Upload
others
View
4
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
KAJIAN KEBIJAKAN MAKROPRUDENSIAL: LOAN TO VALUE RATIO DALAM PENGENDALIAN KREDIT PEMILIKAN RUMAH
Azka Muthia1
Abstract
Housing credit in Indonesia has high growth from 2011. This growth could become
excessive growth and cause housing bubble. Therefore, the government implement Loan To
Value (LTV) to control mortgages. However, growth of housing credit is still fluctuating and
slowing down when the government loosening LTV policy. This condition become the reasons
to evaluate the success of LTV in Indonesia. The results using Hodrick Prescott (HP) filter
method identified that housing credit several times experienced excessive growth and with
Generalized Linear Autoregressive Moving Average (GLARMA) method shows that housing
credit to GDP ratio is influenced by previous month and not influenced by LTV policy. Based
on these results, Bank Indonesia can combine LTV policy with Debt To Income policy and
determine the target of mortgage growth target to succesful housing credit control.
Keywords— KPR, LTV; excessive growth; HP filter, GLARMA
Abstrak
Kredit pemilikan rumah (KPR) di Indonesia mengalami pertumbuhan yang tinggi mulai tahun 2011. Pertumbuhan yang tinggi ini berpotensi menjadi excessive growth dan menyebabkan terjadinya housing bubble. Oleh karena itu pemerintah menerapkan kebijakan Loan To Value (LTV) untuk mengendalikan KPR. Namun, pertumbuhan KPR masih fluktuatif dan terjadi perlambatan saat diterapkan pelonggaran kebijakan LTV. Hal ini menjadi dasar untuk melihat keberhasilan kebijakan LTV dalam mengendalikan KPR. Hasil penelitian menggunakan metode Hodrick Prescott (HP) filter mengidentifikasi bahwa KPR beberapa kali mengalami excessive growth dan dengan metode Generalized Linear Autoregressive Moving Average (GLARMA) menunjukkan bahwa rasio KPR terhadap PDB dipengaruhi oleh rasio KPR terhadap PDB bulan sebelumnya dan tidak dipengaruhi oleh kebijakan LTV. Berdasarkan hasil tersebut, Bank Indonesia dapat menggabungkan kebijakan LTV dengan kebijakan Debt To Income dan menentukan batas target pertumbuhan KPR untuk memaksimalkan pengendalian KPR.
Kata kunci—KPR, LTV; excessive growth; HP filter, GLARMA
1 BPS Kabupaten Banjar; [email protected]
LATAR BELAKANG
Menurut Lembaga MARS (2015)
–Lembaga Perusahaan Riset
Indonesia–, Indonesia memiliki peluang
di subsektor perumahan dan
apertemen yang akan terus mengalami
peningkatan. Pertumbuhan harga
perumahan dan apartemen yang
meningkat tersebut tidak terlepas dari
kemudahan melakukan kredit pemilikan
rumah (KPR) yang diberikan oleh
perbankan. Namun,2 pertumbuhan
harga di subsektor perumahan ini
belum diiringi pertumbuhan
Pendapatan Domestik Bruto sektor
properti, pada triwulan 1 tahun 2013
sampai triwulan 4 tahun 2016
mengalami perlambatan.
Peningkatan harga perumahan
yang terlalu tinggi dan tidak diikuti
dengan pertumbuhan pendapatan
dikhawatirkan akan menimbulkan
housing bubble. Holt (2009)
menyatakan bahwa housing bubble
dapat mengakibatkan terjadinya krisis
kredit.
Menurut Bank Indonesia selama
tahun 2011 terjadi akselerasi
2 BPS Kabupaten Banjar; [email protected]
pertumbuhan kredit yang cukup tinggi
terutama pada sektor konsumsi yang
didominasi oleh Kredit Kepemilikan
Rumah (KPR) dan Kredit Kendaraan
bermotor (KKB). Pertumbuhan kredit di
kedua sektor tersebut berada di atas
pertumbuhan kredit agregat sebesar
24,4 persen (yoy). Khusus untuk KPR,
pertumbuhannya mencapai 33,12
persen (yoy). Meskipun NPL KPR
secara umum cenderung rendah, NPL
KPR untuk tipe di atas 70m2 sudah
berada di atas rata-rata historisnya.
Pertumbuhan KPR yang terlalu tinggi
berpotensi memicu terjadinya bubble
akibat akselerasi peningkatan harga
properti sehingga dapat meningkatkan
risiko kredit. Tingginya pertumbuhan
kredit di kedua sektor tersebut menjadi
salah satu faktor pendorong kuatnya
permintaan domestik. Pertumbuhan
kredit yang terlalu cepat dan berlebih
(excessive growth) jika tidak dikelola
dengan baik berpotensi mengganggu
stabilitas ekonomi makro dan sistem
keuangan.
Oleh karena itu perlu dilakukan
upaya untuk menjaga kestabilan
ekonomi makro dengan menerapkan
kebijakan makro di bidang keuangan.
Salah satu kebijakan yang bisa
diterapkan adalah kebijakan
makroprudensial. Instrumen kebijakan
makroprudensial yang berkaitan
dengan pengendalian kredit adalah
Loan to Value (LTV) yang berguna
untuk mengendalikan Kredit Pemilikan
Rumah (KPR) dan Kredit Kendaraan
Bermotor (KBR)3. Kebijakan LTV ini
bertujuan mendorong penerapan
prinsip kehati-hatian dalam penyaluran
kredit (Bank Indonesia, 2012).
Muliaman D Hadad (OJK, 2016) yang
menyatakan bahwa LTV ditujukan
untuk counter cyclical measure yang
artinya LTV diterapkan untuk
mengerem pertumbuhan kredit
pemilikan rumah (KPR).
Di Indonesia penerapan
kebijakan LTV sebesar 70 persen
diterbitkan pada tanggal 15 Maret 2012
dengan terbitnya Surat Edaran BI No
14/10/DPNP dan mulai diberlakukan
pada Juni 2012. Pada awal penerapan
LTV pertumbuhan KPR sempat
mengalami penurunan dari 49 persen
(Juni 2012, yoy) menjadi 39 persen
(November 2012, yoy). Namun,
Desember 2012 KPR kembali
3 BPS Kabupaten Banjar; [email protected]
mengalami peningkatan sebesar 47,2
persen (yoy) dan naik kembali sebesar
27 persen (yoy) pada Desember 2013.
Bank Indonesia kemudian
melonggarkan kebijakan LTV menjadi
sebesar 80 persen pada Juni 2015
sebagai dampak dari perlambatan
ekonomi domestik. Pelonggaran
tersebut ternyata tidak meningkatkan
pertumbuhan KPR, KPR tetap
mengalami perlambatan dan hanya
tumbuh sebesar 7 persen pada
Desember 2015. Akhirnya, Bank
Indonesia melonggarkan kembali
kebijakan LTV pada bulan Agustus
2016 menjadi 85 persen. Namun
kenyataannya pelonggaran tersebut
belum meningkatkan pertumbuhan
KPR dimana KPR hanya tumbuh
sebesar 8 persen pada Desember
2015. Pertumbuhan yang fluktuatif dari
KPR setelah adanya kebijakan LTV dan
terjadinya perlambatan ketika
diterapkan pelonggaran LTV perlu
dikaji lebih dalam untuk melihat
keberhasilan LTV dalam
mengendalikan KPR. Oleh karena itu
penelitian ini ingin meneli
perkembangan KPR berkaitan dengan
diterapkannya kebijakan LTV,
mengidentifikasi excessive growth
pada KPR di Indonesia dan pengaruh
LTV dalam upaya pengendalian KPR.
