Upload
desty-dwi-anggraini
View
222
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
10
BAB 2TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Rhodamin B
2.1.1. Karakteristik Kimia Rhodamin B
Rhodamin merupakan senyawa kimia murni yang berbahaya (harmful),
terbagi atas rhodamin B, rhodamin 6 G dan rhodamin 123. Struktur kimia
rhodamin B dapat ditunjukkan pada Gambar 2.1 berikut.
Gambar 2.1. Struktur Kimia Rhodamin B ( Brantom, 2005)
Rhodamin B memiliki nama kimia N-[9-(2-Carboxyphenyl)-6-(diethylamino)-
3H-xanthen-3-ethyethanaminium chlorida. Sinonimnya adalah tetra
ethylrhodamine, D & C Red No.19, Rhodamine B Chloride, C.l. Basic Violet
10, C. l. 45170 dengan rumus molekul : C28H31N2O3Cl. Bobot Molekul
(BM) : 479,02 dan Titik Lebur : 165 °C. Nomor CAS:81-88-9. Nomor IMIS:
Universitas Sumatera Utara
11
0848. Kelarutan: sangat larut dalam air dan alkohol, sedikit larut dalam asam
hidroklorida dan natrium hidroksida (Merck Index, 2006).
Di Indonesia, berdasarkan Peraturan Menkes RI No.722/Menkes/Per/
IX/1988 dan Dirjen Pengawasan Obat dan Makanan (POM) No.00366/C/
II/1990 menyatakan bahwa rhodamin B termasuk dalam 30 zat pewarna bahan
berbahaya yang tidak boleh terdapat di dalam obat, makanan dan kosmetik
(Menkes RI, 1985; Ditjend POM Depkes RI, 1990).
Rhodamin B merupakan zat pewarna sintetis berbentuk serbuk kristal
berwarna kehijauan, dalam bentuk larutan pada konsentrasi tinggi berwarna
merah keunguan dan konsentrasi rendah berwarna merah terang (Trestiati,
2003; Merck Index, 2006). Termasuk golongan pewarna xanthenes basa, dan
terbuat dari meta-dietilaminofenol dan ftalik anhidrid, suatu bahan yang tidak
bisa dimakan (Nainggolan dan Sihombing, 1984) serta sangat berfluoresensi
(Merck Index, 2006).
Rhodamin B digunakan sebagai pewarna kertas, kapas, wool, serat kulit
kayu, nilon, sabun dan industri tekstil sebagai pewarna bahan kain atau
pakaian (Merck Index, 2006) dan dalam laboratorium digunakan sebagai
pereaksi (reagensia) untuk identifikasi plumbum, bismuth, kobalt, merkuri
(Cu), mangan (Mg), thalium (Th) dan sebagai bahan uji pencemaran air
(CTFA, 1991).
Universitas Sumatera Utara
12
2.1.2. Dampak Rhodamin B
Rhodamin B merupakan zat warna yang berbahaya yang sampai
sekarang masih banyak disalahgunakan dalam mewarnai berbagai makanan
dan minuman. Analisis yang menggunakan metode destruksi yang dilanjutkan
dengan metode spektrofometri, telah diketahui bahwa sifat racun rhodamin B
tidak hanya disebabkan senyawa organik, tetapi oleh karena kontaminasi
senyawa anorganik terutama timbal dan arsen (Subandi, 1999). Dengan
terkontaminasinya rhodamin B dengan kedua unsur tersebut, menyebabkan
rhodamin B berbahaya jika digunakan sebagai pewarna pada makanan, obat
maupun kosmetik. Hal ini didukung oleh Winarno (2004) yang menyatakan
bahwa timbal memang banyak digunakan sebagai pigmen atau zat pewarna
dalam industri kosmetik dan kontaminasi dalam makanan dapat terjadi akibat
penggunaan zat pewarna tekstil tersebut.
Di dalam struktur rhodamin B terdapat ikatan dengan senyawa klorin
(Cl) dimana atom klorin tergolong sebagai senyawa halogen dan sifat halogen
yang berada di dalam senyawa organik sangat berbahaya dan memiliki
reaktivitas yang tinggi untuk mencapai kestabilan dalam tubuh dengan cara
berikatan terhadap senyawa-senyawa di dalam tubuh yang menimbulkan efek
toksik dan memicu kanker pada manusia (Kusmayadi dan Sukandar 2009).
Juga senyawa Alkilating (CH3-CH3 ) dan bentuk struktur kimia yang poli
Universitas Sumatera Utara
13
aromatik hidrokarbon (PAH) dimana bentuk senyawa tersebut bersifat sangat
radikal, menjadi bentuk metabolit yang reaktif setelah mengalami aktivasi
dengan enzim sitokrom P-450. Bentuk radikal ini akan berikatan dengan
protein, lemak dan DNA (Levi,1987 ; Zakaria et al., 1996).
Beberapa dari hasil penelitian uji toksisitas menunjukkan rhodamin B
memiliki LD50 lebih dari 2000mg/kg, dan dapat menimbulkan iritasi kuat pada
membran mukosa (Otterstätter, 1999 dalam Wirasto, 2008) sedangkan pada
hewan percobaan tikus ditemukan bahwa dosis lethal LD50 per-oral sebesar
887mg/kg, dan dosis terendah sebesar 500mg/kg (RTECS, 2005). Menurut
Parodi et al., (1982), LD50 per-oral pada tikus 90mg/kgBB. Sedangkan
menurut Singh et al., (1987) LD50 per-oral pada tikus yaitu lebih besar dari
10,56mg/kgBB dan secara intra vena pada tikus LD50 sebesar 89,5 mg/kgBB
(Merck Index, 2006). Rhodamin B bersifat karsinogenik dan genotoksik
(Brantom, 2005).
Dampak mengkonsumsi rhodamin B dalam jumlah besar dan berulang-
ulang akan terjadi penumpukan dalam tubuh yang dapat menimbulkan iritasi
pada mukosa saluran pencernaan, dan bila terhirup dapat mengiritasi saluran
pernafasan, iritasi pada kulit, mata tampak kemerahan dan udem (Yulianti,
2007), serta menimbulkan kerusakan pada organ hepar, ginjal maupun limpa
(Trestiati, 2003; Lee et al., 2005). Pemberian rhodamin B secara subkutan
pada hewan mencit dan tikus dapat menimbulkan sarkoma, pembesaran organ
Universitas Sumatera Utara
14
hati, ginjal dan limfa yang diikuti perubahan anatomi berupa pembesaran
organ (Merck Index, 2006). Nainggolan dan Sihombing (1984) menyatakan
bahwa pemberian rhodamin B dan metanil yellow per-oral pada mencit selama
16 minggu menunjukkan perubahan gizi yang buruk, semua simpanan lemak
di dalam tubuh habis, hepatoma, perubahan ginjal di bagian pielum dan
bagian korteks yang menipis.
