134
ISSN 1979-9276 LENTERA ILMU Jurnal Pendidikan dan Kajian Keagamaan PERKEMBANGAN ISLAM PADA MASA BANI UMAYYAH Usman ISLAM DAN NEGARA DALAM PANDANGAN ALI ABD Al-RAZIQ Hasan Anshori EVALUASI SUPERVISI PENDIDIKAN BERBASIS AL-QURAN Abdul Rokhim PERAN KH. HASYIM ASY-ARI DALAM SEJARAH SOSIAL INTLEKTUAL DI INDONESIA Amirudin Hamzah MENDIDIK ANAK SUPERNORMAL DALAM PERSEPEKTIF ISLAM Hasanudin URGENSI PENDIDIKAN AKHLAK TERHADAP ANAK DIDIK Fatima PENDIDIKAN PESANTREN DALAM PERSEPEKTIF KH. ABDURRAHMAN WAHID Abdul Rosyid MODEL PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL Ahmad Cecep Damanhuri UNIVERSITAS SATYAGAMA JAKARTA LENTERA ILMU Volume I No. 1 Hal. 1-134 Juni 2021 ISSN 1979 - 9276

Jurnal Pendidikan dan Kajian Keagamaan

  • Upload
    others

  • View
    16

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Jurnal Pendidikan dan Kajian Keagamaan

1

ISSN 1979-9276

LENTERA ILMU Jurnal Pendidikan dan Kajian Keagamaan

PERKEMBANGAN ISLAM PADA MASA

BANI UMAYYAH

Usman

ISLAM DAN NEGARA DALAM PANDANGAN ALI ABD Al-RAZIQ

Hasan Anshori

EVALUASI SUPERVISI PENDIDIKAN BERBASIS AL-QURAN

Abdul Rokhim

PERAN KH. HASYIM ASY-ARI DALAM SEJARAH SOSIAL

INTLEKTUAL DI INDONESIA

Amirudin Hamzah

MENDIDIK ANAK SUPERNORMAL DALAM PERSEPEKTIF ISLAM

Hasanudin

URGENSI PENDIDIKAN AKHLAK TERHADAP ANAK DIDIK

Fatima

PENDIDIKAN PESANTREN DALAM PERSEPEKTIF

KH. ABDURRAHMAN WAHID

Abdul Rosyid

MODEL PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL

Ahmad Cecep Damanhuri

UNIVERSITAS SATYAGAMA

JAKARTA

LENTERA ILMU Volume I No. 1 Hal. 1-134 Juni 2021 ISSN 1979 - 9276

Page 2: Jurnal Pendidikan dan Kajian Keagamaan

2

LENTERA ILMU Jurnal Pendidikan dan Kajian Keagamaan

PERKEMBANGAN ISLAM PADA MASA

BANI UMAYYAH

Usman

ISLAM DAN NEGARA DALAM PANDANGAN ALI ABD Al-RAZIQ

Hasan Anshori

EVALUASI SUPERVISI PENDIDIKAN BERBASIS AL-QURAN

Abdul Rokhim

PERAN KH. HASYIM ASY-ARI DALAM SEJARAH SOSIAL

INTLEKTUAL DI INDONESIA

Amirudin Hamzah

MENDIDIK ANAK SUPERNORMAL DALAM PERSEPEKTIF ISLAM

Hasanudin

URGENSI PENDIDIKAN AKHLAK TERHADAP ANAK DIDIK

Fatima

PENDIDIKAN PESANTREN DALAM PERSEPEKTIF

KH. ABDURRAHMAN WAHID

Abdul Rosyid

MODEL PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL

Ahmad Cecep Damanhuri

UNIVERSITAS SATYAGAMA

JAKARTA

LENTERA ILMU Volume I No. 1 Hal. 1-134 Juni 2021 ISSN 1979 - 9276

ISSN 1979-9276

Page 3: Jurnal Pendidikan dan Kajian Keagamaan

3

LENTERA ILMU Jurnal Pendidikan dan Kajian Keagamaan

Penerbit:

SATYAGAMA PRESS

Pelindung:

Dr. Ir. Dewi Sulistyowati, MM. M.Si

(Rektor Universitas Satyagama)

Pimpinan Redaksi

Dr. H. Usman Umar

Sekretaris

Hasanudin, S.PdI. M.Si

Dewan Redaksi :

Abdul Rokhim, MAg

Design Grafis:

Ahmad Cecep Damanhuri, M.Pd

Redaksi Ahli :

Dr. H. Usman Umar Universitas Satyagama

Drs. H. Asep Syaifullah, M Universitas Satyagama

Drs. H. Ahmad Chaidir, Lc. M. Hum Universitas Satyagama

H. Asnin Syafiuddin, Lc. MA Universitas Satyagama

LENTERA ILMU diterbitkan oleh Fakultas Agama Islam sebagai media

komunikasi dikalangan Staf Pengajar, Peneliti, Dosen, Mahasiswa mapun para

pemerhati seputar Pendidikan, Agama Islam, Filsafat, Sejarah dan Peradaban

Islam. Redaksi menerima sumbangan naskah yang belum diterbitkan di media lain

dan objektif baik dari hasil penelitian maupun kajian kritis dibidang yang sama.

LENTERA ILMU Volume I No. 1 Hal. 1-134 Juni 2021 ISSN 1979 - 9276

ISSN 1979-9276

Page 4: Jurnal Pendidikan dan Kajian Keagamaan

4

PERKEMBANGAN ISLAMPADA MASA

BANI UMAYYAH

Usman

I. Pendahuluan

Dengan meninggalnya Khalifah Ali, maka ini adalah awal kekuasaan Bani

Umayyah dipimpin oleh Muawiyah bin Abu Sofyan bin Harb bin Umayyah.

Pemerintahan yang tadinya demokratis berubah menjadi monarchiheridetis

(kerajaan turun temurun/dinasti)1. Kekuasaan yang diraih oleh Muawiyah

diperolehnya dengan cara yang licik dan penuh dengan tipu muslihat serta dengan

kekerasan, tidak dengan pemilihan atau suara terbanyak dari kaum muslimin

sebgaimana dilakukan oleh Khulafaurrasyidin. Dalam kekuasaannya yang

monarchi Muawiyyah tetap menggunakan istilah Khalifah, tetapi dia memberikan

interprestasi baru dari kata-kata itu untuk mengagungkan jabatan tersebut. Dia

menyebutnya Khalifah Allah dengan pengertian penguasa yang diangkat Allah.

Oleh Muawiyah ibu kota negara dipindahkan dari Madinah ke Damaskus.

Kekuasaan Bani Umayyah berumur kurang lebih 90 tahun tepatnya tahun

660-749 M (40-132 H). Nama Umayyah diambil dari nama datuk Muawiyyah

(w.680/60 H) pendiri dinasti Umayyah di Damaskus.2 Selama kekuasaan Bani

Umayyah kurang lebih 14 khalifah telah naik tahta tetapi kualitas dan kuantitas

pemerintahan Bani Umayyah sering dipandang sebagai permulaan timbulnya

sistem politik dalam Islam yang tidak melaksanakan lagi perinsip dasar yang

dilaksanakan oleh Nabi dan Khulafaurrasyidin yaitu musyawarah dalam

memecahkan permasalahan dalam kenegaraan.3

II. Khalifah-Khalifah Bani Umayyah

Khalifah-khalifah besar bani Umayyah diantaranya adalah Muawiyah ibn

Abu Sofyan (661-680 M), Abd Al-Malik ibn Marwan (685-705 M), Al-Walid ibn

1Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1997), hlm 42. 2Tim penyusun IAIN Syahid, Ensiklopedi Islam Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 1992), hlm

962. 3Yusran Asmuni, Dirasah Islamiyah II (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,1996),hlm 7.

Page 5: Jurnal Pendidikan dan Kajian Keagamaan

5

Abd Malik (705-720M), Umar ibn Abd Azis (717-720 M), dan Hasyim ibn Abd Al

Malik (724-743 M).

Muawiyahibn Abu Sofyan adalah pendiri daulat Umayyah.Kecakapan

Muawiyah dalam bidang politik dan kenegaraan cukup cemerlang, antara lain dia

dapat mengubah masyarakat yang kacau menjadi masyarakat yang teratur dan

disiplin. Perluasan Islam pada masa Muawiyah diantaranya ketimur sampai India

oleh Mahlabibn Abu Sufrah dan kebarat yaitu Byzantium oleh Yazidi bn Muawiyah

juga diadakan perluasan ke Afrika.

Setelah Muawiyah wafat kekuasaan Bani Umayyah lalu

diteruskanolehanaknya yaitu Yazidi bn Muawiyah. Pengangkatan Yazid

menimbulkan gerakan oposisi diantaranya Huseinibn Ali dan Abdullah ibn Zubair

serta Syi’ah, hal ini timbul karena Muawiyah tidak mentaati perjanjiannya dengan

Hasanibn Ali.Di Karbela Husein ibn Ali di penggal dan kepalnya dikirim ke

Damskus. Pemberontak dari Syi’ah diantaranya Mukhtar di Kuffah yang didukung

oleh kaum Mawali4 . Mukhtar mati ketika melawan Abdullah ibn Zubair. Abdullah

ibn Zubair menyusun kekuatan di Mekah dan ia wafat dibunuh setelah diserang

tentara Yazid pada tahun 73 H/692 M.

Abd Malik (khalifah ke-5) meneruskan usaha Muawiyah memperluas daerah

kekuasaan Islam ke Balkh, Bukhara, Khawarizm, Ferghana, dan Samarkhand juga

ke India. Ekspansi besar-besaran dilanjutkan oleh Al-Walid ibn Abd Malik(khalifah

ke-6). Pemerintahannya tercatat sebagai masa ketertiban, kemakmuran, dan

ketentraman. Ekspansi militernya dari Afrika Utara (Al-Jazair dan Maroko) lalu

dilanjutkan ke Eropa tahun 711 M dipimpin oleh Thariq bin Ziyad pasukannya

menyebrangi selat dari Maroko ke Eropa mendarat di Gibraltar(Jabal Thariq)

dengan kecerdasannya ia dapat menundukkan Spanyol, Kordova, Seville, Elvira,

dan Toledo.

Pada masa Umar ibn Abd Azis (khalifah ke-8) ketika dinobatkan ia

menyatakan bahwa memperbaiki dan meningkatkan negeri yang berada dalam

wilayah Islam lebih baik dari pada menambah perluasannya. Dia berhasil menjalin

4Mawali adalah umat Islam bukan Arab, berasal dari Persia,Armenia dll, Badri yatim, op

cit. Hlm 46

Page 6: Jurnal Pendidikan dan Kajian Keagamaan

6

hubungan dengan golongan Syi’ah. Kebebasan beragama dijamin, pajak diperingan

serta kedudukan Mawali disejajarkan dengan muslim Arab.5

Yazid ibn Abd Malik(khalifah ke-9) adalah seorang khalifah yang terlalu

gandrung kepada kemewahan dan kurang memperhatikan kehidupan rakyat.

Kehidupan rakyat yang tadinya damai menjadi kacau serta rakyat menyatakan

konfrontasi terhadap pemerintahan Yazid ibn Abd Malik. Kerusuhan terus berlanjut

sampai kepada khalifah selanjutnya yaitu Hisyam ibn Abd Malik(khalifah ke-10).

Hisyam adalah seorang khalifah yang kuat dan trampil namun karena gerakan

oposisi terlalu kuat terutama dari kalangan Bani Hasyim serta dengan bantuan

Mawali, ia tidak berdaya menghadapinya.

Sepeninggal Hisyam khalifah-khalifah Bani Umayyah selanjutnya sangat

lemah dan bermoral buruk. Sehingga pada akhirnya Bani Umayyah digulingkan

oleh Bani Abbas. Marwan ibn Muhammad melarikan diri ke Mesir, ia ditangkap

dan di bunuh di sana.

III. Kemajuan-Kemajuan yang dicapai Bani Umayyah

Pada masa kekuasaan Bani Umayyah banyak kemajuan-kemajuan yang

dicapai oleh umat Islam diantaranya adalah :

1. Kemajuandibidangdakwah.

Perkembangan Islam pada masa Bani Umayyah berkembang sangat pesat hal

ini dikarenakan kekuasaan Islam pada masa itu semakin luas. Daerah-daerah yang

dikuasai Islam pada zaman Dinasti ini adalah Spanyol (Andalisia), Afrika Utara,

Rusia, Palestina, Semenanjung Arabia, Irak, Sebahagian Asia kecil, Persia,

Afganistan, Pakistan, Rurkmenia, Uzbak, dan Kirgis (di Asia Tangah).6 Di daerah-

daerah tersebut dibangun pusat-pusat pendidikan, Masjid, dan Perpustakaan Islam.

Pada masa bani Umayyah masjid Nabawi diperlebar dengan bantuan kaisar

Romawi sehingga Masjid itu menjadi sangat indah, juga diperlebar masjid Umar,

Masjidil Aqsha, dan dibangun Masjid Damaskus.

5ibid, hlm 44-47. 6Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid I,(Jakarta: UI-Press,

1985),hlm 62.

Page 7: Jurnal Pendidikan dan Kajian Keagamaan

7

2. Kemajuan dibidang Ilmu

Pada permulaan Bani Umayyah berkuasa, ilmu yang berkembang ada dua

aspek, yaitu ilmu pengetahuan agama diantaranya tafsir, hadits, fiqh, dan ilmu

kalam maka timbullah nama Hasan Al-Basri,Wasil bin Atha dan lain-lain. Ilmu

yang kedua yaitu ilmu pengetahuan umum diantaranya ilmu kimia dari Yunani dan

ilmu kedokteran.

3. Kemajuan bidang Pemerintahan

Beberapa organisasi kenegaraan dibentuk pada zaman ini diantaranya An

Nidhamus Syiasi (organisasi politik), An Nidhamul Idari (organisasi tata usaha

negara), An Nidhamul Mal (organisasi keuangan), An Nidhamul Harb (organisasi

pertahanan), dan An Nidhamul Qadla’I (organisasi kehakiman). Bahasa

administrasi yang tadinya adalah bahasa yunani dan pahlawi diubah menjadi bahasa

Arab, oleh Al-Malik dan mata uang dicetak dengan tulisan Arab.

4. Kemajuan dibidang material dan seni

Khalifah-khalifah Bani Umayyah berhasil membangun masjid-masjid dan

istana-istana dengan arsitektur yang indah seperti Qusayr Amran dan Al-Mushatta.

IV. Sebab-Sebab Kemunduran Bani Umayyah

Diantara sebab-sebab yang membawa kelemahan dan akhirnya mengalami

kemunduran bahkan kejatuhan Bani Umayyah adalah hal-hal berikut :

Golongan Khawarij adalah golongan yang pada mulanya adalah pengikut Ali

namun keluar karena tidak setuju dengan politik Ali. Sebagai kekuatan baru mereka

bukan saja menentang Ali juga orang-orang yang melakukan tahkim termasuk

didalamnya Muawiyah. Mereka menganggap itu dosa besar dan orang yang

melakukannya harus di bunuh. Sampai masa terakhirnya Bani Umayyah selalu

mendapt perlawanan dari Khawarij7.

Rongrongan pemberontak Abdullah untuk merebut kekuasaan terutama

setelah Muawiyah wafat kekuatan pemberontak ini baru reda setelah tahun 692 M.

7Ibid, hlm 64

Page 8: Jurnal Pendidikan dan Kajian Keagamaan

8

Tantangan keras dari golongan Syi’ah.

Pertentangan tradisionil atara Arab Selatan dengan Utara. Pertentangan kedua

suku ini mengganggu stabilitas pemerintahan Bani Umayyah, bila khalifah dekat

dengan Selatan maka Utara iri dan sebaliknya.Pertentangan interen Bani Umayyah

sendiri, terutama dalam pergantian khalifah.Kehidupan mewah di istana

memperlemah vitalitas anak-anak Khalifah yang membuat mereka kurang sanggup

memikul beban tugas pemerintahan. Penyebab langsung tergulingnya kekuasaan

Bani Umayyah ialah munculnya kekuatan baru yang dipelopori oleh Abu Abbas

dari Bani Hasyim. Ia bekerja sama dengan kaum Syi’ah dan kaum Mawali yang

merasa di kelas duakan oleh pemerintahan bani Umayyah8

V. Penutup

Demikianlah sekilas mengenai sejarah Islam pada masa kekuasan Bani

Umayyah yang meninggalkan perinsip dasar Islam dalam pemerintahan yaitu

musyawarah dalam menyelesaikan masalah-masalah ke-khalifahan. Namun

disamping itu banyak juga kemajuan yang dicapai selama kekuasaan Bani

Umayyah yang memperkaya peradaban umat Islam. Pada akhirnya kekuasaan yang

diperoleh dengan cara yang licik hancur dengan kelicikan yang diperbuatnya.

Orang-orang yang disingkirkan berontak dan menjatuhkan kekuasan Bani

Umayyah.

Inilah makalah yang dapat kami sajikan, semoga dapat bermanfaat bagi kita

semua. Akhirnya penulis mohon maaf apabila pada makalah ini terdapat banyak

kesalahan dan kekurangan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Asmuni, H. M. Yusran, Dirasah Islamiyah II (Pengantar Setudi Sejarah

Kebudayaan Islam dan Pemikiran), Cet-2, Jakarta, TýPT RajaGrafindo

Persada,1996.

8BadriYatim, op cit, hlm 48-49.

Page 9: Jurnal Pendidikan dan Kajian Keagamaan

9

2. Hasan, Masudul, History of Islam (Classical Period 571-1258 CE), New Delhi,

Adam Publishes and Distributors, 1995.

3. Kenedy, Hugh, The Prophet and The Age of The Caliphates (The Islamic Near

East From The Sixth to The Eleventh Century), London and New York,

Longman, 1986.

4. Nasution, Harun, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspek, Cet-5, Jakarta, UI-

Press, 1985.

5. Tim Penyusun IAIN Syahid, Ensiklopedi Islam Indonesia, Djembatan, Jakarta,

1992.

6. Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, Cet-6, Jakarta, PT RajaGrafindo

Persada, 1997

Page 10: Jurnal Pendidikan dan Kajian Keagamaan

10

ISLAM DAN NEGARA DALAM PANDANGAN ALI ABD Al-RAZIQ

Hasan Anshori

A. Pendahuluan.

Di antara pemikir modern dalam islam yang terjun dalam percaturan politik,

adalah Ali Abdurraziq, seorang pemikir yang sangat kotroversial, terutama di

bidang pemikiran politik Islam. Ia tidak mempunyai gerakan, tetapi pemikirannya

yang kontroversial menhantui banyak orang di kalangan para pemikir lain.

Ali Abdurraziq lahir di Mesir pada tahun 1888 M dan wafat tahun 1966

M. Dia penganut Abduh, meskipun tidak belajar banyak secara langsung darinya,

oleh karena ketika Abduh wafat pada tahun 1905 Ali Abdurraziq baru berusia kira-

kira 17 tahun. Dia mendapatkan pendidikan agama di Universitas Al-Azhar. Kedian

pergi belajar ke Universitas Oxford, Inggris selama satu tahun. Dia seorang ilmuan

agama dan seorang hakim pada Mahkamah Syari`ah Mesir. Karena bukunya itu (

al- Islam wa ushul al-Ahkam). Dia dikutuk dan dikucilkan oleh Majlis Ulama al-

Azhar, diberhentikan dari jabatannya sebagai hakim dan dilarang menduduki

jabatan pemerintahan.9

Sebetulnya, Ali Abdurraziq mengungkapkan pendapatnya yang

kontroversial, didorong oleh keinginannya untuk secepatnya menyelamatkan Mesir

dari keruntuhan yang di bawah kekuasaan Sultan Ahmad Fu`ad . Saat itu Eropah

sedang digoncang perang dunia I ( 1914- 1919). Kondisi yang demikian itu

memaksa Ali Abdurraziq cepat mengambil sikap meninggalkan Oxford University.

Setibanya di Mesir Ali mendapatkan kehormatan menduduki jabatan sebagai

hakim.

Di saat inilah terpikir oleh Ali Abdurraziq yang pernah mendapatkan

kesempatan studi filsafat sejarah dari Prof. Santillana , merenungkan kembali

sejarah kerasulan dalam al-Qur`an dan juga al-Sunnah. Kontenplasi yang

diperolehnya ditangkap suatu pengertian bahwa Rasulullah bukanlah raja atau

penguasa, tapi sebagai rasul penyampai Risalah.

9 Munawir Syadzali, Islam Dan Tata Negara, UI Press, Jakarta, Cetakan V, 1993, Hal 137

Page 11: Jurnal Pendidikan dan Kajian Keagamaan

11

Lebih dari itu, terbaca olehnya bahwa khulafa al-Rasyidin sebagai bentuk

pemerintahan yang lahir dari kedaulatan rakyat yang berkuasa sebagai pemegang

amanah dan kekuasaan yang diamanatkan oleh rakyat atau umat. Rasulullah SAW

dengan risalah yang didakwahkannya, tidak ditugasi untuk membentuk negara,

melainkan lebih berisi ajaran Islam tentang amanah dan kekuasaan bila hal tersebut

menyangkut masalah politik.

Sebagai pemegang amanah dan kekuasaan yang datang dari rakyat, dan karena

setiap zaman memiliki perbedaan tantangan, maka jawabannya tidaklah harus

dengan sistem khalifah dan khilafah. Dinilainya ini hanya salah satu bentuk acuan

bentuk dari pemerintahan dari al-Qur`an dan al-Sunnah. Namun itu bukan harga

mati, karena yang penting adalah perlunya umat Islam membangun kelembagaan

kekuasaan politik.10

B. Pemikirannya.

Pemikiran Ali Abd al-Raziq tentang konsep kenegaraan, dapat dibagi

menjadi tiga bagian sebagai berikut :

1. Tentang definisi khilafah atau lembaga khalifah beserta ciri-ciri khususnya,

kemudian dipertanyakan tentang dasar anggapan bahwa mendirikan

pemerintahan dengan pola khilafah itu merupakan keharusan ( agama ), dan

akhirnya dikemukakan bahwa baik dari segi agama maupun dari segi rasio,

pola pemerintahan khilafah itu tidak perlu.

2. Tentang pemerintahan dan Islam, diantaranya berisi perbedaan antara

risalah atau misi kenabiaan dengan pemerintahan, dan akhirnya kesimpulan

bahwa risalah kenabiaan itu bukan pemerintahan dan bahwa agama itu

bukan negara.

3. Lembaga khalifah dan pemerintahan dalam lembaran sejarah, dalam hal ini

Ali Abd al-Raziq berusaha membedakan antara mana yang Islam dan mana

yang Arab, serta mana yang agama dan mana yang politik.

10 Mustafid Amna, Konsep Kenegaraan Ali Abd al-Raziq, Tesis Program Pasca Sarjana IAIN

Syarif Hidayatullah, Jakarta, 1994, Hal 5

Page 12: Jurnal Pendidikan dan Kajian Keagamaan

12

Baiklah kita uraikan satu persatu dari tiga pembagiaan di atas. Kita mulai

dari bagian pertama : menurut pengertian Ali Abd al-Raziq khilafah adalah satu

pola pemerintahan dimana kekuasaan tertinggi dan mutlak berada pada seorang

kepala negara/pemerintah dengan dengan gelar khalifah, pengganti Nabi besar

Muhammad, dengan kewenangan untuk mengatur kehidupan dan urusan

umat/rakyat, baik keagamaan atau keduniaan yang hukumnya wajib bagi umat

untuk patuh dan taat sepenuhnya.

Oleh kaerna itu Ali Abd al-Raziq tidak sependapat dengan kebanyakan

ulama yang menyatakan bahwa mendirikan khilafah atau lembaga khilafah

merupakan suatu kewajiban bagi umat Islam, dan karenanya maka berdosa kalau

tidak dilaksanakan. Terdapat pengecualiaan yaitu pada golongan mu’tazilah dan

semntara orang khawarij, mereka berpendirian bahwa tidak selalu harus mendirikan

khilafah. Tugas khalifah adalah melaksanakan hukum dan peraturan syari’at. Kalau

syari’at sudah berjalan dengan baik dan keadilan telah merupakan kenyataan yang

merata dikalangan umat, maka tidak diperlukan pemimpin atau imam, dan

karenanya tidak ada keharusan atau kewajiban mempunyai khalifah. Ali Abd al-

Raziq sama sekali tidak dapat menemukan dasar yang kuat yang mendukung

kepercayaan bahwa wajib hukumnya bagi umat Islam untuk mempunyai khalifah,

baik dalam al-Qur’an,hadits maupun ijma.11

Sementara pemikir Islam, termasuk Rasyid Ridla, mendasarkan

keyakinannya bahwa mendirikan khilfah itu merupakan keharusan agama, atas

perintah al-Qur’an surat Al-Nisa ayat 59 yang memerintahkan kepada orang-orang

yang berimanagar taat kepada Allah, utusan ( Allah ) dan ulil amri mereka.

Sebagaimana kebanyakan ahli tafsir, mengartikan ulil amri itu tokoh-tokoh umat

Islam semasa hidup Nabi dan sesudahnya, diantaranya para khalifah, para hakim,

para komandan pasukan dan bahkan para ulama atau ahli agama. Dengan lain

perkataan, ayat tersebut tidak dapat digunakan untuk mendukung keyakinan bahwa

mendirikan khilafah itu wajib hukumnya. Dari hadits Nabi juga tidak terdapat

ungkapan-ungkapan yang mendukung pendapat itu. Memang Nabi pernah

11 Munawir Sjadzali,Op-cit, hal 140

Page 13: Jurnal Pendidikan dan Kajian Keagamaan

13

mengatakan bahwa pimpinan umat Isalm itu agar dari orang atau suku Quraisy, dan

bahwa barang siapa telah berbaiat atau menyatakan kesetiaan kepada pemimpin,

hendaknya dia selalu mematuhi segala perintahnya, selama tidak diperintah

melakukan maksiat dan sebagainya. Tetapi sekali lagi ucapan-ucapan Nabiitu sama

sekali tidak dapat diartikan bahwa Islam mewajibkan umatnya untuk mendirikan

khilafah. Ali Abd al-Raziq mengakui bahwa ijma’ merupakan sumber ketiga hukum

Islam setelah al-Qur’an dan Hadits. Tetapi menurut dia, pengangkatan penguasa

sejak Abu Bakar,khalifah pertama sejak zaman dia sendiri tidak pernah dilakukan

dengan ijma’ yang berarti kesepakatan bulat antara umat Islam yang

bersangkutan.menurut pengamatannya hampir semua khalifah dari zaman kezaman

dinobatkan dan dipertahankan dengan kekuatan fisik dan ketajaman senjata,

mungkin, sekali lagi mungkin, dengan beberapa pengecualian, misalnya seperti

Abu Bakar, Umar dan Utsman.

Terhadap alasan bahwa wajib atau harus ada yang diangkat menjadi

khalifah demi melindungi kelestarian Islan dan kepentingan rakyat, Ali Abd al-

Raziq menjawab bahwa memang benar dalam hidup bermasyarakat tiap kelompok

manusia memerlukan penguasa yang mengatur dan melindungi kehidupan mereka,

lepas dari agama atau keyakinan mereka, apakah Islam, Yahudi, Nasrani atau

penganut agama lain, dan bahkan mereka yang tidak beragama sekalipun. Penguasa

itulah pemerintah. Tetapi pemerintah itu tidak harus membentuk khilafah,

melainkan dapat beraneka ragam bentuk dan sifatnya, apakah konstitusional atau

kekuasaan mutlak, apakah republik ataukah diktator dan sebagainya. Tegasnya, tiap

bangsa harus mempunyai pemerintahan, tetapi baik bentuk maupun sifat

pemerintahan itu tidak harus satu, khilafah dan boleh beraneka ragam.12

Menurut Ali Abd al-Raziq, bahwa kenyataan yang juga didukung oleh akal

dan dibuktikan oleh sejarah, baik zaman dahulu maupun sekarang, membuktikan

bahwa syi`ar-syi`ar agama dapat hidup bukan karena tergantung pada sistem

pemerintahan yang biasa disebut oleh para fuqaha dengan sebutan khilafah, dan

tidak pula karena tergantung kepada mereka yang sering disebut manusia dengan

12 Munawir sjadzali,ibid, hal 141

Page 14: Jurnal Pendidikan dan Kajian Keagamaan

14

sebutan khalifah. Dan suatu kenyataan pula, bahwa erdasarkan kemaslahatan umat

Islam dalam usrusan dunia tidak tergantung kepda mereka. Oleh karena itu kita

tidak lagi membutuhkan sistem khilafah tersebut, baik untuk memelihara urusan

agama maupun urusan dunia kita, bahkan sistem khilafah selalu menjadi mala

petaka bagi Islam dan ummatnya, dan menjadi sumber kejahatan serta kerusakan.

Jadi secara singkat, dapat dikatakan bahwa agama kita, berdasakan kenyataan sudah

tidak memerlukan lagi sistem khilafah, begitu pula untuk urusan dunia kita.

Salah satu buktinya adalah bahwa khilafah tidak berwibawa lagi dan

tercabut dari akarnya ketika kekuasaan khilafah pada abad ketiga hijriyah, hanya

efektif disekitar bagdad. Daerah-daerah lain seperti khurasan dikuasai oleh ibnu

saman dan keturunannya, bahrain dikuasai oleh qaramithoh, yaman oleh ibnu

thaba-thaba’, asfihan dan persia dikuasai oleh bani buwaih, mesir oleh Ahmad bin

Thulun, dan setelah itu dikuasai oleh raja-raja yang menaklukan, kemudian

mendirikan kerajaan sendiri-sendiri, seperti Ikhsyidiyah, fathimiyah, Ayubiyah,

Mamalik dan lain-lain, yang kesemuanya itu menggambarkan kekacauan khilafah,

bahkan sering terjadi daerah yang tidak kemasukan sistem khilafah, tetapi lebih

nampak syi’ar agamanya, lebih tentram rakyatnya dan lebih baik serta lebih tertib.13

Begitu pula terjadi kemelut khilafiyah di Baghdad pada pertengahan abad

ke 7 H ketka diserang oleh Tatar, mereka membunuh khalifah Bani Abas Al-

Mu’tashim Billah dan beberapa keluarganya serta para pembesar-pembesar yang

duduk dalam pemerintahannya, sehingga islam mengalami kekosongan dari

khilafah selama tiga tahun.

Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa pemerintahan dengan sistem

khilafah tidak menjamin tegaknya peraturan agama dan tidak menjamin pula

terpelihara kedamaian dan ketentraman umat, semuanya itu tergantung dari

individu khalifah yang memegang kekuasaan. Oleh karena itu, sistem khilafah tidak

perlu lagi jika tidak dapat menjamin semua itu.

Yang kedua, mengenai pemerintahan dan islam, Abd al-Raziq memisahka

antara keduanya dengan uraian sebagai berikut :

13 Muhamad Imarah, Al-Islam wa ushul al-Hukm li Ali Abd al-Raziq, Al-Muasasah al-Arabiyah Li

al-Adiraasat Wa al- Nasyr, Bairut, Cet pertama, 1952, hal 134-135

Page 15: Jurnal Pendidikan dan Kajian Keagamaan

15

- Tidak seorang ulama pun yang menyampaikan pendapat yang jelas tentang

apakah Nabi Muhamad itu seorang rasul dan sekaligus raja/penguasa atau

hanya rasul semata? Dalam ungkapan lain apakah misi yang dibawa nabi itu

misi risalah dan sekaligus misi politik/membentuk pemerintahan islam?

Pendapat yang beredar dikalangan umat islam, menyatakan bahwa misi

Nabi adalah misi risalah dan sekaligus membentuk kekuasaan, begitu pula

pendapat jumhur ulama.

- Memang sepintas yang terlintas dalam hati kita adalah adanya unsur

pembentukan kekuasaan, ketika kita melihat persoalan jihad/perang yang

dilakukan Nabi, begitu hebatnya peperangan yang dilakukan oleh Nabi yang

sering mendapatkan kemenangan dengan memperluas daerah kekuasaan,

menjarah harta benda musuh-musuhnya, memboyong tawanan-tawanan

perang tidak terkecuali, baik laki-laki maupun perempuan, bahkan sampai

melintas kedaerah luar jazirah Arab.

- Tetapi da’wah agama adalah da’wah yang berisi seruan kepada agama

Allah, dan pondasi da’wah tersebut tidak lain kecuali keterangan yang jelas,

menggerakan hati manusia dengan motifasi yang jitu dan kebijaksanaan

yang tinggi, sehingga dapat diterima oleh masyarakat.14 Adapun kekuatan

dan pemaksaan itu tidak mungkin diterapkan dalam menyampaian da’wah

yang bertujuan untuk menunjukan hati manusia dan membersihkan akidah

mereka, dan tidak ada seorang rosul pun dalam sepanjang sejarah yang

mengajak manusia untuk beriman kepada Allah dengan ketajaman

pedangnyadan pula memaksakan agamanya dengan mengadakan

peperangan. Disisnilah letak persoalan yang dijadikan prinsip dasar oleh

Nabi dalam menyampaikan risalahnya, sebagaimana diungkapkan dalam al-

Qur’an :

لا إكراه في الدين قد تبين الرشد من الغي

Artinya : tidak ada paksaan didalam agama, telah jelas antara yang benar dan

yang sesat ( al- baqarah : 256 )

14 Muhamad Imarah, Ibid, hal 145

Page 16: Jurnal Pendidikan dan Kajian Keagamaan

16

ادع إلى سبيل ربك يالحكمة والموعظة الحسنة وجادلـهم بالتي هي أحسن

Artinya : serulah kejalan Tuhanmu dengan bijaksana, dan mauidzah hasanah dan

ajaklah berdebat dengan diskusi yang lebih baik. ( al- Nahl : 125 )

فذكر إنمـا أنت مذكر لستت عليـهم بمصيطر

Artinya : berilah peringatan, tiada lain engkau (Muhammad) adalah seorang

pemberi peringatan, bukanlah engkau itu penguasa atas mereka ( al- Ghasyiah :

21 )

أفأنت تكره الناس حتى يكونوا مؤمنين

Artinya : apakah engkau (Muhammad) akan memaksa manusia sehingga mereka

menjadi beriman.

Ayat tersebut merupakan prinsip-prinsip yang jelas bagi penyampaian misi

risalah Nabi. Sebaimana misi risalah yang disampaikan oleh nabi-nabi yang lain,

yang esensinya adalah mengajak beriman dengan kesadaran menerima petunjuk

dan mauidzah, tidak dengan paksaan melalui kekuasaan dan senjata. Adapun Nabi

Muhammad memakai senjata itu bukan dalam rangka menyampaikan da’wah dan

misi risalahnya keseluruh alam, dan bukan juga untuk membentuk pemerintahan

Islam., tetapi dalam rangka membela agama dari serangan musuh yang ingin

menghancurkannya,hal ini dilakukan oleh Nabi dalam kaitannya sebagai munaffidz

(pelaksana) risalah bukan sebagai penyampai risalah. Dalam ungkapan lain bahwa

kekuasaan Nabi yang dihasilkan dari peperangan itu bukan bagian dari risalah Nabi,

bahkan kekuasaan Nabi tersebut termasuk amal duniawi yang tidak ada

hubungannya dengan risalahnya.15 Risalah terhadap pendapat yang mengatakan

bahwa Islam itu agama tabligh dan agama tathbiq (pelaksanaan), dan islam adalah

kekuasaan agama dan sekaligus kekuasaan politik, maka Ali Abd al-Raziq

mengatakan bahwa pendapat tersebut tidak ada dasarnya, dan bertentangan dengan

makna risalah serta tidak sesuai dengan tabiat da’wah islamiyah. Seandainya Nabi

membangun negara dan mensyat’atkannya, maka kenapa negaranya tidak diperkuat

dengan berbagai angkatan bersenjata? Dan kenapa tidak diketahui peraturannya

15 Ibid, hal 147

Page 17: Jurnal Pendidikan dan Kajian Keagamaan

17

dalam menentukan para hakim dan penguasa? Dan kenapa Nabi tidak

membicarakan dengan rakyatnya tentang peraturan kekuasaan dan tentang kaidah-

kaidah musyawarah? Dan kenapa Nabi membiarkan ulama dalam kebingungan

ketika dihadapkan dengan masalah peraturan pemerintahan? 16

Pada pembahasan akhir dari bagian kedua, Ali Abd al-Raziq menyatakan

bahwa risalah itu bukan pemerintahan dan agama itu bukan negara. Jawaban yang

memperkuat penyataan ini adalah bahwa Nabi Muhamad itu hanya sebagai rasul

bukan sebagai penguasa/raja dan pembentuk negara serta bukan penganjur untuk

membentuk kekuasaan, melainkan Nabi Muhamad adalah hanya sebagai penyeru

agama yang murni tanpa dicampuri oleh motif kekuasaan dan motif membentuk

pemerintahan.misi risalah itu terlalu mulia yang menuntut pembawanya sarat

dengan kesempurnaan, terhindar dari sifat kekurangan, suci dan penuh dengan

kekuatan bathin yang senantiasa berhubungan dengan al-Malail a’la (malaikat).

Allah tidak menjadikan misi risalah sebagai permainan. Dan Allah jadikan misi

risalah sebagai penyampai kebenaran, agar dengan da’wahnya kebenaran akan

lebih sempurna. Kedudukan risalah jauh lebih tinggi dan lebih mulia dari sekedar

yang dimiliki oleh para penguasa dan rakyatnya.

