Upload
trinhdat
View
226
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Laporan Akhir Analisis Kebijakan TA 2014
KAJIAN KEBIJAKAN STABILISASI HARGA BERAS/GABAH, JAGUNG, DAN KEDELAI
Oleh
Budiman F. Hutabarat, Adi Setiyanto, Rudy S. Rivai,
Henny Mayrowani
PUSAT SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN
DEPARTEMEN PERTANIAN
2014
iv
RINGKASAN EKSEKUTIF
Pendahuluan
1. Gejolak harga pangan selalu menyulitkan bagi produsen dan konsumen
bahan pangan serta bagi perekonomian secara keseluruhan, karena arah
dan perkembangannya apalagi hasil akhirnya sulit diprakirakan
sebelumnya, sehingga pertumbuhan ekonomi menjadi terganggu. Maka itu,
hampir seluruh negara di dunia selalu berusaha untuk mengatasi gejolak ini
melalui stabilisasi atau pemantapan harga pangan. Berdasarkan logika
sederhana, stabilisasi atau pemantapan harga pangan adalah upaya
menciptakan iklim yang mendorong agar distribusi pangan dapat
menguntungkan produsen dan menolong konsumen, sehingga manajemen
distribusi tidak semata-mata diserahkan pada mekanisme pasar yang
sangat dinamis dan tergantung pada berbagai faktor dan kebijakan, karena
pemerintah berkewajiban mengelola ketersediaan pangan sepanjang
waktu.
Pendekatan
2. Penelitian ini menggunakan berbagai macam teknik analisis, kombinasi
metoda dan alat-alat deskriptif, statistik dan ekonometrik (khusuanya
analisis ARIMA peubah tunggal atau univariate time series ARIMA dan
ARCH-GARCH, serta pendekatan Structural Vector Autoregressive Models
(SVAR) peubah ganda atau multivariate SVAR, simulasi komputer terhadap
data sekunder (runtut waktu) dan penampang lintang, serta wawancara
dan Diskusi Kelompok Terbatas (DKT) atau Focus Group Discussion (FGD)
ke berbagai kalangan responden yang terkait dengan topik penelitian.
Kunjungan lapangan dilakukan di dua kabupaten di provinsi Jawa Barat,
yaitu Kabupaten Subang dengan penekanan pada komoditas padi/beras
dan Kabupaten Garut dengan penekanan pada komoditas jagung dan
kedelai, pada awal sampai akhir bulan Desember 2014.
v
Tingkat Volatilitas Harga Produsen dan Konsumen
3. Pada komoditas padi atau beras, tingkat volatilitas harga produsen beras di
Indonesia (15.46 persen) lebih tinggi jika dibandingkan volatilitas harga
konsumen beras di Indonesia (10.47 persen). Pada komoditas jagung,
sama seperti pada volatilitas harga produsen beras di Indonesia, tingkat
volatilitas harga produsen (16.90 persen) lebih tinggi jika dibandingkan
volatilitas harga konsumen (6.80 persen). Pada komoditas kedelai, tingkat
volatilitas harga produsen kedelai di Indonesia juga menunjukkan nilai yang
lebih tinggi (13.71 persen) jika dibandingkan volatilitas harga konsumen
(11.81 persen). Tingkat volatilitas harga produsen pangan lebih tinggi
daripada tingkat volatilitas harga konsumen pangan di Indonesia.
4. Faktor-faktor utama yang dianggap mempengaruhi volatilitas harga
produsen dan konsumen dalam penelitian ini ada 14 (empat belas) yaitu:
(1) harga minyak dunia, (2) harga dunia masing-masing komoditas, (3)
nilai tukar Rp terhadap US $, (4) tarif impor masing-masing komoditas, (5)
harga impor masing-masing komoditas, (6) volume impor komoditas, (7)
harga konsumen masing-masing komoditas, (8) volume konsumsi masing-
masing komoditas, (9) harga perdagangan besar/grosir masing-masing
komoditas, (10) harga produsen masing-masing komoditas, (11) volume
produksi masing-masing komoditas atau produktivitas, (12) harga input
pupuk untuk komoditas tanaman, (13) harga BBM jenis premium, (14)
Kejadian EL Nino + La Nina.
Jangka Waktu Faktor-Faktor Berpengaruh
5. Faktor-faktor yang menimbulkan pengaruh tertinggi pada harga beras
produsen di bulan pertama adalah: guncangan harga minyak dunia, harga
beras dunia, nilai tukar, tarif impor, harga konsumen, harga grosir, harga
produsen beras itu sendiri dan harga BBM. Faktor-faktor ini masing-masing
tidak berpengaruh lagi pada bulan ke 12, ke 15, ke 14, ke 14, ke 14, ke
14, ke 11 dan ke 13.
6. Pada harga beras konsumen, faktor-faktor yang menimbulkan pengaruh
tertinggi pada bulan pertama adalah guncangan harga minyak dunia, harga
vi
beras dunia, tarif impor, harga impor, harga konsumen beras itu sendiri
dan harga BBM. Faktor-faktor ini tidak berpengaruh lagi masing-masing di
bulan ke 12, ke 15, ke 14, ke 15, ke 14 dan ke 12.
7. Faktor-faktor yang memberi pengaruh perubahan tertinggi pada bulan
pertama harga produsen jagung adalah: guncangan harga produsen jagung
itu sendiri, harga BBM, volume impor jagung dan volume konsumsi.
Masing-masing pengaruh ini tidak muncul lagi pada bulan ke 32, ke 29, ke
29 dan 31.
8. Faktor-faktor yang menimbulkan pengaruh perubahan harga konsumen
jagung tertinggi pada bulan pertama adalah: guncangan: harga minyak
dunia, harga jagung dunia, nilai tukar, tarif impor, harga konsumen dan
harga BBM, dan akan hilang pengaruh mereka masing-masing pada bulan
ke 35, ke 31, ke 29, ke 30, ke 29 dan ke 27.
9. Faktor-faktor dengan pengaruh perubahan tertinggi terhadap harga
produsen kedelai di pada bulan pertama adalah: guncangan harga minyak
dunia, harga kedelai dunia, nilai tukar, tarif impor, harga impor, harga
konsumen, harga grosir dan harga produsen. Guncangan faktor-faktor ini
sudah tidak terasa lagi masing-masing pada bulan ke 12, ke 16, ke 14, ke
12, ke 14, ke 12, ke 14 dan ke 11.
10. Pada volatilitas harga konsumen kedelai, faktor-faktor yang menimbulkan
pengaruh perubahan tertinggi pada bulan pertama adalah: guncangan nilai
tukar, tarif impor, harga impor, harga konsumen dan harga BBM dan
masing-masing factor tidak berpengaruh lagi pada bulan ke 15, ke 13, ke
14, ke 12 dan ke 15.
Dampak Simulasi Guncangan Faktor-faktor terhadap Ragam Harga
Beras:
11. Dari hasil analisis dekomposisi ragam dapat diketahui bahwa: Pertama,
volatilitas harga produsen dipengaruhi oleh perubahan harga beras dunia
dan perubahan tarif impor. Kebijakan untuk meredam kedua perubahan ini
kurang efektif melindungi harga produsen jika dibandingkan dengan harga
konsumen; Kedua, jika pada harga produsen guncangan harga di tingkat
vii
grosir, yang menunjukkan perilaku pedagang grosir sebagai penyebab
ketidak-mantapan harga, maka pada harga konsumen justru guncangan
harga impor yang menunjukkan perilaku pedagang pengimpor; dan
Ketiga, guncangan harga BBM relatif tidak berpengaruh terhadap
volatilitas harga produsen, tetapi lebih berpengaruh terhadap volatilitas
harga konsumen.
Jagung:
12. Analisis dekomposisi ragam terhadap terhadap harga produsen maupun
harga konsumen jagung memberi pentunjuk bahwa: Pertama, volatilitas
harga produsen dipengaruhi oleh perubahan harga minyak dunia dan harga
impor, sementara volatilitas harga konsumen dipengaruhi oleh perubahan
tarif impor. Ini menunjukkan bahwa harga dunia lebih nyata pengaruhnya
terhadap harga produsen jagung daripada terhadap harga konsumen
jagung; Kedua, jika pada volatilitas harga produsen guncangan harga
impor yang menunjukkan perilaku pedagang pengimpor dapat
menimbulkan ketidak-mantapan harga produsen, maka pada harga
konsumen justru guncangan tarif impor yang menunjukkan perilaku
kebijakan pemerintah sangat mempengaruhi volatilitas harga konsumen;
Ketiga, guncangan harga konsumen dan harga grosir berpengaruh relatif
kecil terhadap perubahan harga produsen, sementara pada harga
konsumen, guncangan harga grosir juga berpengaruh relatif kecil. Ini
berarti bahwa konsumen utama jagung merupakan pengimpornya juga;
Keempat, guncangan harga BBM relatif tidak berpengaruh terhadap
volatilitas harga produsen, tetapi relatif lebih berpengaruh terhadap
volatilitas harga konsumen; Kelima, guncangan indeks curah hujan lebih
berpengaruh terhadap volatilitas harga konsumen jika dibandingkan
terhadap volatilitas harga produsen.
Kedelai:
13. Hasil analisis dekomposisi ragam harga kedelai menunjukkan bahwa:
Pertama, volatilitas harga produsen dipengaruhi oleh perubahan harga
minyak dunia, harga kedelai dunia dan perubahan tarif impor; Kedua,
viii
harga konsumen/dunia sangat mempengaruhi volatilitas baik harga
produsen maupun harga konsumen, karena adanya keterpaduan antara
pasar dalam negeri dengan pasar dunia akibat ketergantungan Indonesia
yang tinggi terhadap impor; Ketiga, jika pada volatilitas harga produsen
guncangan harga grosir menimbulkan ketidak-mantapan harga, maka pada
harga konsumen justru guncangan harga impor yang menimbulkan ketidak-
mantapan harga konsumen; Keempat, guncangan harga BBM relatif tidak
berpengaruh terhadap volatilitas harga produsen, tetapi relatif lebih
berpengaruh terhadap volatilitas harga konsumen.
Faktor-Faktor Yang Secara Khas Mempengaruhi Perubahan Volatilitas
Harga:
14. Untuk harga produsen beras: (1) guncangan harga minyak dunia dan
volume impor beras menimbulkan respons perubahan yang besar terhadap
perubahan harga produsen, tetapi pangsa pengaruh mereka relatif kecil;
dan (2) guncangan harga grosir menimbulkan perubahan yang relatif kecil
terhadap harga produsen, tetapi ia berpengaruh relatif besar terhadap
ragam harga produsen; untuk harga konsumen beras: (1) guncangan harga
minyak dunia dan beras dunia menimbulkan perubahan yang relatif besar,
tetapi mereka menyebabkan perubahan ragam yang relatif kecil, dan (2)
guncangan faktor lainnya yang menimbulkan respons besar, juga memiliki
pengaruh besar terhadap perubahan ragam harga konsumen.
15. Kebijakan yang ditempuh pemerintah dalam mengatasi guncangan harga
produsen dan konsumen beras seperti yang selama ini dilakukan dapat
menekan guncangan dalam jangka waktu satu bulan hingga empat bulan
terhadap harga produsen, dan dalam jangka waktu satu bulan hingga lima
bulan terhadap harga konsumen. Namun demikian kebijakan tersebut
justru dapat menimbulkan gejolak harga yang berkepanjangan hingga 17
bulan.
16. Harga produsen jagung: (1) harga dunia, nilai tukar dan tarif impor
berpengaruh relatif besar, akan tetapi pangsa pengaruhnya terhadap
dekomposisi ragam relatif kecil; dan (2) harga konsumen jagung dan
harga grosir berpengaruh relatif kecil terhadap perubahan harga produsen
ix
jagung, tetapi pangsa pengaruhnya terhadap dekomposisi ragam relatif
besar; Volatilitas harga konsumen jagung: (1) harga minyak dunia
berpengaruh relatif besar, tetapi pangsanya dalam dekomposisi ragam
kecil; dan (2) indeks curah hujan memiliki pangsa yang relatif besar dalam
dekomposisi ragam, tetapi pengaruhnya kecil terhadap perubahan harga
konsumen jagung
17. Meskipun respons tertinggi akibat guncangan perubahan harga jagung
diketahui umumnya terjadi antara bulan pertama hingga bulan keempat,
tetapi waktu yang dibutuhkan untuk mencapai kondisi kemantapan adalah
antara 29 bulan hingga 37 bulan pada harga produsen dan antara 22
bulan hingga 35 bulan pada harga konsumen.
18. Volatilitas harga produsen kedelai: (1) guncangan nilai tukar memiliki
respons pengaruh yang tinggi, tetapi pangsanya terhadap ragam
perubahan harga relatif kecil; (2) guncangan harga konsumen kedelai
memiliki respons perubahan yang kecil, tetapi pangsanya terhadap ragam
perubahan harga relatif besar; dan (3) guncangan faktor lainnya memiliki
respons perubahan dan pangsa terhadap ragam perubahan sama-sama
besar atau sama-sama kecil; Harga konsumen kedelai: (1) guncangan
harga kedelai dunia memiliki respons pengaruh yang tinggi, akan tetapi
pangsanya terhadap ragam perubahan harga relatif kecil; dan (2)
guncangan faktor lainnya menimbulkan respons besar, tetapi juga memiliki
pangsa yang besar dalam mempengaruhi ragam perubahan harga,
demikian pula sebaliknya.
19. Kebijakan yang ditempuh pemerintah dalam mengatasi guncangan harga
produsen dan konsumen kedelai seperti yang selama ini dilakukan dapat
menekan guncangan dalam jangka waktu satu bulan hingga tiga bulan
terhadap lonjakan harga produsen dan harga konsumen. Namun demikian,
kebijakan tersebut justru dapat menimbulkan gejolak harga yang
berkepanjangan hingga 15 bulan.
x
Respons dan Derajat Pengaruh Pass-through Guncangan Faktor-faktor terhadap Volatilitas Harga Produsen dan Konsumen
Beras
20. Guncangan faktor-faktor terhadap volatilitas harga produsen lebih tinggi
jika dibandingkan terhadap harga konsumen. Ini menunjukkan bahwa:
Pertama, volatilitas harga produsen akan lebih tinggi jika dibandingkan
volatilitas harga konsumen, sehingga kebijakan-kebijakan pemerintah yang
selama ini diluncurkan lebih mempengaruhi perubahan dan pemantapan
harga konsumen jika dibandingkan harga produsen; Kedua, respons dan
pengaruh perubahan harga produsen yang tinggi akibat guncangan harga
minyak dunia dan harga beras serta tarif impor menunjukkan bahwa
liberalisasi perdagangan dan penurunan tarif atau kenaikan tarif berdampak
menciptakan ketidak-mantapan pada harga produsen, tetapi kurang
berdampak pada ketidak-mantapan harga konsumen; Ketiga, guncangan
volume impor melalui impor beras untuk menjaga kemantapan pasokan
akan menimbulkan tekanan berupa penurunan harga produsen, yang
besarnya lebih dua kali jika dibandingkan penurunan harga konsumen
(respons pengaruh 0.07 persen dibanding 0.03 persen) dan memberikan
pengaruh perubahan hampir tiga kali pada harga produsen jika
dibandingkan pada harga konsumen (derajat pass-though 0.08 persen
dibanding 0.03 persen); Keempat, guncangan harga BBM atau perubahan
harga BBM baik yang terkait dengan kebijakan ataupun tidak, sekalipun
realitif kecil terhadap ragam perubahan harga produsen dibandingkan
harga konsumen (1.87 persen dibandingkan 5.82 persen), tetapi
pengaruhnya terhadap perubahan harga produsen dan konsumen relatif
sama besarnya (0.05 persen dibanding 0.06 persen), dan pengaruh
perubahannya pada harga produsen lebih rendah jika dibandingkan pada
harga konsumen (0.35 persen dibanding 0.45 persen); Kelima, kebijakan
yang terkait dengan fiskal dan moneter lebih mengarah kepada upaya
menjaga kemantapan harga konsumen jika dibandingkan harga produsen;
Keenam, sumbangan pengaruh perubahan produksi dalam negeri
terhadap perubahan harga konsumen lebih besar jika dibandingkan
xi
sumbangan peningkatan impor (2.39 persen dibanding 0.69 persen)
dengan respons pengaruh yang sama yaitu -0.03 persen. Disamping itu,
pilihan kebijakan melakukan impor dan menurunkan tarif memiliki dampak
volatilitas terhadap harga produsen dan konsumen selama 17 bulan dan 14
bulan, dimana keduanya akan mempengaruhi perubahan harga impor yang
menimbulkan volatilitas selama 15 bulan.
Jagung
21. Guncangan faktor-faktor terhadap volatilitas harga produsen lebih tinggi
jika dibandingkan terhadap harga konsumen. Ini menunjukkan bahwa:
Pertama, pada volatilitas harga produsen, harga jagung dunia
berpengaruh negatif; dan pada volatilitas harga konsumen, harga minyak
dunia dan harga jagung dunia menunjukkan pengaruh perubahan yang
bernilai negatif; Kedua, transmisi harga jagung dunia kepada harga
produsen dan konsumen dalam negeri dikalibrasi oleh nilai tukar dan tarif
impor. Oleh karena itu, nilai tukar, tarif impor dan harga impor memiliki
respons pengaruh dan pass-through effect yang tinggi terhadap volatilitas
harga produsen dan nilai tukar dan tarif impor memiliki respons pengaruh
perubahan dan pass-through effect yang tinggi pada volatilitas harga
konsumen; Ketiga, harga minyak, harga jagung dunia, nilai tukar dan
harga impor yang memiliki pass-through effect yang lebih tinggi pada harga
produsen dibandingkan terhadap konsumen; Keempat, nilai pass-through
effect harga impor dan tarif impor yang tinggi pada volatilitas harga
produsen, dan tarif impor yang tinggi pada volatilitas harga konsumen
menunjukkan bahwa perilaku pengimpor dan kebijakan pemerintah sangat
mempengaruhi volatilitas harga produsen dan konsumen, dan konsumen
merangkap pengimpor yang ditunjukkan oleh perubahan yang rendah
terhadap harga produsen, tetapi tinggi terhadap harga konsumen; Kelima,
pengaruh dari segi dekomposisi ragam, impuls respons dan pass-through
effect terhadap harga produsen secara umum lebih tinggi terhadap harga
konsumen jika dibandingkan harga konsumen. Hal ini menunjukkan bahwa
volatilitas harga produsen akan lebih tinggi jika dibandingkan volatilitas
xii
harga konsumen. Dengan demikian kebijakan-kebijakan pemerintah yang
selama ini diluncurkan lebih berpengaruh terhadap pemantapan harga
konsumen jika dibandingkan harga produsen; Keenam, respons dan
pengaruh perubahan harga produsen terhadap guncangan harga minyak
dunia dan harga jagung serta tarif impor yang tinggi menunjukkan bahwa
liberalisasi perdagangan dan penurunan tarif atau kenaikan tarif berdampak
menciptakan ketidak-mantapan pada harga produsen, tetapi kurang
berdampak pada ketidak-mantapan harga konsumen; Ketujuh, guncangan
harga input dan harga BBM atau perubahan harga input dan harga BBM
baik yang terkait dengan kebijakan ataupun tidak, lebih berpengaruh pada
volatilitas harga konsumen jika dibandingkan harga produsen. Pengaruh
yang sama juga terjadi pada pengaruh perubahan indeks curah hujan,
dimana pengaruh volatilitas terhadap harga produsen lebih rendah jika
dibandingkan terhadap harga konsumen; Kedelapan, pengaruh
guncangan volume impor dan volume produksi terhadap volatilitas harga
produsen sama besarnya, tetapi pada volatilitas harga konsumen, pengaruh
volume impor lebih tinggi daripada volume produksi; dan Kesembilan,
kebijakan yang terkait dengan fiskal dan moneter lebih mengarah kepada
upaya perlindungan untuk menjaga kemantapan harga konsumen daripada
harga produsen.
Kedelai
22. Sama seperti pada komoditas beras dan jagung hasil analisis menyimpulkan
bahwa guncangan faktor-faktor yang mempengaruhi volatilitas harga
produsen kedelai lebih tinggi jika dibandingkan terhadap harga konsumen.
Ini dapat diartikan sebagai: Pertama, volatilitas harga produsen akan lebih
tinggi jika dibandingkan volatilitas harga konsumen, yang berimplikasi
bahwa kebijakan-kebijakan pemerintah yang selama ini diluncurkan lebih
mempengaruhi perubahan dan kemantapan harga konsumen jika
dibandingkan harga produsen; Kedua, respons dan pengaruh perubahan
harga produsen yang tinggi terhadap guncangan harga minyak dunia dan
harga dunia kedelai serta tarif impor menunjukkan bahwa liberalisasi
xiii
perdagangan dan penurunan tarif atau kenaikan tarif berdampak
menciptakan ketidak-mantapan pada harga produsen, tetapi kurang
berdampak pada ketidak-mantapan harga konsumen; Ketiga, guncangan
volume impor yang dapat timbul akibat kebijakan pemerintah untuk
menjaga kemantapan pasokan dengan melakukan impor kedelai akan
menimbulkan tekanan berupa penurunan harga produsen yang besarnya
tiga kali lebih kecil jika dibandingkan harga konsumen (respons pengaruh
0.31 persen dibanding 0.90 persen); Keempat, perubahan harga BBM
baik akibat kebijakan pemerintah maupun karena faktor lainnya yang
sintas, menjadi salah satu sumber penyebab volatilitas harga konsumen.
Saran Kebijakan
23. Sehubungan kemantapan dan/atau volatilitas harga produsen pangan
(beras, jagung dan kedelai) secara nyata relatif terpapar terhadap faktor-
faktor yang lebih banyak jumlahnya dibandingkan kemantapan dan/atau
volatilitas harga konsumen, maka dengan sendirinya kemantapan dan/atau
volatilitas pendapatan produsen pangan juga lebih terpapar terhadap lebih
banyak faktor dibandingkan kemantapan dan/atau volatilitas pendapatan
konsumen. Oleh karena itu kebijakan penetapan harga produsen
seyogianya mempertimbangkan perubahan faktor-faktor tersebut.
24. Kebijakan pemerintah yang terkait dengan pemantapan harga dan
perubahan tarif lebih didasarkan pada dinamika harga konsumen semata,
dan kurang merujuk pada dinamika harga produsen, seperti yang
ditunjukkan oleh pengaruhnya yang tinggi terhadap perubahan harga
konsumen itu sendiri dan harga impor. Berkaitan dengan hal ini
pengimpor, pedagang grosir dan pedagang eceran memanfaatkan
kesempatan ditinjau dari sudut volatilitas harga produsen dan pengimpor
dan pedagang eceran memanfaatkan kesempatan ditinjau dari sudut
volatilitas harga konsumen.
25. Fakta yang menunjukkan bahwa pada umumnya pedagang grosir pangan
sekaligus adalah pedagang pengimpor juga, maka dinamika perubahan
perilaku para pedagang tersebut akan menimbulkan ketidak-mantapan
xiv
harga yang dapat menimbulkan volatilitas yang tinggi baik pada harga
konsumen maupun harga produsen pangan. Untuk itu pemerintah
seharusnya memiliki alat/kelembagaan dan kebijakan yang efektif untuk
mengawasi perilaku mereka.
26. Oleh karena itulah perlu kehati-hatian dan ketepatan dalam merumuskan
kebijakan dalam rangka menciptakan kemantapan harga produsen dan
konsumen beras yang seimbang agar produsen pangan tidak semakin
menderita.
27. Dalam rangka memantapkan harga jagung, baik harga produsen maupun
harga konsumen beras, jagung dan kedelai sangat diperlukan kehati-hatian
dan pendekatan yang komprehensif, tetapi bersifat sangat antisipatif yang
seimbang agar produsen pangan tidak semakin menderita. Kebijakan yang
terlalu reaktif hanya akan menimbulkan persoalan semakin volatilnya harga
produsen dan konsumen beras, jagung dan kedelai.
28. Upaya peningkatan pasokan dan upaya mencapai swasembada pangan
berkelanjutan melalui kebijakan peningkatan produksi pangan (beras,
jagung dan kedelai) dalam negeri seharusnya tetap didorong, karena
semua upaya ini jauh lebih baik dilakukan jika dibandingkan melalui
peningkatan impor, mengingat respons pengaruh dan perannya terhadap
perubahan harga produsen lebih kecil.
29. Campur-tangan pemerintah diperlukan untuk meredam gejolak ekstrim
pada harga/pendapatan produsen dan pada harga/tingkat konsumsi
konsumen melalui lembaga logistik pangan nasional. Salah satu fungsi
lembaga ini adalah untuk mendistribusikan bahan pangan antar musim
panen dan musim paceklik serta antar wilayah sentra dan wilayah defisit.
Saat ini memang campur-tangan pemerintah ini telah dilakukan melalui
antara lain: operasi pasar; menerapkan harga pembelian pemerintah/HPP
dan harga eceran tertingg/HET (ceiling price) komoditas pokok. Namun,
instrumen ini perlu direvitalisasi lagi dan unsur lain perlu digali lagi,
khususnya di bidang perangkat lunak tetapi yang tidak bertentangan
dengan aturan yang disepakati di Organisasi Perdagangan Dunia/OPD dan
xv
perangkat keras seperti investasi di berbagai bidang sarana dan prasarana
ekonomi, komunikasi dan transportasi.
1
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Seluruh lapisan masyarakat, pegawai perusahaan, karyawan swasta dan
pemerintah, pengusaha, profesional, wiraswastawan apalagi rumahtangga petani
di negara berkembang, seperti Indonesia dan bahkan di negara maju sekalipun
selalu berhadapan dengan berbagai macam risiko yang berbeda sifat dan
bentuknya. Hanya saja di negara maju, para pemerintahnya telah mempunyai
perangkat aturan dan ketentuan yang dapat mencegah risiko ini dan memiliki
jaring pengaman yang dapat diandalkan untuk menanggulangi dampaknya
didukung dengan modal dana yang kuat atas dukungan pemerintah seperti pasar
asuransi dan kredit, meskipun modal sosialnya terbatas sehingga ada
keseimbangan antara peran pemerintah dan pasar di mana pasar ini dibangun
melalui aturan pemerintah. Sedangkan di negara berkembang, perangkat dan
mekanisme pencegahan dan penanggulangan risiko negatif ini sebetulnya ada,
tetapi dipengaruhi modal sosial dari masyarakat, sementara kesinambungannya
membutuhkan aliran modal dana yang berbeda, di mana campur tangan negara
belum terlalu kuat. Manakala, pertumbuhan ekonomi sangat baik maka modal
dana sangat menonjol, sebaliknya apabila keadaan ekonomi dalam keadaan buruk
modal sosial menjadi tumpuan.
Sebetulnya, sistem jaring pengaman untuk menanggulangi krisis atau
ketidak-mantapan ekonomi di negara berkembang tidak perlu harus mengikuti
pola di negara maju. Hanya saja, unsur-unsur dasar pendukungnya perlu
dibangun sesuai dengan kearifan dan keadaan di negara berkembang. Dalam hal
ini, di manapun masyarakat berada di dunia ini mereka senantiasa mendambakan
kemantapan, dalam arti kehidupan ekonomi rumahtangga mereka tetap
terpelihara dengan baik dan tanpa gejolak yang berarti. Misalnya, pengusaha
menginginkan keuntungan yang mantap sesuai dengan perkembangan ekonomi,
konsumen mengharapkan kebutuhan konsumsinya tidak terganggu akibat
penurunan pendapatan atau peningkatan biaya hidup. Demikian pula, petani
mendambakan hasil dan harga hasil produksinya tidak merosot agar dapat
mengimbangi biaya produksi yang juga mantap serta kebutuhan konsumsi
2
keluarganya yang juga terpelihara. Kalau salah satu dari berbagai faktor ini
terganggu, maka kehidupan ekonomi dan kesejahteraan petani tentu saja akan
terganggu.
Salah satu perwujudan yang paling kasat mata dari risiko yang dirasakan
petani adalah ketidak-mantapan harga pertanian yang sangat tinggi, sehingga
selalu menjadi perhatian semua pelaku pembuat keputusan di negara
berkembang, karena mempunyai pengaruh ekonomi dan politik. Sedangkan di
negara maju, berbagai mekanisme telah terbangun, seperti kebijakan pembelian
pemerintah, harga pembelian pemerintah, perangkat pergudangan, perdagangan
berjangka dan fisik komoditas, serta penyediaan kredit kepada para petani dan
sebagainya. Politisi menginginkan kemantapan harga pangan, apapun ideologi
yang mereka usung; birokrat berupaya keras agar kebijakan harga pangan
berjalan sesuai yang diharapkan, dan peneliti dan ilmuwan mendiskusikan dan
memperdebatkan cara dan alat yang dapat menjamin kemantapan harga pangan.
Namun, semuanya bersetuju ke suatu kesimpulan bahwa ketidak-mantapan harga
sangat besar dampaknya terhadap konsumen, produsen dan pertumbuhan
ekonomi secara umum (Rashid 2007). Di berbagai makalah telah dicatat bahwa
apabila pasar-pasar kredit dan asuransi tidak lengkap, ketidak-mantapan harga
komoditas akan menghambat investasi dan mendorong alokasi sumberdaya yang
tidak efisien (Newbery and Stiglitz (1981), Timmer (1988), Williams and Wright
(1991), Fafchamps (1992), and Barrett (2002). Bagi orang miskin, dampak
ketidak-mantapan harga sangat menyedihkan, karena sebagian besar
penghasilannya adalah pada bahan pokok pangan, sehingga kenaikan harga yang
tidak lazim memaksa mereka untuk mengurangi konsumsi pangan, tidak
membayar uang sekolah anaknya, atau dalam keadaan terpaksa, kelaparan1. Dari
serangkaian penelitian di berbagai negara disimpulkan bahwa ketidak-mantapan
harga dapat mengakibatkan ketidak-mantapan ekonomi makro, kerusuhan sosial,
dan kemerosotan pertumbuhan ekonomi secara umum (Timmer 1988, 1996,
1997). Jadi, isunya bukanlah mencari pembenaran untuk membuat jaminan
1 Meskipun jika goncangan ini sementara, ia dapat berdampak ekonomi jangka-panjang dari
Sisi kesejahteraan gizi dan kesehatan, produktivitas tenaga kerja, dan peluang hidup (Hoddinott 2006).
3
kemantapan harga, tetapi mencari kombinasi instrumen kebijakan dan
kelembagaan untuk mengatasi ketidak-mantapan ini.
1.2. Dasar Pertimbangan
Indonesia merupakan negara berpenduduk besar nomor 5 (lima) di dunia
yang berhubungan dengan kebutuhan pangan yang tentu saja sangat besar.
Jumlah produksi bahan pangan, terutama beras/gabah, jagung, dan kedelai serta
ubikayu dan umbi-umbian dan sumber karbohidrat lainnya memang sangat besar
dan beragam, tetapi dalam beberapa hal junlah ini belum memadai untuk
mengimbangi kebutuhan konsumsi penduduk dan belum seimbang antar sumber
bahan pangan potensial lainnya, karena umumnya konsumsi hanya terpusat pada
beras/gabah. Dengan demikian, kebijakan kemantapan harga komoditas-
komoditas ini diharapkan mampu meningkatkan investasi di bidang produksi dan
pengolahannya dan mampu menciptakan alokasi sumberdaya yang efisien di
antara komoditas pangan. Penelitian tentang ketidak-mantapan harga pangan dan
risikonya penting dilakukan di Indonesia dilihat dari sedikitnya 4 (empat) alasan
(Rashid 2007): (1) Semakin terbukti bahwa reformasi pasar yang dilakukan di
mana-mana hanya sebagian, dan dalam keadaan gejolak harga yang meningkat,
banyak negara berbalik menerapkan kebijakan yang mereka adopsi dulu sebelum
mereka melakukan program penyesuaian struktural; (2) Penyangga padi-padian
dunia berada pada titik-titik rendah sejarah dan bahkan guncangan relatif kecil
saja pada ekspor dan impor negara besar seperti China dan India dapat membuat
guncangan gelombang besar melalui pasar padi-padian dunia. Tentu saja
guncangan ini berakibat nyata bagi negara berkembang, terutama negara-negara
yang kekurangan pangan, seperti Indonesia dan kemampuannya terbatas untuk
mengimpor karena cadangan devisanya rendah; (3) Kemunculan kekhawatiran
tentang perubahan iklim global yang kemungkinan membuat negara miskin
terpapar pada kekeringan, banjir, dan kejadian iklim tidak biasa lainnya yang akan
memicu risiko guncangan harga pangan; dan (4) Persentase penduduk yang
menggantungkan hidup mereka pada pertanian masih sangat tinggi.
Di wilayah perdesaan, petani setengah-subsisten terlindungi pengaruh
gejolak harga-harga pangan pokok, sementara petani perkebunan, petani pangan
komersial, buruh tani dan pekerja pada perusahaan yang tidak berkiprah di
4
pertanian lebih mudah terpengaruh. Krisis sejagat 2007-2008 yang lalu telah
menghidupkan kembali keinginan untuk memantapkan harga-harga pangan dan
sejumlah negara meningkatkan jumlah cadangan pangan mereka, dan
diperdebatkan pula pendekatan-pendekatan pilihan untuk membangun cadangan
pangan dunia (Murphy, 2009, von Braun and Torero, 2008). ASEAN sendiri juga
berfikir kearah yang sama, sehingga pada saatnya nanti tidak ada kejadian di
negara anggotanya yang mengalami kelaparan.
1.3. Tujuan
1. Mengukur tingkat atau derajat ketidak-mantapan harga bahan pangan
terutama beras/gabah, jagung, dan kedelai dan mengidentifikasi faktor-
faktor yang mempengaruhinya,
2. Merumuskan pilihan kebijakan untuk memantapkan harga bahan pangan
terutama beras/gabah, jagung, dan kedelai yang dapat menguntungkan
dua pihak, produsen dan konsumen.
1.4. Keluaran
1. Satu paket data, informasi dan pengetahuan tentang tingkat atau derajat
ketidak-mantapan harga bahan pangan terutama beras/gabah, jagung, dan
kedelai,
2. Seperangkat rumusan kebijakan atau kombinasi pilihan kebijakan untuk
memantapkan harga bahan pangan terutama beras/gabah, jagung, dan
kedelai yang dapat menguntungkan dua pihak, produsen dan konsumen.
5
II. METODOLOGI
2.1. Kerangka Pemikiran
Ketidak-mantapan harga-harga pertanian terjadi akibat sejumlah faktor
yang sangat berkaitan. Namun, ketidak-mantapan itu seringkali dapat dipicu oleh
satu faktor saja, seperti cuaca buruk, yang kemudian dipercepat oleh faktor lain
yang berkaitan, seperti sarana dan prasarana dan kelembagaan yang tidak
memadai. Di sisi lain di negara berkembang seperti Indonesia, usahatani terutama
bahan pangan (padi/beras, jagung dan kedelai) merupakan kegiatan ekonomi
yang sangat penting karena menjanjikan lapangan pekerjaan, pendapatan serta
barang kebutuhan yang dikonsumsi keluarga-keluarga, terutama di wilayah
perdesaan (Kotak 1 dan 2).
