Upload
others
View
16
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
ISSN 1979-9276
LENTERA ILMU Jurnal Pendidikan dan Kajian Keagamaan
PERKEMBANGAN ISLAM PADA MASA
BANI UMAYYAH
Usman
ISLAM DAN NEGARA DALAM PANDANGAN ALI ABD Al-RAZIQ
Hasan Anshori
EVALUASI SUPERVISI PENDIDIKAN BERBASIS AL-QURAN
Abdul Rokhim
PERAN KH. HASYIM ASY-ARI DALAM SEJARAH SOSIAL
INTLEKTUAL DI INDONESIA
Amirudin Hamzah
MENDIDIK ANAK SUPERNORMAL DALAM PERSEPEKTIF ISLAM
Hasanudin
URGENSI PENDIDIKAN AKHLAK TERHADAP ANAK DIDIK
Fatima
PENDIDIKAN PESANTREN DALAM PERSEPEKTIF
KH. ABDURRAHMAN WAHID
Abdul Rosyid
MODEL PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL
Ahmad Cecep Damanhuri
UNIVERSITAS SATYAGAMA
JAKARTA
LENTERA ILMU Volume I No. 1 Hal. 1-134 Juni 2021 ISSN 1979 - 9276
2
LENTERA ILMU Jurnal Pendidikan dan Kajian Keagamaan
PERKEMBANGAN ISLAM PADA MASA
BANI UMAYYAH
Usman
ISLAM DAN NEGARA DALAM PANDANGAN ALI ABD Al-RAZIQ
Hasan Anshori
EVALUASI SUPERVISI PENDIDIKAN BERBASIS AL-QURAN
Abdul Rokhim
PERAN KH. HASYIM ASY-ARI DALAM SEJARAH SOSIAL
INTLEKTUAL DI INDONESIA
Amirudin Hamzah
MENDIDIK ANAK SUPERNORMAL DALAM PERSEPEKTIF ISLAM
Hasanudin
URGENSI PENDIDIKAN AKHLAK TERHADAP ANAK DIDIK
Fatima
PENDIDIKAN PESANTREN DALAM PERSEPEKTIF
KH. ABDURRAHMAN WAHID
Abdul Rosyid
MODEL PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL
Ahmad Cecep Damanhuri
UNIVERSITAS SATYAGAMA
JAKARTA
LENTERA ILMU Volume I No. 1 Hal. 1-134 Juni 2021 ISSN 1979 - 9276
ISSN 1979-9276
3
LENTERA ILMU Jurnal Pendidikan dan Kajian Keagamaan
Penerbit:
SATYAGAMA PRESS
Pelindung:
Dr. Ir. Dewi Sulistyowati, MM. M.Si
(Rektor Universitas Satyagama)
Pimpinan Redaksi
Dr. H. Usman Umar
Sekretaris
Hasanudin, S.PdI. M.Si
Dewan Redaksi :
Abdul Rokhim, MAg
Design Grafis:
Ahmad Cecep Damanhuri, M.Pd
Redaksi Ahli :
Dr. H. Usman Umar Universitas Satyagama
Drs. H. Asep Syaifullah, M Universitas Satyagama
Drs. H. Ahmad Chaidir, Lc. M. Hum Universitas Satyagama
H. Asnin Syafiuddin, Lc. MA Universitas Satyagama
LENTERA ILMU diterbitkan oleh Fakultas Agama Islam sebagai media
komunikasi dikalangan Staf Pengajar, Peneliti, Dosen, Mahasiswa mapun para
pemerhati seputar Pendidikan, Agama Islam, Filsafat, Sejarah dan Peradaban
Islam. Redaksi menerima sumbangan naskah yang belum diterbitkan di media lain
dan objektif baik dari hasil penelitian maupun kajian kritis dibidang yang sama.
LENTERA ILMU Volume I No. 1 Hal. 1-134 Juni 2021 ISSN 1979 - 9276
ISSN 1979-9276
4
PERKEMBANGAN ISLAMPADA MASA
BANI UMAYYAH
Usman
I. Pendahuluan
Dengan meninggalnya Khalifah Ali, maka ini adalah awal kekuasaan Bani
Umayyah dipimpin oleh Muawiyah bin Abu Sofyan bin Harb bin Umayyah.
Pemerintahan yang tadinya demokratis berubah menjadi monarchiheridetis
(kerajaan turun temurun/dinasti)1. Kekuasaan yang diraih oleh Muawiyah
diperolehnya dengan cara yang licik dan penuh dengan tipu muslihat serta dengan
kekerasan, tidak dengan pemilihan atau suara terbanyak dari kaum muslimin
sebgaimana dilakukan oleh Khulafaurrasyidin. Dalam kekuasaannya yang
monarchi Muawiyyah tetap menggunakan istilah Khalifah, tetapi dia memberikan
interprestasi baru dari kata-kata itu untuk mengagungkan jabatan tersebut. Dia
menyebutnya Khalifah Allah dengan pengertian penguasa yang diangkat Allah.
Oleh Muawiyah ibu kota negara dipindahkan dari Madinah ke Damaskus.
Kekuasaan Bani Umayyah berumur kurang lebih 90 tahun tepatnya tahun
660-749 M (40-132 H). Nama Umayyah diambil dari nama datuk Muawiyyah
(w.680/60 H) pendiri dinasti Umayyah di Damaskus.2 Selama kekuasaan Bani
Umayyah kurang lebih 14 khalifah telah naik tahta tetapi kualitas dan kuantitas
pemerintahan Bani Umayyah sering dipandang sebagai permulaan timbulnya
sistem politik dalam Islam yang tidak melaksanakan lagi perinsip dasar yang
dilaksanakan oleh Nabi dan Khulafaurrasyidin yaitu musyawarah dalam
memecahkan permasalahan dalam kenegaraan.3
II. Khalifah-Khalifah Bani Umayyah
Khalifah-khalifah besar bani Umayyah diantaranya adalah Muawiyah ibn
Abu Sofyan (661-680 M), Abd Al-Malik ibn Marwan (685-705 M), Al-Walid ibn
1Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1997), hlm 42. 2Tim penyusun IAIN Syahid, Ensiklopedi Islam Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 1992), hlm
962. 3Yusran Asmuni, Dirasah Islamiyah II (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,1996),hlm 7.
5
Abd Malik (705-720M), Umar ibn Abd Azis (717-720 M), dan Hasyim ibn Abd Al
Malik (724-743 M).
Muawiyahibn Abu Sofyan adalah pendiri daulat Umayyah.Kecakapan
Muawiyah dalam bidang politik dan kenegaraan cukup cemerlang, antara lain dia
dapat mengubah masyarakat yang kacau menjadi masyarakat yang teratur dan
disiplin. Perluasan Islam pada masa Muawiyah diantaranya ketimur sampai India
oleh Mahlabibn Abu Sufrah dan kebarat yaitu Byzantium oleh Yazidi bn Muawiyah
juga diadakan perluasan ke Afrika.
Setelah Muawiyah wafat kekuasaan Bani Umayyah lalu
diteruskanolehanaknya yaitu Yazidi bn Muawiyah. Pengangkatan Yazid
menimbulkan gerakan oposisi diantaranya Huseinibn Ali dan Abdullah ibn Zubair
serta Syi’ah, hal ini timbul karena Muawiyah tidak mentaati perjanjiannya dengan
Hasanibn Ali.Di Karbela Husein ibn Ali di penggal dan kepalnya dikirim ke
Damskus. Pemberontak dari Syi’ah diantaranya Mukhtar di Kuffah yang didukung
oleh kaum Mawali4 . Mukhtar mati ketika melawan Abdullah ibn Zubair. Abdullah
ibn Zubair menyusun kekuatan di Mekah dan ia wafat dibunuh setelah diserang
tentara Yazid pada tahun 73 H/692 M.
Abd Malik (khalifah ke-5) meneruskan usaha Muawiyah memperluas daerah
kekuasaan Islam ke Balkh, Bukhara, Khawarizm, Ferghana, dan Samarkhand juga
ke India. Ekspansi besar-besaran dilanjutkan oleh Al-Walid ibn Abd Malik(khalifah
ke-6). Pemerintahannya tercatat sebagai masa ketertiban, kemakmuran, dan
ketentraman. Ekspansi militernya dari Afrika Utara (Al-Jazair dan Maroko) lalu
dilanjutkan ke Eropa tahun 711 M dipimpin oleh Thariq bin Ziyad pasukannya
menyebrangi selat dari Maroko ke Eropa mendarat di Gibraltar(Jabal Thariq)
dengan kecerdasannya ia dapat menundukkan Spanyol, Kordova, Seville, Elvira,
dan Toledo.
Pada masa Umar ibn Abd Azis (khalifah ke-8) ketika dinobatkan ia
menyatakan bahwa memperbaiki dan meningkatkan negeri yang berada dalam
wilayah Islam lebih baik dari pada menambah perluasannya. Dia berhasil menjalin
4Mawali adalah umat Islam bukan Arab, berasal dari Persia,Armenia dll, Badri yatim, op
cit. Hlm 46
6
hubungan dengan golongan Syi’ah. Kebebasan beragama dijamin, pajak diperingan
serta kedudukan Mawali disejajarkan dengan muslim Arab.5
Yazid ibn Abd Malik(khalifah ke-9) adalah seorang khalifah yang terlalu
gandrung kepada kemewahan dan kurang memperhatikan kehidupan rakyat.
Kehidupan rakyat yang tadinya damai menjadi kacau serta rakyat menyatakan
konfrontasi terhadap pemerintahan Yazid ibn Abd Malik. Kerusuhan terus berlanjut
sampai kepada khalifah selanjutnya yaitu Hisyam ibn Abd Malik(khalifah ke-10).
Hisyam adalah seorang khalifah yang kuat dan trampil namun karena gerakan
oposisi terlalu kuat terutama dari kalangan Bani Hasyim serta dengan bantuan
Mawali, ia tidak berdaya menghadapinya.
Sepeninggal Hisyam khalifah-khalifah Bani Umayyah selanjutnya sangat
lemah dan bermoral buruk. Sehingga pada akhirnya Bani Umayyah digulingkan
oleh Bani Abbas. Marwan ibn Muhammad melarikan diri ke Mesir, ia ditangkap
dan di bunuh di sana.
III. Kemajuan-Kemajuan yang dicapai Bani Umayyah
Pada masa kekuasaan Bani Umayyah banyak kemajuan-kemajuan yang
dicapai oleh umat Islam diantaranya adalah :
1. Kemajuandibidangdakwah.
Perkembangan Islam pada masa Bani Umayyah berkembang sangat pesat hal
ini dikarenakan kekuasaan Islam pada masa itu semakin luas. Daerah-daerah yang
dikuasai Islam pada zaman Dinasti ini adalah Spanyol (Andalisia), Afrika Utara,
Rusia, Palestina, Semenanjung Arabia, Irak, Sebahagian Asia kecil, Persia,
Afganistan, Pakistan, Rurkmenia, Uzbak, dan Kirgis (di Asia Tangah).6 Di daerah-
daerah tersebut dibangun pusat-pusat pendidikan, Masjid, dan Perpustakaan Islam.
Pada masa bani Umayyah masjid Nabawi diperlebar dengan bantuan kaisar
Romawi sehingga Masjid itu menjadi sangat indah, juga diperlebar masjid Umar,
Masjidil Aqsha, dan dibangun Masjid Damaskus.
5ibid, hlm 44-47. 6Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid I,(Jakarta: UI-Press,
1985),hlm 62.
7
2. Kemajuan dibidang Ilmu
Pada permulaan Bani Umayyah berkuasa, ilmu yang berkembang ada dua
aspek, yaitu ilmu pengetahuan agama diantaranya tafsir, hadits, fiqh, dan ilmu
kalam maka timbullah nama Hasan Al-Basri,Wasil bin Atha dan lain-lain. Ilmu
yang kedua yaitu ilmu pengetahuan umum diantaranya ilmu kimia dari Yunani dan
ilmu kedokteran.
3. Kemajuan bidang Pemerintahan
Beberapa organisasi kenegaraan dibentuk pada zaman ini diantaranya An
Nidhamus Syiasi (organisasi politik), An Nidhamul Idari (organisasi tata usaha
negara), An Nidhamul Mal (organisasi keuangan), An Nidhamul Harb (organisasi
pertahanan), dan An Nidhamul Qadla’I (organisasi kehakiman). Bahasa
administrasi yang tadinya adalah bahasa yunani dan pahlawi diubah menjadi bahasa
Arab, oleh Al-Malik dan mata uang dicetak dengan tulisan Arab.
4. Kemajuan dibidang material dan seni
Khalifah-khalifah Bani Umayyah berhasil membangun masjid-masjid dan
istana-istana dengan arsitektur yang indah seperti Qusayr Amran dan Al-Mushatta.
IV. Sebab-Sebab Kemunduran Bani Umayyah
Diantara sebab-sebab yang membawa kelemahan dan akhirnya mengalami
kemunduran bahkan kejatuhan Bani Umayyah adalah hal-hal berikut :
Golongan Khawarij adalah golongan yang pada mulanya adalah pengikut Ali
namun keluar karena tidak setuju dengan politik Ali. Sebagai kekuatan baru mereka
bukan saja menentang Ali juga orang-orang yang melakukan tahkim termasuk
didalamnya Muawiyah. Mereka menganggap itu dosa besar dan orang yang
melakukannya harus di bunuh. Sampai masa terakhirnya Bani Umayyah selalu
mendapt perlawanan dari Khawarij7.
Rongrongan pemberontak Abdullah untuk merebut kekuasaan terutama
setelah Muawiyah wafat kekuatan pemberontak ini baru reda setelah tahun 692 M.
7Ibid, hlm 64
8
Tantangan keras dari golongan Syi’ah.
Pertentangan tradisionil atara Arab Selatan dengan Utara. Pertentangan kedua
suku ini mengganggu stabilitas pemerintahan Bani Umayyah, bila khalifah dekat
dengan Selatan maka Utara iri dan sebaliknya.Pertentangan interen Bani Umayyah
sendiri, terutama dalam pergantian khalifah.Kehidupan mewah di istana
memperlemah vitalitas anak-anak Khalifah yang membuat mereka kurang sanggup
memikul beban tugas pemerintahan. Penyebab langsung tergulingnya kekuasaan
Bani Umayyah ialah munculnya kekuatan baru yang dipelopori oleh Abu Abbas
dari Bani Hasyim. Ia bekerja sama dengan kaum Syi’ah dan kaum Mawali yang
merasa di kelas duakan oleh pemerintahan bani Umayyah8
V. Penutup
Demikianlah sekilas mengenai sejarah Islam pada masa kekuasan Bani
Umayyah yang meninggalkan perinsip dasar Islam dalam pemerintahan yaitu
musyawarah dalam menyelesaikan masalah-masalah ke-khalifahan. Namun
disamping itu banyak juga kemajuan yang dicapai selama kekuasaan Bani
Umayyah yang memperkaya peradaban umat Islam. Pada akhirnya kekuasaan yang
diperoleh dengan cara yang licik hancur dengan kelicikan yang diperbuatnya.
Orang-orang yang disingkirkan berontak dan menjatuhkan kekuasan Bani
Umayyah.
Inilah makalah yang dapat kami sajikan, semoga dapat bermanfaat bagi kita
semua. Akhirnya penulis mohon maaf apabila pada makalah ini terdapat banyak
kesalahan dan kekurangan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Asmuni, H. M. Yusran, Dirasah Islamiyah II (Pengantar Setudi Sejarah
Kebudayaan Islam dan Pemikiran), Cet-2, Jakarta, TýPT RajaGrafindo
Persada,1996.
8BadriYatim, op cit, hlm 48-49.
9
2. Hasan, Masudul, History of Islam (Classical Period 571-1258 CE), New Delhi,
Adam Publishes and Distributors, 1995.
3. Kenedy, Hugh, The Prophet and The Age of The Caliphates (The Islamic Near
East From The Sixth to The Eleventh Century), London and New York,
Longman, 1986.
4. Nasution, Harun, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspek, Cet-5, Jakarta, UI-
Press, 1985.
5. Tim Penyusun IAIN Syahid, Ensiklopedi Islam Indonesia, Djembatan, Jakarta,
1992.
6. Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, Cet-6, Jakarta, PT RajaGrafindo
Persada, 1997
10
ISLAM DAN NEGARA DALAM PANDANGAN ALI ABD Al-RAZIQ
Hasan Anshori
A. Pendahuluan.
Di antara pemikir modern dalam islam yang terjun dalam percaturan politik,
adalah Ali Abdurraziq, seorang pemikir yang sangat kotroversial, terutama di
bidang pemikiran politik Islam. Ia tidak mempunyai gerakan, tetapi pemikirannya
yang kontroversial menhantui banyak orang di kalangan para pemikir lain.
Ali Abdurraziq lahir di Mesir pada tahun 1888 M dan wafat tahun 1966
M. Dia penganut Abduh, meskipun tidak belajar banyak secara langsung darinya,
oleh karena ketika Abduh wafat pada tahun 1905 Ali Abdurraziq baru berusia kira-
kira 17 tahun. Dia mendapatkan pendidikan agama di Universitas Al-Azhar. Kedian
pergi belajar ke Universitas Oxford, Inggris selama satu tahun. Dia seorang ilmuan
agama dan seorang hakim pada Mahkamah Syari`ah Mesir. Karena bukunya itu (
al- Islam wa ushul al-Ahkam). Dia dikutuk dan dikucilkan oleh Majlis Ulama al-
Azhar, diberhentikan dari jabatannya sebagai hakim dan dilarang menduduki
jabatan pemerintahan.9
Sebetulnya, Ali Abdurraziq mengungkapkan pendapatnya yang
kontroversial, didorong oleh keinginannya untuk secepatnya menyelamatkan Mesir
dari keruntuhan yang di bawah kekuasaan Sultan Ahmad Fu`ad . Saat itu Eropah
sedang digoncang perang dunia I ( 1914- 1919). Kondisi yang demikian itu
memaksa Ali Abdurraziq cepat mengambil sikap meninggalkan Oxford University.
Setibanya di Mesir Ali mendapatkan kehormatan menduduki jabatan sebagai
hakim.
Di saat inilah terpikir oleh Ali Abdurraziq yang pernah mendapatkan
kesempatan studi filsafat sejarah dari Prof. Santillana , merenungkan kembali
sejarah kerasulan dalam al-Qur`an dan juga al-Sunnah. Kontenplasi yang
diperolehnya ditangkap suatu pengertian bahwa Rasulullah bukanlah raja atau
penguasa, tapi sebagai rasul penyampai Risalah.
9 Munawir Syadzali, Islam Dan Tata Negara, UI Press, Jakarta, Cetakan V, 1993, Hal 137
11
Lebih dari itu, terbaca olehnya bahwa khulafa al-Rasyidin sebagai bentuk
pemerintahan yang lahir dari kedaulatan rakyat yang berkuasa sebagai pemegang
amanah dan kekuasaan yang diamanatkan oleh rakyat atau umat. Rasulullah SAW
dengan risalah yang didakwahkannya, tidak ditugasi untuk membentuk negara,
melainkan lebih berisi ajaran Islam tentang amanah dan kekuasaan bila hal tersebut
menyangkut masalah politik.
Sebagai pemegang amanah dan kekuasaan yang datang dari rakyat, dan karena
setiap zaman memiliki perbedaan tantangan, maka jawabannya tidaklah harus
dengan sistem khalifah dan khilafah. Dinilainya ini hanya salah satu bentuk acuan
bentuk dari pemerintahan dari al-Qur`an dan al-Sunnah. Namun itu bukan harga
mati, karena yang penting adalah perlunya umat Islam membangun kelembagaan
kekuasaan politik.10
B. Pemikirannya.
Pemikiran Ali Abd al-Raziq tentang konsep kenegaraan, dapat dibagi
menjadi tiga bagian sebagai berikut :
1. Tentang definisi khilafah atau lembaga khalifah beserta ciri-ciri khususnya,
kemudian dipertanyakan tentang dasar anggapan bahwa mendirikan
pemerintahan dengan pola khilafah itu merupakan keharusan ( agama ), dan
akhirnya dikemukakan bahwa baik dari segi agama maupun dari segi rasio,
pola pemerintahan khilafah itu tidak perlu.
2. Tentang pemerintahan dan Islam, diantaranya berisi perbedaan antara
risalah atau misi kenabiaan dengan pemerintahan, dan akhirnya kesimpulan
bahwa risalah kenabiaan itu bukan pemerintahan dan bahwa agama itu
bukan negara.
3. Lembaga khalifah dan pemerintahan dalam lembaran sejarah, dalam hal ini
Ali Abd al-Raziq berusaha membedakan antara mana yang Islam dan mana
yang Arab, serta mana yang agama dan mana yang politik.
10 Mustafid Amna, Konsep Kenegaraan Ali Abd al-Raziq, Tesis Program Pasca Sarjana IAIN
Syarif Hidayatullah, Jakarta, 1994, Hal 5
12
Baiklah kita uraikan satu persatu dari tiga pembagiaan di atas. Kita mulai
dari bagian pertama : menurut pengertian Ali Abd al-Raziq khilafah adalah satu
pola pemerintahan dimana kekuasaan tertinggi dan mutlak berada pada seorang
kepala negara/pemerintah dengan dengan gelar khalifah, pengganti Nabi besar
Muhammad, dengan kewenangan untuk mengatur kehidupan dan urusan
umat/rakyat, baik keagamaan atau keduniaan yang hukumnya wajib bagi umat
untuk patuh dan taat sepenuhnya.
Oleh kaerna itu Ali Abd al-Raziq tidak sependapat dengan kebanyakan
ulama yang menyatakan bahwa mendirikan khilafah atau lembaga khilafah
merupakan suatu kewajiban bagi umat Islam, dan karenanya maka berdosa kalau
tidak dilaksanakan. Terdapat pengecualiaan yaitu pada golongan mu’tazilah dan
semntara orang khawarij, mereka berpendirian bahwa tidak selalu harus mendirikan
khilafah. Tugas khalifah adalah melaksanakan hukum dan peraturan syari’at. Kalau
syari’at sudah berjalan dengan baik dan keadilan telah merupakan kenyataan yang
merata dikalangan umat, maka tidak diperlukan pemimpin atau imam, dan
karenanya tidak ada keharusan atau kewajiban mempunyai khalifah. Ali Abd al-
Raziq sama sekali tidak dapat menemukan dasar yang kuat yang mendukung
kepercayaan bahwa wajib hukumnya bagi umat Islam untuk mempunyai khalifah,
baik dalam al-Qur’an,hadits maupun ijma.11
Sementara pemikir Islam, termasuk Rasyid Ridla, mendasarkan
keyakinannya bahwa mendirikan khilfah itu merupakan keharusan agama, atas
perintah al-Qur’an surat Al-Nisa ayat 59 yang memerintahkan kepada orang-orang
yang berimanagar taat kepada Allah, utusan ( Allah ) dan ulil amri mereka.
Sebagaimana kebanyakan ahli tafsir, mengartikan ulil amri itu tokoh-tokoh umat
Islam semasa hidup Nabi dan sesudahnya, diantaranya para khalifah, para hakim,
para komandan pasukan dan bahkan para ulama atau ahli agama. Dengan lain
perkataan, ayat tersebut tidak dapat digunakan untuk mendukung keyakinan bahwa
mendirikan khilafah itu wajib hukumnya. Dari hadits Nabi juga tidak terdapat
ungkapan-ungkapan yang mendukung pendapat itu. Memang Nabi pernah
11 Munawir Sjadzali,Op-cit, hal 140
13
mengatakan bahwa pimpinan umat Isalm itu agar dari orang atau suku Quraisy, dan
bahwa barang siapa telah berbaiat atau menyatakan kesetiaan kepada pemimpin,
hendaknya dia selalu mematuhi segala perintahnya, selama tidak diperintah
melakukan maksiat dan sebagainya. Tetapi sekali lagi ucapan-ucapan Nabiitu sama
sekali tidak dapat diartikan bahwa Islam mewajibkan umatnya untuk mendirikan
khilafah. Ali Abd al-Raziq mengakui bahwa ijma’ merupakan sumber ketiga hukum
Islam setelah al-Qur’an dan Hadits. Tetapi menurut dia, pengangkatan penguasa
sejak Abu Bakar,khalifah pertama sejak zaman dia sendiri tidak pernah dilakukan
dengan ijma’ yang berarti kesepakatan bulat antara umat Islam yang
bersangkutan.menurut pengamatannya hampir semua khalifah dari zaman kezaman
dinobatkan dan dipertahankan dengan kekuatan fisik dan ketajaman senjata,
mungkin, sekali lagi mungkin, dengan beberapa pengecualian, misalnya seperti
Abu Bakar, Umar dan Utsman.
Terhadap alasan bahwa wajib atau harus ada yang diangkat menjadi
khalifah demi melindungi kelestarian Islan dan kepentingan rakyat, Ali Abd al-
Raziq menjawab bahwa memang benar dalam hidup bermasyarakat tiap kelompok
manusia memerlukan penguasa yang mengatur dan melindungi kehidupan mereka,
lepas dari agama atau keyakinan mereka, apakah Islam, Yahudi, Nasrani atau
penganut agama lain, dan bahkan mereka yang tidak beragama sekalipun. Penguasa
itulah pemerintah. Tetapi pemerintah itu tidak harus membentuk khilafah,
melainkan dapat beraneka ragam bentuk dan sifatnya, apakah konstitusional atau
kekuasaan mutlak, apakah republik ataukah diktator dan sebagainya. Tegasnya, tiap
bangsa harus mempunyai pemerintahan, tetapi baik bentuk maupun sifat
pemerintahan itu tidak harus satu, khilafah dan boleh beraneka ragam.12
Menurut Ali Abd al-Raziq, bahwa kenyataan yang juga didukung oleh akal
dan dibuktikan oleh sejarah, baik zaman dahulu maupun sekarang, membuktikan
bahwa syi`ar-syi`ar agama dapat hidup bukan karena tergantung pada sistem
pemerintahan yang biasa disebut oleh para fuqaha dengan sebutan khilafah, dan
tidak pula karena tergantung kepada mereka yang sering disebut manusia dengan
12 Munawir sjadzali,ibid, hal 141
14
sebutan khalifah. Dan suatu kenyataan pula, bahwa erdasarkan kemaslahatan umat
Islam dalam usrusan dunia tidak tergantung kepda mereka. Oleh karena itu kita
tidak lagi membutuhkan sistem khilafah tersebut, baik untuk memelihara urusan
agama maupun urusan dunia kita, bahkan sistem khilafah selalu menjadi mala
petaka bagi Islam dan ummatnya, dan menjadi sumber kejahatan serta kerusakan.
Jadi secara singkat, dapat dikatakan bahwa agama kita, berdasakan kenyataan sudah
tidak memerlukan lagi sistem khilafah, begitu pula untuk urusan dunia kita.
Salah satu buktinya adalah bahwa khilafah tidak berwibawa lagi dan
tercabut dari akarnya ketika kekuasaan khilafah pada abad ketiga hijriyah, hanya
efektif disekitar bagdad. Daerah-daerah lain seperti khurasan dikuasai oleh ibnu
saman dan keturunannya, bahrain dikuasai oleh qaramithoh, yaman oleh ibnu
thaba-thaba’, asfihan dan persia dikuasai oleh bani buwaih, mesir oleh Ahmad bin
Thulun, dan setelah itu dikuasai oleh raja-raja yang menaklukan, kemudian
mendirikan kerajaan sendiri-sendiri, seperti Ikhsyidiyah, fathimiyah, Ayubiyah,
Mamalik dan lain-lain, yang kesemuanya itu menggambarkan kekacauan khilafah,
bahkan sering terjadi daerah yang tidak kemasukan sistem khilafah, tetapi lebih
nampak syi’ar agamanya, lebih tentram rakyatnya dan lebih baik serta lebih tertib.13
Begitu pula terjadi kemelut khilafiyah di Baghdad pada pertengahan abad
ke 7 H ketka diserang oleh Tatar, mereka membunuh khalifah Bani Abas Al-
Mu’tashim Billah dan beberapa keluarganya serta para pembesar-pembesar yang
duduk dalam pemerintahannya, sehingga islam mengalami kekosongan dari
khilafah selama tiga tahun.
Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa pemerintahan dengan sistem
khilafah tidak menjamin tegaknya peraturan agama dan tidak menjamin pula
terpelihara kedamaian dan ketentraman umat, semuanya itu tergantung dari
individu khalifah yang memegang kekuasaan. Oleh karena itu, sistem khilafah tidak
perlu lagi jika tidak dapat menjamin semua itu.
Yang kedua, mengenai pemerintahan dan islam, Abd al-Raziq memisahka
antara keduanya dengan uraian sebagai berikut :
13 Muhamad Imarah, Al-Islam wa ushul al-Hukm li Ali Abd al-Raziq, Al-Muasasah al-Arabiyah Li
al-Adiraasat Wa al- Nasyr, Bairut, Cet pertama, 1952, hal 134-135
15
- Tidak seorang ulama pun yang menyampaikan pendapat yang jelas tentang
apakah Nabi Muhamad itu seorang rasul dan sekaligus raja/penguasa atau
hanya rasul semata? Dalam ungkapan lain apakah misi yang dibawa nabi itu
misi risalah dan sekaligus misi politik/membentuk pemerintahan islam?
Pendapat yang beredar dikalangan umat islam, menyatakan bahwa misi
Nabi adalah misi risalah dan sekaligus membentuk kekuasaan, begitu pula
pendapat jumhur ulama.
- Memang sepintas yang terlintas dalam hati kita adalah adanya unsur
pembentukan kekuasaan, ketika kita melihat persoalan jihad/perang yang
dilakukan Nabi, begitu hebatnya peperangan yang dilakukan oleh Nabi yang
sering mendapatkan kemenangan dengan memperluas daerah kekuasaan,
menjarah harta benda musuh-musuhnya, memboyong tawanan-tawanan
perang tidak terkecuali, baik laki-laki maupun perempuan, bahkan sampai
melintas kedaerah luar jazirah Arab.
- Tetapi da’wah agama adalah da’wah yang berisi seruan kepada agama
Allah, dan pondasi da’wah tersebut tidak lain kecuali keterangan yang jelas,
menggerakan hati manusia dengan motifasi yang jitu dan kebijaksanaan
yang tinggi, sehingga dapat diterima oleh masyarakat.14 Adapun kekuatan
dan pemaksaan itu tidak mungkin diterapkan dalam menyampaian da’wah
yang bertujuan untuk menunjukan hati manusia dan membersihkan akidah
mereka, dan tidak ada seorang rosul pun dalam sepanjang sejarah yang
mengajak manusia untuk beriman kepada Allah dengan ketajaman
pedangnyadan pula memaksakan agamanya dengan mengadakan
peperangan. Disisnilah letak persoalan yang dijadikan prinsip dasar oleh
Nabi dalam menyampaikan risalahnya, sebagaimana diungkapkan dalam al-
Qur’an :
لا إكراه في الدين قد تبين الرشد من الغي
Artinya : tidak ada paksaan didalam agama, telah jelas antara yang benar dan
yang sesat ( al- baqarah : 256 )
14 Muhamad Imarah, Ibid, hal 145
16
ادع إلى سبيل ربك يالحكمة والموعظة الحسنة وجادلـهم بالتي هي أحسن
Artinya : serulah kejalan Tuhanmu dengan bijaksana, dan mauidzah hasanah dan
ajaklah berdebat dengan diskusi yang lebih baik. ( al- Nahl : 125 )
فذكر إنمـا أنت مذكر لستت عليـهم بمصيطر
Artinya : berilah peringatan, tiada lain engkau (Muhammad) adalah seorang
pemberi peringatan, bukanlah engkau itu penguasa atas mereka ( al- Ghasyiah :
21 )
أفأنت تكره الناس حتى يكونوا مؤمنين
Artinya : apakah engkau (Muhammad) akan memaksa manusia sehingga mereka
menjadi beriman.
Ayat tersebut merupakan prinsip-prinsip yang jelas bagi penyampaian misi
risalah Nabi. Sebaimana misi risalah yang disampaikan oleh nabi-nabi yang lain,
yang esensinya adalah mengajak beriman dengan kesadaran menerima petunjuk
dan mauidzah, tidak dengan paksaan melalui kekuasaan dan senjata. Adapun Nabi
Muhammad memakai senjata itu bukan dalam rangka menyampaikan da’wah dan
misi risalahnya keseluruh alam, dan bukan juga untuk membentuk pemerintahan
Islam., tetapi dalam rangka membela agama dari serangan musuh yang ingin
menghancurkannya,hal ini dilakukan oleh Nabi dalam kaitannya sebagai munaffidz
(pelaksana) risalah bukan sebagai penyampai risalah. Dalam ungkapan lain bahwa
kekuasaan Nabi yang dihasilkan dari peperangan itu bukan bagian dari risalah Nabi,
bahkan kekuasaan Nabi tersebut termasuk amal duniawi yang tidak ada
hubungannya dengan risalahnya.15 Risalah terhadap pendapat yang mengatakan
bahwa Islam itu agama tabligh dan agama tathbiq (pelaksanaan), dan islam adalah
kekuasaan agama dan sekaligus kekuasaan politik, maka Ali Abd al-Raziq
mengatakan bahwa pendapat tersebut tidak ada dasarnya, dan bertentangan dengan
makna risalah serta tidak sesuai dengan tabiat da’wah islamiyah. Seandainya Nabi
membangun negara dan mensyat’atkannya, maka kenapa negaranya tidak diperkuat
dengan berbagai angkatan bersenjata? Dan kenapa tidak diketahui peraturannya
15 Ibid, hal 147
17
dalam menentukan para hakim dan penguasa? Dan kenapa Nabi tidak
membicarakan dengan rakyatnya tentang peraturan kekuasaan dan tentang kaidah-
kaidah musyawarah? Dan kenapa Nabi membiarkan ulama dalam kebingungan
ketika dihadapkan dengan masalah peraturan pemerintahan? 16
Pada pembahasan akhir dari bagian kedua, Ali Abd al-Raziq menyatakan
bahwa risalah itu bukan pemerintahan dan agama itu bukan negara. Jawaban yang
memperkuat penyataan ini adalah bahwa Nabi Muhamad itu hanya sebagai rasul
bukan sebagai penguasa/raja dan pembentuk negara serta bukan penganjur untuk
membentuk kekuasaan, melainkan Nabi Muhamad adalah hanya sebagai penyeru
agama yang murni tanpa dicampuri oleh motif kekuasaan dan motif membentuk
pemerintahan.misi risalah itu terlalu mulia yang menuntut pembawanya sarat
dengan kesempurnaan, terhindar dari sifat kekurangan, suci dan penuh dengan
kekuatan bathin yang senantiasa berhubungan dengan al-Malail a’la (malaikat).
Allah tidak menjadikan misi risalah sebagai permainan. Dan Allah jadikan misi
risalah sebagai penyampai kebenaran, agar dengan da’wahnya kebenaran akan
lebih sempurna. Kedudukan risalah jauh lebih tinggi dan lebih mulia dari sekedar
yang dimiliki oleh para penguasa dan rakyatnya.
Rasul mempunyai kemampuan yang dimiliki oleh para raja/penguasa, tetapi
rasul sendiri mempunyai kemampuan misi yang tak ada tandingannya, dan dari
misinya rasul juga dapat berhubungan dengan ruh-ruh yang ada diberbagai jasad,
sehingga dapat menghilangkan hijab-hijab yang ada dalam hati manusia, bahkan
mampu melihat hati para pengikutnya, dalam keadaan senang maupun benci, juga
mengetahui tempat tumbuh kebaikan dan kejahatnya,tempat munculnya
kekhawatiran, munculnya bisikan-bisikan hati mereka. Nabi mempunyai misi lahir
dan mempunyai misi bathin yang mengatur seluruh hubungan antara manusia.
