Upload
purnama-hambayangbersyukur
View
34
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
KAIDAH-KAIDAH USHUL
Secara bahasa yang dimaksud dengan al-ashlu adalah sesuatu yang diatasnya
dibangun sesuatu yang lain. Baik apakah bangunan tersebut sifatnya indrawi seperti
pembangunan tembok diatas fondasi atau yang sifatnya pemikiran seperti
membangun ma’lul (hukum yang terdapat ilat) berdasarkan illat dan (sesuatu) yang
ditunjuk oleh suatu dalil. Maka ushul fiqh adalah kaidah-kaidah yang fiqh dibangun
diatasnya. pengertian fiqh, secara bahasa, adalah faham.
Sedangkan menurut istilah para ahli syariah yang dimaksud dengan fiqh
adalah ilmu tentang hukum-hukum syariah yang sifatnya oprasional yang
diistimbathkan dari dalil-dalil yang sifatnya rinci. Dan yang dimaksud dengan ilmu
tentang hukum-hukum, terkait dengan si alim terhadap fiqh tersebut, bukanlah
sekedar tahu, tapi pengetahuan yang memungkinkan dia memiliki otoritas atas
hukum-hukum syara’ tersebut. Atau dengan kata lain bahwa pengetahuan dan
pendalaman tersebut sampai pada level yang dapat mengantarkan si alim terhadap
hukum-hukum tersebut memiliki otoritas atas hukum-hukum tersebut
1
BAB II
PEMBAHASAN
1. AL-QUR`AN
Al-Qur`an adalah firman Allah SWT. Kitab suci ini mengadung pesan
samawi yang diperantai oleh wahyu. Wahyu adalah ilham gaib dari sisi Malakul Al
A`la yang turun kealam materi.
Secara etimologis, Al Qur’an berasal dari kata “qara’a”, yaqra’u, qiraa’atan
atau qur’aanan yang berarti mengumpulkan (al jam’u) dan menghimpun (al dlammu)
huruf-huruf serta kata-kata dari satu bagian kebagian lain secara teratur 3. Dikatakan
Al Qur’an karena ia berisikan intisari dari semua kitabullah dan intisari dari ilmu
pengetahuan. Allah berfirman :
“ Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (dalam
dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila kamu telah selesai
membacakannya maka ikutilah bacaannya”. (al Qiyamah [75]:17-18).
Hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an secara garis besar terbagi atas dua,
yaitu:
1. Hukum yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan (ibadah). Ibadah
terbagi atas:
a. Yang bersifat semata-mata ibadah, yaitu shalat dan puasa.
b. Yang bersifat harta benda dan hubungan masyarakat, yaitu zakat.
c. Yang bersifat badaniyah dan berhubungan juga dengan masyarakat, yaitu
haji.
2. Hukum-hukum yang mengatur pergaulan manusia dengan manusia, yang disebut
mu’amalat. Hukum ini dibagi empat, yaitu:
a. Yang berhubungan dengan jihad.
b. Yang berhubungan dengan rumah tangga.
c. Yang berhubungan dengan pergaulan hidup manusia.
d. Yang berhubungan dengan hukum pidana (jinayat).
Dalam mengadakan perintah dan larangan, Al-Qur’an berpedoman kepada
tiga hal, yaitu:
2
1. Tidak memberatkan atau menyusahkan.
2. Tidak memperbanyak tuntutan.
3. Berangsur-angsur dalam mentasyri’kan hukum.
2. HADITS
Kata "Hadits" atau al-hadits menurut bahasa berarti al-jadid (sesuatu yang
baru), lawan kata dari al-qadim (sesuatu yang lama). Kata hadits juga berarti al-
khabar (berita), yaitu sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang
kepada orang lain. Kata jamaknya, ialah al-ahadis.
Secara terminologi, ahli hadits dan ahli ushul berbeda pendapat dalam
memberikan pengertian hadits. Di kalangan ulama hadits sendiri ada juga beberapa
definisi yang antara satu sama lain agak berbeda. Ada yang mendefinisikan hadits,
adalah : "Segala perkataan Nabi SAW, perbuatan, dan hal ihwalnya". Ulama hadits
menerangkan bahwa yang termasuk "hal ihwal", ialah segala pemberitaan tentang
Nabi SAW, seperti yang berkaitan dengan himmah, karakteristik, sejarah kelahiran,
dan kebiasaan-kebiasaanya.
Ulama Ushul, mendefinisikan hadits sebagai berikut : "Segala perkataan
Nabi SAW. yang dapat dijadikan dalil untuk penetapan hukum syara'".
