26
BAB I PENDAHULUAN KAIDAH-KAIDAH USHUL Secara bahasa yang dimaksud dengan al-ashlu adalah sesuatu yang diatasnya dibangun sesuatu yang lain. Baik apakah bangunan tersebut sifatnya indrawi seperti pembangunan tembok diatas fondasi atau yang sifatnya pemikiran seperti membangun ma’lul (hukum yang terdapat ilat) berdasarkan illat dan (sesuatu) yang ditunjuk oleh suatu dalil. Maka ushul fiqh adalah kaidah-kaidah yang fiqh dibangun diatasnya. pengertian fiqh, secara bahasa, adalah faham. Sedangkan menurut istilah para ahli syariah yang dimaksud dengan fiqh adalah ilmu tentang hukum-hukum syariah yang sifatnya oprasional yang diistimbathkan dari dalil-dalil yang sifatnya rinci. Dan yang dimaksud dengan ilmu tentang hukum-hukum, terkait dengan si alim terhadap fiqh tersebut, bukanlah sekedar tahu, tapi pengetahuan yang memungkinkan dia memiliki otoritas atas hukum-hukum syara’ tersebut. Atau dengan kata lain bahwa pengetahuan dan pendalaman tersebut sampai pada level yang dapat mengantarkan si alim terhadap hukum-hukum tersebut memiliki otoritas atas hukum-hukum tersebut 1

kaidah-ushul-fiqh

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: kaidah-ushul-fiqh

BAB I

PENDAHULUAN

KAIDAH-KAIDAH USHUL

Secara bahasa yang dimaksud dengan al-ashlu adalah sesuatu yang diatasnya

dibangun sesuatu yang lain. Baik apakah bangunan tersebut sifatnya indrawi seperti

pembangunan tembok diatas fondasi atau yang sifatnya pemikiran seperti

membangun ma’lul (hukum yang terdapat ilat) berdasarkan illat dan (sesuatu) yang

ditunjuk oleh suatu dalil. Maka ushul fiqh adalah kaidah-kaidah yang fiqh dibangun

diatasnya. pengertian fiqh, secara bahasa, adalah faham.

Sedangkan menurut istilah para ahli syariah yang dimaksud dengan fiqh

adalah ilmu tentang hukum-hukum syariah yang sifatnya oprasional yang

diistimbathkan dari dalil-dalil yang sifatnya rinci. Dan yang dimaksud dengan ilmu

tentang hukum-hukum, terkait dengan si alim terhadap fiqh tersebut, bukanlah

sekedar tahu, tapi pengetahuan yang memungkinkan dia memiliki otoritas atas

hukum-hukum syara’ tersebut. Atau dengan kata lain bahwa pengetahuan dan

pendalaman tersebut sampai pada level yang dapat mengantarkan si alim terhadap

hukum-hukum tersebut memiliki otoritas atas hukum-hukum tersebut

1

Page 2: kaidah-ushul-fiqh

BAB II

PEMBAHASAN

1. AL-QUR`AN

Al-Qur`an adalah firman Allah SWT. Kitab suci ini mengadung pesan

samawi yang diperantai oleh wahyu. Wahyu adalah ilham gaib dari sisi Malakul Al

A`la yang turun kealam materi.

Secara etimologis, Al Qur’an berasal dari kata “qara’a”, yaqra’u, qiraa’atan

atau qur’aanan yang berarti mengumpulkan (al jam’u) dan menghimpun (al dlammu)

huruf-huruf serta kata-kata dari satu bagian kebagian lain secara teratur 3. Dikatakan

Al Qur’an karena ia berisikan intisari dari semua kitabullah dan intisari dari ilmu

pengetahuan. Allah berfirman :

“ Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (dalam

dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila kamu telah selesai

membacakannya maka ikutilah bacaannya”. (al Qiyamah [75]:17-18).

Hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an secara garis besar terbagi atas dua,

yaitu:

1. Hukum yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan (ibadah). Ibadah

terbagi atas:

a. Yang bersifat semata-mata ibadah, yaitu shalat dan puasa.

b. Yang bersifat harta benda dan hubungan masyarakat, yaitu zakat.

c. Yang bersifat badaniyah dan berhubungan juga dengan masyarakat, yaitu

haji.

2. Hukum-hukum yang mengatur pergaulan manusia dengan manusia, yang disebut

mu’amalat. Hukum ini dibagi empat, yaitu:

a. Yang berhubungan dengan jihad.

b. Yang berhubungan dengan rumah tangga.

c. Yang berhubungan dengan pergaulan hidup manusia.

d. Yang berhubungan dengan hukum pidana (jinayat).