TINJAUAN LITERATUR
Kredit Pemilikan Rumah (KPR)
Kredit Pemilikan Rumah (KPR)
adalah suatu fasilitas kredit yang
diberikan oleh perbankan kepada para
nasabah perorangan yang akan
membeli atau4 memperbaiki rumah
(Bank Indonesia, tanpa tahun). KPR
muncul karena adanya berbagai
kondisi penunjang yang strategis
diantaranya adalah pemenuhan
kebutuhan perumahan yang semakin
lama semakin tinggi namun belum
dapat mengimbangi kemampuan daya
beli kontan dari masyarakat (Hardjono,
2008:25).
Risiko Kredit
Risiko kredit adalah risiko
kerugian akibat kegagalan pihak lawan
(counterparty) memenuhi kewajibannya
(Bank Indonesia, 2011). Krisis
perbankan besar dalam 30 tahun
terakhir yang terjadi di Chili (1982),
Denmark, Finland, Norwegia, dan
Swedia (1990-1991), Mexico (1994)
serta Thailand dan Indonesia (1997-
4 BPS Kabupaten Banjar; [email protected]
1998) juga didahului oleh periode credit
boom. Selain itu, lima dari tujuh studi
yang disurvei membuktikan
pertumbuhan kredit merupakan salah
satu determinan dari krisis keuangan
atau krisis perbankan (Utari et al.,
2012).
Konsep Makroprudensial
Dalam penelitian yang dilakukan
di BIS, Swiss, kebijakan
makroprudensial didefinisikan sebagai
kebijakan yang bertujuan untuk
membatasi risiko dan biaya dari krisis
sistemik (Galati G dan Richhild M,
2011). Sementara European Systemic
Risk Board (ESRB), mendefinisikan
kebijakan makroprudensial sebagai
kebijakan yang ditujukan untuk
menjaga stabilitas sistem keuangan
secara keseluruhan, termasuk dengan
memperkuat ketahanan sistem
keuangan dan mengurangi
penumpukan risiko sistemik, sehingga
memastikan keberkelanjutan kontribusi
sektor keuangan terhadap
pertumbuhan ekonomi (ESRB, 2013).
Kebijakan makroprudensial lebih
berorientasi pada sistem secara
keseluruhan. Fokus kebijakan
makroprudensial tak hanya mencakup
institusi keuangan, namun meliputi pula
elemen sistem keuangan lainnya,
seperti pasar keuangan, korporasi,
rumah tangga, dan infrastruktur
keuangan. Oleh karena itu, kebijakan
makroprudensial merupakan kebijakan
dengan tujuan akhir meminimalkan
terjadinya risiko sistemik. Efek negatif
risiko sistemik pada perekonomian
dapat dilihat dari peningkatan jumlah
gangguan pada sistem pembayaran,
aliran kredit, dan penurunan nilai aset
(Group of Ten, 2001). 5
Kebijakan makroprudensial
adalah kebijakan yang bertujuan untuk
menghindari terjadinya risiko sistemik.
Oleh karena itu, waktu (timing)
perumusan dan implementasi
kebijakan menjadi sangat penting,
termasuk menentukan waktu yang
tepat untuk aktivasi/deaktivasi suatu
instrumen kebijakan. Implementasi
instrumen kebijakan yang terlalu cepat
atau lambat berpotensi mengurangi
efektivitas kebijakan, atau bahkan
dapat menimbulkan biaya regulasi atau
unnecessary regulatory cost (CGFS,
2012).
Instrumen Kebijakan
Makroprudensial di Indonesia Loan
5 BPS Kabupaten Banjar; [email protected]
to Value Ratio (LTV) atas Kredit
Kepemilikan Rumah (KPR)
Instrumen berbasis aset dibagi
menjadi dua yaitu regulasi LTV (Loan to
Value) dan DTI (Debt to Income). Rasio
Loan to Value yang selanjutnya disebut
rasio LTV adalah angka rasio antara
nilai kredit yang dapat diberikan oleh
Bank terhadap nilai agunan berupa
properti pada saat pemberian kredit
berdasarkan hasil penilaian terkini
(Bank Indonesia, 2012). Rasio ini
dipakai dalam kredit perumahan.
𝐿𝑜𝑎𝑛 𝑡𝑜 𝑉𝑎𝑙𝑢𝑒 𝑅𝑎𝑡𝑖𝑜
=𝑀𝑜𝑟𝑡𝑔𝑎𝑔𝑒 𝑎𝑚𝑜𝑢𝑛𝑡
𝑉𝑎𝑙𝑢𝑒 𝑜𝑓 𝑡ℎ𝑒 𝑝𝑟𝑜𝑝𝑒𝑟𝑡𝑦
Perumusan kebijakan LTV atas
KPR dan DP atas KKB dilatarbelakangi
oleh pertumbuhan kredit sektor properti
dan kendaraan bermotor yang cukup
tinggi saat itu, sehingga berpotensi
menimbulkan terjadinya pembentukan
risiko sistemik akibat perilaku ambil
risiko yang berlebihan (excessive risk
taking behaviour). Kebijakan batasan
minimum atas LTV untuk KPR dan DP
untuk KKB6 pertama kali
diimplementasikan pada tahun 2012.
Hingga saat ini, kebijakan tersebut telah
disesuaikan 3 (tiga) kali pada tahun
2013, 2015 dan 2016, yakni dengan
melakukan perubahan atas besaran
nilai minimum LTV dan DP yang
disesuaikan dengan siklus
perekonomian dan pertumbuhan kredit.
METODE PENELITIAN
Data
Data yang digunakan dalam
penelitian ini merupakan data sekunder
dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan
Bank Indonesia (BI) dalam bentuk
bulanan dari bulan Januari 2011
sampai Desember 2016. Nilai Kredit
yang digunakan adalah Nilai Kredit
yang disalurkan perbankan. Berikut
adalah rincian data yang digunakan:
1. Produk domestik bruto atas dasar
harga berlaku triwulanan
didapatkan dari web BPS yang
diinterpolasi menjadi bulanan.
2. Data nilai KPR dan KPA didapat
dari publikasi bulanan Statistik
Ekonomi dan Keuangan (SEKI)
Indonesia, Bank Indonesia. Data
rasio Kredit Pemilikan Rumah
(KPR) diperoleh dari perhitungan
antara nilai KPR dan KPA terhadap
PDB bulanan atas dasar harga
berlaku (interpolasi).
7 BPS Kabupaten Banjar; [email protected]
3. Data nilai kredit total didapat dari
publikasi bulanan Statistik Ekonomi
dan Keuangan (SEKI) Indonesia,
Bank Indonesia.
4. Data LTV diperoleh dari surat
edaran BI No 14/10/DPNP, surat
edaran BI No 15/40/DKMP, PBI No
17/10/PBI/2015 yang berupa nilai
persentase LTV.
Metode Analisis
Analisis deskriptif yang disajikan
dalam penelitian ini merupakan
gambaran umum perkembangan KPR
berkaitan dengan diterapkannya
kebijakan LTV di Indonesia pada
periode Januari 2011 sampai
Desember 2016 dan mengidentifikasi
terjadinya excessive growth pada KPR
dengan menggunakan HP filter.
