Upload
lamnhi
View
232
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
ISSN: 0216-9290
POLITEIA JURNAL ILMU POLITIK
Volume 3|Nomor 2|Juli 2011
MANAGEMENT DIRECTOR
P. Anthonius Sitepu
CHIEF EDITOR & VICE CHIEF EDITOR
Muryanto Amin & Warjio
SENIOR EDITOR
Husnul Isa Harahap
JUNIOR EDITORS
Hendra M. Nur, Walid Mustafa, Rudi Salam Sinaga, Dana Permana (internship)
EDITORIAL BOARD
Heri Kusmanto
Subhilhar
Tonny P. Situmorang
Rosmeri Sabri
Evi Novida Ginting
Zakaria Taher
Ahmad Taufan Damanik
T. Irmayani
Indra Kesuma Nasution
Indra Fauzan
MARKETING OFFICER
Yusri Yanti Mandasari
Diterbitkan atas kerjasama:
ASOSIASI ILMU POLITIK CABANG MEDAN DAN
LABORATORIUM ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU POLITIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Untuk berlangganan:
Satu tahun (2 Edisi) Rp.50.000,- (belum termasuk biaya pengiriman)
Silahkan menghubungi Marketing Officer
Jurnal Politeia adalah wadah bagi para ilmuan atau peminat masalah-masalah politik dalam
menuangkan pemikiran ilmiah. Jurnal Politeia menyampaikan undangan berpartisipasi menulis
kepada siapa saja dengan kriteria tulisan yang sesuai dengan tema politik.
Alamat:
POLITEIA Jurnal Ilmu Politik
Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sumatera Utara,
Jl. Dr. Sofyan No.1 Medan, 20155, Telepon: 061-8211965; Email: [email protected]
Medan ©Copy Right 2007
Dilarang menggandakan, menerbitkan kembali seluruh atau sebahagian isi jurnal
tanpa seizin dari penerbit.
Desain halaman sampul depan oleh: Aris Pratomo
DAFTAR ISI
Daftar Isi
Regionalisme dan Dampaknya dalam pemilihan presiden di Korea SelatanJEANIE ANNISA 7I-78
SiStem Pemerintahan Desa di Desa purba SinombaHUSNUL ISA IIARAHAP................ .. 7g_g0
Falsafah dan Strategi Politik Dakwah pKSwARno.... .................:. gl-g7
Gerakan Buruh Sejak Proklamasi Sampai 1965T.IRMAYANI................. .. 98_105
Konsep Negara Kesejahteraan dari Wakfu ke Waktu : -.MURYANToAMIN...'.'......'..'...t.....t.'.!.t...-..]
Representasi Perempuan di Parlemen lndonesiaEVI NOVIDAGINTING ._........"........ ......_............. ..113_IZz
Indeks Penulis Volume 3.................lndeks Subjek Volume 3 ................Daftar lsi Volume 3...Ucapan Terima Kasih..........Petunjuk Penulisan
ur
V
viviiviiiix
lll
Jurnal POLITEIA|Vol.3|No.2|Juli 2011 ISSN: 0216-9290
Muryanto Amin Konsep Negara Kesejahteraan Dari Waktu Kewaktu
50
Konsep Negara Kesejahteraan
Dari Waktu Kewaktu
MURYANTO AMIN
Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara Medan,
Jl. Dr. Sofyan No.1 Medan, 20155, Telepon: 061-8220760, Email: [email protected]
Diterima tanggal 1 Januari 2011/Disetujui tanggal 4 Februari 2011
The concept of the welfare state is a concept that is still being debated. The debate is the events of
the past and present. This study discusses the debate. This study found, in the debate, there are
four meanings of the welfare state concept: First, the concept of the welfare state understood as the
power of the state addressed to the national welfare; Second, the concept of the
welfare state understood as undercover state collectivism by directing spending; Third, the concept
of the welfare state understood as the beginning phase of the political absolutism; Fourth, the
concept of the welfare state understood as a way to pay attention condition of the people who are
not rich (poor). This debate can not be separated from the pull of the ideology
socialism and capitalism. The implication is that the welfare state can be called a middle way.
Keywords: Welfare state, laissez faire, empirical libertarian.
