21
ISSN: 2088-4257 SUSUNAN REDAKSI LANTIP Jurnal Ilmu Sosial dan Ekonomi UNIVERSITAS RESPATI YOGYAKARTA Pelindung Rektor Universitas Respati Yogyakarta Pembina Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ekonomi Ketua Penyunting Poly Endrayanto EC., SE., MM., Ak., CA Mitra Bebestari Prof. Pawito, Ph.D (UNS) Hartanto, S.I.P., MA (UNRIYO) Dewan Penyunting V. Wiratna Sujarweni, SE., MM., MT Purwanto, S.S., M.Hum Novi Wulandari, S.S., M.A Harits Dwi Wiratma, S.IP., MA Drs. R. Bambang Srigati, M.I.Kom Alamat Redaksi Fakultas Ilmu Sosial dan Ekonomi] Universitas Respati Yogyakarta Jl. Laksda Adisucipto Km 6,3 Depok, Sleman, Yogyakarta 55281 Telp. (0274) 489780, 488781 Fax. (0274) 489780 Email: [email protected]

ISSN: 2088-4257 SUSUNAN REDAKSI LANTIP Jurnal Ilmu Sosial

  • Upload
    others

  • View
    3

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: ISSN: 2088-4257 SUSUNAN REDAKSI LANTIP Jurnal Ilmu Sosial

ISSN: 2088-4257

SUSUNAN REDAKSI LANTIP Jurnal Ilmu Sosial dan Ekonomi UNIVERSITAS RESPATI YOGYAKARTA Pelindung Rektor Universitas Respati Yogyakarta

Pembina Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ekonomi

Ketua Penyunting Poly Endrayanto EC., SE., MM., Ak., CA

Mitra Bebestari Prof. Pawito, Ph.D (UNS) Hartanto, S.I.P., MA (UNRIYO)

Dewan Penyunting V. Wiratna Sujarweni, SE., MM., MT Purwanto, S.S., M.Hum

Novi Wulandari, S.S., M.A

Harits Dwi Wiratma, S.IP., MA

Drs. R. Bambang Srigati, M.I.Kom

Alamat Redaksi Fakultas Ilmu Sosial dan Ekonomi] Universitas Respati Yogyakarta Jl. Laksda Adisucipto Km 6,3 Depok, Sleman, Yogyakarta 55281 Telp. (0274) 489780, 488781 Fax. (0274) 489780 Email: [email protected]

Page 2: ISSN: 2088-4257 SUSUNAN REDAKSI LANTIP Jurnal Ilmu Sosial

KEBIJAKAN EKONOMI POLITIK PEMERINTAH KUBA (KEDAULATAN DAN PEMBANGUNAN EKONOMI

GRASS ROOT)

Tanti Nurgiyanti, S.IP*

Syaharuddin Idris, S.IP, MA

Abstract Led by Fidel Castro Ruz, the Cuban Revolution at 1959 has brought the Cuban people to their best achievevement as human being. The experiences of imperialism, capitalism, and dictatorship became the basic of Cuba’sThevisionvisionprovidedthem logicof(objectiveits future, and subjective) bases to buid their socialism. When they built their socialism, the first need is independence. All interventions are blocked for their national interests. The independence made them easier to create the national programs for development. development are nationalization, agrarian reform, and welfare policies. All results Cuban high index of human being as we know today. Kata Kunci : development, independence, nationalization, agrarian reform, revolution, socialism, welfare.

1. Pendahuluan Kuba menjadi satu-satunya negara yang kukuh bertahan dengan sistem

politik berbasis ideologi sosialisme seiring rontoknya pilar utama Uni Soviet dan negara-negara anggota blok timur lainnya. Keberadaan Kuba yang bertahan dengan sistem tersebut menjadi semakin menarik karena letaknya secara geografis di halaman belakang adidaya Amerika Serikat yang juga sekaligus pengusung utama ideologi kapitalisme yang ditolaknya.

Namun, kekokohan Kuba tidak berarti bahwa Amerika Serikat tidak berani mengusiknya sama sekali. Berkali-kali negara adikuasa tersebut melakukan intervensi, provokasi, hingga agresi namun gagal dalam merubah haluan Kuba. Dua upaya besar-besaran yang sempat memanaskan konflik kedua negara adalah Invasi Teluk Babi (Bay of Pig Invasion) pada tahun 1961 dan krisis nuklir Kuba setahun berikutnya. Namun, hal tersebut pada kenyataannya justru membuat rakyat Kuba semakin solid secara internal.

Kesolidan rakyat Kuba inilah yang menjadi alasan mengapa negara tersebut mampu bertahan selama bertahun-tahun. Rakyat Kuba memiliki pengalaman sejarah dalam menghadapi imperialisme, intervensi asing, hingga rezim otoriter yang didukung imperialis. Situasi tersebut memberi kesimpulan bahwa hal tersebut diakibatkan oleh imperialisme dan ketidakmandirian mereka sebagai sebuah bangsa. Hal tersebut mendorong mereka berdiri di pihak Fidel Castro di masa revolusi 1959.

Mereka menyadari bahwa kelompok revolusioner Fidel Castro dan companero-nya memiliki visi Kuba yang berdaulat dan mandiri sebagai sebuah bangsa. Sebuah visi sosialisme, di mana Kuba bercita-cita menghilangkan sekat-sekat kesenjangan rakyatnya dengan kemajuan kualitas manusia yang

14

Merupakan Naskah Publikasi Hasil Riset yang dibiayai oleh DIPA Yayasan Universitas Respati Yogyakarta TA 2013/2014

Page 3: ISSN: 2088-4257 SUSUNAN REDAKSI LANTIP Jurnal Ilmu Sosial

78

mengagumkan. Mewujudkan dan menjaga visi tersebut hanya bisa dicapai dengan jalan revolusioner yang diagendakan oleh Fidel Castro dan kawan-kawan revolusionernya. Upaya untuk menjaga visi dan semangat revolusioner inilah yang membuat rakyat Kuba mampu bertahan sampai hari ini meski terus dipojokkan dan diasingkan dalam setiap fora internasional.

Namun demikian, Pemerintah Kuba tetap memenangkan hati dan dukung rakyatnya untuk mempertahankan visi dan semangat Revolusi Kuba. Revolusi yang telah mengubah Kuba hingga mampu mendefinisikan kepentingan nasionalnya sendiri berdasarkan kepada kebutuhan rakyatnya. Hingga akhirnya, seperti hari ini, Kuba memiliki tatanan sosial, ekonomi, dan politiknya sendiri sebagai hasil penerjemahan dari kepentingan nasionalnya tersebut tanpa menghiraukan betapapun kritikan hadir dari luar.

Tulisan ini memaparkan mengenai bagaimana visi sosialisme berlangsung di Kuba. Visi tersebut dibangun dengan memperhatikan faktor objektif yang melatarbelakanginya dan apa yang dilakukan oleh faktor subjektif (agensi) dalam perubahan di Kuba dalam bentuk kebijakan ekonomi politik sebagai implikasi dari visi sosialisme revolusi Kuba.

2. Ekonomi-Politik Sosialisme Istilah ekonomi politik mengemuka seiring pencerahan yang dialami

Eropa di penghujung abad ke-18. Di paruh akhir abad ke-18, karya pemikir- pemikir Britania yang dikenal sebagai “T

David Hume, James Steuart, dan Adam Smith membawa istilah

ekonomi-politik semakin dikenal.15

Kerangka gagasan ekonomi politik pada masa itu menyusun berbagai argumen dan informasi mengenai bagaimana elit politik, pengusaha, hingga pegawai pemerintah mendekati dan membangun relasi dengan negara.