Rasul mempunyai kemampuan yang dimiliki oleh para raja/penguasa, tetapi

rasul sendiri mempunyai kemampuan misi yang tak ada tandingannya, dan dari

misinya rasul juga dapat berhubungan dengan ruh-ruh yang ada diberbagai jasad,

sehingga dapat menghilangkan hijab-hijab yang ada dalam hati manusia, bahkan

mampu melihat hati para pengikutnya, dalam keadaan senang maupun benci, juga

mengetahui tempat tumbuh kebaikan dan kejahatnya,tempat munculnya

kekhawatiran, munculnya bisikan-bisikan hati mereka. Nabi mempunyai misi lahir

dan mempunyai misi bathin yang mengatur seluruh hubungan antara manusia.

Disamping itu, risalahnya juga ditujukan kepada seluruh umat manusia,

tidak seperti rasul yang lain. Diutusnya agar menyempurnakan agama dan

melengkapi ni’mat, sehingga tidak ada lagi fitnah dan sehingga agama ini menjadi

milik Allah seluruhnya. Kesempurnaan risalah ini begitu tingginya, sampai kepada

16 Ibid, hal 148

Page 18: Jurnal Pendidikan dan Kajian Keagamaan

18

puncak yang tidak bisa diraih oleh manusia biasa. Oleh karena itu, Allah ungkapkan

dalam firmannya :

Artinya : dan anugrah Allah kepadamu (Muhammad) adalah sangat besar ( al-

Nisaa : 113).

Kemudian Ali Abd al-Raziq menyebutkan haditsnya yang menyatakan

bahwa Nabi Muhammad itu bukan raja dan bukan pemaksa, yaitu sebagai berikut :

إني لست بملك ولا بمصيطر إنما أنا ابن امرأة من قريش يأكل القديد بمكة

Artinya : sesungguhnya aku bukan seorang raja dan bukan pemaksa, aku hanya

anak seorang perempuan dari suku Quraisy, yang memakan dendeng ( daging

kering ) dimekah.

Dengan demikian, jelaslah bahwa Nabi Muhammad itu bukan raja dan bukan

seorang yang mencari kekuasaan, dan tidak mempunyai keinginan untuk

memperolehnya.17

Dibagian paling akhir dari bagian pembahasan yang kedua, Ali Abd al-

Raziq menyimpulkan bahwa kekuasaan Nabi atas orang-orang mukmin adalah

kekuasaan risalah yang sedikitpun tidak mengandung kekuasaan

politik/pemerintahan.18

Adapun bagian ketiga dari pembahasan Ali Abd al-Raziq dalam bukunya

(al-Islam Wa Ushul al-Hukm), adalah mengenai khilafah dan pemerintahan dalam

lembaran sejarah. Dalam kaitannya dengan bagian ketiga ini, Abd al-Raziq

membedakan mana yang Islam dan mana yang Arab, mana yang agama dan mana

yang politik.

Untuk mengurai bagian yang ketiga ini, perlu kita klasipikasikan terlebih

dahulu antara Islam, Arab dan Negara, sehingga dapat kita ketahui hakikat masing-

masing dan hubungan antarasatu sama lain.

17 Ibid, hal 162 18 Ibid, hal 165

Page 19: Jurnal Pendidikan dan Kajian Keagamaan

19

Baiklah kita mulai dari pembahasan Islam menurut pandangan Ali Abd al-

Raziq. Islam menurut Ali Abd al-Raziq adalah agama da’wah yang sangat tinggi

dan mulia. Allah menurunkan agama Islam untuk kemaslahatan seluruh alam, baik

untuk barat maupun timur, untuk bangsa arab maupun non arab, untuk laki-laki

maupun perempuan, untuk yang kaya maupun yang miskin, untuk yang bodoh

maupun yang pandai, ia merupakan kesatuan agama yang dimaksudkan oleh Allah

untuk menjadi pengikat seluruh manusia sejagat. Islam bukan merupakan da’wah

arab, bukan kesatuan arab dan bukan agama arab semata. Islam tidak mengenal atau

tidak mengakui kelebihan umat atas umat lain, kelebihan bahasa atas bahasa lain,

kelebihan daerah atas daerah lain. Kelebihan masa atas masa yang lain, kecuali

dengan ketaqwaan. Adapun Islam disampaikan dengan bahasa ara, itu karena Nabi

sendiri adalah orang arab, dan da’wah yang pertama juga dimulai dari bangsa arab,

yang mula pertamanya dimulai dari yang paling dekat yaitu keluarganya sendiri,

kemudian masyarakatnya sampai keseluruh pejuru dunia.

Adapun mengenai pambahasan arab atau negara arab, sebagaimana

diketahui bawa negar-negara arab itu terdiri dari berbagai macam suku dan berbagai

macam bangsa, yang berbeda-beda adat dan kebudayaannya, saling berjauhan

antara satu dan lainnya, dan tidak kalah pentingnya juga perbedaan sikap politik

masing-masing negara. Ada yang tunduk pada kebijakan politik bangsa romawi,

dan adapula yang berdiri sendiri. Kondisi yang demikian ini menuntut pula

perbedaan pengaturan pemerintahaan dan struktur kepemimpinan serta negerialnya,

dan perbedaan pula dari segi sosial politik, ekonomi dan kebudayaan, sehingga

tidak memungkinkan bangsa-bangsa tersebut disatukan dalam satu kepemimpinan

politik, karena masing-masing mempunyai kepentingan politik yang tidak sama.19

Bangsa-bangsa tersebut menjadi satu di bawah panji-panji dakwah

Islamiyah dan di bawah naungan bendera Rasulullah SAW, mereka menjadi

bersaudara satu sama lain, dan mereka diikat dengan satu tali yaitu tali agama.

Mereka menjadi ummatan wahidah di bawah satu kepemimpinan Rasulullah SAW.

Yang perlu ditekankan di sini adalah bahwa persatuan arab yang terdapat di zaman

19 Ibid , hal 167

Page 20: Jurnal Pendidikan dan Kajian Keagamaan

20

Nabi SAW tersebut, bukanlah persatuan dan kesatuan politik dilihat dari berbagai

segi, dan tidak pula satu pemerintahan dan satu negara, melainkan merupakan

persatuan dan kesatuan agama yang murni tanpa ada unsur politik, dan merupakan

kesatuan iman iserta kesatuan aliranya agama, bukan kesatuan negara dan bukan

kesatuan kerajaan.

Dengan demikian, organisasi Islam itu bukan organisasi politik, tetapi

semata-mata organisasi agama. Hal ini dapat kita baca dari perjalanan Nabi SAW

ketika menghadapi keadaan politik bangsa yang berbeda-beda. Beliau tidak

merubah sedikit pun tatanan pemerintahan yang sudah mereka susun , dan tidak

merubah susunan administrasi atau peradilan, dan tidak merubah sistem hubungan

sosial dan ekonomi antara mereka. Belum pernah kita mendengar bahwa nabi

memecat gubernur, menentukan orang sebagai hakim,dan tidak pula mengatur

prosedur-prosedurnya. Nabi tidak pula meletakan kaidah-kaidah dagang, pertanian

dan industri mereka. Semuanya itu dibiarkan oleh Rasulalah, dan beliau katakan

kepada mereka : engaku lebih tahu urusan-urusan kalian.20

Adapun mengenai pembahasan khilafah, Abd Raziq mengatakan ahwa kita

tidak mengetahui persis adsal dari kata khilafah, yang jelas kata tersebut

dimunculkan untuk gelar Abu Bakar ketika pertama kali diangkat sebagai pengganti

Rasulallah setelah wafatnya. Tetapi kita ketahui, bahwa Abu Bakar tidak

melarangnya dan bahkan merestuinya. Adapun hakikat dari kata “khalifah” itu

sendiri adalah kata yang dipakai oleh orang arab ketika orang menduduki jabatan

baru setelah pendahulunya tidak lagi mendudukinya, jadi orang yang sedang

menduduki itu disebut khalifah (pengganti) Jabatab pendahulunya. Kata ini juga

dipakai untuk pengganti kedudukan Nabi setelah wafatnya. Jadi Abu Bakar disebut

khalifah Rasulillah. Julukan dengan kata khalifah, Abu Bakar mampu menundukan

para pembangkang dari kelompok yang masih baru didalam memeluk agama Islam,

sehingga mereka mudah murtad lagi, dan dengan kata khalifah juga dapat

menjinakan mereka yang sudah terbiasa brutal dan terbiasa melakukan

pelanggaran. Sebetulnya Abu Babar pernah dipanggil oleh salah satu kelompok dari

20 Ibid, hal 168

Page 21: Jurnal Pendidikan dan Kajian Keagamaan

21

mereka dengan panggilan khalifatullah, lalu Abu Bakar marah dengan panggilan

tersebut, dan menegaskan agar dipanggil dengan panggilan khalifah rasulullah atau

khalifah Muhammad.

Dengan demikian, kalifah adalah jabatan pemimpin umat setelah

meninggalnya rasulallah, dari sini muncul pertanyaan; apakah kepemimpinan

khalifah ini merupakan kepemimpinan agama atau kepemimpinan politk? Dalam

hal ini Abd al-Raziq mengatakan, bahwa kepemimpinan khalifah adalah

kepemimpinan politik, bukan kepemimpinan agama, karena kepemimpinan agama

hanya ada pada diri Rasulallah melalui risalahnya. Adapun setelah wafatnya, yang

ada hanyalah kepemimpinan politik, baik kepemimpinan yang dipegang oleh Abu

Bakar, Umar dan seterusnya…….. oleh karena itu orang-orang yang diperangi oleh

Abu Bakar yang dituduh murtad, itu tidak seluruhnya murtad yang berarti kafir

kepadaa Allah dan Rasulnya, tetapi diantara mereka masih ada yang tetep iman dan

islamnya, hanya saja mereka tidak mau tunduk kepada kepemimpinan AbuBakar

karena beberapa sebab, dan mereka menganggapnya tidak berdosa. Mereka pada

hakekatnya bukan orang-orang murtad. Dan memerangi mereka bukan atas nama

agama. Jika terpaksa mereka diperangi, adalah atas nama politik dan dalamrangka

mempertahankan persatuan arab dan kedaulatan mereka.21

Didalam sejarah juga terdapat seorang laki-laki yang tidak mau berbai’at

kepada Abu Bakar, padahal ia juga beriman kepada Rasulallah, dan ia tidak mau

terus terang karena alasan islamnya. Umar juga pernah menantang keputusan Abu

Bakar tentang persoalan memerangi orang-orang yang dituduh murtad, ia katakan

kepada Abu Bakar; kenapa engaku memerangi mereka? Padahal rasulallah pernah

bersabda : aku diperintahkan untuk memerangi manusia sehingga mereka

mengucapkan “laailaaha illa Allah”, jika ia telah mengucapkan, maka ia terpelihara

harta dan jiwanya, kecuali dengan haknya, dan hisabnya tergantung kepada Allah.

Kalau dilacak masih banyak lagi peperangan yang mereka namakan dengan

“ perang melawan orang-orang murtad” pada masa khilafah Abu Bakar, yang

sebenarnya bukan perang atas nama agama, tetapi semata-mata perang atas nama

21 Ibid,hal 178

Page 22: Jurnal Pendidikan dan Kajian Keagamaan

22

politik yang diduga oleh kebanyakan masyarakat umum sebagai perang agama,

padahal semuanya itu bukan untuk agama. Memeang dalam pemerintaha, Abu

Bakar menempuh langkah-langkah yang telah ditempuh oleh rasulallah, baik

urusan-urusan khusus dirinya maupun urusan-urusan umum, tentu juga urusan

politik negara, ia tempuh semuanya ini melalui jalan agama, dan menempuh dengan

semaksimal mungkin melalui jalan yang ditempuh oleh rasulallah, sehingga julukan

khalifah Rasulillah ini dianggap tepat untuk diberikan kepada Abu Bakar, yang

kemudian timbul anggapan dikalangan umat bahwa khalifah itu merupakan pusat

keagamaan, disinilah sebab pertama terjadinya kesalahan tentang persepsi khilafah

dikalangan umat Islam, sehingga khilafah itu dianggap sebagai kedudukan agama.

Dengan demikian, jabatan khalifah ini sering disalah gunakan para sultan

untuk memperkuat kedudukannya atas nama khalifah Allah dimuka bumi, padahal

sebutan kata tersebut hanya sebagai kedok agar semua orang tunduk padanya, baik

dengan kesadaran maupun dengan paksaan. Kemudiaan didalam kekhalifahan itu

dikait-kaitkan dengan pembahasan agama, yang kemudian dijadikan sebagai bagian

dari akidah tauhid. Dari sinilah para sultan melakukan kejahatan dan perampasan

terhadap hak-hak umat Islam, serta menjerumuskan kejalan yang bathil,

menggelapkan cahaya agama. Dan dengan menggunakan nama agama, mereka

merendahkan umat Islam dan melarang mereka untuk berbicara politik. Mereka

dangkalkan agama dan mereka pasung umat Islam agar selalu ada pada genggaman

politiknya.22 Padahal agama Islam itu tidak mengakui khilafah yang semacam itu,

yang selama ini dikenal dikalangan umat Islam. Dan khilafah tersebut tidak

termasuk langkah-langkah agama, dan begitu pula peradilan dan segala macam

perangkat hukum negara. Tidak ada lain kecuali semua itu adalah langkah-langkah

politik semata, tidak ada urusannya dengan agama. Agama tidak memerintahkan

dan tidak melarangnya, agama membiarkan urusan politik, agar dapat

dikembangkan sesuai dengan akal, zaman, tempat dan kaida-kaidah politik.23

22 Ibid, hal 179 23 Ibid, hal 180

Page 23: Jurnal Pendidikan dan Kajian Keagamaan

23

C. Penutup/kesimpulan.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Ali Abd al-Raziq adalah seorang tokoh/pemikir politik Islam yang

kontroversial, yang gara-gara menulis buku tentang politik, ia dikutuk dan

dicoret dari deretan nama ulama al-Azhar dan dipecat dari jabatan sebagai

hakim dimesir, yang berada dibawah kekuasaan sultan ahmad Fu’ad.

2. Dia menulis buku tersebut (al-Islam Wa Ushul al-hukm), karena didorong

oleh keinginannya untuk secepatnya menyelamatkan negeri Mesir dari

keruntuhan.

3. Secara garis besar buku tentang politik yang telah disusun tersebut, adalah

pertama; upaya melakukan reinterpretasi pengertian khilafah, yang intinya

adalah bahwa mendirikan pemerintahan dengan pola khilafah itu bukan

merupakan kewajiban agama. Yang kedua; pemerintahan dan Islam yang

intinya memisahkan antara agama dan politik. Yang ketiga; membicarakan

tentang lembaga khilafah dan pemerintahan dalam lembaran sejarah, yang

intinya adalah bahwa Islam itu tidak identik dengan arab dan bahwa agama

itu bukan politik, tetapi mekanisme pembentukan politik tidak boleh

bertentangan dengan nilai-nilai agama. Ia lebih menitik beratkan amanah

yang dibawa oleh misi agama dan keadilan, yang keduanya harus ditegakan

dalam kehidupan politik, apaun bentuk negaranya, tidak harus berbentuk

khalifah, jadi bukan bentuk negaranya itu yang penting, karena negara

berfariasi sesuai dengan masa dan tempat dimana negara itu dibentuk.

4. Jadi secara garis besar, tugas Nabi itu adalah penyampai risalah, dan dalam

menjalankan risalah ini ada tiga aspek kemasyarakatan, yaitu; a)

mendamaikan, b) mengirim utusan dan e) menyepakati piagam madinah.

Dengan demikian dapat dipahami, bahwa pemerintahan Nabi itu merupakan

bagian dari tugas risalah, dan bahwa pemerintahan khulafa’urrasyidin itu

bukan pemerintahan agama dan bukan misi risalah. Oleh karena itu, negara

itu perlu, bukan karena wajib syar’I, tetapi wajib akli yang berdasar ijtihad,

apapun bentuknya negara tersebut.

Page 24: Jurnal Pendidikan dan Kajian Keagamaan

24

DAFTAR KEPUSTAKAAN

- munawir sjadzali, Islam dan Tata Negara, UI Pres, Jakarta cetakan ke lima.

1993.

- Mustafid Amna, Konsep Kenegaraan Ali Abd al-Raziq, Tesis Program

Pasca Sarjana IAIN Syarifidayatullah, Jakarta, 1994

- Muhamad Imarah, Al-Islam Wa Ushul al- Hukm Li Abd Abd al-Raziq, Al-

Muassasah al-Arabiyah Li al-Dirasat Wa al- Nasyr, Baerut, cetakan

pertama, 1952.

Page 25: Jurnal Pendidikan dan Kajian Keagamaan

25

EVALUASI SUPERVISI

PENDIDIKAN BERBASIS AL-QUR’AN

Oleh : Abdul Rokhim, M.Ag

A. Pendahuluan

Pendidikan adalah kegiatan yang tumbuh bersamaan dengan munculnya

manusia di muka bumi. Dengan demikian umur pendidikan sama dengan usia

manusia itu sendiri. Hal ini menunjukkan betapa pendidikan merupakan suatu

kebutuhan yang paling hakiki bagi kelangsungan hidup manusia. Karena manusia

tidak akan hidup dengan wajar tanpa ditopang oleh proses pendidikan yang baik.

Manusia sebagai makhluk lemah, sejak dilahirkan belum dapat menolong

dirinya sendiri atau berinteraksi dengan lingkungannya, juga dalam hal-hal yang

sangat vital bagi kelangsungan hidupnya. Oleh karena itu, pada saat tersebut

manusia membutuhkan bantuan orang tua atau orang dewasa lainnya. Keadaan

dimana ia membutuhkan bantuan, baik dari orang tua maupun orang lain di

lingkungan sekitarnya adalah pendidikan atau belajar yang didalamnya terdapat

kegiatan latihan dan pembiasaan.1

Pendidikan dimaknai sebagai sebuah proses usaha yang dilakukan oleh

orang dewasa dalam rangka memanusiakan manusia untuk mencapai tujuan yang

diinginkan. Dalam pendidikan formal, maka guru memiliki posisi yang sangat

strategis dan sekaligus merupakan ujung tombak pertama dan utama dalam rangka

meraih keberhasilan pendidikan.

Di antara kegiatan pendidikan yang sangat penting adalah kegiatan

supervisi, bahkan kegiatan supervisi dianggap salah satu pilar dalam keberhasilan

pendidikan disamping kepala sekolah dan guru.

Untuk mengetahui efektifitas kegiatan supervisi dalam upaya memperbaiki

serta menyempurnakan supervisi, maka diperlukan evaluasi supervisi. Evaluasi

supervisi merupakan usaha yang sulit dan kompleks, karena banyak aspek yang

harus dievalusi dan luasnya supervisi yang harus diperhatikan.

Page 26: Jurnal Pendidikan dan Kajian Keagamaan

26

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah

Dalam penelitian ini penulis membatasi pembahasannya dengan rumusan,

“ apakah yang dimaksud dengan evaluasi dan bagaimana evaluasi supervisi dalam

pendidikan berbasis Al-Qur’an.

C. Pembahasan

1. Pengertian Evaluasi dan Supervisi

Evaluasi merupakan salah satu komponen dari sistem pendidikan yang

harus dilakukan secara sistimatis dan terencana sebagai alat untuk mengukur sejauh

mana keberhasilan tujuan pendidikan itu tercapai.

Menurut Anas Sudion sebagaimana dikutip oleh Ramayulis evaluasi

berasal dari bahasa Inggris: Evaluation akar katanya value yang berarti nilai atau

harga.2 Dengan demikian secara harfiah yang dimaksud dengan evaluasi supervisi

adalah penilaian dalam bidang supervisi atau penilaian yang berkaitan dengan

kegiatan supervisi.

Istilah nilai (Valuel al-qimah) pada mulanya dipopulerkan oleh filosof dan

Plato yang pertama kali mengemukakannya. Pembahasan nilai secara khusus

diperdalam dalam diskursus filsafat, terutama pada aspek aksiologisnya. Kata nilai

menurut pengertian filosof pengertiannya adalah idea of world.3

Sedangkan menurut istilah evaluasi sebagaimana dikemukakan oleh Guba

dan Lincoln yang dikutip oleh Zaenal Arifin adalah “a process for describing an

evaluand and judging its merit and worth”, yaitu sebuah proses untuk

menggambarkan penilaian dan memutuskan kebaikan dan nilai.4

Menurut M. Chabib Thoha sebagaimana dikutip Ramayulis evaluasi

merupakan kegiatan yang terencana untuk mengetahui keadaan objek dengan

menggunakan instrument dan hasilnya dibandingkan dengan tolak ukur untuk

memperoleh kesimpulan.5

Dari definisi di atas, penulis berpendapat evaluasi bukan hanya sekedar

menilai kegiatan-kegiatan yang bersifat spontan, tetapi evaluasi merupakan

kegiatan yaang terencana untuk mengetahui keadaan atau menilai objek dengan

Page 27: Jurnal Pendidikan dan Kajian Keagamaan

27

menggunakan instrument dan hasilnya akan dijadikan sebagai acuan untuk

menyusun program belajar lanjutan.

Sedangkan supervisi berasal dari kata “super” artinya lebih atau atas, dan

“vision” artinya melihat atau meninjau. Dengan demikian kegiatan supervisi adalah

kegiatan melihat atau meninjau yang dilakukan oleh atasan terhadap kegiatan

bawahannya. Pengertian ini berimplikasi kepada penyamaan makna antara

supervisi dan pengawasan, yaitu diasumsikan sebagai kegiatan untuk mendeteksi

kesalahan bawahan dalam melaksanakan perintah dari atasan. Sedangkan yang

dimaksud supervisi disini adalah mengamati, mengawasi, atau membimbing dan

menstimulir kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh orang lain dengan maksud

untuk mengadakan perbaikan.6

Sementara itu di bawah ini Pupuh Fathurrohman dan AA Suryana

mengutip pengertian supervisi yang dikemukakan beberapa ahli, yaitu:

1. N.A. Ametembun merumuskan bahwa supervisi pendidikan adalah

supervisi ke arah perbaikan situasi pendidikan. Pendidikan yang dimaksud adalah

berupa bimbingan atau tuntutan ke arah perbaikan situasi pendidikan pada

umumnya, dan peningkatan mutu mengajar dan belajar pada khususnya.

2. Abin Syamsudin Makmun menjelaskan bahwa pandangan baru tentang

supervisi terdapat ide-ide pokok seperti menggalakkan pertumbuhan profesional

guru, mengembangkan kepemimpinan demokratis, melepaskan energi,

memecahkan masalah-masalah belajar mengajar dengan efektif. Pendekatan-

pendekatan baru tentang supervisi ini menekankan pada peranan supervisi selaku

bantuan, pelayanan atau supervisi pada guru atau personil pendidikan lain dengan

maksud untuk meningkatkan kemampuan guru dan kualitas pendidikan.7

Berdasarkan definisi di atas, maka supervisi dalam pendidikan adalah

kegiatan yang dilakukan oleh pemimpin pendidikan untuk menilai kemampuan

guru maupun tenaga kependidikan lainnya dalam melaksanakan tugas masing-

masing dengan melakukan teguran-teguran atau perbaikan terhadap kekurangan-

kekurangan atau memberikan solusi terhadap kesulitan-kesulitan yang dialami oleh

guru dan lainnya dengan maksud untuk mengadakan perbaikan.

Page 28: Jurnal Pendidikan dan Kajian Keagamaan

28

Dengan demikian berdasarkan definisi di atas, maka yang dimaksud

dengan evaluasi supervisi pendidikan adalah pemberian penilaian terhadap

pelaksanaan supervisi pendidikan untuk menentukan keefektifan dan kemajuan

dengan memberikan bantuan atau pelayanan kepada guru-guru agar pelaksanaan

kegiatan belajar mengajar dapat berjalan lebih baik dan berkualitas dalam rangka

mencapai tujuan supervisi pendidikan yang telah ditetapkan.

2. Tujuan Evaluasi Supervisi Pendidikan

Berdasarkan pengertian di atas, maka tujuan evaluasi supervisi pendidikan

adalah meneliti atau menemukan kebutuhan-kebutuhan setiap objek supervisi yang

dinilai dan kemudian digunakan untuk merencanakan proses belajar mengajar

dalam rangka pencapaian tujuan pendidikan yang telah ditetapkan.

3. Supervisi dalam Pendidikan Berbasis Al-Qur’an

Guru adalah salah satu pilar utama pendidikan, tugas guru demikian berat.

Menurut Pupuh Fathurrohman dan AA Suryana tugas guru dalam proses

pembelajaran memiliki tiga sasaran, yaitu timbulnya pengetahuan baru, tumbuhnya

kemampuan baru dan tumbuhnya perubahan baru.8 Oleh karena itu sangat penting

adanya kegiatan yang dapat membantu guru dalam mengembangkan kemampuan

dengan sistematis, fokus, dengan konsep dan teori yang matang dan itulah yang

penulis sebut dengan supervisi, sebagaimana firman Allah:

Artinya: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan

takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan

bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya.” (QS.

Al-Maidah, 5: 2)

Page 29: Jurnal Pendidikan dan Kajian Keagamaan

29

Dalam Al-Qur’an isyarat mengenai supervisi dapat diidentifikasi antara

lain dengan firman Allah :

Artinya : Katakanlah: “Jika kamu Menyembunyikan apa yang ada dalam hatimu

atau kamu melahirkannya, pasti Allah Mengetahui”. Allah mengetahui apa-apa

yang ada di langit dan apa-apa yang ada di bumi. dan Allah Maha Kuasa atas

segala sesuatu (Q.S. Ali Imran (3): 29).

Ayat di atas secara implisit mengungkapkan tentang luasnya cakupan

pengetahuan Allah SWT tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan mahluk

ciptaanya. Demikian pula dalam ayat tersebut mengisyaratkan posisi Allah SWT

sebagai Pencipta merupakan pemilik otoritas tertinggi yang membawahi semua

mahluk ciptaan-Nya, yang bila dikaitkan dengan konteks pengertian supervisi yang

dikemukakan di atas, yaitu supervisi dilakukan oleh atasan atau pimpinan yang

tentunya memiliki otoritas yang lebih tinggi terhadap hal-hal yang ada dibawahnya

atau bawahannya.

Artinya: “...Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (QS. An-

Nisa, 4: 1)

Ayat di atas juga menegaskan bahwa pengawasan Allah terhadap

makhluknya dilakukan secara terus menerus, terencana, konsisten dan bukan

Page 30: Jurnal Pendidikan dan Kajian Keagamaan

30

bersifat insidentil. Demikian juga dengan supervisi pendidikan harus dilakukan

dengan terus menerus, terencana dan konsisten.

Konsep supervisi berbasis Al-Qur’an dilakukan untuk meluruskan yang

bengkok, mengoreksi yang salah dan membenarkan yang hak dengan melakukan

kontrol atau pengawasan. Dalam Al-Qur’an paling tidak terdapat dua kontrol, yaitu

pertama kontrol yang berasal dari diri sendiri karena kekuatan iman dan taqwa dan

kedua kontrol yang muncul dari orang lain atau lingkungan.

Kontrol pertama dari diri sendiri yang muncul dari kekuatan iman dan

taqwa sebagaimana diisyaratkan Allah dalam firman-Nya:

Artinya: “Tidaklah kamu perhatikan, bahwasesungguhnya Allah

mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi? Tiada pembicaraan

rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lahyang keempatnya. Dan tiada

(pembicaraan antara) lima melainkan Dia-lah yang keempatnya. Dan tiada

(pembicaraan antara) lima orang, melainkan Dia-lah yang keenamnya. Dan tiada

(pula) pembicaraan antara (jumlah) yang kurang dari itu atau lebih banyak,

melainkan Dia ada bersama mereka di manapun mereka berada. Kemudian Dia

akan memberitakan kepada mereka pada hari kiamat apa yang telah mereka

kerjakan. SesungguhnyaAllah Maha Mengetahui segala sesuatu”. (QS. Al-

Mujadalah [58]: 7)

Ini adalah control yang paling efektif, yang berasal dari dalam diri. Ada

sebuah hadits yang menyatakan: “Bertakwalah kamu kepada Allah, dimanapun

kamu berada.” (HR. At-Tirmidzi).8

Kontrol kedua, dari orang lain atau lingkungan sebagaimana diisyaratkan

Allah dalam firmanNya:

Page 31: Jurnal Pendidikan dan Kajian Keagamaan

31

Artinya: “Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh

dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati

supaya menetapi kesabaran.” (QS. Al-Ashr, 103: 3)

4. Prinsip-prinsip Evaluasi Supervisi Dalam Pendidikan

Evaluasi program supervisi dalam pendidikan harus dilaksanakan sebagaimana

prinsip-prinsip evaluasi pada umumnya, yaitu komprehensif, komparatif, kontinyu,

obyektif, berdasarkan kriteria valid, fungsional dan diagnostik.9

a. Komprehensif. Bahwa evaluasi program supervisi pendidikan berbasis

Al-Qur’an harus mencakup bidang sasaran yang luas atau menyeluruh, baik aspek

personalnya, materialnya, maupun aspek operasionalnya. Evaluasi jangan hanya

ditujukan pada salah satu aspek saja. Misalnya aspek personalnya, jangan hanya

menilai gurunya saja, tetapi juga murid, karyawan dan

kepala sekolahnya. Begitu pula untuk aspek material dan operasionalnya.

Evaluasi harus dilakukan secara menyeluruh, sebagaimana firman Allah:

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan

hendaklah Setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok

(akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui

apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Hasyr, 59: 18)

Ayat di atas terdapat perintah taqwa yang diulang, hal ini menunjukkan

betapa pentingnya posisi taqwa dalam kehidupan kita, yang dalam hal ini tenaga

kependidikan. Perintah taqwa pertama berkaitan dengan peringatan kepada orang-

orang beriman agar menjaga taqwa. Sedangkan perintah taqwa yang kedua

Page 32: Jurnal Pendidikan dan Kajian Keagamaan

32

berkaitan dengan pernyataan Allah mengetahui segala yang dilakukan oleh

manusia, termasuk guru dan semua tenaga kependidikan sebagai obyek supervisi.10

b. Komparatif. Prinsip ini menyatakan bahwa dalam mengadakan

evaluasi program supervisi pendidikan berbasis Al-Qur’an harus

dilaksanakan secara bekerjasama dengan semua orang yang

terlibat dalam aktivitas supervisi pendidikan. Sebagai contoh dalam mengevaluasi

keberhasilan guru dalam mengajar, harus bekerjasama antara pengawas, kepala

sekolah, guru itu sendiri, dan bahkan, dengan

pihak murid. Dengan melibatkan semua pihak dalam evaluasi program supervisi

pendidikan ini diharapkan kita dapat mencapai keobyektifan dalam mengevaluasi.

Hal ini sesuai dengan firman Allah:

Artinya: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan

takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan

bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya.” (QS.

Al-Maidah, 5: 2)

c. Kontinyu. Evaluasi program supervisi pendidikan berbasis Al-

Qur’an hendaknya dilakukan secara terus-menerus selama proses pelaksanaan

program. Evaluasi tidak hanya dilakukan terhadap hasil yang telah dicapai, tetapi

sejak pembuatan rencana sampai dengan tahap laporan. Hal ini penting

dimaksudkan untuk selalu dapat memonitor setiap saat atas

keberhasilan yang telah dicapai dalam periode waktu tertentu. Aktivitas yang

berhasil diusahakan untuk ditingkatkan, sedangkan aktivitas yang gagal dicari jalan

lain untuk mencapai keberhasilan. Hal ini sesuai dengan firman Allah:

Page 33: Jurnal Pendidikan dan Kajian Keagamaan

33

Artinya: “...Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.”

(QS. An-Nisa, 4: 1)

Ayat di atas juga menegaskan bahwa supervisi harus dilakukan secara terus

menerus, terencana, konsisten dan bukan bersifat insidentil.

d. Obyektif. Dalam mengadakan evaluasi program supervisi pendidikan

berbasis Al-Qur’an harus menilai sesuai dengan kenyataan yang ada. Katakanlah

yang hijau itu hijau dan yang merah itu merah. Jangan sampai mengatakan yang

hijau itu. kuning, dan yang kuning itu hijau. Sebagai contoh, apabila seorang guru

itu sukses dalam mengajar, maka katakanlah bahwa guru ini sukses, dan sebaliknya

apabila jika guru itu kurang berhasil dalam mengajar, maka katakanlah bahwa guru

itu kurang berhasil. Untuk mencapai keobyektifan dalam evaluasi perlu adanya data

dan atau fakta. Dari data dan fakta inilah dapat mengolah untuk kemudian diambil

suatu kesimpulan. Makin lengkap data dan fakta yang dapat dikumpulkan maka

makin obyektiflah evaluasi yang dilakukan.

a. Berdasarkan Kriteria yang Valid. Selain perlu adanya data dan fakta, juga

perlu adanya kriteria- kriteria tertentu.

Kriteria yang digunakan dalam evaluasi harus konsisten dengan tujuan

yang telah dirumuskan. Kriteria ini digunakan agar memiliki standar yang jelas

apabila menilai suatu aktivitas supervisi pendidikan. Kekonsistenan kriteria

evaluasi dengan tujuan berarti

kriteria yang dibuat harus mempertimbangkan hakekat substansi

supervisi pendidikan.

f. Fungsional. Hasil evaluasi program supervisi pendidikan berbasis Al-

Qur’an tidak hanya dimaksudkan untuk membuat laporan kepada atasan yang

kemudian di”peti es”kan. Hasil evaluasi program supervisi pendidikan berarti

fungsional apabila dapat digunakan untuk memperbaiki situasi yang ada pada saat

itu. Dengan demikian evaluasi program supervise pendidikan benar-benar memiliki

nilai guna baik secara langsung maupun tidak langsung. Kegunaan langsungnya

Page 34: Jurnal Pendidikan dan Kajian Keagamaan

34

adalah dapatnya - hasil evaluasi digunakan untuk perbaikan apa yang dievaluasi,

sedangkan kegunaan tidak langsungnya adalah hasil evaluasi itu dimanfaatkan

untuk penelitian atau keperluan lainnya.

g. Diagnostik. Evaluasi program supervisi pendidikan berbasis Al-Qur’an

hendaknya mampu mengidentifikasi kekurangan-kekurangan atau kelemahan-

kelemahan apa yang dievaluasi sehingga dapat memperbaikinya. Oleh sebab itu

setiap hasil evaluasi program supervisi pendidikan harus

didokumentasikan. Bahan-bahan dokumentasi hasil evaluasi inilah yang dapat

dijadikan dasar penemuan kelemahan-kelemahan atau kekurangan-kekurangan

yang kemudian harus diusahakan jalan pemecahannya.

5. Proses Evaluasi Supervisi Dalam Pendidikan

Proses evaluasi program supervisi dalam pendidikan pada dasarnya berupa

prosedur, tahapan-tahapan, atau langkah-langkah yang perlu ditempuh oleh

supervisor dalam mengevaluasi keberhasilan program supervisi pendidikan.

Adapun langkah-langkah yang dapat ditempuh :

a. Merumuskan tujuan evaluasi. Supervisor dalam wadah tersebut pertama-

tama harus menentukan bersama apa yang hendak dicapai dalam program

evaluasinya. Dalam proses yang bersifat kooperatif dibutuhkan waktu untuk

mencapai kesepakatan tentang tujuan-tujuan yang ingin dicapai yang merupakan

pedoman dan arahan dalam menentukan aspek-aspek yang akan dievaluasi. Untuk

mempermudah proses perumusan tujuan sebaiknya terlebih dahulu diadakan survey

atau penelitian sebagai usaha menginventarisasi kebutuhan-kebutuhan evaluasional

suatu situasi, misalnya dengan cara:

1). Metode analisa, ini digunakan untuk menganalisa kebutuhan-kebutuhan

untuk mengevaluasi.

2). Metode angket.

3). Metode wawancara.

b. Penyeleksi alat-alat evaluasi. Sebenarnya alat-alat evaluasi pendidikan

sangat banyak baik alat-alat yang dapat dikelompokkan didalam teknik tes maupun

teknik non tes. Tetapi tidak semua alat-alat yang secara formal telah disusun secara

Page 35: Jurnal Pendidikan dan Kajian Keagamaan

35

terstandar dalam evaluasi pendidikan itu sesuai dan dapat digunakan untuk setiap

tujuan evaluasi program supervisi pendidikan. Oleh

sebab itu supervisor pendidikan bersama-sama stafnya perlu mengadakan pilihan

atau menyeleksi alat-alat yang sekiranya lebih cepat dan lebih baik untuk digunakan

dalam situasi tertentu.

c. Menyusun alat evaluasi. Dalam proses penyusunan alat-alat evaluasi ini

panitia atau penyusun hendaknya mengajak pula pihak-pihak yang berkepentingan

untuk menyumbangkan ide-ide bagi perumusan item- item (pernyataan-

pernyataan/pertanyaan-pertanyaan) yang diperlukan.

