203
Volume 11, No.1 Mei 2011 i Perlindungan Hukum Terhadap Hak- Hak Rakyat Atas Tanah Dalam Pembangunan (Kajian Atas Perpres No. 65 Tahun 2006); Kedudukan Jaksa Dalam Penyidikan Tindak Pidana Korupsi Berdasarkan UU No. 16 Tahun 2004; Kewenangan PTUN Dalam Penanganan Sengketa Pertanahan Berdasarkan UU PTUN; Akibat Hukum Terhadap Perjanjian Hutang Menurut KUH Perdata; Sengketa Pegawai Negeri Sipil Akibat Terbitnya Keputusan Tata Usaha Negara; Tinjauan Yuridis Terhadap Pasal 174 PP No. 44 Tahun 1993 Tentang Bea baliknama Kendaraan Bermotor; Perlindungan Hukum Advokat Sebagai Penerima Kuasa. Volume 11, No.1 Mei 2011 ISSN 1412-2928

Jurnal Vol 11

Embed Size (px)

DESCRIPTION

hpp

Citation preview

  • Volume 11, No.1 Mei 2011 i

    Perlindungan Hukum Terhadap Hak-Hak Rakyat Atas Tanah Dalam

    Pembangunan (Kajian Atas Perpres No.

    65 Tahun 2006);

    Kedudukan Jaksa Dalam Penyidikan Tindak Pidana Korupsi Berdasarkan UU

    No. 16 Tahun 2004;

    Kewenangan PTUN Dalam Penanganan Sengketa Pertanahan Berdasarkan UU

    PTUN;

    Akibat Hukum Terhadap Perjanjian Hutang Menurut KUH Perdata;

    Sengketa Pegawai Negeri Sipil Akibat Terbitnya Keputusan Tata Usaha

    Negara;

    Tinjauan Yuridis Terhadap Pasal 174 PP No. 44 Tahun 1993 Tentang Bea

    baliknama Kendaraan Bermotor;

    Perlindungan Hukum Advokat Sebagai Penerima Kuasa.

    Volume 11, No.1 Mei 2011 ISSN 1412-2928

  • Volume 11, No.1 Mei 2011 ii

    JURNAL YUSTITIA

    Pimpinan Umum/Penanggung Jawab

    Dekan Fakultas Hukum Universitas Madura

    Pimpinan Redaksi

    Muhammad, S.H.,MH.

    Wakil Pimpinan Redaksi

    Achmad Rifai, S.H., M.Hum.

    M.Amin Rachman, S.H., MH.

    Sekretaris Redaksi

    Sri Sulastri, S.H.,M.Hum.

    Konsultan Redaksi

    Drs. H. Kutwa, M.Pd.

    Drs. H. Abd. Roziq, MH.

    Dr. H. Akh. Munif, S.H.,M.Hum.

    Redaksi Pelaksana

    H. Gatot Subroto, S.H.,M.Hum.

    Dr. Ummi Supratiningsih, S.H.,M.Hum.

    Win Yuli Wardani, S.H.,M.Hum.

    Adrianana Pakendek, S.H., MH.

    Anni Puji Astutik, S.H., MH.

    Pembantu Umum

    Hj.Wasilaning Rahayu

    Toyyib Muniri

    Alamat Redaksi Jl. Raya Panglegur Km.3,5 Telp. (0324) 322231, Fax. (0324) 327417 Pamekasan

    E-mail: [email protected]

    Yustitia diterbitkan satu kali dalam setahun, sebagai media komunikasi ilmu pengetahuan hukum dan pembangunan. Untuk itu, redaksi menerima sumbangan tulisan ilmiah yang belum pernah diterbitkan dalam

    media lain, dengan persyaratan seperti yang tercantum pada halaman sampul belakang.

  • Volume 11, No.1 Mei 2011 iii

    EDITORIAL

    Perlindungan hukum terhadap hak-hak rakyat atas tanah dalam pembangunan

    adalah untuk memberikan perlindungan hukum bagi pemegang hak atas tanah terhadap

    tanahnya, maka dalam surat pernyataan pelepasan atau penyerahan hak atas tanah yang dibuat oleh pemegang hak atas tanah perlu dibuat klausula yang menyatakan bahwa

    apabila dikemudian hari diketahui ternyata pengadaan tanahnya bukan untuk

    kepentingan umum melainkan untuk kepentingan perusahaan dan lain-lain, , maka

    pengadaan tanah tersebut dianggap batal dan uang ganti rugi yang telah diterima akan

    dikembalikan kepada panitia pengadaan tanah atau pemegang hak atas tanah.Hal ini

    diangkat sebagai tulisan utama dalam volume ini.

    Tulisan ke dua memaparkan tentang kedudukan, tugas dan wewenang Komisi

    Pemberantasan Korupsi ( KPK ) berasaskan pada kepastian hukum, keterbukaan,

    akuntabilitas, kepentingan umum dan proporsionalitas. Kepastian hukum dalam negara

    hukum mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan

    keadilan dalam setiap kebijakan menjalankan tugas dan wewenang Komisi

    Pemberantasan Korupsi. Kewenangan Pemberian dan Pembatalan Pemberian Hak Atas Tanah yang

    dilaksanakan sendiri oleh Badan Pertanahan Nasional. Dalam kaitannya itu dengan

    implementasi wewenang BPN membatalkan pemberian Hak Atas Tanah berbenturan

    dengan wewenang mengadili Peradilan Tata Usaha Negara.

    Akibat hukum yang timbul dalam perjanjian hutang menurut Kitab Undang-

    undang Hukum Perdata, selama ini perjanjian penanggungan merupakan jaminan

    perorangan maupun corporate guarantee, maka perjanjian penanggungan ini selalu

    diadakan antara kreditur dan pihak ketiga guna kepentingan kreditur mengikatkan diri

    untuk memenuhi perikatannya debitur bilamana debitur sendiri tidak memenuhinya

    Perlindungan hukum terhadap hak masyarakat dalam memperoleh pelayanan

    publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan jaminan terhadap hak masyarakat baik secara yuridis konstitusional maupun secara etika sosial.

    . Dalam transaksi jual beli sepeda motor, selain harus dilakukan penyerahan

    nyata atas sepeda motor dari tangan penjual kepada tangan pembeli, juga harus

    dilakukan penyerahan yuridis, dan akan melahirkan perobahan nama pemilik dalam

    BPKB dan STNK sepeda motor yang bersangkutan;

    Perlindungan hukum Advokat selaku penerima kuasa dalam pemberian

    bantuan hukum berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 baru dalam batas

    tidak dapat dituntut secara pidana ataupun perdata adapun hak seorang advokat dalam

    rangka pengumpulan bukti baru dalam hak yang tidak diimbangi dengan kewajiban dan

    sanksi terhadap pihak lain untuk menyerahkan bukti yang dibutuhkan

    Editor

  • Volume 11, No.1 Mei 2011 iv

    DAFTAR ISI

    EDITORIAL ii 1. Dr.H.Akh.Munif, S.H.,M.Hum.

    Perlindungan Hukum Terhadap Hak-Hak Rakyat Atas Tanah Dalam

    Pembangunan (Kajian Atas Perpres No. 65 Tahun 2006) . 1

    2. Nur Hidayat, S.H., M.Hum.

    Kedudukan Jaksa Dalam Penyidikan Tindak Pidana Korupsi

    Berdasarkan UU No. 16 Tahun 2004 .. 26

    3. H.Hofney Setyo Poernamo, SH.,M.Hum.

    Kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara Dalam Penanganan

    Sengketa Pertanahan Berdasarkan UU PTUN .............................................. 52

    4. Sri Sulastri, SH.M.Hum.

    Akibat Hukum Terhadap Perjanjian Hutang Menurut KUH Perdata ....... 83

    5. Win Yuli Wardani, SH.,M.Hum.

    Perlindungan Hukum Terhadap Hak Masyarakat Dalam Memperoleh

    Pelayanan Publik ............................................................................................. 103

    6. M.Amin Rachman, S.H.,MH.

    Tinjauan Yuridis Terhadap Pasal 174 PP No. 44 Tahun 1993 Tentang

    Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor ........................................................... 123

    7. Achmad Rifai, SH.M.Hum.

    Perlindungan Hukum Advokat Sebagai Penerima Kuasa ........ 147

  • Volume 11, No.1 Mei 2011 v

    PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH

    DALAM PEMBANGUNAN (Kajian Atas Perpres No. 65 Tahun 2006)

    Oleh:

    H. Akh.Munif.1*

    ABSTRAK

    Bentuk perlindungan hukum terhadap hak-hak rakyat atas tanah dalam

    pembangunan adalah untuk memberikan perlindungan hukum bagi pemegang

    hak atas tanah terhadap tanahnya, maka dalam surat pernyataan pelepasan

    atau penyerahan hak atas tanah yang dibuat oleh pemegang hak atas tanah

    perlu dibuat klausula yang menyatakan bahwa apabila dikemudian hari

    diketahui ternyata pengadaan tanahnya bukan untuk kepentingan umum

    melainkan untuk kepentingan perusahaan dan lain-lain, maka pengadaan

    tanah tersebut dianggap batal dan uang ganti rugi yang telah diterima akan

    dikembalikan kepada panitia pengadaan tanah atau pemegang hak atas tanah.

    Kata Kunci: Perlindungan Hukum Hak-Hak Rakyat Atas Tanah.

    LATAR BELAKANG

    Peranan pembangunan dalam masa-masa sekarang ini, sangatlah dirasakan

    adanya peningkatan kebutuhan akan tanah untuk keperluan berbagai macam aspek

    dalam menumbuhkan pembangunan yang merata bagi lapisan masyarakat, terutama

    pembangunan dibidang fisik baik desa maupun kota. Tanah sebagai modal dasar

    pembangunan memegang peranan yang sangat penting untuk melaksanakan kegiatan pembangunan, seperti mendirikan gedung sekolah, pelebaran jalan dan lain sebagainya.

    Akan tetapi banyaknya tanah yang tersedia untuk keperluan pembangunan sangatlah

    terbatas.

    Adapun faktor yang melatarbelakangi penulis mengangkat judul di atas,

    berawal dari seringnya muncul sengketa mengenai tanah diantara kelompok-kelompok

    yang ada di masyarakat yang sangat mengharapkan suatu keadilan. Adapun ukuran

    keadilan itu subyektif dan relatif. Subyektif, karena ditentukan oleh manusia (hakim)

    yang mempunyai wewenang untuk memutuskan, namun tidak mungkin memiliki

    kesempurnaan yang absolut. Relatif, karena bagi seseorang dirasa sudah adil, tetapi

    bagi orang lain dirasa sama sekali tidak adil.

    *Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Unira.

  • Volume 11, No.1 Mei 2011 vi

    Oleh kerena itu dalam setiap kegiatan pembangunan tidak saja menjadi

    tanggung jawab pemerintah, akan tetapi juga dibutuhkan peran aktif dari pihak swasta

    dan masyarakat pada umumnya. Untuk memenuhi kebutuhan akan tanah bagi

    pemerintah maupun perusahaan swasta, kecil sekali kemungkinannya menggunakan

    tanah-tanah yang dikuasai langsung oleh negara dikarenakan persediaan tanahnya yang

    terbatas. Sebagai solusinya adalah menggunakan tanah-tanah hak rakyat dengan memberikan ganti rugi kepada pemegang hak atas tanah. Sebagaimana ditentukan

    dalam undang-undang pokok agraria (UUPA) pada pasal 6 telah disebutkan bahwa

    semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial.