Secara garis besar, faktor-faktor ini dapat dikelompokkan dalam 4 (empat)
kelompok utama: (1) Faktor agroklimatik, (2) Infrastruktur yang tidak memadai
dan informasi tidak seimbang, (3) Kelembagaan yang tidak lengkap atau hilang,
dan (4) Gejolak harga dunia yang tinggi.
Faktor Agroklimatik
Salah satu penyebab penting dari ketidak-mantapan harga pangan adalah
keragaman dalam produksi lokal akibat perbedaan keadaan iklim. Keragaman
musiman pasokan adalah faktor utama harga-harga pangan musiman, khususnya
Kotak 1 Usahatani Padi, Jagung dan Kedelai Sasaran pembangunan pertanian yang ingin dicapai adalah meningkatkan kesejahteraan petani dan masyarakat desa lainnya yang dapat tercermin dari peningkatan pendapatan petani,
peningkatan produktivitas tenaga kerja pertanian, penurunan jumlah penduduk miskin, penurunan jumlah penduduk yang kekurangan pangan dan penurunan ketimpangan pendapatan di daerah pedesaan. Setidaknya terdapat tiga aspek yang dapat meningkatkan
pendapatan usahatani, yaitu: (1) Pengembangan modal usahatani; (2) Peningkatan produktivitas dan produksi; serta (3) Pengembangan pasar dan diversifikasi produk hasil pertanian.
Sebagian besar petani menghadapi kendala dalam melakukan usaha taninya, yakni kendala biofisik dan permodalan. Sumber modal dapat berasal dari modal sendiri, pinjaman non formal
dari pedagang sarana produksi pertanian maupun dari sesama petani, lembaga permodalan yang ada, atau hibah. Dalam mengatasi keterbatasan modal petani tersebut, pemerintah telah bekerjasama dengan bank pelaksana untuk menyediakan kredit program untuk modal kerja
maupun modal investasi sektor pertanian (termasuk usahatani).
6
di daerah dengan curah hujan yang puncaknya hanya terjadi pada bulan tertentu
(uni modal) dalam setahun dan bagi komoditas yang mudah busuk. Dalam ke dua
kasus ini, biaya dan risiko penyimpanan merupakan penyebab yang masuk akal
mengapa harga pangan berayun sangat lebar. Selain itu, hasil panen dari tahun ke
tahun berubah-ubah sebagai akibat dari faktor acak seperti curah hujan, hama
dan penyakit tanaman serta kebijakan (Minot 2010). Keragaman pasokan lokal
mengakibatkan ketidak-mantapan harga karena wilayah atau daerahnya terpencil
dengan sarana dan prasarana jalan yang buruk atau kebijakan yang membatasi
atau mengenakan pajak impor pangan yang tinggi.
Infrastruktur dan Ketidak-seimbangan Informasi
Harga suatu komoditas adalah hasil akhir dari suatu proses pertukaran
barang yang disebut pasar, dan hasilnya hanya baik jikalau prosesnya juga
berjalan baik (Kotak 3). Jadi, harga suatu barang tepat jika dan hanya jika proses
pertukarannya baik. Ada 3 (tiga) penentu penting dalam suatu proses pertukaran
(pasar) yang efisien, yakni sarana dan prasarana, kelembagaan, dan informasi
(Rashid 2007).
Kelembagaan
Kehidupan selalu terkait dengan risiko, tetapi dengan berjalannya waktu
manusia telah belajar bagaimana cara mengelola dan mengatasinya. Pasar kredit
dan asuransi diciptakan manusia dari hasil pembelajarannya itu. Akan tetapi, di
negara berkembang seperti Indonesia kelembagaan-kelembagaan semacam ini
Kotak 2
Peningkatan produksi baik melalui peningkatan produktivitas maupun perluasan areal
usahatani dapat langsung meningkatkan pendapatan usahatani. Peningkatan produksi ini harus memperhatikan potensi dan kendala yang dihadapi. Peningkatan produktivitas dapat dicapai melalui pemanfaatan inovasi teknologi yang sesuai dengan kondisi spesifik lokasi.
Komponen inovasi teknologi yang dapat dilakukan, mulai dari penggunaan bibit/varietas unggul, pemupukan yang optimal, pemberantasan hama dan penyakit secara terpadu,
pengolahan lahan serta perbaikan panen dan pasca panen. Namun, yang juga tidak kalah penting adalah mutu hasil panen. Sampai saat ini, pada umumnya petani belum berfikir tentang mutu, tetapi masih mengutamakan jumlah produksi. Hal ini tentu akan berpengaruh
terhadap harga hasil produksi. Di daerah penelitian (Kabupaten Subang), responden menyatakan bahwa, faktor-faktor yang mempengaruhi harga gabah/beras di pasar adalah: jumlah yang dijual di pasar, mutu produk, hama penyakit dan perubahan iklim, sementara
jenis/varietas dan produk impor tidak mempengaruhi sama sekali.
7
umumnya tidak lengkap atau tidak berfungsi dan tidak memadai untuk menjawab
kebutuhan kredit dan asuransi sebagian terbesar rumahtangga. Kegagalan ini
secara tidak langsung menyumbang pada risiko pertanian dan ketidak-
kemantapan harga. Misalnya, jika seandainya pasar kredit berfungsi,
rumahtangga-rumahtangga dapat meminjam uang untuk menjaga kebutuhan
konsumsi pada tingkat tertentu atau menghindari penjualan yang terpaksa
berhadapan dengan guncangan pendapatan negatif. Selain itu, semakin banyak
literatur yang menyatakan bahwa akses terhadap pasar kredit dapat mengurangi
atau menunda kehilangan aset produktif karena penjualan secara terpaksa
merugikan produktivitas jangka panjang dan pertumbuhan (Rashid 2007). Hal
yang sama berlaku untuk pasar asuransi. Petani di negara berkembang sangat
kesulitan untuk mengatasi guncangan pendapatan yang disebabkan perubahan
cuaca karena kekosongan pasar asuransi.
Gejolak Harga Dunia
Sumber ketidak-mantapan harga pangan lokal yang lain adalah harga dunia
komoditas yang sama. Harga dunia semakin mungkin mempengaruhi harga dalam
negeri suatu komoditas di suatu lokasi apabila komoditas tersebut diperdagangkan
secara teratur di pasar dunia. HLPE (2011) menyimpulkan bahwa setelah
Kotak 3 Pemasaran Ketidak-stabilan atau ketidak-mantapan harga pangan tentu saja akan berdampak pada
ketidak-mantapan pendapatan dan pengalokasian faktor produksi para produsen dan pada saat yang sama ketidak-mantapan konsumsi bahan pangan para konsumen, karena mereka harus mengalokasi ulang pengeluaran mereka untuk setiap barang konsumsi, terutama pangan. Lebih
lagi dari sisi makro, ketidak-mantapan harga pangan ini berpotensi besar sebagai pemicu inflasi dan atau deflasi. Untuk itu, wajarlah kiranya apabila setiap negara berusaha agar harga pangan
ini diusahakan sedemikian rupa agar tetap mantap, dalam pengertian bergerak sesuai dengan inflasi dalam ekonomi yang bertumbuh normal dan seimbang di antara harga produsen dan konsumen. Ini tidak terlepas dari peran pasar, yang mempertemukan penawaran dan
permintaan bahan pangan untuk menciptakan harga keseimbangan. Kelebihan penawaran bahan pangan akan menurunkan harga, dan sebaliknya kelebihan permintaan bahan pangan akan menaikannya, yang kemudian dapat menguntungkan petani produsen. Dengan perolehan
harga yang sesuai perkembangan pasar, diharapkan petani akan memperoleh keuntungan yang memadai. Salah satu upaya yang dilakukan petani untuk mengantisipasi perolehan harga yang rendah adalah menganekaragamkan komoditas yang ditanam, agar tidak hanya tergantung
pada satu macam komoditas pertanian saja. Di pihak konsumen, salah satu upaya untuk menghadapi harga yang meningkat, mereka akan menganekaragamkan barang konsumsi pangan. Namun, upaya-upaya produsen dan konsumen ini tidak selamanya berhasil, mengingat
factor-faktor yang mempengaruhi harga dan pasokan barang di pasar itu banyak sekali.
8
berpuluh-puluh tahun harga pangan berada pada tingkat yang rendah, maka sejak
2007 ia berubah semakin meningkat dan lebih bergejolak secara nyata serta
tingkat gejolaknya dan jumlah negara-negara yang terpengaruh olehnya semakin
meningkat. Dampaknya terhadap keamanan pangan sangat kuat karena ia
berpengaruh terhadap pendapatan keluarga dan daya beli.
Pengaruh ini semakin terasa apabila: (1) Kebijakan perdagangan terhadap
komoditas relatif terbuka, (2) Biaya angkutan barang ke dan dari pelabuhan relatif
kecil, (3) Komoditasnya umumnya tidak mudah rusak (non-perishable) dan nisbah
nilai terhadap bobotnya relatif tinggi. Sehingga, wajarlah kalau kita berharap
bahwa harga dunia merupakan sumber ketidak-mantapan pada kasus beras dan
tepung gandum, khususnya di negara-negara berpantai, dan kurang pada kasus
jagung dan ubikayu. Namun demikian, gejolak harga dalam negeri juga dapat
disebabkan oleh beberapa faktor (Minot 2010): (1) Keragaman permintaan.
Misalnya, hari-hari libur yang berkaitan dengan makanan khusus, menciptakan
lonjakan permintaan; (2) Perubahan dalam pasar yang berhubungan-erat,
misalnya peningkatan harga beras atau gandum yang tajam dapat menyebabkan
konsumen beralih ke jagung, yang menyebabkan harga jagung naik; (3) Faktor
endogen seperti gelembung spekulatif (speculative bubble), di mana harga
meningkat karena masyarakat menjadi yakin harga akan naik, sehingga mereka
menimbunnya dan kemudian membuat keyakinan itu terpenuhi sendiri.
2.2. Kerangka Konseptual
Ketidak-mantapan harga pangan berpengaruh negatif terhadap
kesejahteraan rumahtangga (produsen dan konsumen) karena ia menimbulkan
gejolak pada pendapatan dan konsumsi sebagai mana dijelaskan sebelumnya.
Berbagai hasil penelitian tentang perilaku manusia mempertegas bahwa sebagian
besar orang enggan terhadap risiko (risk averse), yang berarti bahwa mereka
lebih memilih tingkat pendapatan tetap dibandingkan pendapatan tinggi yang
berubah meskipun secara rataan nilainya sama. Hubungan antara ketidak-
mantapan harga, pendapatan, konsumsi dan kesejahteraan dapat diilustrasikan
sebagai terlihat di Gambar 2-1.
Sebagaimana diperlihatkan di Gambar 2-1, dampak ketidak-mantapan
harga terhadap kesejahteraan rumahtangga untuk suatu komoditas tertentu
9
tergantung atas 4 faktor: derajat ketidak-mantapan harga, daya beli
rumahtangga, derajat pengaruh keragaman pendapatan terhadap gejolak
konsumsi (nilai riel pengeluaran konsumsi), derajat pengaruh keragaman
pendapatan terhadap tingkat kesejahteraan.
Sumber: Minot (2010).
Gambar 2-1. Pengaruh Ketidak-mantapan Harga Pangan Terhadap Kesejahteraan Rumahtangga
Pengaruh ketidak-mantapan harga terhadap kesejahteraan konsumen
pertama sekali dikaji secara mendalam oleh Turnovsky et al. (1980). Mereka
menggaris-bawahi hasil-hasil terdahulu bahwa konsumen yang netral terhadap
risiko sebetulnya memperoleh manfaat dari ketidak-mantapan harga, dengan
catatan ketidak-mantapan itu tidak mempengaruhi pendapatan.
Selanjutnya mereka juga menunjukkan bahwa agar harga komoditas yang
dibuat mantap berpengaruh negatif terhadap seseorang, dia haruslah penghindar
risiko dan elastisitas pendapatan komoditas tersebut harus kecil. Keadaan seperti
ini mungkin terjadi pada kasus program kemantapan harga dan rakyat miskin di
negara-negara berkembang.
Kemudian Newbery and Stiglitz (1981) merintis metode untuk menganalisis
risiko harga pertanian dan pengaruh program kemantapan harga. Ada 4 (empat)
butir yang mereka peroleh: (1) Tujuan kebijakan seharusnya tidak semata-mata
pada kemantapan harga, melainkan ia hanya bermakna sepanjang ia dapat
Ketidak-
mantapan Harga Pangan
Pendapatan
Riel (Daya Beli)
Konsumsi
Penurunan
Kesejahte-raan
Pangsa dan kebutuhan
komoditas dalam
pendapatan dan
konsumsi dan dalam
penganekaragaman
Kemampuan
pengamanan
konsumsi melalui
tabungan, kredit,
penjualan aset
dan lain-lain
Tingkat pendapatan
dan keengganan terhadap risiko
10
mengurangi ketidak-mantapan pendapatan petani dan konsumen; (2)
Kemantapan harga tidak selalu memantapkan pendapatan; (3) Program
pemantapan harga pangan kemungkinan berpengaruh positif terhadap pasokan
pangan, dengan mendorong petani berproduksi lebih banyak pada suatu harga
tertentu; (4) Suatu metode untuk menduga manfaat kesejahteraan yang berkaitan
dengan pemantapan harga dan andaian tentang derajat penghindaran risiko,
sebagaimana diukur oleh koefisien penghindaran risiko relatif Arrow-Pratt (R).
2.3. Metode Analisis
2.3.1. Kerangka Analisis
Penelitian ini menggunakan berbagai macam teknik analisis, kombinasi
metoda dan alat-alat deskriptif, statistik dan ekonometrik dan simulasi komputer
untuk menganalisis masalah-masalah penelitian terhadap data sekunder (runtut
waktu) dan penampang lintang, serta wawancara dan Diskusi Kelompok Terbatas
(DKT) atau Focus Group Discussion (FGD) ke berbagai kalangan responsden yang
terkait dengan topik penelitian. Kunjungan lapangan dilakukan di dua kabupaten
di provinsi Jawa Barat, yaitu Kabupaten Subang dengan penekanan pada
komoditas padi/beras dan Kabupaten Garut dengan penekanan pada komoditas
jagung dan kedelai, pada awal sampai akhir bulan Desember 2014. Kerangka
analisis penelitian ini dapat dilihat pada diagram pada Gambar 2-2.
Penelitian ini menggunakan pendekatan analisis ARIMA peubah tunggal
atau univariate time series ARIMA dan ARCH-GARCH. Kedua jenis ini perlu dipakai
karena dalam mengukur volatilitas harga pangan pokok yang memiliki tingkat
gejolak yang tinggi, penggunaan model korelasidiri dengan ragam yang berubah
adalah model yang lebih mendekati kenyataan dibanding model korelasidiri
dengan ragam tetap. Jika menggunakan model ARIMA terbaik dinilai belum sesuai
maka, penggunaan model ARCH-GARCH merupakan pilihan yang cukup tepat
untuk memodelkan nilai volatilitas harga pangan pokok. Di samping itu, penelitian
ini juga menggunakan pendekatan Structural Vector Autoregressive Models
(SVAR) peubah ganda atau multivariate SVAR karena memiliki kegunaan untuk
mengetahui adanya interaksi antar faktor-faktor yang berpengaruh atau peubah
ekonomi lainnya terhadap volatilitas harga pangan pokok secara
bersamaan.
11
Gambar 2-2. Kerangka Analisis Penelitian
Kasus yang dihadapi dalam penelitian ini dipandang sebagai model ekonomi
dinamis, sebagai pembatas dari proses stokastik, sehingga dalam perspektif ini
teori ekonomi adalah pemetaan antara suatu vektor guncangan ekonomi wt
berdimensi k dan peubah yt yang teramati berdimensi n dalam bentuk yt = D (wt),
di mana wt mewakili seluruh latar belakang guncangan wt sampai ke masa t.
Guncangan ekonomi yang bterjadi adalah guncangan terhadap unsur dasar teori:
Hipotesis/ Model
Prosedur Pengolahan Data
melalui Analisis Runtut Waktu (Peubah Tunggal dan Ganda):
Identifikasi, Pendugaan, dan Evaluasi Model
Kesimpulan
Faktor-faktor
Berpengaruh terhadap Volatilitas
Harga Pangan Analisis Kualitatif
Pengamatan/
Wawancara/ Diskusi Kelompok
Terbatas
Rumusan Rekomendasi
Kebijakan
Pertanya-an???
Studi Literatur/ Pengamatan/Wawancara/
Diskusi Kelompok
Terbatas
12
preferens, teknologi, informasi, kebijakan pemerintah, dan galat. Peubah teramati
adalah semua peubah yang dapat diakses dan sering mencakup konstanta untuk
mewakili niai tengah proses. Pemetaan D (.) adalah hasil perilaku keseimbangan
dalam model, yang tersirat dari aturan keputusan optimal dan keadaan
kekonsistenan, seperti terhadap kendala sumberdaya dan penyesuaian pasar. Ia
juga dapat ditafsirkan sebagai respons impuls model terhadap guncangan
ekonomi. Biasanya, perhatian dibatasi pada bentuk linear yt = D (L)wt, di mana L
adalah operator lag. Untuk penyederhanaan wt adalah peubah acak yang
menyebar secara normal dan bebas satu sama lain, wt ∼ N (0, Σ).
Analisis ini setidaknya memiliki keunggulan yaitu: Pertama, metode ini
sederhana, dan tidak perlu khawatir untuk membedakan mana peubah endogen,
mana peubah eksogen; Kedua, estimasinya sederhana, dimana metode Ordinary
Least Square (OLS) biasa dapat digunakan pada tiap-tiap persamaan secara
terpisah; Ketiga, hasil perkiraan (forecast) yang diperoleh dengan menggunakan
metode ini dalam banyak kasus lebih bagus dibandingkan dengan hasil yang
didapat dengan menggunakan model persamaan simultan yang kompleks
sekalipun; Keempat, analisis SVAR merupakan alat analisis yang sangat berguna,
baik di dalam memahami adanya hubungan timbal-balik (interrelationship) antara
peubah-peubah ekonomi, maupun di dalam pembentukan model ekonomi
berstruktur; Kelima, peramalan (forecasting), yang merupakan ekstrapolasi nilai
saat ini dan masa depan seluruh peubah dapat dilakukan dengan memanfaatkan
seluruh informasi masa lalu peubah; Keenam, Impulse Response Functions (IRF),
yang berguna untuk melacak respons saat ini dan masa depan dari setiap peubah
akibat perubahan suatu peubah tertentu; dan Ketujuh, ramalan dari Forecast
Error Decomposition of Variance (FEDVs), yang merupakan dugaan pangsa
sumbangan setiap peubah terhadap perubahan suatu peubah tertentu dapat
diperoleh.
2.3.2. Metode Analisis Menjawab Tujuan 1 Penelitian
Tujuan pertama penelitian adalah mengukur tingkat atau derajat ketidak-
mantapan harga bahan pangan terutama beras/gabah, jagung, dan kedelai.
Adapun analisis yang digunakan untuk menjawab tujuan pertama penelitian
adalah analisis runtut waktu peubah tunggal dengan pendekatan model analisis
13
ARIMA atau ARCH/GARCH tergantung dari hasil-hasil pendugaan terbaik, seperti
diuraikan di bawah ini.
Tahap Identifikasi Model
Pada tahap ini dilakukan identifikasi terhadap tiga hal. Pertama, identifikasi
terhadap kestasioneran data. Kedua, identifikasi terhadap unsur musiman yang
mungkin terdapat pada data. Ketiga, identifikasi terhadap pola Autocorrelation
Function (ACF) dan Partial Autocorrelation Function (PACF) untuk menentukan
model tentatif. Uji stasioneritas data dapat dilakukan dengan melakukan uji
Augmented Dickey-Fuller. Data dikatakan sudah stasioner (tidak mengandung unit
root) apabila ADF test statistic lebih besar dari Test critical values. Pada umumnya
data runtut waktu (time series) memiliki unsur kecenderungan (trend) yang
menjadikan kondisi data runtut waktu menjadi tidak stasioner. Sedangkan
penerapan model ARIMA hanya dapat dilakukan pada data yang sudah stasioner.
Oleh karena itu diperlukan pembedaan yang dapat membedakan data yang belum
stasioner dengan data baru yang sudah stasioner. Biasanya hal ini disebut dengan
differencing dengan menghitung selisih antara data masa ke (i+1) dengan masa
sebelumnya (i) dan kemudian diuji kestasionerannya.
Ketelitian dan tingkat ketepatan model ARIMA dapat ditingkatkan dengan
memasukkan unsur musiman yang terkandung dalam data. Pendeteksian
komponen kecenderungan dan musiman yang terkandung dalam data digunakan
dengan menggunakan bantuan (i) plot data, (ii) plot ACF, (iii) plot PACF. Dalam
data runtut waktu yang mengandung unsur musiman dan tidak stasioner maka
langkah untuk uji stasioneritas dilakukan dalam dua tahap, yaitu: (i) mendeteksi
pola-pola (stasioner, AR dan MA) pada unsur musiman dan (ii) mendeteksi pola-
pola (stasioner, AR dan MA) pada unsur bukan-musiman. Untuk menentukannya
dibantu oleh alat dalam plot gambar ACF dan PACF.
Tahap Pendugaan Parameter
Setelah berhasil menetapkan atau mengidentifikasi model sementara, tahap
berikutnya adalah pendugaan parameter model sementara tersebut. Terdapat dua
cara yang mendasar yang dapat digunakan untuk menduga parameter-parameter
tersebut, yaitu: pertama, dengan cara mencoba-coba (trial and error) yaitu
dengan menguji beberapa nilai yang berbeda dan memilih di antaranya dengan
14
syarat nilai yang meminimumkan jumlah kuadrat nilai galat (sum square of galat).
Kedua, perbaikan secara iteratif yaitu dengan memilih nilai taksiran awal dan
kemudian membiarkan program komputer untuk memperhalus penaksiran
tersebut secara iteratif. Penentuan dugaan parameter ARCH-GARCH dilakukan
dengan menggunakan metode kemungkinan maksimum secara iteratif dengan
Algoritma Marquardt. Dengan menggunakan bantuan program Eviews 7 kita
dapat menduga nilai-nilai parameter yang dibutuhkan, sekaligus melakukan proses
uji statistik untuk menentukan nilai parameter secara langsung.
Tahap Evaluasi Model
Setelah diperoleh persamaan untuk model tentatif, dilakukan uji diagnostik
untuk menguji kedekatan model dengan data. Terdapat 6 kriteria dalam evaluasi
model Box-Jenkins (Gaynor, 1994), yaitu: Pertama, proses iterasi harus
convergence. Bila ini dapat dipenuhi maka pada session terdapat pernyataan
relative change in each estimate less than 0.0010. Kedua, galat (forecast error)
random. Untuk memastikan apakah model sudah memenuhi syarat ini dapat
digunakan indikator modified Box-Pierce Statistic. Dari session diketahui bahwa
nilai p-value yang lebih besar dari 0.05 menunjukkan bahwa galat sudah random
atau kita sudah mempunyai adequate model. Ketiga, kondisi invertibilitas
ataupun stasioneritas harus terpenuhi, ditunjukkan oleh koefisien AR atau MA
yang kurang dari 1. Keempat, parameter yang diduga berbeda nyata dari nol,
ditunjukkan oleh nilai p-value yang harus kurang dari 0.05. Kelima, model harus
parsimonius. Keenam, model harus memiliki mean square error (MSE) yang kecil.
Selain itu untuk penerapannya dapat pula dilihat dari nilai AIC dan SIC yang
terkecil. Apabila dalam metode ARIMA masih terdapat unsur heteroskedastisitas,
maka nilai kuadrat galat dari metode ini digunakan lebih lanjut ke dalam metode
ARCH-GARCH.
Tahap Pemilihan Model ARCH-GARCH Terbaik
Kriteria model yang terbaik adalah memiliki ukuran kebaikan model yang
besar dan koefisien yang nyata. Terdapat dua bentuk pendekatan yang dapat
digunakan sebagai ukuran kebaikan model yaitu Akaike Information Criterion
(AIC)
AIC = ln (MSE) + 2*k/n (1)
15
dan atau Schwartz Criterion (SC)
SC = ln (MSE) + [k*log(n)/n] (2)
dimana: MSE adalah Mean Square Error; k adalah jumlah parameter, yaitu
(p+q+1) dan n adalah jumlah data pengamatan.
SC dan AIC adalah dua indikator yang menyediakan ukuran informasi yang
dapat menemukan keseimbangan antara ukuran kebaikan dan bentuk model yang
terlalu hemat. Nilai ini dapat membantu untuk mendapatkan pemilihan model
terbaik. Model yang baik dipilih berdasarkan nilai AIC dan SC yang terkecil dengan
melihat juga taraf nyata koefisien model. Menurut Brooks (2002), model juga
dapat dipilih berdasarkan andaian non-negativity constraints yang mensyaratkan
tidak boleh ada koefisien yang negatif. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi nilai
ragam yang negatif karena nilai yang negatif akan tidak berarti (meaningless).
Tahap Pemeriksaan Model ARCH-GARCH
Pemeriksaan kecukupan model dilakukan untuk menguji andaian, sehingga
model yang diperoleh cukup memadai. Jika model tidak memadai, maka kembali
ke tahap identifikasi untuk mendapatkan model yang lebih baik. Pemeriksaan
model dilakukan dengan menganalisis galat yang telah dibakukan. Pemeriksaan
meliputi: pertama, sebaran galat. Kedua, kebebasan galat yang dilihat dari fungsi
korelasidiri dan kuadrat galat. Ketiga, pengujian pengaruh ARCH-GARCH dari
galat.
Langkah awal yang dilakukan adalah memeriksa kenormalan galat baku
model dengan uji Jarque-Bera (J-B). Uji J-B mengukur perbedaan antara
Skewness (kemenjuluran) dan Kurtosis (keruncingan) data dari sebaran normal,
serta memasukkan ukuran keragaman. Hipotesis yang diuji adalah sebagai
berikut: H0 : Galat baku menyebar normal lawan H1 : Galat baku tidak menyebar
normal. Statistik uji J-B dihitung dengan persamaan berikut :
J-B = (n-k)/6(S 2+1/4(K - 3)2) (3)
dimana: S adalah kemenjuluran; K adalah keruncingan, k adalah jumlah koefisien
penduga, dan n adalah jumlah data pengamatan.
Kriteria penolakan atau penerimaan hipotesis nol, H0 adalah jika J-B > ᵡ2v=2
(α) atau jika P (ᵡ2v=2 >JB) kurang dari α =0.05, maka tolak H0. Artinya data galat
terbakukan tidak menyebar normal. Model ARCH-GARCH menunjukkan kinerja
16
2
yang baik jika dapat menghilangkan korelasidiri data, yaitu bila galat baku berasal
dari proses Autoregression (AR). Langkah selanjutnya adalah memeriksa
koefisien korelasidiri galat baku, dengan uji statistik Ljung-Box. Uji Ljung-Box
(Q*) pada dasarnya adalah pengujian kebebasan galat baku. Untuk data runtut
waktu dengan n pengamatan, statistik uji Ljung-Box dirumuskan sebagai:
k Q*=n (n +2) * ( Σ r1
2(εt)/(n-k)) (4)
i = 1
dimana r1 (εt) adalah korelasidiri contoh pada lag 1 dan k adalah lag maksimum
yang diinginkan. Jika nilai Q* lebih besar dari nilai ᵡ2 (α) dengan derajat bebas k-
p-q atau jika P(ᵡ2(k-p-q) > Q*) lebih kecil dari taraf nyata 0.05 maka model
tersebut dinyatakan tidak layak.
Peramalan Ragam
Setelah memperoleh model yang memadai, model tersebut digunakan
untuk memperkirakan nilai volatilitas yang akan datang (ζt+1) dimana ζt=√ht.
Peramalan ragam untuk periode mendatang dirumuskan sebagai berikut :
ht = ξ + α1ε2t-1 + α 2 ε
2t-2 + ... + α m ε 2
t-m (5)
untuk ARCH (m), atau
ht = к +δ1ht-1+δ2ht-2+...+δrht-r+ α1ε2t-1+ α 2ε
2 t-1+... + α mε2
t-m
(6)
untuk GARCH (r, m), dengan к>0, δr ≥ 0 dan αm ≥ 0 dimana: ht adalah ragam
ke-t; ε adalah galat; к adalah Konstanta; δr dan αm adalah paramater-parameter
2.3.3. Metode Analisis Menjawab Tujuan 2 Penelitian
Tujuan kedua penelitian yaitu merumuskan pilihan kebijakan untuk
memantapkan harga bahan pangan terutama beras/gabah, jagung, dan kedelai
yang dapat menguntungkan dua fihak, produsen dan konsumen dianalisis dengan
pendekatan analisis runtut waktu peubah ganda yaitu analisis SVAR dan teknik
wawancara serta Diskusi Kelompok Terbatas (DKT) atau Focus Group Discussion
(FGD) ke berbagai kalangan responden/pemangku kepentingan yang terkait
dengan topik penelitian.
Untuk mempermudah pengolahan data sengan analisis SVAR dalam
penelitian ini maka data dikelompokkan dulu untuk agar selanjutnya dilakukan
17
perhitungan, kemudian untuk mendapatkan hasil analisis yang lebih sahih dan
konsisten maka semua data diubah kedalam bentuk logaritma natural (ln).
Sebelum masuk ke dalam tahapan analisis model SVAR, maka sebelumnya
dilakukan proses penyiapan data atau Data Generating Process (DGP). Hal ini
penting karena menurut Gujarati (2003), dalam model runtut waktu peubah ganda
kebanyakan data yang digunakan mengandung akar unit sehingga akan membuat
hasil estimasi menjadi palsu (spurious regression). Adapun tahapan dalam DGP
sebelum melakukan analisis dengan pemodelan adalah seperti uraian berikut ini.
Stasioneritas Data: Uji Dickey-Fuller Diperluas atau Augmented Dickey Fuller Test
Data ekonomi runtut waktu pada umumnya bersifat stokhastik atau
memiliki kecenderungan yang tidak stasioner artinya data tersebut mengandung
akar unit (unit root). Suatu data runtut waktu dikatakan stasioner apabila:
Pertama, rataan series konstan untuk setiap periode pengamatan; Kedua,
ragam series konstan untuk setiap periode pengamatan; Ketiga, kovarian dua
series konstan untuk setiap pengamatan. Data yang stasioner dapat juga
dikatakan data yang tidak mengandung unsur kecenderungan. Untuk dapat
menduga suatu model maka langkah utama yang harus dilakukan adalah uji
stasioneritas data atau dikenal dengan nama uji akar unit atau unit root test. Uji
ini penting karena apabila data yang digunakan mengandung akar unit maka akan
sulit menduga suatu model menggunakan data tersebut karena kecenderungan
dari data tersebut bergerak tidak disekitar nilai reratanya (mean). Data yang
bersifat stasioner akan mempunyai kecenderungan untuk mendekati nilai rerata
dan bergerak di sekitar nilai reratanya itu (Gujarati, 2003). Misalkan digunakan
peubah X. Jika peubah tersebut memiliki rerata dan ragam yang konstan dengan
kovarian sama dengan nol, maka nilai peubah tersebut dapat disebut white noise.
Kondisi ini dapat ditulis sebagai berikut:
Xt = ut, (7)
dimana ut terdistribusi normal. Namun jika peubah tersebut ternyata tidak bebas
dan merupakan fungsi dari:
Xt = ρXt-1 + ut, (8)
18
Dimana ut adalah galat white noise yang terdistribusi normal. Keadaan di atas
disebut dengan random walk, dimana nilai peubah Xt ditentukan oleh nilai peubah
itu sebelumnya (Xt-1). Dengan demikian jika nilai 1 maka persamaan (8) tidak
stasioner atau mengandung unit root. Dalam penelitian ini dilakukan uji akar unit
atau biasa dikenal dengan istilah unit root test untuk mengetahui ada atau
tidaknya akar unit (komponen random walk). Untuk mengetahui apakah suatu
data runtut waktu yang kita gunakan stasioner atau tidak maka dapat diuji dengan
menggunakan Augmented Dickey-Fuller (ADF). Metode pengujian Dickey-Fuller
(DF) dapat dilakukan dengan memodifikasi persamaan (8) dengan mengurangkan
Xt-1 di sisi kedua persamaan tersebut sehingga diperoleh (Gujarati, 2003) :
(9)
(10)
maka persamaan di atas dapat ditulis:
(11)
dimana:
δ = (ρ – 1) = perbedaan pertama (first difference).
Maka hipotesis untuk persamaan (11) adalah H0 : = 0 (tidak stasioner atau
mengandung akar unit) dengan hipotesis alternatifnya adalah H1 : < 0
(stasioner). Artinya jika H0 ditolak maka data kita stasioner dan begitu juga
sebaliknya.
Pada persamaan (11) diasumsikan bahwa galat (ut) tidak berkorelasi.
Dalam kasus galatnya berkorelasi maka contoh persamaan yang dapat diuji
stasioneritas melalui Augmented Dickey-Fuller (ADF) dapat ditulis sebagai berikut
(Gujarati, 2003) :
(12)
dimana :
ut = white noise error term
1tY = 1 2( )t tY Y
2tY =
2 3( )t tY Y dan seterusnya.
1( 1) t tX u
1 t t tX X u
1 2 1 1
1
m
t t t t
i
Y t Y i Y u
1 1 1t t t t tX X X X u
19
Shitt
Dalam kasus persamaan seperti ini pengujian hipotesis yang dilakukan masih
sama dengan sebelumnya yaitu H0 : = 0 (tidak stasioner) dengan hipotesis
alternatifnya adalah H1 : < 0 (stasioner). Artinya jika H0 ditolak maka data kita
stasioner dan begitu juga sebaliknya. Uji yang digunakan untuk mengetahui
apakah sebuah data runtut waktu bersifat stasioner adalah dengan melakukan uji
ordinary least squares (OLS) dan melihat nilai t statistik dari estimasi . Adapun
persamaan matematis adalah sebagai berikut :
(13)
Dimana adalah koefisien dugaan dan S adalah simpangan baku dari koefisien
dugaan. Jika nilai t statistik ADF lebih kecil daripada t statistik kritis maka
keputusannya adalah kita menolak H0 atau dengan kata lain data kita bersifat
stasioner dan begitu juga sebaliknya.