Menurut International Agency for Research on Cancer (IARC) tahun
1978, pemberian rhodamin B per-oral dalam kosentrasi 0, 0.1, 0.25, 0.5, 1.0%
setelah 18 minggu terlihat pertumbuhan berat badan yang lambat pada tikus
sedangkan dalam konsentrasi 2,0% mengakibatkan semua hewan tikus mati
pada hari ke 42 (minggu ke-6) akibat kerusakan multiorgan.
Dengan mengetahui bahaya akibat zat pewarna rhodamin B, hal-hal
yang harus dilakukan untuk menghindari produk makanan yang menggunakan
zat perwarna bahaya harus diperhatikan bahwa : (1) setiap pembelian produk
makanan baca jenis dan jumlah pewarna yang digunakan dalam produk
tersebut; (2) perhatikan label pada setiap kemasan produk dan pastikan di
label tercantum izin dari BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan) yang
tertulis “POM dan nomor izin pendaftaran” dan bila produk tersebut hasil
industri rumah tangga harus ada nomor pendaftaran yang tertulis : “P-IRT dan
nomor izin pendaftaran”; (3) produk makanan yang tidak dikemas secara
khusus, sebaiknya pilih makanan atau minuman yang warnanya tidak terlalu
Universitas Sumatera Utara
15
mencolok, karena kemungkinan warna tersebut berasal dari bahan pewarna
bukan makanan (non food grade) seperti pewarna tekstil.
Perbedaan warna makanan yang menggunakan zat perwarna makanan
dan bukan pewarna makanan (rhodamin B) akan terlihat dari karakteristik
warnanya antara lain : (1) Warna makanan kelihatan cerah beraneka warna
sehingga tampak menarik, dalam bentuk larutan/minuman warna merah
berpendar atau, (2) Banyak memberikan titik-titik warna karena tidak
homogen (seperti pada kerupuk dan es putar), (3) Ada sedikit rasa pahit
(terutama pada sirup, limun), (4) Tenggorokan terasa gatal setelah
mengkonsumsi makanan tersebut, (5) Berbau tidak alami sesuai makanannya,
(6) Saat diolah, tahan terhadap pemanasan (direbus/goreng warna tidak
pudar), (7) Harganya murah, contohnya: harga saus yang hanya dijual dengan
harga 800 rupiah per botol (Winarno, 2004; Syah, 2005).
Alasan penambahan zat pewarna pada makanan biasanya adalah untuk
memberi kesan menarik bagi konsumen; menutupi kualitas yang rendah dari
suatu produk yang sebenarnya tidak layak digunakan; untuk menutupi
perubahan warna akibat proses pengolahan dan selama penyimpanan; serta
untuk menjaga rasa dan vitamin yang mungkin akan terpengaruh sinar
matahari selama produk disimpan (Syah, 2005).
Universitas Sumatera Utara
16
Terlepas dari semua keterbatasan yang ada pada zat pewarna alami, dari
segi kesehatan jelas pewarna sintetik rhodamin B tidak diperkenankan
dikonsumsi karena bukan pewarna makanan dan sangat berbahaya bagi
kesehatan oleh karena itu pewarna alami merupakan pilihan yang terbaik.
2.2. Ginjal
2.2.1. Anatomi dan Histologi Ginjal
Ginjal terletak pada dinding posterior abdomen di daerah lumbal, di
sebelah kanan dan kiri tulang belakang dibungkus lapisan lemak, dibelakang
peritonium (Price dan Wilson, 2006). Ginjal merupakan sepasang organ yang
besar, berbentuk seperti kacang dengan warna kemerahan. Posisi hati
menyebabkan ginjal kanan terletak 1-2cm lebih rendah dibandingkan ginjal
kiri. Masing-masing ginjal memiliki berat 130-150gram dengan ukuran
panjang 11cm, lebar 4-5cm, dan tebal 3cm (Gartner dan Hiatt, 2007).
Permukaan ginjal licin dan terdapat di dalam suatu kapsul yang dikelilingi
lemak perinefrik dan fasia Gerota (Chandrasoma dan Clive, 2005). Bila massa
ginjal membesar, ini ditandai pergeseran lemak di sekitar ginjal (Effendi dan
Markum, 2007). Sisi medial ginjal berbentuk cekung dan sisi lateralnya
cembung. Sisi cekung medial (hilum) ginjal merupakan tempat masuknya
saraf, keluar masuknya pembuluh darah dan pembuluh limfa, serta keluarnya
ureter (Junqueira dan Carneiro, 2007).
Universitas Sumatera Utara
17
Ginjal diliputi oleh kapsula ginjal yang terdiri atas jaringan penyambung
padat. Bagian luar ginjal disebut korteks dan bagian dalam medula. Pada
bagian medula banyak terdapat nefron (unit fungsional ginjal) yang terdiri dari
korpus renal, tubulus kontortus proksimal, ansa henle dan tubulus kontortus
distalis. Setiap korpus renal berdiameter 200μm dan terdiri atas seberkas
kapiler glomerulus yang dikelilingi oleh kapsula bowman (Junqueira dan
Carneiro, 2007). Berikut gambar struktur mikroanatomi ginjal.
Gambar 2.2. Struktur Umum Histologis Ginjal (Focosi, 2009)
Universitas Sumatera Utara
18
Gambar 2.3. Kortek Ginjal : Aparatus Jukstaglomerular (Eroschenko, 2003)
Glomerulus adalah organ epitelio-vaskuler yang berfungsi untuk filtrasi
ultra dari plasma. Kecuali infundibulum yang mengandung arteriol aferen dan
eferen, glomerulus secara keseluruhan tertutup oleh kapsula bowman yang
berbentuk mangkok dan dilapisi sel epitel parietal. Kapiler glomerulus dilapisi
oleh lapisan endotelium, berlubang pori-pori dengan diameter kurang lebih
100nm dan terletak pada membrana basalis. Di bagian luar membrana basalis
adalah sel epitel viseral atau podosit (Robbins et al., 2007).
