12

Jurnal Politeia - Negara Kesejahteraan.pdf

  • Upload
    lamnhi

  • View
    232

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Jurnal Politeia - Negara Kesejahteraan.pdf
Page 2: Jurnal Politeia - Negara Kesejahteraan.pdf

ISSN: 0216-9290

POLITEIA JURNAL ILMU POLITIK

Volume 3|Nomor 2|Juli 2011

MANAGEMENT DIRECTOR

P. Anthonius Sitepu

CHIEF EDITOR & VICE CHIEF EDITOR

Muryanto Amin & Warjio

SENIOR EDITOR

Husnul Isa Harahap

JUNIOR EDITORS

Hendra M. Nur, Walid Mustafa, Rudi Salam Sinaga, Dana Permana (internship)

EDITORIAL BOARD

Heri Kusmanto

Subhilhar

Tonny P. Situmorang

Rosmeri Sabri

Evi Novida Ginting

Zakaria Taher

Ahmad Taufan Damanik

T. Irmayani

Indra Kesuma Nasution

Indra Fauzan

MARKETING OFFICER

Yusri Yanti Mandasari

Diterbitkan atas kerjasama:

ASOSIASI ILMU POLITIK CABANG MEDAN DAN

LABORATORIUM ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Untuk berlangganan:

Satu tahun (2 Edisi) Rp.50.000,- (belum termasuk biaya pengiriman)

Silahkan menghubungi Marketing Officer

Jurnal Politeia adalah wadah bagi para ilmuan atau peminat masalah-masalah politik dalam

menuangkan pemikiran ilmiah. Jurnal Politeia menyampaikan undangan berpartisipasi menulis

kepada siapa saja dengan kriteria tulisan yang sesuai dengan tema politik.

Alamat:

POLITEIA Jurnal Ilmu Politik

Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Sumatera Utara,

Jl. Dr. Sofyan No.1 Medan, 20155, Telepon: 061-8211965; Email: [email protected]

Page 3: Jurnal Politeia - Negara Kesejahteraan.pdf

Medan ©Copy Right 2007

Dilarang menggandakan, menerbitkan kembali seluruh atau sebahagian isi jurnal

tanpa seizin dari penerbit.

Desain halaman sampul depan oleh: Aris Pratomo

Page 4: Jurnal Politeia - Negara Kesejahteraan.pdf

DAFTAR ISI

Daftar Isi

Regionalisme dan Dampaknya dalam pemilihan presiden di Korea SelatanJEANIE ANNISA 7I-78

SiStem Pemerintahan Desa di Desa purba SinombaHUSNUL ISA IIARAHAP................ .. 7g_g0

Falsafah dan Strategi Politik Dakwah pKSwARno.... .................:. gl-g7

Gerakan Buruh Sejak Proklamasi Sampai 1965T.IRMAYANI................. .. 98_105

Konsep Negara Kesejahteraan dari Wakfu ke Waktu : -.MURYANToAMIN...'.'......'..'...t.....t.'.!.t...-..]

Representasi Perempuan di Parlemen lndonesiaEVI NOVIDAGINTING ._........"........ ......_............. ..113_IZz

Indeks Penulis Volume 3.................lndeks Subjek Volume 3 ................Daftar lsi Volume 3...Ucapan Terima Kasih..........Petunjuk Penulisan

ur

V

viviiviiiix

lll

Page 5: Jurnal Politeia - Negara Kesejahteraan.pdf

Jurnal POLITEIA|Vol.3|No.2|Juli 2011 ISSN: 0216-9290

Muryanto Amin Konsep Negara Kesejahteraan Dari Waktu Kewaktu

50

Konsep Negara Kesejahteraan

Dari Waktu Kewaktu

MURYANTO AMIN

Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara Medan,

Jl. Dr. Sofyan No.1 Medan, 20155, Telepon: 061-8220760, Email: [email protected]

Diterima tanggal 1 Januari 2011/Disetujui tanggal 4 Februari 2011

The concept of the welfare state is a concept that is still being debated. The debate is the events of

the past and present. This study discusses the debate. This study found, in the debate, there are

four meanings of the welfare state concept: First, the concept of the welfare state understood as the

power of the state addressed to the national welfare; Second, the concept of the

welfare state understood as undercover state collectivism by directing spending; Third, the concept

of the welfare state understood as the beginning phase of the political absolutism; Fourth, the

concept of the welfare state understood as a way to pay attention condition of the people who are

not rich (poor). This debate can not be separated from the pull of the ideology

socialism and capitalism. The implication is that the welfare state can be called a middle way.