Penentuan Lag Optimal
Tahap kedua yang harus dilakukan dalam membentuk model VAR yang
baik setelah melakukan uji akar unit adalah menentukan panjang lag (ordo)
optimal. Penentuan lag optimal dapat diidentifikasi melalui Akaike Info Criterion
(AIC), Schwarz Criterion (SC) dan Hannan-Quinn Criterion (HQ). Untuk dapat
menentukan lag ini maka dalam penelitian ini digunakan kriteria SC yang dapat
dirumuskan sebagai berikut (E.Views 6 User’s Guide) :
(14)
dimana ∑εt2 adalah jumlah galat kuadrat, sedangkan N dan k masing-masing
merupakan jumlah contoh dan jumlah peubah yang beroperasi pada persamaan
tersebut. Nilai lag optimal ditentukan oleh lag yang memiliki nilai kriteria SC yang
terkecil.
Uji Kointegrasi
Uji kointegrasi bertujuan untuk menentukan apakah peubah-peubah yang
tidak stasioner mengalami kointegrasi atau tidak. Konsep kointegrasi dikemukakan
oleh Engle dan Granger (1987) sebagai fenomena dimana kombinasi linear dari
1ˆ ˆ ˆdet t t
t
e eT p
NNkNSC t /)log(/log2
20
dua atau lebih peubah yang tidak stasioner akan menjadi stasioner. Kombinasi
linear ini dikenal dengan istilah persamaan kointegrasi dan dapat ditafsirkan
sebagai hubungan keseimbangan jangka panjang di antara peubah (E.Views 6
User’s Guide). Untuk menguji apakah kombinasi peubah yang tidak stasioner
mengalami kointegrasi dapat diuji dengan menggunakan uji kointegrasi Engle-
Granger, uji kointegrasi Johansen maupun uji kointegrasi regresi Durbin-Watson
(Cointegrating Regression Durbin Watson atau CRDW). Pengujian kointegrasi ini
dilakukan dalam rangka memperoleh hubungan jangka panjang antar peubah
yang telah memenuhi persyaratan dalam proses integrasi yaitu dimana semua
peubah telah stasioner pada derajat yang sama yaitu derajat satu I(1) (Enders,
2004). Salah satu uji kointegrasi yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah
uji kointegrasi Johansen (1995) yang ditunjukkan oleh persamaan matematis
berikut ini :
(15)
Jika t-trace statistics > t-MacKinnon maka persamaan tersebut adalah
terkointegrasi. Dengan demikian, H0 : Persamaan tidak-berkointegrasi dengan
hipotesis alternatifnya, H1 : Persamaan berkointegrasi. Jika t-trace statistics > t-
MacKinnon maka kita tolak H0 atau terima H1 yang artinya terjadi kointegrasi.
Syarat Sementara
Tujuan utama penggunaan model SVAR adalah untuk memperoleh non-
recursive ortogonal dari galat untuk analisis impuls respons. Oleh karena itu model
SVAR memasukkan sejumlah syarat untuk mengidentifikasi komponen struktural
atau ortogonal dari galat. Untuk itu harus dimasukkan sebanyak (n2+n)/2
persamaan untuk syarat jangka pendek (contemporaneous restrictions atau K-
model) (McCoy, 1997; Amisano and Giannini, 1997). Pada penelitian ini jenis
syarat yang digunakan adalah syarat jangka pendek (contemporaneous
restrictions).
Syarat Model
Syarat model atau andaian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
Indonesia negara yang memiliki kategori small-opened economy dan melihat
pengaruh harga impor terhadap harga dalam negeri baik secara langsung maupun
0 1 1
1
p
t t i t t
i
y y y
21
(16)
tidak langsung dan tidak ada contemporaneous feedback dalam model ini.
Struktur dasar model ini dimulai dengan guncangan yang menyebabkan terjadinya
banjir impor diidentifikasi melalui penurunan harga dunia. Dengan adanya gejolak,
maka penurunan harga impor akan terjadi, peningkatan volume impor dan
penurunan harga konsumen serta penurunan harga konsumen akan
mempengaruhi konsumsi dan produksi dan selanjutnya akan menekan tingkat
harga produsen. Rumusan syarat model sementaranya adalah sebagai berikut :
Keterangan :
= unsur matriks B (koefisien yang menyatakan hubungan
contemporaneous antar peubah i dan j);
= unsur matriks e (error term dari guncangan orthogonal (orthogonal shocks) pada peubah i untuk waktu t);
= syarat peubah i terhadap peubah j; = unsur matriks ε (vektor gejolak ortogonal (vector orthogonal
shocks) peubah i untuk waktu t); i, j = adalah indeks peubah (j alias i);
t = periode waktu (bulan).
Peubah:
PO = harga minyak dunia (Rp/liter ); PW = harga dunia masing-masing komoditas (Rp/kg); ER = nilai tukar Rp terhadap US $ (Rp/1 US $);
TM = tarif impor masing-masing komoditas (Rp/kg); PM = harga impor masing-masing komoditas (Rp/kg);
QM = volume impor komoditas (Ribu Ton); PC = harga konsumen masing-masing komoditas (RP/kg); QC = volume konsumsi masing-masing komoditas (Ribu Ton); PG = harga perdagangan besar/grosir masing-masing komoditas (Rp/
kg); PF = harga produsen masing-masing komoditas (Rp/kg);
1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
eitPO
εitPO
b21 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
eitPW
εit
PW b31 b32 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
eit
ER
εitER
b41 b42 b43 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
eitTM = zij εit
TM
b51 b52 b53 b54 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0
eitPM
εit
PM b61 b62 b63 b64 b65 1 0 0 0 0 0 0 0 0
eit
QM
εitQM
b71 b72 b73 b74 b75 b76 1 0 0 0 0 0 0 0
eitPC
εit
PC b81 b82 b83 b84 b85 b86 b87 1 0 0 0 0 0 0
eitQC
εitQC
b91 b92 b93 b94 b95 b96 b97 b98 1 0 0 0 0 0
eitPG
εit
PG b101 b102 b103 b104 b105 b106 b107 b108 b109 1 0 0 0 0
eit
PF
εitPF
b111 b112 b113 b114 b115 b116 b117 b118 b119 b1110 1 0 0 0
eitQF
εitQF
b121 b122 b123 b124 b125 b126 b127 b128 b129 b1210 b1211 1 0 0
eitPI
εit
PI b131 b132 b133 b134 b135 b136 b137 b138 b139 b1310 b1311 b1312 1 0
eit
PE
εitPE
b141 b142 b143 b144 b145 b146 b147 b148 b149 b1410 b1411 b1412 b1413 1
eitCC
εit
CC
B
e
z ε
i
ite
ijzi
it
ijb
22
QF = volume produksi masing-masing komoditas (Ribu Ton) atau
Produktivitas (Ku/ha); PI = harga input pupuk untuk komoditas tanaman (Rp/kg);
PE = harga BBM jenis premium (Rp/liter); CC = Kejadian EL Nino + La Nina;
Pengujian model dilakukan berdasarkan persamaan syarat sementara.
Setelah syarat sementara berjalan dengan baik, selanjutnya dilakukan syarat
berdasarkan persamaan struktural secara simultan sesuai dengan teori ekonomi.
Berdasarkan hasil pendugaan yang diperoleh, kemudian dilakukan pendugaan
kumulatif Impulse Response Function (IRF) dan Decomposition of Forecasting
Error Variance (DFEV).
Innovation Accounting
Analisis ini terdiri dari dua jenis yaitu Impulse Response Function (IRF) dan
Decomposition of Forecasting Error Variance (DFEV). Hasil dari analisis ini
digunakan untuk menjawab sub permasalahan pertama tujuan 2 penelitian ini.
Impulse Response Function (IRF)
Analisis IRF adalah metode yang digunakan untuk menentukan respons
suatu peubah endogen terhadap gejolak peubah tertentu (Amisano dan Gianinni,
1997). IRF juga digunakan untuk melihat pengaruh gejolak satu peubah terhadap
peubah yang lain dan lama (periode) pengaruh tersebut berlangsung.
Decomposition of Forecasting Error Variance
Analisis DFEV atau analisis dekomposisi ragam, digunakan untuk
menghitung dan menganalisis seberapa besar pengaruh gejolak acak (random
shock) dari peubah tertentu terhadap peubah endogen (Amisano dan Gianinni,
1997). DFEV menghasilkan informasi mengenai tingkat pengaruh masing-masing
inovasi acak (random innovation structural disturbance) atau seberapa kuat
komposisi dari peranan peubah tertentu terhadap peubah lainnya dalam model
SVAR.
Derajat Pass-Through
Analisis derajat pass-through digunakan untuk melengkapi jawaban
permasalahan dan tujuan kedua dari penelitian. Metode penghitungan derajat
pass-through pada penelitian ini mengacu pada model Setiyanto (2010), Sato et
23
al. (2005), Hyder dan Shah (2004), Windarti (2004); McCarthy (2000) dimana
Cholesky Decomposition digunakan untuk mengidentifikasi guncangan struktural
dan menghitung derajat pass-through melalui analisis impuls respons. Koefisien
(derajat) pass-through dihitung berdasarkan kumulatif impuls respons dari
guncangan perubahan faktor-faktor yang mempengaruhi volatilitas harga eceran
terhadap harga eceran dan harga produsen dibagi dengan kumulatif guncangan
faktor-faktor yang mempengaruhi volatilitas harga eceran terhadap harga eceran
dan harga produsen itu sendiri.
n
Σ ψnti,j
i, j=1
derajat pass through = -------------------- (17) n
Σ ψntj,j
j=1
n
Σ ψnti,j = nilai kumulatif impuls respons harga konsumen
i=1 atau harga produsen terhadap guncangan faktor-faktor yang mempengaruhi volatilitas harga konsumen atau harga produsen dari horizon
pertama sampai ke-n n
Σ ψntj,j = nilai kumulatif impuls respons faktor-faktor
j=1 yang mempengaruhi volatilitas harga kosumen atau
harga produsen terhadap guncangan faktor-faktor yang mempengaruhi volatilitas harga kosumen atau harga produsen itu sendiri dari horizon pertama
sampai ke-n
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dan primer.
Data sekunder merupakan data runtut waktu bulanan untuk masa Januari 1993
hingga Desember 2013, yang terdiri dari data produksi, konsumsi, impor, ekspor,
harga konsumen/eceran, harga impor, harga tingkat petani, nilai tukar terhadap
mata uang asing, perkembangan iklim dan curah hujan, kejadian bencana, harga
dunia/internasional komoditas bersangkutan dan harga minyak bumi/energi,
volume pasokan pada pasar induk dan berbagai data dan informasi lainnya serta
24
kebijakan pemerintah yang relevan. Selain data dan informasi tersebut di atas,
analisis dipertajam dengan hasil wawancara dan DKT, serta studi literatur dan
hasil penelitian terkait yang diperoleh dari berbagai sumber (Tabel 2-1).
Berdasarkan Tabel 2-1, data dan informasi bersumber dari Badan Pusat
Statistik (BPS), Bank Indonesia (BI), Badan Bimas dan Ketahanan Pangan (BPKP)
dan Direktorat Jenderal Bina Produksi Tanaman Pangan (Ditjen TP), Kementerian
Perdagangan (KEMDAG), Kementerian Keuangan (DEPKEU), World Bank (WB),
International Monetary Fund (IMF), Food and Agriculture Organization (FAO),
Tabel 2-1. Data dan Sumber Data Penelitian
Data dan Informasi
Sifat Data
Sumber Data
Teknik Pengumpulam Data
Harga Internasional (Dunia) Minyak Bumi
Sekunder WB, IMF Copy Dokumen/Internet Browsing
Harga Dunia Beras, Jagung, Kedelai
Sekunder WB , IMF, FAO, USDA
Copy Dokumen/Internet Browsing
Nilai Tukar atau Kurs Rupiah Terhadap US $
Sekunder BI Copy Dokumen/Internet Browsing
Tarif Impor Beras, Jagung,
Kedelai
Sekunder Kemenku Copy Dokumen/Internet
Browsing
Volume Impor Beras, Jagung,
Kedelai
Sekunder BPS, Kemendag,
BULOG
Copy Dokumen/Internet
Browsing
Harga Perdagangan Besar Impor
Beras, Jagung, Kedelai
Sekunder BPS, BI, Kemendag,
BULOG
Copy Dokumen/Internet
Browsing
Harga Konsumen/Eceran Beras, Jagung, Kedelai
Sekunder BPS, BI, Kemendag, BULOG
Copy Dokumen/Internet Browsing
Harga Perdagangan Besar Konsumen Beras, Jagung, Kedelai
Sekunder BPS, BI, Kemendag, BULOG
Copy Dokumen/Internet Browsing
Harga Produsen Beras, Jagung,
Kedelai
Sekunder BPS, BI, Kemendag,
BULOG
Copy Dokumen/Internet
Browsing
Konsumsi Beras, Jagung, Kedelai Sekunder BPS, BI, Kemendag,
BULOG
Copy Dokumen/Internet
Browsing
Produksi Beras, Jagung, Kedelai Sekunder BPS, Ditjen TP Copy Dokumen/Internet
Browsing
Data Iklim dan SOI Sekunder BPS, BMG, BOM Copy Dokumen/Internet Browsing
Persepsi Faktor Yang Mempengaruhi Volatilitas
Primer Responden Survei-Wawancara
Hasil-hasil penelitian sebelumnya Sekunder Berbagai sumber kepustakaan dan
publikasi ilmiah
Copy Dokumen//Internet Browsing
Produksi, produktivitas, areal,
pemasaran, pengolahan dan sosial ekonomi komoditas pangan
Primer/sekunder Pemangku
kepentingan di komoditas beras, jagung dan kedelai
Diskusi Kelompok
Terbatas/DKT (Focus Group Discussion/FGD)/wawancara
United State Departement of Agriculture (USDA), Bearu of Meteorologi (BOM),
Government of Australia, Badan Urusan Logistik (BULOG), dan data primer
dikumpulkan dari Diskusi Kelompok Terbatas/DKT (Focus Group
25
Discussion/FGD)/wawancara dengan responden (nara sumber dan para pejabat
instansi teknis di pusat dan daerah, pengelola pasar, pedagang, petani dan
kelompok tani) untuk mengumpulkan data dan informasi mengenai persepsi
mereka terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi volatilitas harga konsumen
dan produsen atau petani.
26
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. Tingkat atau Derajat Ketidak-mantapan (Volatilitas) Harga Bahan Pangan
Identifikasi dan spesifikasi model untuk masing-masing komoditas
dilaksanakan dengan melakukan serangkaian metodologi Box-Jenkins mulai dari
pengujian kestasioneran data harga, penentuan model tentatif ARIMA hingga
pendugaan parameter dan pemilihan model ARCH-GARCH terbaik. Uji Augmented
Dickey-Fuller (ADF) digunakan untuk melihat kestasioneran data harga produsen
bulanan komoditas pangan pokok. Hal ini dapat dilihat dari nilai ADF test statistic
yang lebih besar dari critical value (nilai kritis) yang menunjukkan bahwa data
harga telah stasioner. Pada umumnya data runtut waktu memiliki unsur
kecenderungan yang menyebabkannya tidak stasioner. Sedangkan penerapan
model ARIMA hanya dapat dilakukan pada data yang sudah stasioner. Oleh karena
itu diperlukan pembedaan yang dapat membedakan data yang belum stasioner
dengan data baru yang sudah stasioner, dan biasanya hal ini disebut dengan
differencing, yakni menguji kestasioneran data beda pertama (selisih antara data
masa ke-(i +1) dengan masa sebelumnya (i). Kalau data beda pertama juga
belum stasioner, maka pengujian dilanjutkan ke data beda kedua (selisih antara
data beda pertama masa ke-(j +1) dengan masa sebelumnya (j) dan seterusnya.
Setelah data stasioner, prosedur Box-Jenkins, sehingga pendugaan parameter dan
pemilihan model ARCH-GARCH terbaik dapat dilakukan.
3.1.1. Uji Korelasidiri
Hal yang perlu dilakukan dalam tahap perumusan model adalah dengan
melakukan penelusuran pengaruh ARCH dengan uji korelasidiri dan uji ARCH.
Pengujian pengaruh ARCH dapat dilakukan dengan cara menguji nilai korelasidiri
pada kuadrat data harga bulanan. Fungsi korelasidiri kuadrat data harga
digunakan untuk melacak kesintasan pengaruh ARCH. Jika pada kuadrat data
harga terdapat korelasidiri, maka hal ini menunjukkan bahwa terdapat unsur galat
ARCH pada data harga (Enders, 2004).
Berdasarkan Tabel 3-1 dapat diketahui bahwa terdapat korelasidiri pada
harga produsen dan harga konsumen kuadrat bulanan komoditas pangan pokok
27
Tabel 3-1. Hasil Analisis Uji Korelasidiri Data Harga Produsen dan Harga
Konsumen Kuadrat Bulanan Komoditas Padi, Jagung dan Kedelai Januari 1993 – Desember 2013 (dalam Rp/kg, Harga Konstan 2005
= 100)
No. Komoditas
Harga Produsen Harga Konsumen
Nyata pada 18 Lag
Pertama
Hasil Uji
Korelasidiri
Nyata pada 18 Lag
Pertama Hasil Uji Korelasidiri
1 Beras Nyata Ada Nyata Ada
2 Jagung Nyata Ada Nyata Ada
3 Kedelai Nyata Ada Nyata Ada
yang ditandai dengan nilai korelasidiri harga kuadrat yang nyata secara statistik
pada 18 lag pertama, kecuali pada harga produsen minyak goreng sawit Sulawesi
Selatan maupun Indonesia. Hal ini menunjukkan adanya pengaruh ARCH atau
galat ARCH.
3.1.2. Uji Stasioneritas Data
Uji Dickey-Fuller Diperluas atau Augmented Dickey-Fuller (ADF) test
digunakan untuk melihat kestasioneran data harga produsen dan konsumen
bulanan komoditas pangan pokok (Tabel 3-2). Hal ini dapat dilihat dari nilai
Tabel 3-2. Hasil Uji Stasioneritas Data Harga Produsen dan Konsumen Beras, Jagung,
dan Kedelai yang Diteliti Periode Januari 1993 – Desember 2013
No. Komoditas Harga Produsen Harga Konsumen
Nilai Uji Stat ADF Data Nilai Uji Stat ADF Data
1 Beras -4.87 Nilai asli -11.87 Beda pertama
2 Jagung -3.84 Nilai asli -3.05 Nilai asli
3 Kedelai -3.34 Nilai asli -2.76 Nilai asli
Augmented Dickey- Fulle (ADF) test statistic yang lebih besar dari critical value
(nilai kritis) yang menunjukkan bahwa data harga telah stasioner. Data dinilai
stasioner apabila memiliki nilai mutlak ADF lebih besar dari nilai kritisnya pada
tingkat kepercayaan hingga 10 persen. Berdasarkan Tabel 3-2, diketahui bahwa
secara umum data stasioner baik pada data nilai asli maupun data dengan proses
differencing satu kali, sehingga dengan begitu dapat disimpulkan bahwa data
harga produsen dan konsumen pangan sudah stasioner pada nilai asli maupun
dengan proses differencing pertama.
3.1.3. Hasil Pendugaan Model Tentatif ARIMA
Penentuan model tentatif ARIMA didasarkan pada informasi yang terdapat
dari sebaran nilai korelasidiri (ACF atau PACF) untuk menduga parameter AR dan
28
MA yang akan digunakan dalam model tentatif, pada data yang sudah stasioner.
Pengujian model dugaan terbaik sebagai model tentatif ARIMA didasarkan atas
kriteria nilai Schwartz Criterion (SC) model yang terkecil, nilai parameter yang
signifikan dan nilai R2 yang relatif lebih besar. Berdasarkan proses pengujian,
diperoleh model tentatif ARIMA seperti terinci pada Tabel 3-3.
Tabel 3-3. Hasil Pendugaan Model ARIMA Terbaik Harga Produsen dan Konsumen Padi, Jagung dan Kedelai Periode Januari 1993 – Desember
2013
No. Komoditas Harga Produsen Harga Konsumen
1 Beras ARIMA (1,0,1) ARIMA(2,1,1)
2 Jagung ARIMA (1,0,0) ARIMA(2,0,1)
3 Kedelai ARIMA (1,0,1) ARIMA(2,0,1)
Setelah model tentatif ARIMA diperoleh, selanjutnya dilakukan uji
kenormalan sebaran galat Jarque-Bera (Tabel 3-4); uji kebebasan galat yang
dilihat dari fungsi korelasidiri dan kuadrat galat Uji Ljung-Box (Tabel 3-5) dan
pengujian pengaruh ARCH-GARCH dari galat (Tabel 3-6).
Tabel 3-4. Hasil Uji Kenormalan Model ARIMA Terbaik Harga Produsen dan
Konsumen Padi, Jagung dan Kedelai Periode Januari 1993 – Desember 2013
No. Komoditas Harga Produsen Harga Konsumen
Jarque Bera Peluang Kenormalan Jarque Bera Peluang Kenormalan
1 Beras 48.39 0.0000 Tidak 1673.08 0.0000 Tidak
2 Jagung 114.87 0.0000 Tidak 72.59 0.0000 Tidak
3 Kedelai 127.99 0.0000 Tidak 81.60 0.0000 Tidak
Dari Tabel 3-4, dapat diketahui bahwa hanya model ARIMA harga produsen
daging ayam ras Indonesia dan harga produsen telur ayam ras yang memenuhi
kriteria menyebar normal. Sekalipun tidak menyebar normal, Brooks (2002)
berpendapat bahwa pendugaan parameter akan tetap konsisten apabila
persamaan rerata dan persamaan ragam dirumuskan dengan benar. Tahap
berikutnya adalah memeriksa koefisien Autocorrelation Function (ACF) galat
terbakukan, dengan Uji Ljung-Box. Harapannya adalah bahwa galat terbakukan
tersebut saling bebas dan sudah tidak terdapat lagi heteroskedastisitas (Tabel 3-
5). Berdasarkan hasil Uji Ljung-Box, diketahui bahwa pada taraf nyata 5 persen,
melalui Uji Ljung-Box terlihat bahwa ACF galat kuadrat pada 18 lag pertama
sudah tidak nyata, artinya sudah tidak terdapat korelasidiri yang menimbulkan
pengaruh ARCH. Berdasarkan hasil uji Langrange Multiplier (LM) F-statistik
29
(Tabel 3-6), diketahui model tidak mengalami serial korelasi yang menimbulkan
pengaruh ARCH.
Tabel 3-5. Hasil Uji Ljung-Box Model ARIMA Terbaik Harga Produsen dan Konsumen Padi, Jagung dan Kedelai Periode Januari 1993 – Desember
2013
No.
Komoditas
Harga Produsen Harga Konsumen Taraf nyata 5 % pada
18 Lag Pertama Korelasidiri
Taraf nyata 5 5 % pada
18 Lag Pertama Korelasidiri
1 Beras Tidak Signifikan Tidak Tidak Signifikan Tidak
2 Jagung Tidak Signifikan Tidak Signifikan Ada
3 Kedelai Tidak Signifikan Tidak Tidak Signifikan Tidak
Tabel 3-6. Hasil Uji Langrange Multiplier Model ARIMA Terbaik Harga Produsen
dan Konsumen Padi, Jagung dan Kedelai Periode Januari 1993 – Desember 2013
No. Komoditas
Harga Produsen Harga Produsen
LM F-Statistik Peluang Serial Korelasi LM F-Statistik Peluang Serial Korelasi
1 Beras 0.1902 0.9434 Tidak Ada 0.3606 0.8364 Tidak Ada
2 Jagung 0.8695 0.4206 Tidak Ada 0.6279 0.6787 Tidak Ada
3 Kedelai 1.3840 0.2314 Tidak Ada 0.0085 0.9999 Tidak Ada
Tabel 3-7 menunjukkan hasil adanya ARCH pengaruh pada hasil pendugaan
model ARIMA terbaik, dimana secara umum terdapat ARCH pengaruh pada model
Tabel 3-7. Hasil Uji Pengaruh ARCH Pada Hasil Pendugaan Model ARIMA Terbaik Harga Produsen dan Konsumen Padi, Jagung dan Kedelai Periode
Januari 1993 – Desember 2013
No. Komoditas Harga Produsen Harga Konsumen
F-Statistik Peluang Pengaruh ARCH F-Statistik Peluang Pengaruh ARCH
1 Beras 13.6381 0.0003 Ada 22.1537 0.0000 Ada
2 Jagung 55.7678 0.0000 Ada 26.0204 0.0000 Ada
3 Kedelai 10.2114 0.0000 Ada 28.1703 0.0000 Ada
ARIMA yang dihasilkan. Mengacu pada hasil-hasil uji yang telah dilakukan,
model volatilitas mengarah pada penggunaan model ARCH-GARCH. Hal ini sejalan
dengan beberapa sumber penelitian seperti Firdaus (2006), Aji (2009) dan Wihono
(2009), yang menyatakan penggunaan model ARCH-GARCH merupakan pilihan
yang cukup tepat untuk memodelkan nilai volatilitas harga pangan pokok. Oleh
karena itu, dilakukan pemodelan ARCH-GARCH terbaik dan dihitung tingkat
volatilitas untuk harga produsen dan harga konsumen.
3.1.4. Hasil Pendugaan Model Terbaik
Pemilihan model terbaik didasarkan atas kriteria nilai Schwartz Criterion
(SC) model yang terkecil dan nilai parameter yang signifikan. Selanjutnya,
30
seperti prosedur pengujian model tentatif ARIMA, pada model ARCH-GARCH
dilakukan proses pengujian sebaran galat Jarque-Bera; uji kebebasan galat yang
dilihat dari fungsi korelasidiri dan kuadrat galat Uji Ljung-Box; dan pengujian
pengaruh ARCH-GARCH dari galat. Berdasarkan hasil-hasil uji tersebut
diperloleh model terbaik volatilitas harga produsen dengan nilai dugaan
parameternya pada Tabel 3-8.
Tabel 3-8. Hasil Pemilihan dan Pendugaan Nilai Parameter Model ARCH-GARCH
Terbaik Volatilitas Harga Produsen dan Konsumen Komoditas Padi,
Jagung dan Kedelai Periode Januari 1993 – Desember 2013
No Komoditas Model Terbaik Parameter
A Harga Produsen
Konstanta E2t-1 E2
t-2 ht-1 ht-2
1 Beras GARCH (1,1) 776.65 0.3988
0.5919 2 Jagung GARCH (0,1) 73073.01
-0.9609
3 Kedelai ARCH (3,3) 458369 0.0079 0.0233 -0.9436 -0.9540
B Harga Konsumen 1 Beras GARCH(0,2) 171647.10
-0.9407 -0.9548
2 Jagung GARCH(0,1) 37402.89
-0.9781
3 Kedelai GARCH(0,1) 400176.30
-0.9651
3.1.5. Hasil Perhitungan Tingkat Volatilitas
Berdasarkan Tabel 3-8, selanjutnya dilakukan perhitungan tingkat volatilitas
harga produsen dan harga konsumen seperti disajikan pada Tabel 3-9.
Tabel 3-9. Hasil Pendugaan Model ARCH-GARCH Terbaik dan Ramalan Tingkat
Volatilitas Harga Produsen dan Konsumen Padi, Jagung dan Kedelai
Periode Januari 1993 – Desember 2013 (Harga Riil 2005 = 100)
No Komoditas
Harga Produsen Harga Konsumen
Model Terbaik Nilai
Volatilitas %
Volatilitas Model Terbaik Nilai
Volatilitas %
Volatilitas
1 Beras GARCH (1,1) 291.68 15.46 GARCH(0,2) 414.29 10.97
2 Jagung GARCH (0,1) 270.20 16.90 GARCH(0,1) 193.53 6.80
3 Kedelai ARCH (2,2) 677.00 13.71 GARCH(0,1) 632.69 11.81
Berdasarkan Tabel 3-9, pada komoditas beras tingkat volatilitas harga
produsen (Gambar 3-1 ) lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat volatilitas harga
konsumen (Gambar 3-2). Berbeda dengan komoditas beras, volatilitas harga
produsen jagung (Gambar 3-3) lebih tinggi jika dibandingkan volatilitas harga
konsumen (Gambar 3-4), sebaliknya pada komoditas kedelai, harga konsumen
31
Gambar 3-1. Volatilitas Harga Produsen Komoditas Padi Januari 1993 - Desember
2013
Gambar 3-2. Volatilitas Harga Konsumen Komoditas Padi Januari 1993 - Desember 2013
Gambar 3-3. Volatilitas Harga Produsen Komoditas Jagung Januari 1993 - Desember 2013
(Gambar 3-6) lebih volatil jika dibandingkan dengan harga produsen (Gambar 3-
5). Sementara itu, pada harga konsumen komoditas yang memiliki tingkat
volatilitas harga konsumen paling rendah adalah harga konsumen jagung.
32
Gambar 3-4. Volatilitas Harga KonsumenKomoditas Jagung Januari 1993 -
Desember 2013
Gambar 3-5. Volatilitas Harga Produsen Komoditas Kedelai Januari 1993 -
Desember 2013
Gambar 3-6. Volatilitas Harga Konsumen Komoditas Kedelai Januari 1993 -
Desember 2013
33
3.2. Pilihan Kebijakan untuk Memantapkan Harga Bahan Pangan
3.2.1. Analisis Faktor-faktor Mempengaruhi Volatilitas Harga Produsen dan Konsumen Berdasarkan Analisis Runtut Waktu Peubah Ganda (SVAR)
Dari penelaahan literatur, hasil-hasil penelitian dan pengalaman para
peneliti, para peneliti menghipotesakan bahwa volatilitas harga produsen dan
konsumen, terutama dipengaruhi 14 (empat belas) faktor-faktor yaitu: (1) harga
minyak dunia, (2) harga dunia masing-masing komoditas, (3) nilai tukar Rp
terhadap US $, (4) tarif impor masing-masing komoditas, (5) harga impor masing-
masing komoditas, (6) volume impor komoditas, (7) harga konsumen masing-
masing komoditas, (8) volume konsumsi masing-masing komoditas, (9) harga
perdagangan besar/grosir masing-masing komoditas, (10) harga produsen
masing-masing komoditas, (11) volume produksi masing-masing komoditas atau
produktivitas, (12) harga input pupuk untuk komoditas tanaman, (13) harga BBM
jenis premium, (14) Kejadian EL Nino + La Nina. Dengan berbekal informasi dan
data ini, maka selanjutnya para peneliti melakukan analisis lebih mendalam yang
mencakup delapan tahapan yaitu: Pertama, melakukan uji stasioneritas data
dengan Augmented Dickey Fuller Test; Kedua, menentukan panjang lag optimal
dengan kriteria SC; Ketiga, melakukan uji kointegrasi Johansen; Keempat,
menganalisis hubungan saling-pengaruh (causality) Granger (peubah-dua dan
peubah-ganda atau VAR Granger) untuk menilai apakah peubah yang dimasukkan
ke dalam SVAR dapat menjadi peubah penjelas yang baik dan juga penduga yang
baik; Kelima, melakukan pendugaan parameter model SVAR berdasarkan
sejumlah syarat untuk mengidentifikasi komponen struktural atau ortogonal dari
error term; Keenam, melakukan analisis simulasi Decomposition of Forecasting
Error Variance (DFEV) atau analisis dekomposisi ragam, untuk menghitung dan
menganalisis seberapa besar kontribusi pengaruh gejolak acak (random shock)
dari peubah tertentu terhadap peubah yang dimasukkan dalam model (peubah
endogen). DFEV memberikan informasi peran penting masing-masing inovasi acak
(random innovation structural disturbance) atau seberapa kuat komposisi dari
peranan perubahan peubah tertentu terhadap perubahan peubah lainnya dalam
model SVAR; Ketujuh, melakukan analisis Impulse Response Function (IRF) yang
34
digunakan untuk menentukan respons suatu peubah endogen terhadap gejolak
peubah tertentu lainnya. IRF juga digunakan untuk melihat pengaruh gejolak satu
peubah terhadap peubah yang lain dan lama (periode) pengaruh tersebut
berlangsung. Selanjutnya tahap terakhir atau Kedelapan adalah melakukan
analisis derajat pass-through yang digunakan mengukur koefisien pengaruh
guncangan satu peubah terhadap peubah lainnya.
3.2.1.1. Hasil Uji Stasioneritas Data
Hasil uji stasioneritas data dengan menggunakan Uji ADF berdasarkan
Schwarz Information Criterion (SC) pada lag tertinggi 14, disajikan pada Tabel 3-
10. Dalam uji ini, jika nilai t-ADF lebih kecil daripada nilai kritis MacKinnon (1996)
Tabel 3-10. Hasil Uji Stasioneritas Data Model SVAR Periode Januari 1993 –
Desember 2013
No Keterangan t-Stat Peluang Data
1 PO-Minyak Dunia -11.34 0.0000 First Diff
2 ER-Nilai Tukar -11.85 0.0000 First Diff
3 PW – Beras -12.15 0.0000 First Diff
4 PW-Jagung -7.29 0.0000 First Diff
5 PW-Kedelai -12.98 0.0000 First Diff
6 TM-Beras -2.95 0.0419 Level
7 TM-Jagung -2.61 0.0921 Level
8 PM-Beras -13.54 0.0000 First Diff
9 PM-Jagung -3.22 0.0202 Level
10 PM-Kedelai -2.76 0.0657 Level
11 QM-Beras -4.8 0.0001 Level
12 QM-Jagung -5.96 0.0000 Level
13 QM-Kedelai -3.05 0.0322 Level
14 QM-Gula -6.83 0.0000 Level
15 PC-Beras -11.67 0.0000 First Diff
16 PC-Jagung -10.23 0.0000 First Diff
17 PC-Kedelai -14.15 0.0000 First Diff
18 QC-Beras -9.67 0.0000 First Diff
19 QC-Jagung -12.45 0.0000 First Diff
20 QC-Kedelai -8.53 0.0000 First Diff
21 PG-Beras -11.45 0.0000 First Diff
22 PG-Jagung -3.68 0.0051 Level
23 PG-Kedelai -2.34 0.4121 Level
24 PF-Beras -11.64 0.0000 First Diff
25 PF-Jagung -2.77 0.0649 Level
26 PF-Kedelai -10.83 0.0000 First Diff
27 QF-Beras -2.72 0.0721 Level
28 QF-Jagung -11.25 0.0000 First Diff
29 QF-Kedelai -2.92 0.0447 Level
30 PI-Pupuk -12.76 0.0000 First Diff
31 PE-BBM -13.41 0.0000 First Diff
32 CC-Iklim -2.88 0.0490 Level
Keterangan : *Stasioner pada MacKinnon (1996) one-sided p-values test with critical values level 1 percent, 5 percent
and 10 percent 1PO= Harga Minyak Dunia; PW = Harga Komoditas Dunia; TM = Tarif Impor; TX= Tarif atau Pajak
Ekspor; PM = Harga Impor; PX = Harga Ekspor, QM = Volume Impor; QX=Volume Ekspor; PC = Harga Konsumen, QC = Volume Konsumsi; PG = Harga Grosir; PF = Harga Produsen, PI = Harga Input, PE =
Harga BBM; PD= Harga DOC dan CC = Indeks Perubahan Iklim.