    Ini berarti, bahwa hak atas tanah apapun yang ada pada seseorang, tidaklah

    dapat dibenarkan, bahwa tanah itu akan dipergunakan (atau tidak dipergunakan) semata-

    mata untuk kepentingan pribadinya, apalagi kalau disesuaikan dengan keadaannya dan

    sifat dari haknya, sehingga bermanfaat bagi kesejahteraan dan kebahagiaan yang

    mempunyainya maupun bermanfaat pula bagi masyarakat dan negara. Tetapi dalam

    ketentuan tersebut tidak berarti, bahwa kepentingan perseorangan akan terdesak sama

    sekali oleh kepentingan umum (masyarakat). Kepentingan masyarakat dan kepentingan

    perseorangan haruslah saling mengimbangi sehingga pada akhirnya akan tercapailah

    tujuan pokok kemakmuran, keadilan dan kebahagiaan bagi rakyat seluruhnya. Berhubungan dengan fungsi sosialnya, maka adalah suatu hal yang sewajarnya bahwa

    tanah itu harus dipelihara baik-baik, agar bertambah kesuburannya serta dicegah

    kerusakannya. Kewajiban memelihara tanah ini tidak saja dibebankan kepada

    pemiliknya atau pemegang haknya yang bersangkutan, melainkan menjadi beban pula

    dari setiap badan hukum atau instansi yang mempunyai suatu hubungan hukum dengan

    tanah itu. Dalam melaksanakan ketentuan ini akan diperhatikan kepentingan fihak yang

    ekonomis lemah.2

    Pranata hukum yang mengatur pengambilan tanah-tanah penduduk untuk

    keperluan pembangunan, dilakukan dengan melalui :

    1. Pengadaan tanah Pengadaan tanah ialah setiap kegiatan yang mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti kerugian kepada yang berhak atas tanah tersebut.

    2. Pelepasan atau penyerahan hak atas tanah Pelepasan adalah kegiatan melepaskan hubungan antara pemegang hak atas tanah

    dengan tanah yang dikuasainya dengan memberikan ganti kerugian atas dasar

    musyawarah.

    Pengadaan tanah erat sekali hubungannya dengan pembebasan atau pelepasan

    hak atas tanah yang diperlukan baik untuk kepentingan umum maupun untuk

    kepentingan swasta, yang sering kali menimbulkan persoalan dalam masyarakat. Hal ini

    disebabkan karena adanya berbagai kepentingan yang saling bertentangan antara yang

    satu dengan yang lainnya.

    2 Arif, Undang-Undang Pokok Agraria, Cet. III, CV. Mandar Maju, Bandung,

    1994, h. 45.

  • Volume 11, No.1 Mei 2011 vii

    Menurut Soedharyo Soimin, pembebasan tanah adalah melepaskan hubungan hukum semula yang terdapat diantara pemegang hak/penguasa atas tanah dengan cara

    pemberian ganti rugi.2

    Namun dalam prakteknya, rakyat sering dijadikan akses para penguasa. Rakyat

    seringkali tidak diikutsertakan dalam musyawarah dan mengambil suatu kebijaksanaan

    yang menyangkut nasib dan masa depan mereka. Pada umumnya mereka hanya diberi pengarahan yang harus diterima dengan penuh kepatuhan, bahkan rakyat seringkali

    dibodohi dengan janji-janji yang menggiurkan, sehingga mereka merasa kecewa dan

    merasa dirugikan karena mendapatkan perlakuan yang tidak adil. Bila persoalan

    semacam ini tidak mendapatkan perhatian yang serius, pada gilirannya akan

    menimbulkan masalah yang berdampak politik.

    Hal-hal tersebut di atas tentunya menimbulkan keresahan dalam masyarakat

    yang dirugikan secara moril dan materiil. Padahal dalam pelaksanan pengadaan tanah

    harus tetap berdasarkan prinsip-prinsip dan ketentuan hukum yang sesuai dengan

    prinsip bahwa negara kita adalah suatu negara hukum. Oleh karenanya, dalam

    pengadaan tanah untuk kepentingan umum atau pembangunan diperlukan suatu

    pendekatan yang bersifat terpadu melalui legal aprroach (pendekatan dari segi hukum),

    prosperty approach (pendekatan dari segi kesejahteraan), security approach (pendekatan dari segi ketertiban umum) dan humanity approach (pendekatan dari segi

    kemanusiaan). Dengan legal approach dimaksudkan bahwa prinsip-prinsip dan

    ketentuan-ketentuan hukum tetap dijadikan landasan sesuai dengan prinsip bahwa

    negara kita adalah negara hukum. Prosperty approach dimaksudkan kita harus

    memperhatikan asas-asas ketertiban keamanan, sehingga stabilitas nasional akan tetap

    terpelihara.3

    Pembangunan dari rakyat mengandung makna bahwa rakyat merupakan faktor

    dominan diberikan peranan sentral dalam menggerakkan pembangunan dan perlu

    ditingkatkan kemampuannya untuk berproduksi dengan baik melalui investigasi

    dibidang sumber daya manusia. Pembangunan oleh rakyat berarti memberikan setiap

    manusia Indonesia memperoleh kesempatan yang adil untuk dapat berpartisipasi dalam proses pembangunan nasional. Pembangunan untuk rakyat berarti menjamin bahwa

    setiap kemajuan yang diperoleh sebagai hasil pembangunan adalah untuk meningkatkan

    kesejahteraan rakyat banyak.

    Berdasarkan uraian dan latar belakang di atas, maka dapat diangkat

    permasalahan sebagai berikut :

    a. Bagaimanakah hak dan kewajiban rakyat atas tanah ?

    2 Soedharyo Soimin, Stutas Hak Dan Pembebasan Tanah, Edisi Kedua, Sinar

    Grafika, Jakarta, 2001, h. 76. 3Abdurrahman, Masalah Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah, Pembebasan

    Tanah dan Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan

    Umum di Indonesia, PT. Citra Aditya, Bandung, 1995, h. 51.

  • Volume 11, No.1 Mei 2011 viii

    b. Bagaimanakah perlindungan hukumnya terhadap hak-hak rakyat atas tanah dalam Pembangunan ?

    HAK DAN KEWAJIBAN RAKYAT ATAS TANAH

    A. Pengertian Hak Penguasaan Atas Tanah

    Berbicara tentang masalah tanah, jika ditinjau dari hukum adat merupakan

    suatu hal yang cukup esensiil dalam kehidupan manusia. Menurut Suyono Wignjodipuro

    ada dua hak pokok yang menyebabkan tanah mempunyai kedudukan penting, yaitu :

    a. Karena sifatnya: Yakni merupakan satu-satunya benda kekayaan yang bagaimanapun

    keadaannya masih tetap bersifat tetap atau kadang-kadang bahkan

    menguntungkan.

    b. Karena fakta Suatu kenyataan bahwa tanah itu :

    - merupakan tempat tinggal persekutuannya; - merupakan penghitungan bagi warga persekutuan; - merupakan tempat warga dikebumikan; - dan juga merupakan tempat tinggal para roh dan dayang-dayang leluhur

    persekutuan.4

    Untuk kedudukan tanah karena sifatnya dalam hukum adat, sebagaimana

    dimaksud di atas contohnya sebidang tanah yang dibakar atau di atasnya dijatuhkan

    bom, tanah tersebut tidak akan lenyap, sebab setelah api itu padam atau setelah

    pemboman selesai, sebidang tanah tersebut akan muncul kembali dan telah berwujud

    tanah seperti semula. Memandang betapa tanah mempunyai arti yang sangat

    penting, maka hal-hal yang berkaitan dengan tanah selalu mendapatkan perhatian

    khusus, terutama tentang transaksi-transaksi yang berhubungan dengan tanah termasuk juga persewaan tanah pertanian.

    Transaksi tanah, sejenis perjanjian timbal balik yang bersifat riil, di dalam

    lapangan hukum harta kekayaan, merupakan salah satu perbuatan tunai dan berobyek

    tanah. Intinya ialah penyerahan benda (sebagai prestasi) yang berjalan serentak dengan

    penerimaan pembayaran tunai (seluruhnya, kadang-kadang sebagian, selaku kontra

    prestasi). Perbuatan menyerahkan itu dinyatakan dengan istilah jual(Indonesia), adol (Jawa).

    4 Surojo Wignjodipuro, Pengantar dan Azas-azas Hukum Adat, CV. Haji

    Masagung, Jakarta, 1968, h. 197.

  • Volume 11, No.1 Mei 2011 ix

    Oleh karena itu transaksi tanah segi dua atau timbal balik tersebut di atas

    menyimpulkan pokok pikiran sebagai berikut : saya melepaskan tanah setelah saya menerima sejumlah uang tertentu, dan anda menjadi pemegang hak atas tanah itu :

    1. atau untuk selamanya; 2. atau selama saya tidak menebusnya; 3. atau untuk beberapa lama saja.5 Dengan demikian transaksi-transaksi semacam itu digolongkan ke dalam perjanjian riil

    atas tanah, berhadapan dengan perjanjian-perjanjian jenis lain yaitu:

    1. perjanjian yang biasanya digolongkan kedalam transaksi yang bersangkutan

    dengan tanah, di mana tanah merupakan faktor penting, namun tidak dapat

    disebut obyek transaksi dan tidak bermaksud seperti pada transaksi jual;

    2. perjanjian di mana tanah memegang peranan sangat penting dan didalamnya

    terdapat perbuatan tunai.

    B. Hak-Hak Rakyat Atas Tanah

    Dalam membicarakan hak dan kewajiban atas tanah ada beberapa hak atas tanah yang penting harus diketahui yang berasal dari hukum agraria sebelum adanya

    Undang-undang Pokok Agraria (UUPA).

    Hak atas tanah menurut hukum Adat sebelum berlakunya UUPA yaitu :

    1. Hak ulayat

    Hak ulayat ialah hak atas tanah yang dipegang oleh seluruh anggota

    masyarakat hukum adat secara bersama-sama (komunal). Dengan hak ulayat ini

    masyarakat hukum adat yang bersangkutan menguasai tanah tersebut secara

    menyeluruh.

    Adapun hak warga masyarakat atas tanah yang berwujud dalam hak ulayat ini

    pada dasarnya berupa :

    a. Hak untuk meramu atau mengumpulkan hasil hutan yang ada di

    wilayah/wewenang hukum masyarakat mereka yang bersangkutan. b. Hak untuk berburu dalam batas wilayah/wewenang hukum masyarakat mereka.

    Tetapi dalam konsepsi hak ulayat yang bersifat komunal ini pada hakikatnya

    tetap terdapat juga hak anggota masyarakat yang bersangkutan untuk secara

    perseorangan menguasai sebagian dari obyek penguasaan hak ulayat tersebut secara

    tertentu (dengan menggunakan tanda-tanda tertentu) agar diketahui para anggota

    masyarakat lainnya dalam waktu yang tertentu pula.

    2. Hak milik dan hak pakai

    5 Iman Sudiyat, Asas-asas Hukum Adat, Yayasan Badan Penerbit Gajah Mada,

    Yogyakarta, 1979, h. 177.

  • Volume 11, No.1 Mei 2011 x

    Hak milik (adat) atas tanah ialah suatu hak atas tanah yang dipegang oleh

    perseorangan atas sebidang tanah tertentu yang terletak di dalam wilayah hak ulayat

    masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Contohnya tanah yang dikuasai dengan hak

    milik dalam hukum adat itu berupa sawah dan beralih turun temurun, sedangkan hak

    pakai (adat) atas tanah ialah suatu hak atas tanah menurut hukum adat yang telah

    memberikan wewenang kepada seseorang tertentu untuk memakai sebidang tanah tertentu bagi kepentingannya. Biasanya tanah yang dikuasai dengan hak pakai dalam

    Hukum Adat itu berupa ladang.6

    Hak atas tanah menurut hukum (Perdata) Barat sebelum berlakunya UUPA

    yaitu :7

    1. Hak Eigendom (pasal 570 KUHPer/BW).

    Hak eigendom atas tanah ialah suatu hak yang terkuat dalam hukum barat.

    Tidaklah sama hakikatnya hak milik atas tanah menurut konsepsi hukum (perdata) Barat ini dengan hakikat hak milik atas tanah menurut konsepsi UUPA kita dewasa ini.

    Dengan hak eigendom hak atas tanah, pemilik (eigenaar) tanah yang bersangkutan

    mempunyai hak mutlak atas tanahnya. Hal ini dapat kita mengerti mengingat konsepsi hukum Barat ini dilandasi oleh jiwa dan pandangan hidup yang bersifat individualistis-

    materialistis, yaitu suatu pandangan hidup yang lebih mengagungkan kepentingan perorangan dari pada kepentingan umum maupun kebendaan dari pada keahlakan.

