Upload
hoangngoc
View
242
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
JENIS DAN KARAKTERISTIK KOLONI KUTUDAUN
(HEMIPTERA: APHIDIDAE) PADA GULMA
DI BOGOR
SANDY AMARULLAH AMIN
DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Jenis dan
Karakteristik Koloni Kutudaun (Hemiptera: Aphididae) pada Gulma di Bogor”
adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Desember 2014
Sandy Amarullah Amin
NIM A34100065
ABSTRAK
SANDY AMARULLAH AMIN. Jenis dan Karakteristik Koloni Kutudaun
(Hemiptera: Aphididae) pada Gulma di Bogor. Dibimbing oleh PURNAMA
HIDAYAT.
Informasi tentang kutudaun pada gulma di Bogor masih sangat terbatas.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keanekaragaman kutudaun beserta
karakteristik koloninya pada gulma yang berada di Bogor. Pengambilan sampel
kutudaun dilakukan di 20 kecamatan di Bogor. Pengamatan koloni kutudaun
didasarkan pada ukuran koloni, individu bersayap (alatae), individu tidak
bersayap (aptera), gejala yang ditimbulkan, dan semut yang berasosiasi dengan
kutudaun. Identifikasi spesies kutudaun dilakukan dengan karakter morfologi
imago yang telah dibuat preparat slide permanen. Hasil penelitian ini
menunjukkan terdapat sembilan spesies kutudaun yang ditemukan pada gulma,
yaitu Aphis craccivora Koch, Aphis euginae van der Goot, Aphis gossypii Glover,
Aphis spiraecola Patch, Hysteroneura setariae (Thomas), Jaksonia papillata
Theobald, Melanaphis sorghi (Theobald), Schizapis graminum (Rondani), dan
Sitobion miscanthi (Takahashi). H. setariae merupakan jenis kutudaun yang
paling banyak ditemukan. Kutudaun yang ditemukan pada gulma banyak berupa
individu tidak bersayap. Gulma inang yang paling banyak terserang kutudaun
yaitu dari Famili Asteraceae. Semut yang berasosiasi dengan kutudaun terdapat 15
spesies, yaitu Acanthomyrmex sp., Acropyga sp., Cardiocondyla sp., Camponotus
sp., Cerapachys sp., Crematogaster sp., Dolichoderus sp., Loweriella sp.,
Monomorium sp., Myrmecina sp., Paratrecina sp., Philidris sp., Polyrhachis sp.,
Pseudolasius sp., dan Tetramorium sp. Kunci identifikasi bergambar dan dikotomi
dibuat berdasarkan karakter morfologi kutudaun yang ditemukan pada gulma.
Kata kunci: semut, kutudaun, koloni, kunci identifikasi, gulma.
ABSTRACT
SANDY AMARULLAH AMIN. Species and Colony Characteristics of Aphids
(Hemiptera: Aphididae) on Weeds in Bogor. Supervised by PURNAMA
HIDAYAT.
Information on the aphids that associated with weeds is relatively limited.
The research aimed to study the diversity of aphids and their colony
characteristics in weeds at Bogor. The experiments were conducted by doing
aphid sampling in 20 locations at Bogor area. Size of colonies, winged aphids
(alatae), wingless aphids (aptera), symptomp caused by aphids, and aphids-ants
association were observed. Slide preparation of aphids were used to identify the
species. The studies have shown that there were nine aphid species found in
weeds in Bogor area:, Aphis craccivora Koch, Aphis euginae van der Goot, Aphis
gossypii Glover, Aphis spiraecola Patch, Hysteroneura setariae (Thomas),
Jaksonia papillata Theobald, Melanaphis sorghi (Theobald), Schizapis graminum
(Rondani), and Sitobion miscanthi (Takahashi). H. setariae was found numerously
on the weeds. Wingless aphids was found in a big number of population. Weeds
belong to the Family Asteraceae were the most attacked by aphids. Fifteen species
of ants associated with aphids, they were Acanthomyrmex sp., Acropyga sp.,
Cardiocondyla sp., Camponotus sp., Cerapachys sp., Crematogaster sp.,
Dolichoderus sp., Loweriella sp., Monomorium sp., Myrmecina sp., Paratrecina
sp., Philidris sp., Polyrhachis sp., Pseudolasius sp., and Tetramorium sp. The
pictorial and dichotomy identification keys of aphids were constucted based on
the morfological characters.
Keywords: ants, aphids, colony, identification key, weeds.
©
Hak Cipta milik IPB, tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
JENIS DAN KARAKTERISTIK KOLONI KUTUDAUN
(HEMIPTERA: APHIDIDAE) PADA GULMA
DI BOGOR
SANDY AMARULLAH AMIN
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian
pada
Departemen Proteksi Tanaman
DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
Judul Skripsi :..Jenis dan Karakteristik Koloni Kutudaun (Hemiptera:
...Aphididae) pada Gulma di Bogor
Nama Mahasiswa :..Sandy Amarullah Amin
NIM :..A34100065
Disetujui oleh
Dr. Ir. Purnama Hidayat, M.Sc.
Dosen Pembimbing
Diketahui oleh
Dr. Ir. Abdjad Asih Nawangsih, M.Si.
Ketua Departemen Proteksi Tanaman
Tanggal lulus:
PRAKATA
Alhamdulillah puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT
yang telah melimpahkan segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis mampu
menyelesaikan tugas akhir yang berjudul “Jenis dan Karakteristik Koloni
Kutudaun (Hemiptera: Aphididae) pada Gulma di Bogor”. Penulisan tugas akhir
penelitian ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana
Pertanian di Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian
Bogor. Terimakasih penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Purnama Hidayat, M.Sc.
selaku dosen pembimbing akademik dan skripsi yang selalu memberikan
bimbingan, pengetahuan, saran, arahan, dan masukan kepada penulis. Ucapan
terimakasih juga disampaikan kepada Dr. Ir. Abdjad Asih Nawangsih, M.Si.
selaku dosen penguji tamu yang telah memberikan kritik dan saran untuk
menyempurnakan penulisan tugas akhir ini. Terimakasih kepada orangtua, kakak,
dan adik yang selalu memberi semangat dan dukungan dalam belajar maupun
penelitian. Ucapan terima kasih juga ditujukan kepada teman-teman Laboratorium
Biosistematika Serangga, khususnya Vincentius Huberto Dhango, Johanna
Christine Hakim Sinaga, Andi Dwi Mandasari, Rizky Marcheria Ardiyanti,
Muhammad Ridho Rasid, Supriyanto, Tri Utami Ningsih, Khoir Samsi, Mbak
Atiek, Bu Aisyah, serta kakak tingkat dan juga teman-teman lainnya di
Departemen Proteksi Tanaman yang tidak bisa disebutkan satu persatu dalam
mendukung terlaksananya tugas akhir penelitian penulis, serta pihak lain yang
turut mambantu dalam penyusunan tugas akhir ini.
Pada penulisan tugas akhir ini penulis menyadari masih banyak kekurangan.
Oleh karena itu, penulis berharap ada masukan berupa kritik dan saran yang
bersifat membangun dan memotivasi penulis agar dapat menuliskan karya tulis
yang lebih baik. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis maupun
pembaca.
Bogor, Desember 2014
Sandy Amarullah Amin
DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR viii
DAFTAR LAMPIRAN ix
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan Penelitian 2
BAHAN DAN METODE 2
Tempat dan Waktu Penelitian 3
Alat dan Bahan 3
Metode Penelitian 3
Pengambilan Sampel Kutudaun dan Semut di Lapangan 3
Pembuatan Preparat Slide Kutudaun dan Koleksi Semut 4
Identifikasi Morfologi Kutudaun dan Semut 5
Analisis Data 6
Pembuatan Kunci Identifikasi 7
HASIL DAN PEMBAHASAN 8
Hasil Pengambilan Sampel Kutudaun 8
Karakteristik Koloni Kutudaun 10
Deskripsi Kutudaun 13
Tribe Aphidini 13
Tribe Macrosiphini 18
Semut yang Berasosiasi dengan Koloni Kutudaun 26
Deskripsi Semut 27
Subfamili Cerapachyinae 27
Subfamili Dolichoderinae 28
Subfamili Formicinae 28
Subfamili Myrmicinae 30
SIMPULAN DAN SARAN 33
Simpulan 33
Saran 33
DAFTAR PUSTAKA .34
LAMPIRAN 37
RIWAYAT HIDUP 49
DAFTAR TABEL
1 Gulma daun lebar yang terserang kutudaun di Bogor 8
2 Gulma rumput dan teki yang terserang kutudaun di Bogor 9
DAFTAR GAMBAR
.1 Peta lokasi pengambilan sampel kutudaun di daerah Kabupaten dan Kota
Bogor (Peta Bogor 2014) 4
.2 Karakter identifikasi kutudaun pada bagian dorsal dan ventral (Blackman
dan Eastop 2006) 6
.3 Karakteristik koloni kutudaun pada gulma di Bogor 11
.4 Jumlah individu bersayap dan tidak bersayap setiap jenis kutudaun pada
gulma di Bogor 12
.5 Gejala serangan kutudaun pada gulma 12
.6 Koloni dan karakter morfologi A. craccivora 13
.7 Koloni dan karakter morfologi A. euginae 14
.8 Koloni dan karakter morfologi A. gossypii 15
9 Koloni dan karakter morfologi A. spiraecola 16
10 Koloni dan karakter morfologi H. setariae 17
11 Koloni dan karakter morfologi M. sorghi 18
12 Koloni dan karakter morfologi S. graminum 19
13 Koloni dan karakter morfologi J. papilta 19
14 Koloni dan karakter morfologi S. miscanthi 20
15 Karakter morfologi Aphidinae 24
16 Karakter morfologi Tribe Macrosiphini 24
17 Karakter morfologi perbandingan panjang kornikel dan kauda serta
warna kepala 24
18 Karakter morfologi warna kauda dan perbandingan panjang terminal
proses serta antena ruas terakhir 25
19 Karakter morfologi warna kornikel 25
20 Karakter morfologi abdomen dorsal dan jumlah rambut pada kauda 25
21 Karakter morfologi warna femur, kornikel, dan keberadaan zona polygonal
di tepi abdomen 26
22 Karakter morfologi keberadaan rambut di tuberkel antena
dan bentuk kornikel 26
23 Proporsi subfamili yang ditemukan berasosiasi dengan koloni .kutudaun
pada gulma di Bogor 26
24 Semut dari subfamili Cerapachyinae 27
25 Semut dari subfamili Dolichoderinae 28
26 Semut dari subfamili Formicinae 29
27 Semut dari subfamili Myrmicinae 31
DAFTAR LAMPIRAN
.1 Hasil pengambilan sampel kutudaun pada gulma di Bogor 39
.2 Koordinat lokasi pengambilan sampel 45
3 Gambar gulma daun lebar 46
4 Gambar gulma rumput dan teki 48
.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kutudaun merupakan salah satu kelompok serangga yang hidup secara
berkoloni. Pada populasi yang tinggi kutudaun dapat bersifat sebagai hama.
Serangga ini termasuk ke dalam ordo Hemiptera, subordo Sternorrhyncha, famili
Aphididae. Kutudaun dapat dikenali dengan bentuk seperti buah persik yang khas
dengan sepasang kornikel pada ujung posterior abdomen. Kornikel kutudaun
berupa struktur seperti tabung timbul dari sisi dorsal abdomen ruas kelima dan
keenam (Borror et al. 1996). Kutudaun memiliki ukuran, bentuk, dan warna tubuh
yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut dapat dipengaruhi faktor inang dan
lingkungan (Irsan 2004).
Penelitian mengenai kutudaun telah banyak dilakukan karena menyebabkan
kerugian ekonomi yang besar serta memiliki peran yang sangat tinggi dan efisien
sebagai vektor virus penyakit tanaman (Brault et al. 2010). Namun penelitian
terhadap taksonomi kutudaun di Indonesia masih sangat terbatas. Kerugian yang
ditimbulkan oleh kutudaun sebagai hama berkisar 6-25%, sedangkan sebagai
vektor dapat mencapai lebih dari 80% (Miles 1987). Kepadatan populasi kutudaun
berpengaruh terhadap perubahan fisiologis tanaman seperti kelayuan, matinya
pucuk tanaman, gugur daun, perubahan bentuk daun, dan kematian tanaman
(Darsono 1991).
