Upload
others
View
4
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
ISSN 2086 – 910X
PENANGGUNG JAWAB
Prof. Bustami Syam, Dr. Ir., MSME
PEMIMPIN REDAKSI
Dwira N. Aulia, Ir., M.Sc, PhD
KETUA DEWAN REDAKSI
Beny O,Y Marpaung, ST, MT, PhD
DEWAN EDITOR
Salmina W. Ginting, ST, MT
Wahyuni Zahrah, ST, MS
R. Lisa Suryani, ST, MT
PENYUNTING AHLI
A/Prof. Abdul Majid Ismail, B.Sc, B.Arch, PhD
A/Prof. Julaihi Wahid, Dipl.Arch, B.Arch, M.Arch, PhD
Prof. Abdul Ghani Salleh, B.Ec, M.Sc, PhD
Prof. Ir. M. Nawawiy Loebis, M.Phil, PhD
PELAKSANA TEKNIS, DESAIN DAN TATA LETAK
Hajar Suwantoro, ST, MT
SEKRETARIAT/SECRETARIAT
Shanty Silitonga, ST, MT
Novi Yanthi
ALAMAT PENERBIT/EDITORIAL CORRESPONDENCE
Program Studi Magister Teknik Arsitektur Gedung J7
Fakultas Teknik
Jalan Perpustakaan Kampus USU
Universitas Sumatera Utara
Medan 20155 Indonesia
Telp/Fax. 061-8219525
E-mail: [email protected]; [email protected]
Website: http://mta.usu.ac.id
DITERBITKAN OLEH/PRINTED BY
Program Studi Magister Teknik Arsitektur
Universitas Sumatera Utara
Medan
Koridor
JURNAL ARSITE TUR DAN PERKOTAAN
Volume 02 Nomor 01, Januari 2011 ISSN 2086 – 910X
DAFTAR ISI
STUDI KELAYAKAN PEMBANGUNAN RUMAH SUSUN SEDERHANA
(RUSUNA) KAMPUNG AUR MEDAN
Dwira Nirfalini Aulia, Achmad Delianur Nasution, R. Lisa Suryani
ADAPTIVE REUSE DALAM KONTEKS REVITALISASI KAWASAN:
MENGEMBALIKAN KEHIDUPAN PERKOTAAN DI KOTA TUA
JAKARTA
Hajar Suwantoro
PUSAT RISET DAN REKREASI HORTIKULTURA KWALA BEKALA
SUSTAINABLE ARCHITECTURE
Novi Rahmadhani
ARSITEKTUR INDONESIA, ANTARA TIMUR DAN BARAT
N. Vinky Rahman
AMALIUN FOODCOURT
Ramadhoni Dwi Payana
EVALUASI KINERJA ANGKUTAN KOTA MEDAN JENIS MOBIL
PENUMPANG UMUM (MPU)
STUDI KASUS: KOPERASI PENGANGKUTAN MEDAN (KPUM)
TRAYEK 64
Thomas Andrian, Abdul Majid Ismail, Basaria Talarosha
CITRA LAPANGAN MERDEKA MEDAN MENURUT APRESIASI
PEREMPUAN
Anna Lucy Rahmawati, Julaihi Wahid, Achmad Delianur Nasution
1-7
8-18
19-24
25-29
30-34
35-46
47-56
Jurnal Arsitektur “Koridor” adalah jurnal ilmiah dalam bidang arsitektur serta ilmu-ilmu terapannya dalam bidang-bidang:
perancangan arsitektur, perancangan tapak dan lingkungan, perkotaan dan permukiman, teknologi bangunan ,serta teori
dan kritik arsitektur.
Bagi penulis yang berminat memasukkan tulisan dalam jurnal ini harap merujuk pada ketentuan dan format penulisan pada
bagian dalam sampul belakang.
Jurnal Arsitektur “Koridor” diterbitkan oleh Program Magister Teknik Arsitektur Program Pascasarjana Universitas Sumatera
Utara, dengan frekuensi penerbitan tiga kali (nomor) untuk setiap tahun (volume).
Ide maupun opini yang tertuang dalam tulisan yang dimuat di jurnal ini merupakan murni berasal dari penulis, dan sama sekali
tidak mencerminkan pandangan, kebijakan, maupun keyakinan dari anggota Dewan Redaksi, penyunting maupun Program
Magister Teknik Arsitektur USU sebagai institusi penerbit.
Koridor
JURNAL ARSITE TUR DAN PERKOTAAN
STUDI KELAYAKAN PEMBANGUNAN RUMAH SUSUN
SEDERHANA (RUSUNA) KAMPUNG AUR MEDAN
DWIRA NIRFALINI AULIA, ACHMAD
DELIANUR NASUTION, R. LISA SURYANI
1
STUDI KELAYAKAN PEMBANGUNAN RUMAH SUSUN
SEDERHANA (RUSUNA) KAMPUNG AUR MEDAN
Dwira Nirfalini Aulia, Achmad Delianur Nasution, R. Lisa Suryani
Magister Teknik Arsitektur Universitas Sumatera Utara
Abstrak. Dalam usaha menata wajah kota yang lebih baik dan menyediakan tempat tinggal yang layak bagi
masyarakat golongan menengah ke bawah diperlukan suatu lahan yang sangat luas serta sarana dan prasarana
pendukungnya yang banyak pula. Peremajaan kota terutama pada bidang permukiman mengarah kepada
pembangunan rumah susun. Studi kelayakan ini dilaksanakan dengan tujuan untuk melakukan kajian
pembangunan rumah susun sederhana di kawasan Kampung Aur dalam strategi peremajaan kawasan
permukiman di kota Medan. Kajian aspek fisik, sosial budaya dan ekonomi dilakukan dengan metoda survey
dan wawancara. Temuan dari kajian ini mengidentifikasikan bahwa warga masih enggan untuk tinggal di
rumah susun meskipun rusuna itu akan di bangun pada lokasi yang sama dan dari kajian aspek ekonomi harga
sewa/jual rumah susun masih terjangkau oleh mereka.. Kajian aspek fisik menemukan bahwa pada kawasan
tersebut layak dibangun rumahsusun untuk memenuhi kebutuhan jumlah rumah bagi warga Kampung Aur
tersebut.
Kata kunci: studi kelayakan, permukiman kumuh, rumah susun
PENDAHULUAN
Terbatasnya lahan perkotaan menyebabkan
pemerintah kota dituntut untuk dapat
memanfaatkan lahan secara efisien dengan
meningkatkan intensitas penggunaannya.
Tuntutan akan penggunaan lahan perkotaan
cenderung semakin meningkat seiring
diterapkannya otonomi daerah. Hal ini antara
lain disebabkan Pemerintah Kota dituntut untuk
dapat memanfaatkan sumber daya ruang dan
tanah secara maksimal bagi peningkatan
pendapatan daerah, di sisi lain adanya tuntutan
masyarakat yang semakin kritis dalam
mendapatkan pelayanan umum, termasuk
penyediaan sarana dan prasarana sosial, budaya,
taman dan ruang terbuka hijau. Dalam usaha
menata wajah kota yang lebih baik dan
menyediakan tempat tinggal yang layak bagi
masyarakat golongan menengah ke bawah
diperlukan suatu lahan yang sangat luas dan
sarana dan prasarana pendukungnya yang
banyak pula. Hal ini menyebabkan harga rumah
tersebut menjadi sangat mahal sementara
kemampuan masyarakat membelinya sangat
terbatas. Rumah susun merupakan salah satu
cara pemecahan yang cukup baik, walaupun
masih banyak masyarakat yang belum bisa
menerima keberadaannya (Rahayu & Rutiana,
2007).
Beberapa permasalahan perumahan permukiman
khususnya yang menyangkut permukiman
kumuh yang teridentifikasi di Kota Medan :1 (a).
Masih rendahnya penyediaan rumah yang layak
huni terutama bagi masyarakat berpenghasilan
rendah; (b). Masih terdapatnya kawasan-
kawasan permukiman yang belum tertata secara
baik dalam hal ini khususnya di Kampung Aur;
(c). Masih adanya kawasan permukiman yang
kumuh baik yang ilegal maupun yang legal.
Sebelum dilaksanakan pembangunan rumah
susun, perlu diadakan pengkajian kelayakan
1 Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang)
Rencana Pembangunan Jangka menengah (RPJM) Kota
Medan Tahun 2006 – 2010, Hotel Darma Deli Medan tgl 3
Oktober 2005
Jurnal Arsitektur dan Perkotaan “KORIDOR” vol. 02 no. 01, JAN 2011 : 1-7
2
agar setelah pembangunan itu diterima dan
dilaksanakan dapat mencapai hasil yang sesuai
sasaran (Jauzie, 2005).
Studi kelayakan ini bertujuan untuk:
(a).mengkaji kelayakan pembangunan rumah
susun dari aspek ekonomi, fisik-lingkungan dan
sosial budaya; (b).memberi rekomendasi untuk
mengantisipasi berbagai masalah ekonomi,
fisik-lingkungan dan sosial budaya dalam
perencanaan pembangunan rumah susun. Studi
kelayakan ini bermanfaat bagi : (a).Pemerintah
dalam menetapkan kebijakan-kebijakan dalam
perencanaan pembanggunan rumah susun;
(b).Warga permukiman eksisting, sebagai
informasi bagi mereka tentang berbagai aspek
dalam peremajaan permukiman kumuh melalui
pembangunan rumah susun; (c). Pemerhati dan
peminat masalah lingkungan permukiman kota
sebagai salah satu rujukan dalam pembangunan
rumah susun untuk merehabilitasi permukiman
kumuh.
Ruang lingkup kegiatan Studi Kelayakan
Pembangunan Rumah Susun Sederhana yang
dilakukan melalui tahapan: (1). Studi Aspek
Fisik: kondisi permukiman eksisting (rumah,
sanitasi, utilitas), kondisi lingkungan sungai,
kondisi tanah; (2). Studi Aspek Ekonomi:
perkiraan pembiayaan, skema pembiayaan, nilai
jual; (3). Studi Aspek Sosial Budaya: kondisi
sosial budaya warga eksisting, tanggapan warga
terhadap rencana pembangunan, aspirasi dan
harapan warga untuk rencana pembangunan;
dan (4).Studi Aspek Hukum dan Regulasi:
arahan rencana tata ruang kota, peraturan
perundangan yang terkait, status hukum tanah
dan bangunan.
KAJIAN PUSTAKA
Rumah susun adalah bangunan gedung
bertingkat yang dibangun dalam suatu
lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian
yang distrukturkan secara fungsional dan dalam
arah horizontal maupun vertikal sebagai satuan-
satuan yang dapat dimiliki dan digunakan secara
terpisah, terutama untuk tempat hunian yang
dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah,
terutama untuk tempat hunian yang dilengkapi
dengan bagian bersama (UU RI No. 16 tahun
1985; PP RI No. 4 tahun 1988). Rusuna (Rumah
Susun Sederhana), berupa kumpulan unit-unit
hunian (apartment atau rumah susun) yang
dibuat sesederhana mungkin guna mendapatkan
harga yang terjangkau bagi masyarakat
berpenghasilan rendah yang menjadi target
penghuninya. Sederhana dalam arti memenuhi
persyaratan teknis minimal yang dipersyaratkan
khususnya dalam hal Keselamatan, Keamanan
dan Kesehatan.
Rusunawa (Rumah Susun Sederhana Sewa)
adalah Rusuna yang status kepemilikannya
bersifat Sewa karena target penghuninya adalah
masyarakat yang tingkat ekonomi belum mampu
untuk membeli. Disini harus dibedakan dengan
mereka yang bermaksud menyewa sehubungan
dengan tujuan bertempat tinggalnya sementara,
bukan karena tidak mampu. Rusunami (Rumah
Susun Sederhana Milik) adalah Rusuna yang
status kepemilikannya adalah Hak Milik
(mengikuti pola strata title), merupakan tipologi
baru dalam rangka mempercepat penyediaan
unit hunian guna memenuhi kebutuhan yang
sudah sangat mendesak.
Keterbatasan pertama dalam pembangunan
rusuna di pusat kota adalah lahan. (Prabawasari,
2002) menawarkan konsep land sharting dalam
penyediaan lahan rusuna di pusat kota. Land
sharting merupakan penggabungan dan
modifikasi dari konsep-konsep land sharing,
land consolidation dan konsep rumah susun
sewa. Dengan konsep land sharting peremajaan
kawasan kumuh akan terbagi empat yaitu : (1).
Area rusun milik penduduk asli, (2). Area
rusunawa untuk pekerja sektor informal, (3).
Area rusunawa untuk golongan menengah
keatas dan (4). Area komersial dengan status
sewa tanah dan sewa bangunan. Konsep land
sharting ini yang coba diterapkan pada
peremajaan permukiman kumuh Kampung Aur.
METODOLOGI KAJIAN
Untuk mencapai maksud dan tujuan dari studi
kelayakan ini yakni tersedianya data dan
informasi mengenai kelayakan pembangunan
Rumah Susun sederhana di Kampung Aur dan
potensi kawasan, maka jenis penelitian yang
efektif untuk digunakan dalam penelitian ini
adalah exploratory research yang bertujuan
untuk menggali informasi sebanyak-banyaknya
dari berbagai sumber dan mengidentifikasi
tentang potensi kawasan. Tahapan studi
kelayakan dilakukan berdasarkan skematik
berikut.
STUDI KELAYAKAN PEMBANGUNAN RUMAH SUSUN
SEDERHANA (RUSUNA) KAMPUNG AUR MEDAN
DWIRA NIRFALINI AULIA, ACHMAD
DELIANUR NASUTION, R. LISA SURYANI
3
PEMBAHASAN
1) Kajian Aspek Fisik
Kelurahan Aur sudah ada sejak tahun 1965-an,
begitu juga dengan munculnya permukiman
kumuh di daerah ini. Permukiman kumuh
Kampung Aur dijumpai di tepi Sungai Deli
dengan akses utama melalui Jalan Mantri.
Jumlah rumah kumuh di Kampung Aur sudah
banyak berkurang karena kebakaran yang terjadi
beberapa tahun lampau. Ciri-ciri permukiman
kumuh di Kelurahan Aur ini adalah sebagai
berikut: bangunan berbentuk rumah panggung
dan tidak permanen, material bangunan berupa
papan kayu, bangunan tidak terawat. Dari data
statistik terdapat sebanyak 412 unit rumah
darurat, 15 unit RSS tipe 21; 20 unit RSS tipe
36, dan 25 unit RSS tipe 45. Prilaku masyarakat
sehari-hari masih memanfaatkan sungai sebagai
MCK meskipun rumah-rumah yang jauh dari
sungai sudah memiliki MCK dirumahnya.
Sampah masih dibuang di sungan karena tidak
memiliki tempat pembuangan sampah.
Sebahagian rumah yang ada sudah menjadi hak
milik namun masih ada yang menyewa.
Berdasarkan (Permen PU No.5, 2007), standar
perencanaan Rusun di kawasan perkotaan
adalah sebagai berikut: (1). Kepadatan
Bangunan ( KDB tidak melebihi dari 0.4; KLB
tidak kurang dari 1,5; dan Koefisien Bagian
Bersama (KB) tidak kurang dari 0,2. (2). Lokasi
terjangkau layanan transportasi umum, serta
dengan mempertimbangkan keserasian dengan
Provinsi Sumatera Utara Kota Medan Kampung Aur
Jl. Ir. Juanda
S. Deli
Jl. Brigjend Katamso
Jurnal Arsitektur dan Perkotaan “KORIDOR” vol. 02 no. 01, JAN 2011 : 1-7
4
lingkungan sekitarnya. (3). Tata letak Rusun
harus memperhatikan faktor-faktor
kemanfaatan, keselamatan, keseimbangan dan
keserasian. (4). Jarak Antar Bangunan dan
Ketinggian ditentukan berdasarkan persyaratan
terhadap bahaya kebakaran, pencahayaan dan
pertukaran udara secara alami (5). Fungsi
Rumah Susun diperuntukkan untuk hunian dan
dimungkinkan memiliki jenis kombinasi fungsi
hunian dan fungsi usaha. (6). Luasan Satuan
Rumah Susun minimum 21 m2, dengan fungsi
utama sebagai ruang tidur/ruang serbaguna dan
dilengkapi dengan kamar mandi dan dapur. (7).
Rusun harus dilengkapi prasarana dan sarana.
(8). Transportasi Vertikal Rusun bertingkat
rendah dengan jumlah lantai maksimum 6 lantai,
menggunakan tangga sebagai transportasi
vertikal sedangkan Rusun bertingkat tinggi
dengan jumlah lantai lebih dari 6 lantai,
menggunakan lift sebagai transportasi vertikal.
Dengan menerapkan konsep subsidi silang,
program ruang makro perencanaan Rumah
Susun Kampung Aur direkomendasikan sebagai
berikut:
a. Terdapat area komersil, yang terdiri dari
zona unit usaha dan zona pedagang
informal
b. Unit hunian menengah, berupa rumah
susun dengan unit hunian tipe 45 dan tipe
54 dan unit sederhana, terdiri dari tipe 21
dan tipe 36
c. Fasilitas umum dan fasilitas sosial: tempat
ibadah dan aula serba guna
d. Ruang Terbuka, terdiri dari : ruang terbuka
hijau /jalur hijau di tepi sungai dan ruang
terbuka publik yaitu jalur pedestrian, inner
court bangunan yang sekaligus dapat
dimanfaatkan sebagai area bermain dan
lapangan olah raga.
Sebagai salah satu bentuk skenario subsidi
silang dan pengembangan ekonomi masyarakat,
maka perencanaan rusunawa juga merencanakan
ruang-ruang usaha. Ruang-ruang yang akan
direncanakan antara lain:
a. Area komersil untuk usahawan menengah.
Area komersil ini direncanakan dalam
bentuk tipologi ruko. Direncanakan berada
pada area yang paling mudah diakses.
b. Area komersil untuk usahawan sektor
informal. berbentuk ruang terbuka publik
yang bersifat fleksibel. Ruang terbuka
publik ini merupakan ruang serba guna
yang dapat digunakan bagi pedagang kaki
lima pada siang hari, serta parkir kendaraan
pada malam hari. Ruang terbuka untuk
pedagang informal ini terintegrasi dengan
area komersil dalam satu sirkulasi yang
kontiniu dengan kemudahan akses dari
jalan utama.
c. Ruang usaha-bengkel kerja. Ruang ini
merupakan wadah pembinaan
kewirausaahaan bagi penghuni rusunawa.
Fasilitas ini akan menjadi tempat pelatihan-
pelatihan untuk peningkatan ekonomi
keluarga yang sekaligus akan menjadi
bengkel kerja, seperti usaha benda-benda
daur ulang, pelatihan menjahit dan
memasak bagi ibu-ibu rumah tangga dan
sebagainya.
2) Kajian Aspek Sosial Budaya
Pada daerah permukiman tua (berumur lebih
dari lima puluh tahun) seperti Kampung Aur,
tipologi penduduk yang didasarkan atas keaslian
dan lama tinggal dapat dengan mudah dikenali.
Tipologi tersebut terbagi atas 3 kelompok yaitu
penduduk asli, masyarakat pendatang lama dan
masyarakat pendatang musiman (Daldjoeni,
1997). Lama tinggal dan asal usul masyarakat
(asli atau pendatang) yang menempati kawasan
studi ternyata sangat mempengaruhi sifat dari
organisasi sosial kemasyarakatan yang terbentuk
di kawasan studi. Sifat dari organisasi sosial
kemasyarakatan ini juga mempengaruhi pola
interaksi sosial dan mata pencaharian penduduk.
Komunitas Kampung Aur merupakan komunitas
yang sudah lama terbentuk sehingga interaksi
sosial yang terjadi didalamnya akan mengikuti
pola interaksi penghuni pada generasi
sebelumnya. Pola ini disosialisasikan secara
berkelanjutan. Akan tetapi yang berubah adalah
kondisi lingkungan dimana komunitas itu
berada. Kondisi kualitas Sungai Deli yang
tadinya baik semakin lama semakin menurun
kualitasnya akibat pencemaran lingkungan yang
terjadi. Sehingga pada kondisi sekarang ini perlu
dilakukan perubahan prilaku komunitas untuk
menyikapi penurunan kualitas Sungai Deli yang
terjadi. Hampir 74% responden mengatakan
bahwa Sungai Deli dimanfaatkan sebagai MCK
penduduk. Prilaku ini merupakan prilaku yang
diwariskan dan disosialisasikan generasi
sebelumnya yang sudah tinggal di Kampung
STUDI KELAYAKAN PEMBANGUNAN RUMAH SUSUN
SEDERHANA (RUSUNA) KAMPUNG AUR MEDAN
DWIRA NIRFALINI AULIA, ACHMAD
DELIANUR NASUTION, R. LISA SURYANI
5
Aur. Perlu dilakukan penyuluhan dan
pembangunan MCK Umum untuk merubah
prilaku penghuni.
Temuan kajian pada Kampung Aur
menghasilkan bahwa sebanyak 89% penghuni
menolak untuk dibangun rumah susun di
kawasan studi. Alasan ketidak setujuan itu
adalah karena sudah terlanjur nyaman tinggal di
rumah yang sekarang. Bila dihubungkan dengan
kepuasan penghuni tinggal di kawasan studi,
ternyata sebanyak 69.8% penghuni cukup puas
tinggal di Kampung Aur. Mengikut standar
kenyamanan dan kesehatan hunian, kondisi
rumah di Kampung Aur seharusnya sudah tidak
nyaman dan selamat lagi untuk dihuni.
Ditambah dengan kondisi banjir musiman yang
selalu datang secara berkala. Tetapi karena
penghuni sudah bertahun-tahun tinggal di
kawasan studi, sehingga mereka sudah
beradaptasi dengan ketidak nyamanan tersebut.
Mayoratas penghuni menjawab cukup
memuaskan untuk sarana lingkungan seperti
listrik, air bersih, sanitasi dan pembuangan
sampah , meskipun permasalahan pada masing-
masing sarana utilitas juga ada.
Alasan penghuni menolak tinggal dirumah
susun, karena susah naik turun (6.1%) dan
merasa sudah nyaman tinggal di rumah
horizontal (4.7%). Kebiasaan bertempat tinggal
pada bangunan hunian horizontal, menyebabkan
penghuni keberatan bila harus tinggal pada
bangunan hunian vertikal (Uguy, 1996).
Lamanya menghuni merupakan aspek yang
menyebabkan warga enggan melakukan
perubahan pada lingkungan tempat tinggalnya.
Sebanyak 88.2% responden sudah tinggal di
Kampung Aur selama > 20 tahun. Dan warga
tinggal disana secara turun temurun (97.5%).
Kondisi ini menyebabkan keterikatan yang erat
warga terhadap lingkungan rumah tinggalnya.
Sementara alasan lokasi Kampung Aur yang
berada di pusat kota hanya 36.6% responden
yang menjawabnya. Dibutuhkan pendekatan dan
sosialisasi yang aktif dari pemerintah kota
apabila akan meremajakan kawasan ini. Karena
keterikatan masyarakat Kampung Aur bukan
terhadap lokasi kawasan ini tetapi terhadap
suasana dan kondisi lingkungan hunian yang
sudah dihuni berpuluh tahun.
3) Kajian Aspek Ekonomi
Kajian aspek ekonomi dilakukan dengan
pendekatan analisis dari sisi supply dan demand.
Melalui pendekatan analisis dari sisi supply
dilihat besarnya harga sewa atau sewa-beli yang
diperoleh melalui biaya produksi, operasional
dan pemeliharaan rumah susun sederhana.
Adapun dari sisi demand dilihat kemampuan
masyarakat melalui tingkat pendapatannya
untuk dapat tinggal di rumah susun berdasarkan
harga sewa atau sewa-beli yang ditetapkan saat
ini maupun hasil perhitungan melalui biaya
produksi, operasional dan pemeliharaan tersebut
(Santoso, 2008).
Perhitungan biaya tinggal yang harus
ditanggung oleh penghuni di rumah susun
dilakukan berdasarkan Peraturan Menteri
Negara Perumahan Rakyat (No. 18, 2007). Pada
dasarnya biaya tinggal terdiri dari biaya sewa
atau sewa beli beserta surcharge. Besarnya
harga sewa maupun sewa beli di rumah susun
sederhana bagi masyarakat berpendapatan
rendah dipengaruhi oleh besarnya biaya
produksi pada tahap pembangunannya.
Disamping biaya produksi terdapat juga biaya
operasional dan pemeliharaan (operation and
maintenance cost) yang turut mempengaruhi
besarnya biaya surcharge di rumah susun
sederhana.
