Upload
bram-babam-sesario-rendi
View
54
Download
1
Embed Size (px)
DESCRIPTION
scs
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ketoasidosis diabetikum adalah kasus kegawatdaruratan bidang endokrinologi
yang disebabkan oleh defisiensi insulin relatif atau absolut. Ketoasidosis
diabetik juga merupakan komplikasi akut diabetes mellitus yang ditandai dengan
dehidrasi, kehilangan elektrolit, dan asidosis.
Ketoasidosis diabetik ini diakibatkan oleh defisiensi berat insulin dan disertai
gangguan metabolism protein, karbohidrat dan lemak. Keadaan ini merupakan
gangguan metabolism yang paling serius pada diabetes ketergantungan insulin.
Ketoasidosis diabetukum lebih sering terjadi pada usia <65 tahun.Ketoasidosis
diabetikum lebih sering terjadi pada perempuan dibanding laki-
laki. Surveillance Diabetes Nasional Program Centers for Disease Control (CDC)
memperkirakan bahwa ada 115.000 pasien pada tahun 2003 di Amerika
Serikat, sedangkan pada tahun 1980 jumlahnya 62.000. Di sisi lain, kematian KAD
per 100.000 pasien diabetes menurun antara tahun 1985 dan 2002
dengan pengurangan kematian terbesar di antara mereka yang berusia 65 tahun
ataulebih tua dari 65 tahun. Kematian di KAD terutama disebabkan oleh penyakit
pengendapan yang mendasari dan hanya jarang komplikasi metabolic hiperglikemia
atau ketoasidosis.
Adanya gangguan dalam regulasi insulin dapat cepat menjadi ketoasidosis
diabetic manakala terjadi diabetic tipe I yang tidak terdiagnosa, ketidakseimbangan
jumlah intake makanan dengan insulin, adolescen dan pubertas, aktivitas yang tidak
terkontrol pada diabetes, dan stress yang berhubungan dengan penyakit, trauma, atau
tekanan emosional. Perawatan pada pasien yang mengalami KAD antara lain
meliputirehidrasi, pemberian kalium lewat infus, dan pemberian insulin.
Beberapa komplikasi yang mungkin terjadi selama pengobatan KAD adalah
edema paru, hipertrigliseridemia, infark miokard akut, dan komplikasi iatrogeni.
Komplikasi iatrogenic tersebut ialah hipoglikemia, hipokalemia, edema otak, dan
hipokalsemia.
1
1.2 Tujuan
Tujuan dari laporan kasus ini untuk menjadi pembelajaran dalam mengenali
KAD dan menatalaksana KAD dengan cepat.
1.3 Manfaat
Mengetahui KAD dari definisi sampai tatalaksana.
1.4 Metode Penulisan
Laporan kasus ini ditulis berdasarkan penemuan pada pasien yan dirawat di
bngsal penyakit dalam RSUD Pariaman dan tinjauan pustaka dari berbagai
literatur.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Ketoasidosis Diabetikum
Ketoasidosis Diabetikum (KAD) adalah keadaan dekompensasi
kekacauan metabolik yang ditandai oleh trias:
- Hiperglikemia
- Asidosis
- Ketosis
terutama disebabkan oleh defisiensi insulin absolut atau relatif.
2.2 Epidemiologi Ketoasidosis Diabetikum
Data komunitas di Amerika Serikat, Rochester, menunjukkan bahwa
insiden KAD sebesar 8/1000 pasien DM per tahun untuk semua kelompok
umur, sedangkan untuk kelompok umur kurang dari 30 tahun sebesar
13.4/1000 pasien DM per tahun. Sumber lain menyebutkan insiden KAD
sebesar 4.6-8/100 pasien DM per tahun. KAD dilaporkan bertanggung jawab
untuk lebih dari 100,000 pasien yang dirawat per tahun di Amerika Serikat.
Walaupun data komunitas di Indonesia belum ada, agaknya insiden KAD di
Indonesia tidak sebanyak di negara barat. Laporan insiden KAD di Indonesia
umumnya berasal dari data rumah sakit terutama pada pasien DM tipe II.
2.3 Patofisiologi Ketoasidosis Diabetikum
KAD ditandai oleh adanya hiperglikemia, asidosis metabolik, dan
peningkatan konsentrasi keton yang beredar dalam sirkulasi. Ketoasidosis
merupakan akibat dari kekurangan atau inefektifitas insulin yang terjadi
bersamaan dengan peningkatan hormon kontraregulator (glukagon,
katekolamin, kortisol, dan growth hormone). Kedua hal tersebut
mengakibatkan perubahan produksi dan pengeluaran glukosa dan
meningkatkan lipolisis dan produksi benda keton. Hiperglikemia terjadi akibat
3
peningkatan produksi glukosa hepar dan ginjal (glukoneogenesis dan
glikogenolisis) dan penurunan utilisasi glukosa pada jaringan perifer.
Peningkatan glukoneogenesis akibat dari itngginya kadar substrat
nonkarbohidrat (alanin, laktat, dan gliserol pada hepar, dan glutamin pada
ginjal) dan peningkatan aktivitas enzim glukoneogenik (fosfoenol poruvat
karboksilase/PEPCK, fruktosa 1,6 bifosfat, dan piruvat karboksilase).