Ukuran populasi kutudaun dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain
jumlah populasi kutudaun sebelumnya, keperidian yang tinggi dengan sistem
reproduksi yang efisien (partenogenesis), dan perpindahan tempat ke inang
lainnya (Matis et al. 2008). Populasi kutudaun juga dipengaruhi oleh simbiosis
dengan semut. Menurut Goggin (2007), simbiosis antara semut dan kutudaun
bersifat saling menguntungkan. Eksresi embun madu yang dikeluarkan kutudaun
merupakan sumber makanan semut dan kehadiran semut memberikan
perlindungan bagi kutudaun dari serangan predator dan parasitoid. Ukuran
populasi sangat mempengaruhi simbiosis kedua serangga ini.
Ukuran atau kepadatan kutudaun dalam suatu koloni atau populasi juga
berpengaruh terhadap pembentukan atau jumlah kutudaun bersayap (alatae) dan
tidak bersayap (aptera). Kutudaun tidak bersayap pergerakannya terbatas di
tumbuhan inang, sebaliknya kutudaun bersayap dapat berpindah tempat dari satu
tumbuhan inang ke tumbuhan inang yang lain (Irsan et al. 2010). Kutudaun
bersayap juga berperan dalam penyebaran hama ini.
Pada daratan rendah tropika kutudaun mudah berkembang biak, dan
beberapa tanaman dengan cepat terserang kutudaun tersebut. Menurut Kalshoven
(1981), reproduksi kutudaun di Indonesia (daerah tropis) selalu partenogenetik
dan vivipar, sehingga nimfa yang baru dilahirkan dapat berkembang cepat
menjadi imago dan siap melahirkan nimfa baru. Di pulau Jawa kutudaun dijumpai
dalam jumlah besar pada awal musim kemarau, kerusakan berat terutama
disebabkan oleh adanya embun madu yang dikeluarkan kutudaun sehingga
timbulnya embun jelaga.
Di seluruh dunia terdapat lebih dari 4 000 spesies kutudaun, 300 diantaranya
dapat menjadi vektor 300 jenis virus tanaman berbeda (Eastop 1977). Jenis-jenis
2
kutudaun di pulau Jawa sudah pernah dilaporkan sebelumnya oleh beberapa
peneliti. Van der Goot (1914) melaporkan 180 spesies kutudaun dan hanya 82
spesies kutudaun yang berhasil diidentifikasi. Noordam (1986, 1991, 1994, 2004)
melaporkan 56 spesies Hormaphidinae, 33 spesies Greenideinae, dan 85 spesies 2
Aphidinae.
Menurut Hill (1997), kutudaun memiliki inang yang sangat luas dan hampir
setiap tumbuhan yang umum dikenal maupun yang tidak dapat menjadi inangnya,
baik itu berkayu, pohon dan semak belukar, herbal dan rumput merupakan inang
dari satu atau lebih spesies dari serangga ini. Selain inang utama kutudaun
memiliki inang alternatif berupa gulma di sekitar pertanaman. Inang alternatif
sangat berperan bagi kutudaun sebagai sumber makanan sekunder. Kerugian
ekonomi yang ditimbulkan gulma pada suatu pertanaman juga akan meningkat
karena peran sebagai OPT dan inang alternatif. Penelitian mengenai jenis
kutudaun dan gulma yang berpotensi menjadi inang alternatif perlu dilakukan
dalam memudahkan pengendalian kutudaun di suatu pertanaman.
Informasi mengenai taksonomi, kisaran inang pada gulma, keanekaragaman,
semut yang berasosiasi dan kepadatan populasi kutudaun pada gulma di daerah
Bogor masih sangat terbatas. Oleh karena itu, diperlukan informasi tentang jenis
kutudaun dan inangnya pada gulma, jenis semut yang berasosiasi, serta
pembuatan kunci identifikasi kutudaun yang ditemukan di Bogor.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi spesies dan mempelajari
karakter koloni kutudaun yang berupa jumlah kutudaun dalam koloni, jumlah
kutudaun bersayap dan tidak bersayap, jenis semut yang berasosiasi dan gejala
kerusakan yang ditimbulkan pada gulma di wilayah Bogor.
Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah memberikan informasi tentang
keanekaragaman spesies kutudaun, gulma inang, kepadatan populasi, ukuran
koloni dan semut yang berasosiasi dengan kutudaun pada gulma di wilayah
Bogor.
BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan pada gulma yang berada di beberapa lahan kosong dan
budidaya. Pengambilan sampel kutudaun dilakukan di 20 kecamatan yang terletak
di Kabupaten dan Kota Bogor, yaitu Dramaga, Ciampea, Rancabungur, Ciseeng,
Rumpin, Tenjolaya, Pamijahan, Cibungbulang, Leuwiliang, Cigudeg, Kelapa
Nunggal, Jonggol, Ciomas, Cijeruk, Kemang, Cibinong, Taman Sari, Bogor
Barat, Bogor Selatan, dan Bogor Utara. Identifikasi kutudaun dan semut
dilakukan di Laboratorium Biosistematika Serangga, Departemen Proteksi
Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dilaksanakan
dari bulan Maret sampai Agustus 2014.
Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu alat tulis, kantung
plastik, tabung reaksi, cawan sirakus, kaca objek, penutup preparat, kompor
listrik, mikroskop stereo Olympus® SZ-ST, mikroskop cahaya Olympus® model
CX21FS1, kamera (DinoEye ocular lens camera) langsung terhubung dengan
komputer, perangkat lunak Dinocapture, dan perangkat lunak GPS (Global
Positioning System) Compass and Altitude pada smartphone LG® Optimus L II.
Bahan yang digunakan dalam penelitin ini, yaitu sampel kutudaun dan
semut pada gulma, alkohol 50%, 80%, 95%, 100%, aquades, larutan KOH 10%,
minyak cengkih, serta balsam kanada sebagai media perekat dalam pembuatan
preparat slide permanen.
Metode Penelitian
Pengambilan Sampel Kutudaun dan Semut di Lapangan
Lokasi pengambilan sampel kutudaun pada gulma dilakukan di 35 lahan
yang terbagi ke dalam 11 lahan kosong dan 24 lahan budidaya yang tersebar di 20
kecamatan di kabupaten dan kota Bogor. Sampel diambil dengan memotong
bagian gulma yang terdapat kutudaun yang kemudian dimasukkan ke dalam
kantung plastik transparan dan diberi label lokasi, tanggal pengambilan sampel,
koordinat, dan ketinggian. Pengukuran koordinat dan ketinggian tempat
pengambilan sampel menggunakan GPS. Pengambilan sampel dilakukan secara
sengaja pada gulma yang ada di luasan suatu lahan.
Pengamatan morfologi kutudaun yang masih hidup dan karakteristik koloni
dilakukan di Laboratorium Biosistematika Serangga, Departemen Proteksi
Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Karakter morfologi
kutudaun yang diamati, yaitu warna tubuh, ruas antena, tuberkel antena, kornikel,
kauda, dan tungkai. Sedangkan karakteristik koloni yang diamati meliputi jumlah
individu di dalam koloni, individu bersayap, dan tidak bersayap pada koloni.
4
Keterangan
Gambar 1 Peta lokasi pengambilan sampel kutudaun di daerah kabupaten dan
kota Bogor (Peta Bogor 2014)
Pembuatan Preparat Slide Kutudaun dan Koleksi Semut Pembuatan preparat slide permanen kutudaun dilakukan dengan mengacu
pada metode Blackman dan Eastop (2000). Tujuan dalam pembuatan preparat
slide permanen yaitu agar dapat disimpan dalam jangka waktu yang lama serta
dapat menjadi referensi dalam identifikasi selanjutnya. Fase perkembangan yang
digunakan dalam pembuatan preparat slide kutudaun adalah fase imago. Hal ini
karena seluruh bagian tubuh serangga pada fase imago telah berkembang secara
sempurna sehingga proses identifikasi dapat dilakukan.
Pembuatan preparat slide dilakukan dalam 4 tahap. Tahap pertama yaitu
tahap pemilihan sampel kutudaun. Kutudaun dipilih yang sudah memasuki fase
imago dan memiliki karakter morfologi yang lengkap (antena, tungkai, kornikel,
dan kauda). Tahap kedua adalah perebusan dan pengeluaran isi tubuh kutudaun.
Kabupaten Bogor: Kota Bogor :
Kec. Leuwiliang (A) Kec. Dramaga (J) Kec. Bogor Barat (L)
Kec. Cigudeg (B) Kec. Kemang (K) Kec. Bogor Selatan (P)
Kec. Rumpin (C) Kec. Ciomas (M) Kec. Bogor Utara (Q)
Kec. Ciseeng (D) Kec. Tamansari (N)
Kec. Rancabungur (E) Kec. Cijeruk (O)
Kec. Cibungbulang (F) Kec. Cibinong (R)
Kec. Pamijahan (G) Kec. Kelapa Nunggal (S)
Kec. Tenjolaya (H) Kec. Jonggol (T)
Kec. Ciampea (I)
A
B
C D
E
F
G
H
I J
K
L
M
N O
P
Q
R S
T
5
Spesimen yang telah dipilih dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang telah diisi
alkohol 95% yang kemudian direbus selama 3 menit. Spesimen kemudian dituang
ke dalam cawan sirakus, dan ditusuk menggunakan jarum mikro pada bagian
abdomen. Penusukan pada abdomen bertujuan untuk memudahkan isi tubuh
kutudaun keluar. Spesimen kemudian direbus kembali ke dalam tabung reaksi
yang berisi KOH 10% hingga terlihat transparan. Spesimen yang terlihat
transparan dituang ke dalam cawan sirakus dan dilakukan pengeluaran sisa isi
tubuh dengan cara menekan bagian abdomen.
Tahap ketiga adalah pencucian dan pengawetan kutudaun. Kutudaun yang
telah bersih kemudian dilakukan pencucian dengan aquades sebanyak 2 kali. Hal
ini bertujuan untuk menghilangkan sisa cairan KOH 10% dan isi tubuh yang
menempel di permukaan spesimen. Selanjutnya perendaman spesimen di dalam
alkohol bertingkat (50%, 80%, 95%, dan 100%) selama 10 menit yang bertujuan
untuk mengeluarkan kandungan air di dalam tubuh kutudaun agar spesimen tidak
mengkerut karena perpindahan secara langsung ke konsentrasi alkohol yang
tinggi. Spesimen kemudian direndam ke dalam minyak cengkih selama 10 menit
untuk mengawetkan tubuh kutudaun.
Tahap keempat adalah proses perentangan dan pengeringan. Kutudaun yang
telah direndam ke dalam minyak cengkih kemudian diambil dengan spatula ke
atas kaca preparat dan direntangkan tungkai dan antena dengan posisi saat
istirahat dengan dorsal menghadap ke atas. Spesimen yang telah direntang
kemudian diberi balsam kanada di atasnya dan ditutup dengan kaca penutup.
Preparat yang telah jadi kemudian dikeringkan pada Hotplate Fischer Scientific
Slider Warmer selama dua minggu.
Semut yang ditemukan berasosiasi dengan kutudaun dipilih setiap spesies
untuk dijadikan contoh koleksi. Metode perentangan serangga diatas kertas
segitiga dilakukan untuk mengoleksi semut yang ditemukan. Kertas segitiga yang
telah disiapkan kemudian ditusuk pada bagian pangkalnya sedangkan ujungnya
diberi perekat untuk meletakkan semut. Posisi semut yang dikoleksi terlihat
menyamping jika dilihat dari depan ujung bagian segitiga. Bahan koleksi
kemudian dikeringkan selama satu bulan.
Identifikasi Morfologi Kutudaun dan Semut
Secara umum Karakter morfologi kutudaun yang digunakan dalam
identifikasi, yaitu ruas antena, mata, kornikel, kauda, tungkai, bagian dorsal
abdomen, dan jumlah atau keberadaan rambut di beberapa bagian tubuh.
Identifikasi morfologi dilakukan dengan kunci dikotomi yang berpedoman pada
buku Aphids on the World’s Trees an Identification and Information Guide oleh
Blackman & Eastop (1994), Aphids on the World Crops: an Identification and
Information Guide oleh Blackman & Eastop (2000), dan Aphids on the World’s
Herbaceous Plants and Shrubs oleh Backman & Eastop (2006). Sedangkan
identifikasi morfologi semut menggunakan kunci dikotomi yang berpedoman
pada buku Identification Guide to the Ant Genera of Borneo oleh Hashimoto
(2003).