Pengetahuan mengenai ekonomi politik menyediakan berbagai strategi dan analisis bagi berbagai aktor (subjek) untuk mengagregasi kepentingan mereka terhadap negara atau kekuasaan. Umumnya kepentingan tersebut berkaitan erat dengan kepentingan ekonomi, yaitu pengelolaan kekayaan yang diakumulasi oleh negara sebagai subjek kekuasaan. Besarnya kuasa negara yang secara legal mengontrol sumber-sumber kekayaan (alam maupun modal) tentu saja menjadi daya tarik bagi aktor-aktor ekonomi maupun politik untuk terlibat dalam pengelolaannya sehingga dapat dijadikan rasionalisasi untuk mendapatkan“potongan kue” kekayaan neg

Membicarakan sosialisme dalam kerangka ekonomi-politik tidak bisa dipisahkan dari gagasan besar Karl Marx dalam karya besarnya, Das Kapital. Marx meletakkan kritiknya justru terhadap pola relasi yang erat di antara aktor negara dan pengusaha tersebut yang pada akhirnya berdampak kepada struktur kepemilikan dan pengelolaan terhadap asset dan kekayaan yang dikuasai negara. Berbagai sumber dan faktor-faktor produksi, khususnya tanah, yang tadinya dimiliki secara komunal – diistilahkan the commons sebagai”– “

15

Kratke, Michael R., dan Underhill, Geoffrey R.D., 2006, Political Economy; The Revival of an ‘Interdiscipline’ dalam Geoffrey Stubbs dan dan the Changing Global Order, Oxford University Press. Hal. 24.

Page 4: ISSN: 2088-4257 SUSUNAN REDAKSI LANTIP Jurnal Ilmu Sosial

79

kemudian berubah struktur kepemilikannya seiring penetrasi berbagai kepentingan kelas, khususnya mereka yang mengendalikan aliran modal (capital).

Dalam konteks pergulatan kepentingan seperti di atas, kelas pengusaha kemudian mendapatkan posisi kuatnya. Pengelolaan ekonomi dan sumber-sumber kekayaan yang dikuasai oleh negara tentu saja mensyaratkan ketersediaan faktor-faktor produksi untuk mengoperasikannya. Dasar kebutuhan inilah yang kemudian menjadi kekuatan kelas pengusaha untuk mengikutsertakan diri dalam proses pengelolaan kekayaan negara. Kelas pengusaha merupakan kelompok sosial yang memiliki dan menguasai berbagai faktor-faktor produksi untuk mendukung berjalannya proses pengelolaan ekonomi dan kekayaan negara.

Keunggulan atas kepemilikan faktor-faktor produksi ini yang membawa kelas pengusaha menjadi semakin erat dengan aktor kekuasaan (negara). Relasi keduanya terjalin mutualis dalam hal p Sumber-sumber kekayaan negara diolah dan dieksploitasi sedemikian rupa hingga menghasilkan produk dan kebutuhan konsumsi baru melalui proses produksi yang dijalankan oleh pengoperasian alat dan berbagai faktor produksi yang dimiliki oleh pengusaha. Negara kemudian mendapatkan keuntungan ekonominya dari situ, dari hasil sewa tanah, izin usaha, dan berbagai jenis pajak yang diterapkan.

Sementara bagi pengusaha, keuntungan ekonominya diperoleh melalui

penambahan nilai lebih pada proses produksi. Hal ini bertujuan kepada

dimungkinkannya perluasan produksi di masa mendatang untuk menghasilkan

nilai lebih yang semakin banyak. Produksi nilai lebih ini pula yang selanjutnya

menjadi akar dari semakin majunya mode produksi yang mencirikan akumulasi

modal (capital), yang dikenal sebagai kapitalisme. Pertumbuhan dan kebutuhan

kapitalisme akan akumulasi capital melalui pasar selanjutnya membawa sistem

ekonomi kepada periode yang disebut sebagai industrialisasi. Untuk menopang industrialisasi, negara, khususnya pemerintahan yang

berlandaskan kepada tatanan baru (industri), menjadi penyedia berbagai bantuan untuk kepentingan kelas pemilik modal (borjuis). Hingga pertumbuhan kapitalisme dan industrialisasi di Eropa menjadi tantangan bagi tatanan lama, yaitu ekonomi feodalisme yang melandaskan operasinya kepada struktur kepemilikan tanah. Catatan Organski:

Pemerintahan borjuis di Eropa dan Amerika membantu industrialisasi

lewat berbagai cara, langsung dan tidak langsung. Bantuan langsung

meliputi, pertama-tama, tindakan-tindakan yang membantu mencerabut

akar-akar orde lama, yang etosnya menurut kodrat bermusuhan dengan

pembangunan ekonomi yang cepat. Hak-hak istimewa aristokrat,

kewajiban-kewajiban feodal, peraturan-peraturan gilda, hak-hak kaum

petani, semuanya dihancurkan dasar hukumnya oleh pemerintah baru.16

16

Organski, A.F.K., 2010, Tahap-Tahap Pembangunan Politik (terj.), Jakarta: Akapress. Hal. 111-112.

Page 5: ISSN: 2088-4257 SUSUNAN REDAKSI LANTIP Jurnal Ilmu Sosial

80

Perkembangan pesat perekonomian kapitalisme dan industrialisasinya disebabkan oleh kemampuannya dalam mengakumulasi dan mereproduksi nilai lebih. Kemajuan ekonomi di masa kapitalisme jauh meninggalkan jejak ekonomi yang dibangun di masa feodalisme yang meletakkan struktur sosial pembangunannya kepada sistem kepemilikan tanah. Namun demikian, kapitalisme–bersama dengan reproduksi nilai lebihnya yang semakin massif– juga telah membawa beberapa penyakit baru yang serius dalam tatanan sosial sebuah bangsa, yaitu: eksploitasi, tingkat kesenjangan sosial yang serius, dan imperialisme. a. Eksploitasi

Pada dasarnya, persoalan ekonomi di dalam suatu negara adalah persoalan pengorganisasian kerja manusia dan korelasinya terhadap alam dan lingkungannya. Kerja-kerja tersebut diatur sedemikian rupa hingga mampu menghasilkan atau merubah bentuk suatu barang- yang diperoleh akibat interaksi dengan alam, hingga menjadi barang baru yang bisa dimanfaatkan untuk kebutuhan umat manusia. Lebih jauh, pengorganisasian kerja mengatur pula mengenai perolehan seseorang atas hasil kerjanya tersebut. Seberapa banyak yang diperoleh oleh seseorang yang memaksimalkan keseluruhan energinya selama waktu tertentu, perolehan mereka yang menjadi pemilik faktor produksi, dan bagaimana pengaturan pembagian hasil kerja tersebut dilembagakan dalam suatu sistem yang mapan.

Dede Mulyanto mengutip Eric Wolf (1990: 73-100) mengenai tiga

bentuk pengorganisasian kerja yang melandasi sistem produksi sekaligus ciri sistem perekonomian suatu masyarakat. Ketiga bentuk tersebut adalah pengorganisasian kerja berdasarkan hubungan kekerabatan, perupetian,

dan produksi kapitalis.17

Lebih lanjut dijelaskan mengenai penataan organisasi kerja tersebut:

…ditata sedemikian rupa alam kait pembagian kerja di antara anggota masyarakat, pemanfaatan sumber-sumber daya yang ada, dan bagaimana nilai yang telah dihasilkan oleh kerja orang-orang yang memperoduksinya diambil, dibagi-bagi, dan dimanfaatkan, baik itu dalam kehidupan kolektif

maupun perseorangan.18

Bentuk pengorganisasian kekerabatan umumnya terbentuk dalam

adat istiadat yang terbentuk sebagai hasil dari ikatan perkawinan dan garis keturunan. Hak dan kewajiban dalam pengorganisasian dan penguasaan faktor produksi selanjutnya diperoleh sebagai hasil dari kedudukan yang dilekatkan secara adat tersebut. Aturan umum menggambarkan bahwa seseorang yang mengolah sendiri lahan garapannya akan menjadi pemilik lahan, sedangkan mereka yang tidak mengolah lahan tidak memiliki hak atas lahan dan hasilnya.