    2. Hak opstal (pasal 711 KUH Per/BW).

    Hak opstal ialah suatu hak yang memberikan wewenang kepada

    pemegangnya untuk memiliki segala sesuatu yang terdapat di atas tanah eigendom

    orang lain sepanjang sesuatu tersebut bukanlah kepunyaan eigenaar tanah yang bersangkutan. Segala sesuatu yang dapat dimiliki itu misalkan rumah atau bangunan,

    tanaman dan sebagainya. Disamping wewenang untuk dapat memiliki benda-benda

    tersebut, hak opstal juga memberikan wewenang kepada pemegangnya untuk :

    - Memindahtangankan (benda yang menjadi) haknya itu kepada orang lain;

    - Menjadikan benda tersebut sebagai jaminan hutangnya (dengan Hak Tanggungan, UU No. 4 Tahun 1996 );

    - Mengalihkannya kepada ahli warisnya sepanjang jangka waktu berlakunya hak opstal itu belum habis menurut perjanjian yang telah ditetapkan

    bersama pemilik tanah.

    3. Hak erfpacht (pasal 720 KUHPer/BW).

    6 Purnadi Purbacaraka dan Ridwan Halim, Sendi-sendi Hukum Agraria, Ghalia

    Indonesia, Jakarta, h. 27. 7 Riduan Syahrani, Seluk-Beluk dan Asas-asas Hukum Perdata, Cet. III,

    Alumni Bandung, 1992, h. 128.

  • Volume 11, No.1 Mei 2011 xi

    Hak erfpacht ialah hak untuk dapat mengusahakan atau mengolah tanah orang

    lain dan menarik manfaat atau hasil yang sebanyak-banyaknya dari tanah tersebut. Di

    samping menggunakan tanah orang lain itu untuk dimanfaatkan hasilnya, pemegang hak

    atas tanah, pemegang hak erfpacht ini berwenang pula untuk memindahtangankan

    haknya itu kepada orang lain, menjadikannya sebagai jaminan hutang (dengan Hak

    Tanggungan) dan mengalihkannya pula kepada ahli warisnya sepanjang belum habis masa berlakunya.

    4. Hak gebruik (pasal 818 KUHPer/BW).

    Hak gebruik ialah suatu hak atas tanah sebagi hak pakai atas tanah orang lain

    (gebruik = pakai). Hak gebruik ini memberikan wewenang kepada pemegangnya untuk

    dapat memakai tanah eigendom orang lain guna diusahakan dan diambil hasilnya bagi

    diri dan keluarganya saja. Di samping itu pemegang hak gebruik in boleh pula tinggal di

    atas tanah tersebut selama jangka waktu berlaku hak itu.

    Hak atas tanah menurut hukum agraria Indonesia, setelah berlakunya UUPA

    yaitu :

    1. Hak milik (pasal 20 sampai dengan 27 UUPA)

    Hak milik ialah suatu hak atas tanah yang terpenuh, terkuat dan paling sempurna di antara hak-hak atas tanah lainnya. Tetapi pengertian terkuat, terpenuh dan

    paling sempurna di sini tidaklah berarti bahwa si pemilik tanah itu boleh bertindak atau

    melakukan apa saja atas tanahnya itu.

    Hak milik menurut UUPA ialah hak milik yang mempunyai fungsi sosial

    seperti juga semua hak atas tanah lainnya (pasal 6 UUPA) sehingga hal ini mengandung

    arti bahwa :

    a. Hak milik atas tanah tersebut di samping hanya memberikan manfaat bagi

    pemiliknya, harus diusahakan pula agar sedapat mungkin dapat bermanfaat

    pula bagi orang lain atau kepentingan umum, bila keadaan memang

    memerlukan.

    b. Penggunaan hak milik tersebut tidak boleh mengganggu ketertiban dan kepentingan umum.

    Hakikat hak milik menurut UUPA adalah demikian karena UUPA sebagai hukum

    agraria nasional telah dijiwai dan dilandasi oleh Pncasila sebagai pandangan hidup

    bangsa, yang menempatkan kehidupan manusia dalam taraf keserasian antara demensi

    individual dan demensi sosialnya. Dengan demikian, maka hal ini tentu saja berarti

    bahwa di Indonesia pemenuhan kepentingan individu dan kepentingan sosial sama-sama

    dijamin dan dilindungi penuh oleh hukum dalam taraf keseraisian pula. Akibatnya hak

    milik sebagai suatu lembaga yang merupakan kepentingan individual seseorang atau

    suatu pihak, memang dilindungi oleh hukum (proteksi hukum) tetapi disamping itu

    tentu saja tetap dibatasi pula (restriksi hukum) sampai pada batas-batas kelayakan dan

    kewajaran tertentu.

    2. Hak guna usaha (pasal 28 sampai dengan pasal 34 UUPA)

  • Volume 11, No.1 Mei 2011 xii

    Hak guna usaha ialah suatu hak yan memberikan wewenang kepada

    pemegfangnya untuk mengusahakan tanah yang langsung dikuasai oleh negara untuk

    kegiatan-kegiatan pertanian saja. Jadi apabila yang bnersangkutan tidak berkegiatan

    dalam bidang pertanian, hak guna usaha atas tanah ini tidak akan diberikan. Kegiatan

    pertanian sendiri pada asasnya mengandung pengertian pertanian dalam arti luas dan

    dalam arti sempit. Yang dimaksud dengan pertanian dalam arti luas ilah kegiatan pertanian yang disertai atau meliputi juga kegiatan-kegiatan peternakan, perkebunan,

    perikanan dan sebagainya. Sedangkan yang dimaksud dengan pertanian dalam arti

    sempit ialah pertanian yang kegiatannya hanyalah pertanian semisim panen belaka.

    Disamping itu wewenang untuk mengusahakan tanah tersebut, pemegang hak

    guna usaha yang bersangkutan juga berhak untuk menjadikan hak guna usaha atas tanah

    ini sebagai jaminan hutang, atau memindahtangankannya dan mengalihkannya kepada

    ahli warisnya sepanjang jangka waktu berlakunya hak tersebut belum habis.

    3. Hak guna bangunan (pasal 35 sampai dengan pasal 40 UUPA)

    Hak guna bangunan ialah suatu hak yang memberikan wewenang kepada

    pemegangnya untuk dapat mendirikan bangunan di atas tanah yang bukan miliknya

    sendiri, baik tanah itu merupakan milik orang atau pihak lain maupun berupa tanah yang langsung dikuasai negara.

    Disamping itu pemegang hak guna bangunan atas suatu tanah berwenang pula

    untuk memindahtangankan hak tersebut, menjadikannya sebagai jaminan hutang dan

    mengalihkannya epada ahli warisnya sepanjang belum habis jangka waktunya.

    4. Hak pakai (pasal 41 sampai dengan pasal 43 UUPA)

    Hak pakai ialah suatu hak yang memberikan wewenang kepada pemegangnya untuk

    menggunakan tanah pihak lain untuk keperluan penggunaan apa saja misalkan untuk

    ditanami atau didiami dan didrikan bangunan diatsnya dan sebagainya selama waktu

    tertentu menurut perjanjian. Sedangkan tanah yang dimaksud dalam hal ini bisa saja

    tanah milik orang lain atau taah yang langsung dikuasai negara. Dalam hal yang terakhir maka hak pakai UUPA analog dengan hak pakai Adat.

    5. Hak sewa untuk bangunan (pasal 44 sampai dengan pasal 45 UUPA).

    Hak sewa untuk bangunan ialah suatu hak yang memberikan wewenang bagi

    pemegangnya untuk mempergunakan tanah milik orang lain guna keperluannya

    mendirikan bangunan di atas tanah tersebut.

    6. Hak-hak atas tanah yang bersifat sementara (pasal 53 UUPA).

    a. Hak gadai ialah suatu hak yang dipegang oleh seorang kreditur yang

    memberikan wewenang kepadanya untuk menguasai tanah debiturnya dan

    turut menikmati atau mengambil hasilnya selama si reditur itu belum dapat

    melunaskan hutangnya. Taah yang dibebankan hak gadai ini dapat tanah

  • Volume 11, No.1 Mei 2011 xiii

    pertanian atau dapat juga tanah untuk bangunan. (Hak gadai UUPA tidak

    analog dengan hak gadai Adat).

    b. Hak usaha bagi hasil, yaitu hak yang memberkan wewenang kepada seorang

    penggarap untuk dapat mengerjakan atau mengusahakan tanah milik orang lain

    dengan memberikan sebagian tertentu dari jumlah hasil tanah tersebut kepada

    pemiliknya menurut perjanjian. c. Hak menumpang, ialah suatu hak yang memberikan wewenang kepada

    seseorang atau suatu pihak untuk menumpang tinggal diatas tanah milik orang

    lain baik dengan menempati bangunan yang sudah ada maupun dengan

    membangun sendiri bila seandainya tanah tersebut masih kosong.8

    C. Kewajiban Rakyat Atas Tanah Dalam Pembangunan

    Merupakan konsepsi yang hakiki dari pada hukum bahwa bila ada hak di situ

    ada kewajiban dan sebaliknya. Karena itu maka dengan adanya hak atas tanah lahirlah

    kewajiban atas tanah. Hal ini disebabkan karena pada hakikatnya dapat dikatakan bahwa

    Takaran Hak ialah Kewajiban sehingga hal ini mengandung arti bahwa seseorang atau suatu pihak yang menggunakan haknya harus memenuhi kewajiban yang merupakan syarat baginya untuk dapat menikmati hak tersebut. Karena itu maka sebanding dengan hak yang dapat diperoleh atas tanah, tentu saja ada pula kewajiban

    yang harus dipenuhi oleh pihak pemegang hak atas tanah yang bersangkutan.

    Kewajiban atas tanah pendamping hak atas tanah, menurut Hukum Adat

    yaitu :

    1. Kewajiban pemegang hak ulayat.

    Pemegang hak ulayat pada dasarnya berkewajiban untuk :

    a. Menggunakan haknya sebagaimana mestinya untuk meramu atau berburu dalam

    hutan wilayah hukum masyarakatnya itu;

    b. Menepati ketentuan dan kata sepakat yang telah tercapai antar warga dalam

    penggunaan hak ulayat tersebut baik secara bersama-sama maupun secara

    pribadi atas tanah yang bersangkutan; c. Menjaga dan memelihara dengan sebaik mungkin kondisi alam tempat mereka

    melakukan mata pencahariannya tersebut.

    2. Kewajiban pemegang hak milik dan hak pakai.

    Pemegang hak milik adat pada dasarnya berkewajiban untuk :

    a. Menggunakan tanahnya secara semestinya menurut tujuannya;

    b. Menjaga agar penggunaan tanah tersebut tidak mengganggu atau merugikan

    kepentingan orang lain atau kepentingan umum, dan memelihara tanah tersebut

    dengan baik sehingga tanahnya dapat berfungsi sosial, sebagaimana hal ini

    sudah menjadi jiwa asli yang melandasi hukum adat Indonesia.

    8 Purnadi Purbacaraka dan Ridwan Halim, Op. Cit, h. 31.

  • Volume 11, No.1 Mei 2011 xiv

    Pemegang hak pakai adat bila dipandang sebagai masing-masing individu

    yang menjadi bagian dari masyarakatnya, pada dasarnya berkewajiban untuk :

    a. Sedapat mungkin berusaha agar ia dapat menambah kegunaan dari tanah yang

    dipakai atau digarapnya itu. Peningkatan hasil tersebut tentunya berguna bagi

    dirinya sendiri sebagai orang yang berhak memungut hasilnya selaku

    penggarap. Disamping itu dengan adanya kewajiban ini, maka orang lain yang nantinya (menurut giliran berikutnya) menjadi pemakai/penggarap tanah

    tersebut tentunya akan beruntung pula karena ia mendapat tanah garapan yang

    sudah meningkat daya hasilnya. Dengan demikian maka sistem penggarapan

    tanah menurut hak ulayat ini dapatlah disimpulkan bahwa setiap orang atau

    kepala keluarga akan sedapat mungkin berusaha untuk meninggalkan tanah

    bekas garapan mereka dalam keadaan yang sebaik mungkin.

    b. Menjaga dan memelihara dengan sebaik mungkin kondisi tanah garapan yang

    telah baik dan sedapat mungkin pula meningkatkan kondisi tanah yang masih

    kurang daya hasilnya selama masa garapan mereka masing-masing.