Pendahuluan
Pada awal tulisannya, Ebenstein, menyatakan
bahwa kesejahteraan dianggap sebagai
konsep yang tersirat dari tujuan alami negara,
terlepas bentuk dan tujuan negara itu,
termasuk juga pada masa laissez faire. Adam
Smith misalnya, dalam The Wealth of Nation
dan penganjur survival of the fittest,
kemudian sadar bahwa penumpukan
kekayaan bukan satu-satunya tujuan
keberadaan manusia. Ebenstein mengutip
pendapat Adam Smith bahwa ada tiga tugas
negara yang berkaitan dengan masyarakat,
pertama adalah bidang pertahanan yaitu
memberikan kebebasan kepada orang-orang
yang melawan penyerangan dan perbudakan,
meskipun memerlukan biaya yang besar.
Kedua, melindungi setiap anggota
masyarakat untuk melawan ketidakadilan
atau tekanan dari anggota masyarakat lainnya
atas dasar keadilan dan kewajaran melalui
penyediaan keamanan dan tidak memihak.
Artinya, negara kemudian bertindak untuk
mencegah adanya monopoli dari private
property. Ketiga, negara membangun
infrastruktur seperti memelihara pekerjaan
umum dan institusi masyarakat yang
bermanfaat, bukan untuk keuntungan
individu atau sekelompok orang. Membangun
jalan, pelabuhan, kanal, dan lain sebagainya
termasuk pendidikan dan kesehatan bagi
masyarakat umum.
Dari pengertian tersebut, konsep
kesejahteraan menunjukkan tidak hanya
berkaitan antara analisis dan kebijakan
ekonomi namun harus dilihat secara
menyeluruh. Perdebatannya justru terletak
pada peran pemerintah dalam memberikan
pelayanan publik dan perlakuan negara bagi
mereka yang kalah dalam persaingan atau
Jurnal POLITEIA|Vol.3|No.2|Juli 2011 ISSN: 0216-9290
Muryanto Amin Konsep Negara Kesejahteraan Dari Waktu Kewaktu
51
kompetisi. Para penganut ekonomi klasik
pada abad 18 dan awal abad 19 mencoba
tetap meletakkan analisis dan kebijakan
ekonomi atas dasar rasionalisme, bebas dari
tekanan politik, kebiasaan masa lalu, dan
konflik agama.
Konsep kunci keterkaitan antara analisis dan
kebijakan ekonomi adalah pada aspek
kegunaan (utility), tidak ada kebijakan atau
institusi yang dapat menyatakan kebenaran
mutlak tanpa didasari atas kebahagiaan
manusia. Penganjur utama ekonomi klasik
berpendapat sekurang-kurangnya kebahagia-
an manusia dicapai melalui laissez faire.
Namun, pemikir besar ekonomi klasik dari
Smith sampai Mill tidak membenarkan
harapan tersebut menjadi ajaran intelektual
yang kaku.
Perubahan laissez faire terjadi secara
perlahan-lahan akibat industrialisasi pada
abad 19 terutama mengenai kehidupan
manusia sehari-hari. Jeremy Bentham dan
John Stuart Mill misalnya kemudian
mengadopsi filsafat sosial dan politik yang
sangat dekat dengan negara kesejahteraan
abad keduapuluh. Namun, penting untuk
diingat bahwa perubahan dari laissez faire ke
konsep peran negara dalam melakukan
kesejahteraan, membuat Bentham dan Mill
masih tetap mempertahankan tujuan
kebahagiaan manusia hanya dicapai melalui
laissez faire. Perubahan alamiah itu
dimaksudkan dilakukan oleh negara dalam
mendukung laissez faire. Perbedaan filosofi
yang ada menunjukkan bahwa terjadi
perubahan konsep negara kesejahteraan dari
waktu kewaktu.
Pendekatan dan Metode
Studi ini membahas tentang perdebatan
konsep negara kesejahteraan. Studi ini
dilakukan dengan pendekatan sejarah
pemikiran ekonomi politik. Fokusnya pada
pemikiran para tokoh tentang negara
kesejahteraan. Pengumpulan data dilakukan
dengan cara studi pustaka. Analisis dilakukan
dengan metode analisis deskriptif.