Dalam studi ini pendekatan metode yang
digunakan dalam memperoleh informasi
mengenai kemampuan masyarakat dalam
membayar harga sewa maupun angsuran harga
sewa beli didasarkan pada parameter pendapatan
yang digunakan bank pada umumnya dalam
menilai kelompok masyarakat yang layak
memperoleh kredit Kepemilikan rumah (Permen
Perumahan Rakyat No. 7, 2007). Parameter
pendapatan keluarga yang dikatakan mampu
membayar sewa rumah (ataupun angsuran sewa-
beli) jika persentase pengeluaran untuk rumah
ditambah utilitas dasar, pajak dan pembayaran
asuransi adalah 20% sampai dengan 30% dari
total pendapatan. Berdasarkan hasil analisi,
rata-rata pengeluaran sebulan keluarga di
Kampung Aur adalah sebesar Rp. 2.142.662,-.
Jurnal Arsitektur dan Perkotaan “KORIDOR” vol. 02 no. 01, JAN 2011 : 1-7
6
Komposisi pengeluaran penghuni Kampung
Aur:
NO KOMPONEN PERSENTASE
1 RUMAH 0.58
2 MAKANAN 33.69
3 PAKAIAN 0.27
4 PENDIDIKAN 9.73
5 TRANSPORTASI 7.95
6 LISTRIK/AIR 5.29
7 TABUNGAN 2.04
8 LAIN-LAIN 37.59
Berdasarkan indikator diatas, maka dapat
dianalisis bahwa penghuni Kampung Aur
mampu untuk menyewa rumah susun karena
persentase pengeluaran untuk rumah + utilitas
dasar + asuransi = 0.58% + 5.29% + 2.04% <
20%. Sehingga disarankan untuk peremajaan
rumah susun di kawasan ini adalah bentuk
rusunawa. Tetapi karena jumlah penghuni
Kampung Aur yang memiliki rumah rata-rata
50% dari populasi Kampung Aur maka yang
tepat bentuk peremajaan Kampung Aur adalah
kombinasi Rusunawa dan Rusunami.
KESIMPULAN
Secara umum hasil dari studi kelayakan yang
dilakukan adalah adanya ketidak sesuaian antar
keinginan penghuni Kampung Aur dengan
rencana peremajaan kawasan kota yang akan
dilakukan oleh pemerintah kota. Mayoritas
penghuni (90%) tidak setuju apabila kawasan
permukiman mereka diremajakan. Ketidak
sesuaian ini perlu dilakukan penyelesaiannya
dengan melakukan rembug warga dan sosialisasi
rencana. Musyawarah ini diharapkan dapat
menghasilkan jalan keluar yang optimal
sehingga rencana peremajaan kawasan dapat
dilaksanakan. Musyawarah ini perlu dilakukan
karena semua responden yang menjawab tidak
setuju, tidak menyebutkan alasan ketidak
setujuan tersebut sehingga perlu ditelusuri
kembali permasalahannya.
Secara ekonomi, perbedaan yang signifikan
antara tinggal dirumah horizontal (informal)
dengan rumah vertikal (formal) yaitu pada pola
pengeluaran yang lebih besar dan tetap untuk
komponen rumah hal ini disebabkan oleh: (1).
Cara memiliki atau menguasai seperti menyewa
atau membeli. Salah satu karakteristik
penguasaan rumah oleh kelompok masyarakat
miskin adalah dengan cara menyewa. (2).
Standar rumah susun itu sendiri seperti listrik,
air dan maintenance cost dari pengelola akibat
dari standard rumah formal yang ditetapkan.
Akan tetapi perubahan ini akan diikuti dengan
peningkatan kesejahteraan masyarakat sehingga
peningkatan pengeluaran akan mampu
ditanggung oleh penghuni. Ketidak berhasilan
peremajaan kawasan dapat terjadi apabila
penghuni tidak dapat beradaptasi dengan
lingkungan hunian formal yang baru sehingga
tujuan dari peremajaan kawasan tersebut
menjadi tidak tepat sasaran.
DAFTAR PUSTAKA
Daldjoeni, N (1997), Seluk Beluk Masyarakat
kota, Pusparagam Sosiologi Kota dan
Ekologi sosial, Penerbit Alumni,
Bandung.
Jauzie, Mohammad Qoyyim (2005), Studi
Kelayakan Finansial Rumah Susun
Sederhana Sewa II Universitas
Muhammadiyah Malang, Departemen
Teknik Sipil Universitas Muhammadiyah
Malang, http://student-
research.umm.ac.id/research/download/u
mm_student_research_abstract_3651.pdf.
Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat
N0. 07/PERMEN/M/2007 tentang
Pengadaan Perumahan dan Permukiman
dengan dukungan fasilitas Subsidi
Perumahan melalui KPR Sarusun
Bersubsidi.
Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat
N0. 18/PERMEN/M/2007 tentang
Petunjuk Pelaksanaan Perhitungan Tarif
Sewa Rumah Susun Sederhana yang
dibiayai APBN dan APBD.
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.
05/PRT/M/2007 tentang Pedoman Teknis
Pembangunan Rumah Susun Sederhana
Bertingkat Tinggi.
Peraturan Pemerintah No. 4 tahun 1988 tentang
Rumah Susun
STUDI KELAYAKAN PEMBANGUNAN RUMAH SUSUN
SEDERHANA (RUSUNA) KAMPUNG AUR MEDAN
DWIRA NIRFALINI AULIA, ACHMAD
DELIANUR NASUTION, R. LISA SURYANI
7
Prabawasari, Veronika Widi (2002) Konsep
Land Sharting untuk pembangunan
permukiman kumuh kawasan pusat kota,
Jurnal Desain & Konstruksi, Vol 1, No. 2
hal 33 – 41.
Rahayu Murtanti Jani & Rutiana (2007) Strategi
Perencanaan pembangunan permukiman
kumuh, Kasus permukiman bantaran
Sungai Bengawan Solo, Kelurahan
Pucangsawit, Surakarta, Gema Teknik,
No.1 tahun X, hal 89 – 96.
Santoso, Soly Imam (2008) , Perhitungan harga
sewa dan sewa-beli rumah susun
sederhana serta daya beli masyarakat
berpendapatan rendah di DKI Jakarta,
http://kk.pl.itb.ac.id/ppk.
Uguy, Mediana J H (1996), Perilaku Spasial
penghuni dalam Lingkungan Perumahan
Massal, Program Pasca Sarjana Program
Studi Ilmu Lingkungan Universitas
Indonesia.
UU RI No. 16 tahun 1985 tentang Rumah Susun
Jurnal Arsitektur dan Perkotaan “KORIDOR” vol. 02 no. 01, JAN 2011 : 8-18
8
ADAPTIVE REUSE DALAM KONTEKS REVITALISASI KAWASAN:
MENGEMBALIKAN KEHIDUPAN PERKOTAAN DI KOTA TUA
JAKARTA
Hajar Suwantoro
Departemen Arsitektur
Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara
Email: [email protected]
Abstract. Jakarta Old Town area reserve an invaluable historical value, but the buildings of high historical
value built between the 17th century and 18 left neglected and ignored, thus adding to the slum impression and
unorganized. Conservation is one attempt to take advantage of the physical legacy of the past culture of high
historical value, and will only run well if the use of buildings can be optimized. Adaptive reuse is known as one
of the modifications in development and has performed well in many Asian countries such as China and
Singapore. Through a comparative study in the Tanjong Pagar area can be seen that the approach to
conservation by adaptive reuse of this historic area has given good results. Approach to revitalization in the
region carried out by using the existing physical to accommodate new functions and mixing with other functions
as appropriate. Through this approach there growth and socio-economic values in the area without reducing
the value of historical, educational, aesthetic, increasing the number of visitors to the area, and restoring the
area's identity as a high historical value. Refers to these conditions, adaptive reuse study of the revitalization of
Old Jakarta Kota area aims to reveal the principles of adaptive reuse that can provide profits and sustainable
benefits for the community, economic, cultural, and physical needs within the scope of an historic area. This
study will also indicate the opportunity to improve and restore the life and identity of the Old City area of
Jakarta which had lost and neglected.
Keywords: Adaptive reuse, conservation, revitalization area,mixed-use development, Jakarta Old Town
PENDAHULUAN
Pada masa lalu, Jakarta Kota (Oud Batavia)
adalah ibukota Batavia dan merupakan pusat
penting kegiatan ekonomi dan politik
Pemerintah Hindia Belanda. Berdasarkan buku
harian seorang prajurit tua Gedenkschrijften van
een oud koloniaal, Clockener Brousson
mengungkapkan bahwa Kota Tua Jakarta pernah
mengalami masa kejayaan pada pertengahan
abad ke-17, sehingga sempat mendapat julukan
sebagai Queen of the East (Sejarah Kota Tua,
Dinas Kebudayaan & Permuseuman Provinsi
DKI Jakarta, 2007).
Kondisi kawasan Kota Tua Jakarta saat ini
sangat memprihatinkan. Berbagai permasalahan
yang timbul di dalamnya antara lain kemacetan,
polusi udara, polusi air dan sampah. Begitu juga
kondisi infrastruktur dan utilitas yang buruk,
ditandai dengan minimnya sarana pedestrian,
masalah perparkiran, hingga menurunnya
kualitas lingkungan. Jika ditinjau dari aspek
kelembagaan, koordinasi antar dinas pada
pemerintah kota (yang terkait dengan kebijakan
dan program dalam penanganan kawasan Kota
Tua Jakarta) terlihat masih lemah. Selain itu,
banyak karya arsitektur dengan nilai sejarah
tinggi yang rusak, terbengkalai ataupun hancur.
Secara geografis, kawasan Kota Tua Jakarta
memiliki posisi yang sangat strategis. Pada
masanya, kawasan ini merupakan pintu gerbang
utama untuk memasuki Jakarta melalui
Kawasan Pelabuhan Sunda Kelapa. Saat ini,
dengan kemudahan akses darat yang cukup baik,
ADAPTIVE REUSE DALAM KONTEKS REVITALISASI KAWASAN:
MENGEMBALIKAN KEHIDUPAN PERKOTAAN DI KOTA TUA
JAKARTA
HAJAR SUWANTORO
9
terlebih setelah dilalui jalur bus Transjakarta
(busway), kawasan ini tetap memiliki posisi
penting, salah satunya sebagai kawasan
perdagangan. Kawasan Kota Tua Jakarta
dikelilingi oleh pusat-pusat bisnis seperti
Glodok, Mangga Dua, dan Tanah Abang, yang
cukup berpengaruh terhadap perkembangan
kawasan sekitarnya. Bahkan, pada kurun waktu
1965-1985, kawasan Kota Tua Jakarta termasuk
sebagai salah satu kawasan bisnis utama
(central business district) di Jakarta. Hal ini
masih dapat dilihat dari banyaknya gedung-
gedung bekas perkantoran, bank, kantor asuransi
dan kantor perdagangan yang tersebar di
sepanjang Jalan Kali Besar dan di sekitar
kawasan Museum Fatahillah.
Kawasan Kota Tua Jakarta menyisakan jejak
struktur kota era kolonial serta arsitektur
bersejarah dengan nilai sejarah tinggi, sekaligus
mewariskan cerminan kisah sejarah, tata cara
hidup, dan budaya masyarakat Jakarta di masa
lalu. Pendekatan pelestarian dengan adaptive
reuse yang telah dilakukan di Kota Tua Jakarta
(Museum Fatahillah, Museum Seni Rupa dan
Keramik, Museum Wayang, Café Batavia, dll)
berusaha untuk menghidupkan kembali fungsi
dan aktivitas ekonomi di kawasan ini. Secara
fisik, usaha tersebut telah memperlihatkan
penampilan yang lebih baik serta mampu
memperbaharui fungsi bangunan dengan
kegiatan perkantoran, restoran dan kegiatan
pameran. Namun jika dilihat dari sisi lain, usaha
ini belum mampu menghidupkan kembali
suasana dan kehidupan perkotaan seperti
layaknya sebuah kawasan bisnis, hunian,
perkantoran, dan perdagangan dengan segala
aktivitasnya yang dinamis.
Pendekatan pelestarian dengan adaptive reuse
harus dilakukan pada lingkup yang lebih luas,
tidak hanya melibatkan satu atau beberapa
bangunan saja, melainkan harus melibatkan
sebuah kawasan sebagai satu sistem dengan
berbagai fasilitas dan fungsi yang saling
melengkapi. Suatu kawasan harus dapat
mengakomodasi berbagai kebutuhan warganya,
misalnya dengan menyediakan ruang untuk
fungsi dan fasilitas dengan berbagai pilihan
sesuai keperluan. Agar mudah diakses, maka
diusahakan agar semua fungsi dan fasilitas
tersebut dapat saling berdekatan, terintegrasi,
dan memiliki sarana pedestrian yang baik.
Konsep seperti ini sangat sesuai dengan prinsip-
prinsip pembangunan fungsi campuran (mixed-
use development).
Revitalisasi kawasan, khususnya dalam konteks
sebuah kawasan campuran yang bernilai sejarah
tinggi, selain memperhatikan prinsip-prinsip
adaptive reuse, juga sangat penting untuk
memperhatikan prinsip-prinsip pembangunan
fungsi campuran (mixed-use development)
dalam lingkup kawasan. Kota Tua Jakarta
memiliki banyak bangunan bersejarah dengan
berbagai tipologi. Beberapa bangunan
diantaranya dalam kondisi cukup baik, dan
masih dapat dimanfaatkan dengan berbagai
fungsi yang sesuai dengan tipologinya. Untuk
itu, akan lebih tepat jika pendekatan pelestarian
kawasan ini dilakukan dengan memperhatikan
prinsip-prinsip adaptive reuse berbasis kawasan.
Dengan memanfaatkan bangunan lama,
percampuran fungsi-fungsi baru yang saling
mendukung dan melengkapi dapat dikelola demi
menciptakan sebuah lingkungan untuk berbagai
aktivitas dan interaksi warganya. Jika hal ini
dapat dilaksanakan, suasana dan kehidupan
perkotaan pada kawasan Kota Tua Jakarta dapat
dihidupkan kembali.
ADAPTIVE REUSE
Adaptive reuse adalah usaha untuk memberikan
fungsi baru pada sebuah bangunan dimana
fungsi lamanya sudah tidak lagi produktif.
Konsep ini seringkali digambarkan sebagai
proses yang secara struktural, bangunan dengan
fungsi lama dikembangkan untuk dapat
mewadahi fungsi baru yang dapat meningkatkan
nilai ekonomi (Austin, 1988). Adaptive reuse
bukan sekedar mengembalikan tampilan fisik
dan signifikansi elemen-elemen arsitektur
semata, melainkan berusaha menghormati dan
menghargai sejarah, arsitektur serta struktur
bangunan lama dengan memasukkan fungsi baru
yang lebih tepat dan bermanfaat.
Proses recycling pada bangunan telah menjadi
alat revitalisasi yang penting dan efektif.
Pendekatan ini dikembangkan sebagai salah satu
metoda untuk melindungi bangunan-bangunan
yang signifikan dan bernilai sejarah tinggi dari
penghancuran. The Urban Land Institute (ULI)
mendefinisikan rehabilitasi sebagai sebuah
Jurnal Arsitektur dan Perkotaan “KORIDOR” vol. 02 no. 01, JAN 2011 : 8-18
10
variasi perbaikan atau perubahan terhadap
bangunan eksisting yang memungkinkan
bangunan tersebut dapat mengakomodasi
fungsi-fungsi baru yang lebih kontemporer/masa
kini dengan tetap mempertahankan fitur-fitur
masa lalu. Adaptive reuse sendiri merupakan
salah satu komponen penting dalam proses
rehabilitasi tersebut (Bookout, 1990).
Dalam pelaksanaannya, adaptive reuse sering
menghadapi kendala yang berbeda, tergantung
persepsi para pemegang kepentingan dalam
pembangunan dan kondisi kawasan. Beberapa
kendala yang dihadapi dalam proses adaptive
reuse antara lain, adanya konsep bahwa sesuatu
yang baru dianggap lebih baik. Para perencana
yang tidak tanggap sering menilai bahwa
bangunan-bangunan tua adalah penghalang bagi
kemajuan ekonomi, yang diperlihatkan melalui
banyaknya kawasan dengan bangunan-bangunan
tua yang dibiarkan terabaikan. Bangunan-
bangunan tersebut dianggap ketinggalan zaman,
dan tidak dapat memenuhi tuntutan fungsi masa
kini. Beberapa kota bahkan menghancurkan
kawasan-kawasan bernilai sejarah demi sebuah
pembangunan baru dengan dalih menciptakan
identitas baru pada kawasan, padahal justru
mengorbankan identitas masa lalu yang
sebenarnya sudah ada dan telah mengakar.
Konsep adaptive reuse memiliki manfaat
ekonomi dan manfaat sosial. Manfaat ekonomi
tersebut diantaranya biaya konstruksi yang
relatif lebih rendah, biaya akuisisi lahan yang
ringan, dan waktu konstruksi yang lebih singkat,
tergantung lingkup pekerjaannya. Pendekatan
ini juga menjadi salah satu faktor yang dapat
mendorong proses pengembangan kawasan
karena lebih ekonomis jika membeli lahan yang
sudah termasuk bangunan, dibandingkan
membeli lahan kosong dan membuat bangunan
baru. Keuntungan ekonomi lain dari adaptive
reuse adalah dapat mendukung strategi
konservasi energi dan penghematan sumber
daya, sedangkan manfaat sosial dari adaptive
reuse antara lain dapat menjembatani hubungan
antara masa lalu dan masa sekarang melalui
revitalisasi lingkungan. Lebih bijak jika
melakukan pendekatan revitalisasi yang
mengedepankan sense of place dari kawasan
sekitarnya daripada memindahkan permasalahan
pada suatu kawasan dengan menghancurkan
struktur sosial yang telah ada. Hal ini dapat
tercapai jika pendekatan pelestarian dengan
adaptive reuse dilaksanakan bukan hanya pada
satu atau beberapa bangunan saja, melainkan
harus melibatkan sebuah kawasan sebagai satu
sistem yang saling terkait, saling terhubung dan
saling mempengaruhi.
REVITALISASI BERBASIS KAWASAN
Dalam lingkup sebuah kawasan perkotaan,
revitalisasi harus melibatkan dua komponen
pembaharuan, yaitu pembaharuan fungsi fisik
dan pembaharuan fungsi ekonomi. Kedua
komponen akan bersifat saling melengkapi,
misalnya revitalisasi fisik sebagai strategi
jangka pendek, sedangkan revitalisasi ekonomi
sebagai strategi jangka panjang. Dalam waktu
relatif singkat, revitalisasi fisik dapat
memberikan wajah yang lebih atraktif, kemasan
yang lebih menarik, dan dapat membuat orang
untuk datang. Sedangkan untuk jangka panjang,
revitalisasi ekonomi diperlukan karena cara ini
merupakan salah satu usaha yang cukup
produktif dalam mengelola aset private sehingga
dapat menyediakan subsidi bagi pengelolaan
aset publik.
Steven Tiesdell dkk. (1996) menyatakan bahwa,
nilai ekonomi sebuah kawasan harus dapat
diciptakan dalam dua skala : pertama dalam
tingkatan bangunan tunggal (individual
building), kedua dalam tingkatan bangunan
secara kolektif (collective buildings) pada satu
kawasan. Rehabilitasi atau konversi bangunan
secara individu tidak akan memberikan
perbedaan yang signifikan terhadap
pertambahan nilai ekonomi sebuah kawasan.
Bangunan-bangunan adalah aset yang saling
terhubung antara satu dengan yang lain.
Kualitas, kondisi, perawatan dan pengelolaan
dari properti di lingkungan sekitarnya memiliki
efek langsung terhadap nilai bangunan. Nilai
dari sebuah real estate muncul dari investasi
yang telah dibuat oleh orang lain, misalnya
pembayar pajak, pemilik properti, pekerja, dll.
Jika ditiadakan jalur pedestrian, jalan, drainase,
pengolahan air bersih, perlindungan keamanan,
pekerjaan, dan orang-orang yang berkunjung,
bagaimana nilai sebuah bangunan? Secara
virtual, nilainya adalah nol (Rypkema, 1992
dalam Tiesdell dkk., 1996).
ADAPTIVE REUSE DALAM KONTEKS REVITALISASI KAWASAN:
MENGEMBALIKAN KEHIDUPAN PERKOTAAN DI KOTA TUA
JAKARTA
HAJAR SUWANTORO
11
Gbr. 1: Berbagai konfigurasi penerapan mixed-
use untuk berbagai fungsi dan fasilitas kota.
Sumber: Urban Design Compendium, 2000.
Faktor-faktor tersebut memicu kebutuhan akan
pendekatan revitalisasi yang lebih komprehensif
dan berbasis pada kawasan (area-based
revitalization). Saat ini, banyak sekali strategi
revitalisasi berbasis kawasan yang secara umum
menggunakan pendekatan berdasarkan
pengembangan properti. Meskipun strategi
pengembangan properti sangat diperlukan, tapi
sepertinya hal ini belum cukup sebagai sebuah
bentuk usaha revitalisasi. Selain pengembangan
properti, perlu juga dikaji infrastruktur dan
pengembangan ekonomi pada kawasan,
mendorong pertumbuhan potensi lokal (daya
saing investasi, pekerjaan, dll.), serta
memaksimalkan pemanfaatan potensi heritage.
Untuk menarik investasi dalam kawasan
tertentu, misalnya kawasan bersejarah, harus ada
sebuah pertimbangan rasional untuk
mengembangkan fungsi-fungsi komersial.
Fungsi-fungsi seperti ini diharapkan dapat
memicu aktivitas ekonomi sehingga kehidupan
perkotaan pada suatu kawasan dapat berjalan
dengan dinamis.
PEMBANGUNAN FUNGSI CAMPURAN
(MIXED-USE DEVELOPMENT)
Konsep pembangunan fungsi campuran (mixed-
use development) telah berkembang secara luas,
bahkan sebelum berkembangnya konsep zoning
modern yang mengatur kebijakan tata guna
lahan dalam sebuah kawasan. Konsep ini
bertujuan untuk memberi kenyamanan dan
keamananan bagi warga dengan mendekatkan
fungsi hunian dengan fungsi lain seperti
perkantoran, jasa dan komersial. Pada awal abad
ke-20, kota-kota di Amerika telah menerapkan
konsep mixed-use dengan mencampur fungsi
komersial dan hunian, terutama pada kawasan
transit atau pusat pemberhentian kenderaan dan
pada daerah persimpangan jalan (DCAUL,
2003). Menurut Urban Landscape Institute, ULI
(1976), yang di maksud dengan mixed-use
development adalah:
1. Mengakomodasi tiga atau lebih fungsi yang
dapat menghasilkan pendapatan/produk.
2. Menempatkan fungsi-fungsi signifikan dan
integrasi fisik dari komponen-
komponennya.
3. Menyelaraskan pembangunan dengan
rencana kota yang konsisten.
Sejak tahun 1910 sampai 1950-an,
konsep mixed-use sudah jarang digunakan pada
pengembangan kawasan baru, digantikan
dengan konsep zoning yang menerapkan tata
guna lahan sesuai dengan fungsi-fungsinya.
Konsep ini memisahkan fungsi hunian,
komersial, perkantoran, dan sekolah. Pada tahun
1960 sampai 1970-an, konsep mixed-use
kembali populer dan menjadi alat revitalisasi
kawasan urban, menyusul kelemahan konsep
zoning yang tidak dapat memecahkan masalah
kepadatan yang semakin tinggi, terutama di
daerah perkotaan. Pada akhir abad ke-20, sekitar
tahun 1990 sampai 2000-an, mixed-use
development telah berkembang kembali sebagai
salah satu komponen penting dalam konsep
pembangunan yang sedang tren saat ini,
misalnya Transit Oriented Development (TOD),
Traditional Neighborhood Development (TND),
Jurnal Arsitektur dan Perkotaan “KORIDOR” vol. 02 no. 01, JAN 2011 : 8-18
12
Gbr. 2: Bentuk pembangunan fisik dan fungsi baru
di kawasan Tanjong Pagar
Sumber : www.ura.gov.sg, 2008
Livable communities, dan prinsip-prinsip Smart
Growth.
Dalam perkembangannya, mixed-use
development banyak dilakukan pada
pembangunan kawasan baru ataupun revitalisasi
kawasan. Secara umum mixed-use development
dapat dilakukan dalam tiga pendekatan (Grant,
2002), yaitu :
1. Menambah dan memperkuat intensitas
penggunanaan lahan (land intensity)
2. Menambah dan memperkuat keragaman
penggunaan lahan (land diversity)
3. Mengintegrasikan kembali penggunaan
lahan yang tersegregasi (land integrity)
Pembangunan kawasan dengan konsep mixed-
use pada beberapa kota di negara maju telah
berhasil memberikan kontribusi yang penting
dalam konteks perancangan perkotaan.
Beberapa keuntungan dari konsep pembangunan
mixed-use (Llewelyn-Davies, 2000) yaitu,
menciptakan akses yang nyaman ke berbagai
fasilitas; meminimalkan kemacetan dalam
perjalanan ke tempat bekerja; memberi
kesempatan yang lebih besar untuk berinteraksi
sosial; mendorong kehadiran komunitas sosial
yang beragam; adanya stimulasi visual dari
perbedaan bangunan dalam jarak dekat;
meningkatkan keamanan dan kenyaman bagi
pejalan; mendorong efisiensi energi,
penggunaan ruang dan bangunan;
mengakomodasi pilihan yang lebih beragam,
baik lokasi atau jenis bangunan; meningkatkan
vitalitas dan kehidupan kota atau kawasan pada
skala pedestrian; dan memperpanjang aktivitas
pada fasilitas-fasilitas kota dan fungsi-fungsi
pendukungnya.