Pada kutub urinarius dari korpuskulus renal, epitel gepeng dari lapisan
parietal kapsula Bowman berhubungan langsung dengan epitel silindris dari
tubulus kontortus proksimal. Tubulus kontortus proksimal lebih panjang dari
tubulus kontortus distal dan karenanya tampak lebih banyak dekat
korpuskulus renal dalam labirin korteks. Tubulus proksimalis dilapisi oleh
epitel selapis kuboid atau silindris dan sel-sel epitel ini memiliki sitoplasma
Universitas Sumatera Utara
19
asidofilik yang disebabkan oleh adanya mitokondria panjang dalam jumlah
besar. Apek sel memiliki banyak mikrovili dengan panjang kira-kira 1μm,
membentuk suatu brushborder yang menambah luas permukaan penyerapan
(Guyton dan Hall, 2007; Junqueira dan Carneiro, 2007). Karena selnya besar,
setiap potongan melintang tubulus proksimal hanya mengandung 3-5 inti
bulat, biasanya terletak pada pusat sel. Pada hewan hidup, tubulus proksimalis
memiliki lumen lebar dan dikelilingi oleh kapiler peritubular. Tubulus
kontortus proksimal berfungsi dalam mengabsorbsi kembali zat-zat yang
tersaring misalnya albumin, protein kecil dan non protein seperti karbohidrat
(Leeson et al., 1996). Pada sajian histologi brushborder tampak tidak teratur
dan lumen kapiler peritubular sangat mengecil atau kolaps (Junqueira dan
Carneiro, 2007; Leeson et al., 1996).
Gambar 2.4. Potongan Korteks Renal (PCT=Proximal Convoluted TubulesDCT=Distal Convoluted Tubules) (Robbins et al., 2007).
Universitas Sumatera Utara
20
Sel epitel tubulus proksimal sangat peka terhadap anoksia dan rentan
terhadap toksik. Banyak faktor yang memudahkan tubulus mengalami toksik,
seperti permukaan bermuatan listrik yang luas untuk reabsorbsi tubulus,
sistem transport aktif untuk ion dan asam organik, kemampuan melakukan
pemekatan secara efektif, selain itu kadar sitokrom P450 yang tinggi untuk
mendetoksifikasi atau mengaktifkan toksikan (Cotran et al., 2003).
Tubulus kontortus proksimalis berlanjut sebagai ansa henle. Ansa henle
adalah struktur berbentuk ‘U’ terdiri atas ruas tebal desenden, dengan struktur
yang sangat mirip tubulus kontortus proksimalis, sedangkan ruas tipis
desenden, ruas tipis asenden, dan ruas tebal asenden, yang strukturnya sangat
mirip tubulus kontortus distal. Di medula bagian luar, ruas tebal desenden
dengan garis tengah luar sekitar 60μm, secara mendadak menipis sampai
sekitar 12μm dan berlanjut sebagai ruas tipis desenden. Lumen ruas nefron ini
lebar karena dindingnya terdiri atas sel epitel gepeng yang intinya hanya
sedikit menonjol ke dalam (Junqueira dan Carneiro, 2007).
Tubulus kontortus distalis merupakan bagian akhir dari nefron, dilapisi
epitel sel kuboid. Disinilah tempat mekanisme yang mengendalikan jumlah
total garam dan air tubuh. Tubulus distal mensekresi ion hidrogen dan
amonium kedalam urin tubulus dan aktifitas ini penting untuk
mempertahankan keseimbangan asam-basa dalam darah (Junqueira dan
Carneiro, 2007). Fungsi dari tubulus distal meliputi reabsorpsi bikarbonat dan
Universitas Sumatera Utara
21
air, transport atau sekresi ion-ion yang berupa hidrogen, natrium, klorida,
amonia, kalsium dan magnesium (Leeson et al., 1996). Pada sajian histologi
perbedaan antara tubulus proksimal dan tubulus distal yang keduanya sama-
sama terdapat di korteks didasarkan pada ciri tertentu. Sel-sel tubulus
proksimal memiliki brushborder sedangkan tubulus distal tidak terdapat
brushborder, lebih asidofilik dan lumen tubulus distal lebih besar, dan karena
sel tubulus distal lebih gepeng dan lebih kecil dari tubulus proksimal, maka
tampak lebih banyak sel dan inti pada dinding tubulus distal daripada di
dinding tubulus proksimal. Kanalikuli dan vesikel apikal yang menandai
tubulus proksimal, tidak terdapat dalam sel-sel tubulus distal. Sel tubulus
distal memiliki banyak invaginasi membran basal dan mitokondria yang
menunjukkan fungsi tranpor-ionnya (Junqueira dan Carneiro, 2007). Berikut
gambar histologi tubulus proksimal dan tubulus distal ginjal.
Gambar 2.5. Pewarnaan H-E pada bagian Kortek Renal (Robbins et al., 2007)
Universitas Sumatera Utara
22
Price dan Wilson (1995) menyatakan kematian sel yang disebabkan oleh
nekrosis tubulus dapat ditandai dengan menyusutnya inti sel atau
ketidakaktifan inti sel tubulus. Inti sel tubulus yang tidak aktif dengan
pewarnaan Hematoksilin Eosin akan terlihat lebih padat dan gelap bila
dibandingkan dengan inti sel tubulus yang normal.
Gambar 2.6. Sel tubulus ginjal normal dan nekrosis (Robbins et al., 2007)
Keterangan : A=sel epitel tubulus ginjal normal; B=kerusakan awal iskemik(reversibel); C=Nekrotik sel epitel (irreversibel)
Vaskularisasi ginjal berasal dari arteri renalis yang merupakan cabang
dari aorta abdominalis. Masing-masing arteri renalis biasanya membelah
menjadi arteri segmentalis yang masuk ke hilus renalis, empat di depan pelvis
dan satu di belakang pelvis renalis, tersebar ke berbagai segmen ginjal. Arteri
segmentalis akan bercabang menjadi arteri lobaris, satu untuk setiap piramid
ginjal. Sebelum masuk substansia ginjal, arteri lobaris mempercabangkan dua
atau tiga arteri interlobaris. Pada perbatasan korteks dan medula, arteri
interlobaris mempercabangkan arteri arcuata yang melengkung sekitar basis
Universitas Sumatera Utara
23
piramid. Arteri arcuata mempercabangkan sejumlah arteri interlobularis yang
berjalan ke atas dalam korteks. Arteriol aferen glomerulus merupakan cabang-
cabang arteri interlobularis. Sedangkan pembuluh darah baliknya adalah vena
renalis yang bermuara ke vena cava inferior.