Peningkatan produksi glukosa hepar menunjukkan patogenesis utama yang
bertanggung jawab terhadap keadaan hiperglikemia pada pasien KAD.
Selanjutnya, keadaan hiperglikemia dan kadar keton yang tinggi
menyebabkan diuresis osmotik yang akan mengakibatkan hipovolemia dan
penurunan glomerular filtration rate. Keadaan yang terakhir akan
memperburuk hiperglikemia. Mekanisme yang mendasari peningkatan
produksi benda keton telah dipelajari selama ini. Kombinasi defisiensi insulin
dan peningkatan konsentrasi hormon kontraregulator menyebabkan aktivasi
hormon lipase yang sensitif pada jaringan lemak. Peningkatan aktivitas ini
akan memecah trigliserid menjadi gliserol dan asam lemak bebas (free fatty
acid). Diketahui bahwa gliserol merupakan substrat penting untuk
glukoneogenesis pada hepar, sedangkan pengeluaran asam lemak bebas yang
berlebihan diasumsikan sebagai prekursor utama dari ketoasid.
Faktor Pencetus Ketoasidosis Diabetikum
Terdapat sekitar 20% pasien KAD yang baru diketahui menderita DM
untuk pertamakalinya. Pada pasien KAD yang sudah diketahui DM
sebelumnya, 80% dapat dikenali adanya faktor pencetus, sementara 20%
lainnya tidak diketahui faktor pencetusnya.
Faktor pencetus tersering dari KAD adalah infeksi, dan diperkirakan
sebagai pencetus lebih dari 50% kasus KAD.6-8 Pada infeksi akan terjadi
peningkatan sekresi kortisol dan glukagon sehingga terjadi peningkatan kadar
gula darah yang bermakna. Faktor lainnya adalah cerebrovascular accident,
alcohol abuse, pankreatitis, infark jantung, trauma, pheochromocytoma, obat,
DM tipe 1 yang baru diketahui dan diskontinuitas (kepatuhan) atau terapi
insulin inadekuat.
4
Kepatuhan akan pemakaian insulin dipengaruhi oleh umur, etnis dan
faktor komorbid penderita. Faktor lain yang juga diketahui sebagai pencetus
KAD adalah trauma, kehamilan, pembedahan, dan stres psikologis. Infeksi
yang diketahui paling sering mencetuskan KAD adalah infeksi saluran kemih
dan pneumonia. Pneumonia atau penyakit paru lainnya dapat mempengaruhi
oksigenasi dan mencetuskan gagal napas, sehingga harus selalu diperhatikan
sebagai keadaan yang serius dan akan menurunkan kompensasi respiratorik
dari asidosis metabolik.
Infeksi lain dapat berupa infeksi ringan seperti skin lesion atau infeksi
tenggorokan. Obat-obatan yang mempengaruhi metabolisme karbohidrat
seperti kortikosteroid, thiazid, pentamidine, dan obat simpatomimetik (seperti
dobutamin dan terbutalin), dapat mencetuskan KAD. Obat-obat lain yang
diketahui dapat mencetuskan KAD diantaranya beta bloker, obat antipsikotik,
dan fenitoin, Pada pasien usia muda dengan DM tipe 1, masalah psikologis
yang disertai kelainan makan memberikan kontribusi pada 20% KAD
berulang. Faktor yang memunculkan kelalaian penggunaan insulin pada
pasien muda diantaranya ketakutan untuk peningkatan berat badan dengan
perbaikan kontrol metabolik, ketakutan terjadinya hipoglikemia, dan stres
akibat penyakit kronik. Namun demikian, seringkali faktor pencetus KAD
tidak ditemukan dan ini dapat mencapai 20 " 30% dari semua kasus KAD,
akan tetapi hal ini tidak mengurangi dampak yang ditimbulkan akibat KAD
itu sendiri.
5
2.4 Diagnosis Ketoasidosis Diabetikum
Langkah pertama yang harus diambil pada pasien KAD terdiri dari
anamnesis dan pemeriksaan fisik yang cepat dan teliti terutama
memperhatikan patensi jalan napas, status mental, status ginjal dan
kardiovaskular, dan status hidrasi. Langkah-langkah ini harus dapat
menentukan jenis pemeriksaan laboratorium yang harus segera dilakukan,
sehingga penatalaksanaan dapat segera dimulai tanpa adanya penundaan.
6
Meskipun gejala DM yang tidak terkontrol mungkin tampak dalam
beberapa hari, perubahan metabolik yang khas untuk KAD biasanya tampak
dalam jangka waktu pendek (< 24 jam). Umumnya penampakan seluruh
gejala dapat tampak atau berkembang lebih akut dan pasien dapat tampak
menjadi KAD tanpa gejala atau tanda KAD sebelumnya. Gambaran klinis
klasik termasuk riwayat poliuria, polidipsia, dan polifagia, penurunan berat
badan, muntah, sakit perut, dehidrasi, lemah, clouding of sensoria, dan
akhirnya koma. Pemeriksaan klinis termasuk turgor kulit yang menurun,
respirasi Kussmaul, takikardia, hipotensi, perubahan status mental, syok, dan
koma. Lebih dari 25% pasien KAD menjadi muntah-muntah yang tampak
seperti kopi. Perhatian lebih harus diberikan untuk pasien dengan hipotermia
karena menunjukkan prognosis yang lebih buruk. Demikian pula pasien
dengan abdominal pain, karena gejala ini dapat merupakan akibat atau sebuah
indikasi dari pencetusnya, khususnya pada pasien muda. Evaluasi lebih lanjut
diperlukan jika gejala ini tidak membaik dengan koreksi dehidrasi dan
asidosis metabolik.