Konsep mixed-use berhubungan dengan
kedekatan jarak, maka keberhasilannya sangat
dipengaruhi oleh jarak untuk berjalan ke
fasilitas-fasilitas yang sering digunakan.
Penempatan pusat aktivitas dapat diterapkan
pada persimpangan jalan dan sepanjang sirkulasi
pergerakan utama. Dengan memasukkan fungsi
hunian ke dalam fungsi lain secara mixed-use
akan dapat memperpanjang aktivitas
perkantoran dan komersial. Dalam skala besar
(macro land use), pembangunan mixed-use
berorientasi kepada penataan blok-blok
bangunan yang berbeda fungsi dalam satu
kawasan secara horizontal, misalnya
penempatan shopping mall yang berdekatan
dengan kantor, hunian dengan kantor,
convention center dan lain-lain.
Pembangunan mixed-use tidak hanya membahas
pencampuran fungsi secara horizontal, tapi juga
secara vertikal, dengan berbagai konfigurasi
fungsi dalam lingkup yang lebih kecil (micro
land use). Gambar 1 memperlihatkan bahwa
fungsi hunian atau perkantoran dapat diletakkan
di atas fungsi pertokoan, restoran atau fungsi
hiburan. Pengaturan seperti ini dapat
menciptakan suasana kehidupan perkotaan,
misalnya bila lantai dasar digunakan sebagai
retail dan komersial, maka fasade retail dan
komersial yang transparan serta pedestrian yang
aktif dapat menciptakan koridor yang menarik
secara visual, sekaligus memperkuat aktivitas
pada skala pedestrian.
STUDI BANDING KASUS: TANJONG
PAGAR, SINGAPURA
Kawasan ini termasuk dalam bagian dari
kawasan chinatown di Kota Singapura yang
ditetapkan sebagai kawasan konservasi oleh
pemerintah Singapura pada tanggal 7 Juli 1989.
Awalnya Tanjong Pagar merupakan kawasan
pemukiman dan komersial yang dihuni ratusan
penduduk berkebangsaan Cina dan India.
Sebagian besar diantaranya berprofesi sebagai
pekerja galangan kapal serta kaum buruh di
sekitar dermaga pelabuhan kapal laut. Seiring
dengan perkembangannya, kawasan tersebut
semakin ramai ditempati oleh para pendatang,
misalnya saudagar berkebangsaan Arab, yang
sebagian besar berprofesi sebagai pedagang.
Akibatnya, mulai timbul berbagai persoalan
sosial dan pencemaran lingkungan. Hingga
akhir abad ke-19, kawasan Tanjong Pagar terus
berkembang, meskipun terlanjur dikenal sebagai
kawasan yang marak akan kegiatan peredaran
opium dan prostitusi.
ADAPTIVE REUSE DALAM KONTEKS REVITALISASI KAWASAN:
MENGEMBALIKAN KEHIDUPAN PERKOTAAN DI KOTA TUA
JAKARTA
HAJAR SUWANTORO
13
Gbr. 3: Karakteristik bangunan shophouses di
kawasan Tanjong Pagar, Singapura
Sumber : www.flickr.com, 2008
Kondisi tersebut mendorong pihak pemerintah
Singapura untuk segera menetapkan kawasan ini
sebagai kawasan yang dikonservasi pada akhir
tahun 1980-an, dan memasukkannya ke dalam
Singapore’s Goverment Conservation Plan.
Setelah proyek konservasi kawasan ini rampung
diselesaikan pada pertengahan tahun 1990-an,
banyak bangunan-bangunan rumah toko
(shophouses) yang telah dikembalikan ke
kondisi fisik semula.
Hampir 200 unit shophouses telah selesai
direnovasi untuk mendukung konsep adaptive
reuse berdasarkan upaya revitalisasi yang akan
diterapkan di kawasan tersebut. Saat ini Tanjong
Pagar telah berkembang menjadi salah satu
’fashionable district’ di Kota Singapura, yang
hidup selama 24 jam, diisi oleh berbagai fungsi
dan kegiatan dari art and craft, bisnis, bar, cafe,
dan restoran. Hasilnya, kini kawasan tersebut
menjadi salah satu kawasan di Kota Singapura
yang kaya akan keragaman visual dari segi
arsitektur. Kompleks bangunan bernilai sejarah
tinggi yang dikombinasikan dengan masuknya
bangunan-bangunan pencakar langit baru
bergaya arsitektur modern, telah menciptakan
suatu pencampuran yang unik dan menarik.
Salah satu tujuan dilakukannya revitalisasi di
kawasan ini adalah untuk mendukung misi besar
dari pemerintah Singapura dalam menciptakan
kondisi kualitas fisik dan lingkungan kotanya
agar lebih baik dan nyaman untuk dihuni, dan
memperkuat posisi Singapura di era persaingan
pasar global saat ini. Proyek revitalisasi
kawasan Tanjong Pagar ini juga merupakan
salah satu bagian dari „Singapore Conservation
Programme’ yang diprakarsai oleh pemerintah
Singapura dan dikelola oleh Singapore Urban
Redevelopment Authority (URA). Prinsip dasar,
kebijakan dan ketentuan upaya revitalisasinya
juga mengacu kepada Conservation Master Plan
(1989) yang dikeluarkan oleh URA Singapura.
Beberapa langkah dan strategi yang diterapkan
URA diantaranya adalah:
a) Melakukan penataan ulang terhadap zoning
dan land-use kawasan
b) Mengembangkan konsep fashionable
district of singapore yang berada di
kawasan pusat kota (chinatown)
c) Menerapkan konsep adaptive reuse untuk
pelestarian bangunan-bangunan bersejarah
d) Melakukan in-fill development
Proses rekonstruksi dan restorasi bangunan-
bangunan yang telah hancur atau rusak di
kawasan ini tidak terlalu sulit dilakukan karena
kondisi fisik dari sebagian besar bangunan-
bangunan tua yang ada masih dalam keadaan
baik, dan masih dapat ditinggali. Penerapan
konsep adaptive reuse bahkan telah berhasil
merevitalisasi kembali way of life dari
masyarakat tradisional Cina pada kawasan ini,
yaitu untuk berdagang. Restorasi dalam konteks
intervensi fisik bangunan, bukanlah satu-satunya
aspek yang menjadi nilai penting dari
keberhasilan revitalisasi kawasan ini, tetapi
keberhasilan tersebut juga turut didukung oleh
adanya beberapa aspek lain, seperti penetapan
kebijakan land use kawasan, aksesibilitas,
perbaikan infrastruktur, dan karakteristik fungsi
penunjang perekonomian yang disuntikkan ke
dalam kawasan.
STUDI LAPANGAN : ZONA 2 (KAWASAN
FATAHILLAH) KOTA TUA JAKARTA
Kajian ini menitikberatkan studi lapangan pada
Zona 2 (kawasan Fatahillah), karena
berdasarkan kajian sejarah, sebagian besar dari
kawasan Sunda Kelapa dan Zona 2 (kawasan
Fatahillah) adalah cikal bakal Kota Tua, yaitu
kota yang pada masa kolonial berada di dalam
dinding benteng, yang ditinggali sebagian besar
oleh bangsa Belanda. Beberapa bagian kawasan
serta beberapa bangunan pada kawasan ini juga
telah mengalami perbaikan kualitas fisik dan
telah menerapkan usaha-usaha revitalisasi.
Jurnal Arsitektur dan Perkotaan “KORIDOR” vol. 02 no. 01, JAN 2011 : 8-18
14
Gbr. 4: Peta Kawasan Cagar Budaya Kota Tua dan
pembagian zona-zona yang ada di dalamnya.
Sumber : diolah dari Rencana Induk Kota Tua
Jakarta, Dinas Tata Kota DKI Jakarta, 2007.
Pada masa penjajahan Belanda sampai abad ke-
19, daerah ini merupakan bagian Selatan dari
kawasan di dalam dinding kota yang dibatasi
oleh Sungai Ciliwung di sisi Timur, Sungai
Krukut (Jelakeng) di sisi Barat, Jalan Jembatan
Batu dan Jalan Asemka di Sisi Selatan, serta
kawasan pasar ikan di sisi Utara. Di masa-masa
akhir kolonial Belanda, kawasan ini berperan
sebagai pusat bisnis (CBD) kota Batavia dengan
konsentrasi kegiatan perdagangan dan jasa di
sepanjang Sungai Kali Besar, dan pemerintahan
disekitar Taman Fatahillah. Jalan dan
sungai/kanal membentuk blok-blok berupa grid
kota dengan 2 (dua) taman/plaza yaitu Taman
Fatahillah yang menjadi pusat kegiatan publik
dan Taman Beos yang dikelilingi oleh kantor-
kantor besar dan stasiun kereta api. Di
sepanjang Kali Besar terdapat kantor perusahaan
dagang dan pelayaran. Blok-blok di belakang
Kali besar ditempati oleh hunian dan bangunan
pergudangan (Guidelines Kota Tua, Dinas
Kebudayaan & Permuseuman Provinsi DKI
Jakarta, 2007). Luas wilayah zona 2 (kawasan
Fatahillah) menurut Dinas Tata Kota adalah
sekitar 87 ha (lihat gambar 4). Pada kawasan
tersebut terdapat tipe bangunan yang berbeda-
beda, misalnya jika dilihat dari dimensinya,
maka dapat dibedakan atas 3 (tiga) tipe, yaitu:
Bangunan besar yang berdiri sendiri pada satu
blok kota atau lebih dari setengah blok kota,
bangunan di kavling pojok, dan bangunan-
bangunan deret yang membentuk satu blok kota.
Jika dibedakan menurut masyarakat dan
zamannya, dapat diidentifikasi 4 (empat)
tipologi langgam bangunan, yaitu: Bangunan
kolonial Eropa (colonial indische, neo-klasik
eropa, art deco, dan art nouveau), bangunan
masyarakat Cina (gaya cina selatan dan
campuran dengan gaya kolonial Eropa),
bangunan masyarakat pribumi, dan bangunan
modern Indonesia (international style).
Keunikan bangunan-bangunan ini jika dilihat
dari teori perancangan kota, beberapa
diantaranya telah menerapkan konsep perimeter
block dan build to line atau sempadan nol, yang
saat ini masih menjadi tren dalam konsep
perancangan kota.
Rencana revitalisasi pada zona 2 (kawasan
Fatahillah) diarahkan sebagai kawasan living
heritage, yaitu sebagai kawasan yang
diproyeksikan menjadi salah satu tempat
kegiatan utama skala kota bagi warga DKI
Jakarta dan sekitarnya untuk berekreasi,
berbudaya, bertinggal, dan bekerja dengan tetap
menjaga kelestarian sebagai kawasan cagar
budaya. Berdasarkan beberapa kriteria yang ada
di Peraturan Daerah No.5 tahun 1999, Zona 2
kawasan cagar budaya Kota Tua dibagi menjadi
3 (tiga) golongan yaitu:
1. Lingkungan Golongan I, di sekitar Taman
Fatahillah dan Jalan Cengkeh.
2. Lingkungan Golongan II, di sepanjang Kali
Besar, Jalan Pintu Besar Utara, dan
sekitar Taman Beos.
3. Lingkungan Golongan III, di luar Golongan I
dan II, area di sekitar Sungai Ciliwung
di sisi Timur dan area
sekitar Sungai Krukut (Jelateng) di sisi
Barat.
Seperti yang telah tercantum dalam Guidelines
Kota Tua (2007), peruntukan lahan pada zona 2
(kawasan Fatahillah) adalah sebagai berikut:
Taman Fatahillah sebagai ruang terbuka aktif di
titik pusat zona 2, diwujudkan melalui
peningkatan kegiatan publik, terutama dalam
skala kota yang bersifat tidak permanen, baik
yang terjadwal maupun insidentil. Jalan
Zona 2
(87ha)
Zona 2
(87ha)
ADAPTIVE REUSE DALAM KONTEKS REVITALISASI KAWASAN:
MENGEMBALIKAN KEHIDUPAN PERKOTAAN DI KOTA TUA
JAKARTA
HAJAR SUWANTORO
15
Gbr. 5: Skema peruntukan Mikro pada bangunan
Sumber: Guidelines Kota Tua, Dinas Kebudayaan
& Permuseuman Provinsi DKI Jakarta, 2007.
Cengkeh dikembalikan wujud fisiknya seperti
masa lalu dan diperuntukkan sebagai ruang kota
linier yang menghubungkan Taman Fatahillah
dengan area bekas Kastil Batavia. Jalan Pintu
Besar Utara dimanfaatkan sebagai shopping
street, dimana lantai dasar bangunan-bangunan
di sisi Baratnya terdiri atas toko/retail,
restoran/café, dan galeri. Taman Stasiun Beos
diperuntukkan sebagai taman terbuka dan
tempat pemberhentian busway. Ruang terbuka
di sepanjang sisi Kali Besar, diperuntukkan
sebagai ruang terbuka aktif dalam bentuk
restoran tepi air (waterfront restaurant row),
kaki lima tepi air (waterfront food stalls),
esplanade dan shopping street.
Peruntukan makro kawasan pada zona 2
(kawasan Fatahillah) adalah untuk kegiatan
campuran dan seni budaya. Kegiatan campuran
yang diperkenankan untuk lingkungan cagar
budaya golongan I dan II adalah hunian terbatas
seperti hotel maupun service apartment serta
komersial/jasa/retail yang bercampur dengan
fungsi budaya, sedangkan kegiatan campuran
yang diperkenankan untuk lingkungan cagar
budaya golongan III adalah hunian untuk
masyarakat golongan menengah ke atas yang
bercampur dengan fungsi komersial/kantor/jasa
dan pendidikan terbatas. Kegiatan-kegiatan
retail, jasa, komersial yang tidak diperbolehkan
di lingkungan cagar budaya golongan I dan II
adalah toko bahan bangunan dan pusat
kesehatan. Kegiatan kantor juga tidak
diperbolehkan, kecuali jika letaknya di lantai
atas. Rumah/panti jompo, supermarket, tidak
diperkenankan kecuali bila letaknya tidak
berada di bagian depan bangunan. Dilarang
mengadakan tempat hiburan yang bertentangan
dengan nilai-nilai susila, antara lain tempat
perjudian dan pelacuran. Kegiatan-kegiatan
yang menimbulkan polusi tidak diperbolehkan,
misalnya bengkel mobil, pompa bensin,
percetakan, segala jenis industri (kecuali
industri rumah berskala kecil), pergudangan dan
pengemasan barang (kecuali bila merupakan
bagian dari kegiatan utama yang diizinkan), juga
tempat ibadah (kecuali yang telah mendapatkan
izin).
Selain peruntukan secara makro pada kawasan,
dalam Guidelines Kota Tua (2007) juga telah
diatur peruntukan secara mikro pada bangunan,
yaitu antara lain : Pemanfaatan lantai dasar pada
lingkungan cagar budaya golongan I dan II
diutamakan untuk fungsi/kegiatan yang
berhubungan langsung dengan ruang publik,
antara lain : restoran, toko/retail, galeri, tempat
hiburan, lobby bangunan, entrance hall, dan
sejenisnya.
Pemanfaatan lantai atas di lingkungan cagar
budaya golongan I diperbolehkan untuk
kegiatan-kegiatan yang bersifat publik serta
dapat diakses oleh umum, seperti museum,
galeri, fasilitas pendidikan dan budaya,
perkantoran, hotel, dan hunian terbatas.
Pemanfaatan bagian belakang lantai dasar
bangunan di lingkungan cagar budaya golongan
I untuk kegiatan-kegiatan yang bersifat publik
serta dapat diakses oleh umum, seperti museum,
galeri, fasilitas pendidikan dan budaya,
perkantoran, hotel, dan hunian terbatas.
Pemanfaatan lantai atas di lingkungan cagar
budaya golongan II untuk kegiatan-kegiatan
yang bersifat semi-publik antara lain : museum,
galeri, fasilitas pendidikan dan budaya,
perkantoran, hotel, hunian terbatas, dan unit-unit
apartemen. Sedangkan pemanfaatan lantai atas
di lingkungan cagar budaya golongan III untuk
kegiatan-kegiatan yang bersifat semi-publik dan
privat, seperti hunian, perkantoran, dan
pendidikan.
Meskipun arahan perencanaan dan
pengembangan kawasan Kota Tua Jakarta
seperti yang terdapat dalam guidelines Kota Tua
(2007) telah terdeskripsi dan terkonsep dengan
sangat baik, namun berdasarkan pengamatan
lapangan, belum ada implementasi secara nyata.
Usaha pelestarian pada kawasan Kota Tua
Jakarta belum dapat dikatakan berhasil sesuai
dengan yang direncanakan.
Jurnal Arsitektur dan Perkotaan “KORIDOR” vol. 02 no. 01, JAN 2011 : 8-18
16
EVALUASI DAN DISKUSI
Cohen (1999) menyatakan bahwa sebuah
kawasan bersejarah yang terdiri dari bangunan-
bangunan, infrastruktur, ruang terbuka, dan
jalan-jalan yang merepresentasikan periode
berbeda-beda, menciptakan variasi budaya dan
lapisan-lapisan kehidupan pada skala urban.
Seiring berlalunya waktu, karakter urban
tersebut semakin berkurang dan tidak dapat
memberikan kualitas seperti pada masanya,
sedangkan kualitas tersebut juga tidak dapat
diberikan oleh kota-kota baru pada wilayah
urban ataupun sub-urban saat ini.
Gejala penurunan kualitas fisik dapat mudah
diamati pada kawasan Kota Tua Jakarta, karena
sebagai bagian dari perjalanan sejarah (pusat
kegiatan perekonomian dan sosial budaya),
kawasanan tersebut umumnya berada dalam
tekanan-tekanan pembangunan. Berkurangnya
kinerja bangunan atau tempat, terjadi ketika
timbul adanya ketidakcocokan atau
ketidaksesuaian antara kemampuan tempat atau
bangunan dengan kebutuhan-kebutuhan masa
kini.
Menurut Martokusumo (2006), dimensi
penurunan kinerja sebuah kawasan kota dapat
mencakup hal-hal sebagai berikut, yaitu:
struktur/fisik, fungsi, citra, aspek legal dan
institusi/kelembagaan, lokasi, serta
finansial/ekonomi. Pada kawasan Kota Tua
Jakarta, semua dimensi penurunan kinerja
kawasan seperti tersebut diatas dapat ditemukan.
Hal ini dapat dilihat dari kondisi bangunan-
bangunan tua yang terabaikan, perubahan fungsi
bangunan yang tidak semestinya, dan cenderung
mendorong aktivitas yang sangat merugikan
serta melemahkan identitas kawasan sebagai
sebuah kawasan bersejarah.
Suatu hal yang sudah lazim, bahwa properti
yang terabaikan memunculkan vandalisme, tuna
wisma, dan aktivitas merugikan lainnya,
sehingga menurunkan nilai jual properti, pajak,
dan menjauhkan investasi di dalam kawasan
(Steve Chambers dalam Star Ledger, 25 Januari
2004). Hal ini menyebabkan pemerintah
menghentikan layanan terhadap fasilitas publik
karena kawasan tersebut sedikit sekali
menghasilkan pajak, atau bahkan sama sekali
tidak ada.
Penurunan kualitas lingkungan pada kawasan
yang diabaikan dapat terjadi dalam kurun waktu
sangat singkat. Beberapa bangunan yang
diabaikan, dapat menjadi pemicu penyebaran
secara transisional pada sebuah lingkungan.
Penduduk lokal mulai merasa tidak nyaman,
sehingga pemilik properti dan developer juga
enggan berinvestasi. Siklus seperti ini terus
berlanjut pada setiap wilayah, sehingga pada
saat tertentu, kawasan tersebut menjadi sama
sekali kosong dan mulai ditinggalkan.
Fenomena ini disebut sebagai broken window
theory, yang dicetuskan oleh ahli kebijakan
publik, yaitu George L. Kelling dan James Q.
Wilson (1999). Mereka menyatakan bahwa “jika
sebuah jendela pada suatu bangunan telah rusak
dan dibiarkan tidak diperbaiki, maka semua
jendela pada bangunan itu akan ikut rusak”.
Properti yang dibiarkan tidak terawat dan
dibiarkan terabaikan dalam kondisi seperti itu,
mengindikasikan komunitas pada kawasan
tersebut telah kehilangan rasa kepedulian. Tidak
dapat dipungkiri, bahwa hal demikian telah
terjadi pada kawasan Kota Tua Jakarta.
Berbagai usaha revitalisasi telah dilakukan
pemerintah DKI Jakarta untuk memperbaiki
kondisi tersebut. Salah satunya adalah berusaha
memberi fungsi baru dengan memanfaatkan
struktur yang lama pada beberapa bangunan
yang dikelola oleh pemerintah, misalnya
Museum Fatahillah, Museum Seni Rupa dan
Keramik, dan Museum Wayang. Selain itu,
terdapat juga beberapa bangunan yang
menerapkan pendekatan yang sama, namun
dengan memberi fungsi yang lebih bersifat
komersial dan dikelola oleh swasta. Meskipun
secara fisik terlihat lebih baik dan mampu
mendatangkan orang-orang dengan berbagai
Gbr. 6: Kondisi interior salah satu bangunan terabaikan
di sebelah El Gato Bar, kawasan Kota Tua Jakarta.
Sumber : dokumentasi pribadi, April 2008.
ADAPTIVE REUSE DALAM KONTEKS REVITALISASI KAWASAN:
MENGEMBALIKAN KEHIDUPAN PERKOTAAN DI KOTA TUA
JAKARTA
HAJAR SUWANTORO
17
tujuan, mulai dari sekedar bersantai, jalan-jalan,
bermain, belajar menggambar, hingga tujuan
yang lebih komersial, misalnya pemotretan dan
pengambilan video untuk iklan (video clip).
Namun pada malam hari, ketika semua kegiatan
telah selesai, maka suasana menjadi sama sekali
berbeda. Tidak ada kehidupan perkotaan dengan
segala aktivitasya yang dinamis, hanya beberapa
kegiatan kecil yang bersifat temporer dan statis
pada lokasi tertentu.
Isu inilah yang seharusnya menjadi perhatian
utama pelestarian kawasan Kota Tua Jakarta.
Pada kawasan yang telah mulai ditinggalkan dan
diabaikan, penduduk tidak akan mau tinggal,
berinteraksi dan beraktivitas karena merasa
tidak mendapat jaminan keamanan, keselamatan
atau kenyamanan. Aktivitas ekonomi tidak
berkembang dengan baik karena pemilik modal
enggan berinvestasi. Pemerintah kesulitan
mengelola kawasan karena harus menanggung
beban biaya pemeliharaan infrastruktur yang
besar, sedangkan penerimaan pajak sangat kecil.
Pendekatan pelestarian melalui adaptive reuse
harus mempertimbangkan adanya keragaman
fungsi-fungsi, misalnya menyuntikkan fungsi
hunian pada fungsi perdagangan dan
perkantoran. Usaha ini dapat memperpanjang
rentang aktif kawasan dan menciptakan interaksi
warga yang dinamis, sehingga kehidupan
perkotaan di kawasan Kota Tua Jakarta dapat
kembali terwujud.
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Keberhasilan upaya revitalisasi yang dilakukan
pada sebuah kawasan bersejarah tidak hanya
ditentukan oleh adanya upaya dan strategi
perbaikan fisik kawasan dan bangunan-
bangunan bersejarahnya saja, tetapi lebih
ditentukan oleh adanya strategi penerapan
aktivitas ekonomi yang akan dikembangkan
pada kawasan tersebut, serta peran pihak
pemerintah sebagai pemegang kebijakan dalam
pembangunan kota. Hasil akhir dari upaya
revitalisasi yang dilakukan pada sebuah
kawasan bersejarah tidak hanya berupa
terlahirnya kembali identitas dan kondisi fisik
kawasan dan bangunan bersejarahnya saja,
tetapi lebih kepada terciptanya suatu kondisi
keberlanjutan dari keberadaan aspek sosial,
budaya, dan lingkungan dari kawasan tersebut.
Melalui hasil kajian literatur dan studi banding
kasus, didapat beberapa isu penting dalam
keberhasilan strategi revitalisasi dalam konteks
kawasan, khususnya melalui pendekatan
pelestarian dengan adaptive reuse diantaranya
yaitu:
1. Adaptive reuse bukan sekedar
mengembalikan tampilan fisik dan
signifikansi arsitektur semata, melainkan
berusaha menghormati dan menghargai
sejarah, arsitektur serta struktur bangunan
lama dengan cara memasukkan fungsi baru
yang lebih tepat dan bermanfaat.