6
Gambar 2 Karakter identifikasi kutudaun pada bagian dorsal dan ventral
(Blackman dan Eastop 2006)
Analisis Data
Data dianalisis menggunakan program Microsoft® Excell. Analisis data
dilakukan dengan menggunakan tabel, grafik, dan diagram untuk beberapa
karakter koloni kutudaun. Karakter koloni yang dianalisis meliputi ukuran koloni,
jumlah tribe kutudaun, gejala yang muncul, keberadaan semut, jumlah individu
bersayap dan tidak bersayap, serta proporsi subfamili semut yang berasosiasi
dengan kutudaun.
Pembuatan Kunci Identifikasi Kunci identifikasi bergambar dan dikotomi dibuat dengan menggunakan
beberapa karakter morfologi dari kutudaun yang ditemukan pada gulma.
Identifikasi awal dilakukan dengan membedakan keberadaan rinaria sekunder
antartribe di dalam Subfamili Aphidinae. Langkah kedua, masing-masing spesies
di dalam Tribe Macrosiphini dan Aphidini kemudian dibedakan berdasarkan
7
beberapa karakter morfologi yang berbeda. Jenis kutudaun Tribe Macrosiphini
hanya dibedakan berdasarkan perkembangan tuberkel antena. Jenis kutudaun di
dalam Tribe Aphidini dibedakan berdasarkan beberapa karakter morfologi yaitu,
perbedaan panjang kornikel dan kauda, warna kornile, warna kauda, keberadaan
bercak hitam pada abdomen, perbandingan warna femur serta kornikel, dan
keberadaan rambut pada bagian atas kepala. Dalam pembuatan kunci identifikasi
bergambar untuk menghubungkan karakter satu dengan yang lain menggunakan
tanda panah dan hanya menggunakan dua karakter morfologi untuk dibedakan
pada setiap tahapnya serta dikelompokkan ke dalam beberapa kelompok seperti
Subfamili Aphidinae, Tribe Macrosiphini, dan Tribe Aphidini, sedangkan pada
kunci identifikasi dikotomi menggunakan nomor yang berurutan untuk
menghubungkan antarkarakter dan menggunakan 2-4 karakter morfologi dalam
setiap tahapnya.
8
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Pengambilan Sampel Kutudaun
Pengambilan sampel kutudaun dilakukan dari bulan Maret sampai Agustus
2014. Kondisi musim dan cuaca sangat mempengaruhi jumlah kutudaun yang
didapatkan. Perolehan jumlah kutudaun yang terdapat pada gulma rendah pada
saat musim penghujan, sedangkan saat sudah memasuki musim kemarau kutudaun
yang didapatkan meningkat. Pengaruh hujan pada kehidupan serangga bisa
bersifat langsung secara mekanik atau secara tidak langsung terhadap keadaan
udara dan tanah. Pengaruh mekanik dimaksudkan sebagai hentakan butir hujan
pada serangga atau pada tempat hidupnya. Pada kutudaun berada di bagian batang
yang tidak terlindungi hujan. Hujan yang sangat lebat dapat mengakibatkan
banyak kutudaun yang jatuh kemudian mati sehingga menyebabkan berkurangnya
populasi dalam besaran yang cukup berarti (Susniati et al. 2005).
Berdasarkan hasil pengamatan terdapat 66 koloni kutudaun yang ditemukan
dari 33 gulma yang terdapat kutudaun (Lampiran 1). Terdapat sembilan spesies
kutudaun yang teridentifikasi pada 33 jenis gulma yang ditemukan di daerah
Kabupaten dan Kota Bogor, yaitu Aphis craccivora Koch, Aphis gossypii Glover,
Aphis euginae van der Goot, Aphis spiraecola Patch, Hysteroneura setariae
(Thomas), Jaksonia papillata Theobald, Melanaphis sorghi (Theobald), Sitobion
miscanthi (Takahashi), dan Schizaphis graminum (Rondani). Kutudaun yang
didapatkan di daerah kota Bogor adalah A. gossypii, A. spiraecola, dan H.
setariae, sedangkan di daerah kabupaten Bogor seluruh spesies yang
teridentifikasi ditemukan.
Kutudaun yang ada pada gulma banyak ditemukan menyerang tiga bagian
gulma yaitu bunga, daun, dan batang. Hama ini tidak ditemukan menyerang
bagian akar gulma saat pengambilan sampel kutudaun. Berdasarkan respon
terhadap herbisida gulma dibagi menjadi tiga macam, yaitu gulma daun lebar,
gulma rumput, dan gulma teki. Gulma dari kelompok daun lebar terdapat 20 jenis
gulma yang terserang kutudaun (Tabel 1). Gulma yang terserang kutudaun dari
kelompok gulma rumput terdapat 12 jenis gulma, sedangkan gulma dari kelompok
gulma teki hanya 1 jenis gulma yang terserang kutudaun (Tabel 2).
Tabel 1 Gulma daun lebar yang terserang kutudaun di Bogor
Gulma inang Nama ilmiah/Famili Jenis kutudaun Lokasi pengambilan
Ajeran Bidens bitternata/Asteraceae A. gossypii Dramaga
Aur-aur Commelina
diffusa/Commelinaceae
A. gossypii Ciomas
Babadotan Ageratum
conyzoides/Aseteraceae
A. gossypii,
A. spiraecola
Dramaga, Ciampea,
Taman Sari, Cibinong,
Tenjolaya, Jonggol,
Cibungbulang, Rumpin,
Pamijahan, Cijeruk
Cacabean Cleome
rutidosperma/Cleomeaceae
A. gossypii Taman Sari
Godong puser Hyptis
rhomboidea/Asteraceae
A. gossypii,
A. spiraecola
Ciampea, Cigudeg
Cibungbulang,
leuwiliang
9
Lanjutan tabel 1 Gulma daun lebar yang terserang kutudaun di Bogor
Gulma inang Nama ilmiah/Famili Jenis kutudaun Lokasi pengambilan
Harendong Melastoma affine/
Melastomaceae
A. gossypii Dramaga, Cigudeg,
Pamijahan, Jonggol,
Taman Sari
Harendong bulu Clidemia
hirta/Melastomaceae
A. gossypii,
A. spiraecola,
J. papillata
Dramaga, Pamijahan,
Cijeruk, Jonggol
Jotang kuda Synedrella
nudiflora/Asteraceae
A. gossypii Cigudeg, Rancabungur
Kembang telek Lantana
camara/Verbenaceae
A. gossypii Cigudeg, Dramaga
Kirinyuh Chromolaena
odorata/Asteraceae
A. gossypii,
A. spiraecola
Cigudeg, Dramaga,
Jonggol, Kelapa Nunggal
Meniran Phyllanthus
niruri/Euphorboceae
S. miscanthi,
A. euginae
Ciomas, Rumpin,
Tenjolaya
Nampong Clibadium
surinamensis/Asteraceae
A. gossypii,
A. spiraecola
Pamijahan
Patah kemudi Emilia
sonchifolia/Asteraceae
A. gossypii,
H. setariae
Rancabungur, Dramaga
Patikan kebo Euphorbia hirta
/Euphorbiaceae
A. gossypii Rancabungur
Putri malu Mimosa pudica/
Mimosaceae
A. craccivora Leuwiliang
Rumput kancing
ungu
Borreria leavis/Rubiaceae A. gossypii Kemang
Sembung rambat Mikania
micranta/Asteraceae
A. gossypii,
A. spiraecola
Cibungbulang, Ciseeng,
Kemang, Leuwiliang,
Ciomas, Cijeruk, Bogor
Selatan, Rumpin, Jonggol
Sintrong Crassocephalum
crepidioides/Asteraceae
A. gossypii Ciomas
- Borreria alata/Rubiaceae A. gossypii Kemang
- Sida acuta/Malvaceae A. gossypii Cigudeg
Tabel 2 Gulma rumput dan teki yang terserang kutudaun di Bogor
Gulma inang Nama ilmiah/Famili Jenis kutudaun Lokasi pengambilan
Rumput balungan Pannicum
repens/Poaceae
S. graminum Kemang
Rumput belulang Eleusin indica/Poaceae H. setariae Dramaga, Cibinong, Bogor
Utara, Tenjolaya,
Pamijahan, Kemang, Bogor
Barat, Ciomas, Cijeruk,
Bogor Selatan, Rumpin,
Ciseeng
Rumput benggala Pannicum maximum/
Poaceae
H. setariae Ciseeng
Rumput gegenjuran Paspalum
commersonii/Poaceae
H. setariae Bogor Barat, Ciomas
Rumput grinting Cynodon
dactylon/Poaceae
H. setariae Cijeruk, Leuwiliang
Rumput jampang Digitaria
ciliaris/Poaceae
H. setariae Tenjolaya, Cibinong,
Dramaga, Ciomas
Rumput jejarongan Chloris
barbata/Poaceae
M. sorghi Cigudeg
10
Lanjutan tabel 2 Gulma rumput dan teki yang terserang kutudaun di Bogor
Gulma inang Nama ilmiah/Famili Jenis kutudaun Lokasi pengambilan
Rumput
lancuran
Sporobolus diander/Poaceae H. setariae Cibinong, Dramaga, Cijeruk
Rumput malela Brachiaria mutica/Poaceae H. setariae Leuwiliang
Rumput pait Paspalum
conjugatum/Poaceae
H. setariae Tenjolaya
- Cyrtococcum
pattens/Poaceae
H. setariae Dramaga
- Pennisetum
polystation/Poaceae
H. setariae Kelapa Nunggal, Kemang,
Bogor Barat
Teki ladang Cyperus
brevifolius/Cyperaceae
H. setariae Bogor Barat
Gulma dari jenis daun lebar merupakan kelompok gulma yang paling
banyak terserang kutudaun, sedangkan gulma dari jenis teki merupakan gulma
yang paling sedikit terserang kutudaun. Jenis kutudaun yang menyerang gulma
daun lebar terdapat 7 spesies, yaitu A. craccivora, A. euginae, A. gossypii, A.
spiraecola, H. setariae, J. papillata, dan S. miscanthi (Tabel 1), sedangkan
kutudaun yang menyerang gulma ruput terdapat tiga spesies, yaitu H. setariae, M.
sorghi, dan S. graminum (Tabel 2). Gulma teki hanya terserang satu spesies
kutudaun, yaitu H. setariae (Tabel 2). Dari 9 spesies kutudaun yang ditemukan
menyerang gulma terdapat 7 spesies kutudaun dapat menyerang tanaman
budidaya dan 2 spesies yang hanya menyerang gulma. Adapun Jenis kutudaun
yang dapat menyerang tanaman budidaya yaitu A. craccivora, A. euginae, A.
gossypii, A. spiraecola, H. setariae, J. papillata, dan M. sorghi, sedangkan jenis
kutudaun yang hanya dapat menyerang gulma yaitu S. miscanthi dan S.
graminum. Spesies kutudaun J. papillata merupakan jenis kutudaun yang baru
pertama kali ditemukan di Indonesia.
Karakteristik Koloni
Pengamatan karakteristik koloni kutudaun dilakukan dengan lima karakter
koloni, yaitu ukuran koloni, tribe, gejala kerusakan, jumlah individu yang
bersayap dan tidak bersayap, serta semut yang berasosiasi. Karakter koloni yang
pertama yaitu ukuran koloni. Besar kecilnya koloni kutudaun dapat disebabkan
oleh beberapa hal yaitu keberadaan musuh alami, keadaan cuaca, keperidian, dan
ketersedian makanan. Salah satu faktor cuaca yang mempengaruhi ukuran koloni
adalah suhu. Pada daerah dengan suhu tinggi, kutudaun memiliki masa hidup
yang lebih singkat, hal ini disebabkan waktu kematangan organ reproduksi yang
cepat sehingga kutudaun akan lebih cepat berkembangbiak dan menghasilkan
keturunan. Menurut Szpeiner (2008) yang telah dimodifikasi, ukuran koloni
kutudaun dibagi menjadi tiga kategori, yaitu koloni kecil (2-10 individu), koloni
sedang (11-50 individu), dan koloni besar (>50 individu). Ukuran koloni kutudaun
dapat menentukan tingkat serangan terhadap tumbuhan yang menjadi inangnya.
Hal ini dapat dilihat dari gejala yang muncul pada bagian yang terserang. Gejala
yang ditimbulkan serangan kutudaun dapat berupa bercak, nekrosis, klorosis, daun
atau tunas tergulung, pemudaran, penurunan vigor tanaman, dan adanya embun
madu.