Sedangkan, Sunnah menurut istilah muhadditsin (ahli-ahli hadits) ialah segala
yang dinukilkan dari Nabi SAW., baik berupa perkataan, perbuatan, maupun berupa
taqrir, pengajaran, sifat, kelakuan, perjalanan hidup baik yang demikian itu sebelum
Nabi SAW., dibangkitkan menjadi Rasul, maupun sesudahnya.
Berdasarkan definisi yang dikemukakan di atas, kata sunnah menurut
sebagian ulama sama dengan kata hadits. "Ulama yang mendefinisikan sunnah
sebagaimana di atas, mereka memandang diri Rasul SAW., sebagai uswatun hasanah
atau qudwah (contoh atau teladan) yang paling sempurna, bukan sebagai sumber
hukum
Ulama Ushul Fiqh memberikan definisi Sunnah adalah "segala yang
dinukilkan dari Nabi Muhammad SAW., baik berupa perkataan, perbuatan maupun
taqrirnya yang ada sangkut pautnya dengan hukum". Menurut T.M. Hasbi Ash
Shiddieqy, makna inilah yang diberikan kepada perkataan Sunnah dalam sabda Nabi,
3
sebagai berikut : "Sungguh telah saya tinggalkan untukmu dua hal, tidak sekali-kali
kamu sesat selama kamu berpegang kepadanya, yakni Kitabullah dan Sunnah Rasul-
Nya" (H.R.Malik).
Bentuk-bentuk Hadist
1. HADITS QOULI
Adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi, baik berupa perkataan
yang memuat berbagai maksud syara’, peristiwa, dan keadaan yang berkaitan
dengan aqidah, syari’ah, atau lainnya. Contohnya adalah hadits tentang bacaan
Al-Fatihah dalam shalat yaitu “Tidak sah shalat seseorang yang tidak membaca
ummul Quran (Al-Fatihah).”
2. HADITS FI’LI
Adalah hadits yang menyebutkan perbuatan Nabi yang sampai kepada kita.
Contohnya adalah hadits tentang shalat, yaitu “Shalatlah kalian sebagaimana
kalian melihat aku shalat.”
3. HADITS TAQRIRI
Adalah hadits yang menyebutkan ketetapan Nabi terhadap apa yang datang dari
sahabatnya. Contohnya adalah sikap Rasul yang membiarkan para sahabat
melaksanakan perintahnya sesuai dengan penafsiran mereka terhadap sabdanya,
yang berbunyi: “Janganlah seseorang pun shalat ‘Ashar, kecuali bila tiba di Bani
Quraizhah.”
4. HAMMI
Adalah hadits yang menyebutkan keinginan Nabi yang belum terealisasikan,
seperti keinginan untuk berpuasa pada tanggal 9 ‘Asyura.
5. HADITS AHWALI
Adalah hadits yang menyebutkan hal ihwal Nabi yang menyangkut keadaan fisik,
sifat-sifat, dan kepribadiannya.12
3. IJMA’
Ijma’ dalam pengertian bahasa memiliki dua arti.
Pertama, berupaya (tekad) terhadap sesuatu. disebutkan األمر على فالن أجمع
berarti berupaya di atasnya.
4
Sebagaimana firman Allah Swt:
...Artinya : ...“Karena itu bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu-
sekutumu... (Qs.10:71)
Kedua, berarti kesepakatan. Perbedaan arti yang pertama dengan yang kedua ini
bahwa arti pertama berlaku untuk satu orang dan arti kedua lebih dari satu orang.
Ijma’ dalam istilah ahli ushul adalah kesepakatan semua para mujtahid dari
kaum muslimin dalam suatu masa setelah wafat Rasul Saw atas hukum syara.
Menurut ulama Ushul Fiqh, yang dimaksud dengan ijma’ adalah kesepakatan
seluruh mujtahid Islam dalam suatu masa sesudah wafatnya Rasulullah saw. atas
suatu hukum syara’ dalam suatu kasus. Mujtahid adalah orang yang berkompeten
untuk merumuskan hukum, sedangkan hukum syara’ adalah hukum yang berkaitan
dengan perbuatan mukallaf (orang yang dibebani hukum). Contoh ijma’ adalah hak
waris seorang kakek dalam hal seseorang meninggal dengan meninggalkan anak dan
ayah yang masih hidup.