Persarafan ginjal berasal dari pleksus simpatikus renalis dan tersebar
sepanjang cabang-cabang arteri vena renalis. Serabut aferen yang berjalan
melalui plexus renalis masuk ke medula spinalis melalui nervus torakalis X,
XI, dan XII. Sifat inervasinya adalah vasomotor untuk pembuluh-pembuluh
darah (Junqueira dan Carneiro, 2007).
2.2.2. Fisiologi Ginjal
Ginjal mengatur komposisi kimia dari lingkungan dalam melalui suatu
proses majemuk yang melibatkan filtrasi, absorpsi aktif, absorpsi pasif dan
sekresi. Filtrasi terjadi dalam glomerulus, tempat ultrafiltrat dari plasma darah
terbentuk. Tubulus nefron terutama tubulus proksimalis mengabsorbsi zat-zat
dalam substrat yang berguna bagi metabolisme tubuh, sehingga memelihara
homeostatis lingkungan dalam (Junqueira dan Carneiro, 2007). Filtrasi
memindahkan produk sisa tertentu dari darah ke dalam lumen tubulus, yang
dikeluarkan bersama urin. Dalam keadaan tertentu, dinding duktus koligens
dapat ditembus air, sehingga membantu memekatkan urin, yang umumnya
Universitas Sumatera Utara
24
hipertonik terhadap plasma darah. Dengan cara ini, organisme mengatur air,
cairan interselular dan keseimbangan osmotik (Junqueira dan Carneiro, 2007).
Ginjal merupakan alat tubuh yang strukturnya amat rumit, berperan penting
dalam pengelolaan berbagai faal utama tubuh. Beberapa fungsi ginjal :
1. Regulasi volume dan osmolalitas cairan tubuh
Bila tubuh kelebihan cairan maka terdapat rangsangan melalui arteri karotis
interna ke osmoreseptor di hipotalamus anterior. Rangsangan tersebut
diteruskan ke kelenjar hipotalamus posterior sehingga produksi hormon
anti diuretik (ADH) dikurangi dan akibatnya diuresis banyak.
2. Regulasi keseimbangan elektrolit
Untuk mempertahankan homeostasis, ekskresi air dan elektrolit seharusnya
sesuai dengan asupan. Jika asupan melebihi ekskresi, jumlah zat dalam
tubuh meningkat. Jika asupan kurang dari ekskresi, jumlah zat dalam tubuh
berkurang.
3. Regulasi keseimbangan asam basa
Ginjal turut mengatur asam-basa, bersama dengan sistem dapar paru dan
cairan tubuh, dengan mengekskresi asam dan mengatur penyimpanan dapar
cairan tubuh.
4. Ekskresi produk metabolit dan substansi asing
Ginjal merupakan organ utama untuk membuang produk sisa metabolisme
yang tidak diperlukan lagi oleh tubuh, seperti urea (dari metabolisme asam
Universitas Sumatera Utara
25
amino), kreatinin (dari kreatin otot), asam urat (dari asam nukleat), produk
akhir pemecahan hemoglobin (seperti bilirubin), dan metabolit dari
berbagai hormon. Ginjal membuang banyak toksin dan zat asing lainnya
yang diproduksi oleh tubuh atau pencernaan, seperti pestisida, obat-obatan
dan makanan tambahan.
5. Fungsi endokrin
a. Partisipasi dalam eritropoiesis ; Ginjal mengsekresi eritropoietin, yang
merangsang pembentukan sel darah merah. Salah satu rangsangan yang
penting untuk sekresi eritropoietin oleh ginjal ialah hipoksia.
b. Pengatur tekanan arteri; Ginjal berperan dalam mengatur tekanan arteri
jangka panjang dengan mengekskresi sejumlah natrium dan air. Ginjal
juga mengatur tekanan arteri jangka pendek dengan mengsekresi faktor
atau zat vasoaktif, seperti renin yang menyebabkan pembentukan
produk vasoaktif (misalnya angiotensin II).
6. Pengaturan produksi 1,25-dihidroksi vitamin D3
Ginjal menghasilkan bentuk aktif dari vitamin D, yaitu 1,25-dihidroksi
vitamin D3.
7. Sintesa glukosa
Ginjal menerima sekitar 20% hingga 25% dari curah jantung atau sekitar
1000 hingga 1200 ml/menit untuk difiltrasi. Semua elemen akan mengalami
filtrasi, termasuk air, elektrolit, dan nonelektrolit, kecuali untuk sel darah
Universitas Sumatera Utara
26
merah dan sebagian besar protein. Transport ion dan molekul melalui
peristiwa reabsorbsi dan sekresi di sepanjang tubulus melalui mekanisme
transport aktif atau pasif. Molekul-molekul air bergerak secara osmosis jika
terdapat gradien konsentrasi ion-ion atau molekul yang melewati membran
semipermeabel. Sejumlah dua pertiga dari hasil filtrasi glomerulus diabsorbsi
kembali oleh tubulus proksimal, hanya sekitar 1% yang diekskresikan ke urin.
Gangguan pada fungsi ginjal dapat diketahui melalui pengukuran
beberapa bahan-bahan hasil metabolisme diantaranya adalah ureum (BUN,
Blood Urea Nitrogen) dan kreatinin (Guyton dan Hall, 2007).
Ureum atau urea nitrogen darah (Blood Urea Nitrogen/BUN) merupakan hasil
metabolisme protein normal. Tahapan pembentukan ureum dimulai dengan
derivat asam amino ornitin yang bergabung dengan satu molekul karbon-
dioksida dan satu molekul amonia untuk membentuk zat kedua yaitu sitrulin.
Sitrulin kemudian bergabung dengan molekul amonia lain untuk membentuk
arginin, yang kemudian dipecah menjadi ortinin dan ureum. Ureum berdifusi
dari sel hati ke cairan tubuh dan dikeluarkan melalui ginjal berupa urin
(Guyton dan Hall, 2007). Kadar ureum yang tinggi dalam tubuh akan bersifat
toksik karena sifatnya mendenaturasi protein (Doxey, 1983).
Sedangkan kreatinin disintesis di dalam hati dari metionin, glisin dan arginin.
Dalam otot rangka, kreatin disfosforilasi membentuk fosforil kreatin,
merupakan simpanan tenaga penting bagi sintesis ATP. Kretinin
Universitas Sumatera Utara
27
diekskresikan seluruhnya dalam urin melalui filtrasi glomerulus dan
meningkatnya kadar kreatinin dalam darah merupakan indikasi rusaknya
fungsi ginjal. Pada hewan mencit kadar normal BUN antara 13,9 – 28,3 mg/dl
dan kreatinin antara 0,30 – 1,0 mg/dl (Malole dan Pramono, 1989).
