Upload
others
View
3
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
JURNAL
DINAMIKAEKONOMI & BISNIS
SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI NAHDLATUL ULAMA
Vol. 7 No. 1 Maret 2010 ISSN: 1693-8275
Manajemen Laba dalam Tinjauan Etika Bisnis IslamAhmad Yusuf Marzuqi, Achmad Badarudin Latif
Analisis Faktor-Faktor yang Berpengaruh terhadap Tindakan Perataan Laba pada Perusahaan Manufaktur di BEIIis Setyaningsih, Ichwan Marisan
Ulama dalam Menghadapi Perkembangan EkonomiNoor Rohman Fauzan
Sistem Perbankan Islam dan Perkembangannya di Indonesia Dwi Agung Nugroho Arianto
Pengaruh Partisipasi Anggaran Terhadap Kinerja Manajerial dengan Komitmen Organisasi sebagai Variabel ModeratingNichlah Hidayah, Fitri Ella Fauziah
Spiritualitas dalam Perilaku OrganisasiHasan
Strategi Proaktif dalam Menghadapi Pergeseran ParadigmaPemasaran Global (Tinjauan Aspek Strategik)Noor Arifin
1 - 22
23 - 35
37 - 45
47 - 56
57 - 79
81 - 92
93 - 102
1 Manajemen Laba dalam Tinjauan Etika Bisnis Islam
Ahmad Yusuf Marzuqi
Achmad Badarudin Latif
MANAJEMEN LABA DALAM TINJAUAN ETIKA
BISNIS ISLAM
Ahmad Yusuf Marzuqi
Achmad Badarudin Latif1)
Program Studi Akuntansi STIENU Jepara, Jl. Taman Siswa Pekeng Tahunan Jepara
Email: 1)
Abstract
The financial statements have enormous benefits for the users, so it formed a rule
in the financial reporting process is called Generally Accepted Accounting Principles
(GAAP). The goal is to uniform financial reporting process and financial reports on
any business entity that exists in a country, so as to facilitate the auditing process for
fairness in reporting. Although these rules have limitations that will be used by
corporate managers in conducting earnings management whether done legally or not.
This study will discuss the management of earnings reviewed from an ethical standpoint
of Islam with the aim to present the views of Islamic ethics of earnings management.
Design research studies using descriptive references/ literature with reference to the
references to Islam, Islamic business, and matters relating to the earnings management
and business ethics of Islam.
Keywords: Islam, Business Ethics, earning management
Abstrak
Laporan keuangan mempunyai manfaat yang sangat besar bagi para
pemakainya, sehingga dibentuk sebuah aturan dalam proses pelaporan keuangan
tersebut yang disebut dengan Prinsip Akuntansi Berterima Umum (PABU). Tujuannya
adalah untuk menyeragamkan proses pelaporan keuangan dan laporan keuangan pada
setiap entitas bisnis yang ada dalam sebuah negara, sehingga dapat mempermudah
proses pengauditan atas kewajaran dalam pelaporannya. Meskipun aturan tersebut
memiliki keterbatasan-keterbatasan yang akan dimanfaatkan oleh para manajer
perusahaan dalam melakukan manajemen laba baik yang dilakukan secara legal
maupun tidak. Penelitian ini akan membahas manajemen laba (earnings management)
ditinjau dari sudut pandang etika Islam dengan tujuan untuk memaparkan pandangan
etika Islam mengenai manajemen laba. Desain penelitian menggunakan metode telaah
referensi deskriptif/ literatur dengan mengacu pada referensi-referensi mengenai Islam,
bisnis Islam, dan hal-hal yang berkaitan tentang manajemen laba dan etika bisnis
Islam.
Kata kunci: Islam, Etika Bisnis, managemen laba
JURNAL DINAMIKA EKONOMI & BISNIS Vol. 7 No. 1 Maret 2010 2
Pendahuluan
Informasi laba dalam praktiknya dapat mempengaruhi perilaku para pemakai
informasi laporan keuangan, khususnya pihak investor dan kreditor. Informasi laba ini
dibutuhkan oleh investor dan kreditor sebagai dasar keputusan terhadap tingkat
pengembalian modal yang mereka investasikan. Karena besarnya manfaat yang
diberikan oleh laporan keuangan inilah, maka dibentuk sebuah aturan dalam proses
pelaporan keuangan yang disebut dengan Prinsip Akuntansi Berterima Umum (PABU)
atau Generally Accepted Accounting Principles (GAAP). PABU adalah rerangka
pedoman yang terdiri atas standar akuntansi dan sumber-sumber lain yang didukung
berlakunya praktik akuntansi secara resmi (yuridis), teoritis, dan praktis.
Tujuan dibentuknya PABU sebagai aturan dalam pelaporan keuangan adalah
untuk menyeragamkan proses pelaporan keuangan, berikut hasilnya berupa laporan
keuangan pada setiap entitas bisnis yang ada dalam sebuah negara, sehingga dapat
mempermudah dalam proses pengauditan (auditing) atas kewajaran dalam
pelaporannya. Tujuan lainnya adalah untuk mengukur tingkat keterbandingan
(comparability) antara laporan keuangan entitas bisnis yang satu dengan lainnya,
sehingga akan memperlihatkan keterbandingan tingkat kinerja keuangannya.
Penerapan PABU oleh setiap entitas bisnis, maka diharapkan laporan keuangan
yang dihasilkan nantinya memiliki kualitas yang tinggi. Kualitas laporan keuangan
yang tinggi dapat dilihat dari karakteristik-karakteristik kualitatif yang mendukungnya.
Ikatan Akuntan Indonesia (2002) menyatakan bahwa terdapat empat karakteristik
kualitatif pokok laporan keuangan, yaitu dapat dipahami, relevan, keandalan, dan dapat
diperbandingkan. Dalam tataran normatif, PABU memang dapat memberikan jaminan
atas kualitas laporan keuangan yang diterbitkan oleh entitas bisnis. Tetapi dalam tataran
praktis, Standar Akuntansi (sebagai salah satu aspek dari PABU) memiliki
keterbatasan-keterbatasan yang dapat menjadikan laporan keuangan menjadi kurang
andal (reliable).
Keterbatasan laporan keuangan, pada praktiknya menimbulkan aktivitas
manajemen laba oleh pihak manajemen perusahaan terhadap laporan keuangannya.
Manajemen laba adalah tindakan yang ditujukan untuk memaksimumkan utilitas
manajer dan cenderung untuk menguntungkan diri mereka (manajer) sendiri dengan
cara mempengaruhi proses pelaporan keuangan. Praktik yang dilakukan untuk
mempengaruhi angka laba dapat terjadi secara legal maupun tidak legal.
Persoalan manajemen laba sebetulnya bukan hal yang baru dalam praktik
pelaporan keuangan pada suatu entitas bisnis. Tekanan untuk membuat keuntungan ini
kerap terasa dampaknya pada perolehan pendapatan (income) bagi manajemen,
sehingga manajemen melakukan manajemen laba untuk mempengaruhi angka laba
yang menyebabkan terjadinya penurunan kualitas laporan keuangan perusahaan
bersangkutan (Widarto, 2004: 34).
Penurunan kualitas laporan keuangan merupakan dampak utama yang
diakibatkan dari adanya manajemen laba, di samping dampak-dampak lainnya.
3 Manajemen Laba dalam Tinjauan Etika Bisnis Islam
Ahmad Yusuf Marzuqi
Achmad Badarudin Latif
Suwardjono menyatakan bahwa kemajuan dan reputasi suatu perusahaan harus
ditunjukkan dengan kinerja yang sebenarnya bukan semata-mata dengan permainan
angka-angka. Untuk mengatasi fluktuasi laba tahunan, cara terbaik adalah menerbitkan
serangkaian laporan laba rugi tahunan seperti apa adanya dan bukan serangkaian
laporan yang diratakan (manajemen laba).
Penelitian ini membahas manajemen laba (earnings management) ditinjau dari
sudut pandang etika Islam dengan tujuan untuk memaparkan pandangan etika Islam
mengenai manajemen laba. Perspektif etika terhadap suatu tindakan atau aktivitas bisnis
sangat penting, karena etika bisnis dapat digunakan sebagai cara untuk menyelaraskan
kepentingan strategis suatu bisnis atau perusahaan dengan tuntutan moralitas
(Muhammad, 2004: 60). Etika bisnis juga dapat melakukan perubahan kesadaran
masyarakat tentang bisnis dengan memberikan suatu pemahaman atau cara pandang
baru, yakni bisnis tidak terpisah dari etika (Muhammad, 2004: 61).
Etika bisnis dalam kaitannya dengan ajaran Islam, berarti sebuah pemikiran atau
refleksi tentang moralitas yang membatasi kerangka acuannya kepada konsepsi sebuah
organisasi dalam ekonomi dan bisnis yang didasarkan atas ajaran Islam. Etika bisnis
Islam mengatur tentang sesuatu yang baik atau buruk, wajar atau tidak wajar, atau
diperbolehkan atau tidaknya perilaku manusia dalam aktivitas bisnis baik dalam
lingkup individu maupun organisasi yang didasarkan atas ajaran Islam. Dalam hal ini,
penelitian ini akan berusaha melihat aspek moralitas/normatif dari manajemen laba,
yaitu apakah manajemen laba merupakan sebuah tindakan yang baik atau buruk, wajar
atau tidak wajar, atau diperbolehkan atau dilarang menurut ajaran Islam.
Berdasarkan uraian yang dikemukakan, pertanyaan penelitian yang diajukan
adalah: Bagaimana manajemen laba (earnings management) menurut tinjauan etika
Islam? Manfaat yang diharapkan dapat diperoleh adalah: memberikan masukan dan
wawasan bagi akademisi akuntansi dalam pengembangan kajian tentang manajemen
laba dalam kaitannya dengan etika bisnis Islam; menambah kepedulian masyarakat
terhadap penerapan etika pada akuntansi khususnya manajemen laba.
Tinjauan Pustaka
Etika Bisnis Islam
Definisi etika secara terminologis adalah studi sistematis tentang tabiat konsep
nilai, baik, buruk, harus, benar, salah, dan lain sebagainya dan prinsip-prinsip umum
yang membenarkan untuk mengaplikasikannya. Disini etika dapat dimaknai sebagai
dasar moralitas seseorang dan disaat bersama juga sebagai filsufnya dalam berperilaku.
Etika bagi seseorang terwujud dalam kesadaran moral yang memuat keyakinan
“benar dan tidak” atas sesuatu hal. Perasaan yang muncul bahwa ia akan salah bila
melakukan sesuatu yang diyakininya tidak benar berangkat dari norma-norma moral
dan perasaan menghargai diri bila ia meninggalkannya. Tindakan yang diambil harus
dipertanggungjawabkan pada diri sendiri. Begitu juga dengan sikapnya terhadap orang
lain bila pekerjaan tersebut mengganggu atau sebaliknya mendapatkan pujian.
JURNAL DINAMIKA EKONOMI & BISNIS Vol. 7 No. 1 Maret 2010 4
Etika bisnis sebagai seperangkat nilai tentang baik, buruk, benar, dan salah dalam
dunia bisnis berdasarkan pada prinsip-prinsip moralitas. Dalam arti lain, etika bisnis
berarti seperangkat prinsip dan norma yang mana para pelaku bisnis harus
menjunjungnya dalam bertransaksi, berperilaku, dan berelasi guna mencapai tujuan-
tujuan bisnis dengan selamat.
Etika dalam pemikiran Islam dimasukkan dalam filsafat praktis bersama politik
dan ekonomi. Berbicara tentang bagaimana seharusnya etika vs moral. Moral sama
dengan nilai baik dan buruk dari setiap perbuatan manusia, etika sama dengan ilmu
yang mempelajari tentang baik dan buruk. Dalam disiplin filsafat, etika sering
disamakan dengan filsafat moral. Teori etika Islam pasti bersumber dari prinsip
keagamaan. Teori etika yang bersumber keagamaan tidak akan kehilangan substansi
teorinya. Keimanan menentukan perbuatan, keyakinan menentukan perilaku.
Perspektif metafisika intinya tidak berbeda dengan perspektif agama. Substansi
utama penyelidikan tentang etika dalam Islam antara lain:
1. Hakikat benar dan salah.
2. Masalah free will dan hubungannya dengan kemahakuasaan Tuhan-tanggung
jawab manusia.
3. Keadilan Tuhan dan realitas keadilan-Nya di hari kemudian.
Berbagai teori etika barat dapat dilihat dari sudut Islam sebagai berikut: theology-
utilitarian dalam Islam: “hak individu dan kelompok penting” dan “tanggung jawab
adalah perorangan”.
Etika Islam memiliki aksioma-aksioma, yaitu:
1. Unity (persatuan): konsep tauhid, aspek sosial ekonomi dan politik dan alam,
semuanya milik Allah, dimensi vertikal, hindari diskriminasi di segala aspek,
hindari kegiatan yang tidak etis.
2. Equilibrium (keseimbangan); konsep adil, dimensi horizontal, jujur dalam
bertransaksi, tidak merugikan dan tidak dirugikan.
3. Free will (kehendak bebas): kebebasan melakukan kontrak namun menolak
laizez fire, karena nafsu amarah cenderung mendorong pelanggaran sistem
responsibility (tanggung jawab), manusia harus bertanggung jawab atas
pebuatannya.
4. Benevolence (manfaat/kebaikan hati); ihsan atau perbuatan harus yang
bermanfaat.
Etika baik atau akhlaq mulia itu tidak didapat dan terbentuk dengan sendirinya,
tetapi ada faktor-faktor lain selain faktor ibadah diatas seperti yang dikemukakan oleh
ahli etika bisnis Islam dari Amerika, Rafiq Issa Beekun, bahwa perilaku etika individu
dapat dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu :
1. Interpretasi terhadap hukum
Hukum akan hidup dan diyakini keberadaannya apabila dirasakan ada
manfaatnya bagi manusia. Ketika hukum tersebut bertentangan dengan
kepentingan manusia maka ia dapat membahayakan eksistensinya dan tidak akan
5 Manajemen Laba dalam Tinjauan Etika Bisnis Islam
Ahmad Yusuf Marzuqi
Achmad Badarudin Latif
ditaati. Interpretasi terhadap suatu hukum akan cenderung didasari oleh standar
nilai.
2. Faktor organisasional
Tanpa adanya masyarakat kepribadian seseorang individu tidak akan dapat
berkembang. Demikian pula halnya dengan aspek moral, nilai-nilai moral yang
dimiliki lebih merupakan sesuatu yang diperoleh dari luar (lingkungan) ia akan
merekam setiap aktivitas yang terjadi di lingkungan yang lambat laun akan pola
tingkah laku bagi kehidupannya dimasa yang akan datang.
3. Faktor individu dan situasi
Hal-hal yang masuk ke dalam kategori faktor individu antara lain: pengalaman
batin seseorang yang juga merupakan faktor bagi terbentuknya perilaku etik bagi
seseorang. Faktor situasi memberikan kontribusi yang cukup besar bagi
terbentuknya perilaku etika seseorang.
Secara sederhana mempelajari etika dalam bisnis berarti mempelajari tentang
mana yang baik/buruk, benar/salah dalam dunia bisnis berdasarkan kepada prinsip-
prinsip moralitas. Kajian etika bisnis terkadang merujuk kepada management ethics
atau organizational ethics. Etika bisnis dapat berarti pemikiran atau refleksi tentang
moralitas dalam ekonomi dan bisnis.
Penggabungan etika dan bisnis dapat berarti melaksanakan norma-norma agama
bagi dunia bisnis. Bisnis yang beretika adalah bisnis yang memiliki komitmen
ketulusan dalam menjaga kontrak sosial yang sudah berjalan. Kontrak sosial merupakan
janji yang harus ditepati.
Moralitas disini, sebagaimana disinggung diatas berarti: aspek baik/buruk,
terpuji/tercela, benar/salah, wajar/tidak wajar, pantas/tidak pantas dari perilaku
manusia. Kemudian dalam kajian etika bisnis Islam susunan adjective di atas ditambah
dengan halal-haram, sebagaimana yang disinyalir oleh Husein Sahatah, di mana beliau
memaparkan sejumlah perilaku etis bisnis (akhlaqul al Islamiah) yang dibungkus
dengan dhawabith syariah (batasan syariah) atau general guideline menurut Rafik Issa
Beekun.
Bisnis Islami ialah serangkaian aktivitas bisnis dalam berbagai bentuk yang tidak
dibatasi jumlah kepemilikannya (barang/jasa) termasuk profitnya, namun dibatasi
dalam cara memperolehnya dan pendayagunaan hartanya karena aturan halal dan
haram. Sebagaimana firman Allah SWT dalam surah Al-Baqarah (2) ayat 188:
“Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara
kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan)
harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian daripada
harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu
Mengetahui.”
JURNAL DINAMIKA EKONOMI & BISNIS Vol. 7 No. 1 Maret 2010 6
Manajemen Laba
Para manajer memiliki fleksibilitas untuk memilih diantara beberapa cara
alternatif dalam mencatat transaksi sekaligus memilih opsi-opsi yang ada dalam
perlakuan akuntansi yang sama. Fleksibilitas ini yang dimaksudkan untuk
memungkinkan para manajer mampu beradaptasi terhadap berbagai situasi ekonomi
dan menggambarkan konsekuensi ekonomi yang sebenarnya dari transaksi tersebut,
dapat juga digunakan untuk mempengaruhi tingkat pendapatan pada suatu waktu
tertentu dengan tujuan untuk memberi keuntungan bagi manajemen dan para pemangku
kepentingan (stakeholder). Ini adalah esensi dari manajemen laba, yaitu suatu
kemampuan untuk “memanipulasi” pilihan-pilihan yang tersedia dan mengambil
pilihan yang tepat untuk dapat mencapai tingkat laba yang diharapkan.
Schipper melihat manajemen laba sebagai suatu intervensi yang disengaja pada
proses pelaporan eksternal dengan maksud untuk mendapat beberapa keuntungan
pribadi. Healy dan Wahlen (1999) menyatakan bahwa manajemen laba terjadi ketika
manajer menggunakan judgment dalam pelaporan keuangan dan penyusunan transaksi
untuk merubah laporan keuangan, sehingga menyesatkan stakeholder tentang kinerja
ekonomi perusahaan atau untuk mempengaruhi hasil yang berhubungan dengan kontrak
yang tergantung pada angka akuntansi yang dilaporkan. Manajemen laba merupakan
pemilihan kebijakan akuntansi untuk mencapai tujuan khusus (Scott, 2000).
Healy dan Wahlen (1999) membagi motivasi yang mendasari manajemen laba
kedalam tiga kelompok: pertama motivasi dari pasar modal yang ditunjukkan dengan
return saham, kedua motivasi kontrak yang dapat berupa kontrak hutang (Sweeney,
1994) dan kontrak kompensasi manajemen (Holthausen dkk, 1995), ketiga motivasi
regulatory seperti yang dikemukakan Jones (1991), Naim dan Hartono (1996).
Manajemen laba terjadi ketika para manajer menggunakan pertimbangan mereka
dalam pelaporan keuangan dan struktur transaksi untuk mengubah laporan keuangan
dengan tujuan menyesatkan beberapa pemangku kepentingan mengenai kondisi kinerja
ekonomi perusahaan atau untuk mempengaruhi hasil-hasil kontraktual yang bergantung
pada angka-angka akuntansi yang dilaporkan.
Definisi yang dikemukakan oleh Healy dan Wahlen diatas berfokus pada
penerapan pertimbangan dalam laporan keuangan (a) untuk menyesatkan para
pemangku kepentingan yang tidak ataupun tidak bisa melakukan manajemen laba dan
(b) untuk membuat laporan keuangan menjadi lebih informatif bagi para penggunanya.
Oleh karenanya, terdapat sisi baik maupun buruk dari manajemen laba; (a) sisi
buruknya adalah biaya yang diciptakan oleh kesalahan alokasi dari sumber-sumber
daya dan (b) sisi baiknya adalah potensi peningkatan kredibilitas manajemen dalam
mengkomunikasikan informasi pribadi kepada pemangku kepentingan eksternal, dan
memperbaiki keputusan dalam alokasi sumber-sumber daya.
Menurut Ayres (1994: 27-29) terdapat unsur-unsur laporan keuangan yang dapat
dijadikan sasaran untuk dilakukan manajemen laba yaitu:
7 Manajemen Laba dalam Tinjauan Etika Bisnis Islam
Ahmad Yusuf Marzuqi
Achmad Badarudin Latif
1. Kebijakan Akuntansi
Keputusan manajer untuk menerapkan suatu kebijakan akuntansi yang wajib
diterapkan oleh suatu perusahaan, yaitu antara menerapkan akuntansi lebih awal
dari waktu yang ditetapkan atau menundanya sampai saat berlakunya kebijakan
tersebut.
2. Pendapatan
Dengan mempercepat atau menunda pengakuan akan pendapatan.
3. Biaya
Menganggap sebagai ongkos (beban biaya) atau menganggap sebagai suatu
tambahan investasi atas suatu biaya (amortize or capitalize of investment).
Alasan dilakukan manajemen laba karena :
1. Manajemen laba dapat meningkatkan kepercayaan pemegang saham terhadap
manajer. Manajemen laba berhubungan erat dengan tingkat perolehan laba atau
prestasi usaha suatu organisasi, hal ini karena tingkat keuntungan atau laba
dikaitkan dengan prestasi manajemen dan juga besar kecilnya bonus yang akan
diterima oleh manajer.
2. Manajemen laba dapat memperbaiki hubungan dengan pihak kreditor.
Perusahaan yang terancam default yaitu tidak dapat memenuhi kewajiban
pembayaran utang pada waktunya, perusahaan berusaha menghindarinya dengan
membuat kebijakan yang dapat meningkatkan pendapatan maupun laba. Dengan
demikian akan memberi posisi bargaining yang relatif baik dalam negosiasi atau
penjadwalan ulang utang antara pihak kreditur dengan perusahaan.
Menurut Ayres (1994: 27-29) manajemen laba dapat dilakukan oleh manajer
dengan cara-cara sebagai berikut:
1. Manajer dapat menentukan kapan waktu akan melakukan manajemen laba
melalui kebijakannya. Hal ini biasanya dikaitkan dengan segala aktivitas yang
dapat mempengaruhi aliran kas dan juga keuntungan yang secara pribadi
merupakan wewenang dari para manajer.
2. Keputusan manajer untuk menerapkan suatu kebijakan akuntansi yang wajib
diterapkan oleh suatu perusahaan. Yaitu antara menerapkan lebih awal atau
menunda sampai saat berlakunya kebijakan tersebut.
3. Upaya manajer untuk mengganti atau merubah suatu metode akuntansi tertentu
dari sekian banyak metode yang dapat dipilih yang tersedia dan diakui oleh
badan akuntansi yang ada (GAAP).
Faktor-faktor yang diajukan oleh Watt dan Zimmerman sebagaimana dikutip
oleh Sugiri (1998: 1-18):
1. Hipotesis Bonus Plan ( Hipotesis program bonus)
Bahwa pada perusahaan dengan bonus plan cenderung untuk menggunakan
metode akuntansi yang akan meningkatkan income saat ini.
2. Debt To Equity Hypothesis (Hipotesis perjanjian utang)
Bahwa pada perusahaan yang mempunyai rasio debt to equity besar maka
JURNAL DINAMIKA EKONOMI & BISNIS Vol. 7 No. 1 Maret 2010 8
manajer perusahaan tersebut cenderung menggunakan metode akuntansi yang
akan meningkatkan pendapatan atau laba.
3. Political Cost Hypothesis (Hipotesis biaya politik)
Bahwa pada perusahaan yang besar, yang kegiatan operasinya menyentuh
sebagian besar masyarakat akan cenderung untuk mengurangi laba yang
dilaporkan.
Walaupun didasari oleh motivasi dan kepentingan tertentu, Djakman (2003: 145)
menyatakan bahwa manajemen laba yang dilakukan melalui manajemen akrual tidak
sama dengan manipulasi laba. Earnings management dilakukan untuk memenuhi
kepentingan manajemen dengan memanfaatkan kelemahan inheren dari kebijakan
akuntansi akrual dan masih berada dalam koridor prinsip akuntansi berterima umum.
Sedangkan, earnings manipulation merupakan tindak pelanggaran terhadap prinsip
akuntansi berterima umum untuk menghasilkan kinerja keuangan perusahaan sesuai
kepentingan manajer atau perusahaan (Djakman 2003: 145). Pernyataan Djakman
(2003: 145) tersebut konsisten dengan Schroeder dan Clark (1998: 248) yang
menyatakan bahwa apabila manajemen laba dilakukan atas dasar pertimbangan-
pertimbangan manajerial yang sehat atau melalui pemilihan metode dan prosedur
akuntansi dalam batas-batas yang diperbolehkan oleh standar akuntansi, manajemen
laba bukanlah suatu tindak kecurangan (fraud), meskipun manajemen laba dengan cara-
cara tersebut dapat mempengaruhi keputusan stakeholders.
Namun, tidak tertutup kemungkinan bahwa praktik manajemen laba dapat
mengarah menjadi suatu tindak kecurangan (fraud). Manajemen laba dilakukan dengan
cara yang salah, di mana manajer secara sengaja menerapkan metode estimasi yang
tidak masuk akal, serta memilih metoda-metoda akuntansi dan pelaporan keuangan
yang tidak tepat, sehingga laporan keuangan tidak merefleksikan posisi ekonomik
perusahaan yang sebenarnya. Tujuan kecurangan dari manajemen laba semacam ini
tidak lain adalah mengelabui (mislead) para stakeholder atau sekelompok stakeholders
(Healy dan Wahlen 1999: 368).
Dalam konteks definisi yang diberikan oleh Fischer dan Rosenzweig (1994: 436),
praktik manajemen laba hanyalah upaya ”mempermainkan” angka laba di atas kertas,
dan tidak menimbulkan kerugian materi bagi siapa pun. Permainan angka laba di atas
kertas ini dilakukan oleh manajer dengan memanfaatkan fleksibilitas standar akuntansi
yang tersedia. Hal ini dimungkinkan karena standar akuntansi cukup memberikan
peluang kepada manajer untuk mencatat fakta tertentu dengan cara yang berbeda, serta
peluang untuk menggunakan subjektivitas dalam melakukan estimasi akuntansi
(Worthy, 1984: 52).
Seperti telah disebutkan di muka, Djakman (2003) menyatakan bahwa
manajemen laba yang dilakukan melalui manajemen akrual tidak sama dengan
manipulasi laba. Manajemen laba dilakukan dengan memanfaatkan kelemahan inheren
dari kebijakan akuntansi akrual dan masih berada dalam koridor prinsip akuntansi
berterima umum.
9 Manajemen Laba dalam Tinjauan Etika Bisnis Islam
Ahmad Yusuf Marzuqi
Achmad Badarudin Latif
Sedangkan manipulasi laba merupakan tindak pelanggaran terhadap prinsip
akuntansi berterima umum untuk menghasilkan kinerja keuangan perusahaan sesuai
kepentingan manajer atau perusahaan (lihat juga Schroeder dan Clark 1998: 248).
Akuntan pendidik, akuntan manajemen dan akuntan publik sependapat dengan
pandangan Djakman (2003) serta Schroeder dan Clark (1998) ini.
Berikut ini adalah komentar mereka: Sepanjang dilakukan tanpa melanggar
standar akuntansi keuangan, praktik manajemen laba adalah sah. Manajer dan akuntan
tidak dapat disalahkan, karena manajemen laba dengan cara seperti itu bukan perbuatan
curang. Tetapi, manajemen laba akan berubah menjadi perbuatan curang jika ada
kesengajaan manajer atau akuntan melanggar standar akuntansi, misalnya dalam bentuk
manipulasi data, perhitungan dan pelaporan.
Manajemen laba melalui manajemen akrual pada dasarnya hanya mempengaruhi
angka laba di atas kertas dengan memanfaatkan aturan akuntansi yang fleksibel. Kalau
semuanya dilakukan tanpa melanggar aturan akuntansi, apa yang salah dengan
manajemen laba? Memilih teknik akuntansi yang cocok adalah hak asasi manajemen,
sementara aturan akuntansi memang mengijinkannya.
Pemilihan metode akuntansi untuk mempengaruhi angka laba jelas bukan tindak
kecurangan, sehingga praktik manajemen laba dengan cara ini boleh-boleh saja
dilakukan. Jangankan cuma sekadar memilih metoda akuntansi, menggeser terjadinya
transaksi yang berdampak pada penghasilan dan biaya saja bukan merupakan suatu
pelanggaran, asalkan pencatatan dan pelaporannya konsisten dan tidak melanggar
standar akuntansi.
Dengan melakukan manajemen akrual dalam batas-batas yang diperbolehkan
oleh standar akuntansi, kinerja perusahaan hanya terpengaruh dalam jangka pendek,
sedangkan dalam jangka panjang kinerja perusahaan yang tercermin dalam angka laba
adalah sama seperti jika seandainya angka laba tidak dipengaruhi.
Pandangan para akuntan di atas menunjukkan bahwa dalam perspektif akuntan,
praktik manajemen laba bukanlah tindak kecurangan (perilaku koruptif) sepanjang
dilakukan dalam koridor standar akuntansi, karena standar akuntansi dipandang sebagai
norma-norma yang diyakini tidak akan menghasilkan informasi yang menyesatkan bagi
pengguna laporan keuangan.
Pandangan akuntan bahwa manajemen laba bukan tindak kecurangan, juga tidak
terlepas dari pemahaman mereka tentang makna ”kecurangan” dalam bingkai profesi
mereka, terutama yang tertuang dalam Standar Audit Seksi 316 (IAI 2001) berikut:
Kecurangan berbeda dengan kekeliruan. Faktor yang membedakan antara kecurangan
dan kekeliruan adalah apakah tindakan yang mendasarinya, yang berakibat terjadinya
salah saji dalam laporan keuangan, berupa tindakan yang disengaja atau tidak disengaja.
Kecurangan dalam pelaporan keuangan dapat berupa penghilangan secara
sengaja atas jumlah atau pengungkapan dalam laporan keuangan untuk mengelabuhi
pemakai laporan keuangan, yang menyangkut tindakan manipulasi, pemalsuan,
perubahan catatan akuntansi, termasuk kesalahan penerapan secara sengaja prinsip
JURNAL DINAMIKA EKONOMI & BISNIS Vol. 7 No. 1 Maret 2010 10
akuntansi yang berkaitan dengan jumlah, klasifikasi, cara penyajian, atau
pengungkapan.
Pandangan yang sama diberikan oleh Kurniawan (pemeriksa pajak). Kurniawan
berpandangan bahwa praktik manajemen laba oleh manajer pada hakikatnya tidak
berbeda dengan praktik manajemen pajak yang dilakukan oleh wajib pajak.
Menurutnya, manajemen pajak bukanlah tindak kecurangan sepanjang dilakukan secara
legal dalam koridor UU dan peraturan perpajakan.
Manajemen pajak bukan tindakan koruptif, karena wajib pajak hanya menyiasati
kelemahan-kelemahan yang ada dalam UU maupun peraturan perpajakan. Jika
kelemahan dalam peraturan perpajakan tidak ditemukan oleh wajib pajak, biasanya
wajib pajak menyiasati penerapan akrual yang diperbolehkan dalam akuntansi
perpajakan.
Dari perpektif yang berbeda, menarik untuk disimak adalah pandangan atas
praktik manajemen laba oleh Mujianto (penasihat investasi). Mujianto memahami
bahwa manajemen laba merupakan suatu intervensi yang disengaja oleh manajer atau
akuntan pada proses pelaporan keuangan eksternal dengan maksud mendapatkan
keuntungan pribadi. Walaupun manajemen laba dilakukan melalui strategi manajemen
operasi riil atau manajemen akrual yang tidak melanggar standar akuntansi, ia tidak
sependapat dengan para akuntan yang menyatakan bahwa praktik manajemen laba
bukan perilaku koruptif.
Ia mengatakan bahwa: Dilakukan melalui strategi apa pun, dengan melanggar
standar akuntansi atau tidak, praktik manajemen laba adalah tindakan koruptif. Saya
katakan sebagai tindakan koruptif, karena praktik itu didasari oleh motivasi dan
kepentingan pribadi dengan mengesampingkan kepentingan pihak lain. Praktik
manajemen laba menyebabkan angka laporan keuangan terpengaruh dan berpihak pada
kepentingan manajer.
Tujuan praktik itu sudah jelas, yaitu mengharapkan pembaca laporan keuangan
yang menjadi sasaran praktik manajemen laba agar mengambil keputusan yang
menguntungkan manajer atau perusahaan. Hal ini merugikan pihak lain.
Pendapat Mujianto tersebut tampak sangat konsisten dengan pernyataan IAI
(2007) dalam KDPPLK paragraf 16 berkaitan dengan netralitas laporan keuangan, dan
PSAK No.1 (Revisi 1998) paragraf 5 berkaitan dengan tujuan laporan keuangan
berikut: Informasi harus diarahkan pada kebutuhan umum pengguna, dan tidak
bergantung pada kebutuhan dan keinginan pihak tertentu. Tidak boleh ada usaha untuk
menyajikan informasi yang menguntungkan beberapa pihak, sementara hal tersebut
akan merugikan pihak lain yang mempunyai kepentingan yang berlawanan. [KDPPLK
paragraf 16]
Tujuan laporan keuangan untuk tujuan umum adalah memberikan informasi
tentang posisi keuangan, kinerja dan arus kas perusahaan yang bermanfaat bagi
sebagian besar kalangan pengguna laporan dalam rangka membuat keputusan-
keputusan ekonomi serta menunjukkan pertanggungjawaban kepengurusan manajemen
11 Manajemen Laba dalam Tinjauan Etika Bisnis Islam
Ahmad Yusuf Marzuqi
Achmad Badarudin Latif
atas penggunaan sumber daya yang dipercayakan kepada mereka. [PSAK No.1
Rev.1998 paragraf 5]
Menurut Mujianto, tidak ada manajemen laba yang dilakukan tanpa motivasi atau
kepentingan, baik kepentingan pribadi maupun kepentingan perusahaan. ”Untuk
mencapai kepentingan itu, manajemen laba pasti dilakukan secara sengaja dan
sistematis”, katanya. Mujianto melanjutkan pernyataannya bahwa, berdasarkan nalar
dan pikiran yang normal, pemilihan metoda akuntansi seharusnya dilakukan tanpa
motivasi dan kepentingan tertentu yang memberikan manfaat lebih unggul pada satu
pihak daripada pihak lainnya.
Pemilihan metoda akuntansi seharusnya juga tanpa harus melalui kajian secara
sistematis dengan mempertimbangkan dampaknya pada angka laba, karena metoda
akuntansi apa pun sebenarnya akan menghasilkan angka laba yang sama dalam jangka
panjang. Karena pikiran manajer atau akuntan lebih terfokus pada bentuk tampilan
angka laba, bukan substansinya, maka praktik manajemen laba dianggap sebagai hal
biasa.
Selanjutnya, Mujianto menegaskan bahwa praktik manajemen laba merupakan
perilaku koruptif yang terdorong oleh pikiran yang terkorupsi. ”Secara sederhana, saya
mengartikan pikiran yang terkorupsi sebagai pikiran yang menganggap tidak salah
tentang sesuatu yang salah, atau menganggap tidak jahat tentang sesuatu yang
sebenarnya jahat”, demikian penjelasan Mujianto. Menurutnya, pikiran-pikiran
semacam itu timbul karena pertimbangan aspek hukum lebih diutamakan daripada
hakikat suatu tindakan dan dampaknya.
Ia pun mengatakan: Dalam pandangan saya, pernyataan bahwa praktik
manajemen laba bukan tidak kecurangan sepanjang dilakukan tanpa melanggar standar
akuntansi, merupakan pernyataan yang didasarkan pada nalar dan pikiran yang
menyimpang dari nalar dan pikiran normal. Pikiran itu terkorupsi oleh pertimbangan
aspek hukum atau peraturan, yaitu standar akuntansi. Dari aspek hukum, praktik
manajemen laba memang tidak mencurangi standar akuntansi, tetapi mencurangi
kepentingan pihak lain dengan melakukan pilihan-pilihan akuntansi secara sistematis.
Pendapat Mujianto tersebut tampak sangat terilhami oleh kritik-kritik Kwik
Kian-Gie terhadap fenomena korupsi yang ditulis dalam bukunya. Kian-Gie (2006)
memang menyatakan kritiknya bahwa, Pikiran yang terkorupsi sulit dilihat melalui
tindakan, tetapi mudah dilihat dari motivasi atau kepentingan untuk bertindak. Tidak
mungkin semua kejahatan yang berawal dari itikad buruk dapat diantisipasi dan diatur
dengan sangat lengkap oleh kalimat-kalimat dalam peraturan perundang-undangan
seberapa cermat pun, sebabnya adalah daya inovasi dan daya kreasi manusia.
Mujianto berterus-terang bahwa istilah “pikiran yang terkorupsi” yang
diucapkannya merupakan istilah yang diambil dari buku karya Kwik Kian-Gie. Dalam
bukunya, Kian-Gie (2006: 43-49) memang menggunakan istilah ”pikiran yang
terkorupsi” (corrupted mind) untuk menggambarkan kelainan dan penyimpangan
pikiran dari nalar yang normal.