17 Mulyanto, Dede, 2012, Genealogi Kapitalisme; Antropologi dan Ekonomi Politik Pranata Eksploitasi Kapitalistik, Yogyakarta: Resist Book. Hal. 13.

18 Ibid.

Page 6: ISSN: 2088-4257 SUSUNAN REDAKSI LANTIP Jurnal Ilmu Sosial

81

Bentuk pengorganisasian berdasarkan perupetian terjadi dalam sistem masyarakat feodal yang meletakkan hubungan berdasarkan

kepemilikan tanah. Kedudukan sosial seseorang bersifat permanen berdasar pada silsilah keturunannya sehingga berdampak pula pada peran dan perolehan kerja ekonominya. Seorang raja, bangsawan, rohaniwan, tuan tanah, orang bebas, dan budak akan mewariskan kedudukan dan kewajiban yang sama kepada keturunannya. Faktor-faktor produksi adalah milik para bangsawan bersama rohaniwan yang menduduki kelas teratas dalam struktur. Akibatnya kedua kelompok tersebut tidak menjadi produktif tapi memiliki gaya hidup yang megah dan mewah. Tatanan inilah yang di kemudian hari dirombak oleh kelas baru yang disebut sebagai kelas kapitalis namun tetap membangun relasi dengan aktor negara sebagai pembuat kebijakan politik.

Corak pengorganisasian sistem produksi kapitalis berbeda dengan kedua corak sebelumnya. Di dalam sistem kapitalisme, pengorganisasian didasarkan kepada kepemilikan faktor produksi. Kepemilikan faktor produksi tersebut bersifat formal melalui legalisasi oleh negara sebagai aktor politik sebagai subjek hukum. Tidak seorangpun di dalam masyarakat yang bisa mengambil manfaat dari sarana produksi yang menurut hukum formal telah

disahkan sebagai milik pribadi seseorang tanpa izin.19

Dalam kondisi seperti ini, kelompok sosial yang tidak memiliki

faktor produksi kemudian berada dalam sebuah dilema untuk bertahan hidup dan mengejar pencapaian-pencapaian kualitatif sebagai manusia. Ketidakpunyaan mereka atas faktor produksi menekan mereka untuk menjual satu-satunya daya tersisa yang dimiliki, yaitu tenaga. Inilah karakter utama dari sistem kapitalisme di mana manusia (dalam bentuk tenaga kerja) dijadikan sebagai komoditas. Pada tahap inilah eksploitasi terjadi.

Kepada siapa mereka harus menjualnya? Tentu saja kepada golongan pemilik sarana produksi yang memerlukan tenaga kerja orang lain untuk mengoperasikan sarana produksi miliknya dalam rangka memperbanyak kekayaannya sendiri. Dengan menjual tenaga kerjanya, golongan tanpa sarana produksi mendapatkan upah… Dengan upah inilah kemudian tertentu barang dan jasa yang dibutuhkan untuk memenuhi

kebutuhan hidupnya.20

Inti dari eksploitasi tersebut terletak pada komodifikasi manusia

(tenaga kerja) tersebut. Seseorang diupah sebagai ganti dari sejumlah tertentu waktu produktifnya –yang biasanya digunakan untuk pengembangan kualitas dan nilai-nilai kemanusiaannya–dengan bekerja menggerakkan faktor produksi milik orang lain. Berbeda dengan perbudakan yang tidak mengenal jual beli tenaga kerja, karakter komodifikasi manusia (tenaga kerja) ini hanya terjadi dalam masyarakat

19 Ibid. Hal. 17.

20 Ibid. Hal. 18.

Page 7: ISSN: 2088-4257 SUSUNAN REDAKSI LANTIP Jurnal Ilmu Sosial

82

kapitalistik. Budak tidak mempunyai pilihan untuk menjual tenaganya sebagaimana buruh atau pekerja dalam masyarakat kapitalis.

Sementara itu, pilihan satu-satunya yang dimiliki oleh buruh atau

pekerja industri untuk bertahan hidup dengan menjual tenaganya kepada

pemilik sarana produksi membawanya dalam posisi tawar yang rendah dalam

negosiasi upah. Hal tersebut memberi keleluasaan bagi pemilik sarana

produksi (kapitalis) untuk menentukan harga upah pekerja yang rendah. Upah

rendah tersebut berdampak terhadap kondisi kehidupan pekerja yang tidak

sesuai dengan tenaga yang dikeluarkannya untuk bekerja. Akibat dari tingkat

upah yang rendah tersebut, sebagaimana Organski catat: …penghasilan setiap anggota kelua kebutuhan sekedar hidup. Buruh anak-anak dan buruh wanita bertebaran di antara penduduk kelas rendah. Para orang tua tidak mempunyai pilihan lain kecuali bekerja sendiri dan mendorong anak-anak mereka bekerja… sudut panda buruh wanita dan anak-anak adalah pilihan terbaik karena mereka paling murah. Berlimpah-limpahnya tenaga kerja murah membuat

seluruh upah tetap rendah.21

Kondisi memprihatinkan tersebut sekaligus memberi gambaran

mengenai bagaimana negara meletakkan posisinya yang berpihak kepada

industri. Cerita di masa lalu, ketika Pemerintah Inggris dan Perancis mengirim

anak-anak miskin ke pabrik-pabrik pemintalan dan tekstil di pusat industri tak

berbeda jauh dengan cerita di wilayah lain atau masa sekarang. Upah yang rendah, jam kerja yang panjang, penggunaan tenaga kerja anak-anak, dan kurangnya keamanan, semuanya itu berpengaruh dalam mengurangi banyak pengeluaran untuk upah dan memelihara bagian terbesar pedapatan nasional yang berasal dari para pekerja yang seharusnya mereka gunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sendiri. Sebaliknya, pendapatan tersebut mengalir ke tangan para pengusaha,.., kemudian menanamkan kembali uang tersebut

dalam bentuk barabg-barang modal.22

Selain itu, pemerintah menyediakan berbagai perangkat negara,

umumnya berupa aturan dan jasa perlindungan dari aparat, untuk memudahkan segala aktivitas industrialisasi, termasuk dengan menekanaktivitas pekerja dan serikat buruh untuk menuntut perbaikan tingkat penghasilan. Dengan demikian, pemerintah pada dasarnya telah menjadi aktor yang menjaga keberlangsungan proses akumulasi pengusaha (kapitalis) di satu sisi dan penyebab penderitaan dan kesenjangan di sisi yang lainnya.

b. Kesenjangan sosial dan ekonomi Karl Marx telah sejak lama mengemukakan dan menyakini

gagasannya bahwa hubungan sosial ekonomilah yang menjadi basis

21 Op.Cit. (Organski). Hal. 122.

22 Ibid. Hal. 124.

Page 8: ISSN: 2088-4257 SUSUNAN REDAKSI LANTIP Jurnal Ilmu Sosial

83

pembentuk struktur sosial masyarakat. Allan W. Wood mengutip kalimat terkenal Marx dalam Critique of Political Economy, sebagai berikut:

In the social production of their life, human being enter into determinate relations, necessary and independent of their will, production relations which correspond to a determinate stage of development of their productive power. The totality of these production relations forms the economic structure of society, the real basis on which a juristic and political superstructure arises, and to

which determinate forms of social consciousness correspond.23

Struktur sosial tersebut menjadi semakin mapan dengan terpilahnya

masyarakat ke dalam kelas-kelas sosial yang berdasarkan pada kepemilikan

faktor produksi, seperti kapitalis dan buruh ataupun tuan tanah dan penyewa.