11
Kutudaun yang ditemukan pada gulma di daerah kabupaten dan kota Bogor
banyak masuk ke dalam koloni ukuran sedang dengan jumlah 33 koloni. Koloni
ukuran kecil hanya ditemukan sebanyak 28 koloni, sedangkan koloni dengan
ukuran besar hanya ditemukan 5 koloni. Spesies H. setariae merupakan kutudaun
yang paling banyak membentuk koloni dengan koloni kecil sebanyak 11 koloni,
koloni sedang 15 koloni, dan koloni besar 2 koloni. Spesies A. euginae merupakan
satu-satunya jenis kutudaun yang tidak membentuk koloni saat ditemukan. Tribe
kutudaun yang paling banyak ditemukan membentuk koloni yaitu Tribe Aphidini
sebanyak 64 koloni, sedangkan Tribe Macrosiphini hanya membentuk 2 koloni
(Gambar 3).
Gambar 3 Karakteristik koloni kutudaun pada gulma di Bogor
Ukuran koloni juga sangat mempengaruhi jumlah individu bersayap. Pada
koloni yang besar jumlah individu bersayap akan meningkat, hal ini dikarenakan
individu bersayap bertugas untuk mencari sumber makanan baru atau inang baru
untuk mempertahankan keberadaan spesiesnya. Berdasarkan keberadaan individu
bersayap dan tidak bersayap, A. gossypii merupakan jenis kutudaun yang paling
banyak individu bersayap dengan 98 ekor sedangkan H. setariae merupakan jenis
kutudaun yang paling banyak individu tidak bersayap dengan 1 212 ekor (Gambar
4). Ada 4 jenis kutudaun yang tidak ditemukan individu bersayap yaitu A.
craccivora, A. euginea, M. shorgi, dan S. miscanthi. Hal ini dikarenakan koloni
yang ditemukan dalam jumlah yang kecil, bahkan ada yang tidak membentuk
koloni.
Ukuran koloni Tribe Gejala
kerusakan
Keberadaan
semut Kecil : 2-10 individu
Sedang : 11-50 individu
Besar : >50 individu
12
Gambar 4 Jumlah individu bersayap dan tidak bersayap setiap jenis kutudaun
.pada gulma di Bogor
Gejala kerusakan yang disebabkan oleh serangan kutudaun pada gulma
sangat sedikit ditemukan. Daun mengkerut dengan permukaan daun
bergelombang dan daun berubah warna menjadi kuning atau menguning
merupakan gejala yang umum ditemukan pada gulma dari golongan daun lebar.
Gejala ini pada umumnya ditemukan pada gulma sembung rambat atau M.
micrantha (Gambar 5a) dan gulma Babadotan atau A. conyzoides (Gambar 5b).
Gambar 5 Gejala serangan kutudaun pada gulma; Gulma sembung rambat atau
M. micrantha di Desa Kampung Sawah (Rumpin) dengan daun
mengkerut (a) dan gulma babadotan atau A. conyzoides di KP
Cikabayan (Dramaga) dengan daun menguning (b)
(a) (b)
13
Deskripsi Kutudaun
Tribe Aphidini
Aphis craccivora Koch. (= Aphis medicaginis Koch). Kutudaun jenis ini
mempunyai warna tubuh hitam dengan tubuh agak membulat. A. craccivora
memiliki panjang tubuh 1.5 mm (Gambar 6b). Ciri morfologi kutudaun ini yaitu
bagian dosal terdapat bercak atau tanda hitam, mempunyai kornikel berwarna
cokelat tua dengan bentuk lonjong dengan meruncing pada bagian ujungnya
(Gambar 6c); tuberkel antena tidak berkembang (Gambar 6d); terminal proses
memiliki panjang 1.3-3 kali daripada dasar ruas terakhir antena (Gambar 6e);
kauda berwarna gelap atau cokelat tua, berbentuk seperti lidah, dan terdapat
rambut 4-7 helai (Gambar 6f).
Gambar 6 Koloni dan karakter morfologi A. craccivora; Koloni kutudaun (a),
individu tidak bersayap (b), preparat slide imago tidak bersayap (c),
tuberkel antena tidak berkembang (d), antena ruas terakhir (e), dan
kauda berbentuk lidah (f)
A. cracivora hanya ditemukan di lahan kosong desa Kampung Sawah Baru
(Leuwiliang) pada ketinggian 227.6 mdpl. Kutudaun ini ditemukan pada gulma
putri malu atau M. pudica dengan jumlah individu tidak bersayap 20 ekor
(Gambar 4)(Lampiran 1, 2, dan 3).
Aphis euginae van der Goot. Kutudaun ini memiliki panjang tubuh 1.3 mm
dengan tubuh berwarna cokelat (Gambar 7b). Ciri morfologi dari jenis ini yaitu
mempunyai antena 6 ruas dengan panjang melebihi panjang tubuh, tuberkel
antena tidak berkembang (Gambar 7c), kauda berbentuk seperti lidah dengan
rambut 7-16 helai (Gambar 7d). Kornikel tidak ada subapikal poligonal retikulasi
(Gambar 7e) terminal proses 3 kali lebih panjang daripada dasar ruas terakhir
antena (Gambar 7f). A. euginae hanya ditemukan pada gulma P. niruri
(Euphorbiaceae) dengan jumlah individu tidak bersayap 4 ekor. Kutudaun ini
ditemukan di lahan ubijalar Desa Ciomas (Ciomas) dengan ketinggian 292.5 mdpl
(Lampiran 1 dan 2).
(e)
0.5 mm
(b)
(d)
(c) (a)
(f)
14
Gambar 7 Koloni dan karakter morfologi A. euginae; Individu tidak bersayap (a),
Preparat .slide imago tidak bersayap (b), tuberkel antena tidak
berkembang (c), kauda berbentuk lidah (d), dan kornikel berbentuk
lonjong (e), dan ruas antena terakhir (f)
Aphis gossypii Glover. (= Aphis citri Ashamead, Aphis bauhiniae, Aphis
citruli Das, Aphis cucumeris Forbes, Aphis cucurbiti Buckton, Aphis minuta
Wilson, Aphis monardae Oestlund, Cerosypha gossypii Glover, Dorsalis
frangulae Koch). Serangga ini lebih banyak ditemukan tidak dalam sebuah koloni
di gulma. Akan tetapi serangga ini sering ditemukan di beberapa jenis gulma.
Imago berwarna hijau tua atau hijau kekuningan dengan panjang tubuh 1.6 mm
(Gambar 8b). Ciri morfologi dari jenis kutudaun ini yaitu kornikel berwarna gelap
dan berbentuk lonjong (Gambar 8c); tuberkel antena tidak berkembang (Gambar
8d); terdapat zona poligonal pada tubuh diatas tungkai kedua (Gambar 8e); dan
kauda berbentuk lidah, berwarna pucat, dan memiliki rambut 4-7 helai (Gambar
8f).
Gulma inang A. gossypii adalah A. conyzoides, B. biternata, B. alata, B.
leavis, C. diffusa, C. crepidioides, E. sanchifollia, E. hirta, H. rhomboidea, L.
camara, M. affine, M. micrantha, S. acuta, dan S. nudiflora (Lampiran 3 dan 4).
Spesies semut yang berasosiasi dengan kutudaun jenis ini, yaitu Acropyga sp.,
Camponotus sp., Crematogaster sp., Dolichoderus sp., Monomorium sp.,
Paratrechina sp., Philidris sp., Polyrhachis sp., Pseudolasius sp., dan
Tetramorium sp.
Jenis kutudaun ini ditemukan di kebun percobaan Cikabayan (Dramaga),
Desa Bojongjengkol (Ciampea), Desa Babakan Raya (Dramaga), Daerah
Sukamantri (Tamansari), Desa Sukaluyu (Tamansari), Daerah pembibitan
tanaman LIPI, (Cibinong), Desa Cinangneng (Tenjolaya), Desa Tapos
(Tenjolaya), Desa Cibatok (Cibungbulang), Desa Gunungsari (Pamijahan), Desa
Parakan Jaya (Kemang), Desa Salabenda (Kemang), Desa Mekarjaya (Cigudeg),
Desa Cipicung (Cijeruk), Desa Cipelang (Cijeruk), Desa Ciomas (Ciomas), Desa
Rancabungur (Rancabungur), Desa Parigi Mekar (Ciseeng), Desa Balekambang
(Jonggol), dan Desa Cibodas (Jonggol). Ketinggian lokasi ditemukannya serangga
jenis ini sekitar 135-696 mdpl (Lampiran 1 dan 2).
(c) (b)
0.5 mm
(a)
(f) (d) (e)
15
Gambar 8 Koloni dan karakter morfologi A. gossypii; Koloni kututudaun (a),
individu tidak bersayap (b), preparat slide imago tidak bersayap (c),
tuberkel antena tidak berkembang.(d), zona poligonal di tepi
abdomen (e), dan kauda berbentuk lidah (f)
Aphis spiraecola Patch. Serangga ini memiliki panjang tubuh 1.5 mm
dengan tubuh berwarna cokelat kekuningan atau kuning muda (Gambar 9b).
Karakter morfologi dari kutudaun jenis ini yaitu kornikel berwarna cokelat tua
dengan bentuk lonjong dengan ujung mengerucut, abdomen tidak mempunyai
bercak atau tanda hitam (Gambar 9c); tuberkel antena tidak berkembang (Gambar
9d); terminal proses lebih panjang 1.4-4.7 kali daripada dasar ruas terakhir antena
(Gambar 9e); kauda berbentuk seperti lidah, berwarna cokelat tua, dan
mempunyai rambut 7-15 helai (Gambar 9f).
Kutudaun ini mempunyai gulma inang A. conyzoides, C. odorata, H.
rhomboidea, dan M. micrantha. Jumlah kutudaun jenis ini ditemukan sebanyak
747 individu tidak bersayap dan 21 individu bersayap (Gambar 5). Jenis kutudaun
ini ditemukan di kebun percobaan Cikabayan (Dramaga), Desa Salabenda
(Kemang), Desa Kampung Sawah Baru (Leuwiliang), Desa Mekarjaya (Cigudeg),
Desa Cipicung (Cijeruk), Desa Ciomas (Ciomas), Desa Pamoyanan (Bogor
selatan), Desa Kampung Sawah (Rumpin), Desa Balekambang (Jonggol), Desa
Cibodas (Jonggol), dan Desa Bojong (Kelapa Nunggal). Ketinggian lokasi
ditemukannya serangga ini sekitar 113-595 mdpl (Lampiran 1, 2, dan 3).
(d)
(c) (a)
0.5 mm
(b)
(e) (f)
16
Gambar 9 Koloni dan karakter morfologi A. spiraecola; Koloni kututudaun (a),
individu tidak bersayap (b), preparat slide imago tidak bersayap (c),
tuberkel antena .tidak berkembang.(d), antena ruas terakhir (e), dan
kauda berbentuk lidah .(f)
Hysteroneura setariae (Thomas). (= Siphonaptera setariae dan Aphis
setariae (Thomas)). Serangga jenis ini memiliki panjang tubuh 1.55 mm, tubuh
berwarna cokelat kemerahan, mata berwarna merah, tungkai dan antena berwarna
putih dan hitam (Gambar 10b). Ciri morfologi dari kutudaun jenis ini yaitu
kornikel berbentuk lonjong dengan ujung meruncing dan berwarna gelap seperti
warna pada femur (Gambar 10c), tuberkel antena tidak berkembang (Gambar
10d), panjang terminal proses lebih panjang >3 kali daripada dasar ruas antena
terakhir (Gambar 10e), dan kauda berbentuk seperi lidah dan berwarna pucat
(Gambar 10f).
Kutudaun ini paling banyak ditemukan pada gulma jenis rumput. Inang dari
kutudaun ini, yaitu C. patens, D. ciliaris, E. indica, E. sonchifolia, P. maximum,
P. commersonii, P. conjugatum, P. polystation, dan S. diander (Lampira 4).
Beberapa lokasi ditemukannya kutudaun jenis ini, yaitu Daerah sekitar kampus
IPB (Dramaga), Desa Babakan Raya (Dramaga), Daerah Pembibitan tanaman
LIPI (Cibinong), Daerah pembibitan tanaman buah (Cibinong), Daerah Warung
Jambu (Bogor Utara), Desa Cinangneng (Tenjolaya), Desa Tapos (Tenjolaya),
Desa Gunung Sari (Pamijahan), Desa Parakan Jaya (Kemang), Desa Salabenda
(Kemang), Desa Loji (Bogor Barat), Desa Kampung Sawah Baru (Leuwiliang),
Desa Cipicung (Cijeruk), Desa Cipelang (Cijeruk), Desa Ciomas (Ciomas), Desa
Pamoyanan (Bogor Selatan), Desa Kampung Sawah (Rumpin), Desa Parigi Mekar
(Ciseeng), dan Desa Bojong (Kelapa Nunggal) (Lampiran 1 dan 2).