2.2.3. Nekrosis Tubular Akut (NTA)
Proses Degenerasi dan Nekrosis Sel
Sel adalah unit terkecil yang menunjukkan semua sifat dari kehidupan.
Aktifitasnya memerlukan energi dari luar untuk proses pertumbuhan,
perbaikan dan reproduksi. Ketika mengalami stres fisiologis atau rangsang
patologis, sel bisa beradaptasi mencapai kondisi baru dan mempertahankan
kelangsungan hidupnya. Namun bila kemampuan adaptif berlebihan sel
mengalami jejas. Dalam batas tertentu bersifat reversibel dan sel kembali ke
kondisi semula. Stres yang berat atau menetap menyebabkan cedera
ireversibel dan sel yang terkena mati (Cotran et al., 2003).
Penyebab cedera sel : deprivasi oksigen, infeksi, reaksi imun, defek
genetik, ketidakseimbangan nutrisi, obat-obatan dan bahan kimia (Robbins et
al., 2007). Rhodamin B termasuk sebagai bahan kimia dapat menyebabkan
jejas sel. Bahan tersebut dapat menyebabkan kerusakan pada tingkat seluler
Universitas Sumatera Utara
28
dengan mengubah permeabilitas membran, homeostasis osmotik, keutuhan
enzim atau kofaktor dan dapat berakhir dengan kematian seluruh organ.
Zat kimia menginduksi cedera sel melalui cara langsung bergabung
dengan komponen molekuler atau organel seluler. Pada kondisi ini kerusakan
terbesar tertahan oleh sel yang menggunakan, mengabsorpsi, mengekskresi,
atau mengonsentrasikan senyawa. Banyak zat kimia lain yang tidak aktif
secara intrinsik biologis, tetapi pertama kali harus dikonversi menjadi
metabolit toksik reaktif yang kemudian bekerja pada sel target. Bahan kimia
misalnya rhodamin B menerima atau mendonor elektron bebas selama reaksi
intrasel sehingga mengkatalisis pembentukan radikal bebas. Terdapat 3 reaksi
jejas sel yang diperantarai radikal bebas yaitu peroksidase membran lipid,
fragmentasi DNA dan ikatan silang protein. Interaksi radikal lemak
menghasilkan peroksida yang tidak stabil dan reaktif dan terjadi reaksi
autokatalitik. Reaksi radikal bebas dengan timin pada DNA mitokondria dan
nuklear menimbulkan rusaknya untai tunggal.
Kerusakan DNA memberikan implikasi pada pembunuhan sel dan
perubahan sel menjadi ganas. Radikal bebas mencetuskan ikatan silang
protein yang diperantarai sulfhidril, menyebabkan peningkatan kecepatan
degradasi atau hilangnya aktifitas enzimatis. Reaksi radikal bebas juga secara
langsung menyebabkan fragmentasi polipeptida. Empat sistem sel yang paling
mudah terkena jejas atau cedera yaitu integritas membran sel, pembentukan
Universitas Sumatera Utara
29
ATP, sintesis protein dan integritas apparatus genetik. Dalam keterbatasan sel
dapat mengompensasi gangguan tersebut, namun bila cedera persisten atau
berlebihan menyebabkan sel melewati ambang batas dan masuk kepada
kondisi ireversibel. Keadaan tersebut disertai kerusakan luas pada semua
membran, pembengkakan lisosom, vakuolisasi mitokondria, sehingga terjadi
penurunan kapasitas untuk membentuk ATP. (Cotran et al., 2003).
Gambar 2.7. Jejas sel akibat radikal bebas (Cotran et al., 2003)
Degenerasi sel merupakan peristiwa perubahan morfologi sel akibat
cedera, bisa bersifat reversibel dan ireversibel. Cedera sel reversibel meliputi
perubahan membran plasma, perubahan mitokondrial, dilatasi retikulum
endoplasma dan perubahan nuklear. Perubahan morfologik tersebut dapat
dikenali dengan mikroskop cahaya yaitu adanya pembengkakan sel dan
degenerasi lemak. Morfologi cedera sel ireversibel-nekrosis menunjukkan
sekuens perubahan morfologik yang diikuti kematian sel pada jaringan hidup
(Cotran et al., 2003). Perubahan morfologi sel dapat terlihat pada Gambar 2.8.
Universitas Sumatera Utara
30
Gambar 2.8. Jejas sel reversibel dan ireversibel (Cotran et al ., 2003)
Nekrosis merupakan korelasi makroskopik dan histologik pada kematian
sel yang terjadi di lingkungan cedera eksogen ireversibel. Manifestasi yang
paling sering terjadi ditandai dengan pembengkakan sel, denaturasi protein
sitoplasma dan pemecahan organel sel. Selain itu nekrosis juga memiliki ciri
adanya penonjolan membran disertai kehilangan integritas membran, sel
membengkak kemudian lisis, kebocoran lisosom, inti menggerombol dan
terjadi agregasi, seperti yang terlihat pada gambar berikut.
Gambar 2.9. Gambaran sel nekrosis (Cotran et al., 2003)
Universitas Sumatera Utara
31
Patogenesis
Seperti halnya hati, ginjal juga rawan terhadap zat-zat kimia. Oleh
karena itu, zat kimia yang terlalu banyak berada di dalam ginjal diduga akan
mengakibatkan kerusakan sel, seperti piknosis dan kongesti. Piknosis atau
pengerutan inti merupakan homogenisasi sitoplasma dan peningkatan
eosinofil. Piknosis merupakan tahap awal kematian sel (nekrosis). Tahap
berikutnya yaitu inti pecah (karioreksis) dan inti menghilang (kariolisis).
Piknosis dapat terjadi karena adanya kerusakan di dalam sel antara lain
kerusakan membran yang diikuti oleh kerusakan mitokondria dan aparatus
golgi sehingga sel tidak mampu mengeliminasi air dan trigliserida sehingga
tertimbun dalam sitoplasma sel. Pada ginjal, piknosis paling banyak terjadi
pada tubulus proksimalis karena di tubulus inilah terjadi proses reabsorbsi
sehingga peluang terjadinya kerusakan akibat dari toksikan paling tinggi.