7
2.5 Tatalaksana Ketoasidosis Diabetikum
Penatalaksanaan KAD bersifat multifaktorial sehingga memerlukan
pendekatan terstruktur oleh dokter dan paramedis yang bertugas. Terdapat
banyak sekali pedoman penatalaksanaan KAD pada literatur kedokteran, dan
hendaknya semua itu tidak diikuti secara ketat sekali dan disesuaikan dengan
kondisi penderita. Dalam menatalaksana penderita KAD setiap rumah sakit
hendaknya memiliki pedoman atau disebut sebagai integrated care pathway.
Pedoman ini harus dilaksanakan sebagaimana mestinya dalam rangka
mencapai tujuan terapi. Studi terakhir menunjukkan sebuah integrated care
pathway dapat memperbaiki hasil akhir penatalaksanaan KAD secara
signifikan.
Keberhasilan penatalaksanaan KAD membutuhkan koreksi dehidrasi,
hiperglikemia, asidosis dan kelainan elektrolit, identifikasi faktor presipitasi
komorbid, dan yang terpenting adalah pemantauan pasien terus menerus.
Berikut ini beberapa hal yang harus diperhatikan pada penatalaksanaan KAD.
1. Terapi cairan
8
Prioritas utama pada penatalaksanaan KAD adalah terapi cairan.
Terapi insulin hanya efektif jika cairan diberikan pada tahap awal terapi
dan hanya dengan terapi cairan saja akan membuat kadar gula darah
menjadi lebih rendah. Studi menunjukkan bahwa selama empat jam
pertama, lebih dari 80% penurunan kadar gula darah disebabkan oleh
rehidrasi. Oleh karena itu, hal penting pertama yang harus dipahami
adalah penentuan defisit cairan yang terjadi. Beratnya kekurangan cairan
yang terjadi dipengaruhi oleh durasi hiperglikemia yang terjadi, fungsi
ginjal, dan intake cairan penderita. Hal ini bisa diperkirakan dengan
pemeriksaan klinis atau dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
9
Rumus lain yang dapat dipakai untuk menentukan derajat dehidrasi
adalah dengan menghitung osmolalitas serum total dan corrected serum
sodium concentration.
10
Serum sodium concentration dapat dikoreksi dengan menambahkan
1,6 mEq/l tiap kenaikan 100 mg/dl kadar gula darah di atas kadar gula 100
mg/dl. Nilai corrected serum sodium concentration >140 dan osmolalitas
serum total > 330 mOsm/kg air menunjukkan deÞ sit cairan yang berat.
Penentuan derajat dehidrasi dengan gejala klinis seringkali sukar dikerjakan,
namun demikian beberapa gejala klinis yang dapat menolong untuk
menentukan derajat dehidrasi adalah:
- 5% : penurunan turgor kulit, membran mukosa kering, takikardia
- 10% : capillary refill time >3 detik, mata cekung
- > 10% : pulsus arteri perifer lemah, hipotensi, syok, oliguria
Resusitasi cairan hendaknya dilakukan secara agresif. Targetnya
adalah penggantian cairan sebesar 50% dari kekurangan cairan dalam 8-12
jam pertama dan sisanya dalam 12-16 jam berikutnya. Menurut perkiraan
banyak ahli, total kekurangan cairan pada pasien KAD sebesar 100 ml/kgBB,
atau sebesar 5-8 liter. Pada pasien dewasa, terapi cairan awal langsung
diberikan untuk ekspansi volume cairan intravaskular dan ekstravaskular dan
menjaga perfusi ginjal. Terdapat beberapa kontroversi tentang jenis cairan
yang dipergunakan. Tidak ada uji klinik yang membuktikan kelebihan
pemakaian salah satu jenis cairan. Kebanyakan ahli menyarankan pemakaian
cairan fisiologis (NaCl 0,9%) sebagai terapi awal untuk resusitasi cairan.
Cairan fisiologis (NaCl 0,9%) diberikan dengan kecepatan 15-20
ml/kgBB/jam atau lebih selama jam pertama (± 1-1,5 liter). Sebuah sumber
memberikan petunjuk praktis pemberian cairan sebagai berikut: 1 liter pada
jam pertama, 1 liter dalam 2 jam berikutnya, kemudian 1 liter setiap 4 jam
sampai pasien terehidrasi. Sumber lain menyarankan 1-1,5 lt pada jam 11
pertama, selanjutnya 250-500 ml/jam pada jam berikutnya.2 Petunjuk ini
haruslah disesuaikan dengan status hidrasi pasien. Pilihan cairan selanjutnya
tergantung dari status hidrasi, kadar elektrolit serum, dan pengeluaran urine.
Pada umumnya, cairan NaCl 0,45% diberikan jika kadar natrium serum tinggi
(> 150 mEq/l), dan diberikan untuk mengkoreksi peningkatan kadar Na+
serum (corrected serum sodium) dengan kecepatan 4-14 ml/kgBB/jam serta
agar perpindahan cairan antara intra dan ekstraselular terjadi secara gradual.