Keywords: Welfare state, laissez faire, empirical libertarian.

Pendahuluan

Pada awal tulisannya, Ebenstein, menyatakan

bahwa kesejahteraan dianggap sebagai

konsep yang tersirat dari tujuan alami negara,

terlepas bentuk dan tujuan negara itu,

termasuk juga pada masa laissez faire. Adam

Smith misalnya, dalam The Wealth of Nation

dan penganjur survival of the fittest,

kemudian sadar bahwa penumpukan

kekayaan bukan satu-satunya tujuan

keberadaan manusia. Ebenstein mengutip

pendapat Adam Smith bahwa ada tiga tugas

negara yang berkaitan dengan masyarakat,

pertama adalah bidang pertahanan yaitu

memberikan kebebasan kepada orang-orang

yang melawan penyerangan dan perbudakan,

meskipun memerlukan biaya yang besar.

Kedua, melindungi setiap anggota

masyarakat untuk melawan ketidakadilan

atau tekanan dari anggota masyarakat lainnya

atas dasar keadilan dan kewajaran melalui

penyediaan keamanan dan tidak memihak.

Artinya, negara kemudian bertindak untuk

mencegah adanya monopoli dari private

property. Ketiga, negara membangun

infrastruktur seperti memelihara pekerjaan

umum dan institusi masyarakat yang

bermanfaat, bukan untuk keuntungan

individu atau sekelompok orang. Membangun

jalan, pelabuhan, kanal, dan lain sebagainya

termasuk pendidikan dan kesehatan bagi

masyarakat umum.

Dari pengertian tersebut, konsep

kesejahteraan menunjukkan tidak hanya

berkaitan antara analisis dan kebijakan

ekonomi namun harus dilihat secara

menyeluruh. Perdebatannya justru terletak

pada peran pemerintah dalam memberikan

pelayanan publik dan perlakuan negara bagi

mereka yang kalah dalam persaingan atau

Page 6: Jurnal Politeia - Negara Kesejahteraan.pdf

Jurnal POLITEIA|Vol.3|No.2|Juli 2011 ISSN: 0216-9290

Muryanto Amin Konsep Negara Kesejahteraan Dari Waktu Kewaktu

51

kompetisi. Para penganut ekonomi klasik

pada abad 18 dan awal abad 19 mencoba

tetap meletakkan analisis dan kebijakan

ekonomi atas dasar rasionalisme, bebas dari

tekanan politik, kebiasaan masa lalu, dan

konflik agama.

Konsep kunci keterkaitan antara analisis dan

kebijakan ekonomi adalah pada aspek

kegunaan (utility), tidak ada kebijakan atau

institusi yang dapat menyatakan kebenaran

mutlak tanpa didasari atas kebahagiaan

manusia. Penganjur utama ekonomi klasik

berpendapat sekurang-kurangnya kebahagia-

an manusia dicapai melalui laissez faire.

Namun, pemikir besar ekonomi klasik dari

Smith sampai Mill tidak membenarkan

harapan tersebut menjadi ajaran intelektual

yang kaku.

Perubahan laissez faire terjadi secara

perlahan-lahan akibat industrialisasi pada

abad 19 terutama mengenai kehidupan

manusia sehari-hari. Jeremy Bentham dan

John Stuart Mill misalnya kemudian

mengadopsi filsafat sosial dan politik yang

sangat dekat dengan negara kesejahteraan

abad keduapuluh. Namun, penting untuk

diingat bahwa perubahan dari laissez faire ke

konsep peran negara dalam melakukan

kesejahteraan, membuat Bentham dan Mill

masih tetap mempertahankan tujuan

kebahagiaan manusia hanya dicapai melalui

laissez faire. Perubahan alamiah itu

dimaksudkan dilakukan oleh negara dalam

mendukung laissez faire. Perbedaan filosofi

yang ada menunjukkan bahwa terjadi

perubahan konsep negara kesejahteraan dari

waktu kewaktu.

Pendekatan dan Metode

Studi ini membahas tentang perdebatan

konsep negara kesejahteraan. Studi ini

dilakukan dengan pendekatan sejarah

pemikiran ekonomi politik. Fokusnya pada

pemikiran para tokoh tentang negara

kesejahteraan. Pengumpulan data dilakukan

dengan cara studi pustaka. Analisis dilakukan

dengan metode analisis deskriptif.