Dalam mengadakan perintah dan larangan, Al-Qur’an berpedoman kepada

tiga hal, yaitu:

2

Page 3: kaidah-ushul-fiqh

1. Tidak memberatkan atau menyusahkan.

2. Tidak memperbanyak tuntutan.

3. Berangsur-angsur dalam mentasyri’kan hukum.

2. HADITS

Kata "Hadits" atau al-hadits menurut bahasa berarti al-jadid (sesuatu yang

baru), lawan kata dari al-qadim (sesuatu yang lama). Kata hadits juga berarti al-

khabar (berita), yaitu sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang

kepada orang lain. Kata jamaknya, ialah al-ahadis.

Secara terminologi, ahli hadits dan ahli ushul berbeda pendapat dalam

memberikan pengertian hadits. Di kalangan ulama hadits sendiri ada juga beberapa

definisi yang antara satu sama lain agak berbeda. Ada yang mendefinisikan hadits,

adalah : "Segala perkataan Nabi SAW, perbuatan, dan hal ihwalnya". Ulama hadits

menerangkan bahwa yang termasuk "hal ihwal", ialah segala pemberitaan tentang

Nabi SAW, seperti yang berkaitan dengan himmah, karakteristik, sejarah kelahiran,

dan kebiasaan-kebiasaanya.

Ulama Ushul, mendefinisikan hadits sebagai berikut : "Segala perkataan

Nabi SAW. yang dapat dijadikan dalil untuk penetapan hukum syara'".

Sedangkan, Sunnah menurut istilah muhadditsin (ahli-ahli hadits) ialah segala

yang dinukilkan dari Nabi SAW., baik berupa perkataan, perbuatan, maupun berupa

taqrir, pengajaran, sifat, kelakuan, perjalanan hidup baik yang demikian itu sebelum

Nabi SAW., dibangkitkan menjadi Rasul, maupun sesudahnya.

Berdasarkan definisi yang dikemukakan di atas, kata sunnah menurut

sebagian ulama sama dengan kata hadits. "Ulama yang mendefinisikan sunnah

sebagaimana di atas, mereka memandang diri Rasul SAW., sebagai uswatun hasanah

atau qudwah (contoh atau teladan) yang paling sempurna, bukan sebagai sumber

hukum

Ulama Ushul Fiqh memberikan definisi Sunnah adalah "segala yang

dinukilkan dari Nabi Muhammad SAW., baik berupa perkataan, perbuatan maupun

taqrirnya yang ada sangkut pautnya dengan hukum". Menurut T.M. Hasbi Ash

Shiddieqy, makna inilah yang diberikan kepada perkataan Sunnah dalam sabda Nabi,

3

Page 4: kaidah-ushul-fiqh

sebagai berikut : "Sungguh telah saya tinggalkan untukmu dua hal, tidak sekali-kali

kamu sesat selama kamu berpegang kepadanya, yakni Kitabullah dan Sunnah Rasul-

Nya" (H.R.Malik).

Bentuk-bentuk Hadist

1. HADITS QOULI

Adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi, baik berupa perkataan

yang memuat berbagai maksud syara’, peristiwa, dan keadaan yang berkaitan

dengan aqidah, syari’ah, atau lainnya. Contohnya adalah hadits tentang bacaan

Al-Fatihah dalam shalat yaitu “Tidak sah shalat seseorang yang tidak membaca

ummul Quran (Al-Fatihah).”

2. HADITS FI’LI

Adalah hadits yang menyebutkan perbuatan Nabi yang sampai kepada kita.

Contohnya adalah hadits tentang shalat, yaitu “Shalatlah kalian sebagaimana

kalian melihat aku shalat.”

3. HADITS TAQRIRI

Adalah hadits yang menyebutkan ketetapan Nabi terhadap apa yang datang dari

sahabatnya. Contohnya adalah sikap Rasul yang membiarkan para sahabat

melaksanakan perintahnya sesuai dengan penafsiran mereka terhadap sabdanya,

yang berbunyi: “Janganlah seseorang pun shalat ‘Ashar, kecuali bila tiba di Bani

Quraizhah.”

4. HAMMI

Adalah hadits yang menyebutkan keinginan Nabi yang belum terealisasikan,

seperti keinginan untuk berpuasa pada tanggal 9 ‘Asyura.

5. HADITS AHWALI

Adalah hadits yang menyebutkan hal ihwal Nabi yang menyangkut keadaan fisik,

sifat-sifat, dan kepribadiannya.12

3. IJMA’

Ijma’ dalam pengertian bahasa memiliki dua arti.

Pertama, berupaya (tekad) terhadap sesuatu. disebutkan األمر على فالن أجمع

berarti berupaya di atasnya.

4

Page 5: kaidah-ushul-fiqh

Sebagaimana firman Allah Swt:

...Artinya : ...“Karena itu bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu-

sekutumu... (Qs.10:71)

Kedua, berarti kesepakatan. Perbedaan arti  yang pertama dengan yang kedua ini

bahwa arti pertama berlaku untuk satu orang dan arti kedua lebih dari satu orang.

