Upload
others
View
1
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
JOURNAL OF ECONOMICS AND BUSINESS
ISSN : 0853-862X
This journal is published periodically three times a year, April, August, and December. It publish a broad range of research articles on economics and business comprising management, accountancy, banking, insurance, industry, marketing, transportation, and cooperative, whether in Indonesian Language or English.
This journal is published by Research Institute of Gunadarma Univesity and has been accredited by Decree of Higher Education Directorate (SK DIKTI) No. 110/DIKTI/Kep/Desember2009
JURNAL ILMIAH EKONOMI BISNIS
ISSN : 0853-862X
Jurnal ini diterbitkan secara berkala tiga kali dalam setahun, April, Agustus, dan Desember. Jurnal memuat artikel ilmiah hasil penelitian tentang ekonomi dan bisnis yang meliputi manajemen, akuntansi, perbankan, asuransi, pemasaran, dan koperasi yang ditulis dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris.
Jurnal ini diterbitkan oleh Lembaga Penelitian Universitas Gunadarma dan telah terakreditasi oleh SK DIKTI No. 110/DIKTI/Kep/Desember2009
149Jurnal Ekonomi Bisnis Volume 17, No. 3, Desember 2012
PENGARUH FAKTOR MIKRO EKONOMI TERHADAP NILAI PERUSAHAAN MELALUI KEBIJAKAN DEVIDEN
Sugiharti Binastuti1
Nopirin2
Hotniar Siringoringo3
1,3Program S3 Ekonomi Universitas Gunadarma Jalan Margonda Raya No. 100 Depok 16424
[email protected] Ekonomi Universitas Gadjah Mada
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengukur pngaruh faktor ekonomi mikro terhadap kebijakan dividen. Penelitian juga dimaksudkan untuk mengukur pengaruh faktor ekonomi mikro terhadap nilai perusahaan secara langsung maupun secara tidak langsung melalui kebijakan dividen. Data yang digunakan merupakan data sekunder dari Indonesian Capital Market Directory (ICMD) tahun 2001-2010. Objek penelitian adalah seluruh perusahaan sektor manufaktur yang tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI) periode 2001 – 2010 yang membagi dividen minimal 5 tahun berturut-turut. Data diolah menggunakan model persamaan struktural. Hasil menunjukkan bahwa keseluruhan faktor mikro ekonomi yakni likuiditas, leverage, ukuran perusahaan, dan profitabilitas berpengaruh terhadap kebijakan dividen. Factor ekonomi mikro juga terbukti berpengaruh terhadap nilai perusahaan baik secara langsung maupun tidak langsung melalui kebijakan dividen.
Kata Kunci : factor ekonomi mikro, kebijakan dividen, nilai perusahaan, perusahaan manufaktur
IMPACT OF MICRO ECONOMIC FACTORS ON COMPANY VALUE THOROUGH DIVIDEND POLICY
Abstract
The objective of the study was to measure the influence of micro economic factor on dividend policy. The study was also intended to measure the influence of micro economics on company value directly and indirectly thorough dividend policy. Data deployed was secondary data which was obtained from Indonesian Capital Market Directory (ICMD) year 2001-2010. Research object were all manufacturing companies listed on Indonesian Stock Exchange which paid dividend atleast 5 years subsequently. Data collected was analyzed using structural equation modeling. Result showed that micro economic factor influence dividend policy significantly. It was also shown that micro economic influenced company value significantly directly and indirectly thorough dividend policy.
Keywords : micro economic factor, dividend policy, company value, manufacturing companies
150 Binastuti, dkk., Pengaruh Faktor.....
PENDAHULUAN
Banyak peneliti menunjukkan bahwa faktor ekonomi mikro yang terdiri dari likuiditas, leverage, ukuran perusahaan dan profitabilitas dapat mempengaruhi kebijakan dividen. Profitabilitas yang di-ukur menggunakan pengembalian aset berpengaruh positif terhadap dividen (Marlina, 2009; Puspita, 2009; Kouki dan Guizani, 2009). Pengembalian ekuitasmempengaruhi dividen secara positif (Al-Kuwari, 2009; Mai, 2010; Avazian, Booth dan Cleary, 2010). Hasil yang berbeda ditunjukkan peneliti lain (seperti Kania dan Bacon, 2005; Nuriningsih, 2005) bahwa kenaikan pengembalian ekuitas justru berpengaruh negatif terhadap dividen.
Kebijakan pendanaan dan ukuran perusahaan juga dapat mempengaruhi kebijakan dividen. McCabe (1979) me-nyatakan bahwa keputusan dividen dibuat dengan memperhatikan kebutuhan dana untuk investasi dan sumber dana berupa keuntungan dan hutang baru. Hutang jangka panjang baru berpengaruh negatif terhadap pembayaran dividen. Penelitian Nuringsih (2005), Nurfauziah, Harjito dan Ringayati (2008) menghasilkan kesimpulan bahwa DAR berpengaruh negatif terhadap dividen. Hasil ini didukung oleh penelitian Aasia, Waqas dan Yasir (2011) yang melakukan penelitian di Karachi yang menemukan bahwa hutang berpengaruh negatif terhadap pembayaran dividen.
Dalam hubungannya dengan nilai perusahaan, beberapa peneliti (seperti Modigliani dan Miller, 1961; Suharli, 2006; Ulupi, 2007; Suranta dan Pratana, 2004; Mai, 2010) menunjukkan bahwa profitabilitas berpengaruh terhadap nilai perusahaan. Modigliani dan Miller (1961) menunjukkan bahwa semakin tinggi earnings power semakin efisien perputaran aset dan atau semakin tinggi marjin keuntungan yang diperoleh perusahaan. Hal ini berdampak pada
peningkatan nilai perusahaan. Mai (2010) menggunakan pengembalian ekuitassebagai parameter keuntungan dan menemukan pengaruh positif terhadap nilai perusahaan.
Penelitian yang dilakukan oleh Suharli (2006) dan Ulupi (2007) mene-mukan bahwa pengembalian aktiva ber-pengaruh positif signifikan terhadap pengembalian saham satu periode ke depan. Hasil yang berbeda diperoleh oleh Suranta dan Pratana (2004), yang menemukan bahwa pengembalian aktiva justru berpengaruh negatif terhadap nilai perusahaan. Taswan (2003) berpendapat bahwa perusahaan besar dapat dengan mudah mengakses ke pasar modal, sehingga memiliki fleksibilitas dan kemampuan lebih besar untuk men-dapatkan dana bagi pembayaran dividen. Hal ini sesuai dengan penelitian Jauhari (2002) dan Al-Kuwari (2009) menyim-pulkan bahwa total aset ber-pengaruh positif terhadap dividen. Di sisi lain beberapa peneliti (seperti Kouki dan Guzani (2009); Pakpahan (2010); Mai, 2010) menemukan bahwa ukuran per-usahaan berpengaruh negatif terhadap dividen.
Pembayaran dividen perusahaan, selain dipengaruhi oleh profitabilitas dan ukuran perusahaan juga tergantung dari posisi likuiditas perusahaan (Sutrisno, 2001; Pujiastuti, 2008; Marlina dan Danica (2009). Perusahaan dengan tingkat likuiditas tinggi memungkinkan untuk membayar dividen dalam jumlah tinggi. Berbagai kondisi perusahaan dapat mempengaruhi nilai aliran kas bebas.
Perusahaan yang memiliki tingkat likuiditas tinggi dengan tingkat per-tumbuhan rendah, sebaiknya men-distribusikan kas yang tidak dipakai kepada pemegang saham. Di sisi lain, perusahaan yang mempunyai tingkat likuiditas tinggi dengan tingkat per-tumbuhan tinggi dapat menahan kas sementara dan bisa dimanfaatkan untuk investasi pada periode mendatang.
151Jurnal Ekonomi Bisnis Volume 17, No. 3, Desember 2012
Penelitian Rahmawati dan Akram (2007) menemukan hal berbeda yang meng-hasilkan kesimpulan bahwa rasio kas tidak berpengaruh terhadap dividen, sedangkan Kania dan Bacon (2005) menemukan bahwa CR berpengaruh negatif terhadap dividen.
Kebijakan pendanaan yang dilakukan perusahaan, selain dapat mempengaruhi kebijakan dividen, juga dapat berpe-ngaruh langsung terhadap nilai perusaha-an (Modigliani dan Miller, 1963; De Angelo dan Masulis, 1980). Pendanaan didanai hutang menyebabkan terjadi efek pengurangan pajak, artinya, perusahaan yang memiliki hutang akan membayar bunga pinjaman. Kewajiban membayar bunga pinjaman dapat mengurangi peng-hasilan kena pajak dan akhirnya dapat memberi manfaat bagi pemegang saham. Pengurangan pajak ini akan menambah laba perusahaan dan dana tersebut dapat dipakai untuk investasi perusahaan di masa yang akan datang ataupun untuk membagikan dividen kepada para peme-gang saham. Apabila hal tersebut dapat dilakukan oleh perusahaan, maka penilai-an investor terhadap perusahaan akan me-ningkat (Margareta, 2008; Murtini, 2008; Pakpahan, 2010). Mai (2010) dan Pakpahan (2010) menunjukkan peran signifikan ukuran perusahaan terhadap nilai perusahaan dengan arah koefisien regresi yang positif.
Likuiditas juga berpengaruh langsung terhadap nilai perusahaan. Rahmawati dan Akram (2007) menemukan bukti bahwa likuiditas berpengaruh positif terhadap nilai perusahaan. Hal ini berbeda dengan penelitian Martani, Mulyono, dan Khairurizka yang menghasilkan kesim-pulan bahwa likuiditas yang diukur dengancurrent ratio berpengaruh negatif terhadap tingkat pengembalian saham.
Tujuan dari penelitian ini dengan demikian adalah mengukur pengaruh faktor ekonomi mikro terhadap nilai perusahaan melalui kebijakan dividen.
METODE PENELITIAN
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh perusahaan sektor manufaktur yang tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI) periode 2001 – 2010 yang mem-bagi dividen minimal 5 tahun berturut-turut. Frekuensi pembagian saham minimal 5 tahun digunakan untuk men-dapatkan sampel homogen.
Pengklasifikasian sektor mengikuti Jakarta Saham Industri Classification(JASICA). Perusahaan Manufaktur termasuk dalam sektor sekunder yang terdiri dari industri dasar dan kimia,Miscellaneous Industry dan Consumer Goods. Pemilihan data ini dengan alasan bahwa perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI memberikan sumbangan atau kontribusi hampir 40% dari total emiten yang terdaftar.
Data yang digunakan berdasarkan batasan rentang waktu dengan alasan sebagai berikut:1. Data tahun 2001 digunakan sebagai
awal periode, dengan harapan dapat diperoleh laporan keuangan dengan kondisi perusahaan yang lebih obyek-tif, dan sudah melewati masa krisis keuangan yang terjadi pada tahun 1997.
3. Data tahun 2010 digunakan sebagai akhir periode, karena pada waktu pengumpulan data, BEI terakhir me-nerbitkan Indonesian Capital Market Directory (ICMD) untuk tahun 2011, yang memuat laporan keuangan per-usahaan untuk tahun 2010.
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, yang bersumber dari Indonesian Capital Market Directory (ICMD), terbitan tahun 2002 sampai dengan tahun 2012.
Analisis data dilakukan mengguna-kan analisis jalur. Model penelitian yang dikembangkan ditunjuk-kan Gambar 1.
152 Binastuti, dkk., Pengaruh Faktor.....
Gambar 1. Model Penelitian
Berdasarkan model penelitian, hipotesis yang diajukan adalah:
H1 : Faktor mikro ekonomi yaitu likuiditas, leverage, ukuran peru-sahaan dan profitabilitas berpeng-aruh terhadap kebijakan dividen.
H2 : Kebijakan dividen berpengaruh terhadap nilai perusahaan.
H3 : Faktor mikro ekonomi yaitu likuiditas, leverage, ukuran perusa-haan dan profitabilitas, berpengaruh terhadap nilai perusahaan melalui kebijakan dividen.
HASIL DAN DISKUSI
Data statistik deskriptif yang diolah adalahCash Ratio (CR), Debt to Assets Ratio (DAR), Total Aset (TA), Return on Aset (ROA), kebijakan dividen (DividendPayout Ratio (DPR)), dan Nilai perusahaan (Tobin’s Q).
Analisis pertama kali dilakukan adalah analisis data statistik deskriptif, yaitu dengan cara mendiskripsikan data dari seluruh variabel yang dimasukkan dalam model penelitian. Variabel yang dianalisis secara rinci meliputi jumlah data, rata-rata, minimum, dan maksimum seperti terdapat dalam Tabel 1.
Tabel 1. Rata-rata, Minimum, Maximum Variabel Penelitian
No Keterangan Jumlah Data
Min Maks Rata-rata
1 CR 240 2,315 518,449 75,98 2 DAR 240 7,109 194,819 37,417 3 Total Aset (LnTA) 240 24,254 32,357 27,881 4 ROA 240 -5,680 57,070 15,299 5 DPR 240 0 302,877 34,903 6 Tobins’q 240 0,409 15 1,815
Pengujian hipotesis dilakukan meng-gunakan model analisis jalur. Uji ke-baikan suai mengukur kesesuaian antara data input atau sesungguhnya dengan prediksi dari model yang diajukan. Peng-ambilan keputusan model dalam pe-
nelitian ini menggunakan signifikansi 0,05.
Loading factor merupakan koefisien regresi yang distandarisasi dan me-nunjukkan pengaruh langsung dari variabel bebas terhadap variabel terikat seperti pada Tabel 2.
153Jurnal Ekonomi Bisnis Volume 17, No. 3, Desember 2012
Tabel 2. Solusi terstandarisasi pengaruh langsung dan tidak langsung
No. Keterangan
Pengaruh langsung variabel independen terhadap Deviden
Pengaruh langsung variabel independen terhadap Nilai Perusahaan
Pengaruh tidak langsung variabel independen terhadap nilai perusahaan melalui kebijakan dividen
1 CR 0,052 -0,094 0,007 2 Debt to Assets Ratio
(DAR) -0,015 0,146 -0,002
3 Total Aset (TA) 0,062 0,166 -0,008 4 Return on Aset
(ROA) 0,199 0,677 0,026
5 Kebijakan Dividen 0 0,132 0
Pengaruh Ekonomi Mikro Terhadap Kebijakan Dividen
Tabel 2 menunjukkan bahwa DPR dipengaruhi secara langsung oleh faktor mikro ekonomi yang terdiri dari CR, DAR, TA, dan ROA.
Nilai koefisien regresi CR terhadap DPR sebesar 0,052. Hal ini menunjukkan bahwa CR berpengaruh positif terhadap DPR. Koefisien regresi 0,052 artinya setiap penambahan satu nilai pada CR memberikan tambahan skor sebesar 0,052 pada DPR. Semakin tinggi CR berarti semakin tinggi kas dan setara kas dalam perusahaan. Semakin tinggi kas dan setara kas yang ada dalam perusahaan menyebabkan dividen dapat dibagi kepada pemegang saham semakin tinggi dan sebaliknya semakin rendah kas dan setara kas maka dividen yang dapat dibagi semakin kecil.
CR menunjukkan tingkat likuiditas perusahaan yang diukur dengan ke-mampuan perusahaan dalam membayar hutang lancarnya dengan menggunakan kas dan setara kas. Perusahaan dalam kondisi CR tinggi memungkinkan untuk membagi dividen tinggi dan sebaliknya perusahaan dalam kondisi CR rendah tidak memungkinkan untuk membagi dividen.
Likuiditas berpengaruh positif ter-hadap kebijakan dividen, hal ini me-nunjukkan bahwa semakin likuid per-
usahaan maka semakin besar kemungkinan untuk membagi dividen. Semakin tinggi posisi kas dan setara kas dalam perusahaan maka kemampuan perusahaan untuk membagi dividen juga semakin tinggi dan sebaliknya. Kas terlalu banyak dalam perusahaan me-nyebabkan banyak uang menganggur, sehingga perusahaan kehilangan ke-sempatan untuk memperoleh laba dari investasi yang mengasilkan NPV positif. Kas terlalu tinggi juga terlihat bahwa perusahaan kurang efisien dalam meng-elola dananya, sehingga kas tersebut dapat digunakan untuk operasional per-usahaan atau digunakan sebagai dividen.
Hasil penelitian ini mendukung penelitian sebelumnya yang menun-jukkan bahwa likuiditas berpengaruh positif terhadap dividen (Sutrisno, 2001; Suherli, 2007; Wahyudi dan Baidori, 2008; Marlina dan Danica, 2009; Deitiana, 2009).
Marlina dan Danica (2009) meng-hasilkan koefisien regresi posisi kas terhadap DPR sebesar 3,603. Perbedaan looding factor antara penelitian ini dengan Marlina dan Danica adalah data digunakan lebih banyak yaitu data dari tahun 2001-2010 sedangkan penelitian Marlina dan Danica menggunakan data tahun 2004-2007. Suherli (2007) meng-gunakancurrent ratio dalam likuiditas menghasilkan koefisien regresi antara
154 Binastuti, dkk., Pengaruh Faktor.....
current ratio dengan DPR sebesar 4,555 sedangkan Wahyudi dan Baidori (2008) menggunakan quick ratio dalam likui-ditasnya yang menyimpulkan bahwa likuiditas, berpengaruh terhadap dividen dengan koefisien 0,023 pada perusahaan manufaktur yang terdaftar pada BEI periode 2002 – 2006.
Penelitian ini tidak mendukung penelitian Rahmawati dan Akram (2007) dan Kadir (2010) yang menemukan bahwa likuiditas tidak berpengaruh ter-hadap kebijakan dividen.
Leverage berhubungan dengan peng-gunaan hutang perusahaan dalam operasi perusahaan. Ukuran leverage yang di-gunakan adalah DAR yang merupakan perbandingan antara total hutang dengan total aset. Hasil menun-jukkan bahwa DAR berpengaruh negatif terhadap DPR (McCabe, 1979; Nuringsih, 2005; Nurfauziah, Harjito, dan Ringayati, 2007; Waqas dan Yasir, 2011; Avazian, Booth, dan Cleary, 2003; Sutrisno, 2007; Rosidi, 2007; Deitiana, 2009; Kouki dan Guizani, 2009). Semakin tinggi DAR menyebabkan DPR menurun dan se-baliknya. Perusahaan dengan hutang tinggi dalam operasional perusahaan akan membayar dividen rendah dan sebaliknya perusahaan dengan hutang rendah dapat membayar dividen tinggi. Penggunaan hutang yang tinggi menye-babkan pembayaran beban tetap yaitu biaya bunga, sehingga akan menurunkan laba, yang pada akhirnya dapat menu-runkan pembayaran dividen.
Hasil ini bertolak belakang dengan penelitian yang menunjukkan bahwa leverage berpengaruh positif terhadap dividen (Kania dan Bacon, 2005; Marlina dan Danica, 2009; Pakpahan, 2010).
Kania dan Bacon (2005) dan Pakpahan (2010) menggunakan DAR dalam leverage seperti yang digunakan dalam penelitian ini. Kania dan Bacon (2005) meneliti 542 perusahan pada NASDAQ, AMEX, NYSE dan OTC menghasilkan korelasi antara DAR
dengan DPR sebesar 0,0089 sedangkan Pakpahan (2010) meneliti perusahaan manufaktur tahun 2003–2007 mengha-silkan DAR berpengaruh positif terhadap DPR dengan korelasi 0,012. Marlina dan Danica, (2009) menggunakan DER dan menemukan hasil bahwa DER ber-pengaruh positif terhadap DPR dengan koefisien 5,088 pada perusahaan manu-faktur tahun 2004 – 2007.
Nilai koefisien regresi ukuran peru-sahaan yang diproksi dengan TAterhadap DPR sebesar 0,062. Hal ini menunjukkan bahwa setiap penambahan satu nilai pada TA menaikkan skor sebesar 0,062 pada DPR. Hal ini berarti bahwa semakin besar ukuran perusahaan semakin besar DPR dan sebaliknya semakin kecil ukuran perusahaan semakin kecil DPR (Sutrisno,2001; Rahmawati dan Akram, 2007; Taswan 2003; Avazian, Booth dan Cleary, 2003, Papadopoulos dan Charalambidis, 2007; Al-Kuwari, 2009).
Hasil ini tidak sesuai dengan penelitian Kouki dan Guizani (2009), Pakpahan (2010) dan Mai (2010). Kouki dan Guizani (2009) meneliti pada TSE 1995-2001 yang menghasilkan kesim-pulan ukuran berpengaruh negatif terha-dap dividen dengan korelasi -0,515. Pakpahan (2010) menghasilkan hubung-an antara ukuran perusahaan dan DPR dan menemukan bahwa ukuran perusa-haan berpengaruh terhadap DPR dengan korelasi -0,316 pada 8 perusahaan manu-faktur di BEI tahun 2003 – 2007. Hasil penelitian Mai (2010) menemukan ko-relasi antara ukuran perusahaan dengan DPR yaitu sebesar – 0,005 pada per-usahaan manufaktur yang terdaftar di BEI tahun 2000 - 2007. Perbedaan koefisien korelasi ini karena penelitian dilakukan dalam tahun dan jumlah data yang berbeda.
Profitabilitas merupakan kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba. Profitabilitas diproksi dengan ROA yang merupakan perbandingan antara laba
155Jurnal Ekonomi Bisnis Volume 17, No. 3, Desember 2012
setelah pajak dengan total aset yang digunakan. Dari Tabel, dapat diketahui bahwa nilai koefisien regresi ROA ter-hadap DPR sebesar 0,199, hal ini me-nunjukkan bahwa ROA berpengaruh positif terhadap DPR (Baker dan Powell, 2000; Al-Kuwari, 2009; Nurfauziah, Harjito dan Ringayati, 2007; Deitiana, 2009; Marlina dan Danica, 2009; Kouki dan Guizani, 2009). Semakin besar laba diperoleh perusahaan menyebabkan dividen yang dibagi kepada pemegang saham semakin besar. Hal ini juga menunjukkan bahwa dengan laba tinggi, perusahaan dapat membayarkan dividen tinggi kepada pemegang saham. Laba dan dividen yang tinggi memberikan persepsi kepada investor bahwa per-usahaan dalam kondisi yang mengun-tungkan, sehingga citra perusahaan baik dilihat oleh investor.
Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Nuringsih (2005) yang melakukan penelitian pada perusahaan manufaktur di pasar modal Indonesia tahun 1995–1996 dengan menggunakan ROA sebagai ukuran profitabilitas. Hasil penelitian ini juga tidak sejalan dengan penelitian Kania dan Bacon (2005) yang meneliti 542 perusahan pada NASDAQ, AMEX, NYSE dan OTC yang meng-hasilkan korelasi antara ROE dengan DPR sebesar -0,0024.
Pengaruh Ekonomi Mikro dan Kebijakan Dividen Terhadap Nilai Perusahaan
Dari Tabel 2, dapat diketahui bahwa nilai koefisien regresi CR terhadap Tobins’q sebesar -0,092, menunjukkan bahwaCR berpengaruh negatif terhadap nilai perusahaan. Besarnya koefisien regresi CR terhadap Tobins’q sebesar -0,092 menunjukkan bahwa setiap penambahan satu nilai pada CR akan menurunkan skor sebesar 0,092 pada nilai perusahaan.
Semakin tinggi CR, nilai perusahaan menurun dan sebaliknya penurunan CR
menaikkan nilai perusahaan. Hal ini menunjukkan bahwa perusahaan yang mempunyai CR tinggi memberi gam-baran bahwa banyak uang mengganggur yang seharusnya dapat diinvestasikan kedalam investasi yang menguntungkan. Kas terlalu besar menyebabkan perusa-haan akan kehilangan kesempatan untuk dapat berinvestasi ke dalam proyek yang menghasilkan NPV positif. Likuiditas yang tinggi menghasilkan profitabilitas rendah, hal ini menunjukkan bahwa laba perusahaan menurun. Menurunnya laba mengakibatkan harga saham turun, pada akhirnya menurunkan nilai perusahaan.
Penelitian Wijaya (2012) meng-hasilkan temuan bahwa current ratioberpengaruh negatif terhadap profita-bilitas perusahaan. Perusahaan dengan likuiditas tinggi memiliki laba rendah dan sebaliknya perusahaan dengan likuiditas rendah memiliki laba yang tinggi. Hal ini dapat disimpulkan bahwa dengan tingkat likuiditas tinggi tidak baik terhadap laba yang dihasilkan, karena adanya uang menganggur di perusahaan. Hasil penelitian ini men-dukung penelitian Martani, Mulyono dan Rahfiani (2009). Hasil ini tidak mendukung penelitian Akram (2007.
Nilai koefisien regresi DAR terhadap nilai perusahaan sebesar 0,146, menunjukkan DAR berpengaruh positif terhadap nilai perusahaan. Angka ini menunjukkan bahwa setiap penambahan satu nilai pada DAR akan menaikkan skor pada nilai perusahaan sebesar 0,146. Leverage mempunyai pengaruh positif dengan nilai perusahaan. Meningkatnya hutang perusahaan akan meningkatkan nilai perusahaan. Hutang digunakan perusahaan untuk meningkatkan opera-sional perusahaan, sehingga diharapkan dapat meningkatkan penjualan, pada akhirnya dapat meningkatkan laba perusahaan.
DAR berpengaruh positif terhadap nilai perusahaan, namun demikian tidak berarti bahwa perusahaan boleh meng-
156 Binastuti, dkk., Pengaruh Faktor.....
gunakan hutang setinggi-tingginya dalam operasional perusahaan. Hutang dengan porsi tinggi berdampak pada risiko yang besar. Pemodal menetapkan tingkat keuntungan besar pada perusahaan berisiko sehingga pada akhirnya akan menurunkan harga saham dan nilai per-usahaan. Meningkatnya nilai perusahaan karena penggunaan hutang disebabkan karena adanya penghematan pajak. Perusahaan dengan hutang akan mem-bayar pajak lebih sedikit dibandingkan dengan perusahaan tidak menggunakan hutang, namun pengaruh ini tidak linier disebabkan karena ada unsur biaya ke-bangkrutan dalam penggunaan hutang. Biaya kebangkrutan yang lebih tinggi dari manfaat penghematan pajak me-nyebabkan tambahaan penggunaan hu-tang dan menurunkan nilai perusahaan.
Peningkatan hutang akan mening-katkan biaya keagenan utang, untuk itu struktur modal sebaiknya disusun sede-mikian rupa untuk mengurangi konflik antara berbagai kelompok kepentingan yaitu kelompok pemberi hutang dan kelompok pemegang saham. Hal ini se-suai dengan teori keagenan yang meng-asumsikan bahwa manajer diberi keper-cayaan untuk menjalankan perusahaan sesuai dengan kepentingan pemilik, yaitu meningkatkan nilai perusahaan, sehingga manajemen harus dapat mengelola hu-tang dengan baik dan benar agar men-capai struktur modal yang optimal dan dapat menaikkan nilai perusahaan.
Hasil penelitian ini mendukung teori trade-off yang menyatakan bahwa se-belum mencapai struktur modal yang optimal, maka penggunaan hutang akan meningkatan nilai perusahaan. Temuan ini juga sesuai dengan temuan Modigliani dan Miller (1963) yang menyatakan bahwa dalam pasar modal yang sempurna dan ada pajak, maka nilai perusahaan yang menggunakan hutang lebih tinggi dari nilai perusahaan yang tidak menggunakan hutang. Peningkatan hutang akan mampu meningkatkan nilai
perusahaan, sebab pembayaran bunga da-pat mengurangi pajak. Hasil penelitian ini juga mendukung penelitian sebelum-nya yang menunjukkan bahwa leverageberpengaruh positif terhadap nilai per-usahaan diantaranya penelitian (McConnell dan Servaes, 1995; Chen, 2002; Natarsyah, 2000; Soliha dan Taswan,2003 ; Murtini,2008; Ulupi, 2009; Pakpahan, 2010; Sudiyatno,2010).
Penelitian Pakpahan (2010) meng-gunakan DAR sebagai ukuran leveragesesuai dengan penelitian ini pada per-usahaan manufaktur di BEI tahun 2003 – 2007 menghasilkan korelasi antara DAR dengan nilai perusahaan sebesar 0,385 dengan arah yang sama. Penelitian Natarsyah (2000) menggunakan DER da-lam penelitiannya menghasilkan hubung-an antara DER berpengaruh positif ter-hadap harga saham pada 38 perusahaan industri barang konsumsi menghasilkan korelasi sebesar 22,59 %. Sedangkan Murtini (2008) DER berpengaruh ter-hadap nilai perusahaan dengan koefisien 0,462. Perbedaan hasil korelasi dengan hasil penelitian ini dikarenakan data dan waktu yang digunakan dalam penelitian berbeda dengan penelitian ini. Hasil ini tidak konsisten dengan teori pecking order Myers dan Majluf (1984) yang menjelaskan bahwa penggunaan dana didasarkan pada urutan tertentu yaitu per-usahaan cenderung menggunakan modal internal terlebih dahulu dan jika me-merlukan modal eksternal maka per-usahaan mengeluarkan surat berharga yang paling aman terlebih dahulu.
Nilai koefisien regresi ukuran per-usahaan terhadap nilai perusahaan sebesar0,166, hal ini berarti ukuran perusahaan berpengaruh positif dengan nilai per-usahaan. Besarnya koefisien regresi total aset terhadap nilai perusahaan sebesar 0,166 menunjukkan bahwa setiap pe-nambahan satu nilai pada total aset, menaikkan skor pada nilai perusahaan sebesar 0,166.
157Jurnal Ekonomi Bisnis Volume 17, No. 3, Desember 2012
Hasil temuan ini menunjukkan bahwa perusahaan yang beroperasi dalam uku-ran besar mempunyai peluang besar untuk meningkatkan penjualan yang pada akhirnya akan meningkatkan laba per-usahaan. Total Aset tinggi mem-punyai daya tarik dan perhatian bagi investor bahwa perusahaan dapat beroperasi dengan aset tinggi. Investor tertarik pada perusahaan dengan aset tinggi, karena memungkinkan untuk mendapatkan laba besar. Hasil ini sesuai dengan penelitian Mai (2010) yang menggunakan ukuran perusahaan (LnTA) dan Tobin’s q sebagai ukuran nilai perusahaan seperti digunakan dalam penelitian ini meng-hasilkan kesimpulan bahwa antara ukur-an perusahaan dengan nilai perusahaan mempunyai hubungan positif sebesar 0,042. Murtini (2008) ukuran perusahaan berpengaruh terhadap nilai perusahaan (FCF) dengan koefisien 0,123. Pakpahan (2010) meneliti per-usahaan manufaktur di BEI tahun 2003–2007 menghasilkan korelasi antara ukuran perusahaan de-ngan nilai perusahaan diukur dengan PBV sebesar 0,13 dengan arah sama. Perbedaan ini disebabkan karena sampel dan tahun digunakan dalam penelitian ini berbeda.
Penelitian ini tidak mendukung pene-litian Rahmawati dan Akram (2007) yang menghasilkan kesimpulan bahwa ukuran perusahaan berpengaruh negatif terhadap nilai perusahaan.
Nilai koefisien regresi ROA terhadap nilai perusahaan sebesar 0,677, menun-jukkan bahwa ROA berpengaruh positif terhadap nilai perusahaan (Ohlson, 1995; Natarsyah, 2002; Sasanti dan Nurfauziah, 2005; Rahmawati dan Akram, 2007; Pakpahan, 2010; Mai, 2010; dan Sudiyatno, 2010). Perusahaan dalam mengelola asetnya untuk menghasilkan laba membawa dampak terhadap naiknya nilai perusahaan dengan arah yang sama.
Profitabilitas bepengaruh searah ter-hadap nilai perusahaan, artinya bahwa semakin tinggi laba diperoleh perusahaan
memberikan dampak terhadap mening-katnya nilai perusahaan. Hal ini memberi gambaran kepada investor, bahwa per-usahaan berhasil dalam mengelola per-usahaannya, sehingga mendapatkan ke-untungan tinggi. Investor tertarik pada perusahaan yang menghasilkan tingkat keuntungan tinggi. Keuntungan tinggi memberi sinyal bahwa investor tertarik membeli saham perusahaan, dengan de-mikian dapat menaikkan harga saham. Kenaikan harga saham berdampak pada naiknya nilai perusahaan. Hasil ini kon-sisten dengan pendapat Modigliani dan Miller (1961) yang menyatakan bahwa nilai perusahaan ditentukan oleh earningpower dari aset perusahaan. Temuan ini memberikan implikasi bahwa manajer harus bekerja dengan baik dalam me-ngelola aktiva perusahaan untuk me-ncapai keuntungan yang maksimal, karena ROA akan direspon positif oleh investor.
Hubungan antara kebijakan dividen yang diukur DPRdengan nilai perusahaan (Tobins’q) ditunjukkan dengan koefisien regresi 0,132. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan dividen (DPR) ber-pengaruh positif dengan nilai per-usahaan. Besarnya koefisien regresi DPR terhadap Tobins’q sebesar 0,132 menunjukkan bah-wa setiap penambahan satu nilai pada DPR akan menaikkan skor pada nilai perusahaan sebesar 0,132. Hasil ini men-dukung beberapa penelitian sebelumnya (di antaranya Gordon dan Lintner, 1963; Amidu, 2007; Kouki dan Guizani, 2009; Hasnawati, 2005; Rahmawati dan Akram, 2007; Darminto, 2010; Mai, 2010).
Hasil penelitian ini menolak teori kebijakan dividen tidak relevan yang mengatakan bahwa dividen tidak mem-pengaruhi nilai perusahaan (seperti Pakpahan, 2010; Murtini, 2008).
Dividen adalah salah satu faktor yang dilihat oleh investor dalam penanaman investasinya pada saham, karena tujuan investor untuk membeli saham selain mendapatkan capital gain adalah untuk
158 Binastuti, dkk., Pengaruh Faktor.....
mendapatkan dividen. Hasil penelitian ini juga memberikan gambaran bahwa investor di pasar modal Indonesia se-bagai emerging market masih meng-inginkan tingkat pengembalian yang pasti yaitu berupa dividen. Pembayaran dividen lebih pasti dibandingkan dengan capital gain, karena capital gain me-rupakan harapan di masa datang yang sangat fluktuasi. Investor akan membeli saham perusahaan yang membagi dividen dibandingkan dengan perusahaan yang tidak membagi dividen. Hal ini mendorong perusahaan untuk melakukan pembayaran dividen secara rutin dan pasti. Pembagian dividen akan menaik-kan harga saham dan nilai perusahaan.
Higins (1972) menyatakan bahwa pemilihan dividen yang optimal pada lingkungan yang tidak pasti masih mempertimbangkan kebutuhan investasi di masa depan sedangkan dividen yang hemat untuk membiayai kebutuhan operasional dengan biaya yang efisien. Keputusan keuangan yang dilakukan manajemen melalui pembayaran dividen dapat meningkatkan nilai perusahaan. Kondisi ini memberi sinyal pada investor bahwa dividen yang dibagi merupakan sisa dari keputusan investasi yang di-lakukan perusahaan dengan NPV yang positif. Lebih lanjut dapat dikatakan bahwa kebijakan dividen yang dibagi dalam bentuk kas dapat memberikan sinyal positif kepada investor bahwa kinerja perusahaan membaik.
Penelitian ini tidak mendukung pe-nelitian Sasanti dan Nurfauziah (2005) yang menemukan bukti bahwa dividendyield berpengaruh negatif terhadap harga saham dan Pakpakan (2010) DPR berpengaruh negatif terhadap nilai per-usahaan (PBV). Hermuningsih dan Wardani (2009) nilai perusahaan tidak dipengaruhi oleh kebijakan dividen. Murtini (2008) kebijakan dividen tidak berpengaruh terhadap nilai perusahaan (FCF).
Tabel 2 juga menunjukkan besarnya pengaruh tidak langsung CR terhadap nilai perusahaan melalui dividen adalah 0,007.Hal ini menunjukkan bahwa kenaikan kas akan memberikan pengaruh yang searah (+) yaitu 0,007 terhadap nilai perusahaan melalui kebijakan dividen, sedangkan pengaruh langsung kas terhadap nilai perusahaan sebesar -0,094. Hasil pe-nelitian ini menunjukkan bahwa dividen mempunyai peran mediasi kecil antara CRdan nilai perusahaan.
Besarnya pengaruh tidak langsung DAR terhadap nilai perusahaan melalui dividen adalah -0,002. Koefisien regresi ini menunjukkan bahwa setiap penambah-an DAR sebesar satu akan memberikan skor sebesar 0,002 pada nilai perusahaan melalui kebijakan dividen. Hal ini me-nunjukkan bahwa kenaikan DAR akan memberikan pengaruh yang kecil yaitu 0,002 terhadap nilai perusahaan melalui kebijakan dividen, sedangkan pengaruh langsung DAR terhadap nilai perusahaan sebesar 0,146. Hasil penelitian ini me-nunjukkan bahwa dividen mempunyai peran mediasi yang kecil antara DAR dan nilai perusahaan.
Besarnya pengaruh tidak langsung TA terhadap nilai perusahaan melalui dividen adalah 0,008. Koefisien regresi ini me-nunjukkan bahwa setiap penambahan total aset sebesar satu memberikan skor sebesar 0,008 pada nilai perusahaan me-lalui kebijakan dividen. Kenaikan TA memberikan pengaruh kecil yaitu 0,008 terhadap nilai perusahaan melalui ke-bijakan dividen, sedangkan pengaruh langsung TA terhadap nilai perusahaan sebesar 0,166.
Besarnya pengaruh tidak langsung ROA terhadap nilai perusahaan melalui dividen adalah 0,026. Setiap penambahan ROA sebesar satu akan menaikkan skor sebesar 0,026 pada nilai perusahaan me-lalui kebijakan dividen. ROA mem-berikan pengaruh yang kecil yaitu 0,026 terhadap nilai perusahaan melalui ke-bijakan dividen, sedangkan pengaruh
159Jurnal Ekonomi Bisnis Volume 17, No. 3, Desember 2012
langsung ROA terhadap nilai perusahaan sebesar 0,677.
Secara keseluruhan kebijakan dividen memiliki peran mediasi kecil dalam hu-bungannya antara variabel mikro eko-nomi terhadap nilai perusahaan. Adanya pengaruh kecil pada peran mediasi ini menunjukkan bahwa pihak investor dalam menanamkan dananya ke saham melihat langsung variabel mikro ekonomi Investor dalam memutuskan investasi tidak hanya melihat dividen saja tetapi juga mempertimbangkan secara langsung variabel mikro ekonomi.
SIMPULAN DAN SARAN
Secara keseluruhan faktor mikro ekonomi yakni likuiditas, leverage, ukuran perusa-haan, dan profitabilitas berpengaruh terhadap nilai perusahaan baik secara langsung maupun tidak langsung melalui kebijakan dividen.
Kaitannya dengan tujuan pertama, ditemukan bahwa naiknya likuiditas yaitukas dan setara kas serta profitabilitas membawa dampak terhadap naiknya pembayaran dividen. Hutang tinggi dalam perusahaan membawa dampak terhadap turunnya pembayaran dividen. Per-usahaan dalam ukuran besar akan membagi dividen yang tinggi.