Misalnya tiap guru diberi kesempatan menyatakan beberapa aspek

mengenai kepemimpinan jika hendak mengevaluasi tentang efektifitas

kepemimpinan kepala sekolah, atau mengenai perasaan kelompok jika hendak

mengevalusi tentang ketrampilan-ketrampilan ketua dalam memimpin rapat dan

sebagainya.

d. Menerapkan alat-alat evaluasi. Alat-alat evaluasi yang telah disusun

sendiri untuk menilai suatu situasi diterapkan yaitu disebarkan kepada pihak-pihak

yang bersangkutan (sample) untuk dijawab. Semua lembaran dikumpulkan atau

dikembalikan kepada panitia secara bebas tanpa membading- bandingkan jawaban

seseorang dengan seseorang yang lain. Untuk

menghindari saling terpengaruh opini orang lain maka perlu ditandaskan bahwa

pada saat memberikan jawaban/ pertimbangan supaya lepas dari pendapat orang

lain.

e. Mengolah hasil-hasil evaluasi. Hasil-hasil yang diperoleh dalam

evaluasi perlu diolah menurut tata cara tertentu.Dalam hal ini kiranya perlu

dibentuk suatu sub panitia khusus untuk menganalisis hasl-hasil yang diperoleh.

Adapun tata cara pengolahan biasanya meliputi kegiatan yang dimulai dari kegiatan

pemeriksaan berkas kemudian, diseleksi, diklasifikasi, dan mungkin saja perlu pula

perhitungan-perhitungan statistik seperti menghitung prosentase, men-tabulasi, dan

seterusnya. Hasil Pengolahan tersebut perlu diiterprestasikan guna memperoleh

kesimpulan-kesimpulan tertentu mengenai”sampai dimana terwujudnya

tujuan”supervisi pendidikan yang telah ditetapkan.

Page 36: Jurnal Pendidikan dan Kajian Keagamaan

36

f. Menyimpulkan hasil-hasil Evaluasi. Tidaklah mudah

mengintrepretasikan dan menyimpulkan hasil- hasil suatu kegiatan evaluasi . Suatu

sub panitia khusus dapat melakukan fungsi ini dengan baik dan efektif apabila

terpilih dari mereka yang cukup ahli untuk mengadakan analisis terhadap hasil-

hasil dan implikasi-implikasinya bagi tindakan. Supervisor dapat memanfaatkan

hasil-hasil evaluasi ini semaksimal mungkin.

g. Follow Up Evaluasi. Agar evaluasi terhadap program supervisi

pendidikan bermanfaat perlu sekali dipikirkan oleh supervisor akan tindak

lanjutnya. Biasanya tindak lanjut atau follow up dari hasil-hasil evaluasi yang

diperoleh perlu sekali mendapat supervisi yang seksama dan kontinyu dari

supervisor dalam rangka pengembangan program supervisinya.11

6. Kriteria Evaluasi Supervisi Dalam Pendidikan

Secara umum evaluasi supervisi pendidikan harus memenuhi kriteria

sebagai berikut:

1. Harus mengukur tujuan yang ingin dicapai

Apabila tujuan supervisi pendidikan adalah demi peningkatan atau

perbaikan proses belajar mengajar, maka evaluasi program supervisi

pendidikan pun harus diarahkan untuk menilai apakah program

supervisi pendidikan itu sudah mencapai tujuan atau belum. Disamping itu

evaluasi supervisi pendidikan juga harus diorientasikan pada tujuan evaluasi itu

sendiri. Tujuan evaluasi itu sendiri dapat berupa identifikasi atau inventarisasi

pembinaan dan pengembangan sebagai umpan balik dan sebagai pengecekan.

2. Obyektif

Obyektif pada pembahasan ini berarti sesuai dengan kenyataan

yang dilaksanakan oleh program supervisi pendidikan. Apabila program

supervisi pendidikan baik hasilnya, maka katakanlah baik, dan apabila kurang

berhasil katakanlah kurang berhasil. Keberanian mengungkapkan adanya itulah

yang menjamin keobyektifan evaluasi. Tentu saja perlu adanya kelengkapan data

dan pelibatan semua pihak dalam evaluasi. Antara penilai dan pihak yang dinilai

harus ada saling keterbukaan.

Page 37: Jurnal Pendidikan dan Kajian Keagamaan

37

3. Lebih didasarkan atas observasi daripada hasil interpretasi.

Interpretasi adalah aktivitas memanda dan memberikan opini kepada

suatu obyek. Hal ini akan mengandung subyektifan penilai. Interpretasi dapat

digunakan untuk menganalisa hasil observasi yang berupa data.

4. Mengukur proses dan hasil

Kegiatan supervisi pendidikan selalu berproses. Hasil yang dicapai

adalah terwujud dari proses yang berlangsung sebelumnya. Hal ini sesuai dengan

prinsip kontinyu dalam evaluasi supervisi pendidikan pendidikan. Oleh sebab itu

evaluasi tidak hanya dilakukan setelah hasil supervisi pendidikan terwujud, tetapi

selama proses supervisi dilakukan harus diadakan penilaian.

5. Dilaksanakan dengan penuh kerjasama

Dalam efektivitas evaluasi supervisi pendidikan, supervisor tidak perlu

berada sendiri. Untuk menilai kegiatan atau aktivitas supervisi ia

dapat bekerja sama dengan guru-guru dan bahkan dapat juga bersama dengan

murid-murid dalam porsi kecil, atau mungkin perlu juga bekerja sama dengan

supervisor lainnya. Oleh sebab itu evaluasi supervisor sendiri, tetapi juga bekerja

sama dengan orang lain.12

7. Kesimpulan

Dari uraian di atas maka dapat penulis ambil kesimpulan bahwa evaluasi

merupakan kegiatan yang terencana untuk mengetahui keadaan objek dengan

menggunakan instrument dan hasilnya dibandingkan dengan tolak ukur untuk

memperoleh kesimpulan sebagai acuan menyusun program pembelajaran

selanjutnya.

Sedangkan proses evaluasi supervisi dalam pendidikan dilakukan dengan

cara, merumuskan tujuan evaluasi, penyeleksi alat-alat evaluasi, menyusun alat

evaluasi, menerapkan alat-alat evaluasi, mengolah hasil-hasil evaluasi,

menyimpulkan hasil-hasil Evaluasi, Follow Up Evaluasi.

Page 38: Jurnal Pendidikan dan Kajian Keagamaan

38

Footnote

1 Saifullah, Muhammad Quthb & Sistem Pendidikan Non Dikotomik, (Yogyakarta: Suluh

Press, 2005), Cet. Ke-1, hal. 40

2. Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2008), cet.

ke-6, hal. 221.

3. Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam,... hal. 221.

4. Zaenal Arifin, Konsep dan Model Pengembangan Kurikulum, (Bandung:

PT. Remaja Rosdakarya, 2011), Cet. ke-1, hal. 265

5. Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam,... hal. 221.

6. Mukhtar dan Iskandar, Orientasi Baru Supervisi Pendidikan, (Jakarta:

Referenci, 2013), Cet. Ke-1, hal. 44

7. Pupuh Fathurrohman dan AA Suryana, Supervisi Pendidikan Dalam

Pengembangan Proses Pengajaran, (Bandung: PT Refika Aditama, 2011), cet. ke-

1, hal. 7

8. Pupuh Fathurrohman dan AA Suryana, Supervisi Pendidikan Dalam

Pengembangan Proses Pengajaran, hal. vi

8. Masrap Suhaemi, Terjemah Riyadhus Shalihin, (Surabaya: Mahkota,

1986), hal. 66

9. Lemsadewa.blogspot.com

10. Nurwadjah Ahmad, Tafsir ayat-ayat Pendidikan, (Bandung: Marja,

2010), cet. ke-1, hal. 123

11. Lemsadewa.blogspot.com

12. Lemsadewa.blogspot.com

Daftar Pustaka

Mukhtar dan Iskandar, Orientasi Baru Supervisi Pendidikan, (Jakarta: Referenci,

2013), Cet. Ke-1.

Nurwadjah Ahmad, Tafsir ayat-ayat Pendidikan, (Bandung: Marja, 2010), cet. ke-

1,

Suhaemi, Masrap, Terjemah Riyadhus Shalihin, (Surabaya: Mahkota, 1986).

Page 39: Jurnal Pendidikan dan Kajian Keagamaan

39

Pupuh Fathurrohman dan AA Suryana, Supervisi Pendidikan Dalam

Pengembangan Proses Pengajaran, (Bandung: PT Refika Aditama, 2011),

cet. ke-1.

Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2008), cet. ke-6.

Saifullah, Muhammad Quthb & Sistem Pendidikan Non Dikotomik, (Yogyakarta:

Suluh Press, 2005), Cet. Ke-1.

Arifin, Zaenal, Konsep dan Model Pengembangan Kurikulum, (Bandung: PT.

Remaja Rosdakarya, 2011), Cet. ke-1.

Lemsadewa.blogspot.com

Page 40: Jurnal Pendidikan dan Kajian Keagamaan

40

PERAN KH. HASYIM ASY-ARI DALAM SEJARAH SOSIAL

INTELEKTUAL DI INDONESIA

Oleh : Amirudin Hamzah

PENDAHULUAN

Nahdatul Ulama (NU) lahir dari kesepakatan para kyai pada masa colonial

Belanda. Nahdatul Ulama artinya kebangkitan para ulama. Organisasi ini lahir pada

16 Rahab 1344 H (13 Januari 1926) dipimpin oleh KH. Hasyim Asy’ari sebagai rias

akbar atau pimpinan tertinggi. Sang pendiri NU ini juga ikut mendirikan pesantren

terbesar di Indonesia untuk menegaskan prinsip dasar organisasi. Maka KH.

Hasyim Asy’ari merumuskan kitab Qonun Asasi (pinsip dasar), juga merumuskan

kitab tersebut kemudian dijawantakan dalam khittah NU, yang dijadikan sebagai

dasar dan rujukan keluarga NU dalam berfikir dan bertindak dalam bidang sosial

keagamaan dan politik.

Diperkirakaan pengikut NU lebih dari 40 juta orang. Dengan beragam profesi

mayoritas dari mereka adalah rakyat yang sederhana, baik di kota dan di desa.

Umumnya kehidupan mereka terkait erat dengan dunia pesantren yang merupakan

pusat pendidikan rakyat dan cagar budaya NU. Para pengikut NU dikenal dengan

sebutan Nadhiyin dan jumlah mereka lebih banyak dari pengikut Muhammadiyah.

NU memiliki struktur organisasi dari tingkat pusat hingga cabang kelurahan, bentuk

kepengurusan terdiri dari : mustayar (penasehat), syuriah (pimpinan tertinggi) dan

tanfidziyah (pelaksana harian).

KH. HASYIM ASY’ARI : SEBUAH BIOGRAFI

KH. Hasyim Asy’ari memiliki kehidupan yang unik. KH. Hasyim Asy’ari

hidup dari dunia pesantren dan kembali ke dunia pesantren. Lahir dari kalangan elit

Kyai jawa, dibesarkan di dunia pesantren dari kecil hingga usia 15 tahun di asuh

dan dididik oleh kakek dan kedua orang tuanya di lingkungan pesantren. Kemudian

beliau mengembara menuntut ilmu ke beberapa pesantren di Jawa dan Madura,

sebelum akhirnya memperdalam ilmunya ke Mekkah, Saudi Arabiah. Selama

kurang lebih tujuh tahun menimba ilmu di Mekkah, beliau kembali ke nusantara

Page 41: Jurnal Pendidikan dan Kajian Keagamaan

41

dan mendirikan pondok pesantren sendiri di Tebu Ireng. Dan sebagian besar

waktunya beliau curahkan untuk mengajar para santri di pesantrennya. Dari kaum

penjajah kolonial Belanda dan Jepang. Untuk mengetahui lebih jauh tentang siapa

KH. Hasyim Asy’ari dalam subbab ini akan diuraikan silsilah keluarga pendidikan

dan kegiataan sosial politik KH. Hasyim Asy’ari.

SILSILAH KELUARGA

KH. Hasyim Asy’ari lahir dari pasangan A Sya’ri dan Halimah, tanggal 24

Dzul Qadah 1287 H (14 Februari 1987) di desa Gedang Jombang. Ayahnya A

Sya’ri berasal dari tingkir keturuan Abdullah Wahid. Mereka dipercayai sebagai

keturunan raja muslim Jawa, Jaka Tingkir atau mas karebet yang mendirikan

kerajaan Pajang dan bergelar Sultan Hadi Wijaya. Jaka Tingkir merupakan

keturunan raja Hindu Majapahit yaitu Prabu Brawijaya VI. Halimah adalah putri

Kyai Usman, pendiri dan sekaligus pemilik pesantren Gedang. Menurut Akar Hanaf

(1950) dari garis keturunan ibunya. KH. Hasyim Asy’ari memiliki silsilah yakni

Muhammad Hasyim Asy’ari bin Halimah binti Layyinah binti Shan bin Abadul

Jabar bin Ahmad bin Pangeran Sambo bin Pangeran Benawa bin Jaka Tingkir (Mas

Karebet) bin Lebu Puteng alias Brawijaya VI. Raja Majapahit terakhir dengan

demikian silihat dari silsilah ayahnya maupun ibunya, KH. Hasyim Asy’ari

merupakan keturunan bangsawan. Pendapat lain menyatakan bahwa nenek moyang

KH. Hasyim Asy’ari adalah Sunan Giri salah satu dari sembilan wali (Wali Songo)

yang menyiarkan agama Islam di tanah Jawa pada sekitar abad 16 (Hadziq 1995)

ada pula pendapat bahwa KH. Hasyim Asy’ari masih keturunan pemimpin Syiah

yang bernama Jafar Shodiq bin Imam Muhammad Baqir melalui keluarga Syaiban

(Syihab 1994).

Hingga usia 5 tahun, KH. Hasyim Asy’ari diasuh di lingkungan pesantren

Gedang milik kakeknya. Setelah KH. Hasyim Asy’ari berumur 6 tahun orang

tuanya pindah ke desa Keras dan mendirikan pesantren di desa tersebut. Hal ini

sangat berpengaruh bagi KH. Hasyim Asy’ari dimana kelak beliau mendirikan

pesantren sendiri. Di pesantren milik orang tuanya KH. Hasyim Asy’ari

memperoleh pendidikan dan bimbingan sampai beliau berumur 15 tahun. Masa

Page 42: Jurnal Pendidikan dan Kajian Keagamaan

42

kecil dilingkungan pesantren sangat mempengaruhi pembentukan karakternya yang

haus akan ilmu pengetahuan dan peduli melaksanakan ajaran agama secara

konsisten (Hadziq 1999) : Khuluq 2000.

Ketika usianya menginjak 15 tahun, KH. Hasyim Asy’ari mengembara

menuntut ilmu berbagai pesantren. Pesantren pertama yang disinggahi adalah

pondok pesantren Wono Koyo di Pasuruan, kemudian pondok pesantren Langitan

di Tuban. Dari pesantren Langitan beliau pindah ke pesantren Trenggilis di

Surabaya. Pada waktu itu beliau mendengar bahwa Kademangan Bangkalan

Madura ada seorang KH besar yang sangat terkenal bahkan sebagian masyarakat

musli di sana memberi gelar sebagai wali yullah. Yaitu Kyai Muhammad Khalil.

KH. Hasyim Asy’ari berangkat ke Kademangan Bangkalan Madura menuntut ilmu

kepada Kyai Muhammad Khalil namun demikian KH. Hasyim Asy’ari tidak lama

belajar kepada Kyai Khalil sebab menurut Kyai Khalil menyuruh KH. Hasyim

Asy’ari supaya pulang. Dan mengajarkan ilmunya kepada orang lain yang

membutuhkan. Tetapi dalam perjalanan pulang KH. Hasyim Asy’ari tidak langsung

pulang kerumahnya melainkan singgah dan berguru kepada Kyai Yakub dan

pengasuh pondok pesantren Siwalan Panji di Sidoarjo.

Rupanya Kyai Yakub sangat terkesan dengan ilmu dan akhlak santri barunya

yang bernama Muhammad Hasyim. Beberapa lama kemudian Kyai Yakub meminta

supaya KH. Hasyim Asy’ari menikah dengan putrinya yang bernama Nafisah.

Permintaan semacam itu sudah merupakan hal yang lazim di dunia pesantren.

Setelah mendapat restu dari kedua orang tuanya Muhammad Hasyim bin Ashari

menikahi Nafisah binti Yakub tahun 1892, ketika Hasyim berusia 21 tahun. Hasyim

dan istri serta mertuanya kemudian menunaikan ibadah haji ke Mekkah. Tujuh

bulan berada di Mekkah istrinya melahirkan seorang anak laki-laki dan diberi nama

Abdullah, akan tetapi Nafisah dan anaknya meninggal disana. Tahun 1893, Hasyim

kembali lagi ke Mekkah bersama adiknya yang bernama Anis, namun rupanya

musibah masih belum mau beranjak dari Hasyim Asy’ari kemudian adiknya pun

meninggal di Mekkah selama kurang lebih delapan tahun bermukim di Mekkah

Hasyim belajar ilmu agama Islam, bahkan beliaupun sempat berthalwat di gua Hiro.

Tempat dimana pertama kali Nabi Muhammad SAW menerima wahyu ilahi. KH.

Page 43: Jurnal Pendidikan dan Kajian Keagamaan

43

Hasyim Asy’ari berguru kepada beberapa ulama terkenal seperti Syeikh Suaib bin

Abadurrahman, Syeikh Muhammad Mahmuf Aturmudzi, Syeikh Minang Kabau,

Syeikh Sambas dan lain-lain.

Tahun 1900, KH. Hasyim Asy’ari kembali dari tanah suci dan mengajar di

pesantren ayah dan kakeknya. Antara tahun 1903 sampai 1906 beliau mengajar di

pondok mertuanya, Kemuning di Kediri. KH. Hasyim Asy’ari selain dikenal

sebagai seorang ulama besar dan berilmu tinggi beliau juga dipercayai mempunyai

kekuatan batin yang luar biasa (supranatural) semenjak mendirikan pondok

pesantren Tebu Ireng. Mantan gurunya Kyai Kholil di Bangkalan sebagai kalangan

dan para ulama menganggapnya sebagai wali terhahap KH. Hasyim Asy’ari

membuat Kyai di Jawa mengikuti jejaknya dan menganggap KH. Hasyim Asy’ari

sebagai guru mereka. Sepeninggal Kyai Kholil di Bangkalan KH. Hasyim Asy’ari

dinobatkan sebagai pemimpin spiritual para Kyai.

Paham Ahlussunnah Wal Jama’ah yang dianut NU

Berkembangnya ahlussunnah wal jama’ah di Indonesia berbarengan dengan

berkembangnya Islam di Indonesia yang diabwa oleh para wali. Di pulau Jawa

peranan walisongo sangat berpengaruh dalam memantapkan eksistensi ahlussunnah

wal jama’ah. Namun, ahlussunnah wal jama’ah yang dikembangkan walisongo

masih dalam bentuk ajaran-ajaran yang sifatnya tidak dilembagakan dalam suatu

wadah organisasi.

Perlembagaan ajaran ahlussunnah wal jama’ah di Indonesia dengan karakter

yang khas terjadi setelah didirikannya Nadhatul Ulama (NU) pada tahun 1926. NU

adalah sebagai satu-satunya organisasi keagamaan yang secara formal dan normatif

menempatkan ahlussunnah wal jama’ah sebagai paham keagamaan yang dianutnya.

KH. Hasyim Asy'ari sebagai salah seorang pendiri NU telah merumuskan

konsep ahlussunnah wal jama’ah dalam kitab Al-Qanun Al-Asasiy li Jami’yya

Nadhlah al-‘Ulama’. Al-Qonun Al-Asasiy berisi dua bagian pokok, yaitu:

1. Risalah ahlussunnah wal jama’ah, yang memuat tentang kategorisasi sunnah

dan bid’ah dan penyebarannya di pulau Jawa, dan

Page 44: Jurnal Pendidikan dan Kajian Keagamaan

44

2. Keharusan mengikuti mazhab empat (13 karena hidup bermazhab itu lebih

dapat menyatukan kebenaran, lebih dekat untuk merenungkan, lebih mengarah

pada ketelitian, dan lebih mudah dijangkau. Inilah yang dilakukan oleh

salafusana al-shalih (generasi terdahulu yang salih).

Mengenai istilah ahlussunnah wal jama’ah, KH. Hasyim Asy'ari dengan

mengutip Abu al-Baqa’ dalam bukuknya “Al-Kulliyyat” mengartikannya secara

bahasa sebagai jalan, meskipun jalan tidak disukai. Menurut syara’, ‘sunnah’ adalah

sebutan bagi jalan itu tidak disukai dan dijalani dalam agama sebagaimana

dipraktekkan oleh Rasulullah SAW. Atau tokoh agama lainnya, seperti para sahabat

sebagaimana dikatakan Syeikh Zaruq dalam kitab ‘Uddah al-Murid, menurut

syara’, ‘bid’ah’ adalah munculnya perkara baru dalam agama yang kemudian mirip

bagian agama, padahal bukan bagian darinya, baik formal maupun hakekatnya.

Yang menarik dari Qonun Asasiy adalah bahwa KH. Hasyim Asy'ari

melakukan serangan keras kepada Muhammad ‘Abduh, Rasyid Ridha, Muhammad

Ibn ‘Abd al-Wahhab, Ibn Taimiyah, dan dua muridnya Ibn al-Qayyim dan Ibn ‘Abd

al-Hadi yang telah mengharamkan praktek yang telah disepakati umat Islam

sebagai bentuk kebaikan seperti ziarah ke makam Rasulullah. Dengan mengutip

pendapat Syeikh Muhammad Bakhit al-Hanafi al-Muti’i dalam risalahnya Tathir

al-Fu’ad min Danas al-I’tiqad, KH. Hasyim Asy'ari menganggap kelompok ini telah

menjadi fitnah bagi kaum muslimin, baik salaf maupun khalaf. Mereka merupakan

aib dan sumber perpecahan bagi kaum muslimin yang mesti segera dihambat agar

tidak menjalar ke mana-mana.

Dalam perkembangan selanjutnya, konsep ahlussunnah wal jama’ah tersebut

mengalami proses pergulatan dan penafsiran yang insentif di kalangan warga NU.

Sejak ditahbiskan sebagai paham keagamaan warga NU, ahlussunnah wal jama’ah

mengalami kontekstualisasi yang beragam. Meskipun demikian, kontekstualisasi

ahlussunnah wal jama’ah, tidak menghilangkan makna dasarnya sebagai paham

atau ajaran Islam yang pernah diajarakan dan diamalkan oleh Rasulullah SAW

bersama para sahabatnya.

Titik tolak dari paham ahlussunnah wal jama’ah terletak pada prinsip dasar

ajaran Islam yang bersumber kepada Rasulullah dan para sahabatnya. Ada beberapa

Page 45: Jurnal Pendidikan dan Kajian Keagamaan

45

tokoh NU yang menafsirkan paham ahlussunnah wal jama’ah diantaranya adalah

KH. Bisri Mustofa, KH. Achmad Siddiq, KH. Saefuddin Zuhri, KH. Dawan Anwar,

KH. Said Aqil Siradj, KH. Sahal Mahfuzh, KH. Wahid Zaini, KH. Muchith Muzadi,

dan KH. Tolchah Hasan.

Oleh para ulama NU, ahlussunnah wal jama’ah dimaknai dalam dua

pengertian. Pertama, ahlussunnah wal jama’ah sudah ada sejak zaman sahabat nabi

dan tabi’in yang biasanya disebut generasi salaf. Pendapat ini didasarkan pada

pengertian ahlussunnah wal jama’ah yakni mereka yang selalu mengikuti sunnah

Nabi SAW dan para sahabatnya.

Kedua, pendapat yang mengatakan bahwa ahlussunnah wal jama’ah adalah

paham keagamaan yang baru ada setelah munculnya rumusan teologi Asy’ari dan

Maturidi dalam bidang teologi, rumusan fiqhiyyah mazhab empat dalam bidang

tashawuf.

Pengertian pertama sejalan dengan sabda Nabi SAW: “Hendaklah kamu

sekalian berpegang teguh kepada sunnah Nabi dan sunnah al-Khulafa al-Rasyidin

yang mendapat petunjuk” (HR. at-Tirmidzi dan al-Hakim). Dalam hadits tersebut,

yang dimaksud bukan sahabat yang tergolong al-khulafa al-rasyidin saja, tetapi juga

sahabat-sahabat lain, yang memiliki kedudukan yang penting dalam pengalaman

dan penyebaran Islam.

Nabi SAW. Berada: “Sahabat-sahabatku seperti bintang ( diatas langit )

kepada siapa saja di antara kamu mengikutinya, maka kamu telah mendapat

petunjuk” ( HR.al-Baihaqi ).

Sesudah generasi tersebut, yang meneruskan ajaran ahlussunnah wal jama’ah

adalah para tabi’it-tabi’in (generasi sesudah tabi’in) dan demikian seterusnya yang

kemudian dikenal sebagai penerus Nabi, yaitu ulama.

Nabi SAW. Bersabda: “Ulama adalah penerang-penerang dunia pemimpin-

pemimpin di bumi, dan pewarisku dan pewaris nabi-nabi” (HR. Ibn ‘Ay) (18. Itu

sebabnya, paham ahlussannah wal jama’ah, sesungguhnya ajaran Islam yang

diajarkan oleh Rusulullah, sahabat, tabi’in, dan generasi berikutnya.

Page 46: Jurnal Pendidikan dan Kajian Keagamaan

46

Pengertian ini di dukung oleh KH. Achmad Siddiq yang mengatakan bahwah

ahlussunnah wal jama’ah adalah pengikut dari garis perjalanan Rasulullah SAW.

Dan para pengikutnya sebagai hasil pemufakatan golongan terbesar umat Islam. (19

Pengertian ini di pertegas lagi oleh KH. Saefudin Zuhri yang mengatakan bahwa

ahlussannah wal jama’ah adalah segolongan pengikut sunah Rasulullah Saw. Yang

di dalam melaksanakan ajaran-ajarannya berjalan di atas garis yang di praktekan

oleh jama’ah (sahabat nabi). Atau dengan kata lain, golongan yang menyatukan

dirinya dengan para sahabat di dalam mempratekkan ajaran – ajaran nabi

Muhammad SAW. Yang meliputi akidah, fikih, akhlaq, dan jihad.

Namun demikian, dalam perkembangan selanjutnya, makna ahlussunnah wal

jama’ah di lingkungan NU lebih menyempit lagi, yakni kelompok atau orang-orang

yang mengikuti para imam mazhab, seperti Maliki, Hanafi, Syafi’i dan Hanbali

dalam fikih; mengikuti Abu al-Hasan Al-Sy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi dalam

bidang tauhid, dan Junaid al-Bagdadi dan al-Ghazali dalam bidang tashawuf.

Pengertian ini dimaksudkan untuk melestarikan, mempertahankan,

mengamalkan dan mengembangkan paham ahlussunnah wal jama’ah. Hal ini

bukan berarti NU menyalahkan mazhab-mazhab mu’tabar lainnya, melainkan NU

berpendirian bahwa dengan mengikuti mazhab yang jelas metode dan produknya

warga NU, sistem akan lebih terjamin berada di jalan yang lurus. Menurut NU,

sistem bermazhab adalah sistem yang terbaik untuk melestarikan,

mempertahankan, mengamalkan dan mengembangkan ajaran Islam, supaya tetap

tergolong ahlussunnah wal jama’ah.

Di luar dua pengertian di atas, KH. Said Agil Siradji memberikan

pengertian lain. Menurutnya, ahlussunnah wal jama’ah adalah orang-orang yang

memiliki metode berfikir keagamaan yang mencakup semua aspek kehidupan yang

berlandaskan atas dasar-dasar moderasi, menjaga keseimbangan, dan toleransi.

Baginya, ahlussunnah wal jama’ah harus diletakkan secara proporsional yakni

ahlussunnah wal jama’ah bukan sebagai mazhab, melainkan hanyalah sebuah

manhaj al-fikr (cara berpikir tertentu) yang digariskan oleh sahabat dan para

muridnya, yaitu generasi tabi’in yang memiliki intelektualitas tinggi dan relatif

netral dalam menyikapi situasi politik ketika itu. Meskipun demikian, hal ini bukan

Page 47: Jurnal Pendidikan dan Kajian Keagamaan

47

berarti bahwa ahlussunnah wal jama’ah sebagai manhaj al-fikr adalah produk yang

bebas dari realitas sosiokultural dan sosio-politik yang melingkupinya.

Sejak berdirinya, NU telah menetapkan diri sebagai jam’iyah yang berakidah

Islam ahlussunnah wal jama’ah. Dalam Muqaddimah Qonun Asasiy-nya, pendiri

jami’iyyah NU, KH. Hasyim Asy'ari menegaskan, “Hai para ulama dan pemimpin

yang takut pada Allah dari kalangan ahlussunnah wal jama’ah dan pengikut imam

empat, kalian sudah menuntut ilmu agama orang-orang yang hidup sebelum kalian.

Dari sini, kalian harus melihat dari siapa kalian mencari atau menuntut ilmu agama

Islam. Berhubung dengan cara menuntut ilmu, pengetahuan sedekian itu, maka

kalian menjadi pemegang kuncinya, bahkan menjadi pintu-pintu gerbangnya ilmu

agama Islam. Oleh karena itu, janganlah memasuki rumah kecuali pintunya. Siapa

saja yang memasuki suatu rumah tidak melalui pintunya maka pencurilah

namanya!”

Bagi NU landasan Islam adalah Al-Qur’an, sunnah (perkataan, perbuatan dan

taqrir/ketetapan) Nabi Muhammad SAW. Sebagaimana telah dilakukan bersama

para sabahatnya dan sunnah al-khulafah’ al-rasyidin, Abu Bakar Al-Shiddiq, Umar

ibn al-Khattab, Usman ibn Affan dan Ali ibn Abi Thalib. Dengan landasan ini, maka

bagi NU, Ahlussunnah wal jama’ah dimengerti sebagai ‘para pengikut sunnah Nabi

dan Ijma’ para ulama ‘. NU menerima ijtihad dalam konteks bagaimana ijtihad itu

dapat dimengerti oleh umat. Ulama pendiri NU menyadari bahwa tidak seluruh

umat Islam memahami dan menafsirkan ayat al-Qur’an maupun matan (mata rantai)

bersambung sampai ke Rasulullah SAW. Diperlukan untuk mempermudah

pemahaman itu.

Dalam menggunakan landasan itu, ada tiga cirri utama Ahlussunnah wal

jama’ah yang dianut NU :

Pertama adanya keseimbangan antara dalil (rasio) dan dalil naqliy (al Qur’an

dan Hadits), dengan penekanan dalil aqliy ditempatkan di bawah dalil naqliy.

Kedua, berusaha sekuat tenaga menunaikan akidah dari segala campuran

akidah di luar Islam.

Ketiga, tidak mudah menjatuhkan vonis musyrik, kufur dan sebagainya atas

seseorang yang karena sesuatu sebab belum dapat memurnikan akidanya.

Page 48: Jurnal Pendidikan dan Kajian Keagamaan

48

Dalam tashawuf, NU berusaha mengimplementasikan iman, Islam dan ihsan

secara serempak, terpadu dan berkesinambungan. Berlandasarkan tashawuf yang

dianut, NU dapat menerima hal-hal baru yang bersifat lokal sepanjang dapat

meningkatkan intensitas keberagaman. Dengan tashawuf yang dianut, NU juga

berusaha menjaga setiap perkembangan agar tidak menyimpang dari ajaran Islam.

KESIMPULAN

1. KH. Hasyim Asy’ari belajar ke berbagai tempat di Jawa dan Madura. Sebelum

akhirnya memperdalam ilmunya ke Mekkah, Saudi Arabia selama kurang lebih

tujuh tahun menimba ilmu di Mekkah. Beliau kembali ke nusantara dan

mendirikan pondok pesantren sendiri di Tebu Ireng.

2. KH. Hasyim Asy'ari sebagai salah seorang pendiri NU telah merumuskan

konsep ahlussunnah wal jama’ah dalam kitab Al-Qonun, Al-Asasiy,

Jami’iyyah Nahdlah al-Ulama: Al-Qonun Al-Asasiy berisi dua bagian pokok

yaitu:

a. Ahlussunnah wal jama’ah sudah ada sejak zaman sahabat nabi dan tabi’in

yang biasanya disebut generasi salaf, pendapat ini didasarkan pada

pengertian ahlussunnah wal jama’ah, yakni mereka yang selalu mengikuti

sunnah Nabi SAW dan para sahabatnya.

b. Pendapat yang mengatakan bahwa ahlussunnah wal jama’ah adalah paham

keagamaan yang baru ada setelah munculnya rumusan teologi Asy’ari dan

Maturidi dalam bidang Fiqih serta rumusan tasawuf Junayd al-Bagdadi

dalam fiqih serta rumusan tashawuf Junayg al-Bagdadi dalam bidang

tasawuf.

DAFTAR PUSTAKA

1. Dwi Purwoko, dkk. Negara Islam. PT. Permata Artistika, Kreasi. Depok.

2001

2. Deliar Noer. Gerakan modern Islam di Indonesia. LP3 ES

3. www.Mail-archive.com/MencintaiIslam

4. www.tokohIndonesia.com/ensiklopedi.Hasyim/IndexSHTM

Page 49: Jurnal Pendidikan dan Kajian Keagamaan

49

5. HM. Hasyim, Latif Ahlussunnah wal jama’ah LP Ma’arif. Jawa Timur. 1979,

halaman 3.

6. KH. Saefudin Zuhri. Menghidupkan Nilai-nilai Ahlussunnah Wal Jama’ah

Dalam Praktek IPNO. Jakarta. 1979. Hlm. 7

7. A. Wahid Zaini. OP. Cit. Hlm. 51

8. KH. A. Muchita Muzadi OP.Cit. Hlm. 29

9. KH. Said Agil Siradji. Ahlussunnah Wal Jama’ah Dalam Lintas Sejarah C.

Yogyakarta. LKPS. 1999. Hal 4.

Page 50: Jurnal Pendidikan dan Kajian Keagamaan

50

MENDIDIK ANAK SUPERNORMAL

DALAM PERSEPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM

Oleh : Hasanudin

PRAWACANA

Era globalisasi sekarang, dunia semakin sempit. Kemajuan ilmu pengetahuan

dan teknologi semakin pesat yang menimbulkan berbagai dampak dalam seluruh

bidang kehidupan manusia. Baik dampak yang bernilai positif maupun negatif.

Dalam hal ini pendidikan mempunyai peranan dalam membangun bangsa ke depan

untuk mencapai kemakmuran dan kesejahteraan hidup yang merata.

Dalam menghadapi kemajuan tersebut secepatnya bangsa Indonesia harus

meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) dan tidak perlu menunda-

nunda lagi. Karena dengan SDM yang berkualitas bangsa Indonesia akan mampu

mengikuti kemajuan tersebut. SDM yang berkualitas adalah berkembangnya

manusia secara menyeluruh. Manusia yang berkualitas adalah manusia yang

berkembang optimal baik secara fisik, kognitif, emosi, sosial maupun spiritual.

Secara tidak sadar bangsa Indonesia memiliki bibit-bibit unggul yang dapat

dijadikan SDM berkualitas. Bibit unggul tersebut yaitu anak yang memiliki

kecerdasan lebih tinggi atau bisa disebut dengan anak supernormal. Anak

supernormal memiliki keunggulan-keunggulan berbeda dengan anak normal. Dari

segi fisik sedikit lebih unggul baik tinggi, bobot dan kesehatan. Lebih mampu

berkonsentrasi dalam waktu yang relatif lama, mampu mencipta, mampu

memahami mulai dari masalah material sampai masalah abstrak. Karena kelebihan

dalam hal kecerdasan, maka cenderung bergaul dengan anak-anak yang lebih tua

yang lebih banyak memiliki kemahiran fisik dan pengalaman.

Keunggulan-keunggulan yang dimiliki anak supernormal penting untuk

dikembangkan dan dibimbing. Karena anak yang memiliki kecerdasan lebih

laksana tanaman yang membutuhkan seseorang yang dapat membimbing dan

membantunya agar berkembang secara alamiah, menghilangkan berbagai kendala

Page 51: Jurnal Pendidikan dan Kajian Keagamaan

51

yang ada dihadapannya, serta merintis jalan baginya. Merekapun membutuhkan

seseorang yang dapat memahami serta menghargai kelebihannya.

Apabila anak supernormal tidak disediakan pelayanan pendidikan, tidak

dibimbing dan tidak dididik sesuai dengan kebutuhan-kebutuhannya yang khas,

sehingga potensi-potensinya kurang dapat diwujudkan maka disamping dapat

kehilangan bibit-bibit unggul bagi perkembangan negara dan bangsa Indonesia,

anak-anak tersebut dirugikan bahkan dapat menjadi anak bermasalah, dan bisa jadi

putus sekolah. Jelas bahwa anak supernormal membutuhkan didikan dan bimbingan

secara khusus dan serius.

Upaya membimbing dan mendidik anak supernormal supaya menjadi SDM

yang berkualitas dan memiliki masa depan yang cerah akan berhasil apabila

didukung oleh orang tua dan masyarakat. Orang tua mempunyai peran yang sangat

penting, karena orang tualah yang menemukan beberapa karakteristik anak pada

usia yang sangat dini, yaitu saat dia membangdingkan dengan anak lain pada usia

yang sama, kadang seorang ibu mengetahui bakat putrinya melalui aneka

pertanyaan cerdas yang diajukannya. Disamping orang tua, lingkungan masyarakat

juga mempunyai peran yang sangat besar. Karena di lingkungan masyarakatlah

mereka berkembang yang dapat mempengaruhi baik buruknya anak.