Evolusi Negara Kesejahteraan

Kekuatan di balik evolusi perubahan

liberalisme klasik barat dari laissez faire ke

negara kesejahteraan terjadi karena aspek

ekonomi, politik dan psikologi. Pengaruh

ekonomi terjadi disebabkan, pada abad

delapan belas atau awal abad sembilan belas,

unit ekonomi utama adalah pertanian,

perdagangan dan bisnis kecil, sering sekali

dioperasikan, diatur, dan dimiliki oleh satu

keluarga. Kemudian, manusia menginginkan

dibebaskan dari ketidaktahuannya dan

campur tangan pemerintah, biarkan manusia

bekerja sendiri, dia merasa mampu

mengerjakan aspek ekonomi lebih baik

sampai terpenuhi kebutuhan untuk

kemerdekaan jiwanya. Keinginan itu

kemudian bertepatan dengan adanya

teknologi yang sangat efisien sehingga

menjadi relatif sederhana. Jika dilihat dari

perspektif pembangunan ekonomi, tujuan

negara kesejahteraan adalah untuk

mengurangi pengaruh dari bahaya

pembangunan ekonomi dan ketidakberdayaan

yang mengancam individu.

Faktor kedua dibalik evolusi negara

kesejahteraan adalah politik. Banyak individu

yang mendapatkan hak pilih yang bukan

hanya digunakan untuk memilih parlemen

tapi juga banyak kekuasaan sosial dan

ekonomi. Penggunaan hak pilih itu dilakukan

untuk memilih parea pegawai pemerintah,

dan mempercayakan pilihan tersebut atas

dasar keinginan dan pemikian mereka.

Setelah itu, masyarakat pemilih memahami

bahwa suara mereka dianggap sebagai

instrumen kekuasaan politik untuk

meningkatkan kondisi kehidupan akan

kebutuhan dan kepemilikan. Siapapun yang

dipilih dalam pemilihan pejabat publik akan

berjanji meningkatkan keuntungan sosial dan

ekonomi yang lebih baik bagi masyarakat,

dan yang berbuat sesuai dengan janjinya

akan diberi kesempatan lagi dalam pemilihan

berikutnya. Dalam konsep negara

kesejahteraan, ada satu alasan yang mendasar

yakni sikap permusuhan atau ketidakpedulian

itu harus diiringi dengan luasnya program

Page 7: Jurnal Politeia - Negara Kesejahteraan.pdf

Jurnal POLITEIA|Vol.3|No.2|Juli 2011 ISSN: 0216-9290

Muryanto Amin Konsep Negara Kesejahteraan Dari Waktu Kewaktu

52

keamanan sosial dan ekonomi, dan

kesejahteraan dibuat untuk mencapai

kesuksesan politik.

Faktor ketiga adalah psikologi. Masyarakat di

belahan dunia ini, termasuk negara

berkembang, tidak akan menerima

penderitaan yang berkepanjangan dan

mengiginkan perubahan nasib. Menurunnya

pengaruh agama akan berimplikasi pada janji

kehidupan yang lebih baik dalam waktu yang

tidak lama sama halnya dengan berhayal, dan

bahkan keyakinan agama sangat kuat untuk

mencapai kebahagiaan manusia sebagai

haknya. Faktor psikologi ini kemudian

berkembang dan menjadi gerakan reformasi

sosial di Eropa dan Amerika Serikat

khususnya pada abad dua puluh. Di Eropa

keinginan untuk hidup lebih baik, atas dasar

ekonomi dan keadilan sosial, menjadi tekanan

politik yang dilakukan pada berbagai gerakan

reformasi sosial baik sosialis dan nonsosialis.

Perkembangan negara-negara di dunia untuk

menciptakan kehidupan yang lebih baik bagi

masyarakatnya, pertumbuhan industrialisasi

yang cepat dan standar kehidupan yang lebih

tinggi menjadi tuntutan politik yang tumbuh

secara alamiah. Minat akan negara

kesejahteraan tidak didasarkan atas sentimen

murni dan kekuatan psikologi, tapi diperoleh

dari pengetahuan bahwa kemiskinan harus

dihapuskan dari muka bumi. Sebelum

Revolusi Industri, kemiskinan sepertinya

ditakdirkan untuk tidak dapat diubah. Saat

ini, manusia mengatasi kemiskinan dengan

mengubah institusi masyarakat.