Ijma’ dalam istilah ahli ushul adalah kesepakatan semua para mujtahid dari

kaum muslimin dalam suatu masa setelah wafat Rasul Saw atas hukum syara.

Menurut ulama Ushul Fiqh, yang dimaksud dengan ijma’ adalah kesepakatan

seluruh mujtahid Islam dalam suatu masa sesudah wafatnya Rasulullah saw. atas

suatu hukum syara’ dalam suatu kasus. Mujtahid adalah orang yang berkompeten

untuk merumuskan hukum, sedangkan hukum syara’ adalah hukum yang berkaitan

dengan perbuatan mukallaf (orang yang dibebani hukum). Contoh ijma’ adalah hak

waris seorang kakek dalam hal seseorang meninggal dengan meninggalkan anak dan

ayah yang masih hidup.

Adapun rukun ijma’ dalam definisi di atas adalah adanya kesepakatan para

mujtahid kaum muslimin dalam suatu masa atas hukum syara’. ‘Kesepakatan’ itu

dapat dikelompokan menjadi empat hal:

1. Tidak cukup ijma’ dikeluarkan oleh seorang mujtahid

2. Adanya kesepakatan sesama para mujtahid atas hukum syara’

3. Hendaknya kesepakatan mereka dimulai setiap pendapat salah seorang

mereka

4. Kesepakatan itu terwujudkan atas hukum kepada semua para mujtahid

Syarat Mujtahid

Mujtahid hendaknya sekurang-kurangnya memiliki tiga syarat:

Syarat pertama, memiliki pengetahuan sebagai berikut:

1. Memiliki pengetahuan tentang Al Qur’an.

2. Memiliki pengetahuan tentang Sunnah.

3. Memiliki pengetahuan tentang masalah Ijma’ sebelumnya.

Syarat kedua, memiliki pengetahuan tentang ushul fikih.

Syarat ketiga, Menguasai ilmu bahasa.

5

Page 6: kaidah-ushul-fiqh

        Kehujjahan Ijma’

Apabila rukun ijma’ yang empat hal di atas telah terpenuhi dengan

menghitung seluruh permasalahan hukum pasca kematian Nabi Saw dari seluruh

mujtahid kaum muslimin walau dengan perbedaan negeri, jenis dan kelompok

mereka yang diketahui hukumnya. Perihal ini, nampak setiap mujtahid

mengemukakan pendapat hukumnya dengan jelas baik dengan perkataan maupun

perbuatan baik secara kolompok maupun individu.

Selanjutnya mereka menyepakati masalah hukum tersebut, kemudian hukum itu

disepakati menjadi aturan syar’i yang wajib diikuti dan tidak mungkin

menghindarinya. Lebih lanjut, para mujtahid tidak boleh menjadikan hukum masalah

ini (yang sudah disepakati) garapan ijtihad, karena hukumnya sudah ditetapkan

secara ijma’ dengan hukum syar’i yang qath’i dan tidak dapat dihapus (dinasakh).

4. QIYAS

Qiyas merupakan suatu cara penggunaan ra`yu untuk menggali hukum syara`

dalam hal-hal yang nash Al-Qur`an dan sunnah tidak menetapkan hukumnya secara

jelas. Secara etimologis, kata Qiyas berarti ( قدر ), artinya mengukur, membanding

sesuatu yang semisalnya. Kalau seseorang yang berbahasa Arab mengatakan : “saya

mengukur pakaian itu dengan hasta”. Dalil-dalil yang dikemukakan jumhur ulama

dalam menerima Qiyas sebagai dalil syara` adalah:

a. Dalil Al-Qur`an yaitu Allah SWT memberi petunjuk bagi

penggunaan Qiyas dengan cara menyamakan dua hal sebagaimana terdapat

dalam surat yasin (36) ayat 78-79.

b. Dalil Sunnah yaitu Hadits mengenai percakapan Nabi dengan Muaz

Ibn Jabal saat ia diutus ke Yaman untuk menjadi penguasa disana.

c. Atsar Shahabi yaitu Surat Umar Ibn Khattab kepada Abu Musa Al-

Asy`ari sewaktu diutus menjadi Qodhi di Yaman

Rukun Qiyas

6

Page 7: kaidah-ushul-fiqh

Qiyas batu dianggap sah bilamana lengkap rukun-rukunnya.

Para ulama ushul fiqh sepakat bahwa yang menjadi rukun qiyas

ada empat yaitu :

1. Ashal (pokok tempat mengqiyaskan sesuatu), yaitu : masalah

yang telah ditetapkan hukumnya, baik dalam Al-qur`an atau

dalam sunnah Rasulullah. Misalnya : khamar yang ditegaskan

haramnya dalam ayat QS. Al-Maidah : 90).

