72
Jurnal Anestesiologi Indonesia Volume VII, Nomor 2, Tahun 2015 1

Jurnal Anestesiologi Indonesia - · PDF fileManajemen nyeri pada pasien pasca kraniotomi masih belum banyak diteliti. Disamping itu, panduan klinis mengenai manajemen nyeri pasca

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Jurnal Anestesiologi Indonesia - · PDF fileManajemen nyeri pada pasien pasca kraniotomi masih belum banyak diteliti. Disamping itu, panduan klinis mengenai manajemen nyeri pasca

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume VII, Nomor 2, Tahun 2015

1

Page 2: Jurnal Anestesiologi Indonesia - · PDF fileManajemen nyeri pada pasien pasca kraniotomi masih belum banyak diteliti. Disamping itu, panduan klinis mengenai manajemen nyeri pasca

2

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Page 3: Jurnal Anestesiologi Indonesia - · PDF fileManajemen nyeri pada pasien pasca kraniotomi masih belum banyak diteliti. Disamping itu, panduan klinis mengenai manajemen nyeri pasca

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume VII, Nomor 2, Tahun 2015

3

Sejawat terhormat,

Jurnal Anestesiologi Indonesia nomor ini memuat artikel penelitian mengenai Kadar

Substansi P Serum Pada Pemberian Parasetamol Intravena Perioperatif Pada Pasien

Kraniotomi, Perbandingan Efek Kecepatan Injeksi 0,4 ml/dtk Dan 0,2 ml/dtk Prosedur

Anestesi Spinal Terhadap Kejadian Hipotensi Pada Seksio Sesaria, Efek Blok

Transversus Abdominis Plane Teknik Landmark Terhadap Kebutuhan Analgetik

Pascabedah Herniorafi, Perbandingan Validitas Sistem Skoring Apache II, Sofa, Dan

Customized Sequential Organ Failure Assessment (Csofa) Untuk Memperkirakan

Mortalitas Pasien Non-Bedah Yang Dirawat Di Ruang Perawatan Intensif, Ketamin, -

Blok Peritonsiler Untuk Penatalaksanaan Nyeri Post Operasi Tonsilektomi Pada Anak

dan Meperidin, ketamine dan klonidin efektif untuk terapi menggigil pada Sectio Secaria

dengan anestesi spinal

Semoga bermanfaat

Salam,

dr. Uripno Budiono, SpAn

Ucapan Terima Kasih:

Kepada Mitra Bestari Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol. VII No. 2 Tahun 2015:

Prof. dr.Soenarjo, SpAn, KMN, KAKV (Semarang) Prof. dr.Marwoto, SpAn, KIC, KAO (Semarang) Dr. dr. Mohamad Sofyan Harahap, SpAn, KNA (Semarang)

Page 4: Jurnal Anestesiologi Indonesia - · PDF fileManajemen nyeri pada pasien pasca kraniotomi masih belum banyak diteliti. Disamping itu, panduan klinis mengenai manajemen nyeri pasca

4

Jurnal Anestesiologi Indonesia

PENELITIAN Hal

Bondan Irtani Cahyadi, Hariyo Satoto, Heru Dwi Jatmiko 67

Kadar Substansi P Serum Pada Pemberian Parasetamol Intravena Perioperatif Pada Pasien

Kraniotomi

The Effect Of Perioperative Intravenous Paracetamol On Serum Substance P Level In Craniotomy Patient

Syafri Kamsul Arif, Iwan Setiawan 79

Perbandingan Efek Kecepatan Injeksi 0,4 ml/dtk Dan 0,2 ml/dtk Prosedur Anestesi Spinal

Terhadap Kejadian Hipotensi Pada Seksio Sesaria

A Comparison Between The Effect Of Injection Rate Of 0,4 ml/sec And 0,2 ml/sec In Spinal

Anesthesia Procedure On Hypotension Incidence In Sectio Caesaria

Nur Asdarina , Syamsul Hilal Salam, A. Husni Tanra 89

Efek Blok Transversus Abdominis Plane Teknik Landmark Terhadap Kebutuhan Analgetik

Pascabedah Herniorafi

The Effect of Transversus Abdominis Plane Block Landmark Technique on the Analgesic Requirement

Postoperative Herniorrhaphy

Stefanus Taofik, Tjokorda Gde Agung Senapathi, Made Wiryana 102

Perbandingan Validitas Sistem Skoring Apache Ii, Sofa, Dan Customized Sequential Organ

Failure Assessment (Csofa) Untuk Memperkirakan Mortalitas Pasien Non-Bedah Yang

Dirawat Di Ruang Perawatan Intensif

Comparison Of Validity Apache Ii, Sofa And Customized Sequential Organ Failure Assessment

(Csofa) For Predicting Non-Surgical Patient

Nur Hajriya Brahmi, Doso Sutiyono 114

Ketamin Dan Blok Peritonsiler Untuk Penatalaksanaan Nyeri Post Operasi Tonsilektomi

Pada Anak

Ketamin And Peritonsiller Infiltration As Post Operative Tonsillectomi Pain Management In

Children.

Uripno Budiono 120

Meperidin, ketamine dan klonidin efektif untuk terapi menggigil pada Sectio Secaria dengan

anestesi spinal

Meperidine, ketamine and clonidine effective for the treatment of shivering in Sectio Secaria with

spinal anesthesia

DAFTAR ISI

Volume VII, Nomor 2, Tahun 2015

Terakreditasi DIKTI dengan masa berlaku 3 Juli 2014 - 2 Juli 2019

Dasar SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 212/P/2014

Page 5: Jurnal Anestesiologi Indonesia - · PDF fileManajemen nyeri pada pasien pasca kraniotomi masih belum banyak diteliti. Disamping itu, panduan klinis mengenai manajemen nyeri pasca

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume VII, Nomor 2, Tahun 2015

67

PENELITIAN

Kadar Substansi P Serum Pada Pemberian Parasetamol Intravena

Perioperatif Pada Pasien Kraniotomi

ABSTRACT

Background: Pain management after craniotomy is very important, 60-84% patient

experience moderate to severe pain. Postoperative pain especially transmitted by C

fiber neurons involved neuropeptide Substance P (SP). Postoperative opioid analgesia

gives some adverse effect, such as allergy, gastrointestinal effect, nausea. vomiting,

hypotension, sedation, repiratory depression and urinary retention. Paracetamol has

opioid sparing effect that may reduce the need of opioid analgesia, and also inhibits

SP mediated hyperalgesia.

Objective: To study the effect of perioperative intravenous paracetamol on SP level in

post craniotomy patient

Methods: Forty subject aged 18 – 45 years underwent elective craniotomy

intracerebral tumour resection who have ASA physical status I-II, divided into 2

groups. P group received 1000 mg intravenous paracetamol every 6 hours during 24

hours postoperative, K group received placebo. Postoperative analgesia using

morphine syringe pump 0,01 mg/Kg/hour titration to VAS. SP serum levels were

examined with Cusabio substance Elisa kit ELx 800 before and 12 hours after surgery.

Visual Analog Scale noted in 1, 6, 12, and 24 hours postoperative. Total amount of

morphine given, nausea and vomiting was noted.

Results: Preoperative SP level in P group was 16,89± 31,395 pg/ml and 36,58 ±

46,960 pg/ml postoperatively. Preoperative SP Level in K group was 9,58 ± 10,656 pg/

ml and 26,09 ± 22,506 pg/ml postoperatively. SP level elevation in P group and K

group were 19,69± 28,625 pg/ml and 16,51 ± 14,972 pg/ml. Postoperative SP level

and the elevation were not significantly different between two groups (p=0,793 and

p=0,540), VAS and total amount of morphine given was significantly different

(p<0,05).

Conclusion: Perioperative intravenous paracetamol reduced morphine consumption

and gave better VAS in post craniotomy patient, but did not affected postoperative SP

level.

Keywords :Intravenous paracetamol, Substance P, VAS, Morphine, Craniotomy

* Bagian Anestesi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro/ RSUP Dr. Kariadi Semarang.

Korespondensi/ Correspondence: [email protected]

The Effect Of Perioperative Intravenous Paracetamol On Serum Substance P

Level In Craniotomy Patient

Bondan Irtani Cahyadi *, Hariyo Satoto*, Heru Dwi Jatmiko*

Volume VII, Nomor 2, Tahun 2015

Terakreditasi DIKTI dengan masa berlaku 3 Juli 2014 - 2 Juli 2019

Dasar SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 212/P/2014

Page 6: Jurnal Anestesiologi Indonesia - · PDF fileManajemen nyeri pada pasien pasca kraniotomi masih belum banyak diteliti. Disamping itu, panduan klinis mengenai manajemen nyeri pasca

68

Jurnal Anestesiologi Indonesia

ABSTRAK

Latar belakang: Manajemen nyeri pasca kraniotomi sangat penting karena 60-84%

pasien pasca kraniotomi merasakan nyeri sedang hingga berat. Rasa nyeri ini

ditransmisikan olehserabutsaraf C yang melibatkan neuropeptida substansi P (SP).

Pemberian analgetik golongan opioid memiliki efek samping seperti alergi, gangguan

gastrointestinal, mual, muntah, hipotensi, depresi nafas maupun retensi urin.

Paracetamol memiliki efek yang mengurangi kebutuhan analgesia opioid, dan

menghambat hiperalgesia yang dimediasi oleh SP.

Tujuan: Mengetahui efek pemberian parasetamol intravena perioperatif terhadap

kadar SP serum pasca kraniotomi.

Metode: Empat puluh responden berusia 18-45 tahun akan menjalani kraniotomi

reseksi tumor intraserebral elektif, ASA I-II, dibagi menjadi 2 kelompok. Kelompok P

diberikan paracetamol 1000 mg intravena per 6 jam selama 24 jam pasca operasi,

kelompok K mendapat plasebo. Analgetik pasca operasi menggunakan morfin syringe

pump 0,01 mg/kg/jam titrasi sesuai VAS. Level SP serum diperiksa menggunakan

Cusabio SP ELISA kit sebelum operasi dan 12 jam setelah operasi. VAS dinilai pada

jam 1, 6, 12, dan 24 jam pasca operasi. Jumlah total pemakaian morfin dalam 24 jam

dan efek mual muntah dicatat.

Hasil: Kadar SP pra operasi pada kelompok P 16,89± 31,395 pg/ml dan pasca

operasi 36,58 ± 46,960 pg/ml. Level SP pra operasi kelompok K 9,58 ± 10,656 pg/ml

dan pasca operasi 26,09 ± 22,506 pg/ml. Peningkatan kadar SP pasca operasi

kelompok P sebesar 19,69± 28,625 pg/ml, sedangkan kelompok K 16,51 ± 14,972 pg/

ml. Tidak terdapat perbedaan bermakna antara kadar SP dan peningkatannya pada

kedua kelompok penelitian (p=0,793 dan p=0,540), sedangkan nilai VAS dan jumlah

morfin yang diberikan berbeda bermakna (p<0,05).

Simpulan: Pemberian parasetamol intravena perioperatif pada pasien kraniotomi

mengurangi kebutuhan morfin dan nilai VAS lebih baik, namun tidak mempengaruhi

kadar SP pasca operasi.

Kata Kunci : Paracetamol intravena, Substansi P, VAS, Morfin, Kraniotomi

PENDAHULUAN

Sekitar 60-84% pasien pasca

kraniotomi mengalami nyeri moderat

hingga berat.1,2 Nyeri pasca kraniotomi

paling sering terjadi dalam 48 jam setelah

operasi, terutama setelah 12 jam pasca

operasi. Manajemen nyeri pada pasien

pasca kraniotomi masih belum banyak

diteliti. Disamping itu, panduan klinis

mengenai manajemen nyeri pasca

kraniotomi di rumah sakit juga belum

didukung dengan bukti klinis hasil

penelitian yang adekuat.

Ada banyak mediator yang

Page 7: Jurnal Anestesiologi Indonesia - · PDF fileManajemen nyeri pada pasien pasca kraniotomi masih belum banyak diteliti. Disamping itu, panduan klinis mengenai manajemen nyeri pasca

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume VII, Nomor 2, Tahun 2015

69

berperan dalam proses terjadinya nyeri,

seperti histamin, prostaglandin,

bradikinin dan substansi P. Substansi P

merupakan mediator nyeri yang paling

dominan.3 Menurut Dunbar et al nyeri

pada pasien pasca kraniotomi justru

membutuhkan lebih sedikit analgetik

dibanding dengan tindakan

pembedahan mayor lainnya.4

Penggunaan opioid pasca operasi

memiliki beberapa efek samping yang

merugikan, diantaranya alergi, efek

gastrointestinal, mual muntah,

hipotensi, sedasi, depresi respirasi dan

retensi urin.5

Parasetamol merupakan obat

anti-inflamasi non steroid yang

memiliki efek anti-piretik dan

analgetik.Efek analgetik parasetamol

karena perannya dalam menghambat

enzim siklooksigenase baik di sentral

maupun perifer. Mekanisme lain

melalui jalur nitric oxide, dimana

parasetamol menghambat hiperalgesia

yang dimediasi substansi P.6 Penelitian

oleh Maund menunjukkan bahwa

parasetamol memiliki efek opioid

sparing sehingga mengurangi

kebutuhan opioid untuk analgetik pasca

operasi.7

Potensi parasetamol intravena

sebagai analgesia preemptif pada pasien

kraniotomi menarik untuk diteliti. Perlu

diketahui efeknya sebagai antinosisepsi

dengan cara mengukur kadar substansi

P dalam serum dan hubungannya

dengan skor nyeri menggunakan Visual

Analog Scale (VAS).

METODE

Penelitian ini termasuk jenis uji

klinis acak tersamar ganda. Kriteria

inklusi: dewasa usia 18 – 45 tahun,

menjalani operasi kraniotomi reseksi

tumor intraserebral elektif , Body Mass

Index (BMI) normal (18.5 - 25 kg/m2),

status Fisik ASA I-II, mampu

komunikasi secara verbal, mampu

menggunakan Visual Analog Scale

(VAS) dan durasi operasi kurang dari

360 menit. Kriteria eksklusi: alergi

parasetamol, morfin atau agen anestesi

lain yang digunakan dalam penelitian,

konsumsi parasetamol, NSAID atau

analgesik lain secara rutin, gangguan

hepar (kadar transaminase > 1,5x kadar

normal atas) atau insufisiensi ginjal

(kreatinin > 2 mg/dL), riwayat atau

suspek konsumsi alkohol atau

penyalahgunaan obat, hamil atau

menyusui, keterbatasan komunikasi

karena gangguan kesadaran atau

kognitif dan hipertensi tidak terkontrol.

Sampel sebanyak 40 subjek yang

memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi,

dibagi dalam dua kelompok: kelompok

K mendapat infus NaCl 0,9% 100 cc

tiap 6 jam selama 24 jam, kelompok P

mendapat infus parasetamol 1000 mg

(100 cc) tiap 6 jam selama 24 jam.

Kedua kelompok mendapat analgetik

morfin syring pump 0,01 mg/kgBB/jam,

dosisnya dinaikkan bila nilai VAS > 3.

Kebutuhan analgetik opioid pasca

operasi dan komplikasi pasca operasi

seperti mual, muntah dan sedasi dicatat.

Pemberian analgetik OAINS lain tidak

diperbolehkan. Sampel darah untuk

Page 8: Jurnal Anestesiologi Indonesia - · PDF fileManajemen nyeri pada pasien pasca kraniotomi masih belum banyak diteliti. Disamping itu, panduan klinis mengenai manajemen nyeri pasca

70

Jurnal Anestesiologi Indonesia

pemeriksaan substansi P diambil

sebelum operasi dan 12 jam setelah

operasi.

HASIL

Didapatkan 40 subjek

penelitian masuk dalam kriteria

inklusi. 2 orang subjek dieksklusi

karena mengalami kejadian tidak

diharapkan yaitu satu subjek

meninggal saat operasi (kelompok

kontrol) da satu subjek dengan

penundaan operasioleh dokter bedah

(kelompok parasetamol). Dengan

demikian, sampel penelitian ini adalah

sebanyak 19 pasien dari kelompok K

dan 19 pasien dari kelompok P. Pada

kelompok kontrol, diperoleh subjek

laki-laki berjumlah 6 orang dan subjek

perempuan berjumlah 13 orang.Pada

kelompok perlakuan, diperoleh 5 orang

subjek laki-laki dan 14 orang subjek

perempuan (Tabel 1). Rerata usia

untuk kelompok kontrol adalah 37,95±

11,754 dan untuk kelompok perlakuan

42,47 ± 12,712 (p = 0,262). Hal ini

menunjukkan bahwa usia subjek

penelitian diantara kedua kelompok

tidak berbeda bermakna. Rerata Body

Mass Index (BMI) untuk kelompok

kontrol adalah 21,69± 2,532 dan untuk

kelompok perlakuan 22,58 ± 2,626 (p =

0,315). Lama operasi untuk kedua

kelompok tidak berbeda bermakna,

yaitu pada kelompok kontrol 277,89±

77,358 menit dan kelompok perlakuan

293,68 ± 96,348 menit dengan p =

0,581 (Tabel 3). Kedua kelompok dapat

dikatakan homogen.

Penilaian tingkat keparahan

nyeri pasca operasi menggunakan

Visual Analog Scale (VAS). Pada Tabel

4, rerata nilai VAS 1 jam pasca operasi

pada kelompok kontrol adalah 2,42 ±

1,017, berbeda bermakna dengan rerata

nilai VAS 1 jam pasca operasi pada

kelompok perlakuan, yaitu 1,11 ± 1,243

(p = 0,002). VAS 6 jam pasca operasi

pada kelompok kontrol 2,37 ± 0,761

dan pada kelompok perlakuan 1,11 ±

1,197, berbeda bermakna dengan nilai p

Variabel Kelompok

p Kontrol Perlakuan

Jenis kelamin

Laki-laki 6 (31,6%) 5 (26,3%) 0,721¥

Perempuan 13 (68,4%) 14 (73,7%)

Umur 37,95 ± 11,754 42,47 ± 12,712 0,262¤

BMI 21,69 ± 2,532 22,58 ± 2,626 0,315¤

Lama operasi 277,89 ± 77,358 293,68 ± 96,348 0,581¤

Tabel 1. Karakteristik Data

Keterangan : ¥ Pearson Chi-Square Test ¤ Independent t-Test

Page 9: Jurnal Anestesiologi Indonesia - · PDF fileManajemen nyeri pada pasien pasca kraniotomi masih belum banyak diteliti. Disamping itu, panduan klinis mengenai manajemen nyeri pasca

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume VII, Nomor 2, Tahun 2015

71

= 0,001. VAS 12 jam pasca operasi pada

kelompok kontrol 1,89 ± 0,459, berbeda

bermakna jika dibandingkan dengan VAS

12 jam pasca operasi pada kelompok

perlakuan , yaitu 1,11 ± 1,100 (p = 0,008).

Setelah 24 jam pasca operasi, rerata nilai

VAS pada kelompok kontrol adalah 1,95 ±

0,524 dan pada kelompok perlakuan 1,00

± 1,000, berbeda bermakna dengan p =

0,001 (Tabel 2).

Intensitas nyeri pasca kraniotomi

pada kelompok perlakuan lebih rendah

dibanding kelompok kontrol. Nilai VAS

pada kelompok perlakuan stabil diantara

nilai 1 dan 1,5 dalam 24 jam pasca

kraniotomi. Nilai VAS pada kelompok

kontrol dalam 6 jam pasca kraniotomi

sekitar 2-2,5 kemudian turun menjadi 1,5-

2 pada 12-24 jam pasca kraniotomi (Grafik

1).

Rerata total pemakaian morfin

sebagai analgetik pasca operasi pada

kelompok kontrol adalah 18,97 ± 3,946

mg, berbeda bermakna dibanding dengan

total pemakaian morfin pada kelompok

perlakuan, yaitu 11,95 ± 5,876 mg (p <

0,001). Pemakaian morfin lebih sedikit

pada kelompok perlakuan dibanding

kelompok kontrol (Tabel 3).

Pada diagram batang tampak

bahwa pemakaian morfin sebagai

analgetik pasca kraniotomi lebih sedikit

pada kelompok perlakuan dibandung

kelompok kontrol dalam 24 jam pasca

kraniotomi. Selisih jumlah morfin

Tabel 2. Nilai VAS 1, VAS 6, VAS 12 dan VAS 24 jam pasca operasi

VAS Kontrol Perlakuan p§

VAS 1 2,42 ± 1,017 1,11 ± 1,243 0,002

VAS 6 2,37 ± 0,761 1,11 ± 1,197 0,001

VAS 12 1,89 ± 0,459 1,11 ± 1,100 0,008

VAS 24 1,95 ± 0,524 1,00 ± 1,000 0,001

Keterangan : § Mann-Whitney Test

Grafik 1. Nilai VAS 1, VAS 6, VAS 12 dan VAS 24 jam pasca operasi

Page 10: Jurnal Anestesiologi Indonesia - · PDF fileManajemen nyeri pada pasien pasca kraniotomi masih belum banyak diteliti. Disamping itu, panduan klinis mengenai manajemen nyeri pasca

72

Jurnal Anestesiologi Indonesia

sebanyak 7,02 mg (Grafik 2)

Pada kelompok kontrol ditemukan

kejadian mual pada 2 subjek dan muntah

pada 2 subjek, sedangkan pada kelompok

kontrol tidak ditemukan kejadian mual

atau muntah (Tabel 4).

Rerata kadar substansi P sebelum

operasi pada kelompok kontrol adalah

9,58± 10,656 pg/ml, tidak berbeda

bermakna dengan kadar substansi P

sebelum operasi pada kelompok

perlakuan, yaitu 16,89 ± 31,395 pg/ml (p =

0,918). Hal ini menunjukkan bahwa kadar

substansi P sebelum operasi pada kedua

kelompok relatif sama atau homogen.

Setelah 12 jam pasca operasi, rerata kadar

substansi P pada kelompok kontrol

menjadi 26,09± 22,506 pg/ml, sedangkan

pada kelompok perlakuan 36,58 ±

46,960pg/ml. Pada kedua kelompok,

peningkatan kadar substansi P setelah 12

jam pasca operasi berbeda bermakna (p

< 0,001) (Tabel 5)

Kadar substansi P kelompok

kontrol 12 jam pasca operasi meningkat

sebesar 16,51 ± 14,972pg/ml.

Sedangkan pada kelompok perlakuan,

peningkatannya sebesar 19,69 ± 28,625

pg/ml. Kedua peningkatan ini tidak

berbeda bermakna dengan p = 0,540

(Tabel 6).