JURNAL DINAMIKA EKONOMI & BISNIS Vol. 7 No. 1 Maret 2010 12
Sebagai contoh, tersangka di sidang pengadilan dibebaskan dengan dalih ”negara
tidak dirugikan”. Penyelundup yang tertangkap dianggap tidak bersalah karena barang
selundupannya masih berada dalam daerah pabean. Yang bersangkutan dipersilakan
membayar bea masuk. Karena bea masuk sudah dibayar, maka berarti negara tidak
dirugikan yang tidak terbatas dalam menemukan cara-cara dan merumuskan kata-kata
yang menyatakan dirinya tidak melakukan kejahatan (Hal. 44). Korupsi dalam arti
corrupted mind, yang sifatnya tidak mencuri uang negara, tidak kalah berbahayanya
dengan tindak pidana korupsinya sendiri. Alur pikir yang corrupted juga
mengakibatkan kerugian yang luar biasa besarnya (Hal. 48).
Sebagai penasihat investasi, Mujianto menyatakan bahwa praktik manajemen
laba merupakan perilaku yang tidak dapat diterima, karena manajemen laba
berimplikasi pada hilangnya kredibilitas laporan keuangan, menambah bias informasi
dalam laporan keuangan, sehingga mengganggu pengguna laporan keuangan yang
mempercayai angka laba hasil rekayasa tersebut sebagai angka laba tanpa rekayasa.
”Dengan adanya manajemen laba, investor tidak menerima informasi yang cukup
akurat tentang laba dalam rangka mengevaluasi hasil dan risiko portofolio
investasinya”, kata Mujianto.
Pandangan bahwa praktik manajemen laba merupakan tindakan koruptif dan
tidak dapat diterima juga dikemukakan oleh Septi Yuliana (analis kredit). Septi Yuliana
menyadari bahwa manajemen laba pada dasarnya hanyalah tindakan untuk
mempengaruhi angka laba di atas kertas dengan memanfaatkan fleksibilitas standar
akuntansi. Oleh karena itu, ketika praktik manajemen laba dilakukan tidak akan selalu
timbul kerugian materi secara langsung bagi pihak yang menjadi sasaran, dan tidak
selalu ada keuntungan materi yang diperoleh secara langsung bagi pihak yang
melakukannya.
Di samping itu, Septi Yuliana juga menyadari bahwa dengan adanya manajemen
laba, kinerja perusahaan hanya terpengaruh dalam jangka pendek, sedangkan dalam
jangka panjang kinerja perusahaan yang terefleksi dalam angka laba adalah sama
seperti jika seandainya angka laba tidak dipengaruhi atau dikelola.
Walaupun demikian, ia berpendapat bahwa: Justru dampak jangka pendek dari
praktik manajemen laba itulah letak persoalannya. Dalam jangka pendek, praktik
manajemen laba akan memberikan manfaat lebih cepat bagi pihak tertentu dan akan
menunda pemberian manfaat itu bagi yang lain. Bagi pelaku manajemen laba,
keuntungan atau manfaat itu sebenarnya tidak harus diperoleh sekarang, tetapi
direkayasa sedemikian rupa sehingga manfaat itu dapat diperoleh lebih cepat. Manfaat
itu diperoleh tidak secara alamiah, tetapi melalui rekayasa informasi.
Dalam perspektif Septi Yuliana sebagai analis kredit, manajemen laba dapat
menyebabkan keputusan pemberian (pencairan) kredit menjadi berbeda dari yang
seharusnya. Ia memberikan contoh: Pencairan kredit pada suatu semester sebenarnya
tidak dapat dilakukan karena debitor tidak memenuhi persyaratan pencapaian laba pada
semester sebelumnya. Tetapi karena debitor melakukan rekayasa angka laba itu,
13 Manajemen Laba dalam Tinjauan Etika Bisnis Islam
Ahmad Yusuf Marzuqi
Achmad Badarudin Latif
pencairan kredit pada semester ini harus dilakukan.
Dengan pencairan kredit itu, memang tidak ada kerugian materi bagi bank selaku
kreditor, tetapi keputusan bank telah dicurangi oleh debitor yang menginginkan
pencairan kreditnya tidak tertunda. Ada manfaat yang diperoleh debitor secara lebih
cepat, tetapi caranya tidak alamiah seperti jika praktik bisnis dilakukan secara normal.
”Upaya memperoleh keuntungan pribadi melalui praktik-praktik yang tidak normal,
sama halnya dengan perbuatan korupsi”, kata Septi Yuliana menambahkan.
Selanjutnya, ia pun mengungkapkan pendapat dan kritiknya: Pandangan bahwa
praktik manajemen laba tidak sama dengan praktik manipulasi laba, menurut saya,
merupakan pandangan yang tidak rasional tetapi dirasionalisasi. Yang saya maksud
dengan rasionalisasi adalah upaya-upaya pemikiran untuk menjadikan hal-hal yang
tidak rasional menjadi rasional, dengan cara mencari dalil-dalil tertentu sebagai dasar
legitimasi pemikiran itu.
Mencapai angka laba yang diinginkan seharusnya dilakukan melalui upaya-upaya
operasi bisnis yang normal, bukan beroperasi di atas kertas. Kalau cuma beroperasi di
atas kertas, itu manipulasi laba namanya. Tetapi, dalil yang umum digunakan untuk
menyatakan bahwa permainan di atas kertas ini bukan manipulasi laba adalah ada-
tidaknya pelanggaran terhadap standar akuntansi. Terkait dengan kritiknya tersebut,
Septi Yuliana berpendapat bahwa dalam istilah ”manajemen laba” itu sendiri
sebenarnya sudah terkandung suatu distorsi makna.
Ia mengatakan: Istilah manajemen sesungguhnya memiliki makna luhur sebagai
merencanakan, melaksanakan dan mengendalikan suatu kegiatan untuk mencapai
tujuan tertentu. Tetapi, dalam istilah ”manajemen laba” makna kata manajemen yang
luhur telah direduksi menjadi makna berkonotasi buruk sebagai mengatur, merubah,
mempermainkan, menata dan memanipulasi angka laba untuk mencapai tujuan yang
berkonotasi negatif. Saya tidak tahu, siapa yang pertama kali mereduksi makna kata
manajemen seperti itu. Para akademisi atau praktisi?
Pernyataan Septi Yuliana tersebut konsisten dengan pernyataan Binawan (2006,
xiv), bahwa mereduksi makna dengan maksud mendistorsi merupakan bentuk lain
perilaku koruptif, dan distorsi makna itu sendiri biasanya dibuat untuk
menyembunyikan sebuah tindakan koruptif.
Lebih lanjut Binawan (2006, xiv) menyatakan bahwa: Distorsi adalah
pengaburan makna suatu tindakan atau gejala dari makna yang biasanya dilekatkan
orang. Gejala pengubahan istilah dari ”buruh” ke ”pekerja” atau dari ”kenaikan harga”
menjadi ”penyesuaian harga” bisa ditafsirkan sebagai gejala korupsi jika memang ada
kesengajaan dan ada target keuntungan yang mau dicapai. Sifat koruptif dalam distorsi
makna akan makin kelihatan jika distorsi itu ditempatkan dalam konteks komunikasi.
Metode Penelitian
Desain penelitian menggunakan metode telaah referensi deskriptif/literatur
dengan mengacu referensi-referensi mengenai Islam, bisnis Islam, dan hal-hal yang
JURNAL DINAMIKA EKONOMI & BISNIS Vol. 7 No. 1 Maret 2010 14
berkaitan tentang manajemen laba dan etika bisnis Islam. Jenis data yang digunakan
dalam penelitian ini adalah data dokumenter. Data dokumenter memuat apa dan kapan
sesuatu kejadian atau transaksi, serta siapa yang terlibat dalam sesuatu kejadian.
Sedangkan sumber data yang diperoleh ialah data sekunder. Data sekunder merupakan
sumber data yang berupa buku-buku atau hal-hal lain yang berhubungan dengan topik
yang diteliti.
Metode pengumpulan data perlu dilakukan dalam usaha memperoleh data-data
yang selanjutnya dianalisis untuk memecahkan suatu masalah. Adapun metode atau
tehnik penelitian dalam pengumpulan data yang penulis lakukan menggunakan studi
pustaka. Yaitu pengumpulan data yang berasal dari buku-buku, literatur-literatur serta
bacaan yang lainnya yang berhubungan dengan masalah yang diteliti. Metode ini
digunakan untuk memperoleh literatur dan buku-buku yang berhubungan dengan topik
penelitian ini.
Setelah data yang diperoleh telah terkumpul, langkah selanjutnya adalah
menganalisis data tersebut. Dalam melakukan penelitian ini metode analisis data yang
digunakan adalah Metode kualitatif dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Meninjau beberapa referensi dari buku dan jurnal ilmiah tentang manajemen
laba dan etika bisnis Islam.
2. Membuat penafsiran atau interpretasi.
3. Menyimpulkan.
Hasil dan Pembahasan
Pandangan Al-Qur’an tentang Bisnis
Al-Qur’an dalam mengajak manusia untuk mempercayai dan mengamalkan
tuntunan-tuntunannya dalam segala aspek kehidupan seringkali menggunakan istilah-
istilah yang dikenal dalam dunia bisnis, seperti jual-beli, untung-rugi dan sebagainya.
Dalam konteks ini Al-Qur’an menjanjikan:
“Sesungguhnya Allah Telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta
mereka dengan memberikan surga untuk mereka. mereka berperang pada jalan
Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu Telah menjadi) janji yang
benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al Quran. dan siapakah yang lebih
menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual
beli yang Telah kamu lakukan itu, dan Itulah kemenangan yang besar.” (Q.S.
At-Taubah: 111)
Pada ayat tersebut, mereka yang tidak ingin melakukan aktivitas kehidupannya
kecuali bila memperoleh keuntungan semata, dilayani (ditantang) oleh Al-Qur’an
dengan menawarkan satu bursa yang tidak mengenal kerugian dan penipuan. Dengan
jelas pula bahwa Al-Quran tidak memberi peluang bagi seorang muslim untuk
menganggur sepanjang saat yang dialami dalam kehidupan dunia ini.
Dari paparan diatas terlihat jelas bahwa Al-Qur’an memberikan tuntunan visi
bisnis yang jelas yaitu bisnis masa depan yang bukan semata-mata mencari keuntungan
15 Manajemen Laba dalam Tinjauan Etika Bisnis Islam
Ahmad Yusuf Marzuqi
Achmad Badarudin Latif
sesaat tetapi “merugikan” melainkan mencari keuntungan yang secara hakikat baik dan
berakibat baik pula bagi kesudahannya (pengaruhnya).
Ayat Al-Qur’an Tentang Bisnis
Allah tidak akan menurunkan rezeki kepada manusia kecuali manusia berusaha
untuk mendapatkannya. Dan telah ditentukan waktu bagi manusia untuk bekerja dan
beristirahat, yang disesuaikan dengan kemauan manusia:
“Dialah yang menjadikan malam bagi kamu supaya kamu beristirahat padanya
dan (menjadikan) siang terang benderang (supaya kamu mencari karunia
Allah). Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda
(kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang mendengar*.” (Q.S. Yunus: 67)
* Maksudnya: Rasul dan orang-orang yang beriman.
“Sesungguhnya usaha kamu memang berbeda-beda.” (Q.S. Al-Lail: 4)
Allah menganjurkan manusia untuk mencari rizqi setelah kewajibannya kepada
Allah terpenuhi;
“Apabila Telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi;
dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu
beruntung.” (Q.S. Al-Jumu’ah: 10)
Manusia dalam mencari rezeki harus memperhatikan kehendak sesamanya,
misalnya dalam perdagangan tidak saling memaksa. Proses tawar-menawar didasarkan
atas suka sama suka:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang
berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.” (Q.S. An-Nisa’: 29)
Supaya segala kegiatan manusia dalam perdagangan mendapatkan berkah dan
bermanfaat bagi kemaslahatannya maka manusia harus adil dan jujur.
“Dan Tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi
neraca itu.” (Q.S. Ar-Rohman: 9)
Hadist Rasul SAW Tentang Bisnis
Rasulullah SAW menganjurkan umatnya untuk memperhatikan sikap dalam
berdagang:
“Pedagang yang jujur dan dapat dipercaya termasuk golongan para nabi,
orang-orang yang benar-benar tulus dan para syuhada”. (HR. Tirmizdi, Darimi
dan Daraqutni)
“Seseorang pedagang yang tulus (yakni selalu mengutamakan kebenaran
dalam ucapan dan tindakan) akan dibangkitkan kelak pada hari kiamat dalam
kelompok para siddiqin dan syuhada”. (HR.Tirmizdi dan Hakim)
JURNAL DINAMIKA EKONOMI & BISNIS Vol. 7 No. 1 Maret 2010 16
“Allah memberikan rahmatnya pada setiap orang yang bersikap baik ketika
menjual, membeli dan membuat suatu pernyataan”. (HR. Bukhari)
“Kedua kelompok dalam suatu transaksi perdagangan memiliki hak untuk
membatalkannya hanya sejauh mereka belum berpisah kecuali transaksi itu
menyulitkan kelompok tersebut untuk membatalkannya”. (HR. Bukhari dan
Muslim)
Hakim bin Hizam ra melaporkan bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Kedua pihak dalam suatu transaksi perdagangan berhak untuk membatalkan,
selama mereka tidak berpisah, jika mereka berkata benar, menjelaskan segala
sesuatunya dengan jernih. Maka transaksi mereka akan mendapat berkah.
Tetapi jika mereka menyembunyikan sesuatu serta berdusta, maka berkah
yang ada pada transaksi mereka akan terhapus”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Hakim ibn Hizam ra berkata, Nabi mengirimkan padanya uang satu dinar
untuknya; ia membeli seekor domba seharga satu dinar, menjualnya kembali
seharga dua dinar. Dan membawanya bersama keuntungan satu dinar yang didapati.
Nabi memberikan uang satu dinar tadi sebagai sedekah serta memohon berkah
atasnya. (HR. Tirmizdi dan Abu Dawud)
Rasulullah SAW melarang memperdagangkan sesuatu yang mempunyai sifat
merugikan manusia.
Ibnu Umar ra meriwayatkan dari Rasulullah SAW bahwa:
“Allah SWT melaknat minum anggur, peminumnya, pelayannya, penjualnya,
pembelinya, pemerasannya serta orang yang minta dipasarkan, orang yang
mengedarkan serta penadahnya”. (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majjah)
“Jangan kamu menjual barang yang tidak ada padamu “. (HR. Ahmad dan
dishahihkan oleh at-Tirmizdi dan Ibn Hibban)
Abu Hurairah ra. dan Amr ibnu Syuaib ra. melaporkan bahwa “Rasulullah
SAW telah melarang dua transaksi yang digabungkan menjadi satu dalam satu
penawaran”. (HR. Malik .Tirmizdi Abu Dawud , Nasai dan Syarh Al-Sunnah)
“Ibnu Umar ra berkata: Nabi telah melarang penjualan utang jumlah
pembayarannya berbeda pada waktu yang lain”. (HR. Daruqutni)
“Suatu pinjaman yang disertai syarat suatu transaksi penjualan tidak
diperbolehkan, tidak pula dua syarat yang berkaitan dengan satu transaksi;
tidak pula keuntungan yang tidak bersumber dari kewajiban pembayaran
sesorang; tidak pula menjual sesuatu yang bukan hak miliknya”. (HR.
Tirmizdi, Abu Dawud, Nasai)
Etika Islam Tentang Bisnis
Dalam kaitannya dengan paradigma Islam tentang etika bisnis, maka landasan
filosofis yang harus dibangun dalam pribadi Muslim adalah adanya konsepsi hubungan
17 Manajemen Laba dalam Tinjauan Etika Bisnis Islam
Ahmad Yusuf Marzuqi
Achmad Badarudin Latif
manusia dengan manusia dan lingkungannya, serta hubungan manusia dengan
Tuhannya, yang dalam bahasa agama dikenal dengan istilah (hablum minallah wa
hablumminannas). Dengan berpegang pada landasan ini maka setiap muslim yang
berbisnis atau beraktifitas apapun akan merasa ada kehadiran "pihak ketiga" (Tuhan) di
setiap aspek hidupnya. Keyakinan ini harus menjadi bagian integral dari setiap muslim
dalam berbisnis. Hal ini karena Bisnis dalam Islam tidak semata mata orientasi dunia
tetapi harus punya visi akhirat yang jelas. Dengan kerangka pemikiran seperti itulah
maka persoalan etika dalam bisnis menjadi sorotan penting dalam ekonomi Islam.
Dalam ekonomi Islam, bisnis dan etika tidak harus dipandang sebagai dua hal
yang bertentangan, sebab bisnis yang merupakan simbol dari urusan duniawi juga
dianggap sebagai bagian integral dari hal-hal yang bersifat investasi akhirat. Artinya,
jika orientasi bisnis dan upaya investasi akhirat (diniatkan sebagai ibadah dan
merupakan totalitas kepatuhan kepada Tuhan), maka bisnis dengan sendirinya harus
sejalan dengan kaidah-kaidah moral yang berlandaskan keimanan kepada akhirat.
Bahkan dalam Islam, pengertian bisnis itu sendiri tidak dibatasi urusan dunia, tetapi
mencakup pula seluruh kegiatan kita di dunia yang "dibisniskan" (diniatkan sebagai
ibadah) untuk meraih keuntungan atau pahala akhirat.
Ancaman kepada Pelaku Bisnis yang Tidak Jujur
Dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW pernah melalui satu timbunan dari
(biji-biji) makanan, lalu beliau memasukkan padanya tangannya lalu tangannya kena
basah, beliau bersabda “Apakah ini, hai penjual makanan? Ia menjawab ,”kena hujan ya
Rasulullah”. Sabdanya “Mengapa engkau tidak taruh dia disebelah atas supaya orang-
orang lihat dia? Barang siapa menipu bukanlah dari (golongan) ku (HR. Muslim)
Dari Hurairah ra, ia berkata, telah bersabda Rasulullah SAW, “janganlah kamu
papak (pergi berjumpa kafilah sebelum sampai di kota dan sebelum mereka dapat tahu
harga pasar) barang yang dibawa (dari luar kota). Barang siapa dipapak lalu dibeli dari
padanya (sesuatu), maka apabila yang empunya (barang) itu datang ke pasar , ia berhak
khiar (hak memiliki buat menjadikan atau membatalkan penjualan sebelum datang ke
pasar)”(HR. Muslim)
Dari Umar ra. ia berkata: “Saya telah beli minyak di pasar. Tatkala sudah
menjadi hak saya, seorang laki-laki bertemu saya dan ia berikan kepada saya untung
yang baik buat minyak itu. Ketika saya hendak pukul tangannya (tanda jadi jual beli),
seseorang dari belakang memegang siku saya, lalu saya berpaling ternyata Zaid bin
Tsabit. Ia berkata:”jangan jual ini dimana tuan beli hingga dibawa ini ketempat tuan,
karena Rasulullah melarang menjual barang-barang yang dibeli hingga dibawa
pedagang-pedagang ke tempat mereka.”(HR. Ahmad)
Ibnu Umar meriwayatkan, “Masyarakat arab biasa membeli bahan pangan
langsung dari pemilik unta, tetapi Nabi melarang mereka membelinya sampai bahan itu
dijual di pasar.”(HR. Bukhari)
JURNAL DINAMIKA EKONOMI & BISNIS Vol. 7 No. 1 Maret 2010 18
Tinjauan Bisnis Islam terhadap Manajemen Laba
Djakman (2003: 145) menyatakan bahwa manajemen laba yang dilakukan
melalui manajemen akrual tidak sama dengan manipulasi laba. Manajemen laba
dilakukan dengan memanfaatkan kelemahan inheren dari kebijakan akuntansi akrual
dan masih berada dalam koridor prinsip akuntansi berterima umum.
Sedangkan manipulasi laba merupakan tindak pelanggaran terhadap prinsip
akuntansi berterima umum untuk menghasilkan kinerja keuangan perusahaan sesuai
kepentingan manajer atau perusahaan. Akuntan pendidik, akuntan manajemen dan
akuntan publik sependapat dengan padangan Djakman (2003) serta Schroeder dan
Clark (1998) ini.
Berikut ini adalah komentar mereka: Sepanjang dilakukan tanpa melanggar
standar akuntansi keuangan, praktik manajemen laba adalah sah. Manajer dan akuntan
tidak dapat disalahkan, karena manajemen laba dengan cara seperti itu bukan perbuatan
curang. Tetapi, manajemen laba akan berubah menjadi perbuatan curang jika ada
kesengajaan manajer atau akuntan melanggar standar akuntansi, misalnya dalam bentuk
manipulasi data, perhitungan dan pelaporan. [Hardiwibowo – akuntan pendidik]
Pandangan para akuntan di atas menunjukkan bahwa dalam perspektif akuntan,
praktik manajemen laba bukanlah tindak kecurangan (perilaku koruptif) sepanjang
dilakukan dalam koridor standar akuntansi, karena standar akuntansi dipandang sebagai
norma-norma yang diyakini tidak akan menghasilkan informasi yang menyesatkan bagi
pengguna laporan keuangan.
Berbeda halnya dengan Mujianto (penasihat investasi) ia mengatakan bahwa:
Dilakukan melalui strategi apa pun, dengan melanggar standar akuntansi atau tidak,
praktik manajemen laba adalah tindakan koruptif. Saya katakan sebagai tindakan
koruptif, karena praktik itu didasari oleh motivasi dan kepentingan pribadi dengan
mengesampingkan kepentingan pihak lain. Praktik manajemen laba menyebabkan
angka laporan keuangan terpengaruh dan berpihak pada kepentingan manajer.
Pendapat Mujianto tersebut tampak sangat konsisten dengan pernyataan IAI
(2007) dalam KDPPLK paragraf 16 berkaitan dengan netralitas laporan keuangan, dan
PSAK No.1 (Revisi 1998) paragraf 5 berkaitan dengan tujuan laporan keuangan
berikut: Informasi harus diarahkan pada kebutuhan umum pengguna, dan tidak
bergantung pada kebutuhan dan keinginan pihak tertentu. Tidak boleh ada usaha untuk
menyajikan informasi yang menguntungkan beberapa pihak, sementara hal tersebut
akan merugikan pihak lain yang mempunyai kepentingan yang berlawanan. [KDPPLK
paragraf 16]
Menurut Rafik Issa Beekun, Bisnis Islami ialah serangkaian aktivitas bisnis
dalam berbagai bentuk yang tidak dibatasi jumlah kepemilikannya (barang/jasa)
termasuk profitnya, namun dibatasi dalam cara memperolehnya dan pendayagunaan
hartanya karena aturan halal dan haram.
Sebagaimana firman Allah SWT dalam surah Al-Baqarah (2) ayat 188:
19 Manajemen Laba dalam Tinjauan Etika Bisnis Islam
Ahmad Yusuf Marzuqi
Achmad Badarudin Latif
“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara
kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta
itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda
orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu Mengetahui.” (QS.
Al-Baqarah: 188)
Dari paparan diatas, Islam memandang bahwa para manajer maupun akuntan
harus memiliki akhlaq/ sifat jujur, menepati amanah, dan jujur dalam melaporkan hasil
dari laporan keuangan kepada para penggunanya. Kejujuran merupakan salah satu
modal yang sangat penting dalam berbisnis karena kejujuran akan menghindarkan diri
dari hal-hal yang dapat merugikan salah satu pihak.
“ ...... Maka sempurnakanlah takaran dan timbangan dan janganlah kamu
kurangkan bagi manusia barang-barang takaran dan timbangannya.” (QS. Al-
A’raf : 85)
Islam juga tidak memperbolehkan kepada siapa saja (khususnya dalam hal ini
pelaku bisnis) untuk berbuat curang/ penipuan yang mana dari perbuatan tersebut akan
berdampak merugikan pihak yang lain.
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang bathil.” (QS. An Nisa : 29)
Firman Allah SWT dalam surah Al-Baqarah ayat 42:
“Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang bathil dan
janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu Mengetahui.” (QS.
Al-Baqarah: 42)
Selain dari sifat shiddiq, amanah, tabligh, fathanah yang harus dimiliki oleh para
pelaku bisnis diatas ciri-ciri itu masih ditambah istiqamah. Etika bisnis Islam
menjunjung tinggi semangat saling percaya, kejujuran, dan keadilan. Dalam surat Asy-
Syuara ayat 183 dijelaskan:
“Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya.” (QS. As-Syuara:
183)
Penutup
Kesimpulan
Berdasarkan dari referensi/ buku-buku/ literatur yang berhubungan dengan etika
bisnis Islam dan manajemen laba, peneliti mempunyai pandangan (interpretasi) bahwa:
1. Perilaku seorang manajer terhadap manajemen laba yang dilakukan dengan cara
memanipulasi angka laba diatas kertas, hal tersebut belum sesuai dengan apa
yang dituntunkan oleh ajaran agama Islam.
2. Jika laporan keuangan tersebut dilaporkan apa adanya dan tidak menyimpang
dari apa yang telah ditetapkan oleh aturan-aturan yang berlaku ataupun aturan
JURNAL DINAMIKA EKONOMI & BISNIS Vol. 7 No. 1 Maret 2010 20
ajaran agama Islam, manajemen laba tidak akan menuai kontroversi diantara
beberapa pihak.
3. Manajemen laba yang baik dapat dilakukan dengan cara manajemen operasi
yang baik, misalnya manajemen produksi, manajemen keuangan dan investasi,
manajemen pemasaran, atau manajemen bidang lainnya.
4. Bahwa hukum dasar dari berbagai jenis muamalah adalah boleh sampai
ditemukan dalil yang melarangnya.
Keterbatasan Penelitian
Beberapa keterbatasan penelitian meliputi:
1. Kurangnya pengalaman terhadap praktik manajemen laba yang telah berlaku di
lapangan.
2. Penelitian dilakukan dengan studi literatur sehingga data yang diperoleh tidak
langsung dari narasumbernya.
Saran
1. Agenda penelitian selanjutnya:
a. Supaya melakukan penelitian dengan studi lapangan,
b. Mencari data langsung dari para narasumbernya yang meliputi: Manajer,
pengamat (akuntan publik, akuntan manajemen, penasihat investasi dll).
2. Untuk para pelaku bisnis:
a. Para pelaku bisnis dalam melakukan aktifitasnya sehari-hari sebaiknya
diniati dengan niat karena Allah SWT semata, dan juga segala usaha yang
telah dilakukan itu merasa bahwa hakikatnya adalah Allah SWT yang
menjalankannya, agar terhindar dari hal-hal yang kurang baik.
b. Disamping diniati dengan Lillah dan Billah, juga meniru langkah-langkah
yang dilakukan oleh Rasulullah SAW dalam bermuamalah (lirRosul), serta
mensyukuri karena kita bisa melakukan muamalah/ bisnis itu adalah jasa
dari Rasulullah saw (birRasul).
c. Dalam melakukan kegiatan muamalah (bisnis/ manajemen laba) para
pelaku seharusnya tidak hanya berorientasi kepada duniawi saja, karena
manusia akan menemui kehidupan akhirat.
Daftar Pustaka
Ardiati, Aloysia Yanti, 2005, “Pengaruh Manajemen Laba Terhadap Return Saham
pada Perusahaan yang Diaudit oleh KAP Big 5 dan KAP Non Big 5”, Jurnal
Riset Indonesia, vol. 8 no. 3, h.235-249.
Arnawa, I Gede, 2006, Analisa Indikasi Manajemen Laba melalui Discretionary
Allowance for Loan Loses pada Perbankan Pasca Rekapitalisasi, Tesis Magister
Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta.
Bank Indonesia, 2007, Direktori Perbankan Indonesia, Biro data dan Informasi
21 Manajemen Laba dalam Tinjauan Etika Bisnis Islam
Ahmad Yusuf Marzuqi
Achmad Badarudin Latif
Perbankan, Jakarta.
Bernard, Victor L., dan Skinner Douglas J., 1996, “What Motivates Managers Choice
of Discretionary Accruals?”, Journal of Financial Economics, vol. 22, 313-323.
Betty, Anne. L and Petroni, Kathy. R, 2002, “Earnings Management to Avoid Earnings
Declines Across Publicy and Private Held Banks”, The Accounting Review, Vol
77.
Departemen Agama RI, Alquran Dan Terjemahnya.
Departemen Agama RI, Modul Fiqih Untuk Program Penyetaraan D3.
Desriani, Rahmi, 2001, Persepsi Akuntan terhadap Kode Etik Akuntan Indonesia, Tesis
Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Ekayani, Ni Nengah Seri dan Made Pradana Adi Putra, 2003, “Persepsi Akuntan dan
Mahasiswa Bali terhadap Etika Bisnis”, Simposium Nasional Akuntansi (SNA)
VI, Surabaya, 16-17 Oktober.
Endriani, D., 2004, Indikasi Praktek Earnings Management oleh Bank-Bank di
Indonesia Dalam Memenuhi Ketentuan Rasio Kecukupan Modal, Tesis Magister
Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta.
Healy, Paul M., dan Wahlen James M, 1999, “A Review of The Earnings Management
Literature and Its Implications for Standard Setting”, Accounting Horizons, Vol.
13 No. 4.
Imam Sutanto, Intan, 2000, Indikasi Manajemen Laba (Earnings Management)
Menjelang IPO oleh Perusahaan Yang Terdaftar di Bursa Efek Jakarta, Tesis S2
Akuntansi, UGM Yogyakarta.
Islahuddin dan Soesi, 2002, “Persepsi terhadap Kualitas Akuntan Menghadapi tuntutan
Profesionalisme di Era Globalisasi”, Jurnal Manajemen dan Bisnis, Vol. 4 No. 1,
h.1-18.
Jones, J.J., 1991, “Earnings Management During Import relief investigation”, Journal
of Accounting Research, Autumn, h.193-228.
Karim, Adiwarman, 2004, Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan, Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.
Keraf, A. Sonny, 1998, Etika Bisnis: Membangun Citra Bisnis sebagai Profesi Luhur.
Yogyakarta: Kanisius.
Kussudyarsana, 2000, “Urgensi Etika Bisnis Dalam Dunia Bisnis di Indonesia”, Jurnal
Riset Akuntansi Indonesia, Vol. 2 No. 1, 65-72.
Mahu, Zainab, 2004, Perlakuan Perpajakan dan Akuntansi atas Transaksi Perbankan
Syariah, Tesis Magister Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Jakarta.
McNichols, Maureen F, 2000, “Research Design Issues in Earnings Management
Studies”, Journal of Accounting and Public Policy, Vol. 23 No. 2, 313-345.
JURNAL DINAMIKA EKONOMI & BISNIS Vol. 7 No. 1 Maret 2010 22
Munter, Paul, 1999, “SEC Sharply Criticized: Earnings Management Accounting”, The
Journal of Corporate Accounting and Finance (Winter), 31-38.
Muslich, 1998, Etika Bisnis: Pendekatan Substansif dan Fungsional, Yogyakarta:
Penerbit Ekonisia.
Payamta, Triyono dan Zainuddin, 1997, Akuntan sebagai Profesi Etis, Perspektif, No.
6, Edisi: April-Juni.
Raharjono, Dominikus Agus Budi, 2005, Hubungan Manajemen Laba Menjelang IPO
dengan Nilai Awal Perusahaan dan Return Saham Setelah IPO, Tesis S2
Akuntansi, UGM Yogyakarta.
Rajgopal, Shivaram, Mohan Venkatachalam, dan James Jiambalvo, 1999, “Is
Institutional Ownership Associated with Earnings Management and The Extent
to which Stock Prices Reflect Future Earnings?” Working Paper.
Rangan, Srinivasan, 1998, “Earnings Management and The Performance of Seasoned
Equity Offerings” Journal of Financial Economics, Vol. 50, 100-122.
Robbin, Stenphen J, 2002, Prinsip perilaku organisasi (diterjemahkan oleh Halida dan
Dewi Sartika), Jakarta: Penerbit Erlangga.
Sihwahjoeni dan Gudono, 1999, “Persepsi Akuntan terhadap Kode Etik Akuntan”
Simposium Nasional Akuntansi II, IAI-KAPd September 1999.
Susanto, Agus, 2003, Indikasi Praktek Pengelolaan Laba dan Faktor-Faktor yang
Mempengaruhinya (Studi Empiris pada Sektor Perbankan Sebelum Krisis
Perbankan Nasional), Tesis Magister Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia, Jakarta.
23 Analisis Faktor-Faktor yang Berpengaruh terhadap Tindakan
Perataan Laba pada Perusahaan Manufaktur di BEJ
Iis Setyningsih
Ichwan Marisan
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH
TERHADAP TINDAKAN PERATAAN LABA PADA
PERUSAHAAN MANUFAKTUR DI BEI
Iis Setyaningsih
Ichwan Marisan1)
STIE Nahdlatul Ulama Jepara, Jl. Taman Siswa (Pekeng) Tahunan Jepara
Email: 1)
Abstract
Profit Information plays an important role for corporate, so the management
tend to engage in income smoothing to overcome the conflict of interest. Aim of this
research was to know whether the ROA, DTA, PER effect on the income smoothing. The
study population consisted of 141 manufacturing companies go public on the JSE
(Jakarta stock exchange). The research sample was 130 firm taken with purposive
sampling. The analysis technique used logistic regression. The results showed that the
ROA, DTA, and PER did not affect the income smoothing, either partially or
simultaneously. Agenda for future research include: (1) see the accounting method used
by the company, (2) using the method of classification of different samples such as
(model Michelson).
Keywords: ROA, DTA, PER, Income Smoothing
Abstrak
Informasi laba berperan penting bagi perusahaan sehingga sehingga manajemen
cenderung melakukan perataan laba untuk mengatasi konflik kepentingan. Tujuan
penelitian untuk menguji pengaruh ROA, DTA, PER terhadap tindakan perataan laba.
Populasi penelitian terdiri dari 141 perusahaan manufaktur Go Public di BEJ. Sampel
penelitian ada 130 yang diambil secara purposive sampling. Teknik analisis yang
digunakan adalah regresi logistik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ROA, DTA,
dan PER tidak berpengaruh terhadap tindakan perataan laba, baik secara parsial
maupun simultan. Agenda penelitian selanjutnya antara lain: (1) melihat metode
akuntansi yang digunakan oleh perusahaan, (2) menggunakan metode
pengklasifikasian sampel yang berbeda misalnya model michelson).
Kata Kunci: ROA, DTA, PER, Income Smoothing
Pendahuluan
Berdasarkan Statement Financial Accounting Concept (SFAC) no. 1 (Ghozali dan
Chariri, 2005), laporan keuangan harus menyajikan informasi yang berguna untuk
investor dan calon investor, kreditur dan pengguna lain. Informasi tersebut harus dapat
JURNAL DINAMIKA EKONOMI & BISNIS Vol. 7 No. 1 Maret 2010 24
dipahami oleh mereka yang memiliki wawasan bisnis dan ekonomi. Oleh karena itu,
penyajiannya disertai pengungkapan penuh (full disclosure).
Salah satu informasi dalam laporan keuangan adalah mengenai laba. Informasi
laba merupakan komponen laporan keuangan perusahaan untuk menilai kinerja
manajemen, estimasi laba dalam jangka panjang, dan penaksiran risiko (Kirschenheiter
dan Melumad dalam Juniarti dan Corolina, 2005). Pentingnya informasi laba ini
disadari oleh manajemen, sehingga manajemen cenderung melakukan disfunctional
behaviour (perilaku tidak semestinya), yaitu dengan melakukan perataan laba untuk
mengatasi berbagai konflik yang timbul antara manajemen dengan berbagai pihak yang
berkepentingan dengan perusahaan (Sugiarto, 2003).
Hubungan keagenan muncul ketika pemilik (principal) mempekerjakan individu
lain (agent) untuk melaksanakan pekerjaan (Brigham and Houston, 2001). Konflik
keagenan akan muncul apabila masing-masing pihak mempunyai perbedaan
kepentingan. Pada keadaan ini terjadi asimetri informasi, yaitu ketika manajer memiliki
akses informasi atas prospek perusahaan yang tidak dimiliki oleh pihak luar. Adanya
asimetri informasi mendorong manajer untuk menyajikan informasi yang tidak
sebenarnya, terutama informasi yang berkaitan dengan pengukuran kinerja manajer
(Halim, dkk, 2005:120).
Kesenjangan informasi antara kedua belah pihak memicu munculnya perataan
laba (income smoothing). Praktik perataan laba merupakan usaha manajemen untuk
menekan variasi laba perusahaan. Tindakan perataan laba berhubungan dengan bonus
compensation plan yang dikaitkan dengan kinerja manajemen yang dinilai melalui
laporan laba rugi. Perataan laba juga ditujukan untuk memperbaiki citra perusahaan di
mata pihak eksternal bahwa perusahaan memiliki risiko yang rendah (Dwiatmini dan
Nurkholis, 2001).
Bagi manajemen, seringkali tidak penting untuk melaporkan laba maksimal,
bahkan manajemen lebih cenderung melaporkan laba yang dianggap normal bagi
perusahaan untuk beberapa periode (Samlawi dan Sudibyo, 2000). Praktik perataan laba
didorong oleh berbagai faktor, yang dapat dibedakan berdasarkan faktor konsekuensi
metode akuntansi dan faktor laba. Faktor konsekuensi metode akuntansi merupakan
kondisi yang dipengaruhi oleh angka-angka akuntansi. Sedangkan faktor laba adalah
pengaruh dari angka-angka laba periodik yang dengan sendirinya juga mendorong
perilaku perataan laba (Prasetio dkk, 2002).
Faktor penentu perataan laba belum sepenuhnya menunjukkan hasil yang
konsisten antara penelitian yang satu dengan penelitian yang lainnya. Hal ini
memberikan kesempatan dilakukan penelitian mengenai faktor-faktor penentu perataan
laba. Variabel independen yang ditentukan dalam penelitian adalah ROA (return on
asset), DTA (debt to total asset) dan PER (price earning ratio).
