 dan digantikan oleh Dinasti Mamlukiyyah
sampai tahun 1517.
Perpecahan juga terjadi di antara para ulama’ pengikut madzhab fikih. Mereka
disibukkan oleh kegiatan pembelaan dan penguatan madzhab yang dianutnya, bahkan
cenderung beranggapan bahwa madzhabnya adalah yang paling benar. Akhirnya fikih
tidak berkembang dan muncul budaya taqlid di kalangan umat Islam.
Dalam keadaan demikian ini muncullah tiga Kerajaan besar; Uthmani di Turkey
(1290-1924), Safawi di Persia (1501-1736) dan Mughal di India (1526-1858). Akan
tetapi ketiga kerajaan ini tidak bisa bertahan, satu demi satu berjatuhan dan digantikan
oleh kekuatan lain; Kerajaan Uthmani digantikan oleh Republik Turki (1924), Safawi di
Persia digantikan oleh Dinasti Qajar (1925), dan Kerajaan Munghal di India digantikan
oleh penjajah Inggris (1875) dan Mesir dikuasai Napoleon dari Perancis tahun 1798.
Akhirnya umat Islam memasuki fase kemunduran kedua.
Islam pada Periode Modern
Periode modern disebut oleh Harun Nasution sebagai zaman kebangkitan Islam.
Ekspedisi Napoleon yang berakhir tahun 1801 membuka mata umat Islam, terutama
Turki dan Mesir, akan kelemahan umat Islam di hadapan kekuatan Barat. Ekspedisi
Napoleon di Mesir memperkenalkan ilmu pengetahuan dengan membawa 167 ahli
dalam berbagai cabang ilmu. Dia membawa dua set alat percetakan huruf Latin, Arab
dan Yunani. Ekspedisi itu bukan hanya membawa misi militer, tetapi juga misi ilmiah.
Napoleon membentuk lembaga ilmiah yang disebut dengan Institut d’ Egypte yang
mempunyai empat bidang kajian, yaitu ilmu pasti, ilmu alam, ilmu ekonomi dan politik,
serta ilmu sastra dan seni. Selain itu diterbitkan juga majalah ilmiah yang bernama
Courier d’Egypte.
Ide-ode baru yang diperkenalkan oleh Napoleon di Mesir adalah sistem negara
republik yang kepala negaranya dipilih untuk jangka waktu tertentu, persamaan
(egalite) dan paham kebangsaan (nation).
Para pemuka Islam pun mulai berpikir dan mencari jalan keluar untuk
mengembalikan balance of power yang telah membahayakan umat Islam. Maka
muncullah gerakan pembaruan yang dilakukan di berbagai negara, seperti Turki dan
Mesir. Gagasan-gagasan pembaruan itu kemudian diserap di berbagai negeri Muslim,
termasuk di Indonesia.
Dari sejarah Islam di atas, dapat disimpulkan bahwa agama lahir dari dan dalam
sebuah realitas sosial tertentu. Tingkat akomodasi dan apresiasinya terhadap realitas
sosial di sekitarnya begitu kuat, sehingga dalam berbagai fenomena keagamaan dapat
ditemukan adanya keterkaitan antara agama dan budaya yang sangat erat. Hal ini terjadi
karena dua hal: pertama, bahwa tidak semua nilai dan prinsip budaya lokal itu
bertentangan dengan doktrin dan ajaran keagamaan, bahkan sebaliknya, banyak yang
berkesesuaian, sehingga budaya menjadi layak untuk diakomodasi ke dalam agama;
kedua, bahwa dengan mengakomodasi nilai budaya lokal, sepanjang tidak bertentangan
dengan prinsip dasar ajaran agama tersebut, akan mempermudah usaha sosialisasi
agama tersebut. Sebab, sesuatu yang asing akan lebih mudah diakomodasi oleh
masyarakat setempat jika ia telah lama dikenal dan akrab dengan masyarakat tersebut.
Dari sinilah agama kemudian berusaha tampil dalam wajahnya yang ramah, lunak dan
bersahaja di balik budaya dasar yang dianut sebuah masyarakat.
Aliran-aliran Pemikiran (Schools of Thought) dalam Islam
Ketika Nabi, sebagai sumber umat Islam, telah tiada, segala permasalahan dalam
masyarakat Islam menjadi tidak bisa terselesaikan secara sepakat. Banyak perbedaan
pendapat antara umat Islam tentang beberapa hal yang berkaitan dengan kehidupan
mereka. Maka terbentuklah aliran-aliran pemikiran yang beragam dan sama-sama
menyandarkan pemikirannya kepada al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Jika diuraikan adalah
sebagai berikut: Dalam bidang politik, muncul aliran Shi’ah, Sunni dan Khawarij.
Dalam bidang hukum Islam, muncul Hanafiyyah, Malikiyyah, Shafi’iyyah dan
Hanabilah. Dalam bidang teologi, muncul aliran Khawarij, Murji’ah, Muktazilah,
Maturidiyyah dan Ash’ariyyah. Dalam bidang filsafat, muncul al-Kindi, al-Farabi, Ibnu
Sina, al-Razi, al-Ghazali, Ibnu Rushd dan Ibnu Tufayl. Dalam bidang tasawuf, muncul
Rabi’ah al-‘Adawiyyah, al-Hallaj, al-‘Arabi, al-Jilli, al-Ghazali dan al-Bustami.
Islam, Agama Ritual dan Sosial
Dalam agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw, terdapat berbagai
petunjuk tentang bagaimana seharusnya manusia itu menyikapi hidup dan kehidupan ini
secara lebih bermakna dan dalam arti yang seluas-luasnya. Islam mengajarkan
kehidupan yang dinamis dan progresif, bersikap seimbang dalam memenuhi kebutuhan
material dan spiritual, senantiasa mengembangkan kepedulian sosial, menghargai
waktu, bersikap terbuka, berorientasi pada kualitas, egaliter, kemitraan, mencintai
kebersihan dan mengutamakan persaudaraan. Dalam al-Qur’an dan Hadith ditemukan
bahwa proporsi terbesar adalah ditujukan pada urusan sosial.2
Dalam kajian ilmu-ilmu sosial ditemukan adanya teori struktural fungsional, yang
menyatakan bahwa segala sesuatu yang tidak berfungsi akan lenyap dengan sendirinya.
Sementara Islam, sebagai agama, tetap eksis. Itu artinya bahwa Islam mempunyai
sejumlah peran dan fungsi di masyarakat.
Namun pada kenyataannya, Islam yang ditampilkan oleh pemeluknya jauh dari
cita ideal tersebut. Ibadah yang dilakukan umat Islam, seperti shalat, puasa, zakat, haji
dan sebagainya hanya berhenti pada sebatas membayar kewajiban dan menjadi lambang
kesalehan, sedangkan buah dari ibadah yang berdimensi kepedulian sosial kurang
tampak. Itu artinya, di kalangan umat Islam telah terjadi kesalahan dalam memahami
dan menghayati pesan simbolis keagamaan itu. Akibatnya, agama lebih dihayati sebagai
penyelamatan individu dan bukan sebagai keberkahan sosial secara bersama, seolah
Allah tidak hadir dalam problematika sosial kita. Padahal, Islam adalah agama yang
memiliki banyak dimensi, mulai dari dimensi keimanan, akal pikiran, ekonomi, politik,
ilmu pengetahuan dan teknologi, lingkungan hidup, sejarah, perdamaian, sampai pada
kehidupan rumah tangga dan masih banyak lagi.
Islam sebagai agama, hadir membawa misi pembebasan umat manusia dari
ketertindasan dan ketidak adilan. Namun dalam perjalanan sejarahnya, misi Islam
2 Jaih Mubarak, Metodologi Studi Islam, 7.
tersebut tidak selalu tampak di tingkat realitas kehidupan. Realitas masyarakat muslim
masih diliputi kebodohan, kemiskinan, ketimpangan sosial dan ketidak adilan ekonomi.
Hal ini terjadi karena pemahaman masyarakat muslim terhadap Islam masih terbelenggu
pada tataran simbolik dan formalistik. Keberhasilan misi Islam sebagai agama hanya
dimaknai pada seberapa banyak pengikutnya berbondong-bondong dan beramai-ramai
melaksanakan ritual-ritual keagamaan, merayakan hari besar, pengukuhan identitas
yang bersifat lahiriah dan pada sejauh mana ketentuan-ketentuan ajaran diformalkan.
Akibatnya, Islam menjadi jauh dari realitas masyarakatnya.
Islam yang semestinya berfungsi sebagai salah satu alat (tool) pembebasan justru
jauh dari realitas sosial. Islam dan teksnya hanya duduk di menara gading. Fungsi dasar
Islam yang terkandung dalam prinsip-prinsip kemanusiaan terlupakan dan tidak
mendapat perhatian sama sekali. Islam melenggang kangkung melayang-layang di atas
awan. Islam tidak membumi dan hanya berputar-putar di wilayah teologis. Oleh karena
itu, yang menjadi tugas dan tanggung jawab mendasar umat Islam adalah bagaimana
mengembalikan fungsi dasar dan prinsip dari diturunkannya Islam di tengah kehidupan
manusia, membumikan agama dan mengkomunikasikannya dengan realitas empirik
serta memposisikan Islam agar mampu berdialog dan berdialektika dengan manusia
beserta kondisi riilnya.
Maka perubahan discourse keagamaan sangat diperlukan dengan cara merubah
bentuk penafsiran keberagamaan masyarakat muslim. Pemahaman terhadap Islam harus
berubah dari teosentris menuju antroposentris sehingga fungsi dan eksistensi Islam akan
terbebaskan dari belenggu formalistik, simbolik, God-oriented dan text-oriented. Ia
menyatu dan berkolaborasi dengan realitas kemanusiaan dan berorientasi pada
masyarakat. Islam tidak boleh dipahami sebagai agama yang hanya mengurusi masalah-
masalah ritual ('ubudiyyah) belaka, sementara permasalahan kemasyarakatan
(mu'âmalah) hanya menjadi 'pemanis' bagi sikap keberagamaannya.
Umat Islam harus dibangunkan dari keterlelapannya untuk menarik ajaran Islam
dari pelataran langit ke pelataran bumi. Perbincangannya dari teks untuk teks yang
melayang-layang harus ditarik kepada perbincangan tentang realitas yang menghimpit
masyarakat. Untuk itu, diperlukan pemahaman terhadap ajaran Islam dari berbagai
dimensi, melalui pendekatan yang digali dari berbagai disiplin ilmu, karena selama ini,
seringkali umat Islam memahami agamanya dari sisi teologis yang normatif (Arkoun
menyebut kelompok ini sebagai kelompok yang memiliki pendekatan al fikr allâhûtî al
dogmâ’î), sehingga ajaran Islam kurang membumi dan kurang merakyat. Situasi
keagamaan cenderung menampilkan kondisi keberagamaan yang legalistik-formalistik.
Agama dimanifestasikan dalam bentuk ritual-formal, sehingga muncul formalisme
keagamaan yang lebih mementingkan bentuk daripada isi.
Dari kondisi di atas dapat disimpulkan bahwa agama Islam belum sepenuhnya
dipahami dan dihayati oleh umat Islam secara maksimal. Oleh karena itu umat Islam
perlu diberi pintu masuk untuk memahami Islam secara arif, yang biasa disebut dengan
Islamwissenschaft),3 untuk mengubah pemahaman dan penghayatan keislaman
masyarakat muslim agar memiliki pemahaman terhadap ajaran Islam secara
komprehensif.
Memang ada kelompok yang menolak Islam dikaji melalui beberapa pendekatan,
karena hal itu akan merusak moral pengkajinya.4 Kelompok ini oleh Arkoun, Guru
Besar Islamic Thought di Sorbonne, Perancis, disebut sebagai kelompok yang
cenderung mensakralkan pemikiran keagamaan (taqdîs al afkâr al dînî), sehingga
pemikiran keagamaan masyarakat muslim seolah-olah menjadi taken for granted dan
ghairu qâbilin li al niqâs.5 Proses ini oleh Fazlur Rahman disebut sebagai proses
ortodoksi.6 Tetapi pada sisi lain ada kelompok yang menerima Islam dikaji dengan
beberapa pendekatan, karena dengan pendekatan-pendekatan tersebut dapat membantu
memahami Islam secara lebih komprehensif.7
Studi Islam dengan menggunakan beberapa pendekatan tersebut bekerja dengan
data yang mengandung makna-makna keagamaan dalam masyarakat atau komunitas,
kelompok atau individu muslim dan menggunakan bantuan metodologis yang
mengharuskan para pengkaji untuk memperhatikan secara penuh apa yang dimaksud
dengan beragama dan agama dalam masyarakat muslim,8 dengan beberapa macam
metodenya.9
Beberapa metode dan pendekatan diperlukan dalam memahami Islam karena
secara operasional konseptual dapat memberikan pandangan bahwa Islam tidak hanya
berwajah tunggal (single face), melainkan berwajah plural (multifaces). Hal itu
diperlukan karena Islam sebagai agama tidak boleh dipahami melalui pintu wahyunya
belaka, tetapi juga perlu dipahami melalui pintu pemeluknya, yaitu masyarakat muslim
yang menghayati, meyakini dan memperoleh pengaruh dari Islam tersebut. Dengan kata
3 Islamwissenschaft adalah ilmu tentang agama Islam yang menggunakan beberapa pendekatan multidisipliner. Lihat Merlin L. Swartz, Studies on Islam (New York: Oxford Univ. Press, 1981), 21.4 Lukman Thahir, Studi Islam Interdisipliner (Yogyakarta: Qirtas, 2004), v.5 M. Arkoun, al Islâm, al Akhlâq wa al Siyâsah, (terj.) Hasyim Saleh (Beirut: Markaz al Inma’ al Qaumi, 1990), 172.6 Fazlur Rahman, Islam, (terj.) Ahsin Mohammad (Bandung: Penerbit Pustaka, 1984), 105.7 Lukman Thahir, Studi Islam Interdisipliner, v.8 Amin Abdullah, “Kata Pengantat,” dalam Richard Martin, Pendekatan Kajian Islam dalam Studi Agama (terj.) Zakiyuddin Baidhawy (Surakarta: Muhammadiyyah University Press, 2001), iii-ix. 9 Lukman Thahir, Studi Islam Interdisipliner, vii.
lain, memahami Islam tidak berarti mencari kebenaran teologis atau filosofis, akan
tetapi juga mencari bagaimana Islam itu ada dalam kebudayaan dan sistem sosial
dengan berdasarkan pada fakta atau realitas sosio-kultural.
Selama ini ada dua model kajian Islam yang dilakukan, pertama oleh kalangan
muslim sendiri, kedua oleh kalangan orientalis (Barat). Pendekatan yang pertama
disebut fideistic subjectivism / al ‘aql al dînî al lâhûtî, dan yang kedua disebut scientific
objectivism / al ‘aql al falsafî.10
Pendekatan Teologis-Normatif (Normative/Religious Approaches) berupaya
memahami agama secara literal, dengan menggunakan kerangka ilmu ketuhanan yang
bertolak dari suatu keyakinan bahwa wujud empirik dari suatu keagamaan dianggap
yang paling benar dibandingkan dengan yang lainnya11.
Loyalitas terhadap kelompok sendiri, komitmen dan dedikasi yang tinggi serta
penggunaan bahasa yang bersifat subyektif adalah merupakan ciri yang melekat pada
bentuk pemikiran teologis ini. Pendekatan ini seringkali membawa dampak ketersekatan
umat. Di dalam sejarah pemikiran Islam klasik, pendekatan ini memunculkan beberapa
bentuk aliran pemikiran, di antaranya adalah Mu’tazilah, Ash’ariyyah dan
Maturidiyyah,12 yang dalam era modern ini ditemukan dalam bentuk lain, yaitu
fundamentalis, modernis, tradisionalis dan sekularis. Masing-masing dari pemikiran itu
menyuguhkan bentuk Islam yang berbeda dan terkadang saling menyalahkan satu sama
lainnya.13
Dari beberapa aliran pemikiran di atas, dapat diketahui bahwa pendekatan teologis
dalam pemahaman keagamaan adalah pendekatan yang menekankan pada bentuk
formal atau simbol-simbol keagamaan, yang masing-masing bentuk tersebut mengklaim
dirinya sebagai yang paling benar (truth claim) dan yang lainnya adalah salah.
Pemikiran teologis ini seringkali cenderung mengkafirkan kelompok lain, yang tidak
sepaham dengan kelompoknya. Antara satu kelompok dengan yang lainnya tidak pernah
terjadi dialog atau saling menghargai (intolerance), masing-masing aliran cenderung
eksklusif dan fanatis.
Sementara pendekatan Historis (Historical Approach) adalah yang di dalamnya
dibahas berbagai peristiwa dengan memperhatikan unsur tempat, waktu, obyek, latar
belakang dan pelaku dari peristiwa tersebut.14 Melalui pendekatan sejarah, seseorang
10 Eric J. Sharpe, Comparative Religion of History (London: Duckworth, 1986), 313.11 Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), 28.12 Harun Nasution, Teologi Islam (Jakarat: UI Press, 1978), 32.13 Hammis Syafaq,”Masyarakat Muslim Indonesia dan Pembentukan Ideologi Perekat Umat”, dalam Akademika (Surabaya: Pascasarjana IAIN Sby, 2004), 14 Taufik Abdullah, Sejarah dan Masyarakat (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1987), 105.
diajak menukik dari alam idealis ke alam yang bersifat empiris dan mendunia. Dari
keadaan ini seseorang akan melihat adanya kesenjangan atau keselarasan antara yang
terdapat dalam dunia idealis dengan yang ada di alam empiris dan historis.
Pendekatan kesejarahan ini amat dibutuhkan dalam memahami Islam, karena
Islam itu turun dalam situasi yang konkret bahkan berkaitan dengan kondisi sosial
kemasyarakatan. Maka di dalam al Qur’an ditemukan berbagai macam kisah-kisah
sejarah, yang dapat dijadikan sebagai patokan dalam memahami ajaran Islam dan juga
dapat ditemukan istilah asbâb al nuzûl dalam memahami ayat-ayat yang berkaitan
dengan hukum-hukum fikih dan lain sebagainya.
Pendekatan sejarah ini digunakan oleh kalangan Barat, sebagai orang luar
(outsider). Dalam melakukan kajiannya, mereka tidak berangkat dari sebuah keyakinan,
sebagaimana yang dilakukan oleh kalangan muslim, akan tetapi dari sebuah asumsi
interpretasi yang dikaitkan dengan teori dan perspektif metodologi tertentu,15 yang itu
adalah hasil yang mereka ciptakan,16 sehingga hasil interpretasi mereka sering tidak
sesuai dengan keyakinan kalangan muslim sebelumnya, sementara itu kalangan muslim
sebagai orang dalam (insider), dalam merespon hasil-hasil kajian itu seringkali
bertindak a priori dan cenderung untuk menolaknya, tanpa mau mengkaji terlebih
dahulu secara ilmiah, bahkan ketika ada pemikiran dari Timur yang menyadur dari
pemikiran mereka dengan segera menuduhnya sebagai bagian dari misi orientalis dan
cenderung untuk mengkafirkannya.17
Di sinilah, menurut Muhammad Sa’îd al Ashmâwî, letak kekurangan masyarakat
muslim, di mana ketika mengkaji sebuah pemikiran tertentu mereka lebih banyak
berpedoman pada keyakinan (keimanan) daripada tataran metode penelitian ilmiah,
lebih banyak bersandar pada emosi (intuisi) daripada rasio. Sikap semacam inilah yang
melahirkan aksi-aksi teror dan masalah takfîr (tuduhan kafir terhadap seseorang).18
Apa yang dikemukakan oleh Ashmawi ini cukup berasalan karena pendekatan
teologis, yang digunakan oleh pemeluk agama bersangkutan (insider), memunculkan
aliran-aliran Kalam yang dogmatis. Oleh karena itu, memahami Islam dengan
menggunakan pendekatan teologis semata, tidak dapat memecahkan masalah esensial
pluralitas agama Islam saat ini. Terlebih lagi kenyataan mengungkapkan bahwa
15 Hisham Sharabi “The Scholarly Point of View: Politics, Perspecrtive, Paradigm” dalam Theory, Politics and The Arab World (ed.) Hisham Sharabi (New York: Routledge, 1990), 1. 16 Lihat Edward W. Said , Covering Islam (New York: Pantheon Books, 1981), 154-155.17 M. Sa’îd al Ashmâwi, Min Wahyi al Qalam (Kairo: Dar al Ma’arif, 1997), 84-89. Maka Merlin Swertz menggambarkan bahwa usaha untuk menyatukan pemikir Barat dan Timur seperti membuang air di samudra, sebab sejak awal mereka sudah terisolir secara individual. Hal ini terjadi karena bahasa metode yang digunakan oleh Barat tidak sama dengan terminologi yang terdapat dalam kajian keislaman di Timur. Merlin L.. Swertz, Studies On Islam (Oxford: Oxford University Press, 1981), 217.18 Ibid., 98-99.
kemunculan pemikiran teologis tidak pernah lepas dari jaringan institusi atau
kelembagaan sosial masyarakat yang ada di sekitarnya. Kepentingan ekonomi, sosial
dan politik selalu menyertai pemikiran teologis yang sudah mengelompok dan
mengkristal dalam satu komunitas masyarakat tertentu. Pendekatan teologis ini selalu
menggunakan cara berpikir deduktif dalam memahami agama, yaitu cara berpikir yang
berawal dari keyakinan yang diyakini benar dan mutlak adanya, karena ajaran yang
berasal dari Allah sudah pasti benar. Dimulai dari suatu keyakinan yang selanjutnya
diperkuat dengan dalil-dalil dan argumentasi.
Pendekatan ini memunculkan sikap militansi dalam beragama dan berpegang
teguh pada ajaran agama. Pendekatan teologis ini berkait erat dengan pendekatan
normatif, yaitu suatu pendekatan yang memandang agama dari segi ajarannya yang
pokok dan asli dari Allah, yang di dalamnya tidak terdapat penalaran pemikiran
manusia. Di antara pendekatan-pendekatan yang berdekatan dengan normative
approach adalah: missionary approach, apologetic approach dan irenic approach.19
Dalam catatan Adams, pendekatan missionary approach bermula dari terjadinya
booming misionaris sebagai serpihan dari umat, sekte dan gereja Kristen, bersamaan
dengan pertumbuhan pengaruh politik, ekonomi dan militer di Asia dan Afrika pada
abad ke-19. Langkah-langkah yang ditempuh dalam pendekatan ini adalah misi
keimanan (faith mission).
Sementara apologetic approach memiliki karakteristik apologis. Kecenderungan
untuk membanggakan kemampuan Islam untuk menjawab semua tantangan di tengah
perkembangan masa modern. Maka muncul sikap menjadikan masa lalu sebagai batu
pijakan keluar dari kebusukan internal komunitas muslim serta hasrat untuk terlepas
dari tekanan peradaban Barat.20 Dari sinilah mengapa apologetik itu seolah menjadi
dewa penyelamat yang mampu mengangkat kehidupan muslim dari keterpurukan
menuju pencerahan.
Tema-tema yang sering dikumandangkan oleh para apologis adalah soal
rasionalitas Islam, dukungan Islam terhadap sains, semangat progresifitas Islam, serta
pandangan etika liberalnya. Namun karakteristik pendekatan ini realitasnya sangat
ironis, karena cara mereka menampilkan keemasan Islam, meskipun dengan mengacu
pada fakta sejarah, tetap cenderung mengorbankan nilai-nilai ilmiah.
19 Charles J. Adams, “Islamic Religious Studies,” dalam the Study of the Midle East; Research and Scholarship in the Humanities and the Social Sciences, ed. Leonard Binder (New York: A. Wiley-Interscience Publication, 1976).20 Ibid.
Sedangkan irenic approach merupakan upaya orang-orang Barat untuk
membangun simpati (mutual sympathy) antara tradisi-tradisi agama dan bangsa.
Pendekatan ini muncul seiring dengan semakin dewasanya gerakan keagamaan maupun
keilmuan di Barat sejak tahun-tahun awal perang dunia kedua.21
Gerakan ini bertujuan untuk lebih mengapresiasikan keberagamaan Islam dan
membantu mengembangkan sikap baru terhadap Islam. Salah satu tokoh Barat yang
menggunakan teori ini adalah Bishop Kenneth Cragg, seorang teolog terlatih. Dalam
beberapa tulisannya, dengan gaya bahasa yang elegan dan syair yang sensitif ia
berusaha menunjukkan kepada Barat dan Kristen beberapa unsur keindahan dan nilai-
nilai keagamaan yang menghiasi tradisi Islam.
Tidak dapat diragukan bahwa tinjauan yang paling produktif dalam studi Islam
telah diberikan oleh para sarjana filologi dan sejarah. Jadi ada dua bentuk pendekatan
yang saling berlawanan. Yaitu pendekatan yang digunakan oleh pemeluk agama yang
bersangkutan (believer), dan yang kedua oleh orang lain (historian). Yang pertama
mempertahankan pemahaman normatif tentang agama-agama lain, cenderung subjektif,
fideistic, dengan menilai orang lain benar atau salah, karena melihatnya dari sisi
teologis. Yang kedua berusaha melakukannya dengan objektif, scientific, karena melihat
agama dari sisi sejarah.
Hubungan antara kedua pendekatan di atas seringkali diwarnai dengan
ketegangan, baik bersifat kreatif maupun destruktif. Pendekatan yang pertama berangkat
dari teks yang sudah tertulis dalam kitab suci, bercorak literalis, tekstualis atau
skriptualis. Pendekatan ini memunculkan beberapa bentuk pendidikan keagamaan,
seperti pesantren-pesantren, semminary-semminary. Pendekatan yang kedua lebih
bersifat historis dan menekankan perlunya telaah yang mendalam tentang asbâb al
nuzûl, baik yang bersifat kultutal, psikologis maupun sosiologis.22
Pendekatan pertama memunculkan bentuk religious studies dan yang kedua
memunculkan history of religion atau comparative study of religion. Meskipun
kelompok kedua ini menginginkan penemuan objektif dari penelitiannya, akan tetapi
sikap mereka tersebut masih dipertanyakan, apakah dalam studi tentang agama-agama
tersebut bisa dicapai sebuah scientific objectifism.23
Memang ada sekelompok orang yang beranggapan bahwa kepercayaan orang lain
tidak dapat dipahami kecuali dengan bersimpati terhadap kepercayaan orang yang
21 Ibid.22 Charles J. Adams, “Islamic Religious Studies,” dalam the Study of the Midle East; Research and Scholarship in the Humanities and the Social Sciences. 23 Ibid.
dikaji. Artinya hanya orang muslim yang dapat mengkaji Islam dengan tingkat
pemahaman yang memadai. Maka, studi Islam dengan memahami metodologi yang
tepat, pendekatan-pendekatan yang relevan, akan membantu dalam memahami bahasa-
bahasa Islam, karena dengan menjadi muslim dan berempati kepada Islam sekalipun,
bukanlah jaminan bahwa interpretasi tentang Islam dapat valid.
Perkembangan Studi Islam
Perkembangan dan pengaruh global terhadap penduduk muslim dunia
menyebabkan Islam mendapat perhatian besar dalam studi agama. Pemahaman tentang
Islam sebagai agama dan pemahaman tentang agama dari sudut pandang Islam
merupakan persoalan yang perlu dielaborasikan, dalam diskusi dan pembahasan para
pelajar di bidang studi agama. Berbagai peristiwa di Timur Tengah dan di dunia Islam
lainnya juga ikut mendorong sejumlah sarjana, jurnalis dan kaum terpelajar, termasuk
dari Barat, untuk menulis karya-karya baru tentang Islam.
Studi Islam sebagai sebuah disiplin, sebenarnya sudah dimulai sejak lama. Studi
ini mempunyai akar yang kokoh di kalangan sarjana muslim dalam tradisi keilmuan
tradisional. Mereka telah mengupayakan interpretasi tentang Islam dan hal ini terus
berlanjut hingga sekarang. Ketika terjadi kontak antara orang Kristen dan orang Islam,
studi Islam mulai memasuki wilayah Kristen Eropa pada masa pertengahan. Pada masa
ini, kajian lebih diwarnai oleh tujuan polemik karena Islam dipahami oleh kalangan
orientalis dengan pemahaman yang tidak layak. Meskipun demikian, kontak dan
ketegangan antara Islam dan Barat pada akhirnya menemukan titik di mana studi Islam
memperoleh manfa’at besar dari perkembangan metodologi dan kajian ilmiah di Barat.
Dalam dua dekade terakhir ini, semakin tumbuh kesadaran akan pentingnya
berbagai pendekatan ilmiah dalam bidang islamic studies dan perhatian akan problem-
problem yang dihasilkan dari berbagai pendekatan ini. Dalam setiap pendekatan
dijumpai kemungkinan-kemungkinan metode tertentu yang lebih kritis dan aplikatif dari
pada metode lainnya. Pendekatan dan metode yang digunakan sangat tergantung pada
apa yang ingin diketahui dan jenis data yang akan diakses.
