Upload
vudat
View
233
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
LEGALISASI HUKUM PERNIKAHAN SIRRI DENGAN
ITSBAT NIKAH
DI PENGADILAN AGAMA JAKARTA PUSAT
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
AYUHAN
NIM: 10604410139I
Di Bawah Bimbingan
Pembimbing
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM
NIP: 19550505 198203 1 012
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A
PROGRAM STUDI AHWAL SYAKHSHIYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1432 H/2011 M
LEGALISASI HUKUM PERNIKAHAN SIRRI DENGAN
ITSBAT NIKAH Di Pengadilan Agama Jakarta Pusat
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Mencapai Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
AYUHAN
NIM :106044101391
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A
PROGAM STUDI AHWAL AL SYAKHSHIYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1432 H/2011 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi dengan judul “Legalisasi Hukum Pernikahan Sirri Dengan Itsbat Nikah Di
Pengadilan Agama Jakarta Pusat”, telah diujikan dalam munaqosah Fakultas Syariah
dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, pada hari Jumat
tanggal 28 Januari 2011, skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Strata Satu (S1) pada Jurusan Peradilan Agama.
Jakarta, 28 Januari 2011
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM
Nip: 19550505 198203 1 012
PANITIA UJIAN
1. Ketua Drs. H. A. Basiq Djalil, SH, MH
Nip. 19500306 197603 1 001
(……………)
2. Sekretaris Rosdiana, MA
Nip. 19690610 200312 2 001
(....................)
3. Pembimbing Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM
Nip. 19550505 198203 1 012
(....................)
4. Penguji 1 Drs. H. A. Basiq Djalil, SH, MH
Nip. 19500306 197603 1 001
(....................)
5. Penguji 2 Hotnidah Nasution, S.Ag, MA
Nip. 19710630 199703 2 002
(....................)
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Strata 1 di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Jakarta, 13 Februari 2011 M
10 Rabiul Awal 1432 H
Ayuhan
i
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur bagi Allah SWT, yang telah memberikan nikmat iman,
Islam dan atas rahmat serta dengan petunjuk dan bimbingan-Nyalah penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Legalisasi Hukum Pernikahan Sirri
Dengan Itsbat Nikah di Pengadilan Agama Jakarta Pusat”.
Lantunan salawat dan salam tak lupa di maksudkan untuk nabi besar kita
Muhammad Saw yang telah membawa umat-nya dari zaman kegelapan ke zaman
yang terang benderang seperti yang dirasakan umat-nya saat ini.
Penulis menyadari, bahwa tugas ini selesai bukan semata-mata dari buah
tangan sendiri, akan tetapi tugas ini selesai karena adanya dorongan, motivasi,
bimbingan, do’a dan bantuan yang senantiasa mengalir dari para hamba Allah SWT
baik secara langsung atau tidak langsung. Mereka yang dengan tulus hati meluangkan
waktunya dan memberikan inspirasinya, pastinya tugas ini akan lebih berat tanpa
adanya mereka. Melalui kesempatan ini dengan segala kerendahan hati, penulis
persembahkan untaian kata terima kasih kepada yang terhormat:
1. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH. MA. MM., Dekan Fakultas Syariah
dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; yang juga selaku pembimbing
dengan senantiasa memberikan arahan-arahan yang sangat berarti;
ii
2. Drs. H. A. Basiq Djalil, SH. MA., Ketua Program Studi Ahwal Syaksiyyah dan
Rosdiana, M.A., Sekretaris Program Studi Ahwal Syaksiyyah UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Para penguji yang telah memberikan masukan atas kekurangan dalam penulisan
skripsi ini.
4. Segenap Ibu dan Bapak Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah
memberi ilmu yang tidak ternilai;
5. Seluruh Staf Pengadilan Agama Jakarta Pusat terutama Bapak Drs. Masrum,
MH., Ketua Pengadilan Agama dan Drs. Ujang Soleh, SH selaku Hakim yang
telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melakukan wawancara dan
penelitian di Instansi tersebut.
6. Pimpinan dan Karyawan perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang
telah memberikan pelayanan referensi yang diperlukan;
7. Ayahanda H. Abdul Hamid dan Ibunda Hj. Asiyah tercinta serta kakak-kakak
tersayang (Ayanah, Ayati, Hamzah, Taufik Hidayat) yang telah memberikan
motifasi dan do’a kepada penulis untuk menyelesaikan pendidikan S1.
8. Kepada semua sahabat-sahabatku (Helmi, Davik, Firmansyah, Halim, Abdi,
Sauqi), Yang selalu memberikan support dan dukungan, meluangkan waktu,
tenaga, dan perhatiannya serta teman-teman seperjuangan, khususnya teman-
teman Fakultas Syari’ah dan Hukum Konsentrasi Peradilan Agama angkatan
iii
2006 serta semua pihak yang tidak mungkin disebutkan satu persatu, atas segala
bantuan, informasi serta motivasi yang diberikan dalam menyelesaikan skripsi ini.
9. Teman-teman team Brankat Community Bintaro, Rascal Community Pondok
Pinang dan juga teman-teman di Saturate, yang terus memberikan semangat dan
canda tawa disela-sela kesibukan penulis menyelesaikan skripsi ini.
Akhirnya dengan penuh kerendahan hati, penulis haturkan terima kasih yang
mendalam atas segala keikhlasan dukungan, motivasi, pengarahan serta bantuan baik
moril maupun materiil. Semoga Allah membalas semua amal perbuatan dengan kasih
sayang-Nya. Mudah-mudahan skripsi ini bisa memberikan manfaat bagi penulis
maupun bagi pembaca. Amin.
Jakarta, 13 Februari 2011 M
10 Rabiul Awal 1432 H
Penulis
iv
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ………………………………………………………… i
DAFTAR ISI ……………………………………………………………………iv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ........................................................ 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah .................................... 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .............................................. 7
D. Metode Penelitian .................................................................. 8
E. Kajian Terdahulu ................................................................... 10
F. Sistematika Penulisan ............................................................ 11
BAB II HUKUM DAN SYARAT ITSBAT NIKAH
A. Pengertian Itsbat Nikah dan Dasar Hukumnya ..................... 13
B. Syarat dan Prosedur Itsbat Nikah .......................................... 23
C. Akibat Hukum Itsbat Nikah......... ......................................... 30
BAB III HUKUM PERNIKAHAN SIRRI
A. Pengertian Nikah Sirri ........................................................... 32
B. Sebab dan Akibat Pernikahan Sirri ....................................... 36
C. Pernikahan Sirri dalam Perspektif Hukum Islam
dan Hukum Positif ................................................................ 41
v
BAB IV ANALISA PENETAPAN PENGADILAN AGAMA
JAKARTA PUSAT
A. Deskripsi Pengadilan Agama Jakarta Pusat ....................... 53
B. Duduknya Perkara ............................................................. 63
C. Pertimbangan Hukum ......................................................... 67
D. Analisa Hukum ................................................................... 70
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ....................................................................... 73
B. Saran ................................................................................. 74
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 75
LAMPIRAN-LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A . Latar Belakang Masalah
Pernikahan mempunyai arti dan kedudukan yang sangat penting dalam
kehidupan manusia, sebab dengan perkawinan dapat di bentuk ikatan hubungan
pergaulan antara dua insan yang berlainan jenis secara resmi dalam suatu keluarga.
Selanjutnya keluarga dapat terus berkembang menjadi kelompok masyarakat, tujuan
yang ingin dicapai dalam perkawinan ialah mencapai kebahagiaan di dunia dan di
akhirat.1 Sebagaimana yang telah diungkapkan oleh sayid sabiq: ikatan antara suami
istri adalah ikatan paling suci dan paling kokoh, dan tidak ada suatu dalil yang lebih
jelas menunjukan tentang sifat kesuciannya yang demikian agung itu, lain dari Allah
itu sendiri, yang menamakan ikatan perjanjian antara suami istri dengan mitsaqon
ghalidan (perjanjian yang kokoh).2
Pernikahan di dalam Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan
seperti yang termuat dalam pasal 1 ayat 2 perkawinan di definisikan sebagai: “Ikatan
lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-istri dengan
tujuan membentuk keluarga, rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan
ketuhanan Yang Maha Esa”.
1 Mufti Wiriadja, Kitab Pelajaran Tata Hukum Indonesia, ( Yogyakarta: Yayasan Penerbit
Gadjah Mada,1973),cet 1, h. 40
2 Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, (Libanon: Beirut, 1993) juz ke-2, h.206
2
Pencantuman berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa adalah karena Negara
Indonesia berdasarkan kepada pancasila yang sila pertamanya adalah ketuhanan yang
maha Esa. Sampai di sini tegas dinyatakan bahwa perkawinan mempunyai hubungan
yang erat sekali dengan agama, kerohanian sehingga perkawinan bukan saja
mempunyai unsur lahir/jasmani tetapi juga memiliki unsur batin.3
Pernikahan merupakan perjanjian yang suci dan kuat untuk hidup bersama
secara sah antara seorang laki-laki dan seorang perempuan dalam bentuk keluarga
yang kekal. Di samping itu, dalam suatu keluarga diharuskan saling santun
menyantuni, kasih mengasihi supaya tentram dan bahagia atau sakinah, mawadah,
warohmah, karena itu pernikahan harus dilaksanakan dengan memenuhi syarat-syarat
dan rukun-rukunnya.
Di dalam hukum Islam, suatu pernikahan sudah bisa dianggap sah apabila
telah memenuhi rukun-rukun dan syarat-syarat sah nikah. Sebagaimana yang telah
ditetapkan oleh syariat Islam, berbeda halnya dengan hukum yang berlaku di
Indonesia, di mana apabila dua orang warga negara Indonesia yang akan
melangsungkan pernikahan harus mengikuti hukum perkawinan yang berlaku di
Indonesia yaitu Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan peraturan
tambahan berupa Kompilasi Hukum Islam (KHI) bagi mereka yang beragama Islam.
Dalam Kompilasi Hukum Islam pada pasal 2 disebutkan bahwa “Perkawinan
menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau
3 Amiur Nurudin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia ( Studi Kritis
Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No 1\1974 sampai KHI ), (Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2006), h. 42-43
3
miitsaaqan gholiidhan untuk mentaati perintah Allah SWT dan melaksanakannya
merupakan ibadah”. Adapun tujuan pernikahan dalam pasal 3 disebutkan
“Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang
sakinah,mawaddah, dan rahmah”.4
Dalam peraturan perundang-undangan, pernikahan tidak hanya sebatas
hubungan suami istri, namun lebih dekat dalam hal-hal keperdataan. Menurut
Undang-Undang No.1 tahun 1974 tentang perkawinan pasal 2 ayat (2) yang
menyatakan “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan”.
Namun menurut fikih pernikahan adalah sebuah akad yang telah terpenuhi syarat dan
rukun dianggap sah meskipun tanpa adanya pencatatan, dari sini nampak ketidak
harmonisan antara hukum formal dan hukum fikih (Islam). Di satu pihak lebih pada
tatanan ketertiban administrasi dalam sebuah pernikahan, di sisi lain pernikahan
merupakan acara yang sangat sakral, perbedaan tersebut memunculkan istilah
Pernikahan Sirri yang belakangan ini muncul dalam masyarakat setelah berlakunya
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam
(KHI).
Pernikahan yang disinyalir dilakukan oleh segelintir orang dan berbahaya,
karena dilaksanakan secara rahasia sekali, sehingga keluarga tidak mengetahui
sedikitpun. Yang paling berbahaya dalam hal ini adalah segelintir orang tersebut
membingkainya dengan bingkai syariat dan mengatakan kepada mereka yang
4Abdurrahman , Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Akademika Pressindo, 2007),
h. 114
4
menentang pernikahan ini, bahwa pernikahan ini adalah pernikahan yang tidak
bertentangan dengan ketentuan syariat dan bagi yang melakukan tidak berdosa.5
Hal ini, boleh jadi karena sebagian masyarakat muslim masih ada yang
memahami ketentuan perkawinan lebih menekankan perspektif fiqh sentries. Menurut
pemahaman versi ini, perkawinan telah cukup apabila syarat dan rukunnya menurut
ketentuan fiqh terpenuhi, tanpa diikuti pencatatan, apalagi akta nikah. Kondisi
semacam ini dipraktekan sebagian masyarakat dengan menghidupkan praktek nikah
sirri tanpa melibatkan petugas Pegawai Pencatat Nikah (PPN) sebagai petugas resmi
yang diserahi tugas itu.6
Maka dari itulah istilah Pernikahan sirri merupakan pernikahan yang
dilakukan secara tersembunyi dan tidak dicatat di Kantor Urusan Agama (KUA) bagi
umat Islam. Adapun pengertian pernikahan sirri itu sendiri adalah pernikahan yang
dilakukan menurut dan syarat pernikahan tetapi dilakukan secara sembunyi dan tanpa
pencatatan oleh Pegawai Pencatat Nikah.
Dan pencatatan ini selanjunya dinyatakan dalam surat-surat akta resmi yang
dimuat dalam daftar pencatatan. Pencatatan pernikahan sama halnya dengan
pencatatan peristiwa-peristiwa penting lainnya, selain itu pernikahan berkaitan hak
5 Muhammad Fu’ad Syakir, Perkawinan terlarang: al-misyar (kawin perjalanan), al-urfi
(kawin bawah tangan), as-sirri (kawin rahasia), al-mut’ah (kawin kontrak). Penerjemah Fauzun Jamal
& Alimin, (Jakarta: Cendekia Sentra Muslim, 1997), h. 53
6 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,2003), h. 109
5
waris-mewarisi dan keturunan (an-nasab), sehingga pernikahan harus dicatat untuk
menjaga agar jangan sampai ada konflik hukum dikemudian hari.7
Dewasa ini, fenomena yang terjadi dimasyarakat adalah segelintir masyarakat
yang telah melakukan pernikahan sirri selama sekian tahun mereka hidup bersama
dan memiliki keturunan dari pernikahan tersebut, meraka akan mencatatkan
pernikahannya apabila ada kepentingan-kepentingan yang mereka tujukan dengan
cara mengajukan itsbat nikah ke Pengadilan Agama tempat mereka tinggal. Di dalam
Undang-Undang Nomor. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 64 menyatakan:
“Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang
terjadi sebelum Undang-Undang ini berlaku yang dijalankan menurut peraturan lama
adalah sah”.8
Di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006 tentang
Peradilan Agama pasal 49 dijelaskan bahwa kewenangan Pengadilan Agama adalah
memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara ditingkat pertama antara
orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah,
wakaf, zakat, infak, sedekah dan ekonomi syariah,9 Maka mengenai itsbat nikah harus
diajukan ke Pengadilan Agama.
7 Mukti Arto, Masalah Pencatatan perkawinan dan Sahnya Perkawinan, Mimbar Hukum
No.28 Tahun VII, (Jakarta: AL-hikmah dan Ditbinbapera Islam, Mei-Juni, 1996), h. 47
8 Abdul Ghani Abdullah, Himpunan Perundang-Undangan dan Peraturan Peradilan Agama,
(Jakarta: Intermasa, 1991), h. 99
9 A. Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia, ( Gemuruhnya Politik Hukum(Hukum Islam
, Hukum barat, dan Hukum Adat) Dalam Rentang Sejarah Bersama Pasang Surut Lembaga Peradilan
6
Dari ketentuan ini maka perkawinan yang ada sebelum Undang-Undang ini
berlaku adalah sah. Begitu juga untuk masalah Itsbat Nikah pun tetap sah, karena
itsbat nikah ini sudah ada dan melembaga dalam himpunan penetapan dan putusan
pengadilan tahun 50an. Kemudian setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang diamandemen ke dalam Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama. Sebenarnya memang lembaga itsbat
nikah tidak dimekarkan tetapi bukan berarti hilang, hal ini dapat dilihat pasal 49 ayat
(2) Bidang Perkawinan. Apabila suatu kehidupan suami istri berlangsung tanpa akta
nikah karena adanya suatu sebab, dan Kompilasi Hukum Islam membuka kesempatan
kepada mereka untuk mengajukan permohonan itsbat nikah (penetapan nikah) kepada
Pengadilan Agama sehingga yang bersangkutan mempunyai kekuatan hukum dalam
ikatan perkawinannya, sebagaimana penjelasan dalam pasal 7 KHI (Kompilasai
Hukum Islam).
