11
Ketidakefektifan Asean Agreement On Transboundary Haze Pollution (AATHP) dalam Penanggulangan Polusi Asap di Asia Tenggara (2003-2013) Resty Adinda Putri Hutami (105120401111008) Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik, Universitas Brawijaya, Jalan Veteran Malang, 65145, Indonesia, 2014 E-Mail : [email protected] Abstraksi Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penyebab ketidakefektifan ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution (AATHP) sebagai rezim lingkungan yang menangani masalah polusi asap lintas batas di Asia Tenggara dari tahun 2003 hingga 2013. Berdasarkan teori efektifitas rezim lingkungan menurut Arild Underdal, efektivitas sebuah rezim ditentukan oleh struktur masalah yang menjadi fokus rezim dan kapasitas penyelesaian masalah yang dimiliki oleh rezim. Hasil temuan penulis, menunjukkan bahwa AATHP tidak efektif dalam menangani masalah polusi asap lintas batas di Asia Tenggara karena struktur masalah yang menjadi fokus AATHP merupakan masalah yang bersifat malign, sedangkan kapasitas penyelesaian masalahnya tidak mampu mengatasi masalah. Akibat dari ketidakefektifan AATHP ini, hampir setiap tahun di Asia Tenggara mengalami polusi asap dan puncaknya adalah pada tahun 2013 yang merupakan bencana polusi asap terparah sejak perjanjian ini disepakati. Kata Kunci: Efektifitas rezim lingkungan, AATHP, ASEAN, Polusi Asap Lintas Batas, Arild Underdal. Abstract Purpose of this research is to determine the cause of AATHP’s ineffectiveness as a environmental regime to combating transboundary haze pollution in Southeast Asia from 2003 until 2013. Based on theory Environmental Regime Effectiveness by Arild Underdal, regime effectiveness is determined by problem structure and problem solving capacity. Result of this research showed that AATHP ineffectiveness in

JURNAL_AATHP

Embed Size (px)

Citation preview

Ketidakefektifan Asean Agreement On Transboundary Haze Pollution (AATHP) dalam Penanggulangan Polusi Asap di Asia Tenggara (2003-2013)

Resty Adinda Putri Hutami (105120401111008)

Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik, Universitas Brawijaya, Jalan Veteran Malang, 65145, Indonesia, 2014

E-Mail : [email protected]

Abstraksi

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penyebab ketidakefektifan ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution (AATHP) sebagai rezim lingkungan yang menangani masalah polusi asap lintas batas di Asia Tenggara dari tahun 2003 hingga 2013. Berdasarkan teori efektifitas rezim lingkungan menurut Arild Underdal, efektivitas sebuah rezim ditentukan oleh struktur masalah yang menjadi fokus rezim dan kapasitas penyelesaian masalah yang dimiliki oleh rezim.

Hasil temuan penulis, menunjukkan bahwa AATHP tidak efektif dalam menangani masalah polusi asap lintas batas di Asia Tenggara karena struktur masalah yang menjadi fokus AATHP merupakan masalah yang bersifat malign, sedangkan kapasitas penyelesaian masalahnya tidak mampu mengatasi masalah. Akibat dari ketidakefektifan AATHP ini, hampir setiap tahun di Asia Tenggara mengalami polusi asap dan puncaknya adalah pada tahun 2013 yang merupakan bencana polusi asap terparah sejak perjanjian ini disepakati. Kata Kunci: Efektifitas rezim lingkungan, AATHP, ASEAN, Polusi Asap Lintas Batas, Arild Underdal.