Pada penelitian ini, pemberian

parasetamol intravena perioperatif

memberikan tingkat analgesia yang

Tabel 3. Pemakaian analgetik morfin saat pasca operasi

Kelompok Morfin p§

Kontrol 18,97 ± 3,946 < 0,001

Perlakuan 11,95 ± 5,876

Keterangan : § Mann-Whitney Test

Grafik 2. Pemakaian morfin pasca operasi

Page 11: Jurnal Anestesiologi Indonesia - · PDF fileManajemen nyeri pada pasien pasca kraniotomi masih belum banyak diteliti. Disamping itu, panduan klinis mengenai manajemen nyeri pasca

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume VII, Nomor 2, Tahun 2015

73

lebih baik dibanding dengan

kontrol.Intensitas nyeri dalam 24 jam

setelah operasi (dinilai dengan VAS

pada jam 1, 6, 12 dan 24 pascaoperasi)

lebih rendah dengan pemberian

parasetamol dibanding tanpa pemberian

parasetamol. Hal ini dikarenakan onset

analgesik parasetamol tercapai dalam

waktu singkat dalam 5-10 menit setelah

pemberian intravena.Efek analgesik

puncak tercapai dalam waktu 1 jam dan

bertahan selama 4-6 jam.8

Nyeri pasca bedah, khususnya

pada operasi kraniotomi paling sering

terjadi dalam 48 jam setelah operasi,

terutama setelah 12 jam pasca operasi.2

Dengan pemberian parasetamol

perioperatif, nyeri akut ini dapat

tertangani. Hal ini sesuai dengan

penelitian Savvina et al. yang

menyebutkan bahwa pemberian

parasetamol sebagai analgesia

preemptif pada pasien pediatrik yang

menjalani bedah saraf memberikan

analgesia pasca operasi yang adekuat,

dimana nilai VAS pasca operasi 0-2

atau tidak nyeri.9 Wininger et al. juga

menyebutkan bahwa pemberian

parasetamol intravena juga mengurangi

nyeri dalam 24 jam pasca operasi pada

operasi bedah laparoskopi abdomen.10

Durasi analgesia juga menjadi lebih

lama dan waktu pemberian analgetik

rescue pertama juga tertunda lebih lama

dengan pemberian parasetamol

intravena.11

Efek analgesia parasetamol

kemungkinan melalui beberapa cara

yaitu: menghambat sintesis

prostaglandin di sistem saraf pusat (aksi

sentral), memblok timbulnya impuls

nyeri di perifer, memperkuat jalur

desendens penghambat nyeri

serotonergik, inhibisi produksi nitric

oxide (NO) dan hiperalgesia yang

diinduksi N-methyl-D-aspartate

(NMDA) atau substansi P, dan berperan

pada jalur endokanabinoid dan opioid.12

-15

Pemakaian morfin sebagai

analgesia pasca kraniotomi berkurang

sebesar 37 % pada penelitian ini. Hal

ini sesuai dengan penelitian Remy et al.

yang menyebutkan bahwa parasetamol

memiliki opioid sparing effect, dimana

pada bedah mayor yang memerlukan

morfin sebagai analgesia pasca operasi,

kebutuhan morfin berkurang 20%.12

Nour AA juga menyebutkan

bahwa parasetamol intravena

mengurangi konsumsi Patient

Controlled Analgesia (PCA) morfin

Page 12: Jurnal Anestesiologi Indonesia - · PDF fileManajemen nyeri pada pasien pasca kraniotomi masih belum banyak diteliti. Disamping itu, panduan klinis mengenai manajemen nyeri pasca

74

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Tabel 4. Kejadian mual muntah pasca operasi

Kelompok Mual Muntah

Kontrol 2 2

Perlakuan 0 0

Tabel 5. Kadar Substansi P sebelum dan 12 jam setelah operasi

Kelompok SP pre SP post p (berpasangan)

Kontrol 9,58 ± 10,656 26,09 ± 22,506 <0,001†

Perlakuan 16,89 ± 31,395 36,58 ± 46,960 <0,001†

p (tidak berpasangan) 0,918§ 0,793§

Keterangan : § Mann-Whitney Test † Wilcoxon Test

Tabel 6. Peningkatan kadar substansi P setelah 12 jam pasca operasi

Kelompok Selisih SP p§

Kontrol 16,51 ± 14,972 0,540

Perlakuan 19,69 ± 28,625

Keterangan : § Mann-Whitney Test

hingga 30% pada pasien yang

menjalani abdomenoplasti 16 dan 33%

pada pasien bedah orthopedi mayor.11

Efek opioid sparing dikarenakan

pemberian parasetamol secara

preemptif analgesia, yaitu diberikan

sejak sebelum ada rangsang nyeri

karena insisi bedah, kemudian

dilanjutkan pemberiannya dengan

interval tertentu selama dan setelah

operasi. Dengan metode pemberian

seperti ini, maka proses nyeri karena

adanya input dari nosiseptor dapat

berkurang dan mencegah terjadinya

proses hipersensitivitas yang

menyebabkan nyeri akut berkembang

menjadi nyeri kronik.17,18

Bertolini et al. menemukan

adanya kesamaan antara parasetamol

dan kanabinoid. Parasetamol seperti

halnya kanabinoid diduga memiliki

efek antinosisepsi melalui jalur

serotoninergik desendens di spinal,

terutama melalui reseptor CB1.

Page 13: Jurnal Anestesiologi Indonesia - · PDF fileManajemen nyeri pada pasien pasca kraniotomi masih belum banyak diteliti. Disamping itu, panduan klinis mengenai manajemen nyeri pasca

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume VII, Nomor 2, Tahun 2015

75

Antinosisepsi yang diinduksi

kanabinoid tergantung pada pelepasan

peptida opioid dan interaksinya dengan

reseptor μ di otak dan κ di spinal.15

Kemungkinan mekanisme ini yang

menyebabkan parasetamol mampu

mengurangi dosis morfin sebagai

analgetik pasca operasi pada penelitian

ini.

Dengan berkurangnya jumlah

pemakaian morfin pasca operasi, dapat

mengurangi efek samping terkait opioid

seperti mual muntah. Pada penelitian

ini ditemukan efek samping berupa

mual muntah pada kelompok yang

tidak mendapat parasetamol intravena.

Penelitian Maund E et al

menunjukkan bahwa parasetamol dapat

mengurangi kejadian mual muntah

karena morfin pada bedah mayor,

namun tidak signifikan.19

Pada penelitian ini,kadar

substansi P sebelum dan setelah operasi

relatif sama antara kelompok

parasetamol dan plasebo. Selisih

peningkatan kadar substansi P juga

tidak berbeda bermakna antara

kelompok parasetamol dan plasebo.

Kadar substansi P pasca operasi

sedikit lebih tinggi pada kelompok

parasetamol kemungkinan karena lama

operasi pada kelompok parasetamol

lebih lama sekitar 15,79 menit

dibanding plasebo. Durasi trauma atau

stress operasi mempengaruhi kadar

substansi P dalam darah. Panjang insisi

kulit juga mempengaruhi kadar

substansi P karena derajat trauma

menjadi lebih tinggi. Hal ini sesuai

dengan penelitian Papp Aet al, yang

menyebutkan bahwa pelepasan

substansi P terjadi saat trauma jaringan

dan peningkatannya berhubungan

dengan lama dan besar kecilnya tingkat

trauma.20

Penghambatan peningkatan

kadar substansi P kemungkinan karena

efek parasetamol untuk mencegah

hiperalgesia di sentral maupun

sensitisasi di perifer. Substansi P

dihasilkan baik di sentral maupun

perifer oleh neuron sensorik.21,22

Substansi P menurunkan ambang batas

nosiseptif dan meningkatkan

eksitabilitas membran saraf, sehingga

menimbulkan hiperalgesia dan

allodinia. Parasetamol menghambat

jalur L-arginine-nitric oxide (NO) di

sentral. Jalur ini memproduksi NO yang

terkait erat dengan NMDA dan

substansi P.23

Penelitian ini menggunakan dosis

parasetamol 4000 mg/ hari, tidak

melebihi dosis toksik yang

Page 14: Jurnal Anestesiologi Indonesia - · PDF fileManajemen nyeri pada pasien pasca kraniotomi masih belum banyak diteliti. Disamping itu, panduan klinis mengenai manajemen nyeri pasca

76

Jurnal Anestesiologi Indonesia

direkomendasikan.24,25

Parasetamol memberikan efek

menghambat hanya hiperalgesia sentral

pada dosis 25 mg/kgBB, dan

menghambat hiperalgesia baik sentral

maupun perifer pada dosis 50-100 mg/

kgBB.26 Kemungkinan hal ini juga

yang menyebabkan selisih peningkatan

kadar substansi P serum tidak berbeda

bermakna antara kelompok kontrol dan

perlakuan. Untuk menghambat

hiperalgesia memerlukan dosis yang

besar dan dikhawatirkan melebihi dosis

yang direkomendasikan pada manusia.

SIMPULAN

Pemberian parasetamol intravena

perioperatif tidak terbukti menurunkan

kadar substansi P serum pada pasien

kraniotomi dan tidak terbukti

menghambat peningkatan kadar

substansi P serum pada pasien

kraniotomi. Akan tetapi, pemberian

parasetamol intravena perioperatif

mengurangi intensitas nyeri pasca

kraniotomi yang ditunjukkan dengan

nilai VAS yang lebih rendah dan

mengurangi kebutuhan morfin sebagai

analgesia pasca kraniotomi serta

mengurangi kejadian mual muntah

sebagai efek samping terkait morfin.

DAFTAR PUSTAKA

1. De Benedittis G, Lorenzetti A,

Migliore M, Spagnoli D, Tiberio

F, Villai RM. Postoperative Pain

In Neurosurgery: A Pilot Study In

Brain Surgery. Neurosurg 1996;

38: 466–70

2. Quiney N, Cooper R, Stoneham

M, Walters F. Pain After

Craniotomy. A Time For

Reappraisal? Br J Neurosurg

1996; 10: 295–299

3. Kidd BL, Urban LA. Mechanisms

Of Inflammatory Pain. Br J

Anaesth 2001; 87(1): 3-11

4. Dunbar PJ, Visco E, Lam AM.

Craniotomy Procedures Are

Associated With Less Analgesic

Requirements Than Other

Surgical Procedures. Anesth

Analg 1999;88:335–40

5. Sinatra RS, Jahr JS. Multimodal

Management Of Acute Pain: The

Role Of IV NSAIDS. Special

Report. Anesthesiology News

June 2011; 1-8

6. Bujalska M. Effects Of Nitric

Oxide Synthase Inhibition On

Antinociceptive Action Of

Different Doses Of

Acetaminophen. Polish J Pharma

2004;56:605-10

7. Maund E, Mcdaid C, Rice S,

Wright K, Jenkins B, Woolacott

N. Paracetamol And Selective

And Non-Selective Non-Steroidal

Anti-Inflammatory Drugs For

The Reduction In Morphine-

Related Side-Effects After Major

Page 15: Jurnal Anestesiologi Indonesia - · PDF fileManajemen nyeri pada pasien pasca kraniotomi masih belum banyak diteliti. Disamping itu, panduan klinis mengenai manajemen nyeri pasca

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume VII, Nomor 2, Tahun 2015

77

Surgery: A Systematic Review.

Br J Anaesth 2011; 106 (3): 292–

7

8. Duggan ST And Scott LJ.

Intravenous Paracetamol

(Acetaminophen).Drugs

2009;69:101-13

9. Savvina IA, Lebedeva AO,

Driagina NV. Preemptive

Analgesia with Paracetamol in

Pediatric Neurosurgical Patients.

Anesteziol Reanimatol 2010; 1: 4

-6

10. Wininger SJ, Miller H,

Minkowitz HS, Royal MA, Ang

RY, Breitmeyer JB, et al. A

randomized, double-blind,

placebo-controlled, multicenter,

repeat-dose study of two

intravenous acetaminophen

dosing regimens for the treatment

of pain after abdominal

laparoscopic surgery. Clinical

Therapeutics 2010; 32(14): 2348–

69

11. Sinatra RS, Jahr JS, Reynolds

LW, Viscusi ER, Groudine SB,

Payen-Champenois C. Efficacy

and safety of single and repeated

administration of 1 gram

intravenous acetaminophen

injection (paracetamol) for pain

management after major

orthopedic surgery.

Anesthesiology 2005;102(4): 822

–31

12. Aronoff DM, Oates JA, Boutaud

O. New Insights Into The

Mechanism Of Action Of

Acetaminophen: Its Clinical

Pharmacologic Characteristics

Reflect Its Inhibition Of The Two

Prostaglandin H2 Synthases. Clin

Pharmacol Ther. 2006 Jan;79

(1):9-19

13. Smith HS. Potential Analgesic

Mechanisms Of Acetaminophen.

Pain Physician 2009; 12:269-280

14. Malaise O, Bruyere O, Reginster

JY. Intravenous Paracetamol: A

Review Of Efficacy And Safety

In Therapeutic Use. Future

Neurology 2007; 22 (6): 673-88

15. Bertolini A, Ferrari A, Ottani A,

Guerzoni S, Tacchi R, Leone S.

Paracetamol: New Vistas Of An

Old Drug. CNS Drug Reviews

2006; 12 ( 3–4): 250–75

16. Nour AA. Study Of The Effect Of

Paracetamol In Reducing

Postoperative Morphine

Consumption By

PatientControlled Analgesia After

Abdomenoplasty. Alexandria

Journal of Anesthesia and

Intensive Care 2006; 9(3): 44-48

17. Gottschalk A, Smith DS. New

concepts in acute pain therapy:

preemptive analgesia. Am Fam

Physician 2001; 63(10): 1979-84

18. Woolf CK, Chong MS.

Preemptive analgesia-treating

postoperative pain by preventing

the establishment of central

sensitization. Anesth Analg 1993;

77(2): 362-367

Page 16: Jurnal Anestesiologi Indonesia - · PDF fileManajemen nyeri pada pasien pasca kraniotomi masih belum banyak diteliti. Disamping itu, panduan klinis mengenai manajemen nyeri pasca

78

Jurnal Anestesiologi Indonesia

19. Maund E, McDaid C, Rice S,

Wright K, Jenkins B, Woolacott

N. Paracetamol and selective and

non-selective non-steroidal anti-

inflammatory drugs for the

reduction in morphine-related

side-effects after major surgery:a

systematic review. Br J Anaesth

2011; 106 (3): 292–7

20. Papp A, Valtonen P. Tissue

substance P levels in acute

experimental burns. Burns 2006;

32: 842–5

21. Substance P. Wikipedia

[internet]. 2013 May 8 [cited

2013 June 16]. Available from:

http://en.wikipedia.org/wiki/

Substance_P

22. Harrison S, Geppeti P. Substance

P. Int J Biochem Cell Biol 2001;

33: 555-76

23. Mattia C, Coluzzi F. What

Anesthesiologists Should Know

About Paracetamol

(Acetaminophen). Minerva

Anesth 2009; 75(11): 644-53

24. OFIRMEV (acetaminophen)

injection prescribing information.

San Diego, CA: Cadence

Pharmaceuticals, Inc.; November

2010. http://www.ofirmev.com/

pdf/OFIRMEV

PrescribingInformation.pdf.

Diakses 20 Juni 2013

25. U.S. Food and Drug

Administration. Acetaminophen

overdose and liver injury-

background and options for

reducing injury; 22 Mei 2009.

http://www.fda.gov/ohrms/

dockets/ac/09/briefing/2009–

4429b1–01-FDA.pdf. Diakses 20

Juni 2013

26. Bianchi M, Panerai AE. The dose

-related effects of paracetamol on

hyperalgesia and nociception in

the rat. Br J Pharmacol 1996;

117: 130-32

Page 17: Jurnal Anestesiologi Indonesia - · PDF fileManajemen nyeri pada pasien pasca kraniotomi masih belum banyak diteliti. Disamping itu, panduan klinis mengenai manajemen nyeri pasca

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume VII, Nomor 2, Tahun 2015

79

PENELITIAN

Perbandingan Efek Kecepatan Injeksi 0,4 ml/dtk Dan 0,2 ml/dtk Prosedur

Anestesi Spinal Terhadap Kejadian Hipotensi Pada Seksio Sesaria

Syafri Kamsul Arif*, Iwan Setiawan*

ABSTRACT

Background: Spinal anesthesia is a regional anesthetic technique most commonly

used in cesarean section procedures. This technique is a simple technique, also has a

strong block quality even with volume and small doses and side effects are minimal

when compared with general anesthesia. The effect usually appears after spinal

anesthesia, among others hypotension. Incidence of hypotension after spinal

anesthesia reach 30-80% in cesarean section deliveries

Objective: To determine whether spinal anesthesia injection slower can reduce the

incidence of hypotension in cesarean section without affecting the onset of anesthesia

blocks.

Methods: The research used single blind randomized method with 48 samples who

fulfilled the inclusion criteria. The samples were divided into two groups, fast and slow

group. Spinal anesthesia was given using hyperbaric bupivacaine 0,5% of 10 mg and

fentanyl 25 mcg. The fast group received spinal anesthesia injection with a rate 0,4

mL/sec, while the slow group received spinal anesthesia injection with a rate of 0,2

mL/sec. Hypotension incidence, onset block and the incidence of post spinal anesthesia

side effects were recorded and analyzed statistically.

Results: Aanesthesia injection with a rate of 0,2 mL/sec can reduce the incidence of

hypotension after spinal anesthesia without reducing the onset and block height.

Conclusion: Spinal anesthesia with a speed of 0.2 mL / can reduce the incidence of

hypotension after spinal anesthesia without affecting the onset and the block height.

Keywords : Spinal anesthesia, hypotension, pregnant mothers, injection rate.

ABSTRAK

Latar belakang: Anestesi spinal merupakan teknik anestesi regional yang paling

sering digunakan pada prosedur seksio sesaria, selain karena teknik yang sederhana,

* Bagian Anestesiologi, Perawatan intensif dan Manajemen nyeri, Fakultas Kedokteran, Universitas Hasanuddin, Makassar

Korespondensi/ Correspondence: [email protected]

A Comparison Between The Effect Of Injection Rate Of 0,4 ml/sec And 0,2

ml/sec In Spinal Anesthesia Procedure On Hypotension Incidence In Sectio

Caesaria

Volume VII, Nomor 2, Tahun 2015

Terakreditasi DIKTI dengan masa berlaku 3 Juli 2014 - 2 Juli 2019

Dasar SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 212/P/2014

Page 18: Jurnal Anestesiologi Indonesia - · PDF fileManajemen nyeri pada pasien pasca kraniotomi masih belum banyak diteliti. Disamping itu, panduan klinis mengenai manajemen nyeri pasca

80

Jurnal Anestesiologi Indonesia

juga memiliki kualitas blok yang kuat walaupun dengan volume dan dosis yang kecil, efek

samping yang minimal bila dibandingkan dengan anestesi umum. Efek yang biasanya

muncul pasca anestesi spinal antara lain hipotensi. Insiden hipotensi pasca anestesi

spinal mencapai 30-80% pada persalinan seksio sesaria.

Tujuan: Untuk mengetahui apakah injeksi anestesi spinal yang lebih lambat dapat

mengurangi insiden hipotensi pada seksio sesaria tanpa memengaruhi onset blok

anestesi.

Metode: Penelitian ini menggunakan metode acak tersamar tunggal, sampel penelitian

sebanyak 48 orang yang memenuhi criteria inklusi. Sampel dipilih secara acak dan

dibagi ke dalam dua kelompok. Anestesi spinal menggunakan bupivakain 0,5% 10mg dan

fentanyl 25mcg, kelompok IC dilakukan injeksi anestesi spinal dengan kecepatan 0,4 mL/

dtk, sedangkan kelompok IL dilakukan injeksi anestesi spinal dengan kecepatan 0,2 mL/

dtk. Insiden hipotensi, onset blok dan insiden efek samping pasca anestesi spinal dicatat

dan dilakukan analisis statistik.

Hasil: Penelitian ini mendapatkan Injeksi anestesi dengan kecepatan 0,2 mL/dtk dapat

mengurangi insiden hipotensi pasca anestesi spinal tanpa memengaruhi onset dan tinggi

blok.

Kesimpulan: Anestesi spinal dengan kecepatan 0,2 mL/dtk dapat mengurangi insiden

hipotensi pasca anestesi spinal tanpa memengaruhi onset dan tinggi blok.

Kata kunci: Anestesi spinal, hipotensi, ibuhamil, kecepatan injeksi.

PENDAHULUAN

Anestesi spinal merupakan teknik

anestesi regional yang paling sering

digunakan pada prosedur seksio sesaria,

selain karena teknik yang sederhana, juga

memiliki kualitas blok yang kuat walaupun

dengan volume dan dosis yang kecil, efek

samping yang minimal bila dibandingkan

dengan anestesi umum, walaupun memiliki

efek samping yang minimal. Efek yang

biasanya muncul pasca anestesi spinal

antara lain hipotensi, spinal tinggi sampai

dengan total spinal, hal ini dihubungkan

dengan penyebaran obat di ruang

subarachnoid, yang ditentukan oleh multi

faktor, seperti kondisi fisik pasien itu

sendiri atau karakteristik dari anestetik

lokal, juga dengan teknik injeksi yang

digunakan.1

Hipotensi pasca anestesi spinal

(AS) merupakan insiden yang paling

sering muncul, kurang lebih 15 – 33%

pada setiap injeksi AS.2 Kasus

pembedahan yang berhubungan dengan

hipotensi, tertinggi ditemukan pada

bagian obstetri dengan 11,8%, bila

dibandingkan dengan bedah umum 9,6%

dan hipotensi akibat trauma 4,8%, insiden

hipotensi maternal pada seksio sesaria

akibat anestesi spinal mencapai 83,6%

Page 19: Jurnal Anestesiologi Indonesia - · PDF fileManajemen nyeri pada pasien pasca kraniotomi masih belum banyak diteliti. Disamping itu, panduan klinis mengenai manajemen nyeri pasca

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume VII, Nomor 2, Tahun 2015

81

sedangkan pada prosedur anestesi

epidural 16,4% .3

Berbagai macam metode untuk

mencegah atau mengurangi insiden

hipotensi pasca anestesi spinal, telah

dilakukan beberapa penelitian kurang

lebih tiga dekade dengan hasil yang

bervariasi. Chinacoti & Tritrakarn

(2007), mencoba menurunkan insiden

hipotensi dengan cara mengurangi dosis

anestesi lokal,4 Mercier & Fischer

(2013), menggunakan teknik kombinasi

vasopressor dan koloading

hydroxyethylstarch merupakan metode

yang terbaik untuk menurunkan insiden

hipotensi pasca AS.2 Mirea &

Ungureanu(2013), kemudian

menggabungkan teknik koloading Hes

dan injeksi AS yang lambat

menurunkan insiden hipotensi berat dan

penggunaan vasopressor pada geriatri.5

Penelitian tentang kecepatan

injeksi anestesi spinal telah dilakukan

kurang lebih dua dekade, juga dengan

hasil bervariatif. Casati dkk (1998),

membuat kesimpulan bahwa teknik

injeksi anestesi spinal yang sangat

lambat tidak memberikan keuntungan

secara klinis pada prosedur anestesi

spinal unilateral.6 Anderson & Brydon

(2001), menggunakan dua kecepatan 10

detik dan 3 menit memberikan hasil

yang berbeda, dimana injeksi yang

lambat menggunakan bupivakain

tunggal memberikan hasil onset dan

pemulihan obat yang lebih cepat.7

Singh dkk (2007), melakukan

penelitian tentang perbedaan kecepatan

injeksi, dengan kecepatan >4 detik dan

>40 detik menggunakan bupivacaine

0,75% ditambahkan morfin 200 mcg,

didapatkan hasil bahwa injeksi AS yang

cepat dengan bupivakain hiperbarik

tidak mempengaruhi penyebaran obat

anestesi lokal, dan tidak ada perbedaan

bermakna terhadap insiden hipotensi

dan mual muntah.8 Prakash dkk (2010),

menggunakan kecepatan injeksi 0,38

mL/dtk dan 0,05 mL/dtk dan mendapat

kesimpulan bahwa kecepatan injeksi

AS yang berbeda pada pasien geriatri

yang menjalani TUR-P tidak memiliki

perbedaan dalam hal karakteristik

blok.9

Dengan adanya hasil dan efek

yang bervariasi dari berbagai

penelitian, penelitian ini bertujuan

melihat injeksi anestesi spinal yang

lebih lambat dapat mengurangi insiden

hipotensi pada seksio sesaria tanpa

memengaruhi onset blok anestesi.

METODE

Penelitian ini uji klinis acak dan

tersamar tunggal, dilakukan dengan

mengambil populasi ibu hamil usia 18-

40 tahun dengan IMT 18-40 kg/

m2kategori pasien ASA PS 1-2 yang

direncanakan persalinan seksio sesaria.

Dari total 90 populasi diambil 52 yang

masuk dalam criteria inklusi dipilih

secara counsecutive random sampling.

8 sampel di keluarkan dari penelitian, 2

karena obat anestetik local tidak

adekuat, 6 sampel dikeluarkan Karena

tidak sesuai kecepatan injeksi, tiap

Page 20: Jurnal Anestesiologi Indonesia - · PDF fileManajemen nyeri pada pasien pasca kraniotomi masih belum banyak diteliti. Disamping itu, panduan klinis mengenai manajemen nyeri pasca

82

Jurnal Anestesiologi Indonesia

kelompok masing-masing 24 sampel,

menggunakan anestestik local

Bupivacain 0,5% 10 mg ditambahkan

Fentanyl 25 mcg.

Sampel dibagi dalam dua

kelompok, yang pertama yang

mendapat perlakukan di injeksi anestesi

spinal dengan kecepatan 0,4 mL/dtk

selanjutnya disebut kelompok IC.

Sedangkan kelompok yang kedua

mendapatkan perlakuan injeksi anestesi

spinal dengan kecepatan 0,2 mL/dtk

selanjutnya disebut kelompok IL.

Pasien di persiapkan terlebih

dahulu dengan premedikasi

ondansentron 4 mg dan Ranitidin 50

mg, Pada saat tiba di kamar operasi,

pasien dipasang alat untuk monitor

tanda vital yang akan menjalani operasi

seksio sesaria, diberikan preloading

dengan larutan kristaloid ringer laktat

10 – 15 ml/kgbb selama 15 menit

sebelum injeksi anestesi spinal,

kemudian tanda vital diukur sebelum

pasien di posisikan untuk left lateral

decubitus selanjutnya disebut T0.

Anestesi spinal dilakukan

dengan menggunakan jarum spinal

(Spinocan®)no.25G yang di insersi

padacelah vertebra lumbal 3-4

menggunakan jarum disposible 3cc

dengan pasien posisi left lateral

decubitus (LLD).

Kelompok IC menerima bupivakain

hiperbarik 10 mg ditambahkan Fentanyl

25 µg dengan kecepatan injeksi 0.4 ml/

detik dengan total waktu injeksi 6 detik,

sedangkan kelompok IL menerima

bupivakain hiperbarik 10 mg

ditambahkan Fentanyl 25 µg dengan

kecepatan injeksi 0.2 ml/detik dengan

total waktu injeksi 12 detik, di ukur

dengan menggunakan alat pencatat

waktu.