Pemakaian cairan Ringer Laktat (RL) disarankan untuk mengurangi
kemungkinan terjadinya hiperkloremia yang umumnya terjadi pada
pemakaian normal saline dan berdasarkan strong-ion theory untuk asidosis
(Stewart hypothesis). Sampai saat ini tidak didapatkan alasan yang
meyakinkan tentang keuntungan pemakaian RL dibandingkan dengan NaCl
0,9%. Jika kadar Na serum rendah tetaplah mempergunakan cairan NaCl
0,9%. Setelah fungsi ginjal dinilai, infus cairan harus mengandung 20-30
mEq/l Kalium (2/3 KCl dan1/3 KPO4) sampai pasien stabil dan dapat makan.
Keberhasilan terapi cairan ditentukan dengan monitoring hemodinamik
(perbaikan tekanan darah), pengukuran cairan masuk dan keluar, dan
pemeriksaan klinis.
Pemberian cairan harus dapat mengganti perkiraan kekurangan cairan
dalam jangka waktu 24 jam pertama. Perubahan osmolalitas serum tidak
melebihi 3 mOsm/kgH2O/jam. Pada pasien dengan kelainan ginjal, jantung
atau hati terutama orang tua, harus dilakukan pemantauan osmolalitas serum
dan penilaian fungsi jantung, ginjal, dan status mental yang
berkesinambungan selama resusitasi cairan untuk menghindari overload
cairan iatrogenik. Untuk itu pemasangan Central Venous Pressure (CVP)
monitor dapat sangat menolong. Ketika kadar gula darah mencapai 250 mg/dl,
cairan diganti atau ditambahkan dengan cairan yang mengandung dextrose
seperti (dextrose 5%, dextrose 5% pada NaCl 0,9%, atau dextrose 5% pada
NaCl 0,45%) untuk menghindari hipoglikemia dan mengurangi kemunginan
edema serebral akibat penurunan gula darah yang terlalu cepat.
12
2. Terapi Insulin
Terapi insulin harus segera dimulai sesaat setelah diagnosis KAD dan
rehidrasi yang memadai. Sumber lain menyebutkan pemberian insulin
dimulai setelah diagnosis KAD ditegakkan dan pemberian cairan telah 13
dimulai. Pemakaian insulin akan menurunkan kadar hormon glukagon,
sehingga menekan produksi benda keton di hati, pelepasan asam lemak
bebas dari jaringan lemak, pelepasan asam amino dari jaringan otot dan
meningkatkan utilisasi glukosa oleh jaringan. Sampai tahun 1970-an
penggunaan insulin umumnya secara bolus, intravena, intramuskular,
ataupun subkutan.
Sejak pertengahan tahun 1970-an protokol pengelolaan KAD dengan
drip insulin intravena dosis rendah mulai digunakan dan menjadi popular.
Cara ini dianjurkan karena lebih mudah mengontrol dosis insulin,
menurunkan kadar glukosa darah lebih lambat, efek insulin cepat
menghilang, masuknya kalium ke intrasel lebih lambat, komplikasi
hipoglikemia dan hipokalemia lebih sedikit. Pemberian insulin dengan
infus intravena dosis rendah adalah terapi pilihan pada KAD yang
disebutkan oleh beberapa literatur, sedangkan ADA menganjurkan insulin
intravena tidak diberikan pada KAD derajat ringan.
Jika tidak terdapat hipokalemia (K < 3,3 mEq/l), dapat diberikan
insulin regular 0,15 u/kgBB, diikuti dengan infus kontinu 0,1 u/kgBB/jam
(5-7 u/jam). Jika kadar kalium < 3,3 mEq/l, maka harus dikoreksi dahulu
untuk mencegah perburukan hipokalemia yang akan dapat mengakibatkan
aritmia jantung. Insulin dosis rendah biasanya menurunkan gula darah
dengan kecepatan 50-75 mg/dl/jam, sama seperti pemberian insulin dosis
lebih tinggi. Jika gula darah tidak menurun sebesar 50 mg/dl dari nilai
awal pada jam pertama, periksa status hidrasi pasien. Jika status hidrasi
mencukupi, infus insulin dapat dinaikkan 2 kali lipat setiap jam sampai
tercapai penurunan gula darah konstan antara 50-75 mg/dl/jam. Ketika
kadar gula darah mencapai 250 mg/dl, turunkan infus insulin menjadi
0,05-0,1 u/kgBB/jam (3-6 u/jam), dan tambahkan infus dextrose 5-10%.
Setelah itu kecepatan pemberian insulin atau konsentrasi dextrose harus
disesuaikan untuk memelihara nilai glukosa sampai keadaan asidosis
membaik. Pada kondisi klinik pemberian insulin intravena tidak dapat
diberikan, maka insulin diberikan dengan dosis 0,3 iu (0,4-0,6 iu)/kgBB
yang terbagi menjadi setengah dosis secara intravena dan setengahnya lagi
14
secara subkutan atau intramuskular, selanjutnya diberikan insulin secara
intramuskular atau subkutan 0,1 iu/kgBB/jam, selanjutnya protokol
penatalaksanaannya sama seperti pemberian drip intravena.