(e) (d)
(c)
0.5 mm
(b) (a)
(f)
17
Gambar 10 Koloni dan karakter morfologi H. setariae; Koloni kututudaun (a),
individu tidak bersayap (b), preparat slide imago tidak bersayap (c),
tuberkel antena tidak berkembang (d), antena ruas terakhir (e), dan
kauda berbentuk lidah (f)
Melanaphis sorghi (Theobald). Serangga ini mempunyai panjang tubuh 1.3
mm dengan tubuh dan tungkai berwarna cokelat (Gambar 11b). Karakter
morfologi dari kutudaun jenis ini yaitu kornikel berbentuk lonjong dengan
mengalami peruncingan ke ujung dan berwarna pucat seperti femur, kecuali pada
bagian tertentu (Gambar 11c), tuberkel antena tidak berkembang (Gambar 11d),
panjang terminal proses mempunyai panjang >3 kali daripada dasar ruas terakhir
antena (Gambar 11e), kauda berwarna pucat dan berbentuk seperti lidah (Gambar
11f). Inang kutudaun ini hanya C. barbata yang ditemukan di lahan kelapa sawit
di Desa Mekarjaya (Cigudeg) pada ketinggian 157.9 mdpl (Lampiran 1, 2, dan 4).
(e) (d)
(c)
0.5 mm
(b) (a)
(f)
18
Gambar 11 Koloni dan karakter morfologi M. sorghi; Koloni kutudaun (a),
individu tidak bersayap (b), preparat slide imago tidak bersayap
(c), tuberkel antena tidak berkembang (d), antena ruas terakhir (e),
dan kauda berbentuk lidah (f)
Schizaphis graminum (Rondani). Serangga ini memiliki panjang tubuh 1.5
mm dan memiliki warna tubuh hitam kusam (Gambar 12a). Ciri morfologi dari
kutudaun jenis ini, yaitu tuberkel antena tidak berkembang (Gambar 12c),
kornikel berbentuk tabung yang terpotong pada ujungnya dan berwarna cokelat
(Gambar 12d), terminal proses lebih panjang daripada dasar ruas terakhir antena
(Gambar 12e), kauda berbentuk seperti lidah dan berwarna gelap (Gambar 12f).
Kutudaun ini hanya ditemukan di lahan kosong Desa Parakan Jaya (Kemang) di
ketinggian 160.1 mdpl pada gulma P. repens (Lampiran 1, 2, dan 3).
(e) (d)
(c)
0.5 mm
(b) (a)
(f)
19
Gambar 12 Koloni dan karakter morfologi S. graminum; Individu tidak bersayap
(a), preparat slide imago tidak bersayap (b), tuberkel antena (c),
kornikel pendek (d), antena ruas terakhir (e), dan kauda berbentuk
lidah (f)
Tribe Macrosiphini
Jaksonia papillata Theobald. Kutudaun ini mempunyai panjang tubuh 1.6
mm dan tubuh berwarna kuning (Gambar 13b). Karakter morfologi kutudaun jenis
ini, yaitu mempunyai mata yang majemuk, tuberkel antena tidak berkembang
(Gambar 13d); terminal proses mempunyai panjang lebih dari 0.5 kali daripada
dasar ruas terakhir antena (Gambar 13e); dan kauda berbentuk lidah dan berwarna
gelap (Gambar 13f). Kutudaun jenis ini hanya ditemukan pada gulma C. hirta di
kebun percobaan Cikabayan (Dramaga) pada ketinggian 250 mdpl (Lampiran 1, 2,
dan 3).
Gambar 13 Koloni dan karakter morfologi J. papillata; Koloni kutudaun (a),
..individu tidak bersayap (b), preparat slide imago tidak bersayap (c),
..tuberkel antena tidak berkembang (d), antena ruas terakhir (e), dan
..kauda berbentuk lidah (f)
(d)
(c)
0.5 mm
(b) (a)
(e) (f)
(d) (e)
(b) (c)
0.5 mm
(a)
(f)
20
Sitobion miscanthi (Takahashi). Kutudaun ini memiliki panjang tubuh 1.5
mm dan tubuh berwarna hijau muda (Gambar 14b). Karakter morfologi kutudaun
jenis ini, yaitu memiliki mata majemuk, antena memiliki enam ruas dan lebih
panjang daripada panjang tubuh (Gambar 14c); memiliki rinaria sekunder pada
antena ruas ketiga (Gambar 14d); ujung kornikel memiliki zona poligonal
(Gambar 14e); kauda berwarna pucat dengan bentuk seperti lidah dan meruncing
semakin ke ujung (Gambar 14f). Kutudaun ini hanya ditemukan pada gulma inang
P. niruri di lahan singkong Desa Tapos (Tenjolaya) 517.4 mdpl dan lahan ubijalar
Desa Ciomas (Ciomas) 292.5 mdpl (Lampiran 1, 2, dan 3).
Gambar 14 Koloni dan karakter morfologi S. miscanthi; Individu tidak bersayap
(a), .preparat slide imago tidak bersayap (b), tuberkel antena
berkembang (c), .rinaria sekunder .pada antena R III (d), zona
poligonal pada ujung .kornikel (e), dan kauda berbentuk lidah
dengan ujung meruncing.(f)
(e) (f) (d)
(c) (b)
0.5 mm
(a)
21
Kunci Identifikasi Bergambar Kutudaun yang Ditemukan pada Gulma di
Bogor
Karakter Imago Tidak Bersayap Subfamili Aphidinae
Tribe Macrosiphini Tribe Aphidini
Ada rinaria sekunder
pada antena ruas ketiga
Tidak ada rinaria sekunder
pada antena ruas ketiga
Karakter Imago Kutudaun Tidak Bersayap Tribe Macrosiphini
S. miscanthi
J. papillata
Tuberkel antena tidak berkembang
dan permukaan datar
Tuberkel antena berkembang dan
permukaan tidak datar
22
(lihat halaman
selanjutnya) (lihat halaman
selanjutnya)
2 1
Kauda berwarna pucat
Kauda berwarna gelap
M. sorghi
Kornikel berwarna
pucat
Karater Imago Kutudaun Tidak Bersayap Tribe Aphidini
(Aptera)
Kornikel lebih panjang
dari pada kauda
Kornikel lebih pendek
dari pada kauda
S. graminum
Kornikel berwarna
gelap
23
2 1
Femur gelap
seperti kornikel
Femur pucat
Ada rambut pada
bagian atas kepala
Tidak ada
rambut pada
bagian atas kepala
A. gossypii
A. craccivora
H. setariae
A. spiraecola
A. euginae
Abdomen terdapat
perisai berwarna hitam Abdomen
transparan
24
Kunci Identifikasi Dikotomi Kutudaun pada Gulma di Bogor
1 a. Pada antena ruas ketiga terdapat rinaria sekunder... Tribe
Macrosiphini (Gambar 15a)
2
b. Pada antena ruas ketiga tidak terdapat rinaria sekunder... Tribe
Aphidini (Gambar 15b)
3
Gambar 15 Karakter morfologi Aphidinae; Antena ruas ketiga Tribe
..Macrosiphini (a) dan antena ruas ketiga Tribe Aphidini (b)
2 a. Tuberkel antena berkembang dan terdapat zona poligonal pada ujung
kornikel... S. miscanthi (Gambar 16a dan 16b)
b. Tuberkel antena tidak berkembang dan tidak terdapat zona poligoal
pada ujung kornikel... J. papillata (Gambar 16c dan 16d)
Gambar 16 Karakter morfologi Tribe Macrosiphini; Tuberkel antena berkembang
..(a), zona poligonal pada ujung kornikel (b), tuberkel antena tidak
..berkembang (c), dan ujung kornikel tanpa zona poligonal (d)
3 a. Kornikel lebih panjang daripada kauda (Gambar 17a) 4
b. Kornikel lebih pendek daripada kauda dan bagian atas kepala
memiliki warna yang lebih gelap... S. graminum (Gambar 17b dan
17c)
Gambar 17 Karakter morfologi perbandingan panjang kornikel dan kauda serta
warna kepala; Kornikel .lebih pendek daripada kauda (a) kornikel
lebih panjang daripada .kauda (b), bagian atas kepala memiliki
warna lebih gelap dari .bagian yang lainnya (c)
(a) (b)
(a) (b) (c)
(a) (c) (b) (d)
25
4 a. Kornikel berwarna pucat dan panjang terminal proses lebih panjang
>3 kali daripada dasar ruas terakhir antena... M. shorgi (Gambar 18a
dan 18b)
b. Kornikel berwarna gelap (Gambar 18c) 5
Gambar 18 Karakter morfologi warna kornikel dan perbandingan panjang
.terminal proses serta pangkal antena ruas terakhir; Kornikel
.berwarna pucat (a), panjang terminal proses lebih panjang >3 kali
.daripada dasar ruas terakhir antena (b), dan.kornikel berwarna
.gelap (c)
5 a. Kauda berwarna gelap (Gambar 19a) 6
b. Kauda berwarna pucat (Gambar 19b) 7
Gambar 19 Karakter morfologi warna kauda; Kauda berwarna gelap (a) dan
..kauda ..berwarna pucat (b)
6 a. Abdomen terdapat perisai berwarna gelap dan kornikel terdapat
rambut 4-7 helai... A. craccivora (Gambar 20a dan 20b)
b. Abdomen berwarna transparan (Gambar 20c) 8
Gambar 20 Karakter morfologi abdomen dorsal dan jumlah rambut pada kauda;
Abdomen terdapat perisai berwarna .gelap (a), kornikel terdapat
rambut 4-7 helai (b), dan abdomen berwarna .transparan (c)
7 a. Femur berwarna gelap seperti kornikel dan tidak terdapat zona
poligonal di tepi abdomen... H. setariae (Gambar 21a dan 21b)
b. Femur berwarna pucat kontras dengan kornikel yang berwarna gelap
dan terdapat zona poligonal di tepi abdomen... A. gossypii (Gambar
21c dan 21d)
(b) (c)
Pa)
(a)
Pa)
(b) (a) (c)
(b) (a)
26
Gambar 21 Karakter morfologi warna femur, kornikel, dan keberadaan zona
poligonal di tepi abdomen; Femur dan kornikel .berwarna gelap (a),
bagian tepi abdomen tanpa zona poligonal (b), .femur berwarna
pucat sedangkan kornikel .berwarna gelap (c), dan .bagian tepi
abdomen dengan zona poligonal (d)
8 a. Terdapat rambut pada bagian atas kepala dan kornikel berbentuk silinder
gan pangkal ramping... A. euginea (Gambar 22a dan 22b)
b. Tidak terdapat rambut pada bagian atas kepala dan kornikel berbentuk
tapering... A. spiraecola (Gambar 22c dan 22d)
Gambar 22 Karakter morfologi keberadaan rambut di bagian atas kepala dan
bentuk kornikel; Terdapat.rambut di tuberkel antena (a), kornikel
berbentuk silinder dengan pangkal ramping (b), tidak terdapat
rambut di .tuberkel antena (c), dan kornikel silinder yang
meruncing (d)
Semut yang Berasosiasi dengan Koloni Kutudaun
Semut adalah salah satu serangga yang sering berasosiasi dengan serangga
lain. Kutudaun merupakan serangga yang sering ditemukan berasosiasi dengan
semut di lapangan. Asosiasi semut dengan koloni kutudaun pada umumnya saling
menguntungkan. Semut mendapatkan makanan tambahan dari embun madu yang
dikeluarkan oleh kutudaun, sedangkan kutudaun mendapatkan perlindungan dari
semut terhadap serangga yang menjadi musuh alaminya. Semut juga dapat
melindungi kutudaun dari infeksi patogen obligat dari golongan cendawan,
sehingga dapat mengurangi penularan penyakit di dalam koloninya (Nielsen et al.
2010).
Terdapat empat subfamili semut yang ditemukan berasosiasi dengan koloni
kutudaun, yaitu Cerapachyinae, Dolichoderinae, Formicinae, dan Myrmicinae.