Adapun rukun ijma’ dalam definisi di atas adalah adanya kesepakatan para
mujtahid kaum muslimin dalam suatu masa atas hukum syara’. ‘Kesepakatan’ itu
dapat dikelompokan menjadi empat hal:
1. Tidak cukup ijma’ dikeluarkan oleh seorang mujtahid
2. Adanya kesepakatan sesama para mujtahid atas hukum syara’
3. Hendaknya kesepakatan mereka dimulai setiap pendapat salah seorang
mereka
4. Kesepakatan itu terwujudkan atas hukum kepada semua para mujtahid
Syarat Mujtahid
Mujtahid hendaknya sekurang-kurangnya memiliki tiga syarat:
Syarat pertama, memiliki pengetahuan sebagai berikut:
1. Memiliki pengetahuan tentang Al Qur’an.
2. Memiliki pengetahuan tentang Sunnah.
3. Memiliki pengetahuan tentang masalah Ijma’ sebelumnya.
Syarat kedua, memiliki pengetahuan tentang ushul fikih.
Syarat ketiga, Menguasai ilmu bahasa.
5
Kehujjahan Ijma’
Apabila rukun ijma’ yang empat hal di atas telah terpenuhi dengan
menghitung seluruh permasalahan hukum pasca kematian Nabi Saw dari seluruh
mujtahid kaum muslimin walau dengan perbedaan negeri, jenis dan kelompok
mereka yang diketahui hukumnya. Perihal ini, nampak setiap mujtahid
mengemukakan pendapat hukumnya dengan jelas baik dengan perkataan maupun
perbuatan baik secara kolompok maupun individu.
Selanjutnya mereka menyepakati masalah hukum tersebut, kemudian hukum itu
disepakati menjadi aturan syar’i yang wajib diikuti dan tidak mungkin
menghindarinya. Lebih lanjut, para mujtahid tidak boleh menjadikan hukum masalah
ini (yang sudah disepakati) garapan ijtihad, karena hukumnya sudah ditetapkan
secara ijma’ dengan hukum syar’i yang qath’i dan tidak dapat dihapus (dinasakh).
4. QIYAS
Qiyas merupakan suatu cara penggunaan ra`yu untuk menggali hukum syara`
dalam hal-hal yang nash Al-Qur`an dan sunnah tidak menetapkan hukumnya secara
jelas. Secara etimologis, kata Qiyas berarti ( قدر ), artinya mengukur, membanding
sesuatu yang semisalnya. Kalau seseorang yang berbahasa Arab mengatakan : “saya
mengukur pakaian itu dengan hasta”. Dalil-dalil yang dikemukakan jumhur ulama
dalam menerima Qiyas sebagai dalil syara` adalah:
a. Dalil Al-Qur`an yaitu Allah SWT memberi petunjuk bagi
penggunaan Qiyas dengan cara menyamakan dua hal sebagaimana terdapat
dalam surat yasin (36) ayat 78-79.
b. Dalil Sunnah yaitu Hadits mengenai percakapan Nabi dengan Muaz
Ibn Jabal saat ia diutus ke Yaman untuk menjadi penguasa disana.
c. Atsar Shahabi yaitu Surat Umar Ibn Khattab kepada Abu Musa Al-
Asy`ari sewaktu diutus menjadi Qodhi di Yaman
Rukun Qiyas
6
Qiyas batu dianggap sah bilamana lengkap rukun-rukunnya.
Para ulama ushul fiqh sepakat bahwa yang menjadi rukun qiyas
ada empat yaitu :
1. Ashal (pokok tempat mengqiyaskan sesuatu), yaitu : masalah
yang telah ditetapkan hukumnya, baik dalam Al-qur`an atau
dalam sunnah Rasulullah. Misalnya : khamar yang ditegaskan
haramnya dalam ayat QS. Al-Maidah : 90).
2. Adanya hukum ashal yaitu : hukum syara` yang terdapat pada
ashal yang hendak ditetapkannya pada far`u (cabang) dengan
jalan Qiyas misalnya : hukum haram khamar yang ditegaskan
dalam Al-Qur`an.
3. Adanya cabang (Far`u), yaitu : sesuatu yang tidak ada
ketegasan hukumnya dalam Al-Qur`an, sunnah, atau ijma`, yang
hendak ditemukan hukumnya melalui qiyas. Misalnya : minuman
keras wisky.
4. Illat, rukun yang satu ini merupakan inti bagi praktik qiyas
karena berdasarkan illat itulah hukum-hukum yang terdapat
dalam Al-Qur`an dan sunnah Rasulullah dapat di kembangkan.