Pada KAD ringan, insulin regular dapat diberikan secara subkutan atau
intramuskular setiap jam dengan efektifitas yang sama dengan pemberian
intravena pada kadar gula darah yang rendah dan keton bodies yang
rendah. Efektifitas pemberian insulin dengan intramuskular dan subkutan
adalah sama, namun injeksi subkutan lebih mudah dan kurang
menyakitkan pasien. Pasien dengan KAD ringan harus mendapatkan
“priming dose” insulin regular 0,4-0,6 u/kgBB, setengah dosis sebagai
bolus dan setengah dosis dengan subkutan atau injeksi intramuskular.
Selanjutnya diberikan insulin subkutan atau intramuskular 0,1
u/kgBB/jam.
Kriteria resolusi KAD diantaranya adalah kadar gula darah < 200 mg/dl,
serum bikarbonat ≥18 mEq/l, pH vena > 7,3, dan anion gap ≤12 mEq/l.
Saat ini, jika pasien NPO, lanjutkan insulin intravena dan pemberian
cairan dan ditambah dengan insulin regular subkutan sesuai keperluan
setiap 4 jam. Pada pasien dewasa dapat diberikan 5 iu insulin tambahan
setiap kenaikan gula darah 50 mg/dl pada gula darah di atas 150 mg/dl dan
dapat ditingkatkan 20 iu untuk gula darah ≥300 mg/dl. Ketika pasien dapat
makan, jadwal dosis multipel harus dimulai dengan memakai kombinasi
dosis short atau rapid acting insulin dan intermediate atau long acting
insulin sesuai kebutuhan untuk mengontrol glukosa darah.
3. Natrium
Penderita dengan KAD kadang-kadang mempunyai kadar natrium
serum yang rendah, oleh karena level gula darah yang tinggi. Untuk tiap
peningkatan gula darah 100 mg/dl di atas 100 mg/dl maka kadar natrium
diasumsikan lebih tinggi 1,6 mEq/l daripada kadar yang diukur.
Hiponatremia memerlukan koreksi jika level natrium masih rendah setelah
penyesuaian efek ini. Contoh, pada orang dengan kadar gula darah 600
mg/dl danlevel natrium yang diukur 130, maka level natrium yang
15
sebenarnya sebesar 130 + (1,6 x 5) = 138, sehingga tidak memerlukan
koreksi dan hanya memerlukan pemberian cairan normal saline (NaCl
0,9%). Sebaliknya kadar natrium dapat meningkat setelah dilakukan
resusitasi cairan dengan normal saline oleh karena normal saline memiliki
kadar natrium lebih tinggi dari kadar natrium ekstraselular saat itu
disamping oleh karena air tanpa natrium akan berpindah ke intraselular
sehingga akan meningkatkan kadar natrium. Serum natrium yang lebih
tinggi daripada 150 mEq/l memerlukan koreksi dengan NaCl 0,45%.
4. Kalium
Meskipun terdapat kekurangan kalium secara total dalam tubuh
(sampai 3-5 mEq/kgBB), hiperkalemia ringan sampai sedang seringkali
terjadi. Hal ini terjadi karena shift kalium dari intrasel ke ekstrasel oleh
karena asidosis, kekurangan insulin, dan hipertonisitas, sehingga terapi
insulin, koreksi asidosis, dan penambahan volume cairan akan
menurunkan konsentrasi kalium serum. Untuk mencegah hipokalemia,
penggantian kalium dimulai setelah kadar kalium serum kurang dari 5,0,
sumber lain menyebutkan nilai 5,5 mEq/l. Umumnya, 20-30 mEq kalium
(2/3 KCl dan 1/3 KPO4) pada tiap liter cairan infus cukup untuk
memelihara kadar kalium serum dalam range normal 4-5 mEq/l. Kadang-
kadang pasien KAD mengalami hipokalemia yang signifikan. Pada kasus
tersebut, penggantian kalium harus dimulai dengan terapi KCl 40 mEq/l,
dan terapi insulin harus ditunda hingga kadar kalium > 3,3 mEq/l untuk
menghindari aritmia atau gagal jantung dan kelemahan otot pernapasan.
Terapi kalium dimulai saat terapi cairan sudah dimulai, dan tidak
dilakukan jika tidak ada produksi urine, terdapat kelainan ginjal, atau
kadar kalium > 6 mEq/l.
5. Bikarbonat
16
Pemakaian bikarbonat pada KAD masih kontroversial. Pada pH > 7,0,
pengembalian aktifitas insulin memblok lipolisis dan memperbaiki
ketoasidosis tanpa pemberian bikarbonat. Studi random prospektif telah
gagal menunjukkan baik keuntungan atau kerugian pada perubahan
morbiditas atau mortalitas dengan terapi bikarbonat pada pasien KAD
dengan pH antara 6,9-7,1. Tidak didapatkan studi random prospektif yang
mempelajari pemakaian bikarbonat pada KAD dengan nilai pH < 6,9.
Mengetahui bahwa asidosis berat menyebabkan banyak efek vaskular
yang tidak diinginkan, tampaknya cukup bijaksana menentukan bahwa
pada pasien dewasa dengan pH < 6,9, 100 mmol natrium bikarbonat
ditambahkan ke dalam 400 ml cairan fisiologis dan diberikan dengan
kecepatan 200 ml/jam. Pada pasien dengan pH 6,9-7,0, 50 mmol natrium
bikarbonat dicampur dalam 200 ml cairan fisiologis dan diberikan dengan
kecepatan 200 ml/jam. Natrium bikarbonat tidak diperlukan jika pH > 7,0.
