Upload
widya-erie
View
135
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
jurnal
Citation preview
UJI AKTIVITAS ANTPIRETIK EKSTRAK PUTRI MALU (Mimosa pudica L.) PADA MENCIT PUTIH GALUR SWISS WEBSTER
Ai Nuryani1)
, Nunung Yulia2)
1) Mahasiswi Prodi S1 Farmasi 2) Dosen Pembimbing
ABSTRAK
Pencarian obat baru yang memiliki aktifitas antipiretik dari tanaman obat mengalami kemajuan yang sangat pesat. Pada penelitian kali
ini yaitu pengujian uji aktivitas antipiretik Ekstrak Putri malau (Mimosa pudica L.) pada mencit putih galur swiss Webster
Ekstrak putri malu (Mimosa pudica L.) mengandung zat- zat kimia yang sifatnya antiradang dan antipiretik maka dari itu ekstrak putri
malu mampu menurunkan demam.
Pada penelitian kali ini menggunakan mencit galur Swiss Webster sebagai hewan percobaan dengan 5 kelompok percobaan yaitu
kontrol negatif, kontrol positif, dan dosis uji 1,2 dan 3. Untuk dapat meningkatkan suhu pada mencit diawali dengan menginduksi mencit
menggunakan pepton 1% yang dapat menyebabkan demam. Pepton disuntikan secara subkutan. Obat pembanding yang digunakan adalah
paracetamol 500 mg yang diberikan pada kelompok 2 (kontrol positif ) kelompok 1 hanya diberikan PGA 10%. Untuk kelompok uji yaitu
menggunakan ektrak putri malu (Mimosa pudica L.).
Pengamatan berlangsung selama 3 jam yang diteliti setiap 30 menit untuk dapat mengetahui aktivitas dan efektifitas ekstrak putri
malu (Mimosa pudica L.) terhadap mencit yang diberikan secara oral.
Kata kunci : Antipiretik, Ekstak putri malu, Pepton 1%, Paracetamol
ABSTRACT
Search new drug has antipyretic activity of medicinal plants is progressing very rapidly . In the present study , namely antipyretic
activity assay testing Extract Princess Malau ( Mimosa pudica L. ) in Swiss Webster strain white mice
Extract shy daughter ( Mimosapudica L. ) contains chemical substances that are anti-inflammatory and antipyretic the shy daughter of
the extract can lower a fever .
In the present study using Swiss Webster mice as experimental animals with experimental group 5 is a negative control , positive
control , and a test dose of 1.2 and 3 . To be able to increase the temperature of the mice begins to induce mice using peptone 1 % which can
cause fever . Peptone administered orally .Comparator drug used was 500 mg paracetamol given to group 2 ( positive control ) group 1 was given
only 10 % of PGA . For the test group that is using herbal infusion shy daughter .
Observations lasted for 3 hours examined every 30 minutes to be able to determine the activity and effectiveness of herbal infusion
shy daughter of the mice were given orally .
Keywords : Antipyretics , shy daughter Extract , Peptone 1 % , Paracetamol ,
PENDAHULUAN
Penggunaan obat tradisional dalam upaya
mempertahankan kesehatan masyarakat telah lama kita ketahui.
Bahkan sampai saat ini pun menurut perkiraan badan kesehatan
dunia (WHO), 80% penduduk dunia masih menggantungkan
dirinya pada pengobatan tradisional. Seperempat dari obat obat modern yang beredar di dunia berasal dari bahan aktif yang
diisolasi dan dikembangkan dari tanaman Lebih dari 1000 spesies
tumbuhan dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku obat (Anonim,
1992).
Pengetahuan tentang khasiat dan keamanan tanaman obat
di Indonesia biasanya hanya berdasarkan pengalaman empiris yang
biasanya diwariskan secara turun temurun dan belum teruji secara
ilmiah. Untuk itu diperlukan penelitian tentang obat tradisional,
sehingga nantinya obat tersebut dapat digunakan dengan aman dan
efektif. Beberapa keuntungan pemakaian obat tradisional antara
lain dapat diperoleh tanpa resep dokter, dapat disiapkan sendiri
oleh si pemakai, bahan bakunya mudah diperoleh serta tanaman
tersebut dapat dibudidayakan di daerah pemukiman. Salah satu
contoh adalah penggunaan tanaman putri malu (Mimosa pudica
L.). Ekstrak herba putri malu mempunyai khasiat sebagai
transquilizer (penenang), ekspektoran (peluruh dahak), diuretic
(peluruh air seni), antitusif (antibatuk), antipiretik (penurun panas),
dan antiradang (Dalimartha, 1999).
