100
J URNAL DINAMIKA EKONOMI & BISNIS SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI NAHDLATUL ULAMA Vol. 7 No. 1 Maret 2010 ISSN: 1693-8275 Manajemen Laba dalam Tinjauan Etika Bisnis Islam Ahmad Yusuf Marzuqi, Achmad Badarudin Latif Analisis Faktor-Faktor yang Berpengaruh terhadap Tindakan Perataan Laba pada Perusahaan Manufaktur di BEI Iis Setyaningsih, Ichwan Marisan Ulama dalam Menghadapi Perkembangan Ekonomi Noor Rohman Fauzan Sistem Perbankan Islam dan Perkembangannya di Indonesia Dwi Agung Nugroho Arianto Pengaruh Partisipasi Anggaran Terhadap Kinerja Manajerial dengan Komitmen Organisasi sebagai Variabel Moderating Nichlah Hidayah, Fitri Ella Fauziah Spiritualitas dalam Perilaku Organisasi Hasan Strategi Proaktif dalam Menghadapi Pergeseran Paradigma Pemasaran Global (Tinjauan Aspek Strategik) Noor Arifin 1 - 22 23 - 35 37 - 45 47 - 56 57 - 79 81 - 92 93 - 102

ISSN: 1693-8275 JDINAMIKA - Universitas Islam Nahdlatul

  • Upload
    others

  • View
    3

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: ISSN: 1693-8275 JDINAMIKA - Universitas Islam Nahdlatul

JURNAL

DINAMIKAEKONOMI & BISNIS

SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI NAHDLATUL ULAMA

Vol. 7 No. 1 Maret 2010 ISSN: 1693-8275

Manajemen Laba dalam Tinjauan Etika Bisnis IslamAhmad Yusuf Marzuqi, Achmad Badarudin Latif

Analisis Faktor-Faktor yang Berpengaruh terhadap Tindakan Perataan Laba pada Perusahaan Manufaktur di BEIIis Setyaningsih, Ichwan Marisan

Ulama dalam Menghadapi Perkembangan EkonomiNoor Rohman Fauzan

Sistem Perbankan Islam dan Perkembangannya di Indonesia Dwi Agung Nugroho Arianto

Pengaruh Partisipasi Anggaran Terhadap Kinerja Manajerial dengan Komitmen Organisasi sebagai Variabel ModeratingNichlah Hidayah, Fitri Ella Fauziah

Spiritualitas dalam Perilaku OrganisasiHasan

Strategi Proaktif dalam Menghadapi Pergeseran ParadigmaPemasaran Global (Tinjauan Aspek Strategik)Noor Arifin

1 - 22

23 - 35

37 - 45

47 - 56

57 - 79

81 - 92

93 - 102

Page 2: ISSN: 1693-8275 JDINAMIKA - Universitas Islam Nahdlatul

1 Manajemen Laba dalam Tinjauan Etika Bisnis Islam

Ahmad Yusuf Marzuqi

Achmad Badarudin Latif

MANAJEMEN LABA DALAM TINJAUAN ETIKA

BISNIS ISLAM

Ahmad Yusuf Marzuqi

Achmad Badarudin Latif1)

Program Studi Akuntansi STIENU Jepara, Jl. Taman Siswa Pekeng Tahunan Jepara

Email: 1)

[email protected]

Abstract

The financial statements have enormous benefits for the users, so it formed a rule

in the financial reporting process is called Generally Accepted Accounting Principles

(GAAP). The goal is to uniform financial reporting process and financial reports on

any business entity that exists in a country, so as to facilitate the auditing process for

fairness in reporting. Although these rules have limitations that will be used by

corporate managers in conducting earnings management whether done legally or not.

This study will discuss the management of earnings reviewed from an ethical standpoint

of Islam with the aim to present the views of Islamic ethics of earnings management.

Design research studies using descriptive references/ literature with reference to the

references to Islam, Islamic business, and matters relating to the earnings management

and business ethics of Islam.

Keywords: Islam, Business Ethics, earning management

Abstrak

Laporan keuangan mempunyai manfaat yang sangat besar bagi para

pemakainya, sehingga dibentuk sebuah aturan dalam proses pelaporan keuangan

tersebut yang disebut dengan Prinsip Akuntansi Berterima Umum (PABU). Tujuannya

adalah untuk menyeragamkan proses pelaporan keuangan dan laporan keuangan pada

setiap entitas bisnis yang ada dalam sebuah negara, sehingga dapat mempermudah

proses pengauditan atas kewajaran dalam pelaporannya. Meskipun aturan tersebut

memiliki keterbatasan-keterbatasan yang akan dimanfaatkan oleh para manajer

perusahaan dalam melakukan manajemen laba baik yang dilakukan secara legal

maupun tidak. Penelitian ini akan membahas manajemen laba (earnings management)

ditinjau dari sudut pandang etika Islam dengan tujuan untuk memaparkan pandangan

etika Islam mengenai manajemen laba. Desain penelitian menggunakan metode telaah

referensi deskriptif/ literatur dengan mengacu pada referensi-referensi mengenai Islam,

bisnis Islam, dan hal-hal yang berkaitan tentang manajemen laba dan etika bisnis

Islam.

Kata kunci: Islam, Etika Bisnis, managemen laba

Page 3: ISSN: 1693-8275 JDINAMIKA - Universitas Islam Nahdlatul

JURNAL DINAMIKA EKONOMI & BISNIS Vol. 7 No. 1 Maret 2010 2

Pendahuluan

Informasi laba dalam praktiknya dapat mempengaruhi perilaku para pemakai

informasi laporan keuangan, khususnya pihak investor dan kreditor. Informasi laba ini

dibutuhkan oleh investor dan kreditor sebagai dasar keputusan terhadap tingkat

pengembalian modal yang mereka investasikan. Karena besarnya manfaat yang

diberikan oleh laporan keuangan inilah, maka dibentuk sebuah aturan dalam proses

pelaporan keuangan yang disebut dengan Prinsip Akuntansi Berterima Umum (PABU)

atau Generally Accepted Accounting Principles (GAAP). PABU adalah rerangka

pedoman yang terdiri atas standar akuntansi dan sumber-sumber lain yang didukung

berlakunya praktik akuntansi secara resmi (yuridis), teoritis, dan praktis.

Tujuan dibentuknya PABU sebagai aturan dalam pelaporan keuangan adalah

untuk menyeragamkan proses pelaporan keuangan, berikut hasilnya berupa laporan

keuangan pada setiap entitas bisnis yang ada dalam sebuah negara, sehingga dapat

mempermudah dalam proses pengauditan (auditing) atas kewajaran dalam

pelaporannya. Tujuan lainnya adalah untuk mengukur tingkat keterbandingan

(comparability) antara laporan keuangan entitas bisnis yang satu dengan lainnya,

sehingga akan memperlihatkan keterbandingan tingkat kinerja keuangannya.

Penerapan PABU oleh setiap entitas bisnis, maka diharapkan laporan keuangan

yang dihasilkan nantinya memiliki kualitas yang tinggi. Kualitas laporan keuangan

yang tinggi dapat dilihat dari karakteristik-karakteristik kualitatif yang mendukungnya.

Ikatan Akuntan Indonesia (2002) menyatakan bahwa terdapat empat karakteristik

kualitatif pokok laporan keuangan, yaitu dapat dipahami, relevan, keandalan, dan dapat

diperbandingkan. Dalam tataran normatif, PABU memang dapat memberikan jaminan

atas kualitas laporan keuangan yang diterbitkan oleh entitas bisnis. Tetapi dalam tataran

praktis, Standar Akuntansi (sebagai salah satu aspek dari PABU) memiliki

keterbatasan-keterbatasan yang dapat menjadikan laporan keuangan menjadi kurang

andal (reliable).

Keterbatasan laporan keuangan, pada praktiknya menimbulkan aktivitas

manajemen laba oleh pihak manajemen perusahaan terhadap laporan keuangannya.

Manajemen laba adalah tindakan yang ditujukan untuk memaksimumkan utilitas

manajer dan cenderung untuk menguntungkan diri mereka (manajer) sendiri dengan

cara mempengaruhi proses pelaporan keuangan. Praktik yang dilakukan untuk

mempengaruhi angka laba dapat terjadi secara legal maupun tidak legal.

Persoalan manajemen laba sebetulnya bukan hal yang baru dalam praktik

pelaporan keuangan pada suatu entitas bisnis. Tekanan untuk membuat keuntungan ini

kerap terasa dampaknya pada perolehan pendapatan (income) bagi manajemen,

sehingga manajemen melakukan manajemen laba untuk mempengaruhi angka laba

yang menyebabkan terjadinya penurunan kualitas laporan keuangan perusahaan

bersangkutan (Widarto, 2004: 34).

Penurunan kualitas laporan keuangan merupakan dampak utama yang

diakibatkan dari adanya manajemen laba, di samping dampak-dampak lainnya.

Page 4: ISSN: 1693-8275 JDINAMIKA - Universitas Islam Nahdlatul

3 Manajemen Laba dalam Tinjauan Etika Bisnis Islam

Ahmad Yusuf Marzuqi

Achmad Badarudin Latif

Suwardjono menyatakan bahwa kemajuan dan reputasi suatu perusahaan harus

ditunjukkan dengan kinerja yang sebenarnya bukan semata-mata dengan permainan

angka-angka. Untuk mengatasi fluktuasi laba tahunan, cara terbaik adalah menerbitkan

serangkaian laporan laba rugi tahunan seperti apa adanya dan bukan serangkaian

laporan yang diratakan (manajemen laba).

Penelitian ini membahas manajemen laba (earnings management) ditinjau dari

sudut pandang etika Islam dengan tujuan untuk memaparkan pandangan etika Islam

mengenai manajemen laba. Perspektif etika terhadap suatu tindakan atau aktivitas bisnis

sangat penting, karena etika bisnis dapat digunakan sebagai cara untuk menyelaraskan

kepentingan strategis suatu bisnis atau perusahaan dengan tuntutan moralitas

(Muhammad, 2004: 60). Etika bisnis juga dapat melakukan perubahan kesadaran

masyarakat tentang bisnis dengan memberikan suatu pemahaman atau cara pandang

baru, yakni bisnis tidak terpisah dari etika (Muhammad, 2004: 61).

Etika bisnis dalam kaitannya dengan ajaran Islam, berarti sebuah pemikiran atau

refleksi tentang moralitas yang membatasi kerangka acuannya kepada konsepsi sebuah

organisasi dalam ekonomi dan bisnis yang didasarkan atas ajaran Islam. Etika bisnis

Islam mengatur tentang sesuatu yang baik atau buruk, wajar atau tidak wajar, atau

diperbolehkan atau tidaknya perilaku manusia dalam aktivitas bisnis baik dalam

lingkup individu maupun organisasi yang didasarkan atas ajaran Islam. Dalam hal ini,

penelitian ini akan berusaha melihat aspek moralitas/normatif dari manajemen laba,

yaitu apakah manajemen laba merupakan sebuah tindakan yang baik atau buruk, wajar

atau tidak wajar, atau diperbolehkan atau dilarang menurut ajaran Islam.

Berdasarkan uraian yang dikemukakan, pertanyaan penelitian yang diajukan

adalah: Bagaimana manajemen laba (earnings management) menurut tinjauan etika

Islam? Manfaat yang diharapkan dapat diperoleh adalah: memberikan masukan dan

wawasan bagi akademisi akuntansi dalam pengembangan kajian tentang manajemen

laba dalam kaitannya dengan etika bisnis Islam; menambah kepedulian masyarakat

terhadap penerapan etika pada akuntansi khususnya manajemen laba.

Tinjauan Pustaka

Etika Bisnis Islam

Definisi etika secara terminologis adalah studi sistematis tentang tabiat konsep

nilai, baik, buruk, harus, benar, salah, dan lain sebagainya dan prinsip-prinsip umum

yang membenarkan untuk mengaplikasikannya. Disini etika dapat dimaknai sebagai

dasar moralitas seseorang dan disaat bersama juga sebagai filsufnya dalam berperilaku.

Etika bagi seseorang terwujud dalam kesadaran moral yang memuat keyakinan

“benar dan tidak” atas sesuatu hal. Perasaan yang muncul bahwa ia akan salah bila

melakukan sesuatu yang diyakininya tidak benar berangkat dari norma-norma moral

dan perasaan menghargai diri bila ia meninggalkannya. Tindakan yang diambil harus

dipertanggungjawabkan pada diri sendiri. Begitu juga dengan sikapnya terhadap orang

lain bila pekerjaan tersebut mengganggu atau sebaliknya mendapatkan pujian.

Page 5: ISSN: 1693-8275 JDINAMIKA - Universitas Islam Nahdlatul

JURNAL DINAMIKA EKONOMI & BISNIS Vol. 7 No. 1 Maret 2010 4

Etika bisnis sebagai seperangkat nilai tentang baik, buruk, benar, dan salah dalam

dunia bisnis berdasarkan pada prinsip-prinsip moralitas. Dalam arti lain, etika bisnis

berarti seperangkat prinsip dan norma yang mana para pelaku bisnis harus

menjunjungnya dalam bertransaksi, berperilaku, dan berelasi guna mencapai tujuan-

tujuan bisnis dengan selamat.

Etika dalam pemikiran Islam dimasukkan dalam filsafat praktis bersama politik

dan ekonomi. Berbicara tentang bagaimana seharusnya etika vs moral. Moral sama

dengan nilai baik dan buruk dari setiap perbuatan manusia, etika sama dengan ilmu

yang mempelajari tentang baik dan buruk. Dalam disiplin filsafat, etika sering

disamakan dengan filsafat moral. Teori etika Islam pasti bersumber dari prinsip

keagamaan. Teori etika yang bersumber keagamaan tidak akan kehilangan substansi

teorinya. Keimanan menentukan perbuatan, keyakinan menentukan perilaku.

Perspektif metafisika intinya tidak berbeda dengan perspektif agama. Substansi

utama penyelidikan tentang etika dalam Islam antara lain:

1. Hakikat benar dan salah.

2. Masalah free will dan hubungannya dengan kemahakuasaan Tuhan-tanggung

jawab manusia.

3. Keadilan Tuhan dan realitas keadilan-Nya di hari kemudian.

Berbagai teori etika barat dapat dilihat dari sudut Islam sebagai berikut: theology-

utilitarian dalam Islam: “hak individu dan kelompok penting” dan “tanggung jawab

adalah perorangan”.

Etika Islam memiliki aksioma-aksioma, yaitu:

1. Unity (persatuan): konsep tauhid, aspek sosial ekonomi dan politik dan alam,

semuanya milik Allah, dimensi vertikal, hindari diskriminasi di segala aspek,

hindari kegiatan yang tidak etis.

2. Equilibrium (keseimbangan); konsep adil, dimensi horizontal, jujur dalam

bertransaksi, tidak merugikan dan tidak dirugikan.

3. Free will (kehendak bebas): kebebasan melakukan kontrak namun menolak

laizez fire, karena nafsu amarah cenderung mendorong pelanggaran sistem

responsibility (tanggung jawab), manusia harus bertanggung jawab atas

pebuatannya.

4. Benevolence (manfaat/kebaikan hati); ihsan atau perbuatan harus yang

bermanfaat.

Etika baik atau akhlaq mulia itu tidak didapat dan terbentuk dengan sendirinya,

tetapi ada faktor-faktor lain selain faktor ibadah diatas seperti yang dikemukakan oleh

ahli etika bisnis Islam dari Amerika, Rafiq Issa Beekun, bahwa perilaku etika individu

dapat dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu :

1. Interpretasi terhadap hukum

Hukum akan hidup dan diyakini keberadaannya apabila dirasakan ada

manfaatnya bagi manusia. Ketika hukum tersebut bertentangan dengan

kepentingan manusia maka ia dapat membahayakan eksistensinya dan tidak akan

Page 6: ISSN: 1693-8275 JDINAMIKA - Universitas Islam Nahdlatul

5 Manajemen Laba dalam Tinjauan Etika Bisnis Islam

Ahmad Yusuf Marzuqi

Achmad Badarudin Latif

ditaati. Interpretasi terhadap suatu hukum akan cenderung didasari oleh standar

nilai.

2. Faktor organisasional

Tanpa adanya masyarakat kepribadian seseorang individu tidak akan dapat

berkembang. Demikian pula halnya dengan aspek moral, nilai-nilai moral yang

dimiliki lebih merupakan sesuatu yang diperoleh dari luar (lingkungan) ia akan

merekam setiap aktivitas yang terjadi di lingkungan yang lambat laun akan pola

tingkah laku bagi kehidupannya dimasa yang akan datang.

3. Faktor individu dan situasi

Hal-hal yang masuk ke dalam kategori faktor individu antara lain: pengalaman

batin seseorang yang juga merupakan faktor bagi terbentuknya perilaku etik bagi

seseorang. Faktor situasi memberikan kontribusi yang cukup besar bagi

terbentuknya perilaku etika seseorang.

Secara sederhana mempelajari etika dalam bisnis berarti mempelajari tentang

mana yang baik/buruk, benar/salah dalam dunia bisnis berdasarkan kepada prinsip-

prinsip moralitas. Kajian etika bisnis terkadang merujuk kepada management ethics

atau organizational ethics. Etika bisnis dapat berarti pemikiran atau refleksi tentang

moralitas dalam ekonomi dan bisnis.

Penggabungan etika dan bisnis dapat berarti melaksanakan norma-norma agama

bagi dunia bisnis. Bisnis yang beretika adalah bisnis yang memiliki komitmen

ketulusan dalam menjaga kontrak sosial yang sudah berjalan. Kontrak sosial merupakan

janji yang harus ditepati.

Moralitas disini, sebagaimana disinggung diatas berarti: aspek baik/buruk,

terpuji/tercela, benar/salah, wajar/tidak wajar, pantas/tidak pantas dari perilaku

manusia. Kemudian dalam kajian etika bisnis Islam susunan adjective di atas ditambah

dengan halal-haram, sebagaimana yang disinyalir oleh Husein Sahatah, di mana beliau

memaparkan sejumlah perilaku etis bisnis (akhlaqul al Islamiah) yang dibungkus

dengan dhawabith syariah (batasan syariah) atau general guideline menurut Rafik Issa

Beekun.

Bisnis Islami ialah serangkaian aktivitas bisnis dalam berbagai bentuk yang tidak

dibatasi jumlah kepemilikannya (barang/jasa) termasuk profitnya, namun dibatasi

dalam cara memperolehnya dan pendayagunaan hartanya karena aturan halal dan

haram. Sebagaimana firman Allah SWT dalam surah Al-Baqarah (2) ayat 188:

“Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara

kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan)

harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian daripada

harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu

Mengetahui.”

Page 7: ISSN: 1693-8275 JDINAMIKA - Universitas Islam Nahdlatul

JURNAL DINAMIKA EKONOMI & BISNIS Vol. 7 No. 1 Maret 2010 6

Manajemen Laba

Para manajer memiliki fleksibilitas untuk memilih diantara beberapa cara

alternatif dalam mencatat transaksi sekaligus memilih opsi-opsi yang ada dalam

perlakuan akuntansi yang sama. Fleksibilitas ini yang dimaksudkan untuk

memungkinkan para manajer mampu beradaptasi terhadap berbagai situasi ekonomi

dan menggambarkan konsekuensi ekonomi yang sebenarnya dari transaksi tersebut,

dapat juga digunakan untuk mempengaruhi tingkat pendapatan pada suatu waktu

tertentu dengan tujuan untuk memberi keuntungan bagi manajemen dan para pemangku

kepentingan (stakeholder). Ini adalah esensi dari manajemen laba, yaitu suatu

kemampuan untuk “memanipulasi” pilihan-pilihan yang tersedia dan mengambil

pilihan yang tepat untuk dapat mencapai tingkat laba yang diharapkan.

Schipper melihat manajemen laba sebagai suatu intervensi yang disengaja pada

proses pelaporan eksternal dengan maksud untuk mendapat beberapa keuntungan

pribadi. Healy dan Wahlen (1999) menyatakan bahwa manajemen laba terjadi ketika

manajer menggunakan judgment dalam pelaporan keuangan dan penyusunan transaksi

untuk merubah laporan keuangan, sehingga menyesatkan stakeholder tentang kinerja

ekonomi perusahaan atau untuk mempengaruhi hasil yang berhubungan dengan kontrak

yang tergantung pada angka akuntansi yang dilaporkan. Manajemen laba merupakan

pemilihan kebijakan akuntansi untuk mencapai tujuan khusus (Scott, 2000).

Healy dan Wahlen (1999) membagi motivasi yang mendasari manajemen laba

kedalam tiga kelompok: pertama motivasi dari pasar modal yang ditunjukkan dengan

return saham, kedua motivasi kontrak yang dapat berupa kontrak hutang (Sweeney,

1994) dan kontrak kompensasi manajemen (Holthausen dkk, 1995), ketiga motivasi

regulatory seperti yang dikemukakan Jones (1991), Naim dan Hartono (1996).

Manajemen laba terjadi ketika para manajer menggunakan pertimbangan mereka

dalam pelaporan keuangan dan struktur transaksi untuk mengubah laporan keuangan

dengan tujuan menyesatkan beberapa pemangku kepentingan mengenai kondisi kinerja

ekonomi perusahaan atau untuk mempengaruhi hasil-hasil kontraktual yang bergantung

pada angka-angka akuntansi yang dilaporkan.

Definisi yang dikemukakan oleh Healy dan Wahlen diatas berfokus pada

penerapan pertimbangan dalam laporan keuangan (a) untuk menyesatkan para

pemangku kepentingan yang tidak ataupun tidak bisa melakukan manajemen laba dan

(b) untuk membuat laporan keuangan menjadi lebih informatif bagi para penggunanya.

Oleh karenanya, terdapat sisi baik maupun buruk dari manajemen laba; (a) sisi

buruknya adalah biaya yang diciptakan oleh kesalahan alokasi dari sumber-sumber

daya dan (b) sisi baiknya adalah potensi peningkatan kredibilitas manajemen dalam

mengkomunikasikan informasi pribadi kepada pemangku kepentingan eksternal, dan

memperbaiki keputusan dalam alokasi sumber-sumber daya.

Menurut Ayres (1994: 27-29) terdapat unsur-unsur laporan keuangan yang dapat

dijadikan sasaran untuk dilakukan manajemen laba yaitu:

Page 8: ISSN: 1693-8275 JDINAMIKA - Universitas Islam Nahdlatul

7 Manajemen Laba dalam Tinjauan Etika Bisnis Islam

Ahmad Yusuf Marzuqi

Achmad Badarudin Latif

1. Kebijakan Akuntansi

Keputusan manajer untuk menerapkan suatu kebijakan akuntansi yang wajib

diterapkan oleh suatu perusahaan, yaitu antara menerapkan akuntansi lebih awal

dari waktu yang ditetapkan atau menundanya sampai saat berlakunya kebijakan

tersebut.

2. Pendapatan

Dengan mempercepat atau menunda pengakuan akan pendapatan.

3. Biaya

Menganggap sebagai ongkos (beban biaya) atau menganggap sebagai suatu

tambahan investasi atas suatu biaya (amortize or capitalize of investment).

Alasan dilakukan manajemen laba karena :

1. Manajemen laba dapat meningkatkan kepercayaan pemegang saham terhadap

manajer. Manajemen laba berhubungan erat dengan tingkat perolehan laba atau

prestasi usaha suatu organisasi, hal ini karena tingkat keuntungan atau laba

dikaitkan dengan prestasi manajemen dan juga besar kecilnya bonus yang akan

diterima oleh manajer.

2. Manajemen laba dapat memperbaiki hubungan dengan pihak kreditor.

Perusahaan yang terancam default yaitu tidak dapat memenuhi kewajiban

pembayaran utang pada waktunya, perusahaan berusaha menghindarinya dengan

membuat kebijakan yang dapat meningkatkan pendapatan maupun laba. Dengan

demikian akan memberi posisi bargaining yang relatif baik dalam negosiasi atau

penjadwalan ulang utang antara pihak kreditur dengan perusahaan.

Menurut Ayres (1994: 27-29) manajemen laba dapat dilakukan oleh manajer

dengan cara-cara sebagai berikut:

1. Manajer dapat menentukan kapan waktu akan melakukan manajemen laba

melalui kebijakannya. Hal ini biasanya dikaitkan dengan segala aktivitas yang

dapat mempengaruhi aliran kas dan juga keuntungan yang secara pribadi

merupakan wewenang dari para manajer.

2. Keputusan manajer untuk menerapkan suatu kebijakan akuntansi yang wajib

diterapkan oleh suatu perusahaan. Yaitu antara menerapkan lebih awal atau

menunda sampai saat berlakunya kebijakan tersebut.

3. Upaya manajer untuk mengganti atau merubah suatu metode akuntansi tertentu

dari sekian banyak metode yang dapat dipilih yang tersedia dan diakui oleh

badan akuntansi yang ada (GAAP).

Faktor-faktor yang diajukan oleh Watt dan Zimmerman sebagaimana dikutip

oleh Sugiri (1998: 1-18):

1. Hipotesis Bonus Plan ( Hipotesis program bonus)

Bahwa pada perusahaan dengan bonus plan cenderung untuk menggunakan

metode akuntansi yang akan meningkatkan income saat ini.

2. Debt To Equity Hypothesis (Hipotesis perjanjian utang)

Bahwa pada perusahaan yang mempunyai rasio debt to equity besar maka

Page 9: ISSN: 1693-8275 JDINAMIKA - Universitas Islam Nahdlatul

JURNAL DINAMIKA EKONOMI & BISNIS Vol. 7 No. 1 Maret 2010 8

manajer perusahaan tersebut cenderung menggunakan metode akuntansi yang

akan meningkatkan pendapatan atau laba.

3. Political Cost Hypothesis (Hipotesis biaya politik)

Bahwa pada perusahaan yang besar, yang kegiatan operasinya menyentuh

sebagian besar masyarakat akan cenderung untuk mengurangi laba yang

dilaporkan.

Walaupun didasari oleh motivasi dan kepentingan tertentu, Djakman (2003: 145)

menyatakan bahwa manajemen laba yang dilakukan melalui manajemen akrual tidak

sama dengan manipulasi laba. Earnings management dilakukan untuk memenuhi

kepentingan manajemen dengan memanfaatkan kelemahan inheren dari kebijakan

akuntansi akrual dan masih berada dalam koridor prinsip akuntansi berterima umum.

Sedangkan, earnings manipulation merupakan tindak pelanggaran terhadap prinsip

akuntansi berterima umum untuk menghasilkan kinerja keuangan perusahaan sesuai

kepentingan manajer atau perusahaan (Djakman 2003: 145). Pernyataan Djakman

(2003: 145) tersebut konsisten dengan Schroeder dan Clark (1998: 248) yang

menyatakan bahwa apabila manajemen laba dilakukan atas dasar pertimbangan-

pertimbangan manajerial yang sehat atau melalui pemilihan metode dan prosedur

akuntansi dalam batas-batas yang diperbolehkan oleh standar akuntansi, manajemen

laba bukanlah suatu tindak kecurangan (fraud), meskipun manajemen laba dengan cara-

cara tersebut dapat mempengaruhi keputusan stakeholders.

Namun, tidak tertutup kemungkinan bahwa praktik manajemen laba dapat

mengarah menjadi suatu tindak kecurangan (fraud). Manajemen laba dilakukan dengan

cara yang salah, di mana manajer secara sengaja menerapkan metode estimasi yang

tidak masuk akal, serta memilih metoda-metoda akuntansi dan pelaporan keuangan

yang tidak tepat, sehingga laporan keuangan tidak merefleksikan posisi ekonomik

perusahaan yang sebenarnya. Tujuan kecurangan dari manajemen laba semacam ini

tidak lain adalah mengelabui (mislead) para stakeholder atau sekelompok stakeholders

(Healy dan Wahlen 1999: 368).

Dalam konteks definisi yang diberikan oleh Fischer dan Rosenzweig (1994: 436),

praktik manajemen laba hanyalah upaya ”mempermainkan” angka laba di atas kertas,

dan tidak menimbulkan kerugian materi bagi siapa pun. Permainan angka laba di atas

kertas ini dilakukan oleh manajer dengan memanfaatkan fleksibilitas standar akuntansi

yang tersedia. Hal ini dimungkinkan karena standar akuntansi cukup memberikan

peluang kepada manajer untuk mencatat fakta tertentu dengan cara yang berbeda, serta

peluang untuk menggunakan subjektivitas dalam melakukan estimasi akuntansi

(Worthy, 1984: 52).

Seperti telah disebutkan di muka, Djakman (2003) menyatakan bahwa

manajemen laba yang dilakukan melalui manajemen akrual tidak sama dengan

manipulasi laba. Manajemen laba dilakukan dengan memanfaatkan kelemahan inheren

dari kebijakan akuntansi akrual dan masih berada dalam koridor prinsip akuntansi

berterima umum.

Page 10: ISSN: 1693-8275 JDINAMIKA - Universitas Islam Nahdlatul

9 Manajemen Laba dalam Tinjauan Etika Bisnis Islam

Ahmad Yusuf Marzuqi

Achmad Badarudin Latif

Sedangkan manipulasi laba merupakan tindak pelanggaran terhadap prinsip

akuntansi berterima umum untuk menghasilkan kinerja keuangan perusahaan sesuai

kepentingan manajer atau perusahaan (lihat juga Schroeder dan Clark 1998: 248).

Akuntan pendidik, akuntan manajemen dan akuntan publik sependapat dengan

pandangan Djakman (2003) serta Schroeder dan Clark (1998) ini.

Berikut ini adalah komentar mereka: Sepanjang dilakukan tanpa melanggar

standar akuntansi keuangan, praktik manajemen laba adalah sah. Manajer dan akuntan

tidak dapat disalahkan, karena manajemen laba dengan cara seperti itu bukan perbuatan

curang. Tetapi, manajemen laba akan berubah menjadi perbuatan curang jika ada

kesengajaan manajer atau akuntan melanggar standar akuntansi, misalnya dalam bentuk

manipulasi data, perhitungan dan pelaporan.

Manajemen laba melalui manajemen akrual pada dasarnya hanya mempengaruhi

angka laba di atas kertas dengan memanfaatkan aturan akuntansi yang fleksibel. Kalau

semuanya dilakukan tanpa melanggar aturan akuntansi, apa yang salah dengan

manajemen laba? Memilih teknik akuntansi yang cocok adalah hak asasi manajemen,

sementara aturan akuntansi memang mengijinkannya.

Pemilihan metode akuntansi untuk mempengaruhi angka laba jelas bukan tindak

kecurangan, sehingga praktik manajemen laba dengan cara ini boleh-boleh saja

dilakukan. Jangankan cuma sekadar memilih metoda akuntansi, menggeser terjadinya

transaksi yang berdampak pada penghasilan dan biaya saja bukan merupakan suatu

pelanggaran, asalkan pencatatan dan pelaporannya konsisten dan tidak melanggar

standar akuntansi.

Dengan melakukan manajemen akrual dalam batas-batas yang diperbolehkan

oleh standar akuntansi, kinerja perusahaan hanya terpengaruh dalam jangka pendek,

sedangkan dalam jangka panjang kinerja perusahaan yang tercermin dalam angka laba

adalah sama seperti jika seandainya angka laba tidak dipengaruhi.

Pandangan para akuntan di atas menunjukkan bahwa dalam perspektif akuntan,

praktik manajemen laba bukanlah tindak kecurangan (perilaku koruptif) sepanjang

dilakukan dalam koridor standar akuntansi, karena standar akuntansi dipandang sebagai

norma-norma yang diyakini tidak akan menghasilkan informasi yang menyesatkan bagi

pengguna laporan keuangan.

Pandangan akuntan bahwa manajemen laba bukan tindak kecurangan, juga tidak

terlepas dari pemahaman mereka tentang makna ”kecurangan” dalam bingkai profesi

mereka, terutama yang tertuang dalam Standar Audit Seksi 316 (IAI 2001) berikut:

Kecurangan berbeda dengan kekeliruan. Faktor yang membedakan antara kecurangan

dan kekeliruan adalah apakah tindakan yang mendasarinya, yang berakibat terjadinya

salah saji dalam laporan keuangan, berupa tindakan yang disengaja atau tidak disengaja.

Kecurangan dalam pelaporan keuangan dapat berupa penghilangan secara

sengaja atas jumlah atau pengungkapan dalam laporan keuangan untuk mengelabuhi

pemakai laporan keuangan, yang menyangkut tindakan manipulasi, pemalsuan,

perubahan catatan akuntansi, termasuk kesalahan penerapan secara sengaja prinsip

Page 11: ISSN: 1693-8275 JDINAMIKA - Universitas Islam Nahdlatul

JURNAL DINAMIKA EKONOMI & BISNIS Vol. 7 No. 1 Maret 2010 10

akuntansi yang berkaitan dengan jumlah, klasifikasi, cara penyajian, atau

pengungkapan.

Pandangan yang sama diberikan oleh Kurniawan (pemeriksa pajak). Kurniawan

berpandangan bahwa praktik manajemen laba oleh manajer pada hakikatnya tidak

berbeda dengan praktik manajemen pajak yang dilakukan oleh wajib pajak.

Menurutnya, manajemen pajak bukanlah tindak kecurangan sepanjang dilakukan secara

legal dalam koridor UU dan peraturan perpajakan.

Manajemen pajak bukan tindakan koruptif, karena wajib pajak hanya menyiasati

kelemahan-kelemahan yang ada dalam UU maupun peraturan perpajakan. Jika

kelemahan dalam peraturan perpajakan tidak ditemukan oleh wajib pajak, biasanya

wajib pajak menyiasati penerapan akrual yang diperbolehkan dalam akuntansi

perpajakan.

Dari perpektif yang berbeda, menarik untuk disimak adalah pandangan atas

praktik manajemen laba oleh Mujianto (penasihat investasi). Mujianto memahami

bahwa manajemen laba merupakan suatu intervensi yang disengaja oleh manajer atau

akuntan pada proses pelaporan keuangan eksternal dengan maksud mendapatkan

keuntungan pribadi. Walaupun manajemen laba dilakukan melalui strategi manajemen

operasi riil atau manajemen akrual yang tidak melanggar standar akuntansi, ia tidak

sependapat dengan para akuntan yang menyatakan bahwa praktik manajemen laba

bukan perilaku koruptif.

Ia mengatakan bahwa: Dilakukan melalui strategi apa pun, dengan melanggar

standar akuntansi atau tidak, praktik manajemen laba adalah tindakan koruptif. Saya

katakan sebagai tindakan koruptif, karena praktik itu didasari oleh motivasi dan

kepentingan pribadi dengan mengesampingkan kepentingan pihak lain. Praktik

manajemen laba menyebabkan angka laporan keuangan terpengaruh dan berpihak pada

kepentingan manajer.

Tujuan praktik itu sudah jelas, yaitu mengharapkan pembaca laporan keuangan

yang menjadi sasaran praktik manajemen laba agar mengambil keputusan yang

menguntungkan manajer atau perusahaan. Hal ini merugikan pihak lain.

Pendapat Mujianto tersebut tampak sangat konsisten dengan pernyataan IAI

(2007) dalam KDPPLK paragraf 16 berkaitan dengan netralitas laporan keuangan, dan

PSAK No.1 (Revisi 1998) paragraf 5 berkaitan dengan tujuan laporan keuangan

berikut: Informasi harus diarahkan pada kebutuhan umum pengguna, dan tidak

bergantung pada kebutuhan dan keinginan pihak tertentu. Tidak boleh ada usaha untuk

menyajikan informasi yang menguntungkan beberapa pihak, sementara hal tersebut

akan merugikan pihak lain yang mempunyai kepentingan yang berlawanan. [KDPPLK

paragraf 16]

Tujuan laporan keuangan untuk tujuan umum adalah memberikan informasi

tentang posisi keuangan, kinerja dan arus kas perusahaan yang bermanfaat bagi

sebagian besar kalangan pengguna laporan dalam rangka membuat keputusan-

keputusan ekonomi serta menunjukkan pertanggungjawaban kepengurusan manajemen

Page 12: ISSN: 1693-8275 JDINAMIKA - Universitas Islam Nahdlatul

11 Manajemen Laba dalam Tinjauan Etika Bisnis Islam

Ahmad Yusuf Marzuqi

Achmad Badarudin Latif

atas penggunaan sumber daya yang dipercayakan kepada mereka. [PSAK No.1

Rev.1998 paragraf 5]

Menurut Mujianto, tidak ada manajemen laba yang dilakukan tanpa motivasi atau

kepentingan, baik kepentingan pribadi maupun kepentingan perusahaan. ”Untuk

mencapai kepentingan itu, manajemen laba pasti dilakukan secara sengaja dan

sistematis”, katanya. Mujianto melanjutkan pernyataannya bahwa, berdasarkan nalar

dan pikiran yang normal, pemilihan metoda akuntansi seharusnya dilakukan tanpa

motivasi dan kepentingan tertentu yang memberikan manfaat lebih unggul pada satu

pihak daripada pihak lainnya.

Pemilihan metoda akuntansi seharusnya juga tanpa harus melalui kajian secara

sistematis dengan mempertimbangkan dampaknya pada angka laba, karena metoda

akuntansi apa pun sebenarnya akan menghasilkan angka laba yang sama dalam jangka

panjang. Karena pikiran manajer atau akuntan lebih terfokus pada bentuk tampilan

angka laba, bukan substansinya, maka praktik manajemen laba dianggap sebagai hal

biasa.

Selanjutnya, Mujianto menegaskan bahwa praktik manajemen laba merupakan

perilaku koruptif yang terdorong oleh pikiran yang terkorupsi. ”Secara sederhana, saya

mengartikan pikiran yang terkorupsi sebagai pikiran yang menganggap tidak salah

tentang sesuatu yang salah, atau menganggap tidak jahat tentang sesuatu yang

sebenarnya jahat”, demikian penjelasan Mujianto. Menurutnya, pikiran-pikiran

semacam itu timbul karena pertimbangan aspek hukum lebih diutamakan daripada

hakikat suatu tindakan dan dampaknya.

Ia pun mengatakan: Dalam pandangan saya, pernyataan bahwa praktik

manajemen laba bukan tidak kecurangan sepanjang dilakukan tanpa melanggar standar

akuntansi, merupakan pernyataan yang didasarkan pada nalar dan pikiran yang

menyimpang dari nalar dan pikiran normal. Pikiran itu terkorupsi oleh pertimbangan

aspek hukum atau peraturan, yaitu standar akuntansi. Dari aspek hukum, praktik

manajemen laba memang tidak mencurangi standar akuntansi, tetapi mencurangi

kepentingan pihak lain dengan melakukan pilihan-pilihan akuntansi secara sistematis.

Pendapat Mujianto tersebut tampak sangat terilhami oleh kritik-kritik Kwik

Kian-Gie terhadap fenomena korupsi yang ditulis dalam bukunya. Kian-Gie (2006)

memang menyatakan kritiknya bahwa, Pikiran yang terkorupsi sulit dilihat melalui

tindakan, tetapi mudah dilihat dari motivasi atau kepentingan untuk bertindak. Tidak

mungkin semua kejahatan yang berawal dari itikad buruk dapat diantisipasi dan diatur

dengan sangat lengkap oleh kalimat-kalimat dalam peraturan perundang-undangan

seberapa cermat pun, sebabnya adalah daya inovasi dan daya kreasi manusia.