Disamping itu, risalahnya juga ditujukan kepada seluruh umat manusia,
tidak seperti rasul yang lain. Diutusnya agar menyempurnakan agama dan
melengkapi ni’mat, sehingga tidak ada lagi fitnah dan sehingga agama ini menjadi
milik Allah seluruhnya. Kesempurnaan risalah ini begitu tingginya, sampai kepada
16 Ibid, hal 148
18
puncak yang tidak bisa diraih oleh manusia biasa. Oleh karena itu, Allah ungkapkan
dalam firmannya :
Artinya : dan anugrah Allah kepadamu (Muhammad) adalah sangat besar ( al-
Nisaa : 113).
Kemudian Ali Abd al-Raziq menyebutkan haditsnya yang menyatakan
bahwa Nabi Muhammad itu bukan raja dan bukan pemaksa, yaitu sebagai berikut :
إني لست بملك ولا بمصيطر إنما أنا ابن امرأة من قريش يأكل القديد بمكة
Artinya : sesungguhnya aku bukan seorang raja dan bukan pemaksa, aku hanya
anak seorang perempuan dari suku Quraisy, yang memakan dendeng ( daging
kering ) dimekah.
Dengan demikian, jelaslah bahwa Nabi Muhammad itu bukan raja dan bukan
seorang yang mencari kekuasaan, dan tidak mempunyai keinginan untuk
memperolehnya.17
Dibagian paling akhir dari bagian pembahasan yang kedua, Ali Abd al-
Raziq menyimpulkan bahwa kekuasaan Nabi atas orang-orang mukmin adalah
kekuasaan risalah yang sedikitpun tidak mengandung kekuasaan
politik/pemerintahan.18
Adapun bagian ketiga dari pembahasan Ali Abd al-Raziq dalam bukunya
(al-Islam Wa Ushul al-Hukm), adalah mengenai khilafah dan pemerintahan dalam
lembaran sejarah. Dalam kaitannya dengan bagian ketiga ini, Abd al-Raziq
membedakan mana yang Islam dan mana yang Arab, mana yang agama dan mana
yang politik.
Untuk mengurai bagian yang ketiga ini, perlu kita klasipikasikan terlebih
dahulu antara Islam, Arab dan Negara, sehingga dapat kita ketahui hakikat masing-
masing dan hubungan antarasatu sama lain.
17 Ibid, hal 162 18 Ibid, hal 165
19
Baiklah kita mulai dari pembahasan Islam menurut pandangan Ali Abd al-
Raziq. Islam menurut Ali Abd al-Raziq adalah agama da’wah yang sangat tinggi
dan mulia. Allah menurunkan agama Islam untuk kemaslahatan seluruh alam, baik
untuk barat maupun timur, untuk bangsa arab maupun non arab, untuk laki-laki
maupun perempuan, untuk yang kaya maupun yang miskin, untuk yang bodoh
maupun yang pandai, ia merupakan kesatuan agama yang dimaksudkan oleh Allah
untuk menjadi pengikat seluruh manusia sejagat. Islam bukan merupakan da’wah
arab, bukan kesatuan arab dan bukan agama arab semata. Islam tidak mengenal atau
tidak mengakui kelebihan umat atas umat lain, kelebihan bahasa atas bahasa lain,
kelebihan daerah atas daerah lain. Kelebihan masa atas masa yang lain, kecuali
dengan ketaqwaan. Adapun Islam disampaikan dengan bahasa ara, itu karena Nabi
sendiri adalah orang arab, dan da’wah yang pertama juga dimulai dari bangsa arab,
yang mula pertamanya dimulai dari yang paling dekat yaitu keluarganya sendiri,
kemudian masyarakatnya sampai keseluruh pejuru dunia.
Adapun mengenai pambahasan arab atau negara arab, sebagaimana
diketahui bawa negar-negara arab itu terdiri dari berbagai macam suku dan berbagai
macam bangsa, yang berbeda-beda adat dan kebudayaannya, saling berjauhan
antara satu dan lainnya, dan tidak kalah pentingnya juga perbedaan sikap politik
masing-masing negara. Ada yang tunduk pada kebijakan politik bangsa romawi,
dan adapula yang berdiri sendiri. Kondisi yang demikian ini menuntut pula
perbedaan pengaturan pemerintahaan dan struktur kepemimpinan serta negerialnya,
dan perbedaan pula dari segi sosial politik, ekonomi dan kebudayaan, sehingga
tidak memungkinkan bangsa-bangsa tersebut disatukan dalam satu kepemimpinan
politik, karena masing-masing mempunyai kepentingan politik yang tidak sama.19
Bangsa-bangsa tersebut menjadi satu di bawah panji-panji dakwah
Islamiyah dan di bawah naungan bendera Rasulullah SAW, mereka menjadi
bersaudara satu sama lain, dan mereka diikat dengan satu tali yaitu tali agama.
Mereka menjadi ummatan wahidah di bawah satu kepemimpinan Rasulullah SAW.
Yang perlu ditekankan di sini adalah bahwa persatuan arab yang terdapat di zaman
19 Ibid , hal 167
20
Nabi SAW tersebut, bukanlah persatuan dan kesatuan politik dilihat dari berbagai
segi, dan tidak pula satu pemerintahan dan satu negara, melainkan merupakan
persatuan dan kesatuan agama yang murni tanpa ada unsur politik, dan merupakan
kesatuan iman iserta kesatuan aliranya agama, bukan kesatuan negara dan bukan
kesatuan kerajaan.
Dengan demikian, organisasi Islam itu bukan organisasi politik, tetapi
semata-mata organisasi agama. Hal ini dapat kita baca dari perjalanan Nabi SAW
ketika menghadapi keadaan politik bangsa yang berbeda-beda. Beliau tidak
merubah sedikit pun tatanan pemerintahan yang sudah mereka susun , dan tidak
merubah susunan administrasi atau peradilan, dan tidak merubah sistem hubungan
sosial dan ekonomi antara mereka. Belum pernah kita mendengar bahwa nabi
memecat gubernur, menentukan orang sebagai hakim,dan tidak pula mengatur
prosedur-prosedurnya. Nabi tidak pula meletakan kaidah-kaidah dagang, pertanian
dan industri mereka. Semuanya itu dibiarkan oleh Rasulalah, dan beliau katakan
kepada mereka : engaku lebih tahu urusan-urusan kalian.20
Adapun mengenai pembahasan khilafah, Abd Raziq mengatakan ahwa kita
tidak mengetahui persis adsal dari kata khilafah, yang jelas kata tersebut
dimunculkan untuk gelar Abu Bakar ketika pertama kali diangkat sebagai pengganti
Rasulallah setelah wafatnya. Tetapi kita ketahui, bahwa Abu Bakar tidak
melarangnya dan bahkan merestuinya. Adapun hakikat dari kata “khalifah” itu
sendiri adalah kata yang dipakai oleh orang arab ketika orang menduduki jabatan
baru setelah pendahulunya tidak lagi mendudukinya, jadi orang yang sedang
menduduki itu disebut khalifah (pengganti) Jabatab pendahulunya. Kata ini juga
dipakai untuk pengganti kedudukan Nabi setelah wafatnya. Jadi Abu Bakar disebut
khalifah Rasulillah. Julukan dengan kata khalifah, Abu Bakar mampu menundukan
para pembangkang dari kelompok yang masih baru didalam memeluk agama Islam,
sehingga mereka mudah murtad lagi, dan dengan kata khalifah juga dapat
menjinakan mereka yang sudah terbiasa brutal dan terbiasa melakukan
pelanggaran. Sebetulnya Abu Babar pernah dipanggil oleh salah satu kelompok dari
20 Ibid, hal 168
21
mereka dengan panggilan khalifatullah, lalu Abu Bakar marah dengan panggilan
tersebut, dan menegaskan agar dipanggil dengan panggilan khalifah rasulullah atau
khalifah Muhammad.
Dengan demikian, kalifah adalah jabatan pemimpin umat setelah
meninggalnya rasulallah, dari sini muncul pertanyaan; apakah kepemimpinan
khalifah ini merupakan kepemimpinan agama atau kepemimpinan politk? Dalam
hal ini Abd al-Raziq mengatakan, bahwa kepemimpinan khalifah adalah
kepemimpinan politik, bukan kepemimpinan agama, karena kepemimpinan agama
hanya ada pada diri Rasulallah melalui risalahnya. Adapun setelah wafatnya, yang
ada hanyalah kepemimpinan politik, baik kepemimpinan yang dipegang oleh Abu
Bakar, Umar dan seterusnya…….. oleh karena itu orang-orang yang diperangi oleh
Abu Bakar yang dituduh murtad, itu tidak seluruhnya murtad yang berarti kafir
kepadaa Allah dan Rasulnya, tetapi diantara mereka masih ada yang tetep iman dan
islamnya, hanya saja mereka tidak mau tunduk kepada kepemimpinan AbuBakar
karena beberapa sebab, dan mereka menganggapnya tidak berdosa. Mereka pada
hakekatnya bukan orang-orang murtad. Dan memerangi mereka bukan atas nama
agama. Jika terpaksa mereka diperangi, adalah atas nama politik dan dalamrangka
mempertahankan persatuan arab dan kedaulatan mereka.21
Didalam sejarah juga terdapat seorang laki-laki yang tidak mau berbai’at
kepada Abu Bakar, padahal ia juga beriman kepada Rasulallah, dan ia tidak mau
terus terang karena alasan islamnya. Umar juga pernah menantang keputusan Abu
Bakar tentang persoalan memerangi orang-orang yang dituduh murtad, ia katakan
kepada Abu Bakar; kenapa engaku memerangi mereka? Padahal rasulallah pernah
bersabda : aku diperintahkan untuk memerangi manusia sehingga mereka
mengucapkan “laailaaha illa Allah”, jika ia telah mengucapkan, maka ia terpelihara
harta dan jiwanya, kecuali dengan haknya, dan hisabnya tergantung kepada Allah.
Kalau dilacak masih banyak lagi peperangan yang mereka namakan dengan
“ perang melawan orang-orang murtad” pada masa khilafah Abu Bakar, yang
sebenarnya bukan perang atas nama agama, tetapi semata-mata perang atas nama
21 Ibid,hal 178
22
politik yang diduga oleh kebanyakan masyarakat umum sebagai perang agama,
padahal semuanya itu bukan untuk agama. Memeang dalam pemerintaha, Abu
Bakar menempuh langkah-langkah yang telah ditempuh oleh rasulallah, baik
urusan-urusan khusus dirinya maupun urusan-urusan umum, tentu juga urusan
politik negara, ia tempuh semuanya ini melalui jalan agama, dan menempuh dengan
semaksimal mungkin melalui jalan yang ditempuh oleh rasulallah, sehingga julukan
khalifah Rasulillah ini dianggap tepat untuk diberikan kepada Abu Bakar, yang
kemudian timbul anggapan dikalangan umat bahwa khalifah itu merupakan pusat
keagamaan, disinilah sebab pertama terjadinya kesalahan tentang persepsi khilafah
dikalangan umat Islam, sehingga khilafah itu dianggap sebagai kedudukan agama.
Dengan demikian, jabatan khalifah ini sering disalah gunakan para sultan
untuk memperkuat kedudukannya atas nama khalifah Allah dimuka bumi, padahal
sebutan kata tersebut hanya sebagai kedok agar semua orang tunduk padanya, baik
dengan kesadaran maupun dengan paksaan. Kemudiaan didalam kekhalifahan itu
dikait-kaitkan dengan pembahasan agama, yang kemudian dijadikan sebagai bagian
dari akidah tauhid. Dari sinilah para sultan melakukan kejahatan dan perampasan
terhadap hak-hak umat Islam, serta menjerumuskan kejalan yang bathil,
menggelapkan cahaya agama. Dan dengan menggunakan nama agama, mereka
merendahkan umat Islam dan melarang mereka untuk berbicara politik. Mereka
dangkalkan agama dan mereka pasung umat Islam agar selalu ada pada genggaman
politiknya.22 Padahal agama Islam itu tidak mengakui khilafah yang semacam itu,
yang selama ini dikenal dikalangan umat Islam. Dan khilafah tersebut tidak
termasuk langkah-langkah agama, dan begitu pula peradilan dan segala macam
perangkat hukum negara. Tidak ada lain kecuali semua itu adalah langkah-langkah
politik semata, tidak ada urusannya dengan agama. Agama tidak memerintahkan
dan tidak melarangnya, agama membiarkan urusan politik, agar dapat
dikembangkan sesuai dengan akal, zaman, tempat dan kaida-kaidah politik.23
22 Ibid, hal 179 23 Ibid, hal 180
23
C. Penutup/kesimpulan.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Ali Abd al-Raziq adalah seorang tokoh/pemikir politik Islam yang
kontroversial, yang gara-gara menulis buku tentang politik, ia dikutuk dan
dicoret dari deretan nama ulama al-Azhar dan dipecat dari jabatan sebagai
hakim dimesir, yang berada dibawah kekuasaan sultan ahmad Fu’ad.
2. Dia menulis buku tersebut (al-Islam Wa Ushul al-hukm), karena didorong
oleh keinginannya untuk secepatnya menyelamatkan negeri Mesir dari
keruntuhan.
3. Secara garis besar buku tentang politik yang telah disusun tersebut, adalah
pertama; upaya melakukan reinterpretasi pengertian khilafah, yang intinya
adalah bahwa mendirikan pemerintahan dengan pola khilafah itu bukan
merupakan kewajiban agama. Yang kedua; pemerintahan dan Islam yang
intinya memisahkan antara agama dan politik. Yang ketiga; membicarakan
tentang lembaga khilafah dan pemerintahan dalam lembaran sejarah, yang
intinya adalah bahwa Islam itu tidak identik dengan arab dan bahwa agama
itu bukan politik, tetapi mekanisme pembentukan politik tidak boleh
bertentangan dengan nilai-nilai agama. Ia lebih menitik beratkan amanah
yang dibawa oleh misi agama dan keadilan, yang keduanya harus ditegakan
dalam kehidupan politik, apaun bentuk negaranya, tidak harus berbentuk
khalifah, jadi bukan bentuk negaranya itu yang penting, karena negara
berfariasi sesuai dengan masa dan tempat dimana negara itu dibentuk.
4. Jadi secara garis besar, tugas Nabi itu adalah penyampai risalah, dan dalam
menjalankan risalah ini ada tiga aspek kemasyarakatan, yaitu; a)
mendamaikan, b) mengirim utusan dan e) menyepakati piagam madinah.
Dengan demikian dapat dipahami, bahwa pemerintahan Nabi itu merupakan
bagian dari tugas risalah, dan bahwa pemerintahan khulafa’urrasyidin itu
bukan pemerintahan agama dan bukan misi risalah. Oleh karena itu, negara
itu perlu, bukan karena wajib syar’I, tetapi wajib akli yang berdasar ijtihad,
apapun bentuknya negara tersebut.
24
DAFTAR KEPUSTAKAAN
- munawir sjadzali, Islam dan Tata Negara, UI Pres, Jakarta cetakan ke lima.
1993.
- Mustafid Amna, Konsep Kenegaraan Ali Abd al-Raziq, Tesis Program
Pasca Sarjana IAIN Syarifidayatullah, Jakarta, 1994
- Muhamad Imarah, Al-Islam Wa Ushul al- Hukm Li Abd Abd al-Raziq, Al-
Muassasah al-Arabiyah Li al-Dirasat Wa al- Nasyr, Baerut, cetakan
pertama, 1952.
25
EVALUASI SUPERVISI
PENDIDIKAN BERBASIS AL-QUR’AN
Oleh : Abdul Rokhim, M.Ag
A. Pendahuluan
Pendidikan adalah kegiatan yang tumbuh bersamaan dengan munculnya
manusia di muka bumi. Dengan demikian umur pendidikan sama dengan usia
manusia itu sendiri. Hal ini menunjukkan betapa pendidikan merupakan suatu
kebutuhan yang paling hakiki bagi kelangsungan hidup manusia. Karena manusia
tidak akan hidup dengan wajar tanpa ditopang oleh proses pendidikan yang baik.
Manusia sebagai makhluk lemah, sejak dilahirkan belum dapat menolong
dirinya sendiri atau berinteraksi dengan lingkungannya, juga dalam hal-hal yang
sangat vital bagi kelangsungan hidupnya. Oleh karena itu, pada saat tersebut
manusia membutuhkan bantuan orang tua atau orang dewasa lainnya. Keadaan
dimana ia membutuhkan bantuan, baik dari orang tua maupun orang lain di
lingkungan sekitarnya adalah pendidikan atau belajar yang didalamnya terdapat
kegiatan latihan dan pembiasaan.1
Pendidikan dimaknai sebagai sebuah proses usaha yang dilakukan oleh
orang dewasa dalam rangka memanusiakan manusia untuk mencapai tujuan yang
diinginkan. Dalam pendidikan formal, maka guru memiliki posisi yang sangat
strategis dan sekaligus merupakan ujung tombak pertama dan utama dalam rangka
meraih keberhasilan pendidikan.
Di antara kegiatan pendidikan yang sangat penting adalah kegiatan
supervisi, bahkan kegiatan supervisi dianggap salah satu pilar dalam keberhasilan
pendidikan disamping kepala sekolah dan guru.
Untuk mengetahui efektifitas kegiatan supervisi dalam upaya memperbaiki
serta menyempurnakan supervisi, maka diperlukan evaluasi supervisi. Evaluasi
supervisi merupakan usaha yang sulit dan kompleks, karena banyak aspek yang
harus dievalusi dan luasnya supervisi yang harus diperhatikan.
26
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah
Dalam penelitian ini penulis membatasi pembahasannya dengan rumusan,
“ apakah yang dimaksud dengan evaluasi dan bagaimana evaluasi supervisi dalam
pendidikan berbasis Al-Qur’an.
C. Pembahasan
1. Pengertian Evaluasi dan Supervisi
Evaluasi merupakan salah satu komponen dari sistem pendidikan yang
harus dilakukan secara sistimatis dan terencana sebagai alat untuk mengukur sejauh
mana keberhasilan tujuan pendidikan itu tercapai.
Menurut Anas Sudion sebagaimana dikutip oleh Ramayulis evaluasi
berasal dari bahasa Inggris: Evaluation akar katanya value yang berarti nilai atau
harga.2 Dengan demikian secara harfiah yang dimaksud dengan evaluasi supervisi
adalah penilaian dalam bidang supervisi atau penilaian yang berkaitan dengan
kegiatan supervisi.
Istilah nilai (Valuel al-qimah) pada mulanya dipopulerkan oleh filosof dan
Plato yang pertama kali mengemukakannya. Pembahasan nilai secara khusus
diperdalam dalam diskursus filsafat, terutama pada aspek aksiologisnya. Kata nilai
menurut pengertian filosof pengertiannya adalah idea of world.3
Sedangkan menurut istilah evaluasi sebagaimana dikemukakan oleh Guba
dan Lincoln yang dikutip oleh Zaenal Arifin adalah “a process for describing an
evaluand and judging its merit and worth”, yaitu sebuah proses untuk
menggambarkan penilaian dan memutuskan kebaikan dan nilai.4
Menurut M. Chabib Thoha sebagaimana dikutip Ramayulis evaluasi
merupakan kegiatan yang terencana untuk mengetahui keadaan objek dengan
menggunakan instrument dan hasilnya dibandingkan dengan tolak ukur untuk
memperoleh kesimpulan.5
Dari definisi di atas, penulis berpendapat evaluasi bukan hanya sekedar
menilai kegiatan-kegiatan yang bersifat spontan, tetapi evaluasi merupakan
kegiatan yaang terencana untuk mengetahui keadaan atau menilai objek dengan
27
menggunakan instrument dan hasilnya akan dijadikan sebagai acuan untuk
menyusun program belajar lanjutan.
Sedangkan supervisi berasal dari kata “super” artinya lebih atau atas, dan
“vision” artinya melihat atau meninjau. Dengan demikian kegiatan supervisi adalah
kegiatan melihat atau meninjau yang dilakukan oleh atasan terhadap kegiatan
bawahannya. Pengertian ini berimplikasi kepada penyamaan makna antara
supervisi dan pengawasan, yaitu diasumsikan sebagai kegiatan untuk mendeteksi
kesalahan bawahan dalam melaksanakan perintah dari atasan. Sedangkan yang
dimaksud supervisi disini adalah mengamati, mengawasi, atau membimbing dan
menstimulir kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh orang lain dengan maksud
untuk mengadakan perbaikan.6
Sementara itu di bawah ini Pupuh Fathurrohman dan AA Suryana
mengutip pengertian supervisi yang dikemukakan beberapa ahli, yaitu:
1. N.A. Ametembun merumuskan bahwa supervisi pendidikan adalah
supervisi ke arah perbaikan situasi pendidikan. Pendidikan yang dimaksud adalah
berupa bimbingan atau tuntutan ke arah perbaikan situasi pendidikan pada
umumnya, dan peningkatan mutu mengajar dan belajar pada khususnya.
2. Abin Syamsudin Makmun menjelaskan bahwa pandangan baru tentang
supervisi terdapat ide-ide pokok seperti menggalakkan pertumbuhan profesional
guru, mengembangkan kepemimpinan demokratis, melepaskan energi,
memecahkan masalah-masalah belajar mengajar dengan efektif. Pendekatan-
pendekatan baru tentang supervisi ini menekankan pada peranan supervisi selaku
bantuan, pelayanan atau supervisi pada guru atau personil pendidikan lain dengan
maksud untuk meningkatkan kemampuan guru dan kualitas pendidikan.7
Berdasarkan definisi di atas, maka supervisi dalam pendidikan adalah
kegiatan yang dilakukan oleh pemimpin pendidikan untuk menilai kemampuan
guru maupun tenaga kependidikan lainnya dalam melaksanakan tugas masing-
masing dengan melakukan teguran-teguran atau perbaikan terhadap kekurangan-
kekurangan atau memberikan solusi terhadap kesulitan-kesulitan yang dialami oleh
guru dan lainnya dengan maksud untuk mengadakan perbaikan.
28
Dengan demikian berdasarkan definisi di atas, maka yang dimaksud
dengan evaluasi supervisi pendidikan adalah pemberian penilaian terhadap
pelaksanaan supervisi pendidikan untuk menentukan keefektifan dan kemajuan
dengan memberikan bantuan atau pelayanan kepada guru-guru agar pelaksanaan
kegiatan belajar mengajar dapat berjalan lebih baik dan berkualitas dalam rangka
mencapai tujuan supervisi pendidikan yang telah ditetapkan.
2. Tujuan Evaluasi Supervisi Pendidikan
Berdasarkan pengertian di atas, maka tujuan evaluasi supervisi pendidikan
adalah meneliti atau menemukan kebutuhan-kebutuhan setiap objek supervisi yang
dinilai dan kemudian digunakan untuk merencanakan proses belajar mengajar
dalam rangka pencapaian tujuan pendidikan yang telah ditetapkan.
3. Supervisi dalam Pendidikan Berbasis Al-Qur’an
Guru adalah salah satu pilar utama pendidikan, tugas guru demikian berat.
Menurut Pupuh Fathurrohman dan AA Suryana tugas guru dalam proses
pembelajaran memiliki tiga sasaran, yaitu timbulnya pengetahuan baru, tumbuhnya
kemampuan baru dan tumbuhnya perubahan baru.8 Oleh karena itu sangat penting
adanya kegiatan yang dapat membantu guru dalam mengembangkan kemampuan
dengan sistematis, fokus, dengan konsep dan teori yang matang dan itulah yang
penulis sebut dengan supervisi, sebagaimana firman Allah:
Artinya: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan
takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan
bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya.” (QS.
Al-Maidah, 5: 2)
29
Dalam Al-Qur’an isyarat mengenai supervisi dapat diidentifikasi antara
lain dengan firman Allah :
Artinya : Katakanlah: “Jika kamu Menyembunyikan apa yang ada dalam hatimu
atau kamu melahirkannya, pasti Allah Mengetahui”. Allah mengetahui apa-apa
yang ada di langit dan apa-apa yang ada di bumi. dan Allah Maha Kuasa atas
segala sesuatu (Q.S. Ali Imran (3): 29).
Ayat di atas secara implisit mengungkapkan tentang luasnya cakupan
pengetahuan Allah SWT tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan mahluk
ciptaanya. Demikian pula dalam ayat tersebut mengisyaratkan posisi Allah SWT
sebagai Pencipta merupakan pemilik otoritas tertinggi yang membawahi semua
mahluk ciptaan-Nya, yang bila dikaitkan dengan konteks pengertian supervisi yang
dikemukakan di atas, yaitu supervisi dilakukan oleh atasan atau pimpinan yang
tentunya memiliki otoritas yang lebih tinggi terhadap hal-hal yang ada dibawahnya
atau bawahannya.
Artinya: “...Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (QS. An-
Nisa, 4: 1)
Ayat di atas juga menegaskan bahwa pengawasan Allah terhadap
makhluknya dilakukan secara terus menerus, terencana, konsisten dan bukan
30
bersifat insidentil. Demikian juga dengan supervisi pendidikan harus dilakukan
dengan terus menerus, terencana dan konsisten.
Konsep supervisi berbasis Al-Qur’an dilakukan untuk meluruskan yang
bengkok, mengoreksi yang salah dan membenarkan yang hak dengan melakukan
kontrol atau pengawasan. Dalam Al-Qur’an paling tidak terdapat dua kontrol, yaitu
pertama kontrol yang berasal dari diri sendiri karena kekuatan iman dan taqwa dan
kedua kontrol yang muncul dari orang lain atau lingkungan.
Kontrol pertama dari diri sendiri yang muncul dari kekuatan iman dan
taqwa sebagaimana diisyaratkan Allah dalam firman-Nya:
Artinya: “Tidaklah kamu perhatikan, bahwasesungguhnya Allah
mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi? Tiada pembicaraan
rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lahyang keempatnya. Dan tiada
(pembicaraan antara) lima melainkan Dia-lah yang keempatnya. Dan tiada
(pembicaraan antara) lima orang, melainkan Dia-lah yang keenamnya. Dan tiada
(pula) pembicaraan antara (jumlah) yang kurang dari itu atau lebih banyak,
melainkan Dia ada bersama mereka di manapun mereka berada. Kemudian Dia
akan memberitakan kepada mereka pada hari kiamat apa yang telah mereka
kerjakan. SesungguhnyaAllah Maha Mengetahui segala sesuatu”. (QS. Al-
Mujadalah [58]: 7)
Ini adalah control yang paling efektif, yang berasal dari dalam diri. Ada
sebuah hadits yang menyatakan: “Bertakwalah kamu kepada Allah, dimanapun
kamu berada.” (HR. At-Tirmidzi).8
Kontrol kedua, dari orang lain atau lingkungan sebagaimana diisyaratkan
Allah dalam firmanNya:
31
Artinya: “Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh
dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati
supaya menetapi kesabaran.” (QS. Al-Ashr, 103: 3)
4. Prinsip-prinsip Evaluasi Supervisi Dalam Pendidikan
Evaluasi program supervisi dalam pendidikan harus dilaksanakan sebagaimana
prinsip-prinsip evaluasi pada umumnya, yaitu komprehensif, komparatif, kontinyu,
obyektif, berdasarkan kriteria valid, fungsional dan diagnostik.9
a. Komprehensif. Bahwa evaluasi program supervisi pendidikan berbasis
Al-Qur’an harus mencakup bidang sasaran yang luas atau menyeluruh, baik aspek
personalnya, materialnya, maupun aspek operasionalnya. Evaluasi jangan hanya
ditujukan pada salah satu aspek saja. Misalnya aspek personalnya, jangan hanya
menilai gurunya saja, tetapi juga murid, karyawan dan
kepala sekolahnya. Begitu pula untuk aspek material dan operasionalnya.
Evaluasi harus dilakukan secara menyeluruh, sebagaimana firman Allah:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan
hendaklah Setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok
(akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui
apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Hasyr, 59: 18)
Ayat di atas terdapat perintah taqwa yang diulang, hal ini menunjukkan
betapa pentingnya posisi taqwa dalam kehidupan kita, yang dalam hal ini tenaga
kependidikan. Perintah taqwa pertama berkaitan dengan peringatan kepada orang-
orang beriman agar menjaga taqwa. Sedangkan perintah taqwa yang kedua
32
berkaitan dengan pernyataan Allah mengetahui segala yang dilakukan oleh
manusia, termasuk guru dan semua tenaga kependidikan sebagai obyek supervisi.10
b. Komparatif. Prinsip ini menyatakan bahwa dalam mengadakan
evaluasi program supervisi pendidikan berbasis Al-Qur’an harus
dilaksanakan secara bekerjasama dengan semua orang yang
terlibat dalam aktivitas supervisi pendidikan. Sebagai contoh dalam mengevaluasi
keberhasilan guru dalam mengajar, harus bekerjasama antara pengawas, kepala
sekolah, guru itu sendiri, dan bahkan, dengan
pihak murid. Dengan melibatkan semua pihak dalam evaluasi program supervisi
pendidikan ini diharapkan kita dapat mencapai keobyektifan dalam mengevaluasi.
Hal ini sesuai dengan firman Allah:
Artinya: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan
takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan
bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya.” (QS.
Al-Maidah, 5: 2)
c. Kontinyu. Evaluasi program supervisi pendidikan berbasis Al-
Qur’an hendaknya dilakukan secara terus-menerus selama proses pelaksanaan
program. Evaluasi tidak hanya dilakukan terhadap hasil yang telah dicapai, tetapi
sejak pembuatan rencana sampai dengan tahap laporan. Hal ini penting
dimaksudkan untuk selalu dapat memonitor setiap saat atas
keberhasilan yang telah dicapai dalam periode waktu tertentu. Aktivitas yang
berhasil diusahakan untuk ditingkatkan, sedangkan aktivitas yang gagal dicari jalan
lain untuk mencapai keberhasilan. Hal ini sesuai dengan firman Allah:
33
Artinya: “...Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.”
(QS. An-Nisa, 4: 1)
Ayat di atas juga menegaskan bahwa supervisi harus dilakukan secara terus
menerus, terencana, konsisten dan bukan bersifat insidentil.
d. Obyektif. Dalam mengadakan evaluasi program supervisi pendidikan
berbasis Al-Qur’an harus menilai sesuai dengan kenyataan yang ada. Katakanlah
yang hijau itu hijau dan yang merah itu merah. Jangan sampai mengatakan yang
hijau itu. kuning, dan yang kuning itu hijau. Sebagai contoh, apabila seorang guru
itu sukses dalam mengajar, maka katakanlah bahwa guru ini sukses, dan sebaliknya
apabila jika guru itu kurang berhasil dalam mengajar, maka katakanlah bahwa guru
itu kurang berhasil. Untuk mencapai keobyektifan dalam evaluasi perlu adanya data
dan atau fakta. Dari data dan fakta inilah dapat mengolah untuk kemudian diambil
suatu kesimpulan. Makin lengkap data dan fakta yang dapat dikumpulkan maka
makin obyektiflah evaluasi yang dilakukan.
a. Berdasarkan Kriteria yang Valid. Selain perlu adanya data dan fakta, juga
perlu adanya kriteria- kriteria tertentu.
Kriteria yang digunakan dalam evaluasi harus konsisten dengan tujuan
yang telah dirumuskan. Kriteria ini digunakan agar memiliki standar yang jelas
apabila menilai suatu aktivitas supervisi pendidikan. Kekonsistenan kriteria
evaluasi dengan tujuan berarti
kriteria yang dibuat harus mempertimbangkan hakekat substansi
supervisi pendidikan.
f. Fungsional. Hasil evaluasi program supervisi pendidikan berbasis Al-
Qur’an tidak hanya dimaksudkan untuk membuat laporan kepada atasan yang
kemudian di”peti es”kan. Hasil evaluasi program supervisi pendidikan berarti
fungsional apabila dapat digunakan untuk memperbaiki situasi yang ada pada saat
itu. Dengan demikian evaluasi program supervise pendidikan benar-benar memiliki
nilai guna baik secara langsung maupun tidak langsung. Kegunaan langsungnya
34
adalah dapatnya - hasil evaluasi digunakan untuk perbaikan apa yang dievaluasi,
sedangkan kegunaan tidak langsungnya adalah hasil evaluasi itu dimanfaatkan
untuk penelitian atau keperluan lainnya.
g. Diagnostik. Evaluasi program supervisi pendidikan berbasis Al-Qur’an
hendaknya mampu mengidentifikasi kekurangan-kekurangan atau kelemahan-
kelemahan apa yang dievaluasi sehingga dapat memperbaikinya. Oleh sebab itu
setiap hasil evaluasi program supervisi pendidikan harus
didokumentasikan. Bahan-bahan dokumentasi hasil evaluasi inilah yang dapat
dijadikan dasar penemuan kelemahan-kelemahan atau kekurangan-kekurangan
yang kemudian harus diusahakan jalan pemecahannya.
5. Proses Evaluasi Supervisi Dalam Pendidikan
Proses evaluasi program supervisi dalam pendidikan pada dasarnya berupa
prosedur, tahapan-tahapan, atau langkah-langkah yang perlu ditempuh oleh
supervisor dalam mengevaluasi keberhasilan program supervisi pendidikan.
Adapun langkah-langkah yang dapat ditempuh :
a. Merumuskan tujuan evaluasi. Supervisor dalam wadah tersebut pertama-
tama harus menentukan bersama apa yang hendak dicapai dalam program
evaluasinya. Dalam proses yang bersifat kooperatif dibutuhkan waktu untuk
mencapai kesepakatan tentang tujuan-tujuan yang ingin dicapai yang merupakan
pedoman dan arahan dalam menentukan aspek-aspek yang akan dievaluasi. Untuk
mempermudah proses perumusan tujuan sebaiknya terlebih dahulu diadakan survey
atau penelitian sebagai usaha menginventarisasi kebutuhan-kebutuhan evaluasional
suatu situasi, misalnya dengan cara:
1). Metode analisa, ini digunakan untuk menganalisa kebutuhan-kebutuhan
untuk mengevaluasi.
2). Metode angket.
3). Metode wawancara.
b. Penyeleksi alat-alat evaluasi. Sebenarnya alat-alat evaluasi pendidikan
sangat banyak baik alat-alat yang dapat dikelompokkan didalam teknik tes maupun
teknik non tes. Tetapi tidak semua alat-alat yang secara formal telah disusun secara
35
terstandar dalam evaluasi pendidikan itu sesuai dan dapat digunakan untuk setiap
tujuan evaluasi program supervisi pendidikan. Oleh
sebab itu supervisor pendidikan bersama-sama stafnya perlu mengadakan pilihan
atau menyeleksi alat-alat yang sekiranya lebih cepat dan lebih baik untuk digunakan
dalam situasi tertentu.
c. Menyusun alat evaluasi. Dalam proses penyusunan alat-alat evaluasi ini
panitia atau penyusun hendaknya mengajak pula pihak-pihak yang berkepentingan
untuk menyumbangkan ide-ide bagi perumusan item- item (pernyataan-
pernyataan/pertanyaan-pertanyaan) yang diperlukan.
Misalnya tiap guru diberi kesempatan menyatakan beberapa aspek
mengenai kepemimpinan jika hendak mengevaluasi tentang efektifitas
kepemimpinan kepala sekolah, atau mengenai perasaan kelompok jika hendak
mengevalusi tentang ketrampilan-ketrampilan ketua dalam memimpin rapat dan
sebagainya.
d. Menerapkan alat-alat evaluasi. Alat-alat evaluasi yang telah disusun
sendiri untuk menilai suatu situasi diterapkan yaitu disebarkan kepada pihak-pihak
yang bersangkutan (sample) untuk dijawab. Semua lembaran dikumpulkan atau
dikembalikan kepada panitia secara bebas tanpa membading- bandingkan jawaban
seseorang dengan seseorang yang lain. Untuk
menghindari saling terpengaruh opini orang lain maka perlu ditandaskan bahwa
pada saat memberikan jawaban/ pertimbangan supaya lepas dari pendapat orang
lain.
e. Mengolah hasil-hasil evaluasi. Hasil-hasil yang diperoleh dalam
evaluasi perlu diolah menurut tata cara tertentu.Dalam hal ini kiranya perlu
dibentuk suatu sub panitia khusus untuk menganalisis hasl-hasil yang diperoleh.