2. Rehabilitasi atau konversi bangunan secara
individu tidak akan memberikan perbedaan
yang signifikan terhadap pertambahan nilai
ekonomi sebuah kawasan.
3. Peran pemerintah dan pengelola kawasan
Kota Tua Jakarta harus lebih inovatif dalam
menentukan kebijakan pengembangan, juga
peran pemilik properti/bangunan di dalam
kawasan yang lebih aktif untuk mengelola
asetnya.
4. Konsep adaptive reuse berhubungan erat
dengan aktivitas ekonomi, sehingga fungsi-
fungsi baru harus dapat mengakomodasi
kepentingan-kepentingan komersial untuk
mendapatkan keuntungan (profit), tanpa
meninggalkan kepentingan bagi publik
(benefit).
5. Penerapan adaptive-reuse pada bangunan-
bangunan eksisting dapat dilakukan dengan
pendekatan mixed-use, yaitu mencampur
fungsi hunian dengan fungsi-fungsi lain
misalnya komersial, perkantoran, dan jasa,
seperti yang telah dilakukan pada kawasan
Tanjong Pagar.
6. Arahan pengembangan kawasan yang
tertuang dalam Guidelines Kota Tua (2007)
telah mengakomodasi konsep mixed-use,
baik dalam skala makro maupun mikro,
sehingga ada kesempatan untuk
memperbaiki dan mengembalikan
kehidupan serta identitas kawasan Kota Tua
Jakarta dengan konsep ini. Namun,
diperlukan kerjasama aktif dari public
sector (pemerintah) untuk mendukung
pembangunan infrastruktur dan private
sector (swasta) untuk menggerakkan
aktivitas ekonomi.
Jurnal Arsitektur dan Perkotaan “KORIDOR” vol. 02 no. 01, JAN 2011 : 8-18
18
DAFTAR PUSTAKA
Austin, Ricard L. (1988). Adaptive Reuse :
Issues & Case Studies in Building
Preservation. New York: Van Nostrand
Reinhold.
Bookout, Lloyd W. Jr..(1990). Residential
Development Handbook. Second Edition.
Washington, D.C.: Urban Land Institute
Cohen, Nahoum. (1999). Urban Conservation.
Cambridge: MIT Press.
Dinas Kebudayaan & Permuseuman Provinsi
Daerah Khusus Ibukota Jakarta. (2007).
Sejarah Kota Tua, Jakarta: Jakarta Culture
& Heritage.
Dinas Kebudayaan & Permuseuman Provinsi
Daerah Khusus Ibukota Jakarta. (2007).
Guidelines Kota Tua, Jakarta: Jakarta
Culture & Heritage.
Grant, Jill. ( 2002). Mixed-use in Theory and
Practice. APA Journal. Vol. 68, No. 1, 71-
84.
Llewelyn-Davies. (2000). Urban Design
Compendium, London: English Partnership.
Martokusumo, Widjaja. (2006). Revitalisasi
dan Rancang Kota. Beberapa Catatan dan
Konsep Penataan Kawasan Kota
Berkelanjutan, Jurnal Perencanaan
Wilayah dan Kota ITB, Vol.17, No. 3, 31-
45.
Tiesdell, Steven., dkk. (1996), Revitalizing
Historic Urban Quarters, Oxford, London:
Architectural Press.
Wilson, James Q dan Kelling, George L. (1989,
February). Making Neighborhoods Safe,
Atlantic Monthly.
Witherspoon, Robert E., et al. (1976). Mixed-
use Development: New Ways of Land Use.
Washington D.C.: Urban Land Institute
PUSAT RISET DAN REKREASI HORTIKULTURA KWALA BEKALA
SUSTAINABLE ARCHITECTURE
NOVI RAHMADHANI
19
PUSAT RISET DAN REKREASI HORTIKULTURA KWALA BEKALA
SUSTAINABLE ARCHITECTURE
Novi Rahmadhani
Mahasiswa Fakultas Teknik, Departemen Arsitektur USU
Email: [email protected]
Abstrak. Bangunan Pusat Riset dan Rekreasi Hortikultura Kwala Bekala memilki fungsi riset tanaman
hortikultura dan agroedutourism di kompleks Universitas Sumatera Utara (USU) Kwala Bekala dengan sistem
pertanian vertikal (vertical farming) sebagai fokus riset utama. Desain bangunan menerapkan Sustainable
Architecture, sehingga diharapkan bangunan ini nantinya akan dapat mengaplikasikan aspek sosial, ekonomi
dan lingkungan yang berkelanjutan.
Kata kunci: pusat riset, agroedutourism, hortikultura, vertical farming, sustainable architecture
PENDAHULUAN
Fokus riset pertanian vertikal (vertical farm)
pada bangunan ini dilatarbelkangi oleh isu krisis
pangan global yang diprediksi akan terjadi
akibat semakin bertambahnya jumlah penduduk
dunia yang mengakibatkan alih konversi lahan
pertanian. Hal ini mengakibatkan semakin
sedikitnya lahan pertanian karena digunakan
untuk membangun permukiman dan tempat
tinggal yang cukup.
Fungsi riset ini dipadukan juga dengan fungsi
pariwisata, sehingga teknologi baru pertanian
tanaman hortikultura yang ada dapat
dipublikasikan dan dipelajari oleh masyarakat
umum dan pelaku edukasi yang berkunjung.
Karena penerapan pertanian vertikal pada
bangunan, akan terdapat masa-masa panen
pangan. Supermarket dijadikan tempat untuk
mewadahi penjualan hasil panen dari bangunan
ini.
Penerapan Sustainable Architecture pada
bangunan, selain dengan fungsinya yang
berkelanjutan, diaplikasikan juga dengan
menggunakan teknologi penghasil energi
mandiri, mendaur ulang sisa hasil pertanian /
limbah bangunan sehingga dapat digunakan
kembali untuk kebutuhan bangunan,
Memanfaatkan potensi sekitar yang ada, yaitu
kotoran hewan dari peternakan yang ada di
kompleks USU Kwala Bekala, dan diharapkan
kemandirian bangunan terhadap produksi energi
dapat meminimalisir biaya operasional
bangunan.
Isu krisis lahan pertanian di Indonesia,
khususnya untuk kawasan Sumatera Utara
sendiri mulai dapat dilihat tanda-tandanya dari
data berikut (Badan Pusat Statistik Medan,
2007).
1. Jumlah kebutuhan penduduk yang semakin
meningkat seiring bertambahnya jumlah
populasi
2. Konversi lahan
3. Menurunnya tingkat kesuburan lahan
Menurut Sundu (2008), “lahan subur di
Indonesia menyusut 2,5 ha per jam dengan
penambahan penduduk 4 orang per menit,
dibandingkan di dunia 8 ha per jam dengan
penambahan penduduk 24 orang per menit.”
Jurnal Arsitektur dan Perkotaan “KORIDOR” vol. 02 no. 01, JAN 2011 : 19-24
20
Karena permasalahan-permasalahan tersebut,
dibutuhkan teknologi dan inovasi pada sistem
pertanian sebagai solusi dari permasalahan yg
akan datang. Teknologi terbaru dalam mengatasi
masalah ini telah ditawarkan secara global
sebagai pertanian vertikal.
Untuk kawasan Sumatera Utara dengan luas
lahan yang masih memungkinkan untuk
pertanian secara horizontal untuk saat ini,
dibutuhkan lembaga untuk meneliti dan meriset
setiap kemungkinan untuk dijadikan tindakan
preventif.
TUJUAN PROYEK
Diharapkan mampu menjadi ikon dari
kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi USU
Menjadi wadah aktivitas keilmuan USU
Merancang bangunan dengan sistem
hemat energi dan berkelanjutan
Diharapkan dapat memberikan
sumbangsih terhadap industri Sumatera
Utara
Dapat menjadi area rekreasi keilmuan
yang dapat diakses oleh masyarakat
umum
ARSITEKTUR BERKELANJUTAN
(SUSTAINABLE ARCHITECTURE)
SEBAGAI ACUAN PERANCANGAN
Rocky Mountain Institute mengeluarkan 5
elemen desain sustainable:
1. Desain yang “penuh dan pekat” di awal
2. Tidak memiliki style tertentu, tidak
memiliki batasan bentuk
3. Berbiaya cukup besar pada awal
pembangunan
4. Desain yang terintegrasi
5. Meminimalisir konsumsi energi dan
bahkan menghasilkan energinya sendiri.
Prinsip dari desain bangunan yang sustain
(berkelanjutan) antara lain:
Paham akan tempat (Understanding
place)
Tabel 1. Proyeksi Pangan di Indonesia Versi Deptan RI
Tabel 2. Perubahan-perubahan Lahan Padi di Indonesia, 1999-2002
PUSAT RISET DAN REKREASI HORTIKULTURA KWALA BEKALA
SUSTAINABLE ARCHITECTURE
NOVI RAHMADHANI
21
Terhubung dengan alam (Connecting
with nature)
Selaras dengan proses alami
(Understanding natural processes)
Selaras dengan pengaruh lingkungan
sekitar (Understanding eviromental
impact)
Mencakup proses desain yang kreatif
(Embracing co-creative design
processes)
Selaras dengan penduduk sekitar
(Understanding people)
KONSEP TAPAK
Entrance utama (A) berada pada jalan besar dan
diperuntukkan untuk pedestrian dan para
pengunjung yang menggunakan bus shuttle atau
pengunjung yang hanya diturunkan dari
kendaraan pribadi.
Entrance sekunder (B) diperuntukkan untuk
pengunjung yang parkir dengan menggunakan
kendaraan pribadi. Terdapat area drop off untuk
menurunkan pengunjung.
Entrance bagi ilmuwan dan pelaku edukasi
terpisah dan berada pada bagian kanan kawasan.
Area Parkir (C) diperuntukkan untuk parkir
kendaraan pribadi pengunjung agroedutourism.
Area Parkir (D)
merupakan area parkir
untuk pengunjung
supermarket.
Area Plaza (E) merupakan
area taman bunga dan
kebun tanaman pangan
dengan sistem pertanian
vernakular. Pada area ini
Gambar 1. Zoning pada ground plan
Sumber: penulis
Gambar 3. Lokasi
entrance untuk
researcher
Sumber: penulis
Gambar 4. Suasana area parkir
supermarket
Sumber: Penulis
Gambar 2. Lokasi entrance pada ground
plan
Sumber: penulis
Jurnal Arsitektur dan Perkotaan “KORIDOR” vol. 02 no. 01, JAN 2011 : 19-24
22
poin pertama dimulainya agroedutourism.
Disediakan pula mini bus untuk berkeliling pada
area tapak.
Jembatan penyebrangan (F) merupakan
jembatan penghubung yang difungsikan untuk
menghubungkan area tapak langsung ke
bangunan. Jembatan ini diaplikasikan karena
terdapat perbedaan kontur + 6 meter.
Bangunan Supermarket (G) merupakan wadah
untuk menjual hasil panen tanaman pangan.
Kelebihan dari hasil tanaman pangan tersebut
adalah hasil yang organik karena meminimalisir
penggunaan zat-zat kimia dalam perawatan
tanaman pada bangunan.
Kolam pembelajaran (H) merupakan kolam
dengan sistem perawatan tanaman dengan
bantuan ikan (fish culture). Disini juga dijadikan
gathering spot, di mana pengunjung yang ada
juga dapat berekreasi dan belajar.
Bangunan Utama (I), bangunan utama berisi
fungsi riset, wisata dan pertanian vertikal.
Ampiteater (J), merupakan area berkumpul yang
menghadap langsung ke danau. Pada area ini
dapat dijadikan tempat untuk event-event
tertentu dan tempat pembelajaran publik.
PENERAPAN KONSEP SUSTAINABLE
PADA BANGUNAN
1. Penggunaan photovoltaic dengan sistem
berselang seling untuk mendapatkan
cahaya alami yang cukup ke dalam
bangunan dan mendapatkan panas
matahari untuk diubah menjadi energi
listrik.
Gambar 5. Suasana main plaza
Sumber: penulis
Gambar 6. Suasana jembatan
Sumber: penulis
Gambar 7. Suasana kolam pembelajaran
Sumber: penulis
Gambar 8. Bentukan Massa Utama
Sumber: penulis
Gambar 9. Suasana Ampiteater
Sumber: penulis
PUSAT RISET DAN REKREASI HORTIKULTURA KWALA BEKALA
SUSTAINABLE ARCHITECTURE
NOVI RAHMADHANI
23
Pada bagian podium juga terdapat panel
photovoltaic untuk memproduksi energi
listrik bagi kebutuhan pada tiap lantainya.
2. Konsep pencahayaan memaksimalkan
cahaya alami untuk masuk kedalam
bangunan. Bukaan pada sisi timur dan
barat diberikan buffer berupa pepohonan
pada area tapak.
Massa podium yang bertingkat juga
dibuat untuk memaksimalkan terdapatnya
bukaan pada tiap lantai.
Bukaan pada bagian tower juga
dimaksimalkan untuk mendapatkan
cahaya yang cukup untuk fotosintesis
tanaman yang ada di dalamnya.
3. Konsep pengkondisian udara
dimaksimalkan secara alami. Pada bagian
podium, pengkondisian udara buatan
hanya terdapat pada ruang-ruang lab,
sedangkan untuk bagian tower hanya
terdapat pada zona hidroponik tanaman
saja.
Pada bagian koridor dan sirkulasi pada
tower menggunakan pengkondisian
udara alami dengan suasana yang
terbuka.
4. Penggunaan Roof garden
dimaksimalkan pula dengan desain
massa podium yang bertingkat. Hal ini
dimaksudkan untuk menghasilkan
kondisi udara yang sejuk didalam
bangunan dan menjadikan tumbuhan
sebagai citra dari bangunan ini.
5. Sistem sanitasi pada bangunan
mengaplikasikan sistem bioswale
(penampungan air hujan). Bak
Gambar 10.
Photovoltaic
pada bangunan
Sumber:
penulis
Gambar 11. Letak photovoltaic pada
podium
Sumber: penulis
Gambar 12. Letak bukaan pada
bangunan
Sumber: penulis
Gambar 13. Pengkondisian udara pada
area sirkulasi
Sumber: penulis
Jurnal Arsitektur dan Perkotaan “KORIDOR” vol. 02 no. 01, JAN 2011 : 19-24
24
penampungan air terdapat pada bagian
roof top, air hujan yang ditampung
pada bak penampungan air tersebut
disalurkan ke solution tank (tanki
dengan nutrisi untuk tanaman),
dialirkan ke setiap hydroponic shelf
pada tiap lantai tower, lalu diolah
kembali menjadi air bersih di bagian
basement dan dialirkan ke ground
water tank dan dipompa kembali
kebagian roof top.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik Medan (2007) Medan
Dalam Angka
De Chiara. Joseph, and John Calender.1981.
Time Saver Standart for Building Types.
Mcgraw Hill Book Company.New York.
Frick, Heinz., dan Pujo. L. S., 2007, Ilmu
Konstruksi Perlengkapan dan Utilitas
Bangunan 2, Penerbit Kanisius,
Yogyakarta
Frick, Heinz., dan Tri Hesti M., 2006, Arsitektur
Ekologis, Penerbit Kanisius, Yogyakarta
Guiding Principles of Sustainable Design
(1993),
www.verticalfarm.com
www.kwalabekala.usu.ac.id
Gambar 14. Lokasi roof garden
Sumber: penulis
Gambar 15. Sistem sanitasi pada
hydroponic shelf
Sumber: penulis
ARSITEKTUR INDONESIA, ANTARA TIMUR DAN BARAT N. VINKY RAHMAN
25
ARSITEKTUR INDONESIA, ANTARA TIMUR DAN BARAT
N. Vinky Rahman
Magister Teknik Arsitektur Universitas Sumatera Utara
Abstract. In the late 1980s, appear interesting phenomenon in Indonesia, and its tracks are still visible to this
day, that is when, where many region are trying to revive its traditional architecture. Many modern buildings
are found which are not rooted in local culture makes the loss of region "identity". In Central Java, the "Jogio"
roof become an idol, found not only in its original context as the roof of the pavilion, but also as a roof on the
building height, banks, government offices, police stations, even billboards. The same was found in West
Sumatra with the "Roof of Rumah Gadang". In Medan (city of multi-ethnic), met ornaments that represent the
representation of local culture (Melayu and Tapanuli) embedded (built later) as the gate canopy, or roof of the
addition of modern buildings that already exist. What is this phenomenon?, Whether this form of identity
obscurity Indonesia's current architecture, or a form of traditional Eastern architecture transformation into a
modern Western.
PENDAHULUAN
Bila kita coba menelaah penerapan arsitektur
atap tradisional pada gedung modern, terlihat
agak naif, namun fenomena tersebut
menunjukkan adanya kesadaraan akan sejarah
dalam era modern ini, sekaligus menunjukkan
cara pandang sebagian masyarakat kita akan
sejarahnya, dalam hal ini arsitektur tradisional.
Hotel Danau
Toba – Medan
(atap Ruma
Bolon)
(sumber:
http://www.pem
komedan.go.id/
en/hotel.php)
Bank
Mandiri –
Padang (atap
Rumah
Gadang)
(sumber:
http://www.f
lickr.com/ph
otos)
Bank Bukopin –
Solo (atap
Rumah Joglo)
(sumber:
http://www.skys
crapercity.com)
PERADABAN TIMUR DAN ARSITEKTUR
TRADISIONAL INDONESIA
Hampir tidak ditemukan batasan yang benar-
benar jelas antara peradaban Timur dan Barat.
Kalau memakai terminologi keyakinan bahwa
agama-agama besar adalah bertujuan untuk
menyatukan seluruh umat manusia, maka
tempat turunnya agama-agama itu (di sekitar
daerah Arab dan Mesopotamia) merupakan
pertengahan antara kedua jenis peradaban yang
disepakati tersebut, yaitu peradaban Barat ada di
sebelah Barat Arab dan Mesopotamia,
sedangkan peradaban Timur di sisi lainnya.
Kondisi iklim dan geografis yang berbeda
membuat cara berpikir yang berbeda pula, yang
pada akhirnya membentuk perilaku, norma,
bahkan bentuk arsitektur yang berbeda pula.
Mesopotamia
(sekarang Irak)
(sumber :
http://pusatwawa
san.blogspot.co
m)
Jurnal Arsitektur dan Perkotaan “KORIDOR” vol. 02 no. 01, JAN 2011 : 25-29
26
Terdapat hal pokok yang dapat
merepresentasikan perbedaan antara peradaban
Barat dan Timur. Peradaban Barat sifatnya
cenderung lebih eksoteris (bersifat umum, lebih
terbuka dan publik), memandang segala sesuatu
harus terjelaskan (secara nalar yang
mengakibatkan cara pandang yang empiris
(berdasar pengalaman), rasionalis (akal sehat),
dan naturalis (satu matra, kasat mata).
Berbeda halnya dengan orang Timur, peradaban
Timur sifatnya lebih esoteris (bersifat pribadi
dan tertutup), memandang segala sesuatu
tanpa perlu terjelaskan, yang lebih penting
adalah maknanya. Hal tersebut mengakibatkan
cara berpikir yang intuitif dan cenderung
emosional. Perbedaan budaya ini juga
teraplikasikan dalam karya arsitektur yang
dihasilkan.
Dalam arsitektur, para ahli membedakan cara
pandang antara arsitektur barat dan arsitektur
timur dalam beberapa pemahaman antara lain:
Arsitektur Barat bersifat sangat 'material'
sementara arsitektur di Timur sangat
'spritual'
Arsitektur Barat cenderung lebih
mementingkan “objek” dan tata cara
membangun, sementara di Timur, desain
lebih memandang proses dan nilai-nilai.
yang dikaitkan dengan hubungan yang
lebih luas. (sosial dan spritual)
Arsitektur Barat 'mengatasi' alam,
sementara arsitektur Timur, menekankan
pada 'keharmonisan' antara: manusia dan
masyarakat, manusia dan alam
(lingkungannya) dan manusia dengan
Tuhan.
Di dunia Barat, keberadaan sebuah karya
arsitektur haruslah kokoh, fungsional, dan indah
(trilogi Vitruvius). Tolok ukur ini
keseluruhannya terjelaskan dalam sudut
pandang manusia. Sedangkan di dunia Timur,
karya-karya arsitektur lebih merupakan
penghayatan terhadap keyakinan alam serta
dunia alam lain yang lebih besar. Hal tersebut
menyebabkan, wujud karya arsitektur di Timur
tidak hanya sekadar kuat, berfungsi, dan indah,
tetapi juga menambahkannya dengan simbol-
simbol yang berisi pengajaran akan alam yang
lebih besar (makro kosmos).
Arsitektur Timur selalu menyertakan
pembahasan akan isi dan makna yang diwakili..
Membahas taman di Jepang misalnya, bukan
sekadar mengulas taman yang indah,
pengalaman ruang yang menarik (bagi
manusia), ataupun cara menanam pohon atau
memasang batu, tetapi juga selalu menyertakan
tentang keheningan yang terwujud, sakral, dan
Divine Presence (kehadiran substansi
Ketuhanan). Candi-candi di India lebih dikenali
dari simbol atau makna yang berusaha
disampaikan (seperti nirwana yang
dilambangkan dengan stupa, semesta yang
dilambangkan dengan bentuk mahameru)
ketimbang fungsi dan konstruksi. Di Cina,
paham Feng Shui, kaidah tata letak yang naik
daun pada akhir dekade 90an, memang bukan
melulu membahas arsitektur an sich, atau
hubungan arsitektur dengan manusia secara
fisikal, namun lebih menekankan kaitan
makrokosmos dengan tata letak (arsitektur),
yang kemudian dipercayai membawa
peruntungan tersendiri bagi manusia.
Japanese Garden
(sumber : http://home-and-
gardening.info)
Sri Chamundeswari Temple,
India
(sumber :
http://www.mapmytemple.com)
Di Indonesia, simbolisasi juga banyak dijumpai
dalam arsitektur tradisionalnya. Simbol-simbol
tersebut bahkan dtemukan pada bangunan-
bangunan vernakuler sekalipun, walaupun
sebenarnya simbol ini lebih banyak digunakan
untuk bangunan penting seperti pada bangunan
kerajaan ataupun peribadatan. Sama seperti
halnya candi-candi India, bangunan candi di
Indonesia lebih merupakan kata-kata yang
terwujud dalam bangunan, ketimbang konstruksi
bangunannya itu sendiri.
ARSITEKTUR INDONESIA, ANTARA TIMUR DAN BARAT N. VINKY RAHMAN
27
Pada relief di dinding sekeliling bangunan
candi Borobudur, banyak dijumpai relief-relief
yang meggambarkan sebuah cerita tertentu.
Bentuk penyajian cerita pun bukan berupa
gambar naturalis, tetapi acapkali satu gambar
menceritakan satu tempat dalam waktu yang
berbeda.
Misalnya salah satu relief pada Candi
Borobudur yang menggambarkan Buddha
sedang melakukan perlombaan memanah. Pada
relief yang lain, Sidharta Buddha digambarkan
tiga kali, yaitu ketika sedang menunggu, ketika
mengambil busur, dan ketika memanah. Tiga
kejadian dalam satu gambar! (Dr. Primadi
Tabrani "Memadukan Seni, llmu, dan
Teknologi sebagai Salah Satu Upaya
Membangun Budaya dalam Pembangunan
Nasional). Kedalaman penyajian ini pada
akhirnya memberikan perbedaan kedalaman
makna yang terungkap. Bila ingin lebih
didalami, kalimat (dari ornamen arsitektural)
bisa diartikan sebagai sebuah pengajaran tentang
diri manusia, yaitu dualisme potensi manusia
(lahir-batin, baik-buruk, pribadi-sosial, rasional-
intuitif) harus terwujuud dalam satu sosok jiwa-
raga yang utuh. Pengertian ini bisa terus
diperdalam sampai penghayatan manusia
tentang semesta dan kehidupan.
Hal yang ingin disampaikan pada deskripsi di
atas adalah bahwa makna-makna di balik suatu
bentuk yang diciptakan adalah hal yang sangat
penting disajikan pada arsitektur tradisional kita.
Karya arsitektur ini bukan hanya dibaca dengan
kode ganda (dual-coding): kode sang pencipta
dan kode sang pengamat, tetapi juga kode
berjenjang {multi-level coding): mengartikan
sebuah "bahasa" arsitektur sesuai dengan
kedalaman penghayatan akan makna yang
terkandung di dalamnya. Makna tersebut
sebenarnya bisa membawa arsitektur tradisional
kita dapat melepaskan diri dari kemonotonan
dan stagnasi. Bisa menjadi benar pendapat yang
mengatakan, bahwa penerapan kaidah arsitektur
tradisional kita kondisinya lepas dari makna
yang dikandung, seperti contoh di awal tulisan
ini, justru akan membawa arsitektur tradisional
kearah kemandegan / tidak berkembang.
