Upload
hoangdung
View
261
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
RELIGIOSITAS DALAM BUKU KUMPULAN PUISI “GARAM – GARAM HUJAN”
KARYA JAMAL D. RAHMAN DAN IMPLIKASINYA TERHADAP
PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
DI SEKOLAH MENENGAH ATAS (SMA)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Oleh
Muhamad Ihsan Husaini
NIM: 1111013000104
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2016
!embar Pengesaha Skrips
RELIGIOSITAS DALAM KUMPULAN PUISI GA RAM- GARAMHUJAN KARVA JAMAL D RAH-MAN DAN
IMI'LIKASIN VA D!EL' . ltD T14IItft fltV QtCrDt
LIJLjL.n JJfIILCkL)ft IJri. t xJf L !I.#J±
Sk'ripsi
Diajukan kepada Fakuhas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri SyarifHidayatuiiab Jakarta Sebagai Salab Saw Syarat Untuk Menempuh Gelar
Sarjana Pendidikan (S.Pd.)
Okh
TT....:..: xvi .sn.asI.a,.s sn,a.. is ,.aanu.
1111013000102
Mengetahui
TTT) fl lOA44 4iV • .LO+.LJ.LUL
iIJ.U3 L UUI
JURUSAN PENDIDIKAN IAHASA DAN SASTRA LNDONESL4
FAKULTAS LM1J TAKIil lAB DAN KEGUIRUAN
UNWERSITAS ISLAM NEGERI
C'f A ! T It II A ' A TI I 1 4 II . I rtr,j.I LLw2 t I AI U LjLittLI
JAKARTA
2016
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI
Skripsi berjudul "Religiositas dalam Kumpulan Puisi Garam - Garam Hujan Karya Jamal D. Rahman dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di Sekolah Menengah Atas (SMA)" disusun oleh Muhamad Ihsan Husaini, NIM 1111013000104, diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan telah dinyatakan lulus dalam Ujian Munaqosah pada 18 November 2016 dihadapan dewan penguji. Oleh karena itu, penulis berhak memperoleh gelar sarjanaa SI (S.Pd.) dalam bidang Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.
Jakarta, 26 Januari 2016
Panitia Ujian Munaqasah
(Ketua Panitia/Ketua JurusarIPrograin Studi) Tanggal Tanda Tangan
Dr. Makyun Subuki. M. Hum. .. P—W—~
NIP. 19800305 200901 1 015
Sekretaris JurusanlProgram Studi
Toto Edidarmo, M. A NIP. 19760225 200801 1 020
Penzuji I
Rosida Erowati, M. Hum. ............. . . ---
NIP. 19771030 2008012 009
Penguji II
Ahmad Bahtiar. M. Hum. NIP. 19760118 200912 1 002
Tabiyah dan
*
JAKARTA
rt
955021 h8203 1 007
.
* •M
KEMENTERIAN AGAMA I UIN JAKARTA FORM (FR)
I. .. I FITK I L.!IjJ J1.Ir.n.JuandallosCipu:a:/S4i2Indonesia I
No. Dokumen : FITK-FR-AKD-089
Tgl. Terbit : I Maret 2010 No. Revisi: : 01
I Hal
SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI
Saya yang bertanda tangan di bawah mi,
Nama : Muhamad Ihsan Husaini
Tempat'Tgl.Lahir : Bogor, 16 Mei 1993
NIM 1111013000104
Jurusan / Prodi : Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Judul Skripsi : Religiositas Dalam Kumpulan Puisi Garam - Garam
Hujan Karya Jamal D Rahman dan Implikasinya pada
Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia
Doscn Pembimbing : Novi Diah Haryanti, M. Hum
NIP :19841126201503 2 007
Dengan mi menyatakan bahwa skripsi yang saya buat benar-benar basil karya sendiri
dan saya bertanggungjawab secara akademis atas apa yang saya tulis.
Pernyataan mi dibuat sebagai salah satu syarat rnenempuh Ujian Munaqasah.
Jakarta, 10 Oktober 2016 Mj4isw Ybs.
''Go. M /IBURUPIAH
Muhamad Ibsan 1-usaini NIM. 1111013000104
ABSTRACT
MUHAMMAD IHSAN HUSAINI: Skripsi: Religiosity in the Anthology of
“Garam-Garaam Hujan” by Jamal D. Rahman and its implication towards
Indonesian Language and Literature Learning in Senior High School Students. Department of Indonesian Language and Literature, Faculty of Tarbiya and Teachers’
Training, Syarif Hidayatullah State Islamic University, 2016.
Poetry is description of value that is expressed through language and
expression that represents the feeling of the poet. The presence of Jamal D. Rahman
deserves to be regarded as religious poet because the messages that he delivered can
not be separated from religiosity of God, man and nature.
This research aims to identify the religiosity of Jamal D. Rahman, “Rubaiyat
Matahari” and “Bernafaslah Pada Ombak”. This research adopted qualitative
method to collect data or document towards the two relating poetry to be analyzed.
Based on the result it, can be concluded that there are five aspects of
religiosity in “Rubaiyat Matahari” including ideological, ritualistic, experiential,
intellectual, and consequential. In the other hand, in the poetry entitled “Bernafaslah
Pada Ombak” consist two aspects including ritualistic and ideological.
Keywords: Religiosity, poetry “Rubaiyat Matahari” and “Bernafaslah Pada
Ombak”, Jamal D. Rahman, Indonesian Language and Literature Learning.
RELIGIOSITAS DALAM BUKU KUMPULAN PUISI
“GARAM- GARAM HUJAN” KARYA JAMAL D. RAHMAN DAN
IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN BAHASA DAN
SASTRA INDONESIA DI SEKOLAH MENENGAH ATAS (SMA)
Muhamad Ihsan Husaini
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Puisi merupakan penggambaran tentang suatu nilai yang diungkapkan melalui
bahasa dan ekspresi yang mewakili perasaan sang penyair. Kehadiran Jamal D
Rahman layak dianggap sebagai hadirnya penyair religius, sebab pesan pesan
yang disampaikanya tidak terlepas dari unsur unsur religiositas tentang tuhan,
manusia dan alam.Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi religiositas yang
terkandung dalam dua puisi karya Jamal D Rahman, yaitu Rubaiyat Matahari dan
Bernafaslah Pada Ombak. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, yaitu
teknik pengumpulan data atau dokumen lalu menganalisis data-data yang
berkenaan dengan dua puisi tersebut kemudian menarik kesimpulannya.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, maka dapat disimpulkan; terdapat
lima aspek religiositas dalam puisi “Rubaiyat Matahari” yaitu, aspek ideologis,
ritualistik, eksperiensial, intelektual dan konsekuensial. Sedangkan dalam puis
“Bernafaslah Pada Ombak” hanya terdapat dua aspek yaitu, aspek ritualistik dan
ideologis.
Kata kunci: Religiositas, Puisi Rubaiyat Matahari dan Bernafaslah Pada
Ombak, Jamal D Rahman, Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia.
iii
KATA PENGANTAR
Bismillahirrohmanirrohim,
Segala puji bagi Allah atas segala yang ada di semesta jagad raya yang
telah memberi limpahan rahmat dan nikmat-Nya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi dengan judul “Religiusitas Dalam Kumpulan Puisi Garam-
Garam Hujan karya Jamal D Rahman dan Implikasinya pada Pembelajaran
Bahasa dan Sastra Indonesia”. Shalawat serta salam senantiasa tercurah
limpahkan untuk Nabi besar Muhammad, keluarga, para sahabat, dan umatnya.
Penulisan skripsi ini ditujukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat
memperoleh gelar Sarjana Pendidikan pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan. Penulis berharap skripsi
ini dapat bermanfaat bagi kepentingan ilmu pengetahuan.
Dalam proses penulisan penelitian ini penulis banyak mendapat masukan,
bimbingan, saran, motivasi, dan semangat dari berbagai pihak. Semua itu tak lain
untuk menjadikan penulis menjadi pribadi yang lebih baik dan kaya
informasi. Dengan segala kerendahan hati penulis ingin menyampaikan rasa
terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, M.A., selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta;
2. Makyun Subuki, M.Hum., selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia yang memudahkan dalam segala proses baik formal maupun informal;
3. Novi Diah Haryanti, M.Hum., selaku dosen pembimbing skripsi yang selalu
berusaha meluangkan waktu untuk penulis dalam proses bimbingan skripsi, sabar
dalam membimbing dan memberikan masukan untuk referensi tulisan hingga
akhirnya skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik;
4. Seluruh Dosen Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia khususnya dan
dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan pada umumnya yang telah
memberikan ilmu dalam menempuh pendidikan di UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta;
iv
5. Ucapan terimakasih ditujukan kepada sahabat sekaligus penasihat yang selalu
bersedia meluangkan waktu untuk menjadi tempat berkeluh kesah dan berdiskusi
dalam proses penulisan skripsi ini, yaitu Nugroho, Naz Arafi, Taufik Hidayatullah
Ivan, Salaman Ayu, Madensia, Nova Liana, dan Syifa Fauziah.
6. Ucapan teristimewa ditujukan kepada keluaga tersayang terutama Ayah dan Ibu
tercinta yaitu Aneng Iskandar dan Neneng Rosilah yang telah merawat, mendidik,
membimbing, memotivasi penulis untuk menjadi manusia yang baik dan
bijaksana, yang tiada hentinya memanjatkan doa kepada Sang pencipta dan
memberikan dukungan moril serta materil sehingga penulis dapat
mempersembahkan skripsi ini sebagai tanda bakti dan tanda cinta. Tak lupa kecup
sayang untuk adik tercinta yaitu Tresna Nurfitriyanti, Putri Nurfatimah dan Nur
Muhammad Riksa Tama yang telah memberikan motivasi, keceriaan, kehangatan,
dan kasih sayang dalam perjalanan hidup hingga saat selesainya skripsi ini;
Terimakasih pula untuk seluruh pihak yang telah membantu penulis dalam
proses penyelesaian penelitian ini yang tak dapat disebutkan satu persatu. Semoga
limpahan rahmat Allah, Tuhan yang maha kuasa terhikmat kepada kita semua.
Penulis mengharap kritik dan saran yang membangun dari pembaca untuk
menjadikan penelitian ini lebih baik lagi. Besar harapan penulis agar penelitian ini
dapat bermanfaat, baik untuk penulis pribadi maupun pembaca.
Jakarta, 26 September 2016
Penulis
vi
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN DOSEN PEMBIMBING
LEMBAR PERNYATAAN KARYA SENDIRI
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI
ABSTRAK ..................................................................................................... i
ABSTRACT ..................................................................................................... ii
KATA PENGANTAR .................................................................................... iii
DAFTAR ISI ................................................................................................... vi
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... ix
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. x
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ......................................................................... 1
B. Identifikasi Masalah ................................................................. 4
C. Pembatasan Masalah ................................................................ 4
D. Perumusan Masalah ................................................................. 4
E. Tujuan Penelitian ..................................................................... 5
F. Manfaat Penelitian ................................................................... 5
G. Metode Penelitian..................................................................... 6
vii
1. Sumber Data/Objek Penelitian ........................................... 6
2. Teknik Pengumpulan Data ................................................. 7
3. Teknik Analisis Data .......................................................... 7
BAB II ACUAN TEORITIS
A. Religiositas ............................................................................... 8
1. Pengertian Religiositas ....................................................... 8
2. Religiositas dalam Karya Sastra......................................... 10
3. Wujud Religositas .............................................................. 10
B. Puisi .......................................................................................... 12
1. Pengertian Puisi ............................................................ 12
2. Unsur-Unsur Puisi ........................................................ 13
3. Fungsi Puisi .................................................................. 17
C. Implikasi .................................................................................. 18
D. Penelitian Relevan .................................................................... 21
BAB III BIOGRAFI PENGARANG
A. Biografi Jamal D Rahman ........................................................ 24
B. Jamal D Rahman dan Kepenyairanya ...................................... 24
C. Jamal D Rahman dan Pemikiranya .......................................... 25
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN
A. Struktur Fisik dan Batin Puisi Rubaiyat Matahari ................. 30
a. Analisis Struktur Fisik Puisi Rubaiyat Matahari .......... 30
b. Analisis Struktur Batin Puisi Rubaiyat Matahari ...........48
viii
B. Struktur Fisik dan Batin Puisi Bernafaslah pada Ombak ...... 55
a. Analisis Struktur Fisik Puisi Bernafaslah pada Ombak 55
b. Analisis Struktur Batin Puisi Bernafaslah pada Ombak 64
C. Representasi Religiositas Pada Puisi Rubaiyat Matahari dan
Bernafaslah Pada Ombak ....................................................... 66
BAB V PENUTUP
A. Simpulan ................................................................................... 82
B. Saran ......................................................................................... 83
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Membicarakan sastra dengan tema ke Tuhanan biasanya menunjukkan
pengalaman keberagamaan seorang sastrawan. Pengalaman religi atas tingkat
kedalaman seseorang terhadap agamanya atau yang lebih luas lagi terhadap
Tuhan. Banyak karya sastra khususnya puisi yang menunjukan pengalaman yang
cukup meskipun tidak menunjukkan identitas agama tertentu. Dalam suasana
demikin, sastrawan termasuk penyair dapat mewakili semua manusia dalam
mengatasi semua perbedaan agama, bangsa, suku, dan warna kulit. Sastra pada
akhirnya bersifat universal.
Puisi merupakan salah satu genre sastra, memiliki bentuk yang khas, unik,
dan menggunakan bahasa yang lebih padat dan lebih subtil dibandingkan jenis
sastra lainnya, seperti cerpen, novel, dan drama. Puisi merupakan rekaman dan
interpretasi pengalaman manusia yang penting, digubah dalam bentuk yang paling
berkesan.1
Puisi juga merupakan salah satu materi ajar dalam pembelajaran bahasa
dan sastra Indonesia di sekolah – sekolah, namun terkadang puisi sering dianggap
bukan bagian dari pendidikan oleh masyarakat ataupun guru yang pada umumnya
menilai puisi itu hanyalah hiburan belaka. Seyogyanya puisi itu sendiri adalah alat
komunikasi penyair dalam menyampaikan nilai - nilai pada pembacanya, nilai
agama, nilai nasionalisme dan masih banyak lagi.
Karya sastra, khususnya puisi berperan penting dalam pembentukan
karakter seseorang. Terbentuknya karakter seseorang ditentukan oleh 2 faktor,
yaitu faktor alami dan pendidikan. Malalui pendidikan karakter seseorang bisa
1 Rachmat Djoko Pradopo, Pengkajian Puisi, (Yogyakarta: Gadjah Mada UniversityPress, 2000),
h. 7
2
dikembangkan pada arah yang lebih positf dan meminimalisi tindak kriminal yang
bisa disebabkan oleh anak akibat dari pergaulan yang salah.
Pada 2011, Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) mencatat
kasus anak yang berhadapan dengan hukum (anak sebagai pelaku) yang diajukan
ke pengadilan meningkat hingga 70 persen, 1.851 pengaduan anak berhadapan
dengan hukum. Angka ini mengalami peningkatan dibanding pengaduan pada
tahun 2010, yakni 730 kasus.2
Oleh karena itu, diperlukan media ataupun sarana yang bisa memberikan
sebuah nilai kereligiusan yang perlu diajarkan, yaitu melalui media puisi. Banyak
sekali puisi - puisi yang mempunyai nilai kereligiusan, salah satunya yaitu,
kumpulan puisi “Garam – Garam Hujan” karya Jamal D. Rahman.
Alasan menganalisis aspek religiositas terhadap kumpulan puisi “Garam –
Garam Hujan”, karena di dalamnya terdapat tema-tema religius yang dapat
dihubungkan dengan aspek - aspek religiositas. Tema religius yang dimaksud
yaitu suatu perasaan mendalam yang dirasakan oleh „aku lirik‟ yang berhubungan
dengan Tuhan dan keimanan serta sosial. Beberapa puisi yang terdapat dalam
buku kumpulan puisi “Garam – Garam Hujan” karya Jamal D. Rahman
merupakan cerminan dari keagamaan pengarangnya walaupun bukan kehidupan
beragama sebagai latar belakangnya. Dalam hal ini, kehidupan beragama
dijadikan dasar pemecahan masalah. Dalam sastra religius, agama bukan suatu
kekuasaan, melainkan alat pendemokrasian yang bisa dijadikan wadah untuk
mengutarakan ataupun mengekspresikan diri dari segala macam bentuk
keyakinan.
Salah satu alasan peneliti memilih teks puisi Rubaiyat Matahari dan
Bernafaslah Pada Ombak, dikarenakan kedua puisi tersebut cukup kental dengan
unsur kereligiositasannya yang dapat dijadikan alat pembebasan terhadap
pemecahan masalah. Selain itu, struktur fisik dan batin yang terdapat pada kedua
puisi tersebut tetap diperhatikan dengan bentuk yang sangat rapi, sehingga tidak
kehilngan nilai estetik. Hal tersebutlah yang menjadikan peneliti tertarik untuk
2http://metro.news.viva.co.id/news/read/273781-4-622-anak-indonesia-mendekam-di-penjar,
diunduh pada tanggal 16 September 2015
3
melakukan penelitian terhadap kedua teks tersebut. Jamal D. Rahman, selaku
penulis buku kumpulan puisi “Garam – Garam Hujan”, tetap konsisten
mempertahankan bahkan mengutamakan bentuk tanpa mengabaikan makna yang
tersirat.
Tingkat religiositas pada remaja akan berpengaruh terhadap perilakunya.
Apabila remaja memiliki tingkat religiositas yang tinggi, maka remaja akan
menunjukkan perilaku ke arah hidup yang religius pula, sebaliknya remaja yang
memiliki tingkat religiositas rendah, mereka akan menunjukkan perilaku ke arah
hidup yang jauh dari religius pula. Hal ini berarti remaja memiliki potensi untuk
melakukan penyimpangan-penyimpangan atau kenakalan-kenakalan terhadap
ajaran agama yang dianutnya.
Religiositas lebih melihat aspek yang “di dalam lubuk hati”, riak getaran
hati nurani pribadi; sikap personal yang sedikit banyak misteri bagi orang lain
karena merupakan intimitasi jiwa.3 Artinya, merupakan sebuah cita rasa
mencakup totalitas kedalaman si pribadi manusia. Oleh karena itu, pada dasarnya
religiositas mengatasi, atau lebih dalam dari agama yang tampak formal, resmi.
Dalam khasanah sastra Indonesia, spirit sastra religius dapat dilihat pada
karya-karya Kuntowijoyo, A. Mustofa Bisri, Rukmi Wisnu Wardhani, dan Din
M.Yanwari serta Emha Ainun Najib, sedangkan dalam skripsi ini akan membahas
puisi karya Jamal D. Rahman. Melalui puisi tersebut kita dapat merasakan aspek
religiositas pada tiap larik-larik puisi tersebut. Melalui karya sastra, pembaca tidak
hanya diajak menikmati dan menghayati nilai- nilai moral, didaktis, sosial dan
religius yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Jamal D. Rahman sendiri selaku sastrawan yang mencipta buku kumpulan
puisi “Garam – Garam Hujan” mempunyai peranan penting dalam
perkembangan sastra Indonesia. Ia kerap diundang mengikuti acara-acara sastra di
dalam dan luar negeri, antara lain Festival Seni Ipoh III, Negeri Perak, Malaysia
(1998), Program Penulisan Majelis Sastra Asia Tenggara bidang Esai di Cisarua,
Bogor (1999), Seminar Kritikan Sastra Melayu Serantau, Kuala Lumpur (2001),
3 Y.B. Mangunwijaya, Sastra dan Religiositas, ( Yogyakarta: Kanisius, 1994). h. 12
4
dan Pertemuan Penulis Asia Tenggara (South-East Asian Writers Meet) di Kuala
Lumpur (2001), Festival Poetry on the Road di Bremen, Jerman (2004). Puisi-
puisinya diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan Jerman. Dimuat dalam
berbagai antologi. Tulisan-tulisannya juga dimuat dalam sejumlah buku,
diantaranya Islam dan Tranformasi Sosial-Budaya (1993), Romo Mangun di
Mata Para Sahabat (1997), Tarekat Nurcholishy (2001), dan Ulama Perempuan
Indonesia (2002).
Berdasarkan paparan tersebut peneliti mengambil judul skripsi Religiositas
Pada Kumpulan Puisi “Garam – Garam Hujan” Karya Jamal D. Rahman dan
Implikasinya terhadap pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah disampaikan, maka identifikasi
masalah dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Kurangnya pemahaman masyarakat dan guru pada puisi sebagai sarana
pendidikan dan pembentuk karakter
2. Kurangnya minat baca peserta didik terhadap karya sastra khususnya
pada puisi
3. Kurangya pembahasan tentang nilai religiositas pada puisi, khususnya
pada puisi Jamal D. Rahman
C. Pembatasan Masalah
Setelah melihat latar belakang, maka diperlukan pembatasan
masalah agar lebih terfokus aspek yang akan dibahas, yaitu: Religiositas
Dalam Kumpulan Puisi “Garam-Garam Hujan” karya Jamal D. Rahman
dengan judul puisi: Rubaiyat Matahari dan Bernafaslah Pada Ombak pada
pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia
D. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah struktur fisik dan batin puisi “Rubaiyat Matahari
dan Bernafaslah Pada Ombak” karya Jamal D. Rahman?
5
2. Bagaimanakah religiositas dalam kumpulan puisi “Garam-Garam
Hujan” karya Jamal D. Rahman dengan judul puisi: Rubaiyat
Matahari dan Bernafaslah Pada Ombak serta Implikasinya pada
pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia?
E. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian, sebagai berikut:
1. Mengidentifikasikan bentuk dan struktur puisi dalam kumpulan
puisi “Garam-Garam Hujan” karya Jamal D. Rahman dengan
judul: Rubaiyat Matahari dan Bernafaslah Pada Ombak
2. Menanamkan dan mengimplikasikan religiositas pada peserta
didik melalui kumpulan puisi “Garam-Garam Hujan” karya Jamal
D. Rahman pada pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia
F. Manfaat penelitian
Adapun manfaat penulisan skripsi ini adalah :
a. Teoretis
Penelitian tentang nilai religiositas dalam kumpulan puisi “Garam –
garam Hujan” karya Jamal D. Rahman, diharapkan mampu mengupas religiositas
yang terdapat pada karya sastra khususnya pada puisi.
b. Praktis
1. Bagi Guru
Sebagai sarana belajar bagi guru untuk lebih memahami arti dari
religiositas yang tersirat pada puisi untuk kemudian dipraktikan dalam kehidupan
sehari hari.
2. Bagi Siswa
Siswa lebih mudah dalam belajar dan dibimbing, karena dalam kumpulan
puisi “Garam – Garam Hujan” menawarkan sebuah alternatif pembelajaran yang
menghibur tanpa kehilangan esensi nilai nilai pendidikan. Siswa pun dapat
mengaplikasikan pesan - pesan yang bermuatan positif dalam kehidupan sehari –
hari.
6
3. Bagi Orangtua
Dengan adanya penelitian ini diharapkan orang tua dapat mengetahui
sampai di mana tingkat keberhasilan guru mendidik putra-putrinya dengan cara
melihat perkembangan pola tingkah laku putra dan putrinya.
G. Metodologi Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Metode penelitian
kualitatif pada dasarnya sama dengan metode hermeneutika. Artinya, baik metode
hermeutika, kualitatif, dan analisis, secara keseluruhan memanfaatkan cara-
cara penafsiran dengan menyajikannya dalam bentuk deskripsi.4
Salah satu cara penelitian dengan menggambarkan serta menginterpretasi
suatu objek sesuai dengan kenyataan yang ada, tanpa dilebih - lebihkan. Penelitian
deskriptif sering disebut sebagai noneksperimen, dikatakan demikian karena dalam
penelitian ini seseorang yang meneliti tidak melakukan manipulasi variabel dan
juga selalu mengutamakan fakta, sehingga penelitian ini murni menjelaskan dan
menggambarkannya.
1. Sumber Data
a. Data Primer
Data primer merupakan literatur yang membahas secara langsung objek
permasalahan pada penelitian ini, data primer di penelitian ini adalah kumpulan
puisi karya Jamal D. Rahman yang berjudul “Garam-Garam Hujan.”
Buku kumpulan puisi Garam – Garam Hujan terbit pada tahun 2004
dengan penerbit Hikayat Publishing, Yogyakarta, terdiri dari 101 halaman. Dua
puisi yang menjadi penelitian dalam skripsi ini terdapat pada halaman 17 dan 28.
4Nyoman, KuthaRatna, Teori,Metode, dan Teknik Penelitian Sastra,(Yogyakarta:PustakaPelajar.
2006), h .46.
7
b. Data Sekunder
Data sekunder merupakan sumber penunjang yang dijadikan alat untuk
membantu penelitian, yaitu berupa buku-buku atau sumber sumber dari penulis
lain yang berbicara terkait dengan objek penelitian.
2. Teknik Pengumpulan Data
Berdasarkan sumber data yang ada, maka teknik pengumpulan data
dilakukan dengan cara teknik pengumpulan pustaka yaitu teknik pengumpulan
data melalui dokumen-dokumen untuk memperkuat informasi sebagai bahan dasar
analisis. Teknik ini didapat dari berbagai sumber di antaranya buku, skripsi, dan
dokumen lain yang berkaitan dengan objek penelitian.
3. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik
pembacaan hermeneutik. Hermeneutika secara umum dapat didefinisikan sebagai
suat teori atau filsafat tentang interpretasi makna.5 Karya sastra perlu ditafsirkan
sebab di satu pihak karya sastra terdiri dari bahasa sedangkan di dalam bahasa
banyak tersimpan makna ataupun pesan tersembunyi atau dengan sengaja
disembunyikan untuk kemudian diinterpretasikan.
4. Pendekatan Objektif
Pendekatan objektif menitikberatkan kajiannya pada karya sastra. Karya
sastra menjadi suatu yang inti. Karya sastra dipandang sebagai tanda, lepas dari
fungsi referensial atau mimetiknya. Karya sastra menjadi tanda yang otonom,
yang hubungannya dengan kenyataan tidak bersifat langsung.6Pendekatan objektif
mempunyai arti bahwa teks dalam karya sastra merupakan objek utama dalam
5 Edi Mulyono, Belajar Hermeneutika, (Yogyakarta: Ircisod), h. 15
6 Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: Grasindo), h. 183
8
sebuah kajian, dengan begitu hubungan antar unsur (intrinsik) yang bersifat timbal
balik menjadi sesuatu yang sangat penting dalam telaah yang dilakukan.
8
BAB II
ACUAN TEORETIS
A. Religiositas
1. Pengertian Religiositas
Religius menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yaitu, bersifat religi;
bersifat keagaamaan; yang bersangkut paut dengan religi.1 Hal tersebut berarti
religius sangatlah erat kaitan-nya dengan religi yang tak bisa dipisahkan dari
agama.
Religiositas mencakup keagamaan. Keagamaan berkaitan dengan agama.