Prinsip utama negara kesejahteraan relatif

sederhana, pertama, mengenalkan setiap

anggota masyarakat tentang hak sebagai

manusia untuk mencapai standar kehidupan

minimum. Kedua, membuat kebijakan

stabilitas ekonomi dan kemajuannya,

menghapuskan siklus kekerasan dari

kenaikan harga yang tiba-tiba melalui

kebijakan publik ketika perusahaan swasta

tidak mampu mencegah dirinya sendiri dari

ancaman ketidakstabilan atau kemunduran

ekonomi. Ketiga, membuat kesempatan kerja

sebagai prioritas utama kebijakan publik.

Perdebatan Politik dan Penerapan Negara

Kesejahteraan

Konsep negara kesejahteraan dianggap

sebagai jalan tengah, untuk mengatasi

persoalan kemunusiaan, ketika Depresi Besar

terjadi pada abad 19 yang menunjukkan tidak

hanya hancurnya ekonomi dan pengangguran,

tapi juga penurunan kemanusiaan yang

diakibatkannya. Penganut paham negara

kesejahteraan percaya bahwa kebebasan

berusaha dapat menyediakan dan menguatkan

kebijakan kesempatan kerja tanpa melakukan

nasionalisasi. Sistem perpajakan disesuaikan

untuk kemakmuran, suku bunga ditentukan

oleh keputusan pemerintah menurut

kebutuhan ekonomi, kebijakan fiskal

dirancang untuk kemampuan pemerataan

pembelian yang seimbang dengan

mengutamakan kepentingan bangsa, insentif

investasi harus dikurangi, pekerjaan umum

diciptakan untuk mengatasi pengangguran,

menyediakan kredit pemerintah untuk

pengembang atau pembeli perumahan. Itulah

beberapa ukuran yang dapat dilakukan

pemerintah untuk menstabilkan ekonomi

tanpa mengubah unsur fondasinya.

Ebenstein menulis, setidaknya ada perdebatan

yang terjadi berdasarkan sejarah di Amerika

Serikat, khususnya ketika terjadi Depresi

Besar tahun 1932. Pertama, arsitek utama

New Deal, Franklin D. Roosevelt (1882-

1945). Ia memulai dengan premis utama dari

liberal yaitu filsafat demokrasi, bahwa

pemerintah dan ekonomi ada untuk melayani

manusia dan bukan sebaliknya. Sekalipun

dalam sejarah awal Amerika, konflik sosial

tidak cukup untuk membawa terlalu jauh

campur tangan pemerintah sebab yang kaya

tidaklah terlalu kaya, dan yang miskin tidak

juga terlalu miskin.

Perubahan terjadi ketika Revolusi Industri

pada pertengahan abad 19 dan pertumbuhan

industri serta kekuatan finansial dengan

masalah utamanya adanya konsentrasi

Page 8: Jurnal Politeia - Negara Kesejahteraan.pdf

Jurnal POLITEIA|Vol.3|No.2|Juli 2011 ISSN: 0216-9290

Muryanto Amin Konsep Negara Kesejahteraan Dari Waktu Kewaktu

53

kekuatan ekonomi pada beberapa korporasi

besar, dan menyebabkan beberapa orang

berhenti dari bisnis dan industri itu.

Ketidakseimbangan dalam ekonomi Amerika

ini, oleh Roosevelt ditata ulang kembali

untuk mendistribusikan kesejahteraan dan

produksi agar lebih sesuai. Konstitusi

Amerika kemudian mengatur kekuatan

negara yang ditujukan kepada kesejahteraan

nasional. Perusahaan besar harus mengikuti

perintah konsitusi, menyesuaikan

kepentingan perusahaannya dengan

kepentingan masyarakat secara keseluruhan.

Setiap orang memiliki hak tidak hanya hidup,

tapi juga untuk membuat kehidupan lebih

nyaman. Roosevelt yakin bahwa pemerintah

harus mengatur aktivitas ekonomi hanya

sebagai jalan terakhir, dan melakukannya

hanya ketika inisiatif perusahaan gagal.

Fungsi utama pemerintah bukan melakukan

sesuatu yang telah dilakukan oleh individu,

tapi untuk memelihara keseimbangan.

Akhirnya, Roosevelt memiliki keyakinan

akan keberhasilan perusahaan masyarakat

Amerika dengan adanya penurunan

kemiskinan.

Kedua yang tidak setuju dengan konsep

negara kesejahteraan adalah Presiden Hoover

(1929-1933) yang pada saat kekuasaannyalah

terjadi Depresi Besar dengan puncaknya di

tahun 1932. Hoover. Dia tidak pernah

bimbang akan keyakinannya bahwa

pelaksanaan New Deal adalah bentuk

penyimpangan yang berbahaya dari tradisi

masyarakat Amerika tentang kebebasan.