Mujianto berterus-terang bahwa istilah “pikiran yang terkorupsi” yang

diucapkannya merupakan istilah yang diambil dari buku karya Kwik Kian-Gie. Dalam

bukunya, Kian-Gie (2006: 43-49) memang menggunakan istilah ”pikiran yang

terkorupsi” (corrupted mind) untuk menggambarkan kelainan dan penyimpangan

pikiran dari nalar yang normal.

Page 13: ISSN: 1693-8275 JDINAMIKA - Universitas Islam Nahdlatul

JURNAL DINAMIKA EKONOMI & BISNIS Vol. 7 No. 1 Maret 2010 12

Sebagai contoh, tersangka di sidang pengadilan dibebaskan dengan dalih ”negara

tidak dirugikan”. Penyelundup yang tertangkap dianggap tidak bersalah karena barang

selundupannya masih berada dalam daerah pabean. Yang bersangkutan dipersilakan

membayar bea masuk. Karena bea masuk sudah dibayar, maka berarti negara tidak

dirugikan yang tidak terbatas dalam menemukan cara-cara dan merumuskan kata-kata

yang menyatakan dirinya tidak melakukan kejahatan (Hal. 44). Korupsi dalam arti

corrupted mind, yang sifatnya tidak mencuri uang negara, tidak kalah berbahayanya

dengan tindak pidana korupsinya sendiri. Alur pikir yang corrupted juga

mengakibatkan kerugian yang luar biasa besarnya (Hal. 48).

Sebagai penasihat investasi, Mujianto menyatakan bahwa praktik manajemen

laba merupakan perilaku yang tidak dapat diterima, karena manajemen laba

berimplikasi pada hilangnya kredibilitas laporan keuangan, menambah bias informasi

dalam laporan keuangan, sehingga mengganggu pengguna laporan keuangan yang

mempercayai angka laba hasil rekayasa tersebut sebagai angka laba tanpa rekayasa.

”Dengan adanya manajemen laba, investor tidak menerima informasi yang cukup

akurat tentang laba dalam rangka mengevaluasi hasil dan risiko portofolio

investasinya”, kata Mujianto.

Pandangan bahwa praktik manajemen laba merupakan tindakan koruptif dan

tidak dapat diterima juga dikemukakan oleh Septi Yuliana (analis kredit). Septi Yuliana

menyadari bahwa manajemen laba pada dasarnya hanyalah tindakan untuk

mempengaruhi angka laba di atas kertas dengan memanfaatkan fleksibilitas standar

akuntansi. Oleh karena itu, ketika praktik manajemen laba dilakukan tidak akan selalu

timbul kerugian materi secara langsung bagi pihak yang menjadi sasaran, dan tidak

selalu ada keuntungan materi yang diperoleh secara langsung bagi pihak yang

melakukannya.

Di samping itu, Septi Yuliana juga menyadari bahwa dengan adanya manajemen

laba, kinerja perusahaan hanya terpengaruh dalam jangka pendek, sedangkan dalam

jangka panjang kinerja perusahaan yang terefleksi dalam angka laba adalah sama

seperti jika seandainya angka laba tidak dipengaruhi atau dikelola.

Walaupun demikian, ia berpendapat bahwa: Justru dampak jangka pendek dari

praktik manajemen laba itulah letak persoalannya. Dalam jangka pendek, praktik

manajemen laba akan memberikan manfaat lebih cepat bagi pihak tertentu dan akan

menunda pemberian manfaat itu bagi yang lain. Bagi pelaku manajemen laba,

keuntungan atau manfaat itu sebenarnya tidak harus diperoleh sekarang, tetapi

direkayasa sedemikian rupa sehingga manfaat itu dapat diperoleh lebih cepat. Manfaat

itu diperoleh tidak secara alamiah, tetapi melalui rekayasa informasi.

Dalam perspektif Septi Yuliana sebagai analis kredit, manajemen laba dapat

menyebabkan keputusan pemberian (pencairan) kredit menjadi berbeda dari yang

seharusnya. Ia memberikan contoh: Pencairan kredit pada suatu semester sebenarnya

tidak dapat dilakukan karena debitor tidak memenuhi persyaratan pencapaian laba pada

semester sebelumnya. Tetapi karena debitor melakukan rekayasa angka laba itu,

Page 14: ISSN: 1693-8275 JDINAMIKA - Universitas Islam Nahdlatul

13 Manajemen Laba dalam Tinjauan Etika Bisnis Islam

Ahmad Yusuf Marzuqi

Achmad Badarudin Latif

pencairan kredit pada semester ini harus dilakukan.

Dengan pencairan kredit itu, memang tidak ada kerugian materi bagi bank selaku

kreditor, tetapi keputusan bank telah dicurangi oleh debitor yang menginginkan

pencairan kreditnya tidak tertunda. Ada manfaat yang diperoleh debitor secara lebih

cepat, tetapi caranya tidak alamiah seperti jika praktik bisnis dilakukan secara normal.

”Upaya memperoleh keuntungan pribadi melalui praktik-praktik yang tidak normal,

sama halnya dengan perbuatan korupsi”, kata Septi Yuliana menambahkan.

Selanjutnya, ia pun mengungkapkan pendapat dan kritiknya: Pandangan bahwa

praktik manajemen laba tidak sama dengan praktik manipulasi laba, menurut saya,

merupakan pandangan yang tidak rasional tetapi dirasionalisasi. Yang saya maksud

dengan rasionalisasi adalah upaya-upaya pemikiran untuk menjadikan hal-hal yang

tidak rasional menjadi rasional, dengan cara mencari dalil-dalil tertentu sebagai dasar

legitimasi pemikiran itu.

Mencapai angka laba yang diinginkan seharusnya dilakukan melalui upaya-upaya

operasi bisnis yang normal, bukan beroperasi di atas kertas. Kalau cuma beroperasi di

atas kertas, itu manipulasi laba namanya. Tetapi, dalil yang umum digunakan untuk

menyatakan bahwa permainan di atas kertas ini bukan manipulasi laba adalah ada-

tidaknya pelanggaran terhadap standar akuntansi. Terkait dengan kritiknya tersebut,

Septi Yuliana berpendapat bahwa dalam istilah ”manajemen laba” itu sendiri

sebenarnya sudah terkandung suatu distorsi makna.

Ia mengatakan: Istilah manajemen sesungguhnya memiliki makna luhur sebagai

merencanakan, melaksanakan dan mengendalikan suatu kegiatan untuk mencapai

tujuan tertentu. Tetapi, dalam istilah ”manajemen laba” makna kata manajemen yang

luhur telah direduksi menjadi makna berkonotasi buruk sebagai mengatur, merubah,

mempermainkan, menata dan memanipulasi angka laba untuk mencapai tujuan yang

berkonotasi negatif. Saya tidak tahu, siapa yang pertama kali mereduksi makna kata

manajemen seperti itu. Para akademisi atau praktisi?

Pernyataan Septi Yuliana tersebut konsisten dengan pernyataan Binawan (2006,

xiv), bahwa mereduksi makna dengan maksud mendistorsi merupakan bentuk lain

perilaku koruptif, dan distorsi makna itu sendiri biasanya dibuat untuk

menyembunyikan sebuah tindakan koruptif.

Lebih lanjut Binawan (2006, xiv) menyatakan bahwa: Distorsi adalah

pengaburan makna suatu tindakan atau gejala dari makna yang biasanya dilekatkan

orang. Gejala pengubahan istilah dari ”buruh” ke ”pekerja” atau dari ”kenaikan harga”

menjadi ”penyesuaian harga” bisa ditafsirkan sebagai gejala korupsi jika memang ada

kesengajaan dan ada target keuntungan yang mau dicapai. Sifat koruptif dalam distorsi

makna akan makin kelihatan jika distorsi itu ditempatkan dalam konteks komunikasi.

Metode Penelitian

Desain penelitian menggunakan metode telaah referensi deskriptif/literatur

dengan mengacu referensi-referensi mengenai Islam, bisnis Islam, dan hal-hal yang

Page 15: ISSN: 1693-8275 JDINAMIKA - Universitas Islam Nahdlatul

JURNAL DINAMIKA EKONOMI & BISNIS Vol. 7 No. 1 Maret 2010 14

berkaitan tentang manajemen laba dan etika bisnis Islam. Jenis data yang digunakan

dalam penelitian ini adalah data dokumenter. Data dokumenter memuat apa dan kapan

sesuatu kejadian atau transaksi, serta siapa yang terlibat dalam sesuatu kejadian.

Sedangkan sumber data yang diperoleh ialah data sekunder. Data sekunder merupakan

sumber data yang berupa buku-buku atau hal-hal lain yang berhubungan dengan topik

yang diteliti.

Metode pengumpulan data perlu dilakukan dalam usaha memperoleh data-data

yang selanjutnya dianalisis untuk memecahkan suatu masalah. Adapun metode atau

tehnik penelitian dalam pengumpulan data yang penulis lakukan menggunakan studi

pustaka. Yaitu pengumpulan data yang berasal dari buku-buku, literatur-literatur serta

bacaan yang lainnya yang berhubungan dengan masalah yang diteliti. Metode ini

digunakan untuk memperoleh literatur dan buku-buku yang berhubungan dengan topik

penelitian ini.

Setelah data yang diperoleh telah terkumpul, langkah selanjutnya adalah

menganalisis data tersebut. Dalam melakukan penelitian ini metode analisis data yang

digunakan adalah Metode kualitatif dengan langkah-langkah sebagai berikut:

1. Meninjau beberapa referensi dari buku dan jurnal ilmiah tentang manajemen

laba dan etika bisnis Islam.

2. Membuat penafsiran atau interpretasi.

3. Menyimpulkan.

Hasil dan Pembahasan

Pandangan Al-Qur’an tentang Bisnis

Al-Qur’an dalam mengajak manusia untuk mempercayai dan mengamalkan

tuntunan-tuntunannya dalam segala aspek kehidupan seringkali menggunakan istilah-

istilah yang dikenal dalam dunia bisnis, seperti jual-beli, untung-rugi dan sebagainya.

Dalam konteks ini Al-Qur’an menjanjikan:

“Sesungguhnya Allah Telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta

mereka dengan memberikan surga untuk mereka. mereka berperang pada jalan

Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu Telah menjadi) janji yang

benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al Quran. dan siapakah yang lebih

menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual

beli yang Telah kamu lakukan itu, dan Itulah kemenangan yang besar.” (Q.S.

At-Taubah: 111)

Pada ayat tersebut, mereka yang tidak ingin melakukan aktivitas kehidupannya

kecuali bila memperoleh keuntungan semata, dilayani (ditantang) oleh Al-Qur’an

dengan menawarkan satu bursa yang tidak mengenal kerugian dan penipuan. Dengan

jelas pula bahwa Al-Quran tidak memberi peluang bagi seorang muslim untuk

menganggur sepanjang saat yang dialami dalam kehidupan dunia ini.

Dari paparan diatas terlihat jelas bahwa Al-Qur’an memberikan tuntunan visi

bisnis yang jelas yaitu bisnis masa depan yang bukan semata-mata mencari keuntungan

Page 16: ISSN: 1693-8275 JDINAMIKA - Universitas Islam Nahdlatul

15 Manajemen Laba dalam Tinjauan Etika Bisnis Islam

Ahmad Yusuf Marzuqi

Achmad Badarudin Latif

sesaat tetapi “merugikan” melainkan mencari keuntungan yang secara hakikat baik dan

berakibat baik pula bagi kesudahannya (pengaruhnya).

Ayat Al-Qur’an Tentang Bisnis

Allah tidak akan menurunkan rezeki kepada manusia kecuali manusia berusaha

untuk mendapatkannya. Dan telah ditentukan waktu bagi manusia untuk bekerja dan

beristirahat, yang disesuaikan dengan kemauan manusia:

“Dialah yang menjadikan malam bagi kamu supaya kamu beristirahat padanya

dan (menjadikan) siang terang benderang (supaya kamu mencari karunia

Allah). Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda

(kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang mendengar*.” (Q.S. Yunus: 67)

* Maksudnya: Rasul dan orang-orang yang beriman.

“Sesungguhnya usaha kamu memang berbeda-beda.” (Q.S. Al-Lail: 4)

Allah menganjurkan manusia untuk mencari rizqi setelah kewajibannya kepada

Allah terpenuhi;

“Apabila Telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi;

dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu

beruntung.” (Q.S. Al-Jumu’ah: 10)

Manusia dalam mencari rezeki harus memperhatikan kehendak sesamanya,

misalnya dalam perdagangan tidak saling memaksa. Proses tawar-menawar didasarkan

atas suka sama suka:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta

sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang

berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.” (Q.S. An-Nisa’: 29)

Supaya segala kegiatan manusia dalam perdagangan mendapatkan berkah dan

bermanfaat bagi kemaslahatannya maka manusia harus adil dan jujur.

“Dan Tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi

neraca itu.” (Q.S. Ar-Rohman: 9)

Hadist Rasul SAW Tentang Bisnis

Rasulullah SAW menganjurkan umatnya untuk memperhatikan sikap dalam

berdagang:

“Pedagang yang jujur dan dapat dipercaya termasuk golongan para nabi,

orang-orang yang benar-benar tulus dan para syuhada”. (HR. Tirmizdi, Darimi

dan Daraqutni)

“Seseorang pedagang yang tulus (yakni selalu mengutamakan kebenaran

dalam ucapan dan tindakan) akan dibangkitkan kelak pada hari kiamat dalam

kelompok para siddiqin dan syuhada”. (HR.Tirmizdi dan Hakim)

Page 17: ISSN: 1693-8275 JDINAMIKA - Universitas Islam Nahdlatul

JURNAL DINAMIKA EKONOMI & BISNIS Vol. 7 No. 1 Maret 2010 16

“Allah memberikan rahmatnya pada setiap orang yang bersikap baik ketika

menjual, membeli dan membuat suatu pernyataan”. (HR. Bukhari)

“Kedua kelompok dalam suatu transaksi perdagangan memiliki hak untuk

membatalkannya hanya sejauh mereka belum berpisah kecuali transaksi itu

menyulitkan kelompok tersebut untuk membatalkannya”. (HR. Bukhari dan

Muslim)

Hakim bin Hizam ra melaporkan bahwa Rasulullah SAW bersabda:

“Kedua pihak dalam suatu transaksi perdagangan berhak untuk membatalkan,

selama mereka tidak berpisah, jika mereka berkata benar, menjelaskan segala

sesuatunya dengan jernih. Maka transaksi mereka akan mendapat berkah.

Tetapi jika mereka menyembunyikan sesuatu serta berdusta, maka berkah

yang ada pada transaksi mereka akan terhapus”. (HR. Bukhari dan Muslim)

Hakim ibn Hizam ra berkata, Nabi mengirimkan padanya uang satu dinar

untuknya; ia membeli seekor domba seharga satu dinar, menjualnya kembali

seharga dua dinar. Dan membawanya bersama keuntungan satu dinar yang didapati.

Nabi memberikan uang satu dinar tadi sebagai sedekah serta memohon berkah

atasnya. (HR. Tirmizdi dan Abu Dawud)

Rasulullah SAW melarang memperdagangkan sesuatu yang mempunyai sifat

merugikan manusia.

Ibnu Umar ra meriwayatkan dari Rasulullah SAW bahwa:

“Allah SWT melaknat minum anggur, peminumnya, pelayannya, penjualnya,

pembelinya, pemerasannya serta orang yang minta dipasarkan, orang yang

mengedarkan serta penadahnya”. (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majjah)

“Jangan kamu menjual barang yang tidak ada padamu “. (HR. Ahmad dan

dishahihkan oleh at-Tirmizdi dan Ibn Hibban)

Abu Hurairah ra. dan Amr ibnu Syuaib ra. melaporkan bahwa “Rasulullah

SAW telah melarang dua transaksi yang digabungkan menjadi satu dalam satu

penawaran”. (HR. Malik .Tirmizdi Abu Dawud , Nasai dan Syarh Al-Sunnah)

“Ibnu Umar ra berkata: Nabi telah melarang penjualan utang jumlah

pembayarannya berbeda pada waktu yang lain”. (HR. Daruqutni)

“Suatu pinjaman yang disertai syarat suatu transaksi penjualan tidak

diperbolehkan, tidak pula dua syarat yang berkaitan dengan satu transaksi;

tidak pula keuntungan yang tidak bersumber dari kewajiban pembayaran

sesorang; tidak pula menjual sesuatu yang bukan hak miliknya”. (HR.

Tirmizdi, Abu Dawud, Nasai)

Etika Islam Tentang Bisnis

Dalam kaitannya dengan paradigma Islam tentang etika bisnis, maka landasan

filosofis yang harus dibangun dalam pribadi Muslim adalah adanya konsepsi hubungan

Page 18: ISSN: 1693-8275 JDINAMIKA - Universitas Islam Nahdlatul

17 Manajemen Laba dalam Tinjauan Etika Bisnis Islam

Ahmad Yusuf Marzuqi

Achmad Badarudin Latif

manusia dengan manusia dan lingkungannya, serta hubungan manusia dengan

Tuhannya, yang dalam bahasa agama dikenal dengan istilah (hablum minallah wa

hablumminannas). Dengan berpegang pada landasan ini maka setiap muslim yang

berbisnis atau beraktifitas apapun akan merasa ada kehadiran "pihak ketiga" (Tuhan) di

setiap aspek hidupnya. Keyakinan ini harus menjadi bagian integral dari setiap muslim

dalam berbisnis. Hal ini karena Bisnis dalam Islam tidak semata mata orientasi dunia

tetapi harus punya visi akhirat yang jelas. Dengan kerangka pemikiran seperti itulah

maka persoalan etika dalam bisnis menjadi sorotan penting dalam ekonomi Islam.

Dalam ekonomi Islam, bisnis dan etika tidak harus dipandang sebagai dua hal

yang bertentangan, sebab bisnis yang merupakan simbol dari urusan duniawi juga

dianggap sebagai bagian integral dari hal-hal yang bersifat investasi akhirat. Artinya,

jika orientasi bisnis dan upaya investasi akhirat (diniatkan sebagai ibadah dan

merupakan totalitas kepatuhan kepada Tuhan), maka bisnis dengan sendirinya harus

sejalan dengan kaidah-kaidah moral yang berlandaskan keimanan kepada akhirat.

Bahkan dalam Islam, pengertian bisnis itu sendiri tidak dibatasi urusan dunia, tetapi

mencakup pula seluruh kegiatan kita di dunia yang "dibisniskan" (diniatkan sebagai

ibadah) untuk meraih keuntungan atau pahala akhirat.

Ancaman kepada Pelaku Bisnis yang Tidak Jujur

Dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW pernah melalui satu timbunan dari

(biji-biji) makanan, lalu beliau memasukkan padanya tangannya lalu tangannya kena

basah, beliau bersabda “Apakah ini, hai penjual makanan? Ia menjawab ,”kena hujan ya

Rasulullah”. Sabdanya “Mengapa engkau tidak taruh dia disebelah atas supaya orang-

orang lihat dia? Barang siapa menipu bukanlah dari (golongan) ku (HR. Muslim)

Dari Hurairah ra, ia berkata, telah bersabda Rasulullah SAW, “janganlah kamu

papak (pergi berjumpa kafilah sebelum sampai di kota dan sebelum mereka dapat tahu

harga pasar) barang yang dibawa (dari luar kota). Barang siapa dipapak lalu dibeli dari

padanya (sesuatu), maka apabila yang empunya (barang) itu datang ke pasar , ia berhak

khiar (hak memiliki buat menjadikan atau membatalkan penjualan sebelum datang ke

pasar)”(HR. Muslim)

Dari Umar ra. ia berkata: “Saya telah beli minyak di pasar. Tatkala sudah

menjadi hak saya, seorang laki-laki bertemu saya dan ia berikan kepada saya untung

yang baik buat minyak itu. Ketika saya hendak pukul tangannya (tanda jadi jual beli),

seseorang dari belakang memegang siku saya, lalu saya berpaling ternyata Zaid bin

Tsabit. Ia berkata:”jangan jual ini dimana tuan beli hingga dibawa ini ketempat tuan,

karena Rasulullah melarang menjual barang-barang yang dibeli hingga dibawa

pedagang-pedagang ke tempat mereka.”(HR. Ahmad)

Ibnu Umar meriwayatkan, “Masyarakat arab biasa membeli bahan pangan

langsung dari pemilik unta, tetapi Nabi melarang mereka membelinya sampai bahan itu

dijual di pasar.”(HR. Bukhari)

Page 19: ISSN: 1693-8275 JDINAMIKA - Universitas Islam Nahdlatul

JURNAL DINAMIKA EKONOMI & BISNIS Vol. 7 No. 1 Maret 2010 18

Tinjauan Bisnis Islam terhadap Manajemen Laba

Djakman (2003: 145) menyatakan bahwa manajemen laba yang dilakukan

melalui manajemen akrual tidak sama dengan manipulasi laba. Manajemen laba

dilakukan dengan memanfaatkan kelemahan inheren dari kebijakan akuntansi akrual

dan masih berada dalam koridor prinsip akuntansi berterima umum.

Sedangkan manipulasi laba merupakan tindak pelanggaran terhadap prinsip

akuntansi berterima umum untuk menghasilkan kinerja keuangan perusahaan sesuai

kepentingan manajer atau perusahaan. Akuntan pendidik, akuntan manajemen dan

akuntan publik sependapat dengan padangan Djakman (2003) serta Schroeder dan

Clark (1998) ini.

Berikut ini adalah komentar mereka: Sepanjang dilakukan tanpa melanggar

standar akuntansi keuangan, praktik manajemen laba adalah sah. Manajer dan akuntan

tidak dapat disalahkan, karena manajemen laba dengan cara seperti itu bukan perbuatan

curang. Tetapi, manajemen laba akan berubah menjadi perbuatan curang jika ada

kesengajaan manajer atau akuntan melanggar standar akuntansi, misalnya dalam bentuk

manipulasi data, perhitungan dan pelaporan. [Hardiwibowo – akuntan pendidik]

Pandangan para akuntan di atas menunjukkan bahwa dalam perspektif akuntan,

praktik manajemen laba bukanlah tindak kecurangan (perilaku koruptif) sepanjang

dilakukan dalam koridor standar akuntansi, karena standar akuntansi dipandang sebagai

norma-norma yang diyakini tidak akan menghasilkan informasi yang menyesatkan bagi

pengguna laporan keuangan.

Berbeda halnya dengan Mujianto (penasihat investasi) ia mengatakan bahwa:

Dilakukan melalui strategi apa pun, dengan melanggar standar akuntansi atau tidak,

praktik manajemen laba adalah tindakan koruptif. Saya katakan sebagai tindakan

koruptif, karena praktik itu didasari oleh motivasi dan kepentingan pribadi dengan

mengesampingkan kepentingan pihak lain. Praktik manajemen laba menyebabkan

angka laporan keuangan terpengaruh dan berpihak pada kepentingan manajer.

Pendapat Mujianto tersebut tampak sangat konsisten dengan pernyataan IAI

(2007) dalam KDPPLK paragraf 16 berkaitan dengan netralitas laporan keuangan, dan

PSAK No.1 (Revisi 1998) paragraf 5 berkaitan dengan tujuan laporan keuangan

berikut: Informasi harus diarahkan pada kebutuhan umum pengguna, dan tidak

bergantung pada kebutuhan dan keinginan pihak tertentu. Tidak boleh ada usaha untuk

menyajikan informasi yang menguntungkan beberapa pihak, sementara hal tersebut

akan merugikan pihak lain yang mempunyai kepentingan yang berlawanan. [KDPPLK

paragraf 16]

Menurut Rafik Issa Beekun, Bisnis Islami ialah serangkaian aktivitas bisnis

dalam berbagai bentuk yang tidak dibatasi jumlah kepemilikannya (barang/jasa)

termasuk profitnya, namun dibatasi dalam cara memperolehnya dan pendayagunaan

hartanya karena aturan halal dan haram.

Sebagaimana firman Allah SWT dalam surah Al-Baqarah (2) ayat 188:

Page 20: ISSN: 1693-8275 JDINAMIKA - Universitas Islam Nahdlatul

19 Manajemen Laba dalam Tinjauan Etika Bisnis Islam

Ahmad Yusuf Marzuqi

Achmad Badarudin Latif

“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara

kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta

itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda

orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu Mengetahui.” (QS.

Al-Baqarah: 188)

Dari paparan diatas, Islam memandang bahwa para manajer maupun akuntan

harus memiliki akhlaq/ sifat jujur, menepati amanah, dan jujur dalam melaporkan hasil

dari laporan keuangan kepada para penggunanya. Kejujuran merupakan salah satu

modal yang sangat penting dalam berbisnis karena kejujuran akan menghindarkan diri

dari hal-hal yang dapat merugikan salah satu pihak.

“ ...... Maka sempurnakanlah takaran dan timbangan dan janganlah kamu

kurangkan bagi manusia barang-barang takaran dan timbangannya.” (QS. Al-

A’raf : 85)

Islam juga tidak memperbolehkan kepada siapa saja (khususnya dalam hal ini

pelaku bisnis) untuk berbuat curang/ penipuan yang mana dari perbuatan tersebut akan

berdampak merugikan pihak yang lain.

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta

sesamamu dengan jalan yang bathil.” (QS. An Nisa : 29)

Firman Allah SWT dalam surah Al-Baqarah ayat 42:

“Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang bathil dan

janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu Mengetahui.” (QS.

Al-Baqarah: 42)

Selain dari sifat shiddiq, amanah, tabligh, fathanah yang harus dimiliki oleh para

pelaku bisnis diatas ciri-ciri itu masih ditambah istiqamah. Etika bisnis Islam

menjunjung tinggi semangat saling percaya, kejujuran, dan keadilan. Dalam surat Asy-

Syuara ayat 183 dijelaskan:

“Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya.” (QS. As-Syuara:

183)

Penutup

Kesimpulan

Berdasarkan dari referensi/ buku-buku/ literatur yang berhubungan dengan etika

bisnis Islam dan manajemen laba, peneliti mempunyai pandangan (interpretasi) bahwa:

1. Perilaku seorang manajer terhadap manajemen laba yang dilakukan dengan cara

memanipulasi angka laba diatas kertas, hal tersebut belum sesuai dengan apa

yang dituntunkan oleh ajaran agama Islam.

2. Jika laporan keuangan tersebut dilaporkan apa adanya dan tidak menyimpang

dari apa yang telah ditetapkan oleh aturan-aturan yang berlaku ataupun aturan

Page 21: ISSN: 1693-8275 JDINAMIKA - Universitas Islam Nahdlatul

JURNAL DINAMIKA EKONOMI & BISNIS Vol. 7 No. 1 Maret 2010 20

ajaran agama Islam, manajemen laba tidak akan menuai kontroversi diantara

beberapa pihak.

3. Manajemen laba yang baik dapat dilakukan dengan cara manajemen operasi

yang baik, misalnya manajemen produksi, manajemen keuangan dan investasi,

manajemen pemasaran, atau manajemen bidang lainnya.

4. Bahwa hukum dasar dari berbagai jenis muamalah adalah boleh sampai

ditemukan dalil yang melarangnya.

Keterbatasan Penelitian

Beberapa keterbatasan penelitian meliputi:

1. Kurangnya pengalaman terhadap praktik manajemen laba yang telah berlaku di

lapangan.

2. Penelitian dilakukan dengan studi literatur sehingga data yang diperoleh tidak

langsung dari narasumbernya.

Saran

1. Agenda penelitian selanjutnya:

a. Supaya melakukan penelitian dengan studi lapangan,

b. Mencari data langsung dari para narasumbernya yang meliputi: Manajer,

pengamat (akuntan publik, akuntan manajemen, penasihat investasi dll).

2. Untuk para pelaku bisnis:

a. Para pelaku bisnis dalam melakukan aktifitasnya sehari-hari sebaiknya

diniati dengan niat karena Allah SWT semata, dan juga segala usaha yang

telah dilakukan itu merasa bahwa hakikatnya adalah Allah SWT yang

menjalankannya, agar terhindar dari hal-hal yang kurang baik.

b. Disamping diniati dengan Lillah dan Billah, juga meniru langkah-langkah

yang dilakukan oleh Rasulullah SAW dalam bermuamalah (lirRosul), serta

mensyukuri karena kita bisa melakukan muamalah/ bisnis itu adalah jasa

dari Rasulullah saw (birRasul).

c. Dalam melakukan kegiatan muamalah (bisnis/ manajemen laba) para

pelaku seharusnya tidak hanya berorientasi kepada duniawi saja, karena

manusia akan menemui kehidupan akhirat.

Daftar Pustaka

Ardiati, Aloysia Yanti, 2005, “Pengaruh Manajemen Laba Terhadap Return Saham

pada Perusahaan yang Diaudit oleh KAP Big 5 dan KAP Non Big 5”, Jurnal

Riset Indonesia, vol. 8 no. 3, h.235-249.

Arnawa, I Gede, 2006, Analisa Indikasi Manajemen Laba melalui Discretionary

Allowance for Loan Loses pada Perbankan Pasca Rekapitalisasi, Tesis Magister

Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta.

Bank Indonesia, 2007, Direktori Perbankan Indonesia, Biro data dan Informasi

Page 22: ISSN: 1693-8275 JDINAMIKA - Universitas Islam Nahdlatul

21 Manajemen Laba dalam Tinjauan Etika Bisnis Islam

Ahmad Yusuf Marzuqi

Achmad Badarudin Latif

Perbankan, Jakarta.

Bernard, Victor L., dan Skinner Douglas J., 1996, “What Motivates Managers Choice

of Discretionary Accruals?”, Journal of Financial Economics, vol. 22, 313-323.

Betty, Anne. L and Petroni, Kathy. R, 2002, “Earnings Management to Avoid Earnings

Declines Across Publicy and Private Held Banks”, The Accounting Review, Vol

77.

Departemen Agama RI, Alquran Dan Terjemahnya.

Departemen Agama RI, Modul Fiqih Untuk Program Penyetaraan D3.

Desriani, Rahmi, 2001, Persepsi Akuntan terhadap Kode Etik Akuntan Indonesia, Tesis

Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Ekayani, Ni Nengah Seri dan Made Pradana Adi Putra, 2003, “Persepsi Akuntan dan

Mahasiswa Bali terhadap Etika Bisnis”, Simposium Nasional Akuntansi (SNA)

VI, Surabaya, 16-17 Oktober.

Endriani, D., 2004, Indikasi Praktek Earnings Management oleh Bank-Bank di

Indonesia Dalam Memenuhi Ketentuan Rasio Kecukupan Modal, Tesis Magister

Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta.

Healy, Paul M., dan Wahlen James M, 1999, “A Review of The Earnings Management

Literature and Its Implications for Standard Setting”, Accounting Horizons, Vol.

13 No. 4.

Imam Sutanto, Intan, 2000, Indikasi Manajemen Laba (Earnings Management)

Menjelang IPO oleh Perusahaan Yang Terdaftar di Bursa Efek Jakarta, Tesis S2

Akuntansi, UGM Yogyakarta.

Islahuddin dan Soesi, 2002, “Persepsi terhadap Kualitas Akuntan Menghadapi tuntutan

Profesionalisme di Era Globalisasi”, Jurnal Manajemen dan Bisnis, Vol. 4 No. 1,

h.1-18.

Jones, J.J., 1991, “Earnings Management During Import relief investigation”, Journal

of Accounting Research, Autumn, h.193-228.

Karim, Adiwarman, 2004, Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan, Jakarta: PT Raja

Grafindo Persada.

Keraf, A. Sonny, 1998, Etika Bisnis: Membangun Citra Bisnis sebagai Profesi Luhur.

Yogyakarta: Kanisius.

Kussudyarsana, 2000, “Urgensi Etika Bisnis Dalam Dunia Bisnis di Indonesia”, Jurnal

Riset Akuntansi Indonesia, Vol. 2 No. 1, 65-72.

Mahu, Zainab, 2004, Perlakuan Perpajakan dan Akuntansi atas Transaksi Perbankan

Syariah, Tesis Magister Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia

Jakarta.

McNichols, Maureen F, 2000, “Research Design Issues in Earnings Management

Studies”, Journal of Accounting and Public Policy, Vol. 23 No. 2, 313-345.

Page 23: ISSN: 1693-8275 JDINAMIKA - Universitas Islam Nahdlatul

JURNAL DINAMIKA EKONOMI & BISNIS Vol. 7 No. 1 Maret 2010 22

Munter, Paul, 1999, “SEC Sharply Criticized: Earnings Management Accounting”, The

Journal of Corporate Accounting and Finance (Winter), 31-38.

Muslich, 1998, Etika Bisnis: Pendekatan Substansif dan Fungsional, Yogyakarta:

Penerbit Ekonisia.

Payamta, Triyono dan Zainuddin, 1997, Akuntan sebagai Profesi Etis, Perspektif, No.

6, Edisi: April-Juni.

Raharjono, Dominikus Agus Budi, 2005, Hubungan Manajemen Laba Menjelang IPO

dengan Nilai Awal Perusahaan dan Return Saham Setelah IPO, Tesis S2

Akuntansi, UGM Yogyakarta.

Rajgopal, Shivaram, Mohan Venkatachalam, dan James Jiambalvo, 1999, “Is

Institutional Ownership Associated with Earnings Management and The Extent

to which Stock Prices Reflect Future Earnings?” Working Paper.

Rangan, Srinivasan, 1998, “Earnings Management and The Performance of Seasoned

Equity Offerings” Journal of Financial Economics, Vol. 50, 100-122.

Robbin, Stenphen J, 2002, Prinsip perilaku organisasi (diterjemahkan oleh Halida dan

Dewi Sartika), Jakarta: Penerbit Erlangga.

Sihwahjoeni dan Gudono, 1999, “Persepsi Akuntan terhadap Kode Etik Akuntan”

Simposium Nasional Akuntansi II, IAI-KAPd September 1999.

Susanto, Agus, 2003, Indikasi Praktek Pengelolaan Laba dan Faktor-Faktor yang

Mempengaruhinya (Studi Empiris pada Sektor Perbankan Sebelum Krisis

Perbankan Nasional), Tesis Magister Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas

Indonesia, Jakarta.

Page 24: ISSN: 1693-8275 JDINAMIKA - Universitas Islam Nahdlatul

23 Analisis Faktor-Faktor yang Berpengaruh terhadap Tindakan

Perataan Laba pada Perusahaan Manufaktur di BEJ

Iis Setyningsih

Ichwan Marisan

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH

TERHADAP TINDAKAN PERATAAN LABA PADA

PERUSAHAAN MANUFAKTUR DI BEI

Iis Setyaningsih

Ichwan Marisan1)

STIE Nahdlatul Ulama Jepara, Jl. Taman Siswa (Pekeng) Tahunan Jepara

Email: 1)

[email protected]

Abstract

Profit Information plays an important role for corporate, so the management

tend to engage in income smoothing to overcome the conflict of interest. Aim of this

research was to know whether the ROA, DTA, PER effect on the income smoothing. The

study population consisted of 141 manufacturing companies go public on the JSE

(Jakarta stock exchange). The research sample was 130 firm taken with purposive

sampling. The analysis technique used logistic regression. The results showed that the

ROA, DTA, and PER did not affect the income smoothing, either partially or

simultaneously. Agenda for future research include: (1) see the accounting method used

by the company, (2) using the method of classification of different samples such as

(model Michelson).

Keywords: ROA, DTA, PER, Income Smoothing

Abstrak

Informasi laba berperan penting bagi perusahaan sehingga sehingga manajemen

cenderung melakukan perataan laba untuk mengatasi konflik kepentingan. Tujuan

penelitian untuk menguji pengaruh ROA, DTA, PER terhadap tindakan perataan laba.

Populasi penelitian terdiri dari 141 perusahaan manufaktur Go Public di BEJ. Sampel

penelitian ada 130 yang diambil secara purposive sampling. Teknik analisis yang

digunakan adalah regresi logistik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ROA, DTA,

dan PER tidak berpengaruh terhadap tindakan perataan laba, baik secara parsial

maupun simultan. Agenda penelitian selanjutnya antara lain: (1) melihat metode

akuntansi yang digunakan oleh perusahaan, (2) menggunakan metode

pengklasifikasian sampel yang berbeda misalnya model michelson).

Kata Kunci: ROA, DTA, PER, Income Smoothing

Pendahuluan

Berdasarkan Statement Financial Accounting Concept (SFAC) no. 1 (Ghozali dan

Chariri, 2005), laporan keuangan harus menyajikan informasi yang berguna untuk

investor dan calon investor, kreditur dan pengguna lain. Informasi tersebut harus dapat

Page 25: ISSN: 1693-8275 JDINAMIKA - Universitas Islam Nahdlatul

JURNAL DINAMIKA EKONOMI & BISNIS Vol. 7 No. 1 Maret 2010 24

dipahami oleh mereka yang memiliki wawasan bisnis dan ekonomi. Oleh karena itu,

penyajiannya disertai pengungkapan penuh (full disclosure).

Salah satu informasi dalam laporan keuangan adalah mengenai laba. Informasi

laba merupakan komponen laporan keuangan perusahaan untuk menilai kinerja

manajemen, estimasi laba dalam jangka panjang, dan penaksiran risiko (Kirschenheiter

dan Melumad dalam Juniarti dan Corolina, 2005). Pentingnya informasi laba ini

disadari oleh manajemen, sehingga manajemen cenderung melakukan disfunctional

behaviour (perilaku tidak semestinya), yaitu dengan melakukan perataan laba untuk

mengatasi berbagai konflik yang timbul antara manajemen dengan berbagai pihak yang

berkepentingan dengan perusahaan (Sugiarto, 2003).

Hubungan keagenan muncul ketika pemilik (principal) mempekerjakan individu

lain (agent) untuk melaksanakan pekerjaan (Brigham and Houston, 2001). Konflik

keagenan akan muncul apabila masing-masing pihak mempunyai perbedaan

kepentingan. Pada keadaan ini terjadi asimetri informasi, yaitu ketika manajer memiliki

akses informasi atas prospek perusahaan yang tidak dimiliki oleh pihak luar. Adanya

asimetri informasi mendorong manajer untuk menyajikan informasi yang tidak

sebenarnya, terutama informasi yang berkaitan dengan pengukuran kinerja manajer

(Halim, dkk, 2005:120).

Kesenjangan informasi antara kedua belah pihak memicu munculnya perataan

laba (income smoothing). Praktik perataan laba merupakan usaha manajemen untuk

menekan variasi laba perusahaan. Tindakan perataan laba berhubungan dengan bonus

compensation plan yang dikaitkan dengan kinerja manajemen yang dinilai melalui

laporan laba rugi. Perataan laba juga ditujukan untuk memperbaiki citra perusahaan di

mata pihak eksternal bahwa perusahaan memiliki risiko yang rendah (Dwiatmini dan

Nurkholis, 2001).

