28

JURNAL SENI BUDAYA - ISI DPS

  • Upload
    others

  • View
    18

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: JURNAL SENI BUDAYA - ISI DPS
Page 2: JURNAL SENI BUDAYA - ISI DPS

i

JURNAL SENI BUDAYAJURNAL SENI BUDAYAJURNAL SENI BUDAYAJURNAL SENI BUDAYAJURNAL SENI BUDAYAVOLUME 25 NO. 2 SEPTEMBER 2010

INSTITUT SENI INDONESIA DENPASARINSTITUT SENI INDONESIA DENPASARINSTITUT SENI INDONESIA DENPASARINSTITUT SENI INDONESIA DENPASARINSTITUT SENI INDONESIA DENPASAR20102010201020102010

Page 3: JURNAL SENI BUDAYA - ISI DPS

iii

Ketua PenyuntingI Wayan Rai S.

Wakil Ketua PenyuntingRinto Widyarto

Penyunting PelaksanaI Ketut MurdanaI Wayan SetemI Gusti Ngurah SeramasaraDiah KustiyantiNi Made RuastitiNi Luh Sustiawati

Penyunting AhliI Wayan Rai S. (ISI Denpasar) EthnomusicologistMargaret J. Kartomi. (Monash University) EthnomusicologistJean Couteau. (Sarbone Francis) Sociologist of ArtRon Jenkins. (Wesleyan University) TheatreMichael Tenzer. (UMBC) Ethnomusicologist

ISSN 0854-3461

DEWAN PENYUNTINGJurnal Seni Budaya MUDRA

Berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Departeman Pendidikan NasionalNomor: 108/DIKTI/Kep/2007. tentang Hasil Akreditasi Jurnal IlmiahDirektorat Jenderal Pendidikan Tinggi Tahun 2007 Jurnal Seni Budaya MUDRAdiakui sebagai jurnal terakriditasi, dengan peringkat B.

Alamat Penyunting dan Tata Usaha:UPT. Penerbitan ISI Denpasar Jalan Nusa Indah Denpasar 80235Telepon (0361) 227316, Fax. (0361) 236100 E-Mail: isidenpasar®yahoo.ac.id.

MUDRA diterbitkan oleh UPT. Penerbitan Institut Seni Indonesia Denpasar. Terbit pertama kali pada tahun 1990.

Penyunting menerima sumbangan tulisan yang belum pernah diterbitkan dalam media lain. Persyaratan seperti yang tercantumpada halaman belakang (Petunjuk Untuk Penulis). Naskah yang masuk dievaluasi dan disunting untuk keseragaman format,istilah dan tata cara lainnya

Dicetak di Percetakan PT. Percetakan Bali

Mengutip ringkasan dan pernyataan atau mencetak ulang gambar atau label dari jurnal ini harus mendapat izin langsung dari penulis.Produksi ulang dalam bentuk kumpulan cetakan ulang atau untuk kepentingan periklanan atau promosi atau publikasi ulang dalambentuk apa pun harus seizin salah satu penulis dan mendapat lisensi dari penerbit. Jurnal ini diedarkan sebagai tukaran untuk perguruantinggi, lembaga penelitian dan perpustakaan di dalam dan luar negeri. Hanya iklan menyangkut sains dan produk yang berhubungandengannya yang dapat dimuat pada jumal ini.

Permission to quote excerpts and statements or reprint any figures or tables in this journal should be obtained directly from theauthors. Reproduction in a reprint collection or for advertising or promotional purposes or republication in any form requirespermission of one of the authors and a licence from the publisher. This journal is distributed for national and regional higher institution,institutional research and libraries. Only advertisements of scientific or related products will be allowed space in this journal.

Page 4: JURNAL SENI BUDAYA - ISI DPS

v

1. Multikulturalisme dalam Diskursus Memperkuat Kebinekaan dan Kemejemukan di IndonesiaAnak Agung Gede Rai ........................................................................................................ 101

2. Multikulturalisme dan Pariwisata BaliNi Made Ruastiti ................................................................................................................ 108

3. Eksistensi Desa Pakraman dalam Pelestarian Adat dan Budaya BaliI Wayan Suarjaya ................................................................................................................. 120

4. Kebudayaan dan Kebijakan Keruangan : Esensi Budaya dalam Pengaturan Batas KetinggianBangunan BaliGusti Ayu Made Suartika .................................................................................................... 131

5. Reklamasi Pantai Sanur dalam Perspektif Ekonomi dan Sosial Budaya Masyarakat BaliI Made Darma Oka ............................................................................................................ 150

6. Estetika Hindu : Rasa sebagai Taksu Seni SastraI Wayan Suka Yasa .............................................................................................................. 159

7. Penerapan Konsep Joged Mataram dakam TariSupriyanto ........................................................................................................................... 172

8. Pragmatik Imperatif dalam Dialog Lakon ”Semar Mbangun Gedhong Kencana”Sajian Ki Mujaka Jaka RaharjaS. Hesti Heriwati................................................................................................................. 185

ISSN 0854-3461

JURNAL SENI BUDAYAJURNAL SENI BUDAYAJURNAL SENI BUDAYAJURNAL SENI BUDAYAJURNAL SENI BUDAYA

VOLUME 25 SEPTEMBER 2010 Nomor 2

Page 5: JURNAL SENI BUDAYA - ISI DPS

MUDRA VOLUME 25 NO.1 JANUARI 2010: 172-184

184

PENERAPAN KONSEP JOGED MATARAMDALAM TARI

Supriyanto

Jurusan Tari, Fakultas Seni Pertunjukan, Institut Seni Indonesia Surakarta, Indonesia

Abstrak

Penulisan ini untuk mengetahui pengaruh wayang wong di Keraton Yogyakarta terhadap tari Klana Sri Suwela, danmembahas penerapan konsep jogèd Mataram dalam tari Klana Sri Suwela. Penulisan ini menggunakan dua pendekatanyang melatarbelakanginya, yaitu pendekatan tekstual dan pendekatan konstektual. Secara tekstual pemberlakuan tariberkaitan dengan bentuk, struktur, dan gaya tarinya. Secara kontekstual pemberlakuan tari sebagai teks kebudayaan,dapat ditelaah melalui kedudukannya di masa sekarang kaitannya dengan catatan yang ada di masa lampau. Hasilnyamenunjukkan bahwa, bentuk dan struktur tari mengacu pada tata hubungan dalam struktur tari, sistem pelaksanaan teknikdan cara bergerak dalam bagian-bagian tubuh penari sebagai perwujudan tari yang utuh. Dengan demikian konsep tri wira(wiraga, wirasa, wirama) sebagai teknik dan wadah lahiriah dan konsep jogèd Mataram sebagai isinya. Oleh sebab itupenari dalam membawakan sebuah tari di atas pentas harus menguasai konsep tri wira dengan baik. Untuk dapatmembawakan peran dengan baik ketiga unsur tersebut harus dijiwai oleh konsep jogèd Mataram.

Implementation of the Concept of Joged Mataram in Dances

Abstract

The object of the study is finding the influence of Yogyakarta Palace’s Wayang Wong on Klana Alus Sri Suwela dance,and discussing the application of jogèd Mataram concept in Klana Alus Sri Suwela dance.The study used textual andcontextual approach. In textual approach, the conduct of the dance is being studied concerning the type, structure, andstyle of the dance. In contextual approach, the dance taken as a cultural reading is being studied in its present position inrelation with the past documentation. The result of the study showed that the form and structure of dance are referring tothe relationship in dancing structure, dancing technique and how the movements of the dancer’s body as a realization ofthe whole of dance. Accordingly, the tri wira (wiraga, wirama, wirasa) concept serves as the technique and outline, andthe jogèd Mataram serve as the content. Therefore, in order to perform a dance and play the role well, a dancer shouldmaster the three elements of the tri wira concept infused by jogèd Mataram concecp. husband or wife, either Chinese orBalinese, they always have orientation to physic, i.e. whether she is beautiful or he is handsome. However, if their physicalorientations are not the same, values of other aspects (economy, religion, and attitude) are used as other considerationsso that crossed-marriage of two different ethnics were taken place.

Key words: Crossed-marriage, Desa Pakraman, and living together.

Page 6: JURNAL SENI BUDAYA - ISI DPS

Penerapan Konsep Joged Mataran... (Supriyanto)

185

Beberapa bentuk tari tradisi gaya Yogyakarta, yangsampai dewasa ini mendapat pemeliharaan cukupbaik di lingkungan istana maupun di luar istanaYogyakarta adalah wayang wong gaya Yogyakarta.Bentuk penyajian yang lain dapat disebut antara lainbeksan Lawung, Guntur Segara, Eteng, beberapagenre Bedaya dan Srimpi. Hampir semua jenispenyajian di atas merupakan cabang-cabang senipertunjukan yang hidup dan berkembang dilingkungan istana Yogyakarta (Sedyawati, 1981: 1).

Lingkungan istana merupakan salah satu faktor yangcukup kuat untuk mempengaruhi bentuk-bentukkeseniannya. Oleh sebab itu, keberadaan keseniandan perkembangan selalu terikat adat dan norma-norma dari lingkungan istana itu sendiri. Hal itulahyang menjadikan tari tradisi istana selalu dipegangkuat, baik dalam penggarapan pola-pola tari yang lahirkemudian di lingkungan istana maupun bentuk-bentuktari yang lahir di luar istana tetapi mengacu pada gayaistana. Perumusannya menjadi begitu melekat denganpola-pola baku yang mendasari struktur dan bentukgerak yang berorientasi pada ciri-ciri kraton sentris(Wardhana, 1981: 36).

Tari Klana adalah salah satu bentuk tunggal putrayang terdapat di istana-istana Jawa, dalam hal iniKasultanan Yogyakarta, Kasunanan Surakarta,Mangkunegaran, dan Pura Pakualaman. Telahdiketahui bahwa, keempat kerajaan itu bermula darisatu sumber yaitu kerajaan Mataram. Karena adanyaintrik politik pada waktu penjajahan Belanda,Kerajaan Mataram terpecah menjadi empat. Empatistana tersebut semuanya mempunyai bentuk tariKlana. Bentuk tari Klana dari masing-masing istanamemiliki ciri sendiri-sendiri, baik pada gaya, kualitasgerak maupun pembentukannya (masing-masingistana memiliki gaya tari yang berlainan). KasultananYogyakarta disebut gaya Yogyakarta, KasunananSurakarta disebut gaya Surakarta, PuraMangkunegara dengan gaya Mangkunegaran, danPura Pakualaman dengan gaya Pakualaman.

Robert Redfield membedakan kebudayaan menjadidua, yaitu tradisi besar dan tradisi kecil. Ungkapanini untuk menyebut kebudayaan tinggi dan kebudayaanrendah, atau kebudayaan klasik dan rakyat. Tradisibesar secara sadar diolah dan diwariskan di dalamistana, sedangkan tradisi kecil sebagian besar diterimasebagaimana apa adanya dan tidak terlalu cermat

dipertimbangkan pembaharuannya. Kedua tradisi itusaling ketergantungan, tradisi besar dan kecildipikirkan sebagai dua aliran pikiran atau tindakanyang bisa dibedakan, namun saling mempengaruhipada yang lain (Robert Redfield, 1985: 57-59). TariKlana gaya Yogyakarta dapat dikatakan sebagairefleksi dari konsep di atas. Tari Klana memang lahirdi dalam istana, tetapi berkembang di luar tembokistana, dan mendapat perkembangan tari yang lainseperti tari tlèdhèk yang terdapat pada vokabulergerak tlèdhèkan pada irama tiga gendingpengiringnya.

