133
Jurnal PENDIDIKAN ISSN: 2442-4846 Vol. 1 No. 3 Hal. 275- 400 September 2015 JURNAL CAKRAWALA PENDIDIKAN Jurnal Ilmiah Pendidikan Dasar, Menengah, dan Tinggi ISSN: 2442-4846 BPSDM-BJ B BPSDM-BJ B R A I L Y I A A J N

Jurnal Cakrawala September 2015

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Jurnal Cakrawala Vol 1 No 3 September 2015

Citation preview

Page 1: Jurnal Cakrawala September 2015

Jurnal

PENDIDIKAN

ISSN: 2442-4846

Vol. 1 No. 3 Hal. 275- 400 September 2015JURNALCAKRAWALAPENDIDIKAN

Jurnal Ilmiah Pendidikan Dasar, Menengah, dan Tinggi

ISSN: 2442-4846

BPSDM-BJ

BBPSDM-BJ

BR AIL YI AA JN

Page 2: Jurnal Cakrawala September 2015

CAKRAWALA PENDIDIKAN Jurnal Ilmiah Pendidikan Dasar, Menengah, dan Tinggi

ISSN: 2442-4846

Cakrawala Pendidikan memuat hasil penelitian, gagasan, dan tinjauan ilmiah serta resensi buku-buku pendidikan. Jurnal ini terbit setahun tiga kali, pada bulan Januari, Mei, dan September. Redaksi mengundang para guru, dosen, widyaiswara, peneliti, dan praktisi pendidikan untuk mengirimkan hasil penelitian dan gagasanya ke jurnal ini.

Ketua Penyunting : Dr. Muhammad Rohmadi, M.Hum.

Sekretaris Penyunting : Hasan Zainuri, M.Pd.

Penyunting Pelaksana : Memed Sudaryanto, M.Pd.

Mitra Bestari : Dr. Kundharu Saddhono, M.Hum. (FKIP Universitas Sebelas Maret)

Sukarmin, M.Si., Ph.D. (FKIP Universitas Sebelas Maret)

Syarifah Inayati, M.Si. (FKIP Universitas Sebelas Maret)

Imam Baehaqi, M.Hum. (Universitas Negeri Semarang)

Anggota Penyunting : Chafit Ulya, M.Pd. (FKIP UNS)

Diterbitkan:

Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Brilian Jaya (BPSDM-BJ)

Kota Surakarta

Ke rekening bank BNI cabang nusukan 0338489167 a.n. Muhammad Kavit.

Andi Wicaksono, M.Pd. (IAIN Surakarta)

Muhammad Lahir, M.Pd. (IKIP PGRI Pontianak)

Anang Sudigdo, M.Pd. (PGSD UST Yogyakarta)

Samuel B.T. Simorangkir, M.Pd. (Univ. Nomensen Medan)

Pelaksana Tata Usaha : Yuli Kusumawati, S.S.

Muhammad Kavit, A.Md.

Alamat Redaksi:

Graha Yuma Perkasa Group Jl. Samudra Pasai No. 49, Lt. 2, Kleco RT 02/01, Kadipiro, Surakarta 57136

Email: [email protected] Narahubung: 081391423540

Langganan tigs edisi dalam satu tahun Rp. 180.000, ditambah biaya pengiriman sesuai dengan alamat yang dituju, biaya langganan dapat ditransfer

Page 3: Jurnal Cakrawala September 2015
Page 4: Jurnal Cakrawala September 2015

DAFTAR ISI

Pendidikan Karakter Berbahasa dalam Kesantunan Tindak Tutur Imperatif Bahasa Melayu Pontianak di Lingkungan Mahasiswa IKIP PGRI Pontianak (Sebuah Kajian Sosiopragmatik)Arni, Mai Yuliastri Simarmata 275-285

Efektivitas Penerapan Model Bercerita Menggunakan Media Boneka Tangan dalam Meningkatkan Kemampuan Berbahasa Anak Usia Dini Siswa Kelompok B TK Tunas Putra Tahun 2014/2015Anik Farida 286-296

Efektivitas Penerapan Model Pembelajaran Demonstrasi terhadap Kecerdasan Matematis-Logis Siswa Kelompok B TK Mardi Utomo Kabupaten Pacitan Tahun Ajaran 2014/2015 Prihandayani 297-302

Mengasah Kemampuan Berbahasa Anak Usia Dini melalui Permainan Tebak Cerita Siswa Kelompok B2 TK Taman Harapan Kabupaten Pacitan Tahun Ajaran 2014/2015Sukaryati 303-310

Pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) dengan Media Realistis dalam Meningkatkan Kualitas Pembelajaran Gambar Bentuk Pada Siswa Kelas XI IPS 3 SMA Negeri 1 Pulokulon Tahun Pelajaran 2014 - 2015.Sutiyaso 311-320

Strategi Pengenalan Konsep Banyak dan Sedikit melalui Penerapan Model Pembelajaran Inkuiri pada Siswa Kelompok B TK Among Putra III Kabupaten Pacitan Tahun Ajaran 2014/2015 Sulami 321-327

Efektivitas Penerapan Model Pembelajaran Demonstrasi dalam Meningkatkan Kemampuan Anak di Bidang Sains pada Siswa Kelompok B TK Taman Harapan, Kabupaten Pacitan, Jawa TimurSuyati 328-334

Mengoptimalkan Motorik Halus Anak Usia Dini melalui Seni Melipat Daun Kering pada Siswa Kelompok B3 TK Muslimat NU Kabupaten Pacitan Umi Mahsanah 335-341 Kritik Sosial dalam Naskah Drama Lorong Karya Puthut Buchori: Tinjauan Sosiologi SastraIndriyana Uli, Rini Agustina, Mesterianti Hartati 342-350

Page 5: Jurnal Cakrawala September 2015

Pengenalan Nilai-nilai Agama dan Moral melalui Model Pembelajaran Sentra Imtak dengan Strategi Lagu Gubahan pada Siswa Kelompok B TK Among Putra I Kabupaten Pacitan Lilik Supriyanti 351-359

Penerapan Model Pembelajaran Sentra untuk Meningkatkan Kemampuan Berbahasa pada Siswa TK Taman Indra Jaya Kabupaten Pacitan, Jawa Timur Tahun Ajaran 2014/2015Siti Nuraeni 360-367

Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Model TGT dengan Media Monopoli Dilengkapi Kartu Soal untuk Meningkatkan Aktivitas dan Prestasi Belajar Siswa Kelas X3 SMA Negeri 1 Pulokulon Tahun Pelajaran 2014 – 2015Sri Pusporini 368-378

Strategi Meningkatkan Kemampuan Berbahasa Anak Usia Dini dengan Media Papan Flanel pada Siswa Kelompok B TK Mardi Siwi Kabupaten Pacitan Tahun Ajaran 2014/2015Sulatin 379-385

Penerapan Model Pembelajaran Permainan Memancing Ikan untuk Mengenal Konsep Bilangan pada Anak Usia Dini Kelompok B Tk Tunas Karya, Kabupaten Pacitan, Jawa TimurTri Sularsih 386-392

Penerapan Model Pembelajaran Karya Wisata untuk Meningkatkan Kreativitas Menggambar pada Siswa Kelompok B TK Tunas Karya, Kabupaten Pacitan, Jawa TimurWidi Astuti 393-400

Page 6: Jurnal Cakrawala September 2015

275

PENDIDIKAN KARAKTER BERBAHASA DALAM KESANTUNAN TINDAK TUTUR IMPERATIF BAHASA MELAYU PONTIANAK DI LINGKUNGAN MAHASISWA IKIP PGRI PONTIANAK (SEBUAH KAJIAN SOSIOPRAGMATIK)

Arni, Mai Yuliastri SimarmataPendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia IKIP-PGRI Pontianak

Alamat korespondensi: [email protected]

ABSTRACTPoliteness is the result of the implementation of the rules, the rules of social and

communication strategy of the election results. In this study, politeness Indonesia is limited to the imperative form of speech in Malay Pontianak, West Kalimantan in the Teachers’ Training College PGRI Pontianak that the subject is student of Indonesian Language and Literature Education. Imperative speech act speech act is one of the most important and widely used by a group of speakers to carry out his duties, such as in universities at the time of teaching and learning activities, both in the classroom and outside the classroom. This study aims to reveal the same purpose, such as ‘command’ speakers to the hearer. This research method using descriptive method to form a naturalistic study, the research seeks to describe the symptoms or phenomena as it is or natural setting. The approach used in this study is qualitative. The results showed that the form of formal politeness imperative Malay Pontianak in Pontianak PGRI Teachers’ Training College student environment, including active imperative not transitive, intransitive imperative active and passive imperative. Meanwhile, a form of pragmatic politeness imperative Malay Pontianak in the Teachers’ Training College PGRI Pontianak, among other utterances implies a pragmatic imperative commands, requests, errands, petition, urging, persuasion, encouragement, persilaan, solicitation, requests permission, permits, prohibitions, expectations, congratulations, suggestions, and ngelulu.

Keywords: politeness, pragmatic imperatives

ABSTRAKKesantunan berbahasa merupakan hasil pelaksanaan kaidah, yaitu kaidah sosial

dan hasil pemilihan strategi komunikasi. Dalam penelitian ini, kesantunan berbahasa Indonesia ini dibatasi pada bentuk tuturan imperatif dalam bahasa Melayu Pontianak, Kalimantan Barat di lingkungan IKIP PGRI Pontianak yang subjeknya adalah mahasiswa program studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Tindak tutur imperatif merupakan salah satu tindak tutur yang sangat penting dan banyak digunakan oleh sekelompok penutur untuk melaksanakan tugas-tugasnya, seperti di lingkungan perguruan tinggi pada saat kegiatan belajar mengajar, baik di dalam kelas maupun di luar kelas. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan maksud yang sama, misalnya ‘perintah’ penutur kepada mitra tutur. Metode penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan bentuk penelitian naturalistik, yaitu penelitian yang berusaha mendeskripsikan gejala atau fenomena seperti apa adanya atau natural setting. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa wujud formal kesantunan imperatif bahasa Melayu Pontianak di lingkungan mahasiswa IKIP PGRI Pontianak, meliputi imperatif aktif tidak transitif, imperatif aktif transitif, dan imperatif pasif. Sementara itu, wujud pragmatik kesantunan imperatif bahasa Melayu Pontianak di lingkungan IKIP PGRI Pontianak, antara lain tuturan mengandung makna pragmatik imperatif perintah, permintaan, suruhan, permohonan, desakan, bujukan, imbauan, persilaan, ajakan, permintaan izin, mengizinkan, larangan, harapan, ucapan selamat, anjuran, dan ngelulu.

Kata kunci: kesantunan, pragmatik, imperatif

Page 7: Jurnal Cakrawala September 2015

276

PENDAHULUAN

Bahasa secara umum merupakan alat komunikasi dalam kehidupan manusia. Melalui bahasa pula, manusia dapat mengungkapkan perasaannya. Bentuk bahasa yang dikemas ke dalam bentuk wacana atau teks merefleksikan nilai dan norma yang menjadi pegangan serta tatanan sosiokultural yang tumbuh dan berkembang di kalangan masyarakat bahasa dan dunia pendidikan. Kenyataan inilah yang menjadi alasan mengapa penelitian terhadap bahasa daerah menjadi penting untuk dilakukan. Bahasa Melayu Pontianak merupakan satu di antara bahasa daerah yang terdapat di Indonesia, satu diantaranya di provinsi Kalimantan Barat.

Kesantunan berbahasa merupakan hasil pelaksanaan kaidah, yaitu kaidah sosial dan hasil pemilihan strategi komunikasi. Dalam bertindak tutur, sikap kesantunan merupakan hal yang penting. Jika seseorang memiliki sikap santun dalam bertutur, maka mitra tutur akan menerimanya dengan hal yang positif dan sebaliknya. Dalam penelitian ini, kesantunan berbahasa Indonesia dibatasi pada bentuk tuturan imperatif bahasa Melayu Pontianak, Kalimantan Barat di lingkungan IKIP PGRI Pontianak yang subjeknya adalah mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.

Tindak tutur imperatif merupakan salah satu tindak tutur yang sangat penting dan banyak digunakan oleh sekelompok penutur untuk melaksanakan tugas-tugasnya, seperti di lingkungan perguruan tinggi pada saat kegiatan belajar-mengajar, baik di dalam kelas maupun di luar kelas. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan maksud yang sama, misalnya ’perintah’ penutur kepada mitra tutur.

Hakikat Kesantunan Tindak Tutur

Kesantunan berbahasa tercermin dalam tata cara berkomunikasi melalui tanda

verbal atau tata cara berbahasa. Ketika berkomunikasi, kita tunduk pada norma-norma budaya, tidak sekadar menyampaikan ide yang kita pikirkan. Tata cara berbahasa harus sesuai dengan unsur-unsur budaya yang ada dalam masyarakat tempat hidup dan dipergunakannya suatu bahasa dalam berkomunikasi. Apabila tata cara berbahasa seseorang tidak sesuai dengan norma-norma budaya, maka ia akan mendapatkan nilai negatif.

Santun berarti (1) halus dan baik (budi bahasanya, tingkah lakunya), sabar dan tenang, sopan; (2) penuh rasa belas kasihan, suka menolong (Tim Penyusun KBBI, 2005: 997). Sopan adalah (1) hormat dan takzim (akan, kepada) tertib menurut adat yang baik; (2) beradab tentang tingkah laku, tutur kata, pakaian, dsb.; (3) baik kelakuannya (tidak lacur, tidak cabul) (Tim Penyusun KBBI, 2005: 1084).

Fraser (dalam Gunarwan, 2007: 188) mendefinisikan kesantunan, dalam hal ini kesantunan berbahasa sebagai berikut. “Property associated with neither exceeded any right nor failed to fulfill any obligation”. Dengan kata lain, kesantunan berbahasa adalah properti yang diasosiasikan dengan ujaran dan di dalam hal ini menurut pendapat si pendengar atau petutur, si penutur tidak melampaui hak-haknya atau tidak mengingkari untuk memenuhi kewajibannya. Sementara itu, menurut Lakoff (dalam Gunarwan, 2007: 187), sebuah ujaran dikatakan santun jika ia tidak terdengar memaksa atau angkuh, ujaran itu memberi pilihan tindakan kepada lawan bicara, dan lawan bicara itu menjadi senang.

Bahasa merupakan cerminan kepribadian seseorang karena dengan bahasa tersebut, dapat diketahui sikap dan kesantunannya. Sangat sulit mengukur apakah seseorang memiliki kepribadian baik atau buruk, jika mereka tidak mengungkapkan pikiran dan perasaannya

Page 8: Jurnal Cakrawala September 2015

277

melalui tindak bahasa. Kesantunan (politeness), sopan santun, atau etiket adalah tata cara, adat atau kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat (Muslich, 2006: 1). Kesantunan merupakan aturan perilaku yang ditetapkan dan disepakati bersama oleh suatu masyarakat tertentu sehingga kesantunan sekaligus menjadi prasyarat yang disepakati oleh perilaku social. Oleh karena itu, kesantunan berbahasa juga disebut tata krama berbahasa.

Cara dan etika tutur mengacu pada perilaku, akhlak, dan kesantunan dalam berbahasa bagi penutur yang baik. Menurut Markhamah, dkk. (2009: 15), santun adalah bagian dari akhlak. Akhlak adalah suatu keadaan yang melekat pada jiwa manusia yang dari keadaan lahir perbuatan-perbuatan dengan mudah, tanpa melalui pemikiran, pertimbangan, atau penelitian. Jika keadaan itu melahirkan perbuatan yang baik dan terpuji menurut pandangan akal (hukum Islam), maka disebut akhlak yang baik. Sebaliknya, jika keadaan itu menimbulkan perbuatan tidak terpuji, maka dinamakan akhlak yang buruk atau tidak baik.

Dalam kaitannya dengan komunikasi, beberapa akhlak Islam ini dapat disejajarkan dengan norma interaksi yang dikemukakan Hymes. Hymes (dalam Markhamah, 2009: 119) menyatakan norma tutur adalah aturan-aturan bertutur yang mempengaruhi alternatif-alternatif pemilihan bentuk tutur. Pendapat serupa dinyatakan Suwito (dalam Markhamah 2009: 119), yakni norma tutur bertalian dengan santun bertutur dan santun itu harus tampak dalam pemilihan bentuk tutur yang diungkapkan oleh penuturnya. Oleh karena itu, akhlak dan kesopanan dalam bertindak tutur harus selalu dijaga dalam berinteraksi sebagai makhluk sosial.

Hakikat Tindak Tutur Imperatif

Rahardi (2005: 79) menyatakan bahwa kalimat imperatif mengadung maksud

memerintah atau meminta agar mitra tutur melakukan sesuatu sebagaimana diinginkan si penutur. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kalimat imperatif dalam bahasa Indonesia itu kompleks dan bervariasi. Bahasa Indonesia juga membicarakan tentang wujud kesantunan imperatif. Lebih lanjut, Rahardi (2005: 118) mengatakan wujud kesantunan imperatif ada dua macam, yaitu (1) wujud formal imperatif atau structural; dan (2) wujud pragmatik imperatif atau nonstruktural.

Wujud formal imperatif adalah realisasi maksud imperatif bahasa Indonesia menurut ciri struktural atau ciri formalnya. Rahardi (2005) menunjukkan tiga ciri mendasar yang dimiliki satuan lingual dalam bahasa Indonesia. Pertama, menggunakan intonasi keras. Kedua, kata kerja yang digunakan lazimnya kata kerja dasar. Ketiga, menggunakan partikel pengeras –lah. Secara formal, tuturan imperatif meliputi dua macam wujud, yaitu imperatif aktif dan imperatif pasif.

Wujud pragmatik imperatif adalah realisasi maksud imperatif menurut makna pragmatiknya. Makna tersebut dekat hubungannya dengan konteks situasi tutur yang melatarbelakangi munculnya tuturan imperatif itu. Konteks mencakup banyak hal, seperti lingkungan tutur, nada tutur, peserta tutur, dan aspek-aspek konteks situasi tutur lain. Oleh karena itu, wujud imperatif pragmatik dalam bahasa Indonesia itu dapat berupa tuturan yang bermacam-macam sejauh di dalamnya terkandung makna pragmatik imperatif. Secara pragmatik, terdapat tujuh belas macam tuturan imperative, antara lain perintah, suruhan, permintaan, permohonan, desakan, bujukan, imbauan, persilaan, ajakan, permintaan izin, mengizinkan, larangan, harapan, umpatan, ucapan selamat, anjuran, dan ngelulu.

Pendidikan Karakter

Karakter berasal dari bahasa Yunani yang berarti to mark atau menandai dan

Page 9: Jurnal Cakrawala September 2015

278

memfokuskan bagaimana mengaplikasikan nilai kebaikan dalam bentuk tindakan atau tingkah laku sehingga orang yang tidak jujur, kejam, rakus dan perilaku jelek lainnya dikatakan orang berkarakter jelek. Sebaliknya, orang yang perilakunya sesuai dengan kaidah moral disebut berkarakter mulia. Pengertian karakter menurut Pusat Bahasa Depdiknas adalah bawaan, hati, jiwa, kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat, tabiat, temperamen, watak. Adapun berkarakter adalah berkepribadian, berperilaku, bersifat, dan berwatak.

Menurut bahasa, karakter adalah tabiat atau kebiasaan. Sedangkan menurut ahli psikologi, karakter adalah sebuah sistem keyakinan dan kebiasaan yang mengarahkan tindakan seorang individu. Karena itu, jika pengetahuan mengenai karakter seseorang itu dapat diketahui, maka dapat diketahui pula bagaimana individu tersebut akan bersikap untuk kondisi-kondisi tertentu. Dilihat dari sudut pengertian, ternyata karakter dan akhlak tidak memiliki perbedaan yang signifikan. Keduanya didefinisikan sebagai suatu tindakan yang terjadi tanpa ada lagi pemikiran karena sudah tertanam dalam pikiran. Dengan kata lain, keduanya dapat disebut dengan kebiasaan.

Berkarakter mulia berarti individu memiliki pengetahuan tentang potensi dirinya, yang ditandai dengan nilai-nilai seperti reflektif, percaya diri, rasional, logis, kritis, analitis, kreatif dan inovatif, mandiri, hidup sehat, bertanggung jawab, cinta ilmu, sabar, berhati-hati, rela berkorban, pemberani, dapat dipercaya, jujur, menempati janji, adil, rendah hati, malu berbuat salah, pemaaf, berhati lembut, setia, bekerja keras, tekun, ulet/gigih, teliti, berinisiatif, berpikir positif, disiplin, antisipatif, inisiatif, visioner, bersahaja, bersemangat, dinamis, hemat/efisien, menghargai waktu, pengabdian/dedikatif, pengendalian diri, produktif, ramah, cinta keindahan (estetis, sportif,

tabah, terbuka, tertib. Individu juga memiliki kesadaran untuk berbuat yang terbaik atau unggul, dan mampu bertidak sesuai potensi dan kesadarannya. Karakter adalah realisasi perkembangan positif sebagai individu (intelektual, emosional, sosial, etika, dan perilaku).

Karakteristik Mahasiswa IKIP PGRI Pontianak

Karakter adalah wujud dari kepribadian seseorang yang menyebabkan munculnya konsistensi perasaan, pemikiran, dan perilaku sehingga mempengaruhi sifat santun dalam berbahasa. Perkembangan kepribadian sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik heriditas (pembawaan) maupun lingkungan (seperti, fisik, psikis, kebudayaan, spiritual, dan sebagainya). Berdasarkan tujuan pembelajaran bahasa Indonesia sebagai pembangun kepribadian yang berkarakter, mahasiswa diharapkan dapat mengembangkan kecerdasan, karakter, dan kepribadian melalui pembelajaran bahasa Indonesia. Selain itu, mahasiswa yang berkompetensi berbahasa Indonesia baku dengan baik dan benar akan mampu memahami konsep-konsep pemikiran dan pendapat orang lain. Kompetensi ini dapat mengembangkan karakter dan kepribadian mahasiswa melalui berpikir sinergis, yaitu kemampuan menghasilkan konsep baru berdasarkan pengalaman yang sudah dimiliki bersamaan dengan pengalaman baru.

Mahasiswa yang berkompetensi berbahasa Indonesia secara aktif dan pasif akan mampu mengekspresikan pemahaman dan kemampuan dirinya secara runtut, logis, dan lugas. Hal ini menandakan kemampuan mengorganisasi karakter dirinya terkait dengan potensi daya pikir, emosi, dan harapannya. Selanjutnya, diekspresikan dalam berbagai bentuk karya ilmiah, seperti artikel ilmiah, makalah ilmiah, proposal, penulisan skripsi, dan laporan ilmiah.

Page 10: Jurnal Cakrawala September 2015

279

Selain itu, mahasiswa yang berkompetensi berbahasa Indonesia baku dengan baik dan benar akan mampu memahami konsep-konsep pemikiran dan pendapat orang lain.

Hakikat Pragmatik

Parker mengemukakan pragmatik sebagai salah satu cabang ilmu bahasa yang mempelajari bahasa secara eksternal atau berdasarkan makna konteks. “Pragmatics is distinct from grammar, which is the study of the internal structure or language. Pragmatics is the study of how language is used to communicate”. Dari kutipan yang dikemukakan Parker tersebut, dapat dijelaskan bahwa kajian pragmatik berbeda dari kajian tata bahasa yang mengkaji tentang struktur internal bahasa, tetapi pragmatik merupakan ilmu bahasa yang mengkaji tentang bagaimana bahasa digunakan untuk berkomunikasi. Kata kunci menurut Parker terletak dari makna, yaitu bahasa yang digunakan dalam situasi berkomunikasi. Situasi berkomunikasi yang dimaksud adalah konteks ketika sebuah ujaran digunakan mempengaruhi makna dari ujaran tersebut. Hal senada diutarakan oleh Wijana & Rohmadi (2009: 5) bahwa pragmatik merupakan kajian yang menelaah makna wacana ditinjau dari segi konteks. Maksud konteks berhubungan dengan situasi kalimat yang dimaksud terjadi.

METODE PENELITIAN

Metode penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan bentuk penelitian naturalistik, yaitu penelitian yang berusaha mendeskripsikan gejala atau fenomena seperti apa adanya atau natural setting. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kalimat imperatif mengandung maksud memerintah dan meminta agar mitra tutur

melakukan suatau sebagaimana diinginkan si penutur. Imperatif adalah bentuk kalimat atau verba untuk mengungkapkan perintah, keharusan atau larangan melaksanakan perbuatan (Kridalaksana, 2001: 8). Perintah tidak hanya diartikan sebagai perintah untuk melaksanakan sesuatu, tetapi juga sebagai perintah untuk tidak melakukan sesuatu yang disebut larangan.

Analisis Wujud Formal Kesantunan Imperatif dalam Bahasa Melayu Pontianak di Lingkungan Mahasiswa IKIP PGRI Pontianak

Secara nonformal, tuturan imperatif dalam bahasa Melayu Pontianak meliputi dua perwujudan, yakni imperatif aktif dan imperatif pasif.1. Imperatif Aktif Tidak Transitif

Tuturan-tuturan tersebut sebagai berikut.(1a.) “Dieyang bagi’kan ne dhk ye!”Artinya: “dirimu bagikan dhk ya!”(1b.) “Bagi’kanlah ne dhk.”Artinya: “Bagikanlah dhk ini!”(1c.) “Ne dhk die yang bagi’kan jak.”Artinya: “Ini dhk dibagikan saja.”

Contoh tuturan di atas menunjukkan wujud kesantunan imperatif aktif tidak transitif. Pemakaian tutur sapa die pada tuturan (1a) ‘Die yang bagi’kan ne dhk ye’ berfungsi sebagai penanda kesantunan. Selain itu, tuturan tersebut lebih santun dibandingkan (1c) ‘Ne dhk die yang bagikan jak’ karena tuturan (1c) menunjukkan kadar imperatif yang lebih tinggi dan kadar kesantunan yang lebih rendah. Sedangkan tuturan (1b) “Bagi’kanlah ne dhk”, memiliki tingkat kesantunan yang lebih tinggi dibandingkan tuturan (1a dan 1c) karena tuturan tersebut ditandai pertikel -lah yang berfungsi sebagai penekan penanda kesantunan. Selain itu, tuturan (1b) lebih halus dibandingkan tuturan (1a dan 1c). Dari tuturan-tuturan tersebut, dapat ditentukan bahwa tuturan yang lebih santun ialah tuturan (1b). Penanda verba

Page 11: Jurnal Cakrawala September 2015

280

imperatif aktif tidak transitif pada setiap tuturan di atas adalah kata dasar bagi’kan (bagikan).

(2a) “Biarkanlah die yang kerjekan tugas ne!”Artinya: “Biarkanlah dia yang kerjakan tugas ini!”(2b) “Biar die yang kerjekan tugas ne!”Artinya:“Biar dia yang kerjakan tugas ini!”(2c) “Biar jak die yang kerjekan tugas ne!”Artinya:“Biar saja dia yang kerjakan tugas ini!”

(3a) “Toleslah kalimat tuh di papan tulis!”Artinya: “Tulislah kalimat itu di papan tulis!”(3b) “Kalimat tuh toles di papan tulis!”Artinya: “Kalimat itu tulis di papan tulis!”(3c) “Toleskan kalimatnye tuh di papan tulis!” Artinya: “Tuliskan kalimatnya itu di papan tulis!”

Tuturan data 2 terjadi dalam situasi mahasiswa akan membagikan tugas kelompok. Sedangkan data 3, terjadi ketika mahasiswa latihan mempresentasikan tugas sebelum dosen masuk kelas. Data (2a) menandakan tingkat kalimat imperatif yang kadar kesantunanannya lebih tinggi daripada data (2b) dan (2c). Data 2 dan 3 menggunakan partikel –lah. Pada data 3 verba imperatif aktif tidak transitif terkandung pada kata kerjekan (kerjakan), sedangkan pada data 3 verba imperatif aktif tidak transitif terkandung pada kata kalimatnye (kalimatnya).

2. Imperatif Aktif Transitif

Kalimat aktif transitif adalah kalimat yang memerlukan objek. Untuk membentuk tuturan imperatif aktif transitif, ketentuan yang telah disampaikan sebelumnya dalam membentuk tuturan imperatif aktif tidak transitif tetap berlaku. Perbedaannya adalah untuk membentuk imperatif aktif transitif, verbanya me-N.

(5a) “Moderator yang memimpen diskusinye”Artinya: “Moderator yang memimpin diskusinya” (5b) “Mimpen diskusi ye”Artinya: “Pimpin diskusinya” (5c) “Moderator pimpen diskusi ye”Artinya: “Moderator pimpin diskusinya”

Berdasarkan data 5, untuk membentuk imperatif aktif transitif dalam bahasa Melayu Pontianak, verbanya harus dibuat atau disertakan dalam tuturan tanpa menggunakan awalan (prefiks) me-N, seperti pada contoh tuturan (5b) “Mimpen diskusi ye” dan (5c) “Moderator pimpen diskusi ye”. Jadi, mimpen termasuk ke dalam imperatif aktif. Dari contoh tersebut, dapat juga dilihat penanda kesantunannya. Tuturan (5a) “Moderator yang memimpen diskusinye” lebih santun dibandingkan tuturan (5b) “Mimpen diskusi ye” karena kata mimpen termasuk penanda kesantunan dan menunjukkan kadar imperatif yang lebih rendah serta kadar kesantunan tinggi. Tetapi dari tuturan-tuturan tersebut, kesantunan yang paling tinggi ditunjukkan pada data (5a) “Moderator yang memimpen diskusinye” karena tuturan tersebut disertai pertikal me-N yang berfungsi sebagai penanda kesantunan yang lebih halus dan sopan.

3. Imperatif Pasif

Bentuk tuturan pasif digunakan karena pada pemakaian imperatif pasif kadar suruhan yang dikandung cenderung menjadi rendah. Wujud imperatif pasif adalah realisasi terhadap bentuk imperatif yang verbanya pasif. Berikut ini contoh bentuk imperatif pasif yang dituturkan seorang mahasiswa kepada teman satu kelompoknya untuk mengerjakan tugas kelompok tepat waktu.

(8a) “Kerjekanlah togas tuh biar besok dikumpolkan”

Tuturan tersebut mengandung kadar suruhan yang tinggi, tetapi kadar

Page 12: Jurnal Cakrawala September 2015

281

kesantunannya semakin rendah. N a m u n d e m i k i a n , tuturan tersebut dapat menjadi semakin halus dan tidak langsung apabila tidak diungkapkan dengan intonasi suruh. Tuturan di atas menunjukkan subjek imperatif cenderung definitif (sudah pasti), yaitu langsung tertuju kepada orang yang bersangkutan atau mitra tutur. Selain itu, untuk mengurangi kadar kelangsungan tuturan seperti tuturan di atas, dapat ditambahkan unsur-unsur lingual lain agar tuturan itu semakin panjang. Semakin panjang sebuah tuturan, maka semakin tidak langsung maksud dari sebuah tuturan. Demikian sebaliknya, semakin pendek sebuah tuturan akan semakin langsung maksud tuturan itu dan semakin rendah kadar kesantunannya.

Analisis Wujud Pragmatik Kesantunan Imperatif dalam Bahasa Melayu Pontianak di Lingkungan IKIP-PGRI Pontianak1. Tuturan yang Mengandung Makna

Pragmatik Imperatif Perintah

Kalimat imperatif perintah biasanya digunakan bersama penanda kesantunan ayo, biar, coba, harap, hendaknya, mohon, silakan, dan tolong. Dari data yang diperoleh, penanda kesantunan yang digunakan pada tuturan bahasa Melayu berikut, antara lain ayo (yok), biar (biarlah), tolong (tollong), coba (cobe), dan silakan (sile).Data (13) “Yok absen dulu, budak-budak,

nanti Ibu marah!”“Ayok absen dulu, teman-teman, nanti Ibu marah!”“Kami sudah absen tadi”

Data (14) “Tollong ambilkan penghapus lok!”“Tolong ambilkan penghapus dulu!”“Iye lah, nanti ku ambek ke prodi”“Iyalah, nanti kuambil ke prodi”

Data (15) “Yulius... cobe lihat aturannye tugas tu, macam mane!”“Yulius…. coba lihat aturannya tugas itu, macam mana!”“Dah kutanya tadi sama Ibu”

“Sudah saya Tanya tadi sama Ibu”Data (16) “Sabar lok kawan... jangan nak

balek, cobe saye tanyak dosen lok”“Sabar dulu kawan…. jangan pulang, coba saya tanya dosen dulu”“Silekanlanh… takut juga dosen tu marahnye”“Silahkanlah…. takut juga dosen nanti marah”

Data (17) “Yanti… biarlah die usah nak diganggu, agik konsen mau presentasi diskusi”“Yanti….biarlah dia jangan diganggu, lagi konsen mau presentasi diskusi”“Yelah”“Ya”

Tuturan pada data (13) merupakan imperatif langsung yang mengandung makna perintah dengan ditandai kata yok yang artinya perintah, tetapi juga bisa bermakna permintaan. Pada data (14) tuturan imperatif ditandai dengan kata tollong yang dilakukan ketua tingkat untuk memerintahkan seorang teman agar mengambilkan penghapus. Data (15) dan data (16) tuturan imperatif yang sama menggunakan kata cobe. Pada data (15) Yulius diperintah temannya melihat aturan mengerjakan tugas dari dosennya. Sedangkan pada data (16), seorang mahasiswa diperintah untuk sabar dalam keadaan ‘emosi’ mau pulang karena dosennya tidak ada. Mitra tutur menggunakan kata sile menandakan perintah kepada temannya untuk melihat dosennya, tapi pada intinya mitra tutur setuju dengan apa yang dilakukan penutur. Data (17) merupakan tuturan imperatif perintah oleh mahasiswa, yakni Yanti diperintahkan untuk tidak mengganggu temannya yang sedang diskusi agar bias konsentrasi. Yanti menyetujui yang ditandai dengan kata yelah.

2. Tuturan yang Mengandung Makna Pragmatik Imperatif Permintaan

Kalimat imperatif permintaan dalam bahasa Melayu Pontianak ditandai dengan

Page 13: Jurnal Cakrawala September 2015

282

pemakaian penanda kesantunan tolong, coba, dan seandainya. Berikut data tuturan kalimat imperatif permintaan bahasa Melayu Pontianak.Data (18) “Tolong gak ambe’kan saye spidol

di tas”“Tolong, ambilkan saya spidol di tas”Data (19)“Cobe kitak datang diskusi tadik”“Coba kalian datang diskusi tadi”

Data (20) “Seandainye ngambek data hasil kelompok yang tampil tadi’ bisa kite jadikan contoh be antrian lok”“Seandainyan ngambil data hasil kelompok yang tampil tadi kita jadikan contoh saja antrian dulu”

Pada bahasa Melayu yang digunakan oleh mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia IKIP PGRI Pontianak, tuturan inperatif permintaan dinyatakan dalam bentuk langsung dan tidak langsung. Data (18) dan (19) merupakan tuturan imperatif permintaan bentuk langsung, sedangkan data (20) adalah bentuk tuturan imperatif tidak langsung.

3. Tuturan yang Mengandung Makna Pragmatik Imperatif Suruhan

Kalimat imperatif suruhan, biasanya digunakan bersama penanda kesantunan yok, cobe, mohon, dan sile.Data (21) “Yok makan dulu, kuenye! Kame

sudah makan tadi”“Ayo makan dulu, kuenye! Kami sudah makan tadi”

Data (22) “Mohon sabar... jangan tebawak amarah!” “Mohon sabar..jangan terbawa amarah.Data (23) “Cobe besarkan suaranya kalau diskusi!” “Coba besarkan suaranya kalau diskusi!”

Secara struktural, sudah dinyatakan dalam tuturan makna pragmatik imperatif suruhan. Pada data (21), (22), dan (23) makna

pragmatik imperatif suruhan diungkapkan dengan bentuk tuturan deklaratif.

4. Tuturan yang Mengandung Makna Pragmatik Imperatif Permohonan

Makna permohonan biasanya ditandai dengan ungkapan penanda kesantunan mohon.Data (24) “Mohon be tulisan itu disesuaikan

dengan EYD”“Mohonlah tulisan itu disesuaikan dengan EYD”Data (25) “Mohon be jangan ribot ye, lagi diskusi”“Mohonlah jangan ribut ya, diskusi”

Pada data (24) dan (25) semua tuturan di parafrasa menjadi tuturan imperatif deklaratif.

5. Tuturan yang Mengandung Makna Pragmatik Imperatif Desakan

Makna desakan menggunakan kata yok dalam bahasa Melayu Pontianak yang digunakan oleh mahasiswa program studi Pendidikan Bahasa Indonesia IKIP PGRI Pontianak.Data (26) “Yok kite ngerjakan tugas kelompok

di perpustakaan”“Ayo kita ngerjakan tugas kelompok di perpustakaan” “Sekarang ye?”“Sekarang ya?” “Ye” “Ya”

Data (27) “Yok… mane yang diskusi ne tak ke depan”“Ayolah… mana yang diskusi ini tidak ke depan”

Imperatif dengan makna desakan menggunakan kata yok dalam bahasa Melayu Pontianak yang digunakan oleh mahasiswa program studi Pendidikan Bahasa Indonesia digunakan sebagai pemarkah makna. Data (26) dan (27) merupakan contoh tuturan imperatif desakan.

Page 14: Jurnal Cakrawala September 2015

283

6. Tuturan yang Mengandung Makna Pragmatik Imperatif Bujukan

Imperatif yang bermakna bujukan di dalam bahasa Melayu Pontianak dengan penanda yoklah dan tollong.Data ( 28) “Yoklah kite diskusi dilanjutkan,

nanti Ibu Elva datang”“Ayoklah kita diskusi dilanjutkan, nanti ibu Elva datang”“Yelah…cepatlah!”“Yalah…cepatlah!”

Data (29) “Yoklah hapus papan tulisnye”.“Ayoklah hapus papan tulisnya”

Data (30) “Tollong ambilkan bukuku tulah”“Tolong ambilkan bukuku itulah”

Data (31) “Tollong ambilkan DHK anak-anaklah di prodi mata kuliahnya Bu Adisti”“Tolong ambilkan DHK anak-anaklah di prodi mata kuliahnya Bu Adisti”

Data (32) “Tollong tasnye simpan di belakang karena mau ujian MID”

“Tolong tasnya simpan di belakang karena mau ujian MID”Data (33) “Tollong ambil penggarisnye”

“Tolong ambil penggarisnya”

Data (28), (29), (30), (31), (32), dan (33) di atas merupakan wujud imperatif bujukan deklaratif.

7. Tuturan yang Mengandung Makna Pragmatik Imperatif Imbauan

Data (34) “Tullong bersihkan kelas ne!”“Tolong bersihkan kelas ne!”

Data (34) “Tullong bersihkan kelas ne!” disampaikan ketua tingkat kepada teman-temannya. Ia menghimbau agar mereka nmembersihkan kelas yang banyak sampah kertas. Karena jika kelas banyak sampah, maka proses pembelajaran terasa tidak nyaman.

8. Tuturan yang Mengandung Makna Pragmatik Imperatif Persilaan

Data (37) “Sile siape yang nak jadi moderator?”

“Sila siapa yang mau jadi moderator?”

Tuturan di atas sudah sangat saantun. Kesantunaan tuturan tersebut diungkapakan dengan penggunaan kata sile. Penggunaan kata sile ini dirasakan lebih halus karena menggunakan intonasi yang rendah dan halus.

9. Tuturan Bermakna Pragmatik Imperatif Ajakan

Imperatif ajakan adalah imperatif yang bermakna ajakan. Biasanya ditandai dengan pemakaian penanda kesantunan yok. Penanda kesantunan tersebut bermakna ajakan. Penanda tersebut dapat dilihat pada contoh berikut ini.Data (41) “Yok kite kerjakan tugas ne?”

“Ayok kita kerjakan tugas ini?”Data (42) “Yok kite ke prodi”

“Ayok kita ke prodi”

10. Tuturan Bermakna Pragmatik Imperatif Permintaan Izin

Imperatif dengan makna permintaan izin, biasanya ditandai dengan penggunaan ungkapan penanda kesantunan boleh. Tuturan (46), (47), dan (48) berikut dapat dicermati untuk memperjelas hal ini.Data (46) “Bolehkah saye antarkan tugasye”

“Bolehkah saya antarkan tugasnya”Data (47) “Bolehkan saye bawa’kan buku

ye?”“Bolehkah saya bawakan bukunya”

Data (48) “Bolehkah saye pinjam pulpen ye?”“Bolehkah saya pinjam pulpen ya?”

11. Tuturan Bermakna Pragmatik Imperatif Mengizinkan

Imperatif yang bermakna mengizinkan pada bahasa Melayu Pontianak ditandai dengan pemakaian penanda kesantunan sile dan biasanya disertai kata partikel –kah. Data (49) “Sile siape yang mau bertanya?”

“Silahkan siapa yang mau bertanya?”

Page 15: Jurnal Cakrawala September 2015

284

12. Tuturan Bermakna Pragmatik Imperatif Larangan

Tuturan bermakna pragmatik imperatif larangan juga dapat terjadi pada kalangan mahasiswa. Pada penggunaan tuturan bahasa Melayu Pontianak dapat menggunakan kata kalo dan siape. Kata kalo menandakan tingkatan kesantunan nada yang tinggi, sedangkan kata siape menggunakan kesantunan yang relatif digunakan oleh penutur bahasa Melayu Pontianak untuk memahami tentang tuturan bermakna pragmatik imperatif larangan dapat memperhatikan contoh berikut ini.Data (53) “Kalo’ ade yang berani tidak

ngerjakan ne togas, tau rase nanti”“Kalau ada yang berani tidak mengerjakan tugas ini, tahu rasa nanti”

Data (54) “Siape yang berani dateng terlambat, dhk Ibu tadak tandangan”“Siapa yang berani datang terlambat, dhk Ibu tidak tandatangan”

13. Tuturan Bermakna Pragmatik Imperatif Harapan

Imperatif yang menyatakan makna harapan dalam bahasa Melayu Pontianak ditandai dengan penggunaan kata semoge dan menggunakan partikel -lah. Kata semoge ini adalah ungkapan yang paling santun untuk mengutarakan maksud dan tujuan serta harapan yang diingin oleh si penutur. Data (55) “Semogelah kite bise menjawab

ujian nanti”“Semogalah kita bisa menjawab ujian nanti”

14. Tuturan Bermakna Pragmatik Imperatif Pemberian Ucapan Selamat

Imperatif pragmatik pemberian ucapan selamat cukup banyak ditemukan dalam bahasa Melayu Pontianak, penggunaan kata tuturan tersebut dengan menggunakan kata selamat.

Data (58) “Selamat ye presentasinya tadi bagos”“Selamat ya presentasinya tadi bagus”

15. Tuturan Bermakna Pragmatik Imperatif Anjuran

Imperatif yang mengandung makna anjuran di dalam bahasa Melayu Pontianak. Biasanya ditandai dengan penanda kesantunan baeknya. Seperti pada contoh berikut ini.Data (60) Mahasiswa:“Baeknya kita care’ di

toko Menara besok”“Baiknya kita cari di toko Menara besok”

Data (61) Bendahara: “Baeknya duet ne dirimu yang pegang ye”“Baiknya duit ini dirimu yang pegang ya”

16. Tuturan Bermakna Pragmatik Imperatif Ngelulu

Berdasarkan penggunaan di dalam bahasa Indonesia terdapat tuturan yang memiliki makna pragmatic “ngelulu”. Kata “ngelulu” berasal dari bahasa Jawa yang bermakna seperti menyuruh mitra tutur melakukan sesuatu, namun sebenarnya yang dimaksud adalah melarang melakukan sesuatu. Dalam tuturan bahasa Melayu Pontianak makna imperatif melarang, namun pada imperatif “ngelulu” penanda tersebut tidak digunakan melainkan menggunakan tuturan biasa.Data (62) Mahasiswa: “Presentasi jak dolo’

sebelum dosennye dateng”“Presentasi saja dulu sebelum dosennya datang”

Data (63) Mahasiswa: “Ah, nanti Ibu dateng langsung keluar lagi”“Nanti Ibu datang langsung keluar lagi”

Page 16: Jurnal Cakrawala September 2015

285

PENUTUP

Berdasarkan hasil dan pembahasan di atas, dapat diambil beberapa simpulan sebagai berikut. Pertama, wujud formal kesantunan imperatif bahasa Melayu Pontianak di lingkungan mahasiswa IKIP PGRI Pontianak, meliputi imperatif aktif tidak transitif, imperatif aktif transitif, dan imperatif pasif. Kedua, wujud pragmatik kesantunan imperatif bahasa Melayu Pontianak di lingkungan IKIP PGRI Pontianak, antara lain tuturan mengandung makna pragmatik imperatif perintah, permintaan, suruhan, permohonan, desakan, bujukan, imbauan, persilaan, ajakan, permintaan izin, mengizinkan, larangan, harapan, ucapan selamat, anjuran, dan ngelulu.

Berdasarkan simpulan di atas, penulis menyampaikan saran sebagai berikut. Pertama, hendaknya diadakan pengajaran kebahasaan yang lebih variatif mengenai pemakaian bahasa yang santun di semua aspek keterampilan berbahasa, yaitu membaca, menyimak, berbicara, dan menulis. Kedua, hasil penelitian ini dapat dijadikan alternatif contoh bahan ajar mata pelajaran mulok, khususnya mengenai bentuk kesantunan, strategi kesantunan, dan faktor penentu kesantunan berbahasa Indonesia dan bahasa daerah, khususnya dalam tuturan imperatif, dan untuk memelihara bahasa Indonesia dan daerah agar tetap santun dalam bertindak tutur, baik dalam situasi formal maupun nonformal.

DAFTAR PUSTAKA

Gunarwan, Asim. 2007. “Persepsi Kesantunan Direktif di dalam Bahasa Indonesia di antara Beberapa Kelompok Etnik di Jakarta”. PELLBA 5: Bahasa Budaya. Jakarta: Unika Atma Jaya.

Kridalaksana, Harimurti. 2001. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia.

Markhamah, dkk.. 2009. Analisis Kesalahan dan Kesantunan Berbahasa. Surakarta: Muhammadiyah University Press.

Muslich, Masnur. 2006. “Kesantunan Berbahasa Indonesia sebagai Pembentuk Kepribadian Bangsa”. Diakses 1 Mei 2011, dari http://researchengines.com/1006masnur2.html.

Rahardi, Kunjana. 2005. Pragmatik: Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia. Jakarta: Erlangga.

Tim Penyusun KBBI. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka.

Wijana, I Dewa Putu & Rohmadi, Muhammad. 2009. Analisis Wacana Pragmatik: Kajian Teori dan Analisis. Surakarta: Yuma Pustaka.

Page 17: Jurnal Cakrawala September 2015

286

EFEKTIVITAS PENERAPAN MODEL BERCERITA MENGGUNAKAN MEDIA BONEKA TANGAN DALAM MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERBAHASA

ANAK USIA DINI SISWA KELOMPOK B TK TUNAS PUTRA TAHUN 2014/2015

Anik FaridaTK Tunas Putra, Kabupaten Pacitan, Jawa Timur

ABSTRACTThe purpose of this study was to determine the effectiveness of storytelling method

using a hand puppet media in developing language skills early childhood. This research was conducted in kindergarten Shoots Son Sumberharjo village, Pacitan FY 2014/2015 on a semester. Data collection techniques using observation and documentation. Analysis of the data in this study using two techniques, namely kompratif descriptive data analysis, and critical analysis. The results showed the following results. Achievement of cycle 1, developing according to expectations (BSH) in 10 children (50%) and growing very well (BSB) of 4 children (20%). New achievements in the first cycle of 70%. Achievement of second cycle, children are included in the category started growing decline in number of 4 children to 2 children (10%), developing according to expectations (BSH) 11 children (55%), and growing very well (BSB) 7 children (35%) , Achievement of second cycle reaches 90%. Thus, application of the recalled models use a hand puppet media in kindergarten Shoots Son Sumberharjo village, Pacitan, East Java FY 2014/2015, proven to improve language skills of early childhood.

Keywords: language skills, storytelling, hand puppets

ABSTRAKTujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efektivitas penerapan metode bercerita

menggunakan media boneka tangan dalam mengembangkan kemampuan berbahasa anak usia dini. Penelitian ini dilakukan di TK Tunas Putra Desa Sumberharjo, Kabupaten Pacitan TA 2014/2015 pada semester ganjil. Teknik pengumpulan data menggunakan teknik observasi dan dokumentasi. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan dua teknik, yaitu analisis data deskriptif kompratif, dan analisis kritis. Hasil penelitian menunjukkan hasil sebagai berikut. Capaian siklus 1, berkembang sesuai harapan (BSH) 10 anak (50%) dan berkembang sangat baik (BSB) sebanyak 4 anak (20%). Capaian pada siklus I baru 70%. Capaian siklus II, anak yang termasuk dalam kategori mulai berkembang menurun jumlahnya dari 4 anak menjadi 2 anak (10%), berkembang sesuai harapan (BSH) 11 anak (55%), dan berkembang sangat baik (BSB) 7 anak (35%). Capaian siklus II mencapai 90%. Dengan demikian, penerapan model bercerita menggunakan media boneka tangan di TK Tunas Putra Desa Sumberharjo, Kabupaten Pacitan, Jawa Timur TA 2014/2015, terbukti dapat meningkatkan kemampuan berbahasa anak usia dini.

Kata kunci: kemampuan berbahasa, metode bercerita, boneka tangan

Page 18: Jurnal Cakrawala September 2015

287

PENDAHULUAN

Bahasa tidak serta-merta dikuasai seorang anak. Anak-anak akan belajar bahasanya pada masa-masa pertama dalam hidupnya. Mulai di dalam kandungan dan lahir sebagai balita mereka mulai menguasai bahasa ibunya. Dalam tumbuh kembangnya, seharusnya bahasa juga berkembang, karena dalam prosesnya, anak-anak akan belajar bahasa dari orang-orang di sekelilingnya.

Lembaga Taman Kanak-kanak sebagai lembaga pertama di luar rumah yang digeluti anak hendaknya mempunyai program pengembangan anak yang efektif dan efisien, menarik dan tepat guna. Depdiknas (2010) membagi masa pertumbuhan anak menjadi masa kanak-kanak awal yang diidentikkan sebagai usia prasekolah karena pada masa ini sebagian besar anak-anak sudah mulai mengikuti pendidikan di penitipan anak, kelompok bermain dan Taman Kanak-kanak ataupun di berbagai sanggar kreativitas yang disediakan untuk anak-anak. Pada saat ini anak sudah dianggap cukup mampu mengerjakan tugas-tugas yang diberikan, baik fisik maupun mental. Masa usia 4 - 6 tahun ini juga disebut dengan masa berkelompok. Pada masa inilah anak tumbuh dalam kelompok-kelompok tertentu untuk mempelajari dasar-dasar berperilaku sosial, sebagai persiapan bagi kehidupan sosial yang lebih tinggi yang diperlukan untuk penyesuaian diri pada waktu mereka masuk sekolah dasar.

Mengingat perkembangan utama yang terjadi selama awal masa kanak-kanak, yaitu penguasaan dan pengendalian lingkungan, maka masa awal kanak-kanak dikenal juga sebagai usia penjelajah. Pada masa ini anak-anak selalu ingin mengetahui keadaan lingkungannya, bagaimana mekanisme kerja dari sesuatu, bagaimana perasaannya, dan bagaimana anak mampu menjadi bagian dari lingkungan. Salah satu cara yang umum dalam menjelajahi lingkungan adalah melalui

pertanyaan-pertanyaan yang seolah tiada habisnya, sehingga periode ini sering juga disebut usia bertanya.

Selain itu, karena masa ini merupakan masa peka untuk menjadi sama dengan orang lain di sekitarnya, seperti meniru pembicaraan atau tindakan orang yang dilihatnya, baik yang sesuai ataupun terkadang sesuatu tingkah laku buruk yang tidak pantas anak lakukan, sehingga periode ini dikenal juga sebagai usia meniru. Satu hal yang cukup menonjol pada masa ini adalah munculnya berbagai bentuk kreativitas dalam bermain, sehingga periode ini seringkali dinamai sebagai masa kreatif. Diyakini bahwa kreativitas yang ditunjukkan anak pada masa ini, merupakan bentuk kreativitas yang original dengan frekuensi kemunculannya yang seolah tanpa terkendali dibandingkan dengan masa-masa lain dalam kehidupan seorang anak setelah masa ini berlalu.

Kemampuan berbahasa bagi seorang anak merupakan hal yang diperoleh melalui proses pembelajaran. Kemampuan berbahasa bukanlah sesuatu yang terikat gen (faktor keturunan), tetapi merupakan sesuatu yang diperoleh melalui proses pembelajaran, perlu pendampingan yang benar agar anak-anak menguasai bahasa yang baik, benar, dan dapat diterima oleh lingkungan sekitarnya. Dalam tumbuh kembang kebahasaan seorang anak, sering dijumpai ada anak yang cenderung diam, banyak bicara, ada juga anak-anak yang pola bahasanya seperti orang dewasa, bahkan ada yang sudah mengenal bahasa-bahasa pisuhan. Hal tersebut tidak lepas dari lingkungan yang membentuknya. Dengan demikian, pembelajaran bahasa perlu mendapatkan perhatian lebih dan harus terjadi sinergi antara orang tua, guru, dan lingkungan.

Cerita diyakini dapat memberikan efek positif dalam tumbuh kembang anak. Hal ini karena anak akan mengenal

Page 19: Jurnal Cakrawala September 2015

288

berbagai karakter, tokoh baik, tidak baik, maupun tokoh penengah. Alur cerita yang bermacam-macam dalam sebuah cerita mampu memberikan pengalaman kepada anak sehingga mereka akan terbiasa dengan alur cerita dalam kehidupan karena sesungguhnya apa yang tertuang dalam karya sastra, dongeng, dan sejenisnya merupakan hal yang sebenarnya terjadi dalam kehidupan nyata dan dituangkan oleh pengarang atau pencerita dalam kehidupan dongeng (cerita).

Mencermati hal tersebut di atas, dalam penelitian ini, penulis melakukan kajian berkaitan dengan pembelajaran berbahasa, khususnya melatih berbicara anak dengan media boneka tangan di TK Tunas Putra. Hal ini dilakukan karena selama ini siswa masih kesulitan bila diminta bercerita di depan kelas, tetapi sering berbicara sendiri ketika pelajaran berlangsung.

Dewasa ini ada kecenderungan pemikiran bahwa anak belajar lebih baik jika lingkungan diciptakan alamiah. Belajar akan lebih bermakna jika anak mengalami apa yang dipelajarinya, bukan mengetahuinya. Pembelajaran yang berorientasi pada penguasaam materi terbukti berhasil dalam kompetensi mengingat jangka pendek, namun gagal dalam membekali anak memecahkan persoalan dalam kehidupan jangka panjang.

Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini berkaitan dengan kemampuan berbahasa anak usia 6 - 7 tahun, dalam hal ini adalah kemampuan berbicara. Adapun rumusan masalah penelitian ini sebagai berikut. Apakah model pembelajaran bercerita menggunakan media boneka tangan dapat meningkatkan kemampuan anak dalam berbahasa, khususnya berbicara di TK Tunas Putra, Kabupaten Pacitan Jawa Timur?