Dari permasalahan-permasalahan tersebut, maka penulis tertarik untuk
mengkaji dan kemudian menyajikannya dalam sebuah skripsi dengan judul
“LEGALISASI HUKUM PERNIKAHAN SIRRI DENGAN ITSBAT NIKAH
(di Pengadilan Agama Jakarta Pusat )”.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Agama Hingga Lahirnya Peradilan Syariat Islam Aceh, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2006), h. 142
7
Agar pokok permasalahan dalam kajian ini tidak terlalu meluas dan tetap pada
jalurnya, penulis membatasi ruang lingkup pembahasan dalam skripsi ini hanya
berkisar pada kasus atau perkara pengesahan pernikahan sirri terhadap putusan
Nomor: 52/Pdt.P/2009/PA.JP dalam perkara itsbat nikah di Pengadilan Agama
Jakarta Pusat.
2. Perumusan Masalah
Dalam peraturan yang berlaku bahwa perkawinan yang dilangsungkan
sebelum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan boleh di
itsbatkan ke Pengadilan Agama. Sedangkan prakteknya ditemukan itsbat nikah yang
perkawinannya dilakukan setelah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan telah di sahkan.
Dari rumusan tersebut penulis rinci dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:
1. Bagaimana ketentuan itsbat nikah yang diatur dalam hukum Islam dan
perundang-undangan?
2. Bagaimana hasil penetapan majlis hakim Pengadilan Agama Jakarta Pusat dalam
menetapkan itsbat nikah pernikahan sirri?
3. Apa yang menjadi dasar dan pertimbangan hukum Pengadilan Agama Jakarta
Pusat dalam memutuskan perkara itsbat nikah tersebut?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah:
8
1. Untuk mengetahui ketentuan itsbat nikah yang diatur dalam hukum Islam
dan perundang-undangan.
2. Untuk mengetahui hasil putusan Pengadilan Agama dalam menetapkan
itsbat nikah pernikahan sirri.
3. Untuk mengetahui apa yang menjadi dasar dan pertimbangan hakim dalam
memutuskan perkara itsbat nikah.
2. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penulisan skripsi ini adalah:
1. Secara teoritis: Skripsi ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
pemikiran dalam ilmu hukum Islam terutama mengenai permasalahan
Itsbat Nikah.
2. Secara praktis: Skripsi ini diharapkan dapat menjadi sumbangan pemikiran
bagi mahasiswa dan masyarakat umum yang ingin mengetahui masalah
hukum perkawianan di Indonesia khususnya dalam masalah Itsbat Nikah.
D . Metode Penelitian
Dalam penyusunan skripsi ini penulis menggunakan metode:
1. Pendekatan Masalah
Pendekatan masalah dalam penelitian ini adalah pendekatan normatif-
empiris mendeskripsikan isi dari penetapan yang penulis dapatkan tersebut, kemudian
menghubungkan dengan masalah yang diajukan sehingga ditemukan kesimpulan
yang objektif, logis, konsisten dan sistematis sesuai dengan tujuan yang dikehendaki
penulis dalam penulisan skripsi ini.
9
2. Sumber Data
Data yang diperlukan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data
sekunder yaitu:
a. Data Primer
Didapatkan dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam dan penetapan Pengadilan Agama Jakarta Pusat
Nomor: 52/Pdt.P/2009/PA.JP, Wawancara terhadap hakim, kemudian data tersebut
dianalisis dengan cara menguraikan dan menghubungkannya dengan masalah yang
dikaji.
b. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh dengan jalan mengadakan studi
kepustakaan atas dokumen-dokumen yang berhubungan dengan masalah yang
diajukan, dokumen-dokumen yang dimaksud adalah Al-Qur’an, Al-Hadits, buku-
buku karangan ilmiah, Undang-Undang, Kompilasi Hukum Islam (KHI), serta
peraturan-peraturan lainnya yang erat kaitannya dengan masalah yang diajukan.
3. Teknik Pengumpulan Data
a. Metode Dokumentasi
Metode dokumentasi adalah mencari hal-hal atau variable berupa catatan,
transkip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, agenda, dan lain
sebagainya.10
10
Soejono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum,(Jakarta : Pustaka Pelajar, 1992),h. 206
10
b. Metode Interview
Metode interview adalah sebuah dialog yang dilakukan oleh pewawancara
untuk memperoleh informasi dari terwawancara.11
Dalam hal ini adalah wawancara
dengan hakim di Pengadilan Agama Jakarta Pusat.
4. Teknik Analisis Data
Analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data
yang diperoleh dari hasil wawancara, data lapangan dan bahan-bahan lain sehingga
dapat mudah dipahami dan temuannya dapat diinformasikan kepada orang lain.12
Data yang sudah ada kemudian penulis analisis dengan content analysis
(analisa isi) terutama yang berkaitan dengan penetapan Hakim Pengadilan Agama
Jakarta Pusat.
5. Teknik Penulisan
Adapun teknik penulisan yang dipergunakan dalam penulisan ini adalah
buku pedoman penulisan skripsi Fakultas Syariah dan Hukum yang diterbitkan oleh
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM TAHUN 2007.
E . Review Studi Terdahulu
Dalam skripsi yang berjudul “Korelasi Itsbat Nikah Dengan Legitimitas
Pernikahan Sirri (analisa Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan Nomor:
11/Pdt.P/2006/PA.JS)” yang ditulis oleh Uti Nurbaiti Konsentrasi Administrasi
11
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian, (Jakarta : Rineka Cipta,2002),h. 205
12
Sugiyono, Metode Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif, (Bandung :Alfabeta, 2004),h. 244
11
Keperdataan Islam yaitu membahas tentang bagaimana atau adakah korelasi atau
hubungan itsbat nikah dengan legitimitas pernikahan sirri
Sedangkan skripsi yang ingin penulis tulis disini adalah berfokus kepada
bagaimana pernikahan sirri dapat dilegalkan melalui itsbat nikah setelah pernikahan
tersebut dilangsungkan agar mendapatkan kepastian hukum dan setelah undang-
undang perkawinan disahkan dikarenakan adanya kepentingan-kepentingan dalam
berumah tangga serta bagaimana pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara
Nomor 52/Pdt.P/2009/PA.JP di Pengadilan Agama terkait masalah itsbat nikah
tersebut. Selain itu, penelitian difokuskan di Pengadilan Agama Jakarta Pusat.
F . Sistematika Penulisan
Adapun Sistematika penulisan dan pembahasan akan terbagi berdasarkan
sistematika sebagai berikut:
Bab pertama, yang merupakan pendahuluan berisikan Latar Belakang
Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian,
Metode Penelitian, Kajian Studi Terdahulu dan Sistematika Penulisan.
Bab kedua berisikan tentang landasan teori tentang Itsbat Nikah, Pengertian
Itsbat Nikah dan Dasar Hukumnya, Syarat dan Prosedur Itsbat Nikah. Serta Akibat
Hukum Itsbat Nikah.
Bab ketiga berisikan tentang Pengertian Pernikahan Sirri, Sebab dan Akibat
Pernikahan Sirri, serta Pernikahan Sirri dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum
Positif
12
Bab keempat berisikan tentang Deskripsi Pengadilan Agama Jakarta Pusat,
Analisa Penetapan Pengadilan Agama Jakarta Pusat tentang Duduknya Perkara,
Pertimbangan Hukumnya, serta Analisa Hukum.
Bab kelima berisikan penutup yang terdiri dari Kesimpulan dan Saran.
13
BAB II
HUKUM DAN SYARAT ITSBAT NIKAH
A . Pengertian Itsbat Nikah
Itsbat Nikah merupakan gabungan dari dua kata yakni itsbat dan nikah. Itsbat
merupakan kata masdar yang terambil dari kata إثباتا-يثبت-أثبت yang artinya
mempunyai makna penetapan atau pembuktian.1
Sedangkan kata nikah adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia
dan kekal berdasarkan ketuhanan yang maha esa.2 Sedangkan definisi nikah menurut
ulama fiqh yaitu: akad yang membolehkan terjadinya al-istimta’ (persetubuhan)
dengan seorang wanita, atau melakukan wat’i, dan berkumpul selama wanita tersebut
bukan wanita yang diharamkan baik dengan sebab keturunan, atau sepersusuan.3
Dari penggabungan dua kalimat diatas dapat diartikan bahwa itsbat nikah
adalah penetapan oleh pengadilan atas ikatan atau akad yang membolehkan terjadinya
hubungan suami istri, sebagaimana yang dirumuskan dalam kamus bahasa Indonesia
bahwa itsbat nikah adalah penetapan tentang kebenaran (keabsahan) nikah.4
1 Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al Munawwir (Arab-Indonesia), (Yogyakarta: Pustaka
Progresif, 1997), Cet. 14, h. 145
2 Abdul Ghani Abdullah, Himpunan Perundang-undangan dan Peraturan Peradilan Agama,
(Jakarta: Intermasa, 1991), h. 187
3 Wahbah al Zuhaily, al fiqh al Islami wa Adillatuhu, Juz VIII, (Damsiq: Dar al Fikr, 1989), h.
29 4 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus besar bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 1995), Cet ke-11, h.339
14
Singkatnya itsbat nikah adalah penetapan oleh pengadilan atau perkawinan yang sah,
tetapi tidak mempunyai akta nikah.
Definisi lain mengatakan bahwa itsbat nikah adalah suatu penetapan,
penentuan, pembuktian, atau pengabsahan pengadilan terhadap pernikahan yang telah
dilakukan karena alasan-alasan tertentu.5
Di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 64
berbunyi: Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan
perkawinan yang dijalankan menurut peraturan-peraturan lama, adalah sah.6 Dari
ketentuan ini maka perkawinan yang ada sebelum Undang-undang ini berlaku adalah
sah. Begitu juga masalah itsbat nikah pun tetap sah, karena itsbat nikah ini sudah ada
dan melembaga dalam himpunan penetapan dan putusan Pengadilan Agama tahun
50-an.
Kemudian setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama pada tanggal 29 desember 1989 yang menggantikan segala
landasan hukum pengadilan agama sebelumnya, memang lembaga itsbat nikah tidak
dimekarkan tetapi tidak berarti hilang. Hal ini dapat dilihat dalam pasal 49 ayat (2)
bidang perkawinan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf a ialah hal-hal
yang diatur dalam atau berdasarkan Undang-Undang mengenai perkawinan yang
berlaku, sedangkan dalam penjelasan pasal 49 ayat (2) tersebut dikatakan bahwa
5 Yayan Sofyan, Itsbat nikah bagi perkawinan yang tidak dicatat setelah diberlakukan UU
No. I Tahun 1974 di Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Ahkam IV, No. 8 (2002), h. 75.
6 Abdul Ghani Abdullah, Himpunan Perundang-undangan dan Perarturan Peradilan Agama,
(Jakarta: Intermasa, 1991 ), h. 99
15
salah satu bidang perkawinan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 adalah persyaratan tentang sahnya perkawinan dijalankan menurut peraturan
yang lain.
Jadi lembaga itsbat nikah atau pengesahan nikah yang ditampung oleh
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Undang-Undang
Nomot 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2006 tentang Peradilan Agama, terbatas pada alasan perkawinan yang terjadi sebelum
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, sedangkan itsbat nikah/pengesahan nikah
yang karena alasan-alasan lain tidak dimuat dan tidak ada pula penjelasan-penjelasan
tentang ketidak bolehannya.
Kompilasi Hukum Islam pasal 3 dijelaskan bahwa perkawinan bertujuan
untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah.7
Oleh karena itu, untuk mewujudkan keluarga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah
setiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku, sebagaimana di sebutkan didalam KHI tentang pencatatan perkawinan.
- Pasal 5 ayat (1) agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam
setiap perkawianna harus dicacat.
- Pasal 5 ayat (2) pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1) dilakukan oleh
pegawai pencatat nikah sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang
Nomor 22/1946 jo. Undang-Undang Nomor 32/1954.
7 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Akademika Pressindo, 2007),
Cet Ke-5, h.114
16
Tehnik pelaksanannya, dijelaskan dalam pasal 6 yang menyebutkan :
1. Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, setiap perkawinan harus
dilangsungkan dihadapan dan di bawah pengawasan pegawai pencatat
nikah .
2. Perkawianan yang dilakukan diluar pengawasan pegawai pencatat nikah
tidak mempunyai kekuatan hukum.
Selain itu, pencatatan perkawinan bertujuan untuk mewujudkan ketertiban
perkawinan dalam masyarakat. Ini merupakan suatu upaya yang diatur melalui
perundang-undangan untuk melindungi martabat dan kesucian (mitsaqan galidzon)
perkawinan, dan lebih khusus lagi bagi perempuan dalam kehidupan rumah tangga.8
Bukti perkawinan yang telah dicatatkan adalah berupa Akta Nikah yang dapat
dijadikan bukti otentik, bila suatu waktu di dalam perkawinan terjadi masalah.
Ahmad Rofiq berpendapat setidaknya ada dua manfaat dari pencatatan
perkawinan yaitu manfaat refresif dan manfaat preventif.
Manfaat refresif dari pencatatan perkawinan adalah terbentuknya kesempatan
itsbat (penetapan) bagi suami isteri yang karena suatu hal perkawinannya tidak dapat
dibuktikan dengan akta nikah (lihat pasal 7 ayat (2) dan (3) Kompilasi Hukum Islam).
Manfaat preventif dari pencatatan perkawinan ialah untuk menanggulangi
agar tidak terjadi kekurangan atau penyimpangan rukun dan syarat-syarat perkawinan
baik menurut hukum agama maupun hukum perundang-undangan, dengan ini dapat
dihindari pelanggar terhadap kompilasi relatif pegawai pencatat perkawinan, atau
8 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), h.107
17
menghindari terjadinya pemalsuan (penyimpangan hukum), seperti identitas calon
mempelai, status perkawinan, perbedaan agama dan usia calon mempelai tersebut.9
Dalam hal ini, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 mengaturnya dalam pasal
3 yang berbunyi:
1. Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan
kehendaknya itu kepada Pegawai Pencatat Nikah di tempat perkawinan
akan dilangsungkan.
2. Pemberitahuan tersebut dalam ayat (1) dilakukan sekurang-kurangnya 10
hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan.
3. Pengecualian terhadap jangka waktu tersebut dalam ayat (2) disebabkan
sesuatu alasan yang penting, diberikan oleh Camat atas nama Bupati
Kepala Daerah.
Bagi orang yang beragama Islam, pemberitahuan disampaikan kepada Kantor
Urusan Agama, karena berlaku Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang
Pencatatan nikah, talak dan rujuk. Sedangkan bagi orang yang bukan beragama Islam,
pemberitahuannya dilakukan kepada Kantor Catatan sipil Setempat.10
Menurut Moh Idris Ramulyo, sampai saat ini peraturan pelaksanaanya belum
ada. Apabila dilaksanakan menurut peraturan pelaksanaan perkawinan bagi orang-
9 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, h. 111-112
10
Amiur Nurudin dan Azhari Akmal Tarigan , Hukum Perdata Islam di Indonesia ( Studi
Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No 1\1974 sampai KHI ), ( Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2006), h. 125
18
orang Islam tidak mungkin, karena meraka bukan orang Islam. Dilaksanakan menurut
Kitab Undang-Undang Perdata juga tidak mungkin pula karena tidak diatur di dalam
Undang-Undang tersebut, kecuali kalau mereka dapat diklasifikasikan ke dalam
orang-orang non-Islam mungkin juga pejabat catatan sipil dapat melaksanakannya.11
Pasal 5 berbunyi:
1. Pemberitahuan memuat tentang nama, umur, agama/kepercayaan,
pekerjaan, tempat kediaman calon mempelai, apabila salah seorang atau
kedua calon mempelai pernah kawin di sebutkan juga nama istri dan
suami terdahulu.
Kemudian dalam pasal 6 berbunyi:
1. Pegawai Pencatat yang menerima pemberitahuan kehendak
melangsungkan perkawinan, meneliti apakah syarat-syarat perkawinan
telah dipenuhi dan apakah tidak terdapat halangan perkawinan menurut
undang-undang.