Tari Klana Alus Sri Suwela gaya Yogyakarta yangdikenal sampai sekarang ini merupakan tipe tari putradengan karakter halus. Penyebutan yang demikianini, dapat dilihat dari volume gerak dan visualisasikarakternya. Soedarsono menjelaskan tentang seniKlana sebagai berikut:

“Komposisi tari putra tunggal, gaya Surakarta dangaya Yogyakarta yang menggambarkan seorangkesatria sedang jatuh cinta” (Soedarsono,1977: 93).

Mengacu pada pendapat tersebut, komposisi tari inipenuh dengan gerak yang menggambarkan seorangpria yang sedang berdandan, merayu kekasihnyayang seolah-olah berada di hadapannya dansebagainya. Tari ini dapat ditarikan dengan tipe tariputra halus atau gagah, dapat pula bertopeng atautidak memakai topeng. Dalam penjelasan yang terinci,Soedarsono menjelaskan tentang tipe Klana Alussebagai berikut:

“Jenis tari Klana Alus yang ditarikan dengan tipetari putra halus gaya Yogyakarta, menggambarkanseorang kesatria sabrangan (seberang) yangsedang jatuh cinta” (Soedarsono 1977-1978: 94).

Sesuai dengan pandangan di atas, maka visualisasitokoh pada tipe tari Klana Alus merupakanpenggambaran keagungan seorang raja atau kesatriadari negeri seberang yang bersumber pada ceritaepos Mahabarata. Figur raja adalah manifestasipenguasaan mayapada dan alam astral yang hadir.Sebutan Klana adalah tokoh besar pengelana yangdatang dari luar, yang dapat berkonotasi padamanusia, bercita-cita tinggi/kadang-kadangberasosiasi pada romantisme, suatu kegandrungan,yang tidak mesti bersifat erotis atau cenderung seks,melainkan pada idealisme yang estetis (Wardhana,1981: 36).

Page 7: JURNAL SENI BUDAYA - ISI DPS

MUDRA VOLUME 25 NO.1 JANUARI 2010: 172-184

186

Tari Klana Alus Sri Suwela bersumber pada wayangwong di Kraton Yogyakarta. Wayang wong secaraumum sebagai dramatari yang berarti pertunjukanwayang yang ditarikan oleh aktor manusia (Lindsay,1991: 897). Istilah wayang wong dari segi genre dapatmengacu pada semua dramatari, tetapi kini biasanyakhusus dramatari tanpa topeng yang bersumber dariwiracarita Ramayana dan Mahabarata, dengan dialogdi dalamnya dibawakan sendiri oleh para penari danmengikuti rancangan pertunjukan wayang kulit.Soedarsono menyebutkan bahwa wayang wongmerupakan sebuah genre tari yang dapatdikategorikan sebagai pertunjukan total (total theatre)yang di dalamnya tercakup seni tari, seni drama, senisastra, seni musik, dan seni rupa (Soedarsono,2003: 3).

Mengacu pandangan di atas, istilah wayang wongdapat ditunjukkan pada dua jenis wayang wong yangsampai sekarang hidup, yakni wayang wong hiburanyang komersial dan wayang wong KratonYogyakarta. Wayang hiburan yang komersial hidupdan berkembang di Surakarta seperti wayang wongSriwedari. Adapun wayang wong Kraton Yogyakartahidup dan berkembang di Kraton Yogyakarta dan dibeberapa organisasi tari atau sanggar tari besar dilingkungan Kraton Yogyakarta. Satu hal yangmemberi ciri perbedaan wayang wong KratonYogyakarta dengan wayang wong komersial adalah,segi formalitas penyajiannya, pada aspek tari, busana,skala pertunjukan, dan struktur dramatik yangmendekati pada pertunjukan wayang kulit (Lindsay,1991: 89). Sampai dengan pandangan ini, suatupengantar dari sebuah pertunjukan wayang wong diKraton Yogyakarta diharapkan mampu memperjelasterbentuknya tari Klana Alus Sri Suwela gayaYogyakarta.

Wayang wong gaya Yogyakarta diciptakan oleh SriSultan Hamengku Buwana I (1756 – 1796) danmengalami era keemasan pada masa pemerintahanSri Sultan Hamengku Buwana VIII (1921 – 1939).Pada masa pemerintahan Hamengku Buwana VIIIhampir setiap pertunjukan wayang wong memakanwaktu berhari-hari. Pertunjukan yangdiselenggarakan di Tratag Bangsal Kencana dari pagihari sampai sore hari. Salah satu pertunjukan wayangwong dengan durasi waktu agak panjang terjadi ditahun 1923, yakni mengetengahkan cerita JayaSemedi kemudian dilanjutkan dengan cerita Sri

Suwela. Pertunjukan ini memakan waktu empat hari,dari tanggal 3 sampai 6 September 1923 (Soedarsono,2000: 19). Cerita Sri Suwela merupakan ceritacarangan dari wiracarita Mahabarata. Cerita inimenggambarkan tentang Dewi Pertalawati, istriWerkudara yang mencari suaminya denganmenyamar sebagai seorang raja tampan dari negeriParangretna bernama Sri Suwela. Di dalampenyamarannya Sri Suwela ingin meminangWerkudara atau Bima, seorang kesatria gagahperkasa yang dianggap seorang putri sangat cantikdengan sebutan Mas Ayu Werkudara. Hal inimerupakan suatu yang tidak wajar, maka lamaranSri Suwela ditolak oleh raja Amarta Prabu Puntadewa.Terjadilah peperangan, para Pandawa tidak ada yangdapat mengalahkan Sri Suwela. Setelah melihatPrabu Kresna raja dari Dwarawati membawasenjata Cakra, Sri Suwela menjadi lemas dan akhirnyaberubah ke wujud aslinya yaitu Dewi Pertalawati.

Tari Klana Sri Suwela, bersumber pada wayangwong gaya Yogyakarta dengan lakon Sri Suwela.Dalam salah satu adegan jejeran wayang wong SriSuwela ini terdapat bentuk tari Klana Alus SriSuwela. Bentuk tarinya masih sangat lengkap, yangmemuat unsur-unsur kandha, pocapan, danngrungruman (Kagungan Dalem Serat KandhaRinggit Tiyang Lampahan Sri Suwela, 1923). Bentuktari Klana dalam adegan jejeran wayang wong itulahkemudian diambil dijadikan bentuk tari tunggal dengannama tari Klana Alus Sri Suwela. Setelah menjadibentuk tari tunggal ada perubahan-perubahan yangterjadi antara lain unsur-unsur kandha, pocapan,dan ngrungruman sudah tidak dikemukakan lagi.

Informasi tentang latar belakang terbentuknya tariKlana Alus gaya Yogyakarta menyebutkan bahwatokoh Sri Suwela merupakan sosok raja besar yangmengilhami karakter tari Klana Alus gayaYogyakarta. Di samping itu, bentuk-bentuk kandha,pocapan, dan ngrungruman yang sudah tidakdiketemukan pada bentuk tari Klana Alus sekarang,lebih merupakan penerjemahan yang digantikan dalambentuk simbol gerak. Komposisi gerak (sekaran)akan dapat membuktikan kesejajaran pada bentuktari Klana Alus Sri Suwela mampu mempengaruhibentuk tari Klana Alus gaya Yogyakarta dewasa ini(Wardhana, 1981: 79).

Page 8: JURNAL SENI BUDAYA - ISI DPS

Penerapan Konsep Joged Mataran... (Supriyanto)

187

Berkenaan dengan cerita (lakon) Sri Suwela dalamwayang wong di Kraton Yogyakarta, maka kehadirantokoh Sri Suwela dalam pertunjukan wayang wongmempunyai keistimewaan tertentu. Seorang yangakan memerankan tokoh Sri Suwela harus menguasaiteknik gerak tari putra halus dan tari putri. Selain itukarakternya sebagai seorang raja yang agung tetapimemiliki sifat keputri-putrian. Peneliti sangat tergodauntuk mengkaji lebih jauh tentang Klana Alus SriSuwela hubungannya dengan wayang wongYogyakarta dan sebagai tari tunggal. Hal yang pentingmendasari pemahaman peneliti adalah melihat prosesidentifikasi diri Dewi Pertalawati sebagai tokoh SriSuwela raja seberang dari negeri Parangretna dalamsajian pertunjukan wayang orang di kratonYogyakarta, telah mengalami perubahan-perubahandalam proses perilaku sebagai tari tunggal, termasukpemerannya.

KONSEP JOGED MATARAM

Tari adalah suatu bentuk pernyataan imajinatif yangtertuang melalui kesatuan simbol-simbol gerak, ruang,dan waktu (Pudjasworo, 1982: 61). Tari dalamperwujudannya senantiasa harus dihayati sebagaibentuk kemanunggalan dari suatu pola imajinatifgerak, ruang, dan waktu yang dapat dilihat dengankasat mata. Bentuk kemanunggalan antara polaimajinatif dengan pola kasat mata itu dapat dikatakanbahwa tari merupakan suatu bentuk pernyataanekspresi (jiwani), bentuk pernyataan ilusi, dansekaligus merupakan bentuk pernyataan rasionalmanusia. Gerak, ruang, dan waktu dihadirkan sebagaisebuah satu kesatuan yang utuh yang mewakilinya.

Konsep dasar dalam tari secara universal adalahgerak, ruang, dan waktu. Tari Jawa gaya Yogyakartajuga mempunyai konsep dasar yang relatif universalpula. Perlu diungkapkan pernyataan salah satu tokohtari gaya Yogyakarta, yakni B.P.H. Suryodiningrat.Dalam salah satu uraiannya dinyatakan:

Ingkang dipoen wastani djogèt punika ébahingsadaja sarandoening badan, kasarenganoengeling gangsa, katata pikantoekwiramaning gendhing, djoemboehing pasemoen,kaliyan pikadjenging djogèt.

(Yang dimaksud tari adalah gerak seluruh anggotabadan, yang diiringi dengan musik (gamelan)dikoordinasikan menurut irama gamelan,kesesuaian dengan sifat pembawaan tari sertamaksud tarinya (Suryodiningrat, 1934: 3).

Menurut batasan tari di atas, maka secarakonsepsional yang dimaksud tari (tari Jawa),senantiasa harus berpijak pada tiga aspek pokok ialahwiraga, wirama, dan wirasa. Wiraga adalah konsepgerak, wirama merupakan konsep irama, dan wirasaadalah konsep penjiwaan. Konsep wiraga, wirama,dan wirasa (3 w) masih terdapat lagi konsep yanglebih berupa aturan-aturan dan kaidah yangterangkum dalam pathokan baku dan pathokan tidakbaku.

WiragaWiraga adalah seluruh aspek gerak tari, baik berupasikap gerak, pengulangan tenaga serta proses gerakyang dilakukan penari, maupun seluruh kesatuanunsur dan motif gerak (ragam gerak) tari yangterdapat di dalam suatu tari. Wiraga merupakankonsep gerak dalam tari gaya Yogyakarta. Konsepwiraga ini ada beberapa kaidah atau aturan yangharus betul-betul dipatuhi oleh penari dalammelakukan gerak tari. Hal ini dikarenakan di dalamtari gaya Yogyakarta ada faham benar dan salah yangdiukur dengan kemampuan penari dalam menerapkankaidah-kaidah atau aturan-aturan yang ada. Hal inibertolak belakang dengan sisi batinnya tari gayaYogyakarta, karena faham yang ada adalah sudahmampu dan belum mampu atau sudah bisa dan belumbisa.

