Upload
bill-clinthon-sipangkar
View
217
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
mm
Citation preview
6
BAB II
TEORI DASAR
2.1 Tinjauan Umum Deformasi
Deformasi adalah perubahan bentuk, posisi, dan dimensi dari suatu benda
(Kuang,1996). Berdasarkan definisi tersebut deformasi dapat diartikan sebagai
perubahan kedudukan atau pergerakan suatu titik pada suatu benda secara absolut
maupun relatif. Dikatakan titik bergerak absolut apabila dikaji dari perilaku gerakan
titik itu sendiri dan dikatakan relatif apabila gerakan itu dikaji dari titik yang lain.
Perubahan kedudukan atau pergerakan suatu titik pada umumnya mengacu kepada
suatu sistem kerangka referensi (absolut atau relatif). Deformasi yang dimaksudkan
dalam pemantauan survey ini adalah besarnya perubahan posisi suatu titik yang
diamati pada jangka waktu tertentu secara kontinyu.
Deformasi yang terjadi pada objek infrastuktur dapat disebabkan oleh faktor alam
misalnya pergerakan tanah di lokasi berdirinya infrastruktur tersebut. Untuk
mengetahui besar deformasinya, diperlukan monitoring posisi terhadap target yang
terdapat pada infrastruktur. Target dapat berupa titik, garis atau bidang yang dapat
dianggap mewakili objek infrastruktur. Monitoring dilakukan secara kontinyu (time
series). Dengan mengetahui posisi target di setiap pengamatan, nantinya perubahan
posisi yang terjadi tersebut diolah dan dianalisis untuk diambil kesimpulan
deformasinya.
2.2 Definisi Jembatan
Jembatan secara umum adalah suatu konstruksi yang dibangun untuk melewatkan
suatu massa atau traffic lewat atas suatu penghalang atau rintangan seperti sungai, rel
kereta api ataupun jalan raya. Penjelasan Pasal 86 ayat (3) PP No. 34 Tahun 2006
tentang Jalan menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan jembatan adalah jalan
yang terletak di atas permukaan air dan/atau di atas permukaan tanah.
7
Jenis jembatan berdasarkan fungsi, lokasi, bahan konstruksi dan tipe struktur
sekarang ini telah mengalami perkembangan pesat sesuai dengan kemajuan zaman
dan teknologi, mulai dari yang sederhana sampai pada konstruksi yang mutakhir.
Berdasarkan lokasinya, jembatan dapat dibedakan sebagai berikut :
a. Jembatan di atas sungai atau danau
b. Jembatan di atas lembah
c. Jembatan di atas jalan yang ada (fly over)
d. Jembatan di atas saluran irigasi/drainase (culvert)
e. Jembatan di dermaga (jetty)
Berdasarkan bahan konstruksinya, jembatan dapat dibedakan menjadi beberapa
macam, antara lain :
a. Jembatan kayu (log bridge)
a. Jembatan beton (concrete bridge)
b. Jembatan beton prategang (prestressed concrete bridge)
c. Jembatan baja (steel bridge)
d. Jembatan komposit (composite bridge)
Berdasarkan tipe strukturnya, jembatan dapat dibedakan menjadi beberapa macam,
antara lain :
a. Jembatan plat (slab bridge)
b. Jembatan plat berongga (voided slab bridge)
c. Jembatan gelagar (girder bridge)
d. Jembatan rangka (truss bridge)
e. Jembatan pelengkung (arch bridge)
f. Jembatan gantung (suspension bridge)
g. Jembatan kabel (cable stayed bridge)
h. Jembatan cantilever (cantilever bridge)
2.3 Kerangka Dasar Pemetaan
Kerangka dasar merupakan salah satu syarat bagi pemetaan karena seluruh titik-titik
obyek harus mengacu pada posisi titik kerangka dasar tersebut.
8
Titik-titik kerangka dasar memiliki kerapatan tertentu dan dihubungkan satu dengan
yang lainnya melalui pengukuran untuk dihasilkan koordinatnya. Titik kerangka
dasar mempunyai fungsi sebagai berikut :
a. Sebagai titik pengikat (titik referensi), yaitu bertujuan untuk menentukan
koordinat titik-titik lainnya. Misalnya titik A sebagai titik pengikat, dengan
mengukur jarak dan arah dari A ke B maka dapat dihitung koordinat titik B.
b. Sebagai titik pengontrol pengukuran-pengukura yang baru. Dalam hal ini
ketelitian titik pengontrol harus lebih tinggi daripada ketelitian pengukuran
yang baru. Misalnya titik A dan titik B merupakan titik pengontrol. Apabila
dari titik A dilakukan pengukuran-pengukuran dan pada akhirnya
disambungkan ke titik B, maka titik B merupakan pengontrol ukuran dari A.