Oleh karena itu dalam mengkaji Islam ditemukan multiplisitas pendekatan dan
metode yang saling melengkapi dan mengisi secara kritis-komunikatif. Sebagai contoh,
dalam studi tentang data keagamaan, seperti al Quran, teks-teks klasik dan interpretasi
tentang makna-makna keagamaan, meskipun pendekatan dan metode yang digunakan
sama, kesimpulan ilmiahnya bisa berbeda, karena ada sensibilitas yang berbeda antara
satu peneliti dengan peneliti lainnya.
Kalau dilacak, sejarah pertumbuhan studi Islam, dapat dilihat pada abad ke-19, di
mana kajian Islam pada masa ini lebih menekankan pada tradisi filologi. Para pengkaji
di bidang ini adalah dari kalangan pakar bahasa, ahli teks-teks kunci klasik, yang
melalui bahasa dan teks klasik itu mereka dapat memahami gagasan-gagasan dan
konsep-konsep utama yang membentuk umat Islam, tanpa memahami konteks.24
Pendekatan Filologis (Philological Approach) menekankan pada bahasa teks. Para
pengkaji di bidang ini adalah dari kalangan pakar bahasa, ahli teks-teks kunci klasik,
yang melalui bahasa dan teks klasik itu mereka dapat memahami gagasan-gagasan dan
konsep-konsep utama tanpa memahami konteks.25
Kajian Islam melalui pendekatan filologis ini memiliki keterbatasan, di antaranya
adalah penekanannya yang eksklusif terhadap teks. Dunia Islam dipahami melalui cara
tidak langsung, tidak dengan melakukan penelitian tentang kehidupan masyarakat
muslim yang ada di masyarakatnya, tetapi melalui prisma teks yang umumnya berasal
dari tradisi intelektual klasik Islam. Kajian ini berfokus pada tulisan-tulisan muslim,
bukan pada muslimnya sendiri.26 Inilah yang menyebabkan para filolog banyak
melakukan kesalahan dalam memahami makna data keagamaan. Meskipun demikian,
pendekatan ini sangat membantu dalam membuka kekayaan daftar materi keislaman
dari dokumen-dokumen lama, karena melakukan studi tehadap Islam tanpa menguasai
Bahasa Arab adalah sebuah kemustahilan (an absurdity).
Pada masa berikutnya, para pengkaji mulai menyadari kelemahan kajian filologi
ini, sehingga muncullah kajian sains. Para penganjur pendekatan ke dua ini berpendapat
bahwa kajian tentang masyarakat harus diupayakan melalaui metode-metode sains
seperti yang dipahami oleh ilmuwan sosial. Pendekatan ini berdasarkan pada sebuah
keyakinan bahwa semua masyarakat akan mengalami proses perkembangan historis.
Pendekatan ini juga memiliki kelemahan, di antaranya adalah perhatian yang lebih
pada fungsi daripada bentuk-bentuk atau muatan kultural dari institusi sosial. Jadi
kelompok ini mencoba mencari jalan pintas. Makna dan muatan kultural dari institusi
sosial tidak relevan dan dikesampingkan. Bagi kelompok ini, masyarakat bukanlah
sistem makna, tetapi mesin sosial. Kelemahan ke dua dari pendekatan ini adalah terlalu
24 Noor Chozin Askandar, Pendekatan dalam Studi Islam (Makalah Kelas Program Doktor IAIN Sunan Ampel Surabaya, angkatan 2003). 25 Ibid. 26 Zakiyuddin Baidhawy,”Perkembangan Kajian Islam dalam Studi Agama,” dalam Richard Martin, Pendekatan Kajian Islam dalam Studi Agama (terj.) Zakiyuddin Baidhawy (Surakarta: Muhammadiyyah University Press, 2001), xi-xxv.
mengesampingkan keunikan masyarakat, menyamakan semua masyarakat di dunia,
yang berjalan di atas rute sama, menuju modernitas.
Dari kekurangan-kekurangan yang dimiliki oleh dua pendekatan tersebut, tampak
jelas akan perlunya suatu pendekatan lain yang dapat menghindari keterbatasan dari
masing-masing pendekatan tersebut, bahkan mengkombinasikan dan mengembangkan
lebih jauh kekuatan keduanya. Maka muncullah kemudian pendekatan lain, yang
dimunculkan oleh para pengkaji Islam, di antaranya adalah pendekatan fenomenologi.
Konstruksi Teori & Pendekatan dalam Studi Ke-Islaman
Seiring dengan pemekaran wilayah pemahaman dan penghayatan keagamaan,
yang antara lain disebabkan oleh transparansi sekat-sekat budaya, sebagai akibat dari
luapan arus informasi dalam era ilmu dan tekonologi, masyarakat Islam membutuhkan
masukan-masukan dari kajian-kajian keagamaan yang segar, yang tidak lagi melulu
bersifat teologis-normatif, tetapi juga menginginkan masukan-masukan dari kajian
keagamaan yang bersifat historis-kritis.
Untuk itu, dalam buku ini, penulis akan menegaskan perlunya pendekatan-
pendekatan yang bervariatif dalam studi Islam. Studi Islam dengan menggunakan
pendekatan yang besifat komprehensif, multidisipliner, interdisipliner dengan
menggunakan metodologi yang bersifat akademik-kritis.
Konstruksi adalah cara membuat bangunan-bangunan. Teori berarti pendapat yang
dikemukakan sebagai suatu keterangan mengenai suatu peristiwa.27 Ilmu penelitan teori-
teori itu pada hakikatnya merupakan pernyataan mengenai sebab akibat, atau mengenai
adanya suatu hubungan positif antara gejala yang diteliti, dari satu atau beberapa faktor
tertentu dalam masyarakat. Sebagai contoh, pada saat kita ingin meneliti gejala bunuh
diri, kita sudah mengetahui tentang teori integrasi atau kohesi sosial dari Emile
Durkheim, yang mengatakan adanya hubungan positif antara lemah dan kuatnya
integrasi sosial dan gejala bunuh diri. Ia mengatakan bahwa faktor utama yang
menentukan dalam gejala ini adalah integrasi sosial.
Perumusan analisa teoritisnya dapat diutarakan sebagai berikut: integrasi atau
kohesi sosial dapat memberi dukungan batin kepada para anggota kelompok yang
mengalami berbagai kegelisahan dan tekanan jiwa yang hebat. Angka bunuh diri adalah
fungsi dari kegelisahan dan tekanan jiwa yang terus-menerus dialami orang-orang
tertentu.28
27 Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, 117.28 Koentjaraningrat, Metode –metode Penelitian Masyarakat (Jakarta: Gramedia, 1983), 20.
Jadi, teori adalah alat terpenting bagi suatu ilmu pengetahuan. Tanpa teori, berarti
hanya ada serangkaian fakta atau data saja dan tidak ada ilmu pengetahuan. Fungsi teori
adalah menyimpulkan generalisasi fakta-fakta, memberi kerangka orientasi untuk
analisis dan klasifikasi fakta-fakta, meramalkan gejala-gejala baru, mengisi kekosongan
pengetahuan tentang gejala-gejala yang telah ada atau sedang terjadi.29 Teori-teori
tentang penelitian agama Islam telah banyak dilakukan oleh para ahli, di antaranya yang
dirangkum dengan gamblang oleh Richard Martin, dalam bukunya Approaches to Islam
in Religious Studies.
Sementara itu, yang dimaksud dengan pendekatan adalah cara pandang atau
paradigma pada suatu bidang ilmu yang digunakan untuk memahami agama.30 Studi
tentang data keagamaan, seperti al-Qur’an, teks-teks klasik, dan interpretasi tentang
makna-makna keagamaan, meskipun pendekatan dan metode yang digunakan sama,
kesimpulan-kesimpulan ilmiahnya cenderung berbeda karena ada praduga-praduga dan
sensibilitas yang berbeda. Situasi yang sama terjadi pada studi tentang agama-agama
dan budaya-budaya selain Islam.
Dalam studi agama dikenal dua jenis pendekatan, yaitu pendekatan seorang
beleiver/insider, dan pendekatan seorang historian. Pendekatan seorang mukmin dan
pendekatan seorang ilmuan kritis.31 Bagi seorang agamawan yang baik, sudah barang
tentu, pendekatan seorang mukmin dianggap lebih baik, sehingga patut diutamakan.
Tetapi jika pendekatan tadi dihadapkan kepada realitas empirik kehidupan manusia
beragama, seringkali pendekatan ini tidak memberikan penjelasan yang memuaskan
terhadap kenyataan, sehingga terdapat gap yang terkadang cukup tajam, antara wilayah
yang seharusnya (Islam Resmi) dan wilayah apa adanya (Islam Popular). Secara garis
besar, pendekatan dalam studi Islam dapat dibedakan menjadi pendekatan normatif dan
pendekatan deskriptif.
Peran Ilmu Sosial dalam Memahami Islam
29 Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, 151.30 Taufik Abdullah dan M. Rusli Karim (ed.), Metodologi Penelitian Agama, Sebuah Pengantar (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990), 92.31 Amin Abdullah, Studi Agama; Normativitas atau Historisitas (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), 61.
Tawaran Arkoun32
Arkoun menyatakan perlunya perbaikan terhadap hasil dari beberapa kajian
keislaman yang dilakukan oleh beberapa pihak; pertama oleh kalangan muslim (al
Islâmiyyûn), yang tidak setuju dengan pendekatan sosiologis, baik dari sisi metodologis,
terminologis serta problematikanya, untuk digunakan dalam sebuah kajian keislaman.
Kedua, oleh para orientalis, yang dalam kajiannya, analisis yang digunakannya tidak
terlalu mendalam (lâ yafham al bu’du al dînî), di mana mereka hanya berangkat dari
beberapa contoh dan kondisi sejarah yang berbeda dan mengkajinya dari sudut pandang
ilmu-ilmu sosial semata, yang itu merupakan produk dari Barat. Mereka terkadang
hanya berangkat dari pendekatan linguistik (filologis), sehingga miskin akan discourse
of analysis.
Dengan melihat kasus di Perancis, Arkoun membicarakan tentang perbedaan
tradisi yang terjadi di tengah-tengah keilmuan masyarakat Barat dan Eropa secara
umum, yaitu perbedaan antara peneliti dari kelompok ilmu-ilmu humanities di Barat,
yang tidak menekuni kajian keislaman dan warisan intelektualnya dengan kelompok
yang memang menekuni kajian-kajian keislaman (para orientalis). Arkoun
menyayangkan, karena para orientalis itu tidak membuka wacana diskusi di bidang
epistemologi dengan para pengkaji ilmu-ilmu humanities. Arkoun mengkritik para
orientalis dengan mengatakan bahwa mereka telah ketinggalan metodologis dan
berwawasan sempit di bidang epistemologi. Maka Arkoun mengajak untuk mengadakan
revolusi di bidang kajian-kajian keislaman dan Arab.
Arkoun menyatakan bahwa para pengkaji Islam harus keluar dari sikap
spesialisasi keilmuan yang sempit, karena sikap seperti itu dapat menyebabkan
terpisahnya seorang ilmuan dari ilmuan lainnya, sehingga tidak mampu menghadirkan
sebuah pemahaman yang benar dan menyeluruh dari peristiwa yang terjadi di
masyarakatnya. Faktor yang mendorong Arkoun untuk tidak menyukai sikap
spesialisasi yang sempit, karena hal itu dapat menyebabkan penyudutan obyek kajian
dan memberikannya suatu gambaran yang sepotong, tidak menyeluruh. Menurut
Arkoun, jika semua ilmu sosial saling mendukung satu sama lainnya, maka akan dapat
menghadirkan sebuah pandangan yang universal tentang suatu masyarakat.
Menurut Arkoun, selama ini seorang sosiolog hanya disibukkan oleh dunianya
sendiri, ilmuan bahasa juga demikian, seorang antropolog juga demikian dan
seterusnya. Tidak ada satu pun yang saling berkomunikasi untuk menyampaikan hasil
pemikirannya yang kemudian digabungkan dalam satu kesimpulan. Padahal, berbagai 32 Arkoun, al ‘ulûm al Ijtimâ’iyyah Amâma al Tahaddiyyâa al Zahiriyyah al Islâmiyyah (Materi Perkuliahan Islamwissenschaft Program S-3 IAIN Sunan Ampel Surabaya).
macam metodologi dan variasi ilmu akan membantu dalam memahami sebuah gerakan
yang muncul di masyarakat dan faktor yang memunculkannya. Dalam pandangan
Arkoun, akan sulit memahami apa yang terjadi di masyarakat Arab dan Islam jika tidak
memahami faktor-faktor penting yang menyebabkan peristiwa itu terjadi, baik faktor
historis, teologis, sosial, psikologis, demografis, geografis dan seterusnya. Untuk dapat
memahami semua itu, dibutuhkan yang namanya ilmu-ilmu sosial. Akan tetapi,
masyarakat Islam masih belum malakukannya dan belum mencoba untuk
mempelajarinya, sehingga terdapat beberapa kendala ideologis, teologis dan politis yang
membatasi antara peneliti dan kajian yang ditelitinya.
Secara sederhana, dari paparan Arkoun dapat disimpulkan bahwa kekurangan dari
beberapa kajian yang dilakukan oleh Barat, terutama tentang fundamentalisme Islam,
adalah miskinnya analisis atau epistemologi. Kajian yang mereka lakukan sangat
membosankan dan berputar-putar sekitar Islam sebagai oknum yang bertanggung jawab
atas semua peristiwa yang terjadi di masyarakat berbasis muslim. Maksudnya, Barat
sering berkeyakinan bahwa Islam bertanggung jawab atas semua peristiwa yang terjadi
di masyarakat Islam atau Arab. Mereka membebani Islam sebagai lembaga yang
bertanggung jawab dari semua peristiwa, padahal di sana ada beberapa faktor lain
seperti sosisologis, politis dan ekonomi.
Dulu para penganut paham marsis memahami sesuatu dari sudut pandang
ekonomi, dan kini para orientalis memahami sesuatu dari sudut pandang Islam. Padahal
dalam realitasnya, yang membangkitkan gejolak di masyarakat adalah banyak faktor,
bukan hanya satu faktor. Mereka berbicara tentang Islam dengan “I” huruf besar, bukan
dengan “i” huruf kecil, dan menjadikannnya sebagai faktor tunggal yang menyebabkan
semua peristiwa itu terjadi, yang tidak bisa diintervensi oleh sesuatu yang lain. Mereka
berbicara tentang Islam, seakan-akan Islam sebagai sumber utama dan terakhir dari
semua pemikiran dan sikap yang muncul di semua lapisan masyarakat Islam.33
Sementara itu kaum fundamentalis Islam juga menolak kajian-kajian ilmu sosial
untuk digunakan dalam mengkaji Islam dan memiliki sikap yang mudah tersinggung
daripada melakukan penelitian tentang Islam secara ilmiah. Maka Arkoun menyatakan
bahwa untuk memahami masyarakat Arab atau Islam pada masa kini, dibutuhkan
metodologi nalar baru yang pluralis sesuai dengan segala masyarakat, progresif,
33 Dalam realitasnya, masayarakat Muslim banyak yang mengikuti cara pandang orientalis ini. Mereka berkeyakinan bahwa Islam memberikan pengaruh yang besar di dalam segala sesuatu, dan tidak bisa dipengaruhi oleh hal lain. Islam mampu merubah semua problem yang terjadi dengan seketika, atau seperti yang dilakukan oleh tongkat sihir. Dari alasan itu, banyak yang menyerukan penerapan syariat Islam sebagai obat penawar yang mampu menyelamatkan umat. Akan tetapi mereka tidak memahami bahwa syariat itu muncul, secara historis, untuk memecahkan segala problem tejadi pada abad-abad hijriah awal, bukan untuk abad modern ini.
komparatif, revolusioner, memiliki sifat terbuka, sistematis, memiliki analisa yang luas,
universal. Nalar ini oleh Arkoun disebut dengan nalar falsafi (al ‘aql al falsafi). Nalar
ini adalah lawan dari nalar teologis (al ‘aql al dîni). Nalar ini bersifat defensif (al
difâ’i), ofensif (al hujûmi) dan dogmatis (al dogmâ’i). Sebuah nalar yang menutup
gerak pemikiran Islam semenjak abad ke XI dan XII Masehi.
Nalar teologis ini berakibat pada sakralisasi pemikiran keagamaan (the
sacralisation of religious thought/taqdîs al afkâr al dînî), dan pemikiran semacam inilah
yang memunculkan gerakan fundamentalisme dalam setiap agama-agama. Islam
semacam inilah yang dikaji oleh para sarjana Barat, karena mereka mengkaji Islam dari
masyarakat muslim yang sedang mencari kerja di Eropa. Padahal para pekerja muslim
yang mencari sesuap roti di Eropa itu membawa potret Islam yang sangat sederhana,
sehingga tidak mungkin memahami pemikiran Islam atau filsafat Islam hanya dengan
membaca potret tersebut, tetapi inilah yang dilakukan oleh masyarakat Barat dalam
melihat Islam.
Struktur fundamental dari al ‘aql al falsafi adalah logis, human properties, kritis,
dan essense. Sementara struktur fundamental dari al ‘aql al dînî adalah teks/wahyu dan
unthinkable. Maka wajib bagi ilmuan sosial untuk membongkar paradigma itu, karena
banyak sekali para peneliti yang tidak peduli dengan hal ini dalam melakukan kajian
tentang Islam. Mereka hanya memperhatikan peristiwa-peristiwa yang sering muncul ke
permukaan dengan mengkaji para tokohnya atau pemimpinnya, tetapi mereka tidak mau
mengkaji lebih jauh dari itu.
Maka langkah untuk membebaskan diri dari belenggu ungkapan-ungkapan dan
teks-teks keimanan adalah dengan melakukan pembebasan sejarah, bukan hanya dari
metode sejarah filologi abad ke-19, tetapi juga dari para sejarawan yang
menggabungkan antara filologi, sosiologi, ontologi dan antropologi. Setiap ilmu itu
harus digunakan untuk memahami dua sumber baku yang diyakini oleh umat Islam dan
membongkarnya dari dalam. Dengan menguasai beberapa ilmu tersebut akan dapat
dicapai suatu pemahaman yang utuh terhadap istilah-istilah, pemikiran-pemikiran,
gambaran-gambaran klasik yang bermacam-macam, yang penuh dengan keyakinan dan
ketakwaan.
Sesungguhnya, bekunya pemikiran Islam selama beberapa abad telah
menyebabkan lemahnya nalar kritik. Peran pemikiran Islam telah dikalahkan oleh
sebuah pembenaran atas sebuah keimanan dan posisinya telah diselewengkan dari posisi
yang sebenarnya oleh pihak penguasa dan tokoh-tokoh agama, bahkan terkadang
menjadi alat mekanis yang tidak mungkin bisa dikendalikan lagi, karena tekanan dari
lingkungan. Pemikiran dogmatis tersebut telah menyebabkan tertinggalnya nalar kritik
atau menyebabkan berhentinya tugas nalar itu dari kerjanya hingga sekarang.
Pemaksaan teologis dan politis itu pun masih terus berlanjut hingga sekarang. Ironisnya,
semua itu dilakukan oleh tokoh-tokoh agama yang memiliki kedekatan dengan
penguasa. Mereka kemudian diberi jabatan sosial dan politik untuk membungkam dan
mempertahankan pendapat penguasa.
Sebagai contoh, ketika terjadi pemaksaan atas paham al-Qur’an sebagai makhluk,
muncul seorang penguasa yang memaksakan pemahaman bahwa al-Qur’an bukan
merupakan makhluk untuk melawan paham Muktazilah yang mengakui al-Qur’an
sebagai makhluk. Ia pun memaksakan masyarakat Islam untuk membaca teks akidah
Qadiriyyah di setiap masjid di Baghdad. Maka muncullah kemudian pernyataan yang
menetapkan bahwa siapa saja yang mengatakan bahwa al-Qur’an adalah makhluk, maka
ia boleh dibunuh. Semenjak itu, tidak ada yang berani memunculkan pemikiran
Muktazilah ataupun membicarakannya. Demikianlah bagaimana dogma Islam Sunni
yang sering disebut sebagai paham ortodoksi menjadi merasuk ke dalam jiwa umat
Islam. Kondisi semacam itu pun terus berlanjut hingga masa pemerintahan Uthmani
pada periode awal (penganut Hanafi), yang mewajibkan paham Sunni sebagai paham
tunggal dan dianggap paham yang paling benar dalam memahami Islam. Sementara itu,
di wilayah lain, tepatnya di Iran, kaum Safawid juga mewajibkan paham Syi’ah
Imamiyyah sebagai paham tunggal yang paling benar dalam memahami Islam.
Demikian pula yang terjadi di beberapa wilayah Islam lainnya.
Maka pada abad ke-19, warisan yang diperoleh oleh aliran skolastik adalah
warisan yang miskin, di mana kekuasaan Uthmani menyatakan sebagai kekuasaan
Tuhan. Begitu juga dalam tarekat-tarekat sufi, yang berada di bawah kekuatan politik-
agama, mereka menciptakan tradisi pengangkatan-pengangkatan santrinya ke derajat
wali yang sangat suci. Mereka menganggap para kaum santri yang telah mencapai
derajat wali itu sebagai orang yang mampu mendekati Tuhan dan mampu memberikan
manfa’at bagi rakyat miskin dan bodoh yang melindungi mereka dari segala macam
bentuk musibah. Islam yang semacam inilah yang dilihat pertama kali oleh masyarakat
Eropa ketika mereka datang untuk menjajah negara-negara Muslim. Islam semacam ini
pulalah yang dikaji oleh ilmuan antropologi dan sosiologi untuk beberapa abad silam.
Mereka melihat Islam sebagai bentuk khurafat, mistis, agama yang terbagi-bagi ke
dalam beberapa kelompok tertentu.
Oleh karena itu, Arkoun menawarkan teori baru dalam mengkaji Islam dengan
menggunakan pendekatan multi-interdisipliner; filsafat, sosiologi, antropologi, sejarah,
kritik literal. Teori ini yang kemudian disebut dengan istilah al ‘aql al jadîd al istitlâ’i.
Tawaran M. M. Abu Rabi’34
Abu Rabi’ menyatakan bahwa kejayaan Islam pada abad ke-15 dan 16 adalah
ketika tiga kerajaan besar masih berjaya; Kerajaan Uthmani di Turkey, Kerajaan
Safavid di Persia dan Kerajaan Mughal di India. Akan tetapi kejayaan umat Islam mulai
melemah pada awal abad ke-19, karena dua alasan; pertama, stagnasi otoritas pusat
dalam melakukan modernisasi sebelum kebangkitan bangsa Eropa, kedua, ekspansi
Eropa ke dunia Islam.
Dalam merespon kolonialisme bangsa Eropa terdapat banyak pandangan. Kalau
dijabarkan ada tiga hal yang harus dilakukan; modernisasi, nasionalisasi dan
revivalisasi. Tiga hal inilah yang menciptakan sejarah modern Islam. Dari tiga hal
tersebut muncullah di dunia Islam kelompok-kelompok keagamaan yang disebut dengan
Islamic revivalism. Gerakan ini bisa dibagi menjadi empat; pre-colonialism
(Wahhâbiyyah), colonialism (NU-Muhammadiyyah), post-colonialism (Jama’ah Jihad
di Pakistan) dan Post-nation-state (FPI).35
Ciri-ciri gerakan di atas bisa dilihat dari masing-masing bentuk institusi dan
spiritualnya. Institusi membentuk pendidikan, politik, ekonomi dan hukum, sementara
spiritual merupakan identitas kulturalnya. Maka dari keempat gerakan tersebut, dalam
dunia Islam muncul dua bentuk pendidikan; tradisional dan modern. Pendidikan
tradisional adalah pendidikan yang mengandalkan hafalan dan fokus keilmuan yang
absolut, sementara pendidikan modern adalah pendidikan yang sudah dimodifikasi
dengan model modern dan pendidikan kritik.
Dari berbagai macam bentuk pemikiran yang muncul, maka perlu kiranya
dibedakan antara pemikiran Islam dan Islam. Pemikiran Islam adalah semua bentuk
cabang keilmuan yang berkembang di masyarakat Islam, seperti ilmu tafsir, ilmu
Hadits, Kalam, Fikih dan Tasawuf, sementara Islam adalah suatu ajaran yang bersifat
absolut. Maka ketika berbicara tentang Islam, sangat penting untuk mengemukakan
beberapa pemikiran, pertama bahwa Islam telah menjadi problem filsafat, teologi,
ideologi di dalam Arab modern dan pemikiran umat Islam. Beberapa orang menyatakan
tentang validitas Islam resmi (Official Islam), sementara yang lain berbicara tentang
34 M.M. Abu Rabi’, 11 September (Mata Kuliah Islamwissenschaft Program S-3 IAIN Sunan Ampel Surabaya).35 Ibid.
Islam populer (Popular Islam). Artinya, dapat ditemukan Islam yang bermacam-macam
dari sisi antropologi. Kedua, bahwa pemikiran Islam secara teologis sudah banyak
dipengaruhi oleh politik. Ketiga, bahwa Islam juga telah dikaji melalui pendekatan teks.
Oleh karena itu M. M. Abu Rabi’ menawarkan perlunya bantuan ilmu-ilmu sosial
bagi para pengkaji ilmu-ilmu keislaman guna mempertajam analisisnya tentang
fenomena yang terjadi di dunia Islam. Hal inilah yang sering diabaikan oleh para pelajar
muslim, terutama yang belajar tentang hukum Islam. Sosiologi adalah ilmu yang
menggambarkan tentang keadaan masyarakat secara lengkap, dari sisi struktur, lapisan
serta berbagai gejala sosial lainnya yang saling berkaitan. Dengan ilmu ini, suatu
fenomena sosial dapat dianalisa melalui beberapa faktor yang mendorong terjadinya
hubungan, mobilitas sosial serta keyakinan-keyakinan yang mendasari terjadinya proses
tersebut.36
Sosiologi dapat digunakan sebagai salah satu pendekatan dalam memahami Islam,
karena banyak sekali ajaran Islam yang berkaitan dengan masalah sosial. Tidak mudah
memang menjelaskan apa yang dimaksud dengan a social scientific approach, tetapi
paling tidak ada beberapa faktor yang dapat menunjukkan adanya elemen-elemen dari
pendekatan ilmu-ilmu sosial tersebut. Pertama, keyakinan tentang adanya kemungkinan
dan hasrat untuk bersikap objektif terhadap kekuatan yang membentuk perilaku
manusia. Kedua, kecenderungan untuk mendekati kajian tentang manusia dengan
membagi aktivitas mereka ke dalam segmen-segmen yang berlainan. Pendekatan ini
membuat agama dapat dijelaskan secara objektif, sehingga perannya dalam masyarakat
dapat dipahami. Kelemahan dari pendekatan ini adalah reduksionisme terhadap
pandangan keagamaan manusia. Reaksi yang sering muncul terhadap pendekatan sosial
adalah karena tercabutnya beberapa referensi transendental dan diturunkannya ke dalam
dunia material. Elemen atau karakteristik illmu sosial adalah kecenderungannya untuk
mengkaji budaya manusia dari pendekatan interdisipliner, sehingga kurang begitu
sukses dalam menjelaskan realitas agama.
Selama ini para pemikir yang mengkaji tentang beberapa sisi Islam tidak banyak
menggunakan teori-teori sosial, baik dari sisi metodologis, terminologis serta
problematikanya. Para orientalis, dalam kajian mereka, menggunakan analisa yang tidak
terlalu mendalam, di mana mereka hanya berangkat dari beberapa contoh dan kondisi
sejarah yang berbeda dan mengkajinya dari sudut pandang ilmu-ilmu produk mereka.
Sementara kajian keIslaman yang dilakukan oleh orang Islam, tidak diiringi oleh ilmu-
ilmu sosial, sehingga sangat kering.
36 Ibid., 39.
Hilangnya ilmu-ilmu sosial dan filsafat kritik dari lapangan ilmu Shari’ah bisa
dilihat dari fakta, bahwa semua pelajar dari dunia Islam (Timur), yang mendapatkan
kesempatan untuk belajar ke Barat, hanya belajar tentang ilmu-ilmu pasti dan
administrasi bisnis, yang lepas nilai atau bebas kritik. Alasannya, karena mereka
beranggapan bahwa ilmu-ilmu keagamaan merupakan ilmu yang irrelevant. Mereka
beranggapan bahwa ilmu sosiologi agama merupakan ilmu yang bisa membawa
pengkajinya ke dalam bid’ah. Hal inilah yang perlu dirubah dari pemikiran-pemikiran
umat Islam di masa sekarang.