35
maka dapat disimpulkan data yang gunakan tidak mengandung akar unit
(stasioner). Pengujian kestasioneran data dilakukan pada tingkat nilai asli dan
beda pertama (first difference) pada taraf nyata maksimum 10 persen.
Berdasarkan hasil pengujian tersebut dapat disimpulkan bahwa data masing-
masing komoditas adalah stasioner di tingkat beda pertama, karena nilai t-ADF
banyak peubah lebih besar daripada nilai kritis MacKinnon. Hal ini berarti bahwa
data yang digunakan pada penelitian ini terintegrasi pada ordo 1 atau dapat
disingkat menjadi I(1).
3.2.1.2. Hasil Uji Penentuan Selang Optimal
Penggunaan selang (lag) optimal sangat penting dalam pendekatan VAR
karena lag dari peubah endogen dalam sistem persamaan akan digunakan sebagai
peubah eksogen. Pengujian panjang lag optimal ini sangat berguna untuk
menghilangkan masalah korelasidiri dalam sistem VAR. Sehingga dengan lag yang
optimal, diharapkan masalah korelasidiri tidak lagi muncul. Adapun kriteria
penentuan lag optimal ditentukan berdasarkan lag terpendek dan kriteria SC
terkecil. Hasil pengujian penentuan lag optimal disajikan pada Tabel 3-11.
Berdasarkan hasil analisis tersebut diperoleh kesimpulan bahwa data penelitian
yang diolah dengan model SVAR optimal pada lag 1, sehingga pada analisis
selanjutnya lag 1 itu digunakan.
3.2.1.3. Hasil Uji Kemantapan Vector Auto Regression (VAR)
Kemantapan VAR perlu diuji karena jika hasil dugaan SVAR tidak mantap,
maka analisis IRF dan DFEV menjadi tidak sahih. Untuk menguji kemantapan
dugaan SVAR yang telah dibentuk, maka dilakukan VAR Stability Condition Check
berupa Roots of Characteristic Polynomial. Berdasarkan hasil pengujian tersebut,
Tabel 3-11. Hasil Uji Lag Terpanjang, Panjang Lag Optimal dan Kointegrasi
Model SVAR Padi, Jagung dan Kedelai Periode Januari 1993 –
Desember 2013.
No Keterangan
Uji Lag Terpanjang Lag Optimal
Kriteria SC
Jumlah Persamaan Terkointegrasi Uji
Trace-Test 0.05 Modulus Lag
1 SVAR-Beras 0.1117- 0.9937 8 1 11
2 SVAR-Jagung 0.0618- 0.9938 9 1 10
3 SVAR-Kedelai 0.0140- 0.9909 10 1 12
36
suatu sistem VAR dikatakan mantap jika seluruh akar atau roots-nya memiliki
modulus lebih kecil dari satu. Berdasarkan uji kemantapan VAR yang ditunjukkan
oleh Tabel 3-11, dapat disimpulkan bahwa dugaan SVAR yang akan digunakan
untuk analisis IRF dan DFEV adalah mantap.
3.2.1.4. Hasil Uji Kointegrasi
Konsep kointegrasi dikemukakan oleh Engle dan Granger (1987) sebagai
fenomena dimana kombinasi linear dari dua atau lebih peubah yang tidak
stasioner akan menjadi stasioner. Kombinasi linear ini dikenal dengan istilah
persamaan kointegrasi dan dapat ditafsirkan sebagai hubungan keseimbangan
jangka panjang di antara peubah (Verbeek, 2000). Metode pengujian kointegrasi
didasarkan pada metode Johansen yang dilakukan dalam rangka memperoleh
hubungan jangka panjang antarpeubah yang telah memenuhi persyaratan dalam
proses integrasi yaitu dimana semua peubah telah stasioner pada derajat yang
sama yaitu, I(1). Informasi jangka panjang diperoleh dengan menentukan
terlebih dahulu pangkat atau rank kointegrasi untuk mengetahui dari keseluruhan
sistem yang ada berapa sistem persamaan yang dapat menerangkan. Kriteria
pengujian kointegrasi pada penelitian ini didasarkan pada trace statistics. Apabila
nilai trace statistics lebih besar daripada nilai kritis 5 persen maka kita menerima
hipotesis alternatif yang menyatakan jumlah pangkat kointegrasi. Berdasarkan
Tabel 3-11, dapat disimpulkan untuk masing-masing komoditas terdapat masing-
masing 10 pangkat kointegrasi pada tingkat kritis 5 persen pada komoditas
jagung; 11 pangkat kointegrasi pada tingkat kritis 5 persen pada komoditas beras
dan 12 untuk kedelai.
3.2.1.5. Hasil Uji Saling-pengaruh Peubah-dua Granger atau Bivariate Granger Causality Tests dan Peubah-ganda
Granger atau Multivariate Granger Casuality/Block Exogeneity Wald Tests
Hasil analisis analisis Uji Saling-pengaruh Peubah-dua Granger atau
Bivariate Granger Causality Tests menunjukkan bahwa terdapat 79 hubungan
yang nyata secara statistik dan Ho (Null Hyphothesis) ditolak untuk komoditas
beras; 83 hubungan yang nyata secara statistik dan Ho ditolak untuk komoditas
jagung; 76 hubungan yang nyata secara statistik dan Ho ditolak untuk komoditas
kedelai. Berdasarkan hasil analisis ini dapat disimpulkan bahwa peubah-peubah
37
yang dianalisis dapat digunakan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang
mempengaruhi volatilitas harga produsen dan konsumen dari komoditas yang
diteliti. Sementara itu, hasil analisis block exogeneity wald tests yang digunakan
untuk mengidentifikasi endogenitas peubah dalam analisis model SVAR,
menunjukkan bahwa peubah-peubah yang digunakan sebagai faktor-faktor yang
mempengaruhi volatilitas harga produsen maupun konsumen dapat dipakai
sebagai penduga yang baik dalam menjelaskan volatilitas harga yang terjadi baik
harga konsumen maupun harga produsen.
3.2.1.6. Tingkat Pengaruh Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi
Volatilitas Harga Produsen dan Harga Konsumen
Tingkat pengaruh faktor-faktor yang mempengaruhi volatilitas harga
diketahui dari hasil akhir analisis model SVAR. Berdasarkan hasil pendugaan
model SVAR, selanjutnya dilakukan analisis simulasi Decomposition of Forecasting
Error Variance (DFEV) atau analisis dekomposisi ragam, analisis Impulse Response
Function (IRF) dan selanjutnya disebut analisis impuls respons, dan analisis pass-
through effect atau pengaruh perubahan dari faktor-faktor yang mempengaruhi
volatilitas harga produsen dan harga konsumen. Jangka waktu analisis adalah
selama 60 periode atau 60 bulan (5 tahun) ke depan. Analisis simulasi
dekomposisi ragam digunakan untuk mengetahui sumbangan pengaruh
guncangan (shock) masing-masing faktor yang mempengaruhi volatilitas
terhadap ragam perubahan harga produsen dan harga konsumen, yang
bermanfaat untuk mengetahui peranan perubahan masing-masing peubah dalam
menjelaskan gejolak yang menimbulkan volatilitas harga produsen dan harga
konsumen masing-masing komoditas. Nilai minimum menunjukkan pengaruh
guncangan terendah dan nilai maksimum menunjukkan hal yang sebaliknya. Nilai
yang tidak berubah menunjukkan nilai dimana guncangan sudah tidak memiliki
pangsa pengaruh lagi terhadap ragam perubahan dan nilai rerata merupakan
rerata sumbangan pengaruh terhadap ragam perubahan selama 60 bulan.
Analisis impuls respons digunakan untuk menentukan respons seketika
suatu peubah endogen terhadap guncangan peubah tertentu yang mempengaruhi
volatilitas harga baik harga produsen maupun harga konsumen dan lama
pengaruh tersebut berlangsung. Nilai positif menunjukkan respons positif atau
38
perubahan yang searah, sedangkan nilai negatif menunjukkan respons negatif
atau perubahan yang sebaliknya. Nilai minimum respons menunjukkan respons
pengaruh terendah dan nilai maksimum respons menunjukkan nilai respons
tertinggi. Nilai maksimum respons positif merupakan pengaruh guncangan
tertinggi apabila nilai respons positif dan guncangan terendah apabila nilai respons
negatif. Nilai tetap menunjukkan nilai dimana guncangan sudah tidak memiliki
respons pengaruh terhadap perubahan; dan nilai rerata merupakan rerata respons
pengaruh terhadap perubahan selama 60 bulan. Bulan awal (mulai) menunjukkan
saat guncangan faktor-faktor mulai menimbulkan respons pengaruh terhadap
volatilitas harga. Nilai rerata merupakan rerata respons selama 60 bulan. Bulan
minimum menunjukkan saat pengaruh terendah apabila nilai respons positif
(tertinggi apabila nilai respons negatif) terjadi dan bulan maksimum menunjukkan
saat pengaruh tertinggi apabila nilai respons negatif (terendah apabila nilai
respons positif) terjadi. Bulan tidak berubah menunjukkan saat guncangan sudah
mulai tidak menimbulkan respons pengaruh terhadap perubahan, baik positif
maupun negatif. Bulan mulai tidak berubah juga menunjukkan jangka waktu lama
guncangan dari faktor-faktor memiliki respons pengaruh terhadap volatilitas harga
produsen maupun harga konsumen komoditas yang diteliti.
Faktor-faktor yang mempengaruhi volatilitas harga produsen dan harga
konsumen dan bukti kesintasan gejolak mereka juga akan dapat diketahui secara
pasti dari koefisien derajat pass-through, yang diperoleh dari hasil analisis
pengaruh perubahan (pass-through effect) faktor-faktor tersebut, dan sekaligus
untuk mengetahui dan menghitung besaran pengaruh dari masing-masing faktor,
yang dianggap sebagai nilai keelastisan masing-masing faktor-faktor yang
mempengaruhi perubahan volatilitas harga. Nilai positif menunjukkan pengaruh
atau pengaruh perubahan yang searah, sedangkan nilai negatif menunjukkan
pengaruh atau pengaruh perubahan yang sebaliknya.
3.2.1.7. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Volatilitas Harga
Produsen dan Konsumen Beras
Hasil analisis dekomposisi ragam, impuls respons dan pengaruh perubahan
dari faktor-faktor yang mempengaruhi volatilitas harga produsen dan konsumen
komoditas beras disajikan pada Tabel 3-12. Apabila terjadi guncangan perubahan
39
Tabel 3-12. Dugaan Pangsa Pengaruh Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi
Volatilitas Harga Produsen dan Konsumen Beras Indonesia dalam Periode 60 Bulan Ke Depan
Keterangan
Harga Produsen Harga Konsumen
Min Maks
Keman-
tapan Rerata Min Maks
Keman-
tapan Rerata
Dekomposisi Ragam (%)
Guncangan PO 3.85 4.25 3.85 3.86 3.26 3.63 3.26 3.27
Guncangan PW 10.13 13.24 13.24 13.18 4.07 4.30 4.29 4.29
Guncangan ER 0.44 0.58 0.58 0.58 0.06 0.17 0.17 0.17
Guncangan TM 5.39 5.51 5.39 5.40 1.34 1.38 1.36 1.36
Guncangan PM 2.27 2.46 2.46 2.46 8.47 10.65 10.65 10.61
Guncangan QM 0.95 0.96 0.96 0.96 0.63 0.69 0.69 0.69
Guncangan PC 13.72 16.85 16.67 16.62 68.81 77.29 68.81 68.98
Guncangan QC 0.02 0.22 0.22 0.21 0.00 0.20 0.20 0.20
Guncangan PG 18.03 19.69 18.03 18.06 0.00 0.50 0.50 0.48
Guncangan PF 36.41 40.85 36.41 36.49 0.00 0.27 0.27 0.27
Guncangan QF 0.00 0.19 0.19 0.18 0.00 2.53 2.53 2.49
Guncangan PI 0.00 0.02 0.02 0.02 0.00 1.05 1.05 1.03
Guncangan PE 1.86 1.96 1.87 1.87 4.44 5.85 5.85 5.82
Guncangan CC 0.00 0.13 0.13 0.12 0.00 0.36 0.36 0.35
Impuls Respons (%) Guncangan PO -0.20 6.83 0.00 0.13 -0.02 3.14 0.00 0.06
Guncangan PW -0.02 7.49 0.00 0.24 -0.20 2.36 0.00 0.05
Guncangan ER -1.05 1.52 0.00 0.00 0.00 0.38 0.00 0.02
Guncangan TM -0.04 2.89 0.00 0.07 -0.01 0.71 0.00 0.02
Guncangan PM -2.19 0.68 0.00 -0.03 -0.03 2.02 0.00 0.06
Guncangan QM -3.55 0.41 0.00 -0.07 -1.51 0.42 0.00 -0.03
Guncangan PC -0.17 4.25 0.00 0.11 -0.04 5.02 0.00 0.09
Guncangan QC -0.04 0.08 0.00 0.00 -0.04 0.02 0.00 0.00
Guncangan PG -1.22 5.27 0.00 0.06 -0.39 0.03 0.00 -0.01
Guncangan PF -0.01 6.60 0.00 0.13 -0.01 0.29 0.00 0.00
Guncangan QF -0.76 0.29 0.00 -0.01 -1.47 0.05 0.00 -0.03
Guncangan PI 0.00 0.16 0.00 0.01 -0.88 0.03 0.00 -0.02
Guncangan PE -0.17 2.37 0.00 0.05 0.00 1.78 0.00 0.06
Guncangan CC -0.05 0.45 0.00 0.01 -0.25 0.29 0.00 0.00
Koefisien Pass-Through Guncangan PO 0.64 0.73 0.69 0.69 0.30 0.34 0.34 0.34
Guncangan PW 0.87 1.22 1.22 1.21 0.24 0.29 0.24 0.25
Guncangan ER 0.02 0.33 0.02 0.02 0.06 0.14 0.14 0.13
Guncangan TM 0.18 0.37 0.34 0.33 0.05 0.09 0.09 0.09
Guncangan PM -0.67 -0.33 -0.44 -0.44 0.31 0.85 0.84 0.83
Guncangan QM -0.09 -0.05 -0.08 -0.08 -0.03 -0.02 -0.03 -0.03
Guncangan PC 0.85 1.22 1.16 1.15
Guncangan QC 0.01 0.10 0.05 0.05 -0.04 0.00 -0.02 -0.02
Guncangan PG 1.29 1.38 1.35 1.35 -0.23 0.00 -0.21 -0.21
Guncangan PF
0.00 0.04 0.04 0.04
Guncangan QF -0.01 0.01 -0.01 -0.01 -0.05 0.00 -0.04 -0.04
Guncangan PI 0.00 0.08 0.08 0.08 -0.19 0.00 -0.18 -0.18
Guncangan PE 0.32 0.39 0.35 0.35 0.24 0.45 0.45 0.44
Guncangan CC -0.01 0.07 0.07 0.07 0.00 0.05 0.01 0.01
Keterangan: PO= Harga Minyak Dunia; PW = Harga Komoditas Dunia; ER = Nilai Tukar; TM = Tarif Impor; PM = Harga Impor; QM = Volume Impor; PC = Harga Konsumen; QC = Volume Konsumsi; PG = Harga Grosir; PF = Harga Produsen; QF = Volume Produksi atau Produktivitas; PI = Harga Input; PE = Harga BBM; dan CC = Indeks Perubahan Iklim.
Sumber: Hasil Analisis.
faktor-faktor yang mempengaruhi ragam volatilitas harga produsen beras sebesar
1 persen, dalam periode 60 bulan ke depan dapat diprakirakan bahwa sumbangan
ragam masing-masing faktor terhadap ragam volatilitas harga di atas 5.00
persen adalah (diurut dari nilai tertinggi sampai terendah): Pertama, guncangan
harga produsen beras sendiri memberi pangsa tertinggi 40.85 persen dan mantap
40
pada 36.41 persen; Kedua, guncangan harga grosir memberi pangsa tertinggi
19.69 persen dan mantap pada 18.03 persen; Ketiga, guncangan harga
konsumen memberi pangsa tertinggi 16.85 persen dan mantap pada 16.67
persen; Keempat, guncangan harga beras dunia memberi pangsa tertinggi dan
mantap pada 13.24 persen; Kelima, guncangan tarif impor beras memberi
pangsa tertinggi 5.54 persen dan mantap pada 5.39 persen. Namun, berdasarkan
nilai rerata pangsa ragamnya, maka hanya ada lima faktor-faktor penyumbang
ragam volatilitas harga di atas 5.00 persen, yakni (diurut dari nilai tertinggi
sampai terendah): Pertama, guncangan harga produsen beras sendiri memberi
rerata pangsa 36.49 persen; Kedua, guncangan harga grosir memberi rerata
pangsa 18.06 persen; Ketiga, guncangan harga konsumen memberi rerata
pangsa 16.62 persen; Keempat, guncangan harga beras dunia memberi pangsa
13.18 persen; dan Kelima, guncangan tarif impor beras memberi rerata pangsa
5.40 persen.
Untuk harga konsumen beras, apabila terjadi guncangan perubahan faktor-
faktor yang mempengaruhi ragam volatilitas harga ini sebesar 1 persen, dalam
periode 60 bulan ke depan, maka ada tiga faktor yang memberi sumbangan di
atas 5.00 persen dari ragam volatilitas harga konsumen, yaitu (diurut dari nilai
tertinggi sampai terendah): Pertama, guncangan harga konsumen beras sendiri
dengan pangsa tertinggi 77.29 persen, pada kemantapan 68.81 persen dan rerata
68.98 persen; Kedua, guncangan harga impor beras dengan pangsa tertinggi dan
pada kemantapan 10.65 persen dan rerata 10.61 persen; dan Ketiga, guncangan
harga BBM dengan pangsa tertinggi dan pada kemantapan 5.85 persen dan rerata
5.82 persen. Jika dilihat dari rerata pangsa sumbangannya, maka faktor-faktor
yang memberi pangsa di atas 5.00 persen sama dengan faktor-faktor yang
memberi pangsa tertinggi di atas 5.00 persen adalah: Pertama, guncangan harga
konsumen beras sendiri dengan rerata pangsa 68.98 persen; Kedua, guncangan
harga impor beras dengan rerata pangsa 10.61 persen; dan Ketiga, guncangan
harga BBM dengan rerata pangsa 5.82 persen.
Berdasarkan hasil analisis ini dapat diketahuhi bahwa: Pertama, volatilitas
harga produsen beras dipengaruhi oleh perubahan harga beras dunia dan
perubahan tarif impor. Kebijakan untuk meredam kedua perubahan ini kurang
41
efektif melindungi harga produsen jika dibandingkan dengan harga konsumen;
Kedua, jika pada harga produsen guncangan harga di tingkat grosir, yang
menunjukkan perilaku pedagang grosir sebagai penyebab ketidak-mantapan
harga, maka pada harga konsumen justru guncangan harga impor yang
menunjukkan perilaku pedagang pengimpor. Permasalahannya adalah apabila
pedagang grosir sekaligus merangkap sebagai pedagang pengimpor, maka
dinamika perubahan perilaku pada pedagang tersebut akan menimbulkan ketidak-
mantapan harga yang dapat menimbulkan volatilitas yang tinggi baik pada harga
konsumen maupun harga produsen; Ketiga, guncangan harga BBM relatif tidak
berpengaruh terhadap volatilitas harga produsen, tetapi lebih berpengaruh
terhadap volatilitas harga konsumen. Hal ini adalah wajar karena guncangan
harga BBM akan menimbulkan guncangan pada biaya angkutan atau distribusi dan
pengolahan gabah menjadi beras, yang umumnya dilakukan oleh pedagang grosir
dan pengimpor. Merekalah yang mendistribusikan beras dari wilayah produsen ke
wilayah konsumen.
Berdasarkan hasil analisis impuls respons diketahui bahwa apabila
perubahan faktor-faktor diguncang sebesar 1 persen, maka ada delapan faktor
yang memberi pengaruh tertingginya2 lebih dari 2.00 persen (nilai mutlak)
terhadap perubahan harga produsen beras, yaitu (diurut dari nilai tertinggi ke
terendah): Pertama, guncangan harga beras dunia dengan pengaruh perubahan
tertinggi 7.49 persen; Kedua, guncangan harga minyak dunia dengan pengaruh
tertinggi 6.83 persen; Ketiga, guncangan harga produsen beras sendiri dengan
pengaruh perubahan tertinggi 6.60 persen; Keempat, guncangan harga grosir
dengan pengaruh perubahan tertinggi 5.27 persen; Kelima, guncangan harga
konsumen beras dengan pengaruh perubahan tertinggi 4.25 persen; Keenam,
guncangan volume impor beras dengan pengaruh perubahan tertinggi 3.55 (nilai
mutlak) persen; Ketujuh, guncangan tarif impor beras dengan pengaruh
perubahan tertinggi 2.89 persen; Kedelapan, guncangan tarif impor beras
dengan pengaruh perubahan tertinggi 2.89; Kesembilan, guncangan harga BBM
dengan pengaruh perubahan tertinggi 2.37 persen; Kesepuluh, guncangan
2 Yang dimaksud pengaruh tertinggi adalah nilai mutlak tertinggi pengaruhnya dari bulan pertama
sampai 60 bulan proyeksi ke depan.
42
harga impor beras dengan pengaruh perubahan tertinggi 2.19 (nilai mutlak).
Meskipun demikian, kalau dinilai dari rerata perubahannya, maka tak satupun di
antara faktor memberi pengaruh lebih dari 2.00 persen (nilai mutlak) terhadap
perubahan harga produsen beras.
Untuk harga konsumen beras, dalam periode yang sama, guncangan
perubahan masing-masing 1 persen dari empat belas faktor-faktor yang memberi
pengaruh tertingginya lebih dari 2.00 persen (nilai mutlak) adalah (diurut dari nilai
tertinggi ke terendah): Pertama, guncangan harga konsumen itu sendiri dengan
pengaruh perubahan tertinggi 5.02 persen dan rerata 0.09 persen; Kedua,
guncangan harga minyak dunia dengan pengaruh perubahan tertinggi 3.14 persen
dan rerata 0.06 persen; Ketiga, guncangan harga beras dunia dengan pengaruh
perubahan tertinggi 2.36 persen dan rerata 0.05 persen; Keempat, guncangan
harga impor dengan pengaruh perubahan tertinggi 2.02 persen dan rerata 0.06
persen. Namun, berdasarkan nilai reratanya, maka tak satupun di antara faktor
memberi pengaruh lebih dari 2.00 persen (nilai mutlak) terhadap perubahan harga
produsen beras.
Setiap faktor yang mempengaruhi volatilitas harga, disamping menimbulkan
pengaruh dengan tingkatan yang berbeda, juga akan menimbulkan perubahan
harga produsen dan konsumen dalam jangka waktu yang berbeda-beda pula.
Pada volatilitas harga produsen, guncangan faktor-faktor yang berpengaruh ini
secara umum mulai terlacak sejak bulan pertama kecuali volume produksi, harga
input, dan indeks curah hujan, yang mulai berpengaruh sejak bulan kedua.
Sedangkan pada volatilitas harga konsumen, dapat diketahui guncangan faktor-
faktor yang berpengaruh itu sebagian besar terlihat sejak bulan pertama, yaitu
harga minyak dunia, harga beras dunia, nilai tukar, tarif impor, harga impor,
volume impor, harga konsumen dan harga BBM. Sedangkan volume konsumsi,
harga grosir, harga produsen, volume produksi, harga input, dan indeks curah
hujan mulai berpengaruh sejak bulan kedua.
Pada volatilitas harga produsen beras, faktor-faktor yang menimbulkan
pengaruh tertinggi pada bulan pertama adalah guncangan harga minyak dunia
dengan pengaruh yang mantap atau guncangan sudah menimbulkan pengaruh
terhadap perubahan pada bulan ke 12; guncangan harga beras dunia dengan
43
pengaruh yang mantap pada bulan ke 15; guncangan nilai tukar dengan
pengaruh yang mantap pada bulan ke 14; guncangan tarif impor dengan
pengaruh yang mantap pada bulan ke 14; guncangan harga konsumen dengan
pengaruh yang mantap pada bulan ke 14; guncangan harga grosir dengan
pengaruh yang mantap pada bulan ke 14; guncangan harga produsen sendiri
dengan pengaruh yang mantap pada bulan ke 11; dan guncangan harga BBM
dengan guncangan pengaruh yang mantap pada bulan ke 13.
Sementara itu, faktor-faktor yang menimbulkan pengaruh tertinggi pada
bulan kedua adalah guncangan volume konsumsi dengan pengaruh yang mantap
pada bulan ke 14; guncangan volume produksi dengan pengaruh yang mantap
pada bulan ke 13; guncangan harga input dengan pengaruh yang mantap pada
bulan ke 10; dan guncangan indeks curah hujan dengan pengaruh yang mantap
pada bulan ke 12. Adapun guncangan harga impor menimbulkan pengaruh
tertinggi pada bulan ketiga dengan pengaruh yang mantap pada bulan ke 15;
sedangkan guncangan volume impor menimbulkan pengaruh tertinggi pada bulan
keempat dengan pengaruh yang mantap pada bulan ke 17.
Pada volatilitas harga konsumen beras, faktor-faktor yang menimbulkan
pengaruh tertinggi pada bulan pertama adalah guncangan harga minyak dunia
dengan pengaruh yang mantap pada bulan ke 12; guncangan harga beras dunia
dengan pengaruh yang mantap pada bulan ke 15; guncangan tarif impor dengan
pengaruh yang mantap pada bulan ke 14; guncangan harga impor dengan
pengaruh yang mantap pada bulan ke 15; guncangan harga konsumen sendiri
dengan pengaruh yang mantap pada bulan ke 14; dan guncangan harga BBM
dengan pengaruh yang mantap pada bulan ke 12. Sementara itu, faktor-faktor
yang menimbulkan pengaruh tertinggi pada bulan kedua adalah guncangan nilai
tukar dengan pengaruh yang mantap pada bulan ke 14; guncangan harga
produsen dengan pengaruh yang mantap pada bulan ke 10; dan guncangan
indeks curah hujan dengan pengaruh yang mantap pada bulan ke 11. Adapun
faktor-faktor yang menimbulkan pengaruh tertinggi pada bulan ketiga adalah
guncangan volume impor dengan pengaruh yang mantap pada bulan ke 17; dan
guncangan volume konsumsi dengan pengaruh yang mantap pada bulan ke 14.
Sedangkan faktor-faktor yang menimbulkan pengaruh tertinggi pada bulan kelima
44
adalah guncangan harga grosir dengan pengaruh yang mantap pada bulan ke 14;
guncangan volume produksi dengan pengaruh yang mantap pada bulan ke 12;
dan guncangan harga input dengan pengaruh yang mantap pada bulan ke 11.
Berdasarkan hasil analisis ini, dapat diketahui bahwa pada volatilitas harga
produsen pengaruh tertinggi terjadi antara bulan pertama hingga bulan keempat,
sedangkan pada harga konsumen pengaruh tertinggi terjadi antara bulan pertama
hingga bulan kelima, sedangkan jangka waktu pengaruh antara bulan ke 10
hingga ke 17. Faktor yang mempengaruhi perubahan paling pendek (10 bulan)
terhadap harga produsen adalah guncangan atau perubahan harga input,
sedangkan pada harga konsumen faktor yang mempengaruhi perubahan paling
pendek (10 bulan) adalah guncangan atau perubahan harga produsen. Faktor
yang berpengaruh dalam jangka waktu paling panjang (17 bulan) baik terhadap
harga produsen maupun harga konsumen beras adalah guncangan atau
perubahan volume impor.
Perbandingan antara hasil analisis dekomposisi ragam dan impuls respons
menunjukkan bahwa: Pertama, terhadap volatilitas harga produsen beras, (1)
guncangan harga minyak dunia dan volume impor beras menimbulkan respons
perubahan yang besar terhadap perubahan harga produsen, tetapi pangsa
pengaruh mereka relatif kecil; (2) guncangan harga grosir menimbulkan
perubahan yang relatif kecil terhadap harga produsen, tetapi ia berpengaruh
relatif besar terhadap ragam harga produsen; Kedua, terhadap volatilitas harga
konsumen beras dapat diketahui bahwa, (1) guncangan harga minyak dunia dan
beras dunia menimbulkan perubahan yang relatif besar, tetapi mereka
menyebabkan perubahan ragam yang relatif kecil, (2) guncangan faktor lainnya
yang menimbulkan respons besar, juga memiliki pengaruh besar terhadap
perubahan ragam harga konsumen; Ketiga, berdasarkan analisis waktu:
kebijakan yang ditempuh pemerintah dalam mengatasi guncangan harga
produsen dan konsumen seperti yang selama ini dilakukan dapat menekan
guncangan dalam jangka waktu satu bulan hingga empat bulan terhadap harga
produsen, dan dalam jangka waktu satu bulan hingga lima bulan terhadap harga
konsumen. Namun demikian kebijakan tersebut justru dapat menimbulkan gejolak
harga yang berkepanjangan hingga 17 bulan. Oleh karena itulah perlu kehati-
45
hatian dan ketepatan dalam merumuskan kebijakan dalam rangka menciptakan
kemantapan harga produsen dan konsumen beras.
Hasil analisis pengaruh perubahan pada harga produsen beras (Tabel 3-
12), menunjukkan bahwa apabila terjadi guncangan perubahan faktor-faktor yang
berpengaruh sebesar 1 persen akan dapat diketahui: Pertama, guncangan harga
minyak dunia akan menimbulkan perubahan harga produsen beras tertinggi 0.73
persen, pada kemantapan dan rerata 0.69 persen; Kedua, guncangan harga
beras dunia akan menimbulkan perubahan harga produsen beras tertinggi dan
pada kemantapan 1.22 persen dan rerata 1.21 persen; Ketiga, guncangan tarif
impor akan menimbulkan perubahan harga produsen beras tertinggi 0.37 persen,
pada kemantapan 0.34 persen dan rerata 0.33 persen; Kempat, guncangan
harga impor akan menimbulkan perubahan harga produsen tertinggi -0.67 persen,
pada kemantapan dan rerata -0.44 persen; Kelima guncangan volume impor
akan menimbulkan perubahan harga produsen tertinggi -0.09 persen, pada
kemantapan dan rerata -0.08 persen; Keenam, guncangan harga konsumen akan
menimbulkan perubahan harga produsen tertinggi 1.22 persen, pada kemantapan
1.16 persen dan rerata 1.15 persen; Ketujuh, guncangan volume konsumsi akan
menimbulkan perubahan harga produsen tertinggi 0.10 persen, pada kemantapan
dan rerata 0.05 persen; Kedelapan, guncangan harga grosir akan menimbulkan
perubahan harga produsen tertinggi 1.38 persen, pada kemantapan dan rerata
1.35 persen; Kesembilan, guncangan harga input akan menimbulkan perubahan
harga produsen tertinggi, rerata dan pada kemantapan 0.08 persen; Kesepuluh,
guncangan harga BBM akan menimbulkan perubahan harga produsen tertinggi
0.39 persen dan pada kemantapan dan rerata 0.35 persen, Kesebelas,
guncangan indeks curah hujan akan menimbulkan perubahan harga produsen
tertinggi, pada kemantapan dan rerata 0.07 persen; dan Keduabelas, guncangan
faktor lainnya menimbulkan perubahan harga produsen tertinggi 0.33 persen dan
0.01 persen; pada kemantapan dan rerata 0.02 persen dan -0.01 persen.
Dari Tabel 3-12, guncangan perubahan sebesar 1 persen masing-masing
faktor yang mempengaruhi volatilitas harga konsumen beras akan menyebabkan:
Pertama, guncangan harga minyak dunia akan menimbulkan perubahan harga
konsumen tertinggi, pada kemantapan dan rerata 0.34 persen; Kedua,
46
guncangan harga beras dunia akan menimbulkan perubahan harga konsumen
tertinggi 0.29 persen, pada kemantapan 0.24 persen dan rerata 0.25 persen;
Ketiga, guncangan nilai tukar akan menimbulkan perubahan harga konsumen
tertinggi dan pada kemantapan 0.14 persen dan rerata 0.13 persen; Keempat,
guncangan tarif impor akan menimbulkan perubahan harga konsumen tertinggi,
rerata dan pada kemantapan 0.09 persen; Kelima, guncangan harga impor akan
menimbulkan perubahan harga konsumen tertinggi 0.85 persen, pada
kemantapan 0.84 persen dan rerata 0.83 persen; Keenam, guncangan harga
grosir akan menimbulkan perubahan harga konsumen tertinggi -0.23 persen, pada
kemantapan dan rerata 0.21 persen; Ketujuh, guncangan harga input akan
menimbulkan perubahan harga konsumen tertinggi -0.19 persen, pada
kemantapan dan rerata -0.18 persen; Kedelapan, guncangan harga BBM akan
menimbulkan perubahan harga konsumen tertinggi dan pada kemantapan 0.45
persen dan rerata 0.44 persen; Kesembilan, guncangan faktor lainnya akan
menimbulkan perubahan harga konsumen tertinggi dalam nilai positif atau negatif
antara 0.03 hingga 0.05, pada kemantapan dan rerata antara 0.01 hingga 0.03
atau di bawah 5.00 persen.
Berdasarkan hasil analisis dekomposisi ragam, impuls respons maupun
pengaruh perubahan dapat diketahui bahwa respons dan derajat pass-through
pengaruh guncangan faktor-faktor terhadap volatilitas harga produsen beras lebih
tinggi jika dibandingkan terhadap harga konsumen beras menunjukkan bahwa:
Pertama, volatilitas harga produsen akan lebih tinggi jika dibandingkan volatilitas
harga konsumen, sehingga kebijakan-kebijakan pemerintah yang selama ini
diluncurkan lebih mempengaruhi perubahan dan pemantapan harga konsumen
jika dibandingkan harga produsen.
Kedua, respons dan pengaruh perubahan harga produsen yang tinggi
akibat guncangan harga minyak dunia dan harga beras serta tarif impor
menunjukkan bahwa liberalisasi perdagangan dan penurunan tarif atau kenaikan
tarif berdampak menciptakan ketidak-mantapan pada harga produsen, tetapi
kurang berdampak pada ketidak-mantapan harga konsumen. Dalam arti lain,
kebijakan ini menciptakan ketidak-mantapan pada harga produsen, tetapi juga
kurang menciptakan kemantapan harga konsumen. Dengan demikian kebijakan
47
tarif pemerintah lebih efektif untuk memantapkan harga konsumen, yang
ditunjukkan nilai respons pengaruh positif terhadap harga konsumen, tetapi ia
menekan dan menciptakan ketidak-mantapan pada harga produsen, yang
ditunjukkan nilai respons negatif. Artinya apabila pemerintah mengambil
keputusan dalam hal volume impor dan tarif dalam rangka menjaga agar harga
konsumen tetap mantap, akan membawa dampak searah dengan perubahan
harga konsumen akan tetapi justru berdampak sebaliknya terhadap harga
produsen.