KEBUTUHAN ERA BERWUJUD
MODERNISASI
Di era sekarang, kaidah modern telah menjadi
keharusan untuk melangkah lebih maju dan
berkembang. Lewat cara berpikir modern,
manusia mulai memanfaatkan potensi terbesar
yang dimilikinya yaitu “akal”. Lewat
pengembangan rasio inilah manusia mulai
mengenali dan menganalisa alam, sekaligus
memanfaatkannya untuk kehidupan. Ilmu
pengetahuan dan teknologi pun berkembang.
Pada awalnya, modernisme memang lahir di
Barat, tetapi lewat kolonisasi, perkembangan
informasi, dan hubungan-hubungan lain,
modernisme menyebar ke seluruh dunia,
merambah ke wilayah dan cara berpikir
masyarakat Timur.
Modernisasi di dunia Timur bermula dari
kolonisasi bangsa Barat, yang kemudian
dilanjutkan dengan Perang Dunia I dan Perang
Dunia II yangb semakin mengukuhkan dominasi
bangsa Barat terhadap Timur. Bangsa Barat
yang modernlah yang memimpin dunia (sampai
saat ini), bangsa Timur hanya mengikuti.
Secara bertahap, bangsa Timur mulai
mengganggap modernisme, meski banyak
dipengaruhi oleh nilai-nilai Barat, banyak
menjanjikan hal-hal yang lebih baik. Pada
beberapa bangsa Timur, tradisi tidak bisa
berkembang karena harus menghadapi
penjajahan. Tradisi yang lebih intuitif, sering
mistis, semakin kurang bisa menjawab
permasalahan yang ada. Modernisme
menjanjikan kejelasan, dan teruji bisa
memecahkan berbagai persoalan.
Di Indonesia pada awal abad ke-20, sempat
terjadi perdebatan antar budayawan (Sutan
Takdir Alisyahbana di satu kubu dan Sanusi
Pane di kubu lain) tentang arah perkembangan
bangsa Indonesia: ke Barat atau ke Timur. Tak
bisa dikatakan siapa yang menang ataupun
kalah, tetapi jaman membawa bangsa kita
menghadapkan wajah ke dunia barat. Setelah
masa ini, arsitektur yang muncul pun arsitektur
Relief Panil No. 46-49 seri Lalitavistara
Candi Borobudur, Jawa Tengah
(sumber : http://politikana.com)
Jurnal Arsitektur dan Perkotaan “KORIDOR” vol. 02 no. 01, JAN 2011 : 25-29
28
modern, karena ilmu, teknologi dan pendidikan
yang menghasilkannya pun juga modern.
Sampai awal tahun 1970-an, Indonesia
ditumbuhi arsitektur modern. Kesadaran akan
pentingnya semangat lokal akhirnya muncul
juga. Penerapan secara naif (politis) sempat
terjadi. Namun sampai saat ini, kesadaran
tentang jiwa lokal / arsitektur tradisional hanya
sekadar menjiwai bagian-bagian tertentu dari
wujud arsitektur. Desain yang ada masih
didominasi oleh kaidah-kaidah modern. Bisa
dikatakan Arsitektur tradisional tidaklah muncul
secara utuh pada masa sekarang kini.
ARSITEKTUR INDONESIA MASA KINI
DAN MASA DEPAN
Digugatnya modernisme, termasuk arsitektur
modern, dapat menjadi periode istirahat untuk
arsitektur Indonesia untuk dapat merenungkan
ke manakah arah arsitektur kita. Akan tetap kah
dalam kerangka arsitektur Barat, agar selalu
berkomunikasi dengan arsitektur dunia (yang
tetap didominasi oleh arsitektur Barat), atau
akankah selalu turut dalam trend arsitektur
Barat: seperti postmodern, dekonstruksi, dsb?.
Akankah nilai-nilai tradisional sebagai warisan
sejarah arsitektur Indonesia hanya mampu
"ditempelkan" atau "menjiwai hanya sebagian"
dari wujud arsitektur yang tetap dalam
kerangka pemikiran modern? Atau memilih
idealnya, mempertahankan yang baik yang
pernah dilakukan, baik dari Barat maupun dari
tradisi, serta mengambil yang lebih baik dari
keduanya?
Los Angeles, Disney Hall,
1998-2003. Frank Gehry
(postmodern architecture)
(sumber :
http://jan.ucc.nau.edu)
The Seattle Public Library,
Rem Koolhaas
(Deconstructivist
architecture)
(sumber :
http://plusmood.com)
Apabila kita dapat belajar dari peradaban Barat
yang berhasil melahirkan modernisme sehingga
membuatnya kini mendominasi dunia.
Keberhasilan itu bisa dijelaskan karena adanya
cara berpikir yang konseptual oleh Barat,
ketimbang cara berpikir kategorikal yang
dimiliki orang Timur. Dengan berpikir lebih
konseptual, kaum modernis menerobos
berbagai disiplin ilmu yang baru, lebih fleksibel
terhadap perubahan, karena mereka telah paham
akan esensi dari apa yang mereka kuasai.
Dengan berpikir demikian, kaum modern telah
berhasil mematahkan mitos terhadap sejarah,
sehingga sejarah dan tradisi bukan lagi sesuatu
yang bersifat kaku yang dapat membatasi
potensi kita untuk berkembang. Selanjutnya,
apakah penyaduran cara berpikir konseptual ini
dapat diterapkan untuk melihat warisan
arsitektur tradisional kita?
Dalam arsitektur, cara berpikir konseptual bisa
dimulai dengan melakukan demitosisasi
terhadap warisan tradisional kita. Bentuk-
bentuk yang sudah ada pada arsitektur
tradisional kita dapat dibuat bukan lagi menjadi
sebuah mitos, atau sebuah keharusan. Arsitektur
Minang tidaklah harus berbentuk Gonjong,
Arsitektur Jawa saat ini tak perlu berwujud
Joglo. Masyarakat Jawa pernah menghasilkan
wujud yang lain seperti Borobudur dan
Prambanan pada masa yang lalu. Oleh karena
itu, dapat saja terwujud pada masa sekarang ini
dan tentu di masa yang akan datang, dijumpai
arsitektur Jawa yang berbeda dari Borobudur
ataupun Jogio?
Mungkin kita dapat belajar dari arsitektur Islam,
khususnya arsitektur bangunan mesjid, yang
selalu muncul berbeda bentuk pada daerah yang
berbeda, tergantung kondisi yang ada. Bentuk
desain sebuah masjid tak harus beratap kubah,
tetapi juga bisa juga berupa ruang terbuka
(Mekkah), atau beratap Tajug seperti di Jawa,
atau dibangun berupa tumpukan tanah liat
seperti kondisinya di Afrika Tengah, ataupun
bentuk-bentuk lain tergantung daerahnya.
Meskipun bentuk yaog berbeda, kosa kata dan
makna ajaran Islam selalu hadir di setiap bentuk
arsitektur yang terwujud. Arsitektur tradisional
kita juga bisa hadir dalam bentuk yang berbeda
dalam kurun waktu yang berbeda pula. Bila
hanya terpaku pada bentuk tertentu saja, kita
akan segera dengan cepat mengucapkan
seiamat tinggal kepada warisan arsitektur
tradisional kita.
ARSITEKTUR INDONESIA, ANTARA TIMUR DAN BARAT N. VINKY RAHMAN
29
Beberapa Ilustrasi Arsitektur Mesjid yang
beragam bentuk di Dunia.
Mesjid Sunan
Ampel Surabaya,
(sumber :
http://blog-apa-
aja.blogspot.com)
Mesjid Agung
Djenne, Mali
(sumber :
http://unusual-
architecture.co
m)
Niujie Mosque
in Beijing,
China
(sumber :
http://jlw-
mesjid.blogspot.
com)
Munculnya postmodernisme dalam arsitektur
sebenarnya akan dan dapat memberi peluang
untuk melihat dan menciptakan karya arsitektur
yang tdak selalu memandang sisi fungsional,
kekuatan struktur, dan estetika saja.
Perkembangan arsitektur sebagai “bahasa” akan
memungkinkan penelusuran dan penelitian yang
lebih kreatif terhadap warisan arsitektur
tradisional kita. Kita pernah punya arsitektur
yang sangat kaya akan “bahasa”, karya
arsitektur yang berisi berbagai makna dan
pengajaran. Untuk sekarang dan masa yang akan
datang, bukan tidak memungkinkan hal tersebut
dapat pula terwujudkan.
PENUTUP
Arsitektur memang bukan sekadar memilih
antara Barat atau Timur, atau menggunakan
cara Barat di satu sisi dan Timur di sisi lainnya.
Manusia hidup selalu memiliki misi, maka
manusia berarsitektur pun hendaknya punya
misi. Sebagai kesimpulan dari uraian di atas,
misi arsitektur, sekaligus misi manusia adalah:
menghadirkan akan substansi Ketuhanan
memiliki etos pengorbanan untuk membantu
sesama
mendukung terciptanya sistem yang positif,
serta
mengandung nilai-nilai untuk pembelajaran.
DAFTAR PUSTAKA
Gelemter, Mark; (1995); Sources off
Architectural Form : A Critical History of
Western Design Theory, Mancester
University Press, U. K
Hanno-Walter Kruft; (1994); A History of
Architectural Theory : From Vitruvius to
The Present, Princenton Architectural.
Lang, Jon; (1987); Creating Architectural
Theory : The Role of The Behavioral
Sciences in Environmental Design; van
Nostrand Reinhold Co., NY
Meiss, Pierce von; (1991); Elements of
Architecture : from Form to Place;
Chapman & Hall, Switzerland.
Schirmbeck, Egon; (1983), Idea, Form, and
Architecture: Design Principles in
Contemporary Architecture; van
Nostrand Reinhold Co., NY
Jurnal Arsitektur dan Perkotaan “KORIDOR” vol. 02 no. 01, JAN 2011 : 30-34
30
AMALIUN FOODCOURT
Ramadhoni Dwi Payana
Principal Simon+Dhoni Studio
PENDAHULUAN
Produk kuliner sudah lama menjadi ciri khas di
kota Medan, tempat-tempat pusat jajanan
semakin banyak menyebar. Dari yang sifat
tradisional (seperti warkop, warteg,dsb) sampai
yang Modern (seperti foodcourt dan mall).
Gejala ini semakin besar sehingga menarik
minat banyak investor untuk ber-investasi
disektor ini.
Amaliun foodcourt muncul juga karena melihat
potensi ekonomis disekitar wilayah tersebut.
Walau didaerah Amaliun (Kota Matsum) itu
banyak terdapat pedagang makanan tradisional
seperti warkop TST(Teh Susu Telur) di jalan
Puri yang sudah sangat terkenal. Namun hal ini
malah jadi sebuah peluang besar. Hal ini
membuktikan ada pasar yang besar, yang
memungkinkan untuk dibuat sebuah pusat
jajanan makanan yang didesain dengan lebih
modern dengan fasilitas yang lebih baik.
Adalah sebuah tantangan besar ketika proyek ini
diberikan. Karena lokasi yang terletak di
kawasan bersejarah Kota Medan. Lokasi 400m
dari Mesjid Raya dan Taman Sri Deli. Hal ini
tentu jadi pertimbangan besar dalam melakukan
pendekatan desain.
Permintaan dari pemilik sendiri sangat jelas.
Mereka ingin membuat pusat jajanan sekaligus
convention hall untuk masyarakat menengah ke
bawah yang dapat digunakan untuk acara
resepsi pernikahan, arisan dan seminar. Karena
seringnya masyarakat kota Matsum menutup
jalan untuk mengadakan hajatan dan dinilai
sangat mengganggu kepentingan umum dapat
menjadi peluang yang dicoba untuk diakomodir.
KONDISI SITE
Site proyek ini berada di sudut jalan dan kapling
terbagi dua bagian, bagian depan dan belakang.
Dibagian depan dahulunya ada rumah pemilik
yang sudah dihancurkan dan dibagian belakang
masih ada rumah yang kondisinya masih cukup
baik. Bagian depan dijadikan foodcourt dan
convention. Dan bagian belakang bangunannya
tetap dipertahankan untuk dijadikan ruang
meeting kecil.
Site tersebut berbatasan langsung dengan jalan
pada 3 sisinya dan sisi satu lagi berbatasan
dengan Hotel Madani. Secara ekonomi posisi ini
sangat baik dari kemudahan akses dan
memudahkan pemisahan akses publik dan
service. Kalau dilihat lebih luas lokasi yang
berada dekat dengan Mall Yuki Simpang Raya,
Mesjid Raya, Hotel Madani dan beberapa hotel
lainnya. Akan menjadi pusat berkumpul yang
baru dan berbeda. Yang dapat mengakomodir
kebutuhan para pengunjung pusat perbelanjaan,
hotel dan wisatawan yang ingin makan atau
minum dengan harga yang lebih murah. Pada
saat-saat tertentu bangunan ini.
AMALIUN FOODCOURT RAMADHONI DWI PAYANA
31
KONSEP MASSA
Bentuk bangunan ini tidak terlalu istimewa
hanya berupa kotak (box), karena lebih
berorientasi pada efesiensi fungsi dan zoning.
Bentuk kotak (box) merupakan bentuk dasar
yang paling bisa dimanfaatkan dari semua
sisinya. Lalu bentuk kotak yang masif ini
diangkat seperti melayang sehingga ruang
dibawahnya menjadi ruang publik. Sedangkan
kotak (box) tadi yang lebih masih menjadi ruang
privat. Ruang publik yang terbuka itu dijadikan
foodcourt dan ruang privat dilantai 2 itu
dijadikan ruang convention hall dengan
kapasitas 500 orang.
Batasan peraturan tata bangunan mengharuskan
bangunan ini mempunyai GSB (Garis Sempadan
Bangunan) dari jalan Amaliun sejauh 7m dan
6m dari jalan sisi yang lain. Sedangkan jarak
antar bangunan diharuskan 1,5m. hal ini jelas
membuat bangunan ini semakin mengecil dan
diperlukan strategi lain agar luas ruangan
dilantai dua memungkinkan untuk menampung
lebih banyak orang. Oleh karena itu bentuk
kotak dibagian lantai dua dibesarkan di tiga sisi
menghadap jalan dan samping Hotel Madani
sebesar 1,4m.
Taman Sri
Deli
Mesjid Raya
Hotel Madani
Yuki
Simpang
Raya
Gambar 1. Kondisi Site Amaliun Foodcourt
Hotel Madani
Mesjid Raya
Taman Sri Deli
SITE
Yuki Simpang
Raya
Jurnal Arsitektur dan Perkotaan “KORIDOR” vol. 02 no. 01, JAN 2011 : 30-34
32
Pertimbangan lain dari bentuk kotak (box)
adalah kemudahan dalam konstruksi.
Dikarenakan proyek ini menuntut pengerjaan
yang cepat (mengingat saat itu sudah mendekati
bulan Ramadhan yang biasanya ada acara
Ramadhan Fair) maka pemilihan sistem struktur
dan finishing dengan menggunakan bahan-
bahan industrial yang mudah dikerjakan, tahan
lama/cuaca dan minim dalam hal perawatan.
Pemilihan penggunaan struktur baja dirasa
mungkin akan lebih mahal dari struktur beton.
Namun dari segi ekonomis hal ini bisa lebih
cepat dikerjakan dan bangunan cepat selesai
sehingga lebih cepat untuk memulai usaha dan
mencapai BEP (Break Event Point). Bahkan
pengecoran lantai dua yang menggunakan bahan
bondeck dan di ekspose dengan finishing cat
duco semata-mata untuk berhemat dan mengejar
waktu. Namun ini jadi keunikan sendiri
bagaimana kesan industrial ini dapat dikurangi
dengan memberikan pencahayaan lampu
sembunyi, sehingga pengunjung tidak merasa
seperti berada di sebuah gudang.
Pada area stand penjualan makanan, dinding
counter menggunakan bahan glassblock. Bahan
yang relatif murah mudah didapat dan kuat,
namun dapat memberikan efek dramatis ketika
diberi lampu dari balik meja. Menambah
kehangatan suasana.
Selain analisa terhadap efisiensi fungsi ruang,
perlu juga analisa untuk konteks terhadap
lingkungan sekitar. Hal yang sifatnya berupa
wujud fisik maupun nonfisik. Secara fisik
bangunan yang mempunyai karakter yang paling
kuat adalah Masjid Raya Al–Matsum. Kami
mencoba melihat proporsi dan bagaimana
Masjid Raya membagi ruang publik dan
privatnya. Ruang-ruang publik yang terbuka dan
tanpa batas terpisah oleh ketinggian lantai
dengan ruang privat sebagai ruang sholat.
Proporsi ini coba diambil ketinggian antara
ruang luar dan ruang dalam Masjid. Kami
merasa terkesan sekali dengan kondisi dan
pembagian zoning yang dilakukan oleh Masjid
Raya.
Di sisi lain sesuatu yang tidak terlihat itu adalah
arah kiblat, suasana religius dan atmosfir
kawasan melayu yang kental. Arah kiblat adalah
sebuah superimposisi terhadap bentuk rigid
arsitektur kota. Kiblat menjadikan bangunan
Masjid seperti melawan alur sitenya. Hal ini
juga jadi sumber ide buat kami untuk membuat
superimposisi di bagian kotak yang masif tadi.
Seperti ada dua kotak yang menumpuk dan
kotak satu dimiringkan posisinya searah kiblat.
Sehingga terbentuk kotak yang lebih dinamis.
Bentuk kotak yang mengarah ke kiblat diberi
ornamen lengkungan seperti koridor Masjid
Raya. Dan lengkungan ini juga di adopsi oleh
Yuki Simpang Raya. Hal ini menandakan
lengkungan ini sudah menjadi sebuah bentuk
pengikat antar bangunan sekaligus memberi
tanda bahwa bagian kotak yang dimiringkan itu
berorientasi ke arah kiblat Masjid raya. Selain
kiblat
AMALIUN FOODCOURT RAMADHONI DWI PAYANA
33
itu suasana religius yang kental dengan simbol-
simbol islam menjadi inspirasi untuk membuat
bangunan ini dominan berwarna hijau. Warna
hijau ini sekaligus membuat bangunan ini lebih
menonjol dari bangunan sekitarnya. Ini
merupakan salah satu efek yang diharapkan agar
bangunan ini mudah dikenali.
Selain dua hal diatas hal ketiga yang perlu
diperhatikan adalah kawasan ini merupakan
kawasan bersejarah kerajaan Kesultanan Deli.
Apalagi tidak jauh dari lokasi dahulunya
terdapat salah satu Istana Deli yang sudah
dihancurkan waktu terjadinya revolusi sosial.
Kami melihat hal yang paling sering atau
signifikan dari citra bangunan Melayu adalah
ornamen pada lisplank. Ornamen ini hampir ada
disetiap bangunan bercitra Melayu. Dari Istana
sampai rumah rakyat jelata. Namun bentuk ini
perlu ditransformasikan dalam citra yang lebih
modern agar dapat melebur dengan bangunan.
Kami mencoba mengambil bentuk yang paling
sederhana dari ornamen tersebut yaitu bentuk
segitiga. Bentuk segitiga ini dibuat secara tiga
dimensi menjadi kulit bangunan pada lantai dua
bagian kotak yang masif.
SIRKULASI
Kami berharap ruang publik di lantai satu yang
merupakan area makan dapat menyatu dengan
ruang luar kota. Sehingga seolah-olah area
makan tersebut seperti bagian dari ruang kota
dan sebaliknya. Kami meniadakan pagar dan
parkir kendaraan berdekatan dengan area
makan. Hal ini untuk membuat penajaln kaki
dari berbagai sisi bangunan dapat melewati atau
mengunjungi area makan dengan leluasa. Ini
seperti pedestrian besar yang kami harapkan
bisa berkesinambungan dengan lingkungan
sekitar nantinya. Lalu bagaimana dengan
parkir??
Kebetulan pemilik masih memiliki areal kosong
tepat disamping jalan dan areal itu dijadikan
parkir sepeda motor dan mobil. Kantung parkir
seperti ini sangat diperlukan untuk menampung
pengunjung yang sering membludak pada
waktu-waktu tertentu atau sedang ada kegiatan
di-convention hall. Jalan disisi samping
bangunan relatif sepi sehingga pengunjung
dapat dengan mudah untuk menyeberang ke
area foodcourt.
Bagian samping bangunan yang berbatasan
langsung dengan Hotel Madani menjadi jalur
sirkulasi servis, menuju stan penjualan
makanan. Memasukan barang/bahan makanan
serta piring kotor dan bersih semua dilakukan
dari jalur ini. Lift makanan juga disiapkan untuk
mengangkut makanan ke lantai dua kalau ada
acara. Jalur service ini tidak terlihat oleh
pengunjung sehingga suasana di area makan
tetap terjaga.
Selain itu sirkulasi bagi pengunjung lantai dua
dan foodcourt perlu dipisahkan secara jelas.
Yaitu dengan menempatkan tangga di bagian
belakang bangunan dan disediakan lobby khusus
untuk menyambut tamu.
Site
Area Parkir
Jurnal Arsitektur dan Perkotaan “KORIDOR” vol. 02 no. 01, JAN 2011 : 30-34
34
PEMANFAATAN CAHAYA MATAHARI
DAN SIRKULASI UDARA ALAMI
Saat ini isu tentang penghematan energi sudah
menjadi isu global dan arsitek sebagai agen
perubahan dunia diharapkan memulai untuk
memanfaatkan energi alami sebesar mungkin
untuk mengurangi efek pemanasan bumi.
Karena itulah beberapa isu tentang penghematan
energi coba kami terapkan disini.
Pemanfaatan cahaya alami sangat diperlukan di
ruang convention hall karena dengan adanya
cahaya alami ini apabila acara dilakukan pada
waktu pagi atau siang hari ruangan ini sudah
cukup terang. Sehingga hanya perlu
menghidupkan lampu sebagian kecil saja.
Cahaya alami ini di dapat dari lubang cahaya di
celah atap. Dengan adanya sumber cahaya ini
ruangan menjadi lebih terang namun tidak silau
karena cahaya yang masuk merupakan pantulan
dari dinding, bukan cahaya langsung. Selain dari
lubang di celah atap, sumber cahaya juga
didapat dari dinding-dinding yang terdapat
ornamen segitiga yang mempunyai dua fungsi.
Selain memberikan cahaya alami ke dalam
ruangan sekaligus memasukan angin. Namun
pada saat penggunaan semua lubang angin
tersebut ditutup dengan acrilic sehingga cahaya
tetap masuk namun angin tidak dapat leluasa
lagi. Hal ini dirasa perlu karena suara bising dari
jalanan dapat direduksi sekecil mungkin dan
diperlukannya pengkondisian udara di ruangan
convention hall tersebut.
Bentuk-bentuk segitiga yang terdapat di dinding
lantai dua mempunyai fungsi tambahan di
eksterior yaitu lubang menyembunyikan lampu.
Segitiga yang muncul keluar di dalamnya
terdapat lampu hemat energi yang pada malam
hari akan menyala. Sedangkan segitiga yang
menghadap kedalam akan memberikan efek
yang sama apabila ruang dilantai dua digunakan
sehingga pengunjung dapat tahu kalau ada
kegiatan dilantai dua dengan melihat lampu
yang muncul dari segitiga yang menghadap
kedalam. Kami berharap bangunan ini dapat
menjadi urban lantern dikawasan tersebut
karena foodcourt ini buka sampai dini hari dan
dapat memberikan ruang positif.
PENUTUP
Sebuah proyek berskala besar atau kecil tetap
saja akan memberikan kontribusi terhadap ruang
kota dan iklim mikro. Kota Medan
membutuhkan rule model untuk banyak hal
bagaimana sebuah desain berkesinambungan
terhadap geniusloci kota, sehingga kota
berkembang ke arah yang lebih baik. Desain
Amaliun Foodcourt hanyalah sebuah titik kecil
dari kawasan ini. yang diharapkan dapat
memberikan tawaran alternatif pendekatan
terhadap kota dan argumentasi untuk
meyakinkan pemilik untuk mau memberikan
sebagian areal tanahnya untuk kota. Dan hal ini
terbukti mampu meningkatkan pendapatan
usaha tersebut. “Good design is good business”
kata seorang arsitek terkenal.
EVALUASI KINERJA ANGKUTAN KOTA MEDAN JENIS MOBIL
PENUMPANG UMUM (MPU)
STUDI KASUS: KOPERASI PENGANGKUTAN MEDAN (KPUM)
TRAYEK 64
THOMAS ANDRIAN
35
EVALUASI KINERJA ANGKUTAN KOTA MEDAN JENIS MOBIL
PENUMPANG UMUM (MPU)
STUDI KASUS: KOPERASI PENGANGKUTAN MEDAN
(KPUM) TRAYEK 64
Thomas Andrian, Abdul Majid Ismail, Basaria Talarosha
Program Studi Magister Teknik Arsitektur
Bidang Kekhususan Manajemen Pembangunan Kota
Abstract. A city with all its activities needs transportation in order to support it society movement, whether in city or
near the boarder of city region. Due to the condition, the public transportation should have good performance and
service, therefore accessibility and mobility problems can be handled or minimized. The purpose of this evaluation
of public transportation performance is to find out any factors, which influenced the performance of public
transportation.