    Kewajiban atas tanah pendamping hak atas tanah menurut Hukum Perdata

    Barat yaitu :

    1. Kewajiban pemegang hak eigendom. Kalau diresapi secara mendalam dan dibandingkan secara cermat antara hak

    dan kewajiban atas tanah yang termaktub dalam hak eigendom ini bagi pemegangnya,

    maka dengan segera akan terkesan bahwa antara hak dan kewajiban yang ada dalam

    suatu hak eigendom tersebut sama sekali tidak berimbang. Hal ini disebabkan karena

    bila dibandingkan dengan haknya yang demikian besar dan demikian banyaknya

    melahirkan wewenang bagi pemegangnya, maka kewajiban pemegang hak tersebut

    dapat dikatakan sangatlah ringan dan bahkan hampir tidak ada kewajiban lain selain

    mungkin hanya membayar pajak milik atas tanah itu semata-mata.

    Para pemegang hak eigendom itu tidak wajib memperhatikan apakah

    penggunaan tanah yang dilakukan dengan seenaknya itu merugikan/mengganggu

    kepentingan orang lain atau tidak. Hal ini dapat dimengerti mengingat landasan dari pada hak eigendom ini ialah Hukum (Perdata) Barat yang tentu saja konsepsinya masih

    dilandasi pula oleh jiwa yang individualistis, yakni jiwa yang berpandangan bahwa

    kepentingan perorangan harus lebih diperhatikan dan didahulukan dari pada

    kepentingan umum. Karena itulah maka konsepsi hak eigendom ini sama sekali tidak

    terpakai lagi dalam pembentukan konsepsi hak milik atas tanah menurut UUPA.

    2. Kewajiban pemegang hak opstal.

    Hampir sama halnya dengan hak eigendom, kewajiban pemegang hak opstal

    inipun hampir tidak ada selain hanya menggunakan hak tersebut selaras dengan

    perjanjian dan tujuannya selama jangka waktu berlakunya, dengan maksud tentunya

    agar hak opstal itu sendiri jangan terhapus karena kadaluwarsaan akibat tidak pernah

    digunakan selama masa berlakunya.

    3. Kewajiban pemegang hak erfpacht. Pemegang hak erfpacht pun tidak banyak kewajibannya, selain hanya :

  • Volume 11, No.1 Mei 2011 xv

    a. Menggunakan tanah yang bersangkutan secara baik, dalam arti tidak merusak

    keadaannya sehingga mendatangkan kerugian bagi pemiliknya;

    b. Membagi hasil tanah garapannya itu kepada pemiliknya dengan cara yang

    pantas dan jumlah yang adil, selama ia menjadi penggarap tanah tersebut

    menurut jangka waktunya;

    4. Kewajiban pemegang hak gebruik.

    Kewajiban pemegang hak gebruik pada dasarnya hanyalah menjaga dan

    memelihara kondisi dan keadaan tanah yang garapannya itu selama masa berlakunya

    hak gebruik yang bersangkutan.9

    Kewajiban atas tanah pendamping hak atas tanah berdasarkan Hukum Agraria

    Indonesia, setelah berlakunya Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) bahwa

    kewajiban harus dipenuhi oleh pemegang hak milik atas tanah pada dasarnya ialah :

    a. Sebelum menjadi pemegang hak milik atas tanah, yang bersangkutan harus

    memenuhi syarat bahwa ia itu adalah orang yang berkewarganegaraan Indonesia

    secara tunggal atau badan hukum yang telah ditunjuk pemerintah sebagai badan

    hukum yang dapat atau boleh memegang hak milik atas tanah di Indonesia (pasal

    21 ayat (1) dan (2) UUPA); b. Kalau yang bersangkutan adalah orang asing (termasuk didalamnya bekas warga

    negara Indonesia) yang telah menjadi warga negara lain atau orang Indonesia yang

    tidak berkewarganegaraan Indonesia secara tunggal tetapi telah terlanjur memiliki

    tanah di Indonesia, maka orang tersebut wajib melepaskan hak milinya atas tanah

    tersebut dalam jangka waktu 1 (satu) tahun, terhitung sejak hak milik itu

    diperolehnya atau sejak ia kehilangan kewarganegaraan Indonesianya secara

    tunggal (pasal 21 ayat (3) dan 4 UUPA);

    c. Setelah menjadi pemegang hak milik atas tanah, yang bersangkutan harus

    mendaftarkan hak miliknya tersebut, lengkat dengan segala hal yang berkaitan

    didalamnya,misalkan ada tidaknya hak-hak lain yang dibebankan atas hak milik

    tersebut, peralihannya kepada pihak lain (kalau hak milik tersebut dialihkan kepada pihak lain baik sebagian maupun seluruhnya) dan sebagainya (*pasal 23 ayat (1) jo.

    Pasal 19 UUPA);

    d. Menggunakan hak miliknya atas tanah tersebut sebagaimana mestinya dalam arti :

    - Tanah miliknya itu tidak diterlantarkan;

    - Tanah miliknya itu tidak digunakan untuk kepentingan apa pun juga yang

    sifatnya merugikan atau mengganggu kepentingan umum.

    e. Menjaga dan memelihara tanah tersebut sedemikian rupa sehingga selalu ada fungsi

    sosialnya, dalam arti selalu dapat juga bermanfaat bagi orang lain (kepentingan

    umum) bila sewaktu-waktu diperlukan (pasal 6 UUPA).10

    9 Ibid, h. 31-34. 10 Simanjuntak, P.N.H., Pokok-pokok Hukum Perdata Indonesia, Penerbit

    Djambatan, Jakarta, 1999, h. 128.

  • Volume 11, No.1 Mei 2011 xvi

    Sedangkan kewajiban rakyat atas tanah dalam pembangunan, maka dapat

    diperoleh hak atas tanah rakyat dalam rangka pengadaan tanah untuk kepentingan

    umum dilaksanakan dengan cara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah oleh

    pemegang hak atas tanah. Menurut ketentuan Pasal 1 angka 6 Perpres No. 36 Tahun

    2005 yang dimaksud dengan pelepasan atau penyerahan hak atas tanah adalah kegiatan

    melepaskan hubungan hukum antara pemegang hak atas tanah dengan tanah yang dikuasainya dengan memberikan ganti kerugian atas dasar musyawarah. Sebelum

    memperoleh hak atas tanah, Instansi Pemerintah (pemerintah) yang memerlukan tanah

    terlebih dahulu melaksanakan musyawarah dengan pemegang hak atas tanah.

    Musyawarah tersebut dilaksanakan untuk menetapkan bentuk dan besarnya ganti rugi

    atas tanah, bangunan, tanaman, dan/atau benda-benda lain yang terkait dengan tanah.11

    Sedangkan pengertian dari musyawarah ialah kegiatan yang mengandung

    proses saling mendengar, saling memberi dan saling menerima pendapat, serta

    keinginan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan

    masalah lain yang berkaitan dengan kegiatan pengadaan tanah atas dasar kesukarelaan

    dan kesetaraan antara pihak yang mempunyai tanah, bangunan, tanaman, dan benda-

    benda lain yang berkaitan dengan tanah dengan pihak yang memerlukan tanah.

    Rumusan musyawarah menunjukkan adanya proses pengambilan keputusan yang dilakukan secara demokratis. Prinsip mendengar dan saling mendengar (to give a

    little and to take a little) untuk mencapai kesepakatan yang bulat terhadap masalah yang

    menyangkut kepentingan seluruh masyarakat.

    Musyawarah diharapkan dapat dilaksanakan oleh pemegang hak atas tanah

    dengan instansi yang memerlukan tanah. Jika pemegang hak atas tanah berhalangan

    dapat menguasakan kepada wakil-wakilnya. Proses musyawarah akan berjalan

    seimbang manakala masing-masing pihak yang melakukannya dalam keadaan

    seimbang, baik dalam hal pengetahuannya, kekuatan bargainingnya, maupun sumber

    daya ekonomis serta politisnya.

    Salah satu prinsip yang penting dalam musyawarah dalam rangka pelepasan

    atau penyerahan hak atas tanah ialah prinsip penghormatan terhadap hak atas tanah. Disini diperlukan kesamaan persepsi, apresiasi terhadap sesuatu hak yang

    memperhatikan prinsip kewajaran, kepatutan, keadilan, dan kemanusiaan. Prinsip fungsi

    sosial (pasal 6 UUPA) tidak dapat dipakai sebagai dasar melanggar bahkan

    melenyapkan hak individual secara tidak wajar, adil, patut, dan berperikemanusiaan.12

    11 Urip Santoso, Aspek Konsinyasi Dalam Pengadaan Tanah Untuk

    Kepentingan Umum, PRO JUSTIA, tahun XVI No. 4, Oktober, 1998, Fak. Hukum

    UNPAR, Bandung, 1998, h. 32. 12 Achmad Sodiki, Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum, Materi

    Penataran dan Lokakarya Hukum Perdata, Hukum Dagang dan Hukum Ekonomi,

    Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, Batu, 29-31-Juli, 1996, h. 6-8.

  • Volume 11, No.1 Mei 2011 xvii

    Apabila dalam musyawarah antara pemegang hak atas tanah dan instansi

    pemerintah yang memerlukan hak atas tanah tercapai kesepakatan dalam penetapan

    bentuk dan besarnya ganti kerugian, maka pemegang hak atas tanah mengisi surat

    pernyataan pelepasan atau penyerahan hak atas tanah yang telah disiapkan oleh Panitia

    Pengadaan Tanah, dan bersamaan itu pula ganti kerugian tersebut diserahkan oleh

    instansi pemerintah yang memerlukan tanah langsung kepada pemegang hak atas tanah. Akan tetapi bilamana tidak terdapat kesepakatan dalam musyawarah antara

    pihak-pihak mengenai bentuk dan besarnya ganti kerugian walaupun keperluan akan

    tanah tersebut sifatnya mendesak untuk kepentingan umum sedangkan lokasinya tidak

    dapat dipindahkan ketempat lain, maka instansi pemerintah yang memerlukan tanah

    tidak dapat menggunakan konsinyasi, tetapi langsung mengajukan pencabutan hak atas

    tanah kepada pihak yang berwenang.

    BENTUK-BENTUK PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK-HAK

    RAKYAT ATAS TANAH DALAM PEMBANGUNAN

    A. Perangkat Peraturan Perundang-undangan Dibidang Pertanahan

    Peraturan mengenai pengadaan tanah untuk pembangunan demi kepentingan

    umum sebagaimana diatur dalam Keppres No. 55 Tahun 1993 dinilai mengandung

    beberapa kelemahan. Oleh karena itu Pemerintah memandang perlu untuk menerbitkan

    Perpres No. 36 Tahun 2005 dan sekarang sudah dirubah dengan Perpres No. 65 Tahun

    2006, penerbitan peraturan dalam bentuk Perppres di samping untuk meningkatkan

    legitimasi peraturan pengadaan tanah untuk pembangunan, juga memenuhi ketentuan

    dalam UU No. 10 Tahun 2004 yang mengatur tata urutan peraturan perundang-

    undangan di Indonesia.

    Pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum menurut pasal 5

    Perppres No. 65 Tahun 2006, hanya dibatasi untuk pembangunan yang dilakukan dan

    selanjutnya dimiliki oleh pemerintah daerah serta tidak digunakan mencari keuntungan

    dalam bidang lain sebagai berikut : a. Jalan umum, jalan tol, rel kereta api (di atas tanah, di ruang tanah, ataupun

    diruang bawah tanah), saluran air minum / bersih, saluran

    pembuangan air dan sanitasi;

    b. Waduk, bendungan, irigasi dan bangunan pengairan lainnya;

    c. Pelabuhan, bandar udara, stasiun kereta api dan terminal;

    d. Fasilitas keselamatan umum, seperti tanggul penanggulangan bahaya banjir,

    lahar, dan lain-lain bencana;

    e. Tempat pembuangan sampah;

    f. Cagar alam dan cagar budaya;

    g. Pembangkit, transmisi, distribusi tenaga listrik.

