Upload
others
View
12
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Tunjangan Penghasilan Untuk Orang Lanjut Usia Di India dan Indonesia(Income Support For Elderly Popula tion In India and Indonesia)
Kebijakan Pendidikan Di Indonesia Dan Mesir:Perbandingan Antara Dua Negara Berkembang Muslim
(Educational Policy In Indonesia And Egypt:A Comparison Between Two Developing Muslim Countries)
Studi Komparatif: Reformasi Kebijakan SosialDalam Menghadapi Ageing Population Di Jepang dan Italia
(Comparative Study: Social Policy Reforms OnFacing The Ageing Population In Japan and Italy)
Kebijakan-Kebijakan Sosial Untuk Tenaga KerjaPenyandang Disabilitas Di Indonesia Dan Australia
(Policies For Disabled Labor Force Between Indonesia And Australia)
JURNALINSTITUTBPJS Ketenagakerjaan
Volume 3 No. 1November 2018
Institut BPJS Ketenagakerjaan, 2018
Jurnal Institut BPJS Ketenagakerjaan Tahun 2018 Volume 3 i
JURNAL INSTITUT BPJS KETENAGAKERJAAN
Jurnal Institut BPJS Ketenagakerjaan diterbitkan oleh Deputi Direktur Bidang Learning BPJS Ketenagakerjaan. Artikel yang diterbitkan pada jurnal ini adalah berupa hasil penelitian dan non penelitian (ilmiah/populer) yang meliputi jaminan sosial, ketenagakerjaan, pengembangan sumber daya manusia, ekonomi, keuangan dan kebijakan publik.
Penanggung Jawab Abdur Rahman Irsyadi
Mitra Bestari Falikhul Isbah
Redaktur Pelaksana
Mohamad Irvan
Pelaksana Administrasi M. Purnama Winandi Saputra
Yulianti Arihdya Caesar Pratikta
Dian Safrina Putri
Alamat Redaksi dan Administrasi Deputi Direktur Bidang Learning
BPJS Ketenagakerjaan Kantor Pusat Jl. Jendral Gatot Subroto No. 79 Jakarta Selatan 12930.
Telp: 021 5207797 Fax: 021 5260443. Website: www.bpjsketenagakerjaan.go.id
Email: [email protected] Redaksi menerima sumbangan artikel yang belum pernah atau akan diterbitkan dalam media lain. Syarat-syarat, format dan tata aturan tata tulis artikel dapat dilihat pada Ketentuan Penulisan di lembaran belakang jurnal ini. Artikel yang masuk ditelaah mitra bestari/reviewer untuk dinilai kelayakannya. Redaksi dapat memodifikasi artikel untuk keseragaman format, istilah dan kepentingan teknis lainnya tanpa merubah substansi artikel.
iiiJurnal Institut BPJS Ketenagakerjaan Volume 3 No. 1 November 2018
DAFTAR ISI
JURNAL 1 Tunjangan Penghasilan Untuk Orang Lanjut Usia Di India Dan Indonesia
Income Support For Elderly Population In India And Indonesia
Anna Wijayanti……………………………………………………………………………
1
JURNAL 2 Kebijakan Pendidikan Di Indonesia Dan Mesir: Perbandingan Antara Dua Negara Berkembang Muslim
Educational Policy In Indonesia And Egypt: A Comparison Between Two Developing Muslim Countries
Riza Guntur Prakoso…………………………………………………………………..
27
JURNAL 3 Studi Komparatif: Reformasi Kebijakan Sosial Dalam Menghadapi Ageing Population Di Jepang Dan Italia
Comparative Study: Social Policy Reforms On Facing The Ageing Population In Japan And Italy
Shandika Putra Damayana……………………………………………………………
63
JURNAL 4 Kebijakan-Kebijakan Sosial Untuk Tenaga Kerja Penyandang Disabilitas Di Indonesia Dan Australia
Policies For Disabled Labor Force Between Indonesia And Australia
Zicko Varianto…………………………………………………………………………….
95
vJurnal Institut BPJS Ketenagakerjaan Volume 3 No. 1 November 2018
TUNJANGAN PENGHASILAN UNTUK ORANG LANJUT USIA DI INDIA DAN
INDONESIA
Anna Wijayanti
A. PENDAHULUAN
Jumlah orang lanjut usia saat ini meningkat di
banyak negara di seluruh dunia. Harapan
hidup seluruh dunia juga meningkat dari 70
tahun menjadi 77 tahun pada tahun 2050
sebagaimana disebutkan dalam laporan oleh
divisi populasi Perserikatan Bangsa-Bangsa
(Perserikatan Bangsa-Bangsa, n.d.). Masalah
ini mempengaruhi semua aspek
perkembangan populasi dunia, termasuk
jaminan sosial, tunjangan penghasilan,
kesehatan, pensiun, dan ikatan antar generasi.
Baik Indonesia dan India memiliki masalah
besar terkait dengan populasi lanjut usia dan
kemiskinan. Kedua negara ini telah
melaksanakan beberapa skema
kesejahteraan untuk mengatasi kemiskinan
pada populasi lanjut usia.
Dalam makalah ini, saya meneliti skema-
skema kesejahteraan untuk populasi lanjut
usia di kedua negara. Saya terutama
mengamati National Old Age Pension Scheme
(NOAPS / Skema Pensiun Nasional untuk
Orang Lanjut Usia) India dan Social
Assistance for Neglected Elderly (ASLUT /
Asistensi Sosial Lanjut Usia Terlantar)
Indonesia. India telah menerapkan dana
INCOME SUPPORT FOR ELDERLY POPULATION IN INDIA AND INDONESIA
Anna Wijayanti A. INTRODUCTION
The number of old age population are
increasing in most countries in the world. The
world’s life expectancy also increases from 70
years to 77 years by 2050 as mentioned in the
report by United Nations population division
(United Nations, n.d.). This issue affects all
development aspects of the world’s population,
including social protection, income support,
health, pensions and inter-generational ties.
Both Indonesia and India have a serious
problem concerning elderly population and
poverty. These two countries have
implemented several welfare schemes to tackle
elderly poverty.
In this essay, I examine the welfare schemes for
elderly population in both countries. I look in
particular at India’s National Old Age Pension
Scheme (NOAPS) and Indonesia’s Social
Assistance for Neglected Elderly (ASLUT).
India has applied a social pension for elderly
since 1995 under NOAPS. The program has
helped the elderly to provide their necessities.
Indonesia has also tried to provide income
1Jurnal Institut BPJS Ketenagakerjaan Volume 3 No. 1 November 2018
2
pensiun sosial untuk lanjut usia sejak tahun
1995 menurut NOAPS. Program tersebut telah
membantu orang lanjut usia dengan
menyediakan kebutuhan mereka. Indonesia
telah mencoba untuk menyediakan tunjangan
penghasilan untuk orang lanjut usia. Di bawah
program ASLUT pada tahun 2006, Indonesia
telah memberikan bantuan kepada orang
lanjut usia dengan skema yang serupa dengan
India. Kedua program kesejahteraan
menyasar pada orang lanjut usia yang berada
di bawah garis kemiskinan sebagai penerima
manfaat dengan menyediakan bantuan
langsung tunai setiap bulannya.
Program-program ini menarik perhatian
karena program-program ini tidak hanya
bertujuan untuk mencegah kemiskinan tapi
juga membantu orang lanjut usia untuk meraih
kembali harga diri mereka di tengah
masyarakat. Kedua negara masih harus
menempuh jalan panjang untuk
mengembangkan tunjangan dan cakupan
yang lebih luas, walaupun India telah
mencakup hampir sebagian besar populasi
lanjut usia yang miskin. Oleh karena itu,
penelitian guna mengetahui seberapa
signifikan program ASLUT dan NSAP dalam
membantu populasi lanjut usia yang miskin
dan apakah program yang serupa ini akan
memiliki hasil yang sama di kedua negara,
merupakan penelitian yang bisa berguna.
support for elderly. Under ASLUT program
started in 2006, Indonesia has given assistance
to elderly with similar scheme to India. Both
welfare programs have targeted poor elderly as
beneficiaries by giving monthly cash.
These programs deserve attention because
they aim not just to prevent poverty but also to
help the elderly retain their dignity in society.
Both countries still have a long way to develop
more benefits and coverage, although India has
covered almost majority of poor elderly. So it is
worth examining how significant ASLUT and
NSAP help poor elderly and whether these
similar programs will produce the same result in
both countries.
2 Jurnal Institut BPJS Ketenagakerjaan Volume 3 No. 1 November 2018
2
pensiun sosial untuk lanjut usia sejak tahun
1995 menurut NOAPS. Program tersebut telah
membantu orang lanjut usia dengan
menyediakan kebutuhan mereka. Indonesia
telah mencoba untuk menyediakan tunjangan
penghasilan untuk orang lanjut usia. Di bawah
program ASLUT pada tahun 2006, Indonesia
telah memberikan bantuan kepada orang
lanjut usia dengan skema yang serupa dengan
India. Kedua program kesejahteraan
menyasar pada orang lanjut usia yang berada
di bawah garis kemiskinan sebagai penerima
manfaat dengan menyediakan bantuan
langsung tunai setiap bulannya.
Program-program ini menarik perhatian
karena program-program ini tidak hanya
bertujuan untuk mencegah kemiskinan tapi
juga membantu orang lanjut usia untuk meraih
kembali harga diri mereka di tengah
masyarakat. Kedua negara masih harus
menempuh jalan panjang untuk
mengembangkan tunjangan dan cakupan
yang lebih luas, walaupun India telah
mencakup hampir sebagian besar populasi
lanjut usia yang miskin. Oleh karena itu,
penelitian guna mengetahui seberapa
signifikan program ASLUT dan NSAP dalam
membantu populasi lanjut usia yang miskin
dan apakah program yang serupa ini akan
memiliki hasil yang sama di kedua negara,
merupakan penelitian yang bisa berguna.
support for elderly. Under ASLUT program
started in 2006, Indonesia has given assistance
to elderly with similar scheme to India. Both
welfare programs have targeted poor elderly as
beneficiaries by giving monthly cash.
These programs deserve attention because
they aim not just to prevent poverty but also to
help the elderly retain their dignity in society.
Both countries still have a long way to develop
more benefits and coverage, although India has
covered almost majority of poor elderly. So it is
worth examining how significant ASLUT and
NSAP help poor elderly and whether these
similar programs will produce the same result in
both countries.
3
Makalah ini akan membahas skema
kesejahteraan di kedua negara, perbandingan
program kesejahteraan dan seberapa
signifikan program-program ini untuk
mengentaskan kemiskinan.
B. METODOLOGI
Artikel ini adalah studi pustaka. Penelitian ini
pada dasarnya mengumpulkan data sekunder.
Untuk artikel ini, penulis menggunakan
berbagai sumber daya untuk menyediakan
data dan analisis, seperti laporan tahunan
pemerintah, Biro Pusat Statistik, laporan Bank
Dunia, dan masih banyak lagi. Sifat makalah
ini adalah deskriptif dan eksploratif yang
bertujuan untuk meneliti dan membandingkan
program-program bantuan sosial secara kritis C. HASIL DAN PEMBAHASAN Tren Sosial Ekonomi di Indonesia dan India Indonesia dan India adalah dua negara
berkembang yang dikategorikan sebagai
negara dengan penghasilan menengah ke
bawah dan memiliki populasi terbesar di dunia.
Data yang didapatkan dari Bank Dunia pada
tahun 2016 menyebutkan bahwa Pendapatan
Bruto Nasional Indonesia adalah
US$3.400.000 dan India adalah
US$1.680.000.
Baik Indonesia dan India diprediksi akan
memiliki pertumbuhan demografik yang positif.
Populasi India di tahun 2017 adalah
This paper will discuss the welfare schemes in
both countries, the welfare programs
comparison and how significant these programs
to alleviate poverty.
B. METHODOLOGY
This article is a desktop study. It basically
involves secondary data collection. For this
article, I use various resources to provide the
data and analysis such as from government
annual report, the bureau of statistic, the World
Bank report and many more. The natures of this
paper are descriptive and exploratory which aim
to critically examine and compare the social
assistance programs.
C. RESULTS AND DISCUSSION Socio-Economic Trend in Indonesia and India Indonesia and India are both developing
countries categorized as lower middle income
countries with huge population in the world. The
data retrieved from World Bank in 2016 that
Gross National Income for Indonesia was
US$3,400,000 and India was US$1,680,000.
Both Indonesia and India are predicted to have
a positive demographic development. India’s
population in 2017 is 1,339,180,000 which
3Jurnal Institut BPJS Ketenagakerjaan Volume 3 No. 1 November 2018
4
1.339.180.000 yang setara dengan 17,74
persen dari seluruh populasi dunia dan
menduduki peringkat ke-2 untuk negara
dengan jumlah penduduk terbanyak.
Sementara itu, populasi Indonesia adalah
263.991.000, yang setara dengan 3,5 persen
dari seluruh populasi dunia dan menduduki
peringkat ke-4 untuk negara dengan jumlah
penduduk terbanyak (Worldometers, n.d.).
Pada tahun 2011, India adalah populasi
terbesar kedua untuk usia 60 tahun ke atas di
dunia. Populasi lanjut usia juga meningkat di
masa depan. Jumlah ini memberikan
pandangan kepada kita bahwa negara ini
memiliki situasi demografi yang serupa.
Karena populasi lanjut usia meningkat, maka
keharusan agar Pemerintah menciptakan
kebijakan dan layanan publik yang inovatif dan
menyasar orang lanjut usia, semakin
mendesak, termasuk kebijakan perawatan
medis, infrastruktur, jaminan sosial, pekerjaan,
dan penghasilan pasca pensiun. Agar tetap
memiliki penghasilan yang memenuhi
pengeluaran dasar minimal setelah pensiun,
kebijakan pensiun negara dapat membantu
warga negara menyediakan sejumlah dana
dengan cara yang sistematis melalui investasi
jangka panjang. Kebijakan pensiun dapat
membantu mengurangi kerentanan terhadap
populasi lanjut usia di masa depan.
Situasi yang semakin mendesak terkait
dengan tantangan dan peluang dalam
equivalent to 17.74 percent of total world
population and ranked at number 2 as the most
populous country. Meanwhile, Indonesia
population is 263,991,000, this is equivalent to
3.5 percent of total world population and ranked
at number 4 (Worldometers, n.d.). In 2011,
India is the second largest of population age 60
and above in the world. The older population
also increasing in the future. The number give
us a glance that this countries have similar
demographic situation.
As populations of older people increased, it is
necessary than ever that Governments create
innovative policies and public services
specifically targeted to older persons, including
health care policy, infrastructure, social
protection, employment and post retirement
income. To have some income in the post
retirement period to meet the minimum basic
expenses, state pension policy can help the
citizens to provide some money in a systematic
way through a long term investment. Pension
policy can help to reduce vulnerability for older
population in future.
The growing sense of urgency associated with
the challenges and opportunities in
4 Jurnal Institut BPJS Ketenagakerjaan Volume 3 No. 1 November 2018
4
1.339.180.000 yang setara dengan 17,74
persen dari seluruh populasi dunia dan
menduduki peringkat ke-2 untuk negara
dengan jumlah penduduk terbanyak.
Sementara itu, populasi Indonesia adalah
263.991.000, yang setara dengan 3,5 persen
dari seluruh populasi dunia dan menduduki
peringkat ke-4 untuk negara dengan jumlah
penduduk terbanyak (Worldometers, n.d.).
Pada tahun 2011, India adalah populasi
terbesar kedua untuk usia 60 tahun ke atas di
dunia. Populasi lanjut usia juga meningkat di
masa depan. Jumlah ini memberikan
pandangan kepada kita bahwa negara ini
memiliki situasi demografi yang serupa.
Karena populasi lanjut usia meningkat, maka
keharusan agar Pemerintah menciptakan
kebijakan dan layanan publik yang inovatif dan
menyasar orang lanjut usia, semakin
mendesak, termasuk kebijakan perawatan
medis, infrastruktur, jaminan sosial, pekerjaan,
dan penghasilan pasca pensiun. Agar tetap
memiliki penghasilan yang memenuhi
pengeluaran dasar minimal setelah pensiun,
kebijakan pensiun negara dapat membantu
warga negara menyediakan sejumlah dana
dengan cara yang sistematis melalui investasi
jangka panjang. Kebijakan pensiun dapat
membantu mengurangi kerentanan terhadap
populasi lanjut usia di masa depan.
Situasi yang semakin mendesak terkait
dengan tantangan dan peluang dalam
equivalent to 17.74 percent of total world
population and ranked at number 2 as the most
populous country. Meanwhile, Indonesia
population is 263,991,000, this is equivalent to
3.5 percent of total world population and ranked
at number 4 (Worldometers, n.d.). In 2011,
India is the second largest of population age 60
and above in the world. The older population
also increasing in the future. The number give
us a glance that this countries have similar
demographic situation.
As populations of older people increased, it is
necessary than ever that Governments create
innovative policies and public services
specifically targeted to older persons, including
health care policy, infrastructure, social
protection, employment and post retirement
income. To have some income in the post
retirement period to meet the minimum basic
expenses, state pension policy can help the
citizens to provide some money in a systematic
way through a long term investment. Pension
policy can help to reduce vulnerability for older
population in future.
The growing sense of urgency associated with
the challenges and opportunities in
5
masalah demografi terbukti dalam
perkembangan terbaru dalam upaya kebijakan
terkait dengan penuaan di berbagai
sektor (Perserikatan Bangsa-Bangsa,
2015). Guna mengatasi masalah tersebut,
banyak pemerintah berusaha meningkatkan
cakupan dan manfaat yang diberikan melalui
sistem pensiun.
Mayoritas orang India atau sekitar 82,2 persen
pada tahun 2012 melakukan pekerjaan
informal dengan upah rendah dan tidak
memiliki tunjangan pensiun (ILO,
2017). Sementara itu, Indonesia memiliki
sekitar 60 persen dari seluruh angkatan kerja
yang juga bekerja di sektor informal dan juga
tidak memilikitunjangan pensiun (BPS,
2017). Hal ini menimbulkan kekhawatiran yang
lebih besar bagi orang-orang lanjut usia di
masa depan, karena mereka mungkin hidup
tanpa penghasilan pensiun karena mereka
tidak termasuk dalam skema pensiun
formal. Pada tahun 2016, berdasarkan pada
Data Bank Dunia, rasio ketergantungan orang
lanjut usia di India yang sebelumnya telah
meningkat 4 poin menjadi 9 persen dari tahun
sebelumnya. Indonesia juga memiliki
kecenderungan yang sama, sedangkan
jumlahnya naik 2 poin menjadi 8 persen (Bank
Dunia, 2016). Angka ini menggambarkan
bahwa populasi yang lebih muda harus
menanggung lebih banyak lansia di masa
depan.
demographic issues is evident in the recent
proliferation of ageing-related policy initiatives
across a wide range of sectors (United Nations,
2015). In response to such issue many
governments are trying to improve the coverage
and benefits provided through pension
systems.
A majority of Indians or around 82.2 percent in
2012 engaged in informal works with low wages
and no pension benefits (ILO, 2017). While
Indonesia, around 60 percent of total labor force
also work in informal sector and also no pension
benefits (BPS, 2017). This is raise more
concern for future older people, as they are
likely to live without retirement earning as they
are excluded from formal pension scheme. In
2016, based on The World Bank Data, India’s
old dependency ratio has increased by 4 point
into 9 percent from the previous year. Indonesia
also has similar trend, whereas the number
went up 2 point into 8 percent (The World Bank,
2016). This is illustrates that younger population
should support more elderly in the future.
5Jurnal Institut BPJS Ketenagakerjaan Volume 3 No. 1 November 2018
6
Dalam hal sektor kesejahteraan, menurut
Gough (2013), Indonesia terletak di kelompok
E. Kelompok ini ditandai dengan bantuan luar
negeri yang tinggi, tingkat pendidikan anak
perempuan yang rendah tapi tingkat
keaksaraan pemuda yang tinggi. Sementara
itu, India termasuk dalam kelompok F dengan
tingkat buta huruf yang tinggi tapi memiliki
tingginya tingkat program sosial yang
menyasar suatu kelompok tertentu dan
mekanisme jaminan informal. Gough
menggunakan teori Esping-Andersen yang
menggabungkan hasil gabungan
kesejahteraan dan kesejahteraan untuk
menentukan kelompok.
Konsep Populasi Lanjut Usia
Populasi lanjut usia telah menjadi masalah
global. Populasi lanjut usia adalah perubahan
demografis saat semakin banyak orang
mencapai usia lanjut. Menurut Costa (1998),
pada tahun 1910 Komisi Massachusetts untuk
Pensiun Hari Tua menetapkan “lansia”
sebagai mereka yang berusia enam puluh lima
tahun atau lebih. Namun di Indonesia, menurut
Undang-Undang No. 13/1998 pasal 1,
penduduk usia lanjut adalah orang yang
berusia 60 tahun ke atas. India juga
mendefinisikan 'usia lanjut' sebagai orang
yang telah mencapai usia enam puluh tahun ke
atas (Komisi Nasional Hak Asasi Manusia,
2011). Masih menurut Costa (1998), pada
awal abad kedua puluh, orang-orang yang
mencapai usia lanjut dianggap sebagai
In term of welfare regime, according to Gough
(2013), Indonesia is located in cluster E. This
cluster is characterized with high foreign aid,
low level of girls’ schooling but high levels of
youth literacy. While India is located in cluster F
with high level of illiteracy but high level of
targeted social programs and informal security
mechanism. Gough used Esping-Andersen
theory combining of welfare mix and welfare
outcomes to determine the cluster.
The Concept of Aging Population
The aging population is become global issue.
Aging population is demographic changes
where more and more people reach old age.
According to Costa (1998), in the 1910
Massachusetts Commission on Old Age
Pensions was entitled “the old” as those who
age sixty-five or older. However in Indonesia,
according to law No. 13/1998 article 1, elderly
population is entitled for people who age 60
years and above. India also define ‘old age’ as
individual who have scored the age of sixty
years and above (National Human Rights
Commision, 2011). Still according to Costa
(1998) in early twentieth century, people who
reach old age considered as a useless indicator
in labor force due to loss of productivity (Costa,
1998).
6 Jurnal Institut BPJS Ketenagakerjaan Volume 3 No. 1 November 2018
6
Dalam hal sektor kesejahteraan, menurut
Gough (2013), Indonesia terletak di kelompok
E. Kelompok ini ditandai dengan bantuan luar
negeri yang tinggi, tingkat pendidikan anak
perempuan yang rendah tapi tingkat
keaksaraan pemuda yang tinggi. Sementara
itu, India termasuk dalam kelompok F dengan
tingkat buta huruf yang tinggi tapi memiliki
tingginya tingkat program sosial yang
menyasar suatu kelompok tertentu dan
mekanisme jaminan informal. Gough
menggunakan teori Esping-Andersen yang
menggabungkan hasil gabungan
kesejahteraan dan kesejahteraan untuk
menentukan kelompok.
Konsep Populasi Lanjut Usia
Populasi lanjut usia telah menjadi masalah
global. Populasi lanjut usia adalah perubahan
demografis saat semakin banyak orang
mencapai usia lanjut. Menurut Costa (1998),
pada tahun 1910 Komisi Massachusetts untuk
Pensiun Hari Tua menetapkan “lansia”
sebagai mereka yang berusia enam puluh lima
tahun atau lebih. Namun di Indonesia, menurut
Undang-Undang No. 13/1998 pasal 1,
penduduk usia lanjut adalah orang yang
berusia 60 tahun ke atas. India juga
mendefinisikan 'usia lanjut' sebagai orang
yang telah mencapai usia enam puluh tahun ke
atas (Komisi Nasional Hak Asasi Manusia,
2011). Masih menurut Costa (1998), pada
awal abad kedua puluh, orang-orang yang
mencapai usia lanjut dianggap sebagai
In term of welfare regime, according to Gough
(2013), Indonesia is located in cluster E. This
cluster is characterized with high foreign aid,
low level of girls’ schooling but high levels of
youth literacy. While India is located in cluster F
with high level of illiteracy but high level of
targeted social programs and informal security
mechanism. Gough used Esping-Andersen
theory combining of welfare mix and welfare
outcomes to determine the cluster.
The Concept of Aging Population
The aging population is become global issue.
Aging population is demographic changes
where more and more people reach old age.
According to Costa (1998), in the 1910
Massachusetts Commission on Old Age
Pensions was entitled “the old” as those who
age sixty-five or older. However in Indonesia,
according to law No. 13/1998 article 1, elderly
population is entitled for people who age 60
years and above. India also define ‘old age’ as
individual who have scored the age of sixty
years and above (National Human Rights
Commision, 2011). Still according to Costa
(1998) in early twentieth century, people who
reach old age considered as a useless indicator
in labor force due to loss of productivity (Costa,
1998).
7
indikator yang tidak berguna dalam angkatan
kerja karena hilangnya produktivitas (Costa,
1998).
Kecenderungan penurunan kesuburan dan
meningkatnya harapan hidup adalah
penyebab utama penuaan populasi.
Fenomena ini terjadi di seluruh
dunia. Indonesia dan India tidak
terkecuali. Populasi lanjut usia bisa menjadi
masalah karena usia tua sering berkorelasi
dengan ketergantungan dan kerentanan yang
menjadi lebih buruk ketika orang mencapai
usia tua, sehingga mereka membutuhkan lebih
banyak perawatan dan sokongan (Gupta,
2013). Perserikatan Bangsa-Bangsa (2015)
menyatakan bahwa “Kerentanan orang tua
lebih besar jika tidak ada sumber dukungan
pendapatan yang dapat diandalkan, seperti
melalui mekanisme perlindungan sosial, yang
dapat berupa pensiun, asuransi keterbatasan
diri atau tunjangan kesehatan bagi orang
tua”. Oleh karena itu, kerentanan dan
ketergantungan orang yang lebih tua harus
menjadi ukuran dasar untuk menciptakan
kebijakan yang mendukung mereka.
Konteks Indonesia dalam Dukungan Penghasilan
Dalam rangka untuk mendapatkan pandangan
yang lebih baik mengenai perubahan yang
telah terjadi pada kebijakan pensiun
dalam menyikapi masalah demografi, langkah
dasar yang harus diambil adalah menganalisis
The declining trend of fertility and increasing of
life expectancy are the main cause of
population aging. This phenomenon happens
everywhere in the world. Indonesia and India
are no exception either. The aging population
can be a problem because old age often
correlated with dependency and vulnerability
which exacerbate when people reach old age,
thus they need more care and support (Gupta,
2013). United Nations (2015) stated that “Older
people’s vulnerability is greater where there is
no reliable source of income support, such as
through social protection mechanisms, which
may take the form of pensions, disability
insurance or health care benefits for older
persons”. Hence the vulnerability and
dependency of older people should be the basic
measure to create policies that support them.
Indonesia Context on Income Support
In order to get a better view on the way pension
policies have transformed in addressing the
demographic issue, the basic step is to analyze
a general trend on how much the society has
changed. In 2014, the population of people age
7Jurnal Institut BPJS Ketenagakerjaan Volume 3 No. 1 November 2018
8
kecenderungan umum mengenai seberapa
banyak masyarakat telah berubah. Pada tahun
2014, populasi penduduk usia 60 tahun ke atas
adalah 8% dari seluruh populasi (Priebe &
Howell, 2014). Jumlah tersebut naik menjadi
8,6% pada tahun 2016 dan diperkirakan akan
meningkat menjadi 25% pada tahun 2050.
Priebe & Howell (2014) menulis dalam laporan
mereka bahwa hanya sebagian kecil (sekitar 8
persen) dari populasi lansia di Indonesia yang
termasuk dalam skema pensiun formal,
sementara sisanya tidak termasuk. Populasi
lansi yang tercakup dalam skema pensiun
sebagian besar berasal dari PNS, TNI, dan
karyawan badan usaha milik negara.
Ada beberapa undang-undang dan keputusan
yang mengatur pemenuhan kebutuhan dasar
masyarakat sebagai berikut: undang-undang
dasar Indonesia pada Pasal 28H, undang-
undang nomor 13 tahun 1998 tentang
kesejahteraan orang lanjut usia, undang-
undang nomor 40 tahun 2004 (Undang-
Undang mengenai Sistem Jaminan Sosial
Nasional, atau SJSN), undang-undang nomor
11 tahun 2009 tentang kesejahteraan sosial
dan Peraturan Pemerintah nomor 43 tahun
2004 tentang peningkatan kesejahteraan
orang lanjut usia.
Kata-kata dalam pasal undang-undang dasar
Indonesia, yaitu pasal 28H, menyatakan
bahwa 'hak atas jaminan sosial untuk
mengembangkan diri sepenuhnya sebagai
60 years and above were 8 % of the total
population (Priebe & Howell, 2014), the number
went up to 8.6% in 2016 and predicted will
increase to 25% in 2050. Priebe & Howell
(2014) wrote in their report that in Indonesia
only a small portion (around 8 percent) of the
elderly population covered by the formal
pension scheme, while the other left behind.
The older population who covered by pension
scheme mostly came from civil servant workers,
armed forces, and employees of state own
enterprises.
There are several laws and decrees which
regulate the fulfilment of people’s basic needs
as follow: Indonesian constitution in Article 28H,
law number 13 of 1998 on the welfare of older
persons, law number 40 of 2004 (Law on
Sistem Jaminan Sosial Nasional, or SJSN), law
number 11 of 2009 on social welfare and
Government regulation number 43 of 2004 on
improving elderly welfare.
The articulation in the Indonesian constitution
article 28H stated ‘the right to social security in
order to develop oneself fully as a dignified
human being’. This constitution is a foundation
8 Jurnal Institut BPJS Ketenagakerjaan Volume 3 No. 1 November 2018
8
kecenderungan umum mengenai seberapa
banyak masyarakat telah berubah. Pada tahun
2014, populasi penduduk usia 60 tahun ke atas
adalah 8% dari seluruh populasi (Priebe &
Howell, 2014). Jumlah tersebut naik menjadi
8,6% pada tahun 2016 dan diperkirakan akan
meningkat menjadi 25% pada tahun 2050.
Priebe & Howell (2014) menulis dalam laporan
mereka bahwa hanya sebagian kecil (sekitar 8
persen) dari populasi lansia di Indonesia yang
termasuk dalam skema pensiun formal,
sementara sisanya tidak termasuk. Populasi
lansi yang tercakup dalam skema pensiun
sebagian besar berasal dari PNS, TNI, dan
karyawan badan usaha milik negara.
Ada beberapa undang-undang dan keputusan
yang mengatur pemenuhan kebutuhan dasar
masyarakat sebagai berikut: undang-undang
dasar Indonesia pada Pasal 28H, undang-
undang nomor 13 tahun 1998 tentang
kesejahteraan orang lanjut usia, undang-
undang nomor 40 tahun 2004 (Undang-
Undang mengenai Sistem Jaminan Sosial
Nasional, atau SJSN), undang-undang nomor
11 tahun 2009 tentang kesejahteraan sosial
dan Peraturan Pemerintah nomor 43 tahun
2004 tentang peningkatan kesejahteraan
orang lanjut usia.
Kata-kata dalam pasal undang-undang dasar
Indonesia, yaitu pasal 28H, menyatakan
bahwa 'hak atas jaminan sosial untuk
mengembangkan diri sepenuhnya sebagai
60 years and above were 8 % of the total
population (Priebe & Howell, 2014), the number
went up to 8.6% in 2016 and predicted will
increase to 25% in 2050. Priebe & Howell
(2014) wrote in their report that in Indonesia
only a small portion (around 8 percent) of the
elderly population covered by the formal
pension scheme, while the other left behind.
The older population who covered by pension
scheme mostly came from civil servant workers,
armed forces, and employees of state own
enterprises.
There are several laws and decrees which
regulate the fulfilment of people’s basic needs
as follow: Indonesian constitution in Article 28H,
law number 13 of 1998 on the welfare of older
persons, law number 40 of 2004 (Law on
Sistem Jaminan Sosial Nasional, or SJSN), law
number 11 of 2009 on social welfare and
Government regulation number 43 of 2004 on
improving elderly welfare.
The articulation in the Indonesian constitution
article 28H stated ‘the right to social security in
order to develop oneself fully as a dignified
human being’. This constitution is a foundation
9
manusia yang bermartabat'. Undang-undang
dasar ini merupakan dasar dari empat undang-
undang lainnya. Undang-undang nomor 13
tahun 1998 mengatur tentang
kesejahteraan orang lanjut usia. Undang-
undang ini mewajibkan pemberian
perlindungan sosial bagi orang lanjut usia
yang tidak memiliki potensi untuk menjadi
mandiri. Pemerintah mengatasi situasi ini
dengan program pensiun sosial yang disebut
ASLUT.
Kedua, undang-undang no. 40/2004 tentang
Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN)
adalah komitmen pemerintah untuk
memberikan perlindungan sosial secara
universal untuk para warga negara dengan
skema iuran. Namun, orang miskin akan
disubsidi oleh pemerintah (Penerima Bantuan
Iuran). Karena rendahnya proporsi cakupan
dalam program pensiun, pemerintah
Indonesia mencoba untuk meningkatkan
jumlah dengan berbagai strategi yang
memungkinkan lebih banyak lansia untuk
mendapatkan tunjangan pensiun.
Undang-undang mengenai Jaminan Sosial
Nasional (SJSN) yang telah diberlakukan pada
tahun 2004 adalah salah satu strategi untuk
meningkatkan cakupan. Undang-Undang
tentang SJSN terdiri dari lima program jaminan
sosial nasional - pertanggungan kesehatan
universal, tunjangan kematian, kecelakaan
kerja, tabungan hari tua dan pensiun (Muliati,
of the other four law. The law number 13 year
1998 regulate the welfare of the older person.
This law mandates to give social protection for
the older person who does not have potential to
become independent. The government
addressed this with a social pension program
called ASLUT.
The second, law no. 40/2004 about National
Social Security System (SJSN) is a government
commitment to give a universal social
protection for the citizens with contributory plan.
However, the poor will be subsidized by the
government (Penerima Bantuan Iuran). Due to
the low proportion of coverage in the pension
program, Indonesian government try to
increase the number with various strategy
which allowing more elderly to get pension
benefit.
The National Social Security law (SJSN) which
have been enacted in 2004 is one of the
strategies to increase the coverage. The SJSN
Law consist of five national social security
program – universal health coverage, death
benefit, work accident, old age saving and
pension (Muliati, 2003). This law was the
foundation for pension program for workers.
9Jurnal Institut BPJS Ketenagakerjaan Volume 3 No. 1 November 2018
10
2003). Undang-undang ini menjadi dasar
untuk program pensiun bagi
pekerja. Meskipun demikian, Priebe & Howell
(2014) berpendapat bahwa Undang-Undang
tentang SJSN hanya menyediakan tunjangan
bagi generasi tua di masa depan - mereka
yang bekerja – orang dewasa pada usia kerja
yang akan mencapai usia tua dalam waktu 15-
40 tahun.
Upaya hukum ketiga adalah peraturan
pemerintah no. 43/2004 tentang pelaksanaan
untuk meningkatkan kesejahteraan orang
lansia. Pemerintah harus menyediakan
bantuan yang dapat berupa uang tunai atau
barang.
Undang-undang No. 11/2009 mengutamakan
pelaksanaan kesejahteraan social bagi orang-
orang yang tidak memiliki kehidupan
'layak', dengan beberapa kriteria sebagai
berikut: orang miskin, terabaikan, cacat,
dan/atau tinggal di daerah terpencil; korban
bencana; korban pelanggaran sosial; dan
korban kekerasan, eksploitasi, dan/atau
diskriminasi (Pasal 6).
Secara keseluruhan, Indonesia memiliki dua
skema dalam program jaminan sosial: Skema
jaminan sosial dengan iuran dan skema
bantuan sosial tanpa iuran (Adioetomo,
Howell, McPherson, & Priebe,
2014). Sementara itu, untuk orang lansia yang
saat ini tidak tercakup dalam skema pensiun
Even though, Priebe & Howell (2014) argue that
the SJSN Law just benefited for the future
elderly generation - those working-age adults
that will reach old age in 15-40 years.
The third legal initiative was the government
regulation no. 43/2004 regarding the
implementation to improve older person
welfare. The government should provide an
assistance which can be in cash or in kind.
The law No. 11/ 2009 prioritizes the
implementation of social welfare for people who
lack a ’decent’ life, with several criteria as
follow: poor, neglected, disabled, and/or remote
persons; disaster victims; victims of social
misconduct; and victims of violence,
exploitation, and/or discrimination (Article no.
6).
Overall, Indonesia has two scheme in social
security programs: Contributory social
insurance scheme and noncontributory social
assistance scheme (Adioetomo, Howell,
McPherson, & Priebe, 2014). Meanwhile, for
the current elderly who do not covered by formal
pension scheme as discussed above,
10 Jurnal Institut BPJS Ketenagakerjaan Volume 3 No. 1 November 2018
10
2003). Undang-undang ini menjadi dasar
untuk program pensiun bagi
pekerja. Meskipun demikian, Priebe & Howell
(2014) berpendapat bahwa Undang-Undang
tentang SJSN hanya menyediakan tunjangan
bagi generasi tua di masa depan - mereka
yang bekerja – orang dewasa pada usia kerja
yang akan mencapai usia tua dalam waktu 15-
40 tahun.
Upaya hukum ketiga adalah peraturan
pemerintah no. 43/2004 tentang pelaksanaan
untuk meningkatkan kesejahteraan orang
lansia. Pemerintah harus menyediakan
bantuan yang dapat berupa uang tunai atau
barang.
Undang-undang No. 11/2009 mengutamakan
pelaksanaan kesejahteraan social bagi orang-
orang yang tidak memiliki kehidupan
'layak', dengan beberapa kriteria sebagai
berikut: orang miskin, terabaikan, cacat,
dan/atau tinggal di daerah terpencil; korban
bencana; korban pelanggaran sosial; dan
korban kekerasan, eksploitasi, dan/atau
diskriminasi (Pasal 6).
Secara keseluruhan, Indonesia memiliki dua
skema dalam program jaminan sosial: Skema
jaminan sosial dengan iuran dan skema
bantuan sosial tanpa iuran (Adioetomo,
Howell, McPherson, & Priebe,
2014). Sementara itu, untuk orang lansia yang
saat ini tidak tercakup dalam skema pensiun
Even though, Priebe & Howell (2014) argue that
the SJSN Law just benefited for the future
elderly generation - those working-age adults
that will reach old age in 15-40 years.
The third legal initiative was the government
regulation no. 43/2004 regarding the
implementation to improve older person
welfare. The government should provide an
assistance which can be in cash or in kind.
The law No. 11/ 2009 prioritizes the
implementation of social welfare for people who
lack a ’decent’ life, with several criteria as
follow: poor, neglected, disabled, and/or remote
persons; disaster victims; victims of social
misconduct; and victims of violence,
exploitation, and/or discrimination (Article no.
6).
Overall, Indonesia has two scheme in social
security programs: Contributory social
insurance scheme and noncontributory social
assistance scheme (Adioetomo, Howell,
McPherson, & Priebe, 2014). Meanwhile, for
the current elderly who do not covered by formal
pension scheme as discussed above,
11
resmi sebagaimana dibahas di atas,
pemerintah Indonesia mencoba untuk
memberikan bantuan sosial dengan skema
transfer bantuan tunai yang bernama Asistensi
Sosial Lanjut Usia terlantar (ASLUT) 1
(Kemsos, 2016). Bantuan ini adalah skema
tanpa iuran. Undang-Undang No. 13/1998
adalah dasar untuk penciptaan
ASLUT. Dokumen pedoman yang dikeluarkan
oleh Kementerian Sosial mendefinisikan
bahwa ASLUT menyasar pada lansia terlantar
yang tidak tercakup dalam program pensiun,
tidak ada pendapatan, hanya mampu
berbaring di tempat tidur dan sebagian besar
perempuan. Cakupan untuk bantuan ini masih kecil. Pada
tahun 2011, ASLUT hanya
memberikan bantuan kepada 0,88 persen dari
seluruh penduduk lansia di Indonesia karena
APBN yang terbatas 2 (Kemsos, 2016, hal.
1). Orang lansia akan menerima sekitar
US$15 per bulan.
Indonesia memulai pensiun sosial bagi orang
lanjut usia dengan program percobaan JSLU
selama 5 tahun sejak tahun 2006 sampai
dengan 2011. Dalam waktu lima tahun
pertama, Indonesia hanya mencakup 13.250
Indonesian government try to give social
assistance with cash benefit transfer scheme
which name is Asistensi Sosial Lanjut Usia
Terlantar (ASLUT) 3 (Kemsos, 2016). This
assistance is a noncontributory scheme. Law
No. 13/1998 is foundation for ASLUT creation.
The guidance document issued by Ministry of
Social Affair defined that ASLUT targeting for
neglected elderly who do not covered by any
pension program, no income, bedridden and
mostly women.
The coverage for this assistance is still minor.
In 2011, ASLUT only gives assistance to 0.88
percent of total population of elderly in
Indonesia due to limited national budget 4
(Kemsos, 2016, p. 1). The elderly will receive
around US$15 per month.
Indonesia starts the social pension for elderly
with the trial program JSLU for 5 years since
2006 until 2011. Within the first five years,
Indonesia just covered 13.250 elderly in 33
provinces. After 2012, when ASLUT launched,
1 Pada tahun 2012, Jaminan Sosial Lanjut Usia (JSLU) diubah namanya menjadi ASLUT. 2 Pada tahun 2011, program ini hanya mendapatkan sekitar 0,53 persen dari anggaran nasional – Kementerian
Keuangan.
3 In 2012 Jaminan Sosial Lanjut Usia (JSLU) was renamed to ASLUT 4 In 2011, this program only get around 0.53 percent of national budget – Ministry of finance
11Jurnal Institut BPJS Ketenagakerjaan Volume 3 No. 1 November 2018
12
lansia di 33 provinsi. Setelah tahun 2012,
ketika ASLUT diluncurkan, jumlah penerima
manfaat telah meningkat dua kali lipat. ASLUT
adalah satu-satunya program bantuan sosial
yang berfokus pada bantuan pendapatan bagi
lansia. Karena skema ini adalah skema tanpa
iuran, pendanaannya berasal dari pemerintah
pusat.
the number of beneficiaries has increased two-
fold. ASLUT is the only social assistance
program which focuses targeting income
support for elderly. As this scheme is non-
contributory, the funding is from central
government.
Tabel 1. Penerima Manfaat ASLUT Selama Lima Tahun Table 1. ASLUT Beneficiaries Over a Five Years Period
Tahun
Penerima manfaat
ASLUT Provinsi
2012 26500 33
2013 26500 33
2014 26500 34
2015 27000 34
2016 30000 34 Sumber: Kemsos 2017
Source: Kemsos 2017
Konteks India tentang Bantuan Penghasilan
Pada tahun 2016, populasi orang berusia 60
tahun ke atas berjumlah 9,4% dan pada tahun
2050 jumlah ini diprediksi akan meningkat
hingga 19,1%. Secara mengejutkan India dan
Indonesia memiliki angka populasi lansia yang
sangat mirip. Menurut Bhaduri (2013) “India
tidak memiliki sistem jaminan sosial
universal”. Cakupan pensiun juga rendah, dan
dengan demikian gagal untuk
memenuhi peran utamanya (Singh, Bharati, &
Sanyal, 2015). Sebagian besar tenaga kerja
informal India tidak memiliki ketentuan pensiun
formal (“Jan-Dhan Se Jan Suraksha,”
India Context on Income Support
In 2016, the population of people 60 years and
above were 9.4% and in 2050 the number is
predicted to increase up to 19.1%. The number
surprisingly similar between India and
Indonesia. According to Bhaduri (2013) “India
does not have a universal social security
system”. Pension coverage also low, and thus it
is failed to fulfill its main role (Singh, Bharati, &
Sanyal, 2015). The majority of the informal labor
force in India have no formal pension provision
(“Jan-Dhan Se Jan Suraksha,” 2016). This
condition is similar to Indonesia, as many
Indonesian citizens live without pension
12 Jurnal Institut BPJS Ketenagakerjaan Volume 3 No. 1 November 2018
12
lansia di 33 provinsi. Setelah tahun 2012,
ketika ASLUT diluncurkan, jumlah penerima
manfaat telah meningkat dua kali lipat. ASLUT
adalah satu-satunya program bantuan sosial
yang berfokus pada bantuan pendapatan bagi
lansia. Karena skema ini adalah skema tanpa
iuran, pendanaannya berasal dari pemerintah
pusat.
the number of beneficiaries has increased two-
fold. ASLUT is the only social assistance
program which focuses targeting income
support for elderly. As this scheme is non-
contributory, the funding is from central
government.
Tabel 1. Penerima Manfaat ASLUT Selama Lima Tahun Table 1. ASLUT Beneficiaries Over a Five Years Period
Tahun
Penerima manfaat
ASLUT Provinsi
2012 26500 33
2013 26500 33
2014 26500 34
2015 27000 34
2016 30000 34 Sumber: Kemsos 2017
Source: Kemsos 2017
Konteks India tentang Bantuan Penghasilan
Pada tahun 2016, populasi orang berusia 60
tahun ke atas berjumlah 9,4% dan pada tahun
2050 jumlah ini diprediksi akan meningkat
hingga 19,1%. Secara mengejutkan India dan
Indonesia memiliki angka populasi lansia yang
sangat mirip. Menurut Bhaduri (2013) “India
tidak memiliki sistem jaminan sosial
universal”. Cakupan pensiun juga rendah, dan
dengan demikian gagal untuk
memenuhi peran utamanya (Singh, Bharati, &
Sanyal, 2015). Sebagian besar tenaga kerja
informal India tidak memiliki ketentuan pensiun
formal (“Jan-Dhan Se Jan Suraksha,”
India Context on Income Support
In 2016, the population of people 60 years and
above were 9.4% and in 2050 the number is
predicted to increase up to 19.1%. The number
surprisingly similar between India and
Indonesia. According to Bhaduri (2013) “India
does not have a universal social security
system”. Pension coverage also low, and thus it
is failed to fulfill its main role (Singh, Bharati, &
Sanyal, 2015). The majority of the informal labor
force in India have no formal pension provision
(“Jan-Dhan Se Jan Suraksha,” 2016). This
condition is similar to Indonesia, as many
Indonesian citizens live without pension
13
2016). Kondisi ini mirip dengan Indonesia,
karena banyak warga negara Indonesia hidup
tanpa perlindungan pensiun untuk masa
pensiun mereka.
Pada tahun 2003, India telah membentuk
Badan Pengawasan dan Pengembangan
Dana Pensiun (PFRDA) untuk mengatur dan
memperkuat manajemen pensiun. India
memiliki sistem skema pensiun yang
kompleks. Skema pensiun untuk PNS adalah
skema yang paling berkembang. India telah
mengoperasikan skema pensiun untuk lebih
dari 20 juta pegawai negeri. Skema ini adalah
dana pensiun terbesar di dunia dalam hal
jumlah peserta (Pinheiro, 2004, hal. 4).
Reformasi kebijakan yang dilakukan baru-baru
ini pada tahun 2004 di India memperkenalkan
skema portabel DC (Iuran Pasti) untuk peserta
baru dari PNS, dengan iuran pemerintah yang
jumlahnya disamakan dengan iuran karyawan
(Pinheiro, 2004, hal. 4). Skema Pensiun Baru
ini (NPS) diluncurkan oleh PFRDA. Reformasi
ini berperan penting dalam sistem pensiun
India.
Secara keseluruhan, India memiliki empat
skema utama dalam menyediakan dana
pensiun bagi warganya. Skema pertama
adalah pensiun publik untuk lansia
miskin. Tipe kedua adalah penyediaan bagi
pegawai negeri berusia lanjut. Tipe ketiga
adalah skema untuk pekerja swasta, dan
protection for their retirement.
In 2003, India has established the Pension
Fund Regulatory and Development Authority
(PFRDA) in order to regulate and strengthen the
retirement management. India has a complex
system of pension schemes. The pension
scheme for the civil servant is the most
developed one. India has operated pension
scheme for over 20 million civil servants, it is the
world’s largest pension fund in terms of number
of participants (Pinheiro, 2004, p. 4).
Recent policy reforms in 2004 in India
introduced a portable DC (Defined Contribution)
scheme for new entrants of the civil servant,
with government contribution matching the
employees’ contribution. (Pinheiro, 2004, p. 4).
This New Pension Scheme (NPS) was
launched by PFRDA. This reform plays a
significant role in India’s pension system.
Overall, India has four major scheme in
providing pension for their citizens. The first
scheme is public pensions for elderly poor. The
second type is civil servant old age provision.