Meningkatnya jumlah penduduk akan

berpengaruh kepada pemerintah,

meningkatnya isu-isu serius mengenai

hubungan individu dengan pemerintahannya

dalam masyarakat bebas. Ancaman serius

dari negara kesejahteraan adalah kebebasan

masyarakat Amerika dan pengaruh pengikut

komnunis di Amerika,

Konsep negara kesejahteraan dengan

demikian didefinisikan oleh Hoover sebagai

”penyamaran negara kolektivisme dengan

mengarahkan pembelanjaan,” Kemerdekaan

individual, inisiatif dan kebebasan tidak dapat

ditukarkan, Hoover menyimpulkan, untuk

”kolektivisme yang mengacaukan,” dan dia

menyalahkan kelompok penekan dan politisi

yang mengakomodasikan banyak gangguan

yang disebabkan oleh pertumbuhan

pemerintah pusat.

Ketiga, oposisi negara kesejahteraan juga

disuarakan oleh Roscoe Pound (1870-), satu

dari ahli hukum yang berpengaruh.

Ketidaksesuaian Pound adalah bukan tugas

negara yang melaksanakan banyak pelayanan

publik, tapi adanya konsep tentang pelayanan

publik yang hanya dilaksanakan oleh negara

serta tidak ada batas dalam memberikan

pelayanan kemanusiaan. Negara

kesejahteraan mensyaratkan adiministrator

yang sangat kuat dalam seluruh lingkup

kesejahteraan manusia. Pound beranggapan,

seperti negara supersevice, harus

mengembangkan birokrasi yang besar, dan

akhirnya akan menjadi negara totaliter

dengan komunisme Marxian. Karena itu,

negara kesejahteraan hanya awal dari fase

absolutisme politik. Pound mengutuk

kecenderungan dalam negara kesejahteraan

akan pembangunan konsep baru tentang

kebebasan sebagai keutamaan dari keinginan

dan ketakutan, bukannya kebebasan sebagai

kepentingan individu itu sendiri dan

penentuan nasib sendiri

Keempat, dari aspek ekonomi negara

kesejahteraan, A.C. Pigou mendukung

konsepsi itu. Dalam Some Aspects of the

Welfare State, Pigou memperhatikan

keutamaan kesejahteraan ekonomi, dengan

mendefinisikan kepuasan dan ketidakpuasan

yang diperoleh dari keadaan ekonomi. Pigou

mengingatkan bahwa negara kesejahteraan

memerlukan demokrasi dan bukan sebuah

monopoli atau identik dengan lemahnya

negara demokrasi. Negara kesejahteraan

adalah bentuk yang pantas dipertimbangkan

untuk menolong kelas-kelas masyarakat

miskin begitu juga untuk kebutuhan kolektif

seperti kekuatan bersenjata, polisi,

pengadilan, birokrasi, dan bangunan publik

yang harus disediakan atau setidaknya

Page 9: Jurnal Politeia - Negara Kesejahteraan.pdf

Jurnal POLITEIA|Vol.3|No.2|Juli 2011 ISSN: 0216-9290

Muryanto Amin Konsep Negara Kesejahteraan Dari Waktu Kewaktu

54

dibayar oleh negara. Kepuasan pemenuhan

kebutuhan individu seharusnya berkisar

tentang kebaikan dan keinginan untuk

mendapatkannya yang sering sekali didapat

karena penipuan, pernyataan yang keliru dari

iklan misalnya. Fungsi penguasa negara

dalam negara kesejahteraan juga harus

menyediakan sekolah untuk anak-anak

dengan makan siang dan susu gratis atau

menjual sesuatu barang konsumsi dibawah

harga pasar. Tindakan monopoli hanya

dilakukan untuk kepentingan nasional

terutama dalam rangka menciptakan

perdamaian, mengatur kekuatan produksi dan

lain sebagainya.

Sampai hari ini, konsep negara kesejahteraan

jika dilihat dari filosopi dan empirik,

mengalami perdebatan. Meskipun konsep ini

tidak begitu populer dengan minimal state-

nya kaum neoliberal namun harapan akan

negara kesejahteraan masih menarik untuk

dilirik, setidaknya oleh negara-negara yang

pernah melaksanakan sosialisme demokrat.