Bagi manajemen, seringkali tidak penting untuk melaporkan laba maksimal,

bahkan manajemen lebih cenderung melaporkan laba yang dianggap normal bagi

perusahaan untuk beberapa periode (Samlawi dan Sudibyo, 2000). Praktik perataan laba

didorong oleh berbagai faktor, yang dapat dibedakan berdasarkan faktor konsekuensi

metode akuntansi dan faktor laba. Faktor konsekuensi metode akuntansi merupakan

kondisi yang dipengaruhi oleh angka-angka akuntansi. Sedangkan faktor laba adalah

pengaruh dari angka-angka laba periodik yang dengan sendirinya juga mendorong

perilaku perataan laba (Prasetio dkk, 2002).

Faktor penentu perataan laba belum sepenuhnya menunjukkan hasil yang

konsisten antara penelitian yang satu dengan penelitian yang lainnya. Hal ini

memberikan kesempatan dilakukan penelitian mengenai faktor-faktor penentu perataan

laba. Variabel independen yang ditentukan dalam penelitian adalah ROA (return on

asset), DTA (debt to total asset) dan PER (price earning ratio).

Page 26: ISSN: 1693-8275 JDINAMIKA - Universitas Islam Nahdlatul

25 Analisis Faktor-Faktor yang Berpengaruh terhadap Tindakan

Perataan Laba pada Perusahaan Manufaktur di BEJ

Iis Setyningsih

Ichwan Marisan

Tinjauan Pustaka

Praktik Akuntansi Kreatif dan Perataan Laba

Manajemen laba dan perataan laba merupakan salah satu bentuk dari praktik

akuntansi kreatif (creative accounting practices). Praktik akuntansi kreatif menurut

Mulford dan Comiskey (2002) adalah Semua langkah yang digunakan untuk

mempermainkan angka-angka akuntansi, termasuk pemilihan dan penerapan prinsip-

prinsip akuntansi agresif, kecurangan dalam pelaporan keuangan, dan beberapa langkah

untuk manajemen laba dan perataan laba”.

Perataan laba (income smoothing) merupakan tindakan yang dilakukan dengan

sengaja untuk mengurangi variabilitas laba yang dilaporkan agar dapat mengurangi

risiko pasar atas saham perusahaan, yang pada akhirnya dapat meningkatkan harga

saham perusahaan (Assih dan Gudono dalam Pratamasari, 2006).

Dwiatmini dan Nurkholis (2001), mengungkapkan bahwa perataan laba adalah

suatu pengurangan yang disengaja terhadap fluktuasi pada beberapa level laba supaya

dianggap normal bagi perusahaan. Menurut Pratamasari (2006), perataan laba adalah

proses manipulasi waktu terjadinya laba atau laporan laba agar kelihatan stabil.

Narsa dkk (2003) dalam Pratamasari (2006) mengungkapkan 3 faktor yang dapat

dikaitkan dengan munculnya praktik perataan laba, yaitu :

1. Manajemen akrual (accruals management). Faktor ini biasa dikaitkan dengan

segala aktivitas yang dapat mempengaruhi aliran kas dan juga keuntungan yang

secara pribadi merupakan wewenang dari para manajer. Contohnya: dengan

mempercepat atau menunda pengakuan pendapatan (revenues); menganggap

suatu biaya sebagai tambahan investasi.

2. Penetapan perubahan kebijakan akuntansi yang wajib. Faktor ini berkaitan

dengan keputusan manajer untuk menerapkan suatu kebijakan akuntansi yang

wajib diterapkan oleh perusahaan, yaitu: antara menerapkan lebih awal dari

waktu yang diterapkan atau menunda sampai saat berlakunya kebijakan

tersebut.

3. Perubahan akuntansi secara sukarela. Faktor ini berkaitan dengan upaya

manajer untuk mengganti atau mengubah suatu metode akuntansi tertentu

diantara sekian banyak metode yang dapat dipilih dan tersedia. Contohnya:

penggantian metode penilaian persediaan FIFO ke LIFO atau sebaliknya,

mengubah metode penyusutan dari metode garis lurus ke metode yang

dipercepat dan sebaliknya.

Pratamasari (2006) menyatakan bahwa perataan laba dapat dilakukan dengan

menggunakan berbagai metode akuntansi atau taksiran akuntansi yang dapat digunakan

dan atau dengan memperlakukan transaksi yang menyebabkan laba yang dilaporkan

lebih mendekati angka yang ditargetkan daripada memaksimumkan aliran kas yang

diharapkan saat ini.

Page 27: ISSN: 1693-8275 JDINAMIKA - Universitas Islam Nahdlatul

JURNAL DINAMIKA EKONOMI & BISNIS Vol. 7 No. 1 Maret 2010 26

Faktor Penentu Perataan Laba

Pengujian faktor-faktor yang mempengaruhi praktik perataan laba telah banyak

dilakukan, tetapi tidak menunjukkan hasil seragam. Faktor- faktor yang mempengaruhi

perataan laba dan faktor-faktor yang tidak mempengaruhi perataan laba dapat dilihat

pada Tabel 1.

Tabel 1

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Praktik Perataan Laba

No Faktor yang Berpengaruh Peneliti (Tahun)

1 Besaran Perusahaan,Total Aktiva Moses (1987)

2 Profitabilitas Ashari, dkk (1994), Charson dan

Chencuraimah (1997), Jatiningrum

(2000)

3 Kelompok Usaha Belkoui dan Picur (1984), Albretch dan

Ricardson (1990), Ashari dkk(1994)

4 Kebangsaan Ashari dkk(1994)

5 Harga Saham Ilmainir (1993)

6 Perbedaan laba aktual dan laba

normal

Ilmainir (1993)

7 Kebijakan akuntansi mengenai laba Ilmainir (1993)

8 Leverage Operasi Zuhroh (1996);Jin dan Machfoedz

Sumber : Pratamasari (2006)

Faktor-faktor yang mempengaruhi perataan laba diantaranya adalah besaran

perusahaan, total aktiva, profitabilitas, kelompok usaha, harga saham, perbedaan laba

aktual dan laba normal, kebijakan akuntansi mengenai laba dan leverage operasi,

sedangkan yang tidak berpengaruh diantaranya adalah besaran perusahaan, total aktiva,

penjualan, profitabilitas, kelompok usaha, rencana bonus, proporsi kepemilikan, status

badan usaha , dan klasifikasi winner/losser stock. Dalam Penelitian ini, variabel yang

dianalisis ada tiga variabel:

1. Profitabilitas (ROA = return on asset). Profitabilitas adalah kemampuan

perusahaan memperoleh laba dalam hubungannya dengan penjualan, total

aktiva maupun modal sendiri (Sartono, 1998). Alat ukur rasio profitabilitas

dalam penelitian ini adalah Return On Asset (ROA). Alasannya bahwa ROA

merupakan pengukur efektifitas manajemen dalam menghasilkan laba dengan

aktiva yang dimiliki perusahaan. Selain itu, ROA menghubungkan mata rantai

marjin laba bersih dengan perputaran total aktiva. Marjin laba bersih mengukur

profitabilitas terhadap penjualan, sedangkan perputaran total aktiva

mengidentifikasikan efisiensi perusahaan dalam menggunakan aktivanya untuk

menghasilkan penjualan (Pratamasari, 2006). Penggunaan ROA sebagai alat

ukur profitabilitas telah digunakan oleh Jin dan Machfoeds (1998), Jatiningrum

(2000) serta Yusuf dan Soraya (2004).

Page 28: ISSN: 1693-8275 JDINAMIKA - Universitas Islam Nahdlatul

27 Analisis Faktor-Faktor yang Berpengaruh terhadap Tindakan

Perataan Laba pada Perusahaan Manufaktur di BEJ

Iis Setyningsih

Ichwan Marisan

ROA

DTA Tindakan

perataan laba

PER

2. Debt to Total Asset (DTA). Rasio DTA menunjukkan berapa bagian aktiva

yang digunakan untuk menjamin hutang. Kreditur lebih menyukai rasio hutang

yang rendah karena semakin rendah rasio ini, maka semakin besar perlindungan

terhadap kerugian hutang dalam peristiwa likuidasi (Riyanto 2001).

3. Price Earning Ratio atau PER. PER merupakan ukuran yang paling banyak

digunakan oleh investor untuk menentukan apakah investor modal yang

dilakukannya menguntungkan atau merugikan. PER menunjukkan berapa besar

para investor bersedia membayar untuk setiap keuntungan yang dilaporkan

perusahaan. PER menggambarkan besarnya perbandingan antara harga pasar

saham per lembar dengan laba per saham (Elizabeth, 2003). PER merupakan

rasio untuk harga pasar saham suatu waktu tertentu dengan laba per saham.

Kerangka Pikir Penelitian

Penelitian ini akan menguji tiga faktor: ROA, DTA dan PER terhadap tindakan

perataan laba. Oleh karena itu, dapat disusun kerangka pikir penelitian seperti yang

disajikan pada gambar 1.

Gambar 1

Kerangka Pikir Penelitian

Hipotesis Penelitian

Berdasarkan kerangka penelitian dan tinjauan pustaka, hipotesis penelitian

adalah:

H1: ROA berpengaruh terhadap tindakan perataan laba

H2: DTA berpengaruh terhadap tindakan perataan laba

H3: PER berpengaruh terhadap tindakan perataan laba

Metode Penelitian

Variabel Penelitian

Variabel penelitian digolongkan menjadi variabel dependen dan independen.

Variabel dependen adalah tindakan perataan laba. Sedangkan variabel independen

terdiri dari ROA, DTA dan PER. Berikut ini dijelaskan definisi operasionalnya:

Page 29: ISSN: 1693-8275 JDINAMIKA - Universitas Islam Nahdlatul

JURNAL DINAMIKA EKONOMI & BISNIS Vol. 7 No. 1 Maret 2010 28

1. ROA (return on asset): kemampuan perusahaan memperoleh laba dibandingkan

dengan total aset yang dimiliki. Rumus ROA

ROA = asset total

pajaksesudah bersih laba

2. DTA (Debt to Total Assets): menunjukkan berapa bagian asset yang digunakan

untuk menjamin hutang. Rumus DTA

DTA = asset total

utang total

3. PER (Price Earning Ratio): menunjukkan berapa besar para investor bersedia

membayar untuk setiap keuntungan yang dilaporkan perusahaan. Rumus PER:

PER = sahamlembar per laba

sahamlembar per pasar harga

4. Tindakan perataan laba: merupakan tindakan perusahaan apakah melakukan

tindakan perataan laba atau tidak melakukan. Pengukurannya dengan menggunakan

Indeks Eckel. Adanya praktik perataan laba ditandai dengan Indeks Eckel yang

nilainya lebih dari satu. Rumusnya:

Indeks eckel = ECV

SCV

, dimana rumus CVS dan CVE adalah

CVS = Sn

SS

:

1

)( 2

CVE = E:1

)EE( 2

n

Keterangan:

CVS = koefisien variasi perubahan penjualan

CVE = koefisien variasi perubahan laba bersih

S = perubahan penjualan bersih

S = rata-rata perubahan penjualan bersih

E = perubahan laba bersih

E = rata-rata perubahan laba bersih

n = jumlah periode

pengukuran variabel tindakan perataan laba dengan dumi. Jika indeks eckel < 1

maka perusahaan tidak melakukan perataan laba dan diberi angka 0. Sebaliknya jika

indeks eckel > 1 maka perusahaan melakukan perataan laba dan diberi angka 1.

Populasi dan Sampel

Populasi penelitian terdiri dari 141 perusahaan manufaktur di Bursa Efek Jakarta

selama periode 2004-2008. Alasannya sektor manufaktur mendominasi keseluruhan

Page 30: ISSN: 1693-8275 JDINAMIKA - Universitas Islam Nahdlatul

29 Analisis Faktor-Faktor yang Berpengaruh terhadap Tindakan

Perataan Laba pada Perusahaan Manufaktur di BEJ

Iis Setyningsih

Ichwan Marisan

perusahaan publik yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta. Selain itu, berdasarkan

penelitian terdahulu sektor perusahaan manufaktur paling banyak melakukan praktik

perataan laba (Salno dan Baridwan, 2000; Samlawi dan Sudibyo, 2000). Pemilihan

sampel penelitian dilakukan dengan purposive sampling, yaitu penentuan sampel

dengan kriteria tertentu. Kriteria tersebut adalah:

1. Perusahaan manufaktur terdaftar di Bursa Efek Jakarta hingga 2008.

2. Perusahaan menerbitkan laporan keuangan tahunan selama periode 31

Desember 2004, 2005, 2006 dan 2007.

3. Selama periode pengamatan perusahaan tidak melakukan merger, akuisisi.

Data yang diperlukan adalah data sekunder yang kemudian didokumentasi. Data

diperoleh dari Pojok BEJ UNDIP. Data yang digunakan adalah JSX Statistik Monthly,

dan Indonesian Capital Market Directory (ICMD).

Metode Analisis Data

Metode analisis dilakukan dengan logistic regression (regresi logistik) karena

variabel dependennya datanya berskala nominal. Model logitnya sebagai berikut:

ebbba PERDTAROAp-1

pLn 321

dimana :

ln = log of odds

P = Probabilitas tindakan perataan laba

ROA = Return On Asset

DTA = Total Debt to Total Asset

PER = Price Earning Ratio

b1,..,b2 = koefisien regresi

e = residual

Pengujian hipotesis dalam regresi logistik dapat dilakukan jika memenuhi

persyaratan kelayakan model yang meliputi persyaratan goodness of fit, overall model

fit dan overall classification.

Pengujian hipotesis dilakukan untuk menguji pengaruh variabel independen

dalam memprediksi kemungkinan tindakan perataan laba. Kriteria pengambilan

keputusan dalam pengujian hipotesis adalah:

a. Jika p-value < 0,05 artinya variabel independen mempunyai pengaruh yang

signifikan terhadap variabel dependen

b. Jika p-value > 0,05 artinya variabel independen tidak berpengaruh signifikan

terhadap variabel dependen.

Hasil Penelitian

Hasil pengklasifikasian perusahaan berdasarkan perhitungan indeks eckel

disajikan pada tabel 2.

Page 31: ISSN: 1693-8275 JDINAMIKA - Universitas Islam Nahdlatul

JURNAL DINAMIKA EKONOMI & BISNIS Vol. 7 No. 1 Maret 2010 30

Tabel 2

Klasifikasi Perusahaan Berdasarkan Status

Status model indeck eckel Jumlah Persen

Perusahaan perata laba (IE > 1) 60 46,15

Perusahaan bukan perata laba (IE <1) 70 53,85

Jumlah 130 100

Sumber : Dari data sekunder diolah

Tabel 2 memperlihatkan bahwa dari 130 sampel, 60 perusahaan atau 46,15

persen melakukan perataan laba dan 70 perusahaan atau sebesar 53,85 % tidak

melakukan perataan laba.

Uji Kelayakan model Regresi Logit

Langkah analisis hasil regresi logistik adalah menilai kelayakan model regresi

(goodness of fit test), menilai keseluruhan model (overall model fit), dan overall

classification table, baru kemudian pengujian hipotesis.

1. Kelayakan Model Regresi (goodness of fit test)

Penilaian kelayakan model regresi dilihat dari Hosmer and Lemeshows

statistics. Analisis tersebut digunakan untuk menguji bahwa data empiris cocok

atau sesuai model. Nilai chi square hosmer & lemeshows statistics sebesar 4,255

dengan significance sebesar 0,833. Karena nilai significance > 0,05 maka dapat

disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan nyata antara klasifikasi yang diprediksi

dengan klasifikasi yang diamati. Artinya model regresi logit layak dipakai untuk

analisis selanjutnya.

2. Kelayakan Keseluruhan Model (Overall Model Fit)

Penilaian kelayakan keseluruhan model dilihat dari nilai -2 log likelihood (-

2LL). Nilai -2LL pada block number = 0 sebesar 179,448 sedangkan pada block

number =1 sebesar 171,630. Karen nilai block number = 0 lebih besar dari block

number =1 maka dikatakan model regresi layak atau lebih baik. Hal ini didasarkan

alasan bahwa penurunan likelihood menunjukkan model semakin baik.

3. Overall Classification

Overall classification digunakan untuk melihat ketepatan dalam memprediksi

tindakan perataan laba dimasa datang. Hasilnya disajikan pada tabel 3.

Tabel 3

Overall Classification Table

Observed Predicted

Bukan perata laba Perata laba Jumlah

Bukan perata laba 59 11 70

Perata laba 47 13 60

jumlah 106 24 100,0

Sumber : analisis data sekunder dengan SPSS

Page 32: ISSN: 1693-8275 JDINAMIKA - Universitas Islam Nahdlatul

31 Analisis Faktor-Faktor yang Berpengaruh terhadap Tindakan

Perataan Laba pada Perusahaan Manufaktur di BEJ

Iis Setyningsih

Ichwan Marisan

Hasil pada tabel 3 menunjukkan bahwa perusahaan perataan laba diprediksi ada

60, tetapi observasi sesungguhnya perusahaan perataan laba 47 perusahaan, sehingga

ketepatan prediksinya 21,7%. Untuk perusahaan non perata laba prediksinya adalah 70

perusahaan, tetapi observasi sesungguhnya menunjukkan perusahaan nonperata laba

adalah 59 perusahaan, sehingga ketepatan prediksinya 84,3%. Secara keseluruhan

ketepatan prediksi untuk menunjukkan perusahaan perata laba dan bukan perata laba

adalah 55,4%.

Hasil Regresi Logit dan Pengujian Hipotesis

Hasil regresi logit disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4

Hasil Regresi Logit

Variabel Koefisien Wald Test (t hitung) signifikansi

Konstanta -0,129 0,417 0,519

ROA 0,020 2,155 0,142

DTA -0,039 0,504 0,478

PER -0,003 0,753 0,385

Sumber: data sekunder diolah dengan SPSS

Persamaan regresi logit sebagai berikut :

Prob PL= -0,129 + 0,020ROA – 0,039 DTA – 0,003PER

Berdasarkan persamaan regresi logit, ROA memiliki koefisien positif, sedangkan

DTA dan PER koefisiennya negatif. Interpretasi persamaan regresi sebagai berikut:

1. Nilai koefisien regresi ROA sebesar 0,02 artinya peningkatan ROA sebesar

satu persen akan meningkatkan kemungkinan perusahaan melakukan

tindakan perataan laba sebesar 1,020 persen (e0,020

).

2. Nilai koefisien regresi DTA sebesar -0,039 artinya peningkatan DTA sebesar

satu persen akan menurunkan kemungkinan perusahaan melakukan tindakan

perataan laba sebesar 0,961 persen (e-0,039

).

3. Nilai koefisien regresi PER sebesar -0,003 artinya peningkatan PER sebesar

satu persen akan menurunkan kemungkinan perusahaan melakukan tindakan

perataan laba sebesar 0,997 persen (e-0,003

).

Pengujian hipotesis berdasarkan Tabel 4 adalah:

1. Nilai signifikansi (asymptotic significance) ROA sebesar 0,142 lebih besar

5%. Hal ini berarti H1 yang menyatakan ROA berpengaruh terhadap

tindakan perataan laba, ditolak. Artinya variabel ROA tidak berpengaruh

terhadap kemungkinan perusahaan melakukan praktik perataan laba.

2. Nilai signifikansi DTA sebesar 0,478 lebih besar 5%. Hal ini berarti H2 yang

menyatakan DTA berpengaruh terhadap tindakan perataan laba, ditolak.

Artinya variabel DTA tidak berpengaruh terhadap kemungkinan perusahaan

melakukan praktik perataan laba.

Page 33: ISSN: 1693-8275 JDINAMIKA - Universitas Islam Nahdlatul

JURNAL DINAMIKA EKONOMI & BISNIS Vol. 7 No. 1 Maret 2010 32

3. Nilai signifikansi PER sebesar 0,385 lebih besar 5%. Hal ini berarti H3 yang

menyatakan PER berpengaruh terhadap tindakan perataan laba, ditolak.

Artinya variabel PER tidak berpengaruh terhadap kemungkinan perusahaan

melakukan praktik perataan laba.

Pembahasan

Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bukti empiris bahwa terdapat

kecenderungan perusahaan-perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta melakukan

tindakan perataan laba (income smoothing). Hal ini terbukti dari hasil penelitian,

dimana dari 130 perusahaan yang diteliti terdapat 60 perusahaan yang melakukan

tindakan perataan laba (income smoothing).

Hasil penelitian yang menunjukkan bahwa variabel ROA tidak berpengaruh

terhadap tindakan perataan laba mendukung hasil penelitian yang dilakukan oleh

Zuhroh (1997), Jin dan Machfoedz (1998), Salno dan Baridwan (2000), serta Juniarti

dan Corolina (2005). Sebagian besar penelitian yang dilakukan di Indonesia tentang

faktor-faktor yang mempengaruhi praktik perataan laba tidak berhasil mendukung

bahwa profitabilitas (ROA) mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap praktik

perataan laba.

Profitabilitas tidak berpengaruh diduga karena bentuk pasar modal Indonesia

belum efisien dalam bentuk setengah kuat, sesuai hasil temuan Affandi dan Utama

dalam Istianah (2006). Pada bentuk setengah kuat harga-harga saham saat ini tidak

hanya mencerminkan harga-harga saham masa lalu tapi juga semua informasi yang

dipublikasikan, diantaranya adalah laba perusahaan, deviden, pemecahan saham,

perubahan-perubahan akuntansi, merger dan akuisisi, perubahan manajer, dan

sebagainya. Hasil penelitian Affandi dan Utama dalam Istianah (2006) menunjukkan

pasar modal di Indonesia belum mencapai setengah kuat. Hal tersebut ditunjukkan

dengan lambatnya reaksi harga saham terhadap pengumuman laba (informasi baru).

Lemahnya reaksi harga saham terhadap pengumuman laba karena pasar

menganggap bahwa informasi yang diberikan oleh laporan keuangan kurang berguna,

sehingga pasar mengabaikan tanggal pengumuman laba. Hal ini didukung penelitian

Noor (2004: 77) dalam Juniarti dan Corolina (2005) bahwa tidak terpengaruhnya ROA

diduga karena investor cenderung mengabaikan informasi profitabilitas yang ada secara

maksimal sehingga manajemen tidak termotivasi melakukan perataan laba melalui

variabel tesebut. Dengan adanya bukti keadaan tersebut di atas para pelaku pasar modal

di Indonesia belum mempergunakan informasi yang dipublikasikan dalam bentuk

laporan keuangan secara maksimal dalam pengambilan keputusan investasi saham.

Sehingga profitabilitas belum dianggap sebagai salah satu hal penting yang harus

diperhatikan oleh pemakai laporan keuangan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel DTA tidak berpengaruh terhadap

tindakan perataan laba, mendukung hasil penelitian Pratamasari (2006) yang juga

menemukan bahwa DTA tidak mempengaruhi praktik perataan laba. Penelitian ini

Page 34: ISSN: 1693-8275 JDINAMIKA - Universitas Islam Nahdlatul

33 Analisis Faktor-Faktor yang Berpengaruh terhadap Tindakan

Perataan Laba pada Perusahaan Manufaktur di BEJ

Iis Setyningsih

Ichwan Marisan

dilakukan pada saat kondisi perekonomian Indonesia relatif berangsur-angsur lebih

stabil sehingga DTA tidak berpengaruh signifikan terhadap praktik perataan laba. Hal

ini berbeda dengan periode penelitian Narsa, dkk (2003) yang dilakukan pada waktu

Indonesia sedang mengalami krisis moneter. Pada waktu krisis moneter, perusahaan-

perusahaan di Indonesia sedang mengalami keterpurukan karena jumlah utang luar

negeri meningkat tajam seiring dengan melemahnya nilai rupiah dibandingkan dengan

nilai mata uang asing sehingga DTA berpengaruh terhadap praktik perataan laba.

Tidak berpengaruhnya DTA terhadap praktik perataan laba dalam penelitian ini,

diduga disebabkan oleh pertimbangan manajemen bahwa utang bukanlah satu-satunya

sumber utama kegiatan operasional perusahaan. Perusahaan yang mengalami kesulitan

keuangan mungkin dapat memenuhi kebutuhan dana dari sumber lain, seperti

penggunaan laba ditahan dan penerbitan saham untuk ekuitas, alternatif ini dapat

dimanfaatkan untuk melakukan ekspansi perusahaan mendapat dana yang relatif murah

dengan biaya modal yang lebih murah dan biaya modal dapat ditekan. Keadaan ini akan

memberikan efek positif bagi penyerapan tenaga kerja, pemanfaatan teknologi dan

sumber daya alam yang ada. Selain itu emiten memperoleh manfaat dari penerbitan

saham yaitu perusahaan akan mendapat suntikan dana segar yang cukup besar, jangka

waktu penggunaan dana tidak terbatas, ketergantungan terhadap bank semakin kecil,

emisi saham cocok untuk membiayai perusahaan yang beresiko tinggi serta

profesionalisme dalam manajemen meningkat. Dengan demikian, diharapkan

kemungkinan besar kreditur akan menambah dana yang akan dipinjamkan karena

resiko kerugian akan ditanggung bersama oleh investor.

Variabel PER tidak berpengaruh terhadap tindakan perataan laba, ini mendukung

hasil penelitian Assih (1998), Salno dan Baridwan (2000). Dari segi investor, PER yang

terlalu tinggi barangkali tidak menarik karena harga saham barangkali tidak akan naik

lagi yang berarti kemungkinan memperoleh capital gain akan lebih kecil (Mamduh dan

Abdul, 2000). PER tidak mempengaruhi tindakan perataan laba karena sifat pemodal di

Indonesia cenderung ke capital gain, karena keuntungan tersebut tidak tergantung pada

kinerja perusahaan, sehingga PER yang mencerminkan kinerja perusahaan cenderung

diabaikan. Hal tersebut didukung oleh Lukman Hakim dalam Istianah (2006) yang

menyatakan bahwa jumlah pemodal jangka pendek lebih banyak dibandingkan dengan

pemodal lain yaitu sebesar 80% dari pemodal Indonesia, sehingga perusahaan yang

mempunyai PER yang tinggi tidak tertarik melakukan praktik perataan laba.

Penutup

Kesimpulan

Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh ROA, DTA dan PER terhadap

praktik perataan laba. Berdasarkan analisis data dan interpretasi hasil, diperoleh

kesimpulan penelitian sebagai berikut:

1. Variabel ROA tidak berpengaruh terhadap tindakan perusahaan melakukan praktik

perataan laba.

Page 35: ISSN: 1693-8275 JDINAMIKA - Universitas Islam Nahdlatul

JURNAL DINAMIKA EKONOMI & BISNIS Vol. 7 No. 1 Maret 2010 34

2. Variabel DTA tidak berpengaruh terhadap tindakan perusahaan melakukan praktik

perataan laba.

3. Variabel PER tidak berpengaruh terhadap tindakan perusahaan melakukan praktik

perataan laba.

Agenda Penelitian Selanjutnya

Berikut ini beberapa saran untuk agenda penelitian yang akan datang:

1. Sebaiknya melihat metode akuntansi yang digunakan oleh perusahaan, karena

penggunaan metode akuntansi tersebut sangat mempengaruhi jumlah laba bersih

yang digunakan sebagai acuan pengklasifikasian perusahaan melakukan perataan

laba atau tidak.

2. Penggunaan metode pengklasifikasian sampel yang berbeda (misalnya model

Michelson) dan kemudian dibandingkan dengan indeck eckel yang banyak dipakai

dalam penelitian terdahulu.

3. Untuk penelitian selanjutnya, sebaiknya melihat seberapa besar respon pasar

terhadap laporan keuangan mempunyai kandungan informasi yang cukup dalam

mengambil keputusan investor.

Daftar Pustaka

Arikunto, Suharsimi, 2002, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, PT Rineka

Cipta, Jakarta.

Belkaoui, A. R., 2000, Teori Akuntansi, Buku Satu Terjemahan Marwanta, Hanjanti

Widyastuti, Heni Kurniawan dan Alia Ariesanti, Penerbit Salemba Empat

Jakarta.

Brigham,Eugene, dan Houston, F, Joel, 2001, Manajemen Keuangan, Penerbit

Erlangga, Jakarta.

Anis, Chariri dan Ghozali Imam, 2005, Teori Akuntansi, Badan Penerbit Universitas

Diponegoro, Semarang.

Dewi, Monika, 2007, Pengaruh Leverage Perusahaan, Ukuran Perusahaan dan

Corporate Governance Terhadap Manajemen Laba, Skripsi Universitas

Brawijaya Malang.

Dwiatmini, Sesilia dan Nurkholis, 2001, “Analisis Reaksi Pasar Terhadap Informasi

Laba Kasus Paraktik Perataan Laba Pada Perusahaan yang Terdaftar di BEJ”,

TEMA, Vol. II : No. 1, h. 35-48.

Dharmastusi, Ch Fara, 2004, “Analisis Pengaruh EPS, PER, ROI, DER, dan NPM

Dalam Menetapkan Harga Saham Perdana (Studi Pada Perusahaan yang

Terdaftar di BEJ)”, Balance, September 2004 Hal 14-28.

Elizabeth, Indrawati Marpaung, 2003, “Perubahan Deviden Yield dan Perubahan PER

Berpengaruh Terhadap Perubahan Return Saham” Jurnal Ilmiah Akuntansi,

Volume 3, No.1. November 2003.

Page 36: ISSN: 1693-8275 JDINAMIKA - Universitas Islam Nahdlatul

35 Analisis Faktor-Faktor yang Berpengaruh terhadap Tindakan

Perataan Laba pada Perusahaan Manufaktur di BEJ

Iis Setyningsih

Ichwan Marisan

Hanafi, Mahmud M dan Abdul Halim, 2000, Analisa Laporan Keuangan, Penerbit UPP

AMP YKPN, Yogyakarta.

IAI, 2002, Standar Akuntansi Keuangan, Penerbit Salemba Empat, Jakarta.

Indriantoro, Nur dan Bambang Supomo, 2002, Metodologi Penelitian Bisnis untuk

Akuntansi dan Manajemen, BPFE, Yogyakarta.

Istianah, Mei, 2006, Pengaruh Faktor Debt to Equity Ratio, Profitabilitas, DPR dan

Size Perusahaan Terhadap Tindakan Perataan Laba (Income Smoothing) pada

Perusahaan yang Terdaftar di BEJ Tahun 2000-2004, Skripsi, Universitas

Negeri Semarang.

Juniarti, Corolina, 2005, “Analisa Faktor-Faktor yang Berpengaruh Terhadap

Perataan Laba (Income Smoothing) Pada Perusahaan Go Public”, Jurnal

Akuntansi dan Keuangan, Vol 7, No. 2, h. 148-162.

Munawir, 2002, Analisa Laporan Keuangan, Liberty, Yogyakarta.

Murtanto, 2004, “Analisis Perataan Laba: Faktor-Faktor yang Mempengaruhi dan

Kaitannya dengan Kinerja Saham Perusahaan Publik di Indonesia”, Proceedings

Simposium Nasional Akuntansi VII, Denpasar, h.1177-1200.

Pratamasari, Frinta, 2006, Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Praktik

Perataan Laba (Income Smoothing) Pada Perusahaan Manufaktur Dan

Keuangan yang Terdaftar di BEJ, Skripsi, Universitas Brawijaya Malang.

Riyanto, Bambang, 2001, Dasar-dasar Pembelanjaan Perusahaan, Andi Publisher,

Yogyakarta.

Sartono, Agus, 2000, Manajemen Keuangan Teori dan Aplikasi, BPFE, Yogyakarta.

Soehartono, Irawan, 2002, Metode Penelitian Sosial, PT Remaja Rosdakarya, Bandung.

Sugiyono, 2002, Metode Penelitian Bisnis, CV Alvabeta, Bandung.

Yusuf, Muhammad dan Soraya, 2004, “Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Praktik

Perataan Laba pada Perusahaan Asing dan Non-Asing di Indonesia”, JAAI, Vol.

8, No. 1, h. 99-125.

Page 37: ISSN: 1693-8275 JDINAMIKA - Universitas Islam Nahdlatul

37 Ulama dalam Menghadapi Perkembangan Ekonomi

Noor Rohman

ULAMA DALAM MENGHADAPI PERKEMBANGAN

EKONOMI

Noor Rohman Fauzan

STIE Nahdlatul Ulama Jepara, Jl. Taman Siswa (Pekeng) Tahunan Jepara

Email: [email protected]

Abstract

Group of scholars is the people who occupy important positions in social life. This paper

tries to discuss the extent to which the role of the ulama in the face of economic development.

Therefore, it is necessary to set out an explanation of the extent to which Islam is able to give

meaning to economic activities. Since Islam commands people to always strive in order to create

a prosperous life physically and mental. In the face of economic development is not there a

reason for the scholars to not get involved.

Keywords: scholars, Islam, the economic system

Abstrak

Kelompok ulama merupakan golongan masyarakat yang menempati posisi yang

penting dalam kehidupan kemasyarakatan. tulisan ini mencoba membahas sejauh mana

peran para ulama dalam menghadapi perkembangan ekonomi. Oleh karena itu, maka

perlu dipaparkan sebuah penjelasan mengenai sejauh mana Islam mampu memberi

makna kepada aktivitas-aktivitas ekonomi. Karena Islam memerintahkan manusia

untuk selalu berusaha dalam rangka menciptakan kehidupan yang sejahtera lahir

maupun batin. Dalam menghadapi perkembangan ekonomi tidaklah terdapat alasan

bagi para ulama untuk tidak ikut terlibat.

Kata kunci: ulama’, islam, sistem ekonomi

Pendahuluan

Kelompok ulama merupakan golongan masyarakat yang menempati posisi yang

begitu penting dalam kehidupan kemasyarakatan. Karenanya mereka dijuluki oleh Eric

Wolf sebagai „makelar budaya‟ (cultural broker) yang penting, sebab merekalah yang

menjaga titik simpang yang sulit yang menghubungkan antara sistem lokal ke sistem

yang lebih luas dan menyeluruh.[1] Karena pentingnya kedudukan mereka itu, maka

keterlibatan mereka dalam keseluruhan dinamika hidup–yang terimplementasikan

dalam berbagai aspek; aspek sosial, kultural, politik, ekonomi dan lain-lainnya–tak

dapat diabaikan dengan begitu saja. Untuk itu, tulisan ini mencoba membahas sejauh

mana peran para ulama dalam menghadapi perkembangan ekonomi.

Selain adanya aspek politik yang telah banyak berpengaruh dalam kehidupan

manusia, ternyata terdapat aspek lain yang lebih awal dan sangat menentukan, yaitu

aspek ekonomi. Aspek ini, sebenarnya lahir berbarengan dengan eksisnya manusia.

Page 38: ISSN: 1693-8275 JDINAMIKA - Universitas Islam Nahdlatul

JURNAL DINAMIKA EKONOMI & BISNIS Vol. 7 No. 1 Maret 2010 38

Karena titik tolak ekonomi itu mengacu kepada usaha manusia dalam mempertahankan

kelangsungan hidupnya dengan memanfaatkan sumber-sumber yang langka,[2] maka

dapat disimpulkan bahwa masalah ekonomi adalah masalah kebutuhan materi. Oleh

karena itu terdapat common sense dalam percakapan sehari-hari, bahwa ekonomi adalah

urusan kehidupan sekarang ini. Di sisi lain juga terdengar ucapan, bahwa agama adalah

untuk urusan akhirat. Sehingga tercetus jargon „tak ada korelasi antara agama dengan

tingkah laku ekonomi‟.[3]

Islam sebagai al-dien (Syari’at Muhammadiyah) yang terakhir berpretensi,

bahwa Syari‟at Islam mempunyai daya-validitas eternal (abadi/kekal). Oleh karena itu,

maka perlu dipaparkan sebuah penjelasan mengenai sejauh mana Islam mampu

memberi makna kepada aktivitas-aktivitas ekonomi, dan sejauh mana Islam mampu

menghadapi perkembangan-perkembangan yang terjadi sebagai akibat logis dari

aktivitas-aktivitas tersebut.

Islam dan Sistem Ekonomi

Sejak lahirnya Islam telah menganjurkan para penganutnya untuk tidak bermalas-

malasan. Islam memerintahkan mereka untuk selalu berusaha dalam rangka

menciptakan kehidupan yang sejahtera lahir maupun batin. Dalam Al-qur‟an Allah

SWT berfirman:“Maka jika kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), maka

kerjakanlah (urusan) yang lain dengan sungguh-sungguh.”[4]. Allah juga berfirman

:“Dan di antara mereka ada orang yang berdo’a: “Ya Tuhan kami, berilah kami

kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan peliharalah kami dari siksa

neraka.”[5] Berkaitan dengan hal ini pula Nabi berkata :“Apabila kamu (telah selesai)

melakukan shalat fajar (shubuh), maka janganlah tidur lalu tidak berusaha mencari

rizqi”[6] Jadi, artinya bahwa segala bentuk pengangguran pada dasarnya bertentangan

dengan ajaran Islam.