Setelah injeksi, pasien

diposisikan supine dengan bantal di

bawah kepala dan di berikan O2 lewat

nasal kanul 3 L/menit. Akhir injeksi

anestetik local adalah waktu untuk

mengukur ketinggian blok dinilai

menggunakan tes “pinprick”. Pada

garis midklavikular kiri dan kanan

observasi ketinggian blok dilakukan

setiap menit sampai dengan didapatkan

blok sensoris menggunakan tes pinprick

setinggi thorakal 6 dan blok motorik

dengan skala bromage 4, selanjutnya

operasi dapat dimulai.

Tekanan darah sistolik, tekanan

darah diastolic dan tekanan arteri rerata

di ukursetiapmenitsampaidengan 15

menitpertama, setelahitusetiap lima

menitsampai 35 menit atau sampai

selesai operasi. TD diukur dengan

metode non invasive. Insiden hipotensi

dicatat apabila tekanan darah turun

20% dari T0 atau TAR <60 mmHg,

dicatat juga nilai tekanan darah

terendah selama pengukuran sejak T0,

bila terjadi hipotensi diberikan cairan

kristaloid secara koloading disertai

dengan injeksi efedrin 5-10mg setiap

menit sampai tekanan darah didapatkan

dalam batas normal. Efek samping lain

yang muncul selama periode

Page 21: Jurnal Anestesiologi Indonesia - · PDF fileManajemen nyeri pada pasien pasca kraniotomi masih belum banyak diteliti. Disamping itu, panduan klinis mengenai manajemen nyeri pasca

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume VII, Nomor 2, Tahun 2015

83

pengukuran di catat dan dilakukan

analisastatistik, insiden hipotensi dan

efek samping lain dianalisa dengan uji

chi-square, onset blokanestesi spinal

dianalisa dengan ujiindependent-t

Analisa data menggunakan

SPSS 22 untuk Macintosh,

Karakteristik sampel, Karakteriatik

hemodinamik pascaanestesi spinal dan

karakteristik blok anestesi spinal di uji

menggunakan ujii ndependent-t.

Insiden hipotensi dan efek samping lain

selama penelitian di uji menggunakan

ujiChi-Square.Data ditampilkan dalam

bentuk table dan narasi.

HASIL

Distribusi sampel menurut

umur, gestasi, berat badan, tinggi

badan, IMT, TDS T0, TDD T0 dan

TAR T0 di uji normalitas dengan 1-s

Kolmogorov-smirnov test dan

didapatkan distribusi sampel normal,

selanjutnya dilakukan uji perbandingan

menggunakan independet t-test, hasil

ditampilkan dalam tabel 1.

Dari hasil uji statistik pada

karakteristik sampel didapatkan tidak

ada perbedaan bermakna antara kedua

kelompok, dengan ini dapat

disimpulkan bahwa distribusi data

homogen antara kedua kelompok.

Karakteristik hemodinamik

dinilai satu menit setelah injeksi

anestesi spinal, dihitung setiap menit

selama 15 menit pertama, kemudian

setiap 5 menit sampai menit ke 35, hasil

perbandingan karakteristik

hemodinamik antara kedua kelompok

ditampilkan dalam tabel 2.

Tekanan darah dan tekanan

arteri rerata terendah rata-rata antara

kedua kelompok dinilai sejak T1

kemudian dibandingkan antara kedua

kelompok. Pada TDS didapatkan hasil

pada kelompok IC 79,13 + 15,04 dan

kelompok IL 94,67 + 12,15 dengan

nilai P=0,000, didapatkan perbedaan

bermakna antara kedua kelompok.

Penilaian TDD pada kedua kelompok

didapatkan hasil pada kelompok IC

45,08 + 7,35 dan kelompok IL 50,67 +

8,50 dengan nilai P=0,019, didapatkan

perbedaan bermakna antara kedua

kelompok. Penilaian TAR pada kedua

kelompok didapatkan hasil pada

kelompok IC 58,83 + 11,30 dan

kelompok IL 66,63 + 10,19 dengan

nilai P=0,016, ditemukan perbedaan

bermakna antara kedua kelompok.

Waktu rata-rata terjadinya hipotensi

pertama dihitung satu menit sejak

anestesi spinal, terjadinya insiden

hipotensi awal pada kedua kelompok

dibandingkan, pada kelompok IC 3,95

+ 2,09 dan pada kelompok IL 3,89 +

1,97 dengan nilai P=0,939, tidak

didapatkan perbedaan bermakna dalam

hal menit terjadinya hipotensi pertama

antara kedua kelompok.

Total dan nilai rata-rata

penggunaan efedrin pada kedua

kelompok didapatkan pada kelompok

IC 430 mg (17,92 + 10,72), sedangkan

pada kelompok IL 135 mg (5,63 +

8,76) dengan nilai p=0,000. Didapatkan

Page 22: Jurnal Anestesiologi Indonesia - · PDF fileManajemen nyeri pada pasien pasca kraniotomi masih belum banyak diteliti. Disamping itu, panduan klinis mengenai manajemen nyeri pasca

84

Jurnal Anestesiologi Indonesia

perbedaan bermakna kebutuhan efedrin

rata-rata pada IC dan IL, dapat

disimpulkan bahwa injeksi anestesi

spinal yang lebih lambat dapat

mengurangi kebutuhan efedrin selama

pembedahan.

Insiden hipotensi didapatkan

pada kedua kelompok, pada kelompok

IC didapatkan insiden hipotensi 21 dari

24 sampel, sedangkan pada kelompok

IL didapatkan 9 dari 24 sampel, dan

berdasarkan hasil uji statistik chi

square antara kedua kelompok

didapatkan hasil kelompok IC 87,5%,

kelompok IL 37,5% dengan P=0,001

didapatkan hasil yang berbeda

bermakna antara kedua kelompok, hasil

ditampilkan dalam tabel 3.

Efek samping yang muncul

antara kedua kelompok didapatkan

delapan kejadian efek samping pada

kedua kelompok, pada kelompok IC

didapatkan 25% kejadian efek samping,

sedangkan pada kelompok IL 8,3%

kejadian efek samping, berdasarkan

jumlah insiden efek samping yang

muncul antara kedua kelompok tidak

ditemukan perbedaan bermakna dengan

nilai P=0.245. Berdasarkan insiden

mual muntah pada kedua kelompok

tidak ditemukan perbedaan bermakna

antara kedua kelompok. Efek samping

depresi nafas pada kedua kelompok

juga tidak ditemukan perbedaan

bermakna dengan nilai p=0,609.

Karakteristik blok anestesi

spinal ditampilkan dalam tabel 4 untuk

membandingkan onset obat anestesi

spinal antara kedua kelompok, onset

obat dinilai dengan tes pinprick untuk

menilai blok sensoris dengan target

setinggi thorakal 6 dan skala bromage

empat untuk menilai blok motorik,

kemudian onset blok motorik dan blok

sensorik dinilai terpisah untuk melihat

perbedaan onset efek dari perbedaan

kecepatan injeksi.

Tidak ada perbedaan bermakna

antara kedua kelompok dalam hal onset

tercapainya blok anestesi spinal, baik

dalam hal blok sensoris dan blok

motoris, onset blok antara kedua

kelompok dapat dicapai pada menit 3-4

setelah injeksi anestesi spinal.

Berdasarkan hasil yang didapatkan,

dapat disimpulkan bahwa kecepatan

injeksi anestesi spinal tidak

berpengaruh terhadap onset blok

anestesi spinal.

PEMBAHASAN

Penelitian ini memperlihatkan

bahwa kecepatan injeksi yang lebih

lambat dapat mengurangi kejadian

hipotensi pasca anestesi spinal, tanpa

memengaruhi onset dan tinggi blok

anestesi spinal.Hasil yang bervariasi

antara beberapa penelitian dapat

disebabkan karena perbedaan metode

penelitian, kosentrasi anestetik lokal

yang digunakan, posisi pasien saat

injeksi, lokasi insersi anestesi spinal,

perbedaan kecepatan pada tiap uji klinis

dan juga karakteristik populasi.

Kecepatan injeksi bervariasi mulai dari

0,05 mL/dtk sampai dengan > 4 detik,

Page 23: Jurnal Anestesiologi Indonesia - · PDF fileManajemen nyeri pada pasien pasca kraniotomi masih belum banyak diteliti. Disamping itu, panduan klinis mengenai manajemen nyeri pasca

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume VII, Nomor 2, Tahun 2015

85

beberapa peneliti menggunakan syringe

pump untuk akurasi ketepatan injeksi,

berbeda dengan penelitian ini kecepatan

injeksi di ukur menggunakan stopwatch

dengan posisi injeksi LLD.

Penelitian ini dilakukan pada

wanita hamil, dimana wanita hamil

dihubungkan dengan blok sensoris yang

lebih tinggi setelah injeksi dengan

bupivakain hiperbarik, faktor yang

dapat mempengaruhi antara lain,

kurvatur tulang belakang, peningkatan

tekanan intra abdomen, melebarnya

vena – vena di ruang epidural, dan

berkurangnya ruang dalam daerah

subarachnoid menjadi lebih sempit,

juga dapat dihubungkan dengan

peningkatan sensitifitas neuronal akibat

meningkatnya hormon progesteron.

Singh et al(2007),

menyimpulkan bahwa kecepatan injeksi

yang berbeda tetap memberikan efek

hipotensi dengan efek samping mual

dan muntah8, berbeda dengan penelitian

ini, kecepatan injeksi yang lebih lambat

dapat mengurangi kejadian hipotensi,

hal ini dapat disebabkan karena

perbedaan konsentrasi anestetik lokal

yang digunakan pada penelitian Singh

menggunakan bupivakain hiperbarik

0,75% sedangkan pada penelitian ini

menggunakan bupivakain hiperbarik

0,5%, dimana konsentrasi anestetik

lokal merupakan faktor major yang

memengaruhi sebaran di ruang

subarachnoid.

Kang dkk (2012), melakukan uji

klinis mengenai kecepatan injeksi

anestesi spinal antara dua kelompok

menggunakan bupivakain 0,5% 9 mg

dengan fentanyl 10 mcg dengan

kecepatan 0,1 mL/dtk dan 0,02 mL/dtk

pada wanita hamil, di dapatkan

kecepatan injeksi yang lebih lambat

tidak berpengaruh terhadap onset dan

level blok sensoris, dan juga tidak

mengurangi insiden hipotensi, tapi

menunda onset terjadinya hipotensi10,

hal ini berbeda dengan hasil penelitian

ini dimana insiden hipotensi dapat

berkurang dengan injeksi lebih lambat,

hal ini mungkin dikarenakan metode

yang berbeda dalam hal kriteria

objektif, dimana kriteria hipotensi dari

Kang ditentukan apabila TAR <100

mmHg sedangkan pada penelitian ini

kriteria hipotensi apabila TAR <

60mmHg.

Casati dkk (1998),

memperlihatkan onset blok yang

dicapai setelah injeksi hingga mencapai

thorakal enam membutuhkan waktu

lima sampai tujuh menit6, sejalan

dengan penelitian ini dalam hal

tercapainya onset tiga sampai empat

menit, hal ini sejalan dengan beberapa

penelitian sebelumnya bahwa,

kecepatan injeksi anestesi spinal lambat

ataupun cepat tidak berpengaruh

terhadap sebaran anestetik lokal di

ruang subarachnoid.

Hanazaki dkk (1997),

melakukan penelitian tentang kecepatan

injeksi dan efek samping yang muncul

Page 24: Jurnal Anestesiologi Indonesia - · PDF fileManajemen nyeri pada pasien pasca kraniotomi masih belum banyak diteliti. Disamping itu, panduan klinis mengenai manajemen nyeri pasca

86

Jurnal Anestesiologi Indonesia

pasca anestesi spinal, memperlihatkan

efek injeksi yang cepat dapat mencapai

onset blok kurang dari 5 menit, namun

efek yang tidak nyaman dapat muncul

seperti sesak nafas11, sejalan dengan

penelitian ini bahwa insiden efek

samping lebih banyak ditemukan pada

kelompok injeksi yang lebih cepat,

walaupun secara statistik tidak berbeda

bermakna, hal ini dapat disebabkan

karena efek injeksi yang cepat dapat

meningkatan turbulensi diruang

subarachnoid sehingga meningkatkan

sebaran obat ke arah chepalad, apalagi

jika pada ibu hamil yang mengalami

perubahan fisiologis yang berpengaruh

terhadap sebaran anestetik lokal di

ruang subarachnoid, seperti tekanan

intraabdomen yang meningkat karena

adanya janin, ruang intratekal yang

lebih sempit dan sensitifitas saraf yang

meningkat sehingga resiko terjadinya

hipotensi lebih tinggi.

SIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian ini

menjawab hipotesa awal, yaitu, injeksi

anestesi spinal yang lebih lambat dapat

mengurangi insiden hipotensi tanpa

mempengaruhi onset dan tinggi blok.

Faktor yang dapat menjadi perancu

hasil dari penelitian ini berupa, adanya

resiko perdarahan yang muncul di 5-10

menit awal operasi yang dapat

menyebabkan terjadinya hipotensi

sehingga mengaburkan hasil

pengukuran.

Tabel 1. Karakteristik sampel

Variabel (Mean+SD) Kelompok P

IC (n=24) IL (n=24)

Umur (tahun) 28,38 + 5,74 30,88 + 7,44 0,199

Gestasi (minggu)

Beratbadan (kg)

39,08 + 1,44 38,88 + 1,85 0,665

60,83 + 8,39 62,88 + 10,26 0,454

TinggiBadan (cm) 155,75 + 5,45 156,79 + 4,42 0,471

IMT (kg/m2) 25,01 + 2,51 25,48 + 3,24 0,581

TDS T0 (mmHg) 124,67 + 7,26 123,75 + 8,26 0,685

TDD T0 (mmHg) 80,04 + 7,14 79,04 + 7,27 0,633

TAR T0 (mmHg) 94,87 + 6,05 93,92 + 6,75 0,607

Data ditampilkan dalam rata-rata + SD, uji normalitas menggunakan Uji Kolmogorov-Smirnov test, uji distri-

busi sampel antara kedua kelompok menggunakan independent t-test, berbeda bermakna jika P<0,05

Page 25: Jurnal Anestesiologi Indonesia - · PDF fileManajemen nyeri pada pasien pasca kraniotomi masih belum banyak diteliti. Disamping itu, panduan klinis mengenai manajemen nyeri pasca

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume VII, Nomor 2, Tahun 2015

87

Tabel 2. Karakteristik hemodinamik setelah injeksi anestesi spinal

Variabel (Mean+SD) Kelompok P

IC (n=24) IL (n=24)

Nilai SBP terendah (mmHg) 79,13 + 15,04 94,67 + 12,15 0,000*

DBP terendah (mmHg) 45,08 + 7,35 50,67 + 8,50 0,019*

TAR terendah (mmHg) 58,83 + 11,30 66,63 + 10,19 0,016*

Waktuygdibutuhkanuntuk episode

hipotensipertama (mnt)

3,95 + 2,09 3,89 + 1,97 0,939

Total dan Rata - rata

penggunaanefedrin (mg)

430 ( 17,92+ 10,72 ) 135 ( 5,63+ 8,76 ) 0,000*

Data ditampilkan dalam rata-rata +SD. Uji independent-t, berbeda bermakna bila P<0.05 *= ditemukan perbe-

daan bermakna antara kedua kelompok dalam hal rata-rata +SD TDS, TDD, TAR, Penggunaan efedrin rata-rata.

Tidak ada perbedaan bermakna antara kedua kelompok menit terjadinya hipotensi, dan insiden mual muntah

dan depresi nafas.

Tabel 3. Insiden hipotensi dan efek samping lain

Variabel Kelompok P

IC (n=24) IL (n=24)

Insidenhipotensi (n) 21 (87,5%) 9 (37,5%) 0,001*

Efeksamping (n) 6 (25%) 2 (8,3%) 0,245

Nausea (n) 3 (12,5%) 1 (4,1%) 0,609

Depresinafas(n) 3 (12,5%) 1 (4,1%) 0,609

Data ditampilkan dalam angka dan persentasi, menggunakan uji chi-square, bermakna bila p=<0,05. *berbeda

bermakna dalam hal insiden hipotensi antara kedua kelompok

Tabel 4. Karakteristik blok anestesi spinal

Variabel (Mean + SD) Kelompok P

IC IL

Waktu yang dibutuhkanuntukmencapai

onset (mnt)

2,96 + 1,73 3,62 + 1,66 0,180

waktuygdibutuhkanbloksensorismen-

capaithorakal 6 (mnt)

2,75 + 1,80 3,62 + 1,66 0,087

Waktuyg di butuhkanblokmotorikmen-

capaiskalabromage 4 (mnt)

2,21 + 1,32 2,71 + 1,20 0,176

Data ditampilkan dalam rata-rata +SD, waktu yang dibutuhkan untuk mencapai onset keseluruhan, waktu yang dibutuhkan

untuk mencapai thorakal 6 dan skala bromage 4 di uji dengan independent t-test, bermakna bila p=<0,05

Page 26: Jurnal Anestesiologi Indonesia - · PDF fileManajemen nyeri pada pasien pasca kraniotomi masih belum banyak diteliti. Disamping itu, panduan klinis mengenai manajemen nyeri pasca

88

Jurnal Anestesiologi Indonesia

7. Anderson, L& Brydon,C. Rate of

injection trough whitacre needles

affects distribution of spinal anes-

thesia, Brit J Anaesth, 2001. 86

(2):245-8.

8. Singh SI, Morley-Forster PK,

Shamsah M, Butler R. Influence

of injection rate of hyperbaric bu-

pivacaine on spinal block in par-

turients: a randomizedtrial. Can J

Anesth, 2007. 54(4):290-5.

9. Prakash, S & Barthiga, V. The

effect of injection speed on the

spinal block characteristic of hy-

perbaric bupivacaine 0,5% in el-

derly. J Anesth., 2010. 24(6);77-

81

10. Kang, YI, Bang EC, Shin DW,

Kweon DE, Kim SY, Lee HS,

dkk. Effect of injection speed of

local anesthetic on hypotension

during spinal anesthesia for cesar-

ean section. Ewha Med J, 2012.

35(2):83 - 8.

11. Hanazaki, M.,et al. (1997). Effect

of injection speed on sensoris

blockade in spinal anesthesia with

0,5% hyperbaric tetracaine. Ma-

sui J, 1997. 46(6):777 - 82.

DAFTAR PUSTAKA

1. Kee N. Prevention of maternal

hypotension after regional anaes-

thesia for caesarean section. Cur-

rent opinion in anaesthesiology,

2010. 23(3):304-9.

2. Mercier, FJ & Fischer, C. Mater-

nal hypotension during spinal an-

esthesia. Minerva Anesth, 2013.

79(1):62 - 73.

3. Metzger, A.,et al. Maternal hypo-

tension during elective cesarean

section and short term neonatal

outcome, 2010. Am J Obstet Gy-

necol. 202:56.

4. Chinocati, T & Tritrakarn, T. Pro-

spective study of hypotension and

bradicardia during spinal anesthe-

sia with bupivacaine : Incidence

with risk factor. J Med Assoc

Thai, 2007. 90(3):492-501

5. Mirea, LE &Ungureanu, R. Effect

of injection speed and colloid

loading on hypotension associat-

ed with spinal anesthesia for or-

thopedic surgery in elderly pa-

tient. Euro J Anaesth, 2013.

30:133-4

6. Casati A, Fanelli G, Cappelleri G,

et al. Does speed of intratheca

injection affect the distribution of

0.5% hyperbaric bupivacaine?Br

J Anaesth1998;81: 355–7

Page 27: Jurnal Anestesiologi Indonesia - · PDF fileManajemen nyeri pada pasien pasca kraniotomi masih belum banyak diteliti. Disamping itu, panduan klinis mengenai manajemen nyeri pasca

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume VII, Nomor 2, Tahun 2015

89

PENELITIAN

Efek Blok Transversus Abdominis Plane Teknik Landmark Terhadap

Kebutuhan Analgetik Pascabedah Herniorafi

Nur Asdarina *, Syamsul Hilal Salam*, A. Husni Tanra*

ABSTRACT

Background: The transversus abdominis plane block is a safe, easy, and effective

technique to provide the postoperative analgesia in surgery involving the anterior

abdominal wall.

Objective: To assess the effect of TAP block landmark technique on the analgesic

requirement postoperative herniorrhaphy.

Methods: This is a single blind clinical trial. This study was conducted on 44 male

patients, aged between 18 and 60 years, with the ASA physical status of I-II, and the

IMT of 18-24, and undergoing the elective herniorrhaphy surgery with the spinal

anesthesia. The subjects were divided in two groups: the TAP group (n = 22) who

received the TAP block of 20 ml of bupivacaine 0.25 % plus the epinephrine of

1:200.000 after completing the surgery, and the control group (n = 22) who did not

receive the TAP block. All the patients received 15 mg of meloxicam suppositories and

tramadol of 0.1 mg/kg via continous infusion at the end of the surgery. The pain

assessment was done using the Numeric Rating Scale ( NRS ), and when the NRS

reached 4, the fentanyl 0.5 mcg/kg was given as a rescue. The first rescue time and the

total fentanyl requirement for 24 hours after the surgery was recorded.

Results:. The research results revealed that the first rescue time was longer in the TAP

group compared to the control group (17.81 ± 7.62 compared to 9.15 ± 8.12 hours;

p<0.0001). The total fentanyl required in 24 hour period was less in the TAP group

compared to the control group (9.21 ± 13.59 vs. 30.88 ± 20.39 mcg; p=0.02).

Conclusion: The TAP block as a component of a multimodal analgesic regimen

provides a longer analgesia compared to control and has a high opioid sparing effect.

Keywords:herniorrhaphy, landmark technique, TAP block .

ABSTRAK

Latar Belakang: Blok transversus abdominis plane (TAP) adalah teknik yang aman,

mudah, dan efektif untuk memberikan analgesia pascabedah pada operasi yang

* Bagian Anestesi, Terapi Intensif, dan Manajemen Nyeri Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin/RS dr. Wahidin Sudiro-husodo Makassar

Korespondensi/Correspondence: [email protected]

The Effect of Transversus Abdominis Plane Block Landmark Technique on

the Analgesic Requirement Postoperative Herniorrhaphy

Volume VII, Nomor 2, Tahun 2015

Terakreditasi DIKTI dengan masa berlaku 3 Juli 2014 - 2 Juli 2019

Dasar SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 212/P/2014

Page 28: Jurnal Anestesiologi Indonesia - · PDF fileManajemen nyeri pada pasien pasca kraniotomi masih belum banyak diteliti. Disamping itu, panduan klinis mengenai manajemen nyeri pasca

90

Jurnal Anestesiologi Indonesia

melibatkan dinding anterior abdomen.

Obyektif: Menilai efek blok TAP teknik landmark terhadap kebutuhan analgetik

pascabedah herniorafi.

Metode: Penelitian ini merupakan uji klinik tersamar tunggal. Penelitian dilakukan pada

44 pasien laki-laki, usia 18-60 tahun, status fisik ASA I-II, dan IMT 18-24 yang menjalani

operasi herniorafi elektif dengan anestesi spinal. Pasien dibagi menjadi kelompok TAP

(n=22) yang mendapatkan blok TAP dengan bupivakain 0,25% 20 ml ditambahkan

epinefrin 1:200.000 setelah operasi selesai; dan kelompok kontrol (n=22) yang tidak

mendapatkan blok TAP. Semua pasien diberikan meloksikam suppositoria 15 mg dan

tramadol 0,1 mg/kgBB/infus kontinyu pada akhir operasi. Penilaian skala nyeri

menggunakan Numeric Rating Scale (NRS), bila NRS mencapai 4 diberikan rescue

fentanil 0,5 mcg/kgBB; waktu rescue pertama dan kebutuhan total fentanil selama 24 jam

pascabedah dicatat.

Hasil: Waktu rescue pertama lebih panjang pada kelompok TAP dibandingkan dengan

kelompok kontrol (17,81 ± 7,62 berbanding 9,15 ± 8,12 jam; p<0,001). Kebutuhan total

fentanil dalam 24 jam lebih sedikit pada kelompok TAP dibandingkan dengan kelompok

kontrol (9,21 ± 13,59 berbanding 30,88 ± 20,39 mcg; p=0,02).

Simpulan: Sehingga dari penelitian ini disimpulkan bahwa blok TAP sebagai komponen

rejimen analgesia multimodal memberikan analgesia yang efektif dengan durasi

analgesia lebih panjang dibanding kontrol dan memiliki opioid sparing effect yang tinggi.