Dalam masyarakat kapitalisme, keberadaan kelas kapitalis dan buruh menjadi

corak utama masyarakat tersebut. Kelas kapitalis sebagai kelas dominan dan

kelas buruh sebagai yang menjual tenaga kerja mereka sebagai ganti aktivitas

produktif untuk bertahan hidup. Keterpilahan kelas ini sekaligus memberi akibat bagi ketimpangan

ekonomi di antara keduanya. Kapasitas dan kekuatan yang berbeda secara ekonomi dan akses politik berdampak kepada jurang kesenjangan ekonomi yang berbeda jauh. Kelas kapitalis mengekspos gaya hidup mewah dengan kekayaan yang melimpah di satu sisi dan kelas buruh hidup dalam penderitaan yang sangat memprihatinkan. Friederich Engels dalam The Condition of the Working Class in England (1958:77) menggambarkan kondisi buruh dalam masyarakat kapitalisme di Manchester:

…seluruh keluargaseringmenempatiIrlandiasatutempattidur,dan kadang-kadang satu tumpukan jerami kotor dan karung-karung bekas menutupi mereka tanpa bisa d satu keluarga tinggal di ruangan lembab, yang hanya terdiri dari satu kamar, di mana sejumlah dua belas sampai enam belas orang

ditumpuk jadi satu.24

Kondisi tersebut menggambarkan bagaimana kapitalisme benar-

benar membawa penyakit sosial ketimpangan di suatu negara. Tak hanya Inggris, penyakit itu menyebar ke berbagai penjuru dunia di mana kapitalisme bertumbuh. Foster Rhea Dulles dalam Labor in America (1949:78-79) mengemukakan:

Kondisi serupa ditemukan di Amerika Serikat: Di New York terdapat sekitar 18.000 orang yang bermukim di rumah-rumah sempit, berjejal-jejal, lembab, kurang baik penerangannya dan buruk ventilasinya. Di situ sekitar enam sampai dua puluh orang –

pria, wanita, dan anak-anak tinggal di satu kamar.25

Kesenjangan yang ada menjadi semakin nampak dari usaha-usaha

para pekerja atau buruh untuk menuntut keadilan dari para kapitalis. Para buruh mengeluarkan berbagai tuntutan kepada para kapitalis yang

23 Wood, Allen W., 2004, Karl Marx; 2

nd Editions, London: Routledge. Hal. 82.

24 Op.Cit. (Organski). Hal. 120-121.

25 Ibid. Hal. 121.

Page 9: ISSN: 2088-4257 SUSUNAN REDAKSI LANTIP Jurnal Ilmu Sosial

84

umumnya berkaitan dengan perbaikan kualitas kesejahteraan dan penyediaan berbagai insentif kehidupan sosial lain, seperti jaminan keamanan, kesehatan, dan pendidikan bagi keluarga pekerja.

Pada sekitaran 1930-an, ketika industrialisasi massif telah membawa kapitalisme kepada puncak permasalahannya dan menyebabkan depresi ekonomi, kelas bawah yang terdiri dari para buruh kembali menjadi korban. Mereka tertekan dan berada dalam ancaman pemotongan upah hingga kehilangan pekerjaan untuk menjamin terus berlangsungnya produksi kelas kapitalis.

Puncaknya adalah ketika mereka mengadakan pemogokan sebagai bentuk protes berbagai kebijakan perusahaan dan pemerintah yang tidak mengindahkan mereka. Adrian A. Paradis menggambarkan keadaan pekerja tekstil Amerika pada tahun 1934:

Empat hari kemudian (sejak 27 Agustus 1934; penulis) Serikat Pekerja Tekstil mengeluarkan perintah pemogokan terhadap satu

juta pekerja pada industry ka tun,

Dalam beberapa hari dikhawatirkan pemogokan itu akan menyebar pada industri-industri lain. Terdapat 110.000 pekerja tekstil di Massachusetts yang melakukan pemogokan, Di Rhode Island 50.000 pekerja meninggalkan pekerjaan mereka, di Georgia 60.000 pekerja, dan di Alabama 28.000 pekerja. Itu merupakan

pemogokan terbesar yang pernah disaksikan di negara tersebut.26

Berbagai aksi pemogokan dan protes tersebut seakan menegaskan

kondisi real kelas pekerja yang sangat tertekan dan memiliki kehidupan yang berbeda dengan majikan mereka, para kapitalis. Keadaan tersebut bukan hanya cerita di satu atau dua negara saja, melainkan menjadi kisah yang serupa di berbagai negara di mana kapitalisme berkembang melalui aliran modal yang dibawa oleh para pengusaha dengan dukungan negara. Hal ini pulalah yang mendorong terjadinya imperialism di masa lalu. Suatu fase di lebih dari separuh negara dunia lalui dengan tunduk dan menurut kepada perintah dan tekanan bangsa lain dari Eropa.

26

Paradis, Adrian A., 2009, Buruh Beraksi; Sejarah Gerakan Buruh Amerika Serikat, Bantul: Kreasi Wacana. Hal. 71.

Page 10: ISSN: 2088-4257 SUSUNAN REDAKSI LANTIP Jurnal Ilmu Sosial

85

c. Imperialisme Selain pengalaman masyarakat kelas pekerja atau buruh di negara-

negara industri, pengalaman lain yang menjelaskan dampak perkembangan kapitalisme adalah terjadinya imperialism. Hampir seluruh dunia pernah merasakan pengalaman imperialisme maupun kolonialisasi dari bangsa-bangsa Eropa yang mengeruk kekayaannya. Kekayaan-kekayaan alam dari Asia, Afrika, dan Amerika Latin dibawa pergi jauh ke Eropa untuk membangun daratan yang kecil tersebut dan meninggalkan cerita pilu bangsa jajahannya.

Pengalaman kehadiran VOC di Nusantara selama tiga abad lebih dan

East Indies Company (EIC) di India dan belahan Asia lainnya menceritakan

kisah panjang tentang imperialisme. Kepentingan sumber bahan baku murah dan pasar industri menjadi motivasi serius lain imperialisme. VOC dan EIC

merupakan representasi kapitalisme dalam wujud Multinational Corporations (MNC’s). Kehadiran mereka-bangsa menye Asia dalam masalah yang besar membangun negerinya akibat kekayaan yang dibawa ke negara induk di Eropa.

Serupa dengan pengalaman di berbagai belahan lain dunia, pengalaman Amerika Latin dengan imperialisme dan kolonialisme tidaklah terpisah dengan kepentingan ekspansi kapital (modal) bangsa Eropa. Peter Bakewell mengungkapkan corak imperialisme di Amerika Latin:

The first outstanding feature of colonialization, therefore, was government. The second was extraction of wealth from the Americas–the Spanish themselves freely admitted that had gone to and conquered the Americas for the shake of gold and God. One of the main tasks of the colonial governments was certainly to ensure that Spain and Portugal received as large as possible from the

colonies.27

Implikasi terbesar dari kehadiran bangsa Eropa tersebut tentu saja

eksploitasi, sekali lagi. Kekayaan alam Amerika Latin diambil dan dibawa sebanyak-banyaknya untuk kepentingan pembangunan bangsa Eropa penjajahnya menggambarkan betapa tidak adilnya perlakuan yang diterima bangsa pemilik tanah.

The term “exploitation” is often a by Spain and Portugal from their American colonies. It is a term of criticism, signifying an unjust and greedy grasping by the colonizing powers of natural riches of Latin America –a process that had the result, among others, of leaving the states of Latin America considerably poorer than they otherwise would have been

after independence.28

27 Bakewell, Peter, 1984, Colonial Latin America, dalam Jan Knippers Black, Latin America, Its Problem and Its Promise; A Multidisciplinary Introduction, Westview Press. Hal. 54.