Demam adalah suatu bagian penting dari mekanisme
pertahanan tubuh melawan infeksi. Kebanyakan bakteri dan virus
yang menyebabkan infeksi pada manusia hidup subur pada suhu 37
derajat C. Meningkatnya suhu tubuh beberapa derajat dapat
membantu tubuh melawan infeksi. Demam akan mengaktifkan
sistem kekebalan tubuh untuk membuat lebih banyak sel darah
putih, membuat lebih banyak antibodi dan membuat lebih banyak
zat-zat lain untuk melawan infeksi (Wibowo, 2006).
Mengingat pentingnya antipiretik ini maka perlu dilakukan
eksplorasi sediaan untuk membuktikan secara ilmiah penggunaan
herba putri malu (Mimosa pudica L.) sebagai antipiretik.
METODELOGI PENELITIAN
Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut : kandang hewan, timbangan hewan, timbangan elektrik,
jarum suntik, sonde oral, beaker gelass, thermometer, dan
stopwatch.
Bahan
Sampel yang digunakan untuk penelitian ini adalah herba
putri malu (Mimosa pudica .L). PGA 1% (pulvis Gummi
Arabicum), parasetamol, pepton, FeCl3, HCL, Amil alcohol,
Dragondorff, Mayer, H2SO4. Pembuatan infus Simplisia
Pembuatan infusa putri malu dengan cara menghitung
dosis yang paling tinggi dosis III yaitu 0,052 gram.
Maka :
x 50 ml = 130 gram simplisia dalam 50 ml
aquadest.
Sehingga dilakukan penimbangan 130 gram serbuk herba infusa
kering, add 50 ml aquadest dan dipanaskan pada suhu 90oC selama
15 menit. Kemudian tambahkan 50 ml. larutan dijadikan larutan
stok.
Pengujian antipirertik terhadap mencit
a. Mencit dipuasakan selama 6 jam setelah diadaptasikan selama 3 hari di tempat penelitian. Kemudian mencit
sebanyak 25 ekor dikelompokkan menjadi 5 dengan cara
acak, masing-masing kelompok terdiri atas 5 ekor mencit.
b. Tiap-tiap mencit sebelum diberi perlakuan diukur suhu rektal sebelum disuntik pepton dan 2 jam setelah disuntik pepton
untuk mengetahui derajat peningkatan suhu tubuh setelah
penyuntikan pepton
c. Mencit disuntik pepton secara subkutan.
d. Dua jam setelah pemberian pepton, masing-masing kelompok diberi perlakuan dengan cara oral dalam bentuk larutan.
e. Tiga puluh menit setelah perlakuan, suhu rektal diukur lagi
sampai percobaan pada menit ke-180 dengan interval 30
menit.
Pemberian perlakuan sesuai kelompok mencit, 2 jam setelah
pemberian pepton.
Kelompok I, mendapat PGA 1 % (kontrol negatif)
Kelompok II, mendapat parasetamol (kontrol positif)
a. Kelompok III, mendapat infusa herba putri malu dosis 1 sebanyak 0,013 g/ 20 Kg bb mencit
b. Kelompok IV, mendapat infusa herba putri malu dosis 2
sebanyak 0,052 g/ 20 Kg bb mencit
c. Kelompok V, mendapat infusa herba putri malu dosis 3 sebanyak 0,026 g/20 Kg bb mencit
Pengukuran suhu rektal mencit 30 menit setelah perlakuan,
diulangi setiap 30 menit sampai pada menit ke-180.