The third is for private workers, which scheme
is mandatory plans run by employees’ provident
fund institution. And the last scheme is a
13Jurnal Institut BPJS Ketenagakerjaan Volume 3 No. 1 November 2018
14
skema tersebut adalah rencana wajib yang
dijalankan oleh lembaga dana hari tua
karyawan. Dan skema terakhir adalah pensiun
sukarela, yang tersedia untuk semua
karyawan seperti wiraswasta, pekerja formal
dan informal.
Sistem perlindungan sosial India memiliki
perubahan yang luar biasa dengan
pertumbuhan dan pengentasan kemiskinan
baru-baru ini di negara itu (Garroway,
2013). Program Bantuan Sosial Nasional India
(NSAP) adalah program perlindungan sosial
yang penting dan diciptakan untuk
memberikan bantuan publik kepada orang-
orang yang hidup dalam kemiskinan karena
usia tua, masalah kesehatan, menjanda,
cacat, dan kematian.
NSAP pertama kali diberlakukan pada tahun
1995 dan pada awalnya berfokus
pada pensiun hari tua, pensiun janda dan
manfaat kematian. Pembentukan NSAP
diperintahkan oleh undang-undang dasar India
dalam pasal 41. NSAP meliputi tiga
komponen: skema pensiun hari tua nasional
(NOAPS)5; Skema Manfaat Keluarga Nasional
(NFBS); dan, Skema Manfaat Persalinan
Nasional (NMBS).
voluntary pension, which available for all
employee such as self-employed, formal and
informal worker.
India’s social protection system having a
tremendous change with the country’s recent
growth and poverty alleviation (Garroway,
2013). India’s National Social Assistance
Program (NSAP) is essential social protection
program created to provide public assistance to
people living in poverty due to old age, health
issue, widowhood, disability, and death.
The NSAP first enacted in 1995 and initially
focused on the old age pension, widow’s
pension and death benefit. The establishment
of NSAP directed by the India constitution in
article 41. The NSAP Includes three
component: National Old age pension Scheme
(NOAPS) 8 ; National Family Benefit Scheme
(NFBS); and, National Maternity Benefit
Scheme (NMBS).
5 Pada tahun 2007, NOAPS diperluas sehingga mencakup semua warga negara lanjut usia yang hidup di bawah garis
kemiskinan dan kemudian NOAPS diubah namanya menjadi Indira Gandhi National Old Age Pension Scheme
(IGNOAPS) / Skema Pensiun Hari Tua Nasional Indira Gandhi. 8 In 2007, the NOAPS is expanded to cover all elderly citizens who live below the poverty line and then NOAPS renamed to Indira Gandhi National Old Age Pension Scheme (IGNOAPS).
14 Jurnal Institut BPJS Ketenagakerjaan Volume 3 No. 1 November 2018
14
skema tersebut adalah rencana wajib yang
dijalankan oleh lembaga dana hari tua
karyawan. Dan skema terakhir adalah pensiun
sukarela, yang tersedia untuk semua
karyawan seperti wiraswasta, pekerja formal
dan informal.
Sistem perlindungan sosial India memiliki
perubahan yang luar biasa dengan
pertumbuhan dan pengentasan kemiskinan
baru-baru ini di negara itu (Garroway,
2013). Program Bantuan Sosial Nasional India
(NSAP) adalah program perlindungan sosial
yang penting dan diciptakan untuk
memberikan bantuan publik kepada orang-
orang yang hidup dalam kemiskinan karena
usia tua, masalah kesehatan, menjanda,
cacat, dan kematian.
NSAP pertama kali diberlakukan pada tahun
1995 dan pada awalnya berfokus
pada pensiun hari tua, pensiun janda dan
manfaat kematian. Pembentukan NSAP
diperintahkan oleh undang-undang dasar India
dalam pasal 41. NSAP meliputi tiga
komponen: skema pensiun hari tua nasional
(NOAPS)5; Skema Manfaat Keluarga Nasional
(NFBS); dan, Skema Manfaat Persalinan
Nasional (NMBS).
voluntary pension, which available for all
employee such as self-employed, formal and
informal worker.
India’s social protection system having a
tremendous change with the country’s recent
growth and poverty alleviation (Garroway,
2013). India’s National Social Assistance
Program (NSAP) is essential social protection
program created to provide public assistance to
people living in poverty due to old age, health
issue, widowhood, disability, and death.
The NSAP first enacted in 1995 and initially
focused on the old age pension, widow’s
pension and death benefit. The establishment
of NSAP directed by the India constitution in
article 41. The NSAP Includes three
component: National Old age pension Scheme
(NOAPS) 8 ; National Family Benefit Scheme
(NFBS); and, National Maternity Benefit
Scheme (NMBS).
5 Pada tahun 2007, NOAPS diperluas sehingga mencakup semua warga negara lanjut usia yang hidup di bawah garis
kemiskinan dan kemudian NOAPS diubah namanya menjadi Indira Gandhi National Old Age Pension Scheme
(IGNOAPS) / Skema Pensiun Hari Tua Nasional Indira Gandhi. 8 In 2007, the NOAPS is expanded to cover all elderly citizens who live below the poverty line and then NOAPS renamed to Indira Gandhi National Old Age Pension Scheme (IGNOAPS).
15
India memiliki 'Pensiun Sosial' sebagai
program anti-kemiskinan di bawah program
IGNOAPS yang memberikan bantuan tunai
kepada orang lanjut usia6. IGNOAPS adalah
skema pensiun tanpa iuran yang didanai oleh
pemerintah pusat dan dikelola di bawah
Kementerian Pembangunan Pedesaan.
Tujuan dari IGNOAPS adalah untuk
memberikan bantuan sosial kepada lansia
yang memiliki pendapatan rendah atau tidak
memiliki bantuan lainnya7. Pemerintah pusat
mendorong setiap negara bagian di India
untuk turut memberikan kontribusi tambahan
bagi para penerima manfaat
IGNOAPS. Situasi ini berbeda dengan ASLUT
di Indonesia. Dana untuk bantuan tersebut
datang dari pusat. Sedangkan, IGNOAPS
adalah gabungan antara anggaran pusat dan
negara bagian.
Menurut Dutta (dkk.) (2010)
pada periode 2008-2009, pensiun sosial di
India hanya mengambil sekitar 4 persen dari
anggaran belanja pemerintah pusat. Jumlah
ini jauh lebih sedikit daripada makanan
bersubsidi (48 persen) dan pekerjaan umum
(33 persen). India menghabiskan 7 kali lebih
tinggi dari belanja Indonesia untuk
pensiun sosial.
India has ‘Social Pension’ as anti-poverty
programs under the IGNOAPS program which
gave cash transfer to elderly people 9 . The
IGNOAPS is a noncontributory pension scheme
funded by central government and administered
under the Ministry of Rural Development. The
objective of IGNOAPS is to provide social
assistance to elderly who do have little income
or no other support10. The central government
encourages every state in India to also give
extra contributions for the IGNOAPS
beneficiaries. This is make a difference to
Indonesia’s ASLUT where the fund for the
assistance come solely from central, IGNOAPS
is combination between central and state
budget.
According to Dutta (et al) (2010) in the 2008-
2009 period, social pension in India just took
around 4 percent of central government
spending. This number was far less than
subsidized food (48 percent) and public works
(33 percent). India spent 7 times higher than
Indonesia’s spending on the social pension.
6 Batas usia untuk IGNOAPS adalah 60 tahun ke atas. Warga negara yang berusia di atas 60 tahun dan berada di bawah
garis kemiskinan memenuhi syarat untuk mendaftar sebagai penerima manfaat. 7 Panduan Program Bantuan Sosial Nasional, Kementerian Pembangunan Pedesaan 9 The age limit for IGNOAPS is 60 years and above. Citizens above the age of 60 and live under poverty line are eligible to apply as beneficiaries. 10 National Social Assistance Program Guidelines, Ministry of Rural Development
15Jurnal Institut BPJS Ketenagakerjaan Volume 3 No. 1 November 2018
16
Menurut Rajan (2001: 613), ada beberapa
kriteria untuk penerima manfaat IGNOAPS
sebagai berikut:
- Usia pendaftar (pria atau wanita) harus
berusia 65 tahun atau lebih, janda, dan
cacat.
- Pemohon harus memiliki penghasilan yang
minim atau tidak ada penghasilan tetap dari
sumbernya sendiri atau melalui beberapa
bantuan keuangan dari anggota keluarga
atau sumber lain.
Pada tahun 2007, jumlah penerima manfaat
untuk program tersebut adalah sekitar 8,5
persen dari seluruh penduduk miskin (Pal &
Palacios, 2008). Bantuan ini membantu
dengan memberikan sekitar US$3,1 per bulan
kepada orang lanjut usia untuk orang-orang
yang berusia antara 60-79 tahun dan orang
yang berusia 80 tahun ke atas agar memiliki
pensiun bulanan sekitar US$7,80.
Hingga tahun 2012, penerima manfaat
NOAPS (IGNOAPS) mencapai sekitar 27,8
juta lansia miskin. Jumlah ini meningkat sekitar
39% dibandingkan tahun
sebelumnya (Pemerintah India, 2012). Jumlah
tersebut meningkat karena usia yang
memenuhi syarat untuk pensiun hari tua di
bawah IGNOAPS telah dikurangi dari 65 tahun
menjadi 60 tahun, yang dimulai pada tahun
2011. Metode untuk menyasar penerima
IGNOAPS menggunakan BPL (Below Poverty
According to Rajan (2001: 613), there are some
criteria for the beneficiaries of the IGNOAPS as
follow:
- The age of the applicant (male or female)
should be 65 years or older, widow, and
disability
- The applicant should have little or no
regular income from his/ her own sources
or through some financial support from the
family member or other sources.
In 2007, the number of beneficiaries for such
program was around 8.5 percent from the total
poor population (Pal & Palacios, 2008). The
assistance helps by giving around US$3.1 per
month to elderly people for people age 60-79
and people who age 80 and above have
monthly pension around US$7.80.
Until 2012, the beneficiaries of the NOAPS
(IGNOAPS) about 27.8 million poor elderly.
This number has increased for around 39%
compared to previous year (Government of
India, 2012). The number increased because
the eligibility age for old age pension under
IGNOAPS has been deducted from 65 years to
60 years started in 2011. The method to
targeting the IGNOAPS beneficiaries is using
BPL (Below Poverty Line), but according to
Dutta (2008) using this method is lead to higher
16 Jurnal Institut BPJS Ketenagakerjaan Volume 3 No. 1 November 2018
16
Menurut Rajan (2001: 613), ada beberapa
kriteria untuk penerima manfaat IGNOAPS
sebagai berikut:
- Usia pendaftar (pria atau wanita) harus
berusia 65 tahun atau lebih, janda, dan
cacat.
- Pemohon harus memiliki penghasilan yang
minim atau tidak ada penghasilan tetap dari
sumbernya sendiri atau melalui beberapa
bantuan keuangan dari anggota keluarga
atau sumber lain.
Pada tahun 2007, jumlah penerima manfaat
untuk program tersebut adalah sekitar 8,5
persen dari seluruh penduduk miskin (Pal &
Palacios, 2008). Bantuan ini membantu
dengan memberikan sekitar US$3,1 per bulan
kepada orang lanjut usia untuk orang-orang
yang berusia antara 60-79 tahun dan orang
yang berusia 80 tahun ke atas agar memiliki
pensiun bulanan sekitar US$7,80.
Hingga tahun 2012, penerima manfaat
NOAPS (IGNOAPS) mencapai sekitar 27,8
juta lansia miskin. Jumlah ini meningkat sekitar
39% dibandingkan tahun
sebelumnya (Pemerintah India, 2012). Jumlah
tersebut meningkat karena usia yang
memenuhi syarat untuk pensiun hari tua di
bawah IGNOAPS telah dikurangi dari 65 tahun
menjadi 60 tahun, yang dimulai pada tahun
2011. Metode untuk menyasar penerima
IGNOAPS menggunakan BPL (Below Poverty
According to Rajan (2001: 613), there are some
criteria for the beneficiaries of the IGNOAPS as
follow:
- The age of the applicant (male or female)
should be 65 years or older, widow, and
disability
- The applicant should have little or no
regular income from his/ her own sources
or through some financial support from the
family member or other sources.
In 2007, the number of beneficiaries for such
program was around 8.5 percent from the total
poor population (Pal & Palacios, 2008). The
assistance helps by giving around US$3.1 per
month to elderly people for people age 60-79
and people who age 80 and above have
monthly pension around US$7.80.
Until 2012, the beneficiaries of the NOAPS
(IGNOAPS) about 27.8 million poor elderly.
This number has increased for around 39%
compared to previous year (Government of
India, 2012). The number increased because
the eligibility age for old age pension under
IGNOAPS has been deducted from 65 years to
60 years started in 2011. The method to
targeting the IGNOAPS beneficiaries is using
BPL (Below Poverty Line), but according to
Dutta (2008) using this method is lead to higher
17
Line / Di Bawah Garis Kemiskinan). Tetapi,
menurut Dutta (2008) penggunaan metode ini
menyebabkan kesalahan pengecualian dan
penyertaan yang lebih tinggi ketika Dutta
melakukan pengambilan contoh di
Rajasthan. Sekitar 70% dari penduduk
termiskin di Rajasthan tidak memiliki kartu
BPL. Angka ini menyiratkan bahwa kesalahan
pengecualian dan penyertaan dapat terjadi.
Hasil Kebijakan
Indonesia telah mencapai kemajuan yang
berhasil untuk menekan tingkat kemiskinan
dalam beberapa dekade terakhir. Meskipun,
dalam beberapa kelompok, angka ini masih
tinggi. Menurut Priebe dan Howell (2014)
dalam laporan mereka tentang program
pengentasan kemiskinan di Indonesia,
lansia adalah kelompok yang paling rentan
karena tingkat kemiskinan meningkat sejalan
dengan usia mereka. Tingkat kemiskinan
penduduk yang lebih tua juga sedikit lebih
tinggi daripada populasi yang lebih
muda. Lebih lanjut, mereka menemukan
bahwa 2,5 juta orang lanjut usia di Indonesia
masih hidup dalam kemiskinan. Padahal
hanya sebagian kecil lansia yang termasuk
dalam sistem pensiun formal atau dukungan
bantuan sosial untuk penghasilan.
Dalam makalah yang ditulis oleh Adioetomo,
Howell, McPherson dan Priebe
(2013) mengenai studi empiris untuk
ASLUT, mereka menulis bahwa ASLUT relatif
exclusion and inclusion errors when she do the
sampling in Rajasthan. Around 70% of the
poorest in Rajasthan did not have BPL card.
This imply that the exclusion and inclusion
errors can occur. Result of Policy
Indonesia has achieved a successful progress
to suppress the poverty rate in past decades.
Although, in some group, the rate is still high.
According to Priebe and Howell (2014) in their
report of poverty alleviation program In
Indonesia, elderly are the most vulnerable
group as poverty rates increase in line with their
age. The poverty rate of older population also
slightly higher than the younger population.
Furthermore, they found that 2.5 million older
persons in Indonesia still lived in poverty.
Whereas only a small percentage of elderly
covered in the formal pension system or in
social assistance support for income.
In working paper written by Adioetomo, Howell,
McPherson and Priebe (2013) regarding the
empirical study for ASLUT, they wrote that
ASLUT is relatively effective in targeting poor
17Jurnal Institut BPJS Ketenagakerjaan Volume 3 No. 1 November 2018
18
efektif dalam menyasar orang miskin dan
lansia yang diabaikan di Indonesia. Dana dari
ASLUT membantu para lansia untuk
membayar biaya kesehatan mereka dan
kebutuhan sehari-hari. Meskipun program ini
hanya mencakup tidak lebih dari 0,56% dari
lansia miskin (Adioetomo, Howell, McPherson,
& Priebe, 2013), ASLUT memiliki dampak
nyata pada pengurangan kemiskinan bagi
para penerima manfaat. Namun, karena
jumlah lansia juga meningkat dari tahun ke
tahun, cakupannya tampak sangat rendah
(Adioetomo, Howell, McPherson, &
Priebe 2014). Fakta ini harus dipertimbangkan
oleh Pemerintah Indonesia untuk
meningkatkan anggaran nasional pada
pensiun sosial guna memperluas cakupan.
Berlawanan dengan Indonesia, India yang
merupakan rumah dari 13 persen lansia dunia,
tapi menurut Pal dan Palacios (2008) tingkat
kemiskinan lansia di India cenderung lebih
rendah daripada kelompok usia
lainnya. Rumah tangga dengan lansia tidak
ditemukan lebih miskin daripada rumah tangga
tanpa lansia.
Pada tahun 2014, NSAP telah menjangkau
sekitar 26 juta orang lanjut usia dan
menjadikannya “program transfer tunai tanpa
syarat yang sangat signifikan” (Chopra &
Pudussery, 2014, hlm. 73-74). Pada periode
2014-2015, alokasi anggaran untuk NSAP
meningkat dua kali lipat dibandingkan periode
and neglected older people in Indonesia. The
money from ASLUT helps the elderly to pay
their medical bill and daily necessities. Even
though this program just covered no more than
0.56% of the poor elderly population.
(Adioetomo, Howell, McPherson, & Priebe,
2013). The ASLUT has a real impact on
reducing poverty for the beneficiaries, but due
to the number of elderly also increasing over
year, the coverage seems very low (Adioetomo,
Howell, McPherson, & Priebe, 2014). This
should be highly considered by Government of
Indonesia to increase the national budget for
social pension in order to enlarge the coverage.
Opposite to Indonesia, India which home of 13
percent of the world’s older person, but
according to Pal and Palacios (2008) elderly
poverty rate in India tend to be lower than other
age groups. Households with elderly were not
found to be poorer than households without
elderly.
In 2014, the NSAP have covered around 26
million elderly people and making it “a highly
significant unconditional cash transfer program”
(Chopra & Pudussery, 2014, pp. 73-74). In
2014-2015 period, the budget allocations for
NSAP have doubled compare to 2009-2010
period. Allocations for NSAP accounted at
18 Jurnal Institut BPJS Ketenagakerjaan Volume 3 No. 1 November 2018
18
efektif dalam menyasar orang miskin dan
lansia yang diabaikan di Indonesia. Dana dari
ASLUT membantu para lansia untuk
membayar biaya kesehatan mereka dan
kebutuhan sehari-hari. Meskipun program ini
hanya mencakup tidak lebih dari 0,56% dari
lansia miskin (Adioetomo, Howell, McPherson,
& Priebe, 2013), ASLUT memiliki dampak
nyata pada pengurangan kemiskinan bagi
para penerima manfaat. Namun, karena
jumlah lansia juga meningkat dari tahun ke
tahun, cakupannya tampak sangat rendah
(Adioetomo, Howell, McPherson, &
Priebe 2014). Fakta ini harus dipertimbangkan
oleh Pemerintah Indonesia untuk
meningkatkan anggaran nasional pada
pensiun sosial guna memperluas cakupan.
Berlawanan dengan Indonesia, India yang
merupakan rumah dari 13 persen lansia dunia,
tapi menurut Pal dan Palacios (2008) tingkat
kemiskinan lansia di India cenderung lebih
rendah daripada kelompok usia
lainnya. Rumah tangga dengan lansia tidak
ditemukan lebih miskin daripada rumah tangga
tanpa lansia.
Pada tahun 2014, NSAP telah menjangkau
sekitar 26 juta orang lanjut usia dan
menjadikannya “program transfer tunai tanpa
syarat yang sangat signifikan” (Chopra &
Pudussery, 2014, hlm. 73-74). Pada periode
2014-2015, alokasi anggaran untuk NSAP
meningkat dua kali lipat dibandingkan periode
and neglected older people in Indonesia. The
money from ASLUT helps the elderly to pay
their medical bill and daily necessities. Even
though this program just covered no more than
0.56% of the poor elderly population.
(Adioetomo, Howell, McPherson, & Priebe,
2013). The ASLUT has a real impact on
reducing poverty for the beneficiaries, but due
to the number of elderly also increasing over
year, the coverage seems very low (Adioetomo,
Howell, McPherson, & Priebe, 2014). This
should be highly considered by Government of
Indonesia to increase the national budget for
social pension in order to enlarge the coverage.
Opposite to Indonesia, India which home of 13
percent of the world’s older person, but
according to Pal and Palacios (2008) elderly
poverty rate in India tend to be lower than other
age groups. Households with elderly were not
found to be poorer than households without
elderly.
In 2014, the NSAP have covered around 26
million elderly people and making it “a highly
significant unconditional cash transfer program”
(Chopra & Pudussery, 2014, pp. 73-74). In
2014-2015 period, the budget allocations for
NSAP have doubled compare to 2009-2010
period. Allocations for NSAP accounted at
19
2009-2010. Alokasi untuk NSAP mencapai
US$1,6 miliar (Kapur, 2014).
Masih menurut Chopra & Puddussery (2014),
meskipun jumlah pensiun manfaat tunai tidak
mencukupi tetapi dana tersebut membantu
lansia untuk bertahan hidup dan meningkatkan
martabat mereka dalam keluarga. Studi dari
Kaushal (2014) yang meneliti dampak dari
IGNOAPS pada kesejahteraan lansia,
pengaturan hidup dan pola pengeluaran di
India dengan menggabungkan data dari tahun
2004-05 dan 2007-08 menemukan bahwa
pensiun mengarah pada pengeluaran keluarga
yang lebih tinggi. Pengeluaran sebagian besar
untuk kesehatan dan pendidikan.
Namun, sebuah studi yang dilakukan pada
tahun 2004 oleh peneliti National Bureau of
Economic Research menyimpulkan bahwa
untuk menurunkan risiko kemiskinan di
kalangan warga lansia, pemerintah India harus
meningkatkan jumlah manfaat
pensiun (Kaushal, 2014). Hal ini juga sejalan
dengan penelitian yang dilakukan oleh Gupta
(2013: 58). Gupta menyimpulkan bahwa
banyak penerima manfaat yang tidak lagi
menerima manfaat dari IGNOAPS menemui
kesulitan untuk memenuhi kebutuhan
dasar. Oleh karena itu, banyak pihak menuntut
untuk meningkatkan manfaatnya.
Dalam hal kebocoran dan penetapan sasaran
IGNOAPS, ada beberapa penelitian yang
US$1.6 billion (Kapur, 2014).
Still according to Chopra & Puddussery (2014),
although the amount of cash benefit pension is
insufficient but it helps elderly to survive and
raise their dignity in the family. The study from
Kaushal (2014) which examined the impact of
the IGNOAPS on elderly wellbeing, living
arrangement and expenditure pattern in India
with the combining data from 2004-05 and
2007-08 found out that pension lead to higher
family expenditure. The expenditure mostly for
medical and education.
However, a 2004 study by researcher of
National Bureau of Economic Research
concludes that to lower the poverty risk among
elderly citizens the India’s government should
increase the amount of pension benefit
(Kaushal, 2014). This is also in line with
research conducted by Gupta (2013:58), he
concluded that many beneficiaries fell the
benefits of IGNOAPS are hard to fulfil the basic
necessities. Therefore many parties demands
to raise the benefits.
In term of leakages and targeting of the
IGNOAPS, there are some research supported
19Jurnal Institut BPJS Ketenagakerjaan Volume 3 No. 1 November 2018
20
mendukung bahwa program tersebut tidak
mengalami banyak korupsi. Gupta (2013) dan
Dutta (dkk.) (2010) memberikan kesimpulan
yang sama bahwa program berjalan dengan
baik karena rendahnya tingkat korupsi
meskipun ada masalah dengan pencairan. Di
sisi lain, Indonesia masih memiliki sedikit
penelitian tentang kemungkinan korupsi dana
ASLUT.
D. KESIMPULAN
Dengan membandingkan sistem pensiun
antara Indonesia dan India, terlihat bahwa
kedua negara menyadari penduduk mereka
yang mengalami penuaan. Seperti yang
diperkirakan pada tahun 2050, akan ada
peningkatan jumlah lansia. India dan
Indonesia memiliki sistem pensiun terbatas
yang tidak mencakup populasi
negara. Cakupan sistem pensiun masih
tersegmentasi untuk pekerja sektor
formal. Para pekerja formal di Indonesia dan
India menikmati manfaat dari skema pensiun
formal. Dalam beberapa tahun terakhir ini,
kedua negara telah mereformasi program
pensiun mereka untuk menjawab tantangan
populasi yang menua.
Jaminan sosial di Indonesia, terutama untuk
lansia, tidak mencukupi. Lansia miskin di
Indonesia baru mendapat bantuan sosial yang
hanya mencakup sebagian kecil dari seluruh
populasi lansia. Program untuk lansia yang
disebut sebagai ASLUT ini dikelola oleh
that the program are less of corruption. Gupta
(2013) and Dutta (et al) (2010) gave same
conclusion that the program run well due to the
low level of corruption although there was
problem with the disbursement. Indonesia on
the other hand, still lacks of study in possible
corruption on ASLUT money. D. CONCLUSION
Comparing the pension system between
Indonesia and India, it becomes visible that both
countries are aware of their aging society. As
predicted that in 2050, there will be an
increasing number of elderly. India and
Indonesia have a limited pension systems that
does not cover the country population. The
coverage of pension system is still segmented
for formal sector worker. The formal workers in
Indonesia and India benefited from the formal
pension scheme. In recent years both countries
have reformed their pension program to
respond the aging population.
Social security in Indonesia, especially for
elderly were insufficient. The poor elderly in
Indonesia just get social assistance which is
cover just a minority of the total elderly
population. This program for elderly called
ASLUT is managed by Ministry of Social Affair.
20 Jurnal Institut BPJS Ketenagakerjaan Volume 3 No. 1 November 2018
20
mendukung bahwa program tersebut tidak
mengalami banyak korupsi. Gupta (2013) dan
Dutta (dkk.) (2010) memberikan kesimpulan
yang sama bahwa program berjalan dengan
baik karena rendahnya tingkat korupsi
meskipun ada masalah dengan pencairan. Di
sisi lain, Indonesia masih memiliki sedikit
penelitian tentang kemungkinan korupsi dana
ASLUT.
D. KESIMPULAN
Dengan membandingkan sistem pensiun
antara Indonesia dan India, terlihat bahwa
kedua negara menyadari penduduk mereka
yang mengalami penuaan. Seperti yang
diperkirakan pada tahun 2050, akan ada
peningkatan jumlah lansia. India dan
Indonesia memiliki sistem pensiun terbatas
yang tidak mencakup populasi
negara. Cakupan sistem pensiun masih
tersegmentasi untuk pekerja sektor
formal. Para pekerja formal di Indonesia dan
India menikmati manfaat dari skema pensiun
formal. Dalam beberapa tahun terakhir ini,
kedua negara telah mereformasi program
pensiun mereka untuk menjawab tantangan
populasi yang menua.
Jaminan sosial di Indonesia, terutama untuk
lansia, tidak mencukupi. Lansia miskin di
Indonesia baru mendapat bantuan sosial yang
hanya mencakup sebagian kecil dari seluruh
populasi lansia. Program untuk lansia yang
disebut sebagai ASLUT ini dikelola oleh
that the program are less of corruption. Gupta
(2013) and Dutta (et al) (2010) gave same
conclusion that the program run well due to the
low level of corruption although there was
problem with the disbursement. Indonesia on
the other hand, still lacks of study in possible
corruption on ASLUT money. D. CONCLUSION
Comparing the pension system between
Indonesia and India, it becomes visible that both
countries are aware of their aging society. As
predicted that in 2050, there will be an
increasing number of elderly. India and
Indonesia have a limited pension systems that
does not cover the country population. The
coverage of pension system is still segmented
for formal sector worker. The formal workers in
Indonesia and India benefited from the formal
pension scheme. In recent years both countries
have reformed their pension program to
respond the aging population.
Social security in Indonesia, especially for
elderly were insufficient. The poor elderly in
Indonesia just get social assistance which is
cover just a minority of the total elderly
population. This program for elderly called
ASLUT is managed by Ministry of Social Affair.
21
Departemen Sosial. Tujuan program ini adalah
untuk membantu warga yang terlantar, miskin
dan hanya bisa berbaring di tempat
tidur. Meskipun demikian, jumlah penerima
manfaat sangat rendah dan dianggap tidak
mencakup mayoritas.
India juga memiliki masalah yang sama, yaitu
manfaat pensiun dianggap tidak
cukup. Pemerintah India memberikan manfaat
dasar kepada lansia yang hidup di bawah
garis kemiskinan. Mayoritas lansia miskin di
India telah mendapat manfaat dari
IGNOAPS. India telah memiliki pensiun sosial
sejak tahun 1995, sementara Indonesia baru
memulai di tahun 2006. Jumlah penerima
manfaat juga menunjukkan kesenjangan yang
besar. Pada tahun 2012, India mencakup
sekitar 27,8 juta lansia dan Indonesia hanya
mencakup 26.500 lansia. Angka ini
disebabkan oleh alokasi anggaran nasional
Indonesia untuk pensiun sosial jauh lebih
rendah dari India.
Aspek lain yang sebanding dalam hal pensiun
sosial di antara negara-negara ini adalah
jumlah uang yang didapatkan oleh penerima
manfaat. Indonesia memberikan dana yang
sedikit lebih besar dibandingkan India. Lansia
miskin di Indonesia mendapatkan sekitar
US$15 per bulan, sementara India hanya
membantu lansia miskin mereka sebesar
US$3,1. Sistem pensiun sosial India
sepenuhnya didanai oleh pemerintah pusat,
This program objective is to help the neglected,
poor and bedridden citizen. Although the
number of beneficiaries is very low and
considered do not cover the majority.
India also has similar problem, where the
benefits of the pension considered as
insufficient. The Indian government provides
basic benefits for elderly below the poverty line.
India majority of poor elderly have benefitted
from IGNOAPS. India has started to have the
social pension in 1995 while Indonesia just
started at 2006. The number of beneficiaries
also show a huge gap. In 2012 India covered
around 27.8 million elderly and Indonesia only
covered 26.500 elderly people. This is because
Indonesia’s national budget allocation on social
pension is far less than India.
The other comparable aspect in term of social
pension between these countries is the amount
of money which beneficiaries get. Indonesia
gave slightly more money than India.
Indonesia’s poor elderly get around US$15 per
month while India only supports their poor
elderly with US$3.1. India’s social pension
system fully funded by central government,
however central government urge the states
government to give additional cash to elderly.
21Jurnal Institut BPJS Ketenagakerjaan Volume 3 No. 1 November 2018
22
namun pemerintah pusat mendesak
pemerintah negara bagian untuk memberikan
dana tambahan kepada para lansia. Kebijakan
ini bisa membuat para lansia memiliki bantuan
penghasilan lebih banyak. Dengan
menggunakan metode ini, India telah berhasil
membantu orang miskin.
Pensiun, bahkan jumlah imbalan yang tampak
begitu kecil, dapat membantu para lansia
untuk mengurangi ketergantungan dan
meningkatkan martabat mereka dalam rumah
tangga. Namun demikian, Indonesia dapat
belajar dari India untuk memberikan cakupan
yang lebih besar dalam pensiun
sosial. Karena cakupan ASLUT dan IGNOAPS
masih terbatas, dukungan keluarga atau sanak
keluarga dan komunitas lain sangat penting
untuk membantu para lansia.
This can make the elderly have more income
support. By using this method, India has
successfully helped the poor.
A pension, even the amount of benefit seem so
menial can help the elderly to less dependent
and raise their dignity in the household.
Nevertheless, Indonesia can learn from India to
provide a larger coverage in social pension.
Because the coverage of the ASLUT and
IGNOAPS are still limited, family support or
other relatives and communities are really
essential to help the elderly.
22 Jurnal Institut BPJS Ketenagakerjaan Volume 3 No. 1 November 2018
22
namun pemerintah pusat mendesak
pemerintah negara bagian untuk memberikan
dana tambahan kepada para lansia. Kebijakan
ini bisa membuat para lansia memiliki bantuan
penghasilan lebih banyak. Dengan
menggunakan metode ini, India telah berhasil
membantu orang miskin.
Pensiun, bahkan jumlah imbalan yang tampak
begitu kecil, dapat membantu para lansia
untuk mengurangi ketergantungan dan
meningkatkan martabat mereka dalam rumah
tangga. Namun demikian, Indonesia dapat
belajar dari India untuk memberikan cakupan
yang lebih besar dalam pensiun
sosial. Karena cakupan ASLUT dan IGNOAPS
masih terbatas, dukungan keluarga atau sanak
keluarga dan komunitas lain sangat penting
untuk membantu para lansia.
This can make the elderly have more income
support. By using this method, India has
successfully helped the poor.
A pension, even the amount of benefit seem so
menial can help the elderly to less dependent
and raise their dignity in the household.
Nevertheless, Indonesia can learn from India to
provide a larger coverage in social pension.
Because the coverage of the ASLUT and
IGNOAPS are still limited, family support or
other relatives and communities are really
essential to help the elderly.
23
DAFTAR PUSTAKA / BIBLIOGRAPHY (n.d.). Diambil pada bulan November 26, 2017, dari Worldometers:
www.worldometers.info/world-population
Adioetomo, S. M., Howell, F., McPherson, A., & Priebe, J. (2013). Social Assistence for elderly in Indonesia: Empirical study for ASLUT. TNP2K.
Adioetomo, S. M., Howell, F., McPherson, A., & Priebe, J. (2014). Social Assistance For
The Elderly: The Role of Asistensi Sosial Lanjut Usia Terlantar Programme In Fighting Old Age Poverty. TNP2K.
Bhaduri, R. (2013). Pension Reforms in India. COGNIZANT. Diambil dari
www.cognizant.com
Bodie, Z., Marcus, A. J., & Merton, R. C. (1988). Defined Benefit versus Defined
Contribution Pension Plans:What are the Real Trade-offs? In J. B. Zvi Bodie,
Pensions in the U.S. Economy (pp. 139-162). Chicago: University of Chicago Press.
BPS. (2017). Labor Force Situation In Indonesia : August 2017. Jakarta: BPS.
Chopra, S., & Pudussery, J. (2014). Social Security Pensions in India: An Assessment.
Economic and Political Weekly, Vol XLIX No 19, 68-74.
Costa, D. L. (1998). The Evolution of Retirement. In D. L. Costa, The Evolution of
Retirement: An American Economic History, 1880-1990 (pp. 6-31). University of
Chicago Press.
Dutta, P. V. (2008). The Performance of Social Pensions in India: The Case of Rajasthan. SASHD-SP.
Dutta, P., Howes, S., & Murgai, R. (2010). Small But Effective: India's Targeted
Unconditional Cash Transfers. ASARC.
23Jurnal Institut BPJS Ketenagakerjaan Volume 3 No. 1 November 2018
24
Garroway, C. (2013). How much do small old age pensions and widows' pensions help the
poor in India? : An ex-post evaluation of the National Social Assistance Programme
and implication for its planned reform. United Nations ESCAP.
Gough, I. (2013). Social policy regimes in the developing world. In P. Kennett, A Handbook
of comparative social policy (pp. 205-224). Cheltenham UK: Edward Elgar
Publishing Ltd. Government of India. (2012). Annual Report 2011-2012. New Delhi: Ministry of Rural
Development.
Gupta, A. (2013). Old-Age Pension Scheme in Jharkhand and Chhattisgarh. Economic &
Political Weekly, 54-59.
Jan-Dhan Se Jan Suraksha. (2016, May 13). Diambil dari
https://www.india.gov.in/spotlight/jan-dhan-se-jan-suraksha-social-security-citizens
ILO. (2017). India Labour Market Update. ILO. Retrieved December 06, 2017, from
http://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/---asia/---ro-bangkok /---sro-
new_delhi/documents/publication/wcms_568701.pdf
Kapur, A. (2014). Accountability initiative. Budget briefs-NSAP, 6(7).
Kaushal, N. (2014, September 03). Ideas For India. Retrieved from Economics of public
pension : Analysing India's Old-age pension scheme: http://www.ideasforindia.in
Kemsos. (2016, April). Kemsos. Retrieved from Asistensi Sosial Lanjut Usia (ASLUT):
https://www.kemsos.go.id/content/aslut Muliati, I. (2003). PENSION REFORM EXPERIENCE IN INDONESIA. IMF Conference for
Designing Equitable and Sustainable Pension Post Crisis World. Tokyo.
National Human Rights Commision. (2011). Know Your Rights: Elderly People. NHRC.
OECD. (2015). Pensions at a Glance 2015: OECD and G20 indicators. Paris: OECD
Publishing. Diambil pada tanggal 26 November 2017, dari
http://dx.doi.org/10.1787/pension_glance-2015-en
24 Jurnal Institut BPJS Ketenagakerjaan Volume 3 No. 1 November 2018
24
Garroway, C. (2013). How much do small old age pensions and widows' pensions help the
poor in India? : An ex-post evaluation of the National Social Assistance Programme
and implication for its planned reform. United Nations ESCAP.
Gough, I. (2013). Social policy regimes in the developing world. In P. Kennett, A Handbook
of comparative social policy (pp. 205-224). Cheltenham UK: Edward Elgar
Publishing Ltd. Government of India. (2012). Annual Report 2011-2012. New Delhi: Ministry of Rural
Development.
Gupta, A. (2013). Old-Age Pension Scheme in Jharkhand and Chhattisgarh. Economic &
Political Weekly, 54-59.
Jan-Dhan Se Jan Suraksha. (2016, May 13). Diambil dari
https://www.india.gov.in/spotlight/jan-dhan-se-jan-suraksha-social-security-citizens
ILO. (2017). India Labour Market Update. ILO. Retrieved December 06, 2017, from
http://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/---asia/---ro-bangkok /---sro-
new_delhi/documents/publication/wcms_568701.pdf
Kapur, A. (2014). Accountability initiative. Budget briefs-NSAP, 6(7).
Kaushal, N. (2014, September 03). Ideas For India. Retrieved from Economics of public
pension : Analysing India's Old-age pension scheme: http://www.ideasforindia.in
Kemsos. (2016, April). Kemsos. Retrieved from Asistensi Sosial Lanjut Usia (ASLUT):
https://www.kemsos.go.id/content/aslut Muliati, I. (2003). PENSION REFORM EXPERIENCE IN INDONESIA. IMF Conference for
Designing Equitable and Sustainable Pension Post Crisis World. Tokyo.
National Human Rights Commision. (2011). Know Your Rights: Elderly People. NHRC.
OECD. (2015). Pensions at a Glance 2015: OECD and G20 indicators. Paris: OECD
Publishing. Diambil pada tanggal 26 November 2017, dari
http://dx.doi.org/10.1787/pension_glance-2015-en
25
Pal, S., & Palacios, R. (2008). Understanding Poverty among the Elderly in India:
Implications for Social Pension Policy. Germany: Brunel University and IZA.
Pinheiro, V. C. (2004). PENSION FUNDS FOR GOVERNMENT WORKERS IN OECD COUNTRIES. OECD, 4.
Priebe, J., & Howell, F. (2014). OLD-AGE POVERTY IN INDONESIA:Empirical Evidence
and Policy Options A Role for Social Pensions. Jakarta: Tim Nasional Percepatan
Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K). Diambil pada tanggal 5 Desember 2017
Rajan, S. I. (2001). Social Assistance for Poor Elderly: How Effective? Economic & Political
Weekly, 36(8).
Singh, C., Bharati, K., & Sanyal, A. (2015). Ageing in India : Need for Universal Pension
Scheme. Economic & Political Weekly, 40-46.
The World Bank. (2016). Diambil pada tanggal 9 Desember 2017, dari rasio
ketergantungan menurut Usia:
https://data.worldbank.org/indicator/SP.POP.DPND.OL
United Nations. (n.d.). Diambil pada tanggal 11 November 2017, dari Riwayat Penunaan
tahun 2017: https://population.un.org/ProfilesOfAgeing2017/index.html
United Nations. (2015). World population ageing 2015. United Nations, Department of
Economic and Social Affairs. New York: United Nations. Diambil pada tanggal 5
Desember 2017, dari
http://www.un.org/en/development/desa/population/publications/pdf/ageing/WPA2
015_Report.pdf
World Bank. (n.d.). Diambil pada tanggal 26 November 2017, dari Bank Dunia:
https://data.worldbank.org/country/india?view=chart
World Bank. (n.d.). Diambil pada tanggal 26 November 2017, dari Bank Dunia:
https://data.worldbank.org/country/indonesia?view=chart
25Jurnal Institut BPJS Ketenagakerjaan Volume 3 No. 1 November 2018
26
CURRICULUM VITAE
PERSONAL INFORMATION Anna Wijayanti
Female, 05 May 1991
Jl. Kimerogan Lr. Bahagia I Kertapati Palembang Sumatera-Selatan (Indonesia) (+62)85271358909
www.bpjsketenagakerjaan.go.id
EDUCATION AND TRAINING
Sep 2007– Sep 2011
Bachelor of Chemistry Education University of Sriwijaya, Indralaya (Indonesia)
www.unsri.ac.id ▪ Graduated with GPA of 3.14 of 4.00 scale
Jul 2017 – Present
Student of Master of Sociology and Master of Social Policy Gajah Mada University and University of Melbourne
WORK EXPERIENCE
1 Oct 2011– 31 Aug 2013 Marketing Staff KSP Nasari Jl. Kapt A. Rivai Palembang (Indonesia)
1 Oct 2013–Present Relationship Officer BPJS Ketenagakerjaan Jl. Gajah Mada Komplek Tiban Impian Blok A1-3 Batam Kepulauan Riau (Indonesia)
26 Jurnal Institut BPJS Ketenagakerjaan Volume 3 No. 1 November 2018
26
CURRICULUM VITAE
PERSONAL INFORMATION Anna Wijayanti
Female, 05 May 1991
Jl. Kimerogan Lr. Bahagia I Kertapati Palembang Sumatera-Selatan (Indonesia) (+62)85271358909
www.bpjsketenagakerjaan.go.id
EDUCATION AND TRAINING
Sep 2007– Sep 2011
Bachelor of Chemistry Education University of Sriwijaya, Indralaya (Indonesia)
www.unsri.ac.id ▪ Graduated with GPA of 3.14 of 4.00 scale
Jul 2017 – Present
Student of Master of Sociology and Master of Social Policy Gajah Mada University and University of Melbourne
WORK EXPERIENCE
1 Oct 2011– 31 Aug 2013 Marketing Staff KSP Nasari Jl. Kapt A. Rivai Palembang (Indonesia)
1 Oct 2013–Present Relationship Officer BPJS Ketenagakerjaan Jl. Gajah Mada Komplek Tiban Impian Blok A1-3 Batam Kepulauan Riau (Indonesia)
27
KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI INDONESIA DAN MESIR: PERBANDINGAN ANTARA DUA NEGARA BERKEMBANG MUSLIM
Riza Guntur Prakoso
Abstrak
Penelitian ini membahas masalah kebijakan-
kebijakan pendidikan yang berbeda antara dua
negara berkembang dengan penduduk
mayoritas Muslim, yaitu Indonesia dan Mesir.
Kedua negara memiliki dasar politik yang
sama, dominasi Muslim, status sebagai
negara dengan jumlah penduduk terbanyak di
wilayah masing-masing dan sebagai negara
berkembang, pengalaman masa lalu dengan
berada di bawah kepemimpinan militer yang
bersifat otoriter dan dijajah oleh bangsa-
bangsa Barat, status mereka sebagai negara
yang baru bertumbuh dan berkembang.
Tetapi, kedua negara ini memiliki jurang yang
cukup dalam dalam hasil kebijakan pendidikan
untuk membebaskan biaya pendidikan, seperti
yang dilakukan oleh Mesir. Indonesia masih
berjuang untuk melaksanakan pendidikan
gratis untuk semua warga negara. Oleh karena
itu, catatan historis mengenai kebijakan
pendidikan dari kedua negara telah dianalisa
untuk menemukan akar dari hasil kebijakan
pendidikan. Kebijakan-kebijakan sebelumnya
telah menjadi faktor utama dalam
mempengaruhi hasil kebijakan pendidikan
masa mendatang di kedua negara, terutama
Indonesia, karena negara tersebut bergantung
EDUCATIONAL POLICY IN INDONESIA AND EGYPT: A COMPARISON BETWEEN TWO
DEVELOPING MUSLIM COUNTRIES
Riza Guntur Prakoso
Abstract This study addresses the issue of diverge
educational policies between two developing
and Muslim-majority countries, Indonesia and
Egypt. Both countries share the similar political
stances, Muslim domination, status as the most
populous country in their regions and as
developing countries, past experiences under
authoritarian military leaders and colonialized
by western nations, their status as emerging
and developing countries. However, they come
up with considerable gaps in educational policy
outcomes of exempting tuition fees as in the
Egypt, while Indonesia still struggles to
implement free education for all citizens. As
such, historical records of educational policies
from both nations have been analysed to find
the roots of educational policy outcomes.
Previous policies have become a main factor in
affecting subsequent future educational policy
outcomes in both countries, especially for
Indonesia, since the country has relied on
charging tuition fees in academic institution as
a means to finance the education. This study
aims to provide main factors affecting
educational policy outcomes in Indonesia and
Egypt from welfare regime perspective.
27Jurnal Institut BPJS Ketenagakerjaan Volume 3 No. 1 November 2018
28
pada biaya pendidikan di lembaga pendidikan
sebagai cara pembiayaan pendidikan.
Penelitian ini bertujuan untuk menetapkan
faktor-faktor utama yang mempengaruhi hasil
pendidikan kebijakan di Indonesia dan Mesir
dari sudut pandang rezim kesejahteraan.
Kata kunci: Perkembangan kebijakan pendidikan, negara-negara Muslim, analisis historis komparatif, Indonesia, Mesir.
Keywords: Educational policy development, Muslim countries, comparative historical analysis, Indonesia, Egypt.
28 Jurnal Institut BPJS Ketenagakerjaan Volume 3 No. 1 November 2018
28
pada biaya pendidikan di lembaga pendidikan
sebagai cara pembiayaan pendidikan.
Penelitian ini bertujuan untuk menetapkan
faktor-faktor utama yang mempengaruhi hasil
pendidikan kebijakan di Indonesia dan Mesir
dari sudut pandang rezim kesejahteraan.
Kata kunci: Perkembangan kebijakan pendidikan, negara-negara Muslim, analisis historis komparatif, Indonesia, Mesir.
Keywords: Educational policy development, Muslim countries, comparative historical analysis, Indonesia, Egypt.
29
A. PENDAHULUAN
Indonesia dan Mesir memiliki hubungan yang
sudah berjalan lama sejak Mesir menjadi
negara pertama yang mengakui kemerdekaan
Indonesia secara de facto dan de jure pada
tanggal 18 November 1946 (Hamdani, 2015).
Pengakuan ini secara resmi ditandatangani
pada tanggal 10 Juni 1947 (Kementerian Luar
Negeri Republik Arab Mesir, 2006). Hubungan
yang stabil ditunjukkan dengan sikap yang
sama dalam berbagai masalah global dan isu-
isu, seperti kerjasama dalam pembentukan
Gerakan Non-Aliansi dan Organisasi
Konferensi Islam. Mereka juga memiliki
kepentingan bersama dalam G77, G15 dan
G8. Kedua negara bekerja sama dalam bidang
pendidikan, budaya, transportasi, pariwisata,
ekonomi, dan ilmu pengetahuan dan teknologi
(Kementerian Luar Negeri Republik Arab
Mesir, 2006).
Penelitian yang bersifat perbandingan untuk
kebijakan sosial antara Indonesia dan Mesir
merupakan penelitian yang menarik karena
kemiripan kedua negara dalam empat aspek,
yaitu: populasi Muslim yang menonjol, status
mereka sebagai Negara yang paling padat
penduduknya di wilayahnya masing-masing,
pengalaman mereka di bawah rezim yang
otoriter (Brooks, 2011), status mereka sebagai
negara yang baru bangkit dan berkembang
(International Monetary Fund, 2015), dan
pernah dijajah oleh negara-negara Barat.
A. INTRODUCTION
Indonesia and Egypt have a longstanding
relation since Egypt became the first countries
that recognized Indonesia’s independence by
de facto and de jure in 18 November 1946
(Hamdani, 2015). This recognition was officially
signed in 10 June 1947 (Arab Republic of Egypt
Ministry of Foreign Affairs, 2006). The stable
relation is characterized by similar stances in
numerous global problems and issues such as
the cooperation in the initiation of the Non-
Alliance Movement and the Organization of the
Islamic Conference. They also have common
interests in G77, G15 and G8. Both nations
cooperate in education, culture, transportation,
tourism, economic, and science and technology
aspects (Arab Republic of Egypt Ministry of
Foreign Affairs, 2006).