Mendidik anak merupakan tanggung jawab yang berat. Nabi SAW telah

menyebutkan dengan tepat tanggung jawab itu yaitu sebagai seorang pemimpin,

sebagai seorang pemimpin harus berhati-hati tehadap yang dipimpinnya. Orang tua

harus terus menerus mengawasi dan memperhatikan sehingga yakin bahwa anak-

anak mereka tidak tersesat dan jatuh.

Seseorang tidak bisa dibiarkan tumbuh dan berkembang begitu saja tanpa ada

yang merawat dan membimbing, karena anak bisa tumbuh liar tak terkendali.

Pendidikan merupakan tanggung jawab dan kewajiban orang tua karena anak

sebagai amanah Allah SWT. Oleh karena itu orang tua tidak boleh menelantarkan

kebutuhan-kebutuhan anak yakni kasih sayang, perlindungan, pendidikan dan

sebagainya.

Agar terjadi keseimbangan dan kebahagiaan hidup di dunia dan akherat pada

anak supernormal perlu penanaman ahlakul kharimah karena dalam muatan SDM

Page 52: Jurnal Pendidikan dan Kajian Keagamaan

52

yang berkualitas yang paling elementer adalah sikap hidup ahlakul kharimah secara

kondusif. Anak supernormal merupakan kekayaan sumber daya insani yang tidak

terukur nilainya. Mereka bukan hanya milik orang tuanya melainkan milik

masyarakat dimana mereka tumbuh. Oleh karena itu jangan menyia-nyiakan

kekayaan yang besar ini. Dengan memenuhi kemauan positif, memuji daya kreasi

dan hasil kerja dan mendidik mereka, supaya menjadi cendekiawan umat dan

pimpinan masyarakat banyak yang berlandaskan pada ajaran agama.

Dari permasalahan tersebut penyusun ingin mengkaji tentang bagaimana

mendidik anak yang mempunyai keunggulan kecerdasan untuk dapat membangun

kehidupan bangsa dalam pandangan pendidikan Islam. Untuk itu dalam skripsi ini,

sengaja penyusun mengangkat masalah mendidik anak supernormal dalam

perspektif pendidikan Islam, penyusun beranggapan bahwa kecerdasan merupakan

potensi yang akan menghasilkan generasi penerus yang cakap dan berkualitas yang

dapat memahami risalah-Nya, memahami keberadaan-Nya sesuai dengan ajaran

agama apabila ada usaha untuk membimbing dan mendidiknya.

Sikap Islam terhadap pendidikan intelektual anak terpantul dari

karakteristiknya sebagai “din fitrah”. Islam melihat dan menghormati potensi

manusia sebagai potensi yang utuh tidak sepotong-potong, sebagaimana firman

Allah dalam QS. Al-Mulk : ayat. 23 :

Artinya : “… katakanlah ; Dialah yang menciptakan kamu dan menjadikan bagi

kamu pendengaran, penglihatan dan hati (tetapi) amat sedikit kamu bersyukur.”

Dari ayat di atas menunjukkan bahwa Islam sangat menghormati dan

mendorong potensi intelektual serta menggariskan media-media khusus yang dapat

membantu orang tua dalam mendidik dan mengembangkan potensi intelektual

anaknya. Proses pendidikan pada dasarnya membantu mengembangkan potensi

yang dimiliki agar berkembang secara optimal, sehingga anak mampu

melaksanakan tugas-tugasnya sebagai khalifah di muka bumi. Secara sederhana

kualifikasi manusia yang mampu berperan sebagai “subyek” khalifah di muka bumi

Page 53: Jurnal Pendidikan dan Kajian Keagamaan

53

adalah mereka yang memiliki komitmen iman dan menguasai ilmu pengetahuan

dan teknologi untuk mengungkap hukum-hukum alam (sunatullah) dalam rangka

memakmurkan kehidupan di muka bumi.

Keluarga adalah lembaga yang sangat penting dalam proses pengasuhan anak.

Meskipun bukan menjadi satu-satunya faktor, keluarga merupakan unsur yang

sangat menentukan dalam pembentukan kepribadian dan kemampuan anak. Fungsi

keluarga dalam hal ini adalah bagaimana peranan orang tua dalam upaya

membentuk kepribadian anak, mendidik dan mengembangkan potensi akademi,

potensi religius dan moral. Kedekatan orang tua jelas memberikan pengaruh yang

besar dalam proses pembentukan di banding pengaruh yang diberikan oleh

komponen pendidikan lainnya.

Selain keluarga faktor lingkungan yang tak kalah penting adalah sekolah.

Sekolah adalah sebuah lingkungan yang amat besar pengaruhnya terhadap

pertumbuhan dan perkembangan akal. Agar pendidikan berhasil diperlukan situasi

pendidikan yang baik, bahan-bahan pendidikan serta metode mendidik yang tepat.

Untuk itu orang tua harus mempersiapkan anak baik dari segi jasmani, akal, dan

rohaninya sehingga dia menjadi angggota masyarakat yang bermanfaat baik untuk

dirinya maupun masyarakat.

Anak supernormal adalah anak yang mempunyai intelegensi di atas normal.

Anak yang tergolong supernormal adalah anak yang memiliki intelegensi di atas

110. Adapun kalsifikasi anak yang tergolong supernormal berdasarkan tingkat

tingginya intelegensi menurut para ahli adalah :

a. Robert S. Woodwort dan Donalt C. Marquis membagi jenis anak supernormal

sabagai berikut :

IQ Kalsifikasi

Genius 140 – ke atas Very Superior 130 – 139

Very Superior 120 – 129 Superior 110 – 119

b. Baker mengklasifikasikan anak supernormal menjadi 3 golongan :

IQ Klasifikasi

Genius 140 – 200

Page 54: Jurnal Pendidikan dan Kajian Keagamaan

54

Gifted 125 – 140

Rapid 110 – 125

c. Menurut Gauss (sebaran nilai IQ menurut kurve normal gauss ) yaitu :

IQ Klasifikasi

Sangat menonjol Di atas 139

Menonjol 120 – 139

Di atas biasa 110 – 119

Biasa (rata-rata) 90 – 109

Di bawah biasa 80 – 89

Batas terbelakang 76 – 79

Terbelakang mental Di bawah 70

Dari beberapa klasifikasi tersebut dapat ditarik kesimpulan, bahwa rata-rata

yang tergolong anak supernormal adalah anak yang memiliki intelegensi di atas 110

dan bisa disebut dengan anak jenius, very superior dan superior.

Mendidik anak supernormal pada umumnya sama seperti mendidik anak

normal biasa karena setiap anak memerlukan kasih sayang, rasa aman, perhatian

serta dorongan dari orang tua. Karena anak supernormal mempunyai kecerdasan

yang tinggi sehingga sifat dan tingkah lakunya berbeda maka kebutuhannya pun

berbeda dengan anak normal biasa. Untuk itu dalam mendidiknya lebih khusus agar

terpenuhi segala kebutuhannya.

Orang tua dapat mendidik anaknya yang super di rumah, dengan menciptakan

rumah yang penuh kegembiraan dan diterapkannya proses belajar mengajar yang

menyenangkan caranya :

1. Sediakan fasilitas seperti buku-buku, mainan, pensil, kertas, crayon, tanah liat,

kaset audio dan kaset video. Karena benda-benda ini penting bagi seorang

jenius yang sedang berkembang.

2. Perbanyak pujian.

3. Kegembiraan dalam berbagi.

Di samping itu orang tua juga perlu menggunakan metode-metode yang

tepat untuk meningkatkan proses pembelajaran super, yaitu metode yang dapat

menimbulkan rangsangan kegiatan dan kegairahan belajar secara aktif :

Page 55: Jurnal Pendidikan dan Kajian Keagamaan

55

1. Mengembangkan Identitas

2. Permainan

3. Melihat-lihat perpustakaan

4. Berjalan-jalan di alam terbuka

5. Membuat dan mengajukan pertanyaan.

Mendidik dengan pemberian bantuan dan dorongan akan memberi anak

perasaan bahwa dia hidup di dunia yang menyenangkan diantara orang-orang yang

memahami dan menghargainya. Hal itu akan menumbuhkan dalam dirinya

kecintaan ilmu dan pengetahuan. Bimbingan yang diberikan anak superior baik di

rumah maupun di sekolah demikian dengan pula dengan pengertian dan penerimaan

terhadap ide-idenya akan menciptakan benih bagi munculnya seorang peneliti,

pemikir, atau ilmuwan masa depan. Pembinaan itu akan membantunya untuk

menerima dan menampilkan kemampuan intelektualnya yang kelak akan sangat

penting bagi pengabdian kepada masyarakat.

Pendidikan Islam berperan sebagai penghasil out put yang memiliki

kecerdasan yang tinggi. Out put yang memiliki kecerdasan yang tinggi ditandai

dengan sejauh mana mereka mampu memikirkan inovasi-inovasi baru yang

menyelesaikan problem-problem hidup. Dan juga pendidikan Islam berusaha

mempersiapkan anak didiknya untuk memperoleh kebahagiaan dunia akherat

sesuai dengan tujuan. Pendidikan Islam juga menjadikan anak didiknya menjadi

manusia sempurna.

KONSEP PENDIDIKAN ISLAM

Sebelum membahas pendidikan Islam terlebih dahulu penulis sedikit

menguraikan apa arti pendidikan itu sendiri. Istilah pendidikan dalam konteks Islam

lebih banyak dikenal dengan term At-Tarbiyah, At-Ta’lim, At-Ta’dib, dimana term

tersebut mempunyai makna yang berbeda. Dari ketiga istilah tersebut telah banyak

menimbulkan perdebatan diantara para ahli mengenai istilah mana yang paling

tepat untuk menunjuk kegiatan “pendidikan”.

Page 56: Jurnal Pendidikan dan Kajian Keagamaan

56

Dalam bukunya Abu Tauhid yang berjudul “Beberapa Aspek Pendidikan

Islam” memberikan pemahaman tentang ketiga istilah di atas yaitu : kata At-Ta’lim

yang lebih tepat ditujukan untuk istilah “pengajaran” yang hanya terbatas pada

kegiatan menyampaikan atau memasukkan ilmu pengetahuan ke otak seseorang.

Jadi lebih sempit dari istilah “pendidikan” yang dimaksud, dengan kata lain At-

Ta’lim hanya sebagai bagian dari pendidikan. Dan kata At-Ta’dib lebih tepat

ditujukan untuk istilah “pendidikan ahlak” semata, jadi sasarannya hanyalah pada

hati dan tingkah laku (budi pekerti.) sedangkan kata At-Tarbiyah mempunyai

pengertian yang lebih luas dari At-Ta’lim dan At-Ta’dib bahkan mencakup kedua

istilah tersebut.

Dari pengertian di atas istilah At-Tarbiyah mengandung berbagai kegiatan

yang berupa menumbuhkan, mengembangkan, memperbaiki, mengurus, maupun

mengawasi serta menjaga anak didik. Dengan berbagai kegiatan ini maka potensi-

potensi yang ada dalam diri anak didik akan mengalami perkembangan ke arah

kemajuan.

Sedangkan pengertian pendidikan secara terminologi telah banyak para pakar

yang mencoba merumuskannya berdasarkan hasil ijtihad sehingga tak

mengherankan jika sampai saat ini banyak definisi pendidikan Islam yang masing-

masing mengandung persamaan dan perbedaan. Berikut ini dikemukkan tiga

definisi pendidikan Islam yang telah dirumuskan oleh beberapa ahli diantaranya :

1. Sayid Sabiq, merumuskan bahwa pendidikan Islam ialah mempersiapkan

anak baik dari segi jasmani, segi akal, dan segi rohaniyah sehingga dia

menjadi anggota masyarakat yang bermanfaat baik bagi dirinya maupun

bagi umatnya.

2. Athiyah Al-Abrasy, menyatakan bahwa pendidikan Islam adalah

mempersiapkan individu agar ia dapat hidup dengan kehidupan yang

sempurna.

3. Anwar Jundi, mengatakan pendidikan Islam yaitu menumbuhkan manusia

dengan pertumbuhan yang terus menerus sejak ia lahir sampai ia meninggal

dunia.

Page 57: Jurnal Pendidikan dan Kajian Keagamaan

57

Jadi pendidikan Islam merupakan pengembangan potensi yang dimiliki anak

sesuai dengan bakat dan minatnya, disamping itu pendidikan harus mempunyai

tujuan yang jelas yang hendak dicapai dan aspek pengembangan akal pikiran

sehingga potensi dasar anak dikembangkan secara leluasa, sehingga kemampuan

yang dimiliki anak akan tumbuh dan berkembang sesuai dengan perkembangan

jasmani dan rohani sehingga menjadi manusia yang berguna.

Muhammad Athiyah Al-Abrosy menyatakan bahwa prinsip umum

pendidikan Islam adalah mengembangkan berfikir bebas dan mandiri serta

demokratis dengan memperhatikan kecenderungan peserta didik secara individu

yang menyangkut aspek kecerdasan akal, dan bakat dengan dititik beratkan pada

pengembangan ahlak. Pengertian pendidikan Islam di atas berupaya

mengembangkan anak sesuai dengan akal dan bakat dengan bimbingan dan dengan

dorongan yang dititik beratkan pada pengembangan ahlak.

Pengertian di atas menjelaskan bahwa pendidikan Islam berupaya

mengembangkan potensi manusia baik dari sisi kognitif, afektif maupun

psikomotorik sebagai satu kesatuan yang utuh dengan berlandaskan nilai-nilai

Islam sehingga diharapkan manusia bisa menghadapi masa depan yang akan

dihadapi dengan kemampuan yang telah dimiliki.

Berbagai pengertian di atas menunjukkan beragamnya pendapat para ahli.

Namun memiliki kesamaan yang mendasar sehingga dapat disimpulkan bahwa

pendidikan Islam adalah usaha sadar yang dilakukan oleh orang yang lebih dewasa

untuk mengarahkan, membimbing dan mengembangkan seluruh potensi anak didik

agar berkembang lebih maju demi tercapainya pribadi yang dewasa, mandiri da

lebih sempurna dengan berlandaskan nilai-nilai yang bersumber dari Al-Quran dan

Sunah untuk mencapai kebahagiaan yang akan datang.

PENGERTIAN ANAK SUPERNORMAL

Sebelum menguraikan tentang anak supernormal, terlebih dahulu akan

penulis uraikan apa itu intelegensi dan IQ serta bagaimana cara pengukurannya,

karena patokan anak supernormal dalam tulisan ini adalah tingkat tingginya

intelegensi.

Page 58: Jurnal Pendidikan dan Kajian Keagamaan

58

Intelegensi atau kecerdasan merupakan suatu kemampuan tertinggi dari

jiwa mahluk hidup yang hanya dimiliki oleh manusia, intelegensi diperoleh

manusia sejak lahir dan sejak itu pula potensi intelegensi mulai berfungsi

mempengaruhi waktu dan kualitas perkembangan individu dan apabila sudah

berkembang, maka fungsinya semakin berarti bagi manusia yakni akan

mempengaruhi kualitas penyesuaian dirinya dengan lingkungan. Intelegensi bukan

suatu yang bersifat kebendaan melainkan suatu fiksi ilmiah untuk mendeskripsikan

perilaku individu yang berkaitan dengan kemampuan intelektual. Para ahli

mempunyai pengertian yang beragam tentang intelegensi yaitu :

Anita E. Woolfolk mengemukakan bahwa menurut teori-teori lama,

intelegensi itu meliputi tiga pengertian, yaitu (1) kemampuan untuk belajar; (2)

keseluruhan pengetahuan yang diperoleh; (3) kemampuan untuk beradaptasi secara

berhasil dengan situasi baru atau lingkungan pada umumnya. Selanjutnya Woolfolk

mengemukakan bahwa intelegensi itu merupakan satu atau beberapa kemampuan

untuk memperoleh dan menggunakan pengetahuan dalam rangka memecahkan

masalah dan beradaptasi dengan lingkungan.

Alfred Binet, seorang tokoh utama perintis pengukuran intelegensi bersama

Theodore simon mendefinisikan intelegensi atas tiga komponen yaitu (a)

kemampuan untuk mengarahkan fikiran atau mengarahkan tindakan; (b)

kemampuan untuk mengubah arah tindakan bila tindakan tersebut telah

dilaksanakan dan (c) kemampuan untuk mengeritik diri sendiri atau melakukan

autocriticism.

Dari beberapa pengertian di atas dapat penulis simpulkan bahwa intelegensi

adalah suatu kemampuan mental yang dibawa individu atau manusia sejak lahir

yang dapat digunakan untuk menyesuaikan diri dalam lingkungan yang baru dan

untuk memecahkan problem-problem yang dihadapi dengan cepat dan tepat.

Intelegensi bukanlah IQ. Intelegensi merupakan suatu konsep umum tentang

kemampuan individu (seperti yang telah dijelaskan di atas) sedangkan IQ adalah

hasil dari suatu tes intelegensi tertentu yang notabene yang hanya mengukur

sebagian kecil dari intelegensi.

Page 59: Jurnal Pendidikan dan Kajian Keagamaan

59

IQ singkatan dari Intellegence Quotient menunjukkan ukuran atau taraf

intelegensi atau kecerdasan seseorang. Dari hasil tes intelegensi IQ ini diperoleh

dengan menggunakan rumus : hasil bagi umur mental dengan umur Cronologis atau

kalender dikalikan seratus atau IQ = (MA / CA) X 100.

MA singkatan dari Mental Age (usia mental) yang merupakan suatu norma

pembanding pada kelompok usia tertentu. Misalnya pada kelompok anak-anak usia

8 tahun sebagian besar diantara mereka mampu menjawab dengan benar sebanyak

24 soal dalam tes, maka skor atau angka itu dijadikan norma untuk kelompok anak-

anak usia 8 tahun, dan disebut usia mental 8 tahun. Bila seorang anak dalam

mengerjakan tes yanng sama mampu menjawab dengan benar sebanyak 24 soal

maka ia mempunyai usia mental 8 tahun.

CA singkatan dari Chronological Age (usia kronologis) yaitu usia anak

sejak dilahirkan yang dapat dinyatakan dalam satuan tahun atau dalam satuan bulan.

Misalnya apabila seorang anak yang berusia 8 tahun mampu menjawab dengan

benar sebanyak 24 soal maka ia dikatakan memiliki usia mental 8 tahun. Dan IQnya

dihitung sebagai IQ = (8/8)x100 = 100. Seorang anak lain yang berusia 6 tahun

tetapi sudah mampu menjawab dengan benar sebanyak 24 dalam tes yang sama

akan memperoleh usia mental 8 tahun pula sehingga IQnya adalah (8/6)x100 = 133.

Jelaslah bahwa apabila seorang anak mencapai usia mental yang sama

dengan usia kronologisnya, maka ia akan mendapat IQ=100 yang secara logis

diartikan sebagai berintelegensi normal. Bila seorang anak memperoleh usia mental

lebih tinggi dari pada usia kronologisnya maka anak tersebut tergolong anak yang

berintelegensi di atas normal, sebaliknya bila usia mental lebih kecil dari usia

kronologisnya berarti intelegensinya di bawah normal. Demikianlah gambaran

prinsip perhitungan IQ.

Berdasarkan prinsip-prinsip perhitungan IQ tersebut indikasi awal lahirnya

konsep kecerdasan dinyatakan bahwa “semkin tinggi IQ seseorang maka semakin

tinggi pula kecerdasannya”. Sebagai orang tua boleh-boleh saja meminta anaknya

untuk menjalani tes akan tetapi setelah mengetahui skor atau hasilnya dan

berapapun skornya harus tetap gembira dan juga tidak pernah berhenti untuk

Page 60: Jurnal Pendidikan dan Kajian Keagamaan

60

memberi masukan-masukan, perhatian upaya-upaya yang dapat meningkatkan dan

menjaga kecerdasannya.

Mungkin pada saat tes dilaksanakan anak dalam keadaan atau kondisi yang

kurang sehat atau dalam keadaan cemas, dan sebagainya. Hal-hal tersebut bisa

mempengaruhi, maka apapun alasannya tidaklah bijaksana apabila menganggap

nilai IQ seorang anak sebagai hal yang amat penting. Apabila orang tua ingin

mengetahui anaknya cerdas atau tidak orang tua dapat melihat tanda-tanda

kecerdasan dan ciri-ciri anak supernormal.

Dari penegasan istilah di depan sudah penulis jelaskan pengertian anak

supernormal yaitu anak yang mempunyai kecerdasan di atas anak-anak normal dan

memiliki IQ di atas 110. Anak yang tergolong supernormal yaitu meliputi anak

genius memiliki IQ 140 ke atas, anak gifted atau very superoir memiliki IQ 125-

140, dan anak superior memiliki IQ 110-125.

Adapun batasan arti anak supernormal yakni :

1. Anak Genius, mewakili golongan anak yanng memiliki IQ 140 ke atas.

Genius mempunyai arti anak yang memilliki tingkat intelegensi

yang tinggi (IQ 140 ke atas) istilah ini juga dipakai terhadap seseorang yang

memiliki bakat kemampuan luar biasa.

Dalam bukunya Sri Rumini berjudul “ Pendidikan Anak Genius”

dikemukakan bebrapa pendapat para ahli tentang batasan pengertian genius :

a. Orang awam banyak yang berpendapat bahwa semua anak yanng cerdas,

cerlang, berkemampuan tinggi adalah tergolong anak genius.

b. Ada yang menyamakan dengan talented (berbakat)

c. Ada yang menyamakan dengan Gifted atau Highly Gifted

d. Robert Woodworth dalam bukunya “Psychology” berpendapat bahwa

anak genius adalah anak yang memiliki IQ di atas 140

e. Prof. Hollingwort berpendapat anak sudah berhak disebut genius kalau

IQ nya lebih dari 180

Page 61: Jurnal Pendidikan dan Kajian Keagamaan

61

f. Dalam “The Wood Book Encyclopaedia” volume 8, halaman 87

dinyatakan kalau genius dipandang dari psycology adalah seseorang

dengan IQ 140 atau lebih

g. Ruth Strung mempunyai pendapat lain lagi terhadap para genius, menurut

dia : kata genius sering-sering diterapkan kepada individu yang

mempunyai kapasitas istimewa (luar biasa) dan mampu menciptakan

sesuatau yang sangat tinggi nilainya (mutunya.) jadi titik beratnya pada

hasil ciptaannya, tidak hanya pada tingkatan intelegensinya.

Dari berbagai pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa anak genius

adalah anak luar biasa cerdasnya sehingga dapat menciptakan sesuatu yang sangat

tinggi nilainya , bila diukur dengan tes intelegensi IQ mereka paling rendah 140

sedang yang paling tinggi dapat mencapai 200 lebih.

Para jenius lebih dari super cerdas ataupun sangat berbakat, mereka adalah

orang-orang yang betul-betul hebat dan jauh mendahului masyarakat, bahkan dunia

yang berbeda karena kontribusinya, sebagai contoh Beed Hoven, Picasso, Issac

Newton Maria Currie, Leonardo Da Vinci dan sebagainya.

2. Anak Gifted / Very superior

Anak gifted atau very superior memiliki tingkat kecerdasan tinggi

bila diukur dengan tes intelegensi kurang lebih 125-140. Tingkat gifted

berada di bawah tingkat genius dan di atas tingkat superior. Gifted adalah

suatu terminologi bagi individu yang mempunyai IQ atau tingkat kecerdasan

yang lebih dari normal yaitu IQ nya antara 120-140. Disamping itu

mempunyai pula bakat yang istimewa atau menonjol anatara lain berbakat

dalam seni musik, drama, ketrampilan, dan keahlian memimpin masyarakat.

Dalam bukunya Samsu Yusuf yang berjudul ‘Psikologi

Perkembangan Anak Dan Remaja” dijelaskan bahwa gidted atau very

superior berIQ 130-139 yaitu seorang yang cakap dalam membaca,

mempunyai pengetahuan tentang bilangan yang sangat baik, perbendaharaab

kata yang luas dan memahami pengertian abstrak. Faktor kesehatan, kekuatan

dan ketangkasan lebih menonjol daipada anak normal.

3. Anak Superior

Page 62: Jurnal Pendidikan dan Kajian Keagamaan

62

Sesuai pada bagan penyebaran IQ anak superior menduduki IQ

kurang lebih 110-125, merupakan golongan anak supernormal paling bawah.

Anak superior dapat disefinisikan sebagai anak cerdas yang memiliki IQ

kurang lebih 110-125, sehingga dapat mencapai prestasi belajar yang tinggi.

Menurut Samsu Yusuf superior yaitu seseorang yang mempunyai IQ

120-129 kelompok ini sangat berhasil dalam pekerjaan sekolah atau

akademik, mereka seringkali terdapat dalam kelas biasa, pimpinan kelas

biasanya berasal dari kelompok ini.

Demikianlah batasan-batasan arti anak yang supernormal yang pada

intinya sama yaitu anak yang mempunyai kecerdasan tinggi tetapi dengan

kemampuan yang berbeda-beda.

CIRI ANAK SUPERNORMAL

Berdasarkan kenyataan, anak cerdas mulai tampak sejak kecil, ketika

bermain mereka mengalahkan teman-teman yang lain, ketika belajar mengungguli

pelajar yang lain, sehingga anak ini akan menguasai teman-teman lainnya. Mereka

merasa tercipta untuk menjadi tuan, bukan anak buah dari lingkungannya.

Agar orang tua bisa memahami anak yang unggul dan cerdas orang tua dapat

memperhatikan sifat-sifat yang berbeda dengan teman lainnya :

1. Dari aspek fisik, ia sedikit lebih unggul dibandingkan teman-teman

sebayanya, baik tinggi, bobot dan kesehatan.

2. Anak cerdas lebih mampu berkonsentrasi dalam waktu yang relatif lama,

disini pula orang tua dapat mengetahui bahwa perhatiannya sangat dalam,

menyeluruh dan intens. Tanda-tanda kecerdasannya ditunjukkan dengan

kemampuannya dalam mencipta. Jika mengikuti dorongan dan

keinginannya, maka peraturan sekolah merupakan penyebab yang cukup

kuat dalam menggugurkan kuncup sebelum berkembang.

3. Anak cerdas lebih mampu memahami mulai dari masalah material sampai

ke masalah –masalah yang abstrak.

4. Anak cerdas cepat mengambil sikap dengan baik dalam kehidupan

masyarakat meskipun situasi lingkungan masyarakatnya sangat jelek.

Page 63: Jurnal Pendidikan dan Kajian Keagamaan

63

Untuk memperjelas perbedaan anak supernormal akan penulis uraikan

ciri-ciri dari masing-masing tingkatan. Adapun ciri-ciri anak supernormal

(genius, Gifted/veri superior dan superior) adalah :

1. Ciri-ciri anak genius

Anak Genius dapat juga disebut dengan sebutan “Gifted Talented”,

memiliki ptensial yang sangat tinggi sekali dalam prestasi belajar dan

penonjolan kemampuan yang luar biasa pada suatu bidang tertentu.

Ciri-ciri anak berbakat intelektual /genius menurut S.C Utami

Munandar antara lain :

a. Mudah menangkap pelajaran

b. Ingatan baik

c. Perbendaharaan kata luas

d. Penalaran tajam (berfikir logis, kritis), memahami hubungann sebab

akibat

e. Daya konsentrasi baik (perhatian tidak mudah teralihkan)

f. Menguasai banyak bahan tentang macam-macam topik

g. Senang dan sering membaca

h. Ungkapan diri lancar dan jelas

i. Pengamat yang cermat

j. Senang mempelajari kamus, peta, ensiklopedi

k. Cepat memecahkan soal

l. Cepat menemukan kekeliruan /kesalahan

m. Cepat menemukan a

n. sas dalam suatu uraian

o. Mampu membaca pada usia lebih muda

p. Daya abstraksi tinggi

q. Selalu sibuk menangani berbagai hal.

Sedangkan Drs. Alisuf Sabri dalam bukunya “ Pengantar Psikologi”

menyatakan bahwa ciri-ciri anak genius adalah :

1. Pada masa kanak-kanaknya sangat cerdas atau kepandaian yang dimiliki

luar biasa.

Page 64: Jurnal Pendidikan dan Kajian Keagamaan

64

2. Selain kecerdasan yang luar biasa juga sifat-sifat pribadinya sangat

menonjol, sangat menunjang prestasinya, sifat-sifatnya misalnya

ketekunan, keuletan dalam berusaha mencapai sesuatu, punya

kepercayaan dan keyakinan diri yang besar terhadap pekerjaan yang

dipilihnya.

2. Ciri-ciri anak Gifted / Very Superior

Fileger dalam karangannya menyebutkan ciri-ciri anak Gifted

dibidang science adalah :

a. Mempunyai perhatian terhadap science pada waktu masih pra-sekolah

b. Serba ingin tahu apa yang menyebabkan benda-benda bekerja

c. Kemampuan untuk mengerti ide-ide abstrak pada usia masih muda

d. Mempunyai imajinasi kuat akan benda-benda ilmiah

e. Senang akan koleksi

f. Memiliki daya kemampuan yang tinggi di bidang membaca

g. Memliki daya kemampuan yang tinggi di bidang matematika

h. Cenderung berfikir secara kuantitatif menggunakan angka-angka untuk

membantu menyatakan ide-ide

i. Kemauan untuk aktif dan berprestasi dalam olah raga

j. Rasa tidak puas yang beralasan, yang bagi anak-anak lain cukup puas/

menerima begitu saja akan hal-hal ilmiah.

3. Ciri-ciri anak superior

Ciri-ciri anak superior menurut Baker yaitu :

a. Mulai dapat berbicara lebih awal dari anak normal

b. Menunjukkan beberapa kemampuan khusus dalam menggabungkan kata-

kata untuk menyampaikan jalan pikirannya

c. Memulai sekolah pada umur yang sama sebagai rata-rata anak

d. Dapat sedikit membaca sebelum mulai sekolahnya

e. Tidak mengalami kegagalam selama masa sekolah

f. Di sekolah ia dapat mengerjakan pekerjaannya dengan mudah dan

memberi kesan ia akan berhasil tanpa banyak usaha

Page 65: Jurnal Pendidikan dan Kajian Keagamaan

65

g. Ia mendapat perhatian dari teman-temannya dan menjadi pemimpin

dalam gerakan siswa, publikasi, sekolah dan sebaginya

h. Menunjukkan inisiatif dalam hal-hal di luar sekolah

i. Tertarik pada atletik atau musik

j. Pehatian terhadap bacaan luas.

Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa ciri-ciri anak

supernormal ialah :

1. Memiliki inelegensi di atas normal

2. Makin tinggi IQ-nya makn baik daya abstraksinya

3 Berfikir secara logis , kritis, rasional, dan kreatif

4. Perkembangan mentalnya lebih cepat dari umur kalender

5. Lingkungan sangat berperan pada perkembangannya

6. Mempunyai prestasi yang tinggi, baik dalam sekolah maupun di luar sekolah

7. Perhatian terhadap bacaan luas dan memiliki koleksi pribadi

8. Perhatian terhadap bacaan luas dan memiliki koleksi pribadi

9. Tidak pernah mendapat kesulitan dari pelajaran di sekolah

10. Perkembangan fisik, psikis dan bahasanya lebih pesat dari anak normal.

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Intelegensi

Faktor-faktor yang mempengaruhi intelegensi/ kecerdasan menurut

Sutratinah :

1. Faktor keturunan / hereditas, yakni proses penurunan sifat-sifat atau ciri-ciri

dari satu generasi berikutnya melalui plasma benih.

2. Faktor lingkungan, yakni segala sesuatu yang ada di sekeliling anak yang

mempengaruhi perkembangan anak yang meliputi :

a. Gizi, gizi yang terkandung dalam makanan mempunyai pengaruh

yang besar terhadap perkembangan jasmani, rohani dan intelegensi

serta menentukan produktivitas kerja seseorang. Seandainya terjadi

kekurangan pemberian makanan yang bergizi, maka pertumbuhan

dan perkembangan anak akan terhambat terutama perkembangan

mental atau otaknya.

Page 66: Jurnal Pendidikan dan Kajian Keagamaan

66

b. Pendidikan, faktor pendidikan sangat mempengaruhi perkembangan

mental anak. Misalnya anak lahir dengan potensi cerdas , maka akan

berkembang dengan baik apabila mendapatkan pendidikan yang

baik. Sebaliknya meskipun anak memiliki potensi cerdas tetapi tidak

mendapatkan pendidikan maka perkembangan kecerdasan

mengalami hambatan.

Dalam bukunya “Anak Unggul Berotak Prima” disebutkan bahwa pada

dasarnya faktor yang mempengaruhi terhadap kecerdasan dapat digolongkan

menjadi dua yaitu :

1. Faktor dalam (genetik/keturunan); merupakan faktor bawaan yang sulit

untuk dirubah.

2. Faktor luar (lingkungan); berpotensi untuk dikembangkan untuk

merangsang kecerdasan. Salah satu faktor luar yang berpengaruh terhadap

kecerdasan adalah pola makan (menu makan), pola makan sangat

berpengaruh terhadap kecerdasan, karena sel jaringan pembentuk dan

pendukung kecerdasan dibentuk dari makanan karena itu diperlukan adanya

perencanaan dan konsumsi gizi yang baik untuk anak-anak terutama sejak

masih dalam kandungan.

Hubungan faktor dalam (hereditas) dan faktor luar (lingkungan) adalah

saling mempengaruhi, individu yang memiliki kecerdasan yang tinggi tidak akan

dapat berkembang sampai semaksimal mungkin bila lingkungannya tidak

menguntungkan, sehingga ia menjadi anak yang kurang cerdas. Sebaliknya, jika

lingkungan yang menguntungkan bagi perkembangan intelegensi tidak akan dapat

membentuk seseorang menjadi cerdas, apabila faktor potensi dasar kecerdasan anak

memang rendah. Misalnya, anak ideot tidak akan menjadi normal walaupun

lingkungan mendukung perkembangan kecerdasan anak.

Page 67: Jurnal Pendidikan dan Kajian Keagamaan

67

Mendidik Anak Supernormal

Seperti yang sudah dijelaskan di bab sebelumnya, bahwa kemampuan anak

super berbeda dengan anak normal biasa; Perkembangan fisik, psikis dan bahasa

lebih pesat, mempunyai prestasi yang tinggi baik di sekolah maupun di luar sekolah

dan tidak pernah mendapat kesulitan dari pelajarannya. Karena keistimewaannya

tersebut penting bagi pendidik untuk memelihara, menjaga bahkan

mengembangkannya.

Orang tua tidak boleh meremehkan dan mengabaikan anaknya yang

jenius/super. Karena sikap meremehkan dan mengabaikan sungguh tidak baik.

Karena dengan begitu ada kemungkinan untuk melakukan pemunahan-pemunahan

perbuatan mubazir, lebih dari itu dengan mengabaikan dan meremehkan, berarti

merusak anak-anak yang mempunyai kecerdasan istimewa. Selama orang tua masih

memiliki sikap sepereti itu berarti tidak memberi kesempatan kepada anak untuk

naik ke tingkat yang lebih tinggi yang dapat dijangkau anak, juga menghambat

mereka dari kehidupan bahagia dan produktif. Oleh karena itu untuk menghindari

perbuatan mubazir dan pemunahan keistimewaan orang tua harus mendidik,

memelihara keistimewaan dan keunggulan jenius serta menjaganya.

Dalam memelihara dan mendidik orang tua harus menyiapkan bagi mereka

keadaan dan fasilitas yang membantu serta mendorongnya dalam mengembangkan

kepribadiannya di berbagai segi.

Orang tua dapat mendidik anaknya dirumah, karena bagi seorang jenius

rumah merupakan jantungnya pembelajaran, orang tua bisa menciptakan rumah

super yaitu rumah yang penuh kegembiraan dan diterapkannya proses belajar-

mengajar secara informal tapi menyenangkan, caranya :

1. Sediakan fasilitas yang menyenangkan seperti buku-buku, mainan, pensil, kertas,

crayon, cat, tanah liat, kaset video dan kaset audio. Benda-benda ini sangat penting

bagi seorang jenius yang sedang berkembang, karena akan membantu

penjelajahannya. Pensil berwarna, cat dan beberapa lembar kertas akan membawa

hasil yang besar, karena anak mungkin menggunakan waktu berjam-jam lamanya

untuk membuat ungkapan yang menyenangkan, dan mainan yang tidak

Page 68: Jurnal Pendidikan dan Kajian Keagamaan

68

memerlukan banyak biaya seperti sebuah kotak kayu kosong, sebuah palu

(martil) dan sejumlah paku, mungkin alat yang sederhana ini dapat membuka

banyak pintu dan kegiatan pikiran dan tangan. Sedapat mungkin orang tua

juga menyediakan buku-buku referensi sebagai informasi. Buku-buku

hendaknya disimpan ditempat yang mudah dijangkau, sehingga anak akan

mudah membaca dan mencari informasi yang dibutuhkan. Buku-buku

referensi itu misalnya; kamus, ensiklopedi, atlas dan buku almanak. Buku-

buku ini merupakan referensi yanga harus adan dalam kolegsi perpustakaan

seorang jenius Orang tua dapat menyewakan buku-buku tersebuut di

perpustakaan apabila tidak mungkin membeli.