Evolusi Negara Kesejahteraan
Kekuatan di balik evolusi perubahan
liberalisme klasik barat dari laissez faire ke
negara kesejahteraan terjadi karena aspek
ekonomi, politik dan psikologi. Pengaruh
ekonomi terjadi disebabkan, pada abad
delapan belas atau awal abad sembilan belas,
unit ekonomi utama adalah pertanian,
perdagangan dan bisnis kecil, sering sekali
dioperasikan, diatur, dan dimiliki oleh satu
keluarga. Kemudian, manusia menginginkan
dibebaskan dari ketidaktahuannya dan
campur tangan pemerintah, biarkan manusia
bekerja sendiri, dia merasa mampu
mengerjakan aspek ekonomi lebih baik
sampai terpenuhi kebutuhan untuk
kemerdekaan jiwanya. Keinginan itu
kemudian bertepatan dengan adanya
teknologi yang sangat efisien sehingga
menjadi relatif sederhana. Jika dilihat dari
perspektif pembangunan ekonomi, tujuan
negara kesejahteraan adalah untuk
mengurangi pengaruh dari bahaya
pembangunan ekonomi dan ketidakberdayaan
yang mengancam individu.
Faktor kedua dibalik evolusi negara
kesejahteraan adalah politik. Banyak individu
yang mendapatkan hak pilih yang bukan
hanya digunakan untuk memilih parlemen
tapi juga banyak kekuasaan sosial dan
ekonomi. Penggunaan hak pilih itu dilakukan
untuk memilih parea pegawai pemerintah,
dan mempercayakan pilihan tersebut atas
dasar keinginan dan pemikian mereka.
Setelah itu, masyarakat pemilih memahami
bahwa suara mereka dianggap sebagai
instrumen kekuasaan politik untuk
meningkatkan kondisi kehidupan akan
kebutuhan dan kepemilikan. Siapapun yang
dipilih dalam pemilihan pejabat publik akan
berjanji meningkatkan keuntungan sosial dan
ekonomi yang lebih baik bagi masyarakat,
dan yang berbuat sesuai dengan janjinya
akan diberi kesempatan lagi dalam pemilihan
berikutnya. Dalam konsep negara
kesejahteraan, ada satu alasan yang mendasar
yakni sikap permusuhan atau ketidakpedulian
itu harus diiringi dengan luasnya program
Jurnal POLITEIA|Vol.3|No.2|Juli 2011 ISSN: 0216-9290
Muryanto Amin Konsep Negara Kesejahteraan Dari Waktu Kewaktu
52
keamanan sosial dan ekonomi, dan
kesejahteraan dibuat untuk mencapai
kesuksesan politik.
Faktor ketiga adalah psikologi. Masyarakat di
belahan dunia ini, termasuk negara
berkembang, tidak akan menerima
penderitaan yang berkepanjangan dan
mengiginkan perubahan nasib. Menurunnya
pengaruh agama akan berimplikasi pada janji
kehidupan yang lebih baik dalam waktu yang
tidak lama sama halnya dengan berhayal, dan
bahkan keyakinan agama sangat kuat untuk
mencapai kebahagiaan manusia sebagai
haknya. Faktor psikologi ini kemudian
berkembang dan menjadi gerakan reformasi
sosial di Eropa dan Amerika Serikat
khususnya pada abad dua puluh. Di Eropa
keinginan untuk hidup lebih baik, atas dasar
ekonomi dan keadilan sosial, menjadi tekanan
politik yang dilakukan pada berbagai gerakan
reformasi sosial baik sosialis dan nonsosialis.
Perkembangan negara-negara di dunia untuk
menciptakan kehidupan yang lebih baik bagi
masyarakatnya, pertumbuhan industrialisasi
yang cepat dan standar kehidupan yang lebih
tinggi menjadi tuntutan politik yang tumbuh
secara alamiah. Minat akan negara
kesejahteraan tidak didasarkan atas sentimen
murni dan kekuatan psikologi, tapi diperoleh
dari pengetahuan bahwa kemiskinan harus
dihapuskan dari muka bumi. Sebelum
Revolusi Industri, kemiskinan sepertinya
ditakdirkan untuk tidak dapat diubah. Saat
ini, manusia mengatasi kemiskinan dengan
mengubah institusi masyarakat.
Prinsip utama negara kesejahteraan relatif
sederhana, pertama, mengenalkan setiap
anggota masyarakat tentang hak sebagai
manusia untuk mencapai standar kehidupan
minimum. Kedua, membuat kebijakan
stabilitas ekonomi dan kemajuannya,
menghapuskan siklus kekerasan dari
kenaikan harga yang tiba-tiba melalui
kebijakan publik ketika perusahaan swasta
tidak mampu mencegah dirinya sendiri dari
ancaman ketidakstabilan atau kemunduran
ekonomi. Ketiga, membuat kesempatan kerja
sebagai prioritas utama kebijakan publik.