Syarat-Syarat Qiyas :
Maqis`alaih Tempat meng-Qiyaskan sesuatu kepadanya. Dalam
memberikan nama kepada Maqis`alaih itu terdapat beberapa
pendapat. Misalnya ada yang menamakannya ashal / صEEلأ
(Sesuatu yang dihubungkan kepadanya sesuatu yang lain).
Maqis / Sesuatu) مقيس yang akan disamakan hukumnya
dengan ashal).
Hukum Ashal
Macam-macam Qiyas
a. Qiyas Aula yaitu : bahwa illat yang terdapat pada far`u lebih utama daripada
`illat yang terdapat pada ashal (pokok).
7
b. Qiyas musani yaitu : qiyas dimana `illat yang terdapat pada cabang (far`u) sama
bobotnya dengan bobot `illat yang terdapat pada asal (pokok).
c. Qiyas Al-Adna yaitu : qiyas dimana `illat yang terdapat pada far`u (cabang) lebih
rendah bobotnya dibandingkan dengan `illat yang terdapat dalam ashal (pokok).
Kehujjahan QiyasJumhur ulama kaum muslimin sepakat bahwa qiyas merupakan hujjah syar’i
dan termasuk sumber hukum yang keempat dari sumber hukum yang lain. Apabila
tidak terdapat hukum dalam suatu masalah baik dengan nash ataupun ijma’ dan yang
kemudian ditetapkan hukumnya dengan cara analogi dengan persamaan illat maka
berlakulah hukum qiyas dan selanjutnya menjadi hukum syar’i.
Diantara ayat Al Qur’an yang dijadikan dalil dasar hukum qiyas adalah firman
Allah:
“Dia-lah yang mengeluarkan orang-orang kafir di antara ahli Kitab dari
kampung-kampung mereka pada saat pengusiran yang pertama. kamu tidak
menyangka, bahwa mereka akan keluar dan merekapun yakin, bahwa benteng-
benteng mereka dapat mempertahankan mereka dari (siksa) Allah; Maka Allah
mendatangkan kepada mereka (hukuman) dari arah yang tidak mereka sangka-
sangka. dan Allah melemparkan ketakutan dalam hati mereka; mereka
memusnahkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan
orang-orang mukmin. Maka ambillah (Kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, Hai
orang-orang yang mempunyai wawasan. (Qs.59:2)
Dari ayat di atas bahwasanya Allah Swt memerintahkan kepada kita untuk
‘mengambil pelajaran’, kata I’tibar di sini berarti melewati, melampaui,
memindahkan sesuatu kepada yang lainnya. Demikian pula arti qiyas yaitu
melampaui suatu hukum dari pokok kepada cabang maka menjadi (hukum) yang
diperintahkan. Hal yang diperintahkan ini mesti diamalkan. Karena dua kata tadi
‘i’tibar dan qiyas’ memiliki pengertian melewati dan melampaui.
5. ISTIHSAN
8
Istihsan adalah menganggap baik terhadap sesuatu. Menurut istilah usul fiqih
ialah pindahnya seorang mujtahid dari tuntutan qiyas jali kepada qiyas khafi, atau
merajihkan ketentuan hukum yang khusus (juz’i) dari ketentuan yang umum ( kulli).
Berdasarkan persamaan illat itu, ditetapkan hukum peristiwa yang pertama
sama dengan peristiwa yang kedua.sedangkan pada istihsan hanya ada satu peristiwa
atau kejadian. Mula-mula peristiwa atau kejadian itu telah ditetapkan hukumnya
berdasarkan nash ,
Dasar-dasar Istihsan
Dasar Istihsan terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadis Rasulullah SAW antara
lain:
dasarnya dalam Al Qur’an:
الل�ه� داه�م� ه ال�ذ ين لئ ك و�أ� نه� س أح� يت�ب ع�ون ف و�ل ال�ق تم ع�ون يس� ال�ذ ين
ل�باب األ� ل�وا و�أ� ه�م� لئ ك و�
أ� و
Artinya “Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di
antaranya. mereka Itulah orang-orang yang Telah diberi Allah petunjuk
dan mereka Itulah orang-orang yang mempunyai akal”. (QS.Az-Zumar: 18)
Macam-macam Istihsan
Istihsan dibagi menjadi dua, yaitu istihsan dipandang dari segi pemindahan
hukumnya, dan istihsan dipandang darisandaran dalilnya.
1. Istihsan dipandang dari segi pemindahan hukumnya dibagi menjadi:
Istihsan dengan cara pemindahan hukum kulli kepada hukum juz’i.