2. Adanya hukum ashal yaitu : hukum syara` yang terdapat pada

ashal yang hendak ditetapkannya pada far`u (cabang) dengan

jalan Qiyas misalnya : hukum haram khamar yang ditegaskan

dalam Al-Qur`an.

3. Adanya cabang (Far`u), yaitu : sesuatu yang tidak ada

ketegasan hukumnya dalam Al-Qur`an, sunnah, atau ijma`, yang

hendak ditemukan hukumnya melalui qiyas. Misalnya : minuman

keras wisky.

4. Illat, rukun yang satu ini merupakan inti bagi praktik qiyas

karena berdasarkan illat itulah hukum-hukum yang terdapat

dalam Al-Qur`an dan sunnah Rasulullah dapat di kembangkan.

Syarat-Syarat Qiyas :

Maqis`alaih Tempat meng-Qiyaskan sesuatu kepadanya. Dalam

memberikan nama kepada Maqis`alaih itu terdapat beberapa

pendapat. Misalnya ada yang menamakannya ashal / صEEلأ

(Sesuatu yang dihubungkan kepadanya sesuatu yang lain).

Maqis / Sesuatu) مقيس yang akan disamakan hukumnya

dengan ashal).

Hukum Ashal

Macam-macam Qiyas

a. Qiyas Aula yaitu : bahwa illat yang terdapat pada far`u lebih utama daripada

`illat yang terdapat pada ashal (pokok).

7

Page 8: kaidah-ushul-fiqh

b. Qiyas musani yaitu : qiyas dimana `illat yang terdapat pada cabang (far`u) sama

bobotnya dengan bobot `illat yang terdapat pada asal (pokok).

c. Qiyas Al-Adna yaitu : qiyas dimana `illat yang terdapat pada far`u (cabang) lebih

rendah bobotnya dibandingkan dengan `illat yang terdapat dalam ashal (pokok).

Kehujjahan QiyasJumhur ulama kaum muslimin sepakat bahwa qiyas merupakan hujjah syar’i

dan termasuk sumber hukum yang keempat dari sumber hukum yang lain. Apabila

tidak terdapat hukum dalam suatu masalah baik dengan nash ataupun ijma’ dan yang

kemudian ditetapkan hukumnya dengan cara analogi dengan persamaan illat maka

berlakulah hukum  qiyas dan selanjutnya menjadi hukum syar’i. 

Diantara ayat Al Qur’an yang dijadikan dalil dasar hukum qiyas adalah firman

Allah: 

“Dia-lah yang mengeluarkan orang-orang kafir di antara ahli Kitab dari

kampung-kampung mereka pada saat pengusiran yang pertama. kamu tidak

menyangka, bahwa mereka akan keluar dan merekapun yakin, bahwa benteng-

benteng mereka dapat mempertahankan mereka dari (siksa) Allah; Maka Allah

mendatangkan kepada mereka (hukuman) dari arah yang tidak mereka sangka-

sangka. dan Allah melemparkan ketakutan dalam hati mereka; mereka

memusnahkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan

orang-orang mukmin. Maka ambillah (Kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, Hai

orang-orang yang mempunyai wawasan. (Qs.59:2)

            Dari ayat di atas bahwasanya Allah Swt memerintahkan kepada kita untuk

‘mengambil pelajaran’, kata I’tibar di sini berarti melewati, melampaui,

memindahkan sesuatu kepada yang lainnya. Demikian pula arti qiyas yaitu

melampaui suatu hukum dari pokok kepada cabang maka menjadi (hukum) yang

diperintahkan. Hal yang diperintahkan ini mesti diamalkan. Karena dua kata tadi

‘i’tibar dan qiyas’ memiliki pengertian melewati dan melampaui.

5. ISTIHSAN

8

Page 9: kaidah-ushul-fiqh

Istihsan adalah menganggap baik terhadap sesuatu. Menurut istilah usul fiqih

ialah pindahnya seorang mujtahid dari tuntutan qiyas jali kepada qiyas khafi, atau

merajihkan ketentuan hukum yang khusus (juz’i) dari ketentuan yang umum ( kulli).

Berdasarkan persamaan illat itu, ditetapkan hukum peristiwa yang pertama

sama dengan peristiwa yang kedua.sedangkan pada istihsan hanya ada satu peristiwa

atau kejadian. Mula-mula peristiwa atau kejadian itu telah ditetapkan hukumnya

berdasarkan nash ,

Dasar-dasar Istihsan

Dasar Istihsan terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadis Rasulullah SAW antara

lain:

dasarnya dalam Al Qur’an:

الل�ه� داه�م� ه ال�ذ ين لئ ك و�أ� نه� س أح� يت�ب ع�ون ف و�ل ال�ق تم ع�ون يس� ال�ذ ين

ل�باب األ� ل�وا و�أ� ه�م� لئ ك و�

أ� و

Artinya “Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di

antaranya. mereka Itulah orang-orang yang Telah diberi Allah petunjuk

dan mereka Itulah orang-orang yang mempunyai akal”. (QS.Az-Zumar: 18)

Macam-macam Istihsan

Istihsan dibagi menjadi dua, yaitu istihsan dipandang dari segi pemindahan

hukumnya, dan istihsan dipandang darisandaran dalilnya.