2. Perbanyak pujian, orang tua juga harus menciptakan suasana gembira dan

penuh antusias yang dibutuhkan, karena jenius kecil membutuhkan pujian

yang terus menerus. Pujian merupakan komoditas yang relatif murah dan

hanya membutuhkan sedikit upaya dari orang tua.

Artinya hanya dengan senyuman, anggukan kepala, elusan lembut

di kepala atau puji-pujian merupakan suatu yang membutuhkan sedikit

usaha orang tua, tetapi sangat berarti untuk anak karena menunjukkan sang

anak berhasil. Pujian mendorong anak untuk berusaha lebih keras dan

semangat. Anak akan merasa senang karena pujian, sebuah kata pujian akan

membuat anak merasa lebih berarti dan mungkin saat ini akan tidak sabar

untuk belajar lebih banyak.

3. Kegembiraan dalam berbagi, ada perasaan yang besar dalam berberbagi;

membagi waktu dan membagi diri, apabila orang tua membagi diri dengan anak

maka akan terlibat dalam bernagai kegiatan.

Menurut sutratinah Tirtonegoro, ada beberapa upaya yang harus

dilakukan orang tua untuk anaknya yang supernormal yaitu :

1. Menciptakan lingkungan rumah atau keluarga yang serasi, selaras dan

seimbang dengan diri anak supernormal.

2. Menyiapkan sarana lingkungan fisik-alam-sosial yang memungkinkan anak

dapat mengembangkan kemampuannya yaitu dengan :

Page 69: Jurnal Pendidikan dan Kajian Keagamaan

69

- Mencarikan teman yang dapat mengembangkan intelektual dan sikap

sosialnya.

- Menyediakan perpustakaan kecil di rumah sebagai penunjang

kurikulum di sekolah sekaligus untuk bahan pengayaan.

- Menyediakan fasilitas yang dibutuhkan anak; tempat belajar yang baik,

kesempatan-kesempatan untuk melakukan percobaan, menyediakan

bahan disamping bantuan moral yang berupa dorongan, pengertian dan

bimbingan.

- Orang tua harus memperingatkan dengan halus, diberi keterangan yang

masuk akal sehingga penjelasan itu dapat diterima anak dengan penuh

pengertian, dan jika akan melarang sesuatu harus dengan alasan yang

tepat dan logis.

Dalam bukunya Ali Sulaiman yang berjudul “ Anak Berbakat Bagaimana

Cara Mengetahui Dan Membinanya” dijelaskan bahwa ada beberapa hal yang harus

diperhatikan orang tua dalam mendidik anaknya yang superior :

1. Orang tua harus memandang anak dan memperlakukannya dengan segala

perasaan pikiran dan tindakan yang dimilikinya serta menganggapnya

sebagai dunia yang terkait denganny bukan bagian yang terpisah.

2. Orang tua jangan hanya memberikan penghargaan kepada anak karena

kemampuan intelektualnya dan prestasi belajarnya, tetapi juga harus

memperhatikan sifat-sifat anak lainnya yang dapat membantu untuk dapat

mengembangkan kemampuannya.

3. Orang tua harus memotivasi anak agar terus-menerus bekerja dan meneliti

meskipun kadang-kadang gagal, orang tua hendaknnya tidak berpandangan

bahwa semua usahanya harus berhasil.

4. Orang tua harus menjadi teladan yang baik dan contoh ideal dalam hal

memberi perhatian, kerjasama dan partisipasi aktif supaya anak dapat

mempelajari pola-pola perilaku.

Di samping itu orang tua juga dapat menggunakan metode yang tepat untuk

meningkatkan proses pembelajaran super, yaitu metode yang dapat menimbulkan

rangsangan dan kegiatan belajar aktif, yaitu cara :

Page 70: Jurnal Pendidikan dan Kajian Keagamaan

70

1. Mengembangkan identitas, misalnya dengan memperkenalkan anak pada

orang-orang ternama yang lahir pada tanggal dan bulan yang sama dan

anjurkan membaca kisah kehidupan mereka. Dunia ajaib seorang jenius

akan terbuka baginya untuk memberinya identitas diri yang indah.

2. Permainan, misalnya permaianan kata, permainan kata bisa sangat

menyenangkan; carikan kata-kata yang sulit diucapkan , kalimat-kalimat

yang kata-katanya hampir sama, dan sajak yang diucapkan dengan cepat

dan biarkan anak mencoba mengucapkan tiga kali tanpa membuat

kesalahan.

3. Melihat-lihat perpustakaan

4. Berjalan-jalan di alam terbuka

5. Membuat dan mengajukan pertanyaan.

Apabila orang tua ingin anaknya yang super sukses, maka orang tua perlu

mendorong anaknya dengan motivasi positif. Karena motivasi positif dapat

membuat percaya pada potensi yang dimiliki dan menghalalkan keraguan. Para

ilmuan semakin mencerahkan dunia dengan temuan-temuan mereka itu merupakan

hasil dari motivasi yang sangat dalam. Misalnya, motivasi Thomas Alva Edison

membuat puluhan ribu kegagalan, sampai akhirnya dia menemukan lampu listrik

yang membawa era listrik ke dalam kehidupan.

Ada enam mantra untuk meningkatkan motivasi alami anak yaitu :

1. Ciptakan Suasana belajar yang menarik dan sehat dalam rumah.

2. Jaga dan isi pikiran anda dan pikiran anak dengan tujuan-tujuan yang

positif.

3. Bergaullah dengan orang-orang yang menghembuskan dan mengilhami

motivasi dan tindakan-tindakan positif anak, jangan terpengaruh oleh

orang-orang yang suka melecehkan atau orang yang berfikiran negatif.

4. Membangun sugesti atau berbicara kepada diri sendiri secara positif

merupakan cara yang paling baik untuk memicu motivasi.

5. Jangan menjajah otak anak, doronglah dia agar selalu membangun

kemandirian yang kreatif.

Page 71: Jurnal Pendidikan dan Kajian Keagamaan

71

6. Perkenalkan anak pada dunia orang-orang yang ternama; para penemu,

orang arif-bijaksana dan para negarawan.

Dari uraian di atas menjelaskan betapa penting dan besarnya peranan orang

tua dalam pemberian dorongan dan memenuhi segala kebutuhan. Semua itu akan

memberinya perasaan bahwa dia hidup di dunia yang menyenangkan diantara

orang-orang yang memahami dan menghargainya.

Untuk mengembangkan dan mengoptimalkan kecerdasan dan

kemampuannya, hendaklah orang tua menyekolahkan anaknya sedini mungkin,

sekolah mempunyai urgensi khusus dalam hal ini, karena sekolah dapat banyak

memberikan kesempatan bagi anak-anak yang tidak diberikan orang tuanya. Agar

anak mempunyai keseimbangan maka orang tua harus memilihkan sekolah yang

tepat, yang bukan memandulkan kecerdasannya.

Adalah suatu kenyataan bahwa orang tua adalah guru pertama bagi anak-

anaknya apabila anak telah masuk sekolah, orang tua adalah mitra kerja yang utama

bagi guru anaknya. Bahkan sebagai orang tua mereka mempunyai peranan penting

yaitu oarng tua sebagai pelajar, relawan, pembuat keputusan, anggota kerjasama

guru-guru, dalam peran tersebut memungkinkan orang tua membantu

meningkatkan perkembangan dan pertumbuhan anak-anak mereka.

Orang tua dapat melibatkan diri dalam pengembangan pelayanan

pendidikan anaknya, dengan cara :

1. Bekerjasama dengan guru sejak pra sekolah

2. Ikut menyusun konsep program pendidikan bagi anak super untuk

menampung minat kebutuhan dan potensi yang dimiliki.

Ada beberapa langkah yang bisa dilakukan orang tua untuk memperoleh

hasil kerjasama yang baik :

1. Bersikap tenang, pikirkan dan putuskan pertanyaan apa yang akan diajukan

kemudian tuliskan.

2. Telepon guru anak dan dengan hormat mintalah waktu untuk bertemu. Nada

suara harus ramah dan kooperatif.

3. Apabila berhasil menemui guru, jelaskan dengan tenang hal-hal yang

mengganggu pikiram, mungkin guru memiliki informasi yang tidak orang

Page 72: Jurnal Pendidikan dan Kajian Keagamaan

72

tua katahui, orang tua dan guru bisa mulai bekerjasama untuk meringankan

dan memecahkan masalah yang dihadapi anak.

4. Orang tua harus menjawab pertanyaan dengan jujur dan selengkap

mungkin. Semakin banyak pendapat semakin efektif tindakan guru dalam

mengatasi masalah.

5. Tanyakan harapan-harapan guru yang terkait dengan perilaku di dalam

kelas, pekerjaan rumah dan keterlibatan orang tua. Tanyakan pendapat guru

tentang langkah-langkah yang perlu diterapkan di rumah.

6. Ikuti saran-saran yang diberikan guru. Guru mungkin bisa memberi saran-

sarannya yang bisa dilakukan di rumah berdasarkan pengalaman.

A. Pendidikan Anak Supernormal dalam Pandangan Pendidikan Islam

Allah mengaruniakan alat indera dan akal kepada manusia agar

digunakan dengan sebaik-baiknya karena semuanya ini akan dimintai pertanggung

jawabnya.sebagaimana firman Allah SWT QS. Al-Israa : 36 yang berbunyi :

artinya : “… Sesungguhnya penglihatan dan pendengaran serta hati semua itu

akan dimintai pertanggung jawabnya.”

Ayat di atas memberi isyarat kepada manusia bahwa semua alat indera lahir dan

batin yang dinamakan akal perlu didayagunakan sebaik mungkin, yaitu untuk

memperhatikan mahluk Allah di alam. Dengan akal tersebut al-qur’an mengajak

manusia untuk berfikir ilmiah, memperhatikan dan mengusahakan untuk sampai ke

hukum alam yang berlaku terhadap benda, dan memungkinkan untuk diraba dan

bersifat badani, dan memulai penciptaan, artinya bahwa akal tidak hanya dituntut

untuk menguasai kekuatan benda-benda akan tetapi juga memperhatikan apa yang

ada di balik benda-benda tersebut. dengan sendirinya manusia bertanggung jawab

penuh pada Allah.

Dari ayat di atas secara tidak langsung Islam memerintahkan kepada

manusia yang mempunyai akal hebat untuk selalu memperhatikan dan mengadakan

penelitian terhadap benda-benda yang ada di alam. Dalam hal ini orang tua

Page 73: Jurnal Pendidikan dan Kajian Keagamaan

73

penanggung jawab utama terhadap penggunaan akal anak-anaknya, untuk itu harus

senantiasa menjaga dan mengarahkan potensi anaknya pada kebaikan.

Islam juga memberi petunjuk kepada orang tua agar dalam mendidik

selalu memperhatikan tingkat kemampuan anak, seperti dalam hadist Rosul yang

berbunyi :

مر ت ان اخا طب النا س على قد ر عقو لهم ) روه مسلم (ا

“Saya disuruh berbicara kepada orang-orang sesuai dengan kemampuan

intelektual mereka.“(HR.Muslim)

Hadist di atas menjelaskan bahwa orang tua/ pendidik dalam

melaksanakan tugas harus menyesuaikan daya pikir anak sehingga akan terarah

pada kemampuannya dan anak dapat terus berkembang.

Dari ayat dan hadist di atas menunjukkan bahwa Islam sangat mendorong

pendidikan intelektual dan membebani tanggung jawab pendidik khususnya orang

tua terhadap kemampuan anak, termasuk juga anak yang tergolong supernormal.

Anak Supernormal memiliki kelebihan yang luar biasa sehingga

mendidiknyapun berbeda dengan anak normal biasa. Kelebihan anak supernormal

antara lain memiliki kekuatan untuk mengingat dan manghapal. Dalam pendidikan

Islam hal yang paling utama yang perlu diajarkan adalah menghapal ayat-ayat suci

al-quran, karena keutamaannya sangat besar, yang digambarkan dalam hadist Nabi

SAW berbunyi :

مثل ضو ء من قر أ الق ا ن و تعلمه و عمل به ألبس يو م القيا مة تا جا ون نو ر ضو ؤ ه

الشمس ويكسى والد يه حلتا ن لا يقو م بهما الد نيا فيقو لا ن نما كسينا هدا فيقا ل يأ خد

و لد كما القرآ ن . ) روه الحا كم (

“Siapa yang membaca Al-Quran dan mempelajarinya, lalu mengamalkannya,

maka pada hari kiamat akan dikenakan padanya mahkota yang terbuat dari

cahaya, yang sinarnya seperti sinar matahari, sedankan pada kedua orang

tuanya akan dikenakan dua potong pakaian yang tiada dapat disanggah oleh

dunia. Lalu keduanya bertanya, Mengapa Kami diberi pekaian ini lalu dijawab,

“ karena anakmu belajar Al-Quran.” ( HR. Al-Hakim.)

Page 74: Jurnal Pendidikan dan Kajian Keagamaan

74

Untuk mengajarkan Al-quran pada anak orang tua dapat memasukkan

anaknya ke dalam kelompok penghapal Al-quran, orang tua dapat mendaftarkan

anaknya pada seorang ustadz yang sudah dikenal bagus hapalannya dan kesalehan

ahlaknya.

Disamping menghapal Al-quran, sebaiknya diajarkan pula untuk menghapal

hadist Nabi SAW dari kitab shahih, seperti shahih muslim dan shahih bukhari.

Pilihkan hadist yang ungkapannya sederhana dan mudah ditangkap maknanya dan

bermanfaat bagi kehidupan anak-anak. Seperti kecintaan kepada Allah dan Rasul-

Nya dan hadist-hadist yang berkaitan dengan ahlak dan etika.

Orang tua juga harus mendorong anaknya untuk terus meneliti, dengan

mengarahkan perhatian anak pada alam raya; memberi tahu tentang kebaikan dan

keindahan yang ada pada mahluk Allah dengan cara membiasakan anak untuk

memperhatikan semua ciptaan Allah yang ada di alam; dan mengadakan penelitian.

Orang tua dapat menyediakan alat untuk meneliti misalnya dengan mikroskop,

teleskop dan sebagainya. Dalam hal ini Allah memerintahkan pada manusia untuk

selalu memikirkan nikmat-nikmat-Nya dan apa yang telah Dia ciptakan, baik di

langit maupun di bumi. Dalam QS. Yunus :101 berbunyi:

قل ا نظروا ما دا فى السموا ت والأرض

“Katakanlah, perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi.”

Lingkungan sangat berperan pada perkembangan anak supernormal, oleh

karena itu orang tua harus mengupayakan agar anaknya dapat bersosialisasi dengan

lingkungan. Salah satunya yaitu orang tua perlu mencarikan teman yang

mempunyai kecerdasan sehingga anak dapat menyalurkan kemampuannya.

Dalam pendidikan Islam mencarikan teman buat anaknya bukan

hanya yang mempunyai IQ tinggi/cerdas tetapi juga yang baik moralnya dan kuat

akidahnya, karena seorang teman mempunyai pengaruh yang besar. Ini tergambar

dalam sabda Rosulullah SAW :

) روه التر مد ي ( اا لمر ء على د ين خليله فلينطر احد كم من يخا لل

“Seseorang itu berdasarkan agama temannya, oleh karena itu perhatikanlah

kepada siapa ia berteman.”

Page 75: Jurnal Pendidikan dan Kajian Keagamaan

75

Selain upaya-upaya di atas anak perlu diberi dorangan motivasi karena

motivasi membuat percaya pada potensi yang dimiliki. (seperti yang telah

dijelaskan di atas. )

Kedudukan motivasi dalam teori pendidikan disebutkan bahwa motivasi

berkaitan dengan fungsi psikis, menyangkut kejiwaan manusia. Dalam kaitan ini

ajaran Islam menyatakan bahwa disamping unsur fisik manusia juga dilengkapi

dengan unsur psikis/jiwa yang menjadi penggerak tingkah raga seseorang dalam

wujud motivasi untuk mengerjakan perbuatan tertentu. Adapun firman Allah yang

menjadi sumber motivasi adalah QS. Al-Zalzalah ayat 7-8.

(.8( فمن يعمل مثقال ذرة شرا يره )7فمن يعمل مثقال ذرة خيرا يره )

“Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah pun, niscaya dia

akan melihat (balasan) nya”. (7).

“Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan seberat dzarrah pun, niscaya

dia akan melihat balasannya pula”. (8).

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa kecerdasan berhubungan

dengan akal dan otak, dimana keduanya dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor

diantaranya mengenai makanan (gizi). Dalam pendidikan Islam selain makanan

yang bergizi/baik juga mementingkan makanan yang halal,sebagaimana firman

Allah QS An-Nahl: 114

فكلوا مما رزقكم الله حللا طيبا ...

artinya : “Maka makanlah yang halal lagi baik dari rezki yang telah diberikan

Allah kepadamu..”

oleh karena itu meskipun bergizi/baik tetapi tidak halal maka tidak

diperbolehkan/diharamkan. Karena makanan dan minuman yang dimakan

manusia mempunyai pengaruh terhadap jasmani dan rohani untuk itu orang tua

agar melarang anak terlalu kenyang karena menimbulkan pengaruh yang

kurang baik dalam diri anak.

Masa perkembangan anak baik jasmani, akal dan mental sangat

membutuhkan gizi makanan yang baik. Syari’at Islam menyarankan agar

umatnya mengkonsumsi berbagai zat makanan yang bergizi yang sangat

diperlukan oleh tubuh manusia.

Page 76: Jurnal Pendidikan dan Kajian Keagamaan

76

Menurut Nasih Ulwan Agar ilmu pengetahuan, pemikiran dan otak yang

dimiliki anak semakin matang, orang tua harus menyediakan sarana-sarana budaya

yang bermanfaat dan bervariasi antara lain :

1. Mendirikan perpustakaan khusus buat anak yang berisikan buku-buku

pemikiran umum yang sesuai dengan akal dan tingkat pemahaman anak-

anak yang menampilkan Islam dari berbagai segi, dan buku-buku yang

menolak kesamaran peraturan Islam yang dipengaruhi oleh musuh-musuh

Islam, buku-buku ilmiah sejarah Islam, sastra, kedokteran yang sesuai

dengan pemahaman, persepsi dan usia anak. Dan majalah-majalah

pengetahuan yang berorientasi Islam dan pembahasan ilmiah, tidak

menyimpang dari Islam, menggunakan slide untuk memperluas wawasan

pandangan dan pengetahuan. Menggunakan slide flim yang berhubungan

dengan hakekat ilmu pengetahuan, kejayaan sejarah Islam masa lalu, dan

pengarahan-pengarahan pendidikan,adalah akan menambah semangat anak

jika melihat dengan mata kepala sendiri.

2. Sesekali mengunjungi museum; kunjungan ke museum akan membuka

cakrawala baru anak berupa pengetahuan, kebudayaan dan sejarah.

3. Mengunjungi perpustakaan umum, baik klasik maupun modern, untuk

membiasakan anak berani karena benar dan akrab dengan gudang ilmu dan

budaya juga untuk mengenalkan peninggalan umat Islam di bidang

pemikiran dan ilm untuk menguak pandangan dunia Islam mengenai alam,

kehidupan, dan manusia. Dan untuk membuka wawasan baru tentang

kebangkitan budaya yang pernah diraih umat Islam beberapa abad silam.

4. Menanamkan kerinduan untuk terus mengkaji, beranjak dari syair yang

ditinggikan Islam dan Al-Quran surat Az-Zumar : 9

هل يستوى الذين يعلمون والذين لا يعلمون

“Apakah sama seorang yang berilmu dengan orang yang tidak berilmu.”

Dan berangkat dari perasaan bertanggung jawab terhadap pelestarian

pemikiran yanng diamanatkan Islam di pundak para orang tua dan pendidik,

harus menanamkan sejak dini bahwa Islam adalah agama dan negara.

Page 77: Jurnal Pendidikan dan Kajian Keagamaan

77

Menurut H. Khairiyah Thaha MA dalam bukunya “Konsep Ibu

Teladan” menyebutkan bahwa agar pendidikan intelektual dapat mencapai hasil

optimal ada sejumlah cara dan metode yang bisa ditempuh antara lain :

1. Orang tua hendaknya menumbuhkan kesadaran untuk mendengar dan

mengingatkan hal-hal yang positif pada diri anak, dengan cara

menyampaikan seluk beluk ajaran Islam secara bertahap.

2. Menyediakan perpustakaan mini di kamar anak yang terdiri dari buku-buku

tentang kisah para nabi dan Rosul, para sahabat dan buku-buku pengetahuan

yang bermanfaat bagi masa depan anak sesuai dengan tuntutan usia,

perkembangan serta kemampuannya.

3. Mencarikan teman sepergaulan yang memiliki kecerdasan dan keunggulan

ilmiah yang memadai sehingga bisa mempengaruhi dalam berfikir dan

berperilaku ilmiah

Demikianlah beberapa upaya yang dapat dilakukan orang tua dalam

mendidik dan memelihara anaknya yang supernormal yang diambil dari

pendapat para ahli dan diperkuat dengan al-quran dan hadist.

Kesimpulan

Berdasarkan uraian di atas maka penulis memberikan kesimpulan

tentang Mendidik anak supernormal dalam perspektif pendidikan

islam.Adapun kesimpulan tersebut adalah :

1. Mendidik adalah serangkaian usaha nyata orang tua dalam menyelamatkan

fitrah Islamiyah anak, mengembangkan potensi pikir anak, potensi rasa,

karsa, kerja dan mengembangkan potensi sehat anak.

Dalam kamus besar Bahasa Indonesia mendidik yaitu memelihara dan

memberi latihan (ajaran, tuntunan, pimpinan) mengenai ahlak dan

kecerdasan pikiran. yang dimaksud dalam judul ini adalah mendidik yang

dilakukan oleh orang tua terhadap anaknya.

Page 78: Jurnal Pendidikan dan Kajian Keagamaan

78

2. Anak Supernormal adalah seorang yang berada pada suatu masa dan

perkembangan tertentu dan mempunyai potensi untuk menjadi dewasa.

3. Kemampuan anak super berbeda dengan anak normal biasa; Perkembangan

fisik, psikis dan bahasa lebih pesat, mempunyai prestasi yang tinggi baik di

sekolah maupun di luar sekolah dan tidak pernah mendapat kesulitan dari

pelajarannya. Karena keistimewaannya tersebut penting bagi pendidik

untuk memelihara, menjaga bahkan mengembangkannya.

4. Konsep pendidikan Islam tentang hal ini adalah Agama memiliki makna

yyang sangat luas dan merupakan sistem illahi dalam seluruh kehidupan

manusia.Islam merupakan syari’at bagi manusia yang dengan bekal syari’at

tersebut manusia mampu memikul dan merealisasikan amanah yang sangat

besar dan membutuhkan pengalaman ,pembinaan.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah Nasih Ulwan, Pendidikan Anak Menurut Islam, Kaidah-Kaidah Dasar :

Bandung, Remaja Rosdakarya, 1992

Abu Tauhid, Beberapa Aspek Pendidikan Islam : Yogyakarta, Sekretaris Ketua

Jurusan Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga, 1990

Adnan Hasan Sholeh Baharits, Tanggung Jawab Ayah Terhadap Anak Laki-Laki :

Jakarta, Gema Insani, 1996

Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam : Bandung, Remaja

Rosdakarya, 1992

Ali Ashraf, Horison Baru Pendidikan Islam: Jakarta, Firdaus, 1998

Al-Khafiz Abi Abdillah Muh. Bin Yazid Sunan Ibnu Majah, Beirut, Dar Alfikr

Alisuf Sabri, Pengantar Psikologi Umum Dan Perkembangan: Jakarta, Pedoman

Ilmu Jaya, 1993

Ali Sulaiman, Anak Berbakat Bagaimana Cara Mengetahiu Dan Membinanya :

Jakarta, Gema Insani, 2001

Asnelly Ilyas, Mendambakan Anak Shaleh, Prinsip-Prinsip Pendidikan Anak

Dalam Islam : Bandung, Mizan, 1998

Page 79: Jurnal Pendidikan dan Kajian Keagamaan

79

Athiyah Al-Abrasy, Dasar Pokok Pendidikan Islam, Alih Bahasa Prof. H.

Bustami: Jakarta, Bulan Bintang, 1970

_______________ , Beberapa Pemikiran Pendidikan Islam : Yogyakarta, Titian

Illahi Press, 1996

Departemen Agama, Al-quran dan Terjemahannya, Surabaya, Surya Cipta

Aksara, 1993

Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia : Jakarta, Balai Pustaka, 198

Dzakiah Darajat, Ilmu Pendidikan Islam : Jakarta, Bumi Aksara, 1992

_____________, Pendidikan Islam Dalam Keluarga Dan Sekolah : Jakarta,

Ruhama, 1995

Freeman, Joan, Utami Munandar, Cerdas Dan Cemerlang: Jakarta, Pustaka

Utama, 2001

Fuaduddin Tim, Pengasuhan Anak Dalam Keluarga Islam : Jakarta, kerjasama

Lembaga Kajian Agama Dan Jender Dengan Solidaritas Perempuan Dan The Asia

Foundation, 1999

Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan Islam : Bandung,

Al-Ma’arif, 1995

_______________, Asas-Asas Pendidikan Islam : Jakarta, Pustaka Al-Husna,

1989

Imam Bamawi, Segi-Segi Pendidikan Islam : Surabaya, Al-Ikhlas, 1987

Imam Al-Ghazali Ihya Ulumudin/Ihya Al-Ghazali, Jilid I, Terjemahan Ismail

Ya’kup

Irwanto Dkk, Psikologi Umum : Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 1977

Khoiriyah Husein Thoha, Konsep Ibu Teladan : Surabaya, Risalah Gusti, 1992

Ma’ruf Zurayk, Aku Dan Anakku, Bimbingan Praktis Mendidik Anak Menuju

Remaja : Bandung, Al-Bayan, 1998

Muhaimain Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam : Bandung, Trigenda

Karya, 1993

M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam : Jakarta, Bumi Aksara, 1993

________, Ilmu Pendidikan Islam: Jakarta, Bumi Aksara, 1991

Page 80: Jurnal Pendidikan dan Kajian Keagamaan

80

URGENSI PENDIDIKAN AKHLAK

TERHADAP ANAK DIDIK

Fatima

Abstrak

Seorang guru tidak hanya bertugas untuk mentransfer ilmu pengetahuan semata,

tetapi jauh lebih berat yaitu mengarahkan dan membentuk prilaku atau kepribadian

anak didik sehingga mereka memiliki akhlak dan kepribadian yang baik. Serta

bertanggung jawab.

Keyword : Akhlak

Prawacana

Pendidikan Akhlak di sekolah merupakan bagian integral dan program

pengajaran pada setiap jenjang lembaga pendidikan serta merupakan usaha

bimbingan dan pembinaan guru terhadap siswa dan memahami, menghayati dan

mengamalkan ajaran Islam sehingga menjadi manusia yang bertakwa dan juga

warga Negara yang baik sebagaimana Firman Allah dalam surat An-Nahl ayat : 125

Artinya :

Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik

dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhan-mu Dialah

yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalannya dan Dialah yang

lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.”

Hidup tidak bisa lepas dari pendidikan Akhlak, karena manusia diciptakan

bukan sekedar untuk hidup. Ada tujuan yang lebih mulia dari sekedar hidup yang

mesti di wujudkan,

Pendidikan Akhlak merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari hidup

dan kehidupan manusia. Dengan demikian diharapkan dapat menghasilkan manusia

yang berkualitas dan bertanggung jawab serta mampu mengantisipasi masa depan

dengan menggunakan ilmu yang dimiliki disertai akhlak sebagai manusia yang

Page 81: Jurnal Pendidikan dan Kajian Keagamaan

81

beragama, demikian strategisnya pendidikan Akhlak, Ada keharusan bagi umat

islam, menyiapkan generasi penerus yang berkualitas dan bertanggung jawab dan

berakhlak. Sebagaimana yang telah diajarkan Rasulullah saw, dan Allah berfirman

dalam surat Al-Ahzab ayat : 21

Artinya : “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang

baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan)

hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (Al-Ahzab : 21)

Tujuan pendidikan Akhlak adalah terbentuknnya pribadi yang baik dan sesuai yang

diajarkan dalam al-Qur’an dan al-sunnah, sehingga memiliki jiwa yang bersih dan

berkepribadian baik.

Oleh karena itu, perhatian guru dalam pendidikan Akhlak sangat

diprioritaskan. Untuk melaksanakan tugas dalam meningkatkan proses belajar

mengajar, guru menenpati kedudukan sebagai peran penting, ditangan para gurulah

terletak kemungkinan berhasil atau tidaknya pencapaian tujuan belajar mengajar

disekolah, serta pada tangan gurulah bergantungnya masa depan karier para peserta

didik yang berkepribadian baik, bertanggung jawab dan menjadi harapan para orang

tuanya.

Guru memikul tugas dan tanggung jawab yang tidak ringan, disamping dia

harus membuat pandai muridnya secara akal (mengasah kecerdasan IQ) dia juga

harus menanamkan nilai-nilai iman dan akhlak yang mulia.untuk itu guru harus

memahami peran dan tugasnya, memahami kendala-kendala pendidikan dan cara

untuk mengatasinya dia harus mempunyai sifat-sifat positif dan menjauhi sifat-sifat

negatif agar bisa memainkan upaya guru dalam memberi pengaruh positif dalam

anak didiknya disamping sarana dan prasarana, metode dan strategi.

Dengan demikian Pendidikan Akhlak berperan penting dalam membentuk

manusia Indonesia yang berkualitas dan bertakwa kepada Allah SWT. setra

menghayati dan mengamalkan ajaran Agama Islam dan kehidupan sehari-hari.

Page 82: Jurnal Pendidikan dan Kajian Keagamaan

82

Disisi lain, fenomena menurunnya kualitas akhlak kini sudah menggejala

dimana-mana, di antaranya adalah dikadensi moral berupa berbagai kejahatan,

pemerkosaan, perampokan, korupsi, dan lain-lain. Kemajuan Ilmu pengetahuan

teknologi sering disalah gunakan untuk kejahatan seperti kejahatan melalui

handphone, computer, maupun internet.

Dampak positif dan negatif dari kemajuan teknologi telah tampak disana-sini

perkembangan teknologi tidak bisa kita hindari dan dielakkan, yang bisa dilakukan

oleh guru Pendidikan Agama Islam hanyalah mempersiapkan generasi yang

berakhlak baik dalam menyambut kemajuan jaman, generasi yang Islam namun

tidak gagap teknologi (gaptek).

Padahal nilai-nilai yang ditawarkan media masa tidak seluruhnya baik malah

seringkali kebablasan dan jauh dari nilai agama. Namun sesungguhnya yang kita

alami saat ini adalah krisis akhlak. Akhlak sangat berkaitan dengan pola fikir sikap

hidup dan perilaku manusia. Keburukan akhlak sangat berpotensi memicu

timbulnya perilaku-perilaku negatif, jika akhlak dari seseorang individu buruk,

maka sangat mungkin ia akan melahirkan perilaku yang dampaknya dapat

merugikan dirinya sendiri dan orang lain.

Gejala penurunan akhlak tersebut, bukan saja menimpa kalangan dewasa,

melainkan juga telah menimpa kalangan siswa. Para orang tua, ahli didik dan

mereka yang terlibat dalam bidang agama dan sosial banyak yang mengeluhkan

terhadap perilaku sebagian siswa yang berperilaku nakal, keras kepala, mabuk-

mabukan, tawuran, pesta obat-obatan terlarang, dan penyimpangan lainnya.

Permasalahan tersebut diatas disebabkan oleh bebrapa faktor yang kini

mempengaruhi cara berfikir manusia modern.

Faktor-faktor tersebut menurut Zakiah Daradjat antara lain : kebutuhan

hidup yang semakin meningkat rasa individualitas dan egois, persaingan dalam

hidup, keadaan yang tidak stabil, dan terlepasnya pengetahuan dari agama.

Problema yang di hadapi manusia tersebut menghendaki visi dan orientasi

pendidikan yang tidak semata-mata menekankan pada pengisian otak,tetapi juga

pengisian jiwa, pembinaan akhlak dan kepatuhan dalam menjalankan ibadah, jika

kita melihat dari tujuan hidup setiap muslim.

Page 83: Jurnal Pendidikan dan Kajian Keagamaan

83

Pertumbuhan dan perkembangan manusia, di tentukan juga oleh faktor dari

luar dirinya, yaitu faktor pengalaman yang di sengaja, termasuk pendidikan dan

pelatihan, sedangkan yang tidak sengaja, termasuk lingkungan alam dan lingkungan

sosial. Di samping adanya sifat bawaan anak sejak lahir ( naluri dan sifat keturunan

), sebagai potensi dasar untuk mempengaruhi perbuatan setiap manusia, dan juga

faktor lingkungan yang mempengaruhinya : misalnya pendidikan dan tuntunan

agama. Faktor ini, di sebutkan faktor usaha ( Al-muktasabah ) dalam ilmu akhlak.

Semakin besar pengaruh faktor pendidikan Akhlak dan tuntunan agama

kepada manusia, semakin kecil pula kemungkinan warisan sifat-sifat buruk orang

tua dapat mempengaruhi sikap dan perilaku anaknya. maka disinilah pendidikan

dan bimbingan akhlak sangat di perlukan, untuk membentuk dan mengembangkan

akhlak manusia oleh karna itu jika di dalam “ Al-Qur’an “ terdapat ajaran keimanan,

ibadah, sejarah dan sebagainya, maka yang dituju dengan ajaran tersebut akan

terbentuk akhlak yang mulia.

Dengan membina akhlak para siswa berarti kita telah memberikan pelajaran

yang besar bagi masa depan bangsa yang lebih baik. Sebaliknya jika kita

membiarkan para siswa terjerumus kedalam perbuatan yang sesat, berarti kita telah

membiarkan bangsa dan Negara ini terjerumus kejurang kehancuran.

Pembinaan akhlak para siswa juga berguna bagi siswa yang bersangkutan,

karna dengan cara demikian masa depan kehidupan mereka akan penuh harapan

yang menjanjikan. Dengan terbinanya akhlak para siswa keadaan lingkungan sosial

juga semakin baik, aman tertib, dan tentram, yang memungkinkan masyarakat akan

merasa nyaman. Dengan demikian berbagai gangguan lingkungan yang di

akibatkan oleh ulah sebagian para siswa sebagai mana di sebutkan di atas dengan

sendirinya akan hilang.

Seorang guru tidak hanya bertugas untuk mentransfer Ilmu pengetahuan

semata, tetapi jauh lebih berat yaitu mengarahkan dan membentuk prilaku atau

kepribadian anak didik sehingga mereka memiliki akhlak dan kepribadian yang

baik.

Page 84: Jurnal Pendidikan dan Kajian Keagamaan

84

Fungsi Pendidikan

Selain sebagai actor utama kesuksesan pendidikan yang diajarkan, ada beberapa

fungsi dan upaya guru dalam keseluruhan, antara lain :

1) Educator (pendidik)

Tugas pertama guru adalah mendidik murid-murid sesuai dengan materi

pelajaran yang diberikan kepada murid. Sebagai seorang educator, Ilmu adalah

syarat utama. Membaca, menulis, berdiskusi, mengikuti informasi, dan

responsive terhadap masalah terbaru sangat menunjang peningkatan kualitas

Ilmu guru.

2) Leader (pemimpin)

Guru juga seorang pemimpin kelas. Karena itu, guru harus bisa menguasai,

mengendalikan, dan mengarahkan kelas menuju tercapainya tujuan

pembelajaran yang berkualitas. Sebagai seorang pemimpin, guru harus terbuka,

demokratis, dan menghindari cara-cara kekerasan. Sebagai seorang pemimpin,

guru juga harus pandai membaca potensi anak didiknya yang beragam, dan

mampu menggunakan multi pendekatan dalam mengajar demi menyesuaikan

potensi yang beragam dari murid-muridnya. Guru juga harus memberikan

sanksi kepada murid-muridnya yang melanggar aturan dengan tegas, adil, dan

bijaksana. Guru juga tidak boleh pilih kasih dalam menegakkan aturan. Guru

juga harus senantiasa memberikan teladan yang baik kepada murid-muridnya.

3) Fasilitator

Guru bertugas memfasilitasi murid untuk menemukan dan mengembangkan

bakatnya secara pesat. Menemukan bakat anak didik bukan persoalan mudah,

ia membutuhkan eksperimentasi maksimal, latihan terus menerus, dan evaluasi

rutin.

Jadi seorang guru harus siap menjadi fasilitator yang demokratis professional,

karena dalam perkembangan informasi, teknologi, dan globalisasi yang begitu

cepat, tidak menutup kemungkinan bahwa dalam hal tertentu peserta didik

lebih pendai atau lebih dulu tahu dari guru.

Page 85: Jurnal Pendidikan dan Kajian Keagamaan

85

4) Motivator

Menurut Oemar Hamalik (2008), memotivasi belajar sangat penting artinya

dalam proses belajar siswa, karena berfungsi mendorong, menggerakkan, dan

mengarahkan kegiatan belajar. Sebagai seorang motivator, guru adalah

psikolog yang diharapkan mampu menyelami psikologi anak didiknya,

sehingga mengetahui kondisi lahir batinnya.