Sikap-sikap yang ada dalam agama, yaitu berdiri khidmat, membungkuk, dan
mencium tanah, selaku ekspresi bakti kepada Tuhan, mengatupkan mata selaku
konsentrasi diri pasrah sumarah dan setiap mendengarkan sabda illahi dalam hati.
Semua itu seolah-olah menyatakan bahwa manusia religius yang otentik, baik
dalam agama Islam, Kristen, Yahudi dan agama-agama lainya.2
Religiositas memang berkaitan dengan agama, namun agama sendiri lebih
merujuk kepada “Dunia Atas” dalam aspeknya yang resmi, yuridis, peraturan -
peraturan dan hukum – hukumnya, serta keselurahan organisasi tafsir Alkitab dan
sebagainya yang melingkupi segi – segi kemasyarakatan.3 Maka dari itu
religiositas sendiri pada dasarnya lebih dalam dari agama yang tampak formal dan
resmi.
Religiositas lebih melihat aspek yang “di dalam lubuk hati”, riak getaran
hati nurani pribadi; sikap personal yang sedikit banyak misteri bagi orang lain,
karena menapaskan intimitasi jiwa, “du coeur”dalam arti Pascal, yakni cita rasa
yang mencakup totalitas kedalaman pribadi manusia.4
1 Hasan Alwi, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, ( Jakarta: Balai Pusraka, 2005), h.
244. 2 Y.B. Mangunwijaya, Sastra dan Religiositas, (Jakarta: Sinar Harapati, 1982), h. 12.
3 Ibid.
4 Ibid.
9
Menurut Jalaluddin Rahmat, keberagamaan seseorang terdiri dari lima
aspek, yaitu :
1) Aspek Ideologis.
Adalah seperangkat kepercayaan (belief) yang memberikan premis
eksistensial.
2) Aspek Ritualistik.
Aspek ritualistik dalah aspek pelaksanaan ritual/ibadah suatu agama
3) Aspek Eksperiensial.
keterlibatan emosional dan sentimental pada pelaksanaan ajaran agama,
yang membawa pada religious feeling.
4) Aspek Intelektual.
Pengetahuan agama : seberapa jauh tingkat melek agama pengikut
agama yang bersangkutan, tingkat ketertarikan penganut agama untuk
mempelajari agamanya.
5) Aspek Konsekuensial.
Disebut juga aspek sosial. Aspek ini merupakan implementasi
sosial dari pelaksanaan ajaran agama sehingga dapat menjelaskan efek
ajaran agama terhadap etos kerja, kepedulian, persaudaraan, dan lain
sebagainya. Dua aspek yang pertama tersebut, menurut Rahmat
merupakan aspek kognitif keagamaan. Dua yang terakhir merupakan
aspek behavioral, dan yang lainnya merupakan aspek afektif
keberagaman.5
Kelima aspek tersebut murapakan satu kesatuan yang saling yang
melengkapi berkaitan dengan keberagamaan seseorang, namun terkadang tidak
dapat dipungkiri bahwa setiap orang tentu saja memiliki alasan tersendiri untuk
meyakini agama yang dipeluknya.
Orang menganut agama tertentu karena jaminan materi dan karir politik
atau cukup beragama untuk status belaka sehingga tidak memiliki cita rasa
terhadap agamanya. Di sisi lain orang beragama banyak yang religius dan
seharusnya memang demikianlah, paling tidak diandaikan seorang agamawan
sepantasnya sekaligus homo religious.6
2. Religiositas dalam Karya Sastra
Mangunwijaya dalam “Sastra dan Religiositas” mencatat suatu pernyataan
hitam putih, “Pada awal mulanya, segala sastra adalah religius”.7 Oleh karena itu
5Jalaluddin Rahmat, Penelitian Agama, dalam Taufiq A.bdullah dan Rusli Karim (ed), Penelitian
Agama : Sebuah Pengantar. (Yogyakarta : Tiara Wacana, 1989), h. 93.
6 Y.B. Mangunwijaya, Sastra dan Religiositas, (Jakarta: Sinar Harapati,1982), hlm. 13
7 Ibid, hlm. 11
10
karya sastra yang baik selalu membawa nilai religius yang setidaknya mampu
mempengaruhi pola perilaku seseorang.
Dalam sebuah puisi selalu terdapat aspek, salah satunya adalah aspek religi.
Aspek religi merupakan suatu ketentuan atau merupakan nilai-nilai yang tertuang
dalam karya sastra khususnya puisi. Aspek religi ini memberikan pengaruh yang
sangat besar dalam suatu karya sastra, karena dalam aspek ini terkandung pesan –
pesan yang sangat dibutuhkan oleh pembaca untuk meningkatkan hubungan
dengan Tuhan.
3. Wujud Religiositas
Mengapresiasi puisi adalah untuk menemukan pesan yang ada di dalamnya.
Jika suatu karya mengandung pesan religius, jenis dan wujud religiositas yang
terdapat dalam karya sastra bergantung pada keyakinan, dan minat pengarang.
Biasanya menyangkut dengan masalah kehidupan yang cukup luas.
Masalah religiositas yang akan dikaji dalam penelitian ini, meliputi berbagai
macam hubungan. Hubungan hubungan tersebut meliputi;
1) Hubungan manusia dengan Tuhan
Manusia sebagai makhluk yang dicipta pastilah sangat erat kaitanya
dengan sang penciptanya, wujud dari hubungan itu bisa berupa doa-doa ataupun
upacara-upacara. Doa dan upacara tersebut dilakukan oleh manusia, karena
kesadaran atau rasa sadar bahwa semua yang ada di alam raya ini ada yang
menciptakan.
2) Hubungan manusia dengan masyarakat
Nilai kehidupan dalam hubungan manusia dengan lingkungan dan
masyarakatnya, menampilkan nilai-nilai berikut, (1) gotong royong (2)
musyawarah (3) kepaTuhan terhadap adab dan kebiasaan (4) cinta tanah kelahiran
dan lingkungan tempat menjalani hidup. Keempat nilai tersebut memperhatikan
bagaimana individu mengikatkan diri dalam kelompoknya. Individu – individu
akan selalu berhubungan satu sama lainnya dalam suatu kelompok. Kelompok
tersebut adalah masyarakat. Individu sebagai anggotanya akan selalu mematuhi
11
dan mentaati segala peraturan di dalamnya. Hal itu dilakukan sebagai pengikatan
diri.
3) Hubungan sesama manusia
Manusia adalah makhluk sosial. Kehidupan manusia di muka bumi tidak
akan terlepas dari kehidupan manusia lainnya. Dalam hubungan sesama manusia,
kedua belah pihak saling membutuhkan, saling bekerjasama, tolong – menolong
dan menghargai. Walaupun sesama manusia dapat terjadi karena adanya benturan
kepentingan atau perbedaan kepentingan di antara mereka.
4) Hubungan manusia dengan dirinya
Selain sebagai makhluk sosial, manusia juga mahluk pribadi yang telah
mengutamakan kepentingan sendiri, sebagai makhluk pribadi, manusia
mempunyai hak untuk menentukan sikap, pandangan hidup, perilaku sesuai
dengan kemampuannya dan itulah yang membedakan dari manusia lainnya. Hak
untuk menentukan keinginannya sendiri itulah yang mencerminkan hubungan
manusia dengan diri sendiri.8
B. Puisi
1. Pengertian Puisi
Horatius, seorang kritikus Romawi, mensyaratkan dua hal bagi puisi, yaitu
puisi harus indah dan menghibur (dulce), namun pada saat yang sama puisi juga
haru berguna dan mengajarkan sesuatu (utile).9
Sementara itu William Wordsworth, penyair Romantik Inggris, memahami
puisi sebagai suatu luapan spontan dari perasaan – perasaan yang kuat.10
Puisi,
adalah bentuk karya sastra yang mengungkapkan pikiran dan perasaan penyair
secara imajinatif dan disusun dengan mengonsentrasikan struktur fisik dan
sturuktur batinnya.11
Berkaitan dengan pernyataan di atas yang mengatakan bahwa
8 Muhammad Pujiaono, Analisis cerita Nilai – nilai religius dalam cerita pendek Karya Mizawan
Kenzi, Repository.usu.ac.id/bitstream, diakses pada Jumat Tanggal 28 Agustus 2015, Pkl. 10.00
WIB. 9 Melani Budianta, Membaca Sastra, ( Magelang: Indonesia Tera, 2006), h. 39
10 Ibid.
11Djarmis, Pengantar Sastra Rakyat Minangkabau (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2002), h.
108.
12
puisi adalah mengungkapkan pikiran dan perasaan perasaan penyair secara
imajinatif, begitu pun dengan Jamal D. Rahman dalam buku kumpulan puisinya
“Garam Garam Hujan”. Dalam puisi tersebut, nilai kereligiusan begitu pekat dan
begitu kentara.
Membaca puisi adalah memasuki suatu kelangsungan pengalaman rohani
yang tidak hanya memerlukan kerja pikiran, tapi juga hati dan perasaan, yang
sedianya dilengkapi oleh kemampuan imajinatif dan kepekaan intuitif.12
Ini berarti
puisi dimulai dengan daya imajinatif dan intuitif. Mereka yang mencipta dengan
sungguh – sungguh tahu bahwa dalam kesenian terdapat proses komunikasi antara
manusia dengan realita sosial yang melingkupinya.
Subjek yang bermonolog di dalam puisi disebut sebagai subjek-lirik. Puisi
tidak terlalu mengandaikan suatu pola yang dalam prosa disebut alur. Namun
batas – batas itu di antara keduanya tidaklah tegas atau jika dicermati hanya akan
menemui kesulitan. Sebab seringkali terdapat kemiripan karena aspek - aspek
yang terdapat di dalam teks puisi kadang ditemukan di dalam teks nonpuisi.13
2. Unsur – Unsur Puisi
a) Struktur Fisik Puisi
1) Tipografi
Tipografi adalah pengaturan dan penulisan kata, larik
perwajahannya.14
Tipografi menempati posisi yang penting dalam puisi. Tipografi
tidaklah diciptakan secara sembarangan oleh penyair, tetapi tipografi turut
menentukan makna sebuah puisi. Hal yang menonjol dalam tipografi adalah aspek
visualnya. Bermacam - macam tipografi telah diciptakan oleh penyair, ada puisi
yang ditampilkan dengan tipografi teratur dan rapi. Penyair sengaja menyusunnya
dengan memperhitungkan jumlah kata dan suku kata untuk menghasilkan efek
tertentu.
12
Emha Ainun Najib, Budaya Tanding, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), h. 131. 13
Ibid., h. 175. 14
Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: Grasindo, 2008), h. 113.
13
Wahyudi Siswanto dalam bukunya, Pengantar Teori Sastra menjelaskan
seberapa jauh pengaruh perwajahan puisi dengan ruang pemaknaan pada puisi. Ia
menjelaskan sebagai berikut:
Pada puisi konvensional, kata – katanya diatur dalam deret yang
disebut larik atau baris. Setiap larik tidak selalu mencerminkan satu
pernyataan. Mungkin saja satu pertanyaan ditulis dalam satu atau dua larik,
bahkan bisa lebih. Larik dalam puisi tidak selalu dimulai dengan huruf
besar dan diakhiri dengan titik(.). Kumpulan pernyataan dalam puisi tidak
membentuk paragraph, tapi membentuk bait. Sebuah bait dalam suatu
puisi mengandung satu pokok pikiran.15
2) Bunyi
Bunyi di dalam puisi memegang peranan yang fital, dengan bunyi yang di
tata secara apik, maka akan timbul nilai kepuitisan yang begitu eksotis. Puisi
Jamal D. Rahmansarat dengan permainan bunyi. Bunyi, di samping hiasan dalam
puisi, juga mempunyai tugas penting lagi, yaitu untuk memperdalam ucapan,
menimbulkan rasa, dan menimbulkan bayangan angan yang jelas, menimbulkan
suasana yang khusus dan sebagainya16
.
3) Diksi (pilihan kata)
Unsur lain selain bunyi adalah kata. Pemilihan kata berhubungan erat
dengan latar belakang penyair, semakin luas wawasan penyair, maka kaya dan
berbobot kata kata yang digunakan.17
Kata dalam puisi bukan sekedar kata sembarang dan bukan hanya sekedar
untuk dihafalkan. Biasanya di dalam kata yang diciptakan oleh penyair,
mengandung pandangan ataupun ideologi yang ingin disampaikan. Penyair
religius, akan menggunkan banyak kata berbau agama ataupun Tuhan.
Dalam puisi, kata - kata tidak sekedar berperan sebagai alat yang
menghubungkan pembaca dengan ide penyair, seperti peran kata kata kongret
15
Ibid., h.133 16
Rachmat Djoko Pradopo, Pengkajian Puisi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 2010),
h. 22. 17
Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: Grasindo. 2008), h. 114.
14
dalam bahasa sehari – hari, gaya bahasa asonansi atau gaya bahasa dalam wujud
pengulangan yang sama.18
4) Gaya Bahasa
Kumpulan puisi Garam - Garam Hujan karya Jamal D. Rahmanbanyak
menggunakan gaya bahasa metafora dan simile. Simile adalah gaya bahasa
dengan membandingkan sesuatu dengan sesuatu yang lain namun masih memiliki
kesamaan - kesamaan tertentu19
.
Namun terdapat pula gaya bahasa personifikasi. Personifikasi adalah gaya
bahasa yang mengungkapkan ataupun menggambarkan benda mati seolah - olah
bernyawa.20
5) Rima
Rima merupakan persamaan bunyi pada puisi baik di awal, tengah dan
akhir. Sedangkan jika merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), rima
merupakan pengulangan bunyi yang berselang, baik di dalam larik sajak maupun
pada akhir larik sajak, yang berdekatan.21
Wahyudi Siswanto beranggapan bahwa rima mencakup tiga hal, yaitu
sebagai berikut:
a) Onomatope: tiruan terhadap bunyi. Dalam puisi bunyi - bunyi ini memberikan
warna suasana tertentu seperti yang diharapkan oleh penyair, misalnya pada setiap
konsonan huruf – huruf terdapat pemaknaan – pemaknaan tersendiri, seperti sifat,
suasana atau bahkan sebuah sugesti.
b) Bentuk intern pola bunyi: merupakan aliterasi, asonansi, persamaan awal atau
akhir, sajak berselang, sajak berparuh, sajak penuh, repetisi bunyi dan lainya.
18
Gorys Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2001), h. 130. 19
Siswanto, op. cit., h. 41 20
Ibid. 21
Hasan Alwi, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), h.
256.
15
c) Pengulangan kata atau ungkapan: pengulangan kata kata tidak terbatas pada
bunyi, namun mungkin kata – kata atau ungkapan. Pengulanan bunyi, bunyi,
kata, dan frasa memberikan efek magis yang murni.22
Sementara Wellek dan Warren mengartikan rima sebagai “pengulangan
(atau mendekati pengulangan) bunyi, rima mempunyai fungsi efoni.”23
Wellek
dan Warren pun di sini menambahkan, bahwa efek bunyi berbeda dari satu bahasa
ke bahasa lainya, sebab tiap bahasa mempunyai sistem fonetiknya sendiri.24
Wellek dan Warren tak lupa menekankan pula, yang terpenting untuk
diingat bahwa rima mempunyai makna dan sangat terlibat dalam membentuk ciri
puisi secara keseluruhan. Kata – kata disatukan, dipersamakan dan dikontraskan
oleh rima.25
Adapun contoh rima bisa kita lihat dari puisi karya Ali Hasjmy, yaitu rima
berupa pemenggalan baris – baris puisi menjadi dua bagian / frasa dengan rima
a/i/a/i, sebagai berikut:
Pagiku hilang / sudah melayang
Hari mudaku / sudah pergi
Kini petang / sudah melayang
Batang usiaku / sudah meninggi26
6). Imaji
Imaji adalah kata atau kelompok kata yang dapat mengungkapakan
pengalaman indrawi, seperti penglihatan, pendengaran, dan raba atau sentuh.27
Adapun contoh imaji bisa kita lihat dari puisi Jamal D. Rahman dengan judul
puisi Rubaiyat Matahari :
Atas sepi perahuku bercahaya
membawa matahari ke jantung Madura
22
Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (jakrta: Grasindo, 2008), h. 122. 23
Rene Wellek & Austin Werren, Teori Kesusastraan, (Jakarta: Gramedia, 1989), h. 199. 24
Ibid., h. 198. 25
Ibid. 26
Ibid, h. 95. 27
Wahyudi Siswanto,Pengantar Teori Sastra (Jakarta: Grasindo, 2008), h. 118.
16
Kata cahaya dalam larik tersebut jelas sekali menggambarkan imaji
pengelihatan, karena cahaya hanya mampu ditangkap oleh indera pengelihata
seperti mata.
b). Struktur Batin Puisi
1) Tema
Mursal Esten mengatakan bahwa “sebuah cerita rekaan membutuhkan
tema. Tema ini akan dijalin di dalam sebuah plot cerita.”28
Jika melihat dalam
konteks puisi, tema sendiri merupakan gagasan pokok yang ingin disampaikan
oleh pengarang yang dimuat dalam karyanya.29
Secara singkat tema dapat diartikan sebagai gagasan dasar yang menopang
isi yang ada dalam karya sastra. Oleh sebab itu tema mengacu pada sebuah makna
yang mengikat keseluruhan unsur-unsur apa yang ingin disampaikan oleh penyair
sehingga hadir sebagai sebuah kesatuan yang padu.
2) Rasa
Rasa adalah sikap penyair terhadap pokok permasalahan dalam
puisinya.30Dalam menciptakan karya, perasaan penyair ikut diekspresikan dan
harus dapat dihayati pembaca bagaimana suasana yang dibangun oleh penyair,
contohnya saja, dalam menghadapi tema keadilan sosial atau kemanusiaan.
Penyair banyak menampilkan bagaimana kehidupan pengemis, gelandangan atau
orang-orang yang termarjinalkan.
3) Amanat dan Tujuan
Amanat biasanya memberikan manfaat dalam kehidupan secara praktis. Ia
merupakan pesan dari pengarang yang memerlukan penafsiran sebagai bentuk
bahwa kita mampu memetik manfaat dari setiap karya. Setiap pembaca berbeda -
beda menafsirkan makna dalam sebuah karya.
28
Mursal Esten, Sastra Indonesia dan Tradisi Subkultur, (Bandung: Angkasa, 2013), h. 134. 29
Siswanto, op. cit., h.100 30
Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: Grasindo, 2008), h. 124.
17
Sadar atau tidak, ada tujuan yang mendorong penyair membuat puisi.
Tujuan itu bisa dicari sebelum penyair itu menciptakan puisi ataupun dapat
ditemukan dalam isi puisi tersebut31.
3. Fungsi Puisi
Sastra memiliki peran sebagai penggugah rasa, sebab merupakan
ungkapan pengalaman pengarangnya. Pengetahuan kita terhadap sebuah situs
sejarah misalnya, akan lebih hidup dan berarti jika kita mengetahui latar belakang
situs sejarah tersebut lewat cerita, semacam memberikan penggugah rasa atau
mengevokasi energi-energi yang dirasakan stagnan, dari mekanisme yang statis
sehingga lebih dinamis atau bernyawa. Namun seorang sastrawan Amerika yang
bernama Edgar Allan Poe mengkritik bahwa fungsi puisi tidak terbatas sifatnya
yang didaktis saja, Poe beranggapan sastra berfungsi menghibur, dan sekaligus
mengajarkan sesuatu.32
Karya sastra merupakan peneladanan dan peniruan, sumber inspirasi dan
kebenaran, sehingga melalui karya sastra tersebut masyarakat dapat bercermin,
melihat eksistensinya melalui orang lain yang disebut pengarang atau penyair.
Oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa karya sastra menunjukkan kepada pembaca,
yaitu jalan yang sebaiknya ditempuh. Sementara Subagio Sastrowardoyo
mengungkapkan bahwa lewat puisi kita diajak merefleksikan kembali kondisi
yang ada di sekeliling kita, sehingga kehadiran puisi bagi masyarakat tidak bisa
dianggap angin lalu. Lewat puisi juga penyair mengajak masyarakat agar
mempunyai persepsi bahwa “aku” di dalam bait-bait puisi adalah “kita”, guna
membangun perasaan, tanggung jawab dan solodaritas yang kini semakin terkikis.
Subagio menjelaskan bahwa “setidak - tidaknya puisi hendak menyatakan nasib
manusia yang terjepit, suatu human predicament yang tidak dapat dihindari,
apakah nasib buruk itu diderita oleh penyairnya sendiri secara pribadi atau oleh
manusia pada umumnya.33
31
Ibid. 32
Rene Wellek & Austin Werren, Teori Kesusastraan, (Jakarta: Gramedia, 1989), h. 25. 33
Subagiyo Sastrowardoyo, Pengarang Moderen Sebagai Manusia Perbatasan, (Jakarta: Balai
Pustaka, 1989), h. 109.
18
Puisi sebagai bagian dari karya sastra dan seni berfungsi sebagai media
pengetahuan dan hiburan, mengacu pada kenyataan bahwa puisi merupakan
komunikasi antara penyair yang mengajak pembacanya merefleksikan keadaan
guna membangun perasaan, tanggung jawab, dan hubungan sosial.
C. Implikasi Religiositas Pada Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di
Sekolah Menengah Atas (SMA)
Sebuah nilai ataupun etika bisa ditanamkan pada peserta didik dengan
sebuah cara yang sederhana, membaca. Membaca cermat dan menghayati secara
mendalam serta memaknainya merupakan efesiensi mendoktrin para peserta didik,
terlebih jika hal itu dilakukan secara menarik dan menyenangkan. Allahpun
berfirman “Bacalah dan Tuhanmulah yang maha mulia. Yang mengajarkan
manusia dengan pena34
.”
Kehidupan masyarakat modern dengan segala hiruk pikuknya, seringkali
menimbulkan gejolak dalam pribadi maupun sosial masyarakat. Hal ini bisa
berakibat pada kehidupan yang pada gilirannya orang kehilangan pegangan,
hanyut terbawa arus globalisasi dan lepas dari tali agama. Kondisi ini kadang
berimbas pada kesehatan rohani (jiwa) ataupun jasmani. Berbekal dari hal
tersebut, maka agama menjadi sesuatu yang sangat dibutuhkan (Q.S, Al Isra’ ayat
9). Hal ini disebabkan agama dengan segala konsekuensi ajarannya akan
membawa pengaruh pada kesehatan jiwa mereka atau emosi mereka dalam
hubungan antar agama dan kesehatan jiwa.35
Pembelajaran sastra khususnya puisi seringkali menjumpai banyak
kesulitan, entah dari minat siswanya yang kurang, dengan alasan mulai dari
sulitnya memahami bahasa puisi yang dianggap di luar kebiasaan dari proses
berkomunikasi sehari-hari, sampai dengan alasan yang menganggap bahwa
membaca atau menulis puisi merupakan proses yang membosankan dan tak lagi
berguna dibandingkan bidang studi lainnya yang memberikan ilmu pengetahuan
secara jelas. Bahkan seringkali proses pembelajaran puisi menjadi tersendat
34
Usamah ar-Rifai. Tafsirul Wajiz. (Depok: Gema Insani, 2008), h. 598. 35
ibid., h. 283
19
karena disebabkan para guru bahasa dan sastra sendiri cenderung menghindarinya
karena merasa kesulitan untuk mengajarkannya.
Hal yang paling penting menurut Rahmanto adalah agar para pengajar
tidak terlalu terburu-buru dalam membebani para siswa dengan istilah-istilah
teknis dan gaya bahasa yang kompleks.36
Dalam beberapa hal, puisi memang
merupakan bahasa yang padat dan penuh arti, jadi apabila bahasa dan pokok
persoalan puisi itu mempunyai keselarasan, niscaya siswa akan merasa dirinya
menghadapi sesuatu yang mengesankan dan memerlukan perhatian khusus dalam
praktik pembelajaran bahasa dan sastra.
Pada bab sebelumnya telah dijabarkan bagaimana sifat sastra yang pada
hakikatnya tidak hanya menghibur namun juga mendidik, dan pada praktiknya
kita dapat menilai bagaimana sastra serta implikasinya dalam proses belajar.
Pertama, sastra berperan dalam mengembangkan proses keterampilan berbahasa.
Pada umumnya ada empat unsur dalam keterampilan berbahasa, yaitu: (1)
menyimak, (2) berbicara, (3) membaca, dan (4) menulis. Mengikut sertakan
pengajaran sastra dalam kurikulum berarti akan membantu siswa berlatih
keterampilan membaca, dan mungkin ditambah keterampilan menyimak, bicara
dan menulis.
B. Rahmanto menjelaskan sebagai berikut, “Belajar sastra pada dasarnya
adalah belajar bahasa dalam praktek. Belajar sastra harus selalu berpangkal pada
realisasi bahwa setiap karya pada pokoknya merupakan kumpulan kata yang bagi
siswa harus diteliti, ditelusuri, dianalisis dan diintegrasikan”.37
Sastra sebagai media pendidikan yang memuat pembelajaran moral
diharapkan dapat menjadi tuntunan ke arah pembentukan etika, sebagaimana
ungkapan Nyoman Kutha Ratna bahwa “Memahami karya sastra pada gilirannya
merupakan pemahaman terhadap nasihat dan peraturan, larangan dan anjuran,
kebenaran yang harus ditiru, jenis-jenis kejahatan yang harus ditolak, dan
sebagainya.”38
36
B . Rahmanto, Metode Pengajaran Sastra, (Yogyakarta: Penerbit Kanisisus, 1988), h. 48. 37
Ibid, h. 38. 38
Kutha Ratna, Sastra dan Cultural Studies: Representasi Fiksi dan Fakta, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2010), h. 438.
20
Rahmanto berpendapat bahwa seseorang yang telah banyak mendalami
berbagai karya sastra biasanya mempunyai perasaan yang lebih peka untuk
menunjuk hal mana yang bernilai dan mana yang tak bernilai sebab dibanding
pelajaran-pelajaran lainnya, ia mengatakan bahwa “Sastra mempunyai
kemungkinan lebih banyak untuk mengantar kita mengenal seluruh rangkaian
kemungkinan hidup manusia39
.”
Rahmanto beranggapan bahwa pengajaran sastra hendaknya dapat
memberikan bantuan dalam usaha mengembangkan berbagai kualitas kepribadian
anak didik sehingga ia akan mampu menghadapi masalah masalah - hidup dengan
pemahaman, wawasan, toleransi dan rasa simpati yang lebih mendalam.
Menurut Rahmanto, pada umumnya dalam usaha mengajarkan bagaimana
cara menikmati puisi, dijumpai dua macam hambatan yang cukup mengganggu.
Yang pertama, adanya anggapan kebanyakan orang yang menyatakan bahwa
secara praktis puisi sudah tak berguna lagi, merujuk pada gaya hidup kekinian
dalam dunia praktis yang banyak tergantung pada ilmu bisnis, ilmu pengetahuan
alam (fisika, kimia, dan biologi), serta teknologi modern.40
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa karya sastra merupakan alat
untuk mendidik. Terlebih jika dikaitkan dengan pesan muatannya, hampir secara
keseluruhan karya sastra merupakan sarana – sarana pembelajaran guna mengasah
keterampilan berbahasa, menambah wawasan dan membentuk etika religius pada
kepribadian peserta didik.