Comparative social policy research between
Indonesia and Egypt is interesting because of
their close resemblances in four aspects: the
dominant Muslim population, their status as the
most populous country in the region, their
experiences under authoritarian regimes
(Brooks, 2011), their status as emerging and
developing countries (International Monetary
Fund, 2015), and once were colonized by
western nations. This paper will focus on the
disparities of educational policy between
Indonesia and Egypt because each apply
29Jurnal Institut BPJS Ketenagakerjaan Volume 3 No. 1 November 2018
30
Makalah ini akan fokus pada kesenjangan
kebijakan pendidikan antara Indonesia dan
Mesir, karena masing-masing negara
menerapkan pendekatan yang berbeda, yaitu
Indonesia dengan pendidikan umum yang
bersifat bebas biaya sebagian, dan Mesir
dengan pendidikan umum bebas biaya di
semua tingkatan.
Penulis berpendapat bahwa jalan mereka
mulai menyimpang karena pengaruh dari
produk kebijakan rezim sebelumnya. Hal ini
menyebabkan rezim-rezim yang akan datang
mati-matian berkompromi dengan produk
kebijakan sebelumnya dan keberpihakan
politik saat ini. Oleh karena itu, penulis akan
membandingkan riwayat kebijakan pendidikan
mereka, terutama bagaimana Mesir bisa
menetapkan pendidikan gratis, sementara
Indonesia berjuang untuk mencapainya.
Ruang lingkup makalah ini adalah model
teoritis Ulriksen tentang perkembangan
kebijakan kesejahteraan, pentingnya
kebijakan pendidikan, perbandingan sejarah
kedua negara, dan identifikasi jenis rezim
kesejahteraan menurut Esping-Andersen.
B. METODOLOGI
Penelitian ini merupakan penelitian kebijakan
sosial yang bersifat komparatif dengan
menganalisis pelaksanaan historis model
teoritis pengembangan rezim kesejahteraan
Indonesia dan Mesir. Penelitian kebijakan
sosial yang bersifat komparatif antara
different approaches, Indonesia with its partially
free public education on basic level, in contrast
to Egypt’s free public education on all levels.
I argue that their paths start to diverge because
of the influence from earlier regimes’ policy
products. This causes future regimes to
desperately compromise with earlier policy
products and the current political alignments.
Therefore, I will compare the history of their
educational policies especially how Egypt ends
up with free education while Indonesia
struggles to achieve one. The scope of this
paper is Ulriksen’s theoretical model of welfare
policy development, the significance of
educational policy, the comparison of historical
trajectories of the two nations, and the
identification of welfare regime types according
to Esping-Andersen.
B. METHODOLOGY
This study employs comparative social policy
research by analysing historical trajectories of
Indonesia and Egypt from welfare regime
development theoretical model. Comparative
social policy research between Indonesia and
Egypt is interesting because of their close
30 Jurnal Institut BPJS Ketenagakerjaan Volume 3 No. 1 November 2018
30
Makalah ini akan fokus pada kesenjangan
kebijakan pendidikan antara Indonesia dan
Mesir, karena masing-masing negara
menerapkan pendekatan yang berbeda, yaitu
Indonesia dengan pendidikan umum yang
bersifat bebas biaya sebagian, dan Mesir
dengan pendidikan umum bebas biaya di
semua tingkatan.
Penulis berpendapat bahwa jalan mereka
mulai menyimpang karena pengaruh dari
produk kebijakan rezim sebelumnya. Hal ini
menyebabkan rezim-rezim yang akan datang
mati-matian berkompromi dengan produk
kebijakan sebelumnya dan keberpihakan
politik saat ini. Oleh karena itu, penulis akan
membandingkan riwayat kebijakan pendidikan
mereka, terutama bagaimana Mesir bisa
menetapkan pendidikan gratis, sementara
Indonesia berjuang untuk mencapainya.
Ruang lingkup makalah ini adalah model
teoritis Ulriksen tentang perkembangan
kebijakan kesejahteraan, pentingnya
kebijakan pendidikan, perbandingan sejarah
kedua negara, dan identifikasi jenis rezim
kesejahteraan menurut Esping-Andersen.
B. METODOLOGI
Penelitian ini merupakan penelitian kebijakan
sosial yang bersifat komparatif dengan
menganalisis pelaksanaan historis model
teoritis pengembangan rezim kesejahteraan
Indonesia dan Mesir. Penelitian kebijakan
sosial yang bersifat komparatif antara
different approaches, Indonesia with its partially
free public education on basic level, in contrast
to Egypt’s free public education on all levels.
I argue that their paths start to diverge because
of the influence from earlier regimes’ policy
products. This causes future regimes to
desperately compromise with earlier policy
products and the current political alignments.
Therefore, I will compare the history of their
educational policies especially how Egypt ends
up with free education while Indonesia
struggles to achieve one. The scope of this
paper is Ulriksen’s theoretical model of welfare
policy development, the significance of
educational policy, the comparison of historical
trajectories of the two nations, and the
identification of welfare regime types according
to Esping-Andersen.
B. METHODOLOGY
This study employs comparative social policy
research by analysing historical trajectories of
Indonesia and Egypt from welfare regime
development theoretical model. Comparative
social policy research between Indonesia and
Egypt is interesting because of their close
31
Indonesia dan Mesir merupakan suatu hal
yang menarik karena kemiripan kedua negara
ini dalam empat aspek, yaitu dominasi
mayoritas Muslim, status mereka sebagai
negara dengan jumlah penduduk terbanyak di
wilayah mereka masing-masing, pengalaman
kedua negara berada di bawah kepemimpinan
rezim militer yang otoriter (Brooks, 2011),
status mereka sebagai negara yang baru
bertumbuh dan berkembang (International
Monetary Fund, 2015), dan pernah dijajah oleh
negara-negara barat. Makalah ini akan fokus
pada kebijakan pendidikan terkait Antara
Indonesia dan Mesir, membandingkan riwayat
kebijakan pendidikan, terutama bagaimana
Mesir dapat menerapkan pendidikan bebas
biaya, sedangkan Indonesia masih berjuang
untuk mencapainya. Cakupan makalah ini
adalah model teoritis perkembangan rezim
kesejahteraan, manfaat dari kebijakan
pendidikan, perbandingan pelaksanaan
historis kedua negara, analisis historis, dan
identifikasi jenis-jenis rezim kesejahteraan
menurut Esping-Andersen.
C. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. PERBANDINGAN KEBIJAKAN
PENDIDIKAN ANTARA INDONESIA DAN MESIR
1.1 Model Teoritis: Keberpihakan Politik, Rezim Produksi, Dan Ketergantungan Jalur
Pendekatan yang digunakan dalam makalah
ini akan menggunakan model teoritis dari
resemblances in four aspects: the domination of
Muslim majority, their status as the most
populous country in the region, their
experiences under authoritarian regime of a
military leader (Brooks, 2011), their status as
emerging and developing countries
(International Monetary Fund, 2015), and once
colonized by western nations. This paper will
focus on related educational policies between
Indonesia and Egypt, comparing the history of
educational policies, especially how Egypt ends
up with free education while Indonesia
struggles to achieve one. The scopes of this
paper are the theoretical model of welfare
regime development, the significance of
educational policy, the comparison of historical
trajectories of two nations, historical analysis,
and identification of welfare regime types
according to Esping-Andersen.
C. RESULTS AND DISCUSSION 1. COMPARATIVE EDUCATIONAL
POLICY BETWEEN INDONESIA AND EGYPT
1.1 Theoretical Model: Political Alignments, Productions Regime, And Path Dependence
The approach used in this paper will employ the
theoretical model from Ulriksen, which consists
31Jurnal Institut BPJS Ketenagakerjaan Volume 3 No. 1 November 2018
32
Ulriksen, yang terdiri dari tiga argumen teoritis:
keberpihakan politik, rezim produksi, dan
ketergantungan jalur. Pengembangan
kebijakan kesejahteraan di negara
berkembang terkait dengan distribusi sumber
daya kekuasaan dari berbagai kelompok,
kekuatan mereka untuk mempengaruhi
organisasi dan mobilisasi di dalam dan di luar
kelas mereka sendiri, yang dicakup dengan
keberpihakan politik. Argumen politik ini
berpendapat bahwa posisi kelas menengah di
negara berkembang sangat penting, bahkan
lebih dari elit ekonomi dan elit politik, karena
mereka adalah pendukung manfaat. Argumen
mengenai rezim produksi berkaitan dengan
karakter kebijakan ekonomi, lembaga, dan
organisasi ekonomi yang sesuai dengan
organisasi berbagai kepentingan. Argumen
ketergantungan jalur berpendapat bahwa
evolusi kebijakan kesejahteraan terikat dalam
loopback, sehingga kebijakan berikutnya tidak
akan diubah secara drastis oleh para pelaku.
of three theoretical arguments: political
alignments, production regime, and path
dependence. The development of welfare
policy in developing world is related to the
distribution of power resources of different
groups, their power to influence the
organization and mobilization of inside and
outside of their own class, which is covered by
political alignments. This political argument
argues that the position of middle class in
developing country is very important, even
more than economic elites and political elites,
as they are the advocates of the benefits.
Production regime argument relates to the
character of economic policies, institutions, and
economic organization which correspond to the
organization of various interests. Path
dependence argument argues that the
evolution of welfare policies chained in
loopback so that subsequent policies won’t
drastically change by the actors.
Gambar 1 Model Argumen Teoritis (Ulriksen, 2012) Figure 1 The Model of Theoretical Argument (Ulriksen, 2012)
32 Jurnal Institut BPJS Ketenagakerjaan Volume 3 No. 1 November 2018
32
Ulriksen, yang terdiri dari tiga argumen teoritis:
keberpihakan politik, rezim produksi, dan
ketergantungan jalur. Pengembangan
kebijakan kesejahteraan di negara
berkembang terkait dengan distribusi sumber
daya kekuasaan dari berbagai kelompok,
kekuatan mereka untuk mempengaruhi
organisasi dan mobilisasi di dalam dan di luar
kelas mereka sendiri, yang dicakup dengan
keberpihakan politik. Argumen politik ini
berpendapat bahwa posisi kelas menengah di
negara berkembang sangat penting, bahkan
lebih dari elit ekonomi dan elit politik, karena
mereka adalah pendukung manfaat. Argumen
mengenai rezim produksi berkaitan dengan
karakter kebijakan ekonomi, lembaga, dan
organisasi ekonomi yang sesuai dengan
organisasi berbagai kepentingan. Argumen
ketergantungan jalur berpendapat bahwa
evolusi kebijakan kesejahteraan terikat dalam
loopback, sehingga kebijakan berikutnya tidak
akan diubah secara drastis oleh para pelaku.
of three theoretical arguments: political
alignments, production regime, and path
dependence. The development of welfare
policy in developing world is related to the
distribution of power resources of different
groups, their power to influence the
organization and mobilization of inside and
outside of their own class, which is covered by
political alignments. This political argument
argues that the position of middle class in
developing country is very important, even
more than economic elites and political elites,
as they are the advocates of the benefits.
Production regime argument relates to the
character of economic policies, institutions, and
economic organization which correspond to the
organization of various interests. Path
dependence argument argues that the
evolution of welfare policies chained in
loopback so that subsequent policies won’t
drastically change by the actors.
Gambar 1 Model Argumen Teoritis (Ulriksen, 2012) Figure 1 The Model of Theoretical Argument (Ulriksen, 2012)
33
Model teoritis ini akan digunakan untuk
menemukan titik awal ketika jalur
menyimpang, yang berakibat pada kebijakan
pendidikan yang berbeda. Hal ini didasarkan
pada asumsi bahwa ketergantungan pada jalur
bersama dengan keberpihakan politik dan
rezim produksi menciptakan lingkaran umpan
balik, yang mana kebijakan kesejahteraan
yang dihasilkan dari keberpihakan politik dan
rezim produksi akan secara langsung
mempengaruhi keberpihakan politik dan rezim
produksi di tahap selanjutnya. Oleh karena itu,
kebijakan awal masih akan mempengaruhi
kebijakan masa depan (Ulriksen, 2012).
1.2. SIGNIFIKANSI KEBIJAKAN
PENDIDIKAN
Pentingnya kebijakan pendidikan berangkat
dari peran pendidikan dalam pembangunan
manusia dan masyarakat, yang mana manusia
adalah pelakunya. Pertimbangan yang paling
penting mungkin adalah pentingnya
pendidikan yang berkaitan dengan ekonomi,
sementara kebijakan pendidikan pada
dasarnya mengatur penyetaraan kesempatan.
Bagian ini akan membahas relevansi aspek-
aspek ini.
1.2.1 Pentingnya Pendidikan dalam Pertumbuhan Ekonomi
Gagasan terkait ekonomi telah dianggap
sebagai bahan yang paling penting untuk
mengemukakan pentingnya suatu masalah.
Menurut Wobbekind, tiga aspek utama untuk
This theoretical model will be used to find the
starting point when the path diverges, resulting
in different educational policies. This is based
on assumption that the path dependence along
with political alignments and production regime
creates a feedback loop where welfare policies
produced by political alignments and production
regime will directly affect political alignments
and production regime in the next iteration.
Therefore, initial policies will still affect future
policies (Ulriksen, 2012).
1.2 THE SIGNIFICANCE OF
EDUCATIONAL POLICY
The significance of educational policy springs
from the role of education in the development of
human being and society where human is the
actors. The most important consideration
perhaps the significance of education related to
economic while educational policy essentially
governs the equality of opportunity. This section
will discuss the relevance of these aspects.
1.2.1 The Importance of Educational in Economic Growth
Economic related notion has been considered
as the most important material to leverage the
importance of an issue. According to
Wobbekind, three key ingredients for growth
33Jurnal Institut BPJS Ketenagakerjaan Volume 3 No. 1 November 2018
34
pertumbuhan adalah modal fisik, modal
manusia, dan kemajuan teknologi. Meskipun
pendidikan pada khususnya berdiri di bawah
modal manusia, pendidikan memiliki peran
penting dalam produksi dan inovasi, dengan
keterkaitan yang kompleks dan kuat dari aspek
utama. Meskipun terdapat kesulitan untuk
menilai kinerja di setiap faktor kunci dengan
kompleksitas tersebut, pendidikan telah
menyumbang hingga sepertiga dari
pertumbuhan produktivitas di Amerika dari
tahun 1950 hingga 1990-an, meningkatkan
standar hidup dan kualitas hidup. (Wobbekind,
2012).
1.2.1 Kebijakan Pendidikan dalam Penyetaraan Kesempatan
Kebijakan pendidikan menetapkan standar
“playing field” atau sebagaimana ditunjukkan
oleh istilah tersebut, menyediakan
penyetaraan kesempatan terlepas dari
keadaan di luar kendali siswa, memberikan
kesempatan yang sama untuk mencapai hasil
yang sama. Keadaan di luar kendali tersebut
adalah status sosial-ekonomi, stratifikasi
sosial, dan stratifikasi pendidikan. Hal -hal ini
tidak dapat diintervensi hanya dengan
kebijakan pendapatan. Itulah sebabnya
mengapa kebijakan pendidikan yang terdiri
dari berbagai kebijakan diperlukan untuk
mendapatkan kesempatan yang sama
(Beblavý, Thum, & Veselkova, 2011).
are physical capital, human capital, and
technological progress. Although education
exists specifically under human capital, it
possesses significant roles in the production
and innovation, by having strong complex
interrelation of key ingredients. Albeit the
difficulties to assess the performance in each
key factor with such complexity, education has
been credited with up to one third of productivity
growth in America from 1950s to the 1990s,
improving living standard and quality of life
(Wobbekind, 2012).
1.2.2 Educational Policy in the Equality of
Opportunity
Educational policy sets the standard of “the
playing field” or as the term suggests, giving
equality of opportunity regardless of
circumstances beyond the control of students,
granting an equal chance to achieve the same
result. Such out of control circumstances are
socio-economic status, social stratification, and
educational stratification. These things can’t be
intervened just by income policy. That is why
educational policies comprising a mix of policies
are needed to regain the equal opportunity
(Beblavý, Thum, & Veselkova, 2011).
34 Jurnal Institut BPJS Ketenagakerjaan Volume 3 No. 1 November 2018
34
pertumbuhan adalah modal fisik, modal
manusia, dan kemajuan teknologi. Meskipun
pendidikan pada khususnya berdiri di bawah
modal manusia, pendidikan memiliki peran
penting dalam produksi dan inovasi, dengan
keterkaitan yang kompleks dan kuat dari aspek
utama. Meskipun terdapat kesulitan untuk
menilai kinerja di setiap faktor kunci dengan
kompleksitas tersebut, pendidikan telah
menyumbang hingga sepertiga dari
pertumbuhan produktivitas di Amerika dari
tahun 1950 hingga 1990-an, meningkatkan
standar hidup dan kualitas hidup. (Wobbekind,
2012).
1.2.1 Kebijakan Pendidikan dalam Penyetaraan Kesempatan
Kebijakan pendidikan menetapkan standar
“playing field” atau sebagaimana ditunjukkan
oleh istilah tersebut, menyediakan
penyetaraan kesempatan terlepas dari
keadaan di luar kendali siswa, memberikan
kesempatan yang sama untuk mencapai hasil
yang sama. Keadaan di luar kendali tersebut
adalah status sosial-ekonomi, stratifikasi
sosial, dan stratifikasi pendidikan. Hal -hal ini
tidak dapat diintervensi hanya dengan
kebijakan pendapatan. Itulah sebabnya
mengapa kebijakan pendidikan yang terdiri
dari berbagai kebijakan diperlukan untuk
mendapatkan kesempatan yang sama
(Beblavý, Thum, & Veselkova, 2011).
are physical capital, human capital, and
technological progress. Although education
exists specifically under human capital, it
possesses significant roles in the production
and innovation, by having strong complex
interrelation of key ingredients. Albeit the
difficulties to assess the performance in each
key factor with such complexity, education has
been credited with up to one third of productivity
growth in America from 1950s to the 1990s,
improving living standard and quality of life
(Wobbekind, 2012).
1.2.2 Educational Policy in the Equality of
Opportunity
Educational policy sets the standard of “the
playing field” or as the term suggests, giving
equality of opportunity regardless of
circumstances beyond the control of students,
granting an equal chance to achieve the same
result. Such out of control circumstances are
socio-economic status, social stratification, and
educational stratification. These things can’t be
intervened just by income policy. That is why
educational policies comprising a mix of policies
are needed to regain the equal opportunity
(Beblavý, Thum, & Veselkova, 2011).
35
1.3 PERBANDINGAN PENDIDIKAN DI INDONESIA DAN MESIR 1.3.1 Situasi Pendidikan: Indonesia Indonesia: Suatu Pengantar Singkat
Indonesia adalah negara kepulauan terbesar
di dunia yang terletak di Asia Tenggara, yang
terdiri dari 13.466 pulau. Indonesia terletak di
antara dua benua, Asia dan Australia, dan dua
samudera, yaitu Samudera Hindia dan
Samudra Pasifik. Negara ini membentang di
garis khatulistiwa (World Atlas, 2017), yang
membentang sekitar 5.000 kilometer dari titik
terjauh di bagian timur sampai dengan titik
terjauh di bagian barat di antara kedua
Samudera ini (OECD/Asian Development
Bank, 2015, hal. 52). Indonesia memiliki garis
pantai terpanjang kedua di dunia (Nag, 2017),
yang membentang sekitar 54.716 km, dan
memposisikannya tepat setelah Kanada
(Central Intelligence Agency, 2017). Indonesia
memiliki hutan tropis terbesar kedua di dunia
dan tingkat penebangan hutan tercepat
(International Business Publications, 2013,
hal. 30).
Indonesia adalah Negara Muslim terpadat di
dunia (OECD/Asian Development Bank, 2015,
p. 52). Pada bulan Juli 2017, penduduk
Indonesia mencapai sekitar 261 juta orang,
sehingga menempatkannya sebagai negara
terpadat keempat di dunia. Pada tahun 2010,
Muslim membentuk 87,2% dari seluruh
populasi. Populasi utama penduduk Indonesia
terkonsentrasi di pulau Jawa dan dianggap
1.3 COMPARISON OF EDUCATION IN INDONESIA AND EGYPT
1.3.1 The Situation of Education: Indonesia Indonesia: A Short Introduction
Indonesia is the world’s largest archipelagic
state located in the Southeast Asia, comprising
13,466 islands. Indonesia is situated between
two continents, Asia and Australia, and two
oceans, the Indian Ocean and the Pacific
Ocean. It straddles on the equator (World Atlas,
2017), stretching about 5,000 kilometers from
its far east to its far west between these Oceans
(OECD/Asian Development Bank, 2015, p. 52).
Indonesia has the second longest coastline in
the world (Nag, 2017), stretching about 54,716
km, positioned it after Canada (Central
Intelligence Agency, 2017). Indonesia has the
second largest tropical forest in the world and
the fastest deforestation rate (International
Business Publications, 2013, p. 30).
Indonesia is the world’s most populous Muslim
country (OECD/Asian Development Bank,
2015, p. 52). By July 2017, the Indonesia’s
population is about 261 million people, placed it
as the fourth most populous country in the
world. In 2010, Muslim occupies 87.2% of the
total population. Indonesia’s major population is
concentrated in the island of Java and
considered to be one of the most densely
35Jurnal Institut BPJS Ketenagakerjaan Volume 3 No. 1 November 2018
36
sebagai salah satu wilayah yang paling padat
penduduknya di dunia (Central Intelligence
Agency, 2017). Indonesia memiliki lebih dari
300 kelompok etnis dan 742 dialek, dengan
Jawa sebagai kelompok etnis terbesar yang
mencakup 40,2% penduduk Indonesia
menurut sensus tahun 2011 (Misachi, 2017).
Sejarah Negara ini ditandai dengan lima
perubahan pemerintah: zaman penjajahan
Belanda (tahun 1600 - 1942), zaman
pendudukan Jepang (tahun 1942 - 1945),
rezim “Orde Lama” yang dipimpin oleh
Soekarno (tahun 1945-1965), rezim “Orde
Baru” yang dipimpin oleh Soeharto (tahun
1966 - 1998), dan era ”Reformasi” (tahun 1998
-sekarang) (Suratno, 2014). Reformasi terakhir
yang terjadi di Indonesia adalah reformasi
yang terjadi pada tahun 1998 setelah
pemberontakan besar-besaran yang
memaksa Presiden Soeharto untuk
mengundurkan diri saat kejadian krisis
keuangan Asia pada tahun 1997. Otoritas
demokrasi di era Reformasi ditandai dengan
demokrasi untuk mencapai mufakat dan
desentralisasi. Namun, masalah pada era ini
terletak pada proses politik, karena politik uang
yang digunakan dalam kampanye calon dan
partai guna membujuk para pemilih (Schaik,
2009).
Indonesia: Sistem Pendidikan
Sistem pendidikan Indonesia didasarkan pada
sistem sekolah Amerika sejak era Orde Baru,
populated areas on earth (Central Intelligence
Agency, 2017). Indonesia has more than 300
ethnic groups and 742 dialects, with Javanese
as the largest ethnic group covering 40.2% of
the Indonesian population according to 2011
census (Misachi, 2017).
The country history is characterized by five
governmental changes: the Dutch colonial era
(1600s – 1942), Japanese invasion era (1942 –
1945), the “Old Order” regime led by Soekarno
(1945 – 1965), the “New Order” regime led by
Soeharto (1966 – 1998), and the “Reform” era
(1998 – present) (Suratno, 2014). Indonesia
recent reform was in 1998 after massive
uprising forcing president Soeharto’s to resign
in the event of Asian financial crisis in 1997. The
Reform era democratic authority is
characterized by consensus democracy and
decentralization. However, the issue of this era
lies in the political process because money
politics is involved in candidates’ and parties’
campaign to persuade the voters (Schaik,
2009).
Indonesia: The Education System
The Indonesian education system is based on
the American school system ever since the New
36 Jurnal Institut BPJS Ketenagakerjaan Volume 3 No. 1 November 2018
36
sebagai salah satu wilayah yang paling padat
penduduknya di dunia (Central Intelligence
Agency, 2017). Indonesia memiliki lebih dari
300 kelompok etnis dan 742 dialek, dengan
Jawa sebagai kelompok etnis terbesar yang
mencakup 40,2% penduduk Indonesia
menurut sensus tahun 2011 (Misachi, 2017).
Sejarah Negara ini ditandai dengan lima
perubahan pemerintah: zaman penjajahan
Belanda (tahun 1600 - 1942), zaman
pendudukan Jepang (tahun 1942 - 1945),
rezim “Orde Lama” yang dipimpin oleh
Soekarno (tahun 1945-1965), rezim “Orde
Baru” yang dipimpin oleh Soeharto (tahun
1966 - 1998), dan era ”Reformasi” (tahun 1998
-sekarang) (Suratno, 2014). Reformasi terakhir
yang terjadi di Indonesia adalah reformasi
yang terjadi pada tahun 1998 setelah
pemberontakan besar-besaran yang
memaksa Presiden Soeharto untuk
mengundurkan diri saat kejadian krisis
keuangan Asia pada tahun 1997. Otoritas
demokrasi di era Reformasi ditandai dengan
demokrasi untuk mencapai mufakat dan
desentralisasi. Namun, masalah pada era ini
terletak pada proses politik, karena politik uang
yang digunakan dalam kampanye calon dan
partai guna membujuk para pemilih (Schaik,
2009).
Indonesia: Sistem Pendidikan
Sistem pendidikan Indonesia didasarkan pada
sistem sekolah Amerika sejak era Orde Baru,
populated areas on earth (Central Intelligence
Agency, 2017). Indonesia has more than 300
ethnic groups and 742 dialects, with Javanese
as the largest ethnic group covering 40.2% of
the Indonesian population according to 2011
census (Misachi, 2017).
The country history is characterized by five
governmental changes: the Dutch colonial era
(1600s – 1942), Japanese invasion era (1942 –
1945), the “Old Order” regime led by Soekarno
(1945 – 1965), the “New Order” regime led by
Soeharto (1966 – 1998), and the “Reform” era
(1998 – present) (Suratno, 2014). Indonesia
recent reform was in 1998 after massive
uprising forcing president Soeharto’s to resign
in the event of Asian financial crisis in 1997. The
Reform era democratic authority is
characterized by consensus democracy and
decentralization. However, the issue of this era
lies in the political process because money
politics is involved in candidates’ and parties’
campaign to persuade the voters (Schaik,
2009).
Indonesia: The Education System
The Indonesian education system is based on
the American school system ever since the New
37
yang didasari oleh Undang-undang Dasar
tahun 1945 Pasal 31. Pendidikan wajib yang
saat ini berjalan terdiri dari enam tahun
sekolah dasar yang diikuti dengan tiga tahun
sekolah menengah pertama. Siswa dapat
memilih sekolah kejuruan atau sekolah
menengah atas dan kemudian melanjutkan ke
universitas, setelah pendidikan wajib ini.
Sistem pendidikan juga mencakup lembaga
pendidikan Islam (Schaik, 2009). Wajib belajar
gratis baru diperkenalkan pada tahun 2005,
yang meningkatkan aksesibilitas yang lebih
baik ke pendidikan dasar (OECD/Asian
Development Bank, 2015).
Wajib belajar ini didasarkan pada Pasal 6 Ayat
1 Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional (Presiden
Republik Indonesia, 2003), yang merupakan
evolusi terbaru dari perubahan kebijakan
pendidikan terkait dengan wajib belajar.
Pertimbangan untuk meninjau Undang-
Undang dalam rangka meningkatkan program
wajib belajar 12 tahun telah diusulkan pada
bulan Juni 2013 (Natahadibrata, 2013), namun
usulan tersebut telah ditolak oleh Mahkamah
Konstitusi pada tahun 2015
(hukumonline.com, 2015).
1.3.2 Situasi Pendidikan: Mesir Mesir: Pengantar Singkat
Mesir terletak di bagian Timur Laut Afrika.
Negara ini berbatasan dengan Laut
Mediterania, Libya, Jalur Gaza, Laut Merah,
Order era, underlying by Constitutional Law of
1945 Article 31. The currently-run compulsory
education consists of six years of primary
school followed by three years of junior high
school. Students can choose a vocational
school or senior high school and then continue
to university, after this compulsory education.
The education system also covers Islamic
education institution (Schaik, 2009). Free
compulsory education has only been introduced
in 2005, increasing better accessibility to basic
education (OECD/Asian Development Bank,
2015).
This compulsory education is based on Article
No.6 Clause No.1 Law No.20/2003 about
National Education System (Presiden Republik
Indonesia, 2003) which is the latest evolution of
educational policy changes related to
compulsory education. The consideration to
review the Law in order to increase the
compulsory education program to 12 years had
been proposed in June 2013 (Natahadibrata,
2013), yet the proposal has been rejected by
the Constitutional Court in 2015
(hukumonline.com, 2015).
1.3.2 The Situation of Education: Egypt Egypt: A Short Introduction
Egypt is located in Northern-East of Africa. The
borders are the Mediterranean Sea, Libya, the
Gaza Strip, the Red Sea, and the Asian Sinai
37Jurnal Institut BPJS Ketenagakerjaan Volume 3 No. 1 November 2018
38
dan Semenanjung Sinai Asia. Berbeda dengan
Indonesia, wilayahnya didominasi oleh
daratan, karena luas totalnya yaitu 1.001.450
km terdiri dari 995.450 km persegi daratan dan
6.000 km persegi perairan (Central Intelligence
Agency, 2017). Namun, pemukiman dan area
produktif hanya mencakup sekitar 3,5% dari
daratan. Gurun Sahara membentuk 75% dari
wilayah daratan Mesir. Sungai Nil
menyebabkan banjir tahunan yang diperlukan
untuk kegiatan pertanian (Encyclopedia.com,
2007).
Berdasarkan pada perkiraan di bulan Juli
2017, penduduk Mesir berjumlah 97 juta
orang, yang sebagian besar terdiri dari orang
Mesir (99,6%). Muslim (sebagian besar Sunni)
mendominasi 90% dari populasi. Mesir adalah
negara Arab terpadat dan juga negara
terpadat ketiga di Afrika. Hampir 95% dari
penduduknya menetap di wilayah sepanjang
20 km dari Sungai Nil dan deltanya. Sisa
daratan yang tidak ditinggali jarang digarap
dan tidak berpenghuni. Pertumbuhan
penduduk yang tinggi mencapai sebesar 46%
antara tahun 1994 hingga 2014, sehingga
mendorong keterbatasan sumber daya alam,
pekerjaan, tempat tinggal, sanitasi,
pendidikan, dan kesehatan (Central
Intelligence Agency, 2017).
Mesir: Sistem Pendidikan
Struktur pendidikan Mesir yang terbaru mirip
dengan system pendidikan di Indonesia, yang
Peninsula. In contrast to Indonesia, its territory
is dominated by land, as its total area of
1,001,450 km comprises 995,450 square km of
land and 6,000 square km of water (Central
Intelligence Agency, 2017). However,
settlement and productive area constitute only
about 3.5% of land; Sahara deserts account for
75% of Egypt’s land. The Nile River provides
necessary annual floods required for
agricultural activities (Encyclopedia.com,
2007).
Based on July 2017 estimates, the population
of Egypt is 97 million people, which consists
mostly of Egyptian (99.6%). Muslim (mostly
Sunni) dominates 90% of the population. Egypt
is the most populous Arab country and also the
third most populous country in Africa. Nearly
95% of its residents settle within 20 km of the
Nile River and its delta, remaining deserted land
are sparsely settled and uninhabited. High
population growth of 46% between the year of
1994 to 2014 pushes the limited natural
resources, jobs, dwellings, sanitation,
education, and healthcare (Central Intelligence
Agency, 2017).
Egypt: The Education System
The latest Egypt education structure is similar
to Indonesia, comprising 9 years of compulsory
38 Jurnal Institut BPJS Ketenagakerjaan Volume 3 No. 1 November 2018
38
dan Semenanjung Sinai Asia. Berbeda dengan
Indonesia, wilayahnya didominasi oleh
daratan, karena luas totalnya yaitu 1.001.450
km terdiri dari 995.450 km persegi daratan dan
6.000 km persegi perairan (Central Intelligence
Agency, 2017). Namun, pemukiman dan area
produktif hanya mencakup sekitar 3,5% dari
daratan. Gurun Sahara membentuk 75% dari
wilayah daratan Mesir. Sungai Nil
menyebabkan banjir tahunan yang diperlukan
untuk kegiatan pertanian (Encyclopedia.com,
2007).
Berdasarkan pada perkiraan di bulan Juli
2017, penduduk Mesir berjumlah 97 juta
orang, yang sebagian besar terdiri dari orang
Mesir (99,6%). Muslim (sebagian besar Sunni)
mendominasi 90% dari populasi. Mesir adalah
negara Arab terpadat dan juga negara
terpadat ketiga di Afrika. Hampir 95% dari
penduduknya menetap di wilayah sepanjang
20 km dari Sungai Nil dan deltanya. Sisa
daratan yang tidak ditinggali jarang digarap
dan tidak berpenghuni. Pertumbuhan
penduduk yang tinggi mencapai sebesar 46%
antara tahun 1994 hingga 2014, sehingga
mendorong keterbatasan sumber daya alam,
pekerjaan, tempat tinggal, sanitasi,
pendidikan, dan kesehatan (Central
Intelligence Agency, 2017).
Mesir: Sistem Pendidikan
Struktur pendidikan Mesir yang terbaru mirip
dengan system pendidikan di Indonesia, yang
Peninsula. In contrast to Indonesia, its territory
is dominated by land, as its total area of
1,001,450 km comprises 995,450 square km of
land and 6,000 square km of water (Central
Intelligence Agency, 2017). However,
settlement and productive area constitute only
about 3.5% of land; Sahara deserts account for
75% of Egypt’s land. The Nile River provides
necessary annual floods required for
agricultural activities (Encyclopedia.com,
2007).
Based on July 2017 estimates, the population
of Egypt is 97 million people, which consists
mostly of Egyptian (99.6%). Muslim (mostly
Sunni) dominates 90% of the population. Egypt
is the most populous Arab country and also the
third most populous country in Africa. Nearly
95% of its residents settle within 20 km of the
Nile River and its delta, remaining deserted land
are sparsely settled and uninhabited. High
population growth of 46% between the year of
1994 to 2014 pushes the limited natural
resources, jobs, dwellings, sanitation,
education, and healthcare (Central Intelligence
Agency, 2017).
Egypt: The Education System
The latest Egypt education structure is similar
to Indonesia, comprising 9 years of compulsory
39
terdiri dari 9 tahun wajib belajar. Wajib belajar
tersebut dibagi menjadi 6 tahun atau sekolah
dasar dan 3 tahun sekolah menengah
pertama, yang diikuti dengan 3 tahun sekolah
menengah atas. Struktur pendidikan
sebelumnya hanya berbeda di lamanya
sekolah dasar. Sebelum tahun 2005, lama
pendidikan dasar di Mesir adalah 5 tahun
(UNESCO IBE, 2012). Berbeda dengan sistem
pendidikan Indonesia, sekolah umum bebas
biaya di semua tingkatan, meskipun ada
sejumlah biaya kuliah yang mungkin
diberlakukan untuk universitas swasta
(OECD/The World Bank, 2010).
Sistem pendidikan di Mesir terdiri dari dua jenis
sebelum tahun 1950-an: sekolah tradisional
pra-Kolonial dan sekolah-sekolah modern
Kolonial. Sekolah-sekolah tradisional pra-
kolonial yang berfokus pada pendidikan publik
dalam studi agama membuka sedikit
kesempatan untuk pendidikan universitas dan
pekerjaan bukan kasar, sementara sekolah-
sekolah modern Kolonial melayani para elit
untuk pintu menuju pendidikan tinggi dan
pekerjaan formal. Pada awal tahun 1950-an,
pemerintah menggabungkan sekolah-sekolah
“dasar” tradisional dan sekolah “primer”
modern, yang menyebabkan transformasi
sekolah tradisional menjadi sekolah dasar
modern untuk membuka peluang menuju
pendidikan tinggi dan kesempatan kerja untuk
pekerjaan bukan kasar (Saleh, 2016).
education divided into 6 years or primary school
and 3 years of lower secondary school, followed
by 3 years of upper secondary school. Previous
education structure only differs in the length of
primary school, before 2005, it was 5 years.
(UNESCO IBE, 2012). In contrast to Indonesia
education system, public school is free at all
levels though some tuition fees may apply for
private universities (OECD/The World Bank,
2010).
The education system in Egypt comprised two
types prior to the 1950s: the pre-Colonial
traditional schools and the Colonial modern
schools. The pre-Colonial traditional schools
focused on public education in religious study
opening little chance to university education
and white-collar jobs, while the Colonial modern
schools served the elites for the gateway higher
education and formal jobs. In the early 1950s,
the government unified the traditional
“elementary” and modern “primary” schools,
transforming traditional schools to modern
primary schools to open the opportunities to
higher education and white-collar job
opportunities (Saleh, 2016).
39Jurnal Institut BPJS Ketenagakerjaan Volume 3 No. 1 November 2018
40
1.4 ANALISIS HISTORIS MENGENAI SISTEM DAN KEBIJAKAN PENDIDIKAN 1.4.1 Lintasan Sejarah: Indonesia dan Mesir
1.4 HISTORICAL ANALYSIS OF
EDUCATION SYSTEM AND POLICIES
1.4.1 Historical Trajectories: Indonesia and Egypt
Tabel 1 Lintasan Sejarah Kebijakan Pendidikan di Indonesia Table 1 Historical Trajectories of Indonesia’s Educational Policies
Tanggal/Tahun
Date/Year Kejadian/Kebijakan
Event/Policy
1893
Belanda mendirikan dua jenis sekolah dasar: Sekolah Kelas
Satu dan Sekolah Kelas Dua, awal pendidikan yang
berdasarkan pada keturunan dan status sosial (Suwignyo,
2013)
The Dutch founded two types of primary schools: The First-
Class schools and the Second-Class schools, the beginning of
education based on descent and social status (Suwignyo, 2013)
1907 Belanda menambahkan jenis lain untuk sekolah dasar, sekolah
desa untuk penduduk pedesaan berdasarkan pada Kebijakan
Utang Kehormatan (Politik Etis) (Suwignyo, 2013) The Dutch added another type of primary school, the village
school for rural residents based on the Debt of Honor Policy (the
Ethical
1914 Belanda mengubah sekolah Kelas Satu menjadi 'Hollands
Inlandse scholen' (HIS, Sekolah Indonesia Belanda) dan
mengalihkan administrasi menjadi alur pendidikan
Barat (Suwignyo, 2013)
The Dutch changed the First-Class schools to ‘Hollands
Inlandse scholen’ (HIS, Dutch Indonesian Schools) and
transferred the administration to the Western education stream
(Suwignyo, 2013)
1916 - 1920 Pembentukan sekolah umum menengah Belanda di tingkat
40 Jurnal Institut BPJS Ketenagakerjaan Volume 3 No. 1 November 2018
40
1.4 ANALISIS HISTORIS MENGENAI SISTEM DAN KEBIJAKAN PENDIDIKAN 1.4.1 Lintasan Sejarah: Indonesia dan Mesir
1.4 HISTORICAL ANALYSIS OF
EDUCATION SYSTEM AND POLICIES
1.4.1 Historical Trajectories: Indonesia and Egypt
Tabel 1 Lintasan Sejarah Kebijakan Pendidikan di Indonesia Table 1 Historical Trajectories of Indonesia’s Educational Policies
Tanggal/Tahun
Date/Year Kejadian/Kebijakan
Event/Policy
1893
Belanda mendirikan dua jenis sekolah dasar: Sekolah Kelas
Satu dan Sekolah Kelas Dua, awal pendidikan yang
berdasarkan pada keturunan dan status sosial (Suwignyo,
2013)
The Dutch founded two types of primary schools: The First-
Class schools and the Second-Class schools, the beginning of
education based on descent and social status (Suwignyo, 2013)
1907 Belanda menambahkan jenis lain untuk sekolah dasar, sekolah
desa untuk penduduk pedesaan berdasarkan pada Kebijakan
Utang Kehormatan (Politik Etis) (Suwignyo, 2013) The Dutch added another type of primary school, the village
school for rural residents based on the Debt of Honor Policy (the
Ethical
1914 Belanda mengubah sekolah Kelas Satu menjadi 'Hollands
Inlandse scholen' (HIS, Sekolah Indonesia Belanda) dan
mengalihkan administrasi menjadi alur pendidikan
Barat (Suwignyo, 2013)
The Dutch changed the First-Class schools to ‘Hollands
Inlandse scholen’ (HIS, Dutch Indonesian Schools) and
transferred the administration to the Western education stream
(Suwignyo, 2013)
1916 - 1920 Pembentukan sekolah umum menengah Belanda di tingkat
41
menengah pertama, menengah atas, dan tinggi (Suwignyo,
2013)
The establishment of fully Dutch-medium general schools at
the junior, senior, and higher level (Suwignyo, 2013)
Akhir tahun 1920-an
End of the 1920s
Pemerintah Hindia Belanda menetapkan kebijakan
konkordansi, mengintegrasikan bahasa Belanda dalam
pendidikan publik Indonesia bersamaan dengan peristiwa
Depresi Besar (Great Depression). Pemerintah Belanda juga
secara drastis memotong anggaran pendidikan dan mengubah
strategi jangka panjang untuk pendidikan (Suwignyo, 2013, hal.
466)
The Dutch Indies government enacted concordantie
(concordance) policy, integrating Dutch-language in Indonesia
public education alongside the event of the Great Depression.
The Dutch government also drastically cut the education budget
and changed its long-term strategy for education (Suwignyo,
2013, p. 466)
Juli 1931 July 1931
Pengesahan Peraturan tentang Pengurangan Subsidi untuk
Gaji Guru di Sekolah Swasta Bersubsidi (Suwignyo, 2013)
The enactment of the Regulation on the Reduction of the
Subsidy for Teacher’s Salary in Private Subsidized Schools
(Suwignyo, 2013)
1 Juli 1932 1 July 1932
Biaya tetap untuk semua penggunaan bahan belajar, menulis
dan menggambar di sekolah oleh siswa (Suwignyo, 2013)
Fixed charge for all student use of learning materials, and
writing and drawing at school (Suwignyo, 2013)
1 Juli 1932 1 July 1932
Penghapusan kelas persiapan (Suwignyo, 2013) The abolition of the preparatory class (Suwignyo, 2013)
1 Agustus 1934
1 August 1934
Pemerintah menetapakan Revisi Peraturan Pembayaran untuk
sekolah-sekolah negeri dan swasta bersubsidi (Suwignyo,
2013)
The government established The Revised Payment Regulation
to public and private subsidized Western schools (Suwignyo,
2013)
41Jurnal Institut BPJS Ketenagakerjaan Volume 3 No. 1 November 2018
42
11 Juni 1936 11 June 1936
Diberlakukannya Peraturan Pemerintah No. 41 pada tanggal 11
Juni 1936 tentang pembayaran biaya tahunan dan pembayaran
dengan 10 kali cicilan (Suwignyo, 2013) The enactment of Government Decree No.41 in 11 June 1936
about payment of charge in annual basis and payment in 10
installments (Suwignyo, 2013)
1937 Penghapusan sekolah Kelas Dua (Suwignyo, 2013)
Pembentukan sekolah Muhammadiyah MULO di
Yogyakarta yang disubsidi oleh pemerintah
Belanda (Cribb & Kahin, 2004, hal. 135) The abolition of the Second-Class schools (Suwignyo,
2013)
The establishment of Muhammadiyah MULO school in
Yogyakarta subsidized by the Dutch government (Cribb
& Kahin, 2004, p. 135)
Maret 1942 March 1942
Jepang menyerbu Jawa, yang mengakhiri pemerintahan
Belanda (Suwignyo, 2013, hal. 466)
The Japanese invaded Java, ending Dutch rule (Suwignyo,
2013, p. 466)
1942-1945 Penghapusan diskriminasi dalam sistem pendidikan yang mana
sekolah menjadi fasilitas pelatihan untuk tentara dan pekerja
selama Perang Dunia II (Suratno, 2014)
The elimination of discrimination in education system where
school became a training facility for soldiers and workers during
World War II (Suratno, 2014)
17 Agustus 1945
17 August 1945
Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, pendidikan
awal atau universal berdasarkan pada Pancasila (Suratno,
2014)
Indonesia proclaimed its independence, the beginning or
universal education based on Pancasila (Suratno, 2014)
1949 Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia (Suratno, 2014)
The Dutch acknowledged Indonesian independence (Suratno,
2014)
1950 Pengesahan Undang-Undang No. 4 tahun 1950 tentang
42 Jurnal Institut BPJS Ketenagakerjaan Volume 3 No. 1 November 2018
42
11 Juni 1936 11 June 1936
Diberlakukannya Peraturan Pemerintah No. 41 pada tanggal 11
Juni 1936 tentang pembayaran biaya tahunan dan pembayaran
dengan 10 kali cicilan (Suwignyo, 2013) The enactment of Government Decree No.41 in 11 June 1936
about payment of charge in annual basis and payment in 10
installments (Suwignyo, 2013)
1937 Penghapusan sekolah Kelas Dua (Suwignyo, 2013)
Pembentukan sekolah Muhammadiyah MULO di
Yogyakarta yang disubsidi oleh pemerintah
Belanda (Cribb & Kahin, 2004, hal. 135) The abolition of the Second-Class schools (Suwignyo,
2013)
The establishment of Muhammadiyah MULO school in
Yogyakarta subsidized by the Dutch government (Cribb
& Kahin, 2004, p. 135)
Maret 1942 March 1942
Jepang menyerbu Jawa, yang mengakhiri pemerintahan
Belanda (Suwignyo, 2013, hal. 466)
The Japanese invaded Java, ending Dutch rule (Suwignyo,
2013, p. 466)
1942-1945 Penghapusan diskriminasi dalam sistem pendidikan yang mana
sekolah menjadi fasilitas pelatihan untuk tentara dan pekerja
selama Perang Dunia II (Suratno, 2014)
The elimination of discrimination in education system where
school became a training facility for soldiers and workers during
World War II (Suratno, 2014)
17 Agustus 1945
17 August 1945
Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, pendidikan
awal atau universal berdasarkan pada Pancasila (Suratno,
2014)
Indonesia proclaimed its independence, the beginning or
universal education based on Pancasila (Suratno, 2014)
1949 Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia (Suratno, 2014)
The Dutch acknowledged Indonesian independence (Suratno,
2014)
1950 Pengesahan Undang-Undang No. 4 tahun 1950 tentang
43
Undang-Undang Pendidikan Dasar (Suratno, 2014) The enactment of the Law No.4/1950 about the Basic Education
Law (Suratno, 2014)
1954 Undang-Undang yang menyatakan penerapan Undang-
Undang sebelumnya, yaitu No. 4 tahun 1950 setelah perubahan
pemerintah (Suratno, 2014) The Law stating the application of previous Law No.4/1950
following governmental change (Suratno, 2014)
1965 ”Orde Lama” mendekritkan generasi warga sosialis melalui
pendidikan, yang dipengaruhi oleh pengaruh komunisme
(Suratno, 2014)
The “Old Order” decreed of the generation of socialist citizens
through education, affected by the influence of communism
(Suratno, 2014)
Akhir 1965 Late 1965
Jatuhnya rezim “Orde Lama”, munculnya rezim “Orde Baru”
(Suratno, 2014)
The fall of “Old Order” regime, the rise of “New Order” regime
(Suratno, 2014)
1970-an 1970s
Pemerintah membangun puluhan ribu sekolah dasar di hampir
semua desa (Suratno, 2014)
The government constructed tens of thousands of primary
schools in almost all villages (Suratno, 2014)
1976 Penyatuan sekolah-sekolah agama untuk sistem pendidikan
nasional (Leer, 2016) The unification of religious schools to national education system
(Leer, 2016)
1984 Upaya pendidikan universal dengan 6 tahun pendidikan
dasar (Suratno, 2014) Universal education initiatives 6 years basic education (Suratno,
2014)
1994 Penetapan 9 tahun pendidikan dasar (Suratno, 2014) Establishment of 9 years basic education (Suratno, 2014)
1997 Krisis ekonomi Asia (OECD/Asian Development Bank, 2015)
Asian economic crisis (OECD/Asian Development Bank, 2015)
43Jurnal Institut BPJS Ketenagakerjaan Volume 3 No. 1 November 2018
44
1998 Jatuhnya rezim Suharto (OECD/Asian Development Bank,
2015)
The fall of Suharto’s regime (OECD/Asian Development Bank,
2015)
2002 Amandemen ke-4 Undang-Undang Dasar 1945, yang
menekankan pada penetapan anggaran pendidikan sebesar
minimal 20% dari anggaran nasional, dan mengecualikan gaji
guru dari anggaran pendidikan (Rosser & Joshi, 2013) The Amendment 4 of Constitutional Law 1945, emphasizing on
setting the education minimum budget of 20% from national
budget, which excludes teachers’ wages from the education
budget (Rosser & Joshi, 2013)
2003 Pengesahan Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional:
Pasal 34: Memastikan pendidikan dasar gratis
Pasal 50: Manajemen lokal lembaga pendidikan, dan
sekolah dasar berstandar internasional
Pasal 53: Privatisasi empat universitas negeri, yang
memberikan status baru Badan Hukum Milik Negara
kepada keempat universitas tersebut.