Hasil lain temuan penelitian terkait dengan tujuan kedua adalah naiknya hutang, ukuran perusahaan dan profita-bilitas perusahaan berdampak terhadap naiknya nilai perusahaan. Likuiditastinggi menunjukkan bahwa kas dan se-tara kas dalam perusahaan tinggi. Tingginya likuiditas menunjukkan ba-nyak uang mengganggur dan perusahaan kehilangan kesempatan untuk menghasil-kan keuntungan dari proyek investasi yang menguntungkan, sehingga akan menurunkan laba dan pada akhirnya ber-pengaruh terhadap penurunan nilai per-usahaan. Pembayaran dividen tinggi ber-dampak pada naiknya nilai perusahaan.
Faktor mikro ekonomi yaitu likui-ditas, profitabilitas, leverage, dan ukuran perusahaan mempunyai pengaruh kecil terhadap nilai perusahaan melalui ke-bijakan dividen. Hasil ini menunjukkan bahwa kebijakan dividen mempunyai peran mediasi yang kecil pada hubungan antara likuiditas, profitabilitas, leverage,ukuran perusa-haan dengan nilai per-usahaan.
Saran yang dapat dianjurkan dalam penelitian ini adalah diharapkan dalam penelitian selanjutnya menggunakan data seluruh perusahaan agar hasilnya dapat memberikan kekuatan generalisasi yang lebih luas dan lebih baik karena data yang digunakan dalam penelitian ini hanya terbatas pada perusahaan manu-faktur yang terdaftar di BEI, sehingga hasilnya belum bisa untuk meng-generalisir semua sektor industri, pe-nelitian selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Aasia, Waqas, and Yasir. 2011. “Impact of financial leverage on dividend policy: Empirical evidence from Karachi Stock Exchange-listed companies”. African Journal of Business Management. Vol. 5 (4). pp. 1312-1324.
Al-Kuwari D. 2009. “Determinants of the Dividend Polivy in Emerging Stock Exchanges: The case of GCG Countries”. Global Economy & Finance Journal. Vol. 2. No. 2. September 2009. pp. 38 – 63.
Amidu, Mohammed. 2007. “How Does Dividend Policy Affect Performance of The Firm on Ghana Stock Exchange“. Investment Management & Financial Innovations. ABI /INFORM Global. pp. 103-137.
160 Binastuti, dkk., Pengaruh Faktor.....
Baker, H. K. dan Powell, G.E. 2001. “Factors Influencing Dividend Policy Decision”. Financial Practice andEducation. Forthcoming in Spring/ Summer issues.
Bhattacharya, S. 1979. “Imperfect Information, Dividend Policy, and “The Bird in the Hand” Fallacy”. Bell Journal of Economics. Vol. 10. pp. 259-270.
Black F and Scholes M. 1974. “The Effects of Dividend Yield and Dividend Policy on Common Stock Price and Return”. Journal of Financial Economics, 1(1). pp. 1- 22.
Baker, H. Kent and Gary E. Powell. 1999. “How Corporate Managers View Dividend Policy”. Quarterly Journal of Business and Economics. Vol. 38 (Spring), 17. InfoTrac OneFile.Farmville, VA: Longwood University, VA, http://web2.infotrac.galegroup.com.
Gordon, M.J. 1963. “Optimal Invesment and Financing Policy“. Journal of Finance. pp. 264-272.
Hasnawati Sri. 2005. “Dampak Set Peluang Investasi Terhadap nilai Perusahaan Publik di Bursa Efek Jakarta.” JAAI. Vol. 9. No. 2. pp. 117-126.
Kadir A. 2010.“Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kebijakan Dividen Pada Perusahaan Credit Agencies Go Public di Bursa Efek Indonesia”. Jurnal Manajemen dan Akuntansi. Vol. 11. No. 1.pp. 10-20.
Kouki M, Guizani M. 2009. “Ownership Structure and Dividend Policy Evidence from the Tunisisan Stock Market”. European Journal of Scientific Research. Vol. 25. No. 1. pp. 42-53.
Mai M. U. 2010. “Dampak kebijakan Deviden Terhadap Nilai Perusahaan dalam Kajian Perilaku Oportunistik Manajerial dan Struktur Corporate Governance, Studi Empiris pada Perusahaan Manufacture Go Public
di Pasar Modal Indonesia”. Disertasi.Universitas Diponegoro.
Marlina L. dan Danica., C. 2009. “Analisis Pengaruh Cash Position, Debt to Equity Ratio, dan Return on Assets terhadap Dividend Payout Ratio”. Jurnal Manajemen Bisnis.Vol. 2 No. 1. Januari.2009. pp. 1- 6.
Modigliani F. 1982. “Debt, Devidend Policy, Taxe, Inflation and Market Valuation”. The Journal of Finance.Vol. XXXVII. No. 2. May. pp. 255 – 265.
Myers, S. C., dan Majluf, N.S. 1984. “Corporate Financing and Investment Decision When Firm Have Information That Investor do not Have”. Journal of FinancialEconomic. Vol. 13. pp. 419-453.
Nuringsih K. 2005. “Analisis Pengaruh Kepemilikan Manajerial, Kebijakan Hutang,Perusahaan terhadap Kebijakan Deviden”. Jurnal akuntansi dan Keuangan Indonesia.Juli – Desember .Vol. 2. No. 2. pp. 103–123.
Natarsyah S. 2000. “Analisis Pengaruh Beberapa Faktor Fundamental dan Risiko Sistematik terhadap Harga Saham”. Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia. Vol. 1. No. 3. pp. 294 – 312.
Pakpahan R. 2010.”Pengaruh Faktor-Faktor Fundamental Perusahaan dan Kebijakan Dividen terhadap Nilai Perusahaan Studi Kasus pada Perusahaan Manufaktur di BEI tahun 2003-2007”. Jurnal Ekonomi, Keuangan, Perbankan dan Akuntansi.Vol.2. No.2. pp. 211-228.
Rahmawati I. dan Akram. 2007. “Faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan dividen dan pengaruhnya terhadap nilai perusahaan pada perusahaan-perusahaan di BEJ Periode 2000– 2004”. Jurnal Riset Akuntansi Aksioma. Vol. 6. No. 1. Juni. pp. 32–44.
161Jurnal Ekonomi Bisnis Volume 17, No. 3, Desember 2012
Ringayati A, D. Agus Harjito, Nurfauziah (2007). “Analisis hubungan Simultan Antara Kepemilikan Manajerial, Risiko, Kebijakan Hutang dan Kebijakan Deviden Dalam Masalah Agensi.” Sinergi. Volume 9, 2.. pp.
Sasanti Retno Widya dan Nurfauziah. 2005. “Analisis faktor yang berimplikasi terhadap fluktuasi harga saham di Bursa Efek Jakarta”. Sinergi, Kajian Bisnis dan Manajemen. Edisi Khusus on Finance. pp. 53–66.
Sutrisno. 2001. “Analisis faktor yang Mempengaruhi Dividen Payout Ratio pada Perusahaan Publik di Indonesia”. TEMA. Vol. II No. 1. Maret. pp. 1- 12.
Suharli, M. 2007. “Pengaruh profitability dan Investment Opportunity Set terhadap Kebijakan Deviden Tunai dengan Likuiditas sebagai Variabel Penguat”. Jurnal Akuntansi dan Keuangan. Vol. 9. No. 1.pp. 9- 17.
Tandelilin E. 2010. Portofolio dan Investasi Teori dan Aplikasi. Kanisius. Yogyakarta.
Taswan. 2003. Analisis Pengaruh Insider Ownership, Kebijakan Hutang, dan Dividen terhadap Niali Perusahaan serta Faktor-faktor yang mempengaruhinya”. Jurnal Bisnis dan Ekonomi. Sept.. STIE Stikubank, Semarang.
Wahyudi E. dan Baidori. 2008. “Pengaruh Insider Ownership, Collateralizable Assets, Growth In Net Assets dan Likuiditas terhadap Kebijakan Deviden pada Perusahaan Manufaktur yang listing di Bursa Efek Indonesia”. Jurnal Aplikasi Manajemen. Vo. 6. No. 3.
Wardani D.K. dan Sri Hermuningsih. 2009. “Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Nilai Perusahaan pada Perusahaan yang Terdaftar di Bursa Efek Malaysia dan Bursa Efek Indonesia”. Jurnal Siasat Bisnis. Vol. 13. No. 2. pp. 173 – 183.
Wijaya, A.L. 2012. “Pengaruh Komponen Working Capital terhadap Profitabilitas Perusahaan”. Jurnal Dinamika Akuntansi. Vol. 4 No. 1. Maret 2012. pp. 20-26.
162 Hernik, Ethics as A Foundation.....
ETHICS AS A FOUNDATION OF MANAGEMENT – A VALUABLE RESOURCE OR A RELIC IN THE TIMES OF CRISIS?
Joanna Hernik1 Marcin G barowski2
1 Faculty of Economics, West Pomeranian University of Technology in Szczecin, Poland Zo nierska str. 47, 71-210 Szczecin, Poland
[email protected] 2Rzeszów University of Technology, Poland
Abstract
Following rules of activity, resulting from ethical norms accepted in given society, may be one of sources of a competitive advantage. Though, it can be presumed that not everybody is aware of the necessity as well as of advantages connected with activity running this way. In this aspect, the aim of the article to show Polish businessmen attitude towards challenges flowing from handling business in accord with ethics. All theoretical issues discussed herein pertain to the topic of business ethics. Empirical data presented in this paper were gathered by the authors during 410 interviews about ethics that were conducted with businessmen running small and middle firms. The main intention was to determine if obeying ethic rules is a real value for entrepreneurs. From obtained results the conclusion, that Polish businessmen declare the importance of ethics in their activity, but in practice the bulk of them does not remember any rules and does not recognize ethics as a footing of business, can be draw out.
Keywords : ethics, polish SME, management, crisis
INTRODUCTION
The present crisis is commonly referred to as a „crisis of trust” (Keeble 2005, pp. 223-232, Sztompka 2008, Uslaner 2010, pp. 110-123), but what exactly is meant by trust? It can be said that trust is a belief in conduct of others as well as in rules governing social life. We believe that norms constitute a significant part of human life, and those around us voluntarily follow commonly accepted standards that can be generally referred to as ethical behavior (Sztompka 2007, p. 71). When we consider crisis of trust on the economic plain, it means there is lack of trust in the conduct of local authorities, the government and business entities, as
well as consumer behaviors, which hinders decision-making processes and adopting certain attitudes. It seems that the bigger a corporation, the more complicated are its dealings and the more difficult it is to attain transparency. It may be therefore assumed that the crisis of trust refers rather to larger entities than smaller ones which offer a direct contact with their consumers. As it turns out, problems with ethics do not revolve solely around entrepreneurs’ attitudes, but also around their company resources which include staff – it has been found that personnel who don’t trust their employers, work unwillingly (Rose 2009, p. 24).
163Jurnal Ekonomi Bisnis Volume 17, No. 3, Desember 2012
Concerns over ethical operations in business are becoming more and more important in times of economic crisis: should companies, irrespectively of their size and business field, follow the commonly accepted norms in times of danger? Moreover, given the deteriorating markets, should they continue to care not only for their profits, but also for so-called „social needs”? Modern mana-gement schools say „yes” to these questions. The idea of sustainable development and CSR also concur with this view. Not everyone, however, agrees with this approach. Let us recount a famous article by M. Friedman (Friedman 1970), in which the author stated that promoters of a pro-social attitude and care about common well-being is simply a disguised an advertisement of socialism. At the same time, such promoters undermine free market and the right to dispose of one’s property, i.e. the very essence of business. If we agree with this view, it should come as no surprise that businesspeople are obviously against „good business”, which presently means not only honest practices, but also green ones.
Socially-minded behaviors are frequently forced by active consumer groups, as well as by the media. However, they are not able to influence everything. Therefore entrepreneurs may – but do not need to – follow social expectations. On the other hand, it seems they need to behave ethically lest they come in for open criticism. The borderline between these two attitudes is elusive, but most definitely it does exist. It is therefore the aim of this paper to present attitudes of Polish businessmen towards ethics-related problems and challenges. Conclusions will reflect upon the real value of ethics in business.
The discussion focuses both on the fundamental question of what is not allowed in business, as well as problems related to attitudes towards the environ-
ment and poor people. The comments reflect the decline in the market, but also the socioeconomic transformation that Poland – a former communist country – has experienced.
All theoretical issues discussed herein pertain to the topic of business ethics. Empirical data presented in this paper were gathered by the authors during 410 interviews about ethics that were conducted with entrepreneurs in 2009. The choice of respondent was not random – the interviews were conducted with owners and managers from small and medium-sized enterprises (SME) who agreed to the interview. The research was of qualitative nature and reflects respon-dents’ opinions about the presence of ethical norms in their business dealings, as well as the background of their adopted attitudes. All figures in this papers are based on authors’ own research.
Ethics In Management
Ethics is frequently defined as a set of moral principles that control or influence people’s behaviors. J. Hoówka states that human life consists of five spheres: personal ethics sexual ethics, voluntary commitments, social ethics and public ethics (Hoówka 2002, pp. 11-12). Ethics is understood as a set of theorems defining what is good and what is wrong at a given time for a particular group of people. Significantly, ethics in mana-gement, or ethics in business, is placed in the „voluntary commitments” category, i.e. it is considered to be only a voluntary group ethics. A conclusion may be drawn that business ethics is as set of rules that may be followed, although not necess-arily, as it does not result in negative consequences.
If we agree that the crisis echoes the longest in entrepreneurs` and consumers’ heads, it should therefore be assumed that it will end no sooner than when people have accepted its end, and not when
164 Hernik, Ethics as A Foundation.....
companies’ profits increase. The key element is their trust in market because the majority want to believe in (and follow) the principles and seeks confirmation that these rules are being followed. This is why the current crisis has triggered growing expectations towards business reliability which includes incorruptibility, fairness, solidarity and honesty.
Ethics in management applies mainly to managers’ behaviors – the way they fulfill their duties towards employees, shareholders, supervisors and loyal community. Their actions often depend on what others do (e.g. their peers, competitors, co-workers). Their behaviors are also influenced by less direct circumstances, such as the tax system or social pressure. Therefore managers’ behaviors are triggered both by internal convictions as well as external conditions.
Ethics according to Polish SME – assumptions and research results
Society is influenced not only by large market entities, but also by small and medium-sized ones. Currently, consumers expect companies, irrespectively of their size, to offer good products and treat their cooperants and employees fairly (Augustyniak, online paper). It means that just as every person has certain com-mitments towards their communities, analogically each business should realize certain obligations so that they could participate in social life in an active, ethical and responsible way. It is true for all forms of activity can be reflected in various types of social commitment (Responsible Business Forum - Forum Odpowiedzialnego Biznesu 2009, p. 21). Based on the above mentioned assumptions, it has been researched if business people share this view.
It is worth mentioning that in Poland the category of SME encompasses micro-
companies (94.8% of market entities), small (4.2%) and medium-sized (0.8%) which totals 99.8% of enterprises (PARP report, 2009). The whole number of SME is approx. 1,780,000 entities. In order to investigate attitudes of Polish business-people towards ethics, 410 managers of SME from northwestern and southeastern Poland were interviewed directly. Due to geographical limitations and the adopted research method, our results should be treated cautiously. They can, however, serve as a starting point for further research.
RESEARCH SAMPLE
The vast majority of the enterprises interviewed operate in the service sphere. Fig. 1 illustrates the sample’s field of operation.
Fig. 1. Structure of the research sample in terms of field of operation
As the results show, men tend to be SME managers (55%) more often than women, although the difference is slight (10%). They manage service companies (mainly catering, insurance, hairdressing, construction). Almost 7% of the respondents work in production fields (food, furniture, metal production). In this research it was of utmost importance to determine if respondents obey ethical norms in their operations and whether or not they believe such norms should be followed. Fig. 2 illustrates the results.
243 137 28
0% 20% 40% 60% 80% 100%
services
trade
production
no answer
165Jurnal Ekonomi Bisnis Volume 17, No. 3, Desember 2012
Fig. 2. Answers to: „Are there any norms in business?”
It is worth emphasizing that the question whether there were any norms to be obeyed in business, only 55% of the respondents agreed that not everything is allowed in business. The remaining people stated that there were no norms (35%) or they did not have any opinion on that matter (10%). Attitudes to ethical restrictions reflected differences between sexes. It was found that women are more ethical than men – only 5.6% of women declared that everything is allowed, whereas 12.8% of men agreed with this view.
Fig. 3. Answers to: „Are there any norms in business?” in terms of respondents’ sex
Another important issue was determining whether entrepreneurs believed there were any improper behaviors in the context of business operations, and if so – what they were. Fig. 4 presents the results.
Fig. 4. Answers to: „What behaviors are improper in business?”
Among respondents who believed there were certain norms to be followed, 28% of them could not name any (question mark in the legend). The remaining respondents listed cheating customers, unfair competition, mistreating employees and illegal activities. I can be noticed that no social or environmental issues were mentioned.
Considering the commonly felt emphasis on ecologic and social matters, it is worth asking whether respondents believe that the environment should be cared for and whether companies should share their profits with the needy. Fig. 5 illustrates respondents’ answers to the former question.
Fig. 5. Answers to: „In general, should companies care about the environment and does your company care about it?”
The obtained results reveal that in general businessmen believe that environmental DOs and DON’Ts concern others and not them - they often do not care about the environment themselves (over 42% do nothing in that respect). On the other hand, as many as 58% of the respondents take steps that can benefit the environment. Women tend to display more sensitivity towards eco-matters than men. 95.7% of them stated that market entities should care about the environment. Among men, 89% of the respondents shared this view. Fig. 6 presents an overview of actions taken most frequently to protect the environment.
146; 36%
40; 10%
224; 54%
yes
no, everything is allowed
no opinion
58,40%
54,10%
36%
33%
12,80%
5,60%
0% 50% 100%
women
menyes
no
no opinion
28%
33%
12%
13%
8% 2% 4%
? cheating clients unfair competition
mistreating employees illegal activities corruption pactices
other
57,80%
92,40%
Does your companycare about it?
Should companiescare about theenvironment?
yes
166 Hernik, Ethics as A Foundation.....
Fig. 6. Answers to: „What does your company do to protect the environment?”
The vast majority of businesses segregate garbage. It was listed by 51.7% of the respondents who tried to take any steps to protect the environment. Furthermore, they listed: using modern technological solutions (12.2%), recycling waste (8.8%), segregating production waste (6.6%) and using biodegradable materials (5.5%).
According to some, a person possesses what they worked for so there is no obligation to share it with others. However, others believe that there is a certain responsibility to care for the needy and the unsuccessful. A question arises, then: do the businesspeople think they should share what they have? Fig. 7 illustrates the answers. One should notice that when answering the question whether or not it is advised to share with the needy, the respondents were not as unanimous as they were when asked about the environment. Some of them (51%) stated that one should share – women turned out to be more altruistic (55.3%) than men (48.6%). The remaining businessmen either stipulated conditions under which they may help (such as knowing the exact purpose of their donations) or stated directly that everyone must count on themselves only. Unwillingness towards helping the needy was, however, displayed only by some of
the respondents, as 31% of them wanted to help others.
Fig. 7. Answers to: „Should people share with the needy?”
All questions answered by the respondents focused on good and bad practices in business. They were designed to determine if managers should obey unwritten norms and whether ethics in business operations is vital. Fig. 8 illustrates the answers.
Fig. 8. Answers to: „How important is ethics in business? 1 – least important, 5- most important)
The average of 3.95 indicates that respondent are aware of the importance of ethical norms that regulate business activities. And although 9.75% of them stated that ethics is unimportant to them, 37.8% of those asked chose the maximum grade of 5. It is worth mentioning that women were more aware of the importance of fair conduct – their average was 4.19. Men, on the other hand, were less inclined to notice the importance of ethical aspects in business. Men’s average was 3.82.
DISCUSSION
In literature one can find claims that changes in the European post-
7
4
7
9
10
12
16
22
93
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
Other
Sells eco-products
Saves materials andenergy
Does not pollute theenvironment
Uses biodegradablematerials, packaging
Segregates productionwaste
Directs its waste torecycling
Uses modern technologicalsolutions
Segregates garbage
No. of answers
34
94
73
209
0 50 100 150 200 250
no
I do not know
yes, but conditionally
yes
No. of answers
135
79
2812
10
50
100
150
200
1 2 3 4 5Grade
No. of answers
167Jurnal Ekonomi Bisnis Volume 17, No. 3, Desember 2012
transformation countries ignored the issue of moral principles (Riha 1994, pp. 10-31). One can also read that these countries have progressed from primitive socialism to primitive capitalism. Instead of protests, abuses and misbehaviors are met with cynicism, intolerance and ruthlessness, and faulty laws are chronically broken (Röpke 1950, pp.12-13). One may draw two conclusions, then: firstly, overthrowing communism does not equal getting rid of its flaws and secondly, problems caused by economic crisis overlap with those resulting from social changes.
It seems that one of the fundamental questioned raised by ethics is the relations between the desire to possess goods and live well versus imperatives of social morality, which often emphasize the importance of helping others, compassion and voluntary commitment. Some economists postulate in their papers that business ethics and general ethics should be treated separately. Such attitude is displayed e.g. by A. Carr, who stated in his article in 1968 that business ethics is a sort of game whose rules are well-known to everyone, therefore nobody expects it to be identical to personal or religious ethics (Carr 1968, pp. 143-153). On the other hand, however, everyone of use participates in this game – we are all either suppliers or consumers of certain goods. For this reason it is hard to say that ethics in management should be considered solely as group ethics as it pertains to the whole society. Given the above, it can be said that behaviors of managers should be in keeping with ethics of a particular community.
Assuming that impeccable ethics is only an unattainable illusion, a compromise needs to be found between dictates of ethics and reaching particular life goals. Such compromise must also include business activity and approaches towards global concerns, such as ecology (Goulet 1997, pp. 1160-1171). Based on
the abovementioned assumptions, we may argue that the interviewed respondents did not feel they were an integral element of the environment in which they operate. Such conclusion is drawn from the fact that when answering the question „What behavior should not be accepted in business?”, not a single person mentioned any environmental issues. It may be treated as a confirmation of Riha’s view, who states that transforming countries loose some values and it is necessary to awake people’s sensitivity to issues that – seemingly – do not concern them directly. This assumption is clearly visible when the interviewed respondents are taken into account: 45% of them don’t think there are any rules in business. And it is hard to determine whether is results from the financial crisis or if it is a permanent lack of sensitivity.
As conclusions of the research suggest, 38.8% of SME representatives was able to list a norm that – in their opinions – is vital in business. Most often they pointed to not cheating their clients, fair competition and fair treatment of their employees. The spheres are so closely related to the future of each entity that these answers seem obvious. In broader context, these principles condition further development of the company, allow existence of competition and healthy market, and it may be assumed that they enable economic and cultural advancement of the society (Clark 2002, pp. 830-848).
Helping the needy or caring about the environment are, in respondents’ view, important obligations, but not theirs, apparently. Almost all of the respondents claim that the environment must be taken care of, but only 58% actually care about it. Moreover, their only effort is to segregate garbage, which seems to be quite limited in the face of opportunities their companies have.
168 Hernik, Ethics as A Foundation.....
Since ethics is a set of rules binding at a particular time at a given location, it is worth asking if we actually perceive the environment as a capital that needs to be preserved for future generations and whether businesspeople are exempt from that duty. If we argue that the current condition of the environment is a priority for the society, then the society should demand an active role of businesspeople, who should – as a result – display ethical behavior because without it, the market is going to be an arena for egoistic and immoral operations (Machan 1999, pp. 596-609).
Analyzing behaviors of the interviewed businesspeople, it can be concluded that some of them have not yet shaken the remains of the former, communist system and are already „forced” to follow modern values. This assumption, however, pertains only to some companies since it must be remembered that the most dynamic development of SME in Poland took place between 2002-2008, i.e. under the new system. Therefore the impression of lack of norms most likely results from challenging, crisis-related circumstances. These may be the reason why respondents were so unwilling to share with the needy - according to the research only 31% wanted to share.
In this context it is worth considering business people’s willingness to help others in relations to their sex. The results show that sex may be one of the determinants of ethical behavior in business. Calculating the level of women’s increased sensitivity, however, requires additional research.
It may be assumed that all people want to follow socially accepted rules of behavior and only mindless individuals choose to live opportunistically and follow random motives. It turns out that the latter statement pertains to some of the interviewed businesspeople, therefore it would be advisable to remind them of
principles of common sense (utilitarian philosophy), as well as emphasize that modern business entities succeed not only in terms of sales dynamics or innovations. As practice shows, while choosing a cooperant between two equally efficient companies, usually the one which operates in honest and reliable way is selected. Consequently, such company will gain competitive advantage in the long run, one that could not be obtained in any other way. This is why enterprises increasingly often try to list elements of their corporate culture as strategic ethical programs which determine standards for: management decision-making processes, employees’ conduct, company operations on the market and in its community (Gasparski, Lewicka-Strzaecka, Rok, Szulczewski 2002, p. 25). What follows is the real value for the entrepreneurs as the market position is increasingly often related to trustworthiness, positive associations, perceived quality, reliability and fair treatment of employees; in other words, all the elements of the company image. The image is also influenced by ethics and ethics-related social responsibilities of entrepreneurs that should be treated as an investment in improving future market position of the company.
CONCLUSIONS
Deliberations presented in this paper tend to assume that businesspeople constitute a part of their society and therefore should obey social norms. Empirical research proves, however, that this „social imperative” does not translate into attitudes presented by people running small and medium-sized enterprises. The research showed that 45% of the interviewed respondents believed that there were no rules to play by. Among those who agreed that not everything is allowed in business, 28% could not name any commonly respected social rule. It
169Jurnal Ekonomi Bisnis Volume 17, No. 3, Desember 2012
could be argued, then, that Polish businesspeople are not fully convinced that ethics is a fundamental value in their operations. Although it is hard to determine whether it stems from current economic situation or is related to some other causes, one may see that a large portion of the respondents was focused on their own needs rather than social ones. Such attitude should not be fully condemned as it is commonly believed that an effective businessperson creates job opportunities, provides market offers, pays taxes and aids the development of a particular community, therefore while caring about their own business, in a sense they do care about the needs of their environment. Current situation, however, allows to advocate ethical business conduct among small and medium-sized entities’ managers, highlighting the benefits for their companies.
As this paper has shown, the literature and practice provides contradictory opinions about the role of ethics in business operations. It is worth mentioning that the less ethical the society, the less ethical the business. Irrespectively of the current situation, whether it is a bull or bear market, the level of obeying ethical norms in business management depends on general ethical sensitivity displayed by a particular society, which is both conditioned historically and related to current economic situation.
REFERENCES
Augustyniak, S 2011, 'CSR przeczuwane, na poy u wiadomione' [CSR – a half-aware inkling] [online article: http://www.cte.org.pl/index.php?docid=159].
Bessant, J 2001, 'The question of public trust and the schooling system', Australian Journal of Education, vol. 45, no. 2, pp. 207-226.
Carr, A 1968, 'Is business bluffing ethical?', Harvard Business Review, Vol. 46 (1), pp. 143-153.
Clark, DA 2002, 'Development ethics: a research agenda', International Journal of Social Economics, Vol. 29 (11), pp. 830-848.
Forum Odpowiedzialnego Biznesu [Responsible Business Forum] 2009, 'Firma=Etyka' [Company = Ethics], Issue no 1, Warsaw, p. 21.
Friedman, M. 1970, 'The Social Responsibility of Business is to Increase its Profits', The New York Times Magazine, September 13.
Gasparski, W, Lewicka-Strzaecka, A., Rok, B., Szulczewski, G. 2002, 'Etyka biznesu w zastosowaniach praktycznych: inicjatywy, programy, kodeksy', [Business ethics in practice: initiatives, programs, codes.] Centrum Etyki Biznesu IFiS PAN & WSPiZ [Business Ethics Center] and Biuro Staego Koordynatora ONZ w Polsce [UN Coordinator Office in Poland], Warsaw, p. 25.
Goulet, D 1997, 'Development ethics: a new discipline', International Journal of Social Economics, Vol. 24 (11), pp.1160-1171.
Ho ówka, J 2002, 'Etyka w dziaaniu', [Ethics in action.] Pub. Prószyski i S-ka, Warsaw, pp. 11-12.
Keeble, R 2005, 'National and local newspaper trends and the new crisis of trust – What new crisis?' , Journal of Communication Management, Vol. 9 (3), p. 223 – 232.
Machan, TR 1999, 'Entrepreneurship and ethics', International Journal of Social Economics, Vol. 26 (5), pp. 596-609.
PARP 2009, 'Raport o stanie sektora maych i rednich przedsibiorstw w Polsce w
latach 2007-2008', [Report on Polish SME in 2007-2008.] Warsaw, http://www.parp.gov.pl/index/more/9656.
Riha, TF 1994, 'Missing: Morality in the Transformation of Former Socialist Countries', International Journal of Social Economics, Vol. 21 (10), pp. 10-31.
170 Hernik, Ethics as A Foundation.....
Röpke, W 1950, 'The Social Crisis of Our Time', William Hodge and Company, Glasgow, p. 12-13.
Rose, G 2009, 'Employee trust is a precious commodity in financial crisis'. PRWeek, Vol. 12 (24), p. 24.
Sztompka, P 2007, 'Zaufanie. Fundament spoecze stwa', [Trust. The foundation of the socjety.] Pub. Znak, Cracow, p. 71.
Sztompka, P 2008, 'Odbudowa piramid . Ten kryzys to kryzys zaufania'. [Rebuilt the piramid. This crisis is a crisis of trust.] Polityka, No 43 (2677), p. 38-39.
Uslaner, EM 2010, 'Trust and the Economic Crisis of 2008', Corporate Reputation Review, Vol. 13 (2), p. 110-123.
171Jurnal Ekonomi Bisnis Volume 17, No. 3, Desember 2012
PEMBENTUKAN PORTOFOLIO YANG EFISIEN PADA SAHAM PERUSAHAAN PROPERTI YANG TERCATAT PADA
BURSA EFEK INDONESIA
Komsi Koranti
Jurusan Manajemen, Fakultas Ekonomi, Universitas Gunadarma [email protected]
Abstrak
Pemilihan sekuritas dalam investasi dimaksudkan untuk mendapatkan keuntungan dan mengurangi kemungkinan risiko. Tujuan penelitian adalah untuk menganalisis tingkat keuntungan rata–rata yang diharapkan dan kemungkinan risiko baik dari sekuritas maupun portofolio serta memberikan alternatif pemilihan portofolio efisien. Objek penelitian berupa sekuritas sektor properti saham PT Lika, PT Suma dan PT Cide. Variabel penelitian berupa tingkat keuntungan yang diharapkan serta tingkat risiko yang diterima oleh investor dari suatu pilihan investasi. Penelitian menggunakan data sekunder berupa saham properti yang terdaftar dalam Bursa Efek Indonesia, meliputi pergerakan harga saham bulanan, dari Januari 2009 sampai dengan Desember 2011. Alat analisis untuk menentukan portofolio yang efisien menggunakan metode Markowitz, dan berdasarkan masalah keuntungan yang diharapkan dari sekuritas dan Varians ( 2) atau suatu ukuran penyerapan dari penyebaran peluang. Berdasarkan hasil penelitian dapat diindikasikan bahwa bagi pencari risiko, portofolio paling efisien terdapat pada proporsi saham PT Lika 25%, PT Suma 50% dan PT Cide 25%. Portofolio tersebut menghasilkan penerimaan yang bisa diharapkan terbesar, yaitu 2,19% dan tingkat risiko 15,88%. Sebaliknya bagi penghindar risiko, portofolio paling efisien adalah proporsi saham PT Lika 30%, PT Suma 20% dan PT Cide 50%. Portofolio tersebut mempunyai pengembalian yang bisa diharapkan sebesar 0.0210870 dan tingkat risiko terkecil 11,24%. Kata Kunci : Portofolio, Efisien, Perusahaan properti
(FORMATION OF EFFICIENT PORTFOLIO IN STOCK COMPANY PROPERTY LISTED ON THE INDONESIAN STOCK EXCHANGE)
Abstract
Selection of securities in the investment is intended to gain more benefit and reduce the likelihood of risk. The research objective was to analyze the average level of expected return and possible risks of both securities and portfolios as well as providing an alternative of efficient portfolio to be selected. Object of study is the property sector securities PT Lika, PT Suma and PT Cide. There are two research variables, ie the expected return and acceptable level of risk by investors of an investment option. The study uses secondary data from property stocks listed in the Indonesia Stock Exchange, includes monthly stock price movements, from January 2009 until December 2011. An efficient portfolio was determinde using Markowitz, based on Expected Return E (Ri) issues of the securities and the variance (2) or a measure of the absorption of deployment opportunities. Based on this research can be indicated that the most efficient portfolio for Risk Seeker present in proportions of 25% shares of PT Lika, PT Suma 50% and 25% PT Cide. The portfolio generates the greatest expected return 2.19% and
172 Koranti., Pembentukan Portofolio.....
level of risk 15.88%. In contrast to the most efficient portfolio for risk averse is the proportion of 30% shares of PT Lika, PT Suma 20% and 50% PT Cide. Portfolio has an expected return of 0.0210870 and the smallest risk of 11.24%. Keywords: Portfolio, Efficient, Property companies
PENDAHULUAN
Investasi merupakan penempatan sejum-lah dana pada saat sekarang dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan di masa mendatang. Proses investasi menun-jukkan bagaimana seorang investor membuat keputusan investasi pada efek-efek yang biasa dipasarkan dan kapan dilakukan. Hal tersebut didasarkan pada kenyataan bahwa hampir semua investasi mempunyai tingkat resiko yang berbeda-beda atau terdapat unsur ketidakpastian.
Setelah mengalami keterpurukan saat krisis ekonomi 1997/1998, bidang pro-perti secara perlahan mulai bangkit seiring dengan meningkatnya pertum-buhan ekonomi Indonesia. Seperti dalam Economic Outlook 2009 bahwa karena bisnis properti masih akan tumbuh hingga beberapa tahun ke depan.
Portofolio dinyatakan sebagai se-kumpulan aset yang dimiliki untuk tujuan ekonomis tertentu.Tahap ini menyangkut identifikasi sekuritas-sekuritas mana yang akan dipilih dan berapa proporsi dana yang akan ditanamkan pada masing-masing sekuritas tersebut. Pemilihan banyaknya sekuritas, dimana pemodal melakukan diversifikasi dimaksudkan untuk mengurangi risiko yang ditang-gung. Pemilihan sekuritas ini dipengaruhi antara lain oleh preferensi risiko, pola kebutuhan kas, status pajak dan sebagainya.
Investasi menurut Reily dan Brown (2000) terkait dengan sejumlah dana tertentu yang dikorbankan untuk men-dapatkan hasil lebih baik dimasa men-datang, dimana dalam rentang waktu tersebut terkandung unsur ketidakpastian. Pemodal harus menentukan sekuritas apa yang dipilih, berapa banyak investasi dan kapan investasi dilakukan. Dalam meng-
ambil keputusan tersebut diperlukan langkah-langkah seperti menentukan kebijakan investasi, analisis sekuritas, pembentukan portofolio dan evaluasi revisi portofolio.
Untuk memperoleh portofolio yang diinginkan maka seorang investor harus melakukan analisis yang memberikan ke-untungan maksimum. Investor yang rasional akan memilih portofolio yang memberi keuntungan maksimal pada tingkat risiko tertentu (Stambaugh, 1996; Jorion, 2002). Salah satu strategi investor untuk meminimalkan risiko investasi pada saham adalah dengan melakukan diversifikasi. Diversifikasi dimaksudkan dengan menginvestasikan dana dalam beberapa saham yang akan membentuk portofolio.
Investor yang realistik menurut Mao (1976) dikutip dalam Wahyudi (2002) akan melakukan investasi tidak hanya pada satu jenis investasi, akan tetapi melakukan diversifikasi pada investasi dengan pengharapan akan dapat me-minimalkan risiko dan memaksimal-kan keuntungan.
Dalam kenyataannya akan sulit membentuk portofolio yang terdiri dari semua kesempatan investasi, dengan demikian biasanya dipergunakan sebuah pendekatan yang terdiri dari sejumlah besar saham atau indeks pasar. Seperti halnya di Bursa Efek Jakarta yang menggunakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), terdapat berbagai portofolio investasi yang tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI), antara lain saham dibidang properti. Faktor-faktor yang menentukan harga saham di pasar adalah taksiran penghasilan yang akan diterima dan besarnya risiko yang ditanggung investor.
173Jurnal Ekonomi Bisnis Volume 17, No. 3, Desember 2012
Pembentukan portofolio mempu-nyai tujuan utama untuk mengeleminasi risiko dengan metode membuat berbagai pilihan atau penganekaragaman kepemi-likan efek. Berdasarkan pemikiran tersebut maka perlu dilakukan analisis portofolio supaya calon investor dapat memilih portofolio yang dianggap paling efisien.
Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis tingkat keuntungan yang diharapkan investor dan risiko dari sekuritas maupun dari portofolio. Selan-jutnya hasil analisis diharapkan akan bisa dipakai untuk memberikan berbagai alternatif bagi investor terhadap pemi-lihan investasi portofolio yang efisien.
METODE PENELITIAN
Objek penelitian berupa sekuritas sektor properti saham PT Lika, PT Suma dan PT Cide. Variabel dalam penelitian berupa tingkat keuntungan, yaitu merupakan ke-untungan yang diharapkan dari suatu pilihan investasi serta tingkat risiko berupa kemungkinan risiko yang diterima oleh investor dari suatu pilihan investasi.
Penelitian menggunakan data se-kunder berupa saham properti yang terdaftar dalam Bursa Efek Indonesia. Data penelitian meliputi pergerakan harga saham bulanan, dari Januari 2009 sampai dengan Desember 2011.
Alat analisis yang dipergunakan dalam penelitian untuk menentukan portofolio yang efisien adalah metode Markowitz. Markowitz mengembangkan suatu bentuk diversifikasi yang efisien, dengan ukuran Koefisien Korelasi. Dalam metode Markowitz berdasarkan dua masalah keuntungan yang diharapkan dari sekuritas dan suatu ukuran pe-nyerapan dari penyebaran peluang. Sedangkan asumsi dalam model Markowitz adalah: a. Waktu yang digu-nakan satu periode, b. Tidak ada biaya transaksi, c. Preferensi investor hanya didasarkan pada return ekspektasi dan
risiko dari portofolio dan d. Tidak ada pinjam dan simpanan bebas risiko.
Tingkat Keuntungan yang diha-rapkan dari investasi dapat dinyatakan pada Persamaan 1.
Rit = ((Pit + 1) – Pit)/ Pit (1)
Rit merupakan tingkat keuntungan dari saham i pada periode ke-t. Pit adalah harga saham i pada periode ke-t. Pit + 1 adalah harga saham i pada periode ke-t + 1. Prediksi tingkat keuntungan rata-rata yang diharapkan atau E(Ri), dapat di-prediksi dari tingkat keuntungan dari saham i pada periode ke-t dan jumlah periode. Prediksi tersebut seperti yang terdapat dalam persamaan (2).
E(Ri) = NitRN
i/)(
0 2)
Perhitungan yang digunakan dalam memprediksi tingkat risiko investasi adalah varians dan standar deviasi, yaitu seperti dinyatakan pada persamaan (3) dan (4).
i 2 = NRiitR
N
i/)]( 2[(
0 ] (3)
i = i
2 (4) i2 sebagai standar deviasi atau tingkat
risiko dan 1 merupakan besaran varians. Tingkat keuntungan yang diharapkan dari portofolio E (Rp) diprediksi dengan memasukkan komposisi dana sekuritas dalam portofolio ke dalam persamaan (5).