D. Penelitian Relevan
Hasil dari proses penelitian atau analisis merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari unsur-unsur lainnya, baik yang berkaitan langsung maupun tidak
langsung dengan pemasalahan yang dibahas oleh seorang peneliti. Sebuah karya
ilmiah mutlak membutuhkan referensi atau sumber acuan guna menopang
peelitian yang dikerjakannya. Tinjauan pustaka dapat bersumber dari makalah,
skripsi, jurnal, internet atau yang lainnya.
39
Rahmanto, op. cit., h .24. 40
Ibid, h. 44.
21
Sejauh yang peneliti ketahui, belum ada yang meneliti terkait persoalan
“Religiositas Dalam Puisi Bernafaslah Pada Ombak dan Rubaiyat Matahari
Karya Jamal D. Rahmandan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan
Sastra Indonesia di SMA”. Dalam hal ini peneliti memaparkan bagaimana dalam
dua puisi karya Jamal D. Rahman terdapat suatu gambaran tentang dinamika
hubungan manusia dengan Tuhannya yang mempengaruhi juga dalam proses
pembentukan karakter seseorang yang tidak hanya berdampak pada sisi materi,
namun menyentuh pada sisi yang lebih dalam lagi dalam kehidupan manusia,
yaitu sisi moril.
Untuk penelitian terhadap karya – karya dari Jamal D. Rahman sendiri
sebelumnya pernah dilakukan oleh Arik Hendrawan dengan judul Gaya dan Nada
Sajak – sajak Air Mata Diam Karya Jamal D. Rahman: Sebuah Strategi
Pembacaan Intertekstual, Skripsi S1, Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia,
Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Airlangga, Surabaya 1996-1997.
Selain itu ada pula Muhammad Musyaffa, Eksistensi Tuhan dalam
Kumpulan Puisi Reruntuhan Cahaya Karya Jamal D. Rahman (Kajian
Hermenutika Paul Ricoeur), Skripsi S1, Program Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Muhammadiyah,
Purwokerto, 2015. Muhammad Musyaffa dalam penelitianya menyimpulkan,
secara tematik puisi Reruntuhan Cahaya tidak berbeda jauh dengan puisi - puisi
lain yang hendak menggambarkan perasaan rindu ataupun hubungan manusia
degan Tuhan. Jika banyak penyair sufi atau puisi – puisi yang sering dianggap
menyuarakan semangat profetik atau sufistik, simbol – simbol yang digunakan
berkaitan dengan kata – kata mabuk, cawan dan tuhan, maka Jamal D. Rahman
coba keluar dengan usahanya memanfaatkan benda – benda alam untuk
menggambarkan eksistensi Tuhan.
Berdasarkan tinjauan tersebut, maka sangat memungkinkan bagi penulis
untuk menulis penelitian tentang Nilai Religiositas Pada Buku Kumpulan Puisi
“Garam – Garam Hujan Karya Jamal D. Rahman dengan judul Puisi: Rubaiyat
Matahari dan Bernafaslah pada ombak Serta Implikasinya Terhadap
Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia.
22
Dua puisi karya Jamal D Rahman, yaitu Rubaiyat Matahari dan
Bernafaslah Pada Ombak merupakan proses kreatif yang merujuk pada sebuah
pengamatan fenomena - fenomena atau peristiwa-peristiwa yang telah terjadi
dalam kehidupan sehari-hari penyairnya sendiri. Implikasi puisi Jamal D. Rahman
dalam pembelajaran adalah bagaimana peserta didik memahami bahwa di dalam
puisi terdapat semacam bentuk komunikasi secara artistik yang dapat menciptakan
kembali situasi kemanusiaan dan hubungan kemanusiaan. Ini dimaksudkan untuk
menanamkan kesadaran pada peserta didik, bahwa puisi memiliki fungsi yang
esensial dalam pembinaan proses pemanusiaan insan-insan modern yang selalu
dilanda oleh konflik-konflik yang tak terselesaikan.
23
BAB III
PEMIKIRAN JAMAL D. RAHMAN
A. Biografi Singkat Jamal D. Rahman
Jamal D. Rahman, alumnus Pondok Pesantren Al – amien Prenduan,
Sumenep, Madura dan kemudian IAIN (kini UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta,
menyelesaikan S2 pada Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas
Indonesia (FIB-UI). Menulis puisi, esai, kritik sastra, masalah kesenian dan
kebudayaan di berbagai media massa seperti Kompas, Republika, Suara
Pembaruan, Pikirian Rakyat, Jawa Pos, Media Indonesia, Horison dan Jurnal
Puisi.
Pria kelahiran Lenteng Timur, Sumenep, Madura, 4 Desember 1967 ini
kerap diundang mengisi acara acara sastra di dalam dan luar negeri, antara lain
Program Penulisan Majelis Sastra Asia Tenggara Bidang Esai di Cisarua,
Bogor (1999), Seminar Kritikan Sastera Melayu Serantu, Kuala Lumpur
(2001), dan Pertemuan Penulis Asia Tenggara (South- Est Asian Wtiters Meet)
di Kuala Lumpur (2001), Pertemuan Sastra Nusantara (PNS) XII di Singapura
(2003), Festival Poetry on the Road di Bremen, Jerman (2004).1
B. Jamal D. Rahman dan Kepenyairannya
Air Mata Diam adalah kumpulan puisi tunggalnya yang terbit pada
tahun 1993. Puisi – puisnya juga dimuat dalam sejumlah antologi bersama, di
antaranya: Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia (2000), dari Fansuri ke
Handayani: Sastra Indonesia dalam Program Sastrawan Bicara Siswa
Bertanya (2001), dan Horison Sastra Indonesia1: Kitab Puisi (2002). Tulisan
– tulisanya juga dimuat dalam sejumlah buku, di antaranya Islam dan
Transformasi Sosial – Budaya (1993), Romo Mangun di Mata Para Sahabat
1 Jamal D. Rahman, Garam – Garam Hujan, (Yogyakarta: Hikayat Publishing, 2004), h. 107.
24
(1997), Tarekat Nurcholishy (2001) dan Ulama Perempuan Indonesia
(2002).2
Jamal D. Rahman juga menjadi editor (bersama) beberapa buku:
Wacana Baru Fiqih Sosial: 70 Tahun KH Ali Yafe (Bandung: Mizan, 1997),
dari Fansuri ke Handayani: Sastra Indonesia dalam Program Sastrwan
Bicara Siswa Bertanya (Jakarta: Horison, 2001), Horison Sastra Indonesia 1-
4 (Jakarta: Horison, 2002), Kakilangit Sastra Pelajar (Jakarta: Horison,
2002), dan Horison Esai Indonesia 1-2 (Jakarta: Horison, 2003), Sastra
Kota: Bunga Rampai Esai Temu Sastra Jakarta (Yogyakarta: Bentang, 2003),
Kota yang bernama dan Tak Bernama: Antologi Cerpen Temu Sastra Jakarta
(Yogyakarta: Bentang, 2003), Bisikan Kata, Teriakan Kota: Antologi Puisi
Temu Sastra Jakarta (Yogyakarta: Bentang, 2003), Leksikon Sastra Jakarta
(Yogyakarta: Bentang, 2003).
Di samping itu, dia pernah menjadi redaktur jurnal Pemikir Islam
Islamika (1993 – 1995), wartawan majalah Ummat (1995 – 1999), dan
redaktur majalah sastra Horison ( sejak 1993). Jamal D. Rahman pun pernah
menjabat sebagai pemimpin redaksi majalah Horison dan sekretaris Dewan
Pekerja Harian Kesenian Jakarta (DPH-DKJ) periode 2003-2006. Kumpulan
puisinya, Airmata Diam (1993) dan Reruntuhan Cahaya (2003). Puisi
puisinya diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan Jerman.3
C. Jamal D. Rahman dan Pemikirannya
a. Jamal D. Rahman serta Multikulturalisme
Dikalangan masyarakat tertentu, penyair memperoleh gelar terhormat
lantaran dianggap “seorang nabi”. Di Cina misalnya, Pramoedya menuliskan
pengalamannya dalam menghadiri suatu konfrensi yang diadakan di Cina,
yang dimuat dalam Mimbar Indonesia pada tahun 1957. Pramoedya
menuliskan kesan - kesannya sebagai berikut:
2 Jamal D. Rahman, Reruntuhan Cahaya, (Yogyakarta: Bentang Budaya, 2003), h. 93.
3 Jamal D. Rahman, Garam – Garam Hujan, (Yogyakarta: Hikayat Publishing, 2004), h. 107.
25
Para penulis Cina menempati kedudukan yang
tinggi. Suara mereka didengarkan oleh masyarakat.
Bersama dengan politikus, mereka menjadi para
pemimpin spiritual yang memegang peran sangat
penting dalam pembangunan bangsa di zaman kita. Ini
turut menjelaskan mengapa penulis diperlakukan
sangat baik oleh masyarakat.4
Jamal D. Rahman sebagai seorang sastrawan tentu saja memiliki
ideologi yang bersifat persuasif untuk mempengaruhi pola pikir pembaca
ataupun masyarakat. Ideologi tersebut dituangkan dalam bentuk karya karya
yang bersifat mendidik seperti puisi, ataupun makalah - makalah yang
bersifat ilmiah untuk sebuah seminar.
Sebuah makalah seminar yang ditulis oleh Jamal D. Rahman sendiri
setidaknya memberikan gambaran tentang pola pikir sang sastrawan. Dalam
makalah tersebut Jamal mengatakan:
Multikulturalisme memberikan harapan baru
bagi keinginan untuk hidup bersama dalam pluralisme
budaya. Ia memperkuat landasan dan wawasan tata
kebudayaan, demi lebih menjamin hubungan dan
pergaulan yang adil antar unsur kebudayaan itu sendiri.5
Sejalan dengan kutipan di atas, Indonesia jelas merupakan negara
multietnis dan multikultural, dan sastra Indonesia telah menyuarakan
keragaman budaya Indonesia itu sendiri. Pengalaman Indonesia dan
kesusastraannya dalam bersinggungan dengan modernisasi, yang
menyeretnya pada pilihan-pilihan orientasi kebudayaan antara modernisasi
dan tradisi, Barat dan Timur, dan seterusnya, telah memperlihatkan suatu
dinamika budaya dan intelektual yang mengasyikkan. Hasil dari dinamika itu
sejalan dengan apa yang nanti merupakan semangat multikulturalisme,
khususnya dalam hal menggaris bawahi keragaman budaya.
4 Sebenarnya pendapat Pramoedya ini pertama kali ditulis di Mimbar Indonesia dengan judul
“Sedikit tentang Pengarang Tiongkok” pada tanggal 19 Januari 1957, di halaman 57, namun pada
penelitian ini penulis menyitir pendapat Pramoedya dari: Hong Liu, Goenawan Mohamad dan
Summit 5http://www.horisononline.or.id/esai/multikulturalisme-dan-kemungkinan-sastra-indonesia,
diunduh pada tanggal 26 Juni 2016.
26
Jamal D. Rahman dalam essai tersebut pun mengatakan, “Dalam
hubungannya dengan multikulturalisme, apa yang menarik di sini adalah
bahwa sastra Indonesia sebagai etalase keragaman budaya sejalan dengan
semangat multikulturalisme. Menekankan sedemikian rupa perbedaan dalam
politik keragaman, beberapa multikulturalis enggan mencapai kesetaraan
lewat jalan asimilasi budaya.”6
Jamal D. Rahman sebagai seorang penyair sangatlah paham tentang
nilai - nilai ke Indonesian yang menjembatani perbedaan dengan
multikultularismenya. Keragaman budaya serta agama bagi Jamal Sendiri
dipandang sebagai sesuatu yang menjadi tolak ukur mencapai etalase
keragaman.
Oleh karena itu, multikulturalisme sangatlah erat kaitanya dengan
religiositas, karena jelas dengan adanya keragaman budaya akan muncul
nilai - nilai keagamaan yang bisa saling menghargai baik dari segi idelogis
ataupun ritulaistik
b. Jamal D. Rahman serta Imajinasi Sastra Indonesia
Kelahiran Indonesia sebagai sebuah negara-bangsa-baru mengubah
imajinasi Indonesia sepenuhnya. Indonesia lahir dengan sejumlah masalah
yang mesti direspon dan dipecahkan. Maka sejak pertengahan abad ke-20,
imajinasi Indonesia dalam puisi merupakan respon terhadap realitas dan isu-
isu aktual, terutama di bidang sosial dan politik. Ia merupakan usaha
mengawal Indonesia di tengah kuatnya fenomena penyimpangan dari
imajinasi awal tentang Indonesia, yakni dari cita-cita berdirinya sebuah
negara-bangsa baru, juga dari cita-cita kemerdekaan.
Sejalan dengan apa yang dikatan oleh Jamal D. Rahman dalam essai
sastranya yang mengatakan;
6ibid.
27
Di zaman revolusi, imajinasi Indonesia merupakan respon dan
dorongan terhadap perjuangan merebut kemerdekaan; di zaman Orde
Lama respon terhadap pertarungan politik dan ideologi; di zaman
Orde Baru respon terhadap cacat-cacat pembangunan; di zaman
Reformasi respon terhadap masalah moral dan etik yang sangat
parah.7
Imajinasi muncul berdasarkan reaksi dari sebuah keadaan. imajinasi –
imajinasi tersebut dituangkan ke dalam karya sastra berdasarkan keadaan
ataupun kondisi masyarkat pada saat itu. Sastra dan imajinasi tidaklah bisa
terlepas dari kondisi sosial budaya serta politik yang melekat pada
masyarakatnya.
Jamal D. Rahman mengatakan, “Perubahan corak imajinasi ini
menggambarkan perkembangan perasaan dan ide tentang Indonesia dalam
puisi sebagai segi mikro dari perasaan dan ide tentang Indonesia secara
makro. Puisi bagaimanapun merefleksikan perasaan umum, sekaligus
mengekspresikan sikap umum terhadap kenyataan.”8
Di sisi lain Jamal D. Rahman, mengkritisi para penyair yang mulai
kehilangan imajinasi romantik yang melukiskan kemurnian serta keindahan
yang bercorak keindonesiaan, “Kita kehilangan imajinasi Indonesia yang
romantik. Kita kehilangan imajinasi Indonesia yang steril dari kekecewaan
dan kejengkelan atas kenyataan. Kita kehilangan imajinasi yang
mengemukakan kembali ide tentang Indonesia yang diimpikan.9
c. Jamal D. Rahman serta Sastra, Pesantren, dan Radikalisme
Islam
Salah satu khazanah pesantren yang sangat hidup hingga sekarang
adalah sastra, khususnya puisi. Di pesantren, santri membaca atau
menyanyikan puisi setiap hari. Tak ada hari tanpa santri membaca puisi,
sendiri-sendiri atau bersama-sama. Mereka membaca atau menyanyikan
7 https://jamaldrahman.wordpress.com/2016/02/08/merindukan-imajinasi-indonesia/, diunduh pada
tanggal 26 juni 2016. 8 Ibid.,
9 Ibid.,
28
puisi Abu Nuwas, Sayyida Ali r.a., Imam Syafi’i, al-Bushiri, prosa al-
Barzanji, dan lain-lain. Mereka membaca doa-doa, yang hampir semuanya
berbentuk puisi. Bahkan tauhid dan tata bahasa Arab pun mereka pelajari
melalui puisi, sambil menyanyikannya pula.
Jamal D. Rahman dalam Essainya mengatakan, “Tentu saja,
hubungan sastra dengan pesantren adalah hubungan sastra dengan Islam.
Dan itu bisa ditarik jauh ke wahyu pertama. Kita tahu, wahyu pertama adalah
perintah untuk membaca dan menulis.”10
Tidaklah mengherankan kalau belakangan ini istilah “sastra
pesantren” kian sering digunakan. Istilah itu sendiri menunjuk pada
setidaknya tiga pengertian: (1) sastra yang hidup di pesantren, seperti antara
lain disebutkan di atas; (2) sastra yang ditulis oleh orang-orang (kiai, santri,
alumni) pesantren; (3) sastra yang bertemakan pesantren, seperti Umi
Kalsum Djamil Suherman, Geni Jora Abidah El-Khalieqy, dan Maria &
Maryam Farahdiba. Dengan tiga pengertian itu, khazanah sastra pesantren
mengalami perluasan dan pengayaan, baik dalam bentuk, isi, maupun
lingkungan pergaulannya.11
Jamal D. Rahman dalam essainya jelas menolak stigma yang
mengatakan bahwa pesantren - pesantren adalah tempat munculnya bibit
radikalisme. Hal tersebut sebagaimana yang telah dipaparkan di atas bahwa
sastra dan pesantren sangatlah lekat, kelekatan tersebut mampu menepis
radikalisme yang menjadi racun pada santri. Jamal D. Rahman mempertegas
hal tersebut dengan mengatakan “Mengakarnya sastra di lingkungan
pesantren pastilah membawa serta watak dan citarasa sastra itu sendiri di
dunia pesantren. Watak atau citarasa sastra adalah menyentuh sesuatu
dengan hati terbuka. Sebagaimana seni pada umumnya, sastra membebaskan
manusia dari kejumudan dan kecupetan perasaan”.12
10
https://jamaldrahman.wordpress.com/2008/10/25/sastra-pesantren-dan-radikalisme-islam/, diunduh pada tanggal 26 Juni 2016 11
Ibid., 12
Ibid.,
29
Oleh karena itu sangatlah penting peranan karya sastra khususnya
puisi dalam membentuk karakter seseorang berkaitan dengan ideologi
ataupun pengaruh negatif dari sebuah lingkungan. Dibutuhkan media yang
mampu mengajak secara halus seperti puisi untuk meminimalisir arus
negatif dari pergaulan dan lingkungan.
29
BAB IV
PEMBAHASAN
A. Analisis Struktur Fisik dan Batin Puisi Rubaiyat Matahari
a. Analisis Struktur Fisik Puisi Rubaiyat Matahari
Rubaiyat Matahari
1
Dengan bismillah berdarah di rahim sunyi
Kueja namamu di rubaiyat matahari
Kau dengar aku menangis sepanjang hari
Karena dari november-desember selalu lahir matahari
1
Secara tipografi, bait di puisi Rubaiyat Matahari terdiri dari 4 larik
sebagaimana layaknya puisi Rubaiyat Jalaluddin Rumi yang rata - rata terbentuk
dari puisi 4 larik dan tersusun secara sistematis dengan rima a/a/a/a dan a/b/a/b
sehingga meninbulkan efek musikal dalam puisi tersebut.
Jika dilihat dari jumlah kata pada puisi Rubaiyat Matahari dalam setiap
lariknya berbeda - beda seperti pada bait pertama pada larik pertama terdiri dari 6
susunan kata, pada larik kedua terdiri dari 5 susunan kata, pada larik ketiga terdiri
dari 6 susunan kata dan pada larik keempat terdiri dari 7 susunan kata, dengan
total jumlah kata pada bait pertama ini terdiri dari 24 kata.
Jenis puisi yang digunakan oleh Jamal D. Rahman adalah puisi lirik dan
banyak dijumpai larik - larik yang mengandung diksi formal1. Bait pertama,
dimulai dari larik pertama sampai dengan larik keempat yang mengedepankan sisi
1 Diksi formal adalah ragam bahasa yang ditandai dengan pemakaian tatabahasa, kosa kata serta
ucapan standar. Khusus untuk kosakata, bahasa formal tidak menggunakan kata – kata jenis slang atau kolokial yang bersifat tidak baku. Baca: Siswantoro, Metode Penelitian Sastra,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), h.105
30
kesadaran eksistensi keberadaan Tuhan; “Dengan bismillah berdarah di rahim
sunyi”
Pada bait ini penyair menyelipkan majas metafora2 dengan menekankan
kata “bismillah” dan mengulanginya dengan kata yang lain, yaitu “Kueja
namamu:”
Dengan bismillah berdarah di rahim sunyi
Kueja namamu di rubaiyat matahari.
Pada hakikatnya kedua kata tersebut mempunyai tujuan yang sama, yaitu
memberikan eksistensi pada sang pencipta. Selain itu dengan adanya perbedaan
kata tersebut akan tercipta sebuah variasi ungkapan dan dilain pihak kedua baris
tersebut membentuk satu kesatuan ide sehingga secara struktur mereka padu.
Jamal D. Rahman pada bait pertama ini mencoba mendeskripsikan luka,
rasa sedih, kesendirian, bahkan keterasingannya, namun semua rasa itu ia
kembalikan kepada Tuhannya. Pada hakikatnya Jamal mencoba pula untuk
menggambarkan proses perenungan hidupnya sebagai makhluk ciptaan Tuhan.
Hingga ia mengikutsertakan bahkan mendahulukan Tuhan dalam kegiatan dan
aktifitasnya.
Kata kongkret yang terdapat dalam bait ini adalah “matahari”, sedangkan
imaji pengelihatan yaitu “berdarah di rahim sunyi” dan imaji pendengaran yaitu
“engkau dengar aku menangis” dan yang digunakan oleh penyair untuk
menguatkan suasana atau keadaan yang tengah terjadi dalam bait ini.
2
Engkaulah sepi di jemari hujan
Kabar semilir dari degup gelombang
Engkaulah api di jemari awan
Membakar cintaku hingga degup bintang gemintang
2 Metafora terkait dengan perbandingan antara dua objek atau ide masing – masing berperan
sebagai tenor dengan vehicle. Ada dua jenis metafora, yaitu eksplesit dan implisit. Baca
Siswantoro, Metode Penelitian Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), h. 207.
31
Pada bait kedua ini, secara tipografi sama dengan puisi pada bait pertama
yang tersusun dari 4 larik namun dengan jumlah kata yang berbeda pada bait
pertama, larik pertama pada bait kedua ini terdiri dari 5 susunan kata, larik kedua
terdiri dari 5 susunan kata, larik ketiga terdiri dari 5 susunan kata, larik keempat
terdiri dari 6 susunan kata. Jumlah kata pada larik kedua ini adalah 21 kata.
Pemilihan diksi formal oleh Jamal D. Rahman dalam bait ini masih
dipertahankan, namun secara struktur diksi, Jamal D Rahaman menggunakan diksi
dan pengulangan bunyi asonansi3, yaitu asonansi bunyi /i/ pada frase “sepi di
jemari” dan asonansi bunyi /a/ pada frase “bintang gemintang”
Pada bait ini terdapat penggambaran sosok “Engkau” yang diungkapkan
oleh Jamal D. Rahman dengan perlambangan “Sepi di jemari hujan / Engkaulah
sepi jemari awan”. Dilihat dari kata-kata yang digunakan; sepi di jemari hujan dan
api di jemari awan. Ini semua berhubungan dengan langit. Lewat larik ini penyair
seolah ingin menggambarkan sosok yang tinggi. Namun kelihaian penyair untuk
menimbulkan tanya pada para pembaca. Sebab tokoh engkau yang digambarkan
itu hanya dijawab dengan sepi dan api.
“Engkaulah sepi di jemari hujan
Kabar semilir dari degup gelombang
Engkaulah api di jemari awan”
Jika berhubungan dengan langit, maka tokoh “engkau” adalah tokoh yang
diagung-agungkan, dipuja, tinggi, sekaligus masih misteri dan teka-teki. Namun
dari semua misteri itu sepertinya tokoh “aku” ingin menceritakan tentang rasa
cintanya pada tokoh “engkau”. Ini terlihat dari petikan kalimat berikut;
“Membakar cintaku hingga degup bintang-gemintang”.
Majas yang digunakan dalam bait kedua ini adalah majas personifikasi,
gaya bahasa yang melukiskan benda mati yang diungkapkan seperti manusia.
3 Asonansi merujuk kepada pengulangan bunyi vokal atau hidup dengan tujuan yang sama seperti
tujuan aliterasi dan kosonasi, yaitu memberi tekanan makna pada kata tertentu dan menciptakan
rangkaian suara yang musikal. Baca Siswantoro, Metode Penelitian Sastra, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2010), h. 233.
32
Dalam bait ini Jamal D Rahman melukiskan kata “Gelombang” yang berdegup
seolah layaknya manusia;“Kabar semilir dari degup gelombang”
Kata kongkret yang terdapat dalam bait ini adalah, jemari, hujan, awan,
gelombang dan api. Sedangkan imaji pendengaran dan visual begitu ditekankan
oleh penyair seperti “Engkaulah sepi di jemari hujan” dan “Engkaulah api di
jemari awan” serta “membakar cintaku hingga degup bintang gemintang” yang
menggambarkan imaji visual. Sedangkan imaji pendengaran yaitu; “Kabar semilir
dari degup gelombang”.
3
Atas sepi perahuku bercahaya
Membawa matahari ke jantung madura
Atas bara api cintaku menyala
Menantang matahari di lubuk semesta
Bait III
Bait ketiga pada puisi Rubaiyat Matahari dilihat dari segi tipografi
tidaklah berbeda dari bait pertama dan kedua yaitu bentuk puisi yang
konvensional4, jumlah kata pada larik pertama yaitu 4 susunan kata, larik kedua 5
susunan kata, larik ketiga 5 susunan kata dan larik keempat 5 susunan kata, hal ini
menunjukan rata rata jumlah kata pada setiap larik dibait ketiga ini terdiri dari 5
susunan kata hanya larik pertamalah yang bebeda. Jumlah total susanan kata pada
bait ketiga ini adalah 19 susunan kata .
Majas yang digunakan dalam bait ketiga ini pun adalah majas
personifikasi, gaya bahasa yang melukiskan benda mati yang diungkapkan seperti
manusia sebagaimana seperti pada bait kedua. Penggambaran kata benda Madura
yang seolah – olah memiliki organ vital seperti jantung oleh Jamal D. Rahman
seakan menggiring pembaca bahwa Madura itu hidup selayaknya manusia;
“Membawa matahari ke jantung Madura”
4 Puisi konvensional adalah puisi yang kata – katanya diatur oleh larik atau baris. Baca: Wahyudi
Siswanto, Pengantar Teori Sastra, ( Jakarta: Grasindo, 2008), h. 113.
33
Kata kongkret yang terdapat pada bait ketiga ini tergolong cukup banyak
yaitu, perahu, bara, Madura dan api. Hal menarik dari bait ini adalah kata
kongkret Madura, Jamal D. Rahman adalah salah satu penyair kelahiran Madura,
dengan adanya kata Madura dari bait ini menggambarkan sosok Jamal D. Rahman
yang sangat mencintai tanah kelahiranya
Imaji yang terdapat pada bait ketiga ini berkaitan dengan imaji sensasi
internal5 dan imaji visual. Berkaitan dengan imaji sensasi internal Jamal D.