Ketiga, guncangan volume impor melalui impor beras untuk menjaga
kemantapan pasokan akan menimbulkan tekanan berupa penurunan harga
produsen, yang besarnya lebih dua kali jika dibandingkan penurunan harga
konsumen (respons pengaruh 0.07 persen dibanding 0.03 persen) dan
memberikan pengaruh perubahan hampir tiga kali pada harga produsen jika
dibandingkan pada harga konsumen (derajat pass-though 0.08 persen dibanding
0.03 persen).
Keempat, guncangan harga BBM atau perubahan harga BBM baik yang
terkait dengan kebijakan ataupun tidak, sekalipun berpengaruh realitif kecil
terhadap ragam perubahan harga produsen dibandingkan harga konsumen (1.87
persen dibandingkan 5.82 persen), tetapi pengaruhnya terhadap perubahan harga
produsen dan konsumen relatif sama besarnya (0.05 persen dibanding 0.06
persen), dan pengaruh perubahannya pada harga produsen lebih rendah jika
dibandingkan pada harga konsumen (0.35 persen dibanding 0.45 persen).
Kelima, bahwa upaya pemerintah untuk meningkatkan produksi dan
menjaga swasembada beras berkelanjutan tidak akan meningkatkan
kesejahteraan petani apabila arah kebijakan pemerintah seperti yang dilakukan
selama ini tidak diubah. Hal ini terjadi karena kebijakan yang terkait dengan fiskal
dan moneter lebih mengarah kepada upaya menjaga kemantapan harga
konsumen jika dibandingkan harga produsen. Kebijakan fiskal, seperti tarif impor
lebih berpengaruh kepada volatilitas harga produsen, tetapi mendorong
pemantapan harga konsumen, sementara kebijakan peningkatan subsidi pupuk
akan meningkatkan volatilitas pada harga konsumen, tetapi mendorong
pemantapan harga produsen. Sedangkan kebijakan moneter, seperti perubahan
48
nilai tukar mata uang lebih berpengaruh pada volatilitas harga konsumen, jika
dibandingkan harga produsen. Pengaruh perubahan nilai tukar dapat
menimbulkan perubahan harga konsumen sebesar 0.33 persen, tetapi secara
rerata pengaruhnya hanya 0.02 persen, dibandingkan terhadap harga konsumen
yang mencapai pangsa pengaruh 0.14 persen dan rerata 0.13 persen.
Keenam, sumbangan pengaruh terhadap perubahan harga konsumen
lebih besar jika dibandingkan peningkatan impor (2.39 persen dibanding 0.69
persen) dengan respons pengaruh yang sama yaitu -0.03 persen. Sementara itu,
jika pilihan kebijakan adalah meningkatkan volume impor, maka pengaruh
perubahan terhadap harga produsen tertinggi -0.09 persen dan rerata -0.08
persen, sedangkan pengaruhnya terhadap harga konsumen tertinggi dan
reratanya adalah -0.03 persen. Sedangkan apabila pilihan kebijakan adalah tidak
melakukan impor melainkan berupaya meningkatkan produksi beras dalam negeri,
maka pengaruh perubahan terhadap harga produsen hanya mencapai rerata dan
tertinggi -0.01 persen, sementara pada harga konsumen pengaruh perubahan
tertinggi -0.05 persen dan rerata -0.04 persen. Disamping itu, pilihan kebijakan
melakukan impor dan menurunkan tarif memiliki dampak volatilitas terhadap
harga produsen dan konsumen selama 17 bulan dan 14 bulan, dimana keduanya
akan mempengaruhi perubahan harga impor yang menimbulkan volatilitas selama
15 bulan.
Dari hasil-hasil di atas dapat dikatakan bahwa upaya peningkatan pasokan
dan upaya mencapai swasembada berkelanjutan di dalam negeri jauh lebih baik
dilakukan melalui kebijakan peningkatan produksi beras dalam negeri jika
dibandingkan melalui peningkatan impor, mengingat respons pengaruh dan
perannya terhadap perubahan harga produsen lebih kecil. Disamping itu,
kebijakan ini akan lebih efektif juga terhadap harga konsumen.
Di lapangan usahatani dan pemasaran padi/beras berhadapan dengan
keterbatasan lingkungan fisik dan ekonomi setempat yang oleh para produsen dan
konsumen, serta pedagang harus dijadikan sebagai penentu keputusan tindakan
di fihak masing-masing. Bagi produsen padi sawah keuntungan yang dapat
diharapkan dari usahatani ini sangat kecil, hanya sekitar Rp. 2.07
juta/hektar/bulan; dan bagi produsen padi ladang hanya sekitar Rp. 0.461
49
juta/hektar/bulan (Kotak 4 dan Lampiran Tabel LT.13 dan LT.14). Andaikan
petani hanya memiliki 0.3 ha lahan sawah dan 0.5 ha ladang yang ditanami padi,
maka ia hanya memperoleh sekitar Rp. 0.85 juta/bulan dan kalau satu keluarga
petani memiliki 4 anggota, maka seorang anggota hanya dapat memperoleh
sekitar Rp. 8,000/hari. Suatu jumlah yang sangat kecil, kalau usahatani padi
dijadikan satu-satunya sebagai sumber pendapatan keluarga.
Kotak 4
Analisis Usahatani Padi Umumnya petani di daerah sentra produksi padi Kabupaten Subang telah menggunakan masukan produksi secara optimal, semua masukan produksi yang dapat meningkatkan hasil
padi diupayakan petani agar produktivitas hasil padi dapat meningkat sebagaimana yang dapat dilihat pada Lampiran Tabel LT.13 dan LT.14. Pupuk anorganik tunggal maupun yang majemuk
digunakan untuk meningkatkan hasil, demikian pula penggunaan pupuk cair, pestisida dan fungisida untuk memberantas hama dan penyakit tanaman digunakan sesuai kebutuhan. Pengolahan tanah dilakukan dengan menggunakan traktor, sedangkan pemeliharaan tanaman
dilakukan secara manual, termasuk panen padi yang dibayar secara bawon. Sawah
Petani tidak hanya mengeluarkan biaya untuk masukan produksi usahatani padi, juga mengeluarkan biaya lainnya untuk membayar pajak bumi dan bangunan (PBB), urusan desa,
untuk ulu-ulu yang mengatur air irigasi dan termahal pembayaran diluar masukan produksi adalah bayar sewa lahan (bagi yang menyewa atau tidak memiliki lahan sawah). Dari jumlah seluruh biaya yang dikeluarkan petani padi sebesar Rp. 12.1 juta/ha, sebanyak hampir 27.2
persen pengeluaran untuk masukan produksi, 46.4 persen untuk pengolahan tanah, tanam, pemeliharaan dan panen sedangkan biaya lainnya (termasuk sewa lahan) sebanyak 26.4 persen. Dengan hasil padi diperoleh sekitar 6.046 ton gabah kering panen, maka penerimaan
usahatani menjadi Rp. 20.375 juta, sehingga pendapatan bersih usahatani hanya sekitar Rp. 8.27 juta atau nisbah R/C hanya 1.68. Bagi pemilik lahan sawah yang tidak mengeluarkan biaya sewa lahan, petani padi dapat memperoleh pendapatan sebanyak Rp 11.472 juta per
hektar atau nisbah R/C sekitar 2.29. Bila usahatani padi dihitung selama 4 bulan, maka rerata pendapatan usahatani padi menjadi Rp. 2.07 juta per hektar per bulan (Lampiran Tabel LT.13).
Ladang
Biaya yang dibutuhkan petani padi sebesar Rp. 9.16 juta/ha, sebanyak hampir 11.9 persen pengeluaran untuk masukan produksi, 64.1 persen untuk pengolahan tanah, tanam, pemeliharaan dan panen sedangkan biaya lainnya (termasuk sewa lahan) sebanyak 24.0
persen. Dengan hasil padi diperoleh sekitar 3.932 ton gabah kering panen, maka penerimaan usahatani menjadi Rp. 11.009 juta, sehingga pendapatan bersih usahatani hanya sekitar Rp. 1.827 juta atau nisbah R/C hanya 1.20. Bagi pemilik lahan sawah yang tidak mengeluarkan
biaya sewa lahan, petani padi dapat memperoleh pendapatan sebanyak Rp 4.047 juta per hektar atau nisbah R/C sekitar 1.58. Bila usahatani padi dihitung selama 4 bulan, maka rerata pendapatan usahatani padi menjadi Rp. 0.461 juta per hektar per bulan (Lampiran Tabel
LT.14).
50
Kotak 5 Pemasaran Padi/Beras Di lokasi survei sendiri terdapat tiga jenis saluran pemasaran padi: (a) petani ke kelompok tani
(10%). Dari sini kemudian di jual ke penggilingan (huller), kemudian ke pedagang beras dan berakhir ke konsumen; (b) petani ke tengkulak/kaki tangan bandar (40%). Selanjutnya, padi ini dijual ke bandar (pedagang besar), ke penggilingan dan terakhir ke konsumen; dan (c) petani
ke pedagang pengumpul desa (50%), lalu ke bandar (pedagang besar), lalu ke penggilingan, dan akhirnya ke konsumen.
Kebanyakan petani menjual gabahnya di sawah segera setelah panen. Harga yang mereka terima adalah harga kesepakatan, meskipun seringkali lebih ditentukan oleh para pedagang desa/penggilingan. Petani tidak menyimpan hasil panennya atau menjualnya dalam bentuk
gabah kering simpan (GKS) untuk dapat menerima harga lebih tinggi. Hal ini sulit dilakukan karena mereka tidak memiliki lumbung penyimpan yang dibutuhkan atau lantai jemur yang luas untuk mengeringkan gabah. Selain itu, para petani terdesak oleh kebutuhan uang tunai untuk
keperluan konsumsi dan biaya pendidikan anak setiap saat. Yang menarik juga dicatat adalah cara pembelian pedagang desa/kecamatan di lokasi penelitian
Kabupaten Subang terhadap petani dilakukan dengan sistem utang ke petani. Artinya, pedagang baru dapat membayar kepada pemilik gabah/petani setelah gabah/beras milik pedagang laku terjual. Sistem pembelian seperti ini tentu saja menjadi beban berat pagi petani padahal,
mereka membutuhkan dana hasil penjualan gabah/padi tadi untuk kebutuhan sehari-hari. Petani kecil dan pedagangolah skala kecil sulit mengatasi masalah ini, karena harga yang ditawarkan
tengkulak, melalui kaki tangannya dan calo lebih tinggi daripada HPP, sehingga seolah-olah petani merasa diuntungkan. Tengkulak besar ini memang memelihara para calo atau dalam istilah setempat disebut “camat”, singkatan dari “calo matuh” yang berarti calo setia atau
penurut. Ini terdapat di hampir seluruh pelosok Pantura Jawa Barat. Para “camat” ini mendapat marjin dari pengadaan gabah sekitar Rp. 50/kg dengan tanggung-jawab pengadaan sampai pembayaran uang ke petani.
Di lokasi penelitian informasi tentang harga dan keadaan pasar diperoleh dari komunikasi dengan sesama teman pedagang. Namun, harga gabah ini ditentukan oleh pedagang besar
berdasarkan jumlah produksi saat itu di wilayah. Bila jumlahnya banyak dan tidak banyak gangguan, maka harga beras pada panen raya akan turun, dan kemudian sedikit meningkat seiring penawaran yang berkurang.
Gejolak harga terasa di tingkat petani. Pada saat penelitian awal Desember 2014, yakni saat paceklik harga gabah Rp. 6,000/kg sejak bulan Oktober 2014 dan sebelum Oktober (kenaikan
BBM) Rp. 5,500/kg. Perbedaan harga GKP dengan GKG adalah Rp. 500/kg. Harga jual ke pasar lokal, (pedagang pengecer) sekitar Rp. 8,750/kg atau Rp. 7,000 – Rp 7,500/liter Pasar Johar (1
kuintal = 100 kg = 125 liter) tergantung pada mutu berasnya. Namun, harga gabah yang pasti ditetapkan dengan cara tawar-menawar dan mempertimbangkan kadar air dan mutu gabah secara keseluruhan. Saat ini harga beras di pasar lebih tinggi daripada HPP, yaitu Rp 6.800/kg,
sehingga petani berpendapat HPP sudah tidak efektif lagi. Kesintasan Dolog kurang dirasakan petani, karena saat ini yang paling berpengaruh di pasar adalah tengkulak.
Pada musim panen raya MK I sekitar bulan Maret – April 2014, harga gabah berkisar Rp. 3,500 sampai Rp. 4,000/kg dan pada panen raya MK II sekitar bulan Juli dan Agustus, harga gabah sedikit lebih tinggi, bergerak antara Rp. 4,000 – Rp 4,500/kg, karena volume/jumlah panen tidak
sebanyak pada panen raya MK I dan mutu gabah memang relatif lebih bagus dan penjemurannya mudah.
(lanjutan)
51
Di sisi lain, produsen gabah pun menghadapi dinamika pasar, di mana
peran pedagang besar dan para kakitangannya (“camat” singkatan dari “calo
matuh”) sangat menentukan dalam penetapan harga, sehingga HPP tidak efektif
membantu petani; serta cara mereka membeli gabah yang tidak menguntungkan
petani karena mereka tidak membayar pada saat gabah diambil, melainkan
membuatnya itu sebagai piutang petani dari pedagang yang waktu
pembayarannya tidak pasti, tergantung pada pedagang itu sendiri (Kotak 5).
3.2.1.8. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Volatilitas Harga Produsen dan Konsumen Jagung
Berdasarkan hasil analisis dekomposisi ragam pada Tabel 3-13, dalam periode 60
bulan ke depan, diprakirakan apabila faktor-faktor yang mempengaruhi volatilitas
harga produsen jagung diguncang masing-masing sebesar 1 persen, maka ada
lima faktor yang menyumbang ragam harga produsen lebih dari 5.00 persen, yaitu
(diurut dari nilai tertinggi sampai terendah): Pertama, harga produsen jagung
sendiri dengan pangsa pengaruh tertinggi 91.67 persen, pada kemantapan 22.70
persen dan rerata 24.08 persen; Kedua, harga impor jagung dengan pangsa
pengaruh tertinggi 49.56 persen, pada kemantapan 41.29 persen dan rerata 40.91
persen; Ketiga, harga minyak dunia menyumbang empengaruhi perubahan
harga produsen jagung dengan pangsa pengaruh tertinggi dan pada kemantapan
9.62 persen dan rerata 9.35 persen; Keempat, harga grosir dengan pangsa
tertinggi 6.15 persen dan rerata 4.95 persen; serta Kelima, harga konsumen
jagung dengan pangsa pengaruh tertinggi dan pada kemantapan 5.96 persen dan
rerata 5.74 persen.
Sementara itu, pada volatilitas harga konsumen jagung akibat guncangan
pada perubahan faktor masing-masing 1 persen, memberikan ragam yang
Kotak 5 (lanjutan) Dari informasi yang dihimpun dari para petani di lokasi penelitian, faktor-faktor yang
mempengaruhi harga gabah/beras di pasar adalah: jumlah yang dijual di pasar, mutu produk, hama penyakit dan perubahan iklim, sementara jenis/varietas dan produk impor tidak mempengaruhi sama sekali. Namun, menarik untuk dicatat informasi dari responden yang
menyatakan bahwa kalau pasokan “raskin” atau “beras untuk orang miskin” mengalir ke desa, maka penggilingan padi akan libur sekitar 2 hari. Artinya, pasokan beras dari penggiling padi ke pasar lokal berhenti. Untuk menghindari gejolak harga, pengaturan pasokan memang
merupakan satu kemungkinan, tetapi belum dapat dilakukan karena risiko usahatani padi tinggi atau hasil produksi tidak dapat diprakirakan.
52
Tabel 3-13. Dugaan Pangsa Pengaruh Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi
Volatilitas Harga Produsen dan Konsumen Jagung Indonesia Dalam
Periode 60 Bulan Ke Depan
Keterangan
Harga Produsen Harga Konsumen
Min Maks Kemantapan Rerata Min Maks Kemantapan Rerata
Dekomposisi Ragam (%) Guncangan PO 2.50 9.62 9.62 9.35 2.91 3.37 3.11 3.11
Guncangan PW 0.16 2.09 2.09 2.04 1.98 2.73 2.68 2.66
Guncangan ER 0.88 2.02 2.01 1.97 0.41 0.95 0.95 0.93
Guncangan TM 0.01 4.01 3.99 3.83 31.58 32.88 31.58 31.64
Guncangan PM 0.06 49.56 41.29 40.91 1.87 3.50 3.45 3.40
Guncangan QM 0.81 1.39 1.37 1.34 2.86 3.22 2.92 2.92
Guncangan PC 0.08 5.96 5.96 5.74 36.49 53.65 36.49 36.91
Guncangan QC 0.15 0.40 0.33 0.32 0.00 0.63 0.63 0.60
Guncangan PG 0.00 6.15 5.01 4.95 0.00 4.07 4.07 3.95
Guncangan PF 22.70 91.67 22.70 24.08 0.00 0.14 0.14 0.13
Guncangan QF 0.00 0.27 0.27 0.26 0.00 0.28 0.28 0.27
Guncangan PI 0.00 1.11 1.11 1.05 0.00 3.02 3.02 2.95
Guncangan PE 2.48 2.80 2.67 2.67 2.94 4.63 4.59 4.54
Guncangan CC 0.00 1.58 1.58 1.49 0.00 6.49 6.09 5.99
Impuls Respons (%)
Guncangan PO -8.77 7.68 0.00 0.08 -2.52 0.61 0.00 -0.05
Guncangan PW -3.06 1.86 0.00 -0.05 -0.80 1.64 0.00 -0.02
Guncangan ER -1.64 2.43 0.00 0.09 -0.75 0.60 0.00 0.02
Guncangan TM -1.02 3.28 0.00 0.12 -0.22 5.05 0.00 0.18
Guncangan PM -2.72 8.11 0.00 0.07 -0.68 0.68 0.00 0.00
Guncangan QM -0.65 0.57 0.00 -0.01 -0.70 0.13 0.00 -0.01
Guncangan PC -1.23 3.30 0.00 0.04 -0.37 4.88 0.00 0.09
Guncangan QC -0.17 0.07 0.00 -0.01 -0.13 0.04 0.00 0.00
Guncangan PG -0.56 2.82 0.00 0.05 -0.10 0.91 0.00 0.03
Guncangan PF -0.85 6.29 0.00 0.09 -0.10 0.17 0.00 0.00
Guncangan QF -0.43 0.51 0.00 0.01 -0.22 0.17 0.00 0.00
Guncangan PI -1.18 0.78 0.00 -0.02 -1.43 0.55 0.00 0.01
Guncangan PE -2.45 1.59 0.00 0.04 -0.02 1.44 0.00 0.07
Guncangan CC -1.36 0.82 0.00 -0.01 -1.58 0.26 0.00 -0.02
Koefisien Pass-Through Guncangan PO 0.12 1.03 0.48 0.49 -0.40 -0.23 -0.31 -0.31
Guncangan PW -0.31 0.10 -0.24 -0.23 -0.11 0.32 -0.11 -0.09
Guncangan ER 0.26 0.85 0.74 0.72 -0.13 0.17 0.15 0.13
Guncangan TM 0.01 0.48 0.44 0.43 0.53 0.67 0.67 0.67
Guncangan PM 0.01 0.86 0.51 0.51 0.01 0.13 0.01 0.02
Guncangan QM -0.06 0.02 -0.03 -0.03 -0.09 -0.04 -0.06 -0.06
Guncangan PC -0.16 0.71 0.45 0.44 1.00 1.00 1.00 1.00
Guncangan QC -0.39 -0.13 -0.30 -0.30 -0.31 0.00 -0.18 -0.18
Guncangan PG 0.00 0.66 0.47 0.47 0.00 0.38 0.33 0.32
Guncangan PF 1.00 1.00 1.00 1.00 -0.02 0.04 0.03 0.03
Guncangan QF 0.00 0.06 0.03 0.03 -0.02 0.01 -0.01 -0.01
Guncangan PI -8.14 0.00 -0.91 -1.05 -98.49 0.46 0.46 -1.27
Guncangan PE -0.10 0.26 0.26 0.24 0.19 0.48 0.47 0.46
Guncangan CC -0.32 0.02 -0.12 -0.12 -0.36 0.00 -0.20 -0.21
Keterangan: PO= Harga Minyak Dunia; PW = Harga Komoditas Dunia; ER = Nilai Tukar; TM = Tarif Impor; PM = Harga Impor; QM = Volume Impor; PC = Harga Konsumen; QC = Volume Konsumsi; PG = Harga Grosir; PF = Harga Produsen; QF = Volume Produksi atau Produktivitas; PI = Harga Input; PE = Harga
BBM; dan CC = Indeks Perubahan Iklim. Sumber: Hasil Analisis.
penyumbang terbesarnya di atas 5.00 persen hanya tiga faktor adalah (dari nilai
tertinggi sampai terendah): Pertama, harga konsumen jagung sendiri dengan
pangsa pengaruh tertinggi 53.65 persen, pada kemantapan 36.49 persen dan
rerata 36.91 persen; Kedua, tarif impor jagung dengan pangsa pengaruh
tertinggi 32.88 persen, pada kemantapan 31.58 persen dan rerata 31.64 persen;
53
dan Ketiga, indeks curah hujan dengan pangsa pengaruh tertinggi 6.49 persen
dan pada kemantapan 6.09 persen dan rerata 5.99 persen.
Analisis dekomposisi ragam memberikan informasi bahwa: Pertama, volatilitas
harga produsen dipengaruhi oleh perubahan harga minyak dunia dan harga impor,
sementara volatilitas harga konsumen dipengaruhi oleh perubahan tarif impor. Ini
menunjukkan bahwa harga produsen lebih dipengaruhi oleh perubahan harga
dunia jika dibandingkan dengan harga konsumen; Kedua, jika pada harga
produsen guncangan harga impor yang dapat menimbulkan ketidak-mantapan
harga produsen, maka pada harga konsumen justru guncangan tarif impor yang
menunjukkan bahwa volatilitasnya sangat dipengaruhi oleh perilaku kebijakan
pemerintah; Ketiga, bahwa guncangan harga konsumen dan harga grosir
berpengaruh relatif kecil terhadap perubahan harga produsen, guncangan harga
grosir juga menunjukkan pengaruh relatif kecil terhadap perubahan harga
konsumen, yang artinya bahwa konsumen utama jagung adalah pengimpor;
Keempat, guncangan harga BBM relatif tidak berpengaruh terhadap volatilitas
harga produsen, tetapi relatif lebih berpengaruh terhadap volatilitas harga
konsumen. Hal adalah wajar karena guncangan harga BBM akan menimbulkan
guncangan pada biaya transportasi atau distribusi dalam pengangkutan jagung
dari wilayah produsen ke wilayah konsumen; Kelima, guncangan indeks curah
hujan lebih mempengaruhi volatilitas harga konsumen daripada volatilitas harga
produsen. Ini berarti bahwa konsumen utama jagung, yaitu pabrik-pabrik
pengolahan lebih responsif terhadap guncangan indeks curah hujan (perubahan
iklim), karena guncangan iklim dapat mengganggu pasokan ke industri
pengolahan mereka.
Hasil analisis impuls respons memperlihatkan bahwa perubahan masing-
masing faktor diguncang sebesar 1 persen, maka ada sembilan faktor yang
seketika menyebabkan perubahan harga produsen jagung di atas 2.00 persen
(nilai mutlak), yaitu): Pertama, harga minyak dunia akan menyebabkan
perubahan tertinggi sebesar 8.77 persen dan rerata 0.08 persen. Respons
pengaruh mulai terjadi sejak bulan pertama dan perubahan tertinggi terjadi pada
bulan keempat, keadaan menjadi mantap pada bulan ke 37; Kedua, harga impor
jagung akan menyebabkan perubahan tertinggi pada bulan kedua sebesar 8.11
54
persen. Pengaruh terjadi sejak bulan pertama dengan rerata 0.07 persen dan
akan mantap pada bulan ke 33; Ketiga, harga produsen jagung akan
menyebabkan perubahan harga produsen jagung itu sendiri sebesar 6.29 persen
pada bulan pertama yang merupakan pengaruh tertinggi, dengan rerata pengaruh
0.09 persen dan mantap pada bulan ke 32; Keempat, harga konsumen akan
menyebabkan perubahan tertinggi sebesar 3.30 persen pada bulan ketiga, dengan
rerata 0.04 persen. Perubahan terjadi sejak bulan pertama dan akan mantap pada
bulan ke 31; Kelima, tarif impor jagung akan menyebabkan perubahan tertinggi
3.28 persen pada bulan ketiga, dengan rerata pengaruh 0.12 persen. Pengaruh
perubahan terjadi sejak bulan pertama dan mantap pada bulan ke 33; Keenam,
harga dunia jagung akan menyebabkan perubahan tertinggi 3.06 persen pada
bulan kedua dengan rerata respons pengaruh 0.05 persen. Pengaruh mulai
terjadi sejak bulan pertama dan mantap pada bulan ke 33; Ketujuh, harga BBM
akan meningkatkan harga produsen jagung sejak bulan pertama dengan rerata
pengaruh 0.04 persen dan pengaruh tertinggi sebesar 2.45 persen terjadi pada
bulan kedua, serta pengaruh kemantapan pada bulan ke 29; Kedelapan, harga
BBM akan meningkatkan harga produsen jagung sejak bulan pertama dengan
rerata pengaruh 0.04 persen dan pengaruh tertinggi sebesar 2.45 persen terjadi
pada bulan kedua, serta pengaruh kemantapan pada bulan ke 29; dan
Kesembilan, harga BBM akan meningkatkan harga produsen jagung sejak
bulan pertama dengan rerata pengaruh 0.04 persen dan pengaruh tertinggi
sebesar 2.45 persen terjadi pada bulan kedua, serta pengaruh guncangan
kemantapan pada bulan ke 29.
Bagi harga konsumen jagung hasil analisis impuls respons mendapatkan
bahwa apabila faktor-faktor diguncang sebesar 1 persen akan ada hanya tiga
faktor yang seketika menyebabkan perubahan harga konsumen di atas 2.00
persen (nilai mutlak), yaitu): Pertama, guncangan tarif impor jagung
berpengaruh sejak bulan pertama dengan pengaruh tertinggi 5.05 persen dan
rerata 0.18 persen. Pengaruh tertinggi terjadi pada bulan pertama dan mantap
pada bulan ke 30; Kedua, guncangan harga konsumen jagung berpengaruh sejak
bulan pertama dengan pengaruh tertinggi sebesar 4.88 persen dan rerata 0.09
persen. Pengaruh tertinggi terjadi pada bulan pertama dan mantap pada bulan ke
55
29; dan Ketiga, guncangan harga minyak dunia berpengaruh sejak bulan
pertama dengan rerata pengaruh sebesar -0.05 persen dan pengaruh tertinggi
sebesar -2.52 persen terjadi pada bulan pertama dan mantap pada bulan ke 35.
Selebihnya hanya memberi pengaruh di bawah 2.00 persen.
Selanjutnya, dari hasil analisis pengaruh perubahan atau pass-through
effect pada harga produsen jagung, apabila terjadi perubahan masing-masing 1
persen faktor, maka diperoleh: Pertama, guncangan harga input diprakirakan
akan menimbulkan perubahan harga produsen tertinggi 8.14 persen (nilai mutlak),
pada kemantapan -0.91 persen dan rerata 1.05 persen (nilai mutlak); Kedua,
guncangan harga minyak dunia diprakirakan akan menimbulkan perubahan harga
produsen jagung tertinggi 1.03, pada kemantapan 0.48 persen dan rerata 0.49
persen; Ketiga, guncangan harga impor diperkirakan akan menimbulkan
perubahan harga produsen tertinggi 0.86 persen, pada kemantapan dan rerata
0.51 persen; Keempat, guncangan nilai tukar diperkirakan akan menimbulkan
perubahan harga produsen jagung tertinggi 0.85 persen, pada kemantapan 0.74
persen dan rerata 0.72 persen; Kelima, guncangan harga konsumen diperkirakan
akan menimbulkan perubahan harga produsen tertinggi 0.71 persen, pada
kemantapan 0.45 persen dan rerata 0.44 persen; Keenam, guncangan harga
grosir akan menimbulkan perubahan harga produsen tertinggi 0.66 persen, pada
kemantapan dan rerata 0.47 persen; Ketujuh, guncangan tarif impor
diperkirakan akan menimbulkan perubahan harga produsen jagung tertinggi 0.48
persen, pada kemantapan 0.44 persen dan rerata 0.43 persen; Kedelapan,
guncangan volume konsumsi diperkirakan akan menimbulkan perubahan harga
produsen tertinggi 0.39 persen, pada kemantapan dan rerata 0.30 persen;
Kesembilan, guncangan indeks curah hujan diperkirakan akan menimbulkan
perubahan harga produsen tertinggi 0.32 persen, pada kemantapan dan rerata -
0.12 persen; Kesepuluh, guncangan harga jagung dunia diperkirakan akan
menimbulkan perubahan harga produsen jagung harga tertinggi -0.31 persen,
pada kemantapan -0.24 persen dan rerata -0.23 persen; dan Kesebelas,
guncangan harga BBM diperkirakan akan menimbulkan perubahan harga produsen
tertinggi dan pada kemantapan 0.26 persen dan rerata 0.24 persen. Guncangan
faktor lainnya menimbulkan perubahan harga konsumen tertinggi dalam nilai
56
positif atau negatif antara 0.03 persen hingga 0.13 persen, pada kemantapan dan
rerata antara 0.01 hingga 0.03 persen atau di bawah 5.00 persen.
Perbandingan antara hasil analisis dekomposisi ragam dan impuls respons
menunjukkan bahwa: Pertama, terhadap volatilitas harga produsen jagung: (1)
harga dunia, nilai tukar dan tarif impor berpengaruh relatif besar, akan tetapi
pangsa pengaruhnya terhadap dekomposisi ragam relatif kecil; (2) harga
konsumen jagung dan harga grosir berpengaruh relatif kecil terhadap perubahan
harga produsen jagung, tetapi pangsa pengaruhnya terhadap dekomposisi ragam
relatif besar. Kedua terhadap volatilitas harga konsumen jagung: (1) harga
minyak dunia berpengaruh relatif besar, tetapi pangsanya dalam dekomposisi
ragam kecil; (2) indeks curah hujan memiliki pangsa yang relatif besar dalam
dekomposisi ragam, tetapi pengaruhnya kecil terhadap perubahan harga
konsumen jagung; Ketiga, berdasarkan analisis waktu terjadinya perubahan
diketahui bahwa respons tertinggi umumnya terjadi antara bulan pertama hingga
bulan keempat. Namun demikian, waktu yang dibutuhkan untuk mencapai kondisi
kemantapan adalah antara 29 bulan hingga 37 bulan pada harga produsen dan
antara 22 bulan hingga 35 bulan pada harga konsumen. Ini menunjukkan bahwa
dalam rangka kemantapan harga, baik harga produsen maupun harga konsumen
sangat diperlukan kehati-hatian dan pendekatan yang komprehensif. Kebijakan
yang terlalu reaktif hanya akan menimbulkan persoalan semakin volatilnya harga
produsen dan konsumen jagung. Kebijakan seharusnya bersifat sangat antisipatif.
Berdasarkan hasil analisis dekomposisi ragam, impuls respons maupun
pengaruh perubahan atau pass-through effect dapat diketahui bahwa: Pertama,
pada volatilitas harga produsen, harga jagung dunia berpengaruh negatif; dan
pada volatilitas harga konsumen, harga minyak dunia dan harga jagung dunia
menunjukkan pengaruh perubahan yang bernilai negatif. Artinya bahwa
guncangan peningkatan harga jagung dunia berpengaruh terhadap penurunan
harga produsen dan konsumen jagung dalam negeri, dan peningkatan harga
minyak dunia dan menurunkan ragam harga konsumen dalam negeri. Hal ini
terjadi karena perubahan harga minyak dan jagung dunia akibat perubahan
harga-harga tersebut pada bursa komoditas dunia menimbulkan permitaan implisit
atau virtual demand yang ditimbulkan pasar komoditas yang dimasuki pasar
57
keuangan/investasi. Ketika terjadi penurunan harga minyak yang menimbulkan
nilai marjin modal di bursa komoditas minyak dunia juga turun, maka investasi
pasar pedagang bursa akan mengarah kepada perdagangan berjangka jagung.
Akibatnya harga jagung dunia meningkat, sedangkan harga minyak akan turun
atau sebaliknya.
Kedua, transmisi harga jagung dunia kepada harga produsen dan
konsumen dalam negeri dikalibrasi oleh nilai tukar dan tarif impor. Oleh karena
itu, nilai tukar, tarif impor dan harga impor memiliki respons pengaruh dan pass-
through effect yang tinggi terhadap volatilitas harga produsen dan nilai tukar dan
tarif impor memiliki respons pengaruh perubahan dan pass-through effect yang
tinggi pada volatilitas harga konsumen.
Ketiga, harga minyak, harga jagung dunia, nilai tukar dan harga impor
yang memiliki pass-through effect yang lebih tinggi pada harga produsen
dibandingkan terhadap konsumen. Ini menunjukkan bahwa kebijakan-kebijakan
pemerintah yang selama ini diluncurkan terkait nilai tukar dan tarif impor tidak
efektif melindungi harga produsen dari pengaruh perubahan harga-harga dunia,
sehingga perubahan tertransmisi langsung dan lebih nyata pada harga produsen
jika dibandingkan terhadap harga konsumen.
Keempat, nilai pass-through effect harga impor dan tarif impor yang tinggi
pada volatilitas harga produsen, dan tarif impor yang tinggi pada volatilitas harga
konsumen menunjukkan bahwa perilaku pengimpor dan kebijakan pemerintah
sangat mempengaruhi volatilitas harga produsen dan konsumen, dan konsumen
merangkap pengimpor yang ditunjukkan oleh perubahan yang rendah terhadap
harga produsen, tetapi tinggi terhadap harga konsumen.
Kelima, pengaruh dari segi dekomposisi ragam, impuls respons dan pass-
through effect terhadap harga produsen secara umum lebih tinggi terhadap harga
konsumen jika dibandingkan harga konsumen. Hal ini menunjukkan bahwa volatilitas
harga produsen akan lebih tinggi jika dibandingkan volatilitas harga konsumen. Dengan
demikian kebijakan-kebijakan pemerintah yang selama ini diluncurkan lebih berpengaruh
terhadap pemantapan harga konsumen jika dibandingkan harga produsen.