Pengolahan data untuk analisis
deskriptif menggunakan Microsoft
Excel 2013 dan E-views 9. Sedangkan
analisis inferensia yang digunakan
untuk mengetahui keberhasilan
kebijakan LTV dalam upaya
pengendalian KPR pada periode
Januari 20117 sampai Desember 2016
adalah regresi logistik biner (logit) deret
waktu (logistics regression with binary
time series). Analisis logit time series
yaitu dengan model GLARMA (p,q)
menggunakan program R studio
(cran.r-project.org).
Hodrick Prescott (HP) Filter
Variabel rasio KPR diperoleh
dari pembagian nilai KPR dan KPA
terhadap PDB bulanan atas tahun
berlaku. Variabel kredit adalah variabel
stok dan PDB adalah variabel flow
maka dalam menentukan pertumbuhan
KPR pada bulan t dibagi dengan nilai
PDB pada bulan t dan t+1 (Hilbers et.al,
2016).
𝐶𝑟𝑒𝑑𝑖𝑡 𝑟𝑎𝑡𝑖𝑜𝑡 =𝐾𝑃𝑅𝑡
(𝑃𝐷𝐵𝑡+𝑃𝐷𝐵𝑡+1)/2
(1)
Metode HP filter adalah suatu
metode yang memisahkan komponen
siklus dengan trend. Pada data series
dapat dipisahkan menjadi 2 komponen
yaitu trend (𝑔𝑡) dan siklus (𝑐𝑡) dan
dituliskan sebagai 𝑦𝑡= 𝑔𝑡 + 𝑐𝑡. Berikut ini
persamaan model HP filter dalam
penelitian ini:
𝑚𝑖𝑛{𝑔𝑡}𝑡=1𝑇 ∑ (𝑦𝑡 − 𝑔𝑡)2 +𝑇
𝑡=1
𝜆 ∑ (𝑔𝑡+1 − 2𝑔𝑡 + 𝑔𝑡−1)2𝑇𝑡=1
(2)
dimana :
λ : smoothing parameter,
ditentukan nilainya 14400
untuk data bulanan.
𝑔𝑡 : trend dari series data
(𝑦𝑡 − 𝑔𝑡) : komponen stasioner dari
variabel atau komponen siklus
𝑦𝑡 : nilai rasio KPR terhadap
PDB
Kemudian dalam mendefinisikan
credit boom peneliti mendefinisikan
sebagai kondisi pertumbuhan yang
sangat tinggi/ekstrim dan jauh dari
deviasi atau melewati threshold
(Iossifov dan Khamis, 2009) dan
excessive growth didefinisikan sebagai
penyimpangan dari tren jangka panjang
dari rasio KPR pada waktu ke t atau
melewati threshold. Perhitungan
threshold yang dipakai menurut metode
GVL adalah menggunakan rasio
nominal kredit terhadap PDB nominal
(L/Y)𝑡 sebagai ukuran kredit. Longrun
trend dari KPR didefinisikan sebagai
“expanding trend” dengan menerapkan
metode HP filter sebagai berikut :
diberikan sampel data untuk t=1, …, T
menunjukkan (L/Y)𝑡𝐸𝐻𝑃 sebagai
perluasan HP trend dari rasio KPR
pada bulan ke t, dimana 1˂ t ≤ T.
Perluasan trend adalah komponen
trend dari HP filter yang diterapkan
pada urutan data [𝐿/𝑌𝑡]𝑗=−𝑘𝑗=𝑡
, dimana k
adalah bilangan bulat positif yang
mendefiniskan panjang sampel data
awal. 8
GLV mendefinisikan sebuah
negara yang mengalami credit boom
adalah ketika satu atau lebih waktu
yang berdekatan memenuhi
persyaratan berikut [(𝐿/𝑌𝑡) − ( (L/
Y)𝑡𝐸𝐻𝑃)]/ (L/Y)𝑡
𝐸𝐻𝑃 ≥ �̃�. Artinya,
threshold dari perluasan trend dalam
rasio KPR harus setidaknya sama
seperti besarnya �̃�. Puncak ledakan
(boom) terjadi ketika penyimpangan
terbesar dari perluasan HP trend dan
dimulai dan berakhir ketika data pada
bulan yang memiliki nilai lebih besar
dari threshold. Nilai trend jangka
panjang dihitung menggunakan HP
filter dengan smoothing parameter
14400, sebagai nilai tetapan dari data
bulanan. Penghitungan threshold untuk
mengetahui credit boom dapat
diidentifikasikan juga sebagai kondisi
dimana satu atau lebih bulan t
mengalami kondisi (𝑙𝑖) >
𝜙σ(𝑙𝑖), dimana 𝜙 adalah faktor
threshold dari ledakan yang ditetapkan
sebesar 𝜙 = 1 dan 𝜙 = 1.75 sesuai
dengan standar IMF dan juga dalam
jurnal Mendoza dan Terrones (2008);
Utari et al. (2012).
8 BPS Kabupaten Banjar; [email protected]
Pembentukan Variabel
Untuk mendapatkan
kategorisasi rasio KPR yang berada
dalam rentang aman dan terjadi
excessive growth maka dilakukan
beberapa tahapan pembentukan
variabel, yaitu:
1. Membagi KPR menggunakan data
PDB bulanan (interpolasi) untuk
mendapatkan nilai rasio KPR
(Gourinchas, Valdes dan
Landerretche (2001), Mendoza dan
Terrones (2008), Utari et al. (2012),
dan Hilbers et. al. (2016)). Data
PDB bulanan diperoleh dengan
melakukan interporalisasi data
PDB triwulanan menjadi bulanan
menggunakan software Eviews 9.0.
Penggunaan rasio kredit terhadap
PDB selain berdasarkan jurnal juga
mengikuti pendekatan yang
diusulkan oleh Basel Committee on
Banking Supervision.
2. Data rasio tersebut digunakan
untuk membuat variabel kategorik.
Pengkategorisasian dalam variabel
respon dalam hal ini rasio KPR
didapat dengan menggunakan
analisis HP filter sesuai jurnal
Gourinchas, Valdes dan
Landerretche (2001),9 Mendoza
dan Terrones (2008), Utari et al.
(2012) dan Hilbers et al. (2016)
yang kemudian dikategorisasikan
menjadi dua kategori, yaitu bernilai
1 untuk yang mengalami excessive
growth dan 0 untuk yang berada
dalam kondisi aman dan tidak
mengalami excessive growth atau
dapat ditulis sebagai berikut:
𝑦𝑡 {0; 𝑟𝑎𝑠𝑖𝑜 𝐾𝑃𝑅 𝑘𝑢𝑟𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑎𝑟𝑖 𝑠𝑎𝑚𝑎 𝑑𝑒𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑡ℎ𝑟𝑒𝑠ℎ𝑜𝑙𝑑 (tidak terjadi 𝑒𝑥𝑐𝑒𝑠𝑠𝑖𝑣𝑒 𝑔𝑟𝑜𝑤𝑡ℎ)
1; 𝑟𝑎𝑠𝑖𝑜 𝐾𝑃𝑅 𝑙𝑒𝑏𝑖ℎ 𝑏𝑒𝑠𝑎𝑟 𝑑𝑎𝑟𝑖 𝑡ℎ𝑟𝑒𝑠ℎ𝑜𝑙𝑑 (terjadi 𝑒𝑥𝑐𝑒𝑠𝑠𝑖𝑣𝑒 𝑔𝑟𝑜𝑤𝑡ℎ)
3. Variabel kategorik ini akan
dimasukkan ke dalam proses
pembentukan estimasi model yang
digunakan untuk menjawab tujuan
ketiga dari penelitian ini.