25 Analisis Faktor-Faktor yang Berpengaruh terhadap Tindakan
Perataan Laba pada Perusahaan Manufaktur di BEJ
Iis Setyningsih
Ichwan Marisan
Tinjauan Pustaka
Praktik Akuntansi Kreatif dan Perataan Laba
Manajemen laba dan perataan laba merupakan salah satu bentuk dari praktik
akuntansi kreatif (creative accounting practices). Praktik akuntansi kreatif menurut
Mulford dan Comiskey (2002) adalah Semua langkah yang digunakan untuk
mempermainkan angka-angka akuntansi, termasuk pemilihan dan penerapan prinsip-
prinsip akuntansi agresif, kecurangan dalam pelaporan keuangan, dan beberapa langkah
untuk manajemen laba dan perataan laba”.
Perataan laba (income smoothing) merupakan tindakan yang dilakukan dengan
sengaja untuk mengurangi variabilitas laba yang dilaporkan agar dapat mengurangi
risiko pasar atas saham perusahaan, yang pada akhirnya dapat meningkatkan harga
saham perusahaan (Assih dan Gudono dalam Pratamasari, 2006).
Dwiatmini dan Nurkholis (2001), mengungkapkan bahwa perataan laba adalah
suatu pengurangan yang disengaja terhadap fluktuasi pada beberapa level laba supaya
dianggap normal bagi perusahaan. Menurut Pratamasari (2006), perataan laba adalah
proses manipulasi waktu terjadinya laba atau laporan laba agar kelihatan stabil.
Narsa dkk (2003) dalam Pratamasari (2006) mengungkapkan 3 faktor yang dapat
dikaitkan dengan munculnya praktik perataan laba, yaitu :
1. Manajemen akrual (accruals management). Faktor ini biasa dikaitkan dengan
segala aktivitas yang dapat mempengaruhi aliran kas dan juga keuntungan yang
secara pribadi merupakan wewenang dari para manajer. Contohnya: dengan
mempercepat atau menunda pengakuan pendapatan (revenues); menganggap
suatu biaya sebagai tambahan investasi.
2. Penetapan perubahan kebijakan akuntansi yang wajib. Faktor ini berkaitan
dengan keputusan manajer untuk menerapkan suatu kebijakan akuntansi yang
wajib diterapkan oleh perusahaan, yaitu: antara menerapkan lebih awal dari
waktu yang diterapkan atau menunda sampai saat berlakunya kebijakan
tersebut.
3. Perubahan akuntansi secara sukarela. Faktor ini berkaitan dengan upaya
manajer untuk mengganti atau mengubah suatu metode akuntansi tertentu
diantara sekian banyak metode yang dapat dipilih dan tersedia. Contohnya:
penggantian metode penilaian persediaan FIFO ke LIFO atau sebaliknya,
mengubah metode penyusutan dari metode garis lurus ke metode yang
dipercepat dan sebaliknya.
Pratamasari (2006) menyatakan bahwa perataan laba dapat dilakukan dengan
menggunakan berbagai metode akuntansi atau taksiran akuntansi yang dapat digunakan
dan atau dengan memperlakukan transaksi yang menyebabkan laba yang dilaporkan
lebih mendekati angka yang ditargetkan daripada memaksimumkan aliran kas yang
diharapkan saat ini.
JURNAL DINAMIKA EKONOMI & BISNIS Vol. 7 No. 1 Maret 2010 26
Faktor Penentu Perataan Laba
Pengujian faktor-faktor yang mempengaruhi praktik perataan laba telah banyak
dilakukan, tetapi tidak menunjukkan hasil seragam. Faktor- faktor yang mempengaruhi
perataan laba dan faktor-faktor yang tidak mempengaruhi perataan laba dapat dilihat
pada Tabel 1.
Tabel 1
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Praktik Perataan Laba
No Faktor yang Berpengaruh Peneliti (Tahun)
1 Besaran Perusahaan,Total Aktiva Moses (1987)
2 Profitabilitas Ashari, dkk (1994), Charson dan
Chencuraimah (1997), Jatiningrum
(2000)
3 Kelompok Usaha Belkoui dan Picur (1984), Albretch dan
Ricardson (1990), Ashari dkk(1994)
4 Kebangsaan Ashari dkk(1994)
5 Harga Saham Ilmainir (1993)
6 Perbedaan laba aktual dan laba
normal
Ilmainir (1993)
7 Kebijakan akuntansi mengenai laba Ilmainir (1993)
8 Leverage Operasi Zuhroh (1996);Jin dan Machfoedz
Sumber : Pratamasari (2006)
Faktor-faktor yang mempengaruhi perataan laba diantaranya adalah besaran
perusahaan, total aktiva, profitabilitas, kelompok usaha, harga saham, perbedaan laba
aktual dan laba normal, kebijakan akuntansi mengenai laba dan leverage operasi,
sedangkan yang tidak berpengaruh diantaranya adalah besaran perusahaan, total aktiva,
penjualan, profitabilitas, kelompok usaha, rencana bonus, proporsi kepemilikan, status
badan usaha , dan klasifikasi winner/losser stock. Dalam Penelitian ini, variabel yang
dianalisis ada tiga variabel:
1. Profitabilitas (ROA = return on asset). Profitabilitas adalah kemampuan
perusahaan memperoleh laba dalam hubungannya dengan penjualan, total
aktiva maupun modal sendiri (Sartono, 1998). Alat ukur rasio profitabilitas
dalam penelitian ini adalah Return On Asset (ROA). Alasannya bahwa ROA
merupakan pengukur efektifitas manajemen dalam menghasilkan laba dengan
aktiva yang dimiliki perusahaan. Selain itu, ROA menghubungkan mata rantai
marjin laba bersih dengan perputaran total aktiva. Marjin laba bersih mengukur
profitabilitas terhadap penjualan, sedangkan perputaran total aktiva
mengidentifikasikan efisiensi perusahaan dalam menggunakan aktivanya untuk
menghasilkan penjualan (Pratamasari, 2006). Penggunaan ROA sebagai alat
ukur profitabilitas telah digunakan oleh Jin dan Machfoeds (1998), Jatiningrum
(2000) serta Yusuf dan Soraya (2004).
27 Analisis Faktor-Faktor yang Berpengaruh terhadap Tindakan
Perataan Laba pada Perusahaan Manufaktur di BEJ
Iis Setyningsih
Ichwan Marisan
ROA
DTA Tindakan
perataan laba
PER
2. Debt to Total Asset (DTA). Rasio DTA menunjukkan berapa bagian aktiva
yang digunakan untuk menjamin hutang. Kreditur lebih menyukai rasio hutang
yang rendah karena semakin rendah rasio ini, maka semakin besar perlindungan
terhadap kerugian hutang dalam peristiwa likuidasi (Riyanto 2001).
3. Price Earning Ratio atau PER. PER merupakan ukuran yang paling banyak
digunakan oleh investor untuk menentukan apakah investor modal yang
dilakukannya menguntungkan atau merugikan. PER menunjukkan berapa besar
para investor bersedia membayar untuk setiap keuntungan yang dilaporkan
perusahaan. PER menggambarkan besarnya perbandingan antara harga pasar
saham per lembar dengan laba per saham (Elizabeth, 2003). PER merupakan
rasio untuk harga pasar saham suatu waktu tertentu dengan laba per saham.
Kerangka Pikir Penelitian
Penelitian ini akan menguji tiga faktor: ROA, DTA dan PER terhadap tindakan
perataan laba. Oleh karena itu, dapat disusun kerangka pikir penelitian seperti yang
disajikan pada gambar 1.
Gambar 1
Kerangka Pikir Penelitian
Hipotesis Penelitian
Berdasarkan kerangka penelitian dan tinjauan pustaka, hipotesis penelitian
adalah:
H1: ROA berpengaruh terhadap tindakan perataan laba
H2: DTA berpengaruh terhadap tindakan perataan laba
H3: PER berpengaruh terhadap tindakan perataan laba
Metode Penelitian
Variabel Penelitian
Variabel penelitian digolongkan menjadi variabel dependen dan independen.
Variabel dependen adalah tindakan perataan laba. Sedangkan variabel independen
terdiri dari ROA, DTA dan PER. Berikut ini dijelaskan definisi operasionalnya:
JURNAL DINAMIKA EKONOMI & BISNIS Vol. 7 No. 1 Maret 2010 28
1. ROA (return on asset): kemampuan perusahaan memperoleh laba dibandingkan
dengan total aset yang dimiliki. Rumus ROA
ROA = asset total
pajaksesudah bersih laba
2. DTA (Debt to Total Assets): menunjukkan berapa bagian asset yang digunakan
untuk menjamin hutang. Rumus DTA
DTA = asset total
utang total
3. PER (Price Earning Ratio): menunjukkan berapa besar para investor bersedia
membayar untuk setiap keuntungan yang dilaporkan perusahaan. Rumus PER:
PER = sahamlembar per laba
sahamlembar per pasar harga
4. Tindakan perataan laba: merupakan tindakan perusahaan apakah melakukan
tindakan perataan laba atau tidak melakukan. Pengukurannya dengan menggunakan
Indeks Eckel. Adanya praktik perataan laba ditandai dengan Indeks Eckel yang
nilainya lebih dari satu. Rumusnya:
Indeks eckel = ECV
SCV
, dimana rumus CVS dan CVE adalah
CVS = Sn
SS
:
1
)( 2
CVE = E:1
)EE( 2
n
Keterangan:
CVS = koefisien variasi perubahan penjualan
CVE = koefisien variasi perubahan laba bersih
S = perubahan penjualan bersih
S = rata-rata perubahan penjualan bersih
E = perubahan laba bersih
E = rata-rata perubahan laba bersih
n = jumlah periode
pengukuran variabel tindakan perataan laba dengan dumi. Jika indeks eckel < 1
maka perusahaan tidak melakukan perataan laba dan diberi angka 0. Sebaliknya jika
indeks eckel > 1 maka perusahaan melakukan perataan laba dan diberi angka 1.
Populasi dan Sampel
Populasi penelitian terdiri dari 141 perusahaan manufaktur di Bursa Efek Jakarta
selama periode 2004-2008. Alasannya sektor manufaktur mendominasi keseluruhan
29 Analisis Faktor-Faktor yang Berpengaruh terhadap Tindakan
Perataan Laba pada Perusahaan Manufaktur di BEJ
Iis Setyningsih
Ichwan Marisan
perusahaan publik yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta. Selain itu, berdasarkan
penelitian terdahulu sektor perusahaan manufaktur paling banyak melakukan praktik
perataan laba (Salno dan Baridwan, 2000; Samlawi dan Sudibyo, 2000). Pemilihan
sampel penelitian dilakukan dengan purposive sampling, yaitu penentuan sampel
dengan kriteria tertentu. Kriteria tersebut adalah:
1. Perusahaan manufaktur terdaftar di Bursa Efek Jakarta hingga 2008.
2. Perusahaan menerbitkan laporan keuangan tahunan selama periode 31
Desember 2004, 2005, 2006 dan 2007.
3. Selama periode pengamatan perusahaan tidak melakukan merger, akuisisi.
Data yang diperlukan adalah data sekunder yang kemudian didokumentasi. Data
diperoleh dari Pojok BEJ UNDIP. Data yang digunakan adalah JSX Statistik Monthly,
dan Indonesian Capital Market Directory (ICMD).
Metode Analisis Data
Metode analisis dilakukan dengan logistic regression (regresi logistik) karena
variabel dependennya datanya berskala nominal. Model logitnya sebagai berikut:
ebbba PERDTAROAp-1
pLn 321
dimana :
ln = log of odds
P = Probabilitas tindakan perataan laba
ROA = Return On Asset
DTA = Total Debt to Total Asset
PER = Price Earning Ratio
b1,..,b2 = koefisien regresi
e = residual
Pengujian hipotesis dalam regresi logistik dapat dilakukan jika memenuhi
persyaratan kelayakan model yang meliputi persyaratan goodness of fit, overall model
fit dan overall classification.
Pengujian hipotesis dilakukan untuk menguji pengaruh variabel independen
dalam memprediksi kemungkinan tindakan perataan laba. Kriteria pengambilan
keputusan dalam pengujian hipotesis adalah:
a. Jika p-value < 0,05 artinya variabel independen mempunyai pengaruh yang
signifikan terhadap variabel dependen
b. Jika p-value > 0,05 artinya variabel independen tidak berpengaruh signifikan
terhadap variabel dependen.
Hasil Penelitian
Hasil pengklasifikasian perusahaan berdasarkan perhitungan indeks eckel
disajikan pada tabel 2.
JURNAL DINAMIKA EKONOMI & BISNIS Vol. 7 No. 1 Maret 2010 30
Tabel 2
Klasifikasi Perusahaan Berdasarkan Status
Status model indeck eckel Jumlah Persen
Perusahaan perata laba (IE > 1) 60 46,15
Perusahaan bukan perata laba (IE <1) 70 53,85
Jumlah 130 100
Sumber : Dari data sekunder diolah
Tabel 2 memperlihatkan bahwa dari 130 sampel, 60 perusahaan atau 46,15
persen melakukan perataan laba dan 70 perusahaan atau sebesar 53,85 % tidak
melakukan perataan laba.
Uji Kelayakan model Regresi Logit
Langkah analisis hasil regresi logistik adalah menilai kelayakan model regresi
(goodness of fit test), menilai keseluruhan model (overall model fit), dan overall
classification table, baru kemudian pengujian hipotesis.
1. Kelayakan Model Regresi (goodness of fit test)
Penilaian kelayakan model regresi dilihat dari Hosmer and Lemeshows
statistics. Analisis tersebut digunakan untuk menguji bahwa data empiris cocok
atau sesuai model. Nilai chi square hosmer & lemeshows statistics sebesar 4,255
dengan significance sebesar 0,833. Karena nilai significance > 0,05 maka dapat
disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan nyata antara klasifikasi yang diprediksi
dengan klasifikasi yang diamati. Artinya model regresi logit layak dipakai untuk
analisis selanjutnya.
2. Kelayakan Keseluruhan Model (Overall Model Fit)
Penilaian kelayakan keseluruhan model dilihat dari nilai -2 log likelihood (-
2LL). Nilai -2LL pada block number = 0 sebesar 179,448 sedangkan pada block
number =1 sebesar 171,630. Karen nilai block number = 0 lebih besar dari block
number =1 maka dikatakan model regresi layak atau lebih baik. Hal ini didasarkan
alasan bahwa penurunan likelihood menunjukkan model semakin baik.
3. Overall Classification
Overall classification digunakan untuk melihat ketepatan dalam memprediksi
tindakan perataan laba dimasa datang. Hasilnya disajikan pada tabel 3.
Tabel 3
Overall Classification Table
Observed Predicted
Bukan perata laba Perata laba Jumlah
Bukan perata laba 59 11 70
Perata laba 47 13 60
jumlah 106 24 100,0
Sumber : analisis data sekunder dengan SPSS
31 Analisis Faktor-Faktor yang Berpengaruh terhadap Tindakan
Perataan Laba pada Perusahaan Manufaktur di BEJ
Iis Setyningsih
Ichwan Marisan
Hasil pada tabel 3 menunjukkan bahwa perusahaan perataan laba diprediksi ada
60, tetapi observasi sesungguhnya perusahaan perataan laba 47 perusahaan, sehingga
ketepatan prediksinya 21,7%. Untuk perusahaan non perata laba prediksinya adalah 70
perusahaan, tetapi observasi sesungguhnya menunjukkan perusahaan nonperata laba
adalah 59 perusahaan, sehingga ketepatan prediksinya 84,3%. Secara keseluruhan
ketepatan prediksi untuk menunjukkan perusahaan perata laba dan bukan perata laba
adalah 55,4%.
Hasil Regresi Logit dan Pengujian Hipotesis
Hasil regresi logit disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4
Hasil Regresi Logit
Variabel Koefisien Wald Test (t hitung) signifikansi
Konstanta -0,129 0,417 0,519
ROA 0,020 2,155 0,142
DTA -0,039 0,504 0,478
PER -0,003 0,753 0,385
Sumber: data sekunder diolah dengan SPSS
Persamaan regresi logit sebagai berikut :
Prob PL= -0,129 + 0,020ROA – 0,039 DTA – 0,003PER
Berdasarkan persamaan regresi logit, ROA memiliki koefisien positif, sedangkan
DTA dan PER koefisiennya negatif. Interpretasi persamaan regresi sebagai berikut:
1. Nilai koefisien regresi ROA sebesar 0,02 artinya peningkatan ROA sebesar
satu persen akan meningkatkan kemungkinan perusahaan melakukan
tindakan perataan laba sebesar 1,020 persen (e0,020
).
2. Nilai koefisien regresi DTA sebesar -0,039 artinya peningkatan DTA sebesar
satu persen akan menurunkan kemungkinan perusahaan melakukan tindakan
perataan laba sebesar 0,961 persen (e-0,039
).
3. Nilai koefisien regresi PER sebesar -0,003 artinya peningkatan PER sebesar
satu persen akan menurunkan kemungkinan perusahaan melakukan tindakan
perataan laba sebesar 0,997 persen (e-0,003
).
Pengujian hipotesis berdasarkan Tabel 4 adalah:
1. Nilai signifikansi (asymptotic significance) ROA sebesar 0,142 lebih besar
5%. Hal ini berarti H1 yang menyatakan ROA berpengaruh terhadap
tindakan perataan laba, ditolak. Artinya variabel ROA tidak berpengaruh
terhadap kemungkinan perusahaan melakukan praktik perataan laba.
2. Nilai signifikansi DTA sebesar 0,478 lebih besar 5%. Hal ini berarti H2 yang
menyatakan DTA berpengaruh terhadap tindakan perataan laba, ditolak.
Artinya variabel DTA tidak berpengaruh terhadap kemungkinan perusahaan
melakukan praktik perataan laba.
JURNAL DINAMIKA EKONOMI & BISNIS Vol. 7 No. 1 Maret 2010 32
3. Nilai signifikansi PER sebesar 0,385 lebih besar 5%. Hal ini berarti H3 yang
menyatakan PER berpengaruh terhadap tindakan perataan laba, ditolak.
Artinya variabel PER tidak berpengaruh terhadap kemungkinan perusahaan
melakukan praktik perataan laba.
Pembahasan
Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bukti empiris bahwa terdapat
kecenderungan perusahaan-perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta melakukan
tindakan perataan laba (income smoothing). Hal ini terbukti dari hasil penelitian,
dimana dari 130 perusahaan yang diteliti terdapat 60 perusahaan yang melakukan
tindakan perataan laba (income smoothing).
Hasil penelitian yang menunjukkan bahwa variabel ROA tidak berpengaruh
terhadap tindakan perataan laba mendukung hasil penelitian yang dilakukan oleh
Zuhroh (1997), Jin dan Machfoedz (1998), Salno dan Baridwan (2000), serta Juniarti
dan Corolina (2005). Sebagian besar penelitian yang dilakukan di Indonesia tentang
faktor-faktor yang mempengaruhi praktik perataan laba tidak berhasil mendukung
bahwa profitabilitas (ROA) mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap praktik
perataan laba.
Profitabilitas tidak berpengaruh diduga karena bentuk pasar modal Indonesia
belum efisien dalam bentuk setengah kuat, sesuai hasil temuan Affandi dan Utama
dalam Istianah (2006). Pada bentuk setengah kuat harga-harga saham saat ini tidak
hanya mencerminkan harga-harga saham masa lalu tapi juga semua informasi yang
dipublikasikan, diantaranya adalah laba perusahaan, deviden, pemecahan saham,
perubahan-perubahan akuntansi, merger dan akuisisi, perubahan manajer, dan
sebagainya. Hasil penelitian Affandi dan Utama dalam Istianah (2006) menunjukkan
pasar modal di Indonesia belum mencapai setengah kuat. Hal tersebut ditunjukkan
dengan lambatnya reaksi harga saham terhadap pengumuman laba (informasi baru).
Lemahnya reaksi harga saham terhadap pengumuman laba karena pasar
menganggap bahwa informasi yang diberikan oleh laporan keuangan kurang berguna,
sehingga pasar mengabaikan tanggal pengumuman laba. Hal ini didukung penelitian
Noor (2004: 77) dalam Juniarti dan Corolina (2005) bahwa tidak terpengaruhnya ROA
diduga karena investor cenderung mengabaikan informasi profitabilitas yang ada secara
maksimal sehingga manajemen tidak termotivasi melakukan perataan laba melalui
variabel tesebut. Dengan adanya bukti keadaan tersebut di atas para pelaku pasar modal
di Indonesia belum mempergunakan informasi yang dipublikasikan dalam bentuk
laporan keuangan secara maksimal dalam pengambilan keputusan investasi saham.
Sehingga profitabilitas belum dianggap sebagai salah satu hal penting yang harus
diperhatikan oleh pemakai laporan keuangan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel DTA tidak berpengaruh terhadap
tindakan perataan laba, mendukung hasil penelitian Pratamasari (2006) yang juga
menemukan bahwa DTA tidak mempengaruhi praktik perataan laba. Penelitian ini
33 Analisis Faktor-Faktor yang Berpengaruh terhadap Tindakan
Perataan Laba pada Perusahaan Manufaktur di BEJ
Iis Setyningsih
Ichwan Marisan
dilakukan pada saat kondisi perekonomian Indonesia relatif berangsur-angsur lebih
stabil sehingga DTA tidak berpengaruh signifikan terhadap praktik perataan laba. Hal
ini berbeda dengan periode penelitian Narsa, dkk (2003) yang dilakukan pada waktu
Indonesia sedang mengalami krisis moneter. Pada waktu krisis moneter, perusahaan-
perusahaan di Indonesia sedang mengalami keterpurukan karena jumlah utang luar
negeri meningkat tajam seiring dengan melemahnya nilai rupiah dibandingkan dengan
nilai mata uang asing sehingga DTA berpengaruh terhadap praktik perataan laba.
Tidak berpengaruhnya DTA terhadap praktik perataan laba dalam penelitian ini,
diduga disebabkan oleh pertimbangan manajemen bahwa utang bukanlah satu-satunya
sumber utama kegiatan operasional perusahaan. Perusahaan yang mengalami kesulitan
keuangan mungkin dapat memenuhi kebutuhan dana dari sumber lain, seperti
penggunaan laba ditahan dan penerbitan saham untuk ekuitas, alternatif ini dapat
dimanfaatkan untuk melakukan ekspansi perusahaan mendapat dana yang relatif murah
dengan biaya modal yang lebih murah dan biaya modal dapat ditekan. Keadaan ini akan
memberikan efek positif bagi penyerapan tenaga kerja, pemanfaatan teknologi dan
sumber daya alam yang ada. Selain itu emiten memperoleh manfaat dari penerbitan
saham yaitu perusahaan akan mendapat suntikan dana segar yang cukup besar, jangka
waktu penggunaan dana tidak terbatas, ketergantungan terhadap bank semakin kecil,
emisi saham cocok untuk membiayai perusahaan yang beresiko tinggi serta
profesionalisme dalam manajemen meningkat. Dengan demikian, diharapkan
kemungkinan besar kreditur akan menambah dana yang akan dipinjamkan karena
resiko kerugian akan ditanggung bersama oleh investor.
Variabel PER tidak berpengaruh terhadap tindakan perataan laba, ini mendukung
hasil penelitian Assih (1998), Salno dan Baridwan (2000). Dari segi investor, PER yang
terlalu tinggi barangkali tidak menarik karena harga saham barangkali tidak akan naik
lagi yang berarti kemungkinan memperoleh capital gain akan lebih kecil (Mamduh dan
Abdul, 2000). PER tidak mempengaruhi tindakan perataan laba karena sifat pemodal di
Indonesia cenderung ke capital gain, karena keuntungan tersebut tidak tergantung pada
kinerja perusahaan, sehingga PER yang mencerminkan kinerja perusahaan cenderung
diabaikan. Hal tersebut didukung oleh Lukman Hakim dalam Istianah (2006) yang
menyatakan bahwa jumlah pemodal jangka pendek lebih banyak dibandingkan dengan
pemodal lain yaitu sebesar 80% dari pemodal Indonesia, sehingga perusahaan yang
mempunyai PER yang tinggi tidak tertarik melakukan praktik perataan laba.
Penutup
Kesimpulan
Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh ROA, DTA dan PER terhadap
praktik perataan laba. Berdasarkan analisis data dan interpretasi hasil, diperoleh
kesimpulan penelitian sebagai berikut:
1. Variabel ROA tidak berpengaruh terhadap tindakan perusahaan melakukan praktik
perataan laba.
JURNAL DINAMIKA EKONOMI & BISNIS Vol. 7 No. 1 Maret 2010 34
2. Variabel DTA tidak berpengaruh terhadap tindakan perusahaan melakukan praktik
perataan laba.
3. Variabel PER tidak berpengaruh terhadap tindakan perusahaan melakukan praktik
perataan laba.
Agenda Penelitian Selanjutnya
Berikut ini beberapa saran untuk agenda penelitian yang akan datang:
1. Sebaiknya melihat metode akuntansi yang digunakan oleh perusahaan, karena
penggunaan metode akuntansi tersebut sangat mempengaruhi jumlah laba bersih
yang digunakan sebagai acuan pengklasifikasian perusahaan melakukan perataan
laba atau tidak.
2. Penggunaan metode pengklasifikasian sampel yang berbeda (misalnya model
Michelson) dan kemudian dibandingkan dengan indeck eckel yang banyak dipakai
dalam penelitian terdahulu.
3. Untuk penelitian selanjutnya, sebaiknya melihat seberapa besar respon pasar
terhadap laporan keuangan mempunyai kandungan informasi yang cukup dalam
mengambil keputusan investor.
Daftar Pustaka
Arikunto, Suharsimi, 2002, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, PT Rineka
Cipta, Jakarta.
Belkaoui, A. R., 2000, Teori Akuntansi, Buku Satu Terjemahan Marwanta, Hanjanti
Widyastuti, Heni Kurniawan dan Alia Ariesanti, Penerbit Salemba Empat
Jakarta.
Brigham,Eugene, dan Houston, F, Joel, 2001, Manajemen Keuangan, Penerbit
Erlangga, Jakarta.
Anis, Chariri dan Ghozali Imam, 2005, Teori Akuntansi, Badan Penerbit Universitas
Diponegoro, Semarang.
Dewi, Monika, 2007, Pengaruh Leverage Perusahaan, Ukuran Perusahaan dan
Corporate Governance Terhadap Manajemen Laba, Skripsi Universitas
Brawijaya Malang.
Dwiatmini, Sesilia dan Nurkholis, 2001, “Analisis Reaksi Pasar Terhadap Informasi
Laba Kasus Paraktik Perataan Laba Pada Perusahaan yang Terdaftar di BEJ”,
TEMA, Vol. II : No. 1, h. 35-48.
Dharmastusi, Ch Fara, 2004, “Analisis Pengaruh EPS, PER, ROI, DER, dan NPM
Dalam Menetapkan Harga Saham Perdana (Studi Pada Perusahaan yang
Terdaftar di BEJ)”, Balance, September 2004 Hal 14-28.
Elizabeth, Indrawati Marpaung, 2003, “Perubahan Deviden Yield dan Perubahan PER
Berpengaruh Terhadap Perubahan Return Saham” Jurnal Ilmiah Akuntansi,
Volume 3, No.1. November 2003.
35 Analisis Faktor-Faktor yang Berpengaruh terhadap Tindakan
Perataan Laba pada Perusahaan Manufaktur di BEJ
Iis Setyningsih
Ichwan Marisan
Hanafi, Mahmud M dan Abdul Halim, 2000, Analisa Laporan Keuangan, Penerbit UPP
AMP YKPN, Yogyakarta.
IAI, 2002, Standar Akuntansi Keuangan, Penerbit Salemba Empat, Jakarta.
Indriantoro, Nur dan Bambang Supomo, 2002, Metodologi Penelitian Bisnis untuk
Akuntansi dan Manajemen, BPFE, Yogyakarta.
Istianah, Mei, 2006, Pengaruh Faktor Debt to Equity Ratio, Profitabilitas, DPR dan
Size Perusahaan Terhadap Tindakan Perataan Laba (Income Smoothing) pada
Perusahaan yang Terdaftar di BEJ Tahun 2000-2004, Skripsi, Universitas
Negeri Semarang.
Juniarti, Corolina, 2005, “Analisa Faktor-Faktor yang Berpengaruh Terhadap
Perataan Laba (Income Smoothing) Pada Perusahaan Go Public”, Jurnal
Akuntansi dan Keuangan, Vol 7, No. 2, h. 148-162.
Munawir, 2002, Analisa Laporan Keuangan, Liberty, Yogyakarta.
Murtanto, 2004, “Analisis Perataan Laba: Faktor-Faktor yang Mempengaruhi dan
Kaitannya dengan Kinerja Saham Perusahaan Publik di Indonesia”, Proceedings
Simposium Nasional Akuntansi VII, Denpasar, h.1177-1200.
Pratamasari, Frinta, 2006, Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Praktik
Perataan Laba (Income Smoothing) Pada Perusahaan Manufaktur Dan
Keuangan yang Terdaftar di BEJ, Skripsi, Universitas Brawijaya Malang.
Riyanto, Bambang, 2001, Dasar-dasar Pembelanjaan Perusahaan, Andi Publisher,
Yogyakarta.
Sartono, Agus, 2000, Manajemen Keuangan Teori dan Aplikasi, BPFE, Yogyakarta.
Soehartono, Irawan, 2002, Metode Penelitian Sosial, PT Remaja Rosdakarya, Bandung.
Sugiyono, 2002, Metode Penelitian Bisnis, CV Alvabeta, Bandung.
Yusuf, Muhammad dan Soraya, 2004, “Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Praktik
Perataan Laba pada Perusahaan Asing dan Non-Asing di Indonesia”, JAAI, Vol.
8, No. 1, h. 99-125.
37 Ulama dalam Menghadapi Perkembangan Ekonomi
Noor Rohman
ULAMA DALAM MENGHADAPI PERKEMBANGAN
EKONOMI
Noor Rohman Fauzan
STIE Nahdlatul Ulama Jepara, Jl. Taman Siswa (Pekeng) Tahunan Jepara
Email: [email protected]
Abstract
Group of scholars is the people who occupy important positions in social life. This paper
tries to discuss the extent to which the role of the ulama in the face of economic development.
Therefore, it is necessary to set out an explanation of the extent to which Islam is able to give
meaning to economic activities. Since Islam commands people to always strive in order to create
a prosperous life physically and mental. In the face of economic development is not there a
reason for the scholars to not get involved.
Keywords: scholars, Islam, the economic system
Abstrak
Kelompok ulama merupakan golongan masyarakat yang menempati posisi yang
penting dalam kehidupan kemasyarakatan. tulisan ini mencoba membahas sejauh mana
peran para ulama dalam menghadapi perkembangan ekonomi. Oleh karena itu, maka
perlu dipaparkan sebuah penjelasan mengenai sejauh mana Islam mampu memberi
makna kepada aktivitas-aktivitas ekonomi. Karena Islam memerintahkan manusia
untuk selalu berusaha dalam rangka menciptakan kehidupan yang sejahtera lahir
maupun batin. Dalam menghadapi perkembangan ekonomi tidaklah terdapat alasan
bagi para ulama untuk tidak ikut terlibat.
Kata kunci: ulama’, islam, sistem ekonomi
Pendahuluan
Kelompok ulama merupakan golongan masyarakat yang menempati posisi yang
begitu penting dalam kehidupan kemasyarakatan. Karenanya mereka dijuluki oleh Eric
Wolf sebagai „makelar budaya‟ (cultural broker) yang penting, sebab merekalah yang
menjaga titik simpang yang sulit yang menghubungkan antara sistem lokal ke sistem
yang lebih luas dan menyeluruh.[1] Karena pentingnya kedudukan mereka itu, maka
keterlibatan mereka dalam keseluruhan dinamika hidup–yang terimplementasikan
dalam berbagai aspek; aspek sosial, kultural, politik, ekonomi dan lain-lainnya–tak
dapat diabaikan dengan begitu saja. Untuk itu, tulisan ini mencoba membahas sejauh
mana peran para ulama dalam menghadapi perkembangan ekonomi.
Selain adanya aspek politik yang telah banyak berpengaruh dalam kehidupan
manusia, ternyata terdapat aspek lain yang lebih awal dan sangat menentukan, yaitu
aspek ekonomi. Aspek ini, sebenarnya lahir berbarengan dengan eksisnya manusia.
JURNAL DINAMIKA EKONOMI & BISNIS Vol. 7 No. 1 Maret 2010 38
Karena titik tolak ekonomi itu mengacu kepada usaha manusia dalam mempertahankan
kelangsungan hidupnya dengan memanfaatkan sumber-sumber yang langka,[2] maka
dapat disimpulkan bahwa masalah ekonomi adalah masalah kebutuhan materi. Oleh
karena itu terdapat common sense dalam percakapan sehari-hari, bahwa ekonomi adalah
urusan kehidupan sekarang ini. Di sisi lain juga terdengar ucapan, bahwa agama adalah
untuk urusan akhirat. Sehingga tercetus jargon „tak ada korelasi antara agama dengan
tingkah laku ekonomi‟.[3]
Islam sebagai al-dien (Syari’at Muhammadiyah) yang terakhir berpretensi,
bahwa Syari‟at Islam mempunyai daya-validitas eternal (abadi/kekal). Oleh karena itu,
maka perlu dipaparkan sebuah penjelasan mengenai sejauh mana Islam mampu
memberi makna kepada aktivitas-aktivitas ekonomi, dan sejauh mana Islam mampu
menghadapi perkembangan-perkembangan yang terjadi sebagai akibat logis dari
aktivitas-aktivitas tersebut.
Islam dan Sistem Ekonomi
Sejak lahirnya Islam telah menganjurkan para penganutnya untuk tidak bermalas-
malasan. Islam memerintahkan mereka untuk selalu berusaha dalam rangka
menciptakan kehidupan yang sejahtera lahir maupun batin. Dalam Al-qur‟an Allah
SWT berfirman:“Maka jika kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), maka
kerjakanlah (urusan) yang lain dengan sungguh-sungguh.”[4]. Allah juga berfirman
:“Dan di antara mereka ada orang yang berdo’a: “Ya Tuhan kami, berilah kami
kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan peliharalah kami dari siksa
neraka.”[5] Berkaitan dengan hal ini pula Nabi berkata :“Apabila kamu (telah selesai)
melakukan shalat fajar (shubuh), maka janganlah tidur lalu tidak berusaha mencari
rizqi”[6] Jadi, artinya bahwa segala bentuk pengangguran pada dasarnya bertentangan
dengan ajaran Islam.