Sebagaimana natrium bikarbonat, insulin menurunkan kadar kalium
serum, oleh karena itu pemberian kalium harus terus diberikan secara
intravena dan dimonitor secara berkala. Setelah itu pH darah vena
diperiksa setiap 2 jam sampai pH menjadi 7,0, dan terapi harus diulangi
setiap 2 jam jika perlu.
6. Penatalaksanaan terhadap Infeksi yang Menyertai
Antibiotika diberikan sesuai dengan indikasi, terutama terhadap faktor
pencetus terjadinya KAD. Jika faktor pencetus infeksi belum dapat
ditemukan, maka antibiotika yang dipilih adalah antibiotika spektrum luas.
17
BAB II
ILUSTRASI KASUS
Telah dirawat pasien laki-laki berusia 62 tahun di bangsal Penyakit Dalam
RSUD Pariaman sejak tanggal 28 April 2013 sampai dengan sekarang dengan:
Keluhan Utama : Sesak nafas yang semakin meningkat sejak 7 jam sebelum masuk
rumah sakit.
Riwayat Penyakit Sekarang :
18
Sesak nafas semakin meningkat sejak 7 jam sebelum masuk rumah sakit,
sesak nafas sudah dirasakan sejak 4 hari yang lalu, nafas cepat dan dalam,
sesak nafas tidak dipengaruhi oleh cuaca dan makanan, sesak nafas tidak
berkurang dengan istirahat.
Demam sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit, demam tidak tinggi,
tidak menggigil, demam turun ketika os minum obat turun panas, kemudian
demam lagi. Saat masuk rumah sakit os tidak demam lagi.
Pasien tidak nyambung komunikasi sejak 4 hari yang lalu.
Bengkak dan merah pada lengan kanan sejak 1 minggu sebelum masuk rumah
sakit. Bengkak terasa panas dan nyeri. Pasien mengaku tertusuk duri di jempol
tangan kanan 1 minggu yang lalu.
Penurunan nafsu makan (+) sejak 1 minggu yang lalu. Mual (-), muntah (-)
Penurunan berat badan yang cepat (+).
Badan sering terasa lemas. Pasien sehari-hari sering merasa lapar dan haus,
sering minum, dan sering kencing terutama malam hari dengan frekuensi ± 3-
5 kali perhari dan semakin sering sejak pasien demam.
Pasien tidak meminum obat untuk penyakit gulanya dengan teratur, dan tidak
lagi meminum obat dari dokter sejak 1 tahun yang lalu. Pasien hanya
meminum obat herbal yang dibelinya sendiri.
BAK (+) N
BAB (+) N
Riwayat Penyakit Dahulu :
Riwayat penyakit serupa (-)
Riwayat alergi (-)
Riwayat DM (+)
Riwayat Penyakit Jantung (-)
Riwayat Penyakit Ginjal (-)
Riwayat Hipertensi (+)
Riwayat Penyakit Keluarga :
Tidak ada anggota keluarga yang sakit serupa
19
Riwayat Pekerjaaan, Sosial, Ekonomi dan Status Perkawinan
Os bekerja sebagai petani
Pemeriksaan Fisik
Tanda Vital
Kesadaraan : Sopor Keadaan Umum : Lemah
Tekanan Darah : 180/120 mmHg BB : 50 kg
Frekuensi Nadi : 128 x/mnt TB : 170 cm
Frekuensi Nafas : 32 x/mnt BMI : 17.3 kg/m2
cepat dan dalam Kesan : Underweight
Suhu : 36,50C
Status Generalis
Kulit : Turgor kulit menurun (+) Ikterus (-),
Kelenjar Getah Bening : Tidak ada pembesaran kelenjar getah bening
Kepala : Normocephal
Rambut : Hitam, tidak mudah dicabut
Mata : Konjungtiva tidak anemis
Sklera tidak ikterik
Telinga : Tidak ada kelainan
Hidung : Tidak ada kelainan
Tenggorokan : Tidak ada kelainan
20
Gigi dan Mulut : Caries (+)
Leher : JVP 5-2 cmH2O
Kelenjar tiroid tidak membesar
Thoraks
Paru Depan
Inspeksi : Simetris kiri dan kanan statis dan dinamis
Palpasi : Sukar dinilai
Perkusi : Sonor kiri = kanan
Auskultasi : Vesikuler, Ronkhi (-/-), Wheezing (-/-)
Paru Belakang
Inspeksi : Simetris kiri dan kanan statis dan dinamis
Palpasi : Sukar dinilai
Perkusi : Sonor kiri = kanan
Auskultasi : Vesikuler, Ronkhi (-/-) Wheezing (-/-)
Jantung
Inspeksi : Iktus tidak terlihat
Palpasi : Iktus teraba 1 jari madial LMCS RIC V
Perkusi : Batas Jantung kanan : LSD, Atas : RIC II, kiri : 1 jari
Madial LMCS RIC V, luas 1 jari, tidak kuat angkat,
Thrill (-), pinggang jantung (+)
Auskultasi : Bunyi jantung murni, teratur, M1 > M2, P2 < A2,
Bising (-)
Abdomen
Inspeksi : Perut tidak membuncit, kolateral (-), sikatrik (-)
Palpasi : Hepar tidak teraba, lien tidak teraba
Perkusi : Timpani, shiffting dullness (-)
Auskultasi : Bising usus (+) N
