25
KAJIAN KEBIJAKAN MAKROPRUDENSIAL: LOAN TO VALUE RATIO DALAM PENGENDALIAN KREDIT PEMILIKAN RUMAH Azka Muthia 1 Abstract Housing credit in Indonesia has high growth from 2011. This growth could become excessive growth and cause housing bubble. Therefore, the government implement Loan To Value (LTV) to control mortgages. However, growth of housing credit is still fluctuating and slowing down when the government loosening LTV policy. This condition become the reasons to evaluate the success of LTV in Indonesia. The results using Hodrick Prescott (HP) filter method identified that housing credit several times experienced excessive growth and with Generalized Linear Autoregressive Moving Average (GLARMA) method shows that housing credit to GDP ratio is influenced by previous month and not influenced by LTV policy. Based on these results, Bank Indonesia can combine LTV policy with Debt To Income policy and determine the target of mortgage growth target to succesful housing credit control. KeywordsKPR, LTV; excessive growth; HP filter, GLARMA Abstrak Kredit pemilikan rumah (KPR) di Indonesia mengalami pertumbuhan yang tinggi mulai tahun 2011. Pertumbuhan yang tinggi ini berpotensi menjadi excessive growth dan menyebabkan terjadinya housing bubble. Oleh karena itu pemerintah menerapkan kebijakan Loan To Value (LTV) untuk mengendalikan KPR. Namun, pertumbuhan KPR masih fluktuatif dan terjadi perlambatan saat diterapkan pelonggaran kebijakan LTV. Hal ini menjadi dasar untuk melihat keberhasilan kebijakan LTV dalam mengendalikan KPR. Hasil penelitian menggunakan metode Hodrick Prescott (HP) filter mengidentifikasi bahwa KPR beberapa kali mengalami excessive growth dan dengan metode Generalized Linear Autoregressive Moving Average (GLARMA) menunjukkan bahwa rasio KPR terhadap PDB dipengaruhi oleh rasio KPR terhadap PDB bulan sebelumnya dan tidak dipengaruhi oleh kebijakan LTV. Berdasarkan hasil tersebut, Bank Indonesia dapat menggabungkan kebijakan LTV dengan kebijakan Debt To Income dan menentukan batas target pertumbuhan KPR untuk memaksimalkan pengendalian KPR. Kata kunciKPR, LTV; excessive growth; HP filter, GLARMA 1 BPS Kabupaten Banjar; [email protected]

KAJIAN KEBIJAKAN MAKROPRUDENSIAL: LOAN TO VALUE …

  • Upload
    others

  • View
    4

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: KAJIAN KEBIJAKAN MAKROPRUDENSIAL: LOAN TO VALUE …

KAJIAN KEBIJAKAN MAKROPRUDENSIAL: LOAN TO VALUE RATIO DALAM PENGENDALIAN KREDIT PEMILIKAN RUMAH

Azka Muthia1

Abstract

Housing credit in Indonesia has high growth from 2011. This growth could become

excessive growth and cause housing bubble. Therefore, the government implement Loan To

Value (LTV) to control mortgages. However, growth of housing credit is still fluctuating and

slowing down when the government loosening LTV policy. This condition become the reasons

to evaluate the success of LTV in Indonesia. The results using Hodrick Prescott (HP) filter

method identified that housing credit several times experienced excessive growth and with

Generalized Linear Autoregressive Moving Average (GLARMA) method shows that housing

credit to GDP ratio is influenced by previous month and not influenced by LTV policy. Based

on these results, Bank Indonesia can combine LTV policy with Debt To Income policy and

determine the target of mortgage growth target to succesful housing credit control.

Keywords— KPR, LTV; excessive growth; HP filter, GLARMA

Abstrak

Kredit pemilikan rumah (KPR) di Indonesia mengalami pertumbuhan yang tinggi mulai tahun 2011. Pertumbuhan yang tinggi ini berpotensi menjadi excessive growth dan menyebabkan terjadinya housing bubble. Oleh karena itu pemerintah menerapkan kebijakan Loan To Value (LTV) untuk mengendalikan KPR. Namun, pertumbuhan KPR masih fluktuatif dan terjadi perlambatan saat diterapkan pelonggaran kebijakan LTV. Hal ini menjadi dasar untuk melihat keberhasilan kebijakan LTV dalam mengendalikan KPR. Hasil penelitian menggunakan metode Hodrick Prescott (HP) filter mengidentifikasi bahwa KPR beberapa kali mengalami excessive growth dan dengan metode Generalized Linear Autoregressive Moving Average (GLARMA) menunjukkan bahwa rasio KPR terhadap PDB dipengaruhi oleh rasio KPR terhadap PDB bulan sebelumnya dan tidak dipengaruhi oleh kebijakan LTV. Berdasarkan hasil tersebut, Bank Indonesia dapat menggabungkan kebijakan LTV dengan kebijakan Debt To Income dan menentukan batas target pertumbuhan KPR untuk memaksimalkan pengendalian KPR.

Kata kunci—KPR, LTV; excessive growth; HP filter, GLARMA

1 BPS Kabupaten Banjar; [email protected]

Page 2: KAJIAN KEBIJAKAN MAKROPRUDENSIAL: LOAN TO VALUE …

LATAR BELAKANG

Menurut Lembaga MARS (2015)

–Lembaga Perusahaan Riset

Indonesia–, Indonesia memiliki peluang

di subsektor perumahan dan

apertemen yang akan terus mengalami

peningkatan. Pertumbuhan harga

perumahan dan apartemen yang

meningkat tersebut tidak terlepas dari

kemudahan melakukan kredit pemilikan

rumah (KPR) yang diberikan oleh

perbankan. Namun,2 pertumbuhan

harga di subsektor perumahan ini

belum diiringi pertumbuhan

Pendapatan Domestik Bruto sektor

properti, pada triwulan 1 tahun 2013

sampai triwulan 4 tahun 2016

mengalami perlambatan.

Peningkatan harga perumahan

yang terlalu tinggi dan tidak diikuti

dengan pertumbuhan pendapatan

dikhawatirkan akan menimbulkan

housing bubble. Holt (2009)

menyatakan bahwa housing bubble

dapat mengakibatkan terjadinya krisis

kredit.

Menurut Bank Indonesia selama

tahun 2011 terjadi akselerasi

2 BPS Kabupaten Banjar; [email protected]

pertumbuhan kredit yang cukup tinggi

terutama pada sektor konsumsi yang

didominasi oleh Kredit Kepemilikan

Rumah (KPR) dan Kredit Kendaraan

bermotor (KKB). Pertumbuhan kredit di

kedua sektor tersebut berada di atas

pertumbuhan kredit agregat sebesar

24,4 persen (yoy). Khusus untuk KPR,

pertumbuhannya mencapai 33,12

persen (yoy). Meskipun NPL KPR

secara umum cenderung rendah, NPL

KPR untuk tipe di atas 70m2 sudah

berada di atas rata-rata historisnya.

Pertumbuhan KPR yang terlalu tinggi

berpotensi memicu terjadinya bubble

akibat akselerasi peningkatan harga

properti sehingga dapat meningkatkan

risiko kredit. Tingginya pertumbuhan

kredit di kedua sektor tersebut menjadi

salah satu faktor pendorong kuatnya

permintaan domestik. Pertumbuhan

kredit yang terlalu cepat dan berlebih

(excessive growth) jika tidak dikelola

dengan baik berpotensi mengganggu

stabilitas ekonomi makro dan sistem

keuangan.

Oleh karena itu perlu dilakukan

upaya untuk menjaga kestabilan

Page 3: KAJIAN KEBIJAKAN MAKROPRUDENSIAL: LOAN TO VALUE …

ekonomi makro dengan menerapkan

kebijakan makro di bidang keuangan.

Salah satu kebijakan yang bisa

diterapkan adalah kebijakan

makroprudensial. Instrumen kebijakan

makroprudensial yang berkaitan

dengan pengendalian kredit adalah

Loan to Value (LTV) yang berguna

untuk mengendalikan Kredit Pemilikan

Rumah (KPR) dan Kredit Kendaraan

Bermotor (KBR)3. Kebijakan LTV ini

bertujuan mendorong penerapan

prinsip kehati-hatian dalam penyaluran

kredit (Bank Indonesia, 2012).