Adapun tata cara pengolahan biasanya meliputi kegiatan yang dimulai dari kegiatan
pemeriksaan berkas kemudian, diseleksi, diklasifikasi, dan mungkin saja perlu pula
perhitungan-perhitungan statistik seperti menghitung prosentase, men-tabulasi, dan
seterusnya. Hasil Pengolahan tersebut perlu diiterprestasikan guna memperoleh
kesimpulan-kesimpulan tertentu mengenai”sampai dimana terwujudnya
tujuan”supervisi pendidikan yang telah ditetapkan.
36
f. Menyimpulkan hasil-hasil Evaluasi. Tidaklah mudah
mengintrepretasikan dan menyimpulkan hasil- hasil suatu kegiatan evaluasi . Suatu
sub panitia khusus dapat melakukan fungsi ini dengan baik dan efektif apabila
terpilih dari mereka yang cukup ahli untuk mengadakan analisis terhadap hasil-
hasil dan implikasi-implikasinya bagi tindakan. Supervisor dapat memanfaatkan
hasil-hasil evaluasi ini semaksimal mungkin.
g. Follow Up Evaluasi. Agar evaluasi terhadap program supervisi
pendidikan bermanfaat perlu sekali dipikirkan oleh supervisor akan tindak
lanjutnya. Biasanya tindak lanjut atau follow up dari hasil-hasil evaluasi yang
diperoleh perlu sekali mendapat supervisi yang seksama dan kontinyu dari
supervisor dalam rangka pengembangan program supervisinya.11
6. Kriteria Evaluasi Supervisi Dalam Pendidikan
Secara umum evaluasi supervisi pendidikan harus memenuhi kriteria
sebagai berikut:
1. Harus mengukur tujuan yang ingin dicapai
Apabila tujuan supervisi pendidikan adalah demi peningkatan atau
perbaikan proses belajar mengajar, maka evaluasi program supervisi
pendidikan pun harus diarahkan untuk menilai apakah program
supervisi pendidikan itu sudah mencapai tujuan atau belum. Disamping itu
evaluasi supervisi pendidikan juga harus diorientasikan pada tujuan evaluasi itu
sendiri. Tujuan evaluasi itu sendiri dapat berupa identifikasi atau inventarisasi
pembinaan dan pengembangan sebagai umpan balik dan sebagai pengecekan.
2. Obyektif
Obyektif pada pembahasan ini berarti sesuai dengan kenyataan
yang dilaksanakan oleh program supervisi pendidikan. Apabila program
supervisi pendidikan baik hasilnya, maka katakanlah baik, dan apabila kurang
berhasil katakanlah kurang berhasil. Keberanian mengungkapkan adanya itulah
yang menjamin keobyektifan evaluasi. Tentu saja perlu adanya kelengkapan data
dan pelibatan semua pihak dalam evaluasi. Antara penilai dan pihak yang dinilai
harus ada saling keterbukaan.
37
3. Lebih didasarkan atas observasi daripada hasil interpretasi.
Interpretasi adalah aktivitas memanda dan memberikan opini kepada
suatu obyek. Hal ini akan mengandung subyektifan penilai. Interpretasi dapat
digunakan untuk menganalisa hasil observasi yang berupa data.
4. Mengukur proses dan hasil
Kegiatan supervisi pendidikan selalu berproses. Hasil yang dicapai
adalah terwujud dari proses yang berlangsung sebelumnya. Hal ini sesuai dengan
prinsip kontinyu dalam evaluasi supervisi pendidikan pendidikan. Oleh sebab itu
evaluasi tidak hanya dilakukan setelah hasil supervisi pendidikan terwujud, tetapi
selama proses supervisi dilakukan harus diadakan penilaian.
5. Dilaksanakan dengan penuh kerjasama
Dalam efektivitas evaluasi supervisi pendidikan, supervisor tidak perlu
berada sendiri. Untuk menilai kegiatan atau aktivitas supervisi ia
dapat bekerja sama dengan guru-guru dan bahkan dapat juga bersama dengan
murid-murid dalam porsi kecil, atau mungkin perlu juga bekerja sama dengan
supervisor lainnya. Oleh sebab itu evaluasi supervisor sendiri, tetapi juga bekerja
sama dengan orang lain.12
7. Kesimpulan
Dari uraian di atas maka dapat penulis ambil kesimpulan bahwa evaluasi
merupakan kegiatan yang terencana untuk mengetahui keadaan objek dengan
menggunakan instrument dan hasilnya dibandingkan dengan tolak ukur untuk
memperoleh kesimpulan sebagai acuan menyusun program pembelajaran
selanjutnya.
Sedangkan proses evaluasi supervisi dalam pendidikan dilakukan dengan
cara, merumuskan tujuan evaluasi, penyeleksi alat-alat evaluasi, menyusun alat
evaluasi, menerapkan alat-alat evaluasi, mengolah hasil-hasil evaluasi,
menyimpulkan hasil-hasil Evaluasi, Follow Up Evaluasi.
38
Footnote
1 Saifullah, Muhammad Quthb & Sistem Pendidikan Non Dikotomik, (Yogyakarta: Suluh
Press, 2005), Cet. Ke-1, hal. 40
2. Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2008), cet.
ke-6, hal. 221.
3. Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam,... hal. 221.
4. Zaenal Arifin, Konsep dan Model Pengembangan Kurikulum, (Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya, 2011), Cet. ke-1, hal. 265
5. Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam,... hal. 221.
6. Mukhtar dan Iskandar, Orientasi Baru Supervisi Pendidikan, (Jakarta:
Referenci, 2013), Cet. Ke-1, hal. 44
7. Pupuh Fathurrohman dan AA Suryana, Supervisi Pendidikan Dalam
Pengembangan Proses Pengajaran, (Bandung: PT Refika Aditama, 2011), cet. ke-
1, hal. 7
8. Pupuh Fathurrohman dan AA Suryana, Supervisi Pendidikan Dalam
Pengembangan Proses Pengajaran, hal. vi
8. Masrap Suhaemi, Terjemah Riyadhus Shalihin, (Surabaya: Mahkota,
1986), hal. 66
9. Lemsadewa.blogspot.com
10. Nurwadjah Ahmad, Tafsir ayat-ayat Pendidikan, (Bandung: Marja,
2010), cet. ke-1, hal. 123
11. Lemsadewa.blogspot.com
12. Lemsadewa.blogspot.com
Daftar Pustaka
Mukhtar dan Iskandar, Orientasi Baru Supervisi Pendidikan, (Jakarta: Referenci,
2013), Cet. Ke-1.
Nurwadjah Ahmad, Tafsir ayat-ayat Pendidikan, (Bandung: Marja, 2010), cet. ke-
1,
Suhaemi, Masrap, Terjemah Riyadhus Shalihin, (Surabaya: Mahkota, 1986).
39
Pupuh Fathurrohman dan AA Suryana, Supervisi Pendidikan Dalam
Pengembangan Proses Pengajaran, (Bandung: PT Refika Aditama, 2011),
cet. ke-1.
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2008), cet. ke-6.
Saifullah, Muhammad Quthb & Sistem Pendidikan Non Dikotomik, (Yogyakarta:
Suluh Press, 2005), Cet. Ke-1.
Arifin, Zaenal, Konsep dan Model Pengembangan Kurikulum, (Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya, 2011), Cet. ke-1.
Lemsadewa.blogspot.com
40
PERAN KH. HASYIM ASY-ARI DALAM SEJARAH SOSIAL
INTELEKTUAL DI INDONESIA
Oleh : Amirudin Hamzah
PENDAHULUAN
Nahdatul Ulama (NU) lahir dari kesepakatan para kyai pada masa colonial
Belanda. Nahdatul Ulama artinya kebangkitan para ulama. Organisasi ini lahir pada
16 Rahab 1344 H (13 Januari 1926) dipimpin oleh KH. Hasyim Asy’ari sebagai rias
akbar atau pimpinan tertinggi. Sang pendiri NU ini juga ikut mendirikan pesantren
terbesar di Indonesia untuk menegaskan prinsip dasar organisasi. Maka KH.
Hasyim Asy’ari merumuskan kitab Qonun Asasi (pinsip dasar), juga merumuskan
kitab tersebut kemudian dijawantakan dalam khittah NU, yang dijadikan sebagai
dasar dan rujukan keluarga NU dalam berfikir dan bertindak dalam bidang sosial
keagamaan dan politik.
Diperkirakaan pengikut NU lebih dari 40 juta orang. Dengan beragam profesi
mayoritas dari mereka adalah rakyat yang sederhana, baik di kota dan di desa.
Umumnya kehidupan mereka terkait erat dengan dunia pesantren yang merupakan
pusat pendidikan rakyat dan cagar budaya NU. Para pengikut NU dikenal dengan
sebutan Nadhiyin dan jumlah mereka lebih banyak dari pengikut Muhammadiyah.
NU memiliki struktur organisasi dari tingkat pusat hingga cabang kelurahan, bentuk
kepengurusan terdiri dari : mustayar (penasehat), syuriah (pimpinan tertinggi) dan
tanfidziyah (pelaksana harian).
KH. HASYIM ASY’ARI : SEBUAH BIOGRAFI
KH. Hasyim Asy’ari memiliki kehidupan yang unik. KH. Hasyim Asy’ari
hidup dari dunia pesantren dan kembali ke dunia pesantren. Lahir dari kalangan elit
Kyai jawa, dibesarkan di dunia pesantren dari kecil hingga usia 15 tahun di asuh
dan dididik oleh kakek dan kedua orang tuanya di lingkungan pesantren. Kemudian
beliau mengembara menuntut ilmu ke beberapa pesantren di Jawa dan Madura,
sebelum akhirnya memperdalam ilmunya ke Mekkah, Saudi Arabiah. Selama
kurang lebih tujuh tahun menimba ilmu di Mekkah, beliau kembali ke nusantara
41
dan mendirikan pondok pesantren sendiri di Tebu Ireng. Dan sebagian besar
waktunya beliau curahkan untuk mengajar para santri di pesantrennya. Dari kaum
penjajah kolonial Belanda dan Jepang. Untuk mengetahui lebih jauh tentang siapa
KH. Hasyim Asy’ari dalam subbab ini akan diuraikan silsilah keluarga pendidikan
dan kegiataan sosial politik KH. Hasyim Asy’ari.
SILSILAH KELUARGA
KH. Hasyim Asy’ari lahir dari pasangan A Sya’ri dan Halimah, tanggal 24
Dzul Qadah 1287 H (14 Februari 1987) di desa Gedang Jombang. Ayahnya A
Sya’ri berasal dari tingkir keturuan Abdullah Wahid. Mereka dipercayai sebagai
keturunan raja muslim Jawa, Jaka Tingkir atau mas karebet yang mendirikan
kerajaan Pajang dan bergelar Sultan Hadi Wijaya. Jaka Tingkir merupakan
keturunan raja Hindu Majapahit yaitu Prabu Brawijaya VI. Halimah adalah putri
Kyai Usman, pendiri dan sekaligus pemilik pesantren Gedang. Menurut Akar Hanaf
(1950) dari garis keturunan ibunya. KH. Hasyim Asy’ari memiliki silsilah yakni
Muhammad Hasyim Asy’ari bin Halimah binti Layyinah binti Shan bin Abadul
Jabar bin Ahmad bin Pangeran Sambo bin Pangeran Benawa bin Jaka Tingkir (Mas
Karebet) bin Lebu Puteng alias Brawijaya VI. Raja Majapahit terakhir dengan
demikian silihat dari silsilah ayahnya maupun ibunya, KH. Hasyim Asy’ari
merupakan keturunan bangsawan. Pendapat lain menyatakan bahwa nenek moyang
KH. Hasyim Asy’ari adalah Sunan Giri salah satu dari sembilan wali (Wali Songo)
yang menyiarkan agama Islam di tanah Jawa pada sekitar abad 16 (Hadziq 1995)
ada pula pendapat bahwa KH. Hasyim Asy’ari masih keturunan pemimpin Syiah
yang bernama Jafar Shodiq bin Imam Muhammad Baqir melalui keluarga Syaiban
(Syihab 1994).
Hingga usia 5 tahun, KH. Hasyim Asy’ari diasuh di lingkungan pesantren
Gedang milik kakeknya. Setelah KH. Hasyim Asy’ari berumur 6 tahun orang
tuanya pindah ke desa Keras dan mendirikan pesantren di desa tersebut. Hal ini
sangat berpengaruh bagi KH. Hasyim Asy’ari dimana kelak beliau mendirikan
pesantren sendiri. Di pesantren milik orang tuanya KH. Hasyim Asy’ari
memperoleh pendidikan dan bimbingan sampai beliau berumur 15 tahun. Masa
42
kecil dilingkungan pesantren sangat mempengaruhi pembentukan karakternya yang
haus akan ilmu pengetahuan dan peduli melaksanakan ajaran agama secara
konsisten (Hadziq 1999) : Khuluq 2000.
Ketika usianya menginjak 15 tahun, KH. Hasyim Asy’ari mengembara
menuntut ilmu berbagai pesantren. Pesantren pertama yang disinggahi adalah
pondok pesantren Wono Koyo di Pasuruan, kemudian pondok pesantren Langitan
di Tuban. Dari pesantren Langitan beliau pindah ke pesantren Trenggilis di
Surabaya. Pada waktu itu beliau mendengar bahwa Kademangan Bangkalan
Madura ada seorang KH besar yang sangat terkenal bahkan sebagian masyarakat
musli di sana memberi gelar sebagai wali yullah. Yaitu Kyai Muhammad Khalil.
KH. Hasyim Asy’ari berangkat ke Kademangan Bangkalan Madura menuntut ilmu
kepada Kyai Muhammad Khalil namun demikian KH. Hasyim Asy’ari tidak lama
belajar kepada Kyai Khalil sebab menurut Kyai Khalil menyuruh KH. Hasyim
Asy’ari supaya pulang. Dan mengajarkan ilmunya kepada orang lain yang
membutuhkan. Tetapi dalam perjalanan pulang KH. Hasyim Asy’ari tidak langsung
pulang kerumahnya melainkan singgah dan berguru kepada Kyai Yakub dan
pengasuh pondok pesantren Siwalan Panji di Sidoarjo.
Rupanya Kyai Yakub sangat terkesan dengan ilmu dan akhlak santri barunya
yang bernama Muhammad Hasyim. Beberapa lama kemudian Kyai Yakub meminta
supaya KH. Hasyim Asy’ari menikah dengan putrinya yang bernama Nafisah.
Permintaan semacam itu sudah merupakan hal yang lazim di dunia pesantren.
Setelah mendapat restu dari kedua orang tuanya Muhammad Hasyim bin Ashari
menikahi Nafisah binti Yakub tahun 1892, ketika Hasyim berusia 21 tahun. Hasyim
dan istri serta mertuanya kemudian menunaikan ibadah haji ke Mekkah. Tujuh
bulan berada di Mekkah istrinya melahirkan seorang anak laki-laki dan diberi nama
Abdullah, akan tetapi Nafisah dan anaknya meninggal disana. Tahun 1893, Hasyim
kembali lagi ke Mekkah bersama adiknya yang bernama Anis, namun rupanya
musibah masih belum mau beranjak dari Hasyim Asy’ari kemudian adiknya pun
meninggal di Mekkah selama kurang lebih delapan tahun bermukim di Mekkah
Hasyim belajar ilmu agama Islam, bahkan beliaupun sempat berthalwat di gua Hiro.
Tempat dimana pertama kali Nabi Muhammad SAW menerima wahyu ilahi. KH.
43
Hasyim Asy’ari berguru kepada beberapa ulama terkenal seperti Syeikh Suaib bin
Abadurrahman, Syeikh Muhammad Mahmuf Aturmudzi, Syeikh Minang Kabau,
Syeikh Sambas dan lain-lain.
Tahun 1900, KH. Hasyim Asy’ari kembali dari tanah suci dan mengajar di
pesantren ayah dan kakeknya. Antara tahun 1903 sampai 1906 beliau mengajar di
pondok mertuanya, Kemuning di Kediri. KH. Hasyim Asy’ari selain dikenal
sebagai seorang ulama besar dan berilmu tinggi beliau juga dipercayai mempunyai
kekuatan batin yang luar biasa (supranatural) semenjak mendirikan pondok
pesantren Tebu Ireng. Mantan gurunya Kyai Kholil di Bangkalan sebagai kalangan
dan para ulama menganggapnya sebagai wali terhahap KH. Hasyim Asy’ari
membuat Kyai di Jawa mengikuti jejaknya dan menganggap KH. Hasyim Asy’ari
sebagai guru mereka. Sepeninggal Kyai Kholil di Bangkalan KH. Hasyim Asy’ari
dinobatkan sebagai pemimpin spiritual para Kyai.
Paham Ahlussunnah Wal Jama’ah yang dianut NU
Berkembangnya ahlussunnah wal jama’ah di Indonesia berbarengan dengan
berkembangnya Islam di Indonesia yang diabwa oleh para wali. Di pulau Jawa
peranan walisongo sangat berpengaruh dalam memantapkan eksistensi ahlussunnah
wal jama’ah. Namun, ahlussunnah wal jama’ah yang dikembangkan walisongo
masih dalam bentuk ajaran-ajaran yang sifatnya tidak dilembagakan dalam suatu
wadah organisasi.
Perlembagaan ajaran ahlussunnah wal jama’ah di Indonesia dengan karakter
yang khas terjadi setelah didirikannya Nadhatul Ulama (NU) pada tahun 1926. NU
adalah sebagai satu-satunya organisasi keagamaan yang secara formal dan normatif
menempatkan ahlussunnah wal jama’ah sebagai paham keagamaan yang dianutnya.
KH. Hasyim Asy'ari sebagai salah seorang pendiri NU telah merumuskan
konsep ahlussunnah wal jama’ah dalam kitab Al-Qanun Al-Asasiy li Jami’yya
Nadhlah al-‘Ulama’. Al-Qonun Al-Asasiy berisi dua bagian pokok, yaitu:
1. Risalah ahlussunnah wal jama’ah, yang memuat tentang kategorisasi sunnah
dan bid’ah dan penyebarannya di pulau Jawa, dan
44
2. Keharusan mengikuti mazhab empat (13 karena hidup bermazhab itu lebih
dapat menyatukan kebenaran, lebih dekat untuk merenungkan, lebih mengarah
pada ketelitian, dan lebih mudah dijangkau. Inilah yang dilakukan oleh
salafusana al-shalih (generasi terdahulu yang salih).
Mengenai istilah ahlussunnah wal jama’ah, KH. Hasyim Asy'ari dengan
mengutip Abu al-Baqa’ dalam bukuknya “Al-Kulliyyat” mengartikannya secara
bahasa sebagai jalan, meskipun jalan tidak disukai. Menurut syara’, ‘sunnah’ adalah
sebutan bagi jalan itu tidak disukai dan dijalani dalam agama sebagaimana
dipraktekkan oleh Rasulullah SAW. Atau tokoh agama lainnya, seperti para sahabat
sebagaimana dikatakan Syeikh Zaruq dalam kitab ‘Uddah al-Murid, menurut
syara’, ‘bid’ah’ adalah munculnya perkara baru dalam agama yang kemudian mirip
bagian agama, padahal bukan bagian darinya, baik formal maupun hakekatnya.
Yang menarik dari Qonun Asasiy adalah bahwa KH. Hasyim Asy'ari
melakukan serangan keras kepada Muhammad ‘Abduh, Rasyid Ridha, Muhammad
Ibn ‘Abd al-Wahhab, Ibn Taimiyah, dan dua muridnya Ibn al-Qayyim dan Ibn ‘Abd
al-Hadi yang telah mengharamkan praktek yang telah disepakati umat Islam
sebagai bentuk kebaikan seperti ziarah ke makam Rasulullah. Dengan mengutip
pendapat Syeikh Muhammad Bakhit al-Hanafi al-Muti’i dalam risalahnya Tathir
al-Fu’ad min Danas al-I’tiqad, KH. Hasyim Asy'ari menganggap kelompok ini telah
menjadi fitnah bagi kaum muslimin, baik salaf maupun khalaf. Mereka merupakan
aib dan sumber perpecahan bagi kaum muslimin yang mesti segera dihambat agar
tidak menjalar ke mana-mana.
Dalam perkembangan selanjutnya, konsep ahlussunnah wal jama’ah tersebut
mengalami proses pergulatan dan penafsiran yang insentif di kalangan warga NU.
Sejak ditahbiskan sebagai paham keagamaan warga NU, ahlussunnah wal jama’ah
mengalami kontekstualisasi yang beragam. Meskipun demikian, kontekstualisasi
ahlussunnah wal jama’ah, tidak menghilangkan makna dasarnya sebagai paham
atau ajaran Islam yang pernah diajarakan dan diamalkan oleh Rasulullah SAW
bersama para sahabatnya.
Titik tolak dari paham ahlussunnah wal jama’ah terletak pada prinsip dasar
ajaran Islam yang bersumber kepada Rasulullah dan para sahabatnya. Ada beberapa
45
tokoh NU yang menafsirkan paham ahlussunnah wal jama’ah diantaranya adalah
KH. Bisri Mustofa, KH. Achmad Siddiq, KH. Saefuddin Zuhri, KH. Dawan Anwar,
KH. Said Aqil Siradj, KH. Sahal Mahfuzh, KH. Wahid Zaini, KH. Muchith Muzadi,
dan KH. Tolchah Hasan.
Oleh para ulama NU, ahlussunnah wal jama’ah dimaknai dalam dua
pengertian. Pertama, ahlussunnah wal jama’ah sudah ada sejak zaman sahabat nabi
dan tabi’in yang biasanya disebut generasi salaf. Pendapat ini didasarkan pada
pengertian ahlussunnah wal jama’ah yakni mereka yang selalu mengikuti sunnah
Nabi SAW dan para sahabatnya.
Kedua, pendapat yang mengatakan bahwa ahlussunnah wal jama’ah adalah
paham keagamaan yang baru ada setelah munculnya rumusan teologi Asy’ari dan
Maturidi dalam bidang teologi, rumusan fiqhiyyah mazhab empat dalam bidang
tashawuf.
Pengertian pertama sejalan dengan sabda Nabi SAW: “Hendaklah kamu
sekalian berpegang teguh kepada sunnah Nabi dan sunnah al-Khulafa al-Rasyidin
yang mendapat petunjuk” (HR. at-Tirmidzi dan al-Hakim). Dalam hadits tersebut,
yang dimaksud bukan sahabat yang tergolong al-khulafa al-rasyidin saja, tetapi juga
sahabat-sahabat lain, yang memiliki kedudukan yang penting dalam pengalaman
dan penyebaran Islam.
Nabi SAW. Berada: “Sahabat-sahabatku seperti bintang ( diatas langit )
kepada siapa saja di antara kamu mengikutinya, maka kamu telah mendapat
petunjuk” ( HR.al-Baihaqi ).
Sesudah generasi tersebut, yang meneruskan ajaran ahlussunnah wal jama’ah
adalah para tabi’it-tabi’in (generasi sesudah tabi’in) dan demikian seterusnya yang
kemudian dikenal sebagai penerus Nabi, yaitu ulama.
Nabi SAW. Bersabda: “Ulama adalah penerang-penerang dunia pemimpin-
pemimpin di bumi, dan pewarisku dan pewaris nabi-nabi” (HR. Ibn ‘Ay) (18. Itu
sebabnya, paham ahlussannah wal jama’ah, sesungguhnya ajaran Islam yang
diajarkan oleh Rusulullah, sahabat, tabi’in, dan generasi berikutnya.
46
Pengertian ini di dukung oleh KH. Achmad Siddiq yang mengatakan bahwah
ahlussunnah wal jama’ah adalah pengikut dari garis perjalanan Rasulullah SAW.
Dan para pengikutnya sebagai hasil pemufakatan golongan terbesar umat Islam. (19
Pengertian ini di pertegas lagi oleh KH. Saefudin Zuhri yang mengatakan bahwa
ahlussannah wal jama’ah adalah segolongan pengikut sunah Rasulullah Saw. Yang
di dalam melaksanakan ajaran-ajarannya berjalan di atas garis yang di praktekan
oleh jama’ah (sahabat nabi). Atau dengan kata lain, golongan yang menyatukan
dirinya dengan para sahabat di dalam mempratekkan ajaran – ajaran nabi
Muhammad SAW. Yang meliputi akidah, fikih, akhlaq, dan jihad.
Namun demikian, dalam perkembangan selanjutnya, makna ahlussunnah wal
jama’ah di lingkungan NU lebih menyempit lagi, yakni kelompok atau orang-orang
yang mengikuti para imam mazhab, seperti Maliki, Hanafi, Syafi’i dan Hanbali
dalam fikih; mengikuti Abu al-Hasan Al-Sy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi dalam
bidang tauhid, dan Junaid al-Bagdadi dan al-Ghazali dalam bidang tashawuf.
Pengertian ini dimaksudkan untuk melestarikan, mempertahankan,
mengamalkan dan mengembangkan paham ahlussunnah wal jama’ah. Hal ini
bukan berarti NU menyalahkan mazhab-mazhab mu’tabar lainnya, melainkan NU
berpendirian bahwa dengan mengikuti mazhab yang jelas metode dan produknya
warga NU, sistem akan lebih terjamin berada di jalan yang lurus. Menurut NU,
sistem bermazhab adalah sistem yang terbaik untuk melestarikan,
mempertahankan, mengamalkan dan mengembangkan ajaran Islam, supaya tetap
tergolong ahlussunnah wal jama’ah.
Di luar dua pengertian di atas, KH. Said Agil Siradji memberikan
pengertian lain. Menurutnya, ahlussunnah wal jama’ah adalah orang-orang yang
memiliki metode berfikir keagamaan yang mencakup semua aspek kehidupan yang
berlandaskan atas dasar-dasar moderasi, menjaga keseimbangan, dan toleransi.
Baginya, ahlussunnah wal jama’ah harus diletakkan secara proporsional yakni
ahlussunnah wal jama’ah bukan sebagai mazhab, melainkan hanyalah sebuah
manhaj al-fikr (cara berpikir tertentu) yang digariskan oleh sahabat dan para
muridnya, yaitu generasi tabi’in yang memiliki intelektualitas tinggi dan relatif
netral dalam menyikapi situasi politik ketika itu. Meskipun demikian, hal ini bukan
47
berarti bahwa ahlussunnah wal jama’ah sebagai manhaj al-fikr adalah produk yang
bebas dari realitas sosiokultural dan sosio-politik yang melingkupinya.
Sejak berdirinya, NU telah menetapkan diri sebagai jam’iyah yang berakidah
Islam ahlussunnah wal jama’ah. Dalam Muqaddimah Qonun Asasiy-nya, pendiri
jami’iyyah NU, KH. Hasyim Asy'ari menegaskan, “Hai para ulama dan pemimpin
yang takut pada Allah dari kalangan ahlussunnah wal jama’ah dan pengikut imam
empat, kalian sudah menuntut ilmu agama orang-orang yang hidup sebelum kalian.
Dari sini, kalian harus melihat dari siapa kalian mencari atau menuntut ilmu agama
Islam. Berhubung dengan cara menuntut ilmu, pengetahuan sedekian itu, maka
kalian menjadi pemegang kuncinya, bahkan menjadi pintu-pintu gerbangnya ilmu
agama Islam. Oleh karena itu, janganlah memasuki rumah kecuali pintunya. Siapa
saja yang memasuki suatu rumah tidak melalui pintunya maka pencurilah
namanya!”
Bagi NU landasan Islam adalah Al-Qur’an, sunnah (perkataan, perbuatan dan
taqrir/ketetapan) Nabi Muhammad SAW. Sebagaimana telah dilakukan bersama
para sabahatnya dan sunnah al-khulafah’ al-rasyidin, Abu Bakar Al-Shiddiq, Umar
ibn al-Khattab, Usman ibn Affan dan Ali ibn Abi Thalib. Dengan landasan ini, maka
bagi NU, Ahlussunnah wal jama’ah dimengerti sebagai ‘para pengikut sunnah Nabi
dan Ijma’ para ulama ‘. NU menerima ijtihad dalam konteks bagaimana ijtihad itu
dapat dimengerti oleh umat. Ulama pendiri NU menyadari bahwa tidak seluruh
umat Islam memahami dan menafsirkan ayat al-Qur’an maupun matan (mata rantai)
bersambung sampai ke Rasulullah SAW. Diperlukan untuk mempermudah
pemahaman itu.
Dalam menggunakan landasan itu, ada tiga cirri utama Ahlussunnah wal
jama’ah yang dianut NU :
Pertama adanya keseimbangan antara dalil (rasio) dan dalil naqliy (al Qur’an
dan Hadits), dengan penekanan dalil aqliy ditempatkan di bawah dalil naqliy.
Kedua, berusaha sekuat tenaga menunaikan akidah dari segala campuran
akidah di luar Islam.
Ketiga, tidak mudah menjatuhkan vonis musyrik, kufur dan sebagainya atas
seseorang yang karena sesuatu sebab belum dapat memurnikan akidanya.
48
Dalam tashawuf, NU berusaha mengimplementasikan iman, Islam dan ihsan
secara serempak, terpadu dan berkesinambungan. Berlandasarkan tashawuf yang
dianut, NU dapat menerima hal-hal baru yang bersifat lokal sepanjang dapat
meningkatkan intensitas keberagaman. Dengan tashawuf yang dianut, NU juga
berusaha menjaga setiap perkembangan agar tidak menyimpang dari ajaran Islam.
KESIMPULAN
1. KH. Hasyim Asy’ari belajar ke berbagai tempat di Jawa dan Madura. Sebelum
akhirnya memperdalam ilmunya ke Mekkah, Saudi Arabia selama kurang lebih
tujuh tahun menimba ilmu di Mekkah. Beliau kembali ke nusantara dan
mendirikan pondok pesantren sendiri di Tebu Ireng.
2. KH. Hasyim Asy'ari sebagai salah seorang pendiri NU telah merumuskan
konsep ahlussunnah wal jama’ah dalam kitab Al-Qonun, Al-Asasiy,
Jami’iyyah Nahdlah al-Ulama: Al-Qonun Al-Asasiy berisi dua bagian pokok
yaitu:
a. Ahlussunnah wal jama’ah sudah ada sejak zaman sahabat nabi dan tabi’in
yang biasanya disebut generasi salaf, pendapat ini didasarkan pada
pengertian ahlussunnah wal jama’ah, yakni mereka yang selalu mengikuti
sunnah Nabi SAW dan para sahabatnya.
b. Pendapat yang mengatakan bahwa ahlussunnah wal jama’ah adalah paham
keagamaan yang baru ada setelah munculnya rumusan teologi Asy’ari dan
Maturidi dalam bidang Fiqih serta rumusan tasawuf Junayd al-Bagdadi
dalam fiqih serta rumusan tashawuf Junayg al-Bagdadi dalam bidang
tasawuf.
DAFTAR PUSTAKA
1. Dwi Purwoko, dkk. Negara Islam. PT. Permata Artistika, Kreasi. Depok.
2001
2. Deliar Noer. Gerakan modern Islam di Indonesia. LP3 ES
3. www.Mail-archive.com/MencintaiIslam
4. www.tokohIndonesia.com/ensiklopedi.Hasyim/IndexSHTM
49
5. HM. Hasyim, Latif Ahlussunnah wal jama’ah LP Ma’arif. Jawa Timur. 1979,
halaman 3.
6. KH. Saefudin Zuhri. Menghidupkan Nilai-nilai Ahlussunnah Wal Jama’ah
Dalam Praktek IPNO. Jakarta. 1979. Hlm. 7
7. A. Wahid Zaini. OP. Cit. Hlm. 51
8. KH. A. Muchita Muzadi OP.Cit. Hlm. 29
9. KH. Said Agil Siradji. Ahlussunnah Wal Jama’ah Dalam Lintas Sejarah C.
Yogyakarta. LKPS. 1999. Hal 4.
50
MENDIDIK ANAK SUPERNORMAL
DALAM PERSEPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM
Oleh : Hasanudin
PRAWACANA
Era globalisasi sekarang, dunia semakin sempit. Kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi semakin pesat yang menimbulkan berbagai dampak dalam seluruh
bidang kehidupan manusia. Baik dampak yang bernilai positif maupun negatif.
Dalam hal ini pendidikan mempunyai peranan dalam membangun bangsa ke depan
untuk mencapai kemakmuran dan kesejahteraan hidup yang merata.
Dalam menghadapi kemajuan tersebut secepatnya bangsa Indonesia harus
meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) dan tidak perlu menunda-
nunda lagi. Karena dengan SDM yang berkualitas bangsa Indonesia akan mampu
mengikuti kemajuan tersebut. SDM yang berkualitas adalah berkembangnya
manusia secara menyeluruh. Manusia yang berkualitas adalah manusia yang
berkembang optimal baik secara fisik, kognitif, emosi, sosial maupun spiritual.
Secara tidak sadar bangsa Indonesia memiliki bibit-bibit unggul yang dapat
dijadikan SDM berkualitas. Bibit unggul tersebut yaitu anak yang memiliki
kecerdasan lebih tinggi atau bisa disebut dengan anak supernormal. Anak
supernormal memiliki keunggulan-keunggulan berbeda dengan anak normal. Dari
segi fisik sedikit lebih unggul baik tinggi, bobot dan kesehatan. Lebih mampu
berkonsentrasi dalam waktu yang relatif lama, mampu mencipta, mampu
memahami mulai dari masalah material sampai masalah abstrak. Karena kelebihan
dalam hal kecerdasan, maka cenderung bergaul dengan anak-anak yang lebih tua
yang lebih banyak memiliki kemahiran fisik dan pengalaman.
Keunggulan-keunggulan yang dimiliki anak supernormal penting untuk
dikembangkan dan dibimbing. Karena anak yang memiliki kecerdasan lebih
laksana tanaman yang membutuhkan seseorang yang dapat membimbing dan
membantunya agar berkembang secara alamiah, menghilangkan berbagai kendala
51
yang ada dihadapannya, serta merintis jalan baginya. Merekapun membutuhkan
seseorang yang dapat memahami serta menghargai kelebihannya.
Apabila anak supernormal tidak disediakan pelayanan pendidikan, tidak
dibimbing dan tidak dididik sesuai dengan kebutuhan-kebutuhannya yang khas,
sehingga potensi-potensinya kurang dapat diwujudkan maka disamping dapat
kehilangan bibit-bibit unggul bagi perkembangan negara dan bangsa Indonesia,
anak-anak tersebut dirugikan bahkan dapat menjadi anak bermasalah, dan bisa jadi
putus sekolah. Jelas bahwa anak supernormal membutuhkan didikan dan bimbingan
secara khusus dan serius.
Upaya membimbing dan mendidik anak supernormal supaya menjadi SDM
yang berkualitas dan memiliki masa depan yang cerah akan berhasil apabila
didukung oleh orang tua dan masyarakat. Orang tua mempunyai peran yang sangat
penting, karena orang tualah yang menemukan beberapa karakteristik anak pada
usia yang sangat dini, yaitu saat dia membangdingkan dengan anak lain pada usia
yang sama, kadang seorang ibu mengetahui bakat putrinya melalui aneka
pertanyaan cerdas yang diajukannya. Disamping orang tua, lingkungan masyarakat
juga mempunyai peran yang sangat besar. Karena di lingkungan masyarakatlah
mereka berkembang yang dapat mempengaruhi baik buruknya anak.
Mendidik anak merupakan tanggung jawab yang berat. Nabi SAW telah
menyebutkan dengan tepat tanggung jawab itu yaitu sebagai seorang pemimpin,
sebagai seorang pemimpin harus berhati-hati tehadap yang dipimpinnya. Orang tua
harus terus menerus mengawasi dan memperhatikan sehingga yakin bahwa anak-
anak mereka tidak tersesat dan jatuh.