Sehubungan dengan hal ini, Mubyarto, salah seorang ekonom terkemuka dan

guru besar pada Fakultas Ekonomi Universitas Gajah Mada, mengemukakan:

“Pengangguran dengan segala sumber penyebabnya harus dianggap sebagai

„penyakit sosial‟ yang harus dilenyapkan. Manusia tidak boleh menganggur,

karena mengangur tidak saja merupakan pemborosan sumber daya, tetapi

juga berarti merendahkan martabat manusia. Allah menciptakan manusia di

bumi ini adalah untuk mengelola segala ciptaannya, tidak untuk menganggur

dan meminta-minta. Bekerja adalah „amal‟ dan sekaligus „ibadah‟.”[8]

Ajaran-ajaran tersebut bukanlah bersifat kognitif. Akan tetapi Nabi sendiri

sebagai contoh terbaik, telah memberikan contoh bagaimana hidup berdikari. Saat

masih kanak-kanak, bekerja sebagai penggembala kambing. Saat memasuki usia

dewasa, berniaga sampai ke negeri Syam. Kalau diukur dengan masa-masa sekarang,

maka usaha perdagangan yang dilakukan itu sejajar dengan usaha ekspor-impor barang

ke dan dari luar negeri. Inilah contoh konkrit yang ditampilkan Nabi, sebagai bukti dari

tuntunan dan ajarannya yang tidak sekedar normatif konsepsional. Beliau juga berkata

Page 39: ISSN: 1693-8275 JDINAMIKA - Universitas Islam Nahdlatul

39 Ulama dalam Menghadapi Perkembangan Ekonomi

Noor Rohman

al-dien al-mu’amalah. Artinya agama adalah mu’amalah (interaksi kemanusiaan). Hal

ini menunjukkan, bahwa keterlibatan Islam dalam dinamika perekonomian sangatlah

jelas dan dominan. Agar dapat difahami dan diyakini secara lebih mendalam oleh

kalangan umat Islam, Mukti Ali mengatakan, bahwa seperempat dari jumlah masalah

yang dibahas dalam kitab-kitab fiqh adalah soal-soal seluk-beluk ekonomi.[9]

Selanjutnya adalah pembuktian melalui pendekatan sejarah. Setelah menelusuri

jejak-jejak sejarah Nabi yang berkaitan dengan kegiatan-kegiatan ekonominya, banyak

pemikir dan ulama Islam yang dengan penuh kesungguhan, mereka merumuskan

konsepsi-konsepsi tentang persoalan yang berkaitan dengan ekonomi. Misalnya al-

Farabi (870-950 M.), Ibnu Siena (980-1037 M.), Imam Ghazali (1058-1111 M.), dan

Ibnu Khaldun (1331-1406 M.).[10] Dan untuk lebih jelasnya lagi, masuknya Islam ke

kepulauan Indonesia adalah melalui jalur perdagangan. Untuk itu, tepat apa yang

dikatakan Mukti Ali bahwa “Hal yang patut dicatat adalah saling kerjasama antara

agama Islam dan perdagangan dalam proses ekspansi.”[11] Selanjutnya beliau katakan

bahwa, “Di antara seluruh agama-agama besar dewasa ini, hanya Islamlah yang tumbuh

dalam lingkungan dagang.”[12] Hermawan Kertajaya, seorang pakar marketing non-

Muslim kelas dunia, dengan menyatakan : "Sebagai pemeluk Katholik, nabi saya saja

bukan ahli perdagangan, tapi Nabi Muhammad SAW itu pedagang dan dalam dirinya

melekat karakter pemasaran."[13]

Warisan budaya dagang itu nampak sekali di kala kebangkitan organisasi-

organisasi Islam pada awal-awal abad ke 20, sebelum Indonesia merdeka. Berdagang

yang merupakan bagian penting dari aktivitas-aktivitas perekonomian, dan yang pernah

dipraktikkan Nabi ini, ternyata banyak ditapaktilasi oleh ulama‟-ulama‟ pendiri

organisasi-organisasi Islam. K. H. Samanhoedhi, misalnya, sebagai pendiri Sarekat

Dagang Islam (SDI) pada 16 Oktober 1905, mempelopori berdirinya SDI karena

terdorong oleh situasi perekonomian saat itu, di mana terjadi kompetisi yang meningkat

dalam perdagangan batik dengan golongan Cina.[14]

K.H. Achmad Dahlan, pendiri Muhamadiyah (1912), di samping sebagai khatib

masjid kesultanan Yogyakarta, juga aktif berdagang batik sebagai sumber nafkah

hidupnya.[15] K.H. Abdul Halim, pendiri organisasi Hayatul Qulub (1911) yang

kemudian diganti menjadi Persyarikatan Ulama (1917) di Majalengka, juga

menekankan organisasinya dalam bidang ekonomi dan pendidikan.[16] Demikian juga

Nahdlatul Ulama‟ (NU), yang berdiri dipelopori oleh para ulama‟ (31 Januari 1926) di

Surabaya, di samping sebagai organisasi yang mengurusi bidang agama juga

mencantumkan dalam peraturan dasar organisasinya usaha-usaha mendirikan badan-

badan perdagangan.[17] Pada tahun 1937, Kyai Mahfudz, sebagai ketua NU,

menganjurkan hendaknya didirikan koperasi-koperasi yang disebut Syirkah Mu’awanah

di cabang-cabang. Sementara itu syirkah (perusahaan) yang sempat berdiri adalah di

cabang Surabaya, Singosari, Bangilan dan Gresik. Dan keberhasilan yang dicatat ialah

NU pernah mengimpor barang pecah belah dari Jepang dengan diberi cap simbol

Nahdlatul Ulama‟.[18]

Page 40: ISSN: 1693-8275 JDINAMIKA - Universitas Islam Nahdlatul

JURNAL DINAMIKA EKONOMI & BISNIS Vol. 7 No. 1 Maret 2010 40

Itulah beberapa usaha perdagangan yang pernah dilakukan para ulama dari

berbagai organisasi Islam di Indonesia sebelum kemerdekaan. Tiada lain kesemuanya

itu merupakan gambaran faktual upaya-upaya mereka dalam mengantisipasi perubahan-

perubahan yang bersifat sosio-ekonomis. Lebih tegasnya lagi mereka tidak hanya

memperhatikan urusan-urusan agama (ukhrawiyah) saja, akan tetapi mereka sudah

mulai menyadari sepenuhnya akan pentingnya peranan ekonomi dalam rangka

memperjuangkan dakwah Islamiyah. Dan sekaligus menyadari akan ketertinggalan

mereka dalam bidang ekonomi dengan segala aspeknya.

Kendatipun bangsa Indonesia telah berhasil meraih kemerdekaannya pada 17

Agustus 1945, namun kira-kira hanya 50% dari masyarakatnya yang baru merasakan

keberuntungan dalam hidupnya.[19] Dengan itu maka bangsa Indonesia dikategorikan

sebagai bangsa yang miskin. Menurut Nurcholish Madjid, satu hal yang sangat pahit

untuk disadari ialah bahwa Indonesia, secara potensial, merupakan bangsa „ketiga

terkaya di dunia‟, namun tingkat kehidupannya masih termasuk yang terendah.[20]

Untuk itu tepatlah, di masa rezim Soeharto, etos pembangunan ekonomi dijadikan

sebagai sesuatu yang paling urgen dalam rangka menciptakan sarana pewujud cita-cita

bangsa.[21]

Karena kondisi ekonomi bangsa Indonesia mengalami situasi seperti itu, yaitu

kemiskinan, maka secara random paling tidak 90% dari mereka adalah orang-orang

Muslim atau bahkan bisa lebih – mengingat kondisi ekonomi umat Islam sebelum

kemerdekaan yang telah mengalami ketertinggalan. Dengan demikian, maka masalah

kemiskinan yang ada, pada hakikatnya adalah masalah kemiskinan umat Islam. Untuk

itu para ulama merasa terpanggil untuk berpartisipasi dalam memecahkan masalah

kemiskinan tersebut. Demikian ini mengingat peranannya di tengah-tengah komunitas

Muslim yang begitu penting dan menentukan.

Apabila disimak, sebagai sebuah kajian komparatif, keberhasilan pembangunan

di Amerika Serikat yang kapitalis itu dinyatakan sebagai hasil dari diterapkannya

Calvanism dengan doktrinnya tentang „calling’, atau panggilan, yakni menganggur itu

tidak baik atau perbuatan yang diancam Tuhan, dan bekerja keras mencari keuntungan

itu baik di hadapan Tuhan.[22] Calvanism, dalam kaitan ini, juga disebut „Etika

Protestan‟. Demikian ini menurut tesis Max Weber mengenai hubungan antara etika

Protestan dengan semangat kapitalisme modern.[23]

Apabila etika Protestan diyakini dapat berpengaruh dalam keberhasilan

pembangunan ekonomi di Amerika Serikat, maka pertanyaan kita sekarang adalah

“Apakah Islam yang sarat dengan ajaran-ajaran yang sesuai dengan kefitrahan mampu

juga berpengaruh dalam keberhasilan pembangunan ekonomi di Indonesia?”

Pertanyaan ini akan mempunyai implikasi yang lebih jauh, yakni suatu tuntutan akan

respon yang comparable dan merupakan suatu alternatif yang berdimensi lebih

komprehensif dalam tingkat kompetensi-pemecah masalah-masalah kemanusiaan

dengan segala aspeknya. Untuk itu, kelompok ulama dituntut untuk mampu

menerjemahkan nilai-nilai ajaran Islam sehingga dapat dijadikan sebagai jawaban yang

Page 41: ISSN: 1693-8275 JDINAMIKA - Universitas Islam Nahdlatul

41 Ulama dalam Menghadapi Perkembangan Ekonomi

Noor Rohman

memuaskan secara universal untuk jawaban tersebut. Sebab, nilai-nilai ajaran itulah

sumber kekuatan Islam.

Apabila doktrin „panggilan‟ (etika Protestan) tersebut, sebagai yang telah

melahirkan „kapitalisme modern‟, diletakkan pada porsi pembangunan ekonomi

Indonesia yang berdasarkan Pancasila, maka yang terjadi adalah „malapetaka‟. Sebab,

Pancasila yang sebagai falsafah hidup bangsa Indonesia merupakan refleksi dari potret

bangsa secara utuh (cipta, karsa dan rasa). Ia mencakup nilai-nilai sosio-kultural dan

sekaligus nilai-nilai sosio-keagamaan. Manakala bekerja keras untuk memperoleh

pekerjaan yang lebih menguntungkan – sebagai doktrin keagamaan yang absah –

dimanipulasikan dengan tanpa memperhitungkan aspek-aspek kemanusiaan, maka

menurut kesimpulan Weber, kapitalisme yang lahir sebagai idealisme praktis dari kaum

borjuis yang bercita-cita untuk masa depan akan berakhir sebagai pesta pora

materialism.[24] Oleh karena itulah doktrin tersebut tidak tepat dijadikan sumber nilai

ajaran bagi pembangunan ekonomi di Indonesia. Sebab, akibat yang lebih fatal lagi

ialah timbulnya keserakahan manusia atas alam benda. Ini adalah merupakan akibat

logis dari materialisme yang dilahirkan dari rahim kapitalisme. Sehingga manusia akan

kehilangan keseimbangan dalam hidupnya karena ia hanya mengacu pada sifat

manusianya sebagai homo economicus yang cenderung serakah. Akhirnya, apa yang

terjadi? „Malapetaka‟, yaitu menurunya derajat manusia menjadi derajat hewan. Dengan

demikian ini, maka runtuhlah nilai-nilai kemanusiaan, cultural maupun keagamaan.

Di samping itu perlu disinggung juga sistem ekonomi yang lain, yaitu

„Komunisme‟. Sistem ekonomi ini juga pernah dianggap berhasil di Uni Soviet,

sebelum Glasnost, pecahnya Uni Soviet. Komunisme –sebagaimana kapitalisme – juga

berpijak pada dasar yang bersifat materialistik. Ia muncul dengan jargon „keadilan

sosial‟. Namun ternyata keadilan sosial yang dimaksud sangat bertentangan dengan

naluri dan kapasitas yang ada pada setiap individu. Falsafah kemasyarakatannya

mengatakan, bahwa masyarakatlah satu-satunya yang nyata, sementara individu

tidaklah mempunyai arti apapun kecuali sebagai anggota dari masyarakat.[25]

Berdasarkan ini, maka komunisme tidak mengakui kemerdekaan memiliki (hurriyat al-

tamalluk). Dengan demikian, hak-hak perorangan beserta kemerdekaannya dikuasai

sepenuhnya oleh Negara. Untuk itu, sangatlah tidak tepat doktrin komunis diterapkan

dalam kerangka pembangunan ekonomi Indonesia. Itulah maksud salah satu doktrin

komunisme. Dan bagaimana seandaianya sistem ekonomi tersebut diterapkan di

Indonesia? Maka, jawabnya pun serupa dengan apa yang diuraikan di atas, yaitu

„Malapetaka‟.

Mengapa demikian? Sebab, berdasarkan uraian mengenai maksud doktrin di

atas, yakni tidak diakuinya individu dalam Negara, dapatlah difahami bahwa

perampasan aspek-aspek individual adalah suatu tindakan yang tidak manusiawi. Hal

itu berarti pembunuhan massal terhadap kemampuan-kemampuan yang dimiliki oleh

manusia. Padahal manusia yang disebut sebagai makhluk multi-dimensional

mempunyai berbagai keunikan dan kelebihan yang berbeda satu dari yang lain. Karena

Page 42: ISSN: 1693-8275 JDINAMIKA - Universitas Islam Nahdlatul

JURNAL DINAMIKA EKONOMI & BISNIS Vol. 7 No. 1 Maret 2010 42

falsafah kemasyarakatannya itulah kreativitas-kreativitas manusia tidak bisa

diekspresikan secara optimal. Maka „keadilan sosial‟ yang didengung-dengungkan

Komunisme itu ternyata „semu‟. Dengan demikian, tidaklah tepat sistem ekonomi

Komunisme itu untuk diterapkan dalam kerangka sistem ekonomi Indonesia

(Pancasila), terlebih lagi dalam konteks nation building yang bertujuan membangun

manusia seutuhnya. Pendek kata, sinonim Komunisme adalah „kehancuran‟.

Karena kedua sistem ekonomi (kapitalisme dan komunisme) tersebut tidak

sejalan dengan falsafah atau derap langkah pembangunan ekonomi Indonesia, maka

Islam sebagai syari‟at dalam kesempatan ini mendapatkan kesempatan untuk tampil

sebagai pedoman alternatif dalam merencanakan pembangunan ekonomi Indonesia.

Untuk itu perlu sekali diketengahkan pokok-pokok masalah yang bersumber dari

ajaran-ajaran Islam untuk kepentingan pembangunan ekonomi sehingga dapat diketahui

adanya korelasi antara Islam dan pembangunan ekonomi.

Ulama dan Perkembangan Ekonomi

Sejauh ini belum banyak ulama‟ di Indonesia yang berani membahas masalah-

masalah yang berkaitan dengan ekonomi. Kebanyakan dari mereka bersikap pasif dan

reaktif. Pada hal fiqih mu’amalah yang termaktub dalam kitab-kitab kuning, sebagai

referensi mereka, berbicara banyak mengenai kegiatan-kegiatan perekonomian. Banyak

kemungkinan hal ini diakibatkan oleh terjadinya split persepsi –sebagai akibat dari

adanya pendikotomian cara pandang terhadap kebutuhan-kebutuhan hidup manusia – di

kalangan ulama‟. Sebagaimana dikatakan bahwa terdapat common sense dalam

percakapan sehari-hari bahwa ekonomi adalah persoalan hidup (dunia) dan agama

adalah persoalan akherat. Common sense inilah sebagai perwujudan pendistorsian

pemahaman agama (pemahaman sekuler) yang telah merambah ke seluruh lapisan

komunitas manusia, termasuk komunitas Muslim itu sendiri.

Namun, amatlah mustahil jika Islam, dalam hal ini Al-qur‟an dan Hadits Nabi,

tidak membicarakan masalah-masalah ini, yaitu hal-hal yang berkenaan dengan

ekonomi, mengingat pentingnya persoalan itu bagi kehidupan.[26] Dalam hal ini tema

yang paling mencolok ialah tema anti ketidakadilan ekonomi.[27] Di samping itu, tentu

saja, kecaman terhadap pengangguran dan perbuatan yang tidak bermanfaat serta

bekerja keras – yang kebetulan sama dengan etika Protestan – tetap merupakan nilai-

nilai ajaran yang amat penting dan prinsipil dalam usaha memotivasi umat.

Dengan menggunakan jurus anti ketidakadilan ekonomi itu (mafhumnya ialah

menegakkan keadilan seosial dalam kehidupan), maka sebenarnya para ulama

mempunyai modal dan kemampuan cukup dalam membicarakan persoalan-persoalan

yang berkenaan dengan ekonomi secara aktif. Sebab, keadilan sosial merupakan titik

sentral ekonomi Indonesia yang sosialis, dan merupakan tujuan bernegara bagi bangsa

Indonesia.[28] Namun, perlu dicatat juga, bahwa bentuk dan corak ekonomi yang

sosialis tersebut bukanlah semakna dengan yang dimaksud dalam konteks Negara-

negara Blok Timur, akan tetapi yang dimaksud adalah sosialis yang religius

Page 43: ISSN: 1693-8275 JDINAMIKA - Universitas Islam Nahdlatul

43 Ulama dalam Menghadapi Perkembangan Ekonomi

Noor Rohman

(sosialisme-religius). Sosialisme-religius inilah sebagai jawaban alternatif terhadap

kapitalisme dan komunisme untuk konteks Indonesia. Dan dalam hal ini, secara lebih

jauh, Nurcholish Madjid menjelaskan bahwa :

“Sosialisme menjadi tidak hanya merupakan komitmen kemanusiaan, tetapi

juga ketuhanan. Bung Hatta, dalam menerangkan bentuk kesalinghubungan

antar sila dalam Pancasila, senantiasa menegaskan bahwa sila ketuhanan

merupakan sila yang menyinari sila-sila lainnya, merupakan dasar moral

yang kuat untuk mewujudkan cita-cita kenegaraan dan kemasyarakatan

kita.”[29]

Dari penjelasan di atas nampaklah dengan jelas bahwa sosialisme, yang

merupakan dasar daripada ekonomi Indonesia, yang dimaksud adalah sosialisme yang

berlandaskan nilai-nilai ketuhanan (agama), bukan sosialisme-materialistik

sebagaimana yang dipahami oleh kaum komunis.

Berdasarkan uraian-uraian di atas pula, dapatlah dipahami bahwa ekonomi

sosialis Indonesia adalah ekonomi yang sepenuhnya berorientasi kepada: Ketuhanan

Yang Maha Esa (yaitu mencakup etik moral agama dan bukan materialisme);

Kemanusiaan yang adil dan beradab (tak mengenal perampasan hak individual/

komunal, saling menghormati, menjaga prestise setiap individu); Persatuan

(kekeluargaan, kebersamaan, gotong royong, tidak saling mematikan, bantu-membantu

antar individu, patriotisme ekonomi); Kerakyatan (demokrasi ekonomi, mengutamakan

ekonomi rakyat/rakyat sentris dan kebutuhan orang banyak); dan Keadilan Sosial

(persamaan, kemakmuran masyarakat, bukan kemakmuran orang-seorang)[30].

Karenanya ia juga disebut “Ekonomi Pancasila”.

Dalam menghadapi perkembangan ekonomi – dalam konteks Indonesia untuk

masa kini dan yang akan datang – tidaklah terdapat alasan bagi para ulama untuk tidak

ikut terlibat. Sebab ekonomi adalah persoalan penting yang menyangkut soal nasib

hidup seseorang secara materi, baik untuk masa kini maupun yang akan datang. Supaya

nilai-nilai Islam itu dapat terserap ke dalam dinamika pembangunan ekonomi nasional,

maka para ulama dituntut untuk mampu memperkenalkan nilai-nilai ajaran Islam yang

relevan dengan pokok masalah – dalam hal ini aktivitas-aktivitas ekonomi –, kemudian

menjelaskannya secara lebih operasional sehingga terbukti validitasnya di tengah-

tengah hiruk-pikuknya kehidupan manusia. Suatu contoh ialah zakat: bagaimana

melaksanakan ibadah zakat itu sehingga sesuai dengan fungsi asalnya; dan bagaimana

pendayagunaannya sehingga kemanfaatannya secara makro dapat dijadikan sebagai

rujukan kajian ekonomi dalam kaitannya dengan penataan dan pembangunan ekonomi

nasional secara nyata.

Secara konsepsional perlu diketengahkan juga pokok-pokok pendirian ekonomi

menurut Islam, yaitu:

1. kewajiban bekerja,

2. membasmi pengangguran,

3. mengakui hak milik,

Page 44: ISSN: 1693-8275 JDINAMIKA - Universitas Islam Nahdlatul

JURNAL DINAMIKA EKONOMI & BISNIS Vol. 7 No. 1 Maret 2010 44

4. kesejahteraan agama dan sosial, dan

5. iman kepada Tuhan,

6. keadilan sosial. [31]

Inilah pokok-pokok pendirian ekonomi Islam yang secara harfiah ataupun

maknawiah sesuai dengan situasi Indonesia yang menganut Sistem Ekonomi Pancasila,

sebagaimana diuraikan di muka. Oleh karena itu, dengan berbekal pemahaman secara

mendalam terhadap pokok-pokok tersebut dan kemampuan menjelaskan atau

mengartikulasikannya, maka para ulama diharap untuk mampu mengikuti

perkembangan-perkembangan dalam dinamika ekonomi dan malahan diharapkan peran

aktif mereka dalam membentuk dan membangun bangunan strategi ekonomi Indonesia

untuk masa-masa yang akan datang. Sebab, sudah menjadi kesepakatan nasional, bahwa

Pancasila adalah dasar falsafah hidup bangsa Indonesia dan dalam saat yang sama

pembangunan ekonomi Indonesia adalah ekonomi yang sepenuhnya berorientasi

kepada kesemua sila dari Pancasila. Maka, amatlah tepat jika konsepsi ekonomi Islam

itu dapat diletakkan pada kerangka pembangunan ekonomi Indonesia. Namun harapan

tersebut terpulang kembali kepada kepekaan para ulama terhadap masalah-masalah

ekonomi yang selalu berkembang dan kompetensi mereka itu sendiri. Mampukah

mereka mengantisipasi perkembangan-perkembangan yang begitu dalam dunia

ekonomi? Itulah pertanyaan yang perlu mereka jawab.

Daftar Pustaka

[1] Lihat Nouruzzaman Shiddiqi, “Ulama dalam Perspektif Sejarah”, Pesantren,

No.4/Vol.II/1985, h.7, (dikutip dari Eric Wolf, “Aspect of Group Relation in a Complex

Society”, American Antropology, jilid 88, No.6 (Desember 1956), pp.1068-1078.

[2] Baca Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta : PT Gramedia, 1977, h.

23.

[3] Baca Mukti Ali, H.A., Beberapa Persoalan Agama Dewasa Ini, Yogyakarta :

PLP2M, 1985, h. 191.

[4] Alam Nasyrah (94) : 7.

[5] Al-Baqarah (2): 201.

[6] Al-Jami’ al- Shaghir, juz 1, h. 96.

[7] Al-Nisa’ (4): 95.

[8] Mubyarto, “Zakat di Negara Pancasila”, Pesantren, No.2/Vol.III/1986, hal 31.

[9] Mukti Ali, Op.Cit., hal 202.

[10] Baca Zainal Abidin Ahamad, H., Dasar-dasar Ekonomi Islam, Jakarta:Bulan

Bintang, 1979, h.242-312.

[11] Mukti Ali, Op.Cit. h. 207. [12] Ibid.

[13] Harian,” Republika”, 16 Desember, 2010.

[14] Baca Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900 – 1942, Jakarta :

LP3ES.,1980, h. 115.

[15] Baca Ibid., h. 86.

Page 45: ISSN: 1693-8275 JDINAMIKA - Universitas Islam Nahdlatul

45 Ulama dalam Menghadapi Perkembangan Ekonomi

Noor Rohman

[16] Baca Ibid., h. 80-82.

[17] Baca Ibid., h.252.

[18] Baca Ibid., h.253.

[19] Baca Emil Salim, Perencanaan Pembangunan dan Pemerataan Pendapatan,

Jakarta: Idayu, h. 37-68.

[20] Nurcholish Madjid, Islam Kemoderenan dan Ke-Indonesiaan,(selanjutnya disebut

Islam), Bandung: Mizan, 1987, h. 97.

[21] Baca Ibid.

[22] Baca Ibid. h. 143; juga baca Mukti Ali, Op.Cit., hh. 196-197.

[23] Lihat Islam. h. 143.

[24] Ibid., h 144, (diambil dari Max Weber, The Protestan Ethic and The Spirit of

Capitalism,(terjemahan Talcott Parsons), New York, 1958, hh.2-3 (pengantar oleh R.H.

Tawney).

[25] Lihat Muhammad Qutb, Salah Paham Terhadap Islam, (terjemahan Hersri),

Bandung:Penerbit Pustaka, 1982, h.341.

[26] Baca Islam, h.101.

[27] Lihat Ibid., h. 102.

[28] Baca Ibid., h. 107

[29] Ibid., h. 108

[30] Baca Sri Edi Swasono, Orientasi Ekonomi Pancasila, dalam Abdul Madjid dan

Sri-Edi Swasono (Eds.), Wawasan Ekonomi Pancasila, Jakarta: Penerbit Universitas

Indonesia, 1982.

[31] Zainal Abidin Ahmad, H., Op.Cit., h. 125.

Page 46: ISSN: 1693-8275 JDINAMIKA - Universitas Islam Nahdlatul

47 Sistem Perbankan Islam dan Perkembangannya di Indonesia

Dwi Agung Nugroho Arianto

SISTEM PERBANKAN ISLAM DAN PERKEMBANGANNYA

DI INDONESIA

Dwi Agung Nugroho Arianto

Program Studi Manajemen STIENU Jepara, Jl. Taman Siswa (Pekeng) Tahunan Jepara

Email: [email protected]

Abstract

Originality and sources of Islamic banking can be seen by looking closely at the

epistemological. Originality is more visible if done comparisons between Islamic banks and

conventional banks. Islamic banks in Indonesia is actually more popularly referred to as Islamic

banks. This article will examine the Islamic banking system, intricacies, comparison with

conventional banks and developments in Indonesia.

Keywords: Islamic banks, usury, Islamic banking system

Abstrak

Orisinalitas dan sumber perbankan Islam bisa dilihat dengan mencermati sisi

epistemologisnya. Orisinalitas itu semakin tampak jika dilakukan komparasi antara

bank Islam dan bank konvensional. Bank Islam sebenarnya di Indonesia lebih populer

disebut dengan istilah bank syariah. Artikel ini akan menelaah sistem perbankan Islam,

seluk beluknya, perbandingan dengan bank konvensional dan perkembangannya di

Indonesia.

Kata kunci: bank syariah, riba, sistem perbankan Islam

Pendahuluan

Prinsip universalitas dalam pandangan sebagian besar umat Islam secara otomatis

berarti pengakuan oleh Islam atas kehidupan ekonomi. Sebagai konsekuensi logis,

ekonomi merupakan bagian dari suatu totalitas sistem Islam. Landasan filosofis

ekonomi Islam mencakup tauhid, rububiyah, khilafah, tazkiyah dan accountability

(Babillahi, 1987: 10). Tanpa pretensi apologia, proses ini menjadikan sejarah abad ke-

14 lalu sebagai titik tolak pembangunan Islam (Ibrahim, 1997: viii). Secara empirik,

jumlah umat Islam di dunia yang berkisar 800 juta jiwa lebih dan volume perdagangan

setiap bulan yang mencapai 400 milyar dolar AS merupakan potensi besar bagi

pembangunan negara-negara Islam. Namun banyak negara Islam, baik kelompok D8

(The Development Eight) meliputi Indonesia, Iran, Malaysia, Bangladesh, Nigeria,

Pakistan, Mesir dan Turki maupun non anggota D8, belum memiliki strategi

pembangunan yang benar-benar berdasarkan Islam (Shopiaan, 1986: 178).

Dalam perspektif ekonomi-politik, negara-negara Islam cenderung kepada

kapitalisme dan sosialisme. Arab Saudi, Kuwait, Turki dan Uni Emirat Arab sangat

akrab dengan kapitalis. Pada dasawarsa 50-an, pakar perpajakan Amerika dilibatkan

Page 47: ISSN: 1693-8275 JDINAMIKA - Universitas Islam Nahdlatul

JURNAL DINAMIKA EKONOMI & BISNIS Vol. 7 No. 1 Maret 2010 48

dalam penyusunan ketetapan pajak penghasilan. Sintesa antara ajaran zakat dan hukum

fiskal Amerika tidak terelakkan. Hal ini terus terjadi karena Arab Saudi semakin aktif

melakukan bisnis dengan Amerika (Anderson, 1975: 84). Iraq dan Libya dekat dengan

sosialis. Indonesia mencoba sistem ekonomi campuran. Malaysia, Iran dan Pakistan

melakukan eksperimen ekonomi Islam. Pada umumnya, di kalangan negara-negara

Islam tetap ada upaya untuk sungguh-sungguh menerapkan konsep ekonomi Islam.

Elemen penting ekonomi Islam meliputi sektor uang, investasi dan perbankan

(Siddiqi, 1983: 1). Menurut Sami Hassan Hamoud, embrio perbankan Islam dimulai

sejak Nabi Muhammad SAW. Sebelum menjadi rasul, dia telah dikenal sebagai al-

amin. Dia dipercaya untuk menyimpan deposit orang banyak. Sedangkan aktivitas

pengiriman uang telah dikenal sejak awal Islam (Arifin, 1999: 11).

Ide perbankan Islam modern mulai ada pada pertengahan abad ke-20 M, tepatnya

pada dekade 40-an (Saeed, 1996: 10). Dalam arti modern dan empirik, bank adalah

badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan

menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk

lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak (UU RI No. 7 tahun

1992 yang telah dirubah dengan UU No.10 tahun 1998).

Dengan demikian, bank merupakan financial intermediary antara pemilik modal

dan pengguna modal. Sebagai financial intermediary, Perbankan Islam khususnya di

Indonesia, juga melakukan berbagai usaha sekaligus pengembangannya dengan

menawarkan bermacam produk baik yang berkategori penghimpun dana, maupun jasa

lainnya berdasarkan prinsip Islam. Sebenarnya bagaimana perbankan Islam di

Indonesia jika ditinjau dari segi epistemologis-filosofis, dan perbandingan antara

perbankan Islam dengan perbankan konvensional serta perkembangannya, wacana

seperti inilah yang sekarang sering muncul di masyarakat, sejak bunga bank diposisikan

sebagai riba oleh agama dan wacana dominan masyarakat.

Epistemologi Perbankan Islam

Untuk mengetahui orisinalitas dan sumber perbankan Islam bisa dilihat dengan

mencermati sisi epistemologisnya. Orisinalitas itu semakin tampak jika dilakukan

komparasi antara bank Islam dan bank konvensional. Sulit untuk dicari kekhususannya

jika tidak dipersandingkan antarkeduanya.

Sebagai sebuah institusi keuangan sekaligus financial intermediary, bank

konvensional (BK) dan bank Islam (BI) dibangun di atas fundamental values yang

hierarki nilai sistemnya sama, tetapi substansi nilainya berbeda. Substansi suatu nilai

ditentukan oleh agama atau aliran pemikiran tertentu (Syaifudin, 1987: 58). Dalam hal

ini, Mohammad Arif telah mengungkapkan bahwa bank konvensional mendapat

inspirasi dari sistem ekonomi kapitalis, paradigma yang dipakai adalah paradigm

ekonomi pasar, basis dasar mikronya adalah manusia ekonomi, dan dasar filosofisnya

adalah indivudualisme utilitarian berdasar pada filosofi laissez faire.

Sedangkan bank Islam diderivasi dari sistem ekonomi Islam dengan paradigma

Page 48: ISSN: 1693-8275 JDINAMIKA - Universitas Islam Nahdlatul

49 Sistem Perbankan Islam dan Perkembangannya di Indonesia

Dwi Agung Nugroho Arianto

syari’ah, basis dasar mikro yang dipakai adalah manusia muslin dan dasar filosofisnya

adalah individualisme berperan sebagai khalifah di bumi dengan tujuan hidup mencapai

kemenangan di dunia dan di akhirat serta bertanggung jawab atas semua tindakan.

Dengan demikian, secara spirit-substansial maupun secara metodik-

operasionalistik bank konvensional tidak lebih dari produk pemikiran manusia.

Sedangkan bank Islam, secara metodik-operasionalistik memang produk pemikiran

manusia, namun secara spirit-substansial bank Islam diintrodusir dari pemikiran-

pemikiran Islam. Jadi pada dasarnya antara perbankan konvensional dengan perbankan

Islam adalah sama-sama produk pemikiran manusia hanya pada bank Islam

menerapkan sistem-sistem syariah.

Kekhususan perbankan Islam sudah bisa dilihat dari sini, yakni dimensi spirit-

substansial. Melepaskan dimensi spiritual dari bank Islam berarti membiarkan bank

Islam menjadi gersang, liar tidak bertuan dan tidak bertuhan. Gersang, liar, tidak

bertuan dan tidak bertuhan adalah empat term yang sangat dekat, bahkan include dalam

apa yang oleh Harvey Cox disebut sebagai indikasi-indikasi pokok sekularisasi,

meliputi disenchantment of nature, desacralization of politic dan deconsecretion of

values (Cox, 1965: 22-25).

Dalam konteks ini, berarti membebaskan bank Islam dari pengaruh Illahiyat dan

memisahkannya dari Tuhan. Dengan sikap ini, manusia tidak lagi menganggap bank

Islam sebagai kesatuan dengan Tuhan, yang menyebabkan manusia bebas

memanfaatkan dan menjalankan operasional perbankan tanpa control etika dan

moralitas. Kalaupun ada etika dan moral, bisa dipastikan etika dan moral yang berbasis

pada selera manusia yang dalam perspektif etika bisnis lazim disebut asas

consequentalism dan culture relativism.

Kedua, desakralisasi politik (desacralization of politic). Artinya penghapusan

legitimasi kekuasaan dan wewenang pengambilan keputusan-keputusan perbankan

Islam dari agama, yang berdampak pada penghilangan peran agama dalam kehidupan

perbankan Islam. ketiga, pembangkangan terhadap nilai-nilai (deconsecretion of

values). Dalam perspektif ini, nilai-nilai termasuk nilai-nilai agama terbuka untuk

perubahan yang di dalamnya manusia bebas menciptakan perubahan dan

menenggelamkan diri ke dalam proses dereligiusifikasi.

Dengan demikian, bila tidak diantisipasi secara tuntas, peranan agama semakin

menyusut. Peranan dan fungsi kapitalis menggantikan peranan dan fungsi yang

sebelumnya dipegang oleh agama. Tuntutan inilah yang akhirnya secara praktis dan

sistematis mempengaruhi susutnya peran dan fungsi agama di tengah pengembangan

perbankan Islam, khususnya di Indonesia.

Sejarah Perbankan Islam di Indonesia

Bank Islam sebenarnya di Indonesia lebih populer disebut dengan istilah bank

syariah. Adapun pengertian bank Islam adalah bank yang beroperasi sesuai dengan

prinsip-prinsip syariah Islam atau bank yang tata cara beroperasinya mengacu kepada

Page 49: ISSN: 1693-8275 JDINAMIKA - Universitas Islam Nahdlatul

JURNAL DINAMIKA EKONOMI & BISNIS Vol. 7 No. 1 Maret 2010 50

ketentuan-ketentuan Al-Quran dan Hadits.

Perbankan Islam pertama kali muncul di Mesir tanpa menggunakan embel-embel

Islam, karena adanya kekhawatiran rezim yang berkuasa saat itu akan melihatnya

sebagai gerakan fundamentalis. Perintisnya adalah Ahmad El Najjar. Sistem pertama

yang dikembangkan adalah mengambil bentuk sebuah bank simpanan yang berbasis

profit sharing (pembagian laba/ bagi hasil) pada tahun 1963. kemudian pada tahun ’70-

an, telah berdiri setidaknya 9 bank yang tidak memungut maupun menerima bunga,

sebagian besar berinvestasi pada usaha-usaha perdagangan dan industri secara langsung

dalam bentuk partnership dan membagi keuntungan yang didapat dengan para

penabung.

Baru kemudian berdiri Islamic Development Bank pada tahun 1974 disponsori

oleh negara-negara yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam, yang

menyediakan jasa finansial berbasis fee dan profit sharing untuk negara-negara

anggotanya dan secara eksplisit menyatakan diri berdasar pada syariah Islam.

Kemudian setelah itu, secara berturut-turut berdirilah sejumlah bank berbasis

Islam antara lain berdiri Dubai Islamic Bank (1975), Faisal Islamic Bank of Sudan

(1977), Faisal Islamic Bank of Egypt (1977) serta Bahrain Islamic Bank (1979)

Phillipine Amanah Bank (1973) berdasarkan dekrit presiden, dan Muslim Pilgrims

Savings Corporation (1983).

Di Indonesia perbankan syariah baru muncul pertama pada tahun 1991 dengan

berdirinya Bank Muamalat Indonesia yang diprakarsai oleh Majelis Ulama Indonesia

(MUI) dan pemerintah serta dukungan dari Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia

(ICMI) dan beberapa pengusaha muslim. Bank Muamalat sempat terimbas oleh krisis

moneter pada akhir tahun 90-an sehingga ekuitasnya hanya tersisa sepertiga dari modal

awal. Kemudian, IDB memberikan suntikan dana sehingga pada periode 1999-2002

dapat bangkit dan menghasilkan laba. Saat ini keberadaan bank syariah di Indonesia

telah di atur dalam Undang-undang yaitu UU No. 10 tahun 1998 tentang Perubahan UU

No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan serta lebih spesifiknya pada Peraturn Pemerintah

N0 72 tahun 1992 tentang Bank Berdasarkan prinsip Bagi Hasil. Sampai saat ini, pada

tahun 2007, terdapat setidaknya 3 institusi bank syariah di Indonesia yaitu Bank

Muamalat Indonesia, Bank Syariah Mandiri dan Bank Mega Syariah. Sementara bank

umum yang telah memiliki unit usaha syariah adalah 19 bank diantaranya merupakan

bank besar seperti Bank Negara Indonesia (Persero) dan Bank Rakyat Indonesia

(Persero). Sistem syariah juga telah digunakan oleh Bank Perkreditan Rakyat, saat ini

telah berkembang 104 BPR Syariah.

Perbankan Islam dan Perseroan Terbatas

Perbankan Islam di Indonesia, sesuai dengan ketentuan yang berlaku, umumnya

dijalankan dalam format perseroan terbatas (PT). Masalah-masalah yang berkaitan

dengan fiqh sebagai konsekuensi logis atas pilihan format ini bisa ditelaah dengan

membandingkan antara perseroan terbatas dan konsep perjanjian dalam Islam. ada

Page 50: ISSN: 1693-8275 JDINAMIKA - Universitas Islam Nahdlatul

51 Sistem Perbankan Islam dan Perkembangannya di Indonesia

Dwi Agung Nugroho Arianto

beberapa konsep fiqh muamalah yang bisa dipersandingkan dengan perseroan terbatas,

seperti mudharabah, qiradl dan syirkah. Untuk mengetahui validitas perjanjian bank

Islam dihadapan cermin bank konvensional, maka dari ketiga konsep fiqh muamalah di

atas, dalam uraian berikut ini akan ditelaah satu konsep saja, yaitu syirkah.

Prinsip kerja sama dalam perseroan terbatas, seperti tercakup dalam theory of the

firm, bahwa pemegang saham adalah majikan, sedangkan karyawan (manajer dan

buruh) menerima mandate dari pemegang saham. Kewajiban karyawan adalah bekerja

keras untuk memperoleh keuntungan dan menghindari kegiatan yang merugikan

perseroan. Sedangkan kewajiban pemegang saham adalah menyediakan modal dan

memberikan gaji kepada karyawan sesuai kesepakatan bersama (Manuel, 1998: 429).

Berdasarkan uraian ini tampak bahwa tanggung jawab operasional roda perseroan ada

pada manajemen perseroan, sedangkan pemegang saham tidak tahu menahu operasional

perseroan. Jika perseroan mengalami kerugian, maka pemegang saham hanya sebatas

berkurang perolehan dividen-nya. Tanggung jawab operasional perseroan ada pada

manajemen.

Dalam perspektif fiqh muamalah, prinsip kerjasama model perseroan terbatas

(PT) secara umum, meski tidak sama persis ada kemiripan dengan syirkah al-uqd atau

yang khusus disebut syirkah al-inan. Yaitu persekutuan oleh dua orang atau lebih untuk

melakukan suatu bisnis dengan keuntungan dibagi dua. Dalam syirkah al-inan, jumlah

modal dari masing-masing pihak boleh berbeda. Juga boleh berbeda kewenangan dan

keuntungan sesuai kesepakatan. Salah satu pihak boleh sebagai penanggung jawab,

sedangkan yang lain tidak. Jika bisnis mengalami kerugian, maka prosentase

kerugiannya didasarkan pada prosentase modal.