Muliaman D Hadad (OJK, 2016) yang

menyatakan bahwa LTV ditujukan

untuk counter cyclical measure yang

artinya LTV diterapkan untuk

mengerem pertumbuhan kredit

pemilikan rumah (KPR).

Di Indonesia penerapan

kebijakan LTV sebesar 70 persen

diterbitkan pada tanggal 15 Maret 2012

dengan terbitnya Surat Edaran BI No

14/10/DPNP dan mulai diberlakukan

pada Juni 2012. Pada awal penerapan

LTV pertumbuhan KPR sempat

mengalami penurunan dari 49 persen

(Juni 2012, yoy) menjadi 39 persen

(November 2012, yoy). Namun,

Desember 2012 KPR kembali

3 BPS Kabupaten Banjar; [email protected]

mengalami peningkatan sebesar 47,2

persen (yoy) dan naik kembali sebesar

27 persen (yoy) pada Desember 2013.

Bank Indonesia kemudian

melonggarkan kebijakan LTV menjadi

sebesar 80 persen pada Juni 2015

sebagai dampak dari perlambatan

ekonomi domestik. Pelonggaran

tersebut ternyata tidak meningkatkan

pertumbuhan KPR, KPR tetap

mengalami perlambatan dan hanya

tumbuh sebesar 7 persen pada

Desember 2015. Akhirnya, Bank

Indonesia melonggarkan kembali

kebijakan LTV pada bulan Agustus

2016 menjadi 85 persen. Namun

kenyataannya pelonggaran tersebut

belum meningkatkan pertumbuhan

KPR dimana KPR hanya tumbuh

sebesar 8 persen pada Desember

2015. Pertumbuhan yang fluktuatif dari

KPR setelah adanya kebijakan LTV dan

terjadinya perlambatan ketika

diterapkan pelonggaran LTV perlu

dikaji lebih dalam untuk melihat

keberhasilan LTV dalam

mengendalikan KPR. Oleh karena itu

penelitian ini ingin meneli

perkembangan KPR berkaitan dengan

diterapkannya kebijakan LTV,

mengidentifikasi excessive growth

Page 4: KAJIAN KEBIJAKAN MAKROPRUDENSIAL: LOAN TO VALUE …

pada KPR di Indonesia dan pengaruh

LTV dalam upaya pengendalian KPR.

TINJAUAN LITERATUR

Kredit Pemilikan Rumah (KPR)

Kredit Pemilikan Rumah (KPR)

adalah suatu fasilitas kredit yang

diberikan oleh perbankan kepada para

nasabah perorangan yang akan

membeli atau4 memperbaiki rumah

(Bank Indonesia, tanpa tahun). KPR

muncul karena adanya berbagai

kondisi penunjang yang strategis

diantaranya adalah pemenuhan

kebutuhan perumahan yang semakin

lama semakin tinggi namun belum

dapat mengimbangi kemampuan daya

beli kontan dari masyarakat (Hardjono,

2008:25).

Risiko Kredit

Risiko kredit adalah risiko

kerugian akibat kegagalan pihak lawan

(counterparty) memenuhi kewajibannya

(Bank Indonesia, 2011). Krisis

perbankan besar dalam 30 tahun

terakhir yang terjadi di Chili (1982),

Denmark, Finland, Norwegia, dan

Swedia (1990-1991), Mexico (1994)

serta Thailand dan Indonesia (1997-

4 BPS Kabupaten Banjar; [email protected]

1998) juga didahului oleh periode credit

boom. Selain itu, lima dari tujuh studi

yang disurvei membuktikan

pertumbuhan kredit merupakan salah

satu determinan dari krisis keuangan

atau krisis perbankan (Utari et al.,

2012).

Konsep Makroprudensial

Dalam penelitian yang dilakukan

di BIS, Swiss, kebijakan

makroprudensial didefinisikan sebagai

kebijakan yang bertujuan untuk

membatasi risiko dan biaya dari krisis

sistemik (Galati G dan Richhild M,

2011). Sementara European Systemic

Risk Board (ESRB), mendefinisikan

kebijakan makroprudensial sebagai

kebijakan yang ditujukan untuk

menjaga stabilitas sistem keuangan

secara keseluruhan, termasuk dengan

memperkuat ketahanan sistem

keuangan dan mengurangi

penumpukan risiko sistemik, sehingga

memastikan keberkelanjutan kontribusi

sektor keuangan terhadap

pertumbuhan ekonomi (ESRB, 2013).

Kebijakan makroprudensial lebih

berorientasi pada sistem secara

keseluruhan. Fokus kebijakan

makroprudensial tak hanya mencakup

Page 5: KAJIAN KEBIJAKAN MAKROPRUDENSIAL: LOAN TO VALUE …

institusi keuangan, namun meliputi pula

elemen sistem keuangan lainnya,

seperti pasar keuangan, korporasi,

rumah tangga, dan infrastruktur

keuangan. Oleh karena itu, kebijakan

makroprudensial merupakan kebijakan

dengan tujuan akhir meminimalkan

terjadinya risiko sistemik. Efek negatif

risiko sistemik pada perekonomian

dapat dilihat dari peningkatan jumlah

gangguan pada sistem pembayaran,

aliran kredit, dan penurunan nilai aset

(Group of Ten, 2001). 5

Kebijakan makroprudensial

adalah kebijakan yang bertujuan untuk

menghindari terjadinya risiko sistemik.

Oleh karena itu, waktu (timing)

perumusan dan implementasi

kebijakan menjadi sangat penting,

termasuk menentukan waktu yang

tepat untuk aktivasi/deaktivasi suatu

instrumen kebijakan. Implementasi

instrumen kebijakan yang terlalu cepat

atau lambat berpotensi mengurangi

efektivitas kebijakan, atau bahkan

dapat menimbulkan biaya regulasi atau

unnecessary regulatory cost (CGFS,

2012).

Instrumen Kebijakan

Makroprudensial di Indonesia Loan

5 BPS Kabupaten Banjar; [email protected]

to Value Ratio (LTV) atas Kredit

Kepemilikan Rumah (KPR)

Instrumen berbasis aset dibagi

menjadi dua yaitu regulasi LTV (Loan to

Value) dan DTI (Debt to Income). Rasio

Loan to Value yang selanjutnya disebut

rasio LTV adalah angka rasio antara

nilai kredit yang dapat diberikan oleh

Bank terhadap nilai agunan berupa

properti pada saat pemberian kredit

berdasarkan hasil penilaian terkini

(Bank Indonesia, 2012). Rasio ini

dipakai dalam kredit perumahan.

𝐿𝑜𝑎𝑛 𝑡𝑜 𝑉𝑎𝑙𝑢𝑒 𝑅𝑎𝑡𝑖𝑜

=𝑀𝑜𝑟𝑡𝑔𝑎𝑔𝑒 𝑎𝑚𝑜𝑢𝑛𝑡

𝑉𝑎𝑙𝑢𝑒 𝑜𝑓 𝑡ℎ𝑒 𝑝𝑟𝑜𝑝𝑒𝑟𝑡𝑦

Perumusan kebijakan LTV atas

KPR dan DP atas KKB dilatarbelakangi

oleh pertumbuhan kredit sektor properti

dan kendaraan bermotor yang cukup

tinggi saat itu, sehingga berpotensi

menimbulkan terjadinya pembentukan

risiko sistemik akibat perilaku ambil

risiko yang berlebihan (excessive risk

taking behaviour). Kebijakan batasan

minimum atas LTV untuk KPR dan DP

untuk KKB6 pertama kali

diimplementasikan pada tahun 2012.

Hingga saat ini, kebijakan tersebut telah

disesuaikan 3 (tiga) kali pada tahun

Page 6: KAJIAN KEBIJAKAN MAKROPRUDENSIAL: LOAN TO VALUE …

2013, 2015 dan 2016, yakni dengan

melakukan perubahan atas besaran

nilai minimum LTV dan DP yang

disesuaikan dengan siklus

perekonomian dan pertumbuhan kredit.