Dari 35 koloni kutudaun pada gulma yang berasosiasi dengan semut, 55%
berasosiasi dengan Subfamili Formicinae, 23% berasosiasi dengan Subfamili
Myrmicinae, 15% berasosiasi dengan Subfamili Cerapachyinae, dan 7%
berasosiasi dengan Subfamili Dolichoderinae (Gambar 23). Semut yang
berasosiasi dengan koloni kutudaun terdapat 15 spesies, yaitu Acanthomyrmex sp.,
Acropyga sp., Camponotus sp., Cardiocondyla sp., Cerapachys sp.,
(c) (a) (b) (d)
(a) (c) (d) (b)
27
Crematogaster sp., Dolichoderus sp., Loweriella sp., Monomorium sp.,
Myrmecina sp., Paratrechina sp., Philidris sp., Polyrhachis sp., Pseudolasius sp.,
dan Tetramorium sp. Semua semut yang ditemukan diasumsikan berasosiasi
dengan koloni kutudaun karena berada disekitar koloni kutudaun. Terdapat jenis
kutudaun yang ditemukan berasosiasi dengan semut lebih dari satu jenis di koloni
kutudaun yang berbeda.
Gambar 23 Proporsi subfamili semut yang ditemukan berasosiasi dengan koloni
kutudaun pada gulma di Bogor
Deskripsi Semut
Subfamili Cerapachyinae
Cerapachys sp. Semut jenis ini merupakan satu-satunya spesies dari
Subfamili Cerapachyinae yang ditemukan berasosiasi dengan koloni kutudaun
pada gulma inang. Semut ini berasosiasi dengan A. gossypii pada gulma inang A.
conyzoides, E. hirta, serta S. nudiflora dan H. setariae pada gulma S. diander
(Lampiran 1, 3, dan 4)). Semut ini mempunyai panjang tubuh 2.75 mm dan tubuh
berwarna cokelat dengan abdomen berwarna hitam (Gambar 24a). Ciri morfologi
spesies semut ini, yaitu mesosoma terhubung dengan gaster oleh dua ruas (petiole
dan postpetiole) ruas ini terbagi dengan jelas, tidak mempunyai segitiga yang
saling berhadapan di sekitar pangkal antena, dan permukaan atas ujung gaster
(pygidium) berbentuk rata serta mempunyai barisan duri halus atau gigi di
sepanjang permukaan luar dan tepi.
Gambar 24 Semut dari Subfamili Cerapachyinae; Cerapachys sp. (a)
1 mm
(a)
28
Subfamili Dolichoderinae
Dolichoderus sp. Semut jenis ini ditemukan berasosiasi dengan A. gossypii
pada gulma inang M. micrantha (Lampiran 1 dan 3). Semut ini mempunyai
panjang tubuh 3.92 mm dan tubuh berwarna hitam (Gambar 25a). Ciri morfologi
dari spesies ini, yaitu mesosoma yang dihubungkan dengan gaster oleh satu ruas
petiol, tidak mempunyai duri sengat, ujung gaster terdapat celah atau belahan dan
tidak dikelilingi bulu pendek dan bagian depan klipeus mempunyai rambut
pendek, dan bagian belakang propodeum berbentuk cengkung.
Philidris sp. Semut jenis ini ditemukan berasosiasi dengan A. gossypii pada
gulma inang A. conyzoides (Lampiran 1 dan 3). Semut ini mempunyai panjang
tubuh 2.37 mm dan tubuh berwarna hitam (Gambar 25b). Ciri morfologi dari
spesies ini, yaitu mesosoma yang dihubungkan dengan gaster oleh satu ruas
petiol, tidak mempunyai duri sengat, ujung gaster terdapat celah atau belahan dan
tidak dikelilingi bulu pendek, mata terletak di bagian bawah kepala, dan bagian
belakang kepala mencengkung (Polimorfik).
Loweriella sp. Semut jenis ini ditemukan berasosiasi dengan H. setariae
pada gulma D. ciliaris (Lampiran 1 dan 4). Semut ini mempunyai panjang tubuh
2.13 mm dan tubuh berwarna hitam (Gambar 25c). Ciri morfologi dari spesies ini,
yaitu mesosoma yang dihubungkan dengan gaster oleh satu ruas petiol, tidak
mempunyai duri sengat, ujung gaster terdapat celah atau belahan dan tidak
dikelilingi bulu pendek, terdapat karina yang saling berhadapan. Kombinasi
palpus 6:4 (palpus terpanjang mempunyai 6 ruas sedangkan palpus labia
mempunyai 4 ruas).
Gambar 25 Semut dari Subfamili Dolichoderinae; Dolichoderus sp. (a), Philidris
sp. (b), dan Loweriella sp. (c)
Subfamili Formicinae
Acropyga sp. Semut jenis ini ditemukan berasosiasi dengan A. gossypii pada
gulma inang S. acuta dan S. nudiflora serta A. spiraecola pada gulma inang C.
odorata, H. rhomboidea, dan M. micrantha (Lampiran 1 dan 3). Semut ini
memiliki panjang tubuh 3.25 mm dengan tubuh berwarna cokelat (Gambar 26a).
Karakter morfologi spesies semut ini, yaitu mesosoma dihubungkan dengan gaster
oleh satu ruas petiol, duri sengat tidak ada, ujung gaster berbentuk bulatan atau
seperti bulatan yang membuka (acidopore) yang biasanya dikelilingi oleh bulu
1 mm 1 mm 1 mm
(a) (b) (c)
29
pendek, antena 9-11 ruas, palpus pendek dengan kombinasi 5:3 (palpus terpanjang
5 ruas sedangkan palpus labia 3 atau kurang), dan palpus tidak mencapai bagian
belakang bawah kepala bila diluruskan.
Camponotus sp. Semut jenis ini ditemukan berasosiasi dengan A. gossypii
pada gulma inang C. surinamensis (Lampiran 1 dan 3). Semut ini memiliki
panjang tubuh 7 mm dengan tubuh berwarna cokelat (Gambar 26b). Karakter
morfologi dari spesies ini, yaitu mesosoma dihubungkan dengan gaster oleh satu
ruas petiol, duri sengat tidak ada, ujung gaster berbentuk bulatan atau seperti
bulatan yang membuka (acidopore) yang biasanya dikelilingi oleh bulu pendek,
antena mempunyai 12 ruas, mesosoma tidak mempunyai metanotal dengan
cekungan yang dalam, spirakel metatorik tuberkel tidak melebihi permukaan atas
propodeum pada pekerja minor, dan propodeum tidak mempunyai garis pematang
yang melintang (spesies ini sering dijumpai).
Paratrechina sp. Semut jenis ini ditemukan berasosiasi dengan A. gossypii
pada gulma inang M. micrantha dan H. setariae pada gulma P. polystation
(Lampiran 1, 2, dan 3). Semut ini memiliki panjang tubuh 3.92 mm dengan tubuh
berwarna hitam (Gambar 26c). Karakter morfologi dari spesies ini, yaitu
mesosoma dihubungkan dengan gaster oleh satu ruas petiol, duri sengat tidak ada,
ujung gaster berbentuk bulatan atau seperti bulatan yang membuka (acidopore)
yang biasanya dikelilingi oleh bulu pendek, antena memiliki 12 ruas, dan
memiliki palpus yang panjang sehingga dapat mencapai bagian belakang bawah
kepala dengan kombinasi 6:4 (palpus terpanjang 6 ruas sedangkan palpus labia 4
ruas).
Polyrachis sp. Semut jenis ini ditemukan berasosiasi dengan A. gossypii
pada gulma inang A. conyzoides dan H. setariae pada gulma inang E. indica serta
P. conjugatum (Lampiran 1, 3, dan 4). Semut ini memiliki panjang tubuh 5.04 mm
dengan tubuh berwarna hitam (Gambar 26d). Karakter morfologi dari spesies ini,
yaitu mesosoma dihubungkan dengan gaster oleh satu ruas petiol, duri sengat
tidak ada, ujung gaster berbentuk bulatan atau seperti bulatan yang membuka
(acidopore) yang biasanya di kelilingi oleh bulu pendek, ujung mesosoma di
bagian atas kaki belakang licin dan berbentuk curam, tidak mempunyai bagian
yang membuka, dan panjang ruas pertama tergit gaster kurang dari setengah
daripada panjang keseluruhan gaster.
Pseudolasius sp. Semut jenis ini ditemukan berasosiasi dengan A. gossypii
pada gulma inang B. bitternata serta M. affine dan A. spiraecola pada gulma inang
C. odororata serta M. micrantha (Lampiran 1 dan 3). Semut ini memiliki panjang
tubuh 2.7 mm dengan tubuh berwarna hitam (Gambar 26e). Karakter morfologi
dari spesies ini, yaitu mesosoma dihubungkan dengan gaster oleh satu ruas petiol,
duri sengat tidak ada, ujung gaster berbentuk bulatan atau seperti bulatan yang
membuka (acidopore) yang biasanya dikelilingi oleh bulu pendek, mesonotum
dan episternum bergabung membentuk segitiga dari samping, dan sisi luar ujung
mandibel sedikit melengkung.
30
Gambar 26 Semut dari Subfamili Formicinae; Acropyga sp. (a), Camponotus sp.
(b), .Paratrechina sp. (c), Polyrhachis sp. (d), dan Pseudolasius sp.
(e)
Subfamili Myrmicinae
Acanthomyrmex sp. Semut jenis ini berasoisasi dengan A. spiraecola pada
gulma inang M. micrantha (Lampiran 1 dan 3). Semut ini mempunyai panjang
tubuh 2.41 mm dan tubuh berwarna hitam (Gambar 28a). Semut dari spesies ini
memiliki karakteristik morfologi seperti mesosoma terhubung dengan gaster oleh
dua ruas (petiole dan postpetiole) ruas ini terbagi dengan jelas, mata biasanya
kecil dan bulat terletak di bawah satu perdua dari permukaan kepala, segmen
pertama mesosoma (pronotum) bergabung dengan segmen kedua (mesonotum),
antena memiliki 12 ruas, tidak mempunyai segitiga yang saling berhadapan,
sehingga sambungan antena terlihat.
Cardiocondyla sp. Semut jenis ini berasosiasi dengan H. setariae pada
gulma inang D. ciliaris (Lampiran 1 dan 3). Semut ini mempunyai panjang tubuh
1.96 mm dan tubuh berwarna cokelat dan abdomen berwarna hitam (Gambar
28b). Semut dari spesies ini memiliki karakteristik morfologi seperti mesosoma
terhubung dengan gaster oleh dua ruas (petiole dan postpetiole) ruas ini terbagi
dengan jelas, mata biasanya kecil dan bulat terletak di bawah satu perdua dari
permukaan kepala, daerah sekitar klipeus di bawah alas antena terangkat
membentuk lubang bersisi tajam, dan bagian lateral klipeus pipih dan terlihat
seperti rak di atas mandibel.
Crematogaster sp. Semut jenis ini berasosiasi dengan A. gossypii pada
gulma inang A. conyzoides (Lampiran 1 dan 3). Semut ini mempunyai panjang
tubuh 2.22 mm dan tubuh berwarna hitam (Gambar 28c). Semut dari spesies ini
memiliki karakteristik morfologi seperti mesosoma terhubung dengan gaster oleh
dua ruas (petiole dan postpetiole) ruas ini terbagi dengan jelas, mata biasanya
kecil dan bulat terletak di bawah satu perdua dari permukaan kepala, postpetiole
1 mm
(e)
1 mm
(d)
1 mm
(c)
1 mm
(b)
1 mm
(a)
31
terhubung pada permukaan atas gaster. Gaster berbentuk hati jika dilihat dari
atas. Antena terdiri dari 9-11 ruas.
Monomorium sp. Semut jenis ini berasosiasi dengan A. gossypii pada
gulma inang H. rhomboidea (Lampiran 1 an 3). Semut ini mempunyai panjang
tubuh 2.22 mm dan tubuh berwarna cokelat (Gambar 28d). Semut dari spesies ini
memiliki karakteristik morfologi seperti mesosoma terhubung dengan gaster oleh
dua ruas (petiole dan postpetiole) ruas ini terbagi dengan jelas, mata biasanya
kecil dan bulat terletak di bawah satu perdua dari permukaan kepala, bagian atas
permukaan kepala tidak mempunyai alur (antennal scrobe), ujung antena
membentuk 3 ruas yang jelas, dan mata terlihat.
Myrmecina sp. Semut jenis ini berasosiasi dengan H. setariae pada gulma
inang E. indica (Lampiran 1 dan 4). Semut ini mempunyai panjang tubuh 3.07
mm dan berwarna cokelat tua (Gambar 28e). Semut dari spesies ini memiliki
morfologi seperti mesosoma terhubung dengan gaster oleh dua ruas (petiole dan
postpetiole) ruas ini terbagi dengan jelas, mata biasanya kecil dan bulat terletak di
bawah satu perdua dari permukaan kepala, kepala mempunyai garis atau alur
memanjang melintasi daerah bawah mata, dan petiol rendah dan tidak terangkat.