2. Selain penelitian terhadap hal sebagai dimaksud dalam ayat (1) pegawai
pencatat meneliti pula:
a. Kutipan akta kelahiran atau surat kenal lahir calon mempelai. Dalam
hal tidak ada akta kelahiran atau surat kenal lahir, dapat dipergunakan
surat keterangan yang menyatakan umur dan asal-usul calon mempelai
yang diberikan oleh kepala desa atau yang setingkat dengannya.
11
Ibid, h. 125
19
b. Keterangan mengenai nama, agama/kepercayaan, pekerjaan dan
tempat tinggal orang tua calon mempelai;
Ketentuan dalam pasal 6 ayat (1) dan (2) di atas memberi manfaat yaitu:
pertama, memelihara ketertiban hukum yang menyangkut kompetensi relatif dari
Pegawai Pencatat Nikah. Kedua, menghindari terjadinya pemalsuan atau
penyimpangan seperti identitas calon mempelai dan status perkawinan mereka. Oleh
karena itu, ketelitian Pegawai Pencatat Nikah sangat diperlukan dan menjadi faktor
penentu tidak terjadinya penyimpangan.
Yang menjadi dasar hukum dari Itsbat Nikah adalah Bab XIII pasal 64
ketentuan peralihan undang-undang perkawinan yaitu untuk perkawinan dan segala
sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang terjadi sebelum undang-undang
ini berlaku yang dijalankan menurut peraturan lama adalah sah.
Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) buku I pasal 7, yang
terkandung dalam pasal 64 Undang-Undang Perkawinan Nomor I Tahun 1974
tentang Perkawinan tersebut dikualifikasikan sebagai upaya hukum yang disebut
dengan “itsbat nikah”.12
Mengenai itsbat nikah ini ada Permenag Nomor 3 Tahun 1975 yang dalam
Pasal 39 ayat (4) menentukan bahwa jika KUA tidak bisa membuatkan duplikat akta
nikah karena catatannya telah rusak atau hilang, maka untuk menetapkan adanya
nikah, cerai atau rujuk harus dibuktikan dengan penetapan Pengadilan Agama.
12
Undang-Undang No. I Tahun 1974 Tentang Perkawinan pasal : 64, h. 25.
20
Namun, aturan itu hanya berkaitan dengan perkawinan yang dilangsungkan sebelum
adanya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, bukan perkawinan yang terjadi
sesudahnya. Akan tetapi, Pasal 7 KHI ternyata memberi Pengadilan Agama
kompetensi absolut yang sangat luas terhadap itsbat nikah.13
Seperti dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 7 ayat 1 dan 2
menyebutkan :
1. Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan akta nikah yang dibuat oleh
pegawai pencatat nikah.
2. Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan akta nikah dapat
diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama.14
Permohonan itsbat nikah menurut pasal 7 ayat (4) Kompilasi Hukum Islam
menyatakan bahwa yang berhak mengajukan itsbat nikah ialah suami atau istri, anak-
anak mereka, wali nikah dan pihak yang berkepentingan dengan perkawinan itu.15
Pencatatan perkawinan dan aktanya, merupakan sesuatu yang penting dalam
Hukum Perkawinan Islam. Hal ini didasari oleh Firman Allah dalam Surat Al-
Baqarah ayat 282 yang berbunyi:
13
http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol17737/itsbat-nikah-masih-jadi-masalah
diakses pada tanggal 4 Oktober 2010 jam 12:49
14
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, h. 115
15
Zainudi Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h. 29
21
................
Artinya: Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah
tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu
menuliskannya.....
Para pemikir hukum Islam (faqih) dahulu tidak ada yang menjadikan dasar
pertimbangan dalam perkawinan mengenai pencatatan dan aktanya, sehingga mereka
menganggap bahwa hal itu tidak penting. Namun, bila diperhatikan perkembangan
ilmu hukum saat ini pencatatan perkawinan dan aktanya mempunya kemaslahatan
serta sejalan dengan kaidah fiqh yang mengungkapkan Darulmafasidu muqoddamun
ala jalabil mashalih.16 Dengan demikian, pelaksanaan peraturan pemerintah yang
mengatur tentang pencatatan dan pembuktian perkawinan dengan akta nikah
merupakan tuntutan dari perkembangan hukum dalam mewujudkan kemaslahatan
umum (maslahat mursalah) di negara Republik Indonesia. Pemikiran itu didasari
oleh metodologis asas yang kuat, yaitu qiyas dari ayat al-Quran yang berkaitan
dengan mu’amalah (Surat Al-Baqarah ayat 282) dan maslahat mursalah dari
perwujudan kemaslahatan.17
16
Kaidah yang artinya menolak kemudharatan lebih didahulukan daripada memperoleh
kemaslahatan.
17
Zainudi Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h. 30
22
Ayat di atas dikenal oleh para ulama dengan nama ayat al-Mudayanah (ayat
utang-piutang). Ayat ini berisi tentang penulisan utang-piutang dan
mempersaksikannya di hadapan pihak ketiga yang dipercaya/notaris, sambil
menekankan perlunya menulis utang walaupun sedikit, disertai dengan jumlah dan
ketetapan waktunya.18
Mengenai ayat ini, ulama berbeda pendapat tentang hukum pencatatan
tersebut. Sebagian ulama mengatakan bahwa pencatatan tersebut hukumnya tidak
wajib karena ia hanya bersifat anjuran. Hal ini menurut Quraish Shihab berdasarkan
praktek para sahabat Nabi ketika itu, keadaan kaum muslimin ketika turunnya ayat ini
sangat langka yang memiliki kepandaian tulis menulis, maka jika perintah tersebut
bersifat wajib tentunya akan sangat memberatkan. Namun demikian ayat ini
mengisyaratkan perlunya belajar tulis menulis, karena dalam hidup seorang dapat
mengalami kebutuhan pinjam dan meminjamkan. Hal ini diisyaratkan oleh
penggunaan kata اذا (apabila) yang ada pada awal penggalan ayat ini, yang lazim
digunakan untuk menunjukan kepastian akan terjadinya sesuatu.19 Berdasarkan
pendapat Quraish Shihab diatas, dapat disimpulkan bahwa pada kondisi saat ini
dimana kepandaian tulis menulis sudah banyak, serta penggunaan pencatatan sebagai
salah satu bukti yang diterima dimata hukum, maka pencatatan tersebut hukumnya
dapat menjadi wajib.
18
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, (Jakarta:
Lentera Hati, 2002), Cet. Ke-1, h. 562-563.
19
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, h. 564-565
23
B . Syarat dan Prosedur Itsbat Nikah
Pengesahan pengukuhan nikah (itsbat nikah) itu biasanya diperlukan bagi
mereka yang sudah lama melangsungkan pernikahan, yang membutuhkan keterangan
dengan akta yang sah, seperti untuk mendapatkan pensiunan janda dan sebagainya.
Untuk mensahkan pengakuan itu diperlukan persyaratan:
.وفي الدعوى بنكاح علي امراة ذكر صحته وشروطه من نحو ولي وشاهدين عدول
( جزءرابع٢٥٤اها اعانت الطالبين ص )20
Artinya: “Dalam pengesahan nikah seorang perempuan, harus
dikemukakan sahnya pernikahan dan syarat-syaratnya, yaitu seperti:
wali, dan dipersaksikan oleh dua orang saksi yang adil.21
Putusan tentang sah atau tidaknya perkawinan yang terjadi sebelum Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974.22 hal ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 64 yaitu: Untuk perkawinan dan segala
sesutau yang berhubungan dengan perkawinan yang terjadi sebelum undang-undang
ini berlaku yang dijalankan menurut peraturan-peraturan lama adalah sah, dalam
Kompilasi Hukum Islam hal ini diatur mengenai itsbat nikah, yaitu pasal 7 yang
berbunyi:
20
Muhammad Syatha al- Dimyathi, Hasyiah I’anatut thalibin, (Indonesia: Dar Ihya al-kutub
al-arabiyah, t,t), juz IV, h. 254
21
Moch. Anwar, Dasar-Dasar Hukum Islam Dalam Menetapkan Keputusan di Pengadilan
Agama, cet. Ke-1, (Bandung: CV. Diponegoro, 1991), h. 43. Dikutip dari kitab I’anatut Thalibin, juz
IV,h. 254
22
Mahkamah Agung RI, Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan, Buku II
Teknisi Administrasi dan Teknisi di Lingkungan Perdailan Agama, ( Jakarta: 4 april, 2006), h. 29
24
1. Perkawinan hanya dapat di buktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh
Pegawai Pencatat Nikah.
2. Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah, dapat
diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan agama.
3. Itsbat Nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai
hal-hal yang berkenaan dengan:
a. Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian.
b. Hilangnya akta nikah.
c. Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat
perkawinan.
d. Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974.
e. Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai
halangan perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.
Tetapi pasal 6 ayat 2 KHI menyebutkan: perkawinan yang dilakukan diluar
pengawasan pegawai pencatat nikah tidak mempunyai kekuatan hukum. Pasal 56 ayat
3 KHI menyatakan perkawinan yang dilakukan dengan istri kedua, ketiga, keempat
tanpa izin dari Pengadilan Agama tidak mempunyai kekuatan hukum. Berkaitan
dengan perkara kewarisan, dalam hal terjadinya pernikahan sebelum adanya Undang-
Undang No.1 tahun 1974, bila istri tidak mempunyai akta nikah, maka untuk
25
mengurus segala sesuatu yang menyangkut kewarisan haruslah ada buku nikah, untuk
itu si isteri harus mengajukan itsbat nikah kepada Pengadilan Agama.
Adapun dalam hal terdapat pihak yang berkeberatan atas suatu itsbat nikah
yang diajukan secara voluntair, maka pihak yang berkeberatan atas adanya itsbat
nikah tersebut harus mengajukan bantahan ke Pengadilan Agama, baik sebelum atau
sesudah itsbat nikah tersebut telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Itsbat nikah
untuk perceraian bisa diputus bersama-sama, sepanjang para pihak dapat
membuktikan tentang keadaan perkawinannya dengan terlebih dahulu memeriksa
itsbat nikah, baru kemudian diperiksa dalil-dalil gugatan perceraiannya.23
Oleh karena itu itsbat nikah yang patut diperkirakan menimbulkan efek yang
lebih luas, misalnya: seorang istri mohon di itsbatkan pernikahnnya dengan
almarhum suaminya, maka patut diduga bahwa permohonan tersebut mempunyai
tujuan lain, seperti menuntut harta bersama, harta warisan dan sebagainya. Dalam hal
demikian pengajuan itsbat nikah ke Pengadilan Agama haruslah berbentuk surat
gugatan contentius dengan mendudukan ahli waris almarhum suaminya yang dapat di
perkirakan berekeberatan dengan adanya itsbat nikah tersebut sebagai pihak
tergugat.24
Mengenai surat permohonan ialah suatu permohonan yang di dalamnya berisi
tuntutan hak perdata oleh satu pihak yang berkepentingan terhadap suatu hal yang
23
Mahkamah Agung RI, Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan, Buku II
Teknisi Administrasi dan Teknisi di Lingkungan Peradilan Agama, ( Jakarta: 4 april, 2006), h. 30
24
Ibid, h. 30
26
tidak mengandung sengketa, sehingga badan peradilan yang mengadili dapat
dianggap sebagai suatu proses peradilan yang bukan sebenarnya.
Dalam perkara gugatan terdapat dua pihak yang saling berhadapan (penggugat
dan tergugat), sedang dalam perkara permohonan hanya ada satu pihak saja
(pemohon). Namun demikian di Pengadilan Agama ada permohonan yang perkaranya
mengadung sengketa, sehingga di dalamnya ada dua pihak yang disebut pemohon dan
termohon, yaitu dalam perkara permohonan ijin ikrar talak dan permohonan ijin
beristri lebih dari seorang.
Pada prinsipnya semua gugatan/permohonan harus dibuat secara tertulis, bagi
penggugat/pemohon yang tidak dapat membaca dan menulis, maka
gugatan/permohonan diajukan secara lisan kepada ketua Pengadilan Agama. Ketua
dapat menyuruh kepada hakim untuk mencatat segala sesuatu yang dikemukakan oleh
penggugat/pemohon maka gugatan/permohonan tersebut ditandatangani oleh
ketua/hakim yang menerimanya itu berdasarkan ketentuan pasal 114 ayat (1) R. Bg
atau pasal 120 HIR. Gugatan/permohonan yang dibuat secara tertulis, ditandatangani
oleh penggugat/pemohon (pasal 142 ayat (1) R. Bg/118 ayat (1) HIR). Jika
penggugat/pemohon telah menunjuk kuasa khusus maka surat gugatan/permohonan
ditandatangani oleh kuasa hukumnya (pasal 147 ayat (1) R. Bg/123 HIR).
Surat gugatan atau permohonan dibuat rangkap enam, masing-masing satu
rangkap untuk penggugat/pemohon, satu rangkap untuk tergugat/termohon atau
menurut kebutuhan dan empat rangkap untuk majlis hakim yang memeriksanya.
27
Apabila surat gugatan hanya dibuat satu rangkap, maka harus dibuat salinannya
sejumlah yang diperlukan dan dilegalisir panitera. Adapun isi dari surat
gugatan/permohonan yaitu:
1. Identitas para pihak (pemohon dan termohon)
a. Nama ( beserta bin/binti dan aliasnya)
b. Umur
c. Agama
d. Pekerjaan
e. Tempat tinggal. Bagi pihak yang tinggalnya tidak diketahui hendaknya
ditulis, ”dahulu bertempat di....., tetapi sekarang tidak diketahui tempat
tinggalnya di Indonesia.”
f. Kewarganegaraan (jika diperlukan)
2. Posita, yaitu penjelasan tentang keadaan/peristiwa dan penjelasan yang
berhubungan dengan hukum yang dijadikan dasar/alasan gugat. Posita berisi:
a. Alasan yang berdasarkan fakta/peristiwa hukum
b. Alasan yang berdasarkan hukum, tetapi hal ini bukan merupakan
keharusan. Hakimlah yang harus melengkapinya dalam keputusan nanti.
3. Petitum, yaitu tuntutan yang diminta oleh pemohon agar dikabulkan oleh
hakim.25
25
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Peradilan Agama, cet ke-1 (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1996), h. 39-40
28
Surat permohonan yang telah dibuat dan ditandatangani diajukan ke
Kepaniteraan Pengadilan Agama. Surat gugatan diajukan pada Sub Kepaniteraan
Gugatan, sedang permohonan pada Sub Kepaniteraan Permohonan. Kemudian calon
pemohon menghadap ke Meja I.26
1. Meja I:
a. Menerima surat permohonan dan salinannya
b. Menaksir panjar biaya
c. Membuat SKUM (Surat Kuasa Untuk membayar)
2. Kasir:
a. Menerima uang panjar dan pembukuan
b. Menandatangani SKUM
c. Memberi nomor pada SKUM dan tanda lunas
3. Meja II
a. Mendaftar gugatan dalam register
b. Memberi nomor perkara pada surat gugatan sesuai nomor SKUM
c. Menyerahkan kembali kepada penggugat satu helai surat gugat.
d. Mengatur berkas perkara dan menyerahkan kepada ketua melalui wakil
Panitera + panitera
4. Ketua PA:
a. Mempelajari berkas
b. Membuat PMH ( Penetapan Majelis Hakim)
26
Ibid, h. 56
29
5. Panitera:
a. Menunjuk panitera sidang
b. Menyerahkan berkas kepada Majelis
6. Majelis Hakim:
a. Membuat PHS (Penetapan Hari Sidang) + perintah memanggil para pihak
oleh jurusita.
b. Menyidangkan perkara.
7. Memberikan kepada meja II dan kasir yang bertalian dengan tugas mereka.
a. Memutus perkara
8. Meja III:
a. Menerima berkas yang telah diminta dari majelis hakim.
b. Memberikan isi putusan kepda pihak yang tidak hadir lewat jurusita.
c. Memberitahukan kepada Meja II dan kasir yang bertalian dengan tugas
mereka.
d. Menetapkan kekuatan hukum
9. Menyerahkan salinan kepada penggugat dan tergugat dan instansi terkait.
a. Menyerahkan berkas yang telah dijahit kepada Panitera Muda Hukum
10. Panitera Muda Hukum:
a. Mendata perkara
b. Melaporkan perkara
c. Mengarsipkan berkas perkara.