Perkembangan Bahasa dan Psikologi Anak

Perkembangan bahasa dan psikologi anak ibarat dua sisi mata uang yang saling berkaitan. Kondisi atau suasana psikologis yang baik akan memberikan kontribusi baik pula dalam perkembangan bahasa anak, mengingat kemampuan bahasa anak bukan faktor keturunan, tetapi membutuhkan proses pembelajaran. Suasana keluarga yang harmonis akan dapat memberikan kontribusi positif dalam perkembangan anak, demikian pula dengan bahasanya. Oleh karenanya, proses dalam pemerolehan lebih penting daripada sekadar hasil akhir. Kualitas proses pemerolehan bahasa akan menentukan kualitas bahasa anak-anak pada masa yang akan datang, mengingat anak-anak dalam fase tertentu akan melalui proses mimikri atau peniruan.

Depdiknas (2010) menyebutkan bahwa terdapat tiga tahap perkembangan bahasa anak yang menentukan tingkat perkembangan berpikir. Ketiga tahap tersebut adalah tahap eksternal, tahap egosentris, dan tahap internal. Tahap eksternal, yaitu tahap berpikir dengan sumber berpikir anak berasal dari luar dirinya. Sumber eksternal tersebut terutama berasal dari orang dewasa yang memberi pengarahan kepada anak dengan cara tertentu. Misalnya, orang dewasa bertanya kepada seorang anak, “Apa yang sedang kamu lakukan?” kemudian anak tersebut meniru pertanyaan, “Apa?” orang dewasa memberikan jawabannya, “Melompat”.

Tahap egosentris, yaitu suatu tahap ketika pembicaraan orang dewasa tidak lagi menjadi persyaratan. Dengan suara khas, anak berbicara seperti jalan pikirannya, misalnya “saya melompat”, “ini kaki”, “ini mata”. Tahap internal, yaitu tahap ketika anak dapat menghayati proses berpikir, misalnya, seorang anak sedang menggambar kucing. Pada tahap ini, anak memproses pikirannya

Page 20: Jurnal Cakrawala September 2015

289

dengan pikirannya sendiri, “Apa yang harus saya gambar? Saya tahu saya sedang menggambar kaki yang sedang berjalan”.

Kemampuan berbahasa merupakan hasil kombinasi seluruh sistem perkembangan anak, karena kemampuan bahasa sensitif terhadap keterlambatan atau kerusakan pada sistem yang lain. Kemampuan berbahasa melibatkan kemampuan motorik. Selain itu, kemampuan anak untuk berbahasa terjadi secara bertahap, sesuai dengan perkembangan usianya.

Setiap proses pemerolehan bahasa akan menjadi hal penting dan dapat menjadi pijakan untuk proses selanjutnya. Pada usia 4 - 5 tahun ciri umum perkembangan bahasa anak, antara lain (1) mampu membuat kalimat yang terdiri dari 4 – 5 kata; (2) mampu mengeluarkan kalimat negatif, kalimat tanya, dan kalimat pasif yang tepat; (3) mampu menggunakan kalimat kompleks dan multikausal (hubungan sebab-akibat); (4) belajar menggunakan kata sambung untuk mengungkapkan cerita; (5) bicara keras pada diri sendiri tanpa ada maksud berkomunikasi, dan (6) mulai dapat memainkan peran orang yang lebih dewasa dari usianya.

Selanjutnya, perkembangan bahasa pada usia 4 – 5 tahun, anak dapat (1) menerima pesan sederhana dan menyampaikan pesan tersebut; (2) berbicara lancar dengan menggunakan kalimat yang kompleks terdiri dari 5 - 6 kata; (3) bercerita menggunakan kata ganti aku, saya, kamu, dia, mereka; (4) melakukan percakapan dengan teman sebaya atau orang dewasa; (5) memberikan keterangan yang berhubungan dengan posisi/keterangan tempat, misalnya di luar, di dalam, di atas, di bawah, di muka, di depan, di belakang, di kiri, di kanan dsb; (6) menggunakan kata-kata yang menunjukkan urutan;

(7) membuat gambar dan menceritakan isi gambar dengan beberapa coretan/tulisan yang sudah berbentuk huruf/kata; (8)

mengurutkan dan menceritakan isi gambar seri (4 – 6 gambar); (9) membaca buku cerita bergambar dan menceritakannya; (10) menghubungkan dan menyebutkan tulisan sederhana dengan simbol yang melambangkannya; (11) membaca beberapa kata berdasarkan gambar, huruf-huruf, dan lambang yang dikenal atau dilihatnya; (12) membacakan cerita sederhana; (13) membuat coretan/tulisan yang berbentuk huruf/kata berdasarkan gambar yang dibuatnya (Kemendiknas, 2010).

Perkembangan psikologis anak akan memberikan pengaruh besar terhadap perkembangan bahasa anak. Anak-anak yang hidup dalam tekanan psikologis (tumbuh dalam keluarga yang kurang harmonis, cuek/masa bodoh) akan memberikan implikasi terhadap tumbuh kembang kebahasaannya.

Anak usia taman kanak-kanak menurut Erikson (dikutip dari Kemendiknas, 2010) berada pada tahap inisiatif. Ciri perkembangan psikologis anak-anak usia taman kanak-kanak adalah sebagai berikut. Pertama, ketrampilan sosial berkembang dengan pesat, seperti anak-anak sangat senang dengan kegiatan bermain peran. Kedua, anak mengalami perkembangan kognisi sensorimotorik ke arah praoperasional (Piaget, 1933). Anak-anak pada masa ini harus diberi kesempatan untuk menemukan tiga jenis kemampuan, yaitu kemampuan sosial, kemampuan logika/matematika, dan kemampuan fisik.

Ketiga, anak-anak pada masa ini sangat senang bermain. Ada empat jenis permainan yang dialami anak, yaitu bermain pembangunan (konstruktif), sensorimotor, bermain peran, dan bermain dengan aturan (Piaget, 1933). Smilansky (1990) menekankan pentingnya bermain peran. Wolfgang (1977) menekankan pentingnya proses bermain berkelanjutan mulai dari yang sederhana menuju yang kompleks. Vygotsky (2004) menyarankan bahwa anak usia TK perlu diberi pengalaman bermain.

Page 21: Jurnal Cakrawala September 2015

290

Pembiasaan Berbahasa pada Anak Usia Dini

Bahasa yang telah diperoleh anak sejak ia lahir ke dunia perlu terus dikembangkan. Pengembangan bahasa melibatkan aspek sensorimotor terkait dengan kegiatan mendengar, kecakapan memaknai, dan produksi suara. Kondisi ini sudah dibawa anak mulai lahir. Cowlley (1997) mengistilahkannya sebagai brains wired for the task. Sementara Skinner, mempercayai bahwa kapasitas berbahasa telah dibawa setiap anak semenjak ia dilahirkan yang diistilahkan sebagai a language acquisition device program into the brain. Dengan demikian, lingkungalah yang selanjutnya turut memperkaya bahasa anak dengan baik. Dalam hal ini, peran orang tua dan pendidik sangat mutlak karena penyiapan diri dan lingkungan kondusif perlu dilakukan agar perkembangan bahasa anak berjalan secara optimal.

Riset panjang telah dilakukan, di antaranya oleh Hart & Ristley (1995) berkaitan dengan bagaimana lingkungan mempengaruhi perkembangan bahasa anak. Hasil riset menunjukkan bahwa anak-anak yang diasuh dalam keluarga yang berpendidikan, jauh lebih kaya dalam kosakatanya dibandingkan dengan keluarga kurang berpendidikan. Oleh karenanya, mereka kehilangan kesempatan mengembangkan bahasanya, komunikasi yang produktif jarang terjadi. Korelasi positif antara berbahasa secara verbal dengan perkembangan intelektual akan diwujudkan saat anak-anak berusia 9 - 10 tahun. Eratnya kaitan antara perkembangan bahasa dengan kemampuan intelektual, selayaknyalah para pendidik di TK memahami bagaimana proses pembelajaran bahasa dapat dilakukan secara patut melalui berbagai cara yang kreatif.

Vygotsky (1978) mengatakan bahwa pesan budaya dalam pengembangan bahasa anak sangat berpengaruh. Teori sosiokultural

kognisi yang digagasnya memainkan peran dalam kemampuan anak secara individu, terkait dengan pengalaman sosial dan cara berpikir. Vygotsky memfokuskan bagaimana pentingnya antara kemampuan pendidik sebagai fasilitator yang memainkan perannya sebagai tools of the mind mendampingi anak sehari-hari.

Pengembangan bahasa di TK diarahkan agar peserta didik mampu menggunakan dan mengekspresikan pemikiran menggunakan kata-kata. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pengembangan bahasa lebih diarahkan agar peserta didik di TK dapat melakukan berbagai hal berikut. Pertama, mengolah kata secara komprehensif. Kedua, mengekpresikan kata-kata tersebut dalam bahasa tubuh (ucapan dan perbuatan) dapat dipahami oleh orang lain. Ketiga, mengerti, mengartikan, dan menyampaikan setiap kata secara utuh kepada orang lain. Keempat, berargumentasi, meyakinkan orang melalui kata-katanya sendiri.

Anak mulai menggunakan tiga sistem isyarat (graphonic, semantic, dan syntatic) secara bersama-sama pada saat membaca permulaan. Anak tertarik pada bacaan, mulai mengingat kembali cetakan pada konteksnya, berusaha mengenal tanda-tanda pada lingkungan, serta membaca berbagai tanda, seperti kotak susu, pasta gigi, atau papan iklan. Pada tahap keempat ini, orang tua dan guru tetap membacakan sesuatu untuk anak-anak sehingga mendorong anak membaca sesuatu pada berbagai situasi. Orang tua dan guru jangan memaksa anak membaca huruf secara sempurna.

Dalam pengembangan kemampuan membaca di TK, terdapat beberapa pendekatan yang dilakukan melalui berbagai bentuk permainan. Beberapa pendekatan yang dimaksud di antaranya adalah metode sintesis, metode global, dan metode whole-linguistic. Metode sintesis yang didasarkan pada teori asosiasi, memberikan suatu

Page 22: Jurnal Cakrawala September 2015

291

pengertian bahwa suatu unsur (misalnya unsur huruf) akan bermakna apabila unsur tersebut bertalian atau dihubungkan dengan unsur lain (huruf lain) sehingga membentuk suatu arti.

Unsur huruf tidak akan memiliki makna apa-apa kalau tidak bergabung (sintesis) dengan unsur (huruf) lain, sehingga membentuk suatu kata, kalimat atau cerita yang bermakna. Atas dasar itulah, terdapat permainan membaca dimulai dari unsur huruf. Permainan membaca ini dilakukan menggunakan bantuan gambar pada setiap kali memperkenalkan huruf, misalnya huruf ‘a’ disertai gambar ayam, angsa, anggur, apel.

Selain metode di atas, terdapat permainan membaca pada anak dengan menggunakan metode global. Metode ini didasarkan pada teori ilmu jiwa keseluruhan (gestalt). Dalam metode ini, anak pertama kali memaknai segala sesuatu secara keseluruhan. Keseluruhan memiliki makna yang lebih dibandingkan unsur-unsurnya. Kedudukan setiap unsur, hanya berarti jika memiliki kedudukan fungsional dalam suatu keseluruhan. Sebagai contoh, unsur “a” hanya bermakna, jika “a” ini fungsional dalam kata atau kalimat, misalnya “ayam berlari”.

Atas dasar ini, metode global memperkenalkan membaca permulaan pada anak yang dimulai dengan memperkenalkan “kalimat”. Kalimat dalam permainan membaca permulaan ini dipilih dari kalimat perintah agar anak melakukan hal-hal yang ada dalam perintah tersebut, seperti “ambil apel itu”. Permainan ini dapat dilakukan dengan menggunakan kartu kalimat, kata, pecahan suku kata, dan huruf. Kegiatan permainan ini dapat dilakukan dengan menggunakan papan flanel dan karton yang dapat ditempel (Kemendiknas, 2007: 10 - 11).

Model Bercerita dengan Media Boneka dalam Meningkatkan Kemampuan Berbahasa Anak Usia Dini

Metode pembelajaran memiliki peran yang sangat penting dalam proses belajar di Taman Kanak-kanak. Beberapa metode yang terdapat dalam pembelajaran di Taman Kanak-kanak adalah metode bermain, karyawisata, bercakap-cakap, cerita, demontrasi, proyek, dan pemberian tugas (Isjoni, 2010: 86). Salah satu metode yang dapat digunakan untuk mengembangkan kemampuan berbahasa anak adalah metode bercerita.

Metode bercerita yang diterapkan di TK mempunyai beberapa manfaat penting dalam pencapaian tujuan pendidikan di TK. Dhieni (dalam Penayuni, 2012: 20) menyatakan bahwa bercerita kepada anak memainkan peranan penting, bukan saja dalam menambah minat dan kebiasaan membaca, tetapi juga dalam mengembangkan bahasa dan pikiran anak.

Fanani (dalam Djuko, 2013: 3) menyatakan bahwa bercerita atau mendongeng adalah metode komunikasi universal yang sangat berpengaruh kepada jiwa manusia. Melalui cerita-cerita atau dongeng yang baik, sesugguhnya anak-anak tidak hanya memperoleh kesenangan atau hiburan saja, tetapi mendapatkan pendidikan yang jauh lebih luas, bahkan tidak berlebihan bila dikatakan bahwa cerita ternyata menyentuh berbagai aspek pembentukan kepribadian anak-anak. Seorang pendongeng yang baik akan menjadikan cerita sebagai suatu yang menarik dan hidup. Keterlibatan anak terhadap cerita akan memberikan suasana yang segar, menarik dan menjadi pengalaman yang unik bagi anak. Bercerita dalam konteks komunikasi dapat dikatakan sebagai upaya mempengaruhi orang lain melalui ucapan dan penuturan tentang suatu ide.

Page 23: Jurnal Cakrawala September 2015

292

Kegiatan bercerita dapat memberikan kesempatan kepada anak untuk berpikir, berpendapat secara bebas sesuai dengan cerita yang sudah didengarnya untuk membangkitkan motivasi anak dalam kegiatan belajar. Melalui kegiatan bercerita, pendengaran anak mulai dapat difungsikan dengan baik untuk membantu kemampuan berbicara dengan menambah perbendaharaaan kosakata, melatih merangkai kalimat sesuai dengan tahap perkembangan anak. Oleh karena itu, peningkatan kemampuan berbahasa lisan anak dapat dilakukan dengan menerapkan metode bercerita.

Metode bercerita yang diterapkan dalam penelitian ini adalah menggunakan media boneka tangan (boneka jari). Boneka jari adalah boneka flanel yang kemudian dibentuk pola sesuai yang diinginkan, misalnya bentuk gajah, orang laki-laki, dan sebagainya. Boneka tersebut dibuat sedemikian rupa, kemudian dimasukkan ke dalam jari-jari tangan manusia sehingga dapat dimainkan oleh anak. Boneka jari merupakan mainan edukatif yang memberikan manfaat luar biasa bagi para guru di sekolah yang dari segi pembuatannya relatif mudah, dana, dan bahan yang tentunya tidak sulit diperoleh.

Tujuan permainan boneka jari adalah untuk mengembangkan kemampuan bahasa anak, mempertinggi ketrampilan dan kreativitas anak, serta melatih keterampilan jari-jemari tangan. Boneka jari memiliki beberapa manfaat dalam mengembangkan aspek bahasa, mengembangkan aspek moral/menanamkan nilai-nilai kehidupan pada anak, memberikan manfaat kemampuan kognitif, serta motorik halus anak (Zaman, 2008: 7; Kemal dalam Yosastra, 2013: 3).

Kegiatan pembelajaran melalui impelmentasi metode bercerita dengan media boneka tangan dapat memberikan pengalaman belajar yang unik dan menarik, membangkitkan semangat, dan

menumbuhkan perasaan senang dalam mendengarkan cerita dari guru, serta dapat meningkatkan kemampuan berbahasa lisan anak. Penerapan metode bercerita dengan media boneka tangan merupakan salah satu cara atau tindakan yang diusahakan dalam proses pembelajaran untuk meningkatkan kemampuan berbahasa lisan anak. Metode dan media pembelajaran yang menarik diharapkan dapat meningkatkan minat siswa dalam mengikuti kegiatan pembelajaran sehingga kemampuan yang diharapkan dapat meningkat.

METODE PENELITIAN

Metode dalam penelitian ini diterjemahkan sebagai cara untuk mendapatkan data yang valid. Data valid yang dimaksud dalam penelitian ini adalah berkaitan dengan kualitas data, mulai dari strategi penyediaan data, analisis data, dan pemaparan hasil analisis data. Selain itu, hal yang juga perlu menjadi bahan pertimbangan adalah berkaitan dengan perkembangan bahasa anak dengan diterapkannya metode yang tepat.

Data dalam penelitian ini diambil dari data siswa kelompok B TK Tunas Putra Desa Sumberharjo, Kabupaten Pacitan. Adapun jumlah anak kelompok B yang menjadi objek penelitian sejumlah 20 anak, terdiri atas 7 anak laki-laki (L) dan 13 anak perempuan (P). Adapun waktu penelitian dilaksanakan selama dua bulan, yaitu mulai bulan September sampai dengan November, semester ganjil TA 2014/2015.

Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas (PTK), yang merupakan penelitian tindakan oleh guru di dalam kelas untuk memperbaiki kinerja guru sehingga hasil belajar anak mengalami peningkatan (Wardani, 2008: 78). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa penelitian tindakan kelas (PTK) yang dimaksud dalam penelitian ini adalah proses belajar mengajar di TK

Page 24: Jurnal Cakrawala September 2015

293

Tunas Putra Desa Sumberharjo, Kabupaten Pacitan. Proses belajar-mengajar yang diamati dalam penelitian ini mengacu pada penerapan pendekatan model pembelajaran bercerita utamanya dengan media boneka jari untuk meningkatkan kemampuan anak dalam berbahasa (berbicara) siswa kelompok B1 TK Tunas Putra, Desa Sumberharjo, Kabupaten Pacitan, semester ganjil Tahun Pelajaran 2014/2015.

Penyediaan data merupakan suatu upaya untuk mempersiapkan data agar kecukupan data terpenuhi, namun tetap dengan berprinsip bahwa data yang disediakan adalah berdasarkan kenyataan (apa adanya) yang disebutnya sebagai sifat penelitian deskriptif. Pengumpulan data merupakan bagian yang terpenting dalam suatu penelitian, bahkan merupakan suatu keharusan bagi seorang peneliti. Pada umumnya data yang digunakan dalam penelitian adalah data primer dan data sekunder. Data primer, yaitu data yang diperoleh secara langsung atau data yang diperoleh dari sumber pertama, sedangkan data sekunder, yaitu data yang diperoleh secara tidak langsung.

Untuk mendapatkan data yang diperlukan, maka peneliti menggunakan beberapa teknik yaitu observasi dan dokumentasi. Observasi adalah salah satu tenik pengumpulan data yang digunakan untuk mendapatkan informasi dengan cara mengamati perilaku anak dalam situasi tertentu. Teknik ini sangat cocok digunakan untuk menilai atau mengukur kadar perilaku, baik kognitif, afektif, maupun psikomotorik. Dokumentasi adalah salah satu teknik pengumpulan data atau bukti-bukti penjelasan yang lebih luas mengenai fokus penelitian. Dokumen digunakan dengan tujuan mencari data yang berasal dari wawancara dan catatan yang ada hubungannya dengan objek penelitian sebagai sumber data.

Analisis data dalam penelitian ini menggunakan dua teknik, yaitu analisis data deskriptif kompratif, dan analisis kritis.Teknik deskriptif kompratif digunakan untuk data kuantitatif, yaitu dengan membandingkan hasil antarsiklus. Analisis ini juga digunakan untuk menghitung nilai atau skor yang diperoleh siswa, yaitu besarnya peningkatan kemampuan dalam berbahasa. Hasil komparasi tersebut digunakan untuk mengetahui indikator keberhasilan dan kegagalan dalam setiap siklus. Indikator yang belum tercapai diperbaiki pada siklus berikutnya.

Teknik analisis kritis dalam penelitian ini dimaknai sebagai suatu langkah yang berkaitan dengan data kualitatif, yaitu mencakup kegiatan untuk mengungkapkan kelemahan dan kelebihan kinerja siswa dan guru dalam proses pembelajaran berdasarkan kriteria normatif. Hasil analisis tersebut dijadikan dasar dalam penyusunan perencanaan tindakan untuk tahap berikutnya.

Untuk mengetahui keberhasilan dalam proses pembelajaran, diperlukan evaluasi secara menyeluruh. Kriteria yang digunakan untuk mengukur keberhasilan dan kegagalan pembelajaran dapat dicermati melalui keaktifan siswa dalam proses pembelajaran dan evaluasi kegiatan dan keberhasilan belajar anak adalah sejauh mana pendekatan model pembelajaran bercerita dengan media boneka tangan/boneka jari tersebut dapat memberikan kontribusi, yakni peningkatan kreativitas dan keberanian anak dalam hal berbicara, khususnya siswa kelompok B Tunas Putra Desa Sumberharjo, Kabupaten Pacitan, Jawa Timur.

Kriteria untuk mengukur tingkat pencapaian keberhasilan pembelajaran dalam bercerita dinyatakan telah mencapai tujuan pembelajaran jika total jumlah anak yang mampu menuangkan kreativitasnya dalam menggambar di atas 85%. Proses

Page 25: Jurnal Cakrawala September 2015

294

perbaikan pembelajaran dinyatakan telah mencapai tujuan pembelajaran jika jumlah anak mulai berkembang kreativitasnya dan yang sudah berkembang kreativitasnya mencapai angka di atas 85%, dengan skala bintang (*).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Proses penyediaan data hingga analisis data dilaksanakan dengan dua siklus. Siklus I dirancang sedemikian rupa dengan menerapkan pola pembelajaran yang lebih inovatif daripada sebelum prasurvei. Adapun pelaksanaan siklus I menunjukkan data anak-anak yang belum berkembang (BB) terdapat 2 anak (10%), anak-anak yang sudah mulai berkembang (MB) ada 4 anak (20%), dan anak yang sudah berkembang sesuai harapan (BSH) 10 anak (50%), dan anak berkembang dengan pesat 4 anak (20%).

Mengacu pada data di atas dapat dikatakan bahwa kemampuan anak bercerita menggunakan media boneka tangan mencapai 70%, terdiri atas anak yang sudah berkembang sesuai harapan 10 anak (50%) dan anak yang mampu bercerita menggunakan media boneka tangan sebanyak 4 anak (20%). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pada siklus I ini kemampuan anak dalam mengungkapkan/bercerita menggunakan media tangan baru mencapai 70%, yaitu angka penggabungan dari anak yang termasuk dalam kategori berkembang sesuai harapan (50%) dan berkembang sangat baik (20%). Capaian tersebut belum mencapai angka signifikan karena masih di bawah 85%. Oleh karena itu, pelaksanaan siklus II perlu dilakukan.

Berdasarkan kajian dan pengamatan yang sudah dilakukan peneliti bahwa ada kekurangan dalam kegiatan pembelajaran sehingga perlu dilakukan perbaikan dalam pelaksanaan siklus II mulai tahap perencanaan, pelaksanaan tindakan dan

pengamatan/obeservasi hasil tindakan. Pelaksanaan siklus II dengan segala bentuk perbaikan telah menghasilkan data sebagai berikut. Anak-anak belum berkembang (MB) sudah mengalami kemajuan luar biasa. Mereka mulai menyesuaikan diri dan mulai mau mencoba bercerita dengan kemampuan mereka. Pelaksanaan siklus 2 menunjukkan tidak ada seorang anak pun yang dinyatakan belum berkembang (BB).

Kemajuan positif dapat dicermati dari jumlah anak yang termasuk dalam kategori mulai berkembang mengalami penurunan dari 4 anak menjadi 2 anak (10%). Sedangkan anak yang berkembang sesuai harapan (BSH) sebanyak 11 anak (55%), dan anak yang berkembang sangat baik (BSB) sebanyak 7 anak (35%). Dengan demikian, jumlah anak yang masuk dalam kategori mampu bercerita menggunakan media boneka tangan sebanyak 90%, terdiri atas 11 anak (55%) masuk dalam ketegori berkembang sesuai harapan, dan 7 anak (35%) berkembang dengan sangat baik. Capaian 90% tersebut membuktikan bahwa penerapan metode bercerita dalam merangsang kemampuan berbahasa anak sangat tepat dilakukan. Penggunaan media boneka tangan turut memberikan konstribusi positif. Hal ini terbukti dari antusias anak dalam mengikuti pembelajaran. Angka 90% pada siklus II memberikan indikasi bahwa tidak perlu dilakukan perbaikan karena nilai yang dicapai telah di atas 85%.

Perencanaan pembelajaran menggunakan metode bercerita dengan media boneka tangan dalam meningkatkan kemampuan berbahasa pada anak usia dini di TK Tunas Putra Desa Sumberharjo, Kabupaten Pacitan Jawa Timur, dapat membantu meningkatkan kecerdasan anak, utamanya kecerdasan linguistik (bahasa). Hal tersebut disebabkan adanya pelibatan anak-anak dalam proses pembelajaran sehingga mendorong anak untuk mampu berpikir

Page 26: Jurnal Cakrawala September 2015

295

cerdas, cermat, dan kreatif. Selain itu, aktivitas yang dilakukan guru, seperti menentukan bahan pelajaran dan merumuskan tujuan, pengelolaan dan pengorganisasian anak, mengembangkan materi media (alat peraga) pembelajaran, merencanakan skenario kegiatan, merencanakan pengelolaan kelas, dan menyiapkan alat penilaian, juga dapat membantu mengembangkan dan meningkatkan tingkat kecerdasan anak.

Perencanaan yang dilakukan oleh guru dapat membantu pelaksanaan pembelajaran dan tindakan kelas sehingga pembelajaran dapat dilakukan sesuai dengan sistematika perencanaan. Selain itu, perencanaan yang dilakukan dapat dikategorikan “baik” karena sesuai dengan teori. Langkah-langkah pembelajaran dengan penerapan metode bercerita dengan media boneka tangan dalam meningkatkan kemampuan berbahasa anak usia dini di TK Tunas Putra Desa Sumberharjo, Kabupaten Pacitan Tahun Pelajaran 2014/2015 sangat menunjang kegiatan pembelajaran, pengelolaan interaksi kelas, pemberian penilaian proses, dan hasil belajar anak.

Peningkatan kemampuan berbahasa anak melalui penerapan metode bercerita dengan media boneka tangan di TK Tunas Putra Desa Sumberharjo, Kabupaten Pacitan Tahun Pelajaran 2014/2015 setelah dilaksanakan pembelajaran pada siswa kelompok B dengan jumlah 20 anak, terdapat 18 anak sudah mampu membaca permulaan dengan baik atau 90% (11 anak atau 55% berkembang sesuai harapan dan 7 anak atau 35% berkembang sangat baik). Anak-anak yang kemampuan membaca permulaannnya mulai berkembang tinggal 2 anak saja (10%), dan tidak ada lagi anak yang masuk dalam kategori belum berkembang.

Capaian tersebut tidak lepas dari media yang digunakan. Semakin menarik sebuah media pasti memberikan efek

positif bagi antusias anak dalam mengikuti pembelajaran. Kreativitas guru dalam hal ini mutlak diperlukan. Cara pengajaran yang kreatif, inovatif, dan melibatkan siswa dalam kegiatan memberikan kontribusi nyata dalam memberikan efek positif dalam kualitas berbahasa anak.

Strategi membuka pelajaran juga menjadi hal yang perlu diperhatikan. Mood siswa akan terbentuk dengan baik apabila suasana awal pembelajaran sudah menarik, apalagi dengan isi pembelajaran (inti kegiatan) yang juga dikemas dengan menarik. Sebagai seorang pendidik, hendaknya guru tidak mahal pujian, karena pujian terhadap apa yang dilakukan anak dapat membuat anak lebih bersemangat lagi dalam mengikuti pembelajaran. Selain itu, cara berbahasa guru akan menjadi contoh bagi anak-anak karena biasanya mereka mengidolakan gurunya dan mereka ingin seperti sosok guru yang menjadi idolanya tersebut.

PENUTUP

Berdasarkan hasil dan pembahasan di atas, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut. Pertama, penerapan model bercerita menggunakan media boneka tangan yang diterapkan di TK Tunas Putra Desa Sumberharjo, Kabupaten Pacitan, Jawa Timur pada siswa kelompok B TA 2014/2015, terbukti dapat meningkatkan kemampuan berbahasa anak usia dini. Kedua, metode serta perilaku guru dalam menyampaikan materi merupakan kunci efektifnya proses belajar-mengajar di TK Tunas Putra Desa Sumberharjo, Kabupaten Pacitan Tahun Pelajaran 2014/2015. Oleh karena itu, guru hendaknya kreatif dan selalu berinovasi untuk melakukan pembelajaran-pembelajaran yang menarik sehingga target yang diharapkan dapat tercapai.

Untuk melaksanakan pembelajaran, khususnya dalam meningkatkan kemampuan bercerita pada anak usia dini, dengan

Page 27: Jurnal Cakrawala September 2015

296

menggunakan media boneka tangan, maka dapat dilakukan hal-hala sebagai berikut. Pertama, guru dapat menerapkan model bercerita untuk meningkatkan kemampuan

berbahasa anak, utamanya berbicara. Kedua, guru dapat meningkatkan latihan dan bimbingan bagi anak yang belum paham menggunakan bahasanya, baik kata, frasa maupun kalimat dalam bertutur.

DAFTAR PUSTAKA

Depdiknas. 2010. Kumpulan Pedoman Pembelajaran Taman Kanak-kanak. Jakarta: Kementerian Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pembinaan Taman Kanak-kanak dan Sekolah Dasar.

Djuko, Rapi Us. 2013. “Meningkatkan Minat Membaca pada Anak Usia Dini melalui Metode Bercerita dengan Gambar di PAUD Andini Kelurahan Bulotadaa Timur Kecamatan Sipatana, Kota Gorontalo”. Ejournal, FIP UNG, 4 (1), hlm. 671 - 681.

Isjoni. 2010. Model Pembelajaran Anak Usia Dini. Bandung: Alfabeta.

Kemendiknas. 2007. Pedoman Pembelajaran Persiapan Membaca dan Menulis melalui Permainan di Taman Kanak-kanak. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, Direktorat Pembinaan Taman Kanak-kanak dan Sekolah Dasar.

Kemendiknas. 2010. Kumpulan Pedoman Pembelajaran Taman Kanak-kanak. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, Direktorat Pembinaan Taman Kanak-kanak dan Sekolah Dasar.

Kemendiknas. 2010. Pedoman Pembelajaran Bidang Pengembangan Kognitif di Taman Kanak-kanak. Jakarta: Kementerian Pendidikan Nasional Direktorat Jendral Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, Direktorat Pembinaan TK dan SD.

Penayuni, Ni Made. 2012. “Penerapan Metode Bercerita melalui Media Kartu Bergambar untuk Meningkatkan Kemampuan Berbahasa Anak pada Kelompok B Semester II Tahun Ajaran 2011/2012 di TK Kumara Stana Gitgit”. Skripsi (tidak diterbitkan), Pendidikan Guru Pendidikan Anak Usia Dini, Undiksha, Singaraja.

Wardani IGAK, dkk.. 2008. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta : Universitas Terbuka

Yosastra, Oki, dkk.. 2013. “Efektivitas Permainan Boneka Jari untuk Meningkatkan Kemampuan Pengurangan Bilangan Bulat bagi Anak Tunagrahita X”. E-Jupekhu, 2 Edisi khusus, hlm. 671 - 681.

Zaman, Badru, dkk.. 2008. Media dan Sumber Belajar TK. Jakarta: Universitas Terbuka.

Page 28: Jurnal Cakrawala September 2015

297

EFEKTIVITAS PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN DEMONSTRASI TERHADAP KECERDASAN MATEMATIS-LOGIS SISWA KELOMPOK B TK MARDI UTOMO KABUPATEN PACITAN TAHUN AJARAN 2014/2015

PrihandayaniTK Mardi Utomo, Kabupaten Pacitan, Jawa Timur

ABSTRACTThis study aims to determine the effectiveness of the demonstration of learning

methods to understand the concept of objects based on shape, color, and size. Research conducted in kindergarten Mardi Utomo, Pacitan, the research subjects were 13 respondents. This study uses a model of action research conducted by 2 cycles. Each cycle, including planning, action, observation, and reflection. Stages of this research, including data collection, data analysis, and presentation of data analysis results. Data collection techniques are used, among other methods of observation, demonstration, and documentation. Data were analyzed using qualitative descriptive analysis techniques. Demonstration method with media images may improve the ability to classify objects by shape, color, and size of the student group B TK Mardi Utomo Pacitan, East Java.

Keywords: demonstration method, classification of objects, mathematical-logical

ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas penerapan metode

pembelajaran demonstrasi untuk memahami konsep benda berdasarkan bentuk, warna, dan ukuran. Penelitian dilaksanakan di TK Mardi Utomo, Kabupaten Pacitan, dengan subjek penelitian sebanyak 13 responden. Penelitian ini menggunakan model penelitian tindakan yang dilakukan sebanyak 2 siklus. Setiap siklus, meliputi rencana, tindakan, pengamatan, dan refleksi. Tahapan penelitian ini, meliputi pengumpulan data, analisis data, dan pemaparan hasil analisis data. Teknik pengumpulan data yang digunakan, antara lain metode observasi, demonstrasi, dan dokumentasi. Data dianalisis menggunakan teknik analisis deskriptif kualitatif. Metode demonstrasi dengan media gambar dapat meningkatkan kemampuan mengklasifikasikan benda berdasarkan bentuk, warna, dan ukuran pada siswa kelompok B TK Mardi Utomo Kabupaten Pacitan, Jawa Timur.

Kata kunci: metode demonstrasi, klasifikasi benda, matematis-logis

PENDAHULUAN

Taman kanak-kanak merupakan pendidikan formal sebelum anak memasuki pendidikan sekolah dasar. Lembaga ini sangat penting dan strategis dalam menyediakan pendidikan bagi anak usia 4 – 6 tahun. Usia tersebut merupakan usia emas (golden age) yang di dalamnya terdapat masa peka yang hanya datang sekali. Masa peka adalah masa yang menuntut perkembangan anak secara optimal. Bloom menyatakan bahwa 80%

perkembangan mental dan kecerdasan anak berlangsung pada usia 4 – 6 tahun. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwaanak mempunyai kebutuhan untuk menyatakan perasaan dan pikiran dengan berbagai macam cara menurut keinginannya sendiri. Dalam menyatakan perasaan dan pikiran atau ekspresi, anak menghayati berbagai macam perasaan tentang hal atau peristiwa yang dialaminya, seperti perasaan senang, sedih, puas, keindahan,dansebagainya.

Page 29: Jurnal Cakrawala September 2015

298

Pendidikan di TK memberikan kesempatan sepenuhnya untuk memenuhi kebutuhan pekerjaan manusia yang erat hubungannya dengan pikiran dan kemampuan berhitung. Sekalipun dasar perbuatan itu adalah perasaan, tetapi dalam seluruh proses pekerjaan tidak hanya ditentukan oleh perasaan saja, tetapi juga bertalian erat dengan pemikiran. Halus dan jernih, serta tajamnya pikiran merupakan syarat untuk dapat mengembangkan kemampuan berhitung pada anak.

Kognitif anak yang telah berusia lebih dari satu tahun dapat dikembangkan dengan memberikan kesempatan kepada anak untuk lebih banyak berbicara, mempraktikkan keterampilan baru, mengeksplorasi tempat-tempat baru, bermain dengan beragam alat permainan, menyimak cerita dan melihat-lihat buku bergambar. Dengan cara itu, diharapkan kecerdasan anak akan berkembang secara optimal.

Di tingkat TK, pemenuhan kebutuhan anak untuk meningkatkan kemampuan berhitung perlu mendapat bimbingan dan pembinaan secara sistematis dan terencana. Pemberlakuan Kurikulum TK 2004 yang berbasis kompetisi berimplikasi pada perlunya pengembangan pembelajaran. Para pendidik sebelum melaksanakan kegiatan pembelajaran perlu mempersiapkan media yang digunakan untuk menunjang proses belajar mengajar di dalam kelas serta model-model pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik perkembangan fisik dan psikologi anak. Keadaan lingkungan sekitar dan ketersediaan sarana-prasarana pendidikan juga menunjang keberhasilan proses belajar-mengajar.

Rasa ingin tahu pada anak yang sangat tinggi akan tersalurkan apabila mendapat stimulasi/rangsangan/motivasi yang sesuai dengan tugas perkembangannya. Apabila keinginan berhitung disalurkan melalui berbagai macam permainan, diharapkan

hasilnya lebih efektif karena bermain merupakan wahana belajar dan bekerja bagi anak. Diyakini bahwa anak akan lebih berhasil mempelajari sesuatu apabila yang ia mempelajarinya sesuai dengan minat, kebutuhan, dan kemampuan.

Kegiatan pembelajaran di TK diarahkan untuk meningkatkan perkembangan mental anak ke tahap yang lebih tinggi. Hal tersebutdapat dilakukan dengan cara memperkaya pengalaman anak, terutama pengalaman konkret, karena dasar pengalaman mental anak melalui pengalaman aktif dengan menggunakan benda-benda sekitarnya. Oleh karena itu, pendidikan di TK sangat penting untuk mencapai keberhasilan belajar pada tingkat pendidikan selanjutnya.

Kemampuan berhitung merupakan salah satu pengembangan dari kemampuan kognitif. Diharapkan anak akan memiliki kecakapan dalam memecahkan masalah yang berkaitan dengan mengklasifikasikan benda, mengenal bentuk, warna, dan ukuran benda. Kemampuan mengklasifikasikan benda berdasar bentuk, warna, dan ukuran dapat membantu anak untuk berpikir kritis, analitis, dan membantu anak membuat keputusan dalam kehidupan sehari-hari. Agar anak mampu memahami konsep bentuk benda, warna, dan ukuran, maka anak perlu diperkenalkan dengan permainan sederhana. Anak perlu dikenalkan dengan kegiatan permainan yang bersifat mengasah daya kognitif, seperti menciptakan bentuk dari kepingan balok-balok, mengerjakan maze, menyusun puzzle, dan permainan lain yang dapat mengasah kemampuan otak.

Pengenalan bentuk, warna, dan ukuran benda pada anak akan lebih bermakna jika diterapkan dengan metode yang tepat. Guru dapat menggunakan alternative metode yang dapat membantu keterampilan siswa dalam mengklasifikasikan benda dalam suasana belajar yang menyenangkan siswa dan sesuai dengan perkembangan anak.

Page 30: Jurnal Cakrawala September 2015

299

Anak akan berminat mengikuti pembelajaran jika kondisi belajar dilakukan sambil bermain serta menggunakan media pembelajaran yang disukai anak. Media tersebut misalnya berupa gambar-gambar.

Mendorong Perkembangan Kognitif Anak

Anak dapat belajar melalui dirinya sendiri, tetapi anak juga memerlukan pertolongan untuk memadukan apa yang dipelajarinya sehingga tercipta konsep yang lebih kompleks/rumit. Saat pembelajaran, guru pembimbing perlu mengatur kegiatan yang berpusat pada anak dalam mengembangkan dan memproses kemampuan berpikir yang spesifik. Anak perlu ditawari berbagai kegiatan untuk bermain menjelajah lingkungan, lebih banyak responsterhadap rangsangan dari lingkungan dengan cara yang sangat konstruktif/membangun, yaitu ketika ia mengorganisasi informasi di dalam otaknya dengan pola yang dapat diprediksi (diperkirakan) sejak usia sangat dini. Apabila anak hanya ditawari permainan dengan sedikit atau tidak ada petunjuk sama sekali, mereka kadang-kadang mengalami kesulitan menjelaskan dan memahami apa yang telah dilihat atau dijelajahi.

Sebagaimana anak mendapatkan lebih banyak pengalaman dari dunia sekeliling mereka, mereka sering membutuhkan pertolongan dalam mengorganisasi hasil belajar yang spesifik (terarah pada suatu konsep). Menurut Janice J. Beaty (dalam Tim Penyusun, 2000: 12) mengorganisasi sejumlah pembangunan konsep yang muncul secara sistematis dapat dilakukan melalui beberapa program pengembangan kognitif pada anak usia dini.1. Bentuk

Bentuk adalah salah satu dari konsep paling awal yang harus dikuasaianak. Anak harusdapat membedakan benda berdasarkan bentuk terlebih dulu sebelum berdasarkan ciri-ciri lainnya. Dengan demikian, merupakan

hal terbaik untuk memulai program kognitif dengan memberikan kegiatan yang memungkinkan anak membedakan berbagai benda dengan bentuk yang berbeda-beda.

a. Warna

Meskipun anak sering berbicara tentang warna dari suatu benda, anak dapat mengembangkan konsep warna setelah mengenal bentuk. Konsep warna paling baik dikembangkan dengan cara memperkenalkannya satu per satu kepada anak dan menawarkan beragam permainan dan kegiatan menarik yang berhubungan dengan warna.

b. Ukuran

Ukuran adalah salahsatu halyang diperhatikan anak secara khusus. Seringkali hubungan ukuran ini diajarkan dalam konteks kebalikan, seperti panjang dengan pendek, besar dengan kecil, lebar dengan sempit. Anak akan dapat memahami satu macam ukuran dalam satu waktu. Oleh karena itu, anak harus belajar konsep besar terlebih dahulu, kemudian konsep kecil, dan akhirnya anak dapat diminta untuk membandingkan keduanya.

c. Pengelompokan

Anak usia tiga tahun sudah mampu mengelompokkan benda. Guru dapat melihat prosesnya dengan jelas ketika anak memisahkan mainan ke dalam kelompok “binatang berukuran besar” dan “binatang berukuran kecil”. Anak dapat mengklasifikasi sesuatu dalam berbagai cara. Sekotak kancing misalnya, mungkin akan dikelompokkan menurut ukuran, bentuk, atau warna.

d. Pengurutan

Pengurutan adalah kemampuan meletakkan benda dalam urutan menurut aturan tertentu. Misalnya, mengurutkan lima buah tongkat dari

Page 31: Jurnal Cakrawala September 2015

300

yang paling pendek ke yang paling panjang atau mengurutkan buku dari yang paling tebal ke yang paling tipis.

Indikator Kecerdasan Matematis-Logis Anak Usia Dini

Kecerdasan ini merupakan suatu kemampuan untuk mendeteksi pola berpikir deduktif, dan logis. Kemampuan ini sering diasosiasikan dengan berpikir secara ilmiah dan matematis (Kurniasih, 2009: 90). Anak-anak yang mempunyai kecerdasan matematis-logis cenderung berpikir secara numerik dan dalam konteks pola, urutan logis, sebab-akibat, dan kategorial. Gardner (dalam Widayati & Widijati, 2008: 24) menyatakan bahwa pada masa anak-anak inilah penjelajahan berbagai pola, kategori, dan hubungan sebab-akibat dimulai. Anak-anak secara aktif memanipulasi lingkungan (seperti kategori mainan), bereksperimen dengan berbagai hal menggunakan cara-cara yang terkendali (seperti mencelupkan benda pada air untuk mengetahui posisi benda pada air dan mendekatkan benda-benda pada magnet).

Pada anak-anak kecerdasan matematis-logis muncul dalam bentuk indikator berikut. Pertama, anak memiliki kepekaan terhadap angka, senang melihat angka, dan cepat menghitung benda-benda yang ada di sekitarnya. Kedua, anak tertarik dengan komputer dan kalkulator, memencet-mencet dan senang melihat angka yang keluar. Ketiga, anak sering mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang sebab-akibat suatu gejala atau fenomena, seperti mengapa catnya lengket? mengapa kepalanya pusing? mengapa kalau hujan sering terjadi banjir? dan sebagainya. Keempat, anak menyukai permainan yang menggunakan logika, strategi, dan pemikiran, misalnya maze, catur, dan puzzle. Kelima, anak dapat menjelaskan masalah-masalah ringan secara logis, seperti mengapa takut,

mengapa perut kenyang, mengapa terjatuh, mengapatemannya marah, dan sebagainya. Keenam, anak lebih banyak menghabiskan waktu untuk bermain dengan mainan yang membutuhkan kemampuan konstruksi, seperti menyusun balok, serta memasangkan angka-angka dan gambar (Kurniasih, 2009: 90 - 91).

Dengan adanya berbagai indicator di atas, guru perlu membangkitkan kecerdasan matematis-logis siswa dengan mengajak mereka belajar memecahkan masalah, memberikan tugas yang diselesaikan secara bertahap, bereksperimen, dan kegiatan edukatif lain yang menarik minat siswa dan berhubungan dengan kognitif.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan model penelitian tindakan dari Kemmis & Taggart (Akbar, 2009:28), yaitu berbentuk spiral dari siklus satu ke siklus berikutnya. Setiap siklus, meliputi rencana, tindakan, pengamatan, dan refleksi. Langkah pada siklus berikutnya adalah perencanaan yang sudah direvisi, tindakan, pengamatan, dan refleksi. Sebelum masuk pada siklus I dilakukan tindakan pendahuluan yang berupa identifikasi permasalahan. Subjek penelitian ini adalah siswa kelompok B Mardi Utomo Kabupaten Pacitan, Jawa Timur yang berjumlah 13 siswa. Penelitian dimulai tanggal 12 Oktober - 25 November 2014, pada semester I tahun pelajaran 2014/2015.

Tahapan penelitian ini, meliputi pengumpulan data, analisis data, dan pemaparan hasil analisis data. Teknik atau prosedur pengumpulan data yang digunakan, antara lain 1) metode observasi, yaitu melakukan kegiatan pengamatan terhadap aktivitas siswa dan guru selama penelitian berlangsung; 2) metode demonstrasi, yaitu penilaian kemampuan mengklasifikasikan benda berdasarkan warna, bentuk, dan ukuran, serta kemampuan anak dalam

Page 32: Jurnal Cakrawala September 2015

301

mempresentasikannya. Kegiatan penilaian menyatu dengan kegiatan harian siswa dalam suasana bermain; dan 3) metode dokumentasi, yaitu mengumpulkan data melalui pengambilan data nilai, data siswa yang telah ada, merekam kegiatan pembelajaran, dan sebagainya.

Untuk mengetahui keefektifan suatu metode dalam kegiatan pembelajaran, perlu diadakan analisis data. Penelitian ini menggunakan teknik analisis deskriptif kualitatif, yaitu suatu metode penelitian yang menggambarkan kenyataan atau fakta sesuai dengan data yang diperoleh untuk mengetahui hasil belajar yang dicapai anak didik dan respons anak didik terhadap kegiatan pembelajaran serta aktivitas anak didik selama proses pembelajaran. Penilaian kemampuan berhitung menggunakan kriteria sebagai berikut.

Tabel 1. Kriteria Penilaian Kemampuan Mengklasifikasikan Benda Berdasarkan Bentuk, Warna, dan Ukuran

Kriteria Nilai Skor Keterangan

Mampu tanpa

bantuan**** 4 Sangat baik/BSB

Mampu *** 3 Baik/BSH

Mampu dengan

bantuan** 2 Cukup/MB

Belum mampu * 1 Kurang/BB

Keterangan:BSB : Berkembang Sangat BaikBSH : Berkembang Sesuai HarapanMB : Mulai BerkembangBB : Belum Berkembang

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian tindakan kelas ini diawali dengan prasurvei dengan mengamati aktivitas siswa ketika diterapkan model pembelajaran konvensional. Tiga belas siswa kelompok B Mardi Utomo Kabupaten Pacitan, Jawa Timur pada prasurvei menunjukkan bahwa siswa yang termasuk dalam kategori berkembang sangat baik (BSB) sebanyak 2

siswa (15,38%), berkembang sesuai harapan (BSH) sebanyak 2 siswa (15,38%), mulai berkembang sebanyak 6 siswa (45,15%), dan belum berkembang sebanyak 3 siswa (23,07%).

Selanjutnya, peneliti melakukan kajian lebih mendalam. Peneliti dalam hal ini menerapkan metode pembelajaran demonstrasi. Penerapan model pembelajaran demonstrasi menunjukkan kemajuan signifikan. Hal ini tampak darihasil pelaksanaan siklus 1, yaitu siswa yang termasuk dalam kategori berkembang sangat baik (BSB) sebanyak 3 siswa (23,07%), siswa dalam kategori berkembang sesuai harapan (BSH) sebanyak 5 siswa (38,46%), mulai berkembang sebanyak 4 siswa (30,76%) dan belum berkembang (BB) sebanyak 1 siswa (7,69%). Dengan demikian, capaian siklus I menunjukkan pergerakan positif, yaitu meningkatnya jumlah siswa yang berkategori berkembang sangat baik (BSB) dan berkembang sesuai harapan (BSH). Namun demikian, capaiannya belum memenuhi kriteria ketuntasan minimal 85% karena baru pada kisaran angka 61,53% (8 siswa). Oleh karena itu, perlu dilakukan kegiatan siklus II dengan berbagai bentuk perbaikan.

Pada pembelajaran siklus II capaian ketuntasan mengalami peningkatan. Hal ini tampak dari jumlah siswa yang termasuk dalam kategori berkembang sangat baik (BSB) mencapai 5 siswa (38,46%), berkembang sesuai harapan (BSH) sebanyak 7 siswa (53,84%), mulai berkembang (MB) sebanyak 1 siswa (7,69%), dan tidak ada lagi anak yang termasuk dalam kategori belum berkembang. Adapun total capaian ketuntasan pada pelaksanaan siklus II adalah sebesar 92,30% (12 anak).

Pelaksanaan penelitian dari prasiklus, siklus I,sampai siklus II mengalami kemajuan yang sifnifikan. Hal ini tampak dari perkembangan yang terjadi pada setiap siklus, yaitu terdapat 2 siswa (15,38%) dalam

Page 33: Jurnal Cakrawala September 2015

302

kategori berkembang sangat baik (BSB) pada prasiklus, meningkat menjadi 3 siswa (23,07%) pada siklus I, dan meningkat lagi menjadi 5 siswa (38,46%) pada siklus II. Demikian juga pada kategori berkembang sesuai harapan, kenaikan terjadi dari prasiklus 2 siswa (15,38%) menjadi 5 siswa (38,46%) pada siklus I, dan meningkat lagi pada siklus II sebanyak 7 siswa (53,84%).

Hal berbalik terjadi pada kategori siswa yang termasuk mulai berkembang, dari 6 siswa (46,15%) pada prasiklus, menjadi 4 siswa (30,76%) pada siklus I, dan 1 siswa (7,69%) pada siklus II. Demikian juga pada anak dalam kategori belum berkembang, dari 3 siswa (23,07%) pada prasiklus, menjadi 1siswa (7,69%) pada siklus I, dan pada siklus II tidak ada lagi siswa yang termasuk dalam kategori belum berkembang.

Mencermati capaian dari tiap-tiap tahap yang ada, membuktikan bahwa model pembelajaran demonstrasi sangat tepat diterapkan sebagai upaya untuk

meningkatkan kemampuan anak dalam memahami benda berdasarkan bentuk, warna, dan ukuran. Hal ini terbukti dari capaian ketuntasan dari prasiklus, siklus I, dan siklus II yang mengalami peningkatan, yaitu dari 30,76% (4 siswa), menjadi 61,53% (8 siswa), kemudian 92,30% (12 siswa).

PENUTUP

Berdasarkan hasil dan pembahasan di atas, dapat diambil simpulan sebagai berikut. Pertama, metode demonstrasi dengan media gambar dapat meningkatkan kemampuan mengklasifikasikan benda berdasarkan bentuk, warna, dan ukuran pada siswa kelompok B TK Mardi Utomo Kabupaten Pacitan, Jawa Timur TA 2014/2015. Kedua, capaian ketuntasan pembelajaran dengan model demonstrasi mulai dari prasiklus, siklus I, dan siklus II, yaitu 30,76% (4 siswa), menjadi 61,53% (8 siswa), kemudian 92,30% (12 siswa).

DAFTAR PUSTAKA

Akbar, Sa’dun. 2009. Penilaian Tindakan Kelas. Yogyakarta: Cipta Media Aksara.

Kurniasih, Imas. 2009. Pendidikan Anak Usia Dini. Yogyakarta: Edukasia.

Tim Penyusun. 2000. Permainan Berhtung di TK. Jakarta:

Page 34: Jurnal Cakrawala September 2015

303

MENGASAH KEMAMPUAN BERBAHASA ANAK USIA DINI MELALUI PERMAINAN TEBAK CERITA SISWA KELOMPOK B2 TK TAMAN HARAPAN

KABUPATEN PACITAN TAHUN AJARAN 2014/2015

SukaryatiTK Taman Harapan, Kabupaten Pacitan, Jawa Timur

ABSTRACTThis study aims to determine the effectiveness of the application of learning models

to figure out the story in improving children’s ability in listening and speaking. This research was conducted through several phases that developed into a research cycle by adopting the process of action research. Stages (cycles) research, including planning, implementation, observation, and reflection. Model PTK is done in this research is classroom action research collaborators. The subjects were students kindergarten group B2 Hope Park, Pacitan. Data collection techniques consist of observation and documentation. The data has been collected and analyzed descriptively using averaging techniques and techniques percentage. The results showed that the ability of the child in terms of speaking, listening particular story, then the story guessed activity has increased. This is evident from the student’s ability to perform guess the story, including the language used, the accuracy of answers, as well as its ability to retell. Completeness in the first cycle is 55% and increased in the second cycle to 90%.

Keywords: teaching methods, guess the story, listen

ABSTRAKPenelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas penerapan model pembelajaran

tebak cerita dalam meningkatkan kemampuan anak dalam hal menyimak dan berbicara. Penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahapan yang berkembang menjadi suatu siklus penelitian dengan mengadopsi proses penelitian tindakan. Tahap-tahap (siklus) penelitian, meliputi perencanaan, pelaksanaan, observasi, dan refleksi. Model PTK yang dilakukan dalam penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas kolaborator. Subjek penelitian ini adalah siswa kelompok B2 TK Taman Harapan, Kabupaten Pacitan. Teknik pengumpulan data terdiri atas observasi dan dokumentasi. Data yang telah dikumpulkan dianalisis secara deskriptif menggunakan teknik rata-rata dan teknik persentase. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kemampuan anak dalam hal berbahasa, khususnya menyimak cerita, kemudian melakukan aktivitas tebak cerita mengalami peningkatan. Hal ini tampak dari kemampuan siswa dalam melakukan tebak cerita, termasuk bahasa yang digunakan, ketepatan menjawab, serta kemampuannya untuk menceritakan kembali. Ketuntasan pada siklus I adalah 55% dan mengalami kenaikan pada siklus II menjadi 90%.

Kata kunci: metode pembelajaran, tebak cerita, menyimak

Page 35: Jurnal Cakrawala September 2015

304

PENDAHULUAN

Cerita-cerita yang diperdengarkan kepada anak secara langsung atau tidak langsung akan memberikan kontribusi dalam pembentukan karakter anak. Anak-anak yang terbiasa dibacakan cerita akan mengenal tokoh-tokoh, mana yang layak ditiru dan mana yang tidak. Selain itu, anak juga akan terbiasa dengan memecahkan persoalan kehidupan, konflik dengan teman, dan seagainya. Selain itu, anak-anak juga akan berproses menggunakan bahasanya. Anak-anak akan belajar bahasanya pada masa-masa pertama dalam hidupnya. Lembaga taman kanak-kanak sebagai lembaga pertama di luar rumah yang digeluti anak hendaknya mempunyai program pengembangan anak yang efektif dan efisien, menarik, dan tepat guna.

Masa usia 4 - 6 tahun juga disebut dengan masa berkelompok.Pada masa inilah anak tumbuh dalam kelompok-kelompok tertentu untuk mempelajari dasar-dasar berperilaku sosial sebagai persiapan untuk menghadapi kehidupan sosial yang lebih tinggi yang diperlukan untuk penyesuaian diri pada waktu mereka masuk sekolah dasar.