Ada perbedaan antara perseroan terbatas dengan syirkah al-inan. Di dalam

perseroan terbatas ada istilah limited ability yaitu ada kesetaraan antara pemegang

saham dan manajemen. Sedangkan dalam syirkah al-inan, tanggung jawab ada pada

pemodal maupun pelaksana. Dengan demikian, dalam pandangan fiqh muamalah

bahwa perseroan terbatas masih menyisakan problem, nemun problem itu sebenarnya

bisa diminimalisir dengan cara mengakomodasi sejauh mungkin dimensi keadilan dan

kesetaraan dalam pelaksanaan perseroan. Alam perspektif etika bisnis, konsep ini

disebut justice based on abilities.

Perbedaan Bank Islam dengan Bank Konvensional

Perbedaan mendasar antara bank Islam dengan bank konvensional secara umum

terletak pada dua konsep yaitu konsep imbalan dan konsep sistemnya. Perbedaan

konsep sistem antara bank konvensional dan bank Islam dapat dilihat dalam tabel

perbandingan, pada tabel 1, sebagai berikut:

Page 51: ISSN: 1693-8275 JDINAMIKA - Universitas Islam Nahdlatul

JURNAL DINAMIKA EKONOMI & BISNIS Vol. 7 No. 1 Maret 2010 52

Tabel 1

Perbandingan Bank Islam dan Bank Konvensional

Bank Islam Bank Konvensional

1. Berdasarkan margin keuntungan 1. Memakai perangkat bunga dan atau

bagi hasil

2. Profit dan falah oriented 2. Profit oriented

3. Hubungan dengan nasabah dalam

bentuk hubungan kemitraan

3. Hubungan dengan nasabah dalam

bentuk hubungan debitur – kreditur

4. Users of real funds 4. Creator of money supply

5. Melakukan investasi – investasi yang

halal saja

5. Investasi yang halal dan haram

6. Pengerahan dan penyaluran dana

harus sesuai dengan syariah Islam

yang diawasi oleh Dewan Pengawas

Syariah.

6. Tidak terdapat Dewan Pengawas

Syariah atau sejenisnya

Sedangkan, perbedaan konsep imbalan antara bank Islam yang menggunakan

sistem bagi hasil/ profit sharing dan bank konvensional yang menggunakan sistem

bunga/ interest dapat dilihat dalam tabel 2 berikut:

Tabel 2

Perbandingan Sistem Bunga dan Sistem Bagi Hasil

Bunga (Bank Konvensional) Bagi Hasil (Bank Islam)

1. Penentuan bunga dibuat pada waktu

akad tanpa berpedoman pada untung

rugi.

1. Penentuan besarnya rasio bagi hasil

dibuat pada waktu akad dengan

berpedoman pada kemungkinan

untung rugi.

2. Besarnya persentase berdasarkan

pada jumlah uang yang dipinjamkan.

2. Besarnya rasio bagi hasil berdasarkan

pada jumlah keuntungan yang

diperoleh.

3. Pembayaran bunga tetap seperti yang

dijanjikan tanpa pertimbangan apakah

proyek yang dijalankan oleh pihak

nasabah untung atau rugi.

3. Bagi hasil tergantung pada

keunungan proyek yang dijalankan.

Sekiranya tidak mendapatkan

keuntungan maka kerugian akan

ditanggng bersama oleh kedua belah

pihak.

4. Jumlah pembayaran bunga tidak

meningkat sekalipun jumlah

keuntungan berlipat atau keadaan

ekonomi sedang ”booming”

4. Jumlah pembagian laba meningkat

sesuai dengan peningkatan jumlah

pendapatan.

Page 52: ISSN: 1693-8275 JDINAMIKA - Universitas Islam Nahdlatul

53 Sistem Perbankan Islam dan Perkembangannya di Indonesia

Dwi Agung Nugroho Arianto

Reinterpretasi Makna Riba

Salah satu elemen yang sangat penting dalam diskursus dan praktik ekonomi

Islam adalah problematika riba. Riba bukanlah representasi seutuhnya ekonomi Islam,

tetapi posisi riba ikut menentukan validitas dan cukup dominan di dalamnya terutama

jika dikaitkan dengan perbankan Islam. pro dan kontra hukum bunga bank telah

menjadi polemik sejak lama. Seperti didokumentasikan oleh Murtadla Munthahari,

bahwa Plato dalam The Law of Plato dan Aristoteles dalam Politics, keduanya

melarang praktik pinjam meminjam uang dengan sistem rente. Uang adalah alat untuk

jual beli. Hutang merupakan out put dari proses jual beli. Sedangkan bunga adalah uang

yang lahir dari uang.

Secara umum, para yuris muslim mengelompokkan riba menjadi dua: riba

nasi’ah dan riba fadhl. Ada konsensus bersama atas keharaman riba nasi’ah, namun

berbeda pendapat tentang riba fadhl. Mufassir kontemporer Muhammad Abduh

berargumentasi bahwa yang diharamkan adalah riba yang eksploitatif dan berlipat

ganda sebagaimana termaktub dalam al-Qur’an surat al-Baqarah (2) ayat 275. Riba

yang diharamkan oleh al-Qur’an adalah riba nasi’ah, yaitu tambahan jumlah uang

karena penundaan pembayaran.

Sedikit berbeda dengan pemikiran tentang riba di atas, Ibnu Qayyim al-Jauziyah

menawarkan interpretasi baru tentang riba. Menurutnya ada dua macam riba. Pertama,

riba jali yaitu riba yang mengandung kemudlaratan besar. Kedua, riba khafi yaitu riba

yang mengandung kemudlaratan kecil. Riba jali diperbolehkan jika dalam keadaan

terpaksa, sedangkan riba khafi diperbolehkan ketika dalam kondisi membutuhkan.

Dunia perekonomian tampak terasa begitu sempit karena di sana-sini dikesankan

ada ranjau-ranjau dan jeratan-jeratan riba. Tanpa bermaksud menganggap sepele urusan

agama, penting untuk dicatat bahwa interpretasi Ibnu al-Qayyim terhadap masalah riba

cukup fleksibel dan akomodatif karena jelas menggunakan logika deduktif logic

probabilistik yang mengklasterisasikan riba didasarkan pada esensi keterpaksaan dan

kebutuhan bukan didasarkan pada eksistensi jumlah riba.

Interpretasi riba ini dapat dikembangkan lebih lanjut guna menetralisir

ekstimitas-ekstrimitas pemikiran yang memandang riba secara hitam putih. Bukan hal

yang asing lagi bahwa tidak mudah menghilangkan atau menafikan argumentasi-

argumentasi yang mengharamkan riba. Pandangan ini bertahan cukup kuat dan

mendominasi alam pikiran umat Islam sampai akhir era 1960-an. Ketika memasuki era

1970-an, seiring dengan maraknya pembentukan perbankan Islam diberbagai belahan

dunia, pandangan yang mengharamkan riba mulai berkurang dominasinya. Jadi pada

dasarnya diperbolehkan atau tidaknya riba tergantung kepada manusianya saat

melaksanakan transaksi, didasarkan pada kebutuhan atau keterpaksaan.

Faktor-Faktor Penghambat Keberlangsungan Bank Islam

Diantara faktor penghambat keberlangsungan bank Islam adalah faktor

kelemahan yang terdapat di dalam bank Islam itu sendiri. Diantara faktor penghambat

Page 53: ISSN: 1693-8275 JDINAMIKA - Universitas Islam Nahdlatul

JURNAL DINAMIKA EKONOMI & BISNIS Vol. 7 No. 1 Maret 2010 54

bank Islam yaitu:

1. Dengan sistem Islami atau syariah, maka bank Islam terlalu berprasangka baik

kepada semua nasabahnya dan berasumsi bahwa semua orang yang terlibat

dalam bank Islam adalah jujur. Dengan demikian bank Islam sangat rawan

terhadap mereka yang beritikad tidak baik, sehingga diperlukan usaha tambahan

untuk mengawasi nasabah yang menerima pembiayan dari bank Islam. Hal ini

akan menjadi hambatan berlangsungnya bank Islam jika bank Islam itu sering

kecolongan akan nasabah yang membandel dan nakal. Atau kalau tidak, maka

bank Islam itu justru karena terlalu hati-hatinya memilih nasabah, maka

berakibat sedikitnya keuntungan yang diperolehnya sehingga berimbas pada

terhambatnya laju pertumbuhan bank Islam itu sendiri.

2. Dengan penerapan sistem bagi hasil, maka akan lebih diperlukan perhitungan-

perhitungan yang rumit terutama dalam menghitung bagian laba nasabah yang

kecil-kecil dan yang nilai simpanannya di bank tidak tetap. Sehingga bisa terjadi

potensi salah hitung. Kesalahan hitung dalam proses rumit ini, apabila sering

terjadi, maka akan membuat para nasabah lari dari bank Islam tersebut.

3. Karena bank Islam menerapkan bagi hasil, maka bank Islam lebih memerlukan

tenaga dan pikiran yang ekstra dibanding dengan bank konvensional. Hal ini

dimaksudkan agar bank Islam tidak salah dalam menilai kelayakan suatu

pembiayaan tertentu. Dalam kasus ini sekali lagi, apabila bank Islam tidak

pandai-pandai menilai prospek dan kelayakan pembiayaannya maka bisa

berakibat kerugian terhadap pembiayaan itu dan secara otomatis berakibat

kerugian pada bank Islam itu sendiri.

4. Problematika biaya dan profitabilitas. Bank Islam bekerja dengan aturan yang

sangat ketat dan memilih investasi yang halal dan sesuai syariah saja.

Implikasinya adalah bank Islam harus melakukan supervisi dan terkadang

mengelola secara langsung operasional suatu proyek yang didanainya. Ini

dilakukan untuk mereduksi pengeluaran manajerial. Akibatnya, bank Islam

harus memikul biaya tambahan yang tidak pernah terdapat pada pembukuan

bank-bank berasas bunga. Bank Islam pun harus mampu meminimalisir potensi

kerugian dari investasi mudarabahnya dan mengamankan tingkat keuntungan

yang lebih tinggi dibandingkan dengan bank-bank riba. Hal ini menyebabkan

bank Islam terdorong untuk mencari proyek yang segera memberikan

keuntungan. Long gestation project (proyek dengan masa menunggu yang lama)

dan proyek infrastruktur adalah proyek-proyek yang kurang menarik minat

perbankan Islam, dimana bank Islam harus membayar keuntungan yang besar

setiap tahun terhadap simpanan.

5. Minimnya sumberdaya manusia yang memahami secara komprehensif segala hal

yang berkaitan dengan industri perbankan syariah. Sehingga dalam prakteknya,

seringkali terjadi penyimpangan-penyimpangan aktivitas transaksi yang tidak

sesuai dengan syariah.

Page 54: ISSN: 1693-8275 JDINAMIKA - Universitas Islam Nahdlatul

55 Sistem Perbankan Islam dan Perkembangannya di Indonesia

Dwi Agung Nugroho Arianto

6. Belum adanya suatu Bank Sentral Syariah sebagai penyokong selain Bank

Indonesia yang menjadi bank-nya lembaga-lembaga perbankan yang mampu

memerankan diri seperti peran Bank Indonesia tetapi dengan prinsip Islam.

7. Belum adanya undang-undang yang secara khusus mengatur mengenai

perbankan syariah.

Ekonomi Islam selama ini bisa dikatakan menumpang atau setidaknya menapak

tilas keistimewaan Tuhan. Hal ini, terutama terkait dengan simbol dan kata “Islam” atau

“Syari’ah” yang sering ditempatkan di belakang kata “ekonomi” atau “bank”.

Kenyataan yang demikian menunjukkan bahwa nuansa ketuhanan sangat kental.

Wibawa dan otoritas Tuhan dilibatkan secara all out untuk menjustifikasi dan

menambah legitimasi ekonomi Islam.

Islam atau tidak Islamnya suatu perekonomian tidaklah tergantung kepada ada

atau tidak adanya partisipasi budaya Arab, ada atau tidak adanya teks-teks yang

mengatur, tidak pula tergantung kepada disebut atau tidaknya kata-kata “Islam” atau

“Syari’ah” di belakang kata ekonomi, melainkan tergantung kepada sejauhmana proses

implementasi berjalan secara procedural disertai semangat mewujudkan kemaslahatan

secara optimal. Tanpa disertai kata-kata “Islam” atau “Syari’ah”, jika memang suatu

aktifitas perekonomian dilakukan atas dasar kesepakatan bersama secara tegas untuk

mewujudkan kemakmuran di kalangan manusia, berarti substansi Islam sudah inherent

di dalamnya.

Penutup

Bank Islam dalam perkembangannya di Indonesia sejak tahun 1991 sampai

sekarang mampu memberikan keuntungan bagi masyarakat dan perekonomian. Namun

demikian, perkembangan perbankan Islam bukannya tanpa cela. Namun bank Islam

dengan konsep ilahiyyah, juga memerlukan injeksi nilai-nilai Islam dan harus berjalan

di atas koridor keadilan dan kesetaraan. Interpretasi dan pemikiran tentang riba yang

ada selama ini berada di bawah kungkungan pola piker ortodok-absolutistik. Dengan

melakukan penafsiran ulang secara empirik probabilistic terhadap teks-teks riba, maka

terbuka peluang seluas-luasnya bagi penciptaan suatu situasi dan kondisi yang lebih

baik.

Masih banyak kekurangan dan kelemahan serta hambatan-hambatan yang masih

harus dilewati untuk mewujudkan cita-cita perbankan Islam yaitu menghapus sistem

ribawi atau konsep bunga. Masih banyak transaksi-transaksi dan pembiayaan-

pembiayaan yang belum bisa diterapkan secara murni syariah atau murni Islami. Oleh

karena itu, pengembangan perbankan syariah tidak boleh hanya dibebankan di pundak

para pelaku bank Islam, Bank Indonesia atau pemerintah saja tetapi peran serta seluruh

elemen masyarakat Indonesia.

Page 55: ISSN: 1693-8275 JDINAMIKA - Universitas Islam Nahdlatul

JURNAL DINAMIKA EKONOMI & BISNIS Vol. 7 No. 1 Maret 2010 56

Daftar Pustaka

Anderson, J.N.D, 1975, Islamic Law in The Modern World, Conecticut, Greenwood

Press.

Arifin, Zainul, 1999, Memahami Bank Syari’ah: Lingkup, Peluang, Tantangan dan

Prospek, CV Alpabet, Jakarta.

Babillahi, Mahmud Muhammad, 1987, Dasar-dasar Ekonomi Islam, terj. Akhmad

Chumaidi Umar, Salahudin Press, Yogyakarta.

Cox, Harvey, 1965, The Secular City, New York, The Macmilan Company.

Ibrahim Anwar, 1997, “Islam dan Pembangunan Ekonomi Umat”, dalam Ainur R.

Shopiaan, Etika Ekonomi Politik: Elemen-elemen Strategis Pembangunan Islam,

Surabaya, Risalah Gusti.

Saeed, Abdullah, 1996, Islamic Banking and Interest: A Study of The Prohibition of

Riba and Its Contemporary Interpretation, Leiden-New York-Koln, E.J. Brill.

Siddiqi, M. Nejatullah, 1983, Issues in Islamic Banking, London, Islamic Foundation.

Syaifudin, AM, 1987, Ekonomi dan Masyarakat dalam Perspektif Islam, Jakarta,

Rajawali Press.

Velasquez, Manuel G, 1998, Bussiness Ethics: Concepts and Cases, New Jersey,

Prentice-Hall International.

Page 56: ISSN: 1693-8275 JDINAMIKA - Universitas Islam Nahdlatul

57 Pengaruh Partisipasi Anggaran dan Komitmen Organisasi

sebagai Moderasi terhadap Kinerja Manajerial

Nichlah Hidayah

Fitri Ella Fauziah

PENGARUH PARTISIPASI ANGGARAN TERHADAP

KINERJA MANAJERIAL DENGAN KOMITMEN

ORGANISASI SEBAGAI VARIABEL MODERATING

Nichlah Hidayah

Fitri Ella Fauziah1)

Program Studi Akuntansi STIENU Jepara, Jl. Taman Siswa (Pekeng) Tahunan Jepara

Email: 1)

[email protected]

Abstract

Participatory budget is a managerial approach that is generally considered to improve

organizational effectiveness by improving the performance of each member organization

individually or managerial performance. However, empirical evidence suggests the existence of

uncertainty relations between participatory budgeting with managerial performance. Research

objectives were to test the effect of budgetary participation on managerial performance and

organizational commitment moderate the relationship between budgetary participation and

managerial performance. This study population is rural banks in the district of Jepara with a

sample of heads, head of sub-section, chief, section chief and head of the postal service. These

research data in the form of a questionnaire given to respondents who delivered directly by

researchers in April-May 2009. Variables include the study of Managerial Performance, Budget

Participation, and Organizational Commitment. Methods of data by multiple regression

analysis. The results showed that the positive effect the Budget Participation on Managerial

Performance significant, while the influence of the Organization's commitment to the influence

of Budget Participation and Managerial Performance is not significant.

Keywords: Budget Participation, Organizational Commitment, Managerial Performance

Abstrak

Anggaran partisipatif merupakan pendekatan manajerial yang umumnya dinilai

dapat meningkatkan efektivitas organisasional melalui peningkatan kinerja setiap

anggota organisasi secara individual atau kinerja manajerial. Namun demikian, bukti

empirik menunjukkan adanya ketidakjelasan hubungan antara anggaran partisipatif

dengan kinerja manajerial. Sehingga hal ini menarik minat para peneliti untuk

melakukan penelitian lebih lanjut. Tujuan penelitian untuk menguji pengaruh

partisipasi anggaran terhadap kinerja manajerial dan komitmen organisasi yang

memoderasi hubungan antara partisipasi anggaran dan kinerja manajerial. Populasi

penelitian ini yaitu Bank Perkreditan Rakyat di Kabupaten Jepara dengan sampel

Kepala bagian, kepala sub bagian, kepala bidang, kepala seksi dan kepala pos

pelayanan. Data penelitian ini berupa kuesioner yang diberikan kepada responden

yang diantar langsung oleh peneliti pada bulan April-Mei 2009. Variabel penelitian

meliputi Kinerja Manajerial, Partisipasi Anggaran, dan Komitmen Organisasi. Metode

Analisis data dengan regresi berganda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

Page 57: ISSN: 1693-8275 JDINAMIKA - Universitas Islam Nahdlatul

JURNAL DINAMIKA EKONOMI & BISNIS Vol. 7 No. 1 Maret 2010 58

Partisipasi Anggaran berpengaruh positif signifikan terhadap Kinerja Manajerial,

sedangkan pengaruh Komitmen Organisasi terhadap pengaruh Partisipasi Anggaran

dan Kinerja Manajerial adalah tidak signifikan.

Kata Kunci: Partisipasi Anggaran, Komitmen Organisasi, Kinerja Manajerial

Pendahuluan

Industri perbankan merupakan kegiatan usaha yang cukup dinamis, bahkan

dalam situasi dan kondisi tertentu kegiatan perbankan akan merupakan jantung dari

kegiatan-kegiatan industri lainnya. Hal ini disebabkan bank mempunyai kedudukan

yang strategis pada sistem perekonomian dan pengatur sumber likuiditas bagi setiap

jenis usaha. Perkembangan perbankan di Indonesia yang sangat pesat, berdampak pada

bank-bank komersil kedalam situasi yang kompetitif, dan banyak diantara bank-bank

tersebut yang mengabaikan prinsip usaha berhati-hati (prudential banking) dan tidak

membekali dirinya dengan staf yang profesional, sistem dan prosedur yang andal,

maupun saran sistem informasi manajemen yang baik.

Dalam menjalankan sebuah organisasi, ada berbagai fungsi yang harus dilakukan

oleh seorang manajer. Fungsi-fungsi tersebut adalah perencanaan (planning),

pengendalian (controlling), dan pengambilan keputusan (decision making) (Usry dkk,

2002 dalam Endang dan Agus, 2007). Perencanaan sebagai titik tolak menjalankan

kegiatan organisasi, memegang peranan yang sangat penting. Berdasarkan jangka

waktunya, perencanaan dapat dibedakan menjadi perencanaan jangka panjang dan

jangka pendek. Perencanaan jangka panjang perusahaan tertuang dalam visi, misi,

strategi dan program, sedangkan perencanaan jangka pendek akan diturunkan berdasar

perencanaan jangka panjang. Perencanaan jangka pendek yang disajikan dalam bentuk

angka-angka disebut dengan anggaran.

Perusahaan memerlukan anggaran sebagai salah satu komponen penting agar

tetap survive dalam lingkungan bisnis yang cepat berubah seperti sekarang ini. Sebuah

organisasi memerlukan anggaran untuk menerjemahkan seluruh strategi menjadi

rencana dan tujuan jangka pendek dan jangka panjang (Hansen dan Mowen, 2004

dalam Endang dan Agus, 2007).

Anggaran dibuat atau disiapkan oleh perusahaan baik pada level korporat,

departemen, divisi maupun berbagai fungsi, misalnya penjualan, produksi, riset dan

sebagainya (Hansen dan Mowen, 2004 dalam Endang dan Agus, 2007). Anggaran

merupakan gambaran kuantitatif dari tujuan-tujuan manajemen dan menjadi alat untuk

menentukan kemajuan dalam mencapai tujuan tersebut. Anggaran juga menjadi metode

penerjemahan tujuan dan sasaran organisasi menjadi hal yang operasional (Pasoloran,

2002 dalam Endang dan Agus, 2007). Selain itu, menurut Kennis (1979), anggaran

tidak hanya merupakan perencanaan keuangan dari pusat-pusat pertanggungjawaban

dalam perusahaan tetapi juga menjadi alat pengendalian, koordinasi dan komunikasi.

Proses penyusunan anggaran merupakan kegiatan yang penting dan melibatkan

berbagai pihak baik manajer tingkat atas maupun manajer tingkat bawah. Para manajer

Page 58: ISSN: 1693-8275 JDINAMIKA - Universitas Islam Nahdlatul

59 Pengaruh Partisipasi Anggaran dan Komitmen Organisasi

sebagai Moderasi terhadap Kinerja Manajerial

Nichlah Hidayah

Fitri Ella Fauziah

akan memainkan peranan dalam mempersiapkan dan mengevaluasi berbagai alternatif

dari tujuan anggaran, ketika anggaran digunakan sebagai tolok ukur kinerja manajer

(Leslie, 1992 dalam Endang dan Agus, 2007). Pada dasarnya, penyusunan anggaran

dapat dibagi menjadi dua yaitu penganggaran partisipatif (bottom-up) yang disusun

dengan memberikan kesempatan bagi manajer level bawah untuk berpartisipasi dalam

pembentukan anggaran; dan penganggaran top-down, yang disusun dengan tidak

melibatkan partisipasi bawahan secara signifikan (Alim, 2002 dalam Endang dan Agus,

2007).

Anggaran partisipatif merupakan pendekatan manajerial yang umumnya dinilai

dapat meningkatkan efektivitas organisasional melalui peningkatan kinerja setiap

anggota organisasi secara individual atau kinerja manajerial. Namun demikian, bukti

empiris menunjukkan adanya ketidakjelasan hubungan antara anggaran partisipatif

dengan kinerja manajerial. Sehingga hal ini menarik minat para peneliti untuk

melakukan penelitian lebih lanjut.

Lebih dari empat dasawarsa belakangan ini para peneliti telah berusaha

memformulasikan dan menguji hipotesa-hipotesa yang berkenaan dengan proses

penyusunan anggaran dan konsekuensi penggunaan data anggaran untuk mengevaluasi

kinerja manajerial akan tetapi menunjukkan hasil yang tidak konsisten dan adanya

ketidakjelasan hubungan antara anggaran partisipatif dengan kinerja manajerial.

Mengenai topik tersebut misalnya, Brownell (1982b), Brownell dan Mclnnes (1986),

Frucot Shearon (1991), dan Indriantoro (1993), menemukan hubungan yang positif dan

signifikan antara anggaran partisipatif dengan kinerja manajerial. Tetapi, hasil

penelitian Milani (1975) dan Brownell dan Hirst (1986) menyatakan yang tidak

signifikan, bahkan Stedry (1960) dan Bryan dan Locke (1970) menemukan hubungan

yang negatif Penelitian yang menguji efektivitas antara anggaran partisipatif dalam

peningkatan kinerja manajerial, oleh karena itu merupakan salah satu topik yang

menarik dalam penelitian-penelitian bidang akuntansi manajemen (Lukka, 1988 dalam

Sukardi, 2004).

Untuk merekonsiliasikan penelitian yang hasilnya saling bertentangan tersebut,

menurut Govindarajan (1986) diperlukan pendekatan kontijensi. Pendekatan ini secara

sistematis mengevaluasi berbagai kondisi atau variabel yang dapat mempengaruhi

hubungan antara partisipasi dalam penyusunan anggaran dengan kinerja manajerial.

Berbagai kondisi tersebut yaitu kultural, organisasional, interpersonal dan individual.

Sedangkan Riyanto (2003) dalam Suhartono dan Solichin (2006) mengatakan perlunya

penelitian mengenai pendekatan kontijensi. Penelitian tersebut untuk menguji faktor

kontekstual yang mempengaruhi hubungan antara sistem pengendalian dengan kinerja.

Faktor kontekstual yang mempengaruhi keefektifan sistem pengendalian, pada

umumnya, di luar domain akuntansi sehingga menyangkut multidisiplin. Contoh faktor

kontekstual tersebut adalah motivasi, komitmen, struktur organisasi, ketidakpastian

lingkungan dan strategi. Faktor kontekstual organisasional yang dipilih dalam

penelitian ini adalah komitmen organisasi yang diberikan manajer kepada perusahaan.

Page 59: ISSN: 1693-8275 JDINAMIKA - Universitas Islam Nahdlatul

JURNAL DINAMIKA EKONOMI & BISNIS Vol. 7 No. 1 Maret 2010 60

Latar belakang dipilihnya komitmen organisasi adalah karena menunjukkan

keyakinan dan dukungan yang kuat terhadap nilai dan sasaran (goal) yang ingin dicapai

oleh organisasi (Mowday dkk 1979 dalam Latuhem, 2005). Manajer yang memiliki

tingkat komitmen organisasi tinggi akan memiliki pandangan positif dan lebih berusaha

berbuat yang terbaik demi kepentingan organisasi (Porter et al. 1974). Karena

komitmen organisasi yang tinggi akan meningkatkan kinerja yang tinggi pula.

Komitmen akan membuat organisasi lebih produktif dan profitable (Luthans, 1998

dalam Latuhem, 2005).

Pertanyaan penelitian yang hendak diuji adalah 1) apakah partisipasi anggaran

berpengaruh terhadap kinerja manajerial? 2) apakah komitmen organisasi memoderasi

pengaruh partisipasi anggaran terhadap kinerja manajerial?

Tinjauan Pustaka

Anggaran

Semakin kompleksnya masalah menyebabkan banyak kegiatan harus

dilaksanakan berdasarkan perencanaan yang cermat. Anggaran atau lengkapnya

Business Budget adalah salah satu bentuk dari berbagai rencana yang mungkin disusun,

meskipun tidak setiap rencana dapat disebut sebagai anggaran. Anggaran merupakan

alat utama yang digunakan perusahaan untuk perencanaan dan pengendalian. Anggaran

merupakan pernyataan mengenai apa yang diharapkan dalam periode tertentu pada

masa yang akan datang.

Sebagai rencana keuangan, anggaran berfungsi sebagai dasar untuk menilai

kinerja (Schift dan Lewin, 1970 dalam Sukardi, 2004). Disamping itu, anggaran tidak

hanya berfungsi sebagai rencana keuangan yang menetapkan biaya dan pendapatan

pusat pertanggungjawaban dalam suatu perusahaan, tetapi juga alat bagi manajer

tingkat atas untuk mengendalikan, mengkoordinasikan, mengkomunikasikan,

mengevaluasi kinerja, dan memotivasi bawahannya (Kermis, 1979 dalam Sukardi,

2004).

Dalam menyusun suatu anggaran perusahaan, perlu diperhatikan beberapa syarat

yakni anggaran tersebut harus realistis, luwes dan kontinyu. Realistis, artinya tidak

terlalu optimis dan tidak pula terlalu pesimis. Luwes, artinya tidak terlalu kaku,

mempunyai peluang untuk disesuaikan dengan keadaan yang mungkin berubah.

Sedangkan kontinyu, artinya membutuhkan perhatian secara terus menerus, dan tidak

mempunyai suatu usaha yang insidentiil.

Menurut Munandar (2000:1), Anggaran (Budget atau Business Budget) adalah

Suatu rencana yang disusun secara sistematis, yang meliputi seluruh kegiatan

perusahaan, yang dinyatakan dalam unit (kesatuan) moneter dan berlaku untuk jangka

waktu (periode) tertentu yang akan datang. Menurut Gunawan dan Marwan (2003:6);

Anggaran (Business Budget) adalah Suatu pendekatan yang formal dan sistematis

daripada pelaksanaan tanggungjawab manajemen di dalam perencanaan, koordinasi dan

pengawasan. Menurut Nafarin, 2000 (dalam Endang dan Agus, 2007), anggaran adalah

Page 60: ISSN: 1693-8275 JDINAMIKA - Universitas Islam Nahdlatul

61 Pengaruh Partisipasi Anggaran dan Komitmen Organisasi

sebagai Moderasi terhadap Kinerja Manajerial

Nichlah Hidayah

Fitri Ella Fauziah

rencana tertulis mengenai kegiatan suatu organisasi yang dinyatakan secara kuantitatif

dan umumnya dalam satuan uang untuk jangka waktu tertentu.

Kesimpulan yang dapat diambil dari ketiga definisi di atas adalah rencana

anggaran harus bersifat sistematis, disusun dengan berurutan dan berdasarkan suatu

logika yang dinyatakan dalam satuan uang mengenai rencana manajemen dalam

perencanaan, koordinasi dan pengawasan pada masa yang akan datang dalam suatu

periode tertentu.

Penganggaran adalah suatu proses yang mana dokumen anggaran dikembangkan

dan diadministrasikan. Penganggaran merupakan proses penentuan peran setiap

manajer dalam melaksanakan program atau bagian program, dimana manajer

mengambil langkah-langkah positif dalam proses perencanaan agar realisasi kegiatan

sesuai yang dianggarkan. Sedangkan Covaleski dkk (dalam Endang dan Agus, 2007)

menyatakan bahwa penganggaran berhubungan dengan akuntansi biaya, akuntansi

pertanggungjawaban, pengukuran kinerja dan kompensasi. Covaleski dkk (2003) juga

menyatakan penganggaran digunakan untuk berbagai tujuan meliputi perencanaan,

pengorganisasian aktivitas-aktivitas organisasi, pengalokasian sumber daya,

pemotivasian karyawan dan pengejawantahan konformitas dengan norma-norma sosial.

Menurut Munandar (1986) penganggaran adalah proses kegiatan yang

menghasilkan anggaran tersebut sebagai hasil kerja (output) serta proses kegiatan yang

berkaitan dengan pelaksanaan fungsi-fungsi anggaran. Sedangkan Nafarin (2000)

memberikan definisi penganggaran sebagai proses penyusunan anggaran yang dibuat

untuk mencapai tujuan perusahaan dalam memperoleh laba.

Tjahjono Halim dan Husein (2000:173) dalam Hesti (2006) menjelaskan

anggaran mempunyai karakteristik sebagai berikut:

1. Anggaran dinyatakan dalam satuan moneter

2. Anggaran merupakan komitmen manajemen yang berarti manajer menerima

tanggung jawab untuk mencapai target yang dianggarkan.

3. Anggaran umumnya mencapai periode satu tahun.

4. Usulan anggaran harus ditelaah dan disetujui oleh pihak yang posisinya lebih

tinggi dari penyusun anggaran.

5. Anggaran yang disetujui dapat diubah atau direvisi jika terjadi kondisi tertentu.

6. Secara periodik, kinerja keuangan sesungguhnya dibandingkan dengan anggaran

kemudian selisihnya dianalisis dan dijelaskan.

Menurut Supriyono, 1987 (dalam Endang dan Agus, 2007) anggaran memiliki

beberapa macam fungsi yaitu:

1. Fungsi Perencanaan. Anggaran memuat perencanaan awal dari penentuan tujuan,

strategi dan kebijakan perusahaan.

2. Fungsi Koordinasi. Anggaran digunakan sebagai alat pengkoordinasian rencana

dan tindakan berbagai unit yang ada di organisasi agar dapat bekerja secara

selaras menuju arah pencapaian tujuan.

3. Fungsi Komunikasi. Dalam penyusunan anggaran, seluruh bagian dan tingkatan

Page 61: ISSN: 1693-8275 JDINAMIKA - Universitas Islam Nahdlatul

JURNAL DINAMIKA EKONOMI & BISNIS Vol. 7 No. 1 Maret 2010 62

organisasi berkomunikasi dan berperan serta dalam proses. Setiap orang dalam

organisasi bertanggungjawab terhadap anggaran yang telah disusun.

4. Fungsi Motivasi. Anggaran berfungsi sebagai alat untuk memotivasi para

pelaksana dalam melaksanakan tugas untuk mencapai tujuan.

5. Fungsi Pengendalian dan Evaluasi. Anggaran digunakan sebagai alat

pengendalian kegiatan karena anggaran yang telah disetujui merupakan

komitmen dari para pelaksana yang ikut berperan serta dalam penyusunan

anggaran tersebut.

6. Fungsi Pendidikan. Anggaran berfungsi sebagai alat untuk mendidik para

manajer mengenai cara bekerja secara terperinci pada pusat pertanggungjawaban

yang dipimpinnya dan menghubungkannya dengan pusat pertanggungjawaban

lain dalam organisasi yang bersangkutan.

Selain fungsi, anggaran juga memiliki manfaat yaitu (Anthony dan Govindrajan,

1998 dalam Endang dan Agus, 2007):

1. Anggaran digunakan untuk menentukan rencana strategik.

2. Anggaran digunakan untuk membantu pengkoordinasian aktivitas dari suatu

organisasi.

3. Anggaran digunakan untuk memberikan tanggungjawab terhadap manajer agar

menginformasikan kinerja manajer.

4. Anggaran digunakan untuk standar pengevaluasian aktivitas manajer.

Proses penyusunan anggaran diawali dengan pembuatan atau penentuan pedoman

anggaran. Pedoman anggaran berisi kebijakan pokok organisasi yang akan disampaikan

kepada manajemen untuk dijadikan sebagai dasar pengajuan usulan anggaran. Manajer

sesuai dengan tanggung jawabnya masing-masing akan mengusulkan rancangan

anggaran yang menjadi komponen dalam penyusunan anggaran. Usulan rancangan dari

para manajer akan dipertimbangkan dan ditentukan sebagai anggaran. Rancangan yang

dibuat oleh para manajer diajukan ke komite anggaran untuk dirundingkan bersama-

sama dan ditelaah terlebih dahulu. Negosiasi sangat diperlukan untuk menyelaraskan

usulan rancangan anggaran dan disesuaikan dengan rencana jangka panjang dan tujuan

organisasi yang telah ditentukan. Rancangan yang telah disetujui akan dilaksanakan dan

pengawasan akan dilakukan dengan cara membandingkan dengan realisasi anggaran

tersebut.

Dalam penyusunan anggaran, para perancang anggaran harus memperhatikan

aspek perilaku. Menurut Nafarin, 2000 (dalam Endang dan Agus, 2007), ada beberapa

aspek perilaku yang perlu diperhatikan dalam penyusunan anggaran yaitu:

1. Anggaran harus realistis, cermat, sehingga tidak terlalu rendah atau terlalu tinggi.

Anggaran yang terlalu rendah tidak mencerminkan kedinamisan, sedangkan

anggaran yang terlalu tinggi tidak akan tercapai dan hanya merupakan angan-

angan saja.

2. Partisipasi manajer puncak diperlukan untuk memotivasi manajer pelaksana.

3. Anggaran yang dibuat harus mencerminkan keadilan, sehingga pelaksana tidak

Page 62: ISSN: 1693-8275 JDINAMIKA - Universitas Islam Nahdlatul

63 Pengaruh Partisipasi Anggaran dan Komitmen Organisasi

sebagai Moderasi terhadap Kinerja Manajerial

Nichlah Hidayah

Fitri Ella Fauziah

merasa tertekan tetapi termotivasi.

4. Laporan realisasi anggaran harus akurat dan tepat waktu sehingga apabila terjadi

penyimpangan dapat segera diantisipasi lebih dini.

Ada tiga pendekatan yang dapat digunakan dalam penyusunan anggaran yaitu:

1. Pendekatan top-down. Proses penyusunan anggaran dimulai dari manajer puncak.

Anggaran diturunkan dari manajer puncak kepada bawahannya dan bawahan

tersebut dituntut untuk melaksanakan anggaran tanpa ada keterlibatan dalam

proses penyusunannya. Pada umumnya pendekatan ini diterapkan oleh

perusahaan yang memiliki struktur organisasi sentralisasi. Kelemahan dari

pendekatan ini adalah bawahan menjadi tertekan oleh pekerjaannya dan akan

berperilaku tidak semestinya. Keunggulan pendekatan ini yaitu adanya dukungan

yang kuat dari manajer puncak dalam pengembangan anggaran dan proses

penyusunan menjadi lebih mudah dikendalikan oleh manajer puncak.

2. Pendekatan bottom-up. Anggaran disusun sepenuhnya oleh bawahan dan

disahkan oleh manajer puncak sebagai anggaran perusahaan. Hal yang menonjol

dari pendekatan ini adalah adanya negosiasi usulan anggaran antara penyusun

anggaran dengan komite anggaran. Tujuan negosiasi adalah menyatukan dua

kepentingan yang berbeda. Di satu pihak, manajer puncak menginginkan

anggaran yang ketat untuk menjamin perusahaan memperoleh laba yang

maksimal.

Di lain pihak, manajer pusat pertanggungjawaban (manajer operasi) ingin agar

anggaran yang disetujui mendapat kelonggaran yang cukup dan adanya

tanggapan atas masalah-masalah tak terduga atau perubahan kegiatan.

Perusahaan yang memiliki struktur organisasi desentralisasi biasanya

menggunakan pendekatan ini. Kelemahan dari pendekatan ini adalah dengan

partisipasi yang terlalu luas sering menimbulkan konflik dan memakan waktu

yang panjang dalam proses penyusunan anggaran. Sedangkan keunggulan

pendekatan ini terletak pada mekanisme negosiasi yang ada antara penyusun

anggaran dan komite anggaran.

3. Gabungan pendekatan top-down dan bottom-up: kerja sama dan interaksi

manajer puncak dan manajer pusat pertanggungjawaban dalam menetapkan

anggaran merupakan cara terbaik bagi perusahaan. Anggaran disusun oleh setiap

manajer pusat pertanggungjawaban yang ada dalam perusahaan dengan

berpedoman pada tujuan, strategi dan kebijakan perusahaan. Dengan demikian,

kelemahan dari kedua pendekatan terdahulu dapat dikurangi sampai sekecil-

kecilnya sehingga bawahan merasakan bahwa dirinya diperhitungkan dan

efektivitas pelaksanaan anggaran dapat terjamin.