Keindahan dari sebuah tari hanya dapat dipandangketika tari itu ditarikan atau saat tarian itu berlangsunglewat penarinya. Keindahan itu dapat dipandang daridua aspek yang saling terkait yaitu pelaku atau penaridengan desain geraknya. Keindahan dari seorangpenari dapat dikatakan indah apabila seorang penarisecara optimal telah mampu menerapkan kaidah-kaidah atau aturan-aturan yang ada. Kaidah-kaidahyang ada merupakan landasan utama dalam tekniktari gaya Yogyakarta. Kaidah-kaidah atau aturan-aturan dalam tari klasik gaya Yogyakarta dapatdikelompokkan menjadi dua, yaitu kaidah baku ataupathokan baku dan kaidah tidak baku atau pathokantidak baku yang nanti akan dijelaskan secara rinci dibagian berikutnya.

Wiraga dalam tari Klana Alus Sri Suwela gayaYogyakarta pada prinsipnya tetap mengacu padaaturan atau pathokan tari putra alus gayaYogyakarta. Pelaksanaannya dalam sebuah tariKlana dapat dibedakan menjadi 3 bagian. Bagian

Page 9: JURNAL SENI BUDAYA - ISI DPS

MUDRA VOLUME 25 NO.1 JANUARI 2010: 172-184

188

pertama maju gendhing merupakan bagian yangmemiliki kesan agung, dan berwibawa. Wiraga yangdimaksud pada bagian ini ialah ragam gerak tari yangdipakai penuh dengan kekuatan, ketegasan, dankedinamisan. Di bagaian kedua pada muryanibusana memiliki kesan prenèsan, sengsem,keceriaan, kegembiraan, dan percaya diri. Wiragadi bagian ini apabila dikaitkan dengan ragam geraktari penuh dengan daya pikat atau daya tarikkelembutan, penuh tekanan, keluwesan, kelenturan,dan kedinamisan. Oleh sebab itu dalam sekaranmuryani busana banyak wiraga tari putri gayaYogyakarta dipakai dalam tari Klana Alus Sri Suwela.Contoh nglèrèg, kicat ridhong, usap suryan, kicatulap-ulap, kicat tawing, kengser, lèmbèhan asta,dan lain-lain. Wiraga tari putri tersebut telahmengalami distorsi dan stilisasi sehingga diterapkandi dalam tari putra alus tetap kelihatan wiraga tariputra alus. Penerapatan wiraga tari putri dalammuryani busana merupakan pengaruh tari Tledhekdari tradisi kerakyatan. Berbagai ragam tari putri yangditerapkan dalam tari Klana Alus Sri Suwela ialahnglèrèk, srimpet nglawé, lampah sekar, lèmbèhankicat, kicat ridhong, ulap-ulap kicat, ukel tawingkicat, usap suryan kicat, pacak gulu trap tawingdan lain-lain. Oleh karena itu penari Klana Alus SriSuwela yang baik harus menguasai wiraga tari putraalus dan wiraga tari putri gaya Yogyakarta.

WiramaWirama di sini menyangkut pengertian tentang iramagending, irama gerak, dan ritme gerak. Seluruh gerak(wiraga) harus senantiasa dilakukan selaras denganwiramanya (ketukan-ketukan hitungan tarinya,kecepatan pukulan balungan suatu gending, dansuasana gendingnya). Unsur wirama ini selanjutnyaakan mengatur irama yang harus dimiliki oleh seorangpenari.

Tari Klana Alus Sri Suwela menggunakan musikgendhing ladrang Sumyar laras pelog pathetbarang. Untuk menumbuhkan kesan agung danberwibawa menggunakan irama dua yang satugongnya apabila dikaitkan dengan hitungan tari adatigapuluh tiga hitungan. Irama ini digunakan pada saatmaju gendhing dan mundur gendhing. Pada waktumuryani busana yang menunjukkan kegembiraandigunakan irama satu atau lancar apabila dikaitkandengan hitungan tari satu gongnya ada 16 hitungan.Ada tiga aspek kepekaan dalam wirama yaitu:

a). Kepekaan irama gendingGending dalam konteks sebagai musik tarimerupakan unsur yang sangat penting dancenderung mendominasi. Gending sangatberpengaruh sekali dalam pembangun pembentukkarakter tari. Penari harus mempunyai kepekaandan ketajaman untuk dapat selaras dengan iramagending sebagai musik tarinya. Penari harusdapat mengikuti dinamika yang dihasilkan olehgending pengiringnya. Ada beberapa bagian padagending yang harus diketahui oleh seorang penari,pada bagian ini biasanya sebagai pathokan untukdimulai dan diakhirinya sebuah motif gerak. Titik-titik tekanan itu adalah kenong, kempul, kethukdan gong. Hitungan merupakan kelipatan empatatau delapan. Sesuai dengan tradisi tari dalamtari Jawa baik gaya Yogyakarta maupun gayaSurakarta. Untuk memudahkan hitungan gendingkaitannya dengan hitungan gerak tari makadigunakan ketentuan hitungan satu sampaidelapan (1-8).

b). Kepekaan irama dalam hubungannya dengangerak, yaitu ketajaman rasa untuk dapatmengorganisasi anggota tubuh dengan tempo,seperti yang dihasilkan oleh musik. Keteraturandalam bergerak akan menghasilkan kesan gerakyang mengalir (mbanyu mili). Seorang penariharus terlebih dulu menguasai irama gerak yangdisesuaikan dengan tempo yang ditimbulkan olehgending pengiringnya.

c). Kepekaan terhadap irama hubungannya dengankemampuan penari mengorganisasikan tubuhnya,untuk digerakkan sesuai dengan kaidah-kaidahdan motif gerak yang ada. Kepekaan ini menuntutadanya ketajaman rasa dalam mengambil jarakantara anggota tubuh. Kaidah-kaidah yang ada,dimaksudkan untuk mendapatkan suatupertunjukan tari yang dibawakan penarinyadengan kesan pantes, luwes, resik, mungguh,dan mrabu.

Pantes adalah serasi, sesuai dengan proposi. Adadua kriteria untuk dapat disebut pantes dalamtari putra halus gaya Yogyakarta. Pertama,pantes dalam tari putra halus gaya Yogyakartasangat terkait dengan kemampuan penari. Terkaitdengan adanya istilah pantes dan sebagainya dikeraton Yogyakarta terdapat istilah penari

Page 10: JURNAL SENI BUDAYA - ISI DPS

Penerapan Konsep Joged Mataran... (Supriyanto)

189

wiraga dadi. Istilah itu untuk menyebut penariyang dianggap terampil. Pada tingkatan ini penaridiberi kebebasan untuk menyimpang daripathokan-pathokan baku gaya Yogyakartauntuk kemudian disesuaikan denganinterpretasinya. Hal ini dilakukan oleh seorangpenari untuk mendapatkan kesan pantes. Kedua,pantes dikaitkan dengan karakter yangdiperankan atau dibawakan. Perwatakan tarigaya Yogyakarta dikenal dengan istilah wanda,yang diambil dari peristilahan wayang kulit, yangberarti bentuk raut muka dan bentuk tubuh yangmenggambarkan perwatakan/karakter tertentu.Kaitannya dengan pantes adalah pemerananpenari berdasarkan kesesuaian bentuk tubuh dankarakter penari dengan wanda peran yang akandibawakan. Ketrampilan menjadi kurang pentingkarena yang dipentingkan adalah kesesuaianbentuk tubuh dengan raut muka penari denganwanda wayang yang akan dibawakan.

Luwes adalah suatu sifat pembawaan yang tidakmudah diajarkan. Penari dapat dikatakan luwesapabila dalam menari ia nampak wajar, tidak kaku,geraknya enak dilihat, lancar, mengalir sesuaidengan irama gamelan, tidak ada kesandipaksakan, geraknya serius dan sungguh-sungguh tetapi tidak kelihatan tegang.

Resik adalah bisa diartikan bersih. Untukmendapatkan kesan bersih, seorang penari harusselalu mengontrol dengan cermat pada setiapgeraknya. Gerakan harus dilakukan dengan rinci,dan cermat serta mengetahui kaidah-kaidah yangberlaku, hasil ini bisa didapatkan bila seorangpenari sudah mengetahui teknik tari dengan baikdan mempunyai kepekaan akan rasa gending,irama dan gerak yang telah dijelaskansebelumnya.

Mungguh adalah kesan yang didapatkan dariseorang penari yang membawakan tariannya(perannya) dengan penuh penghayatan. Bagipenari yang sudah tidak berfikir tentang tekniktari atau hafalan, maka penari akan dapat lebihkonsentrasi pada penghayatan karakter geraknyadan pada giliranya dapat meningkatkan rasapercaya diri. Mungguh juga dapat berarti penaridapat dengan tepat dan cermat membawakanperannya atau tariannya.

Mrabu adalah kesan berwibawa, agung, danberkarisma. Kesan seperti itu sifatnya agakkhusus, karena tidak semua peran dapatmengisyaratkan kesan ini. Kesan ini hanya dapatdiperoleh dari peran/tokoh yang relatif baik,misalnya seorang raja, seperti tari Klana Alus SriSuwela gaya Yogyakarta yang mengisahkanseorang Raja Parang Retna yang sedang jatuhcinta. Banyaknya tuntutan dalam aspek teknikdan penjiwaan dalam tari klasik gaya Yogyakarta,untuk dapat tampil dengan sempurna dalamsebuah pertunjukan dibutuhkan seorang penariyang mempunyai kemampuan teknik danpenguasaan karakter yang baik.

WirasaWirasa adalah hal lain banyak bersangkut pautdengan masalah isi dari suatu tari. Masalah isi selalubanyak berhubungan dengan pengertian-pengertianyang terdapat dalam jogèd Mataram untuk tari gayaYogyakarta dan Hasta Sawanda untuk tari gayaSurakarta. Pada dasarnya penerapan wiraga danwirama tarinya harus selalu mengingat akan arti,maksud, dan tujuan dari tarian tersebut, sehinggaseorang penari akan tampil dengan penjiwaan secarautuh yang sawiji, greged, sengguh, dan oramingkuh.

Wirasa merupakan aspek penjiwaan dalam tarigaya Yogyakarta. Aspek penjiwaan ini tidak terlepasdari wiraga, wirama, wirasa yang nantinya akanterakumulasikan menjadi satu konsep yang disebutjogèd Mataram yang terdiri dari sawiji, greged,sengguh, dan ora mingkuh. Semula konsep jogèdMataram disampaikan secara lisan oleh guru tariketika mengajarkan tari. Konsep jogèd Matarammulai tersebar kepada masyarakat para penarisemenjak tari gaya Yogyakarta dapat keluar daritembok istana, yaitu semenjak berdirinya organisasitari Kridha Beksa Wirama (K.B.W.) pada tahun 1918.Konsep jogèd Mataram ini dipopulerkan olehG.B.P.H. Soeryobronto, seorang pangeran dan penariandal Keraton Yogyakarta. Konsep jogèd Mataramsekarang telah sangat memasyarakat di komunitastari. Sungguhpun, pada awalnya konsep inimerupakan sesuatu yang rahasia, yang tidak bolehdiajarkan kepada sembarang orang dan hanya yangboleh diajarkan kepada penari yang telah dipandangoleh guru menguasai tentang seni kebatinan. Hal initersurat dalam tembang sinom yang terdapat dalamBabad Prayud, sebagai berikut:

Page 11: JURNAL SENI BUDAYA - ISI DPS

MUDRA VOLUME 25 NO.1 JANUARI 2010: 172-184

190

Sangat sukar tari mataram,Sultan tersenyum bersabda,Ya sama dengan saya,Bersama keluar sultan dan Tirtakusuma).