30
Adapun cara mengajukan itsbat nikah ke Pengadilan Agama yang dipaparkan
oleh Yayan Sofyan adalah sebagai berikut:27
1. Pemohon datang ke kantor Pengadilan di wilayah kekuasaan relatif
Pengadilan Agama tersebut (wilayah tempat tinggalnya) dengan membawa
surat-surat yang diperlukan. Misalnya, surat keterangan dari rukun tetangga
(RT), rukun warga (RW), lurah/kepala desa setempat atau surat keterangan
kehilangan akta nikah dari kepolisian bila akta nikah hilang.
2. Mengajukan permohonan baik secara tertulis maupun secara lisan kepada
Ketua Pengadilan agama dengan memyampaikan sebab-sebab pengajuan
permohonan.
3. Membayar uang muka biaya perkara. Bagi yang tidak mampu membayar uang
perkara, Pengadilan Agama bisa mengajukan prodeo (pembebasan biaya).
4. Membawa saksi-saksi yang diperlukan, yaitu orang yang bertindak sebagai
wali dalam pernikahan yang telah terjadi, petugas atau orang yang
menikahkan, para saksi perkawinan, orang-orang yang mengetahui adanya
perkawinan itu.
C. Akibat Hukum Itsbat Nikah
Setelah dikabulkan permohonan itsbat nikah, maka secara otomatis yang
berkepentingan akan mendapatkan bukti otentik tentang pernikahan mereka yang bisa
dijadikan sebagai dasar untuk menyelesaikan persoalan di Pengadilan Agama
27
Yayan Sofyan, Itsbat nikah bagi perkawinan yang tidak dicatat setelah diberlakukan UU
No. I Tahun 1974 di Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Ahkam IV, No. 8 (2002), h. 76-77
31
nantinya, itsbat nikah ini berfungsi sebagai kepastian hukum, ketertiban hukum dan
perlindungan hukum atas perkawinan itu sendiri, dengan demikian maka pencatatan
perkawinan merupakan persyaratan formil syahnya perkawinanan, persyaratan formil
ini bersifat prosedural dan administratif.
Dengan adanya pencatatan perkawinan maka eksistensi perkawinan dianggap
sah apabila telah memenuhi dua syarat, yakni:
1. Telah memenuhi ketentuan hukum materiil, yaitu telah dilakukan dengan
memenuhi syarat dan rukun menurut hukum Islam.
2. Telah memenuhi ketentuan hukum formil, yaitu telah dicatat pada
pegawai pencatat nikah yang berwenang.
Sebaliknya perkawinan yang tidak tercatatkan dan tidak pula diminta itsbat
nikahnya maka kedudukan perkawinan itu adalah:
1. Tidak mempunyai kekuatan hukum karena dianggap tidak pernah ada
perkawinan sehingga tidak menimbulkan akibat hukum.
2. Tidak dapat dijadikan alasan untuk membatalkan perkawinan yang baru
sebagaimana diatur dalam pasal 24 Undang-Undang No. 1 tahun 1974.
3. Tidak dapat dijadikan dasar hukum menjatuhkan pidana berdasarkan
ketentuan pasal 219 kitab undang-undang hukum pidana (KUHP).
4. Tidak dapat dijadikan dasar untuk menuntut hak oleh pihak wanita sebagai
isteri dan juga anak-anaknya.28
28
Ahmad Mukti Arto, Masalah Pencatatan Perkawinan dan Sahnya Perkawinan, Mimbar
Hukum No.28 Tahun VII, (Mei-Juni, 1996), h. 51-52
32
BAB III
HUKUM PERNIKAHAN SIRRI
A. Pengertian Nikah Sirri
Pengertian nikah sirri dari segi etimologi kata sirri berasal dari bahasa arab,
yang arti harfiyahnya adalah „rahasia‟.1 Jadi nikah sirri artinya pernikahan yang
dilangsungkan secara rahasia atau diam-diam (secret marriage). Menurut
terminology fiqh Maliki nikah Sirri adalah: Nikah dimana para saksi dipesan oleh
suami agar merahasiakan pernikahan ini untuk istrinya atau jama‟ahnya, sekalipun
keluarga setempat.2
Menurut A. Zuhdi Muhdlor, nikah sirri adalah pernikahan yang dilangsukan
diluar pengetahuan petugas resmi (PPN/Kepala KUA), karena pernikahan itu tidak
tercatat di Kantor Urusan Agama (KUA), sehingga suami-isteri tersebut tidak
mempunyai surat nikah yang sah.3
Menurut Masjfuk Zhuhdi perkembangan pengertian dan praktek nikah sirri
dikalangan masyarakat Islam Indonesia, paling tidak ada tiga tipe atau bentuk, yaitu:
Pertama, nikah sirri diartikan sebagai nikah yang dilangsungkan menurut
ketentuan syari‟at Islam (telah terpenuhi rukun dan syaratnya) tetapi masih bersifat
intern keluarga, belum dilakukan pencatatan oleh PPN dan belum diadakan upacara
1 Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung,1998), h. 167
2 Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al Islami wa Adillatuhu, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1989), vol.
VII, h. 71
3 A. Zuhdi Muhdlor, Memahami Hukum Pernikahan (NTC&R), (Bandung: Al-Bayan, 1994),
Cet. 1, h. 22
33
menurut Islam dan adat (walimatul ursy). Suami-isteri belum tinggal bersama karena
isteri belum dewasa.
Kedua, nikah yang dilangsungkan menurut syari‟at islam (memenuhi syarat
dan rukun nikah), dihadapkan PPN dan telah memperoleh salinan akta nikah, namun
masih bersifat intern keluarga belum diadakan resepsi pernikahan. Suami-isteri pun
belum tinggal bersama.
Ketiga, nikah yang hanya dilangsungkan menurut ketentuan syariat islam saja,
namun karena terbentur PP No. 10/1983 jo. PP No. 45/1990. Pernikahan tersebut
dilangsungkan secara diam-diam dan dirahasiakan untuk menghindari hukuman
disiplin.
Dari ketiga bentuk atau tipe nikah di atas, menurut Masjfuk Zuhdi yang
mengandung pengertian sirri adalah tipe yang ketiga.4 Senada dengan pendapat di
atas, Moh. Daud Ali mengemukakan bahwa nikah sirri adalah pernikahan yang
disengaja disembunyikan supaya tidak diketahui oleh orang lain.5
“Perkawinan di bawah tangan (nikah sirri) adalah perkawinan yang dilakukan
tanpa adanya pencatatan perkawinan di catatan sipil dan non muslim. Sedangkan
bagian orang muslim perkawinannya tidak dicatat di Kantor Urusan Agama (KUA).6
Perkawinan di bawah tangan adalah perkawinan yang dilaksanakan hanya
4 A. Ghani Abdullah, Tinjauan Hukum Terhadap Perkawinan di Bawah Tangan. Mimbar
Hukum No. 23 Thn VI 1995 November-Desember, (Jakarta: Al-Hikmah dan DITBINBAPERA Islam),
h. 25
5 Ibid, h. 25
6 Ibid, h. 25
34
berdasarkan ketentuan agama saja tanpa adanya pencatatan oleh pegawai pencatat
nikah (PPN).
Menurut pasal 81 Kitab Undang-Undang hukum Perdata (BW) perkawinan
menurut upacara keagamaan baru dapat dilangsungkan setelah perkawinan di muka
Pegawai Catatan Sipil.7
Menurut KH. Ma‟ruf Amin, Forum Ijtima‟ Ulama Komisi Fatwa sengaja
memakai istilah nikah di bawah tangan. Selain untuk membedakan pernikahan sirri
yang sudah dikenal di masyarakat. Istilah ini lebih sesuai dengan ketentuan agama
islam. Menurutnya penyebutan dengan istilah nikah di bawah tangan untuk
membedakan dengan nikah sirri yang mempunyai konotasi lain. Kalau nikah sirri,
dalam pengertian nikah yang dilakukan hanya berdua saja, tidak memakai syarat dan
rukun nikah lainnya, bisa dipastikan pernikahan semacam ini tidak sah.8
Nikah di bawah tangan yang dimaksud dalam fatwa ini adalah pernikahan
yang terpenuhi semua rukun dan syarat yang ditetapkan dalam fiqh atau hukum
Islam. Namun, nikah ini tanpa pencatatan resmi di instansi berwenang sebagaimana
diatur dalam perundang-undangan.9
Menurut Fatwa Syekh al-Azhar yang dijabat oleh Syekh Dr. Jaad al-Haq
dalam fatwa ulama tersebut apa yang dimaksud dengan az-zawaj al-urfy adalah
7 Ali Afandi. Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian: menurut KUH Perdata
(BW), (Jakarta: PT. Bina Aksara, 1986),cet. Ke-3, h. 98)
8 Asrorun Ni‟am Sholeh, Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, (Jakarta: Elsas,
2008), h. 147
9 Ibid, h. 147
35
sebuah pernikahan yang tidak tercatat sebagaimana mestinya menurut peraturan
perundang-undanganyang berlaku. Dalam hal ini Syekh Jaad al-Haq Ali Jaad al-Haq
membagi ketentuan yang mengatur pernikahan kepada dua kategori:
1. Peraturan syara‟ yaitu peraturan yang menentukan sah atau tidak sahnya
sebuah pernikahan. Peraturan ini adalah peraturan yang ditetapkan oleh
syariat Islam seperti yang dirumuskan oleh para pakarnya dalam buku-buku
fiqih dari berbagai madzhab. Menurutnya ketentuan-ketentuan tersebut
dianggap sebagai unsur-unsur pembentuk bagi akad nikah. Apabila unsur-
unsur tersebut telah secara sempurnatelah terpenuhi maka akad nikah itu
secara syara telah dianggap sah.
2. Peraturan yang bersifat tawsiqy, yaitu peraturan tambahan yang bermaksud
agar pernikahan dikalangan umat Islam tidak liar, tetapi tercatat dengan
memakai surat Akta Nikah secara resmi yang dikeluarkan oleh pihak-pihak
yang berwenang. Secara administratif, ada peraturan yang mengharuskan agar
suatu pernikahan dicatat menurut peraturan perundang-undangan itu, secara
syar‟i nikahnya sudah dianggap sah apabila telah melengkapi segala syarat
dan rukunnya seperti diatur dalam syariat Islam.10
Fatwa Syekh al-Azhar tersebut tidak bermaksud agar seseorang boleh dengan
seenaknya saja melanggar undang-undang di suatu negara, sebab dalam fatwanya
10 Satria Effendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer (Analisis
Yurisprudensi dengan Pendekatan Ushuliyah), (Jakarta: Kencana, 2004), cet. Ke-1, h. 33-34
36
beliau mengingatkan pentingnya pencatatan nikah, beliau mengingatkan agar setiap
perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dari beberapa pendapat dan persepsi masyarakat tentang nikah sirri di atas,
penulis berkesimpulan bahwa nikah sirri adalah nikah yang dilangsungkan menurut
ketentuan syariat Islam (terpenuhinya syarat dan rukun) namun karena sesuatu hal,
pernikahan itu dilakukan secara diam-diam dan dirahasiakan oleh para saksi agar
tidak diketahui oleh orang lain, belum di catatkan oleh PPN, dan belum diadakan
walimatul ursyi, hanya keluarga saja yang mengetahui pernikahan tersebut.
B. Sebab dan akibat Pernikahan Sirri
Praktek perkawinan Sirri (bawah tangan) hingga kini masih banyak terjadi.
Padahal perkawinan bawah tangan berdampak sangat merugikan bagi perempuan
serta tidak melindungi hak-hak kaum perempuan dan juga hak anak.11
Pernikahan sirri yang tidak dicatatkan, dipandang dan seringkali
menimbulkan dampak negatif (madlarrah) terhadap istri atau anak yang
dilahirkannya terkait dengan hak-hak mereka seperti nafkah, hak waris dan lain-lain.
Tuntutan pemenuhan hak-hak tersebut manakala terjadi sengketa akan sulit dipenuhi
akibat tidak adanya bukti catatan resmi perkawinan yang sah.
Ada beberapa faktor penyebab seseorang dapat melakukan pernikahan sirri
yang tersebar di masyarakat kita yang dikemukakan oleh Muhammad Fuad Syakir,
yaitu:12
11 Asrorun Ni‟am Sholeh, Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, (Jakarta: Elsas,
2008), h. 150
37
1. Tidak adanya kemapuan melaksanakan perkawinan secara syariat, karena
tidak bisa menyediakan tempat tinggal, disebabkan pengangguran dan tidak
adanya kesempatan kerja yang layak.
2. Ikut-ikutan kelompok masyarakat yang menyimpang yang dikuasai oleh mass
media yang rusak melalui alat teknologi yang canggih dan merebaknya
pemikiran yang menyimpang, seperti yang disebarkan oleh telenovela, film-
film, dan buku-buku.
3. Merosotnya derajat perempuan karena pekerjaan yang digelutinya tidak sesuai
dengan kodratnya sebagai perempuan, seperti pekerjaan yang menghabiskan
waktu sampai malam, dan pekerjaan yang mengharuskan ia selalu bersama
atasannya, atau pekerjaan yang terelepas dari penjagaan.
4. Lemahnya benteng agama dan akidah, dan kurangnya pembinaan keluarga
untuk mengarahkan kepada akhlak yang mulia, seperti yang dilakukan oleh
salaf as-shaleh (pendahulu yang sholeh).
5. Keluarga yang rusak (broken home) karena kesibukan orang tua sehingga
mengabaikan urusan anaknya, orang tua tidak lagi memperhatikan
ketidakhadiran atau keterlambatan atau anaknya kerumah, hal demikian bukan
lagi suatu kegelisahan bagi orang tua dalam keluarganya, seperti masa dulu.
12 Muhammad Fu‟ad Syakir, Perkawinan terlarang: al-misyar (kawin perjalanan), al-urfi
(kawin bawah tangan), as-sirri (kawin rahasia), al-mut’ah (kawin kontrak). Penerjemah Fauzun Jamal
& Alimin, (Jakarta: Cendekia Sentra Muslim, 1997), h. 55-57
38
6. Sekolah-sekolah maupun universitas-universitas tidak lagi menekankan
pembangunan akhlak, nilai-nilai dan mental agama, hal-hal tersebut hanya
menjadi bahan bacaan yang mandul dan tidak terealisasi dalam kehidupan.
7. kurangnya perhatian kepada mata pelajaran agama yang benar terhadap
generasi muda, sehingga bisa menghindarkan mereka dari pemahaman yang
terlalu fanatis atau terlalu meremehkan, kurang mebiasakan mereka bersikap
sesuai dengan aturan-aturan agama dalam kehidupan.
8. Hubungan laki-laki dan perempuan yang keluar dari batas kerja atau batas
sekolah (belajar).
9. Pemahaman yang salah terhadap kebebasan pribadi di kalangan remaja,
mereka mengartikan kebebasan adalah, Tidak boleh ada yang mengarahkan
mereka, meskipun untuk mengarahkan prilaku mereka atau pengontrolan,
sementara di kalangan perempuan berpendapat bahwa mereka mempunyai
hak yang sama dalam berbuat seperti laki-laki di alam kebebasan ini, tanpa
batas-batas dan nilai.
10. Club-club anak muda dan perkumpulan-perkumpulan yang tidak terkontrol
sebaik mungkin, sehingga sebagian besar menjadi tempat pertemuan terlarang
dan tempat santai yang remang-remang, bahkan memberikan nama jelek
terhadap club dan perkumpulan tersebut karena ikut memberikan kontribusi
dalam melepaskan ikatan moral, sehingga hanya dikenal sebagai tempat
pertemuan laki-laki dan perempuan.
39
11. Tersedianya alat dan obat anti hamil tanpa ada ketentuan-ketentuan yang jelas
bagi siapa dan kapan boleh didapatkan, hingga penyimpangan moral menjadi
suatu perbuatan yang tidak ditakuti, karena resikonya bisa dihindari.
12. Klinik-klinik yang mencurigakan, yang memberikan pelayanan pengguguran
dan pengembalian selaput darah bagi yang terlanjur hamil karena perbuatan
zina.