1. Istihsan dipandang dari segi pemindahan hukumnya dibagi menjadi:

Istihsan dengan cara pemindahan hukum kulli kepada hukum juz’i.

Istihsan dengan cara pemindahan dari qiyas jalli kepada qiyas khafi,

2. Istihsan dipandang dari segi sandaran dalilnya, dibagi menjadi:

a. Istihsan yang disandarkan kepada teks Al-Qur’an atau hadis yang lebih kuat.

b. Istihsan yang disandarkan kepada ijma.

c. Istihsan yang disandarkan pada adat kebiasaan (“urf

d. Istihsan yang disandarkan kepada urusan yang sangat darurat

e. Istihsan yang disandarkan kepada qiyas khafi.

9

Page 10: kaidah-ushul-fiqh

Kehujjahan Istihsan

Terdapat perbedaan pendapat antara ulama ushul fiqh dalam menetapkan

istihsan sebagai salah satu metode atau dalil dalam menetapkan hukum syara.

Menurut Ulama Hanafiah, Malikiyah dan sebagian Hambaliah, istihsan merupakan

dalil yang kuat dalam menetapkan hukum syara. alasan yang mereka kemukakan

adalah:

Dasar dalam Al-Qur’an, surat Az-Zumar ayat 18:

KابN Pب Nل Pاأل Sوا وPلS أ PمSه NكK Nئ وPل

S وNأ SهZ الل SمSاهNدNه NينKذZ ال NكK Nئ وPلS أ SهN ن NسPحN أ NونSعK Zب Nت فNي NلPوNقP ال NونSعKمN ت PسN ي NينKذZ ال

Artinya: Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apayang paling baik

diantaranya.mereka itulah orang-orang yang telah diberi oleh Allah

petunjuk dan mereka itulah orang-orang uang berakal (QS.Az-Zumar: 18)

  

Dasar istihsan dalam hadis

اهللاحسن عند فهو حسنا المسلمون مارأهArtinya: sesuatu yang dipandang baik menurut umat islam maka baik pula

dihadapan Allah (H.R. Imam ahmad)

Hasil penelitian dari berbagai ayat dan hadis terdapat berbagai permasalahan

yang apabila diberlakukan hukum sesuai dengan kaidah umum dan qiyas ada kalanya

membawa kesulitan bagi umat manusi. Sedangkan syariat islam ditujukan untuk

menghasilkan dan mencapai kemaslahatan manusia. Untuk menghilangkan kesulitan

itu maka ia boleh berpaling kepada kaidah lain yang memberikan hukum yang sesuai

dengan kemaslahatan umat.

Ulama Syafi’iyah memiliki pandangan yang berbeda mengenai istihsan.

Menururt Imam Syafi’i dengan qaulnya yang mashur, bahwa” barang siapa yng

berhujjah dengan istihsan maka ia telah membuat sendiri hukum syara”.

Imam syafi’i berkeyakinan bahwa berhujah dengan istihsan, berarti telah

menentukan syariat baru, sedangkan yang berhak membuat syariat itu hanyalah Allah

SWT.dari sinilah terlihat bahwa Imam Syafi’i beserta pengikutnya cukup keras

dalam menolak masalah istihsan ini.

10

Page 11: kaidah-ushul-fiqh

6. MASLAHAH AL-MURSALAH

Maslahah mursalah terdiri dari dua kata yaitu maslahah dan mursalah yang

dipadukan sehingga dapat berarti sebagai suatu perbuatan yang mengandung

manfaat, Sedangkan pengertian menurut Ushul Fiqh bermacam-bermacam namun

pada intinya memiliki pengertian sebagaimana yang disampaikan oleh Imam

Ghazali, yaitu meraih atau memperoleh manfaat dan menghindari mudarat.

Maslahah mursalah menurut lughat terdiri dari dua kata, yaitu maslahah dan

mursalah. Kata maslahah berasal dari kata kerja bahasa arab yaitu :

– – - SحS NصPل ي NحN صNل Pحfا صSل fةNحN مNصPل

Yang berarti sesuatu yang mendatangkan kebaikan. Sedangkan kata mursalah

berasal dari kata kerja yang ditafsirkan sehingga menjadi isim maf’ul, yaitu :

أرسل - - – - يرسل ارساال مرسل

Menjadi yang berarti diutus, dikirim atau dipakai (dipergunakan). Perpaduan

dua kata menjadi “maslahah mursalah” yang berarti prinsip kemaslahan (kebaikan)

yang dipergunakan menetapka suatu hukum islam. Suatu perbuatan yang

mengandung nilai baik (bermanfaat).