Teknik Analisis Data
Data yang diperoleh dari penelitian dianalisis secara
statistik dengan uji anova dan uji post hoc. Uji anova adalah uji
untuk membandingkan perbedaan mean lebih dari dua kelompok,
sedangkan uji post hoc adalah uji untuk membandingkan
perbedaan mean antara 2 kelompok dengan nilai = 0,5 (Murti,
1994).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Uji aktivitas Antipiretik
Pengujian aktivitas antipiretik yang dilakukan
menggunakan metode eksperimental dengan rancangan penelitian
pre test post test only controlled group design yang diinduksi
dengan menggunakan pepton 5%. Dengan pengukuran suhu rectal
mencit dengan menggunakan alat termometer.
Hasil pengukuran suhu rektar pada mencit galur Swiss
Wabster setelah pemberian PGA 1 %, paracetamol, dan dengan
variasi dosis I, dosis II dan Dosis III dari infusa Putri Malu
(Mimosa pudica L). kemudian diukur suhu rektar mencit tiap 30
menit sekali selama 180 menit. Hasil pengukuran suhu rektar
tersebut kemudia di analisis menggunakan SPSS 18. Pengolahan
data dilakukan dengan uji anova dan uji post hoc.
Tabel 1hasil rata-rata suhu rectal mencit sesudah perlakuan
Hasil pengukuran suhu rektal pada tabel 1
menunjukkan adanya variasi suhu rata-rata pada tiap-tiap
kelompok setelah diberikan perlakuan. Tinggi rendahnya kenaikan
suhu menunjukkan derajat demam yang dialami masing-masing
mencit. Semakin tinggi kenaikan suhu berarti semakin tinggi
derajat demam yang dialami mencit, demikian pula sebaliknya.
Jika setelah perlakuan terjadi penurunan suhu rektal mencit, berarti
demam mulai turun, dengan kata lain efek antipiretiknya
meningkat.
Grafik 1 rata-rata suhu rektal menit pada beberapa titik waktu
36
38
40
0 2 4 6 8
Suh
u
Menit Ke-
Grafik rata-rata suhu rektal mencit pada beberapa titik waktu
Aquadest
Parasetamol
Dosis 1
Dosis 2
No Kelompok perlakuan Suhu Rektal mencit
30 60 90 120 150 180
1 Kontrol negative
PGA 1%
38.08 38.4 38.4 38.48 38.35 38.35
2 Kontrol Positif
Paracetamol
38.25 37.66 37.11 37.01 37.05 37.03
3 Dosis 1
Infusa Putri malu dosis 1
38.16 38.16 38.03 37.91 37.91 37.85
4 Dosis II
Infusa Putri malu dosis II
38.1 37.91 37.75 37.51 37.43 37.48
5 Dosis III
Infusa Putri malu dosis III
38.3 37.78 37.6 37.35 37.3 37.46
Rata-rata suhu rectal pada kelompok perlakuan dapat
dilihat dari grafik diatas . Pada kelompok perlakuan parasetamol,
dosis 2 dan dosisi 3 dari bebrapa titik waktu menunjukan
penurunan suhu yang lebih besar dibandingkan perlakuan pada
kelompok PGA 1% dan dosis 1. Pada grafik di atas juga terlihat
bahwa titik optimal penurunan suhu rectal tikus pada kelompok
perlakuan dosis 2 dan dosis 3 infusa putri malu (Mimosa pudica L)
rentang waktu 90 dampai 120 , sedangkan kelompok perlakuan
paracetamol, titik optimal penurunan suhu pada rentang waktu 60 sampai 90.
Untuk mengetahui ada tidaknya penurunan suhu,
dilakukan perhitungan t yang dihitung dari suhu setelah
penyuntikan pepton dikurangi dengan suhu setelah pemberian
perlakuan pada titik waktu tertentu. Penurunan suhu tersebut
kemudian dibuat rata-ratanya dan digolongkan berdasarkan dosis
dan waktu. Penurunan rata-rata yang didapat dari kelima perlakuan
adalah sebagai berikut:
Tabel 2 Rata-rata penurunan suhu rectal mencit dari kelima kelompok perlakuan
Dosis Rata-rata suhu rectal mencit (C)
30 60 90 120 150 180
PGA 1% -0.0 -0.37 -0.37 -0.45 -0.32 -0.32
Paracetamol -0.22 0.1 0.92 1.02 0.98 1.00
Dosis 1 -0.2 -0.2 -0.07 0.05 0.05 0.11
Dosis 2 0.01 0.21 0.25 0.66 0.68 0.63
Dosis 3 -0.32 0.13 0.31 0.77 0.68 0.52
Penurunan suhu rata-rata mencit bervariasi meskipun
terdapat dalam satu kelompok yang sama, dapat dilihat dalam tabel
1 dan tabel 2 inilah yang kemudian dianalisis untuk mengetahui
ada tidaknya penurunan yang bermakna atau signifikan sebagai
respon terhadap perlakuan.