(Presiden Republik Indonesia, 2003)
The enactment of the Law No.20/2003 concerning National
Education System:
Article 34: Ensuring free basic education
Article 50: Local management of education institutions, and
the base of international standard schools
Article 53: Privatization of four public universities, giving
them new status of State Owned Legal Entities
(Presiden Republik Indonesia, 2003)
2004 Pengesahan Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 33 tahun 2004
tentang Perimbangan Keuangan Pusat-Daerah:
Pemerintah menciptakan kerangka kerja guna pengelolaan dan
pelaksanaan desentralisasi secara keseluruhan untuk
44 Jurnal Institut BPJS Ketenagakerjaan Volume 3 No. 1 November 2018
44
1998 Jatuhnya rezim Suharto (OECD/Asian Development Bank,
2015)
The fall of Suharto’s regime (OECD/Asian Development Bank,
2015)
2002 Amandemen ke-4 Undang-Undang Dasar 1945, yang
menekankan pada penetapan anggaran pendidikan sebesar
minimal 20% dari anggaran nasional, dan mengecualikan gaji
guru dari anggaran pendidikan (Rosser & Joshi, 2013) The Amendment 4 of Constitutional Law 1945, emphasizing on
setting the education minimum budget of 20% from national
budget, which excludes teachers’ wages from the education
budget (Rosser & Joshi, 2013)
2003 Pengesahan Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional:
Pasal 34: Memastikan pendidikan dasar gratis
Pasal 50: Manajemen lokal lembaga pendidikan, dan
sekolah dasar berstandar internasional
Pasal 53: Privatisasi empat universitas negeri, yang
memberikan status baru Badan Hukum Milik Negara
kepada keempat universitas tersebut.
(Presiden Republik Indonesia, 2003)
The enactment of the Law No.20/2003 concerning National
Education System:
Article 34: Ensuring free basic education
Article 50: Local management of education institutions, and
the base of international standard schools
Article 53: Privatization of four public universities, giving
them new status of State Owned Legal Entities
(Presiden Republik Indonesia, 2003)
2004 Pengesahan Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 33 tahun 2004
tentang Perimbangan Keuangan Pusat-Daerah:
Pemerintah menciptakan kerangka kerja guna pengelolaan dan
pelaksanaan desentralisasi secara keseluruhan untuk
45
mekanisme pendidikan dan dana pendidikan (Rosser & Joshi,
2013)
The enactment of Law No.32/2004 on Regional Government
and Law No.33/2004 on Central-Regional Financial Balance:
The government created the overall decentralization
management and implementation framework for education and
education fund mechanism (Rosser & Joshi, 2013)
2005 Peluncuran program Bantuan Operasional Sekolah
(BOS), yang menawarkan pendidikan dasar
gratis (Rosser & Joshi, 2013)
Undang-Undang Guru dan Dosen No.14 tahun 2005
tentang reformasi manajemen dan pengembangan
guru: Undang-Undang ini memberikan tunjangan baru
kepada guru yang memenuhi persyaratan sertifikasi
(Rosser & Joshi, 2013)
Pemberlakuan Peraturan Pemerintah Nomor 47 dan 48,
masing-masing tentang Wajib Belajar dan Dana
Pendidikan: berfokus pada instruksi desentralisasi
pendidikan lebih lanjut guna memungkinkan pemerintah
daerah menetapkan peraturan daerah untuk
menerapkan pendidikan dasar gratis (Rosser & Joshi,
2013) The launch of School Operational Assistance (BOS)
program, offering free basic education (Rosser & Joshi,
2013)
The Law of Teacher and Lecturer No.14/2005 about the
reform of teacher management and development: The
law gives new allowances to teacher who met
certification requirements (Rosser & Joshi, 2013)
The enactment Government Regulations 47 and 48 on
Compulsory Education and Education Funding
respectively: focusing on further education
decentralization instructions to allow local government to
45Jurnal Institut BPJS Ketenagakerjaan Volume 3 No. 1 November 2018
46
establish local regulation to implement free basic
education (Rosser & Joshi, 2013)
2008 Pengesahan Peraturan Pemerintah 48 tahun 2008 tentang
Pendanaan Pendidikan: pemberian izin untuk sekolah
berstandar internasional guna membebankan biaya untuk
membatasi pendidikan dasar gratis (Rosser & Joshi, 2013) The enactment of Government Regulation 48/2008 on
Education Funding: granting permission for international
standard schools to charge fees to limit free basic education
(Rosser & Joshi, 2013)
2009 Pemerintah mendirikan jenis badan hukum baru untuk
memberikan otonomi kepada pemerintah daerah, yang menjadi
dasar legalitas lembaga pendidikan daerah (Presiden Republik
Indonesia, 2009) The government established new types of legal entity to give the
autonomy to local government providing legality of local
educational institutions (Presiden Republik Indonesia, 2009)
Tabel 2 Lintasan Sejarah Kebijakan Pendidikan Mesir Table 1 Historical Trajectories of Egypt’s Educational Policies
Tanggal/Tahun Date / Year
Kejadian/Kebijakan Event / Policy
1816 Muhammad Ali Pasha memperkenalkan sekolah umum modern
di bawah pemerintahan raja muda Ottoman yang
otonom (Saleh, 2016, hal. 703)
Muhammad Ali Pasha introduced public modern schools under
the autonomous Ottoman viceroy (Saleh, 2016, p. 703)
1861 Pengesahan Surat Keputusan 10 Rajab yang memulai sistem
pendidikan negara (Jr. & Johnston, 2003, hal. xxiii) The enactment Decree of 10 Rajab starting state education
system (Jr. & Johnston, 2003, p. xxiii)
1907 Di bawah Penjajahan Inggris: Biaya pendidikan dibebankan
untuk sekolah dasar (Saleh, 2016, hal. 703)
46 Jurnal Institut BPJS Ketenagakerjaan Volume 3 No. 1 November 2018
46
establish local regulation to implement free basic
education (Rosser & Joshi, 2013)
2008 Pengesahan Peraturan Pemerintah 48 tahun 2008 tentang
Pendanaan Pendidikan: pemberian izin untuk sekolah
berstandar internasional guna membebankan biaya untuk
membatasi pendidikan dasar gratis (Rosser & Joshi, 2013) The enactment of Government Regulation 48/2008 on
Education Funding: granting permission for international
standard schools to charge fees to limit free basic education
(Rosser & Joshi, 2013)
2009 Pemerintah mendirikan jenis badan hukum baru untuk
memberikan otonomi kepada pemerintah daerah, yang menjadi
dasar legalitas lembaga pendidikan daerah (Presiden Republik
Indonesia, 2009) The government established new types of legal entity to give the
autonomy to local government providing legality of local
educational institutions (Presiden Republik Indonesia, 2009)
Tabel 2 Lintasan Sejarah Kebijakan Pendidikan Mesir Table 1 Historical Trajectories of Egypt’s Educational Policies
Tanggal/Tahun Date / Year
Kejadian/Kebijakan Event / Policy
1816 Muhammad Ali Pasha memperkenalkan sekolah umum modern
di bawah pemerintahan raja muda Ottoman yang
otonom (Saleh, 2016, hal. 703)
Muhammad Ali Pasha introduced public modern schools under
the autonomous Ottoman viceroy (Saleh, 2016, p. 703)
1861 Pengesahan Surat Keputusan 10 Rajab yang memulai sistem
pendidikan negara (Jr. & Johnston, 2003, hal. xxiii) The enactment Decree of 10 Rajab starting state education
system (Jr. & Johnston, 2003, p. xxiii)
1907 Di bawah Penjajahan Inggris: Biaya pendidikan dibebankan
untuk sekolah dasar (Saleh, 2016, hal. 703)
47
Under British Colonial: Tuition fees were charged on primary
schools (Saleh, 2016, p. 703)
1918 Pembentukan taman kanak-kanak pertama Mesir (Mohamed,
dkk., 2015) The establishment of Egypt’s first kindergarten (Mohamed, et
al., 2015)
1922 Kemerdekaan Mesir dari Inggris (BBC, 2017)
Egypt’s independence from Britain (BBC, 2017)
1944 Di bawah Penjajahan Inggris: Penghapusan biaya pendidikan
di sekolah dasar (Saleh, 2016, hal. 703)
Under British Colonial: The abolition of tuition fees on primary
schools (Saleh, 2016, p. 703)
1951-1953 Diberlakukannya Undang-Undang No. 143 tahun 1951 yang menyebabkan Reformasi Pendidikan populis: transformasi
sekolah-sekolah dasar tradisional (awwaliya) menjadi sekolah-
sekolah umum (ibtida'iya) modern, menyatukan pendidikan
tradisional dan modern (Saleh, 2016) The enactment of Law 143 of 1951 causing populist Educational
Reform: the transformation of traditional elementary (awwaliya)
schools into public modern primary (ibtida’iya) schools, unifying
the traditional and modern education (Saleh, 2016)
1950 Sekolah menengah dibuat bebas biaya (Saleh, 2016) The secondary schools were made free of charge (Saleh, 2016)
1952 Kudeta militer menggulingkan monarki (Saleh, 2016) A military coup overthrew the monarchy (Saleh, 2016)
1953 Pemimpin kudeta Muhammad Naguib menjadi presiden
Mesir (BBC, 2017) Coup leader Muhammad Naguib became Egypt’s president
(BBC, 2017)
1954 Gamal Abdul Nasser menjadi perdana menteri (BBC, 2017) Gamal Abdul Nasser became prime minister (BBC, 2017)
1956 Penjajahan Inggris berakhir secara de facto (Saleh,
2016)
Gamal Abdul Nasser menjadi presiden (BBC, 2017)
47Jurnal Institut BPJS Ketenagakerjaan Volume 3 No. 1 November 2018
48
British Colonization ended de facto (Saleh, 2016)
Gamal Abdul Nasser became president (BBC, 2017)
1961 Penghapusan biaya kuliah perguruan tinggi negeri (Saleh,
2016) The abolition of public universities tuition fees (Saleh, 2016)
1961-1964 Jaminan pekerjaan bagi lulusan sekolah menengah dan
universitas di pemerintahan dan sektor publik, yang
berlangsung hingga lulusan tahun 1983. Jaminan ini dibuat
resmi dalam Undang-Undang 14 tahun 1964 (Saleh, 2016).
Employment guarantee for graduates of secondary schools and
universities in in the government and public sectors, lasted until
1983 graduates. This was formalized in Law 14 of 1964 (Saleh,
2016)
1967 Kekalahan Mesir pada perang melawan Israel (Saleh, 2016)
Egypt’s defeat on war against Israel (Saleh, 2016)
1970 Nasser meninggal, digantikan oleh Anwar al-Sadat (BBC, 2017)
Nasser died, replaced by Anwar al-Sadat (BBC, 2017)
1977 Pengesahan Undang-Undang Zaman Modern No. 50 tahun
1977 tentang pengaturan peran kementerian urusan sosial
untuk mengawasi taman kanak-kanak (Mohamed, dkk., 2015) The enactment of the Modern Age Law No.50/1977 about
organizing the role of the ministry of social affairs to supervise
nursery schools (Mohamed, et al., 2015)
1981 Pemerintah mengeluarkan undang-undang pendidikan No. 139
tahun 1981 tentang Kementerian Pendidikan Mesir yang
menjalankan tanggung jawab perencanaan dan pengelolaan
sumber daya. Undang-Undang ini juga menyatakan tanggung
jawab pemerintah daerah terkait dengan implementasi
kebijakan dan upaya mandiri untuk pendanaan guna
mendesentralisasikan implementasi (Mohamed, dkk., 2015)
The government issued education act No.139/1981 about the
Egyptian Ministry of Education undertook the responsibilities of
resources planning and management. This act also stated the
responsibilities of local government regarding policy
48 Jurnal Institut BPJS Ketenagakerjaan Volume 3 No. 1 November 2018
48
British Colonization ended de facto (Saleh, 2016)
Gamal Abdul Nasser became president (BBC, 2017)
1961 Penghapusan biaya kuliah perguruan tinggi negeri (Saleh,
2016) The abolition of public universities tuition fees (Saleh, 2016)
1961-1964 Jaminan pekerjaan bagi lulusan sekolah menengah dan
universitas di pemerintahan dan sektor publik, yang
berlangsung hingga lulusan tahun 1983. Jaminan ini dibuat
resmi dalam Undang-Undang 14 tahun 1964 (Saleh, 2016).
Employment guarantee for graduates of secondary schools and
universities in in the government and public sectors, lasted until
1983 graduates. This was formalized in Law 14 of 1964 (Saleh,
2016)
1967 Kekalahan Mesir pada perang melawan Israel (Saleh, 2016)
Egypt’s defeat on war against Israel (Saleh, 2016)
1970 Nasser meninggal, digantikan oleh Anwar al-Sadat (BBC, 2017)
Nasser died, replaced by Anwar al-Sadat (BBC, 2017)
1977 Pengesahan Undang-Undang Zaman Modern No. 50 tahun
1977 tentang pengaturan peran kementerian urusan sosial
untuk mengawasi taman kanak-kanak (Mohamed, dkk., 2015) The enactment of the Modern Age Law No.50/1977 about
organizing the role of the ministry of social affairs to supervise
nursery schools (Mohamed, et al., 2015)
1981 Pemerintah mengeluarkan undang-undang pendidikan No. 139
tahun 1981 tentang Kementerian Pendidikan Mesir yang
menjalankan tanggung jawab perencanaan dan pengelolaan
sumber daya. Undang-Undang ini juga menyatakan tanggung
jawab pemerintah daerah terkait dengan implementasi
kebijakan dan upaya mandiri untuk pendanaan guna
mendesentralisasikan implementasi (Mohamed, dkk., 2015)
The government issued education act No.139/1981 about the
Egyptian Ministry of Education undertook the responsibilities of
resources planning and management. This act also stated the
responsibilities of local government regarding policy
49
implementation and self-efforts for funding to decentralize the
implementation (Mohamed, et al., 2015)
1988 Diberlakukannya undang-undang No. 233 tahun 1988
yang diubah dengan undang-undang No. 139 tahun
1981, yang menyatakan pendidikan adalah hak dasar
bagi semua warga di sekolah umum secara gratis dan
tidak ada biaya yang dibebankan kepada mereka untuk
layanan pendidikan dan pelatihan (Mohamed, dkk.,
2015)
Pengesahan Keputusan Menteri Pendidikan No. 54
tahun 1988 untuk menyelenggarakan taman kanak-
kanak di sekolah umum dan persyaratan gedung sekolah
dan para anggotanya (Mohamed, dkk., 2015)
The enactment of act No.233/1988 amended act
No.139/1981 stating education is basic right to all
residents in the public schools for free and no pay fees
are charged to them for educational and instructional
services (Mohamed, et al., 2015)
The enactment of Ministry of Education Decree
No.54/1988 to organize kindergartens in public schools
and the requirements of the school buildings and its
members (Mohamed, et al., 2015)
1992 Gempa menghancurkan lebih dari seribu sekolah (Mohamed,
dkk., 2015) Earthquake destroyed more than one thousand schools
(Mohamed, et al., 2015)
1992 - 1997 Kementerian Pendidikan membuat rencana untuk membangun
7.500 sekolah, tapi hanya 500 sekolah yang
dibangun (Mohamed, dkk., 2015) Ministry of Education put a plan to build 7,500 schools, but 500
schools were built (Mohamed, et al., 2015)
1992 - 2006 14.000 sekolah dibangun (Mohamed, et al., 2015)
14,000 schools were built (Mohamed, et al., 2015)
49Jurnal Institut BPJS Ketenagakerjaan Volume 3 No. 1 November 2018
50
2006 Penetapan Keputusan Presiden No. 82 tahun 2006 tentang
Otoritas Nasional untuk Jaminan Mutu dan Akreditasi guna
mengikuti laju standar internasional tentang
pendidikan (Mohamed, dkk., 2015)
Kerjasama dengan Departemen Produksi Militer untuk
menyediakan listrik bagi sekolah-sekolah tanpa sumber
daya listrik yang ditetapkan oleh Keputusan Menteri No. 82
tahun 2006, menyalakan peralatan dan laboratorium yang
terkomputerisasi (Mohamed, dkk., 2015) The enactment the President Decree No.82/2006 on the
National Authority for Quality Assurance and Accreditation to
keep up with the pace of international standards on
education (Mohamed, et al., 2015)
Cooperation with Ministry of Military Production to provide
electricity to schools without electrical power sources
established by the Ministerial Decree No.82/2006, to power
computerized equipment and laboratories (Mohamed, et al.,
2015)
2007 Pembentukan Akademi Profesional untuk Para Guru sesuai
dengan Pasal 75 Undang-Undang No. 155 tahun
2007 (Mohamed, dkk., 2015)
The establishment of the Professional Academy for Teachers
according to the Article No.75 of the Act No.155/2007
(Mohamed, et al., 2015)
2011 Jatuhnya rezim Hosni Mubarak (Osman, 2015)
The fall of Hosni Mubarak’s regime (Osman, 2015)
1.5 ANALISIS DIFERENSIAL HISTORIS
Dengan melacak lintasan sejarah kedua
negara ini, perbedaan antara dua negara
dapat dilihat dari keberpihakan politik masing -
masing negara, yang mana Indonesia
dipengaruhi oleh Belanda dan Mesir
1.5 HISTORICAL DIFFERENTIAL ANALYSIS
By tracing their historical trajectories, the
differences between two states can be seen
from the political alignments of each nation,
where Indonesia influenced by the Dutch and
Egypt by the Ottoman. Their education tuition
50 Jurnal Institut BPJS Ketenagakerjaan Volume 3 No. 1 November 2018
50
2006 Penetapan Keputusan Presiden No. 82 tahun 2006 tentang
Otoritas Nasional untuk Jaminan Mutu dan Akreditasi guna
mengikuti laju standar internasional tentang
pendidikan (Mohamed, dkk., 2015)
Kerjasama dengan Departemen Produksi Militer untuk
menyediakan listrik bagi sekolah-sekolah tanpa sumber
daya listrik yang ditetapkan oleh Keputusan Menteri No. 82
tahun 2006, menyalakan peralatan dan laboratorium yang
terkomputerisasi (Mohamed, dkk., 2015) The enactment the President Decree No.82/2006 on the
National Authority for Quality Assurance and Accreditation to
keep up with the pace of international standards on
education (Mohamed, et al., 2015)
Cooperation with Ministry of Military Production to provide
electricity to schools without electrical power sources
established by the Ministerial Decree No.82/2006, to power
computerized equipment and laboratories (Mohamed, et al.,
2015)
2007 Pembentukan Akademi Profesional untuk Para Guru sesuai
dengan Pasal 75 Undang-Undang No. 155 tahun
2007 (Mohamed, dkk., 2015)
The establishment of the Professional Academy for Teachers
according to the Article No.75 of the Act No.155/2007
(Mohamed, et al., 2015)
2011 Jatuhnya rezim Hosni Mubarak (Osman, 2015)
The fall of Hosni Mubarak’s regime (Osman, 2015)
1.5 ANALISIS DIFERENSIAL HISTORIS
Dengan melacak lintasan sejarah kedua
negara ini, perbedaan antara dua negara
dapat dilihat dari keberpihakan politik masing -
masing negara, yang mana Indonesia
dipengaruhi oleh Belanda dan Mesir
1.5 HISTORICAL DIFFERENTIAL ANALYSIS
By tracing their historical trajectories, the
differences between two states can be seen
from the political alignments of each nation,
where Indonesia influenced by the Dutch and
Egypt by the Ottoman. Their education tuition
51
dipengaruhi oleh Ottoman. Biaya pendidikan
mereka juga dipengaruhi oleh keberpihakan
politik, yang mana Indonesia membebankan
biaya untuk biaya pendidikan. Keadaan
berbeda dialami Mesir.
Sistem pendidikan awal Indonesia didirikan
oleh penjajah Belanda yang pada saat Depresi
Besar di akhir tahun 1920-an memaksa
pemerintah kolonial untuk memotong semua
pengeluaran pendidikan di Indonesia, memicu
pemerintah untuk membebankan biaya
pendidikan pada tahun 1932 (Suwignyo,
2013). Sejak kejadian ini, biaya pendidikan
dibebankan bahkan sampai beberapa
pemerintahan yang berubah (proklamasi
Kemerdekaan, Orde Lama, dan Orde Baru).
Sejak tahun 2001 saat era Reformasi,
kebijakan ini diubah karena pengaruh dari
pelaku internasional (Bank Dunia, JICA,
USAID, AUSAID, dan Kerajaan Belanda) yang
mendorong pemerintah Indonesia untuk
meningkatkan pendidikan universal (Suratno,
2014, hal. 2). Akibatnya, serangkaian undang-
undang tentang pendidikan mulai diberlakukan
sejak tahun 2002, yang dimaksudkan untuk
meningkatkan kualitas, cakupan, dan
partisipasi dalam pendidikan. Perkembangan
tersebut tercermin pada Tabel 1 di atas, tapi
hanya mampu menghapuskan biaya
pendidikan dasar sebagaimana yang tertuang
dalam Pasal 34 Undang-Undang No. 20 tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
(Presiden Republik Indonesia, 2003). Namun,
fees are also influenced by the political
alignments, where Indonesia charges for tuition
fees, in contrast to Egypt’s.
Indonesia’s early education system was
established by the Dutch colonial which at the
time of the Great Depression in the late 1920s
forced the colonial government to cut all
education spending in Indonesia, triggering the
government to charge tuition fees in 1932
(Suwignyo, 2013). From this, the tuition was
charged even until several governmental
changes (the proclamation of Independence,
the Old Order, and the New Order). Since 2001
in the Reform era this is altered, the influence
from international actors (World Bank, JICA,
USAID, AUSAID, and Kingdom of Netherlands)
encouraged Indonesian government to
leverage universal education (Suratno, 2014, p.
2). Consequently, a series of educational law
were enacted from 2002, intended to improve
education quality, coverage, and participation.
Such development is reflected in the Table 1
above, but only able to abolish the fees of basic
education as pointed in the Article 34 Law
No.20/2003 concerning National Education
System (Presiden Republik Indonesia, 2003).
However, in the Article 50, the base for
international standard schools was enacted,
privatizing public schools, allowing them to
charge fees from students. This becomes a
controversy and arguably discriminates other
51Jurnal Institut BPJS Ketenagakerjaan Volume 3 No. 1 November 2018
52
dalam Pasal 50, dasar untuk sekolah
berstandar internasional diberlakukan, dan
juga privatisasi sekolah umum, yang
memungkinkan mereka untuk mengenakan
biaya kepada siswa. Hal ini menjadi
kontroversi dan bisa dibilang mendiskriminasi
siswa lain (Suratno, 2014, hal. 2). Undang-
undang pendidikan lebih lanjut memberikan
legalitas dan mekanisme untuk desentralisasi
pendidikan. Seperti disebutkan dalam
kerangka teoritis Ulriksen, penulis
berpendapat bahwa sistem sebelumnya
mengikuti model sistem pendidikan Belanda,
sementara era Reformasi mengikuti
keberpihakan politik pelaku internasional yang
mengusulkan reformasi dalam sistem
pendidikan.
Sebaliknya, sistem pendidikan Mesir
tampaknya dipengaruhi oleh Kekaisaran
Ottoman yang tercermin dalam perjalanan
sejarahnya. Muhammad Ali Pasha (1805 –
1848) di bawah raja muda Ottoman mendirikan
sekolah umum modern pertama yang tidak
membebankan biaya pendidikan sampai
dengan tahun 1907, di bawah Pendudukan
Inggris (Saleh, 2016, hal. 703). Pada tahun
1944, biaya pendidikan untuk pendidikan
dasar dihapuskan kembali (Saleh, 2016, hal.
703). Pada tahun 1961, biaya pendidikan
untuk perguruan tinggi negeri kemudian
dihapuskan (Saleh, 2016, hal. 704). Undang-
undang pendidikan lebih lanjut mengejar
desentralisasi dan memastikan pendidikan
students (Suratno, 2014, p. 2). Further
educational laws provide legalities and
mechanism for educational decentralization. As
mentioned in Ulriksen’s theoretical framework, I
argue than the earlier system follows the Dutch
model of education tuition system, while the
Reform era follows the political alignments of
international actors proposing a reform in
education system.
In contrast, Egypt education system seems to
be influenced by the Ottoman Empire which is
reflected in the historical timeline. Muhammad
Ali Pasha (1805–1848) under the Ottoman
viceroy established the first public modern
schools which were not imposed by tuition fees
until 1907, under the British Occupation (Saleh,
2016, p. 703). In 1944, tuition fees for basic
education were abolished again (Saleh, 2016,
p. 703). By 1961, the tuition fees for public
universities are continued to be abolished
(Saleh, 2016, p. 704). Further educational laws
pursue decentralization and ensure free
education as the rights for all, as well as action
to natural disaster and similar movement to
keep in pace with international standards.
52 Jurnal Institut BPJS Ketenagakerjaan Volume 3 No. 1 November 2018
52
dalam Pasal 50, dasar untuk sekolah
berstandar internasional diberlakukan, dan
juga privatisasi sekolah umum, yang
memungkinkan mereka untuk mengenakan
biaya kepada siswa. Hal ini menjadi
kontroversi dan bisa dibilang mendiskriminasi
siswa lain (Suratno, 2014, hal. 2). Undang-
undang pendidikan lebih lanjut memberikan
legalitas dan mekanisme untuk desentralisasi
pendidikan. Seperti disebutkan dalam
kerangka teoritis Ulriksen, penulis
berpendapat bahwa sistem sebelumnya
mengikuti model sistem pendidikan Belanda,
sementara era Reformasi mengikuti
keberpihakan politik pelaku internasional yang
mengusulkan reformasi dalam sistem
pendidikan.
Sebaliknya, sistem pendidikan Mesir
tampaknya dipengaruhi oleh Kekaisaran
Ottoman yang tercermin dalam perjalanan
sejarahnya. Muhammad Ali Pasha (1805 –
1848) di bawah raja muda Ottoman mendirikan
sekolah umum modern pertama yang tidak
membebankan biaya pendidikan sampai
dengan tahun 1907, di bawah Pendudukan
Inggris (Saleh, 2016, hal. 703). Pada tahun
1944, biaya pendidikan untuk pendidikan
dasar dihapuskan kembali (Saleh, 2016, hal.
703). Pada tahun 1961, biaya pendidikan
untuk perguruan tinggi negeri kemudian
dihapuskan (Saleh, 2016, hal. 704). Undang-
undang pendidikan lebih lanjut mengejar
desentralisasi dan memastikan pendidikan
students (Suratno, 2014, p. 2). Further
educational laws provide legalities and
mechanism for educational decentralization. As
mentioned in Ulriksen’s theoretical framework, I
argue than the earlier system follows the Dutch
model of education tuition system, while the
Reform era follows the political alignments of
international actors proposing a reform in
education system.
In contrast, Egypt education system seems to
be influenced by the Ottoman Empire which is
reflected in the historical timeline. Muhammad
Ali Pasha (1805–1848) under the Ottoman
viceroy established the first public modern
schools which were not imposed by tuition fees
until 1907, under the British Occupation (Saleh,
2016, p. 703). In 1944, tuition fees for basic
education were abolished again (Saleh, 2016,
p. 703). By 1961, the tuition fees for public
universities are continued to be abolished
(Saleh, 2016, p. 704). Further educational laws
pursue decentralization and ensure free
education as the rights for all, as well as action
to natural disaster and similar movement to
keep in pace with international standards.
53
gratis sebagai hak untuk semua warga negara,
serta tindakan terhadap bencana alam dan
gerakan serupa untuk dapat mengikuti standar
internasional. Sesuai dengan kerangka teoritis
Ulriksen tentang ketergantungan jalur rezim
kesejahteraan, hal ini mungkin disebabkan
oleh penerapan sebelumnya yang mendukung
kembali pendidikan gratis oleh Kerajaan
Ottoman di madrasah dan masjid, yang
tercermin dalam praktik saat ini (Ágoston &
Masters, 2009, hal. 199).
1.6 IDENTIFIKASI JENIS REZIM KESEJAHTERAAN ESPING-ANDERSEN
Indonesia dan Mesir berbagi sistem
pendidikan yang sama dengan fokus pada
program universal (Esping-Andersen, 1990,
hal. 28), karena kedua negara membebaskan
biaya pendidikan untuk pendidikan dasar
masyarakat. Namun, Indonesia menggunakan
pendekatan parsial dengan mengizinkan
sekolah berstandar internasional untuk
membebankan biaya, yang menciptakan
diskriminasi (Suratno, 2014, hal. 2). Selain itu,
universitas negeri diizinkan untuk
membebankan biaya sebagai tindakan
desentralisasi dan privatisasi untuk
mengurangi tekanan dalam perpajakan
(Rosser & Joshi, 2013, hal 178). Sebagai
perbandingan, hal-hal seperti itu tidak terjadi di
Mesir karena mereka menganggap pendidikan
sebagai hak dasar universal, mulai dari
pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi
Following the Ulriksen’s theoretical framework
of welfare regime path dependence, this is
perhaps because of earlier implementation
rooting back to the Ottoman Empire of free
education in the madrasas and mosques,
reflected in current practices (Ágoston &
Masters, 2009, p. 199).
1.6 IDENTIFICATION OF ESPING-ANDERSEN’S WELFARE REGIME TYPES
The current Indonesian and Egypt share similar
educational system focusing on universalistic
program (Esping-Andersen, 1990, p. 28), since
both exempt tuition fees from public basic
education. However, Indonesia employs partial
approach by allowing international standard
schools to charge fees, creating discrimination
(Suratno, 2014, p. 2). In addition, public
universities are allowed to charge fees as the
act of decentralization and privatization to
reduce the stress in taxation (Rosser & Joshi,
2013, p. 178). In comparison, such things do not
happen in Egypt since they regard education as
universal basic rights from basic to higher
education for all as mentioned earlier. By
evaluating these aspects or universalism, both
employ social-democratic (Esping-Andersen,
1990, p. 27) type of welfare regime in education
although the case is partially true for Indonesia.
53Jurnal Institut BPJS Ketenagakerjaan Volume 3 No. 1 November 2018
54
untuk semua warga negara seperti yang
disebutkansebelumnya.Dengan mengevaluasi
aspek-aspek atau universalisme ini, keduanya
menggunakan jenis rezim kesejahteraan
sosial-demokratis (Esping-Andersen,1990,
hal. 27) dalam pendidikan, meskipun keadaan
ini hanya benar sebagian untuk Indonesia.
D. KESIMPULAN
Singkatnya, perbandingan kebijakan
pendidikan Indonesia dan Mesir dapat
dijelaskan dengan model teoritis Ulriksen
melalui hubungan tiga aspek: keberpihakan
politik, rezim produksi, dan ketergantungan
jalur. Dalam praktiknya, model ini dilakukan
dengan menganalisis jalur sejarah bangsa-
bangsa. Dengan menganalisis catatan sejarah
kebijakan pendidikan, dan ide-ide politik di
balik peraturan tersebut, dan menelusuri
kembali ke akarnya, kita dapat menemukan
beberapa kesamaan dengan kebijakan
sebelumnya, seperti sistem pendidikan
Belanda dan pendidikan gratis Ottoman.
Kebijakan-kebijakan awal ini dapat muncul
kembali sebagai kebijakan yang penting di
masa depan, seperti di Mesir, atau dapat
diubah dengan adanya masalah ekonomi
seperti yang dialami para pelaku internasional
Indonesia dari beberapa program bantuan.
Mengatasi jenis-jenis rezim kesejahteraan,
bisa dibilang kedua negara memiliki jenis
rezim kesejahteraan sosial-demokratis yang
serupa, meskipun hanya sebagian yang benar
untuk Indonesia. Penulis percaya bahwa
D.CONCLUSION
To sum up, the comparison of Indonesia’s and
Egypt’s educational policies can be explained
by Ulriksen’s theoretical model through the
connection of three aspects: political
alignments, production regime, and path
dependency. In practices, this is conducted by
analyzing the historical trajectories of the
nations. By analyzing the historical records of
educational policies, and the political ideas
behind such enactments, and tracing back to its
roots, we can find some similarities to earlier
policies, such as the Dutch tuition system and
the Ottoman free education. These earlier
policies can regain importance in the future as
in Egypt, or can be changed by economic issue
as in Indonesia’s international actors of several
aid programs. Addressing welfare regime types,
arguably both nations share similar social-
democratic type of welfare regime, albeit only
partially true for Indonesia. I believe this study
hardly touch several important events in these
Muslim countries, but I hope it can cover the
education related ones.
54 Jurnal Institut BPJS Ketenagakerjaan Volume 3 No. 1 November 2018
54
untuk semua warga negara seperti yang
disebutkansebelumnya.Dengan mengevaluasi
aspek-aspek atau universalisme ini, keduanya
menggunakan jenis rezim kesejahteraan
sosial-demokratis (Esping-Andersen,1990,
hal. 27) dalam pendidikan, meskipun keadaan
ini hanya benar sebagian untuk Indonesia.
D. KESIMPULAN
Singkatnya, perbandingan kebijakan
pendidikan Indonesia dan Mesir dapat
dijelaskan dengan model teoritis Ulriksen
melalui hubungan tiga aspek: keberpihakan
politik, rezim produksi, dan ketergantungan
jalur. Dalam praktiknya, model ini dilakukan
dengan menganalisis jalur sejarah bangsa-
bangsa. Dengan menganalisis catatan sejarah
kebijakan pendidikan, dan ide-ide politik di
balik peraturan tersebut, dan menelusuri
kembali ke akarnya, kita dapat menemukan
beberapa kesamaan dengan kebijakan
sebelumnya, seperti sistem pendidikan
Belanda dan pendidikan gratis Ottoman.
Kebijakan-kebijakan awal ini dapat muncul
kembali sebagai kebijakan yang penting di
masa depan, seperti di Mesir, atau dapat
diubah dengan adanya masalah ekonomi
seperti yang dialami para pelaku internasional
Indonesia dari beberapa program bantuan.
Mengatasi jenis-jenis rezim kesejahteraan,
bisa dibilang kedua negara memiliki jenis
rezim kesejahteraan sosial-demokratis yang
serupa, meskipun hanya sebagian yang benar
untuk Indonesia. Penulis percaya bahwa
D.CONCLUSION
To sum up, the comparison of Indonesia’s and
Egypt’s educational policies can be explained
by Ulriksen’s theoretical model through the
connection of three aspects: political
alignments, production regime, and path
dependency. In practices, this is conducted by
analyzing the historical trajectories of the
nations. By analyzing the historical records of
educational policies, and the political ideas
behind such enactments, and tracing back to its
roots, we can find some similarities to earlier
policies, such as the Dutch tuition system and
the Ottoman free education. These earlier
policies can regain importance in the future as
in Egypt, or can be changed by economic issue
as in Indonesia’s international actors of several
aid programs. Addressing welfare regime types,
arguably both nations share similar social-
democratic type of welfare regime, albeit only
partially true for Indonesia. I believe this study
hardly touch several important events in these
Muslim countries, but I hope it can cover the
education related ones.
55
penelitian ini hampir tidak menyentuh
beberapa peristiwa penting di kedua negara
Muslim ini, tapi penulis berharap dapat
mencakup peristiwa yang terkait dengan
pendidikan.
55Jurnal Institut BPJS Ketenagakerjaan Volume 3 No. 1 November 2018
56
DAFTAR PUSTAKA / BIBLIOGRAPHY
Ágoston, G., & Masters, B. (2009). Encyclopedia of the Ottoman Empire. New York: Facts
on FIle, Inc.
Arab Republic of Egypt Ministry of Foreign Affairs. (2006, April 3). Egypt's relations with
ASEAN countries. Retrieved from Arab Republic of Egypt Ministry of Foreign Affairs:
http://www.mfa.gov.eg/English/EgyptianForeignPolicy/EgyptianAsianRelation/New
s/Pages/NewsDetails.aspx?Source=6781921f-3993-444a-859e-
ee26ce851de8&newsID=b81c8bfc-cae6-46ff-9efb-d46d90870230
BBC. (2017, November 6). Egypt profile - Timeline. Retrieved from BBC:
http://www.bbc.com/news/world-africa-13315719
Beblavý, M., Thum, A.-E., & Veselkova, M. (2011, December 6). Education Policy and
Welfare Regimes in OECD Countries: Social Stratification and Equal Opportunity in
Education. Retrieved December 10, 2017, from University of Pittsburgh: Archive of
European Integration (AEI):
http://aei.pitt.edu/33008/1/WD_357_Beblavy_Thum__Veselkova.pdf?
Brooks, K. B. (2011, February 17). Indonesia’s Lessons for Egypt. Retrieved from Council
of Foreign Relations: https://www.cfr.org/expert-brief/indonesias-lessons-egypt
Central Intelligence Agency. (2017, November 14). The World Factbook: Egypt. Retrieved
from Central Intelligence Agency: https://www.cia.gov/library/publications/the-
world-factbook/geos/eg.html
Central Intelligence Agency. (2017, October 30). The World Factbook: Indonesia.
Retrieved November 5, 2017, from Central Intelligence Agency:
https://www.cia.gov/library/publications/the-world-factbook/geos/id.html
Cribb, R., & Kahin, A. (2004). Historical Dictionary of Indonesia (2nd ed.). Oxford:
Scarecrow Press, Inc.
Encyclopedia.com. (2007). Egypt. Retrieved from Encyclopedia.com:
www.encyclopedia.com/places/africa/egyptian-political-geography/egypt
Esping-Andersen, G. (1990). The Three Worlds of Welfare Capitalism. Cambridge: Polity
Press.
56 Jurnal Institut BPJS Ketenagakerjaan Volume 3 No. 1 November 2018
56
DAFTAR PUSTAKA / BIBLIOGRAPHY
Ágoston, G., & Masters, B. (2009). Encyclopedia of the Ottoman Empire. New York: Facts
on FIle, Inc.
Arab Republic of Egypt Ministry of Foreign Affairs. (2006, April 3). Egypt's relations with
ASEAN countries. Retrieved from Arab Republic of Egypt Ministry of Foreign Affairs:
http://www.mfa.gov.eg/English/EgyptianForeignPolicy/EgyptianAsianRelation/New
s/Pages/NewsDetails.aspx?Source=6781921f-3993-444a-859e-
ee26ce851de8&newsID=b81c8bfc-cae6-46ff-9efb-d46d90870230
BBC. (2017, November 6). Egypt profile - Timeline. Retrieved from BBC:
http://www.bbc.com/news/world-africa-13315719
Beblavý, M., Thum, A.-E., & Veselkova, M. (2011, December 6). Education Policy and
Welfare Regimes in OECD Countries: Social Stratification and Equal Opportunity in
Education. Retrieved December 10, 2017, from University of Pittsburgh: Archive of
European Integration (AEI):
http://aei.pitt.edu/33008/1/WD_357_Beblavy_Thum__Veselkova.pdf?
Brooks, K. B. (2011, February 17). Indonesia’s Lessons for Egypt. Retrieved from Council
of Foreign Relations: https://www.cfr.org/expert-brief/indonesias-lessons-egypt
Central Intelligence Agency. (2017, November 14). The World Factbook: Egypt. Retrieved
from Central Intelligence Agency: https://www.cia.gov/library/publications/the-
world-factbook/geos/eg.html
Central Intelligence Agency. (2017, October 30). The World Factbook: Indonesia.
Retrieved November 5, 2017, from Central Intelligence Agency:
https://www.cia.gov/library/publications/the-world-factbook/geos/id.html
Cribb, R., & Kahin, A. (2004). Historical Dictionary of Indonesia (2nd ed.). Oxford:
Scarecrow Press, Inc.
Encyclopedia.com. (2007). Egypt. Retrieved from Encyclopedia.com:
www.encyclopedia.com/places/africa/egyptian-political-geography/egypt
Esping-Andersen, G. (1990). The Three Worlds of Welfare Capitalism. Cambridge: Polity
Press.
57
Hamdani, M. I. (2015, June 25). Memori Histori Indonesia-Mesir. Retrieved December 8,
2017, from Kompasiana:
https://www.kompasiana.com/muhammadibrahimhamdani/memori-histori-
indonesia-mesir_55126f58a333114059ba7d81
hukumonline.com. (2015, October 7). MK Tolak Permohonan Wajib Belajar 12 Tahun.
Retrieved from hukumonline.com:
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt561508d31c535/mk-tolak-permohonan-
wajib-belajar-12-tahun
International Business Publications. (2013). Indonesia Country Study Guide Volume 1
Strategic Informtion and Developments. Washington DC: International Business
Publications.
International Monetary Fund. (2015, April). World Economic Outlook Database—WEO
Groups and Aggregates Information. Retrieved December 9, 2017, from
International Monetary Fund:
http://www.imf.org/external/pubs/ft/weo/2015/01/weodata/co.pdf
Jr., A. G., & Johnston, R. (2003). Historical Dictionary of Egypt (3rd ed.). Oxford: Scarecrow
Press, Inc.
Leer, J. (2016). After the Big Bang: Estimating the effects of decentralization on
educational outcomes in Indonesia through a difference-in-differences analysis. International Journal of Educational Development, 80-90.
doi:http://dx.doi.org/10.1016/j.ijedudev.2016.02.005
Misachi, J. (2017, April 25). Largest Ethnic Groups In Indonesia. Retrieved November 6,
2017, from World Atlas: http://www.worldatlas.com/articles/largest-ethnic-groups-
in-indonesia.html
Mohamed, J. K., Ghoneim, S. E., Abdel-Sattar, R. M., Masood, A. S., Rabie, H. M., Salah, A. M., & Shawki, E. M. (2015). Education for All 2015 National Review Report:
Egypt. Cairo: UNESCO.
Nag, O. S. (2017, April 25). Countries With The Most Coastline. Retrieved November 6,
2017, from World Atlas: http://www.worldatlas.com/articles/countries-with-the-most-
coastline.html
57Jurnal Institut BPJS Ketenagakerjaan Volume 3 No. 1 November 2018
58
Natahadibrata, N. (2013, June 26). RI kicks off 12-year compulsory education program.
Retrieved from The Jakarta Post:
http://www.thejakartapost.com/news/2013/06/26/ri-kicks-12-year-compulsory-
education-program.html
OECD/Asian Development Bank. (2015). Education in Indonesia: Rising to the Challenge.
doi:http://dx.doi.org/10.1787/9789264230750-en
OECD/The World Bank. (2010). Higher Education in Egypt. doi:10.1787/9789264084346-
en
Osman, A. (2015). Past Contradictions, Contemporary Dilemmas: Egypt's 2013 Coup and Early Islamic History. Digest of Middle East Studies, 24(2), 303-326.
Presiden Republik Indonesia. (2003, July 8). Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003.
Retrieved from peraturan.go.id:
http://peraturan.go.id/search/download/11e44c4ebd4cb9008216313231363139.ht
ml
Presiden Republik Indonesia. (2009, January 16). Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009.
Retrieved from peraturan.go.id:
http://peraturan.go.id/search/download/11e44c4e782b8680b261313231343233.ht
ml
Rosser, A., & Joshi, A. (2013, February). From User Frees to Fee Free: The Politics of Realising Universal Free Basic Education in Indoneisa. Journal of Development
Studies, 49(2), 175-189. doi:http://dx.doi.org/10.1080/00220388.2012.671473
Saleh, M. (2016). Public Mass Modern Education, Religion, and Human Capital in
Twentieth-Century Egypt. The Journal of Economic History, 76(3), 697-735.
doi:10.1017/S0022050716000796
Schaik, B. v. (2009, August 5). Indonesia’s Education Policy: Enabling Innovation and
Growth. Retrieved from Delft University of Technology:
https://repository.tudelft.nl/islandora/object/uuid:661db69c-b21d-49f9-8a8b-
7ac01ca8220c/datastream/OBJ/download
Suratno, T. (2014, May 19). The education system in Indonesia at a time of significant
changes. Retrieved from OpenEdition: http://journals.openedition.org/ries/pdf/3814
58 Jurnal Institut BPJS Ketenagakerjaan Volume 3 No. 1 November 2018
58
Natahadibrata, N. (2013, June 26). RI kicks off 12-year compulsory education program.
Retrieved from The Jakarta Post:
http://www.thejakartapost.com/news/2013/06/26/ri-kicks-12-year-compulsory-
education-program.html
OECD/Asian Development Bank. (2015). Education in Indonesia: Rising to the Challenge.
doi:http://dx.doi.org/10.1787/9789264230750-en
OECD/The World Bank. (2010). Higher Education in Egypt. doi:10.1787/9789264084346-
en
Osman, A. (2015). Past Contradictions, Contemporary Dilemmas: Egypt's 2013 Coup and Early Islamic History. Digest of Middle East Studies, 24(2), 303-326.
Presiden Republik Indonesia. (2003, July 8). Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003.
Retrieved from peraturan.go.id:
http://peraturan.go.id/search/download/11e44c4ebd4cb9008216313231363139.ht
ml
Presiden Republik Indonesia. (2009, January 16). Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009.