Penyusunan anggaran suatu bank merupakan suatu jalan yang panjang dan

berliku-liku, serta banyak hambatan yang harus dapat dilalui dengan baik. Menurut

Muljono, (1996) (dalam Hesti, 2006) langkah-langkah yang harus diperhatikan dalam

penyusunan anggaran sebuah bank adalah:

Page 63: ISSN: 1693-8275 JDINAMIKA - Universitas Islam Nahdlatul

JURNAL DINAMIKA EKONOMI & BISNIS Vol. 7 No. 1 Maret 2010 64

1. Preliminary Study. Preliminary Study merupakan pengumpulan informasi atau

data yang diperlukan untuk penyusunan anggaran, meliputi (a) perumusan

sasaran usaha bank baik dalam jangka panjang dengan menggunakan Top Down,

maupun jangka pendek dengan menggunakan Bottom Up, dan (b) planning

assumption dengan mengumpulkan informasi-informasi ekstern tentang sosial

ekonomi, keuangan, politik, keamanan dan Iain-lain selengkap mungkin dan

dikaji secara seksama.

2. Penelitian Resiko Usaha. Memperkirakan besar kecilnya resiko terlebih dahulu

dalam penyusunan anggaran, adalah sangat penting. Risiko-risiko yang perlu

diperhatikan di bidang perbankan adalah risiko moneter, risiko politis, risiko

persaingan usaha, risiko dari sifat usaha bank itu sendiri, risiko uncertainty,

risiko birokratisme.

3. Critical Point dari sasaran yang akan dicapai. Penyusunan anggaran perlu

memperhatikan hambatan atau kendala yang dihadapi suatu bank. Berbagai

macam bentuk dan sifat kendala tersebut disebut critical point.

4. Penetapan Target Usaha. Langkah selanjutnya setelah critical point adalah

menetapkan target usaha yang akan dicapai.

5. Perhitungan Tolak Ukur Usaha. Perhitungan tolak ukur ini erat hubungannya

dengan penetapan besarnya volume usaha yang akan dicapai oleh masing-masing

unit kerja, dan perkiraan besarnya pendapatan dan biaya yang akan diperolehnya.

6. Penyusunan Anggaran. Langkah selanjutnya setelah menghitung target atau

volume usaha yang ingin dicapai untuk jenis usaha, tolok ukur pendapatan dan

biaya usaha masing-masing satuan jenis transaksi adalah merumuskan rencana

kegiatan kedalam bentuk anggaran yang diinginkan.

7. Pelaksanaan Anggaran. Pelaksanaan anggaran sebaiknya dilakukan koordinasi

dan kerjasama setiap unit kerja agar tercapai sasaran yang telah ditetapkan.

Koordinasi sangat penting untuk memotivasi masing-masing unit kerja agar

dapat bekerjasama dengan baik.

8. Revisi Anggaran. Revisi anggaran dilakukan karena adanya perubahan situasi

dan kondisi bisnis ataupun adanya berbagai peraturan moneter yang dikeluarkan

oleh pemerintah atau bank sentral, yang mempengaruhi sasaran usaha yang akan

dicapai.

9. Laporan Anggaran. Laporan anggaran disusun dan dilaporkan kepada Top

Manajemen yang berisi evaluasi secara periodik antara anggaran dan

pelaksanaannya.

Partisipasi Anggaran

Partisipasi secara luas pada dasarnya merupakan proses organisasional, dimana

para individu terlibat dan mempunyai pengaruh dalam pembuatan keputusan yang

mempunyai pengaruh secara langsung terhadap para individu tersebut. Partisipasi

adalah suatu proses dimana individu-individu terlibat didalamnya dan mempunyai

Page 64: ISSN: 1693-8275 JDINAMIKA - Universitas Islam Nahdlatul

65 Pengaruh Partisipasi Anggaran dan Komitmen Organisasi

sebagai Moderasi terhadap Kinerja Manajerial

Nichlah Hidayah

Fitri Ella Fauziah

pengaruh pada penyusunan target anggaran yang kinerjanya akan dievaluasi dan

kemungkinan akan dihargai atas pencapaian target anggaran mereka (Brownell, 1982

dalam Sukardi, 2004).

Menurut Brownell, 1982 (dalam Sardjito dan Mutharer, 2007) partisipasi

anggaran sebagai suatu proses dalam organisasi yang melibatkan para manajer dalam

penentuan tujuan anggaran yang menjadi tanggung jawabnya.

Pengertian partisipasi dipertegas oleh Kermis (1979) dalam Sukardi (2004)

partisipasi adalah tingkat keikutsertaan manajer dalam menyusun anggaran dan

pengaruh anggaran tersebut terhadap pusat pertanggungjawaban manajer yang

bersangkutan. Seperti yang dikemukakan Mlani, 1975 (dalam Tintri, 2002), bahwa

tingkat keterlibatan dan pengaruh bawahan dalam proses penyusunan anggaran

merupakan faktor utama yang membedakan antara anggaran partisipatif dengan

anggaran non partisipatif.

Partisipasi banyak menguntungkan bagi suatu organisasi, hal ini diperoleh dari

hampir penelitian tentang partisipasi. Sord dan Welsch (1995) mengemukakan bahwa

tingkat partisipasi yang lebih tinggi akan menghasilkan moral yang lebih baik dan

inisiatif yang lebih tinggi pula. Partisipasi telah ditunjukkan berpengaruh secara positif

terhadap sikap pegawai, meningkatkan kuantitas dan kualitas produksi, dan

meningkatkan kerja sama diantara manajer.

Menurut Mulyadi, (1993) (dalam Endang dan Agus, 2007) budgeting

participation adalah suatu proses pengambilan keputusan bersama oleh dua belah pihak

atau lebih yang mempunyai dampak masa depan bagi pembuat keputusan tersebut. Oleh

karena itu, pembuat keputusan melibatkan banyak pihak yang terkait dalam keputusan

tersebut sehingga dampaknya dapat dirasakan oleh semua pihak.

Seseorang yang terlibat dalam pengambilan keputusan akan termotivasi dalam

situasi kelompok karena diberi kesempatan untuk mewujudkan inisiatif dan daya

kreatifitas. Tujuan bersama akan lebih mudah tercapai sehingga ada keterlibatan secara

pribadi dan kesediaan untuk menerima tanggungjawab masing-masing. Penyusunan

anggaran partisipatif pada dasarnya mengijinkan manajer bawahan mempertimbangkan

cara pembentukan anggaran (Hansen dan Mowen, 2004).

Zimmerman (1995) dalam Alim (2002) menyatakan bahwa penyusunan anggaran

partisipatif merupakan anggaran bottom-up yang melibatkan bawahan secara penuh

untuk bertanggungjawab memenuhi target yang telah ditentukan dalam anggaran.

Adanya rasa tanggungjawab manajer level lebih rendah dapat memperkuat kreativitas

manajer yang bersangkutan. Apabila manajer level lebih rendah diberi kesempatan

untuk menyusun anggaran maka tujuan anggaran dapat menjadi tujuan personal dan

akan menghasilkan goal congruence yang lebih besar. Partisipasi anggaran juga akan

memotivasi level lebih rendah sehingga bersedia menerima dan mencapai target serta

skema pengendalian.

Anggota manajemen bank mempunyai alat (dengan anggaran), serta wewenang

untuk mencapai sasaran yang akan dicapai oleh bank dengan jalan melalui perintah-

Page 65: ISSN: 1693-8275 JDINAMIKA - Universitas Islam Nahdlatul

JURNAL DINAMIKA EKONOMI & BISNIS Vol. 7 No. 1 Maret 2010 66

perintah yang dikeluarkan oleh Top Management dengan Middle Management, serta

perintah-perintah yang dikeluarkan oleh Middle Management dengan Lower

Management. Dengan adanya anggaran, para pelaksana tidak ragu-ragu lagi

melaksanakan kegiatannya, karena telah didukung wewenang yang diatur dalam

anggaran tersebut.

Indikator yang digunakan dalam penelitian ini adalah kinerja manajerial, dan

tingkatan manajer yang digunakan adalah tingkat manajer menengah dan tingkat

manajer bawah.

Berbagai bentuk partisipasi yang diharapkan di dalam program anggaran suatu

bank, antara lain:

1. Pada saat penyusunan anggaran, diharap kesediaannya untuk memberikan

informasi tentang informasi masa lalu, kapasitasnya yang ada pada saat ini baik

Ideal Capacity, Attainable Capacity, Economical Capacity dan seterusnya, yang

tentu akan sangat bermanfaat untuk merumuskan strategi performance, maupun

standart cost-nya.

2. Ketaatan pelaksanaan kerja sesuai dengan jadwal waktu tingkat kegiatan kerja

yang telah dikehendaki oleh anggaran.

3. Ketaatan tingkat pelaksanaan kerja evaluasi atas pelaksanaan anggaran dan

informasi lainnya yang penting tentang volume kegiatan yang dicapainya.

4. Kesediaannya memberikan evaluasi atas pelaksanaan anggaran dan informasi

lainnya yang penting tentang volume kegiatan yang dicapainya.

5. Kesediaannya menerima kritik yang dirumuskan dari analisa variasi, sebagai alat

untuk perbaikan terhadap prestasi kerja yang telah dicapai.

6. Kesediaan menerima reward and punishment atas prestasi yang telah dicapai atau

kegagalan prestasi seperti yang telah ditetapkan anggaran.

Komitmen Organisasi

Menurut Sri Trisnaningsih (2004), komitmen organisasional cenderung

didefinisikan sebagai suatu perpaduan sikap dan perilaku. Menurut Gibson (dalam

Much Imron, 2007) komitmen merupakan lingkup identifikasi, keterlibatan dan

loyalitas seseorang terhadap organisasinya. Menurut Jarrel (dalam Imron, 2007),

komitmen terhadap organisasi merupakan hubungan antara karyawan sebagai individu

dengan organisasi secara keseluruhan. Menurut Luthans (dalam Imron, 2007),

komitmen organisasi adalah sikap yang menunjukkan loyalitas karyawan dan

merupakan proses berkelanjutan seorang anggota organisasi mengekspresikan perhatian

mereka kepada kesuksesan organisasi.

Jadi disimpulkan bahwa Komitmen organisasi adalah rasa memiliki karyawan

(anggota dan organisasi) terhadap organisasi atau perusahaan untuk mewujudkan tujuan

organisasi atau perusahaan (Imron, 2007). Tingkat komitmen yang tinggi baik secara

formal struktural atau secara psikologis dapat mendorong kedekatan hubungan antara

anggota organisasi dengan perusahaan tempatnya bekerja. Komitmen menyatakan

Page 66: ISSN: 1693-8275 JDINAMIKA - Universitas Islam Nahdlatul

67 Pengaruh Partisipasi Anggaran dan Komitmen Organisasi

sebagai Moderasi terhadap Kinerja Manajerial

Nichlah Hidayah

Fitri Ella Fauziah

tingkat tertinggi dari keterikatan relasional, dimana komitmen akan menciptakan suatu

kondisi tertentu yang menimbulkan ketergantungan, yang apabila seimbang, akan

menumbuhkan rasa aman dan adanya dorongan untuk mempertahankannya.

Ketergantungan yang berada pada saat yang tepat dapat meningkatkan kinerja, dimana

ketergantungan berdasarkan pilihan maupun kebutuhan, memberikan landasan dimana

komitmen organisasi dapat dibangun.

Komitmen yang tinggi menjadikan individu lebih mementingkan organisasi

daripada kepentingan pribadi dan berusaha menjadikan organisasi lebih baik.

Komitmen organisasi yang rendah akan membuat individu untuk berbuat untuk

kepentingan pribadinya. Selain itu, komitmen organisasi dapat merupakan alat bantu

psikologis dalam menjalankan organisasinya untuk pencapaian kinerja yang diharapkan

(Nouri dan Parker, 1996; McClurg, 1999; Chong dan Chong, 2002; Wentzel, 2002

dalam Sardjito dan Mutharer, 2007).

Kinerja perusahaan yang dapat dicapai melalui kinerja manajer tidak secara

otomatis menjadi lebih baik oleh karena hebatnya rumusan strategi yang telah dibuat

oleh perusahaan. Banyak manajer memberikan contoh adanya kegagalan strategi karena

kurangnya kesepakatan atau konsensus (komitmen) tentang strategi dari kelompok,

termasuk manajemen papan tengah dan fungsi-fungsi internal yang tidak mendukung.

Hal ini memperlihatkan pentingnya komitmen dalam implementasi strategi di lapangan

(Menon dkk, 1999:27 dalam Much Imron, 2007).

Menurut Ferris dan Aranya, (1983) (dalam Sri Trisnaningsih, 2004), komitmen

organisasi menyangkut tiga (3) sikap, yaitu rasa mengidentifikasi dengan tujuan

organisasi, rasa keterlibatan dengan tugas organisasi, dan rasa kesetiaan kepada

organisasi. Sedangkan menurut Miner (dalam Setiadi, 2002:97) menyatakan bahwa

sikap komitmen dapat diidentifikasi dengan tiga hal, yakni:

1. Keyakinan kuat dalam menerima nilai-nilai dan tujuan organisasi

2. Kemauan untuk memberikan usaha kepada organisasi

3. Keinginan kuat untuk memperbaiki perannya sebagai anggota organisasi

tersebut.

Kinerja Manajerial

Menurut Gibson, (1989) (dalam Endang dan Agus, 2007), kinerja adalah hasil

yang diinginkan dari perilaku kinerja individu sebagai dasar kinerja organisasi. Kinerja

Manajerial adalah salah satu faktor yang dapat meningkatkan efektivitas organisasi.

Mahoney dkk Dalam Indriantoro (2000:99) mendefinisikan kinerja manajerial dalam

fungsi-fungsi:

1. Perencanaan. Menentukan tujuan, kebijakan, dan tindakan atau pelaksanaan,

penjadwalan kerja, penganggaran, merancang prosedur, pemograman, dll.

2. Investigasi. Mengumpulkan dan menyiapkan informasi untuk catatan, laporan

dan rekening, mengukur hasil, menentukan persediaan, analisis pekerjaan, dll.

3. Koordinasi. Tukar menukar informasi dengan organisasi di bagian organisasi

Page 67: ISSN: 1693-8275 JDINAMIKA - Universitas Islam Nahdlatul

JURNAL DINAMIKA EKONOMI & BISNIS Vol. 7 No. 1 Maret 2010 68

yang lain untuk mengkaitkan dan menyesuaikan program, memberitahu

departemen lain, hubungan dengan manajer lain, dan Iain-lain.

4. Evaluasi. Menilai dan mengukur proposal, kinerja yang di amati atau dilaporkan,

penilaian pegawai, penilaian catatan akhir, penilaian laporan keuangan,

pemeriksaan produk, dan Iain-lain.

5. Pengawasan. Mengarahkan, memimpin dan mengembangkan bawahan,

membimbing, melatih dan menjelaskan peraturan kerja pada bawahan,

memberikan tugas atau pekerjaan dan menangani keluhan, dan lain-lain.

6. Pengaturan Staf. Mempertahankan angkatan kerja atau karyawan, merekrut,

mewawancarai dan memilih pegawai baru, menempatkan, mempromosikan dan

memutasi pegawai, dan Iain-lain.

7. Negoisasi. Pembelian, penjualan atau melakukan kontrak untuk barang dan jasa,

menghubungi pemasok, tawar-menawar secara kelompok, dan Iain-lain.

8. Perwakilan atau representasi. Menghadiri pertemuan-pertemuan dengan

perusahaan lain, pertemuan perkumpulan bisnis, pidato untuk acara

kemasyarakatan, pendekatan kepada masyarakat, mempromosikan tujuan umum

dan sebagainya.

9. Kinerja secara menyeluruh. Kinerja secara menyeluruh ini mencakup semua

aktivitas manajerial yang telah disebutkan diatas.

Perbankan dan Anggaran

Anggaran bagi perbankan mempunyai beberapa manfaat, seperti yang

dikemukakan oleh Muljono (1996:10-11) dalam Hesti (2006):

1. Dengan adanya anggaran maka sasaran usaha yang dicapai bank yang

bersangkutan untuk suatu jangka waktu tertentu akan menjadi jelas, baik dalam

kualitas maupun dalam nilai rupiahnya.

2. Secara tidak langsung dengan disusunnya anggaran akan mengarahkan perbaikan

dari organisasi baik yang bersangkutan. Sebab dengan adanya anggaran tersebut

akan memaksa unit-unit kerja yang ada dalam masing-masing bank untuk

menegaskan dan menata kembali diskripsi kerjanya maupun wewenang dan

tanggungj awabnya.

3. Dengan adanya anggaran akan mendorong terjadinya profesionalisme dan

perbaikan "Managerial Skill dari setiap personil anggota organisasi, karena

masing-masing personil sudah ditata dengan jelas tugas dan tanggung jawabnya,

disamping itu prestasinya juga akan diukur.

4. Dengan adanya anggaran tersebut akan tersedia bagi manajemen bank yang

bersangkutan suatu alat koordinasi dan pengawasan, yang akan sangat berguna

untuk mengendalikan kegiatan usahanya didalam mencapai sasaran seperti yang

telah ditetapkan dalam rencana.

5. Dengan adanya anggaran tersebut juga akan bermanfaat untuk perbaikan

kemampuan bank dalam memberikan jasa-jasa kepada nasabahnya.

Page 68: ISSN: 1693-8275 JDINAMIKA - Universitas Islam Nahdlatul

69 Pengaruh Partisipasi Anggaran dan Komitmen Organisasi

sebagai Moderasi terhadap Kinerja Manajerial

Nichlah Hidayah

Fitri Ella Fauziah

6. Dengan adanya sasaran yang jelas, penataan kembali organisasi yang lebih baik,

perbaikan kualitas personalia, tersedianya alat koordinasi sebagai alat

pengendalian usaha bank serta peningkatan kemampuan bank dalam

menyampaikan jasa-jasanya kepada para nasabahnya sudah tentu akan

memberikan kesempatan bagi bank dalam meningkatkan profitabilitas dari bank

yang bersangkutan.

7. Dengan adanya anggaran, bank juga mempunyai kemampuan untuk mengadakan

reaksi yang lebih baik didalam menghadapi berbagai perkembangan usaha yang

diluar dugaan. Karena bank tersebut telah memiliki rencana (sasaran) usaha yang

jelas dan alat pengendalian yang baik.

Manajemen perbankan harus menyusun anggaran dengan sebaik-baiknya dengan

mempertimbangkan faktor-faktor internal dan eksternal organisasi, agar tujuan

organisasi bank dapat tercapai, dan dapat melayani para nasabah dengan sebaik-

baiknya.

Hasil Penelitian Terdahulu

Pada tabel 1 disajikan ringkasan penelitian terdahulu.

Tabel 1

Ringkasan Penelitian Terdahulu

No Nama Peneliti Hasil

1 Sardjito dan

Mutharer

(2007)

partisipasi penyusunan anggaran berpengaruh positif terhadap kinerja

aparat pemerintah daerah, variabel budaya organisasi dan komitmen

organisasi memoderasi pengaruh partisipasi penyusunan anggaran

terhadap kinerja aparat pemerintah.

2 Belianus Patria

Latuheru (2005)

Komitmen organisasi memperlemah pengaruh partisipasi anggaran

terhadap kesenjangan anggaran.

3 Tintri

(2002)

Partisipasi penyusunan anggaran tidak berpengaruh terhadap kinerja

manajerial. Partisipasi penyusunan anggaran berpengaruh positif

terhadap kinerja manajerial pada struktur desentralisasi dan pengaruh

negatif pada struktur sentralisasi. Partisipasi penyusunan anggaran

berpengaruh positif terhadap kinerja manajerial pada kultur

organisasional yang berorientasi pada orang, dan berpengaruh negatif

pada kultur organisasional yang berorientasi pada pekerjaan.

4 Suhartono dan

Solichin (2006)

Kejelasan sasaran anggaran berpengaruh negatif terhadap senjangan

anggaran instansi pemerintah daerah. Komitmen organisasi berperan

sebagai variabel pemoderasi.

5 Wirjono dan

Raharjono

(2007)

Interaksi antara kebutuhan akan independensi dengan partisipasi dalam

penyusunan anggaran berpengaruh terhadap kinerja manajerial dan

interaksi antara kebutuhan akan otoritas dengan partisipasi dalam

penyusunan anggaran berpengaruh terhadap kinerja manajerial

6 Munawarah

(2006)

Partisipasi anggaran, insentif dan tingkat target kesulitan anggaran

berpengaruh positif terhadap kinerja manajerial

Page 69: ISSN: 1693-8275 JDINAMIKA - Universitas Islam Nahdlatul

JURNAL DINAMIKA EKONOMI & BISNIS Vol. 7 No. 1 Maret 2010 70

No Nama Peneliti Hasil

7 Sumarno (2005) Terdapat pengaruh negatif antara kinerja manajerial dan partisipasi

anggaran, pengaruh komitmen organisasi terhadap hubungan kinerja

manajerial dan partisipasi anggaran adalah positif dan signifikan,

pengaruh gaya kepemimpinan terhadap hubungan antara partisipasi

8 Imron (2007) Kapabilitas dan komitmen berpengaruh terhadap kreativitas strategi

dan kinerja manajer.

9 Sukardi (2004) anggaran partisipatif berpengaruh positif pada kinerja manajerial tetapi

motivasi kerja dan kultur organisasional tidak memoderasi pengaruh

anggaran partisipatif dengan kinerja manajerial.

10 Supriyono

(2005)

Partisipasi penganggaran mempunyai hubungan positif dengan kinerja

manajerial

Sumber: penelitian terdahulu diolah

Pengembangan Hipotesis

Pengaruh Partisipasi Anggaran terhadap Kinerja Manajerial

Anggaran yang telah disusun memiliki peranan sebagai perencanaan dan sebagai

kriteria kinerja, yaitu anggaran dipakai sebagai suatu sistem pengendalian untuk

mengukur kinerja manajerial (Schiff dan Lewin, 1970 dalam Kirby, 1994). Untuk

mencegah dampak fungsional atau disfungsionalnya, sikap dan perilaku anggota

organisasi dalam penyusunan anggaran perlu melibatkan manajemen pada level yang

lebih rendah (Agyris, 1952) sehingga anggaran partisipatif dapat dinilai sebagai

pendekatan manajerial yang dapat meningkatkan kinerja setiap anggota organisasi

sebagai individual karena dengan adanya partisipasi dalam penyusunan anggaran

diharapkan setiap individu mampu meningkatkan kinerjanya sesuai dengan target yang

telah ditetapkan sebelumnya.

Brownell (1982b) dalam Susanti (2002) melakukan studi lapangan terhadap 48

manajer pusat biaya level menengah yang bekerja pada perusahaan manufaktur di San

Fransisco Amerika Serikat. Hasil dari penelitian tersebut adalah menemukan hubungan

positif dan signifikan antara partisipasi penganggaran dengan kinerja manajerial.

Berbeda dengan penelitian diatas, Mlani (1975) melakukan penelitian terhadap proses

penyusunan anggaran pada sebuah perusahaan besar yang berskala internasional

dimana hasil dari penelitian tersebut adalah ditemukannya hubungan yang tidak

signifikan antara partisipasi dalam penyusunan anggaran dengan kinerja manajerial.

Sesuai dengan temuan-temuan penelitian yang telah dilakukan maka penelitian ini

dimaksudkan untuk menguji kembali pengaruh partisipasi penyusunan anggaran

terhadap kinerja manajerial.

Berdasarkan uraian diatas, hipotesis yang dikembangkan adalah:

H1: partisipasi anggaran berpengaruh positif terhadap kinerja manajerial

Page 70: ISSN: 1693-8275 JDINAMIKA - Universitas Islam Nahdlatul

71 Pengaruh Partisipasi Anggaran dan Komitmen Organisasi

sebagai Moderasi terhadap Kinerja Manajerial

Nichlah Hidayah

Fitri Ella Fauziah

Komitmen Organisasi, Partisipasi Anggaran dan Kinerja Manajerial

Beberapa penelitian di bidang akuntansi mengemukakan bahwa para manajer

tingkat bawah mempunyai informasi yang lebih akurat daripada para atasannya

mengenai kondisi-kondisi lokal pusat pertanggungjawaban yang dipimpinnya.

Penelitian ini didasarkan pada gagasan bahwa para manajer bawah (manajer pusat

pertanggunjawaban) seringkali memiliki informasi yang lebih baik mengenai level

anggaran yang diperlukan untuk mendukung pelaksanaan aktivitas-aktivitas unit

organisasinya daripada atasannya (manajer puncak). Oleh karena itu, para manajer

bawahan akan berusaha untuk memberikan informasi tersebut ke dalam usulan

anggarannya untuk menjamin bahwa mereka memperoleh sumber-sumber yang

mencukupi untuk melaksanakan aktivitas-aktivitasnya

Komitmen organisasi yang kuat akan mendorong para manajer bawahan

berusaha keras mencapai tujuan organisasi (Angel dan Perry, 1981; Porter et. al, 1974).

Kecukupan anggaran tidak hanya secara langsung meningkatkan prestasi kerja, tetapi

juga secara tidak langsung (moderasi) melalui komitmen organisasi.

Komitmen yang tinggi menjadikan individu lebih mementingkan organisasi

daripada kepentingan pribadi dan berusaha menjadikan organisasi menjadi lebih baik.

Komitmen organisasi yang rendah akan membuat individu untuk berbuat untuk

kepentingan pribadinya. Selain itu, komitmen organisasi dapat merupakan alat bantu

psikologis dalam menjalankan organisasinya untuk pencapaian kinerja yang diharapkan

(Nouri dan Parker, 1996; McClurg, 1999; Chong dan Chong, 2002; Wentzel, 2002).

Komitmen organisasi yang tinggi akan meningkatkan kinerja yang tinggi pula (Randall,

1990) dalam Nouri dan Parker (1998).

Berdasarkan uraian diatas, hipotesis yang dikembangkan adalah:

H2: Komitmen Organisasi memoderasi (memperkuat) pengaruh partisipasi anggaran

terhadap kinerja manajerial

Atau jika hipotesis dinyatakan secara operasional berbunyi: Interaksi komitmen

organisasi dan partisipasi anggaran berpengaruh positif terhadap kinerja manajerial.

Metode Penelitian

Variabel Penelitian dan Definisi Operasional

Variabel penelitian dapat diklasifikasikan menjadi variabel independen

(partisipasi anggaran), variabel moderasi (komitmen organisasi) dan variabel dependen

(kinerja manajerial). Penjelasan masing-masing variabel penelitian adalah sebagai

berikut:

1) Partisipasi anggaran (X1) adalah tingkat keterlibatan dan pengaruh individu

dalam penyusunan anggaran (Brownell dalam Sumarno, 2005). Indikator yang

digunakan adalah:

a. Kegiatan penyusunan anggaran

b. Revisi anggaran

Page 71: ISSN: 1693-8275 JDINAMIKA - Universitas Islam Nahdlatul

JURNAL DINAMIKA EKONOMI & BISNIS Vol. 7 No. 1 Maret 2010 72

c. Frekuensi usulan anggaran

d. Keikutsertaaan dalam anggaran final

e. Kontribusi dalam anggaran

f. Frekuensi permintaan usulan dalam anggaran

Indikator ini merupakan instrumen yang dikembangkan oleh Milani (1975).

Instrumen tersebut telah digunakan juga oleh Brownell (1982b), Brownell dan

Mcinnes (1986), Frucot dan Shearon (1991), Indriantoro (1993), dan Gul dkk.

(1995). Jawaban diberikan dengan memilih skala dengan rentang antara 1 sampai

7 (partisipasi rendah hingga partisipasi tinggi).

2) Komitmen organisasi (X2) didefinisikan sebagai dorongan dari dalam diri

individu untuk melakukan sesuatu agar dapat menunjang keberhasilan organisasi

sesuai dengan tujuan yang ditetapkan dan lebih mengutamakan kepentingan

organisasi (Wiener dalam Sumarno, 2005). Indikator yang digunakan dari

Mowday et al. (1979), yaitu:

1. Ketersediaan bekerja keras

2. Kebanggaan terhadap organisasi

3. Menerima tugas apapun dari organisasi

4. Kesamaan nilai-nilai

5. Kebanggaan menjadi anggota organisasi

6. Organisasi sebagai pemberi inspirasi

7. Ketepatan memilih organisasi

8. Organisasi sebagai tempat kerja terbaik

9. Kepedulian terhadap organisasi

Setiap responden diminta untuk menjawab sembilan butir pertanyaan dengan

jawaban mulai dari 1 (sangat tidak setuju) sampai dengan 7 (sangat setuju).

3) Kinerja manajerial (Y): kinerja para individu dalam kegiatan manajerial meliputi

perencanaan, investigasi, koordinasi, supervisi, pengaturan staf, negosiasi, dan

representasi (Mahoney dkk dalam Sumarno, 2005). Pengukuran kinerja

manajerial dengan instrumen self rating yang dikembangkan Mahoney dkk

(1963) dan telah digunakan oleh Brownell (1982b), Brownell dan Mcinnes

(1986), Brownell dan Mcinnes (1986), Frucot dan Shearon (1991), Indriantoro

(1993), dan Gul et al. (1995). Jawaban pertanyaan disusun dengan menggunakan

skala dengan rentang dari 1 sampai dengan 9 yang menunjukkan kinerja mereka.

Populasi dan Penentuan Sampel

Sampling frame penelitian adalah Bank Perkreditan Rakyat yang ada di

Kabupaten Jepara yaitu sebanyak 5 Bank Perkreditan Rakyat. Dengan unit analisis

manajer menengah kebawah yang meliputi Kepala Bagian, Kepala Sub Bagian, Kepala

Pos Pelayanan, Kepala Bidang dan Kepala Seksi sebanyak 54 responden. Semua

responden yang terdaftar sebagai calon responden akan dikirimi kuesioner secara

langsung. Perincian daftar sampel/ jumlah responden disajikan pada tabel 2 berikut:

Page 72: ISSN: 1693-8275 JDINAMIKA - Universitas Islam Nahdlatul

73 Pengaruh Partisipasi Anggaran dan Komitmen Organisasi

sebagai Moderasi terhadap Kinerja Manajerial

Nichlah Hidayah

Fitri Ella Fauziah

Tabel 2

Jumlah Responden

No Nama BPR Kabag Kasubag Kapos Kabid Kasi

1 PD. BPR Jepara Artha 8 10 5 - -

2 PD. BPR BKK Jepara - - - 8 10

3 BPR Nusamba - - 5 - -

4 BPR Nusumma 1 4 - - -

5 BPR Sungkunandhana 3 - - - -

Jumlah 12 14 10 8 10

Total sampel 54

Sumber: wawancara dengan Bagian kepegawaian masing-masing bank

Metode Analisis

Metode analisis dengan regresi berganda dan pengujian hipotesis dengan uji t.

Sedangkan untuk memastikan kelayakan data diuji dengan uji validitas dan reliabilitas.

Model persamaan regresinya untuk pengujian H1:

Y = a + bX1 + e ...................................................................... (1)

Sedangkan model persamaan regresi untuk pengujian H2:

Y = a + b1X1 + b2X2 + b3(X1*X2) + e ............................................... (2)

Keterangan:

Y = kinerja manajerial

X1 = partisipasi anggaran

X2 = komitmen organisasi

a = intercept

b = slope

e = residual

Pengujian hipotesis berdasarkan uji t sebagai berikut.

H1: b > 0 artinya partisipasi anggaran berpengaruh positif terhadap kinerja

manajerial

H2: b3 > 0 artinya interaksi komitmen organisasi dan partisipasi anggaran

berpengaruh positif terhadap kinerja manajerial.

Analisis Data dan Pembahasan

Daftar kuesioner dibagikan kepada responden pada awal bulan Maret 2009.

pengumpulan kembali kuesioner tersebut dilakukan secara bertahap tergantung pada

kesediaan para responden. Pengumpulan kuesioner selesai pada awal bulan Mei 2009.

Pada tabel 3 berurutan disajikan demografi responden penelitian (umur, jenis

kelamin).

Page 73: ISSN: 1693-8275 JDINAMIKA - Universitas Islam Nahdlatul

JURNAL DINAMIKA EKONOMI & BISNIS Vol. 7 No. 1 Maret 2010 74

Tabel 3

Demografi Responden

Keterangan Kategori Jumlah Persentase

Jenis Kelamin Wanita 23 42,59

Pria 31 57,41

Jumlah 54 100

Usia di bawah 30 tahun 4 7,41

31-35 16 29,63

36-40 19 35,19

41-45 10 18,52

di atas 45 tahun 5 9,26

Jumlah 54 100

Sumber: data primer diolah

Berdasarkan tabel 3, dapat diketahui bahwa sebagian besar responden merupakan

pria yang mencakup 57,41% atau ada 31 responden. Sedangkan wanita sebanyak 23

orang atau 42,59%. Sebagian besar responden berusia antara 36 hingga 40 tahun yaitu

sebanyak 19 orang atau 35,19%. Sedangkan usia responden yang paling sedikit adalah

yang berusia di bawah 30 atau di atas 45 tahun.

Pengujian Instrumen

1. Uji Validitas

Hasil pengujian validitas untuk variabel partisipasi anggaran, disajikan

pada tabel 4.

Tabel 4

Rangkuman Uji Validitas Partisipasi Anggaran

Item Pertanyaan rhitung rtabel Keterangan

1 0,6260 0,226 Valid

2 0,6095 0,226 Valid

3 0,7559 0,226 Valid

4 0,8131 0,226 Valid

5 0,7488 0,226 Valid

6 0,6823 0,226 Valid

Sumber: olah data primer

Nilai r tabel untuk 54 sampel adalah 0,226. Berdasarkan tabel 4, semua

butir pertanyaaan 1 sampai 6 adalah valid, karena nilai r hitung lebih besar dari

0,226. Dengan demikian instrumen yang digunakan dalam penelitian ini sesuai

untuk mengukur partisipatif penggunaan anggaran.

Hasil pengujian untuk variabel komitmen organisasi, disajikan pada tabel

5.

Page 74: ISSN: 1693-8275 JDINAMIKA - Universitas Islam Nahdlatul

75 Pengaruh Partisipasi Anggaran dan Komitmen Organisasi

sebagai Moderasi terhadap Kinerja Manajerial

Nichlah Hidayah

Fitri Ella Fauziah

Tabel 5

Rangkuman Uji Validitas Komitmen Organisasi

Item Pertanyaan rhitung rtabel Keterangan

1 0,4927 0,226 Valid

2 0,3394 0,226 Valid

3 0,5541 0,226 Valid

4 0,6839 0,226 Valid

5 0,6987 0,226 Valid

6 0,5423 0,226 Valid

7 0,4134 0,226 Valid

8 0,5839 0,226 Valid

9 0,3562 0,226 Valid

Sumber: olah data primer

Nilai r tabel untuk 54 sampel adalah 0,226. Berdasarkan tabel 5, semua

butir pertanyaaan 1 sampai 9 adalah valid, karena nilai r hitung lebih besar dari

0,226. Dengan demikian instrumen yang digunakan dalam penelitian ini sesuai

untuk mengukur komitmen organisasi.

Hasil pengujian untuk variabel Kinerja Manajerial, disajikan pada tabel 6.

Tabel 6

Rangkuman Uji Validitas Kinerja Manajerial

Item Pertanyaan rhitung rtabel Keterangan

1 0,5362 0,226 Valid

2 0,4316 0,226 Valid

3 0,4433 0,226 Valid

4 0,4782 0,226 Valid

5 0,5152 0,226 Valid

6 0,6135 0,226 Valid

7 0,3300 0,226 Valid

8 0,4586 0,226 Valid

9 0,4718 0,226 Valid

Sumber: olah data primer

Nilai r tabel untuk 54 sampel adalah 0,226. Berdasarkan tabel 5, semua

butir pertanyaaan 1 sampai 9 adalah valid, karena nilai r hitung lebih besar dari

0,226. Dengan demikian instrumen yang digunakan dalam penelitian ini sesuai

untuk mengukur kinerja manajerial.

2. Uji Reliabilitas

Uji reliabilitas digunakan untuk mengetahui konsistensi dari hasil

pengukuran. Adapun hasil uji reliabilitas dapat dilihat di tabel 7.

Page 75: ISSN: 1693-8275 JDINAMIKA - Universitas Islam Nahdlatul

JURNAL DINAMIKA EKONOMI & BISNIS Vol. 7 No. 1 Maret 2010 76

Tabel 7

Hasil Uji Realibilitas Variabel Penelitian

Variabel Cronbach Alpha Kesimpulan

Partisipasi Anggaran 0,8814 Reliabel

Komitmen Organisasi 0,8082 Reliabel

Kinerja Manajerial 0,7861 Reliabel

Sumber: olah data primer

Berdasarkan tabel 7, nilai cronbach's Alpha semua variabel penelitian

lebih besar dari 0,6. Sehingga dapat disimpulkan bahwa semua variabel

penelitian dinyatakan andal.

Analisis Regresi dan Pengujian Hipotesis

Hasil analisis regresi untuk model persamaan pengujian disajikan pada tabel 8.

Tabel 8

Hasil Analisis Regresi

Model Unstandardized

Coefficients

Standardized

Coefficients t hitung Sig.

Pengujian H1

(Constant) 14,926 2,721 0,009

Partisipasi anggaran 0,722 0,575 5,062 0,000

R : 0,575

Adj R2 : 0,317

Pengujian H2

(Constant) -63,105 -1,647 0,106

Partisipasi anggaran 2,603 2,073 2,230 0,030

Komitmen Organisasi 2,161 1,738 2,280 0,027

Moderasi -5.21 E-02 -2.716 -1.838 0,072

R : 0,675

Adj R2 : 0,423

Sumber: olah data primer

Berdasarkan tabel 8, pada pengujian H1 persamaan regresinya adalah:

Y = 14,926 + 0,722(part_angg)

Nilai koefisien regresi b = 0,722, t hitung sebesar 5,062 dan nilai p = 0,000

sedangkan t tabel sebesar 1,675. Berdasarkan nilai tersebut, koefisien regresi tersebut

signifikan karena p = 0,000 < 0,05. Jadi dapat disimpulkan bahwa pengaruh partisipasi

anggaran terhadap kinerja manajerial adalah positif dan signifikan. Yang artinya

Page 76: ISSN: 1693-8275 JDINAMIKA - Universitas Islam Nahdlatul

77 Pengaruh Partisipasi Anggaran dan Komitmen Organisasi

sebagai Moderasi terhadap Kinerja Manajerial

Nichlah Hidayah

Fitri Ella Fauziah

Partisipasi yang tinggi dalam penyusunan anggaran meningkatkan kinerja manajerial.

Koefisien determinasi yang disesuaikan (adj R2) yaitu sebesar 0,317. Hal ini berarti

bahwa 31,7% dari kinerja manajerial dapat dijelaskan oleh variabel partisipasi anggaran

sebagai variabel independen. Sedangkan sisanya 68,3% dijelaskan oleh variabel lain

yang tidak diamati.

