10
JAWABAN SOAL UJIAN AKHIR SEMESTER TEORI KEBUDAYAAN 2010 Soal no. 1 KEBUDAYAAN SEBAGAI SISTEM STRUKTURAL (Soal dari Prof. Dr. Benny Hoedoro Hoed) oleh: Juniato Sidauruk 0906655282 PROGRAM PASCASARJANA 0 Juniato Sidauruk 0906655282 Teori Kebudayaan Soal dari Prof. Dr. Benny H. Hoed

Jawaban uas no 1 prof benny hoed

  • Upload
    juniato

  • View
    1.807

  • Download
    8

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Jawaban uas no 1 prof benny hoed

JAWABAN SOAL UJIAN AKHIR SEMESTER

TEORI KEBUDAYAAN 2010

Soal no. 1

KEBUDAYAAN SEBAGAI SISTEM STRUKTURAL

(Soal dari Prof. Dr. Benny Hoedoro Hoed)

oleh:

Juniato Sidauruk

0906655282

PROGRAM PASCASARJANA

PROGRAM LINGUISTIK

FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA

UNIVERSITAS INDONESIA

Desember 2010

0 Juniato Sidauruk 0906655282 Teori Kebudayaan Soal dari Prof. Dr. Benny H. Hoed

Page 2: Jawaban uas no 1 prof benny hoed

1. Kebudayaan sebagai Sistem Struktural (Prof. Dr. Benny H. Hoed)

Pertanyaan: Apa yang dimaksud dengan “struktur”? Kemudian, bagaimana konsep struktur

berkembang di kalangan pascastrukturalis? Bagaimana kita memperlihatkan bahwa

struktur itu bertransformasi? Jelaskan dengan contoh. (Pilih dua tokoh dari tiga: Barthes,

Derrida, atau Kristeva).

Untuk memahami pendekatan strukturalis, perlu terlebih dahulu memahami apa

yang disebut dengan struktur (Kridalaksana, 1988: 24). Struktur adalah suatu tatanan

wujud-wujud berupa bangun teoritis yang terdiri atas unsur-unsur yang saling berhubungan

satu sama lain dalam satu kesatuan (Piaget, 1960). Struktur itu memiliki sifat-sifat sebagai

berikut:

1. Sifat yang mencakup keutuhan (totalitas) dimana struktur merupakan tatanan wujud yang berbentuk kumpulan tiap-tiap komponen struktur yang tunduk pada kaidah intrinsik dan tidak mempunyai keberadaan bebas diluar struktur.

2. Sifat yang mencakup transformatif. Artinya struktur merupakan sifat yang tidak statis. Bahan-bahan baru dapat terus diproses oleh dan melalui struktur itu.

3. Sifat yang mencakup pengaturan diri (otoregulatif) dimana struktur itu tidak pernah meminta bantuan dari luar untuk melaksanakan prosedur transformasional tersebut, jadi struktur itu bersifat tertutup (Kridalaksana, 1988: 24).

Keesing (1971: 6) melihat budaya sebagai sistem struktural. Beliau memberi

penjelasan terperinci bahwa di daratan Eropa, Levi-Strauss terus memperdalam

pandangannya tentang dunia simbolik manusia dan proses pikiran yang menghasilkan

dunia simbolik ini. Pada dasawarsa terakhir, pendekatan strukturalis ini telah memberi

dampak yang kuat terhadap banyak sarjana yang belajar dalam tradisi Anglo-Amerika.

Selain itu, Levi-Strauss juga memandang budaya sebagai sistem simbolik yang dimiliki

bersama, dan merupakan creation of mind secara kumulatif. Dia berusaha menemukan

penstrukturan bidang kultural (dalam mitologi, kesenian, kekerabatan, dan bahasa) prinsip-

prinsip dari pikiran (mind) yang menghasilkan budaya itu.