Rahman menggunakan kata “sepi” sebagai proses perenungan, jika dihubungkan
dengan kata-kata sebelumnya, sepertinya kata ini bisa diartikan sebagai hasil dari
sebuah perenungan dan “sepinya” tokoh “aku” lirik. Lantaran proses
perenungannya, pencarian jawaban atas pertanyaan tentang hidupnya, tokoh “aku”
lirik menemukan jawaban yang membuatnya lebih bercahaya, lebih tahu. Dengan
kata lain, karena perenungan dan pemikiran akan hidupnya maka perjalanan
(perahu) hidup itu akan bercahaya, terarah.
tokoh “aku” lirik menemukan sesuatu atas proses “sepi’nya tersebut pada
perahu yang bercahaya. Sedangkan imaji visual terdapat pada larik pertama 1
yaitu; “Atas sepi perahuku bercahaya”
Kata cahaya dalam larik tersebut jelas sekali menggambarkan imaji visual
karena cahaya hanya mampu ditangkap oleh indera pengelihatan seperti mata,
penggunaan imaji visual dalam larik tersebut memberikan suasana kesendirian
dan memberikan kesan sunyi namun rasa sepi dan sunyi tersebut ada perahu yang
bercahaya seolah ingin memberikan tumpangan sebagai alat yang memberikan
jalan pada sosok “aku”
Majas yang digunakan Jamal D. Rahman adalah metafora dengan kata
“perahu” yang melambangkan sebuah kendaraan, alat perjalanan, kendaraan yang
digunakan untuk mempercepat sampai ke tujuan.
“Atas sepi perahuku bercahaya
Membawa matahari ke jantung Madura”
5 Imaji sensasi internal terkait dengan aspek dalam seperti: pikiran, rasa mual, rasa mabuk, emosi
dan lain lain. Baca: Siswantoro, Metode Penelitian Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), h.
119.
34
Tokoh “aku” lirik mencoba menjelaskan tentang makna hidup yang harus
bermanfaat, menjadi cahaya. Cahaya yang bukan untuk dirinya sendiri karena
sifat cahaya akan menyinari segala sesuatu yang berada di sekitarnya.
4
Aku peras laut jadi garam
Mengasinkan hidupmu di ladang-ladang sunyi
Aku bakar langit temaram
Bersiasat dengan bayangmu dalam kobaran api
Bait IV
Pada bait keempat ini jika dilihat dari segi tipografi sama halnya dengan
bait pertama, kedua dan kedua yaitu terdiri dari 4 larik, namun pola rima pada bait
keempat ini sedikit berbeda dengan rima pada bait – bait sebelumnya, pada bait
ini tercipta pola yang lebih bervariasi yaitu a/i/a/i.
Jumlah kata pada setiap lirik pada bait keempat ini yaitu, larik pertama
terdiri dari 5 susunan kata, larik kedua terdiri dari 6 susunan kata, larik ketiga
terdiri dari 4 susunan kata dan larik keempat terdiri dari 6 susunan kata. Jumlah
keseluruhan kata pada bait ini adalah 21 kata.
Penggunaan diksi pada bait keempat ini, dari pengecekan keseluruhan kosa
kata dalam bait ini tidak ada satu kata pun yang termasuk kata slang, Jamal D.
Rahman tetap menggunakan diksi formal pada bait keempat ini sebagai contoh:
ladang, sunyi, bakar, kobaran, api.
Jamal D. Rahman dalam bait keempat ini menanamkan Optimisme yang
memuat nilai-nilai keyakinan, pantang menyerah dan penananaman jiwa
pemenang dalam menghadapi masa depan yang masih misteri. Hal ini diperkuat
dengan majas oksimoron6. Majas oksimoron disisipi pada saat si subjek-lirik
6 Oksimoron adalah suatu acuan yang berusaha untuk menggabungkan kata-kata untuk
mencapai efek yang bertentangan. Atau dapat juga dikatakan oksimoron adalah gaya bahasa yang
mengandung pertentangan dengan mempergunakan kata-kata yang berlawanan dalam frasa yang
sama, dan sebab itu sifatnya lebih tajam dan padat dari paradoks. Baca: Gorys Keraf, Diksi dan
Gaya Bahasa, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2001), h. 136.
35
penuh keyakinan “Aku bakar langit temaram”dan membuat subjek aku dalam lirik
bisa bersiasat “Bersiasat dengan bayangmu dalam kobaran api” yang seolah telah
mengalahkan langit yang diilustrasikan sebagai ketidakpastian atau masa depan.
Tapi bukan tidak ada kemungkinan untuk mengubah masa depan setidaknya
seperti yang kita inginkan, harapkan, cita-citakan, dan impikan lewat proses
“perubahan” saat ini. Hal itu digambarkan sebagai berikut;
“Aku peras laut jadi garam
Mengasinkan hidupmu di ladang-ladang sunyi
Aku bakar langit temaram
Bersiasat dengan bayangmu dalam kobaran api”
Kata kongkret pada bait keempat yaitu, laut, garam, langit dan kobaran
api. Kata kongkret tersebut merepresentasikan sebuah keadaan dan suasana tokoh
aku dalam puisi “Rubaiyat Matahari” karya Jamal D. Rahman, jika melihat puisi
“Rubaiyat Matahari” pada bait keempat ini ada kata “Memeras laut”
“Aku peras laut jadi garam
Mengasinkan hidupmu di ladang-ladang sunyi.”
Melihat sekilas tanpa melihat lebih dalam lagi “Memeras laut” adalah hal
yang masih abstrak. Namun diksi yang abstrak ini bisa menyatakan bahwa hal
yang tidak mungkin bisa menjadi mungkin. Interpretasi yang lain adalah ada
penggambaran tentang proses dari sesuatu menjadi sesuatu, mengolah bahan
menjadi bahan, atau mungkin dari tiada menjadi ada, dari yang abstrak dan misteri
menjadi nyata.
Dalam puisi “Rubaiyat Matahari” karya Jamal D. Rahman selalu terdapat
imaji yang mempunyai peran penting untuk menciptakan gambaran suatu objek,
peristiwa agar gambaran tersebut terasa lebih hidup dan kongkret. Maka dari itu
pada bait keempat ini Jamal D. Rahman memberikan sentuhan imaji visualnya
dengan penanda yang merupakan aktivitas yang terlihat oleh mata:
“Aku peras laut jadi garam
Mengasinkan hidupmu di ladang-ladang sunyi
Aku bakar langit temaram
Bersiasat dengan bayangmu dalam kobaran api”
36
5
Batu karam perahu karam
Tenggelam di rahang lautan
Darahku bergaram darahmu bergaram
Menyeduh asin doa di cangkir kehidupan
Bait V
Tipografi pada bait kelima dalam puisi Rubaiyat Matahari karya Jamal D.
Rahman ini berbentuk sama dengan bait - bait sebelumnya, yaitu pada satu bait
terdiri dari 4 larik, jumlah kata dalam bait kelima ini yaitu, larik pertama terdiri
dari 4 susunan kata, larik kedua terdiri 4 susunan kata, larik ketiga terdiri dari 4
susunan kata dan larik keempat terdiri dari 6 susunan kata, jumlah keseluruhan
kata dalam bait ini adalah 20 susunan kata.
Penyair pada bait ini memberikan bunyi asonansi yaitu dengan
memperlihatkan banyak pengulangan kata vokal /a/ yang memberikan kesan
musikal dan memberikan tekanan kata pada kata tertentu. Contoh asonansi bunyi
/a/ pada kata “karam, bergaram, doa dan kehidupan.”
Penyair dalam bait ini memberikan sebuah penggambaran bahwa sikap
optimis dan keyakinan yang terlalu (berlebihan) bisa menyebabkan seseorang
menjadi ambisius. Pribadi yang keras, tegas karena sudah mengetahui tujuan
hidup tidak serta merta akan lurus dan lancar dalam perjalanannya. Ia akan
mengalami kegoyahan. Kata “Batu” dalam bait kelima tersebut dapat disimbolkan
sebagai sebuah keyakinan sedang frase “Perahu” sebagai alat ataupun kendaraan
untuk mencapai yang diinginkan. Pribadi dan hidup bahkan jalannya akan
mengalami dengan apa yang disebut kegoyahan (ujian).
Jamal D. Rahman ingin mengingatkan tentang salah satu fitrah manusia,
yaitu sikap ketika menghadapi perubahan. Ketika menghadapi sesuatu yang
berbeda dan berubah, manusia ada yang siap ada yang tidak, ada yang menerima
dan berusaha menyesuaikan diri, ada yang tidak. Seperti iman pada diri seorang
yang kadang naik kadang turun. Penggambaran tentang posisi manusia yang
elastis dan tidak stagnan.
37
Di sisi lain pada larik kedua penyair menuliskan larik “Tenggelam di
rahang lautan” yang memberikan arti bahwa manusia bisa jatuh dan tenggelam,
terpuruk dan menyesal. Penyair mengingatkan pula bahwa manusia tersebut tidak
jatuh ke dasar lautan. Manusia (yang jatuh) hanya berada di rahang lautan.
Bukankah rahang itu masih berada di area mulut, yang bisa saja terbuka,
kapanpun dan dimanapun dan ini memberikan jalan untuk manusia keluar dari
mulut itu.
Kata kongkret yang terdapat dalam bait kelima ini terdiri dari batu, perahu,
rahang dan cangkir. Sedangkan imaji yang disisipkan oleh Jamal D. Rahman
dalam puisinya Rubaiyat Matahari yaitu imaji visual hal tersebut dapat dilihat
sebagai berikut:
“Batu karam perahu karam
Tenggelam di rahang lautan”
Pada larik selanjutnya penyair menuliskan “Darahku bergaram dan
darahmu bergaram”. Darah itu aliran kehidupan. Tokoh aku dan kamu bisa jadi
merasakan hidup yang yang dibumbui namun mereka merasakan hal tersebut
dengan rasa yang berbeda. Subjektivitas terhadap rasa. namun esensi dari hal ini
adalah bahwa hidup setiap orang (tokoh kamu dan aku) selalu dibumbui baik itu
dengan masalah, ujian, dan kejadian-kejadian lain yang semuanya itu merupakan
bagian dari cobaan hidup.
“Menyeduh asin doa di cangkir kehidupan” larik terakhir dari bait kelima
ini seolah memberikan penegasan bahwa kehidupan itu adalah sebuah proses.
Proses adalah membuat, mengerjakan sesuatu untuk menjadikan sesuatu. Penyair
menggunakan kalimat menyeduh asin doa, untuk mempertegas kedudukan, posisi
dan eksistensi dirinya (existence of human) terhadap eksistensi Tuhan (Existence
of God). Doa itu harapan, keinginan yang diucapkan seorang hamba pada
Tuhannya. Ada keyakinan yang mendalam pada diri penyair akan “intervensi”
Tuhan pada dirinya. Ada kesadaran akan keterbatasan sebagai makhluk.
6
38
Karena laut menyimpan teka-teki
Di puncak suaramu kurenungi debur gelombang
Karena layar hanya selembar sepi
Di puncak doamu kukibarkan bintang-gemintang
Bait VI
Secara tipografi bait ini terdiri atas empat larik yang merupakan bait
keenam dalam puisi ini. Pada bait keenam jumlah kata pada setipa lariknya yaitu,
larik pertama terdiri dari 5 susunan kata, larik kedua terdiri dari 6 susunan kata,
larik ketiga terdiri dari 5 susunan kata dan larik keempat terdiri dari 6 susunan
kata, dengan begitu jumlah keseluruhan kata dalam bait keenam ini adalah 21
susunan kata. Di sisi lain dalam bait ini laut menjadi metafor tentang sebuah
misteri atau teka - teki;
“Karena laut menyimpan teka-teki
Di puncak suaramu kurenungi debur gelombang”.
Ketika tokoh “aku” lirik menyadari bahwa laut adalah misteri dan penuh
teka-teki, maka tokoh “aku” lirik penggunakan laut tersebut untuk merenung.
Menggunakan daya pikir dan kreasinya untuk menjawab dan menggunakan teka-
teki tersebut dari sudut pandang yang berbeda dan pada Rubaiyat Matahari ini,
penyair menggunakan kemisteriusan tersebut untuk merenungi salah satu unsur
yang ada pada laut, yaitu debur gelombang.
Kata kongkret dalam bait ini adalah “Laut”, “Gelombang”, “Layar”,
“Bintang gemintang”. Imaji visual meliputi, “Dipuncak” dan “Bintang
gemintang”, sedangkan imaji pendengaran meliputi “Debur Gelombang”.
Pada kalimat selanjutnya “Debur gelombang” juga memiliki interpretasi
yang beragam. Gelombang bisa berarti sebagai kekuatan yang dahsyat, irama atau
bahkan musik yang dilahirkan laut, bisa juga berarti segala hal yang membuat
manusia terombang ambing (dalam hal ini; masalah, ujian hidup), dan hal terakhir
39
inilah yang ingin direnungi oleh penyair pada setiap kejadian dan fenomena yang
dialami.
Pada kalimat berikutnya lagi-lagi penyair masih menggunakan kata yang
berhubungan dengan laut. Penyair menggunakan kata layar. Layar yang identik
dengan perahu. Layar yang menjadi pusat kekuatan perahu untuk bergerak di
lautan. Kekuatan untuk mengarungi lautan. Lautan yang bisa digambarkan sebagai
proses perjalanan kehidupan. “Karena layar hanya selembar sepi”.
Layar yang digunakan penyair hanya selembar sepi. Sepi yang identik
dengan kesendirian. Penyair ingin menegaskan posisi pribadi manusia sebagai
individu yang bertanggung jawab pada hidupnya sendiri. Namun sepi tokok “aku”
lirik bukan sikap egois tidak peduli dengan orang lain bahkan tidak
memperdulikan eksistensi yang lain, sepi bagi penyair adalah proses perenungan.
Lagi-lagi, Jamal D. Rahman sepertinya ingin mengedepankan proses perenungan
akan hidup.
“Dipuncak doamu kukibarkan bintang gemintang” inilah lirik terakhir dari
bait keenam. Perenungan ini untuk mengibarkan bintang gemintang. Bintang
gemintang yang mengandung cahaya. Cahaya yang terang dan indah. Bintang itu
identik sebagai sesuatu yang indah dan penghias malam dan keindahan itu
dikibarkan penyair pada puncak doa. Puncak doa ketika doa mungkin sudah
terkabulkan.
7
Pohon cemara ikan cemara
Menggelombang biru di riak-riak senja
Antara pohon dan ikan kita adalah cemara
Mendekap cakrawala di dasar samudera
40
Bait VII
Puisi yang dipahami sebagai persamaan bunyi di akhir baris, sekilas tidak
memiliki peran penting di dalam struktur puisi. Sebenarnya peran puisi tidaklah
hanya sebatas itu, sesungguhnya puisi terkait erat dengan unsur internal lain
dalam membentuk sturktur yang padu.
Puisi Rubaiyat Matahari secara tipografi terpengaruh oleh bentuk
Rubaiyat model penyair parsi seperti Umar Khayam dan Jalaluddin Rumi. Pada
bait ke tujuh ini jumlah larik dalam satu bait terdiri dari 4 larik, sama halnya
dengan larik larik sebelumnya, namun jumlah kata dalam setiap lariknya berbeda
beda, seperti pada larik pertama terdiri dari 4 susunan kata, larik kedua terdiri dari
6 susunan kata, larik ketiga terdiri dari 7 susunan kata dan larik keempat terdiri
dari 5 susunan kata. Jumlah keseluruhan kata pada bait ini adalah 22 susunan kata.
Secara ragam diksi dalam bait ketujuh ini penyari menggunakan ragam
formal dengan struktur diksi aliterasi7, seperti pada bunyi /c/ pada frase “Cemara
ikan cemara.” Pada bait ini penyair mengawali kalimatnya dengan pohon cemara.
Pohon yang memiliki bentuk yang khas, seperti bentuk segitiga yang menjulang
tinggi. Pohon yang sering digunakan umat kristiani pada perayaan natal. Pohon
cemara yang bisa dikatakan lambang dan simbol kebahagiaan, keceriaan.
Pada bait ini kata kongkret yang diselipkan oleh penyair yaitu, “Pohon
cemara”, “Ikan”, “Kita”, “Samudera”. Majas dalam bait ketujuh ini adalah gaya
bahasa paradoks, di mana Jamal D. Rahman melukiskan “Mendekap cakrawala di
dasar samudera”, tentu saja cakrawala dan dasar samudera adalah sesuatu yang
berlawanan, biasanaya cakrawala selalu direferensikan dengan sesuatu yang
tinggi, sedang dasar samudra selalu dikaitkan dengan kerendahan seseorang.
Imaji selalu menjadi salah satu aspek penting dalam sebuah puisi dalam
menggambarkan suasana penyair, dalam bait ini penyair menggunakan Imaji
pengelihatan;
“Pohon cemara ikan cemara
Menggelombang biru di riak-riak senja”
7 Aliterasi adalah pengulangan bunyi konsonan pada awal konstruksi. Baca: Siswantoro, Metode
Penelitian Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), h. 205.
41
Jamal D. Rahman sebagai salah satu penyair yang menciptakan puisi
dengan penuh misteri pada setiap kata yang ia cipta, pada bait ini melukiskan
tentang aspek kebahagian dan ketenangan. Tidak ada definisi yang tepat ketika
menginterpretasikan sebuah hal atau fenomena. Begitu pula dengan kata “Cemara
terutama ikan cemara”. Penyair ingin menggambarkan tentang sebuah rasa
bahagia. Ketika bahagia datang, maka kehidupan akan terlihat dan terasa indah.
Apakah hal ini berkaitan dengan warna biru yang dikatakan penulis pada kalimat
berikutnya, “Menggelombang biru di riak-riak senja”. Warna biru identik dengan
sesuatu yang bersifat luas dan tenang. Sepertinya ketenangan ini yang ingin
digambarkan penyair ketika seseorang merasa bahagia, sebab bahagia itu bisa
menimbulkan ketenangan dalam hidup manusia.
8
Di rahang rahasia rinduku abadi
Sampai runtuh seluruh sepi
Rinduku adalah ketabahan matahari
Menerima sepi di relung puisi
Bait VIII
Tipografi pada bait kedelapan ini tentu saja tidaklah berbeda jauh dengan
bait pertama hingga bait ketujuh, penyair benar benar memperhatikan bentuk pada
puisi Rubaiyat Matahari, hal ini terlihat dari jumlah larik yang sama pada setiap
baitnya yaitu berjumlah 4 larik.
Puisi Rubaiyat Matahari pada larik kedelapan ini, jika dilihat dari segi
jumlah kata pada setiap lariknya cukup bervariasi dengan jumlah kata pada larik
pertama yaitu terdiri dari 5 susunan kata, larik kedua terdiri dari 4 susunan kata,
larik keempat terdiri dari 4 susunan kata dan larik keempat terdiri dar 5 susunan
kata, jumlah keseluruhan jumlah kata pada bait kedelapan ini adalah 18 susunan
kata.
Seorang penyair memang kadang menjadi seorang yang termarjinalkan
entah oleh keadaan atau mungkin zaman. tokoh “aku” lirik seperti berada dalam
42
ketiadaan, wujudnya ada namun seperti tidak ada. Hal ini terasa benar pada bait
ini. Penyair menggambarkan tentang keadaan sepi dan tabahnya penyair dengan
puisi-puisinya. “Menerima sepi di relung puisi”
Berkaitan dengan pemilihan diksi tentu saja Jamal D. Rahman sebagai
penyair sangat selektif dalam penempatanya, seperti dalam bait kedelapan ini
Jamal D. Rahman menempatkan bunyi asonansi /u/ pada kata “Runtuh” dan
“Seluruh” sehingga menciptakan sebuah efek yang artistik dengan bunyi yang
musikal. Kata kongkret yang ada pada bait ini adalah “Rahang”, “Runtuh” dan
“Matahari”.
tokoh “aku” lirik pada bait ini meluapkan sebuah rasa rindu yang begitu
menggebu dan abadi. Rindu yang tersimpan sebagai rahasia. Rindu yang tidak
diketahui siapapun. Rindu yang akan terus tersimpan hingga runtuh seluruh sepi.
Hingga rindu itu terpenuhi dengan bertemunya sang perindu dengan orang yang
dirindui;
“Di rahang rahasia rinduku abadi
Sampai runtuh seluruh sepi”
Dalam bait kedelapan ini penyair menyelipkan gaya bahasa personifikasi
untuk menimbulkan kesan bernyawa pada matahari “Rinduku adalah ketabahan
matahari”, frase tersebut pun menggambarkan kerinduan yang melahirkan
kegelisahan yang mendalam karena ini berkaitan dengan dorongan psikologis
dari dalam diri manusia. Dorongan fitrah pada diri manusia. Dorongan alamiah
yang membuat gelisah jika tidak segera diobati rindunya. Hanya ketabahan yang
bisa meredam dan membentenginya dari kegelisahan bahkan kesedihan.
9
Di relung-relung malam lambaianku menua
Juga pandanganmu di kaca jendela
Alangkah dalam makna senja
Menanggung berat perpisahan kita
43
Bait IX
Tipografi pada puisi Rubaiyat Matahari di bait kesembilan ini tentu saja
terdiri dari 4 larik dalam satu baitnya, penyair secara konsisten mempertahankan
bentuk puisi 4 seuntai dengan jumlah kata pada tiap lariknya yang tidak jauh
berbeda dengan jumlah kata pada bait bait sebelumnya. Larik pertama pada bait
kesimbilan ini terdiri dari 5 susunan kata, larik kedua terdiri dari 5 susunan kata,
larik ketiga terdiri dari 4 susunan kata dan larik keempat terdiri dari 4 susunan
kata. Jumlah keseluruhan kata pada bait ini adalah 18 susunan kata.
Struktur diksi pada bait kesembilan ini terdiri dari struktur asonansi
dengan banyak pengulangan bunyi vokal /u/ pada “relung – relung”, dan vokal /a/
“pada alangkah dalam makna senja”.
Keselektifan Jamal D. Rahman dalam memilih bunyi tentu saja
menjadikan puisi Rubaiyat Matahari menjadi lebih artistik dengan rentetan bunyi
yang musikal. Kata kongkret pada bait ini terdiri dari “lambainku”, “kaca
jendaela”.
Sudah fitrah dan alamiah, manusia semakin hari menjadi semakin tua dan
pada akhirnya akan meninggal dunia. Hal ini juga disadari oleh Jamal D. Rahman
lewat kata-kata; “Lambaianku menua”. Menjadi tua adalah hak mutlak dan pasti
bagi manusia. Siapapun ia, berprofesi apapun ia, semua yang bernama manusia
bahkan semua makhluk ciptaan Tuhan akan menjadi tua.
Penyair dalam bait ini mendeskripsikan tentang perputaran waktu dengan
menggunakan imaji visual , kata “tua dan senja serta malam” tentulah hal tersebut
tidaklah berlainan. Tua dan senja adalah sebuah kata yang memiliki arti yang
sama jika di ibaratkan usia, keduanya adalah batas dari waktu yang melukiskan
akhir dari sebuah kehidupan. Melihat kata yang digunakan; malam, oleh penyair
pada Rubaiyat Matahari ini, bisa dikatakan sangat tepat, sebab malam identik
dengan waktu istirahat. Waktu melepaskan lelah ketika sudah seharian (ketika
siang) beraktivitas dan bekerja. Waktu yang digunakan untuk tidur. Bukankah
tidur itu setengahnya mati. Orang yang sedang tidur bisa dianggap setengah mati.
Sangatlah tepat penyair menggunakan kata malam yang dihubungkannya dengan
44
kata “menua”. Menua yang identik dengan kelemahan dan dekatnya dengan
kematian.
“Di relung-relung malam lambaianku menua
Juga pandanganmu di kaca jendela”
Dari proses menjadi tua ini, penyair mencoba mengingatkan tentang
makna yang terdapat di dalamnya. Apakah manusia hanya akan menjadi sekedar
tua tanpa ada makna. Menua lantas mati tidak ada bekas dan sisanya. Terkubur
bersama jasadnya. Bagi seorang penyair, menjadi tua adalah proses memberi
makna karena ketika muda (masa-masa sebelum tua) dia terus merenungi segala
dan hal inilah yang didapatkan dari proses perenungannya. Proses perenungan
untuk mendapatkan makna. Makna inilah yang akan menjadi warisannya. Walau
ia sudah tiada (meninggal dunia) ada pelajaran dan makna yang ditinggalkannya.
Inilah proses “penggaraman” yang dimaksud penyair pada bait-bait sebelumnya
memberikan manfaat bagi manusia yang lain lewat makna yang disampaikan pada
puisi-puisinya, walaupun bukan makna yang diserap manusia di sekitarnya,
setidaknya proses berfikir yang disebarkan lewat puisi.
“Alangkah dalam makna senja
Menanggung berat perpisahan kita”
10
Dari pintu ke pintu ketukanku kembali
Tak lelah-lelah mencari januari di reremang pagi
Dari rindu ke rindu aku pun mengaji
Tak tamat-tamat membaca cinta di aliflammim puisi
Bait X
Konsitensi penyair dalam mempertahankan bentuk dari puisi menunjukan
betapa matangnya proses pembuatan puisi Rubaiyat Matahari dengan puisi 4
seuntainya. Selain itu, puisi ini juga bisa dikatakan berbentuk sajak. Ini bisa
45
dilihat dari rima akhirnya. Penyair tidak hanya ingin menyampaikan makna,
namun perantara penyampai makna yaitu puisi ini begitu memperhatikan bentuk
estetika dalam penulisannya. Jumlah kata pada setiap larik dalam bait kesepuluh
ini terdiri dari, 6 susunanan kata pada larik pertama, 8 susunan kata pada larik
kedua, 7 susunan kata pada larik ketiga dan 8 susunan kata pada larik keempat.
Jumlah keseluruhan kata pada bait kesepuluhan ini adalah 29 susunan kata.
Sebagai penyair, Jamal D. Rahman, mencoba mencari arti dan makna akan
cinta melalui proses perenungan dalam puisi-puisinya. Pada kalimat “dari pintu
ke pintu ketukanku kembali”, seakan tokoh “aku” lirik sedang berada pada sebuah
nostalgia. Mencoba mengingat apa-apa yang sudah lewat. Berada pada kenangan
dari semua proses yang sudah ia lakukan.
tokoh “aku” lirik mengingatkan bahwa ketika seseorang sudah berada pada
masa tuanya, maka ingatan-ingatan akan masa lalunya akan hadir. Entah dalam
bentuk penyesalan atau bentuk kepuasan dan itu menjadi sebuah pilihan. Pilihan
ketika manusia masih muda dan bisa bergerak, bekerja, dan beraktifitas dengan
segala daya dan potensi yang ada.
Pada bait terakhir ini, penyair menyisipkan bentuk ungkapan tak langsung
atau majas metafora, “Dari pintu ke pintu ketukanku kembali”. Penyajian baris
yang menggambarkan suasana tenang lagi menghanyutkan sesungguhnya
merupakan ungkapan meraforis yang merujuk ke peristiwa mengingat masa lalu.