13. Para pengacara yang tidak amanah yang memberikan pembelaan bagi yang
melakukan pekerjaan yang hina ini, untuk mendapatkan materi, pembelaan ini
diberikan kepada konglomerat yang datang ke negeri ini, untuk mendapatkan
gadis yang seumur anaknya dan melayaninya di flat yang tersedia, agar tidak
menjadi permasalahan di hadapan hukum, mereka membuat kontrak dengan
pengacara-pengacara sampai waktu meraka pulang ke negerinya.
Adapun akibat-akibat dari Pernikahan Sirri, yaitu:13
1. Banyak masyarakat yang telah mengetahui apa yang menimpa barat di
sebabkan pengaruh kebebasan, seperti mewabahnya penyakit-penyakit
seksual.
2. Bermunculannya anak-anak tanpa keturunan di masyarakat yang bebas,
sehingga menjadi krisis yang sulit ditemukan penyelesaiannya.
3. Perilaku amoral yang menggiring diri terbenam dalam kehidupan materi,
hilangnya perasaan dan menjadi pribadi yang bebal.
13 Ibid, h. 57-58
40
4. Kebebasan tanpa batas telah merusak kelompok masyarakat yang berusaha
mendapatkan kebebasan tersebut, sementara kelompok masyarakat yang telah
rusak itu akan merusak kelompok masyarakat yang lain.
5. Melebarnya jurang pemisah antara anggota masyarakat, hingga menjadi
sebuah hubungan yang egois, jauh dari tolong-menolong, gotong-royong, dan
persaudraan.
6. Secara hukum kenegaraan, tidak diakuinya hak-hak keperdataan yang
ditimbulkan oleh pertalian hubungan perkawinan, tidak dianggap sebagi istri
sah dan tidak berhak atas nafkah dan warisan dari suami jika ia meninggal
dunia. Disamping itu juga tidak berhak atas harta gono-gini jika terjadi
perpisahan, karena secara hukum, perkawinan dianggap tidak pernah terjadi.14
7. Tidak adanya pengakuan hak-hak sipil dan keperdataan anak yang lahir dari
pasangan suami istri pelaku nikah sirri. Terhadap anak, tidak sahnya
perkawinan bawah tangan menurut hukum negara memiliki dampak negatif
bagi status anak yang dilahirkan dimata hukum, yakni status anak yang
dilahirkan dianggap sebagai anak yang tidak sah. Konsekuensinya, anak
hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibu. Artinya, si
anak tidak mempunyai hubungan hukum dengan ayahnya. Sebagaimana
14 Asrorun Ni‟am Sholeh, Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, h. 151
41
ketentuan pasal 42-43 UU No. 1 tahun 1974.15
serta pasal 100 Kompilasi
Hukum Islam (KHI) 16
C. Pernikahan Sirri dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif
a. Nikah Sirri Perspektif Hukum Islam
Menurut Ibnu Taimiyah, apabila laki-laki mengawini perempuan dengan cara
mushafalah yaitu nikah sirri tanpa wali dan saksi, serta merahasiakan pernikahan,
maka menurut kesepakatan para Imam pernikahan itu bathil, bahkan menurut para
ulama, karena:
ن ال وكا ح إال ب17
Artinya: tidak ada pernikahan kecuali dengan adanya wali..
جت بغس إذن نا فىكاحا با طم فىكا حا باطم فىكاحا باطم ا ماامسأة تص
Artinya: perempuan yang mana saja kawin tanpa izin walinya
maka pernikahannya batal, maka pernikahannya
batal, maka pernikahannya batal.18
Kedua lafadz ini ma‟tsur dalam kitab sunan dari Nabi SAW, dan beberapa
orang ulama salaf mengatakan: ”tidak ada pernikahan melainkan dengan saksi”.
Demikian ini pendapat Abu Hanifah, Syafi‟I, dan Ahmad, sedang Malik mewajibkan
15 Pasal 42: Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagi akibat dari
perkawinan yang sah. Pasal 43: Anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan
perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.
16
Pasal 100 KHI: Anak yang lahir diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab
dengan ibunya dan keluarga ibunya.
17
Abi Isa Muhammad Ibn Isa Ibn Saurah, Sunan at-Turmudzi, (Beirut: Dar al-ma‟rifah : 1423
H/ 2002 m), h. 461
18 Ibid, h. 461
42
meramaikan pernikahan. Pernikahan sirri sejenis pernikahan pelacur, Allah SWT
berfirman:
….. ........
Artinya: Mereka perempuan-perempuan yang memelihara diri, bukan pezina
dan bukan (pula) perempuan yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya. (Q.S. An-Nisaa: 25)
Maka pernikahan sirri itu termasuk jenis dzawatil akhdan (perempuan-
perempuan yang mempunyai laki-laki piaraan). Maka disyariatkan laki-laki
meminang untuk mengawini perempuan-perempuan. Oleh karena itu, diantara ulama
salaf ada yang berpendapat bahwa perempuan itu tidak bisa menikahkan dirinya, dan
sesungguhnya perempuan pelacur itu ialah yang menikahkan dirinya.19
Dalam perjalanan hukum Islam nikah sirri bukanlah masalah yang baru
karena di dalam kitab Al-Muwatha karya Imam Malik telah tercatat, bahwa istilah
nikah sirri bersal dari perkataan Umar Ibnu al-Khattab r.a:
فقال , أن عمس سجم ف وكاح نم شد عه إال زجم امسأة, عه أب شبس, اخبسوا مانك
نسجمت, را وكاح انسس:عمس الوجصي نكىت تقدمت ف20
Artinya: Bahwasanya Umar dihadapkan kepadanya seorang laki-laki yang menikah
tanpa saksi, kecuali seorang laki-laki dsan seorang perempuan, lalu Umar berkata: ini nikah sirri, aku tidak membolehkanya, seandainya kamu melakukannya pasti aku rajam.
19 Ibnu Taimiyah, Hukum-Hukum Perkawinan. Penerjemah: Rusnan Yahya, (ed), Amir
Hamzah, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1997), cet. 1, h. 202-203
20
Abi Abdillah Malik bin Anas Al-Asbahi, Muwatha Imam Malik, (Kairo: Al-Maktabah Al-
Islamiyah, 1967), juz 2, h. 179
43
Pengertian nikah sirri dalam perspektif Umar tersebut adalah bahwa syarat
jumlah saksi belum terpenuhi, kalau jumlah saksi belum lengkap meskipun sudah ada
yang datang, maka nikah semacam ini memakai kriteria Umar dapat dipandang
Nikah sirri.21 Dilihat dari keterangan nikah sirri tersebut dapat ditarik suatu pengertian
bahwa nikah sirri itu bersangkut-paut dengan kedudukan saksi dan syarat-syarat pada
saksi itu sendiri.
Para Ulama besar seperti Abu hanifah, Imam Malik, dan Imam Syafi‟I, juga
tidak membolehkan nikah sirri, nikah sirri harus dibatalkan. Sedangkan para saksi
yang dipesan oleh wali nikah untuk merahasiakan pernikahan yang mereka saksikan,
para ulama berbeda pendapat. Imam Malik memandang pernikahan semacam itu
termasuk nikah sirri dan harus difasakh. Namun, Abu Hanifah, Imam Syafi‟I dan
Ibnu mundzir berpendapat bahwa, nikah tersebut sah-sah saja (Ibnu Qudamah (6),
1981:53). Abu Hanifah dan Imam Syafi‟I menilai nikah tersebut bukan sirri (Ibnu
Rusyd (23,1952: 17).22
Ulama yang memandang sah perkawinan yang dirahasiakan oleh para
saksinya, mereka berdalil kepada :
1. Hadits Riwayat at-Turmudzi dari Ibnu Abbas, bahwa Nabi SAW bersabda:
انبعااانال ت ىكحه اوفسه بغس بىت
21 Mahful M. dan Herry Mohammad, Fenomena Nikah Sirri, (Jakarta: IKAPI, 1996), Cet-1, h.
31 22
M Sujari Dahlan, Fenomena Nikah Sirri, (Surabaya: Pustaka Progresssif, 1996), h. 31-34
44
”Pelacur adalah wanita-wanita yang mengawinkan dirinya tanpa bukti”23
2. Hadits riwayat al-Daruqutni dari Aisyah:
شا د عدل أن زسل اهلل صه اهلل عه سهم قال ال وكاح اال بن24
”Rasulullah Saw bersabda: tidak sah nikah kecuali dengan adanya wali dan dua
saksi yang adil”.
3. Karena Nikah tersebut berkaitan dengan hak para pihak yang mengadakan
aqad, yaitu anak, maka disyaratkan adanya saksi, agar ayahnya tidak
memboikot lalu mangaburkan atau menghilangkan hubungan nasab.
Meskipun demikian, ada yang berpendapat bahwa nikah itu sah tanpa adanya
para saksi, diantara mereka itu adalah orang-orang syiah, Abdurrahman Ibnu Mahdi,
Dawud, dan yang telah mempraktekannya adalah Ibnu Umar dan Ibnu Zubair.
Diriwayatkan dari Hasan Ibnu Ali, bahwa dia telah menikah tanpa saksi. Kemudian
mengumumkan pernikahan itu.(Sayid Sabiq (2),1983:50).25
Mengenai saksi diantara para Imam Madzhab (Abu Hanifah, Syafi‟I, dan
Malik) telah sepakat bahwa saksi merupakan syarat dalam pernikahan, bahkan Syafi‟I
berpendapat bahwa saksi sebagai rukun nikah.26
Dan tidak sah pernikahan tanpa dihadiri saksi. Berdasarkan dalil:
23 Abi Isa Muhammad Ibn Isa Ibn Saurah, Sunan at-turmudzi, h. 463
24 Muhammad bin Ali bin Muhammad al-Syaukani, Nayl al-Authar VI, (Misr : Mustafa
I‟Babi I‟Halabi wa Auladuh, t.t), h. 256
25 M Sujari Dahlan, Fenomena Nikah Sirri, h. 31-34
26
Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam ( Suatu study Perbandingan dalam kalangan Ahlu-
Sunnah dan Negara-negara Islam), (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1994), Cet-2, h. 153
45
س س عه عبداهلل به عثمىا به خثم عه سعد به جب د عه جس سع أخبسوا مسهم به خاند
د عه به عباض قال د: مجا مس ش ن عدل د ال وكاح إال شا27
Artinya: ”Tidak sah nikah kecuali dengan adanya dua orang saksi yang adil dan wali
yang cakap”
Nikah sirri merupakan salah satu bentuk nikah yang masih diperdebatkan sah
atau tidaknya oleh para Ulama. Berkaitan dengan hal ini terdapat 2 (dua) golongan
Ulama. Golongan pertama menyatakan bahwa nikah sirri adalah sah, sedangkan
golongan kedua menyatakan tidak sah.
1. Golongan Jumhur Ulama.
Mereka menyatakan bahwa jika para saksi yang hadir dipesan oleh pihak yang
mengadakan akad nikah agar merahasiakan dan tidak menyebarluaskan berita
pernikahannya kepada khalayak ramai, maka perkawinannya tetap sah. Sebaliknya
meskipun pernikahannya itu diumumkan atau disebarluaskan kepada khalayak ramai,
tetapi ketika akad berlangsung, tidak ada satu pun saksi yang menyaksikannya, maka
perkawinan tersebut tidak sah.28
Riwayat dari Abu Zubair al-Makky, bahwa Umar bin khattab menerima
laporan adanya perkawinan yang hanya disaksikan oleh seorang pria dan wanita, lalu
beliau menjawab: ini kawin gelap, dan aku tidak membenarkan dan andaikata saat itu
27 Imam Abi Abdillah Muhammad bin Idris As-Syafi‟I, Al-Umm, (Beirut: Darul
ma‟rifat,1393), Juz 5, h.19
28 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah 6, (Bandung: PT. Al-ma‟arif, 1990), penerjemah Mohammad
Thalib, Cet. Ke-7, h. 185
46
aku hadir, tentu akan aku rajam (H.R. Malik dalam kitab al-Muwatha).29
Karena
nantinya akan ada seorang anak yang akan terlibat dalam hak kedua belah pihak yang
menikah. Maka disyaratkan adanya saksi ketika akadnya, agar sang suami tidak
mengingkari keturunannya kelak.
Lebih lanjut dikatakan oleh Imam Syafi‟I, Abu Hanifah, Ibnu Munzir, Umar,
Urwah, Sya‟bi dan Nafi‟ bahwa apabila terjadi akad nikah tetapi dirahasiakan dan
mereka pesan kepada yang hadir agar merahasiakannya pula, maka perkawinannya
sah, tetapi makruh karena menyalahi adanya perintah untuk mengumumkan
pernikahan.30
Sabda Nabi SAW dari Aisyah:
ف باندف ي عه اضسب ي ف انمساجد اجعه ر انىكاح ا .اعهى(زاي انتسمر) 31
Artinya: Umumkanlah akad nikah ini dan laksanakanlah di masjid serta
ramaikanlah dengan memukul rebana. (H.R. at-Tirmidzi)
2. Golongan Maliki
Mereka menyatakan bahwa saksi dalam pernikahan tidak wajib dan cukup
diumumkan saja sebelum terjadi persenggamaan. Tetapi jika sebelum akad nikah
29 Ibid, h. 186
30
Ibid, h. 187 31
Abi Isa Muhammad Ibn Isa Ibn Saurah, Sunan at-Turmudzi, (Beirut : Dar al-ma‟rifah :
1423 H/ 2002 M), h. 457
47
diumumkan kepada khalayak ramai sudah terjadi persenggamaan, maka pernikahanya
batal, meskipun saat akad dihadiri oleh para saksi.32
Pendapat ini bertumpu pada pemikiran ketika memperbandingkan mengenai
ketentuan bahwa akad nikah yang dipersaksiannya tidak disebut secara tegas dalam
al-Qur‟an dibanding dengan ketentuan mengenai akad jual beli mu‟ajjal atau utang
piutang yang disebut jelas dalam al-Baqarah: 282. kalau yang disebut yakni saksi
akad jual beli saja ditemukan dalil menyatakan tidaklah wajib, maka untuk yang tidak
disebut-sebut dalam hal ini saksi akad nikah, tentulah tidak wajib juga.33
Beberapa syarat yang harus ada pada seseorang saksi adalah:
1. Berakal sehat
2. Dewasa
3. Mendengar pembicaraan kedua belah pihak yang berakad
4. Memahami bahwa ucapan-ucapanya itu maksudnya adalah ijab qabul
pernikahan.34
Pernikahan yang ada unsur merahasiakan maka tergolong kelompok
pernikahan yang tidak boleh (haram), maka agar pernikahan tersebut sah harus
32 Ahmad Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), Cet. Ke-
1, h. 28
33
Ibid, h. 48
34
Slamet Abidin dan Aminuddin, Fiqh Munakahat, (Bandung: CV Pustaka Setia, 1999), cet.
Ke-1, h. 101
48
diumumkan kepada khalayak ramai (i’lan). Pengumuman tersebut berguna untuk
menghindari akan tuduhan orang lain atau keraguan orang lain.35
I‟lanun nikah berarti menyiarkan atau mengumumkan kepada tetangga
terdekat bahwa telah terjadi aqduu al nikah (akad nikah) antara perempuan dari
keluarga si anu dengan laki-laki dari si pulan dengan mengucapkan ijab qabul.
Walimah dan I‟lanun nikah sangat penting artinya dalam kehidupan
berkeluarga dan bermasyarakat demi untuk menjaga sangkaan atau kecurigaan yang
tidak baik dari anggota masyarakat sekitarnya tentang pergaulan. Sebagaimana Hadis
Rasul Allah yang diriwayatkan oleh at-Tarmidzi, berasal dari Siti Aisyah ra. ”I’linun
nikaahawadhribu alaihi bil gharbali” artinya: umumkanlah perkawinan itu dan
pukullah gendang dalam hubungan dengan perkawinan itu.36
Dari pembahasan diatas, ringkasnya Imam Hanafi, Imam Syafi‟I, dan Imam
Hambali mengharuskan adanya saksi dalam pernikahan, sedangkan Imam Malik dan
jumhur Ulama lebih mengurgenkan saksi sebagai pengumuman.
b. Nikah Sirri Perspektif Hukum Positif
Menurut hukum positif yang berlaku di Indonesia, suatu perkawinan akan
diakui dan mendapatkan legalitas dari negara apabila telah memenuhi dua syarat
berikut:
35 Syamsuddin As-Sarakhsy, Al-Mabsuth, (Libanon: Darulqutub al-Ilmiyah t,t), jilid 5, h. 31
36
Mohd Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan
Agama dan Zakat menurut Hukum Islam, (Jakarta: Sinar Grafika,1995), cet. Ke-1, h. 48-49
49
1. Telah memenuhi ketentuan hukum materiil sebagaimana perintah Undang-
undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan pasal 2 ayat (1), yaitu
pernikahan telah dilangsungkan menurut aturan-aturan yang ditentukan oleh
hukum agama masing-masing. Maka bagi orang islam pernikahan itu sah
apabila telah memenuhi syarat-syarat dan rukun-rukun yang telah ditetapkan
oleh syariat Islam.