Retrieved from peraturan.go.id:
http://peraturan.go.id/search/download/11e44c4e782b8680b261313231343233.ht
ml
Rosser, A., & Joshi, A. (2013, February). From User Frees to Fee Free: The Politics of Realising Universal Free Basic Education in Indoneisa. Journal of Development
Studies, 49(2), 175-189. doi:http://dx.doi.org/10.1080/00220388.2012.671473
Saleh, M. (2016). Public Mass Modern Education, Religion, and Human Capital in
Twentieth-Century Egypt. The Journal of Economic History, 76(3), 697-735.
doi:10.1017/S0022050716000796
Schaik, B. v. (2009, August 5). Indonesia’s Education Policy: Enabling Innovation and
Growth. Retrieved from Delft University of Technology:
https://repository.tudelft.nl/islandora/object/uuid:661db69c-b21d-49f9-8a8b-
7ac01ca8220c/datastream/OBJ/download
Suratno, T. (2014, May 19). The education system in Indonesia at a time of significant
changes. Retrieved from OpenEdition: http://journals.openedition.org/ries/pdf/3814
59
Suwignyo, A. (2013, October). The Great Depression and the changing trajectory of public education policy in Indonesia, 1930-42. Journal of Southeast Asian Studies, 44(3),
465-489. doi:10.1017/S0022463413000337
Ulriksen, M. S. (2012). Welfare Policy Expansion in Botswana and Mauritius: Explaining
the Causes of Different Welfare Regime Paths. Comparative Political Studies, 1483-
1509. doi:10.1177/0010414012453026
UNESCO IBE. (2012, May). World Data on Education VII Ed. 2010/11. Retrieved
December 12, 2017, from UNESCO IBE:
http://www.ibe.unesco.org/fileadmin/user_upload/Publications/WDE/2010/pdf-
versions/Egypt.pdf
Wobbekind, R. L. (2012). On the Importance of Education. Business Economics, 47, 90–
96. doi:10.1057/be.2012.5
World Atlas. (2017, April 7). Indonesia. Retrieved November 6, 2017, from World Atlas:
http://www.worldatlas.com/webimage/countrys/asia/id.htm#page
59Jurnal Institut BPJS Ketenagakerjaan Volume 3 No. 1 November 2018
60
CURRICULUM VITAE
PERSONAL INFORMATIONRiza Guntur Prakoso Jl. Tanjung 19 Blok G No.22, Tanjung Barat, Jagakarsa, Jakarta, 12530 (Indonesia) (+62) 8551435139
rizatechtips.blogspot.com
Sex Male | Date of birth 9 Nov 1988 | Nationality Indonesian
www.bpjsketenagakerjaan.go.id ▪ Create application based on business requirements ▪ System integrator ▪ Web service developer
Business or sector Public administration and defence; compulsory social security
WORK EXPERIENCE
14 Jan 2010–28 Feb 2010 Freelance Web Developer Jakarta (Indonesia) Freelence web developer
1 Mar 2010–6 Oct 2011 Relationship Manager PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk., Kendari (Indonesia) www.bankmandiri.co.id ▪ Expanding market share in Business Banking segment (100 million to 1 billion credit segment) ▪ Maintaining relationship with existing customers ▪ Analyzing new and existing customer business rating
Business or sector Banking 1 Mar 2012–26 Aug 2013
Product Assistant, Product Development Division, Innovation and Technical Marketing Support PT. Indosat Tbk. Jl. Merdeka Barat No.21, Jakarta, Indonesia, 10110 Jakarta (Indonesia) https://indosatooredoo.com/ ▪ Creating new product based on user requirements ▪ Integrating user needs to existing product and/or available technology ▪ Testing finish product to ensure the conformance to user requirements ▪ Facilitating Quality Control and Quality Assurance for each product tariff
Business or sector Telecommunication
1 Oct 2013–Present Support Application and MIS Programmer BPJS Ketenagakerjaan Jl. Jendral Gatot Subroto No.79, Jakarta Selatan, Indonesia, 12930 Jakarta (Indonesia)
60 Jurnal Institut BPJS Ketenagakerjaan Volume 3 No. 1 November 2018
60
CURRICULUM VITAE
PERSONAL INFORMATIONRiza Guntur Prakoso Jl. Tanjung 19 Blok G No.22, Tanjung Barat, Jagakarsa, Jakarta, 12530 (Indonesia) (+62) 8551435139
rizatechtips.blogspot.com
Sex Male | Date of birth 9 Nov 1988 | Nationality Indonesian
www.bpjsketenagakerjaan.go.id ▪ Create application based on business requirements ▪ System integrator ▪ Web service developer
Business or sector Public administration and defence; compulsory social security
WORK EXPERIENCE
14 Jan 2010–28 Feb 2010 Freelance Web Developer Jakarta (Indonesia) Freelence web developer
1 Mar 2010–6 Oct 2011 Relationship Manager PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk., Kendari (Indonesia) www.bankmandiri.co.id ▪ Expanding market share in Business Banking segment (100 million to 1 billion credit segment) ▪ Maintaining relationship with existing customers ▪ Analyzing new and existing customer business rating
Business or sector Banking 1 Mar 2012–26 Aug 2013
Product Assistant, Product Development Division, Innovation and Technical Marketing Support PT. Indosat Tbk. Jl. Merdeka Barat No.21, Jakarta, Indonesia, 10110 Jakarta (Indonesia) https://indosatooredoo.com/ ▪ Creating new product based on user requirements ▪ Integrating user needs to existing product and/or available technology ▪ Testing finish product to ensure the conformance to user requirements ▪ Facilitating Quality Control and Quality Assurance for each product tariff
Business or sector Telecommunication
1 Oct 2013–Present Support Application and MIS Programmer BPJS Ketenagakerjaan Jl. Jendral Gatot Subroto No.79, Jakarta Selatan, Indonesia, 12930 Jakarta (Indonesia)
61
EDUCATION AND TRAINING 1 Dec 2004–31 Mar 2005 Participant of preparation to Physics National Olympiad
Lembaga Olimpiade Sains Indonesia, Jakarta (Indonesia) Participation in preparation for Physics National Olympiad
1 Aug 2006–30 Jan 2010 Bachelor of Science in Computer Science University of Indonesia, Depok (Indonesia) www.ui.ac.id Computer Science ▪ Graduated with Cum Laude predicate with GPA of 3.53 of 4.00 scale in 3.5 years ▪ General programming (C, Java, PHP, HTML, Javascript) ▪ Database programming (SQL) ▪ High Performance Computing (HPC) using GPGPU on Radeon graphics card
12 Apr 2010–17 Apr 2010 Certificate of Modern Project Management for Banking Projects Training PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk. (workshop by PT. Indoprime), Jakarta (Indonesia) Project management training for banking projects for Bank Mandiri's Officer Development Program
3 May 2010–8 May 2010 Certificate of Managing a Bank's Branch "Resource Management" Training Program PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk., Jakarta (Indonesia) Managing a bank's branch training for Bank Mandiri's Officer Development Program
18 Aug 2010–8 Sep 2010 Certificate of Basic Commercial and Business Banking Academy PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk. (traing by Learning Center Group), Jakarta (Indonesia) Study of entire commercial and business banking group product line
10 Jan 2011–11 Jan 2011 Certificate of ILP for Business Banking Relationship Manager Training PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk. Training for Business Baking Relationship Manager of Bank Mandiri
1 Mar 2010–8 Mar 2011 Officer Development Program Graduate of Bank Mandiri PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk., Jakarta (Indonesia) Officer Development Program graduate of Bank Mandiri ▪ Completing PT. Bank Mandiri (Psersero) Tbk. management trainee program ▪ Has completed the entire learning curriculum about Bank Mandiri core operations ▪ Has completed Commercial and Business Banking curriculum and learn its business
19 Mar 2012–20 Mar 2012 Certificate of New Product Development Training PT. Indosat Tbk., Jatiluhur (Indonesia) Trainee for regular recruit of PT. Indosat Tbk. in Product Development Division
61Jurnal Institut BPJS Ketenagakerjaan Volume 3 No. 1 November 2018
62
Other language(s)
English C2 C2 B2 B2 C2
Bachelor of Science in Computer Science Levels: A1 and A2: Basic user - B1 and B2: Independent user - C1 and C2: Proficient user
Common European Framework of Reference for Languages
Communication skills ▪ Good communication skills gained through my experience as relationship manager,
product assistant and channel developer
Organisational / managerial skills ▪ Project management gained through my career as application developer ▪ Relationship management through my experience as relationship manager
Job-related skills ▪ Basic office applications ▫ Microsoft Office (Word, Excel, Powerpoint, Visio,
Project) ▪ Software development tool ▫ Netbeans, Visual Studio, Eclipse, Android Studio
▪ Programming language ▫ C, Java, SQL, PHP, HTML, Javascript
▪ Project management ▪ Business administration ▪ Proficient in designing and developing web services for Machine-To-Machine
communication across different organization ▪ Channel management and transactional data support ▪ Various experience regarding banking and product development
Digital competence
Dec 2013–18 Dec 2013 Certificate of Completion in of Actuary and Satisfaction Measurement Training Jakart (Indonesia) Statistical methods to actuary and satisfaction measurement training
Mar 2016–18 Mar 2016 Certificate in Android Programming using Android Studio Inixindo, Jakart (Indonesia) Basic Android programming training
Mar 2016–24 Mar 2016 PERSONAL SKILLS
Certificate of Completion of Developing Java Web Services Training Inixindo, Jakarta (Indonesia) ▪ Training to develop web services using Java ▪ This training covering SOAP services
Mother tongue(s) Indonesian
UNDERSTANDING SPEAKING WRITING Listening Reading Spoken interaction Spoken production
SELF-ASSESSMENT
Information processing Communication Content
creation Safety Problem solving
Proficient user Proficient user Proficient user Proficient user Proficient user
62 Jurnal Institut BPJS Ketenagakerjaan Volume 3 No. 1 November 2018
62
Other language(s)
English C2 C2 B2 B2 C2
Bachelor of Science in Computer Science Levels: A1 and A2: Basic user - B1 and B2: Independent user - C1 and C2: Proficient user
Common European Framework of Reference for Languages
Communication skills ▪ Good communication skills gained through my experience as relationship manager,
product assistant and channel developer
Organisational / managerial skills ▪ Project management gained through my career as application developer ▪ Relationship management through my experience as relationship manager
Job-related skills ▪ Basic office applications ▫ Microsoft Office (Word, Excel, Powerpoint, Visio,
Project) ▪ Software development tool ▫ Netbeans, Visual Studio, Eclipse, Android Studio
▪ Programming language ▫ C, Java, SQL, PHP, HTML, Javascript
▪ Project management ▪ Business administration ▪ Proficient in designing and developing web services for Machine-To-Machine
communication across different organization ▪ Channel management and transactional data support ▪ Various experience regarding banking and product development
Digital competence
Dec 2013–18 Dec 2013 Certificate of Completion in of Actuary and Satisfaction Measurement Training Jakart (Indonesia) Statistical methods to actuary and satisfaction measurement training
Mar 2016–18 Mar 2016 Certificate in Android Programming using Android Studio Inixindo, Jakart (Indonesia) Basic Android programming training
Mar 2016–24 Mar 2016 PERSONAL SKILLS
Certificate of Completion of Developing Java Web Services Training Inixindo, Jakarta (Indonesia) ▪ Training to develop web services using Java ▪ This training covering SOAP services
Mother tongue(s) Indonesian
UNDERSTANDING SPEAKING WRITING Listening Reading Spoken interaction Spoken production
SELF-ASSESSMENT
Information processing Communication Content
creation Safety Problem solving
Proficient user Proficient user Proficient user Proficient user Proficient user
63
STUDI KOMPARATIF: REFORMASI KEBIJAKAN SOSIAL DALAM
MENGHADAPI AGEING POPULATION DI JEPANG DAN ITALIA
Shandika Putra Damayana
Abstrak
Penelitian ini dilaksanakan untuk menganalisis
kebijakan-kebijakan sosial yang diambil oleh
kedua negara yang berbeda, yaitu Jepang dan
Italia, dalam mengatasi masalah ageing
population. Jepang dan Italia diambil sebagai
obyek studi ini karena kedua negara memiliki
latar belakang kependudukan dan sosial
ekonomi yang serupa. Penelitian ini fokus
pada analisis pendekatan kebijakan dalam
mengatasi masalah ageing population,
terutama yang berkaitan dengan laju
kelahiran, ekonomi, dan tenaga kerja. Tujuan
penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi
dan membandingkan efektivitas kebijakan-
kebijakan sosial yang diambil di kedua negara.
Penelitian ini merupakan studi pustaka, yang
terutama menggunakan pendekatan analisis
data sekunder melalui publikasi daring,
laporan, dan peraturan dari pemerintah dan
organisasi terkait. Hasil dari penelitian ini
mengimplikasikan bahwa Jepang dan Italia
telah berhasil mengurangi dampak populasi
yang menua. Kedua negara memiliki
pendekatan kebijakan yang serupa, terkait
dengan masalah-masalah ini, seperti bantuan
COMPARATIVE STUDY: SOCIAL POLICY REFORMS ON FACING THE AGEING POPULATION IN JAPAN AND ITALY
Shandika Putra Damayana
Abstract
This study is conducted to analyze the social
policies taken from two different countries—
which are Japan and Italy—on facing the issue
of ageing population. Japan and Italy took as
the object of this study because both countries
have a similar demography and socio-economic
background. This study focused on analyzing
the policy approach on tackling the ageing
population issues especially related to birth
rate, economic, and labour force. The purpose
of this study is to identify and to compare the
effectiveness of these social policies taken in
both countries. This study is based on desktop
research, mostly uses a secondary data
analysis approach through online publications,
reports, and regulations from the government
and related organizations. The result of this
study implies that both Japan and Italy have
been successful in reducing the impacts of an
ageing population. Both countries have similar
policies approach related to these issues such
as the economic support for a family with
children, work-life balance policy for career
parents, and retirement age adjustment.
However, related to migration policy, Japan is
63Jurnal Institut BPJS Ketenagakerjaan Volume 3 No. 1 November 2018
64
ekonomi untuk keluarga yang memiliki anak-
anak, kebijakan keseimbangan dunia kerja-
kehidupan untuk orangtua yang berkarir, dan
penyesuaian usia pensiun. Tetapi, terkait
degan kebijakan migrasi, Jepang memiliki
kebijakan yang lebih ketat daripada Italia.
Pemerintah Jepang memiliki preferensi untuk
mengembangkan investasi internasional
mereka, daripada meningkatkan angka
migrasi masuk.
Kata kunci: Ageing Population, Laju Kelahiran, Ekonomi, Tenaga Kerja, Jepang, Italia
more restricted than Italy. The Japan
government have a preference to expand their
international investments, rather than
increasing the migrant entrance.
Keywords: Ageing Population, Birth Rate, Economic, Labour Force, Japan, Italy
64 Jurnal Institut BPJS Ketenagakerjaan Volume 3 No. 1 November 2018
64
ekonomi untuk keluarga yang memiliki anak-
anak, kebijakan keseimbangan dunia kerja-
kehidupan untuk orangtua yang berkarir, dan
penyesuaian usia pensiun. Tetapi, terkait
degan kebijakan migrasi, Jepang memiliki
kebijakan yang lebih ketat daripada Italia.
Pemerintah Jepang memiliki preferensi untuk
mengembangkan investasi internasional
mereka, daripada meningkatkan angka
migrasi masuk.
Kata kunci: Ageing Population, Laju Kelahiran, Ekonomi, Tenaga Kerja, Jepang, Italia
more restricted than Italy. The Japan
government have a preference to expand their
international investments, rather than
increasing the migrant entrance.
Keywords: Ageing Population, Birth Rate, Economic, Labour Force, Japan, Italy
65
A. PENDAHULUAN
Pengelolaan komposisi demografi adalah
kebijakan yang penting untuk pembangunan
nasional suatu negara. Keadaan ini diperlukan
untuk menjaga produktivitas nasional berjalan
dan juga mendukung rasio ketergantungan
dari kelompok usia lainnya, sebagai contoh
lanjut usia dan warga negara di bawah umur.
Di beberapa negara, seperti Jepang dan Italia,
bukannya memiliki lebih banyak warga negara
yang produktif, negara-negara ini memiliki
proporsi warga lanjut usia yang lebih tinggi.
Sebaliknya, angka kelahiran generasi yang
lebih mudah juga stagnan. Guna menghadapi
masalah ini, pemerintah kedua negara harus
membuat beberapa kebijakan sosial terkait
dengan partisipasi angkatan kerja dan
ketersediaan generasi pengganti, guna
meminimalisir dampak keadaan yang kurang
menguntungkan ini. Secara keseluruhan,
kedua negara telah berhasil mengatasi
beberapa tantangan yang berasal dari
populasi yang menua, dengan melakukan
reformasi pada kebijakan sosial mereka,
seperti memberikan kebijakan cuti bagi
orangtua, insentif untuk anak, tunjangan
tenaga kerja lansia, dan kebijakan migrasi.
Makalah ini akan terdiri dari empat bagian.
Pada bagian pertama, akan dibahas kondisi
populasi yang menua di Jepang dan Italia.
Kedua, kebijakan sosial yang diberlakukan
oleh kedua negara terkait dengan masalah
partisipasi angkatan kerja, dan masalah
A. INTRODUCTION
Managing the demographic composition is an
important policy to national development of a
country. This condition is needed to keep the
national productivity runs as well as supports
dependency ratio from other age groups such
as elderly and underaged citizens. In several
countries such as Japan and Italy, in spite of
having more productive citizens, those
countries have a higher proportion of elderly
citizens. In contrast, the birth rate of their
younger generation is also stagnant. Facing this
issue, the government of both countries should
produce some social policies concerning the
participation of labour force and the availability
of successor generation, in order to minimize
the impact of this disadvantage condition.
Overall, both countries have been succeeding
on overcome several challenges of ageing
population, by reforming their social policy such
as proving parental leave policy, child incentive,
elderly labour benefit, and migration policy.
This paper will be delivered in four sections. In
the first section, it will analyse the condition of
ageing population in Japan and Italy. Second, it
will discuss the social policy enacted the
government of both countries related to the
issue of labour force participation, and low
65Jurnal Institut BPJS Ketenagakerjaan Volume 3 No. 1 November 2018
66
kesuburan, akan dibahas. Dan ketiga,
perbandingan kebijakan-kebijakan sosial yang
diperkenalkan di kedua negara beserta
akibatnya akan dibandingkan.
B. METODOLOGI
Dalam pelaksanaan studi ini, penulis
menggunaan metode studi pustaka sebagai
sumber daya utama. Data dikumpulkan
terutama dari data sekunder yang diambil dari
berbagai peraturan, publikasi, dan laporan
digital lainnya yang dibuat oleh pemerintah,
Perserikatan Bangsa-Bangsa, Bank Dunia,
OECD, dan organisasi terkait lainnya. Metode
analisis yang digunakan dalam artikel ini
adalah studi komparatif dengan menganalisis
kebijakan-kebijakan pemerintah di Jepang dan
Italia – yang memiliki beberapa ciri serupa –
dalam mengatasi masalah ageing population.
Ada tiga fokus analisis komparatif dalam artikel
ini, yaitu dampak ageing population, kebijakan-
kebijakan sosial saat ini dalam mengatasi
masalah ini, dan efektivitas serta dampak dari
kebijakan-kebijakan sosial ini
C. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. MENDESAKNYA POPULASI YANG
MENUA
Pada abad ke-21 ini, dunia telah mengalami
fenomena populasi yang menua di beberapa
wilayah, yang mengarah pada kenaikan yang
signifikan pada populasi lanjut usia (65 tahun
ke atas). Mengalami fenomena ini bisa berarti
pencapaian dan tantangan bagi pemerintah.
fertility issue. And the third, comparing those
social policies introduced in both countries as
well as their consequences. B. METHODOLOGY
In conducting this study, the writer uses a
desktop research method as the primary
resources. The data collection mainly uses
secondary data which are taken from various
regulations, publications and other digital
reports by the government, United Nation,
World Bank, OECD, and other related
organizations. Analysis method used in this
article is a comparative study by analyzing
government policies in Japan and Italy—which
have several similar characteristics—on
tackling the issue of ageing population. There is
three focuses of comparative analysis in this
article: the impacts of the ageing population, the
current social policies taken in tackling this
issue, and the effectiveness and the impacts of
these social policies. C. RESULTS AND DISCUSSION 1. THE URGENCY OF AGEING
POPULATIONS
In this 21st century, the world has experienced
the phenomena of ageing population in several
regions, which refers to significant rises on
elderly population (65 years old and over).
Having this phenomenon could means either an
achievement and a challenge for the
66 Jurnal Institut BPJS Ketenagakerjaan Volume 3 No. 1 November 2018
66
kesuburan, akan dibahas. Dan ketiga,
perbandingan kebijakan-kebijakan sosial yang
diperkenalkan di kedua negara beserta
akibatnya akan dibandingkan.
B. METODOLOGI
Dalam pelaksanaan studi ini, penulis
menggunaan metode studi pustaka sebagai
sumber daya utama. Data dikumpulkan
terutama dari data sekunder yang diambil dari
berbagai peraturan, publikasi, dan laporan
digital lainnya yang dibuat oleh pemerintah,
Perserikatan Bangsa-Bangsa, Bank Dunia,
OECD, dan organisasi terkait lainnya. Metode
analisis yang digunakan dalam artikel ini
adalah studi komparatif dengan menganalisis
kebijakan-kebijakan pemerintah di Jepang dan
Italia – yang memiliki beberapa ciri serupa –
dalam mengatasi masalah ageing population.
Ada tiga fokus analisis komparatif dalam artikel
ini, yaitu dampak ageing population, kebijakan-
kebijakan sosial saat ini dalam mengatasi
masalah ini, dan efektivitas serta dampak dari
kebijakan-kebijakan sosial ini
C. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. MENDESAKNYA POPULASI YANG
MENUA
Pada abad ke-21 ini, dunia telah mengalami
fenomena populasi yang menua di beberapa
wilayah, yang mengarah pada kenaikan yang
signifikan pada populasi lanjut usia (65 tahun
ke atas). Mengalami fenomena ini bisa berarti
pencapaian dan tantangan bagi pemerintah.
fertility issue. And the third, comparing those
social policies introduced in both countries as
well as their consequences. B. METHODOLOGY
In conducting this study, the writer uses a
desktop research method as the primary
resources. The data collection mainly uses
secondary data which are taken from various
regulations, publications and other digital
reports by the government, United Nation,
World Bank, OECD, and other related
organizations. Analysis method used in this
article is a comparative study by analyzing
government policies in Japan and Italy—which
have several similar characteristics—on
tackling the issue of ageing population. There is
three focuses of comparative analysis in this
article: the impacts of the ageing population, the
current social policies taken in tackling this
issue, and the effectiveness and the impacts of
these social policies. C. RESULTS AND DISCUSSION 1. THE URGENCY OF AGEING
POPULATIONS
In this 21st century, the world has experienced
the phenomena of ageing population in several
regions, which refers to significant rises on
elderly population (65 years old and over).
Having this phenomenon could means either an
achievement and a challenge for the
67
Fenomena ini bisa dipandang sebagai
keberhasilan menyediakan standar kesehatan
dan kualitas hidup yang baik, atau bisa
menjadi bencana saat kebutuhan sosial dan
layanan yang lebih tinggi diperlukan, seperti
dana pension, yang tidak seimbang dengan
jumlah populasi aktif pengganti guna
memastikan siklus uang tetap berputar (Dana
Populasi Perserikatan Bangsa-Bangsa, 2012,
hal. 11). Menurut laporan pengembangan
manusia oleh UNDP 11 , pada tahun 2050
populasi warga lansia tersebut akan menjadi
dua kali lipat atau bahkan tiga kali lipat
daripada hari ini (Schmid, 2017). Dengan kata
lain, masalah ini akan menjadi lebih
menantang di masa depan jika pemerintah
tidak mengambil tindakan dari sekarang.
Fenomena ini juga dibenarkan dalam laporan
Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun
2017. Sebagaimana dapat dilihat pada gambar
1, jumlah seluruh warga lansia di seluruh dunia
tercatat meningkat, dari hanya di bawah 0,4
miliar atau 6,16% dari total populasi di tahun
1990, menjadi kira-kira 0,6 miliar di tahun
2017. Selan itu, jumlah ini telah diprediksi akan
meningkat secara bertahap menjadi 2,5 miliar
atau 22,49% dari total populasi di tahun 2100
(yang juga diproyeksi dari total kesuburan dan
harapan hidup saat kelahiran).”
government. It can be seen as an achievement
on provides the health standard and quality of
life, or it might be a disaster when the higher
social and service needs such as pension funds
not come in balance with the number of active
successor population in keeping the money
cycle runs (United Nations Population Fund,
2012, p. 11). According to human development
report by UNDP12, in 2050 the population of
those elderly citizens will be doubled or even
tripled in size than today (Schmid, 2017). In
other words, this issue will become even more
challenging in the future if the government does
not take an action from now on.
This phenomenon is also justified by United
Nations report in 2017. As can be seen on figure
1, total elderly citizens around the world is
recorded to rise, from just under 0.4 billion or
6.16% of total population in 1990, to become
approximately 0.6 billion in 2017. Moreover, this
number has been predicted will gradually
increase to become 2.5 billion or 22.49% of total
population in 2100 (which also projected from
total fertility and life expectancy at birth)
11 Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa 12 United Nation Development Programme
67Jurnal Institut BPJS Ketenagakerjaan Volume 3 No. 1 November 2018
68
Gambar 1: Prediksi Populasi Lansia Dunia di Masa Depan Figure 1: Future Prediction of Older Population in the World
Sumber: (Perserikatan Bangsa-Bangsa, Departemen Urusan Ekonomi dan Sosial, 2017) Source: (United Nations, Department of Economic and Social Affairs, 2017)
Tetapi, jika peningkatan populasi yang menua
tidak didukung dengan proporsi usia produktif
yang cukup, maka peningkatan populasi lansia
akan menyebabkan naiknya rasio
ketergantungan yang membebani warga
negara berusia produksi dan juga mengancam
stabilitas nasional, termasuk akibat ekonomi,
sosial, dan politik (Perserikatan Bangsa-
Bangsa, Departemen Urusan Ekonomi dan
Sosial, Divisi Populasi, 2015, hal. 5). Lebih
lanjut, populasi yang menua cenderung
bergerak lebih cepat di wilayah yang lebih
maju sebagai akibat dari industrialisasi yang
bangkit daripada wilayah yang kurang
berkembang (Samorodov, 1999, hal. 3-4).
Sayangnya, saat ini baik Jepang dan Italia
adalah dua dari beberapa negara yang telah
menderita akibat masalah ini di dalam
masyarakat mereka.
Sebagai pencetak rekor Pendapatan Per
Kapita tertinggi kedua di Asia setelah China
(Bank Dunia, 2017), Jepang terbukti memiliki
However, when the increasing of ageing
population is not supported by enough
proportion of the productive one, it will rise the
dependency ratio which burden those
productive citizens and also threatened the
national stability including economic, social,
and political implications (United Nations,
Department of Economic and Social Affairs,
Population Division, 2015, p. 5). Moreover,
ageing population tend to surge faster in more
developed region as result of emerging
industrialisation than in underdeveloped one
(Samorodov, 1999, pp. 3-4). Unfortunately,
today, both Japan and Italy are the two of
several countries which have been suffered to
this issue in their society.
As the second highest GDP scorer in Asia after
China (World Bank, 2017), Japan evidently has
a struggling condition related to the lack of
68 Jurnal Institut BPJS Ketenagakerjaan Volume 3 No. 1 November 2018
68
Gambar 1: Prediksi Populasi Lansia Dunia di Masa Depan Figure 1: Future Prediction of Older Population in the World
Sumber: (Perserikatan Bangsa-Bangsa, Departemen Urusan Ekonomi dan Sosial, 2017) Source: (United Nations, Department of Economic and Social Affairs, 2017)
Tetapi, jika peningkatan populasi yang menua
tidak didukung dengan proporsi usia produktif
yang cukup, maka peningkatan populasi lansia
akan menyebabkan naiknya rasio
ketergantungan yang membebani warga
negara berusia produksi dan juga mengancam
stabilitas nasional, termasuk akibat ekonomi,
sosial, dan politik (Perserikatan Bangsa-
Bangsa, Departemen Urusan Ekonomi dan
Sosial, Divisi Populasi, 2015, hal. 5). Lebih
lanjut, populasi yang menua cenderung
bergerak lebih cepat di wilayah yang lebih
maju sebagai akibat dari industrialisasi yang
bangkit daripada wilayah yang kurang
berkembang (Samorodov, 1999, hal. 3-4).
Sayangnya, saat ini baik Jepang dan Italia
adalah dua dari beberapa negara yang telah
menderita akibat masalah ini di dalam
masyarakat mereka.
Sebagai pencetak rekor Pendapatan Per
Kapita tertinggi kedua di Asia setelah China
(Bank Dunia, 2017), Jepang terbukti memiliki
However, when the increasing of ageing
population is not supported by enough
proportion of the productive one, it will rise the
dependency ratio which burden those
productive citizens and also threatened the
national stability including economic, social,
and political implications (United Nations,
Department of Economic and Social Affairs,
Population Division, 2015, p. 5). Moreover,
ageing population tend to surge faster in more
developed region as result of emerging
industrialisation than in underdeveloped one
(Samorodov, 1999, pp. 3-4). Unfortunately,
today, both Japan and Italy are the two of
several countries which have been suffered to
this issue in their society.
As the second highest GDP scorer in Asia after
China (World Bank, 2017), Japan evidently has
a struggling condition related to the lack of
69
keadaan yang sulit terkait dengan kurangnya
sumber daya manusia yang produktif di dalam
masyarakatnya. Dari laporan DESA13 (2017)
pada gambar 2, karena lebih tinggi daripada
persentase populasi lansia di median dunia,
total komposisi warga lansia di Jepang telah
meningkat dari kira-kira 12% di tahun 1990
sampai lebih dari 25% di tahun 2017. Oleh
karena itu, angka tersebut diprediksi akan
meningkat sampai dengan 35,49% jika
dibandingkan dengan kelompok usia lainnya.
Keadaan ini membawa Jepang menduduki
tempat teratas dari semua negara dengan
proporsi usia 65 tahun ke atas yang tertinggi di
seluruh dunia (Dana Populasi Perserikatan
Bangsa-Bangsa, 2017).
Serupa dengan Jepang, Italia telah menjadi
salah satu negara Eropa dengan komposisi
warga lansia tertinggi dan juga menduduki
tempat kedua setelah Jepang dalam laporan
SWOP14 oleh UNFPA 15 (2017). Grafik pada
gambar 2 menunjukkan komposisinya sedikit
lebih tinggi sebesar 4% dari Jepang di tahun
1990. Tetapi, pertumbuhan lansia Jepang
lebih cepat dibandingkan di Italia pada tahun-
tahun sebelumnya dan diprediksi akan
berakhir di angka 35,59%, tapi masih jauh
lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata
komposisi lansia di dunia yang hanya 22,49%.
productive human resources within its society.
From the reports by DESA16 (2017) on figure 2,
as higher than the percentage of older
population in the world’s median, the total
composition of elderly citizens in Japan has
surge from approximately 12% in 1990 to just
over 25% in 2017, thus, also predicted will
increases to 35.49% compared to other age
groups. This condition brings Japan to become
in the first list of all countries with the highest
proportion of aged 65 or older population in the
world (United Nations Population Fund, 2017).
Similar to Japan, Italy has become one of
European countries with the highest
composition of older age citizens and also
stands in the second list after Japan in SWOP17
report by UNFPA18 (2017). The line graph on
figure 2 shows their composition was slightly
higher by 4% than Japan in 1990. However, the
growth of Japanese elderly is faster than Italy in
previous years and predicted will ends up in
level 33.59%, but still much higher than average
elderly composition in the world which only
22.49%.
13 Departemen Urusan Ekonomi dan Sosial (Perserikatan Bangsa-Bangsa) 14 Laporan Populasi Negara di Dunia 15 Dana Populasi Perserikatan Bangsa-Bangsa 16 Department of Economic and Social Affairs (United Nations) 17 State of World Population report 18 United Nations Population Fund
69Jurnal Institut BPJS Ketenagakerjaan Volume 3 No. 1 November 2018
70
Gambar 2: Pertumbuhan Populasi Lansia di Jepang dan Italia dibandingkan dengan Median Dunia
Figure 2: Elderly Population Growth in Japan and Italy Compared to the World’s Median
Sumber: (Perserikatan Bangsa-Bangsa, Departemen Urusan Ekonomi dan Sosial, 2017) Source: (United Nations, Department of Economic and Social Affairs, 2017)
Lebih lanjut, menurut UN ESCAP19 (2016, hal.
5-6), dua faktor utama dari fenomena populasi
yang menua ini adalah menurunnya laju
kesuburan dan juga meningkatnya harapan
hidup masyarakat. Terkait dengan Jepang dan
Italia, fenomena ini bisa dianalisa dari
komposisi demografik di tahun 1990 dan 2017
pada gambar 3. Warga usia aktif kedua negara
(di dalam kotak merah) menurun sebagai
akibat dari laju kelahiran yang stagnan dan
bahkan cenderung menurun dalam tahun-
tahun berikutnya. Namun, harapan hidup
masyarakat meningkat, sehingga meletakkan
warga lansia di tempat teratas pada piramida.
Pada akhirnya, keadaan ini akan mengarah
pada rasio ketergantungan yang lebih tinggi
dari kelompok usia tertinggi dan terendah,
yang secara tidak langsung membebani
mereka yang berada di dalam kotak merah.
Moreover, according to UN ESCAP20 (2016, pp.
5-6), the two key factors of this ageing
population phenomenon are declining fertility
rates and also increasing life expectancies in
society. Related to Japan and Italy, it can be
analysed from demographic composition in
1990 and 2017 on figure 3. Both countries’
active citizens (inside the red boxes) are
declining as a result of a birth rate stagnancy
which even tend to be lower in the next following
years, yet the higher life expectancy in society
pull-ups the elderly citizens in top of pyramids.
In the end, this condition will lead to higher
dependency ratio from both upper and lower
age groups, which indirectly burden those who
inside the red boxes.
19 Komisi Ekonomi dan Sosial untuk Asia Pasifik (Majelis Perserikatan Bangsa-Bangsa) 20 Economic and Social Commission for Asia and the Pacific (United Nations Assembly)
70 Jurnal Institut BPJS Ketenagakerjaan Volume 3 No. 1 November 2018
70
Gambar 2: Pertumbuhan Populasi Lansia di Jepang dan Italia dibandingkan dengan Median Dunia
Figure 2: Elderly Population Growth in Japan and Italy Compared to the World’s Median
Sumber: (Perserikatan Bangsa-Bangsa, Departemen Urusan Ekonomi dan Sosial, 2017) Source: (United Nations, Department of Economic and Social Affairs, 2017)
Lebih lanjut, menurut UN ESCAP19 (2016, hal.
5-6), dua faktor utama dari fenomena populasi
yang menua ini adalah menurunnya laju
kesuburan dan juga meningkatnya harapan
hidup masyarakat. Terkait dengan Jepang dan
Italia, fenomena ini bisa dianalisa dari
komposisi demografik di tahun 1990 dan 2017
pada gambar 3. Warga usia aktif kedua negara
(di dalam kotak merah) menurun sebagai
akibat dari laju kelahiran yang stagnan dan
bahkan cenderung menurun dalam tahun-
tahun berikutnya. Namun, harapan hidup
masyarakat meningkat, sehingga meletakkan
warga lansia di tempat teratas pada piramida.
Pada akhirnya, keadaan ini akan mengarah
pada rasio ketergantungan yang lebih tinggi
dari kelompok usia tertinggi dan terendah,
yang secara tidak langsung membebani
mereka yang berada di dalam kotak merah.
Moreover, according to UN ESCAP20 (2016, pp.
5-6), the two key factors of this ageing
population phenomenon are declining fertility
rates and also increasing life expectancies in
society. Related to Japan and Italy, it can be
analysed from demographic composition in
1990 and 2017 on figure 3. Both countries’
active citizens (inside the red boxes) are
declining as a result of a birth rate stagnancy
which even tend to be lower in the next following
years, yet the higher life expectancy in society
pull-ups the elderly citizens in top of pyramids.
In the end, this condition will lead to higher
dependency ratio from both upper and lower
age groups, which indirectly burden those who
inside the red boxes.
19 Komisi Ekonomi dan Sosial untuk Asia Pasifik (Majelis Perserikatan Bangsa-Bangsa) 20 Economic and Social Commission for Asia and the Pacific (United Nations Assembly)
71
Gambar 3: Piramida Demografi Jepang (atas) dan Italia (bawah) pada tahun 1990 dan 2017
Figure 3: Demographic Pyramid of Japan (up) and Italy (bottom) in 1990 and 2017
Sumber: (Perserikatan Bangsa-Bangsa, Departemen Urusan Ekonomi dan Sosial, 2017) Source: (United Nations, Department of Economic and Social Affairs, 2017)
Singkat kata, dalam menghadapi populasi
yang menua, adanya kebijakan sosial
pemerintah yang baru diperlukan untuk
meminimalisir dampak yang berasal dari
fenomena ini. Dengan mempertimbangkan hal
ini, dikategorikan sebagai negara
berpenghasilan tinggi dan juga menduduki dua
peringkat teratas di dunia dalam hal komposisi
lansia, membuat Jepang dan Italia menjadi
menarik untuk dianalisis. Selain itu, letak
kedua negara ini di dua wilayah yang berbeda
dan juga memiliki budaya yang berbeda paling
tidak dapat mempengaruhi pembuatan
kebijakan sosial.
2.KONTEKS JEPANG DALAM PENDEKATAN DAN REFORMASI KEBIJAKAN SOSIAL 2.1. Kebijakan Sosial terkait dengan Masalah Laju Kelahiran Sebagaimana disebutkan dalam bagian
sebelumnya, salah satu faktor yang menjadi
In short, on facing ageing populations, the
availability of both governments’ new social
policies is needed to minimize a build-up impact
of this phenomenon. Considering this,
categorised as the high-income countries as
well as the world two highest ranking in elderly
composition, makes Japan and Italy are
interesting to be analysed. Besides, located in
two different regions and also different cultures
at least might affected the social policy making.
2. JAPAN CONTEXT IN SOCIAL POLICY APPROACHES AND REFORMS
2.1. Social Policy Related to Birth Rate Issue
As mentioned in previous section, one of the
factors behind ageing population is birth rate
71Jurnal Institut BPJS Ketenagakerjaan Volume 3 No. 1 November 2018
72
pemicu populasi yang menua adalah
menurunnya laju kelahiran. Terkait dengan
masalah ini, sebenarnya di masa lalu setelah
perang dunia kedua, Jepang mengalami
peningkatan tiba-tiba pada laju kelahiran.
Tetapi, bukannya tetap meningkat sepanjang
tahun 1950an seperti negara-negara maju
lainnya di Amerika dan Eropa, peningkatan
tersebut hanya berlangsung selama tiga tahun
dari tahun 1947 sampai dengan 1949 (Shmuel,
2016). Tidak diragukan lagi bahwa ada
penurunan tajam secara demografi di
komposisi usia kerja produktif Jepang saat ini.
Keadaan ini disebabkan oleh beberapa
perubahan sosial dalam masyarakat Jepang.
Ada gerakan kesetaraan partisipasi menurut
gender (danjo kyodosankaku) yang terjadi
setelah Perang Dunia II. Gerakan tersebut
merupakan gerakan untuk menerima
perempuan masuk ke angkatan kerja, yang
sebelumnya dibatasi dalam tradisi Jepang.
Pada saat itu, fokus utama pemerintaah
Jepang adalah membangun setelah krisis
ekonomi akibat pecahnya perang dan juga
memberdayakan perempuan agar bergabung
ke dalam angkatan kerja (Coulmas, 2007).
Pada tahun 1969, tercatat adanya 46% dari
seluruh populasi perempuan yang ambil
bagian dalam angkatan kerja. Kemudian, rasio
tersebut meningkat dengan stabil menjadi 64%
pada tahun 2014 (The Federal Reserve Bank
of St. Louis, 2013).
decline. Related to this issue, actually in the
past after second’s world war, Japan have a
sudden increase on birth rate. However, instead
of continued rising through 1950s like other
developed countries in America and Europe, it
only stays for three years from 1947 to 1949
(Shmuel, 2016). It is no doubt, there is a steep
demographic cliff in Japanese active workforce
age composition today.This condition is caused
by several social changes in Japan society.
There is a movement of equality on gender participation (danjo kyodosankaku) which
happened after World War II. It is a movement
to accept woman participation in labour force,
which previously was restricted in Japan
tradition. In that time Japan’s government main
focused is to build up economic crisis after war
crashed as well as empowering woman to join
the labour force (Coulmas, 2007). It recorded in
1969 there are 46% of total women population
participates in labour force. Then, the ratio
steadily increases to become 64% in 2014 (The
Federal Reserve Bank of St. Louis, 2013).
72 Jurnal Institut BPJS Ketenagakerjaan Volume 3 No. 1 November 2018
72
pemicu populasi yang menua adalah
menurunnya laju kelahiran. Terkait dengan
masalah ini, sebenarnya di masa lalu setelah
perang dunia kedua, Jepang mengalami
peningkatan tiba-tiba pada laju kelahiran.
Tetapi, bukannya tetap meningkat sepanjang
tahun 1950an seperti negara-negara maju
lainnya di Amerika dan Eropa, peningkatan
tersebut hanya berlangsung selama tiga tahun
dari tahun 1947 sampai dengan 1949 (Shmuel,
2016). Tidak diragukan lagi bahwa ada
penurunan tajam secara demografi di
komposisi usia kerja produktif Jepang saat ini.
Keadaan ini disebabkan oleh beberapa
perubahan sosial dalam masyarakat Jepang.
Ada gerakan kesetaraan partisipasi menurut
gender (danjo kyodosankaku) yang terjadi
setelah Perang Dunia II. Gerakan tersebut
merupakan gerakan untuk menerima
perempuan masuk ke angkatan kerja, yang
sebelumnya dibatasi dalam tradisi Jepang.
Pada saat itu, fokus utama pemerintaah
Jepang adalah membangun setelah krisis
ekonomi akibat pecahnya perang dan juga
memberdayakan perempuan agar bergabung
ke dalam angkatan kerja (Coulmas, 2007).
Pada tahun 1969, tercatat adanya 46% dari
seluruh populasi perempuan yang ambil
bagian dalam angkatan kerja. Kemudian, rasio
tersebut meningkat dengan stabil menjadi 64%
pada tahun 2014 (The Federal Reserve Bank
of St. Louis, 2013).
decline. Related to this issue, actually in the
past after second’s world war, Japan have a
sudden increase on birth rate. However, instead
of continued rising through 1950s like other
developed countries in America and Europe, it
only stays for three years from 1947 to 1949
(Shmuel, 2016). It is no doubt, there is a steep
demographic cliff in Japanese active workforce
age composition today.This condition is caused
by several social changes in Japan society.
There is a movement of equality on gender participation (danjo kyodosankaku) which
happened after World War II. It is a movement
to accept woman participation in labour force,
which previously was restricted in Japan
tradition. In that time Japan’s government main
focused is to build up economic crisis after war
crashed as well as empowering woman to join
the labour force (Coulmas, 2007). It recorded in
1969 there are 46% of total women population
participates in labour force. Then, the ratio
steadily increases to become 64% in 2014 (The
Federal Reserve Bank of St. Louis, 2013).
73
Faktor-faktor lain adalah tren menikah di usia yang lebih tua (bankonka) dan melahirkan di
usia yang lebih matang (bansanka) yang
terjadi pada pertengahan tahun 1980an, saat
banyak anak muda menunda perkawainan
mereka guna memiliki pendidikan dan juga
tujuan karir yang lebih tinggi. Rata-rata rasio
perkawinan di Jepang tercatat pada usia 29,6
tahun untuk laki-laki dan 27,8 untuk
perempuan (Coulmas, 2007, hal. 9-11).
Kemudian, menurut Miyamoto, dkk. (1997),
pada akhir tahun 1990an, tren generasi muda
Jepang adalah memiliki hidup tanpa beban
dan menghabiskan banyak uang, dan
bukannya menikah serta membangun
keluarga. Hal ini berarti lebih banyak
tantangan ke depan bagi pemerintah untuk
meningkatkan rasio kelahiran di masyarakat.
Untuk mengatasi masalah-masalah ini,
pemerintah memulai beberapa kebijakan
sosial dengan memberikan insentif untuk
kelahiran anak dan meningkatkan pemberian
cuti melahirkan dan perawatan anak (Tsuya,
2017). Di Jepang, kebijakan-kebijakan ini
dikelola oleh dua institusi yang berbeda, yaitu
Asuransi Sosial Jepang (kesehatan, pensiun
sosial, asuransi perawatan, dan pengasuhan
anak) serta Asuransi Ketenagakerjaan Jepang
(tidak bekerja dan kecelakaan kerja) (Tsuya,
2017).
Pada awalnya, program manfaat tunjangan
anak diluncurkan pada tahun 1972, yang diatur
The other factors are late marriage trend (bankonka) and late delivery trend (bansanka)
happened in the middle of 1980s, where many
of young people postpone their marriage in
case to have a higher level of education as well
as career goals. The average of marriage ratio
in Japan is recorded in the age of 29.6 for men
and 27.8 for women (Coulmas, 2007, pp. 9-11).
Moreover, according to Miyamoto, et.al (1997),
in the late 1990s, the trend of Japanese
younger generation is tend to have a carefree
live and spending a lot of money, instead of
getting married and building a family. This
means, more obstacles ahead for the
government in increasing birth ratio within
population.
To overcome these problems, the government
initiated several social policies which are by
giving child-bearing incentive and expanding
provision for maternity and childcare leave
(Tsuya, 2017). In Japan, these policies are
managed by two different institutions which are
Japan Social Insurance (health, social pension,
nursing insurance, and children upbringing) and
Japan Labour Insurance (unemployment and
working accident) (Tsuya, 2017).
Initially program of child allowance benefit
launched in 1972, which arranged for low-
73Jurnal Institut BPJS Ketenagakerjaan Volume 3 No. 1 November 2018
74
untuk keluarga-keluarga berpenghasilan
rendah dan memiliki paling tidak tiga orang
anak. Manfaat tersebut (JYP3000) hanya
diberikan untuk anak ketiga dan selanjutnya,
dan dimulai dari kelahiran anak sampai anak
tersebut berusia 5 tahun. Tetapi, mulai dari
tahun 2010, manfaat telah mencakup semua
anak dalam keluarga, yang akan menerima
sampai dengan JPY13.000 sampai usia 16
tahun (Tokoro, 2010).
Pada tahun 1992, pemerintah juga
memberikan cuti kelahiran selama 12 minggu
kepada orangtua yang bekerja. Dan mulai dari
tahun 1995, mereka diberikan tunjangan
tambahan sebesar 50% dari gaji bulanan
mereka (Tsuya, 2017). Saat ini, manfaat
tersebut telah ditambah menjadi 14 minggu
dan mereka yang terdaftar sebagai anggota
Asuransi Sosial Jepang juga diberikan gaji
bersih tambahan sampai dengan 60% dari gaji
pokok mereka (Tsuya, 2017).
Di sisi lain, kedua orangtua berhak atas cuti
perawatan anak, yang memungkinkan mereka
meninggalkan tugas kantor mereka sejak anak
mereka dilahirkan sampai ulang tahun
pertama anak tersebut. Selain itu, Asuransi
Ketenagakerjaan Jepang akan menanggung
kompensasi gaji selama periode tersebut
dengan jumlah keseluruhan tidak melebihi
60% dari gaji pokok (Tsuya, 2017).
income families who have at least three
children. The benefit (JYP3000) only given to
their third to the next child, and started from the
child’s birth to under 5 years old. But, started
from 2010, the benefit has covered all child in
their family which will receive up to JPY13000
until aged 16 years old (Tokoro, 2010).
In 1992, the government also provides career-
parents with 12 weeks of maternity leave. And
started from 1995, they have been given
additional benefits for 50% of their salary
monthly (Tsuya, 2017). Today this benefit had
been increased to become 14 weeks in total
and those who registered as a member of
Japan Social Insurance also granted additional
take home pay up to 60% of their base salary.
(Tsuya, 2017).
In other hand, both parents also entitled to child
care leave, which allow them to leave their
office duty from the time their child born until
his/her first birthday. In addition, Japan Labour
Insurance will cover the salary compensation
during that period with total should not exceed
60% of the base salary (Tsuya, 2017).
74 Jurnal Institut BPJS Ketenagakerjaan Volume 3 No. 1 November 2018
74
untuk keluarga-keluarga berpenghasilan
rendah dan memiliki paling tidak tiga orang
anak. Manfaat tersebut (JYP3000) hanya
diberikan untuk anak ketiga dan selanjutnya,
dan dimulai dari kelahiran anak sampai anak
tersebut berusia 5 tahun. Tetapi, mulai dari
tahun 2010, manfaat telah mencakup semua
anak dalam keluarga, yang akan menerima
sampai dengan JPY13.000 sampai usia 16
tahun (Tokoro, 2010).
Pada tahun 1992, pemerintah juga
memberikan cuti kelahiran selama 12 minggu
kepada orangtua yang bekerja. Dan mulai dari
tahun 1995, mereka diberikan tunjangan
tambahan sebesar 50% dari gaji bulanan
mereka (Tsuya, 2017). Saat ini, manfaat
tersebut telah ditambah menjadi 14 minggu
dan mereka yang terdaftar sebagai anggota
Asuransi Sosial Jepang juga diberikan gaji
bersih tambahan sampai dengan 60% dari gaji
pokok mereka (Tsuya, 2017).
Di sisi lain, kedua orangtua berhak atas cuti
perawatan anak, yang memungkinkan mereka
meninggalkan tugas kantor mereka sejak anak
mereka dilahirkan sampai ulang tahun
pertama anak tersebut. Selain itu, Asuransi
Ketenagakerjaan Jepang akan menanggung
kompensasi gaji selama periode tersebut
dengan jumlah keseluruhan tidak melebihi
60% dari gaji pokok (Tsuya, 2017).
income families who have at least three
children. The benefit (JYP3000) only given to
their third to the next child, and started from the
child’s birth to under 5 years old. But, started
from 2010, the benefit has covered all child in
their family which will receive up to JPY13000
until aged 16 years old (Tokoro, 2010).
In 1992, the government also provides career-
parents with 12 weeks of maternity leave. And
started from 1995, they have been given
additional benefits for 50% of their salary
monthly (Tsuya, 2017). Today this benefit had
been increased to become 14 weeks in total
and those who registered as a member of
Japan Social Insurance also granted additional
take home pay up to 60% of their base salary.
(Tsuya, 2017).
In other hand, both parents also entitled to child
care leave, which allow them to leave their
office duty from the time their child born until
his/her first birthday. In addition, Japan Labour
Insurance will cover the salary compensation
during that period with total should not exceed
60% of the base salary (Tsuya, 2017).
75
2.2. Kebijakan Sosial terkait dengan Partisipasi dalam Ekonomi dan Angkatan Kerja
Meningkatnya harapan hidup di Jepang dapat
menciptakan kesempatan baru bagi tenaga
kerja. Menurut Ryuichi Kaneko 21 , keadaan
kesehatan dan kemampuan orang Jepang
yang berusia 75 tahun saat ini setara dengan
mereka yang berusia 65 tahun pada tahun
1960, yang dikategorikan sebagai usia
pensiun (Shmuel, 2016). Dalam hal ini, warga
negara yang berusia di bawah 65 tahun masih
mampu bergabung dalam angkatan kerja.