Tawaran Charles J. Adams37
Dalam kerangka berpikir Charles J. Adams, pemahaman mengenai konsep Islam
tidak dapat dipisahkan begitu saja dari pandangan dunia para pemeluknya. Pemaknaan
terhadap Islam, pada umumnya masih sangat terbatas, termasuk model pendefinisian
modern yang cenderung reduksionis. Dalam arti belum memberikan penjelasan yang
memadai tentang Islam.38 Islam tidak bisa diartikan dalam satu bentuk, tetapi banyak
bentuk, tidak hanya satu bentuk sistem kepecayaan dan praktik, tetapi banyak sistem
dan praktik. Dari itulah, definisi tentang Islam selama 100 tahun lebih belum ada yang
memuaskan.
Ada aspek-aspek penting dalam Islam yang menjadi pandangan dunia masyarakat
muslim tidak tercover dalam pemaknaan Islam selama ini.39 Ada beberapa perbedaan di
kalangan umat Islam dalam memahami Islam. Sebagai contoh, komunitas Sunni dan
Shi’ah. Keduanya sama-sama memiliki bentuk inovasi tersendiri dalam memahami
Islam. Jadi ada kesulitan dalam memahami apa itu Islam. Kesulitan ini juga ditemukan
ketika ingin memahami apa itu Kristen, apa itu Budha dan seterusnya. Kesulitan-
kesulitan itu, menurut Adams, dikarenakan oleh keluasan konsep Islam itu sendiri dan
keanekaragaman komunitas muslim secara historis.
Mengkaji Islam sebagai agama, sebagaimana dirasakan oleh Adams sendiri,
memang mengisyaratkan adanya kesulitan-kesulitan yang amat berat. Kesulitan ini
muncul karena rumitnya pemahaman terhadap konsep Islam dan agama itu sendiri. Atas
dasar itu, Adams berpendapat bahwa tidak ada harapan untuk merealisasikan sebuah
definisi paling esensial tentang Islam yang dapat berlaku secara universal.40
37 M. Luthfi Mustofa, Pendekatan dalam Studi Islam (Makalah Kelas Program Doktor IAIN Sunan Ampel Surabaya, angkatan 2003).38 Ibid.39 Charles J. Adams,”Islamic Religious Tradition,” dalam The Studi of the Middle East (New York: A Wiley Publication, 1976), 29.40 Ibid., 31.
Walaupun demikiran, Islam harus dilihat dari perspektif sejarah sebagai sesuatu
yang mengalami perubahan secara terus menerus, berkembang dan membentuk jawaban
generasi muslim secara berturut-turut terhadap pandangan mereka yang paling dalam
mengenai realitas dan makna kehidupan manusia. Dengan demikian Islam tidak dapat
dipahami hanya secara sepihak, tetapi agak lebih lengkap, bukan sebuah sistem
kepercayaan atau peribadatan, tetapi beberapa sistem. Akhirnya Adams menyatakan
bahwa untuk memahami Islam harus merujuk kepada suatu pengalaman sejarah yang
terus berproses, berubah dan berkembang untuk merespon segala bentuk realitas dalam
kehidupan manusia.
Dalam memberikan pemaknaan terhadap Islam sebagai agama, Adams
mendekatinya dari dua perspektif; pertama, inward experience, bahwa ada dimensi batin
dalam agama, suatu wilayah kesadaran, perasaan dan tanggung jawab yang bersifat
personal atau tidak dapat dikomunikasikan. Area ini hanya dapat diakses secara parsial
oleh seseorang dan sering tidak dapat diakses keseluruhannya. Kedua, outward
behaviour, bahwa ada dimensi eksternal yang dapat diamati dan dikomunikasikan.
Dalam tulisannya, Wilfred Cantwell Smith mengatakan bahwa menjelaskan problem
pemaknaan agama bisa melalui dua pendekatan; tradition dan faith. Yang pertama
mengandung arti eksternal (outward behaviour/outerlife), yakni aspek-aspek sosial dan
kesejarahan keagamaan yang dapat diamati dari kehidupan masyarakat. Sedangkan yang
kedua internal (inward behaviour/innerlife), dalam arti tidak terlukiskan karena
merupakan orientasi transendental dan dimensi kehidupan beragama yang bersifat
pribadi.
Maka, ketika Islam sebagai agama, merupakan pengalaman tentang realitas
kekuasaan Tuhan dan kehendakNya kepada manusia, jawaban atas pengalaman-
pengalaman itu, ekspresi keagamaan, perkembangan pengalaman melalui bentuk-bentuk
intelektual, struktur ibadah dan tipe-tipe pengelompokan sosial yang jelas. Untuk itu
Adams menawarkan lima perspektif untuk mendekati Islam, yaitu; normative or
religious approach, philological approach, historical approach, social scientific
approach, dan phenomenological approach.41 Kelima pendekatan ini bisa dirampingkan
menjadi dua bentuk pendekatan; normative (al ‘aql al dînî al lâhûtî) dan descriptive (al
‘aql al falsafi). Yang pertama digunakan oleh mereka yang memiliki komitmen
keagamaan, di mana konteks kajiannya bertujuan untuk menarik orang lain masuk ke
41 Charles J. Adams, “Islamic Religious Tradition,’ dalam The Study of the Moddle East; Research and Scholarship in the Humanities and the Social Science, ed. Leonard Binder (New York: A Wiley-Interscience Publication, 1976).
dalam agamanya. Yang kedua digunakan oleh peneliti yang semata-mata dimotifasi
oleh intellectual curiosity terhadap Islam.42
Menurut Sidi Gazalba, filsafat adalah berpikir secara mendalam, sistematik,
radikal dan universal dalam rangka mencari kebenaran, inti, hikmah atau hakikat
mengenai segala sesuatu yang ada.43 Pendekatan Filosofis (Philosophical Approach)
dapat digunakan dalam memahami ajaran agama Islam dengan maksud agar hikmah,
hakikat atau inti dari ajaran Islam dapat dimengerti dan dipahami secara seksama.
Sebagai contoh, upaya untuk mengungkap hikmah yang terdapat di balik ajaran-ajaran
Islam, seperti sholat berjama’ah, yang hikmahnya adalah hidup secara berdampingan
dengan orang lain. Dengan berpuasa dapat merasakan lapar yang biasa dirasakan oleh
orang fakir-miskin, sehingga dapat memunculkan rasa iba kepada mereka dan
seterusnya.
Melalui pendekatan filosofis ini seseorang tidak akan terjebak pada pengamalan
agama yang bersifat formalistik, yakni mengamalkan agama dengan susah payah tetapi
tidak memiliki makna apa-apa, kosong tanpa arti. Orang sudah menunaikan haji tetapi
hanya berhenti di situ saja, tidak dapat merasakan nilai-nilai spiritual yang terkandung
di dalamnya. Di antara pendekatan yang berdekatan dengan perspektif normatif adalah
the traditional missionary approach, the muslim apologetic approach dan irenic
approach. The traditional missionary approach adalah pendekatan yang muncul
bermula dari terjadinya booming misionaris sebagai serpihan dari umat, sekte dan gereja
Kristen, bersamaan dengan pertumbuhan pengaruh politik, ekonomi dan militer Eropa
di Asia dan Afrika pad abad ke-19. The apologetic approach adalah pendekatan yang
memiliki kecenderungan untuk membanggakan masa lalu, sebagai pijakan dalam
menghadapi modernitas. Melalui pendekatan apologetic, sebagian pemikir muslim
mengemukakan kelebihan-kelebihan Islam tidak hanya untuk menjawab hegemoni
politik Eropa, tetapi sekaligus tantangan intelektual Eropa yang mempersoalkan aspek-
aspek tertentu ajaran Islam, seperti jihad, poligami, kedudukan wanita, perbudakan dan
lain-lain.
Pendekatan apologetik cenderung normatif dan idealistik dengan mengabaikan
realitas sosial; selain itu juga mencerminkan sikap reaksioner. Oleh karena itulah
pendekatan apologetik ini cenderung mempunyai konotasi negatif. Tetapi, pada segi
lain, apologeisme pada dasarnya merupakan mekanisme pembelaan diri terhadap
ancaman, tantangan dan kritik dari luar yang sering sangat agresif. Sementara jika
42 Ibid., 34.43 Sidi gazalba, Sistematika Filsafat (Jakarta: Bulan Bintang, 1967), 15.
dilihat dari perspektif umat Islam sendiri, apologisme menunjukkan keinginan untuk
membebaskan diri dari tekanan situasi yang represif.
Sikap apologetik pada batas tertentu bisa dipahami dan dibenarkan, bahkan dari
segi tertentu diperlukan sebagai upaya untuk membangkitkan kembali rasa kebanggaan
kepada ajaram Islam dan sejarahnya yang pernah berjaya itu. Apologi pun bisa
mendatangkan semacam kenyamanan psikologis, karena ia dapat memberikan kepuasan
dan kebanggaan sebagai pemeluk Islam. Apologisme juga bisa bersifat positif, karena ia
dapat menjadi inspirasi, yang pada gilirannya bisa mendorong dinamisme sosial.
Bahkan apologi yang dilakukan secara sistematis dapat menjadi sumbangan kultural dan
spiritual untuk menyusun suatu sistem sosio-kultural yang viable. Tetapi harus segera
diakui bahwa apologisme sering tidak menyelesaikan masalah, karena ia memang tidak
memberikan jawaban kongkrit terhadap tantangan yang ada. Bahkan jika tingkat
apologisme sangat tinggi, ia dapat memunculkan pemikiran dan tindakan yang tidak
realistis. Jadi output apologisme bersifat tidak kreatif atau proaktif. Di sini kalangan
apologis terjerambab dan terperangkap dalam kegiatan-kegiatan reaktif; sibuk
menjelaskan bahwa kemodernan yang ada di Barat juga telah ada di dalam Islam sejak
waktu yang lebih lama.
Mengagung-agungkan masa lalu seraya mengulang-ulang kesempurnaan Islam,
sebenarnya sekaligus berarti menutup-nutupi masalah riil dan aktual yang dihadapi.
Dengan demikian, apologisme akan melumpuhkan pemikiran kreatif untuk pencarian
jawaban yang tepat terhadap berbagai tantangan yang ada. Sifat restropektif dan
reaksioner yang terkandung dalam apologisme mendorong pemecahan masalah secara
intelektual ke belakang, tidak ke depan dan menimbulkan problem abstrak yang tidak
ada hubungannya dengan realitas yang dihadapi. Maka perlu adanya pembaruan
pemikiran dalam masyarakat Islam. Pendekatan ini juga memiliki kelemahan, di
antaranya adalah wataknya yang cenderung defensif dan seringkali mengorbankan nilai-
nilai ilmiah, karena caranya yang selalu menampilkan masa keemasan Islam.
Irenic approach pada dasarnya merupakan upaya orang-orang Barat untuk
membangun saling simpati (mutual sympathy) antara tradisi-tradisi agama dan bangsa.
Pendekatan ini muncul seiring dengan semakin dewasanya gerakan keagamaan maupun
keilmuan di Barat sejak tahun-tahun awal Perang Dunia ke-II. Pendekatan ini bertujuan
untuk mengenalkan Islam dan membentuk dalam mengembangkan sikap baru terhadap
Islam, agar orang Kristen bersikap terbuka terhadap Islam.
Sementara pendekatan deskriptif adalah pendekatan yang terdiri dari pendekatan
filologis (philological approach), pendekatan yang sangat membantu dalam membuka
kekayaan daftar materi keislaman dari dokumen-dokumen lama, seperti sejarah, teologi,
hukum dan mistisisme. Pendekatan filologis adalah pendekatan yang menitik beratkan
pada bahasa. oleh karena itu, Adams menyatakan bahwa studi secara serius terhadap
Islam tanpa menguasai Bahasa Arab adalah sebuah kemustahilan (an absurdity).
Social scientific approach, menurut Adams, sangat sulit dijelaskan. Meskipun
demikian ada beberapa faktor yang dapat menunjukkan adanya elemen-elemen dari
pendekatan ilmu-ilmu sosial tersebut. Pertama, keyakinan tentang adanya kemungkinan
dan hasrat untuk bersikap obyektif terhadap kekuatan yang membentuk perilaku
manusia. Kedua, kecenderungan untuk mendekati kajian tentang manusia dengan
membagi aktivitas mereka ke dalam segmen-segmen yang berlainan. Pendekatan
fenomenologis adalah pendekatan yang dilahirkan oleh sekelompok orang yang
memiliki perhatian terhadap studi agama di Eropa pada perempat terakhir abad ke-19.
Pada dasarnya ia merupakan suatu usaha untuk mendekati agama secara ilmiah, sebagai
fenomena sejarah yang paling penting dan universal. Tetapi, sebagaimana dirasakan
oleh Adams, ada kesulitan dalam melakukan studi agama secara ilmiah dan independen.
Hal ini terbukti bahwa para peneliti agama, termasuk Islam masih dipengaruhi oleh
kecenderungan teologis. Hal ini disebabkan oleh sifat agama itu sendiri, yang memiliki
referensi transendental.
Untuk itu, Adams menganjurkan agar para peneliti agama, termasuk Islam, ketika
sedang mengkaji Islam, harus beranggapan bahwa agama itu bukan lagi miliknya. Islam
as a history, selalu berkembang dan berubah. kaynûnah, sayrûrah (perjalanan sejarah),
shoyrûrah (process). Islam di Baghdad tidak sama dengan di Cordoba. Jadi kritik
Adams adalah terjadinya pertentangan antara historian dan essensialist, yang
menyamakan sesuatu dengan penglihatan yang umum.
Pendekatan Fenomenologis (Phenomenological Approaches)
Tawaran Richard C. Martin44
Richard C. Martin mengatakan bahwa meskipun sejarah tentang agama-agama
telah ditulis, fungsi dan peran informasi ilmiahnya dari sudut pandang sosiologi
pengetahuan belum dikaji secara mendalam.
Pada pertengahan kedua abad ke-19, ketika studi ilmiah tentang agama-agama
memperoleh status independen di fakultas-fakultas Eropa, adalah periode di mana studi
agama-agama dianggap mapan dan independen.
44 M. Zainuddin, Richard C. Martin (Makalah Kelas Program S-3 IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2003).
Di Belanda dan Skandinavia, muncul madzhab yang dikenal dengan
fenomenologi agama. Pendekatan fenomenologis –yang diilhami oleh Edmund Husserl-
berupaya untuk memperoleh esensi keberagamaan manusia. Pendekatan fenomenologis
ini dilahirkan oleh sekelompok orang yang memiliki perhatian terhadap studi agama di
Eropa pada perempat terakhir abad ke-19. Pada dasarnya merupakan suatu usaha untuk
mendekati agama secara ilmiah, sebagai fenomena sejarah yang paling penting dan
universal.
Dalam konteks Amerika Utara, kerja fenomenologi ini biasa dikenal dalam rubrik
perbandingan agama (comparative religion) atau sejarah agama-agama (history of
religion). Pendekatan fenomenologis ini sulit diberikan pengertian. Charles J. Adams
memberikan dua hal yang diperlukan untuk memahami pendekatan fenomenologis.
Pertama, fenomenologi diartikan sebagai metode memahami agama orang lain dengan
cara menempatkan diri pada posisi netral. Fenomenologi digunakan untuk menerapkan
metode dalam meletakkan pandangan subyektif peneliti. Kedua, sebagai konstruksi
skema dalam mengklasifikasi fenomena dengan melintasi batas-batas komunitas agama,
budaya dan zaman.45 Intinya adalah mencari esensi, makna dan struktur pengalaman
keagamaan manusia secara keseluruhan. Dalam pengalaman keberagamaan manusia ada
esensi yang irreducible dan itulah struktur fundamental manusia beragama.
Prestasi besar pendekatan fenomenologis adalah adanya keniscayaan pandangan
bahwa norma dari semua studi tentang agama adalah pengalaman kaum beriman itu
sendiri. Oleh karena itu, kepentingan dasar yang menjadi soal fenomenologi ini adalah
terkait dengan pertanyaan apa yang telah dialami, dirasakan, dikatakan dan
dilaksanakan oleh orang beragama itu sendiri, terutama pengalaman-pengalaman yang
bermakna bagi pemeluknya. Dengan demikian tujuan dari studi fenomenologi adalah
untuk menjelaskan makna-makna sehingga memperjelas apakah ritus, seremoni, doktrin
atau reaksi sosial itu mengandung arti bagi pelakunya dalam peristiwa keagamaan.
Selain itu, fenomenologi menghendaki agar untuk memberikan makna terhadap
fenomena keagamaan secara memadai, maka seorang peneliti dituntut berfikir secara
komprehensif.
Kajian fenomenologi berupaya untuk memahami makna keagamaan yang ada
dalam pemeluknya dengan menganalisa. Ia merupakan pendekatan yang memiliki sikap
terbuka dan empati (open and empathetic approaches). Pendekatan fenomenologis
berupaya untuk memanifestasikan agama melalui metode deskripsi murni, di mana
penilaian peneliti tentang nilai dan kebenaran ditangguhkan (epoche), obyek ditangkap 45 Charles J. Adams,”Islamic Religious Tradition,” dalam The Studi of the Middle East (New York: A Wiley Publication, 1976), 50-51.
esensinya (eidetic vision), agama tidak dipandang sebagai satu tahapan dalam sejarah
evolusi, tetapi lebih sebagai aspek hakiki dari kehidupan manusia (essential aspect of
human life), keragaman ekspresi perilaku keagamaan manusia dipilih dan disaring.
Komponen metodologis terpenting dalam kajian fenomenologi adalah das
Vestehen, karya W. Dilthey, suatu istilah teknik yang berarti pemahaman tentang
gagasan, intensi dan perasaan orang/masyarakat melalui manifestasi-manifestasi
empirik dalam kebudayaan. Metode Vestehen mengandaikan bahwa manusia di seluruh
masyarakat dan lingkungan sejarah mengalami kehidupan yang bermakna (meaningfull)
dan mengungkapkan makna itu dalam pola-pola yang dapat dilihat (discernible
patterns), sehingga dapat dianalisis (can be analyzed) dan dipahami (understood). Maka
berpikir fenomenologis harus memiliki dua kaki; the comprehension of ideas,
intentions, feeling of people, dan the empirical manifestation of culture.
Studi al Qur’an
Al-Qur’an adalah firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw.
melalui perantara malaikat Jibril dan dinilai ibadah bagi yang membacanya.46 Al-Qur’an
merupakan sumber utama bagi umat Islam dalam mengarungi kehidupan ini sesuai
dengan aturan Allah. Al-Qur’an merupakan mukjizat terbesar Nabi Muhammad Saw.
sepanjang masa. Al-Qur’an adalah kitab suci umat Islam yang dijadikan pedoman dalam
hidupnya.
al Qur’an as Spoken Word
William A. Graham47
Berbicara tentang teks suci adalah berbicara tentang kelebihannya yang berupa
keasliannya dan diakui keberadaannya, khusunya Kitab-kitab Suci agama-agama
Samawi. Kitab Suci dalam Bahasa Inggris disebut scripture, atau Schrift dalam Bahasa
Jerman, Scrittura dalam Bahasa Italia. Kata ini berasal dari Bahasa Latin, yaitu
Scriptura, yang berarti tulisan. Gagasan tentang kata tertulis yang diwahyukan atau
diilhamkan Tuhan –“kitab”, “apa yang tertulis”, yakni “Kitab Suci”- setidaknya
merupakan hal yang kuno di Barat, sebagaimana periode pasca pengasingan dalam
sejarah Yahudi dan terbukti kebenarannya pada abad kedua SM, dalam istilah seperti
46 Manna’ al Qattan, Mabâhits fî ‘Ulûm al Qur’ân (Mesir: Manshûrât al ‘Asr al Hadîts, t.t.), 21.47 William Graham, “al Qur’an as Spoken Word” dalam Approaches to Islam in Religious Studies.
ha-sefaîm, kitab”, yang melalui Bahasa Latin menjadi bibel (Bible), yang digunakan
untuk merujuk pada sebagian atau keseluruhan tulisan suci berbahasa Ibrani.
Istilah “Kitab Suci” (Scripture), yang berarti tulisan atau catatan suci, seringkali
digunakan sebagai istilah umum (a generic category) dalam ilmu modern. Penggunaan
istilah ini, menurut the Oxford English Dictionary, telah dibuktikan kebenarannya sejak
tahun 1581. Istilah ini digunakan untuk merujuk pada teks-teks non-Kitab sekaligus
teks-teks Injil, bahkan istilah ini pertama kali digunakan untuk teks-teks non-Yahudi,
non-Kristiani pada tahun 1805.
Setiap pemeluk agama menjadikan Kitab Suci sebagai sumber utama yang
normatif dan otoritatif. Studi tentang Kitab Suci dalam bidang orientalis dan al Kitab,
hingga kini membutuhkan studi dokumen dan konteks historis di mana kitab suci itu
berada. Perhatian utamanya adalah untuk menetapkan teks yang asli, belum tercemar,
merekonstruksi proses penyusunan teks, menganalisis teks demi informasi historis
kontemporer dan meneliti gagasan-gagasan kunci dalam teks serta menelusuri sumber-
sumbernya.
Dalam beberapa kajian fenomenologi agama, kitab suci cenderung didefinisikan
sebagai tulisan-tulisan suci (sacret writings), yang erat hubungannya dengan istilah
tulisan suci (holy writ). Kategori ini sering dipasangkan dengan firman suci (holy word)
dalam kebanyakan katekisme fenomena keagamaan. Beberapa fenomenolog menggaris
bawahi dikotomi antara kata (word) dan tulisan (writ), dengan menunjukkan bahwa,
sekalipun kata tertulis menentukan dan meminjamkan permanensinya pada kata terucap,
ia juga mengancam dan bisa membunuh spirit utama kata oral yang asli, dengan
mengurungnya dalam huruf. Dalam artian bahwa membukukan bahasa oral dalam
bentuk tulisan kata dapat membatasi gerak dan makna bahasa oral tersebut.
Dengan cara ini, para pengkaji agama harus memperkuat delimitasi kitab suci
pada teks hitam dan putih dan tulisan suci serta otoritas resmi dalam suatu tradisi. Maka
problem yang mucul kemudian adalah pemahaman simplistik tentang kitab suci hanya
sebagai kata tertulis, hanya teks fisik dari tulisan suci. Kitab suci menjadi terlalu mudah
merujuk pada satu obyek, sekalipun penting di antara banyak hiasan dalam kehidupan
agama. Sikap ini berpusat pada pemahaman tentang bahasa itu sendiri yang cenderung
pada orientasi naskah dan visual, sehingga bertentangan dengan orientasi suara dan oral.
Akhirnya, dengan menfokuskan kajian pada bahasa teks membuat pengkaji al-Qur’an
berada dalam budaya tipografi, di mana secara sadar berasumsi bahwa bentuk bahasa
yang paling fundamental adalah kata tertulis atau tercetak, sehingga umat Islam
kehilangan banyak dimensi budaya sastra oral-aural yang menandai peradaban umat
Islam yang melampaui revolusi Guttenberg hingga pencerahan.
Di bawah dominasi kebisuan kata tercetak secara massal, umat Islam berpikiran
bahwa buku adalah gudang kata-kata, data dan gagasan-gagasan tertulis, sehingga
mereka memandanganya sebagai obyek yang jauh lebih penting daripada teks-teks yang
hidup dan diucapkan. Maka pemahaman yang memadai tentang Kitab suci harus
memuaskan kesadaran, bahwa Kitab suci tidak secara sederhana merujuk pada suatu
teks, tetapi juga selalu merujuk pada teks dalam hubungannya dengan tradisi yang terus
hidup, yaitu hubungannya dengan person atau komunitas imani yang memandangnya
suci dan normatif.
Selama umat Islam menggunakan Kitab suci untuk merujuk lebih pada suatu
dokumen dan tidak lebih dari sekedar dokumen, maka makna Kitab suci sebagai
fenomena penting dalam kehidupan dan sejarah agama tidak akan dapat diakses. Sama
halnya kemanfaatan Kitab suci sebagai kategori yang bermakna dalam analisis tentang
agama akan menjadi minimal.
Tulisan Kanonik adalah sesuatu yang dibaca dan dikaji orang. Kitab suci adalah
sesuatu yang dihidupkan dan dijadikan sebagai pegangan hidup manusia. Apapun
signifikansi etimologis dan harfiahnya, kitab suci adalah petunjuk yang paling hidup, di
mana ia hidup sebagai realitas oral dan aural serta vokal. Kitab suci dimaksudkan untuk
dibaca, dihafal dan diulang-ulang. Ia juga untuk didengar, direnungkan dan
diinternalisasi. Ia adalah kata tertulis yang diucapkan, karena ia merupakan kata terucap
sebelum tertulis. Pemahaman semacam inilah yang harus dikedepankan ketika
memahamai Kitab suci yang bernama al-Qur’an.
Alasan memahami peran al-Qur’an (teks suci Islam) sebagai teks oral dalam Islam
adalah, pertama, kata al-Qur’an berasal dari qara’a, yang berarti membaca keras. Al-
Qur’an juga berarti bacaan. Kedua, al-Qur’an adalah firman Tuhan yang diwahyukan
kepada Muhammad melalui perantara Jibril dalam bentuk suara atau bunyi. Yang
ketiga, kata al-Qur’an dipengaruhi oleh Bahasa Kristen Syria, qeryana. Istilah ini
digunakan untuk merujuk pada bacaan oral, bacaan liturgi dari teks suci (lectio) dan
untuk ayat Kitab suci yang dibaca keras (lectio).
Hingga kodifikasi atau hingga akhir wahyu yang berhenti dengan kematian
Muhammad Saw., tidak dijumpai penggunaan al-Qur’an untuk merujuk pada kumpulan
wahyu dalam bentuk tertulis yang lengkap. Maka dalam al-Qur’an dikenal disiplin
pokok dalam studi Kitab suci Islam, yaitu qirâ’ah dan tajwîd. Istilah ini merupakan
istilah teknis, yang digunakan untuk merujuk tidak hanya pada tindakan atau praktik
membaca keras sebagian atau keseluruhan al-Qur’an, tetapi juga pada bacaan khusus;
pengucapan, pelafalan suatu kata, frase atau ayat dalam al-Qur’an. Dengan menganggap
al-Qur’an sebagai Kitab suci oral akan membuat umat Islam dapat berkomunikasi
dengan ayat-ayat al-Qur’an tersebut. Artinya, umat Islam tidak memahami al-Qur’an
secara tekstual-normatif, sesuai yang tampak secara eksplisit, tetapi lebih menggali pada
yang tidak tampak (implisit). Dengan demikian, ayat-ayat al-Qur’an menjadi terus
hidup, dinamis dan tidak mandeg (jumud).
Model-model Penafsiran al-Qur’an
Menurut Quraish Shihab,48 corak-corak penafsiran yang dikenal selama ini antara
lain:
a. Corak sastra bahasa, yang timbul akibat kelemahan-kelemahan orang Arab
sendiri di bidang sastra, sehingga dirasakan kebutuhan untuk menjelaskan kepada
mereka tentang keistimewaan dan kedalaman arti kandungan al-Qur’an di bidang ini.
b. Corak penafsiran ilmiah, akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan usaha tafsir
untuk memahami ayat-ayat al-Qur’an sejalan dengan perkembangan ilmu.
c. Corak filsafat dan teologi, akibat penerjemahan kitab filsafat yang
mempengaruhi beberapa pihak, serta akibat masuknya penganut agama-agama lain ke
dalam Islam yang dengan sadar atau tidak masih mempercayai beberapa hal dari
keperccayaan lama mereka.
d. Corak fikih atau hukum, akibat berkembangnya ilmu fikih, terbentuknya
madzhab-madzhab fikih, yang setiap golongan berusaha untuk membuktikan kebenaran
pendapatnya berdasarkan pada penafsiran-penafsiran mereka terhadap ayat-ayat hukum.
e. Corak tasawuf, akibat timbulnya gerakan-gerakan sufi sebagai reaksi terhadap
kecenderungan berbagai pihak terhadap materi, atau sebagai kompensasi terhadap
kelemahan yang dirasakan.
f. Corak sastra budaya kemasyarakatan, akibat peran Muhammad Abduh.
Adapun macam-macam metode penafsiran al-Qur’an secara garis besar dapat
dibagi menjadi dua bagian, yaitu corak ma’tsûr (riwayat) dan corak penalaran. Corak
penalaran ini dibagi menjadi empat: tahlîly, ijmâly, muqârin, mawdû’y. Metode tahlîly
adalah suatu metode tafsir yang mufassirnya berusaha menjelaskan kandungan ayat-ayat
al-Qur’an dari berbagai seginya dengan memperhatikan runtutan ayat-ayat al-Qur’an,
sebagaimana tecantum dalam mushaf.
48 Quraish Shihab, Membumikan al Qur’an (Bandung: Mizan, 1992).
Dalam hubungan ini, mufassir memulai tafsirnya dari ayat ke ayat berikutnya atau
dari surat ke surat berikutnya dengan mengikuti urutan ayat atau surat sesuai dengan
yang termaktub dalam mushaf. Di antara karya yang sering dijadikan contoh untuk
model tafsir ini adalah Tafsir al Kassyâf karya al-Zamakhsyari dan Tafsir al Kabir,
karya al-Razi.