Seseorang tidak bisa dibiarkan tumbuh dan berkembang begitu saja tanpa ada
yang merawat dan membimbing, karena anak bisa tumbuh liar tak terkendali.
Pendidikan merupakan tanggung jawab dan kewajiban orang tua karena anak
sebagai amanah Allah SWT. Oleh karena itu orang tua tidak boleh menelantarkan
kebutuhan-kebutuhan anak yakni kasih sayang, perlindungan, pendidikan dan
sebagainya.
Agar terjadi keseimbangan dan kebahagiaan hidup di dunia dan akherat pada
anak supernormal perlu penanaman ahlakul kharimah karena dalam muatan SDM
52
yang berkualitas yang paling elementer adalah sikap hidup ahlakul kharimah secara
kondusif. Anak supernormal merupakan kekayaan sumber daya insani yang tidak
terukur nilainya. Mereka bukan hanya milik orang tuanya melainkan milik
masyarakat dimana mereka tumbuh. Oleh karena itu jangan menyia-nyiakan
kekayaan yang besar ini. Dengan memenuhi kemauan positif, memuji daya kreasi
dan hasil kerja dan mendidik mereka, supaya menjadi cendekiawan umat dan
pimpinan masyarakat banyak yang berlandaskan pada ajaran agama.
Dari permasalahan tersebut penyusun ingin mengkaji tentang bagaimana
mendidik anak yang mempunyai keunggulan kecerdasan untuk dapat membangun
kehidupan bangsa dalam pandangan pendidikan Islam. Untuk itu dalam skripsi ini,
sengaja penyusun mengangkat masalah mendidik anak supernormal dalam
perspektif pendidikan Islam, penyusun beranggapan bahwa kecerdasan merupakan
potensi yang akan menghasilkan generasi penerus yang cakap dan berkualitas yang
dapat memahami risalah-Nya, memahami keberadaan-Nya sesuai dengan ajaran
agama apabila ada usaha untuk membimbing dan mendidiknya.
Sikap Islam terhadap pendidikan intelektual anak terpantul dari
karakteristiknya sebagai “din fitrah”. Islam melihat dan menghormati potensi
manusia sebagai potensi yang utuh tidak sepotong-potong, sebagaimana firman
Allah dalam QS. Al-Mulk : ayat. 23 :
Artinya : “… katakanlah ; Dialah yang menciptakan kamu dan menjadikan bagi
kamu pendengaran, penglihatan dan hati (tetapi) amat sedikit kamu bersyukur.”
Dari ayat di atas menunjukkan bahwa Islam sangat menghormati dan
mendorong potensi intelektual serta menggariskan media-media khusus yang dapat
membantu orang tua dalam mendidik dan mengembangkan potensi intelektual
anaknya. Proses pendidikan pada dasarnya membantu mengembangkan potensi
yang dimiliki agar berkembang secara optimal, sehingga anak mampu
melaksanakan tugas-tugasnya sebagai khalifah di muka bumi. Secara sederhana
kualifikasi manusia yang mampu berperan sebagai “subyek” khalifah di muka bumi
53
adalah mereka yang memiliki komitmen iman dan menguasai ilmu pengetahuan
dan teknologi untuk mengungkap hukum-hukum alam (sunatullah) dalam rangka
memakmurkan kehidupan di muka bumi.
Keluarga adalah lembaga yang sangat penting dalam proses pengasuhan anak.
Meskipun bukan menjadi satu-satunya faktor, keluarga merupakan unsur yang
sangat menentukan dalam pembentukan kepribadian dan kemampuan anak. Fungsi
keluarga dalam hal ini adalah bagaimana peranan orang tua dalam upaya
membentuk kepribadian anak, mendidik dan mengembangkan potensi akademi,
potensi religius dan moral. Kedekatan orang tua jelas memberikan pengaruh yang
besar dalam proses pembentukan di banding pengaruh yang diberikan oleh
komponen pendidikan lainnya.
Selain keluarga faktor lingkungan yang tak kalah penting adalah sekolah.
Sekolah adalah sebuah lingkungan yang amat besar pengaruhnya terhadap
pertumbuhan dan perkembangan akal. Agar pendidikan berhasil diperlukan situasi
pendidikan yang baik, bahan-bahan pendidikan serta metode mendidik yang tepat.
Untuk itu orang tua harus mempersiapkan anak baik dari segi jasmani, akal, dan
rohaninya sehingga dia menjadi angggota masyarakat yang bermanfaat baik untuk
dirinya maupun masyarakat.
Anak supernormal adalah anak yang mempunyai intelegensi di atas normal.
Anak yang tergolong supernormal adalah anak yang memiliki intelegensi di atas
110. Adapun kalsifikasi anak yang tergolong supernormal berdasarkan tingkat
tingginya intelegensi menurut para ahli adalah :
a. Robert S. Woodwort dan Donalt C. Marquis membagi jenis anak supernormal
sabagai berikut :
IQ Kalsifikasi
Genius 140 – ke atas Very Superior 130 – 139
Very Superior 120 – 129 Superior 110 – 119
b. Baker mengklasifikasikan anak supernormal menjadi 3 golongan :
IQ Klasifikasi
Genius 140 – 200
54
Gifted 125 – 140
Rapid 110 – 125
c. Menurut Gauss (sebaran nilai IQ menurut kurve normal gauss ) yaitu :
IQ Klasifikasi
Sangat menonjol Di atas 139
Menonjol 120 – 139
Di atas biasa 110 – 119
Biasa (rata-rata) 90 – 109
Di bawah biasa 80 – 89
Batas terbelakang 76 – 79
Terbelakang mental Di bawah 70
Dari beberapa klasifikasi tersebut dapat ditarik kesimpulan, bahwa rata-rata
yang tergolong anak supernormal adalah anak yang memiliki intelegensi di atas 110
dan bisa disebut dengan anak jenius, very superior dan superior.
Mendidik anak supernormal pada umumnya sama seperti mendidik anak
normal biasa karena setiap anak memerlukan kasih sayang, rasa aman, perhatian
serta dorongan dari orang tua. Karena anak supernormal mempunyai kecerdasan
yang tinggi sehingga sifat dan tingkah lakunya berbeda maka kebutuhannya pun
berbeda dengan anak normal biasa. Untuk itu dalam mendidiknya lebih khusus agar
terpenuhi segala kebutuhannya.
Orang tua dapat mendidik anaknya yang super di rumah, dengan menciptakan
rumah yang penuh kegembiraan dan diterapkannya proses belajar mengajar yang
menyenangkan caranya :
1. Sediakan fasilitas seperti buku-buku, mainan, pensil, kertas, crayon, tanah liat,
kaset audio dan kaset video. Karena benda-benda ini penting bagi seorang
jenius yang sedang berkembang.
2. Perbanyak pujian.
3. Kegembiraan dalam berbagi.
Di samping itu orang tua juga perlu menggunakan metode-metode yang
tepat untuk meningkatkan proses pembelajaran super, yaitu metode yang dapat
menimbulkan rangsangan kegiatan dan kegairahan belajar secara aktif :
55
1. Mengembangkan Identitas
2. Permainan
3. Melihat-lihat perpustakaan
4. Berjalan-jalan di alam terbuka
5. Membuat dan mengajukan pertanyaan.
Mendidik dengan pemberian bantuan dan dorongan akan memberi anak
perasaan bahwa dia hidup di dunia yang menyenangkan diantara orang-orang yang
memahami dan menghargainya. Hal itu akan menumbuhkan dalam dirinya
kecintaan ilmu dan pengetahuan. Bimbingan yang diberikan anak superior baik di
rumah maupun di sekolah demikian dengan pula dengan pengertian dan penerimaan
terhadap ide-idenya akan menciptakan benih bagi munculnya seorang peneliti,
pemikir, atau ilmuwan masa depan. Pembinaan itu akan membantunya untuk
menerima dan menampilkan kemampuan intelektualnya yang kelak akan sangat
penting bagi pengabdian kepada masyarakat.
Pendidikan Islam berperan sebagai penghasil out put yang memiliki
kecerdasan yang tinggi. Out put yang memiliki kecerdasan yang tinggi ditandai
dengan sejauh mana mereka mampu memikirkan inovasi-inovasi baru yang
menyelesaikan problem-problem hidup. Dan juga pendidikan Islam berusaha
mempersiapkan anak didiknya untuk memperoleh kebahagiaan dunia akherat
sesuai dengan tujuan. Pendidikan Islam juga menjadikan anak didiknya menjadi
manusia sempurna.
KONSEP PENDIDIKAN ISLAM
Sebelum membahas pendidikan Islam terlebih dahulu penulis sedikit
menguraikan apa arti pendidikan itu sendiri. Istilah pendidikan dalam konteks Islam
lebih banyak dikenal dengan term At-Tarbiyah, At-Ta’lim, At-Ta’dib, dimana term
tersebut mempunyai makna yang berbeda. Dari ketiga istilah tersebut telah banyak
menimbulkan perdebatan diantara para ahli mengenai istilah mana yang paling
tepat untuk menunjuk kegiatan “pendidikan”.
56
Dalam bukunya Abu Tauhid yang berjudul “Beberapa Aspek Pendidikan
Islam” memberikan pemahaman tentang ketiga istilah di atas yaitu : kata At-Ta’lim
yang lebih tepat ditujukan untuk istilah “pengajaran” yang hanya terbatas pada
kegiatan menyampaikan atau memasukkan ilmu pengetahuan ke otak seseorang.
Jadi lebih sempit dari istilah “pendidikan” yang dimaksud, dengan kata lain At-
Ta’lim hanya sebagai bagian dari pendidikan. Dan kata At-Ta’dib lebih tepat
ditujukan untuk istilah “pendidikan ahlak” semata, jadi sasarannya hanyalah pada
hati dan tingkah laku (budi pekerti.) sedangkan kata At-Tarbiyah mempunyai
pengertian yang lebih luas dari At-Ta’lim dan At-Ta’dib bahkan mencakup kedua
istilah tersebut.
Dari pengertian di atas istilah At-Tarbiyah mengandung berbagai kegiatan
yang berupa menumbuhkan, mengembangkan, memperbaiki, mengurus, maupun
mengawasi serta menjaga anak didik. Dengan berbagai kegiatan ini maka potensi-
potensi yang ada dalam diri anak didik akan mengalami perkembangan ke arah
kemajuan.
Sedangkan pengertian pendidikan secara terminologi telah banyak para pakar
yang mencoba merumuskannya berdasarkan hasil ijtihad sehingga tak
mengherankan jika sampai saat ini banyak definisi pendidikan Islam yang masing-
masing mengandung persamaan dan perbedaan. Berikut ini dikemukkan tiga
definisi pendidikan Islam yang telah dirumuskan oleh beberapa ahli diantaranya :
1. Sayid Sabiq, merumuskan bahwa pendidikan Islam ialah mempersiapkan
anak baik dari segi jasmani, segi akal, dan segi rohaniyah sehingga dia
menjadi anggota masyarakat yang bermanfaat baik bagi dirinya maupun
bagi umatnya.
2. Athiyah Al-Abrasy, menyatakan bahwa pendidikan Islam adalah
mempersiapkan individu agar ia dapat hidup dengan kehidupan yang
sempurna.
3. Anwar Jundi, mengatakan pendidikan Islam yaitu menumbuhkan manusia
dengan pertumbuhan yang terus menerus sejak ia lahir sampai ia meninggal
dunia.
57
Jadi pendidikan Islam merupakan pengembangan potensi yang dimiliki anak
sesuai dengan bakat dan minatnya, disamping itu pendidikan harus mempunyai
tujuan yang jelas yang hendak dicapai dan aspek pengembangan akal pikiran
sehingga potensi dasar anak dikembangkan secara leluasa, sehingga kemampuan
yang dimiliki anak akan tumbuh dan berkembang sesuai dengan perkembangan
jasmani dan rohani sehingga menjadi manusia yang berguna.
Muhammad Athiyah Al-Abrosy menyatakan bahwa prinsip umum
pendidikan Islam adalah mengembangkan berfikir bebas dan mandiri serta
demokratis dengan memperhatikan kecenderungan peserta didik secara individu
yang menyangkut aspek kecerdasan akal, dan bakat dengan dititik beratkan pada
pengembangan ahlak. Pengertian pendidikan Islam di atas berupaya
mengembangkan anak sesuai dengan akal dan bakat dengan bimbingan dan dengan
dorongan yang dititik beratkan pada pengembangan ahlak.
Pengertian di atas menjelaskan bahwa pendidikan Islam berupaya
mengembangkan potensi manusia baik dari sisi kognitif, afektif maupun
psikomotorik sebagai satu kesatuan yang utuh dengan berlandaskan nilai-nilai
Islam sehingga diharapkan manusia bisa menghadapi masa depan yang akan
dihadapi dengan kemampuan yang telah dimiliki.
Berbagai pengertian di atas menunjukkan beragamnya pendapat para ahli.
Namun memiliki kesamaan yang mendasar sehingga dapat disimpulkan bahwa
pendidikan Islam adalah usaha sadar yang dilakukan oleh orang yang lebih dewasa
untuk mengarahkan, membimbing dan mengembangkan seluruh potensi anak didik
agar berkembang lebih maju demi tercapainya pribadi yang dewasa, mandiri da
lebih sempurna dengan berlandaskan nilai-nilai yang bersumber dari Al-Quran dan
Sunah untuk mencapai kebahagiaan yang akan datang.
PENGERTIAN ANAK SUPERNORMAL
Sebelum menguraikan tentang anak supernormal, terlebih dahulu akan
penulis uraikan apa itu intelegensi dan IQ serta bagaimana cara pengukurannya,
karena patokan anak supernormal dalam tulisan ini adalah tingkat tingginya
intelegensi.
58
Intelegensi atau kecerdasan merupakan suatu kemampuan tertinggi dari
jiwa mahluk hidup yang hanya dimiliki oleh manusia, intelegensi diperoleh
manusia sejak lahir dan sejak itu pula potensi intelegensi mulai berfungsi
mempengaruhi waktu dan kualitas perkembangan individu dan apabila sudah
berkembang, maka fungsinya semakin berarti bagi manusia yakni akan
mempengaruhi kualitas penyesuaian dirinya dengan lingkungan. Intelegensi bukan
suatu yang bersifat kebendaan melainkan suatu fiksi ilmiah untuk mendeskripsikan
perilaku individu yang berkaitan dengan kemampuan intelektual. Para ahli
mempunyai pengertian yang beragam tentang intelegensi yaitu :
Anita E. Woolfolk mengemukakan bahwa menurut teori-teori lama,
intelegensi itu meliputi tiga pengertian, yaitu (1) kemampuan untuk belajar; (2)
keseluruhan pengetahuan yang diperoleh; (3) kemampuan untuk beradaptasi secara
berhasil dengan situasi baru atau lingkungan pada umumnya. Selanjutnya Woolfolk
mengemukakan bahwa intelegensi itu merupakan satu atau beberapa kemampuan
untuk memperoleh dan menggunakan pengetahuan dalam rangka memecahkan
masalah dan beradaptasi dengan lingkungan.
Alfred Binet, seorang tokoh utama perintis pengukuran intelegensi bersama
Theodore simon mendefinisikan intelegensi atas tiga komponen yaitu (a)
kemampuan untuk mengarahkan fikiran atau mengarahkan tindakan; (b)
kemampuan untuk mengubah arah tindakan bila tindakan tersebut telah
dilaksanakan dan (c) kemampuan untuk mengeritik diri sendiri atau melakukan
autocriticism.
Dari beberapa pengertian di atas dapat penulis simpulkan bahwa intelegensi
adalah suatu kemampuan mental yang dibawa individu atau manusia sejak lahir
yang dapat digunakan untuk menyesuaikan diri dalam lingkungan yang baru dan
untuk memecahkan problem-problem yang dihadapi dengan cepat dan tepat.
Intelegensi bukanlah IQ. Intelegensi merupakan suatu konsep umum tentang
kemampuan individu (seperti yang telah dijelaskan di atas) sedangkan IQ adalah
hasil dari suatu tes intelegensi tertentu yang notabene yang hanya mengukur
sebagian kecil dari intelegensi.
59
IQ singkatan dari Intellegence Quotient menunjukkan ukuran atau taraf
intelegensi atau kecerdasan seseorang. Dari hasil tes intelegensi IQ ini diperoleh
dengan menggunakan rumus : hasil bagi umur mental dengan umur Cronologis atau
kalender dikalikan seratus atau IQ = (MA / CA) X 100.
MA singkatan dari Mental Age (usia mental) yang merupakan suatu norma
pembanding pada kelompok usia tertentu. Misalnya pada kelompok anak-anak usia
8 tahun sebagian besar diantara mereka mampu menjawab dengan benar sebanyak
24 soal dalam tes, maka skor atau angka itu dijadikan norma untuk kelompok anak-
anak usia 8 tahun, dan disebut usia mental 8 tahun. Bila seorang anak dalam
mengerjakan tes yanng sama mampu menjawab dengan benar sebanyak 24 soal
maka ia mempunyai usia mental 8 tahun.
CA singkatan dari Chronological Age (usia kronologis) yaitu usia anak
sejak dilahirkan yang dapat dinyatakan dalam satuan tahun atau dalam satuan bulan.
Misalnya apabila seorang anak yang berusia 8 tahun mampu menjawab dengan
benar sebanyak 24 soal maka ia dikatakan memiliki usia mental 8 tahun. Dan IQnya
dihitung sebagai IQ = (8/8)x100 = 100. Seorang anak lain yang berusia 6 tahun
tetapi sudah mampu menjawab dengan benar sebanyak 24 dalam tes yang sama
akan memperoleh usia mental 8 tahun pula sehingga IQnya adalah (8/6)x100 = 133.
Jelaslah bahwa apabila seorang anak mencapai usia mental yang sama
dengan usia kronologisnya, maka ia akan mendapat IQ=100 yang secara logis
diartikan sebagai berintelegensi normal. Bila seorang anak memperoleh usia mental
lebih tinggi dari pada usia kronologisnya maka anak tersebut tergolong anak yang
berintelegensi di atas normal, sebaliknya bila usia mental lebih kecil dari usia
kronologisnya berarti intelegensinya di bawah normal. Demikianlah gambaran
prinsip perhitungan IQ.
Berdasarkan prinsip-prinsip perhitungan IQ tersebut indikasi awal lahirnya
konsep kecerdasan dinyatakan bahwa “semkin tinggi IQ seseorang maka semakin
tinggi pula kecerdasannya”. Sebagai orang tua boleh-boleh saja meminta anaknya
untuk menjalani tes akan tetapi setelah mengetahui skor atau hasilnya dan
berapapun skornya harus tetap gembira dan juga tidak pernah berhenti untuk
60
memberi masukan-masukan, perhatian upaya-upaya yang dapat meningkatkan dan
menjaga kecerdasannya.
Mungkin pada saat tes dilaksanakan anak dalam keadaan atau kondisi yang
kurang sehat atau dalam keadaan cemas, dan sebagainya. Hal-hal tersebut bisa
mempengaruhi, maka apapun alasannya tidaklah bijaksana apabila menganggap
nilai IQ seorang anak sebagai hal yang amat penting. Apabila orang tua ingin
mengetahui anaknya cerdas atau tidak orang tua dapat melihat tanda-tanda
kecerdasan dan ciri-ciri anak supernormal.
Dari penegasan istilah di depan sudah penulis jelaskan pengertian anak
supernormal yaitu anak yang mempunyai kecerdasan di atas anak-anak normal dan
memiliki IQ di atas 110. Anak yang tergolong supernormal yaitu meliputi anak
genius memiliki IQ 140 ke atas, anak gifted atau very superoir memiliki IQ 125-
140, dan anak superior memiliki IQ 110-125.
Adapun batasan arti anak supernormal yakni :
1. Anak Genius, mewakili golongan anak yanng memiliki IQ 140 ke atas.
Genius mempunyai arti anak yang memilliki tingkat intelegensi
yang tinggi (IQ 140 ke atas) istilah ini juga dipakai terhadap seseorang yang
memiliki bakat kemampuan luar biasa.
Dalam bukunya Sri Rumini berjudul “ Pendidikan Anak Genius”
dikemukakan bebrapa pendapat para ahli tentang batasan pengertian genius :
a. Orang awam banyak yang berpendapat bahwa semua anak yanng cerdas,
cerlang, berkemampuan tinggi adalah tergolong anak genius.
b. Ada yang menyamakan dengan talented (berbakat)
c. Ada yang menyamakan dengan Gifted atau Highly Gifted
d. Robert Woodworth dalam bukunya “Psychology” berpendapat bahwa
anak genius adalah anak yang memiliki IQ di atas 140
e. Prof. Hollingwort berpendapat anak sudah berhak disebut genius kalau
IQ nya lebih dari 180
61
f. Dalam “The Wood Book Encyclopaedia” volume 8, halaman 87
dinyatakan kalau genius dipandang dari psycology adalah seseorang
dengan IQ 140 atau lebih
g. Ruth Strung mempunyai pendapat lain lagi terhadap para genius, menurut
dia : kata genius sering-sering diterapkan kepada individu yang
mempunyai kapasitas istimewa (luar biasa) dan mampu menciptakan
sesuatau yang sangat tinggi nilainya (mutunya.) jadi titik beratnya pada
hasil ciptaannya, tidak hanya pada tingkatan intelegensinya.
Dari berbagai pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa anak genius
adalah anak luar biasa cerdasnya sehingga dapat menciptakan sesuatu yang sangat
tinggi nilainya , bila diukur dengan tes intelegensi IQ mereka paling rendah 140
sedang yang paling tinggi dapat mencapai 200 lebih.
Para jenius lebih dari super cerdas ataupun sangat berbakat, mereka adalah
orang-orang yang betul-betul hebat dan jauh mendahului masyarakat, bahkan dunia
yang berbeda karena kontribusinya, sebagai contoh Beed Hoven, Picasso, Issac
Newton Maria Currie, Leonardo Da Vinci dan sebagainya.
2. Anak Gifted / Very superior
Anak gifted atau very superior memiliki tingkat kecerdasan tinggi
bila diukur dengan tes intelegensi kurang lebih 125-140. Tingkat gifted
berada di bawah tingkat genius dan di atas tingkat superior. Gifted adalah
suatu terminologi bagi individu yang mempunyai IQ atau tingkat kecerdasan
yang lebih dari normal yaitu IQ nya antara 120-140. Disamping itu
mempunyai pula bakat yang istimewa atau menonjol anatara lain berbakat
dalam seni musik, drama, ketrampilan, dan keahlian memimpin masyarakat.
Dalam bukunya Samsu Yusuf yang berjudul ‘Psikologi
Perkembangan Anak Dan Remaja” dijelaskan bahwa gidted atau very
superior berIQ 130-139 yaitu seorang yang cakap dalam membaca,
mempunyai pengetahuan tentang bilangan yang sangat baik, perbendaharaab
kata yang luas dan memahami pengertian abstrak. Faktor kesehatan, kekuatan
dan ketangkasan lebih menonjol daipada anak normal.
3. Anak Superior
62
Sesuai pada bagan penyebaran IQ anak superior menduduki IQ
kurang lebih 110-125, merupakan golongan anak supernormal paling bawah.
Anak superior dapat disefinisikan sebagai anak cerdas yang memiliki IQ
kurang lebih 110-125, sehingga dapat mencapai prestasi belajar yang tinggi.
Menurut Samsu Yusuf superior yaitu seseorang yang mempunyai IQ
120-129 kelompok ini sangat berhasil dalam pekerjaan sekolah atau
akademik, mereka seringkali terdapat dalam kelas biasa, pimpinan kelas
biasanya berasal dari kelompok ini.
Demikianlah batasan-batasan arti anak yang supernormal yang pada
intinya sama yaitu anak yang mempunyai kecerdasan tinggi tetapi dengan
kemampuan yang berbeda-beda.
CIRI ANAK SUPERNORMAL
Berdasarkan kenyataan, anak cerdas mulai tampak sejak kecil, ketika
bermain mereka mengalahkan teman-teman yang lain, ketika belajar mengungguli
pelajar yang lain, sehingga anak ini akan menguasai teman-teman lainnya. Mereka
merasa tercipta untuk menjadi tuan, bukan anak buah dari lingkungannya.
Agar orang tua bisa memahami anak yang unggul dan cerdas orang tua dapat
memperhatikan sifat-sifat yang berbeda dengan teman lainnya :
1. Dari aspek fisik, ia sedikit lebih unggul dibandingkan teman-teman
sebayanya, baik tinggi, bobot dan kesehatan.
2. Anak cerdas lebih mampu berkonsentrasi dalam waktu yang relatif lama,
disini pula orang tua dapat mengetahui bahwa perhatiannya sangat dalam,
menyeluruh dan intens. Tanda-tanda kecerdasannya ditunjukkan dengan
kemampuannya dalam mencipta. Jika mengikuti dorongan dan
keinginannya, maka peraturan sekolah merupakan penyebab yang cukup
kuat dalam menggugurkan kuncup sebelum berkembang.
3. Anak cerdas lebih mampu memahami mulai dari masalah material sampai
ke masalah –masalah yang abstrak.
4. Anak cerdas cepat mengambil sikap dengan baik dalam kehidupan
masyarakat meskipun situasi lingkungan masyarakatnya sangat jelek.
63
Untuk memperjelas perbedaan anak supernormal akan penulis uraikan
ciri-ciri dari masing-masing tingkatan. Adapun ciri-ciri anak supernormal
(genius, Gifted/veri superior dan superior) adalah :
1. Ciri-ciri anak genius
Anak Genius dapat juga disebut dengan sebutan “Gifted Talented”,
memiliki ptensial yang sangat tinggi sekali dalam prestasi belajar dan
penonjolan kemampuan yang luar biasa pada suatu bidang tertentu.
Ciri-ciri anak berbakat intelektual /genius menurut S.C Utami
Munandar antara lain :
a. Mudah menangkap pelajaran
b. Ingatan baik
c. Perbendaharaan kata luas
d. Penalaran tajam (berfikir logis, kritis), memahami hubungann sebab
akibat
e. Daya konsentrasi baik (perhatian tidak mudah teralihkan)
f. Menguasai banyak bahan tentang macam-macam topik
g. Senang dan sering membaca
h. Ungkapan diri lancar dan jelas
i. Pengamat yang cermat
j. Senang mempelajari kamus, peta, ensiklopedi
k. Cepat memecahkan soal
l. Cepat menemukan kekeliruan /kesalahan
m. Cepat menemukan a
n. sas dalam suatu uraian
o. Mampu membaca pada usia lebih muda
p. Daya abstraksi tinggi
q. Selalu sibuk menangani berbagai hal.
Sedangkan Drs. Alisuf Sabri dalam bukunya “ Pengantar Psikologi”
menyatakan bahwa ciri-ciri anak genius adalah :
1. Pada masa kanak-kanaknya sangat cerdas atau kepandaian yang dimiliki
luar biasa.
64
2. Selain kecerdasan yang luar biasa juga sifat-sifat pribadinya sangat
menonjol, sangat menunjang prestasinya, sifat-sifatnya misalnya
ketekunan, keuletan dalam berusaha mencapai sesuatu, punya
kepercayaan dan keyakinan diri yang besar terhadap pekerjaan yang
dipilihnya.
2. Ciri-ciri anak Gifted / Very Superior
Fileger dalam karangannya menyebutkan ciri-ciri anak Gifted
dibidang science adalah :
a. Mempunyai perhatian terhadap science pada waktu masih pra-sekolah
b. Serba ingin tahu apa yang menyebabkan benda-benda bekerja
c. Kemampuan untuk mengerti ide-ide abstrak pada usia masih muda
d. Mempunyai imajinasi kuat akan benda-benda ilmiah
e. Senang akan koleksi
f. Memiliki daya kemampuan yang tinggi di bidang membaca
g. Memliki daya kemampuan yang tinggi di bidang matematika
h. Cenderung berfikir secara kuantitatif menggunakan angka-angka untuk
membantu menyatakan ide-ide
i. Kemauan untuk aktif dan berprestasi dalam olah raga
j. Rasa tidak puas yang beralasan, yang bagi anak-anak lain cukup puas/
menerima begitu saja akan hal-hal ilmiah.
3. Ciri-ciri anak superior
Ciri-ciri anak superior menurut Baker yaitu :
a. Mulai dapat berbicara lebih awal dari anak normal
b. Menunjukkan beberapa kemampuan khusus dalam menggabungkan kata-
kata untuk menyampaikan jalan pikirannya
c. Memulai sekolah pada umur yang sama sebagai rata-rata anak
d. Dapat sedikit membaca sebelum mulai sekolahnya
e. Tidak mengalami kegagalam selama masa sekolah
f. Di sekolah ia dapat mengerjakan pekerjaannya dengan mudah dan
memberi kesan ia akan berhasil tanpa banyak usaha
65
g. Ia mendapat perhatian dari teman-temannya dan menjadi pemimpin
dalam gerakan siswa, publikasi, sekolah dan sebaginya
h. Menunjukkan inisiatif dalam hal-hal di luar sekolah
i. Tertarik pada atletik atau musik
j. Pehatian terhadap bacaan luas.
Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa ciri-ciri anak
supernormal ialah :
1. Memiliki inelegensi di atas normal
2. Makin tinggi IQ-nya makn baik daya abstraksinya
3 Berfikir secara logis , kritis, rasional, dan kreatif
4. Perkembangan mentalnya lebih cepat dari umur kalender
5. Lingkungan sangat berperan pada perkembangannya
6. Mempunyai prestasi yang tinggi, baik dalam sekolah maupun di luar sekolah
7. Perhatian terhadap bacaan luas dan memiliki koleksi pribadi
8. Perhatian terhadap bacaan luas dan memiliki koleksi pribadi
9. Tidak pernah mendapat kesulitan dari pelajaran di sekolah
10. Perkembangan fisik, psikis dan bahasanya lebih pesat dari anak normal.
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Intelegensi
Faktor-faktor yang mempengaruhi intelegensi/ kecerdasan menurut
Sutratinah :
1. Faktor keturunan / hereditas, yakni proses penurunan sifat-sifat atau ciri-ciri
dari satu generasi berikutnya melalui plasma benih.
2. Faktor lingkungan, yakni segala sesuatu yang ada di sekeliling anak yang
mempengaruhi perkembangan anak yang meliputi :
a. Gizi, gizi yang terkandung dalam makanan mempunyai pengaruh
yang besar terhadap perkembangan jasmani, rohani dan intelegensi
serta menentukan produktivitas kerja seseorang. Seandainya terjadi
kekurangan pemberian makanan yang bergizi, maka pertumbuhan
dan perkembangan anak akan terhambat terutama perkembangan
mental atau otaknya.
66
b. Pendidikan, faktor pendidikan sangat mempengaruhi perkembangan
mental anak. Misalnya anak lahir dengan potensi cerdas , maka akan
berkembang dengan baik apabila mendapatkan pendidikan yang
baik. Sebaliknya meskipun anak memiliki potensi cerdas tetapi tidak
mendapatkan pendidikan maka perkembangan kecerdasan
mengalami hambatan.
Dalam bukunya “Anak Unggul Berotak Prima” disebutkan bahwa pada
dasarnya faktor yang mempengaruhi terhadap kecerdasan dapat digolongkan
menjadi dua yaitu :
1. Faktor dalam (genetik/keturunan); merupakan faktor bawaan yang sulit
untuk dirubah.
2. Faktor luar (lingkungan); berpotensi untuk dikembangkan untuk
merangsang kecerdasan. Salah satu faktor luar yang berpengaruh terhadap
kecerdasan adalah pola makan (menu makan), pola makan sangat
berpengaruh terhadap kecerdasan, karena sel jaringan pembentuk dan
pendukung kecerdasan dibentuk dari makanan karena itu diperlukan adanya
perencanaan dan konsumsi gizi yang baik untuk anak-anak terutama sejak
masih dalam kandungan.
Hubungan faktor dalam (hereditas) dan faktor luar (lingkungan) adalah
saling mempengaruhi, individu yang memiliki kecerdasan yang tinggi tidak akan
dapat berkembang sampai semaksimal mungkin bila lingkungannya tidak
menguntungkan, sehingga ia menjadi anak yang kurang cerdas. Sebaliknya, jika
lingkungan yang menguntungkan bagi perkembangan intelegensi tidak akan dapat
membentuk seseorang menjadi cerdas, apabila faktor potensi dasar kecerdasan anak
memang rendah. Misalnya, anak ideot tidak akan menjadi normal walaupun
lingkungan mendukung perkembangan kecerdasan anak.
67
Mendidik Anak Supernormal
Seperti yang sudah dijelaskan di bab sebelumnya, bahwa kemampuan anak
super berbeda dengan anak normal biasa; Perkembangan fisik, psikis dan bahasa
lebih pesat, mempunyai prestasi yang tinggi baik di sekolah maupun di luar sekolah
dan tidak pernah mendapat kesulitan dari pelajarannya. Karena keistimewaannya
tersebut penting bagi pendidik untuk memelihara, menjaga bahkan
mengembangkannya.
Orang tua tidak boleh meremehkan dan mengabaikan anaknya yang
jenius/super. Karena sikap meremehkan dan mengabaikan sungguh tidak baik.
Karena dengan begitu ada kemungkinan untuk melakukan pemunahan-pemunahan
perbuatan mubazir, lebih dari itu dengan mengabaikan dan meremehkan, berarti
merusak anak-anak yang mempunyai kecerdasan istimewa. Selama orang tua masih
memiliki sikap sepereti itu berarti tidak memberi kesempatan kepada anak untuk
naik ke tingkat yang lebih tinggi yang dapat dijangkau anak, juga menghambat
mereka dari kehidupan bahagia dan produktif. Oleh karena itu untuk menghindari
perbuatan mubazir dan pemunahan keistimewaan orang tua harus mendidik,
memelihara keistimewaan dan keunggulan jenius serta menjaganya.
Dalam memelihara dan mendidik orang tua harus menyiapkan bagi mereka
keadaan dan fasilitas yang membantu serta mendorongnya dalam mengembangkan
kepribadiannya di berbagai segi.
Orang tua dapat mendidik anaknya dirumah, karena bagi seorang jenius
rumah merupakan jantungnya pembelajaran, orang tua bisa menciptakan rumah
super yaitu rumah yang penuh kegembiraan dan diterapkannya proses belajar-
mengajar secara informal tapi menyenangkan, caranya :
1. Sediakan fasilitas yang menyenangkan seperti buku-buku, mainan, pensil, kertas,
crayon, cat, tanah liat, kaset video dan kaset audio. Benda-benda ini sangat penting
bagi seorang jenius yang sedang berkembang, karena akan membantu
penjelajahannya. Pensil berwarna, cat dan beberapa lembar kertas akan membawa
hasil yang besar, karena anak mungkin menggunakan waktu berjam-jam lamanya
untuk membuat ungkapan yang menyenangkan, dan mainan yang tidak
68
memerlukan banyak biaya seperti sebuah kotak kayu kosong, sebuah palu
(martil) dan sejumlah paku, mungkin alat yang sederhana ini dapat membuka
banyak pintu dan kegiatan pikiran dan tangan. Sedapat mungkin orang tua
juga menyediakan buku-buku referensi sebagai informasi. Buku-buku
hendaknya disimpan ditempat yang mudah dijangkau, sehingga anak akan
mudah membaca dan mencari informasi yang dibutuhkan. Buku-buku
referensi itu misalnya; kamus, ensiklopedi, atlas dan buku almanak. Buku-
buku ini merupakan referensi yanga harus adan dalam kolegsi perpustakaan
seorang jenius Orang tua dapat menyewakan buku-buku tersebuut di
perpustakaan apabila tidak mungkin membeli.
2. Perbanyak pujian, orang tua juga harus menciptakan suasana gembira dan
penuh antusias yang dibutuhkan, karena jenius kecil membutuhkan pujian
yang terus menerus. Pujian merupakan komoditas yang relatif murah dan
hanya membutuhkan sedikit upaya dari orang tua.