Nekrosis merupakan kematian sel jaringan akibat jejas saat individu masih
hidup. Secara mikroskopik terjadi perubahan inti (nukleus) yaitu inti menjadi
keriput, tidak vasikuler lagi dan tampak lebih padat, warnanya gelap hitam
(karyopiknosis), inti pucat tidak nyata (kariolisis), dan inti terpecah-pecah
menjadi beberapa gumpalan (karioreksis) (Himawan, 1992).
Nekrosis dapat disebabkan oleh bermacam-macam agen etiologi dan
dapat menyebabkan kematian dalam beberapa hari seperti zat toksik dan
logam berat, gangguan metabolik dan infeksi virus (Thomas, 1988). Nekrosis
Universitas Sumatera Utara
32
tubulus adalah lesi ginjal yang reversibel dan timbul pada suatu sebaran
kejadian klinik. Menurut Cotran (1995), kerusakan ginjal berupa nekrosis
tubulus disebabkan oleh sejumlah racun organik. Hal ini terjadi karena pada
sel epitel tubulus terjadi kontak langsung dengan bahan yang direabsorbsi,
sehingga sel epitel tubulus ginjal dapat mengalami kerusakan berupa
degenerasi lemak ataupun nekrosis pada inti sel ginjal.
Nekrosis Tubular Akut (NTA)
Nekrotik Tubular Akut (NTA) adalah kesatuan klinikopatologik yang
ditandai secara morfologik oleh destruksi sel epitel tubulus dan secara klinik
oleh supresi akut fungsi ginjal (Alpers dan Fogo, 2007), dibedakan atas NTA
iskemik dan NTA nefrotoksik. NTA nefrotoksik disebabkan oleh berbagai
bahan seperti toksin, obat obatan, atau konsentrasi tinggi zat yang potensial
merusak dan berbahaya seperti zat kimia dan logam berat (Underwood, 2000;
Alpers dan Fogo, 2007). Kerusakan tubulus proksimal ginjal akibat zat
nefrotoksis terlihat adanya penyempitan tubulus proksimal, nekrosis sel epitel
tubulus proksimal dan adanya hialin cast di tubulus distal (Manggarwati dan
Susilaningsih, 2010). Tampak juga degenerasi tubulus proksimal yang
mengandung debris, tetapi membrana basalis utuh (Underwood, 2004 ; Alpers
dan Fogo, 2007).
Patogenesis Nekrotik Tubular Akut (NTA) dapat terjadi karena
berkurangnya aliran darah ke ginjal sebagai akibat suatu penurunan tekanan
Universitas Sumatera Utara
33
darah. Karena epitel tubulus-tubulus ginjal terutama tubulus proksimal sangat
peka terhadap suatu iskemia, maka jaringan ini dalam batas–batas tertentu
akan mengalami kerusakan, walaupun sisa jaringan ginjal lainnya tampak
seperti tidak mengalami kelainan. NTA dapat juga disebabkan karena
keracunan, misalnya zat kimia, air raksa atau karbon tetraklorida. Efeknya
terhadap epitel tubulus langsung akibat kontak antara racun yang kemudian
diekskresi dalam urin dengan epitel ini (Alpers dan Fogo, 2007).
NTA merupakan penyebab terpenting dari gagal ginjal akut. Dengan
gejala klinis oliguria yang dilanjutkan diuresis. Adanya kerusakan tubulus
menyebabkan retensi cairan, sehingga terjadi uremia, hiperkalemia,
peningkatan blood urea nitrogen (BUN) sekitar 25-30mg/dl per-hari, dan
kreatinin kira-kira 2,5mg/dl per-hari (Price dan Wilson, 1995; Underwood,
2000). Setelah penyembuhan, epitel tubulus diganti dengan sel yang belum
memiliki kemampuan selektif, sehingga urin mudah lewat tanpa absorbsi yang
mengakibatkan dehidrasi dan hilangnya elektrolit tertentu (Price dan Wilson,
1995; Alpers dan Fugo, 2007). Tampak pula peningkatan ketidakkebalan
terhadap infeksi sehingga kurang lebih 25% kematian akibat NTA terjadi
selama fase diuretik (Underwood, 2000).
Nekrosis terjadi setelah suplai darah hilang atau setelah terpajan toksin
dan ditandai dengan pembengkakan sel, denaturasi protein, serta kerusakan
organel sel. Perubahan inti sel nekrosis berupa piknosis, ditandai melisutnya
Universitas Sumatera Utara
34
inti sel dan peningkatan basofil, kariolisis inti sel pucat dan terlarut dan
karioreksis, fragmen inti sel yang piknotik dan selanjutnya dalam 1-2 hari inti
dalam sel yang mati benar-benar menghilang (Mitchell dan Cotran, 2007).
Nefrotoksisitas akibat zat toksik dapat menyatukan beberapa jalur
molekuler apoptosis, termasuk menghilangkan molekul protektif intraseluler
dan aktivasi kaspase. Zat kimia seperti rhodamin B sebagai zat toksik juga
menginduksi stres retikulum endoplasma pada glomerulus ginjal, yang
menyebabkan stres oksidatif dan inflamasi pada sel-sel podosit serta
mesangial glomerulus (Inagi, 2009). Senyawa Radical Oxygen Species (ROS),
yang merupakan hasil metabolisme rhodamin B, juga dapat menyebabkan
kerusakan glomerulus (Singh et al, 2006).
Menurut Huxtable (1988) ginjal yang terkena bahan nefrotoksik akan
melakukan perbaikan pada 1 sampai 2 minggu fase penyembuhan dan
perbaikan dapat terus berlangsung hingga 12 bulan atau sampai fungsi ginjal
normal kembali.