Cuplikan tembang sinom di atas tersirat bahwa, jogèdMataram adalah sesuatu yang rahasia, yang tidakboleh diketahui atau diajarkan kepada sembarangorang. Konsep ini menjadi sesuatu yang sangatdirahasiakan sampai kurang lebih tahun 1918,bersamaan berdirinya suatu organisasi tari di luarkeraton. Seperti diungkapkan oleh G.B.P.H.Soeryobrongto bahwa jogèd Mataram adalahkewajiban atau seni penjiwaan dari tari klasik gayaYogyakarta (Soeryobrongto, 1981:88). Konsep jogèdMataram sering juga disebut ilmu jogèd Mataramyang diciptakan oleh Sri Sultan H.B I (1755-1792).Pada waktu itu tidak semua guru mengetahuimengenai konsep jogèd Mataram, sehingga tidakmengherankan apabila banyak murid tidakmengetahuinya. Namun demikian murid yang betul-betul memiliki bakat dan sudah memperolehkematangan lahir batin, oleh guru yang terpercayadapat diperkenankan mendalami ilmu jogèdMataram.

Ilmu jogèd Mataram terdiri dari 4 (empat) unsuryaitu: sawiji, greged, sengguh, dan ora mingkuhdengan penjelasan sebagai berikut:

a). SawijiSawiji adalah suatu konsentrasi penuh atau totaldari seorang penari di atas pentas, akan tetapikonsentrasi tersebut tidak sampai menimbulkanketegangan jiwa. Konsentrasi adalah suatukemampuan seseorang penari untukmengerahkan semua kekuatan pikiran pada suatusasaran yang jelas. Penari harus dapat ataumampu mentransformasikan dirinya pada suatuperan yang harus dibawakan atau dijalani.Konsentrasi penari tidak terikat oleh perasaan-perasaan yang aktual. Penari bebas darikesadaran objektif yang aktual atau praktikperbuatan sehari-hari. Penari tidak meng-ekspresikan dirinya, tetapi mengkomunikasikanbentuk-bentuk perasaan melalui penyajiansimbolis. Konsentrasi total bukan berarti penarimenjadi tidak sadarkan diri, namun peleburanseorang penari dengan karakter tari yang harusdibawakan.

Jeng sultan malih ngendika,Kulup Tirtakusumèki,Iku beksanmu madura,Iya kurang sereng kedhik,Beksanira mentawis,Apa wis duwe sirèku,Nembah Tirtakusuma,Inggih putra padukaji,Ingkang mulang leres lepatipun kilap,

Jeng sultan tindak saksana,Kulup mèluwa mami,Tumut manjing prabayasa,Mangalèring jamban prapti,Payu lekasa kedhik,Nembang sigra beksanipun,Lagyantuk tigang gongan,Ya uwis iku nak mami,Isih wutuh iya beksanmu mataram,

Aja murukaken sira,Ing beksa mataram iki,Tur sembah Tirtakusuma,Putra dalem Sri Bupati,Kados paduka meling,Arungit mèsem ngendika,Iya pada lawan mami,Sareng mijil Sultan lan Tirtakusuma (Soedarsono,2000:109).

(Sri Sultan bersabda,Putraku Tirtakusuma,Itu tarimu madura,Ia kurang galak sedikit,Tarimu mataram,Apa telah kau miliki,Menjawab Tirtakusuma,Ya putra baginda raja,Yang mengajak hamba tidak tahu benar tidaknya,

Sri sultan berjalan cepat,Putraku ikutilah saya,Ikut masuk ke prabayasa,Ke utara smapai ke permandian,Marilah cepat sedikit,Menyanyi segera menari,Baru dapat tiga gongan,Ya sudahlah itu putraku,Masih utuh tarianmu mataram.

Janganlah kau mengajarkan,Tirtakusuma ini,Bersembahlah Tirtakusuma,Putranda Sri Bupati,Seperti yang paduka katakan,

Page 12: JURNAL SENI BUDAYA - ISI DPS

Penerapan Konsep Joged Mataran... (Supriyanto)

191

Sawiji dalam tari Klana Alus Sri Suweladimengerti bahwa penari sudah tidak memikirkantentang hafalan maupun yang lain. Pikiran danperasaan sudah memahami apa yang harusdilakukan dan apa saja yang akan dilakukanpenari di atas pentas. Mulai penari berjalan masukarena pentas, maka bukan dirinya lagi tetapi peranapa yang dibawakan. Semuanya itu dari dalamjiwa mengalir, apalagi dengan adanya bunyiinstrumen atau musik, maka kepekaan penariterhadap peran yang dibawakan akan semakinmeningkat.

b). GregedGreged adalah suatu semangat yang membarayang ada pada jiwa seorang penari di atas pentas.Semangat yang dikerahkan itu tidak bolehdilepaskan begitu saja, tetapi harus ditekan ataudiarahkan pada suatu yang normal atau wajar.Semangat seorang penari harus dikendalikan, yangpada gilirannya tidak akan berkesan ataukelihatan kasar. Greged merupakan pembawaandari seorang penari. Unsur ini tidak dapatdiajarkan/dilatih oleh orang lain atau guru. Guruyang baik harus dapat mengetahui bila muridmemiliki greged atau tidak. Apabila seorangpenari mempunyai greged, maka guru tinggalmengarahkan ke arah yang benar. Penari yangbaik harus memiliki greged, apabila ia tidakmemiliki greged akan mengalami kesulitan dalammenyalurkan dinamika dalam diri karakter tariyang dibawakan. Penari yang memiliki gregedyang baik, walaupun dalam keadaan sikap diamtelah menimbulkan kesan adanya gerak di dalamjiwa dan karakter yang dibawakan(Soeryobrongto, 1981: 91).

Greged dalam tari Klana Alus Sri Suwela agakdikurangi terutama pada waktu sekaran muryanibusana. Greged di dalam muryani busanamemiliki rasa prenèsan, tetapi masih di dalambatas aturan-aturan tari putra alus yang berlaku.Penonjolan pada waktu melakukan sekaranmuryani busana adalah tekanan-tekanan atauaksi-aksi agar memiliki daya tarik atau daya pikatterhadap apa yang dilakukan penari Klana SriSuwela.

c). SengguhSengguh adalah percaya pada diri sendiri yangtidak mengarah pada kesombongan penari di atas

pentas. Percaya diri sendiri sangat penting bagiseorang penari. Penari yang telah tampil di ataspentas, harus percaya dengan sepenuh hatibahwa apa yang ditampilkan atau ditarikan adalahbaik, dan orang lain atau penonton dapatmenikmati dengan baik juga. Jadi seorang penariharus menjadi satu kesatuan dengan tarinya.Seorang penari tampil di atas pentas bukansebagai dirinya sendiri, tetapi ia membawakanmisi untuk menyampaikan sesuatu kepadapenonton atau penikmatnya. Sikap semacam iniharus diyakini, sehingga ia memiliki kepercayaanpada diri penari. Kepercayaan ini dapatmenimbulkan sikap yang meyakinkan, pasti, dantidak ragu-ragu dalam bahasa Jawa mbedhedheg(perasaan yang meluap-luap tetapi terkendali)(Soeryobrongto, 1981: 92).

Sengguh dalam pembawaan tari Klana Alus SriSuwela adalah merasa mampu, merasa tampan,merasa gumagus, merasa lebih dari yang lain ataudirinya tak ada yang menyamai. Ada rasa sedikitkongas, tetapi semua itu tetap terkendali sehinggaantara gerak yang dilakukan dengan rasa gerakdari dalam diri penari akan mengalir sejalandengan nalurinya.

d). Ora MingkuhOra mingkuh adalah pantang mundur atau tidaktakut menghadapi kesukaran-kesukaran. Penariharus memiliki keberanian dalam menghadapi apasaja waktu pentas. Penari harus menepati janjiatau kesanggupan dengan penuh tanggung jawab.Suatu keteguhan hati dalam menarikan suatutarian atau memainkan suatu peran. Keteguhanhati dapat berarti kesetiaan dan keberanian untukmenghadapi situasi apa saja dengan suatupengorbanan penuh. Suatu contoh apabilaseorang penari telah menyanggupi untuk menari,maka walaupun ia dalam keadaan sakit apabilamasih dapat menari, ia harus melakukan denganpenuh tanggung jawab. Ora mingkuh diriseorang penari meskipun dalam perjalanan untukmenuju tujuan yang luhur banyak menghadapirintangan-rintangan, akan tetapi seorang penaritidak akan mundur setapakpun.

Ora mingkuh dalam pembawaan tari Klana AlusSri Suwela penari di atas pentas tanpa pantangmundur dalam menghadapi segala rintangan,tantangan, kesulitan demi tercapainya cita-cita

Page 13: JURNAL SENI BUDAYA - ISI DPS

MUDRA VOLUME 25 NO.1 JANUARI 2010: 172-184

192

yang diinginkan. Dalam cerita ini digambarkanuntuk mencapai tujuan Sri Suwela harusmengembara dan pantang menyerah menghadapisegala musuhnya.

Dasar Pathokan Baku atau Tidak BakuTari gaya Yogyakarta ada dua pathokan atau aturanyang harus ditaati oleh seorang penari dalammelakukan sebuah tarian. Pathokan itu adalahpathokan baku dan pathokan tidak baku.

1. Pathokan bakuPathokan baku adalah suatu aturan tari gayaYogyakarta yang mutlak harus ditaati (dilakukan) bagiseorang penari, baik putra maupun putri yang inginmencapai tingkat optimal dalam seni tarinya. Berikutini akan dikemukakan penjelasan terperinci mengenaipathokan baku.a. Sikap badan (deg)

Sikap badan penari ketika menari harus selalukelihatan baik apabila dipandang dari segala arah.Badan penari harus selalu tegap (ndegèg). Sikaptegap yang dimaksud adalah tulang belakang(columna vertebrae) berdiri tegak, tulang belikat(scapula) datar (rata), bahu (humeri) membuka,tulang rusuk (costae) diangkat, dada (thorax)dibusungkan, dan perut (abdomen) dikempiskan.Langkah yang harus diambil oleh seorang penariuntuk mendapatkan sikap dan gerak badan sepertidi atas adalah dengan jalan menarik napaspanjang sampai badan dalam posisi seperti yangdimaksud, kemudian napas dikembalikan, akantetapi tidak boleh mengubah posisi sikap badan.Selanjutnya seorang penari bernafas seperti biasa.Sikap badan semacam ini harus dipertahankanselama menari, walaupun penari di atas pentasdalam keadaan diam, tidak bergerak. Sikap badanseperti itu harus dilakukan dari awal masukpentas sampai selesai menari dan meninggalkantempat pentas.

b. Sikap dan gerak kakiBagian kaki (metatarsus) penari ini dapat dibagimenjadi dua bagian yaitu bagian tungkai atas(femur) dan jari-jari kaki (phalanges). Posisikaki dengan ketentuan yaitu 1) pupu mlumah/tungkai atas (femur) terentang, 2) dhengkulmegar/lutut (patella) membuka, 3) sukumalang/ kaki (metatarsus) melintang dan 4) drijinylekenthing/jari-jari kaki (phalanges) diangkatke atas.