Abstract

Purpose of this research is to determine the cause of AATHPs ineffectiveness as a environmental regime to combating transboundary haze pollution in Southeast Asia from 2003 until 2013. Based on theory Environmental Regime Effectiveness by Arild Underdal, regime effectiveness is determined by problem structure and problem solving capacity. Result of this research showed that AATHP ineffectiveness in dealing transboundary haze pollution in Southeast Asia caused by AATHPs problem solving capacity is not able to handle the regimes problem. A result of AATHPs ineffectiveness is almost every year in Southeast Asia suffered haze pollution and 2013 is the worst disaster haze pollution. Keyword : Environmental Regime Effectiveness, AATHP, ASEAN, Transboundary Haze Pollution, Arild Underdal

.Latar Belakang

Salah satu isu utama pada bidang lingkungan hidup yang menjadi perhatian ASEAN adalah masalah pencemaran polusi asap (haze).Masalah polusi asap menjadi masalah yang penting karena, dampak dari polusi asap ini tidak hanya berada pada suatu negara saja, melainkan dapat melintasi batas-batas negara atau yang disebut dengan polusi asap lintas batas. Dampak dari polusi asap ini sangat membahayakan kesehatan dan juga merugikan bidang-bidang lain seperti ekonomi, transportasi dan pariwisata. Bencana polusi asap lintas batas ini diakibatkan karena adanya kebakaran hutan, perkebunan, lahan gambut atau pembakaran yang dapat menyebabkan kerusakan alam sehingga dapat membahayakan manusia dan harta benda.

Suatu bentuk penyelesaian masalah polusi asap lintas batas yang dilakukan oleh ASEAN adalah dengan melakukan beberapa tahapan kesepakatan yang menjadi dasar kerjasama pengelolaan polusi asap, yaitu, diawali dengan kesepakatan Concord on Environment and Development tahun 1990 di Kuala Lumpur, KTT ASEAN ke-4 di Singapura pada 27 - 28 Januari 1992, Pertemuan Informal Menteri Lingkungan ASEAN 1994 di Kuching, Sarawak.Kemudian pada ASEAN Co-operation Plan on Transboundary Pollution tahun ,The ASEAN Ministerial Meeting on Hazepada tahun 1997. Kemudian terjadi pertemuan lanjutan pada tahun 1998, dalam KTT ASEAN di Vietnam mengeluarkan Hanoi Plan of Actionyang menyerukan bahwa perlu diadakan tindakan lanjutan dari RHAP dengan membuat perjanjian regional yang mengikat secara hukum, yang kemudian disepakati bernama ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution.

ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution (AATHP) disepakati pada 10 Juni 2002 di Kuala Lumpur-Malaysia, Tujuan utama dari AATHP adalah untuk menanggulangi polusi asap agar tidak menyebar keluar batas wilayah suatu negara negara. Isi dari perjanjian ini memuat tentang ketentuan tindakan yang harus dilakukan melalui upaya nasional terpadu maupun dengan upaya regional. Melalui upaya nasional dan kerjasama regional dalam

Direktorat Jendral Kerja Sama ASEAN, 2011, Ayo Kita Kenali ASEAN,Jakarta: Kementrian Luar Negeri RI halaman 49

ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution, 2002, Article, halaman 2

Helena Muhammad Varkkey, The Asean Way and Haze Mitigation Efforts, diakses dari https://www.academia.edu/2458600/The_ASEAN_Way_and_Haze_Mitigation_at_the_ASEAN_Level, halaman 84, diakses pada 23 November 2013 pukul 11:18

Direktorat Jendral Kerja Sama ASEAN, 2004, Peningkatan Kerjasama ASEAN di Bidang Pertukaran Informasi dalam Upaya Penanganan Masalah Kabut Asap,Jakarta: Kementrian Luar Negeri RI halaman 3-5 Direktorat Jendral Kerja Sama ASEAN, 2012, ASEAN Selayang Pandang Edisi Ke-20 Tahun 2012,Jakarta: Kementrian Luar Negeri RI halaman 70

perjanjian AATHP ini, diharapkan dapat mengatasi bencana tahunan polusi asap lintas batas di Asia Tenggara. Namun seiring berjalannya waktu semenjak perjanjian tersebut resmi berlaku pada 25 November 2003 perjanjian ini banyak dinilai tidak berjalan secara efektif, hal ini dapat dibuktikan melalui :