Mengingat perkembangan utama yang terjadi selama awal masa kanak-kanak adalah penguasaan dan pengendalian lingkungan, maka masa awal kanak-kanak dikenal juga sebagai usia penjelajah. Pada masa ini anak-anak selalu ingin mengetahui keadaan lingkungannya, bagaimana mekanisme kerja dari sesuatu, bagaimana perasaannya, dan bagaimana anak mampu menjadi bagian dari lingkungan. Salah satu cara yang umum dalam menjelajahi lingkungan adalah melalui pertanyaan-pertanyaan yang seolah tiada habis-habisnya sehingga periode ini sering juga disebutusia bertanya.

Selain itu, karena masa ini merupakan masa peka untuk menjadi sama dengan orang lain di sekitarnya, seperti meniru pembicaraan atau tindakan orang yang

dilihatnya, baik yang sesuai ataupun tidak pantas dilakukan anak, sehingga periode ini dikenal juga sebagai usia meniru.Satu hal yang juga cukup menonjol pada masa ini adalah munculnya berbagai bentuk kreativitas dalam bermain sehingga periode ini seringkali dinamai sebagaimasa kreatif. Diyakini bahwa kreativitas yang ditunjukkan anak pada masa ini merupakan bentuk kreativitas yang original dengan frekuensi kemunculan yang seolah tanpa terkendali dibandingkan dengan masa-masa lain dalam kehidupan seorang anak setelah masa ini berlalu.

Dewasa ini, ada kecenderungan pemikiran bahwa anak belajar dengan lebih baik jika lingkungan diciptakan sealamiah mungkin. Belajar akan lebih bermakna jika anak mengalami apa yang dipelajarinya, bukan mengetahuinya. Pembelajaran yang berorientasi pada penguasaam materi terbukti berhasil dalam kompetensi mengingat jangka pendek, tetapi gagal dalam membekali anak memecahkan persoalan dalam kehidupan jangka panjang.

Mencermati hal di atas, penulis tertarik untuk melakukan kajian berkaitan dengan pembelajaran berbahasa, khususnya berbicara dengan permainan tebak gambar di TK Taman Harapan, Kabupaten Pacitan, Jawa Timur. Anak-anak di sana masih malu untuk berbicara di depan teman-temannya. Hal ini terlihat dari interaksi yang dilakukan guru dengan siswa, serta melihat keseharian siswa yang masih malu-malu bila diminta guru bercerita di depan kelas. Penulis mencoba meningkatkan kemampuan anak dalam berbahasa, khususnya menyimak dan berbicaramelalui model pembelajaran bermain tebak cerita. Dalam hal ini, guru akan menceritakan suatu kisah, anak-anak diminta mendengarkan, kemudian guru akan membuat desain tanya jawab, berupa permainan tebak cerita. Metode ini perlu diterapkan untuk mengganti

Page 36: Jurnal Cakrawala September 2015

305

metode konvensional dalam pembelajaran, khususnya bercerita.

Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini berkaitan dengan kemampuan anak dalam menggunakan bahasanya, utamanya dalam permainan tebak cerita. Adapun rumusan masalah penelitian ini adalah apakah model pembelajaran tebak cerita dapat meningkatkan kemampuan berbahasa anak usia dini siswa kelompok B2 TK Taman Harapan, Kabupaten Pacitan, Jawa Timur.

Perkembangan Bahasa dan Psikologis

Bahasa diperoleh seorang anak dengan proses pembelajaran. Oleh karenanya, proses dalam pemerolehan tersebut lebih penting daripada sekadar hasil akhir. Kualitas proses pemerolehan bahasa akan menentukan kualitas bahasa anak-anak pada masa yang akan datang. Ada tiga tahap perkembangan bahasa anak yang menentukan tingkat perkembangan berpikir, yaitu tahap eksternal, egosentris, dan internal.

Tahap eksternal, yaitu tahap berpikir dengan sumber berpikir anak yang berasal dari luar dirinya. Sumber eksternal tersebut terutama berasal dariorang dewasa yang memberi pengarahan kepada anak dengan cara tertentu. Misalnya, orang dewasa bertanya kepada seorang anak, “Apa yang sedang kamu lakukan?”, kemudian anak tersebut meniru pertanyaan, “Apa?”, lalu orang dewasa memberikan jawabannya, “Melompat”.

Tahap egosentris, yaitu suatu tahap ketika pembicaraan orang dewasa tidak lagi menjadi persyaratan. Dengan suara khas, anak berbicara seperti jalan pikirannya.Misalnya “saya melompat”, “ini kaki”, “ini mata” dan sebagainya.

Tahap internal, yaitu tahap ketika anak dapat menghayati proses berpikir.Misalnya, seorang anak sedang menggambar kucing.

Pada tahap ini, anak memproses pikirannya dengan pikirannya sendiri, “Apa yang harus saya gambar? Saya tahu saya sedang menggambar kaki sedang berjalan”.

Kemampuan berbahasa merupakan hasil kombinasi seluruh sistem perkembangan anak karena kemampuan bahasa sensitif terhadap keterlambatan atau kerusakan pada sistem yang lain. Kemampuan berbahasa melibatkan kemampuan motorik dan kemampuan anak untuk berbahasa terjadi secara bertahap sesuai dengan perkembangan usianya.

Setiap proses pemerolehan bahasa akan menjadi hal penting dan dapat menjadi pijakan untuk proses selanjutnya. Pada usia 4 - 5 tahun ciri umum perkembangan bahasa anak, antara lain 1) mampu membuat kalimat yang terdiri dari 4 – 5 kata; 2) mampu mengeluarkan kalimat negatif, kalimat tanya, dan kalimat pasif yang tepat; 3) mampu menggunakan kalimat kompleks dan multikausal (hubungan sebab-akibat); 4) belajar menggunakan kata sambung untuk mengungkapkan cerita; 5) bicara keras pada diri sendiri tanpa ada maksud berkomunikasi; dan 6) mulai dapat memainkan peran orang yang lebih dewasa dari usianya.

Selanjutnya, pada usia 4 - 5 tahun anak dapat1) menerima pesan sederhana dan menyampaikan pesan tersebut; 2) berbicara lancar dengan menggunakan kalimat yang kompleks terdiri dari 5 - 6 kata; 3) bercerita menggunakan kata ganti aku, saya, kamu, dia, mereka; 4) melakukan percakapan dengan teman sebaya atau ornag dewasa; 5) memberikan keterangan yang berhubungan dengan posisi/keterangan tempat, misalnya di luar, di dalam, di atas, di bawah, di muka, di depan, di belakang, di kiri, di kanan, dan sebagainya. 6) menggunakan kata-kata yang menunjukkan urutan; 7) membuat gambar dan menceritakan isi gambar dengan beberapa coretan/tulisan yang sudah berbentuk huruf/kata; 8) mengurutkan dan

Page 37: Jurnal Cakrawala September 2015

306

menceritakan isi gambar seri (4 - 6 gambar); 9) membaca buku cerita bergambar dan menceritakannya; 10) menghubungkan dan menyebutkan tulisan sederhana dengan simbol yang melambangkannya; 11) membaca beberapa kata berdasarkan gambar, huruf-huruf, dan lambang yang dikenal atau dilihat; 12) membacakan cerita sederhana, 13) membuat coretan/tulisan yang berbentuk huruf/kata berdasarkan gambar yang dibuatnya (Depdiknas, 2010).

Anak-anak usia taman kanak-kanak menurut Erikson berada pada tahap inisiatif. Ciri perkembangan psikologis anak-anak usia taman kanak-kanak adalah sebagai berikut. Pertama, keterampilan sosial berkembang dengan pesat, seperti anak-anak sangat senang dengan kegiatan bermain peran. Kedua, anak mengalami perkembangan kognisi sensori-motorik ke arah praoperasional. Anak-anak pada masa ini harus diberi kesempatan untuk menemukan tiga jenis kemampuan, yaitu kemampuan sosial, kemampuan logika/matematika, dan kemampuan fisik. Ketiga, anak-anak pada masa ini sangat senang bermain. Ada empat jenis permainan yang dialami anak, yaitu bermain pembangunan (konstruktif), sensori-motor, bermain peran, dan bermain dengan aturan (Piaget, 1933). Smilansky (1990) menekankan pentingnya bermain peran. Wolfgang (1977) menekankan pentingnya proses bermain berkelanjutan mulai dari yang sederhana menuju kompleks. Vygotsky (2004) menyarankan bahwa anak usia TK perlu diberi pengalaman bermain (Depdiknas, 2010).

Pembiasaan Berbahasa pada Anak Usia Dini

Bahasa yang telah diperoleh anak sejak ia lahir ke dunia perlu terus dikembangkan. Pengembangan bahasa melibatkan aspek sensori-motor terkait dengan kegiatan mendengar, kecakapan memaknai, dan

produksi suara. Kondisi ini sudah dibawa anak mulai lahir. Cowlley mengistilahkan sebagai brains wired for the task. Sementara Skinner mempercayai bahwa kapasitas berbahasa telah dibawa setiap anak semenjak ia dilahirkan yang diistilahkan sebagai a language acquisition device program into the brain. Dengan demikian, lingkunganlah yang selanjutnya turut memperkaya bahasa anak dengan baik. Dalam hal ini, peran orang tua dan pendidik sangat mutlak karena penyiapan diri dan lingkungan kondusif perlu dilakukan agar perkembangan bahasa anak berjalan secara optimal.

Riset panjang telah dilakukan, diantaranya oleh Hart & Ristley berkaitan dengan bagaimana lingkungan mempengaruhi perkembangan bahasa anak. Hasil riset menunjukkan bahwa anak-anak yang diasuh dalam keluarga yang berpendidikan jauh lebih kaya kosakatanya dibandingkan dengan keluargakurang berpendidikan. Oleh karenanya, mereka kehilangan kesempatan mengembangkan bahasanya dan komunikasi produktif jarang terjadi. Korelasi positif antara berbahasa secara verbal dengan perkembangan intelektual akan diwujudkan saat anak-anak berusia 9 - 10 tahun. Eratnya kaitan antara perkembangan bahasa dengan kemampuan intelektual selayaknya dipahami oleh para pendidik di TK agar proses pembelajaran bahasa dapat dilakukan secara patut melalui berbagai cara yang kreatif.

Vygotsky mengatakan bahwa pesan budaya dalam pengembangan bahasa anak sangat berpengaruh. Teori sosiokultural kognisi yang digagasnya memainkan perannya dalam kemampuan anak secara individu, terkait dengan pengalaman sosial dan cara berpikir. Vygotsky memfokuskan bagaimana pentingnya antara kemampuan pendidik sebagai fasilitator yang memainkan perannya sebagai tools of the mind mendampingi anak sehari-hari.

Page 38: Jurnal Cakrawala September 2015

307

Pengembangan bahasa di TK diarahkan agar peserta didik mampu menggunakan dan mengekspresikan pemikiran dengan menggunakan kata-kata.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pengembangan bahasa lebih diarahkan agar peserta didik di TK dapat melakukan berbagai hal sebagai berikut. Pertama, mengolah kata secara komprehensif. Kedua, mengekpresikan kata-kata tersebut dalam bahasa tubuh (ucapan dan perbuatan) yang dapat dipahami oleh orang lain.Ketiga, mengerti setiap kata, mengartikan dan menyampaikannya secara utuh kepada orang lain. Keempat, berargumentasi dan meyakinkan orang melalui kata-katanya sendiri.

Anak mulai menggunakan tiga sistem isyarat (graphonic, semantic, dansyntatic) secara bersama-sama pada saat membaca permulaan. Anak tertarik pada bacaan, mulai mengingat kembali cetakan pada konteksnya, berusaha mengenal tanda-tanda pada lingkungan, serta membaca berbagai tanda, seperti kotak susu, pasta gigi, atau papan iklan. Pada tahap keempat ini, orang tua dan guru tetap membacakan sesuatu untuk anak-anak sehingga mendorong anak membaca sesuatu pada berbagai situasi. Orang tua dan guru jangan memaksa anak membaca huruf secara sempurna.

Dalam pengembangan kemampuan membaca di TK, terdapat beberapa pendekatan yang dilakukan melalui berbagai bentuk permainan. Beberapa pendekatan yang dimaksud diantaranya adalah metode sintesis, metode global, dan metode whole-linguistic. Metode sintesis yang didasarkan pada teori asosiasi, memberikan suatu pengertian bahwa suatu unsur (misalnya unsur huruf) akan bermakna apabila unsur tersebut bertalian atau dihubungkan dengan unsur lain (huruf lain) sehingga membentuk suatu arti.

Unsur huruf tidak akan memiliki makna apa-apa kalau tidak bergabung (sintesis) dengan unsur (huruf) lain sehingga membentuk suatu kata, kalimat, atau cerita yang bermakna. Atas dasar itu, permainan membaca dimulai dari unsur huruf. Permainan membaca ini dilakukan dengan menggunakan bantuan gambar pada setiap kali memperkenalkan huruf, misalnya huruf a disertai gambar ayam, angsa, anggur, apel, dan sebagainya.

Selain metode di atas, terdapat permainan membaca pada anak dengan menggunakan metode global. Metode ini didasarkan pada teori ilmu jiwa keseluruhan (gestalt). Dalam metode ini, anak pertama kali memaknai segala sesuatu secara keseluruhan. Keseluruhan memiliki makna yang lebih dibandingkan dengan unsur-unsurnya. Kedudukan setiap unsur, hanya berarti jika memiliki kedudukan fungsional dalam suatu keseluruhan. Sebagai contoh, unsur “a” hanya bermakna, jika “a” ini fungsional dalam kata atau kalimat, misalnya “ayam berlari”. Atas dasar ini, metode global memperkenalkan membaca permulaan pada anak yang dimulai dengan memperkenalkan “kalimat”. Kalimat dalam permainan membaca permulaan ini dipilih dari kalimat perintah agar anak melakukan hal-hal yang ada dalam perintah tersebut, seperti “ambil apel itu”. Permainan ini dapat dilakukan dengan menggunakan kartu kalimat, kata, pecahan suku kata, dan huruf. Kegiatan permainan ini dapat dilakukan dengan menggunakan papan flanel dan karton yang dapat ditempel (Depdiknas, 2008: 10 - 11).

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahapan yang berkembang menjadi suatu siklus penelitian dengan mengadopsi proses penelitian tindakan model Kemis & Taggart (Akbar, 2009: 28). Tahap-tahap (siklus) penelitian, meliputi perencanaan,

Page 39: Jurnal Cakrawala September 2015

308

pelaksanaan, observasi, dan refleksi. Model PTK yang dilakukan dalam penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas kolaborator. Penelitian tindakan kelas ini dilaksanakan pada siswa kelompok B2 TK Taman Harapan, Kabupaten Pacitan, yang melibatkan guru/atau teman sejawat sebagai kolaborator. Subjek penelitian ini sebanyak 16 anak.

Teknik pengumpulan data terdiri atas 1) teknik observasi, yaitu teknik pengumpulan data, meliputi kegiatan pemusatan perhatian terhadap sesuatu objek dengan menggunakan seluruh alat indra. Observasi menggunakan lembar observasi dengan memberi tanda bintang (*), mulai bintang satu (*) sampai dengan bintang empat (****), serta angka pada kolom yang tersedia sesuai petunjuk pengisian berdasarkan aspek yang diamati; 2) teknik dokumentasi, merupakan teknik pengumpulan data berdasarkan data yang telah tersedia atau hasil dari rekaman kegiatan.

Data yang telah dikumpulkan dianalisis secara deskriptif menggunakan teknik rata-rata dan teknik persentase. Dalam rangka melihat hasil kegiatan pembelajaran, ditentukan kriteria/kategori secara kualitatif, yakni dengan memberikan tanda bintang mulai bintang satu (*) sampai dengan bintang empat (****). Adapun rata-rata nilai kreativitas untuk hasil pengamatan dapat dirumuskan sebagai berikut.

=

dengan: = nilai rata-rata

= jumlah nilai siswa

= jumlah siswa/aspek pengamatanSelanjutnya, ditentukan nilai/skor

kreativitas siswa dalam bentuk persentase sebagai berikut.

P = x 100%

Data yang diperoleh dari lembar observasi dan dokumentasi kemudian diolah, dianalisis, dan dibuat simpulannya setelah melalui kegiatan member check untuk pengecekan keabsahan data melalui data dengan menggabungkan hasil pengamatan dan dokumentasi.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian tindakan kelas dilakukan sebagai upaya perbaikan terhadap proses pembelajaran yang telah dilakukan. Sebelum dilakukan penelitian, sebelumnya dilakukan observasi atau penggalian data hasil dokumentasi berupa hasil kemampuan menyimak cerita siswa pada proses pembelajaran sebelumnya. Pada pelaksanaan prasiklus data kemampuan siswa dalam hal menyimak cerita serta melakukan kegiatan tebak cerita belum menunjukkan hasil yang diharapkan. Anak-anak belum banyak yang mampu menjawab pertanyaan guru terkait dengan cerita yang disampaikan oleh guru.

Terlihat bahwa dari 16 anak, hanya 6,25% atau 1 anak yang berada pada kriteria berkembang sangat baik (BSB), berkembang sesuai harapan (BSH) 3 anak atau 18,75%, mampu dengan bantuan/mulai berkembang 37,50%, dan 43,75% pada kriteria belum berkembang (BB). Dengan demikian, diperlukan upaya perbaikan dengan menerapkan alternatif metode pembelajaran yang dapat membangkitkan daya kreativitas, motivasi, inspirasi, dan minat belajar siswa dalam belajar bahasa, yaitu melalui penerapan metode yang menyenangkan melalui tindakan perbaikan pada proses pembelajaran lanjutan.

Page 40: Jurnal Cakrawala September 2015

309

Pelaksanaan siklus I masih menghasilkan angka di bawah harapan. Hal ini tampak dari peersentase yang dicapai. Anak-anak yang kemampuan menyimak dan berbicaranya berkembang sangat baik (BSB) baru 2 anak (12,50%), anak yang termasuk dalam kategori berkembang sesuai harapan (BSH) ada 6 anak (37,50%), anak yang termasuk dalam kategori mulai berkembang ada 5 anak (31,25%), dan anak yang termasuk dalam kategori belum berkembang (BB) sebanyak 2 anak (12,50%). Dengan demikian, persentase ketercapaian baru mencapai 50%, yaitu dari anak yang berkembang sesuai harapan (BSH) dan anak yang berkembang sangat baik. Oleh karena itu, perlu dilakukan siklus selanjutnya (siklus II) mengingat capaian persentase masih di bawah 85%.

Tindakan perbaikan pada siklus II dapat dijelaskan sebagai berikut. Kemampuan menyimak siswa dan kemudian melakukan tebak cerita sudah berkembang dengan baik. Anak yang termasuk dalam kategori berkembang sangat baik (BSB) mengalami peningkatan menjadi 5 anak (25%). Anak yang termasuk dalam kategori berkembang sesuai harapan ada 13 anak (65%). Sedangkan, anak yang termasuk dalam kategori mulai berkembang ada 2 anak, dan tidak ada lagi anak yang termasuk dalam kategori belum berkembang. Dengan demikian, capaian pada siklus II ini telah diperoleh data dengan angka mencapai 90%, yakni dari penjumlahan siswa yang termasuk dalam kategori berkembang sangat baik (BSB) dan berkembang sesuai harapan (BSH), yaitu 25% + 65% = 90%. Capaian tersebut mengindikasikan bahwa telah diperoleh angka di atas 85%, yang mengandung pengertian tidak perlu dilakukan siklus selanjutnya.

Berdasarkan hasil di atas, dapat dideskripsikan bahwa semua aspek mengalami kenaikan atau terjadi perubahan nilai ke arah positif dari setiap siklus yang

dilakukan. Hal ini dibuktikan dengan kemampuan anak menjawab tebak cerita yang diberikan guru, anak pun menjawab pertanyaan guru dengan berani. Perubahan positif yang terjadi secara umum menunjukkan adanya pengaruh positif dari cara guru mengelola pembelajaran. Guru lebih kreatif mengajar melalui metode tebak cerita, yaitu mengajak siswa mendengarkan cerita sambil membawa miniatur binatang yang dimaksud serta menunjukkan gambar benda yang dimaksud.

Kreativitas dan inovasi yang dilakukan guru memberikan implikasi positif terhadap peningkatan kemampuan menyimak cerita. Hal ini tentu merujuk pada kemampuan anak dalam hal memahami bahasa. Dengan demikian, anak akan terbiasa dengan interaksi, komunikasi, belajar watak dari tokoh cerita yang pada akhirnya anak akan terlatih membedakan perbuatan mana yang boleh ditiru dan tidak boleh ditiru. Oleh karena itu, tingkat sosial dan emosional anak pun akan tertempa sedini mungkin sehingga anak akan tumbuh menjadi pribadi yang bertanggung jawab.

PENUTUP

Berdasarkan hasil dan pembahasan di atas, dapat diambil simpulan sebagai berikut. Pertama, kemampuan anak dalam hal berbahasa, khususnya menyimak cerita, kemudian melakukan aktivitas tebak cerita mengalami peningkatan. Hal ini tampak dari kemampuan siswa dalam melakukan tebak cerita, termasuk bahasa yang digunakan, ketepatan menjawab, serta kemampuannya untuk menceritakan kembali. Ketuntasan pada siklus I adalah 55% dan mengalami kenaikan pada siklus II menjadi 90%. Kedua, pelajaran menyimak dengan metode tebak cerita dapat meningkatkan kemampuan anak dalam hal berbahasa. Anak lebih antusias, konsentrasi, percaya diri, dan berani mengemukakan ide dalam menebak

Page 41: Jurnal Cakrawala September 2015

310

cerita setelah diberi motivasi dan merasakan suasana belajar yang menyenangkan.

Berdasarkan simpulan di atas, penulis menyampaikan saran berikut. Untuk menumbuhkan kemauan dan kemampuan anak dalam melakukan kegiatan menyimak,

perlu penerapan variasi metode dan sumber belajar yang menyenangkan sehingga anak dapat melakukan eksplorasi, mengembangkan kemampuan, minat, dan kreativitasnya untuk menghasilkan hasil karya.

DAFTAR PUSTAKA

Akbar, Sa’dun. 2009. Penilaian Tindakan Kelas. Yogyakarta: Cipta Media Aksara.

Depdiknas. 2008. Pengembangan Model Pembelajaran di Taman Kanak-kanak. Jakarta: Depdiknas.

________. 2010. Kumpulan Pedoman Pembelajaran Taman Kanak-kanak.Jakarta: Kementerian Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pembinaan Taman Kanak-kanak dan Sekolah Dasar.

________. 2010. Pedoman Pembelajaran Bidang Pengembangan Kognitif di Taman Kanak-kanak. Jakarta: Kementerian Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pembinaan Taman Kanak-kanak dan Sekolah Dasar.

Page 42: Jurnal Cakrawala September 2015

311

PEMBELAJARAN CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING (CTL) DENGAN MEDIA REALISTIS DALAM MENINGKATKAN KUALITAS

PEMBELAJARAN GAMBAR BENTUK PADA SISWA KELAS XI IPS 3 SMA NEGERI 1 PULOKULON TAHUN PELAJARAN 2014 - 2015.

SutiyasoSMA Negeri 1 Pulokulon

Alamat korespondensi: [email protected] / 081225072822

ABSTRACTThis study aims to determine the application of learning Contextual Teaching and

Learning (CTL) with realistic media in improving the quality and learning achievement process images form class XI IPS 3 SMAN 1 Pulokulon in the school year 2014 - 2015. This research is a class action (classroom action research) consisting of two cycles. There are four stages of each cycle consisting of action planning, action, observation, and reflection. The subjects were students of class XI IPS 3 SMAN 1 Pulokulon academic year 2014/2015. Data obtained through observation, interviews, assignments, and documentation. The data analysis technique used is descriptive qualitative analysis. The results showed that 1) the application of Contextual Teaching and Learning (CTL) with realistic media can improve the quality of the learning process images form. In the first cycle the percentage of active students in learning 86% and increased to 96% in the second cycle. 2) Application of Contextual Teaching and Learning (CTL) with realistic media can improve learning outcomes image form. In the first cycle of students learning completeness percentage of 81% and increased to 96% in the second cycle.

Keywords: contextual teaching and learning, realistic media, drawing shapes

ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penerapan pembelajaran contextual

teaching and learning (CTL) dengan media realistis dalam meningkatkan kualitas proses dan prestasi belajar gambar bentuk siswa kelas XI IPS 3 SMA Negeri 1 Pulokulon Tahun Pelajaran 2014 - 2015. Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas (classroom action research) yang terdiri dari dua siklus. Setiap siklus terdapat empat tahapan yang terdiri dari perencanaan tindakan, pelaksanaan tindakan, observasi, dan refleksi. Subjek penelitian ini adalah siswa kelas XI IPS 3 SMA Negeri 1 Pulokulon Tahun Pelajaran 2014/2015. Data diperoleh melalui observasi, wawancara, tugas, dan dokumentasi. Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis deskriptif kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 1) penerapan contextual teaching and learning (CTL) dengan media realistis dapat meningkatkan kualitas proses belajar gambar bentuk. Pada siklus I persentase keaktifan siswa dalam pembelajaran 86% dan meningkat menjadi 96% pada siklus II. 2) Penerapan contextual teaching and learning (CTL) dengan media realistis dapat meningkatkan hasil belajar gambar bentuk. Pada siklus I persentase ketuntasan belajar siswa 81% dan meningkat menjadi 96% pada siklus II.

Kata kunci: contextual teaching and learning, media realistis, gambar bentuk

Page 43: Jurnal Cakrawala September 2015

312

PENDAHULUAN

Peningkatan kualitas pendidikan merupakan isu yang paling utama dan perlu perhatian khusus bagi semua kalangan, lembaga yang terlibat langsung dalam pendidikan maupun masyarakat umum. Untuk mencapai kualitas pendidikan yang tinggi, pemerintah selalu berupaya menerapkan kurikulum terbaik bagi bangsa ini, kurikulum yang diberlakukan saat ini adalah Kurikulum 2006. Kurikulum ini mengacu pada pembelajaran yang berpusat pada siswa. Siswa tidak hanya sebagai objek yang diberi dengan materi pelajaran, tetapi siswa berperan aktif dalam pembelajaran. Siswa berperan aktif dalam mengonstruksi pengetahuannya. Dengan demikian, pembelajaran tidak sekadar hafalan dan pemahaman, tetapi melibatkan kemampuan analisis, aplikasi, dan sintesis. Untuk mengoptimalkan peran siswa dalam pembelajaran, dikembangkan strategi, metode, dan media pembelajaran yang mengacu pada student centered learning.

Harapan ini belum terpenuhi karena kenyataannya siswa cenderung pasif dan mengandalkan guru sebagai sumber belajar. Hal ini dikarenakan siswa dari pendidikan dasar terbiasa menerima materi pelajaran secara verbalisme sehingga guru sulit untuk mengubah cara belajar siswa meskipun metode pembelajaran yang mengaktifkan siswa mulai dikembangkan dan divariasikan. Para guru mulai menggunakan media pembelajaran yang disesuaikan dengan kemajuan teknologi, namun belum mampu mengoptimalkan siswa dalam proses pembelajaran.

Di SMA Negeri 1 Pulokulon dengan keterbatasan sarana, para guru sudah mencoba menggunakan media yang bisa dipakai untuk mempermudah pembelajaran, namun belum mampu menghasilkan pembelajaran yang melibatkan siswa dalam membentuk konsep/pengetahuan. Metode

pembelajaran yang digunakan masih berpusat pada guru, hal ini terlihat dalam proses pembelajaran hanya sedikit siswa yang aktif, siswa tidak kreatif, tidak memiliki daya juang dalam menyelesaikan masalah-masalah yang diberikan guru. Rendahnya keaktifan siswa dalam proses pembelajaran ini berdampak pada rendahnya prestasi belajar siswa, bahkan pada materi-materi yang dalam kategori tidak terlalu sulit, misalnya pada materi gambar bentuk untuk pelajaran kelas XI IPS 3.

Gambar bentuk bukanlah materi sulit, namun demikian masih banyak siswa yang nilainya di bawah nilai ketuntasan minimal. Dalam proses pembelajaran, guru sudah menggunakan media realistis, namun masih banyak siswa yang terlihat mengalami kesulitan. Siswa hanya mengikuti prosedur kerja dan masih selalu menunggu instruksi dari guru. Dari hal tersebut, perlu perbaikan untuk peningkatan hasil belajar/prestasi siswa sehingga perlu pembaharuan dalam pembelajaran yang dilakukan, yaitu dengan cara mengaitkan materi pelajaran dengan kehidupan sehari-hari. Pembelajaran yang memiliki karakteristik tersebut adalah pembelajaran kontekstual (contextual teaching and learning/CTL).

Penggunaan media realistis dalam pembelajaran sudah sering dilakukan guru SMA Negeri 1 Pulokulon namun belum dipadukan dengan pembelajaran yang berpusat pada siswa sehingga belum menghasilkan proses pembelajaran dan hasil belajar yang memuaskan. Penggunaan metode pembelajaran kontekstual dengan media realistis diharapkan mampu meningkatkan kualitas proses pembelajaran dan hasil belajar siswa. Dalam mengoptimalkan metode pembelajaran yang mengaktifkan, siswa masih menemukan beberapa kendala sehingga perlu dilakukan penelitian tindakan dan kolaborasi dengan teman sejawat.

Page 44: Jurnal Cakrawala September 2015

313

Tujuan penelitian ini antara lain sebagai berikut. Pertama, untuk meningkatkan dan menjelaskan kualitas proses belajar pada materi gambar bentuk dengan penerapan pembelajaran (contextual teaching learning/CTL) dengan media realistis. Kedua, untuk meningkatkan kualitas hasil belajar pada materi gambar bentuk dengan penerapan pembelajaran kontekstual (contextual teaching learning/CTL) dengan media realistis.

Teori Belajar Bermakna dari Ausubel

Ausubel (Wilis, 1989: 111) menyatakan belajar bermakna merupakan suatu proses mengaitkan informasi baru pada konsep-konsep relevan yang terdapat dalam struktur kognitif seseorang. Belajar dengan cara mengaitkan konsep baru dengan konsep yang sudah dipunyai, siswa akan lebih mudah memahami konsep baru tersebut.

Menurut Wilis (1989: 116), prasyarat dari belajar bermakna adalah 1) materi yang akan dipelajari harus bermakna secara potensial; dan (2) anak yang akan belajar atau siswa harus bertujuan untuk melaksanakan belajar bermakna, jadi mempunyai kesiapan dan niat untuk belajar bermakna (meaningful learning set)”. Materi yang dikembangkan dengan belajar bermakna adalah materi pengembangan yang siswa telah memiliki konsep dasarnya dan siswa dikondisikan untuk berorientasi belajar bermakna.

Kebaikan belajar bermakna, antara lain 1) informasi yang dipelajari secara bermakna lebih lama dapat diingat; 2) informasi yang tersubsumsi berakibatkan peningkatan diferensiasi dari subsumer-subsumer, jadi memudahkan proses belajar berikutnya untuk materi pelajaran yang mirip; (3) informasi yang dilupakan sesudah subsumsi obiteratif, meninggalkan efek residual pada subsumer sehingga mempermudah belajar hal-hal yang mirip walaupun telah terjadi lupa. Dalam pembelajaran seni budaya dengan

strategi problem solving, siswa dituntun untuk mengaitkan pengetahuan baru dengan pengetahuan sebelumnya

Teori Belajar Konstruktivis

Menurut teori belajar konstruktivis, pengetahuan merupakan hasil bentukan atau konstruksi manusia. Pengetahuan tidak dapat ditransfer begitu saja, tetapi harus dibentuk dalam pikiran manusia. Menurut Bettencourt (dalam Suparno, 1997: 11), orang yang belajar itu tidak hanya meniru atau mencerminkan apa yang diajarkan atau yang ia baca, tetapi juga menciptakan pengertian. Konsep dibentuk siswa secara aktif melalui kegiatan pembelajaran tidak didapat secara pasif dari guru.

Proses pembentukan konsep berlangsung secara terus-menerus. Piaget (dalam Suparno, 1997: 18) menyatakan bahwa proses pembentukan pengetahuan berjalan terus-menerus dengan setiap kali mengadakan reorganisasi karena adanya suatu pemahaman baru. Pemahaman baru diperoleh melalui perubahan konsep sehingga proses pembentukan berjalan berkesinambungan.

Pemikiran konstruktivisme mengenai pengetahuan menurut Von Glasersfeld dan Kitchener (dalam Suparno, 1997: 21), meliputi 1) pengetahuan bukan merupakan gambaran dunia kenyataan belaka, tetapi selalu merupakan konstruksi kenyataan melalui kegiatan subjek; 2) subjek membentuk skema kognitif, kategori, konsep, dan struktur yang perlu untuk pengetahuan; 3) pengetahuan dibentuk dalam struktur konsepsi seseorang. Struktur konsepsi membentuk pengetahuan bila konsepsi itu berlaku dalam berhadapan dengan pengalaman-pengalaman seseorang. Pengetahuan dibentuk oleh seseorang melalui proses belajarnya dalam struktur konsepsinya. Pengetahuan baru ini, terbentuk jika seseorang dengan struktur konsepsi menghadapi dan menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapinya.

Page 45: Jurnal Cakrawala September 2015

314

Konstruktivisme psikologis ada dua, yakni 1) yang lebih personal, individual, dan subjektif seperti Piaget; 2) yang lebih sosial seperti Vygotsky (socioculturalism). Piaget menekankan aktivitas individual dalam pembentukan pengetahuan, sedangkan Vygotsky menekankan pentingnya proses sosial dan kebersamaan dalam membentuk pengetahuan.

Pembelajaran Contextual Teaching and Learning

Sanjaya (2010: 255) menjelaskan contextual teaching and learning adalah suatu strategi pembelajaran yang menekankan kepada proses keterlibatan siswa secara penuh untuk dapat menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkannya dengan situasi kehidupan nyata sehingga mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan mereka. Menurut Trianto (2010: 107), pembelajaran kontekstual (contextual teaching and learning) adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimiliki dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari, dengan melibatkan tujuh komponen utama pembelajaran kontekstual, yakni konstruktivisme (constructivism), bertanya (questioning), inkuiri (inquiry), masyarakat belajar (learning community), pemodelan (modeling), dan penilaian autentik (authentic assessment). Dari dua pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa pembelajaran kontekstual adalah pembelajaran mengaktifkan siswa sepenuhnya dalam membentuk konsep sehingga siswa mampu menghubungkan konsep tersebut dengan kehidupan sehari-hari dengan harapan siswa mampu mengaplikasikan ilmu yang diperoleh dalam kehidupan sehari-harinya.

Trianto (2010: 110) menyatakan bahwa “Pembelajaran contextual teaching

and learning (CTL) memiliki lima elemen belajar yang konstruktivistik, antara lain 1) pengaktifan pengetahuan yang sudah ada (activating knowledge); 2) pemerolehan pengetahuan baru (acquiring knowledge); 3) pemahaman pengetahuan (understanding knowledge); 4) mempraktikan pengetahuan dan pengalaman (applying knowledge); 5) melakukan refleksi (reflecting knowledge) terhadap strategi pengembangan pengetahuan tersebut”. Pembelajaran kontekstual memiliki karakteristik, antara lain mengaitkan materi yang akan dipelajari dengan pengetahuan yang sudah ada, pemerolehan pengetahuan baru dengan cara pembentukan konsep, kemudian memahamkan konsep yang terbentuk sehingga tidak terjadi pembelajaran yang verbalisme atau sekadar hafalan.

Karakteristik khas dari pembelajaran kontekstual adalah mengaitkan pengetahuan yang diperoleh dengan kehidupan sehari-hari. Dalam pembelajaran kontekstual, refleksi yang dilakukan untuk mengetahui ketercapaian kompetensi dan hal-hal yang masih kurang selama proses pembelajaran dalam upaya perbaikan untuk pembelajaran selanjutnya. Kelebihan pembelajaran contextual teaching and learning (CTL) yang membedakan dengan model pembelajaran lainnya, antara lain 1) kerja sama; 2) saling menunjang; 3) menyenangkan, mengasyikkan; 4) tidak membosankan; 5) belajar dengan bergairah; 6) pembelajaran terintegrasi; dan 7) menggunakan berbagai sumber siswa aktif.

Dalam pembelajaran kontekstual ini, pembelajaran dilengkapi dengan objek yang dapat digunakan memandu siswa dalam belajar aktif dengan media realistis. Dalam pembelajaran ini, masyarakat belajar diciptakan dengan melihat media yang disediakan yang berasal dari lingkungan sekolah. Langkah-langkah penerapan pembelajaran contextual teaching and

Page 46: Jurnal Cakrawala September 2015

315

learning (CTL) dalam kelas adalah sebagai berikut. 1) Mengembangkan pemikiran bahwa anak akan belajar lebih bermakna (mengaitkan pengetahuan yang akan dipelajari dengan pengetahuan yang sudah dimiliki siswa); 2) melaksanakan inkuiri untuk semua topik (mengonstruksi pengetahuan dan keterampilan barunya); 3) mengembangkan sifat ingin tahu siswa dengan bertanya; 4) mempraktikkan pengetahuan dan pengalaman, mengaplikasikannya dalam kehidupuan sehari-hari siswa (applying knowledge); 5) melakukan refleksi di akhir pertemuan.

Media Pembelajaran

Komunikasi antara guru dengan siswa merupakan inti dari proses pembelajaran, agar penyampaian komunikasi berlangsung efektif, digunakan media pembelajaran. Martin dan Briggs (dalam Wena, 2009: 9) menyatakan media adalah semua sumber yang diperlukan untuk melakukan komunikasi dengan siswa. Media dapat diartikan sebagai alat yang dapat memudahkan guru dalam menyampaikan bahan ajar sehingga mudah dipahami siswa. The Association for Educational Communication and Technologi (AECT, 1997) mendefinisikan media dalam lingkup pendidikan sebagai segala benda yang dapat dimanipulasikan, dilihat, didengar, dibaca atau dibicarakan beserta instrumen yang dipergunakan untuk kegiatan tersebut. Media adalah benda yang dapat mempermudah komunikasi sehingga informasi dapat diterima dengan baik.

Gagne (dalam Asyhar, 2011: 7) mendefinisikan bahwa media adalah berbagai komponen pada lingkungan belajar yang membantu pembelajar untuk belajar. Lingkungan belajar memiliki cakupan luas, sehingga media pembelajaran dapat diartikan sebagai semua sumber yang digunakan untuk melakukan komunikasi dalam pembelajaran meliputi perangkat keras, seperti chart, poster,

komputer, proyektor, televisi, dan perangkat lunak yang digunakan untuk pengoperasian perangkat keras tersebut. Yusufhadi (2009: 458) menyatakan media pembelajaran adalah segala sesuatu yang digunakan untuk menyalurkan pesan serta dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian, dan kemauan si pembelajar sehingga dapat mendorong terjadinya proses belajar yang disengaja, bertujuan, dan terkendali. Jadi, media adalah segala sesuatu yang digunakan untuk menyampaikan bahan ajar dan dapat memunculkan motivasi siswa agar proses belajar berlangsung sesuai dengan tujuan pembelajaran.

Media pendidikan diklasifikasikan ke dalam lima kelompok, yaitu 1) media berbasis manusia (pengajar, instruktur, tutor, kegiatan kelompok, field trip); 2) media berbasis cetak (buku, buku latihan) dan modul; 3) media berbasis visual (buku, bagan, grafik, peta, gambar, transparansi, slide); 4) media berbasis audio visual (video, program, slide, tape, dan televisi); 5) media berbasis komputer (pengajaran dengan bantuan komputer, interaktif video).

Wena (2009: 9) menyatakan bahwa dalam proses pembelajaran, media yang digunakan guru harus sesuai dengan tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan sehingga mampu merangsang dan menumbuhkan minat siswa dalam belajar. Pemilihan media pembelajaran harus disesuaikan dengan materi maupun tujuan yang ingin dicapai dalam upaya meningkatkan motivasi belajar siswa.

Media pembelajaran sebagai bagian dari teknologi pembelajaran memiliki enam manfaat potensial dalam memecahkan masalah pembelajaran. Pertama, meningkatkan produktivitas pendidikan, yaitu mempercepat laju belajar peserta didik, membantu guru untuk menggunakan waktunya secara lebih baik. Kedua, memberikan kemungkinan pembelajaran yang sifatnya

Page 47: Jurnal Cakrawala September 2015

316

lebih individual. Ketiga, memberikan dasar lebih ilmiah pada pembelajaran. Keempat, pembelajaran menjadi lebih mantap dengan jalan meningkatkan kapabilitas manusia menyerap informasi melalui berbagai media komunikasi sehingga informasi dan data yang diterima lebih banyak, lebih lengkap, dan lebih akurat.

Kelima, proses pendidikan menjadi lebih langsung, media mengatasi jurang pemisah antara pebelajar dan sumber belajar. Keenam, akses pendidikan menjadi lebih sama, media tidak hanya untuk kepentingan terbatas jumlahnya, tetapi lebih diarahkan pada jumlah pebelajar yang lebih banyak. Penggunaan media akan mengurangi miskonsepsi antara guru dan siswa, proses komunikasi pun berlangsung lebih cepat karena pada dasarnya siswa SMA cenderung mudah mengakses dan menguasai teknologi dengan adanya media pembelajaran akan meningkatkan motivasi siswa dalam mengeksplorasi sumber belajarnya.

Media yang kami gunakan adalah media realistis yang terdapat di sekitar lingkungan sekolah sehingga siswa mudah untuk mendapatkan media tersebut. Banyak media yang terdapat di sekitar sekolah, baik yang berupa media silindris, kubistis, maupun media bebas. Siswa tidak mengalami kesulitan dalam mendapatkan media tersebut, justru dapat menambah motivasi siswa untuk mengikuti materi pelajaran gambar bentuk.

Gambar bentuk

Gambar bentuk adalah teknik menggambar dengan melihat objek (media realistis) secara langsung sesuai dengan apa yang dilihat tanpa adanya rekayasa. Hasil gambar bentuk diharapkan sama persis baik bentuk, perbandingan atau warnanya dengan media yang digambar. Banyak media yang bisa dijadikan model sebagai objek gambar sehingga mempermudah siswa dalam

mengikuti pelajaran gambar bentuk. Dengan demikian, diharapkan prestasi belajar siswa akan meningkat.

Macam-macam gambar bentuk ada tiga. Pertama, bentuk kubistis, yaitu gambar yang bentuk dasarnya menyerupai kubus atau balok. Contohnya, almari, meja kulkas, kursi dan sebagainya. Kedua, bentuk silindris, yaitu gambar yang bentuk dasarnya silinder atau bulat. Contohnya, botol, bola, gelas, dan sebagainya. Ketiga, bentuk bebas, yaitu benda yang bentuknya tidak berbentuk silinder maupun kubistis. Contohnya, kain, batuan, daun-daunan dan sebagainya.

Kualitas Belajar

Masih rendahnya kualitas belajar siswa dapat diketahui dari indikator kualitas proses dan hasil belajar. Menurut Kusumah & Dwitagama (2010: 73), indikator kualitas proses pembelajaran dapat dilihat dari aktivitas dan interaksi belajar-mengajar. Sedangkan indikator kualitas hasil pembelajaran, dapat dilihat dari perasaan puas, rasa ingin tahu, prestasi, dan produk belajar yang dihasilkan siswa.

Dalam penelitian ini, kualitas proses belajar yang diamati adalah keaktifan siswa, sedangkan hasil belajar yang dimaksud adalah prestasi psikomotor, afektif, dan kepuasan siswa terhadap pembelajaran.

Prestasi Belajar

Untuk mengetahui keberhasilan pembelajaran, baik proses maupun produknya, dapat dilihat dari prestasi belajar siswa. Tujuan dari pembelajaran adalah ketercapaian kompetensi dasar yang telah dijabarkan secara rinci dalam indikator pembelajaran. Ketercapaian indikator dalam pembelajaran disebut juga dengan hasil belajar atau prestasi belajar siswa. Dimyati & Mujiono (2010: 3) menyatakan bahwa hasil belajar merupakan hasil dari suatu interaksi tindak belajar dan tindak mengajar. Guru

Page 48: Jurnal Cakrawala September 2015

317

sebagai pengajar harus mampu menilai keberhasilan belajar peserta didiknya untuk mengevaluasi proses pembelajaran yang telah dirancangnya.

Serangkaian evaluasi diperlukan untuk mengetahui hasil belajar, namun tidak semua hasil belajar dapat diukur dengan alat evaluasi. Dimyati & Mujiono (2010: 4) menambahkan hasil belajar tersebut dapat dibedakan menjadi dampak pengajaran dan dampak pengiring. Dampak pengajaran adalah hasil yang dapat diukur, seperti tertuang dalam angka rapor, angka dalam ijazah atau kemampuan meloncat setelah latihan. Dampak pengiring adalah terapan pengetahuan dan kemampuan di bidang lain, suatu transfer belajar.

Hasil utama dalam pembelajaran adalah nilai prestasi yang secara jelas dapat kita lihat dari kemampuan siswa dalam mencapai indikator pembelajaran, biasanya dalam bentuk angka atau nilai. Sedangkan dampak pengiring atau hasil sampingan belajar inilah yang tidak disadari, namun terkadang merupakan sesuatu yang luar biasa. Misalnya, kemampuan siswa dalam menghadapi masalah-masalah dalam kehidupannya, secara refleks/spontan, sebenarnya merupakan hasil belajar yang telah ditempuhnya.

Menurut Sanjaya (2010: 87), tingkah laku sebagai hasil belajar itu dirumuskan dalam bentuk kemampuan atau kompetensi yang dapat diukur atau yang dapat ditampilkan melalui performance siswa. Sebagai produk dari pembelajaran, prestasi belajar dapat dinilai setelah pembelajaran selesai maupun dalam proses pembelajaran dengan serangkaian alat evaluasi berupa tes dan observasi. Winkel (2009: 534) menyatakan pengukuran berupa deskripsi kuantitatif tentang keadaan suatu hal sebagaimana adanya atau tentang perilaku yang nampak pada seseorang atau tentang prestasi yang diberikan oleh seseorang.

Prestasi dapat diukur dengan deskripsi kuantitatif atau dapat dinilai dengan angka. Prestasi merupakan hasil belajar siswa yang dapat diukur nilainya dengan standar baku berupa ketercapaian tujuan instruksional atau indikator pembelajaran.

METODE PENELITIAN

Pengumpulan data merupakan salah satu bagian yang penting dalam penelitian, bahkan merupakan suatu keharusan bagi peneliti. Data yang digunakan dalam penelitian pada umumnya adalah data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang berasal dari sumbernya, yaitu siswa kelas XI IPS 3 SMA Negeri 1 Pulokulon Tahun Pelajaran 2014/2015, sedangkan data sekunder adalah data yang diperoleh secara tidak langsung. Untuk mendapatkan data yang diperlukan dalam penelitian ini, digunakan beberapa teknik berikut.

Pertama, pengamatan. Pengamatan dilakukan secara kolaborasi yaitu melibatkan teman sejawat (obsever). Pengamatan ini dilakukan terhadap guru ketika melaksanakan kegiatan belajar-mengajar di kelas. Pengamatan dilakukan oleh teman sejawat dengan mengambil tempat duduk paling belakang. Dalam posisi itu, peneliti dapat lebih leluasa melaksanakan pengamatan terhadap keaktifan siswa dalam mengikuti pembelajaran.

Kedua, wawancara atau diskusi. Wawancara atau diskusi dilakukan dua kali di akhir siklus terhadap siswa. Wawancara yang dilakukan berpedoman atas dasar hasil dan pengamatan di kelas maupun kajian dokumen. Wawancara atau diskusi dilakukan oleh peneliti pada pedoman wawancara yang telah dibuat. Wawancara bersama siswa dilakukan untuk memperjelas evaluasi tindakan yang telah dilaksanakan. Sedangkan diskusi dengan teman sejawat, dilakukan setelah melakukan pengamatan terhadap kegiatan belajar-mengajar. Hal ini

Page 49: Jurnal Cakrawala September 2015

318

dimaksudkan untuk memperoleh informasi tentang berbagai hal yang berkaitan dengan pelaksanaan pembelajaran seni budaya. Dari hasil wawancara, pengamatan dan kajian dokumen yang telah dilakukan maka dapat diidentifikasi permasalahan-permasalahan yang berkenaan dengan pembelajaran seni budaya.

Ketiga, kajian dokumen. Kajian juga dilakukan terhadap berbagai dokumen atau arsip yang ada, seperti kurikulum, rencana pembelajaran yang dibuat guru, buku atau materi pelajaran. Keempat, ulangan harian/tugas. Ulangan harian dilaksanakan di pembelajaran dan bertujuan untuk mengetahui implikasi dari tindakan yang telah diberikan dalam proses pembelajaran terhadap tahapan berpikir siswa.

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik deskriptif kualitatif. Data-data dari hasil penelitian di lapangan diolah dan dianalisis secara deskriptif kualitatif. Teknik analisis kualitatif mengacu pada model analisis Miles & Huberman (1995: 16 - 19) yang dilakukan dalam tiga komponen, yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan serta verifikasi. Reduksi data diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data kasar yang muncul dari catatan tertulis di lapangan. Reduksi data berlanjut terus sesudah penelitian sampai laporan akhir lengkap tersusun. Reduksi data meliputi penyeleksian data melalui ringkasan atau uraian singkat dan penggolongan data ke dalam pola yang lebih luas sehingga kesimpulan finalnya dapat ditarik dan diverifikasi.

Penyajian data dilakukan dalam rangka mengorganisasikan data yang merupakan penyusunan informasi secara sistematik dari hasil reduksi data dimulai dari perencanaan, pelaksanaan tindakan observasi, dan refleksi pada masing-masing siklus. Penarikan

kesimpulan merupakan upaya pencarian makna data, mencatat keteraturan dan penggolongan data. Data yang terkumpul disajikan secara sistematis dan perlu diberi makna. Selanjutnya untuk mempermudah verifikasi dan analisis data untuk menjawab permasalahan yang ada, diperlukan diidentifikasi secara khusus pada tiap-tiap siklus pembelajaran.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian tindakan kelas ini dilaksanakan sebanyak dua siklus. Siklus I dilaksanakan dalam dua kali pertemuan, yaitu tanggal 2 Februari 2015 dan 9 Februari 2015 di kelas XI IPS 3 SMA Negeri 1 Pulokulon. Setiap pertemuan alokasi waktunya 2 jam pelajaran (2 x 45 menit), guru sebagai peneliti melakukan tindakan sesuai dengan RPP dan rekan guru sebagai observer mengamati dan mendokumentasikan kegiatan siswa.

Berdasarkan pengamatan terhadap berlangsungnya proses pembelajaran gambar bentuk yang telah dilakukan pada siklus I, diperoleh gambaran hasil tentang keaktifan siswa, motivasi, dan konsentrasi siswa selama kegiatan pembelajaran berlangsung. Keaktifan siswa dalam kegiatan belajar-mengajar belum maksimal sebesar 88% atau 24 siswa dari 27 siswa yang hadir. Siswa yang memperhatikan pembelajaran 85% atau 23 yang memperhatikan. Hasil pengamatan yang dilakukan oleh peneliti dengan lembar observasi menunjukkan 23 orang atau 85% yang terlihat berminat dan termotivasi.

Siklus II dilaksanakan sebanyak dua pertemuan, yakni pada 16 dan 23 Februari 2015 di ruang kelas XI IPS 3 SMA Negeri 1 Pulokulon, Grobogan. Masing-masing pertemuan 2 x 45 menit mulai jam ke 2 dan 3, yaitu pukul 08.00 - 09.30 WIB. Berdasarkan pengamatan peneliti pada siklus II, diperoleh hasil sebagai berikut. Minat dan motivasi selama mengikuti

Page 50: Jurnal Cakrawala September 2015

319

pembelajaran gambar bentuk mencapai 96%. Perhatian dan konsentrasi siswa selama pelajaran menggambar bentuk mencapai 92%. Keaktifan siswa selama mengikuti pembelajaran gambar bentuk mencapai 100%. Perhitungan dilakukan dengan lembar observasi yang telah disusun terhadap siswa yang tampak aktif mengerjakan tugas menggambar bentuk selama pembelajaran berlangsung, yaitu sebanyak 27 siswa. Adapun ketuntasan prestasi hasil belajar gambar bentuk mencapai 96%. Hal ini dapat dilihat dari hasil tugas siswa yang mendapatkan nilai 77 ke atas sebanyak 26 siswa atau seluruh siswa.

Berdasarkan hasil observasi, dapat direfleksikan pada proses pembelajaran pada siklus II sebagai berikut. Siswa sudah mampu mengikuti tahapan-tahapan dalam gambar bentuk dengan baik. Hal ini berakibat pada hasil pembelajaran yang semakin meningkat, seperti pada tugas yang telah berhasil dikerjakan dengan peningkatan nilai yang signifikan dari hasil sebelumnya. Dengan demikian, pembelajaran teaching and learning (CTL) dengan media realistis dapat meningkatkan kualitas pembelajaran gambar bentuk.

Berdasarkan data tersebut yang merupakan hasil dari pengamatan dalam pembelajaran, dapat dinyatakan bahwa terjadi peningkatan proses pembelajaran pada pelaksanaan pembelajaran siklus II. Peningkatan proses pembelajaran dari siklus I ke siklus II menunjukan bahwa semua perilaku amatan menunjukkan peningkatan yang signifikan, yaitu minat serta motivasi meningkat 8%, perhatian serta konsentrasi 7%, dan keaktifan siswa mencapai 15%.

Persentase keberhasilan pembelajaran contextual teaching and learning (CTL) dengan media realistis menunjukkan bahwa minat siswa selama proses pembelajaran berlangsung mengalami mengalami peningkatan yang signifikan, yakni menjadi

96%, sedangkan konsentrasi menjadi 92%, sedangkan keaktifan siswa menjadi 100%. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran contextual teaching and learning (CTL) dengan media realistis dapat meningkatkan kualitas proses pembelajaran siswa kelas XI IPS 3 SMA Negeri 1 Pulokulon, Grobogan.

Persentase keberhasilan dan analisis di atas menujukan bahwa nilai rata-rata siswa naik, yaitu pada siklus I naik dua poin, siklus II naik lima poin, sedangkan jumlah siswa tuntas pada siklus I naik menjadi 25 siswa, siklus II naik menjadi 27 siswa. Di samping itu, persentase ketuntasan hasil belajar siswa mengalami peningkatan secara signifikan, yaitu dari siklus I ke siklus II naik 18%. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran contextual teaching and learning (CTL) dengan media realistis dapat meningkatkan pembelajaran menggambar bentuk siswa kelas XI IPS 3 SMA Negeri 1 Pulokulon.

PENUTUP

Berdasarkan hasil dan pembahasan di atas, dapat diambil simpulan berikut. Pertama, pembelajaran contextual teaching and learning (CTL) dengan media realistis dapat meningkatkan kualitas proses belajar gambar bentuk pada siswa kelas XI IPS 3 SMA Negeri 1 Pulokulon, Grobogan tahun pelajaran 2014/2015. Hal ini ditandai dengan meningkatnya motivasi, semangat, serta minat siswa untuk mengikuti pembelajaran dengan sungguh-sungguh. Kedua, pembelajaran contextual teaching and learning (CTL) dengan media realistis juga dapat meningkatkan prestasi hasil belajar siswa kelas XI IPS 3 SMA Negeri 1 pulokulon tahun pelajaran 2014/2015. Hal ini juga ditandai dengan nilai rata-rata menggambar bentuk yang meningkat secara signifikan pada setiap siklus.