Istihsan dengan cara pemindahan dari qiyas jalli kepada qiyas khafi,
2. Istihsan dipandang dari segi sandaran dalilnya, dibagi menjadi:
a. Istihsan yang disandarkan kepada teks Al-Qur’an atau hadis yang lebih kuat.
b. Istihsan yang disandarkan kepada ijma.
c. Istihsan yang disandarkan pada adat kebiasaan (“urf
d. Istihsan yang disandarkan kepada urusan yang sangat darurat
e. Istihsan yang disandarkan kepada qiyas khafi.
9
Kehujjahan Istihsan
Terdapat perbedaan pendapat antara ulama ushul fiqh dalam menetapkan
istihsan sebagai salah satu metode atau dalil dalam menetapkan hukum syara.
Menurut Ulama Hanafiah, Malikiyah dan sebagian Hambaliah, istihsan merupakan
dalil yang kuat dalam menetapkan hukum syara. alasan yang mereka kemukakan
adalah:
Dasar dalam Al-Qur’an, surat Az-Zumar ayat 18:
KابN Pب Nل Pاأل Sوا وPلS أ PمSه NكK Nئ وPل
S وNأ SهZ الل SمSاهNدNه NينKذZ ال NكK Nئ وPلS أ SهN ن NسPحN أ NونSعK Zب Nت فNي NلPوNقP ال NونSعKمN ت PسN ي NينKذZ ال
Artinya: Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apayang paling baik
diantaranya.mereka itulah orang-orang yang telah diberi oleh Allah
petunjuk dan mereka itulah orang-orang uang berakal (QS.Az-Zumar: 18)
Dasar istihsan dalam hadis
اهللاحسن عند فهو حسنا المسلمون مارأهArtinya: sesuatu yang dipandang baik menurut umat islam maka baik pula
dihadapan Allah (H.R. Imam ahmad)
Hasil penelitian dari berbagai ayat dan hadis terdapat berbagai permasalahan
yang apabila diberlakukan hukum sesuai dengan kaidah umum dan qiyas ada kalanya
membawa kesulitan bagi umat manusi. Sedangkan syariat islam ditujukan untuk
menghasilkan dan mencapai kemaslahatan manusia. Untuk menghilangkan kesulitan
itu maka ia boleh berpaling kepada kaidah lain yang memberikan hukum yang sesuai
dengan kemaslahatan umat.
Ulama Syafi’iyah memiliki pandangan yang berbeda mengenai istihsan.
Menururt Imam Syafi’i dengan qaulnya yang mashur, bahwa” barang siapa yng
berhujjah dengan istihsan maka ia telah membuat sendiri hukum syara”.
Imam syafi’i berkeyakinan bahwa berhujah dengan istihsan, berarti telah
menentukan syariat baru, sedangkan yang berhak membuat syariat itu hanyalah Allah
SWT.dari sinilah terlihat bahwa Imam Syafi’i beserta pengikutnya cukup keras
dalam menolak masalah istihsan ini.
10
6. MASLAHAH AL-MURSALAH
Maslahah mursalah terdiri dari dua kata yaitu maslahah dan mursalah yang
dipadukan sehingga dapat berarti sebagai suatu perbuatan yang mengandung
manfaat, Sedangkan pengertian menurut Ushul Fiqh bermacam-bermacam namun
pada intinya memiliki pengertian sebagaimana yang disampaikan oleh Imam
Ghazali, yaitu meraih atau memperoleh manfaat dan menghindari mudarat.
Maslahah mursalah menurut lughat terdiri dari dua kata, yaitu maslahah dan
mursalah. Kata maslahah berasal dari kata kerja bahasa arab yaitu :
– – - SحS NصPل ي NحN صNل Pحfا صSل fةNحN مNصPل
Yang berarti sesuatu yang mendatangkan kebaikan. Sedangkan kata mursalah
berasal dari kata kerja yang ditafsirkan sehingga menjadi isim maf’ul, yaitu :
أرسل - - – - يرسل ارساال مرسل
Menjadi yang berarti diutus, dikirim atau dipakai (dipergunakan). Perpaduan
dua kata menjadi “maslahah mursalah” yang berarti prinsip kemaslahan (kebaikan)
yang dipergunakan menetapka suatu hukum islam. Suatu perbuatan yang
mengandung nilai baik (bermanfaat).
Macam-Macam Maslahah
Ulama ushul membagi maslahah kepada tiga bagian yaitu :
1. Maslahah Dharuriyah adalah perkara-perkara yang menjadi tempat tegaknya
kehidupan manusia, yang bila di tinggalkan, maka rusaklah kehidupan,
merajalelalah kerusakan, timbulah fitnah dan kehancuran yang hebat.