Sehubungan dengan hal ini, Mubyarto, salah seorang ekonom terkemuka dan
guru besar pada Fakultas Ekonomi Universitas Gajah Mada, mengemukakan:
“Pengangguran dengan segala sumber penyebabnya harus dianggap sebagai
„penyakit sosial‟ yang harus dilenyapkan. Manusia tidak boleh menganggur,
karena mengangur tidak saja merupakan pemborosan sumber daya, tetapi
juga berarti merendahkan martabat manusia. Allah menciptakan manusia di
bumi ini adalah untuk mengelola segala ciptaannya, tidak untuk menganggur
dan meminta-minta. Bekerja adalah „amal‟ dan sekaligus „ibadah‟.”[8]
Ajaran-ajaran tersebut bukanlah bersifat kognitif. Akan tetapi Nabi sendiri
sebagai contoh terbaik, telah memberikan contoh bagaimana hidup berdikari. Saat
masih kanak-kanak, bekerja sebagai penggembala kambing. Saat memasuki usia
dewasa, berniaga sampai ke negeri Syam. Kalau diukur dengan masa-masa sekarang,
maka usaha perdagangan yang dilakukan itu sejajar dengan usaha ekspor-impor barang
ke dan dari luar negeri. Inilah contoh konkrit yang ditampilkan Nabi, sebagai bukti dari
tuntunan dan ajarannya yang tidak sekedar normatif konsepsional. Beliau juga berkata
39 Ulama dalam Menghadapi Perkembangan Ekonomi
Noor Rohman
al-dien al-mu’amalah. Artinya agama adalah mu’amalah (interaksi kemanusiaan). Hal
ini menunjukkan, bahwa keterlibatan Islam dalam dinamika perekonomian sangatlah
jelas dan dominan. Agar dapat difahami dan diyakini secara lebih mendalam oleh
kalangan umat Islam, Mukti Ali mengatakan, bahwa seperempat dari jumlah masalah
yang dibahas dalam kitab-kitab fiqh adalah soal-soal seluk-beluk ekonomi.[9]
Selanjutnya adalah pembuktian melalui pendekatan sejarah. Setelah menelusuri
jejak-jejak sejarah Nabi yang berkaitan dengan kegiatan-kegiatan ekonominya, banyak
pemikir dan ulama Islam yang dengan penuh kesungguhan, mereka merumuskan
konsepsi-konsepsi tentang persoalan yang berkaitan dengan ekonomi. Misalnya al-
Farabi (870-950 M.), Ibnu Siena (980-1037 M.), Imam Ghazali (1058-1111 M.), dan
Ibnu Khaldun (1331-1406 M.).[10] Dan untuk lebih jelasnya lagi, masuknya Islam ke
kepulauan Indonesia adalah melalui jalur perdagangan. Untuk itu, tepat apa yang
dikatakan Mukti Ali bahwa “Hal yang patut dicatat adalah saling kerjasama antara
agama Islam dan perdagangan dalam proses ekspansi.”[11] Selanjutnya beliau katakan
bahwa, “Di antara seluruh agama-agama besar dewasa ini, hanya Islamlah yang tumbuh
dalam lingkungan dagang.”[12] Hermawan Kertajaya, seorang pakar marketing non-
Muslim kelas dunia, dengan menyatakan : "Sebagai pemeluk Katholik, nabi saya saja
bukan ahli perdagangan, tapi Nabi Muhammad SAW itu pedagang dan dalam dirinya
melekat karakter pemasaran."[13]
Warisan budaya dagang itu nampak sekali di kala kebangkitan organisasi-
organisasi Islam pada awal-awal abad ke 20, sebelum Indonesia merdeka. Berdagang
yang merupakan bagian penting dari aktivitas-aktivitas perekonomian, dan yang pernah
dipraktikkan Nabi ini, ternyata banyak ditapaktilasi oleh ulama‟-ulama‟ pendiri
organisasi-organisasi Islam. K. H. Samanhoedhi, misalnya, sebagai pendiri Sarekat
Dagang Islam (SDI) pada 16 Oktober 1905, mempelopori berdirinya SDI karena
terdorong oleh situasi perekonomian saat itu, di mana terjadi kompetisi yang meningkat
dalam perdagangan batik dengan golongan Cina.[14]
K.H. Achmad Dahlan, pendiri Muhamadiyah (1912), di samping sebagai khatib
masjid kesultanan Yogyakarta, juga aktif berdagang batik sebagai sumber nafkah
hidupnya.[15] K.H. Abdul Halim, pendiri organisasi Hayatul Qulub (1911) yang
kemudian diganti menjadi Persyarikatan Ulama (1917) di Majalengka, juga
menekankan organisasinya dalam bidang ekonomi dan pendidikan.[16] Demikian juga
Nahdlatul Ulama‟ (NU), yang berdiri dipelopori oleh para ulama‟ (31 Januari 1926) di
Surabaya, di samping sebagai organisasi yang mengurusi bidang agama juga
mencantumkan dalam peraturan dasar organisasinya usaha-usaha mendirikan badan-
badan perdagangan.[17] Pada tahun 1937, Kyai Mahfudz, sebagai ketua NU,
menganjurkan hendaknya didirikan koperasi-koperasi yang disebut Syirkah Mu’awanah
di cabang-cabang. Sementara itu syirkah (perusahaan) yang sempat berdiri adalah di
cabang Surabaya, Singosari, Bangilan dan Gresik. Dan keberhasilan yang dicatat ialah
NU pernah mengimpor barang pecah belah dari Jepang dengan diberi cap simbol
Nahdlatul Ulama‟.[18]
JURNAL DINAMIKA EKONOMI & BISNIS Vol. 7 No. 1 Maret 2010 40
Itulah beberapa usaha perdagangan yang pernah dilakukan para ulama dari
berbagai organisasi Islam di Indonesia sebelum kemerdekaan. Tiada lain kesemuanya
itu merupakan gambaran faktual upaya-upaya mereka dalam mengantisipasi perubahan-
perubahan yang bersifat sosio-ekonomis. Lebih tegasnya lagi mereka tidak hanya
memperhatikan urusan-urusan agama (ukhrawiyah) saja, akan tetapi mereka sudah
mulai menyadari sepenuhnya akan pentingnya peranan ekonomi dalam rangka
memperjuangkan dakwah Islamiyah. Dan sekaligus menyadari akan ketertinggalan
mereka dalam bidang ekonomi dengan segala aspeknya.
Kendatipun bangsa Indonesia telah berhasil meraih kemerdekaannya pada 17
Agustus 1945, namun kira-kira hanya 50% dari masyarakatnya yang baru merasakan
keberuntungan dalam hidupnya.[19] Dengan itu maka bangsa Indonesia dikategorikan
sebagai bangsa yang miskin. Menurut Nurcholish Madjid, satu hal yang sangat pahit
untuk disadari ialah bahwa Indonesia, secara potensial, merupakan bangsa „ketiga
terkaya di dunia‟, namun tingkat kehidupannya masih termasuk yang terendah.[20]
Untuk itu tepatlah, di masa rezim Soeharto, etos pembangunan ekonomi dijadikan
sebagai sesuatu yang paling urgen dalam rangka menciptakan sarana pewujud cita-cita
bangsa.[21]
Karena kondisi ekonomi bangsa Indonesia mengalami situasi seperti itu, yaitu
kemiskinan, maka secara random paling tidak 90% dari mereka adalah orang-orang
Muslim atau bahkan bisa lebih – mengingat kondisi ekonomi umat Islam sebelum
kemerdekaan yang telah mengalami ketertinggalan. Dengan demikian, maka masalah
kemiskinan yang ada, pada hakikatnya adalah masalah kemiskinan umat Islam. Untuk
itu para ulama merasa terpanggil untuk berpartisipasi dalam memecahkan masalah
kemiskinan tersebut. Demikian ini mengingat peranannya di tengah-tengah komunitas
Muslim yang begitu penting dan menentukan.
Apabila disimak, sebagai sebuah kajian komparatif, keberhasilan pembangunan
di Amerika Serikat yang kapitalis itu dinyatakan sebagai hasil dari diterapkannya
Calvanism dengan doktrinnya tentang „calling’, atau panggilan, yakni menganggur itu
tidak baik atau perbuatan yang diancam Tuhan, dan bekerja keras mencari keuntungan
itu baik di hadapan Tuhan.[22] Calvanism, dalam kaitan ini, juga disebut „Etika
Protestan‟. Demikian ini menurut tesis Max Weber mengenai hubungan antara etika
Protestan dengan semangat kapitalisme modern.[23]
Apabila etika Protestan diyakini dapat berpengaruh dalam keberhasilan
pembangunan ekonomi di Amerika Serikat, maka pertanyaan kita sekarang adalah
“Apakah Islam yang sarat dengan ajaran-ajaran yang sesuai dengan kefitrahan mampu
juga berpengaruh dalam keberhasilan pembangunan ekonomi di Indonesia?”
Pertanyaan ini akan mempunyai implikasi yang lebih jauh, yakni suatu tuntutan akan
respon yang comparable dan merupakan suatu alternatif yang berdimensi lebih
komprehensif dalam tingkat kompetensi-pemecah masalah-masalah kemanusiaan
dengan segala aspeknya. Untuk itu, kelompok ulama dituntut untuk mampu
menerjemahkan nilai-nilai ajaran Islam sehingga dapat dijadikan sebagai jawaban yang
41 Ulama dalam Menghadapi Perkembangan Ekonomi
Noor Rohman
memuaskan secara universal untuk jawaban tersebut. Sebab, nilai-nilai ajaran itulah
sumber kekuatan Islam.
Apabila doktrin „panggilan‟ (etika Protestan) tersebut, sebagai yang telah
melahirkan „kapitalisme modern‟, diletakkan pada porsi pembangunan ekonomi
Indonesia yang berdasarkan Pancasila, maka yang terjadi adalah „malapetaka‟. Sebab,
Pancasila yang sebagai falsafah hidup bangsa Indonesia merupakan refleksi dari potret
bangsa secara utuh (cipta, karsa dan rasa). Ia mencakup nilai-nilai sosio-kultural dan
sekaligus nilai-nilai sosio-keagamaan. Manakala bekerja keras untuk memperoleh
pekerjaan yang lebih menguntungkan – sebagai doktrin keagamaan yang absah –
dimanipulasikan dengan tanpa memperhitungkan aspek-aspek kemanusiaan, maka
menurut kesimpulan Weber, kapitalisme yang lahir sebagai idealisme praktis dari kaum
borjuis yang bercita-cita untuk masa depan akan berakhir sebagai pesta pora
materialism.[24] Oleh karena itulah doktrin tersebut tidak tepat dijadikan sumber nilai
ajaran bagi pembangunan ekonomi di Indonesia. Sebab, akibat yang lebih fatal lagi
ialah timbulnya keserakahan manusia atas alam benda. Ini adalah merupakan akibat
logis dari materialisme yang dilahirkan dari rahim kapitalisme. Sehingga manusia akan
kehilangan keseimbangan dalam hidupnya karena ia hanya mengacu pada sifat
manusianya sebagai homo economicus yang cenderung serakah. Akhirnya, apa yang
terjadi? „Malapetaka‟, yaitu menurunya derajat manusia menjadi derajat hewan. Dengan
demikian ini, maka runtuhlah nilai-nilai kemanusiaan, cultural maupun keagamaan.
Di samping itu perlu disinggung juga sistem ekonomi yang lain, yaitu
„Komunisme‟. Sistem ekonomi ini juga pernah dianggap berhasil di Uni Soviet,
sebelum Glasnost, pecahnya Uni Soviet. Komunisme –sebagaimana kapitalisme – juga
berpijak pada dasar yang bersifat materialistik. Ia muncul dengan jargon „keadilan
sosial‟. Namun ternyata keadilan sosial yang dimaksud sangat bertentangan dengan
naluri dan kapasitas yang ada pada setiap individu. Falsafah kemasyarakatannya
mengatakan, bahwa masyarakatlah satu-satunya yang nyata, sementara individu
tidaklah mempunyai arti apapun kecuali sebagai anggota dari masyarakat.[25]
Berdasarkan ini, maka komunisme tidak mengakui kemerdekaan memiliki (hurriyat al-
tamalluk). Dengan demikian, hak-hak perorangan beserta kemerdekaannya dikuasai
sepenuhnya oleh Negara. Untuk itu, sangatlah tidak tepat doktrin komunis diterapkan
dalam kerangka pembangunan ekonomi Indonesia. Itulah maksud salah satu doktrin
komunisme. Dan bagaimana seandaianya sistem ekonomi tersebut diterapkan di
Indonesia? Maka, jawabnya pun serupa dengan apa yang diuraikan di atas, yaitu
„Malapetaka‟.
Mengapa demikian? Sebab, berdasarkan uraian mengenai maksud doktrin di
atas, yakni tidak diakuinya individu dalam Negara, dapatlah difahami bahwa
perampasan aspek-aspek individual adalah suatu tindakan yang tidak manusiawi. Hal
itu berarti pembunuhan massal terhadap kemampuan-kemampuan yang dimiliki oleh
manusia. Padahal manusia yang disebut sebagai makhluk multi-dimensional
mempunyai berbagai keunikan dan kelebihan yang berbeda satu dari yang lain. Karena
JURNAL DINAMIKA EKONOMI & BISNIS Vol. 7 No. 1 Maret 2010 42
falsafah kemasyarakatannya itulah kreativitas-kreativitas manusia tidak bisa
diekspresikan secara optimal. Maka „keadilan sosial‟ yang didengung-dengungkan
Komunisme itu ternyata „semu‟. Dengan demikian, tidaklah tepat sistem ekonomi
Komunisme itu untuk diterapkan dalam kerangka sistem ekonomi Indonesia
(Pancasila), terlebih lagi dalam konteks nation building yang bertujuan membangun
manusia seutuhnya. Pendek kata, sinonim Komunisme adalah „kehancuran‟.
Karena kedua sistem ekonomi (kapitalisme dan komunisme) tersebut tidak
sejalan dengan falsafah atau derap langkah pembangunan ekonomi Indonesia, maka
Islam sebagai syari‟at dalam kesempatan ini mendapatkan kesempatan untuk tampil
sebagai pedoman alternatif dalam merencanakan pembangunan ekonomi Indonesia.
Untuk itu perlu sekali diketengahkan pokok-pokok masalah yang bersumber dari
ajaran-ajaran Islam untuk kepentingan pembangunan ekonomi sehingga dapat diketahui
adanya korelasi antara Islam dan pembangunan ekonomi.
Ulama dan Perkembangan Ekonomi
Sejauh ini belum banyak ulama‟ di Indonesia yang berani membahas masalah-
masalah yang berkaitan dengan ekonomi. Kebanyakan dari mereka bersikap pasif dan
reaktif. Pada hal fiqih mu’amalah yang termaktub dalam kitab-kitab kuning, sebagai
referensi mereka, berbicara banyak mengenai kegiatan-kegiatan perekonomian. Banyak
kemungkinan hal ini diakibatkan oleh terjadinya split persepsi –sebagai akibat dari
adanya pendikotomian cara pandang terhadap kebutuhan-kebutuhan hidup manusia – di
kalangan ulama‟. Sebagaimana dikatakan bahwa terdapat common sense dalam
percakapan sehari-hari bahwa ekonomi adalah persoalan hidup (dunia) dan agama
adalah persoalan akherat. Common sense inilah sebagai perwujudan pendistorsian
pemahaman agama (pemahaman sekuler) yang telah merambah ke seluruh lapisan
komunitas manusia, termasuk komunitas Muslim itu sendiri.
Namun, amatlah mustahil jika Islam, dalam hal ini Al-qur‟an dan Hadits Nabi,
tidak membicarakan masalah-masalah ini, yaitu hal-hal yang berkenaan dengan
ekonomi, mengingat pentingnya persoalan itu bagi kehidupan.[26] Dalam hal ini tema
yang paling mencolok ialah tema anti ketidakadilan ekonomi.[27] Di samping itu, tentu
saja, kecaman terhadap pengangguran dan perbuatan yang tidak bermanfaat serta
bekerja keras – yang kebetulan sama dengan etika Protestan – tetap merupakan nilai-
nilai ajaran yang amat penting dan prinsipil dalam usaha memotivasi umat.
Dengan menggunakan jurus anti ketidakadilan ekonomi itu (mafhumnya ialah
menegakkan keadilan seosial dalam kehidupan), maka sebenarnya para ulama
mempunyai modal dan kemampuan cukup dalam membicarakan persoalan-persoalan
yang berkenaan dengan ekonomi secara aktif. Sebab, keadilan sosial merupakan titik
sentral ekonomi Indonesia yang sosialis, dan merupakan tujuan bernegara bagi bangsa
Indonesia.[28] Namun, perlu dicatat juga, bahwa bentuk dan corak ekonomi yang
sosialis tersebut bukanlah semakna dengan yang dimaksud dalam konteks Negara-
negara Blok Timur, akan tetapi yang dimaksud adalah sosialis yang religius
43 Ulama dalam Menghadapi Perkembangan Ekonomi
Noor Rohman
(sosialisme-religius). Sosialisme-religius inilah sebagai jawaban alternatif terhadap
kapitalisme dan komunisme untuk konteks Indonesia. Dan dalam hal ini, secara lebih
jauh, Nurcholish Madjid menjelaskan bahwa :
“Sosialisme menjadi tidak hanya merupakan komitmen kemanusiaan, tetapi
juga ketuhanan. Bung Hatta, dalam menerangkan bentuk kesalinghubungan
antar sila dalam Pancasila, senantiasa menegaskan bahwa sila ketuhanan
merupakan sila yang menyinari sila-sila lainnya, merupakan dasar moral
yang kuat untuk mewujudkan cita-cita kenegaraan dan kemasyarakatan
kita.”[29]
Dari penjelasan di atas nampaklah dengan jelas bahwa sosialisme, yang
merupakan dasar daripada ekonomi Indonesia, yang dimaksud adalah sosialisme yang
berlandaskan nilai-nilai ketuhanan (agama), bukan sosialisme-materialistik
sebagaimana yang dipahami oleh kaum komunis.
Berdasarkan uraian-uraian di atas pula, dapatlah dipahami bahwa ekonomi
sosialis Indonesia adalah ekonomi yang sepenuhnya berorientasi kepada: Ketuhanan
Yang Maha Esa (yaitu mencakup etik moral agama dan bukan materialisme);
Kemanusiaan yang adil dan beradab (tak mengenal perampasan hak individual/
komunal, saling menghormati, menjaga prestise setiap individu); Persatuan
(kekeluargaan, kebersamaan, gotong royong, tidak saling mematikan, bantu-membantu
antar individu, patriotisme ekonomi); Kerakyatan (demokrasi ekonomi, mengutamakan
ekonomi rakyat/rakyat sentris dan kebutuhan orang banyak); dan Keadilan Sosial
(persamaan, kemakmuran masyarakat, bukan kemakmuran orang-seorang)[30].
Karenanya ia juga disebut “Ekonomi Pancasila”.
Dalam menghadapi perkembangan ekonomi – dalam konteks Indonesia untuk
masa kini dan yang akan datang – tidaklah terdapat alasan bagi para ulama untuk tidak
ikut terlibat. Sebab ekonomi adalah persoalan penting yang menyangkut soal nasib
hidup seseorang secara materi, baik untuk masa kini maupun yang akan datang. Supaya
nilai-nilai Islam itu dapat terserap ke dalam dinamika pembangunan ekonomi nasional,
maka para ulama dituntut untuk mampu memperkenalkan nilai-nilai ajaran Islam yang
relevan dengan pokok masalah – dalam hal ini aktivitas-aktivitas ekonomi –, kemudian
menjelaskannya secara lebih operasional sehingga terbukti validitasnya di tengah-
tengah hiruk-pikuknya kehidupan manusia. Suatu contoh ialah zakat: bagaimana
melaksanakan ibadah zakat itu sehingga sesuai dengan fungsi asalnya; dan bagaimana
pendayagunaannya sehingga kemanfaatannya secara makro dapat dijadikan sebagai
rujukan kajian ekonomi dalam kaitannya dengan penataan dan pembangunan ekonomi
nasional secara nyata.
Secara konsepsional perlu diketengahkan juga pokok-pokok pendirian ekonomi
menurut Islam, yaitu:
1. kewajiban bekerja,
2. membasmi pengangguran,
3. mengakui hak milik,
JURNAL DINAMIKA EKONOMI & BISNIS Vol. 7 No. 1 Maret 2010 44
4. kesejahteraan agama dan sosial, dan
5. iman kepada Tuhan,
6. keadilan sosial. [31]
Inilah pokok-pokok pendirian ekonomi Islam yang secara harfiah ataupun
maknawiah sesuai dengan situasi Indonesia yang menganut Sistem Ekonomi Pancasila,
sebagaimana diuraikan di muka. Oleh karena itu, dengan berbekal pemahaman secara
mendalam terhadap pokok-pokok tersebut dan kemampuan menjelaskan atau
mengartikulasikannya, maka para ulama diharap untuk mampu mengikuti
perkembangan-perkembangan dalam dinamika ekonomi dan malahan diharapkan peran
aktif mereka dalam membentuk dan membangun bangunan strategi ekonomi Indonesia
untuk masa-masa yang akan datang. Sebab, sudah menjadi kesepakatan nasional, bahwa
Pancasila adalah dasar falsafah hidup bangsa Indonesia dan dalam saat yang sama
pembangunan ekonomi Indonesia adalah ekonomi yang sepenuhnya berorientasi
kepada kesemua sila dari Pancasila. Maka, amatlah tepat jika konsepsi ekonomi Islam
itu dapat diletakkan pada kerangka pembangunan ekonomi Indonesia. Namun harapan
tersebut terpulang kembali kepada kepekaan para ulama terhadap masalah-masalah
ekonomi yang selalu berkembang dan kompetensi mereka itu sendiri. Mampukah
mereka mengantisipasi perkembangan-perkembangan yang begitu dalam dunia
ekonomi? Itulah pertanyaan yang perlu mereka jawab.
Daftar Pustaka
[1] Lihat Nouruzzaman Shiddiqi, “Ulama dalam Perspektif Sejarah”, Pesantren,
No.4/Vol.II/1985, h.7, (dikutip dari Eric Wolf, “Aspect of Group Relation in a Complex
Society”, American Antropology, jilid 88, No.6 (Desember 1956), pp.1068-1078.
[2] Baca Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta : PT Gramedia, 1977, h.
23.
[3] Baca Mukti Ali, H.A., Beberapa Persoalan Agama Dewasa Ini, Yogyakarta :
PLP2M, 1985, h. 191.
[4] Alam Nasyrah (94) : 7.
[5] Al-Baqarah (2): 201.
[6] Al-Jami’ al- Shaghir, juz 1, h. 96.
[7] Al-Nisa’ (4): 95.
[8] Mubyarto, “Zakat di Negara Pancasila”, Pesantren, No.2/Vol.III/1986, hal 31.
[9] Mukti Ali, Op.Cit., hal 202.
[10] Baca Zainal Abidin Ahamad, H., Dasar-dasar Ekonomi Islam, Jakarta:Bulan
Bintang, 1979, h.242-312.
[11] Mukti Ali, Op.Cit. h. 207. [12] Ibid.
[13] Harian,” Republika”, 16 Desember, 2010.
[14] Baca Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900 – 1942, Jakarta :
LP3ES.,1980, h. 115.
[15] Baca Ibid., h. 86.
45 Ulama dalam Menghadapi Perkembangan Ekonomi
Noor Rohman
[16] Baca Ibid., h. 80-82.
[17] Baca Ibid., h.252.
[18] Baca Ibid., h.253.
[19] Baca Emil Salim, Perencanaan Pembangunan dan Pemerataan Pendapatan,
Jakarta: Idayu, h. 37-68.
[20] Nurcholish Madjid, Islam Kemoderenan dan Ke-Indonesiaan,(selanjutnya disebut
Islam), Bandung: Mizan, 1987, h. 97.
[21] Baca Ibid.
[22] Baca Ibid. h. 143; juga baca Mukti Ali, Op.Cit., hh. 196-197.
[23] Lihat Islam. h. 143.
[24] Ibid., h 144, (diambil dari Max Weber, The Protestan Ethic and The Spirit of
Capitalism,(terjemahan Talcott Parsons), New York, 1958, hh.2-3 (pengantar oleh R.H.
Tawney).
[25] Lihat Muhammad Qutb, Salah Paham Terhadap Islam, (terjemahan Hersri),
Bandung:Penerbit Pustaka, 1982, h.341.
[26] Baca Islam, h.101.
[27] Lihat Ibid., h. 102.
[28] Baca Ibid., h. 107
[29] Ibid., h. 108
[30] Baca Sri Edi Swasono, Orientasi Ekonomi Pancasila, dalam Abdul Madjid dan
Sri-Edi Swasono (Eds.), Wawasan Ekonomi Pancasila, Jakarta: Penerbit Universitas
Indonesia, 1982.
[31] Zainal Abidin Ahmad, H., Op.Cit., h. 125.
47 Sistem Perbankan Islam dan Perkembangannya di Indonesia
Dwi Agung Nugroho Arianto
SISTEM PERBANKAN ISLAM DAN PERKEMBANGANNYA
DI INDONESIA
Dwi Agung Nugroho Arianto
Program Studi Manajemen STIENU Jepara, Jl. Taman Siswa (Pekeng) Tahunan Jepara
Email: [email protected]
Abstract
Originality and sources of Islamic banking can be seen by looking closely at the
epistemological. Originality is more visible if done comparisons between Islamic banks and
conventional banks. Islamic banks in Indonesia is actually more popularly referred to as Islamic
banks. This article will examine the Islamic banking system, intricacies, comparison with
conventional banks and developments in Indonesia.
Keywords: Islamic banks, usury, Islamic banking system
Abstrak
Orisinalitas dan sumber perbankan Islam bisa dilihat dengan mencermati sisi
epistemologisnya. Orisinalitas itu semakin tampak jika dilakukan komparasi antara
bank Islam dan bank konvensional. Bank Islam sebenarnya di Indonesia lebih populer
disebut dengan istilah bank syariah. Artikel ini akan menelaah sistem perbankan Islam,
seluk beluknya, perbandingan dengan bank konvensional dan perkembangannya di
Indonesia.
Kata kunci: bank syariah, riba, sistem perbankan Islam
Pendahuluan
Prinsip universalitas dalam pandangan sebagian besar umat Islam secara otomatis
berarti pengakuan oleh Islam atas kehidupan ekonomi. Sebagai konsekuensi logis,
ekonomi merupakan bagian dari suatu totalitas sistem Islam. Landasan filosofis
ekonomi Islam mencakup tauhid, rububiyah, khilafah, tazkiyah dan accountability
(Babillahi, 1987: 10). Tanpa pretensi apologia, proses ini menjadikan sejarah abad ke-
14 lalu sebagai titik tolak pembangunan Islam (Ibrahim, 1997: viii). Secara empirik,
jumlah umat Islam di dunia yang berkisar 800 juta jiwa lebih dan volume perdagangan
setiap bulan yang mencapai 400 milyar dolar AS merupakan potensi besar bagi
pembangunan negara-negara Islam. Namun banyak negara Islam, baik kelompok D8
(The Development Eight) meliputi Indonesia, Iran, Malaysia, Bangladesh, Nigeria,
Pakistan, Mesir dan Turki maupun non anggota D8, belum memiliki strategi
pembangunan yang benar-benar berdasarkan Islam (Shopiaan, 1986: 178).
Dalam perspektif ekonomi-politik, negara-negara Islam cenderung kepada
kapitalisme dan sosialisme. Arab Saudi, Kuwait, Turki dan Uni Emirat Arab sangat
akrab dengan kapitalis. Pada dasawarsa 50-an, pakar perpajakan Amerika dilibatkan
JURNAL DINAMIKA EKONOMI & BISNIS Vol. 7 No. 1 Maret 2010 48
dalam penyusunan ketetapan pajak penghasilan. Sintesa antara ajaran zakat dan hukum
fiskal Amerika tidak terelakkan. Hal ini terus terjadi karena Arab Saudi semakin aktif
melakukan bisnis dengan Amerika (Anderson, 1975: 84). Iraq dan Libya dekat dengan
sosialis. Indonesia mencoba sistem ekonomi campuran. Malaysia, Iran dan Pakistan
melakukan eksperimen ekonomi Islam. Pada umumnya, di kalangan negara-negara
Islam tetap ada upaya untuk sungguh-sungguh menerapkan konsep ekonomi Islam.
Elemen penting ekonomi Islam meliputi sektor uang, investasi dan perbankan
(Siddiqi, 1983: 1). Menurut Sami Hassan Hamoud, embrio perbankan Islam dimulai
sejak Nabi Muhammad SAW. Sebelum menjadi rasul, dia telah dikenal sebagai al-
amin. Dia dipercaya untuk menyimpan deposit orang banyak. Sedangkan aktivitas
pengiriman uang telah dikenal sejak awal Islam (Arifin, 1999: 11).
Ide perbankan Islam modern mulai ada pada pertengahan abad ke-20 M, tepatnya
pada dekade 40-an (Saeed, 1996: 10). Dalam arti modern dan empirik, bank adalah
badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan
menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk
lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak (UU RI No. 7 tahun
1992 yang telah dirubah dengan UU No.10 tahun 1998).
Dengan demikian, bank merupakan financial intermediary antara pemilik modal
dan pengguna modal. Sebagai financial intermediary, Perbankan Islam khususnya di
Indonesia, juga melakukan berbagai usaha sekaligus pengembangannya dengan
menawarkan bermacam produk baik yang berkategori penghimpun dana, maupun jasa
lainnya berdasarkan prinsip Islam. Sebenarnya bagaimana perbankan Islam di
Indonesia jika ditinjau dari segi epistemologis-filosofis, dan perbandingan antara
perbankan Islam dengan perbankan konvensional serta perkembangannya, wacana
seperti inilah yang sekarang sering muncul di masyarakat, sejak bunga bank diposisikan
sebagai riba oleh agama dan wacana dominan masyarakat.
Epistemologi Perbankan Islam
Untuk mengetahui orisinalitas dan sumber perbankan Islam bisa dilihat dengan
mencermati sisi epistemologisnya. Orisinalitas itu semakin tampak jika dilakukan
komparasi antara bank Islam dan bank konvensional. Sulit untuk dicari kekhususannya
jika tidak dipersandingkan antarkeduanya.
Sebagai sebuah institusi keuangan sekaligus financial intermediary, bank
konvensional (BK) dan bank Islam (BI) dibangun di atas fundamental values yang
hierarki nilai sistemnya sama, tetapi substansi nilainya berbeda. Substansi suatu nilai
ditentukan oleh agama atau aliran pemikiran tertentu (Syaifudin, 1987: 58). Dalam hal
ini, Mohammad Arif telah mengungkapkan bahwa bank konvensional mendapat
inspirasi dari sistem ekonomi kapitalis, paradigma yang dipakai adalah paradigm
ekonomi pasar, basis dasar mikronya adalah manusia ekonomi, dan dasar filosofisnya
adalah indivudualisme utilitarian berdasar pada filosofi laissez faire.
Sedangkan bank Islam diderivasi dari sistem ekonomi Islam dengan paradigma
49 Sistem Perbankan Islam dan Perkembangannya di Indonesia
Dwi Agung Nugroho Arianto
syari’ah, basis dasar mikro yang dipakai adalah manusia muslin dan dasar filosofisnya
adalah individualisme berperan sebagai khalifah di bumi dengan tujuan hidup mencapai
kemenangan di dunia dan di akhirat serta bertanggung jawab atas semua tindakan.
Dengan demikian, secara spirit-substansial maupun secara metodik-
operasionalistik bank konvensional tidak lebih dari produk pemikiran manusia.
Sedangkan bank Islam, secara metodik-operasionalistik memang produk pemikiran
manusia, namun secara spirit-substansial bank Islam diintrodusir dari pemikiran-
pemikiran Islam. Jadi pada dasarnya antara perbankan konvensional dengan perbankan
Islam adalah sama-sama produk pemikiran manusia hanya pada bank Islam
menerapkan sistem-sistem syariah.
Kekhususan perbankan Islam sudah bisa dilihat dari sini, yakni dimensi spirit-
substansial. Melepaskan dimensi spiritual dari bank Islam berarti membiarkan bank
Islam menjadi gersang, liar tidak bertuan dan tidak bertuhan. Gersang, liar, tidak
bertuan dan tidak bertuhan adalah empat term yang sangat dekat, bahkan include dalam
apa yang oleh Harvey Cox disebut sebagai indikasi-indikasi pokok sekularisasi,
meliputi disenchantment of nature, desacralization of politic dan deconsecretion of
values (Cox, 1965: 22-25).
Dalam konteks ini, berarti membebaskan bank Islam dari pengaruh Illahiyat dan
memisahkannya dari Tuhan. Dengan sikap ini, manusia tidak lagi menganggap bank
Islam sebagai kesatuan dengan Tuhan, yang menyebabkan manusia bebas
memanfaatkan dan menjalankan operasional perbankan tanpa control etika dan
moralitas. Kalaupun ada etika dan moral, bisa dipastikan etika dan moral yang berbasis
pada selera manusia yang dalam perspektif etika bisnis lazim disebut asas
consequentalism dan culture relativism.
Kedua, desakralisasi politik (desacralization of politic). Artinya penghapusan
legitimasi kekuasaan dan wewenang pengambilan keputusan-keputusan perbankan
Islam dari agama, yang berdampak pada penghilangan peran agama dalam kehidupan
perbankan Islam. ketiga, pembangkangan terhadap nilai-nilai (deconsecretion of
values). Dalam perspektif ini, nilai-nilai termasuk nilai-nilai agama terbuka untuk
perubahan yang di dalamnya manusia bebas menciptakan perubahan dan
menenggelamkan diri ke dalam proses dereligiusifikasi.
Dengan demikian, bila tidak diantisipasi secara tuntas, peranan agama semakin
menyusut. Peranan dan fungsi kapitalis menggantikan peranan dan fungsi yang
sebelumnya dipegang oleh agama. Tuntutan inilah yang akhirnya secara praktis dan
sistematis mempengaruhi susutnya peran dan fungsi agama di tengah pengembangan
perbankan Islam, khususnya di Indonesia.
Sejarah Perbankan Islam di Indonesia
Bank Islam sebenarnya di Indonesia lebih populer disebut dengan istilah bank
syariah. Adapun pengertian bank Islam adalah bank yang beroperasi sesuai dengan
prinsip-prinsip syariah Islam atau bank yang tata cara beroperasinya mengacu kepada
JURNAL DINAMIKA EKONOMI & BISNIS Vol. 7 No. 1 Maret 2010 50
ketentuan-ketentuan Al-Quran dan Hadits.
Perbankan Islam pertama kali muncul di Mesir tanpa menggunakan embel-embel
Islam, karena adanya kekhawatiran rezim yang berkuasa saat itu akan melihatnya
sebagai gerakan fundamentalis. Perintisnya adalah Ahmad El Najjar. Sistem pertama
yang dikembangkan adalah mengambil bentuk sebuah bank simpanan yang berbasis
profit sharing (pembagian laba/ bagi hasil) pada tahun 1963. kemudian pada tahun ’70-
an, telah berdiri setidaknya 9 bank yang tidak memungut maupun menerima bunga,
sebagian besar berinvestasi pada usaha-usaha perdagangan dan industri secara langsung
dalam bentuk partnership dan membagi keuntungan yang didapat dengan para
penabung.
Baru kemudian berdiri Islamic Development Bank pada tahun 1974 disponsori
oleh negara-negara yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam, yang
menyediakan jasa finansial berbasis fee dan profit sharing untuk negara-negara
anggotanya dan secara eksplisit menyatakan diri berdasar pada syariah Islam.
Kemudian setelah itu, secara berturut-turut berdirilah sejumlah bank berbasis
Islam antara lain berdiri Dubai Islamic Bank (1975), Faisal Islamic Bank of Sudan
(1977), Faisal Islamic Bank of Egypt (1977) serta Bahrain Islamic Bank (1979)
Phillipine Amanah Bank (1973) berdasarkan dekrit presiden, dan Muslim Pilgrims
Savings Corporation (1983).
Di Indonesia perbankan syariah baru muncul pertama pada tahun 1991 dengan
berdirinya Bank Muamalat Indonesia yang diprakarsai oleh Majelis Ulama Indonesia
(MUI) dan pemerintah serta dukungan dari Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia
(ICMI) dan beberapa pengusaha muslim. Bank Muamalat sempat terimbas oleh krisis
moneter pada akhir tahun 90-an sehingga ekuitasnya hanya tersisa sepertiga dari modal
awal. Kemudian, IDB memberikan suntikan dana sehingga pada periode 1999-2002
dapat bangkit dan menghasilkan laba. Saat ini keberadaan bank syariah di Indonesia
telah di atur dalam Undang-undang yaitu UU No. 10 tahun 1998 tentang Perubahan UU
No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan serta lebih spesifiknya pada Peraturn Pemerintah
N0 72 tahun 1992 tentang Bank Berdasarkan prinsip Bagi Hasil. Sampai saat ini, pada
tahun 2007, terdapat setidaknya 3 institusi bank syariah di Indonesia yaitu Bank
Muamalat Indonesia, Bank Syariah Mandiri dan Bank Mega Syariah. Sementara bank
umum yang telah memiliki unit usaha syariah adalah 19 bank diantaranya merupakan
bank besar seperti Bank Negara Indonesia (Persero) dan Bank Rakyat Indonesia
(Persero). Sistem syariah juga telah digunakan oleh Bank Perkreditan Rakyat, saat ini
telah berkembang 104 BPR Syariah.
Perbankan Islam dan Perseroan Terbatas
Perbankan Islam di Indonesia, sesuai dengan ketentuan yang berlaku, umumnya
dijalankan dalam format perseroan terbatas (PT). Masalah-masalah yang berkaitan
dengan fiqh sebagai konsekuensi logis atas pilihan format ini bisa ditelaah dengan
membandingkan antara perseroan terbatas dan konsep perjanjian dalam Islam. ada
51 Sistem Perbankan Islam dan Perkembangannya di Indonesia
Dwi Agung Nugroho Arianto
beberapa konsep fiqh muamalah yang bisa dipersandingkan dengan perseroan terbatas,
seperti mudharabah, qiradl dan syirkah. Untuk mengetahui validitas perjanjian bank
Islam dihadapan cermin bank konvensional, maka dari ketiga konsep fiqh muamalah di
atas, dalam uraian berikut ini akan ditelaah satu konsep saja, yaitu syirkah.
Prinsip kerja sama dalam perseroan terbatas, seperti tercakup dalam theory of the
firm, bahwa pemegang saham adalah majikan, sedangkan karyawan (manajer dan
buruh) menerima mandate dari pemegang saham. Kewajiban karyawan adalah bekerja
keras untuk memperoleh keuntungan dan menghindari kegiatan yang merugikan
perseroan. Sedangkan kewajiban pemegang saham adalah menyediakan modal dan
memberikan gaji kepada karyawan sesuai kesepakatan bersama (Manuel, 1998: 429).
Berdasarkan uraian ini tampak bahwa tanggung jawab operasional roda perseroan ada
pada manajemen perseroan, sedangkan pemegang saham tidak tahu menahu operasional
perseroan. Jika perseroan mengalami kerugian, maka pemegang saham hanya sebatas
berkurang perolehan dividen-nya. Tanggung jawab operasional perseroan ada pada
manajemen.
Dalam perspektif fiqh muamalah, prinsip kerjasama model perseroan terbatas
(PT) secara umum, meski tidak sama persis ada kemiripan dengan syirkah al-uqd atau
yang khusus disebut syirkah al-inan. Yaitu persekutuan oleh dua orang atau lebih untuk
melakukan suatu bisnis dengan keuntungan dibagi dua. Dalam syirkah al-inan, jumlah
modal dari masing-masing pihak boleh berbeda. Juga boleh berbeda kewenangan dan
keuntungan sesuai kesepakatan. Salah satu pihak boleh sebagai penanggung jawab,
sedangkan yang lain tidak. Jika bisnis mengalami kerugian, maka prosentase
kerugiannya didasarkan pada prosentase modal.
Ada perbedaan antara perseroan terbatas dengan syirkah al-inan. Di dalam
perseroan terbatas ada istilah limited ability yaitu ada kesetaraan antara pemegang
saham dan manajemen. Sedangkan dalam syirkah al-inan, tanggung jawab ada pada
pemodal maupun pelaksana. Dengan demikian, dalam pandangan fiqh muamalah
bahwa perseroan terbatas masih menyisakan problem, nemun problem itu sebenarnya
bisa diminimalisir dengan cara mengakomodasi sejauh mungkin dimensi keadilan dan
kesetaraan dalam pelaksanaan perseroan. Alam perspektif etika bisnis, konsep ini
disebut justice based on abilities.