2.3 Madu
2.3.1 Gambaran umum Madu
Madu adalah cairan alami memiliki rasa manis, dihasilkan oleh lebah
madu, dari sari bunga tanaman (floral nectar) atau bagian lain dari tanaman
Universitas Sumatera Utara
35
(extra floral nectar) atau ekskresi serangga yang berkhasiat dan bergizi tinggi
(Suranto, 2007). Madu dapat dikelompokkan berdasarkan bentuk maupun
sumber nektarnya. Berdasarkan bentuknya, madu dibagi menjadi 3 jenis : (1)
Madu sisir yaitu madu yang masih terkandung dalam sisir sarang madu; (2)
Madu ekstraksi yaitu madu yang telah dipisahkan tanpa penghancuran sisir
sarang madu melainkan dengan cara memusingkan atau memberikan gaya
gravitasi; dan (3) Madu paksa yaitu madu yang diperoleh dengan
penghancuran sisir sarang madu dengan pengepresan atau dengan cara lain
yang semacam. Sedangkan menurut sumber nektarnya madu dibagi menjadi 3
macam : (1) Madu flora yaitu madu yang dihasilkan dari nektar bunga. Bila
nektar tersebut berasal dari satu jenis tanaman disebut madu monoflora dan
bila berasal dari beraneka ragam bunga disebut madu poliflora; (2) Madu
ekstra flora yaitu madu yang dihasilkan dari nektar yang terdapat diluar bunga
yaitu berasal dari bagian tanaman yang lain seperti daun, cabang atau batang
tanaman; (3) Madu embun yaitu madu yang dihasilkan dari cairan suksesi
serangga yang kemudian eksudatnya diletakkan pada bagian-bagian tanaman,
cairan ini kemudian dihisap dan dikumpulkan oleh lebah madu. Madu jenis ini
berwarna gelap dengan aroma merangsang. Madu juga dapat diklasifikasi
berdasarkan letak geografis produksi madu. Di Indonesia jenis madu yang
dipasarkan sering diberi nama menurut daerah asalnya, misalnya Madu
Sumbawa, Madu Kalimantan dan Madu Sulawesi (Suranto, 2007).
Universitas Sumatera Utara
36
2.3.2 Kualitas madu
Kualitas madu ditentukan oleh waktu pemanenan madu, kadar air,
warna madu, rasa dan aroma madu. Waktu pemanenan madu harus dilakukan
pada saat yang tepat, yaitu ketika madu telah matang dan sel-sel madu mulai
ditutup oleh lebah dan madu yang baik mengandung kadar air sekitar 17-21%
(Sihombing, 1987), dan adanya kandungan enzim diastase sebagai salah satu
acuan yang digunakan SNI menentukan madu itu asli atau tidak, karena enzim
ini hanya bisa dihasilkan dari kelenjar ludah lebah.
Warna merupakan salah satu kriteria mutu madu. Biasanya warna madu
cenderung akan mengikuti tanaman penghasil nektarnya, misalnya madu dari
tanaman lobak akan berwarna putih seperti air, madu dari tanaman akasia dan
apel akan berwarna kuning terang, sedangkan madu dari tanaman lime akan
berwarna hijau terang. Madu yang disimpan dalam jangka waktu yang relatif
lama maka warnanya akan cenderung menjadi lebih tua (Hammad, 2009). Cita
rasa madu ditentukan oleh zat yang terdapat dalam madu diantaranya glukosa,
alkaloid, gula, asam glukonat dan prolin. Rasa dan aroma madu yang paling
enak adalah ketika madu baru dipanen dari sarangnya. Sesudah itu, senyawa-
senyawa yang terdapat dalam madu sedikit demi sedikit akan menguap. Hal
ini disebabkan senyawa yang terdapat dalam madu bersifat volatil (mudah
menguap). Untuk menjaga kualitas madu cara memanen dan menyimpan
madu perlu diperhatikan (Suranto, 2004).
Universitas Sumatera Utara
37
Di Indonesia, kualitas madu ditentukan oleh Standar Nasional Indonesia
(SNI) nomor 01-3545-2004 tahun 2004. Standar tersebut merupakan kriteria
mutu madu yang ditetapkan oleh Badan Standarisasi Nasional (BSN) dan
merupakan revisi dari SNI nomor 01-3545-1994.
Tabel 2.1. Syarat Mutu Madu (BSN)
2.3.3 Kandungan Madu
Zat-zat yang terkandung dalam madu sangat kompleks dan telah
diketahui tidak kurang dari 181 macam zat yang terkandung dalam madu.
Jumlah karbohidrat merupakan komponen terbesar yang terkandung dalam
madu, berkisar lebih dari 75%. Jenis karbohidrat yang paling dominan
golongan monosakarida yang terdiri fruktosa dan dekstrosa. Fruktosa dan
NO JENIS UJI SATUAN PERSYARATAN
1. Aktifitas enzim diastase,Minimal
DN(Diastase Number)
3
2. Hidroksimetifurfural,Maksimal
mg/kg 50
3. Air, maksimal % b/b 224. Gula pereduksi (dihitung seba-
gai glukosa), maksimal% b/b 65
5. Sukrosa, maksimal % b/b 56. Keasaman, maksimal ml NaOH
1 N/kg50
7. Padatan yang tidak larut dalamAir, maksimal
% b/b 0,5
8. Abu, maksimal % b/b 0,59. Cemaran logam :
Timbal (Pb), maksimal Tembaga (Cu), maksimal
mg/kgmg/kg
1,05,0
10 Cemaran Arsen (As),maksimal mg/kg 0,5
Universitas Sumatera Utara
38
dekstrosa mencakup 85% - 90% dari total karbohidrat yang terdapat dalam
madu, sisanya terdiri dari disakarida dan oligosakarida (Sihombing, 1987).
Komposisi terbesar kedua adalah air. Jumlahnya berkisar 15% - 25%.
Bervariasinya kadar air dalam madu disebabkan karena kelembapan udara,
jenis nektar, proses produksi dan penyimpanan (Suranto, 2007). Madu juga
mengandung banyak mineral yang bersifat esensial maupun non esensial.
Kandungan mineral dan vitamin dalam madu dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 2.2. Kandungan vitamin dan mineral dalam madu (Suranto, 2007)
38
dekstrosa mencakup 85% - 90% dari total karbohidrat yang terdapat dalam
madu, sisanya terdiri dari disakarida dan oligosakarida (Sihombing, 1987).
Komposisi terbesar kedua adalah air. Jumlahnya berkisar 15% - 25%.
Bervariasinya kadar air dalam madu disebabkan karena kelembapan udara,
jenis nektar, proses produksi dan penyimpanan (Suranto, 2007). Madu juga
mengandung banyak mineral yang bersifat esensial maupun non esensial.
Kandungan mineral dan vitamin dalam madu dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 2.2. Kandungan vitamin dan mineral dalam madu (Suranto, 2007)
38
dekstrosa mencakup 85% - 90% dari total karbohidrat yang terdapat dalam
madu, sisanya terdiri dari disakarida dan oligosakarida (Sihombing, 1987).
Komposisi terbesar kedua adalah air. Jumlahnya berkisar 15% - 25%.
Bervariasinya kadar air dalam madu disebabkan karena kelembapan udara,
jenis nektar, proses produksi dan penyimpanan (Suranto, 2007). Madu juga
mengandung banyak mineral yang bersifat esensial maupun non esensial.