Pada setiap bait yang di buat dalam puisi Rubaiyat Matahari selalu ada
kongkret yang diselipkan oleh penyair. Kata kongkret pada bait ini adalah “pintu”,
“ketukan”, “pagi”, “membaca”, “puisi”. Sedangakan imaji yang terdapat pada bait
ini yaitu tipe sensasi internal atau perasaan, hal itu terungkap pada baris pertama
hingga baris ketiga;
“Dari pintu ke pintu ketukanku kembali
Tak lelah-lelah mencari januari di reremang pagi
Dari rindu ke rindu aku pun mengaji....”
46
Tabel 1
Tabel Kata Kongkret Puisi Rubaiyat Matahari
Bait Baris Kata Kongkret
1 1 Berdarah dan Rahim
2 Matahari
2 1 Jemari dan Hujan
2 Gelombang
3 Api dan Awan
4 Membakar dan Bintang -
gemintang
3 1 Perahu
2 Matahari, Jantung dan Madura
3 Bara, Api
4 Semesta
4 1 Peras, Laut dan Garam
2 Ladang – ladang
3 Bakar dan Langit
4 Kobaran dan Api
5 1 Batu, Karam dan Perahu
2 Lautan
3 Darahmu dan Bergaram
4 Cangkir
6 1 Laut
2 Gelombang
3 Layar
4 Bintang gemintang
7 1 Pohon cemara, Ikan cemara
4 Samudera
8 1 Rahang
3 Matahari
47
9 2 Kaca jendela
10 1 Pintu
2 Januari
b. Analisis Struktur Batin Puisi Rubaiyat Matahari
1) Tema
Tema merupakan suatu gagasan yang menjadi dasar dari sebuah cerita.
Sebuah cerita mengandung tema bukan hanya satu saja, bahkan dua atau lebih.
Menurut Burhan Nurgiantoro, tema terbagi ke dalam dua jenis, yakni tema mayor
dan tema minor. Tema mayor merupakan tema pokok atau tema utama yang
menjadi dasar sebuah karya, sedangkan tema minor merupakan tema tambahan
atau tema bagian yang terdapat pada beberapa bagian dari sebuah cerita dan
makna tambahan berdiri sendiri, terpisah dari tema inti cerita yang berkaitan
dengan novel yang menjadi satu kesatuan.8
Tema yang terdapat pada novel ini bukan hanya satu jenis saja sebagai
intinya, tetapi dua jenis yaitu:
a. Tema Mayor
Tema mayor merupakan tema utama, pada puisi Rubaiyat Matahari, tema
utamanya adalah religiositas. Religiositas yang merupakan suatu hubungan antara
manusia dengan Tuhan memiliki keterkaitan dengan kebudayaan dan agama yang
terdapat dalam kehidupan. Keterkaitan tersebut terwujudkan bukan hanya dalam
bentuk ritual ibadah, tetapi dapat dalam bentuk kegiatan yang sesuai ajaran-ajaran
agama. Pada puisi ini, religiositas terepresentasikan dalam berbagai bidang
dimensi, bukan hanya pada ritual ibadah, tetapi kegiatan sehari-hari manusia. Hal
ini sudah terlihat dari awal puisi tersebut. Gambaran religius pada puisi ini
tergambarkan pada bait berikut.
8 Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press,
2013), h. 133-134
48
“Dengan bismillah berdarah di rahim sunyi
Kueja namamu di rubaiyat matahari
Kau dengar aku menangis sepanjang hari
Karena dari november-desember selalu lahir matahari”
Penyair pada larik tersebut mengedepankan keberadaan Tuhan (existence
of God) pada syairnya yang notebene refleksi dan representasi dari dirinya.
Menyediakan ruang pada persoalan teologi sebagai kerangka dan acuan berpikir –
berkarya, berarti menyediakan ruang pada rasio kita bahwa Tuhan ikut berperan,
berkehendak, dan mengintervensi, segala hal pada hidup manusia. Walau, sebagai
manusia, akal kita tidak akan pernah sampai pada maksud yang sebenarnya dari
tindakan, kehendak bahkan intervensi-Nya.
“Kueja namamu”. Melihat kata yang digunakan, mengeja bisa
diasosiasikan dengan seseorang yang masih belajar, lantaran ia belum lancar
membaca. Maka ia mengeja setiap kata-kata. Ada kesadaran spritual dan logis
bahwa sebagai makhluk ciptaan, penyair sadar bahwa dirinya masih belum tahu
apa-apa dan masih terus “mengeja”. Namun di sisi lain, ini menampakkan tentang
pengetahuan yang dimilikinya, bukankah ada ucapan ketika seseorang itu semakin
tahu maka ia akan mengatakan ia semakin tidak tahu bahkan tidak tahu apa-apa.
Penyair sadar akan eksistensi ketuhananya, bahwa ia tidak tahu dan masih terus
mengeja dan belajar.
Dengan kata lain penyair sendiri ingin mengajak pada perenungan tentang
hidup sebagai proses pembelajaran. Tentang bagaimana manusia harus sadar diri
tentang asalnya, penciptaannya, ketiadaannya, dan lain sebagainya. Ada proses di
mana dalam hidup Tuhan selalu hadir dalam setiap apa yang kita lakukan,
mengawasi dan bereksistensi pada kehidupan yang kita jalani.
b. Tema Minor
Tema minor merupakan tema atau makna dari sebuah cerita yang hanya
terdapat pada beberapa bagian saja dan tema tambahan yang dapat berdiri sendiri.
49
Puisi Rubaiyat Matahari memiliki beberapa tema minor, yakni kebahagian, dan
kerinduan
1. Kebahagian.
Puisi ini memang termasuk pusi religi, akan tetapi sang penyair
menghadirkan tema tambahan, salah satunya yaitu tema kebahagiaan. Tema ini
hadir di dalam puisi sebagai salah satu daya tarik.
“Pohon cemara ikan cemara
Menggelombang biru di riak-riak senja
Antara pohon dan ikan kita adalah cemara
Mendekap cakrawala di dasar samudera”
Pada bait ini penyair mengawali kalimatnya dengan pohon cemara. Pohon
yang memiliki bentuk yang khas. Seperti bentuk segitiga yang menjulang tinggi.
Pohon yang sering digunakan umat kristiani pada perayaan natal. Pohon cemara
yang bisa dikatakan lambang dan simbol kebahagiaan, keceriaan. Tidak ada
definisi yang tepat ketika menginterpretasikan sebuah hal atau fenomena. Begitu
pula dengan kata cemara terutama ikan cemara ini. Namun sepertinya penyair
ingin menggambarkan tentang sebuah rasa bahagia dan sepertinya ini ada
kaitannya dengan bait sebelumnya “mengibarkan bintang-gemintang”.
Ketika bahagia datang, maka kehidupan akan terlihat dan terasa indah.
Apakah hal ini berkaitan dengan warna biru yang dikatakan penulis pada kalimat
berikutnya, “menggelombang biru di riak-riak senja”. Warna biru identik dengan
sesuatu yang bersifat luas dan tenang. Sepertinya ketenangan ini yang ingin
digambarkan penyair ketika seseorang merasa bahagia, sebab bahagia itu bisa
menimbulkan ketenangan dalam hidup manusia. Atau mungkin penyair malah
ingin menenekankan aspek ketenangan itu sendiri. Ketenangan yang
bergelombang, memenuhi rasa pada diri manusia.
Jika memang ketenangan itu yang ingin digambarkan penyair, maka
tepatlah kata yang digunakan penyair selanjutnya; riak-riak senja. Karena senja
identik dengan suasana damai dan tenang. Ketika hiruk pikuk dan panasnya siang
50
akan berakhir maka senjalah yang menjadi tanda kelahiran hal tersebut. Bisa
dikatakan, ketika senja lahir maka hiruk pikuk dan panas siang akan berakhir.
2. Kerinduan
Tema kerinduan dalam puisi Rubaiyat Matahari cukup menonjol. Penyair
sendiri menjadikan rasa rindu tersebut sebagai sebuah bentuk dari cinta, cinta dan
rindu keduanya saling berkaitan dimana rindu akan membuat cinta dan sebaliknya
cinta akan membuat rindu dan pada akhirnya akan menciptakan sebuah
kegelisahan.
“Di rahang rahasia rinduku abadi
Sampai runtuh seluruh sepi
Rinduku adalah ketabahan matahari
Menerima sepi di relung puisi”
Seorang penyair sering bergulat (dalam perenungannya) dengan hal-hal
yang bersifat misteri. Misteri yang masih teka-teki. Teka-teki yang belum
terjawab secara pasti. Maka hal ini mempengaruhi penyair dalam proses
penciptaan puisi. Begitu juga dalam rubaiyat Matahari ini. Kata-kata dan kalimat
yang berhubungan dengan misteri digunakan untuk mendeskripsikan tentang
kerinduannya. Entah rindu akan apa. Apakah rindu pada sosok dan tokoh “kamu”
yang berpengaruh baginya, atau rindu siapa pada siapa saja.
Rindu yang tersimpan sebagai rahasia. Rindu yang tidak diketahui
siapapun. Rindu yang akan terus tersimpan hingga runtuh seluruh sepi. Hingga
rindu itu terpenuhi dengan bertemunya sang perindu dengan orang yang dirindui.
Sepi yang hadir ketika sendiri. rindu yang makin menggebu dalam sendiri pilu.
Ya, rindu memang bisa dikatakan sebagai penyakit yang perlu diobati. Obatnya
adalah bertemu dengan orang yang dirindu dan jika sudah bertemu dengan orang
yang dirindu, jika sudah diobati rindu itu maka sepi yang hadir dan menyerang
sang perindu akan runtuh. Rindunya akan hilang tak berbayang.
Rindu bisa diartikan sebagai rasa menggebu ingin bertemu. Bertemu
dengan sosok dan tokoh “kamu” yang begitu berpengaruh. Kerinduan ini sering
51
melahirkan kegelisahan bahkan kesal yang mendalam. Karena ini berkaitan
dengan dorongan psikologis dari dalam diri manusia. Dorongan fitrah pada diri
manusia. Dorongan alamiah yang membuat gelisah jika tidak segera diobati
rindunya. Hanya ketabahan yang bisa meredam dan membentenginya dari
kegelisahan bahkan kesedihan. Hal ini dijelaskan penyair pada kalimat; “rinduku
adalah ketabahan matahari”.
2). Suasana
Suasana selalu berkaitan dengan keadaan tokoh dalam sebuah syair , di
mana tokoh tersebut mengalami sebuah guncangan ataupun cobaan, secara
keseluruhan pada puisi ini Jamal D Rahma mendeskripsikan luka, kesendirian,
bahkan keterasingannya, sehingga menimbulkan rasa sedih dan gelisah yang
begitu lekat pada tokoh aku. Hal tersebut terwakili pada bait pertama larik ke-2
dan ke 3 dan pada bait ke 3.
“Kau dengar aku menangis sepanjang hari
Karena dari november-desember selalu lahir matahari”
Pada bait selanjutnya penyair menggunakan kata sepi. Sepi bisa
digambarkan sebagai suasana yang tidak ramai dan gaduh. Tidak ada orang lain.
Hening. Sendiri. suasana seperti ini sangat tepat untuk dijadikan waktu untuk
meditasi, merenung. Dalam perenungan itu biasanya seseorang menanyakan dan
bertanya tentang sesuatu. Dalam keadaan hening itu jawaban biasanya akan lahir
dari apa yang kita tanyakan. Jawaban diri sendiri atas pertanyaan diri sendiri.
karena tidak ada unsur-unsur penggangu dalam mencari jawaban atas perenungan.
“Atas sepi perahuku bercahaya
Membawa matahari ke jantung madura
Atas bara api cintaku menyala
Menantang matahari di lubuk semesta”
52
3). Amanat
Jamal D. Rahman sebagai penyair tentu saja dalam puisi – puisinya
memiliki pesan yang ingin ia sampaikan pada pembaca, dengan kata lain selalu
ada amanat atau pesan yang disisipkan oleh penyair. Penyair mengungkapkan
pengalaman nalar dan indrawi. Menyatakan kegelisahan terhadapa apa yang
dialaminya. Segala keresahan tetap ia curahkan kepada Tuhan dalam doanya.
Dalam puisinya Jamal D. Rahman memposisikan penyair sebagai tokoh
utamanya (aku lirik). Puisi ini di awali dengan pembukaan yang mengesankan,
begitu Tuhan memiliki peranan yang sangat besar. Pada bait pertama, yang
tampak pada larik pertama adalah kata bismilah yang mencerminkan penyair
sebagai tokoh religius yang tak pernah lupa akan doa di awal segala apa yang
akan dilakuaknya. Dengan bismilah berdarah di rahim sunyi juga kata rahim yang
memilki makna kasih sayang. Sangat imajinatif. Kata bismilah pun dapat saya
maknai dengan arti doa, semua yang kita jalani dan lakukan tidak akan lepas dari
kata bismilah yang merupakan awal kita melakukan sesuatu hal. Dan disegala
doanya tak lepas nama tempat yang menjadi kehidupannya untuk tetap terus
memberikan kehangatan dan cahaya.
“Karena laut menyimpan teka-teki
Di puncak suaramu kurenungi debur gelombang
Karena layar hanya selembar sepi
Di puncak doamu kukibarkan bintang-gemintang”
Pesan lainya yang ingin disampaikan oleh penyair adalah bahwa hidup itu
proses, proses perenungan, proses ujian dan porses kebahagian Setiap fenomena
(kejadian alam, atau kejadian yang dialami manusia pada kehidupannya) adalah
bahan. Perenungan atas kemisteriusan (eksistensi, kausalitas dan sebagainya).
53
B. Analisis Struktur Fisik dan Batin dalam “Puisi Bernafaslah Pada
Ombak”
a. Analisis Struktur Fisik dalam Puisi Bernafaslah pada Ombak
Bait 1
Bernafaslah pada ombak. karena danau
terlanjur menyimpan buih. Membendung gelombang zaman
dan menghanyutkan doa. dari bukit sukmamu
batu batu pun hanyut ke dalam sujud muara,
memadatkan tangis benua
1
Puisi sebagai karya seni itu puitis. Kata puitis sudah mengandung nilaii
keindahan yang khusus untuk puisi. Sifat sifat puitis itu bisa membangkitkan
perasaan, menarik perhatian, menimbulkan tanggapan dan bisa pula menimbulkan
keharuan. Kepuitisan dalam puisi bisa ditimbulkan dengan bermacam – macam
cara, misal melalui bentuk visual atau unsur intrinsik pada puisi itu sendiri
contohnya melalui tipografi, susunan bait, bunyi, diksi, imaji, majas serta aliterasi
dan asonansi.
Tipografi selalu menyangkut bentuk atau perwajahan puisi. Secara
tipografi puisi Bernafaslah Pada Ombak, ditulis layaknya puisi konvensional
yang kata - katanya diatur dalam deret yang disebut larik, namun dengan
penambahan penggunaan tanda baca seperti titik dan koma sebagai tanda baca
penjedaan, hal ini jelas terlihat pada larik pertama hingga larik keempat dalam
bait pertama pada puisi Bernafaslah Pada Ombak.
Kalimat dalam bait pertama menekankan pada judul untuk mengajak kita
bernafas pada ombak di laut yang memang seakan ombak selalu memiliki tujuan
yang sama yaitu menyentuh pantai, ombak sebagai representasi kehidupan yang
terus bergerak bersama dengan waktu. Gelagat ombak sebagai cerminan
kehidupan yang dinamis oleh penyair dikontraskan dengan danau yang hanya
berdiam pada tempat dan menghasilkan sesuatu yang kecil layaknya buih:
54
“Bernafaslah pada ombak. karena danau
terlanjur menyimpan buih. Membendung gelombang
zaman”
Pada puisi Bernafaslah Pada Ombak, penyair menggunakan rima u/a/u/a/a
dengan bunyi a yang lebih dominan pada setiap larik di bait pertama ini. Jumlah
kata pada bait pertama puisi Bernafaslah Pada Ombak yaitu, larik pertama terdiri
dari 5 susunan kata, larik kedua terdiri dari 6 susunan kata, larik ketiga terdiri dari
6 susunan kata, larik keempat terdiri dari 8 susunan kata dan larik kelima terdiri
dari 3 susunan kata. Jumlah keseluruhan kata pada bait pertama adalah 23
susunan kata. Jumlah keseluruhan kata pada bait pertama tersebut memiliki
jumlah pola kata yang sama berkisar 20 dengan beberapa puisi yang dibuat
oleh Jamal D Rahman, di antaranya dapat dilihat pada puisi Rumput Biru, Kado
Ulang Tahun, Badai, dan Perempuan, hal tersebut menunjukan bahwa penyair
sendiri dalam buku kumpulan puisi Garam – Garam Hujan memberikan
konsistensi jumlah keseluruhan kata pada setiap lariknya walupun disisi lainnya
penyair pun menuliskan beberapa puisi yang terdiri dari 30 susunan kata lebih.
Penyair pada puisi Bernafaslah Pada Ombak, ada penggambaran suasana
keintiman pada upaya mengajak pembaca untuk memasuki dunia kesunyian
seorang penyair dan perenungannya yang intens. Adakalanya terasa lembut dan
merayu.
“Bernafaslah pada ombak. karena danau
terlanjur menyimpan buih. Membendung gelombang
zaman”
Di samping itu puisi “Bernafaslah Pada Ombak” pada bait pertama ini
pun penyair berupaya untuk meneropong manusia dan kehidupannya. Meski figur
– figur yang dipinjamnya sebagai referensi dan kiasan yang berupa seperti kata
“ombak, “danau” dan “benua”. Pada larik pertama hingga larik ketiga, penyair
melukiskan gambaran keintiman meditatif penyairnya tentang keprihatinan bathin
manusia yang selalu melupakan dunia di mana mereka hidup dan berada, dengan
demikian dapatlah dikatakan religiositas pada bait pertama ini adalah sejenis
55
religiositas yang memandang dan mengakrabi dunia sebagai sebuah kosmologi
dimana manusia dan dunia tidak mungkin dapat dipisahkan.
“Bernafaslah pada ombak. karena danau
terlanjur menyimpan buih. Membendung gelomobang
zaman
dan menghanyutkan doa. dari bukit sukmamu”
Penyair pada bait pertama puisi Bernafaslah Pada Ombak, menggunakan
diksi formal dengan pemilihan kata yang selektif baik dari larik pertama hingga
larik kelima, jika dicermati kata - kata yang dipilih secara langsung selalu
berkaitan dengan “air”, seperti kata “ombak”, “danau”, “buih”, “gelombang” dan
“muara”. Kata air sendiri sering dikaitkan dengan simbol kehidupan. Dikatakan
selektif dari segi diksi puisi Bernafaslah Pada Ombak, karena jika dilihat dari
rima pun cukup rapih dengan pola u/a/u/a/a. Kombinasi bunyi asonansi pada bait
pertama ini tentu saja menciptakan sebuah suasana tertentu, karena menurut teori
simbolisme, tugas puisi adalah mendekati kenyataan ini, dengan cara tak usah
memikirkan arti katanya, melainkan mengutamakan suara, lagu, irama dan rasa
yang timbul karenaya dan tanggapan – tanggapan yang mungkin dibangkitkanya.1
Kombinasi bunyi u/a/u/a/a/a adalah kombinasi bunyi vokal (asonansi)
yang berima berat dan rendah, biasanya mengekspresikan perasaan yang sedih,
gundah, murung. Perasaan - perasaan tersebut sangatlah berkaitan dengan suasana
pada Puisi “Bernafaslah Pada Ombak” yang menggambarkan suasana penyair
dalam keadaan gundah dalam kesunyianya.
Kata konkret pada bait pertama dalam puisi Bernafaslah Pada Ombak
yaitu, “ombak”, “danau”, “buih”, “gelombang”, “bukit”, “batu” dan “benua”.
Majas yang digunakan penyair pada bait pertama ini adalah majas personifikasi,
majas yang memberikan gambaran benda mati yang seolah hidup serta memiliki
perasaan hingga bisa memberikan suasana kesedihan perasaan haru dan iba. Hal
ini terlihat pada larik kelima pada puisi Bernafaslah Pada Ombak. “Memadatkan
tangis benua”
1 Rachmat Djoko Pradopo, pengkajian Puisi, (Yogykarta: Gadjah Mada University Press, 2010), h.
23.
56
Pada puisi Bernafaslah Pada Ombak, penyair sendiri menghadirkan
benda-benda sebagai sejumlah entitas yang akrab dan berbicara kepada penyair.
Seperti benua yang menangis. Pengakraban tersebut lahir dari keintiman seorang
penyair pada kesekitaran dan keseharian yang dialami dan dihidupinya secara
personal, dengan itu pula dunia dan benda - benda dalam sajaknya tidak lagi
dipandang sebagai objek, melainkan subjek-subjek yang dekat dan menyapa
penyair dalam kesunyian penyair itu sendiri.
Perlu diketahui sisi penting lain dalam sebuah puisi adalah imaji. Imaji
selalu ada untuk menimbulkan gambaran - gambaran angan sehingga memberikan
kesan lebih hidup dalam sebuah puisi. Pada puisi “Bernafaslah Pada Ombak”,
penyair menggunakan imaji visual yang memberikan sebuah pengalaman inderaan
objek - objek yang terlihat. Penyair membawa kita seakan melihat apa yang
dilihat oleh penyair, seperti “ombak”, “danau”, dan “buih”, dengan menggunakan
kata - kata tersebut penyair membawa kita seolah - olah menyaksikan apa yang
ada di sekitar penyair. Angan kita dibawa untuk melihat apa yang dikemukakan
oleh penyair. Hal ini terbukti pada bait pertama yang dimulai dari larik pertama
hingga larik kelima:
“Bernafaslah pada ombak. karena danau
terlanjur menyimpan buih. Membendung gelombang zaman
dan menghanyutkan doa. dari bukit sukmamu
batu batu pun hanyut ke dalam sujud muara,
memadatkan tangis benua”
Bait II
dari dasar laut, ombak membangun gelora malam.
lampu – lampu nelayan menggeliat, jadi bintang
di keluasaan matamu. mengedipkan mata ikan
pada kail dan jala yang mulai cemas
menunggu. di sini, lumpur mengampar,
menenggak air sembahyang dari cangkir – cangkir kecemasan
Puisi Bernafaslah Pada Ombak karya Jamal D Rahman ini cukup
ringkas, hanya terdiri dari dua bait saja. Seluruh lariknya ditulis dalam bentuk
bait. Pada setiap permulaan kalimat penyair selalu menyertakan ikon ombak yang
57
seolah memiliki hubungan dengan kehidupan manusia . Kata ombak yang selalu
digunakan untuk berkata-kata, pada puisi ini laut yang disandingkan dengan
ombak digambarkan sebagai personifikasi bagi manusia sedang ombak adalah
sesuatu yang memberikan energi ataupun gelora pada laut itu sendiri.
“dari dasar laut, ombak membangun gelora malam.
lampu – lampu nelayan menggeliat, jadi bintang
di keluasaan matamu.”
Jika dilihat dari segi tipografi, puisi Bernafaslah Pada Ombak dalam bait
kedua ini terdiri dari 6 larik yang tersusun sehingga itu berarti antara larik
pertama hingga larik terakhir merupakan satu kesatuan makna yang digambarkan
oleh pengarang. Bila dihitung jumlah kata secara keseluruhan per-lariknya pada
bait kedua ini, sebenarnya puisi Bernafaslah Pada Ombak ini hanya memiliki 7
susunan kata pada larik pertamanya, pada larik kedua terdiri dari 6 susunan kata,
larik ketiga terdiri dari 6 susunan kata, larik keempat terdiri dari 7 susunan kata,
larik kelima terdiri dari 5 susunan kata dan larik keenam teridri dari 7 susunan
kata.
Penyair pada puisi Bernafaslah Pada Ombak tetap konsisten
menggunakan diksi formal seperti pada puisi - puisi lainnya di dalam kumpulan
puisi Garam – Garam Hujan sehingga memberikan kesan serius dan realistis serta
mendalam pada setiap kata - kata yang tertuang. Disamping itu, bunyi - bunyi
yang dirangkai pada puisi Bernafaslah Pada Ombak memberikan efek estetik atau
nilaii seni. Misalnya dalam larik pertama dan kedua pada bait kedua ini ada
asonansi a dan u
“dari dasar laut, ombak membangun gelora malam.
lampu – lampu nelayan menggeliat, jadi bintang”
Sedangkan pada larik kelima ada aliterasi r yang diselipkan oleh penyair
untuk menimbulkan variasi bunyi dalam puisi Bernafaslah Pada Ombak
“menunggu. di sini, lumpur mengampar”.
58
Bunyi tidak hanya sekedar media untuk memunculkan nilaii estetik pada
sebuah puisi itu sendiri, bunyi juga dapat menginterpretasi suasana dan perasaan
penyair melalui rankaingan pola atau kombinasi bunyi – bunyi vokal dan bunyi –
bunyi konsonan. Pada bait kedua puisi Bernafaslah Pada Ombak, penyair banyak
memberikan bunyi asonansi a dan u yang memberikan suasana gundah dan sedih
sama halnya seperti pada bait pertama.
“dari dasar laut, ombak membangun gelora malam.
lampu – lampu nelayan menggeliat, jadi bintang”
Kegundahan penyair itu sendirii seolah ingin ia curahkan melalui ombak
yang mampu menguras isi laut, dalam kesunyian dan sepinya malam penyair
menganggap bahwa semua yang nampak hanyalah sebuah hiasan yang bersinar
seperti bintang, bahkan dalam larik selanjutnya kegelisahan tersebut semakin
bertambah dengan kecemasan ketika penyair tidak bisa mendapatkan apa yang
diharapkan atas penantian dan waktu yang ia korbankan
“di keluasaan matamu. mengedipkan mata ikan
pada kail dan jala yang mulai cemas
menunggu. di sini, lumpur mengampar,”
Pada puisi, bunyi bersifat estetik, merupakan unsur puisi untuk
mendapatkan keindahan dan tenaga ekspresif. Bunyi ini erat hubungannya dengan
anasir-anasir musik, misalnya : lagu, melodi, irama, dan sebagainya. Bunyi di
samping hiasan dalam puisi, juga mempunyai tugas yang lebih penting lagi, yaitu
untuk memperdalam ucapan, menimbulkan rasa, dan menimbulkan bayangan
angan yang jelas ; menimbulkan suasana yang khusus dan sebagainya. Bunyi –
bunyi yang diberikan penyair dalam puisi Bernafaslah Pada Ombak, dalam bait
kedua ini tidaklah berbeda jauh dengan bait pertama. Pada bait kedua ini, banyak
sekali bunyi - bunyi yang ditimbulkan dari bunyi vokal (asonansi) a/u/i yang
59
berkombinasi dengan aliterasi berbunyi liquid r, yang memberikan gambaran
penuh curahan perasaan penyair.
“menunggu. di sini, lumpur mengampar,
menenggak air sembahyang dari cangkir – cangkir
kecemasan”
Unsur estetik lainnya dalam Puisi Bernafaslah Pada Ombak adalah rima.