METODE PENELITIAN

Data

Data yang digunakan dalam

penelitian ini merupakan data sekunder

dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan

Bank Indonesia (BI) dalam bentuk

bulanan dari bulan Januari 2011

sampai Desember 2016. Nilai Kredit

yang digunakan adalah Nilai Kredit

yang disalurkan perbankan. Berikut

adalah rincian data yang digunakan:

1. Produk domestik bruto atas dasar

harga berlaku triwulanan

didapatkan dari web BPS yang

diinterpolasi menjadi bulanan.

2. Data nilai KPR dan KPA didapat

dari publikasi bulanan Statistik

Ekonomi dan Keuangan (SEKI)

Indonesia, Bank Indonesia. Data

rasio Kredit Pemilikan Rumah

(KPR) diperoleh dari perhitungan

antara nilai KPR dan KPA terhadap

PDB bulanan atas dasar harga

berlaku (interpolasi).

7 BPS Kabupaten Banjar; [email protected]

3. Data nilai kredit total didapat dari

publikasi bulanan Statistik Ekonomi

dan Keuangan (SEKI) Indonesia,

Bank Indonesia.

4. Data LTV diperoleh dari surat

edaran BI No 14/10/DPNP, surat

edaran BI No 15/40/DKMP, PBI No

17/10/PBI/2015 yang berupa nilai

persentase LTV.

Metode Analisis

Analisis deskriptif yang disajikan

dalam penelitian ini merupakan

gambaran umum perkembangan KPR

berkaitan dengan diterapkannya

kebijakan LTV di Indonesia pada

periode Januari 2011 sampai

Desember 2016 dan mengidentifikasi

terjadinya excessive growth pada KPR

dengan menggunakan HP filter.

Pengolahan data untuk analisis

deskriptif menggunakan Microsoft

Excel 2013 dan E-views 9. Sedangkan

analisis inferensia yang digunakan

untuk mengetahui keberhasilan

kebijakan LTV dalam upaya

pengendalian KPR pada periode

Januari 20117 sampai Desember 2016

adalah regresi logistik biner (logit) deret

waktu (logistics regression with binary

time series). Analisis logit time series

Page 7: KAJIAN KEBIJAKAN MAKROPRUDENSIAL: LOAN TO VALUE …

yaitu dengan model GLARMA (p,q)

menggunakan program R studio

(cran.r-project.org).

Hodrick Prescott (HP) Filter

Variabel rasio KPR diperoleh

dari pembagian nilai KPR dan KPA

terhadap PDB bulanan atas tahun

berlaku. Variabel kredit adalah variabel

stok dan PDB adalah variabel flow

maka dalam menentukan pertumbuhan

KPR pada bulan t dibagi dengan nilai

PDB pada bulan t dan t+1 (Hilbers et.al,

2016).

𝐶𝑟𝑒𝑑𝑖𝑡 𝑟𝑎𝑡𝑖𝑜𝑡 =𝐾𝑃𝑅𝑡

(𝑃𝐷𝐵𝑡+𝑃𝐷𝐵𝑡+1)/2

(1)

Metode HP filter adalah suatu

metode yang memisahkan komponen

siklus dengan trend. Pada data series

dapat dipisahkan menjadi 2 komponen

yaitu trend (𝑔𝑡) dan siklus (𝑐𝑡) dan

dituliskan sebagai 𝑦𝑡= 𝑔𝑡 + 𝑐𝑡. Berikut ini

persamaan model HP filter dalam

penelitian ini:

𝑚𝑖𝑛{𝑔𝑡}𝑡=1𝑇 ∑ (𝑦𝑡 − 𝑔𝑡)2 +𝑇

𝑡=1

𝜆 ∑ (𝑔𝑡+1 − 2𝑔𝑡 + 𝑔𝑡−1)2𝑇𝑡=1

(2)

dimana :

λ : smoothing parameter,

ditentukan nilainya 14400

untuk data bulanan.

𝑔𝑡 : trend dari series data

(𝑦𝑡 − 𝑔𝑡) : komponen stasioner dari

variabel atau komponen siklus

𝑦𝑡 : nilai rasio KPR terhadap

PDB

Kemudian dalam mendefinisikan

credit boom peneliti mendefinisikan

sebagai kondisi pertumbuhan yang

sangat tinggi/ekstrim dan jauh dari

deviasi atau melewati threshold

(Iossifov dan Khamis, 2009) dan

excessive growth didefinisikan sebagai

penyimpangan dari tren jangka panjang

dari rasio KPR pada waktu ke t atau

melewati threshold. Perhitungan

threshold yang dipakai menurut metode

GVL adalah menggunakan rasio

nominal kredit terhadap PDB nominal

(L/Y)𝑡 sebagai ukuran kredit. Longrun

trend dari KPR didefinisikan sebagai

“expanding trend” dengan menerapkan

metode HP filter sebagai berikut :

diberikan sampel data untuk t=1, …, T

menunjukkan (L/Y)𝑡𝐸𝐻𝑃 sebagai

perluasan HP trend dari rasio KPR

pada bulan ke t, dimana 1˂ t ≤ T.

Perluasan trend adalah komponen

trend dari HP filter yang diterapkan

pada urutan data [𝐿/𝑌𝑡]𝑗=−𝑘𝑗=𝑡

, dimana k

adalah bilangan bulat positif yang

Page 8: KAJIAN KEBIJAKAN MAKROPRUDENSIAL: LOAN TO VALUE …

mendefiniskan panjang sampel data

awal. 8

GLV mendefinisikan sebuah

negara yang mengalami credit boom

adalah ketika satu atau lebih waktu

yang berdekatan memenuhi

persyaratan berikut [(𝐿/𝑌𝑡) − ( (L/

Y)𝑡𝐸𝐻𝑃)]/ (L/Y)𝑡

𝐸𝐻𝑃 ≥ �̃�. Artinya,

threshold dari perluasan trend dalam

rasio KPR harus setidaknya sama

seperti besarnya �̃�. Puncak ledakan

(boom) terjadi ketika penyimpangan

terbesar dari perluasan HP trend dan

dimulai dan berakhir ketika data pada

bulan yang memiliki nilai lebih besar

dari threshold. Nilai trend jangka

panjang dihitung menggunakan HP

filter dengan smoothing parameter

14400, sebagai nilai tetapan dari data

bulanan. Penghitungan threshold untuk

mengetahui credit boom dapat

diidentifikasikan juga sebagai kondisi

dimana satu atau lebih bulan t

mengalami kondisi (𝑙𝑖) >

𝜙σ(𝑙𝑖), dimana 𝜙 adalah faktor

threshold dari ledakan yang ditetapkan

sebesar 𝜙 = 1 dan 𝜙 = 1.75 sesuai

dengan standar IMF dan juga dalam

jurnal Mendoza dan Terrones (2008);

Utari et al. (2012).

8 BPS Kabupaten Banjar; [email protected]

Pembentukan Variabel

Untuk mendapatkan

kategorisasi rasio KPR yang berada

dalam rentang aman dan terjadi

excessive growth maka dilakukan

beberapa tahapan pembentukan

variabel, yaitu:

1. Membagi KPR menggunakan data

PDB bulanan (interpolasi) untuk

mendapatkan nilai rasio KPR

(Gourinchas, Valdes dan

Landerretche (2001), Mendoza dan

Terrones (2008), Utari et al. (2012),

dan Hilbers et. al. (2016)). Data

PDB bulanan diperoleh dengan

melakukan interporalisasi data

PDB triwulanan menjadi bulanan

menggunakan software Eviews 9.0.

Penggunaan rasio kredit terhadap

PDB selain berdasarkan jurnal juga

mengikuti pendekatan yang

diusulkan oleh Basel Committee on

Banking Supervision.

2. Data rasio tersebut digunakan

untuk membuat variabel kategorik.

Pengkategorisasian dalam variabel

respon dalam hal ini rasio KPR

didapat dengan menggunakan

analisis HP filter sesuai jurnal

Gourinchas, Valdes dan

Page 9: KAJIAN KEBIJAKAN MAKROPRUDENSIAL: LOAN TO VALUE …

Landerretche (2001),9 Mendoza

dan Terrones (2008), Utari et al.