c. MendhakMendhak adalah posisi tungkai (femur danpatella) yang merendah dengan tekukan lutut(patella). Tekukan lutut (patella) ini dilakukandalam keadaan tungkai atas (femur) terbuka.Mendhak yang mapan memungkinkan gerakantungkai (femur, patella, tibia, fibula, ossatarsalia, ossa metatarsalia, dan phalanges)lebih hidup sehingga tarinya kelihatan ébrah(besar). Ruang geraknya menjadi luas atau dapatdikatakan mengisi ruang. Posisi mendhakwalaupun yang merendah tungkai atas (femurdan patella), namun sebenarnya kekuatan atautekanan gerak terletak pada cethik (pelvis), jaditekukan lutut (patella) sebagai akibat cethik(pelvis) ditekan ke bawah. Tidak ada ukuranyang pasti seberapa rendah tekukan femur danpatella itu, namun yang jelas tidak terlalu rendahsekali dan tidak terlalu kelihatan tidak merendah.Ukuran untuk mendhak setiap penari berbeda-beda tergantung pada tinggi rendahnya tubuhpenari, akan tetapi sikap mendhak itu kelihatanluwes dan tanpa mengganggu dalam melakukangerak. Posisi mendhak lutut (patella) harus tetapterbuka. Posisi mendhak demikian itu gerak akanlebih nampak kuat. Apabila penari tidak mendhakintensitas gerakan akan kosong dan akan kelihatanlemah. Namun demikian apabila penari terlalumendhak akan menghasilkan tari yang nampakdipaksakan (ngaya) dan membuang tenaga.Mendhak harus dilakukan tidak kendor, tetapijuga tidak tegang. Jadi mendhak yang benaradalah mendhak cethik (pelvis) yaitu merendahsehingga memusatkan gerak pada cethik (pelvis)bukan pada tekukan lututnya (patella).

d. Sikap tanganLebar tangan (jarak tangan dengan badan) untuktari putra berbeda dengan tari putri. Untuk tariputra masih dibedakan lagi putra halus dan putragagah. Untuk tari putra halus jarak tangan denganbadan kurang lebih satu pethènthèngan .Mengukurnya dengan cara menempelkan keduatelapak tangan (ossa metacarpalia) padapinggang. Ukuran lebar tangan (humerus, ulna-radius, carpalia, metacarpalia, ossametacarpalia, dan phalanges) ini dipakai semuastandar tari halus apapun. Bentuk tangan(humerus, ulna-radius, carpalia,metacarpalia, ossa metacarpalia, dan

Page 14: JURNAL SENI BUDAYA - ISI DPS

Penerapan Konsep Joged Mataran... (Supriyanto)

193

phalanges) apabila menekuk adalah siku-sikudengan pusat atau tekanan pada pergelangantangan (capalia). Gerak tangan selalu dipusatkanpada pergelangan tangan (carpalia) sedangkanlengan (humerus, ulna-radius) hanyalahmengikuti. Pemusatan gerak tangan (humerus,ulna-radius, carpalia, metacarpalia, ossametacarpalia, dan phalanges) pada pergelangantangan (carpalia) ini dimaksudkan agar posisitangan dan siku dapat stabil tidak mengembangmaupun menguncup (megar-mingkup).

e. Pacak gulu/gerak leher (cervical vertebrae)Gerak leher (cervical vertebrae) dipusatkanpada tekukan (coklèkan) jiling (cervic), yaitupersendian kepala (cranium) dengan leher(cervical vertebrae) baik untuk tolehan maupunpacak gulu. Gerak demikian itu adalah tidakDalam gaya Yogyakarta terdapat empat (4)macam pacak gulu yaitu 1) Pacak gulu baku(pokok) kanan dan kiri (dexter-sinester),2) Tolèhan kanan dan kiri (dexter-sinester),3) Coklèkan kanan dan kiri (dexter-sinester)dan 4) Gedheg khusus untuk tari putra gagahkanan dan kiri (dexter-sinester).

f. Gerak cethik (pelvis)Cethik atau pangkal tungkai atas (pelvis)merupakan bagian yang sangat penting dalamgerak tubuh penari baik ke arah samping maupunke bawah atau mendhak. Gerak tubuh kesamping baik ke kanan maupun ke kiri (dexter-sinester) yang benar dalam tari gaya Yogyakartaharus dilakukan dengan pemusatan gerak padapangkal tungkai atas atau cethik (pelvis).

g. Pandangan mata (pandengan)Pandangan mata dalam tari gaya Yogyakartadengan ketentuan kelopak mata terbuka, bolamata lurus ke depan menurut arah hadap muka,dan pandangan tajam, dengan jarak kurang lebih3 kali tinggi badan. Mata seorang penari tidakboleh berkedip-kedip karena akan kelihatanrongeh dan kurang konsentrasi.

2. Pathokan tidak bakuPathokan-pathokan baku merupakan pegangandasar penari pada umumnya yang memiliki keadaanfisik normal atau wajar, serasi, dan bagus. Seringterjadi ada seorang penari yang memiliki beberapakekurangan dalam fisiknya. Para penari yang memiliki

kekurangan-kekurangan fisik, mereka harusmenggunakan pathokan tidak baku atau khusus untukmenutupi kekurangan-kekurangan tersebut.Pathokan tidak baku ini bukan merupakan peganganyang dapat dijalankan oleh setiap orang atau penari.Pathokan ini sering disebut pathokan khusus ataupathokan tidak baku atau juga sering disebutpathokan penyesuaian diri.

a. LuwesLuwes merupakan sifat pembawaan dari seorangpenari. Penari dikatakan luwes apabila kelihatanwajar dan tidak kaku dalam membawakantariannya. Gerak yang dilakukan tampak lancar,mengalir sesuai dengan irama yang digunakandan enak dinikmati, tak ada kesan dipaksakan,geraknya serius dan sungguh-sungguh tetapi tidakkelihatan tegang (kenceng nanging orangecenceng).

b. PatutPatut adalah serasi dan sesuai. Mengingatadanya kekurangan-kekurangan fisik penaridiperbolehkan melakukan gerak yang sedikit agakmenyimpang dari pathokan ragam tarinya,menurut selera dan interpretasinya sendiri.Penyimpangan itu diperbolehkan asal guru tariyang bertanggung jawab sudah menilainya patut.Kepatutan ini di dalam wayang wong KratonYogyakarta erat sekali hubungannya dengan“wanda” seorang penari. Wanda adalah rautmuka yang menggambarkan perwatakan/karakter.

c. ResikResik dalam tari dapat diartikan bersih ataucermat dalam melakukan gerak. Penari dapatdikatakan bersih apabila dapat menguasai tigamacam kepekaan irama, yaitu kepekaan iramagending, kepekaan irama gerak, dan kepekaanirama jarak. Kepekaan penari terhadap irama iniakan selalu memperhitungkan ketepatan geraktarinya. Gerakan harus dilakukan dengan cermatdengan mematuhi keharusan-keharusan yangberlaku. Hal ini dapat dilaksanakan apabila penaritelah menguasai teknik tari dengan baik.Kecermatan ini merupakan perwujudan tari yangtidak berlebihan tetapi juga tidak kurang, sehinggadilakukan dengan tepat dan cermat.

Page 15: JURNAL SENI BUDAYA - ISI DPS

MUDRA VOLUME 25 NO.1 JANUARI 2010: 172-184

194

SISTEM PENGUASAAN TEKNIK TARI

Penguasaan teknik bagi para penari pada masalampau dapat ditempuh melalui tiga sistem, yaitu: 1)sistem menirukan; 2) sistem bimbingan guru; 3)sistem mandiri. Ketiga sistem tersebut merupakancara untuk belajar menari sampai kini.

Penguasaan teknik menirukan. Sistem ini merupakanlatihan tahap elementer/dasar, biasanya sering disebuttayungan. Dengan tayungan penari bisa menirukanpenari lain yang ada di depan maupun disampingnya.

Sistem bimbingan guru. Sistem ini lebih menekankanadanya bimbingan yang cermat dan rinci, meliputikemantapan pembentukan sikap (deg); penggalan-penggalan gerak yang benar menurut aturan, danpeningkatan penghayatan karakter gerak melaluipenggalan-penggalan gerak menuju keutuhan.

Sistem mandiri. Hasrat untuk selalu meningkatkankemampuan teknik secara mandiri para penariumumnya sangat kuat. Hal ini adanya pengakuan paranara sumber yang tergolong wayang sabet.

Dasar Pola Baku Gerak TariMenurut G.B.P.H. Soeryobronto, ragam tari putragaya Yogyakarta dibagi menjadi empat, yaitu1. Impur: untuk karakter putra halus,

menggambarkan watak, sederhana, tidak banyaktingkah dan percaya diri.

2. Kambeng: untuk karakter putra gagah berwatakjujur, sederhana, tidak banyak tingkah danpercaya diri.

3. Kalang kinantang: untuk karakter putra alusdan gagah, yang memiliki watak keras, banyaktingkah, agak sombong, angkuh, dan dinamis.

4. Bapang: untuk karakter putra gagah yangberwatak kasar, sombong, banyak tingkah, dankasar tingkah lakunya (Soeryobrongto, 1981:83-88).

Keempat ragam pokok tersebut masih memiliki variasilebih rumit lagi yang berkembang menjadi dua puluhsatu ragam tari pada masa pemerintahan HB VIII.

Dasar Pola Irama dan Ritme Gerak TariAda empat pola pokok irama yang sering digunakandalam tari Jawa, yaitu1) Ganggeng kanyut, adalah irama gerak yang

diterapkan untuk tari Bedaya, tari Srimpi, dan tari

Luruh alus gaya Surakata. Dalam hal ini, makaakhir dari setiap bentuk motif gerak tarinyasecara prinsip harus dilakukan dengan sedikitmembelakangi sabetan (pukulan) balungan padaakhir gatra dari suatu gending.

2) Prenjak Tinaji, adalah irama gerak yangditerapkan pada tari alus lanyapan gayaSurakarta. Irama gerak Prenjak Tinaji ini, setiapakhir dari suatu bentuk motif gerak tari harusdilakukan tepat pada sabetan (pukulan) balunganpada akhir gatra dari suatu gending pengiringnya.

3) Banyak Slulup, adalah irama gerak yangditerapkan pada tari gagah dugangan gayaSurakarta. Penggunaan irama gerak ini dalam tari,yaitu setiap akhir dari suatu motif gerak tarinyaharus dilakukan dengan sedikit mendahului darisabetan (pukulan) balungan pada akhir gatra darigending pengiringnya.

4) Kebo manggah, adalah pola irama gerak tariyang pada lazimnya diterapkan untuk tari gagah,namun khusus untuk karakter raksasa. Secaraprinsip setiap akhir dari suatu bentuk motif geraktari yang berirama gerak kebo manggah,senantiasa harus dilakukan tepat pada sabetanbalungan pada akhir gatra dari gending pengiringtarinya.

Berdasarkan penjabaran di atas, kirannya polairama gerak yang sangat mungkin mendekati polairama pada tari Klana Sri Suwela gayaYogyakarta adalah pola irama prenjak tinaji.

Irama gerak prenjak tinaji, penggunaan tempodalam setiap ketukan berjarak tetap, akan terasalebih konsisten (ajeg) dari pada yangdipergunakan dalam irama gerak ganggengkanyut. Sehubungan dengan hal itu, maka dalamirama prenjak tinaji, penggunaan irama gerakpribadi akan nampak terbatas. Kecepatan gerakdan penggunaan energi pun akan menjadi lebihteratur dan konsisten. Kesan yang dilahirkan daricara melakukan gerak irama ganggeng kanyutlebih jelas berbeda dengan irama gerak prenjaktinaji, sehingga tari menghadirkan kesan mengalirtetapi tegas.

SIMPULAN

Pengkajian yang menjadi dasar-dasar konsep jogèdMataram secara utuh dapat diimplementasikanmelalui struktur, bentuk gerak, maupun cara-cara

Page 16: JURNAL SENI BUDAYA - ISI DPS

Penerapan Konsep Joged Mataran... (Supriyanto)

195

pelaksanaan teknik menari, serta penjiwaan dalammembawakan sebuah bentuk tari. Pengkajian konsepjogèd Mataram dalam tari gaya Yogyakartasebenarnya dapat dipandang sebagai sebuahpemahaman kognitif dan normatif. Untuk itu,beberapa aspek yang melatarbelakanginya dapatditelusuri dari kaitan tarian tersebut dengan sumber-sumber tertulis di masa lampau, dan bentuk-bentukperkembangannya.