Kata Kunci: Blok TAP, herniorafi, teknik landmark

PENDAHULUAN

Operasi koreksi hernia inguinalis

merupakan salah satu operasi yang ser-

ing dilakukan oleh ahli bedah.1 Nyeri

setelah herniorafi inguinalis dapat se-

dang sampai berat. Hal ini memperlam-

bat pemulihan pasien dan

mempengaruhi lama perawatan di ru-

mah sakit.2 Nyeri kronik setelah her-

niorafi adalah masalah serius dan jarang

dilaporkan. Tingginya skor nyeri pada

hari-hari pertama setelah herniorafi di-

hubungkan dengan kejadian nyeri

kronik. Terapi nyeri yang tidak adekuat

merupakan faktor resiko terjadinya

nyeri kronik setelah operasi hernia. In-

sidens nyeri kronik bervariasi dari 0

sampai 54%.Faktor resiko pascabedah

meliputi intensitas nyeri dan akibat pe-

nanganan analgesic yang tidak ad-

ekuat.3 Mencapai kontrol nyeri yang

ideal masih merupakan tantangan kare-

na analgesia pascabedah yang tidak ad-

ekuat merupakan penyebab tersering

ketidakpuasan pasien. Analgesia pas-

cabedah yang efektif penting untuk ken-

yamanan pasien, mencegah komplikasi

respirasi dan kardiovaskuler, dan mem-

bantu mobilisasi dini setelah operasi.4

Nyeri pascabedah telah dikelola me-

lalui berbagai cara dengan efek samping

masing-masing. Secara historis, opioid

Page 29: Jurnal Anestesiologi Indonesia - · PDF fileManajemen nyeri pada pasien pasca kraniotomi masih belum banyak diteliti. Disamping itu, panduan klinis mengenai manajemen nyeri pasca

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume VII, Nomor 2, Tahun 2015

91

merupakan analgesik yang paling ser-

ing digunakan. Akan tetapi, opioid ser-

ing dihubungkan dengan efek samping

yang tergantung dosis, antara lain mual,

muntah, pruritus, sedasi, dan depresi

nafas. Obat antiinflamasi nonsteroid

tidak menyebabkan sedasi dan depresi

nafas, akan tetapi dihubungkan dengan

efek samping serius seperti perdarahan

saluran cerna dan gangguan ginjal. Pa-

da dasarnya teknik analgesik harus

aman, efektif dan tidak mempengaruhi

kemampuan untuk bergerak. Analgesia

multimodal kemungkinan besar dapat

mencapai tujuan ini. Penggunaan obat

anti-inflamasi nonsteroid dan teknik

anestesi lokal dapat bermanfaat untuk

mengurangi kebutuhan opioid.4

Komponen bermakna nyeri setelah

operasi abdomen berasal dari insisi

dinding abdomen. Blok transversus ab-

dominis plane (TAP) adalah pendekatan

melalui trigonum lumbal Petit untuk

menghambat aferen saraf sensorik dind-

ing abdomen. Untuk mencapai efek

anestetik pada luka operasi di dinding

abdomen, sejumlah besar anestetik lo-

kal diinjeksikan ke dalam ruang TAP;

suatu ruang anatomis di antara otot ob-

likus internus dan transversus abdomi-

nis. Blok TAP bekerja dengan meng-

hambat persarafan torakolumbal (T6-

L1) yang menginervasi kulit, otot, dan

sebagian peritoneum pada dinding ante-

rior abdomen.5 Distribusi langsung dari

tempat injeksi ke saraf-saraf dinding

anterior abdomen memungkinkan

kontrol nyeri lokal dengan efek

samping sistemik minimal. Blok ini

telah digunakan untuk kontrol nyeri

setelah operasi ginekologik dan abdo-

men, termasuk seksio sesarea, operasi

usus, kolesistektomi, atau prostatektomi

retropubik.6

Blok TAP dengan teknik landmark

dapat memberi efek blok sensorik dari

T7 sampai L1.Blok TAP bilateral yang

dilakukan pada seksio sesarea dan

reseksi usus besar mengurangi nyeri

pascabedah dan mengurangi dosis

morfin yang diberikan hingga 50%.7

Blok TAP unilateral dengan cara yang

sama pada apendektomi terbuka

menunjukkan bahwa dosis morfin dapat

dikurangi hingga 50%.8

Blok TAP secara khusus men-

ganestesi persarafan somatik dinding

abdomen bawah, blok ini dapat

digunakan untuk analgesia pascabedah

pada operasi repair hernia inguinalis.2

Penelitian Kim et al pada blok TAP

dengan panduan ultrasonografi untuk

operasi laparoskopi repair hernia

ekstraperitoneal menjumpai bahwa skor

nyeri saat batuk dan istirahat serta

kebutuhan fentanil berkurang pada ke-

lompok yang mendapatkan blok TAP

dibanding kelompok kontrol.2 Salman

et al melakukan penelitian mengenai

blokTAP dengan teknik semiblind pada

pasien yang menjalani operasi repair

hernia inguinalis dan mendapatkan bah-

wa blok TAP mengurangi skor nyeri,

konsumsi analgetik dan kebutuhan

morfin 24 jam pascabedah.Blok TAP

mengurangi nyeri hingga 24 jam pas-

cabedah repair hernia. Efek farma-

kologik bupivakain tidak dapat diharap-

Page 30: Jurnal Anestesiologi Indonesia - · PDF fileManajemen nyeri pada pasien pasca kraniotomi masih belum banyak diteliti. Disamping itu, panduan klinis mengenai manajemen nyeri pasca

92

Jurnal Anestesiologi Indonesia

kan untuk mengatasi nyeri hingga

rentang waktu tersebut.9 Alasan peman-

jangan durasi analgesik mungkin

berkaitan dengan kurangnya vaskular-

isasi dalam ruang TAP.4

Berdasarkan latar belakang tersebut,

maka tujuan penelitian ini untuk

menilai efek blok TAP teknik landmark

terhadap kebutuhan analgesik pas-

cabedah

METODE

Penelitian ini merupakan uji klinis

acak tersamar tunggal. Penelitian dil-

akukan di RS dr. Wahidin Sudirohuso-

do dan jejaring Makassar. Pemilihan

subjek penelitian berdasarkan kriteria

inklusi, yaitu pasien yang menjalani

operasi herniorafi dengan prosedur

anestesi blok subaraknoid, usia 18 sam-

pai 60 tahun, status fisik American So-

ciety of Anesthesiologist (ASA) I-II,

indeks massa tubuh (IMT) 18-24, dan

mendapat persetujuan dari dokter pri-

mer yang merawat. Kriteria eksklusi

adalah infeksi kulit pada tempat injeksi,

riwayat alergi obat yang digunakan da-

lam penelitian, kontraindikasi pem-

berian obat antiinflamasi nonsteroid

(OAINS), dan riwayat toleransi atau

adiksi opioid. Besar sampel ditentukan

dengan menggunakan rumus untuk uji

hipotesis pada dua kelompok inde-

penden sehingga didapatkan jumlah

sampel 22 orang untuk tiap kelompok

perlakuan. Analisis statistik data hasil

penelitian menggunakan uji Mann

Whitney.

Penelitian dilakukan setelah

mendapat persetujuan Komite Etik

Penelitian Kesehatan Fakultas Kedok-

teran Universitas Hasanuddin Makas-

sar/RS dr. Wahidin Sudirohusodo Ma-

kassar. Pasien yang memenuhi kriteria

inklusi diberikan penjelasan tentang

prosedur yang akan dilaksanakan serta

menandatangani persetujuan (informed

consent). Pasien dibagi dalam dua ke-

lompok (kelompok TAP dan kelompok

kontrol) secara acak.Selanjutnya dil-

akukan pemasangan jalur intravena

dengan menggunakan kateter IV ukuran

18. Pasien pada kedua kelompok

diberikan infus cairan untuk pergantian

defisit cairan akibat puasa dan cairan

rumatan. Preloading cairan ringer lak-

tat 500 ml dalam 15 menit sebelum di

lakukan blok subaraknoid. Blok subar-

aknoid dilakukan dengan posisi left lat-

eral decubitus, menggunakan jarum

spinocan 25G pada interspace vertebra

lumbal 3 dan 4 kemudian diberikan bu-

pivakain hiperbarik 15 mg ditambah

fentanil 25 mcg. Ketinggian blok dicek

dengan cold test sampai tercapai blok

setinggi torakal 6 untuk keperluan

operasi herniorafi. Setelah pembedahan

selesai, pada kelompok TAP dilakukan

blok TAP unilateral dengan teknik

landmark menggunakan jarum epidural

ukuran 22G panjang 60 mm (Hakko

Medical Product). Bupivakain 0,25%

sebanyak 20 cc ditambahkan epinefrin

1:200.000 diinjeksikan ke dalam ruang

TAP dengan mengulang aspirasi,

kemudian diberikan meloksikam 15 mg

supositoria, dilanjutkan tramadol 0,1

mg/kgBB/infus kontinyu selama 24 jam

pertama. Pada kelompok kontrol diberi-

Page 31: Jurnal Anestesiologi Indonesia - · PDF fileManajemen nyeri pada pasien pasca kraniotomi masih belum banyak diteliti. Disamping itu, panduan klinis mengenai manajemen nyeri pasca

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume VII, Nomor 2, Tahun 2015

93

kan meloksikam 15 mg supositoria,

dilanjutkan tramadol 0,1 mg/kgBB/

infus kontinyu selama 24 jam pertama.

Untuk mengetahui keberhasilan

blok TAP, dilakukan penilaian blok

sensorik pada kelompok TAP setelah

pasien mencapai skala Bromage 0. Pin

prick test digunakan untuk mem-

bandingkan sensasi nyeri pada sisi yang

diblok dan sisi kontralateral yang tidak

diblok. Blok dinyatakan bekerja apabila

terjadi blok sensorik setinggi dermatom

T10-L1 pada sisi yang diblok dan

dinyatakan gagal apabila tidak terjadi

blok sensorik pada daerah dermatom

tersebut.

Nyeri pasca bedah yang dirasakan

oleh subyek dinilai dengan

menggunakan skor Numeric Rating

Scale (NRS), yaitu sebuah garis skala

numerik 0-10 dari kiri ke kanan. Pada

ujung kiri (skala 0) diberi tanda “tidak

nyeri”, dan pada ujung kanan (skala 10)

diberi tanda “nyeri berat”. Penderita

diinstruksikan untuk menilai sendiri

tingkatan nyeri yang dirasakan dengan

cara menunjuk angka yang tertera pada

skala numerik. Nilai NRS 0-3 sesuai

untuk keadaan tidak nyeri sampai nyeri

ringan, NRS 4-7 sesuai untuk keadaan

nyeri sedang, dan NRS 8-10 sesuai un-

tuk keadaan nyeri hebat sekali atau

nyeri tak tertahankan. Bila NRS ≥ 4

diberikan analgetik tambahan(rescue)

fentanil 0,5 mcg/kgBB intravena.

Penghitungan kebutuhan opioid dil-

akukan pada 0-6 jam pascabedah (T0),

6-12 jam pascabedah (T1), 12-18 jam

pascabedah (T2), dan 18-24 jam pas-

cabedah (T3). Perubahan hemodinamik

seperti tekanan darah dan nadi, efek

samping obat seperti mual, muntah, dan

pruritus juga diamati pada rentang wak-

tu tersebut.Efek samping obat (seperti

mual, muntah, pusing, kesemutan, dis-

ritmia, hipotensi, penurunan kesadaran,

kejang dan depresi napas), waktu res-

cue pertamadan jumlah fentanil yang

diperlukan selama 24 jam pascabedah

dicatat dalam lembar pengamatan.

HASIL

Karakteristik sampel penelitian

kedua kelompok yaitu umur, IMT,

ASA PS, dan lama operasi.Tidak

didapatkan perbedaan bermakna dari

data demografi kedua kelompok

penelitian, sehingga karakteristik dari

Variabel

Kelompok Kelompok

p TAP Kontrol

n=22 n=22

Mean ± SD Mean ± SD

Umur 50,27 ± 9,65 46,63 ± 11,82 0,352

IMT 22,32 ± 1,19 22,14 ± 0,46 0,925

Lama operasi 0,72 ± 0,13 0,72 ± 0,07 0,577

Tabel 1. Karakteristik sampel

Uji Mann Whitney, α 0,05

Page 32: Jurnal Anestesiologi Indonesia - · PDF fileManajemen nyeri pada pasien pasca kraniotomi masih belum banyak diteliti. Disamping itu, panduan klinis mengenai manajemen nyeri pasca

94

Jurnal Anestesiologi Indonesia

44 sampel penelitian dinyatakan homogen.

Pada penelitian ini tidak terjadi drop out

sehingga didapat 22 sampel untuk tiap ke-

lompok.

Pada T0 (jam 0-6) tidak ada pasien dari

kelompok TAP yang mendapatkan rescue

fentanil, sedangkan pada kelompok kontrol

sebanyak 16 pasien membutuhkan rescue

fentanil.Pada T2 (jam 6-12) sebanyak

delapan pasien dari kelompok TAP memer-

lukan rescue fentanil, sedangkan pada ke-

lompok kontrol sebanyak tujuh pasien yang

mendapat rescue fentanil. Pada T2 (jam 12-

18), sebanyak satu pasien dari kelompok

TAP yang memerlukan rescue fentanil, se-

dangkan pada kelompok kontrol tidak ada

pasien yang diberikan rescue fentanil. Pada

T4 (jam 18-24), tidak ada pasien dari kedua

kelompok yang membutuhkan rescue fen-

tanil (Tabel 2; Gambar 1).

Pada kelompok TAP terdapat sembilan

pasien yang mendapatkan satu kali rescue

fentanil dalam 24 jam pascabedah. Pada ke-

lompok kontrol terdapat 11 pasien yang

membutuhkan rescue satu kali dan enam

pasien yang mendapatkan dua kalirescue

fentanil dalam 24 jam pascabedah (Tabel 3).

Waktu rescue pertama pada kelompok

TAP lebih panjang (17,81 ± 7,62 jam)

dibandingkan kelompok kontrol (9,15 ±

8,12 jam). Perbedaan ini bermakna secara

statistik (Tabel 4; Gambar 2).

Kelompok TAP rata-rata membutuhkan

jumlah rescue fentanil lebih sedikit (9,21 ±

13,59 mcg) dibanding kelompok kontrol

(30,88 ± 20,39 mcg). Perbedaan ini bermak-

na secara statistik (p<0,05) (Tabel 5; Gam-

bar 3)

Efek samping dari penggunaan obat

pada penelitian ini adalah efek samping

pemakaian bupivakain, yaitu pusing,

kesemutan, disritmia, hipotensi, penurunan

kesadaran, kejang, depresi napas, dan henti

jantung.Efek samping penggunaan fentanil

berupa mual, muntah, dan depresi pernapa-

san.Pada penelitian ini tidak didapatkan

efek samping penggunaan bupivakain dan

fentanil.

PEMBAHASAN

Penelitian ini menunjukkan bahwa

waktu rescue pertama kelompok blok TAP

lebih lama dibanding kelompok kontrol

dan kebutuhan fentanil dalam 24 jam pada

kelompok blok TAP lebih sedikit diband-

ing kelompok kontrol.

Nyeri parietal akibat insisi dinding an-

terior abdomen merupakan komponen

penting pada nyeri setelah operasi abdo-

men. TAP merupakan ruang anatomis di

antara otot oblikus internus dan transversus

abdominis yang dilalui oleh saraf-saraf

yang menginervasi dinding anterior abdo-

men. Blok TAP adalah teknik anestesi re-

gional yang memberikan analgesia bagi

peritoneum parietal, kulit, dan otot dinding

anterior abdomen. Untuk prosedur yang

melibatkan insisi dinding anterior abdo-

men, blok TAP merupakan teknik analge-

sia yang mudah dan efektif. Berbagai

penelitian telah memperlihatkan bahwa

blok TAP memberikan analgesia pas-

cabedah yang efektif dan mengurangi

kebutuhan morfin setelah seksio sesarea,

histerektomi abdominal, prostatektomi ret-

ropubik, operasi kolorektal, koreksi hernia

inguinal, dan operasi abdomen lain.10

Page 33: Jurnal Anestesiologi Indonesia - · PDF fileManajemen nyeri pada pasien pasca kraniotomi masih belum banyak diteliti. Disamping itu, panduan klinis mengenai manajemen nyeri pasca

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume VII, Nomor 2, Tahun 2015

95

Tabel 2. Jumlah pasien yang mendapat rescue fentanyl dalam 24 jam pertama pada kedua ke-

lompok

Waktu Pengamatan

Kelompok Kelompok

TAP Kontrol

n=22 n=22

T0 (jam 0-6) 0 16

T1 (jam 6-12) 8 7

T2 (jam 12-18) 1 0

T3 (jam 18-24) 0 0

Gambar 1. Jumlah pasien yang mendapat rescue dalam 24 jam

Tabel 3.Frekuensi rescue dalam 24 jam pasca bedah

Variabel

Kelompok Kelompok

TAP Kontrol

n=22 n=22

1 kali 9 11

2 kali 0 6

Page 34: Jurnal Anestesiologi Indonesia - · PDF fileManajemen nyeri pada pasien pasca kraniotomi masih belum banyak diteliti. Disamping itu, panduan klinis mengenai manajemen nyeri pasca

96

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Tabel 4. Perbandingan waktu rescue pertama antara kedua kelompok

Variabel

Kelompok Kelompok

p TAP Kontrol

n=22 n=22

Mean ± SD Mean ± SD

Waktu rescue per-

tama 17,81 ± 7,62 9,15 ± 8,12 <0,0001

Uji Mann Whitney, α 0,05

Gambar 2.Perbandingan waktu rescue pertama antara kedua kelompok

Tabel 5. Perbandingan jumlah kebutuhan fentanil selama 24 jam pascabedah pada kedua ke-

lompok

Variabel

Kelompok Kelompok

P TAP Kontrol

n=22 n=22

Mean ± SD Mean ± SD

Jumlah kebutuhan

fentanil 24 jam 9,21 ± 13,59 30,88 ± 20,39 0,02

Uji Mann Whitney, α 0,05

Page 35: Jurnal Anestesiologi Indonesia - · PDF fileManajemen nyeri pada pasien pasca kraniotomi masih belum banyak diteliti. Disamping itu, panduan klinis mengenai manajemen nyeri pasca

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume VII, Nomor 2, Tahun 2015

97

Gambar 3.Perbandingan nilai rerata kebutuhan

Pada penelitian ini, waktu yang diper-

lukan untuk mendapatkan analgetik tamba-

han pertama lebih lama pada kelompok yang

mendapatkan blok TAP (17,81 ± 7,62 jam)

dibanding kelompok kontrol (9,15 ± 8,12

jam). Perbedaan ini dianggap bermakna

secara statistik (p<0,0001). Hasil penelitian

ini sesuai dengan beberapa penelitian sebe-

lumnya. Penelitian pada pasien yang men-

jalani histerektomi total menemukan bahwa

waktu pertama kali pasien membutuhkan

morfin tambahan lebih lama pada pasien

yang mendapatkan blok TAP dibanding ke-

lompok kontrol (nilai rerata 45 menit ber-

banding 12,5 menit).Penelitian Sivapurapu

membandingkan blok TAP dengan infiltrasi

langsung anestetik lokal pada luka operasi

ginekologi abdomen bawah dan didapatkan

bahwa waktu rescue analgetik pertama lebih

lama pada kelompok TAP (148 ± 46,7 menit)

dibanding kelompok infiltrasi (85,38 ± 38,07

menit).11Penelitian Owenyang melakukan

blok TAP semiblind pada operasi seksio ses-

area juga menunjukkan hasil yang sama.

Penelitian tersebut menemukan bahwa waktu

rescue pertama untuk kelompok blok TAP

lebih lama (790 ± 62,8 menit) dibanding ke-

lompok kontrol (274 ± 22,9 menit).12

Pemanjangan efek analgesik blok TAP

mungkin berhubungan dengan fakta bahwa

vaskularisasi TAP relatif kurang, karena itu

klirens obat lebih lambat. Tidak diketahui

bagaimana tingkat absorbsi sistemik dan re-

distribusi ke dinding abdomen berperan ter-

hadap efek anestetik.Latzke et al melakukan

penelitian dengan teknik mikrodialisis untuk

mengukur kadar ropivakain dalam plasma

setelah injeksi 150 mg ropivakain melalui

blok TAP. Pengukuran dilakukan pada dind-

ing abdomen di kranial tempat injeksi (di

bawah kosta 12), di kaudal tempat injeksi (di

atas krista iliaka), dan jaringan otot skelet

dari paha kontralateral. Ditemukan bahwa

konsentrasi pada kedua kompartemen abdo-

men lebih tinggi (di kranial tempat injeksi

240 ± 409,1 µg/ml; di kaudal 86,18 ± 133,50

µg/ml) dibanding plasma (5,1 ± 1,0 µg/ml)

atau jaringan perifer (1,1 ± 1,2 µg/ml). Kon-

sentrasi rata-rata ropivakain yang tinggi pada

dinding abdomen mendukung konsep topikal

blok TAP.6

Penelitian ini memperlihatkan bahwa

kebutuhan fentanil total selama 24 jam pas-

Page 36: Jurnal Anestesiologi Indonesia - · PDF fileManajemen nyeri pada pasien pasca kraniotomi masih belum banyak diteliti. Disamping itu, panduan klinis mengenai manajemen nyeri pasca

98

Jurnal Anestesiologi Indonesia

cabedah lebih sedikit pada kelompok yang

mendapatkan blok TAP (9,21 ± 13,59 µg)

dibanding kelompok kontrol (30,88 ± 20,39

µg). Perbedaan ini bermakna secara statistik

(p<0,05). Secara keseluruhan, blok TAP

mengurangi kebutuhan fentanil sampai 70%.

Hasil ini sesuai dengan beberapa penelitian

sebelumnya yang menunjukkan bahwa kon-

sumsi morfin pascabedah berkurang secara

bermakna dengan pemberian blok TAP,

berkisar 33% sampai 74%.

Hasil penelitian ini sesuai dengan

penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh

Salman et al,yang membandingkan blok

TAP semiblind menggunakan bupivakain

0,25% dengan infiltrasi plasebo pada pasien

yang menjalani operasi repair hernia ingui-

nalis. Dibandingkan plasebo, blok TAP men-

gurangi penggunaan opioid pascabedah dan

asetaminofen intravena selama 24 jam pas-

cabedah.9Penelitian juga dilakukan oleh Mi-

lone et alyangmembandingkan blok TAP

dengan panduan USG menggunakan levobu-

pivakain 0,5% ditambahkan anestetik lokal

konvensional dengan anestetik lokal konven-

sional tunggal pada operasi repair hernia.

Secara bermakna, lebih sedikit pasien yang

membutuhkan rescue analgesik dibanding-

kan kelompok kontrol.Kedua penelitian ini

menunjukkan bahwa blok TAP ada kaitannya

dengan kurangnya rescue analgesia diband-

ing kelompok kontrol.13

Tidak ada perbedaan analgesik postop-

eratif antara blok TAP dan kelompok kontrol

pada operasi laparoskopi apendektomi

anak.14 Penelitian Ortiz et

al,membandingkan blok TAP dan infiltrasi

anestetik lokal di tempat insersi trokar pada

operasi laparoskopi kolesistektomi dan mere-

ka menemukan bahwa tidak ada perbedaan

skor nyeri dan kebutuhan analgetik.15 Blok

TAP bermanfaat menghambat nyeri dengan

blok somatosensorik pada tempat insisi.

Akan tetapi, pada operasi kolesistektomi

atau apendektomi, pasien mengalami nyeri

viseroperitoneal sebelum pembedahan dan

kemungkinan sudah diberi terapi di klinik

primer setempat atau ruang gawat darurat.

Karena alasan ini, kondisi preoperatif

pasien dan penanganan seperti durasi atau

intensitas nyeri, peresepan OAINS atau

opioid mempengaruhi efek blok TAP. In-

sisi yang relatif kecil dengan ukuran 2 sam-

pai 3 cm juga mempengaruhi efikasi blok

TAP.

Griffith et al,melakukan penelitian pada

65 pasien yang menjalani operasi kega-

nasan ginekologik dengan terapi standar

(parecoxib, asetaminofen, dan morfin) dit-

ambahkan blok TAP dengan panduan USG

menggunakan ropivakain. Dari hasil

penelitian ini blok TAP gagal memberikan

manfaat terhadap analgesia multimodal.

Tidak ada perbedaan bermakna antara

kedua kelompok dalam hal konsumsi

morfin 24 jam pertama, skor nyeri, kenya-

manan pasien, ataupun insidens muntah

dan pruritus.16 Temuan ini berbeda dengan

literatur-literatur terbaru. Efek negatif

yang dijumpaimungkin disebabkan oleh

kombinasi berbagai faktor seperti tingginya

insidens obesitas pada populasi penelitian

yang berpotensi terjadinya kegagalan blok,

rentang umur yang besar, dan fakta bahwa

18 dari 65 pasien dengan insisi di atas um-

bilikus. Beberapa kasus melibatkan manip-

ulasi organ lebih banyak dan diseksi yang

menyebabkan nyeri viseral lebih besar, se-

mentara di sisi lain blok TAP hanya efektif

memberikan analgesia untuk komponen

Page 37: Jurnal Anestesiologi Indonesia - · PDF fileManajemen nyeri pada pasien pasca kraniotomi masih belum banyak diteliti. Disamping itu, panduan klinis mengenai manajemen nyeri pasca

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume VII, Nomor 2, Tahun 2015

99

nyeri parietal/insisi.Pada penelitian ini,

IMT responden bersifat homogen dan

efek pembedahan herniorafi bersifat

konsisten yang menyebabkan trauma

pembedahan ringan sampai sedang.