(2012) dan Hilbers et al. (2016)

yang kemudian dikategorisasikan

menjadi dua kategori, yaitu bernilai

1 untuk yang mengalami excessive

growth dan 0 untuk yang berada

dalam kondisi aman dan tidak

mengalami excessive growth atau

dapat ditulis sebagai berikut:

𝑦𝑡 {0; 𝑟𝑎𝑠𝑖𝑜 𝐾𝑃𝑅 𝑘𝑢𝑟𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑎𝑟𝑖 𝑠𝑎𝑚𝑎 𝑑𝑒𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑡ℎ𝑟𝑒𝑠ℎ𝑜𝑙𝑑 (tidak terjadi 𝑒𝑥𝑐𝑒𝑠𝑠𝑖𝑣𝑒 𝑔𝑟𝑜𝑤𝑡ℎ)

1; 𝑟𝑎𝑠𝑖𝑜 𝐾𝑃𝑅 𝑙𝑒𝑏𝑖ℎ 𝑏𝑒𝑠𝑎𝑟 𝑑𝑎𝑟𝑖 𝑡ℎ𝑟𝑒𝑠ℎ𝑜𝑙𝑑 (terjadi 𝑒𝑥𝑐𝑒𝑠𝑠𝑖𝑣𝑒 𝑔𝑟𝑜𝑤𝑡ℎ)

3. Variabel kategorik ini akan

dimasukkan ke dalam proses

pembentukan estimasi model yang

digunakan untuk menjawab tujuan

ketiga dari penelitian ini.

Sementara itu, untuk variabel

LTV sebagai variabel penjelas

dilakukan pengkategorisasian menjadi

tiga kategori, yaitu bernilai 0 pada saat

kebijakan LTV belum diberlakukan,

bernilai 1 pada saat kebijakan LTV

diberlakukan sebesar 70 persen dan

bernilai 2 pada saat kebijakan LTV

dilakukan perubahan dan bernilai lebih

dari 70 persen atau dapat ditulis

sebagai berikut:

𝐿𝑇𝑉 {0; 𝐿𝑇𝑉 = 01; 𝐿𝑇𝑉 = 70 𝑝𝑒𝑟𝑠𝑒𝑛2; 𝐿𝑇𝑉 > 70 𝑝𝑒𝑟𝑠𝑒𝑛

9 BPS Kabupaten Banjar; [email protected]

Generalized Linear Autoregressive

Moving Average (GLARMA)

Dalam suatu penelitian jika

terdapat ketergantungan dari waktu ke

waktu pada setiap 𝑌𝑡, perluasan dari

regresi logistik akan sangat berguna

dalam analisis (Dunsmuir, Tran, dan

Weatherburn, 2008). Perluasan ini

disebut model GLARMA (Generalized

Linear Autoregressive Moving Average)

yang dikembangkan oleh Davis (2004)

dari kasus Poisson sampai Binomial.

Model GLARMA relatif mudah

digunakan dan mampu mendeteksi dan

memperhitungkan adanya korelasi

serial dalam pemodelan regresi time

series (Dunsmuir dan Scott, 2014).

Pada dasarnya, model GLARMA

Page 10: KAJIAN KEBIJAKAN MAKROPRUDENSIAL: LOAN TO VALUE …

digunakan untuk mengestimasi

hubungan regresi antara variabel

penjelas dan variabel respons yang

berupa data diskrit. Meskipun demikian,

estimasi parameter dengan variabel

respons berupa data kategorik atau

biner juga dapat dilakukan dengan

GLARMA melalui perluasan GLARMA

(extended GLARMA) untuk observasi

yang berdistribusi Bernoulli (Davis,

2004). 10

Jika pada regresi logistik pada

umumnya variabel penjelas berupa 𝑋𝑡,

maka pada regresi logistik untuk data

deret waktu terdapat variabel baru yaitu

𝑍𝑡 yang menjelaskan ketergantungan

variabel respons terhadap waktu

(korelasi serial). 𝑍𝑡 mengandung

komponen autoregressive (AR(p)) dan

moving average (MA(q)). Gujarati

(2003) memaparkan bahwa

autoregressive menunjukkan bahwa

suatu variabel bergantung pada

variabel itu sendiri di periode yang lalu

(pada lag tertentu). Sementara itu,

moving average menunjukkan bahwa

variabel tersebut berkombinasi linier

dengan residual periode sebelumnya.

Oleh karena itu, dapat ditulis sebagai

berikut (Dunsmuir dan Scott, 2014):

10 BPS Kabupaten Banjar; [email protected]

𝑍𝑡 = ∑ 𝜙𝑗(𝑍𝑡−𝑗 + 𝑒𝑡−𝑗)𝑝

𝑗=1

+ ∑ 𝜃𝑗𝑒𝑡−𝑗

�̅�

𝑗=1

= 𝜙1𝑍𝑡−1 + 𝜙1 𝑒𝑡−1 + ⋯ + 𝜙𝑝𝑍𝑡−𝑝

+ 𝜙𝑝 𝑒𝑡−𝑝 + 𝜃1𝑒𝑡−1 + ⋯

+ 𝜃�̅�𝑒𝑡−�̅�

= 𝜙1𝑍𝑡−1 + ⋯ + 𝜙𝑝𝑍𝑡−𝑝

+ (𝜙1 + 𝜃1)𝑒𝑡−1 + ⋯

+ (𝜙𝑝 + 𝜃�̅�)𝑒𝑡−�̅�

= ∑ 𝜙𝑗𝑍𝑡−𝑗 + ∑ 𝜃𝑗𝑒𝑡−𝑗�̅�𝑗=1

𝑝𝑗=1

(3)

Keterangan:

𝑍𝑡: residual dari regresi logistik periode

ke-t

𝑍𝑡−1: residual dari regresi logistik

periode ke-(𝑡 − 𝑖) (autoregressive)

𝑒𝑡−1: residual dari GLARMA periode ke-

(𝑡 − 𝑖) (moving average)

𝑝: order dari variabel autoregressive

𝑞: order dari variabel moving average

dengan 𝑒𝑡 =

(𝑌𝑡−�̂�𝑡

√�̂�𝑡(1−�̂�𝑡))

(4)

dalam hal ini, disebut sebagai Pearson

Residual, yang bersifat white noise

Page 11: KAJIAN KEBIJAKAN MAKROPRUDENSIAL: LOAN TO VALUE …

yang lemah (weakly white noise), yaitu

rata-rata konstan, varians konstan dan

kovarians nol, atau dapat ditulis

sebagai berikut.

𝐸[𝑒𝑡] = 𝜇

(5)

𝐸[𝑒𝑡2] = 𝜎𝜀

2

(6)

𝐶𝑜𝑣[𝑒𝑡, 𝑒𝑠] = 0, 𝑡 ≠

𝑠 (7)

Sementara itu, �̅� = max(𝑝, 𝑞) dengan

kondisi sebagai berikut.11

1. 𝑝 ≤ 𝑞, �̃� = 𝜃𝑗 + ∅𝑗 untuk 𝑗 = 1, … , 𝑝

dan �̃�𝑗 = 𝜃𝑗 untuk 𝑗 = 𝑝 + 1, … , 𝑞

2. 𝑝 > 𝑞, �̃� = 𝜃𝑗 + ∅𝑗 untuk 𝑗 = 1, … , 𝑞

dan �̃�𝑗 = 𝜃𝑗 untuk 𝑗 = 𝑞 + 1, … , 𝑝

Keberadaan serial dependensi

dapat dilihat melalui signifikansi dari

koefisien �̃�𝑗 dan ∅𝑗 . Dengan demikian,

regresi logistik yang memiliki korelasi

serial dimodelkan dengan cara

mengikutsertakan simpangan yang

telah dibakukan pada periode

sebelumnya (past standardised

deviations). Dengan demikian, model

GLARMA(p,q) dapat ditulis sebagai

berikut.