Sementara itu, untuk variabel
LTV sebagai variabel penjelas
dilakukan pengkategorisasian menjadi
tiga kategori, yaitu bernilai 0 pada saat
kebijakan LTV belum diberlakukan,
bernilai 1 pada saat kebijakan LTV
diberlakukan sebesar 70 persen dan
bernilai 2 pada saat kebijakan LTV
dilakukan perubahan dan bernilai lebih
dari 70 persen atau dapat ditulis
sebagai berikut:
𝐿𝑇𝑉 {0; 𝐿𝑇𝑉 = 01; 𝐿𝑇𝑉 = 70 𝑝𝑒𝑟𝑠𝑒𝑛2; 𝐿𝑇𝑉 > 70 𝑝𝑒𝑟𝑠𝑒𝑛
9 BPS Kabupaten Banjar; [email protected]
Generalized Linear Autoregressive
Moving Average (GLARMA)
Dalam suatu penelitian jika
terdapat ketergantungan dari waktu ke
waktu pada setiap 𝑌𝑡, perluasan dari
regresi logistik akan sangat berguna
dalam analisis (Dunsmuir, Tran, dan
Weatherburn, 2008). Perluasan ini
disebut model GLARMA (Generalized
Linear Autoregressive Moving Average)
yang dikembangkan oleh Davis (2004)
dari kasus Poisson sampai Binomial.
Model GLARMA relatif mudah
digunakan dan mampu mendeteksi dan
memperhitungkan adanya korelasi
serial dalam pemodelan regresi time
series (Dunsmuir dan Scott, 2014).
Pada dasarnya, model GLARMA
digunakan untuk mengestimasi
hubungan regresi antara variabel
penjelas dan variabel respons yang
berupa data diskrit. Meskipun demikian,
estimasi parameter dengan variabel
respons berupa data kategorik atau
biner juga dapat dilakukan dengan
GLARMA melalui perluasan GLARMA
(extended GLARMA) untuk observasi
yang berdistribusi Bernoulli (Davis,
2004). 10
Jika pada regresi logistik pada
umumnya variabel penjelas berupa 𝑋𝑡,
maka pada regresi logistik untuk data
deret waktu terdapat variabel baru yaitu
𝑍𝑡 yang menjelaskan ketergantungan
variabel respons terhadap waktu
(korelasi serial). 𝑍𝑡 mengandung
komponen autoregressive (AR(p)) dan
moving average (MA(q)). Gujarati
(2003) memaparkan bahwa
autoregressive menunjukkan bahwa
suatu variabel bergantung pada
variabel itu sendiri di periode yang lalu
(pada lag tertentu). Sementara itu,
moving average menunjukkan bahwa
variabel tersebut berkombinasi linier
dengan residual periode sebelumnya.
Oleh karena itu, dapat ditulis sebagai
berikut (Dunsmuir dan Scott, 2014):
10 BPS Kabupaten Banjar; [email protected]
𝑍𝑡 = ∑ 𝜙𝑗(𝑍𝑡−𝑗 + 𝑒𝑡−𝑗)𝑝
𝑗=1
+ ∑ 𝜃𝑗𝑒𝑡−𝑗
�̅�
𝑗=1
= 𝜙1𝑍𝑡−1 + 𝜙1 𝑒𝑡−1 + ⋯ + 𝜙𝑝𝑍𝑡−𝑝
+ 𝜙𝑝 𝑒𝑡−𝑝 + 𝜃1𝑒𝑡−1 + ⋯
+ 𝜃�̅�𝑒𝑡−�̅�
= 𝜙1𝑍𝑡−1 + ⋯ + 𝜙𝑝𝑍𝑡−𝑝
+ (𝜙1 + 𝜃1)𝑒𝑡−1 + ⋯
+ (𝜙𝑝 + 𝜃�̅�)𝑒𝑡−�̅�
= ∑ 𝜙𝑗𝑍𝑡−𝑗 + ∑ 𝜃𝑗𝑒𝑡−𝑗�̅�𝑗=1
𝑝𝑗=1
(3)
Keterangan:
𝑍𝑡: residual dari regresi logistik periode
ke-t
𝑍𝑡−1: residual dari regresi logistik
periode ke-(𝑡 − 𝑖) (autoregressive)
𝑒𝑡−1: residual dari GLARMA periode ke-
(𝑡 − 𝑖) (moving average)
𝑝: order dari variabel autoregressive
𝑞: order dari variabel moving average
dengan 𝑒𝑡 =
(𝑌𝑡−�̂�𝑡
√�̂�𝑡(1−�̂�𝑡))
(4)
dalam hal ini, disebut sebagai Pearson
Residual, yang bersifat white noise
yang lemah (weakly white noise), yaitu
rata-rata konstan, varians konstan dan
kovarians nol, atau dapat ditulis
sebagai berikut.
𝐸[𝑒𝑡] = 𝜇
(5)
𝐸[𝑒𝑡2] = 𝜎𝜀
2
(6)
𝐶𝑜𝑣[𝑒𝑡, 𝑒𝑠] = 0, 𝑡 ≠
𝑠 (7)
Sementara itu, �̅� = max(𝑝, 𝑞) dengan
kondisi sebagai berikut.11
1. 𝑝 ≤ 𝑞, �̃� = 𝜃𝑗 + ∅𝑗 untuk 𝑗 = 1, … , 𝑝
dan �̃�𝑗 = 𝜃𝑗 untuk 𝑗 = 𝑝 + 1, … , 𝑞
2. 𝑝 > 𝑞, �̃� = 𝜃𝑗 + ∅𝑗 untuk 𝑗 = 1, … , 𝑞
dan �̃�𝑗 = 𝜃𝑗 untuk 𝑗 = 𝑞 + 1, … , 𝑝
Keberadaan serial dependensi
dapat dilihat melalui signifikansi dari
koefisien �̃�𝑗 dan ∅𝑗 . Dengan demikian,
regresi logistik yang memiliki korelasi
serial dimodelkan dengan cara
mengikutsertakan simpangan yang
telah dibakukan pada periode
sebelumnya (past standardised
deviations). Dengan demikian, model
GLARMA(p,q) dapat ditulis sebagai
berikut.
11 BPS Kabupaten Banjar; [email protected]
ln [𝜋(𝑥𝑡)
1−𝜋(𝑥𝑡)] = 𝛽0 + 𝛽1𝑋1𝑡 + 𝛽2𝑋2𝑡 + ⋯ +
𝛽𝑘𝑋𝑘𝑡 + 𝑍𝑡 (8)
Dengan
𝑍𝑡 = ∑ ∅𝑗𝑍𝑡−𝑗𝑝𝑗=1 + ∑ �̃�𝑗𝑒𝑡−𝑗
�̅�𝑗=1
(9)
Dalam membentuk model logit
time series di penelitian ini ada
beberapa tahapan. Berikut ini adalah
tahapan estimasi koefisien regresi
logistik biner untuk data time series.
1. Pembentukan estimasi model
regresi logistik
2. Diperoleh residual dari tahap 1.
3. Identifikasi plot ACF dan PACF
residual dari tahap 2 untuk
mengetahui AR(p), MA(q) atau
ARMA (p.q) yang akan digunakan
untuk menangkap adanya korelasi
dengan waktu.