Penelitian ini memiliki beberapa keku-

rangan.Kami tidak menggunakan USG

untuk melihat lapisan dinding abdomen

karena keterbatasan sumber daya.Tidak

ada jaminan bahwa jarum betul-betul

masuk ke ruang TAP. Identifikasi ruang

TAP semata-mata mengandalkan dou-

ble pop dan loss of resistance. Dalam

penelitian ini kami tidak memeriksa

skor nyeri dan konsumsi analgetik

setelah 24 jam. Penelitian kami batasi

hingga 24 jam karena kebanyakan

pasien tidak membutuhkan opioid sis-

temik setelah 24 jam dan tuntutan untuk

mobilisasi pasien. Temuan ini tidak

dapat diberlakukan secara umum untuk

jenis operasi lain karena penelitian ini

dilakukan pada operasi dengan trauma

pembedahan tingkat sedang. Blok sen-

sorik hanya diukur satu kali pada ke-

lompok TAP untuk memastikan blok

bekerja atau tidak.Pengukuran blok

sensorik pada periode 24 jam pas-

cabedah tidak dilakukan karena kek-

hawatiran kehilangan sifat blind. Selain

itu perluasan blok sensorik bukan hal

penting dalam mencerminkan efektivi-

tas analgesik blok TAP. Efektivitas

blok TAP lebih nyata dinilai dari perbe-

daan skor nyeri atau konsumsi opioid.

SIMPULAN

Dari penelitian ini ditemukan bah-

wa blok TAP sebagai komponen re-

jimen analgesia multimodal, mem-

berikan analgesia yang efektif dengan

durasi analgesia lebih panjangdibanding-

kan dengan kontrol dan memiliki opioid

sparing effect yang tinggi.

DAFTAR PUSTAKA

1. Kim MG, Kim SI, Ok SY, Kim

SH, Lee SJ, Park SY, et al. The

analgesic effect of ultrasound-

guided ransverse abdominis plane

block after laparoscopic totally

extraperitoneal hernia repair. Ko-

rean J Anesthesiol. 2012;63(3):227

-32.

2. Heil JW, Ilfeld BM, Loland VJ,

Sandhu NS, Mariano ER. Ultra-

sound-guided transversus abdomi-

nis plane catheters and ambulatory

perineural infusion for outpatient

inguinal hernia repair. Reg Anesth

Pain Med. 2010;35:556-8.

3. Aveline C, Hetet H, Roux A, Vau-

tier P, Cognet F, Vinet E, et al.

Comparison between ultrasound-

guided transversus abdominis

plane and conventional ilioingui-

nal/iliohypogastric nerve blocks

for day-case open inguinal hernia

repair. Br J Anaesth. 2010;106

(3):380-6.

4. Al-Edwan A, Mashaqbweh M, Al-

Dehayat G. The effect of transver-

sus abdominis block on decreasing

pain following inguinal hernia re-

pair. J Med J. 2013;47(2):151-4.

Page 38: Jurnal Anestesiologi Indonesia - · PDF fileManajemen nyeri pada pasien pasca kraniotomi masih belum banyak diteliti. Disamping itu, panduan klinis mengenai manajemen nyeri pasca

100

Jurnal Anestesiologi Indonesia

5. Urbanczak L. Transversus ab-

dominis plane block. Anesth In-

tensive Ther. 2009;3:137-41.

6. Latzke D, Marhofer P, Kettner

SC, Koppatz K, Turnheim K,

Lackner E, et al. Pharmacokinet-

ics of the local anesthetic ropiva-

caine after transversus abdominis

plane block in healthy volunteers.

Eur J Clin Pharmacol.

2012;68:419-25.

7. McDonnell JG, O’Donnell B,

Curley. G, Heffernan A, Power C,

Laffey JG. The analgesik efficacy

of transversus abdominis plane

block after abdominal surgery: a

prospective randomized con-

trolled trial. Anesth Analg.

2007;104:203-7.

8. Carney J, Finnerty O, Rauf J,

Curley G, McDonnell JG, Laffey

JG. Ipsilateral transversus abdom-

inis plane block provides effec-

tive analgesia after appendectomy

in children: a randomized con-

trolled trial. Anesth Analg.

2010;111:998-1003.

9. Salman AE, Yetisir F, Yurekli B,

Aksoy M, Yildirim M, Kilit M.

The efficacy of the semi-blind

approach of transversus abdomi-

nis plane block on postoperative

analgesia in patients undergoing

inguinal hernia repair: a prospec-

tive randomized double-blind

study. Local Reg Anesth.

2013;6:1-7.

10. Young MJ, Gorlin AW, Modest

VE, Quraishi SE. Clinical impli-

cation of the transversus abdomi-

nis plane block in adults

[document on the internet]. Anes-

thesiology Research and Practice;

2012 [diunduh 1 Februari 2015].

Tersedia dari: http://

www.hindawi.com.

11. Sivapurapu V, Vasudevan A,

Gupta S, Badhe AS. Comparison

of analgesic efficacy of transver-

sus abdominis plane block with

direct infiltration of local anes-

thetic into surgical incision in

lower abdominal gynecological

surgeries. J Anesthesiol Clin

Pharm. 2013;29(1):71-5.

12. Owen DJ, Harrod I, Ford J, Luck-

as M, Gudimetia V. The surgical

transversus abdominis plane

block-a novel approach for per-

forming an establishing tech-

nique. Br J Obstet Gynecol.

2011;118:24-7.

13. Milone M, Minno MN, Musella

M. Outpatient inguinal hernia re-

pair under local anesthesia: feasi-

bility and efficacy of ultrasound-

guided transversus abdominis

plane block. Hernia. 2013;17:749

-55.

14. Sandeman DJ, Bennett M, Dilley

AV, Perczuk A, Lim S, Kelly KJ.

Ultrasound-guided transversus

abdominis plane block for laparo-

scopic appendicectomy in chil-

Page 39: Jurnal Anestesiologi Indonesia - · PDF fileManajemen nyeri pada pasien pasca kraniotomi masih belum banyak diteliti. Disamping itu, panduan klinis mengenai manajemen nyeri pasca

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume VII, Nomor 2, Tahun 2015

101

dren: a prospective randomized

trial. Br J Anaesth. 2011;106

(6):882-6.

15. Ortiz J, Suliburk JW, Wu K,

Bailard NS, Mason C, Minard

CG, et al. Bilateral transversus

abdominis plane block does not

decrease postoperative pain after

laparoscopic cholecystectomy

when compared with local anes-

thetic infiltration of trocar inser-

tion sites. Reg Anesth Pain Med.

2012;37(2):188-92.

16. Griffiths JD, Middle JV, Barron

FA, Grant SJ, Popham PA, Royse

CF. Transversus abdominis plane

block does not provide additional

benefit to mulltimodal analgesia

in gynecological cancer surgery.

Anesth Analg. 2010;111(3):797-

801.

Page 40: Jurnal Anestesiologi Indonesia - · PDF fileManajemen nyeri pada pasien pasca kraniotomi masih belum banyak diteliti. Disamping itu, panduan klinis mengenai manajemen nyeri pasca

102

Jurnal Anestesiologi Indonesia

PENELITIAN

Perbandingan Validitas Sistem Skoring Apache II, SOFA, Dan Customized

Sequential Organ Failure Assessment (Csofa) Untuk Memperkirakan Mortalitas

Pasien Non-Bedah Yang Dirawat Di Ruang Perawatan Intensif

Stefanus Taofik*, Tjokorda Gde Agung Senapathi*, Made Wiryana*

ABSTRACT

Background : Application of Sistem Jaminan Kesehatan Nasional (SJKN) in intensive

care unit (ICU) service encourages ICU services for being more effective and efficient.

Prediction of mortality is important either for administration or clinical in ICU

management. Even non-surgical patient population is not large, but it has high

mortality rate.

Objective : To gain good and easy to used scoring system, we assessed missing value,

and discrimination for all scoring system.

Methods :This research enrolled 184 non-surgical patients in ICU of Sanglah

Hospital restrospectively started from 1st january to 31st december 2014. All patient

assessed by APACHE II, SOFA, and CSOFA. Analytic logistic regression test is used

to determine each sub variabel correlation with mortality, and then to gain cut off

point of ROC analytical curve to get sensitivity and specificity.

Result : Area under Receiver Operating Characteristic (AuROC) for APACHE, SOFA,

and CSOFA is 0,892, 0,919, and 0,9172 consecutively. The missing value for SOFA,

APACHE II, and CSOFA is 84,23%, 8,15%, dan 1,65%, which is dominated by

bilirubin parameter. Logistic regression analysis shows sub variabel neurology,

cardiovascular, and respiration gave significant correlation with mortality with OR

4,58, 2,24, and 1,47. Other significant subvariable are AKI, sepsis, and chronic illness

with OR 8,14, 3,89 dan 2,42.

Conclusion : CSOFA scoring system is more valid than APACHE II and SOFA to

predict mortality, because it had better discrimination value and less missing value.

Keyword : Scoring system, APACHE II, SOFA, CSOFA, AuROC, missing value

*Bagian / SMF Ilmu Anestesi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Udayana / Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah, Denpasar

Korespondensi/correspondence : Stefanus Taofik

Comparison Of Validity Apache II, SOFA And Customized Sequential Organ

Failure Assessment (Csofa) For Predicting Non-Surgical Patient

Volume VII, Nomor 2, Tahun 2015

Terakreditasi DIKTI dengan masa berlaku 3 Juli 2014 - 2 Juli 2019

Dasar SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 212/P/2014

Page 41: Jurnal Anestesiologi Indonesia - · PDF fileManajemen nyeri pada pasien pasca kraniotomi masih belum banyak diteliti. Disamping itu, panduan klinis mengenai manajemen nyeri pasca

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume VII, Nomor 2, Tahun 2015

103

ABSTRAK

Latar Belakang : Penerapan Sistem Jaminan Kesehatan Nasional (SJKN) dalam

pelayanan ICU mendorong pelayanan ICU untuk lebih efektif dan efisien. Prediksi hasil

perawatan penting baik secara administrasi ataupun klinis dalam manajemen ICU.

Pasien non-bedah meskipun jumlahnya tidak banyak, namun memiliki angka mortalitas

yang tinggi.

Tujuan : Untuk mendapatkan sistem skoring yang baik dan mudah diterapkan dilakukan

penilaian missing value, dan diskriminasi dari masing masing sistem skoring.

Metode : Penelitian ini melibatkan 184 pasien non-bedah yang dirawat di ICU RSUP

Sanglah Denpasar yang diambil secara retrospektif dari data tanggal 1 Januari 2014

sampai dengan 31 Desember 2014. Semua pasien dilakukan penilaian APACHE II,

SOFA, dan CSOFA. Uji analisis regresi logistik dilakukan untuk menilai pengaruh

masing masing sub variabel terhadap mortalitas, dan selanjutnya mencari cut off point

dari analisis kurva ROC untuk mendapatkan sensitifitas dan spesifisitas masing masing.

Hasil : Area under Receiver Operating Characteristic (AuROC) pada APACHE II,

SOFA, dan CSOFA berturut turut didapatkan 0,892, 0,919, dan 0,9172. Missing value

terbanyak didapatkan berturut turut pada SOFA, APACHE II, dan CSOFA sebesar

84,23%, 8,15%, dan 1,65%, dengan dominan sub variabel hepar (bilirubin). Uji regresi

logistik memperlihatkan sub variabel neurologi, kardiovaskular, dan respirasi

memberikan hubungan bermakna terhadap mortalitas dengan RO 4,58, 2,24, dan 1,47.

Sub variabel lain yang berpengaruh antara lain AKI, sepsis, dan penyakit kronis dengan

RO 8,14, 3,89 dan 2,42.

Simpulan : CSOFA lebih valid dalam memperkirakan mortalitas pasien di ICU RSUP

Sanglah Denpasar, karena mempunyai nilai diskriminasi yang lebih baik dan missing

value yang lebih sedikit dibandingkan dengan sistem skoring APACHE II dan SOFA.

Kata kunci : Sistem skoring, APACHE II, SOFA, CSOFA, AuROC, missing value

PENDAHULUAN

Praktik kedokteran saat ini

berkembang dengan sangat pesat,

sehingga banyak pasien dengan

penyakit kritis yang dahulunya tidak

dapat terselamatkan saat ini dapat

bertahan hidup dengan perawatan

intensif di Ruang Terapi Intensif (ICU).

Namun sayangnya jumlah pasien yang

meningkat tidak sejalan dengan

peningkatan kapasitas perawatan di

ICU sehingga diperlukan seleksi yang

akurat untuk menentukan prioritas

perawatan pasien di ICU. Sejalan

dengan penerapan Sistem Jaminan

Kesehatan Nasional melalui Badan

Pelayanan Jaminan Sosial (BPJS),

praktisi medis saat ini diharapkan dapat

membuat perhitungan dan perkiraan

Page 42: Jurnal Anestesiologi Indonesia - · PDF fileManajemen nyeri pada pasien pasca kraniotomi masih belum banyak diteliti. Disamping itu, panduan klinis mengenai manajemen nyeri pasca

104

Jurnal Anestesiologi Indonesia

kasar untuk prognosis dari tindakan

yang akan dilakukan sehingga

perkiraan biaya perawatan dapat dibuat

dengan baik dan efisiensi pembiayaan

dapat berjalan. Perawatan pasien kritis

selalu melibatkan multi displin dengan

penilaian dan cara pandang masing

masing bagian, seringkali hal tersebut

membingungkan dan tidak menemukan

titik temu oleh karena tidak ada bahasa

yang sama dalam menentukan indikator

perbaikan atau keparahan penyakit.

Sebagai contoh: Pasien gagal jantung

kongestif tidak terkompensasi (ADHF)

dengan kehamilan, di saat memberikan

informed consent dari TS kandungan

akan menjelaskan pasien dari bidang

mereka tak ada masalah dan kandungan

dalam kondisi masih stabil, kemudian

TS kardiologi memberikan penjelasan

kondisi jantung yang payah dan

memerlukan perawatan intensif, dan

terakhir dari TS tropik-infeksi yang

dikonsulkan karena ada kecurigaan

TBC menjelaskan bahwa paru dalam

kondisi baik dari sisi tropik-infeksi.

Kesimpangsiuran informasi tersebut

akan membingungkan masyarakat

awam karena diagnosa dan penilaian

yang terkotak kotak, sehingga perlu

digunakan bahasa yang sama untuk

monitoring keparahan dan perbaikan

kondisi pasien dengan sistem skoring

yang melakukan penilaian fungsi

fisiologis secara komprehensif dan

holistik.

Sistem skoring yang tersedia

dan lazim digunakan saat ini adalah

APACHE II (Acute Physiological and

Chronic Health Evaluation), namun

sistem skoring ini memiliki kelemahan

dari segi biaya dan kepraktisan

penggunaan berkaitan dengan

banyaknya variabel yang digunakan.1-4.

Sistem skoring baru yang lebih praktis

namun dengan akurasi yang tidak kalah

baiknya dengan APACHE II perlu

untuk dirumuskan.

Penelitian ini bertujuan untuk

membandingkan validitas antara sistem

skoring APACHE II, SOFA (Sequential

Organ Failure Assessment), dan

CSOFA (Customized SOFA)

METODE

Tipe penelitian ini adalah uji

diagnostik dengan desain retrospektif.

Penelitian telah mendapatkan ijin dari

Komite Etik Penelitian Fakultas

Kedokteran Universitas Udayana/RSUP

Sanglah Denpasar. Pengambilan sampel

dilakukan di Instalasi Rekam Medis

RSUP Sanglah dengan mengambil data

register pasien non-bedah yang dirawat

di ICU RSUP Sanglah selama periode 1

Januari sampai dengan 31 Desember

2014 dengan pengambilan total

population sample. Besar sampel

minimal sesuai perhitungan Arroyo

adalah 133 sampel.

Semua sampel yang didapatkan

dilakukan penilaian menurut sistem

skoring APACHE II, SOFA, dan

Page 43: Jurnal Anestesiologi Indonesia - · PDF fileManajemen nyeri pada pasien pasca kraniotomi masih belum banyak diteliti. Disamping itu, panduan klinis mengenai manajemen nyeri pasca

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume VII, Nomor 2, Tahun 2015

105

CSOFA kemudian dikelompokkan

berdasarkan luaran yaitu kelompok

meninggal dan hidup. Sistem skoring

SOFA (Tabel 1) dimodifikasi menjadi

sistem skoring CSOFA (Tabel 2)

dengan melakukan penyederhanaan

pada parameter yang dinilai. Hasil

tersebut kemudian dinilai validitasnya

dengan uji validasi.

Uji validasi yang dilakukan

adalah diskriminasi. Diskriminasi

adalah kemampuan suatu penilaian

dalam menentukan pasien antara yang

hidup dan yang meninggal. Untuk

menilai diskriminasi sistem skoring,

pasien dikelompokkan berdasarkan

probability of death (POD), kemudian

dianalisis menggunakan tabel 2x2,

untuk menghitung sensitivitas dan

spesifisitasnya. Selanjutnya dibuat

kurva receiver operating curve (ROC

curve) dengan sumbu x adalah nilai 1-

spesifisitas (false positive rate) dan

sumbu y adalah nilai sensitivitas (true

positive rate). Area di bawah ROC

disebut area under the ROC curve

(AuROC). Nilai AuROC ini adalah

nilai diskriminasi sistem skoring. Jika

nilai AuROC>0,7, sistem penilaian

tersebut mempunyai nilai diskriminasi

yang baik. Semakin besar nilai AuROC

suatu sistem penilaian maka semakin

besar kemampuan diskriminasi sistem

penilaian tersebut. Nilai AuROC=1

menunjukkan bahwa sistem penilaian

mempunyai kemampuan prediksi yang

sempurna.5,6

Untuk membandingkan sistem

penilaian APACHE II, SOFA dan

CSOFA dalam memprediksi mortalitas,

diperhitungkan missing value pada

setiap sistem penilaian. Sistem

penilaian dengan missing value paling

kecil dianggap paling baik. Masing

masing sub variabel pada sistem

skoring SOFA dilakukan uji regresi

logistik untuk melihat pengaruhnya

terhadap luaran serta menentukan cut

off point berdasarkan ROC curve.

Setiap sub variabel dari sistem

skoring akan dinilai dengan analisis

regresi logistik untuk melihat hubungan

dengan mortalitas dengan nilai P<0,01

dianggap bermakna

HASIL

Penelitian dilakukan pada 184

pasien yang dirawat di ICU RSUP

Sanglah. (Tabel 3). Populasi pasien

dibagi menjadi 2 kelompok berdasarkan

luaran yaitu yang hidup dan meninggal.

Dari hasil perhitungan

berdasarkan ketiga sistem skoring

didapatkan rentang nilai yang luas

seperti tertera pada tabel 4. Didapatkan

missing value terbanyak pada SOFA

score dengan dominan pada nilai

bilirubin, sedangkan missing value

paling kecil didapatkan pada sistem

skoring CSOFA. CSOFA

memperlihatkan area ROC sebesar

0,9172.

Hubungan sub variabel skoring

SOFA terhadap mortalitas pasien yang

dirawat di ICU berdasarkan analisis

Page 44: Jurnal Anestesiologi Indonesia - · PDF fileManajemen nyeri pada pasien pasca kraniotomi masih belum banyak diteliti. Disamping itu, panduan klinis mengenai manajemen nyeri pasca

106

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Tabel 1. Sistem skoring Sequential Organ Failure Assessment (SOFA)

Tabel.2 Sistem skoring Customized Sequential Organ Failure Assessment (CSOFA)

Page 45: Jurnal Anestesiologi Indonesia - · PDF fileManajemen nyeri pada pasien pasca kraniotomi masih belum banyak diteliti. Disamping itu, panduan klinis mengenai manajemen nyeri pasca

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume VII, Nomor 2, Tahun 2015

107

Tabel 3. Data karakteristik subyek penelitian

Karakteristik

OUTCOME

Hidup (n=67) Meninggal

(n=117)

Umur

Rerata(SB) 38,9(21,6) 53,9(18,9)

Median(IQR) 31(31) 56(19)

Rentang 12-89 13-89

<65 tahun(%) 57(85,1) 80(68,4)

≥65tahun(%) 10(14,9) 37(31,6)

Jenis kelamin

Laki-laki(%) 36(53,0) 72(61,1)

Perempuan(%) 31(47,0) 46(38,9)

LOS

Median(IQR) 3(2) 3(4)

Rentang 1-42 1-68

Tabel 4. Distribusi skoring, missing value, dn ROC APACHE II, SOFA, dan CSOFA

Sistem skor-

ing Rerata (SB) Rentang Observasi

Missing val-

ue

Dominan

missing

value

ROC

area

APACHE II 22,09(11,10) 0-41 169 15(8,15%) AGD 0,892

SOFA 8,62(7,10) 0-19 29 155(84,23%) Bilirubin 0,919

CSOFA 7,80(4,55) 0-18 181 3(1,65%) Kreatinin 0,9172

Gambar 1. Grafik area ROC skoring Gambar 2. Grafik area ROC skoring SOFA

Page 46: Jurnal Anestesiologi Indonesia - · PDF fileManajemen nyeri pada pasien pasca kraniotomi masih belum banyak diteliti. Disamping itu, panduan klinis mengenai manajemen nyeri pasca

108

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Gambar 3. Grafik area ROC skoring APACHE II

Tabel 5. Hubungan antara sub variabel skoring SOFA terhadap mortalitas berdasarkan analisis re-

gresi logistik

Variabel RO IK 95% P

Respirasi 1,79 1,078411 sampai 2,96215 0,024 *

Koagulasi 0,98 0,5455342 sampai 1,790392 0,969

Hepar 2,60 0,3734881 sampai 17,89182 0,336

Kardiovaskular 2,05 1,17742 sampai 3,574147 0,011*

Neurologi 3,57 2,062262 sampai 6,180396 < 0,001*

Ginjal 0,94 0,5771336 sampai 1,545977 0,821

Tabel 6. Hubungan antara sub variabel AKI, penyakit kronis (APACHE II), dan sepsis terhadap

mortalitas berdasarkan analisis regresi logistik

Variabel RO IK 95% P

AKI 8,14 3,499175 sampai 18,95538 < 0,001*

Sepsis 3,89 1,75845 sampai 8,595483 0,001*

Penyakit kronis 2,42 0,9492211 sampai 6,179176 0,064*

Page 47: Jurnal Anestesiologi Indonesia - · PDF fileManajemen nyeri pada pasien pasca kraniotomi masih belum banyak diteliti. Disamping itu, panduan klinis mengenai manajemen nyeri pasca

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume VII, Nomor 2, Tahun 2015

109

Tabel 7. Hubungan antara sub variabel skoring CSOFA terhadap mortalitas berdasarkan ana-

lisis regresi logistik

Variabel RO IK 95% P

Respirasi 1,47 0,9340161 sampai 2,324436 0,096 *

Koagulasi 0,98 0,5747173 sampai 1,67536 0,945

Hepar 0,83 0,1220807 sampai 5,652511 0,85

Kardiovaskular 2,24 1,277078 sampai 3,959933 0,005*

Neurologi 4,58 2,611501 sampai 8,032894 < 0.01*

Ginjal 0,85 0,508967 sampai 1,439147 0,557

regresi logistik ditunjukkan pada Tabel

5. Dari keenam organ yang menjadi

standar penilaian dalam skoring SOFA,

hanya sub variabel respirasi (P=0,024),

kardiovaskular (P=0,011), dan

neurologi (P<0,001) yang berpengaruh

terhadap mortalitas. Artinya, kenaikan

dari sub variabel neurologi sebesar 1

unit akan meningkatkan mortalitas

pasien sebesar 3,57 kali (Tabel 5).

Faktor lain yang mempengaruhi

mortalitas yang merupakan komponen

penilaian pada APACHE II ditunjukkan

pada Tabel 6 dimana didapatkan

adanya AKI (P<0,001), dan penyakit

kronis (P=0,064) memberikan pengaruh

signifikan terhadap mortalitas demikian

pula resiko mortalitas yang meningkat

pada adanya kejadian sepsis (P=0,001).

Hubungan sub variabel skoring CSOFA

terhadap mortalitas pasien yang dirawat

di ICU berdasarkan analisis regresi

logistik ditunjukkan pada Tabel 7. Sub

variabel respirasi, neurologi, dan

kardiovaskular memiliki hubungan

bermakna dengan mortalitas.