Perdebatan Politik dan Penerapan Negara
Kesejahteraan
Konsep negara kesejahteraan dianggap
sebagai jalan tengah, untuk mengatasi
persoalan kemunusiaan, ketika Depresi Besar
terjadi pada abad 19 yang menunjukkan tidak
hanya hancurnya ekonomi dan pengangguran,
tapi juga penurunan kemanusiaan yang
diakibatkannya. Penganut paham negara
kesejahteraan percaya bahwa kebebasan
berusaha dapat menyediakan dan menguatkan
kebijakan kesempatan kerja tanpa melakukan
nasionalisasi. Sistem perpajakan disesuaikan
untuk kemakmuran, suku bunga ditentukan
oleh keputusan pemerintah menurut
kebutuhan ekonomi, kebijakan fiskal
dirancang untuk kemampuan pemerataan
pembelian yang seimbang dengan
mengutamakan kepentingan bangsa, insentif
investasi harus dikurangi, pekerjaan umum
diciptakan untuk mengatasi pengangguran,
menyediakan kredit pemerintah untuk
pengembang atau pembeli perumahan. Itulah
beberapa ukuran yang dapat dilakukan
pemerintah untuk menstabilkan ekonomi
tanpa mengubah unsur fondasinya.
Ebenstein menulis, setidaknya ada perdebatan
yang terjadi berdasarkan sejarah di Amerika
Serikat, khususnya ketika terjadi Depresi
Besar tahun 1932. Pertama, arsitek utama
New Deal, Franklin D. Roosevelt (1882-
1945). Ia memulai dengan premis utama dari
liberal yaitu filsafat demokrasi, bahwa
pemerintah dan ekonomi ada untuk melayani
manusia dan bukan sebaliknya. Sekalipun
dalam sejarah awal Amerika, konflik sosial
tidak cukup untuk membawa terlalu jauh
campur tangan pemerintah sebab yang kaya
tidaklah terlalu kaya, dan yang miskin tidak
juga terlalu miskin.
Perubahan terjadi ketika Revolusi Industri
pada pertengahan abad 19 dan pertumbuhan
industri serta kekuatan finansial dengan
masalah utamanya adanya konsentrasi
Jurnal POLITEIA|Vol.3|No.2|Juli 2011 ISSN: 0216-9290
Muryanto Amin Konsep Negara Kesejahteraan Dari Waktu Kewaktu
53
kekuatan ekonomi pada beberapa korporasi
besar, dan menyebabkan beberapa orang
berhenti dari bisnis dan industri itu.
Ketidakseimbangan dalam ekonomi Amerika
ini, oleh Roosevelt ditata ulang kembali
untuk mendistribusikan kesejahteraan dan
produksi agar lebih sesuai. Konstitusi
Amerika kemudian mengatur kekuatan
negara yang ditujukan kepada kesejahteraan
nasional. Perusahaan besar harus mengikuti
perintah konsitusi, menyesuaikan
kepentingan perusahaannya dengan
kepentingan masyarakat secara keseluruhan.
Setiap orang memiliki hak tidak hanya hidup,
tapi juga untuk membuat kehidupan lebih
nyaman. Roosevelt yakin bahwa pemerintah
harus mengatur aktivitas ekonomi hanya
sebagai jalan terakhir, dan melakukannya
hanya ketika inisiatif perusahaan gagal.
Fungsi utama pemerintah bukan melakukan
sesuatu yang telah dilakukan oleh individu,
tapi untuk memelihara keseimbangan.
Akhirnya, Roosevelt memiliki keyakinan
akan keberhasilan perusahaan masyarakat
Amerika dengan adanya penurunan
kemiskinan.
Kedua yang tidak setuju dengan konsep
negara kesejahteraan adalah Presiden Hoover
(1929-1933) yang pada saat kekuasaannyalah
terjadi Depresi Besar dengan puncaknya di
tahun 1932. Hoover. Dia tidak pernah
bimbang akan keyakinannya bahwa
pelaksanaan New Deal adalah bentuk
penyimpangan yang berbahaya dari tradisi
masyarakat Amerika tentang kebebasan.