Metode Ijmâly adalah cara menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan menunjukkan
kandungan makna yang tedapat pada suatu ayat secara global. Dengan metode ini,
seorang mufassir cukup dengan menjelaskan kandungan yang terkandung dalam ayat
tesebut secara garis besarnya saja.
Metode Muqârin adalah metode tafsir yang dilakukan dengan cara
membandingkan ayat al-Qur’an yang satu dengan lainnya, yaitu ayat-ayat yang
mempunyai kemiripan redaksi dalam dua kasus yang berbeda atau yang memiliki
redaksi yang berbeda untuk masalah atau kasus yang sama atau diduga sama, atau
membandingkan ayat-ayat al-Qur’an dengan Hadits Nabi yang tampak bertentangan
serta membandingkan pendapat-pendapat ulama’ tafsir menyangkut penafsiran al-
Qur’an.
Metode Mawdlû’i adalah metode tafsir yang dilakukan dengan cara tematik, di
mana mufassir berupaya menghimpun ayat-ayat al-Qur’an dari berbagai surat yang
berkaitan dengan persoalan atau topik yang ditetapkan sebelumnya. Kemudian penafsir
membahas dan menganalisa kandungan ayat-ayat tersebut sehingga menjadi satu
kesatuan yang utuh.
Model Penafsiran Sastra
‘Aishah ‘Abd al-Rahman/Bintu al-Shati’
Salah satu keunikan al-Qur'an adalah adanya pengulangan kata di beberapa
ayatnya. Para ulama banyak yang membicarakan keunikan ini serta menghubungkannya
dengan studi tematik modern. Muhammad Qutub misalnya, menegaskan sisi tantangan
tersebut dengan berbagai gaya bahasa. Yang lebih unik adalah bahwa terdapat
pengulangan dalam satu surat yang mencapai 31 kali, seperti yang terdapat pada surat
al-Rahmân. Dalam melakukan studi tentang pengulangan yang ada dalam al-Qur’an,
Muhammad Qutub mencontohkan, ibarat mengenal seseorang yang tidak mungkin
dengan cara mengetahuinya sepotong-sepotong dari beberapa ciri fisiknya, tetapi harus
secara menyeluruh, yang meliputi mata, hidung, telinga dan lain sebagainya. Hal itulah,
menurut Muhammad Qutub yang disebut sebagai suatu keutuhan.
Selain Muhammad Qutub adalah Muhammad al-Hijazi yang juga membahas
pengulangan dalam al-Qur’an. Dalam bukunya al-Wahdah al-Maudu'iyyah fi al-Qur'an
al-Karim, ia mengatakan bahwa pengulangan itu terjadi dalam bentuk dan corak yang
berbeda sesuai dengan kondisi, lingkungan dan waktu diturunkannya. Surat-surat
Makkiyah misalnya berbeda dengan Surat-surat Madaniyyah. Kesatuan tema inilah
yang kemudian memunculkan sebuah aliran penafsiran yang disebut dengan corak tafsir
tematik.
Dalam perkembangan berikutnya, muncul metode penafsiran bercorak sastra yang
diprakarsai oleh Muhammad Abduh. Metode ini merupakan metode modern yang
menggunakan model pembacaan terhadap berbagai masalah sosial yang berkembang di
masyarakat dan diintegrasikan dengan sentuhan-sentuhan sastra. Kelemahan yang
ditemukan pada metode ini pada awal kemunculannya adalah dari sisi balaghah dalam
beberapa kajiannya. Beberapa kajian yang telah dilakukan lebih banyak merujuk pada
karya-karya klasik yang ditulis oleh ulama pada abad ke-4 sampai abad ke-8.
Kelemahan ini kemudian menjadi motivator bagi Bintu al-Shâti' untuk mengembangkan
kajian tematik bahasa sastra dalam tafsir. Salah satu karyanya adalah al-Tafsîr al-
Bayâni li al-Qur'ân al-Karîm.
Bintu Shâti' berlatar belakang pendidikan bahasa dan sastra di al-Azhar kemudian
dikembangkan pada saat di Maroko (Universitas Qarawiyyin). Buku yang dia tulis
tersebut pada awalnya adalah merupakan kumpulan dari beberapa tema yang
disampaikan pada perkuliahan di Fakultas Syari'ah di Fas. Demikian pula dengan
bukunya yang lain, yaitu al-I'jaz al-Bayani, juga merupakan kumpulan dari materi
Ulum al-Qur'an di Universitas Dar al-Hadits al-Hasaniyah di Rabath, yang kemudian
disempurkan sebagai bidang spesialisasinya dalam kajian bahasa al-Qur'an di
Universitas Qarawiyyin sejak tahun 1970.
‘Aishah Abd al-Rahman atau yang lebih dikenal dengan Bintu al-Shâti',
menekankan pembahasannya pada aspek kemukjizatan al-Qur'an di bidang sastra dan
sebagai kesatuan rasa (wahdah dhawqiyyah dan wijdâniyyah). Metode tafsir sastra
tematik Bintu al-Shâti' ini dipengaruhi oleh gaya gurunya yang juga merupakan
pendamping hidupnya, yaitu Amin al-Khuli. Secara garis besar metode kajian sastra
tematiknya dapat disimpulkan dalam empat pokok pikiran:
Pertama, mengumpulkan unsur-unsur tematik secara keseluruhan yang ada di
beberapa surat untuk dipelajari secara tematik. Dalam buku ini ia tidak memakai
metode kajian tematik murni, tetapi dengan pengembangan induktif (istiqrâ'i). Mula-
mula ia menggambarkan ruh sastra tematik secara umum, kemudian merincinya per-
ayat. Akan tetapi perincian ini berbeda dengan perincian yang digunakan dalam kajian
tafsir tahlili (analitik) yang cenderung menggunakan maqta' (pemberhentian tematik
dalam satu surat). Di sini ia membuka dengan kupasan bahasa dalam ayat itu kemudian
dibandingkan dengan berbagai ayat yang memiliki kesamaan gaya bahasa. Kadang
menyebut jumlah kata. Adakalanya memberikan kesamaan dan perbedaan dalam
penggunaannya. Terakhir ia simpulkan korelasi antara gaya bahasa tersebut.
Kedua, memahami beberapa hal di sekitar nash yang ada. Seperti mengkaji ayat sesuai
dengan kondisi diturunkannya. Untuk mengetahui kondisi waktu dan lingkungan
diturunkannya ayat-ayat al-Qur'an pada waktu itu dikorelasikan dengan studi asbab al-
nuzul, meskipun ia tetap menegaskan kaedah al-ibrah bi 'umûm al-lafz lâ bi khusus al
sabab (kesimpulan yang diambil menggunakan keumuman lafaz bukan dengan
kekhususan sebab-sebab diturunkannya sebuah ayat). Ketiga, memahami dalâlah al
lafz. Maksudnya indikasi makna yang terkandung dalam lafaz-lafaz al-Qur'an, apakah
dipahami sebagaimana zahirnya ataukah mengandung arti majâz (kiasan) dengan
berbagai macam klasifikasinya, kemudian dipahami melalui siyaq khâs (hubungan-
hubungan kalimat khusus) dalam satu surat dan dikorelasikan dengan siyâq 'âm
(hubungan kalimat secara umum) dalam al-Qur'an. Keempat, memahami rahasia ta'bîr
dalam al-Qur'an. Hal ini sebagai klimaks dari kajian sastra yang dilakukan dengan cara
mengungkap keindahan, pemilihan kata, beberapa penakwilan yang ada di berbagai
kitab tafsir yang mu'tamad, tanpa mengesampingkan posisi gramatikal Arab (i'rab) dan
kajian balâghah.
Sastra tematik yang penulis maksudkan di sini adalah corak tafsir modern yang
menganut madzhab dan aliran tematik umum (maudhû'i 'âm). Pengkajiannya
dikhususkan pada pembahasan sastra bahasa dalam satu surat. Ia tidak mengambil
seluruh surat dalam al-Qur'an, tetapi beberapa surat pendek saja, yaitu tujuh surat
pendek juz 'Amma pada buku pertama; al-Dhuhâ, al-Syarh, al-Zalzalah, al-'Adiyât, al-
Nâzi'ât, al-Balad dan al-Takâtsur. Tujuh surat pendek lainnya pada buku kedua;
al-'Alaq, al-Qalam, al-'Ashr, Al-Lail, al-Fajr, al-Humazah dan al-Mâ'ûn.
Sebagai perbandingan, Muhammad Qutub juga mengkaji secara tematik umum
persurat dengan klasifikasi Makki dan Madani serta klasifikasi masing-masing
keduanya. Dengan satu titik sentral; kajian tematik akidah, karena menurut Muhammad
Qutub, tema besar al-Qur'an adalah pemurnian akidah. Setelah mengupas beberapa
aspek penting dalam tema besar yang ingin disampaikan, ia menafsirkannya secara
tematik dalam beberapa sampel surat. Tiga surat Makkiyah; al-Ra'd, Luqmân dan
Fâthir, serta tiga surat Madaniyyah; al-Baqarah, Ali 'Imrân dan al-Nisâ'.
Rujukan Utama dalam buku ini, Bintu al-Shâti' merujuk kepada pendapat al-
Zamakhshari dalam bukunya al Kashâf dan Abu Hayyan dalam tafsirnya al Bahr al
Muhît. Dalam mukaddimahnya, secara metodologis ia mengikuti sang guru dan
suaminya, yaitu Amin Khuli serta mengadopsi beberapa gaya Mustafa Sadiq al-Rafi'i.
Lebih rincinya, ia tulis penjelasan ini dalam mukaddimah bukunya al I'jâz al Bayâni.
Salah satu contoh tafsir sastra tematik Bintu al-Shâti' adalah surat al-Zalzalah,
yang dibuka dengan tema umum; al yawm al âkhir, kemudian ia mengklasifikasikannya
sebagai awal-awal surat Madaniyyah, yaitu berada pada urutan keenam. Surat
Madaniyyah seperti ini justru menekankan aspek akidah dan iman pada hari akhir.
Memberikan gambaran sebaliknya, surat-surat Makkiyyah bukan berarti tidak memuat
tasyri' dan penjelasan hukum.
Mukaddimah singkat ini segera ia lanjutkan dengan malâmih (outward) sastra
tematik dalam surat ini. Pertama, ayatnya pendek-pendek. Ini mengindikasikan adanya
keseriusan dan pesan urgen dan tidak bertele-tele. Kedua, dalam ungkapan yang singkat
seperti ini pun masih ada pengulangan-pengulangan untuk penekanan-penekanan
tertentu. Ketiga, kata-kata yang dipilih pun berpengaruh kuat seperti zalzalah
(bergoncang) untuk menunjukkan kedashsyatan. Ungkapan serupa juga ada di surat-
surat lain seperti al-Ghashiyah, al-Tammah, al-Waqi'ah dan lainnya. Keempat, disebut
dalam bentuk pasif tanpa menyebutkan subyek (pelaku) nya. Ini memberi tekanan pada
perhatian kepada kejadiannya, bukan berarti menafikan keberadaan pelakunya. Ia juga
menyebutkan hal serupa di beberapa ayat yang tersebar di berbagai surat al-Qur'an.
Dalam hal ini penakwilan fâ'il (subyek) tidak dibenarkan, karena sudah jelas, yaitu
Allah. Pesan yang disampaikan kepada manusia bahwa bumi yang sedang dihuni saat
ini memiliki potensi bergoncang kapan saja. Goncangan yang berbeda-beda bahkan bisa
berakibat pada kehancuran yang berakhir dengan kefanaan. Setelah itu, Bintu Syâthi'
merincinya tiap ayat dari sejak penyebutan arti bahasa, pemilihan kata zalzalah (baik
kata zulzilat maupun kata zilzâlahâ), kemudian pengungkapan dalam bentuk madi (past
tense) yang berarti kepastian dan penggunaan kata syarat idha (apabila).
Pada ayat selanjutnya ia menguraikan penggunaan kata aktif akhrajat
(mengeluarkan) dan bumi sebagai pelakunya. Ini merupakan jenis kiasan. Setelah itu
merinci penafsiran 'athqâl (beban-beban berat yang dikandung bumi).
Pada ayat selanjutnya, titik tekannya adalah keheranan manusia, baik yang beriman
maupun yang kafir meskipun sebagian mufassirin ada yang berpendapat orang kafir
saja. Di sini ia memilih pendapat pertama karena tidak ada dalil yang mengkhususkan
keumuman ayat ini. Pertanyaan ini pun langsung dijawab pada ayat selanjutnya. Ia juga
sedikit menyitir pendapat para ahli tafsir tentang penceritaan bumi. Sebagian tetap
menjadikannya ungkapan kiasan, sebagian lagi berpendapat sebaliknya, bahwa memang
benar-benar pada hari itu bumi bisa berbicara.
Dalam kesempatan ini ia menyebutkan pendapat beberapa mufassir, di antaranya;
al-Tabari, al-Zamakhshari, Abu Hayyan dan al-Tabarshi. Pertanyaan-pertanyaan yang
memungkinkan akan timbul pun ditimpali dengan ayat selanjutnya, bahwa ini semata
adalah titah pencipta manusia, Tuhan yang mengutus Muhammad pada kaumnya dan
seluruh manusia setelahnya. Dalam ayat ini ia agak panjang lebar berbicara masalah
wahyu. Pesan penting berikutnya adalah penggunaan kata yawma idhin (pada hari itu).
Untuk menunjukkan posisi dan keberadaan manusia setelah terpendam di alam kubur
dan dibangkitkan kemudian. Ini adalah bagian penggambaran penokohan dan seting,
seolah-olah pembaca dan pendengarnya berada di depan sebuah film dan pertunjukan
yang benar-benar nyata. Ia juga mengungkap rahasia pengungkapan kata yasdur
(keluar) bukan dengan sinonim lainnya yakhruj atau yansarif.
Lebih jelas lagi setelah ada penjelasan bagaimana cara keluarnya manusia dari
kuburnya yang bermacam-macam, berbeda-beda, berpisah-pisah dan berpencar-pencar.
Keduanya ia pakai bermacam-macam dan berbeda sesuai dengan amal perbuatannya
selama di dunia. Sedang berpencar dan berpisah-pisah, dikarenakan kondisi yang
demikian mencekam, menanti sebuah pengadilan agung yang sangat menentukan nasib
mereka. Bagaimana balasan mereka setelah itu? Jawabannya adalah pada dua ayat
penutup, di mana kedua ayat ini memiliki muqâbalah (perbandingan) yang jelas
sekaligus menunjukkan keindahan gaya bahasa. Ia juga menyebutkan rahasia
penggunaan kata mitsqâla dzarrah. Di samping menyebutkan perbedaan mazhab dalam
memahami ayat ini, baik dari para mutakallimîn maupun kelompok yang ada, juga
mengemukakan pendapat al-Zamakhshari sebagai contoh untuk mewakili pemikiran
Mu'tazilah. Abu Hayyan mewakili Zahiriyyah, al-Tabarshi mewakili Shi'ah. Polemik ini
muncul pada saat ada pertanyaan, kebaikan yang dilakukan oleh orang kafir yang
dibalas dengan tuduhan kufur, sebanyak apa pun kebaikan itu. Ia juga mengemukakan
pendapat Muhammad Abduh, salah seorang tokoh yang dikaguminya.
Pada akhirnya, penafsirannya ditutup dengan pernyataan bahwa hanya Allahlah
yang berhak menentukan balasan ini. Dia memberi ampun kepada siapa yang
dikehendakiNya dan memberi azab kepada siapa pun yang dikehendakiNya. Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. 48: 14).
Metode Hermeneutik Nasr Hamid Abu Zayd
Hermeneutik berasal dari Bahasa Yunani, hermeneuo, yang memiliki beberapa
pengertian; (1)mengungkapkan pikiran seseorang dalam kata-kata, (2)menterjemahkan
atau bertindak sebagai penafsir atau bisa berarti menafsirkan. Term ini memiliki asosiasi
etimologis dengan nama dewa dalam mitologi Yunani, Hermes, yang mempunyai tugas
menyampaikan dan menjelaskan pesan-pesan Tuhan kepada manusia.49 Teori ini
bertujuan untuk memahami hakekat atau pesan yang terkandung dari teks, perantara
atau penafsir, cara memahami teks dan pemahaman audiens.
Abu Zayd, yang dijadikan contoh dalam kajian ini, dilahirkan di Tanta, Mesir
pada tanggal 10 Juli 1943. Ia melihat bahwa tafsir seringkali digunakan untuk
kepentingan politik atau yang ia sebut dengan problem al nusûs al dîniyyah. Maka ia
mengembangkan pemikiran yang kritis dalam menafsirkan al-Qur’an, untuk
menyingkap tabir patologis yang menyebabkan penyimpangan dalam interpretasi dan
pemaknaan teks keagamaan. Apa yang ia lakukan telah memancing reaksi keras dari
kalangan ulama’ besar di Mesir, termasuk al-Azhar.
Menurutnya, yang harus dilakukan dalam mengkaji al-Qur’an adalah memahami
al-Qur’an sebagai literatur. Literatur penafsiran al-Qur’an yang selama ini dilakukan
hanya berdasarkan teks al-Qur’an yang ada. Oleh sebab itu, pendekatan literatur al-
Qur’an tersebut perlu ada penekanan masalah fakta yang ada dalam al-Qur’an.
Pemikiran ini diawali oleh Andrew Rippin pada tahun 1982, yang menyarankan
bahwa pendekatan literatur diawali dari asumsi bahwa al-Qur’an merupakan firman
Tuhan tidak dengan metode khusus. Ibaratnya al-Qur’an itu seperti Bible yang tidak
memerlukan metode khusus dalam menganalisis lebih jauh. Di Mesir, orang yang
pertama kali menggunakan teori literatur adalah Amin al-Khuli (1895-1966).
Maka dijumpai perbedaan penafsiran antara satu mufassir dengan yang lainnya.
Perbedaan ini terletak pada kesimpulannya mengenai maksud teks al-Qur’an terhadap
perkembangan dan bagaimana pemahaman terhadap sastranya. Hal ini ditulis oleh Abu
Zayd dalam artikelnya Tafsir from Tabari to Ibnu Kathir.
Perbedaan kesimpulan merupakan keanekaragaman metode yang digunakan oleh
penafsir. Sebagai contoh, Ash’ari menganggap al-Qur’an itu kekal, sedangkan
Muktazilah percaya bahwa al-Qur’an itu buatan (makhluq).
Para sarjana Barat (John Wansbrough, misalnya), memperkirakan bahwa al-
Qur’an adalah usaha pengeditan beberapa ratus tahun setelah Nabi wafat. Sedangkan
pandangan tradisional mengira al-Qur’an menjadi teks peninggalan dari Nabi
Muhammad dan diterbitkan oleh Khalifah Uthman bin Affan. 49 Richard E. Palm, Hermeneutics: Interpretation Theory in Schleirmacher, Dilthey, Heiddeger and Gadamer (Northwestern University Press, 1969), 13.
Dalam menafsirkan seringkali penafsir dikondisikan oleh kepribadian, prasangka
dan keterkaitannya dengan sesuatu. Hal ini menyebabkan makna yang ditafsirkan jauh
dari maghzâ. Abu Zayd menyatakan bahwa al-Qur’an itu sebuah teks ilmu bahasa (nas
lughawi) yang dihubungkan dengan konteks dan budaya khusus (yantami).
Dalam hal ini Abu Zayd mengatakan bahwa al-Qur’an itu adalah sebuah teks yang
sama seperti teks-teks lainnya, sehingga dia tidak melihat kekhususan atau kekeramatan
dalam menemukan makna-makna al-Qur’an. Maka al-Qur’an sebagai suatu naskah
dapat ditafsirkan dengan pendekatan kritik modern. Alasan Abu Zayd adalah agar
supaya orang-orang Islam, Kristen dan Atheis bisa mempelajari al-Qur’an, karena
kebudayaan Arab menyatu dengannya.
Artinya, ada perkiraan bahwa al-Qur’an juga hasil kebudayaan (al muntaj al
thaqâfi). Pengertiannya ini didasarkan pada uraian semenjak al-Qur’an diterima selama
20 tahun lebih dalam sebuah kebudayaan dan konteks khusus. Ketika Tuhan
memberikan al-Qur’an melalui pesuruhnya (malaikat), Dia memilih bahasa manusia
sebagai kode atau simbol untuk wahyu dan memberikan suatu bahsa yang tidak bisa
dipisah dari kebudayaannya, karena diwujudkan dalam bahasa. Selanjutnya, tidak
mungkin bisa memisahkan naskah itu dari konteks kebudayaannya.
Ketergantungan al-Qur’an atas bahasa Arab memperkuat pendapat Abu Zayd
bahwa al-Qur’an lebih dekat hubungannnya dengan masyarakat dan kebudayaan Arab.
Hubungan ini ditunjukkan dalam ayat yang menggambarkan sejarah pada masa
Muhammad, seperti dalam asbâb al nuzûl, ayat Makkiyyah, Madaniyyah dan lain-lain.
Di sini ia menggambarkan bahwa teks itu sebagai subyek dan kehidupan sebagai
obyek. Meskipun demikian, Abu Zayd membantah pendapat yang mengatakan bahwa
al-Qur’an adalah buatan manusia, hanya penulisannya saja yang menggunakan bahasa
manusia.
Istilah teks berasal dari Bahasa Latin “textus”, yang berarti susunan, struktur,
bentuk. Al-Qur’an sebagai teks memiliki hubungan antara wahyu dan risâlah (pesan).
Maka, dengan dipengaruhi oleh para hermeneutis Barat, khususnya E.D. Hirsch Jr.,
yang membedakan antara ma’nâ (meaning) dan maghzâ (significance), Abu Zayd ingin
melakukan upaya baru, yaitu mengeliminasi jarak antara subyek dan obyek. Menurut
Abu Zayd, sebuah penafsiran tidak berhenti dengan penemuan makna historis teks, akan
tetapi dengan melihat signifikansinya yang selalu berubah dalam konteks kontemporer.
Untuk mendukung pembedaan antara makna historis dengan signifikansi ini, Abu
Zayd menggunakan makna ta’wil itu sendiri dan menganalisis ayat-ayat al-Qur’an yang
bermuat terma tersebut. Abu Zayd menemukan bahwa proses tafsir, yang ia sebut
penafsiran kontekstual (al qirâ’ah al siyâqiyyah), haruslah mengikuti dua tahap:
pertama, harus merujuk kepada makna dalam konteks sejarah dan budaya (târikhiyyât al
dalâlah), dan kedua, sampai kepada signifikansi (maghzâ) dalam konteks kehidupan
sekarang.
Abu Zayd menyatakan bahwa dengan penafsiran kontekstual ini seseorang dapat
mencapai secara obyektif makna historis teks. Signifikansinya di sisi lain adalah relatif
dan merujuk kepada penafsiran dan konteks yang berbeda. Bagaimanapun, signifikansi
ini haruslah secara erat berhubungan dengan makna historis. Abu Zayd mengkritik teori
penafsiran para ulama’ yang mengabaikan makna historis dan historisitas teks tersebut,
atau juga mereduksinya karena teks itu menyangkut masa lalu dan tidak berguna bagi
masa kini karena telah dihegemoni (qirâ’ah dîniyyah) oleh kalangan ulama’ (al Azhar)
di Mesir, yang merasa paling benar dalam menafsirkan teks-teks keagamaan.
Maka ia memunculkan teori hermeneutik, sebagai literary critisism, yang
berorientasi untuk mengkaji ma’nâ (meaning) dan maghzâ (significance). Hermeneutic
menurut Abu Zayd adalah membahas tentang hubungan antara pembaca teks (mufassir),
teks (al-Qur’an) dan pemilik teks (Allah). Istilah hermeneutic adalah istilah yang
digunakan untuk kajian ketuhanan yang membahas tentang kaidah-kaidah dalam
memahami teks keagamaan (Kitab suci). Maka hermeneutic berbeda dengan tafsir
(exegesis), di mana hermeneutic lebih sebagai teori penafsiran.50 Fokus hermeneutic
lebih pada masalah hubungan antara mufassir dengan teks. Bagaimana seorang mufassir
dapat memahami teks sebagaimana yang dimaksudkan oleh pemilik teks, bahkan lebih
baik daripada pemilik teks itu sendiri.
Pertanyaan yang muncul adalah apakah bisa seorang mufassir (dengan segala
keterbatasannya sebagai manusia) memahami teks (ayat-ayat al-Qur’an) sebagaimana
yang dimaksudkan oleh Tuhan (Allah)? Jika melihat apa yang dilakukan oleh para
mufassir dengan mencoba menafsirkan al-Qur’an, baik dengan metode maudui, tafsir bi
al ma’thur maupun mereka yang tergolong kepada ahl al ra’yi (al ta’wil), maka
jawabannya adalah dapat.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah teks yang terbaca itu sudah
dapat mewakili isi pemikiran penulisnya? Jika jawabannya adalah iya, maka apakah
dapat dikatakan bahwa seorang pembaca dapat memahami isi pemikiran penulis teks
dengan hanya membaca teks yang ditulisnya? Jika tidak, maka bagaimana hubungan
antara teks, pembaca teks dan penulis teks? Apakah ada perbedaan paham antara
penulis teks dengan pembaca teks jika keduanya hidup pada masa yang berbeda? Jika 50 Nasr Hamid Abu Zayd, Isykaliyat al Qira’at wa Aliyat al Ta’wil (t.t.: al Markaz al Thaqafi al Arabi, t.t.), 13.
demikian, mungkinkah seorang pembaca teks dapat memahami sebuah teks sesuai
dengan penulisnya?51
Telah banyak dilakukan kajian tentang hubungan antara penulis teks dengan
kondisi zaman di saat dia menulis teks. Kajian ini memunculkan teori dominasi, bahwa
ada faktor eksternal yang dominan dalam mempengaruhi pikiran seorang penulis.
Dengan demikian, seorang pembaca teks harus memahami latar belakang penulis teks
pada saat teks itu ditulis. Teori ini ditentang oleh Elliout, bahwa teks itu tidak dapat
dipengaruhi oleh faktor eksternal, sehingga seorang pembaca teks tidak perlu mencari
faktor eksternal yang mempengaruhi ditulisnya teks itu, seorang pembaca cukup
memahaminya melalui pendekatan bahasa.
Tetapi Shleirmacher, memiliki pandangan lain. Ia mengatakan bahwa teks suci
juga harus dipahami seperti teks-teks lainnya, sehingga ia dapat dimasukkan dalam
wilayah ilmu. Dengan demikian, perlu adanya syarat yang harus dipenuhi dalam rangka
memahami maksudnya, yang disebut dengan tafsir. Menurutnya, teks merupakan
mediator antara pembaca dan penulis. Maka ada hubungan dialektis antara bahasa
dengan penulis teks. Dengan demikian, semakin lama usia teks, semakin sulit dipahami
oleh pembaca, karena bahasa terus berkembang. Oleh karena itu harus ada upaya
penetapan aturan untuk menyelesaikan masalah itu, baik dari sisi bahasa maupun
kehidupan penulisnya.
Bahasa merupakan standar bagi seorang penulis untuk mengungkapkan
pemikirannya. Sementara itu, bahasa memiliki standar baku, sehingga standar inilah
yang menjadikan penafsiran itu mungkin dilakukan, asalkan penulis tidak menggunakan
bahasa yang aneh-aneh. Jika itu dilakukan oleh penulis, maka penafsiran terhadap teks
yang ditulisnya menjadi tidak mungkin dilakukan.
Selain Shleirmacher, adalah W. Dilthey yang juga berbicara tentang
hermeneutika, bahwa harus dibedakan antara ilmu alam, ilmu sejarah dan humaniora.
Dilthey ingin membedakan antara ilmu-ilmu sosial dan ilmu-ilmu eksakta, karena objek
kajian daripada ilmu-ilmu sosial adalah pemikiran manusia, sementara ilmu-ilmu
eksakta adalah hal-hal yang bersifat pasti. Ilmu-ilmu sosial membutuhkan analisa yang
bersifat kemanusiaan dan itu membutuhkan analisa yang tajam terhadap fenomena
kemanusiaan dan inilah yang dibutuhkan dalam melakukan penafsiran terhadap teks-
teks keagamaan. Pemahaman semacam itu dapat dicapai dengan cara hidup kembali
untuk yang kedua kali dari pengalaman kehidupan yang telah dialaminya. Kegagalan
51 Ibid., 17.
yang dilakukan oleh ilmuan sosial adalah disebabkan oleh karena mereka belum pernah
merasakan peristiwa sosial yang dia kaji sebelumnya.
Maka Dilthey mengatakan bahwa dasar dari pengetahuan adalah eksperimen atau
pengelaman pribadi. Eksperimen atau pengalaman pribadi yang dimaksudkan oleh
Dilthey di sini adalah eksperimen yang terus menerus atau dinamis. Jadi pengalaman
lebih berharga daripada analisa pemikiran. Semakin banyak ditemukan pengalaman
yang sama di antara manusia, maka semakin kuat kesimpulan yang dimunculkan.