Penurunan suhu yang bervariasi ini mungkin
disebabkan oleh factor endogen masing-masing mencit yang
bersifat individual terhadap agen pencetus demam dan banyak
dipengaruhi oleh beberapa faktor non fisik dan lingkungan.
Adanya stress pada mencit karena perlakuan dalam pengukuran
suhu rektal yang berulang-ulang merupakan salah satu faktor
pengganggu yang menyebabkan kenaikan suhu tikus. Menurut
Aiache J.M (1993), variasi suhu hasil pengukuran dapat dimengerti
karena terdapat keragaman kepekaan setiap hewan uji yang
merupakan akibat dari perbedaan biologik yaitu ketersediaan
hayati dan perubahan hayati suatu obat. Nasib obat, dalam hal ini
pemberian infusa putri malu (Mimosa pudica L.) dan parasetamol
sebagai kontrol positif, dapat dipengaruhi oleh factor patologik
yang bisa menyebabkan obat menurun atau meningkat. Penurunan
efek obat mungkin merupakan konsekuensi dari penyerapan yang
jelek pada saluran cerna, pembuluh darah atau peningkatan
ekskresi melalui ginjal.
Garafik 2 Grafik penurunan suhu rata-rata kelompok pelakuan
Dari tabel 2 didapatkan histogram seperti pada grafik
2 Histogram ini menunjukkan besarnya rata-rata penurunan suhu
dari masing-masing kelompok perlakuan tiap waktu pengukuran.
Tabel 2 menujukkan penurunan suhu rektal rata-rata
kelima kelompok perlakuan. Pada pengukuran suhu 30 pertama,
kelompok perlakuan sebagian besar masih menunjukkan kenaikan
suhu. Hal ini mungkin karena efek antipiretik kelompok perlakuan
belum bekerja dan atau efek pirogen dari pepton masih bekerja
lebih dominan. Efek antipiretik sudah mulai terlihat pada menit ke
60, tetapi tidak untuk kelompok perlakuan PGA 1% dan dosis 1 yang masih
menunjukkan kenaikan suhu. Pada kelompok parasetamol,
penurunan suhu mulai tampak pada menit ke-60 dan penurunan
suhu terbesar pada menit ke-90. Hal ini dimungkinkan karena
kadar puncak parasetamol dalam plasma darah dicapai dalam
waktu 60-90 menit. Sedangkan dosis 2 dan dosis 3 keduanya sama-
sama mencapai penurunan suhu terbesar pada menit ke-120.
Analisis Data
Hasil penelitian yang telah didapat pada tabel 2
kemudian dilakukan uji statistik dengan uji anova yang kemudian
dilanjutkan dengan uji post hoc.
Uji Anova
Uji anova ini digunakan untuk mengetahui perbedaan
mean dari dua sumber variasi yaitu kelompok perlakuan dan
kelompok waktu pengukuran. Dengan uji anava menggunakan
SPSS versi.17.0 for Windows didapatkan hasil sebagai berikut:
-1 -0,5
0 0,5
1 1,5
30 60 90 120 150 180
Suhu rectal mencit (oC)
Pen
uru
nan
su
hu
Waktu
Grafik penurunan suhu rata-rata kelompok perlakuan
Aquadest
Parasetamol
Dosis 1
Dosis 2
Tabel 3 Hasil uji anova
Sumber
variasi DK Db MK Fh p
Signifikan/ non
signifikan
Antar
kelompok
dosis
Antar
kelompok
waktu
Dalam
kelompok
Jumlah
4.475
2.003
1.959
8.437
4
5
20
29
1.119
0.401
0.098
7.059
1.495
.001
.0229
Signifikan
Non Signifikan
Keterangan: DK : jumlah kuadrat
db : derajad kebebasan
MK : Mean Kuadrat
Fh : F hitung
Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa antar
kelompok dosis mempunyai nilai p < 0,05. Ini mengandung makna
dalam kelompok perlakuan atau dosis terdapat minimal ada satu
kelompok yang mempunyai penurunan suhu yang berbeda secara
bermakna. Sedangkan pada antar kelompok waktu nilai p > 0,05.