Perkara-perkara ini dapat dikembalikan kepada lima perkara,yaitu agama,jiwa,
akal, keturunan dan harta.
2. Maslahah Hajjiyah
NكP Kل ت PهNا Nي عNل SفNقNوN Nت ت N ال Pيo الت KاتNف qرNصZ وNالت KالNمPعN Pأل ا KنNع Sة NارN ب Kع NيKهNف KةZ ي KاجNلحP ا SةNحN PلمNصPل ا مZاN أ
SقZقNحN Nت ت PلN ب Kة NسPمNالخ KلPوSصS Pأل ا
Kج NرNلحP وNا Kقo الضNي NعNم KةN Nان صKي PنKكN وNل KهNا KدSوPن ب
“Maslahah Hajjiyah ialah, semua bentuk perbuatan dan tindakan yang tidak terkait
dengan dasar yang lain (yang ada pada maslahah dharuriyah) yang dibutuhkan oleh
masyarakat tetapi juga terwujud, tetapi dapat menghindarkan kesulitan dan
11
menghilangkan kesempitan”.
3. Maslahah Tahsiniyah
KقN NخPال Pأل ا K NارKم وNمNك KةNءPو SرSالم PهNا NضKي NفPت ت PيK الت KرPوPمS Pأل ا PنNع Kة NارN ب Kع NيKهNف SةZ Kي Pن ي KسPحZ الت SحK PلمNصNال ا مZاN أ
KاتNادNلعP ا KنKاسNحNمNو
“ Maslahah Tahsiniyah ialah mempergunakan semua yang layak dan pantas yang
dibenarkan oleh adat kebiasaan yang baik dan dicakup oleh bagian mahasinul
akhlak”.
Dasar Hukum
Para ulama yang menjadikan mursalah sebagai salah satu dalil syara,
menyatakan bahwa dalil hukum. Maslahah mursalah ialah :
a. Persoalan yang dihadapi manusia selalu bertumbuh dan berkembang demikian
pula kepentingan dan keperluan hidupnya.
b. Sebenarnya para sahabat, para tabi’in, tabi’t tabi’iin dan para ulama yang datang
sesudahnya telah melaksanakannya, sehingga mereka dapat segera menetapkan
hukun sesuai dengan kemashlahatan kaum muslimin pada masa itu.
Kehujjahan Maslahah Mursalah
Dalam kehujjahan maslahah mursalah, terdapat perbedaan pendapat
dikalangan ulama ushul diantaranya :
a. Maslahah mursalah tidak dapat menjadi hujjah / dalil menurut ulama-ulama
syafi’iyyah, ulama-ulama hanfiyah dan sebagian ulama malikiyah, seperti Ibnu
hajib dan ahli zahir.
b. Maslahah mursalah dapat menjadi hujah / dalil menutut sebagian ulama maliki
dan ulama syafi’i, tetapi harus memenuhi syarat-syarat yang telah di tentukan
oleh ulama-ulama ushul.
c. Imam Al-Qarafi berkata tentang maslahah mursalah :
NنPوSق oرNفS وNي NنPو SسP NقKي ي PمSهZ نN أل KقP قKي PحZ الت NدP ن Kع KبKاهNذNلمP ا KعP جNمKي PيKف NةN ل Nس PرSلمP ا NةNحN PلمNصPل ا ZنK إ
KارN Kب KعPت Kاإل ب اهKدfا Nش NنPوS Kب NطPل ي N وNال Nات ب NاسN KالمSن ب
“Sesungguhnya berhujjah dengn maslahah mursalah dilakukan oleh semua
mazhab, karena mereka melakukan qiyas dan mereka membedakan antara satu
dengan lainnya karena adanya ketentuan-ketentuan yang mengikat”.
12
Diantara ulama yang paling banyak melakukan atau menggunakan maslahah
mursalah ialah Imam Malik dengan alasan : Allah mengutus utusan-utusannya
untuk membimbing umatnya kepada kemaslahatan.”
7. Al-URF
Al-urf secara harfiah adalah berarti sebuah keadaan , ucapan, perbuatan, atau
ketentuan yang telah dikenal manusia dan telah menjadi tradisi untuk
melaksanakannya atau meninggalkannya. Dibeberapa masyarakat, Urf ini sering
disebut juga sebagai adat istiadat.