11 BPS Kabupaten Banjar; [email protected]

ln [𝜋(𝑥𝑡)

1−𝜋(𝑥𝑡)] = 𝛽0 + 𝛽1𝑋1𝑡 + 𝛽2𝑋2𝑡 + ⋯ +

𝛽𝑘𝑋𝑘𝑡 + 𝑍𝑡 (8)

Dengan

𝑍𝑡 = ∑ ∅𝑗𝑍𝑡−𝑗𝑝𝑗=1 + ∑ �̃�𝑗𝑒𝑡−𝑗

�̅�𝑗=1

(9)

Dalam membentuk model logit

time series di penelitian ini ada

beberapa tahapan. Berikut ini adalah

tahapan estimasi koefisien regresi

logistik biner untuk data time series.

1. Pembentukan estimasi model

regresi logistik

2. Diperoleh residual dari tahap 1.

3. Identifikasi plot ACF dan PACF

residual dari tahap 2 untuk

mengetahui AR(p), MA(q) atau

ARMA (p.q) yang akan digunakan

untuk menangkap adanya korelasi

dengan waktu.

4. Pembentukan estimasi model

GLARMA(p,q)

5. Uji diagnosis estimasi model

GLARMA(p,q)

6. Uji Goodness of Fit untuk

mengetahui estimasi model regresi

logistik atau GLARMA (p,q) yang

lebih baik dalam menjelaskan

Page 12: KAJIAN KEBIJAKAN MAKROPRUDENSIAL: LOAN TO VALUE …

faktor-faktor yang mempengaruhi

pengendalian KPR di Indonesia.

Adapun bentuk regresi logistik

biner yang digunakan dalam penelitian

ini adalah sebagai berikut. 12

𝑙𝑛 [�̂�(𝑥𝑡)

1−�̂�(𝑥𝑡)] = �̂�0 + �̂�1𝐷𝐿𝑇𝑉1𝑡 +

�̂�2𝐷𝐿𝑇𝑉2𝑡 (10)

Sementara itu, bentuk

GLARMA(p,q) yang digunakan dalam

penelitian ini adalah sebagai berikut:

𝑙𝑛 [�̂�(𝑥𝑡)

1−�̂�(𝑥𝑡)] = �̂�0 + �̂�1𝐷𝐿𝑇𝑉1𝑡 +

�̂�2𝐷𝐿𝑇𝑉2𝑡 + 𝑍𝑡 (11)

dengan

𝑍𝑡 = ∑ ∅𝑖𝑍𝑡−1 + ∑ �̃�𝑖𝑒𝑡−1�̅�𝑖=1

𝑝𝑖=1

(12)

Keterangan:

𝐷𝐿𝑇𝑉1𝑡 : Dummy LTV pada bulan ke-

(t) ketika kebijakan LTV

sebesar 70 persen

𝐷𝐿𝑇𝑉2𝑡 : Dummy LTV pada bulan ke-

(t) ketika kebijakan LTV

sebesar lebih besar 70

persen

𝑍𝑡−1 : residual regresi logistik

periode ke-(t-i )

(autoregressive (p))

𝑒𝑡−1 : residual GLARMA periode

ke-(t-i) (moving average (q))

I. Analisis

V.1 Analisis Perkembangan KPR

Dan Identifikasi Excessive Growth

Pada KPR

Sumber : Bank Indonesia (diolah)

Gambar 2. Pertumbuhan KPR dan

Kredit Total Januari 2011 sampai

Desember 2016

Dari gambar diatas terlihat

bahwa pertumbuhan kredit KPR lebih

besar dibandingkan kredit total. Selain

itu menurut Bank Indonesia (2012)13 di

Indonesia itu perumahan sebagian

besar lewat KPR. Tingginya KPR

dikarenakan adanya berbagai kondisi

penunjang yang strategis diantaranya

-9%

-10%

-5%

0%

5%

10%

15%

201

1M1

201

1M4

201

1M7

201

1M1

0

201

2M1

201

2M4

201

2M7

201

2M1

0

201

3M1

201

3M4

201

3M7

201

3M1

0

201

4M1

201

4M4

201

4M7

201

4M1

0

201

5M1

201

5M4

201

5M7

201

5M1

0

201

6M1

201

6M4

201

6M7

201

6M1

0

Per

sen

tase

Tahun

Pertumbuhan Kredit total Pertumbuhan KPR

Page 13: KAJIAN KEBIJAKAN MAKROPRUDENSIAL: LOAN TO VALUE …

adalah pemenuhan kebutuhan

perumahan yang semakin lama

semakin tinggi tetapi belum dapat

mengimbangi kemampuan daya beli

kontan dari masyarakat (Hardjono,

2008:25). Hal ini didukung dengan

kenyataan bahwa rumah dan

perumahan merupakan salah satu

kebutuhan pokok manusia. Mankiw

(2009) menyatakan bahwa peningkatan

populasi yang besar yang salah satu

sebabnya karena imigrasi juga akan

menaikkan permintaan rumah.

Sayangnya, KPR merupakan jenis

kredit konsumsi yang bisa

menyebabkan adanya excessive

growth atau bahkan credit boom jika

nilai kredit terlalu tinggi dan dampaknya

bisa memengaruhi terjadinya housing

bubble yang akan memengaruhi

stabilitas di sektor finansial yang

akhirnya akan berimbas pada stabilitas

sistem keuangan. Housing bubble

dimungkinkan karena ketersediaan

kredit perbankan akan meningkatkan

permintaan terhadap perumahan dan

sekaligus meningkatkan harga

perumahan (Oikarinen, 2009).

14 BPS Kabupaten Banjar; [email protected]

Sumber: Bank Indonesia (diolah)

Keterangan:

= sebelum ada kebijakan LTV

= kebijakan LTV sebesar 70 persen

= kebijakan LTV lebih besar 70

persen

Gambar 3. Kebijakan LTV dan

Pertumbuhan KPR pada Januari 2011-

Desember 2016

Sebelum adanya kebijakan LTV

pertumbuhan KPR sangat fluktuatif

dengan kecenderungan

pertumbuhannya mengalami tren

positif. Kemudian ketika diberlakukan

kebijakan LTV pada Agustus 2012

terjadi perlambatan KPR yang cukup

besar, pertumbuhan KPR mengalami

perlambatan sampai minus 9 persen.

Hal ini kemungkinan terjadi karena

adanya penerapan LTV pada Juni 2012

sehingga mempengaruhi KPR pada

bulan14 setelahnya. Masyarakat

-9.308%-10%

-5%

0%

5%

201

1M

1201

1M

4201

1M

7201

1M

10

201

2M

1201

2M

4201

2M

7201

2M

10

201

3M

1201

3M

4201

3M

7201

3M

10

201

4M

1201

4M

4201

4M

7201

4M

10

201

5M

1201

5M

4201

5M

7201

5M

10

201

6M

1201

6M

4201

6M

7201

6M

10

Persentase

Pertumbuhan KPR

Page 14: KAJIAN KEBIJAKAN MAKROPRUDENSIAL: LOAN TO VALUE …

mengalami keterkejutan dengan

tingginya Down Payment yang harus

diberikan untuk melakukan KPR diawal

perberlakuan LTV. Setelah itu, ada

kenaikan kembali pertumbuhan KPR

dikarenakan bank mengganti sasaran

konsumen KPR dari rumah tangga

menengah kebawah ke rumah tangga

menengah keatas dimana tidak terlalu

terpengaruh dengan LTV (Bank

Indonesia, 2012).

Hasil analisis menggunakan

pendekatan HP filter menunjukkan

bahwa rasio KPR terhadap PDB di

Indonesia dari periode Januari 2011

sampai Desember 2016 menunjukkan

laju yang fluktuatif. Secara keseluruhan

trend rasio KPR terhadap PDB

beberapa kali mengalami excessive

growth bahkan terjadi credit booms.

Excessive growth terjadi pada Januari

2012, Juni 2013, September 2013-

Februari 2014, Mei 2014, dan Oktober

2014-Februari 2015 sedangkan credit

booms terjadi pada Juni 2012 dan Juli

2012.

Gambar 4. Rasio KPR terhadap PDB

pada periode Januari 2011-Desember

2016

Mendoza dan Terronez (2008)

menyatakan bahwa credit booms di

negara berkembang sering terjadi

terkait adanya krisis mata uang, krisis

perbankan dan sudden stop. Namun,

Gourinchas, Valdes dan Landerretche

(2001) menyatakan bahwa tidak ada

hubungan antara credit booms dan

krisis keuangan di negara berkembang.