Kerangka dasar dapat dibagi menjadi 2 macam, yaitu kerangka dasar horisontal dan
kerangka dasar vertikal. Kerangka dasar horisontal mempunyai koordinat horisontal
(koordinat planimetris) yang dinyatakan terhadap sistem salib sumbu pada bidang
datar. Sedangkan kerangka dasar vertikal mempunyai harga ketinggian yang
umumnya dihitung dari permukaan air laut rata-rata (MSL). Penentuan posisi suatu
titik, baik horisontal maupun vertikal dapat dilakukan dengan berbagai metode
pengukuran.
2.3.1 Penentuan Posisi Horisontal
Posisi horisontal suatu titik dapat ditentukan dengan menggunakan beberapa metode
diantaranya :
2.3.1.1 Metode Polar
Metode polar merupakan metode yang menjadi dasar penentuan posisi horisontal
berdasarkan arah dan jarak suatu titik ke titik lain. Yang dimaksud dengan arah
adalah sudut jurusan titik polar ke titik lainnya.
9
Gambar 2.1 Penentuan Posisi Metode Polar
Keterangan :
Titik A = titik yang diketahui koordinatnya (titik ikat)
A1 = sudut jurusan dari A ke titik 1
dA1 = jarak mendatar dari A ke titik 1
Parameter ukuran dalam metode polar adalah arah dan jarak dari titik A ke titik
target.
Gambar 2.2 Penentuan Posisi Horisontal
A
B
AB BA
Y
X O
JAB
XA XB
YA
YB
A
1
U
A1
dA1
10
Pada gambar 2.2, dapat dilihat bahwa :
Beda absis antara titik A sampai dengan titik B : XAB = XB - XA
Beda ordinat antara titik A sampai dengan titik B : YAB = YB - YA
Bila sudut jurusan dari A ke B = AB , maka :
Sin AB = (XAB/JAB) XAB = JAB Sin AB
Cos AB = (YAB/JAB) YAB = JAB Cos AB
Sehingga :
XAB = XB XA = JAB Sin AB XB = XA + JAB Sin AB
YAB = YB YA = JAB Cos AB YB = YA + JAB Cos AB
Secara umum, dapat dituliskan sebagai :
.. (2.1)
2.3.1.2 Metode Perpotongan Kemuka
Metode perpotongan kemuka merupakan metode penentuan posisi horisontal yang
hanya melakukan pengukuran sudut. Metode perpotongan kemuka merupakan
penerapan bentuk segitiga, sehingga pada perpotongan kemuka titik yang akan
ditentukan koordinatnya berada dihadapan sudut yang diukur. Oleh karena itu, dalam
pelaksanaan pengukurannya diperlukan minimal 2 (dua) buah titik ikat.
XB = XA + JAB Sin AB
YB = YA + JAB Cos AB
11
Gambar 2.3 Penentuan Posisi Metode Perpotongan Kemuka
Keterangan :
P : Titik yang akan dicari koordinatnya
A dan B : Titik ikat
Pada gambar 2.3, koordinat titik P dapat dihitung, baik dari titik A ataupun titik B :
XP = XA + JAP Sin AP ; XP = XB + JBP Sin BP
YP = YA + JAP Cos AP ; YP = YB + JBP Cos BP
Bila dihitung dari titik A, maka diperlukan : AP (sudut jurusan dari A ke P) dan
JAP (jarak mendatar dari A ke P )
Untuk mendapatkan besaran tersebut, maka :
.. (2.2)
Sudut jurusan dari A ke B (AB), dihitung dengan :
Tan AB = (XB-XA) (YB-YA) .. (2.3)
Bila sudut pada titik P adalah , maka :
= 180o - ( + )
U
AP
A
B
P
AP = AB -
12
Menghitung jarak mendatar dari A ke P, menggunakan rumus sinus sebagai berikut :
JAB = JAP = JBP
Sin Sin Sin
atau
JAP = Sin x JAB Sin .. (2.4)
2.3.1.3 Metode Poligon
Metode poligon adalah salah satu metode penentuan posisi horisontal banyak titik
dimana titik satu dengan lainnya dihubungkan satu sama lain dengan pengukuran
sudut dan jarak sehingga membentuk rangkaian titik-titik (poligon). Salah satu jenis
polygon misalnya poligon tertutup.
Poligon tertutup atau kring adalah poligon yang titik awal dan titik akhirnya bertemu
pada satu titik yang sama. Pada poligon tertutup, koreksi sudut dan koreksi koordinat
tetap dapat dilakukan walaupun tanpa titik ikat.
Titik awal = titik akhir ( XA , YA ). Koordinat titik A bisa diketahui, bisa juga tidak.
Koordinat tiap titik dapat dihitung dengan menggunakan formula :
.. (2.5)
2
A
1 3
4
5
Arah pengukuran
Gambar 2.4 Poligon Tertutup
X2 = X1 + d1 sin 12
Y2 = Y1 + d1 cos 12
13
Keterangan :
X = X1 = Absis titik 1.