Setiap penyair memiliki pola pandang yang berbeda pada rima, terkadang
menggunakan pola rima yang acak, terkadang juga menggunakan pola yang
begitu rapi. Penggunaan rima ini biasanya mempengaruhi bentuk sebuah puisi
dari segi estetiknya, karena kecenderungan pembaca biasanya melihat rima
sebagai sesuatu yang berseni dengan pola yang tersistem. Puisi Bernafaslah Pada
Ombak, adalah salah satu puisi yang memiliki pola rima yang begitu rapi, hal
tersebut bisa dilihat pada bait pertama hingga bait kedua ini, bait kedua penyaiar
memberikan pola rima yang sama hingga larik terakhir yaitu, a/a/a/a/a/a. Hal ini
menunjukan bahwa konsistensi penyair dalam menjaga bentuk estetik pada puisi -
puisinya merupakan suatu apresiasi pada bentuk keindahan itu sendirii.
Unsur lain yang terdapat pada puisi Bernafaslah Pada Ombak yaitu kata
konkret, hampir pada setiap larik di bait kedua ini terdapat kata kongkret yang
saling berhubungan antara satu dengan yang lainnya seperti laut dan ombak pada
larik pertama, lampu, nelayan dan bintang di larik kedua, lalu kail dan jala pada
larik keempat serta air dan cangkir pada larik kelima, keterkaitan kata kongkret
tersebut tentulah bukan hal kebetulan semata yang dibuat penyair, penyair dengan
kematanganya memilah antara kata kongkret yang satu dengan yang lainnya
sehingga kata kongkret tersebut saling menguatkan makna dalam puisi
Bernafaslah Pada Ombak. Adapun kata kongkret lainnya yaitu, mata ikan dan
lumpur pada larik ketiga dan kelima.
Puisi Bernafaslah Pada Ombak dan termasuk saja-sajak lainnya karya
Jamal D. Rahman adalah sejumlah dunia dan keseharian yang menyingkapkan
dirinya secara telanjang di hadapan seorang penyair ketika seorang penyair
mengintimi dan mengakrabi kesunyian dirinya dan kesunyian dunia serta
60
keseharian yang dihidupi bahkan dialaminya dengan sepenuh penerimaan. Hal
tersebut dapat kita lihat pula pada puisi - puisi yang dia ciptakan dalam buku
kumpulan puisi Garam – Garam Hujan, di antaranya Rubaiyat Matahari,
Rumputan Biru, Hujan Dari Air Mata
Khusus pada puisi Rubiayat Matahari dan Bernafaslah Pada Ombak, kita
akan melihat dan menemukan beberapa gambaran tentang laut yang hubungannya
dengan manusia. Puisi Bernafaslah Pada Ombak tidaklah terlepas dari unsur laut
yang sebagai pesan dari sebuah perlambangan yang utuh dari laut dan ombak
sebagai metafora kehidupan.
“dari dasar laut, ombak membangun gelora malam.
lampu – lampu nelayan menggeliat, jadi bintang
di keluasaan matamu. mengedipkan mata ikan”
Unsur kepuitisan lainnya yang tak kalah penting adalah majas. Majas
dapat menyababkan sebuah puisi menarik, segar, hidup dan dapat menimbulkan
kejelasan dengan memberikan gambaran yang jelas serta hidup. Maka dari itu
peranan majas tak bisa dikesampingkan karena majas sendirii biasanya
menghubungkan sesuatu dengan sesuatu yang lain.
Majas dalam bait kedua puisi Bernafaslah Pada Ombak yaitu, majas
personifikasi yang mempersamakan benda dengan manusia. Majas personifakasi
pada bait kedua ini memberikan kejelasan beberan yang kongkret berkaitan
dengan klausa “lampu – lampu menggeliat” dan “pada kail jala yang mulai cemas.
Penyair melukiskan sebuah proses penantian dan ketabahan yang jika di ibaratkan
seperti sedang memancing menggunakan kail dan jala.
“pada kail dan jala yang mulai cemas
menunggu. di sini, lumpur mengampar”,
Selanjutnya ada imaji. Dalam bait kedua puisi Bernafaslah Pada Ombak
imaji visual begitu kentara terlihat dari larik pertama hingga keenam. Imaji
61
ataupun gambaran yang diciptakan oleh penyair merupakan alat bantu untuk lebih
menciptakan angan atapun gambaran terhadap suatu objek. misal dalam
Bernafaslah Pada Ombak ini, imaji visual mengkokohkan pikiran kita terhadap
benda benda yang diciptakan penyair, seperti memperjelas sesuatu yang sudah
terlihat menjadi semakin terlihat, seperti pada kata “ombak”, “danau”, dan “laut”
sebagai metafor kehidupan.
Tabel 2 Kata Konkret Puisi Bernafaslah Pada Ombak
No Larik Kata Konkret
1 1 Ombak
2 1 Danau
3 2 Buih
4 2 Gelombang
5 3 Bukit
6 4 Batu – batu
7 4 Sujud
8 4 Muara
9 5 Tangis dan Benua
10 6 Laut dan Ombak
11 7 Lampu, Nelayan dan Bintang
12 8 Mata dan Mata ikan
13 9 Kail dan Jala
14 10 Lumpur
15 11 Air dan Cangkir - cangkir
62
b. Analisis Struktur Batin dalam Puisi Bernafaslah pada Ombak
Puisi merupakan kesatuan yang utuh atau bulat, maka perlu dipahami
secara utuh dan bulat pula. Untuk memudahkan pemahaman seperti itu, maka
perlulah sebuah analasis yang tidak hanya berdasarkan pada unsur intrinsiknya
saja, dibutuhkan pula analisis unsur ekstrinsik untuk memudahkan pemahaman
tentang ambiguitas pada puisi itu sendirii.
Penyair dengan pergulatanya dengan kesunyian dan penantian (ketabahan)
yang memandang dan mengakrabi dunia sebagai sebuah kosmologi di mana
manusia dan dunia serta Tuhan tidak mungkin dapat dipisahkan memberikan
gambaran yang berkaitan dengan tema kereligiusan tentang relasi Tuan-hamba;
relasi ini melibatkan, Tuhan sebagai Tuan (Rabb), manusia sebagai “hamba”-Nya.
Hal tersebut terlihat pada larik ke tujuh hingga sepuluh yang menunjukan tokoh
kamu sebagai sesuatu yang memiliki kuasa yang sedang ditunggun oleh tokoh
lainnya dalam puisi tersebut.
“lampu – lampu nelayan menggeliat, jadi bintang
di keluasan matamu. mengedipkan mata ikan”
“pada kail dan jala yang mulai cemas
menunggu di sini, mengampar lumpur menghampar,”
Tema pada puisi Bernafaslah Pada Ombak tersebut tentu saja merupakan
merupakan salah satu kepekaan emosi penyair atas penghayatan akan nilai
filosofis ketuhanan, alam dan manusia. Oleh karena itu setidaknya kereligiusan
penyair menjadi ruh dalam menghidupkan puisi Bernafaslah Pada Ombak.
Suasana yang diciptakan oleh penyair pada puisi Bernafaslah Pada
Ombak semacam rasa gelisah dan cemas dalam proses penantian dalam kesunyian
yang intim. Kecemasan tersebut muncul oleh karena proses pengharapan penyair
terhadap tokoh kamu yang memiliki kuasa atas segala apa yang ada.
63
“di keluasan matamu. mengedipkan mata ikan
pada kail dan jala yang mulai cemas”
Dalam setiap karya sastra selalu ada pesan ataupun ajaran positif yang
ingin disampaikan oleh pengarangnya, tak terkecuali pada puisi. Puisi sebagai
sebuah media yang memilki sifat menghibur tidaklah boleh terlepas dari sifat
mendidiknya. Tidaklah berimbang jika sesuatu yang memiliki keestetikan tidak
dapat memberikan pengaruh terhadap lingkungan sekitaranya.
Puisi Bernafaslah Pada Ombak mengajari kita bahwa dibalik semua
kehidupan selalu ada yang menghidupkan. jika pada larik pertama nafas di
ibaratkan sebagai sumber kehidupan manusia, maka ombak pun adalah sesuatu
yang menjadikan laut hidup hingga ia terlihat berbeda dengan danau “Bernfaslah
pada ombak. karena danu terlanjur menyimpan buih.” Diantara nafas dan ombak
itu sendirii tercipta tokoh kamu yang diciptakan penyari sebagai sosok yang cukup
ambigu, namun tokoh kamu tersebut adalah tokoh yang memiliki kuasa sehingga
ia mampu melihat dalam keluasaan pada setiap apa yang ingin ia lihat, pada larik
ketujuh dan kedelapan hal tersebut dapat dillihat “lampu – lampu nelayan
menggeliat”,/ “jadi bintang di keluasan matamu”.
64
C. Representasi Religiositas Pada Puisi “Rubaiyat Matahari dan Bernafaslah
Pada Ombak”
Representasi religiositas merupakan perwakilan tentang hal religi, baik
nilai-nilai religi, atau pun dimensi religi pada puisi “Rubaiyat Matahari dan
Bernafaslah Pada Ombak,”penggambaran religi ditunjukkan bukanlah dalam
bentuk ritual ibadah saja, tetapi bentuk keyakinan terhadap Tuhan yang
diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari dengan menjalankan ajaran agama.
Menurut Jalaluddin Rahmat, keberagamaan seseorang terdiri dari lima
aspek, yaitu, “Idelogis, ritualistik/ibadah, eksperesnsial, intelektual dan
konsekuensial”. Kelima aspek tersebut menjadi acuan pada religiositas yang
terdapat dalam dua puisi karya Jamal D. Rahman “Rubaiyat Matahari dan
Bernafaslah Pada Ombak”.
Karya sastra, salah satunya puisi dapat digunakan untuk membentuk sikap
dan kepribadian yang matang dan dewasa. Sastra juga merupakan sarana untuk
menanamkan kesadaran dan penghayatan tentang nilai-nilai kemanusiaan secara
mendalam.Karya satra memberikan pesan moral yang berwujud nilai religius.
Nilai sangat mempengaruhi prilaku dan tindakan manusia baik yang dilakukan
secara perorangan maupun kelompok. Religiositas dalam karya sastra sangat
diperlukan karena sastra tumbuh dari sesuatu yang bersifat religius.
1. Religiositas pada puisi “Rubaiyat Matahari”
Pada puisi “Rubaiyat Matahari memiliki;
a. Nilai Ibadah / Ritualistik
Ibadah merupakan bentuk penyembahan terhadap Tuhan. Bentuk
penyembahan terhadap Tuhan bukanlah hanya seperti Sholat bagi umat Islam,
mengahadiri kebaktian bagi umat Kristen di Gereja. Bentuk ibadah manusia
terhadap Tuhan dapat dilakukan dalam kegiatan sehari hari serta berdoa, terutama
sesuai ajaran agama masing – masing.
Dalam setiap ibadah selalu ada pengharapan yang ingin dicapai, salah satu
pengharapan tersebut bisa diutarakan melalui doa. Doa merupakan salah satu
65
bentuk ketakwaan ibadah seorang hamba kepada Tuhan. Dengan berdoa, Allah
akan mengabulkan segala permintaan, karena apabila tidak berdoa, maka Allah
pun akan marah terhadap hamba-Nya. Nilai ibadah dalam puisi “Rubaiyat
Matahari”tertuju pada tokoh kamu.
Karena laut menyimpan teka teki
di puncak suaramu kurenungi debur gelombang
karena layar hanya selembar sepi
di puncak doamu kukibarkan bintang gemintang
Larik tersebut mengajarkan kita bahwa doa adalah bentuk dari ibadah,
bahwa doa ini adalah inti atau otak ibadah. Ini membuktikan bahwa doa adalah
sebagian dari ibadah yang perlu kita amalkan dalam kehidupan seharian.
Dalam sebuah hadis, Rasulullah pernah bersabda, “Doa adalah hakikat
ibadah” lalu Rasulullah membaca ayat di bawah ini. Demikian artinya,
“Dan Allah berfirman, “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan
Kuperkenankan bagimu. “sesungguhnya orang – orang yang menyombongkan diri
dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahanam dalam keadaan hina dina
(Ghfir: 60)1. Penegasan ini menunjukan bahwa hakikat doa adalah sebuah ibadah,
sedangkan enggan berdoa kepada Allah mengandung isyarat sebuah bentuk
kesombongan.
Imam Ibnul Qoyim pernah menegaskan sebagai berikut:
“Doa itu termasuk obat yang paling bermanfaat. ia adalah penangkal
musibah yang bisa menolak, mengatasi, dan menahannya sebelum terjadi ataupun
meringankan jika memang sudah terjadi. selain itu doa adalah senjata insan
mukmin.2Perumpaan doa adalah senjata yang dipakai untuk melawan musuh,
mengandung makna ketenangan dan ketentraman, para ulama menegaskan seakan
– akan orang yang berdoa itu sedang berperang melawan musibah dan bencana
yang melanda, serta dampak negatif apa pun yang dikhawatirkan akan terjadi.
1Ibrahim M. Hasan, Dahsyatnya Doa Untuk Kesembuhan, ( Surakarta: Ziyad, 2012), h. 20
2Ibid., h.22
66
Selain doa, bentuk ibadah ataupun ritual lainya dalam umat Islam adalah
membaca Al –Qur‟an. Penyair, pada puisi“Rubaiyat Matahari” menyadari betapa
pentingnya membaca kitab suci tersebut untuk sekedar melepas rindu pada sang
pencipta. Penyair sendiri sadar bahwa kecintaanya pada sang pencipta tidaklah
akan habis.
Penyair dalam usaha membaca dan mendengar Al – Qur‟an tidak hanya
sebatas mendengar irama nan indah tanpa ada usaha internalisasi atau usaha
memahami kandungan nila dari bacaan tersebut. Kata kuncinya adalah
perenungan, atau kehendak yang diikuti usaha yang kuat untuk menyingkap
makna yang dikandungya.
“dari rindu ke rindu aku pun mengaji
tak tamat – tamat membaca cinta di aliflammim puisi”
Berikut disebutkan beberapa keterangan dari Rasulullah tentang
keutamaan membaca Al – Qur‟an:“Dengan membaca Al Qur‟an, Allah
meninggikan sebagian manusia dan merendahkan sebagian manusia lain”. (H. R.
Muslim)”.3
Kerinduan penyair dalam puisi “Rubaiyat Matahari” menunjukan
pehaman yang berkaitan dengan kompleksitas ilmu yang ada dalam Al Qur‟an,
mampu melihat keunggulan dan keutamaan dari segala aspeknya serta
menuturkan kecintaanya pada sang pencipta hingga menciptakn kerendahan hati
penyair itu sendiri, penyair tahu bahwa dalam hidupnya Allah lah yang
memberikan mukzizat serta nikmat atas segala hal yang ada di dunia ini.
Menurut Daradjat, terdapat ruang lingkup psikologi agama dengansalah
satunya yaitu pengaruh ayat-ayat Al-Qur‟an terhadap orang
yangmempercayainya, baik setelah membacanya atau mendengar ayat-ayat
tersebut.4 Mempercayai ayat-ayat suci Al-Qur‟an kemudianmengaplikasikannya
di dalam hidup kita merupakan suatu hal yang baik. Karena setiap firman Allah
adalah kebenaran.
3Ahmad Izzan, A. Abdul Qodir, Bersedihlah, (Bandung: Arkan Publishing, 2012), h. 8
4 Heny Narendrany Hidayati dan Andri Yudiantoro, Psikologi Agama, (Jakarta: UIN Jakarta
Press, 2007), h. 11
67
Inilah Al – Qur‟an, penyair mengetahui betapa berpengaruhnya membaca
Al – Qur‟an terhadap segala aspek kehidupanya, maka penyair membuat tokoh
aku pada puisi “Rubaiyat Matahari” yang tak pernah henti dan bosan membaca
Al – Qur‟an “tak tamat – tamat membaca cinta di aliflammim puisi”
Firman Allah“Karena sesungguhnya apa yang kamu sembah itu adalah
musuhku, kecuali Rabb semsta alam, (yaitu Allah) yang telah menciptakan aku,
maka Dialah yang menunjuki aku, dan Rabbku, yang Dia memberi makan dan
minum kepadaku. Dan apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkan aku, dan
yang akanmematikan aku, kemudian akan menghidupkan aku (kembali).” (asy –
Syu‟ara :77 – 81 ).5
Sesuai dengan kandungan ayat tersebut dengan membaca Al – Qur‟an
terdapat ayat suci yang menjadi dalil sekaligus mengandung nasihat bagi siapa
pun yang benar – benar mamanfaatkan hati yang dimilikinya serta memperhatikan
dengan seksama, baik dengan telinga dan mata, sudah jelas bahwa Allah adalah
sang pencipta sekaligus Zat yang memberi hidayah menuju jalan lurus. Dialah Zat
yang memberi makan dan minum seluruh jenis makhluk hidup di dunia ini.
b. Nilai Ideologis
Nilai ideologis adalah seperangkat kepercayaan (belief) yang memberikan
premis aksistensial yang menilai manusia, lebih tepatnya merupakan subjek
sekaligus objek dan harus mencari kebenaran hidup secara aktif dan autentik.
Manusia mencari sejumlah makna bagi hidup mereka.Selain itu ideologi
membentuk identitas kelompok ataupun individu dalam seperangkat kepercayaan.
Pada puisi “Rubaiyat Matahari”,nilai ideologis tersebut dilekatkan pada
tokoh aku yang menjadi cerminan atapun pembawa seperangkat kepercayaan
agama Islam.
“Dengan bismillah berdarah di rahim sunyi
kueja namamu di rubaiyat matahari
kau dengar aku menangis sepanjang hari
karena dari November – Desember selalu lahir januari”
5Ibrahim M. Hasan, Dahsyatnya Doa Untuk Kesembuhan, (Surakarta: Ziyad Books, 2012), h.75
68
Penyair berdasarkan larik tersebut membuka sebuah puisi dengan kata
“Bismillah”yaitu dengan menyebut nama Allah. Bagi umat Islam membaca
bismillah memang diperintahkan oleh Nabi Muhammad SAW ketika kita hendak
memulai aktivitas yang baik.Sabda Nabi, "Segala sesuatu (aktivitas yang baik)
yang tidak dimulai dengan bismillah, akan terputus (nilai keberkahannya)".(HR
Al-Bukhari dan Muslim).6Membaca bismillah memberikan motivasi dan spirit
keTuhanan untuk 'menghadirkan' dan 'mengikutsertakan' Tuhan dalam kehidupan
kita.
Penyair pun sadar betul bahwa kata bismillah adalah gerbang menuju
keikhlasan dan harapan mulia, yaitu meraih mardhatillah (ridha
Allah).Membiasakan membaca bismillah sama dengan belajar untuk tidak
melupakan Allah.
"Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang melupakan Allah, lalu
Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-
orang yang fasik."(QS.Al-Hasyr59:19). Setiap Muslim pasti pernah membaca
bismillah atau bismillahirrahmanirrahim. Selain menjadi bacaan rutin atau harian,
bismillah juga merupakan bacaan mulia yang didesain Allah SWT sebagai bacaan
pembuka semua surat dalam Alquran kecuali surat at-Taubah atau al-Bar‟ah.
Menurut Bediuzzaman Said Nursi dalam karya monumentalnya, Rasail an-
Nur, bismillah itu bacaan yang supermulia sehingga Allah SWT memilihnya
sebagai bacaan pembuka bagi Kitab Suci-Nya, Alquran. Menurutnya, bismillah
memiliki tiga keagungan, yaitu:7
Pertama keagungan Uluhiyyah, (KeTuhanan). Semua mahkluk bersandar,
bergantung, dan memerlukan pertolongan-Nya. Menyebut “Dengan nama Allah
yang Maha pengasih dan Maha penyayang,” berarti meyakini sepunuh hati, Allah
SWT adalah sumber kehidupan, poros kebajikan, tujuan pengabdian, dan muara
segala nilai keberkahan.
6Damanhuri Zuhir, Keagungan Bismillah, di unggah pada tanggal 17 April 2013, pukul 17:22
WIB, (http://www.republika.co.id/berita/dunia-Islam/hikmah/13/04/17/mlea68-keagungan-
bismillah). 7ibid.
69
Kedua, keagungan rahmaniyyah (kasih). Melafalkan bismillah merupakan
doa bagi Muslim untuk memperoleh kasih-Nya yang tak terbatas. Bismillah
menjadi pintu tercurahnya rahmat Allah dalam menggapai kebahagiaan hidup ini.
Ketiga, keagungan rahimiyyah (kasih sayang). Jika kasih Allah diberikan
kepada semua makhluk-Nya, kasih sayang-Nya hanya diberikan kepada Muslim,
terutama di akhirat kelak.Bismillah menumbuhkan keyakinan kasih sayang Allah
itu mengatasi segalanya, sehingga hanya Allah-lah yang akan memberi ampunan
dan pertolongan pada hari perhitungan (yaumul hisab) nanti. mengucapkan
bismillah, Muslim diingatkan agar selalu beristighfar kepada-Nya karena Allah
Mahapengampun dan Mahapenyayang.
Pada puisi “Rubaiyat Matahari”, penyair sadar betul dengan meletakan
kata “Bismillah” yang didahulukan pada awal larik. Rahasia penting peletakan
“bismillah” erat kaitanya dengan “la ilahailla Allah”, yang pada giliranya menjadi
“bismillah” menjadikan Allah sebagai sebab utama dalam setiap tindakan.
Penyair dengan gamblang dalam proses penghambaanya telah
mendeklarasikan nama teragung dalam alam semesta yang menunjukan satu dari
sekian tanda bukti dan penghambaanya pada Allah satu – satunya yang memiliki
hak mempunyai pujian, nama termulia yang pernah ada, penguasa langit dan
bumi , Allah yang disembah oleh alam semesta.
c. Nilai Eksperiensial
Nilai Eksperensial adalah keterlibatan emosional dan sentimental pada
pelaksanaan ajaran agama, yang membawa pada religious feeling. Perasaan
religius, yaitu perasaan yang berkenaan dengan agama atau kepercayaan.
Seseorang akan merasa tenteram dan damai jika mereka rajin beribadah, rajin
melakukan perbuatan baik sesuai dengan kehendak Tuhan. Pada puisi “Rubaiyat
Matahari” keterlibatan emosional tertpatri pada tokoh aku yang diciptakan oleh
penyair.
“batu karam perahu karam
tenggelam di rahang lautan
darahku bergaram darahmu bergaram
menyeduh asin doa di cangkir kehidupan”
70
Pada larik tersebut, penyair memberikan sebuah proses penggaraman
dalam hidup, penggaraman tersebut adalah hasil dari reaksi “batu karam, perahu
karam”. Proses penggaram memberikan tanda bahwa dalam hidup selalu ada aksi
dan reaksi, garam pada larik tersebut menunjukan pemberian rasa pada hidup
yang menggiring tokoh “aku” pada fase mencurahkan isi hatinya melalui doa.
Emosi manusia memainkan peran penting dalam kehidupan.Hal ini
wajar, tetapi kita semua menyadari bahwa kadang-kadang emosi mampu
mengacaukan pemikiran orang , sehingga dapat melakukan hal-hal yang tidak
seharusnya. M. Tairas (1990) dalam tulisannya yang berjudul “when a person
mature?” mengatakan:“Bahwa individu yang matang emosinya mampu
mengendalikan rangsangan-rangsangan yang muncul dengan sendirinya. Ketika
reaksi emosi muncul, maka individu berusaha menahan dan menunda reaksi emosi
tersebut sampai menemukan saat yang tepat. Sementara, Endah Puspita Sari dan
Sartini Nuryoto (2002) mengemukakan bahwa kematangan emosi adalah
kemampuan untuk mengekspresikan perasaan yang ada dalam diri secara yakin
dan berani.8"
Emosi juga berfungsi sebagai pembangkit energi yang memberikan
kegairahan dalam kehidupan manusia. Selain itu, emosi juga merupakan
pembawa pesan. Berdasarkan larik tersebut penyair memberikan perasaan religi,
yang menjadikan tokoh aku mengeluarakan curahan hatinya melalui sebuah doa.
d. Nilai Intelektual
Nilai intelektual berkaitan dengan pengetahuan agama.Seberapa jauh
tingkat melek agama pengikut agama yang bersangkutan, Tingkat ketertarikan
penganut agama untuk mempelajari agamanya.Islam merupakan agama rahmatan
lil „alamin, ia sangat menekankan umatnya agar menjadi umat yang unggul dalam
segala bidang sehingga bentuk kesucian dan keagungan Islam termanifestasi lewat
keluhuran umatnya.Oleh karena itu tidak heran bila terdapat banyak ayat al-
Qur‟an yang menyerukan kepada penggunaan akal, seperti “afala ta’qiluun, afala
8Administrator, Kematangan Emosi dan Faktro – Faktor Yang Mempengaruhinya, di unggah pada
tanggal 12 September 2013, 10:26 WIB, (http://www.yai.ac.id/karyailmiah-upi-42-kematangan-
emosi-dan-faktorfaktor-yang-mempengaruhinya.html)
71
tatafakkaruun, la’allakum ta’qiluun, la’allakum tadzakkaruun.”Bahkan ayat
pertama yang diturunkan adalah iqra‟ (baca). Ini menunjukkan bahwa Islam
sangat peduli terhadap peningkatan intelektualitas umatnya.
“dengan bismillah berdarah di rahim sunyi
kueja namamu di rubaiyat matahari
kau dengar aku menangis sepanjang hari
Karena dari november-desember selalu lahir januari”
Pada larik di atas, penyair melalui sosok “aku” mengalami proses
pembelajaran dalam hidupnya. Sosok aku yang dilukiskan sebagai sosok yang
mencoba mendalami pengetahuan dan penghayatanya terhadap apa yang ia yakini.
“Kueja namamu di rubaiyat matahari”, kata “kueja” dalam larik tersebut adalah
pengambaran sosok “aku” yang masih mecoba belajar membaca dengan walau
mengalami hambatan.Mengeja bukan berarti bisa membaca, tetapi berlatih untuk
bisa membaca kebesaran sosok “kamu” dalam larik tersebut.
Perintah membaca juga mengandung pemaknaan untuk menalar dan
memahami jejak-jejak Tuhan yang memuliakan manusia dengan ilmu.Dengan
membaca, Allah mengaruniakan kepada manusia berbagai macam ilmu yang tidak
pernah diketahui sebelumnya. Dengan ilmu tersebut, Allah memuliakan umat
manusia.9
e. Nilai Konsekuensial
Nilai konsekuensial merupakan implementasi sosial dari pelaksanaan
ajaran agama sehingga dapat menjelaskan efek ajaran agama terhadap etos kerja,
kepedulian, persaudaraan, dan lain sebagainya. Dua aspek yang pertama tersebut,
menurut Rahmat merupakan aspek kognitif keagamaan. Dua yang terakhir
9Sri Handayani, Menggapai Kemuliaan dengan Membaca, di unggah pada tanggal 19 Februari
2016, 11:00 WIB, (http://www.republika.co.id/berita/koran/dialog-jumat/16/02/19/o2s0g7-
menggapai kemuliaan-dengan-membaca)
72
merupakan aspek behavioral, dan yang lainnya merupakan aspek afektif
keberagaman.