E (Rp) = (5)
Xi adalah proporsi dana pada saham i. E(Ri) adalah tingkat keuntungan yang diharapkan dari saham i. Sedangkan risiko kegagalan yang dihadapi atau variansi portofolio dapat diprediksi dengan rmenggunakan persamaan (6).
174 Koranti., Pembentukan Portofolio.....
P2
Kometing
rxy
rxy harpaddugdik
sekadaPTtuadendanKoharharRpakhjug
2 = X 12
12
oefisien koengetahui kgkat keunt
=
(N
adalah koerga variabelda saham. Ygaan nilai Yketahui.
Rata-rata h
kuritas taalah Rp.45.Lika Rp.7
atif dialami ngan kisaran cenderungondisi yangrga saham rga saham .910 dan chir tahun, ga mengalam
2 + X22 2
2
+ 2 (X2 X
orelasi dikorelasi (hutungan. Un
2(
XN
X
efisien korel bebas atauY adalah takY untuk harg
Gambar 1.
harga sahamahun 200950, PT.Sum737. Perger
oleh hargaan antara Rg menurun pg serupa ju
pada PT.SuPT.Lika a
cenderung meskipun
mi fluktuasi
0
100
200
300
400
500
600
700
800
900
1000
2 + X32 3
2
X3 23 2 3)
gunakan ubungan) antuk menge
)2
(
(XY
X
elasi. X adalu proporsi daksiran atau ga X yang
Harga saha
Su
m bulanan d pada PT
ma Rp.454akan yang a saham PTRp.184 – Rpada akhir t
uga dialamiuma. Sedanantara Rp.6meningkat
n pergerakai.
2009
2 + 2 (X1 X (6
untuk antara etahui
bd
2
)(
N
YX
Y
lah ana
H
PsPd
am bulanan (Dalam
umber: Dat
dalam T.Cide 4 dan
fluk-T.Cide Rp.790 tahun. i oleh ngkan 610 –
pada annya
brRHRdtRksba
2010
X2 12 1 2))
besarnya kdalam persa
)(
)
Y
Y
(7)
HASIL DA
Pergerakan sekuritas PT.Cide, Pdigambarka
dalam sekum rupiah) ta diolah (20
Pada tbulanan darata-rata Rp.415 daHarga sahaRp.820 dendan cendetahun. HarRp.160 - Rkat pada aksaham PT.bergerak flalami penur
2
) + 2 ( X1 X
koefisien kamaan (7).
)2
AN PEMBA
harga sahtahun 20
PT.Suma daan seperti
uritas tahun
013)
tahun 201alam sekurit
Rp.552, an PT.Lika am PT.Cidengan pergeerung menrga saham
Rp.600 dan khir tahun. Lika antarauktuasi danrunan pada
2011
X3 13 1 3)
korelasi din
AHASAN
ham bulanan009 rata-raan PT.Likadalam Gam
n 2009 – 201
10, harga tas tahun PT.Suma
rata-rata e antara Rerakan berfngecil pad
m PT.Sumacenderung Sedangkan
a Rp.510 –n cenderungakhir tahun
PT Cide
PT Suma
PT Lika
)
nyatakan
n dalam ata pada a dapat mbar 1.
11
saham PT.Cide rata-rata Rp.703.
Rp.270 – fluktuasi a akhir
a antara mening-n harga – Rp.840 g meng-
n.
175Jurnal Ekonomi Bisnis Volume 17, No. 3, Desember 2012
Selanjutnya harga saham bulanan rata-rata dalam sekuritas tahun 2011 pada PT.Cide adalah Rp.536, PT.Suma adalah Rp.919 dan PT.Lika adalah Rp.557. Harga saham PT.Cide antara Rp.335 – Rp.890 dengan pergerakan berfluktuasi dan cenderung mengecil pada akhir tahun. Harga saham PT.Suma antara Rp.700 - Rp.1160 dengan kecenderungan meningkat pada akhir tahun. Sedangkan harga saham PT.Lika antara Rp.425 – Rp.680 bergerak fluk-tuasi dan cenderung meningkat pada akhir tahun.
Berdasarkan deskripsi data pergerakan harga saham bulanan sekuritas dari tahun 2009 sampai dengan 2011, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa harga saham PT.Cide berkisar diantara Rp 184 – Rp 890, PT.Lika antara Rp 425 – Rp 910 dan PT.Suma antara Rp160 – Rp 1160. Fluktuasi harga saham tersebut diprediksi sebagai salah satu dampak mulai bangkitnya pertumbuhan ekonomi Indonesia setelah krisis ekono-mi. Pertumbuhan ekonomi yang dialami Indonesia mengakibatkan berbagai perkembangan bisnis yang selama ini mengalami keterpurukan. Kondisi yang sama juga dinyatakan dalam Economic Outlook 2009 bahwa bisnis properti masih akan bertumbuh untuk masa-masa mendatang.
Selanjutnya informasi dari deskripsi harga saham tersebut, dapat digunakan untuk memprediksi tingkat keuntungan yang diperoleh untuk setiap sekuritas. Kondisi dimana tingkat keuntungan bernilai positif, dapat diartikan bahwa penanaman saham men-dapatan keuntungan. Sebaliknya apabila tingkat keuntungan saham mempunyai nilai negatif, berarti penanam saham mendapatan kerugian. Kerugian dapat diartikan sebagai suatu kondisi dimana menjual saham yang dimiliki di bawah harga pembelian. Apabila diperoleh nilai tingkat keuntungan saham nol, maka investor berada pada posisi impas yaitu
tidak mengalami keuntungan maupun kerugian. Seperti juga dibuktikan dalam penelitian Hui dan Lina (2011) bahwalaba per saham merupakan salah satu faktor yang memiliki pengaruh terhadap kebijakan deviden. Ketiga kondisi tersebut dapat diprediksi dengan menggunakan Persamaan 1, yaitu untuk menghitung tingkat keuntungan bulanan sekuritas.
Tingkat keuntungan rata-rata yang diharapkan dari saham diperoleh dengan menggunakan Persamaan 2. Selanjutnya hasil perhitungan tingkat keuntungan rata-rata yang diperoleh, disajikan dalam tabel 1. Keuntungan rata-rata yang diper-oleh pada sekuritas PT.Lika, PT.Suma dan PT.Cide adalah sama-sama bernilai positif. Dengan demikian berarti investasi tersebut diprediksi akan mengalami keuntungan, yaitu masing-masing sebesar 0.00155422 (0.155%); 0.0024437 (0.155%) dan 0.00230737 (0.155%).
Standar deviasi merupakan salah satu tolok ukur dalam menghitung risiko investasi pada sekuritas. Dengan meng-gunakan Persamaan 3 dan Persamaan 4 maka hasil perhitungan tingkat risiko investasi pada sekuritas PT. Lika, PT. Suma dan PT.Cide adalah seperti yang tertera pada tabel 1.
Merujuk pada penelitian yang dila-kukan Sartono (2006), bahwa terdapat korelasi positif antara standar deviasi dan return portofolio, baik pada portofolio yang dihasilkan dengan menggunakan metode rata-rata-ragam maupun metode rata-rata-penyimpangan absolut. Terdapat kelemahan secara statistik dalam metode tersebut bahwa hasil pengujian kore-lasinya dinyatakan tidak cukup kuat. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa standar deviasi kurang cukup baik untuk dipergunakan sebagai tolok ukur risiko suatu portofolio.
Berdasarkan Tabel 1 dapat dilihat bahwa tingkat risiko terbesar dimiliki oleh saham PT. Suma sebesar 48.74%, diikuti oleh saham PT.Cide sebesar
176 Koranti., Pembentukan Portofolio.....
47,36% dan tingkat risiko terendah dimiliki oleh saham PT. Lika, yaitu sebesar 3.89%. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tingkat keuntungan dan risiko terbesar dimiliki oleh saham PT. Suma, yaitu 0.244% dan 0.048%.
PT. Cide memiliki tingkat keuntungan dan risiko tingkat menengah, yaitu sebesar 0.230% dan 0.047%. Sedang-kan tingkat keuntungan dan risiko terkecil dimiliki oleh saham PT. Lika sebesar 0,155% dan 0.038%.
Tabel 1.
Tingkat Keuntungan Bulanan, Keuntungan Rata-rata dan Resiko Rata-rata Sekuritas Sekuritas Tingkat
Keuntungan Bulanan
Tingkat Keuntungan Rata-rata (Rp)
Tingkat Keuntungan Rata-
rata (%)
Tingkat Resiko Rata-rata ()
PT.Lika 0.055951933 0.00155422 0.155% 0.038872200 PT.Suma 0.087974059 0.0024437 0.244% 0.048742619 PT.Cide 0.083065295 0.00230737 0.231 % 0.047363234
Perhitungan besarnya koefisien korelasi antar sekuritas menggunakan Persamaan 7. Tabel 2 merupakan hasil perhitungan koefisien korelasi antar sekuritas.
Tabel 2.
Koefisien Korelasi antar Sekuritas Sekuritas Koefisien korelasi PT Lika dengan PT Suma 0.162 PT Cide dengan PT Suma 0.487 T Cide dengan PT Lika 0.115
Dalam menentukan proporsi investasi
dapat digunakan metode berbeda-beda sehingga menghasilkan berbagai alter-natif. Seperti dalam penelitian Taufik (2005) menggunakan algoritma genetika dalam model Markowitz, yang me-representasikan kumpulan yang efisien dengan meng-gunakan representasi tidak langsung untuk menghindari solusi yang tidak layak dan fungsi penalti. Dari hasil yang telah diimplementasikan dapat di-simpulkan bahwa metode tersebut dapat digunakan sebagai salah satu metode yang cukup berhasil dalam menemukan titik optimum dari sebuah portofolio.
Pendapat yang sama dikemukakan dalam penelitian Piyatna (2003), bahwa permasalahan pokok dalam penelitian tersebut adalah memilih dua saham unggulan dan proporsi dana yang akan
diinvestasikan dalam pembentukan suatu portofolio. Optimasi portofolio investasi dilakukan dengan menggunakan model Markowitz. Dari empat saham unggulan versi LQ45 yang dianalisis menunjukkan bahwa saham HM Sampurna dan Telkom memberikan hasil yang optimum dalam pembentukan portofolio investasi dengan proporsi dana berturut-turut sebesar 51% dan 49%.
Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini untuk menentukan proporsi investasi adalah dengan menggunakan bilangan acak, sehingga didapatkan berbagai kombinasi sekuritas atau portofolio. Dalam penelitian ini diguna-kan tujuh pilihan portofolio dengan kondisi yang variatif. Rangkuman dari variasi proporsi investasi dalam penelitian ini disajikan dalam Tabel 3.
177Jurnal Ekonomi Bisnis Volume 17, No. 3, Desember 2012
Tabel 3. Proporsi Investasi pada Portofolio Ketiga Sekuritas (%)
Kondisi Portofolio Proporsi Investasi PT. Lika PT. Suma PT. Cide
I 1 33.33 33.33 33.33 II 2 50.00 20.00 30.00
3 45.00 30.00 25.00 III 4 25.00 50.00 25.00
5 30.00 40.00 30.00 IV 6 30.00 30.00 40.00
7 30.00 20.00 50.00
Ada 4 jenis kondisi yang tertera pada Tabel 3, yaitu kondisi I adalah kondisi proporsi dana setiap jenis saham sama besar; Kondisi II adalah kondisi proporsi dana pada PT. Lika mayoritas lebih besar; Kondisi III adalah kondisi proporsi dana pada PT. Suma mayoritas lebih besar dan kondisi IV adalah kondisi proporsi dana pada PT. Cide mayoritas lebih besar.
Pembentukan portofolio terdapat aturan bahwa proporsi dana yang di-investasikan pada masing-masing saham harus berjumlah satu. Kerugian yang
terjadi pada portofolio diharapkan tidak terkonsentrasi pada satu macam saham. Dengan demikian kerugian pada satu jenis saham mungkin akan tertutup oleh keuntungan yang diperoleh pada jenis saham yang lainnya.
Tingkat keuntungan dapat diprediksi dengan memasukkan komposisi dana dari setiap sekuritas portofolio ke dalam Persamaan 5. Hasil perhitungan dari tingkat keuntungan masing-masing portofolio, disajikan dalam Tabel 4.
Tabel 4.
Tingkat Keuntungan Masing-masing Portofolio
Kondisi Portofolio Erp
PT Lika Erp
PT Suma Erp
PT Cide E(rp)
1 0.051802 0.081449 0.076905 0.0210156 I 2 0.077711 0.048874 0.069221 0.0195807
3 0.06994 0.073312 0.057684 0.0200936 III 4 0.038856 0.122186 0.057684 0.0218726
5 0.046627 0.097749 0.069221 0.0213597 IV 6 0.046627 0.073312 0.092295 0.0212233
7 0.046627 0.048874 0.115368 0.0210870
Dari hasil Tabel 4 dapat dilihat bahwa tingkat keuntungan terbesar terdapat pada portofolio ke-4 yaitu sebesar 2,18% dengan proporsi dana PT. Lika, PT. Suma dan PT. Cide adalah 25:50:25. Sedangkan tingkat keuntungan terendah terdapat pada portofolio ke-2 yaitu sebesar 1,96% dengan proporsi dana PT. Lika, PT. Suma dan PT. Cide adalah 50:20:30.
Dalam pemilihan jenis saham dalam portofolio investor akan menghadapi berbagai tingkat risiko. Selain keuntungan maka kemungkinan investor juga akan
menghadapi risiko kegagalan. Dengan demikian perlu diperhitungkan berbagai risiko tersebut atau dikenal dengan ragam portofolio menggunakan Persamaan 6.
Setelah diketahui besarnya ragam portofolio ( p2) maka selanjutnya dapat diperhitungkan risiko portofolio atau standar deviasi (p) dengan Persamaan 8.
p = p2 (8)
Dengan demikian maka hasil perhitungan tersebut dapat dirangkum dalam Tabel 5.
178 Koranti., Pembentukan Portofolio.....
Tabel 5. Ekspektasi pengembalian dan Standar Deviasi Portofolio
Kondisi portofolio Proporsi Investasi p E(rp)
PT Lika PT Suma PT Cide I 1 33.33 33.33 33.33 0,12131 0.0210156 II 2 50.00 20.00 30.00 0,13422 0.0195807
3 45.00 30.00 25.00 0,12661 0.0200936 III 4 25.00 50.00 25.00 0,12217 0.0218726
5 30.00 40.00 30.00 0,15102 0.0213597 IV 6 30.00 30.00 40.00 0,13215 0.0212233
7 30.00 20.00 50.00 0,11244 0.0210870 Kombinasi besarnya proporsi saham
pada Tabel 5 adalah berbeda-beda, sehingga menghasilkan ekspektasi pe-ngembalian maupun tingkat resiko yang beragam. Berdasarkan Tabel 5 maka ter-lihat bahwa terdapat ekspektasi pengembalian terbesar ke terkecil dengan urutan pada kombinasi portofolio ke-4, ke-5, ke-6, ke-7, ke-1, ke-3 dan terkecil pada portofolio ke-2. Sedangkan tingkat resiko terkecil terdapat pada kombinasi portofolio ke-7, disusul portofolio ke-1, ke-4, ke-3, ke-6, ke-2 dan resiko terbesar pada kombinasi portofolio ke-5. Secara umum pada kombinasi portofolio yang memiliki tingkat resiko besar, meng-hasilkan ekspektasi pengembalian relatif kecil. Sebaliknya pada kombinasi por-tofolio yang memiliki tingkat resiko kecil, cenderung menghasilkan ekspektasi pengembalian yang relatif besar.
Ada beberapa kondisi khusus yang bisa diperoleh dari hasil perhitungan pada Tabel 5. Kombinasi portofolio ke-4 memiliki ekspektasi pengembalian pa-ling besar dan tingkat risiko yang relatif sama dengan tingkat risiko pada kom-binasi portofolio ke-3 dan ke-1. Demikian juga pada kombinasi por-tofolio ke-7, memiliki tingkat risiko yang paling kecil, apabila dibandingkan dengan tingkat ekspektasi pengembalian yang sama yaitu kombinasi portofolio ke-1.
Portofolio yang efisien merupakan portofolio yang memberikan tingkat keuntungan yang terbesar dengan risiko yang sama atau portofolio yang mem-
punyai risiko terkecil dengan tingkat keuntungan yang sama. Seperti dalam Atarmono (2001), bahwa kunci dari pemilikan portofolio investasi yang op-timal adalah bagaimana kemampuan in-vestor tersebut dalam mengukur tingkat risiko dan tingkat keuntungan yang di-terimanya dalam memilih portofolio in-vestasi tersebut. Selanjutnya dalam pe-nelitian Yuniarti (2010) bahwa ukuran kinerja portofolio dalam investasi me-nunjukkan kinerja yang sangat efisien dengan menghasilkan keuntungan yang lebih besar dari pada keuntungan pasar.
Berdasarkan análisis pemilihan jenis saham dalam portofolio di atas, maka dapat diperoleh hasil untuk menentukan portofolio yang efisien sebagai berikut:
a. Portofolio dengan tingkat ke-untungan terbesar dengan risiko yang sama, terdapat pada jenis portofolio ke-4, dengan proporsi dana saham PT. Lika 25%, PT. Suma 50% dan PT. Cide 25%. Portofolio tersebut menghasilkan ekspektasi pengembalian sebesar 2,19% dan tingkat risiko 15,88%.
b. Portofolio dengan tingkat risiko terkecil dengan tingkat keun-tungan yang sama, terdapat pada jenis portofolio ke-7, dengan pro-porsi dana saham PT. Lika 30%, PT. Suma 20% dan PT. Cide 50%. Portofolio tersebut menghasilkan ekspektasi pengembalian sebesar 0.0210870 dan tingkat risiko 11,24%.
179Jurnal Ekonomi Bisnis Volume 17, No. 3, Desember 2012
Dalam penelitian Praptiningsih (2012) diperoleh hasil tiga saham yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia memiliki hu-bungan positif dengan market return; reaksi investor terhadap masing-masing saham tidak saling berkaitan; model portfolio yang digunakan menghasilkan varian atau resiko semakin kecil; dan ekspektasi laju pengembalian mencapai 2.2 % pada tingkat deviasi antara 8.8 % sampai 9.,2 %.
Selanjutnya dalam pemilihan porto-folio yang efisien, setiap investor bebas untuk menentukannya. Terdapat beberapa pandangan setiap tipe investor dalam pemilihan portofolio antara lain terdapat tipe pencari risiko dan penghindar risiko. Investor tipe pencari risiko merupakaninvestor yang berani menghadapi risiko atau resiko besar dengan mengharapkan pengembalian tertinggi. Dalam penelitian ini kombinasi portofolio ke-4 merupakan pilihan tepat bagi investor tersebut. Alasan dalam pemilihan ini adalah karena portofolio ini memberikan tingkat risiko dan keuntungan terbesar diantara por-tofolio yang lain. Sebaliknya investor tipe peng-hindar risiko merupakan investor yang bersifat menghindari risiko atau mengambil resiko sekecil mungkin. Peng-hindar risiko akan memilih portofolio dengan risiko terendah dan menerima tingkat keuntungan terendah pula. Dengan demikian portofolio ke-7 me-rupakan pilihan tepat bagi penghindar risiko, karena portofolio ini memberikan tingkat risiko dan keuntungan terkecil diantara portofolio yang lain.
SIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan dari hasil penelitian yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan bahwa selama periode Januari 2009 sam-pai Desember 2011 sekuritas PT. Lika diperkirakan menghasilkan keuntungan 0.16% dan tingkat risiko 3.9%. Ke-untungan yang diperoleh PT. Suma berkisar 0.24% dan tingkat risiko 4.9%.
Sedangkan PT. Cide kemungkinan meng-hasilkan keuntungan 0.23% dan tingkat risiko 4.7%.
Dari tujuh kombinasi portofolio, kombinasi portofolio ke-4 adalah paling efisien bagi investor tipe pencari risikodengan proporsi saham PT. Lika 25%, PT. Suma 50% dan PT. Cide 25%. Portofolio tersebut menghasilkan ek-spektasi pengembalian terbesar 2,19% dan tingkat risiko 15,88%. Sebaliknya pertimbangan bagi penghindar risiko portofolio yang paling efisien adalah tipe ke-7, dengan proporsi saham PT. Lika 30%, PT. Suma 20% dan PT. Cide 50%. Portofolio tersebut menghasilkan ek-spektasi pengembalian sebesar 0.0210870 dan tingkat risiko terkecil yaitu 11,24%.
Mengingat bahwa penelitan ini masih terbatas menggunakan metode Markovitz, maka bagi penelitian selan-jutnya dapat memperluas lingkup pe-nelitian dengan menggunakan berbagai metode lain seperti metode indeks tung-gal, metode multi indeks, model CAPM dan sebagainya. Terdapat kelemahan pada metode Markovitz yaitu tidak ada pen-jelasan mengenai batas waktu, sehingga perlu dilakukan simulasi waktu yang lebih bervariasi untuk menjelaskan diversifikasi tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Atarmono, 2001, Analisis Portofolio Saham untuk menentukan return optimal dan Risiko Minimal, Jurnal JIPTUNMREPP, Vol.2, No.2 (September).
Hui H.dan L. Lina, 2011, ” Analisis Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Kebijakan Dividen pada Perusahaan Manufaktur yang Ter-daftar di Bursa Efek Indonesia” Jurnal Akuntansi 15 (3)
180 Koranti., Pembentukan Portofolio.....
Jorion, P. 2002. Value at Risk: The New Benchmark for Managing Financial Risk. The McGraw-Hill Companies, Inc.
Praptiningsih M, 2012. “Applying Portfolio Selection: A Case of Indonesia Stock Exchange” Jurnal Manajemen dan Kewirausahaan 14 (1) 13–22
Priyatna Y. dan F. Sukono, 2003, “Optimasi Portofolio Investasi dengan Menggunakan Model Markowitz” Jurnal Matematika dan Komputer 6 (1) 1–10
Reilly, Frank K., Keith C. Brown, 2000, Investment Analysis an Portofolio Management, The Dryden Press, 6 th edition
Sartono R. A, 2006 “Var Portfolio Optimal: Perbandingan antara Metode Markowitz dan Mean Absolute Deviation” Jurnal Siasat Bisnis 11(1) 37–50
Stambaugh, F. 1996. Risk &Value at Risk. European Management Journal. Vol.14, pp. 612 – 621
Taufiq W. N, 2005, “Penggunaan Algoritma Genetika untuk Pemilihan Portfolio Saham dalam Model Markowitz” Jurnal Informatika 6 (2) 105–109
Wahyudi, H.D.2002. Analisis Investasi dan Penentuan Portofolio Saham Optimal di Bursa Efek Jakarta. Jurnal Akuntansi dan Keuangan, Vol. 1. No.2.
Yuniarti S. 2010 “Pembentukan Portofolio Optimal Saham-saham Perbankan dengan Menggunakan Model Indeks Tunggal” Jurnal Keuangan dan Perbankan 14 (3) 459–466
181Jurnal Ekonomi Bisnis Volume 17, No. 3, Desember 2012
MANAJEMEN PEMELIHARAAN PENCEGAHAN PADA KOMPONEN PERALATAN REBUSAN
Ina Siti Hasanah1
Machfud2
Sukardi3
Erliza Hambali4
1Jurusan Teknik Industri, Fakultas Teknologi Industri Universitas Gunadarma, [email protected]
2,3,4 Teknologi Industri Pertanian, Institut Pertanian Bogor, [email protected]
Abstrak
Pemeliharaan pencegahan pada suatu sistem sangat diperlukan untuk menjaga agar kegiatan produksi tidak berhenti. Kehandalan suatu sistem yang baik terlihat dari jarangnya terjadi kerusakan pada sistem. Penelitian ini bertujuan untuk merencanakan pemeliharaan pencegahan komponen peralatan rebusan. Untuk itu pertama sekali didentifikasikan distribusi kerusakan komponen menggunakan uji kebaikan suai. Perencanaan pemeliharaan pencegahan kemudian disimulasikan. Hasil simulasi menunjukkan bahwa tindakan pemeliharaan pencegahan untuk komponen Seal pintu rebusan sebaiknya dilakukan setiap 356 jam dengan kehandalan meningkat sebesar 29,08% pada t = 1039,9207. Tindakan pemeliharaan pencegahan untuk komponen V-Belt sebaiknya dilakukan setiap 1205 jam dengan kehandalan meningkat sebesar 37,813% pada t = 1969,613.
Kata Kunci: pemeliharaan pencegahan, kehandalan.
PREVENTIVE MAINTENANCE MANAGEMENT FOR STEW EQUIPMENT
Abstract
Preventive maintenance on a system is very important to maintain production activities run smoothly. The reliability of a good system is represented by rare failure of the system. The objective of the study was to plan preventive maintenance of stew equipment components. This was done firstly by identifying failure distribution of components using goodness of fit test. Planning preventive maintenance subsequently was simulated. Result showed that preventive maintenance for seal stew component should be performed in every 356 hours. For this case the component reliability would be increased by 29,08% at t = 1039,9207. Preventive maintenance for V-Belt components should be performed in 1205 hours, and the reliabilty would be increased by 37,813% at t = 1969,613.
Keywords : preventive maintenance, reliability.
PENDAHULUAN
Perusahaan yang bergerak di industri manufaktur dengan volume yang tinggi dan memproduksi secara terus-menerus akan selalu melakukan perawatan pada mesinnya, karena setiap kegagalan kom-
ponen mesin secara langsung mem-pengaruhi produktivitas dan kualitas produk (Lin, 1995). Salah satu per-usahaan yang bergerak di industri manufaktur ini adalah perusahaan yang memproduksi minyak sawit kasar.
182 Siti Hasanah, dkk., Manajemen Pemeliharaan .....
Menurut Ismail, dkk (2009) penyebab meningkatnya kerusakan mesin adalah kesulitan dalam mencari suku cadang yang diperlukan untuk penggantian kom-ponen peralatan dan perbaikan mesin. Hal ini pun dialami oleh pabrik kelapa sawit dalam pengadaan suku cadang dan penjadwalan pemeliharaan pencegahan, sehingga perlu menentukan kapan pe-meliharaan pencegahan dilakukan agar kegiatan pemeliharaan bisa optimal.
Zeng (1997) menekankan secara teknis dan ekonomis diperlukan pemeli-haraan pencegahan dan prediktif melalui pengembangan sistem pemeli-haraan untuk mempertahankan sistem manu-faktur berjalan dengan baik. Menurut Machani (2010) perencanaan produksi dan pemeliharaan pencegahan yang ter-integrasi mengoptimalkan sistem meng-gunakan algoritma genetika. Sachdeva, dkk (2008) membuat jadwal pemeli-haraan pencegahan dengan memper-timbangkan ketersediaan, biaya pemeli-haraan, dan biaya siklus hidup sebagai kriteria optimasi menggunakan algoritma genetika dan stochastic petri net. Sumber daya yang terbatas dan langka membuat Khanlari, dkk (2008) memprioritaskan peralatan dengan menggunakan aturan-aturan fuzzy.
Pengelolaan pemeliharaan masing-masing peralatan/mesin adalah unik ter-gantung dari karakteristik mesin / pe-ralatan dan kebijakan manajemen produksi. Peralatan perebusan memiliki karakteristik sendiri dan utilitasnya ter-gantung dari kepadatan jadwal peng-gunaan. Tujuan penelitian ini dengan demikian adalah mengidentifikasi dis-tribusi kerusakan komponen peralatan perebusan dan mensimulasikannya agar kehandalan komponen peralatan me-ningkat.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan data sekunder. Data sekunder yang digunakan adalah
jenis-jenis peralatan produksi, komponen-komponen peralatan, selang waktu keru-sakan, dan waktu penggantian komponen yang rusak.
Teknik analisis data menggunakan pengujian kebaikan suai untuk mencari distribusi kerusakan peralatan yang cocok. Nilai rata-rata waktu kegagalan (MTTF) dan rata-rata waktu perbaikan (MTTR) untuk masing-masing komponen kemudian dihitung. Menggunakan infor-masi distribusi kerusakan, MTTF, dan MTTR pemeliharaan pencegahan kompo-nen selanjutnya dijadwalkan.
Menurut Dhillon (2002) pemeliharaan pencegahan adalah suatu tindakan yang dilakukan pada jadwal yang direncanakan, berkala untuk mencegah timbulnya kerusakan mesin. Kondisi mesin akan mengalami penurunan apabila dipakai terus menerus, oleh karena itu perlu dilakukan pemeliharaan pencegahan secara berkala.
Kehandalan merupakan kemampuan dimana sebuah fasilitas (baik mesin, peralatan, maupun sistem) dapat menja-lankan fungsinya dengan baik. Jadi keandalan dapat pula berarti sebagai probabilitas/kemungkinan suatu fasilitas untuk dapat berfungsi dengan baik selama periode waktu. Keandalan adalah ke-mampuan dari sebuah peralatan untuk tidak mengalami kerusakan selama proses berlangsung (Ebeling, 1997).
Distribusi yang digunakan dalam keandalan adalah (Ben Daya, 2009) : a. Distribusi Normal :
R(t) = t
1 ................(1)
MTTF = .............................. (2) b. Distribusi Lognormal :
R(t) = tln
1 ........... (3)
MTTF = tmed exp(s2/2)...….. (4) c. Distribusi Eksponensial :
R(t) = te ......................... (5)
MTTF = 1
.......................... (6)
183Jurnal Ekonomi Bisnis Volume 17, No. 3, Desember 2012
d. Distribusi Weibull :
R(t) = )/(te ................. (7)
MTTF = 1
1 ............ (8)
Kehandalan dapat meningkat dengan cara pemeliharaan pencegahan. Menurut Ebeling (1997), model kehandalan berikut mengasumsikan sistem kembali ke kondisi baru setelah melakukan pemeliharaan pencegahan. Kehandalan dinyakan sebagai berikut :
Rm(t) = R(t) untuk 0 t < T Rm(t) = R(T)n.R(t-nT) untuk nT t (n+1)T, dimana n = 1, 2, 3, .... dst
dimana n = jumlah perawatan Rm(t) = reliability dengan peme-
liharaan pencegahan R(T)n = probabilitas kehandalan
sampai selang waktu peme-liharaan
R(t-nT) = probabilitas kehandalan un-tuk waktu t-nT dari tinda-kan pemeliharaan pencegah-an yang terakhir.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dalam pabrik kelapa sawit, pengolahan tandan buah segar (TBS) melalui beberapa stasiun, yaitu stasiun penerimaan, stasiun perebusan, stasiun penebahan, stasiun pengempaan, stasiun pemurnian minyak, stasiun pemisahan biji, stasiun pe-nimbunan minyak, dan stasiun yang mendukung proses pengolahan tersebut, seperti stasiun boiler dan stasiun
pengolahan air. Setiap stasiun terdiri dari beberapa peralatan atau mesin seperti fruit conveyer, screw press, vibrating screen,tangki minyak mentah, dan lain-lain.
Diidentifikasi peralatan yang paling kritis (peralatan yang sering mengalami kerusakan) adalah mesin rebusan. Mesin rebusan memiliki komponen yang paling kritis (komponen yang sering mengalami kerusakan) yaitu seal pintu rebusan, V-Belt dan L Boch.
Mesin atau peralatan rebusan ini terdapat pada stasiun rebusan. Dalam proses perebusan, TBS dipanaskan dengan uap pada suhu 135-150C dan tekanan 2,5-3,0 atm selama 90 menit. Proses perebusan ditujukan agar memudahkan pelepasan brondolan, karena suhu yang tinggi selama perebusan yang meng-akibatkan pektin terhidrolisa menjadi asam-asam pektin sehingga brondolan mudah lepas.
Pada stasiun perebusan terdapat empat buah perebusan yang dibuat tahun 2002 dengan ukuran 2,10x30 meter. Satu buah perebusan bisa memuat sepuluh lori dalam satu kali perebusan TBS.
Seal pintu rebusan merupakan salah satu komponen penting dari rebusan. Waktu kerusakan (TTR) dan waktu kegagalan (TTF) seal pintu rebusan di-tunjukkan oleh Tabel 1. TTR merupakan lamanya perbaikan hingga mesin dapat berfungsi kembali. TTF adalah selang waktu kerusakan awal yang telah di-perbaiki hingga terjadi kerusakan berikutnya.
Tabel 1. Jangka waktu kerusakan sampai selesai perbaikan komponen seal pintu rebusan
no tanggal waktu mulai
rusak waktu selesai
diperbaiki TTR(jam)
TTF(jam)
1 30 Januari 2011 7:16 8:25 1,15 2 30 Maret 2011 9:41 16:19 6,633 1416,267 3 14 Mei 2011 7:17 9:25 2,133 1070,967 4 31 Mei 2011 7:01 9:09 2,133 405,6 5 29 Juni 2011 7:06 10:06 3 693,95 6 27 September 2011 8:15 11:15 3 1414,15
Sumber : PKS Kertajaya (2011)
184 Siti Hasanah, dkk., Manajemen Pemeliharaan .....
Untuk mengetahui jenis distribusi yang dipakai dari data waktu kegagalan dan waktu perbaikan, dilakukan perhitungan indeks kecocokan (r). Ada empat distribusi yang dipakai dalam mencari nilai r, yaitu distribusi weibull, normal,
lognormal, dan eksponensial. Tabel 2 menunjukkan indeks kecocokan dimana TTF menggunakan distribusi Weibull. Tabel 3 menunjukkan nilai r dengan TTR menggunakan distribusi Weibull.
Tabel 2. Indeks kecocokan untuk TTF berdistribusi weibull.
i Waktu kerusakan (jam), ti
F(t i) = (i-0,3)/(n+0,4)
yi = lnln(1/(1-
F(t i)))
xi = ln ti xi2 xiyi yi
2
1 405,6 0,1296 -1,9745 6,0054 36,0644 -11,8573 3,8985 2 693,95 0,3148 -0,9727 6,5424 42,8030 -6,3637 0,9461 3 1070,967 0,5000 -0,3665 6,9763 48,6690 -2,5569 0,1343 4 1414,15 0,6852 0,1448 7,2543 52,6246 1,0502 0,0210 5 1416,267 0,8704 0,7145 7,2558 52,6463 5,1839 0,5104
total 5000,934 2,5 -2,4544 34,0341 232,8074133 -14,5438 5,5103
Menggunakan rumus baku dalam menghitung r untuk masing-masing distribusi, nilai r adalah 0,5685, 0,9752, 0,9604, dan 0,9456 secara berturut-turut untuk reksponensial, rweibull, rnormal, dan rlognormal. Terlihat bahwa nilai r yang terbesar adalah menggunakan distribusi weibull, maka parameter yang digunakan adalah dan . Menggunakan distribusi
Weibull, nilai diprediksi dari ˆ dan
nilai dari nilai. Diperoleh nilai ˆ
sebesar 1,8928 dan nilai ̂ sebsar 1171,6493. Nilai > 1 menunjukkan bahwa laju kerusakan komponen seal pintu rebusan terus meningkat.
Tabel 3. Indeks kecocokan dengan TTR berdistribusi weibull
i Failure time, hr, t i
F(t i) = (i-0,3)/(n+0,4)
yi = lnln(1/(1-F(t i)))
xi = ln ti xi2 xiyi yi
2
1 1,15 0,1094 -2,1556 0,1398 0,0195 -0,3013 4,6467 2 2,133 0,2656 -1,1753 0,7575 0,5739 -0,8903 1,3813 3 2,133 0,4219 -0,6015 0,7575 0,5739 -0,4557 0,3619 4 3 0,5781 -0,1473 1,0986 1,2069 -0,1618 0,0217 5 3 0,7344 0,2819 1,0986 1,2069 0,3097 0,0795 6 6,633 0,8906 0,7943 1,8921 3,5799 1,5029 0,6310
total 18,049 3 -3,0035 5,7441 7,1610 0,0036 7,1219
Menggunakan rumus baku masing-masing distribusi, nilai reksponensial, rweibull,rnormal, dan rlognormal secara berturut-turut adalah 0,3393, 0,9422, 0,8885, dan 0,9584. Indeks kecocokan menggunakan distribusi lognormal adalah yang terbesar. Parameter yang digunakan dalam distri-
busi lognormal adalah s dan tmed. Nilai s diperoleh sebesar 0,6823 dan tmed sebesar 2,6048.
Meskipun nilai kecocokan di atas menunjukkan bahwa TTF komponen sealpintu rebusan mengikuti distribusi Weibull, pengujian harus tetap dilakukan.
185Jurnal Ekonomi Bisnis Volume 17, No. 3, Desember 2012
Pengujian dilakukan menggunakan uji Mann. Hipotesis awal (H0) dan hipotesis alternative (H1)
H0 : Data TTF seal pintu rebusan berdistribusi weibull. H1 : Data TTF seal pintu rebusan tidak berdistribusi weibull. = 0,05
Tabel 4. Uji Kesesuaian distribusi weibull data waktu TTF pada komponen seal pintu rebusan
i ti ln t i Zi M i ln t i+1 – ln ti (ln t i+1 – ln ti)/M i
1 405,6 6,0054 -2,3018 1,2125 0,5370 0,4429 2 693,95 6,5424 -1,0892 0,6533 0,4339 0,6642 3 1070,967 6,9763 -0,4360 0,5300 0,2780 0,5244 4 1414,15 7,2543 0,0940 0,5717 0,0015 0,0026 5 1416,267 7,2558 0,6657
k1 = 2
r = 2 k2 =
2
1r = 2
M = 1
1
1 12
11 11
]/)ln[(ln
]/)ln[(ln
ki iii
rki iii
Mttk
Mttk =
0,4760Fcrit = 19 M < Fcrit , maka H0 diterima
Kesimpulan data waktu TTF pada komponen seal pintu rebusan berdistribusi weibull.
MTTF = 1
1 = 1039,9207
Jadi nilai rata-rata waktu kegagalan dari komponen seal pintu rebusan adalah 1039,9207 jam.
Menguji kesesuaian distribusi data waktu TTR pada komponen seal pintu rebusan Karena r yang terbesar terdapat pada distribusi lognormal, maka pengujian yang dilakukan dengan meng-gunakan uji Kolmogorov Smirnov. Selang kepercayaan adalah 95% sehingga = 0,05.H0 : Data waktu TTR sealpintu rebusan berdistribusi lognormal H1 : Data waktu TTR sealpintu rebusan tidak berdistribusi lognormal
Tabel 6. Uji Kolmogorov Smirnov komponen sealpintu rebusan peralatan rebusan
i t i ln t i ln t i/n (ln t i- )2 (i-1)/n i/n cumulative probability
D1(i) D2(i)
1 1,15 0,1398 0,0233 0,6685 0,0000 0,1667 0,0602 0,0602 0,1065 2 2,133 0,7575 0,1263 0,0399 0,1667 0,3333 0,3521 0,1854 -0,0188 3 2,133 0,7575 0,1263 0,0399 0,3333 0,5000 0,3521 0,0188 0,1479 4 3 1,0986 0,1831 0,0200 0,5000 0,6667 0,6058 0,1058 0,0609 5 3 1,0986 0,1831 0,0200 0,6667 0,8333 0,6058 -0,0609 0,2275 6 6,633 1,8921 0,3153 0,8737 0,8333 1,0000 0,9621 0,1288 0,0379
total 18,049 5,7441 0,9574 1,6619 sumber : hasil pengolahan
n
i
in
t
1
lnˆ = 0,9574
ˆˆ et med = exp(0,9574) =
2,6048 jam
n
ts
ni i1
2)ˆ(lnˆ = 0,5263
D1max = 0,1854 D2max = 0,2275 D(max, 0,1854; 0,2275) = 0,2275 D < Dcrit = 0,319 , maka H0 diterima.