Sedangkan Dell Ariccia (2012) memiliki

pandangan bahwa pertumbuhan kredit

yang dipicu oleh respon yang

berlebihan pelaku sektor keuangan

lebih mengarah pada pertumbuhan

kredit yang berlebihan (credit boom).

Kondisi ini didasari teori financial

accelerator. Financial accelerator

terjadi karena adanya market

imperfection akibat asimetric

0.22

0.24

0.26

0.28

0.3

0.32

0.34

0.36

0.38

0.4

2011M

1

2011M

4

2011M

7

2011M

10

2012M

1

2012M

4

2012M

7

2012M

10

2013M

1

2013M

4

2013M

7

2013M

10

2014M

1

2014M

4

2014M

7

2014M

10

2015M

1

2015M

4

2015M

7

2015M

10

2016M

1

2016M

4

2016M

7

2016M

10

Rasio KPR trendThreshold Excessive Growth Threshold Credit Boom

Page 15: KAJIAN KEBIJAKAN MAKROPRUDENSIAL: LOAN TO VALUE …

information serta lemahnya

kelembagaan. 15

Dari hasil HP filter diatas

menunjukkan KPR di Indonesia

memiliki peluang yang terjadinya

housing bubble seperti yang terjadi

pada Amerika Serikat karena ada

beberapa waktu dimana pertumbuhan

KPR melewati threshold. Hal ini akibat

adanya kecenderungan kesamaan nilai

IHPR Indonesia dengan Amerika

serikat dan pertumbuhan kredit yang

lebih tinggi dari pertumbuhan kredit

total perbankan (Nasution, 2013). Hasil

HP filter memperlihatkan bahwa

beberapa kali KPR terjadi excessive

growth yang menunjukkan ketika rasio

kredit terhadap PDB melebihi trennya

dari gap absolut yang dinyatakan dalam

persentase berlangsung terlalu lama,

maka cenderung mengalami krisis

kredit. Iossifov dan Khamis (2009)

menyatakan bahwa adanya rapid credit

expansion baik karena credit boom

ataupun fundamental akan

menimbulkan risiko prudensial dan

makroekonomi. Oleh karena itu Bank

Indonesia menerapkan adanya

kebijakan LTV. Instrumen ini

dikeluarkan sebagai respons atas hasil

asesmen yang menunjukkan bahwa

15 BPS Kabupaten Banjar; [email protected]

pertumbuhan kredit properti serta

indeks harga properti tumbuh jauh di

atas tren jangka panjangnya atau

mengindikasikan adanya boom harga

properti. Selain dalam bentuk

instrumen pengaturan seperti

disebutkan di atas, kebijakan

makroprudensial dapat dirumuskan

dalam bentuk himbauan (moral

suasion) khususnya bagi institusi

keuangan (Bank Indonesia, 2016).

Analisis LTV Sebagai Pengendalian

KPR Pada Periode Januari 2011

Sampai Desember 2016

Untuk mengetahui pengaruh

kebijakan LTV terhadap pengendalian

kredit, dilakukan pengolahan dengan

menggunakan regresi logistik. Berikut

hasil persamaan regresi logistik :

ln ((�̂�(𝑥𝑡)

1−�̂�(𝑥𝑡)) = – 0,8755 (ρ − value =

0,1) + 0,9867DLTV1 (ρ − value =

0,116) – 1,2646DLTV2 (ρ − value =

0,168) (13)

* signifikansi pada α = 5%

Berdasarkan hasil persamaan

tersebut, terlihat bahwa secara parsial

LTV1 maupun LTV216 tidak

berpengaruh signifikan terhadap

pengendalian KPR di Indonesia. Nilai

Page 16: KAJIAN KEBIJAKAN MAKROPRUDENSIAL: LOAN TO VALUE …

Nagerkerke R2 sebesar 0,1942, berarti

bahwa 19,42 persen variasi dalam

pengendalian KPR Indonesia

disebabkan oleh variabel bebas yang

ada dan sisanya sebesar 80,58 persen

perubahannya disebabkan oleh

variabel-variabel lain yang tidak

dijelaskan dalam model.

Peranan variabel-variabel lain

yang tidak dijelaskan dalam model

tersebut, diakomodir oleh GLARMA

yang memasukkan residual persamaan

regresi logistik ke dalam model.

Sebelum dilakukan pembentukan

model terlebih dahulu dilakukan

pemilihan model. Hasil identifikasi pola

ACF dan PACF (lampiran 3 dan 4)

17 BPS Kabupaten Banjar; [email protected]

diperoleh bahwa GLARMA (1,0)

sebagai model yang sesuai.

* signifikansi pada α = 5%

Berdasarkan AIC, uji Likelihood

Ratio dan uji Wald, model GLARMA

(1,0) menghasilkan model lebih baik

daripada regresi logistik.

Persamaan model yang

terbentuk adalah sebagai berikut:

ln ((�̂� (𝑥𝑡)

1−�̂�(𝑥𝑡)) = – 1,361 (ρ − value =

0,145) + 1,427DLTV1 (ρ − value =

0,191)– 1,575DLTV2 (ρ − value =

0.359) + Zt (14)

Dengan

Zt = 0,6467∗Zt−1 (15)

(ρ-value) (2,05e-07)

* signifikansi pada α = 5%

Estimasi model GLARMA (1,0)

pada persamaan diatas memiliki

ketepatan klasifikasi sebesar 80,5555

persen. Artinya bahwa dari 72

observasi yang digunakan, model

GLARMA (1,0)17 dapat

mengklasifikasikan 58 observasi

dengan benar. Hasil uji LJung-Box,

Estimas

i Model

Statistik

AI

C

LR Wald

Nila

i

ρ-

valu

e

Nila

i

ρ-

valu

e

(1) (2) (3) (4) (5) (6)

Regresi

Logistik

89,

17

9 14,

19

0,0

001

*

26.

98

2.05

e-

07* GLARM

A(1,0)

76.

98

7

Page 17: KAJIAN KEBIJAKAN MAKROPRUDENSIAL: LOAN TO VALUE …

model ini sudah bersifat white noise

dengan tingkat kepercayaan 95 persen

sehingga disimpulkan bahwa model

GLARMA (1,0) yang dibentuk telah

sesuai.

Koefisienvariabel autoregressive

(Zt−1) memiliki pengaruh parsial yang

signifikan terhadap pengendalian KPR

di Indonesia dengan tingkat

kepercayaan 95 persen. Koefisien

korelasi sebesar 0,6467 menunjukkan

bahwa kondisi pada satu bulan

sebelumnya memberikan pengaruh

yang cukup kuat dalam memengaruhi

terjadinya excessive growth pada KPR.

Hasil ini sesuai dengan teori behavioral

finance dan bonded rationality. Perilaku

sektor keuangan khususnya perbankan

berdasarkan beberapa studi empiris

cenderung prosiklikal. Berdasarkan

penelitian Munier et al. (1999) teori

bounded rationality menyatakan bahwa

dalam pengambilan keputusan,

perilaku rasional masing-masing

individu dibatasi oleh informasi yang

dimiliki dan cara berpikir kognitif serta

batasan waktu yang dimiliki untuk

mengambil keputusan. Kecenderungan

bank untuk menganggap ringan risiko

ketika perekonomian booming dan

melebihkan potensi risiko ketika

18 BPS Kabupaten Banjar; [email protected]

perekonomian terpuruk, konsisten

dengan teori. Perilaku prosiklikal

perbankan yang berlebihan khususnya

pada kondisi perekonomian booming

dapat memicu pertumbuhan kredit yang

berlebihan. Hal ini terbukti berdasarkan

beberapa literatur yang sering dikaitkan

sebagai faktor kunci yang berkontribusi

terhadap krisis di sektor keuangan

khususnya di negara berkembang. Hal

ini didukung laporan perekonomian BI

yang menyatakan bahwa preferensi

masyarakat untuk berinvestasi pada

properti dipengaruhi ekspektasi

kenaikan harga properti.