Macam-Macam Maslahah

Ulama ushul membagi maslahah kepada tiga bagian yaitu :

1. Maslahah Dharuriyah adalah perkara-perkara yang menjadi tempat tegaknya

kehidupan manusia, yang bila di tinggalkan, maka rusaklah kehidupan,

merajalelalah kerusakan, timbulah fitnah dan kehancuran yang hebat.

Perkara-perkara ini dapat dikembalikan kepada lima perkara,yaitu agama,jiwa,

akal, keturunan dan harta.

2. Maslahah Hajjiyah

NكP Kل ت PهNا Nي عNل SفNقNوN Nت ت N ال Pيo الت KاتNف qرNصZ وNالت KالNمPعN Pأل ا KنNع Sة NارN ب Kع NيKهNف KةZ ي KاجNلحP ا SةNحN PلمNصPل ا مZاN أ

SقZقNحN Nت ت PلN ب Kة NسPمNالخ KلPوSصS Pأل ا

Kج NرNلحP وNا Kقo الضNي NعNم KةN Nان صKي PنKكN وNل KهNا KدSوPن ب

“Maslahah Hajjiyah ialah, semua bentuk perbuatan dan tindakan yang tidak terkait

dengan dasar yang lain (yang ada pada maslahah dharuriyah) yang dibutuhkan oleh

masyarakat tetapi juga terwujud, tetapi dapat menghindarkan kesulitan dan

11

Page 12: kaidah-ushul-fiqh

menghilangkan kesempitan”.

3. Maslahah Tahsiniyah

KقN NخPال Pأل ا K NارKم وNمNك KةNءPو SرSالم PهNا NضKي NفPت ت PيK الت KرPوPمS Pأل ا PنNع Kة NارN ب Kع NيKهNف SةZ Kي Pن ي KسPحZ الت SحK PلمNصNال ا مZاN أ

KاتNادNلعP ا KنKاسNحNمNو

“ Maslahah Tahsiniyah ialah mempergunakan semua yang layak dan pantas yang

dibenarkan oleh adat kebiasaan yang baik dan dicakup oleh bagian mahasinul

akhlak”.

Dasar Hukum

Para ulama yang menjadikan mursalah sebagai salah satu dalil syara,

menyatakan bahwa dalil hukum. Maslahah mursalah ialah :

a. Persoalan yang dihadapi manusia selalu bertumbuh dan berkembang demikian

pula kepentingan dan keperluan hidupnya.

b. Sebenarnya para sahabat, para tabi’in, tabi’t tabi’iin dan para ulama yang datang

sesudahnya telah melaksanakannya, sehingga mereka dapat segera menetapkan

hukun sesuai dengan kemashlahatan kaum muslimin pada masa itu.

Kehujjahan Maslahah Mursalah

Dalam kehujjahan maslahah mursalah, terdapat perbedaan pendapat

dikalangan ulama ushul diantaranya :

a. Maslahah mursalah tidak dapat menjadi hujjah / dalil menurut ulama-ulama

syafi’iyyah, ulama-ulama hanfiyah dan sebagian ulama malikiyah, seperti Ibnu

hajib dan ahli zahir.

b. Maslahah mursalah dapat menjadi hujah / dalil menutut sebagian ulama maliki

dan ulama syafi’i, tetapi harus memenuhi syarat-syarat yang telah di tentukan

oleh ulama-ulama ushul.

c. Imam Al-Qarafi berkata tentang maslahah mursalah :

NنPوSق oرNفS وNي NنPو SسP NقKي ي PمSهZ نN أل KقP قKي PحZ الت NدP ن Kع KبKاهNذNلمP ا KعP جNمKي PيKف NةN ل Nس PرSلمP ا NةNحN PلمNصPل ا ZنK إ

KارN Kب KعPت Kاإل ب اهKدfا Nش NنPوS Kب NطPل ي N وNال Nات ب NاسN KالمSن ب

“Sesungguhnya berhujjah dengn maslahah mursalah dilakukan oleh semua

mazhab, karena mereka melakukan qiyas dan mereka membedakan antara satu

dengan lainnya karena adanya ketentuan-ketentuan yang mengikat”.

12

Page 13: kaidah-ushul-fiqh

Diantara ulama yang paling banyak melakukan atau menggunakan maslahah

mursalah ialah Imam Malik dengan alasan : Allah mengutus utusan-utusannya

untuk membimbing umatnya kepada kemaslahatan.”