Tari Klana Alus Sri Suwela merupakan komposisitari tunggal putra berkarakter halus gaya Yogyakarta,menggambarkan seorang raja dari KerajaanParangretna yang sedang jatuh cinta kepadakekasihnya. Di salah satu bagian adegan jejeranwayang wong gaya Yogyakarta lakon Sri Suwelaterdapat komposisi tari nglana yang di dalamperkembangannya kemudian dilepas berdiri sendirimenjadi bentuk tari tunggal yang dikenal dengannama tari Klana Sri Suwela. Komposisi tari nglanayang ada di bagian adegan jejeran dalam wayangwong lakon Sri Suwela itu merupakan latar belakangyang terkait langsung dengan perwujudan seni tariKlana Alus Sri Suwela gaya Yogyakarta. Strukturdan bentuk gerak pada peran tokoh Prabu Sri Suwelamenjadi dasar konsepsi pada tarian tersebut.

Secara konseptual kehadiran bentuk tari dapat dilihatdari wiraga, wirama, dan wirasa yang semuanyaitu terakumulasikan di dalam konsep jogèd Mataramyang terdiri dari empat unsur, yaitu sawiji, greged,sengguh, dan ora mingkuh. Oleh karena itupenerapan konsep jogèd Mataram dalam tari dapatdilihat dari pola baku yang membentuk ragam gerak,aspek-aspek yang melatarbelakangi, pola penyajianbentuk tarinya, dan pola tata hubungan yangmenjelaskan tarian tersebut ke dalam aspek normatifdan kognitif.

Jalinan struktur tari Klana Alus Sri Suweladipengaruhi oleh adegan jejeran nglana padapertunjukan wayang wong gaya Yogyakarta lakonSri Suwela. Jalinan keselarasan hubungan itumenyangkut motif gerak dengan pola lantainya,bentuk gerak dengan musik tari, dan irama gerakserta ritme gerak dengan musik tarinya.

Pengkajian jogèd Mataram tari Klana Alus SriSuwela juga bersinggungan dengan keindahan bentukyang berpola. Hal ini sangat dimungkinkan dari

pencermatan total atau wujud unity pada suatupenyajian berupa tari. Pandangan semacam ini dapatdisimpulkan pula bahwa tata hubungan yang terdapatdi antara pola lantai dengan makna gerak tari, antarelemen-elemen dasar tari yang mendasari konsepjogèd Mataram. Dengan demikian untuk mencapaipengkajian sebuah konsep jogèd Mataram, dalamtari harus ditekankan pada aspek apa saja yang dilihat,dinikmati, dinilai, dan dipahami sebagai suatu keutuhanatau unity tarian tersebut. Pemahaman itu terciptameliputi wiraga, wirama, dan wirasa yang dijiwaioleh sawiji, greged, sengguh, dan ora mingkuh.Hal ini dapat terlihat pada pola baku gerak tari, polalantai, urutan gerak, musik tari, tata rias, dan tatabusana, serta pola-pola tata hubungan yangmelatarbelakangi suatu genre tari.

Berdasarkan uraian di atas, pengkajian tari Klana AlusSri Suwela gaya Yogyakarta dapat dipahami secarakognitif maupun normatif. Secara normatif,menjelaskan kehadiran tari Klana Alus Sri Suwelatersebut melalui penentuan dan penerapan pola-polayang diacu sebagai aspek pertunjukan tari. Secarakognitif karena kaitan catatan masa lampau tari KlanaAlus Sri Suwela yang melatarbelakangi pembentukantari tersebut sebagai genre tari tunggal.

DAFTAR RUJUKAN

Kagungan Dalem Serat Kandha Ringgi TiyangLampahan Jaya Semedi Kalajengaken Sri Suwela.K.H.P. Kridha Mardawa Kraton Yogyakarta. M.S.W.A4.

Kagungan Dalem Serat Kandha Ringgi TiyangLampahan Jaya Semedi Kalajengaken Sri Suwela.K.H.P. Kridha Mardawa Kraton Yogyakarta. M.S.W.A5.

Lindsay, Jennifer. (1991), Klasik, Kitsch,Kontemporer: Sebuah Studi Tentang PertunjukanJawa. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Pudjasworo, Bambang. (1982), Dasar-dasarPengetahuan Gerak Tari Alus Gaya Yogyakarta.Yogyakarta: Akademi Seni Tari IndonesiaYogyakarta.

Page 17: JURNAL SENI BUDAYA - ISI DPS

MUDRA VOLUME 25 NO.1 JANUARI 2010: 172-184

196

Sedyawati, Edi. ed. (1986), Pengetahuan ElementerTari dan Beberapa Masalah Tari. Jakarta:Direktorat Kesenian Proyek PengembanganKesenian Jakarta, Departemen Pendidikan danKebudayaan.

Soedarminto. (1992), “Kinesiologi”, DepartemenPendidikan dan Kebudayaan Direktorat JenderalPendidikan Tinggi Proyek Pembinaan TenagaKependidikan.

Soedarsono, ed. al. (1978), Kamus Istilah Tari danKarawitan Jawa. Jakarta: Proyek PenelitianBahasan dan Sastra Indonesia.

________________. (2000), Masa Gemilang danMemudar Wayang Wong Gaya Yogyakarta.Yogyakarta: Terawang Press.

________________. (2003), Seni Pertunjukandari Perspektif Politik, Sosial, dan Ekonomi.Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Soeryobrongto, G.B.P.H. (1981), “Wayang OrangGagrag Mataram”, dalam Fred Wibawa (ed),Mengenal Tari Klasik Gaya Yogyakarta.Yogyakarta: Dewan Kesenian Propinsi DIY.

Wardhana, Wisnoe. (1981), “Tari Tunggal, Beksandan Tarian Sakral Gaya Yogyakarta”, dalam FredWibawa (ed), Mengenal Tari Klasik GayaYogyakarta. Yogyakarta: Dewan Kesenian DaerahIstimewa Yogyakarta.

Page 18: JURNAL SENI BUDAYA - ISI DPS

Indeks PengarangJurnal Seni Budaya MUDRA

Volume 25 No. 2 SEPTEMBER 2010

Darma Oka, I Made., 150

Gede Rai, Anak Agung., 101

Herawati, S. Hesti., 185

Ruastiti, Ni Made., 108

Suarjaya, I Wayan., 120

Suartika, I Gusti Ayu Made., 131

Suka Yasa, I Wayan., 159

Supriyanto., 172

198

Page 19: JURNAL SENI BUDAYA - ISI DPS

Daftar Nama Mitra Bestari sebagaiPenelaah Ahli Tahun 2010

Untuk Penerbitan Volume 25 No. 1 JANUARI 2010 dan Volume 25 No. 2 SEPTEMBER 2010 semuanaskah yang disumbangkan kepada Jurnal Seni Budaya Mudra telah ditelaah oleh para mitra bestari (peerreviewers) berikut ini

1. I Wayan Rai S. (Institut Seni Indonesia Denpasar) ethnomusicologist2. Sardono W. Kusumo (Institut Kesenia Jakarta) dance3. Sal Margianto (Institut Seni Indonesia Yogjakarta) dance4. Ron Jenkins (Wesleyan University-USA) theatre5. I Nyoman Sirtha (Universitas Udayana Denpasar) sastra6. Ni Luh Sutjiati Beratha (Universitas Udayana Denpasar) sastra7. Soegeng Toekio M (Institut Seni Indonesia Surakarta) visual arts8. M. Dwi Maryanto (Institut Seni Indonesia Yogjakarta) visual arts9. Jean Couteau (Pengamat Seni tinggal di Bali) sociologist of art10. I Wayan Geria (Universitas Udayana Denpasar) anthropology11. I Made Suastika (Universitas Udayana Denpasar) sejarah12. Ida Bagus Gde Yudha Triguna (Universitas Hindu Denpasar) religion13. Ketut Subagiasta (Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar) religion

Jean Couteau (Pengamat seni tinggal di Bali)Penyunting Jurnal Seni Budaya Mudra menyampaikan peng-hargaan setinggi-tingginya dan terima kasih sebesar-besarnya kepada para mitra bestari tersebut atas bantuan mereka.

Page 20: JURNAL SENI BUDAYA - ISI DPS

JUDUL NASKAH(all caps, 14 pt, bold, centered)(kosong satu spasi tunggal, l4 pt)

Penulis Pertamal, Penulis Kedua2, dan Penulis Ketiga3 (12 pt)(kosong satu spasi tunggal, 12 pt)

1. Nama Jurusan, Nama Fakultas, Nama Universitas, Alamat, Kota,Kode Pos, Negara (10 pt)

2. Kelompok Penelitian, Nama Lembaga, Alamat, Kota, Kode Pos,Negara (10 pt)

(kosong satu spasi tunggal, 12 pt)

E-mail: penulis@ address. com (10 pt, italic)(kosong dua spasi tunggal, 12 pt)

TITLE(All caps, 14 pt, bold, centered)

(Blank, one single space of 14 pt)

First Authorl, Second Author2, and Third Author3 (12 pt)(Blank, one single space of 12 pt)

1. Department’s Name, Faculty’s Names, University’s Name, Address, City, Postal Code, Country (10 pt)2. Reseach Group, Institution’s Name, Address, City, Postal Code,

Country (10 pt)(Blank, one single space of l2 pt)

E-mail: writer@ address. com (10 pt, italic)(Blank, two single spaces of 12 pt)

Abstrak (12 pt, bold)(kosong satu spasi tunggal, 12 pt)

Abstrak harus dibuat dalam bahasa Indonesia dan dalam bahasa Inggris. Abstrak bahasa Indonesia ditulisterlebih dahulu lalu diikuti abstrak dalam bahasa Inggris. Jenis huruf yang digunakan Times New Roman, ukuran10 pt, spasi tunggal. Abstrak sebaiknya meringkas isi yang mencakup tujuan penelitian, metode penelitian, sertahasil analisis. Panjang abstrak tidak lebih dari 250 kata.

(kosong dua spasi tunggal, l2 pt)

Title in English (12 pt, bold)(kosong satu spasi tunggal, 12 pt)

Abstrak1 (12 pt, bold)(Blank, one single space of 12 pt)

Abstract should be written in Indonesian and English. An English abstract comes after an Indonesian abstract.The abstract is written in Times New Roman font, size 10 pt, single spacing. Please translate the abstract ofmanuscript written in English into Indonesian. The abstract should summarize the content including the aim ofthe research, research method, and the results in no more than 250 words.

(blank, one single space of 12 pt)

Keywords: maximum of 4 words in English (10 pt, italics)(blank, three single spaces of 12 pt)

PETUNJUK UNTUK PENULIS

Page 21: JURNAL SENI BUDAYA - ISI DPS

PENDAHULUAN (12 pt, bold)(satu spasi kosong, 10 pt)

Naskah ditulis dengan Times New Roman ukuran 11pt, spasi tunggal, justified dan tidak ditulis bolak-balikpada satu halaman. Naskah ditulis pada kertasberukuran A4 (210 mm x 297 mm) dengan marginatas 3,5 cm, bawah 2,5 cm, kiri dan kanan masing-masing 2 cm. Panjang naskah hendaknya tidakmelebihi 20 halaman termasuk gambar dan tabel. Jikanaskah jauh melebihi jumlah tersebut dianjurkan untukmenjadikannya dua naskah terpisah. Naskah ditulisdalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris. Jikaditulis dalam bahasa Inggris sebaiknya telah memenuhistandar tata bahasa Inggris baku. Judul naskahhendaknya singkat dan informatif serta tidak melebihi20 kata. Keywords ditulis dalam bahasa Inggrisdiletakkan akhir abstrak.