    Persoalan mengenai kepentingan umum secara konsepsional memang sulit sekali dirumuskan dan lebih-lebih kalau kita secara operasional. Akan tetapi dalam

    rangka penggunaan tanah masyarakat penegasan tentang kepentingan umum yang akan

  • Volume 11, No.1 Mei 2011 xviii

    menjadi dasar dan kreterianya perlu ditentukan secara tegas sehingga pengambilan

    tanah-tanah dimaksud benar-benar sesuai dengan landasan hukum yang berlaku.13

    Dalam konsinyasi instansi pemerintah yang memerlukan tanah menitipkan

    uang ganti kerugian kepada Pengadilan Negeri setempat, terserah kepada pemegang hak

    atas tanah mau mengambil atau tidak uang ganti kerugian tersebut di Pengadilan Negeri

    setempat. Instansi pemerintah menganggap bahwa dirinya telah melaksanakan kewajiban memberikan ganti kerugian yang dinilai telah memadai kepada pemegang

    hak atas tanah melalui penitipan uang di Pengadilan Negeri setempat. Untuk

    selanjutnya, tanah beserta benda-benda yang ada diatasnya dibebaskan oleh panitia

    Pembebasan Tanah, sehingga proyek pembangunan yang telah direncanakan tersebut

    segera dilaksanakan.14

    Penggunaan cara konsinyasi dalam pembebasan tanah untuk kepentingan

    pemerintah diatur dalam pasal 10 Perppres No. 65 Tahun 2006 adalah sebagai berikut :

    (1). Dalam hal kegiatan pembangunan untuk kepentingan umum yang tidak dapat

    dialihkan atau dipindahkan secara teknis tata ruang ketempat atau lokasi lain,

    maka musyawarah dilakukan dalam jangka waktu paling lama 120 (seratus dua

    puluh) hari kalender terhitung sejak tanggal undangan pertama.

    (2). Apabila setelah diadakan musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai kesepakatan, panitia pengadaan tanah menetapkan besarnya ganti

    kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf a dan menitipkan ganti

    rugi uang kepada pengadilan negeri yang wilayah hukumnya meliputi lokasi

    tanah yang bersangkutan.

    (3). Apabila terjadi sengketa kepemilikan setelah ganti rugi sebagaimana dimaksud

    pada ayat (2), maka panitia menitipkan uang ganti rugi kepada pengadilan negeri

    yang wilayah hukumnya meliputi lokasi tanah yang bersangkutan.

    Pelaksanaan asas musyawarah dalam rangka pengadaan tanah bagi

    peleksanaan pembangunan untuk kepentingan umum seperti yang disebut dalam ayat 2

    Pasal 10 Perppres No. 65 Tahun 2006 dapat disimpulkan bahwa asas musyawarah

    merupakan prinsip yang harus dijunjung tinggi dalam rangka pelaksanaan pengadaan tanah bagi kepentingan pembangunan untuk kepentingan umum. Oleh karena itu

    peranan panitia dalam hal ini sangat menentukan kualitas wakil dalam pelaksanaan

    musyawarah ini dan perlu dihindari adanya wakil yang tidak aspiratif, tidak mampu

    menyuarakan keinginan yang diwakili, mempunyai sikap yang jelas tetapi tidak kau dan

    juga sebaliknya jangan sampai ditunjuk wakil yang sulit memehami maksud baik

    pemerintah. Tegasnya wakil tersebut diharapkan adalah mereka yang mampu

    menjembatani keinginan Panitia Pengadaan Tanah dan keinginan masyarakat.

    Penggunaan cara konsinyasi dalam pembebasan hak atas tanah untuk

    kepentingan pemerintah jelas sangat merugikan pemegang hak atas tanah, karena

    13 Abdurrahman, Op. Cit, h. 51. 14 Urip Santoso, Aspek Konsinyasi, Lok Cit,

  • Volume 11, No.1 Mei 2011 xix

    pemegang hak atas tanah tidak mempunyai kebebasan untuk menentukan besarnya ganti

    kerugian dan pemegang hak atas tanah tidak mempunyai pilihan lain kecuali harus

    menerima besarnya ganti kerugian yang telah dititipkan kepada Pengadilan Negeri

    setempat. Oleh karena itu untuk menjamin dan memberikan perlindungan hukum serta

    kepastian hukum bagi pemegang hak atas tanah dalam menentukan besarnya ganti rugi

    Panitia Pembebasan Tanah harus mengadakan musyawarah dengan pemilik/pemegang hak atas tanah berdasakan harga umum setempat, selain itu juga menentukan bahwa

    dalam menetapkan besarnya ganti rugi harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut :

    a. Lokasi dan faktor strategi lainnya yang dapat mempengaruhi harga tanah. Demikian pula dalam menetapkan ganti rugi atas bangunan dan tanaman harus

    berpedoman ketentuan yang telah ditetapkan oleh Dinas Pekerjaan

    Umum/Dinas Pertanian setempat;

    b. Bentuk ganti rugi dapat berupa uang, tanah, dan fasilitas lain.15 Ketentuan tentang konsinyasi dalam rangka pengadaan tanah untuk kepentingan

    umum yang diatasnya ada bangunan, tanaman atau benda yang berkaitan dengan tanah

    dimiliki bersama-sama oleh beberapa orang, sedangkan satu atau beberapa dari mereka

    tidak ditemukan, maka ganti kerugian yang menjadi hak orang yang tidak ditemukan

    tersebut, dikonsinyasikan di Pengadikan Negeri setempat oleh instansi pemerintah yang memerlukan tanah.

    Ketentuan diatas mengenai konsinyasi masih menimbulkan persoalan yuridis

    yaitu :

    1. Jika beberapa pemilik yang secara bersama-sama memiliki tanah, bangunan,

    tanaman atau benda-benda yang berkaitan dengan tanah telah diketahui tidak

    menyetujui besarnya ganti kerugian yang ditawarkan oleh instansi pemerintah yang

    membutuhkan tanah, apakah dapat dibenarkan ganti kerugiannya dikonsinyasikan

    di Pengadilan Negeri setempat ?

    2. Bagaimanakah prosedur Konsinyasi atas ganti kerugian bagi seorang pemilik atau

    beberapa orang pemilik, bangunan, tanaman atau benda-benda yang berkaitan

    dengan tanah, yang tidak ditemukan oleh instansi pemerintah yang membutuhkan? Dengan demikian hal ini dapat menyulitkan dalam pelaksanaan konsinyasi. Oleh

    karena itu Soedalhar berpendapat bahwa uang ganti kerugian baru dapat

    dikonsinyasikan bilamana :

    a. Musyawarah mengenai ganti kerugian tercapai dalam arti beberapa pemilik tanah

    atas sebidang tanah menyetujui ganti kerugian, sedang satu atau beberapa orang

    pemilik atas sebidang tanah tadi tidak dapat ditemukan,

    15 Muhadar, Viktimisasi Kejahatan Pertanahan, LaksBang, Yogyakarta, 2006,

    h. 156.

  • Volume 11, No.1 Mei 2011 xx

    b. Yang memerlukan tanah adalah instansi pemerintah.16

    Untuk memahami satu pasal dalam suatu peraturan harus dikaitkan dengan pasal-

    pasal yang lain dalam peraturan tersebut. Atas dasar intepretasi ini, pengadaan tanah

    untuk kepentingan umum dapat dilaksanakan apabila pemegang hak atas tanah

    menyetujui besarnya ganti kerugian yang ditawarkan oleh instansi pemerintah yang

    memerlukan tanah. Dengan demikian konsinyasi dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum dapat diterapkan apabila beberapa pemilik tanah atas sebidang

    tanah, bangunan, atau benda-benda lain yang terkait dengan tanah telah memberikan

    persetujuan mengenai besarnya ganti kerugian, sedangkan satu atau beberapa orang dari

    mereka tidak dapat ditemukan tempat tinggalnya.

    Mengenai prosedur konsinyasi atas ganti kerugian bagi satu atau beberapa

    pemilik sebidang tanah, bangunan, tanaman, atau benda-benda lain yang terkait dengan

    tanah yang tidak ditemukan tempat tinggalnya oleh instansi pemerintah yang

    memerlukan tanah, maka hal ini dapat menimbulkan kesulitan dalam melaksanakan

    konsinyasi tersebut. Sebagai jalan keluarnya pihak instansi pemerintah berupaya untuk

    mencari tempat tinggal pemilik hak atas tanah dengan jalan memasang iklan nama-

    nama orang yang berhak atas tanah yang tidak diketahui tempat tinggalnya di media

    cetak dan elektronik dengan biaya pemasangan iklan ditanggung oleh isntansi pemerintah yang memerlukan tanah. Jika dalam waktu 30 hari setelah pemasangan iklan

    tersebut tetap tidak diketahui tempat tinggalnya atau tidak ada tanggapan, maka instansi

    pemerintah yang memerlukan tanah baru dapat menkonsinyasikan uang ganti kerugian

    kepada Pengadilan Negeri setempat. Namun sebaliknya jika ada tanggapan dalam

    waktu tiga puluh hari setelah pemasangan iklan, maka instansi pemerintah yang

    memerlukan tanah harus mengadakan musyawarah dengan para pihak dengan dipandu

    oleh Panitia Pengadaan Tanah untuk menetapkan bentuk dan besarnya ganti kerugian.

    Meskipun sebagian besar pemegang hak atas tanah dalam suatu kawasan telah

    menyetujui bentuk dan besarnya ganti kerugian yang ditawarkan oleh instansi

    pemerintah yang memerlukan tanah, namun demikian masih ada satu atau beberapa

    pemegang hak atas tanah yang berbeda bidang tanahnya dalam kawasan tersebut belum menyetujui bantuk dan besarnya ganti kerugian, maka terhadap satu atau beberapa

    pemegang hak atas tanah ini uang ganti kerugiannya tidak dibenarkan dikonsinyasikan

    oleh instansi pemerintah yang memerlukan tanah.

    Menurut AP. Parlindungan tidak mungkin lagi konsinyasi bagi orang yang

    tidak bersedia menerima uang ganti kerugiannya karena alasan-alasan tertentu

    16 Soedalhar, Fungsi Hukum Mengendalian Pembebasan Tanah Dalam

    Pembangunan Berkesinambungan, Makalah, Seminar Hukum Sebagai Pengenadalian

    Kesinambungan Pembangunan Nasional, Surabaya, 24 Oktober 1993, h. 8.

  • Volume 11, No.1 Mei 2011 xxi

    sebagaimana praktek-praktek yang sudah banyak berlangsung dibanyak daerah dan

    telah dibenarkan pula oleh beberapa pengadilan tertentu.17

    Upaya yang seharusnya ditempuh oleh instansi pemerintah yang

    membutuhkan tanah apabila dalam musyawarah untuk menetapkan bentuk dan besarnya

    ganti kerugian tidak tercapai kesepakatan dan lokasi pembangunan yang bersangkutan

    tidak dapat dipindahkan adalah mengajukan permohonan pencabutan hak atas tanah kepada Presiden berdasarkan Undang-Undang No. 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan

    Hak-hak Atas tanah dan Benda-benda Yang Ada diatasnya.

    Penerapan konsinyasi dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum

    memang dibuat tidak mudah dilakukan oleh instasi pemerintah yang memerlukan tanah.

    Hal ini dimaksudkan agar pemegang hak atas tanah mendapatkan perlindungan hukum

    terhadap hak-hak atas tanahnya dari tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh

    instansi pemerintah yang membutuhkan tanah.18

    Kegiatan pembangunan yang memerlukan tanah jenis yang pertama yakni

    untuk kepentingan umum diawali dengan pembentukan Panitia pengadaan Tanah.

    Panitia ini dibentuk oleh Gubernur Kepala Daerah Propinsi, panitia ini juga dibentuk

    ditiap Kabupaten atau Kotamadya. Jika pengadaan tanah menyangkut dua wilayah

    Kabupaten/Kotamadya, maka panitia diketuai atau dibentuk oleh Gubernur yang susunan anggotanya mencerminkan instansi terkait dari propinsi maupun daerah tingkat

    II yang bersangkutan (pasal 6).

    Adapun susunan pantia terdiri dari seorang Ketua (Bupati/Walikota)

    merangkap anggota, enam anggota, dua sekretaris (I dan II) bukan anggota. Tidak

    dijelasklan mengapa dalam komposisi Panitia Pengadaan tanah tidak mengikut sertakan

    wakil rakyat pemilik/pemegang hak atas tanah. Dengan mengikutkan sertakan wakil

    rakyat diharapkan proses penentuan ganti kerugian maupun prosedur yang harus

    ditempuh akan berlangsung lebih transparan dan obyektif.

    Jika komposisi panitia ini benar-benar mencerminkan wakil-wakil mereka

    yang terlibat dalam proses pengadaan tanah, berarti aspirasi mereka lebih dapat

    diakomodasikan dengan lebih baik, sehingga dapat mengurangi bahkan menghilangkan jurang perbedaan yang mungkin timbul.