Perjanjian dapat dinilai efektif dengan melihat pencapaian tujuan perjanjian tersebut.Tujuan dari perjanjian ini adalah untuk menanggulangi polusi asap lintas batas di Asia Tenggara. Namun hingga tahun 2013 polusi asap lintas batas masih terjadi di Asia Tenggara yang diakibatkan karena adanya kebakaran hutan dan lahan di Myanmar, Thailand dan Indonesia.Polusi asap yang disebabkan oleh Myanmar terjadi pada bulan 2006 dan 2007, Thailand pada 2008, 2009, 2010, 2012 dan 2013, sedangkan Indonesia pada 2005, 2006, 2009, 2010 dan 2013.Polusi asap yang terjadi di negara-negara tersebut telah menyebabkan kualitas udara di sekitar wilayah negara tersebut menjadi tidak sehat hingga berbahaya. Dari sini, dapat dilihat bahwa AATHP sebagai rezim lingkungan di Asia Tenggara yang telah disusun dan disepakati bersama melalui beberapa tahapan kesepakatan, seharusnya dapat mengikat negara-negara anggotanya. Namun justru tujuan dari perjanjian ini tidak dapat berjalan dengan baik. Hal ini bisa dilihat dari masalah polusi asap lintas batas yang belum dapat diatasi ataupun setidaknya dapat dikurangi dari tahun 2003-2013, hal ini terlihat dari kondisi polusi asap lintas batas yang terjadi pada tahun 2013 justru merupakan polusi asap lintas batas terparah yang pernah terjadi di Asia Tenggra sejak perjanjian berlaku. Masih terjadinya polusi asap di beberapa wilayah Asia Tenggara ini menunjukkan bahwa perjanjian ini tidak berjalan efektif sesuai tujuan utamanya yaitu untuk menanggulangi masalah polusi asap lintas batas di Asia Tenggara. Oleh karena itu, dianggap penting oleh penulis untuk mengetahui kesalahan yang terdapat dalam perjanjian tersebut sehingga mengakibatkan tujuan dari perjanjian ini tidak berjalan sesuai dengan mestinya.

.Rumusan Masalah

Mengapa ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollutiontidak efektif dalam menanggulangi masalah polusi asap di Asia Tenggara?

Richard M. Steers, 1985, Efektifitas Organisasi cetakan kedua, Jakarta: Erlangga, halaman 53 Thalearngsak Petchsuwan, ASEAN Cooperation on Fire and Haze Control Under the ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution, Thailand: Pollution Control Department, halaman 5

A. Junpen, S, et al, 2011, Estimation of Forest Fire Emission in Thailand by Using Remote Sensing Information, World Academy of Science, Engineering and Technology Vol:58, diunduh dari http://waset.org/publications/4402 diakses pada 5 Februari 2014 pukul 23:39

Haze Online action, 2014, Indonesia-Singapore Collaboration to Deal with the Land and Forest Fires in Jambi Province, http://haze.asean.org/?page_id=234 diakses pada 1 Januari 2014 pukul 01:08