Punggung : NT CVA (-), NT CVA (-)
Alat kelamin : Tidak diperiksa
Anus : Tidak diperiksa
Anggota Gerak : Gangren et Manus Digiti I Dekstra
21
Selulitis et regio Manus Dextra – Brakhialis Dekstra
Reflek fisiologis (+/+), Edema (-/-)
Laboratorium (28 April 2013)
Darah
Hemoglobin : 14.7 gr/dl Ureum : 84 mg/dl
Leukosit : 29.610/mm3 Kreatinin : 1,4 mg/dl
Hematokrit : 41%
Trombosit : 348.000/mm3
GDS : 411 mg/dl
Diagnosis Kerja
Diagnosis Primer : Penurunan kesadaran e.c suspek KAD
Diagnosis Sekunder :
- Sepsis e.c selulitis et regio Manus Dekstra – Brakhialis Dekstra
- Hipertensi stage II
Terapi :
Istirahat / NGT MC / O2 2L/menit
IVFD NaCl 0.9%
Jam I 2 L
Jam II 1 L
Jam III 1 L
Jam IV 500 cc
Jam V 500 cc
Jam VI dst. 6 jam/kolf
Ceftriaxone Inj. 2 x 1 gram IV
Ciprofloxacin Inj. 2 x 200 mg IV
Metronidazole Infus 300 mg
Ranitidin 3 x 1 amp. IV
Curcuma Tab 3x1 tab
22
Sliding Scale : cek GD / 4 jam
GDS Insulin
200 – 250 mg/dl 8 IU
250 – 300 mg/dl 12 IU
300 – 350 mg/dl 16 IU
>350 mg/dl 20 IU
Nonflamin 3 x 1 tab
Captopril 3 x 50 mg
Pasang kateter
Rencana pemeriksaan
Cek AGD
Urinalisa
EKG
Follow Up (29 April 2013)
S/ Penurunan Kesadaran
O/ Keadaan Umum : Lemah
Kesadaran : Sopor
Tekanan Darah : 180/100
Nadi : 92 x/menit
Nafas : 26 x/menit
Temperatur : Afebris
Lab
Kimia Klinik
23
Jam Gula Darah Insulin
08.00 422 mg/dl 20 IU
18.30 493 mg/dl 20 IU
22.00 396 mg/dl 20 IU
Urinalisa
Makroskopis
Warna : kuning
Mikroskopis Kimia
Lekosit : 1-2/LPB Protein : (-)
Eritrosit : 0-1/LPB Glukosa : (++++)
Silinder : (-) Bilirubin : (-)
Kristal : (-) Urobilinogen : (+)
Epitel : (+) Benda Keton : (+++)
Analisa Gas Darah
pH : 7.31
pCO2 : 12 mmHg
pO2 : 158 mmHg
Na+ : 138 mmol/L
HCO3- : 5.7 mmol/L
Base(Ecf.ox) : - 19.2 mmol/L
sO2 : 99.4%
A/ Asidosis Metabolik
Sepsis e.c selulitis et regio Manus Dekstra – Brakhialis Dekstra
Hipertensi stage II
P/ Terapi lanjut
IVFD NaCl 0.45% 6 jam/kolf
Sliding Scale / 4 jam
Biknat Tab 3 x 1 tab
Rencana pemeriksaan
Cek AGD
Follow Up (30 April 2013)
S/ Penurunan Kesadaran
O/ Keadaan Umum : Lemah
24
Kesadaran : Sopor
Tekanan Darah : 130/80
Nadi : 90 x/menit
Nafas : 28 x/menit
Temperatur : Afebris
Lab
Ureum : 84 mg/dl
Creatinin : 1.4 mg/dl
Analisa Gas Darah
pH : 7.44
pCO2 : 29 mmHg
pO2 : 124 mmHg
Na+ : 159 mmol/L
HCO3- : 19.2 mmol/L
Base(Ecf.ox) : - 2.9 mmol/L
sO2 : 98.9%
A/ Asidosis Metabolik
Sepsis e.c selulitis et regio Manus Dekstra – Brakhialis Dekstra
Hipertensi stage II
P/ Terapi Lanjut
Follow Up (1 Mei 2013)
S/ Penurunan kesadaran (-)
25
Jam Gula Darah Insulin
06.00 430 mg/dl 20 IU
10.00 369 mg/dl 20 IU
15.30 353 mg/dl 16 IU
19.30 93 mg/dl 10 IU
Nafas sesak (-)
Keluar darah dari selang NGT
O/ Keadaan Umum : Sedang
Kesadaran : CMC
Tekanan Darah : 150/80 mmHg
Nadi : 78 x/menit
Nafas : 28 x/menit
Temperatur : Afebris
A/ Asidosis metabolik dalam perbaikan
Sepsis e.c selulitis et regio Manus Dekstra – Brakhialis Dekstra
Hipertensi stage II
Stress Ulcer
P/ Terapi Lanjut
Gastrofer 1 x 1
Mucogard 3 x 1 C
BAB IV
DISKUSI
Telah dirawat seorang pasien pria umur 62 tahun diagnosis akhir :
Keto Asidosis Diabetik
Sepsis e.c selulitis et regio Manus Dekstra – Brakhialis Dekstra
Diabetes Melitus ditegakan berdasarkan anamnesa didapatkan gejala klasik
seperti poliuri, polidipsi, polifagia dan berat badan pasien yang menurun dalam 1
tahun terakhir. Berdasarkan literature diagnosis diabetes melitus ditegakan
berdasarkan pemeriksaan kadar glukosa darah dimana pemeriksaan gula darah
sewaktu adalah besar dan sama 200 mg/dl. Pada pemeriksaan laboratorium pada
26
pasien ini didapatkan gula darah pasien 411 mg/dl. Diagnosa ketoasidosis diabetik
ditegakan berdasarkan gejala sesak nafas dengan nafas cepat dan dalam (tipe
pernafasan kusmaul), adanya demam sebelumnya walaupun saat masuk rumah sakit
os tidak demam lagi, adanya mual dan muntah dan penurunan kesadaran. Nafas bau
keton, turgor kulit yang menurun karena dehidrasi, leukositosis serta tachycardia.