28 Ibid. Hal. 55.

Page 11: ISSN: 2088-4257 SUSUNAN REDAKSI LANTIP Jurnal Ilmu Sosial

86

Eksploitasi besar-besaran kekayaan alam Amerika Latin yang dilakukan oleh imperialis menuntut kebutuhan besar pula dalam hal tenaga kerja, khususnya tenaga kerja murah. Para imigran dari Eropa sangat sulit untuk dipekerjakan tanpa memberinya upah yang tinggi. Maka solusi terbaiknya adalah dengan melatih orang-orang lokal untuk bisa bekerja di industri dan pertambangan. Kehadiran pekerja lokal memberi peluang bagi tersedianya buruh murah untuk dipekerjakan dengan resiko tinggi di daerah-daerah pertambangan dan insustri.

Seiring semakin membesarnya kebutuhan untuk tenaga kerja,

lama-kelamaan buruh lokal menjadi terbatas. Sementara itu, lahan pertambangan dan ekstraksi hasil alam semakin meluas dan butuh sokongan tenaga kerja yang besar. Keadaan tersebut menekan pemerintah imperialis untuk segera menemukan solusi ketenagakerjaan. Hal tersebut mendorong didatangkannya budak-budak dari Afrika.

Where, for one reason or another, there were not enough native people to do thek,black slavesEuropeans’wereimportedfrom wor Africa… the number was certainly i importing regions being Brazil and the Spanish Caribbean. Demand for black slaves was high in both of these regions because both

produced sugar on plantation29

… Imperialisme di Amerika Latin benar-benar menunjukkan bagaimana

pertumbuhan kapitalisme di Eropa membawa berbagai dampak tidak hanya di tanah asalnya, namun ke seluruh belahan dunia. Bekerjanya sistem kapitalisme dan imperialisme yang menyertainya membawa dampak kemajuan peradaban di Eropa di satu sisi, namun menyisakan kemelaratan bagi negeri-negeri jajahan di sisi yang lainnya. Inilah yang disebut Underhill sebagai the connection between the social and economic structure of the capitalist economic system, in the one hand, and the exercise of political

power in the international system, on the other hand.30

Memperhatikan berbagai persoalan yang muncul tersebut, menjadi titik tolak argumen dari para pengusung sosialisme dalam mengkritik sistem ekonomi dan politik kapitalisme. Terdapat keyakinan di dalam logika para teoritikus sosialisme bahwa ada sebuah sistem ekonomi politik yang lebih bisa mengakomodasi pembangunan peradaban sekaligus mewujudkan keadilan bagi sebagian besar umat manusia.

29 Ibid. Hal. 57.

30 Underhill, Geoffrey R.D., 2006, Conceptualizing the Changing Global Order, dalam Geoffrey Stubbs dan dan Geoffrey R.D.Underhill, Political Economy and the Changing Global Order, Oxford University Press. Hal. 14.

Page 12: ISSN: 2088-4257 SUSUNAN REDAKSI LANTIP Jurnal Ilmu Sosial

87

3. Revolusi Kuba, Kedaulatan, dan Ekonomi-Politik Sosialisme Seiring berkembangnya berbagai kritikan terhadap sistem kapitalisme,

sosialisme bertumbuh pula sebagai sebuah paham radikal dengan alternatif sistem terhadap kapitalisme. Lahir negara-negara yang mampu membumikan gagasan-gagasan pokok dari sosialisme dan menerapkannya dalam kehidupan masyarakat mereka. Uni Soviet dan China tercatat sebagai yang terbesar dan berpengaruh. Meski pada akhirnya harus kembali tersungkur akibat hantaman kapitalisme bersama banyak negara pendukung sosialisme yang lain.

Di Amerika Latin, pertarungan antara kapitalisme dan sosialisme sebagai ideologi yang mengendalikan sistem sosial, ekonomi, dan politik nampak tidak pernah berakhir. Silih berganti pendukung keduanya saling meruntuhkan kekuasaan dalam kurun waktu seabad ke belakang. Negara-negara seperti Argentina, Chile, Peru, Bolivia, dan Venezuela sepertinya telah ditakdirkan menjadi arena pertarungan kepentingan kedua pilar tersebut.

Hingga di abad baru, di mana Venezuela dan Bolivia menjadi negara-negara terbaru yang kembali secara kuat mengusung ideologi tersebut dalam pemerintahan.

Runtuhnya kekuasaan penguasa-penguasa sayap kanan di sebagian besar negara di kawasan Amerika Latin oleh dukungan mayoritas rakyat…diikuti pula dengan perubahan-perubahan di bidang sosial-politik, khususnya di tingkat pengambilan kebijakan dan praktik politiknya... penerapan berbagai kebijakan pemerintah yang pro-rakyat miskin di masing-masing negara bagi negara-negara yang sudah dipimpin kelompok nasionalis-populis ataupun dengan mobilisasi massa dalam menuntut perbaikan-perbaikan sosial di negara-negara

yang semakin meningkat jumlah kelompok oposisinya.31

Selain kedua negara tersebut, terdapat Kuba yang telah bertahan jauh

lebih lama dalam menjaga keyakinannya terhadap sosialisme. Revolusi 1959 yang dipimpin oleh Fidel Castro Ruz telah membawa Kuba ke jalan sosialisme dan menyajikan pembuktian lain mengenai perdebatan tentang demokrasi dan kesejahteraan. Melalui jalan sosialismenya, Kuba mewujudkan kehidupan sosial, ekonomi, dan politik yang berdaulat bagi rakyatnya serta bisa menjalankan pembangunan yang berbasis pada kebutuhan dan pemerataan.

Sosialisme Kuba adalah motivasi ideologis yang berangkat dari pengalaman panjang negara tersebut dengan imperialisme dan kapitalisme. Sikap anti-imperialisme dan cita-cita mengenai gerakan proletar internasional menjadi inspirasi sendiri bagi Kuba dalam membangun tatanan politiknya. H. Michael Erisman menuturkan:

Proletarian internationalism, a commitment to help one’s ideol brethren in other countries to seize power and consolidate their regimes, is deeply embedded in communist- et Leninists, Cuba’s leaders have so

internationalism a central norm of their society. Its spirit has

permeated

31 Idris, Syaharuddin, 2010, Pengaruh Neo-Nasionalisme di Amerika Latin terhadap Hegemoni Amerika Serikat. Skripsi. Ilmu Hubungan Internasional. Universitas Hasanuddin Makassar. Naskah tidak dipublikasikan. Hal. 70.

Page 13: ISSN: 2088-4257 SUSUNAN REDAKSI LANTIP Jurnal Ilmu Sosial

88

such landmark proclamations as the Second Declaration of Havana,

and its ongoing relevance has been repeatedly emphasized.32

Relevansi sosialisme dalam tatanan ekonomi dan politik Kuba menjadi

semakin nampak dengan memperhatikan dua hal utama, yaitu kedaulatan dan pembangunan ekonomi. Kedua hal tersebut menjadi tolak ukur bagaimana Kuba memberikan makna yang secara kontras berbeda dengan pengertian mainstream. Keduanya menjadi jawaban sesungguhnya mengenai bagaimana bangunan visi sosialisme Kuba sesungguhnya. 1) Kedaulatan

Persoalan kedaulatan menjadi salah satu variable yang sagat signifikan diulas berkaitan dengan politik Kuba. Kedaulatan diyakini secara mutlak sebagai fondasi untuk bangunan sosilalisme rakyat Kuba dan rentetan pembangunan ekonomi di masa berikutnya. Pengalaman dengan sistem politiknya di masa lalu nampak menjadi rasionalisasi bagi pemerintahan revolusioner Kuba di bawah Fidel Castro untuk membangun negaranya secara mandiri dan berdaulat.