Penulisan heading dan subheading diawali hurufbesar dan diberi nomor dengan angka Arab.Sistematika penulisan sekurang-kurangnya mencakupPendahuluan, Metode Penelitian, Analisis danInterpretasi Data, Simpulan , serta Daftar Rujukan.Ucapan Terima Kasih/Penghargaan (jika ada)diletakkan setelah Simpulan dan sebelum DaftarRujukan. Headings dalam bahasa Inggris disusunsebagai berikut: Introduction, Method, Results and/or Discussion, Conclusion. Acknowledgement (jikaada) diletakkan setelah Conclusion dan sebelum Ref-erence. Sebaiknya, penggunaan subsubheadingsdihindari. Jika diperlukan, gunakan numbered out-line yang terdiri dari angka Arab. Jarak antaraparagraf satu spasi tunggal.

Singkatan/Istilah/Notasi/SimbolPenggunaan singkatan diperbolehkan, tetapi harusdituliskan secara lengkap pada saat pertama kalidisebutkan, lalu dibubuhkan singkatannya dalam tandakurung. Istilah/kata asing atau daerah ditulis denganhuruf italic. Notasi, sebaiknya, ringkas dan jelas sertakonsisten dengan cara penulisan yang baku. Simbol/lambang ditulis dengan jelas dan dapat dibedakan,seperti penggunaan angka 1 dan huruf 1 (juga angka0 dan huruf O).

Introduction (12 pt, bold)(blank, one single space of 10 pt)

The manuscript should be printed with Times NewRoman font, size 11 pt, single spaced, justified on eachsides and on one side of an A4 paper (210 mm x 297mm). The margins are 3.5cm from the top, 2.5 cmfrom below and 2 cm from each side. The manu-script must not exceed 20 pages including picturesand tables. When the manuscript go far beyond thatlimit the contributors are advised to make it into twoseparate papers. The manuscript is written in Indo-nesian or English. When English is used strict ad-herence to English grammatical rules must be ap-plied. The title should be short and informative, anddoes not go over 20 words. Keywords are in Englishand presented at the end of the abstract.

The beginnings of headings and subheadings shouldbe capitalized and given Arabic numbering. The partsof the manuscript should at least include an Intro-duction, Method, Results and/or Discussion, Conclu-sion and References. When there is an acknowl-edgment, it should be put after the conclusion butbefore references. Usage of sub-subheadings shouldbe avoided. When needed, use numbered outlineusing Arabic numbers. The distance between oneparagraph to the next is one single space.

Abbreviations/Terms/SymbolsAbbreviations are allowed, but they should be writ-ten in full when mentioned for the first time, followedby the abbreviations inside the brackets. Foreign andethnic terms should be italicized. Notation must becompact and clear, and consistently follows the ac-cepted standard. Symbols are written clearly andeasily distinguished, such as number 1 and the letterl (or number 0 and the letter O).

Page 22: JURNAL SENI BUDAYA - ISI DPS

Tabel ditulis dengan Times New Roman berukuran10 pt dan diletakkan berjarak satu spasi tunggal dibawah judul tabel. Judul tabel ditulis dengan hurufberukuran 9 pt (bold) dan ditempatkan di atas tabeldengan format seperti terlihat pada contoh.Penomoran tabel menggunakan angka Arab. Jaraktabel dengan paragraf adalah satu spasi tunggal. Tabeldiletakkan segera setelah perujukkannya dalam teks.Kerangka tabel menggunakan garis setebal 1 pt. Jikajudul pada setiap kolom tabel cukup panjang dan rumit,maka kolom diberi nomor dan keterangannyadiberikan di bagian bawah tabel.

(kosong satu spasi, 10 pt)

Tables are written with Times New Roman size 10ptand put one single space down below the tables’ titles.The titles are printed bold in the size of 9 pt as theyareshown in the example. The tables are numbered withArabic numbers. The distance of a table with thepreceding paragraph is one single space. The tablesare presented after they are being referred to in thetext. 1 pt thick lines should be used to outline thetables. If the titles for the columns are long and com-plicated, the columns should be numbered and theexplanation of each number should be put below thetable.

(blank, one single space of 10 pt)

IdealismeMitologiMimesisImitasiKatarsisTransedenEstetika PencerahanTeologismeRelativismeSubjektivismePositivisme

RasionalismeRealismeHumanisme UniversalSimbolismeStrukturalismeSemiotikFenomenologiEkoestetikKompleksitasEtnosentrisBudaya Komoditas

PoststrukturalismeGlobal-LokalIntertekstualPostpositivismeHiperrealitaPostkolonialOposisi binerDekonstruksiPluralismeLintas BudayaChaos

Wacana EstetikaPosmodern

Wacana EstetikaModern

Wacana EstetikaPostmodern

Tabel 1. Wacana Estetika (sumber: Agus Sochari, 2002: 9)(Two single spaces of 10 pt)

Gambar diletakkan simetris dalam kolom halaman,berjarak satu spasi tunggal dari paragraf. Gambardiletakkan segera setelah penunjukkannya dalamteks. Gambar diberi nomor urut dengan angka Arab.Keterangan gambar diletakkan di bawah gambar danberjarak satu spasi tunggal dari gambar.

Penulisan keterangan gambar menggunakan hurufberukuran 9 pt, bold dan diletakkan seperti padacontoh. Jarak keterangan gambar dengan paragrafadalah dua spasi tunggal. Gambar yang telahdipublikasikan oleh penulis lain harus mendapat ijintertulis penulis dan penerbitnya. Sertakan satu gambaryang dicetak dengan kualitas baik berukuran satu

Pictures are put in the center of page, one single spacefrom the preceding paragraph. A picture is presentedafter it is pointed out in the text. Pictures are num-bered using Arabic numbers. Information on the pic-ture is put one single space down below the picture.

The information should be written with the size of 9pt and in bold according to the example. The infor-mation is two single spaces of 10 pt above the fol-lowing paragraph. Permissions should be obtainedfrom the authors and publishers for previously pub-lished pictures. Attached a full page of the picturewith a good printing quality, or electronic file with

Page 23: JURNAL SENI BUDAYA - ISI DPS

halaman penuh atau hasil scan dengan resolusi baikdalam format {nama file}.eps, {nama file} jpeg atau{nama file}.tiff. Jika gambar dalam format foto,sertakan satu foto asli. Gambar akan dicetak hitam-putih, kecuali jika memang perlu ditampilkanberwarna. Font yang digunakan dalam pembuatangambar atau grafik, sebaiknya, yang umum dimilikisetiap pengolah kata dan sistem operasi sepertiSimbol, Times New Romans dan Arial dengan ukurantidak kurang dari 9 pt. File gambar dari aplikasi sepertiCorel Draw, Adobe Illustrator dan Aldus Freehanddapat memberikan hasil yang lebih baik dan dapatdiperkecil tanpa mengubah resolusinya.

either formats: {file name}.jpeg, {file name}.esp or{file name}.tiff. If the picture is a photograph, pleaseattach one print. Pictures will be printed in black andwhite, unless there is a need to have them in colors.It is advisable that the fonts used in creating picturesor graphics are recognized by most word processorsand operation systems, such as Symbols, Times NewRomans, and Arial with minimum size of 9 pt. Pic-ture files from applications such as Corel Draw, AdobeIllustrator and Aldus Freehands have better qualityand can be reduced without changing the resolution.

(blank, one single space of 10 pt)

Page 24: JURNAL SENI BUDAYA - ISI DPS

Kutipan dalam naskah menggunakan sistem kutipanlangsung. Penggunaan catatan kaki (footnote) sedapatmungkin dihindari. Kutipan yang tidak lebih dari 4(empat) baris diintegrasikan dalam teks, diapit tandakutip, sedangkan kutipan yang lebih dari 4 (empat)baris diletakkan terpisah dari teks dengan jarak 1,5spasi tunggal, berukuran 10 pt, serta diapit oleh tandakutip.

Setiap kutipan harus disertai dengan nama keluarga/nama belakang penulis. Jika penulis lebih dari satuorang, yang dicantumkan hanya nama keluarga penulispertama diikuti dengan dkk. Nama keluarga ataunama belakang penulis dapat ditulis sebelum atausetelah kutipan. Ada beberapa cara penulisan kutipan.Kutipan langsung dari halaman tertentu ditulis sebagaiberikut (Grimes, 2001: 157). Jika yang diacu adalahpokok pikiran dari beberapa halaman, carapenulisannya adalah sebagai berikut (Grimes, 2001:98-157), atau jika yang diacu adalah pokok pikirandari keseluruhan naskah, cara penulisannya sebagaiberikut (Grimes, 2001).

Daftar Rujukan(kosong satu spasi tunggal, 10 pt)

Penulisan daftar acuan mengikuti format APA (Ameri-can Psychological Association). Daftar acuanharus menggunakan sumber primer (jurnal ataubuku). Sebaiknya, acuan juga menggunakan naskahyang diterbitkan dalam jurnal MUDRA edisisebelumnya. Daftar acuan diurutkan secara alfabetisberdasarkan nama keluarga/nama belakang penulis.Secara umum, urutan penulisan acuan adalah namapenulis, tanda titik, tahun terbit yang ditulis dalamdalam kurung, tanda titik, judul acuan, tempat terbit,tanda titik dua, nama penerbit. Nama penulis yangdicantumkan paling banyak tiga orang. Jika lebih dariempat orang, tuliskan nama penulis utama dilanjutkandengan dkk. Nama keluarga Tionghoa dan Koreatidak perlu dibalik karena nama keluarga telah terletakdi awal. Tahun terbit langsung diterakan setelah namapenulis agar memudahkan penelusuran kemutakhiranbahan acuan. Judul buku ditulis dengan huruf italic.Judul naskah jurnal atau majalah ditulis dengan hurufregular, diikuti dengan nama jurnal atau majalahdengan huruf italic. Jika penulis yang diacu menulisdua atau lebih karya dalam setahun, penulisan tahun

The journal prefers direct quotation. The usages offootnotes should be avoided wherever possible.Quotations of no more than 4 lines should be inte-grated in the text and in between quotation marks.When the citation exceeds 4 lines, it should be putseparately 1.5 single spaces away of 10 pt from themain text and put between quotation marks.

Every quotation must be followed by the family nameof its author. When there is more than one author,only the first author’s family name is printed followedby et alia. The name or family name of the authorcan be mentioned before or after the quotation. Thereare some ways of writing quotations. Direct citationfrom a specific page is written as follows: (Grimes,2001:15). When a reference is made to the mainidea of a couple of pages, the following should beused: (Grimes, 2001: 98–157). When a reference ismade to a text in general, the following should beused (Grimes, 2001).

List of References(Blank, one single space of 10 pt)

The journal adheres to the APA format whenit comes to list of references. Primary sources shouldbe used (journals and books). It is wise to includeprevious works published in MUDRA. The refer-ences are listed alphabetically according to the au-thors’ family names. In general, the order of writingis the following: author’s name, period, title, place ofpublication, colon, publisher. The maximum numberof authors mentioned for each reference is 3. Whenthere are 4 authors, mention the main author followedby et.al. Chinese and Korean names do not need tobe reversed because the family names are at thebeginning. Year of publication should be printed rightafter the author to make it easier to note how up-to-date the sources are. Titles are written in italics.Journal and magazine articles’ titles are written inregular letters, followed by the names of the journalor magazine in italics. If two or more cited works ofthe same author were published in the same year,the publishing years are followed by the letters a, betc. For example: Miner, JB. (2004a), Miner, J.B.(2004b).