Tetramorium sp. Semut jenis ini berasosiasi dengan A. gossypii pada gulma
inang A. conyzoides dan M. affine serta H. setariae pada gulma inang E. indica
(Lampiran 1, 3, dan 4). Semut ini mempunyai panjang tubuh 2.7 mm dan
berwarna cokelat (Gambar 28f). Semut dari spesies ini memiliki morfologi seperti
mesosoma terhubung dengan gaster oleh dua ruas (petiole dan postpetiole) ruas ini
terbagi dengan jelas, mata biasanya kecil dan bulat terletak di bawah satu perdua
dari permukaan kepala, alur antena sangat tipis, mempunyai segitiga yang saling
berhadapan dan menutupi sambungan antena, dan daerah sekitar klipeus di bawah
alas antena terangkat membentuk pematang yang tajam.
32
Gambar 27 Semut dari subfamili Myrmicinae; Acanthomyrmex sp. (a),
Cardiocondyla sp. (b), .Crematogaster sp. (c), Monomorium sp.
(d), Myrmecina sp. (e), dan Tetramorium sp. (f)
Spesimen hasil penilitian ini disimpan di Museum Serangga Proteksi
Tanaman, Fakultas Pertanian IPB sebagai koleksi spesimen. Spesimen yang
disimpan di musem serangga yaitu preparat slide permanen kutudaun dan koleksi
kering semut.
1 mm
(f)
1 mm
(e)
1 mm
(d)
1 mm
(c)
1 mm
(b)
1 mm
(a)
33
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Terdapat sembilan spesies kutudaun yang ditemukan pada gulma di wilayah
Bogor, yaitu A. craccivora, A. euginae, A. gossypii, A. spiraecola, H. setariae, J.
papillata, M. sorghi, S. graminum, dan S. miscanthi. Kutudaun yang paling
banyak ditemukan pada gulma adalah H. setariae, sedangkan gulma yang paling
banyak terserang kutudaun adalah Famili Asteraceae. Jumlah individu kutudaun
yang tidak bersayap jauh melebihi jumlah individu kutudaun yang bersayap yaitu
3 387 individu. Koloni ukuran sedang (11-50 individu) merupakan ukuran koloni
kutudaun pada gulma yang paling banyak ditemukan. Semut yang berasosiasi
dengan kutudaun yang ditemukan terdiri dari 15 spesies, yaitu Acanthomyrmex
sp., Acropyga sp., Camponotus sp., Cardiocondyla sp., Cerapachys sp.,
Crematogaster sp., Dolichoderus sp., Loweriella sp., Monomorium sp.,
Myrmecina sp., Paratrecina sp., Philidris sp., Polyrhachis sp., Pseudolasius sp.,
dan Tetramorium sp. Kunci identifikasi bergambar dan dikotomi kutudaun yang
telah dibuat dapat digunakan untuk mengidentifikasi kutudaun kembali kutudaun
pada gulma di Bogor.
Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai preferensi kutudaun
terhadap tanaman budidaya dan gulma di sekitarnya serta identifikasi kutudaun
pada gulma dengan daerah pengambilan sampel yang lebih luas.
DAFTAR PUSTAKA
Blackman RL, Eastop VF. 1994. Aphids on the World’s Trees An Identification
and Information Guide. London (GB): the Natural History Museum.
Blackman RL, Eastop VF. 2000. Aphids on the World’s Crop. Chicester (GB):
John Wiley & Sons.
Blackman RL, Eastop VF. 2006. Aphids on the World’s Herbaceous Plants and
Shurbs. Chicester (GB): John Wiley & Sons.
Brault V, Uzest M, Monsion B, Jacquot E, Blanc S. 2010. Aphids as transport
devices for plant viruses. Comptes Rendus Biologies. 333(2010):524-538.
doi:10.1016/j.crvi.2010.04.001.
Borror DJ, Triplehorn CA, Johnson NF. 1996. Pengenalan Pelajaran Serangga.
Ed ke-6. Partosoedjono S, penerjemah. Yogyakarta (ID): UGM Press.
Terjemahan dari: An Introduction to the Study of Insects.
Darsono S. 1991. Biologi dan perkembangan Aphis craccivora Koch.
(Homoptera: Aphididae) pada tanaman kacang panjang (Vigna sinensis L.)
[skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Goggin FL. 2007. Plant-aphid interactions: molecular and ecological perspectives.
Plant Biology. 10(2007):399-408. doi: 10.1016/j.pbi.2007.06.004.
Goot VD. 1914. Zur Kenntnis Der Blattlause Java’s. Contributions a la Faune des
Indes Neerlandaises. Vol ke-1, Fasc. I. Inst. Sci. Buitenzorg (ID): Instituts
Scientifiques de Buitenzorg Lands Platentuin.
HashimotoY. 2003. Identification guide to the ant genera of Borneo. Di dalam:
Hashimoto Y, Rahman H (editor). Inventory and Collection. Kinibalu (MY).
UMS –BBEC. hlm 95-162.
Hill DS. 1997. The Economis Importance of Insects. London (GB): Chapman &
Hall.
Irsan C, Wati C, Herlinda S, Pujiastuti Y. 2010. Biologi kutudaun Lipaphis
erysimi Kalt (Hemiptera: Aphididae) di tumbuhan inang yang berbeda.
Seminar Nasional PEI; 2010 Okt 2; Yogjakarta. Bogor (ID): Bogor.
Irsan C. 2004. Tumbuhan inang, parasitoid, dan, hiperparasitoid kutudaun Myzus
persicae (Sulzer) (Homoptera: Aphididae) di sekitar Bogor dan Cianjur,
Jawa Barat [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Kalshoven LGE. 1981. The Pests of Crops in Indonesia. Laan PA van der,
penerjemah. Jakarta (ID): Ichtiar Baru- van Hoeve. Terjemahan dari: De
Plagen van de Cultuurgewassen in Indonesie.
Matis JH, Kiffe TR, Matis TI, Chattopadhyay C. 2008. Generalized aphid
population growth models with immigration and cumulative-size dependent
dynamics. Mathematical Biosciences. 215(2008):137-143. doi: 10.1016/j.m
bs.2008.07.007.
Miles PW. 1987. Feeding process of Aphidoidea in relation of effects on their
food plants. Di dalam: Minks AK, Harrewijn P, editor. Aphids: Their
Biology, Natural Enemies and Control. Vol 2A. Amsterdam (NL): Elsevier.
hlm 321-340.
Nielsen C, Agrawal AA, Hajek AE. 2010, Ants defend aphids against lethal
disease. Biology Letters. 6 (2010):205–208. doi:10.1098/rsbl.2009.0743.
35
Noordam D. 1986. Aphids of Java. Part II: Sinomegoura Takahashi, 1960
(Homoptera: Aphididae), with a new species from Coffea. Zoologische
Verhandelingen Leiden. 296:1-284.
Noordam D. 1991. Hormaphidinae from Java (Homoptera: Aphididae).
Zoologische Verhandelingen Leiden. 270:1-525.
Noordam D. 1994. Greenideinae from Java (Homoptera: Aphididae). Zoologische
Verhandelingen Leiden. 296:1-284.
Noordam D. 2004. Aphids of Java. Part V: Aphidini (Homoptera: Aphididae).
Zoologische Verhandelingen Leiden. 346:7-83.
Susniati N, Sumeno H, Sudrajat. 2005. Bahan Ajar Ilmu Hama Tumbuhan.
Bandung (ID): Universitas Padjajaran.
Szpeiner A. 2008. Aphididae (Hemiptera) on ornamental plants in Cordoba
(Argentina). Rev Soc Entomol Argent. 67 (1-2):49-56.
37
Lampiran 1 Hasil pengambilan sampel kutudaun pada gulma di Bogor
No Spesises Lahan Desa/Kecamatan Gulma
inang
Nama
ilmiah/Famili
Semut
1 A.
craccivora
Kosong Kampung Sawah
Baru/Leuwiliang
Putri malu M. pudica
(Mimosaceae)
2 A. euginae Ubijalar Ciomas/Ciomas Meniran P. niruri
(Euphorbiaceae)
Cerapachys
sp.
3 A. gossypii Jagung KP
Cikabayan/Drama
ga
Babadotan A. conyzoides
(Asteraceae)
Kembang
telek
L. camara
(Verbenaceae)
Kelapa
sawit dan
kelapa
Haren
dong
M. affine
(Melastoma
ceae)
Babadotan A. conyzoides
(Asteraceae)
Jagung Bojong
Jengkol/Ciampea
Godong
puser
H. rhomboidea
(Lamiaceae)
Philidris sp.
Kosong Babadotan A. conyzoides
(Asteraceae)
Creamatogas
ter sp.
Kosong Babakan Raya/
Dramaga
Babadotan A. conyzoides
(Asteraceae)
Kedelai Ajeran B. bitternata
(Asteraceae)
Pseudolasius
sp.
Cabai KP Sukamantri/
Taman sari
Harendong M. affine
(Melastoma
ceae)
Babadotan A. conyzoides
(Asteraceae)
Singkong
Sukaluyu/Taman
Sari
Cacabean
C. rutidosperma
(Cleomaceae)
Babadotan A. conyzoides
(Asteraceae)
Tetramorium
sp.
Pembibitan
tanaman
LIPI/Cibinong
Babadotan A. conyzoides
(Asteraceae)
Ceraphacys
sp.
Kosong Cinangneng/Tenjo
laya
Babadotan A. conyzoides
(Asteraceae)
Polyrhachis
sp.
Singkong Tapos/Tenjolaya
Babadotan A. conyzoides
(Asteraceae)
Tetramorium
sp.
Kosong Cibatok
2/Cibungbulang
Babadotan A. conyzoides
(Asteraceae)
Cerapachys
sp.
Sembung
rambat
M. micrantha
(Asteraceae)
Dolichode
rus sp.
Ubijalar Godong
puser
H. rhomboidea
(Lamiaceae)
Monomorium
sp.
Babadotan A. conyzoides
(Asteraceae)
Tetramorium
sp.
39 39
38
40
Lanjutan lampiran 1 Hasil pengambilan sampel kutudaun pada gulma di Bogor
No Spesises Lahan Desa/Kecamatan Gulma
inang
Nama
ilmiah/Famili
Semut
Cabai Gunungsari/Pamija
han
Babadotan A. conyzoides
(Asteraceae)
Nampong C. surinamensis
(Asteraceae)
Haren
dong bulu
C. hirta
(Melastoma
ceae)
Haren
dong
M. affine
(Melastoma ceae)
Tetramorium
sp.
Kosong Parakan
jaya/Kemang
Babadotan A. conyzoides
(Asteraceae)
B. alata
(Rubiaceae)
Rumput
kancing
ungu
B. leavis
(Rubiaceae)
Singkong Salabenda/Kemang B. alata
(Rubiaceae)
Kelapa
sawit
Mekarjaya/Cigu
deg
Kembang
telek
L. camara
(Verbenaceae)
Haren
dong
M. affine
(Melastoma
ceae)
Acropyga
sp.
S. acuta
(Malvaceae)
Acropyga
sp.
Jotang
kuda
S. nudiflora
(Asteraceae)
Acropyga
sp.
Ubijalar Ciomas/Ciomas Aur-aur C. diffusa
(Comelinaceae)
Sintrong C. crepidioides
(Asteraceae)
Polyrhachis
sp.
Cabai Cipicung/Cijeruk Babadotan A. conyzoides
(Asteraceae)
Haren
dong bulu
C. hirta
(Melastoma
ceae)
Babadotan A. conyzoides
(Asteraceae)
Terong
ungu
Rancabungur/Ran
cabungur
Patah
kemudi
E. soncifolia
(Asteraceae)
Patikan
kebo
E. hirta
(Euphorbiaceae)
Cerapachys
sp.
Jotang
kuda
S. nudiflora
(Asteraceae)
Cerapachys
sp.
38 40
41
Lanjutan lampiran 1 Hasil pengambilan sampel kutudaun pada gulma di Bogor
No Spesises Lahan Desa/Kecamatan Gulma
inang
Nama
ilmiah/Famili
Semut
Kosong
Parigi
Mekar/Ciseeng
Sembung
rambat
M. micrantha
(Asteraceae)
Paratrechina
sp.
Jabon
Balekambang/
Jonggol
Haren
dong bulu
C. hirta
(Melastoma
ceae)
Cerapachys
sp.