Tidak terelakkan bahwa berbagai macam model pemerintahan yang pernah ada di Kuba sebelum revolusi 1959 telah kehilangan jati karakter sebagai negara berdaulat. Sebagai negara koloni Spanyol terakhir di Amerika Latin –bersama Puerto Rico, Kuba merdeka tahun 1898–orang-orang Kuba tentu mengalami kesengsaraan yang lebih parah dari bangsa lain di Amerika Latin. Sejak kekuasaan Spanyol, para pemimpin Kuba memerankan diri sebagai akomodator dari berbagai kepentingan yang berkaitan dengan imperialisme dan motor utamanya, kapitalisme.

Terdapat tiga faktor utama mengapa persoalan kedaulatan ini

sangat relevan dan penting dalam membangun visi sosialisme Kuba. Pertama, pengalaman kolonialisasi bangsa Eropa yang panjang membawa rakyat Kuba pada kesadaran betapa pentingnya untuk menentukan nasib sendiri sebagai bangsa merdeka. Pengalaman penjajahan Kuba tanah Kuba oleh Spanyol bisa jadi merupakan yang terlama.

Kuba tidak hanya sebagai negara koloni terakhir tetapi juga sebagai negara awal yang diklaim sebagai daerah yang ditundukkan. Catatan sejarah bahwa periode kolonialisasi Kuba berawal ketika Columbus melintasi

Atlantik dari Spanyol hingga ke benua yang selanjutnya bernama Amerika pada tahun 1492. Setiap daerah yang disinggahinya kemudian diklaim dan diserahkan kepada pemerintah Spanyol. Dua daerah awal yang diduduki adalah Kuba dan Hispaniola (sekarang terbagi ke dalam Republik Dominika

dan Haiti) pada pelayaran pertamanya tahun 1492-1493.33

Berakhir dari cengkeraman Spanyol, Kuba justru jatuh ke dalam

intervensi tetangganya, Amerika Serikat. Amerika Serikat menguasai Kuba melalui sebuah invasi militer yang disebutnya sebagai “enlightened” intervention. Pada kenyataannya memang dibangun sekolah, jalan, dan saluran telekomunikasi meksi dengan standar yang buruk. Sejak invasi

32 Erisman, H.Michael, 1985, Cuba’s International

Foreign Policy, Westview Press. Hal. 8.

33 Op.Cit. (Bakewell). Hal. 51.

Page 14: ISSN: 2088-4257 SUSUNAN REDAKSI LANTIP Jurnal Ilmu Sosial

89

tersebut, Kuba menjadi protektorat Amerika Serikat hingga tahun 1934 dengan pemimpin-pemimpin yang tidak cakap dan menjadi boneka Washington. Sebagaimana Presiden Tomas Estrada Palma (1902-6), yang oleh Skidmore and a SmithtypicalofmuchdisebutoftheCuban sebag elite,

which saw little future for an independent Cuba”34

. Faktor kedua yaitu sistem pemerintahan otoriter. Model

pemerintahan seperti itu membawa Kuba kepada model imperialism baru. Lepas dari protektorat, situasi di Kuba tak kunjung membaik. Pemimpin-pemimpin di masa berikutnya, tidak jauh lebih baik meski Kuba telah melangkah secara hukum lepas dari administrasi Amerika Serikat. Namun, pengaruh dan intervensi Amerika Serikat masih nampak sangat besar, khususnya dalam hal kebijakan ekonomi.

Jenderal Fulgencio Batista yang berkali-kali mengontrol pemerintahan tidak lebih baik dari pendahulunya di masa protektorat. Mengkhianati koleganya dalam memperjuangkan kemerdekaan, seorang professor sosialis bernama Grau San Martin, Batista memilih menjadi kaki tangan Washington dalam masa 1934-1940 dan 1952-1959 dan mengendalikan pemerintahan dengan cara otoriter. Hal tersebt

menumbuhkan bibit-bibit perlawanan dari rakyatnya.35

Pemerintahan

otoriter Batista dianggap sebagai agen imperialism Amerika Serikat di Kuba.

Faktor ketiga adalah kepentingan ekonomi asing. Aktor-aktor ekonomi asing telah menjadi sangat dominan dalam sistem ekonomi Kuba di masa lalu, khususnya di sektor pertanian. Tanah Kuba telah sejak lama dikenal karena kejayaannya dalam produksi gula dan bangsa Spanyol telah menguasai dan menikmati kekayaan alam Kuba tersebut selama berabad-abad.

Selama tahun-tahun protektorat Amerika, produksi Kuba jauh lebih meningkat dan menjadi salah satu eksportir terbesar gula dunia. Dengan metode penyulingan modern dari Amerika, produksi gula selanjutnya mendominasi perekonomian Kuba dengan hampir 80% nilai perdagangan

luar negerinya.36

Namun demikian, kejayaan tersebut tentu saja bukan kejayaan

rakyat Kuba. Dominasi produksi gula terhadap perekonomian Kuba juga sekaligus berarti dominasi aktor ekonomi asing dalam ekonomi Kuba. Seiring meledaknya produksi gula Kuba, kepemilikan pertanian tebu juga semakin banyak dimiliki oleh investor Amerika. Skidmore dan Smith mengisahkan:

34 Skidmore, Thomas E, dan Smith, Peter H, 2005, Modern Latin America; Sixth Edition, Oxford University Press. Hal. 298.

35 Ibid. Hal. 303-304.

36 Ibid. Hal. 299.

Page 15: ISSN: 2088-4257 SUSUNAN REDAKSI LANTIP Jurnal Ilmu Sosial

90

The independent growers, whose small-and medium-sized farms had produced most of the cane before growing numbers to the big sugar companies. By 1912 the latter controlled more than 10 percent of all land in Cuba. By 1925 the number of sugar mills had dropped to only 184, and they

controlled 17,7 percent of Cuba land.37

Kenyataan dominasi asing terhadap ekonomi Kuba tersebut

membawa suatu kondisi sosial yang timpang di dalam masyarakat Kuba. Terbentuknya struktur kelas sosial dan hubungan vertical yang ekstrim tak terelakkan. Dominasi lahan pertanian –berarti pula sebagian besar sumber pendapatan Kuba–oleh sebagian kecil orang asing dan elit lokal membawa pengaruh bagi berkembangnya sentiment dan protes bagi pemerintah.

Kondisi objektif tersebut menjadi sebagian dari berbagai alasan yang kemudian memicu sebuah gerakan sosial, yaitu Revolusi Kuba tahun 1959. Revolusi tersebut yang kemudian bercita-cita untuk merubah tatanan sosial, ekonomi, dan politik negara tersebut dengan sistem baru di mana bangsa Kubalah yang berdaulat dalam mengatur dan menguasai kekayaannya sendiri. Dengan kedaulatan penuh yang dimiliki dalam bidang ekonomi dan politik, bangsa Kuba bisa membangun bangsa dan negerinya untuk mewujudkan cita-cita manusia Kuba yang bemartabat.

2) Pembangunan Ekonomi berbasis Grass Root Revolusi 1959 berdampak kepada isolasi yang kemudian dialami

oleh Kuba dari dunia internasional. Sebagian negara yang dirugikan oleh gerakan sosial tersebut, seperti Amerika Serikat yang sebelumnya menguasai berbagai sektor vital perekonomian Kuba menjadi berang hingga menjatuhkan kebijakan embargo ekonomi.

Kondisi terisolasi dari kepentingan dunia internasional tidak membuat Pemerintah Kuba bergeming dan mulai memikirkan sendiri jalan dan cara mereka untuk bertahan sebagai sebuah negara berdaulat. Pemerintah Kuba ingin merombak tatanan sosial lama dan membangun sebuah tatanan baru yang menempatkan relasi manusia di tengahnya. Oleh sebab itu, negara dan kedaulatannya penting sebagai aktor dalam meletakkan kepentingannya dengan cara berbeda.