Perbedaan Bank Islam dengan Bank Konvensional
Perbedaan mendasar antara bank Islam dengan bank konvensional secara umum
terletak pada dua konsep yaitu konsep imbalan dan konsep sistemnya. Perbedaan
konsep sistem antara bank konvensional dan bank Islam dapat dilihat dalam tabel
perbandingan, pada tabel 1, sebagai berikut:
JURNAL DINAMIKA EKONOMI & BISNIS Vol. 7 No. 1 Maret 2010 52
Tabel 1
Perbandingan Bank Islam dan Bank Konvensional
Bank Islam Bank Konvensional
1. Berdasarkan margin keuntungan 1. Memakai perangkat bunga dan atau
bagi hasil
2. Profit dan falah oriented 2. Profit oriented
3. Hubungan dengan nasabah dalam
bentuk hubungan kemitraan
3. Hubungan dengan nasabah dalam
bentuk hubungan debitur – kreditur
4. Users of real funds 4. Creator of money supply
5. Melakukan investasi – investasi yang
halal saja
5. Investasi yang halal dan haram
6. Pengerahan dan penyaluran dana
harus sesuai dengan syariah Islam
yang diawasi oleh Dewan Pengawas
Syariah.
6. Tidak terdapat Dewan Pengawas
Syariah atau sejenisnya
Sedangkan, perbedaan konsep imbalan antara bank Islam yang menggunakan
sistem bagi hasil/ profit sharing dan bank konvensional yang menggunakan sistem
bunga/ interest dapat dilihat dalam tabel 2 berikut:
Tabel 2
Perbandingan Sistem Bunga dan Sistem Bagi Hasil
Bunga (Bank Konvensional) Bagi Hasil (Bank Islam)
1. Penentuan bunga dibuat pada waktu
akad tanpa berpedoman pada untung
rugi.
1. Penentuan besarnya rasio bagi hasil
dibuat pada waktu akad dengan
berpedoman pada kemungkinan
untung rugi.
2. Besarnya persentase berdasarkan
pada jumlah uang yang dipinjamkan.
2. Besarnya rasio bagi hasil berdasarkan
pada jumlah keuntungan yang
diperoleh.
3. Pembayaran bunga tetap seperti yang
dijanjikan tanpa pertimbangan apakah
proyek yang dijalankan oleh pihak
nasabah untung atau rugi.
3. Bagi hasil tergantung pada
keunungan proyek yang dijalankan.
Sekiranya tidak mendapatkan
keuntungan maka kerugian akan
ditanggng bersama oleh kedua belah
pihak.
4. Jumlah pembayaran bunga tidak
meningkat sekalipun jumlah
keuntungan berlipat atau keadaan
ekonomi sedang ”booming”
4. Jumlah pembagian laba meningkat
sesuai dengan peningkatan jumlah
pendapatan.
53 Sistem Perbankan Islam dan Perkembangannya di Indonesia
Dwi Agung Nugroho Arianto
Reinterpretasi Makna Riba
Salah satu elemen yang sangat penting dalam diskursus dan praktik ekonomi
Islam adalah problematika riba. Riba bukanlah representasi seutuhnya ekonomi Islam,
tetapi posisi riba ikut menentukan validitas dan cukup dominan di dalamnya terutama
jika dikaitkan dengan perbankan Islam. pro dan kontra hukum bunga bank telah
menjadi polemik sejak lama. Seperti didokumentasikan oleh Murtadla Munthahari,
bahwa Plato dalam The Law of Plato dan Aristoteles dalam Politics, keduanya
melarang praktik pinjam meminjam uang dengan sistem rente. Uang adalah alat untuk
jual beli. Hutang merupakan out put dari proses jual beli. Sedangkan bunga adalah uang
yang lahir dari uang.
Secara umum, para yuris muslim mengelompokkan riba menjadi dua: riba
nasi’ah dan riba fadhl. Ada konsensus bersama atas keharaman riba nasi’ah, namun
berbeda pendapat tentang riba fadhl. Mufassir kontemporer Muhammad Abduh
berargumentasi bahwa yang diharamkan adalah riba yang eksploitatif dan berlipat
ganda sebagaimana termaktub dalam al-Qur’an surat al-Baqarah (2) ayat 275. Riba
yang diharamkan oleh al-Qur’an adalah riba nasi’ah, yaitu tambahan jumlah uang
karena penundaan pembayaran.
Sedikit berbeda dengan pemikiran tentang riba di atas, Ibnu Qayyim al-Jauziyah
menawarkan interpretasi baru tentang riba. Menurutnya ada dua macam riba. Pertama,
riba jali yaitu riba yang mengandung kemudlaratan besar. Kedua, riba khafi yaitu riba
yang mengandung kemudlaratan kecil. Riba jali diperbolehkan jika dalam keadaan
terpaksa, sedangkan riba khafi diperbolehkan ketika dalam kondisi membutuhkan.
Dunia perekonomian tampak terasa begitu sempit karena di sana-sini dikesankan
ada ranjau-ranjau dan jeratan-jeratan riba. Tanpa bermaksud menganggap sepele urusan
agama, penting untuk dicatat bahwa interpretasi Ibnu al-Qayyim terhadap masalah riba
cukup fleksibel dan akomodatif karena jelas menggunakan logika deduktif logic
probabilistik yang mengklasterisasikan riba didasarkan pada esensi keterpaksaan dan
kebutuhan bukan didasarkan pada eksistensi jumlah riba.
Interpretasi riba ini dapat dikembangkan lebih lanjut guna menetralisir
ekstimitas-ekstrimitas pemikiran yang memandang riba secara hitam putih. Bukan hal
yang asing lagi bahwa tidak mudah menghilangkan atau menafikan argumentasi-
argumentasi yang mengharamkan riba. Pandangan ini bertahan cukup kuat dan
mendominasi alam pikiran umat Islam sampai akhir era 1960-an. Ketika memasuki era
1970-an, seiring dengan maraknya pembentukan perbankan Islam diberbagai belahan
dunia, pandangan yang mengharamkan riba mulai berkurang dominasinya. Jadi pada
dasarnya diperbolehkan atau tidaknya riba tergantung kepada manusianya saat
melaksanakan transaksi, didasarkan pada kebutuhan atau keterpaksaan.
Faktor-Faktor Penghambat Keberlangsungan Bank Islam
Diantara faktor penghambat keberlangsungan bank Islam adalah faktor
kelemahan yang terdapat di dalam bank Islam itu sendiri. Diantara faktor penghambat
JURNAL DINAMIKA EKONOMI & BISNIS Vol. 7 No. 1 Maret 2010 54
bank Islam yaitu:
1. Dengan sistem Islami atau syariah, maka bank Islam terlalu berprasangka baik
kepada semua nasabahnya dan berasumsi bahwa semua orang yang terlibat
dalam bank Islam adalah jujur. Dengan demikian bank Islam sangat rawan
terhadap mereka yang beritikad tidak baik, sehingga diperlukan usaha tambahan
untuk mengawasi nasabah yang menerima pembiayan dari bank Islam. Hal ini
akan menjadi hambatan berlangsungnya bank Islam jika bank Islam itu sering
kecolongan akan nasabah yang membandel dan nakal. Atau kalau tidak, maka
bank Islam itu justru karena terlalu hati-hatinya memilih nasabah, maka
berakibat sedikitnya keuntungan yang diperolehnya sehingga berimbas pada
terhambatnya laju pertumbuhan bank Islam itu sendiri.
2. Dengan penerapan sistem bagi hasil, maka akan lebih diperlukan perhitungan-
perhitungan yang rumit terutama dalam menghitung bagian laba nasabah yang
kecil-kecil dan yang nilai simpanannya di bank tidak tetap. Sehingga bisa terjadi
potensi salah hitung. Kesalahan hitung dalam proses rumit ini, apabila sering
terjadi, maka akan membuat para nasabah lari dari bank Islam tersebut.
3. Karena bank Islam menerapkan bagi hasil, maka bank Islam lebih memerlukan
tenaga dan pikiran yang ekstra dibanding dengan bank konvensional. Hal ini
dimaksudkan agar bank Islam tidak salah dalam menilai kelayakan suatu
pembiayaan tertentu. Dalam kasus ini sekali lagi, apabila bank Islam tidak
pandai-pandai menilai prospek dan kelayakan pembiayaannya maka bisa
berakibat kerugian terhadap pembiayaan itu dan secara otomatis berakibat
kerugian pada bank Islam itu sendiri.
4. Problematika biaya dan profitabilitas. Bank Islam bekerja dengan aturan yang
sangat ketat dan memilih investasi yang halal dan sesuai syariah saja.
Implikasinya adalah bank Islam harus melakukan supervisi dan terkadang
mengelola secara langsung operasional suatu proyek yang didanainya. Ini
dilakukan untuk mereduksi pengeluaran manajerial. Akibatnya, bank Islam
harus memikul biaya tambahan yang tidak pernah terdapat pada pembukuan
bank-bank berasas bunga. Bank Islam pun harus mampu meminimalisir potensi
kerugian dari investasi mudarabahnya dan mengamankan tingkat keuntungan
yang lebih tinggi dibandingkan dengan bank-bank riba. Hal ini menyebabkan
bank Islam terdorong untuk mencari proyek yang segera memberikan
keuntungan. Long gestation project (proyek dengan masa menunggu yang lama)
dan proyek infrastruktur adalah proyek-proyek yang kurang menarik minat
perbankan Islam, dimana bank Islam harus membayar keuntungan yang besar
setiap tahun terhadap simpanan.
5. Minimnya sumberdaya manusia yang memahami secara komprehensif segala hal
yang berkaitan dengan industri perbankan syariah. Sehingga dalam prakteknya,
seringkali terjadi penyimpangan-penyimpangan aktivitas transaksi yang tidak
sesuai dengan syariah.
55 Sistem Perbankan Islam dan Perkembangannya di Indonesia
Dwi Agung Nugroho Arianto
6. Belum adanya suatu Bank Sentral Syariah sebagai penyokong selain Bank
Indonesia yang menjadi bank-nya lembaga-lembaga perbankan yang mampu
memerankan diri seperti peran Bank Indonesia tetapi dengan prinsip Islam.
7. Belum adanya undang-undang yang secara khusus mengatur mengenai
perbankan syariah.
Ekonomi Islam selama ini bisa dikatakan menumpang atau setidaknya menapak
tilas keistimewaan Tuhan. Hal ini, terutama terkait dengan simbol dan kata “Islam” atau
“Syari’ah” yang sering ditempatkan di belakang kata “ekonomi” atau “bank”.
Kenyataan yang demikian menunjukkan bahwa nuansa ketuhanan sangat kental.
Wibawa dan otoritas Tuhan dilibatkan secara all out untuk menjustifikasi dan
menambah legitimasi ekonomi Islam.
Islam atau tidak Islamnya suatu perekonomian tidaklah tergantung kepada ada
atau tidak adanya partisipasi budaya Arab, ada atau tidak adanya teks-teks yang
mengatur, tidak pula tergantung kepada disebut atau tidaknya kata-kata “Islam” atau
“Syari’ah” di belakang kata ekonomi, melainkan tergantung kepada sejauhmana proses
implementasi berjalan secara procedural disertai semangat mewujudkan kemaslahatan
secara optimal. Tanpa disertai kata-kata “Islam” atau “Syari’ah”, jika memang suatu
aktifitas perekonomian dilakukan atas dasar kesepakatan bersama secara tegas untuk
mewujudkan kemakmuran di kalangan manusia, berarti substansi Islam sudah inherent
di dalamnya.
Penutup
Bank Islam dalam perkembangannya di Indonesia sejak tahun 1991 sampai
sekarang mampu memberikan keuntungan bagi masyarakat dan perekonomian. Namun
demikian, perkembangan perbankan Islam bukannya tanpa cela. Namun bank Islam
dengan konsep ilahiyyah, juga memerlukan injeksi nilai-nilai Islam dan harus berjalan
di atas koridor keadilan dan kesetaraan. Interpretasi dan pemikiran tentang riba yang
ada selama ini berada di bawah kungkungan pola piker ortodok-absolutistik. Dengan
melakukan penafsiran ulang secara empirik probabilistic terhadap teks-teks riba, maka
terbuka peluang seluas-luasnya bagi penciptaan suatu situasi dan kondisi yang lebih
baik.
Masih banyak kekurangan dan kelemahan serta hambatan-hambatan yang masih
harus dilewati untuk mewujudkan cita-cita perbankan Islam yaitu menghapus sistem
ribawi atau konsep bunga. Masih banyak transaksi-transaksi dan pembiayaan-
pembiayaan yang belum bisa diterapkan secara murni syariah atau murni Islami. Oleh
karena itu, pengembangan perbankan syariah tidak boleh hanya dibebankan di pundak
para pelaku bank Islam, Bank Indonesia atau pemerintah saja tetapi peran serta seluruh
elemen masyarakat Indonesia.
JURNAL DINAMIKA EKONOMI & BISNIS Vol. 7 No. 1 Maret 2010 56
Daftar Pustaka
Anderson, J.N.D, 1975, Islamic Law in The Modern World, Conecticut, Greenwood
Press.
Arifin, Zainul, 1999, Memahami Bank Syari’ah: Lingkup, Peluang, Tantangan dan
Prospek, CV Alpabet, Jakarta.
Babillahi, Mahmud Muhammad, 1987, Dasar-dasar Ekonomi Islam, terj. Akhmad
Chumaidi Umar, Salahudin Press, Yogyakarta.
Cox, Harvey, 1965, The Secular City, New York, The Macmilan Company.
Ibrahim Anwar, 1997, “Islam dan Pembangunan Ekonomi Umat”, dalam Ainur R.
Shopiaan, Etika Ekonomi Politik: Elemen-elemen Strategis Pembangunan Islam,
Surabaya, Risalah Gusti.
Saeed, Abdullah, 1996, Islamic Banking and Interest: A Study of The Prohibition of
Riba and Its Contemporary Interpretation, Leiden-New York-Koln, E.J. Brill.
Siddiqi, M. Nejatullah, 1983, Issues in Islamic Banking, London, Islamic Foundation.
Syaifudin, AM, 1987, Ekonomi dan Masyarakat dalam Perspektif Islam, Jakarta,
Rajawali Press.
Velasquez, Manuel G, 1998, Bussiness Ethics: Concepts and Cases, New Jersey,
Prentice-Hall International.
57 Pengaruh Partisipasi Anggaran dan Komitmen Organisasi
sebagai Moderasi terhadap Kinerja Manajerial
Nichlah Hidayah
Fitri Ella Fauziah
PENGARUH PARTISIPASI ANGGARAN TERHADAP
KINERJA MANAJERIAL DENGAN KOMITMEN
ORGANISASI SEBAGAI VARIABEL MODERATING
Nichlah Hidayah
Fitri Ella Fauziah1)
Program Studi Akuntansi STIENU Jepara, Jl. Taman Siswa (Pekeng) Tahunan Jepara
Email: 1)
Abstract
Participatory budget is a managerial approach that is generally considered to improve
organizational effectiveness by improving the performance of each member organization
individually or managerial performance. However, empirical evidence suggests the existence of
uncertainty relations between participatory budgeting with managerial performance. Research
objectives were to test the effect of budgetary participation on managerial performance and
organizational commitment moderate the relationship between budgetary participation and
managerial performance. This study population is rural banks in the district of Jepara with a
sample of heads, head of sub-section, chief, section chief and head of the postal service. These
research data in the form of a questionnaire given to respondents who delivered directly by
researchers in April-May 2009. Variables include the study of Managerial Performance, Budget
Participation, and Organizational Commitment. Methods of data by multiple regression
analysis. The results showed that the positive effect the Budget Participation on Managerial
Performance significant, while the influence of the Organization's commitment to the influence
of Budget Participation and Managerial Performance is not significant.
Keywords: Budget Participation, Organizational Commitment, Managerial Performance
Abstrak
Anggaran partisipatif merupakan pendekatan manajerial yang umumnya dinilai
dapat meningkatkan efektivitas organisasional melalui peningkatan kinerja setiap
anggota organisasi secara individual atau kinerja manajerial. Namun demikian, bukti
empirik menunjukkan adanya ketidakjelasan hubungan antara anggaran partisipatif
dengan kinerja manajerial. Sehingga hal ini menarik minat para peneliti untuk
melakukan penelitian lebih lanjut. Tujuan penelitian untuk menguji pengaruh
partisipasi anggaran terhadap kinerja manajerial dan komitmen organisasi yang
memoderasi hubungan antara partisipasi anggaran dan kinerja manajerial. Populasi
penelitian ini yaitu Bank Perkreditan Rakyat di Kabupaten Jepara dengan sampel
Kepala bagian, kepala sub bagian, kepala bidang, kepala seksi dan kepala pos
pelayanan. Data penelitian ini berupa kuesioner yang diberikan kepada responden
yang diantar langsung oleh peneliti pada bulan April-Mei 2009. Variabel penelitian
meliputi Kinerja Manajerial, Partisipasi Anggaran, dan Komitmen Organisasi. Metode
Analisis data dengan regresi berganda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
JURNAL DINAMIKA EKONOMI & BISNIS Vol. 7 No. 1 Maret 2010 58
Partisipasi Anggaran berpengaruh positif signifikan terhadap Kinerja Manajerial,
sedangkan pengaruh Komitmen Organisasi terhadap pengaruh Partisipasi Anggaran
dan Kinerja Manajerial adalah tidak signifikan.
Kata Kunci: Partisipasi Anggaran, Komitmen Organisasi, Kinerja Manajerial
Pendahuluan
Industri perbankan merupakan kegiatan usaha yang cukup dinamis, bahkan
dalam situasi dan kondisi tertentu kegiatan perbankan akan merupakan jantung dari
kegiatan-kegiatan industri lainnya. Hal ini disebabkan bank mempunyai kedudukan
yang strategis pada sistem perekonomian dan pengatur sumber likuiditas bagi setiap
jenis usaha. Perkembangan perbankan di Indonesia yang sangat pesat, berdampak pada
bank-bank komersil kedalam situasi yang kompetitif, dan banyak diantara bank-bank
tersebut yang mengabaikan prinsip usaha berhati-hati (prudential banking) dan tidak
membekali dirinya dengan staf yang profesional, sistem dan prosedur yang andal,
maupun saran sistem informasi manajemen yang baik.
Dalam menjalankan sebuah organisasi, ada berbagai fungsi yang harus dilakukan
oleh seorang manajer. Fungsi-fungsi tersebut adalah perencanaan (planning),
pengendalian (controlling), dan pengambilan keputusan (decision making) (Usry dkk,
2002 dalam Endang dan Agus, 2007). Perencanaan sebagai titik tolak menjalankan
kegiatan organisasi, memegang peranan yang sangat penting. Berdasarkan jangka
waktunya, perencanaan dapat dibedakan menjadi perencanaan jangka panjang dan
jangka pendek. Perencanaan jangka panjang perusahaan tertuang dalam visi, misi,
strategi dan program, sedangkan perencanaan jangka pendek akan diturunkan berdasar
perencanaan jangka panjang. Perencanaan jangka pendek yang disajikan dalam bentuk
angka-angka disebut dengan anggaran.
Perusahaan memerlukan anggaran sebagai salah satu komponen penting agar
tetap survive dalam lingkungan bisnis yang cepat berubah seperti sekarang ini. Sebuah
organisasi memerlukan anggaran untuk menerjemahkan seluruh strategi menjadi
rencana dan tujuan jangka pendek dan jangka panjang (Hansen dan Mowen, 2004
dalam Endang dan Agus, 2007).
Anggaran dibuat atau disiapkan oleh perusahaan baik pada level korporat,
departemen, divisi maupun berbagai fungsi, misalnya penjualan, produksi, riset dan
sebagainya (Hansen dan Mowen, 2004 dalam Endang dan Agus, 2007). Anggaran
merupakan gambaran kuantitatif dari tujuan-tujuan manajemen dan menjadi alat untuk
menentukan kemajuan dalam mencapai tujuan tersebut. Anggaran juga menjadi metode
penerjemahan tujuan dan sasaran organisasi menjadi hal yang operasional (Pasoloran,
2002 dalam Endang dan Agus, 2007). Selain itu, menurut Kennis (1979), anggaran
tidak hanya merupakan perencanaan keuangan dari pusat-pusat pertanggungjawaban
dalam perusahaan tetapi juga menjadi alat pengendalian, koordinasi dan komunikasi.
Proses penyusunan anggaran merupakan kegiatan yang penting dan melibatkan
berbagai pihak baik manajer tingkat atas maupun manajer tingkat bawah. Para manajer
59 Pengaruh Partisipasi Anggaran dan Komitmen Organisasi
sebagai Moderasi terhadap Kinerja Manajerial
Nichlah Hidayah
Fitri Ella Fauziah
akan memainkan peranan dalam mempersiapkan dan mengevaluasi berbagai alternatif
dari tujuan anggaran, ketika anggaran digunakan sebagai tolok ukur kinerja manajer
(Leslie, 1992 dalam Endang dan Agus, 2007). Pada dasarnya, penyusunan anggaran
dapat dibagi menjadi dua yaitu penganggaran partisipatif (bottom-up) yang disusun
dengan memberikan kesempatan bagi manajer level bawah untuk berpartisipasi dalam
pembentukan anggaran; dan penganggaran top-down, yang disusun dengan tidak
melibatkan partisipasi bawahan secara signifikan (Alim, 2002 dalam Endang dan Agus,
2007).
Anggaran partisipatif merupakan pendekatan manajerial yang umumnya dinilai
dapat meningkatkan efektivitas organisasional melalui peningkatan kinerja setiap
anggota organisasi secara individual atau kinerja manajerial. Namun demikian, bukti
empiris menunjukkan adanya ketidakjelasan hubungan antara anggaran partisipatif
dengan kinerja manajerial. Sehingga hal ini menarik minat para peneliti untuk
melakukan penelitian lebih lanjut.
Lebih dari empat dasawarsa belakangan ini para peneliti telah berusaha
memformulasikan dan menguji hipotesa-hipotesa yang berkenaan dengan proses
penyusunan anggaran dan konsekuensi penggunaan data anggaran untuk mengevaluasi
kinerja manajerial akan tetapi menunjukkan hasil yang tidak konsisten dan adanya
ketidakjelasan hubungan antara anggaran partisipatif dengan kinerja manajerial.
Mengenai topik tersebut misalnya, Brownell (1982b), Brownell dan Mclnnes (1986),
Frucot Shearon (1991), dan Indriantoro (1993), menemukan hubungan yang positif dan
signifikan antara anggaran partisipatif dengan kinerja manajerial. Tetapi, hasil
penelitian Milani (1975) dan Brownell dan Hirst (1986) menyatakan yang tidak
signifikan, bahkan Stedry (1960) dan Bryan dan Locke (1970) menemukan hubungan
yang negatif Penelitian yang menguji efektivitas antara anggaran partisipatif dalam
peningkatan kinerja manajerial, oleh karena itu merupakan salah satu topik yang
menarik dalam penelitian-penelitian bidang akuntansi manajemen (Lukka, 1988 dalam
Sukardi, 2004).
Untuk merekonsiliasikan penelitian yang hasilnya saling bertentangan tersebut,
menurut Govindarajan (1986) diperlukan pendekatan kontijensi. Pendekatan ini secara
sistematis mengevaluasi berbagai kondisi atau variabel yang dapat mempengaruhi
hubungan antara partisipasi dalam penyusunan anggaran dengan kinerja manajerial.
Berbagai kondisi tersebut yaitu kultural, organisasional, interpersonal dan individual.
Sedangkan Riyanto (2003) dalam Suhartono dan Solichin (2006) mengatakan perlunya
penelitian mengenai pendekatan kontijensi. Penelitian tersebut untuk menguji faktor
kontekstual yang mempengaruhi hubungan antara sistem pengendalian dengan kinerja.
Faktor kontekstual yang mempengaruhi keefektifan sistem pengendalian, pada
umumnya, di luar domain akuntansi sehingga menyangkut multidisiplin. Contoh faktor
kontekstual tersebut adalah motivasi, komitmen, struktur organisasi, ketidakpastian
lingkungan dan strategi. Faktor kontekstual organisasional yang dipilih dalam
penelitian ini adalah komitmen organisasi yang diberikan manajer kepada perusahaan.
JURNAL DINAMIKA EKONOMI & BISNIS Vol. 7 No. 1 Maret 2010 60
Latar belakang dipilihnya komitmen organisasi adalah karena menunjukkan
keyakinan dan dukungan yang kuat terhadap nilai dan sasaran (goal) yang ingin dicapai
oleh organisasi (Mowday dkk 1979 dalam Latuhem, 2005). Manajer yang memiliki
tingkat komitmen organisasi tinggi akan memiliki pandangan positif dan lebih berusaha
berbuat yang terbaik demi kepentingan organisasi (Porter et al. 1974). Karena
komitmen organisasi yang tinggi akan meningkatkan kinerja yang tinggi pula.
Komitmen akan membuat organisasi lebih produktif dan profitable (Luthans, 1998
dalam Latuhem, 2005).
Pertanyaan penelitian yang hendak diuji adalah 1) apakah partisipasi anggaran
berpengaruh terhadap kinerja manajerial? 2) apakah komitmen organisasi memoderasi
pengaruh partisipasi anggaran terhadap kinerja manajerial?
Tinjauan Pustaka
Anggaran
Semakin kompleksnya masalah menyebabkan banyak kegiatan harus
dilaksanakan berdasarkan perencanaan yang cermat. Anggaran atau lengkapnya
Business Budget adalah salah satu bentuk dari berbagai rencana yang mungkin disusun,
meskipun tidak setiap rencana dapat disebut sebagai anggaran. Anggaran merupakan
alat utama yang digunakan perusahaan untuk perencanaan dan pengendalian. Anggaran
merupakan pernyataan mengenai apa yang diharapkan dalam periode tertentu pada
masa yang akan datang.
Sebagai rencana keuangan, anggaran berfungsi sebagai dasar untuk menilai
kinerja (Schift dan Lewin, 1970 dalam Sukardi, 2004). Disamping itu, anggaran tidak
hanya berfungsi sebagai rencana keuangan yang menetapkan biaya dan pendapatan
pusat pertanggungjawaban dalam suatu perusahaan, tetapi juga alat bagi manajer
tingkat atas untuk mengendalikan, mengkoordinasikan, mengkomunikasikan,
mengevaluasi kinerja, dan memotivasi bawahannya (Kermis, 1979 dalam Sukardi,
2004).
Dalam menyusun suatu anggaran perusahaan, perlu diperhatikan beberapa syarat
yakni anggaran tersebut harus realistis, luwes dan kontinyu. Realistis, artinya tidak
terlalu optimis dan tidak pula terlalu pesimis. Luwes, artinya tidak terlalu kaku,
mempunyai peluang untuk disesuaikan dengan keadaan yang mungkin berubah.
Sedangkan kontinyu, artinya membutuhkan perhatian secara terus menerus, dan tidak
mempunyai suatu usaha yang insidentiil.
Menurut Munandar (2000:1), Anggaran (Budget atau Business Budget) adalah
Suatu rencana yang disusun secara sistematis, yang meliputi seluruh kegiatan
perusahaan, yang dinyatakan dalam unit (kesatuan) moneter dan berlaku untuk jangka
waktu (periode) tertentu yang akan datang. Menurut Gunawan dan Marwan (2003:6);
Anggaran (Business Budget) adalah Suatu pendekatan yang formal dan sistematis
daripada pelaksanaan tanggungjawab manajemen di dalam perencanaan, koordinasi dan
pengawasan. Menurut Nafarin, 2000 (dalam Endang dan Agus, 2007), anggaran adalah
61 Pengaruh Partisipasi Anggaran dan Komitmen Organisasi
sebagai Moderasi terhadap Kinerja Manajerial
Nichlah Hidayah
Fitri Ella Fauziah
rencana tertulis mengenai kegiatan suatu organisasi yang dinyatakan secara kuantitatif
dan umumnya dalam satuan uang untuk jangka waktu tertentu.
Kesimpulan yang dapat diambil dari ketiga definisi di atas adalah rencana
anggaran harus bersifat sistematis, disusun dengan berurutan dan berdasarkan suatu
logika yang dinyatakan dalam satuan uang mengenai rencana manajemen dalam
perencanaan, koordinasi dan pengawasan pada masa yang akan datang dalam suatu
periode tertentu.
Penganggaran adalah suatu proses yang mana dokumen anggaran dikembangkan
dan diadministrasikan. Penganggaran merupakan proses penentuan peran setiap
manajer dalam melaksanakan program atau bagian program, dimana manajer
mengambil langkah-langkah positif dalam proses perencanaan agar realisasi kegiatan
sesuai yang dianggarkan. Sedangkan Covaleski dkk (dalam Endang dan Agus, 2007)
menyatakan bahwa penganggaran berhubungan dengan akuntansi biaya, akuntansi
pertanggungjawaban, pengukuran kinerja dan kompensasi. Covaleski dkk (2003) juga
menyatakan penganggaran digunakan untuk berbagai tujuan meliputi perencanaan,
pengorganisasian aktivitas-aktivitas organisasi, pengalokasian sumber daya,
pemotivasian karyawan dan pengejawantahan konformitas dengan norma-norma sosial.
Menurut Munandar (1986) penganggaran adalah proses kegiatan yang
menghasilkan anggaran tersebut sebagai hasil kerja (output) serta proses kegiatan yang
berkaitan dengan pelaksanaan fungsi-fungsi anggaran. Sedangkan Nafarin (2000)
memberikan definisi penganggaran sebagai proses penyusunan anggaran yang dibuat
untuk mencapai tujuan perusahaan dalam memperoleh laba.
Tjahjono Halim dan Husein (2000:173) dalam Hesti (2006) menjelaskan
anggaran mempunyai karakteristik sebagai berikut:
1. Anggaran dinyatakan dalam satuan moneter
2. Anggaran merupakan komitmen manajemen yang berarti manajer menerima
tanggung jawab untuk mencapai target yang dianggarkan.
3. Anggaran umumnya mencapai periode satu tahun.
4. Usulan anggaran harus ditelaah dan disetujui oleh pihak yang posisinya lebih
tinggi dari penyusun anggaran.
5. Anggaran yang disetujui dapat diubah atau direvisi jika terjadi kondisi tertentu.
6. Secara periodik, kinerja keuangan sesungguhnya dibandingkan dengan anggaran
kemudian selisihnya dianalisis dan dijelaskan.
Menurut Supriyono, 1987 (dalam Endang dan Agus, 2007) anggaran memiliki
beberapa macam fungsi yaitu:
1. Fungsi Perencanaan. Anggaran memuat perencanaan awal dari penentuan tujuan,
strategi dan kebijakan perusahaan.
2. Fungsi Koordinasi. Anggaran digunakan sebagai alat pengkoordinasian rencana
dan tindakan berbagai unit yang ada di organisasi agar dapat bekerja secara
selaras menuju arah pencapaian tujuan.
3. Fungsi Komunikasi. Dalam penyusunan anggaran, seluruh bagian dan tingkatan
JURNAL DINAMIKA EKONOMI & BISNIS Vol. 7 No. 1 Maret 2010 62
organisasi berkomunikasi dan berperan serta dalam proses. Setiap orang dalam
organisasi bertanggungjawab terhadap anggaran yang telah disusun.
4. Fungsi Motivasi. Anggaran berfungsi sebagai alat untuk memotivasi para
pelaksana dalam melaksanakan tugas untuk mencapai tujuan.
5. Fungsi Pengendalian dan Evaluasi. Anggaran digunakan sebagai alat
pengendalian kegiatan karena anggaran yang telah disetujui merupakan
komitmen dari para pelaksana yang ikut berperan serta dalam penyusunan
anggaran tersebut.
6. Fungsi Pendidikan. Anggaran berfungsi sebagai alat untuk mendidik para
manajer mengenai cara bekerja secara terperinci pada pusat pertanggungjawaban
yang dipimpinnya dan menghubungkannya dengan pusat pertanggungjawaban
lain dalam organisasi yang bersangkutan.
Selain fungsi, anggaran juga memiliki manfaat yaitu (Anthony dan Govindrajan,
1998 dalam Endang dan Agus, 2007):
1. Anggaran digunakan untuk menentukan rencana strategik.
2. Anggaran digunakan untuk membantu pengkoordinasian aktivitas dari suatu
organisasi.
3. Anggaran digunakan untuk memberikan tanggungjawab terhadap manajer agar
menginformasikan kinerja manajer.
4. Anggaran digunakan untuk standar pengevaluasian aktivitas manajer.
Proses penyusunan anggaran diawali dengan pembuatan atau penentuan pedoman
anggaran. Pedoman anggaran berisi kebijakan pokok organisasi yang akan disampaikan
kepada manajemen untuk dijadikan sebagai dasar pengajuan usulan anggaran. Manajer
sesuai dengan tanggung jawabnya masing-masing akan mengusulkan rancangan
anggaran yang menjadi komponen dalam penyusunan anggaran. Usulan rancangan dari
para manajer akan dipertimbangkan dan ditentukan sebagai anggaran. Rancangan yang
dibuat oleh para manajer diajukan ke komite anggaran untuk dirundingkan bersama-
sama dan ditelaah terlebih dahulu. Negosiasi sangat diperlukan untuk menyelaraskan
usulan rancangan anggaran dan disesuaikan dengan rencana jangka panjang dan tujuan
organisasi yang telah ditentukan. Rancangan yang telah disetujui akan dilaksanakan dan
pengawasan akan dilakukan dengan cara membandingkan dengan realisasi anggaran
tersebut.
Dalam penyusunan anggaran, para perancang anggaran harus memperhatikan
aspek perilaku. Menurut Nafarin, 2000 (dalam Endang dan Agus, 2007), ada beberapa
aspek perilaku yang perlu diperhatikan dalam penyusunan anggaran yaitu:
1. Anggaran harus realistis, cermat, sehingga tidak terlalu rendah atau terlalu tinggi.
Anggaran yang terlalu rendah tidak mencerminkan kedinamisan, sedangkan
anggaran yang terlalu tinggi tidak akan tercapai dan hanya merupakan angan-
angan saja.
2. Partisipasi manajer puncak diperlukan untuk memotivasi manajer pelaksana.
3. Anggaran yang dibuat harus mencerminkan keadilan, sehingga pelaksana tidak
63 Pengaruh Partisipasi Anggaran dan Komitmen Organisasi
sebagai Moderasi terhadap Kinerja Manajerial
Nichlah Hidayah
Fitri Ella Fauziah
merasa tertekan tetapi termotivasi.
4. Laporan realisasi anggaran harus akurat dan tepat waktu sehingga apabila terjadi
penyimpangan dapat segera diantisipasi lebih dini.
Ada tiga pendekatan yang dapat digunakan dalam penyusunan anggaran yaitu:
1. Pendekatan top-down. Proses penyusunan anggaran dimulai dari manajer puncak.
Anggaran diturunkan dari manajer puncak kepada bawahannya dan bawahan
tersebut dituntut untuk melaksanakan anggaran tanpa ada keterlibatan dalam
proses penyusunannya. Pada umumnya pendekatan ini diterapkan oleh
perusahaan yang memiliki struktur organisasi sentralisasi. Kelemahan dari
pendekatan ini adalah bawahan menjadi tertekan oleh pekerjaannya dan akan
berperilaku tidak semestinya. Keunggulan pendekatan ini yaitu adanya dukungan
yang kuat dari manajer puncak dalam pengembangan anggaran dan proses
penyusunan menjadi lebih mudah dikendalikan oleh manajer puncak.
2. Pendekatan bottom-up. Anggaran disusun sepenuhnya oleh bawahan dan
disahkan oleh manajer puncak sebagai anggaran perusahaan. Hal yang menonjol
dari pendekatan ini adalah adanya negosiasi usulan anggaran antara penyusun
anggaran dengan komite anggaran. Tujuan negosiasi adalah menyatukan dua
kepentingan yang berbeda. Di satu pihak, manajer puncak menginginkan
anggaran yang ketat untuk menjamin perusahaan memperoleh laba yang
maksimal.
Di lain pihak, manajer pusat pertanggungjawaban (manajer operasi) ingin agar
anggaran yang disetujui mendapat kelonggaran yang cukup dan adanya
tanggapan atas masalah-masalah tak terduga atau perubahan kegiatan.
Perusahaan yang memiliki struktur organisasi desentralisasi biasanya
menggunakan pendekatan ini. Kelemahan dari pendekatan ini adalah dengan
partisipasi yang terlalu luas sering menimbulkan konflik dan memakan waktu
yang panjang dalam proses penyusunan anggaran. Sedangkan keunggulan
pendekatan ini terletak pada mekanisme negosiasi yang ada antara penyusun
anggaran dan komite anggaran.
3. Gabungan pendekatan top-down dan bottom-up: kerja sama dan interaksi
manajer puncak dan manajer pusat pertanggungjawaban dalam menetapkan
anggaran merupakan cara terbaik bagi perusahaan. Anggaran disusun oleh setiap
manajer pusat pertanggungjawaban yang ada dalam perusahaan dengan
berpedoman pada tujuan, strategi dan kebijakan perusahaan. Dengan demikian,
kelemahan dari kedua pendekatan terdahulu dapat dikurangi sampai sekecil-
kecilnya sehingga bawahan merasakan bahwa dirinya diperhitungkan dan
efektivitas pelaksanaan anggaran dapat terjamin.