4. Pembentukan estimasi model
GLARMA(p,q)
5. Uji diagnosis estimasi model
GLARMA(p,q)
6. Uji Goodness of Fit untuk
mengetahui estimasi model regresi
logistik atau GLARMA (p,q) yang
lebih baik dalam menjelaskan
faktor-faktor yang mempengaruhi
pengendalian KPR di Indonesia.
Adapun bentuk regresi logistik
biner yang digunakan dalam penelitian
ini adalah sebagai berikut. 12
𝑙𝑛 [�̂�(𝑥𝑡)
1−�̂�(𝑥𝑡)] = �̂�0 + �̂�1𝐷𝐿𝑇𝑉1𝑡 +
�̂�2𝐷𝐿𝑇𝑉2𝑡 (10)
Sementara itu, bentuk
GLARMA(p,q) yang digunakan dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:
𝑙𝑛 [�̂�(𝑥𝑡)
1−�̂�(𝑥𝑡)] = �̂�0 + �̂�1𝐷𝐿𝑇𝑉1𝑡 +
�̂�2𝐷𝐿𝑇𝑉2𝑡 + 𝑍𝑡 (11)
dengan
𝑍𝑡 = ∑ ∅𝑖𝑍𝑡−1 + ∑ �̃�𝑖𝑒𝑡−1�̅�𝑖=1
𝑝𝑖=1
(12)
Keterangan:
𝐷𝐿𝑇𝑉1𝑡 : Dummy LTV pada bulan ke-
(t) ketika kebijakan LTV
sebesar 70 persen
𝐷𝐿𝑇𝑉2𝑡 : Dummy LTV pada bulan ke-
(t) ketika kebijakan LTV
sebesar lebih besar 70
persen
𝑍𝑡−1 : residual regresi logistik
periode ke-(t-i )
(autoregressive (p))
𝑒𝑡−1 : residual GLARMA periode
ke-(t-i) (moving average (q))
I. Analisis
V.1 Analisis Perkembangan KPR
Dan Identifikasi Excessive Growth
Pada KPR
Sumber : Bank Indonesia (diolah)
Gambar 2. Pertumbuhan KPR dan
Kredit Total Januari 2011 sampai
Desember 2016
Dari gambar diatas terlihat
bahwa pertumbuhan kredit KPR lebih
besar dibandingkan kredit total. Selain
itu menurut Bank Indonesia (2012)13 di
Indonesia itu perumahan sebagian
besar lewat KPR. Tingginya KPR
dikarenakan adanya berbagai kondisi
penunjang yang strategis diantaranya
-9%
-10%
-5%
0%
5%
10%
15%
201
1M1
201
1M4
201
1M7
201
1M1
0
201
2M1
201
2M4
201
2M7
201
2M1
0
201
3M1
201
3M4
201
3M7
201
3M1
0
201
4M1
201
4M4
201
4M7
201
4M1
0
201
5M1
201
5M4
201
5M7
201
5M1
0
201
6M1
201
6M4
201
6M7
201
6M1
0
Per
sen
tase
Tahun
Pertumbuhan Kredit total Pertumbuhan KPR
adalah pemenuhan kebutuhan
perumahan yang semakin lama
semakin tinggi tetapi belum dapat
mengimbangi kemampuan daya beli
kontan dari masyarakat (Hardjono,
2008:25). Hal ini didukung dengan
kenyataan bahwa rumah dan
perumahan merupakan salah satu
kebutuhan pokok manusia. Mankiw
(2009) menyatakan bahwa peningkatan
populasi yang besar yang salah satu
sebabnya karena imigrasi juga akan
menaikkan permintaan rumah.
Sayangnya, KPR merupakan jenis
kredit konsumsi yang bisa
menyebabkan adanya excessive
growth atau bahkan credit boom jika
nilai kredit terlalu tinggi dan dampaknya
bisa memengaruhi terjadinya housing
bubble yang akan memengaruhi
stabilitas di sektor finansial yang
akhirnya akan berimbas pada stabilitas
sistem keuangan. Housing bubble
dimungkinkan karena ketersediaan
kredit perbankan akan meningkatkan
permintaan terhadap perumahan dan
sekaligus meningkatkan harga
perumahan (Oikarinen, 2009).
14 BPS Kabupaten Banjar; [email protected]
Sumber: Bank Indonesia (diolah)
Keterangan:
= sebelum ada kebijakan LTV
= kebijakan LTV sebesar 70 persen
= kebijakan LTV lebih besar 70
persen
Gambar 3. Kebijakan LTV dan
Pertumbuhan KPR pada Januari 2011-
Desember 2016
Sebelum adanya kebijakan LTV
pertumbuhan KPR sangat fluktuatif
dengan kecenderungan
pertumbuhannya mengalami tren
positif. Kemudian ketika diberlakukan
kebijakan LTV pada Agustus 2012
terjadi perlambatan KPR yang cukup
besar, pertumbuhan KPR mengalami
perlambatan sampai minus 9 persen.
Hal ini kemungkinan terjadi karena
adanya penerapan LTV pada Juni 2012
sehingga mempengaruhi KPR pada
bulan14 setelahnya. Masyarakat
-9.308%-10%
-5%
0%
5%
201
1M
1201
1M
4201
1M
7201
1M
10
201
2M
1201
2M
4201
2M
7201
2M
10
201
3M
1201
3M
4201
3M
7201
3M
10
201
4M
1201
4M
4201
4M
7201
4M
10
201
5M
1201
5M
4201
5M
7201
5M
10
201
6M
1201
6M
4201
6M
7201
6M
10
Persentase
Pertumbuhan KPR
mengalami keterkejutan dengan
tingginya Down Payment yang harus
diberikan untuk melakukan KPR diawal
perberlakuan LTV. Setelah itu, ada
kenaikan kembali pertumbuhan KPR
dikarenakan bank mengganti sasaran
konsumen KPR dari rumah tangga
menengah kebawah ke rumah tangga
menengah keatas dimana tidak terlalu
terpengaruh dengan LTV (Bank
Indonesia, 2012).
Hasil analisis menggunakan
pendekatan HP filter menunjukkan
bahwa rasio KPR terhadap PDB di
Indonesia dari periode Januari 2011
sampai Desember 2016 menunjukkan
laju yang fluktuatif. Secara keseluruhan
trend rasio KPR terhadap PDB
beberapa kali mengalami excessive
growth bahkan terjadi credit booms.
Excessive growth terjadi pada Januari
2012, Juni 2013, September 2013-
Februari 2014, Mei 2014, dan Oktober
2014-Februari 2015 sedangkan credit
booms terjadi pada Juni 2012 dan Juli
2012.
Gambar 4. Rasio KPR terhadap PDB
pada periode Januari 2011-Desember
2016
Mendoza dan Terronez (2008)
menyatakan bahwa credit booms di
negara berkembang sering terjadi
terkait adanya krisis mata uang, krisis
perbankan dan sudden stop. Namun,
Gourinchas, Valdes dan Landerretche
(2001) menyatakan bahwa tidak ada
hubungan antara credit booms dan
krisis keuangan di negara berkembang.
Sedangkan Dell Ariccia (2012) memiliki
pandangan bahwa pertumbuhan kredit
yang dipicu oleh respon yang
berlebihan pelaku sektor keuangan
lebih mengarah pada pertumbuhan
kredit yang berlebihan (credit boom).