Kandungan mineral dan vitamin dalam madu dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 2.2. Kandungan vitamin dan mineral dalam madu (Suranto, 2007)
Universitas Sumatera Utara
39
Tabel 2.3. Kandungan Mineral dalam Madu (Sihombing, 1987)
Esensial Non esensialNama Satuan (ppm) Nama Satuan (ppm)Besi (Fe)Fosfor (P)Kalium (K)Kalsium (Ca)Khlorin (Cl)Magnesium (Mg)Natrium (Na)Silikon (Si)Sulfur (S)Zink (Zn)
2,4035
20549521918
958
1,6
Aluminium (Al)Antimony (Sb)Boron (B)Titanium (Ti)
59,51 – 23,51,36
Asam utama yang terdapat dalam madu adalah asam glutamat. Sedangkan
asam organik yang terdapat dalam madu : asam asetat, asam butirat, format,
suksinat, glikolat, malat, proglutamat, sitrat dan piruvat (Suranto, 2004).
2.2.4. Mekanisme proteksi madu dalam melindungi sel tubulus proksimal ginjal
akibat pemberian rhodamin B
Secara umum, radikal bebas merusak struktur seluler dan subseluler
melalui tahap inisiasi, tahap propagasi dan tahap terminasi. Untuk melawan
radikal bebas diperlukan pencegahan dan menghambat terbentuknya radikal
bebas, menginaktivasi dan memutus propagasi (chain breaking) dan
memperbaiki kerusakan akibat radikal bebas (Agustina dan Ahmad, 2003).
Universitas Sumatera Utara
40
Tubuh manusia menghasilkan senyawa antioksidan, tapi tidak cukup
kuat untuk berkompetisi dengan radikal bebas, sehingga diperlukan
antioksidan dari luar yang dapat membantu melindungi tubuh dari berbagai
serangan radikal bebas. Antioksidan merupakan senyawa yang dapat meredam
dampak negatif suatu oksidan dengan cara memberikan elektronnya pada
oksidan (Bagiada, 1995). Antioksidan mampu mengubah oksidan menjadi
molekul yang tidak berbahaya dan mencegah pembentukan radikal bebas serta
memperbaiki kerusakan yang ditimbulkannya (Widjaja, 1997). Antioksidan
bermanfaat mengurangi kerusakan asam deoksiribonukleat, menurunkan
peroksidasi lipid, atau terhambatnya transformasi keganasan invitro (Agustina
dan Ahmad, 2003).
Madu sebagai salah satu makanan yang kaya akan antioksidan (Al-
Mamary et al., 2002; Estevinho et al., 2008) telah digunakan sebagai sumber
makanan alami sejak zaman dahulu. Madu sebagai cairan alami memiliki rasa
manis yang dihasilkan oleh lebah madu, dari sari bunga tanaman (floral
nectar) atau bagian lain dari tanaman (extra floral nectar) (Suranto, 2007).
Madu tersusun atas beberapa senyawa gula seperti glukosa dan fruktosa
serta sejumlah mineral seperti magnesium, kalium, kalsium, natrium, klor,
belerang, besi dan fosfat. Madu mengandung vitamin thiamin (B1), riboflavin
(B2), Pantotenat (B5) piridoksin (B6), asam askorbat (C), beta-karoten, asam
Universitas Sumatera Utara
41
nikotinat, asam fenolik, asam urat, albumin, bilirubin dan vitamin E (Gheldof
et al., 2002; Suranto, 2007; Bogdanov et al., 2007). Vitamin E dan beta
karoten merupakan pertahanan utama melawan oksigen perusak, khususnya
radikal bebas dan peroksidasi lipid dalam jaringan (Maslachah et al., 2001).
Juga sejumlah kecil tembaga, yodium, dan seng serta beberapa jenis hormon
(Suranto, 2007). Enzim penting yang terdapat dalam madu adalah diastase,
invertase, glukosa oksidase, peroksidase dan lipase. Enzim diastase mengubah
karbohidrat komplek (polisakarida) menjadi karbohidrat yang sederhana
(monosakarida). Enzim invertase yang memecah molekul sukrosa menjadi
glukosa dan fruktosa. Sedangkan enzim oksidase adalah enzim yang
membantu oksidasi glukosa menjadi asam peroksida. Enzim peroksidase
melakukan proses oksidasi metabolisme. Semua zat tersebut berguna untuk
proses metabolism tubuh (Suranto, 2004).
Madu memiliki unsur bahan pengawet dan telah digunakan sebagai
bahan antiseptik dan antibiotik (Walji, 2001) dan sebagai bahan pemanis.
Madu mengandung senyawa biologis aktif asam kafeat, asam ester phenethyl
kafeat dan glikones flavonoid (Chinthalapally et al., 1993) yang dapat
menghambat proliferasi sel tumor dan transformasi oleh downregulasi jalur
enzimatik selular, termasuk tirosin protein kinase, siklooksigenase dan jalur
dekarboksilase ornithine (Chinthalapally et al., 1993). Madu mengandung
senyawa flavonoid yang dapat berperan sebagai penangkap radikal bebas
Universitas Sumatera Utara
42
hidroksi (OH.) sehingga tidak terjadi oksidasi lemak, protein, dan DNA dalam
sel. Kemampuan flavonoid dalam menangkap radikal bebas 100 kali lebih
efektif dibandingkan vitamin C dan 25 kali lebih efektif dibandingkan vitamin
E (Harbone, 1987; Salamah dkk., 2008).
Madu mampu meningkatkan kadar Nitrit Oxide (NO) dalam tubuh (Al-
Wali et al., 2006), kaya akan kandungan poliphenol yang dapat menghambat
proliferasi sel-sel kanker (Jaganatha and Mandal, 2009), mengandung
selenium, mangan, seng dan tembaga (Bogdanov et al., 2008). Madu memiliki
efek antitumor (Gribel dan Pashiniski, 1990) dan antimetastatik dan antitumor
akibat obat kemoterapi (Wattenberg, 1986), antibakteri (Dustmann, 1979),
anti jamur, anti inflamasi dan mempercepat penyembuhan luka (Jeddar et al.,
1985). Madu dapat menginduksi apoptosis sel kanker kandung kemih dan
menghambat pertumbuhan tumor (Swellam et al., 2003) serta menghambat
proliferasi sel adenokarsinoma ginjal (Samarghandian et al., 2011). Madu
memiliki efek proteksi dan memperbaiki kerusakan sel ginjal mencit secara
signifikan pada dosis 0,08ml/20g BB (setara 30 ml)(Ratnasari, 2009).
Universitas Sumatera Utara