Penyusunan anggaran suatu bank merupakan suatu jalan yang panjang dan
berliku-liku, serta banyak hambatan yang harus dapat dilalui dengan baik. Menurut
Muljono, (1996) (dalam Hesti, 2006) langkah-langkah yang harus diperhatikan dalam
penyusunan anggaran sebuah bank adalah:
JURNAL DINAMIKA EKONOMI & BISNIS Vol. 7 No. 1 Maret 2010 64
1. Preliminary Study. Preliminary Study merupakan pengumpulan informasi atau
data yang diperlukan untuk penyusunan anggaran, meliputi (a) perumusan
sasaran usaha bank baik dalam jangka panjang dengan menggunakan Top Down,
maupun jangka pendek dengan menggunakan Bottom Up, dan (b) planning
assumption dengan mengumpulkan informasi-informasi ekstern tentang sosial
ekonomi, keuangan, politik, keamanan dan Iain-lain selengkap mungkin dan
dikaji secara seksama.
2. Penelitian Resiko Usaha. Memperkirakan besar kecilnya resiko terlebih dahulu
dalam penyusunan anggaran, adalah sangat penting. Risiko-risiko yang perlu
diperhatikan di bidang perbankan adalah risiko moneter, risiko politis, risiko
persaingan usaha, risiko dari sifat usaha bank itu sendiri, risiko uncertainty,
risiko birokratisme.
3. Critical Point dari sasaran yang akan dicapai. Penyusunan anggaran perlu
memperhatikan hambatan atau kendala yang dihadapi suatu bank. Berbagai
macam bentuk dan sifat kendala tersebut disebut critical point.
4. Penetapan Target Usaha. Langkah selanjutnya setelah critical point adalah
menetapkan target usaha yang akan dicapai.
5. Perhitungan Tolak Ukur Usaha. Perhitungan tolak ukur ini erat hubungannya
dengan penetapan besarnya volume usaha yang akan dicapai oleh masing-masing
unit kerja, dan perkiraan besarnya pendapatan dan biaya yang akan diperolehnya.
6. Penyusunan Anggaran. Langkah selanjutnya setelah menghitung target atau
volume usaha yang ingin dicapai untuk jenis usaha, tolok ukur pendapatan dan
biaya usaha masing-masing satuan jenis transaksi adalah merumuskan rencana
kegiatan kedalam bentuk anggaran yang diinginkan.
7. Pelaksanaan Anggaran. Pelaksanaan anggaran sebaiknya dilakukan koordinasi
dan kerjasama setiap unit kerja agar tercapai sasaran yang telah ditetapkan.
Koordinasi sangat penting untuk memotivasi masing-masing unit kerja agar
dapat bekerjasama dengan baik.
8. Revisi Anggaran. Revisi anggaran dilakukan karena adanya perubahan situasi
dan kondisi bisnis ataupun adanya berbagai peraturan moneter yang dikeluarkan
oleh pemerintah atau bank sentral, yang mempengaruhi sasaran usaha yang akan
dicapai.
9. Laporan Anggaran. Laporan anggaran disusun dan dilaporkan kepada Top
Manajemen yang berisi evaluasi secara periodik antara anggaran dan
pelaksanaannya.
Partisipasi Anggaran
Partisipasi secara luas pada dasarnya merupakan proses organisasional, dimana
para individu terlibat dan mempunyai pengaruh dalam pembuatan keputusan yang
mempunyai pengaruh secara langsung terhadap para individu tersebut. Partisipasi
adalah suatu proses dimana individu-individu terlibat didalamnya dan mempunyai
65 Pengaruh Partisipasi Anggaran dan Komitmen Organisasi
sebagai Moderasi terhadap Kinerja Manajerial
Nichlah Hidayah
Fitri Ella Fauziah
pengaruh pada penyusunan target anggaran yang kinerjanya akan dievaluasi dan
kemungkinan akan dihargai atas pencapaian target anggaran mereka (Brownell, 1982
dalam Sukardi, 2004).
Menurut Brownell, 1982 (dalam Sardjito dan Mutharer, 2007) partisipasi
anggaran sebagai suatu proses dalam organisasi yang melibatkan para manajer dalam
penentuan tujuan anggaran yang menjadi tanggung jawabnya.
Pengertian partisipasi dipertegas oleh Kermis (1979) dalam Sukardi (2004)
partisipasi adalah tingkat keikutsertaan manajer dalam menyusun anggaran dan
pengaruh anggaran tersebut terhadap pusat pertanggungjawaban manajer yang
bersangkutan. Seperti yang dikemukakan Mlani, 1975 (dalam Tintri, 2002), bahwa
tingkat keterlibatan dan pengaruh bawahan dalam proses penyusunan anggaran
merupakan faktor utama yang membedakan antara anggaran partisipatif dengan
anggaran non partisipatif.
Partisipasi banyak menguntungkan bagi suatu organisasi, hal ini diperoleh dari
hampir penelitian tentang partisipasi. Sord dan Welsch (1995) mengemukakan bahwa
tingkat partisipasi yang lebih tinggi akan menghasilkan moral yang lebih baik dan
inisiatif yang lebih tinggi pula. Partisipasi telah ditunjukkan berpengaruh secara positif
terhadap sikap pegawai, meningkatkan kuantitas dan kualitas produksi, dan
meningkatkan kerja sama diantara manajer.
Menurut Mulyadi, (1993) (dalam Endang dan Agus, 2007) budgeting
participation adalah suatu proses pengambilan keputusan bersama oleh dua belah pihak
atau lebih yang mempunyai dampak masa depan bagi pembuat keputusan tersebut. Oleh
karena itu, pembuat keputusan melibatkan banyak pihak yang terkait dalam keputusan
tersebut sehingga dampaknya dapat dirasakan oleh semua pihak.
Seseorang yang terlibat dalam pengambilan keputusan akan termotivasi dalam
situasi kelompok karena diberi kesempatan untuk mewujudkan inisiatif dan daya
kreatifitas. Tujuan bersama akan lebih mudah tercapai sehingga ada keterlibatan secara
pribadi dan kesediaan untuk menerima tanggungjawab masing-masing. Penyusunan
anggaran partisipatif pada dasarnya mengijinkan manajer bawahan mempertimbangkan
cara pembentukan anggaran (Hansen dan Mowen, 2004).
Zimmerman (1995) dalam Alim (2002) menyatakan bahwa penyusunan anggaran
partisipatif merupakan anggaran bottom-up yang melibatkan bawahan secara penuh
untuk bertanggungjawab memenuhi target yang telah ditentukan dalam anggaran.
Adanya rasa tanggungjawab manajer level lebih rendah dapat memperkuat kreativitas
manajer yang bersangkutan. Apabila manajer level lebih rendah diberi kesempatan
untuk menyusun anggaran maka tujuan anggaran dapat menjadi tujuan personal dan
akan menghasilkan goal congruence yang lebih besar. Partisipasi anggaran juga akan
memotivasi level lebih rendah sehingga bersedia menerima dan mencapai target serta
skema pengendalian.
Anggota manajemen bank mempunyai alat (dengan anggaran), serta wewenang
untuk mencapai sasaran yang akan dicapai oleh bank dengan jalan melalui perintah-
JURNAL DINAMIKA EKONOMI & BISNIS Vol. 7 No. 1 Maret 2010 66
perintah yang dikeluarkan oleh Top Management dengan Middle Management, serta
perintah-perintah yang dikeluarkan oleh Middle Management dengan Lower
Management. Dengan adanya anggaran, para pelaksana tidak ragu-ragu lagi
melaksanakan kegiatannya, karena telah didukung wewenang yang diatur dalam
anggaran tersebut.
Indikator yang digunakan dalam penelitian ini adalah kinerja manajerial, dan
tingkatan manajer yang digunakan adalah tingkat manajer menengah dan tingkat
manajer bawah.
Berbagai bentuk partisipasi yang diharapkan di dalam program anggaran suatu
bank, antara lain:
1. Pada saat penyusunan anggaran, diharap kesediaannya untuk memberikan
informasi tentang informasi masa lalu, kapasitasnya yang ada pada saat ini baik
Ideal Capacity, Attainable Capacity, Economical Capacity dan seterusnya, yang
tentu akan sangat bermanfaat untuk merumuskan strategi performance, maupun
standart cost-nya.
2. Ketaatan pelaksanaan kerja sesuai dengan jadwal waktu tingkat kegiatan kerja
yang telah dikehendaki oleh anggaran.
3. Ketaatan tingkat pelaksanaan kerja evaluasi atas pelaksanaan anggaran dan
informasi lainnya yang penting tentang volume kegiatan yang dicapainya.
4. Kesediaannya memberikan evaluasi atas pelaksanaan anggaran dan informasi
lainnya yang penting tentang volume kegiatan yang dicapainya.
5. Kesediaannya menerima kritik yang dirumuskan dari analisa variasi, sebagai alat
untuk perbaikan terhadap prestasi kerja yang telah dicapai.
6. Kesediaan menerima reward and punishment atas prestasi yang telah dicapai atau
kegagalan prestasi seperti yang telah ditetapkan anggaran.
Komitmen Organisasi
Menurut Sri Trisnaningsih (2004), komitmen organisasional cenderung
didefinisikan sebagai suatu perpaduan sikap dan perilaku. Menurut Gibson (dalam
Much Imron, 2007) komitmen merupakan lingkup identifikasi, keterlibatan dan
loyalitas seseorang terhadap organisasinya. Menurut Jarrel (dalam Imron, 2007),
komitmen terhadap organisasi merupakan hubungan antara karyawan sebagai individu
dengan organisasi secara keseluruhan. Menurut Luthans (dalam Imron, 2007),
komitmen organisasi adalah sikap yang menunjukkan loyalitas karyawan dan
merupakan proses berkelanjutan seorang anggota organisasi mengekspresikan perhatian
mereka kepada kesuksesan organisasi.
Jadi disimpulkan bahwa Komitmen organisasi adalah rasa memiliki karyawan
(anggota dan organisasi) terhadap organisasi atau perusahaan untuk mewujudkan tujuan
organisasi atau perusahaan (Imron, 2007). Tingkat komitmen yang tinggi baik secara
formal struktural atau secara psikologis dapat mendorong kedekatan hubungan antara
anggota organisasi dengan perusahaan tempatnya bekerja. Komitmen menyatakan
67 Pengaruh Partisipasi Anggaran dan Komitmen Organisasi
sebagai Moderasi terhadap Kinerja Manajerial
Nichlah Hidayah
Fitri Ella Fauziah
tingkat tertinggi dari keterikatan relasional, dimana komitmen akan menciptakan suatu
kondisi tertentu yang menimbulkan ketergantungan, yang apabila seimbang, akan
menumbuhkan rasa aman dan adanya dorongan untuk mempertahankannya.
Ketergantungan yang berada pada saat yang tepat dapat meningkatkan kinerja, dimana
ketergantungan berdasarkan pilihan maupun kebutuhan, memberikan landasan dimana
komitmen organisasi dapat dibangun.
Komitmen yang tinggi menjadikan individu lebih mementingkan organisasi
daripada kepentingan pribadi dan berusaha menjadikan organisasi lebih baik.
Komitmen organisasi yang rendah akan membuat individu untuk berbuat untuk
kepentingan pribadinya. Selain itu, komitmen organisasi dapat merupakan alat bantu
psikologis dalam menjalankan organisasinya untuk pencapaian kinerja yang diharapkan
(Nouri dan Parker, 1996; McClurg, 1999; Chong dan Chong, 2002; Wentzel, 2002
dalam Sardjito dan Mutharer, 2007).
Kinerja perusahaan yang dapat dicapai melalui kinerja manajer tidak secara
otomatis menjadi lebih baik oleh karena hebatnya rumusan strategi yang telah dibuat
oleh perusahaan. Banyak manajer memberikan contoh adanya kegagalan strategi karena
kurangnya kesepakatan atau konsensus (komitmen) tentang strategi dari kelompok,
termasuk manajemen papan tengah dan fungsi-fungsi internal yang tidak mendukung.
Hal ini memperlihatkan pentingnya komitmen dalam implementasi strategi di lapangan
(Menon dkk, 1999:27 dalam Much Imron, 2007).
Menurut Ferris dan Aranya, (1983) (dalam Sri Trisnaningsih, 2004), komitmen
organisasi menyangkut tiga (3) sikap, yaitu rasa mengidentifikasi dengan tujuan
organisasi, rasa keterlibatan dengan tugas organisasi, dan rasa kesetiaan kepada
organisasi. Sedangkan menurut Miner (dalam Setiadi, 2002:97) menyatakan bahwa
sikap komitmen dapat diidentifikasi dengan tiga hal, yakni:
1. Keyakinan kuat dalam menerima nilai-nilai dan tujuan organisasi
2. Kemauan untuk memberikan usaha kepada organisasi
3. Keinginan kuat untuk memperbaiki perannya sebagai anggota organisasi
tersebut.
Kinerja Manajerial
Menurut Gibson, (1989) (dalam Endang dan Agus, 2007), kinerja adalah hasil
yang diinginkan dari perilaku kinerja individu sebagai dasar kinerja organisasi. Kinerja
Manajerial adalah salah satu faktor yang dapat meningkatkan efektivitas organisasi.
Mahoney dkk Dalam Indriantoro (2000:99) mendefinisikan kinerja manajerial dalam
fungsi-fungsi:
1. Perencanaan. Menentukan tujuan, kebijakan, dan tindakan atau pelaksanaan,
penjadwalan kerja, penganggaran, merancang prosedur, pemograman, dll.
2. Investigasi. Mengumpulkan dan menyiapkan informasi untuk catatan, laporan
dan rekening, mengukur hasil, menentukan persediaan, analisis pekerjaan, dll.
3. Koordinasi. Tukar menukar informasi dengan organisasi di bagian organisasi
JURNAL DINAMIKA EKONOMI & BISNIS Vol. 7 No. 1 Maret 2010 68
yang lain untuk mengkaitkan dan menyesuaikan program, memberitahu
departemen lain, hubungan dengan manajer lain, dan Iain-lain.
4. Evaluasi. Menilai dan mengukur proposal, kinerja yang di amati atau dilaporkan,
penilaian pegawai, penilaian catatan akhir, penilaian laporan keuangan,
pemeriksaan produk, dan Iain-lain.
5. Pengawasan. Mengarahkan, memimpin dan mengembangkan bawahan,
membimbing, melatih dan menjelaskan peraturan kerja pada bawahan,
memberikan tugas atau pekerjaan dan menangani keluhan, dan lain-lain.
6. Pengaturan Staf. Mempertahankan angkatan kerja atau karyawan, merekrut,
mewawancarai dan memilih pegawai baru, menempatkan, mempromosikan dan
memutasi pegawai, dan Iain-lain.
7. Negoisasi. Pembelian, penjualan atau melakukan kontrak untuk barang dan jasa,
menghubungi pemasok, tawar-menawar secara kelompok, dan Iain-lain.
8. Perwakilan atau representasi. Menghadiri pertemuan-pertemuan dengan
perusahaan lain, pertemuan perkumpulan bisnis, pidato untuk acara
kemasyarakatan, pendekatan kepada masyarakat, mempromosikan tujuan umum
dan sebagainya.
9. Kinerja secara menyeluruh. Kinerja secara menyeluruh ini mencakup semua
aktivitas manajerial yang telah disebutkan diatas.
Perbankan dan Anggaran
Anggaran bagi perbankan mempunyai beberapa manfaat, seperti yang
dikemukakan oleh Muljono (1996:10-11) dalam Hesti (2006):
1. Dengan adanya anggaran maka sasaran usaha yang dicapai bank yang
bersangkutan untuk suatu jangka waktu tertentu akan menjadi jelas, baik dalam
kualitas maupun dalam nilai rupiahnya.
2. Secara tidak langsung dengan disusunnya anggaran akan mengarahkan perbaikan
dari organisasi baik yang bersangkutan. Sebab dengan adanya anggaran tersebut
akan memaksa unit-unit kerja yang ada dalam masing-masing bank untuk
menegaskan dan menata kembali diskripsi kerjanya maupun wewenang dan
tanggungj awabnya.
3. Dengan adanya anggaran akan mendorong terjadinya profesionalisme dan
perbaikan "Managerial Skill dari setiap personil anggota organisasi, karena
masing-masing personil sudah ditata dengan jelas tugas dan tanggung jawabnya,
disamping itu prestasinya juga akan diukur.
4. Dengan adanya anggaran tersebut akan tersedia bagi manajemen bank yang
bersangkutan suatu alat koordinasi dan pengawasan, yang akan sangat berguna
untuk mengendalikan kegiatan usahanya didalam mencapai sasaran seperti yang
telah ditetapkan dalam rencana.
5. Dengan adanya anggaran tersebut juga akan bermanfaat untuk perbaikan
kemampuan bank dalam memberikan jasa-jasa kepada nasabahnya.
69 Pengaruh Partisipasi Anggaran dan Komitmen Organisasi
sebagai Moderasi terhadap Kinerja Manajerial
Nichlah Hidayah
Fitri Ella Fauziah
6. Dengan adanya sasaran yang jelas, penataan kembali organisasi yang lebih baik,
perbaikan kualitas personalia, tersedianya alat koordinasi sebagai alat
pengendalian usaha bank serta peningkatan kemampuan bank dalam
menyampaikan jasa-jasanya kepada para nasabahnya sudah tentu akan
memberikan kesempatan bagi bank dalam meningkatkan profitabilitas dari bank
yang bersangkutan.
7. Dengan adanya anggaran, bank juga mempunyai kemampuan untuk mengadakan
reaksi yang lebih baik didalam menghadapi berbagai perkembangan usaha yang
diluar dugaan. Karena bank tersebut telah memiliki rencana (sasaran) usaha yang
jelas dan alat pengendalian yang baik.
Manajemen perbankan harus menyusun anggaran dengan sebaik-baiknya dengan
mempertimbangkan faktor-faktor internal dan eksternal organisasi, agar tujuan
organisasi bank dapat tercapai, dan dapat melayani para nasabah dengan sebaik-
baiknya.
Hasil Penelitian Terdahulu
Pada tabel 1 disajikan ringkasan penelitian terdahulu.
Tabel 1
Ringkasan Penelitian Terdahulu
No Nama Peneliti Hasil
1 Sardjito dan
Mutharer
(2007)
partisipasi penyusunan anggaran berpengaruh positif terhadap kinerja
aparat pemerintah daerah, variabel budaya organisasi dan komitmen
organisasi memoderasi pengaruh partisipasi penyusunan anggaran
terhadap kinerja aparat pemerintah.
2 Belianus Patria
Latuheru (2005)
Komitmen organisasi memperlemah pengaruh partisipasi anggaran
terhadap kesenjangan anggaran.
3 Tintri
(2002)
Partisipasi penyusunan anggaran tidak berpengaruh terhadap kinerja
manajerial. Partisipasi penyusunan anggaran berpengaruh positif
terhadap kinerja manajerial pada struktur desentralisasi dan pengaruh
negatif pada struktur sentralisasi. Partisipasi penyusunan anggaran
berpengaruh positif terhadap kinerja manajerial pada kultur
organisasional yang berorientasi pada orang, dan berpengaruh negatif
pada kultur organisasional yang berorientasi pada pekerjaan.
4 Suhartono dan
Solichin (2006)
Kejelasan sasaran anggaran berpengaruh negatif terhadap senjangan
anggaran instansi pemerintah daerah. Komitmen organisasi berperan
sebagai variabel pemoderasi.
5 Wirjono dan
Raharjono
(2007)
Interaksi antara kebutuhan akan independensi dengan partisipasi dalam
penyusunan anggaran berpengaruh terhadap kinerja manajerial dan
interaksi antara kebutuhan akan otoritas dengan partisipasi dalam
penyusunan anggaran berpengaruh terhadap kinerja manajerial
6 Munawarah
(2006)
Partisipasi anggaran, insentif dan tingkat target kesulitan anggaran
berpengaruh positif terhadap kinerja manajerial
JURNAL DINAMIKA EKONOMI & BISNIS Vol. 7 No. 1 Maret 2010 70
No Nama Peneliti Hasil
7 Sumarno (2005) Terdapat pengaruh negatif antara kinerja manajerial dan partisipasi
anggaran, pengaruh komitmen organisasi terhadap hubungan kinerja
manajerial dan partisipasi anggaran adalah positif dan signifikan,
pengaruh gaya kepemimpinan terhadap hubungan antara partisipasi
8 Imron (2007) Kapabilitas dan komitmen berpengaruh terhadap kreativitas strategi
dan kinerja manajer.
9 Sukardi (2004) anggaran partisipatif berpengaruh positif pada kinerja manajerial tetapi
motivasi kerja dan kultur organisasional tidak memoderasi pengaruh
anggaran partisipatif dengan kinerja manajerial.
10 Supriyono
(2005)
Partisipasi penganggaran mempunyai hubungan positif dengan kinerja
manajerial
Sumber: penelitian terdahulu diolah
Pengembangan Hipotesis
Pengaruh Partisipasi Anggaran terhadap Kinerja Manajerial
Anggaran yang telah disusun memiliki peranan sebagai perencanaan dan sebagai
kriteria kinerja, yaitu anggaran dipakai sebagai suatu sistem pengendalian untuk
mengukur kinerja manajerial (Schiff dan Lewin, 1970 dalam Kirby, 1994). Untuk
mencegah dampak fungsional atau disfungsionalnya, sikap dan perilaku anggota
organisasi dalam penyusunan anggaran perlu melibatkan manajemen pada level yang
lebih rendah (Agyris, 1952) sehingga anggaran partisipatif dapat dinilai sebagai
pendekatan manajerial yang dapat meningkatkan kinerja setiap anggota organisasi
sebagai individual karena dengan adanya partisipasi dalam penyusunan anggaran
diharapkan setiap individu mampu meningkatkan kinerjanya sesuai dengan target yang
telah ditetapkan sebelumnya.
Brownell (1982b) dalam Susanti (2002) melakukan studi lapangan terhadap 48
manajer pusat biaya level menengah yang bekerja pada perusahaan manufaktur di San
Fransisco Amerika Serikat. Hasil dari penelitian tersebut adalah menemukan hubungan
positif dan signifikan antara partisipasi penganggaran dengan kinerja manajerial.
Berbeda dengan penelitian diatas, Mlani (1975) melakukan penelitian terhadap proses
penyusunan anggaran pada sebuah perusahaan besar yang berskala internasional
dimana hasil dari penelitian tersebut adalah ditemukannya hubungan yang tidak
signifikan antara partisipasi dalam penyusunan anggaran dengan kinerja manajerial.
Sesuai dengan temuan-temuan penelitian yang telah dilakukan maka penelitian ini
dimaksudkan untuk menguji kembali pengaruh partisipasi penyusunan anggaran
terhadap kinerja manajerial.
Berdasarkan uraian diatas, hipotesis yang dikembangkan adalah:
H1: partisipasi anggaran berpengaruh positif terhadap kinerja manajerial
71 Pengaruh Partisipasi Anggaran dan Komitmen Organisasi
sebagai Moderasi terhadap Kinerja Manajerial
Nichlah Hidayah
Fitri Ella Fauziah
Komitmen Organisasi, Partisipasi Anggaran dan Kinerja Manajerial
Beberapa penelitian di bidang akuntansi mengemukakan bahwa para manajer
tingkat bawah mempunyai informasi yang lebih akurat daripada para atasannya
mengenai kondisi-kondisi lokal pusat pertanggungjawaban yang dipimpinnya.
Penelitian ini didasarkan pada gagasan bahwa para manajer bawah (manajer pusat
pertanggunjawaban) seringkali memiliki informasi yang lebih baik mengenai level
anggaran yang diperlukan untuk mendukung pelaksanaan aktivitas-aktivitas unit
organisasinya daripada atasannya (manajer puncak). Oleh karena itu, para manajer
bawahan akan berusaha untuk memberikan informasi tersebut ke dalam usulan
anggarannya untuk menjamin bahwa mereka memperoleh sumber-sumber yang
mencukupi untuk melaksanakan aktivitas-aktivitasnya
Komitmen organisasi yang kuat akan mendorong para manajer bawahan
berusaha keras mencapai tujuan organisasi (Angel dan Perry, 1981; Porter et. al, 1974).
Kecukupan anggaran tidak hanya secara langsung meningkatkan prestasi kerja, tetapi
juga secara tidak langsung (moderasi) melalui komitmen organisasi.
Komitmen yang tinggi menjadikan individu lebih mementingkan organisasi
daripada kepentingan pribadi dan berusaha menjadikan organisasi menjadi lebih baik.
Komitmen organisasi yang rendah akan membuat individu untuk berbuat untuk
kepentingan pribadinya. Selain itu, komitmen organisasi dapat merupakan alat bantu
psikologis dalam menjalankan organisasinya untuk pencapaian kinerja yang diharapkan
(Nouri dan Parker, 1996; McClurg, 1999; Chong dan Chong, 2002; Wentzel, 2002).
Komitmen organisasi yang tinggi akan meningkatkan kinerja yang tinggi pula (Randall,
1990) dalam Nouri dan Parker (1998).
Berdasarkan uraian diatas, hipotesis yang dikembangkan adalah:
H2: Komitmen Organisasi memoderasi (memperkuat) pengaruh partisipasi anggaran
terhadap kinerja manajerial
Atau jika hipotesis dinyatakan secara operasional berbunyi: Interaksi komitmen
organisasi dan partisipasi anggaran berpengaruh positif terhadap kinerja manajerial.
Metode Penelitian
Variabel Penelitian dan Definisi Operasional
Variabel penelitian dapat diklasifikasikan menjadi variabel independen
(partisipasi anggaran), variabel moderasi (komitmen organisasi) dan variabel dependen
(kinerja manajerial). Penjelasan masing-masing variabel penelitian adalah sebagai
berikut:
1) Partisipasi anggaran (X1) adalah tingkat keterlibatan dan pengaruh individu
dalam penyusunan anggaran (Brownell dalam Sumarno, 2005). Indikator yang
digunakan adalah:
a. Kegiatan penyusunan anggaran
b. Revisi anggaran
JURNAL DINAMIKA EKONOMI & BISNIS Vol. 7 No. 1 Maret 2010 72
c. Frekuensi usulan anggaran
d. Keikutsertaaan dalam anggaran final
e. Kontribusi dalam anggaran
f. Frekuensi permintaan usulan dalam anggaran
Indikator ini merupakan instrumen yang dikembangkan oleh Milani (1975).
Instrumen tersebut telah digunakan juga oleh Brownell (1982b), Brownell dan
Mcinnes (1986), Frucot dan Shearon (1991), Indriantoro (1993), dan Gul dkk.
(1995). Jawaban diberikan dengan memilih skala dengan rentang antara 1 sampai
7 (partisipasi rendah hingga partisipasi tinggi).
2) Komitmen organisasi (X2) didefinisikan sebagai dorongan dari dalam diri
individu untuk melakukan sesuatu agar dapat menunjang keberhasilan organisasi
sesuai dengan tujuan yang ditetapkan dan lebih mengutamakan kepentingan
organisasi (Wiener dalam Sumarno, 2005). Indikator yang digunakan dari
Mowday et al. (1979), yaitu:
1. Ketersediaan bekerja keras
2. Kebanggaan terhadap organisasi
3. Menerima tugas apapun dari organisasi
4. Kesamaan nilai-nilai
5. Kebanggaan menjadi anggota organisasi
6. Organisasi sebagai pemberi inspirasi
7. Ketepatan memilih organisasi
8. Organisasi sebagai tempat kerja terbaik
9. Kepedulian terhadap organisasi
Setiap responden diminta untuk menjawab sembilan butir pertanyaan dengan
jawaban mulai dari 1 (sangat tidak setuju) sampai dengan 7 (sangat setuju).
3) Kinerja manajerial (Y): kinerja para individu dalam kegiatan manajerial meliputi
perencanaan, investigasi, koordinasi, supervisi, pengaturan staf, negosiasi, dan
representasi (Mahoney dkk dalam Sumarno, 2005). Pengukuran kinerja
manajerial dengan instrumen self rating yang dikembangkan Mahoney dkk
(1963) dan telah digunakan oleh Brownell (1982b), Brownell dan Mcinnes
(1986), Brownell dan Mcinnes (1986), Frucot dan Shearon (1991), Indriantoro
(1993), dan Gul et al. (1995). Jawaban pertanyaan disusun dengan menggunakan
skala dengan rentang dari 1 sampai dengan 9 yang menunjukkan kinerja mereka.
Populasi dan Penentuan Sampel
Sampling frame penelitian adalah Bank Perkreditan Rakyat yang ada di
Kabupaten Jepara yaitu sebanyak 5 Bank Perkreditan Rakyat. Dengan unit analisis
manajer menengah kebawah yang meliputi Kepala Bagian, Kepala Sub Bagian, Kepala
Pos Pelayanan, Kepala Bidang dan Kepala Seksi sebanyak 54 responden. Semua
responden yang terdaftar sebagai calon responden akan dikirimi kuesioner secara
langsung. Perincian daftar sampel/ jumlah responden disajikan pada tabel 2 berikut:
73 Pengaruh Partisipasi Anggaran dan Komitmen Organisasi
sebagai Moderasi terhadap Kinerja Manajerial
Nichlah Hidayah
Fitri Ella Fauziah
Tabel 2
Jumlah Responden
No Nama BPR Kabag Kasubag Kapos Kabid Kasi
1 PD. BPR Jepara Artha 8 10 5 - -
2 PD. BPR BKK Jepara - - - 8 10
3 BPR Nusamba - - 5 - -
4 BPR Nusumma 1 4 - - -
5 BPR Sungkunandhana 3 - - - -
Jumlah 12 14 10 8 10
Total sampel 54
Sumber: wawancara dengan Bagian kepegawaian masing-masing bank
Metode Analisis
Metode analisis dengan regresi berganda dan pengujian hipotesis dengan uji t.
Sedangkan untuk memastikan kelayakan data diuji dengan uji validitas dan reliabilitas.
Model persamaan regresinya untuk pengujian H1:
Y = a + bX1 + e ...................................................................... (1)
Sedangkan model persamaan regresi untuk pengujian H2:
Y = a + b1X1 + b2X2 + b3(X1*X2) + e ............................................... (2)
Keterangan:
Y = kinerja manajerial
X1 = partisipasi anggaran
X2 = komitmen organisasi
a = intercept
b = slope
e = residual
Pengujian hipotesis berdasarkan uji t sebagai berikut.
H1: b > 0 artinya partisipasi anggaran berpengaruh positif terhadap kinerja
manajerial
H2: b3 > 0 artinya interaksi komitmen organisasi dan partisipasi anggaran
berpengaruh positif terhadap kinerja manajerial.
Analisis Data dan Pembahasan
Daftar kuesioner dibagikan kepada responden pada awal bulan Maret 2009.
pengumpulan kembali kuesioner tersebut dilakukan secara bertahap tergantung pada
kesediaan para responden. Pengumpulan kuesioner selesai pada awal bulan Mei 2009.
Pada tabel 3 berurutan disajikan demografi responden penelitian (umur, jenis
kelamin).
JURNAL DINAMIKA EKONOMI & BISNIS Vol. 7 No. 1 Maret 2010 74
Tabel 3
Demografi Responden
Keterangan Kategori Jumlah Persentase
Jenis Kelamin Wanita 23 42,59
Pria 31 57,41
Jumlah 54 100
Usia di bawah 30 tahun 4 7,41
31-35 16 29,63
36-40 19 35,19
41-45 10 18,52
di atas 45 tahun 5 9,26
Jumlah 54 100
Sumber: data primer diolah
Berdasarkan tabel 3, dapat diketahui bahwa sebagian besar responden merupakan
pria yang mencakup 57,41% atau ada 31 responden. Sedangkan wanita sebanyak 23
orang atau 42,59%. Sebagian besar responden berusia antara 36 hingga 40 tahun yaitu
sebanyak 19 orang atau 35,19%. Sedangkan usia responden yang paling sedikit adalah
yang berusia di bawah 30 atau di atas 45 tahun.
Pengujian Instrumen
1. Uji Validitas
Hasil pengujian validitas untuk variabel partisipasi anggaran, disajikan
pada tabel 4.
Tabel 4
Rangkuman Uji Validitas Partisipasi Anggaran
Item Pertanyaan rhitung rtabel Keterangan
1 0,6260 0,226 Valid
2 0,6095 0,226 Valid
3 0,7559 0,226 Valid
4 0,8131 0,226 Valid
5 0,7488 0,226 Valid
6 0,6823 0,226 Valid
Sumber: olah data primer
Nilai r tabel untuk 54 sampel adalah 0,226. Berdasarkan tabel 4, semua
butir pertanyaaan 1 sampai 6 adalah valid, karena nilai r hitung lebih besar dari
0,226. Dengan demikian instrumen yang digunakan dalam penelitian ini sesuai
untuk mengukur partisipatif penggunaan anggaran.
Hasil pengujian untuk variabel komitmen organisasi, disajikan pada tabel
5.
75 Pengaruh Partisipasi Anggaran dan Komitmen Organisasi
sebagai Moderasi terhadap Kinerja Manajerial
Nichlah Hidayah
Fitri Ella Fauziah
Tabel 5
Rangkuman Uji Validitas Komitmen Organisasi
Item Pertanyaan rhitung rtabel Keterangan
1 0,4927 0,226 Valid
2 0,3394 0,226 Valid
3 0,5541 0,226 Valid
4 0,6839 0,226 Valid
5 0,6987 0,226 Valid
6 0,5423 0,226 Valid
7 0,4134 0,226 Valid
8 0,5839 0,226 Valid
9 0,3562 0,226 Valid
Sumber: olah data primer
Nilai r tabel untuk 54 sampel adalah 0,226. Berdasarkan tabel 5, semua
butir pertanyaaan 1 sampai 9 adalah valid, karena nilai r hitung lebih besar dari
0,226. Dengan demikian instrumen yang digunakan dalam penelitian ini sesuai
untuk mengukur komitmen organisasi.
Hasil pengujian untuk variabel Kinerja Manajerial, disajikan pada tabel 6.
Tabel 6
Rangkuman Uji Validitas Kinerja Manajerial
Item Pertanyaan rhitung rtabel Keterangan
1 0,5362 0,226 Valid
2 0,4316 0,226 Valid
3 0,4433 0,226 Valid
4 0,4782 0,226 Valid
5 0,5152 0,226 Valid
6 0,6135 0,226 Valid
7 0,3300 0,226 Valid
8 0,4586 0,226 Valid
9 0,4718 0,226 Valid
Sumber: olah data primer
Nilai r tabel untuk 54 sampel adalah 0,226. Berdasarkan tabel 5, semua
butir pertanyaaan 1 sampai 9 adalah valid, karena nilai r hitung lebih besar dari
0,226. Dengan demikian instrumen yang digunakan dalam penelitian ini sesuai
untuk mengukur kinerja manajerial.
2. Uji Reliabilitas
Uji reliabilitas digunakan untuk mengetahui konsistensi dari hasil
pengukuran. Adapun hasil uji reliabilitas dapat dilihat di tabel 7.
JURNAL DINAMIKA EKONOMI & BISNIS Vol. 7 No. 1 Maret 2010 76
Tabel 7
Hasil Uji Realibilitas Variabel Penelitian
Variabel Cronbach Alpha Kesimpulan
Partisipasi Anggaran 0,8814 Reliabel
Komitmen Organisasi 0,8082 Reliabel
Kinerja Manajerial 0,7861 Reliabel
Sumber: olah data primer
Berdasarkan tabel 7, nilai cronbach's Alpha semua variabel penelitian
lebih besar dari 0,6. Sehingga dapat disimpulkan bahwa semua variabel
penelitian dinyatakan andal.
Analisis Regresi dan Pengujian Hipotesis
Hasil analisis regresi untuk model persamaan pengujian disajikan pada tabel 8.
Tabel 8
Hasil Analisis Regresi
Model Unstandardized
Coefficients
Standardized
Coefficients t hitung Sig.
Pengujian H1
(Constant) 14,926 2,721 0,009
Partisipasi anggaran 0,722 0,575 5,062 0,000
R : 0,575
Adj R2 : 0,317
Pengujian H2
(Constant) -63,105 -1,647 0,106
Partisipasi anggaran 2,603 2,073 2,230 0,030
Komitmen Organisasi 2,161 1,738 2,280 0,027
Moderasi -5.21 E-02 -2.716 -1.838 0,072
R : 0,675
Adj R2 : 0,423
Sumber: olah data primer
Berdasarkan tabel 8, pada pengujian H1 persamaan regresinya adalah:
Y = 14,926 + 0,722(part_angg)
Nilai koefisien regresi b = 0,722, t hitung sebesar 5,062 dan nilai p = 0,000
sedangkan t tabel sebesar 1,675. Berdasarkan nilai tersebut, koefisien regresi tersebut
signifikan karena p = 0,000 < 0,05. Jadi dapat disimpulkan bahwa pengaruh partisipasi
anggaran terhadap kinerja manajerial adalah positif dan signifikan. Yang artinya
77 Pengaruh Partisipasi Anggaran dan Komitmen Organisasi
sebagai Moderasi terhadap Kinerja Manajerial
Nichlah Hidayah
Fitri Ella Fauziah
Partisipasi yang tinggi dalam penyusunan anggaran meningkatkan kinerja manajerial.
Koefisien determinasi yang disesuaikan (adj R2) yaitu sebesar 0,317. Hal ini berarti
bahwa 31,7% dari kinerja manajerial dapat dijelaskan oleh variabel partisipasi anggaran
sebagai variabel independen. Sedangkan sisanya 68,3% dijelaskan oleh variabel lain
yang tidak diamati.
Berdasarkan tabel 8, pada pengujian H2, persamaan regresinya adalah:
Y = -63,105 + 2,603(part_angg) + 2,161(komit_org) – 0,0521(moderasi)
Nilai t hitung Variabel partisipasi anggaran sebesar 2,230 dan p = 0,030
sedangkan t tabel sebesar 2,007. Oleh karena itu, koefisien regresi tersebut signifikan
karena p = 0,030 < 0,05. Variabel komitmen organisasi menghasilkan t hitung sebesar
2,280 dan p =0,027. Oleh karena itu, koefisien regresi tersebut signifikan karena p =
0,027 < 0,05.