This research started with a review toward the most existence transportation route with many lines and served two
main terminals in Medan city, such as Amplas Terminal and Pinang Baris Terminal Amplas Terminal is entrance
for the commuters come from Deli Serdang areas, and Pinang Baris Terminal is entrance for the commuters come
from Deli Serdang and Binjai areas.
This research only performance of public transportation from Amplas Terminal routes towards Pinang Baris
Terminal and not described of all public transportation routes in Medan. The data collection performed by direct
survey to the location and interview with the passengers.
There are recommendation and rules in performance or service of public transportation construction. The result of
literary study suggest that the most dominant factors in measuring performance of public transportation is time,
which consist of delaying time, routes time, waiting time, distance between stop corner, and the rate of mode
changes. In addition, based on the data collection in location show other finding such as there are unbalance in
preparing transportation device in every time section compared to the demand, it signed by a very low load factor
just about 38 % of Amplas Terminal toward Pinang Baris Terminal and 35 % for the vice versa in peak time in the
morning.
Keywords: The performance of public transportation, load factors, Medan
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kota-kota di Indonesia telah berkembang
dengan pesat dalam pengertian intensitas
aktivitas sosio ekonomi dan luas wilayah
perkotaannya seiring dengan kemajuan ekonomi
yang telah terjadi, kecenderungan saat ini
memperlihatkan bahwa tahun-tahun yang akan
datang perkembangan serupa akan terus terjadi.
Untuk memberikan pelayanan transportasi yang
baik, angkutan umum harus mampu
memberikan kinerja yang maksimal Masalahan
mobilitas dan aksesibilitas kendaraan
penumpang umum seperti: sistem operasi, jarak
antar kendaraan yang tidak menentu (head way),
perlambatan, kemacetan, kurang tepatnya
pengaturan lokasi pemberhentian, terbatasnya
rute pelayanan yang mengakibatkan terlalu
jauhnya jarak berjalan kaki serta terbatasnya
jumlah armada angkutan, diusahakan agar dapat
segera diminimalisir atau dihilangkan sama
sekali.
Penelitian yang dilakukan oleh Suryono (2006),
diketahui bahwa telah terjadi perjalanan bersifat
komuter atau ulang alik dari wilayah Binjai dan
Jurnal Arsitektur dan Perkotaan “KORIDOR” vol. 02 no. 01, JAN 2011 : 35-46
36
Deli Serdang ke Kota Medan sebanyak 240.595
orang per hari.
Saat ini para penglaju atau masyarakat yang
melakukan perjalanan komuter di wilayah
Mebidang (Medan-Binjai dan Deli Serdang)
masih menitikberatkan pada angkutan jenis
kecil/ MPU yaitu sebesar 70% (3.738
kendaraan) sisanya 30 % adalah jenis Mobil Bus
(1.652 kendaraan), walau pada kenyataannya
fisik bus dimaksud masih merupakan jenis
MPU, hanya susunan dan kapasitas tempat
duduk yang berbeda.
Tabel 1.1 Jumlah Armada Angkutan Komuter
di Pinggiran Kota Medan
Jenis Pelayanan Trayek Perusahaan Realisasi
Angkot BUS 48 14 1,580
MPU 61 6 2,514
Akdp BUS 21 8 72
MPU 41 12 633
Angdes MPU 56 14 591
Jumlah 227 54 5,390
Sumber : Suryono, 2006
1.2 Identifikasi Masalah
Dari penelitian yang telah dilakukan Suryono
(2006), diketahui bahwa Terminal Amplas
adalah merupakan pergerakan awal bagi para
penglaju dari arah selatan kota Medan
(Kabupaten Deli Serdang) dengan jumlah
penumpang sebesar 47.611 orang per harinya,
yang selanjutnya akan didistribusikan ke
berbagai tujuan di wilayah Kota Medan dan
sekitarnya.
Salah satu jenis angkutan kota yang beroperasi
dari terminal Amplas menuju Terminal Pinang
Baris adalah KPUM nomor trayek 64, dengan
jumlah armada sebanyak 160 unit kendaran
dengan lintasan trayek sebagai berikut:
Keluar:
Terminal Terpadu Amplas,Jl. Denai, Jl.SM.
Raja, Jl. Warni, Jl.Brigjen Katamso, Jl. Pemuda,
Jl. A.Yani, Jl.Sutoyo, Jl. Imam Bonjol, Jl.Cut
Nyak Dien, Jl.P.Diponegoro, Jl. Zainul Arifin,
Jl.Gajah Mada, Jl. KH.W.Hasyim, Jl. G.Subroto,
Jl.P.Baris.
Masuk:
Terminal Terpadu P.Baris, Jl. P.Baris,
Jl.G.Subroto, Jl.KH.W.Hasyim, Jl.Gajah Mada,
Jl.Iskandar Muda, Jl.Hayam Wuruk,
Jl.Mataram, Jl.P.Nyak Makam, Jl.Patimura,
Jl.Monginsidi, Jl.Juanda, Jl.Karim MS,
Jl.H.Misbach, Jl. Slamet Riyadi,
Jl.KH.A.Dahlan, Jl.Imam Bonjol, Jl.
Juanda, Jl.Juanda Baru, Jl. SM.Raja, Jl. P.
Denai, Terminal Terpadu Amplas.
Untuk itu guna memberikan pelayanan yang
baik kepada penumpang, secara terinci perlu
diketahui unjuk kerja atau kinerja pada trayek
dimaksud mengingat KPUM trayek 64 adalah
sebagai salah satu angkutan yang paling
dominan dalam menyebarkan/ mendistribusikan
perjalanan, baik bagi para penglaju, maupun non
penglaju yang berawal dari Terminal Amplas
dan berakhir atau bertujuan ke Terminal Pinang
Baris atau diantara keduanya.
1.2.1 Rumusan Masalah
Penyelenggaraan angkutan umum bukanlah
masalah yang sederhana, hal ini dikarenakan
adanya kepentingan yang saling bertolak
belakang antara pengguna jasa angkutan dan
penyedia jasa angkutan. Untuk itu evaluasi
terhadap kinerja angkutan menjadi hal yang
penting guna mengeliminir konflik kepentingan
antara pengguna dan penyedia jasa angkutan.
1.2.2 Batasan Masalah
Dalam penelitian ini kinerja angkutan umum
akan dibatasi hanya pada angkutan jenis mobil
penumpang umum (MPU) khususnya pada
trayek 64, variabel-variabel yang akan
dievaluasi adalah hanya pada variabel utama.
Untuk variabel khusus seperti kenyamanan,
keamanan tidak akan dibahas mengingat
penilaiannnya sangat subyektif untuk masing
masing individu.
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan yang akan dicapai dari penelitian ini
ialah:
1. Mengetahui varibel apa saja yang dapat
digunakan untuk mengevaluasi kinerja
angkutan umum.
EVALUASI KINERJA ANGKUTAN KOTA MEDAN JENIS MOBIL
PENUMPANG UMUM (MPU)
STUDI KASUS: KOPERASI PENGANGKUTAN MEDAN (KPUM)
TRAYEK 64
THOMAS ANDRIAN
37
2. Dari varibel yang didapat akan digunakan
untuk menilai unjuk kerja angkutan umum
jenis mobil penumpang (MPU) pada KPUM
trayek 64.
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini merupakan suatu bagian dari
proses penilaian kinerja angkutan umum
sehingga diharapkan kondisi pelayanan
angkutan umum yang sekarang dapat diperbaiki
dan ditingkatkan pelayanannya.
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.2 Konsep Pergerakan
Tamin, (1997) menyatakan dalam sistem
transportasi terdapat konsep dasar pergerakan
dalam daerah perkotaan yang merupakan prinsip
dasar dan titik tolak kajian di bidang
transportasi. Konsep tersebut terbagi dalam dua
bagian yaitu : (i) ciri pergerakan tidak spasial
(tanpa batas ruang) di dalam kota, misalnya
yang menyangkut pertanyaan mengapa orang
melakukan perjalanan, kapan orang melakukan
perjalan, dan jenis angkutan apa yang
digunakan, (ii) ciri pergerakan (dengan batas
ruang) di dalam kota, termasuk pola tata lahan,
pola perjalan orang dan pola perjalan barang.
2.2.1 Pergerakan Tidak Spasial
Ciri pergerakan tidak spasial adalah semua ciri
pergerakan yang berkaitan dengan aspek tidak
spasial, seperti sebab terjadinya pergerakan,
waktu terjadinya pergerakan dan jenis moda
yang digunakan.
2.2.2 Pergerakan Spasial
Konsep paling mendasar yang menjelaskan
terjadinya pergerakan atau perjalanan selalu
dikaitkan dengan pola hubungan antar distribusi
spasial perjalanan dengan distribusi tata guna
lahan yang terdapat pada suatu wilayah. Dalam
hal ini konsep dasarnya adalah bahwa suatu
perjalanan dilakukan untuk kegiatan tertentu di
lokasi yang dituju, dan lokasi kegiatan tersebut
ditentukan oleh pola tata guna lahan kota
tersebut, oleh karenanya faktor tata guna lahan
sangat berperan. Ciri perjalanan spasial, yaitu
pola perjalanan orang dan pola perjalanan
barang.
2.3 Bangkitan Perjalanan
Hobbs, (1995) menyatakan perjalanan dengan
aneka angkutan dan atau aneka maksud
perjalanan disederhanakan menjadi perjalanan
yang ditandai dengan satu jenis angkutan dan
satu maksud dengan mengabaikan tahap-tahap
antara pemberhentian untuk maksud sekunder.
2.4 Perjalanan dan Bepergian
Menurut Abler et.al (1972) dalam Suwarjoko
(1990), kalau kita berbicara masalah bepergian,
tekanan utama adalah pada hubungan antara
tempat asal dan dan tujuan, sedangkan bila kita
bicara masalah perjalanan kita memperhatikan
lintasan, alat angkut (kendaraan), kecepatan dan
semua yang terjadi atau kita lihat sepanjang
lintasan
Sedangkan perjalanan dilakukan dengan tujuan
menikmati kegiatan perjalanan itu sendiri atau
karena ada maksud tertentu, unsur kegiatan jasa
angkutan selain tentu saja ada unsur bepergian
didalamnya.
2.5 Faktor yang Mempengaruhi Pilihan
Moda
Bruton (1975), mengemukakan pemilihan moda
angkutan di daerah perkotaan bukanlah proses
acak, melainkan dipengaruhi oleh faktor
kecepatan, jarak perjalanan, kenyamanan,
kesenangan, biaya, keandalan, ketersediaan
moda, ukuran kota, serta usia, komposisi dan
status sosial ekonomi pelaku perjalanan. Semua
faktor ini dapat berdiri sendiri atau saling
bergabung. Beberapa faktor yang tidak dapat
dikuantifikasikan cenderung diabaikan dalam
analisis pemilihan moda, dengan pengertian
pengaruhnya kecil atau dapat diwakili oleh
beberapa peubah lain yang yang dapat
dikuantifikasikan, seperti kenyamanan,
keamanan, kepuasan.
Jurnal Arsitektur dan Perkotaan “KORIDOR” vol. 02 no. 01, JAN 2011 : 35-46
38
2.5.1 Kinerja Sistem Perangkutan Bruton (1970), mengemukakan derajat layanan/
kinerja yang ditawarkan oleh berbagai moda
angkutan adalah faktor yang patut
diperhitungkan pengaruhnya pada pencaran atau
pilihan moda angkutan. Dilain pihak, waktu
perjalanan dan banyaknya uang yang
dibelanjakan untuk angkutan umum maupun
pribadi juga berpengaruh pada pilihan moda
angkutan.
2.5.1.1 Waktu Nisbi Perjalanan
Waktu nisbi perjalanan dapat diterangkan
sebagai nisbah waktu perjalanan dari pintu ke
pintu antara angkutan umum dengan angkutan
pribadi. Alternatif ukuran lain menurut Bruton,
adalah selisih mutlak waktu perjalanan antara
kendaraan umum dan kendaraan pribadi.
2.5.1.2 Biaya Nisbi Perjalanan
Biaya nisbi perjalanan adalah perbandingan
antara biaya perjalanan dengan kendaraan umum
dan kendaraan pribadi
2.5.1.3 Derajat Nisbi Layanan
Ukuran yang dikembangkan oleh National
Capital Transportation Agency sangat khas dan
ditentukan oleh faktor yang disebut tambahan
waktu perjalanan, yaitu waktu yang digunakan
diluar kendaraan (umum maupun pribadi)
selama perjalanan tertentu misalnya waktu
berjalan, waktu menunggu, hambatan memarkir.
2.6 Standar Kinerja Angkutan Umum
Perencanaan perangkutan didefinisikan sebagai
proses yang tujuannya mengembangkan sistem
angkutan yang memungkinkan manusia dan
barang bergerak atau berpindah tempat dengan
aman dan murah. Selain itu masih ada unsur
cepat, jadi aman dan murah perangkutan juga
harus cepat. Bahkan untuk memindahkan
manusia, selain cepat, aman dan murah sistem
perangkutan harus pula nyaman (Pignataro,
1973 dalam Warpani 1990).
2.6.1 Parameter Kinerja Angkutan Umum
Sesuai Rekomendasi World Bank
Parameter angkutan umum sebagaimana yang
direkomendasikan World Bank dari hasil studi
pada negara-negara berkembang adalah sebagai
berikut:
a. Minimum Frekuensi,
Rata-rata 3 - 6 kendaraan/jam, minimum
1,5 - 2 kendaraan/jam.
b. Waktu Tunggu
Rata-rata 5 - 10 menit, maksimum 10 - 20
menit.
c. Jarak Mencapai Pemberhentian
Di pusat Kota 300 - 500 m, di pinggir Kota
500 - 1000 m
d. Tingkat Perpindahan
Rata-rata 0 – 1 kali , Maksimum 2 kali.
e. Waktu Perjalanan
Rata-rata 1 - 1,5 jam, Maksimum 2 jam.
f. Kecepatan Kendaraan
1) Daerah padat 10-12 Km/Jam
2) Daerah tidak padat 25 Km/jam
3) Dengan bus line/way 15-18 Km/jam
4) Biaya perjalanan 10-25 % dari
perkapita.
Konsep Tingkat Pelayanan AngkutanUmum
(Transportation Research Board, USA)
a. Waktu dan Jarak Berjalan Kaki
Tingkat
Pelayanan
Waktu
Berjalan Kaki
(menit)
Jarak Berjalan
Kaki(meter)
A < 2 0 -100
B 2-4 101-200
C 4-7,5 201-400
D 7,5-12 401-600
E 12-20 601-1000
F >20 >1000
EVALUASI KINERJA ANGKUTAN KOTA MEDAN JENIS MOBIL
PENUMPANG UMUM (MPU)
STUDI KASUS: KOPERASI PENGANGKUTAN MEDAN (KPUM)
TRAYEK 64
THOMAS ANDRIAN
39
b. Perpindahan dan Waktu Menunggu
Tingkat
Pelayanan
Jumlah
Perpindahan
Angkutan
Umum
Waktu
Menunggu(menit)
A 0 -
B 1 <5
C 1 5-10
D 1 >10
E 2
F >2
c. Waktu Menunggu
Tingkat
Pelayanan
Waktu Menunggu (menit)
>8 9-12 13-20 >21
A 85-
100%
90-
100%
95-
100%
89-
100%
B 75-84 80-89 90-94 95-98
C 66-74 70-79 80-89 90-94
D 55-65 60-69 65-79 75-89
E 50-54 50-59 50-64 50-74
F <50 <50 <50 <50
d. Headway dan Kepadatan Penduduk
Tingkat
Pelayanan
Kepadatan Penduduk/km2
>4000 3000-4000
Headway
(menit)
Headway (menit)
Sibuk Tak
Sibuk
Sibuk Tak
Sibuk
A <2 <5 4 <9
B 2-4 15-19 5-9 10-14
C 5-9 10-14 10-14 15-19
D 10-14 15-20 15-19 20-29
E 15-20 21-30 20-30 30-60
F >20 >30 >30 >60
Tingkat
Pelayanan
Kepadatan Penduduk/km2
2000-3000 750-2000
Headway (menit) Headway (menit)
Sibuk Tak
Sibuk
Sibuk Tak
Sibuk
A <9 <14 <9 <14
B 10-15 15-19 10-14 15-29
C 15-24 20-30 15-24 30-44
D 25-39 31-45 25-39 45-59
E 40-60 46-40 40-60 60-19
F >60 >60 >60 >90
e. Kepadatan penumpang
Tingkat
Pelayanan
Kepadatan Penumpang
A Tempat duduk terpisah dengan
sandaran yang tinggi
B Tempat duduk sejajar membujur per
penumpang minimum 0,46 m2/pnp
C Tempat duduk sejajar melintang per
penumpang minimum 0,46 m2/pnp
D Tempat duduk 0,28-0,46 m2/pnp
atau faktor muat 100-110 %
E Faktor muat 111-125%
F Faktor muat >125%
f. Indeks Waktu Perjalanan terhadap
Kendaraan Pribadi
Tingkat
Pelayanan
Indeks
Waktu
Perjalanan
Keterangan
A < 2 Indeks waktu
perjalanan= waktu
perjalanan
<td
width="121" v
3. METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Objek Penelitian
Objek pada penelitian ini adalah angkutan
umum di Kota Medan, jenis mobil penumpang
umum KPUM dengan nomor trayek 64, yang
memiliki rute trayek terminal Amplas ke
terminal Pinang Baris pulang pergi
3.2 Kebutuhan Data
Data yang dibutuhkan dalam penelitian adalah
data yang relevan untuk dipergunakan dalam
analisis. Data yang dibutuhkan ini meliputi data
primer dan data sekunder.
3.3 Teknik Pengumpulan Data
Guna memperoleh data yang sesuai dengan
kebutuhan, maka dilakukan beberapa survai
yang meliputi:
a. Survai Dinamis (diatas kendaraan)
b. Survai Statis (diluar kendaraan)
Jurnal Arsitektur dan Perkotaan “KORIDOR” vol. 02 no. 01, JAN 2011 : 35-46
40
c. Survai inventarisasi potensi pembangkit
pergerakan
3.4 Proses Pengolahan Data
Data yang telah dikumpulkan dari hasil survai
lapangan disusun dan diolah dalam bentuk tabel,
grafik dan gambar. Pengolahan data dibagi
dalam beberapa bagian yang menggambarkan
kinerja pelayanan angkutan umum (KPUM) rute
64 yang meliputi hubungan antara trayek dan
tata guna lahan di sekitar jalan yang menjadi
rute layanan angkutan umum (KPUM) rute 64,
kecepatan rata-rata tiap ruas jalan yang dilalui,
rata-rata waktu tempuh tiap ruas jalan yang
dilalui, rata-rata jumlah penumpang naik dan
turun tiap ruas, segmentasi penumpang ,waktu
tundaan, jumlah perpindahan moda angkutan
sesudah maupun sebelum menggunakan
angkutan, jarak berjalan ke pemberhentian. Dari
data yang diperoleh akan dihitung beberapa
indikator yang ideal, baik dari sisi jumlah
angkutannnya, waktu lamanya perjalanan,
perjalanan pulang pergi, kebutuhan angkutan
optimal, arus penumpang pada jam sibuk.
3.5 Populasi dan Sampel
Populasi pada penelitian ini adalah jumlah
armada angkutan (KPUM) rute 64 sesuai ijin
yang terdapat pada Keputusan Walikota Medan
Nomor 551.21/339/K/2008 tentang
Perpanjangan Izin Trayek Angkutan Kota Jenis
Mobil Penumpang Umum yang berjumlah
sebanyak 160 unit kendaraan.
Sedangkan untuk menentukan jumlah sampel
wawancara kepada penumpang adalah dengan
menggunakan rumus:
n = N / (Nd2+ 1)
Dimana : N = Jumlah populasi
d = Derajat kecermatan
n = Jumlah sampel
Untuk penelitian ini nilai derajat kecermatan
diambil 5 % yang berarti bahwa derajat
kecermatan yang diinginkan menunjukkan
tingkat ketepatan dalam mencapai 95 % jaminan
ketepatan.
Jumlah populasi adalah jumlah penumpang yang
menggunakan angkutan selama 12 jam operasi,
adalah sebesar 28036 penumpang. Berdasarkan
rumus sebagaimana tersebut di atas maka jumlah
sampel yang diteliti adalah:
N= 28.036 / (28.036 X 0.052 +1) = 394
penumpang.
Dengan demikian besarnya sampel yang
diperoleh adalah sebanyak 394 penumpang,
tetapi untuk mempermudah pengambilan
sampel maka jumlah sampel dikurangi sehingga
diambil angka dengan jumlah sampel sebanyak
100.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Rute Angkutan dan Tata Guna
Lahan
Pada angkutan KPUM rute 64 fungsi tata guna
lahan yang dilalui didominasi oleh pusat bisnis
(CBD), pendidikan, pemerintahan dan yang
penting adalah terminal sebagai awal dan akhir
dari suatu perjalanan dengan kepadatan sedang
dan tinggi, detail fungsi tata guna lahan dan
kepadatan yang dilalui oleh angkutan KPUM
rute 64 adalah sebagai berikut :
EVALUASI KINERJA ANGKUTAN KOTA MEDAN JENIS MOBIL
PENUMPANG UMUM (MPU)
STUDI KASUS: KOPERASI PENGANGKUTAN MEDAN (KPUM)
TRAYEK 64
THOMAS ANDRIAN
41
Gambar 4.1 Fungsi Tata Guna Lahan pada Kecamatan yang Dilalui
Oleh Angkutan KPUM Rute 64
KEC. MEDAN PETISAH
Perumahan, perkantoran, konservasi,
lapangan golf, hutan kota
KEC. MEDAN BARAT
Perumahan, perkantoran, konservasi,
lapangan golf, hutan kota
KEC MEDAN
SUNGGAL
Perumahan,
perkantoran,
konservasi,
lapangan
golf, hutan
kota
KEC. MEDAN
BARU
Pusat bisnis
(CBD), pusat
pemerintahan
, hutan kota,
pusat
pendidikan
KEC. MEDAN POLONIA
Pusat bisnis (CBD), pusat
pemerintahan,hutan kota, pusat
pendidikan
KEC. MEDAN AMPLAS
Perumahan, industri terbatas, terminal
barang/ pergudangan
KEC. MEDAN
KOTA
Pusat bisnis
(CBD), pusat
pemerintahan
, hutan kota,
pusat
pendidkan
KEC. MEDAN
MAIMUN
Pusat bisnis
(CBD), pusat
pemerintahan
, hutan kota,
pusat
pendidkan
4.2 Jenis Perjalanan
Dari hasil wawancara yang dilakukan kepada
penumpang diketahui jenis perjalanan selama
12 jam ( 06.00 WIB s/d 18.00 WIB) operasi
Angkutan KPUM rute 64 adalah sebagaimana
terlihat pada gambar berikut.
18%
20%
49%
7% 6% Bekerja
Sosial
Pendidikan
Hiburan
Kebudayaan
Gambar 4.2 Prosentase Jenis Perjalanan
Pada KPUM Rute 64
Kinerja Angkutan Umum
4.3.1 Waktu Tempuh Tiap Ruas
Waktu Tempuh Rata-Rata
Arah Terminal Amplas - Terminal P. Baris
0
5
10
15
20
25
Term
inal T
erp
adu
Jl. S
isin
gam
angara
ja
Jl. P
em
uda -
Jl.
Jl.S
uto
yo -
Jl. I
mam
Jl. C
ut
Nyak D
ien -
Jl. Z
ain
ul A
rifin -
Jl.
Jl. K
H.W
. H
asyim
-
Jl. P
inang B
aris -
(Menit)
Peak Pagi
Of Peak
Peak Sore
Jurnal Arsitektur dan Perkotaan “KORIDOR” vol. 02 no. 01, JAN 2011 : 35-46
42
Waktu tempuh Rata-Rata
Arah Terminal P. Baris-Terminal Amplas
05
1015202530
Term
inal
terp
adu P
inang.
Jl.G
ato
t S
ubro
to
- Jl. K
H.
W.
Jl. G
aja
h M
ada -
Jl. H
ayam
Jl. M
ata
ram
- J
l.
P N
yak M
akam
Jl. P
atim
ura
- J
l.
Mongin
sid
i
Jl. J
uanda -
Jl.
Sis
ingam
angara
Jl. P
angera
n
Denai -
Term
inal
(Menit) Peak Pagi
Of Peak
Peak Sore
Gambar : 4.3 Waktu Tempuh Rata-Rata per
Ruas Tiap Arah
4.3.2 Kecepatan Tiap Ruas
Kecepatan adalah faktor penentu dalam
penilaian kinerja angkutan umum, kecepatan
adalah fungsi dari jarak dibagi dengan waktu
tempuh, guna memberikan gambaran secara
lebih detil maka kecepatan dihitung
berdasarkan pada jarak tiap ruas pada jaringan
jalan yang dilalui, hal ini untuk mengetahui
tingkat tundaan yang terjadi setiap simpangnya.