Page 51: Jurnal Cakrawala September 2015

320

Berdasatkan simpulan di atas, maka dapat diajukan saran kepada beberapa pihak yang berkepentingan terdadap penelitian ini. Pertama, bagi guru Seni Budaya, khususnya seni rupa, disarankan menggunakan metode pembelajaran contextual teaching and learning (CTL) dengan media realistis untuk materi gambar bentuk atau materi lain yang relevan. Pembelajaran ini terbukti mampu meningkatkan kualitas proses pembelajaran dan prestasi belajar. Dengan begitu, diharapkan para guru dapat meningkatkan kinerjanya secara professional, baik dalam pengembangan maupun penyampaian bahan ajar atau materi yang akan diberikan pada siswa maupun dalam pengelolaan kelas sehingga kualitas proses dan prestasi pembelajaran dapat meningkat.

Kedua, guru sebaiknya menerima berbagai macam masukan, baik berupa saran maupun kritik untuk meningkatkan kinerja, prefesionalisme diri. Selain itu, agar prestasi dan professional guru semakin meningkat, maka guru harus sering mengadakan penelitian tindakan kelas. Sekolah diharapkan member fasilitas yang memadai, seperti sarana dan prasarana, memberi motivasi pada guru agar mau meningkatkan kinerja sehingga menjadi guru yang profesional.

Ketiga, siswa disarankan lebih aktif mengikuti proses pembelajaran dan berani menanyakan hal-hal yang belum jelas mengenai materi yang telah disampaikan guru, menjawab pertanyaan dari guru atau teman sendiri sehingga pembelajaran akan lebih menarik dan tidak monoton. Selain itu, siswa harus lebih sering berlatih membuat gambar bentuk agar prestasinya semakin meningkat.

DAFTAR PUSTAKA

Asyhar, Rayandra. 2011. Kreatif Mengembangkan Media Pembelajaran. Jakarta: GP Press.

Dimyati & Mujiono. 2010. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta.

Kusumah, Wijaya & Dwitagama, Dedi.. 2010. Mengenal Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: PT Indeks.

Miarso, Yusufhadi. 2009. Menyemai Benih Teknologi Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Miles, M.B & Hubeman, A.M.. 1995. Analisis Data Kualitatif. Jakarta. UI Press.

Sanjaya, Wina. 2010. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Prenada Media Group.

Suparno, Paul. 1997. Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius.

Trianto. 2010. Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Trianto. 2010. Model Pembelajaran Terpadu. Jakarta: Bumi Aksara.

Wena, Made. 2009. Strategi Pembelajaran Inovatif Kontemporer: Suatu Tinjauan Konseptual Operasional. Jakarta: Bumi Aksara.

Wilis, Ratna. 1989. Teori-teori Belajar. Jakarta: Erlangga.

Winkel, W.S.. 2009. Psikologi Pengajaran. Yogyakarta: Media Abadi.

Page 52: Jurnal Cakrawala September 2015

321

STRATEGI PENGENALAN KONSEP BANYAK DAN SEDIKIT MELALUI PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN INKUIRI PADA SISWA KELOMPOK B

TK AMONG PUTRA III KABUPATEN PACITAN TAHUN AJARAN 2014/2015

SulamiTK Among Putra III, KabupatenPacitan, Jawa Timur

ABSTRACTThis study aims to determine the effectiveness of the implementation of inquiry

learning model to improve the children’s ability to recognize the concept of a lot and a little. This research is a classroom action research conducted in kindergartens Among Men III, Pacitan, East Java. The subjects were students in group B as much as 15 respondents. Data collection techniques, including observation, testing, and documentation. Analysis of data using qualitative descriptive analysis techniques. The results showed that the implementation cycle I and II produce data that are included in the category of children is growing very well (BSB) rose from 2 to 5 children’s children, or from 13.33% to 33.33%. The same thing occurs in children with the category growing as expected, that is from 8 to 9 children or children from 53.33% to 60%. While children with categories ranging evolve decreased, from 4 to 1 child or children from 26.66% to 6.66%, and the second cycle was not found again the children are included in the category of undeveloped. Thus a very effective method of inquiry applied in early childhood learning to recognize the concept of a lot and a little.

Keywords: learning model, inquiry, many concept-bit

ABSTRAKPenelitian ini bertujuan untuk mengetahui keefektifan penerapan model

pembelajaran inkuiri untuk meningkatkan kemampuan anak dalam mengenal konsep banyak dan sedikit. Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas yang dilaksanakan di TK Among Putra III, Kabupaten Pacitan, Jawa Timur. Subjek penelitian ini adalah siswa kelompok B sebanyak 15 responden. Teknik pengumpulan data, meliputi observasi, tes, dan dokumentasi. Analisis data menggunakan teknik analisis deskriptif kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan siklus I dan II menghasilkan data anak yang termasuk dalam kategori berkembang sangat baik (BSB) naik dari 2 anak menjadi 5 anak, atau dari 13,33% menjadi 33,33%. Hal yang sama terjadi pada anak dengan kategori berkembang sesuai harapan, yaitu dari 8 anak menjadi 9 anak atau dari 53,33% menjadi 60%. Sedangkan anak dengan kategori mulai berkembang mengalami penurunan, yaitu dari 4 anak menjadi 1 anak atau dari 26,66% menjadi 6,66%, dan pada siklus II tidak ditemukan lagi anak-anak yang termasuk dalam kategori belum berkembang. Dengan demikian metode inkuiri sangat efektif diterapkan dalam pembelajaran anak usia dini untuk mengenal konsep banyak dan sedikit.

Kata kunci: model pembelajaran, inkuiri, konsep banyak-sedikit

Page 53: Jurnal Cakrawala September 2015

322

PENDAHULUAN

Pembelajaran di taman kanak-kanak diarahkan untuk mengembangkan kecakapan hidup. Pengembangan kecakapan hidup dilakukan secara terpadu, baik melalui pembiasaan maupun pengembangan kemampuan dasar. Pendidikan di TK memberikan kesempatan sepenuhnya untuk memenuhi kebutuhan pekerjaan manusia yang erat hubungannya dengan pikiran dan kemampuan berhitung. Sekalipun dasar perbuatan itu adalah perasaan, seluruh proses pekerjaan tidak hanya ditentukan oleh perasaan saja, tetapi juga bertalian erat dengan pemikiran. Halus dan jernihnya, serta tajamnya pikiran merupakan syarat untuk dapat mengembangkan kemampuan berhitung pada anak.

Depdiknas (2007) menyebutkan bahwa pembelajaran di TK hendaknya berorientasi pada kebutuhan anak. Anak membutuhkan stimulasi untuk membantu pertumbuhan fisik dan perkembangan psikis secara optimal. Oleh karena itu, pembelajaran di TK dirancang untuk memenuhi kebutuhan tersebut.Rasa ingin tahu pada anak yang sangat tinggi akan tersalurkan apabila mendapat stimulasi/rangsangan/motivasi yang sesuai dengan tugas perkembangannya. Apabila keinginan berhitung diberikan melalui berbagai macam permainan, diharapkan hasil ang dicapai lebih efektif karena bermain merupakan wahana belajar dan bekerja bagi anak. Diyakini bahwa anak akan lebih berhasil mempelajari sesuatu apabila yang dipelajari sesuai dengan minat, kebutuhan, dan kemampuan mereka.

Pendidikan di TK sangat penting untuk mencapai keberhasilan belajar pada tingkat pendidikan selanjutnya. Kemampuan berhitung merupakan salah satu pengembangan dari kemampuan kognitif. Diharapkan anak akan memiliki kecakapan dalam memecahkan masalah yang berkaitan dengan bilangan. Keterampilan berhitung dapat membantu siswa untuk berpikir kritis,

analitis, dan membantu anak membuat keputusan dalam kehidupan sehari-hari

Pemenuhan kebutuhan anak untuk meningkatkan kemampuan berhitung perlu mendapat bimbingan dan pembinaan secara sistematis dan terencana. Pemberlakuan Kurikulum TK 2004 yang berbasis kompetisi berimplikasi pada perlunya pengembangan pembelajaran. Para pendidik sebelum melaksanakan kegiatan pembelajaran perlu mempersiapkan segala media yang digunakan untuk menunjang proses belajar-mengajar di dalam kelas serta model-model pembelajaran yang sesuai dengan karateristik perkembangan fisik dan psikologi anak. Keadaan lingkungan sekitar dan ketersediaan sarana prasarana pendidikan juga menunjang keberhasilan proses belajar-mengajar.

Kegiatan pembelajaran di TK diarahkan untuk meningkatkan perkembangan mental anak ketahap yang lebih tinggi. Hal tersebut dapat dilakukan dengan cara memperkaya pengalaman anak, terutama pengalaman konkret karena dasar pengalaman mental anak diperoleh melalui pengalaman aktif dengan benda-benda sekitarnya.Agar anak mampu memahami konsep belajar mengenal angka dan berhitung secara sederhana, anak perlu dikenalkan dengan kegiatan permainan yang bersifat mengasah daya kognitif, seperti menciptakan bentuk dari kepingan balok-balok, mengerjakan maze, menyusun puzzle, dan permainan lain yang dapat mengasah kemampuan otak anak.

Pengenalan membilang pada anak akan lebih bermakna jika diterapkan dengan metode yang tepat. Guru dapat menggunakan alternatif metode yang dapat membantu keterampilan siswa dalam berhitung, utamanya membedakan konsep banyak dan sedikit dalam suasana belajar yang menyenangkan. Anak akan berminat mengikuti pembelajaran jika belajar dilakukan sambil bermain, serta menggunakan media

Page 54: Jurnal Cakrawala September 2015

323

pembelajaran yang disukai anak. Media tersebut antara lain berupa gambar-gambar atau bermain biji-bijian.

Metode pembelajaran yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode inkuiri. Metode inkuiri adalah metode yang paling mirip dengan metode penemuan. Kalau dalam metode penemuan, hasil akhir yang harus ditemukan siswa merupakan sesuatu yang baru bagi dirinya, tetapi sudah diketahui oleh guru. Sedangkan dalam metode inkuiri, hal yang baru itu juga dapat belum diketahui oleh guru. Dalam metode ini, selain sebagai pengarah dan pembimbing, guru menjadi sumber informasi data yang diperlukan, siswa masih harus mengumpulkan informasi tambahan, membuat hipotesis, dan simpulan.

Hakikat Berpikir

Kemampuan berpikir adalah intelektual, yang artinya perbuatan, mempertimbangkan, menguraikan, menghubung-hubungkan, hingga akhirnya mengambil keputusan (Depdiknas, 2000: 23). Kemampuan berpikir diistilahkan sebagai kemampuan kognitif, yaitu aktivitas dan tingkah laku mental untuk memperoleh pengetahuan dan memprosesnya, termasuk diantaranya belajar, membentuk persepsi, mengingat, dan berpikir. Pengembangan daya pikir di TK sangat tergantung pada daya kreativitas guru untuk mengembangkan kegiatan dan melengkapi alat-alat atau sarana penunjang yang diperlukan, cara guru merancang minat, menerangkan dan menjawab pertanyaan anak, dan sejauh mana pengetahuan dan kemampuan guru dalam memahami kesiapan anak dalam melaksanakan kegiatan.

Menurut Bloom, 50% potensi dari intelegensi anak sudah terbentuk diusia empat tahun, kemudian mencapai 80% diusia 8 tahun. Itu sebabnya, pada kurun usia ini, khususnya usia prasekolah sering disebut sebagai masa peka belajar. Di usia prasekolah, logika berpikir anak masih

sangat terbatas karena memang anak belum mempunyai pemahaman yang cukup tentang the rules of logic (Depdiknas, 2000: 35). Namun menurut Piaget, beberapa kemampuan logika berpikir anak dapat dirangsang, diantaranya sebagaiberikut.

Pertama, transformasi atau perubahan bentuk dapat dikenalkan pada anak melalui eksperimen sederhana, seperti untuk menunjukkan bahwa sifat hukum kekebalan volume pada air di gelas. Kedua, reversibilitas adalah cara berpikir alternatif, yaitu kemampuan untuk mengikuti rangkaian berpikir, kemudian memutar kembali proses berpikir tersebut. Kemampuan ini bisa dikenalkan, misalnya melewati satu jalan untuk kemudian melewatinya kembali dari arah yang berlawanan, panjang jalan tetap sama.

Ketiga, klasifikasi, misalnya menyuruh anak untuk mengelompokkan balok-balok berdasarkan pada warnanya. Tujuannya adalah anak bisa mengklasifikasikan objek berdasarkan 2 – 3 kategori atau lebih sekaligus, misalnya berdasarkan warna, bentuk, dan bahan dasarnya. Keempat, hubungan asimetris, pengklasifikasian objek berdasarkan atas perbedaan, misalnya besar-kecil dan panjang-pendek. Kemampuan ini bisa diajarkan melalui permainan menyusun objek berdasarkan urutan dari yang pendek ke yang panjang. Diharapkan anak mempunyai kemampuan trasivity, yaitu paham akan pernyataan bahwa jika A lebih besar dari B, dan B lebih besar dari C, maka A lebih besar dari C (Depdiknas, 2000: 24 - 25).

Mendorong Perkembangan Kognitif Anak

Anak belajar melalui dirinya sendiri, tetapi anak juga memerlukan pertolongan untuk memadukan apa yang dipelajarinya sehingga tercipta konsep yang lebih kompleks/rumit. Saat pembelajaran, guru pembimbing perlu mengatur kegiatan yang berpusat pada anak dalam mengembangkan

Page 55: Jurnal Cakrawala September 2015

324

dan memproses kemampuan berpikir yang spesifik. Anak perlu ditawari berbagai kegiatan untuk bermain menjelajah lingkungan, lebih banyak responsterhadap rangsangan lingkungan dengan cara yang sangat konstruktif/membangun, yaitu ketika ia mengorganisasi informasi di dalam otaknya dalam pola yang dapat diprediksi (diperkirakan) sejak usia yang sangat dini. Apabila anak hanya ditawari permainan dengan sedikit atau tidak ada petunjuk sama sekali, mereka kadang-kadang mengalami kesulitan menjelaskan dan memahami apa yang telah dilihat atau dijelajahi.

Sebagaimana anak mendapatkan lebih banyak pengalaman dari dunia sekeliling mereka, mereka sering membutuhkan pertolongan dalam mengorganisir hasil belajar yang spesifik (terarah pada suatu konsep). Menurut Janice J. Beaty (dalam Tim Penyusun, 2007: 12), mengorganisasi sejumlah pembangunan konsep yang muncul secara sistematis melalui beberapa program pengembangan kognitif pada anak usia dini sebagai berikut.1. Bentuk

Bentuk adalah salah satu dari konsep paling awal yang harus dikuasai. Anak dapat membedakan benda berdasarkan bentuk lebih dulu sebelum berdasarkan ciri-ciri lainnya. Dengan demikian, merupakan hal terbaik untuk memulai program kognitif dengan memberikan kegiatan yang memungkinkan anak membedakan berbagai benda dengan bentuk yang berbeda-beda.2. Warna

Meskipun anak sering berbicara tentang warna dari suatu benda, anak dapat mengembangkan konsep warna setelah mengenal bentuk. Konsep warna paling baik dikembangkan dengan cara memperkenalkan warna satu persatu kepada anak dan menawarkan beragam permainan dan kegiatan menarik yang berhubungan dengan warna.

3. UkuranUkuran adalah salahsatu hal yang

diperhatikan anak secara khusus. Seringkali hubungan ukuran ini diajarkan dalam konteks kebalikan, seperti panjang dengan pendek, besar dengan kecil, lebar dengan sempit. Anak akan dapat memahami satu macam ukuran dalam satu waktu, sehingga anak harus belajar konsep besar dahulu, kemudian konsep kecil, dan akhirnya anak dapat diminta untuk membandingkan keduanya.4. Pengelompokan

Anak usia 3 tahun sudah mampu mengelompokkan benda. Guru dapat melihat prosesnya dengan jelas ketika ia memisahkan mainan ke dalam kelompok “ binatang berukuran besar” dan “binatang berukuran kecil”. Anak mengklasifikasi sesuatu dalam berbagai cara. Sekotak kancing misalnya, mungkin akan dikelompokkan menurut ukuran, bentuk, atau warna.5. Pengurutan

Pengurutan adalah kemampuan meletakkan benda dalam urutan menurut aturan tertentu, misalnya mengurutkan lima buah tongkat dari yang paling pendek ke yang paling panjang, atau mengurutkan buku dari yang paling tebal ke yang paling tipis.

Indikator Kecerdasan Matematis-Logis Anak Usia Dini

Kecerdasan matematis-logis merupakan suatu kemampuan untuk mendeteksi pola berpikir deduktif dan logis. Kemampuan ini sering diasosiasikan dengan berpikir secara ilmiah dan matematis (Kurniasih, 2009: 90). Anak-anak yang mempunyai kecerdasan matematis-logis cenderung berpikir secara numerik dan dalam konteks pola, urutan logis, sebab-akibat, dan kategorial. Gardner (dalam Widayati & Widijati, 2008: 24) menyatakan pada usia anak-anak inilah, penjelajahan berbagai pola, kategori, dan hubungan sebab-akibat dimulai. Anak-anak secara aktif

Page 56: Jurnal Cakrawala September 2015

325

memanipulasi lingkungan (seperti kategori mainan), bereksperimen dengan berbagai hal menggunakan cara-cara yang terkendali (seperti mencelupkan benda pada air untuk mengetahui posisi benda pada air dan mendekatkan benda-benda pada magnet).

Pada anak-anak kecerdasan matematis-logis muncul dalam bentuk indikator berikut. Pertama, anak memiliki kepekaan terhadap angka, senang melihat angka, dan cepat menghitung benda-benda yang ada di sekitarnya. Kedua, anak tertarik dengan komputer dan kalkulator, memencet-mencet dan senang melihat angka yang keluar. Ketiga, anak sering mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang sebab-akibat suatu gejala atau fenomena, seperti mengapa catnya lengket? mengapa kepalanya pusing? mengapa kalau hujan sering terjadi banjir? dan sebagainya. Keempat, anak menyukai permainan yang menggunakan logika, strategi, dan pemikiran, misalnya maze, catur, dan puzzle. Kelima, anak dapat menjelaskan masalah-masalah ringan secara logis, seperti mengapa takut, mengapa perut kenyang, mengapa terjatuh, mengapatemannya marah, dan sebagainya. Keenam, anak lebih banyak menghabiskan waktu untuk bermain dengan mainan yang membutuhkan kemampuan konstruksi, seperti menyusun balok, serta memasangkan angka-angka dan gambar (Kurniasih, 2009: 90 - 91).

Dengan adanya berbagai indicator di atas, guru perlu membangkitkan kecerdasan matematis-logis siswa dengan mengajak mereka belajar memecahkan masalah, memberikan tugas yang diselesaikan secara bertahap, bereksperimen, dan kegiatan edukatif lain yang menarik minat siswa dan berhubungan dengan kognitif.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan penelitian tindakan kelas (PTK). PTK adalah suatu

bentuk kajian yang bersifat reflektif oleh pelaku tindakan yang dilakukan untuk meningkatkan kemantapan rasional dari tindakan mereka dalam melaksanakan tugas, memperdalam pemahaman terhadap tindakan-tindakan yang dilakukan, serta memperbaiki kondisi dimana praktik pembelajaran tersebut dilakukan. Subjek penelitian ini adalah siswakelompok B TK Among Putra III, Kabupaten Pacitan. Penelitian dilakukan pada tanggal 12 November - 24 Desember 2014atau semester I tahun pelajaran 2014/2015.

Teknik atau prosedur pengumpulan data terdiri atas 1) metode observasi, yaitu melakukan kegiatan pengamatan terhadap aktivitas siswa dan guru selama penelitian berlangsung; 2) metode tes, yaitu penilaian kemampuan berhitung melalui tanya jawab berdasarkan daftar pertanyaan yang telah dibuat. Tes ini bertujuan untuk mengukur kemampuan pemahaman konsep mengenal angka dan berhitung secara sederhana menggunakan benda-benda, dan dilakukan setiap akhir putaran.Kegiatan penilaian menyatu dengan kegiatan harian siswa dalam suasana bermain; 3) metode dokumentasi, yaitu mengumpulkan data melalui pengambilan data nilai, data siswa yang telah ada, merekam kegiatan pembelajaran, dan sebagainya.

Penelitian ini menggunakan teknik analisis deskriptif kualitatif, yaitu suatu metode penelitian yang bersifat menggambarkan kenyataan atau fakta sesuai dengan data yang diperoleh dengan tujuan untuk mengetahui hasil belajar yang dicapai anak didik. Selain itu, juga untuk memperoleh respons anak didik terhadap kegiatan pembelajaran serta aktifitas anak didik selama proses pembelajaran.Tabel 1.Kriteria Penilaian Kemampuan Berhitung

Page 57: Jurnal Cakrawala September 2015

326

Kriteria Nilai KeteranganBSB

BSH

MB

BB

****

***

**

*

Sangat Baik

Baik

Cukup

Kurang

Selanjutnya, rata-rata nilai hasilpengamatandapat dirumuskan:

= Dengan,

= nilai rata-rata = jumlah nilai siswa= jumlah siswa/aspek pengamatan

Selanjutnya, ditentukan nilai/skor siswa dalam bentuk persentase sebagai berikut.

P= x 100%

Kemampuan siswa dalam berhitung dianggap tuntas jika perolehan rata-rata siswa pada kriteria sangat baik (****) dan baik (***) mencapai lebih dari 85%.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan identifikasi permasalahan awal sebelum penelitian, diperoleh simpulan, antara lain masih rendahnya tingkat pemahaman anak terhahap kemampuan berhitung dan penyampaian materi yang terlalu cepat sehingga pembelajaran menjadi membosankan dan tidak menarik bagi anak. Untuk perbaikan pengelolaaan pembelajaran, alternatiffokus perbaikan pembelajaran pada siklus I adalah mengubah metode pembelajaran dengan menggunakan media yang lebih menarik sehingga anak-anak akan lebih berminat mengikuti pembelajaran.

Mengacu pada data prasurvei dapat dikatakan bahwa anak-anak yang termasuk dalam kategori berkembang sangat baik (BSB) sebanyak 2 anak (13,33%), berkembang sesuai harapan (BSH) 3

anak (20,00%), mulai berkembang 7 anak (46,66%), dan belum berkembang 3 anak (20,00%). Berdasar capaian prasiklus, dapat diketahui bahwa kemampuan anak dalam mengenal konsep banyak dan sedikit baru dicapai oleh 5 anak, 2 (BSB) dan 3 (BSH) atau 33,33%. Capaian tersebut masih jauh dari standar keberhasilan. Oleh karena itu, perlu dilakukan pelaksanaan siklus.

Pelaksanaan siklus I membawa perubahan signifikan. Hal ini tampak dari jumlah siswa yang termasuk dalam kategori berkembang sangat baik (BSB) sebanyak 2 anak (13,33%), berkembang sesuai harapan (BSH) 8 anak (53,33%), mulai berkembang (MB) sebanyak 4 anak (26,66%), dan belum berkembang 1 anak (6,66%). Kalkulasi capaian tersebut baru mencapai angka 10 anak (13,33 % dan 53,33%), yakni penjumlahan antara berkembang sangat baik dan berkembang sesuai harapan.Capaian tersebut sungguh sangat menggembirakan. Namun demikian, capaian tersebut masih berada di bawah 85%. Oleh karena itu, treatment pelaksanaan siklus II perlu dilakukan.

Hasilpada siklus II menunjukkan bahwa anak yang termasuk dalam kategori berkembang sangat baik (BSB) sebanyak 5 anak (33,33%), berkembang sesuai harapan (BSH) 9 anak (60%), mulai berkembang 1 anak (6,66%), dan anak dalam kategori belum berkembang tidak ditemukan lagi. Dengan demikian, capaian siklus II berdasar penggabungan antara BSB dan BSH sebesar 93,33% (14 anak).

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa metode inkuiri dalam pembelajaran mengenal angka memiliki dampak positif dalam meningkatkan hasil belajar anak didik diTK Among Putra III, Kabupaten Pacitan. Hal ini dapat dilihat dari semakin mantapnya pemahaman anak terhadap materi yang disampaikan oleh guru (ketuntasan belajar meningkat dari siklus I ke siklus II ).

Page 58: Jurnal Cakrawala September 2015

327

Berdasarkan analisis data, diperoleh aktivitas anak dalam proses pembelajaran pada setiap siklus mengalami peningkatan. Hal ini berdampak positif terhadap kemampuan dan motivasi belajar yang ditunjukkan dengan meningkatnya nilai pada setiap siklus.

Model pembelajaran dengan memberkan ruang kepada siswa untuk ikut berinteraksi ternyata membawa efek luar biasa. Hal ini dapat dicermati dari penngkatan capaian dari siklus I ke siklus II. Capaian penelitian menunjukkan bahwa anak yang termasuk dalam kategori berkembang sangat baik (BSB) naik dari 2 anak menjadi 5 anak, atau dari 13,33% menjadi 33,33%. Hal yang sama terjadi pada anak dengan kategori berkembang sesuai harapan, yaitu dari 8 anak menjadi 9 anak atau dari 53,33% menjadi 60%. Hal berbalik terjadi pada anak dengan kategori mulai berkembang yang mengalami penurunan, yaitu dari 4 anak menjadi 1 anak atau dari 26,66% menjadi 6,66%, dan pada siklus II tidak ditemukan lagi anak-anak yang termasuk dalam kategori belum berkembang. Dengan demikian,

pembelajaran yang menyenangkan dengan penerapan permainan konsep biji-bijian untuk membuat prakarya dapat menarik minat siswa untuk mau belajar mengenal konsep banyak dan sedikit. Upaya tersebut merupakan langkah strategis dalam mengenalkan konsep matematis tanpa membebani anak yang dapat menyebabkan mereka mengalami stres dan akhirnya justru tidak bersemangat sehingga tidak mau lagi belajar.

PENUTUP

Berdasarkan hasil dan pembahasan di atas, dapat diambil simpulan sebagai berikut. Pertama, penerapan metode inkuiri dalam mengenalkan konsep banyak dan sedikit memberikan perubahan positif terhadap kemampuan mengenal konsep banyak dan sedikit pada siswa TK Among Putra III, Kabupaten Pacitan TA 2014/2015. Hal tersebut tampak adanya capaian yang meningkat secara signifikan dari siklus I ke siklus II. Kedua, kemampuan berhitung siswa TK Among Putra III, Kabupaten Pacitan dapat ditingkatkan melalui metode inkuiri.

DAFTAR PUSTAKA

Depdiknas.2000. Permainan Berhitung di TK. Jakarta: Depdiknas.

Depdiknas. 2007. Pedoman Pembelajaran Bidang Pengembangan Kognitif di Taman Kanak-kanak. Jakarta: Depdiknas.

Kurniasih, Imas. 2009. Pendidikan Anak Usia Dini. Yogyakarta: Edukasia.

Widayati, Sri & Widijati, Utami. 2008. Mengoptimalkan 9 Zona Kecerdasan Majemuk Anak. Yogyakarta: Luna Publisher.

Page 59: Jurnal Cakrawala September 2015

328

EFEKTIVITAS PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN DEMONSTRASI DALAM MENINGKATKAN KEMAMPUAN ANAK DI BIDANG SAINS PADA SISWA

KELOMPOK B TK TAMAN HARAPAN, KABUPATEN PACITAN, JAWA TIMUR

SuyatiTK Taman Harapan, Kabupaten Pacitan, Jawa Timur

Alamat korespondensi: -

ABSTRACTThis study aims to determine the effectiveness of the implementation of a

demonstration model of learning in improving the ability of children in science. This research is a classroom action research (PTK). This study was conducted in kindergarten Hope Park, Pacitan, East Java, on the student group B with the number of 18 children, made up of 10 girls and 8 boys. Data collection techniques using observation and documentation. The results showed that the achievement prasiklus, cycle I to cycle II has increased significantly. This is evident from the acquisition prasiklus success rate (38.88%), 55.55% first cycle, and third cycle reaches 94.43%. These results indicate that the third cycle is not necessary because it has reached above 85%. The introduction of science in early childhood using demonstration method can improve students’ self-confidence.

Keywords: model of learning, demonstrations, science

ABSTRAKPenelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas penerapan model pembelajaran

demonstrasi dalam meningkatkan kemampuan anak di bidang sains. Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas (PTK). Penelitian ini dilaksanakan di TK Taman Harapan, Kabupaten Pacitan, Jawa Timur, pada siswa kelompok B dengan jumlah 18 anak, terdiri dari 10 siswa perempuan dan 8 siswa laki-laki. Teknik pengumpulan data menggunakan teknik observasi dan dokumentasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa capaian prasiklus, siklus I ke siklus II mengalami kenaikan signifikan. Hal ini tampak dari perolehan angka keberhasilan prasiklus (38,88%), siklus I 55,55%, dan siklus III mencapai 94,43%. Hasil tersebut mengindikasikan bahwa siklus III tidak perlu dilakukan karena telah mencapai angka di atas 85%. Pengenalan sains pada anak usia dini menggunakan metode demonstrasi dapat meningkatkan rasa percaya diri siswa.

Kata kunci: model pembelajaran, demonstrasi, sains

PENDAHULUAN

Tumbuh kembang anak memerlukan pendampingan, baik dari orang tua maupun sekolah. Tahun-tahun pertama kehidupan anak merupakan tahapan penting sehingga orang tua seharusnya memperhatikan proses tersebut dengan baik dan benar. Tahapan selanjutnya adalah anak-anak akan belajar bersama teman-teman sebayanya dalam lingkungan pendidikan yang disebut taman kanak-kanak.Pendidikan TK diselenggarakan dengan tujuan untuk memfasilitasi

pertumbuhan dan perkembangan secara menyeluruh, yaitu memberi kesempatan kepada anak untuk mengembangkan kepribadiannya, membentuk manusia Pancasila sejati yang bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa, cakap, sehat dan terampil, serta bertanggung jawab terhadap Tuhan, masyarakat, dan negara.

Program kegiatan belajar di TK merupakan satu kesatuan program pembelajaran yang utuh. Program kegiatan ini berisi bahan-bahan pembelajaran yang

Page 60: Jurnal Cakrawala September 2015

329

disusun menurut pendekatan tematik. Dengan demikian, guru dituntut untuk dapat mengembangkan tema-tema tersebut dan melakukannya dalam kegiatan pembelajaran dengan berbagai cara, yaitu variasi berbagai macam kegiatan belajar, pengelompokan anak, pengaturan lingkungan, serta pemanfaatan sarana dan prasarana.Perencanaan program kegiatan secara menyeluruh akan membentuk strategi pembelajaran yang merupakan penggabungan berbagai tindakan untuk mencapai tujuan kegiatan. Hal ini bisa dikembangkan dengan menggunakan beberapa metode pembelajaran. Kreativitas guru diperlukan untuk mengembangkan dan menerapkan variasi metode pembelajaran di sekolah tersebut.

Saat pembelajaran di kelas, guru masih mengalami banyak permasalahan, yaitu masih belum meratanya tingkat penguasaan siswa dalam hal keterampilan menjawab pertanyaan dengan benar, keterampilan membaca, berhitung, menulis, kegiatan menggambar, dan keterampilan lainnya. Kondisi tersebut mungkin disebabkan oleh proses pembelajaran yang diterapkan guru kurang variatif, kurang kreatif, dan kurang mengaktifkan siswa. Masalah lainnya adalah faktor perbedaan tingkat perkembangan fisik, psikologis, bakat, dan minat siswa. Permasalahan-permasalahan tersebut menjadi permasalahan umum yang perlu evaluasi dengan memperbaiki tindakan yang telah dilakukan sebelumnya.Salah satu alternatifperbaikanyang dapat dilakukan adalah dengan penerapan metode pembelajaran yang variatif, kreatif, dan menyenangkan.

Berdasarkan paparan di atas, jelas bahwa anak harus diperkenalkan dengan segala hal dalam kehidupan (live skill education) sedini mungkin. Hal yang tidak kalah pentingnya adalah pengenalan sign karena proses kehidupan manusia tidak dapat

dilepaskan dari gejala-gejala alam, tumbuh kembang tanaman, kehidupan binatang, serta makhluk Tuhan lainnya sehingga anak-anak akan peduli pada lingkungan kelak ketika mereka besar.

Pengenalan sains pada siswa kelompok B TK Taman Harapan, Kabupaten Pacitan, Jawa Timur dilakukan dengan penerapan model pembelajaran demonstrasi. Model pembelajaran demonstrasi sejenis dengan metode ceramah dan metode ekspositori. Kegiatan belajar-mengajar berpusat pada guru atau guru mendominasi kegiatan belajar-mengajar. Tetapi pada metode demonstrasi, aktivitas murid lebih banyak lagi dilibatkan. Dengan demikian, dominasi guru lebih berkurang lagi.

Pengenalan konsep rasa pada diri anak sangat perlu dilakukan karena anak-anak dalam kehidupan sehari-hari pasti akan berinteraksi dengan hal-hal tersebut. Dengan demkian, anak akan mulai berlatih membedakan rasa karena selama ini anak-anak masi cenderung pasif ketika guru mengenalkan sains. Pola pembelajaran yang dterapkan dalam penelitian ini adalah akan ke luar dari pakem konvensional menuju pembelajaran yang inovatif sehingga anak-anak akan lebih antusias mengikuti kegatan belajar mengajar.

Tumbuh Kembang Anak di Taman Kanak-kanak

Setiap anak yang lahir ke dunia mempunyai banyak kecerdasan.Semua jenis kecerdasan dalam diri anak saling berhubungan, bersifat dinamis sejak lahir, dan dapat berkembang sepanjang kehidupan manusia asalkan terus dikembangkan. Perkembangan kecerdasan paling pesat terjadi pada anak usia dini. Oleh karenanya, sistem pendidikan yang dilaksanakan harus menekankan keberagaman intelegensi anak didik.

Page 61: Jurnal Cakrawala September 2015

330

Setiap anak mempunyai kemampuan tak terbatas dalam belajar (limitless capacity to learn). Kemampuan tersebut telah ada dalam diri anak, yaitu kemampuan untuk berpikir kreatif dan produktif. Oleh karena itu, anak memerlukan program pendidikan yang mampu membuka kapasitas tersembunyi dalam dirinya melalui pembelajaran sedini mungkin. Jika potensi anak tidak pernah terealisasi, berarti anak telah kehilangan kesempatan dan momentum penting dalam hidupnya. Hal ini tentu sangat disayangkan karena sebenarnya secara alamiah, anak-anak mempunyai potensi berbeda-beda, baik intelegensi, bakat, minat, kreativitas, kematangan emosi, kepribadian, jasmani, dan sosialnya. Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa jika anak dirangsang sejak dini, maka akan ditemukan potensi-potensi yang unggul dalam dirinya.

Otak manusia terdiri atas dua belahan, yaitu kiri dan kanan.Belahan otak itu masing-masing memiliki fungsi, tugas, dan respons berbeda, serta harus tumbuh dalam keseimbangan. Belahan otak kiri terutama berfungsi untuk berpikir rasional, analitis, linier, scientific, seperti membaca, bahasa, dan berhitung. Sedangkan, belahan otak kanan berfungsi untuk mengembangkan imajinasi dan kreativitas. Pembelajaran di TK hendaknya melakukan keseimbangan kedua belahan otak anak sehingga anak akan tumbuh dengan optimal dan maksimal dengan berbagai kecerdasan yang dimilikinya.

Berdasarkan keterangan di atas, semakin terungkap jelas mekanisme kerja otak dalam proses pembelajaran. Dengan demikian, metode pendidikan yang lebih tepat agar otak anak dapat berkembang secara optimal perlu diterapkan. Salah satunya adalah guru tidak membebani terlalu berat kepada anak yang masih butuh waktu bermain, apalagi di tingkat TK yang masih banyak membutuhkan waktu bermain. Anak-anak yang dirampas masa bermainnya

cenderung bermasalah setelah tiba masa selanjutnya saat dituntut lebih menekuni pelajaran secara penuh, misalnya saat di sekolah dasar.

Temuan di atas mengindikasikan bahwa pembelajaran di TK harus memperhatikan tahap-tahap perkembangan anak dan prinsip-prinsip pembelajaran yang memacu perkembangan potensi dan minat, serta kreativitas setiap anak melalui penyediaan lingkungan belajar yang kaya dan bernuansa bermain yang meliputi perasaan senang, bebas, dan merdeka dalam setiap kegiatan pembelajaran. Dengan demikian, anak dapat mengembangkan kemandirian, percaya diri, serta kemampuan berpikir kritis dan kreatif.

Atas dasar hal tersebut, pembelajaran di TK seharusnya menerapkan prinsip-prinsip berikut. 1) Bermain sambil belajar dan belajar sambil bermain; 2) pembelajaran berorientasi pada perkembangan anak; 3) pembelajaran berorientasi pada kebutuhan anak; 4) pembelajaran berpusat pada anak; 5) pembelajaran menggunakan pendekatan tematik; 6) kegiatan pembelajaran PAKEM (pembelajaran aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan); 7) pembelajaran mengembangkan kecakapan hidup; 8) pembelajaran didukung oleh lingkungan kondusif; 9) pembelajaran yang demokratis; dan 10) pembelajaran yang bermakna.

Otak dan Kreativitas

Otak setiap anak diciptakan Tuhan dengan kapasitas yang luar biasa.Freud mengatakan bahwa otak adalah segala-galanya. Otak merupakan refleksi jiwa dan cermin kepribadian. Otak manusia menentukan beberapa aspek, di antaranya adalah niat, emosi, pikiran, dan perilaku. Otak manusia terbagi atas dua bagian, yaitu otak kanan dan otak kiri.

Dua belah otak manusia, kiri dan kanan mempunyai fungsi masing-masing, yang tetap harus dalam keseimbangan dalam hal

Page 62: Jurnal Cakrawala September 2015

331

fungsi, tugas, dan respons berbeda. Belahan otak kiri berfungsiuntuk berpikir rasional, analitis, berurutan, linier, dan saintifik, seperti membaca, bahasa, dan berhitung, serta bentuk berpikir serial lainnya. Berbeda dengan otak kiri, otak kanan berfungsi sebagai bentuk pikiran paralel, holistik (menyeluruh), kreatif, intuitif, dan imajinatif. Oleh karena itu, pola pembelajaran di TK harus berupaya melakukan kesimbangan antara otak kanan dan kiri.

Orang yang terbiasa dan dominan otak kirinya (left brainer) melakukan pendekatan pemecahan masalah berdasarkan fakta, analisis, tahap demi tahap, perhitungan angka-angka, dan menyatakannya dengan menunjukkan fakta disertai urutan logis. Sedangkan, pada orang yang dominan otak kanan (right brainer) biasanya spontanitas, imajinatif, bentuk, suara, dan gerakan dikonsepkan dalam intuisinya.

Berdasar pada paparan di atas, jelas bahwa proses pembelajaran di TK perlu mempertimbangkan fungsi masing-masing belahan otak. Keduanya sama-sama penting, sehingga kesimbangan dalam mengelola otak akan memberikan hasil luar biasa, utamanya dalam membentuk kecerdasan interpersonal.

Kecerdasan Naturalis Sebagai Bentuk Kecerdasan Jamak

Kecerdasan merupakan ungkapan cara berpikir seseorang yang dapat dijadikan modalitas belajar. Kecerdasan bagi seseorang memiliki manfaat yang besar bagi dirinya sendiri dan bagi pergaulannya di masyarakat, karena dengan tingkat kecerdasan yang tinggi seseorang akan semain dihargai dalam masyarakat, apalagi bila mereka mampu berkiprah dalam menciptakan hal-hal baru yang bersifat fenomenal (Depdiknas, 2008).

Tingkat kecerdasan yang dimiliki oleh seseorang akan menentukan penghargaan orang lain terhadap dirinya. Semakin cerdas

seseorang, maka akan semakin dikagumi dan diperlakukan istimewa oleh masyarakat sekitarnya. Berdasarkan hal tersebut, maka keinginan orang tua untuk dapatnya anak-anaknya menjadi anak yang cerdas adalah sebuah kewajaran.

Anak yang cerdas adalah harapan semua orang. Namun, untuk mewujudkan itu semua tidaklah semudah membalik telapak tangan.Semakin tinggi harapan yang digantungkan, semakin tinggi pula tantangan yang dihadapi. Kesuksesan dalam mendidik dan membelajarkan anak akan memberi dampak bagi orang tua atau guru. Nilai kebanggaan yang tak ternilai bagi guru adalah ketika telah berhasil menanamkan nilai-nilai hidup yang harus dipelajari anak sebagai generasi penerus yang bertanggung jawab untuk melestarikan kehidupan di masa datang.

Setiap anak berhak mendapatkan kesempatan yang sama untuk mengembangkan seluruh aspek kecerdasannya. Setiap anak mempunyai sejumlah kecerdasan dan gaya belajar yang berbeda dan dapat ditampilkan dalam berbagai cara yang berbeda, serta sesuai dengan situasi dan kondisi. Dalam hal demikian, guru mendapatkan tantangan besar, yaitu menciptakan kondisi sesuai dengan tingkat kecerdasan jamak yang dimiliki oleh setiap anak. Guru juga harus mampu memberikan pemahaman pada orang tua dalam mengembangkan kecerdasan yang dimiliki anak dalam mengerjakan suatu tugas serta sebagai rujukan agar orang tua lebih menghargai keberhasilan dan kegegalan dalam bidang tertentu karena setiap anak mempunyai kecerdasan yang berbeda.

Kecerdasan naturalis merupakan salah satu bentuk kecerdasan jamak, yakni mengajarkan anak untuk mengenali dan mengklasifikasikan berbagai aneka tumbuhan dan binatang di lingkungan sekitar, makhluk hidup atau benda mati. Kecerdasan

Page 63: Jurnal Cakrawala September 2015

332

ini juga meliputi kepekaan pada fenomena alam lainnya, seperti gunung, laut atau benda yang ada di alam, di langit pada pagi hari, siang dan malam hari, serta mengenal kehidupan di perkotaan dan pedesaan.Adapun kegiatan yang mengembangkan kecerdasan naturalis, antara lainpermainan sains melalui eksperimen sederhana dan mengamati berbagai gejala-gejala alam atau hubungan antarabenda hidup dan tak hidup yang ada di alam sekitar.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas (PTK). Penelitian tindakan kelas adalah bagaimana sekelompok guru dapat mengorganisasikan kondisi praktik pembelajaran mereka dan belajar dari pengalaman mereka sendiri. Mereka dapat mencoba suatu gagasan perbaikan dalam praktik pembelajaran mereka dan melihat pengaruh nyata dari upaya itu. Penelitian ini dilaksanakan di TK Taman Harapan, Kabupaten Pacitan, Jawa Timur. Penelitian dilaksanakan pada semester I tahun ajaran 2014/2015, dari bulan September - Oktober 2014. Penelitian dilaksanakan pada siswa kelompok B dengan jumlah 18 anak, terdiri dari 10 siswa perempuan dan 8 siswa laki-laki.

Teknik pengumpulan data menggunakan teknik observasi dan dokumentasi. Teknik observasi, yaitu teknik pengumpulan data, meliputi kegiatan pemusatan perhatian terhadap sesuatu objek dengan menggunakan seluruh alat indra. Observasi menggunakan lembar observasi dengan memberi tanda bintang (*) dan angka pada kolom yang tersedia sesuai petunjuk pengisian berdasarkan aspek yang diamati. Adapun kriteria penilaian berdasar bintang tersebut dibedakan atas 1) ****: BSB= Berkembang Sangat Baik; 2) ***: BSH= Berkembang Sesuai Harapan; 3) **: MB= Mulai Berkembang; 4) *: BB =

Belum Berkembang. Teknik dokumentasi, merupakan teknik pengumpulan data berdasarkan data yang telah tersedia atau hasil dari rekaman kegiatan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengamatan awal dilaksanakan terhadap proses/kegiatan belajar-mengajar di kelas dengan penerapan metode konvensional, dengan target kemampuan penguasaan sains. Pengamatan prasiklus menunjukkan bahwa anak-anak masih enggan melakukan instruksi guru, bahkan beberapa di antaranya ada yang berlari-lari ke sana ke mari pada saat guru menerangkan. Kurang minatnya anak dalam bidang sains tersebut terlihat bahwa dari 18 anak kelompok B, hanya 2 anak (11,11%) yang termasuk dalam kategori berkembang sangat baik (BSB), 5 anak (27,77%) dalam kategori berkembang sesuai harapan, 10 anak (55,55%) dalam kategori mulai berkembang , dan 1 anak (5,55%) dalam kategori belum berkembang.

Berdasarkan data tersebut, perlu kiranya dilakukan langkah-langkah strategis dalam upaya perbaikan. Upaya perbaikan yang akan ditempuh adalah dengan menerapkan alternatif metode pembelajaran yang membangkitkan daya kreativitas, motivasi, inspirasi, dan minat belajar siswa dalam pembelajaran sainsdengan penerapan metode yang menyenangkan melalui tindakan perbaikan pada proses pembelajaran lanjutan. Capaian prasiklus menuntut dilakukannya perbaikan pada penerapan siklus I. Selain itu, perlu dilakukan perubahan strategi atau metode pembelajaran, yaitu penerapan model pembelajaran inovatif.

Penerapan model pembelajaran inovatif memberikan dampak luar biasa dalam minat anak, utamanya pada sains. Hal ini tampak dari antuasiasme siswa dalam mengikuti pembelajaran. Anak yang termasuk dalam kategori berkembang sangat baik

Page 64: Jurnal Cakrawala September 2015

333

(BSB) ada 2 anak (11,11%), berkembang sesuai harapan (BSH) 8 anak (44,44%), mulai berkembang 6 anak (33,33%), dan belum berkembang 2 anak (11,11%). Capaian tersebut sedikit menunjukkan kenaikan sehingga jelas bahwa model pembelajaran inovatif membawa efek positif dengan adanya pergerakan persentase dari prasiklus dan siklus I. Capaian keberhasilan siklus I mencapai 55,55% (10 anak), yang mengalami kenaikan dari prasiklus, yang hanya sebesar 38,88%. Namun demikian, pelaksanaan siklus II perlu dilakukan karena capaiannya belum mencapai 85%.

Capaian siklus I yang belum memenuhi target karena masih di bawah 85% sehingga perlu pelaksanaan siklus II dengan segala bentuk perbaikan.Pelaksanaan siklus II berdasarkan data di atas menunjukkan hasil yang sangat signifikan. Dalam proses pelaksanaan pembelajaran, siswa dengan antusias melaksanakan demonstrasi. Mereka bersuka cita melakukan kegiatan tersebut. Hal ini membuat proses pembelajaran berjalan sesuai dengan yang diharapkan dan berimplikasi terhadap hasil pembelajaran yang mengalami kemajuan.

Adapun capaian pada siklus II sebagai berikut. Siswa yang termasuk dalam kategori berkembang sangat baik (BSB) mencapai 5 anak (27,77%), siswa yang termasuk dalam kategori berkembang sesuai harapan (BSH) mencapai 12 anak (66,66%), anak yang termasuk dalam kategori mulai berkembang sebanyak 1 anak (5,55%), dan tidak ada lagi anak yang termasuk dalam kategori belum berkembang. Bila dilakukan penjumlahan capaian anak, kemampuan anak dalam memahami konsep rasa mencapai 16 anak (94,43%). Capaian tersebut mengindikaskan bahwa pelaksanaan siklus bisa dihentikan karena telah mencapai angka di atas 85%. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa penerapan model kontekstual serta demonstrasi membuat siswa semakin mudah memahami konsep daripada sekadar teori.

Mengacu pada perolehan prasiklus, siklus I, dan siklus II, terjadi kenaikan grafik yang menunjukkan perkembangan signifikan. Hal ini mengandung pengertian bahwa model pengajaran konvensional sudah harus diganti dengan model pembelajaran inovatif. Model pembelajaran konvensional membuat pembelajaran menjadi monoton karena guru adalah pusat segala-galanya dan siswa hanyalah penerima ilmu yang harus mengikuti dan menghafalkan apa kata guru. Hal tersebut tentu sangat sulit bagi anak usia dini karena konsep yang seharusnya dibangun sesuai usia mereka (usia dini) adalah hal-hal nyata yang ada dihadapannya dan sekarang (the here and now).

Anak-anak lebih mudah menyerap ilmu atau konsep rasa dengan model pembelajaran inovatif yang melibatkan siswa dalam proses pembelajaran. Dalam hal ini, guru hanya sebagai pengamat, sementara siswa adalah pelaku semuanya. Namun demikian, capaian yang dihasilkan sangat signifikan karena dengan keterlibatan siswa secara langusng, mereka tidak lagi membayangkan, tetapi dapat menceritakan apa yang dirasakannya secara langsung.

Perbandingan capaian prasiklus, siklus I,dan siklus II, dapat dilihat dari anak yang termasuk dalam kategori berkembang sangat baik (BSB) 2 anak (11,11%) pada prasiklus, tetap 2 anak di siklus I, dan menjadi 5 anak (27,77%) pada siklus II. Anak yang termasuk dalam kategori berkembang sesuai harapan (BSH) mencapai 5 anak(27,77%) pada prasiklus, naik menjadi 8 anak (44,44%) pada siklus I, dan naik menjadi 12 anak (66,66%) pada siklus II. Sedangkan kategori anak yang termasuk mulai berkembang mengalami penurunan, yaitu dari 10 anak (55,55%) pada prasiklus, menjadi 6 anak (33,33%) pada siklus I, dan 1 anak (5,55%) pada siklus II. Begitu juga pada kategori belum berkembang, dari 3 anak (16,66%) pada prasiklus, menjadi 2 anak (11,11%)

Page 65: Jurnal Cakrawala September 2015

334

pada siklus I, dan tidak ada lagi anak yang berkategori belum berkembang pada siklus II (0%).

Berdasarkan capaian tersebut, dapat dikatakan bahwa guru dalam melaksanakan kegiatan belajar-mengajar sangat perlu melakukan inovasi pembelajaran sehingga anak-anak antusias yang hal tersebut berimplikasi pada kualitas pembelajaran serta capaian pembelajaran. Dengan demikian, penerapan model pembelajaran demonstrasi dan kontekstual mampu meningkatkan kemampuan anak dalam hal mengenal konsep rasa.

PENUTUP

Berdasarkan hasil danpembahasan di atas, dapat diambil simpulan sebagai

berikut. Pertama, capaian prasiklus, siklus I ke siklus II mengalami kenaikan signifikan. Capaian prasiklus, siklus I, dan siklus II tampak dari perolehan angka keberhasilan prasiklus (38,88%), siklus I 55,55%, dan siklus III mencapai 94,43%. Hasil tersebut mengindikasikan bahwa siklus III tidak perlu dilakukan karena telah mencapai angka di atas 85%. Kedua, pengenalan sains pada anak usia dini menggunakan metode demonstrasi dapat meningkatkan rasa percaya diri siswa. Anak lebih antusias, konsentrasi, percaya diri, dan berani mengemukakan ide, serta menghargai proses setelah diberi motivasi dan merasakan suasana belajar yang menyenangkan sambil menikmati alam.

DAFTAR PUSTAKA

Akbar, Sa’dun. 2009. Penilaian Tindakan Kelas. Yogyakarta: Cipta Media Aksara.

Kurniasih, Imas. 2009. Pendidikan Anak Usia Dini. Yogyakarta: Edukasia.

Depdiknas. 2008. Pengembangan Model Pembelajaran di Taman Kanak-kanak. Jakarta: Depdiknas

Page 66: Jurnal Cakrawala September 2015

335

MENGOPTIMALKAN MOTORIK HALUS ANAK USIA DINIMELALUI SENI MELIPAT DAUN KERING PADA SISWA KELOMPOK B3

TK MUSLIMAT NU KABUPATEN PACITAN

Umi MahsanahTK Muslimat NU, Kabupaten Pacitan, Jawa Timur

ABSTRACTThis study aims to determine the effectiveness of the application of learning models

to fold the dry leaves in the media hone fine motor skills at kindergarten student B3 NU Moslem groups, Pacitan. This study uses a classroom action research (PTK) spiral from one cycle to the next cycle. Each cycle includes planning, action, observation, and reflection. Subjects of this study group B3 kindergarten students NU’s, the number of 21 students. Data collection techniques are used, among other methods of observation, demonstration, and documentation. Analysis of data using qualitative descriptive analysis techniques. The results showed that the application of the method of introducing the concept of folding demonstrations in the media media effectively dried leaves are used to stimulate the fine motor skills of children. This is in addition indicated by the percentage increase in the ability of children, also appears from the atmosphere built by the teacher, from opening the lesson, the lesson content, and strategies of teachers in closing the lessons.

Keywords: art of folding, method demonstrations, fine motor

ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas penerapan model

pembelajaran melipat dengan media daun kering dalam mengasah motorik halus pada siswa kelompok B3 TK Muslimat NU, Kabupaten Pacitan. Penelitian ini menggunakan penelitian tindakan kelas (PTK) berbentuk spiral dari siklus satu ke siklus berikutnya. Setiap siklus meliputi rencana, tindakan, pengamatan, dan refleksi. Subjek penelitian ini siswa kelompok B3 TK Muslimat NU, dengan jumlah 21 siswa. Teknik pengumpulan data yang digunakan, antara lain metode observasi, demonstrasi, dan dokumentasi. Analisis data menggunakan teknik analisis deskriptif kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan metode demontrasi dalam mengenalkan konsep melipat dengan media media daun kering efektif digunakan untuk merangsang motorik halus anak. Hal ini selain ditunjukkan oleh persentase kenaikan kemampuan anak, juga tampak dari suasana yang dibangun oleh guru, mulai dari membuka pelajaran, isi pelajaran, maupun strategi guru dalam menutup pelajaran.

Kata kunci: seni melipat, metode demontrasi, motorik halus

PENDAHULUAN

Kegiatan melipat sebagai salah satu proses belajar mengajar di TK berdasarkan pengamatan awal hanya sebagai pengisi waktu luang, kegiatan selingan, tanpa jauh memperhatikan esensi kegunaan dari kegiatan tersebut. Fenomena ini seperti halnya proses mewarnai/menggambar di TK yang masih jarang dilakukan pendampingan,

padahal kegiatan ini sangat baik dalam rangka membentuk konstruksi kecerdasan anak, utamanya dalam membentuk konstruksi motorik halus.Gerakan motorik halus mempunyai peranan penting dalam pengembangan seni. Motorik halus adalah gerakan yang hanya melibatkan bagian-bagian tubuh tertentu yang dilakukan oleh otot-otot kecil. Oleh karena itu, gerakan motorik halus tidak terlalu membutuhkan

Page 67: Jurnal Cakrawala September 2015

336

tenaga, tetapi membutuhkan koordinasi yang cermat serta ketelitian (Depdiknas, 2007).

Keterampilan motorik halus mulai berkembang setelah diawali dengan kegiatan yang amat sederhana, seperti memegang pensil, memegang sendok, dan mengaduk. Keterampilan motorik halus lebih lama pencapaiannya dibandingkan keterampilan motorik kasar karena keterampilan motorik halus membutuhkan kemampuan yang lebih sulit, misalnya konsentrasi, kontrol, kehati-hatian, dan koordinasi otot tubuh yang satu dengan yang lain.

Pentingnya seni melipat bagi anak-anak usia dini antara lain sebagai berikut. Pertama, seni melipat berperan untuk mengembangkan motorik halus. Kedua, melatih kreativitas dan imajinasi. Ketiga, mengasah mental geometrik. Keempat, mengasah mental menjadi tekun, telaten, dan sabar. Kelima, merupakan media komunikasi. Keenam, mengasah keterampilan anak. Ketujuh, mampu membantu melakukan deteksi dini berbagai gangguan kecerdasan anak, misalnya kemampuan konsentrasi, koordinasi antarbagian tubuh, utamanya mata dan motorik halus.