Berbagai kebijakan pembangunan ekonomi dan sosial serius dijalankan oleh pemerintah Kuba sejak Revolusi 1959. Tiga kebijakan terpenting adalah (1) nasionalisasi asset nasional yang sebelumnya dikuasai pihak asing, (2) reformasi agrarian, dan (3) kebijakan-kebijakan kesejahteraan.

Pertama, dengan kebijakan yang anti intervensi pihak asing, Pemerintah Kuba kemudian mendorong diterapkannya kebijakan-kebijakan untuk menopang keutuhan mereka sebagai negara berdaulat. Seiring tergulingnya kekuasaan Diktator Batista, pemerintah Kuba mengambil alih berbagai asset yang sebelumnya dikelola oleh pihak swasta elit maupun asing.

37

Ibid.

Page 16: ISSN: 2088-4257 SUSUNAN REDAKSI LANTIP Jurnal Ilmu Sosial

91

Rakyat Kuba dipimpin Fidel Castro mula-mula menasionalisasi

ITT, perusahaan telekomunikasi Kuba yang sebelumnya dibangun dan mayoritas dikuasai oleh Amerika sebagai saluran telekomunikasi utama di negara tersebut. Disusul kemudian dengan direbutnya lahan-lahan

pertanian gula milik perusahaan Amerika Serikatpada tahun 1960-an.38

Kebijakan tersebut terjadi semakin massif dan menyebar ke berbagai penjuru dan sektor-sektor penting di Kuba.

After the revolution, the Cuban economy was partially nationalized. All estates over 400 hectares were nationalized and huge tracts of land owned by U.S. companies were expropriated by the state, along with such foreign-owned assets as Texaco,

Standard Oil, and Shell Oil refineries.39

Di bawah sistem baru, ekonomi Kuba sempat beberapa kali

tersandung dan hampir jatuh pada pertengahan 1960-an hingga 1970. Namun, koneksi yang dibangun Castro dengan Uni Soviet pada 1970 hingga penghujung 1980-an menyelamatkan perekonomian Kuba. Pada 1973, the Economic Management and Planning System (SPDE) diperkenalkan dengan mengacu kepada reformasi ekonomi Soviet tahun 1965. Hasilnya adalah pertumbuhan signifikan ekonomi Kuba. Dengan pertumbuhan tersebut, negara dapat mengalokasikan pendanaannya dengan maksimal ke berbagai program kesejahteraannya.

Tahap signifikan berikutnya adalah berkembangnya inisiatif koperasi pada tahun 1990 ketika Uni Soviet telah terpecah. Koperasi, dengan pengawalan negara, memungkinkan metode pembiayaan independen sekelompok kecil warga untuk menjalankan aktifitas ekonominya tanpa perlu merasa terancam dengan persaingan. Pemerintah Kuba menjadi yang terdepan dalam mengakomodasi hal tersebut. Dengan penguasaan sektor ekonomi oleh negara, Kuba membuktikan bahwa negara merupakan kekuatan politik utama untuk menjaga dan menjamin kepentingan rakyatnya dari dominasi melalui proteksi dan berbagai jaminan sosial yang disediakannya.

Kebijakan kedua adalah reformasi agraria (agrarian reform) yang

tidak terpisahkan dari kebijakan nasionalisasi. Reformasi agraria dijalankan dalam dua tahap, yaitu pada May 1959 dan 1963. I. Wiesel menggambarkan bagaimana kebijakan tersebut di fase awal:

38 Rumbaut, Luis E. dan Rumbaut, Ruben G., 2009, Survivor Cuba: The Cuban Revolution at 50, Latin American Perspectives, Vol. 36, No. 1, Cuba: Interpreting a Half Century ofRevolution and Resistance, Part 1 (Jan., 2009), pp. 84-98, http://www.jstor.org/stable/27648162, diakses tanggal

24 Maret 2013. 39 Peet, Richard and Hartwick, Elaine, 2009, Theories of Development; Contentions, Arguments, and Alternatives, The Guilford Press. Hal. 189.

Page 17: ISSN: 2088-4257 SUSUNAN REDAKSI LANTIP Jurnal Ilmu Sosial

92

In the first stage of the reform the maximum size of land area to be left in individual or group ownership was set at 400 hectares. The large estates were nationalized. Nationalization was facilitated by the fact that the Cuban peasantry was not as land-hungry as the peasants in the European people's democracies had earlier been. Their productive activity resembled that of the European

proletarians who worked as wage labourers.40

Pentingnya reformasi agraria sebagai langkah fundamental dalam

membangun sektor pertanian dan memperbaiki kualitas kehidupan petani Kuba yang sebelumnya terintimidasi dalam penguasaan lahan perusahaan-perusahaan gula Amerika. Mengembalikan sektor pertanian ke tangan rakyat Kuba berarti langkah maju dalam menjamin kedaulatan Kuba mengingat sektor pertanian sebagai salah satu sektor penopang industri dalam penyediaan bahan baku. Dengan demikian, rakyat Kuba telah dapat menghidupi dirinya sendiri.

Sebagaimana konsep-konsep dasar revolusi Kuba yang diungkapkan Wiesel, reformasi agraria diiringi dengan industrialisasi, dan memberi kendali kepada negara atas perdagangan luar negeri dan aliran modal. Reformasi agraria dijalankan dengan bentuk diversifikasi untuk memperkaya penyediaan bahan baku industri kebutuhan pokok. Selain itu, pengalaman pertanian dan ekonomi produk tunggal (gula) di masa lalu membawa masalah berat bagi pemerintah Kuba ketika terjadi economic crash. Pemerintah revolusioner Kuba tentu tidak ingin mengulang kesalahan tersebut.

Keberhasilan penguasaan negara terhadap sektor-sektor ekonomi vital dengan segera membawa pemerintah untuk mewujudkan tujuan pembangunannya yang terutama yang diwujudkannya ke dalam kebijakan ketiga, yaitu kebijakan-kebijakan kesejahteraan. Kebijakan-kebijakan tersebut banyak berkaitan dengan pelayanan sosial seperti pendidikan, kesehatan, dan perumahan. Skidmore dan Smith menceritakan:

The revolution has brought many ch greatest triumphs have been in serving basic human needs. Illiteracy has been wiped out, and a comprehensive school system has been

created. Its teaching content is, not surprisingly, highly ideological,

designed to inculcate the new socialist values. Basic health care,

especially preventive care, has been extended to the lower section.

Medical training has been geared to public health. Food distribution,

always one of the most shocking reflection of social inequality, has

been guarantee by rationing. The result is that life expectancy rose

from sixty-three years in 1960 to seventy-six in 1992, and the infant

mortality rate fell by more than two-thirds in 40

Wiesel, I., 1968, Cuban Economy After the Revolution, Acta Oeconomica, Vol. 3, No. 2 (1968), pp. 203-220, http://www.jstor.org/stable/40727812, diakses pada tanggal 24 Maret 2013.