2. Telah memenuhi ketentuan hukum formil sebagaimana yang dikehendaki
Undang-undang Perkawinan pasal 2 ayat (2), yaitu pernikahan tersebut telah
dicatatkan oleh Pegawai Pencata Nikah (PPN) yang berwenang dan telah
memperoleh bukti otentik berupa akta nikah.
Nikah sirri merupakan nikah yang telah memenuhi ketentuan syariat Islam
dan dilakukan secara diam-diam atau rahasia dari orang lain termasuk dari Pegawai
Pencatat Nikah (PPN) sehingga tidak dicatatkan. Dari sini dapat dipahami bahwa
pernikahan sirri hanya baru memperoleh legalitas dari hukum Islam, karena hanya
syarat materiilnya saja yang terpenuhi, sedangkan syarat formilnya belum terpenuhi
sehingga selamanya dianggap oleh negara tidak pernah terjadi sebuah pernikahan.
Atau dengan kata lain pernikahan tersebut tidak diakui dan tidak mendapatkan
legalitas dari Negara.
Dilihat dari teori hukum yang menyatakan bahwa perbuatan hukum adalah
tindakan seseorang yang dilakukan berdasarkan suatu ketentuan hukum sehingga
50
dapat menimbulkan akibat hukum.37
Sebaliknya suatu tindakan yang dilakukan tidak
menurut aturan hukum tidak dapat dikatakan sebagai perbuatan hukum, sekalipun
tindakan itu belum tentu melawan hukum dan sama sekali belum mempunyai akibat
yang diakui dan dilindungi oleh hukum. Karena perkawinan merupakan perbuatan
hukum yang secara otomatis melahirkan akibat-akibat hukum serta diperlukan adanya
kepastian hukum.
Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan mulai berlaku pada
tanggal 2 Januari 1974, dan pelaksanaannya secara efektif mulai berlaku pada tanggal
1 Oktober 1975 (pasal 67 No. 1/74 jo pasal 49 PP No. 9/75). Berdasarkan pasal 2 ayat
(1) Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, ”Sah tidaknya suatu
pernikahan ditentukan oleh hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya
itu”.
Yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi
golongan agama dan kepercayaan itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak
ditentukan lain dalam undang-undang ini.38
Dari ketentuan pasal 2 ayat (1) beserta penjelasannya Prof. Hazairin, S.H
menafsirkan bahwa dengan demikian hukum yang berlaku menurut undang-undang
37 Soedjono Dirojosworo, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada. 1994) Cet
Ke-4, h. 126
38
Hazairin, Tinjauan Mengenai UUP No. 1 / 1974, (Jakarta: PT. Tinta Mas Indonesia, 1986),
h. 5
51
No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan adalah hukum masing-masing agama dan
kepercayaan bagi masing-masing pemeluk-pemeluknya. Jadi, bagi orang Islam tidak
ada kemungkinan untuk kawin dengan melanggar agamanya sendiri.39
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak mensahkan
Pernikahan Sirri, karena sebagai warga negara Indonesia, umat Islam juga dituntut
untuk menjadi warga negara yang baik dengan menuruti perundang-undangan yang
berlaku. Oleh karena itu, orang yang melakukan nikah sirri, dalam pandangan
perundang-undangan tetap disamakan dengan orang yang melakukan hubungan diluar
nikah. Bahkan, jika dari mereka lahir anak, anak tersebut juga dihukumi sebagai anak
luar nikah.40
Praktek perkawinan bawah tangan (sirri) hingga kini masih banyak terjadi.
Padahal, perkawinan bawah tangan (sirri) berdampak sangat merugikan bagi
perempuan serta tidak melindungi hak-hak kaum perempuan dan juga hak anak. Dan
hal tersebut sangat bertolak belakang dengan ketentuan dalam KHI pasal 3 yang
menyebutkan: ”Perkawinan bertujuan mewujudkan kehidupan rumah tangga yang
sakinah, mawaddah, dan rahmah”.41
Secara yuridis, sistem Hukum Indonesia tidak mengenal istilah ”kawin
bawah tangan” dan semacamnya dan tidak mengatur secara khusus dalam sebuah
39 Ibid, h. 6
40
A Zuhdi Muhdlor, Memahami Hukum Perkawinan, h. 22
41
Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Departemen Agama RI, Kompilasi Hukum
Islam, (Jakarta: Direktorat Pembinanan Badan Peradilan Agama,2002), h. 7
52
peraturan. Namun secara sosilogis, istilah ini diberikan bagi perkawinan yang tidak
dicatatkan dan dianggap dilakukan tanpa memenuhi ketentuan undang-undang yang
beralaku, khususnya tentang pencatatan perkawinan yang diatur dalam Undang-
Undang No. 1 Tahun 1974 tenang Perkawinan pada pasal 2 ayat (2) yang mengatakan
bahwa: ”Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut perundang-undangan yang berlaku”.
Pasal 5 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam juga menegaskan: ”Agar terjamin
ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam, setiap perkawinan harus dicatat”.
Selanjutnya dikatakan didalam pasal 6 ayat (1): ”Untuk memenuhi ketentuan dalam
pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan dibawah pengawasan Pegawai
Pencatat Nikah”. Dan dalam ayat (2): ”Perkawinan yang dilakukan di luar
pengetahuan dan pengawasan pegawai pencatat nikah tidak memiliki kekuatan
hukum”. Dan dianggap tidak sah di mata hukum.42
Rumusan dalam pasal-pasal
tersebut diatas menegaskan bahwa dalam memenuhi jaminan kepastian hukum,
perkawinan harus dicatat sesuai dengan ketentuan Undang-Undang yang berlaku
guna memenuhi persyaratan administratif.
42 A Zuhdi Muhdlor, Memahami Hukum Perkawinan, h. 23
53
BAB IV
ANALISA PENETAPAN PENGADILAN AGAMA
A. Deskripsi Pengadilan Agama Jakarta Pusat
1. Profil Pengadilan Agama Jakarta Pusat
Pada awalnya, Pengadilan Agama Jakarta Pusat bernama Majlis Distrik
sebagaimana nama awal pada saat didirikan oleh Kolonial Belanda pada tahun 1828
yang kemudian bernama Priesterraad atau Penghoeloegerecht atau Raad Agama
berdasarkan stb 1882 no.152. Selanjutnya Pengadilan Agama Jakarta Pusat yang
merupakan penerus dan pelanjut bagi Pengadilan Agama Jakarta sebagai mana
tersebut dalam Keputusan Menteri Agama RI no . 4 tahun 1967, maka sejak tanggal
17 Januari 1967 Pengadilan Agama Jakarta Pusat bernama Pengadilan Agama
Istimewa Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta Raya sebagai pengadilan induk yang
memiliki empat kantor cabang Pengadilan. Oleh karena Majlis Distrik didirikan
berdasarkan Ketetapan Komisaris Jendral Hindia Belanda no 17 tanggal 12 Maret
1828, maka selayaknya tanggal tersebut ditetapkan sebagai hari Kelahiran Pengadilan
Agama Jakarta Pusat.1
Pengadilan Agama Istimewa Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta Raya yang
daerah hukumnya meliputi wilayah kekuasaan Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya
dan sekaligus sebagai Pengadilan Agama Jakarta Pusat, berkedudukan di jalan K. H.
Mas Mansur, Gg. H. Awaludin II/2 Tanah Abang, Jakarta Pusat dengan yurisdiksi
khusus untuk wilayah Jakarta Pusat dan sebagai Pengadilan induk bagi 4 kantor
1 http://www.pa-jakartapusat.com/ di akses pada tanggal 25 Oktober 2010 jam 12:49
54
cabang Pengadilan Agama dengan wilayah yurisdiksi meliputi wilayah administratif
masing-masing yakni:
1. Kantor Cabang Pengadilan Agama Jakarta Utara
2. Kantor Cabang Pengadilan Agama Jakarta Timur
3. Kantor Cabang Pengadilan Agama Jakarta Selatan
4. Kantor Cabang Pengadilan Agama Jakarta Barat 2
Seperti halnya instansi-instansi lainnya, Pengadilan Agama Jakarta Timur
mengalami beberapa kali pergantian pimpinan, Pada kepemimpinan yang sekarang di
pimpin oleh Drs. H. Masrum M Noor MH, sebagai Ketua Pengadilan Agama Jakarta
Pusat periode 2009 sampai dengan sekarang, berkantor di Jalan K.H. Mas Mansur,
Gg. H. Awaluddin II/2, Tanah Abang, Jakarta Pusat.3
2. Struktur Organisasi
Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor: KMA.004/SK/II/1992
bahwa Pengadilan Agama Jakarta Pusat terdiri dari ketua, wakil ketua, hakim,
panitera/sekretaris, panitera pengganti dan jurusita. Berikut perinciannya:
a. Ketua dan Wakil4
No Nama Jabatan
1. Drs. Masrum, MH Ketua
2. Drs. H. Zulkarnain, SH, MH Wakil Ketua
2 http://www.pa-jakartapusat.com di akses pada tanggal 25 Oktober 2010 jam 12:49
3 Hasil Penelitian Di Pengadilan Agama Jakarta Pusat Tanggal 25 Oktober 2010
4 Data dari Pengadilan Agama Jakarta Pusat
55
b. Hakim
1. Drs. Ahmad Dimyati.AR Hakim
2. Drs. H. Uyun K, SH, MH Hakim
3. Drs. H. Achmadi, SH Hakim
4. Drs. H. Mulyadi Z, SH, MAG Hakim
5. Drs. H. Ujang Soleh, SH Hakim
6. Dra. Hj. Nuroniah, SH, MH Hakim
7. Drs. Yusran, MH Hakim
8. Dra. Ratna Dumila Hakim
9. Drs. Kholis, MA Hakim
10. Drs. Subuki, MH Hakim
11. Drs. Dede IbiN, SH Hakim
12. Drs. H. Ahmad Mansyur N Hakim
13. Drs. H. Ambalo, SH, MH Hakim
c. Panitera/Sekretaris dan kasubbag
1. Ahmad Majid, SH Panitera/Sekretaris
2. Dra. Aida Yahya Wakil Panitera
3. Suhendra, S. Sos Wakil Sekretaris
4. Drs. Ali Usman H, SHI Panitera Muda Permohonan
5. Nova Asrul Lutfi, SH Panitera Muda Gugatan
6. Ruslan, SH Panitera Muda Hukum
7. Moh. Dudi Wahyudi.K, SH Kasub Bagian Kepegawaian
8. Titi Khotimah, SH Kasub Bagian Keuangan
9. Andi Subhi, S. Sos Kasub Bagian Umum
56
d. Panitera Pengganti
1. H. Kamaluddin, SH Panitera Pengganti
2. Abbas Panitera Pengganti
3. Sajidan, SH Panitera Pengganti
4. Noni Salmy, SH Panitera Pengganti
5. Zaelani Azis, SH Panitera Pengganti
6. Rina Herlina, SH Panitera Pengganti
7. Runie Handayani, SH Panitera Pengganti
8. Endang Bahtiar, SH Panitera Pengganti
9. Susilowati, SHI Panitera Penganti
10. Ikbal Basri, SH Panitera Pengganti
11. Muhammad Fahat, SH Panitera Pengganti
e. Jurusita/Jurusita Pengganti
1. Zainal Arifin Jurusita
2. Gunawan Jurusita
3. Abdul Rochim Jurusita
4. Ade Husniati Jurusita Pengganti
5. Abdul Djamat Jurusita Pengganti
6. H. Husni Jurusita Pengganti
7. Muhamad Muchrom Jurusita Pengganti
8. Agus Alwi Jurusita Pengganti
9. Haryanti Jurusita Pengganti
10. Yuspa Jurusita Pengganti
11. Dewi Utari Jurusita Pengganti
12. Nurhidayah Megawati Jurusita Pengganti
13. Budi Setyo Rini Jurusita Pengganti
57
3. Wewenang dan Wilayah Hukum Pengadilan Agama Jakarta Pusat
Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama
Islam di bidang:5
1. Perkawinan
2. Waris
3. Wasiat
4. Hibah
5. Wakaf
6. Zakat
7. Infaq
8. Shadaqah
9. Ekonomi syari'ah.6
Yang dimaksud dengan “Perkawinan” adalah hal-hal yang diatur dalam atau
berdasarkan undang-undang mengenai perkawinan yang berlaku yang dilakukan
menurut syari’ah, antara lain:
1. Izin beristri lebih dari seorang
5 A. Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia, ( Gemuruhnya Politik Hukum(Hukum Islam,
Hukum barat, dan Hukum Adat) Dalam Rentang Sejarah Bersama Pasang Surut Lembaga Peradilan
Agama Hingga Lahirnya Peradilan Syariat Islam Aceh, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group,
2006), h. 142
6 Mahkamah Agung RI Dirjen Badan Peradilan Agama, Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang
Peradilan Agama, Tahun 2006, h. 20
58
2. Izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia 21 (dua
puluh satu) tahun, dalam hal orang tua wali, atau keluarga dalam garis
lurus ada perbedaan pendapat
3. Dispensasi kawin
4. Pencegahan perkawinan
5. Penolakan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah
6. Pembatalan perkawinan
7. Gugatan kelalaian atas kewajiban suami dan istri
8. Perceraian karena talak
9. Gugatan perceraian7
10. Penyelesaian harta bersama
11. Penguasaan anak-anak
12. Ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak bilamana
bapak yang seharusnya bertanggung jawab tidak mematuhinya
13. Penentuan kewajiban memberi biaya penghidupan oleh suami kepada
bekas istri atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas istri
14. Putusan tentang sah tidaknya seorang anak
15. Putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua
16. Pencabutan kekuasaan wali
7 Mahkamah Agung RI Dirjen Badan Peradilan Agama, Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang
Peradilan Agama, Tahun 2006, h. 34-46
59
17. Penunjukan orang lain sebagai wali oleh pengadilan dalam hal
kekuasaan seorang wali dicabut
18. Penunjukan seorang wali dalam hal seorang anak yang belum cukup
umur 18 (delapan belas) tahun yang ditinggal kedua orang tuanya;
19. Pembebanan kewajiban ganti kerugian atas harta benda anak yang ada
di bawah kekuasaannya
20. Penetapan asal-usul seorang anak dan penetapan pengangkatan anak
berdasarkan hukum Islam
21. Putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk melakukan
perkawinan campuran
22. Pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan dijalankan
menurut peraturan yang lain.
Yang dimaksud dengan “Ekonomi Syari’ah” adalah perbuatan atau kegiatan
usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari’ah, antara lain meliputi:
1. Bank syari’ah
2. Lembaga keuangan mikro syari’ah.
3. Asuransi syari’ah
4. Reasuransi syari’ah
5. Reksa dana syari’ah
6. Obligasi syari’ah dan surat berharga berjangka menengah syari’ah
60
7. Sekuritas syari’ah
8. Pembiayaan syari’ah
9. Pegadaian syari’ah
10. Dana pensiun lembaga keuangan syari’ah
11. Bisnis syari’ah.8
Pengadilan Agama Jakarta Pusat memiliki kewenangan khusus terkait dengan
kompetensi relatif yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Pengadilan Agama yang telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2006. Kewenangan khusus tersebut berkaitan dengan memungkinkannya Pengadilan
Agama Jakarta Pusat dijadikan sebagai alternatif tempat berperkara bagi para pihak
yang berkediaman di luar negeri.