    Sedangkan tugas dari panitia berdasarkan pasal 7 Perppres No. 65 Tahun 2006

    antara lain :

    a. Mengadakan penelitian dan inventarisasi tanah, bangunan, tanaman dan benda-

    benda lain yang ada kaitannya dengan tanah yang haknya akan dilepaskan atau

    diserahkan;

    17 AP. Parlindungan, Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Pemerintah dan

    Swasta, Makalah., Dialog Agraria HUT UUPA, Fak. Hukum USU, Medan, 24

    September 1993, h. 7. 18 Urip santoso, Aspek Konsinyasi, Op.Cit, h. 35.

  • Volume 11, No.1 Mei 2011 xxii

    b. Mengadakan penelitian mengenai status hukum tanah yang haknya akan dilepaskan

    atau diserahkan dan dokumen yang mendukungnya;

    c. Menetapkan besarnya ganti rugi atas tanah yang haknya akan dilepaskan atau

    diserahkan;

    d. Memberikan penjelasan atau penyuluhan kepada masyarakat yang terkena rencana

    pembangunan dan /atau pemegang hak atas tanah mengenai rencana dan tujuan pengadaan tanah tersebut dalam bentuk konsultasi publik baik melalui tatap muka,

    media cetak, maupun media elektronik agar dapat diketahui oleh seluruh

    masyarakat yang terkena rencana pembangunan dan/atau pemegang hak atas tanah;

    e. Mengadakan musyawarah dengan para pemegang hak atas tanah dan instansi

    pemerintah dan/atau pemerintah daerah yang memerlukan tanah dalam rangka

    menetapkan bentuk dan/atau besarnya ganti rugi;

    f. Menyaksikan pelaksanaan penyerahan ganti rugi kepada para pemegang hak atas

    tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda lain yang ada di atas tanah;

    g. Membuat berita acara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah;

    h. Mengadministrasikan dan mendokumentasikan semua berkas pengadaan tanah dan

    menyerahkan kepada pihak yang berkopeten.

    Tugas inventarisasi tanah, bangunan maupun status haknya adalah untuk19 memenuhi asas spesialitas dan legalitas hak tersebut. Keduanya mengarah kepada asas

    kepastian hukum. Kepastian hukum baik bagi subyek maupun obyeknya. Dengan

    demikian akan jelas siapa yang akan diundang dalam musyawarah untuk menetapkan

    atau menyetujui ganti rugi yang akan diberikan.

    Berkenaan dengan kepentingan umum dalam pengadaan tanah untuk

    kepentingan pemerintah masih dapat menimbulkan masalah dalam pelaksanaannya.

    Misalnya dalam suatu pengadaan tanah Panitia Pengadaan Tanah menyampaikan

    kepada pemegang hak atas tanah bahwa tanahnya diperlukan untuk proyek

    pembangunan yang mempunnyai sifat kepentingan umum. Oleh karena itu pemegang

    hak atas tanah melepaskan atau menyerahkan hak atas tanahnya dengan pemberian uang

    ganti kerugian yang telah disepakati bersama. Ternyata, dikemudian hari, pemegang hak atas tanah mengetahui bahwa hak atas tanah yang sudah dilepaskan atau diserahkan

    tersebut digunakan bukan untuk proyek pembangunan yang mempunyai sifat

    kepentingan umum, melainkan untuk kepentingan perusahaan swasta. Dalam keadaan

    seperti ini, apakah pemegang hak atas tanah dapat meminta tanahnya kembali dengan

    mengembalikan ganti kerugian yang telah diserahkan atau meminta tambahan ganti

    kerugian kepada Panitia Pengadaan Tanah.20 Oleh karena itu untuk mengantisipasi

    timbulnya praktek tersebut diatas dan memberikan perlindungan hukum bagi pemegang

    hak atas tanah terhadap tanahnya, maka dalam surat pernyataan pelepasan atau

    19 Achmad Sodiki, Op.Cit, h. 18-21. 20 Urip Santoso, Aspek Kepentingan, Op.Cit, h. 47.

  • Volume 11, No.1 Mei 2011 xxiii

    penyerahan hak atas tanah yang dibuat oleh pemegang hak atas tanah perlu dibuat

    klausula yang menyatakan bahwa apabila dikemudian hari diketahui ternyata pengadaan

    tanahnya bukan untuk kepentingan umum melainkan untuk kepentingan perusahaan

    swasta, maka pengadaan tanah tersebut dianggap batal demi hukum dan uang ganti

    kerugian yang telah diterima akan dikembalikan kepada Panitia pengadaan Tanah, atau

    pemegang hak atas tanah meminta tambahan ganti kerugian kepada Panitia Pengadaan Tanah.

    Oleh karena itu latar belakang diterbitkannya Peraturan Presiden No. 36

    Tahun 2005 yang sekarang sudah dirobah dengan Pepres No. 65 Tahun 2006, karena

    dua alasan, yaitu pertama, meningkatnya pembangunan untuk kepentingan umum yang

    memerlukan tanah, maka pengadaannya perlu dilakukan secara cepat dan transparan

    dengan tetap memperhatikan prinsip penghormatan terhadap hak-hak yang sah atas

    tanah. Kedua, pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan

    umum sebagaimana yang ditetapkan dengan Keppres No. 55 Tahun 1993 dinilai sudah

    tidak sesuai lagi sebagai landasan hukum bagi pengadaan tanah untuk pembangunan

    demi kepentingan umum. Penerbitan Perpres No. 36 Tahun 2005 yang sudah dirobah

    dengan Perpres No. 65 Tahun 2006 berdasarkan beberapa peraturan perundang-

    undangan, yaitu : 1. Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahu8n 1945;

    2. Undang No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria (Lembaran Negara

    Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Nomor

    2043);

    3. Undang-Undang Nomor 51 /Prp./Tahun 1960 Tentang Larangan Pemakaian Tanah

    Tanpa Ijin Yang Berhak Atau Kuasanya (Lembaran Negara Republik Indonesia

    Tahun 1960 Nomor 158. Tambahan Lembaran Negara Nomor 2106);

    4. Undang-undang No. 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan hak Atas Tanah dan Benda-

    benda yang ada diatasnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1961

    Nomor 288. Tambahan Lembaran Negara Nomor 2324);

    5. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara R.I Tahun 1992 Nomor 115. Tambahan Lembaran Negara Nomor 3501).21

    Peraturan perundang-undangan tersebut merupakan pelaksanaan pasal 18

    UUPA, yaitu untuk kepentingan umum termasuk kepentingan bangsa dan negara serta

    kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut dengan memberi

    ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan Undang-undang.

    Kriteria kegiatan pembangunan yang mempunyai sifat kepentingan umum

    yaitu suatu kegiatan dalam rangka pelaksanaan pembangunan mempunyai sifat

    kepentingan umum, apabila kegiatan tersebut menyangkut :

    a. Kepentingan bangsa dan negara, dan/atau,

    21 Muhadar, Op. Cit, h. 132.

  • Volume 11, No.1 Mei 2011 xxiv

    b. Kepentingan masyarakat, dan/atau,

    c. Kepentingan rakyat banyak, dan/atau,

    d. Kepentingan pembangunan.

    Dalam pengajuan usul penyelesaian pengadan tanah untuk kepentingan umum

    dengan cara pencabutan hak atas tanah oleh Gubernur Kepala Daerah Propinsi kepada

    Presiden melalui Menteri Agraria/Kepala BPN. Usul ini penyelesaiannya dilakukan karena upaya penyelesaian yang ditempuh oleh Gubernur Kepala Daerah Propinsi tetap

    tidak diterima oleh pemegang hak atas tanah dan lokasi pembangunan yang

    bersangkutan tidak dapat dipindahkan.

    Pada acara perolehan hak atas tanah akan menemui masalah terhadap

    penerapan bidang-bidang kegiatan pembangunan yang mempunyai sifat kepentingan

    umum, maka untuk penyelesaiannyai dapat menggunakan salah satu asas perundang-

    undangan, yaitu : Lex Posteriori derogat Legi Priori.22 Atas dasar asas ini, maka peraturan tentang bidang-bidang kegiatan pembangunan yang mempunyai sifat

    kepentingan umum maka peraturan yang lebih baru yang dijadikan dasar walaupun

    peraturan tersebut sama-sama dibuat oleh presiden dan materinya juga sama-sama

    mengatur tentang bidang-bidang kegiatan pembangunan yang mempunyai sifat

    kepentingan umum.

    B. Prosedur Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan

    Untuk mempercepat proses perolehan hak atas tanah dalam rangka

    pengadaan tanah untuk kepentingan umum, isntansi pemerintah yang memerlukan tanah

    mengajukan permohonan untuk mengkonsinyasikan uang ganti kerugiannya melalui

    Pengadilan Negeri setempat.

    Pengadilan Negeri setempat berkewajiban menerima berkas permohonan

    konsinyasi uang ganti kerugian dari instansi pemerintah yang memerlukan tanah untuk

    diperiksa lebih lanjut. Adalah kewajiban Pengadilan Negeri untuk menerima setiap

    perkara yang masuk seperti yang ditegaskan dalam ketentuan pasal 14 UU No. 04

    Tahun 2004 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yaitu : 1. Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili sesuatu perkara

    yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan wajib

    untuk memeriksa dan mengadilinya.

    2. Ketentuan dalam ayat (1) tidak menutup kemungkinan untuk usaha penyelesaian

    perkara perdata secara perdamaian.

    Kewajiban memeriksa dan mengadili permohonan konsinyasi atas uang ganti

    kerugian dari instansi pemerintah yang memerlukan tanah oleh Pengadilan Negeri tidak

    berarti secara otomatis mengabulkan permohonan tersebut, akan tetapi Pengadilan

    22 Hartono Hadisuprapto, Pengantar Tata Hukum Indonesia, Liberty,

    Yogyakarta, 1982, h. 30.

  • Volume 11, No.1 Mei 2011 xxv

    Negeri sebelum mengambil keputusan atas permohonan konsinyasi tersebut harus

    mempelajari dengan baik ketentuan-ketentuan tentang pengadaan tanah untuk

    kepentingan umum.

    Tanpa adanya pemahaman yang baik terhadap ketentuan-ketentuan tentang

    pengadaan tanah untuk kepentingan umum maupun asas-asas, peraturan, dan hukum

    pertanahan, maka putusan Pengadilan Negeri tentang permohonan konsinyasi atas uang ganti kerugian dari instansi pemerintah yang memerlukan tanah dapat berakibat

    timbulnya kerugian bagi pemegang hak atas tanah dan tidak adanya penghormatan

    terhadap hak-hak rakyat atas tanah.

    Pengadilan Negeri seharusnya mengabulkan permohonan konsinyasi atas uang

    ganti kerugian dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum apabila unsur-unsur

    yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yaitu beberapa pemilik atas

    sebidang tanah telah menyetujui besarnya ganti kerugian, sedangkan satu atau beberapa

    pemilik tanah tersebut benar-benar tidak diketahui tempat tinggalnya setelah instansi

    pemerintah yang memerlukan tanah berupaya secara maksimal mengumumkan melalui

    media cetak dan elektronik. Sebaliknya kalau unsur-unsur tersebut tidak dipenuhi

    seharusnya Pengadilan Negeri menolak permohonan konsinyasi atas uang ganti

    kerugian dari instansi pemerintah yang memerlukan tanah.23 Putusan pengadilan yang mengabulkan permohonan konsinyasi yang diajukan

    oleh instansi pemerintah yang memerlukan tanah walaupun belum tercapai kesepakatan

    antara para pihak mengenai besarnya ganti kerugian merupakan penyimpangan terhadap

    ketentuan dalam peraturan perundang-undangan. Hal ini karena tidak ada dalam satu

    pasal atau ayatpun yang membenarkannya adanya konsinyasi bilamana para

    pihak dalam musyawarah tidak tercapai kesepakatan. Boedi Harsono mengatakan

    bahwa dengan adanya praktek konsinyasi dalam pembebasan hak atas tanah

    (pengadaan tanah) timbul kesan seakan-akan bagi rakyat yang bersangkutan hanya ada

    satu pilihan, yaitu mengambil uang ganti rugi tersebut di Pengadilan Negeri, atau akan

    kehilangan tanahnya tanpa ganti rugi.24 Penerapan konsinyasi dalam pengadaan tanah

    untuk kepentingan umum merupakan bentuk pemaksaan, perlakuan secara sepihak oleh instansi pemerintah yang memerlukan tanah terhadap pemegang hak atas tanah. Upaya

    ini juga dapat dikatakan sebagai bentuk pencabutan hak atas tanah secara terselubung

    oleh instansi pemerintah yang memerlukan tanah. Praktek yang demikian dapat

    dikatakan telah melangkahi kewenangan Presiden, karena pengambilan tanah-tanah

    secara sepihak untuk kepentingan umum adalah kewenangan presiden melalui upaya

    pencabutan hak atas tanah. 25

    23 Ibid, h. 36. 24Boedi Harsono, Aspek Yuridis Penyediaan Tanah, Majalah Hukum dan

    Pembangunan, Fakultas Hukum Universitas Indonesia,No. 2 Tahun XX,Jakarta, April

    1990, h. 168. 25 Urip Santoso, Aspek Konsinyasi, Op Cit, h. 37.