“dari pintu ke pintu ketukanku kembali
tak lelah – lelah mencari januari di reremang pagi
dari rindu ke rindu aku pun mengaji
tak tamat tamat membaca di alimlammin puisi”
Berdasarkan larik di atas, penyair menggambarkan aspek
konsekuensionalnya melalui kata kunci “tak lelah – lelah”, hal tersebut
menunjukan bahwa dalam Islam berkaitan dengan etos kerja ataupun dalam hal
usaha.
Islam mendidik kita semua agar bekerja sekeras kerasnya dan tidak
menimbulkan kerugian pada diri orang lain. Di samping itu pribadi pantang
menyerah (tangguh) adalah tidak lain sebutan bagi pribadi yang tidak merasa
lemah terhadap sesuatu yang terjadi dan menimpanya.
Hal tersebut pun dipertegas kembali oleh penyair, dengan mengatakan
“dari rindu – kerindu aku pun mengaji, tak tamat tamat membaca di alimlammin
puisi”. larik tersebut memberikan sebuah pesan tersirat bahwa jika kita memiliki
sebuah cita cita maka terusalah berusaha dengan tidak mengesampingkan sisi
batin dan iman kita.
2. Religiositas pada puisi “Bernafaslah Pada Ombak”
Salah satu peran karya satra memberikan pesan moral yang berwujud nilai
religius. Nilai sangat mempengaruhi prilaku dan tindakan manusia baik yang
dilakukan secara perorangan maupun kelompok. Religiositas dalam karya sastra
sangat diperlukan karena sastra tumbuh dari sesuatu yang bersifat religius.
Dengan adanya nilai religius, dapat memberi kesadaran batin untuk membuat
kebaikan, dan perlu ditanamkan kesadaran tentang pemahaman dan penghayatan
terhadap nilai religius terutama pada zaman globalisasi sekarang ini sangat
diperlukan sebuah karya fiksi berupa novel atau roman memiliki nilai religius
sebagai pembangun iman. Karya sastra dapat digunakan untuk membentuk sikap
73
dan kepribadian yang matang dan dewasa. Sastra juga merupakan sarana untuk
menanamkan kesadaran dan penghayatan tentang nilai-nilai kemanusiaan secara
mendalam. Berbeda dengan puisi Rubaiyat Matahari”, pada puisi Bernafaslah
Pada Ombak hanya terdapat dua nilai relgiusitas, yaitu:
a. Nilai Ibadah
Banyak pemahaman orang tentang hakikat dan makna ibadah,ada yang
memandang bahwa ibadah itu adalah sebagai sebuah persekutuan yang melakukan
ritus ditempat – tempat tertentu.Ada juga yang memandang bahwa ibadah hanya
sebagai sebuah kegiatan liturgis pada waktu – waktu tertentu, dan ada juga yang
mangatakan bahwa adalah urusan pribadi dengan Tuhanya.
Pada dasarnya ibadah sendiri merupakan praktek agama, sebuah kegiatan
pengahambaan pada sang pencipta. Di Indonesia sendiri, sejak zaman pra-sejarah
sudah berkembang berbagai agama dan kepercayaan, baik agama asli seperti
animisme, dinamisme, maupun agama impor yang dibawa oleh pendatang dari
Barat maupun Timur.Agama-agama ini dibawa melalui jalur perdagangan, politik
imperialisme, dan misi agama (gold, glory, and gospel). Semenjak itulah agama-
agama yang ada di Indonesia terus berkembang dan diikuti oleh semakin
bertambahnya jumlah para pemeluk, hingga saat ini tak kurang ada enam agama
resmi yang diakui oleh negara yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan
Konghuchu, ditambah dengan bermacam-macam aliran/sekte lainnya. Meskipun
demikian situasi kerukunan umat beragama di Indonesia relatif terpelihara dengan
baik.10
Hal tersebut menunjukan betapa banyaknya variasi agama di Indonesia
yang berarti menunjukan perbedaan ritual pada setiap agamanya.
Dalam puisi “Bernafaslah Pada Ombak” nilai ibadah/ritualistik erat
kaitanya dengan Shalat dalam agama Islam, hal itu dikarenakan latar belakang
penyair yang memiliki identitas sebagai pemeluk agama Islam.
Penyair sebagai seorang sastrawan religius tentu saja tidak ingin
melepaskan karyanya dari aspek yang bisa mendekatkan diri dengan dengan sang
Tuhan.Kedekatan dengan sang Tuhan, penyair ciptakan salah satunya melaui
10
Agus Saputra, Kebijakan dan Strategi Kerukunan Umat Beragama di Indonesia, di Unggah pada
14 Maret 2016, (http://riau1.kemenag.go.id/index.php?a=artikel&id=499)
74
kegiatan ritualistik yang dibawa dan disampaikan melalui karya yang ia ciptakan.
dalam puisi “Bernafaslah Pada Ombak”, penyair mengatakan “Menenggak air
sembahyang dari cangkir cangkir kecemasan”.kata kunci “sembahyang” tersebut
tentunya berkaitan dengan cara peribadatan atau ritual yang berkaitan dengan
identitas agama penyair, yaitu Islam dan ritual yang ada dalam agama Islam salah
satunya shalat.
Shalat merupakan salah satu kewajiban bagi kaum muslimin yang sudah
Mukallaf dan harus dikerjakan baik bagi mukimin maupun dalam
perjalanan.Shalat itu sendiri menjadi salah satu sarana komunikasi antara hamba
dengan Tuhannya sebagai bentuk, ibadah yang di dalamnya merupakan amalan
yang tersusun dari beberapa perkataan dan perbuatan.Shalat sebagai ajaran
potensial, dicirikan dengan kesakralan upacara pelaksanaanya. Secara legal –
formal dan normatif fikih, sebelum melakukannya, kita harus memenuhi sejumlah
persyaratan dan rukun – rukun tertentu.
Sebuah Hadist mengatakan, “Sesungguhnya yang pertama kali dihisab dari
amal seorang hamba di hari kiamat adalah shalatnya. Maka apabila shalatnya baik,
menangla dia terbebas dari siksa Allah. Dan apabila rusak shalatnya, sungguh
rugila dia serta sia sia (gugur) amalanya.” (HR Abu Dawud).11
Pada puisi “Bernafaslah Pada Ombak,”ada penggambaran kegelisahan
serta kecemasan yang diutarakan oleh penyair “Menenggak air sembahyang dari
cangkir - cangkir kecemasan”,kecemasan pada larik tersebut coba di atasi dengan
menenggak “air sembahyang”. Hal tersebut cukup beralasan karena pada dasarya
kegelisahan kecemasan adalah masalah psikologis seseorang terhadap reaksi yang
ada dilingkungan sekitaranya, maka salah satu solusi untuk mententramkan hal
tersebut bisa dengan cara mendekatkan diri dengan Allah melalui sembahnyang.
“Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.” (Ar- Ra‟d: 28).
Penyair sadar dalam kecemasan ia harus tetap tegak dan tidaklah runtuh
oleh kecemasan itu sendiri, maka yang dilakukan yaitu “menenggak air
sembahyan” agar ia tetap kokoh pada keyakinanya. Ia tahu bahwa shalat sendiri
menempati posisi strategis dan potensial sebagai salah satu ajaran pokok.
11
Kasmadi, “Sungguh Shalat Itu Indah”, (Depok : Gema Insani, 2011), hlm. 13
75
Seseorang yang melaksanakan shalat berarti sedang membangun kekokohan
agama, sebaliknya jika meninggalkanya secara terang – terangan, pelan tapi pasti,
orang tersebut berarti tengah merobohkan bangunan agamanya.
Diriwayatkan dari Abdullah bin Al Syukahair r.a, ia berkata, “Aku pernah
melihat Rasulullah sedang shalat. Dari dadanya terdengar seperti ada suara air
mendidih dan dipanaskan di atas tungku perapian, bergolak, disebabkan beliu
menangis. (H.R. Ahmad dan Ibnu Al Mubarak)”12
b. Nilai Ideologis
Ideologi adalah sebagai suatu nilai yang menyeluruh dan mendalam
tentang bagaimana cara yang sebaiknya, yaitu secara moral dianggap benar dan
adil, mengatur tingkah laku bersama dalam berbagai segi kehidupan. Selain itu
masing - masing dari individu pastilah memiliki ideologi yang ia jadikan sebagai
pandangan hidup.
Setiap orang biasanya memiliki bayangan tentang suatu keadaan yang
ideal. Itu artinya ideologi bukanlah sekadar pengetahuan teoritis belaka, tetapi
merupakan sesuatu yang dihayati menjadi suatu keyakinan. Ideologi adalah satu
pilihan yang jelas menuntut komitmen untuk mewujudkannya. Semakin
mendalam kesadaran ideologis seseorang semakin tinggi pula rasa komitmentnya
untuk melaksanakannya. Komitmen itu tercermin dalam sikap seseorang yang
meyakini ideologinya sebagai ketentuan-ketentuan normatif yang harus ditaati
dalam hidup.
Dalam puisi “Bernafaslah Pada Ombak”, penyair memberikan ideologi
atau pandangan hidupnya pada larik larik yang bermakna deklaratif seperti;
“bernafaslah pada ombak. Karena danau terlanjur
Menyimpan buih. Membendung gelombang zaman
dan menghanyutkan doa.”
Pada larik tersebut penyair menyuarakan pendapat sekaligus mengajak
pada sebuah perenungan mendalam, dalam proses perenungan tersebut penyair
12
Ahmad Izzan, A. Abdul Qodir, “Bersedihlah”, (Bandung, Arkan Publishing, 2008), h. 23
76
seolah tetap tidak ingin melepaskan kedekatanya dengan Sang Pencipta yang
berarti menunjukan bahwa, penyair sendiri dalam puisi menunjukan ideologi atau
pandangan hidupnya yang tidak ingin terlepas dari eksistensi Tuhan melalui kata
“doa”.
دعىة الداع إذا دعان و إذا سألك عبادي عن فئن قريب أجيب
فليستجيبىا ل وليؤمنىا ب لعلهم يرشدون
“Dan jika hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah)
sesungguhnya Aku adalah dekat. Aku mengijabah doa orang yang bedoa bila ia
berdoa kepada-Ku. Maka hendaknya mereka memenuhi (seruan)Ku dan
hendaknya mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam
bimbingan.” (Al-Baqarah: 186).
Pada buku kumpulan puisi “Garam – Garam Hujan”, dalam beberapa
puisinya selalu menyertakan kata “doa” diantaranya puisi “Di Irak Bahkan Doa
Pun Remuk”, “Rubaiyat Matahari”, “Di Batu – Batu Nisan Aksara Menua
Sendiri”, hal ini menegaskan bahwa penyair sendiri adalah sosok penuh
pengharapan pada sang Maha Kuasa mencoba berinteraksi dengan memperbanyak
doa dan hal itu menunjukan kerendahan hatinya pada pencipta. Imam al – Hakim
dalam kitab al – Mustadrak dari Salman al – Farisi meriwayatkan Rasulullah yang
pernah bersabda, “Barangsiapa yang merasa senang dikabulkan doanya oleh Allah
saat menderita dan ditimpa musibah, maka hendaklah mau memperbanyak doa
saat bahagia.”13
Munculnya kata “doa” dalam beberapa puisi pada buku kumpulan puisi
“Garam – Garam Hujan”, menunjukan bahwa kepasrahan penyair dalam gelisah
dan bahagianya, penyair tidak tidaklah lupa pada Tuhanya, itu berarti Munculnya
kata “doa” pada puisi puisinya memberikan gambaran ketidakingkaranya pada
Tuhan,
“Dan apabila Manusia ditimpa bahaya, dia berdoa kepada Kami dalam
keadaan berbaring, duduk, atau berdiri, tetapi setelah Kami hilangkan bahaya itu
darinya , dia kembali melalu jalanya yang sesat, seolah – olah dia tidak pernah
13
Ibrahim M.Hasan, Dahsyatnya Doa Untuk Kesembuhan, (Surakarta: Ziyid Books, 2012), h.26
77
berdoa kepada Kami untuk menghilangkan bahaya yang telah menimpanya.
Begitulah orang – orang yang malampaui batas itu memandang baik apa yang
selalu meraka kerjakan.” (yunus: 12).14
Doa merupakan suatu bentuk komunikasi antara manusia dengan Tuhan.
Baik dalam meminta petunjuk dan kekuatan, maupun menuangkan keluh
kesahnya yang terjadi di kehidupannya terhadap Allah ataupun memohon
ampunan dalam menjalankan hidup, terasa akan lebih baik jika kita berlandaskan
ajaran Tuhan yang disampaikan melalui agama yang kita yakini. Berikut ini
kutipan yang berisikan pelajaran hidup yang mengajarkan hidup dengan berlandas
agama
Seorang manusia yang hidup di bumi Allah yang Maha Pemurah lagiMaha
Penyayang, setiap detik kehidupannya dapat mendekatkan hatinya kepada Allah,
memohon petunjuk dan kekuatan dalam kehidupan setiap hari dan manusia
punberhubungan langsung kepada Allah tanpa perantara manusia untuk berdoa
kepada Tuhannya.15
B. Implikasi Religiositas Pada Puisi “Rubaiyat Matahari dan “Bernafaslah
Pada Ombak” dengan Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia
Kurikulum 2013 adalah kurikulum operasional yang disusun oleh dan
dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan. Kurikulum 2013 menjelaskan
bahwa pusat pembelajaran lebih mengarah kepada siswa, bukan hanya pada
seorang pendidik. Maka dari hal tersebut, pembelajaran setiap mata pelajaran
lebih mengarah kepada siswa walaupun guru ikut berkontribusi. Pembelajaran
sastra di sekolah diprogramkan oleh pihak kurikulum ataupun sekolah untuk
membina daya potensi kreativitas siswa, baik dalam ketenangan mental, sikap
yang baik, maupun kreativitas berpikir siswa. Apabila pembelajaran berjalan
dengan baik, maka program yang dicanangkan akan teraplikasikan di dalam
keseharian siswa dan membuat mereka menjadi manusia yang memiliki daya cipta
di kehidupan.
14
ibid., h.27 15
Huston Smith, Agama-Agama Manusia, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008), Cet. 8,
Diindonesiakan oleh Saafroedin Bahar, h. 272
78
Melalui pembelajaran sastra, seorang siswa akan lebih terbina pada hal
emosional atau ekspresi, kreativitas, dan sensitivitas atau daya tangkap mereka
selain potensi yang mereka miliki. Tujuan pembelajaran sastra yang
mengharapkan siswa dapat menuangkan daya imajinasi mereka ke dalamsebuah
wadah, searah dengan Kurikulum 2013. Maka, siswa dapat membuat cerpen,
puisi, pantun, atau pun teks drama berdasarkan luapan ekspresi mereka yang
diarahkan dengan baik oleh pembelajaran sastra.
Dalam pembelajaran terkadang terdapat sikap siswa yang tidak
diharapakan terjadi. Oleh karena itu, pada pembelajaran sastra dibutuhkan nilai -
nilai kehidupan yang diajarkan dan diaplikasikan kepada murid melalui media
sastra. Salah satunya yaitu religiositas. Nilai kehidupan yang terdapat dalam karya
sastra direlevansikan dengan pembelajaran siswa di sekolah. Ini bertujuan untuk
mengetahui arti penting nilai kehidupan pada karya sastra jika diterapkan di dalam
pembelajaran.
Relevansi dapat diartikan yakni memiliki hubungan atau keterkaitan
terhadap suatu hal.Relevansi representasi religi berarti terdapat keterkaitan religi
di dalam pembelajaran sastra. Sehingga hal-hal tentang religiositas dapatdijadikan
salah satu bahan untuk pembelajaran. Pada penelitian ini, representasi religiositas
pada puisi “Rubaiyat Matahari dan “Bernafaslah Pada Ombak”karya Jama D
Rahman direlevansikan dengan pembelajaran Bahasa dan SastraIndonesia di
SMA.
Representasi religiositas pada puisi “Rubaiyat Matahari” dan
“Bernafaslah Pada Ombak”banyak mendeskripsikan hal religiositas yang dapat
diambil hikmahnya, baik. Religiositas yang terdapat di dalam puisi tersebut, patut
untuk diaplikasikan oleh para masyarakat terutama guru bahasa Indonesia, karena
religiositas memberikan pesan-pesan yang positif dengan kegiatan sehari-hari
sebagai contohnya, sehingga membangun pribadi siswa lebih baik. Oleh karena
itu, representasi religi dapat direlevansikan dengan pembelajaran sastra pada
tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) yaitu pada aspek membaca, terutama
karya sastra yang mengandung religiositas.
79
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap dua puisi karya
Jamal D. Rahman, yaituRubaiyat Mataharidan Bernafaslah Pada Ombak, maka
dapat diambil beberapa simpulan, yaitu:
1. Dalam puisi Rubaiyat Matahari karya Jamal D. Rahman terdapat lima
aspek kereligiositasan yaitu, aspek ideologis, Ritualistik, ekserensial,
intelektual dan konsekuensial. sedangkan dalam puisi Bernafaslah Pada
Ombak hanya terdapat dua aspek yaitu aspek ritualistik dan ideologis
2. Secara bentuk, puisi Rubaiyat Matahari terdiri dari sepuluh bait dan
setiap baitnya terdiri dari empat baris. Gaya bahasa yang digunakan Jamal
D. Rahman dalam puisi ini cenderung naratif dan banyak dijumpai larik-
larik yang mengandung diksi-diksi yang formal. Bait pertama, dimulai dari
larik pertama sampai dengan larik keempat yang mengacu pada penegasan
eksistensi aku- lirik beserta Tuhan pada puisi ini atau yang disebut dengan
subjek- lirik. Secara singkat, dapat dikatakan tema pada puisi ini adalah;
Religiositas seseorang yang mengaggumi kebesaran Tuhanya, dan amanat
yang dapat diambil dari keseluruhan puisi ini adalah agar bagaimana kita
sebagai manusia seharusnya sadar bahwa Tuhan selalu ada dalam setiap
tingkah dan laku yang kita lakukan, eksistensi Tuhan tidaklah terbantahkan
dalam kehidupan sehari – hari.Sedangkan dalam puisi yang berjudul
Bernfaslah Pada Ombaksecara bentuk, terdiri atas 12 larik dari 2 bait.
Penyair menggunakan alam sebagai metafordengan mengahadirkan benda-
benda sebagai sejumlah entitas yang akrab dan berbicara kepada penyair.
Seperti benua yang menangis.Amanat dalam puisi Bernafaslah Pada
Ombak mengajari kita bahwa dibalik semua kehidupan selalu ada yang
menghidupkan. jika pada larik pertama nafas di ibaratkan sebagai sumber
80
kehidupan manusia, maka ombak pun adalah sesuatu yang menjadikan laut
hidup hingga ia terlihat berbeda dengan danau.
3. Pada puisi yang berjudul Bernafaslah Pada Ombak melukiskan
gambaran keintiman meditatif penyairnya tentang keprihatinan bathin
manusia yang selalu melupakan dunia di mana mereka hidup dan berada,.
Sedangkan dalam puisi yang berjudul Rubaiyat Mataharterdapat semacam
gambaran mengenai keeksistensian Tuhan dan kerinduan serta kegelisihan
tokoh aku pada Tuhannya
B. Saran
Saran yang dapat penulis sampaikan melalui penelitian ini berdasarkan
analisis dan implikasi adalah sebagai berikut:
1. Guru dalam pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia sudah semestinya
meningkatkan minat baca peserta didiknya terhadap karya sastra yang
bermutu dan memberi tugas kepada peserta didiknya untuk membaca dan
meresapi religiositas yang terdapat dalam karya sastra yang dibacanya
dengan fenomena- fenomena yang terjadi dalam kehidupan nyata.
2. Selain menanamkan nilai moral, guru dalam pelajaran sastra dituntut
untuk dapat menuntun peserta didiknya agar menangkap fenomena -
fenomena sosial seperti apa saja yang terekam dalam karya sastra, dan
diharapkan puisipuisi karya Jamal D. Rahman bisa dijadikan sebagai
bahan ajar dalam pembelajaran Bahasa dan Sasrtra Indonesia di sekolah-
sekolah.
3. Selain guru, orang tua juga sudah selayaknya meningkatkan minat baca
anaknya terhadap karya sastra yang bermutu dan memberikan pengarahan
yang baik untuk pembentukan karakter anak.
81
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Taufik. Metodelogi Penelitian Agama. Yogyakarta: Tiara Wacana
Yogya, 1989.
Administator. “Kematangan Emosi dan Faktor – Faktor yang Mempengaruhinya.
http://yai.ac.id/karyailmiah-upi-42-kematangan-emosi-dan-faktor-yang-
mempengaruhinya.html
Ainun Nadjib, Emha. Budaya Tanding. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995.
Alwi, Hasan. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi ketiga. Jakarta: Balai Pustaka,
2005.
Ar-Rifai, Usamah. Tafsirul Wajiz. Depok: Gema Insani, 2008
B. Mangunwijaya, Yusuf. Sastra dan Religiositas. Yogyakarta: Kanisius, 1988.
Budianta, Melani. Membaca Sastra. Magelang: Indonesia Tera, 2006.
Djoko Pradopo, Rachmat. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 1987.
D. Rahman, Jamal. Garam – Garam Hujan. Yogyakarta: Hikayat Publishing,
2004
D. Rahman, Jamal. “Sastra Pesantren dan Radikalisme Islam”
http://jamaldrahman.wordpress.com/2008/10/25/sastra-pesantren-dan-
radikalisme-islam diunduh 07 Februari 2016
D. Rahman, Jamal. “Merindukan Imajinasi Indonesia”
http://jamaldrahman.wordpress.com/2016/02/08/merindukan-imajinasi-indonesia
diunduh 26 juni 2016
D. Rahman, Jamal. Reruntuhan Cahaya. Yogyakarta: Bentang Budaya, 2003.
Endraswara, Suwardi. Metodelogi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Medpress,
2003.
Esten, Mursal. Sastra Indonesia dan Tradisi Subkultural. Bandung: Angkasa,
1982.
82
Handayani, Sri. Menggapai Kemuliaan dengan Membaca.
http://republika.co.id/berita/koran/dialog-jumat/16/02/o209g7-menggapai
kemuliaan-dengan-membaca diundung 07 Februari 2016
Http://horisononline.or.id/esai/multikulturalime-dan-kemungkinan-sastra-
indonesia diunduh 26 Juni 2016
Izzan, Ahmad. Bersedihlah. Bandung: Arkan Publishing, 2008.
Kasmadi. Sungguh Shalat itu Indah. Jakarta: Gema Insani, 2011
Keraf, Gorys. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996.
Kutha Ratna, Nyoman. Teori, Metode, Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2004
Mulyono, Edi. Belajar Hermeneutikka. Yogyakarta: Ircisod, 2012
M.,Hasan, Ibrahim. Dahsyatnya Doa Untuk Kesembuhan. Surakarta: Ziyad
Books, 2012
M.,S, Sugihastuti. Teori Apresiasi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002
Nurgiyantoro, Burhan. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 1995
Priliawito, Eko. “Anak Indonesia Mendekam di Penjara”
http://metro.news.viva.co.id/news/read273781-4-662-anak-indonesia-mendekam-
di-penjara diunduh 07 Februari 2016
Pujiono, Muhammad. “Analisis Cerita Nilai – Nilai Religius dalam Cerita Pendek
Karya Mizawan Kenzi http://repository.usu.id/bitstream diunduh 07 Februari
2016
Rahmanto, B. Metode Pengajaran Sastra, Yogyakarta: Kanisius 1988
Saputra, Agus. “Kebijakan dan Strategi Kerukunan Umat Beragama di Indonesia”
http://riau1.kemenag.go.id/index.php?a=artikel&id=449
Sastrowadoyo, Subagio. Sekilas Soal Sastra dan Budaya. Jakarta: Balai Pustaka,
1999.
Siswanto, Wahyudi. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Grasindo, 2008
83
Siswantoro. Metode Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajara, 2010
Wellek dan Austin. Teori Kesusastraan. Jakarta: Gramedia, 1989.
Zuhir, Damanhuri. “Keagungan Bismillah” http://republika.co.id/berita/dunia-
islam/hikmah/13/04/17/mlea68-keagungan-bismillah
Lampiran 1
RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN
(RPP)
NAMA SEKOLAH SMA Negeri 9 Kota Bogor
MATA PELAJARAN Bahasa dan Sastra Indonesia
KELAS /SEMESTER XII/II
ASPEK PEMBELAJARAN Membaca
STANDAR KOMPETENSI 7. Memahami wacana sastra puisi dan cerpen
KOMPETENSI DASAR 7.1. Menjelaskan unsur-unsur intrinsik cerpen
Indikator Pencapaian Kompetensi Nilai Budaya dan
Karakter Bangsa
Kewirausahaan/
Ekonomi Kreatif
Membacakan puisi dengan
memperhatikan intonasi,
pelafalan, mimik dan gestur.
Menjelaskan unsur-unsur intrinsik
puisi (tema, gaya bahasa, diksi,
rima dan amanat)
Bersahabat/
komunikatif
Gemar membaca
Tanggung jawab
Rasa hormat dan
perhatian
Kreatif
Keorisinilan
Kepemimpinan
ALOKASI WAKTU 4 x 40 menit (2 pertemuan)
TUJUAN PEMBELAJARAN
TUJUAN Peserta didik mampu membacakan puisi dengan
memeprhatikan intonasi, pelafalan, mimik dan gestur
Peserta didik mampu menjelaskan unsur-unsur intrinsik puisi
(tema, gaya bahasa, diksi, rima dan amat).
MATERI POKOK
PEMBELAJARAN Pengertian puisi
Unsur-unsur intrinsik puisi (tema, gaya bahasa, diksi, rima dan
amanat)
METODE PEMBELAJARAN
Tanya jawab
Ceramah
Diskusi kelompok
CTL (Contextual Teaching and
Learning)
Penugasan dan resitasi
SUMBER BELAJAR
Pustaka rujukan Bahasa dan Sastra Indonesia 3 untuk Sekolah Menengah
Atas dan Madrasah Aliyah Kelas XII Program Studi IPA-
IPS karya Demas Marsudi, dkk., terbitan Pusat Perbukuan
2009 halaman 45.
Kumpulan puisi Garam – Garam Hujan karya Jamal D
Lampiran 1
Rahman , terbitan Hikayat Publishing 2004
Teori Pengkajian Fiksi karya Burhan Nurgiyantoro, terbitan
Gadjah Mada University, Edisi Revisi 2013.
KEGIATAN PEMBELAJARAN
TAHAP KEGIATAN GURU KEGIATAN SISWA ALOKASI
WAKTU
Pertemuan ke 1 1
PEMBUKA
Guru mengucapkan salam
dan menanyakan kabar
kepada peserta didik.
Guru dan peserta didik
berdoa bersama sebelum
pembelajaran.