PEMBAHASAN

Penelitian lain mengelompokkan

pasien berdasarkan divisi yang

merawat.5-7 Pada penelitian ini sampel

yang digunakan adalah pasien non-

bedah sehingga mengelompokkan

pasien dalam satu bagian akan

menghilangkan bagian lain yang

mungkin saja berperan, contoh: pasien

dengan ADHF profile C dan sepsis oleh

karena pneumonia, akan sulit

dikelompokkan ke bagian pulmonologi,

tropik-infeksi, atau jantung. Dari

diagnosis yang didapatkan, dianalisis

pula kejadian AKI dan sepsis

memberikan hubungan yang bermakna

dengan mortalitas dimana didapatkan

P<0,001 pada keduanya dan didapatkan

RO 8,14 dan 3,89 pada AKI dan sepsis.

Hal ini berarti setiap kejadian AKI akan

meningkatkan mortalitas sampai 8,14

kali dan 3,89 kali pada kejadian sepsis.

Parameter sepsis ikut dinilai sebagai

luaran sekunder sebagai bagian dari

evaluasi surviving sepsis campaign.

Mortality rate secara overall pada

Page 48: Jurnal Anestesiologi Indonesia - · PDF fileManajemen nyeri pada pasien pasca kraniotomi masih belum banyak diteliti. Disamping itu, panduan klinis mengenai manajemen nyeri pasca

110

Jurnal Anestesiologi Indonesia

penelitian ini didapatkan 63,5%, lebih

rendah dibandingkan pada penelitian

sebelumnya oleh Sunaryo, dkk.5

dimana pada pasien non pembedahan

didapatkan 12(80%) dari 15 pasien

meninggal. Hal ini tidak berarti

perawatan ICU di RSUP Sanglah lebih

baik dibandingkan perawatan ICU di

tempat penelitian tersebut dilakukan

meskipun rerata APACHE II dan

SOFA pada penelitian ini cukup tinggi

22,09(SB 11,10) poin dengan rentang 0

-41 poin untuk APACHE II dan 8,62

(SB 7,10) poin dengan rentang 0–19

poin yang menunjukkan variasi kasus

dan indeks keparahan pasien yang

tinggi.

Penelitian ini menghitung

missing value pada masing masing

sistem skoring untuk melihat sejauh

mana sistem skoring tersebut dapat

diterapkan pada populasi peneliti. Pada

penelitian ini didapatkan missing value

terbanyak pada sistem skoring SOFA,

diikuti APACHE II, dan CSOFA

dengan jumlah 155(84,23%) pasien, 15

(8,15%) pasien, dan 3(1,65%) pasien.

Pada sistem skoring SOFA didapatkan

jumlah missing value terbanyak pada

parameter bilirubin sedangkan pada

sistem skoring APACHE II dan

CSOFA didapatkan missing value AGD

dan kadar creatinin. Oleh karena

banyaknya missing value pada

penilaian SOFA sehingga hanya tersisa

29 sampel yang dapat dinilai, penulis

menggunakan asumsi bilirubin yang

tidak diperiksa dianggap normal dan

diberi nilai 0, hal ini sejalan dengan

penelitian yang dilakukan Grissom,

dkk.8 Dari hasil penilaian ini tampak

bahwa model yang paling mudah

diterapkan yang memberikan sampel

yang banyak dengan parameter yang

tersedia adalah CSOFA. Dari hasil

analisis diskriminasi dengan

menggunakan kurva ROC didapatkan

secara berturut turut untuk skoring

APACHE II, SOFA, dan CSOFA

dengan nilai AuROC 0,892, 0,919, dan

0,917. Dari penilaian ini tampak bahwa

masing masing sistem skoring cukup

baik untuk diterapkan dengan nilai

AuROC>0,7. Penilaian SOFA memiliki

nilai AuROC yang tertinggi, namun di

satu sisi hasil tersebut memiliki missing

value yang tinggi.

Nilai AuROC adalah nilai

diskriminasi sistem penilaian, semakin

besar nilai AuROC suatu sistem

penilaian, semakin besar pula

kemampuan diskriminasi sistem

penilaian tersebut. Nilai AuROC=1

menunjukkan bahwa sistem penilaian

memiliki kemampuan prediksi yang

sempurna dan AuROC=0,5

menunjukkan bahwa persentase

kesalahan dalam memprediksi adalah

sama.6

Dari kurva ROC yang

didapatkan ditarik suatu titik potong

(cut off point) pada masing masing

sistem skoring yang menunjukkan

sensitifitas dan spesifisitas yang

tertinggi. Di satu sisi sensitifitas

diperlukan untuk mencegah terjadinya

Page 49: Jurnal Anestesiologi Indonesia - · PDF fileManajemen nyeri pada pasien pasca kraniotomi masih belum banyak diteliti. Disamping itu, panduan klinis mengenai manajemen nyeri pasca

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume VII, Nomor 2, Tahun 2015

111

under treatment, sedangkan di sisi lain

spesifisitas juga diperlukan untuk

menghindari over treatment yang

memberi beban biaya dan waktu. Pada

sistem skoring APACHE II didapatkan

cut off ≥15 dengan nilai overall

88,76%, yang berarti pada nilai

APACHE II ≥15 sebaiknya perawatan

dilakukan dengan berhati-hati karena

resiko mortalitas akan semakin tinggi.

Demikian pula pada SOFA dan CSOFA

didapatkan cut off ≥8 dan ≥ 5.

Pada uji multivariat dengan

regresi logistik didapatkan pengaruh

pada masing masing sub variabel dari

SOFA dan CSOFA dimana didapatkan

komponen neurologi, respirasi dan

kardiovaskular memberikan hubungan

yang bermakna terhadap mortalitas.

Pada sub variabel koagulasi, hepar, dan

ginjal tidak memberikan hubungan

yang bermakna pada mortalitas.

Sub variabel respirasi pada

SOFA dan CSOFA memberikan nilai

P=0,024 dan P=0,096 dengan RO 1,79

dan 1,47 yang berarti setiap

peningkatan 1 poin pada sub variabel

respirasi akan meningkatkan angka

mortalitas hingga 1,79 kali pada SOFA

dan 1,47 kali pada CSOFA. Nilai RO

dan P pada sistem skoring SOFA dan

CSOFA yang tidak berbeda bermakna

dapat diartikan keduanya memiliki

interpretasi yang sama meskipun

menggunakan parameter pengukuran

yang berbeda yaitu p/f ratio pada

SOFA dan s/f ratio pada CSOFA.

Kesimpulan ini sejalan dengan yang

dilakukan oleh Pandharipande, dkk9

dan Rice, dkk10. Sub variabel

kardiovaskular pada SOFA dan CSOFA

memberikan nilai P=0,001 dan P=0,005

dengan RO 2,05 dan 2,24 yang berarti

setiap peningkatan 1 poin pada sub

variabel kardiovaskular akan

meningkatkan angka mortalitas hingga

2,05 kali pada SOFA dan 2,24 kali pada

CSOFA.

Sub variabel neurologi pada

SOFA dan CSOFA memberikan nilai

P<0,001 dengan RO 3,57 dan 4,58 yang

berarti setiap peningkatan 1 poin pada

sub variabel respirasi akan

meningkatkan angka mortalitas hingga

3,57 kali pada SOFA dan 4,58 kali pada

CSOFA. Ketiga sub variabel lainnya

yaitu bilirubin (ikterik), koagulasi, dan

ginjal tidak memberikan hubungan

yang bermakna dimana dari hasil uji

multivariat bilirubin didapatkan nilai

P=0,336 dan parameter ikterik

didapatkan nilai P=0,850. Parameter

koagulasi dan ginjal berturut turut pada

CSOFA memberikan nilai P=0,945 dan

P=0,557. Dari hasil tersebut

diinterpretasikan bahwa nilai sub

variabel hepar, ginjal, dan koagulasi

tidak memberikan hubungan yang

bermakna terhadap mortalitas.

Sub variabel koagulasi pada

penelitian sebelumnya yang dilakukan

Sunaryo, dkk5 didapatkan tidak

berhubungan terhadap mortalitas

seperti halnya pada penelitian ini.

Sampel dalam penelitian ini adalah

pasien non-bedah, dari data yang

Page 50: Jurnal Anestesiologi Indonesia - · PDF fileManajemen nyeri pada pasien pasca kraniotomi masih belum banyak diteliti. Disamping itu, panduan klinis mengenai manajemen nyeri pasca

112

Jurnal Anestesiologi Indonesia

diperoleh didapatkan 10(71,4%) dari 14

pasien dari kelompok hidup dengan

nilai platelet ≥2 adalah dengan

diagnosa DHF ataupun DSS dengan

nilai variabel lain cukup baik. Dari data

tersebut dapat disimpulkan sensitifitas

dari koagulasi sangat rendah jika

dijadikan parameter penilaian,

dibuktikan dengan 71,4% pasien

dengan masalah pada koagulasi

ternyata hidup.

Sub variabel hepar dan ginjal

tidak dapat dijadikan penilaian oleh

karena pada uji regresi logistik

seharusnya setiap sub variabel memiliki

nilai yang sejajar dan tidak saling

mempengaruhi satu sama lain.6 Namun

pada populasi non-bedah keterkaitan

satu sama lainnya tidak dapat

dihindarkan. Pada sub variabel

koagulasi dengan menilai bilirubin

didapatkan 3(2,56%) dari 117 pasien

yang meninggal memiliki nilai ≥2,

namun seluruh pasien yang masuk ke

ICU dalam keadaan ikterik (4

pasien;100%) dan tanpa gangguan hati

sebelumnya (2 sepsis dan 2 ADHF)

didapatkan meninggal. Bilirubin dan

ikterik memiliki sensitifitas yang sangat

rendah namun dengan spesifisitas yang

sangat tinggi dikarenakan faktor hepar

bertindak sebagai variabel antara

dimana gangguan kardiovaskular akan

mengakibatkan hipoperfusi pada

pelbagai organ di dalam tubuh dengan

organ hepar akan gagal pada urutan

terakhir dikarenakan cadangannya yang

sangat besar.

Pada penelitian lain yang

menggunakan nilai ikterik dan

mendapakan nilainya bermakna

dilakukan secara serial dari hari ke hari

oleh Grissom, dkk8, sedangkan desain

penelitian ini hanya mengambil data

awal saja, sehingga boleh jadi pada saat

awal masuk fungsi hepar masih cukyp

baik meskipun fungsi organ lain telah

menurun.

Sub variabel ginjal dengan

penelitian kreatinin serum didapatkan

berhubungan bermakna dengan

mortalitas pada penelitian

sebelumnya.5,7,8,11 Namun penelitian

tersebut menggunakan populasi non-

bedah dan bedah dengan dominan

populasi bedah, sebaliknya pada

penelitian ini menggunakan populasi

non-bedah saja. Pada populasi non-

bedah didapatkan pasien dengan CKD

yang telah terkompensasi dengan

keadaan tersebut sehingga tidak

memberi pengaruh yang signifikan.

Dari data didapatkan 5(45%) dari 11

pasien dengan nilai sub variabel ginjal

≥2 yang hidup didiagnosa dengan

CKD, sebaliknya 97 (82,9%) dari 117

pasien yang meninggal memiliki nilai

sub variabel ginjal≤2. Pada penilaian

AKI penurunan fungsi ginjal

memberikan hubungan yang bermakna

terhadap mortalitas.

SIMPULAN

CSOFA lebih valid dalam

memperkirakan mortalitas pasien di

ICU RSUP Sanglah Denpasar, karena

Page 51: Jurnal Anestesiologi Indonesia - · PDF fileManajemen nyeri pada pasien pasca kraniotomi masih belum banyak diteliti. Disamping itu, panduan klinis mengenai manajemen nyeri pasca

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume VII, Nomor 2, Tahun 2015

113

mempunyai nilai diskriminasi yang

lebih baik dan missing value yang lebih

sedikit dibandingkan dengan sistem

skoring APACHE II dan SOFA.

6. Liu H, Li G, Cumberland WG, Wu

T. Testing statistical significance of

the area under a receiving operating

curve for repeated mesures design

with bootstrapping. J of data

science. 2005;3:257

7. Halim DA, Murni TW, Ike SR.

Comparison of APACHE II, SOFA,

and modified SOFA scores in

predicting mortality of surgical

patients in intensive care unit at Dr.

Hasan Sadikin general hospital. Crit

Care & Shock. 2009;12:157-69.

8. Grissom CK, Brown SM, Kuttler

KG, Boltax JP. A Modified

Sequential Organ Failure

Assessment (MSOFA) for critical

care triage. Disaster Med Public

Health Prep. 2010;4:277-84.

9. Pandharipande PP, Shintani AK,

Hagerman HE, Rice TW. Derivation

and validation of SpO2/FiO2 ratio to

impute for PaO2/FiO2 ratio in the

respiratory component of the

Sequential Organ Failure

Assessment score. Crit Care Med.

2009;37:1317-21.

10. Rice TW, Wheeler A.P, Bernard

GR, Hayden DL. Comparison of the

SpO2/FiO2 and the PaO2/FiO2 ratio

in patients with acute lung injury or

ARDS. Chest. 2007;132:410-7.

11. Namendy-silva SA, Medina-silva

MA, Barahona VGM, Torres JA.

Application of modified sequential

organ failure assessment score to

critically ill patients. Braz J Med

Biol Res. 2013;46(2):186-93.

DAFTAR PUSTAKA

1. Achary SP, Pradhan B, Marhatta N.

Application of the SOFA score in

predicting outcome in ICU patients

with SIRS. Kathmandu Univ Med J.

2007;5:475-83.

2. Aftab H, Patil S, Parcells AL,

Chamberlain RS. The Simplified

Acute Physiology Score III is

superior to the Simplified Acute

Physiology Score II and Acute

Physiology and Chronic Health

Evaluation II in predicting surgical

and ICU mortality in the oldest old.

Current Gerontology and Geriatrics

Research. 2014;2014:1-9.

3. Bouch DC., Thompson JP. Severity

scoring systems in the critically ill.

Continuing Education in Anaesth.

Crit Care Pain J. 2008;8(5):181-

4. Chiavone PA, Santos Sens YA.

Evaluation of APACHE II system

among Intensive Care Patients at

Teaching Hospital. Sao Paulo Med

J. 2003;12(92):53-7.

5. Sunaryo A, Ike SR, Bisri T.

Perbandingan validasi APACHE II

dan SOFA score untuk

memperkirakan mortalitas pasien

yang dirawat di ruang perawatan

intensif. Majalah Kedokteran terapi

Intensif. 2012;2:11-20.

Page 52: Jurnal Anestesiologi Indonesia - · PDF fileManajemen nyeri pada pasien pasca kraniotomi masih belum banyak diteliti. Disamping itu, panduan klinis mengenai manajemen nyeri pasca

114

Jurnal Anestesiologi Indonesia

PENELITIAN

Ketamin Dan Blok Peritonsiler Untuk Penatalaksanaan Nyeri Post Operasi

Tonsilektomi Pada Anak

Nur Hajriya Brahmi*, Doso Sutiyono*

ABSTRACT

Background : Tonsillectomy continues to be one of the most common

otorhinolaryngology surgical procedures for children. Severe pain, bleeding, difficulty

to swallow are common complaints encountered in children, since peritonsilled fossa

and oropharyngs are sensitive due to innervation of trigeminal nerve branch and

glossopharyngeal nerve. Peritonsiller infiltration inhibit nociceptive pain, using local

anesthesia, can last up to 6 hour post op, and that will reduce consumption of opiod or

NSAIDs analgesic due to their side effects.

Objectives : to evaluate the effectiveness of peritonsiller infiltration using ketamin for

managing post operative pain after tonsillectomy in children, and to evaluate

complication nausea, vomittus, and psychomimetic effect of ketamin.

Methods : 3 male children age 6-8 years old were scheduled for elective

tonsillectomy. Premedication using midazolam 0,07 mg/kg, induction using propofol 2

mg/kg, dexametason 0,1 mg/kg then cuffed with sevoflurane, then intubate. The

operation took 10 minutes, using dissection technique, we performed peritonsiller

infiltration in peritonsiller fossa using ketamine 0,2 mg/kgBB and pehacain as solvent,

2 ml in volume was applied in each tonsil before extubation. We evaluate post

operative pain using wong baker scale, numeric scale and FLACC scale on 15 minutes

postop in recovery room, 1st hour, an 6th hour. We also asessed complication that

might occured post op.

Result : The first 15 mins, only first patient had moderate pain (wong baker 4, numeric

scale 4, FLACC 4). One hour observation, all children are in mild pain, and in six

hour observation children in mild pain, and reduce the need of opioid or NSAIDs

analgesic. Vomitting as complication occured in one of three children. All patients

were dismissed from the hospital 8 hours after surgery, given Paracetamol 20 mg/Kg

orally.

Conclusion :Peritonsiller infiltration using ketamin and pehacain as solvent effective

to minimize post operative tonsillectomi pain in children up to 6 hours post op, in all 3

*Bagian Anestesi dan Terapi Intensif FK Universitas Diponegoro/ RSUP dr Kariadi, Semarang

Korespondensi/correspondence: [email protected]

Ketamin And Peritonsiller Infiltration As Post Operative Tonsillectomi Pain

Management In Children.

Volume VII, Nomor 2, Tahun 2015

Terakreditasi DIKTI dengan masa berlaku 3 Juli 2014 - 2 Juli 2019

Dasar SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 212/P/2014

Page 53: Jurnal Anestesiologi Indonesia - · PDF fileManajemen nyeri pada pasien pasca kraniotomi masih belum banyak diteliti. Disamping itu, panduan klinis mengenai manajemen nyeri pasca

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume VII, Nomor 2, Tahun 2015

115

patients observed, and significantly reduced the need for opioid or NSAIDs analgetic.

Need to conduct the main research used bigger samples to know the effectiveness of

peritonsiller infiltration for pain management.

Keywords : Post operative pain management, peritonsiller infiltration, ketamine.

ABSTRAK

Latar Belakang : Nyeri post operasi tonsilektomi pada anak merupakan hal yang sulit

dicegah karena daerah orofaring dan fossa peritonsiler merupakan daerah sensitif nyeri,

karena dipersarafi oleh cabang nervus trigeminal dan nervus glossofaringeus, di korteks

somatik serebral. Blok peritonsiller diketahui mampu memblok ransang nyeri ini hingga

24 jam post operasi, tergantung dari jenis obat yang diberikan.

Tujuan : Mengetahui keefektifitasan blok peritonsiler menggunakan ketamin untuk tata

laksana nyeri post operasi adenotonsilektomi pada anak, dan memantau komplikasi mual

muntah atau efek psikomimetik dari ketamin (nyeri kepala, halusinasi, mimpi buruk,

depersonalisasi) post operasi.

Metode : dilakukan observasi terhadap anak laki-laki usia 6-8 tahun, masing-masing

diwakili oleh 1 pasien yang menderita adenotonsilitis akan dilakukan adenotonsilektomi.

Masing-masing mendapatkan perlakuan yang sama yakni premedikasi : midazolam 0,07

mg/kgBB, Induksi dengan propofol 2 mg/kgBB lalu dilakukan cuff dalam dengan

sevoflurane, baru dilakukan intubasi. Dexametason 0,1 mg/KgBB intravena diberikan

sesaat setelah pemberian propofol. Lama operasi rerata 10 menit, tehnik operasi adalah

diseksi dan dilakukan blok peritonsiler sesaat sebelum pasien dilakukan ekstubasi. Blok

peritonsiler dilakukan pada fossa peritonsiler dengan menggunakan ketamin 0,2 mg/

kgBB diencerkan dengan 2 ampul pehakain, disuntikkan 1 ml posterior dan 1 ml anterior

fossa peritonsiler sebelum pasien diekstubasi. Dinilai tingkatan nyeri dengan

menggunakan skala wong baker, skala numerik, dan skala FLACC1 pada 15 menit

pertama di ruang pemulihan, jam pertama, dan jam ke enam, dan dilakukan observasi

adakah mual-muntah maupun efek psikomimetik akibat pemberian ketamin post operasi.

Hasil : Hasil penilaian 15 menit pertama diruang pemulihan pada pasien pertama skala

wong baker 4, skala numerik 4, skala FLACC 4. Pasien ke dua skala wong baker 2, skala

numerik 2, skala FLACC 0. Pasien ke tiga skala wong baker 4, skala numerik 5 dan skala

FLACC 2. Hasil penilaian jam ke 1, pasien pertama skala wong baker 2, skala numerik 3,

skala FLACC 3. Pasien kedua skala wong baker 2, skala numerik 2, skala FLACC 0.

Pasien ke 3 skala wong baker 2, skala numerik 2, skala FLACC 0. Hasil penilaian jam ke

6, pasien pertama skala wong baker 2, skala numerik 2, skala FLACC 0. Pasien kedua

skala wong baker 0, skala numerik 1, skala FLACC 0. Pasien ke tiga skala wong baker

2,skala numerik 1, skala FLACC 0. Observasi komplikasi PONV post operasi

Page 54: Jurnal Anestesiologi Indonesia - · PDF fileManajemen nyeri pada pasien pasca kraniotomi masih belum banyak diteliti. Disamping itu, panduan klinis mengenai manajemen nyeri pasca

116

Jurnal Anestesiologi Indonesia

PENDAHULUAN

Tonsilektomi merupakan prosedur

tersering dilakukan oleh dokter THT

pada anak. Manajemen nyeri post

tonsilektomi merupakan perhatian

khusus baik oleh dokter THT maupun

oleh dokter anestesi. Nyeri post operasi

tonsilektomi pada anak merupakan hal

yang sulit dicegah karena daerah

orofaring dan fossa peritonsiler

merupakan daerah sensitif nyeri, karena

dipersarafi oleh cabang nervus

trigeminal dan nervus glossofaringeus,

di korteks somatik serebral. Blok

peritonsiler memblok nyeri nosiseptif,

dimana dengan menggunakan obat

lokal anestesi, dapat memblok rasa

nyeri ini hingga 6 jam post operasi

sehingga membantu mengurangi

konsumsi analgetik golongan opioid

ataupun NSAIDs.

METODE

Dilakukan observasi terhadap anak laki

-laki usia 6-8 tahun, yang menderita

adenotonsilitis akan dilakukan

adenotonsilektomi. Terdapat 3 kasus,

masing-masing mendapatkan perlakuan

yang sama yakni premedikasi :

midazolam 0,07 mg/kgBB, Induksi

dengan propofol 2 mg/kgBB lalu

dilakukan cuff dalam dengan

sevoflurane, baru dilakukan intubasi.

Dexametason 0,1 mg/KgBB intravena

diberikan sesaat setelah pemberian

propofol. Lama operasi rerata 10

menit, tehnik operasi adalah diseksi dan

dilakukan blok peritonsiler sesaat

sebelum pasien dilakukan ekstubasi.

Blok peritonsiler dilakukan pada fossa

peritonsiler dengan menggunakan

ketamin 0,2 mg/kgBB diencerkan

dengan 2 ampul pehakain, disuntikkan

1 ml posterior dan 1 ml anterior fossa

peritonsiler sebelum pasien diekstubasi.

Dinilai tingkatan nyeri dengan

menggunakan skala wong baker, skala

numerik, dan skala FLACC1 pada 15

menit pertama di ruang pemulihan, jam

pertama, dan jam ke enam, dan

dilakukan observasi adakah mual-

memberikan hasil 1 dari 3 pasien mengalami mual-muntah, tidak ada pasien yang

mengalami nyeri kepala, halusinasi atau gangguan prilaku post operatif. Pasien

dipulangkan 8 jam post operasi dengan diberikan analgetik post operasi paracetamol 20

mg/kgBB peroral.

Simpulan : Blok peritonsiler dengan menggunakan ketamin dan pehakain sebagai

pelarut eektif untuk meminimalkan nyeri post operasi hingga 6 jam post operasi, pada

ketiga pasien yang diobservasi. Akan dilakukan penelitian menggunakan jumlah sampel

besar untuk menilai keefektifitasan blok peritonsiler ini sebagai manajemen nyeri post

operasi.

Kata kunci : manajemen nyeri post operasi, infiltrasi peritonsiler, ketamin

Page 55: Jurnal Anestesiologi Indonesia - · PDF fileManajemen nyeri pada pasien pasca kraniotomi masih belum banyak diteliti. Disamping itu, panduan klinis mengenai manajemen nyeri pasca

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume VII, Nomor 2, Tahun 2015

117

muntah maupun efek psikomimetik

akibat pemberian ketamin post operasi.

Gambar 1. Lokasi Blok Peritonsiler

HASIL

Hasil penilaian 15 menit pertama

diruang pemulihan pada pasien pertama

skala wong baker 4, skala numerik 4,

skala FLACC 4. Pasien ke dua skala

wong baker 2, skala numerik 2, skala

FLACC 0. Pasien ke tiga skala wong

baker 4, skala numerik 5 dan skala

FLACC 2. Hasil penilaian jam ke 1,

pasien pertama skala wong baker 2,

skala numerik 3, skala FLACC 3.

Pasien kedua skala wong baker 2, skala

numerik 2, skala FLACC 0. Pasien ke 3

skala wong baker 2, skala numerik 2,

skala FLACC 0. Hasil penilaian jam ke

6, pasien pertama skala wong baker 2,

skala numerik 2, skala FLACC 0.

Pasien kedua skala wong baker 0,

skala numerik 1, skala FLACC 0.