Untuk variabel LTV1 yaitu

kebijakan LTV sebesar 70 persen, nilai

koefisien adalah sebesar 1,427 tetapi

secara statistik tidak signifikan. Hal ini

berarti ketika diberlakukan kebijakan

LTV sebesar 70 persen, maka

kecenderungan KPR akan berada pada

keadaan excessive growth adalah

sebesar 4,1662 kali lebih besar

dibandingkan saat tidak diberlakukan

kebijakan LTV. Namun, secara statistik

kebijakan LTV sebesar 70 persen tidak

memengaruhi pengendalian KPR di

Indonesia pada tingkat kepercayaan 95

persen18.

Page 18: KAJIAN KEBIJAKAN MAKROPRUDENSIAL: LOAN TO VALUE …

Untuk variabel LTV2 yaitu

kebijakan LTV lebih dari 70 persen, nilai

koefisien adalah sebesar –1,575 tetapi

secara statistik tidak signifikan. Hal ini

berarti ketika diberlakukan kebijakan

LTV lebih besar 70 persen, maka

kecenderungan KPR akan berada pada

keadaan aman adalah sebesar 4,8307

kali lebih besar dibandingkan saat tidak

diberlakukan kebijakan LTV. Namun,

secara statistik kebijakan LTV lebih dari

70 persen tidak memengaruhi

pengendalian KPR di Indonesia pada

tingkat kepercayaan 95 persen.

Gagalnya penerapan LTV

menurut Oh Hwa Se (2013) karena

pada penerapannya, kebijakan LTV

dapat mengalami penyimpangan.

Penyimpangan bisa terjadi karena

adanya ekspansi dari kredit non-bank,

lembaga keuangan yang kurang diatur

dan/atau oleh bank asing. Sasaran

yang sempit dari rasio LTV dapat

meningkatkan hambatan ekonomi

politik, terutama jika kelompok yang

terkena dampak batas LTV cenderung

lebih membutuhkan kredit. Oleh karena

itu, kebijakan makroprudensial untuk

membatasi kredit perumahan mungkin

lebih sulit diimplementasikan dari sudut

pandang ekonomi politik.

Keadaan tersebut kemungkinan

juga terjadi di Indonesia, Pemerintah

Indonesia juga menerapkan KPR

bersubsidi sebagai salah satu cara

ekonomi politik yang pemerintah

lakukan untuk rakyak menengah

kebawah yang menjadikan praktek

KPR masih berjalan lancar walaupun

sudah ada penerapan LTV. Hal ini

karena memang pengaturan mengenai

LTV dikecualikan terhadap KPR dalam

rangka pelaksanaan program

perumahan pemerintah. Sementara itu,

lembaga nonbank di Indonesia juga

sedang mengalami perkembangan dan

jumlahnya cukup banyak. Adanya

persaingan antara bank dan nonbank

dalam menyalurkan KPR kepada

masyarakat karena dengan

diperbaharui ketentuan LTV

menimbulkan ketertarikan bagi bank

dan non-bank untuk ikut menyalurkan

KPR. Masyarakat tertarik untuk kredit di

lembaga nonbank karena uang muka di

nonbank sangat murah (Franedya

dalam Saraswati, 2014)19.

Selain itu, gagalnya penerapan

LTV bisa saja terjadi karena penetapan

Page 19: KAJIAN KEBIJAKAN MAKROPRUDENSIAL: LOAN TO VALUE …

nilai rasio LTV itu sendiri. Menurut

Profesor Candra Fajri Ananda, Dekan

Fakultas ekonomi dan Bisnis,

Universitas Brawijaya, BI tidak bisa

serta-merta menentukan seberapa

besar angka LTV tanpa informasi yang

komprehensif dari OJK, selaku

pemegang kendali mikroprudensial.

OJK sendiri juga menginginkan sektor

perbankan ikut menikmati dinamika

perubahan LTV. BI dan OJK juga harus

berkoordinasi dengan pemerintah,

terkait keseimbangan pasar secara riil

dalam jangka waktu tertentu.

Tidak adanya pengaruh yang

signifikan dari LTV atau bisa dibilang

belum berhasilnya kebijakan LTV ini

diperkuat dengan laporan

perekonomian Indonesia oleh BI yang

menyatakan bahwa pertumbuhan KPR

dipicu dengan keadaan pertumbuhan

ekonomi di Indonesia. Saat

pertumbuhan ekonomi baik atau

mengalami percepatan maka

pertumbuhan KPR ikut naik dan saat

pertumbuhan ekonomi mengalami

perlambatan pertumbuhan KPR ikut

turun. Hal ini terbukti pada tahun 2012

dan 2013 KPR tinggi karena

perekonomian Indonesia sedang baik.

Kemudian pada awal tahun 2015 terjadi

perlambatan perekonomian di

Indonesia yang berdampak pada KPR.

Mankiw (2009) menjelaskan bahwa

terjadinya booming pada pertumbuhan

ekonomi meningkatkan pendapatan

yang kemudian akan meningkatkan

permintaan rumah.

Belum berhasilnya kebijakan

LTV di Indonesia perlu ditinjau ulang

dan disiasati agar fungsi kebijakan

makroprudensial dalam hal ini LTV bisa

berhasil mengendalikan KPR di

Indonesia. Hahm et al. (2012)

menyatakan untuk Negara Korea dan

beberapa negara Asia penggunaan

rasio DTI menjadi pelengkap penting

kebijakan LTV untuk tujuan

makroprudensial dalam mengendalikan

KPR dan dalam kasus Hongkong. Di

Indonesia sendiri kebijakan

makroprudensial DTI belum diatur baru

mengatur dan menerapkan LTV saja.

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

KEBIJAKAN

Kesimpulan

1. Gambaran umum dari karakteristik

KPR dalam penelitian ini adalah

bahwa secara keseluruhan

pertumbuhan KPR lebih tinggi dari

kredit total. Pada Januari 2011

sampai Desember 2016, Indonesia

mengalami pertumbuhan KPR

yang tinggi dan fluktuatif.

Page 20: KAJIAN KEBIJAKAN MAKROPRUDENSIAL: LOAN TO VALUE …

Pertumbuhan KPR20 mengalami

shock diawal penerapan kebijakan

LTV sebesar 70 persen kemudian

fluktuatif kembali dan semakin lama

semakin stabil, setelah perubahan

kebijakan LTV lebih dari 70 persen

pertumbuhan lebih stabil dan tidak

terlalu tinggi.

2. Hasil dari HP filter menunjukkan

bahwa rasio KPR terhadap PDB

pada Januari 2011 sampai

Desember 2016 beberapa kali

mengalami excessive credit

bahkan credit booms.

3. Hasil analisis keberhasilan LTV

terhadap pengendalian KPR di

Indonesia pada Januari 2011

sampai Desember 2016

menunjukkan bahwa pengendalian

KPR di Indonesia dipengaruhi rasio

KPR terhadap PDB bulan

sebelumnya sedangkan penerapan

kebijakan LTV sebesar 70 persen

dan lebih dari 70 persen tidak

berpengaruh secara signifikan atau

belum berhasil dalam

mengendalikan KPR di Indonesia.

Rekomendasi Kebijakan

20 BPS Kabupaten Banjar; [email protected]

Berdasarkan kesimpulan hasil

penelitian dan pembahasan, peneliti

mengajukan saran sebagai berikut :

a. Bank Indonesia dapat

menggabungkan kebijakan LTV

dengan kebijakan DTI seperti pada

negara lain yaitu Hongkong

(Kuttner dan Shim, 2012) dan

Korea Selatan (OH Hwa Se, 2013)

yang menggabungkan kedua

kebijakan itu. Penggabungan

kebijakan bertujuan agar

memaksimalkan pengendalian

KPR agar tidak terjadi excessive

credit.

b. Melihat adanya kemungkinan

Indonesia mengalami credit boom

yang bisa menjadikan housing

bubble, untuk mempermudah

monitoring pemerintah perlu

menentukan batas kewajaran

pertumbuhan KPR agar menjaga

KPR tetap berada dalam batas

aman.

c. Dalam mengendalikan

pertumbuhan KPR dan

keberhasilan kebijakan LTV,

diperlukan koordinasi yang baik

antara Bank Indonesia,

Page 21: KAJIAN KEBIJAKAN MAKROPRUDENSIAL: LOAN TO VALUE …

Pemerintah, Otoritas Jasa

Keuangan dan Bank.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik.

www.bps.go.id.Diakses pada Januari

2017

Bank Indonesia. tanpa tahun. Memiliki

Rumah Sendiri dengan KPR.