186 Siti Hasanah, dkk., Manajemen Pemeliharaan .....
MTTR = 2/2smedet = 2,9917 jam
Berikut ini adalah rangkuman dari hasil rekapitulasi MTTF dan MTTR komponen peralatan Rebusan.
Tabel 7. rekapitulasi nilai MTTF peralatan rebusan
Komponen Rusak Distribusi Parameter MTTF (jam) Aktivitas Seal pintu rebusan Weibull = 1,8928
= 1171,6493 1039,9207 Penggantian
komponen V-belt Weibull =3,8068
= 2177,811 1969,613 Penggantian
komponen L Boch Normal = 862,3138
= 1102,5201 1102,5201 Penggantian
komponen Sumber : hasil pengolahan
Tabel 8. Rekapitulasi nilai MTTR peralatan rebusan
Komponen Rusak Distribusi Parameter MTTR (jam) Aktivitas Seal pintu rebusan Lognormal s = 0,5263
tmed = 2,6048 2,9917 Penggantian
komponen V-belt Lognormal s = 0,4545
tmed = 2,3703 2,6282 Penggantian
komponen L Boch Lognormal s = 0,4907
tmed = 2,3856 2,6908 Penggantian
komponen Sumber : hasil pengolahan
Berdasarkan perhitungan nilai MTTF dan MTTR pada peralatan perebusan dengan mengidentifikasi distribusi menunjukkan peningkatan laju kerusakan (terlihat dari > 1), maka tindakan pemeliharaan
pencegahan perlu ditingkatkan atau penentuan interval waktu untuk peng-gantian komponen kritis perlu untuk dijadwalkan.
Perhitungan dan perbandingan keha-ndalan nilai MTTF sebelum pemeli-haraan pencegahan dan sesudah pe-meliharaan pencegahan.
Kehandalan adalah peluang sis-tem atau komponen yang berfungsi sampai waktu tertentu (t). Pada model kehandalan ini diasumsikan bahwa sistem kembali pada kondisi semula atau kondisi baru setelah mengalami tindakan pemeliharaan pencegahan.
Dari hasil perhitungan MTTF, dihitung nilai kehandalan sebelum pemeliharaan pencegahan dan se-sudah pemeliharaan pencegahan. Kehandalan yang ingin ditingkatkan dari komponen seal pintu rebusan adalah 90% dari kondisi sebelum dilakukan pemeliharaan pencegahan.
187Jurnal Ekonomi Bisnis Volume 17, No. 3, Desember 2012
Berdasarkan tabel perhitungan di atas, perhitungan kehandalan dilakukan dengan cara mensimulasikan selama 8900 jam operasi kerja pada setiap t untuk melihat penurunan kehandalan sebelum dilakukan pemeliharaan pen-cegahan dan peningkatan kembali
kehandalan setelah dilakukan pe-meliharaan pencegahan. - Kehandalan sistem sebelum pe-
meliharaan pencegahan : R(t). Misalnya MTTF = 1039,9207 jam, maka t = 1039,9207, =
Tabel 9. Perhitungan kehandalan komponen seal pintu rebusan sebelum dan sesudah
pemeliharaan pencegahan berdasarkan distribusi weibull
Sumber : hasil pengolahan
t R(t) n t-nT R(T)^n R(t-nT) Rm(t) 0 1 0 0 1 1 1
100 0,99056 0 100 1 0,99056 0,99056 200 0,9654 0 200 1 0,96540 0,96540 300 0,92694 0 300 1 0,92694 0,92694 356 0,90042 0 356 1 0,90042 0,90042 400 0,87741 1 44 0,90042 0,99800 0,89862 500 0,81913 1 144 0,90042 0,98127 0,88356 600 0,75447 1 244 0,90042 0,94998 0,85539 700 0,68578 1 344 0,90042 0,90638 0,81612 712 0,67737 1 356 0,90042 0,90042 0,81076 800 0,61529 2 88 0,81076 0,99258 0,80475 900 0,545 2 188 0,81076 0,96916 0,78576
1000 0,47667 2 288 0,81076 0,93218 0,75578 1039,921 0,45027 2 327,921 0,81076 0,91413 0,74114
1068 0,43206 2 356 0,81076 0,90042 0,73003 1100 0,41172 3 32 0,73003 0,99890 0,72923 1200 0,35124 3 132 0,73003 0,98409 0,71841 1300 0,29598 3 232 0,73003 0,95443 0,69676 1400 0,2464 3 332 0,73003 0,91219 0,66592 1424 0,23537 3 356 0,73003 0,90042 0,65733 1780 0,11004 4 356 0,65733 0,90042 0,59188 2136 0,04431 5 356 0,59188 0,90042 0,53294 2492 0,01542 6 356 0,53294 0,90042 0,47987 2848 0,00464 7 356 0,47987 0,90042 0,43209 3204 0,00121 8 356 0,43209 0,90042 0,38906 3560 0,00028 9 356 0,38906 0,90042 0,35032 3916 5,5E-05 10 356 0,35032 0,90042 0,31543 4272 9,4E-06 11 356 0,31543 0,90042 0,28402 4628 1,4E-06 12 356 0,28402 0,90042 0,25574 4984 1,9E-07 13 356 0,25574 0,90042 0,23027 5340 2,1E-08 14 356 0,23027 0,90042 0,20734 5696 2,2E-09 15 356 0,20734 0,90042 0,18670 6052 1,9E-10 16 356 0,18670 0,90042 0,16811 6408 1,5E-11 17 356 0,16811 0,90042 0,15137 6764 1E-12 18 356 0,15137 0,90042 0,13629 7120 6E-14 19 356 0,13629 0,90042 0,12272 7476 3,2E-15 20 356 0,12272 0,90042 0,11050 7832 1,5E-16 21 356 0,11050 0,90042 0,09950 8188 6E-18 22 356 0,09950 0,90042 0,08959 8544 2,2E-19 23 356 0,08959 0,90042 0,08067 8900 6,8E-21 24 356 0,08067 0,90042 0,07264
188 Siti Hasanah, dkk., Manajemen Pemeliharaan .....
1171,6493 = 1,8928, dengan menggunakan rumus :
R(t) = )/(teR(1039,9207) =
8928,1)6493,1171/9207,1039(e =0,45027 = 45,027%
- Selanjutnya mencari kehandalan yang diharapkan R(T) yaitu 90% dengan perhitungan waktu antara t300 sampai dengan t400. R(T) me-rupakan probabilitas dari kehan-dalan sampai pemeliharaan pen-cegahan pertama. Dengan cara coba-coba, pada saat T = 356 jam, R(T) = 0,90042 atau 90,042%.
- R(T)n adalah probabilitas kehan-dalan hingga n selang waktu pemeliharaan. Pada saat peluang melakukan tindakan pencegahan adalah pada saat T = 356 jam, maka n berubah dari n = 0 menjadi n = 1, begitu pula setiap kelipatan T = 356, maka n akan bertambah 1, sehingga R(T)n = R(356)1 = 0,90042
- Peluang kehandalan untuk waktu t-nT dari pemeliharaan pence-gahan yang terakhir : R(t-nT).
R(t-nT) =
nTt
e
R(144) =
8928,1
6493,1171
356500
e = 0,98127 = 98,127%
- Peluang kehandalan dengan pe-meliharaan pencegahan : Rm(t).Rm(t) = R(T)n x R(t-nT) Rm(1039,921) = R(356)1 x R(327,921)Rm(1039,921) = 0,81076 x 0,91413Rm(1039,921) = 0,74114 Dari hasil perhitungan kehan-dalan yang diperoleh dari MTTF = 1039,9207 jam, dimana pada saat t = 1039,9207, kehandalan R(t) sebelum pemeliharaan pen-cegahan adalah sebesar 0,45027 atau 45,027%. Setelah dilakukan pemeliharaan pencegahan yaitu 0,74114 dimana kehandalan meningkat sebesar 29,087% dari kehandalan sebelum dilakukan pemeliharaan pencegahan sebesar 0,45027 atau 45,027%. Berarti setiap selang waktu atau interval waktu pemeriksaan T = 356 jam, diusulkan untuk melakukan tin-dakan pemeliharaan pencegahan. Sampai dengan t = 7500 jam, jumlah pemeliharaan n = 20 artinya tindakan pemeliharaan pencegahan setiap T = 356 jam bisa dilakukan sebanyak 20 kali tindakan pemeliharaan pence-gahan.Di bawah ini dapat dilihat gambar kehandalan sebelum dilakukan pemeliharaan pencegahan (R(t)) dan kehandalan setelah peme-liharaan pencegahan (Rm(t))untuk komponen seal pintu rebusan.
189Jurnal Ekonomi Bisnis Volume 17, No. 3, Desember 2012
Gambar 1 Grafik kehandalan sebelum pemeliharaan pencegahan dan sesudah pemeliharaan pencegahan untuk komponen seal pintu rebusan.
Sumber : hasil pengolahan
Perhitungan kehandalan kompo-nen V-Belt dilakukan dengan cara mensimulasikan selama 8900 jam operasi kerja pada setiap t untuk melihat penurunan kehandalan se-belum dilakukan pemeliharaan pen-cegahan dan peningkatan kembali kehandalan setelah dilakukan peme-liharaan pencegahan.
Kehandalan sistem sebelum pe-meliharaan pencegahan : R(t). Misalnya MTTF = 1969,613 jam, maka t = 1969,613, = 2177,811 = 3,8068, maka
R(1969,613) = 8068,3)811,2177/613,1969(e =
0,50553 = 50,553%
Untuk kehandalan yang diharap-kan R(T) yaitu 90% pada komponen V-Belt dengan perhitungan waktu antara t1200 sampai dengan t1300. R(T) merupakan probabilitas dari keha-ndalan sampai pemeliharaan pen-cegahan pertama. Dengan cara coba-coba, pada saat T = 1205 jam dengan R(T) = 0,90025 atau 90,025%.
Pada saat peluang melakukan tindakan pencegahan adalah pada saat T = 1205 jam, maka n berubah dari n = 0 menjadi n = 1, begitu pula setiap kelipatan T = 1205, maka n
akan bertambah 1, sehingga R(T)n = R(1205)1 = 0,90025.
Peluang kehandalan untuk waktu t-nT dari pemeliharaan pencegahan yang terakhir : R(t-nT).
R(195) =
8068,3
811,2177
12051400
e = 0,9999 = 99,99%
Peluang kehandalan dengan pe-meliharaan pencegahan : Rm(t).
Rm(1969,613) = R(1205)1 x R(764,613)Rm(1969,613) = 0,90025 x 0,98157Rm(1969,613) = 0,88366 Pada saat t = MTTF = 1969,613
jam, kehandalan R(t) sebelum pe-meliharaan pencegahan adalah se-besar 0,50553 atau 50,553%. Setelah dilakukan pemeliharaan pencegahan kehandalan sebesar 0,88366 dimana kehandalan meningkat sebesar 37,813% dari kehandalan sebelum dilakukan pemeliharaan pencegahan. Berarti setiap selang waktu atau interval waktu pemeriksaan T = 1205 jam, diusulkan untuk melakukan tin-dakan pemeliharaan pencegahan. Sampai dengan t = 8800 jam, jumlah pemeliharaan n = 7 artinya tindakan pemeliharaan pencegahan setiap T = 1205 jam bisa dilakukan sebanyak
0
0,1
0,2
0,3
0,4
0,5
0,6
0,7
0,8
0,9
1
0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 8000
t
RR(t)
Rm(t)
190 Siti Hasanah, dkk., Manajemen Pemeliharaan .....
tujuh kali tindakan pemeliharaan pencegahan. Di bawah ini dapat dilihat gambar dan tabel perhitungan kehandalan sebelum dilakukan pe-
meliharaan pencegahan (R(t)) dan kehandalan setelah pemeliharaan pe-ncegahan (Rm(t)) untuk komponen V-Belt.
t R(t) n t-nT R(T)^n R(t-nT) Rm(t) 0 1 0 0 1 1 1
100 0,99999 0 100 1 0,999992 0,999992 200 0,99989 0 200 1 0,999887 0,999887 300 0,99947 0 300 1 0,999472 0,999472 400 0,99842 0 400 1 0,998422 0,998422 500 0,99631 0 500 1 0,996315 0,996315 600 0,99264 0 600 1 0,992636 0,992636 700 0,98680 0 700 1 0,986797 0,986797 800 0,97815 0 800 1 0,978147 0,978147 900 0,96599 0 900 1 0,965995 0,965995
1000 0,94964 0 1000 1 0,949644 0,949644 1100 0,92842 0 1100 1 0,928423 0,928423 1200 0,90174 0 1200 1 0,901738 0,901738 1205 0,90025 0 1205 1 0,900251 0,900251 1300 0,86912 1 95 0,900251 0,999993 0,900245 1400 0,83028 1 195 0,900251 0,999898 0,900159 1500 0,78516 1 295 0,900251 0,999505 0,899805 1600 0,73402 1 395 0,900251 0,998496 0,898897 1700 0,67740 1 495 0,900251 0,996453 0,897058 1800 0,61621 1 595 0,900251 0,992867 0,893829 1900 0,55166 1 695 0,900251 0,98715 0,888683
1969,613 0,50553 1 764,613 0,900251 0,981572 0,883661 2000 0,48526 1 795 0,900251 0,978656 0,881037 2400 0,23516 1 1195 0,900251 0,90321 0,813116 2410 0,22979 1 1205 0,900251 0,900251 0,810452 3615 0,00102 2 1205 0,810452 0,900251 0,72961 4820 0,00000 3 1205 0,72961 0,900251 0,656833 6025 0,00000 4 1205 0,656833 0,900251 0,591314 7230 0,00000 5 1205 0,591314 0,900251 0,532331 8435 0,00000 6 1205 0,532331 0,900251 0,479232 8800 0,00000 7 365 0,479232 0,998886 0,478698
Sumber : hasil pengolahan
Tabel 10. Perhitungan kehandalan komponen V-Belt sebelum dan sesudah pemeliharaan
pencegahan berdasarkan distribusi weibull
191Jurnal Ekonomi Bisnis Volume 17, No. 3, Desember 2012
Gambar 2 kehandalan sebelum pemeliharaan pencegahan dan sesudah pemeliharaan pencegahan untuk komponen V-Belt
SIMPULAN DAN SARAN
Dapat disimpulkan bahwa waktu kerusakan komponen seal pintu rebusan berdistribusi Weibull dengan = 1171,65, = 1,8928 dan MTTF =
1039,921 jam. Waktu kerusakan komponen V-Belt berdistribusi Weibull dengan = 2177,811, = 3,8068 dan MTTF = 1969,613 jam. Waktu kerusakan komponen L Bochberdistribusi normal dengan = 862,3138, = 1102,5201 dan MTTF = 1102,5201 jam.
Dengan simulasi interval waktu pemeliharaan pencegahan setiap 356 jam, kehandalan komponen seal pintu rebusan meningkat sebesar 29,08% pada t = 1039,9207. Simulasi interval waktu pemeliharaan pencegahan setiap 1205 jam pada komponen V-Belt akan meningkat kehandalan sebesar 37,813% pada t = 1969,613.
DAFTAR PUSTAKA
Ben-Daya, M., Duffuaa, S.O., Raouf, A., Knezevic, J., Ait-Kadi, D. 2009. Handbook of Maintenance Management and Engineering. 1st Edition. Springer.
Dhillon, B.S. 2002. Engineering maintenance : a modern approach. CRC Press.
Ebeling, E., C. 1997. An Introduction to Reliability and Maintainability Engineering. Mc. Graw Hill, Singapore.
Ismail A.R., Ismail R., Zulkifli R., Makhtar N.K., Deros B.M. 2009. A Study on Implementation of Preventive Maintenance Programme at Malaysia Palm Oil Mill. European Journal of Scientific Research Vol.29 No.1. pp.126-135.
Khanlari A., Mohammadi, K., & Sohrabi, B. 2008. Prioritizing Equipment for Preventive Maintenance (PM) Activities Using Fuzzy Rules. Computers & Industrial Engineering, 54, 169-184.
Lin, T., Titmuss, D. 1995. Critical Component Reliability and Preventive Maintenance Improvement to Reduce Machine Downtime. Computers ind.Engng. Vol.29, No. 1-4, pp.21-23.
0
0,1
0,2
0,3
0,4
0,5
0,6
0,7
0,8
0,9
1
0 2000 4000 6000 8000 10000
t
RR(t)
Rm(t)
192 Siti Hasanah, dkk., Manajemen Pemeliharaan .....
Machani M., Nourelafath M. 2010. A Genetic Algorithm for Integrated Production and Preventive Maintenance Planning in Multi State Systens. 8th International Conference of Modeling and Simulation-MOSIM’10.
Sachdeva, A., Kumar, D., Kumar P. 2008. Planning and optimizing the maintenance of paper production systems in a paper plant. Computer & Industrial Engineering, 55, 817-829.
Zeng, S.W. 1997. Discussion on Maintenance Strategy, Policy and Corresponding Maintenance Systems in Manufacturing. Reliability Engineering and System Safety. 55. pg 151-162.
193Jurnal Ekonomi Bisnis Volume 17, No. 3, Desember 2012
PENGARUH MOTIVASI BERPRESTASI, KOMITMEN ORGANISASIONAL DAN EFIKASI DIRI TERHADAP KINERJA
MANAJERIAL
Moh. Alifuddin
STMIK Handayani Jl. Urip Sumoharjo Km. 4, Makasar
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh motivasi berprestasi, komitmen organisasional dan efikasi diri terhadap kinerja manajerial pimpinan lembaga kursus YPA Handayani. Metode penelitian menggunakan survei dengan melibatkan sampel 17 orang yang diambil secara sensus. Pengumpulan data menggunakan kuesioner dan analisis data menggunakan regresi linear berganda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara parsial variabel yang berpengaruh signifikan terhadap kinerja manajerial adalah komitmen organisasional dan efikasi diri, sedangkan secara simultan motivasi berprestasi, komitmen organisasional dan efikasi diri berpengaruh signifikan. Komitmen organisasional memiliki pengaruh paling dominan terhadap kinerja manajerial. Dengan demikian, maka dalam usaha meningkatkan kinerja manajerial lembaga kursus perlu memperhatikan faktor komitmen organisasional dan efikasi diri pimpinan.
Kata Kunci: Motivasi Berprestasi, Komitmen Organisasional, Efikasi Diri, Kinerja Manajerial
THE INFLUENCE OF ACHIEVEMENT MOTIVATION, ORGANIZATIONAL COMMITMENT, AND SELF-EFFICACY ON
MANAGERIAL PERFORMANCE
Abstract
The purpose of this study was to examine the influence of achievement motivation, organizational commitment and self-efficacy on managerial performance of courses institutions leader at YPA Handayani. The research method uses a survey that involving 17 peoples who take through census technique. Collecting data using questionnaires and data analysis using multiple linear regression. The research results indicated that organizational commitment and self-efficacy variables have significant effect on managerial performance, whereas achievement motivation has not significant effect. Achievement motivation, organizational commitment and self-efficacy simultaneously have a significant effect on managerial performance, which organizational commitment has the dominant effect on managerial performance. Therefore, to improving managerial performance in courses institutions need to considering organizational commitment and leadership’s self-efficacy factors.
Keywords: Achievement Motivation, Organizational Commitment, Self-Efficacy, Managerial Performance
194 Alifuddin, Pengaruh Motivasi.....
PENDAHULUAN
Keberadaan pendidikan non formal semakin dibutuhkan seiring dengan masih adanya kesenjangan antara keterampilan yang dituntut dunia usaha dengan output pendidikan formal. Kehadiran pendidikan non formal juga dibutuhkan sebagai sarana untuk memberikan kesempatan bagi warga negara yang tidak memiliki kesempatan mengikuti pendidikan formal agar mendapat pembekalan yang me-madai untuk kehidupannya.
Pendidikan non formal dalam bentuk lembaga kursus saat ini dibutuhkan peranannya dalam rangka menanggulangi masalah-masalah sosial seperti pengang-guran. Hal ini dilandasi oleh kondisi masyarakat perdesaaan dan masyarakat marjinal perkotaan yang memiliki banyak permasalahan khususnya permasalahan pendidikan, sehingga mengakibatkan masyarakat tidak dapat mengembangkan potensi yang ada. Kondisi di lapangan juga menunjukan bahwa persoalan pengangguran bukan semata-mata akibat kesenjangan antara jumlah pencari kerja dan kesempatan kerja, melainkan juga karena banyak kesempatan kerja tetapi pencari kerja tidak memiliki kualifikasi sesuai dengan kebutuhan calon penguna tenaga kerja. Dengan demikian peran pendidikan nonformal terutama dalam bentuk lembaga kursus sangat dibutuhkan keberadaannya untuk mengatasi kesen-jangan kompetensi yang dimiliki tenaga kerja. Lembaga-lembaga kursus merupa-kan instrumen untuk memberikan bekal pengetahuan, keterampilan, dan juga sikap sesuai dengan yang dibutuhkan dalam pasar tenaga kerja.
Pendidikan non formal semakin dibutuhkan di Indonesia terutama me-ngingat tingkat pengangguran yang masih tergolong tinggi. Berdasarkan data resmi yang dikeluarkan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi sampai dengan Februari 2011, jumlah pengangguran ter-buka di Indonesia mencapai 8,12 juta
orang atau 6,80%. Jumlah penganggur tersebut didominasi oleh lulusan SMA (27,96%). Sebagaimana diketahui bahwa lulusan SMA rata-rata belum memiliki keterampilan khusus untuk terjun ke dunia kerja, sehingga masih membutuh-kan pendidikan keterampilan untuk siap bekerja. Di sinilah letak pentingnya lembaga-lembaga kursus, karena berperan menjembatani antara calon tenaga kerja dengan keterampilan yang dibutuhkan oleh dunia usaha dan industri.
Meskipun memiliki peran penting, lembaga kursus masih memiliki banyak permasalahan, terutama dari aspek output. Lembaga kursus dalam pengelolaannya masih cenderung berorientasi mencari peserta didik sebanyak-banyaknya tanpa diiringi pengelolaan secara profesional agar dapat benar-benar menjawab ke-butuhan pasar tenaga kerja.
Lembaga kursus yang berkualitas membutuhkan adanya manajemen yang baik, sehingga peran tenaga-tenaga manajerial atau level pimpinan sangat di-butuhkan. Oleh karena itu, kinerja mana-jerial diperlukan dalam rangka mem-bangun lembaga kursus yang profesional dan berkualitas. Kinerja manajerial dapat dapat ditumbuhkan melalui banyak fak-tor, antara lain motivasi berprestasi, ko-mitmen organisasional dan efikasi diri.
Sharma, Borna dan Stearns (2009) mengatakan bahwa kinerja adalah hasil kerja yang menunjukkan pencapaian tujuan organisasi seperti diukur melalui evaluasi kinerja atas tugas-tugas yang berhubungan dengan pekerjaan. Terkait dengan kinerja manajerial atau mana-jemen, Dafna (2008) dengan mengadopsi dari beberapa literatur, dalam pene-litiannya mengembankan lima aspek untuk mengukur kinerja. Petama, inovasi (innovation). Adapun hal-hal terkait dengan inovasi seperti berusaha meng-hasilkan ide dan kegiatan baru di tempat kerja, melakukan banyak upaya dan mengambil inisitif lebih dibanding yang diharapkan, dan memiliki pandangan
195Jurnal Ekonomi Bisnis Volume 17, No. 3, Desember 2012
yang luas dalam menyelesaikan suatu masalah. Kedua, memimpin perubahan (leading change). Hal-hal yang terkait dengan aspek ini adalah bekerja untuk menutupi kesenjangan antara kinerja yang baik dan hebat, dan menaruh iba terhadap karyawan yang kesulitan menyesuaikan terhadap perubahan. Ketiga, orientasi orang dalam mengelola staf (a people-oriented in managing people). Hal-hal yang terkait dengan aspek ini adalah sering memberikan umpan balik positif, mengungkapkan terima kasih bahkan untuk tindakan-tindakan kecil, meng-hindari ancaman atau paksaan dalam memberikan perintah, dan menolong orang merasa kompeten di tempat kerja. Keempat, penetapan tujuan (goal setting).Hal-hal yang terkait dengan aspek ini antara lain menetapkan tujuan keuangan berdasarkan visi bisnis, menyusun tujuan keuangan dan men-dorong pegawai untuk melaksanakannya, dan biasa menetapkan tujuan lebih tinggi yang berhubungan dengan pekerjaan. Kelima, jaringan (networking). Aspek ini antara lain meliputi bersikap proaktif menemui orang yang berbeda untuk memperluas jaringan, dan menghadiri seminar, konferensi, atau forum untuk membuka jaringan.
Menurut McClelland (dalam Hersey & Blanchard, 1994), individu yang mempunyai kebutuhan berprestasi tinggi mempunyai ciri-ciri tidak bersifat untung-untungan, lebih menyukai kadar resiko moderat, lebih menyukai prestise pribadi, dan mencari feed back tentang hasil kerjanya. Beberapa aspek yang ter-kandung dalam motivasi berprestasi, yakni tanggung jawab, mempertimbang-kan risiko, umpan balik, kreatif-inovatif, waktu penyelesaian tugas, keinginan menjadi yang terbaik. Penelitian yang dilakukan oleh Katzell Thompson (dalam Selden, 2002) mencatat bahwa studi empiris terhadap berbagai teori motivasi kerja menjelaskan 20% variasi terhadap kinerja. Sejalan dengan itu, dewasa ini usaha untuk meningkatkan kinerja
organisasi antara lain disandarkan pada kemampuan untuk memotivasi pegawai melalui sistem bayaran bagi kinerja (payfor performance system) (Houston, 2000).
Shaw, Delery dan Abdulla (2003) mengatakan bahwa komitmen merupakan hasil dari investasi atau kontribusi ter-hadap organisasi, atau suatu pendekatan psikologis yang menggambarkan suatu hal yang positif, keterlibatan yang tinggi, orientasi intensitas tinggi terhadap or-ganisasi. Benkhoff (1997) juga me-nyatakan hal yang tidak jauh berbeda bahwa komitmen merupakan derajat ke-pedulian karyawan dan kontribusinya ter-hadap keberhasilan organisasi. Sementara Meyer dan Allen (dalam Luthans, 2008) mengidentifikasi tiga dimensi komitmen organisasi. Pertama, komitmen afektif, yang berasal dari kelekatan emosional terhadap organisasi, mengidentifikasikandiri dan terlibat aktif dalam organisasi. Kedua, komitmen rasional, yaitu ber-kaitan dengan komitmen yang didasarkan pada persepsi pegawai atas kerugian yang akan diperolehnya jika meninggalkan organisasi. Ketiga, komitmen normatif, yang beruhubungan dengan perasaan pe-gawai terhadap keharusan untuk tetap bertahan dalam organisasi. Jaramillo, Mulki, dan Marshall (2005) dalam pene-litiannya menunjukkan bahwa komitmen organisasi memiliki hubungan yang kuat dengan kinerja. Demikian pula dengan penelitian Shaw, Delery dan Abdulla (2003), Nouri dan Parker (1998) juga memperlihatkan hasil bahwa komitmen organisasional berpengaruh signifikan terhadap kinerja.
Menurut Bandura (1997), efikasi diri adalah “beliefs in ones capabilities to organize and execute the course of action required to produce given attainments.”Maknanya bahwa efikasi diri pada dasarnya adalah kepercayaan seseorang atas kemampuan dirinya untuk mengatur dan melakukan tindakan yang dibutuhkan untuk menghasilkan pencapaian yang telah ditentukan. Menurut Bandura
196 Alifuddin, Pengaruh Motivasi.....
(Looney, Valaich dan Akbulut, 2004), efikasi diri dapat dinilai menurut tiga dimensi, yaitugeneralitas (generality), be-saran (magnitude), dan kekuatan (stregth). Generalitas merujuk pada tingkat kekhususan di mana keyakinan efikasi diri berlaku sepanjang tugas dan situasi. Besaran mencakup tingkat ke-sulitan tugas khusus. Kekuatan meliputi keyakinan individu dalam melaksanakan kerja yang berhasil pada tingkat kesulitan tugas khusus. Ini berarti bahwa penilaian terhadap efikasi diri tidak terlepas dari generalitas, besaran, dan kekuatannya. Dengan kata lain, efikasi diri individu dapat dilihat atau diukur berdasarkan generalitas, besaran, dan kekuatannya. Penelitian terkait dengan efikasi diri menunjukkan bahwa sembilan meta-analisis menemukan adanya hubungan positif antara efikasi diri dan kinerja di berbagai bidang fungsi dalam kondisi alami dan laboratorium. Lebih dari itu, meta-analisis atas 114 kajian dan 21.616 pokok bahasan juga menunjukkan hasil korelasi rata-rata 38 yang diukur antara efikasi diri dan kinerja yang berkaitan dengan kerja (Luthans, 2008).
METODE PENELITIAN
Populasi penelitian adalah karyawan tingkat pimpinan atau manajerial YPA Handayani yang berjumlah 17 orang. Karena jumlah populasi yang terbatas, maka keseluruhan populasi dijadikan sampel penelitian, sehingga pengambilan sampel dilakukan secara sensus.
Pengukuran variabel dilakukan de-ngan menggunakan instrumen berupa kuesioner skala Likert yang terdiri dari lima alternatif jawaban. Motivasi ber-prestasi diukur berdasarkan indikator motivasi berprestasi yang dikembangkan McClelland (1976) yang meliputi tang-gung jawab, pertimbangan terhadap risiko, umpan balik, inovatif, waktu pe-nyelesaian tugas, dan ingin menjadi yang terbaik. Pengukuran variabel menggu-nakan skala 1 sampai 5 dengan alternatif
jawaban sangat setuju, setuju, ragu-ragu, kurang setuju, dan sangat tidak setuju. Berdasarkan pengujian reliabilitas, ins-trumen motivasi berprestasi diperoleh koefisien Alpha 0,944. Komitmen orga-nisasional diukur berdasarkan dimensi yang dikembangkan Meyer dan Allen (dalam Luthans, 2008) yang meliputi komitmen afektif, normatif, dan rasional. Pengukuran komitmen organisasional me-nggunakan skala 1 sampai 5 dengan alternatif jawaban sangat setuju, setuju, ragu-ragu, kurang setuju, dan sangat tidak setuju. Dari hasil pengujian reliabilitas, instrumen komit-men organisasional me-miliki koefisien Alpha 0,953. Efikasi diri diukur berdasarkan teori Bandura (dalam Looney, Valaich and Akbulut, 2004) yang meliputi tiga dimensi: generalitas, be-saran, dan kekuatan. Pengukuran efikasi diri menggunakan skala 1 sampai 5 dengan alternatif jawaban: sangat setuju, setuju, ragu-ragu, kurang setuju, dan sangat tidak setuju. Dari hasil pengujian reliabilitas, instrumen efikasi diri me-miliki koefisien Alpha 0,952. Sedangkan kinerja manajerial diukur berdasarkan teori Dafna (2008) dengan menggunakan indikator inovasi, memimpin perubahan, orientasi orang, penetapan tujuan dan jaringan. Pengukuran kinerja menggu-nakan skala 1 sampai 5 dengan alternatif jawaban: selalu, sering, kadang-kadang, pernah, dan tidak pernah. Berdasarkan pengujian reliabilitas, instrumen kinerja manajerial memiliki koefisien Alpha 0,889. Analisis data dilakukan dengan metode regresi berganda.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada Tabel 1 terlihat hasil matrik korelasi dan statistik deskriptif. Dari matrik korelasinya diketahui semua hubungan antar variabel signifikan dengan rentang koefisien korelasi antara 0,683 sampai dengan 0,860. Untuk koefisien korelasi antara variabel bebas dengan variabel terikat diketahui motivasi berprestasi
197Jurnal Ekonomi Bisnis Volume 17, No. 3, Desember 2012
Tabel 1. Matriks Korelasi dan Statistik Deskriptif
Variabel 1 2 3 4
1. Motiasi Berprestasi -
2. Komitmen Organisasional 0,683** -
3. Efikasi Diri 0,749** 0,743** -
4. Kinerja Manajerial 0,700** 0,860** 0,838** -
Rata-rata 70,824 55,882 66,059 63,235
Standar Deviasi 10,853 9,740 10,750 7,361
** signifikan pada = 1%
Tabel 2. Nilai Koefisien Persamaan Regresi
Variabel Koef. Regresi Koef. Beta t-hitung p-value
1. Motiasi Berprestasi 0,009 0,013 0,073 0,943
2. Komitmen Organisasional 0,398 0,526 2,935 0,012*
3. Efikasi Diri 0,299 0,437 2,214 0,045*
Konstanta 20,602 F-hitung 20,856
Koefisien Korelasi 0,910 p-value 0,000
Koefisien Determinasi 0,828
* signifikan pada = 5%
dengan kinerja manajerial 0,700, ko-mitmen organisasional dengan kinerja manajerial 0,860, dan efikasi diri dengan kinerja manajerial sebesar 0,838. Semua koefisien korelasi tersebut signifikan pada tingkat kepercayaan 95% (p-value < 0,01).
Sementara untuk statistik deskriptif diketahui variabel motivasi berprestasi
memiliki rata-rata 70,824 dengan standar deviasi 10,853, komitmen organisasional memiliki rata-rata 55,882 dengan standar deviasi 9,740, efikasi diri memperoleh rata-rata 66,059 dengan standar deviasi 10,750, dan kinerja manajerial memiliki rata-rata 63,235 dengan standar deviasi 7,361.
Sebagaimana tampak dalam Tabel 2, pengujian hipotesis penelitian dilakukan dengan menggunakan regresi berganda dan pengujian signifikansi menggunakan t hitung. Hasil perhitungan regresi untuk pengaruh motivasi berprestasi terhadap
kinerja manajerial diperoleh koefisien regresi 0,009, koefisien beta 0,013 dan t hitung 0,073 (p-value > 0,05). Hasil ini menunjukkan bahwa motivasi berprestasi tidak memiliki pengaruh signifikan ter-hadap kinerja manajerial.
Pengaruh komitmen organisasional terhadap kinerja manajerial didapatkan koefisien regresi 0,398, koefisien beta 0,526 dan t hitung 2,935 (p-value < 0,05).
Berdasarkan hasil perhitungan ini maka komitmen organisasional memiliki pe-ngaruh signifikan terhadap kinerja mana-jerial. Selanjutnya untuk pengaruh efikasi
198 Alifuddin, Pengaruh Motivasi.....
diri terhadap kinerja manajerial dida-patkan koefisien regresi 0,299, koefisien beta 0,437 dan t hitung 2,214 (p-value < 0,05). Dari hasil perhitungan tersebut, maka efikasi diri memiliki pengaruh signifikan terhadap kinerja manajerial. Pengujian secara simultan diperoleh ko-efisien korelasi 0,910, koefisien deter-minasi 91% dan F-hitung 20,856 (p-value< 0,01). Berdasarkan hasil tersebut maka dapat dikatakan terdapat pengaruh signi-fikan motivasi berprestasi, komitmen organisasional dan efikasi diri secara ber-sama-sama terhadap kinerja manajerial.
Koefisien korelasi yang diperoleh menunjukkan bahwa secara bersama-sama motivasi berprestasi, komitmen organisasional dan efikasi diri memiliki hubungan signifikan dengan kinerja manajerial. Adapun kontribusinya sebesar 91% yang dijelaskan melalui Per- samaan 1. Y = 20,602 + 0,009X1 + 0,398X2 + 0,299X3 (1) Merujuk pada koefisien beta, maka dapat diketahui bahwa variabel yang paling dominan pengaruhnya terhadap kinerja manajerial adalah komitmen organi-sasional yang diikuti dengan efikasi diri. Hasil ini menunjukkan bahwa komitmen organisasional perlu mendapat perhatian lebih dalam usaha meningkatkan kinerja manajerial, khususnya di lembaga kursus.
Hasil penelitian ini menunjukkan signifikansi faktor komitmen organi-sasional dan efikasi diri dalam usaha meningkatkan kinerja manajerial. Oleh karena itu, kondisi ini menuntut penge-lolaan yang baik terhadap faktor komitmen organisasional dan efikasi diri agar kinerja manajerial dapat diop-timalkan. Terkait dengan faktor komit-men organisasional, maka faktor komit-men organisasional dalam kenyataannya memang diperlukan untuk menghasilkan kinerja yang prima. Komitmen organi-sasional merefleksikan keterikatan emosi-onal, rasional dan normatif seseorang atau sekelompok orang pada sebuah organisasi
yang dilandasi oleh keinginan, kebutuhan dan keharusan untuk berada di dalam sebuah organisasi, identifikasi diri, loyalitas yang kuat terhadap organisasi dan sikap saling menghargai di antara anggota organisasi. Perspektif ini me-nunjukkan para anggota organisasi berusaha melibatkan diri pada kegiatan organisasi dan mengerahkan segenap ke-mampuannya guna mencapai tujuan or-ganisasi. Dengan keterikatan ini, anggota organisasi memiliki tekad yang kuat untuk mencapai tujuan organisasi se-hingga berpeluang besar untuk me-nunjukkan kinerja terbaiknya.
Temuan ini konsisten dengan pe-nelitian-penelitian terdahulu yang menunjukkan adanya pengaruh komitmen organisasional terhadap kinerja. Pene-litian yang dilakukan Allen dan Meyer sebagaimana dikutip oleh Vandenabeele (2009) menyebutkan bahwa komponen komitmen organisasi afektif dan normatif memiliki pengaruh terhadap kinerja individu. Mowday, Porter, dan Steers yang dikutip Francesco and Chen (2004) dalam penelitiannya juga mengungkapkan bahwa komitmen organisasional dapat mendorong karyawan untuk lebih terikat terhadap organisasi dan melakukan upaya-upaya atas nama organisasi. Hal itu lebih lanjut dapat mengarahkan pada peningkatan kinerja. Demikian pula dengan penelitian Jaramillo, Mulki, dan Marshall (2005), Shaw, Delery dan Abdulla (2003), Nouri dan Parker (1998) juga memperlihatkan hasil bahwa komit-men organisasional berpengaruh signi-fikan terhadap kinerja. Hasil penelitian tersebut semakin memperjelas adanya pe-ngaruh komitmen organisasional terhadap kinerja.
Sementara dalam hubungannya dengan efikasi diri, maka faktor ini juga memiliki peran penting dalam proses penyelesaian pekerjaan. Efikasi diri meru-pakan perasaan mampu bahwa individu dapat menuntaskan kesulitan atas peker-jaan yang dihadapi. Efikasi diri dibu-
199Jurnal Ekonomi Bisnis Volume 17, No. 3, Desember 2012
tuhkan dalam bekerja karena mere-fleksikan keyakinan individu tentang kemampuannya menggerakkan motivasi, sumber daya kognitif, dan cara bertindak yang diperlukan untuk berhasil melak-sanakan tugas. Keyakinan ini antara lain terwujud dalam bentuk pemilihan peri-laku, usaha motivasi, keteguhan, aspirasi tujuan, insentif pada harapan hasil, dan kesempatan maju. Individu yang mem-punyai keyakinan tinggi mampu menun-taskan pekerjaan sehingga cenderung ber-hasil menyelesaikan pekerjaan tersebut dengan baik.