Keenam, respons dan pengaruh perubahan harga produsen yang tinggi terhadap
guncangan harga minyak dunia, harga jagung dunia dan tarif impor menunjukkan bahwa
liberalisasi perdagangan dan penurunan tarif atau kenaikan tarif berdampak menciptakan
58
ketidak-mantapan pada harga produsen, tetapi kurang berpengaruh pada ketidak-
mantapan harga konsumen.
Ketujuh, guncangan harga input dan harga BBM atau perubahan harga
input dan harga BBM baik yang terkait dengan kebijakan ataupun tidak, lebih
berpengaruh pada volatilitas harga konsumen jika dibandingkan harga produsen.
Pengaruh yang sama juga terjadi pada pengaruh perubahan indeks curah hujan,
dimana pengaruh volatilitas terhadap harga produsen lebih rendah jika
dibandingkan terhadap harga konsumen. Hal ini tampaknya terjadi karena
konsumen utama jagung adalah industri pengolahan, sehingga apabila terjadi
guncangan indeks curah hujan, mereka akan mengamankan pasokan untuk
memenuhi kebutuhan industrinya.
Kedelapan, pengaruh guncangan volume impor dan volume produksi
terhadap volatilitas harga produsen sama besarnya, tetapi pada volatilitas harga
konsumen, pengaruh volume impor lebih tinggi daripada volume produksi. Hal ini
memberikan makna bahwa upaya meningkatkan kemantapan lebih efektif
dilakukan melalui upaya peningkatan produksi dalam negeri dari pada upaya
impor. Namun demikian, upaya ini harus disertai dengan kebijakan yang bersifat
antisipatif, lebih komprehensif (terpadu) dan didukung oleh pengembangan
infrastruktur yang memadai; dan Kesembilan, kebijakan yang terkait dengan
fiskal dan moneter lebih mengarah kepada upaya perlindungan untuk menjaga
kemantapan harga konsumen daripada harga produsen.
Dari hasil-hasil diatas dapat disimpulkan bahwa upaya pemerintah untuk
meningkatkan produksi dan menjaga swasembada jagung berkelanjutan tidak
akan meningkatkan kesejahteraan petani apabila orientasi kebijakan pemerintah
seperti yang dilakukan selama ini tidak diubah. Alasannya, karena kebijakan-
kebijakan tersebut juga dapat menimbulkan ketidak-mantapan pada harga
konsumen. Dari sisi kebijakan fiskal, tarif impor dan perubahan harga input
misalnya, penelitian ini menunjukkan bahwa pengurangan subsidi pupuk lebih
berpengaruh kepada volatilitas harga konsumen dibandingkan terhadap harga
produsen, sedangkan dari sisi kebijakan moneter, perubahan nilai tukar lebih
berpengaruh terhadap volatilitas harga produsen. Oleh karena itulah dalam
merancang kebijakan pemantapan harga diperlukan kehati-hatian, keterpaduan
59
dan bersifat antisipatif. Karena berdasarkan hasil analisis, kebijakan yang tadinya
ditujukan untuk memantapkan pasar (harga) justru dapat menimbulkan volatilitas
yang lebih tinggi dan ketidak-mantapan berkepanjangan. Oleh karena itu,
kebijakan peningkatan produksi jagung dalam negeri dan upaya mencapai
swasembada, bahkan mampu melakukan ekspor akan lebih baik dilakukan
mengingat respons pengaruh dan peran terhadap perubahan harga produsen
relatif sama dan terhadap harga konsumen kebijakan ini akan mengurangi resiko
dari pengaruh volume impor terhadap volatilitas harga konsumen yang tinggi.
Jagung sebagai salah satu komoditas yang disasar mencapai swasembada
dalam tiga tahun kedepan, oleh pemerintah terus diupayakan agar produksinya
meningkat terus melalui berbagai pendekatan dan kegiatan. Sementara itu, biaya
terbesar dalam usahatani jagung adalah pengeluaran untuk tenaga kerja, diikuti
biaya input lainnya, seperti benih dan pupuk organik (pupuk kandang). Harga
benih juga mahal, karena petani menggunakan benih jagung hibrida yang diimpor,
karena benih ini tidak dapat dibudidayakan petani sendiri. Pupuk organik yang
umum digunakan adalah pupuk kandang, yang sangat diperlukan untuk
menggemburkan dan menyuburkan tanah, karena kalau tanah digunakan/ditanam
secara terus menerus (tanpa bera) akan menguras unsur hara tanah, sehingga
tanah menjadi “kurus”, dan produktivitas hasil akan turun/rendah, dan diperlukan
Kotak 6
Analisis Usahatani Jagung Pada saat panen raya, sering terjadi harga jagung menjadi turun/rendah, karena petani sangat
membutuhkan dana tunai untuk keberlanjutan usahatani berikutnya, sehingga harus menjual segera, dan memperoleh harga yang rendah. Walaupun produktivitas jagung sudah lumayan baik di Kabupaten Garut (dapat mencapai rata-rata 6.4 ton/ha), karena harga jagung rendah
saat menjual (yaitu sekitar Rp. 2,600,-/kg), maka penerimaan usahatani jagung tidak besar. Dengan biaya usahatani yang cukup tinggi, perolehan keuntungan usahatani menjadi kecil, hanya sekitar Rp. 6.5 juta/hektar, nisbah R/C = 1.65, nisbah B/C = 0.65, sehingga keuntungan
per bulan hanya sekitar Rp. 1.64 juta/ha (Lampiran Tabel LT.15). Oleh karena tingkat keuntungan usahatani sangat ditentukan oleh harga jagung yang dijual petani, maka perlu
diupayakan agar harga produsen ini tetap mantap, sehingga petani tetap membudidayakan komoditas ini pada musim yang sesuai. Bahkan, bukan hanya komoditas jagung, harga komoditas pangan utama lainnya, seperti padi/beras dan kedele juga perlu dijaga agar tetap
mantap dan memberi keuntungan yang memadai bagi produsen. Terlebih lagi kalau kita mengingat luas lahan yang dimiliki petani sangat sempit/terbatas (rerata sekitar 0.3 hektar), sehingga banyak petani yang mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan hidup
keluarganya.
60
pupuk organik untuk “mengembalikan” kesuburannya dan jumlah yang dibutuhkan
relatif banyak. Ini tentu menjadi, tambahan biaya yang tidak kecil bagi sebagian
besar petani produsen jagung. Hal ini tidak berarti bahwa petani sama sekali tidak
menggunakan pupuk anorganik. Mereka tetap menggunakan dalam jumlah yang
relatif besar juga, meskipun dari sisi biaya masih lebih rendah daripada pupuk
organik (lihat Kotak 6 dan 7 serta Lampiran Tabel LT.15).
3.2.1.9. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Volatilitas Harga
Produsen dan Konsumen Kedelai
Berdasarkan hasil analisis dekomposisi ragam, impuls respons dan
pengaruh perubahan dari faktor-faktor yang mempengaruhi volatilitas harga
produsen dan konsumen komoditas kedelai disajikan pada Tabel 3-14.
Apabila terjadi guncangan perubahan faktor-faktor yang mempengaruhi
ragam volatilitas harga produsen kedelai sebesar 1 persen, dalam periode 60
bulan ke depan dapat diprakirakan bahwa ada enam faktor yang menyumbang
lebih dari 5.00 persen terhadap ragam volatilitas harga produsen kedelai. Faktor-
faktor ini adalah (dari nilai tertinggi sampai terendah): Pertama, harga impor
kedelai memberikan pengaruh tertinggi 33.21 persen, pada kemantapan 31.70
persen dan rerata 31.74 persen; Kedua, harga produsen kedelai sendiri
memberikan pengaruh tertinggi 18.45 persen, pada kemantapan 17.59 persen
dan rerata 17.61 persen; Ketiga, harga konsumen memberikan pengaruh
tertinggi 16.28 persen, pada kemantapan 16.49 persen dan rerata 16.95 persen;
Keempat, harga grosir memberikan pengaruh tertinggi 12.75 persen, pada
kemantapan 11.53 persen dan rerata 11.56 persen; Kelima, tarif impor kedelai
memberikan pengaruh tertinggi 7.82 persen, pada kemantapan 7.81 persen dan
rerata 7.40 persen; dan Keenam, harga kedelai dunia memberikan pengaruh
tertinggi 5.24 persen dan pada kemantapan 4.83 persen dan rerata 4.83 persen.
Faktor-faktor lainnya memberikan pengaruh tertinggi, pada kemantapan maupun
rerata dibawah 5.00 persen.
Sementara itu, pada volatilitas harga konsumen kedelai, hanya empat
faktor yang menyumbang lebih dari 5.00 persen terhadap ragam volatilitas harga.
Faktor-faktor ini adalah (dari nilai tertinggi sampai terendah): Pertama,
61
Kotak 7 Pemasaran Jagung Di lokasi survei hanya satu jenis saluran pemasaran jagung: (a) petani ke pedagang
pengumpul desa (100 persen), lalu ke bandar (pedagang besar), lalu ke pemasok pabrik pakan, dan akhirnya ke pabrik pakan. Petani selalu menjual jagungnya ke pedagang pengumpul yang ia kenal selama beberapa tahun. Rerata olume penjualan jagung tiap
musim di daerah survey sekitar 2,000 kg dengan harga Rp. 3.000/kg. Berbeda dari sistem pembayaran di padi/gabah, di jagung pedagang desa membayar jagung yang mereka beli
tunai. Pasokan jagung di pasar wilayah Kabupaten Garut sangat tergantung pada musim, cuaca
atau iklim. Harga pembelian jagung: Musim Tanam I (Desember – Maret yang dipanen bulan April – Juni, Rp. 2,700/kg (KA18 persen) – Rp. 2,800/kg (KA16 persen); Musim Tanam II, Rp. 3,000/kg (KA 18 persen) – Rp. 3,200/kg (KA 16 persen). Namun, pada
bulan Desember 2014 ini perusahaan/pedagang membeli dari pengumpul Rp. 3,000/kg dan mengeluarkan ongkos Rp. 50/kg.
Pada saat paceklik, kebutuhan Kabupaten Garut didatangkan juga dari provinsi Jawa Tengah, terutama wilayah Kabupaten Surakarta, Kota Solo, atau Purbalingga, selain dari wilayah Kabupaten Garut sendiri. Kadar Air/KA bahan baku dari petani berbeda-beda
antara 16, 18 atau 20 persen. Menurut informasi dari responden pedagang, pasokan jagung pada saat ini agak kurang, karena mereka mendapat laporan dari para pedagang pengumpulnya di desa-desa, hama tikus menyerang lahan-lahan jagung.
Informasi harga dan informasi pasar lainnya dapat diperoleh dengan mudah dan umumnya dari pedagang besar langganan dan dari pasar dan yang menentukan harga ini
pedagang besar. Selama ini tidak ada masalah dalam pemasaran hasil karena permintaan dari pedagang pengumpul tetap berkembang.
Menurut ingatan responden pergerakan harga dari bulan September 2013 sampai Desember 2013 adalah sebagai berikut: September, harga Rp. 3,400/kg, Oktober Rp.
3,500/kg, November Rp. 3,000/kg, Desember Rp. 2,700/kg; dan dari bulan Maret 2014 – Desember 2014 adalah adalah sebagai berikut: Maret - November, harga Rp. 2,800/kg, Desember Rp. 3,200/kg. Karena ada peningkatan harga ini, maka pedagang-pedagang di
Kabupaten Garut juga mendapatkan pasokannya dari provinsi Jawa Tengah, terutama wilayah Kabupaten Surakarta, Kota Solo, atau Purbalingga, dan dari provinsi Jawa Tengah, terutama Kabupaten Kediri. Perkembangan harga jagung dalam 5 tahun
terakhir, kecuali beberapa bulan terakhir (pada awal Desember 2014 waktu penelitian berjalan dan sebelum kenaikan harga BBM) tidak banyak berubah. Alasan harga jagung tidak banyak berubah antara lain karena pasokan dan permintaan tidak banyak berubah
dan meskipun perubahan iklim terjadi, tetapi tidak terlalu berpengaruh pada tanaman jagung. Faktor-faktor yang mempengaruhi penurunan/peningkatan harga di pasar, yaitu : (a) pasokan jagung yang dijual di pasar; (b) mutu produk (KA); (c) produk impor; (d)
perubahan musim/iklim; (e) hama penyakit, dan (f) biaya angkut.
Biaya angkut ini juga berpengaruh mengingat pedagang besar membeli bahan baku dari pedagang pengumpul. Jika barang diambil sendiri, ongkos angkutnya Rp. 50/kg, tetapi jika diantar oleh pedagang pengumpul ongkos kirim menjadi beban pedagang pengumpul.
Bagi pedagang pengumpul desa ongkos kirim/angkut jagung kering dari rumah ke pasar dilakukan dengan menyewa truk kecil kapasitas 2 ton dengan ongkos Rp. 70/kg, atau 2,000 X Rp. 70/kg = Rp. 140,000/truk dan ongkos muat Rp. 40/kg, atau 2,000 X Rp 40/kg
= Rp 80,000/sekali angkut. Jadi biaya total pengangkutan adalah Rp. 220,000.
(lanjutan)
62
guncangan harga konsumen kedelai sendiri memberikan pengaruh nilai tertinggi
47.65 persen, pada kemantapan 40.27 persen dan rerata 40.41 persen; Kedua,
guncangan harga impor kedelai memberikan pengaruh nilai tertinggi 31.64
persen, pada kemantapan 31.22 persen dan rerata 31.19 persen; Ketiga,
guncangan tarif impor kedelai memberikan pengaruh nilai tertinggi 13.71 persen
dan pada kemantapan 11.16 persen dan rerata 11.20 persen; dan Keempat,
guncangan harga BBM memberikan pengaruh nilai tertinggi dan pada kemantapan
8.03 persen dan rerata 8.02 persen. Faktor-faktor lainnya memberikan pengaruh
nilai tertinggi, pada kemantapan maupun rerata dibawah 5.00 persen.
Berdasarkan hasil analisis ini dapat diketahuhi bahwa: Pertama, volatilitas
harga produsen dipengaruhi oleh perubahan harga minyak dunia, harga kedelai
dunia dan perubahan tarif impor. Namun kebijakan yang selama ini ditempuh
belum efektif melindungi harga produsen dari gejolak perubahan harga dunia jika
dibandingkan dengan harga konsumen. Ketergantungan terhadap impor yang
tinggi menyebabkan harga produsen dan konsumen terpengaruh harga-harga
dunia; Kedua, harga konsumen/dunia sangat mempengaruhi volatilitas baik harga
produsen maupun harga konsumen, karena adanya keterpaduan antara pasar
Kotak 7 (lanjutan) Pedagang besar responden yang menampung jagung kering di Kabupaten Garut menjual hasil pembeliannya ke para pemasok, bukan ke pabrik pakan secara langsung, yaitu: PT A* yang memasok ke pabrik pakan PT X* dan PT Y* yang ada di Kabupaten Tangerang;
pemasok pabrik pakan di Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Majalaya; dengan perbandingan ketiganya sekitar 70:15:15 persen berturut-turut. Ongkos kirim ke Kabupaten Tangerang sekitar Rp. 120/kg, sedangkan ongkos kirim ke Kabupaten Cianjur
dan Kabupaten Majalaya sekitar Rp. 100/kg. Yang menarik juga untuk diketahui adalah, perusahaan tidak mau menjual barangnya langsung ke pabrik pakan, tetapi selalu
mengandalkan para pemasok/agen dengan alasan dana hasil penjualan kalau menjual langsung ke pabrik baru cair setelah 2 minggu sampai 1 bulan, sementara kalau menjual ke pemasok/agen hasil penjualan dapat diperoleh dalam hitungan hari. Selain itu, para
pemasok/agen tadi menyediakan modal awal juga bagi pedagang besar. Harga yang diterima dari atau harga penjualan ke para pemasok ke pabrik pakan
ditetapkan dengan mengambil marjin sekitar Rp. 200/kg. Pedagang besar ini hampir tidak melakukan kegiatan penanganan pasca panen sama sekali, karena memang tidak mempunyai alat pengering dan juga bahan baku yang dibeli dari petani sudah dalam
bentuk pipilan kering. Tingkat penyusutan pada bahan yang diperdagangkan sekitar 6 kg dari 1 ton atau 0.6 persen.
*) Nama-nama perusahaan ini ada pada para penulis.
63
Tabel 3-14. Dugaan Pangsa Pengaruh Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi
Volatilitas Harga Produsen dan Konsumen Kedelai Indonesia dalam
Periode 60 Bulan Ke Depan
Keterangan
Harga Produsen Harga Konsumen
Min Maks Kemantapan Rerata Min Maks Kemantapan Rerata
Dekomposisi Ragam (%) Guncangan PO 4.40 4.55 4.52 4.52 0.08 0.52 0.52 0.51
Guncangan PW 4.83 5.24 4.83 4.84 0.12 0.42 0.42 0.41
Guncangan ER 2.24 2.59 2.24 2.25 1.01 1.14 1.01 1.01
Guncangan TM 6.28 7.82 7.81 7.79 11.15 13.71 11.16 11.20
Guncangan PM 31.70 33.21 31.70 31.74 29.17 31.64 31.22 31.19
Guncangan QM 0.21 0.31 0.31 0.31 0.48 0.90 0.90 0.88
Guncangan PC 14.92 16.28 14.92 14.95 40.27 47.65 40.27 40.41
Guncangan QC 0.30 1.92 1.92 1.88 0.00 0.40 0.40 0.39
Guncangan PG 11.53 12.75 11.53 11.56 0.00 0.72 0.72 0.71
Guncangan PF 17.59 18.45 17.59 17.61 0.00 4.43 4.37 4.30
Guncangan QF 0.00 0.56 0.55 0.54 0.00 0.20 0.20 0.20
Guncangan PI 0.00 1.23 1.23 1.20 0.00 0.46 0.46 0.45
Guncangan PE 0.14 0.57 0.57 0.56 7.65 8.03 8.03 8.02
Guncangan CC 0.00 0.26 0.26 0.26 0.00 0.32 0.32 0.32
Impuls Respons (%)
Guncangan PO 0.00 3.80 0.00 0.11 -0.81 1.61 0.00 0.05
Guncangan PW -0.14 3.13 0.00 0.07 -0.77 1.12 0.00 0.01
Guncangan ER -0.06 1.98 0.00 0.04 -0.18 2.14 0.00 0.04
Guncangan TM 0.00 1.42 0.00 0.05 0.00 3.42 0.00 0.07
Guncangan PM -0.03 3.24 0.00 0.07 -0.02 4.94 0.00 0.13
Guncangan QM -0.65 0.16 0.00 -0.02 -1.60 0.94 0.00 -0.03
Guncangan PC -0.68 2.12 0.00 0.02 -1.31 5.90 0.00 0.07
Guncangan QC 0.00 0.18 0.00 0.01 0.00 0.13 0.00 0.01
Guncangan PG -0.02 1.82 0.00 0.04 -0.05 0.78 0.00 0.01
Guncangan PF 0.00 2.99 0.00 0.07 -0.01 2.63 0.00 0.05
Guncangan QF -0.01 0.76 0.00 0.01 -0.12 0.75 0.00 0.01
Guncangan PI 0.00 0.96 0.00 0.03 -1.10 0.16 0.00 -0.01
Guncangan PE 0.00 0.66 0.00 0.03 -2.23 4.57 0.00 0.07
Guncangan CC -0.11 0.02 0.00 0.00 -0.20 0.01 0.00 0.00
Koefisien Pass-Through Guncangan PO 0.34 0.56 0.56 0.55 -0.07 0.23 0.23 0.22
Guncangan PW 0.46 0.56 0.52 0.52 -0.11 0.15 0.11 0.10
Guncangan ER 0.35 0.41 0.35 0.35 0.38 0.45 0.38 0.38
Guncangan TM 0.09 0.23 0.23 0.23 0.22 0.33 0.33 0.33
Guncangan PM 0.39 0.42 0.39 0.39 0.59 0.73 0.70 0.70
Guncangan QM 0.01 0.04 0.03 0.03 0.02 0.05 0.04 0.04
Guncangan PC 0.29 0.36 0.29 0.29 1.00 1.00 1.00 1.00
Guncangan QC 0.10 0.26 0.26 0.26 0.00 0.19 0.19 0.19
Guncangan PG 0.52 0.53 0.52 0.52 0.00 0.18 0.16 0.16
Guncangan PF 1.00 1.00 1.00 1.00 0.00 0.67 0.67 0.66
Guncangan QF -0.02 0.00 -0.02 -0.02 -0.02 0.00 -0.01 -0.01
Guncangan PI 0.00 0.25 0.25 0.24 -0.18 0.00 -0.11 -0.11
Guncangan PE 0.04 0.21 0.21 0.20 0.28 0.54 0.48 0.48
Guncangan CC -0.03 0.00 -0.02 -0.02 -0.05 0.00 -0.04 -0.04
Keterangan: PO= Harga Minyak Dunia; PW = Harga Komoditas Dunia; ER = Nilai Tukar; TM = Tarif Impor; PM = Harga Impor; QM = Volume Impor; PC = Harga Konsumen; QC = Volume Konsumsi; PG = Harga Grosir; PF = Harga Produsen; QF = Volume Produksi atau Produktivitas; PI = Harga Input; PE = Harga
BBM; dan CC = Indeks Perubahan Iklim. Sumber: Hasil Analisis.
dalam negeri dengan pasar dunia akibat ketergantungan Indonesia yang tinggi
terhadap impor; Ketiga, jika pada volatilitas harga produsen guncangan harga
grosir menimbulkan ketidak-mantapan harga, maka pada harga konsumen justru
guncangan harga impor yang menimbulkan ketidak-mantapan harga konsumen.
Permasalahannya adalah apabila pedagang grosir sekaligus merangkap
64
pengimpor, maka dinamika perubahan perilaku pada pedagang tersebut akan
menimbulkan ketidak-mantapan harga yang dapat menimbulkan volatilitas yang
lebih tinggi lagi, baik pada harga konsumen maupun harga produsen; Keempat,
guncangan harga BBM relatif tidak berpengaruh terhadap volatilitas harga
produsen, tetapi relatif lebih berpengaruh terhadap volatilitas harga konsumen.
Hal ini adalah wajar karena guncangan harga BBM akan menimbulkan guncangan
pada biaya transportasi atau distribusi dan penanganan pasca panen dan
pengolahan kedelai yang umumnya dilakukan oleh pedagang grosir dan
pengimpor yang mendistribusikan kedelai dari wilayah produsen ke wilayah
konsumen. Namun, karena pemerintah umumnya lebih responsif terhadap
perubahan harga konsumen, hal ini menjadi peluang bagi pedagang grosir dan
pedagang eceran untuk mendapatkan keuntungan dari ketidak-mantapan harga
produsen ini. Potensi keuntungan akan semakin besar apabila pedagang grosir
juga adalah pedagang pengimpor.
Berdasarkan hasil analisis impuls respons diketahui bahwa lima faktor yang
memiliki rerata pengaruh seketika paling besar (di atas 2.00 persen) terhadap
perubahan harga produsen kedelai, jika masing-masing faktor tersebut diguncang
1 persen, yaitu (dari nilai tertinggi sampai terendah): Pertama, guncangan harga
minyak dunia dengan nilai tertinggi 3.80 persen dan rerata 0.11 persen; Kedua,
guncangan harga impor kedelai dengan nilai tertinggi 3.24 persen dan rerata 0.07
persen; Ketiga, guncangan harga kedelai dunia dengan nilai tertinggi tertinggi
3.13 persen dan rerata 0.07 persen; Keempat, guncangan harga produsen
kedelai sendiri dengan nilai tertinggi 2.99 persen dan rerata 0.07 persen; dan
Kelima, guncangan harga konsumen kedelai dengan nilai tertinggi 2.12 persen
dan rerata 0.02 persen. Guncangan faktor-faktor lainnya dengan nilai tertinggi
baik negatif atau positif dibawah 2.00 persen dan rerata di bawah 0.04 persen
dalam tanda negatif maupun positif.
Dalam periode yang sama, guncangan perubahan 1 persen masing-masing
dari 14 (empat belas) faktor yang mempengaruhi perubahan harga konsumen
kedelai, hanya enam faktor yang memberi pengaruh di atas 2.00 persen, yaitu
(dari nilai tertinggi sampai terendah): Pertama, harga konsumen itu sendiri
dengan respons tertinggi 5.90 persen dan rerata 0.07 persen; Kedua, harga
65
impor dengan respons tertinggi 3.42 persen dan rerata 0.07 persen; Ketiga,
harga BBM dengan respons tertinggi 4.57 persen dan rerata 0.07 persen;
Keempat, harga impor dengan respons tertinggi 3.42 persen dan rerata 0.07
persen; Kelima, harga produsen dengan respons tertinggi 2.63 persen dan rerata
0.05 persen; dan Keenam, nilai tukar dengan respons tertinggi 2.14 persen dan
rerata 0.04 persen. Guncangan faktor lainnya dengan respons tertinggi baik
negatif atau positif dibawah 2.00 persen dan rerata di bawah 0.03 persen dalam
tanda negatif maupun positif.
Setiap faktor yang mempengaruhi volatilitas harga produsen dan
konsumen, disamping menimbulkan pengaruh dengan tingkatan yang berbeda,
jangka waktunya berbeda-beda pula. Pada volatilitas harga produsen kedelai,
guncangan faktor-faktor yang berpengaruh tadi secara umum mulai berpengaruh
sejak bulan pertama; kecuali volume produksi, harga input, dan indeks curah
hujan, yang mulai berpengaruh sejak bulan kedua. Sedangkan pada volatilitas
harga konsumen, guncangan faktor-faktor sebagian besar berpengaruh sejak
bulan pertama yaitu harga minyak dunia, harga beras dunia, nilai tukar, tarif
impor, harga impor, volume impor, harga konsumen dan harga BBM. Sedangkan
volume konsumsi, harga grosir, harga produsen, volume produksi, harga input,
dan indeks curah hujan mulai berpengaruh sejak bulan kedua.
Pada volatilitas harga produsen kedelai, faktor-faktor yang menimbulkan
pengaruh tertinggi pada bulan pertama adalah guncangan harga minyak dunia,
harga kedelai dunia, nilai tukar, tarif impor, harga impor, harga konsumen, harga
grosir dan harga produsen dengan pengaruh kemantapan atau guncangan sudah
tidak menimbulkan pengaruh terhadap perubahan pada bulan ke 12, ke 16, ke 14,
ke 12, ke 14, ke 12, ke 14 dan ke 11. Sementara itu, faktor-faktor yang
menimbulkan pengaruh tertinggi pada bulan kedua adalah guncangan volume
konsumsi, volume produksi dan harga input dengan pengaruh kemantapan pada
bulan ke 13, ke 14 dan ke 11. Sedangkan faktor-faktor yang menimbulkan
guncangan tertinggi pada bulan ketiga adalah harga BBM dan indeks curah hujan
dengan pengaruh kemantapan pada bulan ke 15 dan ke 10, dan faktor yang
menimbulkan guncangan tertinggi pada bulan ke empat adalah volume impor
dengan pengaruh kemantapan pada bulan ke 13. Faktor-faktor yang
66
menimbulkan pengaruh guncangan tertinggi pada bulan pertama harga
konsumen adalah nilai tukar, tarif impor, harga impor, harga konsumen dan harga
BBM dengan pengaruh kemantapan pada bulan ke 15, ke 13, ke 14, ke 12 dan ke
15. Selain itu, faktor-faktor yang menimbulkan pengaruh guncangan tertinggi
pada bulan kedua adalah harga minyak dunia, harga dunia, volume impor, volume
konsumsi, harga grosir, harga produsen, volume produksi dan indeks curah hujan
dengan pengaruh kemantapan pada bulan ke 14, ke 16, ke 13, ke 14, ke 14, ke
13, ke 14 dan ke 12. Adapun faktor-faktor yang menimbulkan pengaruh tertinggi
pada bulan ketiga adalah guncangan harga input dengan pengaruh kemantapan
pada bulan ke 13.
Berdasarkan hasil analisis ini, dapat diketahui bahwa pada volatilitas harga
produsen pengaruh tertinggi terjadi antara bulan pertama hingga bulan keempat,
sedangkan pada harga konsumen pengaruh tertinggi terjadi antara bulan pertama
hingga bulan ketiga. Jangka waktu pengaruh hingga mencapai kemantapan pada
volatilitas harga produsen adalah antara bulan ke 10 hingga ke 16, sedangkan
pada harga konsumen antara bulan ke 12 hingga bulan ke 16. Faktor yang
mempengaruhi perubahan paling pendek (10 bulan) terhadap guncangan
pengaruh adalah indeks curah hujan, sedangkan pada harga konsumen faktor
yang mempengaruhi perubahan paling pendek (12 bulan) adalah guncangan atau
perubahan harga konsumen dan indeks curah hujan. Faktor yang berpengaruh
dalam jangka waktu paling panjang (17 bulan) baik terhadap harga produsen
maupun harga konsumen kedelai adalah guncangan atau perubahan harga kedelai
dunia.
Hasil analisis pass-through menunjukkan bahwa guncangan terhadap
perubahan 1 persen masing-masing faktor yang mempengaruhi volatilitas harga
produsen kedelai, maka: Pertama, perubahan harga minyak dunia akan
menimbulkan perubahan dengan nilai tertinggi dan pada kemantapan 0.56 persen,
dan rerata 0.55 persen; Kedua, perubahan harga beras dunia akan menimbulkan
perubahan dengan nilai tertinggi 0.56 persen dan pada kemantapan dan rerata 52
persen; Ketiga, perubahan harga grosir akan menimbulkan perubahan dengan
nilai tertinggi 0.53 persen, pada kemantapan dan rerata 0.52 persen; Keempat,
perubahan harga impor akan menimbulkan perubahan dengan nilai tertinggi 0.42
67
persen, pada kemantapan dan rerata 0.39 persen; Kelima, perubahan nilai tukar
akan menimbulkan perubahan dengan nilai tertinggi 0.41 persen, pada
kemantapan dan rerata 0.52 persen; Keenam, perubahan harga konsumen akan
menimbulkan perubahan dengan nilai tertinggi 0.36 persen, pada kemantapan dan
rerata 0.29 persen; Ketujuh, perubahan volume konsumsi akan menimbulkan
perubahan dengan nilai tertinggi, pada kemantapan dan rerata 0.26 persen;
Kedelapan, perubahan harga input akan menimbulkan perubahan dengan nilai
tertinggi, dan pada kemantapan 0.25 persen dan rerata 0.25 persen;
Kesembilan, perubahan tarif impor akan menimbulkan perubahan dengan nilai
tertinggi, pada kemantapan dan rerata 0.23 persen; dan Kesepuluh, perubahan
harga BBM akan menimbulkan perubahan dengan nilai tertinggi dan pada
kemantapan 0.21 persen dan rerata 0.20 persen. Perubahan faktor-faktor lainnya
hanya menimbulkan perubahan dengan nilai tertinggi 0.04 persen, -0.03 persen
dan -0.02 persen; pada kemantapan dan rerata masing-masing 0.03 persen, -0.02
persen dan -0.02 persen.
Pada volatilitas harga konsumen, perubahan masing-masing faktor sebesar
1 persen dapat diprakirakan bahwa: Pertama, perubahan harga impor akan
menimbulkan perubahan harga konsumen tertinggi 0.73 persen, pada
kemantapan dan rerata 0.70 persen; Kedua, perubahan harga produsen akan
menimbulkan perubahan harga konsumen tertinggi dan pada kemantapan 0.67
persen dan rerata 0.66 persen; Ketiga, perubahan harga BBM akan menimbulkan
perubahan harga konsumen tertinggi 0.54 persen dan pada kemantapan dan
rerata 0.48 persen; Keempat, perubahan tarif impor akan menimbulkan
perubahan harga konsumen tertinggi, rerata dan pada kemantapan 0.33 persen;
Kelima, perubahan harga minyak dunia akan menimbulkan perubahan harga
konsumen tertinggi dan pada kemantapan 0.23 persen, dan rerata 0.22 persen;
Keenam, perubahan volume konsumsi akan menimbulkan perubahan harga
konsumen tertinggi, pada kemantapan dan rerata 0.19 persen; Ketujuh,
perubahan harga grosir akan menimbulkan perubahan harga konsumen tertinggi
0.18 persen, pada kemantapan dan rerata 0.16 persen; Kedelapan, perubahan
harga kedelai dunia akan menimbulkan perubahan harga konsumen tertinggi 0.15
persen, pada kemantapan 0.11 persen dan rerata 0.10 persen; Kesembilan,
68
perubahan harga input akan menimbulkan perubahan harga konsumen
tertinggi0.18 persen, pada kemantapan dan rerata 0.11 persen; dan Kesepuluh,
perubahan jumlah impor akan menimbulkan perubahan harga konsumen tertinggi
0.05 persen, rerata dan pada kemantapan 0.04 persen. Perubahan faktor lainnya
akan menimbulkan perubahan harga konsumen tertinggi dalam nilai positif atau
negatif antara 0.04 hingga 0.05, pada kemantapan dan rerata antara 0.01 hingga
0.04 atau di bawah 5.00 persen.
Perbandingan antara hasil analisis dekomposisi ragam dan impuls respons
menunjukkan bahwa: Pertama, terhadap volatilitas harga produsen kedelai: (1)
guncangan nilai tukar memiliki respons pengaruh yang tinggi, tetapi pangsanya
terhadap ragam perubahan harga relatif kecil; (2) guncangan harga konsumen
kedelai memiliki respons perubahan yang kecil, tetapi pangsanya terhadap ragam
perubahan harga relatif besar; (3) guncangan faktor lainnya memiliki respons
perubahan dan pangsa terhadap ragam perubahan sama-sama besar atau sama-
sama kecil. Kedua, terhadap volatilitas harga konsumen kedelai: (1) guncangan
harga kedelai dunia memiliki respons pengaruh yang tinggi, akan tetapi
pangsanya terhadap ragam perubahan harga relatif kecil; (2) guncangan faktor
lainnya menimbulkan respons besar, tetapi juga memiliki pangsa yang besar
dalam mempengaruhi ragam perubahan harga, demikian pula sebaliknya. Ketiga,
berdasarkan analisis waktu terjadinya pengaruh ini, dapat diketahui bahwa
kebijakan yang ditempuh pemerintah dalam mengatasi guncangan harga
produsen dan konsumen seperti yang selama ini dilakukan dapat menekan
guncangan dalam jangka waktu satu bulan hingga tiga bulan terhadap lonjakan
harga produsen dan harga konsumen. Namun demikian, kebijakan tersebut justru
dapat menimbulkan gejolak harga yang berkepanjangan hingga 15 bulan. Oleh
karena itulah perlu kehati-hatian dan ketepatan dalam merumuskan kebijakan
dalam rangka menciptakan kemantapan harga produsen dan konsumen kedelai.