Lalu bagaimana memahami pengalaman pribadi orang lain untuk dibawa ke
dalam diri kita? Jawabannya menurut Dilthey adalah melalui ungkapan, baik dalam
bentuk perilaku maupun teks tertulis. Itulah yang disebut dengan istilah objektivasi
(objectivication). Dalam istilah Dilthey disebut dengan Expressions of lived experience
dengan menggunakan ungkapan bahasa sebagai sarananya.
Manusia adalah makhluk hidup yang berkembang, maka dalam memahami diri
manusia, tidak cukup dengan analisa tetapi melalui pengalaman hidup yang dilaluinya.
Keinginan manusia tidak terbatas dan manusia diciptakan bukan sebagai proyek mati,
seperti robot atau benda lainnya, tetapi dia diciptakan melalui proses kehidupannya.
Maka dalam memahami kehidupan manusia tidak bisa secara langsung, tetapi melalui
proses penafsiran hermeneutik dari kehidupan yang dilaluinya di masa lampau. Maka
pemahaman seseorang terhadap masa lampau semakin baik dan matang ketika apa yang
dialami pasa saat ini ada kesamaan dengan yang pernah dialaminya di masa lampau.
Demikian pula ketika seseorang memahami sebuah teks, baik yang berbicara dengan
sesuatu yang terjadi di masa lampau atau yang terjadi pada masa kini, dengan melalui
pengalaman hidup manusia akan menjadi semakin baik. Apa yang dikemukakan oleh
teks keagamaan tentang masa lampau bisa dibawa pada peristiwa yang terjadi pada
masa kini, karena sesuatu yang pernah terjadi pada diri manusia di masa lampau
merupakan sesuatu yang akan terjadi juga di masa kini.
Maka Dilthey menolak pendapat tentang perubahan teks antara masa lampau
dengan masa kini. Teks bisa tetap, tetapi pemahaman terhadap teks bisa berubah sesuai
dengan pengalaman hidup yang dialami. Maka makna teks tidak tetap, tetapi selalu
berubah (dinamis), sesuai dengan perubahan hubungan antara pembaca teks dengan teks
tersebut. Untuk itu, dalam memahami sebuah teks, tidak berangkat dari sebuah
kekosongan, tetapi berangkat dari seperangkat pengetahuan yang sudah dimiliki
sebelumnya. Dengan demikian, penafsiran seseorang terhadap sebuah teks bisa tidak
sama, karena seperangkat pengetahuan yang sudah dimiliki oleh pembaca teks berbeda
antara satu dengan yang lainnya.
Studi Hadits
Kata Hadith menurut bahasa berarti al jadîd (sesuatu yang baru), lawan kata dari
al qadîm (sesuatu yang lama). Kata hadits juga berarti al khabar (yaitu sesuatu yang
dipecakapkan dan dipindahkan dari seseorang kepada orang lain. Hadits kemudian
didefinisikan sebagai ucapan, perkataan, perbuatan dan ketetapan Rasulullah SAW.
Hadits, di lihat dari sudut kuantitas, atau jumlah rawi, diklasifikasikan dengan Hadits
mutawâtir dan hadits âhâd.
Teori Model; Sîrah Nabi Ibnu Hisyam
Earle H. Waugh
Nabi Muhammad adalah simbol dari sifat kemanusiaan yang sempurna. Mengkaji
tentang Nabi, tidak akan lepas dari sejarah. Hal ini sulit dihindari, karena terjadi
kesenjangan zaman yang begitu panjang antara Nabi dengan kita. Di sinilah peran
sejarah sangat urgen, yang akan memberikan data atau bukti historis yang bisa
diinterpretasikan lebih jauh tentang perjalanan hidup Nabi.
Hanya saja yang menjadi pertanyaan, mampukan pendekatan sejarah memberikan
informasi lengkap dan obyektif tentang Islam, melalui perjalanan hidup Nabi sebagai
figur dan sumber ajarannya?
Sebagai sosok yang populer, pribadi Nabi memiliki low tradition dan high
tradition. Yang masuk kategor high tradition, adalah ia sebagai uswah hasanah.
Earle H. Waugh, termasuk orang yang ragu dengan pendekatan sejarah dalam
mengungkap tentang perjalanan hidup Nabi. Ia tidak percaya dengan pendapat bahwa
cerita sejarah kehidupan Nabi bisa membantu kita memahami Nabi Muhammad.
Bahkan, dengan pendekatan sejarah ini, kita hanya mendapat sedikit cerita tentang
kelahirannya, sebelum ia menjadi manusia berpengaruh. Karena keraguannya terhadap
pendekatan sejarah untuk mengungkap Nabi, ia menggunakan teori model, dalam
menginterpretasikan Nabi Muhammad yang kharismatik (uswatun hasanah).
Konsep model ini pertama kali digunakan oleh seorang ahli matematika Eugeno
Betromi dan Felix Cline untuk membantu menjelaskan geometri non Euclidean
kemudian diadopsi oleh ahli logika matematika, seperti Gottolob Frege dan Bertrad
Russel. Dari sini model dimanfaatkan dalam bahasa pertama kali oleh F. Hockett pada
tahun 1954.
Istilah model menurut bahasa bisa diartikan contoh, teladan. Dengan demikian
apabila merujuk pada sub kajian ini berarti akan mengkaji keteladanan Nabi dalam
perjalanan hidupnya, sebagaimana diungkap oleh Ibnu Ishaq dalam karyanya al Sîrah al
Nabawiyyah. Sirah, menurut Wansbrough mempunyai peranan yang besar dalam Islam
karena merupakan kesaksian yang bercerita tentang salvation history versi Islam.
Dengan teori model, menurut Ramsey, akan dapat dipahami misteri yang ada di
hadapan seseorang. Ramsey menambahkan bahwa teori model tidak hanya menyajikan
gagasan-gagasan tentang realitas, tetapi juga muatan kognitifnya. Teori model tidak
hanya merupakan persepsi imajiner yang membawa data yang tak terduga, tetapi juga
pandangan-pandangan tentang hakekat sesuatu, yang sekalipun tampak kontradiktif
dengan apa yang biasanya diyakini benar dan menyatakan sesuatu yang bermakna
tentang realitas dari mana mereka muncul.
Menurut Ewert Cousins, teori model berfungsi pada dua tingkatan: pertama,
berkaitan dengan pengalaman keagamaan dalam mencari apa yang disebut model-model
keagamaan (experiental models). Model pengalaman adalah struktur-struktur atau
bentuk-bentuk pengalaman keagamaan (general pattern), esoterism. Istilah pengalaman
mengimplikasikan unsur subyektif, theistic, sedangkan istilah model mengimplikasikan
varietas dalam pengalaman keagamaan.
Tingkatan kedua, metode memperhatikan ekspresi (expressive models), seperti
Kredo Kristen dan sistem teologi. Ekspresi-ekspresi semacam itu diidentifikasikan
sebagai model-model ekspresi (expressive models) yang mengambil seluruh bentuk
yang digunakan oleh orang beragama dalam menyatakan pengalaman keagamaan
dirinya (particular/unique), exoterism. Istilah ekspresi mengimplikasikan unsur
obyektif, scientific.
Karya Ibnu Ishaq, menurut Waugh, dipandang sebagai kemajuan di antara karya-
karya masa awal dan narasi-narasi oral yang tercatat dalam literatur kenabian yang
dikenal dengan sebutan maghâzî sîrah. Sîrah adalah cara paling awal untuk menjelaskan
sejarah Islam pada abad pertama dan pertengahan abad kedua.
Dalam Sîrah, Ibnu Ishaq memaparkan setting Nabi, di mana Quraysh mempunyai
tradisi untuk mengelola kekuasaan secara terus-menerus. Ketika Tuhan mengutus
Muhammad, ia mempertimbangkan lagi tradisi itu. Ia berpendapat bahwa kekuasaan
mereka didasarkan atas kontinuitas tradisi agama leluhur. Mereka adalah pengikut
Tuhan, Tuhan berperang untuk mereka dan merintangi serangan musuh-musuh mereka.
Mereka mencari agama sejati dengan menyembah batu.
Selama kehidupan Nabi, terjadi antagonisme antara Ansar dengan kelompok
Quraysh yang masuk Islam pada masa-masa akhir. Konflik ini, kata Waugh, dipecahkan
oleh Nabi dalam sebuah pertemuan yang secara khusus membahas ketidakpuasan di
kalangan Ansar, ketika Nabi memberikan hadiah pada Quraysh dan Baduwi. Karena
konfrontasi ini Nabi bersabda: “Sebenarnya kamu mempunyai aku, sementara mereka
semua memiliki makanan dan sekutu. Apakah kamu bingung karena suatu yang baik
dalam kehidupan ini, di mana saya menang atas mereka sehingga mereka menjadi
muslim, sementara aku mempercayai kamu karena keislamanmu? Apakah kamu tidak
puas bahwa orang-orang yang akan menarik sekutu dan kawanan, sementara kamu
mengingatkan kembali dirimu tentang Rasul Allah? Demi Allah, yang jiwa Muhammad
berada di tanganNya, saya akan menjadi salah seorang Ansar, dan jika semua orang
berjalan dengan suatu cara, dan Anshor dengan cara lain, saya akan mengambil jalan
Ansar.” Setelah mendengar penjelasan dari Nabi tersebut, kaum Ansar menangis sambil
berkata: “Kami puas dengan Rasulullah sebagai sekutu dan bagian kami.”
Metode Studi Hadits
Dasar-dasar penelitian Hadits adalah penilaian terhadap sanad, matan (teks
Hadits) dan perawi Hadits. Pokok pertama persoalan ketika mengkaji sanad dan matan
adalah bahwa dua komponen Hadits tersebut tidak mungkin muncul mendadak begitu
saja tanpa masa perkembangan sebelumnya, baik sisi teknis maupun materinya. Suatu
Hadits yang dianggap tidak resmi (dha’if) bisa jadi sungguh-sungguh ada pada masa
hidup Nabi sendiri saat itu.
Kata sanad berarti mu’tamad (sandaran), tempat berpegang, yang dipercaya atau
yang sah. Secara terminologis, sanad ialah silsilah orang yang menghubungkan kepada
matan Hadits, yaitu silsilah orang-orang yang menyampaikan materi Hadits, baik berupa
perkataan, perbuatan dan keputusan. Dalam ilmu Hadits, sanad merupakan neraca untuk
menimbang sahih atau tidaknya suatu Hadits. Untuk menguji apakah sebuah Hadits
betul-betul bersumber dari Rasulullah atau tidak. Di antara syarat sahnya sebuah sanad
adalah 1. Persambungan sanad para perawi. 2. Keadilan perawi. 3. Tingkat kemampuan
perawi dalam memelihara Hadits (dhabit). 4. Terhindar dari syadz. 5. Terhindar dari
illat.
Kata matan berarti tanah yang tinggi. Secara istilah matan memiliki beberapa
definisi yang pada dasarnya memiliki maknaa sama, yaitu materi atau lafadz Hadits itu
sendiri atau suatu kalimat tempat berakhirnya sanad.
Dalam studi ulum al Hadits, masalah pemahaman dan pemaknaan terhadap matan
Hadits tidak hanya menempati posisi yang sangat signifikan dalam wacana pemikiran
Islam kontemporer. Pemahaman ini didasarkan pada satu asumsi bahwa teks atau matan
Hadits bukanlah sebuah narasi yang berbicara dalam ruang hampa sejarah, melainkan
berada di tengah sekian banyak variabel serta gagasan yang tersembunyi di balik sebuah
teks atau matan yang harus dipertimbangkan ketika seseorang ingin memahami dan
merekonstruksi makna sebuah Hadits. Jika tidak, akan melahirkan kesalahpahaman
penafsiran. Maka pendekatan hermeneutik sangat mendukung dalam memahami makna
matan Hadits dalam sebuah masyarakat yang hidup jauh berbeda dari Nabi Muhammad.
Artinya, sebuah teks Hadits hanya akan menjadi bermakna apabila diposisikan
secara relasional dengan masyarakat pembacanya. Sebuah Hadits tidak pernah berdiri
sendiri, tetapi memiliki kaitan dengan tradisi dan komunitas beragama yang
meresponinya. Ketika Hadits dilepas dari umatnya, maka tidak akan lagi bermakna,
kecuali sekedar bundelan kertas yang dipenuhi goresan tinta di koleksi pepustakaan.
Hadits, yang secara etimologis berarti cerita, penuturan atau laporan, adalah
sebuah narasi. Biasanya narasi ini sangat singkat dengan tujuan memberi informasi
tentang apa yang dikatakan, dilakukan, disetujui atau tidak disetujui oleh Nabi
Muhammad. Rawi adalah orang yang menyampaikan atau menuliskan dalam suatu
kitab, apa-apa yang pernah didengar dan diterimanya dari seorang gurunya. Maka
metode yang sering digunakan dalam meneliti Hadits adalah kritik sanad dan matan.
Model Penelitian Hadits
Fazlur Rahman
Dalam melakukan penelitian Hadits, Rahman menemukan dua model tipologi
yang kontradiktif; pemikiran tradisionalis dan pemikiran modernis. Dua model tipologi
di atas bagi Rahman merupakan problem epistemologis, karena dalam praktiknya setiap
kali ia melakukan studi dengan obyek apapun ia selalu dibayangi oleh dua wajah
tipologi keagamaan dengan karakteristik yang berbeda. Karakteristik dari pemikiran
kelompok pertama adalah tekstualis, literalis, formalis dan normatif-doktriner.
Sementara karakteristik pemikiran kelompok kedua adalah pluralis, humanis, liberalis
dan kadang sekularis.
Perbedaan di atas menyadarkan Rahman pada upayanya untuk membangun kosep-
konsep Sunnah dan Hadits yang lebih general dan tidak parsial. Rahman menemukan
bahwa antara dua tipologi di atas terjadi perbedaan yang tajam dan tidak ada titik temu.
Maka Rahman berusaha untuk mengembalikan posisi Hadits pada posisinya semula,
yaitu menjadi Sunnah dan tradisi yang hidup.
Memahami Sunnah antara Ahl al Hadits dan Ahl al Fikih
Muhammad al-Ghazali52
Sebagaimana Rahman, Ghazali juga membagi dua kelompok yang berbeda
dalam memahami Sunnah. Ada kelompok Ahl al Hadits yang tradisionalis, ortodoks dan
tekstual, dan ada kelompok Ahl al Fikih yang cenderung memahami Sunnah melalui
pendekatan lima hukum fikih.
Menurut al-Ghazali pemahaman dua kelompok yang berbeda ini sering
memunculkan gap yang tidak dapat didamaikan. Maka harus diambil jalan tengah untuk
meminimalisir perserteruan di antara keduanya dengan cara menggabungkan dua
pemahaman tersebut untuk diambil pemahaman yang lebih baik.
Sebagai contoh, dalam memahami hukum salat tahiyyat al masjid di saat khatib
Jumat sudah naik mimbar, kalangan Ahl al Hadits lebih memilih salat daripada duduk
mendengarkan khutbah, karena ditemukan Hadits yang menyatakan bahwa Rasulullah
saw menyuruh seorang Sahabat untuk menunaikah salat sunnah pada saat Nabi sedang
berkhutbah. Pemahaman semacam ini adalah bentuk dari pemahaman yang tekstual,
sementara kalangan Ahl al Fikih menyatakan bahwa mendengarkan khutbah lebih baik
daripada salat, karena dalam hukum fikih disebutkan bahwa jika ditemukan dua
permasalahan yang bertemu pada saat bersamaan, maka yang wajib diutamakan
daripada yang sunnah. Mendengarkan khutbah hukumnya adalah wajib, sementara salat
tahiyyat al masjid adalah sunnah. Maka dahulukan yang wajib yaitu mendengarkan
khutbah dan sisihkan salat tahiyyat al masjid karena hukumnya sunnah. Jangan
meninggalkan yang wajib demi terlaksananya sesuatu yang sunnah. Maka al-Ghazali
lebih berpihak kepada Ahl al Fikih.
Demikian juga tentang hukum hijab. Menurut kalangan Ahl al Hadits, hijab
dimaknai dengan niqab (cadar), sementara kalangan Ahl al Fikih memaknai hijab
dengan jilbab (kerudung biasa). Alasan yang dikemukakan oleh Ahl al Hadits adalah
bahwa ketika sedang salat, seorang wanita boleh memperlihatkan wajah dan dua telapak
tangannya karena sedang beribadah, menghadap Tuhan, sementara ketika di luar salat,
dia berkomunikasi dengan manusia. Wajah adalah awal dari sumber fitnah, maka wajah
harus ditutup di luar salat. Sementara itu, kalangan Ahl al Fikih mengatakan bahwa 52 Muhammad al-Ghazali, al Sunnah al Nabawiyyah bayn Ahl al Fikih wa Ahl al Hadits (Kairo: Dar al-Shuruq, 1989).
tidak ada beda antara batasan aurat wanita dalam ibadah dan di luar ibadah. Apa yang
sudah ditetapkan oleh Allah terkait dengan aurat wanita pada saat salat juga berlaku
untuk di luar salat. Al-Ghazali mengatakan bahwa dua kelompok tersebut sama-sama
memiliki alasan yang kuat. Untuk itu, bentuk hijab adalah pilihan masing-masing
wanita, boleh pakai cadar boleh tidak. Yang penting menutup seluruh tubuhnya, kecuali
muka dan dua telapak tangan.
Tentang seorang wanita karir, al-Ghazali mengatakan bahwa boleh soerang wanita
bekerja di luar dengan catatan tidak melupakan kewajiban sebagai ibu rumah tangga.
Apalagi jika tugas di luar rumah terkait dengan kegiatan sosial seperti mengajar,
mengobati orang sakit dan lain sebagainya. Meskipun demikian, ada beberapa syarat
yang harus dipenuhi, menjaga aurat dan pekerjaan yang dilakukannya sesuai dengan
kodratnya sebagai wanita. Jangan sampai ia melakukan sesuatu yang tidak sesuai
dengan kodratnya, seperti polwan yang bertugas mengatur jalan raya, memikul beban
berat (kuli), tentara yang terjun di lapangan, tukang becak atau sopir angkot dan lain
sebagainya.
Studi Hukum Islam
Dekonstruksi Syari’ah Abdullah Ahmad al-Na’im
Apa itu dekonstruksi syari’ah? Itu hanyalah istilah spontan yang mungkin tepat
untuk mengantarkan pada kreativitas Abdullah al-Na’im, yang bereksperimen
melampaui absolutisme (fundamentalisme) dan sekularisme umat Islam dalam
menjawab tantangan diskursus kontemporer. Alasan dari kemunculan pemikiran al-
Na’im adalah karena jawaban yang diberikan oleh umat Islam dalam menjawab
tantangan dianggap belum memadai bahkan mengecewakan. Pihak fundamentalis selalu
menegaskan bahwa Islam telah sempurna dan selalu memberi jawaban untuk setiap
masalah umat manusia, sementara kalangan sekuler seolah-olah ingin melarikan diri
dari kenyataan, dan agama hanya dibatasi pada masalah ritual belaka, sehingga menurut
kalangan sekuler, masalah sosial harus dicarikan solusinya dari luar agama.
Pemikiran al-Na’im berangkat dari pemikiran bahwa penafsiran dan praktik
semua agama, termasuk Islam, sangat dipengaruhi oleh kondisi sosiologis, ekonomi dan
politik masyarakat tertentu, sehingga sistem hukum yang bersandar pada agama juga
demikian, ada variasi dan kekhasan lokal. Tetapi pelu dikemukan bahwa meskipun ada
yang bersifat lokal, ada beberapa aspek Islam yang tetap bersifat universal.
Yang perlu dikemukakan sebelum menguraikan pendapat al-Na’im adalah bahwa
hukum Islam yang berlaku di setiap masyarakat muslim bukanlah ekspresi dari Islam itu
sendiri, tetapi sebatas pada interpretasi terhadap teks dasarnya sebagaimana dipahami
dalam konteks historis tertentu. Dengan demikian, hukum Islam yang telah disusun oleh
para ahli dapat direkonstruksi pada aspek-aspek tertentu selama masih bersandar pada
sumber-sumber dasar Islam yang sama dan sepenuhnya sesuai dengan pesan moral dan
agama. Pernyataan ini memiliki arti bahwa umat Islam sedunia dapat menggunakan
legitimasi hak kolektif untuk menentukan nasib sendiri dengan identitas Islam, termasuk
dalam menerapkan hukum Islam selama tidak melanggar legitimasi hak perorangan dan
kolektif pihak lain, baik di luar maupun di luar komunitasnya.
Jika pemikiran semacam ini diterima, maka tuntutan penerapan syari’ah Islam
dalam suatu negara harus dilihat infrastruktur dari wilayah tersebut. Menurut al-Na’im,
selama ini kebanyakan umat Islam dalam memahami hubungan antara negara dan
syari’ah merujuk pada pemikiran ulama klasik tanpa mengkaji lebih jauh tentang
kondisi masyarakat penulisnya. Oleh karena itu, dalam mengamati permasalahan
kontemporer, terutama yang menyangkut persoalan politik, manurut al-Na’im,
seseorang harus berhati-hati ketika menggunakan karya ulama pra modern awal dan
klasik walaupun karya itu ditulis oleh ulama ahli syari’ah yang secara tajam menyadari
perlunya penyesuaian kehidupan dunia dengan ajaran syari’ah. Akan tetapi, apa yang
dikemukakan dalam karya mereka itu tidak dapat diasumsikan begitu saja sesuai dengan
tuntutan syari’ah.53
Sesungguhnya apa yang mereka kemukakan dalam karyanya pada masa itu adalah
dipengaruhi oleh kondisi masyarakat yang tidak kondusif untuk penerapan syari’ah
secara ketat. Para ulama tersebut berkarya pada masa kemunduran dinasti Abbasiyah
(Abad XI dan XII), yang kondisinya benar-benar kacau sehingga para ulama harus
mencurahkan perhatiannya pada kesatuan dan keamanan umat Islam.
Dalam kondisi demikian itulah al-Mawardi misalnya, membenarkan perebutan
kekuasaan dengan kekerasan atas dasar kebutuhan. Padahal, membolehkan perebutan
kekuasaan seperti itu bertentangan dengan syari’ah. Maka Gibb mengatakan bahwa
dengan membenarkan pengabaian hukum atas dasar kebutuhan dan kebijakan politik,
al-Mawardi mengakui bahwa dalam kasus-kasus tertentu mungkin berlaku persamaan
hak. Sekali hal ini dibolehkan maka ambruklah seluruh suprastruktur sistem peradilan.
Konsekuensinya, banyak di antara para ulama harus membuat konsesi tehadap realitas
umat Islam dengan mengurangi tekanan aspek-aspek syari’ah tertentu, dalam rangka 53 Abdullah Ahmed al-Na’im, Dekonstruksi Syari’ah terj. Ahmad Suaedy (Yogyakarta: LKiS, 2001), 12-13.
melakukan rekonsiliasi dengan apa yang mereka pahami sebagai kepentingan lebih
utama (al as}lah}) umat Islam pada waktu itu. Sementara itu, beberapa ulama lain
dengan mudah mengabaikan realitas dan mengalihkan perhatiannya kepada situasi ideal
dengan cara menteorisasikan apa yang seharusnya. Di antara ulama yang termasuk
dalam kelompok ini adalah Ibn Taymiyyah. Dalam karyanya, Ibn Taymiyyah
menekankan kewajiban untuk patuh pada syari’ah, dan tidak jadi soal, apakah
pemimpinnya sendiri mentaati syari’ah ataukah tidak.
Nampaknya tawaran Ibn Taymiyyah mendapatkan banyak kendala di lapangan
karena umat Islam merasa berat untuk mematuhi aturan syari’ah secara sempurna. Maka
tawaran untuk melakukan perubahan dalam hukum publik di negara-negara Islam
menjadi alternatif yang banyak dilakukan dalam bentuk sekularisasi hukum kehidupan
publik. Dengan perubahan itu, baik masyarakat muslim maupun non muslim sama-sama
mendapatkan keuntungan dari sekularisasi kehidupan publik tersebut, sehingga
penerapan syari’ah di suatu negara, menurut al-Na’im, akan membuat umat Islam
kehilangan banyak manfaat yang paling bermakna dari sekularisasi. Masyarakat non
muslim misalnya, akan mendapat status sebagai warga negara nomor dua, jika
dilakukan penerapan syari’ah Islam, berbeda jika mereka berada di bawah naungan
negara sekuler, karena syari’ah Islam tidak memberikan persamaan konstitusional dan
hukum kepada warga non muslim.
Perempuan muslimah pun demikian, mereka akan kehilangan banyak hak dalam
beraktivitas ketika berada di bawah naungan hukum syari’ah, berbeda ketika mereka
berada di bawah naungan negara sekuler, mereka akan dapat menikmati peningkatan
yang berarti dalam status dan hak mereka dengan bertambahnya akses ke dalam
kehidupan publik dan kesempatan memperoleh pendidikan dan lapangan pekerjaan
yang lebih terhormat. Bahkan kalangan laki-laki juga akan merasa tertekan dengan
bayang-bayang pemurtadan ketika mereka berada di bawah naungan hukum syari’ah.
Untuk itu, masing-masing dari umat Islam di suatu wilayah berhak menentukan
nasibnya sendiri secara syari’ah. Tawaran yang dapat diambil untuk mendamaikan
permasalahan di atas adalah dengan cara membangun suatu versi hukum publik Islam
yang sesuai dengan konstitusionalisme, hukum pidana, hukum internasional dan hak-
hak asasi manusia modern.
Dalam pandangan mayoritas umat Islam, syari’ah sudah lengkap dan final
sehingga dengan menganggap ada bagian syari’ah yang kurang memadai akan dituduh
bid’ah oleh mayoritas umat Islam. Pandangan semacam ini merupakan penghambat
psikologis dalam upaya merekonstruksi syari’ah, apalagi jika dihadapkan pada ancaman
tuntutan hukum pidana dengan dakwaan murtad (apostasy). Untuk menembus hambatan
ini adalah dengan menunjukkan bahwa sejatinya hukum publik syari’ah bukanlah
hukum yang semua prinsipnya diwahyukan Allah kepada Nabi Muhammad saw, karena
syari’ah adalah produk proses penafsiran dan penjabaran logis dari teks al-Qur’an dan
Sunnah serta berbagai tradisi lainnya. Jika dapat dipahamkan bahwa syari’ah disusun
oleh para ahli hukum Islam awal berdasarkan interpretasi sumber asasinya (al-Qur’an
dan Hadits), maka umat Islam kontemporer akan lebih terbuka menerima kemungkinan
reformasi syari’ah secara substansial.
Antara Syari’ah dan Fikih; Muhammad Sa’id al-Ashmawi54
Al-Ashmawi mengatakan bahwa harus dibedakan antara makna syari’ah dan
fikih. Syari’ah adalah segala bentuk aturan yang telah ditetapkan oleh Allah melalui al-
Qur’an dan Hadits Nabi, yang manusia tidak memiliki hak untuk merubahnya.
Sementara fikih adalah pemahaman kita terhadap syari’ah yang masing-masing dari kita
memiliki pemahaman yang berbeda. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa agama
itu satu tetapi pemahaman terhadap agama sangat beragam. Untuk itu harus dibedakan
antara agama dan pemahaman kita terhadap agama. Syariah itu agama, sementara fikih
adalah bentuk dari pemahaman kita terhadap agama. Ayat riba adalah agama, di mana
agama menetapkan riba haram, tetapi pemahaman kita terhadap sesuatu apakah disebut
sebagai riba atau tidak adalah fikih.
Pemahaman seseorang terhadap agama dalam bentuk fikih itu sangat dipengaruhi
oleh faktor sosiologis, ekonomi dan politik masyarakatnya. Maka syari’ah yang
universal pada tataran fikih akan ditemukan perbedaan dalam kaitannya dengan
perbedaan sosial dan kondisi politiknya. Maka fikih bukanlah keseluruhan Islam itu
sendiri melainkan hanyalah interpretasi terhadap teks dasarnya sebagaimana dipahami
dalam konteks histories tertentu, sehingga dapat direkonstruksi pada aspek-aspek
tertentu, asalkan rekonstruksi itu juga didasarkan pada sumber-sumber dasar Islam yang
sama dan sepenuhnya sesuai dengan pesan moral dan agama.55
Ijihad; antara Liberalisme Islam dan Ortodoksi Islam
Muhammad ‘Imarah56
54 Muhammad Sa’id al-Ashmawi, Jawhar al Islam (Kairo: Madbuli, 1996).55 Abdullah Ahmed al-Naim, Dekonstruksi Syari’ah terj. Ahmad Su’aidi (Yogyakarta: LKiS, 2001).56 Muhammad ‘Imarah, al Nas al Islami bayn al Ijtihad wa al Jumud al Tarikhiyyah (Beirut: Dar al-Fikr, 1998).