Signifikansi efikasi diri dalam menentukan kinerja juga telah dibuktikan secara empiris oleh penelitian-penelitian sebelumnya. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Goleman (1998) terhadap 112 akuntan tingkat pemula, diketahui sebagian di antaranya memiliki efikasi diri tertinggi sepuluh tahun kemudian diangkat oleh pengawas karena telah melakukan kinerja terbaik. Dengan de-mikian, studi ini semakin memperkuat temuan terdahulu tentang signifikansi faktor efikasi diri dalam mempengaruhi kinerja.
KESIMPULAN DAN IMPLIKASI
Berdasarkan hasil penelitian dapat di-simpulkan bahwa dari tiga variabel bebas yang diteliti, secara parsial yang ber-pengaruh signifikan terhadap kinerja manajerial adalah komitmen organi-sasional dan efikasi diri, sedangkan se-cara simultan motivasi berprestasi, komit-men organisasional dan efikasi diri berpe-ngaruh signifikan. Komitmen organi-sasional memiliki pengaruh paling dominan terhadap kinerja manajerial. Temuan ini menunjukkan bahwa pe-ningkatan komitmen organisasional dan efikasi diri akan berimplikasi secara signifikan terhadap kinerja manajerial. Demikian pula sebaliknya, penurunan ko-mitmen organisasional dan efikasi diri akan berdampak signifikan terhadap me-nurunnya kinerja manajerial.
Dengan kondisi seperti itu, maka hasil penelitian ini menguatkan teori bahwa faktor komitmen organisasional dan efikasi diri sebagai anteseden kinerja manajerial. Oleh karena itu, implikasi dari hasil penelitian ini adalah: pertama, khususnya bagi praktisi manajemen sumber daya manusia lembaga kursus akan memandang faktor komitmen organisasional dan efikasi diri sebagai faktor strategis dalam mewujudkan visi dan misi organisasi. Kedua faktor tersebut juga dinilai sebagai faktor kunci sukses (key success factor) organisasi, sehingga akan ada tindakan-tindakan yang kongkrit dari pihak manajemen dalam meng-optimalkan komitmen organisasional dan efikasi diri.
Kedua, pimpinan pusat lembaga kursus bertindak proaktif dalam mena-namkan rasa memiliki (sense of be-longing) organisasi pada setiap pimpinan lembaga kursus. Faktor rasa memiliki menjadi pilar penting dalam mempekuat komitmen organisasional. Rasa memiliki tesebut antara lain dapat ditumbuhkan dengan cara memenuhi kebutuhan pim-pinan lembaga kursus mulai dari kebu-tuhan pokok sampai dengan kebutuhan aktualisasi diri.
Ketiga, pimpinan pusat lembaga kursus mengoptimalkan peran kepemim-pinannya, terutama peran dalam mena-namkan visi dan motivasi. Penanaman visi harus lebih diintensifkan agar pim-pinan lembaga kursus memiliki ikatan yang lebih kuat pada organisasi sehingga mau berusaha secara maksimal dalam merealisasikan visi organisasi. Usaha-usaha motivasional oleh pimpinan juga harus dilakukan, seperti memberikan pujian, memberikan reward kepada pim-pinan lembaga kursus yang berprestasi, pengembangan diri dan memperhatikan kebutuhan-kebutuhannya. Upaya ini dila-kukan agar para pimpinan lembaga kursus bersedia memberikan umpan balik kepada organisasi berupa loyalitas dan kerja keras untuk kepentingan organisasi.
200 Alifuddin, Pengaruh Motivasi.....
Upaya lain yang tidak kalah penting untuk dilakukan pimpinan yaitu menun-jukkan komitmen tinggi terhadap organi-sasinya dan memberikan teladan terhadap nilai-nilai budaya yang akan ditanamkan. Pemberian teladan ini sangat dibutuhkan yang kemudian akan menentukan keber-hasilan dalam menumbuhkan komitmen.
Keempat, tumbuhnya kesadaran dalam diri pimpinan lembaga kursus tentang pentingnya efikasi diri untuk keberhasilan dalam menjalankan tugas-tugas manajerial. Dengan tumbuhnya kesadaran tersebut, maka pimpinan akan berupaya proaktif untuk meningkatkan efikasi dirinya. Pimpinan akan terdorong untuk meningkatkan efikasi dirinya, baik melalui belajar secara otodidak maupun mengikuti berbagai kegiatan dan pe-latihan yang ada kaitannya dengan upaya meningkatkan efikasi diri. Pimpinan juga akan tergerak untuk terus meningkatkan kompetensi di bidang kerjanya. Dengan penguasaan yang baik dalam bidang ker-janya, maka pimpinan akan siap untuk menghadapi berbagai tantangan dan me-miliki keyakinan yang kuat untuk meng-hadapi berbagai persoalan kerja.
DAFTAR PUSTAKA
Bandura, A. 1997 Self Efficacy: The Exercise of Control W.H. Freeman and Company New York.
Benkhoff. 1997 “Ignoring Commitment Is Costly: New Approaches Establish the Missink Link Between Organizational Commitment and Performance” Human Relations 50 (6).
Dafna, K. 2008 “Managerial performance and business success Gender differences in Canadian and Israeli entrepreneurs” Journal of Ente-rprising Communities: People and Places in the Global Economy 2 (4) 300-331.
Francesco, A. M. and Chen, Z. X. 2004. Collectivism in action: its moderating effects on the relation-ship between organizational com-mitment and employee performance in China, Journal of Group Organization Management; 29.
Goleman, D. 1998. Working with Emotional Intelligence. New York: Bantam Books.
Hersey, Paul and Ken Blanchard. 1994. Management of Organizational Behavior: Utilizing Human Resources. Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall.
Houston, D. J. 2000. Public Service MotivationA Multivariate Test. Journal of Public Administration Research Theory. Oct 1, 1-19.
Jaramillo, Fernando. Jay Prakash Mulki. and Greg W. Marshall. 2005. A meta-analysis of the relationship between organizational commit-ment and salesperson job performance: 25 years of research. Journal of Business Research, Vol. 58.
Looney, Clayton A., Joseph A. Valaich and Asli Y. Akbulut. 2004. Online Investment Self-Efficacy Development and Initial Test of an Instrument to Asses Perceived Online Investing Abilities, Proceedings of the 37th Hawai International Conference on System Sciences.
Luthans, Fred. 2008. OrganizationalBehavior. Boston: McGraw-Hill.
Nouri, H. and and R. J. Parker. 1998. The relationship between budget parti-cipation and job performance: the roles of budget adequacy and organizational commitment. Ac-counting Orgnnizatiom and Society,Vol. 23. No 5/6.
201Jurnal Ekonomi Bisnis Volume 17, No. 3, Desember 2012
Selden, S. C. 2002. Work Motivation in the Senior Executive Service Testing the High Performance Cycle theory. Journal of Public Administration Research Theory.July 1, 1-23.
Sharma, Dheeraj, Shaheen Borna, and James M. Stearns. 2009. “An Investigation of the Effects of Corporate Ethical Values on Employee Commitment and Performance: Examining the Moderating Role of Perceived Fairness,” Journal of Business Ethics, 89, 251–260.
Shaw, Delery & Abdulla. 2003. Organizational Commitment and Performance Among Guest Workers and Citizens of An Arab Country. Journal of Business Research, Vol. 56.
Vandenabeele, Wouter. 2009. The mediating effect of job satisfaction and organizational commitment on self-reported performance: more robust evidence of the PSM_performance relationship, International Review of Adminis-trative Sciences, 75; 11.
202 Parulian P, Determinasi Penerimaan.....
DETERMINASI PENERIMAAN OPINI AUDIT GOING CONCERN(Studi Empiris : Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di BEI 2007-2011)
Benni Antoni Parulian P1
Peni Sawitri2
Fakultas Ekonomi Jurusan Akuntansi Universitas Gunadarma Jl. Margonda Raya 100 – Depok 16424
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor penentu perusahaan menerima opini audit going concern seperti kualitas audit, opini audit tahun sebelumnya, proporsi komisaris independen, kondisi keuangan, pertumbuhan perusahaan, ukuran perusahaan, serta profitabilitas. Sampel diperoleh dengan metode sampling purposive dan diperoleh 155 data observasi dari tahun 2007-2011. Pengujian regresi logistik model yang dilakukan tiga kali karena variabel dikategorikan menjadi variabel non keuangan dan variabel keuangan, serta membandingkan model kondisi keuangan yaitu Revised Altman dan Springate Model. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa variabel opini audit tahun sebelumnya, kondisi keuangan, serta profitabilitas berpengaruh terhadap penerimaan opini audit going concern. Model Revised Altman adalah model yang lebih tepat dalam menunjukkan kondisi keuangan sebenarnya yang mempengaruhi penerimaan opini audit going concern.
Kata kunci: going concern, regresi logistic, revised altman, springate model.
DETERMINANT OF ACCEPTANCY OF GOING CONCERN AUDIT OPINION.
Abstract
This study aimed to examine the determinants know the company received a going concern audit opinion as quality audits, the previous year’s audit opinion, proportion of independent commissioners, financial condition, company growth, company size, and profitability. Samples obtained by purposive sampling method and obtained 155 observations from years 2007-2011. Logistic regression model testing performed three times because variables are categorized into non-financial variables and financial variables, and comparing models of financial condition that is Revised Altman and Springate Model. The results of this study indicate that the variables in the previous audit opinion, financial condition and profitability affect the revenue going concern audit opinion. Revised Altman model is more appropriate model in showing the actual financial condition that affects revenue going concern audit opinion.
Keywords: going concern, logistic regression, revised altman, springate model.
PENDAHULUAN Kondisi perekonomian suatu negara dapat ditandai dengan pergerakan dunia bisnis di negara tersebut. Dunia bisnis dijadikan sebagai indikator utama untuk melihat
apakah kondisi perekonomian negara itu dalam keadaan baik atau buruk Mem-buruknya pergerakan dunia bisnis dapat mengakibatkan kelangsungan hidup suatu usaha terganggu bahkan dapat mengarah kebangkrutan. Gejolak memburuknya
203Jurnal Ekonomi Bisnis Volume 17, No. 3, Desember 2012
pergerakan dunia bisnis diawali dengan krisis keuangan yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 yang melanda beberapa negara Asia termasuk Indonesia membawa dampak yang signifikan ter-hadap keberadaan entitas bisnis di Indonesia. Perekonomian mengalami keterpurukan, sehingga banyak per-usahaan yang gulung tikar karena tidak bisa melanjutkan usahanya. Kelangsung-an hidup usaha (going concern) selalu dihubungkan dengan kemampuan mana-jemen dalam mengelola perusahaan agar bertahan hidup. Oleh karena itu adalah wajar jika kesalahan pertama ditujukan kepada pihak manajemen. Namun Ishak (1999) dalam Ramadhany (2004) ber-pendapat bahwa tuduhan kesalahan juga sangat berpotensi melebar kepada auditor. Akibatnya terjadi peningkatan jumlah perusahaan yang mendapatkan opini audit Qualified going concern dan Disclaimer pada tahun 1998.
Fenomena yang terjadi pada kasus bangkrutnya perusahaan energi Enron merupakan salah satu contoh terjadinya kegagalan bisnis di Amerika. Hal ini terjadi karena adanya skandal akuntansi yang melibatkan pihak manajemen dan auditor eksternal. KAP Arthur Andersendipersalahkan sebagai penyebab terja-dinya kebangkrutan Enron dan divonis pihak pengadilan karena melakukan markup pendapatan dan menyembunyikan hutang lewat business partnership (Ramadhany, 2004). Kasus Enron sangat memukul profesi akuntan terutama akuntan publik. Fenomena yang terjadi di lapangan menunjukkan banyak dari perusahaan yang go public menerima opini audit going concern. Reputasi se-buah kantor akuntan publik dipertaruhkan ketika opini yang diberikan ternyata tidak sesuai dengan kondisi perusahaan yang sesungguhnya.
Berbagai penelitian mengenai auditgoing concern telah dilakukan di bebe-rapa lokasi. Penelitian berikut merupakan kelanjutan penelitian-penelitian terdahulu
yang telah memperoleh simpulan menge-nai faktor-faktor yang mempengaruhi audit going concern. Salah satunya Hany et al. (2003) meneliti perusahaan per-bankan di BEJ menemukan bahwa dengan adanya going concern maka suatu usaha perbankan dianggap mampu mem-pertahankan kegiatan usaha-nya dalam jangka waktu panjang, tidak dilikuidasi dalam jangka waktu pendek. Sementara itu Setiawan (2006) menyatakan bahwa going concern sebagai asumsi bahwa perusahaan dapat mempertahankan hi-dupnya (going concern) secara langsung akan mempengaruhi laporan keuangan. Laporan keuangan yang disiapkan menggunakan dasar going concern ke-mungkinan akan berbeda secara sub-stansial dengan laporan keuangan yang disiapkan pada asumsi bahwa perusahaan tidak going concern. Laporan keuangan yang disiapkan pada dasar going concern mengasumsikan bahwa perusahaan akan bertahan melebihi jangka waktu pendek. Fanny dan Saputra (2005) menyebutkan bahwa ada beberapa kriteria perusahaan menerima opini going concern apabila mempunyai masalah pada pendapatan, reorganisasi, ketidak-mampuan dalam membayar bunga, menerima opini goingconcern pada tahun sebelumnya, dalam proses likuidasi, modal yang negatif, arus kas negatif, pendapatan operasi negatif, modal kerja negatif, 2 sampai 3 tahun berturut-turut rugi, laba ditahan negatif.
Penelitian Setyarno et al (2006) menguji pengaruh kualitas audit, kondisi keuangan perusahaan, opini audit tahun sebelumnya, pertumbuhan perusahaan terhadap opini audit going concern. Daripenelitian tersebut didapatkan bahwa hanya opini audit tahun sebelumnya dan kondisi keuangan perusahaan yang berpengaruh secara signifikan terhadap penerimaan opini audit going concern, sedangkan untuk variabel kualitas audit dan pertumbuhan perusahaan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap penerimaan opini audit going concern.
204 Parulian P, Determinasi Penerimaan.....
Dalam penelitian Meliyanti (2011) menemukan menunjukkan bahwa adanya variabel debt default, kondisi keuangan dan opini audit tahun sebelumnya ber-pengaruh signifikan terhadap pene-rimaan opini audit going concern, sedangkan variabel kualitas audit, opinion shopping, audit lag tidak berpengaruh signifikan terhadap penerimaan opini audit goingconcern.
Variabel lain yang diduga mem-pengaruhi opini audit going concern adalah reputasi auditor menunjukkan prestasi dan kepercayaan publik yang disandang auditor atas nama besar yang dimiliki auditor tersebut. Craswell et al (1995) dalam Fanny dan Saputra (2005) menyatakan bahwa klien biasanya mem-persepsikan bahwa auditor yang berasal dari KAP besar dan yang memiliki afiliasi dengan KAP internasional yang memiliki kualitas yang lebih tinggi karena auditor tersebut memiliki karakteristik yang dapat dikaitkan dengan kualitas, seperti pe-latihan, pengakuan internasional, serta adanyapeer review. Auditor yang me-miliki reputasi dan nama besar dapat menyediakan kualitas audit yang lebih baik, termasuk dalam mengungkapkan masalah going concern demi menjaga reputasi mereka.
Keterkaitan opini audit goingconcern tahun sebelumnya menjadi faktor pertimbangan penting auditor untuk mengeluarkan kembali opini audit goingconcern pada tahun berikutnya. Apabila auditor menerbitkan opini audit goingconcern tahun sebelumnya maka semakin besar kemungkinan perusahaan menerima kembali opini audit going concern pada tahun berjalan. Carcello dan Neal (2000) dalam Setyarno et al (2006) memberikan bukti bahwa setelah auditor menge-luarkan opini going concern, peru-sahaan harus menunjukkan peningkatan ke-uangan yang signifikan untuk memper-oleh opini bersih pada tahun berikutnya. Jika tidak mengalami peningkatan ke-uangan maka pengeluaran opini audit
going concern dapat diberikan kembali. Demikian pula dengan keberadaan komisaris independen membawa peng-aruh yang positif bagi perusahaan dengan laporan keuangan yang berkualitas. Dewan Komisaris yang independen secara umum mempunyai pengawasan yang lebih baik terhadap manajemen, sehingga mempengaruhi kemungkinan tidak terjadinya kecurangan dalam me-nyajikan laporan keuangan yang dibuat oleh manajemen. Dengan keberadaan komisaris independen, diharapkan in-formasi yang disampaikan dalam laporan keuang-an tersebut sesuai dengan kondisi ekonomi perusahaan. Semakin baiknya kondisi ekonomi perusahaan, maka semakin baik pula kelangsungan hidup perusahaan. Keberadaaan komisaris in-dependen tlah diatur Bursa Efek Jakarta tanggal 1 juli 2000. Dimana jumlah minimal Komisaris Independen adalah 30 persen dari seluruh anggota Dewan Komisaris.
Tingkat kesehatan suatu perusahaan dapat dilihat dari kondisi keuangan perusahaan. Perusahaan yang mempunyai kondisi keuangan yang baik maka auditor tidak akan mengeluarkan opini audit going concern (Ramadhany, 2004). Carcello dan Neal (2000) dalam Setyarno et al (2006) dalam penelitiannya me-ngenai komposisi komite audit dan laporan auditor menyatakan bahwa semakin kondisi keuangan perusahaan terganggu atau memburuk maka semakin besar perusahaan menerima opini audit going concern dari auditor. Kondisi keuangan perusahaan. Hal ini diperkuat oleh penelitian Chandrarin (2003) me-ngindikasi bahwa investor akan merespon berbeda pada perusahaan yang me-nggunakan metode akuntansi yang berbeda untuk keuntungan/kerugian tran-saksi di pasar modal. Mengacu pada pe-nelitian sebelumnya, Arga dan Wedari (2007) yang mengukur kondisi keuangan perusahaan dengan empat model prediksi kebangkrutan, yaitu: (1) The Zmijeski
205Jurnal Ekonomi Bisnis Volume 17, No. 3, Desember 2012
Model (1984), (2) The Altman Model(1968), (3) Revised Altman Model (1993),dan (4) The Springate Model (1978). Maka dalam penelitian ini menggunakan dua model prediksi kebangkrutan sebagai tolok ukur kondisi keuangan suatu perusahaan, yaitu adalah Revised Altman Model (1993), dan The Springate Model(1978). Penelitian Arga (2007) ini menemukan bahwa model kebangkurtan dari The Zmijeski kurang tepat untuk digunakan sebagai proksi kondisi ke-uangan perusahaan. Hal ini disebabkan tidak semua perusahaan yang bangkrut menerima opini going concern.
Pertumbuhan perusahaan juga sering dikaitkan dengan penerimaan opini audit going concern. Perusahaan yang mempunyai pertumbuhan penjualan yang tinggi cenderung memiliki laba yang tinggi serta memilki laporan sewajarnya, sehingga potensi untuk mendapatkan opini yang baik (opini non going concern) lebih besar. Sebagaimana hasil penelitian Atmini (2002) menunjukkan bahwa nilai pasar ekuitas perusahaan pada tahap pertumbuhan dipengaruhi oleh laba dan arus kas pendanaan. Pene-litiannya menunjukkan hasil bahwa laba dan arus kas pendanaan mempunyai nilai yang relevan pada tahap pertumbuhan sedangkan arus kas investasi mempunyai nilai yang relevan di tahap mature.Sesudah perusahaan ada di tahap mature maka akan mengalami penurunan yang dapat ditunda dengan menghasilkan laba positif dan memiliki arus kas pendanaan yang positip, sehingga dapat digunakan untuk membiayai investasi besar yang akan dilakukan oleh perusahaan dan investor akan menilai perusahaan tersebut mempunyai prospek yang bagus di masa depan dan opini audit going concern bukan lagi ancaman.
Sementara itu, Altman (1968) dalam Petronela (2004) mengemukakan bahwa perusahaan dengan negative growth mengindikasikan kecenderungan yang lebih besar kearah kebangkrutan
sehingga perusahaan yang laba tidak akan mengalami kebangkrutan. Karena ke-bangkrutan merupakan salah satu dasar bagi auditor untuk memberikan opini audit going concern maka perusahaan yang mengalami pertumbuhan perusahaan yang negatif akan makin tinggi kecenderungan untuk menerima opini going concern. Sama halnya dengan pertumbuhan perusahaan, ukuran per-usahaan juga sering dihubung-hubungkan dengan penerimaan opini audit going concern. McKeown et al, (1991) dalam Januarti (2006) mengatakan bahwa per-usahaan besar lebih banyak menawarkan fee audit tinggi dari pada yang ditawarkan oleh perusahaan kecil. Dalam kaitannya mengenai kehilangan fee audit yang signifikan tersebut, sehingga auditor mungkin ragu untuk mengeluarkan opini audit going concern pada perusahaan besar. Mutchler (1985) dalam Fanny dan Saputra (2005) menyatakan bahwa auditor lebih senang mengeluarkan opini audit going concern pada perusahaan kecil, karena auditor mempercayai bahwa perusahaan besar dapat menyelesaikan kesulitan-kesulitan keuangan yang di-hadapinya dari pada perusahaan kecil.
Rasio profitabilitas merupakan rasio yang mengukur kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba pada tingkat penjualan, asset, dan modal (Susanto, 2009). Dalam penelitian ini, proksi yang digunakan pada rasio profitabilitas adalah ROA (return on assets). ROA (return on assets) digunakan untuk mengukur efek-tifitas perusahaan dalam meng-hasilkan keuntungan dengan memanfaatkan aktiva yang dimilikinya. Semakin tinggi pro-fitabilitas perusahaan maka semakin me-nunjukkan kondisi keuangan suatu per-usahaan yang baik. Hal tersebut tidak memungkinkan audior memberikan opini auditgoing concern.
Penelitian ini dilakukan untuk menguji kembali beberapa faktor – faktor dalam penelitian terdahulu yang mem-pengaruhi penerimaan opini audit going
206 Parulian P, Determinasi Penerimaan.....
concern seperti kualitas audit, opini audit tahun sebelumnya, proporsi komisaris independen, kondisi keuangan, pertum-buhan perusahaan, ukuran perusahaan serta profitabilitas, khususnya pada perusahaan manufaktur. Dengan demi-kian maka permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah:
1. Apakah faktor kinerja non keuangan seperti kualitas audit, opini audit tahun sebelumnya, dan proporsi komisaris independen berpengaruh terhadap penerimaan opini audit going concern ?
2. Apakah faktor kinerja keuangan seperti kondisi keuangan per-usahaan, pertumbuhan perusa-haan, ukuran perusahaan, dan profitabilitas berpengaruh terha-dap penerimaan opini audit goingconcern?
3. Manakah yang lebih menunjukkan keadaan kesehatan perusahaan dalam penelitian ini berpengaruh terhadap pemberian opini audit going concern dengan memban-dingkan metode Resived Altman danSpringate Model ?
METODE PENELITIAN
Objek yang digunakan dalam penelitian ini adalah seluruh perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia dari tahun 2007 sampai 2011. Pemilihan sampel menggunakan metode purposivesampling. Jumlah sampel dalam pe-nelitian ini adalah sebanyak 31 perusaha-an untuk masing-masing periode. Jumlah data dalam penelitian ini adalah sebanyak 155 perusahaan. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang berbentuk laporan keuangan yang ada di Bursa Efek Indonesia, laporan opini auditor independen. Semua data tersebut diperoleh dari halaman web
(website) resmi Bursa Efek Indonesia www.idx.co.id.
Operasionalisasi Variabel Penelitian 1. Opini Audit Going Concern
Termasuk dalam opini going concern (GC) ini adalah opini GC unqualified with explanatory language, qualified opinion atau disclaimer opinion.Sedangkan opini audit selain GC dikategorikan kedalam opini nongoing concern (NGC), yaitu opini audit modifikasi (atau tidak modi-fikasi) atau unqualified opinion (unqualified bentuk standar). Pada opini GC diberi kode 1, sedangkan opini NGC diberi kode 0.
2. Kualitas Audit Apabila KAP yang mengaudit laporan keuangan perusahaan termasuk KAP BIG FOUR maka diberi kode 1, sedangkan untuk selain KAP BIG FOUR diberi kode 0.
3. Opini Audit Tahun Sebelumnya Apabila pada tahun sebelumnya terdapat opini GC diberi kode 1, sedangkan opini NGC diberi kode 0.
4. Proporsi Komisaris Independen Dikemukakan bahwa perusahaan yang listed di Bursa harus mempunyai Komisaris Independen yang secara proporsional sama dengan jumlah saham yang dimiliki pemegang saham yang minoritas (bukan controllingshareholders). Dalam peraturan ini, persyaratan jumlah minimal Komisa-ris Independen adalah 30 persen dari seluruh anggota Dewan Komisaris.
5. Kondisi Keuangan Perusahaan Dalam penelitian ini kondisi keuang-an perusahaan diproksikan dengan menggunakan model prediksi kebang-krutan Revised Altman dan SpringateModel.
a. Revised Altman
Dimana:
Z = 0,717 Z1 + 0,847 Z2 + 3,107 Z3 + 0,420 Z4 + 0,998 Z5
207Jurnal Ekonomi Bisnis Volume 17, No. 3, Desember 2012
Z1 : Working capital to Total Asset (Modal Kerja / Total Aktiva). Z2 : Retained earnings to Total Asset (Laba ditahan / Total Aktiva). Z3 : Earnings before interest and tax to Total asset (Laba sebelum dipotong
bunga dan pajak / Total Aktiva). Z4 : Book value of equity to Book value of debt (Nilai buku total ekuitas / Nilai
buku total hutang). Z5 : Sales to Total Asset (Penjualan / Total Aktiva).
Nilai Z diperoleh dengan meng-hitung ketiga rasio tersebut berdasar-kan data pada neraca dan laporan laba/rugi dikalikan dengan koefisien masing – masing rasio kemudian di-jumlahkan hasilnya. Jika nilai Z < 1,23 maka termasuk perusahaan yang
bangkrut. Jika nilai 1,23 < Z < 2,9 maka termasuk grey area (tidak dapat ditentukan apakah perusahaan sehat ataupun mengalami kebangkrutan). Sedangkan jika nilai Z > 2,9 maka termasuk perusahaan yang tidak bangkrut.
b. Springate Model
Dimana: A : Working capital to Total asset B : Net profit before interest and taxes to Total asset C : Net profit before taxes to Current liabilities D : Salesto Total asset
Adapun klasifikasi perusahaan yang tidak sehat atau bangkrut didasarkan pada nilai z dengan model springate model, yaitu Z < 0,862.
6. Pertumbuhan Perusahaan
Dalam penelitian ini, variabel per-tumbuhan perusahaan dilihat dengan pertumbuhan penjualan perusahaan setiap tahunnya.
Dimana: Penjualant : Penjualan bersih tahun sekarang Penjualant-1 : Penjualan bersih tahun sebelumnya
7. Ukuran Perusahaan Pengukuran variabel dihitung dengan menggunakan total aktiva dalam rupiah dan data di log/natural loga-ritma (Ln) agar dapat menye-derhanakan perhitungan.
8. Profitabilitas Profitabilitas dalam penelitian ini diukur dengan menggunakan return on asset (ROA). ROA diukur ber-
dasarkan perbandingan antara laba bersih setelah pajak dengan total aktiva.
Teknik Analisis Data dan Pengujian Hipotesis
Pengujian hipotesis dilakukan de-ngan menggunakan regresi logistik (logistic regression). Menurut Wing Wahyu Winarno (2009) apabila variabel
Z = 1,03A + 3,07B + 0,66C + 0,4D
Pertumbuhan penjualant = penjualant - penjualant-1penjualant-1
208 Parulian P, Determinasi Penerimaan.....
kategorik digunakan didalam variabel independen (baik disertai bersama data numeric ataupun kategorik lainnya) masih dapat digunakan regresi OLS, namun apabila yang menggunakan data kategorik adalah variabel dependen, maka analisis regresinya tidak dapat menggunakan regresi dengan OLS me-lainkan dengan analisis regresi dengan variabel kategorik, yaitu Logit.
Dalam penelitian ini, data disajikan dengan tiga model regresi logistik. Pada model regresi logistik pertama, penulis menganalisis dan menguji apakah faktor kinerja non keuangan seperti kualitas auditor, opini audit tahun sebelumnya dan proporsi komisaris independen berpengaruh terhadap pemberian opini audit going concern pada tahun pengamatan dari 2007-2011. Pada model
regresi logistik kedua, penulis meng-analisis dan menguji apakah faktor kinerja keuangan seperti kondisi ke-uangan, pertumbuhan perusahaan, ukuran perusahaan, dan profitabilitas berpe-ngaruh terhadap pemberian opini audit going concern pada tahun pengamatan dari 2007-2011. Sedangkan pada model regresi yang ketiga penulis menganalisis dan membandingkan antara metode revised altman denganspringate model,sebagai proksi kondisi keuangan mana-kah yang lebih menunjukkan keadaan kesehatan perusahaan dan berpengaruh terhadap pemberian opini audit going concern, pada tahun pengamatan dari 2007-2011.
Dan model pertama regresi logis-tik yang digunakan dalam penulisan ini, adalah sebagai berikut:
Model regresi logistik yang kedua yang digunakan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
Sedangkan model regresi logistik yang ketiga dalam penulisan ini dengan menguji dan membandingkan proksi kondisi keuangan perusahaan adalah sebagai berikut:
HASIL DAN PEMBAHASAN A. Menguji Model Fit (Overal Model Fit Test)
Uji model fit ini diigunakan untuk menilai model yang telah dihipotesiskan telah fit atau tidak dengan data. Pengujian
ini dilakukan dengan cara membanding-kan nilai antara -2 log likelihood pada awal (block number = 0) dengan nilai -2 log likelihood pada akhir (block number = 1). Nilai -2 log likelihood awal pada block number = 0, ditunjukkan melalui tabel 1 berikut ini:
Ln GC = + Revisedit + Springateit + Tumbuhit + Ukuranit + ROAit + €it 1 – GC
Ln GC = + Kualitasit + Opinieit + Ind_Commit + €it 1 – GC
Ln GC = + Revisedit + Springateit + €it 1 – GC
209Jurnal Ekonomi Bisnis Volume 17, No. 3, Desember 2012
Pada tabel tersebut dapat dilihat bahwa nilai – 2 Log Likelihood awaluntuk pengujian regresi pertama, kedua, dan ketiga memiliki nilai yang sama yaitu sebesar 184,937 pada iteration tiga. Namun, pada nilai –2 Log Likelihood akhir untuk regresi model pertama, kedua, dan ketiga mengalami penurunan yang berbeda pada iteration enam. Pada regresi pertama nilai –2 Log Likelihood akhir sebesar 82,518, untuk regresi kedua nilai –2 Log Likelihood akhir sebesar 139,998, dan regresi ketiga nilai –2 LogLikelihood akhir sebesar 149,752.
Perubahan tersebut terjadi setelah masuknya beberapa variabel independen pada model penelitian, adanya pengu-rangan nilai antara – 2LL awal dengan nilai –2LL akhir menunjukkan bahwa model yang dihipotesiskan fit dengandata (Ghozali, 2006).
B. Menguji Kelayakan Model Regresi Dalam pengujian kelayakan model regresi logistik dapat dilakukan dengan menggunakan Goodness of Fit Test yang diukur dengan nilai Chi-Square pada bagian bawah uji Hosmer and Lemeshow.
Tabel 1. Ringkasan Hasil Uji Model Fit Tahun 2007-2011
THE FIRST REGRESSION
THE SECOND REGRESSION THE THIRD
REGRESSION (Non Keuangan) (Keuangan)
Iteration
2 log likelihood
Iteration
2 log likelihood
Iteration
2 log likelihoo
d 2 LL
Awal 3 184.937 3 184.937 3 184.937 2 LL
Akhir 6 82.518 6 139.998 6 149.752 Sumber: Data Sekunder yang telah diolah,2012
Tabel 2. Ringkasan Hasil Uji Kelayakan Model Regresi Tahun 2007-2010
THE FIRST REGRESSION
THE SECOND REGRESSION THE THIRD
REGRESSION (Non Keuangan) (Keuangan)
Chi-square 10.718 12.636 15.375 df 8 8 8 sig 0.179 0.125 0.052
Sumber: Data Sekunder yang telah diolah,2012
Tabel 2 menunjukkan hasil dari Hosmer and Lemeshow’s Goodness of fit test, untuk pengujian regresi yang pertama, kedua, dan ketiga memiliki nilai signifikan sebesar 0,179; 0,125; dan 0,052. Nilai signifikansi yang diperoleh lebih besar dari 0.05, maka hipotesis nol tidak dapat ditolak (diterima) yang berarti
tidak terdapat perbedaan yang nyata antara model dengan nilai-nilai obser-vasinya sehingga model dapat mem-prediksi hasil observasi dengan baik. Hal ini berarti model regresi layak untuk digunakan dalam analisis selanjutnya baik dengan model pertama, kedua, dan ketiga.
C. Koefisien Determinasi
Tabel 3.
Ringkasan Hasil Uji Determinan R2
THE FIRST
REGRESSION
THE SECOND
REGRESSION THE THIRD
REGRESSION (Non Keuangan) (Keuangan)
− 2 log likelihood 82.518 139.998 149.572
Cox&Snell R
Square 0.484 0.252 0.203
Nagelkerke R
Square 0.694 0.361 0.291 Sumber: Data Sekunder yang telah diolah,2012
Pada tabel 3 nilai R2 untuk model
regresi yang pertama memiliki nilai
0,694 yang berarti variabilitas variabel
dependen dapat dijelaskan oleh variabel-
variabel independen adalah sebesar 69,4
persen, sisanya sebesar 30,6 persen
dijelaskan oleh variabel-variabel lainnya
diluar model. Sedangkan untuk nilai R2
untuk pengujian model regresi kedua
lebih tinggi dibandingkan regresi
pertama, nilai R2 pada model regresi
kedua memiliki nilai 0,361 yang berarti
variabilitas variabel dependen dapat
dijelaskan oleh variabel-variabel inde-
penden adalah sebesar 36,1 persen, sisa-
nya sebesar 63,9 persen dijelaskan oleh
variabel-variabel lainnya diluar model.
Pada pengujian model regresi ketiga nilai
R2 lebih rendah jika dibandingkan
dengan regresi pertama, dan kedua yaitu
sebesar 0,291 yang berarti variabilitas
variabel dependen dapat dijelaskan oleh
variabel-variabel independen adalah se-
besar 29,1 persen, sisanya sebesar 70,9
persen dijelaskan oleh variabel-variabel
lainnya diluar model.
D. Pengujian Hipotesis
Dalam hasil pengujian hipotesis
ini bertujuan untuk mengetahui apakah
ada pengaruh dari variabel-variabel bebas
terhadap ketepatan waktu pelaporan ke-
uangan. Pengujian dengan regresi logistik
ditunjukkan dalam tabel berikut ini:
Tabel 4.
Ringkasan Hasil Regresi Binary Logistic
THE FIRST
REGRESSION
THE SECOND
REGRESSION THE THIRD
REGRESSION (Non Keuangan) (Keuangan)
B Sig. B Sig. B Sig.
Constant -4.139 0.005 Constant -6.629 0.144 Constant -0.749 0.000
Kualitas -0.346 0.651 Revised -0.923 0.000
Revised -0.792 0.000Springate 0.881 0.038
Opini 4.810 0.000 Tumbuh -1.193 0.064
Ukuran 0.210 0.205 Springate 0.247 0.435
Ind_Comm 0.044 0.235 ROA -4.063 0.023 Sumber: Data Sekunder yang telah diolah,2012
Tabel 4 menunjukkan hasil peng-
ujian dengan regresi logistik pada tingkat
signifikansi 5%. Variabel kualitas audit
menunjukkan nilai koefisien negatif
sebesar 0,346 dengan probabilitas varia-
bel sebesar 0,651 di atas tingkat signi-
211Jurnal Ekonomi Bisnis Volume 17, No. 3, Desember 2012
fikansi 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa
kualitas audit tidak berpengaruh terhadap
penerimaan opini audit going concern.
Hasil ini tidak mendukung penelitian
yang telah dilakukan oleh Puji Rahayu
(2007) menunjukkan bahwa kantor
akuntan publik besar lebih banyak
mengeluarkan opini going concern
dibandingkan kantor akuntan publik kecil.
Kantor akuntan publik besar memiliki
insentif yang lebih untuk menghindari
kritikan kerusakan reputasi dibandingkan
kantor akuntan publik kecil. Sehingga
kantor akuntan publik besar akan
mengungkapkan masalah kliennya ter-
masuk masalah going concern. Namun
penelitian ini mendukung penelitian
Setyarno et al (2006), yang mengatakan
kualitas auditor tidak mempengaruhi
penerimaan opini audit going concern.
Dengan demikian, ini membuktikan
bahwa reputasi audit baik skala besar atau
kecil telah bersikap objektif dalam
memberikan opini audit going concern
pada perusahaan yang diaudit laporan
keuangannya.
Variabel opini audit tahun sebelum-
nya menunjukkan nilai koefisien positif
sebesar 4,810 dengan probabilitas varia-
bel sebesar 0,000 di bawah tingkat
signifikansi 0,05. Hal ini membuktikan
bahwa opini audit tahun sebelumnya
berpengaruh terhadap penerimaan opini
audit going concern. Opini audit sebe-
lumnya memicu untuk memberikan opini
audit going concern yang sama ditahun
berikutnya. Hal ini dikarenakan proses
audit selalu merujuk pada proses audit
dan data-data tahun sebelumnya. Se-
hingga, auditor cenderung mengeluarkan
opini audit going concern juga pada tahun
sekarang, jika pada tahun sebelumnya
suatu entitas mendapatkan opini audit
going concern. Penelitian ini konsisten
dengan hasil yang dilakukan Arga Fajar
Santosa dan Linda Kusumaning Wedari
(2007), yang menemukan hubungan kuat
antara opini audit tahun sebelumnya
dengan pener-bitan opini audit going
concern.
Variabel proporsi komisaris inde-
penden menunjukkan nilai koefisien
positif sebesar 0,044 dengan probabilitas
variabel sebesar 0,235 di atas tingkat
signifikansi 0,05 (5 persen). Dengan
demikian terbukti bahwa proporsi komi-
saris independen tidak berpengaruh ter-
hadap penerimaan opini audit going
concern. Ini membuktikan, meskipun
terdapat banyak sampel perusahaan yang
memiliki jumlah proporsi komisaris
indpenden lebih dari 30 persen dalam
fungsi pengawasan belum menjamin
untuk tidak memicu penerbitan opini
audit going concern, karena kinerja
perusahaan sangat dipengaruhi oleh
banyak faktor lainnya baik internal
maupun eksternal.