7. Al-URF

Al-urf secara harfiah adalah berarti sebuah keadaan , ucapan, perbuatan, atau

ketentuan yang telah dikenal manusia dan telah menjadi tradisi untuk

melaksanakannya atau meninggalkannya. Dibeberapa masyarakat, Urf ini sering

disebut juga sebagai adat istiadat.

Dengan demikian Urf mencakup sikap saling pengertian diantara manusia

atas perbedaan tingkatan diantara mereka. Baik keumumannya maupun

kekhususannya. Maka Urf berbeda dengan ijma’ karena ijma’ merupakan tradisi dari

kesepakatan para mujtahidin secara khusus.

Yang membolehkan dan tidak perihal Al-urf

Ibnu Hajar seperti yang disebutkan al-Khayyath, mengatakan bahwa para ulama’

Syafi’iyah tidak membolehkan berhujjah dengan Al-urf apabila dalam Urf tersebut

bertentangan dengan nash.

Sedangkan ulama Hanafiyah dan Malikiyah menjadikan Urf sebagai dalil

hukum yang Mustakil dalam masalah-masalah yang tidak ada Nashnya yang Qathi’

serta tidak ada larangan Syara’ terhadap Mutlak, dan Urf ini didahulukan

pemakaiannya dari pada Qiyas. Kalau ulama’ Hanabillah menerima Urf ini selama ia

tersebut tidak bertentangan dengan dengan nash. Dan dari ulama’ Syi’ah menrima

Urf dan memandangnya sebagai dalil hukum yang tidak mandiri tetapi harus terkait

dengan dalil lainnya, yakni Al-qur’an dan Al-hadits.

Macam-macam Al-urf

Jika dilihat dari baik dan buruknya Urf dapat dibagi menjadi dua, yaitu :

a. Urf Sahih

yaitu sesuatu yang telah saling dikenal oleh manusia dan tidak bertentangan

dengan Syara’. Tidak menghalalkan yang telah diharamkan oleh Syara’ dan tidak

mengharamkan yang telah dihalalkan oleh Syara’,

b. Urf fasid

13

Page 14: kaidah-ushul-fiqh

yaitu sesuatu yang telah saling dikenal manusia, tetapi bertentangan dengan

Syara’, atau menghalalkan yang telah diharamkan oleh Syara’, dan juga

mengharamkan yang telah dihalalkan oleh Syara’, sedangkan jika dilihat dari sudut

tradisinya, Urf terbagi menjadi dua, yaitu :

a. Urf perkataan

b. Urf Perbuatan.

Kehujjahan Al-urfUrf menurut penyelidikan bukan merupakan dalil Syara’ tersendiri. Pada

umumnya, urf ditujukan untuk memelihara kemaslahatan umat serta menunjang

pembentukan hukum dan penafsiran beberapa nash. Dengan urf dikhususkan lafal

yang umum dan dibatasi yang mutlak, karena urf pula terkadang qiyas ditinggalkan.

Karena itu pula, sah apabila mengadakan kontrak borongan apabila Urf sudah

terbiasa dengan hal in, sekalipun tidak sah menurut Qiyas, karena kontrak tersebut

adalah kontrak atas perkara yang Ma’dum (tiada).

8. ISTISHAB

Istishab secara etimologi berarti “meminta ikut serta secara terus menerus”,

menurut Abdul Karim Zaidan ahli Usuhul Fiqh berkembangsaan Mesir. Sedangkan

menurut istilah para usuliyah adalah menetapkan hokum sesuatu menurut keadaan

yang terjadi sebelumnya sampai ada dalil merubahnya dengan penganggapan lain.1

Istishab adalah menjadikan hukum satu peristiwa berikutnya, kecuali ada dalil yang

mengubah ketentuan hukum itu. Istishab berarti menganggap tetapnya status sesuatu

seperti keadaannya.

Macam-macam Istishab

1. Istishab al-Ibahah al-Ashliyah yaitu istilah yang didasarkan atas hukum asal

dari sesuatu yaitu mubah (boleh).

2. Istishab al-Baraah al-Ashliyah yaitu istishab yang didasarkan atas prinsip

bahwa pada dasarnya setiap orang bebas dari tuntutan beban taklif sampai ada

dua dalil yang mengubah statusnya itu dan bebas dari utang atau kesalahan

1 Satri Efendi, Ushul Fiqh (Cet. 1 ; Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2008), h. 159

14

Page 15: kaidah-ushul-fiqh

sampai ada bukti yang mengubah status itu misalnya seseorang yang menuntut

bahwa haknya terdapat pada diri seseorang, ia harus mampu membuktikannya

karena pihak tertuduh pada dasarnya bebas dari segela tuntutan, dan status

bebasnya itu tidak bisa diganggu gugat kecuali dengan bukti yang jelas.