Dari Laboratorium ditemukan hiperglikemi berat dimana pada pasien gula darah
randomnya adalah 493 mg% dan benda keton (+++)/ketonuria serta dari analisa gas
darah didapatkan tanda asidosis metabolik pada pasien ini digolongkan pada
ketoasidosis ringan dimana dari hasil Analisa Gas Darah didapatkan pH = 7.31 dan
bikarbonat 5.7 mEg/L. Ketoasidosis biasanya ditandai dengan trias;
1) Hiperglikemia ; glukosa darah ≥ 250 mg/dl
2) Ketonemia
3) Asidosis metabolik
Pada pasien ini diduga yang menjadi pencetus timbulnya KAD adalah
1. Adanya infeksi yang terlihat dari adanya leukositosis, sumber infeksi
pada pasien ini adalah dari selulitas pada tangan akibat tertusuk duri.
2. Pasien tidak rutin menggunakan insulin dalam setahun terakhir, os
memakai insulin tidak teratur dan diselingi dengan meminum obat
herbal yang dibeli os sendiri.
Penatalaksanaan terapi pada pasien ini berupa rehidrasi dan pemberian insulin,
elektrolit dan antibiotik. Pada awal masuk pasien dikelola sebagai pasien dengan
protokol KAD dan Sepsis.
Terapi rehidrasi yang diberikan berupa IVFD NaCl 0.9% sebagai berikut:
Jam I 2 L
Jam II 1 L
Jam III 1 L
Jam IV 500 cc
Jam V 500 cc
Jam VI dst. 6 jam/kolf
Kemudian cairan NaCl 0.9% diganti dengan NaCl 0.45% pada hari rawatan kedua
untuk koreksi Na.
Terapi insulin yang diberikan berdasarkan pemeriksaan GD / 4 jam.
27
GDS Insulin
200 – 250 mg/dl 8 IU
250 – 300 mg/dl 12 IU
300 – 350 mg/dl 16 IU
>350 mg/dl 20 IU
Sedangkan terapi untuk faktor pencetusnya diberikan 3 macam antibiotik
yaitu ceftriakson, ciprofloxacin, dan metronidazole, karena dicurigai terjadi sepsis
pada pasien ini.
DAFTAR PUSTAKA
1. PERKENI : Konsensus pengelolaan dan pencegahan diabetes melitus tipe 2 di
Indonesia, Jakarta 2006
2. Konsensus Nasional Pengelolaan Diabetes Melitus Tipe 1 di Indonesia, UKK
Endokrinologi, Jakarta 2000
3. Tanuwidjaja dkk, Diabetes Melitus tipe 1 dalam Pedoman Diagnosis dan Terapi
Ilmu Kesehatan Anak FK Unpad edisi ke 3, Bandung, 2005
4. Roger H and Daniel W.F, Diabetes Mellitus in Williams teksbooks of
Endokrinology, 9 th ed, Saunder 1991
5. Rosenbloom AL et al Emerging epidemic of type 2 diabetes in youth. Diabetes
Care 1999
28
6. Foster,DW: Diabetes Melitus,in Harrison’s Principles of Internal Medicine,vol
2,12 th ed, Edited by Wilson, J.D MC Graw HILL,Inc, New York 1991
7. Soewondo,P : Ketoasidosis Diabetik,Dalam : Penatalaksanaan kedaruratan di
Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Pusat Informasi dan Penerbitan FKUI, Jakarta
2000
8. Sudoyo,AW. Dkk: Ketoasidosis Diabetik, Dalam : Kumpulan Kasus Menarik
Penyakit Dalam, Jilid II, Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI, Jakarta 1999
9. Soewondo, P : Ketoasidosis, Dalam : Buku Ajar Penyakit Dalam, Jilid III ed ke
IV, Balai Penerbit FKUI, Jakarta 2007
10. I Ketut Suastika dan In Dwi Sutanegara, Komplikasi Akut Diabetes Mellitus,
Dalam Gawat Darurat di Bidang Penyakit Dalam, Penerbit ECG, Jakarta 1999
29