Variabel kondisi keuangan perusa-
haan dengan proksi revised altman
menunjukkan nilai koefisien negatif
sebesar -0,923 dengan probabilitas varia-
bel sebesar 0,000 di bawah tingkat
signifikansi 0,05 (5 persen) pada model
regresi pertama. Dengan demikian ter-
bukti bahwa kondisi keuangan perusa-
haan dengan proksi revised altman ber-
pengaruh terhadap penerimaan opini audit
going concern. Sedangkan pada model
regresi kedua memiliki nilai koefisien
negatif sebesar -0,792 dengan probabilitas
variabel sebesar 0,000 di bawah tingkat
signifikansi 0,05 (5 persen). Hal ini
membuktikan bahwa model Revised
Altman dianggap tepat sebagai proksi
kondisi keuangan dalam penelitian ini.
Penelitian ini selaras dengan
Setyarno, et al (2007) yang menunjukkan
bahwa model Revised Altman merupakan
proksi yang baik digunakan untuk kondisi
keuangan sebagai salah satu faktor yang
mempengaruhi penerbitan opini audit
going concern. Dimana secara empiris
membuktikan perusahaan yang me-
ngalami kesulitan dalam keuangan atau
kondisi keuangan perusahaan dinyatakan
212 Parulian P, Determinasi Penerimaan.....
sakit, maka semakin besar auditor
mengeluarkan opini audit going concern.
Sementara variabel kondisi keuang-
an perusahaan dengan proksi Springate
Model menunjukkan nilai koefisien
positif sebesar 0,881 dengan probabilitas
variabel sebesar 0,038 di bawah tingkat
signifikansi 0,05 (5 persen) pada model
regresi pertama. Dengan demikian ter-
bukti bahwa kondisi keuangan perusa-
haan dengan proksi Springate Model
berpengaruh terhadap penerimaan opini
audit going concern. Sedangkan pada
model regresi kedua memiliki nilai
koefisien positif sebesar 0,247 dengan
probabilitas variabel sebesar 0,435 di atas
tingkat signifikansi 0,05 (5 persen). Hal
ini membuktikan bahwa model Springate
Model dianggap kurang tepat sebagai
proksi kondisi keuangan dalam penelitian
ini.
Berbeda dengan model Revised
Altman yang menggunakan rasio kemam-
puan perusahaan membayar hutang
jangka pendek dan hutang jangka
panjang. Status going concern suatu
perusahaan itu sendiri selalu dikaitkan
dengan mampu atau tidaknya perusahaan
melunasi hutang jangka panjang maupun
hutang jangka pendeknya. Hasil ini
bertentangan dengan penelitian Arga
Fajar dan Linda Wedari (2007) yang
mengatakan model kondisi keuangan
perusahaan dengan proksi Springate
Model berpengaruh secara signifikan
terhadap penerimaan opini audit going
concern.
Variabel pertumbuhan perusahaan
dengan proksi pertumbuhan penjualan
menunjukkan nilai koefisien negatif
sebesar -1,193 dengan probabilitas
variabel sebesar 0,064 di atas tingkat
signifikansi 0,05. Hasil ini menunjukkan
bahwa pertumbuhan perusahaan tidak
berpengaruh terhadap penerimaan opini
audit going concern. Hasil penelitian ini
bertentangan dengan penelitian yang telah
dilakukan oleh Mokhamad Yogi .P
(2010) yang membuktikan bahwa
pertumbuhan penjualan berpengaruh
terhadap opini going concern. Hal ini
disebabkan karena pertumbuhan pen-
jualan perusahaan baik pada perusahaan
yang menerima atau tidak menerima opini
going concern belum menjamin auditor
untuk menerbitkan opini audit going
concern. Perusahaan sampel dalam pe-
nelitian ini yang mengalami peningkatan
dalam penjualan bersihnya, tetapi tidak
diikuti dengan kemampuan perusahaan
untuk menghasilkan laba serta mening-
katkan saldo labanya.
Variabel ukuran perusahaan menun-
jukkan nilai koefisien positif sebesar
0,210 dengan probabilitas variabel se-
besar 0,064 di atas tingkat signifikansi
0,05. Hal ini menunjukkan bahwa per-
tumbuhan perusahaan tidak berpengaruh
terhadap penerimaan opini audit going
concern. Hal ini disebabkan karena besar
kecilnya ukuran perusahaan, tidak
menjamin kelangsungan hidup per-
usahaan tersebut dimasa yang akan
datang, karena baik perusahaan besar
maupun kecil dalam penelitian ini
mengalami masalah financial distress,
sehingga perusahaan dengan ukuran besar
maupun kecil dalam penelitian ini
mendapatkan opini audit going concern.
Pada penelitian ini menunjukkan adanya
kemungkinan perusahaan sektor manu-
faktur dianggap perusahaan cukup besar,
karena memiliki total aktiva yang besar
sesuai dengan penelitian oleh Mutchler
(1985) dalam Fanny dan Saputra (2005)
yang menyatakan bahwa auditor lebih
sering mengeluarkan opini audit going
concern pada perusahaan kecil, karena
auditor mempercayai bahwa perusahaan
besar dapat menyelesaikan kesulitan-
kesulitan keuangan yang dihadapinya
daripada perusahaan kecil.
Variabel profitabilitas dengan
proksi ROA menunjukkan nilai koefisien
negatif sebesar -0,463 dengan proba-
bilitas variabel sebesar 0,023 di bawah
tingkat signifikansi 0,05. Hasil ini
menunjukkan bahwa profitabilitas tidak
213Jurnal Ekonomi Bisnis Volume 17, No. 3, Desember 2012
berpengaruh terhadap penerimaan opini
audit going concern. Penelitian ini
konsisten dengan penelitian Mokhamad
Yogi .P (2010), yang menemukan varia-
bel profitabilitas berpengaruh secara
signifikan terhadap penerimaan opini
audit going concern. Artinya perusahaan
yang memiliki ROA yang rendah, maka
auditor cenderung mengeluarkan opini
audit going concern. ROA yang rendah
disebabkan karena manajemen kurang
efektifitas dalam menggunakan sumber
daya yang dimilki oleh perusahaan
tersebut.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan
Berdasarkan uraian dari bab-bab sebe-
lumnya dan pembahasan yang telah
disajikan, maka dapat disimpulkan
bahwa:
1. Pada faktor kinerja non keuangan
melalui proksi kualitas audit, opini
audit tahun sebelumnya, dan proporsi
komisaris independen, membuktikan
bahwa hanya sebagian kecil yang
berpengaruh terhadap penerimaan
opini audit going concern, yaitu
variabel opini audit tahun sebelumnya.
2. Pada faktor kinerja keuangan melalui
proksi kondisi keuangan perusahaan
(Revised Altman dan Springate
Model), pertumbuhan perusahaan,
ukuran perusahaan, dan profitabilitas,
membuktikan bahwa sebagian besar
berpengaruh terhadap penerimaan
opini audit going concern, yaitu
variabel kondisi keuangan dengan
proksi Revised Altman dan Springate
Model, serta variabel profitabilitas.
3. Dengan menguji dan membandingkan
variabel kondisi keuangan dengan
diproksikan oleh model revised
altman, dan springate. Hanya variabel
revised altman yang memiliki
pengaruh terhadap penerimaan opini
audit going concern dan menunjukkan
kondisi keuangan sebenarnya yang
tepat untuk penelitian ini.
Saran Dengan berbagai telaah dan analisa
yang telah dilakukan, serta berdasarkan
kesimpulan peneliti, maka dapat di-
berikan saran sebagai berikut :
1. Kepada para investor dan calon
investor yang hendak melakukan
investasi sebaiknya berhati-hati dalam
memilih perusahaan, terlebih dahulu
para investor dan calon investor harus
melihat laporan keuangan tahunan
perusahaan yang telah di audit dengan
melihat kinerja non keuangan
perusahaan seperti kualitas audit, opini
audit tahun sebelumnya, proporsi
komisaris independen, serta kinerja
keuangan perusahaan seperti kondisi
keuangan dengan model revised
altman dan springate model,
pertumbuhan perusahaan, ukuran
perusahaan, dan profitabilitas. Faktor-
faktor tersebut berpengaruh dalam
penerimaan opini audit going concern,
oleh karena itu sebaiknya para investor
dan calon investor tidak berinvestasi
pada perusahaan yang mendapat opini
audit going concern.
2. Kepada manajemen perusahaan
hendaknya dapat mengenali lebih dini
tanda-tanda kebangkrutan usaha
dengan melakukan analisa terhadap
laporan keuangannya yaitu dengan
melihat kinerja non keuangan
perusahaan seperti kualitas audit, opini
audit tahun sebelumnya, proporsi
komisaris independen, serta kinerja
keuangan perusahaan seperti kondisi
keuangan dengan model revised
altman dan springate model,
pertumbuhan perusahaan, ukuran per-
usahaan, dan profitabilitas. Sehingga
dapat mengambil kebijakan sesegera
mungkin guna mengatasi masalah
tersebut dan terhindar dari penerimaan
opini audit going concern.
214 Parulian P, Determinasi Penerimaan.....
DAFTAR PUSTAKA Arga Fajar S., Linda Kusumaning
Wedari, 2007. “Analisis Faktor-
Faktor yang Mempengaruhi
Kecenderungan Penerimaan Opini
Audit Going Concern”., JAAI Vol
11 No. 2, Desember, 141-158.
Atmini, Sari, 2002. “Asosiasi Siklus
Hidup Perusahaan dengan
Incremental Value-Relevance
Informasi Laba dan Arus Kas”
Jurnal Riset Akuntansi Indonesia
Vol 5, No. 3 September 257-276.
Chandrarin, Grahita, 2003. “ The Impact
of Accounting Methods for
Transaction Gains (Losses) on the
Earning Response Coefficients :
The Indonesian Case”, Jurnal
Riset Akuntansi Indonesia Vol 6.,
No., 3 September, 217-231.
Fanny, Margaretta dan Sylvia Saputra.
2005. “Opini Audit Going
Concern: Kajian Berdasarkan
Model Prediksi Kebangkrutan,
Pertumbuhan Perusahaan, dan
Reputasi Kantor Akuntan Publik
(Studi Pada Emiten Bursa Efek
Jakarta).” Simposium Nasional
Akuntansi 8 Solo. 970-971.
Ghozali, Imam. 2006. Aplikasi Analisis
Multivariant dengan Program
SPSS, Semarang: Badan Penerbit
Universitas Diponegoro.
Hany, Clearly dan Mukhlasin. 2003.
“Going Concern dan Opini Audit:
Suatu Studi pada Perusahaan
Perbankan di BEJ.” Simposium
Nasional Akuntansi VI. 1221-
1233.
Ikatan Akuntansi Indonesia. 2001.
Stondor Profesional Akuntan
Publik. Jakarta. Salemba Empat.
Indira Januarti 2006 ”Analisis Pengaruh
Faktor Perusahaan, Kualitas
Auditor, Kepemilikan Perusahaan
Terhadap Penerimaan Opini Audit
Going Concern (Perusahaan
Manufaktur yang Terdaftar di
Bursa Efek Indonesia)”, Working
Paper SIAE Universitas
Diponegoro.
Meliyanti Yosephine Surbakti . 2011.
“Faktor –faktor yang
Mempengaruhi Penerimaan Opini
Audit Going Concern (Studi
Empiris pada Perusahaan
Manufaktur yang Terdaftar di
Bursa Efek Indonesia), Skripsi S1,
Fakultas Ekonomi Universitas
Diponegoro.
Petronela, Thio. 2004. "Perkembangan
Going Concern Perusahaan Dalam
Pembenan Opini Audit" Jurnal
Balance. 41-55.
Praptitorini, Mirna Dyah dan Indira
Januarti. 2007. “Analisis Pengaruh
Kualitas Audit, Debt Default dan
Opinion Shopping Terhadap
Penerimaan Opini Going
Concern”. Simposium Nasional
Akuntansi X, Juli. Semarang:
Fakultas Ekonomi Universitas
Diponegoro.
Rahayu, Puji. 2007. “Assessing Going
Concern Opinion: A Study Based
On Financial And Non-Financial
Informations (Empirical Evidence
of Indonesian Banking Firms
Listed on JSX and SSX).”
Simposium Nasional Akuntansi 10
Makasar. 17-20.
Ramadhany, Alexander. 2004. "Analisis
Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Penerimaan Opini Going Concern
pada Perusahaan Manufaktur yang
Mengalami Financial Distress di
Bursa Efek Jakarta." Jurnal Maksi
Volume 4.
Setiawan, Santy. 2006. “Opini Audit
Going Concern dan Prediksi
Kebangkrutan”. Jurnal Ilmiah
Akuntansi. Vol.V, No.1, Mei: 59-
67 Fakultas Ekonomi Universitas
Kristen Maranatha.
215Jurnal Ekonomi Bisnis Volume 17, No. 3, Desember 2012
Setyarno, Eko Budi, Januarti, Indira dan
Faisal. 2006. "Pengaruh Kualitas
Audit, Kondisi Keuangan
Perusahaan, Opini Audit Tahun
Sebelumnya, Pertumbuhan
Perusahaan terhadap Opim Audit
Going Concern." Simposium
Nasional Akuntansi 9 Padang. 1-
25.
Santoso, S. 2010. Statistik Multivariat
Konsep dan Aplikasi dengan
SPSS. Jakarta: PT Elex Media
Komputindo.
Yogi, Mokhamad. 2010. “Analisis Faktor
– Faktor Yang Dapat
Mempengaruhi Auditor Dalam
Pemberian Opini Audit Going
Concern (Studi Empiris Pada
Perusahaan LQ-45 (Blue Chip)
Yang Terdaftar Di Bei).” Skripsi-
S1. Fakultas Ekonomi Universitas
Pembangunan Nasional.
Winarno, Wing Wahyu. 2009. Analisis
Ekonometrika dan Statistika
dengan EVIEWS. Edisi Kedua.
Yogyakarta: UPP STIM YKPN.
216 Kamaludin, Dampak Desentralisasi.....
DAMPAK DESENTRALISASI KEUANGAN TERHADAP KINERJA LAYANAN: IMPLIKASI SETELAH OTONOMI DAERAH KASUS KOTA BENGKULU
KamaludinDewi Rahmayanti
Jurusan Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Bengkulu
Abstrak
Otonomi daerah tidak hanya menuntut desentralisasi kekuasaan tetapi juga berimplikasi pada
desentralisasi keuangan pada daerah tingkat dua. Harapan masyarakat yang begitu besar
dengan adanya desentralisasi keuangan justru saat ini menjadi serangan balik bagi masyarakat.
Tujuan penelitian adalah untuk melihat dampak otonomi daerah menurut penilaian masyarakat
berkaitan dengan layanan dan program yang ditawarkan pemerintah Kota Bengkulu. Metode
analisis adalah pendekatan deskriptip dengan mengkombinasikan data statistik dan penilaian
masyarakat di Kota Bengkulu. Hasil penelitian menggambarkan bahwa desentralisasi keuangan
masyarakat menilai di kota Bengkulu kinerja layanan terutama dalam arti luas seperti; fasilitas
publik, jalan, jembatan, sarana-prasarana yang lainnya tidak lebih baik sebelum adanya otonomi
daerah. Belanja Daerah yang dialokasikan cenderung tidak berfihak pada program yang
bersentuhan langsung dengan kebutuhan masyarakat. Belanja daerah banyak digunakan untuk
hal-hal yang tidak produktif. Sebesar 60% sampai 70% dari Anggaran Pendapatan Belanja
Daerah digunakan membiayai gaji pegawai.
FINANCIAL DECENTRALIZATION IMPACT ON SERVICES PERFORMANCE: IMPLICATION OF POST-REGIONAL AUTONOMY,
BENGKULU CITY CASE
Abstract
On level region to expectation decentralization of power and decentralizes financially. Society
expectation that so big with marks sense finance decentralization just currently become attack
return to divide society. The goal of the research is subject to analysis decentralization of region
impact terminological society expectation gets bearing by service and program that is on the
Bengkulu City government. Method analysis is descriptive approaching with to combine
statistical and society expectation at Bengkulu's City. The result of the research to figure that
societies financial decentralization assess at Bengkulu's city performance services particularly in
extensive mean as; public facility, road, bridge, another infrastructure not better before marks
sense decentralization of region. Region expenditure that is allocated to tend not importance on
programs that gets to direct touch needs society. A lot of region expenditure is utilized for
unproductive. Budget of income and expenditure utilizing to fund clerk wages as big as 60% until
70%.
Keyword: On level region, budget of income and expenditure
PENDAHULUAN
Diawali adanya krisis ekonomi pada
tahun 1997 yang juga sekaligus
tumbangnya kekuasaan ORDE BARU
lebih dari 30 tahun yang menuntut adanya
otonomi daerah (OTDA) secara luas.
OTDA tidak hanya menuntut
desentralisasi kekuasaan juga
berimplikasi pada desentralisasi keuangan
pada daerah tingkat dua. Paling tidak ada
dua alasan yang selama ini dirasakan oleh
masyarakat. Pertama, intervensi
masyarakat di masa lalu telah
217Jurnal Ekonomi Bisnis Volume 17, No. 3, Desember 2012
menimbulkan masalah rendahnya kapa-
bilitas dan efektivitas pemerintah daerah
dalam mendorong proses pembangunan
dan kehidupan deomkrasi di daerah.
Kedua, arahan dan statutory requirement
yang terlalu besar dari pemerintah pusat
menyebabkan inisiatif dan prakarsa
daerah cenderung mati sehingga peme-
rintah daerah seringkali menjadikan
pemenuhan peraturan sebagai tujuan dan
bukan sebagai alat untuk meningkatkan
pelayanan kepada masyarakat
(Mardiasmo, 2004).
Secara teoritis desentralisasi dan
OTDA dapat mendekatkan pelayanan
pemerintah kepada masyarakat, antara
lain melalui pemotongan jalur birokrasi
pelayanan, sehingga masyarakat dapat
lebih mudah mengakses pelayanan
pemerintah, terutama pelayanan peme-
rintah daerah (PEMDA). Perbaikan
pelayanan tersebut akan makin baik kalau
didukung oleh sistem pemerintahan yang
demokratis, terbuka, akuntabel dan
memberi ruang partisipasi yang luas bagi
masyarakat. Dengan sistem seperti itu
maka tujuan akhir dari desentralisasi dan
otda berupa peningkatan kesejahteraan
serta kemandirian masyarakat akan dapat
tercapai. Pelaksanaan kebijakan desen-
tralisasi dan OTDA yang diatur dalam
UU No.22, 1999 dan UU No. 25, 1999
diamanatkan untuk tetap berada dalam
kerangka Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Sebelum kedua UU tersebut diberla-
kukan, berbagai kegiatan pelayanan
pemerintah, terutama program pem-
bangunan, lebih banyak diputuskan dan
bahkan dilaksanakan oleh pusat melalui
instansi vertikalnya di daerah (KANWIL
dan KANDEP). Sejak kedua UU itu
diberlakukan pada 1 Januari 2001 daerah
menerima kewenangan dan personil yang
lebih besar. Untuk melaksanakan semua
itu pemerintah pusat menyediakan dana
alokasi umum (DAU) yang pada
umumnya lebih besar dibandingkan
anggaran pendapatan dan belanja daerah
(APBD) tahun-tahun sebelumnya.
Tanggung jawab pengalokasian DAU
diserahkan sepenuhnya kepada daerah.
Dalam kenyataannya DAU yang diterima
dinilai kurang dibanding kebutuhan untuk
dapat mengelola kewenangan pelayanan
pemerintahan secara baik. Selain
kekurangan dana, aparat daerah yang
selama lebih dari tiga dekade terbiasa
menerima “perintah” dari pusat masih
memerlukan waktu untuk beradaptasi
dengan sistem administrasi pemerintahan
yang baru ini. Waktu yang dibutuhkan
untuk beradaptasi berbeda antara satu
daerah dengan daerah lainnya.
Misi utama kedua Undang-undang
tersebut adalah desentralisasi. Desen-
tralisasi tidak hanya pelimpahan
wewenang dari pemerintah pusat ke
pemerintah yang lebih rendah, tetapi juga
pelimpihan beberapa wewenang
pemerintah kepada pihak swasta
privatisasi. Pemerintah pada berbagai
tingkatan harus bisa menjadi katalis:
fokus pada pemberiaan penghargaan
bukan pada prosuksi pelayanan publik.
Produksi pelayanan bukan menjadi
keharusan, atau pengecualiaan saja. Di
masa mendatang semua tingkatan
pemerintahan harus fokus pada fungsi-
fungsi dasarnya, yaitu: yaitu penciptaan
dan modrenisasi lingkungan legal dan
regulasi. Pengembangan suasana yang
kondusif bagi proses alokasi sumberdaya
yang efisien. Pengembangan kualitas
sumberdaya manusia dan infrastruktur;
melindungi orang-orang yang rentan
secara fisik dan non fisik; serta
meningkatkan dan konservasi daya
dukung lingkungan hidup (World Bank,
1997).
Dampak desentralisasi dan otda
terhadap kinerja pelayanan pemerintah
dapat dilakukan dengan membandingkan
kondisi sebelum dan setelah diberla-
kukannya kebijakan tersebut melalui
indikator-indikator terukur tertentu. Salah
satu aspek yang dipakai untuk mengukur
dampak tersebut dapat dievaluasi melalui
218 Kamaludin, Dampak Desentralisasi.....
tingkat kepuasan masyarakat terhadap
pelayanan yang diberikan oleh PEMDA.
Mengingat pelaksanaan kebijakan ini
baru memasuki tahun ke-sepuluh, maka
dampaknya idealnya sudah dapat diamati.
Kecenderungan yang terjadi dapat
dievaluasi melalui kebijakan PEMDA
yang terkait langsung maupun tidak
langsung dengan indikator yang akan
diukur.
Kinerja pelayanan PEMDA, secara
praktis tercermin dari kebijakan alokasi
sektoral dalam APBD. Makin besar
anggaran belanja yang dialokasikan ke
dalam suatu sektor (baik absolut maupun
relatif), makin besar perhatian pemda
terhadap sektor itu, dan makin terbuka
peluang bagi terciptanya kinerja
pelayanan yang baik untuk sektor
tersebut. Sementara itu untuk melihat
dampak otda terhadap usaha penciptaan
pemerintahan yang bersih dan
berkemampuan, salah satu pendekatan
indikatif yang dapat digunakan adalah
dengan melihat perubahan yang terjadi
dalam proses pengadaan dan atau
pengerjaan program/proyek yang didanai
oleh APBD.
Pelaksanaan kebijakan desentralisasi
dan OTDA yang telah berlangsung 10
tahun tersebut peluang keberhasilan
kebijakan baru ini masih diragukan oleh
banyak pihak. Keraguan itu timbul karena
adanya berbagai faktor penghambat dan
banyaknya indikasi negatif yang terjadi di
lapangan sehingga pelaksanaan kebijakan
OTDA dinilai tidak berlangsung sesuai
dengan amanat peraturan perundangan.
Hingga saat ini pemerintah pusat belum
menyelesaikan tanggung jawabnya mem-
buat peraturan perundangan pendukung
pelaksanaan Undang-undang No. 22,
1999, tetapi di sisi lain, pemerintah pusat
telah mengeluarkan beberapa peraturan
perundangan yang bertentangan satu
sama lain. Propinsi dan kabupaten/kota
belum memiliki persepsi yang sama
dalam menjabarkan kewenangannya.
Demikian pula nuansa kolusi, korupsi dan
nepotisme (KKN) dalam berbagai bidang
pemerintahan dinilai semakin subur.
Sementara itu, ruang partisipasi yang
semestinya diberikan secara luas bagi
masyarakat juga belum secara konsisten
dilaksanakan (SMERU, 2002). Dari sisi
lain menurut Sumarsono (2010) bahwa
berbagai kelemahan ditemukan
implementasi UU tersebut. Selain ke-
lemahan juga muncul sejumlah per-
masalahan mulai dari defenisi, asumsi,
intepretasi hingga teknis operasional.
OTDA identik dengan desentralisasi
keuangan atau manajemen keuangan
daerah. Manajemen keuangan daerah
prinsipnya sebenarnya adalah adanya
prinsip transparansi dan akuntabilitas baik
dari sisi penerimaan daerah, belanja
daerah ataupun sisi pembiayaan yang
tidak lain untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat suatu daerah.
Prinsip transparansi dan akuntabilitas
terhadap ke-tiga hal tersebut itulah yang
paling sering dilupakan ataupun disengaja
oleh pemerintah suatu daerah. Bahkan
ada kesan semenjak OTDA khususnya di
Kota Bengkulu bahwa desentralisasi
keuangan lebih berfihak kepada eksekutip
dan yudikatif. Misalkan anggaran belanja
lebih banyak digunakan untuk
kepentingan eksekutip dan yudikatif
dibandingkan dengan kepentingan
masyarakat. Menurut Mahmudi (2010)
ada beberapa prinsip yang seharusnya
dalam manajemen belanja daerah, yaitu:
perencanaan belanja, pengendalian be-
lanja, akun-tabilitas belanja, auditabilitas
belanja.
Undang-undang No. 22 dan 25 tahun
1999 yang memiliki misi desentralisasi
tersebut secara ideal memiliki tujuan yang
mulia, yaitu pelimpahan wewengan yang
lebih besar untuk mengatur daerah secara
mandiri dan mengelola keuangan daerah
secara lebih mandiri atau tidak banyak
intervensi pemerintah yang lebih tinggi.
Namun dalam perjalanannya ada indikasi
penggunaan wewengan yang begitu besar
tersebut banyak disalah artikan oleh
219Jurnal Ekonomi Bisnis Volume 17, No. 3, Desember 2012
pemerintah daerah. Banyak permasalahan
yang muncul munculnya program yang
dibuat tidak berdasarkan kepentingan
masyarakat setempat. Misalkan di Kota
Bengkulu, salah satu anggaran dalam
APBD digunakan untuk studi banding
para anggota DPR dan Pejabat tinggi di
PEMKOT yang hasilnya tidak bisa
dipertangungjawabkan. Sementara jika
kita lihat semua jalan yang ada di Kota
Bengkulu adalah rusak berat. Pengadaan
pakaian dinas, rekrut pegawai negeri sipil
(PNS) yang tidak didasarkan job analisis.
Bahkan sebagian besar APBD Kota
Bengkulu hanya untuk membayar gaji
pegawai.
Pembangunan kota semenjak tahun
2008 pembangunan Kota Bengkulu
berdasarkan tiga pilar pembangunan,
yaitu:
1. Pendidikan gratis
2. Kesehatan gratis, dan
3. Ekonomi krakyatan.
Banyak kritik dari berbagai yang
dilontarkan kepada pemerintah kota,
karena ke-3 pilar yang dibesar-besarkan
tersebut hanya jalan ditempat. Bahkan
pada tahun 2011 pemerintah kota
mengurangi atau mencabut anggaran
pendidikan gratis dan kesehatan gratis
tersebut. Banyak indikasi lain yang
menunjukkan tidak berjalan baik
pembangunan di kota Bengkulu selain ke-
3 pilar di atas seperti kerusakan jalan
hampir semua di kota Bengkulu.
Dari pernyataan di atas maka secara
lebih rinci rumusan masalah yang
diajukan dalam usulan penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana alokasi anggaran dan
belanja pemerintah daerah
(APBD) kota Bengkulu semenjak
dilakukan desentralisasi keuangan
daerah, sejalan dengan tiga pilar
pembangunan yang diajukan oleh
pemerintah Kota Bengkulu ?
2. Bagaimana persepsi berbagai
kelompok masyarakat tentang
pelayanan yang diberikan
PEMDA setelah desentralisasi
keuangan dan OTDA ?.
METODE PENELITIAN Metode Analisis
Pendekatan analisis dilakukan dengan
mengkombinasikan data kuantitatip yang
berupada APBD Kota Bengkulu pasca
diberlakukannya kesentralisasi keuangan
yaitu khususnya tahun 2008 hingga 2011
yang berkaitan dengan tiga pilar
pembangun Kota Bengkulu, yaitu:
pendidikan gratis, sekolah gratis, dan
ekonomi kerakyatan. Analisis lebih
ditekankan alokasi Anggaran terhadap
tiga sektor, yaitu: pendidilan, kesehatan,
dan infrastruktur. Selanjutnya data-data
keuangan APBD tersebut dianalisis dan
dikombinasikan terhadap penilaian
masyarakat Kota Bengkulu. Penelitian ini
mengacu seperti yang digunakan
SMERU (2002) juga menggunakan tiga
sektor tersebut. Untuk mengetahui
kinerja pelayanan pemerintah dengan
menggunakan pengukuran skala Likert
untuk menilai tingkat kepuasan
masyarakat. Responden dalam penelitian
ini adalah tokoh masyarakat, Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM), dan
berbagai lapisan masyarakat. Jumlah
sampel sebanyak 100 responden dengan
menggunakan multistage random
sampling.
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Responden
Sesuai dengan karakteristik Kota
Bengkulu yang sebagian besar sampel
sebagai pegawai negeri swasta,
selanjutnya sampel adalah wiraswasta dan
ibu rumah tangga. Selain itu juga sampel
dengan melibatkan Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM), Anggota DPRD,
Tokoh Masyarakat. Keterlibatkan mereka
dalam sampel sangat penting karena
mereka sebagai wakil masyarakat yang
220 Kamaludin, Dampak Desentralisasi.....
san
Sel
pet
Seb
S1
me
TigBen
Me
dan
kun
Ber
Ku
me
Ben
ma
me
nila
dan
keh
ngat mema
lain itu
tani/nelayan
bagian besa
dan SMA
emahami ko
ga Pilar PengkuluKota Beng
enuju Masy
n Makmur.
nci poko
rmartabat
unci pokok
engandung a
ngkulu me
artabat yan
eyakini aka
ai-nilai aga
n tuntuna
hidupannya
ahami aspir
juga m
n dan ka
Gambar 1.
ar responden
A sehingga
ondisi yang
Gambar 2.
mbanguna
gkulu memp
yarakat ya
Visi terse
ok yakn
dan Kota
k Masyarak
arti bahwa m
empunyai
ng tinggi
an kebenar
ama yang m
an dalam
, dalam w
rasi masya
melibatkan
ryawan sw
. Karakteri s
n berprendi
a mereka c
g terjadi di
Karakteris
an Kota
punyai visi,
ang Berma
ebut memil
ni Masya
Yang Mak
kat Berma
masyarakat
harga diri
dengan
ran ajaran
menjadi ped
m menjala
wujud keim
arakat.
para
wasta.
K
p
b
stik Respond
idikan
cukup
Kota
B
p
tik Respond
yaitu
artabat
liki 2
arakat
kmur.
artabat
t Kota
i dan
dasar
n dan
doman
ankan
manan
d
E
Y
m
m
K
k
g
m
P
b
l
b
L
Karakteristi
pekerjaan s
bar 1. berik
den Berdasa
Bengkulu.
pria (56%),
den Berdasa
dan ketakw
Esa. Sedan
Yang Mak
mempunyai
melayani
Kota dan
kekuatan a
guna m
masyarakat
Kota y
Provinsi in
barat Pulau
langsung de
berada pada
LS dan 102
ik respon
seperti terg
kut .
arkan Peker
Sebagian b
lihat Gamb
arkan Pendi
waan kepada
ngkan kunci
kmur bahw
i sarana pra
seluruh ak
hinterland-
aktifitas ek
mewujudkan
t.
yang meru
ni terletak
u Sumatera
engan Samu
a koordinat
20 14’ - 10
nden berd
gambar pad
r jaan
besar sampe
bar berikut.
dikan
a Tuhan Yan
i kedua yai
wa Kota B
asarana yan
ktifitas ma
-nya denga
konomi ma
n kesej
upakan Ib
di kawasan
a yang ber
udera Indon
t 300 45’ –
020 22’ BT
dasarkan
da Gam-
el adalah
ng Maha
itu Kota
Bengkulu
ng dapat
asyarakat
an dasar
asyarakat
ahteraan
u Kota
n pesisir
rhadapan
nesiadan
300 59’
T dengan
221Jurnal Ekonomi Bisnis Volume 17, No. 3, Desember 2012
luas wilayah 151,7 km2. Penduduk yang
mendiami kota ini berasal dari berbagai
suku bangsa, antara lain ; Suku Melayu,
Rejang, Serawai, Lembak, Bugis,
Minang, Batak dan lain-lain. Kota ini
memiliki beberapa obyek wisata yang
sangat potensial untuk dikembangkan
yang terdiri atas, Wisata Alam, Wisata
Sejarah dan Wisata Budaya.
Selama periode pemerintahan Kota
Bengkulu tahun 2008 sd 2013 pemerintah
mendengung-dengungkan TIGA PILAR
pembangunan Kota Bengkulu yaitu;
PENDIDIKAN GRATIS, KESEHATAN
GRATIS, dan EKONOMI KERAK-
YATAN. Tiga pilar pembangunan
tersebut merupakan janji waliko Ahmad
Kenedi pada saat kampanye untukperiode
pemerintahan tahun 2008 sd 2013.
Berdasarkan hasil survey kepada
responden bahwa 83% mereka
memahami tiga pilar tersebut yang
mereka peroleh informasi sebagian besar
dari saat calon walikota kampanye dan
dari media masa seperti Koran dan
televisi. Hanya sekitar 17% yang
menyatakan tidak tahu tentang tiga pilar
pembangunan tersebut. Selama
pelaksanaan OTDA masyarakat menilai
pembangunan kota Bengkulu hanya 37%
yang menyatakan pembangunan cukup
baik, 31% menyatakan kurang baik dan
14% menyatakan jelek. Hal ini juga
sejalan dengan pernyataan selanjutnya
bahwa pembangunan Kota Bengkulu
dengan adanya desentralisasi keuangan
masyarakat menilai tidak tepat sasaran
51%. Hal ini sangat wajar semenjak
desentralisasi keuangan di Kota Bengkulu
lebih 60% s.d 70% anggaran hanya
dihabiskan untuk belanja rutin dan kurang
dari 20% untuk pembangunan fisik Kota
Bengkulu. Sehingga tidak mengherankan
selama OTDA hampir semua jalan di
Kota Bengkulu tidak terawat dengan baik.
Berdasarkan laporan harian Rakyat
Bengkulu (Selasa, 3 Mei 2011) maha-
siswa se Kota Bengkulu melakukan aksi
unjuk rasa yang menuntut perbaikan jalan
yang tidak pernah ada realisasi janji-janji
dari walikota. Pada hari yang sama dalam
koran Rakyat Bengkulu menegaskan dan
berjanji semua jalan yang ada di Kota
Bengkulu akan mulus pada bulan Agustus
2011. Kenyataan yang ada hingga
November 2011 hampir semua jalan
dalam Kota Bengkulu masih berlobang-
lobang. Beberapa LSM seperti;LP2B dan
LPHB menilai janji TIGA PILAR
pemerintahan A. Kenedi yang digembar-
gemborkan tidak seperti yang dijanjikan.
Hasil yang berbeda dengan hasil
kajian Balitbang Sumut (2012) bahwa
semenjak otonomi daerah kualitas
pelayanan kepada masyarakat seperti
kesehatan, pendidikan, perizinan dan
fasilitas umum khususnya di Kota relatif
baik dan sedang, seiring dengan semakin
ditambahnya personil pegawai dan sarana
dan prasarana pelayanan publik,
sedangkan di Kabupaten masih memiliki
keterbatasan personil dan fasilitas yang
belum merata di seluruh pelosok daerah.
Desentralisasi keuangan ternyata
membuat kerajaan di masing-masing
daerah. Misalkan pemerintah men-
dengungkan kesehatan gratis ternyata
selama tahun 2008 total alokasi anggaran
untuk sektor kesehatan hanya sekitar 8%
dan sektor ekonomi 8%. Dalam beberapa
edisi dari koran lokal di Kota Bengkulu
justru pemerintah kota memperbesar
anggaran yang tidak jelas peruntukannya
seperti baju dinas dana BANSOS dan
tunjangan PNS. Justru yang meng-
herankan alokasi dana seperti ini biasanya
dilakukan menjelang akhir masa jabatan
baik walikota saat ini ataupun
sebelumnya. Sejalan dengan di atas
SMERU (2002) juga mengemukakan
semenjak OTDA ada penurunan secara
relatif anggaran sektor pembangunan
seperti jalan dan sarana prasarana lainnya.
222 Kamaludin, Dampak Desentralisasi.....
rint
33%
ses
Ke
han
me
dan
lisa
dan
Ga
Masya
tah kota ten
% yang m
suai 22%, d
kecewaan
nya 17% ya
enyatakan ti
n 23% meny
Ketidakpu
asi dilapang
n janji yan
Gambar
ambar 4. Pe
arakat meni
ntang keseh
menyatakan
dan sangat ti
ini juga t
ang menyat
dak puas, 2
yatakan san
uasan ini d
gan berbeda
ng pernah
r 3. Pembang
mbangunan
ilai janji p
atan gratis h
n sesuai,
idak sesuai
ercermin b
takan puas,
29% kurang
ngat tidak pu
disebabkan
a dengan ha
dilontarkan
gunan Kota
n Kota Beng
peme-
hanya
tidak
22%.
bahwa
, 27%
puas,
uas.
rea-
arapan
n saat
k
y
s
m
B
u
J
y
k
t
a Bengkulu S
gkulu: Desen
kampanye
yang dima
sangat tid
menyebabk
Banyaknya
untuk men
JAMKESM
yang mem
kegagalan
tersebut.
Selama OTD
ntralisasi Ke
walikota.
aksudkan
dak jelas
kan kekece
masyaraka
ngurus ka
MAS. Hal-h
mbuat ma
program
DA
euangan
Standar pe
pengobatan
hal inilah
ewaan mas
at miskin ya
artu ASKI
hal sepert
asyarakat
kesehatan
elayanan
n gratis
h yang
syarakat.
ang sulit
IN dan
i inilah
menilai
n gratis
223Jurnal Ekonomi Bisnis Volume 17, No. 3, Desember 2012
G
Tig
gra
pro
yan
dia
beb
siw
ma
pun
uan
seb
bag
peg
sela
me
ma
dap
adi
Gambar 5. T
ga pilar sel
atis. Ternyat
ogram pend
ng dikeluar
Kekecewa
atas bukan
berapa med
wa baru ba
aupun SMA
ngutan den
ng bangku,
bagainya. Y
gi orang tu
gangan yan
alu berub
emiliki anak
aka buku ya
pat dipastik
iknya, dika
Tingkat Kep
anjutnya ad
ta masyarak
didikan gra
rkan maha
Gambar
aan seperti
n tidak b
dia lokal se
aik di ting
A banyak s
ngan berbag
sarana pra
Yang lebih m
a adalah se
ng dipakai o
ah. Jadi
k dalam sek
ang dipakai
kan tidak da
arenakan ta
puasan Terh
dalah pendi
kt menilai se
atis bahwa
al sebesar
r 6. Perseps
yang diga
beralasan d
etiap peneri
gkat SD,
sekali pung
gai dalih, s
asarana, baju
memberatka
etiap tahun
oleh guru a
kalau se
kolah yang
kakaknya
apat dipakai
ahun selanj
hadap Peme
idikan
elama
biaya
37%,
s
m
h
i Tentang B
ambar
dalam
imaan
SMP,
gutan-
seperti
u dan
an lagi
buku
adalah
eorang
sama,
sudah
i oleh
jutnya
b
s
g
m
L
m
m
j
p
s
m
s
3
rintah Kot a
sangat mah
menyatakan
hanya 2%.