  • Volume 11, No.1 Mei 2011 xxvi

    Menurut Ali Sofwan Husein, praktek konsinyasi dalam pengadaan tanah

    sebenarnya tidak dibenarkan oleh hukum karena lembaga konsinyasi itu mensyaratkan adanya hubungan hukum (perdata) terlebih dahulu antar pihak sebelum

    uang tersebut dititipkan di pengadilan. Sedangkan dalam pengadaan tanah tidak ada

    hubungan hukum yang dimaksudkan itu. Dari sini jelas bahwa penguasa hanya

    mengambil gampangnya saja untuk mencari keabsahan dan legalitas atas tindakannya, yaitu ketika tidak tercapai kesepakatan ganti rugi, maka uang yang dianggarkan itu

    langsung dititipkan di pengadilan dan kemudian menganggap masalah penggusuran

    tanah telah beres dan selesai.26

    Penerapan konsinyasi dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum

    yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan adalah tidak dapat

    dibenarkan. Dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum, instansi pemerintah

    sebagai pihak yang memerlukan tanah harus memberikan ganti kerugian kepada

    pemegang hak atas tanah berdasarkan kesepakatan yang telah disepakati bersama

    mengenai besarnya ganti kerugian. Bersamaan dengan pemberian ganti kerugian,

    pemegang hak atas tanah membuat surat pernyataan pelepasan atau penyerahan hak

    atas tanah sehingga tanah tersebut menjadi tanah yang langsung dikuasai oleh negara.

    Untuk selanjutnya instansi pemerintah yang memerlukan tanah mengajukan permohonan hak atas tanah yang baru atas tanah yang dilepaskan tersebut kepada Badan

    Pertanahan Nasional.

    C. Pemberian Konpensasi Ganti Rugi dan Konsinyasi

    Masalah pokok yang banyak mendapat perhatian dalam pelaksanaan

    pengadaan tanah itu adalah persoalan mengenai ganti kerugian, karena persoalan ganti

    kerugian adalah menyangkut masalah hak-hak dari si pemilik tanah yang tanahnya

    dibebaskan sehingga dapatlah dikatakan bahwa unsur yang mutlak harus ada dalam

    pelaksanaan pengadaan tanah. Dalam pasal 13 Perpres No. 65 Tahun 2006 ditentukan

    bentuk ganti kerugian berupa :

    a. Uang b. Tanah pengganti c. Pemukiman kembali d. Gabungan dari dua atau lebih bentuk ganti kerugian sebagaimana huruf b dan

    huruf c

    e. Bentuk lain yang disetujui oleh pihak-pihak yangbersangkutan. Sesuai dengan Perpres No.65 Tahun 2006 pasal 15 ditegaskan bahwa dasar

    dan cara penghitungan ganti kerugian ditetapkan atas dasar :

    26 Ali Sofwan Husein, Konflik Pertanahan, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta,

    1997, h. 94.

  • Volume 11, No.1 Mei 2011 xxvii

    a. Nilai jual objek pajak atau nilai nyata/sebenarnya dengan memperhatikan nilai objek pajak tahun berjalan berdasarkan penetapan lembaga/tim penilai harga

    tanah yang ditunjuk oleh panitia.

    b. Nilai jual bangunan yang ditaksir oleh perangkat daerah yang bertanggungjawab dibidang bangunan

    c. Nilai jual tanaman yang ditaksir oleh perangkat daerah yang bertanggung jawab dibidang pertanian.

    Menurut pasal 6 ayat (1) pembebasan hak atas tanah Peraturan Menteri

    Dalam Negeri No. 15 Tahun 1975, juga menegaskan pula bahwa, didalam penafsiran

    atau penetapan mengenai besarnya ganti kerugian, oleh panitia pembebasan tanah harus

    mengadakan musyawarah dengan pemilik atau pemegang hak atas tanah dan benda atau

    tanaman yang diatasnya berdasarkan harga setempat.27

    Berdasarkan uraian diatas untuk menetapkan besarnya ganti kerugian harus

    diperhatikan antara lain :

    a. Penetapan ganti kerugian haruslah didasarkan musyawarah antara panitia dengan para pemegang hak atas tanah. Didalam mengadakan

    penafsiran/penetapan besar ganti kerugian panitia pengadaan tanah hendaknya

    benar-benar mengusahakan tercapainya persetujuan antara kedua belah pihak berdasarkan musyawarah.

    b. Penetapan ganti kerugian haruslah dengan memperhatikan faktor-faktor lainnya yang mempengaruhi harga tanah.

    Dalam menentukan besarnya ganti kerugian, panitia pengadaan tanah juga

    telah memakai cara penghitungan ganti kerugian yang telah ditetapkan, atas dasar pasal

    15 (1) Perpres No. 65 Tahun 2006, yaitu : Harga tanah yang didasarkan atas nilai nyata atau sebenarnya, dengan memperhatikan nilai jual objek pajak bumi dan

    bangunan yang terakhir untuk tanah yang bersangkutan.

    Selain itu panitia pengadaan tanah juga telah mempertimbangkan kerugian

    imaterial yang dipikul oleh pemegang hak atas tanah setelah tanahnya dibebaskan,

    misalkan kerugian karena mereka akan kehilangan sebagian dari tanah, yang menjadi mata pencaharian mereka. Dalam pertimbangan lainnya panitia pengadaan tanah dalam

    memberikan gati kerugian, dengan melihat harga tanah sekitarnya yang terjadi dalam

    tahun ang sama di wilayah yang digunakan untuk pembangunan.

    Setelah ada kata sepakat antara kedua belah pihak, maka panitia pengadaan

    tanah memberikan ganti kerugian tersebut kepada pemegang hak atas tanah dengan

    disaksikan oleh anggota panitia pengadaan tanah diantaranya Camat dan Kepala Desa

    yang wilayahnya terkena proyek pembangunan.

    27 Abdurrahman, Masalah Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah, Kebebasan

    Tanah dan Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan

    Umum di Indonesia, PT. Citra Aditya, Bandung, 1995, h. 51.

  • Volume 11, No.1 Mei 2011 xxviii

    Pada intinya, tata cara pelaksanaan kongsinya dalam penyelesaian masalah

    ganti kerugian pengadaan tanah, dapat dijelaskan sebagai berikut :

    (1) Instansi pemerintah yang memerlukan tanah membuat daftar nominatif pemberi ganti kerugian berdasarkan hasil

    inventarisasi.

    (2) Pemberian ganti kerugian dalam bentuk yang dibayarkan secara langsung kepada yang berhak dilokasi yang ditentukan

    oleh panitia, dengan disaksikan dengan sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang

    anggota panitia.

    (3) Pemberi ganti kerugian dalam bentuk uang dibuktikan dengan tanda terima.

    Lebih jauh dalam pasal 29 peraturan yang bersangkutan diatur mengenai

    pembayaran ganti kerugian ini sebagai berikut :

    (1) Pemberi ganti kerugian selain berupa uang, dituangkan dalam berita acara pemberian ganti kerugian yang ditandatangani oleh penerimaan ganti

    kerugian yang bersangkutan dan ketua atau wakil ketua panitia serta

    sekurang-kurangnya 2 (dua) arang anggota panitia.

    (2) Pemberian ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) untuk tanah wakaf dilakukan melalui nadzir yang bersangkutan

    (3) Untuk pemberian ganti kerugian tanah ulayat dilakukan dalam bentuk prasarana yag dapat dimanfaatkan oleh masyarakat setempat.

    Namun belakangan dinyatakan oleh banyak pihak bahwa pengadaan tanah

    melalui lembaga konsinya merupakan kebijakan yang menyimpang dari konteks

    kelembagaan hukum yang ada, sebagaimana pernah dinyatakan oleh J. Prihatmoko

    seorang peneliti muda LIPI dan ketua LSPN (Lingkar Studi Pendidikan Nasional)

    Semarang (Jayakarta, 14 Januari 1993).

    Pengadaan tanah pada hakekatnya merupakan hubungan hukum jual beli,

    yang masuk dalam lingkup perdata. Kegiatan musyawarah antara pemegang hak atas

    tanah dengan panitia pengadaan tanah juga murni perdata. Ini membutuhkan suatu kesepakatan diantara para pihak. Oleh karenanya itu sebenarnya tidak diperlukan

    adanya kegiatan konsinya uang ganti rugi di pengadilan terhadap ketidaksediaan rakyat

    yang tanahnya dibebaskan. Jika kegiatan konsinya tersebut tetap dilaksanakan, itu

    berarti syarat kesepakatan tidak tercapai, akrena terjadi pemaksaan terhadap pemilik

    atau pemegang hak atas tanah yang mau tak mau diharuskan menerima keputusan dari

    pantia pengadaan tanah.

    KESIMPULAN

    Berdasarkan uraian dalam pembahasan permasalahan sebagaimana telah

    diketengahkan di atas, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut :

    a. Hak dan kewajiban rakyat atas tanah merupakan konsepsi yang hakiki dari pada hukum bahwa bila ada hak disitu ada kewajiban, oleh karena itu apabila seseorang

    menggunakan haknya harus memenuhi kewajiban yang merupakan syarat baginya

  • Volume 11, No.1 Mei 2011 xxix

    untuk dapat menikmati hak tersebut. Dengan demikian pemegang hak atas tanah

    rakyat agar menjaga penggunaan tanah tersebut tidak mengganggu atau merugikan

    kepentingan orang lain atau kepentingan umum. Sedangkan kewajiban rakyat atas

    tanah dalam pembangunan dapat diperoleh hak atas tanah rakyat dalam rangka

    pengadaan tanah untuk kepentingan umum dilaksanakan dengan cara pelepasan

    atau penyerahan hak atas tanah oleh pemegang hak atas tanah. b. Bentuk perlindungan hukum terhadap hak-hak rakyat atas tanah dalam pembangunan

    adalah untuk memberikan perlindungan hukum bagi pemegang hak atas tanah

    terhadap tanahnya, maka dalam surat pernyataan pelepasan atau penyerahan hak

    atas tanah yang dibuat oleh pemegang hak atas tanah perlu dibuat klausula yang

    menyatakan bahwa apabila dikemudian hari diketahui ternyata pengadaan tanahnya

    bukan untuk kepentingan umum melainkan untuk kepentingan perusahaan dan lain-

    lain, maka pengadaan tanah tersebut dianggap batal dan uang ganti rugi yang telah

    diterima akan dikembalikan kepada panitia pengadaan tanah atau pemegang hak

    atas tanah meminta tambahan ganti kerugian kepada Panitia Pengadaan Tanah.

    SARAN

    a. Hendaknya penyuluhan hukum terhadap masyarakat lebih ditingkatkan agar supaya

    pemegang hak atas tanah yang terkena proyek pembangunan benar-benar mengerti

    tentang arti pembangunan untuk kepentingan umum.

    b. Pihak Pemerintah yang memerlukan tanah hendaknya memberikan petunjuk kepada

    petugas yang melaksanakan pengadaan tanah dalam memberikan ganti kerugian

    terhadap pemegang hak atas tanah sesuai dengan prosedur yang telah diatur dalam

    peraturan perundang-undangan, dengan demikian hak-hak atas tanah rakyat yang

    diperlukan untuk pembangunan dapat terlindungi.