Muhammad Imarah mengatakan bahwa umat Islam dalam memahami teks
keagamaan dibagi menjadi dua; kelompok liberal dan ortodoksi. Kelompok liberal
terlalu berlebihan dalam mengemukakan konsep ijtihad sementara kelompok ortodoksi
terlalu berlebihan dalam membatasi ijtihad sehingga sampai pada titik jumud.
Untuk itu harus diambil jalan tengah dengan merujuk pada pendapat Umar, di
mana dia telah melakukan banyak ijtihad, yaitu dengan membatasi wilayah ijtihad pada
urusan duniawi meskipun teksnya bersifat qat’i. Sebagai contoh, Umar pernah tidak
memotong tangan pencuri karena kondisinya sedang paceklik. Umar juga tidak
membagi 4/5 harta rampasan perang kepada tentara tetapi menaruhnya di bayt al mal
karena banyak fakir miskin, janda dan orang tua yang lebih membutuhkan daripada
tentara meskipun mereka tidak ikut perang. Tentang jatah mua’llaf untuk menerima
zakat, Umar juga pernah tidak memberikannya karena umat Islam sudah kuat tidak
butuh kepada mu’allaf dan lain sebagainya.
Studi Ritual Islam
Islam Resmi dan Islam Populer
Clifford Geertz, dalam The Interpretation of Cultures, menyatakan bahwa agama
meliputi simbol-simbol budaya sosial. Dari situ, agama dipahami sebagai sistem
budaya.57 Paparan ini diperkuat oleh Bassam Tibi dalam Islam and the Cultural
Accommodation of Social Change, dengan mengatakan bahwa agama-agama di dunia
ini bersifat kultural. Dari itu, ia bersifat simbolik, merupakan sistem-sistem, dan sebagai
bentuk dari realitas.58
Menurut Tibi, dalam agama, konsepsi-konsepsi manusia tidak didasarkan pada
pengetahuan, tetapi pada kepercayaan kepada Yang Maha Kuasa, yang konsepsi-
konsepsi itu sangat berbeda dari satu kepercayaan dengan yang lainnya. Dalam
kepercayaan agama-agama Monotheism, kekuasaan yang dimaksud adalah Tuhan,
sementara dalam agama-agama primitif, hal itu direpresentasikan melalui spirit dan
magic.59
Islam menurutnya adalah realitas sosial, mencakup sistem simbol budaya yang
sangat beragam, dan berubah secara historis. Artinya, pemahaman seseorang terhadap
Islam sangat dipegaruhi oleh penggunaan teori yang berbeda-beda dan background
57 Cliiford Geertz, The Intepretation of Cultures (New York: Basic Books, 1973), 87.58 Bassam Tibi, Islam and the Cultural Accommodation of Social Change (Oxford: Westview Press, 1991), 8.59 Ibid.
historis dan sosialnya. Maka dalam memahami realitas dunia Islam, seorang sarjana
harus melewati beberapa bahasa dan disiplin, guna mendapatkan pemahaman yang
komprehensif mengenai Islam.60
Untuk memahami agama, Milton Yinger menyarankan agar seseorang memahami
beberapa budaya yang mempengaruhinya, beberapa karakter yang ada di dalamnya, dan
struktur-struktur sosial yang membawanya.61 Taylor menyatakan bahwa agama adalah
sebuah kepercayaan kepada keberadaan spiritual. Dia merasa bahwa satu karakteristik
dari semua agama, baik kecil maupun besar, baik kuno maupun modern, adalah adanya
kepercayaan kepada spirit yang mampu berpikir, berbuat. Esensi dari semua agama
adalah kepercayaan terhadap Yang Maha Hidup, sebuah kekuatan yang ada di luar
semua yang ada. Taylor menyebutkan adanya hubungan antara ritual keagamaan dengan
kepercayaan.62
Frederick, mengatakan bahwa ritual Islam adalah ekspresi dari doktrin Islam,63 di
mana keduanya saling menguatkan, dalam proses penemuan dan disiplin agama yang
menyatu. Tauhid, menurut Frederick, bukan sekedar proposisi teologis, tetapi juga
realisasi manusia dalam mengesakan Tuhan dengan ketaatan dan ketundukan total.64
Empat rukun Islam, menjadi kategori utama ritual Islam, di samping beberapa peristiwa
penting lainnya, seperti ‘Idul Fithri, ‘Idul Qurban, Puasa Ramadlan, Shalat Gerhana,
dan lain sebagainya.65
Dalam literatur antropologi terdapat tiga istilah yang boeh jadi semakna dengan
kebudayaan, yaitu culture, civilization. Term kultur berasal dari bahasa Latin, yaitu
cultura, yang berarti memelihara, mengerjakan, atau mengolah.66
Istilah kedua yang semakna atau hampir sama dengan kebudayaan adalah
sivilisasi. Sivilisasi (civilization) berasal dari kata Latin, yaitu civis. Arti kata civis
adalah warga negara (kota). Oleh karena itu sivilisasi berhubungan dengan kehidupan
kota yang lebih progresif dan lebih halus.67
Kebudayaan adalah semua hasil karya, rasa, cipta masyarakat. Karya masyarakat
menghasilkan teknologi dan kebudayaan kebendaan yang diperlukan oleh manusia
untuk menguasai alam sekitarnya, agar kekuatan serta hasilnya dapat diabadikan untuk
60 Abu Rabi’ Intellectual Origins of Islamic Resurgance in the Modern Arab World (New York: Oxford Univ. Press, 1996), 1.61 Milton Yinger, The Scientific Study of Religion (New York: Mac Milon Pub, 1970), 20.62 Dalam Daniel L. Pall, Seven Theories of Religion (New York: Oxford University Press, 1996), 24.63 Frederick M. Denny, “Islamic Ritual”, dalam Richard C. Martin, Approaches to Islam in Religious Studies (USA: Arizona State University, 1985), 64.64 Ibid.65 Ibid., 69.66 Jaih Mubarak, Metodologi Studi Islam, 27.67 Ibid., 28.
keperluan masyarakat. Rasa meliputi jiwa manusia, mewujudkan segala kaidah-kaidah
dan nilai-nilai sosial yang perlu untuk mengatur masalah-masalah kemasyarakatan
dalam arti yang luas. Agama, ideologi, kebatinan dan kesenian yang merupakan hasil
ekpresi jiwa manusia yang hidup sebagai anggota masyarakat termasuk di dalamnya.
Cipta merupakan kemampuan mental, kemampuan berpikir orang-orang yang hidup
bermasyarakat yang antara lain menghasilkan filsafat serta ilmu pengetahuan. Cipta bisa
berbentuk teori murni dan bisa jug atelah disusun sehingga dapat langsung diamalkan
oleh masyarakat. Rasa dan cipta bisa juga dinamakan kebudayaan spiritual. Semua
karya, rasa, cipta dikuasai oleh karsa orang-orang yang menentukan kegunaannya agar
sesuai dengan kepentingan sebagian besar atau seluruh masyarakat.68
Dari uraian tentang kebudayaan di atas, muncul kemudian pertanyaan, apakah
Islam itu bagian dari hasil karya, karsa dan cita-cita manusia? Menurut Nurcholish
Madjid, agama dan budaya adalah dua bidang yang dapat dibedakan tetapi tidak dapat
dipisahkan. Agama bernilai mutlak, tidak berubah karena perubahan waktu dan tempat,
sedangkan budaya, sekalipun berdasarkan agama, dapat berubah dari waktu ke waktu
dan dari tempat ke tempat. Sebagian besar, budaya didasarkan pada agama, bukan
sebaliknya. Oleh karena itu, agama adalah primer dan budaya adalah sekunder.69
Bangsa Arab sebelum Islam, dikenal sebagai bangsa yang sudah memiliki
kemajuan ekonomi. Letak geografisnya yang strategis membuat Islam yang diturunkan
di Arab mudah tersebar ke berbagai wilayah. Menurut Nurcholish Madjid, ciri-ciri
utama tatanan Arab pra-Islam adalah sebagai berikut: (a) mereka menganut paham
kesukuan (qabîlah); (b) memiliki tata sosial politik yang tertutup dengan partisipaasi
warga yang terbatas, faktor keturunan lebih penting daripada kemampuan; (c) mengenal
hierarki sosial yang kuat; dan (d) kedudukan perempuan cenderung direndahkan.70
Sumber hukum yang dijadikan pegangan adalah adat-istiadat. Dalam bidang
mu’amalah, mereka membolehkan transaksi barter (mubâdalah), jual beli dengan cara
spekulatif, dan riba. Dalam hukum berkeluarga, mereka membolehkan poligami dengan
jumlah tanpa batas, serta anak kecil dan perempuan tidak dapat menerima harta pusaka
atau harta peninggalan. Kecenderungan untuk merendahkan martabat wanita, yaitu
perempuan dapat diwariskan, ibu tiri harus rela menjadi istri anak tirinya ketika
suaminya meninggal, dan ibu tiri tidak mempunyai hak pilih, perempuan tidak
memperoleh hak waris.71
68 Soerjono Soekanto, dalam Jaih Mubarak, Metodologi Studi Islam, 29. 69 Ibid., 34.70 Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban (Jakarta: Paramadina, 1995), 28.71 Nurcholish Madjid, dalam Jaih Mubarak, Metodologi Studi Islam, 40.
Maka Islam yang turun kemudian, memberikan pembenahan-pembenahan
terhadap tatanan bangsa Arab tersebut, di antaranya dalam hukum poligami, yaitu
dibatasinya jumlah istri pada pernikahan poligini menjadi empat orang dan diharamkan
poliandri. Kedudukan wanita menjadi terhormat dan mendapatkan hak warisnya. Maka
Pendekatan Antropologis (Anthropological Approaches) sangat membantu dalam
memahami beberapa hal yang dilakukan oleh umat Islam di belahan bumi ini.
Antropologi adalah kajian yang berfokus pada manusia. Kajian ini membantu
memahami diri sendiri melalui pengamatan terhadap budaya orang lain.72 Pendekatan
antropologis dalam memahami agama dapat diartikan sebagai salah satu upaya
memahami agama dengan cara melihat wujud praktik keagamaan yang tumbuh dan
berkembang di masyarakat. Melalui pendekatan ini agama tampak akrab dan dekat
dengan masalah-masalah yang dihadapi manusia dan berupaya menjelaskan dan
memberikan jawabannya. Salah satu contoh dari pendekatan antropologis dalam kajian
Islam adalah yang dilakukan oleh Clifford Geertz dalam karyanya The Religion of Java.
Geertz melihat adanya klasifikasi sosial dalam masyarakat muslim di Jawa, antara
santri, priyayi dan abangan. Dengan pendekatan antropologis dilihat hubungan Islam
dengan berbagai masalah kehidupan manusia, dengan itu pula agama terlihat akrab dan
fungsional dengan berbagai fenomena kehidupan manusia.73
Selain pendekatan antropologis, pendekatan kebudayaan (Cultural Approaches)
juga bisa dijadikan alat bantu dalam memahami fenomena keagamaan umat Islam.
Kebudayaan adalah hasil daya cipta manusia dengan menggunakan dan mengerahkan
segenap potensi batin yang dimilikinya. Dalam kebudayaan tersebut terdapat
pengetahuan, keyakinan, seni, moral, adat-istiadat dan sebagainya.
Kebudayaan dapat digunakan dalam memahami Islam yang terdapat pada dataran
empiriknya atau agama yang tampil dalam bentuk formal dan menggejala di
masyarakat. Pengalaman agama yang terdapat di masyarakat tersebut diproses oleh
penganutnya dari wahyu melalui penalaran. Sebagai contoh adalah penggunaan jilbab
sebagai pakaian Islami. Itu bisa dipahami dengan melalui pemahaman tentang adanya
perbedaan budaya Arab dan Asia, sehingga model atau bentuk jilbab yang dipakai
berbeda. Pemahaman semacam ini perlu dimunculkan karena yang membentuk
pemikiran seseorang bukan sekedar teks tetapi dialektika manusia dengan realitas di
satu pihak dan dialognya dengan teks di pihak lain. Dengan demikian, studi keagamaan
72 Akbar S. Ahmed, Toward Islamic Anthropology (USA: New Era Publications, 1986), 13.73 Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), 38.
tidak cukup hanya tertuju pada studi teks malainkan juga pada kajian tradisi sehingga
harus melibatkan metodologi ilmu-ilmu sosial.74
Dalam memahami Islam, harus dibedakan antara Arabisme dan Islamisme. Jeffrey
Lang dalam Struggling to Surrender dan Even Angels Ask: A Journey to Islam in
America, mengatakan bahwa ia pernah pergi dan tinggal di Saudi Arabia untuk
mengenal lebih dekat komunitas muslim yang hidup di dekat Baitullah, tempat Islam
dilahirkan. Tetapi akhirnya ia kembali ke Amerika karena menyadari bahwa pemikiran
Islam yang tumbuh di Amerika lebih cocok dan menantang baginya daripada paham
Islam yang tumbuh di Saudi Arabia yang lebih ditunjukkan ke masa lampau. Di Arab
Saudi, menurut Lang, Islam berhenti sebagai kekuatan untuk perkembangan
keprihatinan dan membuat imannya segera kehilangan daya hidupnya. Dalam kasus ini,
Lang yang berencana untuk menanggalkan statusnya sebagai orang Amerika untuk
menjadi muslim telah gagal dan pada akhirnya ia semakin yakin dengan prinsip no
escape from being an American. Itu artinya, untuk menjadi Islam tidak berarti harus
meninggalkan semua latar belakang budaya seseorang. Islam tidak pernah datang pada
suatu vakum kultural. Sikap kritis Lang tersebut jika dilacak sumbernya dari al-Qur’an
maka akan mendapatkan pembenaran. Al-Qur’an menyatakan bahwa Malaikat yang
kerjanya hanya bertahmid dan bertasbih pada Allah ternyata bisa dan boleh melakukan
protes dalam bentuk pertanyaan ketika Allah hendak mengangkat Adam sebagai
khalifah. Jadi, benar apa yang dilakukan oleh Lang bahwa untuk memahami pesan
Islam seseorang harus selalu bersikap kritis, terlebih jika Islam hendak didakwahkan
pada masyarakat.
Demikianlah, untuk mengaktualkan pesan wahyu dibutuhkan respon kritis dan
hati yang tulus dari manusia di bumi untuk menciptakan bayang-bayang surga dalam
sejarah. Mengingat penduduk bumi demikian beragam dan itu merupakan desain Allah,
maka ditemukan Islam Arab, Islam Iran, Islam India, Islam China, Islam Indonesia,
Islam Amerika dan komunitas Islam lainnya. Maka masyarakat muslim tidak bisa
menjadi religius dalam cara yang sama seperti para pendahulunya di dunia pramodern
yang konservatif. Betapapun kerasnya mereka berusaha menerima dan melaksanakan
warisan tradisi agama pada masa keemasannya, mereka memiliki kecenderungan alami
untuk melihat kebenaran secara faktual, histores dan empiris. Baik konservatisme dan
modernisme bukanlah pilihan yang tepat. Kedunya produk historis yang perlu dikaji
ulang validitasnya. Kulitnya boleh sama, tetapi bagian dalamnya telah berubah.
74 Komaruddin Hidayat,Wahyu di Langit Wahyu di Bumi (Jakarta: Paramadina, 2003), 4.
Dalam masyarakat Islam yang tradisional, perkataan kiai, tokoh agama, begitu
berpengaruh, karena dianggap sebagai manifestasi dari hukum sosial. Maka ada
perbedaan antara hukum di dunia Islam dan di dunia Barat yang terbiasa dengan
kehidupan modern. Hukum yang muncul di Barat adalah hasil dari pengalaman hidup
mereka, sementara hukum yang muncul di dunia Islam adalah hasil dari wahyu,
sehingga kesadaran (self discipline) orang Barat lebih tinggi daripada kesadaran orang
Islam, karena orang Islam terbiasa diperintah. Maka untuk menjadi masyarakat taat
hukum, harus dimulai dari kesadaran diri sendiri.
Studi Ritual Islam
Frederick M. Denny
Frederick, yang tulisannya akan dibahas dalam makalah ini, mengatakan bahwa
ritual Islam adalah ekspresi dari doktrin Islam,75 di mana keduanya saling menguatkan,
dalam proses penemuan dan disiplin agama yang menyatu. Tauhid, menurut Frederick,
bukan sekedar proposisi teologis, tetapi juga realisasi manusia dalam mengesakan
Tuhan dengan ketaatan dan ketundukan total.76 Empat rukun Islam, menjadi kategori
utama ritual Islam, di samping beberapa peristiwa penting lainnya, seperti ‘Idul Fithri,
‘Idul Qurban, Puasa Ramadlan, Shalat Gerhana, dan lain sebagainya.77
Menurut Frederick, fungsi aktivitas ritual dalam Islam itu sangat besar, sehingga
Bosquet, dalam Encyclopedia of Islam, menyatakan bahwa Islam bukan sekedar ibadah,
tetapi juga merupakan hukum, bahkan atas alasan itu, Bosquet menerjemahkan ibadah
dengan kultus.78 Untuk memperkuat bukti tentang besarnya fungsi aktivitas ritual itu, di
sini Frederick kemudian memunculkan tulisan orang lain, yaitu Wilfred Cantwell
Smith, dalam bukunya Islam in Modern History, yang menterjemahkan kata Sunni
bukan dengan ortodoks, tetapi ortopraksis.79
Dari itu, menurut Frederick, Kitab-kitab Fikih selalu dimulai dengan penjelasan
tentang kewajiban-kewajiban ritual, dengan memperhatikan empat rukun; shalat, puasa,
zakat dan haji. Rukun Islam pertama, syahadat, tidak biasa untuk dibahas, tetapi taken
for granted.80 Artinya, ritual Islam, dalam pandangan Frederick, sangat memainkan
75 Frederick M. Denny, “Islamic Ritual”, dalam Richard C. Martin, Approaches to Islam in Religious Studies (USA: Arizona State University, 1985), 64.76 Ibid.77 Ibid., 69.78 Ibid.79 Wilfred Cantwell Smith, “Islam in Modern History”, dalam Richard C. Martin, Approaches, 218 (footnote).80 Ibid., 64.
peran yang sangat penting bagi pemeluknya, karena tujuan dari praktik ritual dalam
Islam itu adalah ibadah, bukan keyakinan terhadap mitos, sebagaimana yang tejadi di
dalam agama-agama lain. Shalat lima waktu memberikan kesaksian atas dominannya
ritual dalam kehidupan sehari-hari, dengan memanggilnya dari pekerjaan duniawi untuk
mengingat sesuatu yang ultim.
Menurut Frederick, teks-teks resmi tentang praktik ritual dalam Islam, seperti haji
sangat mudah didapat, namun tulisan-tulisan itu tidak ditulis dari hasil rihlah, hanya
kitabah dari teks-teks yang tersedia.81 Sebagai contoh adalah pembahasan tentang haji.
Menurut Roff, walaupun berjuta-juta kaum Muslimin telah berkunjung ke Makkah dan
menunaikan ibadah haji sejak abad ke-1 H/ ke-7 M, tidak ada metodologi yang adekuat
yang telah dirumuskan untuk menganalisis urgensi dan maknanya bagi Islam historis.82
Maka penelitian yang dilakukan oleh Denny dan Roff tentang praktik ritual dalam
Islam, sangat penting sekali bagi kita untuk dikaji karena akan membantu kita di dalam
memahami praktik-praktik ritual dalam Islam. Sebagaimana telah diungkapkan dalam
latar belakang, bahwa praktik ritual sangat memiliki makna yang berarti bagi kehidupan
masyarakat Muslim.
Begitu pentingnya studi tentang praktik ritual dalam Islam, sehingga Frederick M.
Denny, dalam tulisannya tentang Islamic Ritual, mengkritisi pengabaian studi sistematik
tentang ritual Islam dalam studi Islam tradisional, padahal Islam memperlihatkan
tekanan yang besar pada aktivitas ritual.83
Selama ini kajian tentang ritual, seperti haji, banyak bersumber dari teks-teks
resmi yang sangat mudah didapat, namun tulisan-tulisan itu tidak ditulis dari hasil
rihlah, hanya kitabah dari teks-teks yang tersedia.84 Maka rihlah yang dilakukan oleh
peneliti dalam rangka menjelaskan kontekstual dari praktik-praktik ritual dalam Islam
sangat penting dilakukan. Selama ini, kajian tentang ritual, seperti haji lebih ditekankan
pada epifenomena dissemanisasi ideologis dan peningkatan status.
Dalam hal ini bisa disebut nama seorang Islamolog yang paling mempunyai
pretensi politis, yaitu A.J. Wensinck, dalam artikel panjangnya berjudul “hajj”, pada
edisi ke- II The Encyclopedia of Islam, memfokuskan diri pada masalah pengaruh
spiritual haji hanya pada dua atau tiga baris terakhir dari tulisannya, yaitu
pernyataannya yang berbunyi “hanya Tuhan saja yang tahu”.
81 Frederick, dalam Martin, Approaches, 68.82 William R. Roff, “Pilgrimage,” 78.83 Frederick M. Denny, Islamic Ritual, Perspectives dan Theoris, dalam Richard C. Martin, Approaches to Islam In Religious Studies (U.S.A: Arizona State University Press, 1985), 63.84 Ibid.
Ketika Bernard Lewis memberi tambahan dalam konteks yang sama dengan
Wensinck, bahwa haji merupakan agen perantara paling penting bagi mobilitas vertikal,
dan mempunyai akibat-akibat yang besar terhadap seluruh masyarakat, menurut Roff,
tidak menyentuh makna religius haji yang spesifik.85
Richard C. Martin dalam bukunya, Approaches to Islam in Religious Studies,
mengatakan bahwa banyak dari bentuk praktik ritual yang tidak didapatkan dalam
sumber-sumber resmi, tetapi dipraktikkan oleh komunitas Muslim, karena merupakan
aktivitas-aktivitas simbolik yang memiliki signifikansi yang amat besar dalam Islam,
seperti mengunjungi makam-makam wali untuk mendapatkan barakah.86 Praktik seperti
ini (kultus terhadap orang suci dalam Islam), seperti di Mesir, merupakan hal yang biasa
terjadi dalam komunitas Muslim.
Frederick, salah satu tokoh yang pemikirannya akan kita kaji dalam bab ini,
dengan mengutip dari tulisan D. J. Waardenburg, dalam bukunya Official and Popular
Religion as a Problem in Islamic Studies, mengatakan bahwa praktik-praktik itu jika
dibaca dalam karya Ibn Taymiyyah, atau Wahhabiyyah misalnya, sejumlah prilaku yang
dapat diterima oleh beberapa masyarakat Muslim sebagai hal yang diyakini benar tadi,
menyusut secara drastis, karena kebanyakan praktik itu dianggap menyimpang dan
ditambah-tambahkan.87
Meskipun dapat serangan hebat dari Ibn Taymiyyah, Wahhabiyyah, dan yang
lainnya, kunjungan ke makam-makam orang suci tidak pernah dapat dimusnahkan.
Praktik-praktik yang oleh Wahhabiyyah dianggap menyimpang itu masih sering
dilakukan oleh massa Muslim, yang memandangnya sebagai bagian dari Islam. Maka
yang dibutuhkan dalam studi tentang ritual, menurut Frederick, adalah perhatian yang
lebih peka dan jelas terhadap sumber-sumber Islam dan bahasan-bahasan tentang
ritual.88
Frederick melihat bahwa yang sering menjadi masalah, dalam studi tentang ritual
Islam, adalah terjadinya konflik antara pendekatan normatif dan deskriptif dalam analisa
prilaku.89 Artinya, dalam studi tentang ritual Islam terdapat dua sumber, yaitu sumber
teks yang memunculkan Islam resmi/Islam normatif dan sumber konteks yang sering
disebut dengan Islam populer.
85 Ibid.86 Richard C. Martin, Approaches to Islam in Religious Studies, 61.87 Frederick M. Denny, ”Islamic Ritual, Perspectives and Theories,” dalam Richard C. Martin, Approaches to Islam, 64. 88 Ibid., 65.89 kesulitan ini dipaparkan oleh J. D. J. Waardenburg dalam tulisannya yang berjudul Official and Populer Religion as a Problem in Islamic Studies. Ibid., 218.
Di sini Frederick menjadikan karya Clifford Geertz, Islam Observed, yang
membedakan antara Islam orang Indonesia dan Maroko, sebagai salah satu karya yang
menggambarkan konflik antara Islam resmi (Islam normatif) dan Islam populer.90
Frederick menyebutkan ada satu pendekatan dalam studi tentang ritual Islam, yaitu yang
memusatkan pada deontologi, sebuah pemahaman tentang syari’ah sebagai ilmu tentang
kewajiban. Pembahasan dalam kerangka pendekatan deontologi ini adalah tentang
perilaku ritual yang ideal, sebagaimana dijumpai dalam sumber-sumber asli. Sementara
ada pendekatan lain, yang dilakukan oleh para orientalis dalam kajian mereka, yaitu
dengan banyak memperhatikan sumber sejarah.91 Maka apa yang dibutuhkan sekarang,
menurut Frederick, adalah perhatian yang lebih peka dan jelas terhadap sumber-sumber
Islam dan bahasan-bahasan tentang ritual.
Smith mengatakan, ketika pergumulannya adalah antara tradisi akademis Barat
dan suatu agama tertentu, maka pernyataan-pernyataan yang dikemukakan harus
memuaskan masing-masing kedua tradisi ini, dan mentransendensikan keduanya dengan
cara memuaskan keduanya.92 Jaeques Waar Denburg mencatat tentang peran dan fungsi
sosial yang dipenuhi oleh gagasan-gagasan dan praktik-praktik keislaman di luar makna
religius khusus yang diberikan kepada pemeluk agama Islam itu sendiri.93
Menurut Roff, fenomena yang terjadi di masyarakat muslim itu, membutuhkan
alat-alat analisis seorang sejarawan, yang dapat menangkap apa yang ada dibalik
sesuatu dari sistem-sistem keagamaan itu. Caranya, menurut Roff, dengan
menggambarkan sesuatu dari praktik-praktik yang diteliti dan gagasan-gagasan para
pemeluk agama, dari suatu proses sosial yang terstruktural, dan mendapat pengakuan
dari pemeluk-pemeluknya.94
Menurut Roff, hal itu dilakukan untuk membuat temuan-temuan analitis tentang
bagaimana makna dan penampakan keagamaan seperti yang dipahami dan dipraktikkan
para pemeluknya, menginformasikan secara spesifik fungsi sosial dari gagasan-gagasan
dan praktik-praktik yang diteliti.95
Maka dari adanya dua pendekatan di atas, Frederick mengusulkan adanya disiplin
di mana para fuqaha dan Islamisis saling berbagi pandangan, jika mereka ingin
menganalisis dan menafsirkan ritual Islam, dengan cara yang membawa makna dalam
konteks Islam yang sebenarnya (memahami dan menghargai sifat keyakinan yang khas
90 Ibid., 65.91 Ibid.92 Wilfred Cantwell Smith, History of Religions, Ibid., 220.93 Jacques Waardenburg, The Academic Study of Islam, Ibid., 221.94 William R. Roff, “Pilgrimage and the History of Religions”, dalam Richard C. Martin, Approaches to Islam, 78-79.95 Roff dalam Martin, Approaches, 79.
yang menjadikan ritual itu bermakna bagi Muslim).96 Salah satu studi tentang ritual
Islam yang sangat berpengaruh dalam kebangkitan studi-studi ritual adalah etnografi
Clifford Geertz dan Victor Turner, yang kajiannya didasarkan pada antropologi kultural
yang bersifat simbolis, Levi-Strauss.97
Praktik Ritual Islam
William R. Roff
Di dalam beberapa praktik ritual dalam Islam, yaitu empat dari lima rukun,
mempunyai rujukan komunal dan dibuat untuk mengekspresikan dan menyalurkan
kekuatan rukun pertama, syahadah, yang secara implisit mengandung gambaran iman
Muslim yang sempurna, dengan mana menyatakan keyakinan pada Tuhan, Malaikat,
Nabi dan Kitab Suci, Hari Akhir dan Takdir. Dua dari lima rukun itu, ada yang
mempunyai rujukan tempat yang kuat, yaitu Shalat dan Haji, yang dipusatkan pada
Ka’bah di Mekkah, dan tiga rukun ada yang mempunyai mempunyai rujukan waktu,
yaitu shalat, puasa dan haji. Jadi, menurut Frederick, dari beberapa rukun itu, dalam
Islam terdapat serangkaian ritual yang berkaitan dengan ruang dan waktu suci.98
Ruang dan waktu dalam ritual Islam adalah kategori universal. Maka perlu adanya
perhatian pada dimensi dan orientasi ruang dan waktu dalam Islam, untuk tujuan
pemahaman yang lebih baik tentang simbolisme Islam, sebagaimana dipahami dari
dalam. Gagasan tentang ruang dan waktu dalam ritual Islam inilah yang kurang banyak
digali oleh para peneliti.