Meningkatnya jumlah penduduk akan
berpengaruh kepada pemerintah,
meningkatnya isu-isu serius mengenai
hubungan individu dengan pemerintahannya
dalam masyarakat bebas. Ancaman serius
dari negara kesejahteraan adalah kebebasan
masyarakat Amerika dan pengaruh pengikut
komnunis di Amerika,
Konsep negara kesejahteraan dengan
demikian didefinisikan oleh Hoover sebagai
”penyamaran negara kolektivisme dengan
mengarahkan pembelanjaan,” Kemerdekaan
individual, inisiatif dan kebebasan tidak dapat
ditukarkan, Hoover menyimpulkan, untuk
”kolektivisme yang mengacaukan,” dan dia
menyalahkan kelompok penekan dan politisi
yang mengakomodasikan banyak gangguan
yang disebabkan oleh pertumbuhan
pemerintah pusat.
Ketiga, oposisi negara kesejahteraan juga
disuarakan oleh Roscoe Pound (1870-), satu
dari ahli hukum yang berpengaruh.
Ketidaksesuaian Pound adalah bukan tugas
negara yang melaksanakan banyak pelayanan
publik, tapi adanya konsep tentang pelayanan
publik yang hanya dilaksanakan oleh negara
serta tidak ada batas dalam memberikan
pelayanan kemanusiaan. Negara
kesejahteraan mensyaratkan adiministrator
yang sangat kuat dalam seluruh lingkup
kesejahteraan manusia. Pound beranggapan,
seperti negara supersevice, harus
mengembangkan birokrasi yang besar, dan
akhirnya akan menjadi negara totaliter
dengan komunisme Marxian. Karena itu,
negara kesejahteraan hanya awal dari fase
absolutisme politik. Pound mengutuk
kecenderungan dalam negara kesejahteraan
akan pembangunan konsep baru tentang
kebebasan sebagai keutamaan dari keinginan
dan ketakutan, bukannya kebebasan sebagai
kepentingan individu itu sendiri dan
penentuan nasib sendiri
Keempat, dari aspek ekonomi negara
kesejahteraan, A.C. Pigou mendukung
konsepsi itu. Dalam Some Aspects of the
Welfare State, Pigou memperhatikan
keutamaan kesejahteraan ekonomi, dengan
mendefinisikan kepuasan dan ketidakpuasan
yang diperoleh dari keadaan ekonomi. Pigou
mengingatkan bahwa negara kesejahteraan
memerlukan demokrasi dan bukan sebuah
monopoli atau identik dengan lemahnya
negara demokrasi. Negara kesejahteraan
adalah bentuk yang pantas dipertimbangkan
untuk menolong kelas-kelas masyarakat
miskin begitu juga untuk kebutuhan kolektif
seperti kekuatan bersenjata, polisi,
pengadilan, birokrasi, dan bangunan publik
yang harus disediakan atau setidaknya
Jurnal POLITEIA|Vol.3|No.2|Juli 2011 ISSN: 0216-9290
Muryanto Amin Konsep Negara Kesejahteraan Dari Waktu Kewaktu
54
dibayar oleh negara. Kepuasan pemenuhan
kebutuhan individu seharusnya berkisar
tentang kebaikan dan keinginan untuk
mendapatkannya yang sering sekali didapat
karena penipuan, pernyataan yang keliru dari
iklan misalnya. Fungsi penguasa negara
dalam negara kesejahteraan juga harus
menyediakan sekolah untuk anak-anak
dengan makan siang dan susu gratis atau
menjual sesuatu barang konsumsi dibawah
harga pasar. Tindakan monopoli hanya
dilakukan untuk kepentingan nasional
terutama dalam rangka menciptakan
perdamaian, mengatur kekuatan produksi dan
lain sebagainya.
Sampai hari ini, konsep negara kesejahteraan
jika dilihat dari filosopi dan empirik,
mengalami perdebatan. Meskipun konsep ini
tidak begitu populer dengan minimal state-
nya kaum neoliberal namun harapan akan
negara kesejahteraan masih menarik untuk
dilirik, setidaknya oleh negara-negara yang
pernah melaksanakan sosialisme demokrat.
Negara kesejahteraan tidak bisa dilepaskan
dari nilai-nilai terutama etika Katolik dan
pengaruh doktrin karikatif sosial (social
charity) gereja. Huber dan Stephens1 dan
Manow2 menjelaskan adanya pengaruh
doktrin sosial Katolik dalam desain dan
proses pengembangan negara kesejahteraan
di negara-negara Eropa. Kelley (1994)
menyatakan bahwa etika Katolik
memunculkan paham keadilan sosial (social
justice) yang menjadi legitimasi intervensi
negara terhadap mekanisme pasar.