Pemerintah Jepang telah meningkatkan
persyaratan usia untuk menerima manfaat
pensiun dari usia 60 tahun menjadi 65 tahun
(OECD, 2004). Keadaan ini akan secara tidak
langsung mendorong warga lansia untuk tetap
berpartisipasi dalam angkatan kerja. Guna
mendukung kebijakan ini, pemerintah
memperkenalkan Manfaat Pendidikan dan
Pelatihan untuk pekerja lansia sejak tahun
2003, yang diharapkan dapat meningkatkan
kompetensi mereka di pasar tenaga kerja
(OECD, 2004). Guna mengatasi diskriminasi
usia pada lansia, persyaratan dalam Undang-
Undang Pengaturan Ketenagakerjaan telah
dibuat sejak tahun 2001 (OECD, 2004).
Program ini mendesak pemberi kerja untuk
memberikan kesempatan yang setara,
terlepas dari usia yang ditentukan dalam
2.2. Social Policy Related to Economic and Labour Force Participation
The increasing of life expectancy in Japan may
create new opportunities to labour force.
According to Ryuichi Kaneko 23 , the health
condition and capability of 75 years old
Japanese today is equal to those aged 65 years
old in 1960 whose categorised as the retirement
age (Shmuel, 2016). In this case, citizens under
65 years old are still capable to join the labour
force.
The government of Japan has increased the
age requirement to receive pension benefit from
60 years old to become 65 years old (OECD,
2004). This situation will indirectly encourage
the older citizens to keep participate in labour
force. To support this policy, the government
introduced the Education and Training Benefit
for the elderly workers since 2003, which
supposed to increase their competence in
labour market (OECD, 2004). In order to tackle
the age discrimination for the elderly, a
provision of Employment Measures Law has
been created since 2001 (OECD, 2004). This
program urges the employer to give equal
opportunities regardless of age on their
recruitment system.
21 Wakil Direktur Jenderal Institut Nasional untuk Populasi dan Jaminan Sosial 23 Deputy Director-general of the National Institute Population and Social Security
75Jurnal Institut BPJS Ketenagakerjaan Volume 3 No. 1 November 2018
76
sistem rekrutmen mereka.
Cara lain untuk memecahkan kekurangan
tenaga kerja adalah menerima imigran ke
negara yang bersangkutan. Tetapi, di Jepang,
pemerintah mereka tercatat memiliki tradisi
anti migrasi di sejarah mereka. Hal tersebut
dapat dianalisis dari data statistik yang
dikeluarkan oleh OECD (2004), bahwa
persentase pekerja imigran di Jepang
cenderung stabil selama ini. Keadaan ini
disebabkan oleh budaya yang kental untuk
menjaga homogenitas etnis dalam tradisi
masyarakat mereka (Kasiwazaki & Akaha,
2006).
Untuk meningkatkan kondisi ekonomi di
Jepang yang terkait dengan kekurangan
sumber daya manusia mereka, pemerintah
fokus pada kerja sama dengan negara lain
melalui pertumbuhan investasi (Wall, 2015).
Sebagai contoh, dengan membuka cabang
perusahaan multinasional seperti perusahaan
otomotif di Asia Tenggara, upaya ini akan
membuat perusahaan tetap berjalan dengan
menggunakan sumber daya manusia di
negara tujuan, tanpa harus khawatir mengenai
kurangnya pekerja di negara mereka sendiri.
Dengan kata lain, kurangnya tenaga kerja
yang tersedia di negara mereka dapat
menekan pertumbuhan ekonomi, namun tidak
demikian dengan pertumbuhan investasi yang
bisa didapatkan dari kerja sama atau transaksi
internasional.
Another way to solve the shortage of labour
forces is by accepting immigrants into the
country. However, in Japan, their government
was recorded to have an anti-migration tradition
in their history. It can be analysed from the
statistical data from OECD (2004), that the
percentage of immigrant workers in Japan was
tend to stable in through this time. This
condition caused by the strong culture in
keeping ethnic homogeneity in their society
tradition (Kasiwazaki & Akaha, 2006).
To increase the economic condition in Japan
related to the shortage of their human
resources, the government focused to establish
cooperation with other nation through
investment growth (Wall, 2015). For example,
by opening multinational company branch such
as automotive companies in South-East Asia,
those will make the company still running by
using the host human resources, without
worrying about the lack of worker in their own
country. In other word, the shortage of available
worker within their border may squeeze the
economic growth but not investment growth
which can be receive from international
cooperation or transactions.
76 Jurnal Institut BPJS Ketenagakerjaan Volume 3 No. 1 November 2018
76
sistem rekrutmen mereka.
Cara lain untuk memecahkan kekurangan
tenaga kerja adalah menerima imigran ke
negara yang bersangkutan. Tetapi, di Jepang,
pemerintah mereka tercatat memiliki tradisi
anti migrasi di sejarah mereka. Hal tersebut
dapat dianalisis dari data statistik yang
dikeluarkan oleh OECD (2004), bahwa
persentase pekerja imigran di Jepang
cenderung stabil selama ini. Keadaan ini
disebabkan oleh budaya yang kental untuk
menjaga homogenitas etnis dalam tradisi
masyarakat mereka (Kasiwazaki & Akaha,
2006).
Untuk meningkatkan kondisi ekonomi di
Jepang yang terkait dengan kekurangan
sumber daya manusia mereka, pemerintah
fokus pada kerja sama dengan negara lain
melalui pertumbuhan investasi (Wall, 2015).
Sebagai contoh, dengan membuka cabang
perusahaan multinasional seperti perusahaan
otomotif di Asia Tenggara, upaya ini akan
membuat perusahaan tetap berjalan dengan
menggunakan sumber daya manusia di
negara tujuan, tanpa harus khawatir mengenai
kurangnya pekerja di negara mereka sendiri.
Dengan kata lain, kurangnya tenaga kerja
yang tersedia di negara mereka dapat
menekan pertumbuhan ekonomi, namun tidak
demikian dengan pertumbuhan investasi yang
bisa didapatkan dari kerja sama atau transaksi
internasional.
Another way to solve the shortage of labour
forces is by accepting immigrants into the
country. However, in Japan, their government
was recorded to have an anti-migration tradition
in their history. It can be analysed from the
statistical data from OECD (2004), that the
percentage of immigrant workers in Japan was
tend to stable in through this time. This
condition caused by the strong culture in
keeping ethnic homogeneity in their society
tradition (Kasiwazaki & Akaha, 2006).
To increase the economic condition in Japan
related to the shortage of their human
resources, the government focused to establish
cooperation with other nation through
investment growth (Wall, 2015). For example,
by opening multinational company branch such
as automotive companies in South-East Asia,
those will make the company still running by
using the host human resources, without
worrying about the lack of worker in their own
country. In other word, the shortage of available
worker within their border may squeeze the
economic growth but not investment growth
which can be receive from international
cooperation or transactions.
77
Terakhir, guna menghadapi kurangnya tenaga
kerja aktif di Jepang, banyak perusahaan
mengembangkan teknologi baru untuk
membantu produksi atau disebut sebagai
“otomatisasi” (Wall, 2015). Oleh karena itu,
mereka membutuhkan lebih sedikit sumber
daya manusia untuk mengoperasikan bisnis.
3. KONTEKS ITALIA DALAM PENDEKATAN DAN REFORMASI KEBIJAKAN SOSIAL 3.1. Kebijakan Sosial terkait dengan Masalah Laju Kelahiran
Italia adalah negara teratas kedua yang
memiliki warga lansia setelah Jepang.
Sebagaimana disebutkan sebelumnya,
populasi kelompok usia ini akan meningkat
sampai dengan 35,59% pada tahun 2100. Di
Italia, masalah ini terutama disebabkan oleh
rendahnya tingkat kesuburan di antara warga
perempuan mereka, kurangnya kesempatan
dalam pasar tenaga kerja, mahalnya biaya
penitipan anak, dan sedikitnya rumah yang
terjangkau untuk kaum muda (BBC News,
2006).
Italia yang dikenal sebagai pusat agama
Katolik, membuat warganya menganut ajaran
dan tradisi Katolik. Anehnya, walaupun
memiliki laju kelahiran lebih tinggi dibanding
negara Katolik tradisional lainnya, seperti
Irlandia dan Perancis, Italia memiliki laju
kelahiran terendah kedua di Eropa setelah
Spanyol (Dillinaco, 2006). Menurut data Bank
Dunia (2017), laju kelahiran warga perempuan
Lastly, to facing the active labour shortage in
Japan, many companies develop a new
technology to help the production or called
“automation” (Wall, 2015). So, they need less
human resources to operate the business.
3. ITALY CONTEXT IN SOCIAL POLICY APPROACHES AND REFORMS 3.1. Social Policy Related to Birth Rate Issue
Italy is in the second top list countries on hosting
elderly citizens after Japan. As mentioned
before, population of this age group will
increase to 35.59% in 2100. In Italy, this issue
mainly caused by the lower fertility rate among
their women citizens, lack opportunities in the
labour market, expensive day care service
charge, and minimum of affordable housing for
the youth (BBC News, 2006).
Italy known as the centre of catholic religion,
which people have been taught by catholic
culture and tradition. Strangely, in spite of have
higher birth rate as other traditional catholic
country such as Ireland and France, Italy
becomes the second lowest birth rates in
Europe after Spain (Dillinaco, 2006). According
to World Bank data (2017), their women fertility
rate in 1964 is started at 2.65 children per
77Jurnal Institut BPJS Ketenagakerjaan Volume 3 No. 1 November 2018
78
mereka di tahun 1964 dimulai pada angka 2,65
anak per perempuan. Kemudian, angka ini
menurun tajam dengan titik terendah pada
kurang dari 1,2 anak per perempuan pada
tahun 1995.
Ketidaktersediaan pekerjaan yang sesuai,
terutama untuk kaum muda di Italia, juga
menjadi masalah. Tercatat sampai dengan
43% generasi muda yang berusia 15-24 tahun
bekerja dengan kontrak sementara. Hal ini
berarti tidak ada gaji minimum, tidak ada
perlindungan jika kehilangan pekerjaan, dan
kurangnya tunjangan kesehatan serta cuti
melahirkan (East-West Center, 2017). Sebagai
akibatnya, lebih dari 44% penduduk yang
berusia 25-35 tahun masih membutuhkan
bantuan dan tinggal dengan orangtua mereka,
karena kurangnya kesempatan di pasar
tenaga kerja dan juga rumah yang tidak
terjangkau dan rendahnya perlindungan sosial
(East-West Centre, 2015).
Jadwal kerja yang tidak fleksibel biasanya
membuat mereka harus memilih antara karir
atau keluarga. Hal ini disebabkan oleh
minimnya kebijakan untuk orangtua, dan
kurangnya perawatan anak yang terjangkau di
seluruh Italia, sehingga membuat masalah ini
menjadi semakin buruk (East-West Centre,
2015). Dalam hal ini, semakin banyak
perempuan menikah yang cenderung
meninggalkan pekerjaan mereka setelah
mereka memiliki anak, atau meminta orangtua
mereka untuk membantu mereka dalam
merawat cucunya.
woman. Then, this rete has been dramatically
dipped with the lowest point at less than 1.2
children per woman in 1995.
Unavailability of suitable job especially for the
youth in Italy also become a problem. It
recorded up to 43% of young people aged 15-
24 work on temporary contract, which means no
minimum wage, no protection for job loss, and
less health benefit and maternity leave (East-
West Center, 2017). As a result, more than 44%
of people aged 25-35 still need a support and
live with their parents, because of the lack
opportunities in labour market as well as
unaffordable housing and low social protection
(East-West Centre, 2015).
Inflexible work schedule usually makes them
have to choose between their career or family.
It is caused by the minimum policy for parental
concerns, and the lack of affordable child cares
around Italy make this problem become more
worst (East-West Centre, 2015). In this case,
more married women tend to leave their job
after they have children, or have a parents help
to take care of their grandchild.
78 Jurnal Institut BPJS Ketenagakerjaan Volume 3 No. 1 November 2018
78
mereka di tahun 1964 dimulai pada angka 2,65
anak per perempuan. Kemudian, angka ini
menurun tajam dengan titik terendah pada
kurang dari 1,2 anak per perempuan pada
tahun 1995.
Ketidaktersediaan pekerjaan yang sesuai,
terutama untuk kaum muda di Italia, juga
menjadi masalah. Tercatat sampai dengan
43% generasi muda yang berusia 15-24 tahun
bekerja dengan kontrak sementara. Hal ini
berarti tidak ada gaji minimum, tidak ada
perlindungan jika kehilangan pekerjaan, dan
kurangnya tunjangan kesehatan serta cuti
melahirkan (East-West Center, 2017). Sebagai
akibatnya, lebih dari 44% penduduk yang
berusia 25-35 tahun masih membutuhkan
bantuan dan tinggal dengan orangtua mereka,
karena kurangnya kesempatan di pasar
tenaga kerja dan juga rumah yang tidak
terjangkau dan rendahnya perlindungan sosial
(East-West Centre, 2015).
Jadwal kerja yang tidak fleksibel biasanya
membuat mereka harus memilih antara karir
atau keluarga. Hal ini disebabkan oleh
minimnya kebijakan untuk orangtua, dan
kurangnya perawatan anak yang terjangkau di
seluruh Italia, sehingga membuat masalah ini
menjadi semakin buruk (East-West Centre,
2015). Dalam hal ini, semakin banyak
perempuan menikah yang cenderung
meninggalkan pekerjaan mereka setelah
mereka memiliki anak, atau meminta orangtua
mereka untuk membantu mereka dalam
merawat cucunya.
woman. Then, this rete has been dramatically
dipped with the lowest point at less than 1.2
children per woman in 1995.
Unavailability of suitable job especially for the
youth in Italy also become a problem. It
recorded up to 43% of young people aged 15-
24 work on temporary contract, which means no
minimum wage, no protection for job loss, and
less health benefit and maternity leave (East-
West Center, 2017). As a result, more than 44%
of people aged 25-35 still need a support and
live with their parents, because of the lack
opportunities in labour market as well as
unaffordable housing and low social protection
(East-West Centre, 2015).
Inflexible work schedule usually makes them
have to choose between their career or family.
It is caused by the minimum policy for parental
concerns, and the lack of affordable child cares
around Italy make this problem become more
worst (East-West Centre, 2015). In this case,
more married women tend to leave their job
after they have children, or have a parents help
to take care of their grandchild.
79
Guna mencegah dampak lebih jauh,
pemerintah Italia memiliki beberapa solusi,
seperti menawarkan insentif sebesar
EUR1000 yang dibayarkan sekaligus kepada
pasangan yang memiliki anak kedua. Insentif
ini sudah mulai berjalan pada tahun 2004
(Dillinaco, 2006). Solusi lain adalah
menawarkan cuti bagi orangtua yang sangat
longgar, mencakup 21 minggu cuti kelahiran
dengan 80% kompensasi gaji untuk ibu yang
diatur oleh INPS22 (Ray, 2008), dan satu hari
cuti dengan kompensasi gaji penuh bagi ayah
agar bisa mendampingi istri mereka. Selain itu,
pemerintah mereka juga memberikan cuti
perawatan anak selama enam bulan tanpa
gaji, kecuali mereka yang dikategorikan
sebagai orangtua tunggal diberikan cuti
perawatan anak sampai dengan sepuluh bulan
dengan tunjangan gaji sebesar 30% (Ray,
2008). Dengan menjalankan kebijakan-
kebijakan ini, pemerintah ingin mendorong
warganya untuk memiliki lebih banyak bayi di
masa depan.
3.2. Kebijakan Sosial Terkait dengan Ekonomi dan Partisipasi dalam Angkatan Kerja
Terkait dengan cakupan jaminan sosial untuk
lansia, pemerintah Italia telah mereforrmasi
tiga manfaat pensiun utama, yaitu: reformasi
Amato pada tahun 1992, reformasi Dini pada
tahun 1995, dan reformasi Fornero pada tahun
In preventing any further impact, Italian
government have several solutions such as
offering a EUR1000 incentive by lumpsum to a
couple who have their second child, which
started to run in 2004 (Dillinaco, 2006). Other
solution is by offering generous parental leave,
which cover 21 weeks of maternity leave with
80% compensation of salary for mother which
organized by INPS24 (Ray, 2008), and a one
day leave with full compensation of salary for
father in accompanying their wife. In addition,
their government also provides six months
child-care leave without salary, except the one
who categorized as single parent is granted up
to ten months child-care leave with 30% of
salary benefit (Ray, 2008). By enacting these
policies, the government want to encourage
their citizen to have more babies in the future.
3.2. Social Policy Related to Economic and Labour Force Participation
Related to social security coverage for ageing
people, the Italian government has reformed
three main pension benefits, which are: Amato
reform in 1992, Dini reform in 1995, and
Fornero reform in 2011 (Gabriele, Tundis, &
22 Instituto Nazzionale Previdenza Sociale – Institut Nasional untuk Jaminan Sosial 24 Instituto Nazzionale Previdenza Sociale – National Social Security Institute
79Jurnal Institut BPJS Ketenagakerjaan Volume 3 No. 1 November 2018
80
2011 (Gabriele, Tundis, & Zaninotto, 2017).
Pada reformasi pertama - Amato, usia pensiun
dinaikkan satu tahun setiap dua tahun sekali,
sampai mencapai maksimal 65 tahun untuk
laki-laki dan 60 tahun untuk perempuan
(Gabriele, Tundis, & Zaninotto, 2017, hal. 7-8).
Tiga tahun kemudian pada tahun 1995, sistem
manfaat yang ditetapkan sebelumnya diganti
dengan sistem iuran tetap nasional, guna
menyeimbangkan manfaat yang diberikan
menurut rata-rata pertumbuhan pendapatan
per kapita nasional pada 5 tahun terakhir.
Tetapi, karena rendahnya dampak belanja
pensiun melalui reformasi ini, pada tahun
2011, pemerintah mempercepat transisi mellui
sistem iuran tetap nasional dan juga
menaikkan usia pensiun menjadi 66 tahun
untuk laki-laki dan 62 tahun untuk perempuan.
Ada juga kebijakan tambahan yang
memodifikasi sistem pensiun sebelumnya
yang hanya mempertimbangkan usia, guna
menggantikan partisipasi selama 42 tahun
dalam angkatan kerja (Gabriele, Tundis, &
Zaninotto, 2017). Karena menurunnya angka
warga usia aktif yang tersedia di Italia,
beberapa reformasi pada kebijakan manfaat
pensiun tersebut menyasar usia aktif di pasar
tenaga kerja, termasuk warga lansia.
Terkait dengan kebijakan migrasi, Italia lebih
terbuka untuk imigran. Migrasi dapat memiliki
dampak yang besar untuk memastikan jumlah
pekerja aktif yang tersedia di Italia dan juga
meningkatkan tingkat kesuburan, yang
Zaninotto, 2017). In the first reform - Amato, the
retirement age was increased by one year in
every two year periods, until it reach maximum
to 65 years old for man and 60 for women
(Gabriele, Tundis, & Zaninotto, 2017, pp. 7-8).
Three years later in 1995, the previous defined
benefit system is replaced with national defined
contribution system, in order to balancing the
benefits given according to average growth of
national GDP in the last 5 years. However, due
to slow impact of pension spending through this
reform, in 20011, it accelerated the transition
toward national defined contribution system as
well as increased the retirement age to 66 years
old for males and 62 for females. There is also
additional policy which modified the previous
pension system which only considered the age,
to substituted with minimum 42 years
participation in labour force (Gabriele, Tundis, &
Zaninotto, 2017). Due to the decreasing
number of active ages citizens available in Italy,
those several reforms in pension benefit policy
is targeting higher active life span in the labour
market including the older ages citizens.
Related to migration policy, Italy is more open
to immigrants. Migration may have a strong
impact of granting such amount of active worker
available in the country as well as increase the
level of fertility rate, which is beneficial to Italy in
80 Jurnal Institut BPJS Ketenagakerjaan Volume 3 No. 1 November 2018
80
2011 (Gabriele, Tundis, & Zaninotto, 2017).
Pada reformasi pertama - Amato, usia pensiun
dinaikkan satu tahun setiap dua tahun sekali,
sampai mencapai maksimal 65 tahun untuk
laki-laki dan 60 tahun untuk perempuan
(Gabriele, Tundis, & Zaninotto, 2017, hal. 7-8).
Tiga tahun kemudian pada tahun 1995, sistem
manfaat yang ditetapkan sebelumnya diganti
dengan sistem iuran tetap nasional, guna
menyeimbangkan manfaat yang diberikan
menurut rata-rata pertumbuhan pendapatan
per kapita nasional pada 5 tahun terakhir.
Tetapi, karena rendahnya dampak belanja
pensiun melalui reformasi ini, pada tahun
2011, pemerintah mempercepat transisi mellui
sistem iuran tetap nasional dan juga
menaikkan usia pensiun menjadi 66 tahun
untuk laki-laki dan 62 tahun untuk perempuan.
Ada juga kebijakan tambahan yang
memodifikasi sistem pensiun sebelumnya
yang hanya mempertimbangkan usia, guna
menggantikan partisipasi selama 42 tahun
dalam angkatan kerja (Gabriele, Tundis, &
Zaninotto, 2017). Karena menurunnya angka
warga usia aktif yang tersedia di Italia,
beberapa reformasi pada kebijakan manfaat
pensiun tersebut menyasar usia aktif di pasar
tenaga kerja, termasuk warga lansia.
Terkait dengan kebijakan migrasi, Italia lebih
terbuka untuk imigran. Migrasi dapat memiliki
dampak yang besar untuk memastikan jumlah
pekerja aktif yang tersedia di Italia dan juga
meningkatkan tingkat kesuburan, yang
Zaninotto, 2017). In the first reform - Amato, the
retirement age was increased by one year in
every two year periods, until it reach maximum
to 65 years old for man and 60 for women
(Gabriele, Tundis, & Zaninotto, 2017, pp. 7-8).
Three years later in 1995, the previous defined
benefit system is replaced with national defined
contribution system, in order to balancing the
benefits given according to average growth of
national GDP in the last 5 years. However, due
to slow impact of pension spending through this
reform, in 20011, it accelerated the transition
toward national defined contribution system as
well as increased the retirement age to 66 years
old for males and 62 for females. There is also
additional policy which modified the previous
pension system which only considered the age,
to substituted with minimum 42 years
participation in labour force (Gabriele, Tundis, &
Zaninotto, 2017). Due to the decreasing
number of active ages citizens available in Italy,
those several reforms in pension benefit policy
is targeting higher active life span in the labour
market including the older ages citizens.
Related to migration policy, Italy is more open
to immigrants. Migration may have a strong
impact of granting such amount of active worker
available in the country as well as increase the
level of fertility rate, which is beneficial to Italy in
81
menguntungkan Italia dalam mengatasi
populasi yang menua (Testa, 2000, hal. 8-9).
Kehadiran pekerja imigran dapat mengisi
pekerjaan yang diperlukan di beberapa sektor,
seperti pekerjaan dengan keahlian rendah di
Italia Utara, dan juga memenuhi permintaan di
sektor rumah tangga dan jasa pribadi, yang
tidak dapat dipenuhi oleh tenaga kerja lokal
(Testa, 2000, hal. 8-9).
Tetapi, menurut penelitian sebelumnya, kunci
dari masalah populasi yang menua ini dapat
dinetralisir jika kesuburan dan usia ambang
batas disesuaikan dengan keadaan baru.
Imigrasi tidak akan menyelesaikan masalah
penuaan tapi hanya sedikit mengatasi
masalah yang dihadapi oleh pemerintah Italia
(Santis, 2011, hal. 60-61). Kemudian, dengan
menggabungkan kedua upaya untuk
meningkatkan tingkat kesuburan dan tenaga
kerja dari migran, maka pemerintah dapat
mengatasi keadaan di Italia (Santis, 2011).
4. PERBANDINGAN KEBIJAKAN SOSIAL ANTARA JEPANG DAN ITALIA
Dalam bagian sebelumnya, telah dibahas
bahwa Jepang dan Italia memiliki masalah
yang sama dalam menghadapi populasi yang
menua. Ada beberapa kebijakan sosial serupa
yang diakui oleh pemerintah kedua negara.
Terkait dengan rasio laju kelahiran, kedua
negara memiliki insentif keluarga dan
kebijakan cuti untuk orangtua. Di Italia,
pemerintah mereka memberikan insentif yang
countering ageing population (Testa, 2000, pp.
8-9). The presence of immigrant worker can fill
the job needed in several sector such as low-
skilled job in Northern Italy, as well as meets the
demand in housework sector and personal
services, which cannot be fulfilled with local
labour supply (Testa, 2000, pp. 8-9).
However, according to previous research, the
key of this ageing population issue is can be
neutralised if fertility and threshold ages adapt
to the new circumstances. Immigration will not
solve the aging problem but only make it slightly
more manageable for Italian government
(Santis, 2011, pp. 60-61). Then, by combining
both initiative to increase the fertility rate and
labour force from migrants it may solve the
condition in Italy (Santis, 2011).
3. SOCIAL POLICY COMPARISON
BETWEEN JAPAN AND ITALY
In the previous sections is already described
that Japan and Italy have a similar problem in
facing Ageing population. There are some
similar social policies introduced by the
government in the society of both countries.
Related to increase the birth rate ratio, both
countries over family incentives and parental
leave policies. In Italy, their government gives
one-time payment incentive up to USD1200 by
81Jurnal Institut BPJS Ketenagakerjaan Volume 3 No. 1 November 2018
82
dibayarkan satu kali dan sekaligus hingga
berjumlah USD1200 untuk keluarga dengan
tanggungan dua anak. Sebagai perbandingan,
pemerintah Jepang lebih royal dengan
memberikan manfaat bulanan sampai dengan
JYP13.000 atau USD115 untuk semua anak
yang ditanggung di bawah 16 tahun (Tokoro,
2010). Kebijakan yang diajukan ini guna
memastikan akan ada generasi yang cukup
untuk mempertahankan kondisi ekonomi di
masa depan, tapi akibat dari kebijakan ini
mungkin menyebabkan alokasi yang lebih
tinggi untuk belanja publik.
Kebijakan lain adalah program keseimbangan
pekerjaan dan kehidupan pribadi, yang terdiri
dari cuti melahirkan dan perawatan anak. Di
Jepang, jumlah seluruh cuti melahirkan dan
perawatan anak adalah 58 minggu, yang
semuanya dibayar sampai dengan 60% dari
gaji mereka, sedangkan di Italia totalnya
adalah 44 minggu cuti berbayar sampai
dengan 80% dari gaji mereka dan 20 minggu
cuti tanpa dibayar (Ray, 2008).
Menurut prediksi Perserikatan Bangsa-Bangsa
pada gambar 4, tingkat kesuburan Italia telah
meningkat dengan stabil sejak tahun 1995,
kemudian diikuti oleh Jepang pada tahun
2005, yang memprediksi kenaikan tersebut
akan terus berlangsung sampai dengan tahun
2100. Keadaan ini, yang disebabkan oleh
reformasi beberapa kebijakan terkait dengan
insentif anak dan program keseimbangan
lumpsum to a family with two child dependents.
In comparison, the government of Japan is
more generous by providing monthly benefit up
to JYP13000 or USD115 for all child
dependants under 16 years old (Tokoro, 2010).
This policy proposed to make sure there will be
an adequate generation to maintain the future
economic condition, but the consequences of
this policy might come to a higher allocation of
public spending.
Another policy is work-live balance programs
which consist of maternity leave and child-care
leave. In Japan, the total of maternity and child-
care leave are 58 weeks all together which paid
up to 60% of their salary, while in Italy the total
is 44 weeks of paid leave up to 80% of their
salary and 20 weeks of unpaid leave (Ray,
2008).
According to United Nations prediction on figure
4, Italian fertility rate has steadily increased
since 1995 then followed by Japanese in 2005,
which predicted to keep increase through 2100.
This condition, caused by several policies
reform related to child incentive and work-live
balance programs in those periods
82 Jurnal Institut BPJS Ketenagakerjaan Volume 3 No. 1 November 2018
82
dibayarkan satu kali dan sekaligus hingga
berjumlah USD1200 untuk keluarga dengan
tanggungan dua anak. Sebagai perbandingan,
pemerintah Jepang lebih royal dengan
memberikan manfaat bulanan sampai dengan
JYP13.000 atau USD115 untuk semua anak
yang ditanggung di bawah 16 tahun (Tokoro,
2010). Kebijakan yang diajukan ini guna
memastikan akan ada generasi yang cukup
untuk mempertahankan kondisi ekonomi di
masa depan, tapi akibat dari kebijakan ini
mungkin menyebabkan alokasi yang lebih
tinggi untuk belanja publik.
Kebijakan lain adalah program keseimbangan
pekerjaan dan kehidupan pribadi, yang terdiri
dari cuti melahirkan dan perawatan anak. Di
Jepang, jumlah seluruh cuti melahirkan dan
perawatan anak adalah 58 minggu, yang
semuanya dibayar sampai dengan 60% dari
gaji mereka, sedangkan di Italia totalnya
adalah 44 minggu cuti berbayar sampai
dengan 80% dari gaji mereka dan 20 minggu
cuti tanpa dibayar (Ray, 2008).
Menurut prediksi Perserikatan Bangsa-Bangsa
pada gambar 4, tingkat kesuburan Italia telah
meningkat dengan stabil sejak tahun 1995,
kemudian diikuti oleh Jepang pada tahun
2005, yang memprediksi kenaikan tersebut
akan terus berlangsung sampai dengan tahun
2100. Keadaan ini, yang disebabkan oleh
reformasi beberapa kebijakan terkait dengan
insentif anak dan program keseimbangan
lumpsum to a family with two child dependents.
In comparison, the government of Japan is
more generous by providing monthly benefit up
to JYP13000 or USD115 for all child
dependants under 16 years old (Tokoro, 2010).
This policy proposed to make sure there will be
an adequate generation to maintain the future
economic condition, but the consequences of
this policy might come to a higher allocation of
public spending.
Another policy is work-live balance programs
which consist of maternity leave and child-care
leave. In Japan, the total of maternity and child-
care leave are 58 weeks all together which paid
up to 60% of their salary, while in Italy the total
is 44 weeks of paid leave up to 80% of their
salary and 20 weeks of unpaid leave (Ray,
2008).
According to United Nations prediction on figure
4, Italian fertility rate has steadily increased
since 1995 then followed by Japanese in 2005,
which predicted to keep increase through 2100.
This condition, caused by several policies
reform related to child incentive and work-live
balance programs in those periods
83
pekerjaan dan kehidupan pribadi di periode-
periode tersebut.
Gambar 4: Tingkat Kesuburan Perempuan di Jepang dan Italia Figure 4: Woman Fertility Rate in Japan and Italy
Sumber: (Perserikatan Bangsa-Bangsa, Departemen Urusan Ekonomi dan Sosial, 2017)
Source: (United Nations, Department of Economic and Social Affairs, 2017)
Terkait dengan partisipasi angkatan kerja,
kedua negara memiliki kebijakan yang sama
dalam menaikkan usia pensiun. Tetapi,
daripada menetapkan usia pensiun universal
sampai dengan 65 tahun seperti yang
Related to labour force participation, both
countries have similar policies in increasing the
retirement age, but instead of have universal
retirement age up to 65 years old such in Japan,
Italy have different age limit regarding the
83Jurnal Institut BPJS Ketenagakerjaan Volume 3 No. 1 November 2018
84
dilakukan oleh Jepang, Italia memiliki batas
usia yang berbeda sesuai dengan jenis
kelamin, yaitu 66 tahun untuk laki-laki dan 62
tahun untuk perempuan (Gabriele, Tundis, &
Zaninotto, 2017). Memiliki pekerja lansia
mungkin berarti memastikan keahlian mereka
yang berharga tetap ada di perusahaan
selama masa karir yang panjang. Tetapi,
akibatnya juga bisa membebani biaya produksi
perusahaan lebih besar, karena mereka harus
membayarkan akomodasi dan gaji tambahan
serta tunjangan kesehatan untuk para pekerja
lansia yang masih bergabung dalam produksi
setelah usia pensiun (Shmuel, 2016).
Di sisi lain, terkait dengan kebijakan migrasi,
Jepang lebih ketat daripada Italia, karena
konsep tradisional untuk menjaga
homogenitas etnis (Kasiwazaki & Akaha,
2006). Di Italia, pemerintah menerima mereka
yang dapat mengisi peluang kerja yang
tersedia di negara mereka. Hal tersebut dapat
dilihat pada gambar 5. Laporan Perserikatan
Bangsa-Bangsa menunjukkan persentase
imigran di Italia yang dimulai pada tahun 1990,
lebih tinggi daripada Jepang sebesar 1,63%
dari total populasi. Yang mengejutkan, tren
tersebut menurun tajam menjadi 9,68% dari
total populasi, yaitu tujuh kali lebih tinggi dari
komposisi imigran Jepang di tahun 2015.
gender which is 66 years old for men and 62 for
women (Gabriele, Tundis, & Zaninotto, 2017).
Having older worker might means keep their
valuable skills in a company over a long career,
but the consequences it also may further
burden the companies’ production cost,
because they have to pay the accommodation
and extra salary and health benefits for those
elderly participants who still join in production
past the retirement age (Shmuel, 2016).
In the other hand, related to migration policy,
Japan is more restricted than Italy, due to
traditional concept of keeping ethnic
homogeneity (Kasiwazaki & Akaha, 2006). In
Italy, the government accept those who can
filling the available job opportunities in their
country. It can be seen on figure 5, United
Nation report shows the percentage of
immigrant in Italy started from 1990, is higher
than Japan by 1.63% difference from total
population. Surprisingly, the trend was
dramatically surge to become 9.68% of total
population, seven times higher than Japan’s
immigrant composition in 2015.
84 Jurnal Institut BPJS Ketenagakerjaan Volume 3 No. 1 November 2018
84
dilakukan oleh Jepang, Italia memiliki batas
usia yang berbeda sesuai dengan jenis
kelamin, yaitu 66 tahun untuk laki-laki dan 62
tahun untuk perempuan (Gabriele, Tundis, &
Zaninotto, 2017). Memiliki pekerja lansia
mungkin berarti memastikan keahlian mereka
yang berharga tetap ada di perusahaan
selama masa karir yang panjang. Tetapi,
akibatnya juga bisa membebani biaya produksi
perusahaan lebih besar, karena mereka harus
membayarkan akomodasi dan gaji tambahan
serta tunjangan kesehatan untuk para pekerja
lansia yang masih bergabung dalam produksi
setelah usia pensiun (Shmuel, 2016).
Di sisi lain, terkait dengan kebijakan migrasi,
Jepang lebih ketat daripada Italia, karena
konsep tradisional untuk menjaga
homogenitas etnis (Kasiwazaki & Akaha,
2006). Di Italia, pemerintah menerima mereka
yang dapat mengisi peluang kerja yang
tersedia di negara mereka. Hal tersebut dapat
dilihat pada gambar 5. Laporan Perserikatan
Bangsa-Bangsa menunjukkan persentase
imigran di Italia yang dimulai pada tahun 1990,
lebih tinggi daripada Jepang sebesar 1,63%
dari total populasi. Yang mengejutkan, tren
tersebut menurun tajam menjadi 9,68% dari
total populasi, yaitu tujuh kali lebih tinggi dari
komposisi imigran Jepang di tahun 2015.
gender which is 66 years old for men and 62 for
women (Gabriele, Tundis, & Zaninotto, 2017).
Having older worker might means keep their
valuable skills in a company over a long career,
but the consequences it also may further
burden the companies’ production cost,
because they have to pay the accommodation
and extra salary and health benefits for those
elderly participants who still join in production
past the retirement age (Shmuel, 2016).
In the other hand, related to migration policy,
Japan is more restricted than Italy, due to
traditional concept of keeping ethnic
homogeneity (Kasiwazaki & Akaha, 2006). In
Italy, the government accept those who can
filling the available job opportunities in their
country. It can be seen on figure 5, United
Nation report shows the percentage of
immigrant in Italy started from 1990, is higher
than Japan by 1.63% difference from total
population. Surprisingly, the trend was
dramatically surge to become 9.68% of total
population, seven times higher than Japan’s
immigrant composition in 2015.
85
Gambar 5: Populasi Migran di Jepang dan Italia Figure 5: Migrant Population in Japan and Italy
Sumber: (Perserikatan Bangsa-Bangsa, Departemen Urusan Ekonomi dan Sosial, 2017) Source: (United Nations, Department of Economic and Social Affairs, 2017)
Tetapi, keadaan ini tidak membuat
pendapatan nasional Jepang menjadi stagnan.
Menariknya, menurut data OECD pada
gambar 6, pendapatan mereka tercatat
USD2.100 lebih tinggi daripada Italia, yang
tercatat sampai dengan USD33.710 per kapita
pada tahun 2016. Keadaan ini bisa terjadi
karena pemerintah Jepang mulai memperluas
produksi mereka ke negara lain, yang
mengurangi permintaan untuk tenaga kerja,
tapi menjaga agar perekonomian nasional
tetap stabil melalui investasi asing (Wall,
2015).
However, this condition does not make Japan
national income to become stagnant.
Interestingly, according to OECD data on figure
6, their income is recorded USD2100 higher
than Italy, which recorded up to USD33710 per
capita in 2016. This condition might happen
because the government of Japan started to
expand their production to another country,
which might reduce the demands of labour
force, but keep the national economic stable
through foreign investment (Wall, 2015).
85Jurnal Institut BPJS Ketenagakerjaan Volume 3 No. 1 November 2018
86
Gambar 6: Pendapatan Netto Nasional di Jepang dan Italia Figure 6: Net National Income in Japan and Italy
Sumber: (OECD, 2017) Source: (OECD, 2017)
Terkait dengan teori Esping Andersen
mengenai rezim kesejahteraan (2012), dalam
menyediakan kebijakan sosial sebelumnya,
Italia dapat diklasifikasikan sebagai
konservatif. Sebaliknya, Jepang yang
sebelumnya juga dapat berkaitan dengan
rezim konservatif karena pemerintah mereka
berfokus pada pencapaian kesetaraan,
terutama untuk orang miskin, baru-baru ini
pemerintah mereka menyediakan beberapa
kebijakan yang sedikit berkaitan dengan
negara neo-liberalisme yang berfokus pada
memenuhi kebutuhan pasar, seperti tenaga
kerja dan memperluas investasi.
D. KESIMPULAN
Baik Jepang dan Italia saat ini menghadapi
masalah yang sama, yaitu populasi yang
menua dalam komposisi masyarakat mereka.
Rasio kesuburan yang stagnan dan harapan
Related to Esping Andersen theory of welfare
regimes (2012), in providing previous social
policy, Italy can be classified as conservative. In
contrast, Japan which previously also can be
related to conservative regime because their
government focus on achieving the equality
especially for the poor, recently their
government provide some policies which
slightly related to the neo-liberalism nation
which focus on fulfilling the market needs such
as labour force and expanding the investment. D. CONCLUSION
Both Japan and Italy now facing the same
problem of ageing population in their society
composition. The stagnancy of fertility ratio and
longer life expectancy, make the number of
86 Jurnal Institut BPJS Ketenagakerjaan Volume 3 No. 1 November 2018
86
Gambar 6: Pendapatan Netto Nasional di Jepang dan Italia Figure 6: Net National Income in Japan and Italy
Sumber: (OECD, 2017) Source: (OECD, 2017)
Terkait dengan teori Esping Andersen
mengenai rezim kesejahteraan (2012), dalam
menyediakan kebijakan sosial sebelumnya,
Italia dapat diklasifikasikan sebagai
konservatif. Sebaliknya, Jepang yang
sebelumnya juga dapat berkaitan dengan
rezim konservatif karena pemerintah mereka
berfokus pada pencapaian kesetaraan,
terutama untuk orang miskin, baru-baru ini
pemerintah mereka menyediakan beberapa
kebijakan yang sedikit berkaitan dengan
negara neo-liberalisme yang berfokus pada
memenuhi kebutuhan pasar, seperti tenaga
kerja dan memperluas investasi.
D. KESIMPULAN
Baik Jepang dan Italia saat ini menghadapi
masalah yang sama, yaitu populasi yang
menua dalam komposisi masyarakat mereka.
Rasio kesuburan yang stagnan dan harapan
Related to Esping Andersen theory of welfare
regimes (2012), in providing previous social
policy, Italy can be classified as conservative. In
contrast, Japan which previously also can be
related to conservative regime because their
government focus on achieving the equality
especially for the poor, recently their
government provide some policies which
slightly related to the neo-liberalism nation
which focus on fulfilling the market needs such
as labour force and expanding the investment. D. CONCLUSION
Both Japan and Italy now facing the same
problem of ageing population in their society
composition. The stagnancy of fertility ratio and
longer life expectancy, make the number of
87
hidup yang lebih panjang membuat jumlah
warga yang aktif dan menjadi motor utama
untuk produksi ekonomi, menurun selama
beberapa periode. Jika keadaan ini tetap
diabaikan, maka keadaan ini akan
menciptakan jarak yang tajam antara
kelompok usia tertanggung yang meningkat
(warga yang tidak produktif secara ekonomi)
dan menurunnya kelompok usia yang
menanggung (warga yang produktif secara
ekonomi), yang berakibat pada ketidakstabilan
nasional, termasuk akibat ekonomi, sosial, dan
politik.
Datang dari latar belakang yang berbeda,
pemerintah Jepang dan Italia menawarkan
beberapan kebijakan serupa untuk
meminimalisir masalah ini. Guna
meningkatkan laju kelahiran di antara warga
negara, kedua negara memberikan dukungan
insentif kepada keluarga yang memiliki anak
dan juga memberikan manfaat yang cukup
bagi orangtua yang bekerja (cuti sebagai
orangtua dan cuti melahirkan). Kemudian,
untuk meningkatkan tingkat partisipasi di pasar
tenaga kerja, kedua negara memberlakukan
kebijakan untuk memperpanjang batas usia
kerja warga mereka tanpa mengabaikan
kebutuhan dasar manfaat sosial, seperti
pensiun. Terkait dengan imigrasi, negara-
negara ini mengambil keputusan yang
berbeda. Tidak seperti Italia yang mendorong
lebih banyak imigran untuk masuk ke batas
negara mereka, Jepang sedikit membatasi
active citizens which become the main engine
for economy production, is declined though the
periods. If this condition is continued to be
ignored, it will create steep gap between
increasing dependent age groups (not
economically active citizens) and decreasing
supporting age groups (economically active
citizens), which result in national instability
including economic, social, and political
implications.
Come from such different backgrounds, both
governments of Japan and Italy offer some
similar policy to minimise this issue. In order to
increase the birth rate among citizen, both
countries provide the family with children
incentive support as well as giving adequate
benefit for those working parents (parental and
maternity leave). Then, to increase the labour
market participation level, both countries
enacting policy to expand the working age span
of their citizens without neglecting the basic
need of social benefits such as pension.
Related to immigration, these countries took
different decision. In spite of Italy which
encourage more immigrant to enter their
country border, Japan slightly limited those
action. In advance, Japan already replaced the
need of human resources with automation, due
to the shortage of available workers. Moreover,
instead of depending on their own limited
87Jurnal Institut BPJS Ketenagakerjaan Volume 3 No. 1 November 2018
88
tindakan-tindakan tersebut. Sebagai tindakan
pencegahan, Jepang telah menggantikan
kebutuhan akan sumber daya manusia
dengan otomatisasi, karena kurangnya
pekerja yang tersedia. Kemudian, daripada
bergantung pada sumber daya manusia
mereka sendiri yang jumlah terbatas, Jepang
cenderung menaikkan GNI mereka dengan
berinvestasi dan memperluas perusahaan
multinasional mereka ke negara lain.
Menurut analisis ini, dapat digarisbawahi
bahwa kedua negara telah berhasil dalam
mengatasi beberapa tantangan populasi yang
menua, dengan melakukan reformasi pada
kebijakan sosial mereka. Dalam hal ini,
sebaiknya ada penyesuaian kebijakan sosial di
masa depan yang terkait dengan perubahan di
masyarakat.
number human resources they have, Japan
tend to increase their GNI by investing and
expanding their multinational companies to
other countries.
According to this analysis, it can be underlined
that both countries have been succeeding on
overcome several challenge of ageing
population, by reforming their social policy. In
this case, there should be a social policy
adjustment in the future related to other society
changes
88 Jurnal Institut BPJS Ketenagakerjaan Volume 3 No. 1 November 2018
88
tindakan-tindakan tersebut. Sebagai tindakan
pencegahan, Jepang telah menggantikan
kebutuhan akan sumber daya manusia
dengan otomatisasi, karena kurangnya
pekerja yang tersedia. Kemudian, daripada
bergantung pada sumber daya manusia
mereka sendiri yang jumlah terbatas, Jepang
cenderung menaikkan GNI mereka dengan
berinvestasi dan memperluas perusahaan
multinasional mereka ke negara lain.
Menurut analisis ini, dapat digarisbawahi
bahwa kedua negara telah berhasil dalam
mengatasi beberapa tantangan populasi yang
menua, dengan melakukan reformasi pada
kebijakan sosial mereka. Dalam hal ini,
sebaiknya ada penyesuaian kebijakan sosial di
masa depan yang terkait dengan perubahan di
masyarakat.
number human resources they have, Japan
tend to increase their GNI by investing and
expanding their multinational companies to
other countries.
According to this analysis, it can be underlined
that both countries have been succeeding on
overcome several challenge of ageing
population, by reforming their social policy. In
this case, there should be a social policy
adjustment in the future related to other society
changes
89
DAFTAR PUSTAKA / BIBLIOGRAPHY
BBC News. (2006, March 24). News: Map - Parenthood Policies in Europe. Diambil pada
tanggal 13 Desember 2017, dari BBC News:
http://news.bbc.co.uk/2/hi/europe/4837422.stm
Coulmas, F. (2007). Population Decline and Ageing in Japan - the Social Consequences.
New York: Routledge.
Dillinaco, D. (2006, February 13). Articles: Italy - A LAnd of Low Birth Rate. Diambil pada
tanggal 10 Desember 2017, dari Article CIty: www.articlecity.com/articles/
web_design_and_development/article_859.shtml
East-West Center. (2017, April 10). East-West Wire News: Declining Birth Rates Raising
Concern in Asia. Diambil pada tanggal 13 Desember 2017, dari East-West Center:
https://www.eastwestcenter.org/news-center/east-west-wire/declining-birth-rates-
raising-concerns-in-asia
East-West Centre. (2015, Novemer 2-3). Low Fertility, Social Rigidity, and Government Policies in Italy. Population Division: Policy Brief No. 10, hal. 1-2.
Esping-Andersen, G. (2012). The Three Worlds of Welfare Capitalism. Cambridge: Polity
Press.
Gabriele, R., Tundis, E., & Zaninotto, E. (2017, September 23). Ageing Workforce and Profductivity: The Unintended Effects of Retirement Regulation in Italy. Springer, 1-
20.
Kasiwazaki, C., & Akaha, T. (2006, November 1). MPI Article: Japanese Immigration Policy
- Responding to Conflicting Pressures. Diambil pada tanggal 15 Desember 2017,
dari Migration Policy Institute: https://www.migrationpolicy. org/article/japanese-
immigration-policy-responding-conflicting-pressures/
Miyamoto, M., Iwagami, M., & Yamada, M. (1997). Parent-child Relations in a Society with
an Increasing Unmaried Population. Tokyo: Yuhikaku.
89Jurnal Institut BPJS Ketenagakerjaan Volume 3 No. 1 November 2018
90
OECD. (2004). Ageing and Employment Policies in Japan. France: OECD Publication
Service. OECD. (2017). National Income: Net National Income. Diambil pada tanggal 20 Desember
2017, dari OECD Data: https://data.oecd.org/pop/fertility-rates.htm
Ray, R. (2008). A Detailed Look at Parental Leave Policies in 21 OECD Countries.
Washington: Center for Economic and Policy Research (CEPR).
Samorodov, A. (1999). Ageing and Labour Markets for Older Workers. Geneva:
International Labour Organization.
Santis, G. D. (2011). Can Immigration Solve the Aging Problem in Italy? Gnus, LXVII No.
3, 37-64.