Peran Motorik Halus dalam Pengembangan Seni

Gerakan motorik halus sangat penting dalam pengembangan seni. Motorik halus adalah gerakan yang hanya melibatkan bagian-bagian tubuh tertentu yang dilakukan oleh otot-otot kecil. Oleh karena itu, gerakan motoruk halus tidak terlalu membutuhkan tenaga, tetapi membutuhkan koordinasi yang cermat serta ketelitian (Depdiknas, 2007). Anak dalam proses hidupnya tidak merasa bahwa apa yang dilakukannya sebenarnya merangsang kecerdasan motorik halus. Kegiatan atau aktivitas seperti memegang pensil, memegang sendok, serta mengaduk merupakan aktivitas awal yang dapat merangsang motorik halus. Namun

demikian, terkadang orang tua sangat egois melarang dengan alasan akan membuat kotor, takut anak belum dapat menggunakan pensil dengan benar, dan dapat mencelakai anak. Hal ini tentu menghambat kemampuan motorik halus anak dan justru menjadikan anak agak lambat kecerdasan motorik halusnya.

Urgensi Pengembangan Motorik Halus

Masa lima tahun pertama pada diri seorang anak adalah masa emas bagi perkembangan motoriknya. Perkembangan motorik diartikan sebagai perkembangan unsur kematangan dan pengendalian gerak tubuh. Tiga unsur yang menentukan dalam perkembangan motorik seorang anak, antara lain otak, syaraf, dan otot.Ketiga unsur tersebut melaksanakan perannya masing-masing menjadi interaksi positif ketika motorik bekerja (Depdiknas, 2007). Ketiga unsur tersebut saling dukung satu sama lain. Unsur yang satu saling berkaitan, saling menunjang, saling melengkapi dengan unsur lainnya untuk mencapai kondisi motorik yang lebih sempurna keadaannya. Dengan demikian, ketiga unsur tersebut (otak, saraf, dan otot) saling bekerja sama sehingga terbentuk suatu gerakan yang bertujuan. Misalnya, berbicara, berjalan, berlari, menulis, menggambar, dan sebagainya.

Pengembangan Mortorik Halus

Usia taman kanak-kanak berada rentang 4 - 6 tahun. Pada usia tersebut perlu diperhatikan hal-hal berkaitan dengan pengembangan motorik halus. Adapun prinsip-prinsip yang perlu diperhatikan menurut Depdiknas (2007) sebagai berikut. Pertama, memberikan kebebasan berekspresi kepada peserta didik di TK. Ekspresi merupakan bentuk pengungkapan perasaan dan jiwa secara jujur dan langsung dari dalam diri peserta didik di TK. Kedua, melakukan pengaturan waktu, tempat, dan media (alat dan bahan) agar dapat

Page 68: Jurnal Cakrawala September 2015

337

merangsang peserta didik di TK untuk kreatif. Kreativitas merupakan kemampuan mencipta sesuatu yang beru bersifat orisinil/asli dari dirinya sendiri. Kreativitas erat kaitannya dengan fantasi (daya khayal). Oleh karena itu, daya khayal anak-anak usia dini perlu diaktifkan dengan cara membangkitkan tanggapan mereka melalui pengamatan dan pengalaman sendiri.

Ketiga, memberikan bimbingana kepada anak usia dini untuk menemukan teknik atau cara yang baik dalam melakukan kegiatan dengan berbagai media. Latihan yang dimaksud dapat berupa bermain jari, melipat, menggunting, meremas, dan sebagainya. Keempat, menumbuhkan keberanian dan menghindari petunjuk yang dapat merusak keberanian, serta perkembangan peserta didik di TK. Pendidik di TK harus menghindari komentar negatif ketika melihat hasil karya motorik halus peserta didik. Kata-kata yang kurang support akan membuat anak menjadi kurang percaya diri dan frustasi dengan kemampuan mereka. Kelima, membimbing peserta didik di TK sesuai dengan kemampuan dan taraf perkembangan. Perkembangan anak-anak usia dini di TK mempunyai karakteristik perkembangan yang berbeda-beda untuk setiap usia. Oleh karena itu, perlu kiranya dilakukan bimbingan dan stimulasi kepada peserta didik di TK sesuai dengan usia perkembangannya.

Keenam, memberikan rasa gembira dan menciptakan suasana yang menyenangkan pada peserta didik di TK. Peserta didik di TK biasanya akan melakukan kegiatan seoptimal mungkin jika berada dalam kondisi psikologis yang baik, yaitu dalam suasana yang menyenangkan hatinya, tanpa ada tekanan. Ketujuh, melakukan pengawasan menyeluruh terhadap pelaksanaan kegiatan. Hal ini perlu dilakukan untuk menghindari terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan, seperti pertengkaran memperebutkan alat

berkarya, kegagalan membuat karya, atau bahkan kecelakaan ketika peserta didik tidak berhati-hati dalam menggunakan alat.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan penelitian tindakan kelas (PTK). PTK adalah suatu bentuk kajian yang bersifat reflektif oleh pelaku tindakan yang dilakukan untuk meningkatkan kemantapan rasional dari tindakan mereka dalam melaksaanakan tugas, memperdalam pemahaman terhadap tindakan-tindakan yang dilakukan itu, serta memperbaiki kondisi dimana praktik pembelajaran tersebut dilakukan. Penelitian ini menggunakan model penelitian tindakan dari Kemmis & Taggart (Akbar, 2009: 28), yaitu berbentuk spiral dari siklus satu kesiklus berikutnya. Setiap siklus meliputi rencana, tindakan, pengamatan, dan refleksi. Langkah pada siklus berikutnya adalah perencanaan yang sudah direvisi, tindakan, pengamatan, dan refleksi. Sebelum masuk pada siklus I, dilakukan tindakan pendahuluan berupa identifikasi permasalahan.

Penelitian (mulai dari pengumpulan data, analisis data, hingga pemaparan hasil analisis data) dilaksanakan pada tangga l1 November - 28 Desember 2014, pada semester I tahun ajaran 2014/2015. Subjek penelitian ini siswa kelompok B3 TK Muslimat NU, Kabupaten Pacitan, Jawa Timur, dengan jumlah 21 siswa, terdiri atas 8 siswa perempuan dan 13 siswa laki-laki. Subjek pemberi tindakan adalah guru.

Teknik atau prosedur pengumpulan data yang digunakan sebagai berikut. Pertama, metode observasi, yaitu melakukan kegiatan pengamatan terhadap aktivitas siswa dan guru selama penelitian berlangsung. Kedua, metode demonstrasi, yaitu penilaian terhadap proses yang dilakukan oleh siswa dalam hal melipat. Penerapan metode demonstrasi diawali dengan aktivitas/contoh yang diberikan oleh guru, kemudian anak-anak

Page 69: Jurnal Cakrawala September 2015

338

menirukannya. Cara ini dilakukan agar anak-anak mandiri, percaya diri, dan menghargai proses, bukan sekadar hasil akhir. Ketiga, metode dokumentasi, yaitu mengumpulkan data melalui pengambilan data nilai, data siswa yang telah ada, merekam kegiatan pembelajaran, dan sebagainya.

Untuk mengetahui keefektifan suatu metode dalam kegiatan pembelajaran, perlu diadakan analisis data. Penelitian ini menggunakan teknik analisis deskriptif kualitatif, yaitu suatu metode penelitian yang bersifat menggambarkan kenyataan atau fakta sesuai dengan data yang diperoleh untuk mengetahui hasil belajar yang dicapai anak dan untuk memperoleh responsanak didik terhadap kegiatan pembelajaran, serta aktivitas anak didik selama proses pembelajaran.Penilaian kemampuan berhitung menggunakan kriteria sebagai berikut.

Kriteria Nilai Skor KeteranganMampu tanpa bantuan

**** 4Sangat baik/

BSB

Mampu *** 3 Baik/BSHMampu dengan bantuan

** 2 Cukup/MB

Belum mampu

* 1 Kurang/BB

Keterangan:BSB : Berkembang Sangat BaikBSH : Berkembang Sesuai HarapanMB : Mulai BerkembangBB : Belum Berkembang

Selanjutnya, rata-rata nilai kreativitas untuk hasil pengamatan dapat dirumuskan sebagai berikut.

=

dengan: = nilai rata-rata = jumlah nilai siswa = jumlah siswa/

aspek pengamatan

Selanjutnya, ditentukan nilai/skor kreativitas siswa dalam bentuk persentase sebagai berikut.

P = x 100%Data yang diperoleh dari lembar

observasi dan dokumentasi kemudian diolah, dianalisis, dan dibuat simpulannya setelah melalui kegiatan member check untuk pengecekan keabsahan data dengan menggabungkan hasil pengamatan dan dokumentasi. Nilai rata-rata dari hasil pengamatan dapat dirumuskan sebagai berikut.

=

dengan: = nilai rata-rata = jumlah nilai siswa

= jumlah siswa/aspek pengamatan

Selanjutnya, ditentukan nilai/skor siswa dalam bentuk persentase sebagai berikut. P = x 100%

Kemampuan siswa dalam berhitung dianggap tuntas jika perolehan rata-rata siswa pada kriteria mampu (***) mencapai lebih dari 85%.

HASIL DAN PEMBAHASANPrasurvei dilakukan untuk mengetahui

kemampuan motorik halus anak dengan origami (seni melipat). Hasil pengamatan menunjukkan bahwa antusias anak masih sangat kurang. Sebagian besar anak cenderung pasif karena kedekatan personal yang dibangun oleh guru masih kurang.Anak-anak lebih banyak bengong daripada melakukan aktivitas sesuai perintah guru. Rata-rata dari mereka masih terus memegang daun kering yang dibagikan guru. Tahap prasurvei berdasar hasil pengamatan masih banyak siswa yang cenderung diam dengan tatapan kosong. Namun demikian, ada siswa yang aktif bertanya kepada guru, walaupun

Page 70: Jurnal Cakrawala September 2015

339

terkesan bertanya secara berulang-ulang. Anak-anak masih terlihat bingung karena guru tidak menuntun siswa dengan pelan. Beberapa anak masih gaduh, bahkan berjalan ke sana ke mari sambil membawa kertasnya.

Berdasarkan identifikasi permasalahan sebelum penelitian, diperoleh simpulan masih rendahnya tingkat pemahaman anak terhahap kemampuan melipat dengan menggunakan media daun pisang. Penyampaian dilakukan terlalu cepat oleh guru pembimbing sehinga pembelajaran menjadi membosankan dan tidak menarik bagi anak. Untuk perbaikan pengelolaaan pembelajaran, alternatif perbaikan pembelajaran pada siklus I adalah mengubah metode pembelajaran menjadi menarik dengan media yang lebih menarik sehingga anak-anak lebih berminat mengikuti kegiatan.

Data prasurvei menunjukkan bahwa anak-anak yang termasuk dalam kategori berkembang sangat baik (BSB) ada 3 anak (14,28%), berkembang sesuai harapan (BSH) ada 5 anak (23,80%), mulai berkembang ada 9 anak (42,85%), dan belum berkembang ada 4 anak (19,04%). Data tersebut mengindikasikan bahwa ada pekerjaan rumah yang berat bagi guru karena capaian pengajaran masih jauh dari harapan. Berdasarkan kondisi tersebut, perlu kiranya dilakukan langkah-langkah strategis dalam rangka perbaikan agar tujuan seni melipatuntuk merangsang pertumbuhan motorik halus anak dapat tercapai. Oleh karena itu, perlu dipikirkan langkah-langkah jitu dengan menerapkan pola pembelajaran yang menyenangkan dan bermanfaat.

Pelaksanaan siklus I dengan pijakan pelaksanaan prasurvei, dengan segala bentuk perbaikan menunjukkan hasil ke arah positif. Hal ini ditunjukkan dari capaian bahwa anak-anak yang termasuk dalam kategori berkembang sangat baik (BSB) sebanyak 5 anak (23,80%), berkembang

sesuai harapan (BSH) ada 6 anak (28,57%), mulai berkembang ada 7 anak (33,33%), dan belum berkembang ada 3 anak (14,28%). Capaian pelaksanaan siklus I berada di angka 52,37%. Hal ini menunjukkan pergerakan progresivitas pembelajaran karenaterjadi kenaikan capaian dari prasiklus ke siklus I, dari 38,08% menjadi 52,37%.

Namun demikian, capaian itu masih memerlukan tahapan siklus II karena capaiannya masih di bawah 85%. Pelaksanaan siklus II dengan segala perbaikan yang akan dilakukan mengindikasikan bahwa penerapan model demonstrasi memberikan efek luar biasa terhadap kegiatan anak dalam melakukan proses pembelajaran, utamanya seni melipat dengan media daun pisang. Hal ini tampak dari jumlah anak yang termasuk dalam kategori mampu (****) dari 3 anak (prasiklus) menjadi 5 anak, anak dalam kategori berkembang sesuai harapan dari 5 anak (prasiklus) menjadi 6 anak, mulai berkembang dari 9 anak (prasiklus) turun menjadi 7 anak dan belum berkembang dari 4 anak (prasiklus) menjadi 3 anak.

Berdasarkan paparan tersebut, metode demonstrasi mampu memberikan pengaruh positif terhadap kemauan anak untuk mengikuti pembelajaran melipat dengan menggunakan media daun kering. Pergerakan yang berdasarkan data hanya sedikit sekali bergerak, namun memberikan kontribusi positif sehingga perlu dilakukan perbaikan dalam pelaksanaan serta penyempurnaan penerapan model pembelajaran demonstrasi. Pelaksanaan siklus I dengan berbagai penyempurnaan telah memberikan efek luar biasa pada minat siswa. Namun karena capaian masih di bawah 85%, perlu dilakukan tahapan siklus II dengan membenahi segala kekurangan siklus I serta menyempurnakan langkah-langkah untuk perbaikan.

Pelaksanaan siklus II dengan segala bentuk perbaikan memberikan efek positif.

Page 71: Jurnal Cakrawala September 2015

340

Hal ini dapat diketahui dari kenaikan minat siswa yang signifikan dalam seni melipat dengan media daun kering. Pelaksanaan siklus II dilakukan dengan segala bentuk perbaikan, seperti guru merangsang siswa di awal pembelajaran dengan bernyanyi terlebih dahulu. Guru mengajak anak-anak melakukan senam otak terlebih dahulu dengan mengkoordinasi gerakan tubuh, mata, dan anggota tubuh lainnya sehingga konsentrasi anak menjadi lebih fokus.

Seperti halnya pelaksanaan siklus I, gurumengajak anak-anak membuka satu per satu kertas lipat yang ada, kemudian anak-anak diminta menyebutkan warna media yang dibawa guru. Guru membagi daun pisang kepada anak satu per satu. Guru memberikan contoh melipat dengan perlahan-lahan tentang pola lipatan yang akan digunakan untuk membuat bermacam-macam prakarya.Capaian siklus II menunjukkan hal yang menggembirakan. Anak-anak yang termasuk dalam kategori berkembang sangat baik (BSB) sebanyak 8 anak (38,09%), berkembang sesuai harapan 11 anak (52,38%), mulai berkembang 3 anak (9,52%), dan tidak ada lagi anak dalam kategori belum berkembang (BB).

Data tersebut membuktikan bahwa metode demonstrasi mampu membantu menumbuhkan kreativitas anak. Selain itu, faktor perhatian guru, kedekatan guru, strategi membuka mood anak, menjadi titik tolak penting selain suara guru yang dapat di dengar, guru menerangkan dengan pelan, dan dengan sabar membimbing anak-anak, sehingga apa yang akan dicapai dengan mudah dapat terealisasi. Model pembelajaran konvensional perlu kiranya digeser, diganti dengan model-model pembelajaran yang inovatif, menyenangkan, dan berorientasi pada life skill education. Dengan demikian, anak akan terbiasa menghargai proses, bukan sekadar hasil akhir.

Angka dalam capaian siklus II menunjukkan bahwa anak-anak dalam kategori mampu dan mampu dengan bantuan mencapai 90,47%. Hal ini berarti bahwa siklus bisa dihentikan karena capaiannya telah melampaui 85%. Sedangkan anak-anak yang termasuk dalam kategori belum mampu sebanyak 2 anak (9,52%), perlu mendapatkan bimbingan secara intensif dan terus dimotivasi agar mau melakukan kegiatan sesuai dengan apa yang telah disepakati sehingga kemampuan motorik halus mereka akan terasah.

Penelitian ini menunjukkan bahwa metode demonstrasi dalam pembelajaran origami memiliki dampak positif dalam meningkatkan hasil belajar anak didik. Hal ini dapat dilihat dari semakin mantapnya pemahaman anak terhadap materi yang disampaikan oleh guru (ketuntasan belajar meningkat dari prasiklus, siklus I ke siklus II). Berdasarkan analisis data, diperoleh aktivitas anak dalam proses pembelajaran dalam setiap siklus mengalami peningkatan. Hal ini berdampak positif terhadap kemampuan dan motivasi belajar, yaitu dapat ditunjukkan dengan meningkatnya nilai pada setiap siklus yang terus mengalami peningkatan.

Data perkembangan nilai kemampuan anak dalam kegiatan melipat dengan media daun pisang dapat ditunjukkan pada tabel berikut.

Tabel 1. Penilaian Kemampuan Seni Melipat dengan Media Daun Kering

No KeteranganSiklus I Siklus II

Jumlah (%) Jumlah (%)

1Jumlah Tanda (****)

5 23,80 8 38,09

2Jumlah Tanda (***)

6 28,57 11 52,38

3Jumlah Tanda (**)

7 33,33 2 9,52

4Jumlah Tanda (*)

3 14,28 0 0

Page 72: Jurnal Cakrawala September 2015

341

Berdasarkan data di atas, dapat dikatakan bahwa pembelajaran dengan metode demonstrasi memberikan perubahan minat, keaktifan, pemahaman, dan sikap siswa sehingga hasil belajar juga meningkat. Perubahan minat belajar anak tentu tidak semata-mata karena pelajaran yang mereka sukai, tetapi lebih kepada strategi pembangun suasana, mulai dari membuka pelajaran, menyampaikan isi pembelajaran, serta teknik menutup pelajaran.

Teknik membuka, penyampaian materi, serta teknik menutup yang menarik ternyata mampu memberikan kontribusi positif terhadap perkembangan diri anak, utamanya dalam kegiatan origami (seni melipat kertas). Anak-anak sangat antusias mengikuti pembelajaran sehingga hasil yang diharapkan guru selaku peneliti dapat tercapai walaupun tingkat ketuntasan masih sedikit di atas batas keberhasilan, yaitu 85%.

Berdasarkan data dan analisis di atas, dapat dikatakanbahwa semua proses pembelajaran bagi anak usia dini penting adanya. Semua kegiatan memegang peran yang besar karena berkonstribusi dalam peningkatan kecerdasan anak. Semua potensi kecerdasan, baik kognitif, afektif, maupun psikomotorik hendaknya sudah dipikirkan guru agar dapat tersampaikan kepada anak-anak dengan baik karena hakikat pembelajaran di taman kanak-kanak bukan semata-mata mengedepankan kognitif

(misalnya mengutamakan baca tulis hitung) daripada kegiatan pembelajaran yang lain. Oleh karena itu, semua jenis kecerdasan hendaknya diasah sedini mungkin dengan berbagai strategi, seperti hanya merangsang kecerdasan motorik halus dengan pembelajaran seni melipat dengan media daun kering.

PENUTUPBerdasarkan hasil dan pembahasan

di atas, dapat diambil simpulan sebagai berikut. Penerapan metode demontrasi dalam mengenalkan konsep melipat dengan media media daun kering efektif digunakan untuk merangsang motorik halus anak. Hal ini terbukti dari adanya peningkatan jumlah anak dalam kategori berkembang sangat baik meningkat dari 14,28% (3 anak) menjadi 38,09% (8 anak), kategori berkembang sesuai harapan dari 5 anak (23,80%) menjadi 11 anak (52,38%). Sementara itu, kategori mulai berkembang mengalami penurunan dari 9 anak (42,85%) menjadi 2 anak (9,52%) dan anak-anak dalam kategori belum berkembang mengalami penurunan dari 2 anak (10%) menjadi 0%. Kemampuan siswa dalam seni melipat dengan media daun keringmengalami peningkatan. Hal ini selain ditunjukkan oleh persentase yang dijelaskan di atas, juga tampak dari suasana yang dibangun oleh guru, mulai dari membuka pelajaran, isi pelajaran, maupun strategi guru dalam menutup pelajaran.

DAFTAR PUSTAKA

Akbar, Sa’dun. 2009. Penilaian Tindakan Kelas. Yogyakarta: Cipta Media Aksara.

Depdiknas. 2007. Pedoman Pembelajaran Bidang Pengembangan Kognitif di Taman Kanak-kanak. Jakarta: Depdiknas.

Page 73: Jurnal Cakrawala September 2015

342

KRITIK SOSIAL DALAM NASKAH DRAMA LORONG KARYA PUTHUT BUCHORI: TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA

Indriyana Uli, Rini Agustina, Mesterianti HartatiPendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia IKIP PGRI Pontianak

ABSTRACTThe aim of this study was to describe the social problems in the plays Lorong Puthut

work Buchori. The form of this research is descriptive qualitative. The approach used is the sociology of literature. The data in this study a quote excerpts (words, phrases, and sentences) related to social issues. Source of data in this study are the plays Lorong Puthut work Buchori. Data collection techniques using document analysis techniques. the data collection tool is the researcher himself as a key instrument. The data analysis technique used in this study is a braid or flow analysis techniques that include three components: data reduction, data presentation, and drawing conclusions. Based on the results of the analysis can be concluded, social issues contained in the plays Lorong consists of economic, cultural, biological, and psychological.

Keywords: playwright, social criticism, sociology of literature

ABSTRAKTujuan dari penelitian ini adalah untuk menggambarkan permasalahan sosial dalam

naskah drama Lorong karya Puthut Buchori. Bentuk penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Pendekatan yang digunakan adalah sosiologi sastra. Data dalam penelitian ini berupa kutipan kutipan-kutipan (kata, frasa, dan kalimat) yang berkaitan dengan permasalahan sosial. Sumber data dalam penelitian ini adalah naskah drama Lorong karya Puthut Buchori. Teknik pengumpulan data menggunakan teknik analisis dokumen. dengan alat pengumpul data adalah peneliti sendiri sebagai instrument kunci. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis jalinan atau mengalir yang meliputi tiga komponen, yaitu reduksi data, sajian data, dan penarikan simpulan. Berdasarkan hasil analisis dapat ditarik kesimpulan, permasalahan sosial yang terkandung dalam naskah drama Lorong terdiri dari faktor ekonomi,budaya, biologis, dan psikologis.

Kata kunci: naskah drama, kritik sosial, sosiologi sastra

PENDAHULUAN

Sastra merupakan suatu hal yang bersifat indah. Keindahan yang terdapat dalam karya sastra tersebut merupakan hasil imajinasi pengarang yang disusun secara menarik sehingga menimbulkan minat orang lain untuk membaca, melihat, mendengar, dan menikmatinya. Seluruh kejadian dalam karya sastra merupakan prototipe kejadian yang pernah dan mungkin terjadi pada kehidupan sehari-hari. Pengarang menciptakan karya sastra berdasarkan kenyataan yang terjadi di sekitarnya. Oleh karena itu, karya sastra dapat

diartikan sebagai suatu gambaran mengenai kehidupan sehari-hari di masyarakat.

Adanya realitas sosial dan lingkungan yang berada di sekitar pengarang menjadi bahan dalam menciptakan karya sastra sehingga karya sastra yang dihasilkan memiliki hubungan yang erat dengan kehidupan pengarang maupun dengan masyarakat yang ada di sekitar pengarang. Karya sastra dibuat untuk masyarakat. Oleh karena itu, pengarang harus mampu mempengaruhi pembaca untuk meyakini kebenaran yang dikemukakannya.

Page 74: Jurnal Cakrawala September 2015

343

Karya sastra terdiri dari puisi, drama, dan prosa. Puisi adalah karya sastra yang terikat oleh kaidah dan aturan tertentu, seperti sajak, pantun, dan syair. Prosa merupakan karya sastra yang tidak terikat, seperti novel, cerita atau cerpen, dan drama. Salah satu bentuk karya sastra yang termasuk dalam prosa, yaitu drama.

Drama seringkali dianggap sebagai genre sastra yang sulit dipahami dan membosankan. Selain masih sedikitnya antusiasme masyarakat dalam mengapresiai drama-drama yang ada, dalam lembaga pendidikan resmi pun, pembelajaran drama tidak dilakukan secara maksimal. Kebanyakan siswa tidak tertarik mempelajari drama. Padahal dalam sebuah drama, terdapat nilai-nilai yang dapat bermanfaat bagi pembaca dan penontona. Melalui pertunjukan drama, nilai-nilai tersebut akan lebih mudah ditangkap. Jika pertunjukan drama dilakukan oleh siswa, maka siswa sebagai pemeran tokoh akan terlatih untuk berbicara di depan publik dan memiliki mental yang lebih kuat.

Sastra berhubungan dengan manusia dalam masyarakat, termasuk di dalamnya usaha manusia untuk menyesuaikan diri dan usahanya untuk mengubah masyarakat itu. Sesungguhnya sosiologi dan sastra berbagi masalah yang sama. Keterkaitan karya sastra dengan masyarakat biasa disebut dengan sosiologi sastra. Dalam penelitian ini, fokus masalah yang dibahas adalah bagaimanakah permasalahan sosial dalam naskah drama Lorong karya Puthut Buchori?

Pengertian Drama

Menurut Waluyo (2002), drama berasal dari bahasa Yunani “dramoi” yang berarti berbuat, bertindak, atau beraksi. Pengertian ini berdasarkan pada aksi dan perbuatan para pemain dalam pertunjukan di atas panggung. Dengan demikian, drama dapat diartikan sebagai perbuatan, tindakan. Ferdinand

Brunetiere & Balthazar menyatakan bahwa drama merupakan kesenian yang melukiskan sifat dan sikap manusia dan harus melahirkan kehendak manusia dengan aksi dam perilaku. Sedangkan menurut Moulton, drama adalah hidup yang dilukiskan dengan gerakan.

Berdasarkan pengertian drama yang telah dipaparkan di atas, dapat disimpulkan bahwa drama tidak mengarah pada pengertian dimensi sastranya, tetapi kepada dimensi lakonnya saja. Meskipun drama ditulis dengan tujuan untuk dipentaskan, tidak berarti karya drama yang ditulis oleh pengarang harus dipentaskan. Drama tanpa dipentaskan pun masih tetap dapat dipahami, dimengerti, dan dinikmati. Menurut Priyono, naskah drama merupakan salah satu genre sastra yang disejajarkan dengan puisi dan prosa.

Sebagai karya sastra bahasa, drama adalah bahasa sastra. Naskah drama bertujuan menggambarkan kehidupan dengan mengemukakan pertikaian atau konflik dan emosi melalui lakon dan dialog. Dasar karya sastra naskah drama adalah kehidupan manusia dengan konflik, pertikaian, percintaan, dan sebagainya. Naskah drama telah diberi batasan sebagai salah satu jenis karya sastra yang ditulis dalam bentuk dialog yang didasarkan pada konflik batin dan kemungkinan dipentaskan (Waluyo, 2002: 2).

Struktur Naskah Drama

Penulisan naskah drama merupakan proses yang utuh, yang mempunyai keseluruhan. Dalam penulisan naskah drama, perlu diperhatikan unsur-unsur yang membangun naskah drama itu sendiri. Untuk memahami naskah secara lengkap dan terperinci, maka struktur drama akan dijelaskan. Unsur-unsur struktur itu berkaitan satu sama lain. Selanjutnya, Suroto (dalam Waluyo, 2002: 14) menyebutkan unsur-unsur

Page 75: Jurnal Cakrawala September 2015

344

yang terdapat dalam naskah drama sebagai berikut.

1. Tema dan Amanat

Tema adalah pokok persoalan yang menjadi bahan pemikiran pengarang yang kemudian akan disampaikan kepada pembaca. Sedangkan, amanat merupakan pesan yang hendak disampaikan kepada pembaca melalui karyanya. Untuk mengetahui tema dalam drama, harus dapat memahami isi dialog dan perwatakan para pelaku.

2. Plot atau Alur

Alur adalah jaringan atau rangkaian yang membangun atau membentuk suatu cerita sejak awal hingga akhir. Urutan alur terdiri atas lima fase, antara lain perkenalan, awal masalah, menuju klimaks, klimaks, dan penyelesaian.

3. Setting (Latar)

Latar yang terdapat dalam drama tidak hanya menyebutkan tempat terjadinya peristiwa saja, tetapi juga terdapat latar waktu dan ruang yang terdapat dalam drama.

4. Penokohan dan Perwatakan

Penokohan erat hubungannya dengan perwatakan. Tokoh dalam drama dibagi menjadi tiga jenis, yaitu tokoh antagonis, tokoh protagonis, dan tokoh tritagonis. Watak tokoh digambarkan dalam tiga dimensi (watak dimensional). Penggambaran itu berdasarkan keadaan fisik, psikis, dan sosial.

5. Dialog

Ciri khas suatu drama adalah naskah yang berbentuk cakapan atau dialog. Dalam dialog ini, pengarang harus benar-benar memperhatikan pembicaraan tokoh-tokohnya dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini karena drama adalah potret kehidupan (Waluyo, 2002: 20).

Bentuk-bentuk Drama

Drama memiliki berbagai bentuk. Berdasarkan bentuk sastra cakapannya, drama dibedakan menjadi dua, yakni drama puisi dan drama prosa. Berdasarkan sajian isinya, terdiri dari tragedi, komedi (drama ria), dan tragedi dikomedi (duka ria). Berdasarkan kuantitas cakapan atau dialog, drama meliputi pantomim, minikata, dialog, dan monolog. Berdasarkan besarnya pengaruh unsur seninya, drama terdiri dari opera/operet, sendratari, dan tablo. Bentuk-bentuk lain dari drama, yakni drama absurd, drama baca, drama borjuis, drama domestik, drama duka, drama liturgis, drama satu babak, dan drama rakyat.

Hakikat Sosiologi Sastra

Sosiologi sastra adalah pendekatan terhadap sastra yang mempertimbangkan segi kemasyarakatan menggunakan analisis teks untuk mengetahui strukturnya, kemudian digunakan untuk memahami lebih dalam lagi gejala sosial di luar sastra. Ratna (2011: 25) mengatakan bahwa sosiologi sastra adalah penelitian terhadap karya sastra dan keterlibatan struktur sosialnya. Sosiologi sastra berasal dari kata sosiologi dan sastra. Sosiologi berasal dari kata sos (Yunani) yang berarti bersama, bersatu, kawan, teman, dan logi (logos) berarti sabda, perkataan, perumpamaan. Sastra dari akar kata sas (Sansekerta) berarti mengarahkan, mengajarkan, memberi petunjuk dan instruksi. Akhiran tra berarti alat, sarana.

Menurut Ratna (2011: 2), ada sejumlah definisi mengenai sosiologi sastra yang perlu dipertimbangkan dalam rangka menemukan objektivitas hubungan antara karya sastra dengan masyarakat. Pertama, pemahaman terhadap karya sastra dengan pertimbangan aspek kemasyarakatannya. Kedua, pemahaman terhadap totalitas karya yang disertai dengan aspek kemasyarakatan yang terkandung di dalamnya. Ketiga,

Page 76: Jurnal Cakrawala September 2015

345

pemahaman terhadap karya sastra sekaligus hubungannya dengan masyarakat yang melatarbelakanginya. Keempat, sosiologi sastra adalah hubungan dua arah (dialektik) antara sastra dengan masyarakat. Kelima, sosiologi sastra berusaha menemukan kualitas interdependensi antara sastra dengan masyarakat.

Wellek & Warren membagi sosiologi sastra menjadi tiga, yakni sosiologi pengarang, sosiologi karya satra, dan sosiologi sastra yang memasalahkan pembaca. Klasifikasi Wellek dan Warren sejalan dengan klasifikasi Ian Watt, yang meliputi konteks sosial pengarang, sastra sebagai cermin masyarakat, dan fungsi sosial sastra. Berdasarkan uraian tersebut, dapat dikatakan bahwa sosiologi sastra dapat meneliti berdasarkan tiga perspektif, antara lain perspektif teks sastra (karya sastra), persepektif biologis (pengarang), dan perspektif reseptif (pembaca).

Permasalahan Sosial

Asumsi dasar penelitian sosiologi sastra adalah kelahiran sastra tidak dalam kekosongan sosial. Kehidupan sosial akan menjadi pemicu lahirnya karya sastra. Hal ini dikarenakan suatu hasil karya sastra pada hakikatnya merupakan suatu reaksi terhadap keadaan yang ada dalam masyarakat. Sastra sebagai sebuah cermin masyarakat (konsep mirror) menyimpan berbagai permasalahan yang ada di dalamnya. Masalah yang ada dalam masyarakat itulah yang kemudian diteliti keterkaitan dengan penggunaan pendekatan sosiologi sastra. Hal ini sejalan dengan pendapat Endraswara (2011: 88), yang menyatakan bahwa seorang peneliti yang meneliti sastra dengan menggunakan pendekatan sosiologi sastra antara lain harus meneliti konflik-konflik dan permasalahan sosial yang ada dalam sebuah karya sastra yang notabene adalah pantulan dari keadaan masyarakat pada zaman tersebut.

Masalah sosial adalah suatu ketidaksesuaian antara unsur-unsur kebudayaan atau masyarakat yang dapat membahayakan kehidupan kelompok sosial atau menghambat terpenuhinya keinginan pokok warga sosial tersebut sehingga menyebabkan kepincangan sosial. Idianto mengatakan bahwa masalah sosial adalah gejala-gejala sosial yang tidak sesuai antara apa yang diinginkan dengan apa yang telah terjadi. Idianto juga menambahkan unsur utama dari masalah sosial adalah adanya perbedaan yang mencolok antara nilai-nilai dengan kondisi-kondisi nyata kehidupan. Artinya, adanya ketidakcocokan antara anggapan-anggapan masyarakat tentang apa yang seharusnya terjadi dengan apa yang telah terjadi dalam kenyataan pergaulan hidup. Tingkatan perbedaan tersebut berbeda-beda untuk setiap masyarakat, tergantung pada nilai-nilai yang mereka anut bersama.

Pendapat lain, Soejono Soekanto mengatakan bahwa masalah sosial adalah suatu ketidaksesuaian antara unsur-unsur kebudayaan atau masyarakat yang membahayakan kehidupan kelompok sosial. Jika terjadi bentrokan antara unsur-unsur yang ada, dapat menimbulkan gangguan hubungan sosial, seperti kegoyahan dalam kehidupan kelompok atau masyarakat. Faktor-faktor masalah social, meliputi ekonomi, biologis, psikologis, dan kebudayaan.

Masalah sosial muncul akibat terjadinya perbedaan yang mencolok antara nilai dalam masyarakat dengan kenyataan yang ada, yang dapat menjadi sumber masalah social, seperti proses sosial dan bencana alam. Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa masalah sosial adalah gejala-gejala sosial yang tidak sesuai antara apa yang diinginkan masyarakat sehingga membahayakan masyarakat.

Page 77: Jurnal Cakrawala September 2015

346

METODE PENELITIAN

Bentuk penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Penelitian kualitatif ini berdasarkan objek penelitian yang diperoleh dari data penelitian, yaitu naskah drama Lorong karya Puthut Buchori. Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah sosiologi sastra. Sosiologi sastra akan mendeskripsikan masalah sosial yang terdapat dalam naskah drama. Sumber data penelitian ini adalah naskah drama Lorong karya Puthut Buchori yang terdiri dari tiga babak. Data penelitian ini berupa kutipan-kutipan (kata, frasa, dan kalimat) yang berkaitan dengan permasalahan dalam naskah drama Lorong karya Puthut Buchori. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah teknik analisis dokumen. Teknik analisis data penelitian ini adalah teknik analisis jalinan atau mengalir yang meliputi tiga komponen, yaitu reduksi data, sajian data, dan penarikan simpulan (Miles & Huberman, 1992).

HASIL DAN PEMBAHASANAnalisis Kritik Sosial pada Naskah Lorong

1. Masalah Sosial Berdasarkan Faktor Ekonomi

Masalah sosial dari segi faktor ekonomi tampak mencolok pada cerita dari naskah Lorong. Faktor ekonomi di sini terlihat berdasarkan kemiskinan dari orang-orang Lorong. Beberapa kutipan dari sinopsis dan dialog menggambarkan kemiskinan tersebut. Bahkan, pada bagian awal dan akhir juga terdapat lirik lagu yang melukiskan ketidakmampuan ekonomi mereka. Berikut kutipan-kutipan tersebut.

Lagu Orang LorongLorong, Orang orang lorong Bolong, Rumah kami bolong Lorong, Orang orang lorong Kosong, Nasib orang kolongKami yang dimiskinkan oleh suatu sebab

Terpinggirkan di jurang kekalahan Kami yang di kalahkan oleh suatu sistem Tersingkirkan di ladang kami yang telah hilangKami yang lahir di tanah air subur makmur Tapi hidup dan dibesarkan di lahan kering kerontang Tanah kami telah dirampas Hak hidup entah telah dicuri siapa? Negeriku kaya, aku yang miskin Bangsaku makmur, hidup kami yang hancurDasar Orang orang lorong Beginilah nasib dan hidup Yang harus tertindas Kalah, kalah, kalah (Lorong: 2)

Pada lirik pertama lagu disebutkan “Bolong, Rumah kami bolong” yang bermaksud menyatakan ketidaksanggupan mereka untuk memiliki hunian yang nyaman. Atap mereka bolong karena tidak sanggup memperbaikinya akibat kemiskinan mereka. Pada bait kedua dari lagu,

“Kami yang dimiskinkan oleh suatu sebabTerpinggirkan di jurang kekalahan Kami yang dikalahkan oleh suatu sistemTersingkirkan di ladang kami yang telah hilang”

telah secara nyata menyebutkan bahwa hidup mereka begitu miskin karena suatu sebab. Sebab yang dimaksud bermacam-macam, akan tetapi dalam hal ini, mereka merupakan orang-orang yang terpinggirkan. Tidak mendapatkan perhatian dari pemerintah.

Keterbatasan ekonomi pula yang membuat masyarakat lorong tidak dapat memperoleh hak untuk mendapatkan kesehatan. Masyarakat Lorong tidak mampu jika harus berobat ke dokter, alternatif lain untuk berobat adalah dukun. Padahal dukun

Page 78: Jurnal Cakrawala September 2015

347

tidak menjamin dalam kesembuhan mereka. Tetapi, kembali lagi kepada kondisi mereka, hanya itulah usaha yang mampu mereka lakukan karena biaya ke dukun lebih murah dibandingkan biaya ke dokter. Adapun kutipan dialognya sebagai berikut.Jambul : Jangan! nggak usah ke dokter.

Terlalu mahal harganya... biarlah kutanggung sakit ini, tetapi jangan ke dokter.

Lik Gandul : Memang kalau akan pergi ke dokter, kita akan bayar pakai apa? Pakai entut? Dokter itu hanya tempatnya orang-orang kaya saja, orang-orang yang berduit. Menjual gundulmu pun tak akan cukup untuk ke dokter. Sudah aku panggilkan Mbah Karto dukun saja.

Ati : (Kepada Orang2) sok sugih kamu, Kita ini bukan siapa-siapa. Nggak bakalan ada yang mau nggratisin kita ke dokter. Meskipun kemarin ada yang koar-koar pengobatan gratis. Sudah sekarang yang pasti-pasti saja, aku panggilkan Lik Minah. (Lorong: 4)

Gage : Mau kami bawa ke dokter, tetapi kami tak punya biaya, sebab katanya dokter hanyalah tempat orang kaya. (Lorong: 5)

Anggapan bagi masyarakat Lorong, berobat ke dokter hanya bagi orang-orang kaya. Mereka juga tidak terlalu mempercayai program pemerintah yang menggratiskan rakyat miskin untuk berobat karena pada akhirnya sedikit banyak uang mereka juga akan keluar untuk itu.

2. Masalah Sosial berdasarkan Faktor Budaya

Berikut kutipan-kutipan yang berupa permasalahan sosial ditinjau dari segi budaya.

Lik Gandul : Kalau bukan ayan, pasti kesurupan.

Selip : Wah bisa jadi. (Kepada yang sakit) kamu tadi nguntal apa tho? Kok jadi kangsluban? Kamu tadi dolanan di mana? kok bisa kesurupan, sadar Mas, sadar.....

Lik Gandul : Sekarang panggilkan Mbah Karto dukun saja, biar dijampi-jampi. (Lorong: 3)

Dengan latar belakang kemiskinan, masyarakat masih mempercayai hal-hal yang berbau mistis. Jika kondisi mereka kurang sehat, maka akan dikaitkan dengan unsur mistis. Oleh karena itu, orang lorong juga lebih mempercayakan hal pengobatannya kepada dukun. Di tengah perkembangan zaman arus globalisasi, orang-orang lorong masih mempercayakan penyembuhan penyakitnya kepada dukun. Hal ini didasarkan atas keyakinan mereka yang telah dilakukan secara turun-menurun. Masyarakat lorong juga lebih memilih dukun sebagai orang yang dapat mengobati penyakit mereka karena melalui alternatif ini, biaya pengobatan lebih murah dibandingkan jika harus ke dokter.

Problematika sosial yang kritisi berikutnya dilihat dari segi budaya. Berikut kutipan yang berkaitan dengan masalah tersebut.Prantoro : Inilah yang namanya politik balas

budi. Jadi Bapak pengembang yang terhormat, perlu Bapak ketahui bahwa untuk rencana pembebasan tanah lorong ini, saya telah membikin skenario politik balas budi ini. Adapun skenarionya adalah adegan satu sengaja saya sebarkan virus penyakit di daerah lorong ini, yang tentu saja sudah saya siapkan penawarnya. Sejak awal saya yakin kok, kalau orang orang lorong pasti kesulitan dalam pengobatan. Mau ke dokter nggak

Page 79: Jurnal Cakrawala September 2015

348

punya uang, mau ke dukun pasti juga tidak dapat menyembuhkan. Nah pada saat yang tepat itulah, sang Prantoro datang sebagai pahlawan penyembuhan. Dengan begitu, orang-orang itu akan sangat berterima kasih kepada saya sebagai dewa mereka, dan sekarang tinggal tunggu balas jasa mereka yang telah menganggap saya sebagai pahlawan. (Lorong: 7)

Perkataan Prantoro tersebut bertentangan dengan kebudayaan yang dianut oleh masyarakat Indonesia. Seharusnya jika kita melakukan suatu kebaikan, tidak boleh mengharapkan imbalan. Hal ini tidak sesuai dengan norma kehidupan masyarakat Indonesia. Dalam berbuat baik dengan niat membantu orang lain yang kesusahan, harus dilakukan secara ikhlas tanpa mengharapkan imbalan. Kajian terhadap tokoh yang telah dijelaskan sebelumnya menjelaskan bahwa tokoh Prantoro merupakan sosok yang licik dan penipu. Penipuan secara norma dilarang oleh kebudayaan bangsa Indonesia yang adiluhur. Karena itulah, penipuan ini dianggap sebagai permasalahan masyarakat karena bertentangan dengan kebiasaan bangsa.

Pada halaman 18 naskah Lorong juga memuat hal yang bertentangan dengan nilai budaya. Hal tersebut terlihat dari kutipan dialog berikut.

Terjadi kegaduhan, jambul tiba-tiba menyerang Prantoro.

Jambul : (sambil memukuli Prantoro) ini biang keladinya.

Suasana semakin gaduh, sebagian orang-orang pun memukuli Prantoro, Pak pengembang dan ajudannya sibuk menyelamatkan diri. (Lorong: 18)

Pada dialog ini, masalah budaya tampak pada sikap Jambul yang memilih jalur kekerasan dalam menanggapi penipuan yang dihadapinya. Pada kenyataannya, kekerasan

tak seharusnya terjadi karena Indonesia merupakan negara hokum. Jadi jika terjadi permasalahan, dapat dimusyawarahkan terlebih dahulu atau diserahkan kepada hukum. Masih pada halaman yang sama, permasalahan budaya, yaitu menyelesaikan sesuatu melalui kekerasan juga dilihat dari dialog ini.

Ajudan segera pergi. Orang-orang semakin ganas memukuli Prantoro dan mengejar ajudan, Pak pengembang yang selalu berhasil lolos. Akhirnya, beberapa orang berpakaian seragam pun dengan sangat anarkis melumpuhkan para pembangkang. Orang-orang lorong pun tetap saja menjadi orang kalah. (Lorong: 18)

Dialog berikut menyebutkan bahwa masyarakat telah memiliki suatu pradigma bahwa para pejabat selalu menebarkan janji palsu sebelum mereka menjabat. Setelah mereka menjabat, janji-janji itu seolah-olah terlupakan oleh mereka.Gempil : (Kepada kawannya) alah Bapak

ini seperti pejabat saja, kalau pas perkenanalan sok merakyat, kalau sudah jadi pejabat, nggak bakalan kenal rakyat, melirik pun kagak bakalan. (Lorong: 16)

3. Masalah Sosial berdasarkan Faktor Biologis

Masalah sosial dikarenakan faktor biologis terjadi pada saat orang-orang Lorong tersebar suatu penyakit aneh.

Tiba tiba saja daerah kawasan kumuh itu terserang penyakit aneh yang hampir belum pernah terjadi di daerah tersebut. Salah seorang warga mengerang kesakitan.

Jambul (teriak kesakitan) : Aug !!! kergh... aduh ulu hatiku, aduh kepalaku, aduh kakiku. Akh... Aduh.. akankah kematianku datang hari ini. (Lorong: 2)

Page 80: Jurnal Cakrawala September 2015

349

Penyakit tersebut juga menyerang salah seorang dari pelakon, yaitu Jambul. Mereka tidak mengetahui penyakit apa yang sebenarnya telah diidap oleh tokoh Jambul. Teman-teman Jambul hanya dapat menduga-duga penyakit yang dideritanya. Pada akhirnya, ternyata diketahui bahwa penyakit itu berasal dari suatu virus yang dengan sengaja disebarkkan oleh Prantoro.

4. Masalah Sosial Faktor Psikologis

Masalah sosial yang disebabkan oleh faktor psikologis terjadi karena masalah kejiwaan. Kejiwaan juga dapat dilihat dari karakter atau sifat. Berikut kutipan yang berkaitan dengan psikologis tersebut.

Orang orang lorong mulai berangkat bekerja meninggalkan rumah lorong mereka. Prantoro yang sebelumnya tampak halus budi, lemah lembut, mulai tampak sifat liciknya.

Prantoro : Dasar orang-orang goblog, kena tepu prantoro kalian. Prantoro dilawan. (Lorong: 6)

Pada kutipan ini, disebutkan karakteristik Prantoro yang semula dianggap baik, lemah lembut dan halus budi ternyata memiliki sifat yang sebaliknya. Ternyata sifat baik yang ditunjukan oleh Prantoro karenakan dilatarbelakangkan oleh sesuatu.

Kutipan berikut juga menggambarkan permasalahan sosial karena faktor psikologis. Jambul tidak dapat bersabar dan menahan emosinya, seharusnya pada keadaan seperti ini Gembul dapat bersikap tenang untuk mengatasi permasalahan.Gempil : Gombal, gombal tenan, gombal

mukiyo tenan, iblis, iblis tenan. Huh.. pingin aku remas-remas mukanya. Mentang mentang kita ini orang miskin, trus diperlakukan seenaknya.

Jambul : Saya yang lebih kecewa lagi, masak nyawa orang di permainkan, diatur oleh yang kuat, dipenggawe, memang kita

ini boneka, saya nggak terima, akan saya lawan, saya hajar mati-matian.

Lik Gandul : Tunggu dulu, sabar, sareh... marah ya marah, tapi jangan gedubruh-gedubrah waton sasak sana sasak sini. Nesu boleh-boleh saja, tetapi jangan grusa-grusu, aja kesusu. (Lorong: 9)

Kelicikan, juga dimiliki oleh tokoh Pak Pengembang. Bahkan pada kutipan ini juga tampak bahwa Pak Pengembang merupakan orang yang tidak memiki rasa kemanusiaan. Berikut bentuk kutipannya.Pak Pengembang : Ya. Bungkam dan ikat

mereka semua, masukkan dalam gubuk mereka masing-masing dan bakar perkampungan ini. Biar terkesan kebakaran. (Lorong: 18)

Ketidakmanusiaan itu tergambarkan dari sikap Pak pengembang yang dengan tega membakar hidup-hidup Masyarakat Loh Ijo. Selain itu, di bagian akhir dari naskah tertulis lirik lagu seperti berikut.

Lagu Kalah Orang Orang LorongOrang orang lemah Orang orang kalah Tak mungkin kami melawan Hanya ajal yang terjelangOrang orang lorong Tetap saja kosong Tak ada harapan Tak pernah ada kepastian Kami yang kalah Kami yang tersingkir Kami yang selalu terpinggir (Lorong: 18)

Lagu tersebut berisi rasa putus asa dari masyarakat lorong. Ketidakberdayaan mereka dalam menghadapi tekanan hidup menyebabkan gangguan psikologis bagi mereka. Mereka menjadi orang-orang yang pesimis, tak ada harapan bagi mereka, bahkan untuk hidup tenang di tanah mereka sendiri juga tidak dapat mereka rasakan.

Page 81: Jurnal Cakrawala September 2015

350

PENUTUP

Berdasarkan hasil dan pembahasan di atas, dapat diambil simpulan sebagai berikut. Permasalahan sosial dalam naskah drama Lorong Karya Puthut Buchori terdiri

dari empat factor. Pertama masalah sosial berdasarkan faktor ekonomi. Kedua, masalah sosial berdasarkan faktor budaya. Ketiga, masalah sosial berdasarkan faktor biologis. Keempat, masalah sosial faktor psikologis.

DAFTAR PUSTAKA

Endraswara, S.. 2011. Metodologi Penelitian Sastra Epistemologi: Model, Teori, dan Aplikasi. Yogyakarta: Caps.

Miles, M. B. & Huberman, A. M.. 1992. Analisis Data Kualitatif. (Terjemahan: Tjetjep Rohendi Rohidi. Jakarta: UI Press.

Ratna, N. K.. 2011. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka.

Waluyo, H. J.. 2002. Drama: Teori dan Pengajarannya. Yogyakarta: Hanindita Graha Widya.

Page 82: Jurnal Cakrawala September 2015

351

PENGENALAN NILAI-NILAI AGAMA DAN MORAL MELALUI MODEL PEMBELAJARAN SENTRA IMTAK DENGAN STRATEGI LAGU

GUBAHAN PADA SISWA KELOMPOK B TK AMONG PUTRA I KABUPATEN PACITAN

Lilik SupriyantiTK Among Putra I, Kabupaten Pacitan, Jawa Timur

ABSTRACTThe purpose of this study was to measure the effectiveness of the learning model

imtak centers in improving pemahamaan students about religious values and morals. This study uses a classroom action research (PTK). This study uses a model of action research Kemmis & Taggart, namely spiral from one cycle to the next cycle. Each cycle includes planning, action, observation, and reflection. The subjects were students group B TK Among Men I, Pacitan, East Java, the number of students 20 children. Data collection technique used observation, testing, and documentation. Analysis of data using qualitative descriptive analysis techniques. The results showed that the rate of achievement prasiklus to cycle I and II showed significant development so that religious instruction in the application of models of learning centers, especially centers imtak really help children to memorize a short letter. Children become more enthusiastic, concentration, confidence, and dare to express ideas in play characters.

Keywords: religious values, imtak centers, song composition

ABSTRAKTujuan penelitian ini adalah mengukur efektivitas penerapan model pembelajaran

sentra imtak dalam meningkatkan pemahamaan siswa tentang nilai-nilai agama dan moral. Penelitian ini menggunakan penelitian tindakan kelas (PTK). Penelitian ini menggunakan model penelitian tindakan dari Kemmis & Taggart, yaitu berbentuk spiral dari siklus satu ke siklus berikutnya. Setiap siklus meliputi rencana, tindakan, pengamatan, dan refleksi. Subjek penelitian ini adalah anak didik kelompok B TK Among Putra I, Kabupaten Pacitan, Jawa Timur, dengan jumlah siswa 20 anak. Teknik pengumpulan data menggunakan metode observasi, tes, dan dokumentasi. Analisis data menggunakan teknik analisis deskriptif kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa angka capaian prasiklus ke siklus I dan II menunjukkan perkembangan yang signifikan sehingga pelajaran agama dengan penerapan model pembelajaran sentra, khususnya sentra imtak sangat membantu anak untuk menghafal surat pendek. Anak menjadi lebih antusias, konsentrasi, percaya diri, dan berani mengemukakan ide dalam memerankan tokohnya.

Kata kunci: nilai agama, sentra imtak, lagu gubahan

PENDAHULUANPengetahuan serta pemahaman anak

tentang agama dan moral perlu ditanamkan kepada anak sedini mungkin. Hal ini karena pengenalan agama sejak usia dini mampu mendukung pembentukan karakter anak. Pembentukan karakter bangsa merupakan salah satu tujuan pendidikan nasional. Dalam Undang-Undang Sisdiknas 2003,

dikatakan bahwa di antara tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik untuk memiliki kecerdasan, kepribadian, dan akhlak mulia, karena dalam tujuan pendidikan tersebut terkandung prinsip keseimbangan. Pendidikan tidak untuk membentuk anak-anak yang pintar dan cerdas saja, tetapi juga berkepribadian dan berkarakter/berakhlak muliasehingga melalui pendidikan ini, diharapkan muncul

Page 83: Jurnal Cakrawala September 2015

352

generasi yang cerdas dari sisi intelektual, emosional, dan spiritual. Dengan kata lain, insan Indonesia yang cerdas, andal, berdaya saing, dan berkhlak mulia.

Pendidikan karakter harus dilaksanakan sejak usia dini karena usia dini merupakan periode perkembangan yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Pada masa ini seluruh instrumen besar manusia terbentuk, tidak hanya kecerdasan, tetapi juga seluruh kecakapan psikis. Para ahli menamakan perode ini sebgai usia emasperkembangan. Pendidikan anak usia dini sangat penting karena akan menentukan kualitas SDM di masa depan. Hal ini karena masa pembentukan otak manusia terjadi paling cepat pada saat anak berada pada usia dini. Oleh karenaitu, pemerintah sudah semestinya memperhatikan sektor ini sebagaimana sektor-sektor lainnya.

Kelompok anak usia dini merupakan kelompok yang sangat strategis dan efektif dalam pembinaan karakter. Hal ini tentu harus menjadi kesadaran kolektif dari seluruh elemen bangsa ini karena masalah pendidikan anak usia dini sampai saat ini masih banyak menyisihkan persoalan. Pertama, masih banyak kelompok anak usia dini yang tidak dapat mengakses pendidikan. Kedua, kurangnya pemahaman para guru akan hakikat tujuan pendidikan nasional untuk membangun peserta didik menjadi manusia holistik yang berkarakter. Ketiga, kurangnya wawasan guru tentang pendekatan dan metode pendidikan karakter yang tepat dalam pembentukan karakter anak usia dini. Keempat, kurangnya sinergisitas antara sekolah, keluarga, dan masyarakat.

Berdasarkan uraian di atas, tampak bahwa karakter anak sangat penting dikuatkan ketika anak mulai tumbuh (sebelum usia 7 tahun). Anak-anak dengan usia di bawah 7 tahun yang sudah diberikan beban kogitif berat seperti calistung akan mengalami stres jangka pendek, bahkan

bisa menjadi jangka panjang. Tentunya tidak ada yang menginginkan hal seperti itu terjadi. Oleh karena itu, pola pendidikan pada anak usia dini akan lebih bagus dan berhasil apabila dititikberatkan pada pendidikan karakter terlebih dahulu dibandingkan kognitifnya. Karakter yang kuat akan menjadi dasar terbentuknya insan-insan cerdas yang seimbang antara IQ, EQ, dan SQ.