Berdasarkan hasil analisis dekomposisi ragam, impuls respons maupun
pengaruh perubahan dapat diketahui bahwa respons dan derajat pass-through
pengaruh terhadap harga produsen dari guncangan faktor-faktor yang
mempengaruhi volatilitas harga lebih tinggi jika dibandingkan terhadap harga
konsumen. Ini dapat diartikan sebagai: Pertama, volatilitas harga produsen akan
69
lebih tinggi jika dibandingkan volatilitas harga konsumen, yang berimplikasi bahwa
kebijakan-kebijakan pemerintah yang selama ini diluncurkan lebih mempengaruhi
perubahan dan kemantapan harga konsumen jika dibandingkan harga produsen.
Kedua, respons dan pengaruh perubahan harga produsen yang tinggi
terhadap guncangan harga minyak dunia dan harga dunia kedelai serta tarif impor
menunjukkan bahwa liberalisasi perdagangan dan penurunan tarif atau kenaikan
tarif berdampak menciptakan ketidak-mantapan pada harga produsen, tetapi
kurang berdampak pada ketidak-mantapan harga konsumen. Dalam arti lain,
kebijakan ini menciptakan ketidak-mantapan pada harga produsen, tetapi juga
kurang menciptakan kemantapan pada harga konsumen. Dengan demikian
keefektifan kebijakan pemerintah dalam bentuk tarif juga lebih mengarah pada
pemantapan harga konsumen, sebagaimana ditunjukkan nilai respons pengaruh
yang lebih besar terhadap harga konsumen, tetapi berakibat menekan dan
menciptakan ketidak-mantapan harga produsen yang ditunjukkan nilai respons
lebih kecil. Artinya, apabila pemerintah mengambil keputusan dalam hal volume
impor dan tarif secara bersamaan dalam rangka menjaga harga konsumen agar
tetap mantap, keputusan ini akan membawa perubahan terhadap harga
konsumen lebih besar dibanding terhadap harga produsen.
Ketiga, guncangan volume impor yang dapat timbul akibat kebijakan
pemerintah untuk menjaga kemantapan pasokan dengan melakukan impor kedelai
akan menimbulkan tekanan berupa penurunan harga produsen yang besarnya tiga
kali lebih kecil jika dibandingkan harga konsumen (respons pengaruh 0.31 persen
dibanding 0.90 persen). Namun, kebijakan ini memberikan pengaruh perubahan
yang hampir sama pada harga produsen atau harga konsumen (derajat pass-
though 0.03 persen dibanding 0.04 persen).
Keempat, guncangan harga BBM atau perubahan harga BBM baik yang
terkait dengan kebijakan ataupun tidak, sekalipun memiliki pangsa terhadap
ragam perubahan harga produsen realitif kecil dibandingkan terhadap harga
konsumen (0.56 persen dibandingkan 8.02 persen), tetapi pengaruhnya terhadap
perubahan harga konsumen di atas dua kali lipat besarnya dibanding harga
produsen (0.03 persen dibanding 0.07 persen). Pengaruh perubahan pada harga
produsen yang besarnya lebih rendah jika dibandingkan harga konsumen (0.20
70
persen dibanding 0.48 persen). Hal ini berarti bahwa perubahan harga BBM baik
akibat kebijakan pemerintah maupun karena faktor lainnya yang sintas, menjadi
salah satu sumber penyebab volatilitas harga konsumen.
Dengan demikian upaya pemerintah untuk meningkatkan produksi dan
mencapai swasembada kedelai berkelanjutan tidak akan meningkatkan
kesejahteraan petani apabila kebijakan pemerintah seperti yang dilakukan selama
ini tidak diubah ke arah keberfihakan kepada produsen. Hal ini terjadi karena
kebijakan yang terkait dengan fiskal dan moneter lebih mengarah kepada upaya
perlindungan konsumen dengan menjaga kemantapan harga konsumen. Namun,
disisi lain terdapat kebijakan yang dapat menimbulkan ketidak-mantapan pada
harga konsumen. Dari sisi kebijakan fiskal, tarif impor lebih berpengaruh kepada
volatilitas harga produsen dibandingkan harga konsumen, dan kebijakan impor
untuk meningkatkan stok kedelai juga lebih mendorong terjadinya volatilitas harga
pada tingkat produsen. Sementara itu, kebijakan peningkatan dan penurunan
subsidi input akan menimbulkan pengaruh yang searah dengan perubahan harga
produsen, dan memberikan arah perubahan yang sebaliknya terhadap harga
konsumen. Hal ini berarti bahwa penambahan subsidi harga input dapat saja
membawa perubahan penurunan harga produsen karena menimbulkan dorongan
untuk meningkatkan produksi dan menekan volume impor, sehingga harga
konsumen akan meningkat. Sedangkan dari sisi moneter, kebijakan dan
perubahan nilai tukar relatif sama pengaruhnya terhadap volatilitas harga
produsen dan volatilitas harga konsumsen. Guncangan perubahan nilai tukar
dapat menimbulkan respons perubahan harga produsen dan konsumen dengan
rerata sebesar 0.04 persen, tetapi pangsanya terhadap ragam perubahan harga
produsen lebih besar (2.25 persen dibanding 1.01 persen), sementara pengaruh
perubahan terhadap harga konsumen lebih besar dibandingkan terhadap harga
produsen (0.38 persen dibanding 0.35 persen). Hal ini disebabkan oleh sifat dan
keadaan kedelai, dimana Indonesia selama ini memiliki tingkat ketergantungan
yang tinggi terhadap impor.
Berdasarkan hasil-hasil di atas dapat dinyatakan bahwa kebijakan
peningkatan produksi dalam negeri dan upaya untuk mencapai swasembada
kedelai, akan lebih baik dilakukan dari pada peningkatan impor, meskipun respons
71
pengaruh dan perannya terhadap perubahan harga produsen relatif sama.
Alasannya adalah karena upaya peningkatan produksi akan mengurangi resiko
pengaruh volume impor yang tinggi terhadap volatilitas harga konsumen, yang
tiga kali lipat lebih besar (-0.03 persen apabila dipilih kebijakan peningkatan impor
berbanding 0.01 apabila dipilih kebijakan peningkatan produksi dalam negeri).
Dari tiga komoditas pangan (padi, jagung dan kedelai) yang disasar
mencapai swasembada oleh Pemerintah Kabinet Kerja saat ini, kedelai merupakan
komoditas yang kinerja pengembangannya paling rendah, antara lain karena luas
lahan per petani memang kecil, produktivitas hasil yang rendah dan banyak
masalah lain yang dihadapi petani. Masalah-masalah ini mencakup: kelangkaan
benih yang bermutu dan harga terjangkau petani kecil, kebutuhan pemeliharaan
yang intensif, produktivitas yang rendah dan seringkali harga hasil kedelai yang
rendah (terutama pada masa panen raya). Hasil akhirnya adalah keuntungan
usahatani kedelai ini tergolong kecil, hanya sekitar Rp. 528,500/bulan. Dengan
berbagai kendala dan insentif ekonomi yang sangat kecil ini adalah sangat sulit
mengharapkan bahwa usahatani kedelai dapat berkembang dengan baik (lihat
Kotak 8 dan 9 dan Lampiran Tabel LT.16).
Boks 8
Analisis Usahatani Kedelai Di Kabupaten Garut produktivitas kedelai contoh mencapai 1,574 kg/ha, dengan harga Rp
6,000,-/kg, maka penerimaan usahatani adalah Rp. 9,444,000/ha, keuntungan hanya Rp.
2,114,000/ha, atau Rp. 528,500/bulan, sehingga nisbah R/C = 1.29, nisbah B/C = 0.29,
(Lampiran LT.16). Keuntungan sebesar ini tergolong kecil, karena produktivitas dan harganya
memang rendah. Dengan keuntungan sebesar ini, memang sulit diharapkan bahwa usahatani
kedelai konsumsi dapat berkembang dengan baik. Oleh karena itu memang peningkatan
produktivitas sangat diharapkan melalui inovasi teknologi, karena harga produsen sendiri
sangat sulit diharapkan meningkat, mengingat ia sangat terpangaruh harga minyak dunia,
harga kedelai dunia dan harga grosir (Tabel 3-14), karena negara-negara produsen utama
kedelai masih tetap memberikan subsidi kepada petani mereka, sehingga harga dunia selalu
tertekan yang selanjutnya menekan harga kedelai produsen dalam negeri. Untuk itu diperlukan
intervensi pemerintah, tidak cukup hanya dari segi subsidi masukan saja, tetapi perlu juga
intervensi harga pembelian pemerintah yang dapat mendongkrak keuntungan petani kedelai.
Ini mengingat produktivitas kedelai sulit dipacu dengan cepat menghadapi berbagai masalah
fisik di lapangan, seperti ketersediaan benih bermutu yang cocok dengan lingkungan fisik
setempat dan selera pasar. Namun, inovasi teknologi dan perakitan benih yang sesuai dengan
lingkungan agroekosistem tropika basah senantiasa sangat diperlukan.
72
Secara agregat, dibanding dengan pengembangan padi dan jagung, maka
pengembangan kedelai untuk mencapai swasembada pangan pada tiga tahun ke
depan adalah sesuatu yang sangat sulit, dan memerlukan upaya khusus dan
program dan pelaksanaannya yang konsisten. Hampir di semua aspek agribisnis
kedelai, petani selalu menghadapi masalah laten setiap tahunnya, sehingga
tidaklah mengherankan bahwa produksi dalam negeri belum dapat memenuhi
kebutuhan dalam negeri, sebagaimana terbukti dari statistik yang menunjukkan
produksi kedelai nasional hanya sekitar 0.900 juta ton per tahun, sementara
kebutuhan nasional mencapai 2,4 juta ton per tahun. Ini merupakan tantangan
berat bagi pencapaian swasembada pangan.
Kotak 9 Pemasaran Kedele Di lokasi survei terdapat tiga jenis saluran pemasaran kedele dari: (a) petani ke pedagang
pengumpul. Dari sini kemudian di jual ke pedagang dan berakhir ke pabrik pengolahan tempe, susu, dan tahu; (b) petani ke pedagang pengumpul. Selanjutnya, tempe ini dijual ke pedagang besar, dan terakhir ke konsumen; dan (c) petani ke pabrik pengolahan tempe dan tahu. Petani
selalu menjual ke pedagang pengumpul desa atau langsung ke pabrik pengolahan skala kecil. Alasannya, cara ini lebih praktis karena skala produksi kecil-kecil dan beberapa petani terikat
utang saprodi atau biaya produksi kepada pedagang. Petani contoh mengemukakan bahwa 70 persen hasil produksinya dijual ke pabrik pengolah tempe/tahu dan sisanya (30 persen) dijual ke pedagang pengumpul.
Pasar kedele di Kabupaten Garut dapat dikatakan cukup baik, karena keberadaan tiga pilihan jalur pemasaran tadi. Selain itu, di kabupaten ini terdapat pabrik susu kedele yang
membutuhkan bahan baku yang harus dipasok oleh Kabupaten Garut sendiri. Pada umumnya petani langsung menjual hasil setelah proses pengeringan selesai, bahkan ada
yang sudah punya utang ke pedagang. Penjualan ini dilakukan di rumah dalam bentuk biji kering. Menurut informasi dari para pedagang, ada 4 pedagang besar di Pasar Ciawitali Garut saat ini. Selanjutnya para pedagang ini menjual kedelai secara eceran langsung ke konsumen
rumah tangga sebanyak 20 persen dan ke pengrajin tahu/tempe 80 persen dari volume perdagangan total. Oleh pedagang, pembayaran dilakukan secara tunai setelah 7 hari panen (waktu untuk penanganan pascapanen).
Untuk memenuhi permintaan konsumen dan industri pengolahan kedelai yang ada di
Kabupaten Garut, pasokan dari kabupaten sendiri dan bahkan dari produksi nasional tidak
mencukupi. Kenyataan memang menunjukkan bahwa produktivitas dan areal kedelai tidak
berkembang serta harga komoditas ini tidak menarik bagi petani, padahal mereka harus
mempertimbangkan keuntungan tandingan dari komoditas lain, terutama padi dan atau jagung
karena semua tanaman ini ditanam pada areal yang sama. Sehingga tidak mustahil bahwa
sumber pasokan kedelai bagi pedagang contoh yang ditemui berasal dari kedelai impor (90
persen) dan kedelai lokal (10 persen). Kedelai lokal ini tidak hanya berasal dari Kabupaten
Garut, tetapi juga dari wilayah provinsi Jawa Barat lainnya seperti Kabupaten Cianjur.
(lanjutan)
73
Hasil wawancara dengan petani kedelai yang mengusahakan untuk kedelai
konsumsi maupun untuk kedelai bahan benih di kabupaten Garut mengisyaratkan
bahwa setengah dari biaya usahatani kedelai adalah untuk membayar tenaga
kerja, karena pemeliharaan kedelai lebih intensif dibanding tanaman lainnya.
Selain itu, pengeluaran untuk biaya masukan lainnya juga tinggi, terutama untuk
biaya pupuk organik/kandang pada usahatani kedelai konsumsi, dan biaya benih
untuk usahatani kedelai bahan/bakal benih. Biaya benih ini tinggi karena benih
Kotak 9 (lanjutan) Selain itu, musim panen raya kedelai lokal sendiri umumnya terjadi bulan April sampai dengan Mei, sementara industri pengolahan membutuhkan bahan baku setiap hari agar pabrik tetap beroperasi. Hal ini tidak menafikan bahwa kedelai impor yang masuk ini mungkin saja menekan
harga kedelai lokal, meskipun harga kedelai impor lebih tinggi daripada harga kedelai lokal. Walaupun menurut petani harga kedelai di Kabupaten Garut sudah baik, faktanya jumlah petani yang membudidayakan kedelai tidak berkembang.
Budidaya kedelai dianggap sulit dilakukan, sehingga bantuan bibit unggul yang diberikan
pemerintah melalui program swasembasa kedelainya, sering dijual lagi oleh petani. Fakta lain juga perlu dikemukakan bahwa beberapa negara produsen kedelai utama di dunia sampai saat ini masih mempertahankan kesintasan bantuannya kepada petani mereka. Bantuan ini tentu
saja menutupi sebagian biaya produksi kedelai di Negara-negara bersangkutan, sehingga tidak mustahil bahwa harga jualnya juga menjadi rendah.
Meskipun demikian, perbedaan harga kedelai sangat dipengaruhi oleh mutunya. Perbedaan harga kedelai yang bermutu bagus dan yang bermutu rendah adalah Rp. 1000/kg. Nilai perbedaan tersebut cukup tinggi, sehingga untuk meningkatkan pendapatan petani kedelai
pembinaan dalam peningkatan produksi baik dari sisi mutu maupun j7umlah harus terus dilakukan. Kedelai bemutu rendah biasanya dijual langsung oleh petani ke pengrajin tahu dan tempe.
Pembelian kedelai impor dilakukan melalui pemesanan langsung ke pengimpor (Cigading). Harga kedelai impor (saat wawancara di awal bulan Desember 2014) adalah Rp. 8,000/kg.
Biaya angkut dari Cigading ke Kabupaten Garut adalah Rp. 140-160/kg, sedangkan kedelai lokal diperoleh dengan cara membeli langsung ke petani atau pedagang pengumpul datang sendiri menjual barang ke pasar/gudang. Harga kedelai lokal Rp. 7.500/kg. Harga kedelai lokal ini
lebih rendah dari harga kedelai impor karena kadar air tinggi/KA, kotor, tidak merata kematangannya. Keuntungan pedagang kedelai rata-rata Rp. 150/kg.
Informasi harga mudah diperoleh dari pedagang maupun petani lainnya, tetapi umumnya dari pedagang. Penentuan harga dilakukan oleh pedagang, petani tidak melakukan tawar menawar
karena harga sudah pasti dan sama antar pedagang pada musim tertentu. Faktor yang mempengaruhi penurunan atau peningkatan harga di pasar adalah: jumlah yang dijual di pasar, mutu produk, pengaruh iklim dan hama/penyakit (karena akan mempengaruhi volume
produksi/jumlah pasokan di pasar). Untuk biji yang besar biasanya mendapatkan harga lebih tinggi, umumnya berasal dari varietas Argomulyo atau Grobogan. Perkembangan harga kedelai 5 tahun terakhir cenderung meningkat, karena permintaannya tinggi sedangkan pasokan
kurang. Permintaan kedelai yang tinggi terutama untuk calon benih dan bahan baku pabrik susu kedelai atau pengrajin tahu/tempe. Sesungguhnya bahan baku industri pengolahan lebih bagus menggunakan kedelai lokal, tetapi bermasalah karena mutu dan penampilannya kurang baik.
74
kedelai untuk bahan benih adalah benih label ungu yang harganya lebih mahal
dibanding benih untuk kedelai konsumsi/label biru.
74
IV. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN
4.1. Kesimpulan
Dalam kebijakan pangan sebenarnya tiga unsur penting perlu diperhatikan
yaitu: pasar, harga dan kebijakan/intervensi pemerintah untuk mempengaruhi
harga produk pangan. Berdasarkan logika sederhana, stabilisasi atau pemantapan
harga produk pangan adalah upaya menciptakan iklim yang mendorong agar
distribusi pangan dapat menguntungkan produsen dan menolong konsumen,
sehingga manajemen distribusi tidak semata-mata diserahkan pada mekanisme
pasar yang sangat dinamis dan tergantung pada berbagai faktor dan kebijakan,
karena pemerintah berkewajiban mengelola ketersediaan pangan sepanjang
waktu.
4.1.1. Tingkat Volatilitas Harga Produsen dan Konsumen
1. Ramalan tingkat volatilitas harga produsen dan konsumen seluruhnya
menggunakan model pendugaan ARCH-GARCH terbaik berdasarkan data
harga produsen dan konsumen konstan dengan tahun dasar 2005 dan
periode data Januari 1993 hingga Desember 2013 yang sudah stasioner
baik pada nilai mutlak (level) ataupun nilai beda-pertama (first-difference).
Pada komoditas padi atau beras, tingkat volatilitas harga produsen beras di
Indonesia (15.46 persen) lebih tinggi jika dibandingkan volatilitas harga
konsumen beras di Indonesia (10.47 persen). Pada komoditas jagung,
sama seperti pada volatilitas harga produsen beras di Indonesia, tingkat
volatilitas harga produsen (16.90 persen) lebih tinggi jika dibandingkan
volatilitas harga konsumen (6.80 persen). Pada komoditas kedelai, tingkat
volatilitas harga produsen kedelai di Indonesia juga menunjukkan nilai yang
lebih tinggi (13.71 persen) jika dibandingkan volatilitas harga konsumen
(11.81 persen). Hasil analisis menunjukkan bahwa tingkat volatilitas harga
produsen beras, jagung dan kedelai tingkat volatilitas harga produsen
Indonesia lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat volatilitas harga
75
konsumen. Dengan kata lain tingkat volatilitas harga produsen pangan lebih
tinggi daripada tingkat volatilitas harga konsumen pangan di Indonesia.
4.1.2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Volatilitas Harga Produsen dan Harga Konsumen
2. Faktor-faktor utama yang dianggap mempengaruhi volatilitas harga
produsen dan konsumen dalam penelitian ini ada 14 (empat belas) yaitu:
(1) harga minyak dunia, (2) harga dunia masing-masing komoditas, (3)
nilai tukar Rp terhadap US $, (4) tarif impor masing-masing komoditas, (5)
harga impor masing-masing komoditas, (6) volume impor komoditas, (7)
harga konsumen masing-masing komoditas, (8) volume konsumsi masing-
masing komoditas, (9) harga perdagangan besar/grosir masing-masing
komoditas, (10) harga produsen masing-masing komoditas, (11) volume
produksi masing-masing komoditas atau produktivitas, (12) harga input
pupuk untuk komoditas tanaman, (13) harga BBM jenis premium, (14)
Kejadian EL Nino + La Nina.
3. Tingkat pengaruh masing-masing faktor tersebut ditelusuri lebih lanjut dari
hasil akhir analisis runtut waktu peubah-ganda atau multivariate time series
model SVAR yang dilanjutkan dengan analisis simulasi Decomposition of
Forecasting Error Variance (DFEV) atau analisis dekomposisi ragam; analisis
impuls respons atau Impulse Response Function (IRF) dan kemudian
analisis pengaruh perubahan atau pass-through effect dengan
menggunakan data Indonesia sejak Januari 1993 hingga Desember 2013
yang tersedia dan lengkap. Analisis simulasi dekomposisi ragam digunakan
untuk mengetahui pangsa pengaruh guncangan (shock) masing-masing
faktor-faktor terhadap ragam perubahan harga produsen dan harga
konsumen dengan jangka waktu analisis pengaruh 60 periode atau 60
bulan (5 tahun) ke depan. Ini dimaksudkan untuk memberikan informasi
tentang peranan perubahan masing-masing peubah dalam menjelaskan
gejolak yang menimbulkan volatilitas harga produsen dan harga konsumen
masing-masing komoditas. Analisis impuls respons digunakan untuk
mengetahui respons dan pengaruh seketika perubahan harga produsen dan
harga konsumen akibat guncangan peubah masing-masing faktor sebagai
76
sumber penyebab volatilitas dan untuk memberi informasi tentang lama
pengaruh tersebut berlangsung. Analisis pengaruh perubahan atau pass-
through effect digunakan untuk membuktikan secara pasti besaran
pengaruh dari masing-masing faktor dan menggambarkan nilai elastisitas
faktor-faktor terhadap perubahan harga produsen dan konsumen.
4.1.3. Jangka Waktu Faktor-Faktor Volatilitas Harga Produsen dan Konsumen Mulai Berpengaruh terhadap:
Beras
4. Pada harga produsen, guncangan faktor-faktor secara umum mulai
berpengaruh sejak bulan pertama, kecuali faktor-faktor: volume produksi,
harga input, dan indeks curah hujan, yang mulai berpengaruh sejak bulan
kedua. Faktor-faktor yang menimbulkan pengaruh tertinggi pada bulan
pertama adalah guncangan harga minyak dunia, harga beras dunia, nilai
tukar, tarif impor, harga konsumen, harga grosir, harga produsen beras itu
sendiri dan harga BBM dengan pengaruh kemantapan atau guncangan
sudah menimbulkan pengaruh terhadap perubahan pada bulan ke 12, ke
15, ke 14, ke 14, ke 14, ke 14, ke 11 dan ke 13. Faktor-faktor yang
menimbulkan pengaruh tertinggi pada bulan kedua adalah guncangan
volume konsumsi, volume produksi, harga input pupuk dan indeks curah
hujan dengan pengaruh kemantapan pada bulan ke 14, ke 13, ke 10 dan
ke 12. Faktor-faktor yang menimbulkan pengaruh tertinggi pada bulan
ketiga adalah harga impor dengan pengaruh kemantapan pada bulan ke
15, sedangkan guncangan volume impor menimbulkan pengaruh tertinggi
pada bulan keempat dengan pengaruh kemantapan pada bulan ke 17.
5. Pada harga konsumen, guncangan harga minyak dunia, harga beras dunia,
nilai tukar, tarif impor, harga impor, volume impor, harga konsumen dan
harga BBM membuat perubahan sejak bulan pertama, sedangkan volume
konsumsi, harga grosir, harga produsen, volume produksi, harga input, dan
indeks curah hujan mulai berpengaruh pada perubahan harga sejak bulan
kedua. Faktor-faktor yang menimbulkan pengaruh tertinggi pada bulan
pertama adalah guncangan harga minyak dunia, harga beras dunia, tarif
impor, harga impor, harga konsumen beras itu sendiri dan harga BBM
77
dengan pengaruh kemantapan pada bulan ke 12, ke 15, ke 14, ke 15, ke
14 dan ke 12. Faktor-faktor yang menimbulkan pengaruh tertinggi pada
bulan kedua adalah guncangan nilai tukar, harga produsen beras dan
indeks curah hujan dengan pengaruh kemantapan pada bulan ke 14, ke 10
dan ke 11. Faktor-faktor yang menimbulkan pengaruh tertinggi pada bulan
ketiga adalah guncangan volume impor dan volume konsumsi dengan
pengaruh kemantapan pada bulan ke 17 dan ke 14. Faktor-faktor yang
menimbulkan pengaruh tertinggi pada bulan kelima adalah guncangan
harga grosir, volume produksi dan harga input pupuk dengan pengaruh
kemantapan pada bulan ke 14, ke 12 dan ke 11.
Jagung
6. Pada harga produsen jagung, guncangan faktor-faktor secara umum mulai
berpengaruh sejak bulan pertama kecuali volume produksi, harga input,
dan indeks curah hujan, yang mulai berpengaruh sejak bulan kedua.
Faktor-faktor yang memberi pengaruh perubahan tertinggi pada bulan
pertama adalah guncangan harga produsen jagung itu sendiri, harga BBM,
volume impor jagung dan volume konsumsi dengan pengaruh kemantapan
masing-masing pada bulan ke 32, ke 29, ke 29 dan 31. Faktor-faktor yang
menimbulkan pengaruh perubahan tertinggi pada bulan kedua adalah
guncangan harga dunia jagung, harga impor jagung, harga grosir jagung,
harga input pupuk, volume produksi dan indeks curah hujan konsumsi
dengan pengaruh kemantapan masing-masing pada bulan ke 33, ke 33, ke
32, ke 33, ke 32 dan 29. Faktor-faktor yang menimbulkan pengaruh
perubahan tertinggi pada bulan ketiga adalah guncangan nilai tukar, tarif
impor, dan harga konsumen dengan pengaruh kemantapan masing-masing
pada bulan ke 34, ke 33, dan ke 31. Faktor yang menimbulkan pengaruh
perubahan tertinggi pada bulan ke empat adalah harga minyak dunia
dengan pengaruh kemantapan pada bulan ke 37.
7. Pada harga konsumen jagung, guncangan harga minyak dunia, harga
jagung dunia, nilai tukar, tarif impor, harga impor, volume impor, harga
konsumen dan harga BBM mempengaruhi perubahan harga konsumen
78
beras sejak bulan pertama, sedangkan volume konsumsi, harga grosir,
harga produsen, volume produksi, harga input, dan indeks curah hujan
mulai mempengaruhi perubahan harga konsumen beras sejak bulan kedua.
Faktor-faktor yang menimbulkan pengaruh perubahan harga konsumen
jagung tertinggi pada bulan pertama adalah guncangan: harga minyak
dunia, harga jagung dunia, nilai tukar, tarif impor, harga konsumen dan
harga BBM dengan pengaruh pemantapan pada bulan ke 35, ke 31, ke 29,
ke 30, ke 29 dan ke 27. Faktor-faktor yang menimbulkan pengaruh
tertinggi pada bulan ke dua adalah guncangan harga impor, volume impor,
harga produsen itu sendiri, volume produksi, harga input pupuk dan indeks
curah hujan dengan pengaruh pemantapan masing-masing pada bulan ke
28, ke 30, 29, ke 30, ke 30, ke 30 dan ke 22. Faktor yang mempengaruhi
perubahan harga konsumen jagung tertinggi pada pada bulan ketiga adalah
harga grosir dengan pengaruh pemantapan pada bulan ke 30.
Kedelai
8. Pada volatilitas harga produsen kedelai, guncangan faktor-faktor yang
mempengaruhi perubahan harga produsen beras secara umum mulai
berpengaruh sejak bulan pertama kecuali volume produksi, harga input,
dan indeks curah hujan, yang mulai berpengaruh sejak bulan kedua.
Faktor-faktor yang menimbulkan pengaruh perubahan tertinggi pada bulan
pertama adalah guncangan harga minyak dunia, harga kedelai dunia, nilai
tukar, tarif impor, harga impor, harga konsumen, harga grosir dan harga
produsen dengan pengaruhnya mantap atau guncangan sudah tidak
menimbulkan pengaruh terhadap perubahan pada bulan ke 12, ke 16, ke
14, ke 12, ke 14, ke 12, ke 14 dan ke 11. Sementara itu, faktor-faktor yang
menimbulkan pengaruh tertinggi pada bulan kedua adalah guncangan
volume konsumsi, volume produksi dan harga input dengan pengaruhnya
mantap pada bulan ke 13, ke 14 dan ke 11. Sedangkan faktor-faktor yang
menimbulkan guncangan tertinggi pada bulan ketiga harga BBM dan indeks
curah hujan dengan pengaruhnya mantap pada bulan ke 15 dan ke 10, dan
79
faktor yang menimbulkan guncangan tertinggi pada bulan ke empat adalah
volume impor dengan pengaruhnya mantap pada bulan ke 13.
9. Pada volatilitas harga konsumen kedelai, guncangan faktor-faktor yang
mempengaruhi perubahan harga konsumen beras sebagian besar
berpengaruh sejak bulan pertama yaitu harga minyak dunia, harga beras
dunia, nilai tukar, tarif impor, harga impor, volume impor, harga konsumen
dan harga BBM. Sedangkan volume konsumsi, harga grosir, harga
produsen, volume produksi, harga input, dan indeks curah hujan mulai
berpengaruh sejak bulan kedua. Faktor-faktor yang menimbulkan pengaruh
perubahan tertinggi pada bulan pertama adalah guncangan nilai tukar, tarif
impor, harga impor, harga konsumen dan harga BBM dengan pengaruhnya
mantap pada bulan ke 15, ke 13, ke 14, ke 12 dan ke 15. Sementara itu,
faktor-faktor yang menimbulkan pengaruh tertinggi pada bulan kedua
adalah guncangan harga minyak dunia, harga dunia, volume impor, volume
konsumsi, harga grosir, harga produsen, volume produksi dan indeks curah
hujan dengan pengaruhnya mantap pada bulan ke 14, ke 16, ke 13, ke 14,
ke 14, ke 13, ke 14 dan ke 12. Adapun faktor-faktor yang menimbulkan
pengaruh tertinggi pada bulan ketiga adalah guncangan harga input
pengaruhnya mantap pada bulan ke 13.
4.1.4. Faktor-Faktor Yang Secara Khas Mempengaruhi Ragam Volatilitas Harga Produsen dan Harga Konsumen
Apabila terjadi guncangan perubahan faktor-faktor yang mempengaruhi
ragam volatilitas harga produsen komoditas pangan sebesar 1 persen,
dalam periode 60 bulan ke depan dapat diprakirakan bahwa faktor yang
menyumbang ragam terhadap ragam volatilitas harga di atas 5.00 persen
adalah untuk:
Beras
10. Harga produsen beras hanya lima, yaitu (diurut dari nilai tertinggi sampai
terendah): (1) harga produsen beras sendiri; (2) harga grosir; (3) harga
konsumen; (4) harga beras dunia; dan (5) tarif impor beras. Untuk harga
konsumen beras, hanya ada tiga faktor yang memberi sumbangan di atas
80
5.00 persen dari ragam volatilitas harga konsumen, yaitu: (1) harga
konsumen beras sendiri; (2) harga impor beras; dan (3) harga BBM.
11. Dari hasil analisis dekomposisi ragam dapat diketahui bahwa: Pertama,
volatilitas harga produsen dipengaruhi oleh perubahan harga beras dunia
dan perubahan tarif impor. Kebijakan untuk meredam kedua perubahan ini
kurang efektif melindungi harga produsen jika dibandingkan dengan harga
konsumen; Kedua, jika pada harga produsen guncangan harga di tingkat
grosir, yang menunjukkan perilaku pedagang grosir sebagai penyebab
ketidak-mantapan harga, maka pada harga konsumen justru guncangan
harga impor yang menunjukkan perilaku pedagang pengimpor; dan
Ketiga, guncangan harga BBM relatif tidak berpengaruh terhadap
volatilitas harga produsen, tetapi lebih berpengaruh terhadap volatilitas
harga konsumen.
Jagung
12. Harga produsen jagung ada lima, yaitu (diurut dari nilai tertinggi sampai
terendah): (1) harga produsen jagung sendiri; (2) harga impor jagung; (3)
harga minyak dunia; (4) harga grosir; dan (5) harga konsumen jagung.
Untuk harga konsumen jagung ada tiga faktor, yairu: (1) harga konsumen
jagung sendiri; (2) tarif impor jagung; dan (3) indeks curah hujan.
13. Analisis dekomposisi ragam terhadap terhadap harga produsen maupun
harga konsumen jagung memberi pentunjuk bahwa: Pertama, volatilitas
harga produsen dipengaruhi oleh perubahan harga minyak dunia dan harga
impor, sementara volatilitas harga konsumen dipengaruhi oleh perubahan
tarif impor. Ini menunjukkan bahwa harga dunia lebih nyata pengaruhnya
terhadap harga produsen jagung daripada terhadap harga konsumen
jagung; Kedua, jika pada volatilitas harga produsen guncangan harga
impor yang menunjukkan perilaku pedagang pengimpor dapat
menimbulkan ketidak-mantapan harga produsen, maka pada harga
konsumen justru guncangan tarif impor yang menunjukkan perilaku
kebijakan pemerintah sangat mempengaruhi volatilitas harga konsumen;
Ketiga, guncangan harga konsumen dan harga grosir berpengaruh relatif
81
kecil terhadap perubahan harga produsen, sementara pada harga
konsumen, guncangan harga grosir juga berpengaruh relatif kecil. Ini
berarti bahwa konsumen utama jagung merupakan pengimpornya juga;
Keempat, guncangan harga BBM relatif tidak berpengaruh terhadap
volatilitas harga produsen, tetapi relatif lebih berpengaruh terhadap
volatilitas harga konsumen; Kelima, guncangan indeks curah hujan lebih
berpengaruh terhadap volatilitas harga konsumen jika dibandingkan
terhadap volatilitas harga produsen.
Kedelai
14. Harga produsen kedelai enam faktor yang menyumbang lebih dari 5.00
persen terhadap ragam volatilitas harga. Faktor-faktor ini adalah (dari nilai
tertinggi sampai terendah): (1) harga impor kedelai; (2) harga produsen
kedelai sendiri; (3) harga konsumen; (4) harga grosir; (5) tarif impor
kedelai; dan (6) harga kedelai dunia. Bagi harga konsumen kedelai hanya
empat faktor adalah (dari nilai tertinggi sampai terendah): (1) guncangan
harga konsumen kedelai sendiri; (2) guncangan harga impor kedelai; (3)
guncangan tarif impor kedelai; dan (4) guncangan harga BBM.
15. Hasil analisis dekomposisi ragam harga kedelai menunjukkan bahwa:
Pertama, volatilitas harga produsen dipengaruhi oleh perubahan harga
minyak dunia, harga kedelai dunia dan perubahan tarif impor; Kedua,
harga konsumen/dunia sangat mempengaruhi volatilitas baik harga
produsen maupun harga konsumen, karena adanya keterpaduan antara
pasar dalam negeri dengan pasar dunia akibat ketergantungan Indonesia
yang tinggi terhadap impor; Ketiga, jika pada volatilitas harga produsen
guncangan harga grosir menimbulkan ketidak-mantapan harga, maka pada
harga konsumen justru guncangan harga impor yang menimbulkan ketidak-
mantapan harga konsumen; Keempat, guncangan harga BBM relatif tidak
berpengaruh terhadap volatilitas harga produsen, tetapi relatif lebih
berpengaruh terhadap volatilitas harga konsumen.