Ini mengandung makna bahwa tidak ada perbedaan penurunan
suhu yang bermakna di antara kelompok waktu.
Dari hasil uji anova didapatkan hasil pada tabel 4.3
dimana pada sumber variasi kelompok perlakuan terdapat
perbedaan yang bermakna. Setelah uji anova di atas kemudian
dilanjutkan dengan uji post hoc. Uji ini dilakukan untuk
membandingkan antar kelompok. Oleh karena hanya antar
kelompok dosis yang mempunyai perbedaan secara bermakna,
maka kelompok inilah yang akan dilakukan uji post hoc.
Uji Post Hoc
Tabel hasil uji post hoc antar kelompok perlakuan dapat dilihat tabel 4
(I)Perlakuan (J) Perlakuan Beda Mean (I-J) Std. Error P Ho
PGA 1% Paracetamol -.96667(*) .22984 .000 Ditolak
Dosis 1 -.29333 .22984 .214 Diterima
Dosis 2 -.84333(*) .22984 .001 Ditolak
Dosis 3 -.91333(*) .22984 .001 Ditolak
Paracetamol PGA 1% .96667(*) .22984 .000 Ditolak
Dosis 1 .67333(*) .22984 .007 Ditolak
Dosis 2 .12333 .22984 .596 Diterima
Dosis 3 .05333 .22984 .818 Diterima
Dosis 1 PGA 1% .29333 .22984 .214 Diterima
Paracetamol -.67333(*) .22984 .007 Ditolak
Dosis 2 -.55000(*) .22984 .025 Ditolak
Dosis 3 .62000(*) .22984 .012 Ditolak
Dosis 2 PGA 1% .84333(*) .22984 .001 Ditolak
Paracetamol -.12333 .22984 .596 Diterima
Dosis 1 .55000(*) .22984 .025 Ditolak
Dosis 3 -.07000 .22984 .763 Diterima
Dosis 3 PGA 1% .91333(*) .22984 .001 Ditolak
Paracetamol -.05333 .22984 .818 Diterima
Dosis 1 .62000(*) .22984 .012 Ditolak
Dosis 2 .07000 .22984 .763 Diterima
Perhitungan statistik uji post hoc sumber variasi
kelompok perlakuan dengan taraf signifikansi 5% menunjukkan
bahwa perbandingan antar kelompok perlakuan PGA 1% dengan
parasetamol, dosis 2 dan dosis 3 infusa putri malu (Mimosa pudica
L.) parasetamol dengan dosis 1 putri malu (Mimosa pudica L.)
dosis 1 dengan dosis 2 dan dosis 3 putri malu (Mimosa pudica L.)
adalah signifikan ( p < 0,05 ) dan Ho ditolak. Ini berarti ada
perbedaan bermakna efek antipiretik (penurunan suhu) yang
bermakna antar kelompok yang diperbandingkan.
Sedangkan antara kelompok PGA 1% dengan dosis 1
putri malu (Mimosa pudica L.) parasetamol dengan dosis 2 dan
dosis 3 ekstrak putri malu, dosis 2 dan dosis 3 putri malu (Mimosa
pudica L.) menunjukkan hasil non signifikan (p>0,05) dan Ho
diterima. Ini berarti dari kelompok tersebut tidak terdapat
perbedaan efek antipiretik yang signifikan sehingga dapat
dikatakan besar efek antipiretiknya sebanding.
Hasil uji post hoc pada tabel 4.4 menunujukkan
berbagai perbandingan masing-masing perlakuan. Meskipun
kelompok dosis 1 sudah dianggap mempunyai efek antipiretik,
namun bila dibandingkan dengan parasetamol berbeda signifikan.
Dengan demikian bisa dikatakan efek antipiretik dosis 1 sangat
lemah. Sedangkan kelompok uji dosis 2 dan dosis 3 tidak
menunjukkan perbedaan yang bermakna dengan parasetamol.