Pembentukan karakter seyogianya dimulai dari membangun potensi nilai-nilai spiritual, mengasah, serta membangkitkan kecerdasan emosional dan intelektual yang sudah diberikan Tuhan sebagai fitrah manusia sejak lahir melalui pendidikan yang utuh dan menyeluruh (holistik). Dalam prosesnya, fitrah yang alamiah tersebut berupa pemberianTuhan yang dipengaruhi oleh berbagai faktor, mulai dari lingkungan keluarga, lingkungan pendidikan, dan lingkungan masyarakat. Oleh karena itu, perlu adanya sinergisitas antara tripusat pendidikan dalam membentuk karakter unggul. Dengan demikian, pendidikan karakter tidak hanya menjadi tugas guru di sekolah, tetapi juga menjadi tanggung jawab orang tua dan lingkungan sekitar.

Penelitian ini menitikberatkan pada masalah kecerdasan spiritual. Kecerdasan spiritual adalah kecerdasan dalam memandang makna atau hakikat kehidupan ini sesuai dengan kodrat manusia sebagai makhluk Tuhan yang Maha Esa yang berkewajiban menjalankan perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya.Adapun materi dalam kurikulum yang dapat dikembangkan untuk mengoptimalkan kecerdasan spiritual menurut Depdiknas (2008) adalah dengan mengajarkan doa atau puji-pujian, membiasakan diri untuk bersikap sesuai ajaran agama, seperti memberi salam, belajar mengikuti tata cara ibadah sesuai dengan agama yang dianut, mengembangkan sikap dermawan, dan membangun sikap toleransi terhadap sesama.

Page 84: Jurnal Cakrawala September 2015

353

Hal tersebut sesuai dengan PP nomor 17 tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan. Program pembelajran TK/RA dan bentuk lain yang sederajat dilaksanakan dalam konteks bermain yang dapat dikelompokkan sebagai berikut. Pertama, bermain dalam rangka pembelajaran agama dan akhlak mulia. Kedua, bermain dalam rangka pembelajaran sosial dan kepribadian. Ketiga, bermain dalam rangka pembelajaran orientasi dan pengenalan pengetahuan dan teknologi. Keempat, bermain dalam rangka pembelajaran estetika. Kelima, bermain dalam rangka pembelajaran jasmani, olahraga, dan kesehatan.Oleh karena itu, guru sebagai salah satu pionir dalam pendidikan karakter anak, utamanya di sekolah tentu harus kreatif dalam memberikan pola pembelajaran sehingga anak-anak dengan senang mengikuti proses pembelajaran, tidak merasa terbebani, tetapi justru merasa senang.

Pendekatan pembelajaran dalam proses belajar-mengajar di taman kanak-kanak memegang peranan sangat penting. Penelitian ini menerapkan model pembelajaran sentra atau BCCT (Beyond Canters and Circle Time), yaitu konsep belajar dimana guru menghadirkan dunia nyata ke dalam kelas dan mendorong anak didik membuat hubungan antara pengetahuan yang dimiliki dengan penerapan dalam kehidupan mereka sehari-hari (Depdiknas, 2008). Adapun teknik pelaksanaannya dengan mengubah syair lagu dengan tema agama.

Adapun rumusan masalah penelitian ini adalah apakah model pembelajaran sentra imtakdengan media lagu dapat meningkatkan kemampuan anak dalam memahami kekuasaan Allah di TK Among Putra I, Kabupaten Pacitan, Jawa Timur? Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas penerapan model pembelajaran sentra

imtak dalam meningkatkan kemampuan anak memahami nilai-nilai agama dan moral melalui lagu gubahan bertema agama pada siswa kelompok B TK Among Putra I, Kabupaten Pacitan, Jawa Timur. Pemahaman Pesan dan Perkembangan Psikologis

Pemahaman pesan yang dimaksud berkaitan dengan kemammpuan anak untuk menangkap makna yang terkandung dalam sebuah lagu. Kemampuan memaami pesan juga termasuk kemampuan berbahasa yang merupakan hasil kombinasi seluruh sistem perkembangan anak, karena kemampuan bahasa sensitif terhadap keterlambatan atau kerusakan pada sistem yang lain. Kemampuan berbahasa melibatkan kemampuan motorik. Kemampuan anak untuk berbahasa terjadi secara bertahap sesuai dengan perkembangan usianya.

Setiap proses pemerolehan bahasa akan menjadi hal penting dan dapat menjadi pijakan untuk proses selanjutnya. Pada usia 4-5 tahun, ciri umum perkembangan bahasa anak, antara lain 1) mampu membuat kalimat yang terdiri dari 4 – 5 kata; 2) mampu mengeluarkan kalimat negatif, kalimat tanya, dan kalimat pasif yang tepat; 3) mampu menggunakan kalimat kompleks dan multikausal (hubungan sebab-akibat); 4) belajar menggunakan kata sambung untuk mengungkapkan cerita; 5) bicara keras pada diri sendiri tanpa ada maksud berkomunikasi; dan 6) mulai dapat memainkan peran orang yang lebih dewasa dari usianya.

Selanjutnya, pada usia 4 - 5 tahun anak dapat 1) menerima pesan sederhana dan menyampaikan pesan tersebut; 2) berbicara lancar dengan menggunakan kalimat yang kompleks terdiri dari 5 - 6 kata; 3) bercerita menggunakan kata ganti aku, saya, kamu, dia, mereka; 4) melakukan percakapan dengan teman sebaya atau ornag dewasa; 5) memberikan keterangan yang berhubungan

Page 85: Jurnal Cakrawala September 2015

354

dengan posisi/keterangan tempat, misalnya di luar, di dalam, di atas, di bawah, di muka, di depan, di belakang, di kiri, di kanan, dan sebagainya.

6) menggunakan kata-kata yang menunjukkan urutan; 7) membuat gambar dan menceritakan isi gambar dengan beberapa coretan/tulisan yang sudah berbentuk huruf/kata; 8) mengurutkan dan menceritakan isi gambar seri (4 - 6 gambar); 9) membaca buku cerita bergambar dan menceritakannya; 10) menghubungkan dan menyebutkan tulisan sederhana dengan simbol yang melambangkannya; 11) membaca beberapa kata berdasarkan gambar, huruf-huruf, dan lambang yang dikenal atau dilihat; 12) membacakan cerita sederhana, 13) membuat coretan/tulisan yang berbentuk huruf/kata berdasarkan gambar yang dibuatnya (Depdiknas, 2010).

Anak-anak usia taman kanak-kanak menurut Erikson berada pada tahap inisiatif. Ciri perkembangan psikologis anak-anak usia taman kanak-kanak adalah sebagai berikut. Pertama, keterampilan sosial berkembang dengan pesat, seperti anak-anak sangat senang dengan kegiatan bermain peran. Kedua, anak mengalami perkembangan kognisi sensori-motorik ke arah praoperasional. Anak-anak pada masa ini harus diberi kesempatan untuk menemukan tiga jenis kemampuan, yaitu kemampuan sosial, kemampuan logika/matematika, dan kemampuan fisik. Ketiga, anak-anak pada masa ini sangat senang bermain. Ada empat jenis permainan yang dialami anak, yaitu bermain pembangunan (konstruktif), sensori-motor, bermain peran, dan bermain dengan aturan (Piaget, 1933). Smilansky (1990) menekankan pentingnya bermain peran. Wolfgang (1977) menekankan pentingnya proses bermain berkelanjutan mulai dari yang sederhana menuju kompleks. Vygotsky (2004) menyarankan bahwa anak usia TK perlu diberi pengalaman bermain (Depdiknas, 2010).

Perkembangan Kecerdasan Anak

Kecerdasan pada zaman dulu dimaknai dengan inteligensi quotient (IQ) yang dimaknai sebagai kecerdasan tunggal. Apabila tes intelegensi menunjukkan bahwa grade (tingkatan) seseorang tinggi (superior/jenius), ia pasti dapat menyelesaikan segala urusan. Sebaliknya, instrumen tes intelegensi dipandang bebas budaya, artinya berlaku bagi siapa saja dan di mana saja.

Seseorang dikatakan berintelegensi tinggi biasanya dinyatakan dengan IQ di atas 120 sedangkan dikatakan berintelegensi rendah apabila IQ di bawah 90. Orang yang berintelegensi tinggi dipandang bisa menyelesaikan segala persoalan, sebaliknya yang berintelegensi rendah dikatakan akan mengalami kegagalan dalam semua bidang.Pandangan tersebut merupakan pandangan konvensional karena belum bisa mengakomodasi seseorang yang senang membuat rancang bangun atau memiliki banyak kawan atau luwes dalam melakukan gerakan tari atau memainkan alat musik, tetapi hasil tes intelegensi konvensionalnya rendah.Dia tidak termasuk anak yang memiliki intelegensi tinggi atau belum dapat dikelompokkan sebagai anak yang cerdas.

Gardner mengemukakan bahwa intelegensi merupakan kemampuan seseorang untuk memecahkan masalah atau untuk menciptakan produk-produk yang bernilai dalam satu atau beberapa lingkaran budaya tertentu. Ia membalik temuan bahwa IQ adalah segala-galanya. Hasil penelitiannya menyebutkan bahwa setiap orang dibekali seperangkat kemampuan inteligensi yang dapat membedakan antara orang satu dengan orang lainnya. Keadaan ini dipengaruhi oleh faktor budaya dan berlaku untuk budaya tertentu.Gardner juga mengemukakan delapan kategori intelegensi, antara lain kecerdasan bahasa, kecerdasan logis-matematis, kecerdasan visual-spasial, kecerdasan musik, kecerdasan kinestetik,

Page 86: Jurnal Cakrawala September 2015

355

kecerdasan interpersonal, kecerdasan intrapersonal, dan kecerdasan naturalistik.

Kecerdasan Spiritual

Kecerdasan spiritual tidak kalah pentingnya dengan dua kecerdasan yang lain, yaitu, intelegensi quotient (IQ) dan emotional quotient (EQ). Kecerdasan spiritual merupakan kecerdasan dalam memandang makna atau hakikat kehidupan sesuai dengan kodrat manusia sebagai makhluk Tuhan yang Maha Esa dengan kewajibannya menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.

Depdiknas (2010) menyebutkan bahwa dalam rangka meningkatkan kecerdasan spiritual anak, materi program yang dapat dikembangkan antara lain mengajarkan doa atau puji-pujian kepada Sang pencipta, membiasakan diri untuk bersikap sesuai ajaran agama, seperti memberi salam, belajar mengikuti tata cara ibadah sesuai dengan agama yang dianut dan sebagainya. Selain itu, kecerdasan spiritual dapat dikembangkan dengan mengajarkan anak mengembangkan sikap dermawan, membangun sikap toleransi terhadap sesama, dan sebagainya. Dengan demikian, pengembangan kecerdasan spiritual anak dapat dilakukan sedini mungkin, bagaimana tata cara ibadah dan juga mengenalkan kepada anak bagaimana bersikap dan berbuat sesuai dengan perintah Tuhan, baik dalam posisinya sebagai makhluk sosial, individu, maupun makhluk Tuhan.

Seorang anak akan mudah mengikuti program pembelajaran apabila disampaikan dalam suasana menyenangkan. Anak-anak biasanya lebih antusias ketika diajak mengetahui sesuatu dengan praktik. Pengembangan kecerdasan spiritual ini menurut Depdiknas (2010), antara lain melalui teladan dalam bentuk nyata yang diwujudkan dengan perilaku, baik lisan, tulisan, maupun perbuatan, melalui cerita atau dongeng untuk menggambarkan perilaku baik-buruk,

mengamati berbagai bukti-bukti kebesaran Sang Pencipta seperti beragam binatang dan aneka tumbuhan, serta kekayaan alam lainnya, mengenalkan dan mencotohkan kegiatan keagamaan secara nyata, membangun sikap toleransi kepada sesama sebagai makhluk ciptaanTuhan.

Berdasar pada paparan di atas, sangat perlu mengajarkan kepada anak nilai-nilai agama sedini mungkin karena hal tersebut merupakan alat pengontrol dan pengendali hidup anak. Agama akan menjadi pedoman dan petunjuk mengenai apa yang harus dilaksanakan di dalam menciptakan sikap dan perilaku yang baik sesuai ajaran agama Islam serta membimbing anak mempunyai akhlak yang mulia. Peranan guru di taman kanak-kanak tidak hanya mengajarkan ilmu pengetahuan, tetapi juga menanamkan keimanan dalam jiwa anak, mendidik anak agar menjalankan nilai-nilai agama di dalam kehidupannya, serta mendidik anak agar berbudi pekerti luhur.

Model Pembelajaran Sentra

Model pembelajaran sentra adalah pendekatan pembelajaran yang dalam proses pembelajarannya dilakukan di dalam ‘lingkaran’ (circle times) dan sentra bermain. Lingkaran adalah saat dimana guru duduk bersama anak-anak dengan posisi melingkar untuk memberikan pijakan sebelum dan sesudah bermain. Sentra bermain adalah zona atau area dengan seperangkat sebagai pijakan lingkungan yang diperlukan untuk mengembangkan seluruh potensi dasar anak didik dalam berbagai aspek perkembangan secara seimbang. Sentra dibuka setiap harinya disesuaikan dengan jumlah kelompok di setiap TK.

Pembelajaran yang berpusat pada sentra dilakukan secara tuntas mulai awal kegiatan sampai akhir dan fokus oleh satu kelompok usia TK dalam satu sentra kegiatan. Setiap sentra mendukung

Page 87: Jurnal Cakrawala September 2015

356

perkembangan anak dalam tiga jenis bermain, yaitu bermain sensorimonitor atau fungsional, bermain peran, dan bermain konstrukstif (membangun pemikiran anak). Bermain sensorimonitor adalah menangkap rangsangan melalui pengindraan dan menghasilkan gerakan sebagai reaksinya. Anak TK belajar melalui pancaindranya dan melalui hubungan fisik dengan lingkungan mereka. Misalnya, menakar air, meremas kertas bekas, menggunting, dan sebagainya.

Bermain peran terdiri dari bermain makro (besar), bermain peran mikro (kecil) atau bermain simbolik, pura-pura, fantasi, imajinasi atau bermain drama. Anak bermain dengan benda untuk membantu menghadirkan konsep yang telah dimilikinya. Sementara itu, bermain konstrukstif menunjukkan kemampuan anak untuk mewujudkan pikiran, ide, dangagasannya menjadi sebuah karya nyata. Ada dua jenis bermain konstruksi, yaitu bermain konstruksi sifat cair (air, pasir, spidol, dan sebagainya) dan bermain konstruksi terstruktur (balok-balok, lego, dan sebagainya).Penerapan model pembelajaran sentra imtakdalam penelitian ini dilakukan dengan lagu gubahan yang bertema Islam. Dengan demikian, diharapkan anak-anak akan antusias dalam belajar karena mereka akan belajar nilai agama dan norma melalui lagu.

METODE DAN PENELITIAN

Penelitian ini menggunakanpenelitian tindakan kelas (PTK). PTK adalah suatu bentuk kajian yang bersifat reflektif oleh pelaku tindakan yang dilakukan untuk meningkatkan kemantapan rasional dari tindakan mereka dalam melaksaanakan tugas, memperdalam pemahaman terahadap tindakan-tindakan yang dilakukan itu, serta memperbaiki kondisi dimana praktik pembelajaran tersebut dilakukan.

Penelitian ini menggunakan model penelitian tindakan dari Kemmis & Taggart

(Akbar, 2009:28), yaitu berbentuk spiral dari siklus satu kesiklus berikutnya. Setiap siklus meliputi rencana, tindakan, pengamatan, dan refleksi. Langkah pada siklus berikutnya adalah perencanaan yang sudah direvisi, tindakan, pengamatan, dan refleksi. Sebelum masuk pada siklus I dilakukan tindakan pendahuluan yang berupa identifikasi permasalahan.

Penelitian ini dilaksanakan tanggal 2 November - 20 Desember 2014, pada semester 1 tahun ajaran 2014/2015.Subjek penelitian adalah anak didik di kelompok B TK Among Putra I, Kabupaten Pacitan, Jawa Timur, dengan jumlah siswa 20 anak.Sebagai subjek pemberi tindakan adalah guru sekaligus peneliti yang dibantu oleh teman sejawat.Teknik pengumpulan data menggunakan1) metode observasi, yaitu melakukan kegiatan pengamatan terhadap aktivitas siswa dan guru selama penelitian berlangsung; 2) metode tes, yaitu penilaian kemampuan anakmenghafalsurat-suratpendek; 3) metode dokumentasi, yaitu mengumpulkan data melalui pengambilan data nilai, data siswa yang telah ada, merekam kegiatan pembelajaran, dan sebagainya.

Untuk mengetahui keefektifan suatu metode dalam kegiatan pembelajaran perlu diadakan analisis data. Penelitian ini menggunakan teknik analisis deskriptif kualitatif, yaitu suatu metode penelitian yang bersifat menggambarkan kenyataan atau fakta sesuai dengan data yang diperoleh dengan tujuan untuk mengetahui hasil belajar yang dicapai anak didik dan untuk memperoleh respons anak didik terhadap kegiatan pembelajaran, serta aktivitas anak didik selama proses pembelajaran.

Penilaian kemampuan menghafal surat pendek menggunakan kriteria dengan tanda bintang. Adapun kriteria tersebut tertuang dalam tabel sebagai berikut.

Page 88: Jurnal Cakrawala September 2015

357

Tabel 1.Kriteria Penilaian Kemampuan Menghafal Surat Pendek

Kriteria Nilai Skor KeteranganMampu tanpa bantuan

**** 4 Sangat baik/BSB

Mampu *** 3 Baik/BSHMampu dengan bantuan

** 2 Cukup/MB

Belum mampu

* 1 Kurang/BB

Keterangan:BSB : Berkembang Sangat BaikBSH : Berkembang Sesuai HarapanMB : Mulai BerkembangBB : Belum Berkembang

Selanjutnya, rata-rata nilai kreativitas untuk hasil pengamatan dapat dirumuskan sebagai berikut.

=

dengan: = nilai rata-rata = jumlah nilai siswa

= jumlah siswa/aspek pengamatan

Selanjutnya ditentukan nilai/skor kreativitas siswa dalam bentuk persentase sebagai berikut.

P = x 100%

Data yang diperoleh dari lembar observasi dan dokumentasi kemudian diolah, dianalisis, dan dibuat simpulannya setelah melalui kegiatan member check, yaitu untuk keabsahan data melalui pengecekan data dengan menggabungkan hasil pengamatan dan dokumentasi.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan identifikasi permasalahan pada awal penelitian, diperoleh simpulan masih rendahnya tingkat pemahaman anak terhadap kemampuan menghafal dengan

harakat dan panjang pendek yang benar. Penyampaian yang terlalu cepat disampaikan oleh guru dan metode yang tradisional membuat anak menjadi bosan. Untuk perbaikan pengelolaaan pembelajaran, alternatif fokus perbaikan pembelajaran pada siklus I adalah mengubah metode pembelajaran menjadi menarik menggunakan media yang lebih menarik sehingga anak-anak akan lebih berminat mengikuti kegiatan.

Capaian prasiklus masih jauh dari harapan. Siswa yang termasuk dalam kategori berkembang sangat baik (BSB) mencapai 4 anak (20%), berkembang sesuai harapan 7 anak (35%), mulai berkembang 5 anak (25%), dan belum berkembang 4 anak (20%). Kalkulasi dari capaian tersebut baru mencapai di angka 55%, yaitu penjumlaan dari BSB dan BSH. Oleh karena itu, kekurangan-kekurangan dalam model pembelajaran konvensional, disempurnakan dengan pelaksanaan siklus (model pembelajaran inovatif).

Siklus 1 dilaksanakan dalam rangka apat 4 anak (20%), anak yang termasuk dalam kategori berkembang sesuai harapan (BSH) terdapat 10 anak (50%). Dengan demikian, capaian dalam persentase baru sebesar 70%, yang hal tersebut tentu masih jauh dari standar di atas 85%. Apalagi bila dicermati dari jumlah siswa yang termasuk kategori mulai berkembang sebanyak 4 anak (20%) dan anak yang termasuk dalam kategori belum berkembang sebanyak 2 anak (10%).

Berdasar pada capaian di atas, dapat dimaknai bahwa pelaksanaan siklus II perlu dilakukan untuk mendapatkan standar angka ketuntasan belajar sebesar 85%. Pelaksanaan siklus II perlu dilaksanakan dengan berbagai macam perbaikan. Capaian pada siklus II mengalami kenaikan yang signifikan. Siswa yang termasuk dalam kategori berkembang sangat baik (BSB) sebanyak 7 anak (35%), kategori

Page 89: Jurnal Cakrawala September 2015

358

berkembang sesuai harapan (BSH) sebanyak 12 anak (60%), sisiwa dalam kategori mulai berkembang 1 anak (5%), dan tidak ada lagi siswa yang termasuk dalam kategori belum berkembang. Gabungan antara berkembang sangat baik (BSB) dan berkembang sesuai harapan (BSH) mencapai angka 955 atau 19 anak. Angka tersebut telah memenuhi kriteria kecukupan keberhasilan proses pembelajaran, yakni minimal 85%. Dengan demikian, siklus III tidak perlu dilaksanakan karena telah mencapai angka di atas 85%.

Pelaksanaan pembelajaran mulai dari prasiklus, siklus I, sampai siklus II mengalami kemajuan signifikan. Hal yang perlu mendapatkan perhatian adalah terjadi perbedaan mencolok antara model pembelajaran konvensional dengan pembelajaran inovatif. Pelaksanaan prasiklus yang terkesan monoton membuat siswa kurang antusias dalam mengikuti kegiatan belajar mengajar. Model pembelajaran konvensional masih mengedepankan teacher center, yang berarti bahwa keikutsertaan siswa masih sangat minim. Hal inilah yang menyebabkan siswa kurang bisa berkonsentrasi karena merasa tidak ada beban dalam dirinya.

Berdasarkan capaian di atas, dapat dikatakan bahwa dalam pembelajaran yang berkaitan penanaman ajaran nilai-nilai agama dan moral penerapan model pembelajaran sentra imtak sangat efektif. Selain model pembelajaran sentra imtak, inovasi yang dilakukan guru, misalnya dengan menggubah lagu membuat pembelajaran semakin menyenangkan dan membuat anak antusias dalam mengikuti proses atau kegiatan belajar mengajar.

PENUTUPBerdasarkan hasil dan pembahasandi

atas, dapat diambil simpulan sebagai berikut. Pertama, semua siswa mengalami

peningkatan skor, mulai dari prasiklus sampai dengan siklus II, kecuali 1 siswa.Angka capaian prasiklus ke siklus I menunjukkan perkembangan yang signifikan. Capaian prasiklus, anak-anak yang termasuk dalam kategori berkembang sangat baik (BSB) dari 4 siswa tetap 4 siswa (20%) dan pada siklus II mengalami kenaikan menjadi 7 siswa (35%). Siswa termasuk dalam kategori berkembang sesuai harapan juga mengalami perkembangan dari prasiklus (7 anak atau 35%) menjadi 10 anak (50%) dan siklus II naik lagi menjadi 12 anak (60%). Sedangkan, siswa yang termasuk dalam kategori mulai berkembang (MB) mengalami penurunan dari prasiklus, siklus I, dan siklus II. Adapun penurunan tersebut tampak dari 5 anak (35%) menjadi 4 anak (20%) pada siklus I dan menjadi 1 anak (5%) pada siklus II. Hal yang sama terjadi pada kategori belum berkembang (BB) dari prasiklus sejumlah 4 anak (20%) menjadi 2 anak (10%) pada siklus I dan menjadi 0% pada siklus II. Kedua, pelajaran agama dengan penerapan model pembelajaran sentra, khususnya sentra imtak sangat membantu anak untuk menghafal surat pendek. Anak menjadi lebih antusias, konsentrasi, percaya diri, dan berani mengemukakan ide dalam memerankan tokohnya.

Berdasarkan simpulan di atas, penulis menyampaikan saran sebagai berikut. Pertama, dalam melakukan kegiatan menghafal, sebaiknya guru menggunakan variasi metode pembelajaran yang menarik minat anak agar dapat meningkatkan kreativitas anak dan mencapai hasil yang lebih optimal. Kedua, untuk mengembangkan anak dalam menghafal, guru sebaiknya tidak terpaku pada satu model pembelajaran, tetapi dapat menggabungkan dua atau tiga model dalam rangka mencapai hasil yang maksimal. Ketiga, untuk memperoleh hasil penelitian data yang lebih baik, pengamatan untuk penelitian lanjutan sebaiknya dilakukan oleh lebih dari satu pengamat sehingga diperoleh objektivitas data.

Page 90: Jurnal Cakrawala September 2015

359

DAFTAR PUSTAKA

Akbar, Sa’dun. 2009. Penilaian Tindakan Kelas. Yogyakarta: Cipta Media Aksara.

Depdiknas. 2008. Pengembangan Model Pembelajaran di Taman Kanak-kanak. Jakarta: Depdiknas.

________. 2010. Kumpulan Pedoman Pembelajaran Taman Kanak-kanak. Jakarta: Kementerian Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pembinaan Taman Kanak-kanak dan Sekolah Dasar.

________. 2010. Pedoman Pembelajaran Bidang Pengembangan Kognitif di Taman Kanak-kanak. Jakarta: Kementerian Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pembinaan Taman Kanak-kanak dan Sekolah Dasar.

PP Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan.

Page 91: Jurnal Cakrawala September 2015

360

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN SENTRAUNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERBAHASA PADA SISWA TK TAMAN INDRA JAYA KABUPATEN PACITAN, JAWA TIMUR TAHUN AJARAN 2014/2015

Siti NuraeniTK Taman Indra Jaya, Kabupaten Pacitan, Jawa Timur

ABSTRACTThis study aims to determine the effectiveness of language learning model centers

in improving the language skills of early childhood. Research conducted at TK Park Indra Jaya, Pacitan, East Java. Data collected by observation (observation) and documentation. The subjects were students group B TK Park Indra Jaya, Pacitan, East Java. The number of students who become research subjects are as many as 20 students. Data analysis techniques used in this research is descriptive technique kompratif and critical analysis. The results showed that the achievement of the implementation cycle numbers I and II increased so that the application of the model approach language learning centers can improve children’s ability to speak/tell in kindergarten Taman Indra Jaya, Pacitan.

Keywords: model of learning, language centers, speaking skills

ABSTRAKPenelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas penerapan model pembelajaran

sentra bahasa dalam meningkatkan kemampuan berbahasa anak usia dini. Penelitian dilaksanakan di TK Taman Indra Jaya, Kabupaten Pacitan, Jawa Timur. Pengumpulan data dilakukan dengan observasi (pengamatan) dan dokumentasi. Subjek penelitian ini adalah siswa kelompok B TK Taman Indra Jaya, Kabupaten Pacitan, Jawa Timur. Jumlah siswa yang menjadi subjek penelitian adalah sebanyak 20 siswa. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik deskriptif kompratif dan analisis kritis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa capaian angka dari pelaksanaan siklus I dan II terjadi peningkatan sehingga penerapan pendekatan model pembelajaran sentra bahasa dapat meningkatkan kemampuan anak dalam berbicara/bercerita pada siswa TK Taman Indra Jaya, Kabupaten Pacitan.

Kata kunci: model pembelajaran, sentra bahasa, keterampilan berbicara

PENDAHULUAN

Kemampuan berbahasa pada seorang anak tidak serta-merta diperoleh, tetapi membutuhkan proses pembelajaran. Hal ini karena kemampuan berbahasa seseorang bukan berasal faktor keturunan (genetis). Artinya, tidak menjamin jika kedua orang tua mempunyai bahasa yang baik, maka anaknya serta merta demikian tanpa proses pembelajaran yang benar.Anak-anak akan belajar bahasanya pada masa-masa pertama dalam hidupnya. Lembaga taman kanak-kanak sebagai lembaga pertama di

luar rumah yang digeluti anak hendaknya mempunyai program pengembangan anak yang efektif dan efisien, menarik, dan tepat guna.

Dewasa ini peran sinetron, film kartun, dan game sangat luar biasa dalam mempengaruhi bahasa anak. Anak-anak cenderung menggunakan bahasa gaul, bahasa-bahasa orang dewasa, bahkan bahasa-bahasa yang sebenarnya tidak layak digunakan karena mengandung makna ancaman, penghinaan, bahkan pisuhan. Anak-anak yang belum paham tentang

Page 92: Jurnal Cakrawala September 2015

361

hal tersebut dengan sangat mudah dan enjoy menyampaikan hal tersebut karena mereka belum paham apa sebenarnya yang diucapkannya dan bahkan dengan percaya diri menyampaikan bahasa berupa kata-kata yang sebenarnya secara budaya tidak dibenarkan. Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya-upaya jitu untuk meminimalkan hal tersebut.

Mencermati hal tersebut, penulis tertarik melakukan kajian berkaitan dengan pembelajaran berbicara dengan model pembelajaran sentra bahasa, khususnya cerita bergambar di TK Indra Jaya Desa, Kabupaten Pacitan, Jawa Timur. Banyak siswa yang masih malu berbicara di depan teman-temannya. Hal ini terlihat dari interaksi yang dilakukan guru dengan siswa, serta melihat keseharian siswa yang masih malu-malu bila diminta guru bercerita di depan kelas

Melihat kondisi yang seperti ini penulis mencoba meningkatkan kemampuan anak dalam berkomunikasi melalui model pembelajaran sentra bahasa, khususnya mengasah kemampuan anak untuk mengekspresikan diri mengungkapkan bahasanya melalui cerita bergambar. Dalam hal ini, anak-anak akan dikenalkan dan dilatih dengan berbagai karakter, berekspresi gembira, sedih, marah, dan sebagainya berdasarkan naskah yang telah dibuat guru. Strategi meningkatkan kemampuan anak dalam berbahasa dengan model pembelajaran sentra bahasa ini perlu diterapkan untuk mengganti metode konvensional dalam pembelajaran berbahasa di TK Taman Indra Jaya, Kabupaten Pacitan. Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah model pembelajaran sentra bahasa dapat meningkatkan kemampuan anak mengungkapkan ceritanya melalui media cerita bergambar di TK Taman Indra Jaya, Kabupaten Pacitan, Jawa Timur?

Pemerolehan Bahasa Anak Usia Dini dan Perkembangan Psikologis

Bahasa diperoleh seorang anak dengan proses pembelajaran. Oleh karenanya, proses dalam pemerolehan tersebut lebih penting daripada sekadar hasil akhir. Kualitas proses pemerolehan bahasa akan menentukan kualitas bahasa anak-anak pada masa yang akan datang. Ada tiga tahap perkembangan bahasa anak yang menentukan tingkat perkembangan berpikir, yaitu tahap eksternal, egosentris, dan internal.

Tahap eksternal, yaitu tahap berpikir dengan sumber berpikir anak yang berasal dari luar dirinya. Sumber eksternal tersebut terutama berasal dari orang dewasa yang memberi pengarahan kepada anak dengan cara tertentu. Misalnya, orang dewasa bertanya kepada seorang anak, “Apa yang sedang kamu lakukan?”, kemudian anak tersebut meniru pertanyaan, “Apa?”, lalu orang dewasa memberikan jawabannya, “Melompat”.

Tahap egosentris, yaitu suatu tahap ketika pembicaraan orang dewasa tidak lagi menjadi persyaratan. Dengan suara khas, anak berbicara seperti jalan pikirannya. Misalnya “saya melompat”, “ini kaki”, “ini mata” dan sebagainya.

Tahap internal, yaitu tahap ketika anak dapat menghayati proses berpikir. Misalnya, seorang anak sedang menggambar kucing. Pada tahap ini, anak memproses pikirannya dengan pikirannya sendiri, “Apa yang harus saya gambar? Saya tahu saya sedang menggambar kaki sedang berjalan”.

Kemampuan berbahasa merupakan hasil kombinasi seluruh sistem perkembangan anak karena kemampuan bahasa sensitif terhadap keterlambatan atau kerusakan pada sistem yang lain. Kemampuan berbahasa melibatkan kemampuan motorik dan kemampuan anak untuk berbahasa

Page 93: Jurnal Cakrawala September 2015

362

terjadi secara bertahap sesuai dengan perkembangan usianya.

Setiap proses pemerolehan bahasa akan menjadi hal penting dan dapat menjadi pijakan untuk proses selanjutnya. Pada usia 4 - 5 tahun ciri umum perkembangan bahasa anak, antara lain 1) mampu membuat kalimat yang terdiri dari 4 – 5 kata; 2) mampu mengeluarkan kalimat negatif, kalimat tanya, dan kalimat pasif yang tepat; 3) mampu menggunakan kalimat kompleks dan multikausal (hubungan sebab-akibat); 4) belajar menggunakan kata sambung untuk mengungkapkan cerita; 5) bicara keras pada diri sendiri tanpa ada maksud berkomunikasi; dan 6) mulai dapat memainkan peran orang yang lebih dewasa dari usianya.

Selanjutnya, pada usia 4 - 5 tahun anak dapat 1) menerima pesan sederhana dan menyampaikan pesan tersebut; 2) berbicara lancar dengan menggunakan kalimat yang kompleks terdiri dari 5 - 6 kata; 3) bercerita menggunakan kata ganti aku, saya, kamu, dia, mereka; 4) melakukan percakapan dengan teman sebaya atau ornag dewasa; 5) memberikan keterangan yang berhubungan dengan posisi/keterangan tempat, misalnya di luar, di dalam, di atas, di bawah, di muka, di depan, di belakang, di kiri, di kanan, dan sebagainya.

6) menggunakan kata-kata yang menunjukkan urutan; 7) membuat gambar dan menceritakan isi gambar dengan beberapa coretan/tulisan yang sudah berbentuk huruf/kata; 8) mengurutkan dan menceritakan isi gambar seri (4 - 6 gambar); 9) membaca buku cerita bergambar dan menceritakannya; 10) menghubungkan dan menyebutkan tulisan sederhana dengan simbol yang melambangkannya; 11) membaca beberapa kata berdasarkan gambar, huruf-huruf, dan lambang yang dikenal atau dilihat; 12) membacakan cerita sederhana, 13) membuat coretan/tulisan

yang berbentuk huruf/kata berdasarkan gambar yang dibuatnya (Depdiknas, 2010).

Anak-anak usia taman kanak-kanak menurut Erikson berada pada tahap inisiatif. Ciri perkembangan psikologis anak-anak usia taman kanak-kanak adalah sebagai berikut. Pertama, keterampilan sosial berkembang dengan pesat, seperti anak-anak sangat senang dengan kegiatan bermain peran. Kedua, anak mengalami perkembangan kognisi sensori-motorik ke arah praoperasional. Anak-anak pada masa ini harus diberi kesempatan untuk menemukan tiga jenis kemampuan, yaitu kemampuan sosial, kemampuan logika/matematika, dan kemampuan fisik. Ketiga, anak-anak pada masa ini sangat senang bermain. Ada empat jenis permainan yang dialami anak, yaitu bermain pembangunan (konstruktif), sensori-motor, bermain peran, dan bermain dengan aturan (Piaget, 1933). Smilansky (1990) menekankan pentingnya bermain peran. Wolfgang (1977) menekankan pentingnya proses bermain berkelanjutan mulai dari yang sederhana menuju kompleks. Vygotsky (2004) menyarankan bahwa anak usia TK perlu diberi pengalaman bermain (Depdiknas, 2010).

Pentingnya Proses Pembiasaan Berbahasa pada Anak Usia Dini

Bahasa yang telah diperoleh anak sejak ia lahir ke dunia perlu terus dikembangkan. Pengembangan bahasa melibatkan aspek sensori-motor terkait dengan kegiatan mendengar, kecakapan memaknai, dan produksi suara. Kondisi ini sudah dibawa anak mulai lahir. Cowlley mengistilahkan sebagai brains wired for the task. Sementara Skinner mempercayai bahwa kapasitas berbahasa telah dibawa setiap anak semenjak ia dilahirkan yang diistilahkan sebagai a language acquisition device program into the brain. Dengan demikian, lingkunganlah yang selanjutnya turut memperkaya bahasa

Page 94: Jurnal Cakrawala September 2015

363

anak dengan baik. Dalam hal ini, peran orang tua dan pendidik sangat mutlak karena penyiapan diri dan lingkungan kondusif perlu dilakukan agar perkembangan bahasa anak berjalan secara optimal.

Hart dan Ristley telah melakukan riset berkaitan dengan bagaimana lingkungan mempengaruhi perkembangan bahasa anak. Hasil riset menunjukkan bahwa anak-anak yang diasuh dalam keluarga yang berpendidikan jauh lebih kaya kosakatanya dibandingkan dengan keluarga kurang berpendidikan. Oleh karenanya, mereka kehilangan kesempatan mengembangkan bahasanya dan komunikasi produktif jarang terjadi. Korelasi positif antara berbahasa secara verbal dengan perkembangan intelektual akan diwujudkan saat anak-anak berusia 9 - 10 tahun. Eratnya kaitan antara perkembangan bahasa dengan kemampuan intelektual selayaknya dipahami oleh para pendidik di TK agar proses pembelajaran bahasa dapat dilakukan secara patut melalui berbagai cara yang kreatif.

Vygotsky mengatakan bahwa pesan budaya dalam pengembangan bahasa anak sangat berpengaruh. Teori sosiokultural kognisi yang digagasnya memainkan perannya dalam kemampuan anak secara individu, terkait dengan pengalaman sosial dan cara berpikir. Vygotsky memfokuskan bagaimana pentingnya antara kemampuan pendidik sebagai fasilitator yang memainkan perannya sebagai tools of the mind mendampingi anak sehari-hari. Pengembangan bahasa di TK diarahkan agar peserta didik mampu menggunakan dan mengekspresikan pemikiran dengan menggunakan kata-kata.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pengembangan bahasa lebih diarahkan agar peserta didik di TK dapat melakukan berbagai hal sebagai berikut. Pertama, mengolah kata secara komprehensif. Kedua, mengekpresikan kata-

kata tersebut dalam bahasa tubuh (ucapan dan perbuatan) yang dapat dipahami oleh orang lain. Ketiga, mengerti setiap kata, mengartikan dan menyampaikannya secara utuh kepada orang lain. Keempat, berargumentasi dan meyakinkan orang melalui kata-katanya sendiri.

Anak mulai menggunakan tiga sistem isyarat (graphonic, semantic, dan syntatic) secara bersama-sama pada saat membaca permulaan. Anak tertarik pada bacaan, mulai mengingat kembali cetakan pada konteksnya, berusaha mengenal tanda-tanda pada lingkungan, serta membaca berbagai tanda, seperti kotak susu, pasta gigi, atau papan iklan. Pada tahap keempat ini, orang tua dan guru tetap membacakan sesuatu untuk anak-anak sehingga mendorong anak membaca sesuatu pada berbagai situasi. Orang tua dan guru jangan memaksa anak membaca huruf secara sempurna.

Dalam pengembangan kemampuan membaca di TK, terdapat beberapa pendekatan yang dilakukan melalui berbagai bentuk permainan. Beberapa pendekatan yang dimaksud di antaranya adalah metode sintesis, metode global, dan metode whole-linguistic. Metode sintesis yang didasarkan pada teori asosiasi, memberikan suatu pengertian bahwa suatu unsur (misalnya unsur huruf) akan bermakna apabila unsur tersebut bertalian atau dihubungkan dengan unsur lain (huruf lain) sehingga membentuk suatu arti.

Unsur huruf tidak akan memiliki makna apa-apa kalau tidak bergabung (sintesis) dengan unsur (huruf) lain sehingga membentuk suatu kata, kalimat, atau cerita yang bermakna. Atas dasar itu, permainan membaca dimulai dari unsur huruf. Permainan membaca ini dilakukan dengan menggunakan bantuan gambar pada setiap kali memperkenalkan huruf, misalnya huruf a disertai gambar ayam, angsa, anggur, apel, dan sebagainya.

Page 95: Jurnal Cakrawala September 2015

364

Selain metode di atas, terdapat permainan membaca pada anak dengan menggunakan metode global. Metode ini didasarkan pada teori ilmu jiwa keseluruhan (gestalt). Dalam metode ini, anak pertama kali memaknai segala sesuatu secara keseluruhan. Keseluruhan memiliki makna yang lebih dibandingkan dengan unsur-unsurnya. Kedudukan setiap unsur, hanya berarti jika memiliki kedudukan fungsional dalam suatu keseluruhan. Sebagai contoh, unsur “a” hanya bermakna, jika “a” ini fungsional dalam kata atau kalimat, misalnya “ayam berlari”. Atas dasar ini, metode global memperkenalkan membaca permulaan pada anak yang dimulai dengan memperkenalkan “kalimat”. Kalimat dalam permainan membaca permulaan ini dipilih dari kalimat perintah agar anak melakukan hal-hal yang ada dalam perintah tersebut, seperti “ambil apel itu”. Permainan ini dapat dilakukan dengan menggunakan kartu kalimat, kata, pecahan suku kata, dan huruf. Kegiatan permainan ini dapat dilakukan dengan menggunakan papan flanel dan karton yang dapat ditempel (Depdiknas, 2008: 10 - 11).

Model Pembelajaran Sentra

Model pembelajaran sentra adalah pendekatan pembelajaran yang proses pembelajarannya dilakukan di dalam ‘lingkaran’ (circle times) dan sentra bermain. Lingkaran adalah saat dimana guru duduk bersama anak-anak dengan posisi melingkar untuk memberikan pijakan sebelum dan sesudah bermain.Sentra bermain adalah zona atau area dengan seperangkat sebagai pijakan lingkungan yang diperlukan untuk mengembangkan seluruh potensi dasar anak didik dalam berbagai aspek perkembangan secara seimbang. Sentra dibuka setiap harinya disesuaikan dengan jumlah kelompok di setiap RA.

Pembelajaran yang berpusat pada sentra dilakukan secara tuntas mulai awal

kegiatan sampai akhir dan fokus oleh satu kelompok usia dalam satu sentra kegiatan. Setiap sentra mendukung perkembangan anak dalam tiga jenis bermain, yaitu bermain sensorimonitor atau fungsional, bermain peran, dan bermain konstruktif (membangun pemikiran anak).

Bermain sensorimonitor adalah menangkap rangsangan melalui penginderaan dan menghasilkan gerakan sebagai reaksinya. Anak belajar melalui pancaindranya dan melalui hubungan fisik dengan lingkungan mereka. Misalnya, menakar air, meremas kertas bekas, menggunting, dan sebagainya. Bermain peran terdiri dari bermain makro (besar), bermain peran mikro (kecil) atau bermain simbolik, pura-pura, fantasi, imajinasi atau bermain drama. Anak bermain dengan benda untuk membantu menghadirkan konsep yang telah dimilikinya.

Bermain konstrukstif menunjukkan kemampuan anak untuk mewujudkan pikiran, ide, dan gagasannya menjadi sebuah karya nyata. Ada dua jenis bermain konstruksi, yaitu bermain konstruksi sifat cair, (air, pasir, spidol, dan sebagainya) dan bermain konstruksi terstruktur (balok-balok, lego, dan sebagainya).

METODE PENELITIAN

Metode dalam penelitian ini meliputi dua hal besar, yaitu metode penyediaan data dan metode analisis data. Penyediaan data atau pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan observasi (pengamatan). Selain itu, juga menggunakan teknik dokumentasi, yakni mendokumenkan segala hal yang berkaitan dengan pengamatan dalam rangka mencapai pembenaran.Subjek penelitian adalah siswa kelompok B TK Taman Indra Jaya, Kabupaten Pacitan, Jawa Timur. Jumlah siswa yang menjadi subjek penelitian adalah sebanyak 20 siswa.

Page 96: Jurnal Cakrawala September 2015

365

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik deskriptif kompratif dan analisis kritis.Teknik deskriptifkompratif digunakan untuk data kuantitatif, yaitu dengan membandingkan hasil antarsiklus. Analisis ini juga digunakan untuk menghitung nilai atau skor yang diperoleh siswa, yaitu besarnya peningkatan kemampuan dalam berbahasa. Hasil komparasi tersebut digunakan untuk mengetahui indikator keberhasilan dan kegagalan pada setiap siklus. Indikator yang belum tercapai diperbaiki pada siklus berikutnya.

Sementara itu, teknik analisis kritis berkaitan dengan data kualitatif, yaitu mencakup kegiatan untuk mengungkapkankelemahan dan kelebihan kinerja siswa dan guru dalam proses pembelajaran berdasarkan kriteria normatif. Hasil analisis tersebut dijadikan dasar dalam penyusunan perencanaan tindakan untuk tahap berikutnya.Sedangkan, kriteria untuk mengukur tingkat pencapaian keberhasilan dalam penelitian dinyatakantelah mencapai tujuan pembelajaran jika total jumlah anak yang dinyatakan mampu mencapai di atas 85%.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Siklus I telah dilaksanakan dengan prosedur sesuai dengan pembelajaran sentra. Adapun data yang diperoleh sebagai berikut.Siswa yang termasuk dalam kategori berkembang sangat baik (BSB) sebanyak 4 siswa (20%), berkembang sesuai harapan (BSH) sebanyak 10 siswa (50%), mulai berkembang (MB) 5 siswa (25%), dan belum berkembang (BB) 2 siswa (10%). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa capaian keberhasilan proses pembelajaran, utamanya dalam hal bercerita dengan menggunakan media gambar sebesar 70% (14 anak). Capaian tersebut mengindikasikan bahwa treatment atau pelaksanaan siklus II perlu

dilaksanakan karena belum mencapai angka di atas 85%.

Pelaksanaan siklus II dengan segala bentuk perbaikan telah menghasilkan data sebagai berikut. Anak-anak belum berkembang sudah mengalami kemajuan luar biasa. Mereka mulai menyesuaikan diri dan mulai mau berinteraksi dengan teman-temannya. Namun demikian, masih ada anak yang baru dalam tahap mulai berkembang (MB), yaitu 2 anak (10%), namun tidak ada lagi anak yang termasuk dalam kategori belum berkembang (BB).

Berdasar pada data di atas dapat dikatakan bahwa tingkat ketercapaian pelaksanaan siklus II telah mencapai angka di atas 90%, yang merupakan penjumlahan dari anak yang termasuk dalam kategori berkembang sesuai harapan (BSH) sebanyak 13 anak (65%) dan anak yang termasuk dalam kategori berkembang sangat baik (BSB) sebanyak 5 anak (25%). Dengan demikian, siklus II tidak perlu dilakukan karena telah mencapai angka 90% atau di atas 85%.

Perencanaan pembelajaran menggunakan pendekatan model pembelajaran sentra, khususnya sentra bahasa dalam meningkatkan kemampuan berbicara pada anak usia dini di TK Taman Indra Jaya, Kabupaten Pacitan, Jawa Timur membawa perubahan signifikan. Hal yang paling utama dalam penerapan pendekatan ini adalah kemampuan dan keberanian anak untuk berkomunikasi dan berinteraksi dengan teman sebanya.

Model pembelajaran sentra, khususnya sentra bahasa sangat menarik bagi anak-anak karena anak disuguhi objek secara langsung dan mempraktikannya sehingga mereka merasa menjadi bagian yang penting. Pelibatan anak-anak dalam proses pembelajaran dengan model pembelajaran sentra bahasa, sangat menarik bagi anak-anak karena mereka menjadi bagian penting dalam terselenggaranya sebuah pementasan

Page 97: Jurnal Cakrawala September 2015

366

mini. Oleh karena itu, anak mampu berpikir cerdas, cermat, dan kreatif karena mereka diajarkan bertanggung jawab dengan peran masing-masing.

Model pembelajaran sentra bahasa juga sangat bermanfaat bagi guru. Hal ini disebabkan guru akan semakin tertantang untuk memberikan hal-hal yang manarik dalam kehidupan (live skill education) sehingga anak-anak akan tumbuh menjadi manusia-manusia pembelajar. Selain itu, aktivitas yang dilakukan guru, seperti menentukan bahan pelajaran dan merumuskan tujuan, pengelolaan dan pengorganisasian anak, mengembangkan materi media (alat peraga) pembelajaran, merencanakan skenario kegiatan, merencanakan pengelolaan kelas dan menyiapkan alat penilaian, jugadapat membantu mengembangkan dan meningkatkan tingkat kecerdasan anak, menjadi titik tekan yang tidak kalah penting.

Perencanaan yang dilakukan oleh guru dapat membantu pelaksanaan pembelajaran dan tindakan kelas sehingga pembelajaran dapat dilakukan sesuai dengan sistematika perencanaan. Selain itu, perencanaan yang dilakukan dapat dikategorikan “baik” karena sesuai dengan teori.Langkah-langkah pembelajaran dengan penerapan model pembelajaran sentra bahasa untuk meningkatkan kemampuan dan keberanian anak dalam berbicara siswa kelompok B TK Taman Indra Jaya, Kabupaten Pacitan sangat menunjang kegiatan pembelajaran, utamanya sangat mendukung dalam meningkatkan kecerdasan dan kreativitas

anak. Kecerdasan dan kreativitas anak yang dimaksud berkaitan dengan kemampuan dan keberanian berbahasa.

Peningkatan kreativitas anak dengan model pembelajaran sentra bahasa pada anak usia dini di TK Taman Indra Jaya, Kabupaten Pacitan dapat dikatakan berhasil. Hal ini dapat diketahuidari adanya peningkatan kualitas/kemampuan siswa dalam bercerita dengan media gambar. Adapun capaian tersebut sebagai berikut. Siswa yang termasuk dalam kategori berkembang sangat baik (BSB) dari siklus I sebanyak 4 anak (20%) menjadi 5 anak (25%). Siswa dalam kategori berkembang sesuai harapan (BSH) dari 10 anak (50%) menjadi 13 anak (65%). Sementara itu, jumlah siswa yang termasuk dalam kategori mulai berkembang sebanyak 5 anak (25%) pada siklus I menjadi 2 anak (10%). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa penerapan model pembelajaran sentra bahasa mampu meningkatkan kemampuan anak dalam hal berbahasa, utamanya dalam hal bercerita.

PENUTUP

Berdasarkan hasil dan pembahasan di atas, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut. Pertama, penerapan pendekatan model pembelajaran sentra bahasa dapat meningkatkan kemampuan anak dalam berbicara/bercerita pada siswa TK Taman Indra Jaya, Kabupaten Pacitan. Kedua, metode serta perilaku guru dalam menyampaikan materi merupakan kunci efektifnya proses belajar mengajar di TK Taman Indra Jaya, Kabupaten Pacitan.

Page 98: Jurnal Cakrawala September 2015

367

DAFTAR PUSTAKA

Chaer, Abdul. 2003. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.

_________. 2009. Psikolinguistik: Kajian Teoretik. Jakarta: Rineka Cipta.

Dardjowidjojo, Soenjono.2000. Echa: Kisah Pemerolehan Bahasa Anak Indonesia.Jakarta: Grasindo.

Depdiknas. 2008. Pengembangan Model Pembelajaran di Taman Kanak-kanak. Jakarta: Depdiknas.

Nababan, Sri Utari Subyakto. 1992. Psikolinguistik: Suatu Pengantar. Jakarta: Gramedia.

Page 99: Jurnal Cakrawala September 2015

368

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF MODEL TGT DENGAN MEDIA MONOPOLI DILENGKAPI KARTU SOAL

UNTUK MENINGKATKAN AKTIVITAS DAN PRESTASI BELAJAR SISWA KELAS X3 SMA NEGERI 1 PULOKULON TAHUN PELAJARAN 2014 - 2015

Sri Pusporini

SMA Negeri 1 PulokulonAlamat korespondensi: [email protected] / 085740730400

ABSTRACTThis classroom action research aims to determine the application of cooperative

learning of TGT model with monopoly media card comes in a matter of increasing the activity of learning and student achievement X3 class SMA Negeri 1 Pulokulon in the school year 2014 - 2015. This research is a class action (classroom action research) that consists of two cycles. There are four stages of each cycle consisting of action planning, action, observation and reflection. The subjects were students of class X3 SMA Negeri 1 Pulokulon Academic Year 2014 - 2015. The data obtained through observation, testing, and documentation. The data analysis technique used is descriptive qualitative analysis. The results showed that the application of cooperative learning of TGT (Teams Games Tournament) aided monopoly media about the card features can improve the quality of the learning process in a redox reaction, ie from the first cycle to the second cycle of 2%. In addition, the implementation of cooperative learning model TGT models equipped with the monopoly media about the card can improve learning outcomes of Chemistry students on material redox reactions and nomenclature of chemical compounds, to the affective domain of 5.85% and cognitive by 12%.

Keywords: teams tournament games, monopoly, cards matter

ABSTRAKPenelitian tindakan kelas ini bertujuan untuk mengetahui penerapan pembelajaran

kooperatif model TGT dengan media monopoli dilengkapi kartu soal dalam meningkatkan aktivitas belajar dan prestasi belajar siswa kelas X3 SMA Negeri 1 Pulokulon Tahun Pelajaran 2014 - 2015. Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas (classroom action research) yang terdiri dari dua siklus. Setiap siklusnya terdapat empat tahapan yang terdiri dari perencanaan tindakan, pelaksanaan tindakan, observasi dan refleksi. Subjek penelitian ini adalah siswa kelas X3 SMA Negeri 1 Pulokulon Tahun Ajaran 2014 - 2015. Data diperoleh melalui pengamatan, tes, dan dokumentasi. Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis deskriptif kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan pembelajaran kooperatif TGT (Teams Games Turnament) berbantuan media monopoli dilengkapi kartu soal dapat meningkatkan kualitas proses belajar pada reaksi redoks, yaitu dari siklus I ke siklus II sebesar 2%. Selain itu, penerapan model pembelajaran kooperatif model TGT dengan media monopoli dilengkapi kartu soal dapat meningkatkan hasil belajar Kimia siswa pada materi reaksi redoks dan tatanama senyawa kimia, untuk ranah afektif sebesar 5,85% dan ranah kognitif sebesar 12%.

Kata kunci: teams games turnament, monopoli, kartu soal

Page 100: Jurnal Cakrawala September 2015

369

PENDAHULUAN

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara. Hasil akhir dari pembelajaran tidak hanya peserta didik memiliki prestasi akademik, tetapi juga bemanfaat bagi lingkungan. Untuk itu, pemerintah selalu berupaya menyelenggarakan sistem pendidikan yang terbaik. Salah satu upaya pemerintah adalah menerapkan kurikulum yang terbaik untuk bangsa ini, yaitu KTSP dan saat ini mulai mengenalkan Kurikulum 2013.

Proses pembelajaran pada satuan pendidikan seharusnya diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, dan memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, kemampuan berpikir, dan kemandirian dalam menyelesaikan masalah, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. Dalam hal ini, peserta didik bukan objek dari pembelajaran, namun sebagai subjek. Peserta didik tidak hanya pasif menerima pengetahuan, tetapi harus berupaya memperoleh pengetahuannya melalui aktivitas pembelajaran. Guru wajib menyelenggarakan pembelajaran yang menyenangkan dan mampu memotivasi peserta didik sehingga peserta didik dalam pembelajaran aktif untuk bertanya, mencari pemecahan masalah, maupun mengungkapkan ide-ide. Dengan terlibat aktif dalam pembelajaran, belajar lebih bermakna dan prestasi belajar peserta didik pun meningkat.