Theodore Gaster dalam Thespis; Ritual, Myth and Drama in the Ancient Near
East menjelaskan sebuah fenomena ini, yang ia sebut dengan Topocosme, suatu
hubungan antar individu yang kompleks dengan kosmologi yang menyeluruh. Menurut
Theodore, ritual dibagi menjadi dua kategori, ritus kenosis (pengosongan), dan ritus
plerosis (pengisian). Yang pertama menggambarkan dan menyimbolkan pudarnya
kehidupan dan vitalitas pada akhir setiap kesempatan. Yang ke dua menggambarkan dan
menyimbolkan revitalisasi yang terjadi pada permulaan kesempatan baru. Yang masuk
dalam kategori pertama ini, menurut Frederick adalah peringatan 10 Muharram dalam
tradisi Syi’ah, dengan pengunduran diri dan ta’ziyah. Puasa Ramadlan juga termasuk
dalam kategori ini. Sementara untuk kategori plerotik adalah menyembelih Kurban.
Dalam kenosis dan plerosis, rukun-rukun ritusnya harus diperhatikan. Menurut
96 Ibid.97 Ibid.98 Ibid.
Frederick hal ini berbeda dengan Islam populer yang lebih ditandai oleh ciri-ciri leluhur
tertentu.
Dalam Islam juga dikenal adanya pemisahan, yang tidak sekedar didasarkan ruang
dan waktu, tetapi pada kesucian dan keharaman, yaitu dikenalnya barang haram dan
halal. Yang haram juga dibagi menjadi dua, antara haram secara hakiki, dan haram
karena sebab lain. Istilah halal dan haram adalah istilah hukum, dan jika diperhatikan,
tidak terlihat perbedaan tajam antara keduanya, karena terdapat perubahan sedikit demi
sedikit dari satu ke yang lain, seperti jaiz dan mubah, fardu dan wajib.
Ada hal yang sangat memiliki makna ritual bagi Muslim dan merupakan salah
satu indikator terpenting dalam prinsip bipolaritas dalam Islam, yaitu menjauhi polusi.
Sebagai contoh, al Qur’an banyak menyebutkan hal-hal yang berlawanan seperti, ashâb
al yamîn (kanan), sebagai lambang kesucian dan ashâb al yasâr (kiri), sebagai lambang
polusi. Artinya, kebahagiaan dan kesejahteraan berasal dari kanan, sementara efek-efek
yang buruk dari kiri. Maka orang masuk masjid dengan kaki kanan, ketika keluar
dengan kaki kiri. Tangan kanan untuk makan dan menyentuh barang suci lainnya,
sementara tangan kiri untuk tugas-tugas kotor.99
Di sini bisa dinyatakan bahwa dalam praktik-praktik keagamaan yang dilakukan
oleh umat Islam masih ada unsur mitos di dalamnya. Maka Frederick menyatakan
bahwa tradisi ritual dalam Islam tidak berbeda dengan ritual-ritual dalam agama lain,
bahkan memiliki kesamaan 100 % dengan ajaran Yahudi.100
Frederick menyebutkan bahwa praktik ritual, bagi partisipan, adalah upaya
menghidupkan kembali kebenaran terdalam. Dengan mengutip ungkapan Santayana,101
Frederick menyatakan bahwa setiap agama yang hidup dan sehat mempunyai
keistimewaan khas, kekuatannya terdapat dalam pesannya yang khusus dan istimewa,
dan dalam bias di mana wahyu memberikan kehidupan. Pandangannya yang terbuka
dan misterinya yang jelas merupakan dunia lain bagi kehidupan, dan dunia lain untuk
kehidupan itulah apa yang kita maksudkan dengan memiliki agama.102
Di sini Frederick menyimpulkan bahwa memiliki agama bukan dimaksudkan
sebagai memahami agama, dan memahami agama tidak sama dengan mempercayainya.
Memeluk agama, menemukan dunia lain untuk hidup pada dirinya sendiri, bukanlah
pekerjaan ilmiah, karena disiplin agama bukan untuk hidup (memiliki agama), tapi
merupakan produk yang sangat beragam dari dunia yang sangat luas.103
99 Ibid. 100 Ibid., 72.101 Karya George Santayana berjudul Reason in Religion.. 102 Roff dalam Martin, Approaches., 66.103 Ibid.
Memiliki adalah salah satu bias dari rasa ingin tahu tentang masyarakat dan
pandangan dunia orang lain. Maka Frederick menyatakan bahwa menangkap esensi
tidak menghendaki sesuatu yang drastis seperti konversi, tetapi ia menuntut simpati dan
respek, sekaligus keterbukaan pada sumber-sumber, manusia, teks, yang bermakna bagi
penganutnya. Artinya, dalam banyak hal seseorang tidak perlu masuk Islam hanya
untuk tujuan otentisitas ilmiah.104
Berkaitan dengan hal ini, Frederick mengutip pendapat Fazlur Rahman yang
menjelaskan bahwa menjadi Muslim tidak dengan sendirinya menjamin eksplikasi dan
interperetasi seseorang tentang Islam akan menjadi jelas dan seimbang. Melihat diri
sendiri, tradisi sendiri dari dalam, sama sulitnya dengan upaya memahami dari luar.
Studi ilmiah terhadap tradisi agama bagi orang yang bukan penganutnya merupakan
proyek terbatas. Sejarah agama bukan teologi, bukan pula humanisme baru, ia sangat
sederhana.105
Studi ritual Islam bukan perkara misteri. Mengamati apa yang terjadi dalam
berbagai aktivitas ritual dalam Islam, baik yang resmi maupun yang populer sangat
sulit. Frederick mengusulkan untuk menganggap Islam sebagai realitas yang dapat
dipahami.106 Maka Frederick menyatakan perlunya menguji teks dan konteks, karena
dari divergensi antara keduanya akan mendorong para sarjana untuk membuat
keputusan pasti tentang interpretasi yang sangat beragam.107
Kajian tentang ritual Islam dari sudut teks dan konteks, menurut Frederick, telah
dilakukan oleh Snouck Hurgronje, yang membahas tentang haji, sebelum ia menetap di
Makkah. Kajiannya, menurut Frederick, merupakan contoh karya orientalis yang secara
tradisional didasarkan pada teks dan menggambarkannya dalam latar akademik. Maka
kajian Hurgronje tentang haji yang dilakukannya melalui rihlah, menurut Frederick,
membuatnya mungkin untuk menyediakan penjelasan kontekstual tentang Mekkah dan
penduduknya, sebuah Islam yang diamati pada masa awal.108
Haji adalah praktik ritual yang dilaksanakan pada saat yang suci dan di tempat
yang suci pula. Maka kerangka teori yang dimunculkan oleh Frederick dan Roff dalam
studi tentang praktik ritual dalam Islam, adalah teori liminalitasnya Victor Turner yang
diungkap dalam bukunya The Ritual Process, tentang pelaksanaan haji. Teori liminalitas
tadi memiliki potensi untuk mengkombinasikan ruang dan waktu,109 yang merupakan
104 Ibid., 66-67.105 Ibid., 67. Atau tulisan Fazlur Rahman tentang “Approaches to Islam in Religious Studies”, dalam Richard C. Martin, Approaches to Islam, 191-192.106 Roff dalam Martin, Approaches., 66-67.107 Ibid., 68. 108 Ibid.109 Ibid., 72.
rujukan terpenting dari praktik ritual dalam Islam, sebagaimana telah dijelaskan di atas.
Menurut Victor Sholat juga demikian, karena harus menghadap kiblat dan dalam waktu
tertentu.110
Studi tentang ritual Islam yang tidak kalah penting, menurut Frederick dan
dielaborasi oleh Roff, adalah model Arnold van Gennep, dalam karyanya The Rites of
Passage, yang membahas ritus-ritus peralihan, dengan fase-fase pemisahan (sparation),
transisi (transition), dan bergabung dalam status baru (incorporation in a new status).
Alasannya adalah karena Islam mengenal perubahan status yang diritualkan, dan ini
penting untuk dijelaskan oleh para sarjana, seperti aqiqah, khitan, perkawinan, pubertas
laki-laki. Yakni, ritus-ritus itu melengkapi kebutuhan individu dan biasanya secara
eksplisit menyajikan ikatan-ikatan sosial secara keseluruhan sekalipun bisa saja hal itu
terjadi secara implisit.111
Serangkaian ritus keagamaan, menurutnya, dapat direduksi dalam satu pengertian
menjadi tiga tahap:
1. Pra pelaksanaan (pre-liminal), atau pemisahan (sparation).
2. Pelaksanaan (liminal), transisi (transition).
3. Pasca pelaksanaan (post-liminal), kebersamaan (aggregation).
Rites de Passage versi Arnold van Gennep merupakan kerangka analisis untuk
menuliskan pandangannya tentang serangkainan ritus-ritus keagamaan, bertitik tolak
dari yang profan, melewati ambang pintu dari yang suci.112
Selametan yang dihadiri oleh famili di rumah sang calon haji merupakan simbol
kesatuan mistikal dan sosial. Menurut Gandefroy-Demombynes apa yang sesungguhnya
disebut rites de passage adalah rangkaian ritus-ritus keagamaan yang secara bersama-
sama membentuk langkah pertama (pra-pelaksanaan/pre-liminal) seorang awam dalam
keberadaan yang semakin dekat dengan kehidupan beragama.113 Struktur haji, dalam
terma-terma rites de passage: masa persiapan (mawsim al hajj), persiapan perbekalan
dan teknis, terlihat adanya relevansi simbolik perjalanan teritorial.
Ketika Victor Turner, dalam analisisnya tentang proses pelaksanaan haji,
membicarakan hakikat dan watak tahap persiapan, di mana seorang calon haji berusaha
untuk keluar dari lingkungan strukturalnya di rumah, menunjukkan penegasian
(pemisahan/sparation) terhadap banyak gambaran afirmasi terhadap tatanan lain dari
110 Victor Turner, The Ritual Process. Ibid.111 Arnold van Gennep, The Rites of Passage. Ibid., 75, 80.112 Roff dalam Martin, Approaches., 80-81.113 Ibid., 82.
sesuatu dan hubungan-hubungan baru. Struktur sosial ini tidak dihilangkan, tapi secara
radikal disederhanakan. Hubungan-hubungan yang bersifat umum ditekankan. 114
Pemisahan yang total dari ikatan-ikatan sosial pada saat sang haji memakai ihram,
menjadi bukti dari apa yang oleh van Gennep, Turner, dilihat sebagai permulaan tahap
pelaksanaan (liminal) atau transisi dalam seluruh proses ibadah haji, di mana para
jamaah haji telah tampil dalam wujudnya yang berubah, sebagai bayi yang baru lahir
dari rahim ibunya. Puncak ibadah haji ditambah oleh serangkaian peribadatan yang
sentral, esensial dan dilakukan secara bersama-sama, tawaf, sa’i, wukuf dan jumrah.115
Keseluruhan periode inilah yang dicirikan oleh liminalitas dilihat dari struktur
sosial dan dengan alamiah, oleh Turner, disebut sebagai anti-struktur sosial, atau suatu
keterikatan yang muncul secara spontan dan dibangun secara normatif di antara
makhluk manusia yang sejajar dan seimbang, bersifat total dan terindividualkan, lepas
dari atribut-atribut struktural. Pengalaman komunitas ini jelas nampak dalam
pelaksanaan haji. Kandungan ritual dan simboliknya membutuhkan analisis yang paling
mendalam di dalam terma-terma rites de passage.116
Martin dalam studinya tentang haji melihat tawaf dan mencium atau menyentuh
hajar aswad sebagai ibadah puncak dari perjalanan haji. Lebih umum, sajian deskriptif
tentang haji seperti yang dilakukan oleh para jama’ah secara jelas memperlihatkan
kekuatan emosional dan tenggelamnya mereka dalam suatu kesatuan antara seluruh
kaum dan dari seluruh dunia, dari seluruh jenis warna kulit dan kondisi. Bahwa Makkah
didatangi jama’ah haji yang secara bertalu-talu menyuarakan talbiyah, itu sendiri dilihat
dari sudut ruang dan waktu bersifat liminal dan terlepas dari keterikatan massa.117
Dalam tindakan-tindakan yang kaya akan makna simbolik yang menyertainya, di
tengah-tengah sekian artefak keagamaan, para jama’ah haji berusaha untuk menemukan
dalam transendensi keduniawian dan temporal beberapa perubahan dalam dirinya, dari
dosa ke rahmat, suatu suasana yang pada saatnya akan membawa perubahan dalam
dirinya.
Maka dalam perjalanan haji yang melelahkan, kaum Muslimin tidak
memandangnya sebagai kerja yang melelahkan. Mereka melakukannya seakan-akan
merupakan cara untuk menebus dosa atau untuk memperbesar kebajikan mereka.
Perjalanan haji ini menjadi gambaran utama bahwa perjalanan itu merupakan kepergian
dan keterpisahan secara sesungguhnya yang pertama, tidak saja dari masa lampau yang
114 Ibid., 83.115 Ibid.116 Ibid.117 Ibid.
disesalkan tetapi juga dari struktur-struktur dan peran-peran sosial yang dijalani sehari-
hari.
Malcom X, seorang Muslim Amerika, setelah menunaikan haji, ia menulis bahwa,
dalam haji, kita telah dipaksa untuk menyusun kembali banyak pola pikir yang lama dan
untuk membuang pandangan-pandangan yang kuno. Dalam penampilan lahiriahnya,
banyak jama’ah haji yang merubah, sejak kepulangan mereka dari tanah suci. Memakai
pakaian Arab, merubah nama, mendapat status baru dan dipanggil haji. Mereka juga
merubah persepsinya tentang Islam dan kaum Muslimin, imperatif-imperatif dan
kekuatan-kekuatannya. Dengan demikian, ia kini menjadi milik komunitas Muslim yang
luas. Dan menjelaskan kepada masyarakat desanya bahwa untuk tujuan itulah ia
kembali.118 Proses inilah yang disebut dengan post-liminal/aggregation.
Ketiga tahapan ini menunjukkan bahwa haji dalam berbagai tradisi keagamaan
dapat dipandang sejalan dengan pola ini. Tidak hanya haji saja, di mana secara eksplisit
kawasan sakral, Makkah, merupakan pusat dunia, tapi intensitas kesakralan tempat ini
dinyatakan kembali lima kali sehari ketika kaum Muslimin melaksanakan shalat.
Dan beberapa Hadith menjelaskan bahwa haji yang sukses mengandung suatu
perubahan. Perubahan dari apa ke apa? van Gennep melihat rites de passage sebagai
perubahan yang efektif, searang individu dari posisi terntentu sebelumnya ke posisi
yang lainnya. Turner dengan memanfaatkan konsep status dan peran yang lebih luas dan
proses ritual keagamaan, melihat perubahan itu terjadi dari satu keadaan ke yang
lainnya.119
Di sini, menurut Roff, terdapat suatu pengertian di mana model perjalanan ritual
rites de passage van Gennep sedikit lebih mempunyai makna ketimbang mengelaborasi
haji hanya sebagai sumber dari pencapaian status yang kemampuan paling tinggi hanya
dapat mengemukakan tinjauan parsial dan eksternal terhadap fenomena haji dan
menyepelekan makna religiusnya yang khusus.120
Aliran-aliran Pemikiran dalam Islam
Tradisionalis-konservatif, Radikal-Puritan, Reformis-Modernis, Revivalis-
Fundamentalis, Sekularis-Liberal
Menurut teori Ibnu Khaldun, di dalam kehidupan ini ada dua bentuk komunitas
yang saling berlawanan; yaitu, komunitas pedesaan dan komunitas perkotaan.
118 Ibid., 85.119 Ibid., 86.120 Ibid.
Masyarakat pedesaan identik dengan masyarakat yang penuh dengan keterbelakangan,
kebodohan, dan kemiskinan, sementara masyarakat perkotaan identik dengan
kemajuan.121
Dalam masyarakat pedesaan, tokoh masyarakat, para orang tua, dan sesepuh desa
menduduki status sosial yang tinggi dan superior. Kelompok ini menjadi panutan
masyarakat dan menentukan corak hubungan kehidupan masyarakat desa. Di sisi lain,
kelompok yang jumlahnya lebih besar, terdiri atas anggota masyarakat secara
keseluruhan dan kalangan muda, menduduki posisi status sosial lebih rendah atau
subordinat.122
Dalam hal memahami ajaran Agama (Islam), dua komunitas (perkotaan dan
pedesaan) di atas ternyata juga memiliki perbedaan (kalau tidak kontradiktif).
Masyarakat desa bersifat tradisional, sementara masyarakat kota lebih modern.123 Peran
tokoh agama di masyarakat desa tidak hanya sebagai ahli ilmu keagamaan, melainkan
juga menjadi pemimpin masyarakat yang seringkali dimintai pertimbangan dalam
menjaga stabilitas keamanan desa.124 Oleh karena itu para pemimpin formal yang terdiri
dari Kepala Desa dan Pamong Desa, hampir semua merupakan kepanjangan dari
peranan kiai atau ulama’. Mereka menduduki posisi yang sekarang ini tidak lepas dari
pengaruh kiai desa tersebut.
Di masyarakat muslim pedesaan, kiai atau tokoh Agama dijadikan imam dalam
bidang ubudiyah, upacara keagamaan dan sering diminta kehadirannya untuk
menyelesaikan kesulitan-kesuitan yang menimpa masyarakat. Peran mereka semakin
kuat di dalam masyarakat ketika kehadirannya diyakini membawa berkah, misalnya
tidak jarang kiai diminta mengobati orang sakit, memberikan ceramah agama dan
dimintai do’a untuk melariskan barang dagangan mereka.125
Ibnu Khaldun menyatakan bahwa setiap bentuk kota awalnya adalah desa dan
setiap desa di suatu masa akan berubah menjadi kota.126 Artinya, peralihan bentuk
pedesaan menjadi perkotaan masih merupakan salah satu proses perubahan-perubahan
sosial di seluruh dunia. Berarti, kota menjadi pusat perubahan sosial dan modernisasi.127
Hal ini terjadi karena, menurut Stnislaw Wellisz, perpindahan penduduk dari desa ke 121 Ibnu Khaldun membedakan masyarakat pedesaan dan perkotaan dari sisi fasilitas dan peralatan yang dipergunakan di dalam memenuhi segala kebutuhan sehari-hari. Ibnu Khaldun, Muqaddimah (Beirut: Dar Ibn Khaldun, t.t.), 85.122 Karl D. Jackson, Kewibawaan Tradisional, Islam dan Pemberontakan: Kasus Darul Islam Jawa Barat (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1990), 199-219.123 untuk memahami perbedaan kaum tradisionalis dan modernis di Jawa, lihat Cliffert Geertz, Islam Java (124 Arifin Mansur Noor, Islam in an Indonesian World Ulama’ of Madura (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1990), 104-114.125 Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa (Jakarta: Pustaka Jaya, 1983), .126 Ibnu Khaldun, Muqadiimah, 87.
kota (urbanisasi) ditentukan oleh faktor-faktor dorong dan tarik (push and pull factors).
Faktor-faktor pendorong, di antaranya, adalah keinginan untuk mencapai perubahan
ekonomi dan keinginan untuk mengikuti kehidupan kota atau status sosial yang lebih
maju.128 Daniel Lerner pada tahun 1958 menyatakan bahwa urbanisasi merupakan
prakondisi untuk modernisasi dan pembangunan atau kemajuan.129
Modernisasi berimplikasi pada munculnya industrialisasi, dan ketika terjadi
proses industrialisasi, terjadilah urbanisasi dalam masyarakat tersebut. Menurut teori
Boeke, ketika budaya-budaya impor yang unsur-unsurnya lebih maju, berwatak
kapitalis, berhadapan dengan budaya lokal yang berwatak tradisional, bersifat komunal,
terjadi pergulatan antara budaya luar dengan budaya lokal. Pertarungan kedua budaya
tersebut tidak selalu berakhir dengan model antagonistik, tetapi unsur yang tersisih
akhirnya tidak berfungsi dan diganti unsur baru yang kemungkinan besar dimenangkan
oleh unsur impor. Unsur lokal berangsur-angsur menurun dan tidak lagi diminati oleh
masyarakat tradisional130 dan secara radikal akan merubah tatanan hubungan tradisional
antara masyarakat, pemerintah dan agama.
Dari proses modernisasi itu terjadi sekularisasi dan melunturkan tradisi
keagamaan131 dan dunia Islam merasa diganggu oleh proses modernisasi.132 Dalam
merespon arus modernisasi, umat Islam tidak memperoleh kesepakatan. Ada yang
memandang positif, ada yang memandang negatif. Jika kita pilah antara yang menerima
dan menolak pemikiran modern, umat Islam, dalam menghadapi modernitas, terbagi
menjadi dua; sekularis, dan Islami. Kelompok Islamis terbagi lagi menjadi tiga;
tradisionalis-normatif (ortodoks), fundamentalis/revivalis (neo-normatifis), dan
modernis.133
Kelompok sekularis memandang bahwa urusan Agama harus dipisahkan dari
urusan dunia. Kelompok tradisionalis, ingin berpegang pada ajaran tradisional meskipun
dunia telah berubah. Kelompok fundamentalis juga ingin tetap berpegang pada ajaran
tradisional, menolak modernisasi pemikiran keagamaan, hanya saja ia juga ingin
mereformasi pemahaman keagamaan tradisional yang dipenuhi oleh hal-hal yang
127 D.J. Dwyer, “The City as a Centre of Change in Asia,” dalam Hans-Dieter Evers, Sosisologi Perkotaan (Jakarta: LP3ES, 1986), 7.128 Ibid.129 Daniel Lerner, The Passing of Traditional Society: Modernizing the Middle East (New York: The Press, 1958), 61.130 Sukamto, Kepemimpinan Kyai dalam Pesantren (Jakarta: LP3IS, 1999), 10.131 Andrew Rippin, Muslim (New York: Routledge, 1993), 19.132 Karen Armstrong, Islam: A Short History (London: Phoenix Press, 2001), 133 Andrew Rippin, Muslim, 28.
dianggap bid’ah. Kelompok modernis memandang bahwa modernisasi tidak
bertentangan dengan ajaran Islam.134
Dari cara pandang yang berbeda tersebut, di dunia Islam muncul berbagai macam
bentuk pemikiran ideologis, antara kelompok yang memandang Islam sebagai model
dari sebuah realitas (model of reality) dan kelompok yang memandang Islam sebagai
model untuk sebuah realitas (models for reality).
Yang pertama mengisyaratkan bahwa Agama adalah representasi dari sebuah
realitas, sementara yang kedua mengisyaratkan bahwa Agama merupakan konsep bagi
realitas, seperti aktivitas manusia. Dalam pemahaman yang kedua ini Agama mencakup
teori-teori, dogma atau doktrin bagi sebuah realitas.135
Menurut Roland Robertson ada banyak ragam sikap dari gerakan-gerakan berbasis
Agama dalam menyikapi modernisasi dan sekularisasi. Pertama, mereka yang
menunjukkan sikap skeptis dan protes terhadap perubahan mendasar dalam struktur
kehidupan sosial yang diakibatkan oleh modernisasi dan sekularisasi. Kedua, yang
mengikuti modernisasi tapi menentang sekularisasi. Ketiga, yang melakukan
penyesuaian terhadap lingkungan modern, bahkan secara implisit menjadi agen
penyebar sekularisasi.136
Karen Amstrong menyatakan bahwa kita tidak bisa menjadi religius dalam cara
yang sama seperti para pendahulu kita di dunia pra modern yang konservatif. Betapapun
kerasnya kita berusaha menerima dan melaksanakan warisan tradisi Agama pada masa
keemasannya, kita memiliki kecenderungan alami untuk melihat kebenaran secara
faktual, historis, dan empiris. Sebuah kebenaran Agama tidak cukup hanya diyakini dan
diceramahkan berulang-ulang, tetapi harus dibuktikan secara nyata dan fungsional
dalam kehidupan riil. Baik konservatisme maupun modernisme, lanjutnya, bukanlah
pilihan yang tepat. Keduanya produk historis yang perlu dikaji ulang validitasnya.137
Jika kita teliti lebih cermat, secara global, di kalangan umat Islam terdapat empat
orientasi pemikiran ideologis yang dianggap mewakili kelompok-kelompok yang ada:
tradisionalis-konservatif, reformis-modernis, radikal-puritan, dan sekuler-liberal.
Kelompok tradisionalis-konservatif adalah mereka yang menentang
kecenderungan pembaratan (westernizing) yang terjadi pada beberapa abad yang lalu
atas nama Islam, seperti yang dipahami dan dipraktikkan di kawasan-kawasan tertentu.
Kelompok ini juga ingin mempertahankan beberapa tradisi ritual yang diperaktekkan
134 Ibid., 29.135 Bassam Tibi, Islam and the Cultural Accomodation of Social Change, 8.136 Roland Robertson, Globalization, Politics and Religion: In the Changing Face of Religion, ed. James becford and Thomas Luckman (London: Sage, 1989), 10-23.137 Karen Armstrong, Islam: A Short History.
oleh beberapa ulama’ salaf. Para pendukung orientasi ideologis semacam ini bisa
ditemukan khususnya di kalangan penduduk desa dan kelas bawah.138
Kelompok reformis-modernis adalah kelompok yang memandang Islam sangat
relevan untuk semua lapangan kehidupan, publik, dan pribadi. Bahkan mereka
menyatakan bahwa pandangan-pandangan dan praktik tradisional harus direformasi
berdasarkan sumber-sumber asli yang otoritatif, yakni al-Qur’an dan as-Sunnah
(purifikasi Agama), dalam konteks situasi dan kebutuhan kontemporer. 139
Pemikiran Islam modern ini merupakan pemikiran yang memiliki kecenderungan
untuk mengambil beberapa pemikiran Barat yang modern, rasional bahkan liberal,140
atau menafsirkan Islam melalui pendekatan rasional untuk menyesuaikan dengan
perkembangan zaman.141
Kelompok modernis ingin menjadikan Agama sebagai landasan dalam
menghadapi modernitas. Menurutnya, Agama tidak bertentangan dengan perkembangan
zaman modern, sehingga mereka ingin menginterpretasikan ajaran-ajaran Agama sesuai
dengan kebutuhan modern.142 Mereka menyatakan bahwa tidak ada pertentangan antara
Islam dan modernitas. Menurut mereka, hukum Islam tidak baku, tapi harus dirubah
sesuai dengan situasi sosial yang sedang berkembang.143
Kelompok ini menganjurkan penafsiran ulang atas Islam secara fleksibel dan
bekelanjutan, sehingga umat Islam dapat mengembangkan pemikiran keagamaan yang
sesuai dengan kondisi modern.144 Kelompok ini ada yang menyebutnya sebagai neo-
mu’tazila,145 karena pemikiran Mu’tazilah yang rasional memiliki peran dalam
membentuk pola berpikirnya kelompok ini.
Kecenderungan modernisasi pemikiran Islam muncul pada dekade akhir abad ke-
19 sebagai tanggapan atas pembaratan rezim dan pemerintahan Eropa. Kultur elit
muslim saat itu terbagi menjadi kelompok yang terbaratkan dan kelompok tradisional,
dan kelompok modernis mencoba untuk mempersatukannya.146 Kelompok ini
berkembang pada abad ke-19 dengan beberapa tokohnya seperti Jamaluddin al-Afghani
138 William Shepard, “Fundamentalism; Christian and Islamic, Religion, XVII (1987), 355-378.139 Ibid.140 Daniel Brown, Rethinking Tradition in Modern Islamic Thought (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 2.141 Ahmad Hasan, The Doctrine of Ijma’ in Islam (Islamabad: Islamic Research Institute, 1976), 227.142 Andrew Rippin, Muslim, 31.143 Ibid., 32.144 John L. Esposito,”Modernisme”, Ensiklopedia Oxford; Dunia Islam Modern terj. Eva YN dkk. (Bandung: Mizan, 2002), 4, 75.145 Daniel Brown, Rethingking Tradition, 2.146 John L. Esposito,”Modernisme”, Ensiklopedia Oxford; Dunia Islam Modern terj. Eva YN dkk. (Bandung: Mizan, 2002), 4, 75.