Artinya hanya dengan senyuman, anggukan kepala, elusan lembut
di kepala atau puji-pujian merupakan suatu yang membutuhkan sedikit
usaha orang tua, tetapi sangat berarti untuk anak karena menunjukkan sang
anak berhasil. Pujian mendorong anak untuk berusaha lebih keras dan
semangat. Anak akan merasa senang karena pujian, sebuah kata pujian akan
membuat anak merasa lebih berarti dan mungkin saat ini akan tidak sabar
untuk belajar lebih banyak.
3. Kegembiraan dalam berbagi, ada perasaan yang besar dalam berberbagi;
membagi waktu dan membagi diri, apabila orang tua membagi diri dengan anak
maka akan terlibat dalam bernagai kegiatan.
Menurut sutratinah Tirtonegoro, ada beberapa upaya yang harus
dilakukan orang tua untuk anaknya yang supernormal yaitu :
1. Menciptakan lingkungan rumah atau keluarga yang serasi, selaras dan
seimbang dengan diri anak supernormal.
2. Menyiapkan sarana lingkungan fisik-alam-sosial yang memungkinkan anak
dapat mengembangkan kemampuannya yaitu dengan :
69
- Mencarikan teman yang dapat mengembangkan intelektual dan sikap
sosialnya.
- Menyediakan perpustakaan kecil di rumah sebagai penunjang
kurikulum di sekolah sekaligus untuk bahan pengayaan.
- Menyediakan fasilitas yang dibutuhkan anak; tempat belajar yang baik,
kesempatan-kesempatan untuk melakukan percobaan, menyediakan
bahan disamping bantuan moral yang berupa dorongan, pengertian dan
bimbingan.
- Orang tua harus memperingatkan dengan halus, diberi keterangan yang
masuk akal sehingga penjelasan itu dapat diterima anak dengan penuh
pengertian, dan jika akan melarang sesuatu harus dengan alasan yang
tepat dan logis.
Dalam bukunya Ali Sulaiman yang berjudul “ Anak Berbakat Bagaimana
Cara Mengetahui Dan Membinanya” dijelaskan bahwa ada beberapa hal yang harus
diperhatikan orang tua dalam mendidik anaknya yang superior :
1. Orang tua harus memandang anak dan memperlakukannya dengan segala
perasaan pikiran dan tindakan yang dimilikinya serta menganggapnya
sebagai dunia yang terkait denganny bukan bagian yang terpisah.
2. Orang tua jangan hanya memberikan penghargaan kepada anak karena
kemampuan intelektualnya dan prestasi belajarnya, tetapi juga harus
memperhatikan sifat-sifat anak lainnya yang dapat membantu untuk dapat
mengembangkan kemampuannya.
3. Orang tua harus memotivasi anak agar terus-menerus bekerja dan meneliti
meskipun kadang-kadang gagal, orang tua hendaknnya tidak berpandangan
bahwa semua usahanya harus berhasil.
4. Orang tua harus menjadi teladan yang baik dan contoh ideal dalam hal
memberi perhatian, kerjasama dan partisipasi aktif supaya anak dapat
mempelajari pola-pola perilaku.
Di samping itu orang tua juga dapat menggunakan metode yang tepat untuk
meningkatkan proses pembelajaran super, yaitu metode yang dapat menimbulkan
rangsangan dan kegiatan belajar aktif, yaitu cara :
70
1. Mengembangkan identitas, misalnya dengan memperkenalkan anak pada
orang-orang ternama yang lahir pada tanggal dan bulan yang sama dan
anjurkan membaca kisah kehidupan mereka. Dunia ajaib seorang jenius
akan terbuka baginya untuk memberinya identitas diri yang indah.
2. Permainan, misalnya permaianan kata, permainan kata bisa sangat
menyenangkan; carikan kata-kata yang sulit diucapkan , kalimat-kalimat
yang kata-katanya hampir sama, dan sajak yang diucapkan dengan cepat
dan biarkan anak mencoba mengucapkan tiga kali tanpa membuat
kesalahan.
3. Melihat-lihat perpustakaan
4. Berjalan-jalan di alam terbuka
5. Membuat dan mengajukan pertanyaan.
Apabila orang tua ingin anaknya yang super sukses, maka orang tua perlu
mendorong anaknya dengan motivasi positif. Karena motivasi positif dapat
membuat percaya pada potensi yang dimiliki dan menghalalkan keraguan. Para
ilmuan semakin mencerahkan dunia dengan temuan-temuan mereka itu merupakan
hasil dari motivasi yang sangat dalam. Misalnya, motivasi Thomas Alva Edison
membuat puluhan ribu kegagalan, sampai akhirnya dia menemukan lampu listrik
yang membawa era listrik ke dalam kehidupan.
Ada enam mantra untuk meningkatkan motivasi alami anak yaitu :
1. Ciptakan Suasana belajar yang menarik dan sehat dalam rumah.
2. Jaga dan isi pikiran anda dan pikiran anak dengan tujuan-tujuan yang
positif.
3. Bergaullah dengan orang-orang yang menghembuskan dan mengilhami
motivasi dan tindakan-tindakan positif anak, jangan terpengaruh oleh
orang-orang yang suka melecehkan atau orang yang berfikiran negatif.
4. Membangun sugesti atau berbicara kepada diri sendiri secara positif
merupakan cara yang paling baik untuk memicu motivasi.
5. Jangan menjajah otak anak, doronglah dia agar selalu membangun
kemandirian yang kreatif.
71
6. Perkenalkan anak pada dunia orang-orang yang ternama; para penemu,
orang arif-bijaksana dan para negarawan.
Dari uraian di atas menjelaskan betapa penting dan besarnya peranan orang
tua dalam pemberian dorongan dan memenuhi segala kebutuhan. Semua itu akan
memberinya perasaan bahwa dia hidup di dunia yang menyenangkan diantara
orang-orang yang memahami dan menghargainya.
Untuk mengembangkan dan mengoptimalkan kecerdasan dan
kemampuannya, hendaklah orang tua menyekolahkan anaknya sedini mungkin,
sekolah mempunyai urgensi khusus dalam hal ini, karena sekolah dapat banyak
memberikan kesempatan bagi anak-anak yang tidak diberikan orang tuanya. Agar
anak mempunyai keseimbangan maka orang tua harus memilihkan sekolah yang
tepat, yang bukan memandulkan kecerdasannya.
Adalah suatu kenyataan bahwa orang tua adalah guru pertama bagi anak-
anaknya apabila anak telah masuk sekolah, orang tua adalah mitra kerja yang utama
bagi guru anaknya. Bahkan sebagai orang tua mereka mempunyai peranan penting
yaitu oarng tua sebagai pelajar, relawan, pembuat keputusan, anggota kerjasama
guru-guru, dalam peran tersebut memungkinkan orang tua membantu
meningkatkan perkembangan dan pertumbuhan anak-anak mereka.
Orang tua dapat melibatkan diri dalam pengembangan pelayanan
pendidikan anaknya, dengan cara :
1. Bekerjasama dengan guru sejak pra sekolah
2. Ikut menyusun konsep program pendidikan bagi anak super untuk
menampung minat kebutuhan dan potensi yang dimiliki.
Ada beberapa langkah yang bisa dilakukan orang tua untuk memperoleh
hasil kerjasama yang baik :
1. Bersikap tenang, pikirkan dan putuskan pertanyaan apa yang akan diajukan
kemudian tuliskan.
2. Telepon guru anak dan dengan hormat mintalah waktu untuk bertemu. Nada
suara harus ramah dan kooperatif.
3. Apabila berhasil menemui guru, jelaskan dengan tenang hal-hal yang
mengganggu pikiram, mungkin guru memiliki informasi yang tidak orang
72
tua katahui, orang tua dan guru bisa mulai bekerjasama untuk meringankan
dan memecahkan masalah yang dihadapi anak.
4. Orang tua harus menjawab pertanyaan dengan jujur dan selengkap
mungkin. Semakin banyak pendapat semakin efektif tindakan guru dalam
mengatasi masalah.
5. Tanyakan harapan-harapan guru yang terkait dengan perilaku di dalam
kelas, pekerjaan rumah dan keterlibatan orang tua. Tanyakan pendapat guru
tentang langkah-langkah yang perlu diterapkan di rumah.
6. Ikuti saran-saran yang diberikan guru. Guru mungkin bisa memberi saran-
sarannya yang bisa dilakukan di rumah berdasarkan pengalaman.
A. Pendidikan Anak Supernormal dalam Pandangan Pendidikan Islam
Allah mengaruniakan alat indera dan akal kepada manusia agar
digunakan dengan sebaik-baiknya karena semuanya ini akan dimintai pertanggung
jawabnya.sebagaimana firman Allah SWT QS. Al-Israa : 36 yang berbunyi :
artinya : “… Sesungguhnya penglihatan dan pendengaran serta hati semua itu
akan dimintai pertanggung jawabnya.”
Ayat di atas memberi isyarat kepada manusia bahwa semua alat indera lahir dan
batin yang dinamakan akal perlu didayagunakan sebaik mungkin, yaitu untuk
memperhatikan mahluk Allah di alam. Dengan akal tersebut al-qur’an mengajak
manusia untuk berfikir ilmiah, memperhatikan dan mengusahakan untuk sampai ke
hukum alam yang berlaku terhadap benda, dan memungkinkan untuk diraba dan
bersifat badani, dan memulai penciptaan, artinya bahwa akal tidak hanya dituntut
untuk menguasai kekuatan benda-benda akan tetapi juga memperhatikan apa yang
ada di balik benda-benda tersebut. dengan sendirinya manusia bertanggung jawab
penuh pada Allah.
Dari ayat di atas secara tidak langsung Islam memerintahkan kepada
manusia yang mempunyai akal hebat untuk selalu memperhatikan dan mengadakan
penelitian terhadap benda-benda yang ada di alam. Dalam hal ini orang tua
73
penanggung jawab utama terhadap penggunaan akal anak-anaknya, untuk itu harus
senantiasa menjaga dan mengarahkan potensi anaknya pada kebaikan.
Islam juga memberi petunjuk kepada orang tua agar dalam mendidik
selalu memperhatikan tingkat kemampuan anak, seperti dalam hadist Rosul yang
berbunyi :
مر ت ان اخا طب النا س على قد ر عقو لهم ) روه مسلم (ا
“Saya disuruh berbicara kepada orang-orang sesuai dengan kemampuan
intelektual mereka.“(HR.Muslim)
Hadist di atas menjelaskan bahwa orang tua/ pendidik dalam
melaksanakan tugas harus menyesuaikan daya pikir anak sehingga akan terarah
pada kemampuannya dan anak dapat terus berkembang.
Dari ayat dan hadist di atas menunjukkan bahwa Islam sangat mendorong
pendidikan intelektual dan membebani tanggung jawab pendidik khususnya orang
tua terhadap kemampuan anak, termasuk juga anak yang tergolong supernormal.
Anak Supernormal memiliki kelebihan yang luar biasa sehingga
mendidiknyapun berbeda dengan anak normal biasa. Kelebihan anak supernormal
antara lain memiliki kekuatan untuk mengingat dan manghapal. Dalam pendidikan
Islam hal yang paling utama yang perlu diajarkan adalah menghapal ayat-ayat suci
al-quran, karena keutamaannya sangat besar, yang digambarkan dalam hadist Nabi
SAW berbunyi :
مثل ضو ء من قر أ الق ا ن و تعلمه و عمل به ألبس يو م القيا مة تا جا ون نو ر ضو ؤ ه
الشمس ويكسى والد يه حلتا ن لا يقو م بهما الد نيا فيقو لا ن نما كسينا هدا فيقا ل يأ خد
و لد كما القرآ ن . ) روه الحا كم (
“Siapa yang membaca Al-Quran dan mempelajarinya, lalu mengamalkannya,
maka pada hari kiamat akan dikenakan padanya mahkota yang terbuat dari
cahaya, yang sinarnya seperti sinar matahari, sedankan pada kedua orang
tuanya akan dikenakan dua potong pakaian yang tiada dapat disanggah oleh
dunia. Lalu keduanya bertanya, Mengapa Kami diberi pekaian ini lalu dijawab,
“ karena anakmu belajar Al-Quran.” ( HR. Al-Hakim.)
74
Untuk mengajarkan Al-quran pada anak orang tua dapat memasukkan
anaknya ke dalam kelompok penghapal Al-quran, orang tua dapat mendaftarkan
anaknya pada seorang ustadz yang sudah dikenal bagus hapalannya dan kesalehan
ahlaknya.
Disamping menghapal Al-quran, sebaiknya diajarkan pula untuk menghapal
hadist Nabi SAW dari kitab shahih, seperti shahih muslim dan shahih bukhari.
Pilihkan hadist yang ungkapannya sederhana dan mudah ditangkap maknanya dan
bermanfaat bagi kehidupan anak-anak. Seperti kecintaan kepada Allah dan Rasul-
Nya dan hadist-hadist yang berkaitan dengan ahlak dan etika.
Orang tua juga harus mendorong anaknya untuk terus meneliti, dengan
mengarahkan perhatian anak pada alam raya; memberi tahu tentang kebaikan dan
keindahan yang ada pada mahluk Allah dengan cara membiasakan anak untuk
memperhatikan semua ciptaan Allah yang ada di alam; dan mengadakan penelitian.
Orang tua dapat menyediakan alat untuk meneliti misalnya dengan mikroskop,
teleskop dan sebagainya. Dalam hal ini Allah memerintahkan pada manusia untuk
selalu memikirkan nikmat-nikmat-Nya dan apa yang telah Dia ciptakan, baik di
langit maupun di bumi. Dalam QS. Yunus :101 berbunyi:
قل ا نظروا ما دا فى السموا ت والأرض
“Katakanlah, perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi.”
Lingkungan sangat berperan pada perkembangan anak supernormal, oleh
karena itu orang tua harus mengupayakan agar anaknya dapat bersosialisasi dengan
lingkungan. Salah satunya yaitu orang tua perlu mencarikan teman yang
mempunyai kecerdasan sehingga anak dapat menyalurkan kemampuannya.
Dalam pendidikan Islam mencarikan teman buat anaknya bukan
hanya yang mempunyai IQ tinggi/cerdas tetapi juga yang baik moralnya dan kuat
akidahnya, karena seorang teman mempunyai pengaruh yang besar. Ini tergambar
dalam sabda Rosulullah SAW :
) روه التر مد ي ( اا لمر ء على د ين خليله فلينطر احد كم من يخا لل
“Seseorang itu berdasarkan agama temannya, oleh karena itu perhatikanlah
kepada siapa ia berteman.”
75
Selain upaya-upaya di atas anak perlu diberi dorangan motivasi karena
motivasi membuat percaya pada potensi yang dimiliki. (seperti yang telah
dijelaskan di atas. )
Kedudukan motivasi dalam teori pendidikan disebutkan bahwa motivasi
berkaitan dengan fungsi psikis, menyangkut kejiwaan manusia. Dalam kaitan ini
ajaran Islam menyatakan bahwa disamping unsur fisik manusia juga dilengkapi
dengan unsur psikis/jiwa yang menjadi penggerak tingkah raga seseorang dalam
wujud motivasi untuk mengerjakan perbuatan tertentu. Adapun firman Allah yang
menjadi sumber motivasi adalah QS. Al-Zalzalah ayat 7-8.
(.8( فمن يعمل مثقال ذرة شرا يره )7فمن يعمل مثقال ذرة خيرا يره )
“Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah pun, niscaya dia
akan melihat (balasan) nya”. (7).
“Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan seberat dzarrah pun, niscaya
dia akan melihat balasannya pula”. (8).
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa kecerdasan berhubungan
dengan akal dan otak, dimana keduanya dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor
diantaranya mengenai makanan (gizi). Dalam pendidikan Islam selain makanan
yang bergizi/baik juga mementingkan makanan yang halal,sebagaimana firman
Allah QS An-Nahl: 114
فكلوا مما رزقكم الله حللا طيبا ...
artinya : “Maka makanlah yang halal lagi baik dari rezki yang telah diberikan
Allah kepadamu..”
oleh karena itu meskipun bergizi/baik tetapi tidak halal maka tidak
diperbolehkan/diharamkan. Karena makanan dan minuman yang dimakan
manusia mempunyai pengaruh terhadap jasmani dan rohani untuk itu orang tua
agar melarang anak terlalu kenyang karena menimbulkan pengaruh yang
kurang baik dalam diri anak.
Masa perkembangan anak baik jasmani, akal dan mental sangat
membutuhkan gizi makanan yang baik. Syari’at Islam menyarankan agar
umatnya mengkonsumsi berbagai zat makanan yang bergizi yang sangat
diperlukan oleh tubuh manusia.
76
Menurut Nasih Ulwan Agar ilmu pengetahuan, pemikiran dan otak yang
dimiliki anak semakin matang, orang tua harus menyediakan sarana-sarana budaya
yang bermanfaat dan bervariasi antara lain :
1. Mendirikan perpustakaan khusus buat anak yang berisikan buku-buku
pemikiran umum yang sesuai dengan akal dan tingkat pemahaman anak-
anak yang menampilkan Islam dari berbagai segi, dan buku-buku yang
menolak kesamaran peraturan Islam yang dipengaruhi oleh musuh-musuh
Islam, buku-buku ilmiah sejarah Islam, sastra, kedokteran yang sesuai
dengan pemahaman, persepsi dan usia anak. Dan majalah-majalah
pengetahuan yang berorientasi Islam dan pembahasan ilmiah, tidak
menyimpang dari Islam, menggunakan slide untuk memperluas wawasan
pandangan dan pengetahuan. Menggunakan slide flim yang berhubungan
dengan hakekat ilmu pengetahuan, kejayaan sejarah Islam masa lalu, dan
pengarahan-pengarahan pendidikan,adalah akan menambah semangat anak
jika melihat dengan mata kepala sendiri.
2. Sesekali mengunjungi museum; kunjungan ke museum akan membuka
cakrawala baru anak berupa pengetahuan, kebudayaan dan sejarah.
3. Mengunjungi perpustakaan umum, baik klasik maupun modern, untuk
membiasakan anak berani karena benar dan akrab dengan gudang ilmu dan
budaya juga untuk mengenalkan peninggalan umat Islam di bidang
pemikiran dan ilm untuk menguak pandangan dunia Islam mengenai alam,
kehidupan, dan manusia. Dan untuk membuka wawasan baru tentang
kebangkitan budaya yang pernah diraih umat Islam beberapa abad silam.
4. Menanamkan kerinduan untuk terus mengkaji, beranjak dari syair yang
ditinggikan Islam dan Al-Quran surat Az-Zumar : 9
هل يستوى الذين يعلمون والذين لا يعلمون
“Apakah sama seorang yang berilmu dengan orang yang tidak berilmu.”
Dan berangkat dari perasaan bertanggung jawab terhadap pelestarian
pemikiran yanng diamanatkan Islam di pundak para orang tua dan pendidik,
harus menanamkan sejak dini bahwa Islam adalah agama dan negara.
77
Menurut H. Khairiyah Thaha MA dalam bukunya “Konsep Ibu
Teladan” menyebutkan bahwa agar pendidikan intelektual dapat mencapai hasil
optimal ada sejumlah cara dan metode yang bisa ditempuh antara lain :
1. Orang tua hendaknya menumbuhkan kesadaran untuk mendengar dan
mengingatkan hal-hal yang positif pada diri anak, dengan cara
menyampaikan seluk beluk ajaran Islam secara bertahap.
2. Menyediakan perpustakaan mini di kamar anak yang terdiri dari buku-buku
tentang kisah para nabi dan Rosul, para sahabat dan buku-buku pengetahuan
yang bermanfaat bagi masa depan anak sesuai dengan tuntutan usia,
perkembangan serta kemampuannya.
3. Mencarikan teman sepergaulan yang memiliki kecerdasan dan keunggulan
ilmiah yang memadai sehingga bisa mempengaruhi dalam berfikir dan
berperilaku ilmiah
Demikianlah beberapa upaya yang dapat dilakukan orang tua dalam
mendidik dan memelihara anaknya yang supernormal yang diambil dari
pendapat para ahli dan diperkuat dengan al-quran dan hadist.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas maka penulis memberikan kesimpulan
tentang Mendidik anak supernormal dalam perspektif pendidikan
islam.Adapun kesimpulan tersebut adalah :
1. Mendidik adalah serangkaian usaha nyata orang tua dalam menyelamatkan
fitrah Islamiyah anak, mengembangkan potensi pikir anak, potensi rasa,
karsa, kerja dan mengembangkan potensi sehat anak.
Dalam kamus besar Bahasa Indonesia mendidik yaitu memelihara dan
memberi latihan (ajaran, tuntunan, pimpinan) mengenai ahlak dan
kecerdasan pikiran. yang dimaksud dalam judul ini adalah mendidik yang
dilakukan oleh orang tua terhadap anaknya.
78
2. Anak Supernormal adalah seorang yang berada pada suatu masa dan
perkembangan tertentu dan mempunyai potensi untuk menjadi dewasa.
3. Kemampuan anak super berbeda dengan anak normal biasa; Perkembangan
fisik, psikis dan bahasa lebih pesat, mempunyai prestasi yang tinggi baik di
sekolah maupun di luar sekolah dan tidak pernah mendapat kesulitan dari
pelajarannya. Karena keistimewaannya tersebut penting bagi pendidik
untuk memelihara, menjaga bahkan mengembangkannya.
4. Konsep pendidikan Islam tentang hal ini adalah Agama memiliki makna
yyang sangat luas dan merupakan sistem illahi dalam seluruh kehidupan
manusia.Islam merupakan syari’at bagi manusia yang dengan bekal syari’at
tersebut manusia mampu memikul dan merealisasikan amanah yang sangat
besar dan membutuhkan pengalaman ,pembinaan.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah Nasih Ulwan, Pendidikan Anak Menurut Islam, Kaidah-Kaidah Dasar :
Bandung, Remaja Rosdakarya, 1992
Abu Tauhid, Beberapa Aspek Pendidikan Islam : Yogyakarta, Sekretaris Ketua
Jurusan Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga, 1990
Adnan Hasan Sholeh Baharits, Tanggung Jawab Ayah Terhadap Anak Laki-Laki :
Jakarta, Gema Insani, 1996
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam : Bandung, Remaja
Rosdakarya, 1992
Ali Ashraf, Horison Baru Pendidikan Islam: Jakarta, Firdaus, 1998
Al-Khafiz Abi Abdillah Muh. Bin Yazid Sunan Ibnu Majah, Beirut, Dar Alfikr
Alisuf Sabri, Pengantar Psikologi Umum Dan Perkembangan: Jakarta, Pedoman
Ilmu Jaya, 1993
Ali Sulaiman, Anak Berbakat Bagaimana Cara Mengetahiu Dan Membinanya :
Jakarta, Gema Insani, 2001
Asnelly Ilyas, Mendambakan Anak Shaleh, Prinsip-Prinsip Pendidikan Anak
Dalam Islam : Bandung, Mizan, 1998
79
Athiyah Al-Abrasy, Dasar Pokok Pendidikan Islam, Alih Bahasa Prof. H.
Bustami: Jakarta, Bulan Bintang, 1970
_______________ , Beberapa Pemikiran Pendidikan Islam : Yogyakarta, Titian
Illahi Press, 1996
Departemen Agama, Al-quran dan Terjemahannya, Surabaya, Surya Cipta
Aksara, 1993
Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia : Jakarta, Balai Pustaka, 198
Dzakiah Darajat, Ilmu Pendidikan Islam : Jakarta, Bumi Aksara, 1992
_____________, Pendidikan Islam Dalam Keluarga Dan Sekolah : Jakarta,
Ruhama, 1995
Freeman, Joan, Utami Munandar, Cerdas Dan Cemerlang: Jakarta, Pustaka
Utama, 2001
Fuaduddin Tim, Pengasuhan Anak Dalam Keluarga Islam : Jakarta, kerjasama
Lembaga Kajian Agama Dan Jender Dengan Solidaritas Perempuan Dan The Asia
Foundation, 1999
Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan Islam : Bandung,
Al-Ma’arif, 1995
_______________, Asas-Asas Pendidikan Islam : Jakarta, Pustaka Al-Husna,
1989
Imam Bamawi, Segi-Segi Pendidikan Islam : Surabaya, Al-Ikhlas, 1987
Imam Al-Ghazali Ihya Ulumudin/Ihya Al-Ghazali, Jilid I, Terjemahan Ismail
Ya’kup
Irwanto Dkk, Psikologi Umum : Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 1977
Khoiriyah Husein Thoha, Konsep Ibu Teladan : Surabaya, Risalah Gusti, 1992
Ma’ruf Zurayk, Aku Dan Anakku, Bimbingan Praktis Mendidik Anak Menuju
Remaja : Bandung, Al-Bayan, 1998
Muhaimain Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam : Bandung, Trigenda
Karya, 1993
M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam : Jakarta, Bumi Aksara, 1993
________, Ilmu Pendidikan Islam: Jakarta, Bumi Aksara, 1991
80
URGENSI PENDIDIKAN AKHLAK
TERHADAP ANAK DIDIK
Fatima
Abstrak
Seorang guru tidak hanya bertugas untuk mentransfer ilmu pengetahuan semata,
tetapi jauh lebih berat yaitu mengarahkan dan membentuk prilaku atau kepribadian
anak didik sehingga mereka memiliki akhlak dan kepribadian yang baik. Serta
bertanggung jawab.
Keyword : Akhlak
Prawacana
Pendidikan Akhlak di sekolah merupakan bagian integral dan program
pengajaran pada setiap jenjang lembaga pendidikan serta merupakan usaha
bimbingan dan pembinaan guru terhadap siswa dan memahami, menghayati dan
mengamalkan ajaran Islam sehingga menjadi manusia yang bertakwa dan juga
warga Negara yang baik sebagaimana Firman Allah dalam surat An-Nahl ayat : 125
Artinya :
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik
dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhan-mu Dialah
yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalannya dan Dialah yang
lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.”
Hidup tidak bisa lepas dari pendidikan Akhlak, karena manusia diciptakan
bukan sekedar untuk hidup. Ada tujuan yang lebih mulia dari sekedar hidup yang
mesti di wujudkan,
Pendidikan Akhlak merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari hidup
dan kehidupan manusia. Dengan demikian diharapkan dapat menghasilkan manusia
yang berkualitas dan bertanggung jawab serta mampu mengantisipasi masa depan
dengan menggunakan ilmu yang dimiliki disertai akhlak sebagai manusia yang
81
beragama, demikian strategisnya pendidikan Akhlak, Ada keharusan bagi umat
islam, menyiapkan generasi penerus yang berkualitas dan bertanggung jawab dan
berakhlak. Sebagaimana yang telah diajarkan Rasulullah saw, dan Allah berfirman
dalam surat Al-Ahzab ayat : 21
Artinya : “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang
baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan)
hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (Al-Ahzab : 21)
Tujuan pendidikan Akhlak adalah terbentuknnya pribadi yang baik dan sesuai yang
diajarkan dalam al-Qur’an dan al-sunnah, sehingga memiliki jiwa yang bersih dan
berkepribadian baik.
Oleh karena itu, perhatian guru dalam pendidikan Akhlak sangat
diprioritaskan. Untuk melaksanakan tugas dalam meningkatkan proses belajar
mengajar, guru menenpati kedudukan sebagai peran penting, ditangan para gurulah
terletak kemungkinan berhasil atau tidaknya pencapaian tujuan belajar mengajar
disekolah, serta pada tangan gurulah bergantungnya masa depan karier para peserta
didik yang berkepribadian baik, bertanggung jawab dan menjadi harapan para orang
tuanya.
Guru memikul tugas dan tanggung jawab yang tidak ringan, disamping dia
harus membuat pandai muridnya secara akal (mengasah kecerdasan IQ) dia juga
harus menanamkan nilai-nilai iman dan akhlak yang mulia.untuk itu guru harus
memahami peran dan tugasnya, memahami kendala-kendala pendidikan dan cara
untuk mengatasinya dia harus mempunyai sifat-sifat positif dan menjauhi sifat-sifat
negatif agar bisa memainkan upaya guru dalam memberi pengaruh positif dalam
anak didiknya disamping sarana dan prasarana, metode dan strategi.
Dengan demikian Pendidikan Akhlak berperan penting dalam membentuk
manusia Indonesia yang berkualitas dan bertakwa kepada Allah SWT. setra
menghayati dan mengamalkan ajaran Agama Islam dan kehidupan sehari-hari.
82
Disisi lain, fenomena menurunnya kualitas akhlak kini sudah menggejala
dimana-mana, di antaranya adalah dikadensi moral berupa berbagai kejahatan,
pemerkosaan, perampokan, korupsi, dan lain-lain. Kemajuan Ilmu pengetahuan
teknologi sering disalah gunakan untuk kejahatan seperti kejahatan melalui
handphone, computer, maupun internet.
Dampak positif dan negatif dari kemajuan teknologi telah tampak disana-sini
perkembangan teknologi tidak bisa kita hindari dan dielakkan, yang bisa dilakukan
oleh guru Pendidikan Agama Islam hanyalah mempersiapkan generasi yang
berakhlak baik dalam menyambut kemajuan jaman, generasi yang Islam namun
tidak gagap teknologi (gaptek).
Padahal nilai-nilai yang ditawarkan media masa tidak seluruhnya baik malah
seringkali kebablasan dan jauh dari nilai agama. Namun sesungguhnya yang kita
alami saat ini adalah krisis akhlak. Akhlak sangat berkaitan dengan pola fikir sikap
hidup dan perilaku manusia. Keburukan akhlak sangat berpotensi memicu
timbulnya perilaku-perilaku negatif, jika akhlak dari seseorang individu buruk,
maka sangat mungkin ia akan melahirkan perilaku yang dampaknya dapat
merugikan dirinya sendiri dan orang lain.
Gejala penurunan akhlak tersebut, bukan saja menimpa kalangan dewasa,
melainkan juga telah menimpa kalangan siswa. Para orang tua, ahli didik dan
mereka yang terlibat dalam bidang agama dan sosial banyak yang mengeluhkan
terhadap perilaku sebagian siswa yang berperilaku nakal, keras kepala, mabuk-
mabukan, tawuran, pesta obat-obatan terlarang, dan penyimpangan lainnya.
Permasalahan tersebut diatas disebabkan oleh bebrapa faktor yang kini
mempengaruhi cara berfikir manusia modern.
Faktor-faktor tersebut menurut Zakiah Daradjat antara lain : kebutuhan
hidup yang semakin meningkat rasa individualitas dan egois, persaingan dalam
hidup, keadaan yang tidak stabil, dan terlepasnya pengetahuan dari agama.
Problema yang di hadapi manusia tersebut menghendaki visi dan orientasi
pendidikan yang tidak semata-mata menekankan pada pengisian otak,tetapi juga
pengisian jiwa, pembinaan akhlak dan kepatuhan dalam menjalankan ibadah, jika
kita melihat dari tujuan hidup setiap muslim.
83
Pertumbuhan dan perkembangan manusia, di tentukan juga oleh faktor dari
luar dirinya, yaitu faktor pengalaman yang di sengaja, termasuk pendidikan dan
pelatihan, sedangkan yang tidak sengaja, termasuk lingkungan alam dan lingkungan
sosial. Di samping adanya sifat bawaan anak sejak lahir ( naluri dan sifat keturunan
), sebagai potensi dasar untuk mempengaruhi perbuatan setiap manusia, dan juga
faktor lingkungan yang mempengaruhinya : misalnya pendidikan dan tuntunan
agama. Faktor ini, di sebutkan faktor usaha ( Al-muktasabah ) dalam ilmu akhlak.
Semakin besar pengaruh faktor pendidikan Akhlak dan tuntunan agama
kepada manusia, semakin kecil pula kemungkinan warisan sifat-sifat buruk orang
tua dapat mempengaruhi sikap dan perilaku anaknya. maka disinilah pendidikan
dan bimbingan akhlak sangat di perlukan, untuk membentuk dan mengembangkan
akhlak manusia oleh karna itu jika di dalam “ Al-Qur’an “ terdapat ajaran keimanan,
ibadah, sejarah dan sebagainya, maka yang dituju dengan ajaran tersebut akan
terbentuk akhlak yang mulia.
Dengan membina akhlak para siswa berarti kita telah memberikan pelajaran
yang besar bagi masa depan bangsa yang lebih baik. Sebaliknya jika kita
membiarkan para siswa terjerumus kedalam perbuatan yang sesat, berarti kita telah
membiarkan bangsa dan Negara ini terjerumus kejurang kehancuran.
Pembinaan akhlak para siswa juga berguna bagi siswa yang bersangkutan,
karna dengan cara demikian masa depan kehidupan mereka akan penuh harapan
yang menjanjikan. Dengan terbinanya akhlak para siswa keadaan lingkungan sosial
juga semakin baik, aman tertib, dan tentram, yang memungkinkan masyarakat akan
merasa nyaman. Dengan demikian berbagai gangguan lingkungan yang di
akibatkan oleh ulah sebagian para siswa sebagai mana di sebutkan di atas dengan
sendirinya akan hilang.
Seorang guru tidak hanya bertugas untuk mentransfer Ilmu pengetahuan
semata, tetapi jauh lebih berat yaitu mengarahkan dan membentuk prilaku atau
kepribadian anak didik sehingga mereka memiliki akhlak dan kepribadian yang
baik.
84
Fungsi Pendidikan
Selain sebagai actor utama kesuksesan pendidikan yang diajarkan, ada beberapa
fungsi dan upaya guru dalam keseluruhan, antara lain :
1) Educator (pendidik)
Tugas pertama guru adalah mendidik murid-murid sesuai dengan materi
pelajaran yang diberikan kepada murid. Sebagai seorang educator, Ilmu adalah
syarat utama. Membaca, menulis, berdiskusi, mengikuti informasi, dan
responsive terhadap masalah terbaru sangat menunjang peningkatan kualitas
Ilmu guru.
2) Leader (pemimpin)
Guru juga seorang pemimpin kelas. Karena itu, guru harus bisa menguasai,
mengendalikan, dan mengarahkan kelas menuju tercapainya tujuan
pembelajaran yang berkualitas. Sebagai seorang pemimpin, guru harus terbuka,
demokratis, dan menghindari cara-cara kekerasan. Sebagai seorang pemimpin,
guru juga harus pandai membaca potensi anak didiknya yang beragam, dan
mampu menggunakan multi pendekatan dalam mengajar demi menyesuaikan
potensi yang beragam dari murid-muridnya. Guru juga harus memberikan
sanksi kepada murid-muridnya yang melanggar aturan dengan tegas, adil, dan
bijaksana. Guru juga tidak boleh pilih kasih dalam menegakkan aturan. Guru
juga harus senantiasa memberikan teladan yang baik kepada murid-muridnya.
3) Fasilitator
Guru bertugas memfasilitasi murid untuk menemukan dan mengembangkan
bakatnya secara pesat. Menemukan bakat anak didik bukan persoalan mudah,
ia membutuhkan eksperimentasi maksimal, latihan terus menerus, dan evaluasi
rutin.
Jadi seorang guru harus siap menjadi fasilitator yang demokratis professional,
karena dalam perkembangan informasi, teknologi, dan globalisasi yang begitu
cepat, tidak menutup kemungkinan bahwa dalam hal tertentu peserta didik
lebih pendai atau lebih dulu tahu dari guru.
85
4) Motivator
Menurut Oemar Hamalik (2008), memotivasi belajar sangat penting artinya
dalam proses belajar siswa, karena berfungsi mendorong, menggerakkan, dan
mengarahkan kegiatan belajar. Sebagai seorang motivator, guru adalah
psikolog yang diharapkan mampu menyelami psikologi anak didiknya,
sehingga mengetahui kondisi lahir batinnya.
5) Administator
Sebagai seorang guru dalam mengajar, guru harus mengabsen terlebih dahulu,
mengisi jurnal kelas dengan lengkap, mulai dari nama, materi yang
disampaikan, kondisi siswa dan tanda tangan. Guru juga harus membuat
laporan berkala sesuai dengan system adminidtrasi sekolah. Pada waktu ujian
guru harus membuat soal ujian, mengawasi, mengoreksi, memberikan nilai
rapor kepada wali kelas.