Kenyataannya, tidak semua peserta didik aktif dalam pembelajaran. Peserta

didik cenderung pasif dan menjadikan guru sebagai sumber belajar utama. Hal ini dikarenakan peserta didik terbiasa menerima materi pelajaran secara verbal sehingga guru sulit untuk mengubah cara belajar peserta didik meskipun metode pembelajaran yang mengaktifkan siswa mulai dikembangkan dan divariasikan. Di SMA Negeri 1 Pulokulon, guru mulai menggunakan media yang disesuaikan dengan kemajuan teknologi. Selain itu, guru terus berusaha menggunakan metode yang sesuai dengan karakteristik peserta didik. Misalnya, pada pembelajaran Kimia kelas X3 untuk materi larutan elektrolit dilakukan eksperimen di laboratorium. Dari 33 peserta didik, 15 peserta didik aktif mencoba demonstrasi, 5 peserta didik mengajukan pertanyaan, dan ada 1 kelompok yang tidak siap dengan alat dan bahan untuk praktikum. Bahkan, ada beberapa siswa yang berjalan mondar-mandir tanpa tujuan yang jelas berkeliling kelompok untuk membandingkan hasil kerja mereka. Ada pula siswa yang kurang memahami, bahkan tidak membaca prosedur kerja. Hal tersebut menunjukkan rendahya keaktifan siswa dalam pembelajaran yang berdampak pada rendahnya prestasi belajar siswa. Rendahnya prestasi belajar siswa terlihat siswa yang mencapai KKM kurang dari 67% meskipun larutan elektrolit tergolong materi yang tidak sulit.

Meskipun peserta didik telah mulai dikelompokkan, namun belum membawa dampak yang signifikan dalam proses pembelajaran maupun hasil belajar. Hal ini mendorong guru untuk memperbaiki pola kolaborasi siswa dalam belajar. Model pembelajaran kooperatif memiliki kriteria tertentu dalam pengelompokkan. Salah satu model pembelajaran kooperatif adalah pembelajaran Teams Games Turnament (TGT). TGT tepat diterapkan untuk materi pembelajaran Kimia. Metode ini menghendaki siswa bekerja sama dan saling membantu dalam kelompok kecil yang terdiri dari 4 - 5

Page 101: Jurnal Cakrawala September 2015

370

orang. Tujuan dari pembelajaran kooperatif TGT adalah menciptakan situasi diskusi dan pembagian kerja sehingga keberhasilan kelompok ditentukan oleh keberhasilan anggota dalam kelompok itu sendiri. Oleh sebab itu, seorang anggota akan berusaha mengerjakan tugas dalam kelompok agar kelompok itu berhasil. Selain itu, salah satu langkah dalam penerapan metode TGT adalah adanya games-turnament. Kegiatan ini dapat menambah dimensi kegembiraan pada saat proses pembelajaran berlangsung (Slavin, 2005: 14). Dengan adanya tournament, diharapkan aktivitas siswa dalam kelompoknya meningkat dan memotivasi kelompok untuk bekerja bersama. Adanya games diharapkan membuat pembelajaran lebih menarik dan meningkatkan antusisas siswa. Dengan meningkatnya keaktifan siswa, diharapkan prestasi belajar siswa pun meningkat.

Penerapan pembelajaran TGT dalam penelitian ini menggunakan sistem permainan akademik berupa monopoli yang dilengkapi dengan kartu soal. Dengan adanya permainan akademik ini, diharapkan siswa tertarik dalam pembelajaran Kimia, serta mengarahkan siswa dalam suasana kerja sama. Penelitian Sari (2013) menunjukkan bahwa TGT mampu meningkatkan keaktifan dan hasil belajar siswa kelas XI IPS pada pokok bahasan turunan. Dengan berhasilnya pembelajaran di kelas XI IPS, diharapkan penerapan TGT juga mampu meningkatkan keaktifan dan hasil belajar siswa kelas X dalam mata pelajaran Kimia.

Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini antara lain sebagai berikut. Pertama, untuk mengetahui penerapan model pembelajaran kooperatif model TGT dengan media monopoli dilengkapi kartu soal dalam meningkatkan aktivitas belajar siswa materi reaksi redoks dan tatanama senyawa kimia kelas X3 SMA Negeri 1 Pulokulon Tahun Pelajaran 2014 – 2015. Kedua, untuk mengetahui penerapan

pembelajaran kooperatif model TGT dengan media monopoli dalam meningkatkan hasil belajar siswa materi reaksi redoks dan tatanama senyawa kimia kelas X3 SMA Negeri 1 Pulokulon Tahun Pelajaran 2014 - 2015.

Teori Belajar Konstruktivisme Sosial

Konstruktivisme adalah salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan adalah konstruksi (bentukan) diri sendiri. Pengetahuan bukanlah gambaran dari dunia kenyataan yang ada, pengetahuan merupakan akibat dari suatu konstruksi kognitif kenyataan melalui kegiatan seseorang. Menurut Von Glasersfeld (dalam Suparno, 1997) pengetahuan itu dibentuk oleh struktur konsepsi seseorang sewaktu dia berinteraksi dengan lingkungan. Jadi, pengetahuan tidaklah ada begitu saja dalam diri seseorang, tetapi dibentuk ketika seseorang berhubungan dengan segala hal yang ada di sekitarnya.

Banyak siswa yang salah menangkap apa yang diajarkan oleh guru. Hal ini menunjukkan bahwa pengetahuan itu tidak dapat dipindahkan begitu saja, tetapi harus dikonstruksikan atau paling sedikit diinterpretasikan sendiri oleh siswa (Suparno, 1997). Untuk memperoleh pengetahuan, diperlukan pengalaman pada diri siswa sehingga dapat mengintepretasi pengalaman tersebut menjadi pengetahuan. Menurut aliran konstruktivisme sosiologis, pengetahuan merupakan konstruksi sosial. Vygotsky dalam Suparno (1997) menekankan pentingnya interaksi sosial dengan orang-orang lain, terlebih yang punya pengetahuan lebih baik dari sistem yang secara kultural telah berkembang baik. Pengetahuan personal dikonstruksi seseorang dari interaksinya dengan lingkungan.

Prinsip-prinsip konstruktivisme menurut Suparno (1997) antara lain sebagai berikut. Pertama, pengetahuan dibangun sendiri

Page 102: Jurnal Cakrawala September 2015

371

siswa, baik personal maupun social. Kedua, pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari guru ke murid, kecuali hanya dengan keaktifan murid sendiri untuk menalar. Ketiga, murid aktif terus-menerus sehingga selalu terjadi perubahan konsep menuju ke konsep yang lebih rinci, lengkap, serta sesuai dengan konsep ilmiah. Keempat, guru sekadar membantu menyediakan sarana dan situasi agar proses konstruksi siswa berjalan mulus. Hal ini menujukkan bahwa dalam pembelajaran guru bukanlah pusat informasi, tetapi merupakan fasilitator untuk membuat pembelajaran menyenangkan sehingga siswa aktif dalam menalar pengetahuan.

Pembelajaran Kooperatif TGT (Teams Games Tournament)

TGT (Teams Games Tournament) adalah salah satu metode kooperatif dengan menggunakan turnamen akademik untuk mengaktifkan siswa (Sari, 2005). Dalam pembelajaran kooperatif, adanya penghargaan tim dan tanggung jawab individual sangat penting untuk meningkatkan prestasi kemampuan dasar. Penghargaan dapat meningkatkan motivasi belajar yang berdampak pada peningkatan prestasi belajar siswa. Menurut Slavin (2005: 162 - 174), ada lima komponen utama dalam pembelajaran kooperatif model TGT, antara lain presentasi kelas, belajar kelompok, games, tournament, dan penghargaan kelompok.

Presentasi kelas digunakan guru untuk memperkenalkan materi pelajaran dengan pengajaran langsung atau diskusi pelajaran yang dipimpin oleh guru ataupun presentasi audiovisual. Pada saat presentasi kelas, siswa harus memperhatikan dan memahami materi yang disampaikan guru. Hal ini akan membantu siswa bekerja lebih baik pada saat kerja tim dan pada saat turnamen karena skor turnamen akan menentukan skor tim mereka.

Dalam penelitian ini, presentasi kelas yang digunakan adalah dengan presentasi

langsung. Penelitian ini bertujuan untuk mengaktifkan siswa sehingga pada tahap ini siswa diberi suatu permasalahan untuk dipecahkan dan didiskusikan dalam kelompoknya. Tim terdiri dari 4 atau 5 siswa yang heterogen dalam hal kemampuan akademik dan jenis kelamin. Setiap tim terdiri dari siswa yang level kinerjanya berkisar dari yang rendah, sedang, dan tinggi. Fungsi tim adalah untuk lebih mendalami materi bersama teman kelompoknya dan untuk mempersiapkan anggota kelompok agar bekerja dengan baik dan optimal pada saat turnamen.

Kegiatan tim adalah diskusi antaranggota, saling membandingkan jawaban, dan mengoreksi miskonsepsi anggota tim. Tim merupakan komponen terpenting dalam pembelajaran kooperatif model TGT. Selama belajar dalam tim, masing-masing siswa mempelajari kartu soal yang diberikan oleh guru dan saling membantu bila ada anggota kelompoknya yang belum menguasai materi pelajaran. Games terdiri atas pertanyaan-pertanyaan yang isinya relevan dengan materi dalam presentasi kelas dan pelaksanaan kerja tim. Dalam penelitian ini, digunakan permainan berupa media monopoli dilengkapi kartu soal.

Permainan monopoli berupa papan monopoli yang berisi perusahaan dan aset-aset yang digambar menarik, dilengkapi dengan dadu pelempar dan kelengkapan permainan monopoli yang biasa dimainkan anak-anak. Kartu soal berisi soal dari materi reaksi redoks yang bermanfaat untuk membeli perusahaan pada permainan monopoli. Rasa kebersamaan yang tinggi akan tumbuh karena pertanyaan yang dijawab dengan benar akan memperoleh perusahaan/aset dalam permainan sehingga memacu para siswa untuk menjawab pertanyaan lain dengan benar pula.

Turnament adalah sebuah struktur games berlangsung. Dalam penelitian ini,

Page 103: Jurnal Cakrawala September 2015

372

turnamen dilaksanakan setelah presentasi kelas dan setiap tim telah mengerjakan soal pada kartu soal. Siswa dalam setiap kelompok maju dan memainkan games akademik. Perolehan nilai setiap siswa berkontribusi pada nilai akhir kelompok. Penguasaan materi pelajaran dan kreativitas siswa merupakan modal untuk bertanding. Penguasaan materi yang luas dapat membantu siswa menjawab pertanyaan dengan mudah dan memungkinkan siswa menciptakan ide-ide yang brilian. Suasana yang menarik dan menyenangkan diharapkan dapat membuat siswa bersemangat untuk melakukan yang terbaik.

Tim yang mendapat nilai tertinggi adalah tim yang paling banyak memperoleh aset hingga akhir turnament. Tim yang mendapat nilai tertinggi akan mendapatkan penghargaan. Dalam pembelajaran kooperatif TGT, meskipun proses belajar dilakukan secara berkelompok namun prestasi belajar yang diukur merupakan prestasi belajar individu.

Aktivitas Belajar

Aktivitas belajar siswa mempengaruhi prestasi belajarnya. Sesuai dengan prinsip belajar konstruktivisme, bahwa pengetahuan tidak dapat ditransfer begitu saja, kecuali hanya dengan keaktifan murid sendiri untuk menalar. Menurut Fajri & Senja (2003: 36), keaktifan adalah kegiatan, kesibukan dalam bekerja atau berusaha. Kata keaktifan memiliki persamaan arti dengan aktivitas. Aktivitas belajar atau keaktifan siswa dalam pembelajaran adalah segala usaha siswa untuk memperoleh pengetahuan, baik aktivitas fisik maupun psikologis.

Klasifikasi aktivitas belajar, antara lain (1) visual activies, misalnya, membaca, memperhatikan gambar demonstrasi, percobaan. (2) Oralactivities, misalnya, menyatakan, merumuskan, bertanya, memberi saran, mengeluarkan pendapat,

mengadakan wawancara, diskusi, interupsi. (3) Listening activities, misalnya, menguraikan, percakapan, diskusi, musik, pidato. (4) Writing activities, misalnya, menulis cerita, karangan, laporan, angket, menyalin. (5) Drawing activities, misalnya, menggambar, membuat grafik, peta, diagram. (6) Motor activities, misalnya, melakukan percoban, membuat konstruksi, model mereparasi, bermain, berkebun, dan berternak. (7) Mental activities, misalnya menanggapi, mengingat, memecahkan soal, menganalisis, melihat hubungan, dan mengambil keputusan. (8) Emotional activities, misalnya menaruh minat, merasa bosan, gembira, bersemangat, bergairah, berani, tenang, dan gugup (Sardiman, 2014: 101). Dalam penelitian ini, keaktifan yang diukur meliputi visual activies, writing activities, oral activities, dan motor activities.

Hasil Belajar

Belajar adalah perubahan dari belum mampu ke arah sudah mampu, dan proses tersebut berlangsung dalam jangka waktu tertentu (Winkel, 2009: 56). Jadi, belajar merupakan suatu proses yang hasilnya berupa perubahan tingkah laku. Belajar dapat digolongkan dalam belajar kognitif, belajar sensorik-motorik, dan belajar dinamika afektif. Menurut Winkel (2009), hasil belajar merupakan semua perubahan di bidang-bidang tersebut yang mengakibatkan manusia berubah dalam sikap dan tingkah lakunya. Hasil belajar dapat dinilai dari aspek pengetahuan, keterampilan atau motorik, dan afektif atau sikap.

Dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan nomor 104 tahun 2014, penilaian hasil belajar oleh pendidik adalah proses pengumpulan informasi/bukti tentang capaian pembelajaran peserta didik dalam kompetensi sikap spiritual dan sikap sosial, kompetensi pengetahuan, dan kompetensi keterampilan yang dilakukan secara

Page 104: Jurnal Cakrawala September 2015

373

terencana dan sistematis, selama dan setelah proses pembelajaran. Penilaian ini adalah penilaian autentik dan nonautentik. Penilaian autentik, yaitu bentuk penilaian yang menghendaki peserta didik menampilkan sikap, menggunakan pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh dari pembelajaran dalam melakukan tugas pada situasi yang sesungguhnya. Sedangkan bentuk penilaian nonautentik, mencakup tes, ulangan, dan ujian.

Sasaran penilaian hasil belajar oleh pendidik terhadap kompetensi sikap spiritual dan kompetensi sikap sosial meliputi tingkatan sikap menerima, menanggapi, menghargai, menghayati, dan mengamalkan nilai spiritual serta nilai sosial. Dalam penelitian ini, hasil belajar peserta didik untuk penilaian sikap digunakan rubrik penilaian dan tabel observasi.

Penilaian kemampuan berpikir didasarkan pada taksonomi Bloom. Menurut taksonomi Bloom, ranah kognitif mencakup (1) pengetahuan; (2) pemahaman; (3) penerapan; (4) analisis; (5) sintesis; (6) evaluasi. Taksonomi ini disusun berdasarkan kekompleksan tahapan berpikir, yang dikenal dengan C1, C2, C3, C4, C5, dan C6. Dalam penelitian ini, penilaian kemampuan berpikir yang digunakan adalah tahapan pemahaman (C2) dan penerapan (C3).

Berpikir dapat diartikan sebuah kegiatan menggunakan akal budi untuk mempertimbangkan dan memutuskan sesuatu; menimbang-nimbang dalam ingatan. Bahasa seseorang mencerminkan pikirannya. Semakin terampil seseorang berbicara, semakin cerah dan jelas pula jalan pikirannya. Keterampilan hanya dapat diperoleh dan dikuasai melalui praktik dan banyak latihan. Melatih keterampilan berbahasa berarti pula melatih keterampilan berpikir (Tarigan, 1987: 1). Dengan berbahasa yang baik dan benar, akan meningkatkan kemampuan berpikir siswa. Dalam penelitian

ini, kemampuan berkomunikasi ilmiah dengan baik dinilai selama pembelajaran dengan metode observasi.

Sasaran penilaian hasil belajar terhadap kompetensi keterampilan mencakup keterampilan abstrak dan keterampilan konkret. Keterampilan abstrak merupakan kemampuan belajar yang meliputi mengamati, menanya, mengumpulkan informasi/mencoba, menalar/mengasosiasi, dan mengomunikasikan. Keterampilan konkrit merupakan kemampuan belajar yang meliputi meniru, melakukan, menguraikan, merangkai, memodifikasi, dan mencipta.

Penilaian hasil belajar oleh pendidik memiliki tujuan untuk (a) mengetahui tingkat penguasaan kompetensi; (b) menetapkan ketuntasan penguasaan kompetensi; (c) menetapkan program perbaikan atau pengayaan berdasarkan tingkat penguasaan kompetensi; dan (d) memperbaiki proses pembelajaran. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa fungsi hasil belajar bagi siswa adalah sebagai indikator penguasaan kompetensi pembelajaran dan berfungsi sebagai umpan balik bagi guru dalam rangka peningkatan kualitas proses pembelajaran.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas (classroom action research) yang terdiri dari dua siklus. Setiap siklusnya terdapat empat tahapan yang terdiri dari perencanaan tindakan, pelaksanaan tindakan, observasi, dan refleksi. Subjek penelitian ini adalah siswa kelas X3 SMA Negeri 1 Pulokulon Tahun Ajaran 2014/2015. Data diperoleh melalui pengamatan, tes, dan dokumentasi. Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis deskriptif kualitatif.

HASIL DAN PEMBAHASANKondisi Awal

Pada pembelajaran Kimia kelas X3 sudah biasa dikondisikan berkelompok

Page 105: Jurnal Cakrawala September 2015

374

sehingga untuk materi-materi yang perlu kerja kelompok guru tidak perlu lagi membentuk kelompok. Dari 33 siswa dikelompokan menjadi 6 sehingga tiap kelompok berjumlah 5 - 6 siswa. Sebelum penelitian tindakan kelas ini materi pokoknya adalah larutan elektrolit. Untuk dapat mendeskripsikan daya hantar listrik siswa melakukan percobaan uji larutan elektrolit. Siswa bekerja dalam kelompok mulai dari membuat alat uji elektrolit sampai praktikum uji larutan elektrolit.

Pembelajaran berlangsung menarik, guru mengarahkan siswa untuk menguji bahan-bahan yang ada di sekitar mereka. Bagi sebagian siswa, kegiatan ini merupakan pengalaman yang menarik dalam pembelajaran. Namun demikian, masih ada siswa yang kurang aktif dalam kerja kelompok, bahkan ada satu kelompok yang pasif mereka tidak membawa alat/rangkaian uji elektrolit dan bahan yang telah diarahkan guru. Baru sekitar 45% siswa yang aktif dalam tiap kelompoknya, ada siswa yang hanya melihat temannya bekerja, ada pula siswa yang kurang percaya diri, mereka berjalan keliling kelas membandingkan hasil ujinya dengan kelompok lain. Setelah praktikum, setiap kelompok mendapatkan kesempatan yang sama untuk melakukan presentasi hasil percobaan, siswa yang aktif dari masing-masing kelompok, baik yang maju presentasi maupun yang bertanya hanya siswa-siswa tertentu. Kurang aktifnya siswa ini berakibat dari rendahnya ketuntasan belajar kelas, dari 33 siswa yang nilainya di atas nilai KKM baru 22 siswa atau 67%.

Siklus I

Berdasarkan kondisi awal di atas, maka rencana pembelajaran di siklus I digunakan pembelajaran kooperatif model TGT dengan media monopoli dilengkapi kartu soal. Pembelajaran kooperatif untuk meningkatkan kerja sama antarsiswa dalam kelompok yang masih kurang. Adanya

permainan pada TGT menumbuhkan percaya diri pada siswa dan menumbuhkan cara berkomunikasi dengan aktif dengan bahasa ilmiah. Pembelajaraan kooperatif model TGT ini diharapkan mampu meningkatkan aktivitas dan hasil pembelajaran materi reaksi redoks. Pelaksanaan tindakan siklus I dilaksanakan dalam dua kali pertemuan, yaitu tanggal 18 Februari 2015 dan 25 Februari 2015 di kelas X3 SMA Negeri 1 Pulokulon. Setiap pertemuan waktunya 2 jam pelajaran (2 x 45 menit), guru sebagai peneliti melakukan tindakan sesuai dengan RPP dan rekan guru sebagai observer mengamati dan mendokumentasikan kegiatan siswa.

Langkah-langkah yang dilakukan guru dalam pembelajaran konsep redoks dengan model pembelajaran TGT dengan monopoli dilengkapi kartu soal pada siklus I ini sebagai berikut. 1) guru memberi apersepsi dan motivasi; 2) guru menyampaikan tujuan pembelajaran yang akan dicapai; 3) guru mempresentasikan materi reaksi redoks dilanjutkan tanya jawab tentang materi; 4) guru menjelaskan pembelajaran dengan model TGT dengan media monopoli dilengkapi kartu soal; 5) siswa berkelompok; 6) siswa mengerjakan kartu soal yang diberikan; 7) bermain monopoli sesuai aturan yang dijelaskan; 8) guru memberi penghargaan pada kelompok dengan hasil terbaik; 9) guru dan siswa bersama-sama mengevaluasi kegiatan pembelajaran yang telah dilakukan; 10) guru memberi evaluasi materi reaksi redoks.

Pada siklus I pertemuan pertama, pembelajaran diawali dengan pembentukan kelompok sebelum presentasi materi oleh guru. Pembentukan kelompok didasarkan pada keheterogenan, setiap kelompok terdiri dari siswa berkemampuan tinggi, rendah, laki-laki maupun perempuan. Sebanyak 33 siswa dibagi dalam 6 kelompok, setiap kelompok beranggotakan 5 - 6 siswa. Guru mempresentasikan materi pelajaran

Page 106: Jurnal Cakrawala September 2015

375

reaksi redoks untuk materi konsep reaksi redoks. Setelah materi tersampaikan, guru menjelaskan games turnament, yaitu monopoli dilengkapi kartu soal. Tiap kelompok dibagi kartu yang sama, setiap anggota diberi tugas untuk menyelesaikan masalah yang ada pada kartu soal tersebut. Tiap anggota kelompok bertanggung jawab terhadap kesuksesan kelompok. Setelah diskusi kelompok untuk menyelesaikan masalah selesai dan tiap kelompok dirasa siap games turnament pun dimulai, siswa bermain monopoli dengan antusias dan kelompok yang memperoleh prestasi terbaik mendapat penghargaan.

Pada pertemuan kedua siklus I, langkah-langkah pembelajaran dilakukan sama dengan pertemuan pertama, hanya saja pada pertemuan kedua kelompok telah terbentuk sehingga guru mengawali dengan presentasi materi pembelajaraan. Pada pertemuan ini, dilakukan evaluasi individual setelah dilaksanakan games turnament dan memberi penghargaan kepada kelompok yang memperoleh prestasi terbaik.

Dari hasil pengamatan, diperoleh bahwa siswa cukup baik memperhatikan pelajaran, yaitu sekitar 30 dari 33 siswa, namun keaktifan siswa selama pembelajaran belum maksimal. Keaktifan siswa dilihat dari 6 indikator, antara lain 1) siswa yang bertanya pada guru, yaitu sebesar 78,8%; 2) siswa yang menjawab pertanyaan, yaitu sebesar 84,5%; 3) siswa yang aktif berdiskusi sebesar 87,9%; 4) siswa yang menulis hasil pemecahan masalah 93,9%; 5) siswa yang maju mengerjakan soal 87,9%; 6) siswa yang terlibat games sebanyak 87,9%. Dari pengamatan sikap afektif siswa diketahui 1) siswa yang berkomunikasi aktif dengan bahasa ilmiah yang baik, yaitu 25 dari 33 siswa sekitar 75,8%; 2) siswa cukup baik dalam bekerja sama dikelompoknya, yaitu 93,9%, 31 siswa dari 33 siswa aktif berkerja sama. Berdasarkan hasil evaluasi

menunjukkan bahwa 24 dari 33 siswa yang memperoleh nilai di atas batas KKM, yaitu sekitar 73%.

Dari hasil observasi, dapat direfleksikan pada proses pembelajaran pada siklus I adalah, siswa kurang mengingat masalah-masalah yang diberikan pada kartu soal karena setiap kelompok hanya mendapat satu kartu untuk tiap jenis soal. Jadi, setiap siswa tidak bisa mendapat semua jenis kartu. Hal ini berakibat belum maksimalnya hasil belajar siswa, yaitu masih banyak siswa yang belum mencapai nilai KKM.

Siklus II

Untuk mengatasi pemecahan masalah pada siklus I, guru merubah sedikit pola pemberian masalah pada games turnament. Pada siklus II kartu soal dalam 1 kelompok tiap jenis soalnya ditulis pada lembar kegiatan siswa sehingga tiap anggota kelompok mempunyai semua jenis soal. Tindakan pada siklus II pada materi tatanama senyawa dilaksanakan dalam dua pertemuan, yakni tanggal 11 Maret 2015 dan 13 Maret 2015, setiap pertemuan alokasi waktunya 2 jam pelajaran (2 x 45 menit). Siklus II pembelajaran tatanama senyawa kimia dengan model pembelajaran TGT dengan monopoli dilengkapi kartu soal.

Pada siklus II ini 1) guru memberi apresepsi dan motivasi; 2) guru menyampaikan tujuan pembelajaran yang akan dicapai; 3) guru mempresentasikan materi reaksi redoks dilanjutkan tanya jawab seputar materi; 4) guru menjelaskan pembelajaran dengan model TGT dengan media monopoli dilengkapi kartu soal, serta masalah yang ada dalam kartu soal ditulis dalam lembar kerja siswa; 5) siswa berkelompok; 6) siswa mengerjakan kartu soal yang diberikan; 7) bermain monopoli sesuai aturan yang dijelaskan; 8) guru memberi penghargaan pada kelompok dengan hasil terbaik; 9) guru dan siswa bersama-sama mengevaluasi

Page 107: Jurnal Cakrawala September 2015

376

kegiatan pembelajaran yang telah dilakukan; 10) guru memberi evaluasi materi reaksi redoks.

Berdasarkan pengamatan diperoleh bahwa siswa yang memperhatikan pelajaran dengan baik, yaitu sekitar 31 dari 33 siswa. Keaktifan siswa dilihat dari 6 indikator, 1) siswa yang bertanya pada guru, yaitu sebesar 84,8%; 2) siswa yang menjawab pertanyaan, yaitu sebesar 87,9%; 3) siswa yang aktif berdiskusi sebesar 87,9%; 4) siswa yang menulis hasil pemecahan masalah 93,9%; 5) siswa yang maju mengerjakan soal 90,9%; 6) siswa yang terlibat games sebanyak 90,9%. Dari pengamatan sikap afektif siswa, diketahui 1) siswa yang berkomunikasi aktif dengan bahasa ilmiah yang baik, yaitu 28 dari 33 siswa sekitar 84,5%; 2) siswa cukup baik dalam bekerja sama dikelompoknya, yaitu 87,9%, 29 siswa dari 33 siswa aktif berkerja sama. Hasil evaluasi menunjukkan bahwa 28 dari 33 siswa yang memperoleh nilai di atas batas KKM, yaitu 85%.

Berdasarkan hasil pengamatan diperoleh bahwa dalam proses pembelajaran siswa aktif bekerja sama dan diskusi dalam kelompok, siswa mulai lancar dalam berkomunikasi dengan bahasa ilmiah. Dalam siklus II ini, masih ada beberapa kelemahan, yakni waktu yang game turnamen memerlukan waktu yang agak panjang sehingga penerapan metode TGT dengan monopoli harus mengatur waktu dengan sangat tepat. Selain itu, juga tingkat kesukaran soal pada kartu soal yang belum seimbang. Meski ada beberapa kekurangan, namun jika dilihat dari jumlah siswa yang memperoleh nilai di atas KKM mencapai 85% yang menunjukkan daya serap klasikal telah tercapai sehingga pembelajaran kooperatif model TGT dengan media monopoli berbentuk kartu soal tepat digunakan untuk pembelajaran materi tatanama senyawa.

Pembahasan

Dari hasil pelaksanaan siklus I dan siklus II, secara ringkas dapat dideskripsikan dalam tabel berikut.Tabel 1. Hasil Tindakan Ditinjau dari Indikator Keberhasilan Proses dan Hasil Pembelajaran.

Indikator Kinerja Siklus I Siklus II

Untuk keaktifan siswa dengan rincian:1) siswa yang bertanya pada guru 2) siswa yang menjawab pertanyaan 3) siswa yang aktif berdiskusi sebesar 4) siswa yang menulis hasil pemecahan masalah 5) siswa yang maju mengerjakan soal 6) siswa yang terlibat games sebanyak

87%

78,8%

84,5%

87,9%

93,9%

87,9%

87,9%

89%

84,8%

87,9%

87,9%

93,9%

90,9%

90,9%Untuk aspek sikap 1) siswa dapat

berkomunikasi aktif dengan bahasa ilmiah yang baik dan benar

2) siswa mampu bekerja sama

84,85%

75,8%

93,9%

90,7%

84,5%

96,9%Untuk aspek pengetahuan tercapainya nilai batas tuntas (KKM= 76)

73% 85%

Dari Tabel 1., dapat dinyatakan bahwa terjadi peningkatan pada indikator yang telah ditetapkan dari hasil pelaksanaan siklus I dan siklus II. Berdasarkan pengamatan selama proses pembelajaran, keaktifan siswa mengalami peningkatan dari siklus I ke siklus II sebesar 2%. Peningkatan kemampuan berkomunikasi aktif dengan bahasa ilmiah yang baik dan benar sebesar 8,7% dan kemampuan bekerja sama naik 3%. Dari hasil evaluasi, aspek kognitif pada materi redoks dan penamaan senyawa diperoleh kenaikan sebesar 12%. Dari hasil analisis tersebut, dapat disimpulkan bahwa penggunaan model pembelajaran TGT dengan media monopoli dilengkapi kartu soal dapat meningkatkan keaktifan dan hasil belajar pada materi reaksi

Page 108: Jurnal Cakrawala September 2015

377

redoks dan penamaan senyawa siswa kelas X3 SMA Negeri 1 Pulokulon.

Pembelajaran dengan model TGT dapat meningkatkan aktivitas siswa. Hal ini sesuai dengan teori Slavin (2005) bahwa pembelajaran TGT adalah salah satu metode kooperatif dengan menggunakan turnamen akademik yang mengaktifkan siswa. Menurut Sardiman (2010) keaktifan siswa yang dapat ditingkatkan, meliputi visual activies, oral activities, listening activities, writing activities, drawing activities, motor activities, mental activities, emotional activities. Dalam penelitian ini, keaktifan siswa yang diamati meningkat dari siklus I ke siklus II adalah visual activies, writing activities,oral activities, dan motor activities.

Peningkatan keaktifan diikuti dengan peningkatan pengetahuan sesuai dengan pendapat Fajri & Senja (2003) menyatakan bahwa keaktifan siswa adalah segala usaha untuk memperoleh pengetahuan. Pengetahuan dalam pembelajaran dinilai dan berupa prestasi belajar siswa. Dalam penelitian ini, keaktifan siswa meningkat dari siklus I ke siklus II dengan penerapan pembelajaran kooperatif tipe TGT dengan media monopoli berbantu kartu soal.

Selain pengetahuan, yang merupakan hasil belajar adalah sikap dan tingkah laku. Penelitian ini menunjukkan bahwa sikap dan tingkah laku siswa setelah belajar dengan model TGT mengalami peningkatan. Hasil ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Winkel. Belajar adalah perubahan dari belum mampu ke arah sudah mampu, dan proses berlangsung dalam jangka waktu tertentu dinyatakan Winkel (2009: 56). Jadi, belajar merupakan suatu proses yang hasilnya berupa perubahan tingkah laku. Belajar dapat digolongkan dalam belajar kognitif, belajar sensorik-motorik dan belajar dinamika afektif. Menurut Winkel (2009) hasil belajar merupakan semua perubahan di bidang-bidang tersebut yang mengakibatkan

manusia berubah dalam sikap dan tingkah lakunya. Hasil belajar dapat dinilai dari aspek pengetahuan, keterampilan atau motorik, dan afektif atau sikap.

Berbahasa ilmiah merujuk ke suatu proses untuk berkomunikasi menggunakan bahasa umum yang baku dan bersifat ilmiah. Berbahasa ilmiah yang baik merupakan kemampuan afektif yang diperlukan untuk meningkatkan kemampuan berpikir. Hal ini sesuai pendapat Tarigan (1987) bahwa melatih keterampilan berbahasa berarti pula melatih keterampilan berpikir. Salah satu bentuk keterampilan berbahasa adalah berbicara atau berkomunikasi dengan bahasa ilmiah. Dalam penelitian ini, terlihat peningkatan keterampilan mengemukaan pendapat/komunikasi dengan bahasa ilmiah yang baik dalam pembelajaran. Hal ini juga sesuai dengan standar kompetensi Kurikulum 2004 bahwa bahan kajian sains harus memiliki kompetensi berkomunikasi ilmiah.

Salah satu bentuk pengetahuan afektif adalah kemampuan bekerja sama. Kemampuan kerja sama diperlukan untuk membangun pengetahuan sesuai dengan teori belajar Vygotski. Vygotsky (dalam Suparno, 1997) menekankan pentingnya interaksi sosial dengan orang-orang lain terlebih yang punya pengetahuan lebih baik dari sistem yang secara kultural telah berkembang baik. Jadi, pengetahuan siswa dapat dibentuk melalui kerja sama dalam proses pembelajaran. Dalam penelitian ini, pembelajaran kooperatif tipe TGT dengan media monopoli berbantu kartu soal mampu meningkatan kerja sama siswa.

PENUTUP

Berdasarkan hasil dan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa (1) penerapan pembelajaran kooperatif model TGT dengan media monopoli dilengkapi kartu soal dapat meningkatkan aktivitas

Page 109: Jurnal Cakrawala September 2015

378

belajar siswa pada materi reaksi redoks dan penamaan senyawa kimia pada siswa kelas X3 SMA Negeri 1 Pulokulon Tahun Pelajaran 2014 - 2015, yaitu dari siklus I ke siklus II sebesar 2%; (2) penerapan model pembelajaran kooperatif model TGT dengan media monopoli dilengkapi kartu soal dapat meningkatkan hasil belajar Kimia siswa pada materi reaksi redoks dan tatanama senyawa kimia pada siswa kelas X3 SMA Negeri 1 Pulokulon Tahun Pelajaran 2014 - 2015, untuk ranah afektif sebesar 5,85% dan untuk ranah kognitif sebesar 12%.

Berdasarkan hasil penelitian dan implikasi dalam penelitian ini, maka

penulis memberikan saran sebagai berikut. Pertama, untuk pembelajaran reaksi redoks dan tatanama senyawa kimia sebaiknya disampaikan dengan pembelajaran kooperatif model TGT dengan media monopoli dilengkapi kartu soal. Kedua, hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pembelajaran kooperatif model TGT dengan media monopoli dilengkapi kartu soal, antara lain pengelompokan harus heterogen sehingga kerjasama dalam kelompok mudah tercapai, guru menyiapkan games turnament dengan kartu soal yang bervariasi, membiasakan siswa disiplin saat bermain games turnament sehingga tidak menimbulkan kegaduhan karena pergerakan siswa yang tidak terarah.

DAFTAR PUSTAKA

Fajri, EM. Zul & Senja, Ratu Aprilia. 2003. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Jakarta: Difa Publisher.

Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 104 Tahun 2014.

Sardiman. 2014. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Sari, Danis Purnama. 2013. Peningkatatan Keaktifan Siswa dan Hasil Belajar Siswa Kelas XI IPS SMA Negeri 1 Turen pada Pokok Bahasan Turunan dengan Pembelajaran Kooperatif TGT. Bandung: UPI.

Slavin, RE.. 2005. Cooperative Learning Teori, Riset, dan Praktik. Bandung: Nusa Media.

Suparno, Paul. 1997. Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius.

Tarigan, Henry Guntur. 1987. Berbicara: Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa Bandung.

Winkel, WS. 2009.Psikologi Pengajaran. Yogyakarta: Media Abadi.

Page 110: Jurnal Cakrawala September 2015

379

STRATEGI MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERBAHASA ANAK USIA DINI DENGAN MEDIA PAPAN FLANEL PADA SISWA KELOMPOK B TK MARDI SIWI

KABUPATEN PACITAN TAHUN AJARAN 2014/2015

SulatinTK Mardi Siwi, Kabupaten Pacitan, Jawa Timur

ABSTRACTThis research is a class action that aims to know the effectiveness of the media

in enhancing the flannel board story-telling ability in early childhood. Model PTK is done in this research is classroom action research collaborators. Subjects were students in group B TK Mardi Siwi, Pacitan, East Java, the number of students 19 children. Data collection techniques in this study, includes observation / observation and documentation. Data collected were analyzed descriptively by using averaging techniques and techniques percentage. The results showed that the application of the model tells the story using flannel board media can improve children’s ability to speak to students kindergarten group B Mardi Siwi, Pacitan, East Java.

Keywords: learning media, storytelling, flannel boards

ABSTRAK Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas yang bertujuan untuk

mengatahui efektivitas penerapan media papan flanel dalam meningkatkan kemampuan bercerita pada anak usia dini. Model PTK yang dilakukan dalam penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas kolaborator.Subjek penelitian adalah siswa kelompok B TK Mardi Siwi, Kabupaten Pacitan, Jawa Timur dengan jumlah siswa 19 anak. Teknik pengumpulan data pada penelitian ini, meliputi pengamatan/observasi dan dokumentasi. Data yang telah dikumpulkan dianalisis secara deskriptif dengan menggunakan teknik rata-rata dan teknik persentase. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan model bercerita menggunakan media papan flanel dapat meningkatkan kemampuan anak dalam berbahasa pada siswa kelompok B TK Mardi Siwi, Kabupaten Pacitan, Jawa Timur.

Kata kunci: media pembelajaran, bercerita, papan flanel

PENDAHULUAN

Anak-anak dalam usia prasekolah benar-benar harus disiapkan mentalitasnya, termasuk hal terpenting di dalamnya adalah pendidikan karakter. Dalam pola pendidkan prasekolah, anak-anak sebaiknya dikenalkan dengan berbagai kegiatan nyata yang dapat memberikan kontribusi positif demi lahirnya anak-anak yang berkarakter kuat, tinggi ilmu, tetapi tetap rendah hati.

Salah satu bentuk pendidikan prasekolah dalam jalur pendidikan sekolah berdasarkan PP nomor 27 tahun 1990 adalah pendidikan taman kanak-kanak. Tugas utama lembaga pendidikan prasekolah, seperti

taman kanak-kanak adalah memeprsiapkan anak dengan memperkenalkan berbagai pengetahuan, sikap, perilaku, keterampilan, dan intelektual agar dapat melakukan adaptasi dengan kegiatan belajar yang sesungguhnya di sekolah dasar. Dengan demikian, taman kanak-kanak tidak mengemban tanggung jawab utama dalam membina kemampuan akademik anak, seperti kemampuan membaca dan menulis. Substansi pembinaan kemampuan akademik atau skolastik ini harus menjadi tanggung jawab utama lembaga pendidikan sekolah dasar.

Page 111: Jurnal Cakrawala September 2015

380

Pada kenyataannya hal tersebut tidak sejalan dengan implementasi atau praktik di lapangan. Pergeseran tanggung jawab dari sekolah dasar ke taman kanak-kanak terjadi dimana-mana, baik secara terang-terangan maupun terselubung. Sekolah dasar sering kali mengajukan persyaratan atau tes “membaca dan menulis”, dan justru lembaga demikian disebut sebagai lembaga bonafit. Padahal bila dicermati dari pola tumbuh kembang anak, justru hal tersebut sangat mengebiri proses pembelajaran anak.Anak seakan dipaksa untuk mempelajari hal-hal yang sebenarnya belum waktnya sehingga pendidikan usia dini tidak lagi menekankan pada penguatan karakter anak, tetapi sudah jauh dari hal tersebut. Keharusan anak untuk sudah bisa membaca dan menulis pada usia dini ditambah dengan beban pekerjaan rumah seperti halnya anak sekolah dasar,membuat anak-anak merasa stres karena sebenarnya masa mereka masih masa bermain.

Mencermati kondisi kegiatan pembelajaranmembaca dan menulis di taman kanak-kanak yang berlangsung sebagaimana digambarkan di atas, perlu dilakukan penelitian yang bersifat reflektif dengan melakukan tindakan tertentu yang direncanakan, dilaksanakan, dan dievaluasi. Serangkaian tindakan tersebut diharapkan dapat mengubah suasana pembelajaran ke arah pembelajaran yang lebih memungkinkan siswa terlibat secara aktif dan menyenangkan.Hal itu dapat dicapai melalui pembelajaran menggunakan media, seperti kartu kata, papan flanel, sandiwara boneka, dan sebagainya.

Dewasa ini ada kecenderungan pemikiran bahwa anak dapat belajar dengan lebih baik jika lingkungan diciptakan sealamiah mungkin. Belajar akan lebih bermakna jika anak mengalami apa yang dipelajarinya, bukan mengetahuinya. Pembelajaran yang berorientasi pada penguasaam materi terbukti berhasil dalam

kompetensi mengingat jangka pendek, tetapi gagal membekali anak memecahkan persoalan dalam kehidupan jangka panjang.

Melihat kondisi seperti di atas, penulis mencoba meningkatkan kemampuan anak dalam berkomunikasi melalui model pembelajaran bercerita dengan media papan flanel. Metode ini perlu diterapkan untuk mengganti metode konvensional dalam pembelajaran, khususnya bercerita di TK Mardi Siwi, Kabupaten Pacitan, Jawa Timur. Adapun rumusan masalah penelitian ini sebagai berikut. Apakah model pembelajaran melalui papan flanel dapat meningkatkan kemampuan anak dalam bercerita siswa kelompok B TK Mardi Siwi, Kabupaten Pacitan, Jawa Timur?

Pembiasaan Berbahasa pada Anak Usia Dini

Bahasa yang telah diperoleh anak sejak ia lahir ke dunia perlu terus dikembangkan. Pengembangan bahasa melibatkan aspek sensorimotor terkait dengan kegiatan mendengar, kecakapan memaknai, dan produksi suara.Kondisi ini sudah dibawa anak mulai lahir. Cowlley mengistilahkannya sebagai brains wired for the task. Sementara Skinner mempercayai bahwa kapasitas berbahasa telah dibawa setiap anak semenjak ia dilahirkan yang diistilahkan sebagai a language acquisition device program into the brain. Dengan demikian, lingkunganlah yang selanjutnya turut memperkaya bahasa anak.Dalam hal ini, peran orang tua dan pendidik sangat mutlak karena penyiapan diri dan lingkungan kondusif perlu dilakukan agar perkembangan bahasa anak berjalan secara optimal.

Riset panjang telah dilakukan, di antaranya oleh Hart & Ristley berkaitan dengan bagaimana lingkungan mempengaruhi perkembangan bahasa anak. Hasil riset menunjukkan bahwa anak-anak yang diasuh dalam keluarga yang

Page 112: Jurnal Cakrawala September 2015

381

berpendidikan jauh lebih kaya kosakatanya dibandingkan dengan keluarga kurang berpendidikan. Oleh karenanya, mereka kehilangan kesempatan mengembangkan bahasanya dan komunikasi produktif jarang terjadi. Korelasi positif antara berbahasa secara verbal dengan perkembangan intelektual akan diwujudkan saat anak-anak berusia 9 - 10 tahun. Eratnya kaitan antara perkembangan bahasa dengan kemampuan intelektual selayaknya dipahami oleh para pendidik di TK agar proses pembelajaran bahasa dapat dilakukan secara patut melalui berbagai cara yang kreatif.

Vygotsky mengatakan bahwa pesan budaya dalam pengembangan bahasa anak sangat berpengaruh. Teori sosiokultural kognisi yang digagasnya memainkan perannya dalam kemampuan anak secara individu, terkait dengan pengalaman sosial dan cara berpikir. Vygotsky memfokuskan bagaimana pentingnya antara kemampuan pendidik sebagai fasilitator yang memainkan perannya sebagai tools of the mind mendampingi anak sehari-hari. Pengembangan bahasa di TK diarahkan agar peserta didik mampu menggunakan dan mengekspresikan pemikiran menggunakan kata-kata.

Pengembangan bahasa di TK diarahkan agar peserta didik mampu menggunakan dan mengekspresikan pemikiran dengan menggunakan kata-kata. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pengembangan bahasa lebih diarahkan agar peserta didik di TK dapat melakukan berbagai hal sebagai berikut. Pertama, mengolah kata secara komprehensif. Kedua, mengekpresikan kata-kata tersebut dalam bahasa tubuh (ucapan dan perbuatan) yang dapat dipahami oleh orang lain. Ketiga, mengerti setiap kata, mengartikan dan menyampaikannya secara utuh kepada orang lain. Keempat, berargumentasi dan meyakinkan orang melalui kata-katanya sendiri.

Anak mulai menggunakan tiga sistem isyarat (graphonic, semantic, dan syntatic) secara bersama-sama pada saat membaca permulaan. Anak tertarik pada bacaan, mulai mengingat kembali cetakan pada konteksnya, berusaha mengenal tanda-tanda pada lingkungan, serta membaca berbagai tanda, seperti kotak susu, pasta gigi, atau papan iklan. Pada tahap keempat ini, orang tua dan guru tetap membacakan sesuatu untuk anak-anak sehingga mendorong anak membaca sesuatu pada berbagai situasi. Orang tua dan guru jangan memaksa anak membaca huruf secara sempurna.

Dalam pengembangan kemampuan membaca di TK, terdapat beberapa pendekatan yang dilakukan melalui berbagai bentuk permainan. Beberapa pendekatan yang dimaksud di antaranya adalah metode sintesis, metode global, dan metode whole-linguistic. Metode sintesis yang didasarkan pada teori asosiasi, memberikan suatu pengertian bahwa suatu unsur (misalnya unsur huruf) akan bermakna apabila unsur tersebut bertalian atau dihubungkan dengan unsur lain (huruf lain) sehingga membentuk suatu arti.

Unsur huruf tidak akan memiliki makna apa-apa kalau tidak bergabung (sintesis) dengan unsur (huruf) lain sehingga membentuk suatu kata, kalimat, atau cerita yang bermakna. Atas dasar itu, permainan membaca dimulai dari unsur huruf. Permainan membaca ini dilakukan dengan menggunakan bantuan gambar pada setiap kali memperkenalkan huruf, misalnya huruf a disertai gambar ayam, angsa, anggur, apel, dan sebagainya.

Selain metode di atas, terdapat permainan membaca pada anak dengan menggunakan metode global. Metode ini didasarkan pada teori ilmu jiwa keseluruhan (gestalt). Dalam metode ini, anak pertama kali memaknai segala sesuatu secara keseluruhan. Keseluruhan memiliki makna

Page 113: Jurnal Cakrawala September 2015

382

yang lebih dibandingkan dengan unsur-unsurnya. Kedudukan setiap unsur, hanya berarti jika memiliki kedudukan fungsional dalam suatu keseluruhan. Sebagai contoh, unsur “a” hanya bermakna, jika “a” ini fungsional dalam kata atau kalimat, misalnya “ayam berlari”. Atas dasar ini, metode global memperkenalkan membaca permulaan pada anak yang dimulai dengan memperkenalkan “kalimat”. Kalimat dalam permainan membaca permulaan ini dipilih dari kalimat perintah agar anak melakukan hal-hal yang ada dalam perintah tersebut, seperti “ambil apel itu”. Permainan ini dapat dilakukan dengan menggunakan kartu kalimat, kata, pecahan suku kata, dan huruf. Kegiatan permainan ini dapat dilakukan dengan menggunakan papan flanel dan karton yang dapat ditempel (Depdiknas, 2008: 10 - 11).

Strategi Model Pembelajaran Bercerita melalui Papan Flanel dalam Rangka Meningkatkan Keterampilan Berbahasa Anak Usia Dini

Pengembangan kemampuan berbahasa dapat dilaksanakan dengan menggunakan berbagai metode dan teknik mengajar. Metode dan teknik mengajar yang dimaksud, antara lain 1) bercerita dengan alat peraga langsung; 2) bercerita dengan boneka tangan; 3) bercerita dengan papan flannel; 4) mengurutkan dan menceritakan gambar seri; 5) dramatisasi/bermain peran; 6) bercerita dengan kartu gambar; 7) bermain tebak cerita; 8) bercerita dengan wayang; 9) mengenal simbol-simbol huruf; 10) membuat coretanyang bermakna; 11) meniru huruf; 12) menulis nama sendiri; dan 13) membaca nama sendiri.

Permainan tebak cerita pada anak tentu membutuhkan tingkat pemahaman bahasa yang baik. Tingkat pemahaman bahasa yang dimaksud adalah tingkat pemahaman bahasa yang disampaikan oleh guru menggunakan diksi (pilihan kata) yang

tepat, sesuai dengan dunia anak-anak dan tentu saja mudah dipahami oleh anak-anak. Selain itu, cara penyampaian yang baik serta mimik dan pantomimik yang menyenangkan akan membuat anak-anak menjadi nyaman sehingga mudah memahami apa yang disampaikan oleh guru. Dengan proses yang demikian, anak diharapkan mudah mencerna isi cerita (menyimak), kemudian mereka akan dapat menajawab pertanyaan guru dengan tepat dan benar.

Setiap strategi yang dilakukan dalam pembelajaran pasti mempunyai target capaian. Tingkat pencapain perkembangan yang diharapkan dari permainan tebak cerita, antara lain 1) menyimak perkataan orang lain; 2) memahami cerita yang dibacakan; 3) menjawab pertanyaan sederhana; dan 4) mengutarakan pendapat kepada orang lain. Selain itu, penerapan model pembelajaran tebak cerita membutuhkan alat peraga. Alat peraga yang dimaksud dapat berupa gambar atau benda tiruan/model bermacam-macam binatang. Selain itu, pertanyaan berbentuk cerita juga diperlukan untuk menguji kemampuan menyimak anak-anak.

Cerita yang dipilih untuk menerapkan media papan flanel harus merupakan konteks yang disukai anak, misalnya seputar dunia ewan (fabel) dan tanaman, baik fiksi maupun nonfiksi (Kemendiknas, 2010). Tingkat capaian yang diharapkan dari model pembelajaran ini, antara lain 1) siswa memahami cerita yang dibacakan; 2) menceritakan kembali isi dongeng yang pernah dibacakan; 3) mengenal perbendaharaan kata dan kata sifat, seperti baik hati, sayang, sedih, senang, lesu, dan murung; 4) mengenal suara hewan/benda di sekitarnya; 5) mengulang kalimat sederhana; 6) mngenal simbol-simbol gambar dan benda yang ada di sekitar anak; 7) dapat menceritakan; 8) dapat mengenal bahwa ada hubungan antara bahasa lisan dengan tulisan. Adapun alat yang dibutuhkan, antara

Page 114: Jurnal Cakrawala September 2015

383

lain 1) papan flanel; 2) potongan gambar lepas yang terbuat dari karton yang diberi perekat sesuai tokoh dan gambar yang mendukung cerita; dan 3) potongan gambar sebanyak 4 - 8 gambar.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas (PTK). Penelitian tindakan kelas adalah bagaimana sekelompok guru dapat mengorganisasikan kondisi praktik pembelajaran mereka dan belajar dari pengalaman mereka sendiri. Mereka dapat mencoba suatu gagasan perbaikan dalam praktik pembelajaran mereka dan melihat pengaruh nyata dari upaya itu. Model PTK yang dilakukan dalam penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas kolaborator. Penelitian padatanggal 1 September - 30 Oktober 2014. Subjek penelitian adalah siswa kelompok B TK Mardi Siwi, Kabupaten Pacitan, Jawa Timur dengan jumlahsiswa 19 anak.Subjek pemberi tindakan adalah guru/peneliti, sedangkanpengamatuntuk aktivitas siswa adalah kolaborator, yaitu rekan sejawat.

Teknik pengumpulan data pada penelitian ini meliputi pengamatan/observasi dan dokumentasi. Observasi, yaitu teknik pengumpulan data, meliputi kegiatan pemusatan perhatian terhadap sesuatu objek dengan menggunakan seluruh alat indra. Observasi menggunakan lembar observasi dengan memberi tanda bintang (*), mulai bintang 1 (*) sampai dengan bintang 4(****) serta angka pada kolom yang tersedia sesuai petunjuk pengisian, berdasarkan aspek yang diamatiLembar pengamatan digunakan untuk mencatat kreativitas belajar siswa selama pembelajaran, meliputi 1) kemauan siswa menebak gambar yang secara acak diambilnya; 2) kemampuan siswa bercerita dengan bahasa yang baik; 3) kemampuan siswa bercerita dengan ekspresi yang sesuai dengan tema cerita/gambar yang diambilnya secara acak. Sedangkan, dokumentasi

merupakan teknik pengumpulan data berdasarkan data yang telah tersedia atau hasil dari rekaman kegiatan. Dokumentasi berupa data penilaian hasil belajar anak, foto kegiatan belajar, dan data partisipasi kehadiran siswa.

Data yang telah dikumpulkan dianalisis secara deskriptif dengan menggunakan teknik rata-rata dan teknik persentase. Dalam rangka melihat hasil kegiatan pembelajaran ditentukan kriteria/kategori secara kualitatif. Nilai kreativitas diukur dengan kriteria bintang 1 (*), bintang 2 (**), bintang 3 (***), dan bintang 4 (****). Adapun tingkat ketercapaian kemampuan berbahasa, khususnya bercerita pada anak usia dini dengan memanfaatkan media papan flanel sebagai berikut. Jika jumlah anak yang dinyatakan mampu telah mencapai angka di atas 85%, maka pembelajaran dinyatakan berhasil dan demikian sebaliknya.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan penelitian yang dilakukan (prasiklus),anak-anak masih belum banyak yang mau melakukan kegiatan bercerita dengan papan flanel. Dari 19 siswa, kemampuan bercerita mereka baru mencapai angka 42,09% (8 anak). Anak yang termasuk dalam kategori berkembang sangat baik (BSB) 2 anak (10,52%), berkembang sesuai harapan 6 anak (31,57%). Persentase terbesar justru terdapat pada anak dengan kriteria mulai berkembang, yaitu 9 anak (47,36%) dan 10,52% (2 anak)termasuk dalam kategori belum berkembang. Dengan demikian, diperlukan upaya perbaikan dengan menerapkan alternatif metode pembelajaran yang membangkitkan daya kreativitas, motivasi, inspirasi, dan minat belajar siswa dalam menggambar, yaitu melalui penerapan metode yang menyenangkan melalui tindakan perbaikan pada proses pembelajaran lanjutan.

Page 115: Jurnal Cakrawala September 2015

384

Mencermati hasil pembelajaran prasiklus dengan penerapan model pembelajaran konvensional yang masih jauh dari harapan, maka dilaksanakan siklus I. Hal ini tampak dari persentase yang dicapai bahwa anak-anak yang mampu bercerita dengan media papan flanel baru mencapai 57,89% (11 anak). Secara rinci, capaian siklus II sebagai berikut.Siswa yang termasuk dalam kategori berkembang sangat baik ada 4 anak (21,05%), berkembang sesuai harapan (BSH) 7 anak (36,84%), mulai berkembang 8 anak (42,10%), dan tidak ada lagi anak yang termasuk dalam kategori belum berkembang. Namun demikian, capaian tersebut masih jauh dari standar ketuntasan 85%. Oleh karena itu, treatment pelaksanaan siklusII dengan segala bentuk perbaikan perlu dilakukan agar standar minimal 85% dapat tercapai.

Pelakasanaan siklus II menunjukkan hasil yang sangat menggembirakan. Kemampuan anak berbahasa, khususnya menggunakan media papan flanel mengalami peningkatan. Hal ini dapat dicermati dari capaian siklus 2, yaitu siswa yang termasuk dalam kategori berkembang sangat baik (BSB) ada 6 anak (31,57%), berkembang sesuai harapan (BSH) sebanyak 12 anak (63,15%), mulai berkembang 1 anak (5,26%), dan tidak ada lagi anak yang termasuk dalam kategori belum berkembang.