5) Administator

Sebagai seorang guru dalam mengajar, guru harus mengabsen terlebih dahulu,

mengisi jurnal kelas dengan lengkap, mulai dari nama, materi yang

disampaikan, kondisi siswa dan tanda tangan. Guru juga harus membuat

laporan berkala sesuai dengan system adminidtrasi sekolah. Pada waktu ujian

guru harus membuat soal ujian, mengawasi, mengoreksi, memberikan nilai

rapor kepada wali kelas.

Selain itu guru harus mempunyai buku catatan, sehingga tidak lupa

masalah yang ditemuinya di dalam kelas, misalnya anak yang bolos, anak yang

kemampuannya dibawah standar, salinan absensi siswa pada waktu

pelajarannya, dan hal-hal lain yang berhubungan dengan tugas mendidiknya.

Semua tugas administrasi ini harus dilakukan dengan baik dan profesional.

Jangan sampai mengecewakan, karena akan dinilai dan diamati oleh orang lain,

khususnya kepala sekolah dan yayasan.

6) Evaluator

Sebaik apa pun kualitas pembelajaran, pasti ada kelemahan yang perlu dibenahi

dan disempurnakan. Di sinilah pentingnya evaluasi seorang guru. Dalam

evaluasi ini, guru bisa memakai beberapa cara, dengan merenungkan sendiri

proses pembelajaran yang diterapkan, meneliti kelemahan dan kelebihan, atau

dengan cara yang objektif, meminta pendapat orang lain, misalnya kepala

sekolah, guru yang lain, dan murid-muridnya.

Dari fungsi dan peran guru diatas tergambar bahwa seorang pendidik

selain orang yang memiliki pengetahuan yang akan diajarkannya, juga seorang

yang berkepribadian baik, berpandangan luas, dan berjiwa besar. selain

Page 86: Jurnal Pendidikan dan Kajian Keagamaan

86

fungsinya sebagai pengajar, pendidik dan pembimbing, maka diperlukan

adanya berbagai peran pada diri guru.

Hakikat Pendidikan Akhlak

Akhlak adalah perbuatan yang telah tertanam kuat dalam jiwa seseorang sehingga

menjadi kepribadian baik, amanah dan bertanggung jawab.

Akhlak merupakan jati diri sekaligus kualitas diri seseorang sebab akhlak

merupakan Akhlak inheren yang tak bisa lepas dari diri seseorang. Begitupun dalam

bahasa yunani, Istilah “akhlak”dipergunakan Istilah ethos atau ethikos atau etika

(tanpa memakai huruf H) yang mengandung arti “usaha manusia untuk memakai

akal budi dan daya fikirannya untuk memecahkan masalah bagaimana ia harus

hidup kalau ia mau menjadi baik”. Dan etika itu bukan sebuah ajaran.

Menurut bahasa (etimologi) perkataan Akhlak ialah bentuk jamak dari khuluq

(khuluqun) yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku, atau tabiat. Akhlak

disamakan dengan kesusilaan, sopan santun.

Dalam kamus Al-Munjid, Akhlak berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku

atau tabiat. Akhlak diartikan sebagai Ilmu tata krama, Ilmu yang berusaha mengenal

tingkah laku manusia, kemudian memberi nilai kepada perbuatan baik atau buruk

sesuai dengan norma-norma dan tata susila.

Pengertian Akhlak menurut terminology (Istilah) Para ahli berbeda pendapat,

intinya sama yaitu tentang perilaku manusia. Sebagai berikut :

1. Abdul Hamid mengatakan akhlak adalah Ilmu tentang keutamaan yang harus

dilakukan dengan cara mengikutinya sehingga jiwanya terisi dengan kebaikan,

dan tentang keburukan yang harus dihindarinya sehingga jiwanya kosong

(bersih) dari segala bentuk keburukan.

2. Ahmad Amin mengatakan bahwa akhlak adalah kebiasaan baik dan buruk.

Contohnya apabila kebiasaan memberi sesuatu yang baik, maka disebut

akhlakqul karimah dan bila perbuatan itu tidak baik disebut akhlakqul

madzmumah.

Page 87: Jurnal Pendidikan dan Kajian Keagamaan

87

3. Soegarda Poerbakawatja mengatakan akhlak adalah budi pekerti, watak,

kesusilaan, dan kelakuan baik yang merupakan akibat dari sikap jiwa yang

benar terhadap khaliknya dan terhadap sesama manusia.

4. M. Abdullah Daraz, mendefinisikan akhlak sebagai suatu kekuatan dalam

kehendak yang mantap, kekuatan yang berkombinasi membawa kecenderungan

pada pemilihan pihak yang benar (akhlak baik) atau pihak yang jahat (akhlak

buruk).

5. Al Qurtubi Mengatakan perbuatan yang bersumber dari diri manusia yang

selalu dilakukan, maka itulah yang disebut akhlak, karena perbuatan tersebut

bersumber dari kejadiannya.

6. Muhammad bin ilan al-Sadiqi mengatakan akhlak adalah suatu pembawaan

yang tertanam dalam diri, yang dapat mendorong seseorang berbuat baik

dengan gampang.

Dari beberapa pendapat di atas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut,

Akhlak adalah Ilmu yang mengajarkan manusia berbuat baik dan mencegah

perbuatan jahat dalam pergaulannya dengan Tuhan, manusia, dan makhluk

sekelilingnya.

Macam-macam Akhlak

Karena Akhlak merupakan sifat dan sikap manusia, maka Akhlak dibagi menjadi

dua macam yaitu :

1. Akhlaqul Karimah (Akhlak Terpuji)

Akhlak terpuji adalah akhlak yang baik dan benar menurut syariat Islam.

adapun yang termasuk akhlak terpuji antara lain :

a. Al-amanah (jujur dan dapat dipercaya)

Suatu yang dipercayakan kepada seseorang , baik harta, Ilmu, rahasia, atau

lainnya yang wajib dipelihara dan disampaikan kepada yang berhak

menerimanya.

b. Ittikhadhu al-Hilmi wa al-Rifqi (santun dan ramah tamah)

Santun adalah kondisi kejiwaan yang dapat menekan hawa nafsu, lalu

menimbulkan rasa kasih sayang, sehingga rasa kebencian dalam diri

manusia tidak tampak lagi. Karena santun mengindikasikan kedewasaan

Page 88: Jurnal Pendidikan dan Kajian Keagamaan

88

berfikir dan bertindak, maka prilaku ramah tamah juga ikut terwujud dalam

diri manusia.

c. Ittikhadhu al-Tawadu’i wa al-Afwi (rendah diri dan pemaaf)

Tawadu dan memaafkan orang lain, sangat penting artinya dalam kehidupan

bermasyarakat, sehingga khilafan yang di perbuat oleh seseorang, tidak

menjadi dendam yang berakibat terjadinya saling membalas, lalu persoaalan

antar sesame manusia tidak pernah selesai.

d. Badhlu al-I’anah wa al-Sakha (memberi pertolongan dan bersikap pemurah)

Pertolongan dan pemurah merupakan sikap dan perilaku yang menjadi

andalan untuk mengangkat harkat orang miskin menjadi orang yang

berkecukupan. Maka kebodohan dan kemiskinan dapat dikurangi, lantaran

ada kepedulian dari orang yang mampu. Pemerataan kesempatan kerja

dapat diwujudkan, bila tradisi tolong menolong dan pemurah diterapkan

oleh pemilik modal, akhirnya kesempatan kerja terbuka dengan luas

dimasyarakat.

e. Al-alifah (yang disenangi)

Maksudnya pandai mendudukkan sesuatu pada proporsi atau profesi yang

sebenarnya., bijaksana dalam sikap, perkataan dan perbuatan, niscaya

pribadi akan disenangi oleh anggota masyarakat dalam kehidupan dan

pergaulan sehari-hari.

f. Al-khusyu (tekun sambil menundukan diri (berzikir kepadanya)

Maksudnya tekun ibadah yang berpola perkataan, dibaca khusus kepada

Allah Robbul Alamin dengan tekun sambil bekerja dan menundukan diri

takut pada Allah SWT. Ibadah dengan merendahkan diri, menundukan hati,

tekun dan tetap senantiasa bertasbih, bertakbir, bertahmid, shalat,

memelihara penglihatan, menjaga kehormatan, dan jangan berjalan dimuka

bumi Allah ini dengan kesombongan, berbicara dengan tenang dan

sederhana, dan tunduk hanya kepada Allah SWT

2. Akhlaqul Madzmumah (Akhlak Tercela)

Akhlak tercela adalah akhlak yang tidak baik dan tidak benar menurut ajaran

islam. adapun yang termasuk akhlak terpuji antara lain :

Page 89: Jurnal Pendidikan dan Kajian Keagamaan

89

a. Tafdilu al-Ananiyyah wa al-Zulmi (mementingkan diri sendiri dan berlaku

zalim).

Mementingkan diri sendiri disebut egoistis yaitu upaya seseorang yang

selalu mengutamakan dirinya dan tidak mempedulikan orang lain.

Sedangkan zalim disebut juga aniaya yaitu perlakuan sewenang-wenang

terhadap orang lain, tanpa merasa dirinya bersalah. Sikap dan perilaku

tersebut, sangat dilarang dalam Islam, karena tidak dapat diharapkan

membangun rasa kasih sayang dan persahabatan di antara sesama manusia.

b. Adau al-Hasadi wa al-Sukhti (iri hati dan benci)

Iri hati (dengki) adalah suatu sikap yang selalu mengharapkan agar nikmat

(kesenangan) orang lain segera lenyap. Sedangkan membenci adalah sikap

seseorang yang sangat tidak senang kepada orang lain. Sikap iri hati dan

benci sangat dilarang dalam agama, seperti juga membenci, sangat dilarang

oleh agama. Kedua sifat tersebut sangat berbahaya dalam kehidupan

manusia, sehingga menyebutnya sebagai salah satu sumber kesalahan dan

dosa di antara sesama manusia yang disebutnya sebagai ummahatu al-

khataya.

c. Al-as’aru wa al-Ujbu (angkuh dan sombong)

Angkuh adalah penampilan diri yang congkak, karena memendang rendah

orang lain. Sedangkan sombong adalah terlalu menghargai dirinya secara

berlebih-lebihan, lalu bersikap tidak menghargai sama sekali terhadap orang

lain. Ia menghargai dirinya karena mengandalkan Ilmunya, hartanya,

keluarganya, nasabnya dan kegagahan atau kecantikannya merupakan

perilaku takabur, dan merasa dirinya tidak membutuhkan orang lain.

d. Ananiyah (Egois)

Sifat manusia yang mementingkan diri sendiri tanpa memperdulikan orang

lain, sedangkan manusia membutuhkan orang lain. Dan sahabatnya tidak

banyak dan ini berarti mempersempit langkahnya sendiri di dunia.

e. Al-Bukhlu (Bakhil, Kikir, Kedekut (terlalu cinta harta)

Sifat yang sangat tercela dan paling dibenci Allah. Hidup di dunia ini hanya

sementara, apa yang Allah amanahkan hanya pinjaman sementara saja. Jika

Page 90: Jurnal Pendidikan dan Kajian Keagamaan

90

mati jelas semua yang ada di dunia tidak akan dibawa kecuali hanya kain

kafan pembungkus badan dan amal perbuatan didunia. Maka tinggalkanlah

semua sifat bakhil, kikir, kedekut.

f. Al-Khiyanah (Pengkhianat)

Sifat seseorang yang tindakannya licik, sifat khianat untuk sementara waktu

tidak diketahui manusia, tetapi Allah maha mengetahui. Ia tidak segan

bersumpah palsu untuk memperkuat dan membenarkan keterangannya bila

ia tertuduh, karena ia tidak mempunyai rasa tanggung jawab. Ia tidak

memperoleh keuntungan dari tindakannya yang tidak jujur itu, sifat senang

mengorbankan teman sendiri, jadi musuh dalam selimut. Pengkhianat

sebenarnya mencoreng keningnya sendiri dengan arang yang tidak mungkin

hilang untuk selama-lamanya, terjauh dari teman dan sahabat, terisolasi dari

pergaulan, masyarakat memandang dengan sebelah mata dan dia kehilangan

kepercayaan.

Faktor yang Mempengaruhi Akhlak

Segala sesuatu perbuatan manusia yang tercermin dalam perilaku, mesti ada

faktor-faktor yang mempengaruhinya. Akhlak sebagai pencerminan tingkah laku

seseorang dalam kehidupan sehari-hari yang berwujud kebaikan dan keburukan,

baik yang dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja disebabkan oleh dua

faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Adapun faktor-faktor yang

mempengaruhi Akhlak secara garis besar dapat penulis jelaskan sebagai berikut :

1. Faktor Keluarga

Peran ini memberikan pengaruh besar dalam memberikan warna terhadap

perilaku anak. Para psikolog menganggap keluarga sebagai faktor penting

dalam membangun watak dan kepribadian seseorang, serta memberikan

sumbangan besar bagi kematangan dan pertumbuhan nilai kepribadiannya.

2 Faktor Insting dan Naluri

Insting berarti kemampuan berbuat pada suatu tujuan yang dibawa sejak

lahir. Dorongan insting pada manusia, menjadi faktor tingkah laku dan

aktivitas dalam mengenali sesama manusia.

Page 91: Jurnal Pendidikan dan Kajian Keagamaan

91

3. Faktor Sekolah dan Guru

Sebuah penelitian mengungkapkan bahwa kurang lebih 35% anak-anak

pada rentang usia tersebut ingin menjadi seperti guru mereka. Oleh sebab

itu pendidikan akhlak bagi anak-anak membutuhkan kesadaran lebih dari

para guru, karna guru dan sekolah memiliki peran penting yang dapat

mempengaruhi akhlak siswa.

4. Faktor Masyarakat

Secara langsung maupun tidak langsung dan secara sadar dan tidak sadar

memberikan pengaruh pada diri anak. Karena lingkungan masyarakat di

mana anak-anak bertumbuh besar di dalamnya, harus di bersihkan dari

kerusakan kekerasan, permusuhan, dan perkelahian yang di pertontonkan

dalam bioskop dan film-film tidak memberikan pelajaran lain kepada

manusia.

5. Faktor Media Elektronika

Televisi atau radio merupakan media elektronika yang memiliki tiga fungsi

utama yaitu sebagai media informasi, sebagai media pendidikan, dan

sebagai media hiburan (information, education, and entertainment), sesuai

dengan fungsinya tentu saja sangat memungkinkan media elektronik ini

dimanfaatkan sebagai media pendidikan dan pembinaan akhlak, sebab ia

dapat memberikan pengaruh dan rangsangan bagi seseorang untuk

melakukan suatu perbuatan.

Dari penjelasan diatas secara garis besar faktor-faktor yang mempengaruhi

pengembangan akhlak adalah faktor internal yakni semua faktor yang

berada dalam diri individu. Dan faktor eksternal yakni semua faktor yang

berada diluar diri individu. Misalnya orang tua, guru dan lingkungan

disekitar individu dan perkembangan elektronika.

Kesimpulan

Akhlak merupakan suatu makna terpenting dalam hidup manusia, yang tingkat

kedudukannya setelah keimanan kepada Allah. Akhlak merupakan tahap ketiga

dalam beragama. Tahap pertama; menyatakan keimanan dengan mengucapkan

Page 92: Jurnal Pendidikan dan Kajian Keagamaan

92

kalimat syahadat. Tahap kedua; menunaikan ibadah seperti shalat, zakat, puasa

termasuk membaca al-Qur’an dan berdoa. Tahap ketiga; sebagai buah keimanan

dan ibadah adalah akhlak. Akhlak adalah perbuatan yang telah tertanam kuat dalam

jiwa seseorang sehingga menjadi kepribadiannya. Kita tidak akan menutup mata

bahwasannya akhir-akhir ini banyak sorotan negatif yang di tunjukkan pada umat

Islam. Hal ini di sebabkan di antara umat Islam sendiri masih banyak yang tidak

sama atau sesuai dengan ajaran agamanya dengan praktek pengalaman atau tingkah

laku perbuatannya sehingga membuat suram dan redupnya Islam. Padahal sudah

nyata dan jelas bahwa manusia adalah makhluk yang berkewajiban melaksanakan

dan menjalankan akhlaqul-karimah dalam angkatan demi angkatan yang dipimpin

oleh para Rasul pada zamannya.

Akhlak adalah perbuatan yang timbul dari dalam diri seseorang yang

mengerjakannya, tanpa ada paksaan dan tekanan dari luar. Akhlak tidak akan

tumbuh tanpa diajarkan dan dibiasakan. Oleh karena itu ajaran agama selain sebagai

ilmu secara bertahap juga harus diikuti secara terus-menerus dalam bentuk

pengalamannya, baik di bangku sekolah maupun di lingkungan rumah.

Oleh karena itu, pendidikan akhlak yang mulia yang sesuai dengan ajaran

Islam sangat diperlukan seperti mengajar mereka kejujuran, keikhlasan, kesabaran,

kasih sayang, cinta kebaikan dan sebagainya dengan cara membiasakan berpegang

pada akhlak sejak masih kecil. Oleh karenanya kewajiban yang harus dilakukan

oleh orang tuanya yaitu memberikan contoh yang baik pada anaknya, sebab orang

tua yang tidak berhasil menguasai dirinya tentulah tidak sanggup meyakinkan anak-

anaknya untuk memegang akhlak yang diajarkannya.

Daftar Pustaka

Al-Asqalani Hajar Ibn,Terjemah Bulughul Maram, (Jogjakarta: HikamPustaka,

2010).

Alim Muhammad, Pendidikan Agama Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya,

2006). Cet Ke-2.

Depdikbud,Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, (Jogjakarta: Media

Wacana, 2003).

Page 93: Jurnal Pendidikan dan Kajian Keagamaan

93

Daradjad Zakiah dkk, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), cet

ke-9.

Djamarah Bahri Syaiful, Guru Dan Anak Didik Dalam Interaksi Edukatif,

(Jakarta:Rineka Cipta, 2010), cet ke-3.

Ihsan Hamdani dan Ihsan Fuad Ahmad, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung:

Pustaka Setia, 2007).

Qaimi Ali, Mengajarkan Keberanian Dan Kejujuran Pada Anak, (Bogor: Cahaya,

2003).

Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: KalamMuia, 2011), cet ke-9.

Saebani Ahmad Beni dan Hamid Abdul, Ilmu Akhlak, (Bandung: PustakaSetia,

2010).

Tafsir Ahmad, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, (Bandung:

RemajaRosdakarya, 2010), cet ke-9.

Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009).

Ahmadi, Abu, Drs. H, Dasar-dasar Pendidikan Agama Islam, (Jakarta

: PT. Bumi Aksara, 2008).

Asmani, Jamal Ma’mur, Tips Menjadi Guru Inspiratif, Kreatif, dan Inovatif, (

Jogjakarta : Diva Press, 2009).

Page 94: Jurnal Pendidikan dan Kajian Keagamaan

94

PENDIDIKAN PESANTREN DALAM PERSPEKTIF

K.H. ABDURRAHMANWAHID

Oleh: Abdul Rosyid

A. Latar Belakang Masalah

Dunia Pesantren mempunyai daya tarik tersendiri sehingga banyak

mengundang minat dan perhatian untuk mengkajinya. Pengakuan bahwa pesantren

adalah sebuah subkultur sebenarnya belum merata dimiliki oleh kalangan

pesantren sendiri. Oleh karena itu, dalam penggunaan istilah ini bagi lembaga

masyarakat yang bernama pesantren, harus senantiasa diingat bahwa penggunaan

itu sendiri masih berupa usaha pengenalan identitas kultural yang dilakukan dari

luar kalangan pesantren, bukannya oleh kalangan pesantren itu sendiri. Jika diingat

pendekatan ilmiah terbaik untuk menilai hakikat sebuah lembaga kemasyarakatan

adalah pendekatan naratif (narrative), dimana kalangan lembaga itu sendiri yang

melakukan identifikasi dalam bentuk monografi-monografi, haruslah diakui pula

belum kuatnya dasar-dasar ilmiah bagi penggunaan istilah di atas bagi pesantren.

Terlepas dari kenyataan adanya perwatakan subkultural dalam diri pesantren jika

ditinjau dari luar, sikap hati-hati mesti diutamakan dalam mempergunakannya.

Dengan demikian, selama istilah itu belum diuji secara ilmiah-murni,

kesimpulan apa pun juga yang didapat dari penggunaannya masih akan berupa

kesimpulan sementara; namun sifat kesementaraan itu tidak mengurangi nilai

objektivitas ilmiahnya. Penggunaan istilah itu bagi pesantren jika dilakukan dengan

hati-hati, akan menghasilkan anggapan-anggapan yang tidak akan jauh

menyimpang dari hasil penelitian empiris yang dilakukan secara seksama dan

mendalam.

Terdapat kesulitan besar untuk melakukan identifikasi terhadap pesantren

secara keseluruhan sebagai sebuah unit subkultural. Tidak semua aspek kehidupan

dalam pesantren berwatak subkultural, bahkan aspek-aspek utamanya pun ada

yang bertentangan dengan batasan-batasan yang biasanya diberikan pada sebuah

subkultur. Di pihak lain, beberapa aspek utama dari kehidupan pesantren, yang

Page 95: Jurnal Pendidikan dan Kajian Keagamaan

95

dianggap memiliki watak subkultural, ternyata hanya ada dalam rangka ideal

belaka, dan tidak didapati dalam kenyataan. Oleh karena itu, hanya kriteria paling

minim belaka yang dapat dikenakan pada kehidupan pesantren, untuk dapat

menganggap sebagai sebuah subkultur. Kriteria minimal itu, jika dikembalikan

pada pokok dasarnya, hanya akan meliputi aspek-aspek berikut: eksistensi

pesantren sebagai sebuah lembaga kehidupan yang menyimpang dari pola

kehidupan umum di negeri ini; terdapatnya sejumlah penunjang yang menjadi

tulang punggung kehidupan pesantren; berlangsungnya proses pembentukan tata

nilai yang tersendiri dalam pesantren, lengkap dengan simbol-simbolnya; adanya

daya tarik keluar sehingga memungkinkan masyarakat sekitar menganggap

pesantren sebagai alternatif ideal bagi sikap hidup yang ada dimasyarakat itu

sendiri; dan berkembangnya suatu proses pengaruh-memengaruhi dengan

masyarakat di luarnya, yang akan berkulminasi pada pembentukan nilai-nilai baru

yang secara universal diterima kedua belah pihak.

Pondok pesantren selalu punya jurus baru, bukan karena tuntutan

globalisasi atau karena modernitas. Karena pada hakekatnya pondok pesantren

lahir untuk menjadi pembaru dari suatu yang kurang menentu bagi tumbuh

kembangnya upaya membangun kehidupan yang etik dan bermoral. Tugas pondok

pesantren mempersiapkan sumber daya manusia, menciptakan kader yang

memiliki visi ke depan. Keseimbangan antara intuisi dan rasio yang

memungkinkan sumber daya manusia kita itu tetap berpengang pada asas moral

yang tinggi, tetapi juga mampu mengembangkan sikap hidup pragmatik yang bisa

dipakai untuk menangani masalah-masalah yang dihadapi. Pada giliran nanti,

sumber daya manusia itu diharapkan memiliki skill dan keterampilan tehnis yang

tinggi tetapi tidak kehilangan akar-akar budayanya. Oleh karena itu pondok

pesantren tidak boleh menyempitkan diri, pondok pesantren harus mampu

melakukan lompatan-lompatan melalui peningkatan kualitas sumber daya

manusia. Memang ada beberapa hal yang menjadi constraint pondok pesantren itu

melakukan peningkatan kualitas sumber daya manusia, seperti pelembagaan

pondok pesantren itu belum selesai. Namun demikian, sesungguhnya perubahan-

perubahan ke arah itu sudah mulai nampak. Dulu pondok pesantren itu sangat

Page 96: Jurnal Pendidikan dan Kajian Keagamaan

96

perorangan, belakangan ini dikelola melalui yayasan-yayasan. Harapan kita

nantinya pondok pesantren mampu memasuki profesionalitas organisatoris.

Profesionalisasi manajemen pondok pesantren ini yang mutlak perlu. Dan persoalan

ini tentu menjadi tugas bersama semua kekuatan-kekuatan masyarakat, sebab jika

harus bergantung pada NU, maka ini akan menjadi “kurus“.

Lembaga pesantren inilah yang paling menentukan watak keislaman

kerajaan-kerajaan Islam, dan yang memegang peranan paling penting bagi

penyebaran Islam sampai kepelosok pedesaan. Dari lembaga-lembaga pesantren

itulah asal-usul sejumlah manuskrip tentang pengajaran Islam di Asia Tenggara,

yang tersedia secara terbatas, yang dikumpulkan oleh pengembara-pengembara

pertama perusahaan-perusahaan dagang Belanda dan Inggris sejak akhir abad ke-

16. Untuk dapat betul-betul memahami sejarah Islamisasi di wilayah ini, kita harus

mempelajari lembaga-lembaga pesantren tersebut, karena lembaga-lembaga inilah

yang menjadi anak panah penyebaran Islam di wilayah ini.

Dan dari semua itu pesantren mampu mendongkrak keilmuan umum. Nah,

inilah yang ditekankan oleh K.H. Abdurrahman Wahid dengan proses

membumikan tradisi pesantren Buku Menggerakan Tradisi mengawali perjuangan

K.H. Abdurrahman Wahid dalam Mempopulerkan pesantren sebagai lembaga

pendidikan yang multi – potensi, yakni keagamaan dan umum. Berkat tulisan –

tulisannya tentang pesantren, dan di masa ia menjabat sebagai kepala Presiden RI

ke – 4, pesantren menemukan kehidupan serta semangat baru dalam pemberdayaan

masyarakat. Selain itu, kumpulan–kumpulan esai K.H. Abdurrahman Wahid

tentang pesantren mengajak kita pada perenungan dalam mengukur signifikansi

dan menempatkan gagasan–gagasan didalamnya sebagai suatu bagian dari

pergumulan sejarah pemikiran pendidikan, terutama pesantren.

Orde Baru yang tampil pada 1960-an bersama pembangunannya

melahirkan konflik. Pesantren yang konvensional di masa itu beranggapan tidak

dapat mengalami perubahan. Namun, itu hanya sejarah yang dapat ditampik oleh

K.H. Abdurrahman Wahid dengan gagasannya yang cukup gemilang, yakni

proyeksi “ Modernisasi pesantren “. Dalam artian, pesantren bukan lembaga

pendidikan yang ketinggalan zaman. Bahkan, kini sudah menjadi ikon pendidikan

Page 97: Jurnal Pendidikan dan Kajian Keagamaan

97

yang kreatif, mandiri, dan profesional. Hal ini dapat ditunjukan dengan pendidikan

karakter di pesantren, berupa akhlak, prilaku, norma, dan sopan santun.

Berdasarkan uraian diatas, penulis tertarik untuk mengkaji dan mengambil

intisari pemikiran K.H. Abdurrahman Wahid yang dijuluki sebagai guru bangsa

dan bapak pluralisme dan yang juga mengawali perjuangan memopulerkan

pesantren sebagai lembaga pendidikan yang multi potensi. Untuk itu penelitian

ini, akan mengkaji Pendidikan Pesantren dalam Perspektif K.H. Abdurrahman

Wahid. Masalah pokok yang di fokuskan pada kajian ini yaitu bagaimana

Pemikiran K.H. Abdurrahman Wahid tentang Pendidikan Pesantren. Oleh karena

itu, ada beberapa pertanyaan yang akan dijawab dalam penelitian ini ialah :

1. Bagaimana Pemikiran K.H. Abdurrahman Wahid tentang Pendidikan

Pesantren ?

2. Bagaimana relevansi pemikiran K.H. Abdurrahman Wahid tentang

Pendidikan Pesantren?

B. Riwayat Hidup KH. Abdurrahman Wahid

Abdurrahman Wahid yang akrab dipanggil Gus Dur menjabat Presiden RI

ke-4 mulai 20 Oktober 1999 hingga 24Juli 2001. Beliau lahir tanggal 4 Agustus

1940 di Desa Denanyar, Jombang, Jawa Timur. Gus Dur adalah putra pertama dari

enam bersaudara. Ayahnya adalah seorang pendiri organisasi besar Nahdlatul

Ulama, yang bernama K.H. Wahid Hasyim. Sedangkan, Ibunya bernama Hj.

Sholehah adalah putri pendiri pesantren Denanyar, Jombang, K.H. Bisri Syamsuri.

Dari perkawinannya dengan Sinta Nuriyah, mereka dikaruniani empat anak, yaitu

Alissa Qotrunnada Munawaroh, Zannuba Arifah Chafsoh, Annita Hayatunnufus

dan Inayah Wulandari. Secara geneologi, Abdurrahman Wahid memiliki keturunan

“ darah biru“ dan, menurut Clifford Geertz, ia termasuk golongan santri dan

priyayi sekaligus. Baik dari garis keturunan ayah maupun ibunya, Abdurrahman

Wahid adalah sosok yang menempati strata sosial tertinggi dalam masyarakat

Indonesia. Ia adalah cucu dari dua ulama terkemuka NU dan tokoh terbesar

Indonesia. Kakeknya, kiai Bisri Syamsuri dan kiai Hasyim Asy’ari sangat

Page 98: Jurnal Pendidikan dan Kajian Keagamaan

98

dihormati di kalangan NU, baik karena peranannya sebagai pendiri Nahdlotul

Ulama, maupu karen kedudukanny sebaga ulama karismatik.

Pada masa kecilnya, Abdurrahman Wahid tidak seperti kebanyakan anak-

anak seusianya. Ia lebih memilih tinggal bersama kakeknya daripada tinggal

bersama ayahnya. Melalui kakeknya, ia belajar membaca Al-quran di Pondok

Pesantren Tebuireng Jombang. Berkat tinggal bersama kakeknya yang merupakan

tokoh yang banyak dikunjungi tokoh-tokoh politik dan orang-orang penting

lainnya, maka dari sejak kecil Abdurrahman Wahid sudah mengenal tokoh-tokoh

politik dan orang-orang penting tersebut. Sejak masa kanak-kanak, Gus Dur juga

mempunyai kegemaran membaca dan rajin memanfaatkan perpustakaan pribadi

ayahnya. Selain itu, beliau juga aktif berkunjung ke perpustakaan umum di Jakarta.

Pada usia belasan tahun, Gus Dur telah akrab dengan berbagai majalah, surat kabar,

novel, dan buku-buku. Disamping membaca, beliau juga hobi bermain bola, catur,

dan musik. Bahkan, Gus Dur pernah diminta menjadi komentator sepak bola di

televisi. Kegemaran lainnya yang ikut juga melengkapi hobinya adalah menonton

biskop. Kegemerannya ini menimbulkan apresiasi yang mendalam dalam dunia

film. Inilah sebabnya Gus Dur pada tahun 1986-1987 diangkat sebagai ketua juri

Festival Film Indonesia.

Masa remaja Gus Dur sebagian besar dihabiskan di Yogyakarta dan

Tegalrejo. Di dua tempat inilah pengembangan ilmu pengetahuan mulai

meningkat. Maka berikutnya, Gus Dur tinggal di Jombang, di Pesantren Tambak

Beras, sampai kemudian melanjutkan studinya di Mesir. Sebelum berangkat ke

Mesir, pamannya telah melamarkan seorang gadis untuknya, yaitu Sinta Nuriyah

anak Haji Muh. Sakur. Perkawinannya dilaksanakan ketika Gus Dur berada di

Mesir. Sepulang dari pengembaraannya mencari ilmu, Gus Dur kembali ke

Jombang dan memilih menjadi guru. Pada 1971, beliau bergabung di Fakultas

Ushuluddin Universitas Tebuireng Jombang. Tiga tahun kemudian, beliau menjadi

sekertaris Pesantren Tebuireng, dan pada tahun yang sama, Gus Dur mulai menjadi

penulis. Beliau kembali menekuni bakatnya sebagai penulis dan kolumnis. Lewat

tulisan-tulisan tersebut, gagasan pemikiran Gus Dur mulai mendapat perhatian

banyak orang baik mengenai masalah yang berkaitan dengan agama, kebudayaan,

Page 99: Jurnal Pendidikan dan Kajian Keagamaan

99

ideologi, dan modernisasi. Topik yang menarik perhatiannya, di antaranya adalah

mengenai peran dan kedudukan institusi Pesantren dalam modernisasi. Konon

tulisan pertamanya yang muncul di media umum, yang dikirimkannya dari

Jombang adalah mengenai Pesantren.

Pada tahun 1974, Gus Dur diminta pamannya, K.H. Yusuf Hasyim untuk

membantu di Pesantren Tebuireng, Jombang, dengan menjadi sekretaris. Dari sini

Gus Dur mulai sering mendapatkan undangan menjadi narasumber pada sejumlah

forum diskusi keagamaan dan kepesantrenaan, baik di dalam maupun luar negeri.

Selanjutnya, Gus Dur terlibat dalam kegiatan LSM. Pertama, di LP3ES bernama

Dawam Rahardjo, Aswab Mahasin, dan Adi Sasono dalam proyek pengembangan

pesantren, kemudian Gus Dur mendirikan P3M yang dimotori oleh LP3ES. Pada

1979, Gus Dur pindah ke Jakarta. Mula-mula beliau merintis Pesantren Ciganjur.

Sementara, pada awal 1980, Gus Dur dipercaya sebagai wakil khatib syuriah

PBNU. Di sini Gus Dur terlibat dalam diskusi dan perdebatan yang serius mengenai

masalah agama, sosial, dan politik dengan berbagai kalanga lintas agama, suku,

dan disiplin. Gus Dur semakin serius menulis dan bergelut dengan duniannya, baik

di lapangan kebudayaan, politik, maupun pemikiran keislaman.

Karier yang dianggap “menyimpang“ dalam kapasitasnya sebagai seorang

tokoh agama sekaligus pengurus PBNU dan mengundang cibiran adalah ketika

menjadi ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) pada tahun 1983. Beliau juga

menjadi ketua juri dalam Festival Film Indonesia (FFI) tahun 1986 dan 1987

sebanyak dua kali; pada tahun 1989 ia dinyatakan sebagai tokoh 1989 versi Surat

Kabar Pemikiran Rakyat dan tokoh 1990 versi Majalah Editor. Pada 1984, Gus Dur

dipilih secara aklamasi oleh sebuah tim ahl hall wa al-‘aqdi yang diketua K.H.

As’ad Syamsul Arifin untuk menduduki jabatan ketua umum PBNU pada

Muktamar ke-27 di Situbondo. Jabatan tersebut kembali dikukuhkan pada

Muktamar ke-28 di Pesantren Krapyak, Yogyakarta (1989) dan Muktamar di

Cipasung, Jawa Barat (1994). Jabatan ketua umum PBNU kemudian dilepas

ketika Gus Dur menjabat Presiden RI ke-4. Selama menjadi Presiden,tidak sedikit

pemikiran Gus Dur yang kontroversial. Pendapatnya sering berbeda dari pendapat

Page 100: Jurnal Pendidikan dan Kajian Keagamaan

100

banyak orang. Dengan demikan bisa digambarkan Sketsa Singkat Perjalanan Sosial

Abdurrahman Wahid:

a. Perjalanan Pendidikannya

1. Belajar di Sekolah Dasar (SD) Jakarta, 1947-1953.

2. Belajar di SMEP (Sekolah Menengah Ekonomi Pertama) di Jakarta dan

Yogyakarta, 1953-1957.

3. Belajar di Pondok Pesantren Krapyah, Yogyakarta, 1954-1957.

4. Belajar di Pondok Pesantren Tegal Rejo Magelang, Jawa Tengah, 1959-

1963.

5. Belajar di Pondok Pesantren Tambak Beras, sambil mengajar di

Madrasah Mu’llimat Tambak Beras Jombang, 1959-1963.

6. Belajar di Ma’had al-Dirasat al-Islamiyyah (Departemen of Higer

Islamic and Arabic Studies) al-Azhar Islamic University, Kairo Mesir,

1964-1969.

7. Belajar di Fakultas Sastra Universitas Bagdad di Irak, 1970-1972.

8. Menjadi Dekan dan Dosen Fakultas Ushuluddin Universitas Hasyim

Asy’ari (Unhas), Tebuireng, Jombang.

9. Sekertaris Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur, 1974-

1979.

10. Pengasuh Pondok Pesantren Cigancur, Jakarta Selatan, 1979-sekarang.

11. Pengasuh Yayasan Pondok Pesantren Denanyar, Jombang, 1996-

sekarang.

12. Anggota, Dewan Kehormatan Universitas Saddam Husein Bagdad serta

Manggala. BP7.

b. Perjalanan Sosial-Politik dan Keagamaannya

1. Ketua Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) di Mesir, 1964-1970.

2. Konsultan Departemen Koperasi, Departemen Agama dan Departemen

Agama dan Departemen Hankam, sejak 1976.

3. Wakil Katib Awal Syriah PBNU tahun 1981-1984.

Page 101: Jurnal Pendidikan dan Kajian Keagamaan

101

4. Ketua Umum PBNU 1984-1999.

5. Anggota MPR, Fraksi Karya Pembangunan, di Jakarta, 1987-1992.

6. Anggota Dewan Internasional Perez Center for Peace (PCP) atau Institut

Shimon Perez untuk perdamaian di Tel Aviv Israel.