Kelley membagi paham keadilan sosial
menjadi dua aliran, yaitu welfarism dan
egalitarianism. Welfarism memandang bahwa
individu mempunyai hak untuk mendapatkan
kebutuhan dasar tertentu dalam hidup,
1 E. Huber, dan JD. Stephens, Development and
Crisis of the Welfare State: Parties and Politics in
Global Market, (The University of Chicago Press,
2001). 2 P. Manow, The Good, the Bad, and the Ugly:
Esping-Andersen’s Regime Typology and the
Religious Roots of the Western Welfare State,
(Max Planck Institute, 2004).
sehingga menjadi kewajiban masyarakat
untuk memastikan setiap individu
mempunyai akses pada kebutuhan-kebutuhan
tersebut. Sistem kapitalis laissez faire tidak
mampu menjamin tercapainya hal tersebut,
sehingga dibutuhkan intervensi negara untuk
memodifikasi pasar agar bisa memenuhi
tanggung jawab distribusinya. Egalitarianism
menyatakan bahwa kemakmuran (wealth)
yang diproduksi oleh masyarakat harus
didistribusikan dengan adil (fair). Sistem
kapitalis berbasis pasar cenderung
membenarkan bahkan mendorong terjadinya
kesenjangan, baik pendapatan maupun
kemakmuran diantara individu-individu.
Inilah yang menyebabkan dibutuhkannya
negara untuk memastikan terjadinya
distribusi kemakmuran yang lebih merata.3
Paham ini sangat dekat dekat pandangan
liberal, yang memandang bahwa kapitalisme
merupakan sistem yang paling efisien
dibandingkan dengan sistem yang ada.
Meskipun begitu, kapitalisme mempunyai
efek negatif berupa kemiskinan dan
ketimpangan. Untuk mengatasi hal itulah,
negara harus mampu mengatasi efek negatif
tersebut.
Berbeda dengan pandangan kaum libertarian
lainnya seperti Robert Nozick, yang
memandang intervensi negara sebagai hal
yang salah secara moral.4 Seperti juga halnya
Hayek dan Friedman5, kaum empirical
libertarian, yang memandang bahwa campur
tangan negara akan menurunkan
kesejahteraan agregat. Kaum liberal
kelompok yang disebutkan terakhir merasa
tidak keliru ketika mereka mengkritik
program-program welfare sebagai mekanisme
3 Kelley. D, ”Altruism and Capitalism” {Artikel
online}, (1994), tersedia di: www.objectivist-
center.org/text/dkelley_altruism-capitalism.asp;
diunduh 11 Oktober 2008. 4 Lihat misalnya Robert Nozick, Anarchy, State,
and Utopia, (New York: Basic Books, 1974). 5 Lihat Friedrich A. Hayek, The Road to Serfdom,
(Chicago: University of Chicago Press, 1944); dan
Milton Friedman, Capitalism and Freedom,
(Chicago: University of Chicago Press, 1962).
Jurnal POLITEIA|Vol.3|No.2|Juli 2011 ISSN: 0216-9290
Muryanto Amin Konsep Negara Kesejahteraan Dari Waktu Kewaktu
55
yang sering melahirkan kultur
ketergantungan. Bila kita tahu bahwa kalau
seorang manusia ”jatuh” (misal sakit atau
kehilangan pekerjaan) negara atau pemerintah
selalu siap memberi jaminan, yang tidak
jarang terjadi adalah orang itu akan hidup
saja dari jaminan negara. Maka etos kerja dan
”wirausaha” dalam masyarakat secara
perlahan menjadi hancur. Kritik terhadap
welfare state adalah pada tahap implementasi
programnya.
Klaim kaum libertarian itu berkisar pada
agenda kepentingan umum yang dilandaskan
dalam negara kesejahteraan sebagai tidak
begitu meyakinkan. Mereka beranggapan
bahwa ”tak ada masyarakat, yang ada
hanyalah individu”. Dengan kata lain, tidak
ada kepentingan umum, yang ada hanya
kepentingan individual. Karena individu
pertama-tama dipahami sebagai homo
economicus, maksimalisasi laba individual
pula yang menjadi tujuan. Apakah dengan itu
kepentingan umum dapat terselenggara atau
tidak, bukan menjadi perhatian kaum
libertarian ini.