Khususnya dalam buku Mythologies (Barthes, 1957), Levi-Strauss lebih

memperhatikan "Budaya" daripada "sebuah budaya"." Dia melihat struktur mitologi Indian

Amerika sebagai sesuatu yang tumpang-tindih. Struktur ini saling menghubungkan pola-

pola organisasi kognitif individu-individu Orang Baroro, atau Orang Winnebago atau

Orang Mandan. Bahkan lebih jauh struktur ini melintasi garis sempadan bahasa dan adat

yang memisahkan masyarakat yang berbeda tersebut. Karena itulah struktur pemikiran

1 Juniato Sidauruk 0906655282 Teori Kebudayaan Soal dari Prof. Dr. Benny H. Hoed

Page 3: Jawaban uas no 1 prof benny hoed

tersebut lebih dipandang sebagai "Budaya", yaitu bersifat universal, daripada "sebuah

budaya" yang bersifat lokal.

Sebetulnya istilah strukturalisme, seperti diungkap Bertens (1985: 386),

mengemuka pertama kali pada kongres pertama tentang linguistik yang diadakan di Den

Haag pada tahun 1928. Sebagai sebuah mode pemikiran yang mempengaruhi beragam

bidang kajian lainnya, strukturalisme memiliki akar dan pertahanannya yang sangat kuat

pada pembaruan di bidang linguistik yang diprakarsai oleh Saussure (Bertens, 1985: 381

dan Ritzer, 2003: 52).

Pada hakekatnya strukturalisme adalah suatu cara pandang yang menekankan

persepsi dan deskripsi tentang struktur yang ditemukan dalam sistem bahasa; terjadi dari

tingkat-tingkat struktur dimana terdapat unsur-unsur yang saling berkontras dan

berkombinasi untuk membentuk satuan-satuan yang lebih tinggi. Inilah yang menjadi dasar

pendekatan strukturalis. Dalam Course de Linguistique Generale (1916), Saussure

mengemukakan empat konsep dikotomis, yaitu: langue vs. parole; sintagmatik vs.

paradigmatik; sinkronik vs. diakronik; dan signifiant vs. signifiě.

Pembedaan bahasa (langage) atas langue dan parole oleh Saussure mempengaruhi

tidak hanya strukturalisme tetapi pascastrukturalisme dan pasca-modernisme (Ritzer 2003:

52). Langue adalah sistem dan struktur bahasa yang bersifat abstrak dan dijadikan acuan

dalam komunikasi (Hoed (dalam Christommy 2002: 6)). Dalam pengantar terjemahan

Indonesia Course de Linguistique Generale, Kridalaksana (1988: 7) menjelaskan bahwa

langue merupakan keseluruhan kebiasaan yang diperoleh secara pasif, yang

memungkinkan para penutur dapat saling memahami. Adapun parole, seperti diungkap

Hoed (dalam Christommy 2002: 6), adalah realisasi langue dalam komunikasi. Pembedaan

langue vs. parole ini secara lebih sederhana digambarkan oleh Bertens (1985: 383), bahwa

langue merupakan "bahasa sejauh merupakan milik bersama" dan parole merupakan

"pemakaian bahasa yang individual." Kalau dikaitkan dengan Noam Chomsky, langue

sebagai competence sedangkan parole itu performance (lihat Chomsky, 2005: 4, 23).

Saussure mengenalkan istilah sintagmatik dan paradigmatik untuk menjelaskan

sifat relasi antar komponen dalam bahasa. Relasi sintagmatik, seperti diungkap Hoed

(dalam Christommy 2002: 6), merupakan relasi antarkomponen dalam struktur. Adapun

relasi paradigmatik adalah relasi antara suatu komponen dalam struktur tertentu dengan

entitas lain di luar struktur tersebut. Saussure menekankan pentingnya gagasan ini dalam

bidang ilmu di luar linguistik. Contoh tiang bangunan. Tiang-tiang pada sebuah bangunan /

2 Juniato Sidauruk 0906655282 Teori Kebudayaan Soal dari Prof. Dr. Benny H. Hoed

Page 4: Jawaban uas no 1 prof benny hoed

gedung / rumah panggung (di Minahasa), satu sama lain berhubungan dan saling

menopang sehingga kuat atau tidak goyang. Jika seperti ini, berarti peran sintagmatis yang

terjadi. Tiang-tiang tersebut beragam, baik dari bahan, gaya dan lainnya. Misalnya sebagai

contoh paradigmatik, tiang dengan bahan dasar beton dapat digantikan dengan tiang kayu

besi (jenis kayu tropis yang terkenal kekuatannya banyak ditemui di Papua), dalam hal

gaya, dapat saja tiang-tiang tersebut bergaya Doria, Ionia, atau Korintia (secara asosiatif).