Pasien ke tiga skala wong baker 2,skala

numerik 1, skala FLACC 0. Observasi

komplikasi PONV post operasi

memberikan hasil 1 dari 3 pasien

mengalami mual-muntah, tidak ada

pasien yang mengalami nyeri kepala,

halusinasi atau gangguan prilaku post

operatif. Pasien dipulangkan 8 jam post

operasi dengan diberikan analgetik post

operasi paracetamol 20 mg/kgBB

peroral.

PEMBAHASAN

Tonsilektomi adalah prosedur eksisi

tonsil bilateral, dan merupakan

pelayanan one day care (bedah sehari)

dibanyak fasilitas kesehatan. Terdapat

4 teknik yang dapat digunakan yakni

guillotine, diseksi, thermal welding,

dan cryosurgery, dimana resiko

perdarahan lebih besar pada teknik

guillotine dibanding teknik lainnya,

walau lama operasi lebih singkat dan

nyeri yang lebih kecil. Pada observasi

ini, ketiga pasien dilakukan

tonsilektomi dengan menggunakan

teknik diseksi. Tonsilektomi

menyebabkan daerah orofaring

terekspose, menyebabkan nyeri akibat

spasme otot orofaring dan iritasi dari

serabut saraf eferen. Hemostasis

berkontribusi dalam inflamasi

berlebihan dan juga nyeri post operasi.

Nyeri post operasi tonsilektomi pada

anak merupakan hal yang sulit dicegah

karena daerah orofaring dan fossa

peritonsiler merupakan daerah sensitif

nyeri, karena dipersarafi oleh cabang

nervus trigeminal dan nervus

glossofaringeus, di korteks somatik

serebral. Selama operasi, impuls nyeri

masuk sistem saraf pusat menimbulkan

keadaan hipereksitable. Memblok

Page 56: Jurnal Anestesiologi Indonesia - · PDF fileManajemen nyeri pada pasien pasca kraniotomi masih belum banyak diteliti. Disamping itu, panduan klinis mengenai manajemen nyeri pasca

118

Jurnal Anestesiologi Indonesia

impuls ini dengan obat analgesik pre-

operasi maupun infiltrasi anestesi lokal

pre-incisi merupakan modalitas nyeri

preemptif. Pada observasi ini, analgetik

diberikan post dilakukannya

tonsilektomi sesaat sebelum pasien

dibangunkan post anestesi umum. Blok

peritonsiler merupakan blok

glosofaringeal intraoral didasar pilar

tonsil posterior dan anterior. Diberikan

untuk manajemen nyeri post operasi,

untuk mengurangi pemberian analgetik

opioid maupun NSAIDs pada anak,

karena tidak menimbulkan efek apneu,

mual-muntah dan perpanjangan waktu

perdarahan. Analgetik post operasi

umumnya menggunakan opiod yang

dapat menyebabkan sedasi, depresi

refleks batuk, mual-muntah, hingga

apneu ; ataupun NSAIDs yang

memiliki resiko terjadinya

perpanjangan waktu perdarahan

ataupun gangguan sistem saluran cerna.

Ketamin adalah suatu molekul dapat

larut dalam air yang menyerupai

phencyclidine. ketamin tidak hanya

digunakan dalam general anestesi tetapi

juga regional anestesi. Neuronal system

mungkin melibatkan kerja

antinosiseptif dari ketamin, blokade

norepinefrin dan serotonin reseptor

merupakan kerja ketamin sebagai

analgesia. Dari berbagai data menduga

bahwa aksi antinosiseptif dari ketamin

mungkin menghambat jalur

monoaminergik nyeri. Ketamin juga

saling berhubungan dengan reseptor

kolinergik muskarinik dalam sistem

saraf pusat, yang berpusat pada kerja

agen antikolinesterase seperti

physostigmine. Pehakain yang

merupakan kombinasi dari lidokain dan

adrenalin, sebagai pengencer ketamin,

digunakan untuk mempercepat onset

kerja obat, dan efek hemostasis akibat

efek vasokonstriktor hebat dan agregasi

platelet dari adrenalin. Dari hasil

penelitian ini, dengan menggunakan

ketamin 0,2 mg/kgBB, rasa nyeri

postop berkurang hingga 6 jam post

operasi pada ketiga subyek, walaupun

pada sesaat setelah operasi selesai ( 15

menit diruang pemulihan), 1 pasien

mengeluh nyeri sedang. Cho dkk2

membuktikan bahwa pemberian

ketamin dengan blok peritonsiler secara

efektif menurunkan nyeri post operasi

post operasi adenotonsilektomi pada

anak dan juga menurunkan kebutuhan

analgesia post operasi. Khademi S3 dkk

juga membuktikan bahwa blok

peritonsiler menggunakan ketamin

menurunkan nyeri post tonsilektomi

dan kebutuhan analgesik post operasi

lebih efektif dibandingkan pemberian

ketamin intravena. Ayatollahi Y3

membandingkan antara pemberian

ketamin dengan tramadol pada blok

peritonsiler, memberikan hasil tramadol

lebih kuat dan lebih cepat memberikan

efek analgesia dibandingkan tramadol,

ketamin memberikan efek halusinasi

post operasi, dan keduanya

memberikan efek mual muntah post

operasi. Kombinasi lain yang juga

sering digunakan adalah ketamin-

Page 57: Jurnal Anestesiologi Indonesia - · PDF fileManajemen nyeri pada pasien pasca kraniotomi masih belum banyak diteliti. Disamping itu, panduan klinis mengenai manajemen nyeri pasca

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume VII, Nomor 2, Tahun 2015

119

midazolam, biasanya memberikan efek

anestesi yang singkat. Anestesi ini

bekerja dengan cepat mendepresi SSP,

menyebabkan iritasi ringan pada vena,

mempunyai efek yang ringan terhadap

jantung dan sistem respirasi. Kombinasi

obat ini sangat efektif mencegah Post

Operatif Nausea and Vomiting

(PONV). Pemberian midazolam dapat

mengurangi kerja kardiovaskuler dan

peningkatan frekuensi denyut jantung

yang disebabkan oleh penggunaan

ketamin. Pada observasi ini midazolam

diberikan sebagai premedikasi dengan

dosis 0,07 mg/kgBB, dan untuk

pencegahan PONV diberikan

dexametason 0,1 mg/kgBB sesaat

setelah memasukkan propofol saat

induksi. Pada penelitian ini, 2 dari 3

pasien mengalami muntah post operasi

pada 6 jam observasi, dan tidak ada

pasien yang mengalami efek

psikomimetik dari pemberian ketamin.

SIMPULAN

Blok peritonsiler dengan menggunakan

ketamin dan pehakain sebagai pelarut

Daftar Pustaka

1. Merkel, S. I., Voepel-Lewis, T.,

Shayevitz, J. R., Malviya, S.

(1997) The FLACC: A behavioral

scale for scoring postoperative

pain in young children. Pediatric

Nursing, 1997:k23(3), 293–297.

2. Cho HK, Kim KW, Jeong YM,

Lee HS, Lee JY, et al. Efficacy of

Ketamine in Improving Pain Af-

ter Tonsillectomy in Children :

Meta Analysis (2014) . PloS ONE

June 2014 : 9(6) : e101259

3. Khademi S, Ghaffarpasand F,

Heiran HR, Yavari MJ, et al. In-

travenous and Pritonsiller infiltra-

tion of Ketamin for Post Operatif

Pain after Adenotonsillectomy :

A Randomized Placebo-

Controlled Clinical Trial. Med

Princ Pract 2011; 20:433-437

4. Ayatollahi V, Behdad S, Hatami

M, Mostaghiun H, et al. Compari-

son of peritonsillar infiltration

effect on Ketamin and Tramadol

on Post Tonsillectomy pain : a

double blinded randomized place-

bo controlled clinical trial. Croat

Med J. 2012 Apr; 53(2) : 155-61

Page 58: Jurnal Anestesiologi Indonesia - · PDF fileManajemen nyeri pada pasien pasca kraniotomi masih belum banyak diteliti. Disamping itu, panduan klinis mengenai manajemen nyeri pasca

120

Jurnal Anestesiologi Indonesia

PENELITIAN

Meperidin, ketamin dan klonidin efektif untuk terapi menggigil pada

Sectio Secaria dengan anestesi spinal

Uripno Budiono *

Bagian Anestesi dan Terapi Intensif FK Universitas Diponegoro/ RSUP dr Kariadi, Semarang

Dokter mitra pada RS Panti Wilasa, Citarum, Semarang

*Korespondensi/correspondence: [email protected]

Meperidine, ketamine and clonidine effective for the treatment of shivering in

Sectio Secaria with spinal anesthesia

ABSTRACT

Background : Spinal anesthesia is a common anesthesia procedure for caesarian

section, but it can cause shivering during perioperative period. Shivering cause patient

discomfort, harm the patient and disrupt peri- and postoperative monitoring.

Ondansetron, meperidine, clonidine, and ketamine are drugs that can overcome

shivering.

Objective: to know the incidence of shivering in caesarian section patients who

received ondansetron preoperative, and assess the effectiveness of shivering therapy :

meperidine, clonidine, and ketamine in caesarian section with spinal anesthesia

Methods: caesarian section patients with spinal anesthesia who meet the inclusion and

exclusion criteria, given premedication atropine sulfate 0.25 mg and 4 mg

ondansetron half an hour before operation. Spinal anesthesia usinf hyperbaric

bupivacaine. If hypotension occured were treated with ephedrine, in the event of

bradycardia given atropine sulfate. We observed on the onset and severity of

shivering. Patients who shivered then grouped into 3 groups. M group treated with 25

mg of meperidine. K group treated with 25 mg of ketamine and L group received 75

mcg clonidine therapy. Treatment response was measured from the injection treatment

until loss of shivering. Treatment was considered successful when within 15 minutes of

shivering disappear. We also measured sedation scores and adverse effects like

nausea, vomiting, bradycardia, hypotension, a sign of allergies, delirium, respiratory

depression and other side effects. If side effects occur treated in an appropriate

manner.

Results: Shivering occurred in 46% of patients. The three groups showed no

significant difference, both in terms of response to therapy and therapeutic efficacy.

Conclusion: Shivering occurred in 46% of caesarian section patients with spinal

Volume VII, Nomor 2, Tahun 2015

Terakreditasi DIKTI dengan masa berlaku 3 Juli 2014 - 2 Juli 2019

Dasar SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 212/P/2014

Page 59: Jurnal Anestesiologi Indonesia - · PDF fileManajemen nyeri pada pasien pasca kraniotomi masih belum banyak diteliti. Disamping itu, panduan klinis mengenai manajemen nyeri pasca

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume VII, Nomor 2, Tahun 2015

121

PENDAHULUAN

Anestesi spinal banyak dilakukan

pada sectio secaria, karena mudah dik-

erjakan, onsetnya cepat dan obat anestesi lo-

kal yang digunakan sedikit, sehingga resiko

anesthesia who received ondansetron preoperative. Meperidine, ketamine and clonidine

effective and have the same effectiveness for shivering treatment in caesarian section patients

with spinal anesthesia.

Keywords: shivering, caesarian section, ondansetron, meperidine, ketamine, clonidine

ABSTRAK

Latar Belakang : Anestesi spinal banyak dilakukan pada sectio cesarea, tetapi anestesi spinal

dapat menimbulkan menggigil pada periode perioperatif. Menggigil menyebabkan pasien tidak

nyaman, membahayakan pasien dan mengacaukan pemantauan peri dan postoperatif.

Ondansetron, meperidin, klonidin, dan ketamin adalah obat-obatan yang dapat mengatasi

menggigil.

Tujuan: mengetahui angka kejadian menggigil pada section secaria pada pasien yang

mendapat ondansetron, dan menilai efektivitas terapi menggigil dari meperidin, klonidin, dan

ketamin pada sectio secaria dengan anestesi spinal

Metode: pasien pasien sectio secaria dengan anestesi spinal yang memenuhi kriteria inklusi

dan ekslusi, diberikan premedikasi 0,25 mg sulfas atropin dan 4 mg ondansetron setengah jam

sebelum tindakan . Dilakukan anestesi spinal dengan bupivakain hiperbarik. Bila terjadi

hipotensi diterapi dengan efedrin, bila terjadi bradikardi diberikan sulfas atropin. Dilakukan

pengamatan pada onset dan beratnya menggigil. Pasien yang menggigil kemudian

dikelompokkan kedalam 3 kelompok. Kelompok M diterapi dengan 25 mg meperidin.

Kelompok K mendapat terapi 25 mg ketamin dan kelompok L mendapat terapi 75 mcg

klonidin. Respon terapi diukur sejak penyuntikan terapi sampai hilangnya menggigil. Terapi

dianggap berhasil bila dalam waktu 15 menit tanda menggigil hilang. Dilakukan pengamatan

tentang skor sedasi dan efek samping mengenai nausea, vomitus, bradikardi, hipotensi,tanda

alergi, mengigau, depresi respirasi dan efek samping yang lain. Bila terjadi efek samping

diterapi dengan cara yang sesuai.

Hasil: Menggigil terjadi pada 46% pasien. Ketiga kelompok menunjukkan perbedaan yang

tidak bermakna, baik dalam hal respon terapi maupun keberhasilan terapi.

Simpulan: Menggigil terjadi pada 46% pasien sectio secaria dengan anestesi spinal yang

mendapat ondansetron sebelumnya. Meperidin, ketamin dan klonidin efektif dan mempunyai

efektivitas yang sama untuk terapi menggigil pada sectio secaria dengan anestesi spinal.

Kata kunci : menggigil, sectio caesaria, ondansentron, meperidin, ketamin, klonidin

Page 60: Jurnal Anestesiologi Indonesia - · PDF fileManajemen nyeri pada pasien pasca kraniotomi masih belum banyak diteliti. Disamping itu, panduan klinis mengenai manajemen nyeri pasca

122

Jurnal Anestesiologi Indonesia

toksisitas pada ibu dapat dibatasi.

Selain itu transfer obat tersebut

kedalam bayi juga kecil, sehingga resi-

ko toksik pada bayi juga kecil.

Salah satu komplikasi anestesi

spinal adalah terjadinya menggigil pada

periode perioperatif. Menggigil me-

nyebabkan pasien tidak nyaman dan

dapat membahayakan pasien, karena

dapat terjadi kenaikan kebutuhan oksi-

gen dan produksi CO2 1,2,3, pelepasan

katekolamin 1 meningkatnya cardiac

output, takikardi dan hypertensi 4,5,

meningkatnya tekanan intra oculi 6,

meningkatnya tekanan intra cranial 7,

menurunnya saturasi oksigen mixed

vena 8, dan mengacaukan monitor 9,10.

Sebab terjadinya menggigil pa-

da anestesi spinal belum jelas, menggi-

gil merupakan kontraksi otot berulang

ulang sebagai refleks proteksi untuk

meningkatkan produksi panas. Pada

lingkungan yang dingin suhu tubuh di-

pertahankan oleh efek simpatis berupa

vasokonstriksi. Anestesi spinal me-

nyebabkan blok syaraf simpatis setinggi

segmen yang terkena, menyebabkan

vasodilatasi pada daerah yang terkena

blok. Untuk mempertahankan suhu

tubuh maka terjadilah redistribusi atau

terjadi aliran pemindahan panas dari

daerah yang tidak terkena blok menuju

kedaerah yang terkena blok, karena itu

dperlukan peningkatan produksi panas

didaerah yang tidak terkena blok 11. Pa-

da regional anestesi juga terjadi

gangguan termoregulator akibat ter-

jadinya hambatan informasi termal pa-

da syaraf afferent 12. Anestesi spinal

dan epidural menurunkan ambang batas

termoregulator 13.

Pada umumnya menggigil diat-

asi dengan cara menghangatkan pasien

dan memberikan obat obatan antara lain

memperidin, ondansentron, clonidin,

dan ketamin.

Meperidin telah banyak

digunakan untuk mencegah atau terapi

menggigil perioperatif, mekanismenya

belum jelas, diduga mempunyai efek

pada pusat termoregulator melalui

reseptor opioid kappa 14. Tetapi mempu-

nyai kekurangan antara lain menyebab-

kan nausea, vomitus, bronkospasme dan

penurunan tekanan darah. Penurunan

tekanan darah akan memperberat hipo-

tensi yang dapat terjadi pada anestesi

spinal.

Clonidin mempunyai sifat se-

bagai agonis partial alpha 2 sehingga

dapat menurunkan aktifitas simpatis,

karena itu clonidin akan melawan

reseptor adrenergik sentral yang diduga

berperan dalam pengaturan menggigil.

Clonidin akan menurunkan ambang ba-

tas menggigil dan vasokonstriksi 15,16.

Clonidin mempunyai kekurangan antara

lain menimbulkan sedasi, bradikardi,

atau turunnya tekanan darah 17, yang

dapat memperberat hipotensi dan bradi-

kardi yang terjadi pada anestesi spinal.

Ketamin adalah suatu antagonis

kompetitif reseptor N Metil D Aspartat

(NMDA) berperan dalam pengaturan

panas pada berbagai tingkatan. Reseptor

NMDA melakukan pengaturan fungsi

neuron adrenergik dan serotonergik

dilokus caroleus, kemungkinan mengen-

Page 61: Jurnal Anestesiologi Indonesia - · PDF fileManajemen nyeri pada pasien pasca kraniotomi masih belum banyak diteliti. Disamping itu, panduan klinis mengenai manajemen nyeri pasca

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume VII, Nomor 2, Tahun 2015

123

dalikan menggigil dengan cara termo-

genesis non shivering melalui aksinya

di hipothalamus atau menggunakan

efek beta adrenergik dari norepineprin 18. Ketamin dapat dipakai untuk

mengatasi menggigil pada pasien hip-

potensi, bradikardi atau depresi

respirasi yang dapat terjadi pada pasien

pasien yang mendapat anestesi spinal.

Tetapi mempunyai kekurangan karena

dapat menyebabkan halusinasi, deliri-

um, mengantuk, takikardi, mening-

katnya tekanan intra kranial dan

tekanan intra oculi 19.

Ondansentron adalah obat anti

emetik yang merupakan antagonis 5

Hidroksi Triptamin 3 (5HT3) spesifik 20. 5HT3 atau serotonin adalah suatu

amin yang terdapat didalam otak dan

medula spinalis berperan dalam neuro-

transmisi 21. Penyuntikan 5HT intra

ventrikel pada binatang percobaan me-

nyebabkan menggigil, vasokonstriksi

dan meningkatnya core temperatur 22,23. Karena itu sebagai antagonis

5HT3 spesifik ondansentron dapat

dipakai untuk mencegah menggigil

perioperatif. Keuntungan pemakaian

ondansentron mempunyai kelebihan

dibanding antimenggigil yang efeknya

sentral seperti ketiga obat diatas, kare-

na ondansentron tidak menimbulkan

pengaruh pada hemodinamik 24.

Tujuan dari penelitian ini ada-

lah mengetahui angka kejadian meng-

gigil pada sectio secaria dengan

anestesi spinal yang mendapat on-

dansentron. Selain itu menilai efektifi-

tas terapi mengigil dari ketamin,

clonidin dan meperidin pada pasien

pasien tersebut.

METODE

Angka kejadian menggigil

didapat dengan mengamati 200 ibu

hamil aterm yang menjalani sectio

secaria dengan anestesi spinal dirumah

sakit Panti Wilasa Citarum Semarang

pada tahun 2010, 2011, 2012 dan 2013.

Sebagai persyaratan adalah usia

18 – 40 tahun, status fisik ASA I – II,

tidak ada kontra indkasi pada tindakan,

riwayat alergi dan kontra indikasi pada

obat obat yang digunakan, tidak obesi-

tas, bukan preeklamsi berat, tidak da-

lam keadaan demam, panas atau

menerima transfusi darah dan setuju

dilakukan tindakan tersebut.

Semua pasien mendapat 0,25

mg Sulfas Atropin dan 4 mg On-

dansetron i.m setengah jam sebelum

tindakan. Kemudian diberikan infus

500 cc ringer laktat menggunakan kate-

ter intra vena no 20 yang dipasang pada

lengan atas. Cairan tersebut diberikan

dalam waktu 20 – 30 menit.

Anestesi spinal dilakukan pada

spasium intervertebra L3-4 dengan po-

sisi duduk. Dilakukan asepsis dan anti-

septik pada punggung dilanjutkan

dengan suntikan 1 cc lidokain 2% un-

tuk anestesi lokal, dilanjutkan dengan

anestesi spinal memakai bupivakain

hiperbarik.

Pasien kemudian dibaringkan

terlentang, posisi meja operasi diatur

agar dicapai blok sensorik setinggi T7-

T8, kemudian meja operasi dibuat hori-

Page 62: Jurnal Anestesiologi Indonesia - · PDF fileManajemen nyeri pada pasien pasca kraniotomi masih belum banyak diteliti. Disamping itu, panduan klinis mengenai manajemen nyeri pasca

124

Jurnal Anestesiologi Indonesia

zontal, pasien diberi oksigen 3 l per

menit melalui kanula hidung, dipasang

kateter urin, diselimuti dilnjutkan sectio

secaria dengan irisan pfanen stiel oleh

dokter spesialis kebidanan.

Monitoring menggunakan pulse

oksimetri dan tensimeter non invasif

otomatis setiap 5 menit. Bila tekanan

darah sistolik turun 20% atau lebih

dibanding awal atau dibawah 90 mmHg

pasien diberi 10 mg efedrin bolus intra

vena. Bila terjadi bradikardi diberi sul-

fas atropin intra vena.

Derajat menggigil ditentukan

seperti penelitian yang dilakukan oleh

Crossley dan Mahajan 25 sebagai beri-

kut 0 : Tidak menggigil, 1 : Terlihat

salah satu atau keduanya, pillo ereksi,

vasokontriksi perifer tetapi tidak ter-

lihat aktifitas otot, 2 : Terlihat aktifitas

pada satu grup otot, 3 : Terlihat aktifitas

lebih dari satu grup otot, 4 : Terlihat

menggigil pada seluruh otot.

Onset terjadinya menggigil

diukur dari saat selesai melakukan

penyuntikan bupivacain sampai terlihat

menggigil.

Pasien menggigil derajat 3 dan

4 atau menggigil derajat 1 dan 2 yang

merasa tidak nyaman diberi terapi

dengan meperidin, ketamin, atau

klonidin. Untuk menilai efektifitas tera-

pi diambil dari pasien menggigil dera-

jat 3 dan 4, kemudian dikelompokan

sesuai dengan obat yang diberikan se-

bagai berikut. Kelompok M adalah

pasien yang mendapat 25 mg meperidin

intra vena. kelompok K adalah pasien

yang mendapat 25 mg ketamin. Ke-

lompok CL adalah pasien yang

mendapat 75 mcg klonidin. Juga dil-

akukan pengamatan mengenai keluhan

pasien seperti mual, muntah atau ke-

lainan lain, bila terjadi mual atau

muntah diberi 10 mg metoklopramid

intra vena. Apgar skor dinilai oleh dok-

ter spesialis anak.

Juga dilakukan pengamatan ten-

tang efek samping mengenai kesadaran,

tanda alergi, mengigau, depresi

respirasi, dan efek samping yang lain.

Penilaian mengenai kesadaran

dilakukan dengan skor sedasi. 0 :

bangun sepenuhnya. 1 : sedasi ringan

tapi mengantuk. 2 : mengantuk tapi ada

respon dari perintah. 3 : tidur tapi masih

dapat dibangunkan. 4 : tidur tidak dapat

dibangunkan.

Respon terapi diukur dari saat

melakukan terapi sampai tanda meng-

gigl tidak terlihat, dianggap berhasil

bila menggigil tidak terlihat lagi, diang-

gap gagal bila dalam waktu 15 menit

tanda menggigil tidak hilang. Kemudi-

an diterapi ulang.

HASIL

Didapat 200 pasien, 92 (46%)

diantaranya mengalami menggigil.

Semuanya dimulai dengan piloereksi

yang kemudian berkembang menjadi

tremor intermitten pada otot rahang,

diikuti pada wajah, kemudian leher,

dada, selanjutnya ekstremitas atas.

Kemudian tremor menjadi menetap.

Melihat hal tersebut maka derajat be-

ratnya menggigil berkembang dari rin-

gan ke berat sesuai dengan ber-

Page 63: Jurnal Anestesiologi Indonesia - · PDF fileManajemen nyeri pada pasien pasca kraniotomi masih belum banyak diteliti. Disamping itu, panduan klinis mengenai manajemen nyeri pasca

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume VII, Nomor 2, Tahun 2015

125

tambahnya waktu. Dari 92 pasien

menggigil 7 orang berkembang hanya

sampai derajat 2, 9 orang menetap pada

derajat 1. Sehingga yang dimasukkan

dalam penilaian respon terapi sebanyak

76 orang. Semua kejadian menggigil

terlihat setelah bayi berhasil dilahirkan.

Untuk menjaga keselamatan dan

kenyamanan pasien maka terapi meng-

gigil dilakukan pada saat menggigil

mencapai derajat 3, sehingga tidak

didapat pasien menggigil derajat 4.