.Kerangka Teoritik

Dalam penelitian ini, penulis akan menggunakan teori efektifitas rezim internasional untuk mengetahui penyebab ketidakefektifan ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution (AATHP) dalam menanggulangi masalah polusi asap di Asia Tenggara. Menurut teori efektivitas rezim yang ditulis oleh Arild Underdal menuliskan bahwapenyebab efektivitas pada rezim dilihat dari dua hal yaitu problem structuredan problem solving capacity.Terdapat dua jenis pada problem stuctureyaitu benign dan malign. Menurut Underdal, beberapa rezim efektif karena pertama, masalah yang menjadi fokus rezim tersebut lebih bersifat benign sehingga mudah diselesaikan, dan kedua karena usaha dalam menyelesaikan masalahnya lebih sukses karena adanya perangkat institusional yang kuat atau karena memiliki skilldan energyyang lebih besar digunakan untuk memecahkan masalah.Untuk menganalisa efektifitas sebuah rezim internasional, Arild Underdal mengemukakan terdapat tiga variabel yaitu variabel dependen, independen dan intervening. Variabel dependennya adalah efektivitas rezim, variabel independennya adalah faktor yang menentukan efektivitas rezim dan intervening variabelnya adalah level of collaboration.Variabel intervening disini adalah variabel yang muncul tanpa bisa dikendalikan tetapi berpengaruh terhadap variabel dependen. Dalam mengetahui seberapa pengaruh variabel ini terhadap variabel dependen maka harus dilakukan pengukuran tertentu.Secara singkat teori ini menjelaskan bahwa, efektifitas rezim dipengaruhi oleh problem structure dan problem solving capacity. Terdapat 2 jenis problem structureyaitu yang bersifat benign dan malign. Rezim yang menangani masalah yang bersifat benign dapat menghasilkan rezim yang efektif. Sedangkan rezim yang menangani masalah yang bersifat malign memerlukan problem solving capacity yang besar sehingga mampu mengatasi masalah rezim. Tingkat kolaborasi antara problem malignancy dan problem solving capacityyang ada pada sistem yang membentuk rezim menentukan tingkatan pada level of collaboration. Problem solving capacity yang lebih besar dari problem malignancy akan membuat tingkat pada levelof collaboration tinggi sehingga akan melahirkan rezim yang efektif. Sedangkan apabila problem malignancylebih besar dari problem solving capacity

Arild Underdal, 2002, One Question Two Answer, United Stated of America: MITpress, halaman 13 diunduh dari http://mitpress2.mit.edu/books/chapters/0262133946chap1.pdf, diakses pada 3 Maret 2014 pukul 18:13 Ibid, halaman 3

Ibid, halaman 4-13

Prof DR H Hadari Nawawi, 1987, Metode Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, halaman 84

Ibid, Halaman 3

nya maka tingkatan pada level of collaborationmenjadi rendah dan menghasilkan rezim yang tidak efektif.

.Penyajian Data dan Pembahasan

4.1 Incongruity dalam Struktur Masalah ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution

Melalui teori efektifitas rezim milik Arild Underdal, diketahui bahwa indikator asymmetry dan cumulative cleavages. Dengan terpenuhinya indikator asymmetry dan cumulative cleavagestelah menunjukkan bahwa unsur incongruity yang merupakan tanda bahwa struktur masalah di dalam rezim merupakan masalah yang sulit untuk diselesaikan atau masalah yang bersifat malign. Struktur masalah polusi asap menjadi sulit diselesaikan karena terdapat perbedaan pandangan negara anggota ASEAN dalam melihat AATHP. Perbedaan pandangan ini didasari atas perbedaan kepentingan antar negara anggotanya, yaitu kepentingan sebagai negara penghasil, negara penerima, negara penghasil dan penerima, atau negara bukan penghasil dan bukan penerima. Dengan adanya perbedaan kepentingan inilah yang membuat terdapat perpecahan di dalam AATHP, yaitu terdapat pihak yang meratifikasi dan tidak. Adanya perpecahan ini merupakan tanda bahwa negara-negara anggota AATHP tidak terjalin hubungan harmonis dan kerjasama yang baik.

