Kader Partai Korupsi

Embed Size (px)

DESCRIPTION

ddf

Citation preview

Kader Partai Korupsi, Apa Akar Penyebabnya?Berapa tahun ini kita banyak mendengar berita banyak kader partai politik (parpol) terjerat kasus korupsi, terutama yang menduduki jabatan publik. Ada apa dengan mereka? Menurut data penelitian dari Perludem, Indonesia Coruption Watch, Marcus Mieztner , Dody Ambadi, hal ini disebabkan ketiadaan sumber dana partai. Sumber dana partai yang idealnya berasal dari iuran anggota sudah tidak ada lagi. Dari lima jenis sumber pendanaan parpol (yakni: (1) iuran anggota; (2) sumbangan perseorangan anggota; (3) sumbangan perseorangan bukan anggota; (4) sumbangan badan usaha; (5) subsidi negara) sumbangan yang paling besar diperoleh dari badan usaha.Sistem pendanaan parpol tersebut memberikan peluang kepada orang yang sangat kaya dan badan usaha/bisnis swasta untuk memberikan dana lebih besar kepada parpol. Hal ini menyebabkan parpol semakin aktif menggunakan kadernya baik di DPR RI ataupun eksekutif di tengah parpol kesulitan mengumpulkan sumbangan dari perseorangan bukan anggota parpol dan swasta. Menurut survey kualitatif Veri Junaidi dkk (2011), sumbangan dana perseorangan non anggota tidak bermakna. Sumbangan tersebut baru bermakna apabila sumbangan itu datang dari dari kepala daerah dan wakil kepala daerah, yang pencalonannya didukung oleh partai politik. Seperti di Bali, Gubernur Bali Mangku Pastika dan Walikota Denpasar Rai Mantra, sesungguhnya bukan anggota PDIP. Namun mereka dicalonkan oleh PDIP, sehingga ketika terpilih dan menjabat, mereka banyak memberikan kontribusi kepada PDIP. Misalnya, ketika PDIP Bali membangun kantor partai baru, kedua pejabat itu masing-masing menyumbang Rp 500 juta dan 100 juta. Beberapa bupati/wakil bupati bukan kader PDIP tetapi dicalonkan oleh PDIP juga memberikan kontribusi yang signifikan.Sedangkan sumbangan dari badan usaha menurut Veri Junaidi dkk, disampaikan melalui pengurus partai politik yang menduduki jabatan eksekutif dengan mengatasnamakan pengurus parpol dengan jumlah yang berarti. Sumbangan dari badan usaha jarang yang disampaikan dengan nama badan usaha yang jelas. Hal ini dilakukan agar sumbangan dalam jumlah besar tersebut tidak menyalahi aturan UU. Sumbangan itu terutama diberikan oleh perusahaan-perusahaan yang Ingin mendapatkan proyek atau memanfaatkan kebijakan yang akan diambil pemerintah. Itulah sebabnya, mengapa partai politik berkeras agar kadernya duduk di jajaran kabinet, sebab jabatan ini menjamin datangnya banyak sumbangan yang dapat disalurkan ke partai politik. Data tersebut sesuai dengan pernyataan Marcus Mietzner (2008), Parpol memaksakan anggota partainya baik yang duduk di legislative, eksekutif maupun kepala pemerintahan daerah untuk mencari dana atau mendanai biaya operasional parpolnya. Metodenya dengan memajaki dari pendapatan/gaji jabatan kader partai baik di eksekutif atau di legislative. Bahkan Mietzner menggunakan istilah pemerasan ala partai. Akibatnya, anggota menjadi makelar proyek untuk mendapatkan dana segar untuk partai. Mietzner mencontohkan pada tahun 2007, permintaan penyediaan mesin fax dan laptop untuk anggota DPR, permintaan asisten penelitian untuk anggota DPR adalah usaha dari politisi partai untuk mendapatkan dana negara untuk partai. Data Mietzner tersebut dilengkapi dengan kekecewaan warganegara Indonesia terhadap partai yang kader-kadernya banyak terlibat praktek korupsi. Setidaknya sejak tahun 2004 ada 1000 anggota DPRD dimejahijaukan terkait kasus korupsi yang melilitnya. Data-data yang dikemukaan Mietner di atas terus bertambah dan menjadi headline serta polemik di media massa. Dari kasus yang melilit Mantan Bendahara Partai Mohammad Nazarudin hingga Kasus Hambalang.Sistem pendanaan parpol dan penerapannya di Indonesia mengarah kepada tergerusnya otonomi parpol sebagai artikulasi kepentingan konstituen partai atau warganegara. Indonesia yang lepas sistem otoritarian kini terjerat dengan sistem oligarki elit parpol yang melembaga melalui pemilu yang demokratis. Hasil riset Indonesia Corruption Watch (ICW) menyatakan terjadi pola simbiosis mutualisme antara elite politik penguasa dan kekuatan ekonomi di daerah dengan menguasai infrastruktur pemerintahan sehingga menyokong pelanggengan praktik korupsi di daerah. Riset ICW yang berjudul Pemetaan Kepentingan Bisnis Politik di empat Daerah, menguatkan argumentasinya bahwa relasi penguasa dengan kelompok bisnis menjadi fondasi kuat terjadinya korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan (Kompas, 30/3/2011)[footnoteRef:2]. [2: Baca http://nasional.kompas.com/read/2011/03/30/03370887/Bisnis.Berelasi.dengan.Politik diakses pada tanggal 8 Desember 2012]