Dengan demikian Urf mencakup sikap saling pengertian diantara manusia
atas perbedaan tingkatan diantara mereka. Baik keumumannya maupun
kekhususannya. Maka Urf berbeda dengan ijma’ karena ijma’ merupakan tradisi dari
kesepakatan para mujtahidin secara khusus.
Yang membolehkan dan tidak perihal Al-urf
Ibnu Hajar seperti yang disebutkan al-Khayyath, mengatakan bahwa para ulama’
Syafi’iyah tidak membolehkan berhujjah dengan Al-urf apabila dalam Urf tersebut
bertentangan dengan nash.
Sedangkan ulama Hanafiyah dan Malikiyah menjadikan Urf sebagai dalil
hukum yang Mustakil dalam masalah-masalah yang tidak ada Nashnya yang Qathi’
serta tidak ada larangan Syara’ terhadap Mutlak, dan Urf ini didahulukan
pemakaiannya dari pada Qiyas. Kalau ulama’ Hanabillah menerima Urf ini selama ia
tersebut tidak bertentangan dengan dengan nash. Dan dari ulama’ Syi’ah menrima
Urf dan memandangnya sebagai dalil hukum yang tidak mandiri tetapi harus terkait
dengan dalil lainnya, yakni Al-qur’an dan Al-hadits.
Macam-macam Al-urf
Jika dilihat dari baik dan buruknya Urf dapat dibagi menjadi dua, yaitu :
a. Urf Sahih
yaitu sesuatu yang telah saling dikenal oleh manusia dan tidak bertentangan
dengan Syara’. Tidak menghalalkan yang telah diharamkan oleh Syara’ dan tidak
mengharamkan yang telah dihalalkan oleh Syara’,
b. Urf fasid
13
yaitu sesuatu yang telah saling dikenal manusia, tetapi bertentangan dengan
Syara’, atau menghalalkan yang telah diharamkan oleh Syara’, dan juga
mengharamkan yang telah dihalalkan oleh Syara’, sedangkan jika dilihat dari sudut
tradisinya, Urf terbagi menjadi dua, yaitu :
a. Urf perkataan
b. Urf Perbuatan.
Kehujjahan Al-urfUrf menurut penyelidikan bukan merupakan dalil Syara’ tersendiri. Pada
umumnya, urf ditujukan untuk memelihara kemaslahatan umat serta menunjang
pembentukan hukum dan penafsiran beberapa nash. Dengan urf dikhususkan lafal
yang umum dan dibatasi yang mutlak, karena urf pula terkadang qiyas ditinggalkan.
Karena itu pula, sah apabila mengadakan kontrak borongan apabila Urf sudah
terbiasa dengan hal in, sekalipun tidak sah menurut Qiyas, karena kontrak tersebut
adalah kontrak atas perkara yang Ma’dum (tiada).
8. ISTISHAB
Istishab secara etimologi berarti “meminta ikut serta secara terus menerus”,
menurut Abdul Karim Zaidan ahli Usuhul Fiqh berkembangsaan Mesir. Sedangkan
menurut istilah para usuliyah adalah menetapkan hokum sesuatu menurut keadaan
yang terjadi sebelumnya sampai ada dalil merubahnya dengan penganggapan lain.1
Istishab adalah menjadikan hukum satu peristiwa berikutnya, kecuali ada dalil yang
mengubah ketentuan hukum itu. Istishab berarti menganggap tetapnya status sesuatu
seperti keadaannya.
Macam-macam Istishab
1. Istishab al-Ibahah al-Ashliyah yaitu istilah yang didasarkan atas hukum asal
dari sesuatu yaitu mubah (boleh).
2. Istishab al-Baraah al-Ashliyah yaitu istishab yang didasarkan atas prinsip
bahwa pada dasarnya setiap orang bebas dari tuntutan beban taklif sampai ada
dua dalil yang mengubah statusnya itu dan bebas dari utang atau kesalahan
1 Satri Efendi, Ushul Fiqh (Cet. 1 ; Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2008), h. 159
14
sampai ada bukti yang mengubah status itu misalnya seseorang yang menuntut
bahwa haknya terdapat pada diri seseorang, ia harus mampu membuktikannya
karena pihak tertuduh pada dasarnya bebas dari segela tuntutan, dan status
bebasnya itu tidak bisa diganggu gugat kecuali dengan bukti yang jelas.
3. Istishab al-hukm, yaitu istishab yang didasarkan atas tetapnya status hokum
yang sudah ada selama tidak ada bukti yang mengubahnya misalnya seseorang
yang memiliki sebidang tanah atau harta bergerak seperti mobil, maka harta
miliknya itu tetap dianggap ada selama tidak terbukti dengan peristiwa yang
mengubah status hukum itu, seperti dijual atau dihibakannya kepada pihak lain.