Dari 76 pasien yang menggigil

tersebut 26 orang mendapat terapi 25

mg meperidin (kelompok M), 25 orang

mendapat terapi 25 mg ketamin

(kelompok K), dan 25 orang mendapat

terapi 75 mcg klonidin (kelompok CL).

Data data mengenai umur, BMI,

tekanan darah sistol, tekanan darah di-

astol, frekuemsi denyut nadi dan onset

terjadinya menggigil menunjukkan

koefisien varian kurang dari 30% se-

hingga data terdistribusi normal. Dari

analisa statistik one way ANOVA keti-

ga kelompok tersebut menunjukkan

perbedaan yang tidak bermakna

(p>0,05) sehingga ketiga kelompok ter-

sebut dianggap homogen dan memen-

uhi syarat untuk dibandingkan dalam

penelitian.

Respon terapi dan hasil terapi

ketiga kelompok juga menunjukkan

perbedaan yang tidak bermakna

(p>0,05).

Efek samping mual muntah

semua terjadi pada saat rongga perut

dibersihkan, hal ini terjadi pada semua

kelompok. Bradikardi terjadi pada 3

orang dari kelompok CL. Skor sedasi

terendah didapat pada kelompok K.

Hasil selengkapnya terlihat pada tabel

1.

PEMBAHASAN

Semua sampel dari penelitian

ini mendapat 4 mg ondansentron I.M

setengah jam sebelum dilakukan

anestesi spinal. Ondansetron adalah

obat aniemetik yang merupakan antago-

nis 5HT spesifik sehinga mempunyai

sifat anti menggigil. Tetapi dalam

penelitian ini masih dijumpai angka

menggigil yang mencapai 46% jauh

lebih tinggi dari penelitian yang dil-

akukan oleh Shakya maupun Kelsaka.

Shakya memberikan 4 mg ondansen-

tron I.V sesudah anestesi spinal dil-

akukan mendapatkan angka menggigil

8% 26. Sementara Kelsaka memberikan

8 mg ondansentron I.V sesudah anestesi

spinal dilakukan mendapatkan angka

menggigil 10% 27.

Perbedaan ini mungkin karena

dua penelitian tersebut memberikan on-

dansentron secara I.V, tidak

menggunakan premedikasi sulfas atro-

pin dan kasusnya bukan ibu hamil.

Tetapi dari penelitian Browning dkk.

Kemungkinan tersebut tidak tebukti

seluruhnya, Browning memberikan 8

mg ondansentron IV pada ibu sectio

secaria menjelang anestesi CSE dil-

akukan mendapatkan angka menggigil

41% pada kelompok ondansetron dan

47% pada kelompok placebo. Agka

menggigil berat mencapai 32% pada

kelompok ondansetron dan 33% pada

Page 64: Jurnal Anestesiologi Indonesia - · PDF fileManajemen nyeri pada pasien pasca kraniotomi masih belum banyak diteliti. Disamping itu, panduan klinis mengenai manajemen nyeri pasca

126

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Variabel M K CL p

n=26 n=25 n=25

Umur 25,7 ± 5,1 25,9 ± 5 25,6 ± 5,3 0,644*

BMI 24,9 ± 1,8 24,8 ± 1,7 25,1 ± 1,5 0,832*

Sistole 122 ± 6,2 121 ± 6,4 123 ± 6,1 0,646*

Diastole 79 ± 4,6 80 ± 5,4 78 ± 5,2 0,641*

Nadi 80 ± 4,3 81 ± 3,8 80 ± 4,1 0,653*

Onset Mengigil 12,2 ± 2,2 11 ± 2,6 12 ± 2,4 0,549*

Respon terapi 4,2 ± 1,2 4,3 ± 1,2 4,2 ± 1,2 0,511*

Hasil Terapi

Berhasil 25 25 24 0,21o

Tidak berhasil 1 0 1

Efek Samping

Mengigau - 4 -

Bradikardi - - 3

Hipotensi - - -

Alergi - - -

Nausea 3 3 3

Vomitus 1 1 1

Skor Sedasi

0 20 - 19 0,283(M:K)o

1 5 4 5 0,021(M;CL)o

2 - 15 - 0,021(K;CL)o

3 - 6 -

Tabel 1.

Keterangan

* One Way ANNOVA o Chi Square

Page 65: Jurnal Anestesiologi Indonesia - · PDF fileManajemen nyeri pada pasien pasca kraniotomi masih belum banyak diteliti. Disamping itu, panduan klinis mengenai manajemen nyeri pasca

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume VII, Nomor 2, Tahun 2015

127

kelompok placebo. Dari penelitian ini

Browning berpendapat bahwa profil-

aksis ondansetron tidak dapat

mencegah menggigil dan tidak bisa

mengurangi beratnya menggigil pada

sectio secaria dengan CSE 28. Dari

penelitian Komatsu disimpulkan bahwa

ondansetron tidak merubah core tem-

peratur dan ambang batas pemicu vaso-

konstriksi dan menggigil 29.

Pada penelitian ini insiden

menggigil mencapai 46%, lebih rendah

dibanding angka kejadian menggigil

pada kelompok kontrol dari penelitian

Abdelrachman pada anestesi spinal

sebesar 55% 30, lebih rendah dari ke-

lompok placebo yang didapat dari

penelitian Lone pada anestesi spinal

untuk tindakan urologi sebesar 65% 31.

Angka pada penelitian ini juga lebih

rendah dari angka kejadian menggigil

pada anestesi neuraxial sebesar 55%

yang didapat dari analisa crowley dan

Buggy dari 21 penelitian 32. Tetapi ang-

ka menggigil pada penelitian ini

melebihi angka menggigil pada ke-

lompok kontrol dari penelitian Shakya

sebesar 42,5% 26 maupun kelompok

kontrol dari penelitian Kelsaka sebesar

36% 27.

Hal tersebut mungkin karena

penelitian Shakya maupun Kelsaka me-

makai premedikasi diazepam yang

menjadi faktor penyebab rendahnya

angka menggigil. Hal ini didukung oleh

penelitian Goold yang meyimpulkan

bahwa diazepam dapat mengurangi in-

siden menggigil pasca anestesi dengan

halotan 33. Sementara dari penelitian

Hostler disimpulkan bahwa diazepam

dosis tiggi dapat menurunkan komsum-

si oksigen dan mengurangi insiden

menggigil 34.

Faktor lain yang berpengaruh

pada tingginya angka menggigil pada

peneitian ini adalah diguakannya sulfas

atropin untuk premedikasi. Hal ini ter-

lihat dari penelitian Baxendale dimana

premedikasi dengan obat obat anti ko-

linergik meningkatkan insiden dan

memperberat menggigil postoperasi 35.

Onset terjadinya menggigil pada

penelitian ini sekitar 12 menit, lebih

pendek dari penelitian Tsai dan Chu

yan berkisar antara 15- 26 menit, hal ini

mumngkin karena penelitian Tsai dan

Chu dilakukan pada sectio secaria

dengan epidural 36 dimana anestesi epi-

dural membutuhkan onset yang lebih

lama dibandingkan anestesi spinal.

Pada penelitian ini meperidin,

ketamin, maupun klonidin ketiganya

efektif dan sama kuat untuk terapi

menggigil pada anestesi spinal, ketiga

kelompok berbeda tidak bermakna,

menggigil dapat dihilangkan dalam kis-

aran waktu sekitar 4 menit setelah tera-

pi.

Meperidin mempunyai efek pa-

da pusat termoregulator melalui

reseptor opioid kappa sehingga dapat

mengatasi menggigil 14. Penelitian

sebelumnya telah menunjukan bahwa

meperidin dapat mengatasi menggigil

baik diberikan secara I,V 37,38,39, intrate-

kal 40,41,42,43 maupun epidural 44. Pada

penelitian ini meperidin dapat

menghilangkan menggigil dala waktu

4,2 ± 1,2 menit, hampir sama dengan

Page 66: Jurnal Anestesiologi Indonesia - · PDF fileManajemen nyeri pada pasien pasca kraniotomi masih belum banyak diteliti. Disamping itu, panduan klinis mengenai manajemen nyeri pasca

128

Jurnal Anestesiologi Indonesia

penelitian Tsai dan Chu, terapi meperi-

din I.V dapat menghilangkan menggigil

dalam waktu 4,2 ± 2,3 menit pada

anestesi epidural 36.

Sebagai antagonis reseptor

NMDA, ketamin dapat mengatasi

menggigil postoperasi 18. Dari

penelitian Dal terbukti bahwa ketamin

0,5 mg /kgbb efektif mencegah menggi-

gil pasca anestesi umum 45. Sementara

dari penelitian Sarim didapat bahwa

efektifitas ketamin 0,25 mg/kgbb sama

dengan petidin 0,5 mg/kgbb dalam

mencegah menggigil pasca anestesi

umum46. Ketamin juga efektif

mencegah menggigil pada anestesi spi-

nal. Dari peneltian Sagir terlihat bahwa

ketamin 0,5 mg/kgbb efektif mencegah

menggigil pada anestesi spinal dan tid-

ak didapat pasien yang menggigil 47.

Sementara dari peneitian Shakiya keta-

min 0,25 mg/kgbb juga efektif

mencegah menggigil pada anestesi spi-

nal tetapi masih didapat 1 dari 40

pasien yang menggigil 26. Sementara

dari penelitian ini ketamin efektif untuk

terapi menggigil pada anestesi spinal,

disini juga terlihat bahwa ketamin sama

efektifnya dengan meperidin naupun

klonidin.

Klonidin dapat mengatasi

menggigil karena sifatnya sebagai ago-

nis partial alpha2 15. Klonidin I.V yang

diberikan pada saat induksi dapat men-

gurangi insiden menggigil pasca

anestesi umum 48. Efektifitas maksimal

untuk mencegah menggigil pasca

anestesi didapat bila klonidin diberikan

I.V pada akhir operasi 49. Selain secara

I.V klonidin peroral juga efektif

mencegah menggigil pasca anestesi

umum, hal ini terlihat dari penelitian

Mohammadi 50. Dari penelitian Lone

didapat bahwa klonidin oral efektif

mencegah menggigil pada anestesi spi-

nal 31. Tetapi bila diberikan secara in-

tratekal klonidin tidak mengurangi in-

siden menggigil, hal ini terlhat dari

penelitian Jeon 51. Selain untuk

pencegahan klonidin juga efektif untuk

terapi menggigil pasca anestesi 16.

Klonidin juga efektif mengatasi meng-

gigil pada anestesi epidural untuk per-

salinan 52. Hasil dari penelitian ini

klonidin sama efektifitasnya dengan

meperidin untuk terapi menggigil pada

sectio secaria dengan anestesi spinal.

Hal yang sama didapat dari penelitian

Mercadante dimana klonidin sama

efektifnya dengan petidin untuk terapi

menggigil post partum dengan anestesi

epidural 53.

Pada penelitian ini terapi meng-

gigil semuanya dilakukan setelah bayi

dilahirkan, sehingga obat obat tersebut

tidak berpengaruh pada bayi.

Pada penelitian ini tidak ada

menggigil derajat 4 karena semua

pasien dengan kategori menggigil dera-

jat 3 sudah mendapat terapi sehingga

tidak bisa diketahui berapa jumlah

pasien menggigil terberat dan seberapa

besar efektivitas respon terapi pada

menggigil derajat terberat ini merupa-

kan keterbatasan penelitian.

Keterbatasan penelitian yang

lain adalah mual muntah terjadi pada

semua kelompok dan terjadi pada saat

rongga perut dibersihkan, sehingga sulit

Page 67: Jurnal Anestesiologi Indonesia - · PDF fileManajemen nyeri pada pasien pasca kraniotomi masih belum banyak diteliti. Disamping itu, panduan klinis mengenai manajemen nyeri pasca

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume VII, Nomor 2, Tahun 2015

129

5. Sessler DI, Rubinstein EH, Mo-

ayeri A. Physiologic responses to

mild perianesthetic hypothermia

in humans. Anesthesiology 1991:

75: 594-610

6. Mahajan RP, Grover VK, Sharma

SL, Singh H: Intraocular pressure

changes during muscular hyper-

activity after general Anesthe-

sia.Anesthesiology 1987; 66: 419

-21

7. Rosa G, Pinto G, Orsi P, De Blasi

RA, Conti G, Sanita R, La Rosa I,

Gasparetto A: Control of post an-

aesthetic shivering whit nefopam

hydrochloride in mildly hypother-

mic patients after neurosurgery.

Acta Anaesthesiol Scand 1995;

39: 90-5

8. Kaplan JA, Guffin AV. Shivering

and changes in mixed venous ox-

ygen saturation after cardiac sur-

gery. Anesth Analg 1985; 64: 235

-9

9. De Courcy JG, Eldred C: Artefac-

tual “hypotension” from shiver-

ing. Anaesthesia 1989; 44: 787-8

10. Barker SJ, Shah NK: Effects of

motion on the performance of

pulse oximeters in volunteers.

Anesthesiology 1996; 85: 774-81

11. Matsukawa T, SesslerDI, Chris-

tensen R, Ozaki M, Schroeder M.

Heat flow and distribution during

epidural anesthesia. Anesthesiolo-

gy. 1995; 83: 961-967

12. Kurz A, Sessler DI Schroeder M,

Kurz M. Thermoregulatory re-

sponse thresholds during spinal

anesthesia. Anesth Analg 1983;

77: 721-6

13. Ozaki M, Kurz A, Sessler DI,

Lenhardt R, Schroeder M, Mo-

ayeri A at all. Thermoregulatory

thresholds during epidural anad

spinal anesthesia. Anesthesiology

1994; 81: 282-8

DAFTAR PUSTAKA

1. Ciofolo MJ, Clergue F, Devilliers

C, Ben-Ammar M, Viars P:

Changes in ventilaton,Oxygen

uptake, and carbon dioxide output

during recovery from isoflurane

anesthesia. Anesthesiology 1989;

70: 737-41

2. Jones HD, Mc Laren CAB. Post-

operative shivering and hypoxae-

mia after halothane, nitrous oxide

and oxygen anaesthesia. Br J

Anaesth 1965; 37: 35-41

3. Just B, Delva E, Camus Y,

Lienhart A: Oxygen uptake dur-

ing recovery following naloxone.

Anesthesiology 1992; 76: 60-4

4. Bay J, Nunn JF, Prys-Robert C.

Factors influencing arterial PO2

during recovery from anaesthesia.

Br J naesth 1968; 40: 398-407

membedakan apakah disebabkan oleh

terapi, oleh manipulasi rongga perut,

atau keduanya.

Penurunan kesadaran terberat

terjadi pada kelompok K, tetapi hanya

sementara, pada kelompok ini 4 pasien

mengigau yang tidak didapat pada ke-

lompok lain.

SIMPULAN

Menggigil terjadi pada 46%

pasien sectio secaria dengan anestesi

spinal yang mendapat ondansentron

sebelumnya. Meperidin, ketamin dan

klonidin efektif dan mempunyai eektifi-

tas yang sama untuk terapi menggigil

pada sectio secaria dengan anstesi spi-

nal.

Page 68: Jurnal Anestesiologi Indonesia - · PDF fileManajemen nyeri pada pasien pasca kraniotomi masih belum banyak diteliti. Disamping itu, panduan klinis mengenai manajemen nyeri pasca

130

Jurnal Anestesiologi Indonesia

14. Kurz M, Belani K, Sessler DI,

Kurz A, Larson M, Blanchard D,

Schroeder M: Naloxone, meperi-

dine, and shivering. Anesthesiolo-

gy 1993; 79: 1193-201

15. Delaunay L, Bonnet F, Liu N,

Beydon L, Catoire P, Sessler DI.

Clonidine comparably decreases

the thermoregulatory thresholds

for vasocontrictiion and shivering

in humans. Anesthesiology.1993;

79: 470-474

16. Joris J, Banache M, Bonnet F,

Sessler DI, Lamy M. Clonidine

and ketanserin both are effective

treatment for postanesthetic shiv-

ering. Anesthesiology 1993; 79:

532-9

17. Maze M, Tranquilli W. Alpha2

adrenoceptor agonists: defining

the role in clinical anesthesia. An-

esthesiology 1991; 74: 581-605

18. Sharma DR, Thakur JR. Keta-

mine and shivering. Anaesthesia

1990; 45: 252-3

19. White PF, Way WL, Trevor AJ:

Ketamine: its Pharmacological

and therapeutic uses. Anesthesiol-

ogy 1982; 56: 119-36

20. Gardner C, Perren M, Inhibition

of Anaesthetic-induced emesis by

a NK1 or 5-HT3 receptor antago-

nist in the house musk shrew,

Suncus murinus. Neuropharmacol

1998; 37: 1643-4

21. Hindle AT. Recent developments

in the physiology and pharmacol-

ogy of 5- hydroxytryptamine. Br

J Anaesth 1994; 73: 395-407

22. Feldberg W, Myers RD: Efect on

temperature of amines injected

into the cerebral ventricles: A

new concept of temperature regu-

lation. J Physiol 1964; 173: 226-

37

23. Dawson NJ, Malcolm JL. Initia-

tion and inhibition of shivering in

the rat: interaction between pe-

ripheral and central factors. Clin

Exp Pharmacol Physiol 1982; 9:

89-93

24. Diemunsch P, Conseiller C, Clyti

N, Mamet JP. Ondansentron com-

pared with metoclopramide in the

treatment of estabilished postop-

erative nausea and vomiting: the

French Ondansentron Study

Group. Br J Anaesth 1997;

79:322-6

25. Crossley AW, Mahajan RP. The

intensity of postoperative shiver-

ing is unrelated to axillary tem-

perature. Anaesthesia. 1994; 49:

205-207

26. Shakya B, Chaturvedi A, Sah BB.

Prophylactic low dose ketaminaae

and ondansentron for prevention

of shivering during spinal anaes-

thesia. J Anaesth Clin Pharmacol

2010; 26: 465-469

27. Kelsaka E, Baris S, Karakoya D,

Sarihasan B. Comparison of on-

dansentron and meperidine for

prevention of shivering in pa-

tients undergoing spinal anesthe-

sia. Reg Anesth Pain Med. 2006;

31: 40-5

28. Browning RM, Fellingham WH,

O’loughin EJ, Brown NA, Faech

MJ. Prophylactic ondansentron

does not prevent shivering or de-

crease shivering severity during

cesarean delivery under combined

spinal epidural anesthesia: a ran-

domised trial. Reg Anesth Pain

Med 2013; 38: 39-43

29. Komatsu R, Orhan-Sungur M, In

J, Podranski T, Bouillon T, Lau-

ber R dkk: Ondansentron does

not reduce the shivering treshold

in healthy volunters. Br J Anaesth

2006; 96: 732-7

Page 69: Jurnal Anestesiologi Indonesia - · PDF fileManajemen nyeri pada pasien pasca kraniotomi masih belum banyak diteliti. Disamping itu, panduan klinis mengenai manajemen nyeri pasca

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume VII, Nomor 2, Tahun 2015

131

30. Abdelrahman RS: Prevention of

shivering during regional anaes-

thesia: Comparison of midazo-

lam, midazolam plus ketaminaa,

tramadol and tramadol plus

ketaminaa. Life sci J 2012; 9: 132

-139

31. Lone IU, Bashir Y, Bashir N, Ali

SS, Shah ZA, Khan NA, Shah

MA, Lone AQ. Role of oral

clonidine in preventing postsub-

arachnoid block shivering in pa-

tients undergoing elective urolog-

ical surgeries: an experience. Ain-

Shams J Anaesthesiol 2015; 8 :

407-12

32. Crowley LJ, Buggy DJ. Shivering

and neuraxial anesthesia. Reg

Anesth Pain Med. 2008; 33: 241-

252

33. Goold JE. Post operative spastici-

ty and shivering. Anaesthesia.

1984; 39: 35-38

34. Hostler D, Northington WE,

Callaway CW. High dose diaze-

pam facilitates core cooling dur-

ing cold saline infusion in healthy

volunteers Appl Physiol Nutr

Metab. 2009; 34: 582-6

35. Baxendale BR, Mahajan RP,

Crossley AW. Anticholinergic

premedication influences the inci-

dence of postoperative shivering.

Br J Anaesth 1994; 72: 291-4

36. Tsai YC, Chu KS. A comparison

of tramadol, amitriptyline, and

meperidine for postepidural anes-

thetic shivering in parturients.

Anesth Analg. 2001; 93(5): 1288-

92

37. Casey WF, Smith CE, Katz JM,

O’Loughlin K, Weeks SK. Intra-

venous meperidine for control of

shivering during caesarian section

undr epidural anaesthesia. Can J

Anaesth. 1988; 35: 128-133

38. Wrench IJ, Cavill G, Ward JEH,

Crossley AWA: Comparison be-

tween alfentanil, pethidine and

placebo in the treatment of post-

anesthetic shivering. Br J Anaesth

1997; 79: 541-2

39. Burks L, Aisner J, Fortner CL,

Wiernik PH: Meperidine for the

treatment of shaking chills and

fever. Arch Intern Med 1980;

140: 483-4

40. Chen JC, Hsu SW, Hu LH, Hong

YJ, Tsai PS, Lin TC, et al. In-

trathecal meperidine attenuates

shivering induced by spinal anes-

thesia. Ma Zui Xue Za Zi. 1993;

31: 19-24

41. Roy JD, Girard M, Drolet P. In-

trathecal meperidine decreases

shivering during cesarean deliv-

ery under spinal anesthesia.

Anesth Analg. 2004; 98: 230-234

42. Hong JY, Lee IH. Comparison of

the effects of intrathecal mor-

phine and pethidine on shivering

after caesarian delivery under

combined-spinal epidural anaes-

thesia. Anaesthesia. 2005; 60:

1168-1172

43. Khan ZH, Zanjani AP, Makarem

J, Samadi S. Antishivering effects

of two different doses of intrathe-

cal meperidine in caesarean sec-

tion: a prospective randomised

blinded study. Eur J Anaesthesiol.

2011; 28: 202-206

44. Sutherland J, Seaton H, Lowry C,

The influence of epidural pethi-

dine on shivering during lower

segment caesarean section under

epidural anaesthesia. Anaesth In-

tensive Care 1991; 19: 228-32

45. Dal D, Kese A, Honca M, Akinci

SB, Basgul E, Aypar U, Eficacy

ofprophylactic ketamine on pre-

venting postoperative shivering.

Br J Anaesth 2005; 95: 189-92

Page 70: Jurnal Anestesiologi Indonesia - · PDF fileManajemen nyeri pada pasien pasca kraniotomi masih belum banyak diteliti. Disamping itu, panduan klinis mengenai manajemen nyeri pasca

132

Jurnal Anestesiologi Indonesia

46. Sarim BJ, Uripno-Budiono. Keta-

min dan meperidin untuk

pencegahan menggigil pada

anestesi. Jurnal Anestesiologi In-

donesia 2011; 3: 95-107

47. Sagir O, Gulhas N, Toprak H,

Yucel A, Beger Z, Ersoy O. Con-

trol shivering during regional an-

aesthesia: prophylactic ketamine

and granisetron. Acta Anaesthe-

siol Scand 2007; 51: 44-49

48. Buggy D, Higgins P, Moran C,

O’Donovan F, McCarroll M.

Clonidine at induction reduces

shivering after general anaesthe-

sia. Can J Anaesth 1997; 44: 263-

7

49. Horn EP, Werner C, Sessler DI,

Steinfath M, Schulte am Esch J.

Late intraoperative clonidine ad-

ministration prevents postan-

esthetic shivering after total intra-

venous or volatile anesthesia.

Anesth Analg. 1997; 84: 613- 617

50. Mohammadi SS, Seyedi M. Ef-

fects of oral clonidine in prevent-

ing postoperative shivering after

general anesthesia. Int J Pharma-

col 2007; 3: 441-443

51. Jeon YT, Jeon YS, Kim YC,

Bahk JH, Do SH, Lim YJ. In-

trathecal clonidine does not re-

duce post-spinal shivering. Acta

Anesthesiol Scand. 2005; 49:

1509-13

52. Capogna G, Celleno D. IV

clonidine for post-extradural shiv-

ering in parturients: a preliminary

study. Br J Anaesth 1993; 71: 294

-5

53. Mercadante S, Michele PD, Lete-

rio D, Pignataro A, Sapio M, Vil-

lari P. Efect of clonidine on post

partum shivering after epidural

analgesia. A randomised con-

trolled double blind study: JPSM

1994; 8: 294-297

Page 71: Jurnal Anestesiologi Indonesia - · PDF fileManajemen nyeri pada pasien pasca kraniotomi masih belum banyak diteliti. Disamping itu, panduan klinis mengenai manajemen nyeri pasca

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume VII, Nomor 2, Tahun 2015

133

Page 72: Jurnal Anestesiologi Indonesia - · PDF fileManajemen nyeri pada pasien pasca kraniotomi masih belum banyak diteliti. Disamping itu, panduan klinis mengenai manajemen nyeri pasca

134

Jurnal Anestesiologi Indonesia