7. Presiden World Conference on Religion and Peace (WCRP) sejak 1994-

1999.

8. Anggota Komisi Agama-agama Ibrahimi di Madrid Spanyol.

9. Deklarator Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) di Ciganjur Jakarta, 1998

bersama K.H. Ilyas Ruhyat, K.H. Muchit Muzadi, K.H. Munasir Ali,

K.H. Musthofa Bisri.

10. Anggota MPR, Utusan Golongan, 1999.

11. Presiden Republik Indonesia, 1999-2001.

Adapun karya-karya Gusdur Dari studi bibliografi yang penulis lakukan,

ternyata ditemukan ada 493 buah tulisan Gus Dur sejak awal 1970-an hingga awal

tahun 2000. Hingga akhir hayatnya (2009), bisa jadi telah lebih dari 600 buah

tulisan Gus Dur. Greg Barton menjelaskan bahwa karya tulis Abdurrahman Wahid

sepanjang dekade 1970-an bisa dibagi dua periode. Pertama meliputi 1970 hingga

1977, masa dimana ia memfokuskan tulisannya pada kehidupan pesantren. Dan

tulisan-tulisan tersebut telah dibukukan dalam Bunga Rampai Pesantren :

Kumpulan Karya Tulis Abdurrahman Wahid.

Bunga rampai ini terdiri dari 12 artikel merupakan sebuah buku yang secara

keseluruhan membicarakan masalah-masalah pesantren. Pergihnya ke Jakarta pada

akhir 1977 merupakan awal fase baru dari tulisannya yang membuat ia terkenal,

sebab ia semakin produktif. Kedua, meliputi masa yang dimulai di bulan Januari

1978 sampai 1981 dan buku Muslim di Tengah Pengumpulan menjadi topik

masalah yang semakin luas adalah hasil kumpulan tulisannya yang terdiri dari 17

artikel. Di periode kedua ia muncul sebagai intelektual publik, sebab di samping

ia tampil di kalangan intelektual Jakarta, khususnya majalah mingguan Tempo.

Dan kehadirannya menulis majalah mingguan di tahun 1978 merupakan tanda

bahwa saat itulah ia hadir di media massa nasional.

Page 102: Jurnal Pendidikan dan Kajian Keagamaan

102

Karya intelektual yang ditulis selama lebih dari dua dasawarsa itu

diklarifikasikan ke dalam delapan bentuk tulisan, yakni tulisan dalam bentuk buku,

terjemahanan, kata pengantar buku, epilog buku, antologi buku, artikel, kolom, dan

makalah. Rincian jumlah setiap klarifikasi tersebut sebagai berikut.

C.Tujuan Pendidikan Pesantren

Pada tahun 1960-an, pusat-pusat pendidikan Pesantren di Indonesia lebih

dikenal dengan nama pondok. Istilah pondok barangkali berasal dari pengertian

asrama-asrama para santri atau tempat tinggal yang dibuat dari bambu, atau

barangkali berasal dari kata arab, funduq, yang artinya hotel, asrama, rumah, dan

tempat tinggal sederhana. Perkataan Pesantren berasal dari kata santri, yang dengan

awalan pe di depan dan akhiran an berarti tempat tinggal para santri. Dan Pesantren

juga merupakan lembaga pendidikan tradisional Islam untuk mempelajari,

memahami, mendalami, menghayati, dan mengamalkan ajaran Islam (tafagguh

fiddin) dengan menekankan pentingnya moral keagamaan sebagai pedoman hidup

berperilaku sehari-hari.

Pengertian terminologi Pesantren di atas, mengindikasikan bahwa secara

kultural Pesantren lahir dari budaya Indonesia. Dari sinilah barangkali Norcholish

Madjid berpendapat, secara historis Pesantren tidak hanya mengandung makna

keislaman, tetapi juga makna keaslian Indonesia. Sebab memang cikal bakal

lembaga Pesantren sebenarnya sudah ada pada masa Hindu-Budha, dan Islam

tinggal meneruskan, melestarikan, dan mengislamkannya. Bahkan institusi

pesantren mempunyai tujuan sama dengan tujuan pendidikan Islam.

Tujuan Pendidikan Islam secara umum bisa dipahami dari firman Allah

yang berbunyi;

“ Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong)

dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak

menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri” ( Q.S. Lukman: 18 ).

Page 103: Jurnal Pendidikan dan Kajian Keagamaan

103

Berdasarkan ayat tersebut bahwa tujuan pendidikan Islam cangkupannya

sangat luas baik secara material maupun secara spritual atau dengan kata lain

mencakup semua aspek kehidupan manusia baik di dunia maupun di akhirat.

Demikan halnya dengan tujuan pesantren juga mencakup kehidupan duniawi dan

akhirat.

Tujuan pesantren adalah menciptakan dan mengembangkan keperibadian

muslim, yaitu keperibadian yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan, berakhlak

mulia, bermanfaat bagi masyarakat atau berkhidmat kepada masyarakat dengan

jalan menjadi kawula atau abdi masyarakat yaitu menjadi pelayan masyarakat

sebagaimana kepribadian Nabi Muhammad (mengikuti sunnah nabi), mampu

berdiri sendiri, bebas dan teguh dalam kepribadian, menyebarkan agama atau

menegakkan Islam dan kejayaan umat Islam di tengah-tengah masyarakat (‘iizul

Islam wal Muslimin), dan mencintai ilmu dalam rangka mengebangkan kepribadian

Indonesia. Idealnya pengembangan kepribadian yang ingin dituju ialah kepribadian

muhsin, bukan sekedar muslim.

Tujuan pesantren dalam pandangan Abdurrahman Wahid adalah

terintegrasinya pengetahuan agama non agama, sehingga lulusan yang dihasilkan

akan memiliki keperibadian yang utuh dan bulat dalam dirinya tergabung unsur-

unsur keimanan yang kuat atas pengetahuan secara seimbang. Menurut

Abdurrahman Wahid, tujuan pesantren bukan hanya terletak pada upaya tafaqquh

fi al-din, yakni menghasilkan manusia yang mendalami ilmu agama setingkat

ulama.

Tujuan di atas, membutuhkan kesedian untuk mengembangkan pesantren,

karena itu dengan nada pesimis Abdurrahman Wahid mengatakan dengan sistem

pendidikan yang dimiliki pesantren sekarang praktis tidak mungkin bagi pesantren

sendiri untuk mencapainya. Kegagalan memahami dan kemudian memenuhi

kebutuhan di atas tidak lain, dunia pendidikan pesantren akan tertinggal dalam

percaturan budaya bangsa kita di masa depan. Dengan bahasa lain, semakin besar

kesenjaan antara kehidupan dunia pesantren dan kehidupan masyarakat.

Abdurrahman Wahid menjelaskan jika para pemimpin pesantren tidak berinisiatif

membawa dunia pendidikan pesantren untuk segaris dengan masyarakat luas, maka

Page 104: Jurnal Pendidikan dan Kajian Keagamaan

104

akan segera melihat kehancuran pendidikan pesantren ini. Bahkan masyarakat masa

depan tidak mampu menopang sistem pendidikan pesantren yang sama sekali lepas

dari pendidikan nasional. Hal ini disebabkan karena anak didik tidak tertarik lagi

memasuki sistem pendidikan pesantren yang dianggap tidak memiliki wawasan

nasional. Dalam kondisi demikian, menurut Abdurrahman Wahid yang dikutip

Greg Barton bahwa hanya satu strategi yakni mengintegrasikan sistem pendidikan

pesantren ke dalam sistem pendidikan nasional (kendati tidak diragukan bahwa hal

tersebut memang penting), ini akan mengubah alam kepemimpinan pesantren.

Pemikiran Abdurrahman Wahid di atas, memberikan gambaran bahwa

tujuan pesantren hanya akan tercapai jika pendidikan pesantren bersedia

mengintegrasikan ke dalam sistem pendidikan nasional. Maka dari itu,

kepemimpinan dinamis dalam pendidikan pesantren sangat menjadi penentu

tunggal untuk keluar dari kemelut yang ada dalam pendidikan pesantren, sehingga

dapat mengembangkan pesantren sebagai lembaga pendidikan dan kemasyarakatan

yang benar-benar mampu menghadapi tantangan modernisasi. Dengan demikian,

tujuan pendidikan pesantren akan sangat ditentukan oleh dinamisasi pemimpin atau

kiai dalam mengelola sistem pendidikan pesantren.

Dari gambaran-gambaran terdahulu dapat dipahami bahwa gagasan-

gagasan modernisasi pendidikan pesantren dalam pandangan Abdurrahman Wahid

adalah suatu upaya menjebatani dua jurang antara dunia pendidikan pesantren di

satu sisi sebagai pendidikan tradisional dan dunia pendidikan modern di sisi lain,

padahal pesantren sendiri adalah bagian dari dunia itu.

Gagasan Abdurrahman Wahid tetap optimis dengan tradisi pendidikan

pesantren yang unik, akan mampu menjadi sistem pendidikan alternatif di masa

depan dan dapat berperan dalam menciptakan dukungan sosial bagi pembangunan

yang sedang berlangsung. Dengan demikian prinsip utama yang digunakan adalah

diktum yang sudah lama dikenal di kalangan pendidikan pesantren sendiri,

memelihara hal-hal yang baik yang telah ada, sambil mengembangkan hal-hal baru

yang lebih baik. Pijakan pesantren masa depan dalam pandangan Abdurrahman

Wahid adalah tradisi pesantren itu sendiri, baik wacana keilmuan dalam pendidikan

pesantren maupun kehidupan beragama. Berangkat dari potensi yang dimiliki

Page 105: Jurnal Pendidikan dan Kajian Keagamaan

105

pesantren dan para pemimpin, pengelola pendidikan pesantren bersedia belajar dari

kekurangan serta dapat memperbaharui dengan tetap berpijak pada jati diri sebagai

lembaga pendidikan tradisional. Maka dunia pendidikan pesantren masa depan

tetap menjadi pendidikan alternatif untuk menyosong Indonesia baru dengan

mewujudkan masyarakat madani.

2. Kurikulum Pendidikan Pesantren

Salah satu aspek yang perlu direkonstruksi sistem pendidikan pesantren

adalah kurikulum. Kurikulum yang berkembang di dunia pesantren selama ini,

menurut Abdurrahman Wahid dapat diringkas ke dalam 3 pokok :

pertama,kurikulum yang berjutuan untuk mencetak ulama di kemudian hari; kedua,

struktur dasar kurikulumnya adalah pengajaran pengetahuan agama dalam segenap

tingkatan dan pemberian dalam bentuk bimbingan kepada santri secara pribadi oleh

kiai/guru dan ketiga, secara keseluruhan kurikulum yang ada berwatak

lentur/fleksibel dalam artian setiap santri berkesempatan menyusun kurikulumnya

sendiri sepenuhnya atau sebagian sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya.

Kurikulum sistem pendidikan pesantren yang diwakili oleh kitab kuning

hanya lebih menekankan pada bidang fiqih, teologi, tasawuf, dan bahasa. Fiqih

biasanya hanya terbatas pada mazhab Syafi’i dan kurang memberikan alternatif

pada mazhab-mazhab lain. Bahkan didefinisikan oleh para ulama terlalu sempit.

Pada umumnya fiqih diartikan sebagai kumpulan hukum amaliyah yang

disyariatkan Islam, yang penekanannya sangat berlebihan dan mendalam. Menurut

Nurcholis Madjid melalui kitab kuning biasanya berupa tradisi syarah dan

hasyasiyah. Yang di awali dari Matn al-Taqrib, yaitu kitab fiqih yang paling standar

di pesantren pesantren. Matan itu diberi syar (penjelasan) dalam kitab Fath al-Qarib,

juga sangat standar di pesantren, dan kemudian diberi hasyiyah dalam kitab al-

Bajuri, sebuah kitab yang boleh dipandang cukup tinggi.

Mazhab Syafi’i juga memberikan peluang yang sangat minim kepada

penjelasan rasional. Peranan rasio dalam mengambil kesimpulan hukum, legalitas

formal yang bersumber dari ajaran dasar kurang diberdayakan. Karena itu, untuk

aspek ini pun tampaknya penting melebarkan wacana fiqih lintas mazhab.

Page 106: Jurnal Pendidikan dan Kajian Keagamaan

106

Kurikulum yang berkembang di persantren pada selama ini memperlihatkan sebuah

pola yang tetap. Pola itu dapat diringkas ke dalam pokok-pokok berikut:

a. Kurikulum ditunjukkan untuk mencetak ulama dikemudian hari.

b. Struktur dasar kurikulum itu adalah pengajaran pengetahuan agama dalam

segenap tingkatanya dan pemberian pendidikan dalam bentuk bimbingan

kepada santri secara pribadi oleh Kiai/guru.

c. Secara keseluruhan kurikulum yang ada berwatak lentur atau fleksibel,

dalam artian setiap santri berkesempatan menyusun kurikulumnya sendiri

sepenuhnya atau sebagian sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya,

bahkan pada pesantren yang memiliki sistem pendidikan berbentuk sekolah

sekalipun.

Melihat pemikiran di atas, nampaknya pendidikan pesantren yang mereka

inginkan adalah terintegrasinya keilmuan; antara ilmu agama dan umum. Dengan

kata lain, penerapan kurikulum dalam pesantren dengan keseimbangan atau chek

and balance. Hanya saja, menurut Abdurrahman Wahid pola tersebut, dengan

terintegrasinya komponen agama dan non agama dalam kurikulum pesantren

selama beberapa tahun belum memperoleh hasil. Bahkan semakin lama porsi ilmu

agama sangat menurun, sehingga menghasilkan mentahnya lulusan yang dihasilkan

pesantren, tidak menjadi agamawan yang berpengetahuan agama mendalam dan

juga tidak menjadi ilmuan non agama yang cukup tinggikualitasnya. Yang terjadi

adalah pembaruan (akulturasi) yang tidak memperlihatkan identitas yang jelas.

Menghadapi kenyataan di atas, Abdurrahman Wahid menjelaskan bahwa

sebagian pimpinan pesantren pesantren utama cenderung untuk kembali pada cara

salaf, dengan penekanan pada porsi ilmu agama, sehingga ilmu umum (non agama)

dalam kurikulumnya nyaris tidak terpakai lagi. Hal ini sangat membahayakan dunia

pendidikan pesantren dan lulusannya, sebab modernisasi adalah sebuah kebutuhan

yang harus dihadapi para santri di masa depan. Kesalahan-kesalahan dasar dalam

pengembangan komponen ilmu non agama dalam kurikulum pendidikan pesantren

selama ini, hingga tidak mampu mendorong menjadi agamawan, bukan

memperbaikinya dengan membuang ilmu non agama, karena tantangan masa depan

Page 107: Jurnal Pendidikan dan Kajian Keagamaan

107

tidak hilang hanya dengan cara bekal rohani yang kuat dan juga sangat ditentukan

oleh pebguasaan Iptek.

Abdurrahman Wahid menjelaskan ada beberapa kelemahan dasar dalam

upaya mengembangan komponen non agama dalam kurikulum pendidikan

pesantren. Kelemahan pertama, adalah sifat upaya itu sendiri, yang lebih banyak

ditekankan pada pengembangan intelektualisme verbalistik yang penuh dengan

teori tapi tidak mampu memecahkan persoalan-persoalan praktis yang terjadi di

depan mata. Kedua, penanganan kurikulum dan komponen-komponennya secara

sepotong-potong, tidak menggunakan pendekatan menyeluruh yang bersifat

multidisipliner (yang terbukti antara lain dalam pemisahan antara pengetahuan-

pengetahuan sosial ekonomi, budaya dan pengetahuan alam). Ketiga, belum

tercapainya kesatuan yang utuh dan bulat antara komponen-komponen agama dan

non agama.

Kelemahan-kelemahan dasar itu justru menimbulkan kebutuhan dan

pengembangan pendidikan pesantren, setidak-tidaknya dalam kurikulum yang

digunakan. Pesantren dapat menyediakan tenaga-tenaga terdidik yang sesuai

dengan lapangan kerja masyarakat modern.

Dengan kata lain menurut Abdurrahman Wahid, dunia pendidikan

pesantren bersedia membuka diri bagi pendidikan yang menjurus dalam

hubungannya dengan penyediaan angkatan kerja. Hal ini diajukan Indra Djati Sidi

dalam istilah Creative Curriculum artinya kurikulum pendidikan masa depan

dikembangkan berdasarkan kompotensi dasar. Selanjutnya kurikulum yang

memiliki kesesuain dan keterkaitan (link and macth) dengan kebutuhan lapangan

kerja, baik dalam bidang jasa maupun perdagangan dan keahlian lainnya, yang

memberikan masukan bagi kalangan pendidikan, tentang keahlian apa yang

sesungguhnya dibutuhkan lapangan kerja.

Selanjutnya, karena berbagai keahlian dan pekerjaan dalam era globalisasi yang

begitu cepat dan dinamis, maka klurikulum pun disesuaikan dengan dinamis dan

progresif.

Abdurrahman Wahid menjelaskan kurikulum pendidikan pesantren dengan

melihat kebutuhan yang sesuai dengan kebutuhan santri, sehingga lembaga

Page 108: Jurnal Pendidikan dan Kajian Keagamaan

108

pendidikan pesantren mampu memenuhi tuntunan dan kebutuhan penyediaan

angkatan kerja dalam kehidupan modern. Penyediaan tenaga terampil dan terlatih

untuk berbagai jenis profesi disesuaikan dengan tujuan dan fungsi pesantren.

Karena itu, Abdurrahman Wahid menawarkan model kurikulum pendidikan

pesantren dengan pembakuan yang artinya menciptakan model penyederhanaan

kurikulum yang memungkinkan lembaga pendidikan pesantren

menyelenggarakannya. Dalam artian muatan kurikulum tidak terlalu banyak

dibebankan kepada santri. Adapun tawaran kurikulum, yang ditawarkan

Abdurrahman Wahid dalam bukunya menggerakkan tradisi, sebagai berikut:

a. Pemberian waktu terbanyak dilakukan pada unsur nahwu-sharaf dan

fiqh karena dua unsure ini masih memerlukan ulangan (tikrar),

setidaknya untuk separuh dari masa berlakunya kurikulum.

b. Pelajaran lain hanya diberikan selama setahun tanpa diulang di tahun-

tahun berikutnya.

c. Kalau diperlukan, pada tahun-tahun terakhir dapat diberikan buku-buku

utama.

Kurikulum telah banyak mengalami perubahan dan berkembang dalam

variasi bermacam-macam, namun kesemua perkembangan itu tetap mengambil

bentuk pelestarian watak utama pendidikannya sebagian tempat menggembleng

ahli-ahli agama yang di kemudian hari akan menunaikan tugas untuk melakukan

transformasi total atas kehidupan masyarakat di tempat masing-masing. Beberapa

jenis kurikulum utama perlu ditinjau sepintas dalam hubungan ini:

a. Kurikulum pengajian non sekolah, di mana santri belajar pada beberapa

orang kiai/guru dalam sehari semalamnya. Kurikulum ini, walaupun

memiliki jenjangnya sendiri, bersifat sangat fleksibel, dalam arti pembuatan

kurikulum itu sendiri bersifat individual oleh masing-masing santri. Sistem

pendidikna seperti ini, yang dinamai sistem lingkaran (pengajian halaqah)

memberikan kebebasan sepenuhnya kepada santri untuk membuat

kurikulumnya sendiri, fdengan jalan menentukan sendiri pengajian mana

yang akan diikutinya.

Page 109: Jurnal Pendidikan dan Kajian Keagamaan

109

b. Kurikulum sekolah tradisional (madrasah salafiyah), di mana pelajaran

telah diberikan di kelas dan disusun berdasarkan kurikulum tetap yang

berlaku untuk semua santri. Akan tetapi, ini tidak berarti pendidikannya

sendiri telah menjadi klasikal karena kurikulumnya masih didasarkan pada

penahapan dan pejenjangan berdasarkan urut-urutan tesk kuno secara

berantai.

Walaupun sebagian besar sekolah agama tradisional ini telah memasukkan

mata pelajaran non agama dalam kurikulumnya, belum ada integrasi

kohensif antara komponen mata pelajaran agama dan non agama.

Akibatnya, komponen non agama lalu kehilangan relevansinya di mata guru

dan santrinya, dipelajari tanpa diyakini kebenarannya. Paling jauh, mata

pelajaran non agama hanya dipakai untuk menunjang penggunaan mata

pelajaran agama bagi tugas penyebaran agama nantinya.

c. Pondok modern, di mana kurikulumnya telah bersifat klasikal dan masing-

masing kelompok mata pelajaran agama dan non agama telah menjadi

bagian integral dari sebuah sistem yang telah bulat dan berimbang.

Akan tetapi, di sini pun mata pelajaran non agama, walaupun telah diakui

pentingnya, masih ditundukkan pada kebutuhan penyebaran ilmu-ilmu

agama sehingga kelompok mata pelajaran tersebut memiliki perwatakan

intelektualistis denga tekanan pada penumbuhan keterampilan skolastis

Setelah meninjau sedikitnya kurikulum utama yang berkembang di pesantren

pada umumnya dewasa ini, dengan didahului tinjauan sekilas lintas atas nilai-nilai

utama yang menopangnya. Ada lima percobaan yang patut ditelaah dalam

hubungan ini, dari yang telah berjalan beberapa lama hingga pada yang baru saja

dicoba.

a. Madrasah Negeri. System pendidikan ini telah lama dikembangkan dan

telah berusia belasan tahun, namun belum memiliki pola menetap karena

senantiasa mengalami perubahan kurikulum dalam jarak yang terlalu dekat.

b. Program keterampilan di pesantren. Program ini, yang dapat dilaksanakan

sebagai kegiatan kurikuler sistem pendidikan sekolah di pesantren maupun

sebagai kegiatan nonkurikuler, dimaksukan untuk menyediakan sarana

Page 110: Jurnal Pendidikan dan Kajian Keagamaan

110

memperoleh keterampilan yang diperlukan untuk hidup di atas kaki sendiri

dalam kehidupan setelah keluar dari pesantren nanti.

c. Program penyuluhan dan bimbingan.

d. Program sekolah-sekolah nonagama di pesantren.

e. Program pengembangan oleh masyarakat.

Beberapa ketentuan dijadikan batasan dalam menyusun model-model

kurikulum. Karena itu, Abdurrahman Wahid mengajukan tawaran kurikulum

pendidikan pesantren yaitu:Pertama, ketentuan untuk menghindarkan pengulangan

(‘adamuttikrar), sepanjang tidak dimasukkan untuk pendalaman (ta’ammuqi) dan

penjenjangan (tadarruj). Dengan demikian, dapat terhindarkan dari pemborosan

waktu. Ketentuan kedua, pemberian tekanan pada latihan (tamrinat), karna buku

yang dipakai diusahan yang seringkas mungkin dalam ilmu-ilmu alat. Ketiga, tidak

dapat dihindari adanya lompatan-lompatan yang tidak berurutan dalam penetapan

buku-buku wajib (kutub al-muqarrarah) selama masa pendidikan dari tahun-

ketahun.24 Dengan demikian, gagasan dengan menyederhanakan kurikulum,

sehingga dapat dikembangkan kurikulum menjadi lebih lengkap dan bulat yang

mampu menampung komponen pendidikan non agama, tanpa adanya kekhawatiran

penurunan tingkatan atau nilai pendidikan agama di pondok pesantren. Bahkan

Abdurrahman Wahid menjelaskan bahwa model kurikulum yang disederhanakan di

samping merupakan jalan untuk menerima komponen-komponen pendidikan ilmu-

ilmu umum, juga yang terpenting adalah tidak mengorbankan tujuan menciptakan

santri yang memiliki pengetahuan dasar agama yang bulat dan cukup.25

Pemikiran di atas, dapat dipahami bahwa kurikulum pendidikan pesantren

yang digagas Abdurrahman Wahid tidak menghendaki adanya dikotomi ilmu

pengetahuan antara ilmu agama dan non agama. Hanya saja, penguasaan

pengetahuan agama haruslah diberi porsi cukup besar dalam kurikulum pendidikan

pesantren.

24 Sebagai contoh, dari Al-Jurumiyah di tahun pertama, melalui al-Imrithi di tahun kedua,

dan disudahi denagn Alfiyah untuk nahwu di tahun ketiga. Seperti yang tercantum pada pesantren

Tegal Rejo, di Magelang tanpa menggunakan al-Mutammimah dan kitab-kitab pertengahan lainnya

yang sejenis. Abdurrahman Wahid, Menggerakan Tradisi Esai-esai Pesantren, h. 121-122. 25 Abdurahman Wahid, Menggerakkan Tradisi Esai-esai Pesantren, h. 124.

Page 111: Jurnal Pendidikan dan Kajian Keagamaan

111

Porsi itu dapat diberikan dalam ukuran besar secara kualitatif, walaupun

sedikit secara kuantitatif. Dengan kata lain, modernisasi kurikulum pendidikan

pesantren tetap pada jati diri khas. Sebab itulah yang sesungguhnya yang dimiliki

oleh lembaga pendidika pesantren. Hal ini tentunya semua berpulang kepada

pengelola atau pengasuh pondok pesantren, serta kreativitasnya, rasa percaya diri

dan tanggung jawab masyarakat pendukung pesantren secara menyeluruh. Adapun

metode pengajaran di lembaga pendidikan pesantren menurut Abdurrahman wahid

lebih banyak bersifat doktriner.26Artinya terjadi kedangkalan tata nilai, sehingga

hanya perbuatan-perbuatan lahirnya belaka yang harus dinilai. Sehingga

mengakibatkan kesetiaan seorang santri kepada pesantren tempat ia belajar,

ketidakmampuan seorang kiai untuk menerima argumentasi pihak luar dalam suatu

kontroversi dan sikap angkuh sebagian santri, verbalisme yang sangat kaku serta

formalisme dalam menilai suatu perbuatan.

Abdurrahman Wahid menjelaskan bahwa tata nilai yang terlalu

menekankan pekerjaan praktik ini, cenderung menghasilkan santri yang hanya

tunduk, taat tanpa memperhatikan keduniawian. Hal ini akan menyebabkan santri

akan bersifat menerima begitu saja apa yang diajarkan oleh pendidik, bahkan kerja

ritual lebih utama daripada penyuluhan administratif.27Jadi menurut Abdurrahman

Wahid perlu adanya kemauan pesantren untuk melakukan inovasi yang sesuai

dengan perkembangan modern, walaupunmasih terbatas pada soal-soal non-ritual

dan non-konsepsional seperti pada dalam bidang administrasi dan lain-lain.

Jika Analisis maksud Abdurrahman Wahid dengan istilah dinamisasi

pesantren adalah kesediaan dunia pendidikan pesantren sebagai lembaga

pendidikan masa depan untuk senantiasa melakukan terobosan dan mereproduksi

makna-makna baru dalam berbagai bidang yang sesuai dengan kondisi sekarang

dan yang akan datang.28

3. Santri

26 Samsul Bahri, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, h. 107. 27 Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi Esai-esai Pesantren, h. 22. 28 SamsulBahri, SejarahPendidikan di Indonesia, h 108.

Page 112: Jurnal Pendidikan dan Kajian Keagamaan

112

Pengertian santri, menurut pengertian yang dipakai dalam lingkungan

orang-orang pesantren, seorang alim hanya bisa disebut kiai bilamana memiliki

pesantren dan asntri yang tinggal dalam pesantren untuk mempelajari kitab-kitab

Islam Klasik. Oleh karena itu, santri merupakan elemen penting dalam suatu

lembaga pesantren. Perlu diketahui bahwa, menurut tradisi pesantren, santri terddiri

dari dua, santri mukim dan santri kalong. Seorang santri pergi dan menetap di suatu

pesantren karena berbagai alasan:

1. Ia ingin mempelajari kitab-kitab lain yang membahas Islam secara lebih

mendalam di bawah bimbingan kiai yang memimpin pesantren.

2. Ia ingin memperoleh pengalaman kehidupan pesantren, baik dalam bidang

pengajaran, keorgananisasian maupun hubungan dengan pesantren-

pesantren terkenal.

3. Ia ingin memusatkan studinya di pesantren tanpa disibukkan oleh kewajiban

sehari-hari di rumah keluarganya. Di samping itu, dengan tinggal di sebuah

pesantren yang sangat jauh letaknya dari rumahnya sendiri ia tidak mudah

pulang balik meskipun kadang-kadang menginginkannya.

Di masa silam, pergi dan menetap di sebuah pesantren yang jauh dan

masyhur merupakan suatu keistimewaan bagi seorang santri yang penuh cita-cita.

Ia harus memiliki keberanian yang cukup, penuh ambisi, dapat menekan perasaan

rindu kepada keluarga maupun teman-teman sekampungnya, sebab setelah selesai

pelajarannya di pesantren ia diharapkan menjadi seorang ailm yang dapat mengajar

kitab-kitab dan memimpin mesyarakat dalam kegiatan keagamaan. ia juga

diharapkan dapat memberikan nasihat-nasihat mengenai persoalan-persoalan

kehidupan individual dan masyarakat yang bersangkut-paut erat dengan agama.29

Itulah sebabnya maka biasanya hanya seorang calon yang penuh

kesungguhannya dan ada harapan akan berhasil saja yang diberi kesempatan untuk

belajar di pesantren yang jauh. Ini semua harus ia tunjukkan pada waktu mengikuti

pengajian sorongan di kampungnya.30 Maka menurut Abdurrahman Wahid santri

adalah siswa yang tinggal di pesantren, guna menyerahkan diri. Ini merupakan

29 Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi Esai-esai Pesantren, h. 88-89. 30 Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi Esai-esai Pesantren, h. 90.

Page 113: Jurnal Pendidikan dan Kajian Keagamaan

113

persyaratan mutlak untuk memungkinkan dirinya untuk menjadi anak didik kiai

dalam arti sepenuhnya. Dengan kata lain, ia harus memperoleh kerelaan sang kiai

dengan mengikuti segenap kehendaknya dan juga melayani segenap kepentingan-

kepentingannya. Pelayanan harus dianggap sebagai tugas kehormatan yang

merupakan ukuran penyerahan diriitu. Kerelaan kiai ini, yang dikenal di pesantren

dengan nama barakah, adalah alasan tempat berpijak santri di dalam menuntut

ilmu.31 Dalam pandangan Abdurrahman Wahid santri yang diinginkan dan

dilahirkan dalam rahim pendidikan pesantren adalah santri yang memiliki ilmu

agama yang kuat, tetapi tidak miskin ilmu-ilmu umum. Untuk itu, pesantren

disamping mencetak ulama/kiai, juga mampu melahirkan santri yang ahli dalam

bidang iptek, seperti ahli computer, fisika, pertanian, perkebunandan lain-lain.

Usaha untuk membekali santri dengan berbagai bidang keilmuan tersebut di atas

yang ditetapkan di pesntren sesuai dengan firman Allah Swt yang menginginkan

agar generasi Islam tangguh dan tidak lemah.

“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya

meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir

terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa

kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan Perkataan yang benar” (Q.S

an-Nisa (4) : 9 ).32

Peserta didik yang dihasilkan pesantren yang demikian itu, sebagai peserta

didik yang memiliki wawasan pemikiran yang luas, pandangan hidup yang matang

dan mampu melakukan kerja-kerja praktis, serta berwatak multi sektoral dalam

memecahkan persoalan-persoalan yang dihadapinya. Dengan kata lain, peserta

didik yang mampu memandang jauh ke depan, di samping memiliki keterampilan

praktis untuk menyelesaikan berbagai persoalannya sendiri secara tuntas. Dengan

demikian, lulusan pesantren yang diharapkan oleh Abdurrahman Wahid adalah

sebuah pribadi yang tercermin pada beliau sendiri, yaitu pribadi yang di samping

31 Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi Esai-esai Pesantren, h 21. 32 Muhammad Shohab Thohar, Syamil Al-Qur’an, Jakarta Depag RI, 2007, Q.S. Nisa 9.

Page 114: Jurnal Pendidikan dan Kajian Keagamaan

114

menguasai ilmu agama secara luas dan mendalam juga menguasai ilmu

pengetahuan, teknologi dan keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan zaman.

Pribadi yang demikian itulah yang dapat merebut peluang di era globalisasi seperti

sekarang ini. Pribadi yang demikian itulah yang akan dapat hidup di tengah-tengah

masyarakat. Pesantren harus menolong menyiapkan masyarakat agar siap-siap

menghadapi tantangan modernisasi yang demikian itu.33

D. Kesimpulan

Bedasarkan uraian tersebut, maka kajian ini membuktikan sebagai berikut:

Pertama, Abdurrahman Wahid Pesantren adalah menghendaki dinamisasi terhadap

komponen pendidikan pesantren, hal ini terlihat dari: Kedua, Tujuan Pendidikan

Pesantren yang digagasnya adalah terintegrasinya pengetahuan agama dan non

agama, sehingga lulusan yang dihasilkan akan memiliki kepribadian yang utuh dan

bulat dalam dirinya tergabung unsur-unsur keimanan yang kuat atas pengetahuan

secara seimbang. Ketiga, Kurikulum pendidikan pesantren yang diinginkannya

menawarkann model kurikulum pendidikan pesantren dengan pembakuan yang

artinya menciptakan model penyederhanaan kurikulum yang memungkinkan

lembaga pendidikan pesantren menyelenggarakannya beberapa ketentuan dijadikan

batasan dalam penyusunan model-model kurikulum. Karena itu, Abdurrahman

Wahid mengajukan tawaran kurikulum pendidikan pesantren yaitu: ketentuan

untuk menghindarkan pengulangan (‘adamuttikarar), sepanjang tidak

dimaksudkan untuk pendalaman (ta’ammuqi) dan penjenjangan (tadarruj). Dengan

demikian, dapat terhindarkan dari pemborosan waktu. Ketentuan, pemberian

tekanan pada latihan (tamrinat), karena buku yang dipakai diusahakan yang

seringkas mungkin dalam ilmu-ilmu alat. kemudian tidak dapat dihindari adanya

lompatan-lompatan yang tidak berurutan dalam penetapan buku-buku wajib

(kutubal-muqarrarah) selama masa pendidikan dari tahun ke tahun.

Ketiga, Santri yang diinginkanbeliau adalah Santri yang mahir di bidang agama

dan cakap juga dalam bidang umumnya, sehingga keseimbangan antara ilmu agama

33 Abuddin Nata, Tokoh-tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, h. 357-358.

Page 115: Jurnal Pendidikan dan Kajian Keagamaan

115

dan umum berjalan secara senada. Relavansi pemikiran K.H. Abdurrahman Wahid

tentang Pendidikan Pesantren, masih relevan hal ini dibuktikan bagaimana beliau

serius menanggani pesantren dengan menunjukkan kepada masyarakat bahwa

sanya pesantren bukan lembaga pendidikan yang ketinggalan zaman, tetapi salah

satu institusi pendidikan Islam yang multi potensi yakni keagamaan dan umum.

DAFTAR PUSTAKA

Dhofie Zamakhsyari, Tradisi Pesantren,(Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya

mengenai masa Depan Indonesia)Yogyakarta: LP3ES,2011.

-------------------, Tradisi Pesantren, Studi Pandangan Hidup Kyai, ke-6 Jakarta:

Balai Pustaka, 1989.

AbdurrahmanWahid,K.H. Menggerakan Tradisi Esay-esay Pesantren,

Yogyakarta: LkiS, 2010.

-------------------, MenggerakanTradisiEsay-esaiPesantren, ke-1, Yogyakarta:

2001.

Bungi Burhan (ed), Analisa Data Penelitian Kualitatif, Jakarta, Raja Grafindo

Persada,2006.

Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan

R&D, Bandung, Alfabeta, 2006.

Syaodih Sukmadinata, Nana, Metode Penelitian Pendidikan, Bandung, Remaja

Rosdakarya, 2008.

Nata Abuddin, Kapita Selekta Pendidikan Islam, Bandung, Angkasa, 2003.

-------------------,Ilmu Pendidikan Islam dengan Pendekatan Multidisipliner,

Jakarta, Rajawali Press, 2009.

-------------------, Tokoh-tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta:

Raja Grafindo Persada, 2005.

Muhadjir Neong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Edisi IV, Yogyakarta, Reka

Sarasin, 2002.

Zed Mestika, Metode Penelitian Keperpustakaan, Jakarta, yayasan Obor Indonesia,

2004.

Page 116: Jurnal Pendidikan dan Kajian Keagamaan

116

Abdullah M. Amin, dkk., Metodologi Penelitian Agama; Pendekatan

Multidisipliner, Yogyakarta: Lembaga Penelitian UIN Sunan Kalijaga, 2006.

Hasan H. Ahmad Zaeni, Perlawanan dari tanah Pengasingan, Jakarta selatan,

elsas, 2000.

Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren,Jakarta INIS, 1994.

Rahardjo M.D, “Kyai, Pesantren dan Desa: Suatu Gambaran Awal’, dalam

Prisma, No. 4, tahun ke-2, 1973.

S Prasodjo, (ed), Profil Pesantren (Jakarta: LP3ES, 1974).