Schmid, K. (2017, September 29). Human Development Report. Diambil pada tanggal 12
Desember 2017, dari Perserikatan Bangsa-Bangsa:
http://hdr.undhal.org/en/content/life-does-not-end-after-60-and-neither-should-data
Shmuel, J. (2016, August 16). Economy: Japan in Transition - the World's Biggest
Mobilization of Elderly Workers is Underway. Diambil pada tanggal 10 Desember
2017, dari Financial Post: http://business.financialpost.com/news/ economy/japan-
in-transition-how-older-workers-can-help-ease-japans-growing-labour-issues
Testa, M. R. (2000). Fewer and Older Italians, More Problems? - Looking for Solutions to
the Demographic Question. New York: Perserikatan Bangsa-Bangsa Secretariat.
The Federal Reserve Bank of St. Louis. (10 Juni 2013). Economic Research: Labour Force
Participation Rate for Women in Japan. Diambil pada tanggal 15 Desember 2017,
dari FRED Economic Data: https://fred.stlouisfed.org /series/JPNLFPWNA
Tokoro, M. (2010). Family Policy Under the New Government in Japan: the Case of New
Child Benefit. Osaka: Osaka City University.
90 Jurnal Institut BPJS Ketenagakerjaan Volume 3 No. 1 November 2018
90
OECD. (2004). Ageing and Employment Policies in Japan. France: OECD Publication
Service. OECD. (2017). National Income: Net National Income. Diambil pada tanggal 20 Desember
2017, dari OECD Data: https://data.oecd.org/pop/fertility-rates.htm
Ray, R. (2008). A Detailed Look at Parental Leave Policies in 21 OECD Countries.
Washington: Center for Economic and Policy Research (CEPR).
Samorodov, A. (1999). Ageing and Labour Markets for Older Workers. Geneva:
International Labour Organization.
Santis, G. D. (2011). Can Immigration Solve the Aging Problem in Italy? Gnus, LXVII No.
3, 37-64.
Schmid, K. (2017, September 29). Human Development Report. Diambil pada tanggal 12
Desember 2017, dari Perserikatan Bangsa-Bangsa:
http://hdr.undhal.org/en/content/life-does-not-end-after-60-and-neither-should-data
Shmuel, J. (2016, August 16). Economy: Japan in Transition - the World's Biggest
Mobilization of Elderly Workers is Underway. Diambil pada tanggal 10 Desember
2017, dari Financial Post: http://business.financialpost.com/news/ economy/japan-
in-transition-how-older-workers-can-help-ease-japans-growing-labour-issues
Testa, M. R. (2000). Fewer and Older Italians, More Problems? - Looking for Solutions to
the Demographic Question. New York: Perserikatan Bangsa-Bangsa Secretariat.
The Federal Reserve Bank of St. Louis. (10 Juni 2013). Economic Research: Labour Force
Participation Rate for Women in Japan. Diambil pada tanggal 15 Desember 2017,
dari FRED Economic Data: https://fred.stlouisfed.org /series/JPNLFPWNA
Tokoro, M. (2010). Family Policy Under the New Government in Japan: the Case of New
Child Benefit. Osaka: Osaka City University.
91
Tsuya, N. O. (2017, Juni). Analysis and Publications: Low Fertility in Japan - No End in
Sight. Diambil pada tanggal 13 Desember 2017, dari East-West Center:
https://www.eastwestcenter.org/publications/low-fertility-in-japan— no-end-in-sight
United Nation, Economic and Social Commission for Asia and the Pacific (ESCAP). (2016). Ageing in Asia and the Pacific Overview. Bangkok: Social Development Division.
Perserikatan Bangsa-Bangsa Population Fund. (2012). Ageing in the Twenty-First
Century: a Celebration and a Challenge. New York: UNFPA.
Perserikatan Bangsa-Bangsa Population Fund. (2017, October 17). State of World
Population Report (SWOP) 2017. Diambil pada tanggal 10 Desember 2017, dari
UNFPA Indonesia: https://indonesia.unfpa.org/en/publications/state-world-
population-report-swop-2017?page=2
Perserikatan Bangsa-Bangsa, Departemen Urusan Ekonomi dan Sosial. (2017). World
Population Prospects 2017. Diambil pada tanggal 10 Desember 2017, dari
Perserikatan Bangsa-Bangsa DESA/ Population Division: https://esa.un.org/
unpd/wpp/Graphs/Probabilistic/FERT/TOT/
Perserikatan Bangsa-Bangsa, Departemen Urusan Ekonomi dan Sosial, Population Division. (2015). World Population Ageing 2015. New York: Perserikatan Bangsa-
Bangsa.
Wall, E. (2015, December 11). Funds: Japan's Ageing Population - Economic Drag or
Opportunity? Diambil pada tanggal 10 Desember 2017, dari Morningstar:
https://www.morningstar.com.au/funds/article/ageing-population/7453 Bank Dunia. (1 Juli 2017). Data Catalog: GDP Ranking. Diambil pada tanggal 10
Desember 2017, dari Grup Bank Dunia [AS]: https://data.worldbank.org/data-
catalog/gdp-ranking-table
Bank Dunia. (2017). The World Bank Data: Fertility Rate, Total (Births per Woman).
Diambil pada tanggal 15 Desember 2017, dari Grup Bank Dunia:
https://data.worldbank.org/indicator/SHAL.DYN.TFRT.IN?end=2015&locations=JP
&start=1960&view=chart
91Jurnal Institut BPJS Ketenagakerjaan Volume 3 No. 1 November 2018
92
CURRICULUM VITAE
PERSONAL INFORMATION Shandika Putra Damayana
Jalan Tambak Arum VII number 24, Surabaya 60142, East Java, Indonesia
+62 31 50513721 +62 857 327 99 292
[email protected] [email protected]
Google Hangout [email protected] / [email protected]
Sex Male | Date of birth 29/11/1989 | Nationality Indonesian
WORK EXPERIENCE
STUDIES APPLIED FOR Double Degree Master Program in Sociology Gadjah Mada University and University of Melbourne
June 2016 – Now Main Officer of Quality and Risk Management BPJS Ketenagakerjaan Regional Office of Central Java & Yogyakarta Jalan Pemuda number 130, Semarang 50132, T +62 24 3559563, www.bpjsketenagakerjaan.go.id
▪ Identifying, assessing, controlling, prioritizing, and monitoring the risks occurred in achieving the unit targets.
▪ Coordinating, guiding, and socializing the process of quality and risk management in the regional office and its branch offices.
▪ Making a review of business process quality and risk management process in the regional office and its branch offices, and recommend the preventive actions required.
▪ Analysing some samplings and evaluating the business process quality and risk management process in the regional office and its branch offices.
Business or sector: Government Legal Entity of Social Security
September 2013 – May 2016 Officer of Claim Verification and Services BPJS Ketenagakerjaan Branch Office of Semarang Majapahit
Jalan Brigjen Sudiarto number 4, Pedurungan, Semarang 50199, T +62 24 76747997
▪ Verifying the claim documents of all benefit programs and making sure the given benefit has been appropriate with the case and applied regulations.
▪ On-site investigating the work-related accident and death benefit cases. ▪ Monitoring and evaluating the service provided by the cooperating hospitals, clinics, and other third-
party providers. ▪ Marketing and socializing the program benefits to society.
Business or sector: Government Legal Entity of Social Security
September 2012 – August 2013 Main Architect Putra Surya Megah, PT
Jalan Rungkut Madya number 81, Surabaya 60293, T +62 31 8700557
▪ Designing the development of site for housing and commercial buildings. ▪ Designing and making the architectural drawing of all projects. ▪ Inspecting and monitoring the building construction process.
Business or sector: Contractor & Developer
92 Jurnal Institut BPJS Ketenagakerjaan Volume 3 No. 1 November 2018
92
CURRICULUM VITAE
PERSONAL INFORMATION Shandika Putra Damayana
Jalan Tambak Arum VII number 24, Surabaya 60142, East Java, Indonesia
+62 31 50513721 +62 857 327 99 292
[email protected] [email protected]
Google Hangout [email protected] / [email protected]
Sex Male | Date of birth 29/11/1989 | Nationality Indonesian
WORK EXPERIENCE
STUDIES APPLIED FOR Double Degree Master Program in Sociology Gadjah Mada University and University of Melbourne
June 2016 – Now Main Officer of Quality and Risk Management BPJS Ketenagakerjaan Regional Office of Central Java & Yogyakarta Jalan Pemuda number 130, Semarang 50132, T +62 24 3559563, www.bpjsketenagakerjaan.go.id
▪ Identifying, assessing, controlling, prioritizing, and monitoring the risks occurred in achieving the unit targets.
▪ Coordinating, guiding, and socializing the process of quality and risk management in the regional office and its branch offices.
▪ Making a review of business process quality and risk management process in the regional office and its branch offices, and recommend the preventive actions required.
▪ Analysing some samplings and evaluating the business process quality and risk management process in the regional office and its branch offices.
Business or sector: Government Legal Entity of Social Security
September 2013 – May 2016 Officer of Claim Verification and Services BPJS Ketenagakerjaan Branch Office of Semarang Majapahit
Jalan Brigjen Sudiarto number 4, Pedurungan, Semarang 50199, T +62 24 76747997
▪ Verifying the claim documents of all benefit programs and making sure the given benefit has been appropriate with the case and applied regulations.
▪ On-site investigating the work-related accident and death benefit cases. ▪ Monitoring and evaluating the service provided by the cooperating hospitals, clinics, and other third-
party providers. ▪ Marketing and socializing the program benefits to society.
Business or sector: Government Legal Entity of Social Security
September 2012 – August 2013 Main Architect Putra Surya Megah, PT
Jalan Rungkut Madya number 81, Surabaya 60293, T +62 31 8700557
▪ Designing the development of site for housing and commercial buildings. ▪ Designing and making the architectural drawing of all projects. ▪ Inspecting and monitoring the building construction process.
Business or sector: Contractor & Developer
93
EDUCATION AND TRAINING
PERSONAL SKILLS
June 2009 – May 2011 Lecturer Assistance in Digital Architecture Laboratory
Department of Architecture, Faculty of Engineering, Brawijaya University, Malang Jalan Veteran, Malang 65145, T +62 34 1551611
▪ Teaching and mentoring the junior students related to architectural drawing using digital computation. ▪ Providing and arranging workshop in digital architecture. ▪ Managing the digital architecture laboratory. ▪ Maintaining the digital laboratory software and hardware.
Business or sector: Education
December 2016 Certified Risk Management Officer (CRMO) Score: 8.5/10
Lembaga Sertifikasi Profesi Manajemen Risiko (LSPMR), South Jakarta
▪ Subjects: Business Quantitative, Risk Culture Awareness, Basic Risk, Risk Management Process & Technique.
June 2008 – July 2012 Bachelor of Engineering in Architecture GPA: 3.22/4
Architecture Department, Faculty of Engineering, Brawijaya University, Malang (Level ‘A’ National Accreditation)
▪ Undergraduate thesis: The Implementation of Folding Architecture Methods on the Design of Contemporary Art Gallery & Museum in Surabaya.
Mother tongue(s) Bahasa Indonesia & Javanese
Other language(s) UNDERSTANDING SPEAKING WRITING
Listening Reading Spoken interaction Spoken production
English C1 C2 B2 B2 C1 Levels: A1/2: Basic user - B1/2: Independent user - C1/2 Proficient user
Common European Framework of Reference for Languages
Communication skills ▪ Good communication and presentation skills: from the experience in interacting with customers, presenting the program benefits to companies and provider colleagues, and guiding all units in the region scope related to the risk management processes.
▪ Interpersonal skill: from the responsibility as lecturer assistant in university, and from approaching and building relation with prospected companies.
Organisational / managerial skills ▪ Critical thinking: from claims verification, cases investigation, and risk management process. ▪ Problem solving: from facing various problems and situations on claim process determination and
giving recommendation in preventing actions in risk management. ▪ Organisation: from active in some organisations and managing the digital laboratory during
undergraduate and coordinating some events in BPJS Ketenagakerjaan.
Job-related skills ▪ Risk management skills: from the certification as quality and risk management officer from CRMO. ▪ Good analysing: from the responsibility as clam verifier and as quality and risk management officer.
Computer skills ▪ Competent with Microsoft Office tools. ▪ Competent with graphic design programs such as CorelDraw and Photoshop. ▪ Competent with architectural drawing programs such as AutoCAD, 3D Sketchup, 3DsMax, and
Lumion. ▪ Experience with PC hardware and software.
93Jurnal Institut BPJS Ketenagakerjaan Volume 3 No. 1 November 2018
94
ANNEXES
Other skills ▪ Architectural drawing ▪ Graphic designing ▪ Arts, music, and vocal
Driving licence ▪ I am a holder of Indonesian driving license for A and C category
▪ Recommendation letter ▪ Motivation letter. ▪ Copies of degrees and qualifications.
94 Jurnal Institut BPJS Ketenagakerjaan Volume 3 No. 1 November 2018
94
ANNEXES
Other skills ▪ Architectural drawing ▪ Graphic designing ▪ Arts, music, and vocal
Driving licence ▪ I am a holder of Indonesian driving license for A and C category
▪ Recommendation letter ▪ Motivation letter. ▪ Copies of degrees and qualifications.
95
PENELITIAN KOMPARATIF TENTANG
KEBIJAKAN-KEBIJAKAN SOSIAL UNTUK TENAGA KERJA PENYANDANG
DISABILITAS DI INDONESIA DAN AUSTRALIA
Zicko Varianto
Abstrak
Tenaga kerja penyandang disabilitas memiliki
hak dan potensi yang sama untuk
berkontribusi pada kegiatan ekonomi, terlepas
dari keterbatasan dan ketidakmampuan
mereka. Makalah ini membandingkan jaminan
sosial tenaga kerja penyandang disabilitas
antara Indonesia dan Australia. Indonesia
masih menjadi sebuah negara berkembang
yang berbentuk kepulauan, sedangkan
Australia adalah satu wilayah besar dengan
beraneka ragam ekosistem. Kedua negara
memiliki keanekaragaman yang kuat karena
banyaknya ras yang hidup bersama.
Walaupun kedua negara mungkin memiliki
beberapa kesamaan dalam beberapa aspek,
namun untuk masalah kesejahteraan, kedua
negara ini sangat berbeda.
Kata kunci: Tenaga Kerja Penyandang Disabilitas, Jaminan Sosial, Esping-Enderson, Indonesia, Australia
A COMPARATIVE STUDY ON SOCIAL POLICIES FOR DISABLED LABOR FORCE BETWEEN INDONESIA AND AUSTRALIA
Zicko Varianto
Abstract
Disabled labor force have the same rights and
potential to contribute to economic activities
regardless of their limitation and incapability.
This paper is comparing the social security of
disabled labor force between Indonesia and
Australia. Indonesia is still a developing country
with an archipelago form while Australia is one
massive area with vast array of ecosystem.
Both countries have strong diversity with many
races live together. While in some aspects both
of the countries might have some similarities,
but as for welfare states, both are very different.
Keywords: Disabled Labor Force, Social Security, Esping-Enderson, Indonesia, Australia
95Jurnal Institut BPJS Ketenagakerjaan Volume 3 No. 1 November 2018
96
A. PENDAHULUAN
Sebagai manusia, setiap orang di dunia
ini, termasuk mereka yang merupakan
penyandang disabilitas, memiliki hak yang
yang sama untuk hidup, bersosialisasi dan
memberikan kontribusi kepada
masyarakat. Meskipun ada banyak undang-
undang yang mencoba untuk memberikan
perlindungan dan situasi yang sama untuk
tenaga kerja difabel, namun pada
kenyataannya masih banyak diskriminasi yang
terjadi pada orang-orang difabel. Mereka
memiliki hak dan potensi yang sama untuk
berkontribusi terhadap kegiatan ekonomi,
terlepas dari keterbatasan dan
ketidakmampuan mereka. Pemerintah
memiliki tugas untuk menyediakan hukum dan
kebijakan sosial bagi penyandang disabilitas.
Indonesia memiliki sebagian kecil warga
Negara yang merupakan penyandang
disabilitas. Mereka membutuhkan kebijakan
sosial yang memberikan akses yang setara
kepada mereka untuk peluang kerja dan
melindungi mereka dari kerentanan dan risiko.
Makalah ini bertujuan untuk membandingkan
kebijakan jaminan social bagi angkatan kerja
difabel di Indonesia dan Australia. Tulisan
ini akan menilai apakah kebijakan tersebut
cukup memadai untuk memenuhi kebutuhan
mereka. Melalui perbandingan tersebut,
makalah akan memunculkan pertanyaan
apakah Indonesia bisa menerapkan sistem
Australia untuk tenaga kerja difabelnya.
A. INTRODUCTION
As a human being, everyone in this world
including those who are diffable has the same
rights to live, socialize and contribute to the
community. While there are many laws that try
to provide protection and an equal situation for
disabled labor force, but in reality, there are still
a lot of discrimination pointed at the disabled
people. They have the same rights and potential
to contribute to economic activityies regardless
of their limitation and incapability. It is the
government’s task to provide the law and social
policy for disabled people. Indonesia have a
small portion of its citizens with disabilities.
They need social policies that provide them with
equal access to job opportinies and protect
them from vulnerabilities and risks. This paper
is aiming to compare social security policies for
disabled labor forces in Indonesia and
Australia. It will assess whether the policy are
adequate enough to fulfill their needs. Through
the comparison, the paper will raise a question
whether Indonesia can apply Australian system
for its disabled labor forces. I argue that even
though Indonesia and Australia has very
different welfare states, the government of
Indonesia could learn more about providing
good social policy and social security for
disabled labor force. This paper will explain the
background principle of Indonesia and the real
condition of disabled labor force with the laws,
social policy and social security that already
implemented. After that, I will explain about the
96 Jurnal Institut BPJS Ketenagakerjaan Volume 3 No. 1 November 2018
96
A. PENDAHULUAN
Sebagai manusia, setiap orang di dunia
ini, termasuk mereka yang merupakan
penyandang disabilitas, memiliki hak yang
yang sama untuk hidup, bersosialisasi dan
memberikan kontribusi kepada
masyarakat. Meskipun ada banyak undang-
undang yang mencoba untuk memberikan
perlindungan dan situasi yang sama untuk
tenaga kerja difabel, namun pada
kenyataannya masih banyak diskriminasi yang
terjadi pada orang-orang difabel. Mereka
memiliki hak dan potensi yang sama untuk
berkontribusi terhadap kegiatan ekonomi,
terlepas dari keterbatasan dan
ketidakmampuan mereka. Pemerintah
memiliki tugas untuk menyediakan hukum dan
kebijakan sosial bagi penyandang disabilitas.
Indonesia memiliki sebagian kecil warga
Negara yang merupakan penyandang
disabilitas. Mereka membutuhkan kebijakan
sosial yang memberikan akses yang setara
kepada mereka untuk peluang kerja dan
melindungi mereka dari kerentanan dan risiko.
Makalah ini bertujuan untuk membandingkan
kebijakan jaminan social bagi angkatan kerja
difabel di Indonesia dan Australia. Tulisan
ini akan menilai apakah kebijakan tersebut
cukup memadai untuk memenuhi kebutuhan
mereka. Melalui perbandingan tersebut,
makalah akan memunculkan pertanyaan
apakah Indonesia bisa menerapkan sistem
Australia untuk tenaga kerja difabelnya.
A. INTRODUCTION
As a human being, everyone in this world
including those who are diffable has the same
rights to live, socialize and contribute to the
community. While there are many laws that try
to provide protection and an equal situation for
disabled labor force, but in reality, there are still
a lot of discrimination pointed at the disabled
people. They have the same rights and potential
to contribute to economic activityies regardless
of their limitation and incapability. It is the
government’s task to provide the law and social
policy for disabled people. Indonesia have a
small portion of its citizens with disabilities.
They need social policies that provide them with
equal access to job opportinies and protect
them from vulnerabilities and risks. This paper
is aiming to compare social security policies for
disabled labor forces in Indonesia and
Australia. It will assess whether the policy are
adequate enough to fulfill their needs. Through
the comparison, the paper will raise a question
whether Indonesia can apply Australian system
for its disabled labor forces. I argue that even
though Indonesia and Australia has very
different welfare states, the government of
Indonesia could learn more about providing
good social policy and social security for
disabled labor force. This paper will explain the
background principle of Indonesia and the real
condition of disabled labor force with the laws,
social policy and social security that already
implemented. After that, I will explain about the
97
Penulis berpendapat bahwa meskipun
Indonesia dan Australia memiliki bentuk
kesejahteraan yang sangat berbeda,
pemerintah Indonesia dapat belajar lebih
banyak tentang penyediaan kebijakan sosial
dan jaminan sosial yang baik untuk tenaga
kerja difabel. Tulisan ini akan menjelaskan
latar belakang prinsip Indonesia dan kondisi
nyata tenaga kerja difabel dengan undang-
undang, kebijakan sosial dan jaminan sosial
yang telah dilaksanakan. Setelah itu, penulis
akan menjelaskan tentang kebijakan sosial
dan jaminan sosial bagi penyandang
disabilitas di Australia, yang nantinya akan
dibandingkan dan dipelajari apakah kebijakan
tersebut dapat diimplementasikan juga di
Indonesia. Untuk mempelajari lebih lanjut
tentang cara yang tepat untuk menyediakan
kebijakan sosial dan jaminan sosial yang baik
bagi angkatan kerja difabel, Pemerintah
Indonesia harus mengambil contoh dari
negara maju yang telah menerapkan jaminan
sosial yang layak bagi penyandang disabilitas.
Latar Belakang
Mengapa Indonesia dan Australia? Indonesia
dan Australia adalah dua negara yang sangat
berbeda dan hidup sangat
berdekatan. Indonesia masih negara
berkembang dengan bentuk kepulauan,
sementara Australia adalah salah satu daerah
yang luas dengan ekosistem yang sangat
beraneka ragama. Kedua negara memiliki
keragaman yang besar dengan banyak ras
social policy and social security for disabled
people in Australia, which later on will be
compared and studied whether such policies
can be implemented also in Indonesia. In order
to learn more about a proper way to provide a
good social policy and social security for
disabled labor force, The Government of
Indonesia should took an example from a
developed country that already implement a
decent social security for disabled people.
Background
Why Indonesia and Australia? Indonesia and
Australia is two very different countries and yet
live so closely together. Indonesia is still a
developing country with an archipelago form
while Australia is one massive area with vast
array of ecosystem. Both countries have strong
diversity with many races live together. While in
some aspects both of the countries might have
some similarities, but as for welfare states, both
97Jurnal Institut BPJS Ketenagakerjaan Volume 3 No. 1 November 2018
98
yang hidup bersama.Sementara dalam
beberapa aspek kedua negara mungkin
memiliki beberapa kesamaan, tetapi untuk
bentuk kesejahteraan, keduanya sangat
berbeda. Jika kita melihat dari tipologi Esping-
Andersen, Indonesia dapat dikategorikan
sebagai “Sosial Demokratik”, sementara
Australia adalah “Liberal”. Dalam demokrasi
sosial, negara bertindak sebagai pengurus
untuk banyak hal atau sepenuhnya
terdekomodifikasi. Sedangkan, dalam kategori
liberal, negara memfokuskan terutama untuk
kelompok berpenghasilan rendah dan
mendorong kelompok yang lain untuk
mengambil perlindungan sosial pribadi
(Ebbinghaus, 2012). Inilah sebabnya mengapa
Pemerintah Indonesia menghadapi banyak
masalah untuk menerapkan kebijakan sosial di
seantero negeri. Negara mencoba untuk
mencakup semua kebijakan sosial bagi semua
provinsi, meskipun tidak semua provinsi dapat
menggunakan kebijakan yang sama seperti
yang lain. Dengan ratusan ras dan budaya
yang berbeda, sulit untuk memusatkan
kebijakan sosial untuk diterapkan di setiap
wilayah di Indonesia. Hal tersebut akibat
setiap pemerintah daerah di setiap daerah,
provinsi atau kabupaten harus mengikuti
perintah pemerintah pusat, walaupun setiap
daerah memiliki karakteristik warga yang
berbeda. Undang-undang dan kebijakan sosial
mungkin tidak cocok jika diterapkan di daerah
tertentu karena perilaku dan budaya warga
negara.
are very different. If we look from Esping-
Andersen typology, Indonesia can be
categorized as “Social Democratic” while
Australia is “Liberal”. In social democratic, the
state acts as caretaker for a lot of things or fully
decommodified while in liberal, the state
focused mainly for low income groups and push
other people to go with private social protection
(Ebbinghaus, 2012). This is why Indonesian
Government is facing a lot of problem to apply
social policies across the country. The state try
to cover all the social policies for all the
provinces even though not all of area can use
the same policy as well as the others. With
hundreds of races and with different cultures, it
is hard to centralized social policies to apply in
every area around Indonesia. Because each
local government in every area, province or
district have to follow central government orders
even though each area have different
characteristic of citizens. The law and social
policy might not be suitable if it implemented in
certain area because of the citizen’s behavior
and culture.
98 Jurnal Institut BPJS Ketenagakerjaan Volume 3 No. 1 November 2018
98
yang hidup bersama.Sementara dalam
beberapa aspek kedua negara mungkin
memiliki beberapa kesamaan, tetapi untuk
bentuk kesejahteraan, keduanya sangat
berbeda. Jika kita melihat dari tipologi Esping-
Andersen, Indonesia dapat dikategorikan
sebagai “Sosial Demokratik”, sementara
Australia adalah “Liberal”. Dalam demokrasi
sosial, negara bertindak sebagai pengurus
untuk banyak hal atau sepenuhnya
terdekomodifikasi. Sedangkan, dalam kategori
liberal, negara memfokuskan terutama untuk
kelompok berpenghasilan rendah dan
mendorong kelompok yang lain untuk
mengambil perlindungan sosial pribadi
(Ebbinghaus, 2012). Inilah sebabnya mengapa
Pemerintah Indonesia menghadapi banyak
masalah untuk menerapkan kebijakan sosial di
seantero negeri. Negara mencoba untuk
mencakup semua kebijakan sosial bagi semua
provinsi, meskipun tidak semua provinsi dapat
menggunakan kebijakan yang sama seperti
yang lain. Dengan ratusan ras dan budaya
yang berbeda, sulit untuk memusatkan
kebijakan sosial untuk diterapkan di setiap
wilayah di Indonesia. Hal tersebut akibat
setiap pemerintah daerah di setiap daerah,
provinsi atau kabupaten harus mengikuti
perintah pemerintah pusat, walaupun setiap
daerah memiliki karakteristik warga yang
berbeda. Undang-undang dan kebijakan sosial
mungkin tidak cocok jika diterapkan di daerah
tertentu karena perilaku dan budaya warga
negara.
are very different. If we look from Esping-
Andersen typology, Indonesia can be
categorized as “Social Democratic” while
Australia is “Liberal”. In social democratic, the
state acts as caretaker for a lot of things or fully
decommodified while in liberal, the state
focused mainly for low income groups and push
other people to go with private social protection
(Ebbinghaus, 2012). This is why Indonesian
Government is facing a lot of problem to apply
social policies across the country. The state try
to cover all the social policies for all the
provinces even though not all of area can use
the same policy as well as the others. With
hundreds of races and with different cultures, it
is hard to centralized social policies to apply in
every area around Indonesia. Because each
local government in every area, province or
district have to follow central government orders
even though each area have different
characteristic of citizens. The law and social
policy might not be suitable if it implemented in
certain area because of the citizen’s behavior
and culture.
99
“Kemanusiaan yang Adil dan Beradab” dan
“Keadilan Sosial untuk Seluruh Rakyat
Indonesia” adalah prinsip kedua dan kelima
Pancasila. Berdasarkan pada prinsip-prinsip
tersebut, setiap individu di Indonesia harus
memiliki hak dan kesempatan yang sama
untuk masuk sebagai angkatan kerja. Setiap
orang memiliki potensi yang sama untuk
berkontribusi kepada negara. Namun, pada
kenyataannya, beberapa warga penyandang
disabilitas memiliki lebih banyak masalah
untuk dihadapi. Sebagian besar penyandang
disabilitas menghadapi diskriminasi dan
perlakuan tidak adil dari perusahaan atau
pengusaha, meskipun mereka memiliki hak
yang sama seperti orang
lain. Ada banyak orang difabel yang merasa
dikucilkan dari masyarakat karena diskriminasi
dari masyarakat. Diskriminasi bisa berbentuk
sikap terhadap mereka atau infrastruktur yang
tidak memberikan akses bagi penyandang
disabilitas. Masalah lain bagi penyandang
disabilitas adalah kurangnya kesadaran dari
orang lain. Meskipun ada fasilitas yang sudah
diterapkan untuk membantu penyandang
disabilitas, tapi stigma di sekitar penyandang
disabilitas membuat fasilitas tersebut menjadi
tidak efektif.
Tetapi, apakah definisi penyandang disabilitas
itu sendiri? Penyandang disabilitas adalah
sekelompok warga negara yang memiliki
keterbatasan sehubungan dengan
keterbatasan fisik atau mental mereka, dan
“A Just and Civilized Humanity” and “Social
Justice for All Indonesian”. Those are the
second and the fifth principles of Pancasila.
Based on those principles, every individual in
Indonesia should have the same right and the
same opportunities to join the labor force.
Everyone have the same potential to contribute
for the country. However, in reality, some of the
citizens with disabilities have more problems to
handle. Most of people with disabilities faces
discrimination and unfair treatment from
companies or employers even though they
have the same right as everyone else. There
are many people with disability feel excluded
from the society because of the discrimination
from the society. The discrimination could be in
the form of attitude towards them or the
infrastructure that does not provide access for
people with disabilities. Another problem for the
disabled people is the lack of awareness from
other people. Even though there are facilities
that already implemented to help people with
disabilities, but the stigma around disabled
people made such facilities ineffective.
However, what is the definition of people with
disabilities itself? People with disabilities is
groups of citizens that have limitation regarding
to their physical or mental impairments and
made them struggle to join and participate in the
99Jurnal Institut BPJS Ketenagakerjaan Volume 3 No. 1 November 2018
100
membuat mereka kesulitan untuk bergabung
dan ambil bagian dalam masyarakat.
Disabilitas membatasi seseorang untuk
berinteraksi dengan sekeliling mereka
(Kementerian Kesehatan Indonesia, 2015).
Disabilitas ini berkaitan dengan keterbatasan
fisik atau mental dan berakibat pada
keterbatasan dalam kehidupan seseorang.
Menurut Sophie Mitra, ada empat model
disabilitas: pertama adalah model Medis, yang
menjelaskan bahwa disabilitas disebabkan
oleh penyakit, kecelakaan, atau kondisi
kesehatan lainnya yang memerlukan
perawatan dan rehabilitas medis. Model kedua
adalah model Sosial, yaitu model yang
menetapkan bahwa disabilitas disebabkan
oleh masyarakat daripada sesuatu yang
melekat pada orang tersebut. Model ini
menjelaskan bahwa disabilitas terjadi karena
diskriminasi dari masyarakat. Model ketiga
adalah model Nagi yang juga dikenal sebagai
paradigm keterbatasan fungsional. Model ini
mengacu pada keterbatasan anatomi atau
fisiologis. Model yang terakhir adalah
International Classification of Functioning
(ICF) / Klasifikasi Internasional tentang
Kemampuan untuk Beraktivitas, yang
diklasifikasikan oleh WHO. Model ini
menjelaskan bahwa disabilitas terjadi dari
kondisi kesehatan seseorang, yang mengarah
pada keterbatasan aktivitas (Mitra, 2006).
Akibat keterbatasan ini, para penyandang
disabilitas memerlukan fasilitas dan bantuan
dari pemerintah agar bisa berpartisipasi dalam
community. The disabilities gave the person
limitation to interact with their surroundings.
(Indonesia Health Minister, 2015). These
disabilities are related to the physical or mental
impairments and resulting in a limitation in the
individual’s lives. According to Sophie Mitra,
there are four model of disability: First is the
Medical model, which explain that disability was
caused by a disease, an accident or other
health condition that need medical treatment
and rehabilitation. Second is the Social model;
this model find that disability is made by the
society rather than an attribute to a person. This
model explain that disability happens because
of discrimination from the society. The third is
the Nagi model which also known as the
functional limitation paradigm. This model
refers to anatomical or physiological
impairments. The final model is the
International Classification of Functioning (ICF)
which classified by the WHO. This model
explain that disability comes from health
condition of an individual, which lead to
limitation in activity (Mitra, 2006) Because of
this limitation, disabled people need facilities
and help from the government to be able to join
the labor market. Because of the lack access to
labor market, disabled people often related to
poverty.
100 Jurnal Institut BPJS Ketenagakerjaan Volume 3 No. 1 November 2018
100
membuat mereka kesulitan untuk bergabung
dan ambil bagian dalam masyarakat.
Disabilitas membatasi seseorang untuk
berinteraksi dengan sekeliling mereka
(Kementerian Kesehatan Indonesia, 2015).
Disabilitas ini berkaitan dengan keterbatasan
fisik atau mental dan berakibat pada
keterbatasan dalam kehidupan seseorang.
Menurut Sophie Mitra, ada empat model
disabilitas: pertama adalah model Medis, yang
menjelaskan bahwa disabilitas disebabkan
oleh penyakit, kecelakaan, atau kondisi
kesehatan lainnya yang memerlukan
perawatan dan rehabilitas medis. Model kedua
adalah model Sosial, yaitu model yang
menetapkan bahwa disabilitas disebabkan
oleh masyarakat daripada sesuatu yang
melekat pada orang tersebut. Model ini
menjelaskan bahwa disabilitas terjadi karena
diskriminasi dari masyarakat. Model ketiga
adalah model Nagi yang juga dikenal sebagai
paradigm keterbatasan fungsional. Model ini
mengacu pada keterbatasan anatomi atau
fisiologis. Model yang terakhir adalah
International Classification of Functioning
(ICF) / Klasifikasi Internasional tentang
Kemampuan untuk Beraktivitas, yang
diklasifikasikan oleh WHO. Model ini
menjelaskan bahwa disabilitas terjadi dari
kondisi kesehatan seseorang, yang mengarah
pada keterbatasan aktivitas (Mitra, 2006).
Akibat keterbatasan ini, para penyandang
disabilitas memerlukan fasilitas dan bantuan
dari pemerintah agar bisa berpartisipasi dalam
community. The disabilities gave the person
limitation to interact with their surroundings.
(Indonesia Health Minister, 2015). These
disabilities are related to the physical or mental
impairments and resulting in a limitation in the
individual’s lives. According to Sophie Mitra,
there are four model of disability: First is the
Medical model, which explain that disability was
caused by a disease, an accident or other
health condition that need medical treatment
and rehabilitation. Second is the Social model;
this model find that disability is made by the
society rather than an attribute to a person. This
model explain that disability happens because
of discrimination from the society. The third is
the Nagi model which also known as the
functional limitation paradigm. This model
refers to anatomical or physiological
impairments. The final model is the
International Classification of Functioning (ICF)
which classified by the WHO. This model
explain that disability comes from health
condition of an individual, which lead to
limitation in activity (Mitra, 2006) Because of
this limitation, disabled people need facilities
and help from the government to be able to join
the labor market. Because of the lack access to
labor market, disabled people often related to
poverty.
101
pasar tenaga kerja. Akibat kurangnya akses di
pasar tenaga kerja, para penyandang
disabilitas kerap kali dikaitkan dengan
kemiskinan.
B. METODOLOGI
Untuk makalah ini, penulis menggunakan studi
kepustakaan atau penelitian sekunder sebagai
metodologi. Metode tersebut memiliki tujuan
untuk mengkaji temuan-temuan penelitian
sebelumnya dan menggunakannya sebagai
pemahaman atau kerangka makalah.
Keuntungan dari studi pustaka adalah efisiensi
waktu dan lebih berfokus pada masalah
tertentu yang dipilih (Travis, 2016). Ada dua
jenis studi pustaka, yaitu studi pustaka internal
dan studi pustaka eksternal. Perbedaannya
adalah cakupan penelitian. Penelitian internal
melakukan penelitian di bawah batasan-
batasan tertentu, sebagai contoh, dalam suatu
organisasi. Penelitian eksternal melakukan
penelitian tanpa batasan-batasan sepanjang
data masih relevan untuk penelitian (Juneja,
2018).
C. HASIL DAN PEMBAHASAN Angkatan Kerja Difabel Indonesia
Memiliki disabilitas dalam masyarakat yang
memiliki sedikit kesadaran mengenai
disabilitas tersebut adalah suatu hal yang
sulit. Fasilitas umum untuk kaum difabel
masih minim dan tidak cukup layak. Bahkan
pusat rehabilitasi untuk orang-orang difabel
memiliki tingkat yang sama dengan fasilitas
B. METHODOLOGY
For this paper, writer is using desk research or
secondary research as a methodology. The
method have the purpose to review previous
research findings and use it as an
understanding or a framework of the paper. The
benefit of desk research is time efficiency and
more focused on certain issue that being
chosen (Travis, 2016). There are two types of
desk research, which is internal desk research
and external desk research. The difference is
about the coverage of research. Internal
research is doing the research inside certain
boundaries, for example inside an organization,
while external research is doing the research
without the boundaries as long as the data still
relevant for the research (Juneja, 2018). C. RESULTS AND DISCUSSION Indonesia Disabled Labor Force
Having disabilities in a society that have a little
awareness of them is hard. The public facilities
for disabled people are still minimal and not
decent enough. Even the rehabilitation center
for the disabled people have the same level as
the rehabilitation facilities for drug addicts as if
101Jurnal Institut BPJS Ketenagakerjaan Volume 3 No. 1 November 2018
102
rehabilitasi untuk pecandu narkoba seolah-
olah disabilitas adalah semacam ”penyakit”
yang perlu disembuhkan dengan
segera (UNY, 2014).
Menurut Biro Pusat Statistik Indonesia (BPS),
pada tahun 2015, dari total penduduk
Indonesia, ada 8,56 % warga negara yang
memiliki disabilitas (Badan Pusat Statistik,
2015). Meskipun jumlah ini tidak benar-benar
akurat menurut BPS karena keterbatasan staf
mereka, tapi data ini sudah memberikan
gambaran kasar kepada kami tentang orang-
orang difabel. Selain itu, dari data tersebut
dapat disimpulkan bahwa ada potensi
pertumbuhan ekonomi Indonesia jika tenaga
kerja difabel dapat bergabung dengan pasar
tenaga kerja.
Ada undang-undang tertentu yang dibuat
khusus untuk orang difabel. Undang-undang
Indonesia yang lama, yaitu Nomor 4 tahun
1997 tentang Penyandang disabilitas
menyatakan bahwa setiap perusahaan
setidaknya harus mempekerjakan satu pekerja
difabel untuk setiap 100 pekerja atau 1% dari
seluruh karyawan (BetterWork, 2012).
Undang-undang ini sudah usang dan tidak
relevan lagi di zaman modern ini. Ada
pembaruan tentang undang-undang tersebut
dari pemerintah, yaitu Undang-Undang
Indonesia Nomor 8 tahun 2016
tentang penyandang disabilitas. Undang-
undang yang baru menyatakan definisi baru
disabilities are some kind of “diseases” that
need to be cured immediately (UNY, 2014).
According to Central Bureau of Statistics
Indonesia (BPS), in 2015, from the total
population of Indonesia, there are 8, 56%
citizen that have disabilities (Central Bureau of
Statistic, 2015). Even though this number is not
really accurate according to BPS because of the
limitation from their staff, but this data already
gave us a rough description of people with
disabilities. Moreover, from the data we can
conclude that there are potential for Indonesia
economic growth if the disabled labor force
could join the labor market.
There are certain laws that have been made
specifically for disabled people. The old Law of
Indonesia Number 4 year 1997 about People
with disabilities stated that every company
should at least employ one disabled worker for
every 100 worker or 1% from the whole
employees (BetterWork, 2012). This law is
already outdated and no longer relevant in this
modern day. There is an update on that law
from the government, which is The Law of
Indonesia Number 8 year 2016 about people
with disabilities. The new law stated new
definition of disabled person which is ”any
person with longstanding physical, intellectual,
mental and / or sensory limitations in interacting
102 Jurnal Institut BPJS Ketenagakerjaan Volume 3 No. 1 November 2018
102
rehabilitasi untuk pecandu narkoba seolah-
olah disabilitas adalah semacam ”penyakit”
yang perlu disembuhkan dengan
segera (UNY, 2014).
Menurut Biro Pusat Statistik Indonesia (BPS),
pada tahun 2015, dari total penduduk
Indonesia, ada 8,56 % warga negara yang
memiliki disabilitas (Badan Pusat Statistik,
2015). Meskipun jumlah ini tidak benar-benar
akurat menurut BPS karena keterbatasan staf
mereka, tapi data ini sudah memberikan
gambaran kasar kepada kami tentang orang-
orang difabel. Selain itu, dari data tersebut
dapat disimpulkan bahwa ada potensi
pertumbuhan ekonomi Indonesia jika tenaga
kerja difabel dapat bergabung dengan pasar
tenaga kerja.
Ada undang-undang tertentu yang dibuat
khusus untuk orang difabel. Undang-undang
Indonesia yang lama, yaitu Nomor 4 tahun
1997 tentang Penyandang disabilitas
menyatakan bahwa setiap perusahaan
setidaknya harus mempekerjakan satu pekerja
difabel untuk setiap 100 pekerja atau 1% dari
seluruh karyawan (BetterWork, 2012).
Undang-undang ini sudah usang dan tidak
relevan lagi di zaman modern ini. Ada
pembaruan tentang undang-undang tersebut
dari pemerintah, yaitu Undang-Undang
Indonesia Nomor 8 tahun 2016
tentang penyandang disabilitas. Undang-
undang yang baru menyatakan definisi baru
disabilities are some kind of “diseases” that
need to be cured immediately (UNY, 2014).
According to Central Bureau of Statistics
Indonesia (BPS), in 2015, from the total
population of Indonesia, there are 8, 56%
citizen that have disabilities (Central Bureau of
Statistic, 2015). Even though this number is not
really accurate according to BPS because of the
limitation from their staff, but this data already
gave us a rough description of people with
disabilities. Moreover, from the data we can
conclude that there are potential for Indonesia
economic growth if the disabled labor force
could join the labor market.
There are certain laws that have been made
specifically for disabled people. The old Law of
Indonesia Number 4 year 1997 about People
with disabilities stated that every company
should at least employ one disabled worker for
every 100 worker or 1% from the whole
employees (BetterWork, 2012). This law is
already outdated and no longer relevant in this
modern day. There is an update on that law
from the government, which is The Law of
Indonesia Number 8 year 2016 about people
with disabilities. The new law stated new
definition of disabled person which is ”any
person with longstanding physical, intellectual,
mental and / or sensory limitations in interacting
103
tentang penyandang disabilitas yaitu “setiap
orang dengan keterbatasan jangka panjang
dalam hal fisik, intelektual, mental, dan/atau
sensorik dalam berinteraksi dengan
lingkungan dapat mengalami hambatan dan
kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh
dan efektif dengan warga negara lain atas
dasar persamaan hak“. Undang-undang yang
baru memiliki tujuan untuk mengubah
paradigma tentang penyandang disabilitas
bahwa mereka memiliki hak yang sama dan
memiliki potensi yang sama untuk menjadi
kontributor bagi Negara (Ratnaningsih, 2016).
Undang-undang baru juga mengubah proporsi
tenaga kerja difabel di pasar tenaga kerja.
Sektor publik atau lembaga pemerintah harus
memenuhi ketentuan bahwa setidaknya 2%
dari pekerja mereka adalah tenaga kerja
difabel dan 1% untuk sektor swasta.
Perubahan ini adalah upaya untuk membuka
pasar tenaga kerja bagi penyandang
disabilitas. Undang-Undang nomor 8 tahun
2016 juga menyatakan bahwa pemerintah
memiliki kewajiban untuk menyediakan
jaminan sosial bagi orang difabel. Jaminan
sosial berupa transfer dana langsung,
pelatihan, dan penyuluhan.
Undang-undang lainnya adalah Undang-
Undang Indonesia nomor 36 tahun 2009
tentang kesehatan yang menyatakan bahwa
setiap layanan kesehatan bagi penyandang
disabilitas dimaksudkan untuk memastikan
umur panjang dan produktivitas mereka,
with the environment may experience barriers
and difficulties to participate fully and effectively
with other citizens on the basis of equal rights ".
The new law have the goal to change the
paradigm about disabled people that they have
the same right and have the same potential to
become a contributor for the country
(Ratnaningsih, 2016). The new law also change
the proportion of disabled labor force in labor
market. Public sector or government agencies
have to fulfill at least 2% of their workers are
disabled labor and 1% for private sector. These
changes are an attempt to open up the labor
market for the disabled. The law number 8 year
2016 also stated that government have the
obligation to provide social security for disabled
people. The social security come in a form of
direct money transfer, training, and counseling.
The other laws are the Law of Indonesia
number 36 year 2009 about health that stated
every health services for disabled people are for
maintaining their longevity and productivity so
they can socialize and economically active. It is
the government responsibilities to provide such
103Jurnal Institut BPJS Ketenagakerjaan Volume 3 No. 1 November 2018
104
sehingga mereka dapat bersosialisasi dan aktif
secara ekonomi. Pemerintah bertanggung
jawab untuk menyediakan fasilitas kesehatan
bagi orang-orang cacat. Ada juga undang-
undang Indonesia nomor 39 tahun 1999
tentang hak asasi manusia, undang-undang
Indonesia nomor 40 tahun 2004 tentang
Sistem Jaminan Sosial Nasional dan undang-
undang Indonesia nomor 20 tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional. Semua
undang-undang ini merupakan landasan bagi
setiap daerah untuk membuat hukum daerah
mereka sendiri guna menyediakan
infrastruktur dan layanan yang berkualitas
lebih baik bagi penyandang
disabilitas (PresidenRI, 2016).
Bahkan dengan semua undang-undang yang
mencoba untuk memberikan kualitas hidup
yang lebih baik bagi orang-orang difabel, pada
kenyataannya, kondisi bagi sebagian besar
orang difabel masih jauh dari layak. Menurut
Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan
Masyarakat (LPEM), pada akhir tahun 2016,
ada 12,15% dari penduduk Indonesia yang
menyandang disabilitas. Dari angka itu,
setidaknya hanya 54,26% yang bisa
mengenyam bangku pendidikan, sementara
sisanya tidak menyelesaikan sekolah dasar
atau bahkan tidak mendapatkan pendidikan
sama sekali. Itulah salah satu
alasan mengapa orang-orang difabel
mengalami kesulitan untuk bergabung dengan
angkatan kerja. Dari semua penduduk difabel
health facilities for disabled people. There are
also law of Indonesia number 39 year 1999
about human rights, The law of Indonesia
number 40 year 2004 about National Social
Security System and The law of Indonesia
number 20 year 2003 about National Education
System. These laws are the basic foundation for
every regions to make their own local law to
provide a better quality infrastructures and
services for disabled people (PresidenRI,
2016).
Even with all the laws that try to provide a better
life quality for disabled people, in reality, the
condition for most of disabled people are far
from decent. According to Institute of Economic
and Community Inquiry (Lembaga Penyelidikan
Ekonomi dan Masyarakat or LPEM), in late
2016, there are 12.15% from the population of
Indonesia that have disabilities. From that
figure, only 54.26% can get into education
facilities, while the rest of them does not finish
elementary school or even does not get an
education at all. That is one of the reasons the
disabled people are having difficulties to join the
labor force. From all of the disabled population
in Indonesia, only 51.12% that joined in the
labor market while people with no disabilities
can get to 70.40% (Haniy, 2016). That means
104 Jurnal Institut BPJS Ketenagakerjaan Volume 3 No. 1 November 2018
104
sehingga mereka dapat bersosialisasi dan aktif
secara ekonomi. Pemerintah bertanggung
jawab untuk menyediakan fasilitas kesehatan
bagi orang-orang cacat. Ada juga undang-
undang Indonesia nomor 39 tahun 1999
tentang hak asasi manusia, undang-undang
Indonesia nomor 40 tahun 2004 tentang
Sistem Jaminan Sosial Nasional dan undang-
undang Indonesia nomor 20 tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional. Semua
undang-undang ini merupakan landasan bagi
setiap daerah untuk membuat hukum daerah
mereka sendiri guna menyediakan
infrastruktur dan layanan yang berkualitas
lebih baik bagi penyandang
disabilitas (PresidenRI, 2016).