Selain itu guru harus mempunyai buku catatan, sehingga tidak lupa
masalah yang ditemuinya di dalam kelas, misalnya anak yang bolos, anak yang
kemampuannya dibawah standar, salinan absensi siswa pada waktu
pelajarannya, dan hal-hal lain yang berhubungan dengan tugas mendidiknya.
Semua tugas administrasi ini harus dilakukan dengan baik dan profesional.
Jangan sampai mengecewakan, karena akan dinilai dan diamati oleh orang lain,
khususnya kepala sekolah dan yayasan.
6) Evaluator
Sebaik apa pun kualitas pembelajaran, pasti ada kelemahan yang perlu dibenahi
dan disempurnakan. Di sinilah pentingnya evaluasi seorang guru. Dalam
evaluasi ini, guru bisa memakai beberapa cara, dengan merenungkan sendiri
proses pembelajaran yang diterapkan, meneliti kelemahan dan kelebihan, atau
dengan cara yang objektif, meminta pendapat orang lain, misalnya kepala
sekolah, guru yang lain, dan murid-muridnya.
Dari fungsi dan peran guru diatas tergambar bahwa seorang pendidik
selain orang yang memiliki pengetahuan yang akan diajarkannya, juga seorang
yang berkepribadian baik, berpandangan luas, dan berjiwa besar. selain
86
fungsinya sebagai pengajar, pendidik dan pembimbing, maka diperlukan
adanya berbagai peran pada diri guru.
Hakikat Pendidikan Akhlak
Akhlak adalah perbuatan yang telah tertanam kuat dalam jiwa seseorang sehingga
menjadi kepribadian baik, amanah dan bertanggung jawab.
Akhlak merupakan jati diri sekaligus kualitas diri seseorang sebab akhlak
merupakan Akhlak inheren yang tak bisa lepas dari diri seseorang. Begitupun dalam
bahasa yunani, Istilah “akhlak”dipergunakan Istilah ethos atau ethikos atau etika
(tanpa memakai huruf H) yang mengandung arti “usaha manusia untuk memakai
akal budi dan daya fikirannya untuk memecahkan masalah bagaimana ia harus
hidup kalau ia mau menjadi baik”. Dan etika itu bukan sebuah ajaran.
Menurut bahasa (etimologi) perkataan Akhlak ialah bentuk jamak dari khuluq
(khuluqun) yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku, atau tabiat. Akhlak
disamakan dengan kesusilaan, sopan santun.
Dalam kamus Al-Munjid, Akhlak berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku
atau tabiat. Akhlak diartikan sebagai Ilmu tata krama, Ilmu yang berusaha mengenal
tingkah laku manusia, kemudian memberi nilai kepada perbuatan baik atau buruk
sesuai dengan norma-norma dan tata susila.
Pengertian Akhlak menurut terminology (Istilah) Para ahli berbeda pendapat,
intinya sama yaitu tentang perilaku manusia. Sebagai berikut :
1. Abdul Hamid mengatakan akhlak adalah Ilmu tentang keutamaan yang harus
dilakukan dengan cara mengikutinya sehingga jiwanya terisi dengan kebaikan,
dan tentang keburukan yang harus dihindarinya sehingga jiwanya kosong
(bersih) dari segala bentuk keburukan.
2. Ahmad Amin mengatakan bahwa akhlak adalah kebiasaan baik dan buruk.
Contohnya apabila kebiasaan memberi sesuatu yang baik, maka disebut
akhlakqul karimah dan bila perbuatan itu tidak baik disebut akhlakqul
madzmumah.
87
3. Soegarda Poerbakawatja mengatakan akhlak adalah budi pekerti, watak,
kesusilaan, dan kelakuan baik yang merupakan akibat dari sikap jiwa yang
benar terhadap khaliknya dan terhadap sesama manusia.
4. M. Abdullah Daraz, mendefinisikan akhlak sebagai suatu kekuatan dalam
kehendak yang mantap, kekuatan yang berkombinasi membawa kecenderungan
pada pemilihan pihak yang benar (akhlak baik) atau pihak yang jahat (akhlak
buruk).
5. Al Qurtubi Mengatakan perbuatan yang bersumber dari diri manusia yang
selalu dilakukan, maka itulah yang disebut akhlak, karena perbuatan tersebut
bersumber dari kejadiannya.
6. Muhammad bin ilan al-Sadiqi mengatakan akhlak adalah suatu pembawaan
yang tertanam dalam diri, yang dapat mendorong seseorang berbuat baik
dengan gampang.
Dari beberapa pendapat di atas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut,
Akhlak adalah Ilmu yang mengajarkan manusia berbuat baik dan mencegah
perbuatan jahat dalam pergaulannya dengan Tuhan, manusia, dan makhluk
sekelilingnya.
Macam-macam Akhlak
Karena Akhlak merupakan sifat dan sikap manusia, maka Akhlak dibagi menjadi
dua macam yaitu :
1. Akhlaqul Karimah (Akhlak Terpuji)
Akhlak terpuji adalah akhlak yang baik dan benar menurut syariat Islam.
adapun yang termasuk akhlak terpuji antara lain :
a. Al-amanah (jujur dan dapat dipercaya)
Suatu yang dipercayakan kepada seseorang , baik harta, Ilmu, rahasia, atau
lainnya yang wajib dipelihara dan disampaikan kepada yang berhak
menerimanya.
b. Ittikhadhu al-Hilmi wa al-Rifqi (santun dan ramah tamah)
Santun adalah kondisi kejiwaan yang dapat menekan hawa nafsu, lalu
menimbulkan rasa kasih sayang, sehingga rasa kebencian dalam diri
manusia tidak tampak lagi. Karena santun mengindikasikan kedewasaan
88
berfikir dan bertindak, maka prilaku ramah tamah juga ikut terwujud dalam
diri manusia.
c. Ittikhadhu al-Tawadu’i wa al-Afwi (rendah diri dan pemaaf)
Tawadu dan memaafkan orang lain, sangat penting artinya dalam kehidupan
bermasyarakat, sehingga khilafan yang di perbuat oleh seseorang, tidak
menjadi dendam yang berakibat terjadinya saling membalas, lalu persoaalan
antar sesame manusia tidak pernah selesai.
d. Badhlu al-I’anah wa al-Sakha (memberi pertolongan dan bersikap pemurah)
Pertolongan dan pemurah merupakan sikap dan perilaku yang menjadi
andalan untuk mengangkat harkat orang miskin menjadi orang yang
berkecukupan. Maka kebodohan dan kemiskinan dapat dikurangi, lantaran
ada kepedulian dari orang yang mampu. Pemerataan kesempatan kerja
dapat diwujudkan, bila tradisi tolong menolong dan pemurah diterapkan
oleh pemilik modal, akhirnya kesempatan kerja terbuka dengan luas
dimasyarakat.
e. Al-alifah (yang disenangi)
Maksudnya pandai mendudukkan sesuatu pada proporsi atau profesi yang
sebenarnya., bijaksana dalam sikap, perkataan dan perbuatan, niscaya
pribadi akan disenangi oleh anggota masyarakat dalam kehidupan dan
pergaulan sehari-hari.
f. Al-khusyu (tekun sambil menundukan diri (berzikir kepadanya)
Maksudnya tekun ibadah yang berpola perkataan, dibaca khusus kepada
Allah Robbul Alamin dengan tekun sambil bekerja dan menundukan diri
takut pada Allah SWT. Ibadah dengan merendahkan diri, menundukan hati,
tekun dan tetap senantiasa bertasbih, bertakbir, bertahmid, shalat,
memelihara penglihatan, menjaga kehormatan, dan jangan berjalan dimuka
bumi Allah ini dengan kesombongan, berbicara dengan tenang dan
sederhana, dan tunduk hanya kepada Allah SWT
2. Akhlaqul Madzmumah (Akhlak Tercela)
Akhlak tercela adalah akhlak yang tidak baik dan tidak benar menurut ajaran
islam. adapun yang termasuk akhlak terpuji antara lain :
89
a. Tafdilu al-Ananiyyah wa al-Zulmi (mementingkan diri sendiri dan berlaku
zalim).
Mementingkan diri sendiri disebut egoistis yaitu upaya seseorang yang
selalu mengutamakan dirinya dan tidak mempedulikan orang lain.
Sedangkan zalim disebut juga aniaya yaitu perlakuan sewenang-wenang
terhadap orang lain, tanpa merasa dirinya bersalah. Sikap dan perilaku
tersebut, sangat dilarang dalam Islam, karena tidak dapat diharapkan
membangun rasa kasih sayang dan persahabatan di antara sesama manusia.
b. Adau al-Hasadi wa al-Sukhti (iri hati dan benci)
Iri hati (dengki) adalah suatu sikap yang selalu mengharapkan agar nikmat
(kesenangan) orang lain segera lenyap. Sedangkan membenci adalah sikap
seseorang yang sangat tidak senang kepada orang lain. Sikap iri hati dan
benci sangat dilarang dalam agama, seperti juga membenci, sangat dilarang
oleh agama. Kedua sifat tersebut sangat berbahaya dalam kehidupan
manusia, sehingga menyebutnya sebagai salah satu sumber kesalahan dan
dosa di antara sesama manusia yang disebutnya sebagai ummahatu al-
khataya.
c. Al-as’aru wa al-Ujbu (angkuh dan sombong)
Angkuh adalah penampilan diri yang congkak, karena memendang rendah
orang lain. Sedangkan sombong adalah terlalu menghargai dirinya secara
berlebih-lebihan, lalu bersikap tidak menghargai sama sekali terhadap orang
lain. Ia menghargai dirinya karena mengandalkan Ilmunya, hartanya,
keluarganya, nasabnya dan kegagahan atau kecantikannya merupakan
perilaku takabur, dan merasa dirinya tidak membutuhkan orang lain.
d. Ananiyah (Egois)
Sifat manusia yang mementingkan diri sendiri tanpa memperdulikan orang
lain, sedangkan manusia membutuhkan orang lain. Dan sahabatnya tidak
banyak dan ini berarti mempersempit langkahnya sendiri di dunia.
e. Al-Bukhlu (Bakhil, Kikir, Kedekut (terlalu cinta harta)
Sifat yang sangat tercela dan paling dibenci Allah. Hidup di dunia ini hanya
sementara, apa yang Allah amanahkan hanya pinjaman sementara saja. Jika
90
mati jelas semua yang ada di dunia tidak akan dibawa kecuali hanya kain
kafan pembungkus badan dan amal perbuatan didunia. Maka tinggalkanlah
semua sifat bakhil, kikir, kedekut.
f. Al-Khiyanah (Pengkhianat)
Sifat seseorang yang tindakannya licik, sifat khianat untuk sementara waktu
tidak diketahui manusia, tetapi Allah maha mengetahui. Ia tidak segan
bersumpah palsu untuk memperkuat dan membenarkan keterangannya bila
ia tertuduh, karena ia tidak mempunyai rasa tanggung jawab. Ia tidak
memperoleh keuntungan dari tindakannya yang tidak jujur itu, sifat senang
mengorbankan teman sendiri, jadi musuh dalam selimut. Pengkhianat
sebenarnya mencoreng keningnya sendiri dengan arang yang tidak mungkin
hilang untuk selama-lamanya, terjauh dari teman dan sahabat, terisolasi dari
pergaulan, masyarakat memandang dengan sebelah mata dan dia kehilangan
kepercayaan.
Faktor yang Mempengaruhi Akhlak
Segala sesuatu perbuatan manusia yang tercermin dalam perilaku, mesti ada
faktor-faktor yang mempengaruhinya. Akhlak sebagai pencerminan tingkah laku
seseorang dalam kehidupan sehari-hari yang berwujud kebaikan dan keburukan,
baik yang dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja disebabkan oleh dua
faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Adapun faktor-faktor yang
mempengaruhi Akhlak secara garis besar dapat penulis jelaskan sebagai berikut :
1. Faktor Keluarga
Peran ini memberikan pengaruh besar dalam memberikan warna terhadap
perilaku anak. Para psikolog menganggap keluarga sebagai faktor penting
dalam membangun watak dan kepribadian seseorang, serta memberikan
sumbangan besar bagi kematangan dan pertumbuhan nilai kepribadiannya.
2 Faktor Insting dan Naluri
Insting berarti kemampuan berbuat pada suatu tujuan yang dibawa sejak
lahir. Dorongan insting pada manusia, menjadi faktor tingkah laku dan
aktivitas dalam mengenali sesama manusia.
91
3. Faktor Sekolah dan Guru
Sebuah penelitian mengungkapkan bahwa kurang lebih 35% anak-anak
pada rentang usia tersebut ingin menjadi seperti guru mereka. Oleh sebab
itu pendidikan akhlak bagi anak-anak membutuhkan kesadaran lebih dari
para guru, karna guru dan sekolah memiliki peran penting yang dapat
mempengaruhi akhlak siswa.
4. Faktor Masyarakat
Secara langsung maupun tidak langsung dan secara sadar dan tidak sadar
memberikan pengaruh pada diri anak. Karena lingkungan masyarakat di
mana anak-anak bertumbuh besar di dalamnya, harus di bersihkan dari
kerusakan kekerasan, permusuhan, dan perkelahian yang di pertontonkan
dalam bioskop dan film-film tidak memberikan pelajaran lain kepada
manusia.
5. Faktor Media Elektronika
Televisi atau radio merupakan media elektronika yang memiliki tiga fungsi
utama yaitu sebagai media informasi, sebagai media pendidikan, dan
sebagai media hiburan (information, education, and entertainment), sesuai
dengan fungsinya tentu saja sangat memungkinkan media elektronik ini
dimanfaatkan sebagai media pendidikan dan pembinaan akhlak, sebab ia
dapat memberikan pengaruh dan rangsangan bagi seseorang untuk
melakukan suatu perbuatan.
Dari penjelasan diatas secara garis besar faktor-faktor yang mempengaruhi
pengembangan akhlak adalah faktor internal yakni semua faktor yang
berada dalam diri individu. Dan faktor eksternal yakni semua faktor yang
berada diluar diri individu. Misalnya orang tua, guru dan lingkungan
disekitar individu dan perkembangan elektronika.
Kesimpulan
Akhlak merupakan suatu makna terpenting dalam hidup manusia, yang tingkat
kedudukannya setelah keimanan kepada Allah. Akhlak merupakan tahap ketiga
dalam beragama. Tahap pertama; menyatakan keimanan dengan mengucapkan
92
kalimat syahadat. Tahap kedua; menunaikan ibadah seperti shalat, zakat, puasa
termasuk membaca al-Qur’an dan berdoa. Tahap ketiga; sebagai buah keimanan
dan ibadah adalah akhlak. Akhlak adalah perbuatan yang telah tertanam kuat dalam
jiwa seseorang sehingga menjadi kepribadiannya. Kita tidak akan menutup mata
bahwasannya akhir-akhir ini banyak sorotan negatif yang di tunjukkan pada umat
Islam. Hal ini di sebabkan di antara umat Islam sendiri masih banyak yang tidak
sama atau sesuai dengan ajaran agamanya dengan praktek pengalaman atau tingkah
laku perbuatannya sehingga membuat suram dan redupnya Islam. Padahal sudah
nyata dan jelas bahwa manusia adalah makhluk yang berkewajiban melaksanakan
dan menjalankan akhlaqul-karimah dalam angkatan demi angkatan yang dipimpin
oleh para Rasul pada zamannya.
Akhlak adalah perbuatan yang timbul dari dalam diri seseorang yang
mengerjakannya, tanpa ada paksaan dan tekanan dari luar. Akhlak tidak akan
tumbuh tanpa diajarkan dan dibiasakan. Oleh karena itu ajaran agama selain sebagai
ilmu secara bertahap juga harus diikuti secara terus-menerus dalam bentuk
pengalamannya, baik di bangku sekolah maupun di lingkungan rumah.
Oleh karena itu, pendidikan akhlak yang mulia yang sesuai dengan ajaran
Islam sangat diperlukan seperti mengajar mereka kejujuran, keikhlasan, kesabaran,
kasih sayang, cinta kebaikan dan sebagainya dengan cara membiasakan berpegang
pada akhlak sejak masih kecil. Oleh karenanya kewajiban yang harus dilakukan
oleh orang tuanya yaitu memberikan contoh yang baik pada anaknya, sebab orang
tua yang tidak berhasil menguasai dirinya tentulah tidak sanggup meyakinkan anak-
anaknya untuk memegang akhlak yang diajarkannya.
Daftar Pustaka
Al-Asqalani Hajar Ibn,Terjemah Bulughul Maram, (Jogjakarta: HikamPustaka,
2010).
Alim Muhammad, Pendidikan Agama Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya,
2006). Cet Ke-2.
Depdikbud,Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, (Jogjakarta: Media
Wacana, 2003).
93
Daradjad Zakiah dkk, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), cet
ke-9.
Djamarah Bahri Syaiful, Guru Dan Anak Didik Dalam Interaksi Edukatif,
(Jakarta:Rineka Cipta, 2010), cet ke-3.
Ihsan Hamdani dan Ihsan Fuad Ahmad, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung:
Pustaka Setia, 2007).
Qaimi Ali, Mengajarkan Keberanian Dan Kejujuran Pada Anak, (Bogor: Cahaya,
2003).
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: KalamMuia, 2011), cet ke-9.
Saebani Ahmad Beni dan Hamid Abdul, Ilmu Akhlak, (Bandung: PustakaSetia,
2010).
Tafsir Ahmad, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, (Bandung:
RemajaRosdakarya, 2010), cet ke-9.
Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009).
Ahmadi, Abu, Drs. H, Dasar-dasar Pendidikan Agama Islam, (Jakarta
: PT. Bumi Aksara, 2008).
Asmani, Jamal Ma’mur, Tips Menjadi Guru Inspiratif, Kreatif, dan Inovatif, (
Jogjakarta : Diva Press, 2009).
94
PENDIDIKAN PESANTREN DALAM PERSPEKTIF
K.H. ABDURRAHMANWAHID
Oleh: Abdul Rosyid
A. Latar Belakang Masalah
Dunia Pesantren mempunyai daya tarik tersendiri sehingga banyak
mengundang minat dan perhatian untuk mengkajinya. Pengakuan bahwa pesantren
adalah sebuah subkultur sebenarnya belum merata dimiliki oleh kalangan
pesantren sendiri. Oleh karena itu, dalam penggunaan istilah ini bagi lembaga
masyarakat yang bernama pesantren, harus senantiasa diingat bahwa penggunaan
itu sendiri masih berupa usaha pengenalan identitas kultural yang dilakukan dari
luar kalangan pesantren, bukannya oleh kalangan pesantren itu sendiri. Jika diingat
pendekatan ilmiah terbaik untuk menilai hakikat sebuah lembaga kemasyarakatan
adalah pendekatan naratif (narrative), dimana kalangan lembaga itu sendiri yang
melakukan identifikasi dalam bentuk monografi-monografi, haruslah diakui pula
belum kuatnya dasar-dasar ilmiah bagi penggunaan istilah di atas bagi pesantren.
Terlepas dari kenyataan adanya perwatakan subkultural dalam diri pesantren jika
ditinjau dari luar, sikap hati-hati mesti diutamakan dalam mempergunakannya.
Dengan demikian, selama istilah itu belum diuji secara ilmiah-murni,
kesimpulan apa pun juga yang didapat dari penggunaannya masih akan berupa
kesimpulan sementara; namun sifat kesementaraan itu tidak mengurangi nilai
objektivitas ilmiahnya. Penggunaan istilah itu bagi pesantren jika dilakukan dengan
hati-hati, akan menghasilkan anggapan-anggapan yang tidak akan jauh
menyimpang dari hasil penelitian empiris yang dilakukan secara seksama dan
mendalam.
Terdapat kesulitan besar untuk melakukan identifikasi terhadap pesantren
secara keseluruhan sebagai sebuah unit subkultural. Tidak semua aspek kehidupan
dalam pesantren berwatak subkultural, bahkan aspek-aspek utamanya pun ada
yang bertentangan dengan batasan-batasan yang biasanya diberikan pada sebuah
subkultur. Di pihak lain, beberapa aspek utama dari kehidupan pesantren, yang
95
dianggap memiliki watak subkultural, ternyata hanya ada dalam rangka ideal
belaka, dan tidak didapati dalam kenyataan. Oleh karena itu, hanya kriteria paling
minim belaka yang dapat dikenakan pada kehidupan pesantren, untuk dapat
menganggap sebagai sebuah subkultur. Kriteria minimal itu, jika dikembalikan
pada pokok dasarnya, hanya akan meliputi aspek-aspek berikut: eksistensi
pesantren sebagai sebuah lembaga kehidupan yang menyimpang dari pola
kehidupan umum di negeri ini; terdapatnya sejumlah penunjang yang menjadi
tulang punggung kehidupan pesantren; berlangsungnya proses pembentukan tata
nilai yang tersendiri dalam pesantren, lengkap dengan simbol-simbolnya; adanya
daya tarik keluar sehingga memungkinkan masyarakat sekitar menganggap
pesantren sebagai alternatif ideal bagi sikap hidup yang ada dimasyarakat itu
sendiri; dan berkembangnya suatu proses pengaruh-memengaruhi dengan
masyarakat di luarnya, yang akan berkulminasi pada pembentukan nilai-nilai baru
yang secara universal diterima kedua belah pihak.
Pondok pesantren selalu punya jurus baru, bukan karena tuntutan
globalisasi atau karena modernitas. Karena pada hakekatnya pondok pesantren
lahir untuk menjadi pembaru dari suatu yang kurang menentu bagi tumbuh
kembangnya upaya membangun kehidupan yang etik dan bermoral. Tugas pondok
pesantren mempersiapkan sumber daya manusia, menciptakan kader yang
memiliki visi ke depan. Keseimbangan antara intuisi dan rasio yang
memungkinkan sumber daya manusia kita itu tetap berpengang pada asas moral
yang tinggi, tetapi juga mampu mengembangkan sikap hidup pragmatik yang bisa
dipakai untuk menangani masalah-masalah yang dihadapi. Pada giliran nanti,
sumber daya manusia itu diharapkan memiliki skill dan keterampilan tehnis yang
tinggi tetapi tidak kehilangan akar-akar budayanya. Oleh karena itu pondok
pesantren tidak boleh menyempitkan diri, pondok pesantren harus mampu
melakukan lompatan-lompatan melalui peningkatan kualitas sumber daya
manusia. Memang ada beberapa hal yang menjadi constraint pondok pesantren itu
melakukan peningkatan kualitas sumber daya manusia, seperti pelembagaan
pondok pesantren itu belum selesai. Namun demikian, sesungguhnya perubahan-
perubahan ke arah itu sudah mulai nampak. Dulu pondok pesantren itu sangat
96
perorangan, belakangan ini dikelola melalui yayasan-yayasan. Harapan kita
nantinya pondok pesantren mampu memasuki profesionalitas organisatoris.
Profesionalisasi manajemen pondok pesantren ini yang mutlak perlu. Dan persoalan
ini tentu menjadi tugas bersama semua kekuatan-kekuatan masyarakat, sebab jika
harus bergantung pada NU, maka ini akan menjadi “kurus“.
Lembaga pesantren inilah yang paling menentukan watak keislaman
kerajaan-kerajaan Islam, dan yang memegang peranan paling penting bagi
penyebaran Islam sampai kepelosok pedesaan. Dari lembaga-lembaga pesantren
itulah asal-usul sejumlah manuskrip tentang pengajaran Islam di Asia Tenggara,
yang tersedia secara terbatas, yang dikumpulkan oleh pengembara-pengembara
pertama perusahaan-perusahaan dagang Belanda dan Inggris sejak akhir abad ke-
16. Untuk dapat betul-betul memahami sejarah Islamisasi di wilayah ini, kita harus
mempelajari lembaga-lembaga pesantren tersebut, karena lembaga-lembaga inilah
yang menjadi anak panah penyebaran Islam di wilayah ini.
Dan dari semua itu pesantren mampu mendongkrak keilmuan umum. Nah,
inilah yang ditekankan oleh K.H. Abdurrahman Wahid dengan proses
membumikan tradisi pesantren Buku Menggerakan Tradisi mengawali perjuangan
K.H. Abdurrahman Wahid dalam Mempopulerkan pesantren sebagai lembaga
pendidikan yang multi – potensi, yakni keagamaan dan umum. Berkat tulisan –
tulisannya tentang pesantren, dan di masa ia menjabat sebagai kepala Presiden RI
ke – 4, pesantren menemukan kehidupan serta semangat baru dalam pemberdayaan
masyarakat. Selain itu, kumpulan–kumpulan esai K.H. Abdurrahman Wahid
tentang pesantren mengajak kita pada perenungan dalam mengukur signifikansi
dan menempatkan gagasan–gagasan didalamnya sebagai suatu bagian dari
pergumulan sejarah pemikiran pendidikan, terutama pesantren.
Orde Baru yang tampil pada 1960-an bersama pembangunannya
melahirkan konflik. Pesantren yang konvensional di masa itu beranggapan tidak
dapat mengalami perubahan. Namun, itu hanya sejarah yang dapat ditampik oleh
K.H. Abdurrahman Wahid dengan gagasannya yang cukup gemilang, yakni
proyeksi “ Modernisasi pesantren “. Dalam artian, pesantren bukan lembaga
pendidikan yang ketinggalan zaman. Bahkan, kini sudah menjadi ikon pendidikan
97
yang kreatif, mandiri, dan profesional. Hal ini dapat ditunjukan dengan pendidikan
karakter di pesantren, berupa akhlak, prilaku, norma, dan sopan santun.
Berdasarkan uraian diatas, penulis tertarik untuk mengkaji dan mengambil
intisari pemikiran K.H. Abdurrahman Wahid yang dijuluki sebagai guru bangsa
dan bapak pluralisme dan yang juga mengawali perjuangan memopulerkan
pesantren sebagai lembaga pendidikan yang multi potensi. Untuk itu penelitian
ini, akan mengkaji Pendidikan Pesantren dalam Perspektif K.H. Abdurrahman
Wahid. Masalah pokok yang di fokuskan pada kajian ini yaitu bagaimana
Pemikiran K.H. Abdurrahman Wahid tentang Pendidikan Pesantren. Oleh karena
itu, ada beberapa pertanyaan yang akan dijawab dalam penelitian ini ialah :
1. Bagaimana Pemikiran K.H. Abdurrahman Wahid tentang Pendidikan
Pesantren ?
2. Bagaimana relevansi pemikiran K.H. Abdurrahman Wahid tentang
Pendidikan Pesantren?
B. Riwayat Hidup KH. Abdurrahman Wahid
Abdurrahman Wahid yang akrab dipanggil Gus Dur menjabat Presiden RI
ke-4 mulai 20 Oktober 1999 hingga 24Juli 2001. Beliau lahir tanggal 4 Agustus
1940 di Desa Denanyar, Jombang, Jawa Timur. Gus Dur adalah putra pertama dari
enam bersaudara. Ayahnya adalah seorang pendiri organisasi besar Nahdlatul
Ulama, yang bernama K.H. Wahid Hasyim. Sedangkan, Ibunya bernama Hj.
Sholehah adalah putri pendiri pesantren Denanyar, Jombang, K.H. Bisri Syamsuri.
Dari perkawinannya dengan Sinta Nuriyah, mereka dikaruniani empat anak, yaitu
Alissa Qotrunnada Munawaroh, Zannuba Arifah Chafsoh, Annita Hayatunnufus
dan Inayah Wulandari. Secara geneologi, Abdurrahman Wahid memiliki keturunan
“ darah biru“ dan, menurut Clifford Geertz, ia termasuk golongan santri dan
priyayi sekaligus. Baik dari garis keturunan ayah maupun ibunya, Abdurrahman
Wahid adalah sosok yang menempati strata sosial tertinggi dalam masyarakat
Indonesia. Ia adalah cucu dari dua ulama terkemuka NU dan tokoh terbesar
Indonesia. Kakeknya, kiai Bisri Syamsuri dan kiai Hasyim Asy’ari sangat
98
dihormati di kalangan NU, baik karena peranannya sebagai pendiri Nahdlotul
Ulama, maupu karen kedudukanny sebaga ulama karismatik.
Pada masa kecilnya, Abdurrahman Wahid tidak seperti kebanyakan anak-
anak seusianya. Ia lebih memilih tinggal bersama kakeknya daripada tinggal
bersama ayahnya. Melalui kakeknya, ia belajar membaca Al-quran di Pondok
Pesantren Tebuireng Jombang. Berkat tinggal bersama kakeknya yang merupakan
tokoh yang banyak dikunjungi tokoh-tokoh politik dan orang-orang penting
lainnya, maka dari sejak kecil Abdurrahman Wahid sudah mengenal tokoh-tokoh
politik dan orang-orang penting tersebut. Sejak masa kanak-kanak, Gus Dur juga
mempunyai kegemaran membaca dan rajin memanfaatkan perpustakaan pribadi
ayahnya. Selain itu, beliau juga aktif berkunjung ke perpustakaan umum di Jakarta.
Pada usia belasan tahun, Gus Dur telah akrab dengan berbagai majalah, surat kabar,
novel, dan buku-buku. Disamping membaca, beliau juga hobi bermain bola, catur,
dan musik. Bahkan, Gus Dur pernah diminta menjadi komentator sepak bola di
televisi. Kegemaran lainnya yang ikut juga melengkapi hobinya adalah menonton
biskop. Kegemerannya ini menimbulkan apresiasi yang mendalam dalam dunia
film. Inilah sebabnya Gus Dur pada tahun 1986-1987 diangkat sebagai ketua juri
Festival Film Indonesia.
Masa remaja Gus Dur sebagian besar dihabiskan di Yogyakarta dan
Tegalrejo. Di dua tempat inilah pengembangan ilmu pengetahuan mulai
meningkat. Maka berikutnya, Gus Dur tinggal di Jombang, di Pesantren Tambak
Beras, sampai kemudian melanjutkan studinya di Mesir. Sebelum berangkat ke
Mesir, pamannya telah melamarkan seorang gadis untuknya, yaitu Sinta Nuriyah
anak Haji Muh. Sakur. Perkawinannya dilaksanakan ketika Gus Dur berada di
Mesir. Sepulang dari pengembaraannya mencari ilmu, Gus Dur kembali ke
Jombang dan memilih menjadi guru. Pada 1971, beliau bergabung di Fakultas
Ushuluddin Universitas Tebuireng Jombang. Tiga tahun kemudian, beliau menjadi
sekertaris Pesantren Tebuireng, dan pada tahun yang sama, Gus Dur mulai menjadi
penulis. Beliau kembali menekuni bakatnya sebagai penulis dan kolumnis. Lewat
tulisan-tulisan tersebut, gagasan pemikiran Gus Dur mulai mendapat perhatian
banyak orang baik mengenai masalah yang berkaitan dengan agama, kebudayaan,
99
ideologi, dan modernisasi. Topik yang menarik perhatiannya, di antaranya adalah
mengenai peran dan kedudukan institusi Pesantren dalam modernisasi. Konon
tulisan pertamanya yang muncul di media umum, yang dikirimkannya dari
Jombang adalah mengenai Pesantren.
Pada tahun 1974, Gus Dur diminta pamannya, K.H. Yusuf Hasyim untuk
membantu di Pesantren Tebuireng, Jombang, dengan menjadi sekretaris. Dari sini
Gus Dur mulai sering mendapatkan undangan menjadi narasumber pada sejumlah
forum diskusi keagamaan dan kepesantrenaan, baik di dalam maupun luar negeri.
Selanjutnya, Gus Dur terlibat dalam kegiatan LSM. Pertama, di LP3ES bernama
Dawam Rahardjo, Aswab Mahasin, dan Adi Sasono dalam proyek pengembangan
pesantren, kemudian Gus Dur mendirikan P3M yang dimotori oleh LP3ES. Pada
1979, Gus Dur pindah ke Jakarta. Mula-mula beliau merintis Pesantren Ciganjur.
Sementara, pada awal 1980, Gus Dur dipercaya sebagai wakil khatib syuriah
PBNU. Di sini Gus Dur terlibat dalam diskusi dan perdebatan yang serius mengenai
masalah agama, sosial, dan politik dengan berbagai kalanga lintas agama, suku,
dan disiplin. Gus Dur semakin serius menulis dan bergelut dengan duniannya, baik
di lapangan kebudayaan, politik, maupun pemikiran keislaman.
Karier yang dianggap “menyimpang“ dalam kapasitasnya sebagai seorang
tokoh agama sekaligus pengurus PBNU dan mengundang cibiran adalah ketika
menjadi ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) pada tahun 1983. Beliau juga
menjadi ketua juri dalam Festival Film Indonesia (FFI) tahun 1986 dan 1987
sebanyak dua kali; pada tahun 1989 ia dinyatakan sebagai tokoh 1989 versi Surat
Kabar Pemikiran Rakyat dan tokoh 1990 versi Majalah Editor. Pada 1984, Gus Dur
dipilih secara aklamasi oleh sebuah tim ahl hall wa al-‘aqdi yang diketua K.H.
As’ad Syamsul Arifin untuk menduduki jabatan ketua umum PBNU pada
Muktamar ke-27 di Situbondo. Jabatan tersebut kembali dikukuhkan pada
Muktamar ke-28 di Pesantren Krapyak, Yogyakarta (1989) dan Muktamar di
Cipasung, Jawa Barat (1994). Jabatan ketua umum PBNU kemudian dilepas
ketika Gus Dur menjabat Presiden RI ke-4. Selama menjadi Presiden,tidak sedikit
pemikiran Gus Dur yang kontroversial. Pendapatnya sering berbeda dari pendapat
100
banyak orang. Dengan demikan bisa digambarkan Sketsa Singkat Perjalanan Sosial
Abdurrahman Wahid:
a. Perjalanan Pendidikannya
1. Belajar di Sekolah Dasar (SD) Jakarta, 1947-1953.
2. Belajar di SMEP (Sekolah Menengah Ekonomi Pertama) di Jakarta dan
Yogyakarta, 1953-1957.
3. Belajar di Pondok Pesantren Krapyah, Yogyakarta, 1954-1957.
4. Belajar di Pondok Pesantren Tegal Rejo Magelang, Jawa Tengah, 1959-
1963.
5. Belajar di Pondok Pesantren Tambak Beras, sambil mengajar di
Madrasah Mu’llimat Tambak Beras Jombang, 1959-1963.
6. Belajar di Ma’had al-Dirasat al-Islamiyyah (Departemen of Higer
Islamic and Arabic Studies) al-Azhar Islamic University, Kairo Mesir,
1964-1969.
7. Belajar di Fakultas Sastra Universitas Bagdad di Irak, 1970-1972.
8. Menjadi Dekan dan Dosen Fakultas Ushuluddin Universitas Hasyim
Asy’ari (Unhas), Tebuireng, Jombang.
9. Sekertaris Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur, 1974-
1979.
10. Pengasuh Pondok Pesantren Cigancur, Jakarta Selatan, 1979-sekarang.
11. Pengasuh Yayasan Pondok Pesantren Denanyar, Jombang, 1996-
sekarang.
12. Anggota, Dewan Kehormatan Universitas Saddam Husein Bagdad serta
Manggala. BP7.
b. Perjalanan Sosial-Politik dan Keagamaannya
1. Ketua Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) di Mesir, 1964-1970.
2. Konsultan Departemen Koperasi, Departemen Agama dan Departemen
Agama dan Departemen Hankam, sejak 1976.
3. Wakil Katib Awal Syriah PBNU tahun 1981-1984.
101
4. Ketua Umum PBNU 1984-1999.
5. Anggota MPR, Fraksi Karya Pembangunan, di Jakarta, 1987-1992.
6. Anggota Dewan Internasional Perez Center for Peace (PCP) atau Institut
Shimon Perez untuk perdamaian di Tel Aviv Israel.
7. Presiden World Conference on Religion and Peace (WCRP) sejak 1994-
1999.