Biaya : Pend
buku pegan
seperti ini
guru deng
menguntung
Lebih para
mengambil
melakukan
Selama
justru m
prasarana
sangat bur
menyatakan
sekolah 33
31% kura
Sedangkan
a Bengkulu:
hal 27%, da
n muran d
idikan Gra t
ngan sudah
ternyata ad
gan penerb
gkan oknu
ah lagi pem
tindakan te
pembiaran.
program
masyarakat
adalah bur
ruk 23%,
n baik. Berk
3% menyat
ang baik,
berkaitan
Kesehatan
an hanya 15
dan sangat
tis
h lain lagi.
da kerjasam
bit yang t
um guru
merintah ko
egas dan ad
.
pendidikan
menilai
ruk sebesa
dan hany
kaitan deng
takan cuku
dan 20%
dengan ba
Gratis
5% yang
t murah
Kondisi
ma antara
tentunya
tersebut.
ota tidak
da kesan
n gratis
sarana
ar 33%,
ya 19%
gan mutu
up baik,
% jelek.
anyaknya
224 Kamaludin, Dampak Desentralisasi.....
pun
pun
sed
Nu
SM
Tig
eko
seb
per
das
Sej
bah
eko
sya
per
Ben
bah
hat
hat
dip
yan
me
ngutan bahw
ngutan dan
dikit. Hal y
usa Tenggar
MERU (200
ga pilar yan
onomi kera
benarnya a
rekonomian
sarkan hasil
Gam
jalan deng
hwa semenj
onomi kera
arakat klas
rhatian o
ngkulu. H
hwa 43%
tikan, 18%
tikan, dan
perhatikan. H
ng dibuat
elibatkan
wa 39% me
n 29% ya
yang hampir
ra Barat ya
02) bahwa s
Gamb
ng terakhir
akyatan. M
adalah unt
n lapisan
l survey tern
mbar 8. Pere
gan penila
jak diluncur
akyatan, per
bawah ku
oleh pem
Hasil surve
menyatakan
% menyatak
hanya 10
Hal ini dise
oleh pe
masyaraka
enyatakan ba
ang menya
r sama terja
ang dikemuk
semenjak O
bar 7. Penila
adalah pro
Misi program
tuk menga
bawah.
nyata masya
ekonomian K
aian selanj
rkannya pro
rekonomian
urang men
merintah
ey menunju
n kurang d
kan tidak d
0% menya
ebabkan pro
emerintah
at atau
anyak
atakan
adi di
kanan
OTDA
b
r
s
m
d
aian Pungut
ogram
m ini
angkat
Ber-
arakat
m
b
t
b
b
Klas Bawah
jutnya
ogram
n ma-
ndapat
Kota
ukkan
diper-
diper-
atakan
ogram
tidak
lebih
d
l
p
(
a
h
k
m
d
t
k
banyaknya
rendahnya
serta keku
mengatasi
diisi oleh gu
tan : Pendid
menilai per
belum beru
tersebut terb
buruk, 25%
baik.
: Program E
didasarkan
legislatif.
pendapat B
(2000) yan
aktip masya
hingga pe
kepemilikan
Sejalan
mengedepa
dan usaha
ternyata ma
kurang be
ruang k
daya tampu
urangan ten
kekuranga
uru berstatu
ikan Gratis
rekonomian
ubah sama
bukti merek
% cukup ba
Ekonomi K
kepenting
Hal ini
Budiyanto
ng seharusn
arakat mula
engambilan
n.
dengan p
ankan pedag
a kecil. D
asyarakat m
erfihak, 19
kelas yang
ung sekolah
naga guru.
an guru, s
us honorer.
n klas bawah
a sekali. P
ka menyatak
aik dan han
Kerakyatan
gan ekseku
berbeda
(2000) da
nya ada pa
ai dari peren
n keputusa
penilaian t
gang kecil,
Dari hasil
menilai bah
9% sanga
g rusak,
h negeri,
. Untuk
sebagian
h adalah
Penilaian
kan 42%
nya 13%
utip dan
dengan
an Putro
artisipasi
ncaanaan
an dan
terhadap
nelayan,
survey
wa 48%
at tidak
225Jurnal Ekonomi Bisnis Volume 17, No. 3, Desember 2012
ber
dan
ters
ma
jela
ped
pas
yan
me
per
kop
Da
mu
me
terh
sep
kaw
me
tida
Da
me
me
41%
dan
An
bah
tah
yan
tida
rfihak, hany
n cukup b
sebut terg
asalah sepe
as mengen
dagang di se
sar Bengku
ng riil
empermudah
roleh mod
perasi atau
ari hasil
udah, 22% m
enyatakan cu
Hal yang
hadap dan
perti; pasar
wasan wisat
enyatakan k
ak baik, 35
ari sisi kea
enilai hal
enilai bahwa
% cukup am
n 14% meny
nalisis APBJika menc
hwa selama
hun 2007 hi
ng secara si
ak langsung
ya 6% meny
erfihak 23
gambar d
rti; tidak a
nai pedaga
ekitar panta
ulu. Tidak
seperti
h mereka
dal atau
lembaga ke
survey 24
menyatakan
ukup mudah
Ga
sama mas
prasarana
r, terminal,
ta. Hasil su
kurang bai
5% menyata
amanan ma
yang posi
a kondisi d
man, 27%
yatakan tida
D Kota Becermati tabe
a empat tah
ingga 2010
ignifikan d
g. Pada tah
yatakan ber
%. Kekece
dalam beb
ada solusi
ang kaki
ai panjang h
ada duku
akses
untuk m
pinjaman
euangan lai
4% menya
n sulit, dan
h.
ambar 9. Pen
syarakat m
publik la
, tempat p
urvey bahwa
ik, 14% s
akan cukup
asyarakat m
itip. Masya
di kota Ben
kurang nya
ak nyaman.
ngkulu el 4.1 terga
hun terakhi
ada pening
alam hal be
hun 2007 se
rfihak,
ewaan
berapa
yang
lima,
hingga
ungan
untuk
mem-
dari
innya.
atakan
n 39%
B
m
d
m
m
m
y
p
b
k
h
d
t
t
nilaian Sara
menilai
ainnya
parkir,
a 25%
sangat
baik.
masih
arakat
ngkulu
aman,
ambar
r dari
gkatan
elanja
ebesar
4
k
m
m
A
l
p
4
5
5
t
d
y
k
m
s
m
Semenja
Bengkulu s
masyarakat
dalam sekto
menunjukka
menilai sa
menyatakan
yang meny
prasarana
berdasarkan
kekecewaan
hamper di s
dalam kea
tidak kunju
tahun ini.
ana/Prasara
49,39% p
kemudian
menjadi 5
meningkat
APBD. P
langsung te
pegawai y
49,39%, p
54,22%, da
58%. Pen
tersebut te
dampak re
yang tida
kebutuhan d
Sebalikn
menurun m
sebesar 1
menjadi 15
ak OTDA
semenjak ta
t menilai
or pembang
an penilaia
angat tidak
n kurang
yatakan bai
jalan.
n jawaban r
n terhada
seluruh wila
adaan berl
ung diperbai
na Jalan
pada tahu
pada tahun
57,58% d
lagi menja
Peningkatan
ersebut terut
yaitu tahu
pada tahu
an tahun 20
ningkatan
erutama d
ekrutmen C
ak didasar
di Kota Ben
nya belan
misalkan p
8,31% ke
% dari tota
khususnya
ahun 2007 s
negatip t
gunan. Hasi
an masyara
k baik da
baik, hany
ik terhadap
Kekecewaa
responden t
ap kondisi
ayah kota B
lobang-loba
iki selama b
n 2008
n 2009 m
dan tahun
adi 61% d
n belanja
tama dalam
un 2007
un 2009
010 adalah
belanja
isebabkan
CPNS setia
rkan rasio
ngkulu.
nja moda
pada tahu
emudian m
al APBD. Ja
di kota
s/d 2011
terutama
il survey
akat 33%
an 31%
ya 17%
p sarana
an ini
terutama
i jalan
Bengkulu
ang dan
beberapa
52,03%
eningkat
n 2010
dari total
a tidak
m belanja
sebesar
sebesar
sebesar
pegawai
sebagai
ap tahun
onalisasi
l terus
un 2009
menurun
adi tidak
226 Kamaludin, Dampak Desentralisasi.....
mengherankan jika hampir semua jalan
dalam kota Bengkulu dalam kondisi
buruk demikian juga dengan fasilitas
publik lainnya seperti pasar, terminal,
tempat wisata, dan lainnya dalam kondisi
tidak terawat. Jika kondisi seperti ini
dibiarkan berlanjut-lanjut tidak ada
langkah-langkah strategis dari pemerintah
pusat maka dapat dipastikan kedepan
semua fasilitas publik seperti jalan,
jembatan, pasar, tempat wisata yang
dikelola pemerintah kota Bengkulu akan
tidak dapat dirawat bahkkan tidak ada
pembangunan sama sekali. Kondisi
seperti ini saat sudah mulai terasa, karena
hampir semua jalan dalam kota Bengkulu
dalam kondisi rusak demikian juga
fasilitas publik lainnya. Tindakan
pemerintah pusat untuk menghentikan
sementara rekrutmen CPNS mulai tahun
2011 mungkin sebagai salah satu langkah
strategis untuk mengurangi beban APBD
hampir semua daerah semenjak OTDA.
Peningkatan belanja pegawai yang
meningkat setiap tahun yang tidak
didasarkan kebutuhan dan kemampuan
keuangan daerah telah membawa dampak
negatip terhadap semua daerah terutama
bagi daerah yang memiliki kemampuan
keuangan yang rendah yang sebagian
besar mengandalkan dana perimbangan
bukan PAD daerah bersangkutan.
Jika dilihat dari sumber penerimaan
selama 4 tahun terakhir rata-rata sekitar
90% dari total APBD masih
mengandalkan dari dana perimbangan
pemerintah pusat. Sedangkan yang
bersumber dari PAD sekitar 4% hingga
9% dari total pendapatan. Jadi kalau kita
lihat kemampuan keuangan daerah kota
Bengkulu masih sangat rendah.
Sedangkan dari sumber pendapatan yang
lain juga masih rendah sekitar 3% s/d 4%
dari total pendapatan. Menurut
Ahadiyati(2005) bahwa dampak dari
kebijakan otonomi daerah terhadap
daerah otonom sangat bervariasi. Dapat
dikatakan bahwa tingkat capaian kinerja
dalam penyelenggaraan otonomi daerah
periode 1999-2003 masih rendah,
meskipun dalam sebagian besar indikator
menunjukkan perubahan positif
227
Jurn
al E
konom
i Bisn
is Volu
me 1
7, N
o. 3
, Desem
ber 2
012
Tabel 4.1.Anggaran Pendapatan dan Belanja Kota Bengkulu Tahun Anggaran 2007=2010
No Jenis Pendapatan 2010 2009 2008 2007
Jumlah (Rp) % Jumlah (Rp) % Jumlah (Rp) % Jumlah (Rp) %
1 Pendapatan Asli Daerah 41.499.566.156,39 9 34.067.971.796,99 7,23 29.979.201.000,00 6,71 17.091.563.000 4,23
2 Dana Perimbangan 404.950.805.453,20 86 420.253.251.384,00 89,24 401.389.048.906,24 89,91 367.758.609.000 90,97
3 Lain-lain Pendapatan yang sah 22.108.694.947,80 5 16.608.694.947,80 3,53 15.090.363.098,00 3,38 19.395.380.000 4,80
Jumlah Pendapatan 468.559.066.557,39 470.929.918.128,79 446.458.613.004,48 404.245.552.000,00 Jenis Belanja
1 Belanja Tidak Langsung 310.860.903.700,00 61 291.158.499.628,79 57,58 244.277.642.533,00 52,03 197.812.032.000 49,39
1. Belanja Pegawai 294.801.937.450,00 58 274.184.399.628,79 54,22 233.552.642.533,00 49,74 NA NA
2. Belanja Bunga 0 0 0 0,00 0 0,00 NA NA
3. Belanja Subsidi 0 0 0 0,00 0 0,00 NA NA
4. Belanja Hibah 5.050.000.000,00 1 6.724.100.000,00 1,33 0 0,00 NA NA
5. Belanja Bantuan Sosial 6.608.966.250,00 1 5.400.000.000,00 1,07 5.825.000.000,00 1,24 NA NA
6. Belanja Bagi Hasil 50.000.000,00 0 50.000.000,00 0,01 50.000.000,00 0,01 NA NA
7. Belanja Bantuan
Keuangan
3.350.000.000,00 1 3.350.000.000,00
0,66
3.350.000.000,00
0,71
NA NA
8. Belanja Tidak Terduga 1.000.000.000,00 0 1.450.000.000,00 0,29 1.500.000.000,00 0,32 NA NA
2 Belanja Langsung 199.869.550.740,00 39 214.542.165.468,00 42,42 255.244.284.352,55 54,36 202.667.518.000 50,61
1. Belanja Pegawai 29.469.235.300,00 6 28.855.088.300,00 5,71 32.608.005.796,00 6,94 NA NA
2. Belanja Barang dan Jasa 93.820.110.270,00 18 93.098.615.239,00 18,41 101.480.503.631,00 21,61 NA NA
3. Belanja Modal 76.850.205.170,00 15 92.588.461.929,00 18,31 91.155.774.925,55 19,41 NA NA
Jumlah Belanja 510.730.454.440,00 505.700.665.096,79 469.521.926.885,55 400.479.550.000,00 NA
Defisit 42.171.387.882,61 34.770.746.968,00 6,88 23.063.313.881,07 4,91 NA NA
Sumber: BPS Propinsi Bengkulu diolah
228 Kamaludin, Dampak Desentralisasi.....
Realisasi Anggaran : Tiga Pilar Pembangunan Kota Bengkulu
Realisasi anggaran berdasarkan fungsi
terutama di sektor pendidikan sangat
besar jika dilihat dalam persentase dari
APBD selama tiga tahun terakhir sekitar
30 hingga 44%. Hanya saja anggaran
yang begitu besar tersebut sebagian besar
dihabiskan untuk belanja tidak langsung.
Misalkan pada tahun 2008 anggaran
sektor pendidikan sebesar Rp.
161.989.924.764,00 dari jumlah tersebut
sebesar Rp. 125.697.121.781,00
dihabiskan untuk belanja tidak langsung
atau untuk gaji pegawai atau 78% dari
anggaran. Nilai yang tersisa 22% tersebut
untuk mendukung yang benar-benar
berwujud dalam program, misalkan:
Program Pendidikan Anak usia Dini
sebesar Rp. 196.411.250, Program Wajib
Belajar Pendidikan Dasar Sembilan tahun
sebesar Rp. 32.847.745.575, Program
Pendidikan Menengah sebesar
Rp.1.304.986.000, Program Pendidikan
Non Formal sebesar Rp. 63.000.000,
Program Peningkatan Mutu Pendidik dan
Tenaga Kependidikan sebesar Rp.
512.657.250, dan Program Pengem-
bangan Budaya Baca dan Pembinaan
Perpustakaan sebesar Rp. 37.800.000.
Pada tahun 2009 juga sebesar 78%
realisasi anggaran sektor pendidikan
digunakan untuk belanja tidak langsung
atau gaji pegawai dan pada tahun 2010
realisasi anggaran sektor pendidikan
meningkat untuk belanja tidak langsung
atau gaji pegawai menjadi 83%. Jika
cermati dalam beberapa tahun terakhir ini
banyak guru tidak dapat memenuhi
kewajiban beban wajib mengajar karena
kekurangan kelas dengan kata lain
kelebihan guru. Ironisnya pemerintah
kota setiap tahun merekrut guru dalam
jumlah yang besar dengan dalih
kekurangan guru.
Kalau kita jujur untuk beberapa
bidang studi langkah memang betul untuk
penambahan guru, tetapi untuk bidang
studi tertentu katakan bahasa Indonesia
sudah sangat banyak sehingga dalam
waktu dekat tidak perlu ada penambahan
guru bidang studi tersebut. Sejalan
dengan Azhar (2008) bahwa semenjak
otonomi daerah terjadi pemborosan
anggaran. Hal yang sangat ironis lagi
pemerintah kota mendengung-
dengungkan dua pilar pembangunan yang
lainnya yaitu kesehatan gratis dan
ekonomi kerakyatan. Ternyata dari data
keuangan yang ada (APBD) ke-dua pilar
pembangunan tersebut masing-masing
berkisar 6% s/d 7% untuk kesehatan dari
total APBD dan kurang dari 1% hingga
1% dari total APBD untuk alokasi untuk
Dinas Koperasi dan Pembinaan Pengusaha
Kecil Menengah yang berkaitan langsung
dengan ekonomi kerakyatan. Apalagi dari
jumlah tesebut sekitar 65% hingga 70%
untuk belanja tidak langsung atau gaji
pegawai bagi sektor kesehatan.
Selanjutnya dari dana sekitar 1% dari
total APBD lebih dari 50% untuk belanja
tidak langsung atau gaji pegawai bagi
Dinas Koperasi dan Pembinaan
Pengusaha Kecil Menengah. Sehingga
dapat kita garis bawahi program tiga
pilar yang dikumandangkan tersebut
hanya sekedar slogan belaka untuk
menarik simpati masyarakat yang tidak
mungkin untuk direalisasikan. Berbeda
dengan temuaan SMERU (2002) di
Propinsi Lampung realisasi anggaran
terus meningkat terhadap ke-tiga sektor
tersebut semenjak OTDA hanya saja
menurut pengamatan SMERU tidak
banyak perubahan yang berarti.
229Jurnal Ekonomi Bisnis Volume 17, No. 3, Desember 2012
Tabel 4.2 Ringkasan Realisasi Anggaran
URAIAN Realisasi Anggaran (Rp)
Persentase dari APBD
Tahun 2010
Dinas Pendidikan 227.063.447.236,00 44,43%
Dinas Kesehatan 37.933.476.988,00 7,43%
Dinas Koperasi dan Pembinaan Pengusaha Kecil
Menengah
4.075.448.237,00 0,80%
Jumlah Belanja 510.730.454.440,00
Tahun 2009Dinas Pendidikan 184.673.150.032,00 36,52%
Dinas Kesehatan 37.535.059.615,00 7,42%
Dinas Koperasi dan Pembinaan Pengusaha Kecil
Menengah
5.221.954.625,00 1,03%
Jumlah Belanja 505.700.665.096,79
Tahun 2008
Dinas Pendidikan 161.717.874.764,00 31,98%
Dinas Kesehatan 30.508.485.066,00 6,03%
Dinas Koperasi dan Pembinaan Pengusaha Kecil
Menengah
5.533.392.125,00 1,09%
Jumlah Belanja 469.521.926.885,55
Sumber: BPS Propinsi Bengkulu diolah
KESIMPULAN DAN SARAN Simpulan
Beberapa kesimpulan yang diperoleh
dari hasil pembahasan pada bab sebelum-
nya baik yang berkaitan dengan OTDA,
program tiga pilar kota Bengkulu, dan
kinerja layanan terhadap masyarakat.
1. Masyarakat menilai semenjak
adanya OTDA di Kota Bengkulu
kinerja layanan terutama layanan
dalam arti luas seperti; fasilitas
publik, jalan, jembatan, sarana
/prasarana yang lainnya tidak lebih
baik sebelum adanya OTDA.
2. Anggaran APBD yang dialokasikan
semenjak adanya OTDA cenderung
tidak berfihak pada program yang
bersentuhan langsung dengan
kebutuhan masyarakat.
3. Beban APBD selama empat tahun
terakhir lebih banyak membiayai
gaji pegawai atau sekitar 60%
hingga 70% sehingga sulit untuk
menjalankan roda pembangunan di
kota Bengkulu.
4. Semenjak adanya desentralisasi
keuangan ternyata kebijakan yang
dibuat oleh pemerintah daerah
khususnya Kota Bengkulu tidak
banyak berfihak kepada
kepentingan masyarakat justru
anggaran yang ada banyak
digunakan untuk hal-hal yang tidak
produktif dan untuk kepentingan
masyarakat.
5. Program tiga pilar yang
didengungkan pemerintah kota
Bengkulu hanya sekedar slogan
yang pada kenyataannya tidak ada
program yang bersentuhan langsung
dengan hal tersebut. Jikapun ada
alokasi anggaran dalam APBD
sangat minim baik dari sisi jumlah
maupun persentase.
230 Kamaludin, Dampak Desentralisasi.....
Saran
Beberapa hal yang perlu diper-
timbangkan dengan adanya desentralisasi
keuangan semenjak OTDA mungkin
harus segera diperbaiki baik di tingkat
pusat maupun daerah. Beberapa hal ter-
sebut adalah:
1. Pemerintah pusat perlu meng-
evaluasi kembali desentralisasi
keuangan seperti yang ada saat
ini, karena peruntukan anggaran
sangat tidak berfihak kepada
kepentingan masyarakat.
2. Rekrutment CPNS saat ini perlu
dievaluasi kembali yang tidak
didasarkan untuk layanan mas-
yarakat. Sangat ironis saat ini
dengan jumlah PNS yang begitu
banyak tetapi masyarakat tidak
merasa mendapat layanan yang
lebih baik dibandingkan sebelum
OTDA.
3. Program tiga PILAR yang
dijanjikan pemerintah kota saat ini
perlu ditinjau kembali, karena ma-
syarakat menilai hasilnya sangat
mengecewakan tidak seperti yang
dijanjikan pada saat kampanye.
Kedepan calon walikota sebaiknya
tidak mengumbar janji yang tidak
mungkin dilakukan dengan kon-
disi keuangan daerah yang sangat
minim.
4. Perlu adanya langkah strategis
untuk meningkatkan PAD untuk
mengurangi ketergantungan pada
dana perimbangan dari pemerintah
pusat.
DAFTAR PUSTAKA
Ahadiyati K, Meita., 2005. Evaluasi
Kinerja Penyelenggaraan Otonomi
Daerah 1999-2003, Jurnal Desen-
tralisasi, Vol.6, No. 4, Lembaga
Administrasi Negara Jakarta.
Azhar, M. Karya Satya, 2008. Analisa
Kinerja Keuangan Pemerintah
Daerah Kabupaten/Kota Sebelum
dan Sesudah Otonomi Daerah, Tesis
Sekolah Pascasarjana Universitas
Sumatera Utara melalui:
repository.usu.ac.id/
bitstream/123456789/3995/1/08E004
60.pdf.
Balitbang Sumut, 2012. Evaluasi Kinerja
Pemerintah Daerah Dalam
Penyelenggaraan Otonomi Daerah di
Propinsi Sumatera Utara Pasca
Undang-undang N0. 2 Tahun 2004
Tentang Pemerintah Daerah melalui:
balitbang.sumutprov.go.id/
download.php?
BPS Bengkulu. 2010. Propinsi Bengkulu
Dalam Angka, Bengkulu.
BPS Kota Bengkulu. 2010. Kota
Bengkulu Dalam Angka, Bengkulu.
Budiyanto, M. Nur., 2000. Local
Demokracy Sebagai Alternatif
Kebijakan Publik Dalam Mensukses-
kan Pemerintah Daerah di Indonesia,
Jurnal Kebijakan dan Administrasi
Publik, P.17-32. Seharusnya ada
partisipasi aktip masyarakat mulai
dari perencaanaan hingga peng-
ambilan keputusan dan kepemilikan.
Putro sama.
Henderson, Dale A., 2002. Performance
Measure Accounting Non-profit
Organization, Accounting Journal,
January 2002.
Keputusan Presiden Republik Indonesia
No. 131, 2001 tentang “Dana
Alokasi Umum Daerah Propinsi dan
Daerah Kabupaten/Kota Tahun
Anggaran 2002.”
Putro, Auri Adam., 2000. Telaah an Kritis
Otonomi Daerah di Indonesia, Jurnal
Kebijakan dan Administrasi Publik,
P.1-14.
SMERU, 2002. Laporan dari Lembaga
Penelitian SMERU, dengan dukung-
an dari AusAID dan Ford
Foundation, “Dampak Desentralisasi
dan Otonomi Daerah atas Kinerja
Pelayanan Publik: Kasus Kabupaten
231Jurnal Ekonomi Bisnis Volume 17, No. 3, Desember 2012
Lombok Barat, Nusa Tenggara
Barat”. Jakarta, Juni 2002.
SMERU, 2002. Laporan dari Lembaga
Penelitian SMERU, dengan
dukungan dari AusAID dan Ford
Foundation, “Dampak Desentralisasi
dan Otonomi Daerah atas Kinerja
Pelayanan Publik: Kasus Kota
Bandar Lampung, Lampung”.
Jakarta, September 2002.
Suwardi, 2008. Kerangka Analisis
Dampak Otonomi Daerah Pada
Perbaikan Kinerja Pelayanan Publik
Bidang Pendidikan, Jurnal Joglo Vol.
XX No.1.
Mahmudi, 2007. Manajemen Kinerja
Sektor Publik, Penerbit UPP STIM
YKPN, Yogyakarta.
Mahmudi, 2010. Manajemen Keuangan
Daerah, Penerbit Erlangga, Jakarta.
Mardiasmo, 2004. Otonomi & Mana-
jemen Keuangan Daerah, Penerbit
Andi, Yogyakarta.
Mardiasmo, 2002. Akuntansi Sektor
Publik, Penerbit Andi, Yogyakarta.
Peraturan Pemerintah (PP) No. 25, 2000
tentang Kewenangan Pemerintah dan
Kewenangan Propinsi Sebagai
Daerah Otonom.
Peraturan Pemerintah (PP) No. 84, 2000
tentang Pedoman Organisasi Perang-
kat Daerah.
Peraturan Pemerintah (PP) No. 99, 2000
tentang Kenaikan Pangkat Pegawai
Negeri Sipil.
Peraturan Pemerintah (PP) No. 110, 2000
tentang Kedudukan Keuangan
DPRD. Peraturan Pemerintah (PP)
No. 56, 2001 tentang Pelaporan
Penyelenggaraan Pemerintah Daerah.
Sumarsono, Sonny, 2010. Manajemen
Keuangan Pemerintah, Penernit
Graha Ilmu, Yogyakarta.
UU Republik Indonesia No. 22 tahun
1999 tentang “Pemerintahan
Daerah.”
UU Republik Indonesia No. 25 tahun
1999 tentang “Perimbangan Keuang-
an Antara Pemerintah Pusat dan
Daerah.”
UU Republik Indonesia No. 34 Tahun
2000 tentang Perubahan atas
Undang-undang Republik Indonesia
No. 18 tahun 1997 tentang “Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah.”
232 Mohamad Noor, dkk., Analisis Struktur.....
ANALISIS STRUKTUR DAN PERILAKU PELAKU DALAM RANTAI PASOKAN KENTANG
Asep Mohamad Noor1
Machfud2
Indah Yuliasih 2
A. Benny Mutiara3
1) Jurusan Teknik Industri, Fakultas Teknologi Industri Universitas Gunadarma 2) Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Industri Pertanian Institut Pertanian Bogor
3) Jurusan Teknik Informatika, Fakultas Teknologi Industri Universitas Gunadarma
Jl. Margonda Raya No. 100 Pondok Cina Depok, Jawa Barat Indonesia
Abstrak
Makalah ini membahas mengenai struktur rantai pasokan kentang, khususnya varietas
kentang untuk bahan baku industry olahan makanan, serta menganalisis pengaruh
perilaku para pelaku yang terlibat dalam rantai pasokan kentang. Hasil pembahasan dari
penelitian ini adalah ada empat pelaku utama dalam rantai pasokan kentang industry
yaitu petani, kelompok tani, penyalur/supplier dan konsumen industry. Dari keempat
pelaku ini, konsumen industry mempunyai peran yang aktif dibandingkan dengan pelaku
lainnya, karena konsumen industry ini adalah pelaku yang bermodal besar. Hasil
pembahasan yang lain adalah perilaku dari para pelaku ini dapat mempengaruhi
terhadap pasokan kentang, mulai dari petani sampai konsumen industry.
Kata kunci : struktur rantai pasokan kentang, perilaku pelaku, rantai pasokan kentang
BEHAVIOR AND STRUCTURE ANALYSIS IN POTATOES SUPPLY CHAIN
Abstract
This paper presents the structure of the potato supply chain, especially the potato varieties
for raw materials for processed food industry, as well as to analyze the influence of the
behavior of the actors involved in the potato supply chain. The results of the discussion of
this research is that there were four major players in the supply chain industry that potato
farmers, farmer groups, distributors / suppliers and the consumer industry. Of the four
actors, the consumer industry has an active role compared to the other actors, because the
consumer industry is actors who have capital. Another result of the discussion is the
behavior of these actors can affect the supply of potatoes, from the farmer to the consumer
industry.
Keywords: potato supply chain structure, the behavior of the actor, the potatoes supply
PENDAHULUAN
Struktur Pelaku dalam rantai
pasok mempunyai karakteristik dan peri-
laku yang khas sesuai dengan fungsi dan
perannya masing-masing. Struktur ini
mencerminkan rangkaian pelaku yang
terlibat dalam rankaian rantai pasokan,
antara satu pelaku dengan pelaku lainnya
mempunyai keterkaitan yang tidak dapat
233Jurnal Ekonomi Bisnis Volume 17, No. 3, Desember 2012
dipisahkan. Keterkaitan tersebut meng-
akibatkan saling membutuhkan, selain itu
juga mempunyai ikatan yang kuat, meski-
pun diantara pelaku itu tidak memberikan
keuntungan yang sama. Ikatan keterkaitan
diantara pelaku dalam rantai pasokan
kentang ini dinyatakan dalam perilaku
pelaku. Perilaku tersebut menjadi salah
satu faktor yang dapat mempengaruhi
keberlangsungan ikatan diantara pelaku
itu.
Perilaku dapat dinyatakan sebagai
sekumpulan aksi dari manusia yang
didasari oleh kemauannya (Reynolds,
1999). Perilaku juga bisa dikatakan
sebagai respon dari setiap individu, grup
kelompok tertentu terhadap lingkungan-
nya (Thalmann et.al, 1999). Perilaku
yang dilakukan oleh para pelaku yang
terlibat dalam pengusahaan kentang ini
mempunyai ciri dan karakteristik yang
khas serta kompleks. Jika dilihat pada
suatu konteks rantai pasokan, kom-
pleksitas dan kepentingan masing-masing
pelaku ini harus memberikan nilai tambah
bagi setiap pelaku yang terlibat.
Perilaku pelaku dalam rantai pasok
kentang ini mempunyai kompleksitas dan
kepentingannya masing-masing sesuai
dengan posisinya, dimana kepentingan
tersebut, jika dilihat pada suatu konteks
rantai pasok harus dapat memberikan
nilai tambah atau keuntungan bagi
anggota rantai pasok tersebut. Ada
beberapa tingkatan pelaku dalam rantai
pasok kentang, dimana dimasing-masing
pelaku tersebut mempunyai hubungan
perilaku antar pelaku. Salah satu aspek
yang dikaji dalam manajemen rantai
pasok adalah masalah pasokan. Jumlah
pasokan di masing-masing pelaku perlu
dikendalikan dalam suatu sistem yang
terintegrasi mulai dari hulu sampai hilir.
Berdasarkan penelitian terdapat perilaku
pelaku yang dapat menyebabkan tidak
optimalnya tingkat pasokan dalam rantai
pasok kentang.
Manajemen rantai pasok yaitu suatu
metode dalam bekerja sama membuat
produk yang murah, mengirimkannya
tepat waktu dan dengan kualitas yang
bagus yang didasari oleh kesadaran
bahwa kuatnya sebuah rantai pasokan
tergantung pada kekuatan seluruh elemen
yang ada di dalamnya baik internal
maupun eksternal, serta secara langsung
maupun tidak langsung dalam memenuhi
keinginan konsumen. Pengertian, ke-
percayaan, dan aturan main merupakan
faktor sukses dalam rantai pasokan
(Krajewski dan Ritzman, 2005; Pujawan,
2006; Chopra dan Meindl, 2007). Dari
beberapa pengertian mengenai rantai
pasokan yang dikembangkan oleh be-
berapa sumber (Lambert et.al, 1998;
Chopra dan Meindl, 2007; Pujawan,
2006, Simchi Levi et.al, 2006) maka
didapatkan definisi supply chain sebagai
“suatu jaringan yang terdiri atas beberapa
perusahaan yang bekerjasama dan terlibat
baik secara langsung maupun tidak
langsung dalam memenuhi permintaan
pelanggan, dimana perusahaan-per-
usahaan tersebut melakukan fungsi peng-
adaan material, proses transformasi
material menjadi produk setengah jadi
dan produk jadi, serta distribusi produk
jadi tersebut hingga ke konsumen akhir”.
Tujuan yang hendak dicapai dari setiap
rantai suplai adalah untuk memak-
simalkan nilai yang dihasilkan secara
keseluruhan (Chopra dan Meindl, 2007).
Rantai suplai yang terintegrasi akan
meningkatkan keseluruhan nilai yang
dihasilkan oleh rantai suplai tersebut.
Untuk memenuhi kriteria dari definisi
tersebut diperlukan suatu koordinasi
antara pihak-pihak yang terkait pada
234 Mohamad Noor, dkk., Analisis Struktur.....
rantai pasokan. Diantara bentuk koor-
dinasi tersebut adalah adanya pengen-
dalian pasokan pada masing-masing
pelaku rantai pasok (Pujawan, 2006 dan
Radhakrishnan, 2009). Fungsi pasokan
tersebut adalah untuk menjaga pasokan
kentang dari hulu sampai hilir sehingga
tidak terjadi kekurangan.
Upaya yang dilakukan dalam makalah
ini adalah teridentifikasinya perilaku
pelaku yang terlibat dalam rantai pasok
kentang, dan terpetakannya pengaruh
perilaku pelaku dalam penentuan tingkat
pasokan dalam rantai pasok kentang.
METODE PENELITIAN
Untuk memenuhi permintaan ter-hadap
kentang, baik penyalur/supplier maupun
konsumen memerlukan suatu tingkat
pasokan yang memadai sehingga terjadi
keseimbangan antara permintaan dan
pasokan, yang menjadikan pasokan
kentang tercukupi dengan tingkat harga
yang adil diantara para pelaku ini. Untuk
membuat pengendalian pasokan yang
efektif, tujuan paling utama adalah untuk
memprediksi dimana, mengapa, dan
berapa banyak kontrol yang harus di-
perlukan, yang dalam hal ini dipengaruhi
oleh perilaku pelaku dan mitranya dalam
suatu rantai pasok. Untuk memperkirakan
tingkat stok kentang yang harus dijaga
oleh para anggota masing-masing rantai
pasokan di masa mendatang. Dalam
makalah ini diidentifikasi dan dianalisis
struktur dan perilaku pada setiap pelaku
rantai pasok.
Prosedur Penelitian
Secara garis besar penelitian ini
mempunyai beberapa tahap. Tahap per-
tama adalah mempelajari perilaku pelaku
dari berbagai sumber, tahap kedua adalah
pengumpulan data yang berupa iden-
tifikasi dari perilaku pelaku dan suplai-
nya, tahap ketiga adalah pengolahan data
dan analisis dari hasil identifikasi, tahap
keempat adalah kesimpulan.
Pada tahap pertama akan di-
pelajari perilaku dari setiap pelaku pada
komoditi kentang secara umum, yang
dikaitkan dengan berbagai macam prinsip
dalam rantai pasok, hasil dari tahap ini
adalah teridentifikasinya pelaku rantai
pasok kentang serta karakteristiknya.
Selain itu dipelajari juga konsep dasar
dan berbagai prosedur dasar manajemen
rantai pasok yang berkaitan langsung
dengan perilaku pelaku komoditi kentang.
Kemudian melakukan survey langsung ke
lapangan dengan objek komoditi kentang
yang berada di wilayah Pangelengan
Kabupaten Bandung Provinsi Jawa Barat.
Tahap kedua pengumpulan data mengenai
karakteristik dari masing-masing pelaku
komoditi kentang. Tahap ketiga dilakukan
pengolahan data dan analisis dari karak-
teristik dari setiap pelaku. Tahap keempat
adalah merumuskan rekomendasi ke-
bijakan dalam rangka meningkatkan
kinerja system ini melalui aspek perilaku
dari setiap pelaku dalam rantai pasok.
Struktur langkah penelitian ini ada pada
Gambar 1.
Lokasi Penelitian
Jawa Barat merupakan salah satu
provinsi yang menjadi produsen terbesar
penghasil kentang di Indonesia dengan
luas lahan sebesar 15,344 ha dan produk-
tivitas sebesar 20,88 ton/ha. Kabupaten
Bandung, khususnya Kecamatan
Pangalengan merupakan salah satu sentra
penghasil kentang yang sangat potensial.
Oleh sebab itu, penelitian ini dilakukan di
kota kecamatan tersebut.
Metode Pengumpulan Data
Jenis data yang digunakan dalam
penelitian ini meliputi data sekunder dan
primer. Data sekunder diperoleh dari
laporan kajian terdahulu yang relevan dan
235Jurnal Ekonomi Bisnis Volume 17, No. 3, Desember 2012
jurnal ilmiah serta dari berbagai sumber
yang terkait. Data primer diperoleh dari
observasi lapang, yakni dengan secara
langsung melihat dan mengamati ke-
giatan-kegiatan rantai pasok dari pro-
dusen (petani dan kelompok tani),
penyalur/supplier hingga konsumen.
Kemudian melakukan wawancara men-
dalam, yang dilakukan untuk memperoleh
informasi mengenai perilaku dari masing
pelaku, jumlah produksi dan penjualan,
alat transportasi, distribusi dan pasokan
serta hubungannya dengan tingkat suplai
kentang dari para pemangku kebijakan
yang dikaji.
Metode Pengolahan Data
Data yang sudah dikumpulkan diolah
dengan metode deskriptif kualitatif.
Untuk menganalisis struktur pelaku dan
perilaku daru masing-masing pelaku
dalam rantai pasokan kentang ini meng-
gunakan metode deskriptif kualitatif,
yang akan diuraikan mulai dari hulu
sampai hilir, yaitu dimulai dari petani
sampai konsumen.
Gambar 1. Langkah penyelesaian
HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Luas Lahan, Produktivitas dan Ekonomi kentang
Pertumbuhan ekonomi merupakan
salah satu indikator ekonomi makro yang
menggambarkan pertumbuhan produksi
barang dan jasa di suatu wilayah per-
ekonomian dalam selang waktu tertentu.
Produksi tersebut diukur dalam nilai
tambah yang diciptakan oleh sektor-
sektor ekonomi di wilayah bersangkutan
Latar belakang dan
perumusan masalah
Tujuan penelitian
Studi literatur
Ruang lingkup
penelitian
Identifikasi perilaku pelaku dalam rantai pasok
Identifikasi perilaku dan karakteristiknya dalam
rantai pasok
Analisis perilaku pelaku dalam rantai pasok
Analisis Masalah
Penutup
Identifikasi struktur rantai pasokan
Identifikasi pelaku dalam rantai pasokan
Analisis pelaku dan tugas serta peran
pelaku dalam rantai pasok
Interaksi perilaku masing-masing pelaku dalam
struktur rantai pasokan
236 Mohamad Noor, dkk., Analisis Struktur.....
yang secara total dikenal sebagai Produk
Domestik Bruto (PDB).