Negara kesejahteraan tidak bisa dilepaskan

dari nilai-nilai terutama etika Katolik dan

pengaruh doktrin karikatif sosial (social

charity) gereja. Huber dan Stephens1 dan

Manow2 menjelaskan adanya pengaruh

doktrin sosial Katolik dalam desain dan

proses pengembangan negara kesejahteraan

di negara-negara Eropa. Kelley (1994)

menyatakan bahwa etika Katolik

memunculkan paham keadilan sosial (social

justice) yang menjadi legitimasi intervensi

negara terhadap mekanisme pasar.

Kelley membagi paham keadilan sosial

menjadi dua aliran, yaitu welfarism dan

egalitarianism. Welfarism memandang bahwa

individu mempunyai hak untuk mendapatkan

kebutuhan dasar tertentu dalam hidup,

1 E. Huber, dan JD. Stephens, Development and

Crisis of the Welfare State: Parties and Politics in

Global Market, (The University of Chicago Press,

2001). 2 P. Manow, The Good, the Bad, and the Ugly:

Esping-Andersen’s Regime Typology and the

Religious Roots of the Western Welfare State,

(Max Planck Institute, 2004).

sehingga menjadi kewajiban masyarakat

untuk memastikan setiap individu

mempunyai akses pada kebutuhan-kebutuhan

tersebut. Sistem kapitalis laissez faire tidak

mampu menjamin tercapainya hal tersebut,

sehingga dibutuhkan intervensi negara untuk

memodifikasi pasar agar bisa memenuhi

tanggung jawab distribusinya. Egalitarianism

menyatakan bahwa kemakmuran (wealth)

yang diproduksi oleh masyarakat harus

didistribusikan dengan adil (fair). Sistem

kapitalis berbasis pasar cenderung

membenarkan bahkan mendorong terjadinya

kesenjangan, baik pendapatan maupun

kemakmuran diantara individu-individu.

Inilah yang menyebabkan dibutuhkannya

negara untuk memastikan terjadinya

distribusi kemakmuran yang lebih merata.3

Paham ini sangat dekat dekat pandangan

liberal, yang memandang bahwa kapitalisme

merupakan sistem yang paling efisien

dibandingkan dengan sistem yang ada.

Meskipun begitu, kapitalisme mempunyai

efek negatif berupa kemiskinan dan

ketimpangan. Untuk mengatasi hal itulah,

negara harus mampu mengatasi efek negatif

tersebut.

Berbeda dengan pandangan kaum libertarian

lainnya seperti Robert Nozick, yang

memandang intervensi negara sebagai hal

yang salah secara moral.4 Seperti juga halnya

Hayek dan Friedman5, kaum empirical

libertarian, yang memandang bahwa campur

tangan negara akan menurunkan

kesejahteraan agregat. Kaum liberal

kelompok yang disebutkan terakhir merasa

tidak keliru ketika mereka mengkritik

program-program welfare sebagai mekanisme

3 Kelley. D, ”Altruism and Capitalism” {Artikel

online}, (1994), tersedia di: www.objectivist-

center.org/text/dkelley_altruism-capitalism.asp;

diunduh 11 Oktober 2008. 4 Lihat misalnya Robert Nozick, Anarchy, State,

and Utopia, (New York: Basic Books, 1974). 5 Lihat Friedrich A. Hayek, The Road to Serfdom,

(Chicago: University of Chicago Press, 1944); dan

Milton Friedman, Capitalism and Freedom,

(Chicago: University of Chicago Press, 1962).

Page 10: Jurnal Politeia - Negara Kesejahteraan.pdf

Jurnal POLITEIA|Vol.3|No.2|Juli 2011 ISSN: 0216-9290

Muryanto Amin Konsep Negara Kesejahteraan Dari Waktu Kewaktu

55

yang sering melahirkan kultur

ketergantungan. Bila kita tahu bahwa kalau

seorang manusia ”jatuh” (misal sakit atau

kehilangan pekerjaan) negara atau pemerintah

selalu siap memberi jaminan, yang tidak

jarang terjadi adalah orang itu akan hidup

saja dari jaminan negara. Maka etos kerja dan

”wirausaha” dalam masyarakat secara

perlahan menjadi hancur. Kritik terhadap

welfare state adalah pada tahap implementasi

programnya.

Klaim kaum libertarian itu berkisar pada

agenda kepentingan umum yang dilandaskan

dalam negara kesejahteraan sebagai tidak

begitu meyakinkan. Mereka beranggapan

bahwa ”tak ada masyarakat, yang ada

hanyalah individu”. Dengan kata lain, tidak

ada kepentingan umum, yang ada hanya

kepentingan individual. Karena individu

pertama-tama dipahami sebagai homo

economicus, maksimalisasi laba individual

pula yang menjadi tujuan. Apakah dengan itu

kepentingan umum dapat terselenggara atau

tidak, bukan menjadi perhatian kaum

libertarian ini.