Jabon
Cibodas/Jong
gol
Haren
dong
M. affine
(Melastoma
ceae)
Pseudolasius
sp.
4 A.
spiraecola
Jagung
KP
Cikabayan/Drama
ga
Kirinyuh
C. odorata
(Astreracea)
Singkong
Salabenda/Kemang
Sembung
rambat
M. micrantha
(Asteraceae)
Kosong Kampung Sawah
Baru/Leuwiliang
Sembung
rambat
M. micrantha
(Asteraceae)
Godong
puser
H. rhomboidea
(Lamiaceae)
Kelapa
sawit
Mekarjaya/Cigu
deg
Godong
puser
H. rhomboidea
(Lamiaceae)
Acropyga sp.
Kirinyuh C. odorata
(Astreracea)
Acropyga sp.
Ubijalar Ciomas/Ciomas Sembung
rambat
M. micrantha
(Asteraceae)
Polyrhachis
sp.
Cabai Cipelang/Cijeruk Sembung
rambat
M. micrantha
(Asteraceae)
Singkong
Pamoyanan/Bogor
Selatan
Sembung
rambat
M. micrantha
(Asteraceae)
Kosong
Kampung
Sawah/Rumpin
Babadotan
A. conyzoides
(Asteraceae)
Acropyga sp.
Sembung
rambat
M. micrantha
(Asteraceae)
Acanthomyr
mex sp.
Jabon
Balekambang/Jong
gol
Kirinyuh
C. odorata
(Astreracea)
Kosong
Balekambang/Jong
gol
Babadotan A. conyzoides
(Asteraceae)
Tetramorium
sp.
Sembung
rambat
M. micrantha
(Asteraceae)
Pseudolasius
sp.
Jabon
Cibodas/Jonggol Kirinyuh
C. odorata
(Astreracea)
Pseudolasius
sp.
Sembung
rambat
M. micrantha
(Asteraceae)
Pseudolasius
sp.
Pisang Bojong/Kelapa
Nunggal
Kirinyuh C. odorata
(Astreracea)
38
40
Lanjutan lampiran 1 Hasil pengambilan sampel kutudaun pada gulma di Bogor
No Spesises Lahan Desa/Kecamatan Gulma
inang
Nama
ilmiah/Famili
Semut
5 H.
setariae
Kosong Kampus IPB/Dramaga Rumput
belulang
E. indica
(Poaceae)
Rumput
lancuran
S. diander
(Poaceae)
Cerapachys
sp.
Rumput
jampang
D. ciliaris
(Poaceae)
Patah
kemudi
E. soncifolia
(Asteraceae)
Kosong Babakan
Raya/Dramaga
Rumput
belulang
E. indica
(Poaceae)
Tetramorium
sp.
C. patens
(Poaceae)
Pembibitan
tanaman
LIPI/Cibinong Rumput
belulang
E. indica
(Poaceae)
Rumput
lancuran
S. diander
(Poaceae)
Rumput
jampang
D. ciliaris
(Poaceae)
Pembibitan
tanaman
buah
Cibinong/Cibinong Rumput
belulang
E. indica
(Poaceae)
Rumput
lancuran
S. diander
(Poaceae)
Tanaman
hias
Warung jambu/Bogor
Utara
Rumput
belulang
E. indica
(Poaceae)
Kosong Cinangneng/Tenjolaya Rumput
pait
P. conjugatum
(Poaceae)
Polyrhachis
sp.
Rumput
belulang
E. indica
(Poaceae)
Rumput
jampang
D. ciliaris
(Poaceae)
Singkong
Tapos/Tenjolaya
Rumput
belulang
E. indica
(Poaceae)
Loweriella
sp.
Cabai Gunungsari/Pamijahan Rumput
belulang
E. indica
(Poaceae)
Myrmecina
sp.
Kosong Parakan Jaya/Kemang Rumput
belulang
E. indica
(Poaceae)
Singkong Salabenda/Kemang Rumput
belulang
E. indica
(Poaceae)
P. polystation
(Poaceae)
42
43
Lanjutan lampiran 1 Hasil pengambilan sampel kutudaun pada gulma di Bogor
No Spesises Lahan Desa/Kecamatan Gulma
inang
Nama
ilmiah/Famili
Semut
Buah naga Loji/Bogor Barat Rumput
belulang
E. indica
(Poaceae)
Polyrhachis
sp.
Teki
ladang
C. brevifolius
(Cyperaceae)
Rumput
gegenju
ran
P. commersonii
(Poaceae)
P. polystation
(Poaceae)
Paratrechina
sp.
Kosong Kampung Sawah
Baru/Leuwiliang
Rumput
malela
B. mutica
(Poaceae)
Kosong
Ciomas/Ciomas
Rumput
grinting
C. dactylon
(Poaceae)
Rumput
belulang
E. indica
(Poaceae)
Polyrhachis
sp.
Rumput
jampang
D. ciliaris
(Poaceae)
Polyrhachis
sp.
Ubijalar Rumput
belulang
E. indica
(Poaceae)
Polyrhachis
sp.
Rumput
gegenju
ran
P. commersonii
(Poaceae)
Singkong Cipicung/Cijeruk Rumput
grinting
C. dactylon
(Poaceae)
Cabai Cipelang/Cijeruk Rumput
belulang
E. indica
(Poaceae)
Rumput
lancuran
S. diander
(Poaceae)
Singkong Pamoyanan/Bogor
Selatan
Rumput
belulang
E. indica
(Poaceae)
Kosong Kampung
Sawah/Rumpin
Rumput
belulang
E. indica
(Poaceae)
Kosong Parigi
Mekar/Ciseeng
Rumput
benggala
P. maximum
(Poaceae)
Singkong Parigi
Mekar/Ciseeng
Rumput
belulang
E. indica
(Poaceae)
Pisang Bojong/Kelapa
Nunggal
Rumput
gegenju
ran
P. polystation
(Poaceae)
6 J.
papillata
Kelapa
sawit dan
Kelapa
KP
Cikabayan/Drama
ga
Kirinyuh C. odorata
(Astreracea)
38
40
Lanjutan lampiran 1 Hasil pengambilan sampel kutudaun pada gulma di Bogor
No Spesises Lahan Desa/Kecamatan Gulma
inang
Nama
ilmiah/Famili
Semut
7 M. sorghi Kelapa
sawit
Mekarjaya/Cigu
deg
Rumput
jejarongan
C. barbata
(Poaceae)
8 S.
graminum
Kosong Parakan
Jaya/Kemang
Rumput
balungan
P. repens
(Poaceae)
9 S.
miscanthi
Singkong Tapos/Tenjolaya Meniran P. niruri
(Euphorbiaceae)
Kosong Kampung
Sawah/Rumpin
44
45
Lampiran 2 Koordinat lokasi pengambilan sampel
No Kecamatan Daerah atau desa Altitude
(mdpl)
Data GPS
1 Dramaga Kebun percobaan
Cikabayan
263 06 o33’ 36.35”S 106
o43’46.70”E
2 Babakan Raya 214.8 06o 33’41.27”S 106
o 44’22.23”E
3 Daerah sekitar
kampus IPB
250 06 o33’31.65”S 106
o43’46.87”E
4 Ciampea Desa Bojong
Jengkol
182.2 06 o34’0.68”S 106
o42’22.53”E
5 Cibinong Daerah Pembibitan
Tanaman, LIPI
164.2 06 o41’21. 68”S 106
o57’01.07”E
6 Desa Cibinong,
Lahan Pembibitan
Buah
148 06 o29’01”S 106
o49’59”E
7 Bogor Utara Lahan tanaman
hias. Warung
Jambu
245.1 06 o37’17”S 106
o48’11”E
8 Cibungbulang Lahan kosong. Desa
Cibatok 2
260.4 06 o35’12.13”S 106
o39’47.05”E
9 Lahan ubijalar.
Desa Cibatok 2
285.5 06 o35’23.11”S 106
o39’40.15”E
10 Pamijahan Desa Gunungsari 696 06 o40’57. 32”S 106
o40’22.62”E
11 Tenjolaya Desa Tapos 517.4 06 o38’20. 20”S 106
o41’37.15”E
12 Desa Cinangneng 354.2 06 o
36’41.64”S 106 o04’52.52”E
13 Kemang Desa Parakan jaya 170.5 06 o
31’39.08”S 106 o45’35.78”E
14 Desa Salabenda 160.1 06 o31’10. 44”S 106
o45’13.74”E
15 Bogor Barat Desa Loji 229.1 06 o35’21.12”S 106
o46’03.45”E
16 Leuwiliang Desa Kampung
sawah baru
227.6 06 o34’02. 39”S 106
o37’47.54”E
17 Cigudeg Desa Mekarjaya 158.9 06 o29’35. 53”S 106
o30’17.12”E
18 Ciomas Desa Ciomas 292.5 06 o36’07. 68”S 106
o46’27.21”E
19 Cijeruk Desa Cipicung 593.5 06o4’56.1”S .106
o47’26.45 “E
20 Desa Cipelang 595 06 o41’12. 21”S 106
o47’25.07”E
21 Bogor
Selatan
Desa Pamoyanan 360.2 06 o37’57.51”S 106
o48’27.32”E
22 Taman Sari Desa Sukaluyu 604.1 06o39’11.46”S 106
o44’36.35”E
23 Kebun Percobaan
Sukamantri
580.5 06o39’21.40”S 106
o44’40.30”E
24 Ciseeng Desa Parigi mekar 135 06o27’16.92”S 106
o42’15.42”E
25 Rancabungur Desa Rancabungur 165 06o31’5.13”S 106
o41’29.5”E
26 Rumpin Desa Kampung
Sawah
113 06o27’24.85”S 106
o36’41.43”E
27 Jonggol Desa Balekambang 282 06o30’42.18”S 107
o5’15.74”E
28 Desa Cibodas 294.5 06o30’13.47”S 107
o1’43.53”E
29 Kelapa
Nunggal
Desa Bojong 113.3 06o26’39.12”S 106
o59’8.37”E
43 45
46
Lampiran 3 Gambar gulma daun lebar; Ajuran (a), Aur-aur (b), Babadotan (c),
Cacabean (d), Godong puser (e), Harendong (f), Harendong bulu
(g), Jotang kuda (h), Kembang telek (i), Kirinyuh (j), Meniran (k),
Nampong (l)
(f) (e) (d)
(g) (h) (i)
(j) (k) (l)
(a) (c) (b)
47
Lanjutan lampiran 3 Gambar gulma daun lebar; Patah kemudi (m), Putri malu
(n), Rumput kancing ungu (o), Sembung rambat (q),
Sintrong (r), B. alata (s), S. acuta (t)
(m) (n) (o)
(p) (q) (r)
(t) (s)
48
Lampiran 4 Gambar gulma rumput dan teki; Rumput balungsn (a), Rumput
.belulang (b), Rumput benggala (c), Rumput gegenjuran
.(d),Rumput grinting (e), Rumput jampang (f), Rumput jejarongan
.(g), Rumput lancuran (h), Rumput malela (i), Rumput pait (j), C.
.patens (k), P. polystation (l), Teki ladang (m)
(a) (b) (c)
(f) (e) (d)
(g) (h) (i) (j)
(k) (l) (m)
49
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Tegal, Jawa Tengah pada tanggal 3 Januari 1992,
sebagai putra kedua dari tiga bersaudara. Penulis adalah putra dari pasangan
Bapak Drs. Suwarno dan Ibu Nasripah, S.Pd. Tahun 2010 penulis lulus dari
SMAN 3 Pemalang dan pada tahun yang sama penulis lulus seleksi masuk Institut
Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan
diterima di Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian.
Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif mengikuti berbagai kegiatan dan
kepanitiaan dari Keluarga Mahasiswa Nahdahtul Ulama IPB pada tahun
2010/2011, Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Pertanian (BEM A) 2011/2012,
Ketua Ikatan Mahasiswa Pemalang (IMP) 2011/2012, termasuk menjadi pengurus
dan juga menjadi kepala bagian Divisi Pengembangan Sumberdaya Manusia
HIMASITA periode 2013/2014 dan ikut serta dalam mengikuti kegiatan dan
kepanitian di dalamnya. Selain itu, penulis juga menjadi asisten praktikum
Entomologi umum 2013, Pengelolaan Pestisida dalam Proteksi Tanaman 2014,
dan Pengendalian Hama Terpadu Diploma 2014. Penulis pernah dibiayai dalam
pelaksanaan PKMM IPB tahun 2012. Penulis juga pernah mendapatkan beasiswa
peningkatan prestasi akademik (PPA).