Variabel moderasi yang merupakan interaksi antara variabel partisipasi anggaran
dan komitmen organisasi tidak signifikan. Variabel moderasi menghasilkan t hitung
-1,838 dan p = 0,72. Pada tingkat signifikansi a=5%, maka koefisien regresi tersebut
tidak signifikan karena p = 0,72 > 0,05.Sehingga dapat disimpulkan bahwa pengaruh
komitmen organisasi terhadap hubungan partisipasi anggaran dengan kinerja manajerial
negatif dan tidak signifikan. Komitmen organisasi dalam penelitian ini bukanlah
sebagai variabel moderating dalam hubungan antara partisipasi anggaran dengan kinerja
manajerial. Hasil perhitungan selanjutnya menunjukkan koefisien determinasi
disesuaikan (adj R2) yaitu sebesar 0,423. Hal ini berarti bahwa kemampuan variabel
partisipasi anggaran, komitmen organisasi dan interaksi keduanya mampu menjelaskan
42,3% variasi perubahan variabel kinerja manajerial, sedangkan sisanya 57,6%
dijelaskan oleh variabel lain yang tidak diamati.
Rekomendasi
Beberapa saran/rekomendasi yang dapat diberikan berdasarkan hasil pengujian
hipotesis adalah sebagai berikut:
1. Kepada Manajemen Bank Perkreditan Rakyat (BPR)
Penulis menyarankan kepada Bank Perkreditan Rakyat dalam rangka
meningkatkan kinerja manajerial dan untuk mencapai tujuan Bank Perkreditan
Rakyat, yaitu:
a. Manajemen BPR hendaknya memberikan kewenangan yang lebih besar
kepada para manajer pusat-pusat pertanggungjawaban untuk menyusun
usulan anggaran pusat pertanggungjawabannya dan lebih
mempertimbangkan saran dan pendapat mereka dalam penerapan dan revisi
anggaran BPR.
b. Manajemen senior hendaknya terlibat lebih serius dalam proses
penganggaran agar suatu sistem penganggaran menjadi lebih efektif dalam
memotivasi para pelaksana anggaran, mulai dari memberikan pengarahan
JURNAL DINAMIKA EKONOMI & BISNIS Vol. 7 No. 1 Maret 2010 78
dan penjelasan tentang tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh BPR,
mereview usulan anggaran dan merespon laporan kinerja.
c. Manajer BPR hendaknya memiliki komitmen organisasi yang tinggi kepada
perusahaan karena komitmen organisasi menunjukkan keyakinan dan
dukungan yang kuat terhadap nilai dan sasaran (goal) yang ingin dicapai
oleh organisasi. Manajer yang memiliki tingkat komitmen organisasi tinggi
akan memiliki pandangan positif dan lebih berusaha berbuat yang terbaik
demi kepentingan organisasi Karena komitmen organisasi yang tinggi akan
meningkatkan kinerja yang tinggi pula. Komitmen juga akan membuat
organisasi lebih produktif dan profitable.
2. Kepada peneliti berikutnya
Penelitian ini masih terdapat keterbatasan. Diantaranya: a). Hanya
menggunakan satu variabel independen yaitu partisipasi anggaran dan satu
variabel moderating yaitu komitmen organisasi. b). Jumlah sampel hanya 54
responden. c). Tempat yang terbatas pada wilayah Kabupaten Jepara. Untuk itu,
penulis menyarankan:
a. Hasil penelitian ini menunjukkan terdapat 68% pengaruh faktor lain yang
tidak termasuk dalam penelitian ini terhadap kinerja manajerial yang tidak
diamati. Maka dapat dilakukan penelitian lebih lanjut tentang faktor-faktor
lain yang berpengaruh terhadap kinerja manajerial.
b. Sebaiknya peneliti berikutnya melakukan penelitian dengan jumlah sampel
yang lebih banyak atau lebih besar, untuk dapat memberikan hasil yang
lebih maksimal.
c. Oleh karena penelitian ini terbatas pada BPR di kabupaten Jepara, maka
disarankan untuk melakukan penelitian serupa pada Bank dengan usaha
lebih besar atau perusahaan dengan bidang usaha yang berbeda atau di
wilayah lainnya.
Daftar Pustaka
Bambang Sardjito dan Osmad Mutharer, 2007, “Pengaruh Partisipasi Anggaran
terhadap Kinerja Aparat Pemerintah Daerah: Budaya Organisasi dan Komitmen
Organisasi sebagai Variabel Moderating", SNA X Unhas Makassar 26-28 Juli
2007.
Belianus Patria Latuheru, 2005, "Pengaruh Partisipasi Anggaran Terhadap Senjangan
Anggaran Dengan Komitmen Organisasi Sebagai Variabel Moderating", Jurnal
Akuntansi & Keuangan, vol. 7 no. 2, Nopember 2005, 117- 130.
Dahlan Siamat, 2005, Manajemen Lembaga Keuangan, Kebijakan Moneter Perbankan,
Penerbit FE UI, Jakarta.
Dharma Tintri, 2002, "Pengaruh Struktur dan Kultur Organisasional Terhadap
Keefektifan Anggaran Partisipatif Dalam Peningkatan Kinerja Manajerial",
Jurnal Ekonomi dan Bisnis, Vol. 7 No.2.
79 Pengaruh Partisipasi Anggaran dan Komitmen Organisasi
sebagai Moderasi terhadap Kinerja Manajerial
Nichlah Hidayah
Fitri Ella Fauziah
Ehrmann Suhartono dan Mochammad Solichin, 2006, "Pengaruh Kejelasan Sasaran
Anggaran Terhadap Senjangan Anggaran Instansi Pemerintah Daerah Dengan
Komitmen Organisasi Sebagai Pemoderasi", SNA IX Padang 23-26 Agustus
2006.
Endang Raino Wirjono dan Agus Budi Raharjono, 2007, "Pengaruh Karakteristik
Personalitas Manajer Terhadap Hubungan Antara Partisipasi Dalam Penyusunan
Anggaran Dengan Kinerja Manajerial”, Kinerja, Vol. 11 No. 1, 50-63.
Gunawan Adi Saputra dan Marwan Asri, 2003, Anggaran Perusahaan, Penerbit BPFE
UGM, Yogyakarta.
Imam Ghozali, 2006, Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS, Badan
Penerbit UNDIP, Semarang.
Much. Imron, 2007, "Pengaruh Kapabilitas dan Komitmen yang Dimediasi Kreativitas
Strategi terhadap Kinerja Manajer", Jurnal Dinamika Ekonomi dan Bisnis,
Vol.4, no. 1.
Sri Trisnaningsih, 2004, "Motivasi sebagai Moderating Variable dalam Hubungan
antara Komitmen dengan Kepuasan Kerja", Jurnal Manajemen Akuntansi dan
Sistem Informasi, Vol.4. Januari, 100-126
Sukardi, 2004, "Hubungan antara Anggaran Partisipatif dengan Kinrerja Manajerial;
Peran Motivasi Kerja Dan Kultur Organisasional sebagai Variabel Moderating",
Jurnal Manajemen Akuntansi dan Sistem Informasi, Vol. 4. Januari, 82-100.
Sugiyono, 1999, Metode Penelitian Bisnis, CV. AlfaBeta, Bandung.
81 Spiritualitas dalam Perilaku Organisasi
Hasan
SPIRITUALITAS DALAM PERILAKU ORGANISASI
Hasan
Fakultas Ekonomi Universitas Wahid Hasyim Semarang
Email: [email protected]
Abstract
This paper reviews spirituality which is a new subject in the study of
organizational behavior. By doing a literature review, this paper discuss the concept of
spirituality, development and research examples, and some previous theoretical
concepts that could form the basis of theoretical study of the development of spirituality
in organizational behavior. In the future, the study of spirituality can be developed
further by strengthening the theoretical foundation and improve the design of empirical
research methodology.
Keywords: Spirituality, organizational behavior
Abstrak
Tulisan ini mengkaji spiritualitas yang merupakan bahasan baru dalam kajian
perilaku organisasional. Dengan melakukan kajian literatur, artikel ini membahas
konsep spiritualitas, perkembangan dan contoh penelitian, dan beberapa konsep teoritis
sebelumnya yang dapat menjadi landasan pengembangan teoritis kajian spiritualitas
dalam perilaku organisasional. Di masa yang akan datang, kajian spiritualitas dapat
dikembangkan lebih lanjut dengan memperkuat landasan teoritis dan meningkatkan
desain metodologi penelitian empiris.
Kata Kunci: Spiritualitas, Perilaku organisasi
Pendahuluan
Spiritualitas telah menjadi bahan yang mulai didiskusikan dalam kajian perilaku
organisasi. Gibson et al (2009) membahasnya pada Bab 2 dalam bahasan Budaya
Organisasi. Dalam bukunya, dijelaskan bahwa spiritualitas dalam kajian organisasi
masih menimbulkan kritik dan skeptisme yang mempertanyakan manfaat dan aspek
praktis dari spiritualitas. Terdapat kritik yang mengklaim bahwa perhatian pada
spiritualitas tidak dapat menjelaskan perbedaan kepercayaan yang dipegang oleh para
karyawan dan stakeholders. Pembicaraan tentang integritas, kejujuran, berbagi, dan
menjadi terbuka, lebih nampak seperti nasehat keagamaan yang normatif dan tidak
ilmiah. Penemuan berbagai penelitian tentang manfaat dan masalah spiritualitas masih
tersebar dan belum dapat disimpulkan dengan jelas. Terdapat kekurangan landasan
teoritis dan desain riset yang belum kuat pada studi-studi spiritualitas yang ada.
Belum adanya landasan teoritis, desain riset yang handal, dan bukti ilmiah yang
kuat akan terus menimbulkan sikap skeptis tentang dimensi spiritualitas dalam kajian
JURNAL DINAMIKA EKONOMI & BISNIS Vol. 7 No. 1 Maret 2010 82
manajemen ilmiah. Sebagai contoh, salah satu kunci variabel dalam pembahasan
spiritualitas adalah “kemampuan untuk mendengar” orang lain. Beberapa penelitian
tentang kemampuan ini diteliti dan dianalisa dengan hati-hati. Apakah benar bahwa
“mendengar’ betul-betul berguna, haruskah pemimpin akan bertindak dengan efektif
atas dasar yang ia dengar? Bagaimana spiritualitas yang selaras bagi suatu organisasi?
Masih banyak pertanyaan yang tak terjawab dan perlu dipertimbangkan sebelum
berusaha memperkenalkan nilai-nilai dan praktik-praktik spiritual (Gibson, 2009: 40).
Skeptisme yang disebutkan Gibson di atas menjadi hal yang menarik untuk
dikaji. Tulisan ini bukan bermaksud untuk menjawab berbagai skeptisme diatas, namun
sebatas melakukan eksplorasi tentang spiritualitas dalam konteks kajian perilaku
organisasi. Eksplorasi ini dilakukan melalui kajian berbagai literatur yang membahas
tentang spiritualitas. Pembahasannya dimulai dengan pengertian dan konsep
spiritualitas. Dilanjutkan dengan ringkasan berbagai penelitian dan kajian literatur yang
menjelaskan pentingnya spiritualitas, perkembangan spiritualitas, dan contoh penelitian
empiris spiritualitas. Sebelum kesimpulan, dibahas pula keterkaitan konsep spiritualitas
dengan konsep-konsep perilaku organisasional lainnya sebagai landasan pengembangan
teoritis lebih lanjut di masa yang akan datang.
Pengertian dan Konsep Spiritualitas
Spiritual itu berasal dari kata spirit. Spirit mengandung arti semangat, kehidupan,
pengaruh, dan antusiasme. Spirit sering diartikan sebagai ruh atau jiwa. Arti kiasannya
adalah semangat atau sikap yang mendasari tindakan manusia. Spirit juga sering
dimaknai sebagai entitas, makhluk atau sesuatu bentuk energi yang hidup dan nyata,
meskipun tidak kelihatan di mata biasa dan tidak punya badan fisik seperti manusia,
namun spirit itu ada dan hidup (Widi, 2008).
Dalam definisi lain, kata spiritual dapat dimaknai sebagai roh. Kata ini berasal
dari bahasa Latin: spiritus, yang berarti napas. Selain itu kata spiritus dapat
mengandung arti sebuah bentuk alkohol yang dimurnikan. Sehingga spiritual dapat
diartikan sebagai sesuatu yang murni. Diri manusia yang sebenarnya adalah roh
manusia itu sendiri. Roh bisa diartikan sebagai energi kehidupan, yang membuat
manusia dapat hidup, bernapas dan bergerak. Spiritual berarti pula segala sesuatu di
luar tubuh fisik manusia, termasuk pikiran, perasaan, dan karakter manusia itu sendiri.
Kecerdasan spiritual berarti kemampuan manusia untuk dapat mengenal dan memahami
dirinya sepenuhnya sebagai makhluk spiritual maupun sebagai bagian dari alam
semesta. Dengan memiliki kecerdasan spiritual yang tinggi berarti telah memahami
sepenuhnya makna dan hakikat kehidupan yang dijalani dan kemanakah akan pergi
(Prijosaksono dan Erningpraja, 2003).
Prijosaksono dan Erningpraja (2003) juga menyampaikan bahwa spiritualitas
adalah kebutuhan tertinggi manusia. Argumen ini didapat dari teori Abraham Maslow,
yang menggunakan istilah aktualisasi diri (self-actualization) sebagai kebutuhan dan
pencapaian tertinggi seorang manusia. Maslow menemukan bahwa, tanpa memandang
83 Spiritualitas dalam Perilaku Organisasi
Hasan
suku atau asal-usul seseorang, setiap manusia mengalami tahap-tahap peningkatan
kebutuhan atau pencapaian dalam kehidupannya. Kebutuhan tersebut meliputi
kebutuhan fisiologis, kemanan, sosial, penghargaan/ harga diri, dan yang tertinggi
adalah aktualisasi diri. Kebutuhan aktualisasi diri (self-actualization), meliputi
kebutuhan untuk memenuhi keberadaan diri (self-fulfillment) melalui memaksimumkan
penggunaan kemampuan dan potensi diri. Kebutuhan manusia berdasarkan pada urutan
prioritas, dimulai dari kebutuhan dasar, yang banyak berkaitan dengan unsur biologis,
dilanjutkan dengan kebutuhan yang lebih tinggi, yang banyak berkaitan dengan unsur
kejiwaan, dan yang paling tinggi yaitu kebutuhan aktualisasi merupakan kebutuhan
spiritual.
Smith dan Rayment dalam Gibson et al (2009) mendefinisikan spiritualitas
sebagai kondisi atau pengalaman yang dapat menyediakan individu-individu dengan
arah dan makna, atau menyediakan perasaan memahami, mendukung, keseluruhan
dalam diri (inner wholeness), atau keterhubungan. Keterhubungan dapat dengan diri
sendiri, orang lain, alam semesta, Tuhan, atau kekuatan supernatural yang lain. Gibson
menjelaskan lebih lanjut bahwa definisi ini melibatkan perasaan didalam diri (inner
feeling), terhubung dengan kerja dan koleganya.
Dehler dan Welsh (1994) mendefinisikan spiritualitas sebagai suatu bentuk
spesifik perasaan dalam bekerja yang memberikan energi tindakan. Sejenis dengannya,
Mitroff dan Denton (1999) menjelaskan spiritualitas dengan perasaan dasar terhubung
dengan dirinya secara lengkap (one’s complete self), orang lain, dan seluruh alam
semesta.
Dalam berbagai literatur lain, tingkat spiritualitas sering diistilahkan dengan
kecerdasan spiritual (spiritual quotient) yang dipopulerkan oleh Danah Zohar dan Ian
Marshall. Zohar dan Marshall (2000) dalam Muajiz (2009) menjelaskan kecerdasan
spiritual dengan kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan persoalan makna dan
nilai, yaitu kecerdasan untuk menempatkan perilaku hidup kita dalam makna yang lebih
luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seorang lebih
bermakna dibandingkan yang lain. Zohar dan Marshall bahkan menyebutkannya
dengan kecerdasan puncak (ultimate intelligence), dimana puncak disini adalah
kecerdasan manusia yang paling tinggi melampaui dua kecerdasan yang dikenal
sebelumnya, yaitu kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional yang telah populer
sebelumnya. Kecerdasan spiritual merupakan tiang penyokong IQ dan EQ. IQ dan EQ
merupakan kecerdasan yang dapat dilihat (tangible), sedangkan SQ (kecerdasan
spiritual) tidak demikian. Pemahaman tentang kecerdasan dan aplikasinya tergantung
pada personal values masing-masing orang, motivasi untuk mengetahui lebih lanjut
tentang kecerdasan spiritual, level self-awareness, serta kemauan dan kemampuan
untuk “membiarkan” (let go). Spiritualitas memiliki konsep yang terkait dengan
manajemen dan dapat memberikan dampak terhadap perilaku dan kinerja organisasi,
sebagaimana terlihat pada gambar 1.
JURNAL DINAMIKA EKONOMI & BISNIS Vol. 7 No. 1 Maret 2010 84
Gambar 1
Skema Keterwakilan Spiritualitas dalam Literatur Manajemen
Ubaydillah dalam Muajiz (2009) mendefinisikan kecerdasan spiritual dengan
kecerdasan yang mengangkat fungsi jiwa sebagai perangkat internal diri yang memiliki
kemampuan dan kepekaan dalam melihat makna yang ada dibalik kenyataan apa
adanya. Kecerdasan spiritual lebih berurusan dengan pencerahan jiwa.
Heaton et al. (2004) menyarankan adanya pembedaan dua konstruk dalam
spiritualitas : “spiritualitas murni” (pure spirituality) dan “spiritualitas aplikasi”
(applied spirituality. Spiritualitas murni mengacu pada diam (silent), tak terbatas
(unbounded), pengalaman ke dalam akan mawas-diri yang murni (inner experience of
pure self-awareness), ketiadaan isi umum persepsi, pemikiran, dan perasaan (devoid of
customary content of perception, thoughts, and feelings). Contoh spiritualitas murni
dalam budaya Timur adalah teknik meditasi. Spiritualitas aplikasi mengacu pada asal
aplikasi praktis dan hasil yang terukur yang secara otomatis muncul dari pengalaman
dalam spiritualitas murni. Ekspresi yang mucul keluar dari spiritualitas murni inilah
yang dimaksud dengan spiritualitas aplikasi. Heaton et al (2004) menggunakan kata
“pengembangan spiritual” untuk mengacu pada proses holistik transformasi positif
melalui pengalaman spiritualitas murni.
Ada juga yang memberikan pengertian spiritualitas atau kecerdasan spiritual
Sumber : Pandey et al (2009)
85 Spiritualitas dalam Perilaku Organisasi
Hasan
dengan mengkaitkannya dengan agama. Agustian (2001) dalam Muajiz (2009)
umpamanya, berpendapat bahwa kecerdasan spiritual adalah kemampuan untuk
memberikan makna ibadah terhadap setiap perilaku dan kegiatan melalui langkah-
langkah dan pemikiran yang bersifat fitrah, menuju manusia yang seutuhnya (hanif) dan
memiliki pemikiran tauhidi (integralistik). Jadi kecerdasan spiritual disini merupakan
bagian dari agama yang masuk dalam tataran wilayah ketuhanan”.
Sebagai orang yang memperkenalkan dan mempopulerkan kecerdasan spiritual,
dua ilmuwan dari Harvard dan Oxford University ini, yaitu: Danah Zahar (psikolog)
dan Ian Marshal (fisikawan), menyimpulkan bahwa dalam diri setiap manusia terdapat
potensi rohaniah dan spiritual yang melekat dalam diri pribadi manusia. Bukti ilmiah
akan keberadaan kecerdasan spiritual dapat dilihat pada percobaan yang dilakukan oleh
riset ahli psikologi dan syaraf, Michael Persinger pada tahun 1990 dan 1997, dan
seorang ahli syaraf terkemuka, VS Ramachandran beserta timnya dari Universitas
California yang menemukan keberadaan God-Spot dalam otak manusia yang menyatu,
dan terletak di antara jaringan syaraf dan otak, atau tepatnya pada bagian samping
kepala yang disebut Lobus temporal. Bukti kedua adalah riset yang dilakukan ahli
syaraf Austria, Wolf Singer, pada era tahun 1990-an dengan apa yang disebut The
Binding Problem, yang menunjukkan adanya proses syaraf dalam otak manusia yang
terkonsentrasi pada usaha mempersatukan dan memberikan makna dalam pengalaman
hidup kita. Binding problem merupakan pengalaman yang banyak dialami oleh mereka
yang melakukan meditasi yaitu perasaan menyatu dengan alam, merasa diri memiliki
keseimbangan dengan sekelilingnya, dan diikuti dengan perasaan tenang. God Spot
inilah yang selalu menuntun dan senantiasa memberikan makna spiritual terhadap
berbagai aktivitas yang dilakukan manusia. Dari hal ini terlihat bahwa dalam diri tiap
manusia terdapat sifat-sifat dan nilai-nilai spritualitas yang mulia sebagai pemberian
Tuhan (Muajiz, 2009).
Zohar dan Marshall (2001) berpendapat bahwa SQ tidak mesti berhubungan
dengan agama. Banyak orang Humanis dan Ateis yang memiliki SQ sangat tinggi. Bila
SQ seseorang telah berkembang dengan baik, maka tanda-tanda yang akan terlihat pada
diri seseorang adalah (1) kemampuan bersikap fleksibel, (2) tingkat kesadaran diri
tinggi, (3) kemampuan untuk menghadapi dan memanfaatkan penderitaan, (4)
kemampuan untuk menghadapi dan melampaui rasa sakit, (5) kualitas hidup yang
diilhami oleh visi dan nilai-nilai, (6) keengganan untuk menyebabkan kerugian yang
tidak perlu, (7) kecenderungan untuk melihat keterkaitan antara berbagai hal
(berpandangan holistik), (8) kecenderungan nyata untuk bertanya “Mengapa?” atau
“Bagaimana jika?” untuk mencari jawaban yang mendasar, (9) memiliki kemudahan
untuk bekerja melawan konvensi.
Beberapa ilmuwan memberikan penjelasan perbedaan konsep antara spiritualitas
dengan keagamaan/ religiusitas. Spiritualitas cenderung pada personal, inklusif, dan
positif. Sedangkan regiusitas lebih eksternal, eksklusif dan negatif (Mohamed et al,
2001). Dalam arti, spiritualitas bisa ada pada siapa saja yang sifatnya pribadi, namun
JURNAL DINAMIKA EKONOMI & BISNIS Vol. 7 No. 1 Maret 2010 86
terbuka, dan cenderung pada sikap-sikap yang positif memaknai dirinya. Sedangkan
religiusitas didorong dari ajaran-ajaran keagamaan yang kepercayannya berarti dari luar
diri pribadi, bergantung pada ajaran agamanya, dan dapat berdampak negatif karena
perbedaan atau keterpaksaan sebagai konsekuensi sebuah kewajiban agama.
Dijelaskan pula bahwa pembedaan dikotomis antara keduanya hanyalah masalah
artifisial saja. Sebagai alternatif pembedaannya, Mohamed et al (2001) mengajukan
konsep spiritualitas ditambahkan dalam lima faktor psikologi kepribadian yang dikenal
dengan “Big Five Personality”, sehingga menjadi enam faktor dengan tambahan faktor
spiritualitas. Konsep spiritualitas ini tidak bertentangan dengan konsep-konsep
psikologis yang telah ada sebelumnya dengan baik (well-established) sebagaimana Big
Five yang telah dikaitkan juga dengan kinerja jabatan. Secara spekulatif disampaikan
pula bahwa spiritualitas, perilaku manajer, dan kinerja jabatan, sampai batasan tertentu
saling terhubung (interconnected).
Unit Analisis Spiritualitas
Unit analisa studi pada perilaku organisasi dapat dibagi pada tiga tingkatan :
pertama, level individu; kedua, level kelompok; dan ketiga, level organisasi (Gibson,
2009; hal 7). Jika dicermati, pengertian-pengertian diatas lebih berorientasi pada level
individu. Selain level individu, spiritualitas dapat dikaji pada level kelompok dan level
organisasi. Konsep spiritualitas di tempat kerja (workplace spirituality), termasuk
kajian yang menganalisa pada level kelompok dan organisasi.
Konsep spiritualitas ditempat kerja mencerminkan ekspresi dan pengalaman
spiritualitas pada tempat kerja yang difasilitasi oleh berbagai aspek-aspek organisasi,
seperti budaya, suasana organisasi (organizational climate), budaya organisasi,
kepemimpinan, dan praktik organisasi. Oleh karena itu, spiritualitas di tempat kerja
dapat didefinisikan sebagai kerangka kerja nilai-nilai organisasi, dibuktikan dengan
budaya yang terhubung dengan pihak yang lain dengan memberikan perasaan yang
lengkap dan nyaman (completeness and joy). Terdapat berbagai definisi spiritualitas di
tempat kerja, seperti pengalaman dan kebermaknaan kerja, komunitas, dan transedence,
yang penyebutannya mungkin berbeda dalam berbagai kajian (Pawar, 2009). Hal ini
juga sebagaimana dilakukan oleh Mohamed et al (2001) yang telah melakukan kajian
literatur tentang spiritualitas di tempat kerja.
Heaton et al (2004) memberikan petunjuk metode pendekatan yang dapat
dilakukan dalam melakukan penyelidikan dalam spiritualitas dalam definisinya yang
dapat dibagi 3: spiritualitas murni, spiritualitas aplikasi, dan pengembangan
spiritualitas. Pendekatannya dapat dibagi dua, pendekatan subyektif dan obyektif. Tabel
1 berikut akan menjelaskan perbedaannya dalam martiks. Agar tidak mengurangi
pemahamannya, bahasa asli dalam artikelnya dengan bahasa Inggris tetap digunakan.
87 Spiritualitas dalam Perilaku Organisasi
Hasan
Tabel 1
Metode-Metode untuk Meneliti Spiritualitas di Organisasi
Pendekatan Subjektif Pendekatan Objektif
Spiritualitas murni Pengalaman pribadi langsung
akan kebangkitan diam
Hubungan psikologis
pengalaman pribadi tentang
realitas yang nyata
Spiritualitas
Aplikasi
Refleksi pribadi pada artikulasi
konsekuensi-konsekuensi yang
memperlihatkan kondisi-
kondisi yang lebih tinggi akan
kesadaran
Penelitian kuantitatif dan
kualitatif variabel fisiologis,
psikologis, organisasional, dan
sosial sebelum dan sesudah
realitas transedental
Pengembangan
Spiritual
Refleksi pada dan artikulasi
proses pengembangan
seseorang
Riset kuantitatif dan kualitatif
pengembangan psikologis dan
sosial
Sumber : Heaton et al (2004)
Penelitian Spiritualitas
Pawar (2009) menggambarkan dari berbagai literatur yang dapat mencerminkan
banyaknya perhatian pada spiritualitas di tempat kerja, yaitu:
1. Spiritualitas di tempat kerja merupakan wilayah penelitian yang penting
karena memiliki relevansi yang kuat dan potensial dengan kehidupan-baik
(well-being) individu, organisasi, dan masyarakat (Sheep, 2006).
2. Studi ilmiah dapat memberikan kemajuan berarti bagi ilmu organisasi
(Giacalone dan Jurkiewicz, 2003).
3. Kepentingannya terlihat pada “pertumbuhan ketertarikan” (Duchon dan
Plowman, 2005), “ledakan ketertarikan” (Parameshwar, 2005), “pertumbuhan
perhatian” (Kolodinskyetal., 2003).
4. De Klerk (2005) memberikan catatan bahwa dengan perhatian yang ditujukan
pada spiritualitas di tempat kerja ini, memperjelas gagasan yang menyatakan
pentingnya kebutuhan untuk dimotivasi tidak perlu lagi. Ia juga lebih
menekankan pada bahasan spiritualitas yang lebih baik.
Pawar (2009) juga mengidentifikasi berbagai penelitian terkini tentang
spiritualitas di tempat kerja yang memiliki perhatian berbeda-beda, yaitu:
1. Fokus pada definisi dan operasionaliasi spiritualitas di tempat kerja (Ashmos
dan Duchon, 2000; Kinjerski dan Skrypnek, 2004; Mooreand Casper, 2006;
Sheep, 2004).
2. Memberikan profil wilayah penelitian spiritualitas di tempat kerja, dan
memberikan panduan garis besar arah dan metodologi studi pada spiritualitas
di tempat kerja. (Benefiel, 2003; Fornaciari dan Lund Dean, 2001; Giacalone
dan Jurkiewicz, 2003; Krahnkeetal., 2003; Lund Deanetal., 2003; Tischleretal.,
2007).
JURNAL DINAMIKA EKONOMI & BISNIS Vol. 7 No. 1 Maret 2010 88
3. Menjelaskan manifestasi spiritualitas di tempat kerja di organisasi (Milliman
etal., 1999).
4. Menggambarkan berbagai pandangan organisasional yang mungkin
menfasilitasi spiritualitas di tempat kerja (Ashforth dan Pratt, 2003).
5. Menggambarkan berbagai aspek organisasi seperti budaya (Jurkiewicz dan
Giacalone, 2004), kepeminpinan (Fry, 2003), dan praktik-praktik
organisational (Pfeffer, 2003) yang dapat menfasilitasi implementasi
spiritualitas di tempat kerja.
6. Menfokuskan pada dampak-dampak spiritualitas di tempat kerja seperti sikap
kerja (e.g.,Millimanetal., 2003), produktivitas organisasi (Fryetal., 2005), dan
kinerja unit (Duchon dan Plowman, 2005).
Tidak mudah untuk menemukan penelitian empiris tentang spiritualitas.
Kebanyakan tulisan mengenai spiritualitas masih berkisar pada konsep dan metodologi
spiritualitas. Dalam tulisan ini diidentifikasi dua penelitian empiris yang membahas
spiritualitas. Yang pertama adalah penelitian Kolodinsky et al. (2007), dan kedua
penelitian Muajiz (2009). Dua penelitian ini mewakili penelitian di luar negeri dan
penelitian di dalam negeri.
Kolodinsky et al. (2007) melakukan pengujian empiris dampak-dampak
spiritualitas di tempat kerja. Dengan menggunakan data dari lima sampel yang terdiri
atas pekerja full-time atas mahasiswa program master, hasilnya mengindikasikan bahwa
persepsi tingkatan spiritualitas organisasi (organizational spirituality) tampak penting
pada keseluruhan dampak sikap terkait lainnya. Lebih spesifik, spiritualitas organisasi
terkait positif dengan keterlibatan kerja, identifikasi organisasional, dan kepuasan
reward kerja, dan berhubungan negatif dengan frustasi organisasional. Spiritualitas
pribadi berhubungan positif dengan kepuasan instrinsik, ekstrinsik, dan keseluruhan
kerja. Interaksi antara spiritualitas organisasi dan spiritualitas individu terkait dengan
kepuasan reward kerja keseluruhan.
Penelitian Muajiz (2009) menguji pengaruh dari pelatihan, kecerdasan
emosional, dan spiritual auditor terhadap kinerja auditor pada Direktorat Jenderal Pajak.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelatihan, kecerdasan emosional dan spiritual
memiliki pengaruh positif yang signifikan terhadap kinerja auditor pada Direktorat
Jenderal Pajak baik secara parsial maupun simultan. Kecerdasan spiritual memiliki
pengaruh yang paling besar dibandingkan dua variabel independen lainnya. Namun
demikian, ketiga variabel diatas hanya memiliki pengaruh 23% terhadap kinerja auditor
sedangkan 77% dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak diteliti.
Penelitian Muajiz (2009) membagi kecerdasan spiritual menjadi tiga dimensi:
1. Dimensi Relasi spiritual–keagamaan, dengan indikator/ pertanyaan:
a. Kecintaan terhadap tuhan
b. Motivasi hidup yang lebih baik.
c. Pemahaman diri sebagai makhluk spiritual.
d. Berani dalam kebenaran.
89 Spiritualitas dalam Perilaku Organisasi
Hasan
e. Perasaan merasa selalu diawasi tuhan.
f. Kesabaran.
2. Relasi sosial–keagamaan, dengan indikator/ pertanyaan:
a. Kontribusi terhadap kejahteraan sesama.
b. Ikatan kekeluargaan antar sesama.
c. Kasih sayang terhadap mahluk hidup.
3. Etika – sosial, dengan indikator/ pertanyaan :
a. Ketaatan pada etika dan moral.
b. Amanah (menepati janji)
c. Dapat dipercaya.
d. Toleran terhadap perbedaan.
e. Anti kekerasan.
f. Kesesuaian antara ucapan dan perbuatan.
Anteseden Spiritualitas dalam Perilaku Organisasi
Pawar (2009) menyatakan bahwa ada empat konsep yang merupakan pelopor/
pendahulu konsep spiritualitas dalam organisasi yang sama-sama memiliki perhatian
pada self-interest trancedent sebagaimana dibahas dalam spiritualitas di tempat kerja.
Empat konsep yang telah mendahului spiritualitas di tempat kerja tersebut adalah
kepemimpinan transformasional (transformational leadership), perilaku kewargaan
organisasi (organizational citizenship behavior), dukungan organisasional
(organizational support), dan keadilan prosedural (procedural justice). Empat konsep
ini telah muncul satu dekade lebih awal daripada spiritualitas di tempat kerja.
Spiritualitas di tempat kerja muncul pada era 1990-an, sedangkan empat konsep yang
dijelaskan tadi muncul pada era 1980-an. Hal ini mengindikasikan bahwa keempat
konsep ini merupakan pelopor spiritualitas di tempat kerja, sekaligus memberikan
berbagai penjelasan berbeda pada kajian spiritualitas di tempat kerja, dan juga
membantu pembahasan spiritualitas di tempat kerja pada kajian perilaku organisasi
yang lebih luas. Meskipun demikian, keempat konsep yang mendahului tersebut
bukanlah penyebab munculnya spiritualitas di tempat kerja.
Pemimpin transformasional merupakan kemampuan pemimpin memberikan
inspirasi dan memotivasi pengikutnya untuk mencapai hasil yang lebih besar daripada
yang direncanakan dan lebih untuk imbalan internal. Kepemimpinan ini mendorong
pengikut untuk mengerjakan sasaran transedental daripada kepentingan diri jangka
pendek, dan untuk pencapaian aktualisasi diri daripada sekedar mencari keamanan.
Pengembangan faktor-faktor kepemimpinan transformasional dikembangkan oleh Bass
(dalam Gibson, 2009). Lima faktor tersebut adalah:
a. Karisma (Charisma), dimana pemimpin mampu menanamkan secara bertahap
sense of value, respect, pride dan mengartikulasi visi.
JURNAL DINAMIKA EKONOMI & BISNIS Vol. 7 No. 1 Maret 2010 90
b. Perhatian individual (Individual attention), dimana pemimpin memperhatikan
kebutuhan karyawan dan memberikan proyek yang bermanfaat sehingga
bawahan tumbuh secara personal.
c. Rangsangan intelektual (Intellectual stimulation), dimana pemimpin membantu
bawahannya memikirkan kembali cara-cara yang rasional untuk menguji situasi
(mendorong bawahannya untuk menjadi kreatif).
d. Penghargaan yang tergantung kondisi (Contingent reward), dimana pemimpin
menginformasikan kepada bawahan tentang apa yang harus dilakukan untuk
menerima reward yang mereka inginkan.
e. Manajemen dengan pengecualian (Management by exception), dimana
pemimpin mengizinkan bawahan untuk melaksanakan pekerjaannya tanpa
melakukan intervensi kecuali kalau tugas tersebut tidak selesai pada waktunya
dan dengan biaya yang wajar.
Kepemimpinan transformasional sebagaimana disampaikan diatas, merupakan
kepemimpinan transedental yang membuat pengikutnya menjadi self-interest
transedence pula. Hal ini terlihat dari bahasa-bahasa yang disampaikan oleh para
pengikutnya sebagaimana disampaikan oleh Bass dalam Pawar (2009)
“menginspirasikan loyalitas pada organisasi”, “memiliki sense of mission yang ia
kirimkan pada saya”, “mengejutkan kami dengan visinya, jika kami bekerja bersama”,
dan “memberikan kami sense dari keseluruhan tujuan”.
Perilaku kewargaan organisasi (organizational citizenship behavior-OCB)
muncul pada tahun 1983 melalui studi yang dilakukan Bateman dan Organ, dan juga
oleh studi Smith di tahun yang sama. Hal ini berdasarkan apa yang disampaikan Organ
bahwa pengukuran kinerja karyawan dapat tidak mencakup keseluruhan kinerja yang
sebenarnya ia lakukan (Pawar, 2009). Dengan kata lain, ia melakukan lebih dari apa
yang seharusnya dilakukan. Hal ini dilakukan karena ia lebih digerakkan oleh motivasi
internal dari dalam yang disebut self-transcedence, daripada keuntungan-keuntungan
pribadi. Ada lima dimensi OCB, yaitu altruism, conscientiousness, civic virtue,
sportsmanship, dan courtesy yang mencerminkan berbagai cara dengan mana perilaku-
perilaku karyawan mencari keuntungan yang bukan untuk sekedar pengumpulan nilai
dan reward langsung bagi dirinya sendiri. Hal ini memperlihatkan bahwa konsep
spiritualitas di tempat kerja tampak berbagi dengan konsep employee-trancedence yang
ada di konsep OCB.