8. Anggota Komisi Agama-agama Ibrahimi di Madrid Spanyol.
9. Deklarator Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) di Ciganjur Jakarta, 1998
bersama K.H. Ilyas Ruhyat, K.H. Muchit Muzadi, K.H. Munasir Ali,
K.H. Musthofa Bisri.
10. Anggota MPR, Utusan Golongan, 1999.
11. Presiden Republik Indonesia, 1999-2001.
Adapun karya-karya Gusdur Dari studi bibliografi yang penulis lakukan,
ternyata ditemukan ada 493 buah tulisan Gus Dur sejak awal 1970-an hingga awal
tahun 2000. Hingga akhir hayatnya (2009), bisa jadi telah lebih dari 600 buah
tulisan Gus Dur. Greg Barton menjelaskan bahwa karya tulis Abdurrahman Wahid
sepanjang dekade 1970-an bisa dibagi dua periode. Pertama meliputi 1970 hingga
1977, masa dimana ia memfokuskan tulisannya pada kehidupan pesantren. Dan
tulisan-tulisan tersebut telah dibukukan dalam Bunga Rampai Pesantren :
Kumpulan Karya Tulis Abdurrahman Wahid.
Bunga rampai ini terdiri dari 12 artikel merupakan sebuah buku yang secara
keseluruhan membicarakan masalah-masalah pesantren. Pergihnya ke Jakarta pada
akhir 1977 merupakan awal fase baru dari tulisannya yang membuat ia terkenal,
sebab ia semakin produktif. Kedua, meliputi masa yang dimulai di bulan Januari
1978 sampai 1981 dan buku Muslim di Tengah Pengumpulan menjadi topik
masalah yang semakin luas adalah hasil kumpulan tulisannya yang terdiri dari 17
artikel. Di periode kedua ia muncul sebagai intelektual publik, sebab di samping
ia tampil di kalangan intelektual Jakarta, khususnya majalah mingguan Tempo.
Dan kehadirannya menulis majalah mingguan di tahun 1978 merupakan tanda
bahwa saat itulah ia hadir di media massa nasional.
102
Karya intelektual yang ditulis selama lebih dari dua dasawarsa itu
diklarifikasikan ke dalam delapan bentuk tulisan, yakni tulisan dalam bentuk buku,
terjemahanan, kata pengantar buku, epilog buku, antologi buku, artikel, kolom, dan
makalah. Rincian jumlah setiap klarifikasi tersebut sebagai berikut.
C.Tujuan Pendidikan Pesantren
Pada tahun 1960-an, pusat-pusat pendidikan Pesantren di Indonesia lebih
dikenal dengan nama pondok. Istilah pondok barangkali berasal dari pengertian
asrama-asrama para santri atau tempat tinggal yang dibuat dari bambu, atau
barangkali berasal dari kata arab, funduq, yang artinya hotel, asrama, rumah, dan
tempat tinggal sederhana. Perkataan Pesantren berasal dari kata santri, yang dengan
awalan pe di depan dan akhiran an berarti tempat tinggal para santri. Dan Pesantren
juga merupakan lembaga pendidikan tradisional Islam untuk mempelajari,
memahami, mendalami, menghayati, dan mengamalkan ajaran Islam (tafagguh
fiddin) dengan menekankan pentingnya moral keagamaan sebagai pedoman hidup
berperilaku sehari-hari.
Pengertian terminologi Pesantren di atas, mengindikasikan bahwa secara
kultural Pesantren lahir dari budaya Indonesia. Dari sinilah barangkali Norcholish
Madjid berpendapat, secara historis Pesantren tidak hanya mengandung makna
keislaman, tetapi juga makna keaslian Indonesia. Sebab memang cikal bakal
lembaga Pesantren sebenarnya sudah ada pada masa Hindu-Budha, dan Islam
tinggal meneruskan, melestarikan, dan mengislamkannya. Bahkan institusi
pesantren mempunyai tujuan sama dengan tujuan pendidikan Islam.
Tujuan Pendidikan Islam secara umum bisa dipahami dari firman Allah
yang berbunyi;
“ Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong)
dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri” ( Q.S. Lukman: 18 ).
103
Berdasarkan ayat tersebut bahwa tujuan pendidikan Islam cangkupannya
sangat luas baik secara material maupun secara spritual atau dengan kata lain
mencakup semua aspek kehidupan manusia baik di dunia maupun di akhirat.
Demikan halnya dengan tujuan pesantren juga mencakup kehidupan duniawi dan
akhirat.
Tujuan pesantren adalah menciptakan dan mengembangkan keperibadian
muslim, yaitu keperibadian yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan, berakhlak
mulia, bermanfaat bagi masyarakat atau berkhidmat kepada masyarakat dengan
jalan menjadi kawula atau abdi masyarakat yaitu menjadi pelayan masyarakat
sebagaimana kepribadian Nabi Muhammad (mengikuti sunnah nabi), mampu
berdiri sendiri, bebas dan teguh dalam kepribadian, menyebarkan agama atau
menegakkan Islam dan kejayaan umat Islam di tengah-tengah masyarakat (‘iizul
Islam wal Muslimin), dan mencintai ilmu dalam rangka mengebangkan kepribadian
Indonesia. Idealnya pengembangan kepribadian yang ingin dituju ialah kepribadian
muhsin, bukan sekedar muslim.
Tujuan pesantren dalam pandangan Abdurrahman Wahid adalah
terintegrasinya pengetahuan agama non agama, sehingga lulusan yang dihasilkan
akan memiliki keperibadian yang utuh dan bulat dalam dirinya tergabung unsur-
unsur keimanan yang kuat atas pengetahuan secara seimbang. Menurut
Abdurrahman Wahid, tujuan pesantren bukan hanya terletak pada upaya tafaqquh
fi al-din, yakni menghasilkan manusia yang mendalami ilmu agama setingkat
ulama.
Tujuan di atas, membutuhkan kesedian untuk mengembangkan pesantren,
karena itu dengan nada pesimis Abdurrahman Wahid mengatakan dengan sistem
pendidikan yang dimiliki pesantren sekarang praktis tidak mungkin bagi pesantren
sendiri untuk mencapainya. Kegagalan memahami dan kemudian memenuhi
kebutuhan di atas tidak lain, dunia pendidikan pesantren akan tertinggal dalam
percaturan budaya bangsa kita di masa depan. Dengan bahasa lain, semakin besar
kesenjaan antara kehidupan dunia pesantren dan kehidupan masyarakat.
Abdurrahman Wahid menjelaskan jika para pemimpin pesantren tidak berinisiatif
membawa dunia pendidikan pesantren untuk segaris dengan masyarakat luas, maka
104
akan segera melihat kehancuran pendidikan pesantren ini. Bahkan masyarakat masa
depan tidak mampu menopang sistem pendidikan pesantren yang sama sekali lepas
dari pendidikan nasional. Hal ini disebabkan karena anak didik tidak tertarik lagi
memasuki sistem pendidikan pesantren yang dianggap tidak memiliki wawasan
nasional. Dalam kondisi demikian, menurut Abdurrahman Wahid yang dikutip
Greg Barton bahwa hanya satu strategi yakni mengintegrasikan sistem pendidikan
pesantren ke dalam sistem pendidikan nasional (kendati tidak diragukan bahwa hal
tersebut memang penting), ini akan mengubah alam kepemimpinan pesantren.
Pemikiran Abdurrahman Wahid di atas, memberikan gambaran bahwa
tujuan pesantren hanya akan tercapai jika pendidikan pesantren bersedia
mengintegrasikan ke dalam sistem pendidikan nasional. Maka dari itu,
kepemimpinan dinamis dalam pendidikan pesantren sangat menjadi penentu
tunggal untuk keluar dari kemelut yang ada dalam pendidikan pesantren, sehingga
dapat mengembangkan pesantren sebagai lembaga pendidikan dan kemasyarakatan
yang benar-benar mampu menghadapi tantangan modernisasi. Dengan demikian,
tujuan pendidikan pesantren akan sangat ditentukan oleh dinamisasi pemimpin atau
kiai dalam mengelola sistem pendidikan pesantren.
Dari gambaran-gambaran terdahulu dapat dipahami bahwa gagasan-
gagasan modernisasi pendidikan pesantren dalam pandangan Abdurrahman Wahid
adalah suatu upaya menjebatani dua jurang antara dunia pendidikan pesantren di
satu sisi sebagai pendidikan tradisional dan dunia pendidikan modern di sisi lain,
padahal pesantren sendiri adalah bagian dari dunia itu.
Gagasan Abdurrahman Wahid tetap optimis dengan tradisi pendidikan
pesantren yang unik, akan mampu menjadi sistem pendidikan alternatif di masa
depan dan dapat berperan dalam menciptakan dukungan sosial bagi pembangunan
yang sedang berlangsung. Dengan demikian prinsip utama yang digunakan adalah
diktum yang sudah lama dikenal di kalangan pendidikan pesantren sendiri,
memelihara hal-hal yang baik yang telah ada, sambil mengembangkan hal-hal baru
yang lebih baik. Pijakan pesantren masa depan dalam pandangan Abdurrahman
Wahid adalah tradisi pesantren itu sendiri, baik wacana keilmuan dalam pendidikan
pesantren maupun kehidupan beragama. Berangkat dari potensi yang dimiliki
105
pesantren dan para pemimpin, pengelola pendidikan pesantren bersedia belajar dari
kekurangan serta dapat memperbaharui dengan tetap berpijak pada jati diri sebagai
lembaga pendidikan tradisional. Maka dunia pendidikan pesantren masa depan
tetap menjadi pendidikan alternatif untuk menyosong Indonesia baru dengan
mewujudkan masyarakat madani.
2. Kurikulum Pendidikan Pesantren
Salah satu aspek yang perlu direkonstruksi sistem pendidikan pesantren
adalah kurikulum. Kurikulum yang berkembang di dunia pesantren selama ini,
menurut Abdurrahman Wahid dapat diringkas ke dalam 3 pokok :
pertama,kurikulum yang berjutuan untuk mencetak ulama di kemudian hari; kedua,
struktur dasar kurikulumnya adalah pengajaran pengetahuan agama dalam segenap
tingkatan dan pemberian dalam bentuk bimbingan kepada santri secara pribadi oleh
kiai/guru dan ketiga, secara keseluruhan kurikulum yang ada berwatak
lentur/fleksibel dalam artian setiap santri berkesempatan menyusun kurikulumnya
sendiri sepenuhnya atau sebagian sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya.
Kurikulum sistem pendidikan pesantren yang diwakili oleh kitab kuning
hanya lebih menekankan pada bidang fiqih, teologi, tasawuf, dan bahasa. Fiqih
biasanya hanya terbatas pada mazhab Syafi’i dan kurang memberikan alternatif
pada mazhab-mazhab lain. Bahkan didefinisikan oleh para ulama terlalu sempit.
Pada umumnya fiqih diartikan sebagai kumpulan hukum amaliyah yang
disyariatkan Islam, yang penekanannya sangat berlebihan dan mendalam. Menurut
Nurcholis Madjid melalui kitab kuning biasanya berupa tradisi syarah dan
hasyasiyah. Yang di awali dari Matn al-Taqrib, yaitu kitab fiqih yang paling standar
di pesantren pesantren. Matan itu diberi syar (penjelasan) dalam kitab Fath al-Qarib,
juga sangat standar di pesantren, dan kemudian diberi hasyiyah dalam kitab al-
Bajuri, sebuah kitab yang boleh dipandang cukup tinggi.
Mazhab Syafi’i juga memberikan peluang yang sangat minim kepada
penjelasan rasional. Peranan rasio dalam mengambil kesimpulan hukum, legalitas
formal yang bersumber dari ajaran dasar kurang diberdayakan. Karena itu, untuk
aspek ini pun tampaknya penting melebarkan wacana fiqih lintas mazhab.
106
Kurikulum yang berkembang di persantren pada selama ini memperlihatkan sebuah
pola yang tetap. Pola itu dapat diringkas ke dalam pokok-pokok berikut:
a. Kurikulum ditunjukkan untuk mencetak ulama dikemudian hari.
b. Struktur dasar kurikulum itu adalah pengajaran pengetahuan agama dalam
segenap tingkatanya dan pemberian pendidikan dalam bentuk bimbingan
kepada santri secara pribadi oleh Kiai/guru.
c. Secara keseluruhan kurikulum yang ada berwatak lentur atau fleksibel,
dalam artian setiap santri berkesempatan menyusun kurikulumnya sendiri
sepenuhnya atau sebagian sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya,
bahkan pada pesantren yang memiliki sistem pendidikan berbentuk sekolah
sekalipun.
Melihat pemikiran di atas, nampaknya pendidikan pesantren yang mereka
inginkan adalah terintegrasinya keilmuan; antara ilmu agama dan umum. Dengan
kata lain, penerapan kurikulum dalam pesantren dengan keseimbangan atau chek
and balance. Hanya saja, menurut Abdurrahman Wahid pola tersebut, dengan
terintegrasinya komponen agama dan non agama dalam kurikulum pesantren
selama beberapa tahun belum memperoleh hasil. Bahkan semakin lama porsi ilmu
agama sangat menurun, sehingga menghasilkan mentahnya lulusan yang dihasilkan
pesantren, tidak menjadi agamawan yang berpengetahuan agama mendalam dan
juga tidak menjadi ilmuan non agama yang cukup tinggikualitasnya. Yang terjadi
adalah pembaruan (akulturasi) yang tidak memperlihatkan identitas yang jelas.
Menghadapi kenyataan di atas, Abdurrahman Wahid menjelaskan bahwa
sebagian pimpinan pesantren pesantren utama cenderung untuk kembali pada cara
salaf, dengan penekanan pada porsi ilmu agama, sehingga ilmu umum (non agama)
dalam kurikulumnya nyaris tidak terpakai lagi. Hal ini sangat membahayakan dunia
pendidikan pesantren dan lulusannya, sebab modernisasi adalah sebuah kebutuhan
yang harus dihadapi para santri di masa depan. Kesalahan-kesalahan dasar dalam
pengembangan komponen ilmu non agama dalam kurikulum pendidikan pesantren
selama ini, hingga tidak mampu mendorong menjadi agamawan, bukan
memperbaikinya dengan membuang ilmu non agama, karena tantangan masa depan
107
tidak hilang hanya dengan cara bekal rohani yang kuat dan juga sangat ditentukan
oleh pebguasaan Iptek.
Abdurrahman Wahid menjelaskan ada beberapa kelemahan dasar dalam
upaya mengembangan komponen non agama dalam kurikulum pendidikan
pesantren. Kelemahan pertama, adalah sifat upaya itu sendiri, yang lebih banyak
ditekankan pada pengembangan intelektualisme verbalistik yang penuh dengan
teori tapi tidak mampu memecahkan persoalan-persoalan praktis yang terjadi di
depan mata. Kedua, penanganan kurikulum dan komponen-komponennya secara
sepotong-potong, tidak menggunakan pendekatan menyeluruh yang bersifat
multidisipliner (yang terbukti antara lain dalam pemisahan antara pengetahuan-
pengetahuan sosial ekonomi, budaya dan pengetahuan alam). Ketiga, belum
tercapainya kesatuan yang utuh dan bulat antara komponen-komponen agama dan
non agama.
Kelemahan-kelemahan dasar itu justru menimbulkan kebutuhan dan
pengembangan pendidikan pesantren, setidak-tidaknya dalam kurikulum yang
digunakan. Pesantren dapat menyediakan tenaga-tenaga terdidik yang sesuai
dengan lapangan kerja masyarakat modern.
Dengan kata lain menurut Abdurrahman Wahid, dunia pendidikan
pesantren bersedia membuka diri bagi pendidikan yang menjurus dalam
hubungannya dengan penyediaan angkatan kerja. Hal ini diajukan Indra Djati Sidi
dalam istilah Creative Curriculum artinya kurikulum pendidikan masa depan
dikembangkan berdasarkan kompotensi dasar. Selanjutnya kurikulum yang
memiliki kesesuain dan keterkaitan (link and macth) dengan kebutuhan lapangan
kerja, baik dalam bidang jasa maupun perdagangan dan keahlian lainnya, yang
memberikan masukan bagi kalangan pendidikan, tentang keahlian apa yang
sesungguhnya dibutuhkan lapangan kerja.
Selanjutnya, karena berbagai keahlian dan pekerjaan dalam era globalisasi yang
begitu cepat dan dinamis, maka klurikulum pun disesuaikan dengan dinamis dan
progresif.
Abdurrahman Wahid menjelaskan kurikulum pendidikan pesantren dengan
melihat kebutuhan yang sesuai dengan kebutuhan santri, sehingga lembaga
108
pendidikan pesantren mampu memenuhi tuntunan dan kebutuhan penyediaan
angkatan kerja dalam kehidupan modern. Penyediaan tenaga terampil dan terlatih
untuk berbagai jenis profesi disesuaikan dengan tujuan dan fungsi pesantren.
Karena itu, Abdurrahman Wahid menawarkan model kurikulum pendidikan
pesantren dengan pembakuan yang artinya menciptakan model penyederhanaan
kurikulum yang memungkinkan lembaga pendidikan pesantren
menyelenggarakannya. Dalam artian muatan kurikulum tidak terlalu banyak
dibebankan kepada santri. Adapun tawaran kurikulum, yang ditawarkan
Abdurrahman Wahid dalam bukunya menggerakkan tradisi, sebagai berikut:
a. Pemberian waktu terbanyak dilakukan pada unsur nahwu-sharaf dan
fiqh karena dua unsure ini masih memerlukan ulangan (tikrar),
setidaknya untuk separuh dari masa berlakunya kurikulum.
b. Pelajaran lain hanya diberikan selama setahun tanpa diulang di tahun-
tahun berikutnya.
c. Kalau diperlukan, pada tahun-tahun terakhir dapat diberikan buku-buku
utama.
Kurikulum telah banyak mengalami perubahan dan berkembang dalam
variasi bermacam-macam, namun kesemua perkembangan itu tetap mengambil
bentuk pelestarian watak utama pendidikannya sebagian tempat menggembleng
ahli-ahli agama yang di kemudian hari akan menunaikan tugas untuk melakukan
transformasi total atas kehidupan masyarakat di tempat masing-masing. Beberapa
jenis kurikulum utama perlu ditinjau sepintas dalam hubungan ini:
a. Kurikulum pengajian non sekolah, di mana santri belajar pada beberapa
orang kiai/guru dalam sehari semalamnya. Kurikulum ini, walaupun
memiliki jenjangnya sendiri, bersifat sangat fleksibel, dalam arti pembuatan
kurikulum itu sendiri bersifat individual oleh masing-masing santri. Sistem
pendidikna seperti ini, yang dinamai sistem lingkaran (pengajian halaqah)
memberikan kebebasan sepenuhnya kepada santri untuk membuat
kurikulumnya sendiri, fdengan jalan menentukan sendiri pengajian mana
yang akan diikutinya.
109
b. Kurikulum sekolah tradisional (madrasah salafiyah), di mana pelajaran
telah diberikan di kelas dan disusun berdasarkan kurikulum tetap yang
berlaku untuk semua santri. Akan tetapi, ini tidak berarti pendidikannya
sendiri telah menjadi klasikal karena kurikulumnya masih didasarkan pada
penahapan dan pejenjangan berdasarkan urut-urutan tesk kuno secara
berantai.
Walaupun sebagian besar sekolah agama tradisional ini telah memasukkan
mata pelajaran non agama dalam kurikulumnya, belum ada integrasi
kohensif antara komponen mata pelajaran agama dan non agama.
Akibatnya, komponen non agama lalu kehilangan relevansinya di mata guru
dan santrinya, dipelajari tanpa diyakini kebenarannya. Paling jauh, mata
pelajaran non agama hanya dipakai untuk menunjang penggunaan mata
pelajaran agama bagi tugas penyebaran agama nantinya.
c. Pondok modern, di mana kurikulumnya telah bersifat klasikal dan masing-
masing kelompok mata pelajaran agama dan non agama telah menjadi
bagian integral dari sebuah sistem yang telah bulat dan berimbang.
Akan tetapi, di sini pun mata pelajaran non agama, walaupun telah diakui
pentingnya, masih ditundukkan pada kebutuhan penyebaran ilmu-ilmu
agama sehingga kelompok mata pelajaran tersebut memiliki perwatakan
intelektualistis denga tekanan pada penumbuhan keterampilan skolastis
Setelah meninjau sedikitnya kurikulum utama yang berkembang di pesantren
pada umumnya dewasa ini, dengan didahului tinjauan sekilas lintas atas nilai-nilai
utama yang menopangnya. Ada lima percobaan yang patut ditelaah dalam
hubungan ini, dari yang telah berjalan beberapa lama hingga pada yang baru saja
dicoba.
a. Madrasah Negeri. System pendidikan ini telah lama dikembangkan dan
telah berusia belasan tahun, namun belum memiliki pola menetap karena
senantiasa mengalami perubahan kurikulum dalam jarak yang terlalu dekat.
b. Program keterampilan di pesantren. Program ini, yang dapat dilaksanakan
sebagai kegiatan kurikuler sistem pendidikan sekolah di pesantren maupun
sebagai kegiatan nonkurikuler, dimaksukan untuk menyediakan sarana
110
memperoleh keterampilan yang diperlukan untuk hidup di atas kaki sendiri
dalam kehidupan setelah keluar dari pesantren nanti.
c. Program penyuluhan dan bimbingan.
d. Program sekolah-sekolah nonagama di pesantren.
e. Program pengembangan oleh masyarakat.
Beberapa ketentuan dijadikan batasan dalam menyusun model-model
kurikulum. Karena itu, Abdurrahman Wahid mengajukan tawaran kurikulum
pendidikan pesantren yaitu:Pertama, ketentuan untuk menghindarkan pengulangan
(‘adamuttikrar), sepanjang tidak dimasukkan untuk pendalaman (ta’ammuqi) dan
penjenjangan (tadarruj). Dengan demikian, dapat terhindarkan dari pemborosan
waktu. Ketentuan kedua, pemberian tekanan pada latihan (tamrinat), karna buku
yang dipakai diusahan yang seringkas mungkin dalam ilmu-ilmu alat. Ketiga, tidak
dapat dihindari adanya lompatan-lompatan yang tidak berurutan dalam penetapan
buku-buku wajib (kutub al-muqarrarah) selama masa pendidikan dari tahun-
ketahun.24 Dengan demikian, gagasan dengan menyederhanakan kurikulum,
sehingga dapat dikembangkan kurikulum menjadi lebih lengkap dan bulat yang
mampu menampung komponen pendidikan non agama, tanpa adanya kekhawatiran
penurunan tingkatan atau nilai pendidikan agama di pondok pesantren. Bahkan
Abdurrahman Wahid menjelaskan bahwa model kurikulum yang disederhanakan di
samping merupakan jalan untuk menerima komponen-komponen pendidikan ilmu-
ilmu umum, juga yang terpenting adalah tidak mengorbankan tujuan menciptakan
santri yang memiliki pengetahuan dasar agama yang bulat dan cukup.25
Pemikiran di atas, dapat dipahami bahwa kurikulum pendidikan pesantren
yang digagas Abdurrahman Wahid tidak menghendaki adanya dikotomi ilmu
pengetahuan antara ilmu agama dan non agama. Hanya saja, penguasaan
pengetahuan agama haruslah diberi porsi cukup besar dalam kurikulum pendidikan
pesantren.
24 Sebagai contoh, dari Al-Jurumiyah di tahun pertama, melalui al-Imrithi di tahun kedua,
dan disudahi denagn Alfiyah untuk nahwu di tahun ketiga. Seperti yang tercantum pada pesantren
Tegal Rejo, di Magelang tanpa menggunakan al-Mutammimah dan kitab-kitab pertengahan lainnya
yang sejenis. Abdurrahman Wahid, Menggerakan Tradisi Esai-esai Pesantren, h. 121-122. 25 Abdurahman Wahid, Menggerakkan Tradisi Esai-esai Pesantren, h. 124.
111
Porsi itu dapat diberikan dalam ukuran besar secara kualitatif, walaupun
sedikit secara kuantitatif. Dengan kata lain, modernisasi kurikulum pendidikan
pesantren tetap pada jati diri khas. Sebab itulah yang sesungguhnya yang dimiliki
oleh lembaga pendidika pesantren. Hal ini tentunya semua berpulang kepada
pengelola atau pengasuh pondok pesantren, serta kreativitasnya, rasa percaya diri
dan tanggung jawab masyarakat pendukung pesantren secara menyeluruh. Adapun
metode pengajaran di lembaga pendidikan pesantren menurut Abdurrahman wahid
lebih banyak bersifat doktriner.26Artinya terjadi kedangkalan tata nilai, sehingga
hanya perbuatan-perbuatan lahirnya belaka yang harus dinilai. Sehingga
mengakibatkan kesetiaan seorang santri kepada pesantren tempat ia belajar,
ketidakmampuan seorang kiai untuk menerima argumentasi pihak luar dalam suatu
kontroversi dan sikap angkuh sebagian santri, verbalisme yang sangat kaku serta
formalisme dalam menilai suatu perbuatan.
Abdurrahman Wahid menjelaskan bahwa tata nilai yang terlalu
menekankan pekerjaan praktik ini, cenderung menghasilkan santri yang hanya
tunduk, taat tanpa memperhatikan keduniawian. Hal ini akan menyebabkan santri
akan bersifat menerima begitu saja apa yang diajarkan oleh pendidik, bahkan kerja
ritual lebih utama daripada penyuluhan administratif.27Jadi menurut Abdurrahman
Wahid perlu adanya kemauan pesantren untuk melakukan inovasi yang sesuai
dengan perkembangan modern, walaupunmasih terbatas pada soal-soal non-ritual
dan non-konsepsional seperti pada dalam bidang administrasi dan lain-lain.
Jika Analisis maksud Abdurrahman Wahid dengan istilah dinamisasi
pesantren adalah kesediaan dunia pendidikan pesantren sebagai lembaga
pendidikan masa depan untuk senantiasa melakukan terobosan dan mereproduksi
makna-makna baru dalam berbagai bidang yang sesuai dengan kondisi sekarang
dan yang akan datang.28
3. Santri
26 Samsul Bahri, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, h. 107. 27 Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi Esai-esai Pesantren, h. 22. 28 SamsulBahri, SejarahPendidikan di Indonesia, h 108.
112
Pengertian santri, menurut pengertian yang dipakai dalam lingkungan
orang-orang pesantren, seorang alim hanya bisa disebut kiai bilamana memiliki
pesantren dan asntri yang tinggal dalam pesantren untuk mempelajari kitab-kitab
Islam Klasik. Oleh karena itu, santri merupakan elemen penting dalam suatu
lembaga pesantren. Perlu diketahui bahwa, menurut tradisi pesantren, santri terddiri
dari dua, santri mukim dan santri kalong. Seorang santri pergi dan menetap di suatu
pesantren karena berbagai alasan:
1. Ia ingin mempelajari kitab-kitab lain yang membahas Islam secara lebih
mendalam di bawah bimbingan kiai yang memimpin pesantren.
2. Ia ingin memperoleh pengalaman kehidupan pesantren, baik dalam bidang
pengajaran, keorgananisasian maupun hubungan dengan pesantren-
pesantren terkenal.
3. Ia ingin memusatkan studinya di pesantren tanpa disibukkan oleh kewajiban
sehari-hari di rumah keluarganya. Di samping itu, dengan tinggal di sebuah
pesantren yang sangat jauh letaknya dari rumahnya sendiri ia tidak mudah
pulang balik meskipun kadang-kadang menginginkannya.
Di masa silam, pergi dan menetap di sebuah pesantren yang jauh dan
masyhur merupakan suatu keistimewaan bagi seorang santri yang penuh cita-cita.
Ia harus memiliki keberanian yang cukup, penuh ambisi, dapat menekan perasaan
rindu kepada keluarga maupun teman-teman sekampungnya, sebab setelah selesai
pelajarannya di pesantren ia diharapkan menjadi seorang ailm yang dapat mengajar
kitab-kitab dan memimpin mesyarakat dalam kegiatan keagamaan. ia juga
diharapkan dapat memberikan nasihat-nasihat mengenai persoalan-persoalan
kehidupan individual dan masyarakat yang bersangkut-paut erat dengan agama.29
Itulah sebabnya maka biasanya hanya seorang calon yang penuh
kesungguhannya dan ada harapan akan berhasil saja yang diberi kesempatan untuk
belajar di pesantren yang jauh. Ini semua harus ia tunjukkan pada waktu mengikuti
pengajian sorongan di kampungnya.30 Maka menurut Abdurrahman Wahid santri
adalah siswa yang tinggal di pesantren, guna menyerahkan diri. Ini merupakan
29 Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi Esai-esai Pesantren, h. 88-89. 30 Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi Esai-esai Pesantren, h. 90.
113
persyaratan mutlak untuk memungkinkan dirinya untuk menjadi anak didik kiai
dalam arti sepenuhnya. Dengan kata lain, ia harus memperoleh kerelaan sang kiai
dengan mengikuti segenap kehendaknya dan juga melayani segenap kepentingan-
kepentingannya. Pelayanan harus dianggap sebagai tugas kehormatan yang
merupakan ukuran penyerahan diriitu. Kerelaan kiai ini, yang dikenal di pesantren
dengan nama barakah, adalah alasan tempat berpijak santri di dalam menuntut
ilmu.31 Dalam pandangan Abdurrahman Wahid santri yang diinginkan dan
dilahirkan dalam rahim pendidikan pesantren adalah santri yang memiliki ilmu
agama yang kuat, tetapi tidak miskin ilmu-ilmu umum. Untuk itu, pesantren
disamping mencetak ulama/kiai, juga mampu melahirkan santri yang ahli dalam
bidang iptek, seperti ahli computer, fisika, pertanian, perkebunandan lain-lain.
Usaha untuk membekali santri dengan berbagai bidang keilmuan tersebut di atas
yang ditetapkan di pesntren sesuai dengan firman Allah Swt yang menginginkan
agar generasi Islam tangguh dan tidak lemah.
“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya
meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir
terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa
kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan Perkataan yang benar” (Q.S
an-Nisa (4) : 9 ).32
Peserta didik yang dihasilkan pesantren yang demikian itu, sebagai peserta
didik yang memiliki wawasan pemikiran yang luas, pandangan hidup yang matang
dan mampu melakukan kerja-kerja praktis, serta berwatak multi sektoral dalam
memecahkan persoalan-persoalan yang dihadapinya. Dengan kata lain, peserta
didik yang mampu memandang jauh ke depan, di samping memiliki keterampilan
praktis untuk menyelesaikan berbagai persoalannya sendiri secara tuntas. Dengan
demikian, lulusan pesantren yang diharapkan oleh Abdurrahman Wahid adalah
sebuah pribadi yang tercermin pada beliau sendiri, yaitu pribadi yang di samping
31 Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi Esai-esai Pesantren, h 21. 32 Muhammad Shohab Thohar, Syamil Al-Qur’an, Jakarta Depag RI, 2007, Q.S. Nisa 9.
114
menguasai ilmu agama secara luas dan mendalam juga menguasai ilmu
pengetahuan, teknologi dan keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan zaman.
Pribadi yang demikian itulah yang dapat merebut peluang di era globalisasi seperti
sekarang ini. Pribadi yang demikian itulah yang akan dapat hidup di tengah-tengah
masyarakat. Pesantren harus menolong menyiapkan masyarakat agar siap-siap
menghadapi tantangan modernisasi yang demikian itu.33
D. Kesimpulan
Bedasarkan uraian tersebut, maka kajian ini membuktikan sebagai berikut:
Pertama, Abdurrahman Wahid Pesantren adalah menghendaki dinamisasi terhadap
komponen pendidikan pesantren, hal ini terlihat dari: Kedua, Tujuan Pendidikan
Pesantren yang digagasnya adalah terintegrasinya pengetahuan agama dan non
agama, sehingga lulusan yang dihasilkan akan memiliki kepribadian yang utuh dan
bulat dalam dirinya tergabung unsur-unsur keimanan yang kuat atas pengetahuan
secara seimbang. Ketiga, Kurikulum pendidikan pesantren yang diinginkannya
menawarkann model kurikulum pendidikan pesantren dengan pembakuan yang
artinya menciptakan model penyederhanaan kurikulum yang memungkinkan
lembaga pendidikan pesantren menyelenggarakannya beberapa ketentuan dijadikan
batasan dalam penyusunan model-model kurikulum. Karena itu, Abdurrahman
Wahid mengajukan tawaran kurikulum pendidikan pesantren yaitu: ketentuan
untuk menghindarkan pengulangan (‘adamuttikarar), sepanjang tidak
dimaksudkan untuk pendalaman (ta’ammuqi) dan penjenjangan (tadarruj). Dengan
demikian, dapat terhindarkan dari pemborosan waktu. Ketentuan, pemberian
tekanan pada latihan (tamrinat), karena buku yang dipakai diusahakan yang
seringkas mungkin dalam ilmu-ilmu alat. kemudian tidak dapat dihindari adanya
lompatan-lompatan yang tidak berurutan dalam penetapan buku-buku wajib
(kutubal-muqarrarah) selama masa pendidikan dari tahun ke tahun.
Ketiga, Santri yang diinginkanbeliau adalah Santri yang mahir di bidang agama
dan cakap juga dalam bidang umumnya, sehingga keseimbangan antara ilmu agama
33 Abuddin Nata, Tokoh-tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, h. 357-358.
115
dan umum berjalan secara senada. Relavansi pemikiran K.H. Abdurrahman Wahid
tentang Pendidikan Pesantren, masih relevan hal ini dibuktikan bagaimana beliau
serius menanggani pesantren dengan menunjukkan kepada masyarakat bahwa
sanya pesantren bukan lembaga pendidikan yang ketinggalan zaman, tetapi salah
satu institusi pendidikan Islam yang multi potensi yakni keagamaan dan umum.
DAFTAR PUSTAKA
Dhofie Zamakhsyari, Tradisi Pesantren,(Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya
mengenai masa Depan Indonesia)Yogyakarta: LP3ES,2011.
-------------------, Tradisi Pesantren, Studi Pandangan Hidup Kyai, ke-6 Jakarta:
Balai Pustaka, 1989.
AbdurrahmanWahid,K.H. Menggerakan Tradisi Esay-esay Pesantren,
Yogyakarta: LkiS, 2010.
-------------------, MenggerakanTradisiEsay-esaiPesantren, ke-1, Yogyakarta:
2001.
Bungi Burhan (ed), Analisa Data Penelitian Kualitatif, Jakarta, Raja Grafindo
Persada,2006.
Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan
R&D, Bandung, Alfabeta, 2006.
Syaodih Sukmadinata, Nana, Metode Penelitian Pendidikan, Bandung, Remaja
Rosdakarya, 2008.
Nata Abuddin, Kapita Selekta Pendidikan Islam, Bandung, Angkasa, 2003.
-------------------,Ilmu Pendidikan Islam dengan Pendekatan Multidisipliner,
Jakarta, Rajawali Press, 2009.
-------------------, Tokoh-tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2005.
Muhadjir Neong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Edisi IV, Yogyakarta, Reka
Sarasin, 2002.
Zed Mestika, Metode Penelitian Keperpustakaan, Jakarta, yayasan Obor Indonesia,
2004.
116
Abdullah M. Amin, dkk., Metodologi Penelitian Agama; Pendekatan
Multidisipliner, Yogyakarta: Lembaga Penelitian UIN Sunan Kalijaga, 2006.
Hasan H. Ahmad Zaeni, Perlawanan dari tanah Pengasingan, Jakarta selatan,
elsas, 2000.
Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren,Jakarta INIS, 1994.
Rahardjo M.D, “Kyai, Pesantren dan Desa: Suatu Gambaran Awal’, dalam
Prisma, No. 4, tahun ke-2, 1973.
S Prasodjo, (ed), Profil Pesantren (Jakarta: LP3ES, 1974).
Johns, A.H. “ Islamin Southeast Asia: Reflections and New Directions,” dalam
Indonesia, CMIP, No 19, 1975.