Namun dilihat dari tabel 4.4 efek antipiretik ekstrak putri malu
dosis 2 dan 3 masih lebih rendah dibanding parasetamol. Hal ini
dapat dimungkinkan karena zat antipiretik dalam parasetamol lebih
tinggi jika dibandingkan dengan pada kelompok uji atau juga
karena ekstrak putri malu tidak hanya mengandung tanin saja yang
mempunyai efek antipiretik, tetapi juga mengandung zat-zat lain
(mimosin dan asam pipekolenat) yang mungkin bisa mengganggu
interaksi tanin dengan reseptornya. Faktor lain yang mungkin
berpengaruh adalah kandungan tanin yang tersari pada ekstrak
putri malu yang digunakan belum optimal atau bisa juga karena
dosis kelompok uji kurang tinggi sehingga tidak dapat
menimbulkan efek antipiretik yang optimal.
Dosis 2 merupakan dosis maksimal untuk mencit.
Sedangkan dosis 1 dan dosis 3 adalah masing-masing 0,5 x dosis 2
dan 1,5 x dosis 2. Oleh karena efek antipiretik timbul bermakna
pada dosis 2 dan dosis 3 maka untuk menimbulkan efek antipiretik
diperlukan paling tidak 1x dosis yang biasa digunakan manusia.
Dosis 2 dan dosis 3 tidak berbeda signifikan, maka dosis yang
dianggap efektif untuk menurunkan demam adalah dosis yang
paling kecil yaitu dosis 2 Hal ini dimungkinkan karena dosis 2
sudah merupakan dosis dengan konsentrasi tertinggi yang dapat
berikatan dengan reseptor. Sehingga pada dosis yang lebih besar,
ikatan pada reseptor yang bersangkutan sudah melewati titik jenuh,
yang pada akhirnya tidak memberikan efek antipiretik yang lebih
baik daripada dosis optimal tersebut.
SIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Hasil penelitian yang telah dilakukan bahwa infusa
putri malu (Mimosa Pudica L.) mempunyai efek antipiretik.
Terlihat pada dosis 2, dengan pemberian ekstrak putri malu
(Mimosa Pudica L.) sebanyak 0,052 g/20 g BB mencit. Ekstrak
putri malu mempunyai efek antipiretik yang lebih rendah
dibanding parasetamol.
Saran
Mengingat adanya keterbatasan dan kekurangan dalam
penelitian ini, maka diperlukan penelitian lebih lanjut, yaitu suatu
penelitian serupa dengan sampel, kontrol serta metode yang lebih
baik untuk mengetahui secara lebih terperinci efek antipiretik .
Infusa putrid malu (Mimosa Pudica L.)
DAFTAR PUSTAKA
Ade Novita. 2004. metode mengatasi demam. http://www.mail-
archive.com/[email protected]/msg27091.html
diakses 17 februari 2014.
Anief, M. 2007. Farmasetika.Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press .
Anoname, 2008.Pengertian Demam http://anto-dava.blogspot.com
/2010/06/ pengertian demam.html. Diakses 17 februari 2014
Dalimartha S. 2008. Atlas Tumbuhan Obat Indonesia, Jilid 5.
Jakarta : PustakaBunda.
Ganong, W. F. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran.Edisi 22.Jakarta : EGC.
Hargono, D. 1985. Tanaman obat Indonesia.Jakarta: Restu
Agung.
Harborne J.B. 1987. Metode Fitokimia Penuntun Cara Modern
Menganalisa Tetumbuhan. Bandung : ITB.
Katzung Bertram G. 1997. Obat Anti-inflamasi Nonsteroid; Analgesik Nonopioid; Obat yang Digunakan pada Gout.
Farmakologi Dasar dan Klinik. Edisi 6. Jakarta : EGC.
Murti B. 1994. Penerapan Metode Statistik Non Parametrik Dalam
Ilmu-Ilmu
Kesehatan. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
Sulistia G. Ganiswara, Rianto Setiabudy.1995. Farmakologi dan
Terapi.Jakarta : F.K.UI.
Tjay., Tan Hoan., Raharja. 2002. Obat-obat penting, khasiat dan
penggunaannya. Edisi ke-15.Jakarta : PT.Elex Media Komputindo.