Dalam gagasan liberalisme klasik laissez
faire seperti Adam Smith, negara masih
punya otoritas sebagai badan yang
menyelenggarakan barang/jasa publik
(pendidikan, kesehatan publik, dan
infrastruktur lain), sedang sektor privat
menjadi motor pengadaan barang/jasa privat.
Namun, para empirical libertarian (Hayek
dan Friedman) menolak pembagian kerja
yang lunak antara sektor negara dan privat
ini. Alasannya, bagi mereka barang/jasa
publik pun diciptakan bukan karena
baik/berguna untuk khalayak umum,
melainkan karena barang/jasa itu
mendatangkan laba bagi penyedianya.
Adanya fakta bahwa pemerintah mencampuri
atau bisa campur tangan (misalnya lewat tarif
dan pajak progresif) sudahlah cukup
membuat kinerja pasar menjadi tidak bebas.
Kepercayaan empirical liberal akan
pertumbuhan ekonomi – investasi – tabungan
– income – tabungan – investasi –
pertumbuhan ekonomi hanya bisa dilakukan
oleh mereka yang memiliki income berlebih.
Pertumbuhan tabungan akan menyebabkan
investasi dan menghasilkan pembangunan
yang akan menghasilkan tetesen ke bawah
(trickle down effect) dari golongan menengah
dan atas ke kelompok-kelompok ekonomi
bawah. Jadi, pertumbuhan ekonomi hanya
bisa dicapai secara maksimal dengan
membiarkan distribusi income ditentukan
oleh mekanisme pasar bebas.6 Tidak satu pun
instansi masyarakat, termasuk pemerintah,
yang harus membuat kebijakan atau program
pemindahan income dari kaum kaya ke kaum
miskin. Maka pajak progresif, subsidi
pangan, ketetapan upah minimum,
perlindungan buruh dan petani, program
khusus lapangan kerja, jaring pengaman
sosial, dan program-program seperti itu
menjadi tidak dibenarkan dalam pandangan
kaum empirical libertarian.
Meskipun demikian, dalam pandangan
kelompok liberal lainnya masih meyakini
pentingnya fungsi redistribusi kesejahteraan
dari negara untuk menjamin terjadinya
keadilan sosial dan pemerataan dalam sistem
kapitalis. Negara kesejahteraan tidak pernah
dimaksudkan untuk mengeliminasi peran
pasar sebagai penyedia kesejahteraan bagi
individu dan masyarakat. Negara
kesejahteraan dibangun dalam kerangka
ekonomi pasar dan tidak pernah menolak
ekonomi pasar kapitalis.7
Seperti halnya Gooding, Keynes juga
memandang bahwa kapitalisme tidak
mengatur dirinya sendiri. Berbeda dengan
yang dijanjikan Hukum Pasar Say,
permintaan tidak selalu bisa mengimbangi
produksi. Keynes menunjuk bahwa
kapitalisme sebagai suatu sistem ekonomi,
6 Arthur McEwan, Neoliberalism or Democracy:
Economic Strategy, Markets, and Alternatives for
the 21th Century, (London: Zed Books, 1999),
hal. 72-73. 7 RE, Goodin, Reason for Welfare: The Political
Theory of the Welfare State, Studies in Moral,
Political, and Legal Philosophy, (Princenton
University Press, 1988).
Jurnal POLITEIA|Vol.3|No.2|Juli 2011 ISSN: 0216-9290
Muryanto Amin Konsep Negara Kesejahteraan Dari Waktu Kewaktu
56
tidak selalu akan dengan sendirinya
mengoordinasikan permintaan dan penawaran
dengan harmonis melalui mekanisme pasar
bagi keseluruhan perekonomian, khususnya
ketika terjadi defisit permintaan agregat.
Karena itu, Keynes percaya peran negara
dalam perekonomian. Negara dibutuhkan
untuk memikul tanggung jawab pengelolaan
perekonomian guna memelihara suatu
permintaan agregat permintaan yang akan
menjamin kesempatan kerja penuh. Mereka
juga percaya bahwa tanpa tindakan
pemerintah, pertumbuhan ekonomi tidak akan
mampu menghapuskan kemiskinan.