Dalam gagasan liberalisme klasik laissez

faire seperti Adam Smith, negara masih

punya otoritas sebagai badan yang

menyelenggarakan barang/jasa publik

(pendidikan, kesehatan publik, dan

infrastruktur lain), sedang sektor privat

menjadi motor pengadaan barang/jasa privat.

Namun, para empirical libertarian (Hayek

dan Friedman) menolak pembagian kerja

yang lunak antara sektor negara dan privat

ini. Alasannya, bagi mereka barang/jasa

publik pun diciptakan bukan karena

baik/berguna untuk khalayak umum,

melainkan karena barang/jasa itu

mendatangkan laba bagi penyedianya.

Adanya fakta bahwa pemerintah mencampuri

atau bisa campur tangan (misalnya lewat tarif

dan pajak progresif) sudahlah cukup

membuat kinerja pasar menjadi tidak bebas.

Kepercayaan empirical liberal akan

pertumbuhan ekonomi – investasi – tabungan

– income – tabungan – investasi –

pertumbuhan ekonomi hanya bisa dilakukan

oleh mereka yang memiliki income berlebih.

Pertumbuhan tabungan akan menyebabkan

investasi dan menghasilkan pembangunan

yang akan menghasilkan tetesen ke bawah

(trickle down effect) dari golongan menengah

dan atas ke kelompok-kelompok ekonomi

bawah. Jadi, pertumbuhan ekonomi hanya

bisa dicapai secara maksimal dengan

membiarkan distribusi income ditentukan

oleh mekanisme pasar bebas.6 Tidak satu pun

instansi masyarakat, termasuk pemerintah,

yang harus membuat kebijakan atau program

pemindahan income dari kaum kaya ke kaum

miskin. Maka pajak progresif, subsidi

pangan, ketetapan upah minimum,

perlindungan buruh dan petani, program

khusus lapangan kerja, jaring pengaman

sosial, dan program-program seperti itu

menjadi tidak dibenarkan dalam pandangan

kaum empirical libertarian.

Meskipun demikian, dalam pandangan

kelompok liberal lainnya masih meyakini

pentingnya fungsi redistribusi kesejahteraan

dari negara untuk menjamin terjadinya

keadilan sosial dan pemerataan dalam sistem

kapitalis. Negara kesejahteraan tidak pernah

dimaksudkan untuk mengeliminasi peran

pasar sebagai penyedia kesejahteraan bagi

individu dan masyarakat. Negara

kesejahteraan dibangun dalam kerangka

ekonomi pasar dan tidak pernah menolak

ekonomi pasar kapitalis.7

Seperti halnya Gooding, Keynes juga

memandang bahwa kapitalisme tidak

mengatur dirinya sendiri. Berbeda dengan

yang dijanjikan Hukum Pasar Say,

permintaan tidak selalu bisa mengimbangi

produksi. Keynes menunjuk bahwa

kapitalisme sebagai suatu sistem ekonomi,

6 Arthur McEwan, Neoliberalism or Democracy:

Economic Strategy, Markets, and Alternatives for

the 21th Century, (London: Zed Books, 1999),

hal. 72-73. 7 RE, Goodin, Reason for Welfare: The Political

Theory of the Welfare State, Studies in Moral,

Political, and Legal Philosophy, (Princenton

University Press, 1988).

Page 11: Jurnal Politeia - Negara Kesejahteraan.pdf

Jurnal POLITEIA|Vol.3|No.2|Juli 2011 ISSN: 0216-9290

Muryanto Amin Konsep Negara Kesejahteraan Dari Waktu Kewaktu

56

tidak selalu akan dengan sendirinya

mengoordinasikan permintaan dan penawaran

dengan harmonis melalui mekanisme pasar

bagi keseluruhan perekonomian, khususnya

ketika terjadi defisit permintaan agregat.

Karena itu, Keynes percaya peran negara

dalam perekonomian. Negara dibutuhkan

untuk memikul tanggung jawab pengelolaan

perekonomian guna memelihara suatu

permintaan agregat permintaan yang akan

menjamin kesempatan kerja penuh. Mereka

juga percaya bahwa tanpa tindakan

pemerintah, pertumbuhan ekonomi tidak akan

mampu menghapuskan kemiskinan.