Konsep dukungan organisasional (organizational support) yang dipersepsikan,
menurut Eisenberger et al. (1986) mencerminkan bahwa organisasi peduli dengan nilai-
nilai karyawan, kemanusiaan (well-being) dan kontribusinya. Jika para karyawan
mempersepsikan adanya dukungan organisasi kepada mereka, maka mereka akan juga
memberikan keuntungan bagi organisasinya pula. Hal ini disebut dengan norma
keberbalikan (norm of reciprocity), satu pihak akan membalas kebaikan dari pihak yang
memberikan kebaikan kepadanya pula. Untuk rentang tertentu, hal ini terkait pula
dengan self-transedence sebagaimana spiritualitas di tempat kerja. Hal ini terbukti
91 Spiritualitas dalam Perilaku Organisasi
Hasan
dengan hasil empiris, dimana dukungan organisasi yang dipersepsikan berpengaruh
signifikan terhadap absen yang lebih rendah (lower absenteism) dan perilaku inovasi
karyawan. Dukungan organisasional yang dipersepsikan ini terdiri atas item-item
operasional yang mengacu pada aspek-aspek seperti mendengar keluhan karyawan,
memberikan bantuan ketika karyawan mengalami masalah, dan tidak akan diganti oleh
karyawan lain karena ada orang lain yang dapat menggantikannya dengan gaji yang
lebih murah. Dari indikator-indikator ini tampak bahwa organisasi berusaha untuk
memberikan sense sebagai bagian dari komunitas organisasi. Menjadi bagian dari
komunitas organisasi merupakan salah satu aspek dari spiritualitas di tempat kerja dan
merefleksikan self-transcedence (Pawar, 2009).
Konsep keadilan prosedural (prosedural justice) berfokus pada “kewajaran yang
dipersepsikan (perceived fairness) dan prosedur yang digunakan untuk membuat
keputusan”. Dua penjelasan yang dapat digunakan terkait dengan penghitungan akibat
keadilan prosedural ini adalah self-interest model dan group-value model (Greenberg,
1990 dalam Parwar, 2009). Model self-interest menjelaskan bahwa keberadaan
prosedur yang adil menjamin individu-individu mendapat perlindungan kepentingan
pribadinya dan dampak-dampak yang disukainya. Sedang group-value model
berpendapat bahwa individu akan mengikuti kepentingan kelompoknya dalam rangka
penerimaan kelompok terhadap dirinya sehingga memberikan dampak psikologis
terhadap identifikasi dirinya sebagai bagian dari kelompok tersebut. Hal ini dapat
dilihat sebagai pemenuhan kebutuhan komunitas karyawan dengan adanya sense bagian
dari komunitas. Karena itu, keadilan prosedural dapat dilihat sebagai mekanisme
memberikan sense bagian dari komunitas. Sehingga keadilan prosedural dapat
menfasilitasi kepentingan pribadi transcedence karyawan. Karena itu, konsep keadilan
prosedural dalam kajian perilaku organisasional terkait dengan spiritualitas di tempat
kerja (Parwar, 2009).
Kesimpulan
Berdasarkan kajian literatur tentang spiritualitas dalam konteks perilaku
organisasi, Tampak berbagai perbedaan dan banyak pula persamaan. Meskipun
dijumpai adanya sikap skeptis dan masih meragukan “kemampuan ilmiah” bahasan
spiritualitas dalam kajian ilmu organisasi, berbagai tulisan tampaknya mengarah pada
perkuatan teoritis dan empiris kajian spiritualitas dalam perilaku organisasi. Upaya
untuk mengkaitkan spiritualitas dengan berbagai bahasan perilaku organisasi setidaknya
telah dilakukan oleh Parwar (2009) yang mengidentifikasi empat bidang kajian, yaitu
kepemimpinan transformasional (transformational leadership), perilaku kewargaan
organisasi (organizational citizenship behavior), dukungan organisasional
(organizational support), dan keadilan prosedural (procedural justice), yang secara
prinsip memperlihatkan adanya penjelasan teoritis spiritualitas. Empat bahasan ini telah
diterima dalam kajian perilaku organisasi, sehingga tampak bahwa peluang
pengembangannya semakin kuat ke depan.
JURNAL DINAMIKA EKONOMI & BISNIS Vol. 7 No. 1 Maret 2010 92
Tantangannya adalah bagaimana mengembangkan lebih lanjut kajian spiritualitas
yang didukung dengan landasan teoritis yang kuat dan didukung dengan hasil empiris
yang diakui. Karena itu, perlu dikembangkan teori-teori dan berbagai metode penelitian
yang dapat diadopsi dan digunakan untuk menjelaskan spiritualitas lebih lanjut. Hal ini
sebagaimana disampaikan Husnan (2005), bahwa baik tidaknya suatu model bukan
pada realistis tidaknya asumsi-asumsi yang dipergunakan, tetapi pada seberapa jauh
model tersebut mampu menjelaskan keadaan dunia nyata. Dengan kata lain, perlu
dilakukan pengujian terhadap model tersebut. Hal ini dapat dilakukan melalui
pengembangan teoritis dan pengujian empiris di lapangan. Inilah agenda bagi penelitian
spiritualitas dalam perilaku organisasi di masa mendatang.
Daftar Pustaka
Dehler, G. E., Welsh, M. A, 1994, “Spirituality and Organizational Transformation:
Implications for The New Management Paradigm”, Journal of Managerial
Psychology, 9, 17-26.
Gibson, J.L.; Ivancevich, J.M.; Donnely, J.H; Konopaske, 2009, Organization :
Behavior, Structure, Process, 13th edition, New York, Mc Graww Hill.
Heaton, D.P.; Schmidt-Wilk, Jane; Travis, F., 2004, “Constructs, methods, and
measures for researching spirituality in organizations”, Journal of Organizational
Change Management, Vol.17 No.1, 62-82.
Kolodinsky, R.W.; Giacalone, R.A.; Jurkiewicz, C.L, 2008, “Workplace Values and
Outcomes: Exploring Personal, Organizational, and Interactive Workplace
Spirituality”, Journal of Business Ethics, 81, 465–480.
Mohamed, A. A.; Hassan, A. M.; Wisnieski, J. M., 2001, “Spirituality in the workplace:
A literature review”, Global Competitiveness, 9, 644-652.
Muajiz, 2009, Pengaruh Pelatihan, Kecerdasan Emosional dan Kecerdasan Spiritual
Auditor Terhadap Kinerja Auditor Pada Direktorat Jenderal Pajak, Tesis
Magister Akuntansi Universitas Gadjah Mada, Jogjakarta.
Pawar, B. S., 2009, “Some of the Recent Organizational Behavior Concepts as
Precursors to Workplace Spirituality”, Journal of Business Ethics, 88, 245-261.
Pandey, A., Rajen, K. G. & A. P. Arora, 2009, “Spiritual Climate of Business
Organizations and Its Impact on Customers’ Experience”, Journal of Business
Ethics, 88, 313–332.
Prijosaksono, A. dan Erningpraja, Irianti, 2003, Spiritualitas dan Kualitas Hidup,
www.sinarharapan.com.
Widi, Nugroho, 2008, Beberapa Istilah dan Definisi Spiritual,
www.kompetensispiritual.com.
Zohar, D., Marshall, I., 2001, SQ, Memanfaatkan Kecerdasan Spiritual Dalam Berpikir
Integralistik dan Holistik untuk Memaknai Kehidupan, Mizan, Bandung.
93 Strategi Proaktif Dalam Menghadapi Pergeseran Paradigma
Pemasaran Global (Tinjauan Aspek Strategik)
Noor Arifin
STRATEGI PROAKTIF DALAM MENGHADAPI
PERGESERAN PARADIGMA PEMASARAN GLOBAL
(TINJAUAN ASPEK STRATEGIK)
Noor Arifin
Program Studi Manajemen STIENU Jepara
Email: [email protected]
Abstract
The situation faced in the 2000s is characterized as a state full of change,
dynamic, full of competition. The paradigm of marketing strategy that will appear in the
global market generally portrayed very differently than the market in the past. So
management needs to understand and take appropriate steps, using a glass eye that
correspond to the problem in facing such a shift. Which then need to be taken
strategies, techniques and concepts as well as applications proactive strategy of global
thinking in various functional areas necessary to analyze the emergence of the issue,
thus achieving the desired goals.
Keywords: proactive strategy, global marketing
Abstrak
Keadaan yang dihadapi pada tahun 2000-an dicirikan sebagai keadaan yang
penuh perubahan, dinamis, penuh persaingan. Paradigma strategi pemasaran yang
akan muncul dalam pasar global digambarkan sangat berbeda umumnya dibanding
dengan pasar pada waktu yang lampau. Sehingga manajemen perlu memahami dan
mengambil langkah-langkah yang tepat, menggunakan kaca mata yang sesuai dengan
permasalahannya dalam mengahadapi pergeseran tersebut. Yang selanjutnya perlu
diambil strategi, teknik serta konsep-konsep sebagai aplikasi strategi proaktif serta
berpikir global dalam berbagai bidang fungsional yang diperlukan untuk menganalisis
munculnya isu tersebut, sehingga dapat mencapai sasaran yang diinginkan.
Kata kunci: strategi proaktif, pemasaran global
Pendahuluan
Munculnya paradigma baru terhadap perubahan yang semakin cepat dalam pasar
global akan membawa pengaruh terhadap perilaku kehidupan kita. Dan kita perlu
menyesuaikan pada situasi-situasi yang baru itu. Jika tidak mau dikatakan ketinggalan
zaman. Perkembangan pemikiran di bidang ekonomi terutama bidang manajemen
strategik akan menjadi ciri dalam persaingan global. Terjadinya pergeseran paradigma
dalam strategik pemasaran tidak dapat dipisahkan dari sejarah pemasaran. Sebagaimana
Kuhn (1970) katakan dalam konsepnya bahwa : “konsep tentang paradigma ke dalam
JURNAL DINAMIKA EKONOMI & BISNIS Vol. 7 No. 1 Maret 2010 94
dunia ilmu dengan menyatakan bahwa paradigma ilmiah merupakan contoh-contoh
praktek ilmiah aktual yang dapat diterima, termasuk hukum, teori, aplikasi, dan
memberikan model-model dari suatu tradisi menyeluruh dalam riset ilmiah.” Hal ini
menunjukkan bahwa paradigma dapat dijadikan sebagai alternatif pemikiran dan diakui
keaktualannya untuk melakukan sesuatu termasuk dibidang pemasaran.
Dunia bisnis khususnya dalam melakukan persiapan menghadapi persaingan
global berusaha menciptakan teknik-teknik dan strategi yang benar dan jitu untuk
mengahadapi timbulnya paradigma baru. Manajer perusahaan akan berusaha melakukan
pemikiran-pemikiran kembali terhadap perusahaannya dalam mengelola bisnisnya
sehingga bisa “leading” dalam persaingan yang penuh ketidakpastian. Perlu disadari
bahwa peningkatan kemampuan bersaing dalam menghadapi era globalisasi perlu
diupayakan bersama oleh semua lini di perusahaan, lebih jauh pemerintah juga
sebenarnya mempunyai peran yang strategis untuk menciptakan iklim ekonomi nasional
yang kondusif dalam rangka memupuk kemampuan bersaing dari perusahaan nasional
agar mereka tidak hanya menjadi jago di kandangnya sendiri, melainkan sebagai pelaku
dan penentu di arena yang lebih luas dan patut dibanggakan. Perusahaan-perusahaan
dituntut menerapkan manajemen modern dengan jangkauan global, agar kemampuan
bersaing dapat lebih meningkat di kancah dunia.
Sebelum membahas cara-cara yang digunakan untuk menyikapi dan menghadapi
persaingan global, maka perlu diketahui kondisi global dan tuntutannya terlebih dahulu.
sehingga dapat memetakan dan memahami situasi nyata dari kondisi yang akan dialami.
Tatanan perusahaan global yang sekarang terjadi dan yang akan muncul, akan diwarnai
cepatnya perubahan teknologi, informasi dan transportasi serta budaya yang akan ikut
berubah seiring dengan ramainya pelaku-pelaku yang muncul sebagai pemain lama dan
baru yang memiliki budaya serta sifat nilai masing-masing, atau dapat disebutkan masa
sekarang sebagai masa berakhirnya negara bangsa dan masa munculnya negara wilayah
(Ohmae, 1995). Artinya wilayah terbentuk dari beberapa negara bangsa di suatu
wilayah yang membuat kesepakatan untuk melakukan perdagangan bebas. Seperti
diketahui bahwa perekonomian dunia sekarang ini sedang didominasi oleh tiga
kekuatan, yaitu Amerika Serikat, Masyarakat Eropa, dan Jepang dengan segala
keunggulan komparatifnya. Serta munculnya kekuatan-kekuatan ekonomi baru
termasuk dari kawasan Asia sendiri, yaitu adanya kelompok NAFTA, Eropa Timur dan
Cina, Negara-negara Industri Baru (NICs) yang terdiri dari: Korea Selatan, Hongkong,
Taiwan, dan Singapura. APEC dan AFTA yang salah satu anggotanya adalah
Indonesia.
Oleh karena itu strategi yang diambil oleh perusahaan harus mampu berkiprah di
persaingan global dalam kondisi pergeseran paradigma yang berubah. Situasi tersebut
yang wajib disadari dan perlu sikap proaktif. Dan untuk dapat eksis, maka perlu
memiliki visi dan misi serta strategi bersaing yang kokoh sehingga tidak akan
terombang-ambing atau tergilas oleh perubahan zaman. Kemudian strategi yang
diambil hendaknya mempertimbangkan emergence strategi, yaitu strategi alternatif
95 Strategi Proaktif Dalam Menghadapi Pergeseran Paradigma
Pemasaran Global (Tinjauan Aspek Strategik)
Noor Arifin
untuk menghadapi kemungkinan yang mendadak dan berpengaruh negatif terhadap
bisnis perusahaan atau berpengaruh secara keseluruhan.
Proaktif dalam Mempertahankan Jati Diri
Pelaku ekonomi perlu mempertahankan jati diri perusahaan dan kemampuan
perusahaan. Ini berarti sedapat mungkin harus menciptakan struktur organisasi yang
kuat dan mapan, strategi bisnis dibuat dengan commitment bersama yang didukung
secara menyeluruh, serta menciptakan iklim budaya yang kondusif dan mendukung
perkembangan perusahaan. Konsep ini yang harus diterapkan bahwa perusahaan-
perusahaan nasional harus mulai menerapkan manajemen yang profesional sehingga
dapat mencapai sasaran yang ingin dicapai. Dengan tidak kehilangan jati diri dan
menerapkan manajemen modern dengan paradigma baru itu, perusahaan akan semakin
kokoh sehingga dapat lebih efektif dalam bersaing di era global mendatang, dengan
tetap mempunyai warna dan budaya tersendiri. Dengan meningkatkan kinerja yang
tinggi pimpinan perusahaan tetap dituntut untuk meningkatkan produktivitas yang
didukung dengan aturan-aturan yang ada sehingga akan lebih menambah cepatnya
dalam mencapai tujuan.
Hal yang lebih penting lagi adalah hindari sikap duplikasi atau meniru visi dan
misi dari perusahaan atau organisasi lain, yang mungkin tidak cocok dengan nilai dan
budaya perusahaan. Karena budaya ikut-ikutan tidak dapat berlaku lagi di zaman
kompetitif nantinya. Oleh karena itu perusahaan perlu memiliki arah yang jelas dan
mampu menentukan prioritas, ini dapat diterapkan jika jati diri perusahaan dan
organisasi kokoh dan tegar.
Proaktif Mengarahkan pada Kepuasan Pelanggan
Perlu kiranya diingat bahwa motto klasik yang masih segar dalam ingatan kita
dalam berdagang adalah “Pelanggan adalah Raja”. Dan ini masih dapat digunakan di
masa global yang akan datang. Pelaku bisnis yang senantiasa memperhatikan perilaku
pelanggan dan berusaha untuk memenuhi kebutuhan pelanggan sehingga pelanggan
akan merasakan puas terhadap produk yang dikonsumsi. Menurut konsep pemasaran
sekarang ini perusahaan hendaknya memfokuskan pada pelanggan lewat sarana
melakukan pemasaran secara terpadu yang tujuannya adalah untuk mendapatkan
keuntungan melalui kepuasan pelanggan. Ini sangat penting, karena sasaran pasar kita
adalah berupaya memberikan customer satisfaction atau kepuasan pada pelanggan.
Bagi perusahaan yang tidak dapat memperhatikan pelanggan dan pesaing, maka akan
ditinggalkan oleh konsumen dan beralih mencari produk lain yang ditawarkan oleh
pesaing.
Memberikan kepuasan kepada pelanggan bukanlah suatu aktivitas tunggal,
melainkan melibatkan berbagai rangkaian aktivitas dalam perusahaan yang mungkin
memerlukan perubahan seperti: restrukturisasi organisasional, perubahan kultur
perusahaan, penilaian kinerja, pelatihan manajemen, peningkatan ketrampilan antar
JURNAL DINAMIKA EKONOMI & BISNIS Vol. 7 No. 1 Maret 2010 96
individu, perawatan pelanggan (customer care), total quality management, just in time
dan computer-based control systems (misalnya MRP2). Jadi memberikan kepuasan
kepada pelanggan merupakan proses yang sangat komplek. Memaksimumkan kepuasan
pelanggan dapat dilakukan dengan: memberikan produk yang kwalitasnya superior
(kwalitas tinggi pada setiap pengharapan keinginan pelanggan yang dipenuhinya dan
sesuai dengan syarat yang diminta), memberikan pelayanan yang berkualitas (misalnya:
layanan hantar ke rumah, layanan purna jual dll), dan melatih angkatan penjualan yang
proaktif yang semuanya akan menambah nilai bagi operasi-operasi pelanggan
perusahaan (Basu Swastha. 1997).
Di samping sebagai konsep dan filosofi, pemasaran adalah suatu perangkat
kegiatan (melalui 4 P ditambah riset) dan proses bisnis (memfokuskan sumber dan
tujuan organisasi pada peluang dalam lingkungan. Karena pemasaran dilandasi oleh tiga
prinsip yaitu : Nilai bagi pelanggan, keunggulan kompetitif, atau perbedaan (unik), dan
fokus (pelanggan melalui kualitas) (Keegen, 1992, dalam Basu Swsatha, 1997) .
Kesadaran akan pentingnya kualitas pada tingkat global dipacu oleh keberhasilan
penerapan Total Quality Management (TQM) dari perusahaan-perusahaan Jepang atau
disebut dengan istilah Kaizen. Dalam hal ini Kotler menyatakan bahwa “...pemusatan
perhatian terhadap kualitas selama 40 tahun telah mengubah Jepang dari pembuat
perhiasan kecil menjadi sebuah pusat perekonomian dunia dan memaksa perusahaan-
perusahaan AS dan Eropa untuk menanggapinya. Akibatnya sebuah revolusi global
sedang mempengaruhi setiap segi pasar bisnis”.
Selain itu faktor yang sangat penting yang perlu diperhatikan adalah pelayanan
yang berkualitas dan memuskan pelanggan perlu dilakukan terus-menerus, meskipun
terjadi komplain (pengaduan) yang diterima relatif rendah. Pengaduan dari konsumen
perlu segera diatasi sehingga pelanggan merasa selalu tetap diperhatikan hak
“kerajaannya” (ingat pepatah pembeli adalah raja). Sehingga kekesalan pelanggan
terhadap product yang ditawarkan tidak sempat diceritakan kepada pelanggan lain yang
berakibat menurunnya citra dan ketidakpercayaan pelanggan terhadap perusahaan.
Kunci sukses ini tidak hanya akan mempertahankan pelanggan akan tetapi justru akan
menciptakan pelanggan baru dan menciptakan pasar baru.
Sadar Berada pada Sistem Sosial
Perusahaan adalah milik masyarakat dan berada di tengah-tengah masyarakat
serta membutuhkan peran masyarakat sekitarnya. Apalagi bagi perusahaan yang Go
Public sudah pasti harus memperhatikan stakeholders yakni mereka yang menaruh
minat besar terhadap jalannya perusahaan atau disebut pemangku kepentingan. Dan
tidak hanya itu saja perusahaan harus memperhatikan pula faktor-faktor luar yang
secara langsung ataupun tidak ikut membantu dalam operasionalisasi perusahaan dalam
mencapai tujuannya. Mereka adalah pekerja itu sendiri, supplier (pemasok), pelanggan,
pers, pemerintah, lembaga-lembaga keuangan serta publik yang ada dalam masyarakat.
Dengan kata lain perusahaan tidak mungkin hidup sendiri melainkan merupakan
97 Strategi Proaktif Dalam Menghadapi Pergeseran Paradigma
Pemasaran Global (Tinjauan Aspek Strategik)
Noor Arifin
pelaku dalam sistem sosial masyarakat yang ada dan bertanggung jawab terhadap
masyarakat sekitarnya. Yang penting bahwa perusahaan harus menjalin hubungan
timbal balik yang akrab, sehingga antara satu dengan yang lain terjadi hubungan yang
harmonis dengan iklim saling percaya dan mendukung.
Proaktif terhadap Pergeseran Paradigma Pemasaran
Paradigma adalah suatu cara pandang/berfikir bagaimana melihat dunia ini.
Paradigma tersebut menjelaskan kepada kita tentang dunia dan dapat membantu untuk
memprediksi perilakunya. Jadi, dengan paradigma tersebut diharapkan mampu
menciptakan sejumlah pengharapan tentang apa yang mungkin akan terjadi di dunia
berdasarkan sejumlah asumsi (Smith, 1975, Dalam Basu S. 1997). Pergeseran
paradigma dapat diartikan sebagai suatu “permainan” baru, sejumlah aturan baru.
Pergeseran paradigma pemasaran dapat disebutkan beberapa karakternya :
1. Dari mass marketing (pemasaran masal; artinya pemasaran memfokuskan pada
semua orang dianggap membutuhkan satu macam produk) ke target marketing
(pemasaran sasaran; artinya pemasaran memfokuskan pada kelompok
pelanggan sasaran yang lebih kecil, tidak bersifat masal) (Basu, S. 1997).
2. Dari mass marketing ke interactive marketing (pemasaran interaktif) yaitu
pemasaran yang menjalin hubungan dan komunikasi langsung dengan
pelanggan, dengan menggunakan media interaktif, televisi interaktif, basis data,
pusat-pusat panggilan, dan transmisi data elektronik (Molenaar, 1996, Dalam
Basu S., 1997), sehingga terjalin hubungan yang akrab dan dapat berlangsung
dalam jangka panjang.
3. Dari transaction marketing (pemasaran memfokuskan pada transaksi atau
pertukaran) ke relationship marketing (pemasaran yang menjalin hubungan
dengan pelanggan dalam jangka panjang/mempertahankan hubungan secara
berkesinambungan) (Basu,S 1997).
4. Menciptakan strategi menyerang dengan cara mengidentifikasi lawan,
mengetahui kelemahan lawan, dan menyerang sisi kelemahan lawan dari
persaingan sehingga akan dapat menguasai pasar atau membawa mayoritas
pelanggan keluar dari persaingan (Kotler, 1997).
5. Dari customer satisfaction (mengarahkan pada kepuasan pelanggan) ke lasting
customer enthusiasm (memfokuskan pemasaran pada aspek-aspek kognitif,
afektif, dan konatif dalam diri pelanggan, sehingga diharapkan terjadi
keakraban dengan pelanggan seperti halnya saudara).
6. Dari convention customer (pemasaran yang memfokuskan pada produk yang
belum ramah pada lingkungan) ke green customer (pemasaran yang
memfokuskan pada produk-produk yang hijau sehingga tidak berpengaruh pada
bumi dan lingkungan mis; produk tanpa aerosol dll. pada pelanggan) (Ottman,
1994, dalam Basu S., 1997).
JURNAL DINAMIKA EKONOMI & BISNIS Vol. 7 No. 1 Maret 2010 98
7. Dari traditional marketing system (pemasaran yang mendasarkan program-
program pemasarannya pada apa yang telah mereka lakukan pada masa lalu) ke
customer engineering system (sistem yang terfokus pada pelanggan,
terintegrasi, dan didasarkan pada pengukuran yang dirancang untuk
meningkatkan efisiensi pemasaran melalui teknologi informasi, dengan
menempuh cara; menganalisis pelanggan, mengembangkan basis data yang
lengkap, menciptakan ancangan penjualan seperti direct selling (penjualan
langsung), periklanan via internet, telemarketing, pameran dagang, e-
commerce, dan merealisasikan tahapan-tahapan di atas dengan melakukan
pengukuran-pengukuran.
Proaktif Terhadap Kekuatan yang Membentuk Perekonomian Global
Perekonomian global terbentuk oleh adanya dorongan berbagai kekuatan
mencakup: Perubahan teknologi yang tercermin pada migrasi/transfer industri dari
negara maju ke negara sedang berkembang. Realokasi sumber-sumber dari industri
yang padat karya dan modal tradisional ke industri yang padat teknologi dan keahlian.
Tingkat inovasi yang semakin tinggi, menyangkut kecepatan, ketersediaan, dan
efektivitas biaya komunikasi internasional. Semuanya perlu diperhatikan dan
dipertimbangkan sebelum ikut terjun menjadi pelaku di pasar global di antara kekuatan-
kekuatan yang ada.
Analisis kompetitif harus dijadikan intinya rencana strategik. Untuk
memenangkan persaingan perlu menjaga posisi di pasar yang sudah eksis dengan
keahlian yang meliputi keunggulan perekayasaan atau keahlian teknik atau suatu
kemampuan untuk merespon perubahan secara cepat dan efektif. Dan sumber-sumber
unggul (superior) yang meliputi skala fasilitas manufaktur, lokasi, jaringan distribusi,
dan lain-lain. (Mazur and Hogg, 1993). Hamel dan Prahalad (1989) mengemukakan
bahwa ada 4 pendekatan sukses terhadap kompetitif inovasi negara Jepang dalam
membangun bisnis global, di mana manajemen barat berusaha menirunya, yaitu :
1. Membangun sumber bisnis baru yang menguntungkan melalui perbaikan
keahlian secara kontinyu dan sistem pembelajaran sesuatu yang baru.
2. Penekanan pada terobosan melalui analisis kebijaksanaan konvensional yang
ada di pasaran dan penemuan suatu dasar strategi “serangan” yaitu keluar dari
daerah “okupasi pemimpin-pemimpin industri”.
3. Mengubah peraturan permainan dengan menyesuaikan perkembangan yang
terjadi.
4. Bersaing melalui usaha kolaborasi/partnership.
Proaktif Mengembangkan Kerangka Kerja Strategi
Tujuan diciptakan suatu strategi adalah satu yaitu untuk meningkatkan
keuntungan, maka perlu kerangka kerja strategi yang fleksibel dan dinamis dalam
bersaing terhadap perubahan kebutuhan dan keinginan pasar dan pelanggan. Oleh
99 Strategi Proaktif Dalam Menghadapi Pergeseran Paradigma
Pemasaran Global (Tinjauan Aspek Strategik)
Noor Arifin
karena itu ada beberapa prinsip yang perlu diikuti untuk mencapai tujuan tersebut:
1. Menyeleksi pasar yang tumbuh-berkembang (growing) dan menyeleksi pasar
untuk menumbuhkan perkembangan; kemudian kajilah masalah demografi,
sikap, dan gaya hidup pelanggan, serta teknologi.
2. Tujukan pada “market share”, bukan melalui harga atau produk tetapi melalui
orang.
3. Menerima orang dengan nilai yang benar serta melatih dan memotivasi mereka.
4. Usaha untuk meningkatkan pasar.
5. Menurunkan biaya melalui penggunaan teknologi informasi yang canggih dan
terpadu.
6. Hendaknya jangan “merasionalisasikan” produksi dan menyingkat waktu yang
ada, tetapi tingkatkan jalur informasi kepada pelanggan dan ciptakan nilai
tambah.
7. Laksanakan audit pemasaran untuk mengevaluasi penyimpangan yang ada dari
rencana semula dengan kenyataan sesungguhnya, dengan berbagai
pertimbangan-pertimbangan yang mendukung strategi pemasaran tersebut.
Dari faktor-faktor di atas itulah yang perlu dipahami dengan benar oleh pelaku
bisnis yang kemudian dilakukan antisipasi dan diupayakan bagaimana faktor-faktor
tersebut dapat dikendalikan dengan baik dan bisa dilaksanakan dengan mudah.
Pertama, Menyusun Strategi dan kemudian Struktur. Tantangan perusahaan
global adalah harus pandai menyusun strategi agar dapat mencapai sukses dalam
berbisnis. Strategi bisnis yang baik adalah strategi yang dapat menghasilkan
peningkatan “business results” seperti meningkatkan keuntungan (profit), pangsa pasar
yang berkembang, Return on investment yang memuaskan dan lain-lain. Setelah strategi
dirancang dengan cermat, baru dipikirkan wadah yang akan mendukung terciptanya
strategi tersebut. Disinilah pentingnya peranan struktur organisasi dan staf-stafnya
menjadi sangat menentukan. Jadi pola pikir bahwa menyusun strategi dahulu baru
kemudian struktur dibentuk merupakan pemikiran baru dalam paradigma baru yang
perlu diperhatikan oleh pelaku bisnis.
Kedua, dalam perancangan struktur organisasi ini ada faktor yang penting yaitu
bagaimana dalam mengambil keputusan perlu diberikan satu hak/wewenang kepada
organisasi bawahannya atau kebijakan yang diambil melalui pendekatan desentralisasi
artinya wewenang harus diberikan kepada organisasi dibawahnya dan memperkuat
organisasi di daerah tanpa harus kehilangan kendali dari pusat. Jadi perusahaan akan
dipecah dan dikelompokkan menjadi unit-unit yang lebih kecil sembari memberi
wewenang yang lebih besar. Sehingga akan lebih fleksibel, inovatif, cepat dan adaptif
terhadap perubahan yang terjadi.
Dengan kata lain perusahaan yang terlalu besar cenderung lamban, birokratis dan
kurang cepat merespon pasar, sebagai akibatnya prosentase laba yang dicapai jarang
bisa menyaingi perusahaan kecil maupun menengah. Maksud dari perubahan struktur di
atas adalah Perusahaan diupayakan tetap besar tetapi kecil, artinya perusahaan
JURNAL DINAMIKA EKONOMI & BISNIS Vol. 7 No. 1 Maret 2010 100
mengkombinasikan sumber daya sebagai perusahaan besar dengan mencapai
kesederhanaan dan kegesitan seperti perusahaan kecil. Sehingga seolah-olah seperti
multi unit, di mana unit-unit yang dikembangkan ke arah pasar agar produk
distribusinya dapat berkembang serta dapat melayani pelanggan dengan baik. Pada
gilirannya akan dapat meraih peluang pasar yang optimal. Sumber daya yang ada dapat
difokuskan pada perubahan pasar untuk meningkatkan keunggulan (advantage) dan
menciptakan nilai (value) yang lebih berorientasi pada pelanggan.
Ketiga, Berupaya menjadikan SDM untuk berpandangan Global. Memahami
lebih jauh tentang SDM yang akan terpakai di era global dan pasar bebas 2020, maka
dibutuhkan beberapa persyaratan-persyaratan yang mutlak yang harus dimiliki SDM
kita yaitu :
1. Berpandangan Luas. Di abad 21 nanti pandangan yang luas yang akan
membedakan antara SDM yang dapat beradaptasi di masa yang akan datang,
dan SDM yang tertinggal dengan adanya perubahan zaman (resistance to
change). SDM tidak boleh berpandangan picik atau sempit tetapi harus mampu
berpandangan luas jauh ke depan dan memiliki cakrawala berfikir yang kreatif.
Implikasi dari pandangan yang luas ini dapat diartikan bahwa SDM harus
belajar mengerti “context” (latar belakang) untuk mendapatkan pengertian yang
benar tentang apa yang terjadi di sekitarnya. Akibatnya dia harus “berfikir
global dan bertindak lokal” terutama menghadapi persaingan bisnis yang
semakin ketat. Oleh karena itu SDM masa depan harus dibekali pengetahuan
yang luas dan mendapat kunci bagaimana cara untuk memenangkan persaingan
(Basu S, 1997).
2. Menemukan makna dalam Ketidakpastian. Menyongsong abad 21 para pelaku
bisnis perlu mengenal sesuatu waktu yang penuh dengan ketidakpastian dan
saat yang membingungkan serta dapat menerima berbagai kontradiksi atau
paradoks. Untuk itu pelaku bisnis tidak perlu terkejut dan harus menerima
kenyataan yang terjadi. Untuk dapat menerima dan mengelola kontradiksi yang
terjadi maka kita harus dapat menerima pendapat dari orang lain yang lebih
bisa merancang konsep-konsep yang dapat meningkatkan kemampuan dalam
bersaing (pesaing). Hal yang patut direnungi untuk dapat hidup dalam
ketidakpastian ini adalah High Trust Culture. Komposisi pekerja di tahun 2000
dan seterusnya akan berbeda dengan komposisi pekerja saat ini. Dapat
dipastikan bahwa abad 21 mendatang para pekerja Indonesia akan banyak
berhubungan dan bekerja sama dengan pekerja asing yang memiliki latar
belakang dan budaya yang berbeda. Oleh karena itu Sumber daya pekerja
Indonesia mendatang diharapkan lebih sensitif terhadap perbedaan-perbedaan
ini, sehingga mereka bisa bekerja bersama sebagai satu kelompok yang baik.
Jangan perbedaannya yang dibesar-besarkan tetapi patut dipelajari bagaimana
menjembatani perbedaan ini sehingga kesatuan tujuan dapat tercapai dengan
101 Strategi Proaktif Dalam Menghadapi Pergeseran Paradigma
Pemasaran Global (Tinjauan Aspek Strategik)
Noor Arifin
baik. Karena bangsa Indonesia sudah terbiasa menghadapi berbagai
keanekaragaman budaya dan suku serta agama yang diakui di Indonesia.
Proaktif memahami Dimensi Legal
Jika perusahaan ingin masuk ke pasar global, maka dimensi legal atau peraturan-
peraturan yang berlaku yang berhubungan dengan perkembangan hukum internasional
dalam kaitannya dengan pemasaran global perlu difahami terlebih dahulu. Atau jika
perlu, bisa mengambil bantuan hukum (lawyer, misalnya) karena begitu rumitnya
aturan-aturan yang mengatur hukum bangsa-bangsa sejagat itu. Misalnya hal yang
berhubungan dengan pendirian bisnis di suatu negara, apakah ada perbedaan antara
pemasaran domestik dan global, kemudian mengenai hak paten dan aturan brand, aturan
pajak, dan kontrak perjanjian-perjanjian dagang. Atau hal-hal informal yang perlu
dipertimbangkan misalnya adanya pemberian komisi, suap, hukum antitrust. Atau salah
satu yang berpengaruh terpenting pada urusan bisnis berhubungan dengan tindakan dari
badan-badan yang mengatur hal-hal seperti pengendalian harga, pengkajian ekspor dan
impor, praktik perdagangan, memberi label, sampai pada iklan, dan lain sebagainya.
Kesimpulan
Persaingan global telah menciptakan peluang dan tantangan bagi perusahaan
yang ingin berperan dengan posisi yang kuat. Arena persaingan tidak hanya terjadi di
luar negeri, tetapi juga terjadi di dalam negeri. Oleh karena itu perlu kiranya persiapan
yang menyeluruh baik dari sumber daya, sumber dana, teknologi, struktur, dan
pendukungnya sehingga tetap dapat mempertahankan jati dirinya, visi dan misinya,
sadar akan pada lingkungan global dengan berbagai sifat dan kultur yang beragam,
maka perlu strategi yang bersifat mikro dan makro. Kemudian sikap proaktif dari
respon perubahan yang bersifat global, maka perlu memahami kiat-kiat khusus
mengenai persaingan global, aspek dimensi legal/hukum, yang bersifat global, serta
kekuatan-kekuatan yang mempengaruhi pasar dunia, sehingga dapat mencapai sasaran
yang diinginkan.
Daftar Pustaka
Basu Swastha Dharmmesta, 1997, “Meningkatkan Daya Saing Perusahaan Dalam Era
Persaingan Global”, Majalah Kelola, No. 16/VII/1997-MM-UGM Yogyakarta.
Basu Swastha Dharmmesta, 1997, “Pergeseran Paradigma Dalam Pemasaran”, Majalah
Kelola No. 15/VI/1997-MM-UGM Yogyakarta.
Hermawan Kertajaya, 1994, “Marketing Plus-2”, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
Jemsly Hutabarat, 1997, “Visi Kualitas Jasa “Membahagiakan Pelanggan” Kunci
Sukses Bisnis Jasa”, Majalah Manajemen Usahawan Indonesia Edisi No.
05/TH.XXVI Mei 1997.
JURNAL DINAMIKA EKONOMI & BISNIS Vol. 7 No. 1 Maret 2010 102
Kenichi Ohmae, 1991, Dunia Tanpa Batas Kekuatan Strategi di Dalam Ekonomi yang
Saling Mengait, Alih Bahasa Drs.F.X. Budiyanto, Binarupa Aksara, Jakarta.
Laura Mazur dan Annik Hogg, 1993, Marketing Challenge, Addison-Wesley
Publishing Company.
Michael E. Porter, 1995, Strategi Bersaing Teknik Menganalisis Industri dan Pesaing
terjemahan Agus Maulana, Penerbit Airlangga, Jakarta.
Philip Kotler, 2004, Manajemen Pemasaran, Analisis, Perencanaan dan Pengendalian,
Penerbit Erlangga, Jakarta.
Warren J. Keegen, 2008, Global Marketing Management, Fourth Edition, Prentice-Hall,
Inc.