Y = Y1 = Ordinat titik 1.
X = X2 = Absis titik 2.
Y = Y2 = Ordinat titik 2.
d = d1 = Jarak antara titik 1 dengan titik 2.
= 12 = Sudut jurusan titik 1 ke titik 2.
2.3.2 Penentuan Posisi Vertikal
Posisi vertikal suatu titik dapat ditentukan dengan menggunakan beberapa metode
diantaranya :
2.3.2.1 Metode Sipat Datar (Levelling)
Sipat datar (levelling) merupakan salah satu metode untuk menentukan beda tinggi
antara titik-titik di muka bumi serta menentukan ketinggian terhadap suatu bidang
referensi ketinggian tertentu.
Target bidikan pada pengukuran sipat datar adalah rambu ukur. Sedangkan alat sipat
datar yang digunakan adalah waterpas.
Gambar 2.5 Metode Sipat Datar
14
Keterangan :
BTa = Bacaan benang tengah di titik A
BTb = Bacaan benang tengah di titik B
Untuk mendapatkan beda tinggi dari titik A ke titik B (HAB) digunakan persamaan:
..... (2.6)
Selain pembacaan benang tengah (benang yang berada di tengah silang diafragma),
terdapat pula 2 benang lainnya, yaitu benang atas (di atas benang tengah) dan benang
bawah (di bawah benang tengah).
Berikutnya, ketiga benang tersebut akan dinotasikan sebagai singkatan, yaitu :
a. BT untuk Benang Tengah
b. BA untuk Benang Atas
c. BB untuk Benang Bawah
Fungsi BA dan BB adalah :
a. Pemeriksaan (Checking) BT, yaitu dengan :
.. (2.7)
b. Jarak mendatar dari alat ke rambu diperoleh dari persamaan (2.8) dengan
konstanta 100. Persamaan (2.8) ini berlaku jika alat waterpas menggunakan
lensa pembalik.
.. (2.8)
2.3.2.2 Metode Trigonometrik
Metode trigonometrik merupakan metode penentuan posisi vertikal dengan
menerapkan fungsi trigonometrik. Parameter ukuran dalam metode ini adalah jarak
dan sudut. Dalam hal ini, sudut yang diukur adalah sudut vertikal.
HAB = BTA - BTB
BA + BB = 2.BT
D = 100 (BA-BB)
15
Gambar 2.6 Metode Trigonometrik
Keterangan :
TA = Tinggi alat di titik A
T = Tinggi target di titik B
z = Sudut zenith
JAB = Jarak miring A-B
DAB = Jarak mendatar A-B
V = Sisi tegak segitiga siku
HAB = Beda tinggi A-B
.. (2.9)
dengan harga V sebesar :
untuk jarak miring : V = JAB Cos z
untuk jarak mendatar : V = DAB Sin z
Persamaan (2.9) akan berlaku jika tidak terdapat salah indeks pada alat.
A
B
T
T V
Z
TA
JAB
DAB
HAB
Target
HAB = V + TA-T
16
2.4 Spesifikasi Pilar menurut PERMENDAGRI No.1 Tahun 2006
Berikut ini merupakan spesifikasi pilar menurut Peraturan Mendagri no.1 Tahun
2006 :
a) Sebagai tanda pemisah batas desa dipasang pilar batas tipe D dengan
ukuran di atas tanah 20 cm x 20 cm dengan tinggi 25 cm dan kedalaman 75
cm di bawah tanah (gambar terdapat pada Lampiran A)
b) Sebagai tanda pemisah batas kecamatan dipasang pilar batas tipe C dengan
ukuran 30 cm x 30 cm dengan tinggi 50 cm dan kedalaman 75 cm di bawah
tanah (gambar terdapat pada lampiran A)
c) Sebagai tanda pemisah batas kabupaten/kota dipasang pilar batas tipe B
dengan ukuran 40 cm x 40 cm x 75 cm di atas tanah dan kedalaman 100 cm
di bawah tanah (gambar terdapat pada lampiran A)
d) Sebagai tanda pemisah batas Provinsi dipasang pilar batas tipe A dengan
ukuran 50 cm x 50 cm x 100 cm di atas tanah dan kedalaman 150 cm di
bawah tanah (gambar terdapat pada lampiran A)
e) Perapatan dapat dilakukan di antara PBU dengan memasang Pilar Batas
Antara (PBA) sesuai dengan kebutuhan dan kondisi lapangan. Pilar antara
pada batas provinsi, kabupaten, kecamatan maupun desa tersebut dipasang
dengan ukuran 20 cm x 20 cm x 20 cm di atas tanah dengan kedalaman 50
cm di bawah tanah. (gambar terdapat pada lampiran A)
y\Ab+NZ'pkvp9C