Kondisi ini didasari teori financial
accelerator. Financial accelerator
terjadi karena adanya market
imperfection akibat asimetric
0.22
0.24
0.26
0.28
0.3
0.32
0.34
0.36
0.38
0.4
2011M
1
2011M
4
2011M
7
2011M
10
2012M
1
2012M
4
2012M
7
2012M
10
2013M
1
2013M
4
2013M
7
2013M
10
2014M
1
2014M
4
2014M
7
2014M
10
2015M
1
2015M
4
2015M
7
2015M
10
2016M
1
2016M
4
2016M
7
2016M
10
Rasio KPR trendThreshold Excessive Growth Threshold Credit Boom
information serta lemahnya
kelembagaan. 15
Dari hasil HP filter diatas
menunjukkan KPR di Indonesia
memiliki peluang yang terjadinya
housing bubble seperti yang terjadi
pada Amerika Serikat karena ada
beberapa waktu dimana pertumbuhan
KPR melewati threshold. Hal ini akibat
adanya kecenderungan kesamaan nilai
IHPR Indonesia dengan Amerika
serikat dan pertumbuhan kredit yang
lebih tinggi dari pertumbuhan kredit
total perbankan (Nasution, 2013). Hasil
HP filter memperlihatkan bahwa
beberapa kali KPR terjadi excessive
growth yang menunjukkan ketika rasio
kredit terhadap PDB melebihi trennya
dari gap absolut yang dinyatakan dalam
persentase berlangsung terlalu lama,
maka cenderung mengalami krisis
kredit. Iossifov dan Khamis (2009)
menyatakan bahwa adanya rapid credit
expansion baik karena credit boom
ataupun fundamental akan
menimbulkan risiko prudensial dan
makroekonomi. Oleh karena itu Bank
Indonesia menerapkan adanya
kebijakan LTV. Instrumen ini
dikeluarkan sebagai respons atas hasil
asesmen yang menunjukkan bahwa
15 BPS Kabupaten Banjar; [email protected]
pertumbuhan kredit properti serta
indeks harga properti tumbuh jauh di
atas tren jangka panjangnya atau
mengindikasikan adanya boom harga
properti. Selain dalam bentuk
instrumen pengaturan seperti
disebutkan di atas, kebijakan
makroprudensial dapat dirumuskan
dalam bentuk himbauan (moral
suasion) khususnya bagi institusi
keuangan (Bank Indonesia, 2016).
Analisis LTV Sebagai Pengendalian
KPR Pada Periode Januari 2011
Sampai Desember 2016
Untuk mengetahui pengaruh
kebijakan LTV terhadap pengendalian
kredit, dilakukan pengolahan dengan
menggunakan regresi logistik. Berikut
hasil persamaan regresi logistik :
ln ((�̂�(𝑥𝑡)
1−�̂�(𝑥𝑡)) = – 0,8755 (ρ − value =
0,1) + 0,9867DLTV1 (ρ − value =
0,116) – 1,2646DLTV2 (ρ − value =
0,168) (13)
* signifikansi pada α = 5%
Berdasarkan hasil persamaan
tersebut, terlihat bahwa secara parsial
LTV1 maupun LTV216 tidak
berpengaruh signifikan terhadap
pengendalian KPR di Indonesia. Nilai
Nagerkerke R2 sebesar 0,1942, berarti
bahwa 19,42 persen variasi dalam
pengendalian KPR Indonesia
disebabkan oleh variabel bebas yang
ada dan sisanya sebesar 80,58 persen
perubahannya disebabkan oleh
variabel-variabel lain yang tidak
dijelaskan dalam model.
Peranan variabel-variabel lain
yang tidak dijelaskan dalam model
tersebut, diakomodir oleh GLARMA
yang memasukkan residual persamaan
regresi logistik ke dalam model.
Sebelum dilakukan pembentukan
model terlebih dahulu dilakukan
pemilihan model. Hasil identifikasi pola
ACF dan PACF (lampiran 3 dan 4)
17 BPS Kabupaten Banjar; [email protected]
diperoleh bahwa GLARMA (1,0)
sebagai model yang sesuai.
* signifikansi pada α = 5%
Berdasarkan AIC, uji Likelihood
Ratio dan uji Wald, model GLARMA
(1,0) menghasilkan model lebih baik
daripada regresi logistik.
Persamaan model yang
terbentuk adalah sebagai berikut:
ln ((�̂� (𝑥𝑡)
1−�̂�(𝑥𝑡)) = – 1,361 (ρ − value =
0,145) + 1,427DLTV1 (ρ − value =
0,191)– 1,575DLTV2 (ρ − value =
0.359) + Zt (14)
Dengan
Zt = 0,6467∗Zt−1 (15)
(ρ-value) (2,05e-07)
* signifikansi pada α = 5%
Estimasi model GLARMA (1,0)
pada persamaan diatas memiliki
ketepatan klasifikasi sebesar 80,5555
persen. Artinya bahwa dari 72
observasi yang digunakan, model
GLARMA (1,0)17 dapat
mengklasifikasikan 58 observasi
dengan benar. Hasil uji LJung-Box,
Estimas
i Model
Statistik
AI
C
LR Wald
Nila
i
ρ-
valu
e
Nila
i
ρ-
valu
e
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
Regresi
Logistik
89,
17
9 14,
19
0,0
001
*
26.
98
2.05
e-
07* GLARM
A(1,0)
76.
98
7
model ini sudah bersifat white noise
dengan tingkat kepercayaan 95 persen
sehingga disimpulkan bahwa model
GLARMA (1,0) yang dibentuk telah
sesuai.
Koefisienvariabel autoregressive
(Zt−1) memiliki pengaruh parsial yang
signifikan terhadap pengendalian KPR
di Indonesia dengan tingkat
kepercayaan 95 persen. Koefisien
korelasi sebesar 0,6467 menunjukkan
bahwa kondisi pada satu bulan
sebelumnya memberikan pengaruh
yang cukup kuat dalam memengaruhi
terjadinya excessive growth pada KPR.
Hasil ini sesuai dengan teori behavioral
finance dan bonded rationality. Perilaku
sektor keuangan khususnya perbankan
berdasarkan beberapa studi empiris
cenderung prosiklikal. Berdasarkan
penelitian Munier et al. (1999) teori
bounded rationality menyatakan bahwa
dalam pengambilan keputusan,
perilaku rasional masing-masing
individu dibatasi oleh informasi yang
dimiliki dan cara berpikir kognitif serta
batasan waktu yang dimiliki untuk
mengambil keputusan. Kecenderungan
bank untuk menganggap ringan risiko
ketika perekonomian booming dan
melebihkan potensi risiko ketika
18 BPS Kabupaten Banjar; [email protected]
perekonomian terpuruk, konsisten
dengan teori. Perilaku prosiklikal
perbankan yang berlebihan khususnya
pada kondisi perekonomian booming
dapat memicu pertumbuhan kredit yang
berlebihan. Hal ini terbukti berdasarkan
beberapa literatur yang sering dikaitkan
sebagai faktor kunci yang berkontribusi
terhadap krisis di sektor keuangan
khususnya di negara berkembang. Hal
ini didukung laporan perekonomian BI
yang menyatakan bahwa preferensi
masyarakat untuk berinvestasi pada
properti dipengaruhi ekspektasi
kenaikan harga properti.
Untuk variabel LTV1 yaitu
kebijakan LTV sebesar 70 persen, nilai
koefisien adalah sebesar 1,427 tetapi
secara statistik tidak signifikan. Hal ini
berarti ketika diberlakukan kebijakan
LTV sebesar 70 persen, maka
kecenderungan KPR akan berada pada
keadaan excessive growth adalah
sebesar 4,1662 kali lebih besar
dibandingkan saat tidak diberlakukan
kebijakan LTV. Namun, secara statistik
kebijakan LTV sebesar 70 persen tidak
memengaruhi pengendalian KPR di
Indonesia pada tingkat kepercayaan 95
persen18.