Namun, negara kesejahteraan bukanlah

wujud dari sosialisme. Dalam format negara

kesejahteraan memang terdapat

persinggungan antara pemikiran liberal dan

kolektivis sosial demokrat, khususnya dalam

area ”sosial justice” dan ”mutual

responsibility and the duty of the strong aid

to the weak”8 Namun, persinggungan tersebut

tidak bisa menghapuskan perbedaan dasar

diantara pandangan kolektivis dan liberal.

Kaum kolektivis menilai negara

kesejahteraan sebagai bentuk peralihan dari

kapitalisme laissez faire menuju sosialisme,

sehingga dalam kaca mata mereka, negara

kesejahteraan tidak pernah lebih dari suatu

”tahapan antara” (a staging post in the

transition).9

Keynes misalnya bukanlah kolektivis, dia

memandang kapitalisme sebagai sistem yang

paripurna dan negara kesejahteraan adalah

upaya untuk menyelamatkan kapitalisme agar

bisa lebih diterima secara moral dengan

menggunakan campur tangan negara. Apa

yang ingin mereka capai adalah

menyelematkan kapitalisme dan unsur-unsur

pentingnya, sambil mengurangi atau

menghapus hal-hal yang sekarang tidak dapat

diterima. Keynes melihat kesalahan-

kesalahan kapitalisme lebih sebagai

8 N Barr, The Economics of the Welfare State,

(Stanford: Stanford University Press, 1998), hal.

44-63. 9 Ibid., hal. 84.

kesalahan teknis daripada kesalahan yang

mendasar. Kapitalisme, merujuk pada

Keynes, jika dikelola secara bijak mungkin

dapat menjadi alat yang lebih efisien untuk

mencapa tujuan ekonomi dibandingkan

dengan sistem lain mana pun yang

dibayangkan. Melalui tindakan yang tepat, ia

percaya bahwa suatu jalan tengah dapat

ditemukan antara anarki laissez faire dan

kelaliman totalitarianisme. Negara

kesejahteraan dapat disebut sebagai jalan

tengah dari kedua pilar ideologi itu.

Penutup

Konsep negara kesejahteraan adalah konsep

yang masih menjadi perdebatan. Dalam

perdebatan tersebut terdapat empat

pemaknaan konsep negara kesejahteraan,

antara lain: Pertama, konsep negara

kesejahteraan dimaknai sebagai kekuatan

negara yang ditujukan kepada kesejahteraan

nasional; Kedua, konsep negara kesejahteraan

dimaknai sebagai penyamaran negara

kolektivisme dengan mengarahkan

pembelanjaan; Ketiga, negara kesejahteraan

hanya awal dari fase absolutisme politik;

Keempat, konsep negara kesejahteraan

dimaknai sebagai cara memperhatikan

keutamaan kesejahteraan ekonomi

masyarakat miskin. Perdebatan ini tidak

terlepas dari adanya tarik menarik antara

ideologi sosialisme dan kapitalisme.

Implikasinya negara kesejahteraan dapat juga

disebut sebagai jalan tengah.

Daftar Pustaka Barr, N.. 1998. The Economics of the Welfare

State. Stanford: Stanford University Press.

D, Kelley. ”Altruism and Capitalism” {Artikel

online}, (1994), tersedia di: www.objectivist-

center.org/text/dkelley_altruism-capitalism.-

asp; diunduh 11 Oktober 2008.

Friedman, Milton. 1962. Capitalism and

Freedom. Chicago: University of Chicago

Press.

Goodin, RE.. 1988. Reason for Welfare: The

Political Theory of the Welfare State, Studies

in Moral, Political, and Legal Philosophy.

Princenton University Press.

Page 12: Jurnal Politeia - Negara Kesejahteraan.pdf

Jurnal POLITEIA|Vol.3|No.2|Juli 2011 ISSN: 0216-9290

Muryanto Amin Konsep Negara Kesejahteraan Dari Waktu Kewaktu

57

Hayek, Friedrich A.. 1944. The Road to Serfdom.

Chicago: University of Chicago Press.

Huber, E. dan JD. Stephens. 2001. Development

and Crisis of the Welfare State: Parties and

Politics in Global Market. The University of

Chicago Press.

Manow, P.. 2004. The Good, the Bad, and the

Ugly: Esping-Andersen’s Regime Typology

and the Religious Roots of the Western

Welfare State. Max Planck Institute.

McEwan, Arthur. 1999. Neoliberalism or

Democracy: Economic Strategy, Markets,

and Alternatives for the 21th Century.

London: Zed Books.

Nozick, Robert. 1974. Anarchy, State, and Utopia.

New York: Basic Books.