Bahkan dengan semua undang-undang yang
mencoba untuk memberikan kualitas hidup
yang lebih baik bagi orang-orang difabel, pada
kenyataannya, kondisi bagi sebagian besar
orang difabel masih jauh dari layak. Menurut
Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan
Masyarakat (LPEM), pada akhir tahun 2016,
ada 12,15% dari penduduk Indonesia yang
menyandang disabilitas. Dari angka itu,
setidaknya hanya 54,26% yang bisa
mengenyam bangku pendidikan, sementara
sisanya tidak menyelesaikan sekolah dasar
atau bahkan tidak mendapatkan pendidikan
sama sekali. Itulah salah satu
alasan mengapa orang-orang difabel
mengalami kesulitan untuk bergabung dengan
angkatan kerja. Dari semua penduduk difabel
health facilities for disabled people. There are
also law of Indonesia number 39 year 1999
about human rights, The law of Indonesia
number 40 year 2004 about National Social
Security System and The law of Indonesia
number 20 year 2003 about National Education
System. These laws are the basic foundation for
every regions to make their own local law to
provide a better quality infrastructures and
services for disabled people (PresidenRI,
2016).
Even with all the laws that try to provide a better
life quality for disabled people, in reality, the
condition for most of disabled people are far
from decent. According to Institute of Economic
and Community Inquiry (Lembaga Penyelidikan
Ekonomi dan Masyarakat or LPEM), in late
2016, there are 12.15% from the population of
Indonesia that have disabilities. From that
figure, only 54.26% can get into education
facilities, while the rest of them does not finish
elementary school or even does not get an
education at all. That is one of the reasons the
disabled people are having difficulties to join the
labor force. From all of the disabled population
in Indonesia, only 51.12% that joined in the
labor market while people with no disabilities
can get to 70.40% (Haniy, 2016). That means
105
di Indonesia, hanya 51,12% yang bergabung
di pasar tenaga kerja, sementara orang tanpa
disabilitas dapat mencapai 70,40% (Haniy,
2016). Hal tersebut berarti fasilitas pendidikan
di Indonesia tidak mengakomodasi atau tidak
dapat diakses oleh orang-orang difabel.
Diskriminasi dalam fasilitas pendidikan
membuat para penyandang disabilitas
memiliki masalah kepercayaan diri sejak
mereka muda. Di Indonesia ada “sekolah luar
biasa” yang disediakan untuk orang-orang
berkebutuhan khusus, tapi jumlah sekolah itu
tidak cukup dan jarang dapat diakses oleh
orang-orang di daerah pedesaan.
Masalah aksesibilitas lainnya adalah
kurangnya transportasi umum atau
infrastruktur untuk memberikan layanan yang
lebih baik bagi penyandang disabilitas. Tidak
ada landaian yang cukup di gedung-gedung
publik untuk diakses oleh orang-orang difabel.
Ada banyak gedung perusahaan milik negara
yang bahkan tidak memiliki jalan untuk orang
difabel, meskipun mereka harus menyediakan
kesempatan kerja bagi orang difabel.
Diskriminasi terhadap penyandang disabilitas
jelas terlihat melalui infrastruktur bangunan
yang tidak menyediakan aksesibilitas bagi
mereka.
Menurut penulis, masalah utama bagi tenaga
kerja difabel adalah aksesibilitas dan
kesadaran. Aspek aksesibilitas dalam hal ini
adalah akses pada fasilitas pendidikan,
the education facilities in Indonesia does not
accommodate or accessible for disabled
people. The discrimination in education facilities
made people with disabilities have confident
issues since they were young. In Indonesia
there are “extraordinary school” that are
provided for people with special needs, but the
number of that school is not enough and rarely
accessible for people in rural areas.
The other accessibility problem is the lack of
public transport or infrastructures to provide
better services for disabled people. There are
not enough ramps in public buildings for people
with disabilities to access. There are a lot of
state owned corporate building that does not
even have ramps for disabled people even
though they have to provide employment
opportunities for disabled people. The
discrimination to people with disabilities are
clearly visible through the infrastructure of the
building that does not provide accessibility for
them.
The main problem for disabled labor force I
think are accessibility and awareness. The
accessibility aspect in this case is on education
facilities, health facilities, and public
105Jurnal Institut BPJS Ketenagakerjaan Volume 3 No. 1 November 2018
106
fasilitas kesehatan, dan infrastruktur
publik. Sulit untuk menerapkan hukum dan
membantu orang-orang difabel di negara yang
sudah terbiasa dengan “keumuman”.
Kebutuhan penyandang disabilitas bukanlah
prioritas, meskipun memiliki potensi
pertumbuhan ekonomi. Kesadaran dari
masyarakat adalah sesuatu yang harus
diingatkan bahwa setiap penyandang
disabilitas adalah sama dan memiliki hak yang
sama seperti orang lain.
Jaminan Sosial Indonesia
Salah satu upaya pemerintah Indonesia untuk
meningkatkan kesejahteraan dan kesehatan
rakyat mereka adalah dengan menyediakan
jaminan sosial. Program-program ini memiliki
tujuan untuk mencakup tidak hanya pegawai
negeri sipil tapi juga sektor publik, sektor
swasta dan sektor informal. Pada bulan
September 2004, parlemen Indonesia
mengesahkan undang-undang tentang Sistem
Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Undang-
undang tersebut terdiri dari beberapa program
wajib yang harus disediakan, antara lain:
asuransi kesehatan, tabungan hari tua,
pensiun pekerja, asuransi kecelakaan kerja,
dan tunjangan kematian. SJSN disusun
selama reformasi dan krisis moneter
Indonesia. Skema ini merupakan akibat dari
trauma ekonomi yang tidak stabil. Hal tersebut
dinyatakan dalam Undang-Undang Dasar
Indonesia pasal 28H yang menyatakan bahwa
setiap warga negara Indonesia memiliki
infrastructure. It is hard for implement the laws
and help the disabled people in a country that
already used to “normality”. The disabled
people’s needs are not a priority even though it
has potential for economic growth. The
awareness from the society is something to be
reminded that every disabled person is equal
and have the same right as everyone else.
Indonesian Social Security One of Indonesia’s government attempt to
improve their people’s welfare and health is to
provide social security. These programs have
the purpose to cover not only civil servants but
also public sector, private sector and informal
sector. In September 2004, Indonesian
parliament passed the law concerning National
Social Security System (Sistem Jaminan Sosial
Nasional or SJSN). The law consists of
mandatory programs that has to be provided:
health insurance, old age savings, worker
pensions, work related accident insurance, and
death benefits. SJSN was framed during
Indonesia’s reformation and monetary crisis. It
was a result of instability economic trauma. It
stated in Indonesian Constitution, article 28H
that every Indonesian citizens have the right of
social security.
106 Jurnal Institut BPJS Ketenagakerjaan Volume 3 No. 1 November 2018
106
fasilitas kesehatan, dan infrastruktur
publik. Sulit untuk menerapkan hukum dan
membantu orang-orang difabel di negara yang
sudah terbiasa dengan “keumuman”.
Kebutuhan penyandang disabilitas bukanlah
prioritas, meskipun memiliki potensi
pertumbuhan ekonomi. Kesadaran dari
masyarakat adalah sesuatu yang harus
diingatkan bahwa setiap penyandang
disabilitas adalah sama dan memiliki hak yang
sama seperti orang lain.
Jaminan Sosial Indonesia
Salah satu upaya pemerintah Indonesia untuk
meningkatkan kesejahteraan dan kesehatan
rakyat mereka adalah dengan menyediakan
jaminan sosial. Program-program ini memiliki
tujuan untuk mencakup tidak hanya pegawai
negeri sipil tapi juga sektor publik, sektor
swasta dan sektor informal. Pada bulan
September 2004, parlemen Indonesia
mengesahkan undang-undang tentang Sistem
Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Undang-
undang tersebut terdiri dari beberapa program
wajib yang harus disediakan, antara lain:
asuransi kesehatan, tabungan hari tua,
pensiun pekerja, asuransi kecelakaan kerja,
dan tunjangan kematian. SJSN disusun
selama reformasi dan krisis moneter
Indonesia. Skema ini merupakan akibat dari
trauma ekonomi yang tidak stabil. Hal tersebut
dinyatakan dalam Undang-Undang Dasar
Indonesia pasal 28H yang menyatakan bahwa
setiap warga negara Indonesia memiliki
infrastructure. It is hard for implement the laws
and help the disabled people in a country that
already used to “normality”. The disabled
people’s needs are not a priority even though it
has potential for economic growth. The
awareness from the society is something to be
reminded that every disabled person is equal
and have the same right as everyone else.
Indonesian Social Security One of Indonesia’s government attempt to
improve their people’s welfare and health is to
provide social security. These programs have
the purpose to cover not only civil servants but
also public sector, private sector and informal
sector. In September 2004, Indonesian
parliament passed the law concerning National
Social Security System (Sistem Jaminan Sosial
Nasional or SJSN). The law consists of
mandatory programs that has to be provided:
health insurance, old age savings, worker
pensions, work related accident insurance, and
death benefits. SJSN was framed during
Indonesia’s reformation and monetary crisis. It
was a result of instability economic trauma. It
stated in Indonesian Constitution, article 28H
that every Indonesian citizens have the right of
social security.
107
hak atas jaminan sosial.
Undang-Undang tentang SJSN dibuat untuk
memberikan pedoman bagi lembaga Negara
untuk mengelola program jaminan sosial di
Indonesia. Semua program jaminan sosial
bersifat wajib. Iuran anggota didasarkan pada
persentase gaji atau pendapatan tetap bagi
pekerja sektor formal. Tenaga
kerja Indonesia yang bekerja di sektor informal
dapat membayarkan iuran dengan jumlah
biaya yang pasti. Pemerintah akan mensubsidi
iuran untuk orang miskin (Chophra,
2015). Namun, SJSN tidak memberikan
pedoman yang jelas untuk keputusan penting
– misalnya, SJSN tidak menentukan tingkat
iuran dan usia pensiun untuk pensiun pekerja.
Badan legislatif Indonesia membutuhkan
waktu tujuh tahun untuk mengeluarkan
undang-undang baru tentang “Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial atau BPJS”
setelah undang-undang tentang
SJSN. Pemerintah menunjuk lembaga negara
untuk mengelola program, menyediakan
layanan, dan mengumpulkan iuran dari
anggota. Undang-undang SJSN dan undang-
undang BPJS mengharuskan setiap individu
untuk bergabung dalam asuransi kesehatan
dan setiap perusahaan sektor swasta untuk
mendaftarkan karyawan mereka dalam
asuransi kerja. BPJS memiliki wewenang
untuk menghukum setiap pemberi kerja yang
menghindari kewajiban mereka dengan sanksi
SJSN law was made to provide state institution
guidelines for managing social security
programs in Indonesia. All the social security
programs are compulsory, client’s contribution
are based on percentage of salary or fixed
income for the formal sector worker. Indonesian
labor that work in informal sector could pay the
contribution with fix amount of fee. The
government will subsidize the contribution for
the poor (Chophra, 2015). However, SJSN
does not provide a clear guidelines for important
decision-for example, SJSN does not specify
the contribution rates and retirement age for
worker pension.
It took seven years for Indonesian legislative to
provide with new law of “Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial or BPJS” law following SJSN
law. The government appointed state institution
to manage the programs, provide the services,
and collect contribution from the clients. SJSN
law and BPJS law necessitate every individual
to join health insurance and every private sector
employer to register their employees in work
insurance. BPJS have the authority to punish
every employers who avoid their obligation with
administrative sanctions. Because of political
issue of presidential election, BPJS law was put
on hold and passed two years after its deadline
in 2011. BPJS law appointed two state
institution to become social security institution.
107Jurnal Institut BPJS Ketenagakerjaan Volume 3 No. 1 November 2018
108
administratif. Karena masalah politik pemilihan
presiden, undang-undang BPJS ditunda dan
disahkan dua tahun setelah batas waktu pada
tahun 2011. Undang-Undang BPJS menunjuk
dua lembaga negara untuk menjadi lembaga
jaminan sosial. ”PT. Askes” akan menjadi
“BPJS Kesehatan” yang mengelola asuransi
kesehatan dan “PT. Jamsostek” akan menjadi
“BPJS Ketenagakerjaan” yang mengelola
asuransi tenaga kerja.
Meskipun sekitar 65 persen dari tenaga kerja
Indonesia bekerja di sektor ekonomi informal,
tapi baru pada tahun 2014, setiap warga
negara Indonesia yang bekerja di sektor
ekonomi informal tidak tercakup dalam
program-program ini dan bahkan angkatan
kerja difabel yang sebagian besar bekerja di
sektor informal. Tidak ada program jaminan
sosial khusus untuk angkatan kerja
difabel. BPJS Ketenagakerjaan memiliki satu
program untuk kecelakaan kerja yang terkait
dengan kecelakaan bagi pekerja yang
mengalami kecelakaan, yang mengarah pada
kerusakan fungsi tubuh atau
disability. Program “Kembali Bekerja” hanya
mencakup tenaga kerja yang sudah
bergabung dengan program dan tidak
mencakup orang-orang yang memiliki
disabilitas sejak mereka lahir. Program ini
memiliki tujuan untuk memastikan bahwa
setiap orang yang mengalami kecelakaan dan
menyebabkan kerusakan fungsi tubuh, akan
mendapatkan pekerjaannya kembali dan
“PT Askes” will become “BPJS Kesehatan” that
manage health insurance and “PT Jamsostek”
will become “BPJS Ketenagakerjaan” that
manage labor insurance.
Even though approximately 65 percent of
Indonesian labor are working within the informal
economy, but not until 2014, any Indonesian
citizen who work in informal economy does not
covered with these programs and yet alone the
disabled labor force whom mostly work in
informal sector. There are no specific social
security programs for disabled labor force.
BPJS Ketenagakerjaan have one program for
work related accident covering for workers that
got into an accident, which leads to impairment
or disabilities. The program “Return to Work”
only cover the labor force that already join the
programs and not cover people that have
disability since they were born. This program
has the goal to make sure that any person that
got into an accident that leads to impairment,
will get his/her job back and the company will
have to provide the employment for them.
108 Jurnal Institut BPJS Ketenagakerjaan Volume 3 No. 1 November 2018
108
administratif. Karena masalah politik pemilihan
presiden, undang-undang BPJS ditunda dan
disahkan dua tahun setelah batas waktu pada
tahun 2011. Undang-Undang BPJS menunjuk
dua lembaga negara untuk menjadi lembaga
jaminan sosial. ”PT. Askes” akan menjadi
“BPJS Kesehatan” yang mengelola asuransi
kesehatan dan “PT. Jamsostek” akan menjadi
“BPJS Ketenagakerjaan” yang mengelola
asuransi tenaga kerja.
Meskipun sekitar 65 persen dari tenaga kerja
Indonesia bekerja di sektor ekonomi informal,
tapi baru pada tahun 2014, setiap warga
negara Indonesia yang bekerja di sektor
ekonomi informal tidak tercakup dalam
program-program ini dan bahkan angkatan
kerja difabel yang sebagian besar bekerja di
sektor informal. Tidak ada program jaminan
sosial khusus untuk angkatan kerja
difabel. BPJS Ketenagakerjaan memiliki satu
program untuk kecelakaan kerja yang terkait
dengan kecelakaan bagi pekerja yang
mengalami kecelakaan, yang mengarah pada
kerusakan fungsi tubuh atau
disability. Program “Kembali Bekerja” hanya
mencakup tenaga kerja yang sudah
bergabung dengan program dan tidak
mencakup orang-orang yang memiliki
disabilitas sejak mereka lahir. Program ini
memiliki tujuan untuk memastikan bahwa
setiap orang yang mengalami kecelakaan dan
menyebabkan kerusakan fungsi tubuh, akan
mendapatkan pekerjaannya kembali dan
“PT Askes” will become “BPJS Kesehatan” that
manage health insurance and “PT Jamsostek”
will become “BPJS Ketenagakerjaan” that
manage labor insurance.
Even though approximately 65 percent of
Indonesian labor are working within the informal
economy, but not until 2014, any Indonesian
citizen who work in informal economy does not
covered with these programs and yet alone the
disabled labor force whom mostly work in
informal sector. There are no specific social
security programs for disabled labor force.
BPJS Ketenagakerjaan have one program for
work related accident covering for workers that
got into an accident, which leads to impairment
or disabilities. The program “Return to Work”
only cover the labor force that already join the
programs and not cover people that have
disability since they were born. This program
has the goal to make sure that any person that
got into an accident that leads to impairment,
will get his/her job back and the company will
have to provide the employment for them.
109
perusahaan harus menyediakan pekerjaan
untuk mereka.
Sedangkan, untuk asuransi kesehatan bagi
orang difabel, asuransi tersebut masih jauh
dari layak. Masih banyak kesenjangan yang
membedakan penyandang disabilitas.
Program ini hanya berfungsi pada penyandang
disabilitas berat dan masih tidak peka
terhadap kondisi orang difabel (Ika,
2013). Harus ada program jaminan sosial yang
lebih inklusif untuk penyandang disabilitas
yang dibuat khusus untuk mereka dan
memenuhi kebutuhan mereka.
Angkatan Kerja Difabel Australia
Australia adalah negara terbesar keenam di
dunia berdasarkan pada wilayah. Dengan
aneka agam budaya yang hidup bersama,
negara ini memiliki beberapa kesamaan
dengan Indonesia. Namun, Australia memiliki
bentuk-bentuk kesejahteraan yang sangat
berbeda pada umumnya. Menurut tipologi
Esping-Andersen, Australia dapat
dikategorikan sebagai liberal dalam bentuk
kesejahteraan. Negara berfokus pada
kelompok berpenghasilan rendah dan
mendorong warga lainnya untuk
menggunakan upaya yang bukan berasal dari
negara untuk perlindungan sosial.
Sebelum kita berbicara tentang kebijakan
sosial di Australia, pertama-tama kami akan
menyebutkan beberapa fakta tentang orang-
As for health insurance for disabled people, it is
far from decent. There are still a lot of gap that
discriminate people with disabilities. The
program only works on people with severe
disabilities and still insensitive to the condition
of disabled people (Ika, 2013). There should be
more inclusive social security program for
disabled people that made specific for them and
fulfill their needs.
Australia Disabled Labor force
Australia is the sixth largest country by area in
the world. With vast array of cultures that lives
together, it has some similarities with Indonesia.
However, they have very different welfare
states in general. According to Esping-
Andersen typology, Australia can be
categorized as liberal in welfare states. The
state focused on low income groups and
encouraged people to use non-state
alternatives for social protection.
Before we talk about social policies in Australia,
first we are going to mention some facts about
disabled people in Australia. According to
109Jurnal Institut BPJS Ketenagakerjaan Volume 3 No. 1 November 2018
110
orang difabel di Australia. Menurut Biro
Statistik Australia (ABS) ada sekitar 24 juta
warga Australia dan dari angka itu, ada 17,9%
penyandang disabilitas atau 4,3 juta
orang. Hampir satu dari tiga orang memiliki
disabilitas berat atau parah dari populasi
orang-orang difabel di Australia. Dibandingkan
dengan orang yang tidak memiliki disabilitas,
hanya 53% penyandang disabilitas yang telah
bergabung dengan angkatan kerja, sementara
orang yang tidak memiliki disabilitas sekitar
83%. Kesenjangan tenaga kerja antara orang
yang tidak memiliki disabilitas dan orang yang
memiliki disabilitas cukup besar (Biro Statistik
Australia, 2016). Oleh karena itu, jika kita
melihat angka tersebut, ada angka yang mirip
dengan angka pekerja difabel di Indonesia.
Meskipun dalam hal kuantitas kesenjangannya
sangat besar, tapi secara proporsional, angka
tersebut menunjukkan bahwa jumlah orang
difabel di Indonesia adalah 12,15% jika
dibandingkan dengan 17,9% di Australia.
Namun, bagaimana jaminan sosial di Australia
jika dibandingkan dengan Indonesia?
Jaminan sosial di Australia adalah sistem
pembayaran kesejahteraan sosial yang
disediakan oleh Pemerintah Persemakmuran
Australia. Salah satu cabang dari Departemen
Layanan Kemanusiaan mengaturnya, yaitu
centrelink. Hukum tentang jaminan sosial di
Australia hanya berlaku untuk penduduk
Australia. Undang-undang yang ada saat ini
dan menyatakan tentang jaminan sosial
Australia Bureau of Statistics (ABS) there are
around 24 million citizen of Australia and from
that figure, there are 17.9% people with
disabilities or 4.3 million people. Almost one in
three people have profound or severe disability
from the population of disabled people in
Australia. Compared to people with no
disability, only 53% of disabled people have
joined the labor force while people with no
disability figured around 83%. The gap of labor
force between people with no disability and the
one who does have disability is quite big
(Australia Bureau of Statistics, 2016).
Therefore, if we look at the figure, there number
are similar to the disabled labor force figure in
Indonesia. Even though as a quantity the gap is
huge but as proportion, the figure shows that
the number of disabled people in Indonesia is
12.15% compared to 17.9% in Australia.
However, how the social security in Australia
compared to Indonesia?
The social security in Australia is a system of
social welfare payment that provided by the
Commonwealth Government of Australia. One
of the branch of the Department of Human
Services manages it, which is centrelink. The
law of social security in Australia applied only
for the resident of Australia. The current law that
stated about social security are the Law about
Social Security year 1991, the Law about
110 Jurnal Institut BPJS Ketenagakerjaan Volume 3 No. 1 November 2018
110
orang difabel di Australia. Menurut Biro
Statistik Australia (ABS) ada sekitar 24 juta
warga Australia dan dari angka itu, ada 17,9%
penyandang disabilitas atau 4,3 juta
orang. Hampir satu dari tiga orang memiliki
disabilitas berat atau parah dari populasi
orang-orang difabel di Australia. Dibandingkan
dengan orang yang tidak memiliki disabilitas,
hanya 53% penyandang disabilitas yang telah
bergabung dengan angkatan kerja, sementara
orang yang tidak memiliki disabilitas sekitar
83%. Kesenjangan tenaga kerja antara orang
yang tidak memiliki disabilitas dan orang yang
memiliki disabilitas cukup besar (Biro Statistik
Australia, 2016). Oleh karena itu, jika kita
melihat angka tersebut, ada angka yang mirip
dengan angka pekerja difabel di Indonesia.
Meskipun dalam hal kuantitas kesenjangannya
sangat besar, tapi secara proporsional, angka
tersebut menunjukkan bahwa jumlah orang
difabel di Indonesia adalah 12,15% jika
dibandingkan dengan 17,9% di Australia.
Namun, bagaimana jaminan sosial di Australia
jika dibandingkan dengan Indonesia?
Jaminan sosial di Australia adalah sistem
pembayaran kesejahteraan sosial yang
disediakan oleh Pemerintah Persemakmuran
Australia. Salah satu cabang dari Departemen
Layanan Kemanusiaan mengaturnya, yaitu
centrelink. Hukum tentang jaminan sosial di
Australia hanya berlaku untuk penduduk
Australia. Undang-undang yang ada saat ini
dan menyatakan tentang jaminan sosial
Australia Bureau of Statistics (ABS) there are
around 24 million citizen of Australia and from
that figure, there are 17.9% people with
disabilities or 4.3 million people. Almost one in
three people have profound or severe disability
from the population of disabled people in
Australia. Compared to people with no
disability, only 53% of disabled people have
joined the labor force while people with no
disability figured around 83%. The gap of labor
force between people with no disability and the
one who does have disability is quite big
(Australia Bureau of Statistics, 2016).
Therefore, if we look at the figure, there number
are similar to the disabled labor force figure in
Indonesia. Even though as a quantity the gap is
huge but as proportion, the figure shows that
the number of disabled people in Indonesia is
12.15% compared to 17.9% in Australia.
However, how the social security in Australia
compared to Indonesia?
The social security in Australia is a system of
social welfare payment that provided by the
Commonwealth Government of Australia. One
of the branch of the Department of Human
Services manages it, which is centrelink. The
law of social security in Australia applied only
for the resident of Australia. The current law that
stated about social security are the Law about
Social Security year 1991, the Law about
111
adalah Undang-Undang tentang Jaminan
Sosial tahun 1991, Undang-Undang tentang
Pensiun tahun 1992 dan Undang-Undang
tentang Pajak Keluarga tahun 1999.
Seperti Indonesia, ada lembaga yang
mengelola jaminan sosial untuk tenaga kerja
dan kesehatan di Australia. Perbedaannya
terletak pada adanya lembaga khusus yang
mengelola program jaminan sosial tertentu
daripada satu lembaga yang mengelola
beberapa program jaminan sosial seperti
BPJS Ketenagakerjaan di Indonesia.
Beberapa dari lembaga-lembaga tersebut
adalah Centrelink, Departemen Layanan
Kemanusiaan, Lembaga Kemanusiaan dan
Kesejahteraan Australia, Kantor Pajak
Australia, dan Departemen Layanan Sosial.
Pemerintah Australia menyediakan jaminan
sosial khusus untuk orang-orang difabel. Ada
pensiun disabilitas untuk orang difabel yang
merupakan penduduk Australia. Program
disediakan untuk membantu orang-orang
difabel terkait dengan biaya hidup, mobilitas,
perawatan, obat-obatan dan kebutuhan hidup
mereka lainnya. Departemen Layanan Sosial
Australia (DSS) membuka diskusi dengan para
pemangku kepentingan untuk
mengembangkan kebijakan ketenagakerjaan
yang didukung. Program ini dimaksudkan
untuk membuat kebijakan sosial yang sesuai
dengan pemberi kerja dan mendukung tenaga
kerja difabel untuk bergabung dengan pasar
tenaga kerja. Dengan diskusi terbuka ini, DSS
Superannuation Administration year 1992 and
the Law about Family Tax year 1999. Like
Indonesia, there are agencies that managed the
social security for labor and health in Australia.
the differences is there are specific agencies
that managed certain program of social security
rather than one agency that managed multiple
programs of social security like BPJS
Ketenagakerjaan in Indonesia. Some of the
agencies are Centrelink, the Department of
Human Services, Australia Institute of Human
and Welfare, Australia Taxation Office and
Department of Social Services.
Australian government provide social security
specific for disabled people. There is disability
pension for disabled people that are Australian
resident. The program provided to assist
disabled people with living costs, mobility,
caregiver, pharmaceutical and other utilities.
Australia’s Department of Social Services
(DSS) open up a discussion with the
stakeholders to develop a supported
employment policy. This program is for making
a social policy that suit the employer and
support disabled labor force to join the labor
market. With this open discussion, DSS can see
what the disabled labor force’s need and how
the employers can provide the infrastructure for
the disabled. DSS also developed city
111Jurnal Institut BPJS Ketenagakerjaan Volume 3 No. 1 November 2018
112
dapat melihat apa sajakah kebutuhan tenaga
kerja difabel dan bagaimana pemberi kerja
dapat menyediakan infrastruktur bagi
penyandang disabilitas. DSS juga
mengembangkan infrastruktur kota untuk
memberikan lebih banyak akses bagi
penyandang disabilitas. Mulai dari transportasi
untuk penyandang disabilitas, sampai dengan
upaya pemerintah untuk menyediakan
transportasi umum yang layak guna
mengurangi atau melarang diskriminasi
kepada orang-orang difabel. Undang-undang
Diskriminasi Disabilitas tahun 1992
menetapkan standar untuk aksesibilitas bagi
penyandang disabilitas. Semua aspek dalam
angkutan umum atau layanan publik harus
memenuhi standar untuk menyediakan
infrastruktur dan tempat pendukung bagi para
penyandang disabilitas.
Pemerintah Australia sedang mencoba untuk
menempatkan kesetaraan bagi penyandang
disabilitas dengan membangun komunitas
yang lebih inklusif bagi orang difabel. Seperti
yang dilaporkan dalam Shut Out: The
Experience of People with Disabilities and their
Families in Australia (2009).
“Orang-orang difabel ingin mewujudkan
transformasi kehidupan mereka. Mereka ingin
hak asasi manusia mereka diakui dan
direalisasikan. Mereka menginginkan hal-hal
yang diinginkan oleh semua orang di
masyarakat. Mereka ingin tempat tinggal,
infrastructure to gain more access for disabled
people. Start from transport for disabled people,
the government provide decent public transport
to reduce or prohibits discrimination to the
disabled people. The Disability Discrimination
Act 1992 provide a standard to accessibility for
disabled people. All of the aspect in public
transports or public services must fulfil the
standard to provide supporting premises and
infrastructure for people with disabilities.
The government of Australia is trying to put
equality for the disabled people by building
more inclusive community for disabled people. As reported in Shut Out: The Experience of
People with Disabilities and their Families in
Australia (2009).
“People with disabilities want to bring about a
transformation of their lives. They want their
human rights recognised and realised. They
want the things that everyone else in the
community takes for granted. They want
somewhere to live, a job, better health care, a
112 Jurnal Institut BPJS Ketenagakerjaan Volume 3 No. 1 November 2018
112
dapat melihat apa sajakah kebutuhan tenaga
kerja difabel dan bagaimana pemberi kerja
dapat menyediakan infrastruktur bagi
penyandang disabilitas. DSS juga
mengembangkan infrastruktur kota untuk
memberikan lebih banyak akses bagi
penyandang disabilitas. Mulai dari transportasi
untuk penyandang disabilitas, sampai dengan
upaya pemerintah untuk menyediakan
transportasi umum yang layak guna
mengurangi atau melarang diskriminasi
kepada orang-orang difabel. Undang-undang
Diskriminasi Disabilitas tahun 1992
menetapkan standar untuk aksesibilitas bagi
penyandang disabilitas. Semua aspek dalam
angkutan umum atau layanan publik harus
memenuhi standar untuk menyediakan
infrastruktur dan tempat pendukung bagi para
penyandang disabilitas.
Pemerintah Australia sedang mencoba untuk
menempatkan kesetaraan bagi penyandang
disabilitas dengan membangun komunitas
yang lebih inklusif bagi orang difabel. Seperti
yang dilaporkan dalam Shut Out: The
Experience of People with Disabilities and their
Families in Australia (2009).
“Orang-orang difabel ingin mewujudkan
transformasi kehidupan mereka. Mereka ingin
hak asasi manusia mereka diakui dan
direalisasikan. Mereka menginginkan hal-hal
yang diinginkan oleh semua orang di
masyarakat. Mereka ingin tempat tinggal,
infrastructure to gain more access for disabled
people. Start from transport for disabled people,
the government provide decent public transport
to reduce or prohibits discrimination to the
disabled people. The Disability Discrimination
Act 1992 provide a standard to accessibility for
disabled people. All of the aspect in public
transports or public services must fulfil the
standard to provide supporting premises and
infrastructure for people with disabilities.
The government of Australia is trying to put
equality for the disabled people by building
more inclusive community for disabled people. As reported in Shut Out: The Experience of
People with Disabilities and their Families in
Australia (2009).
“People with disabilities want to bring about a
transformation of their lives. They want their
human rights recognised and realised. They
want the things that everyone else in the
community takes for granted. They want
somewhere to live, a job, better health care, a
113
pekerjaan, perawatan kesehatan yang lebih
baik, pendidikan yang baik, kesempatan untuk
menikmati hidup dengan teman-teman dan
keluarga, menonton sepakbola, dan pergi ke
bioskop. Mereka menginginkan kesempatan
untuk berpartisipasi secara berarti dalam
kehidupan komunitas. Dan mereka sangat
berharap. Mereka menginginkan perubahan
dan mereka ingin orang lain di komunitas untuk
berbagi visi dengan mereka. Mereka mengakui
bahwa pemerintah tidak dapat bekerja sendiri
dan mereka ingin orang lain melihat manfaat
dari membangun komunitas yang lebih
inklusif (ShutOut, 2009).”
Dengan dasar pemikiran tersebut sebagai
alasan, pemerintah Australia mencoba untuk
mengembangkan strategi guna membuat
masyarakat Australia menjadi inklusif yang
memungkinkan penyandang disabilitas untuk
memenuhi potensi mereka sebagai warga
negara yang setara”. Strategi Disabilitas
Nasional (NDS) dilaksanakan selama sepuluh
tahun sejak tahun 2010 hingga 2020. Pada
tahun 2008, pemerintah Australia meratifikasi
Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas
(CRPD) dari Perserikatan Bangsa-
Bangsa. Strategi ini akan menjadi
pedoman untuk melindungi, mempromosikan,
dan memenuhi hak asasi manusia
penyandang disabilitas. Strategi ini akan
memberikan pedoman dalam enam bidang
kebijakan, yaitu:
1. Komunitas yang Inklusif dan Dapat
good education, a chance to enjoy the company
of friends and family, to go to the footy and to
go to the movies. They want the chance to
participate meaningfully in the life of the
community. And they are hopeful. They desire
change and they want others in the community
to share their vision. They recognise that
governments cannot work in isolation and they
want others to see the benefits of building more
inclusive communities (ShutOut, 2009)”
With that as a reason, the government of
Australia try to develop a strategy to make “an
Inclusive Australian society that enables people
with disability to fulfil their potential as equal
citizens”. The National Disability Strategy
(NDS) is executed for ten years since 2010 to
2020. In 2008, Australian government ratified
the Convention on The Rights of Person with
Disabilities (CRPD) from United Nations. The
strategy will be guidelines to protect, promote
and fulfill the human rights of disabled people.
The strategy will provide guidelines in six policy
areas, which are:
1. Inclusive and Accessible Communities
2. Right Protection, Justice and Legislation
3. Economic Security
4. Personal and Community Support
5. Learning and Skills
6. Health and Wellbeing
113Jurnal Institut BPJS Ketenagakerjaan Volume 3 No. 1 November 2018
114
Diakses
2. Perlindungan terhadap Hak, Keadilan,
dan Perundang-undangan
3. Jaminan Ekonomi
4. Bantuan Pribadi dan Komunitas
5. Pembelajaran dan Keterampilan
6. Kesehatan dan Kesejahteraan
Kebijakan semacam itu akan menyediakan
lingkungan yang inklusif bagi penyandang
disabilitas. Peluang yang lebih baik akan
memberikan manfaat tidak hanya bagi
penyandang disabilitas tapi juga keluarga dan
pengasuh mereka (Australian Disability
Enterprise, 2011).
Strategi tersebut menyadari bahwa orang-
orang memiliki disabilitas yang berbeda antara
satu sama lain. Mereka memiliki kebutuhan
dan prioritas khusus berdasarkan pada
disabilitas mereka. Karena keragaman
masyarakat, strategi ini akan menjadi
jembatan untuk menghubungkan kebutuhan
penyandang disabilitas dengan
persemakmuran guna menyediakan fasilitas
yang tepat bagi mereka. Strategi ini juga
mencoba untuk memfasilitasi penyandang
disabilitas di daerah pedesaan atau
terpencil. Masalah pada daerah pedesaan
adalah karena karakteristik daerah tersebut
dengan populasi berkepadatan rendah dan
kurangnya akses ke pusat layanan.
Such policies will provide an inclusive
environment for disabled people. The better
opportunities will give benefits for not only
people with disabilities but also their families
and their carers (Australian Disability
Enterprise, 2011).
The strategy realized that people have different
disabilities from each other. They have specific
needs and priorities based on their disabilities.
Because of the diversity of the society, the
strategy will be a bridge to connect disabled
people’s need with commonwealth to provide
the proper facilities for them. The strategy also
try to facilitate people with disability in rural or
remote areas. The problem with rural areas are
because of the characteristic of the area like
low-density population and the lack of access to
services center.
114 Jurnal Institut BPJS Ketenagakerjaan Volume 3 No. 1 November 2018
114
Diakses
2. Perlindungan terhadap Hak, Keadilan,
dan Perundang-undangan
3. Jaminan Ekonomi
4. Bantuan Pribadi dan Komunitas
5. Pembelajaran dan Keterampilan
6. Kesehatan dan Kesejahteraan
Kebijakan semacam itu akan menyediakan
lingkungan yang inklusif bagi penyandang
disabilitas. Peluang yang lebih baik akan
memberikan manfaat tidak hanya bagi
penyandang disabilitas tapi juga keluarga dan
pengasuh mereka (Australian Disability
Enterprise, 2011).
Strategi tersebut menyadari bahwa orang-
orang memiliki disabilitas yang berbeda antara
satu sama lain. Mereka memiliki kebutuhan
dan prioritas khusus berdasarkan pada
disabilitas mereka. Karena keragaman
masyarakat, strategi ini akan menjadi
jembatan untuk menghubungkan kebutuhan
penyandang disabilitas dengan
persemakmuran guna menyediakan fasilitas
yang tepat bagi mereka. Strategi ini juga
mencoba untuk memfasilitasi penyandang
disabilitas di daerah pedesaan atau
terpencil. Masalah pada daerah pedesaan
adalah karena karakteristik daerah tersebut
dengan populasi berkepadatan rendah dan
kurangnya akses ke pusat layanan.
Such policies will provide an inclusive
environment for disabled people. The better
opportunities will give benefits for not only
people with disabilities but also their families
and their carers (Australian Disability
Enterprise, 2011).
The strategy realized that people have different
disabilities from each other. They have specific
needs and priorities based on their disabilities.
Because of the diversity of the society, the
strategy will be a bridge to connect disabled
people’s need with commonwealth to provide
the proper facilities for them. The strategy also
try to facilitate people with disability in rural or
remote areas. The problem with rural areas are
because of the characteristic of the area like
low-density population and the lack of access to
services center.
115
“Strategi tersebut harus mengenali
kompleksitas kehidupan masyarakat dan
persinggungan dan kesalingtergantungan
banyak bidang (ShutOut, 2009)”
Tujuannya adalah untuk meningkatkan
kebijakan bagi penyandang disabilitas
dan menyelaraskannya dengan program yang
diterapkan pemerintah dalam kehidupan
nyata.
D. KESIMPULAN
Tidak ada satu orang pun yang ingin terlahir
cacat atau mengalami kecelakaan yang
memicu disabilitas. Sebagai manusia, mereka
sama seperti orang lain. Mereka memiliki hak
yang sama untuk memenuhi kebutuhan
mereka dan berkontribusi kepada masyarakat.
Tetapi, sayangnya karena “perbedaan”
mereka, mereka kadang-kadang diperlakukan
berbeda dan menghadapi diskriminasi dari
masyarakat. Mereka memiliki kemungkinan
yang lebih besar untuk mengalami layanan
kesehatan yang buruk, partisipasi yang rendah
dalam pendidikan dan pekerjaan, pengucilan
sosial dan kurangnya akses ke
infrastruktur. Penyandang disabilitas harus
memiliki potensi yang sama untuk
berkontribusi bagi masyarakat sebaik orang
lain dengan semua fasilitas dan layanan dari
pemerintah.
Dengan perbedaan yang mereka miliki,
pemerintah Indonesia harus mengambil
” the Strategy must recognise the complexity of
people’s lives and the intersection and
interdependence of many areas (ShutOut,
2009)”
The goal is to improve the policy for disabled
people and synchronize it with the programs
that the government applied in reality.
D. CONCLUSION
There is not one person that want to born with
disabilities or having an accident that leads to
disabilities. As a human being, they are as
equal as everyone else is. They have the same
rights to fulfill their needs and contribute to the
society, but unfortunately because of their
“differences”, they sometimes treated differently
and facing discrimination from the society. They
are more likely to experience poor health
services, low participation in education and
employment, social exclusion and lack of
accessibility to the infrastructures. People with
disabilities should have the same potential to
contribute for the society as good as other
people with all the facilities and services from
the government.
As different as they can be, the government of
Indonesia should take an example from some
115Jurnal Institut BPJS Ketenagakerjaan Volume 3 No. 1 November 2018
116
contoh dari beberapa kebijakan sosial untuk
penyandang disabilitas yang diterapkan di
Australia. Aksesibilitas pada fasilitas dan
layanan publik adalah salah satu masalah
utama yang dihadapi orang-orang difabel.
Kesadaran dari masyarakat dan pengusaha
untuk memberikan kesempatan yang sama
bagi penyandang disabilitas. Karena bentuk
kesejahteraan Australia dianggap liberal,
pemerintah benar-benar dapat fokus pada
orang-orang dalam kelompok berpenghasilan
rendah. Badan-badan dalam pemerintahan
Australia bekerja sama dan mengintegrasikan
sistem untuk menciptakan kebijakan sosial
yang lebih baik bagi penyandang disabilitas.
Untuk membuat lingkungan yang inklusif bagi
penyandang disabilitas, pemerintah Indonesia
perlu bekerja sama satu sama lain, dengan
LSM dan tentu saja orang-orang penyandang
disabilitas itu sendiri. Masukan dari
penyandang disabilitas akan memberikan
perspektif yang lebih baik tentang apa yang
mereka butuhkan dan harus disediakan oleh
pemerintah. Poin utama dari kebijakan sosial
untuk orang cacat adalah memenuhi hak asasi
manusia mereka sebagai warga negara
karena mereka berhak mendapatkan
kesempatan yang sama seperti orang lain.
of the social policy for disabled people that
implemented in Australia. The accessibility in
public facilities and services are one of the main
problems that disabled people are facing. The
awareness from the society and employer to
give the same opportunities for people with
disabilities. Because of the welfare states of
Australia is considered as liberal, the
government can really focus on people in low-
income group. The departments of the
government of Australia are work together and
integrated a system to create a better social
policy for disabled people.
To make an inclusive environment for people
with disabilities, the government of Indonesia
need to work together with each other, NGOs
and of course people with disabilities
themselves. The input from disabled people will
give a better perspective on what they needs
that the government should provide. The main
point of the social policies for disabled people is
to fulfill their human rights as citizens because
they deserve equal opportunities as well as
other people.
116 Jurnal Institut BPJS Ketenagakerjaan Volume 3 No. 1 November 2018
116
contoh dari beberapa kebijakan sosial untuk
penyandang disabilitas yang diterapkan di
Australia. Aksesibilitas pada fasilitas dan
layanan publik adalah salah satu masalah
utama yang dihadapi orang-orang difabel.
Kesadaran dari masyarakat dan pengusaha
untuk memberikan kesempatan yang sama
bagi penyandang disabilitas. Karena bentuk
kesejahteraan Australia dianggap liberal,
pemerintah benar-benar dapat fokus pada
orang-orang dalam kelompok berpenghasilan
rendah. Badan-badan dalam pemerintahan
Australia bekerja sama dan mengintegrasikan
sistem untuk menciptakan kebijakan sosial
yang lebih baik bagi penyandang disabilitas.
Untuk membuat lingkungan yang inklusif bagi
penyandang disabilitas, pemerintah Indonesia
perlu bekerja sama satu sama lain, dengan
LSM dan tentu saja orang-orang penyandang
disabilitas itu sendiri. Masukan dari
penyandang disabilitas akan memberikan
perspektif yang lebih baik tentang apa yang
mereka butuhkan dan harus disediakan oleh
pemerintah. Poin utama dari kebijakan sosial
untuk orang cacat adalah memenuhi hak asasi
manusia mereka sebagai warga negara
karena mereka berhak mendapatkan
kesempatan yang sama seperti orang lain.
of the social policy for disabled people that
implemented in Australia. The accessibility in
public facilities and services are one of the main
problems that disabled people are facing. The
awareness from the society and employer to
give the same opportunities for people with
disabilities. Because of the welfare states of
Australia is considered as liberal, the
government can really focus on people in low-
income group. The departments of the
government of Australia are work together and
integrated a system to create a better social
policy for disabled people.
To make an inclusive environment for people
with disabilities, the government of Indonesia
need to work together with each other, NGOs
and of course people with disabilities
themselves. The input from disabled people will
give a better perspective on what they needs
that the government should provide. The main
point of the social policies for disabled people is
to fulfill their human rights as citizens because
they deserve equal opportunities as well as
other people.
117
DAFTAR PUSTAKA / BIBLIOGRAPHY Australia Bureau of Statistics. (2016). Profile of People with disability in Australia.
Canberra: ABS.
Australian Disability Enterprise. (2011). National Disability Strategy. Australian Disability Enterprise.
BetterWork. (2012). Memperkerjakan Penyandang Disabilitas. BetterWork.
Central Bureau of Statistic. (2015). Profil Penduduk Indonesia Hasil Supas 2015. Jakarta: Central Bureau of Statistic.
Chophra, S. (2015). Legislating Safety Nets: Comparing Recent Social Protection Laws in Asia. Creating “Cradle to Grave” Social Security Indonesia, 38.
Ebbinghaus, B. (2012). Comparing Welfare State Regime: Are Typologies an Ideal or Realistic Strategy?
Haniy, S. U. (2016, December 17). Mengapa Partisipasi Disabilitas Dalam Bursa Tenaga Kerja Minim ? Retrieved from Rappler: https://www.rappler.com/indonesia/berita/155758-sebab-solusi-partisipasi-penyandang-disabilitas-tenaga-kerja
Ika. (2013, January 3). Aturan Jaminan Kesehatan Bagi Difabel Perlu Direvisi. Retrieved from UGM: https://ugm.ac.id/id/berita/4821-aturan.jaminan.kesehatan.bagi.difabel.perlu.direvisi
Indonesia Health Minister. (2015). Situasi Penyandang Disabilitas. Jakarta: Indonesia Health Minister.
PresidenRI. (2016, April 26). Perda dan Bantuan Bagi Penyandang Disabilitas. Retrieved from PresidenRI.go.id: http:// presidenri.go.id/berita-aktual/perda-dan-bantuan-bagi-penyandang-disabilitas.html
Ratnaningsih, E. (2016, April). PERGESERAN PARADIGMA TENTANG PENYANDANG DISABILITAS DALAM UU NO. 8 TAHUN 2016. Retrieved from Business-Law Binus: http://business-law.binus.ac.id/2016/04/29/pergeseran-paradigma-tentang-penyandang-disabilitas-dalam-uu-no-8-tahun-2016/
ShutOut. (2009). The Experience of People with Disabilities and Their Families in Australia. DSS.
UNY. (2014). Ringkasan Pelayanan Publik Bagi Difabel di Kota Yogyakarta. Yogyakarta: UNY.
117Jurnal Institut BPJS Ketenagakerjaan Volume 3 No. 1 November 2018
118
CURRICULUM VITAE
Zicko Varianto
Address : Bukit Pamulang Indah Blok C 8/6, South Tangerang, Indonesia
Phone : 0415912792
Email :[email protected]
PERSONAL INFORMATION Full Name : Zicko Varianto
Place, Date of Birth : Jakarta, February 14th 1992 Gender : Male Height/Weight : 180 cm/95 kg Citizenship : Sunda, Indonesian Religion : Islam GPA : 3.3 (scale 4) 145 credits Strong Points :Hard worker, fast learner, focus, friendly, confident and capable to work independently or in a team
Interests :Learning the new things to get a new idea, challenges, management strategic, line balancing, quality control, sports and music.
Final Project : IT Staff BPJS Ketenagakerjaan (Indonesian National Social Security)
BPJS Ketenagakerjaan
Website : www.bpjsketenagakerjaan.go.id
Social Security / National
September 2013 – Present
IT Staff
Directly Report to head of IT Department
My Objectives ;
Ensure that all system run well as well as interacting with customer about their difficulties with
the system.
118 Jurnal Institut BPJS Ketenagakerjaan Volume 3 No. 1 November 2018
118
CURRICULUM VITAE
Zicko Varianto
Address : Bukit Pamulang Indah Blok C 8/6, South Tangerang, Indonesia
Phone : 0415912792
Email :[email protected]
PERSONAL INFORMATION Full Name : Zicko Varianto
Place, Date of Birth : Jakarta, February 14th 1992 Gender : Male Height/Weight : 180 cm/95 kg Citizenship : Sunda, Indonesian Religion : Islam GPA : 3.3 (scale 4) 145 credits Strong Points :Hard worker, fast learner, focus, friendly, confident and capable to work independently or in a team
Interests :Learning the new things to get a new idea, challenges, management strategic, line balancing, quality control, sports and music.
Final Project : IT Staff BPJS Ketenagakerjaan (Indonesian National Social Security)
BPJS Ketenagakerjaan
Website : www.bpjsketenagakerjaan.go.id
Social Security / National
September 2013 – Present
IT Staff
Directly Report to head of IT Department
My Objectives ;
Ensure that all system run well as well as interacting with customer about their difficulties with
the system.
119
FORMAL EDUCATION
SCHOOL YEAR
Melbourne University 2018-Now
Universitas Gadjah Mada 2018-Now
Bina Nusantara University 2009 - 2013
35 High School Jakarta 2006 - 2009
19 Junior High School Jakarta 2003 - 2006
05 Elementary School Jakarta 1997 - 2003
COMPUTER ABILITY
SPECIFICATION DESCRIPTION
Windows (XP, Vista, Seven, 10) Operating system
Microsoft Office (Office Visio,
Publisher, Word, Excel, Power Point)
Plant layout, Word processing, Spreadsheet and
Data calculation, Presentation design, etc.
Promodel Proffesional Modelling system
Powersim Modelling system
LANGUAGE ABILITY
LANGUAGE DESCRIPTION (ORAL AND WRITTEN)
Indonesian Excellent
English Excellent
119Jurnal Institut BPJS Ketenagakerjaan Volume 3 No. 1 November 2018