Indikator pertumbuhan ekonomi salah
satunya adalah sektor pertanian, sektor ini
masih menjadi salah satu andalan masya-
rakat Kabupaten Bandung menjadi mata
pencaharian utama, selain itu sektor per-
tanian secara statistik masih cukup
potensial untuk bisa dikembangkan, baik
dari areal lahan maupun kependudukan
yang bergerak disektor ini. Meskipun
secara data kependudukan, mata pen-
caharian masyarakat Kabupaten Bandung
di Sektor pertanian tidak lagi menjadi
lapangan kerja terbesar (18,91%) pada
tahun 2010, dibandingkan sektor Industri
(29,23%) dan Perdagangan (20,50%).
Namun Potensi sektor Pertanian masih
menjadi yang paling besar di banding
dengan sektor-sektor lain sebagai sektor
penyedia lapangan kerja, kesempatan
kerja berasal dari sektor pertanian, diikuti
sektor perdagangan, industri, dan jasa-
jasa.
Kentang merupakan salah satu
komoditi dari produk pertanian yang
mempunyai nilai ekonomis yang tinggi,
sehingga dapat berperan dalam me-
nambah sector ekonomi sebuah wilayah
dan Negara. Produksi kentang di
Indonesia mencapai 1.174.068 ton dengan
luas areal panen sekitar 71,302 hektar,
sehingga rata-rata produksi per hektarnya
adalah 16,47 ton. Daerah-daerah sentra
produksi kentang di Indonesia terdapat di
22 propinsi. Dari 22 propinsi lebih dari
separuhnya memiliki tingkat produk-
tivitas yang tinggi, lebih dari 10 ton
kentang per hektar. Data produktivitas
tertinggi berada di propinsi Jawa Barat,
yaitu sekitar 20,88 ton per hektar. Di
antara propinsi produsen kentang ada
propinsi tertentu yang dianggap sebagai
pusat produksi kentang di Indonesia. Pada
tahun 2008, Propinsi dengan produksi
kentang terbesar berturut-turut adalah
Jawa Barat, Bali, Nusa Tenggara Barat,
Jambi, Sumatera Barat, Sumatera Utara,
Sulawesi Utara, Jawa Tengah, Jogyakarta,
NAD, Banten, Lampung, Jawa Timur,
Sumatera Selatan, dan Bengkulu. Kelima
belas propinsi ini menyumbang sekitar 88
persen produksi kentang di Indonesia.
Perkembangan rata-rata per tahun harga
kentang di tingkat produsen dan kon-
sumen di Indonesia selama sepuluh tahun
terakhir yaitu tahun 1997 – 2007 menun-
jukkan kecenderungan meningkat dengan
rata-rata pertumbuhan per tahun masing-
masing sebesar 19,77 % harga tingkat
produsen dan 18,68 % harga tingkat
konsumen.
Produksi pertanian hortikultura pada
2012 di Kabupaten Bandung cenderung
stabil dengan tahun sebelumnya. Luas
areal tanaman hortikultura di Kabupaten
Bandung mencapai 75.000 hektare.
Berdasarkan data Dinas Pertanian Per-
kebunan dan Kehutanan Kabupaten
Bandung pada 2011 ada lima komoditas
produksi hortikultura yang menjadi
unggulan, a.l bawang merah 20.886,5 ton,
bawang daun 49.570,2 ton, kubis
109.325,8 ton, kentang 110.793,4 ton,
serta cabe besar 20.820 ton. Daerah sentra
penghasil produk hortikultura di Ka-
bupaten Bandung tersebar terutama di
wilayah Pangalengan, Cimenyan,
Cilengkrang, Ciwidey, Pasirjambu,
Rancabali, dan Kertasari. Kabupaten
Bandung memiliki potensi produksi
kentang yang tersebar di tiga kecamatan
a.l Pangalengan 9.186 ha, Kertasari 2.891
ha, dan Cimenyan 1.761 ha dengan
volume produksi per Juli 2012 mencapai
760.176 kuintal. Data lengkap produksi,
luas panen dan luas tanam di wilayah
Provinsi Jawa Barat dan Kabupaten
Bandung dari tahun 2007 sampai tahun
2011 dapat dilihat pada Tabel 1 dan Tabel
2.
237Jurnal Ekonomi Bisnis Volume 17, No. 3, Desember 2012
Tabel 1. Produksi, Luas Panen dan Luas Tanam Kentang di Provinsi Jawa Barat
Tahun
Produksi
(Ton)
Luas Panen
(Ha)
Luas Tanam
(Ha)
2007 337,369 16,479 16,135
2008 294,564 13,873 14,358
2009 323,543 15,344 13,261
2010 275,100 13,553 13,972
2011 220,155 11,327 12,195 Sumber : Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat (2012)
Tabel 2. Produksi, Luas Panen dan Luas Tanam Kentang di Kabupaten Bandung
Tahun
Produksi
(Ton)
Luas Panen
(Ha)
Luas Tanam
(Ha)
2007 194,198 9,907 9,669
2008 128,984 6,381 7,145
2009 182,858 8,988 7,007
2010 114,784 5,606 5,831
2011 105,926 5,078 5,243 Sumber : Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat (2012)
Produktivitas sayuran di Kabupaten
Bandung pada tahun 2010 mencapai
141,06 kwt/ha, bila dibandingkan dengan
tahun 2007-2009 produktivitas ini
meningkat, namun bila dibandingkan
dengan tahun 2006 produktivitas tersebut
menurun, di mana pada tahun 2006
produktivitas sayuran mencapai 36,38
ton/ha. Adapun Total ekspor dan impor
komoditas sayuran di Indonesia ditunjuk-
kan dalam Tabel 3.
Tabel 3. Total ekspor dan impor komoditi sayuran di Indonesia tahun 2002 – 2011
Tahun Ekspor (Ton) Impor (Ton)
2002 105.243 297.032
2003 120.500 343.935
2004 107.493 441.944
2005 152.658 508.324
2006 236.225 550.437
2007 211.906 782.226
2008 172.733 914.283
2009 195.533 871.087
2010 138.106 851.369
2011 133.948 1.174.286
Sumber : Departemenn Pertanian dan BPS (2012)
238 Mohamad Noor, dkk., Analisis Struktur.....
Analisis Struktur Rantai Pasokan dan Pasar Kentang Pola rantai pasokan komoditas
hortikultura secara umum terdapat
beberapa pihak selain produsen dan
konsumen, yaitu lembaga-lembaga
perantara yang menghubungkan sentra
produksi dan sentra konsumsi dengan
melakukan berbagai aktivitas yang
memberikan nilai guna bagi produk yang
dipasarkan. Jumlah dan jenis lembaga
perantara tersebut secara horizontal dan
vertical sangat dipengaruhi oleh jenis
komoditas yang dipasarkan, fasilitas
pemasaran yang tersedia dan keinginan
pasar sasaran yang hendak dicapai.
Semakin banyak dan kompleks per-
mintaan konsumen dan semakin banyak
perubahan bentuk dari komoditas yang
dipasarkan sebelum sampai di tangan
konsumen, maka akan semakin banyak
pula menuntut kehadiran para lembaga
perantara.
Secara umum pola rantai pasokan
kentang yang ada di Pangalengan
Kabupaten Bandung adalah seperti yang
ada pada Gambar 2, rantai tersebut
mempunyai beberapa pelaku, yaitu
petani, kelompok tani, pengumpul/-
supplier, pedagang pengumpul, pasar
induk, industri pengolah, pasar me-
nengah, pasar kecil, dan konsumen rumah
tangga. Petani dengan modal yang besar
mereka sudah mempunyai jaringan
distribusi tersendiri, mulai penyediaan
bibit sampai pendistribusian ke konsu-
men, sedangkan petani dengan modal
terbatas mereka biasanya melakukan
kemitraan dengan pedagang pengepul
atau pedagang besar. Posisi petani
mempunyai peran yang pasif disbanding-
kan dengan posisi pelaku lainnya, karena
tugas utama petani ini adalah menanam
kentang sesuai dengan instruksi dari
sipemilik benih/modal yaitu pedagang
besar atau pengumpul yang nantinya hasil
dari panen kentang tersebut harus dijual
kepada pemilik modal tersebut sesuai
harga yang sudah disepakati. Salah satu
kelemahan dari petani yang bermodal
kurang ini adalah mereka tidak mem-
punyai daya tawar yang kuat terhadap
pemodal besar dalam masalah harga jual
kentang akibatnya petani mempunyai
profit margin yang kecil sehingga
mendapat keuntungan yang kecil pula
dibandingkan degan pelaku lainnya yang
ada dalam rantai pasok kentang ini.
Gambar 2. Pola rantai pasokan kentang secara umum (Mohamad Noor, Asep et.al, 2012)
239Jurnal Ekonomi Bisnis Volume 17, No. 3, Desember 2012
Untuk kentang industry rantai pasokan-
nya sedikit berbeda dengan pola rantai
pasokan kentang non industry, pola rantai
pasokan kentang industry ini mempunyai
kemitraan yang terstruktur dengan mitra
kerjanya. Pola kemitraan yang terjadi
antara petani dengan mitranya adalah
berupa kesepakatan/komitmen yang
terbangun antara kedua belah pihak.
Kesepakatan tersebut tidak dalam bentuk
MoU tertulis, namun lebih bersifat verbal
dan harus saling mentaati. Pihak pe-
dagang besar/pengepul/perusahaan mitra
mengharapkan agar para petani yang
terwadahi dalam kelompok tani me-
lakukan budidaya kentang secara baik
dengan sumber benih dari pihaknya dan
selanjutnya pedagang besar/pengepul/-
perusahaan mitra akan menampung
seluruh hasilnya dari para petani dengan
harga kontrak yang disepakati kedua
belah pihak. Kedua belah pihak
mempunyai kewajiban dan hak yang
harus ditaatinya. Kewajiban petani adalah
mendapatkan varietas bibit yang
disediakan mitranya, melakukan budidaya
kentang dan menjual hasilnya kepada
mitranya. Hak petani adalah mendapatkan
jaminan harga dan pasar sesuai ke-
sepakatan kedua belah pihak. Adapun
kewajiban pedagang besar/pengepul/-
perusahaan mitra adalah menyediakan
bibit, menyediakan sarana penunjang
produksi, melakukan pendampingan dan
pembinaan serta menampung hasil
produksi petani. Sedangkan haknya
adalah mendapatkan jaminan produksi
kentang baik dari segi jumlah, kualitas,
dan kontinuitas berdasarkan kesepakatan
yang sudah disepakati diawal. Adapun
struktur rantai pasok kentang industry
seperti digambarkan pada Gambar 3,
struktur tersebut terdiri atas empat pelaku
yaitu petani, kelompok tani, pengumpul/-
supplier dan konsumen industri.
Gambar 3. Jaringan Rantai pasokan kentang industry (Mohamad Noor, Asep et.al, 2012)
Dengan mengacu kepada Gambar 1
dan Gambar 2, maka struktur pasar pun
akan berbeda antara kedua jenis kentang
yang diusahakan oleh para petani kentang
di wilayah Pangalengan Kabupaten
Bandung. Untuk kentang non industry,
struktur pasarnya cenderung mengikuti
musim panen. Pada musim panen raya
petani kentang di Jawa Barat menghadapi
struktur pasar yang cenderung
oligopsonistik dan pada musim panen
biasa petani kentang menghadapi struktur
pasar yang relative bersaing, karena
masuknya pedagang besar di daerah
tujuan pasar yang masuk ke daerah-
daerah sentra produksi. Struktur pasar
oligopsonistik yang dihadapi petani
tersebut dicirikan oleh beberapa hal
sebagai berikut: (1) jumlah pedagang
relatif terbatas; (2) harga ditentukan oleh
pedagang besar antar kota dan pedagang
besar ditujuan pasar utama, terutama
pasar induk; (3) proporsi nilai tambah
atau keuntungan yang diterima petani
cenderung jatuh pada saat musim panen
raya; (4) proporsi keuntungan yang
diterima pelaku tataniaga relatif besar; (5)
seringkali dalam satu kawasan sentra
produksi kentang hanya beberapa pe-
dagang yang sangat berpengaruh, dialah
sebagai leading traders (Adang Agustian
et.al., 2008). Sedangkan untuk pasar
kentang industry, struktur pasarnya
mendekati monopsoni, yaitu jumlah
petani yang banyak berhadapan dengan
satu konsumen.
Analisis Peran dan Perilaku Pelaku dalam Rantai Pasokan Kentang
Dengan merujuk pada Gambar 2
diatas, secara garis besar pelaku yang
terlibat dalam rantai pasokan kentang
Petani Kelompok Tani Pengumpul/Supplier Konsumen Industri
240 Mohamad Noor, dkk., Analisis Struktur.....
industry ini ada tiga pelaku utama, yaitu
produsen, pengumpul/supplier dan kon-
sumen. Produsen adalah pelaku yang
terdiri atas petani dan kelompok tani,
yaitu yang melakukan penanaman bibit
kentang sampai memanen kentang,
kemudian menjualnya ke pelaku berikut-
nya. Pengumpul/supplier adalah pelaku
yang melakukan pengumpulan/menam-
pung kentang yang dipanen oleh produsen
kemudian menjualnya kepada pihak
selanjutnya. Konsumen industry adalah
pelaku yang memproduksi produk yang
berbahan baku kentang kemudian men-
jualnya kepada konsumen pemakai/peng-
guna.
Dari masing-masing pelaku yang
terlibat dalam rantai pasokan kentang
mempunyai tugas sesuai dengan perannya
masing-masing. Tugas masing-masing
pelaku tersebut mempunyai keterkaitan
antara satu pelaku dengan pelaku lainnya.
Adapun tugas dari masing-masing pelaku
ini ada pada Tabel 1. Tugas petani dan
kelompok tani ini menentukan waktu
yang akan dijadikan sebagai masa tanam,
menentukan luas lahan yang diperlukan
sesuai dengan kemampuan petani dan
kebutuhan konsumen, juga menyesuaikan
dengan ketersediaan bibit yang ada di
pihak konsumen sebagai penyedia bibit,
tugas berikutnya dari produsen adalah
menentukan biaya yang diperlukan untuk
proses penanaman, perawatan, sarana
produksi pertanian dan pada saat panen,
tugas terakhir dari produsen adalah
melakukan pemanenan kentang sesuai
dengan jadual yang telah ditentukan
sebelumnya. Penyalur atau supplier mem-
punyai tugas utama merespon jumlah
benih yang dibutuhkan oleh para petani
yang kemudian menginformasikannya
kepada pihak konsumen yang merupakan
penyedia bibit kentang, kemudian me-
respon kebutuhan lahan yang diperlukan
oleh petani untuk memenuhi kebutuhan
bibit dan kentang yang akan dipanen.
Tugas utama pelaku konsumen adalah
merencanakan proses produksi pada
setiap periode dengan menentukan
kebutuhan kentang sebagai bahan baku
utamanya, menentukan standar mutu
kentang yang sesuai dengan standar
industry, dan tugas berikutnya adalah
menyediakan bibit yang sesuai dengan
karakteristik kentang yang diinginkan
oleh industry yang nantinya akan ditanam
oleh para petani.
Tabel 4. Tugas Pelaku dalam rantai pasok kentang industri
Tipe Pelaku Tugas Pelaku
Produsen (Petani
dan Kelompok
Tani)
menentukan periode tanam dalam 1 tahun
menentukan luas lahan diperlukan
menentukan jumlah bibit yang dibutuhkan
menentukan jumlah biaya yang diperlukan
memanen kentang
Penyalur/supplier merespon jumlah benih yang dibutuhkan oleh petani
merespon luas lahan yang digunakan oleh petani
Konsumen
industry
memilah kentang yang sesuai dengan standar
industry
menyediakan benih yang dibutuhkan oleh petani
merencanakan proses produksi setiap periode
Dari tugas pelaku pada Tabel 4,
pelaku dalam rantai pasokan kentang ini
mempunyai perilaku yang dapat ber-
interaksi antara satu pelaku dengan pelak
lainnya. Interaksi perilaku tersebut
mencerminkan korelasi antar pelaku
241Jurnal Ekonomi Bisnis Volume 17, No. 3, Desember 2012
dalam rantai pasokan dalam mendistri-
busikan kentang dan mentransformasikan
informasi kebutuhan kentang yang
diperlukan oleh konsumen industry dalam
rangkan memenuhi kapasitas produksin-
ya. Perilaku pelaku produsen ini bersifat
pasif diabandingkan dengan dua pelaku
lainnya. Tugas utama dari pelaku
produsen (petani dan kelompok tani)
adalah merespon permintaan kentang
yang diajukan oleh konsumen dengan
membuat perjanjian yang tidak tertulis
diantara keduanya untuk memenuhi
permintaan kentang dengan menanam
kentang sesuai permintaan konsumen,
kemudian menanam kentang dilahan yang
sudah ditentukan dengan jumlah bibit
yang telah disepakati dengan konsumen
sebagai penyedia bibit. Produsen ini juga
harus menjual hasil kentang kepada pihak
konsumen sesuai dengan harga jual yang
sudah disepakati pada awal penanaman.
Pihak konsumen dalam perjanjian ini
harus dapat menyediakan bibit yang
sesuai dengan kesepakatan, baik dalam
jumlah maupun kualitasnya. Produsen
juga harus dapat menjaga kontinuitas
jumlah pasokan kentang. Jumlah kentang
yang dipanen pada satu periode masa
tanam akan diperhitungkan dengan
jumlah bibit yang didapat oleh produsen
pada waktu masa tanam. Perhitungan ini
didasarkan kepada jumlah kentang yang
lolos uji kualitas yaitu dari aspek
diameter kentang yang di syaratkan oleh
konsumen, sedangkan kentang yang tidak
lolos uji kualitas akan dicatat dan
disimpan oleh penyalur/supplier yang
kemudian akan digunakan kembali
sebagai bibit untuk masa tanam pada
periode berikutnya. Dalam kesepakatan
anatara produsen dan konsumen,
produsen tidak diperbolehkan untuk
menjual hasil panennya kepada pihak lain
selain kepada konsumen yang sudah
melakukan kontrak kerja sama. Jika
terdapat produsen menjual hasil panen-
nya kepada pihak lain maka konsumen
berhak untuk menjatihkan sanksi kepada
produsen, sanksi yang diberikan kepada
produsen yang melanggar kesepakatan
adalah tidak diikut sertakan sebagai mitra
kerja pada masa tanam untuk peride
berikutnya. Sanksi ini diberikan kepada
seluruh anggota kelompok tani, meskipun
yang melanggar tidak semua anggiota.
Hubungan antara produsen dan
konsumen ini dijembatani oleh penyalur/-
supplier yang mempunyai perilaku
merespon keinginan dari kedua belah
pihak. Penyalur/supplier ini melakukan
distribusi kentang kepada pihak kon-
sumen sesuai jadual yang sudah di-
sepakati antara supplier dan konsumen.
Perilaku dari pelaku penyalur ini bersifat
semi aktif. Tugas utama agen penyalur/-
supplier adalah menampung hasil panen
kentang dari produsen yang kemudian
mendistribusikannya kepada konsumen
sesuai dengan kesepakatan dengan
konsumen.
Konsumen industry bersifat aktif,
karena pelaku ini mempunyai perilaku
mencari kentang, baik dari dalam negeri
maupun luar negeri. Untuk produksi
kentang dalam negeri pelaku ini meng-
adakan kerja sama dengan produsen yang
salah satunya yang berada di Kecamatan
Pangalengan Kabupaten Bandung Pro-
vinsi Jawa Barat. Konsumen mengadakan
kesepakatan dengan penyalur/supplier
dan produsen untuk menghasilkan
kentang yang sesuai dengan karakteristik
dan kualitas yang telah ditetapkan. Untuk
mencapai target tersebut konsumen harus
dapat menyediakan bibit kentang, meng-
adakan pendampingan dan membeli
kentang dari produsen melalui penyalur/-
supplier sesuai dengan kesepakatan.
Kesepakatan harga jual bibit dan kentang
antara konsumen dan produsen didasar-
kan kepada kesepakatan bisnis sehingga
memberikan keuntungan yang sama.
Selain daripada itu, konsumen juga
merespon permintaan kebutuhan bibit
yang diajukan oleh pihak produsen sesuai
dengan luas lahan yang dimiliki oleh
produsen. Membuat kesepakatan dengan
242 Mohamad Noor, dkk., Analisis Struktur.....
produsen dalam hal harga jual kentang
antara produsen dan konsumen.
Berdasarkan hasil wawancara
mendalam dengan pihak petani dan
kelompok tani, ditemukan adanya pihak
petani/kelompok tani yang pernah me-
lakukan penjualan hasil panennya kepada
pihak lain selain konsumen yang menjadi
mitra kerjanya, meskipun yang melaku-
kan hal ini tidak terlalu banyak dan tidak
terlalu sering. Hal ini salah satu akibatnya
mengurangi pasokan kentang pada
periode tersebut. Ada beberapa alasan
mengapa petani menjual hasil panennya,
diantaranya adalah motif ekonomi. Motif
ini adalah petani menjual kentang ini
karena tergiur oleh harga yang lebih
tinggi dibandingkan dengan harga yang
sudah disepakati oleh petani dengan pihak
perusahaan mitranya. Selain tergiur oleh
harga yang tinggi juga karena keter-
pakasaan petani karena adanya kebutuhan
faktor keluarga. Sebab lain adalah para
petani ini membutuhkan uang tunai,
karena pembayaran yang dilakukan oleh
perusahaan mitra ini biasanya tidak di-
lakukan secara tunai dan margin ke-
untungan yang relatif kecil yang didapat-
kan oleh petani.
SIMPULAN
Berdasarkan hasil pembahasan dan anlisis
yang sudah dilakukan dalam rantai
pasokan kentang industry di Kecamatan
Pangelengan ini terdapat empat pelaku
utama yang terlibat. Keempat pelaku
tersebut adalah petani, kelompok tani,
penyalur/supplier dan konsumen industry.
Keempat pelaku ini mempunyai tugas dan
peran serta perilaku yang khas sesuai
dengan fungsinya masing-masing. Dalam
menjalankan tugas dan perannya tersebut
keempat pelaku ini terjadi interaksi yang
saling berkaitan antar pelaku yang dapat
mem-pengaruhi terhadap pasokan
kentang dalam rantai pasokan. Jika terjadi
peri-laku yang menyimpang dari apa yang
sudah ditetapkan dan disepakati oleh
masing-masing pelaku ini akan meng-
ganggu kepada pasokan secara ke-
seluruhan. Kerugian ini akan ditanggung
oleh semua pelaku, karena keempat pe-
laku mempunyai hubungan yang saling
kuat, meskipun mempunyai peran yang
berbeda. Petani dan kelompok tani
mempunyai peran yang pasif, penyalur/-
supplier semi aktif dan konsumen
industry aktif.
DAFTAR PUSTAKA
Agustian, Adang; Henny Mayrowani
(2008), Pola Distribusi Komoditas
Kentang di Kabupaten Bandung,
Jawa Barat, Jurnal Ekonomi
Pembangunan Vol. 9, No.1, hal. 96 –
106.
Bahagia, Senator Nur (2006), Sistem
Persediaan, Penerbit ITB.
Beamon, BM (1998); Design Supply
Chain and analysis: Models and
methods; International Journal
Production Economics, (P. 281 –
294)
Bonabeau, E (2002), Agent-based
modeling : Methods and techniques
for simulating human systems
Chen, Yuerong, Xueping Li (2009), The
Effect of Customer Segmentation on
an Inventory system in The Presence
of Supply Disruptions, Proceedings
of the Winter Simulation Conference
Chopra, Sunil., Peter Meindl (2007).
“SupplyChain Management:
Strategy, Planning and Operations”,
3rd
Edition. Pearson Education
International, Upper Saddle River,
NY: Prentice-Hall.
Fu, Y. et al, (2000), Multi-Agent Enable
Modeling and Simulation Towards
Collaborative Inventory
Management in Supply Chains,
Proceedings of the 2000 Winter
Simulation Conference.
243Jurnal Ekonomi Bisnis Volume 17, No. 3, Desember 2012
Ganeshan, R (1999); Managing Supply
Chain Inventories: A multiple
retailer, one warehouse, multiple
supplier models; International
Journal of Production Economics,
Volume 59.
Gunawan, Hendra, A. Benny Mutiara
(2012), Perancangan Sistem Simulasi
Pasar Komoditi Berbasis Agen
Cerdas Menggunakan JADE, Skripsi
Fakultas Ilmu Komputer dan Sistem
Informasi Universitas Gunadarma
Huan, Samuel H., Sunil K. Sheoran, Ge
Wang (2004), A review and analysis
of supply chain operations reference
(SCOR) model, supply chain
management : An International
Journal Volume 9, No. 1.
---------, (2012), Jabar Dalam Angka, BPS
Provinsi Jawa barat
---------, (2012), Laporan tiga bulanan,
Dinas Tanaman Pangan Provinsi
Jawa barat
---------, (2012), Laporan tahunan
Kementrian Pertanian Republik
Indonesia
---------, (2010), Kabupaten Bandung
Dalam Angka, BPS Kabupaten
Bandung dan BAPEDA Kabupaten
Bandung
Jammernegg, W et al (2007); Performance
improvement of Supply Chain
processes by coordinated inventory
and capacity management,
International Journal of Production
Economics, Volume 108
Jauhari, Wakhid Ahmad (2006), “Model
Persediaan Terintegrasi Pada Sistem
Supply Chain yang Melibatkan
Pemasok, Pemanufaktur dan
Pembeli’, Jurnal Ilmiah Teknik
Industri Vol. 5 No. 2, hal 82 – 88
Jeyanthi, N., P. Radhakrishnan (2010),
“Optimizing Multi product Inventory
using Genetic Algorithm for efficient
Supply Chain Management involving
Lead Time”, IJCSNS International
Journal of Computer Science and
Network Security, VOL.10 No.5.
Kashif, Ayesha., Xuan Hoa Binh Le
(2011), Agent Based Framework To
Simulate Inhabitants Behaviour In
Domestic Settings For Energy,
Proceeding 3rd
International
Conference on Agents and Artificial
Intelligence, Rome, Italy.
http://membres-
liglab.imag.fr/dugdale/papers/ICAA
RT_2011_final.pdf, download Maret
2011.
Narmadha, S., Selladurai, V., (2009),
Multi-factory, Multi-Product
Inventory Optimization using
Genetic Algorithm for Efficient
Supply Chain Management, IJCSNS
International Journal of Computer
Science and Network Security,
VOL.9 No.12.
Narmadha, Selladurai dan Sathish (2010),
Multi-Product Inventory
Optimization using Uniform
Crossover Genetic Algorithm,
International Journal of Computer
Science and Information Security,
Vol. 7, No. 1,
Parunak, H. Van Dyke., Robert Savit, Rick
L. Riolo (1998), Agent-Based
Modeling vs. Equation-Based
Modeling: A Case Study and Users’
Guide, Proceedings of Multi-Agent
systems and Agent-based Simulation,
Springer
Radhakrishnan, P. et al (2009), Optimizing
Inventory Using Genetic Algorithm
for Efficient Supply Chain
Management, Journal of Computer
Science 5 (3) : 233-241.
Sabri, EH et al (2000); A multi-objective
approach to simultaneous strategic
and operational planning in Supply
Chain design International Journal of
Production Economics Volume 28
Sutopo, Wahyudi, Senator Nur Bahagia,
Andi Cakravastia, dan TMA. Ari
Samadhi (2008), A Buffer Stocks
Model for Stabilizing Price of
Commodity under Limited Time of
Supply and Continuous
244 Mohamad Noor, dkk., Analisis Struktur.....
Consumption, Proceedings of the 9th
Asia Pasific Industrial Engineering
& Management Systems Conference.
Zambonelli, Jennings, dan Wooldridge
(2003), Developing MultiAgent
Systems : The Gaia Methodology,
ACM Transactions on Software
Engineering and Methodology, Vol.
12, No 3
AUTHORS INDEXING
A. Benny Mutiara 1
B. Ati Harmoni, 1
Asep Mohammad Noor 1
Benni Antoni Parulian P, 1
D. Farida Sinaga, 1
Dessy Hutajulu, 1
Diani Marischawati, 1
Didin Mukodim, 1
Eka Dyah Setyaningsih, 1
Endri, 1
Henny Medyawati, 1
Hotniar Siringoringo, 1
Indah Yuliasih 1
J.E. Sutanto, 1
Joanna Hernik, 1
Komsi Koranti, 1
Machfud 1
Marcin G barowski, 1
Marino Defonso, 1
Marliza Ganefi, 1
Moh Ali Sahab, 1
Moh Alifuddin, 1
Nopirin, 1
Peni Sawitri, 1
Reni Diah Kusumawati, 1
Roderick Macdonald, 1
Ryan Hartanto Winata, 1
Sigit Setiawan, 1
Sri Sumariyati, 1
Sri Wulan Windu Ratih, 1
Sugiharti Binastuti, 1
Tety Elida, 1
Theodosia C. Nathalia, 1
Yessy Artanti, 1
Yustisia Kristiana, 1
KEYWORDS INDEXING
Advertising 2, 2
Antecedent 1, 5
Anteseden Berwirausaha 1, 5
Bank Efficiency, Efisiensi Bank 2, 7
Bank Size, Ukuran Bak 2, 7
Biaya Peralihan 1, 6
Brand, Merek 1, 4
Brand, Merek 2, 2
Cash Ratio, Rasio Kas 1, 2
Commercial Bank, Bank Umum 2, 5
Corporate Governance, Tata Kelola Perusahaan 2, 4
Country Of Origin, Negara Asal 1, 4
Credit Card, Kartu Kredit 2, 6
CREDIT UNIONS 2, 1
Crisis 14
Customer Interest, Minat Nasabah 2, 6
Customer Loyality, Loyalitas Pelanggan 1, 6
Customer Satisfaction, Kepuasan Pelanggan 1, 6
DEA 2, 7
Debt To Equity Ratio, Rasio Pinjaman Terhadap Ekuitas 1, 2
Determinants Of Job Satisfaction, Determinan Kepuasan Kerja 1, 3
Devidend Payout Ratio 1, 2
Domestic Bank, Bank Domestic 2, 7
Earning Per Share, Rasio Pembagian Dividen 1, 2
Empowerment of Employes, Pemberdayaan Karyawan 2, 4
Entrepreneur Intention, Keinginan Berwirausaha 1, 5
Environtment, Lingkungan 2, 2
Ethics 14
Export, Ekspor 2, 3
Female Student, Mahasiswi 1, 5
Financial Performance, Kinerja Keuangan 2, 5
Financial Ratio, Rasio Keuangan 2, 5
Foreign Bank, Bank Asing 2, 7
Free Trade Area, Kawasan Perdagangan Bebas 2, 3
Harga 2, 2
Impact Assessment, Analisis Dampak 2, 3
Jakarta DC, Ibu Kota Jakarta 1, 1
Job Performance, Kinerja 1, 3
Job Satisfaction, Kepuasan Kerja 1, 3
Liquidity Risk, Risiko Likuiditas 2, 5
Local Government, Pemerintah Daerah 1, 1
Management 14
MISSION CREEP 2, 1
Performance, Kinerja 2, 4
PMKS 1,1
Polish SME 14
Potato supply chain structure, struktur rantai pasokan kentang 86
The potatoes supply, rantai pasokan kentang 86
Preferensia Tradel, Perdagangan Preferensial 2, 3
Price, Harga 1, 4
Product, Produk 2, 2
Promotions, Promosi 2, 6
Purchase Decision, Keputusan Pembelian, 1, 4
Purchase Intention, Minat Beli 2, 2
Return on Investment, Rasio Pengembalian Investasi 1, 2
Risk Market, Risiko Pasar 2, 5
Self-Efficacy, Efikasi Diri 1, 5
Service Quality, Kualitas Layanan 2, 6
Smes, UKM 2, 4
Street Children, Anak Jalanan 1,1
The Decision of Customers, Keputusan Nasabah 2, 6
The behavior of the actor, perilaku pelaku 86
Trust in Company, Kepercayaan Terhadap Perusahaan 1, 4
Jurnal Ekonomi Bisnis Volume 16. No. 2 Agustus 2011 147
Article structure
Title page
General guidance
Essential title page information
Provide in separate page.
Title. -
--
and in front of the appropriate address. Provide the full postal address of each
each author.
Corresponding author.stages of refereeing and publication, also post-publication. Ensure to provide the e-mail address and the complete postal address. Contact details must be kept up to date by the corresponding author.
Present/permanent address.-
address. Superscript Arabic numerals are used for such footnotes.
148 Bahar, Optimasi Biaya Sistem ...
Abstract & Key Words
of the research, the principal results and major conclusions. An abstract is often pre-
non-standard or uncommon abbreviations should be avoided, but if essential they must
spelling and avoiding general and plural terms and multiple concepts (avoid, for ex--
Abbreviations
consistency of abbreviations throughout the article.
Acknowledgements
references and do not, therefore, include them on the title page, as a footnote to the
Units
Math formulae
-
Footnotes
-ber them consecutively throughout the article, using superscript Arabic numbers. Many
be the case, indicate the position of footnotes in the text and present the footnotes them-
Color artwork
-
For color reproduction in print, you will receive information regarding the costs from us after receipt of your accepted article. Please indicate your preference for color in print.
Jurnal Ekonomi Bisnis Volume 16. No. 2 Agustus 2011 149
Figure captions
not -scription of the illustration. Keep text in the illustrations themselves to a minimum but explain all symbols and abbreviations used.
Tables
-
Subdivision
--
Appendices
Keep appendices to minimum. If there is more than one appendix, they should -
References
in the text
author and date of the publication referred to, or cited.
in a reference list
In text referencing
Quotation
quote
Author’s original text
-
150 Bahar, Optimasi Biaya Sistem ...
sleep, gastrointestinal problems, higher accident rate, and social problems are evident.
Lancet, 358
Citing example:
-
Paraphrase
paraphrase
Author’s original text
-
sleep, gastrointestinal problems, higher accident rate, and social problems are evident.
Lancet, 358
Citing example:
-
Summary
summarize
Author’s original text
-
sleep, gastrointestinal problems, higher accident rate, and social problems are evident.
Lancet, 358
Citing example:
-
Jurnal Ekonomi Bisnis Volume 16. No. 2 Agustus 2011 151
logical clocks.
Citing page numbers in-text
or summarising, page numbers may be also be included.
In this case, include them in the in-text citation, separated from the year by a comma.
Reference list
References’, should appear at the end of your -
ferred to, or cited, in your text.
Order of items in the list
The items in the reference list are arranged alphabetically by the authors’ surname.
Format of citations in the reference list
Punctuation and spacing in the citation
Authors’ names:o
o
Titles of works:o
journal articles.o
should be used as they appear normallyo
o
marks
Page numbering:
o
152 Bahar, Optimasi Biaya Sistem ...
o
stop.
o
Whole citation:
o The different details, or elements, of each citation are separated by commas.
o
Example:
AustralianJournal of Education
need them’, Youth Studies Australia
Organizational behaviour
Fundamentals of management: essential conceptsand applications
Works by the same author, published in the same year.
in your citations.
Reference list:
Example:
Black kettle and full moon: daily life in a vanished Australia, Pen-
The rush that never ended: a history of Australian mining
Act’, Access
Alternative Law Journal
Citing example:
Jurnal Ekonomi Bisnis Volume 16. No. 2 Agustus 2011 153
JUDUL (dalam bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris)
.
.
.
.
.
.ABSTRAK
(abstrak ditulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris)
Satu paragraf, memuat tujuan, metode penelitian yang digunakan, hasil, dan maksimum lima kata kunci.
Kata Kunci: aaaa, bbbb, cccc, dddd, eeee.
PENDAHULUAN
Pendahuluan memuat latar belakang penelitian secara ringkas dan padat, dan tujuan.
sudah dilakukan dapat dinyatakan.
METODE PENELITIAN
Metode penelitian merupakan prosedur dan teknik penelitian. Antara satu penelitian dengan penelitian yang lain, prosedur dan tekniknya akan berbeda. Kalau tidak berbeda, berarti penelitian itu hanya mengulang penelitian yang sudah ada sebelumnya. Tapi
penelitian mungkin saja sama, tapi teknik samplingnya berbeda, teknik pengumpulan datanya berbeda, analisis datanya berbeda, dan lain.lain. Mohon diuraikan dengan jelas, bukan hanya mengopi dari penelitian lain. Kalau mau disertakan penelitian yang dilakukan termasuk ke dalam kategori penelitian yang mana, mohon diperhatikan dengan baik, jangan asal mengopi dari teori Metodologi Penelitian.
penomorannya.
154 Bahar, Optimasi Biaya Sistem ...
PEMBAHASAN
hasil. Teori-teori yang sudah ada digunakan pada bagian ini untuk interpretasi, tentu saja bukan dengan copy and paste, tapi dengan penyesuaian kalimat sebagai interpretasi.
harusnya dimuat pada bagian ini dalam bentuk rujukan (hanya menuliskan nama
penomorannya.
SIMPULAN DAN SARAN
tujuan, bukan mengulang teori, berarti menyatakan hasil penelitian secara ringkas (tapi
diperlukan untuk penyempurnaan hasil penelitian supaya berdaya guna. Penelitian tentunya tidak selalu berdaya guna bagi masyarakat dalam satu kali penelitian, tapi merupakan rangkaian penelitian yang berkelanjutan.
DAFTAR PUSTAKA
referensi yang dimasukkan pada bagian ini akan ditemukan tertulis pada bagian-bagian sebelumnya. Sistematika penulisannya didasarkan pada Harvard style tapi dengan
Menurut abjad, dengan tata penulisan (baik bagi penulis pertama, kedua, dan
Tidak perlu dikelompokkan berdasarkan buku, jurnal, koran, ataupun berdasarkan tipe publikasi lainnya.
Judulbuku Simulasi Sistem Industri
tulisan” nama jurnal
formats” Delhi Business Review
Judul skripsi/tesis/disertasi. Penerbit, kota.
Judul tulisan. Alamat situs.
Nama koran. Penerbit,kota.
Jurnal Ekonomi Bisnis Volume 16. No. 2 Agustus 2011 155
Aturan Penulisan
- Tulisan merupakan hasil penelitian
- Tulisan ilmiah menggunakan bahasa Indonesia baku, setiap kata asing dicari padanannya dalam bahasa Indonesia baku, dan tidak perlu menyertakan bahasa asingnya.
- Kalimat yang diambil dari tulisan ilmiah dalam bahasa asing diterjemahkan dalam bahasa Indonesia baku.
-
ulang dengan daftar pustaka (sangat membantu jika menggunakan fasilitas
- Tidak menggunakan catatan kaki
-
o
o
o
o
o
o Times New Roman
o Semua jenis rumus ditulis menggunakan Mathematical Equation
dsb
o Semua jenis symbol menggunakan simbol standar yang ada di pengolah
o sentence case,
156 Bahar, Optimasi Biaya Sistem ...
Si dih ilk h i
Tahun PA PE RPE RPTA19981999200020012002200320042005
-123.49%-30.01%
0.47%1.05%1.43%1.84%2.12%0.23%
n.a-763.87%
8.28%25.48%24.84%22.49%21.08%2.60%
n.a2445.65%1676.43%2333.83%1634.64%1123.02%
895.21%1034.54%
201.40%96.07%94.37%95.89%94.24%91.82%89.95%91.19%
Tabel 1.Rasio Keuangan Bank Mandiri Tahun 1998-2005