.2 Institutional Setting dalam ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution Di dalam AATHP, bentuk kerjasama teknik yang dilakukan adalah dalam rangka meningkatkan kesiapan dan untuk mengurangi resiko terhadap kesehatan manusia dan kerusakan lingkungan akibat polusi asap yang timbul dari kebakaran hutan dan lahan. Kerjasama yang dilakukan tersebut berada di bawah naungan ASEAN Co-ordinating Centre for Transboundary Haze Pollution Controlatau ASEAN Centre, karena salah satu fungsi dari ASEAN Centre ini adalah sebagai pusat kerjasama bagi negara-negara anggota dalam menanggulangi masalah polusi asap. Namun badan yang seharusnya memfasilitasi kerjasama negara-negara anggota dalam rangka meningkatkan kesiapan dan untuk mengurangi resiko terhadap kesehatan manusia dan kerusakan lingkungan akibat polusi asap

Ibid, halaman 7

ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution, op.,cit, halaman 11-12

yang timbul dari kebakaran hutan dan lahan belum juga didirikan.Hal ini mengakibatkan peran AATHP dalam menanggulangi masalah polusi asap lintas batas di Asia Tenggara menjadi kurang maksimal karena kerjasama di antara aktornya tidak berjalan dengan baik. Dari sini dapat disimpulkan bahwa indikator institutional settingtidak terpenuhi. Tidak terpenuhinya indikator institutional setting ini berarti mengurangi kemampuan problem solving capacitydalam mengatasi masalah.

.3 Distribution of Power dalam ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution Untuk melihat distribution of power dalam AATHP, maka dilihat dari struktur AATHP dalam mengontrol peristiwa-peristiwa polusi asap lintas batas yang terjadi di Asia Tenggara, yaitu dengan melihat ke dalam Pertemuanthe Conference of The Parties (COP)to the ASEAN Agreement on Trans-boundary Haze Poluttion. COP ini dilakukan setahun sekali dengan tujuan untuk evaluasi kondisi polusi asap lintas batas di Asia Tenggara serta lebih memfokuskan dan menyusun kerangka kerja dari perjanjian polusi asap.COP ini selalu dihadiri oleh seluruh negara ASEAN, termasuk Indonesia yang statusnya belum meratifikasi AATHP. Negara-negara ASEAN sendiri selalu menjalin hubungan antarnegara anggota dengan prinsip-prinsip yang sebagaimana tertuang dalam piagam ASEAN, yaitu, menghormati kemerdekaan, kedaulatan, kesetaraan, integritas wilayah dan identitas nasional seluruh negara anggota ASEAN. Selain itu, ASEAN juga mengedepankan penyelesaian sengketa secara damai, tidak mencampuri urusan dalam negeri negara anggota ASEAN, dan menghormati kebebasan mendasar, pemajuan dan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM), serta pemajuan keadilan sosial.Atas dasar penjunjung prinsipprinsip ASEAN tersebut, maka pembuatan keputusan ASEAN adalah dibuat berdasarkan musyawarah dan kesepakatan bersama negara anggota ASEAN.

Dari sini, maka dapat dilihat bahwa terdapat kesetaraan negara-negara ASEAN pada pertemuan COP dalam mengambil keputusan. Maka sesuai dengan tulisan Underdal bahwa suatu masalah yang bersifat malign justru dapat diselesaikan dengn adanya persamaan

Helena Muhammad Varkley, 2013, Regional Cooperation, Patronage and the ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution, halaman 13-14, diakses dari http://link.springer.com/article/10.1007/s10784013-9217-2 pada 9 November 2013 pukul 17:00

Direktorat Jendral Kerja Sama ASEAN, 2010, ASEAN Selayang Pandang Edisi Ke-18 Tahun 2010, Jakarta: Kementrian Luar Negeri RI, halaman 136

Direktorat Jendral Kerja Sama ASEAN, 2011, Ayo Kita Kenali ASEAN, Jakarta: Kementrian Luar Negeri RI, Halaman 13

Ibid, halaman 17

kekuasaan negara dalam pengambilan keputusan.Dari sini dapat disimpulkan bahwa indikator distribution of power terpenuhi, sehingga dapat mendukung problem solving capacity dalam mengatasi masalah.