3. Istishab al-hukm, yaitu istishab yang didasarkan atas tetapnya status hokum

yang sudah ada selama tidak ada bukti yang mengubahnya misalnya seseorang

yang memiliki sebidang tanah atau harta bergerak seperti mobil, maka harta

miliknya itu tetap dianggap ada selama tidak terbukti dengan peristiwa yang

mengubah status hukum itu, seperti dijual atau dihibakannya kepada pihak lain.

4. Istishab al-Wast, yaitu istishab yang didasarkan atas anggapan masih

tetapnya sifat yang diketahui ada sebelumnya sampai ada bukti bahwa yang

mengubahnya, misalnya sifat hidup yang dimiliki seseorang yang hilang tetap

dianggap masih ada sampai ada bukti bahwa ia telah wafat. Demikian pula air

yang diketahui bersih, tatap dianggap bersih selama tidak ada bukti yang

mengubah statusnya itu.2

Kehujjahan Istishab

Dari Penjelasan di atas ditetapkan bahwa istishab itu bukan untuk

menetapkan suatu hukum yang baru. Tetapi melanjutkan berlakunya hukum yang

telah ada dan bukan untuk menetapkan yang belum ada. Ulama Hanafi menetapkan

bahwa istishab itu dapat menjadi hujjah untuk menolak akibat-akibat hukum yang

timbul dari penetapan hukum yang berbeda atau kebalikannya dengan penetapan

hukum semula, bukan untuk menetapkan suatu hukum baru dengan kata lain istishab

itu adalah menjadi hujjah untuk menetapkan perkara yang belum tetap hukumnya,

misalnya seseorang yang mafqud (orang yang bepergian yang tidak diketahui kabar

beritanya, hidup atau matinya dan dimana domisilinya). Secara hukum dia masih

hidup berdasarkan keadaan semula yang sudah diketahui, yaitu hidup sewaktu

bepergian sampai ada suatu bukti yang menunjukkan kematiannya. Istishab yang

menetapkan hukum bahwa si mafqud masih hidup adalah sebagai hujjah untuk

2 Satri Efendi, op.cit., h. 160-161

15

Page 16: kaidah-ushul-fiqh

menghukum ia sudah mati dan akibat hukum yang timbul sesudah di hukumi mati.

Seperti dipusaka harta peninggalannya diputuskan perjanjian sewa menyewa yang

telah di adakannya dan diceraikan istrinya buka sebagai hujjah untuk menetapkan

hak si mafqud mempusakai harta peninggalan ahli warisnya yang telah meninggal

dunia.3

BAB III

PENUTUP

1. Kesimpulan

Kaidah-kaidah Ushul secara bahasa yang dimaksud dengan al-ashlu adalah

sesuatu yang diatasnya dibangun sesuatu yang lain. Baik apakah bangunan tersebut

sifatnya indrawi seperti pembangunan tembok diatas fondasi atau yang sifatnya

pemikiran seperti membangun ma’lul (hukum yang terdapat ilat) berdasarkan illat

dan (sesuatu) yang ditunjuk oleh suatu dalil.

Kaidah-kaidah Ushul terdiri dari :

1. Al-Qur`an adalah firman Allah SWT Kitab suci ini mengadung pesan samawi

yang diperantai oleh wahyu.

2. Hadits adalah segala yang dinukilkan dari Nabi Muhammad SAW., baik berupa

perkataan, perbuatan maupun taqrirnya yang ada sangkut pautnya dengan hukum

3. Ijma’ adalah kesepakatan semua para mujtahid dari kaum muslimin dalam suatu

masa setelah wafat Rasul Saw atas hukum syara.

4. Qiyas adalah suatu cara penggunaan ra`yu untuk menggali hukum syara` dalam

hal-hal yang nash Al-Qur`an dan sunnah tidak menetapkan hukumnya secara

jelas.

5. Istihsan adalah menganggap baik terhadap sesuatu.

6. Maslahah al-mursalah adalah suatu perbuatan yang mengandung manfaat.

3 Mukhtar Yahya, op.cit., h. 113-114

16

Page 17: kaidah-ushul-fiqh

7. Al-urf adalah sebuah keadaan , ucapan, perbuatan, atau ketentuan yang telah

dikenal manusia dan telah menjadi tradisi untuk melaksanakannya atau

meninggalkannya.

8. Istishab adalah menganggap tetapnya status sesuatu seperti keadaannya.

DAFTAR PUSTAKA

Bakry Nazar. 2003. Fiqh dan Ushul Fiqh. Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada..

Djamil, Fathurrahman. 1997. Filsafat Hukum Islam. Jakarta : Logos Wacana Ilmu.

Rahmat Syafi’i, Ilmu Ushul FiqihPustaka Setia, Bandung, 1999,

Abdul Wahhab al-Khallaf, 1978 ‘ilmu Ushul Fiqh (Kuwait: Dar al-Qalam).

17