Bahri Samsul, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: LeKAS Publishing,
2012.
Faisol, Gus Dur danPendidikan Islam, Upaya Mengembalikan Esensi Pendidikan
di Era Globa, Yogyakarta: AR-RUZZ Media, 2011.
Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Lintasan Sejarah Pertumbuhan
dan Perkembangan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996.
Raharjo Dawam, Pergulatan DuniaPesantren, Membangun dari Bawah, Jakarta:
P3M, 1985.
A Steenbrink Karel, Pesantren, Madrasah, Sekolah, Pendidikan Islam dalam kurun
Modern, ter. Karel A. Steenbrink dan Abdurrahman Wahid Jakarta: LP3ES,
1994.
Dawan Saleh Muhammad, Jalan ke Pesantren, Jakarta: DuniaPustaka Jaya, 2004.
Bawani Imam, Tradisionalisme dalam Pendidikan Islam, Surabaya: al-Ikhlas,
1993.
Guillot Claude dan Ludvik Kalus, Ecole Francaised’ Extreme-Orient Forum
Jakarta-Paris, 2007.
Ismail Faisal, Paradigma Kebudayaan Islam, Studi Kritis dan Refleksi Historis,
Yogyakarta: Titian Illahi Press, 1997.
http://sopyanhadi.wordpress.com
Yasmadi, Modernisasi Pesantren, Kritik NorchorisMadjid terhadap Pendidikan
Islam Tradisional, Jakaarta: Ciputat Press, 2005.
117
Madjid Norcholis, Bilik-bilik Pesantren, sebuah Potret Perjalanan, Jakarta: Para
madinah, 1997.
Mulkham Abdul Munir, Runtuhnya Mitos Politik Santri, Strategi Kebudayaan
dalam Islam, Yogyakarta: Sipress, 1994.
Thohar Muhammad Shohab, Syamil Al-Quran, Jakarta Depag RI, 2007.
Lexy J. Meolong,Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT Remaja Rosda
karya, 2009.
Hadjar Ibnu, Dasar-dasar Metode Penelitian Kualitatif, Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1996.
118
MODEL PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL
Ahmad Cecep Damanhuri
Abstrak
Model kontekstual Merupakan suatu proses pendidikan yang holistic dan
bertujuan memotivasi siswa untuk memahami makna materi pelajaran yang
dipelajarinya dengan mengkaitkan materi tersebut dengan konteks kehidupan
mereka sehari-hari (konteks pribadi, sosial, dan kultur) sehingga siswa memilki
pengetahuan/keterlampilan yang secara fleksibel dapat diterapkan (ditransfer) dari
satu permasalahan/ konteks ke permasalahan/konnteks lainnya
Kata kunci : Model Kontekstual
Prawacana
Apabila pendidikan kita artikan sebagai latihan mental, moral dan fisik
(jasmaniah) yang menghasilkan manusia berbudaya tinggi untuk melaksanakan
tugas kewajiban dan bertanggung jawab dalam masyarakat selaku hamba Allah,
maka pendidikan berarti menumbuhkan personalitas (kepribadian) serta
menanamkan rasa tanggung jawab.
Tujuan dan sasaran pendidikan berbeda-beda menurut pandangan hidup
masing-masing pendidik atau lembaga pendidikan. Oleh karenanya maka perlu
dirumuskan pandangan hidup Islam yang mengarahkan tujuan dan sasaran
pendidikan Islam.
Sebagai landasan pandangan seorang muslim disebutkan dalam Al-Qur’an
surat Al-Imran Ayat 19 :
Artinya :
“Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam. Tiada
berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang
pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka.
119
Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah sangat
cepat hisab-Nya.”(QS. Al-Imran ayat. 19)
Oleh karena itu, bila manusia yang berpredikat Muslim, benar-benar menjadi
penganut agama yang baik ia harus mentaati ajaran Islam dan menjaga agar rahmat
Allah tetap berada pada dirinya. Ia harus mampu memahami dan mengamalkan
ajarannya yang didorong oleh iman sesuai dengan akidah Islamiah. Untuk tujuan
itulah manusia harus dididik melalui proses pendidikan Islam.
Pendidikan bertujuan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia.
Salah satu usaha untuk meningkatkan sumber daya manusia adalah melalui proses
pembelajaran di sekolah.
Sehertian mengatakan bahwa proses pembelajaran adalah seperangkat
kegiatan yang dilakukan oleh siswa. Kegiatan belajar yang dilakukan siswa ini di
bawah bimbingan guru. Guru berusaha merumuskan tujuan-tujuan yang hendak
dicapai pada saat mengajar. Untuk mencapai tujuan itu, guru merancang sejumlah
pengalaman belajar siswa. Pengalaman belajar (learning experience) adalah segala
sesuatu yang diperoleh siswa sebagai hasil dari belajar.
Sangat pentingnya pembelajaran agar terciptanya manusia yang bertakwa dan
berpendidikan, Allah Swt telah memberikan penjelasan kepada orang mukmin yang
diterangkan dalam surat At-Taubah ayat 122 :
Artinya :
“Dan tidak sepatutnya orang-orang mukmin itu semuanya pergi (ke medan
perang) mengapa sebagian dari setiap golongan diantara mereka tidak pergi untuk
memperdalam pengetahuan agama mereka dan untuk memberi peringatan kepada
kaumnya apabila mereka telah kembali agar mereka dapat menjaga dirinya.”(Qs.
At-Taubah ayat 122)
Dalam usaha meningkatkan kualitas sumber daya pendidikan, guru
merupakan komponen sumber daya manusia yang harus dibina dan dikembangkan
120
terus menerus. Oleh karena itu seorang guru hendaknya dapat memilih dan
menentukan model-model pembelajaran apa yang tepat dalam kegiatan belajar
mengajar sehingga tercapai tujuan pembelajaran agar siswa dapat memahami ilmu
pengetahuan dan keterampilan yang disampaikan dan dapat menerapkannya dalam
kehidupannya.
Model pembelajaran merupakan salah satu pendekatan dalam rangka
mensiasati perubahan perilaku peserta didik secara adaptif maupun generatif.
Model pembelajaran sangat erat kaitannya dengan gaya belajar peserta didik
(Learning style) dan gaya mengajar guru (teaching style), yang keduanya disingkat
menjadi SOLAT (Style of Learning and Teaching). Karena melalui model
pembelajaran tersebut terjadinya proses pemberian ilmu pengetahuan dan
keterampilan yang diberikan seorang guru pada saat kegiatan belajar mengajar.
Pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching Learning) merupakan
konsep pembelajaran yang membantu guru untuk mengaitkan antara materi ajar
dengan situasi dunia nyata siswa, yang dapat mendorong siswa membuat hubungan
antara pengetahuan yang dipelajari dengan penerapannya dalam kehidupan para
siswa sebagai anggota keluarga dan masyarakat.
Melalui model pembelajaran ini diharapkan siswa dapat lebih mudah
memahami materi pelajaran dengan menerapkanya di kehidupan nyata sehingga
dapat meningkatkan prestasi belajar siswa.
“Prestasi belajar adalah hasil yang diperoleh berupa kesan-kesan yang
mengakibatkan perubahan-perubahan dalam diri individu sebagai hasil dari
aktivitas dalam belajar.”
Prestasi belajar siswa khususnya nilai pelajaran sangat tergantung dengan
proses pembelajaran. Betapa pentingnya model pembelajaran, diantaranya model
pembelajaran kontekstual yang diterapkan dalam proses belajar mengajar di
sekolah dengan harapan dapat meningkatkan prestasi belajar siswa, maka setiap
guru diharapkan dapat memilih model pembelajaran yang tepat untuk siswanya
dalam belajar.
Model pembelajaran kontekstual (contextual teaching learning) adalah
konsep yang ditunjukkan oleh guru dengan menghadirkan dunia nyata ke dalam
121
kelas dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimiliki
dengan penerapan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian siswa akan
memperoleh pengetahuan dan keterampilan dalam konteks yang terbatas sedikit
demi sedikit, dan dari proses mengkontruksi sendiri, sebagai bekal dalam
pemecahan masalah kehidupannya di lingkungan masyarakat.
Sedangakan menurut Johnson, pembelajaran kontekstual adalah pendekatan
pembelajaran yang mengaitkan antara materi yang dipelajari dengan kehidupan
nyata siswa sehari-hari, baik dalam lingkungan keluarga, sekolah, masyarakat,
maupun warga negara, dengan tujuan untuk menemukan makna materi tersebut
bagi kehidupannya.
Penulis melakukan penelitian ini denga tujuan sebagai berikut
a. Ingin mengetahui bagaimana cara yang tepat dalam penerapan model
pembelajaran kontekstual terhadap prestasi belajar
b. Ingin mengetahui seberapa besar pengaruh model pembelajaran kontekstual
terhadap prestasi belajar
c. Ingin membadingkan model pembelajaran kontekstual dengan metode yang lain.
Pembelajaran Kontekstual
Model pembelajaran kontekstual (contextual teaching learning) adalah
konsep yang ditunjukkan oleh guru dengan menghadirkan dunia nyata ke dalam
kelas dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimiliki
dengan penerapan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian siswa akan
memperoleh pengetahuan dan keterampilan dalam konteks yang terbatas sedikit
demi sedikit, dan dari proses mengkontruksi sendiri, sebagai bekal dalam
pemecahan masalah kehidupannya di lingkungan masyarakat.
“Contextual teaching learning, suatu pendekatan pendidikan yang berbeda,
melakukan lebih daripada sekedar menuntun para siswa dalam menggabungkan
subjek-subjek akademik dengan konteks keadaan mereka sendiri. Contextual
teaching learning juga melibatkan para siswa dalam mencari makna “konteks” itu
sendiri”.
122
Konteks dalam pengertian pembelajaran kontekstual mempunyai makna lebih
dari sekedar keterkaitan lingkungan fisik tertentu pada waktu tertentu. Konteks
dalam pengertian pembelajaran kontekstual, mencakup juga konteks mental, dan
emosional tiap individu, konteks sosial dan konteks kultural. Dengan demikian,
pengertian kontekstual mempunyai makna yang lebih luas dibandingkan dengan
pembelajaran yang aplikatif. Pembelajaran yang aplikatif mengandung pengertian
bahwa sesuatu yang dipelajari siswa di sekolah dapat diaplikasikan pada situasi
yang berbeda, misalnya pada konsep yang berbeda, mata pelajaran yang berbeda,
atau juga dalam kehidupan sehari-hari. Pembelajaran yang kontekstual
mengandung makna bahwa kegiatan belajar mempertimbangkan semua unsur
terkait yang mempengaruhi proses belajar anak. Pembelajaran kontekstual bukan
hanya memperhatikan aplikasi tetapi juga pemanfaatan segala sumber daya yang
ada dalam konteks untuk mendukung belajar.
Proses belajarnya berlangsung alamiah dalam bentuk siswa bekerja dan
mengalami, tidak hanya mentransfer atau mengkopi dari guru. Siswa dilatih,
misalnya untuk memecahkan masalah yang mereka hadapi dalam suatu situasi, dan
masalah yang memang ada dalam dunia nyata. Siswa tidak belajar dalam proses
seketika, tetapi diperoleh sedikit demi sedkit, kemajuan diukur dari proses.
Jadi pembelajaran kontekstual menekankan proses keterlibatan siswa untuk
menemukan materi. Prosesnya tidak mengharapkan siswa hanya menerima
pelajaran akan tetapi ada proses mencari dan menemukan sendiri materi tersebut.
Disamping itu pembelajaran kontekstual juga mendorong siswa untuk menemukan
hubungan antara materi yang dipelajarinya dengan kehidupan nyata, artinya siswa
dituntut untuk dapat menangkap hubungan antara pengalaman di sekolah dengan
kehidupan nyata. Materi pelajaran kontekstual bukan untuk ditumpuk di otak untuk
kemudian dilupakan melainkan dijadikan bekal dalam mengarungi kehidupan
nyata.
Dalam kelas kontekstual, tugas guru adalah membantu siswa mencapai
tujuannya. Maksudnya, guru lebih banyak berurusan dengan strategi daripada
memberi informasi. Tugas guru mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja
bersama untuk menemukansesuatu yang barubagi anggota kelas (siswa). Sesuatu
123
yang baru (baca : pengetahuan dan keterampilan datang dari “menemukan sendiri”,
bukan dari “apa kata guru”. Begitulah peran guru dikelas yang dikelola dengan
pendekatan kontekstual.
Dalam pelaksanaannya, pembelajaran kontekstual dipengaruhi oleh berbagai
faktor yang sangat erat kaitannya. Faktor-faktor tersebut bisa datang dari dalam diri
peserta didik (internal), dan dari luar dirinya atau dari lingkungan di sekitarnya
(eksternal).
Sehubungan dengan itu, Zahorik mengungkapkan lima elemen yang harus
diperhatikan dalam pembelajaran kontekstual, sebagai berikut :
a. Pembelajaran harus memperhatikan pengetahuan yang sudah dimiliki oleh peserta
didik.
b. Pembelajaran dimulai dari keseluruhan (global) menuju bagian-bagiannya secara
khusus ( dari umum ke khusus).
c. Pembelajaran harus ditekankan pada pemahaman,
d. Adanya refleksi terhadap strategi pembelajaran dan pengembangan yang dipelajari.
Landasan Filosofis Pembelajaran Kontekstual
Pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching and Learning) banyak
dipengaruhi oleh filsafat kontruktivisme yang mulai digagas oleh Mark Baldwin
dan selanjutnya dikembangkan oleh Jean Piaget. Aliran filsafat kontruktivisme
berangkat dari pemikiran epistemologi Giambasta Vico (Suparno, 1997).
Vico mengungkapkan, “Tuhan adalah pencipta alam semesta dan manusia
adalah tuan dari ciptaanya.” Mengetahui menurut Vico, berarti mengetahui
bagaimana membuat sesuatu. Artinya seseorang dikatakan mengetahui bagaimana
membuat sesuatu. Artinya seseorang dikatakan mengetahui manakala ia dapat
menjelaskan unsur-unsur apa yang dapat membangun sesuatu itu. Oleh karena itu,
menurut Vico pengetahuan itu tidak lepas dari orang (subjek) yang tahu.
Pengetahuan merupakan struktur konsep dari subjek yang mengamati. Selanjutnya
pandangan filsafat kontruktivisme tentang hakikat pengetahuan mempengaruhi
konsep tentang proses belajar, bahwa belajar bukanlah sekedar menghafal, tetapi
proses mengkontruksi pengetahuan melalui pengalaman. Menurut pembelajaran
124
kontekstual, pengetahuan akan bermakna pada saat pengetahuan tersebut
ditemukan dan dibangun sendiri oleh siswa.
Para ahli pendidikan berpendapat bahwa inti kegiatan pendidikan adalah
memulai pelajaran dari “apa yang diketahui peserta didik”. Guru/dosen tidak dapat
mengindoktrinasi gagasan ilmiah supaya peserta didik mau mengganti dan
memodifikasi gagasannya yang non-ilmiah menjadi gagasan/pengetahuan ilmiah.”
Dengan demikian, kontruktivisme beranggapan bahwa pengetahuan adalah
hasil kontruksi manusia. Manusia mengkontruksi pengetahuan mereka melalui
interaksi mereka dengan objek, fenomena, pengalaman, dan lingkungan mereka.
Suatu pengetahuan dianggap benar bila pengetahuan itu dapat berguna untuk
menghadapi dan memecahkan persoalan atau fenomena yang sesuai. Bagi
kontruktivisme, pengetahuan tidak dapat ditransfer begitu saja dari seseorang
kepada yang lain, tetapi diinterprestasikan sendiri oleh masing-masing orang.
“Pengetahuan bukan sesuatu yang sudah jadi, melainkan suatu proses yang
berkembang terus menerus.
Pembelajaran kontekstual didasarkan pemikiran bahwa makna muncul dari
hubungan antara isi dan konteksnya. Konteks memberikan makna pada isi. Semakin
banyak keterkaitan yang ditemukan siswa dalam suatu konteks yang luas, semakin
bermakna pula isinya bagi mereka. Semakin mampu para siswa mengaitkan
pelajaran-pelajaran akademis mereka dengan konteks ini, semakin banyak makna
yang akan mereka dapatkan dari pelajaran tersebut. Kemampuan mengerti makna
dari pengetahuan dan keterampilan akan menuntun para siswa pada penguasaan
pengetahuan dan keterampilan.
Pembelajaran kontekstual melibatkan para siswa dalam aktivitas penting
yang membantu mereka mengaitkan pelajaran akademis dengan konteks kehidupan
nyata yang mereka hadapi. Dengan mengaitkan keduanya, para siswa melihat
makna di dalam tugas sekolah.
Karakteristik proses pembelajaran menggunakan pendekatan kontekstual
adalah sebagai berikut :
a. Pembelajaran merupakan proses pengaktifan pengetahuan yang sudah ada, artinya apa
yang akan dipelajari tidak terlepas dari pengetahuan yang sudah dipelajari. Dengan
125
demikian pengetahuan yang akan diperoleh siswa adalah pengetahuan yang utuh yang
memiliki keterkaitan satu sama lain.
b. Pembelajaran kontekstual adalah belajar dalam rangka memperoleh dan menambah
pengetahuan baru. Pengetahuan itu diperoleh dengan cara deduktif, artinya
pembelajaran dimulai dengan mempelajari secara keseluruhan kemudian
memperhatikan detailnya.
c. Adanya pemahaman pengetahuan, artinya pengetahuan yang diperoleh bukan untuk
dihafal akan tetapi untuk dipahami, misalnya dengan cara meminta tanggapan dari anak
tentang pengetahuan yang diperolehnya. Berdasarkan tanggapan tersebut baru
pengetahuan itu dikembangkan.
d. Mempraktikan pengetahuan dan pengalaman, artinya pengetahuan dan pengalaman
yang diperolehnya harus dapat diaplikasikan dalam kehidupan siswa sehingga ada
perubahan pada perilaku siswa.
e. Melakukan refleksi terhadap strategi pengembangan pengetahuan. Hal ini sebagai
umpan balik untuk proses perbaikan atau penyempurnaan strategi.
Jenis / Tipe Pembelajaran Kontekstual
Menurut Humaidi (2006) Beberapa hal yang harus diperhatikan para guru
Pendidikan Agama Islam dalam mengimplementasikan pendekatan kontekstual
adalah sebagai berikut :
a. Pembelajaran Berbasis Masalah
1) Langkah pertama yang harus dilakukan guru adalah mengobservasi
suatu fenomena, misalnya meminta murid untuk menonton VCD
tentang kejadian manusia, menyuruh murid untuk melaksanakan puasa
pada hari senin dan kamis, membaca Al-Qur’an.
2) Langkah kedua yang dilakukan guru adalah memerintahkan murid
untuk mencatat permasalahan-permasalahan yang muncul misalnya
setelah menonton VCD atau mendengarkan kisah-kisah Al-Qur’an.
3) Langkah ketiga, tugas guru Pendidikan Agama Islam adalah
merangsang murid untuk berpikir kritis dalam memecahkan
permasalahan yang ada.
126
4) Langkah keempat, guru diharapkan mampu untuk memotivasi murid
agar mereka berani bertanya, dan mendengarkan pendapat yang
berbeda dengan mereka.
5) Memanfaatkan Lingkungan untuk Memperoleh Pengalaman Belajar
Guru memberikan penugasan kepada murid untuk melakukan
kegiatan yang berhubungan dengan konteks lingkungan murid, antara
lain di sekolah, keluarga, dan masyarakat. Hal ini dapat dilakukan
dengan memberikan penugasan kepada murid di luar kelas, misalnya
mengikuti shalat berjamaah, mengikuti shalat jum’at, membaca Al-
Qur’an setelah shalat. Murid diharapkan dapat memperoleh
pengalaman langsung dari kegiatan yang mereka lakukan mengenai
materi yang sedang dipelajari.
b. Memberikan Aktivitas Kelompok
Guru PAI di dalam kelas diharapkan dapat melakukan proses
pembelajaran dengan membentuk kelompok-kelompok belajar. Murid
dibagi ke dalam beberapa kelompok yang heterogen. Aktivitas
pembelajaran kelompok dapat memperluas perspektif dan dapat
membangun kecakapan interpersonal untuk berhubungan dengan orang
lain.
c. Membuat Aktivitas Belajar Mandiri
Melalui aktivitas ini, peserta didik mampu mencari, menganalisis, dan
menggunakan informasi sendiri dengan sedikit bantuan atau bahkan tanpa
bantuan guru. Supaya dapat melakukannya, murid harus lebih
memperhatikan bagaimana mereka memproses informasi, menerapkan
strategi pemecahan masalah, dan menggunakan pengetahuan yang telah
diperoleh.
d. Menyusun Refleksi
Dalam melakukan refleksi, misalnya ketika pelajaran berakhir murid
merenungkan kembali pengalaman yang baru mereka peroleh dari
pelajaran tentang shalat berjama’ah, puasa senin-kamis, membaca Al-
Qur’an, dan seterusnya. Melalui perenungan ini, murid dapat lebih
127
menemukan kesadaran dalam dirinya sendiri tentang makna ibadah yang
mereka lakukan dalam hubungan mereka sebagai hamba Allah dan dalam
hubungan mereka sebagai makhluk sosial.
Komponen Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching Learning)
Pembelajaran kontekstual adalah sebuah sistem yang menyeluruh. Pembelajaran
kontekstual terdiri dari komponen-komponen yang saling berhubungan. Jika
komponen-komponen ini terjalin satu sama lain, maka akan dihasilkan pengaruh
yang melibihi hasil yang diberikan komponen-komponennya secara terpisah.
Beberapa komponen yang ada di dalam pembelajaran kontekstual (Contextual
Teaching Learning) adalah sebagai berikut :
a. Kontruktivisme (Constructivism)
“Contextual Teaching Learning dibangun dalam landasan kontruktivisme
yang memiliki anggapan bahwa pengetahuan dibangun peserta didik
secara sedikit demi sedikit (incremental) dan hasilnya diperluas melalui
konteks terbatas.”
Peserta didik harus mengkontruksi pengetahuan baru secara bermakna
melalui pengalaman nyata, melalui proses penemuan dan mentransformasi
informasi ke dalam situasi lain secara kontekstual. oleh karena itu, proses
pembelajaran merupakan proses mengkontruksi gagasan dengan
strateginya sendiri bukan sekedar menerima pengetahuan, serta peserta
didik menjadi pusat perhatian dalam proses pembelajaran (child centre).
Pembelajaran yang berciri kontruktivisme menekankan terbangunnya
pemahaman sendiri secara aktif, kreatif, dan produktif berdasarkan
pengetahuan terdahulu dan dari pengalaman belajar yang bermakna.
Pengetahuan bukanlah serangkaian fakta, konsep, dan kaidah yang siap
dipraktekannya. Manusia harus mengkontruksinya terlebih dahulu
pengetahuan tersebut dan memberi makna melalui pengalaman nyata.
Karena itu siswa perlu dibiasakan untuk memecahkan masalah,
menemukan sesuatu yang berguna bagi drinya, dan mengembangkan ide-
ide yang ada pada dirinya.
128
Atas dasar pengertian tersebut, prinsip dasar kontruktivisme adalah
sebagai berikut :
1) Proses pembelajaran lebih utama daripada hasil pembelajaran.
2) Informasi bermakna dan relevan dengan kehidupan nyata siswa lebih
penting daripada informasi verbalistis.
3) Siswa mendapat kesempatan seluas-luasnya untuk menemukan dan
menerapkan idenya sendiri.
4) Pengetahuan siswa tumbuh dan berkembang melalui pengalaman
sendiri.
5) Pemahaman siswa akan berkembang semakin dalam dan semakin kuat
apabila diuji dengan pengalaman baru.
6) Pengalaman siswa akan dibangun secara asimilasi (Asimilasi adalah
pengetahuan baru yang dibangun dari struktur pengetahuan yang
sudah) maupun akomodasi (Akomodasi adalah struktur yang sudah
ada dimodifikasi untuk menampung/menyesuaikan hadirnya
pengalaman baru).
7) Menemukan (Inquiry)
Proses pembelajaran yang dilakukan peserta didik merupakan proses
menemukan (inquiry) terhadap sejumlah pengetahuan dan keterampilan.
Komponen ini merupakan kegiatan inti CTL. Kegiatan ini diawali
dari pengamatan terhadap fenomena, dilanjutkan dengan kegiatan-
kegiatan bermakna untuk menghasilkan temuan yang diperoleh sendiri
oleh siswa. Dengan demikian, pengetahuan dan keterampilan yang
diperoleh oleh siswa tidak dari hasil mengingat seperangkat fakta, tetapi
hasil menemukan sendiri dari fakta yang dihadapinya.
b. Bertanya (Questioning)
Proses pembelajaran yang dilakukan peserta didik diawali dengan proses
bertanya. Proses bertanya yang dilakukan peserta didik sebenarnya
129
merupakan proses berpikir yang dilakukan peserta didik dalam rangka
memecahkan masalah dalam kehidupannya.
Proses bertanya begitu berarti dalam rangka :
1) Membangun perhatian.
2) Membangun minat.
3) Membangun motivasi.
4) Membangun sikap.
5) Rasa keingintahuan.
6) Membangun interaksi antarsiswa dengan siswa.
7) Membangkitkan interaksi antara siswa dengan guru.
8) Interaksi antara siswa dengan lingkungan secara kontekstual.
9) Membangun lebih banyak lagi pertanyaan yang dilakukan siswa dalam
rangka menggali dan menemukan lebih banyak informasi (pengetahuan) dan
keterampilan yang diperoleh oleh peserta didik.
c. Masyarakat Belajar ( Learning Community)
Proses pembelajaran merupakan proses kerja sama antara peserta didik
dengan peserta didik, antara peserta didik dengan gurunya, dan antara
peserta didik dengan lingkungannya.
Proses pembelajaran yang signifikan jika dilakukan dalam kelompok-
kelompok belajar, baik secara homogen maupun secara heterogen
sehingga di dalamnya akan terjadi berbagai masalah, berbagi informasi,
berbagi pengalaman, dan berbagi pemecahan masalah yang
memungkinkan semakin banyaknya pengetahuan dan keterampilan yang
diperoleh.
Adapun prinsip-prinsip yang bisa diperhatikan guru ketika menerapkan
pembelajaran yang berkonsentrasi pada komponen learning community
adalah sebagai berikiut :
1) Pada dasarnya hasil belajar diperoleh dari kerjasama atau sharing
dengan pihak lain.
2) Sharing terjadi apabila ada pihak yang saling memberi dan saling
menerima informasi.
130
3) Sharing terjadi apabila ada komunikasi dua arah.
4) Masyarakat belajar terjadi apabila masing-masing pihak yang terjadi
di dalamnya sadar bahwa pengetahuan, pengalaman dan keterampilan
yang dimilikinya bermanfaat bagi yang lain.
5) Yang terlibat dalam masyarakat belajar pada dasarnya bisa menjadi
sumber belajar.
d. Pemodelan (Modeling)
Proses pembelajaran akan lebih berarti jika didukung dengan adanya
pemodelan yang dapat ditiru, baik yang bersifat kejiwaan maupun yang
bersifat fisik yang berkaitan dengan cara untuk mengoperasikan sesuatu
aktivitas, cara untuk menguasai pengetahuan atau keterampilan tetentu.
Pemodelan dalam pembelajaran bisa dilakukan oleh guru, peserta
didik, atau dengan cara mendatangkan nara sumber dari luar, yang
terpenting dapat membantu terhadap ketuntasan dalam belajar sehingga
peserta didik dapat mengalami akselerasi perubahan secara berarti.
Prinsip-prinsip komponen modeling yang bisa diperhatikan guru
ketika melaksanakan pembelajaran adalah sebagai berikut:
1) Pengetahuan dan keterampilan diperoleh dengan baik apabila ada model atau
contoh yang bisa ditiru.
2) Model atau contoh bisa diperoleh langsung dari yang berkompeten atau dari
ahlinya.
3) Model atau contoh bisa berupa cara mengoperasikan sesuatu, contoh hasil
karya, atau model penampilan.
e. Refleksi (Reflection)
Komponen yang merupakan bagian terpenting dari pembelajaran
kontekstual adalah perenungan kembali atas pengetahuan yang baru
dipelajari. Refleksi dalam pembelajaran adalah cara berpikir tentang apa
yang baru dipelajarinya atau berpikir kebelakang tentang apa-apa yang
sudah dilakukan atau dipelajarinya di masa lalu. Refleksi pembelajaran
131
merupakan respons terhadap aktivitas atau pengetahuan keterampilan yang
baru diterima dari proses pembelajaran. Peserta didik dituntut untuk
mengedepankan apa yang baru dipelajarinya sebagai struktur pengetahuan
dan keterampilan yang baru sebagai wujud pengayaan atau revisi dari
pengetahuan dan keterampilan sebelumnya.
Prinsip-prinsip dasar yang perlu diperhatikan guru dalam rangka
penerapan komponen refleksi adalah sebagai berikut :
1) Perenungan atas sesuatu yang baru diperoleh merupakan pengayaan
atas pengetahuan sebelumnya.
2) Perenungan merupakan respon atas kejadian, aktivitas, atau
pengetahuan yang baru diperolehnya.
3) Perenungan bisa berupa penyampaian penilaan atas pengetahuan yang
baru diterima, membuat catatan penting, diskusi dengan sejawat.
f. Penilaian yang sempurna (Authentic Assesment)
Komponen yang merupakan ciri khusus dari pendekatan kontekstual
adalah proses pengumpulan berbagai data yang bisa memberikan
gambaran atau informasi tentang perkembangan pengalaman belajar
siswa. Penilaian merupakan kegiatan mengumpulkan informasi sebagai
bukti untuk dijadikan dasar menetapkan terjadinya perubahan dan derajat
perubahan yang telah dicapai sebagai hasil belajar peserta didik.
Penilaian adalah proses pengumpulan data yang memberikan gambaran
perkembangan belajar siswa. Gambaran perkembangan belajar siswa perlu
diketahui oleh guru agar bisa mengetahui apakah siswa mengalami proses
pembelajaran dengan benar.
“Penilaian autentik ini diterapkan melalui teknik-teknik penilaian tertentu
sesuai dengan tuntutan kompetensi dasar. Hasil penilaian dianalisis dan
digunakan untuk mengambil keputusan terhadap ketuntasan belajar siswa.
Secara rinci, ciri-ciri penilaian autentik adalah :
1) Dilaksanakan selama dan sesudah proses pembelajaran berlangsung.
2) Dapat digunakan untuk formatif maupun sumatif.
132
3) Yang diukur keterampilan dan performan, bukan mengingat fakta.
4) Berkesinambungan.
5) Terintegrasi.
6) Dapat digunakan sebagai feed back.
Prinsip-prinsip dasar yang perlu menjadi perhatian guru ketika
menerapkan komponen penilaian autentik dalam pembelajaran adalah
sebagai berikut :
1) Penilaian autentik bukan menghakimi siswa, tetapi untuk
mengetahui perkembangan belajar siswa.
2) Penilaian dilakukan secara komprehensif dan seimbang antara
penilaian proses dan hasil.
3) Guru menjadi penilai konstruktif (constructive evaluators) yang
dapat merefleksikan bagaimana siswa belajar, bagaimana siswa
menghubungkan apa yang mereka ketahui dengan berbagai
konteks, dan bagaimana perkembangan belajar siswa dalam
berbagai konteks belajar siswa.
4) Penilaian autentik memberi kesempatan siswa untuk dapat
mengembangkan penilaian diri (self assessment) dan penilaian
sesama (peer assessment)
Kesimpulan
Ada kecendrungan dewasa ini untuk kembali pada pemikiran bahwa anak
akan belajar lebih baik jika lingkungan diciptakan alamiah. Belajar akan lebih
bermakna jika anak mengalami apa yang dipelajarinya, bukan memgetahuinya.
Pembelajaran yang berorientasi pada penguasaan materi terbukti berhasil dalam
kompetisi menggingat jangka pendek tetapi gagal dalam membekali anak
memecahkan persoalan dalam kehidupan jangka panjang
Pendekatan kontektual (Contextual Teaching and Learning /CTL)
Merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang
diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat
133
hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam
kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Dengan konsep itu,
hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi siswa. Proses pembelajaran
berlansung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan
mentransfer pengetahuan dari guru ke siswa. Strategi pembelajaran lebih
dipentingkan daripada hasil
Dalam kelas kontektual, tugas guru adalah membantu siswa mencapai
tujuannya, maksudnya guru lebih banyak berurusan dengan strategi daripada
memberi informasi. Tugas guru mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja
bersama untuk menemukan sesuatu yang baru bagi anggota kelas (siswa). Sesuatu
yang baru datang dari menemukan sendiri bukan dari apa kata guru.Begitulah peran
guru di kelas yang dikelola dengan pendekatan kontekstual
Dalam pembelajaran kontekstual, program pembelajaran lebih merupakan rencana
kegiatan kelas yang dirancang guru, yang berisi skenario tahap demi tahap tentang
apa yang akan dilakukan bersama siswanya sehubungan dengan topik yang akan
dipelajarinya. Dalam program tercermin tujuan pembelajaran, media untuk
mencapai tujuan tersebut, materi pembelajaran, langkah-langkah pembelajaran, dan
authentic assessmennya.
Dalam konteks itu, program yang dirancang guru benar-benar rencana pribadi
tentang apa yang akan dikerjakannya bersama siswanya. Secara umum tidak ada
perbedaan mendasar format antara program pembelajaran konvensional dengan
program pembelajaran kontekstual. Sekali lagi, yang membedakannya hanya pada
penekanannya. Program pembelajaran konvensional lebih menekankan pada
deskripsi tujuan yang akan dicapai (jelas dan operasional), sedangkan program
untuk pembelajaran kontekstual lebih menekankan pada skenario
pembelajarannya.
DAFTAR PUSTAKA
Hanafiah, Nanang & Cucu Suhana, Konsep Strategi Pembelajaran,
Bandung, PT. Refika Aditama, 2012, cet. Ke 3
134
Sardiman, Interaksi dan Motivasi Belajar, Jakarta, Rajawali Pers, 2011, cet.
Ke 19
Hamdani, Strategi Belajar Mengajar, Bandung, CV. PUSTAKA SETIA,
2011
Komalasari, Kokom, Pembelajaran Kontekstual Konsep dan Aplikasi,
Bandung, PT. Refika Aditama, 2011, cet. Ke 2
Siregar, Eveline & Hartini Nara, Teori Belajar dan Pembelajaran, Bogor,
Ghalia Indonesia, 2010
Johnson, Elaine B, Contextual Teaching & Learning Menjadikan Kegiatan
Belajar-Mengajar Mengasyikan dan Bermakna, Bandung, MLC, 2007, cet. Ke-4
Baharuddin dan Esa Nur Wahyuni, Teori Belajar dan Pembelajaran,
Jogjakarta, AR-RUZZ MEDIA, 2007
Majid, Abdul, Belajar dan Pembelajaran Pendidikan Agama Islam,
Bandung, PT REMAJA ROSDAKARYA, 2012
Budimansyah, Dasim, Model Pembelajaran dan Penilaian, Bandung, PT.
GENESINDO, 2002
http://wahyuti4tklarasati.blogspot.com/2010/10 model- pembelajaran
berbasis kontekstual, 10/31/2012 4:13 PM
Mulyasa, E, Implementasi Kurikulum 2004 Panduan Pembelajaran KBK,
Bandung, PT REMAJA ROSDAKARYA, 2006, Cet. Ke-4
Sabri, Ahmad, Strategi Belajar Mengajar & Micro Teaching, Ciputat, PT.
CIPUTAT PRESS, 2010, Cet. Ke-3
Hasanudin, Hubungan Kraetivitas Dengan Prestasi Belajar Siswa di Mts
Nurul Qur’an Duri Kosambi Cengkareng Jakarta Barat , Skripsi PAI Satyagama
Jakarta 2007
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, Bandung,