Johns, A.H. “ Islamin Southeast Asia: Reflections and New Directions,” dalam

Indonesia, CMIP, No 19, 1975.

Bahri Samsul, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: LeKAS Publishing,

2012.

Faisol, Gus Dur danPendidikan Islam, Upaya Mengembalikan Esensi Pendidikan

di Era Globa, Yogyakarta: AR-RUZZ Media, 2011.

Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Lintasan Sejarah Pertumbuhan

dan Perkembangan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996.

Raharjo Dawam, Pergulatan DuniaPesantren, Membangun dari Bawah, Jakarta:

P3M, 1985.

A Steenbrink Karel, Pesantren, Madrasah, Sekolah, Pendidikan Islam dalam kurun

Modern, ter. Karel A. Steenbrink dan Abdurrahman Wahid Jakarta: LP3ES,

1994.

Dawan Saleh Muhammad, Jalan ke Pesantren, Jakarta: DuniaPustaka Jaya, 2004.

Bawani Imam, Tradisionalisme dalam Pendidikan Islam, Surabaya: al-Ikhlas,

1993.

Guillot Claude dan Ludvik Kalus, Ecole Francaised’ Extreme-Orient Forum

Jakarta-Paris, 2007.

Ismail Faisal, Paradigma Kebudayaan Islam, Studi Kritis dan Refleksi Historis,

Yogyakarta: Titian Illahi Press, 1997.

http://sopyanhadi.wordpress.com

Yasmadi, Modernisasi Pesantren, Kritik NorchorisMadjid terhadap Pendidikan

Islam Tradisional, Jakaarta: Ciputat Press, 2005.

Page 117: Jurnal Pendidikan dan Kajian Keagamaan

117

Madjid Norcholis, Bilik-bilik Pesantren, sebuah Potret Perjalanan, Jakarta: Para

madinah, 1997.

Mulkham Abdul Munir, Runtuhnya Mitos Politik Santri, Strategi Kebudayaan

dalam Islam, Yogyakarta: Sipress, 1994.

Thohar Muhammad Shohab, Syamil Al-Quran, Jakarta Depag RI, 2007.

Lexy J. Meolong,Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT Remaja Rosda

karya, 2009.

Hadjar Ibnu, Dasar-dasar Metode Penelitian Kualitatif, Jakarta: Raja Grafindo

Persada, 1996.

Page 118: Jurnal Pendidikan dan Kajian Keagamaan

118

MODEL PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL

Ahmad Cecep Damanhuri

Abstrak

Model kontekstual Merupakan suatu proses pendidikan yang holistic dan

bertujuan memotivasi siswa untuk memahami makna materi pelajaran yang

dipelajarinya dengan mengkaitkan materi tersebut dengan konteks kehidupan

mereka sehari-hari (konteks pribadi, sosial, dan kultur) sehingga siswa memilki

pengetahuan/keterlampilan yang secara fleksibel dapat diterapkan (ditransfer) dari

satu permasalahan/ konteks ke permasalahan/konnteks lainnya

Kata kunci : Model Kontekstual

Prawacana

Apabila pendidikan kita artikan sebagai latihan mental, moral dan fisik

(jasmaniah) yang menghasilkan manusia berbudaya tinggi untuk melaksanakan

tugas kewajiban dan bertanggung jawab dalam masyarakat selaku hamba Allah,

maka pendidikan berarti menumbuhkan personalitas (kepribadian) serta

menanamkan rasa tanggung jawab.

Tujuan dan sasaran pendidikan berbeda-beda menurut pandangan hidup

masing-masing pendidik atau lembaga pendidikan. Oleh karenanya maka perlu

dirumuskan pandangan hidup Islam yang mengarahkan tujuan dan sasaran

pendidikan Islam.

Sebagai landasan pandangan seorang muslim disebutkan dalam Al-Qur’an

surat Al-Imran Ayat 19 :

Artinya :

“Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam. Tiada

berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang

pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka.

Page 119: Jurnal Pendidikan dan Kajian Keagamaan

119

Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah sangat

cepat hisab-Nya.”(QS. Al-Imran ayat. 19)

Oleh karena itu, bila manusia yang berpredikat Muslim, benar-benar menjadi

penganut agama yang baik ia harus mentaati ajaran Islam dan menjaga agar rahmat

Allah tetap berada pada dirinya. Ia harus mampu memahami dan mengamalkan

ajarannya yang didorong oleh iman sesuai dengan akidah Islamiah. Untuk tujuan

itulah manusia harus dididik melalui proses pendidikan Islam.

Pendidikan bertujuan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia.

Salah satu usaha untuk meningkatkan sumber daya manusia adalah melalui proses

pembelajaran di sekolah.

Sehertian mengatakan bahwa proses pembelajaran adalah seperangkat

kegiatan yang dilakukan oleh siswa. Kegiatan belajar yang dilakukan siswa ini di

bawah bimbingan guru. Guru berusaha merumuskan tujuan-tujuan yang hendak

dicapai pada saat mengajar. Untuk mencapai tujuan itu, guru merancang sejumlah

pengalaman belajar siswa. Pengalaman belajar (learning experience) adalah segala

sesuatu yang diperoleh siswa sebagai hasil dari belajar.

Sangat pentingnya pembelajaran agar terciptanya manusia yang bertakwa dan

berpendidikan, Allah Swt telah memberikan penjelasan kepada orang mukmin yang

diterangkan dalam surat At-Taubah ayat 122 :

Artinya :

“Dan tidak sepatutnya orang-orang mukmin itu semuanya pergi (ke medan

perang) mengapa sebagian dari setiap golongan diantara mereka tidak pergi untuk

memperdalam pengetahuan agama mereka dan untuk memberi peringatan kepada

kaumnya apabila mereka telah kembali agar mereka dapat menjaga dirinya.”(Qs.

At-Taubah ayat 122)

Dalam usaha meningkatkan kualitas sumber daya pendidikan, guru

merupakan komponen sumber daya manusia yang harus dibina dan dikembangkan

Page 120: Jurnal Pendidikan dan Kajian Keagamaan

120

terus menerus. Oleh karena itu seorang guru hendaknya dapat memilih dan

menentukan model-model pembelajaran apa yang tepat dalam kegiatan belajar

mengajar sehingga tercapai tujuan pembelajaran agar siswa dapat memahami ilmu

pengetahuan dan keterampilan yang disampaikan dan dapat menerapkannya dalam

kehidupannya.

Model pembelajaran merupakan salah satu pendekatan dalam rangka

mensiasati perubahan perilaku peserta didik secara adaptif maupun generatif.

Model pembelajaran sangat erat kaitannya dengan gaya belajar peserta didik

(Learning style) dan gaya mengajar guru (teaching style), yang keduanya disingkat

menjadi SOLAT (Style of Learning and Teaching). Karena melalui model

pembelajaran tersebut terjadinya proses pemberian ilmu pengetahuan dan

keterampilan yang diberikan seorang guru pada saat kegiatan belajar mengajar.

Pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching Learning) merupakan

konsep pembelajaran yang membantu guru untuk mengaitkan antara materi ajar

dengan situasi dunia nyata siswa, yang dapat mendorong siswa membuat hubungan

antara pengetahuan yang dipelajari dengan penerapannya dalam kehidupan para

siswa sebagai anggota keluarga dan masyarakat.

Melalui model pembelajaran ini diharapkan siswa dapat lebih mudah

memahami materi pelajaran dengan menerapkanya di kehidupan nyata sehingga

dapat meningkatkan prestasi belajar siswa.

“Prestasi belajar adalah hasil yang diperoleh berupa kesan-kesan yang

mengakibatkan perubahan-perubahan dalam diri individu sebagai hasil dari

aktivitas dalam belajar.”

Prestasi belajar siswa khususnya nilai pelajaran sangat tergantung dengan

proses pembelajaran. Betapa pentingnya model pembelajaran, diantaranya model

pembelajaran kontekstual yang diterapkan dalam proses belajar mengajar di

sekolah dengan harapan dapat meningkatkan prestasi belajar siswa, maka setiap

guru diharapkan dapat memilih model pembelajaran yang tepat untuk siswanya

dalam belajar.

Model pembelajaran kontekstual (contextual teaching learning) adalah

konsep yang ditunjukkan oleh guru dengan menghadirkan dunia nyata ke dalam

Page 121: Jurnal Pendidikan dan Kajian Keagamaan

121

kelas dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimiliki

dengan penerapan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian siswa akan

memperoleh pengetahuan dan keterampilan dalam konteks yang terbatas sedikit

demi sedikit, dan dari proses mengkontruksi sendiri, sebagai bekal dalam

pemecahan masalah kehidupannya di lingkungan masyarakat.

Sedangakan menurut Johnson, pembelajaran kontekstual adalah pendekatan

pembelajaran yang mengaitkan antara materi yang dipelajari dengan kehidupan

nyata siswa sehari-hari, baik dalam lingkungan keluarga, sekolah, masyarakat,

maupun warga negara, dengan tujuan untuk menemukan makna materi tersebut

bagi kehidupannya.

Penulis melakukan penelitian ini denga tujuan sebagai berikut

a. Ingin mengetahui bagaimana cara yang tepat dalam penerapan model

pembelajaran kontekstual terhadap prestasi belajar

b. Ingin mengetahui seberapa besar pengaruh model pembelajaran kontekstual

terhadap prestasi belajar

c. Ingin membadingkan model pembelajaran kontekstual dengan metode yang lain.

Pembelajaran Kontekstual

Model pembelajaran kontekstual (contextual teaching learning) adalah

konsep yang ditunjukkan oleh guru dengan menghadirkan dunia nyata ke dalam

kelas dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimiliki

dengan penerapan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian siswa akan

memperoleh pengetahuan dan keterampilan dalam konteks yang terbatas sedikit

demi sedikit, dan dari proses mengkontruksi sendiri, sebagai bekal dalam

pemecahan masalah kehidupannya di lingkungan masyarakat.

“Contextual teaching learning, suatu pendekatan pendidikan yang berbeda,

melakukan lebih daripada sekedar menuntun para siswa dalam menggabungkan

subjek-subjek akademik dengan konteks keadaan mereka sendiri. Contextual

teaching learning juga melibatkan para siswa dalam mencari makna “konteks” itu

sendiri”.

Page 122: Jurnal Pendidikan dan Kajian Keagamaan

122

Konteks dalam pengertian pembelajaran kontekstual mempunyai makna lebih

dari sekedar keterkaitan lingkungan fisik tertentu pada waktu tertentu. Konteks

dalam pengertian pembelajaran kontekstual, mencakup juga konteks mental, dan

emosional tiap individu, konteks sosial dan konteks kultural. Dengan demikian,

pengertian kontekstual mempunyai makna yang lebih luas dibandingkan dengan

pembelajaran yang aplikatif. Pembelajaran yang aplikatif mengandung pengertian

bahwa sesuatu yang dipelajari siswa di sekolah dapat diaplikasikan pada situasi

yang berbeda, misalnya pada konsep yang berbeda, mata pelajaran yang berbeda,

atau juga dalam kehidupan sehari-hari. Pembelajaran yang kontekstual

mengandung makna bahwa kegiatan belajar mempertimbangkan semua unsur

terkait yang mempengaruhi proses belajar anak. Pembelajaran kontekstual bukan

hanya memperhatikan aplikasi tetapi juga pemanfaatan segala sumber daya yang

ada dalam konteks untuk mendukung belajar.

Proses belajarnya berlangsung alamiah dalam bentuk siswa bekerja dan

mengalami, tidak hanya mentransfer atau mengkopi dari guru. Siswa dilatih,

misalnya untuk memecahkan masalah yang mereka hadapi dalam suatu situasi, dan

masalah yang memang ada dalam dunia nyata. Siswa tidak belajar dalam proses

seketika, tetapi diperoleh sedikit demi sedkit, kemajuan diukur dari proses.

Jadi pembelajaran kontekstual menekankan proses keterlibatan siswa untuk

menemukan materi. Prosesnya tidak mengharapkan siswa hanya menerima

pelajaran akan tetapi ada proses mencari dan menemukan sendiri materi tersebut.

Disamping itu pembelajaran kontekstual juga mendorong siswa untuk menemukan

hubungan antara materi yang dipelajarinya dengan kehidupan nyata, artinya siswa

dituntut untuk dapat menangkap hubungan antara pengalaman di sekolah dengan

kehidupan nyata. Materi pelajaran kontekstual bukan untuk ditumpuk di otak untuk

kemudian dilupakan melainkan dijadikan bekal dalam mengarungi kehidupan

nyata.

Dalam kelas kontekstual, tugas guru adalah membantu siswa mencapai

tujuannya. Maksudnya, guru lebih banyak berurusan dengan strategi daripada

memberi informasi. Tugas guru mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja

bersama untuk menemukansesuatu yang barubagi anggota kelas (siswa). Sesuatu

Page 123: Jurnal Pendidikan dan Kajian Keagamaan

123

yang baru (baca : pengetahuan dan keterampilan datang dari “menemukan sendiri”,

bukan dari “apa kata guru”. Begitulah peran guru dikelas yang dikelola dengan

pendekatan kontekstual.

Dalam pelaksanaannya, pembelajaran kontekstual dipengaruhi oleh berbagai

faktor yang sangat erat kaitannya. Faktor-faktor tersebut bisa datang dari dalam diri

peserta didik (internal), dan dari luar dirinya atau dari lingkungan di sekitarnya

(eksternal).

Sehubungan dengan itu, Zahorik mengungkapkan lima elemen yang harus

diperhatikan dalam pembelajaran kontekstual, sebagai berikut :

a. Pembelajaran harus memperhatikan pengetahuan yang sudah dimiliki oleh peserta

didik.

b. Pembelajaran dimulai dari keseluruhan (global) menuju bagian-bagiannya secara

khusus ( dari umum ke khusus).

c. Pembelajaran harus ditekankan pada pemahaman,

d. Adanya refleksi terhadap strategi pembelajaran dan pengembangan yang dipelajari.

Landasan Filosofis Pembelajaran Kontekstual

Pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching and Learning) banyak

dipengaruhi oleh filsafat kontruktivisme yang mulai digagas oleh Mark Baldwin

dan selanjutnya dikembangkan oleh Jean Piaget. Aliran filsafat kontruktivisme

berangkat dari pemikiran epistemologi Giambasta Vico (Suparno, 1997).

Vico mengungkapkan, “Tuhan adalah pencipta alam semesta dan manusia

adalah tuan dari ciptaanya.” Mengetahui menurut Vico, berarti mengetahui

bagaimana membuat sesuatu. Artinya seseorang dikatakan mengetahui bagaimana

membuat sesuatu. Artinya seseorang dikatakan mengetahui manakala ia dapat

menjelaskan unsur-unsur apa yang dapat membangun sesuatu itu. Oleh karena itu,

menurut Vico pengetahuan itu tidak lepas dari orang (subjek) yang tahu.

Pengetahuan merupakan struktur konsep dari subjek yang mengamati. Selanjutnya

pandangan filsafat kontruktivisme tentang hakikat pengetahuan mempengaruhi

konsep tentang proses belajar, bahwa belajar bukanlah sekedar menghafal, tetapi

proses mengkontruksi pengetahuan melalui pengalaman. Menurut pembelajaran

Page 124: Jurnal Pendidikan dan Kajian Keagamaan

124

kontekstual, pengetahuan akan bermakna pada saat pengetahuan tersebut

ditemukan dan dibangun sendiri oleh siswa.

Para ahli pendidikan berpendapat bahwa inti kegiatan pendidikan adalah

memulai pelajaran dari “apa yang diketahui peserta didik”. Guru/dosen tidak dapat

mengindoktrinasi gagasan ilmiah supaya peserta didik mau mengganti dan

memodifikasi gagasannya yang non-ilmiah menjadi gagasan/pengetahuan ilmiah.”

Dengan demikian, kontruktivisme beranggapan bahwa pengetahuan adalah

hasil kontruksi manusia. Manusia mengkontruksi pengetahuan mereka melalui

interaksi mereka dengan objek, fenomena, pengalaman, dan lingkungan mereka.

Suatu pengetahuan dianggap benar bila pengetahuan itu dapat berguna untuk

menghadapi dan memecahkan persoalan atau fenomena yang sesuai. Bagi

kontruktivisme, pengetahuan tidak dapat ditransfer begitu saja dari seseorang

kepada yang lain, tetapi diinterprestasikan sendiri oleh masing-masing orang.

“Pengetahuan bukan sesuatu yang sudah jadi, melainkan suatu proses yang

berkembang terus menerus.

Pembelajaran kontekstual didasarkan pemikiran bahwa makna muncul dari

hubungan antara isi dan konteksnya. Konteks memberikan makna pada isi. Semakin

banyak keterkaitan yang ditemukan siswa dalam suatu konteks yang luas, semakin

bermakna pula isinya bagi mereka. Semakin mampu para siswa mengaitkan

pelajaran-pelajaran akademis mereka dengan konteks ini, semakin banyak makna

yang akan mereka dapatkan dari pelajaran tersebut. Kemampuan mengerti makna

dari pengetahuan dan keterampilan akan menuntun para siswa pada penguasaan

pengetahuan dan keterampilan.

Pembelajaran kontekstual melibatkan para siswa dalam aktivitas penting

yang membantu mereka mengaitkan pelajaran akademis dengan konteks kehidupan

nyata yang mereka hadapi. Dengan mengaitkan keduanya, para siswa melihat

makna di dalam tugas sekolah.

Karakteristik proses pembelajaran menggunakan pendekatan kontekstual

adalah sebagai berikut :

a. Pembelajaran merupakan proses pengaktifan pengetahuan yang sudah ada, artinya apa

yang akan dipelajari tidak terlepas dari pengetahuan yang sudah dipelajari. Dengan

Page 125: Jurnal Pendidikan dan Kajian Keagamaan

125

demikian pengetahuan yang akan diperoleh siswa adalah pengetahuan yang utuh yang

memiliki keterkaitan satu sama lain.

b. Pembelajaran kontekstual adalah belajar dalam rangka memperoleh dan menambah

pengetahuan baru. Pengetahuan itu diperoleh dengan cara deduktif, artinya

pembelajaran dimulai dengan mempelajari secara keseluruhan kemudian

memperhatikan detailnya.

c. Adanya pemahaman pengetahuan, artinya pengetahuan yang diperoleh bukan untuk

dihafal akan tetapi untuk dipahami, misalnya dengan cara meminta tanggapan dari anak

tentang pengetahuan yang diperolehnya. Berdasarkan tanggapan tersebut baru

pengetahuan itu dikembangkan.

d. Mempraktikan pengetahuan dan pengalaman, artinya pengetahuan dan pengalaman

yang diperolehnya harus dapat diaplikasikan dalam kehidupan siswa sehingga ada

perubahan pada perilaku siswa.

e. Melakukan refleksi terhadap strategi pengembangan pengetahuan. Hal ini sebagai

umpan balik untuk proses perbaikan atau penyempurnaan strategi.

Jenis / Tipe Pembelajaran Kontekstual

Menurut Humaidi (2006) Beberapa hal yang harus diperhatikan para guru

Pendidikan Agama Islam dalam mengimplementasikan pendekatan kontekstual

adalah sebagai berikut :

a. Pembelajaran Berbasis Masalah

1) Langkah pertama yang harus dilakukan guru adalah mengobservasi

suatu fenomena, misalnya meminta murid untuk menonton VCD

tentang kejadian manusia, menyuruh murid untuk melaksanakan puasa

pada hari senin dan kamis, membaca Al-Qur’an.

2) Langkah kedua yang dilakukan guru adalah memerintahkan murid

untuk mencatat permasalahan-permasalahan yang muncul misalnya

setelah menonton VCD atau mendengarkan kisah-kisah Al-Qur’an.

3) Langkah ketiga, tugas guru Pendidikan Agama Islam adalah

merangsang murid untuk berpikir kritis dalam memecahkan

permasalahan yang ada.

Page 126: Jurnal Pendidikan dan Kajian Keagamaan

126

4) Langkah keempat, guru diharapkan mampu untuk memotivasi murid

agar mereka berani bertanya, dan mendengarkan pendapat yang

berbeda dengan mereka.

5) Memanfaatkan Lingkungan untuk Memperoleh Pengalaman Belajar

Guru memberikan penugasan kepada murid untuk melakukan

kegiatan yang berhubungan dengan konteks lingkungan murid, antara

lain di sekolah, keluarga, dan masyarakat. Hal ini dapat dilakukan

dengan memberikan penugasan kepada murid di luar kelas, misalnya

mengikuti shalat berjamaah, mengikuti shalat jum’at, membaca Al-

Qur’an setelah shalat. Murid diharapkan dapat memperoleh

pengalaman langsung dari kegiatan yang mereka lakukan mengenai

materi yang sedang dipelajari.

b. Memberikan Aktivitas Kelompok

Guru PAI di dalam kelas diharapkan dapat melakukan proses

pembelajaran dengan membentuk kelompok-kelompok belajar. Murid

dibagi ke dalam beberapa kelompok yang heterogen. Aktivitas

pembelajaran kelompok dapat memperluas perspektif dan dapat

membangun kecakapan interpersonal untuk berhubungan dengan orang

lain.

c. Membuat Aktivitas Belajar Mandiri

Melalui aktivitas ini, peserta didik mampu mencari, menganalisis, dan

menggunakan informasi sendiri dengan sedikit bantuan atau bahkan tanpa

bantuan guru. Supaya dapat melakukannya, murid harus lebih

memperhatikan bagaimana mereka memproses informasi, menerapkan

strategi pemecahan masalah, dan menggunakan pengetahuan yang telah

diperoleh.

d. Menyusun Refleksi

Dalam melakukan refleksi, misalnya ketika pelajaran berakhir murid

merenungkan kembali pengalaman yang baru mereka peroleh dari

pelajaran tentang shalat berjama’ah, puasa senin-kamis, membaca Al-

Qur’an, dan seterusnya. Melalui perenungan ini, murid dapat lebih

Page 127: Jurnal Pendidikan dan Kajian Keagamaan

127

menemukan kesadaran dalam dirinya sendiri tentang makna ibadah yang

mereka lakukan dalam hubungan mereka sebagai hamba Allah dan dalam

hubungan mereka sebagai makhluk sosial.

Komponen Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching Learning)

Pembelajaran kontekstual adalah sebuah sistem yang menyeluruh. Pembelajaran

kontekstual terdiri dari komponen-komponen yang saling berhubungan. Jika

komponen-komponen ini terjalin satu sama lain, maka akan dihasilkan pengaruh

yang melibihi hasil yang diberikan komponen-komponennya secara terpisah.

Beberapa komponen yang ada di dalam pembelajaran kontekstual (Contextual

Teaching Learning) adalah sebagai berikut :

a. Kontruktivisme (Constructivism)

“Contextual Teaching Learning dibangun dalam landasan kontruktivisme

yang memiliki anggapan bahwa pengetahuan dibangun peserta didik

secara sedikit demi sedikit (incremental) dan hasilnya diperluas melalui

konteks terbatas.”

Peserta didik harus mengkontruksi pengetahuan baru secara bermakna

melalui pengalaman nyata, melalui proses penemuan dan mentransformasi

informasi ke dalam situasi lain secara kontekstual. oleh karena itu, proses

pembelajaran merupakan proses mengkontruksi gagasan dengan

strateginya sendiri bukan sekedar menerima pengetahuan, serta peserta

didik menjadi pusat perhatian dalam proses pembelajaran (child centre).

Pembelajaran yang berciri kontruktivisme menekankan terbangunnya

pemahaman sendiri secara aktif, kreatif, dan produktif berdasarkan

pengetahuan terdahulu dan dari pengalaman belajar yang bermakna.

Pengetahuan bukanlah serangkaian fakta, konsep, dan kaidah yang siap

dipraktekannya. Manusia harus mengkontruksinya terlebih dahulu

pengetahuan tersebut dan memberi makna melalui pengalaman nyata.

Karena itu siswa perlu dibiasakan untuk memecahkan masalah,

menemukan sesuatu yang berguna bagi drinya, dan mengembangkan ide-

ide yang ada pada dirinya.

Page 128: Jurnal Pendidikan dan Kajian Keagamaan

128

Atas dasar pengertian tersebut, prinsip dasar kontruktivisme adalah

sebagai berikut :

1) Proses pembelajaran lebih utama daripada hasil pembelajaran.

2) Informasi bermakna dan relevan dengan kehidupan nyata siswa lebih

penting daripada informasi verbalistis.

3) Siswa mendapat kesempatan seluas-luasnya untuk menemukan dan

menerapkan idenya sendiri.

4) Pengetahuan siswa tumbuh dan berkembang melalui pengalaman

sendiri.

5) Pemahaman siswa akan berkembang semakin dalam dan semakin kuat

apabila diuji dengan pengalaman baru.

6) Pengalaman siswa akan dibangun secara asimilasi (Asimilasi adalah

pengetahuan baru yang dibangun dari struktur pengetahuan yang

sudah) maupun akomodasi (Akomodasi adalah struktur yang sudah

ada dimodifikasi untuk menampung/menyesuaikan hadirnya

pengalaman baru).

7) Menemukan (Inquiry)

Proses pembelajaran yang dilakukan peserta didik merupakan proses

menemukan (inquiry) terhadap sejumlah pengetahuan dan keterampilan.

Komponen ini merupakan kegiatan inti CTL. Kegiatan ini diawali

dari pengamatan terhadap fenomena, dilanjutkan dengan kegiatan-

kegiatan bermakna untuk menghasilkan temuan yang diperoleh sendiri

oleh siswa. Dengan demikian, pengetahuan dan keterampilan yang

diperoleh oleh siswa tidak dari hasil mengingat seperangkat fakta, tetapi

hasil menemukan sendiri dari fakta yang dihadapinya.

b. Bertanya (Questioning)

Proses pembelajaran yang dilakukan peserta didik diawali dengan proses

bertanya. Proses bertanya yang dilakukan peserta didik sebenarnya

Page 129: Jurnal Pendidikan dan Kajian Keagamaan

129

merupakan proses berpikir yang dilakukan peserta didik dalam rangka

memecahkan masalah dalam kehidupannya.

Proses bertanya begitu berarti dalam rangka :

1) Membangun perhatian.

2) Membangun minat.

3) Membangun motivasi.

4) Membangun sikap.

5) Rasa keingintahuan.

6) Membangun interaksi antarsiswa dengan siswa.

7) Membangkitkan interaksi antara siswa dengan guru.

8) Interaksi antara siswa dengan lingkungan secara kontekstual.

9) Membangun lebih banyak lagi pertanyaan yang dilakukan siswa dalam

rangka menggali dan menemukan lebih banyak informasi (pengetahuan) dan

keterampilan yang diperoleh oleh peserta didik.

c. Masyarakat Belajar ( Learning Community)

Proses pembelajaran merupakan proses kerja sama antara peserta didik

dengan peserta didik, antara peserta didik dengan gurunya, dan antara

peserta didik dengan lingkungannya.

Proses pembelajaran yang signifikan jika dilakukan dalam kelompok-

kelompok belajar, baik secara homogen maupun secara heterogen

sehingga di dalamnya akan terjadi berbagai masalah, berbagi informasi,

berbagi pengalaman, dan berbagi pemecahan masalah yang

memungkinkan semakin banyaknya pengetahuan dan keterampilan yang

diperoleh.

Adapun prinsip-prinsip yang bisa diperhatikan guru ketika menerapkan

pembelajaran yang berkonsentrasi pada komponen learning community

adalah sebagai berikiut :

1) Pada dasarnya hasil belajar diperoleh dari kerjasama atau sharing

dengan pihak lain.

2) Sharing terjadi apabila ada pihak yang saling memberi dan saling

menerima informasi.

Page 130: Jurnal Pendidikan dan Kajian Keagamaan

130

3) Sharing terjadi apabila ada komunikasi dua arah.

4) Masyarakat belajar terjadi apabila masing-masing pihak yang terjadi

di dalamnya sadar bahwa pengetahuan, pengalaman dan keterampilan

yang dimilikinya bermanfaat bagi yang lain.

5) Yang terlibat dalam masyarakat belajar pada dasarnya bisa menjadi

sumber belajar.

d. Pemodelan (Modeling)

Proses pembelajaran akan lebih berarti jika didukung dengan adanya

pemodelan yang dapat ditiru, baik yang bersifat kejiwaan maupun yang

bersifat fisik yang berkaitan dengan cara untuk mengoperasikan sesuatu

aktivitas, cara untuk menguasai pengetahuan atau keterampilan tetentu.

Pemodelan dalam pembelajaran bisa dilakukan oleh guru, peserta

didik, atau dengan cara mendatangkan nara sumber dari luar, yang

terpenting dapat membantu terhadap ketuntasan dalam belajar sehingga

peserta didik dapat mengalami akselerasi perubahan secara berarti.

Prinsip-prinsip komponen modeling yang bisa diperhatikan guru

ketika melaksanakan pembelajaran adalah sebagai berikut:

1) Pengetahuan dan keterampilan diperoleh dengan baik apabila ada model atau

contoh yang bisa ditiru.

2) Model atau contoh bisa diperoleh langsung dari yang berkompeten atau dari

ahlinya.

3) Model atau contoh bisa berupa cara mengoperasikan sesuatu, contoh hasil

karya, atau model penampilan.

e. Refleksi (Reflection)

Komponen yang merupakan bagian terpenting dari pembelajaran

kontekstual adalah perenungan kembali atas pengetahuan yang baru

dipelajari. Refleksi dalam pembelajaran adalah cara berpikir tentang apa

yang baru dipelajarinya atau berpikir kebelakang tentang apa-apa yang

sudah dilakukan atau dipelajarinya di masa lalu. Refleksi pembelajaran

Page 131: Jurnal Pendidikan dan Kajian Keagamaan

131

merupakan respons terhadap aktivitas atau pengetahuan keterampilan yang

baru diterima dari proses pembelajaran. Peserta didik dituntut untuk

mengedepankan apa yang baru dipelajarinya sebagai struktur pengetahuan

dan keterampilan yang baru sebagai wujud pengayaan atau revisi dari

pengetahuan dan keterampilan sebelumnya.

Prinsip-prinsip dasar yang perlu diperhatikan guru dalam rangka

penerapan komponen refleksi adalah sebagai berikut :

1) Perenungan atas sesuatu yang baru diperoleh merupakan pengayaan

atas pengetahuan sebelumnya.

2) Perenungan merupakan respon atas kejadian, aktivitas, atau

pengetahuan yang baru diperolehnya.

3) Perenungan bisa berupa penyampaian penilaan atas pengetahuan yang

baru diterima, membuat catatan penting, diskusi dengan sejawat.

f. Penilaian yang sempurna (Authentic Assesment)

Komponen yang merupakan ciri khusus dari pendekatan kontekstual

adalah proses pengumpulan berbagai data yang bisa memberikan

gambaran atau informasi tentang perkembangan pengalaman belajar

siswa. Penilaian merupakan kegiatan mengumpulkan informasi sebagai

bukti untuk dijadikan dasar menetapkan terjadinya perubahan dan derajat

perubahan yang telah dicapai sebagai hasil belajar peserta didik.

Penilaian adalah proses pengumpulan data yang memberikan gambaran

perkembangan belajar siswa. Gambaran perkembangan belajar siswa perlu

diketahui oleh guru agar bisa mengetahui apakah siswa mengalami proses

pembelajaran dengan benar.

“Penilaian autentik ini diterapkan melalui teknik-teknik penilaian tertentu

sesuai dengan tuntutan kompetensi dasar. Hasil penilaian dianalisis dan

digunakan untuk mengambil keputusan terhadap ketuntasan belajar siswa.

Secara rinci, ciri-ciri penilaian autentik adalah :

1) Dilaksanakan selama dan sesudah proses pembelajaran berlangsung.

2) Dapat digunakan untuk formatif maupun sumatif.

Page 132: Jurnal Pendidikan dan Kajian Keagamaan

132

3) Yang diukur keterampilan dan performan, bukan mengingat fakta.

4) Berkesinambungan.

5) Terintegrasi.

6) Dapat digunakan sebagai feed back.

Prinsip-prinsip dasar yang perlu menjadi perhatian guru ketika

menerapkan komponen penilaian autentik dalam pembelajaran adalah

sebagai berikut :

1) Penilaian autentik bukan menghakimi siswa, tetapi untuk

mengetahui perkembangan belajar siswa.

2) Penilaian dilakukan secara komprehensif dan seimbang antara

penilaian proses dan hasil.

3) Guru menjadi penilai konstruktif (constructive evaluators) yang

dapat merefleksikan bagaimana siswa belajar, bagaimana siswa

menghubungkan apa yang mereka ketahui dengan berbagai

konteks, dan bagaimana perkembangan belajar siswa dalam

berbagai konteks belajar siswa.

4) Penilaian autentik memberi kesempatan siswa untuk dapat

mengembangkan penilaian diri (self assessment) dan penilaian

sesama (peer assessment)

Kesimpulan

Ada kecendrungan dewasa ini untuk kembali pada pemikiran bahwa anak

akan belajar lebih baik jika lingkungan diciptakan alamiah. Belajar akan lebih

bermakna jika anak mengalami apa yang dipelajarinya, bukan memgetahuinya.

Pembelajaran yang berorientasi pada penguasaan materi terbukti berhasil dalam

kompetisi menggingat jangka pendek tetapi gagal dalam membekali anak

memecahkan persoalan dalam kehidupan jangka panjang

Pendekatan kontektual (Contextual Teaching and Learning /CTL)

Merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang

diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat

Page 133: Jurnal Pendidikan dan Kajian Keagamaan

133

hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam

kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Dengan konsep itu,

hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi siswa. Proses pembelajaran

berlansung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan

mentransfer pengetahuan dari guru ke siswa. Strategi pembelajaran lebih

dipentingkan daripada hasil

Dalam kelas kontektual, tugas guru adalah membantu siswa mencapai

tujuannya, maksudnya guru lebih banyak berurusan dengan strategi daripada

memberi informasi. Tugas guru mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja

bersama untuk menemukan sesuatu yang baru bagi anggota kelas (siswa). Sesuatu

yang baru datang dari menemukan sendiri bukan dari apa kata guru.Begitulah peran

guru di kelas yang dikelola dengan pendekatan kontekstual

Dalam pembelajaran kontekstual, program pembelajaran lebih merupakan rencana

kegiatan kelas yang dirancang guru, yang berisi skenario tahap demi tahap tentang

apa yang akan dilakukan bersama siswanya sehubungan dengan topik yang akan

dipelajarinya. Dalam program tercermin tujuan pembelajaran, media untuk

mencapai tujuan tersebut, materi pembelajaran, langkah-langkah pembelajaran, dan

authentic assessmennya.

Dalam konteks itu, program yang dirancang guru benar-benar rencana pribadi

tentang apa yang akan dikerjakannya bersama siswanya. Secara umum tidak ada

perbedaan mendasar format antara program pembelajaran konvensional dengan

program pembelajaran kontekstual. Sekali lagi, yang membedakannya hanya pada

penekanannya. Program pembelajaran konvensional lebih menekankan pada

deskripsi tujuan yang akan dicapai (jelas dan operasional), sedangkan program

untuk pembelajaran kontekstual lebih menekankan pada skenario

pembelajarannya.

DAFTAR PUSTAKA

Hanafiah, Nanang & Cucu Suhana, Konsep Strategi Pembelajaran,

Bandung, PT. Refika Aditama, 2012, cet. Ke 3

Page 134: Jurnal Pendidikan dan Kajian Keagamaan

134

Sardiman, Interaksi dan Motivasi Belajar, Jakarta, Rajawali Pers, 2011, cet.

Ke 19

Hamdani, Strategi Belajar Mengajar, Bandung, CV. PUSTAKA SETIA,

2011

Komalasari, Kokom, Pembelajaran Kontekstual Konsep dan Aplikasi,

Bandung, PT. Refika Aditama, 2011, cet. Ke 2

Siregar, Eveline & Hartini Nara, Teori Belajar dan Pembelajaran, Bogor,

Ghalia Indonesia, 2010

Johnson, Elaine B, Contextual Teaching & Learning Menjadikan Kegiatan

Belajar-Mengajar Mengasyikan dan Bermakna, Bandung, MLC, 2007, cet. Ke-4

Baharuddin dan Esa Nur Wahyuni, Teori Belajar dan Pembelajaran,

Jogjakarta, AR-RUZZ MEDIA, 2007

Majid, Abdul, Belajar dan Pembelajaran Pendidikan Agama Islam,

Bandung, PT REMAJA ROSDAKARYA, 2012

Budimansyah, Dasim, Model Pembelajaran dan Penilaian, Bandung, PT.

GENESINDO, 2002

http://wahyuti4tklarasati.blogspot.com/2010/10 model- pembelajaran

berbasis kontekstual, 10/31/2012 4:13 PM

Mulyasa, E, Implementasi Kurikulum 2004 Panduan Pembelajaran KBK,

Bandung, PT REMAJA ROSDAKARYA, 2006, Cet. Ke-4

Sabri, Ahmad, Strategi Belajar Mengajar & Micro Teaching, Ciputat, PT.

CIPUTAT PRESS, 2010, Cet. Ke-3

Hasanudin, Hubungan Kraetivitas Dengan Prestasi Belajar Siswa di Mts

Nurul Qur’an Duri Kosambi Cengkareng Jakarta Barat , Skripsi PAI Satyagama

Jakarta 2007

Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, Bandung,