Indonesia : Bank Indonesia.

Bank Indonesia. 2010. Surat Edaran BI

No No.12/38/DPNP. Indonesia:

Bank Indonesia.

Bank Indonesia. 2011. Statistik

Ekonomi dan Keuangan

Desember 2011. Jakarta: Bank

Indonesia.

Bank Indonesia. 2011. Surat Edaran BI

No. 13/6/DPNP. Indonesia: Bank

Indonesia.

Bank Indonesia. 2012. Laporan

Pengawasan Perbankan 2012.

Jakarta: Bank Indonesia.

Bank Indonesia. 2012. Surat Edaran BI

No 14/10/DPNP. Indonesia:

Bank Indonesia.

Bank Indonesia. 2012. Surat Edaran BI

No 15/40/DKMP. Indonesia:

Bank Indonesia.

Bank Indonesia. 2012. Statistik

Ekonomi dan Keuangan

Desember 2012. Jakarta: Bank

Indonesia.

Bank Indonesia. 2013. Statistik

Ekonomi dan Keuangan

Desember 2013. Jakarta: Bank

Indonesia.

Bank Indonesia. 2014. PBI No

16/11/PBI/2014. Jakarta : Bank

Indonesia.

Bank Indonesia. 2014. Statistik

Ekonomi dan Keuangan

Desember 2014. Jakarta: Bank

Indonesia.

Bank Indonesia. 2015. Surat Edaran BI

No 17/10/PBI/2015. Indonesia:

Bank Indonesia.

Bank Indonesia. 2015. Statistik

Ekonomi dan Keuangan

Desember 2015. Jakarta: Bank

Indonesia.

Bank Indonesia. 2016. Mengupas

Kebijakan Makroprudensial.

Jakarta: Departemen Kebijakan

Makroprudensil Bank Indonesia.

Bank Indonesia. 2016. Statistik

Ekonomi dan Keuangan

Desember 2016. Jakarta: Bank

Indonesia.

Page 22: KAJIAN KEBIJAKAN MAKROPRUDENSIAL: LOAN TO VALUE …

Bank Indonesia. 2016.

www.bi.go.id.Diakses tanggal 2

November 2016.

CRAN. tanpa tahun. https://cran.r-

project.org/

Davis, Richard A. 2004. Observation

Driven Model for Time Series of

Counts. Diakses pada Januari

2017 melalui

www.stat.colostate.edu/~rdavis/l

ectures.

Dell Ariccia, Giovanni et al. 2012.

Policies for Macrofinancial

Stability : How to Deal with Credit

Booms. IMF Staff Discussion

Note No. SDN/12/06.

Dunsmuir, William T.M., Cuong Tran

dan Don Weatherburn. 2008.

Assessing the Impact of

Mandatory DNA Testing of

Prison Inmates in NSW on

Clearance, Charge and

Conviction Rates for Selected

Crime Categories. Sidney: NSW

Bureau of Crime Statistics and

Research.

Dunsmuir, William T.M., David J. Scott.

2014. The glarma Package for

Observation Driven Time Series

Regression of Counts. Diakses

pada 21 April 2017 melalui

http://cran.r-

project.org/web/packages/glarm

a/vignettes/glarma.pdf.

Dunsmuir, William T.M., Cenanning Li,

David J. Scott. 2014.

PackageGeneralized Linear

Autoregressive Moving Average

Models. Diakses pada 21 April

2017 melalui http://cran.r-

project.org.

European Systemic Risk Board. 2013.

The ESRB Handbook on

Operatinalising Macro-prudential

Policy in the Banking Sector.

Galati, Gabriete dan Richhid Moessner.

2011. Macroprudential policy-

literatur review. BIS Working

Paper No 337. Switzerland :

Bank International Settlements.

Gourinchas, Pierre Oliver, Rodrigo

Valdes, dan Oscar

Landerretche. 2001. Lending

Booms : Latin America and the

World. Economia, Spring, hal.

47-99.

Group of Ten. 2001. Report on

Consolidation in the Financial

Sector. International Monetary

Fund.

Page 23: KAJIAN KEBIJAKAN MAKROPRUDENSIAL: LOAN TO VALUE …

Gujarati, Damodar N. 2003. Basic

Econometrics (4th ed). New York:

Mc. Graw Hill.

Hahm, Joon Ho, Frederic S. Mishkin,

Hyun Song Shin, dan Kwanho

Shin. 2012. Macroprudential

Policies in Open Emerging

Economies. NBER Working

Paper No. 17780. Diakses pada

1 Januari 2017 melalui

www.nber.org/papers/w17780.

Hardjono. 2008. Mudah Memiliki

Rumah Idaman Lewat KPR.

Jakarta: PT.Pusaka Grahatama.

Dika Chandra Priana.

Hilbert et.al. 2016. Assessing And

Managing Rapid Credit Growth

And The Role Of Supervision

And Prudential Policies. Journal

IMF Working Paper WP/05/151.

Holt, Jeff. 2009. A Summary of the

Primary Causes of the Housing

Bubble and the Resulting Credit

Crisis: A Non-Technical Paper. The

Journal of Business Inquiry 2009,

hal 120-129.

Iossifov, Plamen dan May Khamis.

2009. Credit Growth in Sub-

Saharan Africa-Sources, Risks,

and Policy Responses. IMF working

paper

Kuttner, Kenneth dan Ilhyock Shim.

2012. Taming the Real Estate

Beast: The Effects of Monetary and

Macroprudential Policies on

Housing Prices and Credit. Working

paper Bank of Australia

Mankiw, N. Gregory. 2009.

Macroeconomics 7th edition. New

York : Worth Publisher

Mars. 2015. Studi Komprehensif

tentang Consume Credit. Indonesia

: MARS

Mendoza, Enrique G., dan Marco E.

Terrones. 2008. An Anatomy of

Credit Booms: Evidence from

Macro Aggregates and Micro

Data. Cambridge. NBER

Working Paper Series. Diakses

pada 5 Mei 2017 melalui

http://www.nber.org/papers/w14

049.

Munier, Bertrand et. al. 1999. Bounded

Rationality Modeling. Journal

Marketing Letters, hal. 233-248.

Nasution, Lokot Zein. 2013. Pengaruh

Loan To Value dan Shock

Variabel Makroekonomi

terhadap Pertumbuhan Industri

Properti Indonesia. Jurnal

Pembangunan Manusia Vol. 7

Page 24: KAJIAN KEBIJAKAN MAKROPRUDENSIAL: LOAN TO VALUE …

No. 3. Jakarta: Kementrian

Keuangan Indonesia.

Oikarinen, Elias. 2009. Dynamic

linkages between housing and lot

prices: Empirical evidence from

Helsinki. Discussion Papers 53,

Aboa Centre for Economics.

Saraswati, Ida Ayu Putri. 2014. Analisis

Kebijakan Bank Indonesia

Tentang Loan To Value Pad Apt.

Bank Tabungan Negara

(Persero). Tbk Cabang

Singaraja. Journal UPG vol 4 no.

1 2014. Universitas Pendidikan

Ganesha : Indonesia

Se, Oh Hwa. 2013. Loan-to-Value as

Macro-Prudential Policy Tool:

Experiences and Lessons of Asian

Emerging Countries. DSF Policy

Paper No. 33. Belanda: Duisenberg

School of finance

Utari Diah, A. G. Arimurti, T. Nurmalia,

I. K. 2012. Pertumbuhan Kredit

Optimal dan Kebijakan

Makroprudensial untuk

Pengendalian Kredit. Working

paper Bank Indonesia

Page 25: KAJIAN KEBIJAKAN MAKROPRUDENSIAL: LOAN TO VALUE …