Berdasarkan tabel 8, pada pengujian H2, persamaan regresinya adalah:

Y = -63,105 + 2,603(part_angg) + 2,161(komit_org) – 0,0521(moderasi)

Nilai t hitung Variabel partisipasi anggaran sebesar 2,230 dan p = 0,030

sedangkan t tabel sebesar 2,007. Oleh karena itu, koefisien regresi tersebut signifikan

karena p = 0,030 < 0,05. Variabel komitmen organisasi menghasilkan t hitung sebesar

2,280 dan p =0,027. Oleh karena itu, koefisien regresi tersebut signifikan karena p =

0,027 < 0,05.

Variabel moderasi yang merupakan interaksi antara variabel partisipasi anggaran

dan komitmen organisasi tidak signifikan. Variabel moderasi menghasilkan t hitung

-1,838 dan p = 0,72. Pada tingkat signifikansi a=5%, maka koefisien regresi tersebut

tidak signifikan karena p = 0,72 > 0,05.Sehingga dapat disimpulkan bahwa pengaruh

komitmen organisasi terhadap hubungan partisipasi anggaran dengan kinerja manajerial

negatif dan tidak signifikan. Komitmen organisasi dalam penelitian ini bukanlah

sebagai variabel moderating dalam hubungan antara partisipasi anggaran dengan kinerja

manajerial. Hasil perhitungan selanjutnya menunjukkan koefisien determinasi

disesuaikan (adj R2) yaitu sebesar 0,423. Hal ini berarti bahwa kemampuan variabel

partisipasi anggaran, komitmen organisasi dan interaksi keduanya mampu menjelaskan

42,3% variasi perubahan variabel kinerja manajerial, sedangkan sisanya 57,6%

dijelaskan oleh variabel lain yang tidak diamati.

Rekomendasi

Beberapa saran/rekomendasi yang dapat diberikan berdasarkan hasil pengujian

hipotesis adalah sebagai berikut:

1. Kepada Manajemen Bank Perkreditan Rakyat (BPR)

Penulis menyarankan kepada Bank Perkreditan Rakyat dalam rangka

meningkatkan kinerja manajerial dan untuk mencapai tujuan Bank Perkreditan

Rakyat, yaitu:

a. Manajemen BPR hendaknya memberikan kewenangan yang lebih besar

kepada para manajer pusat-pusat pertanggungjawaban untuk menyusun

usulan anggaran pusat pertanggungjawabannya dan lebih

mempertimbangkan saran dan pendapat mereka dalam penerapan dan revisi

anggaran BPR.

b. Manajemen senior hendaknya terlibat lebih serius dalam proses

penganggaran agar suatu sistem penganggaran menjadi lebih efektif dalam

memotivasi para pelaksana anggaran, mulai dari memberikan pengarahan

Page 77: ISSN: 1693-8275 JDINAMIKA - Universitas Islam Nahdlatul

JURNAL DINAMIKA EKONOMI & BISNIS Vol. 7 No. 1 Maret 2010 78

dan penjelasan tentang tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh BPR,

mereview usulan anggaran dan merespon laporan kinerja.

c. Manajer BPR hendaknya memiliki komitmen organisasi yang tinggi kepada

perusahaan karena komitmen organisasi menunjukkan keyakinan dan

dukungan yang kuat terhadap nilai dan sasaran (goal) yang ingin dicapai

oleh organisasi. Manajer yang memiliki tingkat komitmen organisasi tinggi

akan memiliki pandangan positif dan lebih berusaha berbuat yang terbaik

demi kepentingan organisasi Karena komitmen organisasi yang tinggi akan

meningkatkan kinerja yang tinggi pula. Komitmen juga akan membuat

organisasi lebih produktif dan profitable.

2. Kepada peneliti berikutnya

Penelitian ini masih terdapat keterbatasan. Diantaranya: a). Hanya

menggunakan satu variabel independen yaitu partisipasi anggaran dan satu

variabel moderating yaitu komitmen organisasi. b). Jumlah sampel hanya 54

responden. c). Tempat yang terbatas pada wilayah Kabupaten Jepara. Untuk itu,

penulis menyarankan:

a. Hasil penelitian ini menunjukkan terdapat 68% pengaruh faktor lain yang

tidak termasuk dalam penelitian ini terhadap kinerja manajerial yang tidak

diamati. Maka dapat dilakukan penelitian lebih lanjut tentang faktor-faktor

lain yang berpengaruh terhadap kinerja manajerial.

b. Sebaiknya peneliti berikutnya melakukan penelitian dengan jumlah sampel

yang lebih banyak atau lebih besar, untuk dapat memberikan hasil yang

lebih maksimal.

c. Oleh karena penelitian ini terbatas pada BPR di kabupaten Jepara, maka

disarankan untuk melakukan penelitian serupa pada Bank dengan usaha

lebih besar atau perusahaan dengan bidang usaha yang berbeda atau di

wilayah lainnya.

Daftar Pustaka

Bambang Sardjito dan Osmad Mutharer, 2007, “Pengaruh Partisipasi Anggaran

terhadap Kinerja Aparat Pemerintah Daerah: Budaya Organisasi dan Komitmen

Organisasi sebagai Variabel Moderating", SNA X Unhas Makassar 26-28 Juli

2007.

Belianus Patria Latuheru, 2005, "Pengaruh Partisipasi Anggaran Terhadap Senjangan

Anggaran Dengan Komitmen Organisasi Sebagai Variabel Moderating", Jurnal

Akuntansi & Keuangan, vol. 7 no. 2, Nopember 2005, 117- 130.

Dahlan Siamat, 2005, Manajemen Lembaga Keuangan, Kebijakan Moneter Perbankan,

Penerbit FE UI, Jakarta.

Dharma Tintri, 2002, "Pengaruh Struktur dan Kultur Organisasional Terhadap

Keefektifan Anggaran Partisipatif Dalam Peningkatan Kinerja Manajerial",

Jurnal Ekonomi dan Bisnis, Vol. 7 No.2.

Page 78: ISSN: 1693-8275 JDINAMIKA - Universitas Islam Nahdlatul

79 Pengaruh Partisipasi Anggaran dan Komitmen Organisasi

sebagai Moderasi terhadap Kinerja Manajerial

Nichlah Hidayah

Fitri Ella Fauziah

Ehrmann Suhartono dan Mochammad Solichin, 2006, "Pengaruh Kejelasan Sasaran

Anggaran Terhadap Senjangan Anggaran Instansi Pemerintah Daerah Dengan

Komitmen Organisasi Sebagai Pemoderasi", SNA IX Padang 23-26 Agustus

2006.

Endang Raino Wirjono dan Agus Budi Raharjono, 2007, "Pengaruh Karakteristik

Personalitas Manajer Terhadap Hubungan Antara Partisipasi Dalam Penyusunan

Anggaran Dengan Kinerja Manajerial”, Kinerja, Vol. 11 No. 1, 50-63.

Gunawan Adi Saputra dan Marwan Asri, 2003, Anggaran Perusahaan, Penerbit BPFE

UGM, Yogyakarta.

Imam Ghozali, 2006, Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS, Badan

Penerbit UNDIP, Semarang.

Much. Imron, 2007, "Pengaruh Kapabilitas dan Komitmen yang Dimediasi Kreativitas

Strategi terhadap Kinerja Manajer", Jurnal Dinamika Ekonomi dan Bisnis,

Vol.4, no. 1.

Sri Trisnaningsih, 2004, "Motivasi sebagai Moderating Variable dalam Hubungan

antara Komitmen dengan Kepuasan Kerja", Jurnal Manajemen Akuntansi dan

Sistem Informasi, Vol.4. Januari, 100-126

Sukardi, 2004, "Hubungan antara Anggaran Partisipatif dengan Kinrerja Manajerial;

Peran Motivasi Kerja Dan Kultur Organisasional sebagai Variabel Moderating",

Jurnal Manajemen Akuntansi dan Sistem Informasi, Vol. 4. Januari, 82-100.

Sugiyono, 1999, Metode Penelitian Bisnis, CV. AlfaBeta, Bandung.

Page 79: ISSN: 1693-8275 JDINAMIKA - Universitas Islam Nahdlatul

81 Spiritualitas dalam Perilaku Organisasi

Hasan

SPIRITUALITAS DALAM PERILAKU ORGANISASI

Hasan

Fakultas Ekonomi Universitas Wahid Hasyim Semarang

Email: [email protected]

Abstract

This paper reviews spirituality which is a new subject in the study of

organizational behavior. By doing a literature review, this paper discuss the concept of

spirituality, development and research examples, and some previous theoretical

concepts that could form the basis of theoretical study of the development of spirituality

in organizational behavior. In the future, the study of spirituality can be developed

further by strengthening the theoretical foundation and improve the design of empirical

research methodology.

Keywords: Spirituality, organizational behavior

Abstrak

Tulisan ini mengkaji spiritualitas yang merupakan bahasan baru dalam kajian

perilaku organisasional. Dengan melakukan kajian literatur, artikel ini membahas

konsep spiritualitas, perkembangan dan contoh penelitian, dan beberapa konsep teoritis

sebelumnya yang dapat menjadi landasan pengembangan teoritis kajian spiritualitas

dalam perilaku organisasional. Di masa yang akan datang, kajian spiritualitas dapat

dikembangkan lebih lanjut dengan memperkuat landasan teoritis dan meningkatkan

desain metodologi penelitian empiris.

Kata Kunci: Spiritualitas, Perilaku organisasi

Pendahuluan

Spiritualitas telah menjadi bahan yang mulai didiskusikan dalam kajian perilaku

organisasi. Gibson et al (2009) membahasnya pada Bab 2 dalam bahasan Budaya

Organisasi. Dalam bukunya, dijelaskan bahwa spiritualitas dalam kajian organisasi

masih menimbulkan kritik dan skeptisme yang mempertanyakan manfaat dan aspek

praktis dari spiritualitas. Terdapat kritik yang mengklaim bahwa perhatian pada

spiritualitas tidak dapat menjelaskan perbedaan kepercayaan yang dipegang oleh para

karyawan dan stakeholders. Pembicaraan tentang integritas, kejujuran, berbagi, dan

menjadi terbuka, lebih nampak seperti nasehat keagamaan yang normatif dan tidak

ilmiah. Penemuan berbagai penelitian tentang manfaat dan masalah spiritualitas masih

tersebar dan belum dapat disimpulkan dengan jelas. Terdapat kekurangan landasan

teoritis dan desain riset yang belum kuat pada studi-studi spiritualitas yang ada.

Belum adanya landasan teoritis, desain riset yang handal, dan bukti ilmiah yang

kuat akan terus menimbulkan sikap skeptis tentang dimensi spiritualitas dalam kajian

Page 80: ISSN: 1693-8275 JDINAMIKA - Universitas Islam Nahdlatul

JURNAL DINAMIKA EKONOMI & BISNIS Vol. 7 No. 1 Maret 2010 82

manajemen ilmiah. Sebagai contoh, salah satu kunci variabel dalam pembahasan

spiritualitas adalah “kemampuan untuk mendengar” orang lain. Beberapa penelitian

tentang kemampuan ini diteliti dan dianalisa dengan hati-hati. Apakah benar bahwa

“mendengar’ betul-betul berguna, haruskah pemimpin akan bertindak dengan efektif

atas dasar yang ia dengar? Bagaimana spiritualitas yang selaras bagi suatu organisasi?

Masih banyak pertanyaan yang tak terjawab dan perlu dipertimbangkan sebelum

berusaha memperkenalkan nilai-nilai dan praktik-praktik spiritual (Gibson, 2009: 40).

Skeptisme yang disebutkan Gibson di atas menjadi hal yang menarik untuk

dikaji. Tulisan ini bukan bermaksud untuk menjawab berbagai skeptisme diatas, namun

sebatas melakukan eksplorasi tentang spiritualitas dalam konteks kajian perilaku

organisasi. Eksplorasi ini dilakukan melalui kajian berbagai literatur yang membahas

tentang spiritualitas. Pembahasannya dimulai dengan pengertian dan konsep

spiritualitas. Dilanjutkan dengan ringkasan berbagai penelitian dan kajian literatur yang

menjelaskan pentingnya spiritualitas, perkembangan spiritualitas, dan contoh penelitian

empiris spiritualitas. Sebelum kesimpulan, dibahas pula keterkaitan konsep spiritualitas

dengan konsep-konsep perilaku organisasional lainnya sebagai landasan pengembangan

teoritis lebih lanjut di masa yang akan datang.

Pengertian dan Konsep Spiritualitas

Spiritual itu berasal dari kata spirit. Spirit mengandung arti semangat, kehidupan,

pengaruh, dan antusiasme. Spirit sering diartikan sebagai ruh atau jiwa. Arti kiasannya

adalah semangat atau sikap yang mendasari tindakan manusia. Spirit juga sering

dimaknai sebagai entitas, makhluk atau sesuatu bentuk energi yang hidup dan nyata,

meskipun tidak kelihatan di mata biasa dan tidak punya badan fisik seperti manusia,

namun spirit itu ada dan hidup (Widi, 2008).

Dalam definisi lain, kata spiritual dapat dimaknai sebagai roh. Kata ini berasal

dari bahasa Latin: spiritus, yang berarti napas. Selain itu kata spiritus dapat

mengandung arti sebuah bentuk alkohol yang dimurnikan. Sehingga spiritual dapat

diartikan sebagai sesuatu yang murni. Diri manusia yang sebenarnya adalah roh

manusia itu sendiri. Roh bisa diartikan sebagai energi kehidupan, yang membuat

manusia dapat hidup, bernapas dan bergerak. Spiritual berarti pula segala sesuatu di

luar tubuh fisik manusia, termasuk pikiran, perasaan, dan karakter manusia itu sendiri.

Kecerdasan spiritual berarti kemampuan manusia untuk dapat mengenal dan memahami

dirinya sepenuhnya sebagai makhluk spiritual maupun sebagai bagian dari alam

semesta. Dengan memiliki kecerdasan spiritual yang tinggi berarti telah memahami

sepenuhnya makna dan hakikat kehidupan yang dijalani dan kemanakah akan pergi

(Prijosaksono dan Erningpraja, 2003).

Prijosaksono dan Erningpraja (2003) juga menyampaikan bahwa spiritualitas

adalah kebutuhan tertinggi manusia. Argumen ini didapat dari teori Abraham Maslow,

yang menggunakan istilah aktualisasi diri (self-actualization) sebagai kebutuhan dan

pencapaian tertinggi seorang manusia. Maslow menemukan bahwa, tanpa memandang

Page 81: ISSN: 1693-8275 JDINAMIKA - Universitas Islam Nahdlatul

83 Spiritualitas dalam Perilaku Organisasi

Hasan

suku atau asal-usul seseorang, setiap manusia mengalami tahap-tahap peningkatan

kebutuhan atau pencapaian dalam kehidupannya. Kebutuhan tersebut meliputi

kebutuhan fisiologis, kemanan, sosial, penghargaan/ harga diri, dan yang tertinggi

adalah aktualisasi diri. Kebutuhan aktualisasi diri (self-actualization), meliputi

kebutuhan untuk memenuhi keberadaan diri (self-fulfillment) melalui memaksimumkan

penggunaan kemampuan dan potensi diri. Kebutuhan manusia berdasarkan pada urutan

prioritas, dimulai dari kebutuhan dasar, yang banyak berkaitan dengan unsur biologis,

dilanjutkan dengan kebutuhan yang lebih tinggi, yang banyak berkaitan dengan unsur

kejiwaan, dan yang paling tinggi yaitu kebutuhan aktualisasi merupakan kebutuhan

spiritual.

Smith dan Rayment dalam Gibson et al (2009) mendefinisikan spiritualitas

sebagai kondisi atau pengalaman yang dapat menyediakan individu-individu dengan

arah dan makna, atau menyediakan perasaan memahami, mendukung, keseluruhan

dalam diri (inner wholeness), atau keterhubungan. Keterhubungan dapat dengan diri

sendiri, orang lain, alam semesta, Tuhan, atau kekuatan supernatural yang lain. Gibson

menjelaskan lebih lanjut bahwa definisi ini melibatkan perasaan didalam diri (inner

feeling), terhubung dengan kerja dan koleganya.

Dehler dan Welsh (1994) mendefinisikan spiritualitas sebagai suatu bentuk

spesifik perasaan dalam bekerja yang memberikan energi tindakan. Sejenis dengannya,

Mitroff dan Denton (1999) menjelaskan spiritualitas dengan perasaan dasar terhubung

dengan dirinya secara lengkap (one’s complete self), orang lain, dan seluruh alam

semesta.

Dalam berbagai literatur lain, tingkat spiritualitas sering diistilahkan dengan

kecerdasan spiritual (spiritual quotient) yang dipopulerkan oleh Danah Zohar dan Ian

Marshall. Zohar dan Marshall (2000) dalam Muajiz (2009) menjelaskan kecerdasan

spiritual dengan kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan persoalan makna dan

nilai, yaitu kecerdasan untuk menempatkan perilaku hidup kita dalam makna yang lebih

luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seorang lebih

bermakna dibandingkan yang lain. Zohar dan Marshall bahkan menyebutkannya

dengan kecerdasan puncak (ultimate intelligence), dimana puncak disini adalah

kecerdasan manusia yang paling tinggi melampaui dua kecerdasan yang dikenal

sebelumnya, yaitu kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional yang telah populer

sebelumnya. Kecerdasan spiritual merupakan tiang penyokong IQ dan EQ. IQ dan EQ

merupakan kecerdasan yang dapat dilihat (tangible), sedangkan SQ (kecerdasan

spiritual) tidak demikian. Pemahaman tentang kecerdasan dan aplikasinya tergantung

pada personal values masing-masing orang, motivasi untuk mengetahui lebih lanjut

tentang kecerdasan spiritual, level self-awareness, serta kemauan dan kemampuan

untuk “membiarkan” (let go). Spiritualitas memiliki konsep yang terkait dengan

manajemen dan dapat memberikan dampak terhadap perilaku dan kinerja organisasi,

sebagaimana terlihat pada gambar 1.

Page 82: ISSN: 1693-8275 JDINAMIKA - Universitas Islam Nahdlatul

JURNAL DINAMIKA EKONOMI & BISNIS Vol. 7 No. 1 Maret 2010 84

Gambar 1

Skema Keterwakilan Spiritualitas dalam Literatur Manajemen

Ubaydillah dalam Muajiz (2009) mendefinisikan kecerdasan spiritual dengan

kecerdasan yang mengangkat fungsi jiwa sebagai perangkat internal diri yang memiliki

kemampuan dan kepekaan dalam melihat makna yang ada dibalik kenyataan apa

adanya. Kecerdasan spiritual lebih berurusan dengan pencerahan jiwa.

Heaton et al. (2004) menyarankan adanya pembedaan dua konstruk dalam

spiritualitas : “spiritualitas murni” (pure spirituality) dan “spiritualitas aplikasi”

(applied spirituality. Spiritualitas murni mengacu pada diam (silent), tak terbatas

(unbounded), pengalaman ke dalam akan mawas-diri yang murni (inner experience of

pure self-awareness), ketiadaan isi umum persepsi, pemikiran, dan perasaan (devoid of

customary content of perception, thoughts, and feelings). Contoh spiritualitas murni

dalam budaya Timur adalah teknik meditasi. Spiritualitas aplikasi mengacu pada asal

aplikasi praktis dan hasil yang terukur yang secara otomatis muncul dari pengalaman

dalam spiritualitas murni. Ekspresi yang mucul keluar dari spiritualitas murni inilah

yang dimaksud dengan spiritualitas aplikasi. Heaton et al (2004) menggunakan kata

“pengembangan spiritual” untuk mengacu pada proses holistik transformasi positif

melalui pengalaman spiritualitas murni.

Ada juga yang memberikan pengertian spiritualitas atau kecerdasan spiritual

Sumber : Pandey et al (2009)

Page 83: ISSN: 1693-8275 JDINAMIKA - Universitas Islam Nahdlatul

85 Spiritualitas dalam Perilaku Organisasi

Hasan

dengan mengkaitkannya dengan agama. Agustian (2001) dalam Muajiz (2009)

umpamanya, berpendapat bahwa kecerdasan spiritual adalah kemampuan untuk

memberikan makna ibadah terhadap setiap perilaku dan kegiatan melalui langkah-

langkah dan pemikiran yang bersifat fitrah, menuju manusia yang seutuhnya (hanif) dan

memiliki pemikiran tauhidi (integralistik). Jadi kecerdasan spiritual disini merupakan

bagian dari agama yang masuk dalam tataran wilayah ketuhanan”.

Sebagai orang yang memperkenalkan dan mempopulerkan kecerdasan spiritual,

dua ilmuwan dari Harvard dan Oxford University ini, yaitu: Danah Zahar (psikolog)

dan Ian Marshal (fisikawan), menyimpulkan bahwa dalam diri setiap manusia terdapat

potensi rohaniah dan spiritual yang melekat dalam diri pribadi manusia. Bukti ilmiah

akan keberadaan kecerdasan spiritual dapat dilihat pada percobaan yang dilakukan oleh

riset ahli psikologi dan syaraf, Michael Persinger pada tahun 1990 dan 1997, dan

seorang ahli syaraf terkemuka, VS Ramachandran beserta timnya dari Universitas

California yang menemukan keberadaan God-Spot dalam otak manusia yang menyatu,

dan terletak di antara jaringan syaraf dan otak, atau tepatnya pada bagian samping

kepala yang disebut Lobus temporal. Bukti kedua adalah riset yang dilakukan ahli

syaraf Austria, Wolf Singer, pada era tahun 1990-an dengan apa yang disebut The

Binding Problem, yang menunjukkan adanya proses syaraf dalam otak manusia yang

terkonsentrasi pada usaha mempersatukan dan memberikan makna dalam pengalaman

hidup kita. Binding problem merupakan pengalaman yang banyak dialami oleh mereka

yang melakukan meditasi yaitu perasaan menyatu dengan alam, merasa diri memiliki

keseimbangan dengan sekelilingnya, dan diikuti dengan perasaan tenang. God Spot

inilah yang selalu menuntun dan senantiasa memberikan makna spiritual terhadap

berbagai aktivitas yang dilakukan manusia. Dari hal ini terlihat bahwa dalam diri tiap

manusia terdapat sifat-sifat dan nilai-nilai spritualitas yang mulia sebagai pemberian

Tuhan (Muajiz, 2009).

Zohar dan Marshall (2001) berpendapat bahwa SQ tidak mesti berhubungan

dengan agama. Banyak orang Humanis dan Ateis yang memiliki SQ sangat tinggi. Bila

SQ seseorang telah berkembang dengan baik, maka tanda-tanda yang akan terlihat pada

diri seseorang adalah (1) kemampuan bersikap fleksibel, (2) tingkat kesadaran diri

tinggi, (3) kemampuan untuk menghadapi dan memanfaatkan penderitaan, (4)

kemampuan untuk menghadapi dan melampaui rasa sakit, (5) kualitas hidup yang

diilhami oleh visi dan nilai-nilai, (6) keengganan untuk menyebabkan kerugian yang

tidak perlu, (7) kecenderungan untuk melihat keterkaitan antara berbagai hal

(berpandangan holistik), (8) kecenderungan nyata untuk bertanya “Mengapa?” atau

“Bagaimana jika?” untuk mencari jawaban yang mendasar, (9) memiliki kemudahan

untuk bekerja melawan konvensi.

Beberapa ilmuwan memberikan penjelasan perbedaan konsep antara spiritualitas

dengan keagamaan/ religiusitas. Spiritualitas cenderung pada personal, inklusif, dan

positif. Sedangkan regiusitas lebih eksternal, eksklusif dan negatif (Mohamed et al,

2001). Dalam arti, spiritualitas bisa ada pada siapa saja yang sifatnya pribadi, namun

Page 84: ISSN: 1693-8275 JDINAMIKA - Universitas Islam Nahdlatul

JURNAL DINAMIKA EKONOMI & BISNIS Vol. 7 No. 1 Maret 2010 86

terbuka, dan cenderung pada sikap-sikap yang positif memaknai dirinya. Sedangkan

religiusitas didorong dari ajaran-ajaran keagamaan yang kepercayannya berarti dari luar

diri pribadi, bergantung pada ajaran agamanya, dan dapat berdampak negatif karena

perbedaan atau keterpaksaan sebagai konsekuensi sebuah kewajiban agama.

Dijelaskan pula bahwa pembedaan dikotomis antara keduanya hanyalah masalah

artifisial saja. Sebagai alternatif pembedaannya, Mohamed et al (2001) mengajukan

konsep spiritualitas ditambahkan dalam lima faktor psikologi kepribadian yang dikenal

dengan “Big Five Personality”, sehingga menjadi enam faktor dengan tambahan faktor

spiritualitas. Konsep spiritualitas ini tidak bertentangan dengan konsep-konsep

psikologis yang telah ada sebelumnya dengan baik (well-established) sebagaimana Big

Five yang telah dikaitkan juga dengan kinerja jabatan. Secara spekulatif disampaikan

pula bahwa spiritualitas, perilaku manajer, dan kinerja jabatan, sampai batasan tertentu

saling terhubung (interconnected).

Unit Analisis Spiritualitas

Unit analisa studi pada perilaku organisasi dapat dibagi pada tiga tingkatan :

pertama, level individu; kedua, level kelompok; dan ketiga, level organisasi (Gibson,

2009; hal 7). Jika dicermati, pengertian-pengertian diatas lebih berorientasi pada level

individu. Selain level individu, spiritualitas dapat dikaji pada level kelompok dan level

organisasi. Konsep spiritualitas di tempat kerja (workplace spirituality), termasuk

kajian yang menganalisa pada level kelompok dan organisasi.

Konsep spiritualitas ditempat kerja mencerminkan ekspresi dan pengalaman

spiritualitas pada tempat kerja yang difasilitasi oleh berbagai aspek-aspek organisasi,

seperti budaya, suasana organisasi (organizational climate), budaya organisasi,

kepemimpinan, dan praktik organisasi. Oleh karena itu, spiritualitas di tempat kerja

dapat didefinisikan sebagai kerangka kerja nilai-nilai organisasi, dibuktikan dengan

budaya yang terhubung dengan pihak yang lain dengan memberikan perasaan yang

lengkap dan nyaman (completeness and joy). Terdapat berbagai definisi spiritualitas di

tempat kerja, seperti pengalaman dan kebermaknaan kerja, komunitas, dan transedence,

yang penyebutannya mungkin berbeda dalam berbagai kajian (Pawar, 2009). Hal ini

juga sebagaimana dilakukan oleh Mohamed et al (2001) yang telah melakukan kajian

literatur tentang spiritualitas di tempat kerja.

Heaton et al (2004) memberikan petunjuk metode pendekatan yang dapat

dilakukan dalam melakukan penyelidikan dalam spiritualitas dalam definisinya yang

dapat dibagi 3: spiritualitas murni, spiritualitas aplikasi, dan pengembangan

spiritualitas. Pendekatannya dapat dibagi dua, pendekatan subyektif dan obyektif. Tabel

1 berikut akan menjelaskan perbedaannya dalam martiks. Agar tidak mengurangi

pemahamannya, bahasa asli dalam artikelnya dengan bahasa Inggris tetap digunakan.

Page 85: ISSN: 1693-8275 JDINAMIKA - Universitas Islam Nahdlatul

87 Spiritualitas dalam Perilaku Organisasi

Hasan

Tabel 1

Metode-Metode untuk Meneliti Spiritualitas di Organisasi

Pendekatan Subjektif Pendekatan Objektif

Spiritualitas murni Pengalaman pribadi langsung

akan kebangkitan diam

Hubungan psikologis

pengalaman pribadi tentang

realitas yang nyata

Spiritualitas

Aplikasi

Refleksi pribadi pada artikulasi

konsekuensi-konsekuensi yang

memperlihatkan kondisi-

kondisi yang lebih tinggi akan

kesadaran

Penelitian kuantitatif dan

kualitatif variabel fisiologis,

psikologis, organisasional, dan

sosial sebelum dan sesudah

realitas transedental

Pengembangan

Spiritual

Refleksi pada dan artikulasi

proses pengembangan

seseorang

Riset kuantitatif dan kualitatif

pengembangan psikologis dan

sosial

Sumber : Heaton et al (2004)

Penelitian Spiritualitas

Pawar (2009) menggambarkan dari berbagai literatur yang dapat mencerminkan

banyaknya perhatian pada spiritualitas di tempat kerja, yaitu:

1. Spiritualitas di tempat kerja merupakan wilayah penelitian yang penting

karena memiliki relevansi yang kuat dan potensial dengan kehidupan-baik

(well-being) individu, organisasi, dan masyarakat (Sheep, 2006).

2. Studi ilmiah dapat memberikan kemajuan berarti bagi ilmu organisasi

(Giacalone dan Jurkiewicz, 2003).

3. Kepentingannya terlihat pada “pertumbuhan ketertarikan” (Duchon dan

Plowman, 2005), “ledakan ketertarikan” (Parameshwar, 2005), “pertumbuhan

perhatian” (Kolodinskyetal., 2003).

4. De Klerk (2005) memberikan catatan bahwa dengan perhatian yang ditujukan

pada spiritualitas di tempat kerja ini, memperjelas gagasan yang menyatakan

pentingnya kebutuhan untuk dimotivasi tidak perlu lagi. Ia juga lebih

menekankan pada bahasan spiritualitas yang lebih baik.

Pawar (2009) juga mengidentifikasi berbagai penelitian terkini tentang

spiritualitas di tempat kerja yang memiliki perhatian berbeda-beda, yaitu:

1. Fokus pada definisi dan operasionaliasi spiritualitas di tempat kerja (Ashmos

dan Duchon, 2000; Kinjerski dan Skrypnek, 2004; Mooreand Casper, 2006;

Sheep, 2004).

2. Memberikan profil wilayah penelitian spiritualitas di tempat kerja, dan

memberikan panduan garis besar arah dan metodologi studi pada spiritualitas

di tempat kerja. (Benefiel, 2003; Fornaciari dan Lund Dean, 2001; Giacalone

dan Jurkiewicz, 2003; Krahnkeetal., 2003; Lund Deanetal., 2003; Tischleretal.,

2007).

Page 86: ISSN: 1693-8275 JDINAMIKA - Universitas Islam Nahdlatul

JURNAL DINAMIKA EKONOMI & BISNIS Vol. 7 No. 1 Maret 2010 88

3. Menjelaskan manifestasi spiritualitas di tempat kerja di organisasi (Milliman

etal., 1999).

4. Menggambarkan berbagai pandangan organisasional yang mungkin

menfasilitasi spiritualitas di tempat kerja (Ashforth dan Pratt, 2003).

5. Menggambarkan berbagai aspek organisasi seperti budaya (Jurkiewicz dan

Giacalone, 2004), kepeminpinan (Fry, 2003), dan praktik-praktik

organisational (Pfeffer, 2003) yang dapat menfasilitasi implementasi

spiritualitas di tempat kerja.

6. Menfokuskan pada dampak-dampak spiritualitas di tempat kerja seperti sikap

kerja (e.g.,Millimanetal., 2003), produktivitas organisasi (Fryetal., 2005), dan

kinerja unit (Duchon dan Plowman, 2005).

Tidak mudah untuk menemukan penelitian empiris tentang spiritualitas.

Kebanyakan tulisan mengenai spiritualitas masih berkisar pada konsep dan metodologi

spiritualitas. Dalam tulisan ini diidentifikasi dua penelitian empiris yang membahas

spiritualitas. Yang pertama adalah penelitian Kolodinsky et al. (2007), dan kedua

penelitian Muajiz (2009). Dua penelitian ini mewakili penelitian di luar negeri dan

penelitian di dalam negeri.

Kolodinsky et al. (2007) melakukan pengujian empiris dampak-dampak

spiritualitas di tempat kerja. Dengan menggunakan data dari lima sampel yang terdiri

atas pekerja full-time atas mahasiswa program master, hasilnya mengindikasikan bahwa

persepsi tingkatan spiritualitas organisasi (organizational spirituality) tampak penting

pada keseluruhan dampak sikap terkait lainnya. Lebih spesifik, spiritualitas organisasi

terkait positif dengan keterlibatan kerja, identifikasi organisasional, dan kepuasan

reward kerja, dan berhubungan negatif dengan frustasi organisasional. Spiritualitas

pribadi berhubungan positif dengan kepuasan instrinsik, ekstrinsik, dan keseluruhan

kerja. Interaksi antara spiritualitas organisasi dan spiritualitas individu terkait dengan

kepuasan reward kerja keseluruhan.

Penelitian Muajiz (2009) menguji pengaruh dari pelatihan, kecerdasan

emosional, dan spiritual auditor terhadap kinerja auditor pada Direktorat Jenderal Pajak.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelatihan, kecerdasan emosional dan spiritual

memiliki pengaruh positif yang signifikan terhadap kinerja auditor pada Direktorat

Jenderal Pajak baik secara parsial maupun simultan. Kecerdasan spiritual memiliki

pengaruh yang paling besar dibandingkan dua variabel independen lainnya. Namun

demikian, ketiga variabel diatas hanya memiliki pengaruh 23% terhadap kinerja auditor

sedangkan 77% dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak diteliti.

Penelitian Muajiz (2009) membagi kecerdasan spiritual menjadi tiga dimensi:

1. Dimensi Relasi spiritual–keagamaan, dengan indikator/ pertanyaan:

a. Kecintaan terhadap tuhan

b. Motivasi hidup yang lebih baik.

c. Pemahaman diri sebagai makhluk spiritual.

d. Berani dalam kebenaran.

Page 87: ISSN: 1693-8275 JDINAMIKA - Universitas Islam Nahdlatul

89 Spiritualitas dalam Perilaku Organisasi

Hasan

e. Perasaan merasa selalu diawasi tuhan.

f. Kesabaran.

2. Relasi sosial–keagamaan, dengan indikator/ pertanyaan:

a. Kontribusi terhadap kejahteraan sesama.

b. Ikatan kekeluargaan antar sesama.

c. Kasih sayang terhadap mahluk hidup.

3. Etika – sosial, dengan indikator/ pertanyaan :

a. Ketaatan pada etika dan moral.

b. Amanah (menepati janji)

c. Dapat dipercaya.

d. Toleran terhadap perbedaan.

e. Anti kekerasan.

f. Kesesuaian antara ucapan dan perbuatan.

Anteseden Spiritualitas dalam Perilaku Organisasi

Pawar (2009) menyatakan bahwa ada empat konsep yang merupakan pelopor/

pendahulu konsep spiritualitas dalam organisasi yang sama-sama memiliki perhatian

pada self-interest trancedent sebagaimana dibahas dalam spiritualitas di tempat kerja.

Empat konsep yang telah mendahului spiritualitas di tempat kerja tersebut adalah

kepemimpinan transformasional (transformational leadership), perilaku kewargaan

organisasi (organizational citizenship behavior), dukungan organisasional

(organizational support), dan keadilan prosedural (procedural justice). Empat konsep

ini telah muncul satu dekade lebih awal daripada spiritualitas di tempat kerja.

Spiritualitas di tempat kerja muncul pada era 1990-an, sedangkan empat konsep yang

dijelaskan tadi muncul pada era 1980-an. Hal ini mengindikasikan bahwa keempat

konsep ini merupakan pelopor spiritualitas di tempat kerja, sekaligus memberikan

berbagai penjelasan berbeda pada kajian spiritualitas di tempat kerja, dan juga

membantu pembahasan spiritualitas di tempat kerja pada kajian perilaku organisasi

yang lebih luas. Meskipun demikian, keempat konsep yang mendahului tersebut

bukanlah penyebab munculnya spiritualitas di tempat kerja.

Pemimpin transformasional merupakan kemampuan pemimpin memberikan

inspirasi dan memotivasi pengikutnya untuk mencapai hasil yang lebih besar daripada

yang direncanakan dan lebih untuk imbalan internal. Kepemimpinan ini mendorong

pengikut untuk mengerjakan sasaran transedental daripada kepentingan diri jangka

pendek, dan untuk pencapaian aktualisasi diri daripada sekedar mencari keamanan.

Pengembangan faktor-faktor kepemimpinan transformasional dikembangkan oleh Bass

(dalam Gibson, 2009). Lima faktor tersebut adalah:

a. Karisma (Charisma), dimana pemimpin mampu menanamkan secara bertahap

sense of value, respect, pride dan mengartikulasi visi.

Page 88: ISSN: 1693-8275 JDINAMIKA - Universitas Islam Nahdlatul

JURNAL DINAMIKA EKONOMI & BISNIS Vol. 7 No. 1 Maret 2010 90

b. Perhatian individual (Individual attention), dimana pemimpin memperhatikan

kebutuhan karyawan dan memberikan proyek yang bermanfaat sehingga

bawahan tumbuh secara personal.

c. Rangsangan intelektual (Intellectual stimulation), dimana pemimpin membantu

bawahannya memikirkan kembali cara-cara yang rasional untuk menguji situasi

(mendorong bawahannya untuk menjadi kreatif).

d. Penghargaan yang tergantung kondisi (Contingent reward), dimana pemimpin

menginformasikan kepada bawahan tentang apa yang harus dilakukan untuk

menerima reward yang mereka inginkan.

e. Manajemen dengan pengecualian (Management by exception), dimana

pemimpin mengizinkan bawahan untuk melaksanakan pekerjaannya tanpa

melakukan intervensi kecuali kalau tugas tersebut tidak selesai pada waktunya

dan dengan biaya yang wajar.

Kepemimpinan transformasional sebagaimana disampaikan diatas, merupakan

kepemimpinan transedental yang membuat pengikutnya menjadi self-interest

transedence pula. Hal ini terlihat dari bahasa-bahasa yang disampaikan oleh para

pengikutnya sebagaimana disampaikan oleh Bass dalam Pawar (2009)

“menginspirasikan loyalitas pada organisasi”, “memiliki sense of mission yang ia

kirimkan pada saya”, “mengejutkan kami dengan visinya, jika kami bekerja bersama”,

dan “memberikan kami sense dari keseluruhan tujuan”.

Perilaku kewargaan organisasi (organizational citizenship behavior-OCB)

muncul pada tahun 1983 melalui studi yang dilakukan Bateman dan Organ, dan juga

oleh studi Smith di tahun yang sama. Hal ini berdasarkan apa yang disampaikan Organ

bahwa pengukuran kinerja karyawan dapat tidak mencakup keseluruhan kinerja yang

sebenarnya ia lakukan (Pawar, 2009). Dengan kata lain, ia melakukan lebih dari apa

yang seharusnya dilakukan. Hal ini dilakukan karena ia lebih digerakkan oleh motivasi

internal dari dalam yang disebut self-transcedence, daripada keuntungan-keuntungan

pribadi. Ada lima dimensi OCB, yaitu altruism, conscientiousness, civic virtue,

sportsmanship, dan courtesy yang mencerminkan berbagai cara dengan mana perilaku-

perilaku karyawan mencari keuntungan yang bukan untuk sekedar pengumpulan nilai

dan reward langsung bagi dirinya sendiri. Hal ini memperlihatkan bahwa konsep

spiritualitas di tempat kerja tampak berbagi dengan konsep employee-trancedence yang

ada di konsep OCB.