Guru melakukan absensi
kelas.
Guru mengingatkan peserta
didik tentang tugas
sebelumnya yakni
membentuk tiga kelompok
dan masing-masing
kelompok membaca puisi
yang telah ditentukan oleh
guru yaitu: “Rubaiyat
Matahari” (kelompok 1),
dan Bernafaslah Pada
Ombak” (kelompok 2)
dalam kumpulan puisi
Garam – Garam Hujan
karya Jamal D Rahman.
Guru memberikan informasi
mengenai kompetensi,
materi, tujuan, manfaat, dan
langkah pembelajaran yang
akan dilaksanakan.
Peserta didik menjawab
salam dan kabar dari
guru.
Peserta didik dipimpin
oleh ketua kelas berdoa
bersama guru.
Peserta didik
menyebutkan teman
sekelas yang tidak hadir.
Peserta didik diharapkan
menyimak apa yang
disampaikan guru
terkait informasi
kompetensi, meteri,
tujuan, manfaat, dan
langkah pembelajaran
yang akan dilaksanakan.
10 menit
INTI Eksplorasi
Guru memberikan stimulus
kepada peserta didik untuk
mengukur pengetahuan
mereka tentang puisi, baik
terkait konsep maupun puisi
yang pernah dibaca
sebelumnya.
Guru memberikan umpan
balik terhadap jawaban
Peserta didik diharapkan
menjawab dengan
antusias.
Peserta didik menyimak
penjelasan dari guru.
Peserta didik mencatat
hal-hal penting dari
penjelasan guru
mengenai beberapa
15 menit
Lampiran 1
peserta didik.
Guru menjelaskan secara
lebih mendetail beberapa
unsur intrinsik yaitu tema,
gaya bahasa, diksi, rima dan
amanat yang akan menjadi
fokus pembahasan dalam
tayangan slide.
Guru memberikan
kesempatan kepada peserta
didik untuk bertanya apabila
ada penjelasan yang belum
dimengerti.
Guru mengintruksikan
kepada peserta didik untuk
segera berkumpul dengan
kelompok masing-masing
yang telah dibentuk pada
pertemuan sebelumnya.
Elaborasi
Guru menunjuk salah satu
anggota tiap kelompok
untuk membacakan kembali
isi puisi yang telah dibaca.
Guru memberi tugas secara
berkelompok untuk
menguatkan informasi yang
telah didapat, peserta didik
ditugaskan:
menjelaskan unsur
intrinsik (tema, gaya
bahasa, diksi, rima, dan
amanat) pada puisi
“Rubaiyat Matahari”,
“Bernafaslah Pada
Ombak” dalam kumpulan
puisi Garam – Garam
Hujan karya Jamal D
Rahman.
Guru memberitahu waktu
pengerjaan tugas kelompok
dan mengingatkan agar
dapat menyelesaikan
dengaan tepat waktu
unsur intrinsik yaitu
tema, gaya bahasa, diksi,
rima, dan amanat yang
akan menjadi fokus
pembahasan.
Peserta didik diharapkan
bertanya dengan bahasa
yang santun.
Peserta didik berkumpul
dengan kelomok
masing-masing.
Salah satu anggota
kelompok yang ditunjuk
membacakan kembali isi
puisi dengan bahasa
memeperhatikan
intonasi, pelafalan,
mimik dan gestur.
Sementara anggota
kelompok yang lain
mendengarkan dengan
antusias dan penuh rasa
hormat.
kelompok diharapkan
fokus dalam berdiskusi
dan memastikan anggota
kelompok dapat
mengerjakan tugas yang
diberikan:
menjelaskan unsur
intrinsik (tema, gaya
bahasa, diksi, rima,
dan amanat) pada
puisi “Rubaiyat
Matahari” dan
35 menit
Lampiran 1
Konfirmasi
Guru menanyakan kepada
tiap kelompok kendala
apa saja yang didapat saat
proses pengerjaan tugas.
“Bernafaslah Pada
Ombak” pada
kumpulan puisi
Garam – Garam
Hujan karya Jamal D
Rahman dengan data
yang mendukung.
Tiap kelompok dapat
mengatur proses
penyelesaian tugas
dengan tepat waktu.
Tiap kelompok
mengemukakan
kendala yang didapat
saat proses
penyelesaian tugas.
10 menit
PENUTUP
Guru menyimpulkan hasil
pembelajaran dan
mengingatkan tugas untuk
pertemuan selanjutnya
yakni mempresentasikan
hasil diskusi.
Guru meminta ketua kelas
memimpin doa.
Peserta didik
diharapkan menyimak
apa yang disampaikan
guru terkait simpulan
hasil pembelajaran dan
informasi tugas untuk
pertemuan selanjutnya.
Peserta didik berdoa.
10 menit
Pertemuan ke 2
PEMBUKA Guru mengucapkan salam
dan menanyakan kabar
peserta didik.
Guru dan peserta didik
berdoa bersama sebelum
pembelajaran.
Guru melakukan absensi
kelas.
Guru memberikan
informasi kompetensi,
meteri, tujuan, manfaat,
dan langkah pembelajaran
yang akan dilaksanakan.
Peserta didik menjawab
salam dan kabar dari
guru.
Peserta didik dipimpin
oleh ketua kelas berdoa
bersama guru.
Peserta didik
menyebutkan teman
sekelas yang tidak
hadir.
Peserta didik diharapkan
menyimak apa yang
disampaikan guru
terkait informasi
kompetensi, meteri,
tujuan, manfaat, dan
langkah pembelajaran
10 menit
Lampiran 1
yang akan dilaksanakan.
INTI
Eksplorasi
Guru kembali
memberikan stimulus
kepada peserta didik
untuk mengukur
pengetahuan mereka
tentang pelajaran
sebelumnya
Guru memberikan umpan
balik terhadap jawaban
peserta didik.
Elaborasi
Guru meminta peserta
didik untuk berkumpul
dengan kelompok masing-
masing.
Guru memanggil salah satu
nomor peserta didik di
setiap kelompok.
Guru memberikan nilai,
ulasan dan tanggapan atas
setiap hasil presentasi
kelompok.
Konfirmasi
Guru meminta peseta didik
mengungkapkan
pengetahuan mereka
tentang religiositas yang
terdapat dalam puisi
Peserta didik
diharapkan menjawab
dengan antusias.
Peserta didik
diharapkan menyimak
penjelasan dari guru.
Peserta didik berkumpul
dengan kelompok
masing-masing.
Secara bergantian, nomor
yang dipanggil
melaporkan hasil
diskusinya.
Kelompok lain diberi
kesempatan untuk
memberikan tanggapan.
Peserta didik
mengungkapkan
pengetahuan mereka
tentang religiositas yang
terdapat dalam puisi
10 menit
40 menit
10 menit
Lampiran 1
PENUTUP
Guru memberikan kuis
“Teka-teki Silang” untuk
menilai pemahaman
peserta didik mengenai
konsep-konsep yang telah
dipelajari.
Guru meminta ketua kelas
memimpin doa.
Peserta didik menjawab
kuis “Teka-teki Silang”
untuk mengetahui
pemahaman mereka
mengenai konsep-konsep
yang telah dipelajari.
Peserta didik berdoa.
10 menit
PENILAIAN
TEKNIK
DAN
BENTUK
Tugas:
Peserta didik diminta membaca puisi “Rubaiyat Matahari”, dan
“Bernafaslah Pada Ombak”, dalam kumpulan puisi Garam –
Garam Hujan karya Jamal D Rahman.
Berdiskusi untuk memahami unsur intrinsik (tema, gaya bahasa,
diksi, rima, dan amanat) pada puisi “Rubaiyat Matahari”, ,dan
“Bernafaslah Pada Ombak” dalam kumpulan puisi Garam – Garam
Hujan karya Jamal D Rahaman.
Peserta didik diminta untuk mengungkapkan pengetahuan mereka
tentang religiositas yang terdapat dalam puisi.
Observasi kinerja/Demontrasi:
Tiap kelompok mempresentasikan hasil diskusi secara bergantian.
Kelompok lain menyimak dan menanggapi setiap hasil presentasi
kelompok.
Tes tulis:
Peserta didik menjawab kuis “Teka-teki Silang” untuk mengukur
pemahaman mengenai konsep-konsep yang telah dipelajari.
Bogor, 24 April 2016
Mengetahui,
Kepala Sekolah Guru Bahasa Indonesia
........................... ...................................
NIP./NIK. NIP./NIK.
Lampiran 1
Uraian Materi
A. Pengertian Puisi
Secara Umum, Pengertian Puisi adalah bentuk karya sastra dari hasil
ungkapan dan perasaan penyair dengan bahasa yang terikat irama, matra, rima,
penyusunan lirik dan bait, serta penuh makna. Puisi mengungkapkan pikiran dan
perasaan penyair secara imajinatif dan disusun dengan mengonsentrasikan
kekuatan bahasa dengan struktur fisik dan struktur batinnya. Puisi mengutamakan
bunyi, bentuk dan juga makna yang ingin disampaikan yang mana makna sebagai
bukti puisi baik jika terdapat makna yang mendalam dengan memadatkan segala
unsur bahasa. Puisi merupakan seni tertulis menggunakan bahasa sebagai kualitas
estetiknya (keindahan). Puisi dibedakan menjadi dua yaitu puisi lama dan juga
puisi baru. Puisi Menurut Para Ahli:
Herman Waluyo: Pengertian puisi menurut herman waluyo adalah karya
sastra tertulis yang paling awal ditulis oleh manusia.
Pradopo: Pengertian puisi adalah rekaman dan interpretasi pengalaman
manusia yang penting, diubah dalam wujud yang paling berkesan.
1. Unsur-Unsur Puisi
a. Struktur Fisik Puisi
Perwajahan Puisi (Tipografi), adalah bentuk puisi seperti halaman yang
tidak dipenuhi kata-kata, tepi kanan-kiri, pengaturan barisnya, hingga baris puisi
yang tidak selalu dimulai dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda titik. Hal
tersebut menentukan pemaknaan terhadap puisi.
Diksi ialah pemilihat kata-kata yang dilakukan oleh penyair dalam
puisinya. Karena puisi adalah bentuk karya sastra yang sedikit kata-katanya dapat
mengungkapkan banyak, hal maka kata-katanya harus dipilih secermat mungkin.
Pemilihan kata-kata dalam puisi erat kaitannya dengan makna, keselarasan bunyi,
dan urutan kata.
Imaji, yaitu kata atau susunan kata yang mengungkapkan pengalaman
indrawi, misalnya penglihatan, pendengaran, dan perasaan. Imaji terbagi atas tiga
yakni imaji suara (auditif), imaji penglihatan (visual), dan imaji raba atau sentuh
Lampiran 1
(imaji taktil). Imaji mengakibatkan pembaca seakan-akan melihat, mendengar,
dan merasakan apa yang dialami penyair.
Kata Konkret, adalah kata yang memungkinkan memunculkan imaji
karena dapat ditangkap indera yang mana kata ini berhubungan dengan kiasan
atau lambang. Seperti kata konkret "salju" dimana melambangkan kebekuan cinta,
kehampaan hidup, dll, sedangkan kata kongkret "rawa-rawa" melambangkan
tempat kotor, tempat hidup, bumi, kehidupan dll.
Gaya Bahasa, adalah penggunaan bahasa dengan menghidupkan atau
meningkatkan efek dan menimbulkan konotasi tertentu dengan bahasa figuratif
yang menyebabkan puisi menjadi prismatis, artinya memancarkan banyak makna
atau kaya makna. Gaya bahasa disebut dengan majas. Macam-macam majas yaitu
metafora, simile, personifikasi, litotes, ironi, sinekdoke, eufemisme, repetisi,
anafora, pleonasme, antitesis, alusio, klimaks, antiklimaks, satire, pars pro toto,
totem pro parte, hingga paradoks
Rima/Irama ialah persamaan bunyi puisi dibaik awal, tengah, dan akhir
baris puisi. Rima mencakup yakni: Onomatope (tiruan terhadap bunyi seperti /ng/
yang memberikan efek magis puisi staudji C. B); Bentuk intern pola bunyi
(aliterasi, asonansi, persamaan akhir, persamaan awal, sajak berselang, sajak
berparuh, sajak penuh, repetisi bunyi (kata), dan sebagainya; Pengulangan
kata/ungkapan ritma merupakan tinggi rendah, panjang pendek, keras lemahnya
bunyi. Rima sangat menonjol dalam pembacaan puisi.
b. Struktur Batin Puisi
Tema/Makna (sense); ide pokok yang mendasari suatu cerita atapun teks.
Rasa (Feeling) yaitu sikap penyair mengenai pokok permasalahan yang terdapat
dalam puisinya. Pengungkapan tema dan rasa erat kaitannya akan latar belakang
sosial dan psikologi penyair, seperti latar belakang pendidikan, agama, jenis
kelamin, kelas sosial, kedudukan dalam masyarakat, usia, pengalaman sosiologis
dan psikologis, dan pengetahuan. Kedalaman pengungkapan tema dan ketetapan
dalam menyikapi suatu masalah tidak tergantung dari kemampuan penyair memili
kata-kata, rima, gaya bahasa, dan bentuk puisi saja, namun juga dari wawasan,
Lampiran 1
pengetahuan, pengalaman, dan keperibadian yang terbentuk oleh latar belakang
sosiologis dan psikologisnya.
Nada (tone) adalah sikap penyair terdapat pembacanya. Nada
berhubungan dengan tema dan rasa. Penyair dapat menyampaikan tema baik
dengan nada yang menggurui, mendikte, bekerja sama dengan pembaca dalam
pemecahan masalah, menyerahkan masalah kepada pembaca, dengan nada
sombong, menganggap bodoh dan rendah pembaca, dll.
Amanat/tujuan maksud (intention) adalah pesan yang akan disampaikan
penyair kepada pembaca yang terdapat dalam puisi tersebut.
Lampiran 1
PENILAIAN KINERJA KELOMPOK
a. Penilaian Tugas kelompok
No Aspek Penilaian Bobot Nilai
1 Membacakan puisi
a. Sesuai (5)
b. Kurang Sesuai (3)
c. Tidak Sesuai (1)
5
2 Kemampuan mendiskusikan dan
menjelaskan unsur intrinsik
a. Tepat (5)
b. Kurang Tepat (3)
c. Tidak Tepat (1)
5
3 Menemukan unsur religiositas dalam
puisi
a. Tepat (5)
b. Kurang Tepat (3)
c. Tidak Tepat (1)
5
4 Kemampuan menyimpulkan hasil
diskusi (presentasi)
a. Tepat (5)
b. Kurang Tepat (3)
c. Tidak Tepat (1)
5
Skor = jumlah skor yang diperolehx 100
skor maksimal (20)
b. Penilaian Sikap
Kelompok ke- :
Anggota kelompok :
Kelas :
Tanggal penilaian :
No. Aspek-aspek yang dinilai Nilai
A B C D
1. Antusiasme peserta kelompok dalam
penyusunan tugas.
2. Kemampuan bekerjasama atau berdiskusi.
3. Ketuntasan menyelesaikan tugas.
4. Keberanian dalam mengemukakan
pendapat.
5. Tingkat perhatian pada kelompok lain
yang sedang mempresentasikan hasil
Lampiran 1
diskusi.
Petunjuk:
Lembar ini diisi oleh guru untuk menilai kelompok dalam menyelesaikan tugas
dan mengemukakan pendapat. Berilah tanda ceklis (√) pada kolom skor sesuai
dengan sikap sosial yang ditunjukkan oleh peserta didik dalam kelompok dengan
kriteria sebagai berikut:
Baik sekali (A) : skor 81-90
Baik (B) : skor 71-80
Cukup (C) : skor 61-70
Kurang (D) : skor 51-60
B. Latihan!!
Jawablah pertanyaan dibawah ini dengan benar!!
1. Sebutkan Pengertian Puisi menurut Pradopo!
2. Tema dalam sebuah puisi berkaitan erat dengan?
3. Jelaskan apa yang dimaksud dengan gaya bahasa?
4. Sebutkan lima jenis gaya bahasa yang sering digunakan dalam sebuah puisi!
5. Jelaskan apa yang dimaksud dengan struktur fisik puisi!
Kunci Jawaban
1. Rekaman dan interpretasi pengalaman manusia yang penting, diubah dalam
wujud yang paling berkesan.
2. Pengungkapan tema dan rasa erat kaitannya akan latar belakang sosial dan
psikologi penyair, seperti latar belakang pendidikan, agama, jenis kelamin, kelas
sosial, kedudukan dalam masyarakat, usia, pengalaman sosiologis dan psikologis,
dan pengetahuan
3. Gaya Bahasa, adalah penggunaan bahasa dengan menghidupkan atau
meningkatkan efek dan menimbulkan konotasi tertentu dengan bahasa figuratif
Lampiran 1
yang menyebabkan puisi menjadi prismatis, artinya memancarkan banyak makna
atau kaya makna.
4. Macam-macam majas yaitu metafora, simile, personifikasi, litotes, ironi,
sinekdoke, eufemisme, repetisi, anafora, pleonasme, antitesis, alusio, klimaks,
antiklimaks, satire, pars pro toto, totem pro parte, hingga paradoks
5. Perwajahan Puisi (Tipografi), adalah bentuk puisi seperti halaman yang tidak
dipenuhi kata-kata, tepi kanan-kiri, pengaturan barisnya, hingga baris puisi yang
tidak selalu dimulai dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda titik. Hal
tersebut menentukan pemaknaan terhadap puisi.
Jumlah benar 20x5 = 100
Lampiran 2
Puisi Rubaiyat Matahari dan Bernafaslah Pada Ombak
A. Rubaiyat Matahari
1
Dengan bismillah berdarah di rahim sunyi
Kueja namamu di rubaiyat matahari
Kau dengar aku menangis sepanjang hari
Karena dari november-desember selalu lahir matahari
2
Engkaulah sepi di jemari hujan
Kabar semilir dari degup gelombang
Engkaulah sepi di jemari awan
Membakar cintaku hingga degup bintang gemintang
3
Atas sepi perahuku bercahaya
Membawa matahari ke jantung madura
Atas bara api cintaku menyala
Menantang matahari di lubuk semesta
4
Aku peras laut jadi garam
Mengasinkan hidupmu di ladang-ladang sunyi
Aku bakar langit temaram
Bersiasat dengan bayangmu dalam kobaran api
5
Batu karam perahu karam
Tenggelam di rahang lautan
Darahku bergaram darahmu bergaram
Menyeduh asin doa di cangkir kehidupan
6
Karena laut menyimpan teka-teki
Di puncak suaramu kurenungi debur gelombang
Lampiran 2
Karena layar hanya selembar sepi
Di puncak doamu kukibarkan bintang-gemintang
7
Pohon cemara ikan cemara
Menggelombang biru di riak-riak senja
Antara pohon dan ikan kita adalah cemara
Mendekap cakrawala di dasar samudera
8
Di rahang rahasia rinduku abadi
Sampai runtuh seluruh sepi
Rinduku adalah ketabahan matahari
Menerima sepi di relung puisi
9
Di relung malam lambaianku menua
Juga pandanganmu di kaca jendela
Alangkah dalam makna senja
Menanggung berat perpisahan kita
10
Dari pintu ke pintu ketukanku kembali
Tak lelah-lelah mencari januari di reremang pagi
Dari rindu ke rindu aku pun mengaji
Tak tamat-tamat membaca cinta di aliflammim puisi1
2002-2003
1Jamal D Rahman, Garam – Garam Hujan, ( Yogyakarta: Hikayat Publishing, 2004), h. 17-26.
Lampiran 2
B. Bernafaslah Pada Ombak
bernafaslah pada ombak. karena danau telanjur
meyimpan buih. membendung gelombang zaman
dan menghanyutkan doa. dari bukit sukmamu
batu-batu pun hanyut ke dalam sujud muara,
memadatkan tangis benua
dari dasar laut, ombak membangun gelora malam.
lampu-lampu nelayan menggeliat jadi bintang
di keluasan matamu. mengedipkan mata ikan
pada kail dan jala yang mulai cemas
menunggu. di sini, lumpur menghampar,
menenggak air sembahyang dari cangkir-cangkir kecemasan2
19987
2 ibid., h. 28
UJI REFERENSI
Nama : Muhammad Ihsan 1-lusaini
Nim : 1111013000104
Judul Skripsi : Religiusitas Dalam Kumpulan Puisi "Garczm - Garam
Hujan" Karya Jamal D Rahman dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa
dan Sastra Indonesia Di Sekolah Menengah Atas (SMA)
Dosen Pembimbing : Novi Diah Haryanti, M.Hum.
No Referensj Halaman Paraf dalam Dosen Buku
1 Abdullah, Taufik. Metodelogi Penelitian Agama. 93 Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1989.
2 Administator. "Kematangan Emosi dan Faktor -
Faktor yang Mempengaruhinya. http://yai . ac.id/karyailrniah-upi-42-kematangan- ernosi-dan-faktor-yang-mempengaruhinya.html
3 Ainun Nadjib, Emha. Budaya Tanding. Yogyakaita: 54 Pustaka Pelajar, 1995.
4 AIwi, Hasan. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi 244,256 ketiga. Jakarta: Balai Pustaka, 2005.
5 Ar-Rifai, Usamah. Tafsirul Wajiz. Depok: Gema 283, 598 Insani, 2008
6 Budianta, Melani. Membaca Sastra. Magelang: 8 Indonesia Tera, 2006.
7 B. Mangunwijaya, Yusuf. Sastra dan Religiositas. 12,1 3) Yogyakarta: Kanisius, 1988
8 Djoko Pradopo, Rachmat. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1987. .
7, 22, 23
~E 9 D. Rahman, Jamal. Garam - Gararn Hujan. 107
Yogyakarta: Hikayat Publishing, 2004
10 D. Rahman, Jamal. "Sastra Pesantren dan Radikalisme Islam" http:Hiainaldrahman.word press.com/2008/10/25/sas tra-pesantren-dan-radikalisme-islain diunduh 07 Februari 2016
11 D. Rahman, Jamal. "Merindukan Imajinasi Indonesia" ht!p:Hjamald-rahman.wor ,.Ipress.com/20!.6/02/08/ine rindukan-imajinasi-indonesia diunduh 26 iuni 2016
12 D. Rahman, Jamal. Reruntuhan Cahaya. 93 Yogyakarta: Bentang Budaya, 2003.
13 Endraswara, Suwardi. Metodelogi Penelitian 30 Sastra. Yogyakarta: Medpress, 2003.
14 Esten, Mursal. Sastra Indonesia dan Tradisi 130 Sub/cultural. Bandung: Anglasa, 1982.
15 Handayani, Sri. Menggapai Kemuliaan dengan Membaca. http:u/republika.co.id/berita/koran/dialog- iumatll 6/02/o209g7-rnenggi kemuliaan-dengan- membaca diundung 07 Februari 2016
16 Http://horisonon ii ne.or. id/esai/multikulturalirne- dan-kcrnungki nan-sastra-indonesi a diunduh 26 Juni 2016
17 Izzan, Ahmad. Bc'rselihlah. Bandung: Arkan 8 1 23 Publishing, 2008.
18 Kasmadi. Sungguh Shalat itu lndah. Jakarta: Gema 1 3
Insani, 2011
19 Keraf, Gorys. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: 130,136 _____ Gramedia Pustaka Utama. 1996.
20 Kutha Ratna, Nyoman. Teori, Metode, Teknik 46,438 Penelitian Sastrq. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004
21 Mulyono, Edi. Belajar Hermeneutikka. Yogyakarta: 15 Ircisod, 2012
22 M.,Hasan, Ibrahim. Dahsyatnya Doa Untuk 26, 27, 75
Kesembuhan. Surakarta: Ziyad Books, 2012
23 Sastrowardoyo, Subagiyo. Penga rang Moderen 109 Sebagai Manusia Perbatasan, Jakarta: Balai Pustaka, 1989
24 Nurgiyantoro, Burhan. Teori Pengkajian Fiksi. 133-134 Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1995
25 Pujiono, Muhammad. "Analisis Cerita Nilai - Nilai Religius dalam Cerita Pendek Karya Mizawan Kenzi http://reDository.usu. id/bitstream diunduh 07 Februari 2016
26 Priliawito, Eko. "Anak Indonesia Mendekam di Penjara" http://rnetro.news.viva.co.id/news/read273 781-4- 662-anak-indonesia-mendekam-di-peni ara diunduh 07 Februari 2016
27 Rahmanto, B. Metode Pengajaran Sastra, 24, 38, Yogyakarta: Kanisius 1988 44,48
28 Saputra, Agus. "Kebijakan dan Strategi Kerukunan Umat Beragama di Indonesia" httD://riau I .kenienag. go.id/i ndex .Dhp?a=artikel&id =449
29 Sastrowadoyo, Subagio .Sck i/as Soal Sasira clan 23 Budaya. Jakarta: Balai Pustaka, 1999.
30 Siswanto, Wahyudi. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Grasindo, 2008
41, 113, 114, 118, 120,122,1 24, 133,22
31 Siswantoro. Metode Pencil/ian Sastra. Yogyakarta: 105, 11 3, Pustaka Pelajara, 2010 119,207,
205, 233 32 Wellek dan Austin. Teori Kesusastraan. Jakarta: 198, 199
Gramedia, 1989.
33 Zuhir, Darnanhuri. iKeagungan Bismillab"
Nip.19841126201503 2 007
Jakarta, 26
Dosen Per
2016
http://repubIika.co.idTheriWdu islamlhikrnah/1 3/04/1 7/rnlea68-keagungan-bismillah
LEMBAR UJI REFERENSI
Seluruh referensi yang digunakan dalam penelitian skirpsi berjudul "Religiusitas
Dalain Kumpulan Puisi "Garam - Garam Hujan" Karya Jamal D Rahman clan
Implikasinya pada Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu
Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,
telah disetujui kebenaranya oleh dosen pembimbing skripsi pada tangga:
PROFIL PENULIS
Muhamad Ihsan Husaini lahir di Bogor pada 16 Mei 1993.
Riwayat pendidikannya dimulai dari SD Negri 04 Parakan, SMP
(Plus) Muthahhari Lembang Gede, Bandung dan MA Negeri 2 Kota
Bogor. Kemudian melanjutkan pendidikannya di Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, dan menempuh Jurusan
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia pada tahun 2011.
Tujuan utamanya menempuh pendidikan di Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta adalah untuk ikut berperan
mencerdaskan kehidupan bangsa melalui pendidikan seperti dalam pembukaan UUD tahun
1945. Putra dari Aneng Iskandar dan Neneng Rosilah ini mempunyai impian yang amat besar
yakni menjadi anak yang bermanfaat bagi kedua orang tua, keluarga, dan negara. Semoga
dengan terciptanya karya yang pertama ini skripsi dengan judul “Religiositas Pada Kumpulan
Puisi Garam – Garam Hujan Karya Jamal D Rahman Serta Implikasinya Terhadap
Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia Di Sekolah Menengah Atas” menjadi awal yang
baik dari karya-karya selanjutnya dan kesuksesan di masa mendatang.