Dalam hal penelitian bahasa, Saussure, seperti diungkap oleh Hoed (dalam

Christommy 2002: 7), beranggapan bahwa penelitian sinkronik merupakan dasar bagi

penelitian diakronik, yaitu penelitian terhadap bahasa yang melihat perkembangannya dari

waktu ke waktu. Penelitian sinkronik terhadap bahasa merupakan penelitian bahasa yang

terbatas pada satu lapisan waktu tertentu. Dengan ini, bahasa dapat dilihat sebagai sebuah

sistem yang tetap (Piliang, 2003: 48), dan dapat dibebaskan dari unsur ekstra lingual,

termasuk waktu (Bertens, 1985: 385).

Seperti ditulis oleh Bertens (1985: 382), pembedaan tanda atas signifiant dan

signifiě merupakan pokok terpenting dari pandangan Saussure. Ia berusaha melihat tanda

sebagai sebuah kesatuan antara sesuatu yang bersifat material (signifiant/signifier/penanda)

(Piliang, 2003: 47), yaitu image acoustique atau citra bunyi (Saussure, 1973: 146), dengan

sesuatu yang abstrak (signifiě/signified/petanda) (Piliang, 2003: 47), yang disebutnya

sebagai konsep (Saussure, 1973: 146). Citra bunyi tersebut juga tidak semata-mata fisik,

tetapi psikis (psychě: sesuatu yang juga abstrak); penggunaan istilah materil hanya untuk

membedakannya dari konsep (yang lebih abstrak) (Saussure 1973: 146).

Salah sorang sarjana yang secara konservatif menerapkan teori-teori saussure ialah

Roland Barthes (1915-1980). Ia menerapkan model Saussure dalam penelitiannya tentang

karya-karya sastra dan gejala-gejala kebudayaan. Bagi Barthes, komponen-komponen

tanda, yakni penanda dan petanda, terdapat juga pada tanda-tanda bukan bahasa. Tanda-

tanda itu antara lain terdapat juga pada mitos yakni keseluruhan sistem citra dan

kepercayaan yang dibentuk masyarakat untuk mempertahankan dan menonjolkan

identitasnya.

Hoed (2004: 52-54) menjelaskan bahwa Barthes melihat semua gejala dalam

kebudayaan sebagai tanda yang terdiri atas signifiant dan signifie. Ia mencoba untuk

menerapkan teori Saussure dalam kebudayaannya sendiri yaitu Perancis.

3 Juniato Sidauruk 0906655282 Teori Kebudayaan Soal dari Prof. Dr. Benny H. Hoed

Page 5: Jawaban uas no 1 prof benny hoed

… Pemahaman akan signifant dan signifie sebagai proses dua tahap. Karena signifiant adalah gejala yang ditangkap oleh kognisi manusia juga diproduksi, maka ditinjau dari segi pemroduksi tanda, signifiant disebut expression (E) ’ekspresi atau pengungkapan’, dan signifie sebagai content (C) ’isi atau konsep’.

Relasi (R) antara E dan C pada manusia terjadi dalam lebih dari satu tahap. Tahap primer terjadi saat tanda diterima untuk pertama kalinya, R1, E1, C1. pemaknaan tanda tidak hanya terjadi pada tahap primer, tetapi dilanjutkan pada tahap sekunder, yakni R2, E2, dan C2. Proses pengembangan dari sistem primer terdiri atas dua jalur yaitu Pengembangan pada segi E. Hasilnya adalah suatu tanda mempunyai lebih dari satu E untuk C yang sama. Ini disebut proses metabahasa.