Pengadilan Agama Jakarta Pusat memiliki wilayah hukum (yurisdiksi) yang
meliputi 8 kecamatan dan 44 kelurahan antara lain :
1. Kecamatan Gambir
1. Kelurahan Gambir
2. Kelurahan Kebon Kelapa
3. Kelurahan Petojo Selatan
4. Kelurahan Duri Pulo
5. Kelurahan Cideng
8 Mahkamah Agung RI Dirjen Badan Peradilan Agama, Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang
Peradilan Agama, Tahun 2006, h. 38
61
6. Kelurahan Petojo Utara
2. Kecamatan Tanah Abang
1. Kelurahan Bendungan Hilir
2. Kelurahan Karet Tengsin
3. Kelurahan Kebon Melati
4. Kelurahan Kebon Kacang
5. Kelurahan Kampung Bali
6. Kelurahan Petamburan
3. Kecamatan Menteng9
1. Kelurahan Menteng
2. Kelurahan Pegangsaan
3. Kelurahan Cikini
4. Kelurahan Kebon Sirih
5. Kelurahan Gondangdia
4. Kecamatan Senen
1. Kelurahan Senen
2. Kelurahan Kwitang
3. Kelurahan Kenari
4. Kelurahan Paseban
5. Kelurahan Kramat
9 http://www.pa-jakartapusat.com di akses pada tanggal 25 Oktober 2010 jam 12:49
62
6. Kelurahan Bungur
7. Kecamatan Cempaka Putih
8. Kelurahan Cempaka Putih Timur
9. Kelurahan Cempaka Putih Barat
10. Kelurahan Rawasari
6. Kecamatan Johar Baru
1. Kelurahan Galur
2. Kelurahan Tanah Tinggi
3. Kelurahan Kampung Rawa
4. Kelurahan Johar Baru
7. Kecamatan Kemayoran10
1. Kelurahan Gunung Sahari Selatan
2. Kelurahan Kemayoran
3. Kelurahan Kebon Kosong
4. Kelurahan Harapan Mulya
5. Kelurahan Cempaka Baru
6. Kelurahan Utan Panjang
7. Kelurahan Sumur Batu
8. Kelurahan Serdang
8. Kecamatan Sawah Besar
10
http://www.pa-jakartapusat.com di akses pada tanggal 25 Oktober 2010 jam 12:49
63
1. Kelurahan Pasar Baru
2. Kelurahan Gunung Sahari Utara
3. Kelurahan Mangga Dua Selatan
4. Kelurahan Karang Anyar
5. Kelurahan Kartin
B. Duduknya Perkara
Berdasarkan surat pemohon tertanggal 23 November 2009 yang terdaftar di
Kepaniteraan Pengadilan Agama Jakarta Pusat Nomor: 52/Pdt.P/2009/PA.JP,
mengajukan hal-hal sebagai berikut:
Pada tanggal 22 Agustus 2004, Pemohon I dan Pemohon II telah mengikatkan
diri dalam perkawinan Islam yang sah secara agama Islam. Akan tetapi pernikahan
tersebut belum dicatatkan di Kantor Urusan Agama setempat. Dan juga Pemohon
sebelum menikah berstatus Duda sedangkan Termohon berstatus Janda.
Bahwa pernikahan Pemohon dan Termohon disaksikan oleh dua orang saksi
dan mahar dalam pernikahan antara Pemohon dan Termohon adalah Cincin emas
sebesar 5 gram dan seperangkat alat sholat yang dibayar tunai.
Pada saat melangsungkan perkawinan antara Pemohon I dan Pemohon II ,
keduanya beragama Islam, tidak ada hubungan darah/tidak sesusuan serta tidak ada
larangan untuk melakukan pernikahan menurut ketentuan hukum Islam maupun
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
64
Selama pernikahan tersebut tidak ada pihak ketiga yang mengganggu gugat
pernikahan para Pemohon tersebut dan selama itu pula para pemohon tetap beragama
Islam.
Selama berumah tangga, Para pemohon tidak menerima kutipan akta nikah
dari Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama Kecamatan setempat dan setelah
Para Pemohon mengurusnya, ternyata pernikahan para pemohon tersebut tidak
tercatat pada register Kantor urusan Agama Kecamatan Gambir Jakarta Pusat. Oleh
karena itu, para Pemohon membutuhkan penetapan nikah (Itsbat Nikah) dari
Pengadilan Agama Jakarta Pusat guna dijadikan sebagai alasan hukum untuk
mengurus administrasi di tempat Pemohon bekerja.
Berdasarkan alasan atau dalil-dalil tersebut diatas, para Pemohon memohon
agar Ketua Pengadilan Agama Jakarta Pusat segera memeriksa dan mengadili perkara
ini, selanjutnya menjatuhkan putusan yang amarnya berbunyi:
Primer :
1. Mengabulkan permohonan Pemohon
2. Menyatakan sah perkawinan Pemohon I dengan Pemohon II pada tanggal 22
Agustus 2004
3. Membebankan biaya perkara kepada Pemohon
Subsider :
Atau menjatuhkan putusan lain yang seadil-adilnya
65
Untuk membuktikan dalil tersebut Pemohon telah menyampaikan alat bukti
(bukti surat maupun saksi) yaitu :
1. Bukti Surat
1. Photo Copy KTP No. 09.5001.081154.2002, atas nama Pemohon I, yang
dikeluarkan oleh Camat Gambir, Kota Jakarta Pusat tertanggal 28 Juli
2006, yang oleh Ketua Majelis ditandai dengan P-1. Photo Copy KTP
No.09.5001.470164.0205, atas nama Pemohon II, yang dikeluarkan oleh
Camat Gambir Kota Jakarta Pusat tertanggal 16 Januari 2007, yang oleh
Ketua Majelis ditandai dengan P-2.
2. Photo Copy Akta Cerai No. 567/AC/1997/PA.Tng, tertanggal 7 Agustus
1997 an. Pemohon I, yang oleh Ketua Majelis ditandai dengan P-3.
3. Photo Copy Surat Keterangan Kematian No. 145/1755.08/11/2000
tertangal 26 Januari 2001, atas nama (suami Pemohon II yang dulu), dan
juga Photo Copy Keterangan Pemeriksaam Mayat dari Puskesmas yang
oleh Ketua Majelis ditandai dengan P-4
4. dan lain sebagainya.
2. Bukti Saksi
1. Saksi pertama dibawah sumpahnya, menerangkan sebagai berikut: bahwa
saksi mengenal Pemohon II adalah sebagai anak kandungnya sendiri dan
kenal kepada Pemohon I sejak dia menikah kepada Pemohon I. Pada saat
Pemohon I dan Pemohon II menikah, saksi yang bertindak sebagai
66
walinya. Dan juga pernikahan Pemohon 1 dengan pemohon II
dilangsungkan dirumah H. Manshur sebagai Ustadz dan pejabat penghulu
Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Gambir.
2. Saksi Kedua dibawah sumpahnya, menerangkan sebagai berikut: bahwa
saksi mengenal baik antara Pemohon I dan Pemohon II karena pemohon II
sebagai tetangga dekat saksi. Saksi menyaksikan pada saat Pemohon II dan
Pemohon II menikah, yaitu pada tanggal 22 Agustus 2005 di rumahnya
Ustadz H. Manshur. Bahwa saksi mendengar ucapan ijab qabul antara wali
atau wakilnya dengan pengantin laki-laki (pemohon). Bahwa pada saat
menikah Pemohon I berstatus sebagai Duda cerai dan Pemohon II sebagai
Janda mati dari suaminya dulu. Bahwa saksi juga tidak mengetahui
mengapa pernikahan antara Pemohon I dan Pemohon II pada akhirnya
tidak tercatat di KUA padahal pernikahannya itu dilakukan dihadapan
Pegawai KUA. Dan juga bahwa Pemohon I membutuhkan akta nikah
karena sepengetahuan saksi Pemohon sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS)
diperlukan untuk administrasi kepegawaian. Sepengetahuan saksi Pemohon
tidak berpoligami.
3. Saksi ketiga dibawah sumpahnya, menerangkan sebagai berikut: bahwa
pada saat berlangsungnya akad nikah antara Pemohon I dan Pemohon II
yang bertindak sebagai wali nikah, sepengetahuan saksi adalah ayah
kandung Pemohon II. Dalam pernikahan itu Pemohon I memberikan Mahar
67
kepada Pemohon II berupa 5 gram emas dan seperangkat alat sholat. Saksi
juga tidak mengetahui mengapa pernikahan antara Pemohon I dan
Pemohon II pada akhirnya tidak tercatat di Kantor Urusan Agama (KUA).
C. Pertimbangan Hukum
Menimbang, bahwa alasan yang dikemukakan Para Pemohon sebagaimana
dalam permohonannya tersebut menyatakan bahwa Pemohon I dengan Pemohon II
pada tanggal 22 Agustus 2004 telah melangsungkan pernikahan, pernikahan tersebut
dilangsungkan secara agama Islam dengan memakai wali ayah kandung, dengan
disaksikan oleh saksi-saksi, berijab qabul dan maskawinnya berupa emas seberat 5
(lima) gram dan juga seperangkat alat sholat, akan tetapi akta nikah dari KUA tidak
keluar sebab pernikahan tersebut tidak tercatat di KUA tersebut walaupun
dilangsungkan di hadapan Penghulu KUA, oleh karena itu untuk kepentingan
pengurusan administrasi di tempat Pemohon bekerja, mohon kepada Majelis Hakim
agar Menetapkan bahwa perkawinan antara Pemohon I dengan Pemohon II adalah
SAH.
Menimbang, bahwa perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah
yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah, akan tetapi untuk perkawinan yang
dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dapat diajukan permohonan Itsbat Nikah, oleh
karena itu permohonan pemohon tersebut dapat diperiksa.
68
Menimbang, bahwa sesuai ketentuan pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 1
Tahun 1974, bahwa perkawinan itu sah apabila dilakukan menurut hukum masing-
masing agamanya dan kepercayaannya itu.
Menimbang, bahwa perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan,
yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah
dan melaksanakannya merupakan ibadah, dan sahnya perkawinan dalam Islam
apabila terpenuhi syarat dan rukunnya.
Menimbang, bahwa dari keterangan Pemohon I dan Pemohon II diatas, yang
dikuatkan oleh bukti-bukti surat dan keterangan 2 (dua) orang saksi dapat
disimpulkan bahwa: Telah terjadi perkawinan menurut hukum agama Islam antara
Pemohon I dan Pemohon II. Pelaksanaan pernikahan tersebut telah memenuhi syarat
dan rukun nikah, dengan wali ayah kandung. Pernikahan tersebut dilaksanakan
dirumahnya Penghulu salah seorang Ustadz di wilayah Gambir Kota Jakarta. Bahwa
persyaratan untuk terdaftarnya sebuah perkawinan di Kantor Urusan Agama telah
dipenuhi oleh Pemohon I dan Pemohon II yang dibuat pada tanggal 24 Agustus 2004,
sesuai ketentuan Pasal 8 ayat (1) huruf c PMA No. 2 Tahun 1990 (Model N.1, N.2,
dan N. 4). Bahwa setelah sekian lama akta nikah ditunggu oleh Pemohon I dan
Pemohon II ternyata karena Satu dan lain hal akta nikah dari KUA tidak keluar dan
persyaratan tersebut tertahan di rumah yang mengurus pendaftaran dan tidak sampai
ke penghulu, kemudian pihak KUA menyarankan agar perkawinan Pemohon I dan
Pemohon II dimohonkan ke Pengadilan Agama Jakarta Pusat untuk diitsbatkan.
69
Menimbang, bahwa ternyata perkawinan Pemohon I dan Pemohon II tidak
tercatat di Kantor Urusan Agama, sedangkan Pemohon memerlukannya untuk
memenuhi administrasi kepegawaian di kantornya selain untuk pegangan dan untuk
kepentingan lainnya, maka sesuai dengan penjelasan dari ketentuan pasal 49 ayat (2)
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2006, dan pasal 7 ayat (3) huruf e Kompilasi Hukum Islam,
maka permohonan Pemohon tersebut patut dikabulkan dengan menetapkan bahwa
perkawinan Pemohon I dan Pemohon II yang dilangsungkan pada tanggal 22 Agustus
2004 adalah sah. Mengingat, pasal-pasal di atas dan peraturan perundang-undangan
serta hukum syara yang berkaitan dengan perkara ini maka:
1. Mengabulkan Permohonan Pemohon I dan Pemohon II.
2. Menetapkan perkawinan antara Pemohon I dan Pemohon II yang
dilangsungkan di wilayah Kantor Urusan Agama Kecamatan Gambir Kota
Jakarta pada tanggal 22 Agustus 2004 adalah sah.
3. Membebankan biaya perkara sebesar Rp. 161.000,- (seratus enam puluh
satu ribu rupiah) kepada Pemohon.
Demikian penetapan ini dijatuhkan dalam sidang permusyawaratan Majelis
Hakim pada hari Kamis tanggal 31 Desember 2009, bertepatan dengan tanggal 14
Muharram 1431 H. Oleh kami Drs. H. Uyun Kamiluddin, SH.,MH., yang ditunjuk
oleh Ketua Pengadilan Agama Jakarta Pusat Sebagai Hakim Ketua, Drs. H. Achmadi,
SH., dan Dra. Hj. Nuroniah, SH,. M.H,. masing-masing sebagai Hakim Anggota,
70
puyusan mana pada hari itu juga diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum
dengan dihadiri Drs. H. Kamaluddin, SH., MH., sebagai Panitera Pengganti serta
dihadiri oleh Pemohon I dan Pemohon II.
D. Analisa Hukum
Setelah membaca duduk perkara di atas dan mempelajarinya, telah terjadi
pernikahan antara pemohon dan termohon secara agama Islam namun karena adanya
satu dan lain hal pernikahan tersebut tidak tercatat pada Kantor Urusan Agama
setempat sehingga para pemohon memohon kepada majlis Hakim untuk
mengitsbatkan pernikahannya.
Berkenaan dengan pencatatatan perkawinan, ada 2 (dua) pandangan yang
berkembang. Pertama, pandangan yang menyatakan bahwa pencatatan perkawinan
tidaklah menjadi syarat sah sebuah perkawinan dan hanya merupakan persyaratan
administratif sebagai bukti telah terjadinya sebuah perkawinan. Kedua, pandangan
yang menyatakan bahwa pencatatan perkawinan tetap menjadi syarat sah tambahan
sebuah perkawinan.11
Menurut pandangan yang pertama sahnya sebuah perkawinan
hanya didasarkan pada aturan-aturan agama sebagaimana yang telah disebut pasal 2
ayat 1 undang-undang perkawinan. Dengan demikian ayat 2 yang membicarakan
tentang pencatatan perkawinan tidak memiliki hubungan dengan sah tidaknya sebuah
perkawinan.
11
Amiur Nurudin dan Azhari Akmal Tarigan , Hukum Perdata Islam di Indonesia (Studi
Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No 1\1974 sampai KHI), (Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2006), h. 131. lihat juga Hartono Mardjono, Menegakkan Syari’at Islam dalam
Konteks Keindonesiaan, (Bandung: Mizan,1997), h. 97
71
Dalam hal Itsbat Nikah yang di ajukan ke Pengadilan Agama, terlebih pada
kasus dengan alasan pernikahannya tidak tercatat alias nikah sirri yang dilakukan
oleh para pemohon, penulis melihat ada kejanggalan antara undang-undang No. 1
tahun 1974 tentang perkawinan dengan kenyataan yang terjadi di lingkungan
masyarakat saat ini, dan bagi mereka yang melakukan hal tersebut dapat dikatakan
telah melanggar ketentuan dalam Undang-undang Perkawinan meskipun dalam
Kompilasi Hukum Islam telah membuka peluang bagi perkawinan yang tidak tercatat
alias nikah sirri dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama yaitu pada pasal
7 ayat (1), (2), (3),dan (4) Kompilasi Hukum Islam.
Itsbat nikah itu sangat penting agar dapat diketahui bahwa perkawinan itu
benar-benar sah dimata hukum perundang-undangan (hukum positif) dan juga hukum
agama dalam hal ini (hukum Islam).12
Dasar pertimbangannya diantaranya ada kedua
belah pihak (pemohon dan termohon), diketahui adanya wali dalam pernikahan,
adanya para saksi ketika akad nikah dilangsungkan, dengan demikian barulah hakim
berani memutuskan apabila hal-hal demikian diatas telah terpenuhi.