Page 25: JURNAL SENI BUDAYA - ISI DPS

terbit dibubuhi huruf a, b, dan seterusnya agar tidakmembingungkan pembaca tentang karya yang diacu,misalnya: Miner, J.B. (2004a), Miner, J.B. (2004b).Contoh penulisan daftar acuan adalah sebagai berikut:

Acuan dari buku dengan satu satu, dua, dan tigapengarangReference from books with one, two andthree authorsAnderson, Beneditct R.O.G. (1965), Mythology andthe Tolerance of the Javanese, Southeast Asia Pro-gram, Departement of Studies, Cornell University,Ithaca, New York.

Bandem, I Made & Frederik Eugene DeBoer. (1995),Balinese Dance in Transition, Kaja and Kelod,Oxford University Press, Kuala Lumpur.

Kartodirjo, Sartono, Mawarti Djoened Poesponegoro& Nugroho Notosusanto. (1997), Sejarah NasionalIndonesia, Jilid I, Balai Pustaka, Jakarta.

Acuan bab dalam bukuReference from a book chapterMarkus, H.R., Kitayama, S., & Heiman, R.J. (1996).Culture and basic psychological principles. DalamE.T. Higgins & A.W. Kruglanski (Eds.); Social psy-chology: Handbook of basic principles. TheGuilford Press, New York.

Buku TerjemahanTranslated BooksHolt, Claire. (1967), Art in Indonesia: Continuitiesand Change atau Melacak Jejak PerkembanganSeni di Indonesia, terjemahan R.M. Soedarsono.(2000), MSPI, Bandung.Read, Herber. (1959), The Meaning of Art atauSeni Rupa Arti dan Problematikanya, terjemahanSoedarso Sp. (2000), Duta Wacana Press,Yogyakarta.

Beberapa buku dengan pengarang sama dalamtahun yang sama.A couple of books with similar authors in thesame yearDalam hal ini nama pengarang untuk sumber keduacukup diganti dengan garis bawah sepanjang

namanya, dan pada tahun penerbitan ditambah huruflatin kecil sebagai penanda urutan penerbitan.Greenberg, Josepth H. (1957), Essays in Linguis-tics, University of Chicago Press, Chicago

_________________. (1966a), Language of Af-rica, Indiana University Press, Bloomington.

_________________. (1966b), “Language Univer-sals”, Current Trends in Linguistics (Thomas A.Sebeok, ed.), Mounton, The Hangue,

Artikel dalam Ensiklopedi dan KamusArticles from Encyclopedia and DictonaryMilton, Rugoff. (tt), “Pop Art”, The BritannicaEncylopedia of American Art, EncylopediaBritannica Educational Corporation, Chicago.Hamer, Frank & Janet Hamer. (1991), “Terracotta”,The potter’s Dictionary of Material and Tech-nique, 3 Edition, A & B Black, London.

Acuan naskah dalam jurnal, koran, dan naskahseminarReference on a text in a journal, newspaper,and conference paperHotomo, Suripan Sandi. (April 1994), “TransformasiSeni Kendrung ke Wayang Krucil”, dalam SENI,Jurnal Pengetahuan dan Penciptaan Seni, IV/02,BP ISI Yogyakarta, Yogyakarta.

Kwi Kian Gie. (4 Agustus 2004), “KKN Akar SemuaPermasalahan Bangsa” Kompas.

Buchori Z., Imam. (2-3 Mei 1990), “Aspek Desaindalam Produk Kriya”, dalam Seminar Kriya 1990ISI Yogyakarta, di Hotel Ambarukmo Yogyakarta.

Acuan dari dokumen online (website/internet)Reference from online documentGoltz, Pat. (1 Mei 2004), Sinichi Suzuki had a GoodIdea, But… http/www. Seghea com/homescool/Suzuki.htlm

Wood, Enid. (1 Mei 2004), Sinichi Suzuki 1889-1998:Violinist, Educator, Philosoper and Humanitar-ian, Founder of the Suzuki Method, Sinichi SuzukiAssociation. http/www. Internationalsuzuki.htlm

Page 26: JURNAL SENI BUDAYA - ISI DPS

Acuan dari jurnal onlineReference from online journalJenet, B.L. (2006). A meta-analysis on online socialbehavior. Journal of Internet Psychology, 4.Diunduh 16 November 2006 dari http://www.Journalofinternet psychology. om/archives/volume4/3924.htm1

Naskah dari DatabaseText from databaseHenriques, J.B., & Davidson, R.J. (1991) Left fron-tal hypoactivation in depression. Journal of Abnor-mal Psychology, 100, 535-545. Diunduh 16 Novem-ber 2006 dari PsychINFO database

Acuan dari tugas akhir, skripsi, tesis dandisertasiReference from final projects, undergraduatefinal essay, thesis and dissertationSantoso, G.A. (1993). Faktor-faktor sosialpsikologis yang berpengaruh terhadap tindakanorang tua untuk melanjutkan pendidikan anakke sekolah lanjutan tingkat pertama (Studilapangan di pedesaan Jawa Barat dengananalisis model persamaan struktural). DisertasiDoktor Program Pascasarjana Universitas Indone-sia, Jakarta.

Acuan dari laporan penelitianReference from research reportVillegas, M., & Tinsley, J. (2003). Does educationplay a role in body image dissatisfaction?. LaporanPenelitian, Buena Vista University.

Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia.(2006). Survei nasional penyalahgunaan danperedaran gelap narkoba pada kelompok rumahtangga di Indonesia, 2005. Depok: Pusat PenelitianUI dan Badan Narkotika Nasional.

Daftar Nara Sumber/InformanDalam hal ini yang harus disajikan adalah nama dantahun kelAhiran/usia, profesi, tempat dan tanggaldiadakan wawancaara. Susunan data narasumberdiurutkan secara alfabetik menurut nama tokoh yangdiwawancarai.

Erawan, I Nyoman (56th.), Pelukis, wawancaratanggal 21 Juni 2008 di rumahnya, Banjar Babakan,Sukawati, Gianyar, Bali.Rudana, I Nyoman (60 th.), pemilik Museum Rudana,wawancara tanggal 30 Juni 2008 di Museum Rudana,Ubud, Bali.

Page 27: JURNAL SENI BUDAYA - ISI DPS

Lampiran(kosong satu spasi tunggal, 10 pt)

LampiranlAppendices hanya digunakan jika benar-benar sangat diperlukan untuk mendukung naskah,misalnya kuesioner, kutipan undang-undang,transliterasi naskah, transkripsi rekaman yangdianalisis, peta, gambar, tabel/bagian hasil perhitungananalisis, atau rumus-rumus perhitungan. Lampirandiletakkan setelah Daftar Acuan/Reference. Apabilamemerlukan lebih dari satu lampiran, hendaknya diberinomor urut dengan angka Arab.

2. Naskah Hasil Penciptaan

JUDUL NASKAH(all caps, 14 pt, bold, centered)(kosong satu spasi tunggal, l4 pt)

Penulis Pertamal, Penulis Kedua2, dan PenulisKetiga3 (12 pt)

(kosong satu spasi tunggal, 12 pt)

1. Nama Jurusan, Nama Fakultas, Nama Universi-tas, Alamat, Kota,

Kode Pos, Negara (10 pt)2. Kelompok Pencipta, Nama Lembaga, Alamat,

Kota, Kode Pos,Negara (10 pt)

(kosong satu spasi tunggal,l2 pt)

E-mail: penulis@ address. com (10 pt, italic)(kosong dua spasi tunggal, 12 pt)

Abstrak (12 pt, bold)(kosong satu spasi tunggal, 12 pt)

Abstrak harus dibuat dalam bahasa Indonesia dandalam bahasa Inggris. Abstrak bahasa Indonesiaditulis terlebih dahulu lalu diikuti abstrak dalam bahasaInggris. Jenis huruf yang digunakan Times New Ro-man, ukuran 10 pt, spasi tunggal. Abstrak sebaiknyameringkas isi yang mencakup tujuan penciptaan,metode penciptaan, serta wujud karya. Panjangabstrak tidak lebih dari 250 kata.

(kosong dua spasi tunggal, l2 pt)

Appendices(blank, one single space of 10 pt)

Appendices are used when they are really needed tosupport the text, for example questionnaires, legalcitations, manuscript transliterations, analyzed inter-view transcription, maps, pictures, tables containingresults of calculations, or formulas. Appendices areput after the references and numbered using Arabicnumbers.

2. Result of Creative Work

TITLE(all caps, 14 pt, bold, centered)

(blank, one single space of l4 pt)

First authorl, Second author2, and Third author3 (12 pt)(blank, one single space of 12 pt)

1. Department’s name, Faculty’s name,University’s name, Address, City, Postal Code,

Country (10 pt)2. Group of creator, Institution’s name, Address,

City, Postal code,Country (10 pt)

(blank, one single space of l2 pt)

E-mail: author@ address. com (10 pt, italic)(blank, two single spaces of 12 pt)

Abstrak (12 pt, bold)(blank, one single space of 12 pt)

Abstract should be written in Indonesian and English.An English abstract comes after an Indonesian ab-stract. The abstract is written in Times New Romanfont, size 10 pt, single spacing. Please translate theabstract of manuscript written in English into Indo-nesian. The abstract should summarize the contentincluding the aim of the research, research method,and the results in no more than 250 words.

(blank, one single space of 12 pt)

Page 28: JURNAL SENI BUDAYA - ISI DPS

Keywords: maksimum 4 kata kunci ditulisdalam bahasa Inggris (10 pt, italic)

(kosong tiga spasi tungga1, 12 pt)

PENDAHULUAN (12 pt, bold)(satu spasi kosong,10 pt)

Naskah ditulis dengan Times New Roman ukuran 11pt, spasi tunggal, justified dan tidak ditulis bolak-balikpada satu halaman. Naskah ditulis pada kertasberukuran A4 (210 mm x 297 mm) dengan marginatas 3,5 cm, bawah 2,5 cm, kiri dan kanan masing-masing 2 cm. Panjang naskah hendaknya tidakmelebihi 20 halaman termasuk gambar dan tabel.

Penulisan heading dan subheading diawali hurufbesar dan diberi nomor dengan angka Arab.Sistematika penulisan sekurang-kurangnya mencakuppendahuluan, metode penciptaan, proses perujudan,wujud karya, Kesimpulan , serta Daftar Rujukan.Ucapan Terima Kasih/Penghargaan (jika ada)diletakkan setelah Kesimpulan dan sebelum DaftarAcuan.

Lebih lanjut mengenai singkatan/istilah/notasi/simboldan daftar rujukan sama dengan naskah dari hasilPenelitian.

Keywords: maximum of 4 words in English(10 pt, italics)

(blank, three single spaces of 12 pt)

INTRODUCTION (12 pt, bold)(blank, one single space of 10 pt)

The manuscript should be printed with Times NewRoman font, size 11 pt, single spaced, justified on eachsides and on one side of an A4 paper (210 mm x 297mm). The margins are 3.5cm from the top, 2.5 cmfrom below and 2 cm from each side. The manu-script must not exceed 20 pages including picturesand tables.

The beginnings of headings and subheadings shouldbe capitalized and given Arabic numbering. The partsof the manuscript should at least include an Intro-duction, Creative Method, Conclusion and Refer-ences. When there is an acknowledgment, it shouldbe put after the conclusion but before references.Usage of sub-subheadings should be avoided. Whenneeded, use numbered outline using Arabic numbers.The distance between paragraphs is one single space.

The directions on abbreviations/terms/notations/sym-bols and references follow the directions for the re-search manuscript.