Berdasarkan hasil tersebut, dapat dideskripsikan bahwa pada semua aspek mengalami kenaikan atau perubahan nilai ke arah positif dari 2 siklus yang dilakukan. Hasil pelaksanaan siklus I dan siklus II menunjukkan bahwa kemampuan anak dalam bercerita dengan media papan flanel mengalami peningkatan. Hal ini dibuktikan dengan kemampuan anak dalam mengungkapkan gambar tentang binatang yang diambilnya secara acak menggunakan bahasa yang baik dan runtut, serta ekspresi yang mulai berkembang cukup baik.

Perubahan positif yang terjadi secara umum menunjukkan adanya pengaruh positif dari cara guru mengelola pembelajaran. Guru lebih kreatif mengajar melalui metode tebak cerita, yaitu mengajak siswa senang bercerita. Kreativitas dan inovasi yang dilakukan guru memberikan implikasi positifterhadap peningkatan kemampuan menyimak cerita. Hal ini tentu merujuk pada kemampuan anak dalam hal memahami bahasa. Dengan demikian, anak akan terbiasa dengan interaksi, komunikasi, dan belajar watak dari tokoh cerita yang pada akhirnya anak akan terlatih membedakan perbuatan mana yang boleh ditiru dan tidak boleh ditiru. Oleh karena itu, tingkat sosial dan emosional anak pun akan tertempa sedini mungkin sehingga anak akan tumbuh menjadi pribadi yang bertanggung jawab.

Capaian siklus I dan II sangat jauh melejit dari keadaan prasiklus. Hal ini juga dapat dimaknai bahwa model pembelajaran konvensional, misalnya hanya dengan menceritakan saja sebuah cerita kepada anak dan membuat suasana pembelajaran menjadi meembosankan. Hal ini sangat mempengaruhi mood anak dalam belajar. Oleh karena itu, dalam proses pembelajaran, utamanya dalam pembelajaran bahasa, metode yang dipakai guru benar-benar harus menarik. Penerapan model pembelajaran berbahasa dengan cara bercerita menggunakan media papan flanel terbukti mampu memberi konstribusi postif dalam kemampuan anak berkomunikasi. Hal tersebut tampak dari capaian prasiklus, siklus I, dan kemudian kenaikan yang terjadi pada siklus II.

Capaian yang diperoleh dari proses pembelajaran inovatif adalah kategori anak yang termasuk dalam berkembang sangat baik (BSB) mengalami kenaikan dari prasiklus 2 anak (10,52%), siklus I menjadi 4 anak (21,05%), dan siklus II mengalami kenaikan lagi menjadi 6 anak (31,57%).

Page 116: Jurnal Cakrawala September 2015

385

Hal yang sama juga terjadi pada capaian kategori anak berkembang sesuai harapan, dari 6 anak (31,57%) pada prasiklus, naik menjadi 7 anak (36,84%) pada siklus I, dan naik menjadi 12 anak (63,15%) pada siklus II. Kategori anak yang termasuk dalam mulai berkembang mengalami penurunan, yaitu dari 9 anak (47,36%) menjadi 8 anak pada siklus I (42,10%). Pada siklus I dan II tidak lagi ditemukan anak-anak yangtermasuk dalam kategori belum berkembang (BB).Total capaian yang diperoleh pada siklus

II sebesar 94,72% (18 anak). Dengan demikian, treatment siklus dihentikan karena telah mencapai lebih dari batas minimal keberhasilan, sebesar 85%.

PENUTUP

Berdasarkan hasil dan pembahasan di atas, dapat diambil simpulan sebagai berikut.Penerapan model bercerita menggunakan media papan flanel dapat meningkatkan kemampuan anak dalam berbahasa pada siswa kelompok B TK Mardi Siwi, Kabupaten Pacitan, Jawa Timur.

DAFTAR PUSTAKA

Depdiknas. 2008. Pengembangan Model Pembelajaran di Taman Kanak-kanak. Jakarta: Depdiknas.

_______. 2010. Kumpulan Pedoman Pembelajaran Taman Kanak-kanak. Jakarta: Kementerian Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pembinaan Taman Kanak-kanak dan Sekolah Dasar.

Page 117: Jurnal Cakrawala September 2015

386

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN PERMAINAN MEMANCING IKAN UNTUK MENGENAL KONSEP BILANGAN PADA ANAK USIA DINI KELOMPOK B

TK TUNAS KARYA, KABUPATEN PACITAN, JAWA TIMUR

Tri SularsihTK Tunas Karya, Kabupaten Pacitan, Jawa Timur

ABSTRACTThe ability to know the concept of the emblem of numbers included in cognitive

abilities. This would be very useful for the future process of a child’s life in the future. In time the children will enter a phase in his life to be able to interact with other people, both with the concept of numbers and delivery with good language. Studies conducted in kindergarten Tunas Karya 2, Pacitan, East Java, the number of students 13 children, carried out by two cycles. The first cycle (I) indicates that children developed very well in the category of up to 4 children (30.76%), developing according to expectations (BSH) number 4 children (30.76%), begins to develop three children (23.07% ), and undeveloped 2 children (15.38%). Achievement of the first cycle has reached 61.52%, therefore, necessary to the implementation of the treatment cycle 2. Implementation of the second cycle with various improvements have resulted in the acquisition of signifkan. Children in developing excellent category (BSB) at 6 children (46.15%), developed in accordance arapan (BSH) 6 children (46.15%), began to evolve one child (7.6%), and underdeveloped 0% , Thus, the achievements of the second cycle reached 92.30%, which means that over 85% sehngga cycle 3 does not need to be done.

Keywords: emblem of numbers, games, fishing

ABSTRAK Kemampuan mengenal konsep lambang bilangan termasuk dalam kemampuan

kognitif. Hal ini tentu akan sangat bermanfaat bagi proses kehidupan anak kelak dikemudian hari. Pada saatnya anak-anak akan memasuki fase dalam hidupnya untuk mampu berinteraksi dengan orang lain, baik dengan konsep angka serta penyampaian dengan bahasa yang baik. Penelitian yang dilaksanakan di TK Tunas Karya 2, Kabupaten Pacitan, Jawa Timur dengan jumlah siswa 13 anak ini, dilaksanakan dengan 2 siklus. Siklus pertama (I) menunjukkan bahwa anak-anak dalam kategori berkembang sangat baik mencapai 4 anak (30,76%), berkembang sesuai harapan (BSH) sejumlah 4 anak (30,76%), mulai berkembang 3 anak (23,07%), dan belum berkembang 2 anak (15,38%). Capaian siklus I baru mencapai 61,52%, oleh karenanya perlu dilakukan treatment pelaksanaan siklus 2. Pelaksanaan siklus II dengan berbagai perbaikan telah menghasilkan perolehan signifkan. Anak dalam kategori berkembang sangat baik (BSB) mencapai 6 anak (46,15%), berkembang sesuai arapan (BSH) 6 anak (46,15%), mulai berkembang 1 anak (7,6%), dan belum berkembang 0%. Dengan demikian, capaian siklus II mencapai 92,30%, yang berarti di atas 85% sehngga siklus 3 tidak perlu dilakukan.

Kata kunci: lambang bilangan, permainan, memancing ikan

Page 118: Jurnal Cakrawala September 2015

387

PENDAHULUAN

Kemampuan mengenal lambang bilangan merupakan salah satu bentuk kemampuan kognitif. Minett mendeskripsikan bahwa perkembangan kognitif anak yang telah berusia lebih dari satu tahun dapat dilakukan dengan memberi kesempatan kepada anak untuk lebih banyak berbicara, mempraktikkan keterampilan baru, mengeksplorasi tempat-tempat baru, bermain dengan beragam alat permainan, menyimak cerita, dan melihat-lihat buku bergambar. Dengan cara itu, diharapkan kecerdasan anak akan berkembang secara optimal.

Pemenuhan kebutuhan anak usia taman kanak-kanak untuk meningkatkan kemampuan berhitung perlu mendapat bimbingan dan pembinaan secara sistematis dan terencana. Pemberlakuan Kurikulum TK 2004 yang berbasis kompetisi berimplikasi pada perlunya pengembangan pembelajaran. Para pendidik sebelum melaksanakan kegiatan pembelajaran perlu mempersiapkan segala media yang digunakan untuk menunjang proses belajar-mengajar di dalam kelas serta model-model pembelajaran yang sesuai dengan karateristik perkembangan fisik dan psikologi anak. Keadaan lingkungan sekitar dan ketersediaan sarana-prasarana pendidikan juga menunjang keberhasilan proses belajar-mengajar.

Rasa ingin tahu pada anak yang sangat tinggi akan tersalurkan apabila mendapat stimulasi/rangsangan/motivasi yang sesuai dengan tugas perkembangannya. Apabila keinginan berhitung diberikan melalui berbagai macam permainan, diharapkan akan lebih efektif karena bermain merupakan wahana belajar dan bekerja bagi anak. Diyakini bahwa anak akan lebih berhasil mempelajari sesuatu apabila yang ia pelajari sesuai dengan minat, kebutuhan, dan kemampuan anak.

Kegiatan pembelajaran di TK diarahkan untuk meningkatkan perkembangan mental

anak ketahap yang lebih tinggi. Hal tersebut dapat dilakukan dengan cara memperkaya pengalaman anak, terutama pengalaman konkret karena dasar pengalaman mental anak melalui pengalaman aktif menggunakan benda-benda sekitarnya.Pendidikan di TK sangat penting untuk mencapai keberhasilan belajar pada tingkat pendidikan selanjutnya.

Kemampuan mengenal lambang bilangan merupakan salah satu pengembangan dari kemampuan kognitif. Diharapkan anak akan memiliki kecakapan dalam memecahkan masalah yang berkaitan dengan bilangan. Keterampilan berhitung dapat membantu siswa untuk berpikir kritis, analitis, dan membantu anak membuat keputusan dalam kehidupan sehari-hari. Anak perlu dikenalkan dengan permainan yang bersifat mengasah daya kognitif anak, seperti menciptakan bentuk dari kepingan balok-balok, mengerjakan maze, menyusun puzzle, dan permainan lain yang dapat mengasah kemampuan otak anak.

Namun, pada kenyataannya masalah kognitif akhir-akhir ini cukup memprihatinkan. Depdiknas (2007) menyebutkan bahwa pelayanan pendidikan anak usia dini melakukan “pengarbitan” pada anak melalui tugas akademi yang kurang patut. Anak-anak menghabiskan waktunya untuk mengikuti les di sekolah maupun les privat dalam hal membaca, menulis, dan berhitung. Usia 4 - 6 tahun pada hakikatnya baru boleh dikenalkan saja, termasuk pengenalan lambang bilangan, namun yang terjadi anak justru mendapatkan beban berat.

Pengenalan membilang pada anak akan lebih bermakna jika diterapkan dengan metode yang tepat. Guru dapat menggunakan alternative metode yang dapat membantu keterampilan siswa dalam berhitung dalam suasana belajar yang menyenangkan, terutama sesuai dengan perkembangan anak. Anak akan berminat mengikuti pembelajaran jika belajar dilakukan sambil bermain, serta

Page 119: Jurnal Cakrawala September 2015

388

menggunakan media pembelajaran yang disukai anak. Media tersebut dapat berupa gambar-gambar.

Berdasarkan paparan tersebut di atas, penelitian ini menerapkan model permainan memancing ikan agar siswa tidak merasa terbebani belajar konsep angka/berhitung. Adapun permasalahan yang diangkatd alam penelitian ini sebagai berikut. Bagaimana efektivitas penerapan model pembelajaran permainan memancing ikan dalam meningkatkan kemampuan mengenal lambang bilangan pada siswa kelompok B TK Tunas Karya 2, Kabupaten Pacitan, Jawa Timur?”

Indikator Kecerdasan Matematis-Logis Anak Usia Dini

Kecerdasan ini merupakan suatu kemampuan untuk mendeteksi pola berpikir deduktif, dan logis. Kemampuan ini sering diasosiasikan dengan berpikir secara ilmiah dan matematis (Kurniasih, 2009: 90). Anak-anak yang mempunyai kecerdasan matematis-logis cenderung berpikir secara numerik dan dalam konteks pola, urutan logis, sebab-akibat, dan kategorial. Gardner (dalam Widayati & Widijati, 2008: 24) menyatakan bahwa pada masa anak-anak inilah penjelajahan berbagai pola, kategori, dan hubungan sebab-akibat dimulai. Anak-anak secara aktif memanipulasi lingkungan (seperti kategori mainan), bereksperimen dengan berbagai hal menggunakan cara-cara yang terkendali (seperti mencelupkan benda pada air untuk mengetahui posisi benda pada air dan mendekatkan benda-benda pada magnet).

Pada anak-anak kecerdasan matematis-logis muncul dalam bentuk indikator berikut. Pertama, anak memiliki kepekaan terhadap angka, senang melihat angka, dan cepat menghitung benda-benda yang ada di sekitarnya. Kedua, anak tertarik dengan komputer dan kalkulator,

memencet-mencet dan senang melihat angka yang keluar. Ketiga, anak sering mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang sebab-akibat suatu gejala atau fenomena, seperti mengapa catnya lengket? mengapa kepalanya pusing? mengapa kalau hujan sering terjadi banjir? dan sebagainya. Keempat, anak menyukai permainan yang menggunakan logika, strategi, dan pemikiran, misalnya maze, catur, dan puzzle. Kelima, anak dapat menjelaskan masalah-masalah ringan secara logis, seperti mengapa takut, mengapa perut kenyang, mengapa terjatuh, mengapatemannya marah, dan sebagainya. Keenam, anak lebih banyak menghabiskan waktu untuk bermain dengan mainan yang membutuhkan kemampuan konstruksi, seperti menyusun balok, serta memasangkan angka-angka dan gambar (Kurniasih, 2009: 90 - 91).

Dengan adanya berbagai indicator di atas, guru perlu membangkitkan kecerdasan matematis-logis siswa dengan mengajak mereka belajar memecahkan masalah, memberikan tugas yang diselesaikan secara bertahap, bereksperimen, dan kegiatan edukatif lain yang menarik minat siswa dan berhubungan dengan kognitif.

Belajar Mengenal Lambang Bilangan

Bukanlah hal yang salah untuk mengajarkan anak prasekolah membaca dan berhitung (matematika awal) jika penerapannya sesuai dengan perkembangan anak. Anak perlu memiliki kesiapan, minat, dan rasa ingin tahu yang kuat. Perlu diperhatikan juga bahwa kesiapan anak untuk belajar itu tidak sama. Dari berbagai pangamatan dan pengalaman, metode apapun yang kita terapkan dalam mengajari anak, selama hal itu dilakukan dengan suasana santai dan akrab, maka anak akan cepat menangkap apa yang kita ajarkan.

Bagian-bagian dari pengenalan matematika awal sebagai berikut.

Page 120: Jurnal Cakrawala September 2015

389

1. Bilangan1.1. Lambang1.2. Kuantitas (jumlah)1.3. Himpunan1.4. Urutan, jumlah, lebihbesar/kecil

2. Geometri2.1. Dimensi 1: garis tegak, datar, miring

kiri, miring kanan, lengkung.2.2. Dimensi 2: persegi panjang, persegi,

segitiga, lingkaran.2.3. Dimensi 3: balok, kubus, bola.

3. Contoh- contoh kegiatan3.1. Perhatikan ruang kelas kita,

berapakah jumlah anak yang terdapat di dalam kelas? (anak diajak berhitung menurut jumlah murid yang ada).

3.2. Melipat dan menggunting kertas untuk membuat pola persegi dan segitiga.

3.3. Membentuk dengan plastisin membuat bangun geometri (persegi, segitiga, lingkaran).

3.4. Menggambar bentuk rumah dengan menggunakan bentuk-bentuk geometri.

3.5. Mencipta bentuk menggunakan kepingan geometri (Depdiknas, 2000: 35).

Dari pemberian pembelajaran matematika awal, anak diperkenalkan konsep-konsep atau pengetahuan sebagai berikut.

1. Warna dan bentuk (Colour & Shape)1.1. Mengidentifikasi warna.1.2. Mengenal persegi, persegi panjang,

segitiga, dan lingkaran.1.3. Mengenal bola, tabung, kubus,

balok.

2. Pola dan Fungsi (Pattern & Function).2.1. Mengklarifikasikan objek

berdasarkan warnanya.2.2. Mengklarifikasikan objek

berdasarkan bentuknya.

2.3. Mengenalkan objek-objek yang mempunyai ukuran sama.

2.4. Menentukan objek-objek berikutnya bila ditentukan suatu polanya.

3. Ruang dan Posisi3.1. Menentukan apakah suatu objek

berada di atas atau di bawah.3.2. Menentukan apakah sesuatu objek

berada di luar atau di dalam.3.3. Menentukan di kanan atau di kiri.3.4. Menentukan di depan, di tengah,

atau di belakang.3.5. Menentukan di samping atau di

antara.

4. Bilangan dan kemampuan membilang4.1. Menentukan anggota himpunan

yang banyak dan sedikit.4.2. Menentukan himpunan yang sama.4.3. Menggabungkan dua himpunan dan

menghitung banyaknya anggota.4.4. Menentukan anggota himpunan

yang dipisah.4.5. Membilang anggota himpunan dari 1

- 104.6. Menentukan urutan ke-1, ke-2, ke-3,

dan seterusnya.4.7. Mengurutkan bilangan dari 1 - 104.8. Mengenal konsep bilangan nol (0)

5. Waktu, Pengukuran, dan Uang5.1. Menyebutkan kegiatan-kegiatan

yang dilakukan dari pagi hingga siang.

5.2. Menentukan kegiatan yang lebih dahulu dari sebuah cerita.

5.3. Menentukan objek-objek yang sama, panjang-pendek, besar-kecil, dan sebagainya (Depdiknas, 2000: 36).

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan model penelitian tindakan dari Kemmis & Taggart (Akbar, 2009: 28), yaitu berbentuk spiral dari siklus satu ke siklus berikutnya. Setiap siklus, meliputi rencana, tindakan, pengamatan, dan refleksi. Langkah pada

Page 121: Jurnal Cakrawala September 2015

390

siklus berikutnya adalah perencanaan yang sudah direvisi, tindakan, pengamatan, dan refleksi. Sebelum masuk pada siklus I dilakukan tindakan pendahuluan yang berupa identifikasi permasalahan. Subjek penelitian ini adalah siswa kelompok B TK Tunas Karya 2, Kabupaten Pacitan, Jawa Timur yang berjumlah 13 siswa. Penelitian dimulai tanggal 1 September - 30 Oktober 2014, pada semester I (ganjil) tahun ajaran 2014/2015.

Data-data yang diperlukan dalam penelitian ini diperoleh melalui observasi pengolahan belajar dengan metode pemberian tugas, observasi terhadap aktivitas anak didik, lembar penilaian pengetahuan mengenal lambang bilangan, dokumentasi, dan catatan harian.Teknik atau prosedur pengumpulan data selama penelitian, terdiri atas 1) metode observasi, yaitu melakukan kegiatan pengamatan terhadap aktivitas siswa dan guru selama penelitian berlangsung; dan 2) metode konstekstual, dalam hal ini permainan memancing ikan, yaitu penilaian kemampuan pengetahuan mengenal lambang bilangan melalui permainan memancing ikan.

Untuk mengetahui keefektifan suatu metode dalam kegiatan pembelajaran, perlu diadakan analisis data.Penelitian ini menggunakan teknik analisis deskriptif kualitatif, yaitu suatu metode penelitian yang bersifat menggambarkan kenyataan atau fakta sesuai dengan data yang diperoleh untuk mengetahui hasil belajar yang dicapai anak didik. Selain itu, juga untuk memperoleh respons anak didik terhadap kegiatan pembelajaran, serta aktivitas anak didik selama proses pembelajaran.

Penilaian kemampuan tentang kemampuan mengenal konsep lambang bilangan menggunakan kriteria sebagai berikut. Bintang4 (****) BSB: Berkembang Sangat Baik; bintang 3 (***) BSH: Berkembang Sesuai Harapan; bintang 2 (**) MB: Mulai

Berkembang; bintang 1 (*), BB: Belum Berkembang. Ketercapaian dalam penelitian ini akan dianalisis dengan menggunakan skala, yakni bila tingkat keberhasilan di atas angka 85%, maka pembelajaran dikatakan berhasil dan siklus bias dihentikan. Namun, bila ketercapaian belum mencapai angka 85%, maka siklus masih perlu terus dilakukan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan identifikasi permasalahan sebelum penelitian, diperoleh simpulan masih rendahnya tingkat pemahaman anak terhadap kemampuan mengenal lambang bilangan. Salah satu hal yang menyebabkannya adalah penyampaian materi yang terlalu cepat oleh guru pembimbingsehingga pembelajaran menjadi membosankan dan tidak menarik bagi anak. Untuk perbaikan pengelolaaan pembelajaran, alternatif fokus perbaikan pembelajaran pada siklus I adalah mengubah metode pembelajaran menjadi menarik dengan menggunakan media yang lebih menarik sehingga anak-anak akan lebih berminat mengikuti kegiatan.

Data prasurvei menunjukkan bahwa anak-anak yang termasuk dalam kategori berkembang sangat baik (BSB) 3 anak (23,075), berkembang sesuai harapan 4 anak (30,76%), mulai berkembang 3 anak (23,07%), dan belum berkembang 3 anak (23,07%). Berdasarkan data tersebut, capaian kemampuan anak dalam mengenal lambang bilangan baru berjumlah 7 anak (53,83%). Capaian data prasurvei tersebut mengindikasikan perlunya diadakan inovasi pembelajaran, utamanya dalam mengenalkan lambing bilangan kepada anak usia dini.

Berdasarkan pelaksanaan siklus I, diketahui bahwa siswa yang termasuk dalam kategori berkembang sangat baik (BSB) sebanyak 4 anak (30,76%), berkembang sesuai harapan 4 anak (30,76%), mulai berkembang 3 anak (23,07%), dan belum berkembang (BB) 2 anak (15,38%). Capaian

Page 122: Jurnal Cakrawala September 2015

391

tersebut sangat jauh dari capaian prasurvei yang menunjukkan kemajuan signifikan. Namun demikian, capaian tersebut masih berada di bawah standar keberhasilan karena baru mencapai 61,52%. Oleh karena itu, perlu dilakukan perbaikan dan dilaksanakan siklus II.

Pelaksanaan siklus II mengalami kenaikan, bahkan ketuntasan belajar. Dari13 jumlah anak didik, semuanya mengalami kenaikan kemampuan yang signifikan. Anak-anak yang termasuk dalam kategori berkembang sangat baik sejumlah 6 anak (46,15%), berkembang sesuai harapan 5 anak (38,46%), mulai berkembang 1 anak (7,6%). Angka ketuntasan yang diperoleh dari pelaksanaan siklus II sebesar 92,30%. Angka tersebut berada di atas 85%, dengan demikian siklus III tidak perlu dilakukan.

Hasil penelitian di atas menunjukkan bahwa metode permainan memancing ikan dalam pembelajaran mengenal lambang bilangan memiliki dampak positif dalam meningkatkan hasil belajar anak didik kelompok B TK Tunas Karya 2, Kabupaten Pacitan, Jawa Timur. Hal ini dapat dilihat dari semakin mantapnya pemahaman anak terhadap materi yang disampaikan oleh guru (ketuntasan belajar meningkat dari siklus I ke siklus II).

Penerapan model pembelajaran inovatif ternyata mampu menggugah kemauan anak untuk belajar yang kemudian memberikan efek positif dalam capaiannya. Anak-anak sangat antusias dalam mengikuti pembelajaran karena guru membuka pelajaran dengan sangat menarik. Guru membuka pelajaran dengan bermain suara, kemudian guru bersembunyi di balik almari yang bertuliskan angka 5. Anak-anak pun mencari sumber suara/tangisan, yang tak lain adalah suara guru. Guru kembali memainkan suara seperti suara raksasa. Anak-anak dengan ekspresinya masing-masing mulai mencari sumber suara itu dan tiba-tiba ada

suara perempuan yang memberi tahu dimana guru mereka.

Suasana menyenangkan yang dibangun oleh guru pada awal pembelajaran ternyata mampu membangkitkan semangat anak untuk belajar. Anak-anak semakin penasaran dengan apa yang akan mereka lakukan, apalagi kegiatan serupa telah dilakukan pada siklus 1 sehingga anak-anak lebih cekatan melaksanakan perintah guru, mereka berhitung dengan cermat dan mencari kartu angka sesuai dengan jumlah ikan yang diperoleh masing-masing kelompok.

Terjadi perubahan signifikan pada jumlah anak yang berkategori berkembang sangat baik (BSB) dari 30,765 menjadi 46,15% atau dari 4 anak menjadi 6 anak. Anak-anak dalam kategori berkembang sesuai harapan (BSH) naik dari 4 anak menjadi 6 anak atau 30,76% menjadi 46,15%. Sedangkan, anak-anak yang termasuk dalam kategori mulai berkembang mengalami penurunan dari 2 anak (15,38%) menjadi 1 anak (7,60%). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa penerapan model permainan memancing ikan sangat tepat diterapkan untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam mengenal lambang bilangan, khususnya di TK Tunas Karya 2, Kabupaten Pacitan, Jawa Timur.

PENUTUP

Berdasarkan hasil dan pembahasan di atas, dapat diambil simpulan sebagai berikut. Penerapan metode permainan memacing ikan dalam mengenalkan lambang bilangan memberikan perubahan positif, khususnya bagi siswa kelompok B TK Tunas Karya 2, Kabupaten Pacitan, Jawa Timur. Hal ini dapat dicermati dari adanya perubahan signifikan pada jumlah anak yang berkategori berkembang sangat baik (BSB) naik presentasenya dari 30,765 menjadi 46,15% atau dari 4 anak menjadi 6 anak. Anak-anak dalam kategori berkembang sesuai harapan

Page 123: Jurnal Cakrawala September 2015

392

(BSH) jumlahnya naik dari 4 anak menjadi 6 anak atau dari 30,76% menjadi 46,15%. Sedangkan, anak-anak yang termasuk dalam

kategori mulai berkembang mengalami penurunan dar 2 anak (15,38%) menjadi 1 anak (7,60%).

DAFTAR PUSTAKA

Akbar, Sa’dun. 2009. Penilaian Tindakan Kelas. Yogyakarta: Cipta Media Aksara.

Kurniasih, Imas. 2009. Pendidikan Anak Usia Dini. Yogyakarta: Edukasia.

Depdiknas. 2007. Pedoman Pembelajaran Bidang Pengembangan Kognitif di Taman Kanak-kanak. Jakarta: Depdiknas.

Depdiknas. 2000. Permainan Berhitung di TK. Jakarta: Depdiknas.

Widayati, Sri & Widijati, Utami. 2008. Mengoptimalkan 9 Zona Kecerdasan Majemuk Anak. Yogyakarta: Luna Publisher.

Page 124: Jurnal Cakrawala September 2015

393

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KARYA WISATA UNTUK MENINGKATKAN KREATIVITAS MENGGAMBAR PADA SISWA

KELOMPOK B TK TUNAS KARYA, KABUPATEN PACITAN, JAWA TIMUR

Widi AstutiTK Tunas Karya, Kabupaten Pacitan, Jawa Timur

ABSTRACTThis study aims to determine the effectiveness of learning models travel works to

improve students’ creativity draw. This research is a classroom action research (PTK) The model PTK conducted in this research is classroom action research collaborators. This classroom action research conducted on the student group B TK Tunas Karya, Pacitan, East Java, which involves teacher / or colleagues as collaborators. The research subjects were 18 students, consisting of 12 girls and 6 boys. Methods of data collection is done by observation and documentation. The results showed that the method works draw lessons can travel increases children’s creativity. Children are more enthusiastic, concentration, confident, and bold ideas put forward in the draw after being given the motivation and feel the enjoyable learning atmosphere while enjoying nature.

Keywords: creativity, drawing, field trips

ABSTRAKPenelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas model pembelajaran karya

wisata untuk meningkatkan kreativitas menggambar siswa. Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas (PTK).Model PTK yang dilakukan dalam penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas kolaborator. Penelitian tindakan kelas ini dilaksanakan pada siswa kelompok B TK Tunas Karya, Kabupaten Pacitan, Jawa Timur, yang melibatkan guru/atau teman sejawat sebagai kolaborator. Subjek penelitian ini berjumlah 18 siswa, terdiri dari 12 siswa perempuan dan 6 siswa laki-laki. Metode pengumpulan data dilakukan dengan teknik observasi dan dokumentasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelajaran menggambar menggunakan metode karya wisata dapat meningkatkan kreativitas anak. Anak lebih antusias, konsentrasi, percaya diri, dan berani mengemukakan ide dalam menggambar setelah diberi motivasi dan merasakan suasana belajar yang menyenangkan sambil menikmati alam.

Kata kunci: kreativitas, menggambar, karya wisata

PENDAHULUAN

Program kegiatan belajar di TK merupakan satu kesatuan program pembelajaran yang utuh. Program kegiatan ini berisi bahan-bahan pembelajaran yang disusun menurut pendekatan tematik. Dengan demikian, guru dituntut untuk dapat mengembangkan tema-tema tersebut dan melaksanakannya dalam kegiatan pembelajaran dengan berbagai cara, antara lain variasi berbagai macam kegiatan belajar, pengelompokan anak, pengaturan

lingkungan, serta pemanfaatan sarana dan prasarana.

Perencanaan program kegiatan secara menyeluruh akan membentuk strategi pembelajaran yang merupakan penggabungan berbagai tindakan untuk mencapai tujuan kegiatan. Hal ini bisa dikembangkan dengan menggunakan beberapa metode pembelajaran. Dalam hal ini, kreativitas guru diperlukan untuk mengembangkan dan menerapkan variasi metode pembelajaran di sekolah.

Page 125: Jurnal Cakrawala September 2015

394

Saat pembelajaran di kelas, guru masih mengalami banyak permasalahan, yaitu belum meratanya tingkat penguasaan siswa dalam hal keterampilan menjawab pertanyaan dengan benar, keterampilan membaca, berhitung, menulis, kegiatan mengambar, dan keterampilan lainnya. Kondisi tersebut mungkin disebabkan oleh proses pembelajaran yang diterapkan guru kurang variatif, kurang kreatif, dan kurang mengaktifkan siswa. Masalah lainnya adalah faktor perbedaan tingkat perkembangan fisik, psikologis, bakat, dan minat siswa.Permasalahan-permasalahan tersebut menjadi permasalahan umum yang perlu evaluasi dengan memperbaiki tindakan yang telah dilakukan sebelumnya. Salah satu alternative perbaikan yang dapat dilakukan adalah dengan penerapan metode pembelajaran yang variatif, kreatif, dan menyenangkan.

Berdasarkan pengalaman terhadap kegiatan pengembangan di kelas, utamanya di TK Tunas Karya, Kabupaten Pacitan, Jawa Timur, ditemukan masalah kurangnya kreativitas anak dalam menggambar. Hal ini dapat diidentifikasi dari beberapa kondisi. Pertama, anak kurang konsentrasi/kurang memperhatikan contoh cara menggambar yang disampaikan oleh pendidik sebelum kegiatan dimulai. Kedua, anak kurang bersemangat dalam melakukan kegiatan menggambar. Ketiga, anak kurang kreatif dalam melakukan kegiatan menggambar, cenderung meniru gambar guru, teman, dan rata-rata menggambar pemandangan alam dengan wujud gunung dan matahari. Keempat, media yang digunakan guru kurang menarik perhatian anak didik dan masih terbatas dengan buku gambar dan pensil/krayon.

Pembelajaran menggambar ditaman kanak-kanak perlu suasana yang menarik perhatian siswa untuk mengekspresikan perasaan, imajinasi, dan daya cipta dalam

bentuk gambar. Situasi tersebut dapat diciptakan dengan mengajak peserta didik ke tempat atau lingkungan yang menyenangkan, seperti tempat wisata, alam pedesaan, alam pegunungan, tempat permainan, dan tempat-tempat lain yang dapat menumbuhkan minat siswa untuk menyatakan perasaan berdasarkan pengalamannya. Dengan memberi kebebasan kepada peserta didik untuk menggambar objek, baik berdasarkan apa yang sedang dilihat, dialami, diminati, maupun khayalannya dalam suasana yang menyenangkan, diharapkan dapat mengembangkan dan meningkatkan kreativitas menggambar mereka.

Pengembangan Keterampilan Motorik Halus pada Anak Usia Dini

Keterampilan motorik halus adalah aktivitas-aktivitas yang memerlukan pemakaian otot-otot kecil pada tangan. Aktivitas ini termasuk memegang benda kecil, menggunting, menggambar, dan mewarnai (Kurniasih, 2009: 29 - 30). Sedangkan menurut Hurlock, keterampilan motorik halus adalah suatu gerakan yang hanya membutuhkan otot-otot kecil dan tidak memerlukan tenaga yang benar, seperti menulis, menggunting, melipat, meronce, menggambar, dan sejenisnya.

Dapat dikatakan bahwa keterampilan motorik halus adalah suatu kegiatan yang dapat melatih koordinasi tangan, mata, dan pikiran dalam menggunakan berbagai alat atau media kreatif sehingga memperoleh keterampilan yang berguna untuk perkembangan selanjutnya. Keterampilan motorik halus sangat penting untuk koordinasi gerakan tangan dan jari secara fleksibel untuk meningkatkan kepercayaan diri dalam kehidupan. Keterlambatan perkembangan motorik halus dapat menyebabkan kesulitan pada anak ketika memasuki sekolah dasar.

Terdapat beberapa faktor yang melatarbelakangi keterlambatan

Page 126: Jurnal Cakrawala September 2015

395

perkembangan motorik halus, di antaranya adalah kurangnya kesempatan untuk melakukan eksplorasi terhadap lingkungan, kurangnya pembiasaan anak mengerjakan aktivitas sendiri, serta kurangnya rangsangan belajar pada anak untuk bebas menggerakkan tangan dalam kegiatan sehari-hari. Untuk mengatasi kesulitan dalam mengembangkan keterampilan motorik halus, dapat dilakukan dengan 1) meningkatkan frekuensi permainan edukatif yang merangsang kordinasi motorik halus, seperti puzzle, mencoret-coret, menulis, dan sebagainya; 2) membiarkan anak mengeksplorasi lingkungan dengan pengawasan; 3) melatih anak sejak dini untuk memegang makanan, benda, alat-alat atau media tulis dan gambar (Kurniasih, 2009: 32).

Aktivitas-aktivitas yang dapat mengembangkan keterampilan motorik halus pada anak, antara lain menulis, menggambar, dan mewarnai. Media tulis/gambar/warna yang tepat adalah krayon yang pendek, kapur tulis yang berbentuk bulat telur. Dengan ketepatan ukuran media, diharapkan anak dapat melakukan aktivitas motorik halus dengan keterampilan tangannya (jari-jari) daripada seluruh tangan.

Kreativitas Menggambar pada Anak Usia Dini

Kegatan menggambar merupakan salah satu bentuk kegiatan seni. Seni pada diri seorang anak perlu dikembangkan dengan baik agar potensi anak dapat terdeteksi sejak dini. Hal tersebut bertujuan agar anak dapat menciptakan sesuatu berdasarkan hasil imajinasinya dan dapat menghargai hasil kreativitas orang lain. Sesuai dengan Kurikulum TK tahun 2004, kompetensi dasar pada bidang-bidang pengembangan menurut pengelompokan anak, khususnya bidang seni sebagai berikut.

1. 1. Kelompok A (anak usia 4 - 5 tahun), anak diharapkan mampu mengekspresikan diri dengan berbagai

media/bahan dalam berkarya seni melalui kegiatan eksplorasi.

2. Kelompok B (anak usia 5 - 6 tahun), diharapkan anak mampu mengekspresikan diri dan berkreasi dengan berbagai gagasan imajinasi daan menggunakan berbagai media/bahan menjadi suatu karya seni (Depdiknas, 2008: 16 - 17)

Berdasarkan tujuan tersebut, pengembangan seni dibagi dalam seni menggambar, melukis, mencetak, menari, seni gerak, seni suara, dan seni musik. Khusus pada seni menggambar, tujuan pembelajaran bagi peserta didik adalah agar mereka mampu mengekspresikan diri dan berkreasi dengan berbagai gagasan imajinasi terhadap objek/sesuatu menjadi wujud gambar. Media yang dapat digunakan, antara lain media gambar dari kertas gambar, krayon, pensil warna, dan spidol yang dapat diberikan secara bervariasi. Sedangkan objek gambar, dapat diberikan melalui contoh gambar di papan tulis, gambar di kertas, maupun menggambar bentuk konkret/nyata.

Menggambar secara umum dapat diartikan sebagai kegiatan mengekspresikan perasaan, pengalaman, pengamatan, fantasi/imajinasi terhadap sesuatu ke dalam wujud gambar. Untuk dapat menggambar objek dengan baik, diperlukan keterampilaan, latihan, teknik, dan pembimbingan yang terarah sesuai tingkat kematangan anak.

Kegiatan yang diharapkan dapat mengembangkan kreativitas menggambar antara lain sebagai berikut. Pertama, membuat berbagai bentuk gambar dengan media dan sumber belajar yang bervariasi. Kedua, meniru membuat garis tegak, datar, miring, lengkung, kotak, dan lingkaran. Ketiga, menggambar bervariasi (gambar tiruan, gambar konkret, gambar khayalan). Keempat, menggunting dengan berbagai media berdasarkan bentuk/pola (lurus,

Page 127: Jurnal Cakrawala September 2015

396

lengkung, gelombang, zig-zag, lingkaran, persegi dan segitiga). Kelima, memegang krayon, pensil warna, kapur, dan alat menggambar lain dengan benar (Kurniasih, 2009: 35 - 38).

Untuk meningkatkan kemampuan dan kreativitas menggambar pada anak, dapat dilakukan langkah-langkah sebagai berikut.

1. Guru harus menyediakan sumber dan media bervariasi yang dapat merangsang anak untuk melakukan kegiatan dan dapat menumbuhkan keterampilan dan kreativitas. Hal ini dapat dilakukan dengan cara memberikan suasana yang menyenangkan dalam melakukan kegiatan menggambar.

2. Memberikan rangsangan dan bimbingan kepada anak. Dalam kegiatan ini guru perlu menemukan teknik atau cara- cara yang baik dalam melakukan kegiatan dengan bermacam – macam media dan metode kreatif, inovatif, dan menyenangkan.

Berdasarkan deskripsi di atas, dapat disimpulkan bahwa kreativitas seni pada anak, khususnya kegiatan menggambar dipengaruhi oleh keterampilan guru dalam mengelola pembelajaran. Guru perlu menerapkan cara, strategi, metode, dan teknik pengajaran yang bervariasi, kreatif, dan sesuai dengan tujuan pembelajaran yang ditentukan. Guru juga diharapkan dapat memanfaatkan sumber belajar yang beragam untuk menciptakan suasana yang tidak membosankan. Dalam penelitian ini, metode yang menjadi alternatif diterapkan untuk meningkatkan kreativitas menggambar adalah metode karya wisata atau darma wisata.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas (PTK). Model PTK yang dilakukan dalam penelitian ini adalah penelitian

tindakan kelas kolaborator. Penelitian tindakan kelas ini dilaksanakan pada siswa kelompok B TK Tunas Karya, Kabupaten Pacitan, Jawa Timur, yang melibatkan guru/atau teman sejawat sebagai kolaborator. Adapun waktu penelitian dilaksanakan pada tanggal 23 Agustus - 30 Oktober 2014. Subjek penelitian ini adalah siswa kelompok B TK Tunas Karya, Kabupaten Pacitan, Jawa Timur, yang berjumlah 18 siswa, terdiri dari 12 siswa perempuan dan 6 siswa laki-laki. Subjek pemberi tindakan adalah guru/peneliti, sedangkan pengamat aktivitas siswa adalah kolaborator, yaitu rekan sejawat.

Metode yang diterapkan dalam penelitian ini meliputi penyediaan data dan analisis data. Penyediaan data atau pengumpulan data dilakukan dengan dua cara. Pertama, teknik observasi, yaitu teknik pengumpulan data yang meliputi kegiatan pemusatan perhatian terhadap suatu objek dengan menggunakan seluruh alat indra. Observasi menggunakan lembar observasi dengan memberi tanda bintang (*) dan angka pada kolom yang tersedia sesuai petunjuk pengisian berdasarkan aspek yang diamati. Kedua, teknik dokumentasi, merupakan teknik pengumpulan data berdasarkan data yang telah tersedia atau hasil dari rekaman kegiatan. Tahapan yang dilakukan setelah data terkumpul adalah analisis data. Pelaksanaan analisis data menggunakan teknik rata-rata dan teknik persentase, selanjutnya untuk melihat hasil dalam kegiatan pembelajaran ditentukan kriteria/kategori secara kualitatif.

Tabel 1. Kriteria Penilaian Kreativitas Menggambar

Kriteria Nilai Skor KeteranganMampu tanpa bantuan

**** 4 Sangat baik/BSB

Mampu *** 3 Baik/BSH

Page 128: Jurnal Cakrawala September 2015

397

Mampu dengan bantuan

** 2 Cukup/MB

Belum mampu

* 1 Kurang/BB

Keterangan:BSB : Berkembang Sangat BaikBSH : Berkembang Sesuai HarapanMB : Mulai BerkembangBB : Belum Berkembang

Selanjutnya rata-rata nilai kreativitasuntuk hasil pengamatandapat dirumuskan sebagai berikut.

=

dengan: = nilai rata-rata = jumlah nilai siswa

= jumlah siswa/aspek pengamatan

Selanjutnya ditentukan nilai/skor kreativitas siswa dalam bentuk persentase sebagai berikut. P = x 100%

Data yang diperoleh dari lembar observasi dan dokumentasi kemudian diolah dan dilakukan analisis. Langkah seanjutnya adalah membuat simpulan setelah melalui kegiatan member check. Member check adalah aktivitas pengecekan keabsaan data melalui penggabungan hasil pengamatan dan dokumentasi.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian tindakan kelas dilakukan sebagai upaya perbaikan terhadap proses pembelajaran yang telah dilakukan. Sebelum dilakukan penelitian, dilakukan observasi atau penggalian data hasil dokumentasi berupa hasil kemampuan menggambar siswa pada proses pembelajaran sebelumnya.

Berdasarkan data prasurvei yang dilakukan, kemampuan anak dalam menggambar menggunakan metode konvensional masih jauh dari harapan. Pada data prapenelitian tersebut guru masih menoton dalam memberikan instruksi, anak masih diajak belajar di dalam kelas, sehingga hasil yang diperoleh, yaitu anak yang termasuk dalam kategori berkembang sangat baik (BSB) baru 2 anak (11,11%), anak dalam kategori berkembang sesuai harapan (BSH) 4 anak (22,22%), anak yang termasuk dalam kategori mulai berkembang 9 anak (50%), dan anak yang termasuk dalam kategori belum berkembang adalah 3 anak (16,66%).

Dengan demikian, persentase jumlah anak dalam kategori mampu baru mencapai6 anak (33,33%). Angka tersebut masih sangat jauh dari angka keberhasilan. Oleh karena itu, perlu dilakukan treatment atau upaya agar kemampuan menggambar anak semakin berkualitas dan anak melakukannya dengan senang hati.

Pada aspek 1 (kemauan anak untuk mengemukakan ide), anak yang termasuk dalam kriteria bintang empat (****) atau berkembang sangat baik terdapat 2 anak (11,11%), anak yang termasuk dalam kategori berkembang sesuai harapan (BSH) terdapat 4 anak (22,22%). Dengan demikian, capaian persentase sebesar 33,33%. Hal tersebut tentu masih jauh dari standar di atas 85%. Apalagi bila dicermati dari jumlah siswa yang termasuk kategori mulai berkembang sebesar 8 anak (44,44%) dan anak yang termasuk dalam kategori belum berkembang ada 3 anak (16,66%).

Pada aspek 2 kemauan anak mencari cara-cara baru, capaiannya juga tidak jauh dengan aspek 1. Pada aspek 2 anak termasuk dalam kategori berkembang sangat baik (BSB) tidak ada dan anak yang termasuk dalam kategori berkembang sesuai harapan (BSH) ada 3 anak atau 33,33%. Sementara itu, anak yang termasuk dalam

Page 129: Jurnal Cakrawala September 2015

398

kategori mulai berkembang ada 12 anak (66,66%) dan tidak ada anak yang termasuk dalam kategori belum berkembang. Namun demikian, capaian aspek 2 ini juga masih jauh dari harapan di atas 85%.

Capaian pada aspek 3, kualitas hasil menggambar, menunjukkan angka yang sebanding. Anak-anak yang termasuk dalam kategori berkembang sangat baik (BSB) tidak ada, anak termasuk dalam kategori berkembang sesuai harapan (BSH) ada 7 anak (38,88%), anak yang termasuk dalam kategori mulai berkembang ada 11 anak (61,11%). Sedangkan, anak termasuk dalam kategori belum berkembang tidak ada. Namun demikian, capaian keberhasilan juga masih jauh dari standar di atas 85%. Berdasar pada capaian tiga aspek tersebut, perlu dilakukan siklus II untuk mencapai hasil yang diharapkan, yakni skor di atas 85%.

Pelaksanaan siklus II dengan berbagai bentuk perbaikan menunjukkan peningkatan yang signifikan. Hal ini disebabkan anak sudah pernah melakukan hal yang sama sehingga pengalaman yang pertama pada siklus pertama tersebut merupakan hal yang sangat menarik. Adapun capaian pada siklus II aspek 1 menunjukkan jumlah anak yang termasuk dalam kategori berkembang sangat baik (BSB) berjumlah 6 anak (33,33%), berkembang sesuai harapan (BSH) sebanyak 10 anak (55,55%), mulai berkembang 2 anak (11,11%), dan tidak ada lagi anak dalam kategori belum berkembang (0%). Oleh karena itu, capaian siklus II aspek 1 mencapai 88,88%.

Pada siklus II aspek 2 anak yang termasuk dalam kategori berkembang sangat baik (BSB) ada 6 anak (33,33%), berkembang sesuai harapan (BSH) 11 anak (61,11%), mulai berkembang 1 anak (5,55%), dan tidak ada lagi anak yang termasuk belum berkembang. Dengan demikian, capaian siklus 2 aspek 2 mencapai 94,44%.

Capaian siklus 2 aspek 3, anak yang termasuk kategori berkembang sangat baik ada 6 anak (33,33%), anak yang termasuk dalam kategori berkembang sesuai harapan 11 anak (61,11%), mulai berkembang (MB) sebanyak 2 anak (5,55%), dan tidak ada lagi anak yang termasuk dalam kategori belum berkembang. Dengan demikian, capaian siklus 2 aspek 3 sebesar 94,44%.

Data di atas menunjukkan bahwa capaian siklus 2 menghasilkan data yang mengalami kenaikan sangat signifikan.Hal ini tampak dari ketiga aspek penilaian, semua berada di atas angka standar capaian sebesar 85%. Aspek 1 siklus II berada di angka 88,88%, aspek 2 mencapai 94,44%, dan aspek 3 mencapai 94,44%. Dengan demikan, treatment bisa dicukupkan, tidak perlu dilakukan tahapan siklus 3 karena dari ketiga aspek telah mencapai di atas angka 85%.

Mengacu pada pelaksanaan siklus I dan II, dilakukan perbandingan hasil sebagai berikut. Aspek pengamatan 1 (kemauan menyatakan ide menggambar) terdapat peningkatan signifikan pada jumlah siswa yang termasuk dalam kategori berkembang sangat baik (BSB), dari 2 anak menjadi 6 anak atau dari 11,11% menjadi 33,33%. Dengan demikian, terjadi peningkatan sebesar 22,22%. Demikian juga pada kategori berkembang sesuai harapan (BSH) dari 4 anak menjadi 10 anak atau 22,22% menjadi 55,55%, atau naik 33,33%. Kondisi ini berbalik dengan anak yang termasuk dalam kategori mulai berkembang yang mengalami penurunan dari 8 anak menjadi 1 anak atau dari 44,44% menjadi 11,11%, atau turun 33,33%. Hal yang sama juga terjadi pada anak yang belum berkembang dari 3 anak menjadi 0 anak atau dari16,66% menjadi 0%.

Aspek pengamatan 2 (kemauan memakai/mencari cara/bentuk baru), diperoleh hasil yang juga signifikan. Pada

Page 130: Jurnal Cakrawala September 2015

399

aspek 2 ini anak yang termasuk dalam kategori berkembang sangat baik (BSB) mengalami peningkatan dari 0 anak menjadi 6 anak atau dari tidak ada yang berkategori BSB (0%) menjadi 33,33%. Demikian juga pada anak yang berkategori berkembang sesuai harapan (BSH) mengalami kenaikan, yaitu dari 6 anak menjadi 11 anak atau dari 33,33% menjadi 61,11% atau naik 27,78%.

Aspek pengamatan 3 (kualitas hasil menggambar) juga mengalami peningkatan. Hal ini dapat dicermati dari anak yang termasuk dalam kategori berkembang sangat baik (BSB) pada siklus II mengalami peningkatan, dari 0% menjadi 33,33%. Anak yang termasuk dalam kategori berkembang sesuai harapan dari 7 anak menjadi 11 anak atau naik dari 38,88% menjadi 61,11%. Hal tersebut berkebalikan dengan anak yang termasuk dalam kategori mulai berkembang mengalami penurunan, yaitu dari 11 anak menjadi 1 anak atau dari 61,11% menjadi 5,55%. Berdasarkan hasil tersebut, dapat dideskripsikan bahwa pada semua aspek mengalami kenaikan atau perubahan nilai ke arah positif dari 2 siklus yang dilakukan.

Perubahan positif tersebut secara umum menunjukkan adanya pengaruh positif dari cara guru mengelola pembelajaran. Guru lebih kreatif mengajar melalui metode karya wisata, yaitu mengajak siswa keluar sekolah dengan mengunjungi tempat/objek yang menarik, rileks, penuh suasana menyenangkan. Hal tersebut menunjukkan perbedaan dengan pengelolaan yang sering dipraktikkan di kelas. Dalam kegiatan bidang seni, khususnya menggambar, siswa cenderung meniru gambar yang sudah ada atau meniru gambar yang dibuat oleh guru. Dalam pengelolaan pembelajaran, guru juga cenderung monoton, memakai metode yang umum dilakukan sehingga siswa menjadi bosan dan kurang produktif untuk

menghasilkan karya cipta yang kreatif.

Dengan penerapan metode karya wisata, siswa cenderung akan merasakan suasana pembelajaran yang berbeda, lebih bebas bergerak sambil menikmati pemandangan alam atau tempat untuk bisa bermain. Selain itu, melalui dorongan dan motivasi yang diberikan guru kepada siswa untuk berani menyatakan ide, khayalan/imajinasi, dan minat terhadap sesuatu dalam suasana pembelajaran yang menyenangkan, berani untuk mencoba dan mencari cara/bentuk yang berbeda, kemudian dibimbing untuk diwujudkan dalam bentuk gambar, kreativitas belajar siswa dalam seni menggambar akan mengalami perubahan positif atau meningkat. Dengan demikian penerapan metode karyawisata efektif untuk menungkatkan kreativitas pada anak TK dalam melakukan kegiatan pembelajaran seni menggambar.

PENUTUP

Berdasarkan hasil dan pembahasan di atas, dapat diambil simpulan sebagai berikut. Pertama, semua siswa mengalami peningkatan skor pada tiga aspek pengamatan. Pada aspek I (kemauan menyatakan ide menggambar), aspek II (kemauan memakai/mencari cara/bentuk baru), dan aspek III (hasil akhir menggambar) menunjukkan peningkatan. Kedua, pelajaran menggambar menggunakan metode karya wisata dapat meningkatkan kreativitas anak.Anak lebih antusias, konsentrasi, percaya diri, dan berani mengemukakan ide dalam menggambar setelah diberi motivasi dan merasakan suasana belajar yang menyenangkan sambil menikmati alam.

Berdasarkan simpulan di atas, penulis menyampaikan saran sebagai berikut. Untuk menumbuhkan kreativitas anak dalam melakukan kegiatan menggambar, perlu

Page 131: Jurnal Cakrawala September 2015

400

penerapan variasi metode dan sumber belajar yang menyenangkan sehingga anak dapat melakukan eksplorasi, mengembangkan

daya imajinasi, minat, dan kreativitas untuk menghasilkan hasil karya.

DAFTAR PUSTAKA

Kurniasih, Imas. 2009. Pendidikan Anak Usia Dini. Yogyakarta: Edukasia.

Depdiknas. 2008. Pengembangan Model Pembelajaran di Taman Kanak-kanak. Jakarta: Depdiknas.

Page 132: Jurnal Cakrawala September 2015

PETUNJUK PENULISAN

1. Naskah berupa artikel penelitian dan artikel pemikiran konsep yang bertemakan pendidikan 2. Naskah belum pernah dipublikasikan di media lain, ditulis dalam bahasa Indonesia/Inggris,

diketik spasi 1,5 kecuali abstrak 1 spasi dalam bahasa Inggris pada kertas A4, Font Times New Roman jumlah halaman 15-20.

3. Artikel diserahkan paling lambat dua bulan sebelum diterbitkan. Artikel dapat dikirim via email ke [email protected]

4. Artikel hasil penelitian Judul di tengah halaman, huruf kapital dan diikuti 2) untuk catatan kaki status penulis (mis:1) artikel penelitian) Nama penulis lengkap, tanpa gelar Abstrak ditulis dalam bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia kurang lebih sampai 50-70 kata. Keyword ditulis dalam bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia maksimal 15 deskriptor. Pendahuluan (tanpa subjudul, meliputi latar belakang, masalah/penelitian, dan sedikit kajian teori) Metode Penelitian Hasil dan Pembahasan Simpulan dan Saran Daftar Pustaka (berisi pustaka yang dirujuk dalam uraian saja)

5. Artikel pemikiran konseptual. Judul Nama Penulis Alamat Korespondensi, E-mail, dan Hp. Abstrak dalam Bahasa Indonesia dan Inggris Keyword Pendahuluan (tanpa subjudul) Subjudul (sebanyak kebutuhan) Simpulan dan Saran Daftar Pustaka

6. Daftar Pustaka yang ditulis hanya pustaka yang dikutip dan diurutkan secara alfabetis dan kronologis. Contoh: Kridalaksana, Harimurti. 1994. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

7. Setiap naskah yang masuk dikaji oleh Tim Penyunting Ahli sesuai dengan kepakarannya. Jika diterima, naskah dapat diubah oleh tim penyunting tanpa mengubah esensi isinya.

8. Kepastian penerimaan atau penolakan artikel akan diberitahukan secara tertulis/lewat e-mail. Penulis yang artikelnya dimuat akan mendapat nomor bukti penerbitan. Artikel yang tidak dimuat tidak akan dikembalikan, kecuali atas permintaan penulis.

9. Melampirkan biodata penulis yang dibuat secara naratif maksimal 100 kata. memuat nama lengkap dan gelar, tempat dan tanggal lahir, jabatan/golongan/pekerjaan dan tempat kerja, hasil penelitian dan publikasi ilmiah 3 tahun terakhir, dan alamat korespondensi lengkap dengan telp/fax/email.

Page 133: Jurnal Cakrawala September 2015

Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Brilian JayaJl. Samudra Pasai No. 49, Lt. 2, Kleco RT 02/01, Kadipiro, Surakarta 57136Email: [email protected] Hunting: 08122599653

BPSDM-BJ

BBPSDM-BJ

BR AIL YI AAN J