Kecepatan Tiap Ruas
Arah Terminal Amplas-Terminal P. Baris
-10.020.030.040.050.060.0
Term
inal
Jl.
Jl. P
em
uda -
Jl.
Jl.S
uto
yo -
Jl.
Jl. C
ut
Nyak
Jl. Z
ain
ul A
rifin -
Jl. K
H.W
.
Jl. P
inang B
aris
(Km
/jam
) Peak Pagi
Of Peak
Peak Sore
Kecepatan Tiap Ruas
Arah Terminal P. Baris-Terminal Amplas
-5.0
10.015.020.025.030.035.040.045.050.0
Term
inal te
rpadu
Pin
ang.
Baris-
Jl.G
ato
t S
ubro
to -
Jl. K
H.
W.
Jl. G
aja
h M
ada -
Jl. H
ayam
Wuru
k
Jl. M
ata
ram
- J
l. P
Nyak M
akam
Jl. P
atim
ura
- J
l.
Mongin
sid
i
Jl. J
uanda -
Jl.
Sis
ingam
angara
ja
Jl. P
angera
n
Denai -
Term
inal
(Km
/jam
)
Peak Pagi
Of Peak
Peak Sore
Gambar : 4.4 Kecepatan Tiap Ruas Tiap Arah
4.3.3 Waktu Tundaan
Waktu tundaan adalah waktu yang
mengakibatkan perjalanan angkutan umum
tertunda sebagai akibat lalu lintas, naik turun
penumpang maupun tundaan yang diakibatkan
persimpangan sebagai akibat adanya lampu
merah/ traffic light. Secara terinci jumlah
waktu tundaan pada masing-masing simpang
pada tiap ruas jalan yang dilalui angkutan
KPUM rute 64 sebagaimana terlihat pada tabel
berikut.
Waktu Tundaan Tiap Ruas
Arah Terminal Amplas-Terminal P. Baris
01020304050607080
Jl.S
isin
gam
anga
Jl.S
isin
gam
anga
Jl.S
isin
gam
anga
Jl.Juanda-
Jl.B
rigje
n
Jl.S
uto
yo-
Jl.Z
ain
ul A
rifin-
Jl.G
ato
t
Jl.G
ato
t
( D
etik) Peak Pagi
Of Peak
Peak Sore
Waktu Tundaan Tiap Ruas
Arah Terminal P.Baris-Terminal Amplas
0102030405060708090
100
Jl.G
ato
t S
ubro
to-
Jl.G
ato
t S
ubro
to-
Jl.Z
ain
ul A
rifin-
Jl.N
yak M
akam
-
Jl.M
ongin
sid
i-
Jl.Juanda-
Jl.S
isin
gam
angar
Jl.S
isin
gam
angar
Jl.S
isin
gam
angar
(Detik) Peak Pagi
Of Peak
Peak Sore
Gambar : 4.5 Waktu Tempuh Tiap Ruas Tiap
Arah
4.3.4 Jarak ke pemberhentian
Dari 100 penumpang yang diwawancarai 38 %
menyatakan melakukan perjalanan sejauh 100
m untuk mencapai tujuan, 33 % menyatakan
melakukan perjalanan sejauh 50 m untuk
mencapai tujuan
EVALUASI KINERJA ANGKUTAN KOTA MEDAN JENIS MOBIL
PENUMPANG UMUM (MPU)
STUDI KASUS: KOPERASI PENGANGKUTAN MEDAN (KPUM)
TRAYEK 64
THOMAS ANDRIAN
43
38
33
11
15 3100 M
50 M
200 M
25 M
300 M
Gambar : 4.6 Jumlah Penumpang Menuju
Tempat Pemberhentian
4.4. Load Faktor
4.4.1 Load Faktor Statis
Dalam penelitian ini load factor atau faktor
muat statis ditujukan untuk menghitung
kedatangan kendaraan tiap selang waktu (head
way), sehingga diharapkan dapat diketahui
frekwensi kendaraan tiap periode waktunya,
baik pada waktu sibuk pagi dan sore maupun
pada waktu off peak. Faktor muat tiap periode
waktu angkutan KPUM rute 64 adalah sebagai
berikut.
Amplas-P.Baris
21%
21%
22%
Peak Pagi
Off peak
Peak Sore
Amplas-P.Baris
21%
21%
22%
Peak Pagi
Off peak
Peak Sore
Gambar: 4.7 Prosentase Penumpang Masing-
Masing Arah Tiap Periode Waktu
4.4.2 Load Faktor Dinamis
Pada load factor dinamis penghitungan
dilakukan secara dinamis, artinya pencatatan
dilakukan sepanjang awal perjalanan sampai
dengan ahkir perjalanan, pencatatan dilakukan
tiap ruas jalan yang dilalui oleh angkutan
KPUM rute 64 sehingga akan diketahui jumlah
permintaan per ruas jalan, dan dimana saja
banyak terdapat naik dan turun penumpang.
Prosentase jumlah penumpang pada tiga
rentang waktu masing masing arah adalah
sebagai berikut:
Amplas-P. Baris
38%
29%
33%
Peak Pagi
Off Peak
Peak Sore
P.Baris-Amplas
35%
29%
36%Peak Pagi
Off Peak
Peak Sore
Gambar : 4.8 Prosentase Penumpang Tiap
Periode Waktu
4.5 Kebutuhan Angkutan Umum
Kepadatan arus penumpang dalam satu hari
mengalami fluktuasi atau perubahan sesuai
dengan kesibukan dan kegiatan yang dilakukan
oleh pelaku perjalanan. Dari data yang
dihimpun melalui survai diatas kendaraan
(survai load factor dinamis) diperoleh data
pada masing masing rentang waktu peak pagi,
Jurnal Arsitektur dan Perkotaan “KORIDOR” vol. 02 no. 01, JAN 2011 : 35-46
44
off peak dan peak sore, diketahui terjadi
permintaan penumpang yang terbesar adalah
pada peak pagi 10.269 orang diikuti peak sore
9.617 orang dan off peak 8.150 orang, untuk
itu perlu diatur untuk bagaimana caranya
melayani distribusi penumpang pada masing-
masing periode waktu dengan cara yang
efisien.
4.5.1 Arus Penumpang Pada Jam Sibuk
Dalam kerangka ruang atau waktu ternyata
jumlah total perjalanan pada sesi waktu peak
pagi ( 07.00 s/d 09.00 WIB) dan sore (16.00 s/d
18.00 WIB), selama rentang waktu masing-
masing 2 jam ( ternyata mampu
membangkitkan permintaan sebesar 37 %
(10.269 orang) untuk peak pagi dan 34 %
(9.617 orang) untuk peak sore sedangkan untuk
off peak (09.00 s/d 16.00 WIB) yang memakan
waktu selama 8 jam hanya menghasilkan 29 %
(8.150 orang).
Peak Pagi,
10269
Off Peak, 8150
Peak Sore,
9617
Gambar : 4.9 Total Jumlah Penumpang Tiap
Periode Waktu
4.5.2 Waktu Perjalanan Pulang Pergi
Waktu perjalanan pulang pergi adalah waktu
yang dibutuhkan dalam melakukan perjalanan
dari dari Terminal Amplas ke Terminal Pinang
Baris dan kembali lagi ke Terminal Amplas,
waktu yang dibutuhkan termasuk waktu
menurunkan dan menaikkan penumpang dan
deviasi waktu perjalanan untuk tiap arah yang
umumnya diasumsikan sebesar 5 % 1 ,
sedangkan waktu henti di terminal
diasumsikan sebesar 10 %2 , dari waktu antar
terminal
Tabel 4.1 Waktu Perjalanan Pulang Pergi Tiap
Periode Waktu
Waktu
(menit)
Peak Off peak
Pagi Sore
TAB 111 96 76
TBA 88 97 80
σ AB2 5.6 4.8 3.8
σ BA2 4.4 4.85 4
TTA 11.1 9.6 7.6
TTB 8.8 9.7 8
CT ABA 229 222 179
4.5.3 Kebutuhan Angkutan Optimal
Mengingat adanya fluktuasi arus penumpang
maupun angkutan umum dan lalu lintas, agar
penumpang, operator dan para pengguna jalan
lainnya tidak saling dirugikan maka perlu
ditempuh suatu cara untuk dapat mengatasinya,
terutama pada jam sibuk sehingga dapat
disediakan armada yang seimbang dengan
jumlah permintaannya sebagai berikut :
a. Jam Sibuk (peak pagi dan sore )
Setiap angkutan umum KPUM rute 64
dapat mengangkut penumpang dengan
load facktor maksimal 100 % (16 orang).
b. Jam Sepi (off peak)
Setiap angkutan umum KPUM
diupayakan agar dapat mengangkut
penumpang dengan load factor 60 % (10
orang).
4.5.4 Faktor Muat Ideal
Menurut Undang Undang Nomor: 14 Tahun
1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
faktor muat yang ideal adalah sebesar 70 %.
Oleh karenanya penambahan kendaraan pada
suatu rute baru dapat dilakukan apabila angka
faktor muat 70 % telah tercapai.
4.6. Waktu
4.6.1 Waktu Tunggu
Waktu tunggu penumpang pada pemberhentian
merupakan fungsi dari tingkat kedatangan
(headway) angkutan dalam satuan waktu
tertentu yang diturunkan dari frekwensi
perjalanan angkutan umum.
EVALUASI KINERJA ANGKUTAN KOTA MEDAN JENIS MOBIL
PENUMPANG UMUM (MPU)
STUDI KASUS: KOPERASI PENGANGKUTAN MEDAN (KPUM)
TRAYEK 64
THOMAS ANDRIAN
45
Tabel 4.2 Waktu Tunggu Tiap Arah
Arah
Waktu Tunggu (Menit) Rata-
rata
(12
jam)
Peak
Pagi [ a
]
(2 jam)
Off
Peak [ b
]
(8 jam)
Peak
Sore [
c ]
(2jam)
Terminal
Amplas
-
Terminal
P.Baris
3.9 3.5 5.2 6.2
Terminal
P.baris -
Terminal
Amplas
4.4 4.3 4.6 7.2
Sehingga waktu perjalanan diekspresikan
sebagai
Tj = 2 Tw + Td + Tt
dimana :
Tj = Waktu perjalanan total penumpang
Tw =Waktu berjalan kaki ke pemberhentian
Td =Waktu menunggu angkutan/ kendaraan di
pemberhentian
Tt =Waktu perjalanan di atas kendaraan
Data yang diperlukan dalam penghitungan
waktu perjalanan ialah
a. Rata-rata waktu tunggu penumpang pada
pemberhentian
b. Rata-rata kecepatan perjalanan angkutan
c. Rata-rata perjalanan penumpang di atas
kendaraan
Tabel 4.3 Waktu Perjalanan Tiap Arah
Rute Jarak
(Km)
Tj = Waktu Perjalanan
(menit)
2T
W Td Tt Jmlh
Terminal
Amplas-
Terminal
P. Baris
19,.3
6 2.4 1.95
94.3
3
98.6
8
Terminal
P. Baris-
Terminal
Amplas
19,18 2.4 2.15 88.3
0
92.8
5
4.7 Tingkat Pergantian Moda
Dari hasil wawancara dengan penumpang
diketahui saat ini sebanyak 60 % penumpang
melakukan pergantian moda 2 kali, 20 %
penumpang melakukan pergantian moda 1 kali
dan terdapat sebayak 20 % penumpang yang
melakukan pergantian moda sebanyak 3 kali.
Dari sampel yang diambil rata-rata pergantian
moda pada angkutan umum rute 64 adalah
sebanyak 2 kali pergantian moda.
60%20%
20%
2 kali
1 kali
3 kali
5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
1. Dari sisi lintasannya, trayek angkutan
KPUM 64 sangat baik karena melewati
rute yang tata guna lahannya didominasi
oleh daerah CBD, pusat pemerintahan,
pusat pendidikan, perumahan, perkantoran
yang artinya pusat-pusat kegiatan yang ada
dapat dengan mudah diakses penumpang.
2. Terdistribusinya penumpang naik dan
penumpang turun yang hampir merata pada
setiap ruas jalan yang dilalui
mengidikasikan adanya permintaan
angkutan yang merata pada setiap ruas, hal
ini tidak terlepas dari fungsi tata guna lahan
yang dilalui oleh KPUM rute 64 yang
secara umum adalah Pusat bisnis (CBD),
pusat pemerintahan, hutan kota dan pusat
pendidikan dengan kepadatan sedang
hingga tinggi.
3. Hasil evaluasi kinerja angkutan KPUM rute
64 menunjukkan bahwa beberapa variabel
menunjukkan angka yang masih di bawah
nilai yang disarankan masing yaitu:
frekwensi (15 kendaraan), waktu tunggu (4
menit), jarak mencapai pemberhentian (89
Jurnal Arsitektur dan Perkotaan “KORIDOR” vol. 02 no. 01, JAN 2011 : 35-46
46
meter), tingkat perpindahan (2 kali), waktu
perjalanan (1,5 jam), sedangkan faktor
kecepatan khususnya pada daerah padat
angkanya menunjukkan diatas rekomendasi
yang disarankan yaitu sebesar 13 Km/ jam
sedangkan angka yang direkomendasikan
adalah 10 Km/ jam sampai dengan 12 Km/
jam.
4. Untuk waktu tempuh dari awal hingga
akhir perjalanan atau sebaliknya rata-rata
memerlukan waktu yang cukup lama yaitu
92 menit, lamanya waktu tempuh tidak
terlepas dari tingginya waktu tundaan yang
rata-rata mencapai 27 menit pada setiap
tiga rentang waktu (peak pagi, peak sore off
peak).
5. Load FactorDinamis pada KPUM rute 64
ini sangat rendah dengan rata –rata pada
tiga rentang waktu (peak pagi, peak sore
off peak) rata-rata hanya mencapai 23 %.
Dengan artian bahwa jumlah tempat duduk
yang disediakan tidak terisi penuh (100 %).
Dengan demikian telah terjadi kelebihan
supplay dibandingkan demand yang ada.
6. Khusus untuk jarak antar kendaraan (head
way) nilai yang ada sangat jauh dibawah
nilai yang disarankan oleh World Bank, hal
ini dari sisi penumpang tentunya sangat
menguntungkan tetapi dilain sisi
sebenarnya telah terjadi pemborosan yang
besar dikarenakan supplay yang terlalu
besar jika dibandingkan demand yang ada.
5.2 Saran
1. Dalam jangka pendek, tanpa mengganti
jenis kendaraan yang ada saat ini untuk
menghindari terjadinya pemborosan dalam
penyelenggaraan angkutan umum, perlu
dilakukan langkah yang segera, terutama
guna mengoptimalkan faktor muat (load
factor), hal ini dapat dilakukan dengan
cara meningkatkan head way kendaraan
menjadi lebih besar dari yang ada saat ini
yaitu lebih besar dari 4 menit.
2. Jangka panjang guna meningkatkan
efisiensi perlu dimulai langkah-langkah
untuk mengoperasikan angkutan massal
dengan daya angkut yang lebih besar
seperti bus maupun KA.
DAFTAR PUSTAKA
Bappeda Kota Medan (2005), Rencana Umum
Tata Ruang Kota Medan
Badan Pusat Statistik Kota Medan, 2007,
Medan Dalam Angka 2007
Glasson, J., 1974, Pengantar Perencanaan
Regional. Bagian Satu Dan Dua,
Terjemahan Paul Sihotang, LPFE-UI.
Jakarta
Hobbs F.D., (1995), Perencanaan dan Teknik
Lalu Lintas, edisi kedua, Gajah Mada
University Press, Yogyakarta, 1995
Ofyar Z.Tamin, (1997), Perencanaan dan
Pemodelan Transportasi, ITB,
Bandung, 1997
Syafiatun, S, 2007, Kajian Preferensi
Bermukim di Daerah Perbatasan Kota,
Studi Kasus Kelurahan Gedung Johor
Kecamatan Medan Johor Kota Medan
dan Desa Delitua Kecamatan
Namorambe Kabupaten Deli Serdang
Sinuligga, B. D., 2005, Pembangunan Kota,
Tinjauan Regional dan Lokal, Pustaka
Sinar Harapan
Supranto, J, 1997, Statistik Teori dan Aplikasi,
Edisi Kelima, Erlangga, Jakarta, 1997
CITRA LAPANGAN MERDEKA MEDAN
MENURUT APRESIASI PEREMPUAN
ANNA LUCY RAHMAWATI
47
CITRA LAPANGAN MERDEKA MEDAN
MENURUT APRESIASI PEREMPUAN
Anna Lucy Rahmawati, Julaihi Wahid, Achmad Delianur Nasution
Program Studi Magister Teknik Arsitektur
Bidang Kekhususan Manajemen Pembangunan Kota
Universitas Sumatera Utara
Abstrak. Kehadiran perempuan adalah salah satu indikator keberhasilan ruang terbuka publik. Dalam
penelitian ini, Lapangan Merdeka Medan terdefinisi sebagai central square yang berhasil dengan terpenuhinya
beberapa indikator keberhasilan ruang terbuka publik, termasuk kehadiran perempuan di dalamnya.
Tolok ukur kualitas lingkungan pada umumnya dapat ditafsirkan melalui citra yang muncul dari lingkungan
tersebut. Dengan kata lain, penelusuran citra penting dilakukan karena ia bermakna kualitatif dan bersifat
evaluatif. Bagaimanakah citra Lapangan Merdeka Medan sebagai sebuah central square yang berhasil dapat
diketahui melalui apresiasi perempuan yang memiliki pengalaman atas kehadirannya di Lapangan Merdeka
Medan.
Penelitian ini menggunakan skala pengukuran Semantic Differential Scale (SDS), yaitu jenis skala pengukuran
sikap seseorang terhadap suatu konsep tertentu dengan menggunakan pasangan kata sifat yang memiliki makna
berlawanan (positif >< negatif).
Sebagai kesimpulan diperoleh bahwa citra Lapangan Merdeka Medan menurut apresiasi perempuan bermakna
“cukup positif”. Makna evaluatif yang terkandung dari citra ini memperlihatkan kualitas Lapangan Merdeka
Medan masih perlu ditingkatkan sampai pada makna tertinggi yang dipakai dalam penelitian ini, yaitu citra
yang “sangat positif”.
Kata kunci: perempuan, ruang terbuka publik yang berhasil, apresiasi, citra
PENDAHULUAN
Kehadiran perempuan dinyatakan oleh Whyte
(1988) dan Carmona, et al. (2003) sebagai salah
satu indikator dan kunci keberhasilan ruang
terbuka publik. Hal ini mengandung implikasi
bahwa dimana terdapat kehadiran perempuan
dalam suatu ruang terbuka publik, maka ruang
terbuka publik tersebut memiliki kualitas
tertentu yang memenuhi kebutuhan perempuan
secara fisik dan psikologis.
Kawasan Lapangan Merdeka Medan merupakan
bagian awal terbentuknya Kota Medan yang
diawali sebagai daerah perkebunan tembakau
Deli. Di sudut barat laut Lapangan Merdeka
terletak Kantor Pos Besar yang merupakan titik
nol Kota Medan. Setelah tahun 1927, area seluas
kurang lebih 175m x 275m akhirnya ditetapkan
sebagai taman kota (Passchier, 1995). Di
lapangan ini terjadi beberapa peristiwa
bersejarah dan hingga saat ini Lapangan
Merdeka dan sekitarnya merupakan kawasan di
Pusat Kota Medan dengan konsentrasi bangunan
bersejarah yang sangat tinggi, sebagai hasil
peninggalan arsitektur pada masa kolonial
Belanda.
Lapangan Merdeka Medan saat ini terdefinisi
sebagai ruang terbuka publik di pusat kota yang
berhasil, baik secara topografis (aspek fisik)
maupun prosedural (aspek kegiatan) dan
berdasarkan indikator waktu operasional serta
Jurnal Arsitektur dan Perkotaan “KORIDOR” vol. 02 no. 01, JAN 2011 : 47-56
48
kehadiran banyak orang, termasuk di dalamnya
adalah perempuan.
Kehadiran perempuan dalam suatu ruang
terbuka publik menjadi fokus amatan yang
menarik karena terkait dengan issue gender
yang membicarakan perbedaan laki-laki dan
perempuan sebagai hasil konstruksi sosial
masyarakat. Sejauh mana keberhasilan
Lapangan Merdeka Medan, kualitas-kualitas
yang dimilikinya dan bagaimana ia memenuhi
kebutuhan perempuan untuk berada di sana,
dapat terungkap melalui kegiatan pencarian citra
dimana di dalamnya terkandung nilai-nilai
kualitatif.
TUJUAN
Menemukan faktor-faktor penting yang
berpengaruh dalam peningkatan kualitas fisik
Lapangan Merdeka Medan, dan menemukan
suatu kesimpulan tentang Citra Lapangan
Merdeka Medan yang dihimpun dari penilaian
dan apresiasi perempuan.
TINJAUAN PUSTAKA
1. Definisi Citra
Dalam konteks kekotaan, definisi tipikal dari
citra kota diberikan oleh Kotler et al. 1993
(dalam Laaksonen et al. 2006), yang
menggambarkannya sebagai “sejumlah
keyakinan, ide dan kesan yang dimiliki
seseorang terhadap suatu tempat”. Citra kota
juga didefinisikan sebagai "gambaran mental
dari sebuah kota sesuai dengan rata-rata
pandangan masyarakatnya" (Lynch, 1960).
Citra lingkungan merupakan hasil dari proses
dua arah antara pengamat dan lingkungan yang
diamatinya (Lynch, 1960 p.6). Citra juga
dijelaskan sebagai “titik kontak antara orang dan
lingkungannya” (Downs 1967 dalam Rapoport
1977) yang kemudian menghubungkan mereka
pada suatu perilaku tertentu (Rapoport 1977
p.43). Lingkungan memberikan kesan tentang
perbedaan dan hubungan, dan pengamat
(dengan kemampuannya beradaptasi dan dalam
tujuan-tujuannya) memilih, mengorganisasi dan
memberikan makna menurut apa yang
dilihatnya. Hal ini menjelaskan bahwa citra
dapat sangat bervariasi di antara pengamat yang
berbeda (Lynch, 1960 p.6) dan sebuah kota juga
dapat memiliki makna yang berbeda untuk
orang yang berbeda pula (Rapoport 1977).
2. Ruang Terbuka Publik
2.1. Definisi Ruang Terbuka Publik
Berdasarkan Arti Kata
Menurut J.B.Jackson, 1985 (dalam Marcus
&Francis, 1998) plaza adalah suatu bentukan
dalam kota yang berfungsi sebagai tempat
berkumpul masyarakat untuk penikmatan secara
pasif. Atau dengan kata lain, place, plaza dan
piazza adalah suatu bentuk ruang terbuka publik
(public open space) di dalam kota. Salah satu
prinsip place secara estetis adalah memiliki
gambaran visual.
Dalam salah satu tulisannya, Lynch (1965)
mendefinisikan ruang terbuka publik dengan
terlebih dahulu mengartikan kata “open” atau
“terbuka” sebagai: bebas untuk dimasuki atau
digunakan, tidak terganggu, tidak terbatas, dapat
dicapai dengan mudah, tersedia, terbuka, tanpa
batasan waktu, jelas, tidak ditentukan, bebas
lepas, responsif, siap untuk mendengar atau
melihat seperti dalam hati yang terbuka, mata
terbuka, tangan terbuka, pikiran terbuka, rumah
yang terbuka, kota yang terbuka.
Dari segala kemungkinan, alun-alun (square)
adalah yang pertama ditemukan dalam
penggunaan ruang kota (Krier, 1979). Menurut
J.B. Jackson (1985) dalam Marcus & Francis
(1998), alun-alun adalah suatu bentuk kota yang
menarik orang-orang untuk penikmatan secara
pasif. Lynch (1981, 443) dalam Marcus &
Francis (1998) mengatakan bahwa "alun-alun
dimaksudkan sebagai suatu fokus aktivitas,
berada di pusat wilayah perkotaan yang intensif.
2.2. Definisi Ruang Terbuka Publik
Berdasarkan Tipologi dan Karakteristik
Melalui riset dan penelitiannya, Carr, et al.
(1992) mendefinisikan ruang publik kota
berdasarkan tipologi dan karakteristik seperti
ditunjukkan pada Tabel 1. Berikut.
CITRA LAPANGAN MERDEKA MEDAN
MENURUT APRESIASI PEREMPUAN
ANNA LUCY RAHMAWATI
49
Tabel 1. A typology of contemporary urban
public spaces
Type Characteristics
Public parks:
Public/central park Ruang terbuka
publik yang
dikembangkan dan
dikelola sebagai
bagian dari sistem
zona ruang terbuka
kota.