(1839-1897), M. Abduh (1849-1905), Rashid Rida (1865-1935) dari Mesir, Sayyid
Ahmad Khan (1817-1898), M. Iqbal (1876-1938) dari India.147
Kaum radikal-puritan adalah kelompok yang juga menafsirkan Islam berdasarkan
sumber-sumber asli yang otoritatif, sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan kontemporer,
tapi mereka sangat keberatan dengan tendensi modernis untuk membaratkan Islam.148
Kelompok ini melakukan pendekatan konsevatif dalam melakukan reformasi
keagamaan, bercorak literalis, dan menekankan pada pemurnian doktrin (purifikasi).149
Kelompok ini juga bisa disebut sebagai kelompok fundamentalis,150 meskipun ada
yang menolak penyebutan tersebut, dengan alasan bahwa kelompok fundamentalis lebih
keras dalam menolak pembaratan dan lebih bersikap konfrontasional dibandingkan
kelompok di atas, lebih-lebih kelompok fundamentalis lebih cenderung untuk
menjadikan Agama sebagai doktrin dalam kehidupan bermasyarakat.151
Bagi kelompok radikal-puritan ini, syari’ah memang fleksibel dan bisa
berkembang untuk memenuhi kebutuhan yang terus berubah, tetapi penafsiran dan
perkembangan harus dilakukan melalui cara Islam yang murni. Maka mereka
mengkritik gagasan-gagasan dan praktik-praktik kaum tradisional,152 dan
menganggapnya sebagai suatu hal yang bid’ah. Ibn Taymiyyah, tokoh yang meninggal
pada tahun 1328, adalah tokoh intelektual pemikiran fundamentalis.153
Sebuah gerakan pemikiran bercorak fundamentalis pernah muncul pada abad ke-
18, di Najd (sekarang Saudi Arabia), bernama Wahhabiyyah, di bawah pimpinan
Muhammad bin ‘Abd al Wahhab (1703-1787), seorang teolog, yang mengikuti gaya
Ahmad bin Hanbal, dan Ibn Taymiyyah,154dalam memahami al Qur’an secara literal.155
147 Andrew Rippin, Muslim, 32.148 Dalam penolakan mereka untuk membaratkan Islam inilah letak persamaan kelompok ini dengan kaum tradisionalis dan letak perbedaannya dengan kelompok modernis. Baca Seyyed Hossein Nasr, Traditional Islam in the Modern World (London&New York: Kegan Paul International, 1987), 18-20. Kelompok modernis mengambil beberapa pemikiran Eropa, sementara kelompok konservatif menolaknya. Kelompk modernis melebur ke dalam beberapa elemen peradaban Eropa. Akbar S. Ahmed, Post Modernism and Islam (London: Routledge, 1992), 29. Mengenai kesamaan dan perbedaan antara modernis dan fundamentalis, baca Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam.149 Patrick Bannerman, Islam and Perspective: A Guide to islamic Society, Politics and Law (London: Routledge, 1988), 156.150 Baca Seyyed Hossein Nasr, Traditional Islam in the Modern World (London&New York: Kegan Paul International, 1987), 18-20.151 William Shepard, “Fundamentalism; Christian and Islamic, Religion, XVII (1987), 355-378.152Ahmad Jaenuri, Ideologi Kaum Reformis (Surabaya: LPAM, 2002), 48-49. 153 Dia menyatakan perlunya reformasi beberapa praktik ritual yang populer dalam Islam di masa itu, terutama beberapa praktik yang dimunculkan oleh kalangan sufi, seperti mengunjungi makam-makam wali dan lain sebagainya. Ia mengajak untuk kembali kepada ajaran al Qur’an dan Sunnah. Segala seuatu yang tidak ada dalam al Qur’an dan al Sunnah tidak boleh dilakukan. Andrew Rippin, Muslim (New York: Routledge, 1993), 30.154Tokoh yang menentang bentuk formal hukum Islam, dan ia banyak menghabiskan waktunya di penjara. Andrew Rippin, Muslim (New York: Routledge, 1993), 272.155 Andrew Rippin, Muslim, 271.
Gerakan Wahhabiyyah ini adalah gerakan yang muncul pada saat terjadinya degradasi
moral masyarakat Islam, mengajak untuk kembali kepada ajaran Islam murni,
memberantas segala bentuk peraktek yang dianggap menyimpang dari ajaran murni
Islam,156 mengajak untuk mereformasi pandangan-pandangan keagamaan tradisional
yang menganggap bahwa pintu ijtihad telah tertutup. Mereka menyatakan anti-
intelektualisme, teturama filsafat.157 Tokoh lain daripada gerakan fundamentalis adalah
Abu A’la al-Maudûdî di Pakistan (1903-1979), dan Seyyed Qutb (1906-1966) di
Mesir,158 dan K.H. Ahmad Dahlan (1868-1923) di Indonesia.159
Menurut penelitian, munculnya beberapa kelompok radikal adalah karena
kehidupannya yang jauh dari kehidupan modern. Sebagai contoh, penganut Khawarij,
adalah mereka yang hidup di gurun, nomaden.160 Wahhabiyyah, muncul pada masa
sebelum masuknya modernisasi di dunia Arab, bahkan ia disebut sebagai kelompok
yang muncul di suatu wilayah yang tidak pernah disentuh oleh dunia luar, Najd.161
Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab, tokohnya muncul pada abad sebelum modern (pre-
modern), sebelum adanya pengaruh industrialisasi dari Barat. Dari itu, secara kultural
Wahhabiyyah muncul sebagai gerakan yang merepresentasikan bentuk primitif.
Ikhwanul Muslimin, kelompok fundamentalis di Mesir, adalah kaum rural dan
menjadi kaum urban hanya dalam beberapa waktu, dan tidak mampu menghadapi
realitas yang disekitarnya.162 Muhammadiyyah, didirikan oleh tokoh yang hidupnya
tidak pernah mendapat pendidikan Barat dan tidak pernah melihat kebudayaan Barat
dalam arti yang sebenarnya, K.H. Ahmad Dahlan.163
Kelompok sekuler-liberal adalah mereka yang memandang bahwa jalan untuk
mereformasi masyarakat adalah dengan menyerahkan atau membatasi segala urusan
Agama dan ritual kepada personal dan menegaskan kekuatan logika dalam kehidupan
publik. Kelompok ini dipengaruhi oleh ideologi Barat terutama paham nasionalisme.164
156 Dari itu gerakannya sering disebut sebagai gerakan purifikasi. Andrew Rippin, Muslim (New York: Routledge, 1993), 30. 157 Fazlur Rahman, Islam: Challenges and Opportunies; Past Influence and present Challenge (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1979), 317-318.158 Ibid.159 Arbiyah Lubis, Pemikiran Muhammadiyah dan Muhammad Abduh (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), 13-18.160 Montgomery Watt, Islamic Philosophy and Theology (Edinburg: Edinburg University Press, 1985), 5.161 Hammis Syafaq, Wahhabiyyah, Paham Ortodoksi Islam abad Klasik, makalah kelas mata kuliah SPMDI S-2 IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2001.162 Bassam Tibi, Islam and the Cultural Accomodation of Social Change, 13. 163 Arbiyah Lubis, Pemikiran Muhammadiyah, 18.164 William Shepard, “Fundamentalism; Christian and Islamic, Religion, XVII (1987), 355-378.
Dalam sebuah penelitian ditemukan, bahwa untuk menjadi seorang muslim
Indonesia tanpa disertai centelan organisasi tertentu “kurang begitu dinikmati”.165
Dalam kesadaran intern umat Islam, label Islam agaknya masih dilihat terlalu umum,
sehingga belum memberi makna sosiologis dalam kehidupan bermasyarakat secara luas,
dan kenyataan sosiologis itulah yang terjadi di Indonesia, sehingga wajar sekali, jika
pengelompokan dalam masyarakat Islam di Indonesia terus berkembang, dan semakin
bertambah jumlahnya hingga puluhan, bahkan mungkin ratusan.166
Yang menjadi perdebatan di antara mereka bukanlah tentang pokok-pokok ajaran
Agama itu sendiri, akan tetapi bagaimana memanifestasikan ajaran Islam itu di dalam
sistem kehidupan sosial.167 Sebagaimana yang terjadi pada kemunculan beberapa
pemikiran teologi dan filsafat di dunia Islam pada abad klasik,168 bahwa kemunculan
gagasan tentang pemikiran ideologis itu tidak terlepas dari pengaruh kondisi sosial dan
politik, begitu juga dengan yang berkembang di Indonesia, tidak terlepas dari beberapa
kepentingan dan kondisi sosial dan budaya bangsa Indonesia yang plural.
Di samping alasan di atas, ada alasan lain yang menjadi kemelut di antara
orientasi ideologis dari beberapa pemikiran di atas, yaitu pemahaman yang berbeda di
antara mereka dalam memahami Islam, apakah sebagai model dari sebuah realitas
(model of reality) ataukah model untuk sebuah realitas (models for reality).
Yang pertama mengisyaratkan bahwa agama adalah representasi dari sebuah
realitas, sementara yang kedua mengisyaratkan bahwa agama merupakan konsep bagi
realitas, seperti aktivitas manusia. Dalam pemahaman yang kedua ini agama mencakup
teori-teori, dogma atau doktrin bagi sebuah realitas.169
Dalam kajian modern tentang sejarah umat Islam ditemukan bahwa, meskipun
bedasarkan pada agama yang sama, para pemeluk agama ini memiliki pemahaman yang
berbeda, dan seringkali perbedaan itu memicu persaingan dan konflik, di dalam
menghadapi tantangan modernitas.170 Seiring dengan perkembangan Islam dan
munculnya ijtihad-ijtihad baru, paham-paham tersebut bukan sekedar pengakuan
legalitas politik, melainkan juga berekses pada paham keagamaan.
Meskipun, dalam wujudnya, pemahaman ideologi keagamaan sangat beragam, di
Indonesia, terutama di dalam masyarakat Jawa, hanya dikenal adanya Islam NU dan
165 Hammis Syafaq, “Masyarakat Muslim Indonesia dan Pembentukan Ideologi Perekat Umat” dalam Akademika Vol. 14, No. 2 (Surabaya: Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya, Maret, 2004), 65-76.166 Ibid. 167 Andrew Rippin, Muslim, 35.168 Montgomery Watt, Islamic Theolory and Philosophy………………..169 Bassam Tibi, Islam and the Cultural Accomodation of Social Change, 8.170 Ronald Alan Lukens Bull, A Peaceful Jihad: Javanese Islamic Education and Religious identity Construction (A Dessertation for the Degree Doctor of Philosophy in Arizona State University, 1997), 38.
Islam Muhammadiyyah. NU sering dilihat sebagai kelompok tradisionalis, sementara
Muhammadiyyah, sebagai kelompok modernis.171 Namun dikotomi ini kemudian
dianggap tidak layak lagi, karena dalam perkembangan selanjutnya, NU bersifat lebih
terbuka terhadap modernitas.172 Bahkan dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh
Arbiyah Lubis, ditemukan bahwa Muhammadiyyah termasuk dalam kelompok
tradisionalis modernis. Di mana Muhammadiyyah tampil sebagai modernis hanya dalam
dunia pendidikan. Akan tetapi dalam memahami teks al Qur’an dan Hadith sebagai
sumber ijtihad, Muhammadiyyah berada dalam kelompok tradisonalis.173
Paham tradisionalisme yang dianut oleh organisasi Muhammadiyyah, menurut
Arbiyah Lubis, tercermin dalam teologi yang dianutnya, yaitu paham jabariyyah yang
mengakui kehendak mutlak Tuhan, ketidakbebasan manusia dalam memilih
perbuatannya dana memberikan daya yang kecil kepada akal untuk memamahmi
masalah-masalah akidah.174
Meskipun demikian, kelompok tradisionalis, di Indonesia, biasanya bergabung
dengan organisasi bernama NU, sementara kelompok modernis, reformis, radikalis,
puritan dan fundamentalis, lebih memilih Muhammadiyyah sebagai organisasi
keagamaannya. Dari itu, untuk lebih memudahkan pembagian kelompok umat Islam di
Indesia, seringkali hanya digunakan dua organisasi ternama di atas.
Beberapa hal yang menjadi perbedaan antara NU dan Muhammadiyyah adalah
bahwa NU tidak menolak beberapa praktik ritual yang tidak tertulis dalam Hadith sahih,
atau tidak sesuai dengan pemikiran modern, karena, menurut mereka, tidak berarti
sesuatu yang tidak tercantum dalam Hadith sahih itu bertentangan dengan Islam selama
masih belum menyangkut masalah akidah. Prinsip kaum tradisionalis adalah ‘adam al
wujûd lâ yadullu ‘alâ ‘adam al wujdân.175
Sebaliknya, Muhammadiyyah menganggap sesuatu yang tidak tercantum di dalam
hadith saheh dianggap sebagai sesuatu yang menyimpang dari ajaran Islam dan tidak
boleh diamalkan, karena akan berdosa dan berimplikasi buruk terhadap akidah.176
Dalam bentuk praktik ritual di waktu sholat jum’at, NU menggunakan dua adzan,
sementara Muhammadiyyah menggunakan dua adzan. Bentuk mimbar yang digunakan
juga berbeda, NU menggunakan mimbar bertongkar, sementara Muhammadiyyah
menggunakan bentuk mimbar modern.
171 Ibid.172 Azyumardi Azra, Suplemen Republlika, Kamis, 14 Maret 2002, hal. 7.173 Arbiyah Lubis, Pemikiran Muhammadiyah, 185.174 Ibid.175 Seyyed Hossein Nasr, Traditional Islam in the Modern World (London&New York: Kegan Paul International, 1987), 14-15.176 Arbiyah Lubis, Pemikiran Muhammadiyah, 19.
Perbedaan lain yang sangat mencolok adalah dalam penetapan awal puasa dan
hari raya, pelaksanaan sholat tarawih dan sholat Id. Kelompok NU dalam menetapkan
awal bulan puasa dan hari raya (Id) berpegang pada konsep ru’yah, sementara
Muhammadiyyah berpegang pada hisâb. Dalam pelaksanaan sholat tarawih, kelompok
NU berpegang pada jumlah 20 raka’at, sementara Muhammadiyyah berpegang pada
jumlah 8 raka’at. Dalam pelaksanaan shholat Id, kelompok NU melakukannya di
masjid, sementara orang Muhammadiyyah di lapangan terbuka.
Dalam bidang pendidikan, NU menggunakan gaya sorogan, menggunakan kitab
kuning sebagai bahan kajian, yaitu kitab-kitab karya al-Ghazali dan beberapa pemikir
lainnya, yang muncul pada abad Islam klasik.177 Sementara dalam pendidikan yang
dikelolah Muhammadiyyah, menggunakan sistem klasikal, menggunakan kitab putih
sebagai ganti dari kitab kuning.178 Dan masih banyak lagi beberapa bentuk perbedaan
yang lain, yang bisa dijadikan sebagai dasar dalam memilah masyarakat Islam di
Indonesia, menjadi NU dan Muhammadiyyah.
Aliran Pemikiran; Primitif dan Modern
Marlyn R. Waldman
Marilyn R. Waldman mengatakan bahwa pemahaman manusia tentang tradisi
agama, baik milik sendiri maupun milik orang lain, itu terbatas. Bisa jadi pemahaman
orang luar (outsider) lebih baik dari orang dalam (insider).
Sejarah agama-agama dapat diajarkan melalui dua cara; teologis-normatif dan
humanis-antropologis. Teologis oleh insider, bersifat theistic-subjectivism. Sementara
humanis oleh outsider, bersifat scientific-objectivism. Kedua bentuk pendekatan ini
disebut sebagai mode of thought.
Antara kedua pendekatan di atas terjadi ketegangan atau gap yang sangat kuat.
Antara budaya primitf dan modern. Maka untuk menyikapi gap yang terjadi antara dua
tradisi di atas, Peter Connoly menyatakan perlunya orang dalam (insider) untuk belajar
bagaimana melangkah secara imajinatif di luar perspektif religius yang dimiliki agar
memperoleh banyak ide sama seperti yang mungkin diperoleh orang lain (outsider).
Sebaliknya, orang luar (outsider) juga perlu memiliki pandangan dunia nonreligius,
memiliki kewajiban mengimajinasikan bagaimana bentuk suatu dunia ketika di
dalamnya terdapat wilayah suci. Harus terjadi timbal balik antara kedua pendekatan di
atas (teologis dan humanis).177 Ronald Alan Lukens Bull, A Peaceful Jihad: Javanese Islamic Education, 126.178 Arbiyah Lubis, Pemikiarn Muhammadiyyah, 107108.
Marlyn R. Waldman dalam kajiannya, terpengaruh oleh Jack Goody dalam
karyanya, the Domestication of the Savage Mind. Temuan Goody merupakan reaksi atas
berbagai hal yang disebut pemikiran “chotomous” tentang sejarah kebudayaan yang
mengijinkan studi agama; penjelasan dikotomi tentang sejarah pemikiran merupakan
jawaban atas problem seperti “primitif/modern”, “tradisi besar/tradisi kecil”, “budaya
agung/budaya rendah”, atau trikotomi tentang “primitive/tradisional/modern”. Budaya
primitif merupakan illeterate society, sementara budaya modern merupakan literate
society.
Tetapi teori ini mendapatkan kritik, karena ditemukan bahwa dalam budaya
modern masih terdapat budaya primitif, artinya budaya modern tidak berarti kemajuan
dari budaya primitif. Sebagai contoh, agresi Amerika ke Irak, menunjukkan budaya
primitif dalam masyarakat modern, yaitu mental agresi.
Islam di Nusantara
Azyumardi Azra
Studi yang dilakukan oleh Azyumardi Azra berusaha memetakan interaksi
intlektual ulama’ yang terjadi di dunia Muslim, khususnya apa yang disebut dengan
jaringan ulama’ kepulauan Nusantara dengan Kharamayn.
Pertama, Azyumardi Azra menguraikan beberapa teori tentang kedatangan Islam
di Nusantara. Ada tiga teori yang diuraikan oleh Azra. Pertama, teori anak benua India.
Teoti ini beranggapan bahwa Islam berasal dari kawasan anak benua India dan
dilakukan oleh pedagang Muslim yang berasal dari Gujarat, Malabar. Ilmuan pertama
yang mencetuskan teori ini adalah Pijnappel, dari Belanda. Alasannya, penyebar Islam
di Nusantara berasal dari beberapa orang Arab yang bermadzhab Syafi’I dan menetap di
India, terutama kawasan Gujarat dan Malabar. Teori ini kemudian dikembangkan oleh
ilmuan Belanda lainnya, seperti Snouck Horgronje dan J.P. Moguette.179
Teori ke dua juga menyatakan bahwa Islam Nusantara berasal dari India, yaitu
Bengal (kini Bangladesh). Teori ini dicetuskan oleh Fatimi, dengan bukti arkeologis
juga, yaitu batu nisan yang dijadikan bukti arkeologis sama dengan batu nisan di
Bengal. Akan tetapi teori ini kemudian diruntuhkan oleh sejarawan lain, karena wilayah
Bengal tidak bermadzhab Syafi’i. Melainkan Hanafi.180
179 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama’ Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII-XVIII (Jakarta: Mizan, 1998), 24.180 Ibid., 25.
Teori ketiga adalah teori Arab. Teori ini menyatakan bahwa Islam Nusantara
adalah Islam dari Mesir dan Hadramaut. Hal ini terbukti dengan kesamaan madzhab
yang dianut oleh dua negara tersebut dengan Islam di Nusantara. Di samping itu, nama-
nama dan gelar-gelar para pembawa Islam ke Nusantara menunjukkan bahwa mereka
adalah orang-orang Arab atau setidaknya Arabo-Persia.
Sementara itu, Azyumadi Azra ingin menyampaikan bahwa telah terjadi jaringan
ulama’ Haramayn dengan Nusantara pada abad ke XVII. Hal ini karena beberapa faktor;
kebangkitan ekonomi, kemapanan sosio-politik internal, dan eskalasi kolonialisasi Barat
terhadap berabagai wilayah muslim. Terjadinya peningkatan jumlah jama’ah haji dan
komplek pendidikan di Makkah.
Keterlibatan jama’ah haji Nusantara, dapat dibedakan dalam tiga kelompok besar.
Pertama, kelompok little imigrant. Kelompok jenis ini pertama kali datang dan
bermukim di Haramayn dengan diam-diam, terserap dalam kehidupan sosial
keagamaan. Mereka hidup sebagaimana layaknya penduduk kebanyakan. Ada dua
imigran kecil yang tercatat dalam kamus bibliografi, yaitu Sa’id bin Yusuf al-Hindi, dan
Rayhan al-Hindi.
Kelompok kedua adalah grand imigrant. Kelompok ini dikenal dengan ulama par
exxelence. Kebanyakan imigran dalam kelompok ini mempunyai pemahaman yang baik
dalam kehidupan Islam. Sebagian mereka alim dan terkenal, sehingga ketika sampai di
Haramayn mereka qualified untuk ikut ambil bagian dalam diskursus intelektual
kosmopolitan. Dalam banyak kasus, mereka memainkan peran aktif, tidak hanya dalam
pengajaran, tetapi juga dalam menyodorkan gagasan baru.
Tipe ketiga adalah ulama’ dan murid pengembara. Kelompok ini datang ke
Makkah untuk menunaikan ibadah haji, tetapi kemudian menetap untuk menuntut ilmu
ke beberapa guru dari berbagai disiplin ilmu.
Terjadinya jaringan ulama’ semacam ini bermula dari tradisi hadits. Menurut
Azyumardi Azra, terdapat tiga ulama’ yang terlibat dalam jaringan ulama’ dan
berpengaruh dalam gerakan pembaharuan Islam di Indonesia. Ketiga ulama’ tersebut
adalah Nur al-din al-raniry, abdul Rauf al-Sinkili, dan Muhammad Yusuf al-Makassari.
Ketiga tokoh ini adalah tipe kelompok grand imigrant.
Terorisme
Banyak di antara umat Islam yang memiliki pandangan bahwa untuk melakukan
suatu perubahan dalam masyarakat adalah dengan menggunakan kekerasan (al ‘unuf).
Alasan yang dijadikan untuk melegitimasi pandangan tersebut adalah konsep jihad.
Pemikiran semacam ini muncul di mana-mana sehingga banyak ditemukan tindakan
kekerasan yang dilakukan oleh umat Islam dengan mengatas namakan agama.
Pemikiran semacam ini, menurut Jawdat Sa’id dalam kitabnya Mafhum al Taghyir
diibaratkan dengan orang melihat matahari yang kemudian menyimpulkan bahwa
matahari mengelilingi dirinya (bumi), tetapi ia tidak tahu bahwa yang terjadi sebenarnya
adalah sebaliknya, yaitu bumi yang mengelilingi matahari. Demikian juga dengan
mereka yang melakukan kekerasan dengan mengatas namakan agama, ia memiliki
pandangan bahwa kekerasan akan menyelesaikan masalah, tetapi ia tidak tahu bahwa
yang terjadi adalah sebaliknya, bahwa kekerasan yang dia lakukan akan memunculkan
kekerasan berikutnya.181
Banyak faktor yang mempengaruhi seseorang untuk berbuat kekerasan, di
antaranya adalah keinginan untuk mempersatukan umat Islam dalam satu bentuk
pemikiran, sehingga ia terjebak dalam suatu sikap yang cenderung menyalahkan orang
lain yang tidak sepemahaman. Mereka yang terjebak dalam kelompok ini memiliki
pandangan bahwa dirinya adalah yang paling benar, sehingga mudah menyalahkan
orang lain.
Dapat dimaklumi bahwa secara psikologis, manusia sangat mudah untuk
menyalahkan orang lain dan menyebut kelompok lain sebagai kelompok yang sesat,
sementara ia lupa dengan kesalahan dirinya. Ia lupa bahwa dalam Islam dikenal adanya
taubat, yaitu dengan cara mengingat kesalahan diri sendiri, sehingga seseorang yang
tidak pernah melihat kesalahan dirinya sendiri, ia tidak akan pernah mencoba untuk
bertaubat. Sikap ini dapat dimaklumi karena melihat kesalahan diri sendiri lebih sulit
daripada melihat kesalahan orang lain.
Sesungguhnya, sikap merasa tidak bersalah dan menuduh orang lain salah adalah
sikap yang tidak sesuai dengan ajaran al-Qur’an, tetapi sikap yang pernah diambil oleh
Iblis ketika dikeluarkan dari surga karena tidak mematuhi perintah Allah, di mana ia
mengatakan fa bima aghwaytani, di sini seakan-akan Iblis melimpahkan kesalahan
dirinya kepada Allah, bahwa Allah lah yang menyebabkan ia melakukan kesalahan.
Sementara sikap Adam ketika dikeluarkan dari surga ia tidak mengambil sikap
sebagaimana Iblis, tetapi ia mengatakan rabbana zalamna anfusana, di sini Adam
mengakui segala kesalahannya, tidak seperti Iblis yang melimpahkan kesalahan kepada
Allah swt.
181 Jawdat Sa’id, Mafhum al Taghyir (Beirut: Dar al-Fikr al-Mu’asir, 1995), 26-27.
Maka sikap yang paling baik dalam melihat sesuatu adalah dengan melihat
kesalahan diri sendiri meskipun itu berat untuk dilakukan, karena dengan melihat
kesalahan orang lain akan membuat masalah menjadi semakin rumit dan suliat
diselesaikan. Suatu masalah tidak akan terselesaikan kecuali dengan cara mencintai
orang yang berselisih dengan diri kita. Akan tetapi bagaimana itu bisa kita lakukan?
Bagimana kita bisa mencintai sebuah kesalahan dan orang yang melakukan kesalahan?
Caranya adalah dengan menanamkan rasa cinta kepada orang lain sebagaimana kita
mencintai diri kita, sebagaimana menanamkan rasa kesedihan ketika orang lain sedang
bersedih, seakan-akan kita juga mengalami kesedihan yang sama, atau ketika melihat
orang lain sakit, kita seakan-akan merasakan sakit yang sama.
Menghindari tindakan kekerasan secara fisik bisa diawali dengan menjaga lisan
kita untuk tidak mudah menyalahkan orang lain, menghina orang lain, mengejek orang
lain, dan itu harus diawali dengan membersihkan hati kita dari segala penyakit iri,
dengki, benci, dengan menanamkan rasa cinta kepada orang lain. Muhammad Iqbal
pernah mengatakan, hiduplah bersama manusia dengan bermodalkan cinta, niscaya
engkau akan melihat cahaya di setiap tempat.
Ada baiknya jika melihat prinsip para tokoh sufi yang mendahulukan asas
kemanusiaan dalam menyelesaikan masalah. Hal itu sesuai dengan ayat al-Qur’an yang
berbunyi idfa’ bi allati hiya ahsan fa idza alladzi baynaka wa baynahu ‘adawatun ka
annahu waliyyun hamim. Imam al-Ghazali sendiri mengedepankan asas kemanusiaan,
persaudaraan dalam menyelesaikan masalah.
Kembali kepada masalah upaya mempersatukan umat Islam dalam satu kelompok
pemikiran, bagaimana hal itu bisa direalisasikan? Ada kelompok yang berpendapat
bahwa dengan upaya untuk mempersatukan umat Islam adalah dengan cara menuduh
kelompok lain sesat, memusuhinya dan memeranginya, baik dengan cara lisan maupun
dengan gerakan fisik. Upaya semacam ini sesungguhnya tidak akan menyelesaikan
masalah, tidak akan dapat mempersatukan umat Islam bahkan justru akan semakin
membuat masalah menjadi rumit dan umat Islam semakin pecah.
Jadi pemikiran untuok mengintropeksi diri sendiri dan mengakui kelemahan dan
kesalahan adalah langkah awal yang harus dilakukan dalam upaya untuk mendamaikan
umat Islam, karena cara inilah yang telah ditempuh oleh para Nabi sebagaimana yang
tertulis dalam al-Qur’an, wa la taj’al fi qulubina ghillan li alladzina amanu.
Kelompok fundamentalis, radikal dan sekuler, sama-sama tidak mengikuti cara
ini, karena mereka sama-sama mengedepankan sikap kebencian terhadap kelompok lain
dalam menyelesaikan perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan umat Islam. Mereka
membenci orang sakit, tetapi tidak mencari faktor penyebab munculnya penyakit untuk
kemudian dicarikan obatnya. Oleh karena itu, setiap dari kita sudah mabuk dan tidak
punya sikap cinta kasih.
Oleh karena itu, setiap orang memiliki kebebasan untuk mengutarakan
pendapatnya tanpa harus menunggu izin dari orang lian, karena orang lain tidak berhak
untuk melarangnya. Sesungguhnya upaya untuk memaksanakan pendapat pribadi
kepada orang lain adalah cara penjajah, dan cara inilah yang menjadi faktor terjadinya
pertikaian yang ada di muka bumi ini.
Demikian juga dengan beragama, seseorang tidak berhak dipaksa oleh orang lain
untuk memeluk suatu agama, karena dalam ayat al-Qur’an disebutkan la ikraha fi al
din, tidak ada paksaan di dalam beragama, sehingga seorang memiliki hak untuk tidak
beragama jika itu sudah menjadi keyakinannya. Dan ini dapat dimaklumi karena Allah
sendiri tidak suka dengan orang munafik, seakan-akan dia beragama sementara dia
sendiri tidak beragama.
Oleh karena itu Islam tidak melegitimasi bentuk kekerasan yang dijadikan sebagai
upaya melakukan perubahan.
Kesimpulan
Pendekatan agama jenis apapun mempunyai kelemahan dan kekurangan masing-
masing, mengingat fenomena agama bersifat kompleks dan intricate. Hal ini
membuktikan bahwa kebenaran yang dimiliki oleh manusia sangat terbatas, karena
manusia sendiri adalah terbatas, maka kebenaran yang satu dapat melengkapi kebenaran
yang ain, karena kebenaran itu tidak terbatas, seperti halnya Allah juga tidak terbatas.