Page 18: ISSN: 2088-4257 SUSUNAN REDAKSI LANTIP Jurnal Ilmu Sosial

93

the same periods. Much of this progress was of course undermined

by the economic crisis that began in 1990.41

Carlos Tablada, seorang peneliti ekonomi, memberikan rekaman

angka-angka yang menakjubkan: Antara tahun 1958 dan 1989 angka harapan hidup meningkat dari 62 tahun menjadi 74 tahun. Pada tahun 1990 meningkat menjadi 75.2 tahun yang melampaui angka harapan hidup negara-negara maju lainnya (74.5 tahun). Jumlah penduduk yang mendapat layanan dokter menurun dari 303 orang pada tahun 1832 pada periode yang sama menjadi 274 orang pada tahun 1990, dibandingkan dengan negara-negara maju mencapai angka rata-rata 460 orang dan sebesar 4590 orang di negara terkebelakang. Angka kematian bayi adalah 10.2 per 1000 kelahiran bayi pada tahun 1990 melampaui angka 15 per 1000 kelahiran bayi di negara-negara maju, 52 per 1000 kelahiran bayi di negara-negara Amerika Latin dan 76 per 1000 kelahiran bayi di negara terkebelakang. Angka buta huruf menurun dari 23.6 % menjadi 1.9% antara tahun 1958 dan 1989. Pada periode yang sama, jumlah anak yang masuk sekolah bertambah dari 12.2 kali dan angka yang masuk perguruan tinggi menjadi 9.2 kali. Persentase penduduk yang mendapat

jaminan sosial meningkat dari 53 menjadi 100%.42

Pencapaian-pencapain tersebut semakin membaik setiap tahunnya pada setiap aspek. Sebagai contoh, angka harapan hidup meningkat menjadi 77 tahun, angka melek huruf mencapai 97%, angka kematian bayi 6 orang per 1000 kelahiran (lebih baik dari Amerika Serikat 9/1000). Pencapaian terbaiknya tentu saja dengan mempertahankan pelayanan kesehatan maksimal terhadap 100% warganya dengan pengeluaran sebesar 7,5% dari GDP negara (setara dengan Britania Raya, 7,7% GDP). Untuk keperluan itu, pemerintah Kuba memiliki jumlah dokter sebanyak 591

orang untuk mengurus setiap 100.000 jiwa di Kuba.43

Ukuran keberhasilan pemerintah dan rakyat Kuba dalam

memperjuangkan kedaulatan dan membangun negaranya menyajikan sebuah perspektif pembangunan yang berbeda sama sekali dengan perspektif mainstream. Bagi pemerintah Kuba, pembangunan sesungguhnya bukan seberapa mampu sebuah negara mencapai dengan angka-angka menakjubkan investasi dan perdagangan luar negeri di atas peradaban eksploitasi manusia lain. Kuba menunjukkan hakikat pembangunan sosialisme yang meletakkan kepentingan kesejahteraan dan kualitas manusia di atas segala kepentingan, apalagi kepentingan modal.

41 Op.Cit. (Skidmore dan Smith). Hal. 320.

42 Burhan, Zulkhair, 2005, Dampak Embargo Ekonomi Amerika Serikat Terhadap Kuba dan

Implikasinya Terhadap Hubungan Amerika Serikat dengan Negara-Neraga Amerika Latin. Skripsi.

Ilmu Hubungan Internasional. Universitas Hasanuddin Makassar. Naskah tidak dipublikasikan. Hal. 58.

43 Op.Cit. (Peet dan Hartwick). Hal 191.

Page 19: ISSN: 2088-4257 SUSUNAN REDAKSI LANTIP Jurnal Ilmu Sosial

94

4. Kesimpulan Kuba dengan visi sosialisme dibangun di atas puing-puing pengalaman

panjang rakyatnya merasakan penderitaan. Penderitaan itu tiada lain adalah akibat keserakahan kapitalisme, imperialisme, dan kediktatoran yang menghamba kepentingan asing. Kepentingan-kepentingan yang merampas kedaulatan rakyat Kuba dalam berbagai aspek yang mengakibatkan sebagian besar hidup dalam kemelaratan dan keterbelakangan. Hingga kemudian Fidel Castro dan rekan-rekannya memimpin sebuah aksi heroik pada tahun 1959 yang kemudian merubah dan membangun Kuba dengan visi baru.

Pembangunan Kuba yang berbasis visi sosialisme menjadi jawaban

alternatif dalam perdebatan panjang mengenai tujuan sejati pembangunan itu sendiri. Hasil pembangunan Kuba telah menunjukkan bagaimana negara mewujudkan pelayanan terhadap manusia-manusia yang menjadi bagian tak terpisahkannya. Pencapaian yang tentu berbeda jauh dengan pembangunan yang menjadikan manusia sebagai penggerak mesin-mesin produksi kapitalisme. Pembangunan di Kuba telah membawa manusia kepada penghargaan atas kualitas, derajat, dan martabatnya.

DAFTAR PUSTAKA

Black, Jan Knippers, 1984, Latin America, Its Problem and Its Promise; A

Multidisciplinary Introduction, Westview Press. Burhan, Zulkhair, 2005, Dampak Embargo Ekonomi Amerika Serikat Terhadap

Kuba dan Implikasinya Terhadap Hubungan Amerika Serikat dengan Negara-Neraga Amerika Latin. Skripsi. Ilmu Hubungan Internasional. Universitas Hasanuddin Makassar. Naskah tidak dipublikasikan.

Chanan, Michael, 2001, Cuba and Civil Society, or Why Cuban Intellectuals Are Talking about Gramsci, Nepantla: Views from South, Volume 2, Issue 2, 2001, pp. 387-406, Duke University Press.

Mulyanto, Dede, 2012, Genealogi Kapitalisme; Antropologi dan Ekonomi Politik Pranata Eksploitasi Kapitalistik, Yogyakarta: Resist Book.

Erisman, H.Michael, 1985, Cuba’s Intern

Nationalistic Foreign Policy, Westview Press. Idris, Syaharuddin, 2010, Pengaruh Neo-Nasionalisme di Amerika Latin terhadap

Hegemoni Amerika Serikat. Skripsi. Ilmu Hubungan Internasional. Universitas Hasanuddin Makassar. Naskah tidak dipublikasikan.

O’Connor, James, 1964, On Cuban Politica Vol. 79, No. 2 (Jun., 1964), pp. 233-247, http://www.jstor.org/stable/2146064, diakses tanggal 30 Maret 2013.

O’Toole, Gavin, 2007, Politics Latin Ame Organski, A.F.K., 2010, Tahap-Tahap Pembangunan Politik (terj.), Jakarta:

Akapress. Paradis, Adrian A., 2009, Buruh Beraksi; Sejarah Gerakan Buruh Amerika

Serikat, Bantul: Kreasi Wacana.

Page 20: ISSN: 2088-4257 SUSUNAN REDAKSI LANTIP Jurnal Ilmu Sosial

95

Peet, Richard and Hartwick, Elaine, 2009, Theories of Development; Contentions,

Arguments, and Alternatives, The Guilford Press. Rumbaut, Luis E. dan Rumbaut, Ruben G., 2009, Survivor Cuba: The Cuban

Revolution at 50, Latin American Perspectives, Vol. 36, No. 1, Cuba: Interpreting a Half Century ofRevolution and Resistance, Part 1 (Jan., 2009), pp. 84-98, http://www.jstor.org/stable/27648162, diakses tanggal 24 Maret 2013.

Skidmore, Thomas E, dan Smith, Peter H, 2005, Modern Latin America; Sixth Edition, Oxford University Press.

Stubbs, Geoffrey dan Underhill, Geoffrey R.D. (eds), 2006, Political Economy and the Changing Global Order, Oxford University Press.

Wiesel, I., 1968, Cuban Economy After the Revolution, Acta Oeconomica, Vol. 3, No. 2 (1968), pp. 203-220, http://www.jstor.org/stable/40727812, diakses pada tanggal 24 Maret 2013.

Wood, Allen W., 2004, Karl Marx; 2nd

Editions, London: Routledge. Zimbalist, Andrew, 1993, Dateline Cuba: Hanging on in Havana,

Washingtonpost.Newsweek Interactive, LLC, http://www.jstor.org/stable/1149150, diakses tanggal 24 Maret 2013.

Page 21: ISSN: 2088-4257 SUSUNAN REDAKSI LANTIP Jurnal Ilmu Sosial