.4 Skill and Energy dalam ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution Isu-isu yang berkembang di dunia internasional saat ini sangat beranekaragam dan tingkat kesulitannya semakin meningkat. Untuk itu, negara-negara membentuk suatu kelompok atau rezim dengan tujuan untuk menangani isu-isu internasional yang semakin kompleks tersebut. Dalam menaungi masalah-masalah yang ada, maka sebuah rezim membutuhkan peran dari epistemic community didalamnya. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Arild Underdal bahwa informasi yang menjadi fokus dalam kajiannya adalah yang berasal dari epistemic community.

Sebagai rezim lingkungan, AATHP pun membutuhkan epistemic communitydalam sumber informasi untuk mencari solusi yang tepat maupun dalam mengambil suatu keputusan. Maka, dituliskan di dalam teks perjanjian bahwa kehadiran ASEAN Co-ordinating Centre for Transboundary Haze Pollution Control atau ASEAN Centreadalah sebagai pusat kerjasama dan koordinasi dalam menangani masalah polusi asap lintas batas di Asia Tenggara.Namun ASEAN Centresebagai epistemic community dan juga sebagai wujud upaya regional AATHP dalam menangani masalah polusi asap lintas batas di Asia Tenggara ini hingga saat ini belum juga didirikan.

Dengan belum didirikannya ASEAN Centre sebagai upaya regional dalam menangani masalah polusi asap lintas batas di Asia Tenggara ini telah menunjukkan bahwa tidak adanya epistemic community di dalam AATHP. Hal ini mengakibatkan indikator ketiga dalam problem solving capacitytidak terpenuhi, sehingga hal ini tidak mendukung problem solving capacity dalam mengatasi masalah.

22Arild Underdal, Ibid, halaman 35

ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution, 2002, Article 5 point 1, halaman 6 Helena Muhammad Varkley, Op.,cit, halaman 13-14

.Analisa

Seperti yang diungkapkan oleh Arild Underdal bahwa dalam melihat efektifitas sebuah rezim dilihat melalui 3 objek, yaitu output, outcome danimpact.Output adalah aturan atau program yang ditetapkan oleh anggota untuk menangani suatu masalah tertentu, maka dalam penelitian ini yang termasuk dalam output adalah aturan-aturan di dalam AATHP dalam rangka mencegah dan mengawasi polusi asap lintas batas akibat kebakaran hutan dan lahan.

Dalam penelitian ini, maka outcomedapat dilihat dari adanya perubahan perilaku yang dilakukan oleh negara-negara anggota sesuai dengan aturan AATHP. Aturan AATHP yang memuat ketentuan tindakan atau perilaku negara anggotanya secara tertulis pada upaya nasional, yaitu melakukan tindakan-tindakan dalam melakukan pencegahan, pengawasan dan penanggulangan polusi asap lintas batas.

Dan objek yang terakhir adalah impact.Impact pada penelitian ini dilihat dari adanya perubahan lingkungan berupa polusi asap lintas batas yang dapat diatasi atau setidaknya dapat dikurangi di Asia Tenggara sebagai hasil pemanfaatan prinsip, aturan atau langkah yang ditetapkan oleh AATHP.

Untuk dapat mencapai outcome dan impact, ditentukan dari peraturan AATHP sendiri (output). Sehingga untuk mengukur seberapa kuat aturan AATHP dalam menanggulangi masalah polusi asap lintas batas di Asia Tenggara. Dalam mengukur kekuatan output dilakukan melalui level of collaboration, yang mana level of collaboration ini dihasilkan dari adanya problem malignancy dan problem solving capacity yang ada pada sistem yang membentuk AATHP.