Konsep dukungan organisasional (organizational support) yang dipersepsikan,

menurut Eisenberger et al. (1986) mencerminkan bahwa organisasi peduli dengan nilai-

nilai karyawan, kemanusiaan (well-being) dan kontribusinya. Jika para karyawan

mempersepsikan adanya dukungan organisasi kepada mereka, maka mereka akan juga

memberikan keuntungan bagi organisasinya pula. Hal ini disebut dengan norma

keberbalikan (norm of reciprocity), satu pihak akan membalas kebaikan dari pihak yang

memberikan kebaikan kepadanya pula. Untuk rentang tertentu, hal ini terkait pula

dengan self-transedence sebagaimana spiritualitas di tempat kerja. Hal ini terbukti

Page 89: ISSN: 1693-8275 JDINAMIKA - Universitas Islam Nahdlatul

91 Spiritualitas dalam Perilaku Organisasi

Hasan

dengan hasil empiris, dimana dukungan organisasi yang dipersepsikan berpengaruh

signifikan terhadap absen yang lebih rendah (lower absenteism) dan perilaku inovasi

karyawan. Dukungan organisasional yang dipersepsikan ini terdiri atas item-item

operasional yang mengacu pada aspek-aspek seperti mendengar keluhan karyawan,

memberikan bantuan ketika karyawan mengalami masalah, dan tidak akan diganti oleh

karyawan lain karena ada orang lain yang dapat menggantikannya dengan gaji yang

lebih murah. Dari indikator-indikator ini tampak bahwa organisasi berusaha untuk

memberikan sense sebagai bagian dari komunitas organisasi. Menjadi bagian dari

komunitas organisasi merupakan salah satu aspek dari spiritualitas di tempat kerja dan

merefleksikan self-transcedence (Pawar, 2009).

Konsep keadilan prosedural (prosedural justice) berfokus pada “kewajaran yang

dipersepsikan (perceived fairness) dan prosedur yang digunakan untuk membuat

keputusan”. Dua penjelasan yang dapat digunakan terkait dengan penghitungan akibat

keadilan prosedural ini adalah self-interest model dan group-value model (Greenberg,

1990 dalam Parwar, 2009). Model self-interest menjelaskan bahwa keberadaan

prosedur yang adil menjamin individu-individu mendapat perlindungan kepentingan

pribadinya dan dampak-dampak yang disukainya. Sedang group-value model

berpendapat bahwa individu akan mengikuti kepentingan kelompoknya dalam rangka

penerimaan kelompok terhadap dirinya sehingga memberikan dampak psikologis

terhadap identifikasi dirinya sebagai bagian dari kelompok tersebut. Hal ini dapat

dilihat sebagai pemenuhan kebutuhan komunitas karyawan dengan adanya sense bagian

dari komunitas. Karena itu, keadilan prosedural dapat dilihat sebagai mekanisme

memberikan sense bagian dari komunitas. Sehingga keadilan prosedural dapat

menfasilitasi kepentingan pribadi transcedence karyawan. Karena itu, konsep keadilan

prosedural dalam kajian perilaku organisasional terkait dengan spiritualitas di tempat

kerja (Parwar, 2009).

Kesimpulan

Berdasarkan kajian literatur tentang spiritualitas dalam konteks perilaku

organisasi, Tampak berbagai perbedaan dan banyak pula persamaan. Meskipun

dijumpai adanya sikap skeptis dan masih meragukan “kemampuan ilmiah” bahasan

spiritualitas dalam kajian ilmu organisasi, berbagai tulisan tampaknya mengarah pada

perkuatan teoritis dan empiris kajian spiritualitas dalam perilaku organisasi. Upaya

untuk mengkaitkan spiritualitas dengan berbagai bahasan perilaku organisasi setidaknya

telah dilakukan oleh Parwar (2009) yang mengidentifikasi empat bidang kajian, yaitu

kepemimpinan transformasional (transformational leadership), perilaku kewargaan

organisasi (organizational citizenship behavior), dukungan organisasional

(organizational support), dan keadilan prosedural (procedural justice), yang secara

prinsip memperlihatkan adanya penjelasan teoritis spiritualitas. Empat bahasan ini telah

diterima dalam kajian perilaku organisasi, sehingga tampak bahwa peluang

pengembangannya semakin kuat ke depan.

Page 90: ISSN: 1693-8275 JDINAMIKA - Universitas Islam Nahdlatul

JURNAL DINAMIKA EKONOMI & BISNIS Vol. 7 No. 1 Maret 2010 92

Tantangannya adalah bagaimana mengembangkan lebih lanjut kajian spiritualitas

yang didukung dengan landasan teoritis yang kuat dan didukung dengan hasil empiris

yang diakui. Karena itu, perlu dikembangkan teori-teori dan berbagai metode penelitian

yang dapat diadopsi dan digunakan untuk menjelaskan spiritualitas lebih lanjut. Hal ini

sebagaimana disampaikan Husnan (2005), bahwa baik tidaknya suatu model bukan

pada realistis tidaknya asumsi-asumsi yang dipergunakan, tetapi pada seberapa jauh

model tersebut mampu menjelaskan keadaan dunia nyata. Dengan kata lain, perlu

dilakukan pengujian terhadap model tersebut. Hal ini dapat dilakukan melalui

pengembangan teoritis dan pengujian empiris di lapangan. Inilah agenda bagi penelitian

spiritualitas dalam perilaku organisasi di masa mendatang.

Daftar Pustaka

Dehler, G. E., Welsh, M. A, 1994, “Spirituality and Organizational Transformation:

Implications for The New Management Paradigm”, Journal of Managerial

Psychology, 9, 17-26.

Gibson, J.L.; Ivancevich, J.M.; Donnely, J.H; Konopaske, 2009, Organization :

Behavior, Structure, Process, 13th edition, New York, Mc Graww Hill.

Heaton, D.P.; Schmidt-Wilk, Jane; Travis, F., 2004, “Constructs, methods, and

measures for researching spirituality in organizations”, Journal of Organizational

Change Management, Vol.17 No.1, 62-82.

Kolodinsky, R.W.; Giacalone, R.A.; Jurkiewicz, C.L, 2008, “Workplace Values and

Outcomes: Exploring Personal, Organizational, and Interactive Workplace

Spirituality”, Journal of Business Ethics, 81, 465–480.

Mohamed, A. A.; Hassan, A. M.; Wisnieski, J. M., 2001, “Spirituality in the workplace:

A literature review”, Global Competitiveness, 9, 644-652.

Muajiz, 2009, Pengaruh Pelatihan, Kecerdasan Emosional dan Kecerdasan Spiritual

Auditor Terhadap Kinerja Auditor Pada Direktorat Jenderal Pajak, Tesis

Magister Akuntansi Universitas Gadjah Mada, Jogjakarta.

Pawar, B. S., 2009, “Some of the Recent Organizational Behavior Concepts as

Precursors to Workplace Spirituality”, Journal of Business Ethics, 88, 245-261.

Pandey, A., Rajen, K. G. & A. P. Arora, 2009, “Spiritual Climate of Business

Organizations and Its Impact on Customers’ Experience”, Journal of Business

Ethics, 88, 313–332.

Prijosaksono, A. dan Erningpraja, Irianti, 2003, Spiritualitas dan Kualitas Hidup,

www.sinarharapan.com.

Widi, Nugroho, 2008, Beberapa Istilah dan Definisi Spiritual,

www.kompetensispiritual.com.

Zohar, D., Marshall, I., 2001, SQ, Memanfaatkan Kecerdasan Spiritual Dalam Berpikir

Integralistik dan Holistik untuk Memaknai Kehidupan, Mizan, Bandung.

Page 91: ISSN: 1693-8275 JDINAMIKA - Universitas Islam Nahdlatul

93 Strategi Proaktif Dalam Menghadapi Pergeseran Paradigma

Pemasaran Global (Tinjauan Aspek Strategik)

Noor Arifin

STRATEGI PROAKTIF DALAM MENGHADAPI

PERGESERAN PARADIGMA PEMASARAN GLOBAL

(TINJAUAN ASPEK STRATEGIK)

Noor Arifin

Program Studi Manajemen STIENU Jepara

Email: [email protected]

Abstract

The situation faced in the 2000s is characterized as a state full of change,

dynamic, full of competition. The paradigm of marketing strategy that will appear in the

global market generally portrayed very differently than the market in the past. So

management needs to understand and take appropriate steps, using a glass eye that

correspond to the problem in facing such a shift. Which then need to be taken

strategies, techniques and concepts as well as applications proactive strategy of global

thinking in various functional areas necessary to analyze the emergence of the issue,

thus achieving the desired goals.

Keywords: proactive strategy, global marketing

Abstrak

Keadaan yang dihadapi pada tahun 2000-an dicirikan sebagai keadaan yang

penuh perubahan, dinamis, penuh persaingan. Paradigma strategi pemasaran yang

akan muncul dalam pasar global digambarkan sangat berbeda umumnya dibanding

dengan pasar pada waktu yang lampau. Sehingga manajemen perlu memahami dan

mengambil langkah-langkah yang tepat, menggunakan kaca mata yang sesuai dengan

permasalahannya dalam mengahadapi pergeseran tersebut. Yang selanjutnya perlu

diambil strategi, teknik serta konsep-konsep sebagai aplikasi strategi proaktif serta

berpikir global dalam berbagai bidang fungsional yang diperlukan untuk menganalisis

munculnya isu tersebut, sehingga dapat mencapai sasaran yang diinginkan.

Kata kunci: strategi proaktif, pemasaran global

Pendahuluan

Munculnya paradigma baru terhadap perubahan yang semakin cepat dalam pasar

global akan membawa pengaruh terhadap perilaku kehidupan kita. Dan kita perlu

menyesuaikan pada situasi-situasi yang baru itu. Jika tidak mau dikatakan ketinggalan

zaman. Perkembangan pemikiran di bidang ekonomi terutama bidang manajemen

strategik akan menjadi ciri dalam persaingan global. Terjadinya pergeseran paradigma

dalam strategik pemasaran tidak dapat dipisahkan dari sejarah pemasaran. Sebagaimana

Kuhn (1970) katakan dalam konsepnya bahwa : “konsep tentang paradigma ke dalam

Page 92: ISSN: 1693-8275 JDINAMIKA - Universitas Islam Nahdlatul

JURNAL DINAMIKA EKONOMI & BISNIS Vol. 7 No. 1 Maret 2010 94

dunia ilmu dengan menyatakan bahwa paradigma ilmiah merupakan contoh-contoh

praktek ilmiah aktual yang dapat diterima, termasuk hukum, teori, aplikasi, dan

memberikan model-model dari suatu tradisi menyeluruh dalam riset ilmiah.” Hal ini

menunjukkan bahwa paradigma dapat dijadikan sebagai alternatif pemikiran dan diakui

keaktualannya untuk melakukan sesuatu termasuk dibidang pemasaran.

Dunia bisnis khususnya dalam melakukan persiapan menghadapi persaingan

global berusaha menciptakan teknik-teknik dan strategi yang benar dan jitu untuk

mengahadapi timbulnya paradigma baru. Manajer perusahaan akan berusaha melakukan

pemikiran-pemikiran kembali terhadap perusahaannya dalam mengelola bisnisnya

sehingga bisa “leading” dalam persaingan yang penuh ketidakpastian. Perlu disadari

bahwa peningkatan kemampuan bersaing dalam menghadapi era globalisasi perlu

diupayakan bersama oleh semua lini di perusahaan, lebih jauh pemerintah juga

sebenarnya mempunyai peran yang strategis untuk menciptakan iklim ekonomi nasional

yang kondusif dalam rangka memupuk kemampuan bersaing dari perusahaan nasional

agar mereka tidak hanya menjadi jago di kandangnya sendiri, melainkan sebagai pelaku

dan penentu di arena yang lebih luas dan patut dibanggakan. Perusahaan-perusahaan

dituntut menerapkan manajemen modern dengan jangkauan global, agar kemampuan

bersaing dapat lebih meningkat di kancah dunia.

Sebelum membahas cara-cara yang digunakan untuk menyikapi dan menghadapi

persaingan global, maka perlu diketahui kondisi global dan tuntutannya terlebih dahulu.

sehingga dapat memetakan dan memahami situasi nyata dari kondisi yang akan dialami.

Tatanan perusahaan global yang sekarang terjadi dan yang akan muncul, akan diwarnai

cepatnya perubahan teknologi, informasi dan transportasi serta budaya yang akan ikut

berubah seiring dengan ramainya pelaku-pelaku yang muncul sebagai pemain lama dan

baru yang memiliki budaya serta sifat nilai masing-masing, atau dapat disebutkan masa

sekarang sebagai masa berakhirnya negara bangsa dan masa munculnya negara wilayah

(Ohmae, 1995). Artinya wilayah terbentuk dari beberapa negara bangsa di suatu

wilayah yang membuat kesepakatan untuk melakukan perdagangan bebas. Seperti

diketahui bahwa perekonomian dunia sekarang ini sedang didominasi oleh tiga

kekuatan, yaitu Amerika Serikat, Masyarakat Eropa, dan Jepang dengan segala

keunggulan komparatifnya. Serta munculnya kekuatan-kekuatan ekonomi baru

termasuk dari kawasan Asia sendiri, yaitu adanya kelompok NAFTA, Eropa Timur dan

Cina, Negara-negara Industri Baru (NICs) yang terdiri dari: Korea Selatan, Hongkong,

Taiwan, dan Singapura. APEC dan AFTA yang salah satu anggotanya adalah

Indonesia.

Oleh karena itu strategi yang diambil oleh perusahaan harus mampu berkiprah di

persaingan global dalam kondisi pergeseran paradigma yang berubah. Situasi tersebut

yang wajib disadari dan perlu sikap proaktif. Dan untuk dapat eksis, maka perlu

memiliki visi dan misi serta strategi bersaing yang kokoh sehingga tidak akan

terombang-ambing atau tergilas oleh perubahan zaman. Kemudian strategi yang

diambil hendaknya mempertimbangkan emergence strategi, yaitu strategi alternatif

Page 93: ISSN: 1693-8275 JDINAMIKA - Universitas Islam Nahdlatul

95 Strategi Proaktif Dalam Menghadapi Pergeseran Paradigma

Pemasaran Global (Tinjauan Aspek Strategik)

Noor Arifin

untuk menghadapi kemungkinan yang mendadak dan berpengaruh negatif terhadap

bisnis perusahaan atau berpengaruh secara keseluruhan.

Proaktif dalam Mempertahankan Jati Diri

Pelaku ekonomi perlu mempertahankan jati diri perusahaan dan kemampuan

perusahaan. Ini berarti sedapat mungkin harus menciptakan struktur organisasi yang

kuat dan mapan, strategi bisnis dibuat dengan commitment bersama yang didukung

secara menyeluruh, serta menciptakan iklim budaya yang kondusif dan mendukung

perkembangan perusahaan. Konsep ini yang harus diterapkan bahwa perusahaan-

perusahaan nasional harus mulai menerapkan manajemen yang profesional sehingga

dapat mencapai sasaran yang ingin dicapai. Dengan tidak kehilangan jati diri dan

menerapkan manajemen modern dengan paradigma baru itu, perusahaan akan semakin

kokoh sehingga dapat lebih efektif dalam bersaing di era global mendatang, dengan

tetap mempunyai warna dan budaya tersendiri. Dengan meningkatkan kinerja yang

tinggi pimpinan perusahaan tetap dituntut untuk meningkatkan produktivitas yang

didukung dengan aturan-aturan yang ada sehingga akan lebih menambah cepatnya

dalam mencapai tujuan.

Hal yang lebih penting lagi adalah hindari sikap duplikasi atau meniru visi dan

misi dari perusahaan atau organisasi lain, yang mungkin tidak cocok dengan nilai dan

budaya perusahaan. Karena budaya ikut-ikutan tidak dapat berlaku lagi di zaman

kompetitif nantinya. Oleh karena itu perusahaan perlu memiliki arah yang jelas dan

mampu menentukan prioritas, ini dapat diterapkan jika jati diri perusahaan dan

organisasi kokoh dan tegar.

Proaktif Mengarahkan pada Kepuasan Pelanggan

Perlu kiranya diingat bahwa motto klasik yang masih segar dalam ingatan kita

dalam berdagang adalah “Pelanggan adalah Raja”. Dan ini masih dapat digunakan di

masa global yang akan datang. Pelaku bisnis yang senantiasa memperhatikan perilaku

pelanggan dan berusaha untuk memenuhi kebutuhan pelanggan sehingga pelanggan

akan merasakan puas terhadap produk yang dikonsumsi. Menurut konsep pemasaran

sekarang ini perusahaan hendaknya memfokuskan pada pelanggan lewat sarana

melakukan pemasaran secara terpadu yang tujuannya adalah untuk mendapatkan

keuntungan melalui kepuasan pelanggan. Ini sangat penting, karena sasaran pasar kita

adalah berupaya memberikan customer satisfaction atau kepuasan pada pelanggan.

Bagi perusahaan yang tidak dapat memperhatikan pelanggan dan pesaing, maka akan

ditinggalkan oleh konsumen dan beralih mencari produk lain yang ditawarkan oleh

pesaing.

Memberikan kepuasan kepada pelanggan bukanlah suatu aktivitas tunggal,

melainkan melibatkan berbagai rangkaian aktivitas dalam perusahaan yang mungkin

memerlukan perubahan seperti: restrukturisasi organisasional, perubahan kultur

perusahaan, penilaian kinerja, pelatihan manajemen, peningkatan ketrampilan antar

Page 94: ISSN: 1693-8275 JDINAMIKA - Universitas Islam Nahdlatul

JURNAL DINAMIKA EKONOMI & BISNIS Vol. 7 No. 1 Maret 2010 96

individu, perawatan pelanggan (customer care), total quality management, just in time

dan computer-based control systems (misalnya MRP2). Jadi memberikan kepuasan

kepada pelanggan merupakan proses yang sangat komplek. Memaksimumkan kepuasan

pelanggan dapat dilakukan dengan: memberikan produk yang kwalitasnya superior

(kwalitas tinggi pada setiap pengharapan keinginan pelanggan yang dipenuhinya dan

sesuai dengan syarat yang diminta), memberikan pelayanan yang berkualitas (misalnya:

layanan hantar ke rumah, layanan purna jual dll), dan melatih angkatan penjualan yang

proaktif yang semuanya akan menambah nilai bagi operasi-operasi pelanggan

perusahaan (Basu Swastha. 1997).

Di samping sebagai konsep dan filosofi, pemasaran adalah suatu perangkat

kegiatan (melalui 4 P ditambah riset) dan proses bisnis (memfokuskan sumber dan

tujuan organisasi pada peluang dalam lingkungan. Karena pemasaran dilandasi oleh tiga

prinsip yaitu : Nilai bagi pelanggan, keunggulan kompetitif, atau perbedaan (unik), dan

fokus (pelanggan melalui kualitas) (Keegen, 1992, dalam Basu Swsatha, 1997) .

Kesadaran akan pentingnya kualitas pada tingkat global dipacu oleh keberhasilan

penerapan Total Quality Management (TQM) dari perusahaan-perusahaan Jepang atau

disebut dengan istilah Kaizen. Dalam hal ini Kotler menyatakan bahwa “...pemusatan

perhatian terhadap kualitas selama 40 tahun telah mengubah Jepang dari pembuat

perhiasan kecil menjadi sebuah pusat perekonomian dunia dan memaksa perusahaan-

perusahaan AS dan Eropa untuk menanggapinya. Akibatnya sebuah revolusi global

sedang mempengaruhi setiap segi pasar bisnis”.

Selain itu faktor yang sangat penting yang perlu diperhatikan adalah pelayanan

yang berkualitas dan memuskan pelanggan perlu dilakukan terus-menerus, meskipun

terjadi komplain (pengaduan) yang diterima relatif rendah. Pengaduan dari konsumen

perlu segera diatasi sehingga pelanggan merasa selalu tetap diperhatikan hak

“kerajaannya” (ingat pepatah pembeli adalah raja). Sehingga kekesalan pelanggan

terhadap product yang ditawarkan tidak sempat diceritakan kepada pelanggan lain yang

berakibat menurunnya citra dan ketidakpercayaan pelanggan terhadap perusahaan.

Kunci sukses ini tidak hanya akan mempertahankan pelanggan akan tetapi justru akan

menciptakan pelanggan baru dan menciptakan pasar baru.

Sadar Berada pada Sistem Sosial

Perusahaan adalah milik masyarakat dan berada di tengah-tengah masyarakat

serta membutuhkan peran masyarakat sekitarnya. Apalagi bagi perusahaan yang Go

Public sudah pasti harus memperhatikan stakeholders yakni mereka yang menaruh

minat besar terhadap jalannya perusahaan atau disebut pemangku kepentingan. Dan

tidak hanya itu saja perusahaan harus memperhatikan pula faktor-faktor luar yang

secara langsung ataupun tidak ikut membantu dalam operasionalisasi perusahaan dalam

mencapai tujuannya. Mereka adalah pekerja itu sendiri, supplier (pemasok), pelanggan,

pers, pemerintah, lembaga-lembaga keuangan serta publik yang ada dalam masyarakat.

Dengan kata lain perusahaan tidak mungkin hidup sendiri melainkan merupakan

Page 95: ISSN: 1693-8275 JDINAMIKA - Universitas Islam Nahdlatul

97 Strategi Proaktif Dalam Menghadapi Pergeseran Paradigma

Pemasaran Global (Tinjauan Aspek Strategik)

Noor Arifin

pelaku dalam sistem sosial masyarakat yang ada dan bertanggung jawab terhadap

masyarakat sekitarnya. Yang penting bahwa perusahaan harus menjalin hubungan

timbal balik yang akrab, sehingga antara satu dengan yang lain terjadi hubungan yang

harmonis dengan iklim saling percaya dan mendukung.

Proaktif terhadap Pergeseran Paradigma Pemasaran

Paradigma adalah suatu cara pandang/berfikir bagaimana melihat dunia ini.

Paradigma tersebut menjelaskan kepada kita tentang dunia dan dapat membantu untuk

memprediksi perilakunya. Jadi, dengan paradigma tersebut diharapkan mampu

menciptakan sejumlah pengharapan tentang apa yang mungkin akan terjadi di dunia

berdasarkan sejumlah asumsi (Smith, 1975, Dalam Basu S. 1997). Pergeseran

paradigma dapat diartikan sebagai suatu “permainan” baru, sejumlah aturan baru.

Pergeseran paradigma pemasaran dapat disebutkan beberapa karakternya :

1. Dari mass marketing (pemasaran masal; artinya pemasaran memfokuskan pada

semua orang dianggap membutuhkan satu macam produk) ke target marketing

(pemasaran sasaran; artinya pemasaran memfokuskan pada kelompok

pelanggan sasaran yang lebih kecil, tidak bersifat masal) (Basu, S. 1997).

2. Dari mass marketing ke interactive marketing (pemasaran interaktif) yaitu

pemasaran yang menjalin hubungan dan komunikasi langsung dengan

pelanggan, dengan menggunakan media interaktif, televisi interaktif, basis data,

pusat-pusat panggilan, dan transmisi data elektronik (Molenaar, 1996, Dalam

Basu S., 1997), sehingga terjalin hubungan yang akrab dan dapat berlangsung

dalam jangka panjang.

3. Dari transaction marketing (pemasaran memfokuskan pada transaksi atau

pertukaran) ke relationship marketing (pemasaran yang menjalin hubungan

dengan pelanggan dalam jangka panjang/mempertahankan hubungan secara

berkesinambungan) (Basu,S 1997).

4. Menciptakan strategi menyerang dengan cara mengidentifikasi lawan,

mengetahui kelemahan lawan, dan menyerang sisi kelemahan lawan dari

persaingan sehingga akan dapat menguasai pasar atau membawa mayoritas

pelanggan keluar dari persaingan (Kotler, 1997).

5. Dari customer satisfaction (mengarahkan pada kepuasan pelanggan) ke lasting

customer enthusiasm (memfokuskan pemasaran pada aspek-aspek kognitif,

afektif, dan konatif dalam diri pelanggan, sehingga diharapkan terjadi

keakraban dengan pelanggan seperti halnya saudara).

6. Dari convention customer (pemasaran yang memfokuskan pada produk yang

belum ramah pada lingkungan) ke green customer (pemasaran yang

memfokuskan pada produk-produk yang hijau sehingga tidak berpengaruh pada

bumi dan lingkungan mis; produk tanpa aerosol dll. pada pelanggan) (Ottman,

1994, dalam Basu S., 1997).

Page 96: ISSN: 1693-8275 JDINAMIKA - Universitas Islam Nahdlatul

JURNAL DINAMIKA EKONOMI & BISNIS Vol. 7 No. 1 Maret 2010 98

7. Dari traditional marketing system (pemasaran yang mendasarkan program-

program pemasarannya pada apa yang telah mereka lakukan pada masa lalu) ke

customer engineering system (sistem yang terfokus pada pelanggan,

terintegrasi, dan didasarkan pada pengukuran yang dirancang untuk

meningkatkan efisiensi pemasaran melalui teknologi informasi, dengan

menempuh cara; menganalisis pelanggan, mengembangkan basis data yang

lengkap, menciptakan ancangan penjualan seperti direct selling (penjualan

langsung), periklanan via internet, telemarketing, pameran dagang, e-

commerce, dan merealisasikan tahapan-tahapan di atas dengan melakukan

pengukuran-pengukuran.

Proaktif Terhadap Kekuatan yang Membentuk Perekonomian Global

Perekonomian global terbentuk oleh adanya dorongan berbagai kekuatan

mencakup: Perubahan teknologi yang tercermin pada migrasi/transfer industri dari

negara maju ke negara sedang berkembang. Realokasi sumber-sumber dari industri

yang padat karya dan modal tradisional ke industri yang padat teknologi dan keahlian.

Tingkat inovasi yang semakin tinggi, menyangkut kecepatan, ketersediaan, dan

efektivitas biaya komunikasi internasional. Semuanya perlu diperhatikan dan

dipertimbangkan sebelum ikut terjun menjadi pelaku di pasar global di antara kekuatan-

kekuatan yang ada.

Analisis kompetitif harus dijadikan intinya rencana strategik. Untuk

memenangkan persaingan perlu menjaga posisi di pasar yang sudah eksis dengan

keahlian yang meliputi keunggulan perekayasaan atau keahlian teknik atau suatu

kemampuan untuk merespon perubahan secara cepat dan efektif. Dan sumber-sumber

unggul (superior) yang meliputi skala fasilitas manufaktur, lokasi, jaringan distribusi,

dan lain-lain. (Mazur and Hogg, 1993). Hamel dan Prahalad (1989) mengemukakan

bahwa ada 4 pendekatan sukses terhadap kompetitif inovasi negara Jepang dalam

membangun bisnis global, di mana manajemen barat berusaha menirunya, yaitu :

1. Membangun sumber bisnis baru yang menguntungkan melalui perbaikan

keahlian secara kontinyu dan sistem pembelajaran sesuatu yang baru.

2. Penekanan pada terobosan melalui analisis kebijaksanaan konvensional yang

ada di pasaran dan penemuan suatu dasar strategi “serangan” yaitu keluar dari

daerah “okupasi pemimpin-pemimpin industri”.

3. Mengubah peraturan permainan dengan menyesuaikan perkembangan yang

terjadi.

4. Bersaing melalui usaha kolaborasi/partnership.

Proaktif Mengembangkan Kerangka Kerja Strategi

Tujuan diciptakan suatu strategi adalah satu yaitu untuk meningkatkan

keuntungan, maka perlu kerangka kerja strategi yang fleksibel dan dinamis dalam

bersaing terhadap perubahan kebutuhan dan keinginan pasar dan pelanggan. Oleh

Page 97: ISSN: 1693-8275 JDINAMIKA - Universitas Islam Nahdlatul

99 Strategi Proaktif Dalam Menghadapi Pergeseran Paradigma

Pemasaran Global (Tinjauan Aspek Strategik)

Noor Arifin

karena itu ada beberapa prinsip yang perlu diikuti untuk mencapai tujuan tersebut:

1. Menyeleksi pasar yang tumbuh-berkembang (growing) dan menyeleksi pasar

untuk menumbuhkan perkembangan; kemudian kajilah masalah demografi,

sikap, dan gaya hidup pelanggan, serta teknologi.

2. Tujukan pada “market share”, bukan melalui harga atau produk tetapi melalui

orang.

3. Menerima orang dengan nilai yang benar serta melatih dan memotivasi mereka.

4. Usaha untuk meningkatkan pasar.

5. Menurunkan biaya melalui penggunaan teknologi informasi yang canggih dan

terpadu.

6. Hendaknya jangan “merasionalisasikan” produksi dan menyingkat waktu yang

ada, tetapi tingkatkan jalur informasi kepada pelanggan dan ciptakan nilai

tambah.

7. Laksanakan audit pemasaran untuk mengevaluasi penyimpangan yang ada dari

rencana semula dengan kenyataan sesungguhnya, dengan berbagai

pertimbangan-pertimbangan yang mendukung strategi pemasaran tersebut.

Dari faktor-faktor di atas itulah yang perlu dipahami dengan benar oleh pelaku

bisnis yang kemudian dilakukan antisipasi dan diupayakan bagaimana faktor-faktor

tersebut dapat dikendalikan dengan baik dan bisa dilaksanakan dengan mudah.

Pertama, Menyusun Strategi dan kemudian Struktur. Tantangan perusahaan

global adalah harus pandai menyusun strategi agar dapat mencapai sukses dalam

berbisnis. Strategi bisnis yang baik adalah strategi yang dapat menghasilkan

peningkatan “business results” seperti meningkatkan keuntungan (profit), pangsa pasar

yang berkembang, Return on investment yang memuaskan dan lain-lain. Setelah strategi

dirancang dengan cermat, baru dipikirkan wadah yang akan mendukung terciptanya

strategi tersebut. Disinilah pentingnya peranan struktur organisasi dan staf-stafnya

menjadi sangat menentukan. Jadi pola pikir bahwa menyusun strategi dahulu baru

kemudian struktur dibentuk merupakan pemikiran baru dalam paradigma baru yang

perlu diperhatikan oleh pelaku bisnis.

Kedua, dalam perancangan struktur organisasi ini ada faktor yang penting yaitu

bagaimana dalam mengambil keputusan perlu diberikan satu hak/wewenang kepada

organisasi bawahannya atau kebijakan yang diambil melalui pendekatan desentralisasi

artinya wewenang harus diberikan kepada organisasi dibawahnya dan memperkuat

organisasi di daerah tanpa harus kehilangan kendali dari pusat. Jadi perusahaan akan

dipecah dan dikelompokkan menjadi unit-unit yang lebih kecil sembari memberi

wewenang yang lebih besar. Sehingga akan lebih fleksibel, inovatif, cepat dan adaptif

terhadap perubahan yang terjadi.

Dengan kata lain perusahaan yang terlalu besar cenderung lamban, birokratis dan

kurang cepat merespon pasar, sebagai akibatnya prosentase laba yang dicapai jarang

bisa menyaingi perusahaan kecil maupun menengah. Maksud dari perubahan struktur di

atas adalah Perusahaan diupayakan tetap besar tetapi kecil, artinya perusahaan

Page 98: ISSN: 1693-8275 JDINAMIKA - Universitas Islam Nahdlatul

JURNAL DINAMIKA EKONOMI & BISNIS Vol. 7 No. 1 Maret 2010 100

mengkombinasikan sumber daya sebagai perusahaan besar dengan mencapai

kesederhanaan dan kegesitan seperti perusahaan kecil. Sehingga seolah-olah seperti

multi unit, di mana unit-unit yang dikembangkan ke arah pasar agar produk

distribusinya dapat berkembang serta dapat melayani pelanggan dengan baik. Pada

gilirannya akan dapat meraih peluang pasar yang optimal. Sumber daya yang ada dapat

difokuskan pada perubahan pasar untuk meningkatkan keunggulan (advantage) dan

menciptakan nilai (value) yang lebih berorientasi pada pelanggan.

Ketiga, Berupaya menjadikan SDM untuk berpandangan Global. Memahami

lebih jauh tentang SDM yang akan terpakai di era global dan pasar bebas 2020, maka

dibutuhkan beberapa persyaratan-persyaratan yang mutlak yang harus dimiliki SDM

kita yaitu :

1. Berpandangan Luas. Di abad 21 nanti pandangan yang luas yang akan

membedakan antara SDM yang dapat beradaptasi di masa yang akan datang,

dan SDM yang tertinggal dengan adanya perubahan zaman (resistance to

change). SDM tidak boleh berpandangan picik atau sempit tetapi harus mampu

berpandangan luas jauh ke depan dan memiliki cakrawala berfikir yang kreatif.

Implikasi dari pandangan yang luas ini dapat diartikan bahwa SDM harus

belajar mengerti “context” (latar belakang) untuk mendapatkan pengertian yang

benar tentang apa yang terjadi di sekitarnya. Akibatnya dia harus “berfikir

global dan bertindak lokal” terutama menghadapi persaingan bisnis yang

semakin ketat. Oleh karena itu SDM masa depan harus dibekali pengetahuan

yang luas dan mendapat kunci bagaimana cara untuk memenangkan persaingan

(Basu S, 1997).

2. Menemukan makna dalam Ketidakpastian. Menyongsong abad 21 para pelaku

bisnis perlu mengenal sesuatu waktu yang penuh dengan ketidakpastian dan

saat yang membingungkan serta dapat menerima berbagai kontradiksi atau

paradoks. Untuk itu pelaku bisnis tidak perlu terkejut dan harus menerima

kenyataan yang terjadi. Untuk dapat menerima dan mengelola kontradiksi yang

terjadi maka kita harus dapat menerima pendapat dari orang lain yang lebih

bisa merancang konsep-konsep yang dapat meningkatkan kemampuan dalam

bersaing (pesaing). Hal yang patut direnungi untuk dapat hidup dalam

ketidakpastian ini adalah High Trust Culture. Komposisi pekerja di tahun 2000

dan seterusnya akan berbeda dengan komposisi pekerja saat ini. Dapat

dipastikan bahwa abad 21 mendatang para pekerja Indonesia akan banyak

berhubungan dan bekerja sama dengan pekerja asing yang memiliki latar

belakang dan budaya yang berbeda. Oleh karena itu Sumber daya pekerja

Indonesia mendatang diharapkan lebih sensitif terhadap perbedaan-perbedaan

ini, sehingga mereka bisa bekerja bersama sebagai satu kelompok yang baik.

Jangan perbedaannya yang dibesar-besarkan tetapi patut dipelajari bagaimana

menjembatani perbedaan ini sehingga kesatuan tujuan dapat tercapai dengan

Page 99: ISSN: 1693-8275 JDINAMIKA - Universitas Islam Nahdlatul

101 Strategi Proaktif Dalam Menghadapi Pergeseran Paradigma

Pemasaran Global (Tinjauan Aspek Strategik)

Noor Arifin

baik. Karena bangsa Indonesia sudah terbiasa menghadapi berbagai

keanekaragaman budaya dan suku serta agama yang diakui di Indonesia.

Proaktif memahami Dimensi Legal

Jika perusahaan ingin masuk ke pasar global, maka dimensi legal atau peraturan-

peraturan yang berlaku yang berhubungan dengan perkembangan hukum internasional

dalam kaitannya dengan pemasaran global perlu difahami terlebih dahulu. Atau jika

perlu, bisa mengambil bantuan hukum (lawyer, misalnya) karena begitu rumitnya

aturan-aturan yang mengatur hukum bangsa-bangsa sejagat itu. Misalnya hal yang

berhubungan dengan pendirian bisnis di suatu negara, apakah ada perbedaan antara

pemasaran domestik dan global, kemudian mengenai hak paten dan aturan brand, aturan

pajak, dan kontrak perjanjian-perjanjian dagang. Atau hal-hal informal yang perlu

dipertimbangkan misalnya adanya pemberian komisi, suap, hukum antitrust. Atau salah

satu yang berpengaruh terpenting pada urusan bisnis berhubungan dengan tindakan dari

badan-badan yang mengatur hal-hal seperti pengendalian harga, pengkajian ekspor dan

impor, praktik perdagangan, memberi label, sampai pada iklan, dan lain sebagainya.

Kesimpulan

Persaingan global telah menciptakan peluang dan tantangan bagi perusahaan

yang ingin berperan dengan posisi yang kuat. Arena persaingan tidak hanya terjadi di

luar negeri, tetapi juga terjadi di dalam negeri. Oleh karena itu perlu kiranya persiapan

yang menyeluruh baik dari sumber daya, sumber dana, teknologi, struktur, dan

pendukungnya sehingga tetap dapat mempertahankan jati dirinya, visi dan misinya,

sadar akan pada lingkungan global dengan berbagai sifat dan kultur yang beragam,

maka perlu strategi yang bersifat mikro dan makro. Kemudian sikap proaktif dari

respon perubahan yang bersifat global, maka perlu memahami kiat-kiat khusus

mengenai persaingan global, aspek dimensi legal/hukum, yang bersifat global, serta

kekuatan-kekuatan yang mempengaruhi pasar dunia, sehingga dapat mencapai sasaran

yang diinginkan.

Daftar Pustaka

Basu Swastha Dharmmesta, 1997, “Meningkatkan Daya Saing Perusahaan Dalam Era

Persaingan Global”, Majalah Kelola, No. 16/VII/1997-MM-UGM Yogyakarta.

Basu Swastha Dharmmesta, 1997, “Pergeseran Paradigma Dalam Pemasaran”, Majalah

Kelola No. 15/VI/1997-MM-UGM Yogyakarta.

Hermawan Kertajaya, 1994, “Marketing Plus-2”, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.

Jemsly Hutabarat, 1997, “Visi Kualitas Jasa “Membahagiakan Pelanggan” Kunci

Sukses Bisnis Jasa”, Majalah Manajemen Usahawan Indonesia Edisi No.

05/TH.XXVI Mei 1997.

Page 100: ISSN: 1693-8275 JDINAMIKA - Universitas Islam Nahdlatul

JURNAL DINAMIKA EKONOMI & BISNIS Vol. 7 No. 1 Maret 2010 102

Kenichi Ohmae, 1991, Dunia Tanpa Batas Kekuatan Strategi di Dalam Ekonomi yang

Saling Mengait, Alih Bahasa Drs.F.X. Budiyanto, Binarupa Aksara, Jakarta.

Laura Mazur dan Annik Hogg, 1993, Marketing Challenge, Addison-Wesley

Publishing Company.

Michael E. Porter, 1995, Strategi Bersaing Teknik Menganalisis Industri dan Pesaing

terjemahan Agus Maulana, Penerbit Airlangga, Jakarta.

Philip Kotler, 2004, Manajemen Pemasaran, Analisis, Perencanaan dan Pengendalian,

Penerbit Erlangga, Jakarta.

Warren J. Keegen, 2008, Global Marketing Management, Fourth Edition, Prentice-Hall,

Inc.