Namun, negara kesejahteraan bukanlah
wujud dari sosialisme. Dalam format negara
kesejahteraan memang terdapat
persinggungan antara pemikiran liberal dan
kolektivis sosial demokrat, khususnya dalam
area ”sosial justice” dan ”mutual
responsibility and the duty of the strong aid
to the weak”8 Namun, persinggungan tersebut
tidak bisa menghapuskan perbedaan dasar
diantara pandangan kolektivis dan liberal.
Kaum kolektivis menilai negara
kesejahteraan sebagai bentuk peralihan dari
kapitalisme laissez faire menuju sosialisme,
sehingga dalam kaca mata mereka, negara
kesejahteraan tidak pernah lebih dari suatu
”tahapan antara” (a staging post in the
transition).9
Keynes misalnya bukanlah kolektivis, dia
memandang kapitalisme sebagai sistem yang
paripurna dan negara kesejahteraan adalah
upaya untuk menyelamatkan kapitalisme agar
bisa lebih diterima secara moral dengan
menggunakan campur tangan negara. Apa
yang ingin mereka capai adalah
menyelematkan kapitalisme dan unsur-unsur
pentingnya, sambil mengurangi atau
menghapus hal-hal yang sekarang tidak dapat
diterima. Keynes melihat kesalahan-
kesalahan kapitalisme lebih sebagai
8 N Barr, The Economics of the Welfare State,
(Stanford: Stanford University Press, 1998), hal.
44-63. 9 Ibid., hal. 84.
kesalahan teknis daripada kesalahan yang
mendasar. Kapitalisme, merujuk pada
Keynes, jika dikelola secara bijak mungkin
dapat menjadi alat yang lebih efisien untuk
mencapa tujuan ekonomi dibandingkan
dengan sistem lain mana pun yang
dibayangkan. Melalui tindakan yang tepat, ia
percaya bahwa suatu jalan tengah dapat
ditemukan antara anarki laissez faire dan
kelaliman totalitarianisme. Negara
kesejahteraan dapat disebut sebagai jalan
tengah dari kedua pilar ideologi itu.
Penutup
Konsep negara kesejahteraan adalah konsep
yang masih menjadi perdebatan. Dalam
perdebatan tersebut terdapat empat
pemaknaan konsep negara kesejahteraan,
antara lain: Pertama, konsep negara
kesejahteraan dimaknai sebagai kekuatan
negara yang ditujukan kepada kesejahteraan
nasional; Kedua, konsep negara kesejahteraan
dimaknai sebagai penyamaran negara
kolektivisme dengan mengarahkan
pembelanjaan; Ketiga, negara kesejahteraan
hanya awal dari fase absolutisme politik;
Keempat, konsep negara kesejahteraan
dimaknai sebagai cara memperhatikan
keutamaan kesejahteraan ekonomi
masyarakat miskin. Perdebatan ini tidak
terlepas dari adanya tarik menarik antara
ideologi sosialisme dan kapitalisme.
Implikasinya negara kesejahteraan dapat juga
disebut sebagai jalan tengah.
Daftar Pustaka Barr, N.. 1998. The Economics of the Welfare
State. Stanford: Stanford University Press.
D, Kelley. ”Altruism and Capitalism” {Artikel
online}, (1994), tersedia di: www.objectivist-
center.org/text/dkelley_altruism-capitalism.-
asp; diunduh 11 Oktober 2008.
Friedman, Milton. 1962. Capitalism and
Freedom. Chicago: University of Chicago
Press.
Goodin, RE.. 1988. Reason for Welfare: The
Political Theory of the Welfare State, Studies
in Moral, Political, and Legal Philosophy.
Princenton University Press.
Jurnal POLITEIA|Vol.3|No.2|Juli 2011 ISSN: 0216-9290
Muryanto Amin Konsep Negara Kesejahteraan Dari Waktu Kewaktu
57
Hayek, Friedrich A.. 1944. The Road to Serfdom.
Chicago: University of Chicago Press.
Huber, E. dan JD. Stephens. 2001. Development
and Crisis of the Welfare State: Parties and
Politics in Global Market. The University of
Chicago Press.
Manow, P.. 2004. The Good, the Bad, and the
Ugly: Esping-Andersen’s Regime Typology
and the Religious Roots of the Western
Welfare State. Max Planck Institute.
McEwan, Arthur. 1999. Neoliberalism or
Democracy: Economic Strategy, Markets,
and Alternatives for the 21th Century.
London: Zed Books.
Nozick, Robert. 1974. Anarchy, State, and Utopia.
New York: Basic Books.