Berdasarkan pada analisa yang telah dilakukan oleh penulis, bahwa AATHP sebagai rezim lingkungan yang menangani masalah polusi asap lintas batas di Asia Tenggara tidak efektif dalam menangani masalah ini disebabkan karena problem solving capacity-nya tidak mampu mengatasi masalah rezim. Hal ini bisa dilihat dari indikator pada problem malignancy terpenuhi semua, yang menunjukkan bahwa masalah yang ditangani oleh AATHP merupakan masalah yang sulit untuk diselesaikan. Disisi lain, hal ini disebabkan pula oleh problem malignancy capacity-nya tidak mampu menangani masalah rezim, hal ini terbukti dari indikator pada problem solving capacity hanya terpenuhi satu yaitu distribution of power, sehingga kemampuan rezim dalam menangani masalah menjadi tidak maksimal.

Dari keadaan problem malignancy dan problem solving capacity diatas, jika dikolaborasikan maka dapat menentukan tingkat pada level of collaboration. Dengan unsur pada problem solving capacity yang tidak mampu mengatasi masalah tersebut membuat tingkat pada level of collaboration pada tingkatan yang rendah, yaitu pada tingkat kedua. Tingkat kedua pada level of collaboration adalah terdapat koordinasi tindakan berdasarkan aturan atau standar yang dirumuskan secara eksplisit, tetapi implementasinya berada sepenuhnya di tangan pemerintah sebuah negara. Dalam tingkatan ini tidak ada penilaian terpusat terhadap efektifitas dari sebuah tindakan.AATHP berada pada tingkat dua kerena, negara-negara ASEAN telah bersama-sama merumuskan dan menyetujui aturan dalam menanggulangi masalah polusi asap lintas batas di Asia Tenggara, tetapi implementasinya berada sepenuhnya di tangan negara, hal ini terlihat dari tidak adanya badan terpusat yang berfungsi sebagai pengontrol negara apabila tidak melakukan tindakan-tindakan sesuai dengan aturan rezim, seperti melanggar ketentuan rezim atau tidak meratifikasi perjanjian.

.Penutup

AATHP adalah rezim lingkungan yang dibentuk dari beberapa proses kesepakatan yang pada akhirnya disepakati bersama oleh negara-negara ASEAN pada tahun 2002. AATHP bertujuan untuk menanggulangi masalah polusi asap lintas batas di Asia Tenggara. Akan tetapi AATHP telah terbukti sebagai rezim yang tidak efektif dalam menangani masalah ini karena negara-negara anggotanya tidak melakukan aturan-aturan rezim sehingga tidak terjadi perubahan lingkungan sesuai dengan tujuan AATHP yaitu untuk menanggulangi masalah polusi asap lintas batas di Asia Tenggara.

Bukti dari ketidakefektifan AATHP adalah dengan melihat catatan polusi asap lintas batas yang terjadi sejak berlakunya perjanjian yaitu pada tahun 2003 hingga tahun 2013. Polusi asap lintas batas yang terjadi adalah pada tahun 2005, 2006, 2007, 2008, 2009, 2010, 2012 dan 2013, yang meliputi hampir diseluruh negara di Asia Tenggara, tercatat bahwa Myanmar, Laos, Thailand, Malaysia, Singapura, Indonesia dan Brunei Darussalam merupakan negara-negara yang dilanda bencana polusi asap lintas batas. Hal ini menandakan bahwa setelah 10 tahun AATHP berlaku, AATHP tidak mampu melakukan perubahan pada lingkungan.

Menurut analisa yang dilakukan berdasarkan teori Arild Underdal adalah penyebab ketidakefektifan sebuah rezim disebabkan dari problem malignancy dan problem solving

capacity yang ada pada rezim. Problem malignancy pada penelitian ini terpenuhi dua indikator yaitu asymmetry dan cumulative cleavages. Sedangkan pada problem solving capacityhanya terpenuhi satu indikator yaitu distribution of power.Keadaan ini lah yang menyebabkan AATHP menjadi efektif yaitu karena kemampuan menyelesaikan masalah yang dimiliki oleh negara-negara ASEANtidak mempu mengatasi masalah polusi asap yang menjadi fokus AATHP.

***