Pengembangan dari segi C. Hasilnya adalah suatu tanda mempunyai lebih dari satu C untuk E yang sama. Pengembangan makna C ini disebut Barthes sebagai konotasi. Contoh: merah muda (E) yang maknanya (C) dalam sistem primer adalah ‘sejenis warna hasil pencampuran antara merah dan putih’. Dalam proses selanjutnya makna primer itu menjadi berkonotasi ‘cinta’, ‘rindu’ dan ‘sayang’.

Konsep bersifat pembeda semata-mata dan secara langsung bergantung pada citra

bunyi yang berkaitan. Kaitan keduanya dapat diibaratkan dengan selembar kertas karena

tidak mungkin menggunting satu sisi tanpa menggunting sisi yang lain. Dalam tanda

bahasa, bila citra akustis berubah, maka berubah pula konsep, dan sebaliknya

(Kridalaksana, 1988: 12-13).

Strukturalisme pada awalnya melihat struktur kebudayaan sebagai sesuatu yang

statis. Dalam perkembangannya strukturalisme melihat kebudayaan sebagai suatu yang

dinamis. Hal ini terjadi karena diubah oleh agensi kebudayaan yang terdapat dalam struktur

tersebut. Budaya tumbuh dalam suatu kelompok masyarakat. Ia berperan dalam

mengendalikan, mengatur pola-pola berperilaku yang dianggap lazim dalam masyarakat

penganut kebudayaan tersebut. Contoh agensi (aktor) seperti di Papua ada Kepala Suku,

ada pembantu pimpinan, dan tentu masyarakat dalam kelompok tersebut sebagai anggota.

Pada dasarnya, struktur dalam sistem yang tumbuh itu terletak pada tataran yang

sifatnya abstrak yang dilandasi oleh ide-ide dan historis dalam masyarakat. Hal ini tampak

dalam kebudayaan materialistik (konkrit) atau manifestasi eksternal, “surface

manifestation” yang bentuknya beragam, misalnya dalam bentuk hukum, peraturan,

institusi yang bertujuan demi kemaslahatan dan keharmonisan kehidupan bermasyarakat.

Contoh terkini adalah gonjang-ganjing tentang keistimewaan provinsi Yogyakarta, antara

sistem yang dianut pemerintahan dan kesultanan Yogya yang berbasis pada kebudayaan

dan historis daerah tersebut.

4 Juniato Sidauruk 0906655282 Teori Kebudayaan Soal dari Prof. Dr. Benny H. Hoed

Page 6: Jawaban uas no 1 prof benny hoed

Daftar Acuan

Barthes, Roland. 1957. Mythologies. Paris: Seuil.

Bertens, K. 1985. Filsafat Barat Abad XX (Jilid II): Prancis. Jakarta: Gramedia.

Chomsky, Noam. 2005. Language and Mind. 3rd Ed. Cambridge University Press.

Hoed, Benny. H. 2002. Strukturalisme, Pragmatik, dan Semiotik dalam Kajian Budaya: Sebuah Pengantar Ringkas dalam Tommy Christommy (ed). 2002. Indonesia: Tanda Yang Retak. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.

Hoed, Benny. H. 2004. “Bahasa dan Sastra dalam Tinjauan Semiotik dan Hermeneutik”. Dalam T. Christomy dan Untung Yuwono (ed). Semiotika Budaya. Depok: Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya Universitas Indonesia.

Keesing, R.M, Keesing, F.M. 1971. New Perspectives in Cultural Antrophology. New York: Holt, Rinehart & Winston.

Kridalaksana, Harimurti. 1988. Mongin Ferdinand Saussure (1857: 1913): Bapak Linguistik Modern dan Pelopor Strukturalisme. Dalam Ferdinand Saussure. 1973/1988 Pengantar Linguistik Umum.Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Piliang, Yasraf Amir. 2003. Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies atas Matinya Makna. Bandung: Jalasutra.

Ritzer, George. 2003. Teori Sosial Postmodern. Terjemahan The Postmodern Social Theory oleh Muhammad Taufiq. Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Saussure, Ferdinand de. 1973/1988. Pengantar Linguistik Umum. Terjemahan Cours de Linguistique Generale oleh Rahayu S. Hidayat. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

5 Juniato Sidauruk 0906655282 Teori Kebudayaan Soal dari Prof. Dr. Benny H. Hoed