Downtown parks Taman hijau
dengan rerumputan
dan pepohonan
yang berlokasi di
pusat kota
Commons Sebuah kawasan
hijau yang luas
yang
dikembangkan di
kota-kota lama new
england
Neighborhood park Ruang terbuka
yang dibangun
dalam lingkungan
permukiman
Mini/vest-pocket park Taman kota yang
kecil
Squares and plazas
Central square Alun-alun atau
plaza, biasanya
merupakan
kawasan bersejarah
yang
dikembangkan di
pusat kota
Corporate plaza Plaza yang
dibangun sebagai
bagian dari
bangunan
komersial atau
perkantoran
Memorial
Ruang terbuka
yang bertujuan
untuk mengenang
seseorang atau
kejadian dalam
skala lokal atau
nasional yang
penting.
Markets
Tabel 1. A typology of contemporary urban
public spaces
Type Characteristics
Farmers’ markets Ruang terbuka atau
jalanan yang
digunakan sebagai
pasar tradisionil
atau pasar loak
Streets
Pedestrian sidewalks Bagian kota dimana
orang bergerak
dengan berjalan
kaki
Pedestrian mall Jalan yang tertutup
untuk lalulintas luar
Transit mall Dikembangkan
untuk
meningkatkan
akses perpindahan
ke kawasan pusat
kota
Traffic restricted
streets
Jalan yang
digunakan sebagai
ruang terbuka
publik
Town trails (jalan
kota)
Sebagai sarana
penghubung
bagian-bagian kota
melalui jaringan
jalan kota yang
menyeluruh
Playgrounds
Playground Tempat bermain
yang berlokasi di
lingkungan
permukiman
Schoolyard Halaman sekolah
sebagaimana
tempat bermain
Community open spaces
Community
garden/park
Ruang terbuka
lingkungan yang
dirancang,
dikembangkan atau
dikelloa oleh
penghuni lokal
pada lahan kosong
Greenways and parkways
Interconnected
recreational and
natural areas
Kawasan alami dan
ruang terbuka
untuk kegiatan
rekreasi yang
Jurnal Arsitektur dan Perkotaan “KORIDOR” vol. 02 no. 01, JAN 2011 : 47-56
50
Tabel 1. A typology of contemporary urban
public spaces
Type Characteristics
dihubungkan oleh
pedestrian dan jalur
sepeda.
Atrium/indoor
marketplace
Atrium Ruang publik yang
dikembangkan
sebagai ruang
atrium di dalam
ruangan
Marketplace/downtow
n shopping center
Ruang interior,
kawasan
perbelanjaan yang
dikelola oleh
swasta
Found/neighborhood
spaces
Found
spaces/everyday open
spaces
Jenis ruang terbuka
yang dapat diakses
oleh publik,
misalnya sudut
jalan, deretan
tangga menuju
suatu gedung
Waterfronts
Waterfronts, harbor,
beaches, riverfronts,
piers, lakefronts
Ruang terbuka
yang ada di
sepanjang aliran air
dalam kota,
pelabuhan, pantai,
tepi sungai,
dermaga dan tepi
danau.
Sumber: Carr et al. 1992 p.79-84
2.3. Definisi Ruang Terbuka Publik
Berdasarkan Pendekatan Topografis dan
Prosedural
Iveson (2007) mendefinisikan ruang publik kota
melalui dua pendekatan, yaitu pendekatan
topografis (topographical approaches) dan
pendekatan prosedural (procedural
approaches). Pemahaman ruang publik kota
berdasarkan kedua pendekatan ini dapat
dijelaskan sebagai berikut:
1) Pendekatan topografis
Pada umumnya ruang publik kota
didefinisikan melalui pendekatan
topografis, yang menunjuk pada tempat-
tempat tertentu di dalam kota yang (atau
seharusnya) terbuka bagi warga kotanya.
2) Pendekatan prosedural
Dalam pendekatan prosedural, ruang publik
dipahami dalam konteks aktifitas sebagai
ruang apa pun, melalui aksi politik dan
tempat publik pada suatu waktu tertentu,
menjadi „tempat kekuasaan dari suatu aksi
umum yang dikoordinasikan melalui pidato
dan persuasi‟ (Benhabib, 1992 p.78 dalam
Iveson, 2007).
2.4. Makna Dan Kualitas Ruang Terbuka
Publik
Secara esensial, kriteria ruang publik meliputi
tiga aspek, yaitu: Meaningful: dapat
memberikan makna atau arti bagi masyarakat
setempat, baik secara individual maupun
kelompok; Responsive: tanggap terhadap semua
keinginan pengguna dan dapat mengakomodir
kegiatan yang ada pada ruang publik tersebut;
Democratic: dapat menerima kehadiran
berbagai lapisan masyarakat dengan bebas tanpa
ada diskriminasi (Carr at al, 1992).
Dari segi perancangan, dikenal sebuah istilah
Nonmeasurable Design Criteria atau Kriteria
Desain Tak Terukur, yaitu suatu kriteria yang
lebih menekankan pada aspek kualitatif di
lapangan. Kriteria ini sering dipakai dalam
penelitian kualitatif untuk mengukur suatu
kualitas lingkungan kota. Shirvani (1985)
merangkum enam butir kriteria desain tak
terukur yang diperoleh melalui analisa
perbandingan desain tak terukur, yaitu:
a. Access (Pencapaian)
b. Compatibility (Kecocokan)
c. Views (Pemandangan)
d. Identity (Identitas)
e. Sense (Kesan)
f. Livability (Kenyamanan)
2.5. Ruang Terbuka Publik yang Berhasil
The Project for Public Space, 1999 (Carmona et
al. 2003 p.100) mengidentifikasi empat atribut
utama mengenai keberhasilan ruang terbuka
publik, yaitu: kenyamanan dan citra (comfort
and image); akses dan penghubung (access and
linkage); penggunaan dan aktifitas (uses and
CITRA LAPANGAN MERDEKA MEDAN
MENURUT APRESIASI PEREMPUAN
ANNA LUCY RAHMAWATI
51
activity), dan suasana yang ramah/bersahabat
(sociability.
Dalam perspektif gender, Whyte (1988)
menyatakan bahwa salah satu indikator ruang
terbuka publik yang berhasil adalah persentasi
kehadiran perempuan yang lebih tinggi dari
rata-rata. Whyte mencatat bahwa, secara umum,
perempuan lebih diskriminatif dalam memilih
ruang dan, oleh karena itu, proporsi yang rendah
atas kehadiran perempuan umumnya
menunjukkan bahwa ada sesuatu yang salah.
Perempuan juga mencari tingkat privasi yang
lebih besar daripada laki-laki, yang cenderung
memilih tempat duduk yang lebih menonjol.
2.6. Perubahan Ruang Terbuka Publik dan
Keterlibatan Swasta
Kota, secara alami selalu mengalami perubahan.
Kota bersifat dinamis dan bukan statis sehingga
bangunan, ruang terbuka publik, proses disain
dan manajemennya harus dapat mengenali
perubahan-perubahan ini. Bagaimanapun juga
harus ada suatu apresiasi bahwa, untuk sebagian
besar orang, perubahan yang mengakibatkan
hilangnya lingkungan yang familiar adalah
sangat menyakitkan, terutama jika itu terjadi
dalam skala yang luas atau bahkan menyeluruh
(Tibbalds, 2004 p.77). Koneksi individu
terhadap suatu tempat muncul dalam berbagai
cara: dari sejarah hidup seseorang dan
pengalaman pribadinya, dari tradisi penggunaan
suatu wilayah, dan dari acara-acara khusus di
suatu tempat (Carr, et al. 1992).
Dalam dinamika perubahan kota turut serta
memunculkan beberapa pernyataan bahwa
ruang publik kota berada di bawah ancaman
tindakan perusahaan dan pengembang swasta
yang lebih peduli dengan keuntungan yang akan
diperoleh daripada fungsi publiknya (Iveson,
2007).
Dengan membandingkan kota-kota dan ruang-
ruang publik yang ideal dimasa lalu, Mitchell
(1995) dalam Iveson (2007) menunjukkann
bahwa akses ke ruang publik selalu merupakan
hasil perjuangan politik dan bahwa ruang
terbuka publik belum pernah „terbuka untuk
semua‟.
3. Isu Gender Dalam Konteks Ruang
Terbuka Publik
Kehidupan perempuan dan laki-laki, pekerjaan
yang mereka lakukan, pendapatan yang mereka
terima, peran yang diberikan, dan hubungan
mereka dibentuk oleh norma-norma sosial dan
tradisi yang memperlakukan wanita dan pria
berbeda. Pada gilirannya, atribut-atribut
perempuan dan laki-laki, kontribusi yang
diberikan dan cara mereka mengambil
keputusan dan meningkatkan kehidupan sosial
dan ekonomi juga berbeda (Beall, 1996).
Dalam studi perkotaan kenyataan tersebut
mendukung argumen, bahwa meskipun laki-
laki dan perempuan tinggal di rumah yang sama,
mereka menempati ruang yang berbeda untuk
bekerja dan bersantai. Laki-laki pergi bekerja
setiap hari dan wanita tinggal di rumah untuk
mengurus rumah tangga, merawat anak-anak
dan lanjut usia. Segregasi ini sering disebut
sebagai “gender division of labour” atau
pembagian kerja berdasarkan gender
(Stevenson, 2003).
METODOLOGI PENELITIAN
1. Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini bersifat gender,
yaitu kaum perempuan, baik penduduk maupun
pendatang di Kota Medan yang mengetahui
keberadaan Lapangan Merdeka Medan dan
pernah mengunjunginya. Populasi ini termasuk
dalam jenis populasi infinit (memiliki jumlah
yang tidak tetap/tidak diketahui) dan unit
analisisnya adalah individu perempuan dengan
batas usia 15 tahun ke atas dan memiliki
pengetahuan dan pengalaman tentang Lapangan
Merdeka Medan.
Sebagai dasar untuk menentukan jumlah
sampel, Champion, 1981 (dalam Mustafa, 2003)
mengatakan bahwa sebagian besar uji statistik
selalu menyertakan rekomendasi ukuran sampel.
Dengan kata lain, uji-uji statistik yang ada akan
sangat efektif jika diterapkan pada sampel yang
jumlahnya 30 s/d 60 atau dari 120 s/d 250.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, penelitian
ini akan mengambil sampel minimal sebesar
120 dan maksimal sebesar 250 dalam waktu 1
minggu dengan rentang waktu 1 (satu) kali
Jurnal Arsitektur dan Perkotaan “KORIDOR” vol. 02 no. 01, JAN 2011 : 47-56
52
pengambilan data (One Shot or Cross Section
Studies).
2. Skala Pengukuran
Variabel penelitian diukur dengan menggunakan
skala pengukuran berdasarkan model Semantic
Differential Scale (SDS) atau disebut juga
sebagai skala perbedaan makna kata. SDS
merupakan satu jenis skala pengkelasan yang
juga banyak digunakan untuk mengukur sikap
responden terhadap satu obyek tertentu.
Angka yang umumnya diterapkan berupa angka
positif untuk menunjukan sikap positif (1.2,dst),
angka negatif untuk menunjukan sikap negatif (-
1,-2, dst) dan angka 0 untuk menunjukan sikap
netral atau tidak memihak. Dapat juga berupa
deretan angka positif yang dimulai dari 1 sampai
dengan 7 dengan pemaknaan Sangat Negatif
sampai dengan Sangat Positif. Dalam penelitian
ini kata-kata sifat yang digunakan berasal dari
variabel indikator Citra Lapangan Merdeka
Medan seperti yang dijelaskan dalam kerangka
teoritis.
3. Metode Analisa Data
Proses analisa data akan menggunakan alat
bantu SPSS (Statistics Program for Social
Science). Jenis statistika yang digunakan adalah
statistika deskriptif, yaitu statistika yang
berhubungan dengan metode pengelompokkan,
peringkasan dan penyajian data dalam cara yang
lebih informatif (Ashari dan Santosa, 2005: 2
dalam Khotimah, 2007).
4. Pemaknaan Citra
Pemaknaan citra dibutuhkan untuk mendapatkan
satu kesimpulan umum dari apresiasi perempuan
yang menjadi responden dalam penelitian ini.
Konsekuensi logis dari penggunaan skala
pengukuran Semantic Differential Scale adalah
pemaknaan citra dalam skala “Sangat Negatif”
sampai dengan “Sangat Positif”. Hasil penelitian
akan menunjuk pada salah satu titik dari skala
“Sangat Negatif” sampai dengan “Sangat
Positif” dan pembahasan secara deskriptif-
kualitatif akan menggambarkan makna-makna
yang terkandung dari hasil penelitian tersebut.
TINJAUAN KAWASAN STUDI
Pada tahun 1883 Deli Maatschappij mendirikan
sebuah perusahaan kereta api Deli Spoorweg
Maatschappij dan pada tahun 1885 jalur kereta
api antara Medan dan Labuhan Deli diresmikan.
Bersamaan dengan itu, dilakukan penanaman
pohon trembesi di sekeliling pinggiran
lapangan.
Pada tanggal 1 April 1909 Medan memperoleh
status Gementee atau Kotamadya Independen.
Sejak saat itu acara ulang tahun Ratu Belanda,
penyambutan tamu negara dan acara kenegaraan
besar lainnya selalu diadakan di Lapangan
Merdeka.
Pada awal tahun 2000 terjadi penambahan
fungsi di Lapangan Merdeka yang digagas oleh
Pemko Medan dalam suatu rangkaian program
pengembangan kota “Medan Metropolitan”
untuk mempromosikan Kota Medan sebagai
salah satu tujuan pariwisata dan bisnis berskala
internasional. Kegiatan ini diawali dengan
memindahkan lokasi penjualan buku bekas dari
Titi Gantung ke sisi timur Lapangan Merdeka
(depan Stasiun Kereta Api) pada pertengahan
tahun 2002 dan dinamai sebagai “Pasar Buku”
(Gambar 1) dan pembangunan objek wisata
kuliner bertajuk Merdeka Walk di sepanjang sisi
barat pada tahun 2004 dan mulai beroperasi
pada tanggal 19 Mei 2005 (Gambar 2).
Gambar 1. “Pasar Buku” di sepanjang
sisi timur Lapangan Merdeka
Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2009
CITRA LAPANGAN MERDEKA MEDAN
MENURUT APRESIASI PEREMPUAN
ANNA LUCY RAHMAWATI
53
Berbagai kegiatan yang memperlihatkan
eksistensi perempuan di Lapangan Merdeka
terjadi pada beberapa event yang berhasil
direkam dan dapat ditunjukkan sebagai berikut:
Gambar 2. Suasana Merdeka Walk
pada suatu siang menjelang sore
Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2009
Gambar 3. Perayaan Hari Perempuan
Internasional di Lapangan Merdeka. Sumber:
Dina Lumbantobing (Arsip PESADA)
Gambar 4. Program lingkungan Medan Green and
Clean 2009 di Lapangan Merdeka Medan
Sumber : <http:// www.antarasumut.com/>
Gambar 5. Calon Presiden Hj Megawati
Soekarnoputri dan Ketua DPD PDIP Sumut
Panda Nababan menyapa kader dan
simpatisan partai pada Rapat Umum Bersama
di Lapangan Merdeka Medan.
Sumber : < http://nababan.wordpress.com/>
Gambar 6. Kehadiran Veteran Wanita
Minah Br Siregar (89) menghadiri upacara
perayaan hari kemerdekaan Indonesia yang ke 64,
tanggal 17 Agustus 2009 di Lapangan Merdeka.
Sumber : <http://www.profile.dnaberita.com/>
Gambar 7. Festival Sumatera Utara
Gempar 2009 dipusatkan di Lapangan Merdeka
Medan sejak tanggal 12-15 November 2009.
Sumber : < http://yapzica.wordpress.com/>
Gambar 8. Penobatan Ikon Olahraga Kota
Medan 2009
Sumber : <http://www.medantalk.com/>
Jurnal Arsitektur dan Perkotaan “KORIDOR” vol. 02 no. 01, JAN 2011 : 47-56
54
HASIL DAN PEMBAHASAN
Responden dalam penelitian ini adalah
perempuan. Jumlah perempuan yang
direkomendasikan adalah 150-250 perempuan.
Jumlah kuesioner yang disebarkan sebanyak 250
dan terpilih 217 kuesioner yang diisi dengan
benar dan dapat diandalkan untuk mewakili
populasi. Dari 217 perempuan terdapat 47
(21,6%) perempuan yang belum pernah
mengunjungi Merdeka Walk. Sisanya sebanyak
170 perempuan memiliki pengalaman
berkunjung ke Lapangan Merdeka dan Merdeka
Walk.
1. Hasil Penilaian Perempuan
Hasil penilaian perempuan terhadap Lapangan
Merdeka dan Merdeka Walk ditunjukkan yang
memperlihatkan perbedaan-perbedaan di atas
ditunjukkan dalam Tabel 2. di bawah ini:
Tabel 2. Penilaian Perempuan
Terhadap Lapangan Merdeka dan Merdeka Walk E
P
A
No Kata Sifat Negatif
Penilaian Perempuan
Kata Sifat Positif sang
at
neg
atif
neg
atif
cuk
up
neg
atif
net
ral
cuk
up
po
siti
f
po
siti
f
sang
at
po
siti
f
1 2 3 4 5 6 7
A 1 MEMBOSANKAN, tidak banyak pilihan
kegiatan
MENYENANGKAN, banyak pilihan kegiatan
P 2 SULIT dicapai MUDAH dicapai
E 3 KOTOR BERSIH
P 4 GERSANG, PANAS RINDANG, SEJUK
E 5 Tidak aman AMAN
E 6 MAHAL MURAH
P 7 TIDAK NYAMAN
untuk kegiatan rekreasi NYAMAN untuk kegiatan rekreasi
A 8 TIDAK BEBAS masuk
dan berkegiatan BEBAS masuk dan
berkegiatan
E 9 Suasananya LESU Suasananya HIDUP
E 10 Fasilitasnya TIDAK
LENGKAP Fasilitasnya LENGKAP
E 11 Bentuk dan fungsi
bangunannya TIDAK COCOK
Bentuk dan fungsi bangunannya
COCOK
P 12 Pemandangannya
TIDAK MENARIK Pemandangannya
MENARIK
E 13 TIDAK RAPI RAPI
P 14 TIDAK BERKESAN BERKESAN
P 15 TIDAK SERASI dengan
bangunan di sekitar SERASI dengan
bangunan di sekitar Lapangan Merdeka
E 16 Memiliki pentunjuk yang TIDAK JELAS
Memiliki petunjuk yang JELAS
A 17 SEPI RAMAI
A 18 PASIF-STATIS AKTIF-DINAMIS
Ket: __________________ Penilaian Perempuan Terhadap Segmen Lapangan Merdeka
Sumber: Hasil Analisis (2009)
CITRA LAPANGAN MERDEKA MEDAN
MENURUT APRESIASI PEREMPUAN
ANNA LUCY RAHMAWATI
55
Citra Lapangan Merdeka dan Merdeka Walk
bermakna CUKUP POSITIF untuk dimensi
Evaluasi dan Potensi, dan bermakna POSITIF
untuk dimensi Aktifitas.
2. Apresiasi Perempuan
Dari data Apresiasi Perempuan yang
terkumpul dapat diperoleh kesimpulan
berdasarkan suara terbanyak, sebagai berikut:
a. Sebanyak 23% perempuan menyatakan
Lapangan Merdeka disukai terutama karena
alasan bebas untuk dikunjungi, suasananya
nyaman dan menyenangkan untuk tempat
rekreasi dan berkumpul bersama teman
dan/atau keluarga. Hanya 0,7% perempuan
yang menyatakan tidak menyukai
Lapangan Merdeka karena tidak sejuk,
gersang dan panas.
b. Sebanyak 32% perempuan menyatakan
Lapangan Merdeka penting karena tersedia
peluang untuk berbagai macam kegiatan,
seperti: olahraga, rekreasi, wisata kuliner,
upacara dan lain-lain.
c. Dari segi aktifitas, 23% perempuan
menyatakan Lapangan Merdeka telah
memenuhi kebutuhan mereka karena
tersedia peluang untuk berbagai macam
kegiatan dengan bebas. Jumlah suara yang
hampir sama (20%) menyatakan belum
memenuhi kebutuhan karena fasilitasnya
belum sepenuhnya tersedia.
d. Jika memiliki kesempatan untuk
merubah/memperbaiki Lapangan Merdeka,
sebanyak 35% perempuan menyatakan
mereka ingin meningkatkan kebersihan
lapangan dan 23% suara ingin
mempertahankan keberadaan pepohonan
yang ada di sekitar Lapangan Merdeka.
e. Sebanyak 17% perempuan yang pernah
berkunjung ke Merdeka Walk, menyatakan
menyukai Merdeka Walk karena dapat
menjadi tempat hiburan dan wisata kuliner
di malam hari, baik bersama teman maupun
keluarga. Hanya 0,8% suara yang
menyatakan tidak menyukai Merdeka Walk
karena mahal, tidak terjangkau kalangan
menengah ke bawah.
KESIMPULAN
a. Citra Lapangan Merdeka Medan Menurut
Apresiasi Perempuan adalah “CUKUP
POSITIF”. Makna dari citra yang “cukup
positif” ini adalah: perempuan dalam
penelitian ini senang dan suka berada di
Lapangan Merdeka Medan karena kualitas-
kualitas yang dimiliki, yaitu: mudah
dicapai, bebas untuk dikunjungi dan
tersedia berbagai sarana dan fasilitas
olahraga, rekreasi serta tersedia peluang
untuk berbagai kegiatan yang cocok dengan
kebutuhan dan tujuan penggunaannya.
Bersamaan dengan hal tersebut, perempuan
juga menyorot tentang kurangnya kerapian,
kebersihan lingkungan dan toilet umum,
kurangnya penghijauan dan bangku-bangku
taman serta kurangnya pemeliharaan sarana
dan fasilitas yang ada. Hampir seluruhnya
berpendapat bahwa Lapangan Merdeka
Medan penting dan dibutuhkan, tetapi
sekaligus mengharapkan pengelolaan dan
pemeliharaan yang lebih baik untuk
meningkatkan kualitas lingkungan fisiknya.
Kehadiran Merdeka Walk juga penting dan
dibutuhkan tapi disatu sisi telah
menimbulkan reaksi pro (sangat menyukai)
dan kontra (bongkar Merdeka Walk!) yang
tegas di kalangan perempuan dalam
penelitian ini. Hal ini mencerminkan sistem
pengelolaan dan konsep perencanaan yang
belum terbuka bagi semua kalangan.
b. Berdasarkan penilaian dan apresiasi
perempuan, faktor-faktor penting yang
berpengaruh dalam peningkatan kualitas
fisik Lapangan Merdeka Medan adalah
terutama dalam pemeliharaan kebersihan,
termasuk toilet; penataan taman, pedagang
kaki lima dan parkir yang lebih rapi;
peningkatan penghijauan dan penambahan
bangku taman; serta penyediaan dan
pemeliharaan berbagai sarana yang tersedia
untuk menciptakan suasana yang lebih
nyaman dan menyenangkan.
Jurnal Arsitektur dan Perkotaan “KORIDOR” vol. 02 no. 01, JAN 2011 : 47-56
56
DAFTAR PUSTAKA
Carmona M, Heath T, Oc T, Tiesdell S, 2003,
Public Places Urban Spaces – The
Dimensions of Urban Design,
Architectural Press, Unacre House,
Jordan Hill, Oxford.
Carr S, Francis M, Rivlin LG, Stone AM, 1992,
Public Space, Cambridge University
Press.
Iveson, K 2007, Publics and The City,
Blackwell Publishing Ltd, Oxford, UK.
Khotimah, K 2007, Analisis Korelasi Rank
Kendall Dan Aplikasinya Dengan
Program SPSS, Tugas Akhir, Fakultas
Matematika Dan Ilmu Pengetahuan
Alam Universitas Negeri Semarang.
Lynch, K 1960, The Image of the City, The
MIT Press. Cambridge, Massachusetts,
London, England.
Lynch, K 1972, What Time is This Place?, The
MIT Press. Cambridge, Massachusetts,
London, England.
Marcus, CC and Francis, C 1998, People Places
– Design Guidelines for Urban Open
Space, Van Nostrand Reinhold, New
York, USA.
Mustafa, H 2003, Metode Penelitian,
Universitas Katolik Parahyangan Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Program
Studi Ilmu Administrasi Niaga,
Bandung.
Rapoport, A 1977, Human Aspect of Urban
Form, Pergamon Press Ltd.,
Headington Hill Hall, Oxford,
England.
Shirvani, H 1985, The Urban Design Process,
Van Nostrand Reinhold Company,
Inc. New York.
Stevenson, D 2003, Cities and Urban Cultures,
Open University Press, Maidenhead,
Philadelphia.
Tibbalds, F 2004, Making People-Friendly
Towns : Improving the public
environment in towns and cities, Spon
Press, Taylor & Francis e-Library,
London & New York.
Whyte WH, 1988 “The Design of Spaces” from
“City : Rediscovering the Center”
in The City Reader, p.483-490, 2nd
edn,
eds. LeGates RT & Stout F,
Routledge, London & New York.