  • Volume 11, No.1 Mei 2011 xxx

    KEDUDUKAN JAKSA DALAM PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI

    BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2004

    Oleh:

    Nur Hidayat, S.H.,M.Hum.*

    ABSTRAK

    Tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK )

    berasaskan pada kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas,

    kepentingan umum dan proporsionalitas. Kepastian hukum dalam negara

    hukum mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan,

    kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan menjalankan tugas dan

    wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi.

    Kata Kunci: Kedudukan Jaksa Penyidikan Tindak Pidana Korupsi.

    LATAR BELAKANG

    Korupsi merupakan salah satu masalah terbesar yang di hadapi oleh Indonesia

    dewasa ini. Setiap penguasa baru pada awalnya selalu menjanjikan akan melakukan

    tindakan hukum yang tegas terhadap para koruptor. Termasuk dalam hal ini adalah

    penguasa baru Indonesia pada saat ini . Umumnya janji tersebut tidak pernah

    dilaksanakan dan dipenuhi secara sungguh-sungguh. Namun demikian janji-janji serupa

    yang dibuat oleh penguasa, tetap disambut dengan suatu harapan bahwa janji tersebut dapat dilaksanakan secara serius. Meski upaya pemberantasan korupsi semakin

    meningkat dalam tahun-tahun terakhir, harus diakui belum terlihat tanda-tanda yang

    meyakinkan bahwa masalah korupsi dapat segera diatasi . Indonesia masih tetap saja

    termasuk dalam peringkat lima negara tertinggi tingkat korupsinya di seluruh dunia. 1

    Usaha pemberantasan korupsi jelas tidak mudah. Kesulitan itu terlihat semakin rumit,

    karena korupsi kelihatan benar-benar telah menjadi budaya pada berbagai level

    masyarakat . Meski demikian, berbagai upaya tetap dilakukan, sehingga secara bertahap

    *Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Unira. 1 Hukum Online, Indonesia Masih Lima Besar Negara Terkorup , 20 Oktober

    2004.

  • Volume 11, No.1 Mei 2011 xxxi

    korupsi setidak-tidaknya bisa dikurangi, jika tidak bisa dilenyapkan sama

    sekali.Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak

    Pidana Korupsi mengamanatkan pembentukan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana

    Korupsi (KPK) dan Pengadilan Khusus Korupsi. Pembentukan dua institusi ini

    merupakan salah satu upaya yang dilakukan oleh pemerintah dan legislatif dalam

    pemberantasan tindak pidana korupsi. Namun, dalam pelaksanaannya ternyata tidak semudah yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan. Karena dalam praktek,

    baik yang sudah terjadi atau baru diprediksikan akan terjadi, ternyata pelaksanaan kerja

    pemberantasan Korupsi terbentur banyak permasalahan. Permasalahan tersebut antara

    lain adalah hubungan kordinasi antara KPK dengan pihak Kepolisian dan Kejaksaan

    sebagai sub sistem dari Peradilan Pidana Terpadu dan juga tugas dan peranan KPK itu

    sendiri sebagai super body.

    Dalam rangka membangun kembali kepercayaan publik terhadap peran dan

    citra lembaga peradilan dan lembaga penegak hukum seperti Kepolisian, Kejaksaan, dan

    Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, maka salah satu mekanisme dalam sub

    sistem peradilan pidana yaitu penyidikan dan penuntutan, perlu untuk diberdayakan

    secara lebih optimal.

    Keberadaan ketiga lembaga yang masing masing mempunyai kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap tindak pidana Korupsi yaitu

    Kepolisian Negara Indonesia , Kejaksaan serta Komisi Pemberantasan Korupsi ,

    dimana kewenangan dari ketiga lembaga itu didasarkan pada ketentuan Undang Undang yaitu Undang Undang Nomor 2 tahun 2002 , Undang Undang Nomor 16 tahun 2004 , Undang Undang Nomor 30 tahun 2002 serta Undang Undang Nomor 8 tahun 1981 sebagai payung nya , justru akan menyebabkan timbulnya suatu tarik

    ulur dalam penyelidikan dan penyidikan tindak pidana Korupsi, serta akan

    menyebabkan pula saling berebut kue perkara diantara tiga lembaga tersebut .

    Tumpang tindihnya kewenangan yang ada pada ketiga lembaga tersebut

    dalam penyelidikan dan penyidikan tindak pidana Korupsi akan menyebabkan pula

    semakin sulit dan susahnya pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia.. Pernyataan bahwa sama sama mempunyai kewenangan atau sebaliknya akan selalu dijadikan sebagai dasar untuk melemparkan tanggung jawabnya kepada pihak lain .

    Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana ( yang selanjutnya disingkat

    KUHAP ) sebagai hukum acara pidana yang bersifat unifikasi menyebutkan bahwa

    yang mempunyai kewenangan untuk melakukan penyelidikan adalah setiap pejabat

    polisi negara Republik Indoneia dan yang mempunyai kewenangan penyidikan adalah

    pejabat polisi negara Republik Indonesia , serta pejabat pegawai negeri sipil tertentu

    yang diberi wewenang khusus oleh undang undang . Akan tetapi ternyata ketentuan ini dapat dikesampingkan oleh ketentuan yang sifatnya khusus , yaitu dalam hal ini

    ketentuan yang ada dalam Undang Undang Kejaksaan , dan Undang Undang Komisi Pemberantasan Korupsi . Undang Undang Kejaksaan didalam pasal 30 ayat 1d menyebutkan di bidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang

  • Volume 11, No.1 Mei 2011 xxxii

    melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang ,

    tindak pidana tertentu disini yang dimaksud adalah tindak pidana Korupsi seperti yang

    diatur didalam Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 , sebagaimana telah diubah dan

    ditambah dengan Undang Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001. Selanjutnya dalam Undang Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi pasal 6 huruf c menyebutkan Komisi Pemberantasan Korupsi ( selanjutnya disingkat KPK ) mempunyai tugas melakukan penyelidikan, penyidikan, dan

    penuntutan terhadap tindak pidana korupsi.

    Dari uraian diatas dapat dipahami bahwa permasalahan Korupsi diperlukan

    penangan secara khusus apalagi korupsi yang terjadi di Indonesia sudah merambah

    kesemua sektor baik ekonomi , hukum , sosial dan hankam dan bahkan korupsi

    seperti menjadi budaya dari bangsa Indonesia , hal ini dapat kita lihat dari hasil survie

    lembaga Internasional , dimana Indonesia sebagai peringkat ke 5 ( lima ) sebagai

    negara terkorup didunia .

    Penanganan secara sungguh sungguh terhadap korupsi di Indonesia sangat diperlukan , dan pada saat ini sejak Susilo Bambang Yudoyono menjadi Presiden ada

    sedikit harapan untuk mengikis sedikit demi sedikit korupsi yang terjadi di Indonesia ,

    terbukti pemerintah saat ini ada keberanian untuk menyeret pelaku pelaku korupsi yang sebelumnya sulit dijerat dengan pidana , sekarang sudah banyak para koruptor

    kelas kakap yang menjadi penghuni baru lembaga pemasyarakatan mulai dari para

    Bupati , Anggota Dewan Perwakilan Rakyat , Gubenur dan bahkan para penegak

    hukumpun sudah ada yang dikenakan pidana berdasarkan Undang Undang Tindak

    Pidana Korupsi .

    Permasalahan yang ada dan timbul pada saat ini adalah dalam hal

    penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi , karena pada saat ini ada tiga

    lembaga yang mempunyai kompetensi melakukan tugas pemberantasan tindak pidana

    korupsi .

    Terbentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi atau disingkat KPK merupakan

    suatu komisi khusus yang dasar pendiriannya diatur dalam pasal 43 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan secara lebih

    dalam diatur dalam UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak

    Pidana Korupsi , menjadikan dua lembaga yang sudah ada sebelumnya yaitu

    Kepolisian dan Kejaksaan yang berdasarkan ketentuan undang undang yang ada juga mempunyai kewenangan untuk melakukan tugas penyelidikan dan penyidikan tindak

    pidana korupsi, seakan - akan tugas dan wewenangnya diambil alih sepenuhnya oleh

    KPK.

    Bertitik tolak dari penjelasan diatas, maka dapat penulis uraikan rumusan

    masalah sebagai berikut :

    1. Bagaimanakah kedudukan Penyidik Polri dalam Tindak Pidana Korupsi ? 2. Bagaimanakah tugas dan wewenang KPK dalam penyidikan tindak pidana

    korupsi ?

  • Volume 11, No.1 Mei 2011 xxxiii

    KEDUDUKAN PENYIDIK POLRI DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI

    A. Pengertian Penyidik

    Kepolisian Republik Indonesia , sebagai aparat penegak hukum yang

    merupakan bagian dari Criminal Justice System , menduduki posisi sebagai diferensiasi fungsional sebagaimana digariskan didalam KUHAP , sehingga Polisi diberikan peran ( role ) yang berupa kekuasaan umum menangani kriminal ( general policing authority in criminal matter ) di seluruh wilayah Hukum Negara

    Kesatuan Republik Indonesia3. Dalam melaksanakan kewenangan tersebut , Polri

    berperan melakukan kontrol kriminal ( crime control ) dalam bentuk investigasi - penangkapan penahanan penggeledahan penyitaan .

    Posisi sebagaimana yang telah digariskan didalam KUHAP tersebut harus dijaga kebebasan polisi dari politik ( police politically independent )4 , sehingga dalam pelaksanaan operasional dan penggunaan desisi maupun diskresi tidak boleh

    didiktekan oleh dan atau untuk kepentingan penguasa atau pemerintah , maupun oleh kepentingan partai politik tertentu , serta boleh kooperatif dan partisipatif secara saling

    menguntungkan ( mutual beneficiary ) dengan pihak manapun atas informasi kriminal

    yang diketahuinya . Dalam menegakkan hukum dan mendeteksi tindak pidana harus

    benar benar bebas , dengan pEngertian menentukan sendiri tanpa pengaruh , apakah seorang tersangka diajukan untuk dituntut atau tidak , dan polisi tidak boleh menjadi

    budak ( servant ) dari siapa pun , karena polisi hanya bertanggungjawab terhadap law enforcement .

    Kebebasan yang dimiliki oleh polisi dalam penegakan hukum seperti yang

    diuraikan diatas akan terlaksana apabila polisi dalam melaksanakan tugas dan tanggung

    jawabnya selalu berpedoman kepada ketentuan ketentuan yang telah ada khususnya ketentuan yang diatur didalam KUHAP.

    Sesuai dengan tugas dan wewenang yang dimiliki oleh polisi dalam

    penegakan hukum , maka KUHAP menentukan bahwa apabila ada laporan dan atau

    pengaduan mengenai telah terjadi suatu tindak pidana , harus terlebih dahulu dilakukan

    penyelidikan yaitu berupa serangkaian tindakan mencari dan menemukan sesuatu

    3 M . Yahya Harahap Pembahasan , Permasalahan , dan Penerapan KUHAP,

    Penyelidikan dan Penuntutan , Edisi kedua , Sinar Grafika, Jakarta, 2000 , h. 91. 4 Ibid , h. 93.

  • Volume 11, No.1 Mei 2011 xxxiv

    keadaan atau peristiwa yang berhubungan dengan kejahatan dan pelanggaran tindak

    pidana atau yang diduga sebagai tindak pidana , dengan maksud untuk menentukan

    sikap pejabat penyelidik , apakah peristiwa yang ditemukan dapat dilakukan penyidikan

    atau tidak sesuai dengan cara yang diatur oleh KUHAP . Jadi , sebelum dilakukan

    tindakan penyidikan , terlebih dahulu dilakukan penyelidikan oleh pejabat penyelidik

    untuk mengumpulkan bukti permulaan atau bukti yang cukup agar dapat dilakukan penyidikan .

    Jika diperhatikan dengan seksama , motivasi dan tujuan penyelidikan

    merupakan bentuk tuntutan tanggungjawab kepada aparat penyidik , untuk tidak

    melakukan tindakan penegakan hukum yang merendahkan harkat dan martabat

    manusia , serta juga sebagai tuntutan dan tanggung jawab moral yang sekaligus juga

    sebagai peringatan bagi aparat penyidik untuk bertindak hati hati .

    Penyidikan sebagai tindak lanjut dari penyelidikan han