Untuk variabel LTV2 yaitu
kebijakan LTV lebih dari 70 persen, nilai
koefisien adalah sebesar –1,575 tetapi
secara statistik tidak signifikan. Hal ini
berarti ketika diberlakukan kebijakan
LTV lebih besar 70 persen, maka
kecenderungan KPR akan berada pada
keadaan aman adalah sebesar 4,8307
kali lebih besar dibandingkan saat tidak
diberlakukan kebijakan LTV. Namun,
secara statistik kebijakan LTV lebih dari
70 persen tidak memengaruhi
pengendalian KPR di Indonesia pada
tingkat kepercayaan 95 persen.
Gagalnya penerapan LTV
menurut Oh Hwa Se (2013) karena
pada penerapannya, kebijakan LTV
dapat mengalami penyimpangan.
Penyimpangan bisa terjadi karena
adanya ekspansi dari kredit non-bank,
lembaga keuangan yang kurang diatur
dan/atau oleh bank asing. Sasaran
yang sempit dari rasio LTV dapat
meningkatkan hambatan ekonomi
politik, terutama jika kelompok yang
terkena dampak batas LTV cenderung
lebih membutuhkan kredit. Oleh karena
itu, kebijakan makroprudensial untuk
membatasi kredit perumahan mungkin
lebih sulit diimplementasikan dari sudut
pandang ekonomi politik.
Keadaan tersebut kemungkinan
juga terjadi di Indonesia, Pemerintah
Indonesia juga menerapkan KPR
bersubsidi sebagai salah satu cara
ekonomi politik yang pemerintah
lakukan untuk rakyak menengah
kebawah yang menjadikan praktek
KPR masih berjalan lancar walaupun
sudah ada penerapan LTV. Hal ini
karena memang pengaturan mengenai
LTV dikecualikan terhadap KPR dalam
rangka pelaksanaan program
perumahan pemerintah. Sementara itu,
lembaga nonbank di Indonesia juga
sedang mengalami perkembangan dan
jumlahnya cukup banyak. Adanya
persaingan antara bank dan nonbank
dalam menyalurkan KPR kepada
masyarakat karena dengan
diperbaharui ketentuan LTV
menimbulkan ketertarikan bagi bank
dan non-bank untuk ikut menyalurkan
KPR. Masyarakat tertarik untuk kredit di
lembaga nonbank karena uang muka di
nonbank sangat murah (Franedya
dalam Saraswati, 2014)19.
Selain itu, gagalnya penerapan
LTV bisa saja terjadi karena penetapan
nilai rasio LTV itu sendiri. Menurut
Profesor Candra Fajri Ananda, Dekan
Fakultas ekonomi dan Bisnis,
Universitas Brawijaya, BI tidak bisa
serta-merta menentukan seberapa
besar angka LTV tanpa informasi yang
komprehensif dari OJK, selaku
pemegang kendali mikroprudensial.
OJK sendiri juga menginginkan sektor
perbankan ikut menikmati dinamika
perubahan LTV. BI dan OJK juga harus
berkoordinasi dengan pemerintah,
terkait keseimbangan pasar secara riil
dalam jangka waktu tertentu.
Tidak adanya pengaruh yang
signifikan dari LTV atau bisa dibilang
belum berhasilnya kebijakan LTV ini
diperkuat dengan laporan
perekonomian Indonesia oleh BI yang
menyatakan bahwa pertumbuhan KPR
dipicu dengan keadaan pertumbuhan
ekonomi di Indonesia. Saat
pertumbuhan ekonomi baik atau
mengalami percepatan maka
pertumbuhan KPR ikut naik dan saat
pertumbuhan ekonomi mengalami
perlambatan pertumbuhan KPR ikut
turun. Hal ini terbukti pada tahun 2012
dan 2013 KPR tinggi karena
perekonomian Indonesia sedang baik.
Kemudian pada awal tahun 2015 terjadi
perlambatan perekonomian di
Indonesia yang berdampak pada KPR.
Mankiw (2009) menjelaskan bahwa
terjadinya booming pada pertumbuhan
ekonomi meningkatkan pendapatan
yang kemudian akan meningkatkan
permintaan rumah.
Belum berhasilnya kebijakan
LTV di Indonesia perlu ditinjau ulang
dan disiasati agar fungsi kebijakan
makroprudensial dalam hal ini LTV bisa
berhasil mengendalikan KPR di
Indonesia. Hahm et al. (2012)
menyatakan untuk Negara Korea dan
beberapa negara Asia penggunaan
rasio DTI menjadi pelengkap penting
kebijakan LTV untuk tujuan
makroprudensial dalam mengendalikan
KPR dan dalam kasus Hongkong. Di
Indonesia sendiri kebijakan
makroprudensial DTI belum diatur baru
mengatur dan menerapkan LTV saja.
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
KEBIJAKAN
Kesimpulan
1. Gambaran umum dari karakteristik
KPR dalam penelitian ini adalah
bahwa secara keseluruhan
pertumbuhan KPR lebih tinggi dari
kredit total. Pada Januari 2011
sampai Desember 2016, Indonesia
mengalami pertumbuhan KPR
yang tinggi dan fluktuatif.
Pertumbuhan KPR20 mengalami
shock diawal penerapan kebijakan
LTV sebesar 70 persen kemudian
fluktuatif kembali dan semakin lama
semakin stabil, setelah perubahan
kebijakan LTV lebih dari 70 persen
pertumbuhan lebih stabil dan tidak
terlalu tinggi.
2. Hasil dari HP filter menunjukkan
bahwa rasio KPR terhadap PDB
pada Januari 2011 sampai
Desember 2016 beberapa kali
mengalami excessive credit
bahkan credit booms.
3. Hasil analisis keberhasilan LTV
terhadap pengendalian KPR di
Indonesia pada Januari 2011
sampai Desember 2016
menunjukkan bahwa pengendalian
KPR di Indonesia dipengaruhi rasio
KPR terhadap PDB bulan
sebelumnya sedangkan penerapan
kebijakan LTV sebesar 70 persen
dan lebih dari 70 persen tidak
berpengaruh secara signifikan atau
belum berhasil dalam
mengendalikan KPR di Indonesia.
Rekomendasi Kebijakan
20 BPS Kabupaten Banjar; [email protected]
Berdasarkan kesimpulan hasil
penelitian dan pembahasan, peneliti
mengajukan saran sebagai berikut :
a. Bank Indonesia dapat
menggabungkan kebijakan LTV
dengan kebijakan DTI seperti pada
negara lain yaitu Hongkong
(Kuttner dan Shim, 2012) dan
Korea Selatan (OH Hwa Se, 2013)
yang menggabungkan kedua
kebijakan itu. Penggabungan
kebijakan bertujuan agar
memaksimalkan pengendalian
KPR agar tidak terjadi excessive
credit.
b. Melihat adanya kemungkinan
Indonesia mengalami credit boom
yang bisa menjadikan housing
bubble, untuk mempermudah
monitoring pemerintah perlu
menentukan batas kewajaran
pertumbuhan KPR agar menjaga
KPR tetap berada dalam batas
aman.
c. Dalam mengendalikan
pertumbuhan KPR dan
keberhasilan kebijakan LTV,
diperlukan koordinasi yang baik
antara Bank Indonesia,
Pemerintah, Otoritas Jasa
Keuangan dan Bank.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik.
www.bps.go.id.Diakses pada Januari
2017
Bank Indonesia. tanpa tahun. Memiliki
Rumah Sendiri dengan KPR.