4. Istishab al-Wast, yaitu istishab yang didasarkan atas anggapan masih
tetapnya sifat yang diketahui ada sebelumnya sampai ada bukti bahwa yang
mengubahnya, misalnya sifat hidup yang dimiliki seseorang yang hilang tetap
dianggap masih ada sampai ada bukti bahwa ia telah wafat. Demikian pula air
yang diketahui bersih, tatap dianggap bersih selama tidak ada bukti yang
mengubah statusnya itu.2
Kehujjahan Istishab
Dari Penjelasan di atas ditetapkan bahwa istishab itu bukan untuk
menetapkan suatu hukum yang baru. Tetapi melanjutkan berlakunya hukum yang
telah ada dan bukan untuk menetapkan yang belum ada. Ulama Hanafi menetapkan
bahwa istishab itu dapat menjadi hujjah untuk menolak akibat-akibat hukum yang
timbul dari penetapan hukum yang berbeda atau kebalikannya dengan penetapan
hukum semula, bukan untuk menetapkan suatu hukum baru dengan kata lain istishab
itu adalah menjadi hujjah untuk menetapkan perkara yang belum tetap hukumnya,
misalnya seseorang yang mafqud (orang yang bepergian yang tidak diketahui kabar
beritanya, hidup atau matinya dan dimana domisilinya). Secara hukum dia masih
hidup berdasarkan keadaan semula yang sudah diketahui, yaitu hidup sewaktu
bepergian sampai ada suatu bukti yang menunjukkan kematiannya. Istishab yang
menetapkan hukum bahwa si mafqud masih hidup adalah sebagai hujjah untuk
2 Satri Efendi, op.cit., h. 160-161
15
menghukum ia sudah mati dan akibat hukum yang timbul sesudah di hukumi mati.
Seperti dipusaka harta peninggalannya diputuskan perjanjian sewa menyewa yang
telah di adakannya dan diceraikan istrinya buka sebagai hujjah untuk menetapkan
hak si mafqud mempusakai harta peninggalan ahli warisnya yang telah meninggal
dunia.3
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Kaidah-kaidah Ushul secara bahasa yang dimaksud dengan al-ashlu adalah
sesuatu yang diatasnya dibangun sesuatu yang lain. Baik apakah bangunan tersebut
sifatnya indrawi seperti pembangunan tembok diatas fondasi atau yang sifatnya
pemikiran seperti membangun ma’lul (hukum yang terdapat ilat) berdasarkan illat
dan (sesuatu) yang ditunjuk oleh suatu dalil.
Kaidah-kaidah Ushul terdiri dari :
1. Al-Qur`an adalah firman Allah SWT Kitab suci ini mengadung pesan samawi
yang diperantai oleh wahyu.
2. Hadits adalah segala yang dinukilkan dari Nabi Muhammad SAW., baik berupa
perkataan, perbuatan maupun taqrirnya yang ada sangkut pautnya dengan hukum
3. Ijma’ adalah kesepakatan semua para mujtahid dari kaum muslimin dalam suatu
masa setelah wafat Rasul Saw atas hukum syara.
4. Qiyas adalah suatu cara penggunaan ra`yu untuk menggali hukum syara` dalam
hal-hal yang nash Al-Qur`an dan sunnah tidak menetapkan hukumnya secara
jelas.
5. Istihsan adalah menganggap baik terhadap sesuatu.
6. Maslahah al-mursalah adalah suatu perbuatan yang mengandung manfaat.
3 Mukhtar Yahya, op.cit., h. 113-114
16
7. Al-urf adalah sebuah keadaan , ucapan, perbuatan, atau ketentuan yang telah
dikenal manusia dan telah menjadi tradisi untuk melaksanakannya atau
meninggalkannya.
8. Istishab adalah menganggap tetapnya status sesuatu seperti keadaannya.
DAFTAR PUSTAKA
Bakry Nazar. 2003. Fiqh dan Ushul Fiqh. Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada..
Djamil, Fathurrahman. 1997. Filsafat Hukum Islam. Jakarta : Logos Wacana Ilmu.
Rahmat Syafi’i, Ilmu Ushul FiqihPustaka Setia, Bandung, 1999,
Abdul Wahhab al-Khallaf, 1978 ‘ilmu Ushul Fiqh (Kuwait: Dar al-Qalam).
17