Pertimbangan hakim tentang sahnya perkawinan jika dilakukan menurut
agama dan kepercayaannya sebagaimana yang telah diatur dalam pasal 2 ayat 1
undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan juga untuk kemaslahatan
menurut penulis sangat bagus dengan adanya itsbat nikah, karena jika hakim tidak
memberikan itsbat nikah bagi perkawinan mereka berarti permasalahan mereka tidak
12
Ujang Soleh, Hakim Pengadilan Agama Jakarta Pusat, Wawancara Pribadi, Jakarta, 25
Oktober 2010, Pukul : 09:00-10:00 wib
72
pernah selesai, karena dalam berumah tangga tidak pernah luput dari yang namanya
permasalahan. Seperti ingin mengurus akta kelahiran anak, ingin memenuhi
administrasi kepegawaian di kantor tempat pemohon bekerja dan lain sebagainya.
Oleh karena itu perlu adanya bukti bahwa pernikahan tersebut telah tercatat. Akan
tetapi jika kita melihat pada pasal 2 ayat 2 Undang-undang Perkawinan yang
berbunyi tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku, nampaknya hakim perlu memeriksa secara seksama dan
mempertimbangkannya secara matang, agar tidak ada lagi penafsiran yang
mengatakan bahwa pernikahan sirri itu dapat dilegalkan dengan jalan itsbat nikah.
Dari uraian diatas, dapat di simpulkan bahwa legalisasi hukum pernikahan
sirri dengan itsbat nikah yang dilakukan di Pengadilan Agama agar mendapatkan
kekuatan (ketetapan) hukum secara tidak langsung adalah perkawinan yang
memenuhi syarat dan rukun yang telah ditentukan oleh agama Islam. Akan tetapi,
apabila itu semua tidak terpenuhi maka tidak ada alasan bagi hakim untuk melegalkan
pernikahan sirri melalui itsbat nikah.
73
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Adapun ketentuan Itsbat nikah yang di atur dalam hukum Islam adalah
Pernikahan yang telah memenuhi rukun-rukun dan syarat-syarat pernikahan
itu sendiri, karena pada hakikatnya rukun dan syarat pernikahan adalah hal
yang penting dalam sebuah pernikahan, sedangkan dalam perundang-
undangan adalah telah sesuai dalam pasal 2 ayat (1-2) Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan juga pada Kompilasi Hukum
Islam pasal 7 ayat (1-4).
2. Pada kasus ini, hasil penetapan majlis hakim Pengadilan Agama Jakarta Pusat
menetapkan bahwa perkawinan yang dilakukan antara pemohon I dan
pemohon II dapat di Itsbatkan dan juga perkawinannya sah karena telah sesuai
dengan rukun dan syarat sahnya pernikahan, maka tidak ada alasan lagi bagi
majlis hakim Pengadilan Agama Jakarta Pusat untuk tidak menetapkan itsbat
nikah tersebut.
3. Adapun yang menjadi dasar dan pertimbangan hukum Pengadilan Agama
Jakarta Pusat dalam memutuskan perkara itsbat nikah ini adalah sesuai dengan
penjelasan dari ketentuan pasal 49 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1989 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2006 tentang Peradilan Agama, dan dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 7
74
ayat (3) dan pasal 14 sampai 38 tentang rukun dan syarat perkawinan, oleh
karena pertimbangan hukum diatas maka sudah jelas bagi hakim untuk
mengabulkan permohonan itsbat nikah tersebut.
B. Saran
1. Akta nikah yang di keluarkan oleh Pejabat Pencatat Nikah itu sangat penting
dalam sebuah pernikahan, maka pasangan yang ingin mengikatkan tali cintanya
harus mempunyai akta nikah tersebut guna mempunyai kekuatan hukum yang
tetap pada pernikahannya, oleh karena itu perlu adanya jalinan kerjasama
antara pihak Kantor urusan Agama dan tokoh agama maupun tokoh masyarakat
agar tidak terjadi pernikahan secara sirri.
2. Perlu adanya sosialisasi kepada masyarakat dari pihak Kantor Urusan Agama
(KUA) tentang masalah pernikahan yang sesuai dalam perundang-undangan
dan bagi pihak Pengadilan Agama perlu diperketatnya persyaratan-persyaratan
dalam pengajuan Itsbat nikah agar orang-orang yang melakukan pernikahan
sirri tidak dengan mudahnya dapat mengitsbatkan pernikahannya di kemudian
hari.
3. Dalam dunia pendidikan, agar memasukkan kurikulum di sekolah Tsanawiyah
maupun sekolah Aliyah tentang pentingnya pernikahan yang sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan di negara Republik Indonesia.
75
Daftar Pustaka
Al-Quranul al-Karim
Abdullah, A. Ghani, Tinjauan Hukum Terhadap Perkawinan di Bawah Tangan.
Mimbar Hukum No. 23 Thn VI 1995 November-Desember, Jakarta: Al-Hikmah
dan DITBINBAPERA Islam.1995
Abdurahman, Kompilasai Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Akademika Presssindo,
2007
Abidin, Slamet dan Aminuddin, Fiqh Munakahat, Bandung: CV Pustaka Setia,
1999), cet. Ke-1
Afandi, Ali. Hukum Waris, Hukum Keluarga, hukum Pembuktian: menurut KUH
Perdata (BW), Jakarta: PT. Bina Aksara, 1986,Cet. Ke-3
Al- Asbahi, Abi Abdillah Malik bin Anas, Muwatha Imam Malik, Kairo: Al-
Maktabah Al-Islamiyah, 1967, Juz 2
Ali, Zainuddin, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta : Sinar Grafika,
2007,cet.2.
Al-Zuhaily, Wahbah, al fiqh al Islami wa Adillatuhu, Juz VIII, Damsiq: Dar al Fikr,
1989
Anwar, Moch, Dasar-Dasar Hukum Islam Dalam Menetapkan Keputusan di
Pengadilan Agama, cet. Ke-1, (Bandung: CV. Diponegoro, 1991), h. 43.
Dikutip dari kitab I’anatut Thalibin, juz IV,h. 254
Arto, Mukti, Masalah Pencatatan Perkawinan dan Sahnya Perkawianan, Mimbar
Hukum No. 28 Tahun VII, Jakarta : Al-hikmah dan ditbinbapera Islam, Mei-
Juni, 1996.
Arto, Mukti, Praktek Perkara Perdata Pada Peradilan Agama, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1996, Cet. Ke-1
Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian, Jakarta : Rineka Cipta, 2002.
As-Sarakhsy, Syamsuddin. Al-Mabsuth, (Libanon: Darulqutub al-Ilmiyah, t,t), jilid 5.
Dahlan, M Sujari, Fenomena Nikah Sirri, Surabaya: Pustaka Progresssif, 1996
76
Daly, Peunoh, Hukum Perkawinan Islam ( Suatu study Perbandingan dalam
kalangan Ahlu-Sunnah dan Negara-negara Islam), Jakarta: PT. Bulan Bintang,
1994, Cet-2
Depag RI, Al-Quranul al-Karim dan Terjemahnya, Jakarta: Yayasan Penyelenggara
Penterjemah Al-Quran, 1989
Departemen pendidikan dan kebudayaan, Kamus besar bahasa Indonesia, Jakarta:
Balai Pustaka, 1995, Cet ke-11
Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Depertemen Agama RI, Kompilasi
Hukum Islam, Jakarta: Direktorat Pembinanan Badan Peradilan Agama,2002
Dirojosworo, Soedjono, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
1994 Cet Ke-4
Djalil, A. Basiq, Peradilan Agama di Indonesia, (Gemuruhnya Politik Hukum (hukum
islam, hukum barat, hukum adat) dalam rentang sejarah bersama pasang surut
lembaga peradilan agama hingga lahirnya peradilan syariat islam di aceh,
Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2006.
Fu’ad Syakir, Muhammad, Perkawianan Terlarang : al-misyar (kawin perjalanan),
al-urfi (kawin bawah tangan), as-sirri (kawin rahasia), al-mut’ah (kawin
kontrak), Penerjemah Fauzun Jamal & Alimin, Jakarta : Cendekia Sentra
Muslim,1997.
Ghani Abdullah, Abdul, Himpunan Perundang-undangan dan Peraturan Peradilan
Agama, Jakarta : Intermasa, 1991.
Hazairin, Tinjauan Mengenai UUP No. 1 / 1974, Jakarta: PT. Tinta Mas Indonesia,
1986
Kuzari, Ahmad, Nikah Sebagai Perikatan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995, Cet.
Ke-1
Mahful M. dan Herry Mohammad, Fenomena Nikah Sirri, Jakarta: IKAPI, 1996, Cet-
1
Mahkamah Agung RI, Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan,
Buku II Teknisi Administrasi dan Teknisi di Lingkungan Peradilan Agama,
( Jakarta: 4 April, 2006)
77
Muhdlor, A. Zuhdi, Memahami Hukum Pernikahan (NTC&R), Bandung: Al-Bayan,
1994, Cet. 1
Munawir, Ahmad Warson, Kamus Al-Munawwir (Arab-Indonesia), Yogyakarta:
Pustaka Progresif, 1997, Cet. 14
M. Zein, Satria Effendi, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer (Analisis
Yurisprudensi dengan Pendekatan Ushuliyah), Jakarta: Kencana, 2004, cet.
Ke-1
Nurudin, Amiur, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Studi Kritis Perkembangan
Hukum Islam dari Fikih, UU No 1/1974 sampai KHI), Jakarta : Kencana
Prenada Media Group, 2006.
Ramulyo, Mohd Idris, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara
Peradilan Agama dan Zakat menurut Hukum Islam, (Jakarta: Sinar
Grafika,1995), cet. Ke-1
Rofiq, Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2003.
Sabiq, Sayid, Fiqh al-Sunnah, libanon : Beirut, 1993, Juz 2.
Sabiq, Sayyid, Fiqh Sunnah 6, (Bandung: PT. Al-ma’arif, 1990), penerjemah
Mohammad Thalib, Cet. Ke-7
Shihab, M. Quraish, Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an,
Jakarta: Lentera Hati, 2002, Cet. Ke-1
Sholeh, Asrorun Ni’am, Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, Jakarta:
Elsas, 2008
Soekanto, Soejono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta : Pustaka Pelajar, 1992.
Sofyan,Yayan, Itsbat nikah bagi perkawinan yang tidak dicatat setelah diberlakukan
UU No. I Tahun 1974 di Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Ahkam IV, No. 8
(2002).
Sugiyono, Metode Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif, Bandung : Alfabeta,2004.
Taimiyah, Ibnu, Hukum-Hukum Perkawinan. Penerjemah: Rusnan Yahya, (ed), Amir
Hamzah, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1997, Cet. 1
78
Undang-Undang No. I Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Wiriadja, Mufti, Kitab Pelajaran Tata Hukum Indonesia, Yogyakarta : Yayasan
Penerbit Gadjah Mada,1973, cet.1.
Yunus, Mahmud, Kamus Arab Indonesia, Jakarta: Hidakarya Agung, 1998
INTERNET:
http://www.pa-jakartapusat.com
Http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol17737/itsbat-nikah-masih-jadi-masalah
diakses pada tanggal 4 Oktober 2010 jam 12:49
Nama : Drs. H. Ujang Soleh, S.H
Jabatan : Hakim Madya Utama
Waktu : 25-10-2010, Pukul : 09:00-10:00 Wib
Tempat : Pengadilan Agama Jakarta Pusat
1. Bagaimana awal mula adanya ketentuan Itsbat Nikah di Pengadilan Agama?
Jawab: Awal mula adanya ketentuan itsbat nikah ini sejak adanya
kewenangan Peradilan Agama dalam menyelesaikan sengketa-
sengketa keluarga atau sengketa keperdataan Islam.
2. Faktor apa sajakah yang menjadikan orang hendak mengitsbatkan
pernikahannya?
Jawab: Diantaranya yaitu ingin melegalkan terhadap pernikahannya
sehubungan dengan adanya keturunan anak yang dilahirkan dan
akibat hukum terhadap kewarisan.
3. Bagaimanakah proses pelaksanaan perkara Itsbat Nikah di Pengadilan
Agama?
Jawab: Prosenya para pemohon terlebih dahulu mendaftarkan
permohonannya ke Pengadilan tempat mereka berdomisili dengan
maksud itsbat nikah dengan membawa identitas pihak-pihak
(Pemohon dan Termohon), kemudin setelah itu membayar biaya
perkara yang telah ditetapkan dan menunggu untuk dipanggil
sebagaimana mestinya, kurang lebih seperti itu.
4. Menurut bapak, sejauhmana pentingnya Itsbat Nikah bagi Perkawinan yang
tidak di catat atau bisa juga dikatakan Nikah Sirri?
Jawab: Itsbat nikah itu sangat penting agar dapat diketahui bahwa
perkawinan itu benar-benar sah dimata hukum perundang-undangan
(hukum positif) dan juga hukum agama dalam hal ini (hukum Islam).
5. Apa yang menjadi dasar dan pertimbangan hakim Pengadilan Agama dalam
memutuskan perkara Itsbat Nikah dengan alasan Nikah Sirri?
Jawab: Dasar pertimbangannya diantaranya ada kedua belah pihak
(pemohon dan termohon) , diketahui adanya wali dalam pernikahan,
adanya para saksi ketika akad nikah dilangsungkan, dengan demikian
barulah hakim berani memutuskan apabila hal-hal demikian diatas
telah terpenuhi.
6. Bagaimana pendapat bapak tentang dikabulkannya permohonan itsbat nikah
dengan alasan nikah sirri, keadaan ini secara tidak langsung para hakim yang
menangani kasus ini melegalkan pernikahan sirri?
Jawab: Itsbat nikah ini dikabulkan dengan alasan pernikahan antara para
pihak dalam rangka untuk mengajukan cerai gugat atau cerai thalak,
sepanjang itu berkenaan dengan hal yang demikian maka hakim dapat
mengabulkan permohonan tersebut. Bahkan yang terakhir hasil dari
rakernas Mahkamah Agung tanggal 13 Oktober 2010 dalam bidang
urusan lingkungan Peradilan Agama menyimpulkan bahwa untuk
menghindari terjadinya penyalahgunaan Itsbat Nikah sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan pasal 7 ayat 3 huruf (a) Kompilasi Hukum
Islam agar penetapan itsbat nikah dibuat dalam satu kesatuan dengan
putusan cerai gugat atau cerai thalak, dengan pertimbangan hal
tersebut semata-mata hanya untuk proses perceraian, dengan
demikian hal ini berarti hakim tidak melegalkan adanya itsbat nikah
yang berkenaan dengan nikah sirri tanpa alasan yang sesuai dengan
ketentuan Kompilasi Hukum Islam.
7. Bagaimana dampak dan konsekwensi hukumnya apabila perkawinan yang
tidak dicatatkan alias nikah sirri tidak diitsbatkan?
Jawab: dampak dan konsekwensi perkawinan sirri yang tidak diitsbatkan, jika
untuk pelaku pribadi (personal) tidak ada masalah, akan tetapi secara
kepentingan kedua belah pihak yang bersangkutan itu mengadung
dampak dan konsekwensi pernikahan sirri itu tidak mempunyai
kekuatan hukum, sebab tidak serta merta semua urusan yang
berkaitan dengan kepentingan suami-isteri tersebut bisa diselesaikan
dengan mudah tanpa adanya bukti suatu pernikahan yang tercatat.
8. Itsbat Nikah yang bagaimanakah yang dapat di terima dan yang
bagaimanakah yang dapat ditolak?
Jawab: Itsbat nikah yang diterima jika pernikahannya sesuai dengan syarat
dan rukun secara hukum agama, kemudian itsbat nikah yang ditolak
itu jika pernikahannya tidak sesuai dengan ketentuan syarat dan
rukun secara agama.
9. Berapa banyak putusan yang sudah dijatuhkan oleh Pengadilan Agama
Jakarta Pusat selama tahun 2010 dalam menyelesaikan perkara Itsbat Nikah
dengan alasan nikah sirri?
Jawab: sampai bulan oktober tahun ini, sudah 10 (sepuluh) perkara
pengesahan nikah (itsbat nikah) yang sudah diitsbatkan pernikahnnya.
Jakarta, 25 Oktober 2010
Hormat Kami,
Pewawancara Narasumber
AYUHAN Drs. H. Ujang Soleh, S.H