Indonesia : Bank Indonesia.
Bank Indonesia. 2010. Surat Edaran BI
No No.12/38/DPNP. Indonesia:
Bank Indonesia.
Bank Indonesia. 2011. Statistik
Ekonomi dan Keuangan
Desember 2011. Jakarta: Bank
Indonesia.
Bank Indonesia. 2011. Surat Edaran BI
No. 13/6/DPNP. Indonesia: Bank
Indonesia.
Bank Indonesia. 2012. Laporan
Pengawasan Perbankan 2012.
Jakarta: Bank Indonesia.
Bank Indonesia. 2012. Surat Edaran BI
No 14/10/DPNP. Indonesia:
Bank Indonesia.
Bank Indonesia. 2012. Surat Edaran BI
No 15/40/DKMP. Indonesia:
Bank Indonesia.
Bank Indonesia. 2012. Statistik
Ekonomi dan Keuangan
Desember 2012. Jakarta: Bank
Indonesia.
Bank Indonesia. 2013. Statistik
Ekonomi dan Keuangan
Desember 2013. Jakarta: Bank
Indonesia.
Bank Indonesia. 2014. PBI No
16/11/PBI/2014. Jakarta : Bank
Indonesia.
Bank Indonesia. 2014. Statistik
Ekonomi dan Keuangan
Desember 2014. Jakarta: Bank
Indonesia.
Bank Indonesia. 2015. Surat Edaran BI
No 17/10/PBI/2015. Indonesia:
Bank Indonesia.
Bank Indonesia. 2015. Statistik
Ekonomi dan Keuangan
Desember 2015. Jakarta: Bank
Indonesia.
Bank Indonesia. 2016. Mengupas
Kebijakan Makroprudensial.
Jakarta: Departemen Kebijakan
Makroprudensil Bank Indonesia.
Bank Indonesia. 2016. Statistik
Ekonomi dan Keuangan
Desember 2016. Jakarta: Bank
Indonesia.
Bank Indonesia. 2016.
www.bi.go.id.Diakses tanggal 2
November 2016.
CRAN. tanpa tahun. https://cran.r-
project.org/
Davis, Richard A. 2004. Observation
Driven Model for Time Series of
Counts. Diakses pada Januari
2017 melalui
www.stat.colostate.edu/~rdavis/l
ectures.
Dell Ariccia, Giovanni et al. 2012.
Policies for Macrofinancial
Stability : How to Deal with Credit
Booms. IMF Staff Discussion
Note No. SDN/12/06.
Dunsmuir, William T.M., Cuong Tran
dan Don Weatherburn. 2008.
Assessing the Impact of
Mandatory DNA Testing of
Prison Inmates in NSW on
Clearance, Charge and
Conviction Rates for Selected
Crime Categories. Sidney: NSW
Bureau of Crime Statistics and
Research.
Dunsmuir, William T.M., David J. Scott.
2014. The glarma Package for
Observation Driven Time Series
Regression of Counts. Diakses
pada 21 April 2017 melalui
http://cran.r-
project.org/web/packages/glarm
a/vignettes/glarma.pdf.
Dunsmuir, William T.M., Cenanning Li,
David J. Scott. 2014.
PackageGeneralized Linear
Autoregressive Moving Average
Models. Diakses pada 21 April
2017 melalui http://cran.r-
project.org.
European Systemic Risk Board. 2013.
The ESRB Handbook on
Operatinalising Macro-prudential
Policy in the Banking Sector.
Galati, Gabriete dan Richhid Moessner.
2011. Macroprudential policy-
literatur review. BIS Working
Paper No 337. Switzerland :
Bank International Settlements.
Gourinchas, Pierre Oliver, Rodrigo
Valdes, dan Oscar
Landerretche. 2001. Lending
Booms : Latin America and the
World. Economia, Spring, hal.
47-99.
Group of Ten. 2001. Report on
Consolidation in the Financial
Sector. International Monetary
Fund.
Gujarati, Damodar N. 2003. Basic
Econometrics (4th ed). New York:
Mc. Graw Hill.
Hahm, Joon Ho, Frederic S. Mishkin,
Hyun Song Shin, dan Kwanho
Shin. 2012. Macroprudential
Policies in Open Emerging
Economies. NBER Working
Paper No. 17780. Diakses pada
1 Januari 2017 melalui
www.nber.org/papers/w17780.
Hardjono. 2008. Mudah Memiliki
Rumah Idaman Lewat KPR.
Jakarta: PT.Pusaka Grahatama.
Dika Chandra Priana.
Hilbert et.al. 2016. Assessing And
Managing Rapid Credit Growth
And The Role Of Supervision
And Prudential Policies. Journal
IMF Working Paper WP/05/151.
Holt, Jeff. 2009. A Summary of the
Primary Causes of the Housing
Bubble and the Resulting Credit
Crisis: A Non-Technical Paper. The
Journal of Business Inquiry 2009,
hal 120-129.
Iossifov, Plamen dan May Khamis.
2009. Credit Growth in Sub-
Saharan Africa-Sources, Risks,
and Policy Responses. IMF working
paper
Kuttner, Kenneth dan Ilhyock Shim.
2012. Taming the Real Estate
Beast: The Effects of Monetary and
Macroprudential Policies on
Housing Prices and Credit. Working
paper Bank of Australia
Mankiw, N. Gregory. 2009.
Macroeconomics 7th edition. New
York : Worth Publisher
Mars. 2015. Studi Komprehensif
tentang Consume Credit. Indonesia
: MARS
Mendoza, Enrique G., dan Marco E.
Terrones. 2008. An Anatomy of
Credit Booms: Evidence from
Macro Aggregates and Micro
Data. Cambridge. NBER
Working Paper Series. Diakses
pada 5 Mei 2017 melalui
http://www.nber.org/papers/w14
049.
Munier, Bertrand et. al. 1999. Bounded
Rationality Modeling. Journal
Marketing Letters, hal. 233-248.
Nasution, Lokot Zein. 2013. Pengaruh
Loan To Value dan Shock
Variabel Makroekonomi
terhadap Pertumbuhan Industri
Properti Indonesia. Jurnal
Pembangunan Manusia Vol. 7
No. 3. Jakarta: Kementrian
Keuangan Indonesia.
Oikarinen, Elias. 2009. Dynamic
linkages between housing and lot
prices: Empirical evidence from
Helsinki. Discussion Papers 53,
Aboa Centre for Economics.
Saraswati, Ida Ayu Putri. 2014. Analisis
Kebijakan Bank Indonesia
Tentang Loan To Value Pad Apt.
Bank Tabungan Negara
(Persero). Tbk Cabang
Singaraja. Journal UPG vol 4 no.
1 2014. Universitas Pendidikan
Ganesha : Indonesia
Se, Oh Hwa. 2013. Loan-to-Value as
Macro-Prudential Policy Tool:
Experiences and Lessons of Asian
Emerging Countries. DSF Policy
Paper No. 33. Belanda: Duisenberg
School of finance
Utari Diah, A. G. Arimurti, T. Nurmalia,
I. K. 2012. Pertumbuhan Kredit
Optimal dan Kebijakan
Makroprudensial untuk
Pengendalian Kredit. Working
paper Bank Indonesia