82
4.1.5. Faktor-Faktor Yang Secara Khas Mempengaruhi Perubahan Volatilitas Harga Produsen dan Harga Konsumen:
Beras
16. Perbandingan antara hasil analisis dekomposisi ragam dan impuls respons
terhadap harga beras menunjukkan bahwa: Pertama, terhadap volatilitas
harga produsen beras, (1) guncangan harga minyak dunia dan volume
impor beras menimbulkan respons perubahan yang besar terhadap
perubahan harga produsen, tetapi pangsa pengaruh mereka relatif kecil;
(2) guncangan harga grosir menimbulkan perubahan yang relatif kecil
terhadap harga produsen, tetapi ia berpengaruh relatif besar terhadap
ragam harga produsen; Kedua, terhadap volatilitas harga konsumen beras
dapat diketahui bahwa, (1) guncangan harga minyak dunia dan beras dunia
menimbulkan perubahan yang relatif besar, tetapi mereka menyebabkan
perubahan ragam yang relatif kecil, (2) guncangan faktor lainnya yang
menimbulkan respons besar, juga memiliki pengaruh besar terhadap
perubahan ragam harga konsumen; Ketiga, kebijakan yang ditempuh
pemerintah dalam mengatasi guncangan harga produsen dan konsumen
seperti yang selama ini dilakukan dapat menekan guncangan dalam jangka
waktu satu bulan hingga empat bulan terhadap harga produsen, dan dalam
jangka waktu satu bulan hingga lima bulan terhadap harga konsumen.
Namun demikian kebijakan tersebut justru dapat menimbulkan gejolak
harga yang berkepanjangan hingga 17 bulan.
Jagung
17. Memperbandingkan hasil analisis dekomposisi ragam dan impuls respons
terhadap harga jagung memberi petunjuk bahwa: Pertama, terhadap
volatilitas harga produsen jagung: (1) harga dunia, nilai tukar dan tarif
impor berpengaruh relatif besar, akan tetapi pangsa pengaruhnya terhadap
dekomposisi ragam relatif kecil; (2) harga konsumen jagung dan harga
grosir berpengaruh relatif kecil terhadap perubahan harga produsen
jagung, tetapi pangsa pengaruhnya terhadap dekomposisi ragam relatif
besar. Kedua terhadap volatilitas harga konsumen jagung: (1) harga
minyak dunia berpengaruh relatif besar, tetapi pangsanya dalam
83
dekomposisi ragam kecil; (2) indeks curah hujan memiliki pangsa yang
relatif besar dalam dekomposisi ragam, tetapi pengaruhnya kecil terhadap
perubahan harga konsumen jagung; Ketiga, meskipun respons tertinggi
akibat guncangan perubahan harga jagung diketahui umumnya terjadi
antara bulan pertama hingga bulan keempat, tetapi waktu yang dibutuhkan
untuk mencapai kondisi kemantapan adalah antara 29 bulan hingga 37
bulan pada harga produsen dan antara 22 bulan hingga 35 bulan pada
harga konsumen.
Kedelai
18. Dengan membandingkan hasil analisis dekomposisi ragam dan impuls
respons menunjukkan bahwa: Pertama, terhadap volatilitas harga
produsen kedelai: (1) guncangan nilai tukar memiliki respons pengaruh
yang tinggi, tetapi pangsanya terhadap ragam perubahan harga relatif
kecil; (2) guncangan harga konsumen kedelai memiliki respons perubahan
yang kecil, tetapi pangsanya terhadap ragam perubahan harga relatif
besar; (3) guncangan faktor lainnya memiliki respons perubahan dan
pangsa terhadap ragam perubahan sama-sama besar atau sama-sama
kecil; Kedua, terhadap volatilitas harga konsumen kedelai: (1) guncangan
harga kedelai dunia memiliki respons pengaruh yang tinggi, akan tetapi
pangsanya terhadap ragam perubahan harga relatif kecil; (2) guncangan
faktor lainnya menimbulkan respons besar, tetapi juga memiliki pangsa
yang besar dalam mempengaruhi ragam perubahan harga, demikian pula
sebaliknya; Ketiga, kebijakan yang ditempuh pemerintah dalam mengatasi
guncangan harga produsen dan konsumen seperti yang selama ini
dilakukan dapat menekan guncangan dalam jangka waktu satu bulan
hingga tiga bulan terhadap lonjakan harga produsen dan harga konsumen.
Namun demikian, kebijakan tersebut justru dapat menimbulkan gejolak
harga yang berkepanjangan hingga 15 bulan.
84
4.1.6. Respons dan Derajat Pengaruh Pass-through Guncangan Faktor-faktor terhadap Volatilitas Harga Produsen dan Konsumen:
Beras
19. Hasil analisis dekomposisi ragam, impuls respons maupun pengaruh
perubahan memberi petunjuk bahwa respons dan derajat pengaruh pass-
through guncangan faktor-faktor terhadap volatilitas harga produsen beras
lebih tinggi jika dibandingkan terhadap harga konsumen beras. Ini
menunjukkan bahwa: Pertama, volatilitas harga produsen akan lebih
tinggi jika dibandingkan volatilitas harga konsumen, sehingga kebijakan-
kebijakan pemerintah yang selama ini diluncurkan lebih mempengaruhi
perubahan dan pemantapan harga konsumen jika dibandingkan harga
produsen; Kedua, respons dan pengaruh perubahan harga produsen yang
tinggi akibat guncangan harga minyak dunia dan harga beras serta tarif
impor menunjukkan bahwa liberalisasi perdagangan dan penurunan tarif
atau kenaikan tarif berdampak menciptakan ketidak-mantapan pada harga
produsen, tetapi kurang berdampak pada ketidak-mantapan harga
konsumen; Ketiga, guncangan volume impor melalui impor beras untuk
menjaga kemantapan pasokan akan menimbulkan tekanan berupa
penurunan harga produsen, yang besarnya lebih dua kali jika dibandingkan
penurunan harga konsumen (respons pengaruh 0.07 persen dibanding 0.03
persen) dan memberikan pengaruh perubahan hampir tiga kali pada harga
produsen jika dibandingkan pada harga konsumen (derajat pass-though
0.08 persen dibanding 0.03 persen); Keempat, guncangan harga BBM
atau perubahan harga BBM baik yang terkait dengan kebijakan ataupun
tidak, berpengaruh realitif kecil terhadap ragam perubahan harga produsen
dibandingkan harga konsumen (1.87 persen dibandingkan 5.82 persen),
tetapi pengaruhnya terhadap perubahan harga produsen dan konsumen
relatif sama besarnya (0.05 persen dibanding 0.06 persen), dan pengaruh
perubahannya pada harga produsen lebih rendah jika dibandingkan pada
harga konsumen (0.35 persen dibanding 0.45 persen); Kelima, kebijakan
yang terkait dengan fiskal dan moneter lebih mengarah kepada upaya
menjaga kemantapan harga konsumen jika dibandingkan harga produsen;
85
Keenam, sumbangan pengaruh perubahan produksi dalam negeri
terhadap perubahan harga konsumen lebih besar jika dibandingkan
sumbangan peningkatan impor (2.39 persen dibanding 0.69 persen)
dengan respons pengaruh yang sama yaitu -0.03 persen. Disamping itu,
pilihan kebijakan melakukan impor dan menurunkan tarif memiliki dampak
volatilitas terhadap harga produsen dan konsumen selama 17 bulan dan 14
bulan, dimana keduanya akan mempengaruhi perubahan harga impor yang
menimbulkan volatilitas selama 15 bulan.
Jagung
20. Hasil analisis dekomposisi ragam, impuls respons maupun pengaruh
perubahan atau pass-through effect mendapatkan bahwa: Pertama, pada
volatilitas harga produsen, harga jagung dunia berpengaruh negatif; dan
pada volatilitas harga konsumen, harga minyak dunia dan harga jagung
dunia menunjukkan pengaruh perubahan yang bernilai negatif; Kedua,
transmisi harga jagung dunia kepada harga produsen dan konsumen
dalam negeri dikalibrasi oleh nilai tukar dan tarif impor. Oleh karena itu,
nilai tukar, tarif impor dan harga impor memiliki respons pengaruh dan
pass-through effect yang tinggi terhadap volatilitas harga produsen dan
nilai tukar dan tarif impor memiliki respons pengaruh perubahan dan pass-
through effect yang tinggi pada volatilitas harga konsumen; Ketiga, harga
minyak, harga jagung dunia, nilai tukar dan harga impor yang memiliki
pass-through effect yang lebih tinggi pada harga produsen dibandingkan
terhadap konsumen; Keempat, nilai pass-through effect harga impor dan
tarif impor yang tinggi pada volatilitas harga produsen, dan tarif impor yang
tinggi pada volatilitas harga konsumen menunjukkan bahwa perilaku
pengimpor dan kebijakan pemerintah sangat mempengaruhi volatilitas
harga produsen dan konsumen, dan konsumen merangkap pengimpor yang
ditunjukkan oleh perubahan yang rendah terhadap harga produsen, tetapi
tinggi terhadap harga konsumen; Kelima, pengaruh dari segi dekomposisi
ragam, impuls respons dan pass-through effect terhadap harga produsen
secara umum lebih tinggi terhadap harga konsumen jika dibandingkan
86
harga konsumen. Hal ini menunjukkan bahwa volatilitas harga produsen
akan lebih tinggi jika dibandingkan volatilitas harga konsumen. Dengan
demikian kebijakan-kebijakan pemerintah yang selama ini diluncurkan lebih
berpengaruh terhadap pemantapan harga konsumen jika dibandingkan
harga produsen; Keenam, respons dan pengaruh perubahan harga
produsen terhadap guncangan harga minyak dunia dan harga jagung serta
tarif impor yang tinggi menunjukkan bahwa liberalisasi perdagangan dan
penurunan tarif atau kenaikan tarif berdampak menciptakan ketidak-
mantapan pada harga produsen, tetapi kurang berdampak pada ketidak-
mantapan harga konsumen; Ketujuh, guncangan harga input dan harga
BBM atau perubahan harga input dan harga BBM baik yang terkait dengan
kebijakan ataupun tidak, lebih berpengaruh pada volatilitas harga
konsumen jika dibandingkan harga produsen. Pengaruh yang sama juga
terjadi pada pengaruh perubahan indeks curah hujan, dimana pengaruh
volatilitas terhadap harga produsen lebih rendah jika dibandingkan
terhadap harga konsumen; Kedelapan, pengaruh guncangan volume
impor dan volume produksi terhadap volatilitas harga produsen sama
besarnya, tetapi pada volatilitas harga konsumen, pengaruh volume impor
lebih tinggi daripada volume produksi; dan Kesembilan, kebijakan yang
terkait dengan fiskal dan moneter lebih mengarah kepada upaya
perlindungan untuk menjaga kemantapan harga konsumen daripada harga
produsen.
Kedelai
21. Mengingat pengaruh guncangan faktor-faktor terhadap volatilitas harga
produsen kedelai lebih tinggi daripada terhadap harga konsumen, maka:
Pertama, volatilitas harga produsen akan lebih tinggi jika dibandingkan
volatilitas harga konsumen, yang berimplikasi bahwa kebijakan-kebijakan
pemerintah yang selama ini diluncurkan lebih mempengaruhi perubahan
dan kemantapan harga konsumen jika dibandingkan harga produsen;
Kedua, respons dan pengaruh perubahan harga produsen yang tinggi
terhadap guncangan harga minyak dunia dan harga dunia kedelai serta tarif
87
impor menunjukkan bahwa liberalisasi perdagangan dan penurunan tarif
atau kenaikan tarif berdampak menciptakan ketidak-mantapan pada harga
produsen, tetapi kurang berdampak pada ketidak-mantapan harga
konsumen; Ketiga, guncangan volume impor yang dapat timbul akibat
kebijakan pemerintah untuk menjaga kemantapan pasokan dengan
melakukan impor kedelai akan menimbulkan tekanan berupa penurunan
harga produsen yang besarnya tiga kali lebih kecil jika dibandingkan harga
konsumen (respons pengaruh 0.31 persen dibanding 0.90 persen);
Keempat, perubahan harga BBM baik akibat kebijakan pemerintah
maupun karena faktor lainnya yang sintas, menjadi salah satu sumber
penyebab volatilitas harga konsumen.
4.2. Saran Kebijakan
22. Sehubungan kemantapan dan/atau volatilitas harga produsen pangan
(beras, jagung dan kedelai) secara nyata relatif terpapar terhadap faktor-
faktor yang lebih banyak jumlahnya dibandingkan kemantapan dan/atau
volatilitas harga konsumen, maka dengan sendirinya kemantapan dan/atau
volatilitas pendapatan produsen pangan juga lebih terpapar terhadap lebih
banyak faktor dibandingkan kemantapan dan/atau volatilitas pendapatan
konsumen. Oleh karena itu kebijakan penetapan harga produsen
seyogianya mempertimbangkan perubahan faktor-faktor tersebut.
23. Kebijakan pemerintah yang terkait dengan pemantapan harga dan
perubahan tarif lebih didasarkan pada dinamika harga konsumen semata,
dan kurang merujuk pada dinamika harga produsen, seperti yang
ditunjukkan oleh pengaruhnya yang tinggi terhadap perubahan harga
konsumen itu sendiri dan harga impor. Berkaitan dengan hal ini
pengimpor, pedagang grosir dan pedagang eceran memanfaatkan
kesempatan ditinjau dari sudut volatilitas harga produsen dan pengimpor
dan pedagang eceran memanfaatkan kesempatan ditinjau dari sudut
volatilitas harga konsumen.
24. Fakta yang menunjukkan bahwa pada umumnya pedagang grosir pangan
sekaligus adalah pedagang pengimpor juga, maka dinamika perubahan
88
perilaku para pedagang tersebut akan menimbulkan ketidak-mantapan
harga yang dapat menimbulkan volatilitas yang tinggi baik pada harga
konsumen maupun harga produsen pangan. Untuk itu pemerintah
seharusnya memiliki alat/kelembagaan dan kebijakan yang efektif untuk
mengawasi perilaku mereka.
25. Oleh karena itulah perlu kehati-hatian dan ketepatan dalam merumuskan
kebijakan dalam rangka menciptakan kemantapan harga produsen dan
konsumen beras yang seimbang agar produsen pangan tidak semakin
menderita.
26. Dalam rangka memantapkan harga pangan, baik harga produsen maupun
harga konsumen beras, jagung dan kedelai sangat diperlukan kehati-hatian
dan pendekatan yang komprehensif, tetapi bersifat sangat antisipatif yang
seimbang agar produsen pangan tidak semakin menderita. Kebijakan yang
terlalu reaktif hanya akan menimbulkan persoalan semakin volatilnya harga
produsen dan konsumen beras, jagung dan kedelai.
27. Upaya peningkatan pasokan dan upaya mencapai swasembada pangan
berkelanjutan melalui kebijakan peningkatan produksi pangan (beras,
jagung dan kedelai) dalam negeri seharusnya tetap didorong, karena
semua upaya ini jauh lebih baik dilakukan jika dibandingkan melalui
peningkatan impor, mengingat respons pengaruh dan perannya terhadap
perubahan harga produsen lebih kecil.
28. Campur-tangan pemerintah diperlukan untuk meredam gejolak ekstrim
pada harga/pendapatan produsen dan pada harga/tingkat konsumsi
konsumen melalui lembaga logistik pangan nasional. Salah satu fungsi
lembaga ini adalah untuk mendistribusikan bahan pangan antar musim
panen dan musim paceklik serta antar wilayah sentra dan wilayah defisit.
Saat ini memang campur-tangan pemerintah ini telah dilakukan melalui
antara lain: operasi pasar; menerapkan harga pembelian pemerintah/HPP
dan harga eceran tertingg/HET (ceiling price) komoditas pokok. Namun,
instrumen ini perlu direvitalisasi lagi dan unsur lain perlu digali lagi,
khususnya di bidang perangkat lunak tetapi yang tidak bertentangan
89
dengan aturan yang disepakati di Organisasi Perdagangan Dunia/OPD dan
perangkat keras seperti investasi di berbagai bidang sarana dan prasarana
ekonomi, komunikasi dan transportasi.
90
DAFTAR PUSTAKA
Action Aid. 2002. Farmgate: The Development Impact of Agricutlural Subsidies. www.actionaid.org/policy/papers/pages.aspx?pagesID=globalview. [19 Mei
2005].
Aji, N.B. 2009. Analisis Volatilitas Harga Buah-Buahan Indonesia (Studi Kasus
Pasar Induk Kramat Jati Jakarta). [Skripsi]. Departemen Ilmu Ekonomi. Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor.
Amisano, G. and C. Gianini. 1997. Topics in Structural VAR Econometrics. Springer-Verlag Berlin, Heidelberg, Germany.
Anonim. 2007. E.Views User’s Guide 6. United State of America. Quantitative
Micro Software, LLC Irvine, California.
Balcombe, K.G. dan J. Morrison. 2002. Commodity price transmission: A critical
review of techniques and an application to selected export commodities. Report to the Food and Agriculture Organization of the United Nations,
Rome.
Badan Bimas dan Ketahanan Pangan. 2001-2011. Laporan Kinerja Badan Ketahanan Pangan Tahun 2000-2010. Badan Bimas dan Ketahanan Pangan.
Departemen Pertanian, Jakarta.
______________________________. 2001-2010. Neraca Bahan Makanan
Indonesia Tahun 1999-2009. Badan Bimas dan Ketahanan Pangan. Departemen Pertanian, Jakarta.
Badan Pusat Statistik. 1994-2011. Statistik Perdagangan Luar Negeri: Impor Bulan Januari Tahun 1993- Desember 2010. Badan Pusat Statistik, Jakarta.
____________________________. 1994a-2011a. Statistik Perdagangan Luar
Negeri: Ekspor Bulan Januari Tahun 1993- Desember 2010. Badan Pusat Statistik, Jakarta.
_________________. 1993-2014. Statistik Harga Perdagangan Besar Impor Tahun 1992-2013. Badan Pusat Statistik, Jakarta.
_________________. 1993a-2014a. Statistik Harga Perdagangan Besar Eceran
Tahun 1992-2013. Badan Pusat Statistik, Jakarta.
_________________. 1993-2014b. Statistik Harga Konsumen Perkotaan Tahun
1992-2013. Badan Pusat Statistik, Jakarta.
_________________. 1993c-2014c. Statistik Harga Konsumen Perdesaan Tahun
1992-2013. Badan Pusat Statistik, Jakarta.
_________________. 1993c-2014c. Statistik Harga Konsumen Tahun 1992-2010. Badan Pusat Statistik, Jakarta.
_________________. 1993d-2014d. Statistik Harga Produsen Sektor Pertanian Tahun 1992-2013. Badan Pusat Statistik, Jakarta.
91
_________________. 1993e-2014e. Statistik Produksi Pertanian: Padi dan
Palawija Tahun 1992-2013. Badan Pusat Statistik, Jakarta.
Bank Indonesia. 2014. Statistik Ekonomi, Keuangan dan Moneter. www.bi.go.id/
web/id/Statistik/Statistik+Ekonomi+Moneter+Indonesia/ [6 September 2014]
Barrett, C.B. 2001. Measuring integration and efficiency in international agricultural markets. Review of Agricultural Economics, 23: 19-32.
_________. 2002. Food security and food assistance programs. In B. L. Gardner
and G. C. Rausser, eds., Handbook of agricultural economics. Vol. 2, Agricultural and food policy. Amsterdam: Elsevier.
_________ dan J.R. Li. 2002. Distinguishing between Equilibrium and Integration in Spatial Price Analysis. American Journal of Agricultural Economics, 84:
292-307.
Batiz, F.R. dan L.R. Batiz. 1994. International Finance and Open Economy, Macroeconomics. Mcmillan Publishing co, New York.
Bernanke, B.S. 1986. "Alternative Explanations of the Money-Income Correlation," NBER Working Papers 1842, National Bureau of Economic Research, Inc.
Bikker, J. A. 1987. ―An International Trade Flow Model with Substitution: An Extension of the Gravity Model,‖ Kyklos 40 (3): 315-337.
Brada, J. C. and J. A. Mendez. ―Regional Economic Integration and the Volume of Intra-regional Trade: A Comparison of Developed and Developing Country Experience,‖ Kyklos 36 (4): 589-603.
Brooks, C. 2002. Introductory Econometrics For Finance. Cambridge University Press. Cambridge, Mass.
Butler, C. 1999. Mastering Value at Risk: A Step-by-Step Guide to Understanding and Applying VAR.: FT Prentice Hall, London.
Chen, S.L. dan J.L. Wu, 2000. ―A Re-examination of Purchasing Power Parity in
Japan and Taiwan‖, Journal of Macroeconomics. 22 (2): 271-284
Cheng, I.H. dan H.J. Wall. 2005. Controlling for Heterogenity in Gravity Models of
Trade and Integration. Review, January/February. Federal Reserve Bank of St. Louis.
Choudhry, M. 2006. An Introduction to Value-at-Risk. 4th ed. Wiley, Chichester, UK.
Departemen Keuangan. 2010a. Kumpulan Instruksi Presiden dan Keputusan
Presiden Tahun 2005 – 2009. Departemen Keuangan Republik Indonesia, Jakarta.
___________________. 2010b. Kumpulan Instruksi, Keputusan dan Peraturuan Menteri Keuangan 2005-2009. Departemen Keuangan Republik Indonesia,
Jakarta.
92
___________________. 2010c. Kumpulan Paket Kebijakan Derelegulasi, Bea
Masuk dan Tambahan Bea Masuk Eceran dan Harmonisasi Tarif Tahun 2004 - 2009. Departemen Keuangan Republik Indonesia, Jakarta.
EMIS. 2011. EMIS: Statistic Data Base. . [15 Agustus 2011].
Enders, W. 2004. ―Applied Econometric Time Series‖, Second Edition. John Wiley
& Sons. New Jersey.
_____________. 1988. ―ARIMA and Cointegration Tests of Purchasing Power Parity‖, Review of Economics Statistics, 70 (Agustus): 504-508
Engle, R. 2001. ―GARCH 101: The Use of ARCH/GARCH Models in Applied Econometrics‖. Journal of Economic Perspectives. Volume 15 Number 4.
Pages 157-168.
Fackler, P.L.dan B.K. Goodwin. 2002. Spatial Price Analysis. In Handbook of
Agricultural Economics. B.L. Gardner dan G.C. Rausser, eds. Elsevier Science, Amsterdam.
Fafchamps, M. 1992. Cash crop production, food price volatility, and rural market
integration in the third world. American Journal of Agricultural Economics 74 (1): 90–99.
Fariyanti, A, et al,. 2007. Perilaku Ekonomi Rumah Tangga Petani Sayuran Pada Kondisi Risiko Produksi dan Harga Di Kecamatan Pengalengan Kabupaten
Bandung. Jurnal Agro Ekonomi. Volume 25 No.2. Oktober 2007: 178-206.
Firdaus, M. 2006. Analisis Deret Waktu Satu Ragam. IPB Press, Bogor
Flamini, A. 2003. Inflation Targeting and Exchange Rate Pass-through. Princeton
University, GIIS, London.
Food and Agriculture Organization. 2011. Agricultural Statistics: Production and
Trade Statistics. www.faostat.fao.org/site/......../default.aspx. [11 Setember 2011].
Gaynor, P.E. and R.C. Kirkpatrick. 1994. Introduction to Time Series Modeling and Forecasting in Business and Economics. McGraw-Hill. Gujarati, D. 1978. Ekonometrika Dasar. Zain dan Sumarno [penerjemah]. Erlangga, Jakarta.
Gujarati, D. 2003. Basic Econometrics fourth edition. McGraw Hill, Singapore.
Hartati, E.S. 2004. Analisis Dampak Pergerakan Nilai Tukar Terhadap Inflasi Di
Indonesia : Pendekatan Exchange Rate Pass-Through. [Tesis]. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Hernandez, L. dan P.J. Montiel. 2001. Post Crisis Exchange Rate Policy in Five
Asian Countries: Filling in the ―Hollow Middle‖?. IMF, Wahsington DC.
Hoddinott, J. 2006. Shocks and their consequences across and within households
in rural Zimbabwe. Journal of Development Studies 42 (2): 301–321.
Hyder, Z. dan S. Sah. 2004. Exchange Rate Pass-Through to Domestic Price in
Pakistan. State Bank of Pakistan Working Paper No. 5, June 2004.
93
International Monetary Fund. 2011. IMF Data and Statistics: International
Finacial Statistics and IMF Primary Commodity Prices. www.IMF.org/ external/ np/res/commod/index.asp. [ 12 Oktober 2011].
Iskandar, E. 2006. Analisis Risiko Investasi Saham Agribisnis Rokok dengan Pendekatan ARCH-GARCH [Skripsi]. Program Studi Manajemen Agribisnis.
Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Johansen, S. 1995. Likelihood-Based Inference In Cointegrated Vectorautoregressive Model. Oxford University Press, United States.
Kurniawan, A.W. 2004. Pemodelan Risiko Berinvestasi Pada Saham Syariah Dengan Menggunakan Model GARCH [Skripsi]. Jurusan Statistika, Fakultas
MIPA IPB, Bogor
Makridakis, S. and S.C. Wheelwright. 1989. Forecasting Methods for Management. Fifth Edition. John Wiley & Sons.
Mark, N.C. 1990. ―Real and Nominal Exchange Rates in the Long Run: An Empirical Investigation‖, Journal of International Economics, 28
(Februari):115-36
McCarthy, J. 2000. Pass-Through of Exchange Rate and Import Prices to Domestic
Inflation in Some Industrialized Economies. Staff Reports, 111, Research Department Federal Reserve Bank of New York.
McCoy, D. 1997. How Useful is Structural VAR Analysis for Irish Economics.Technical Paper no. 2/RT/97. Ireland.
Michael, P., A.R. Nobay dan D.A. Pell (1997), ―Transactions costs and Nonlinier
Adjustment in Real Exchange rates: an Empirical Investigation‖, Journal of Political Economy. 105 (4): 862-879.
Minot, N. 2010. Food price stabilization: Lessons from eastern and southern Africa. Paper prepared for the Fourth African Agricultural Markets Program (AAMP) policy symposium, Agricultural Risks Management in Africa: Taking Stock of
What Has and Hasn’t Worked, organized by the Alliance for Commodity Trade in Eastern and Southern Africa (ACTESA) and the Common Market
for Eastern and Southern Africa (COMESA). Lilongwe, Malawi, September 6-10, 2010.
Moosa, I.A. 2004. International Finance, An Analytical Approach. 2nd edition. La Trobe University. McGraw Hill. Australia.
Murphy, S. 2009. Strategic Grain Reserves in an Era of Volatility. Minneapolis, MN,
US: Institute for Agriculture and Trade Policy.
Newbery, D. 1989. The theory of food price stabilization. Economic Journal 99
(389): 1065-1082.
__________. and J. Stiglitz. 1981. The theory of commodity price stabilization: A
study in the economics of risk. Oxford: Clarendon Press.
Newbold, F. and T. Bos. 1990. Introductory Business & Economic Forecasting. South-Western Publishing.
94
Nugraha, F.W. 2006. Efek Perubahan (PassThrough Effect) Kurs Terhadap Indeks
Harga Konsumen di ASEAN-5, Jepang dan Korea Selatan. [Skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Pradana, D. 2008. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Nilai Tukar Petani Buah di Jawa Barat [Skripsi]. Departemen Ilmu Ekonomi. Fakultas Ekonomi
dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor.
Prakash, A. 1999. The transmission of signals in a decentralised commodity marketing system: the case ofthe UK pork market. Unpublished Ph.D.
Thesis, University of London.
Purnomo, S. 2001. Kajian Model VAR Struktural Untuk Analisis Fluktuasi Ekonomi
Indonesia. [Tesis]. Program Studi Statistika Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Ramadhona, B. 2004. Analisis Investasi Dengan Pendekatan Model ARCHGARCH dan Pendugaan Harga Saham dengan Pendekatan Model Time Series pada Perusahaan Agribisnis Terpilih di PT. Bursa Efek Jakarta [Skripsi]. Program
Studi Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Rashid, S. 2007. Food Price Stabilization Policies in a Globalizing World. In P. Pinstrup‐Andersen, F. Cheng, S. E. Frandsen, A. Kuyvenhoven, J. von Braun
(Eds). Case Study #6-8 of the Program: ―Food Policy for Developing
Countries: the Role of Government in the Global Food System‖. Cornell University, Ithaca, New York.
Sato, K., T. Ito dan Y. N. Sasaki. 2005. Pass-Through of Exchange Rate Changes and Macroeconomic Shocks to Domestic Inflation in East Asian
Countries.RIETI Discussion Paper Series 05-E-020.Japan.
Sapuan. 2003. Perkembangan Manajemen Pengendalian Harga Beras di Indonesia: 1969-2001. Bulog: Pergulatan dalam Pemantapan Peranan dan
Penyesuaian Kelembagaan. IPB Press, Bogor.
Setiyanto, A. 2010. Analisis Special Safeguard Mechanism Komoditas Pangan
Utama Indonesia Dalam Rangka Perjanjian World Trade Organization. [Makalah Seminar Thesis]. Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor.
Sims, C. 1986. ―Are Forecasting Models Usable for Policy Analysis?", Minneapolis Federal Reserve Bank Quarterly Review 10 (Winter) : 2-16.
______________. 1980. ―Macroeconomics and Reality", Econometrica, January
1980 : 1-48.
Siregar, Y. R. 2009. Analisis Risiko Harga Day Old Chick (DOC) Broiler dan Layer pada PT. Sierad Produce Tbk. Parung, Bogor [Skripsi]. Program Studi Ekstensi Agribisnis. Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor.
Sumaryanto. 2009. Analisis Volatilitas Harga Eceran Beberapa Komoditas Pangan Utama Dengan Model ARCH/GARCH. Jurnal Agro Ekonomi Volume 27, No.
2, hal 135-163.
95
Timmer, C. P. 1988. Agricultural prices and stabilization policy. Development
Discussion Paper No. 290. Cambridge, MA: Harvard Institute for International Development.
———. 1996. Does BULOG stabilize rice prices in Indonesia? Should it try? Bulletin of Indonesian Economic Studies 32 (2): 45–74.
———. 1997. Farmers and markets: The political economy of new paradigms. American Journal of Agricultural Economics 79 (2): 621–627.
Turnovsky, S.J., H. Shalit, and A. Schmitz. 1980. Consumer's surplus, price
instability, and consumer welfare. Econometrica 48, no. 1: 135-152.
United State Departement of Agriculture. 20011. USDA Agricultural Baseline Data.
www.usda.gov./ publications/oce061/oce20061c.pdf [27 April 2010].
Verbeek, M. 2000. A Guide To Modern Econometrics. John Wiley & Sons, LTD.
New York.
von Braun, J., and M. Torero. 2009. Implementing Physical and Virtual Food Reserves to Protect the Poor and Prevent Market Failure. Policy Brief.
Washington, DC: IFPRI.
Watsham, TJ, and Parramore, K. 1997. Quantitative Methods in Finance. 1st ed.
International Thomson Business Press. London Boston, MA.
Wihono, A. 2009. Analisis Volatilitas Harga Sayuran di Pasar Induk Kramat Jati.
[Skripsi]. Program Studi Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Williams, J. C., and B. D. Wright. 1991. Storage and commodity markets.
Cambridge: Cambridge University Press.
Windarti, R.P. 2004. Pengaruh Perubahan Nilai Tukar Terhadap Perubahan Tingkat
Harga : Analisis SVAR Pasca Penerapan Sistem Nilai Tukar Mengambang Bebas di Indonesia. [Tesis]. Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik. Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Indonesia.
World Bank. 2006a. Agricultural Trade Reform and the Doha Development Agenda. World Bank Policy Research November 2005. www.
web.worldbank.org/WBSITE/EXTERNAL/TOPICS/TRADE/0,,contentMDK:20716544~menuPK:207652~pagePK:148956~piPK:216618~theSitePK:239071,
00.html [12 Juli 2007].
__________. 2006b. Agricultural Trade Reform and the Doha Development Agenda. World Bank Policy Research Working Paper 3607, May 2005.
www.econ.worldbank.org/external/default/main?pagePK=64165259&the SitePK=469372&piPK=64165421&menuPK=64166093&entityID=00001182
3_20050512121406 [22 Oktober 2006].
__________. 2006c. Doha Merchandise Trade Reform:What’s at Stake for
Developing Countries? World Bank Policy Research Working Paper 3848, February 2006. www.econ.worldbank.org/external/default/main? ImgPagePK=64202990&entityID=000016406_20060215164859&menuPK=
96
64168175&pagePK=64210502&theSitePK=544849&piPK=64210520. [22
Oktober 2006].
___________. 2010. World Development Report : Agricultural For Development.
www.econ.worldbank.org/WBSITE/EXTERNAL/EXTDEC/EXTRESEARCH/EXTWDRS/EXTWDR2008/0,,menuPK:2795178~pagePK:64167702~piPK:641676
76~theSitePK:2795143,00.html. [2 Januari 2011].
____________. 2011. Data and Statistics. Commodity Price Data (Pink Sheet). www.econ.worldbank.org/WBSITE/EXTERNAL/EXTDEC/EXTDECPROSPECTS
/,,contentMDK:21148472~menuPK:556802~pagePK:64165401~piPK:64165026~theSitePK:476883,00.html [11 September 2011].
Zainal, A.A. 2005. Exchange Rate Pass-Through On Export Price : Evidence From Indonesian Data. Paralel Session IVC : International Trade 17 November
2005. Hotel Borobudur, Jakarta.
Zivot, E. 2000. Notes on Structural VAR Modelling. Econometric Class. http://www.eco.uc3m.es/~jgonzalo/teaching/timeseriesMA/zivotvarnotes-
reading.pdf [12 Desember 2008].
97
LAMPIRAN
98
Lampiran Tabel LT.1. Hasil Analisis Dekomposisi Ragam Harga Produsen Beras Indonesia Periode Januari 1993 – Desember 2013
Period Guncang-
an PO Guncang-
an PW Guncang-
an ER Guncang-
an TM Guncang-
an PM Guncang-
an QM Guncang-
an PC Guncang-
an QC Guncang-
an PG Guncang-
an PF Guncang-
an QF Guncang-
an PI Guncang-
an PE Guncang-
an CC
1 4.25 10.13 0.44 5.51 2.46 0.95 13.72 0.02 19.69 40.85 0.00 0.00 1.96 0.00 2 3.89 12.87 0.58 5.46 2.27 0.96 16.85 0.17 18.24 36.80 0.02 0.01 1.87 0.00 3 3.85 13.24 0.58 5.40 2.45 0.95 16.66 0.22 18.03 36.45 0.19 0.01 1.86 0.13 4 3.85 13.24 0.58 5.39 2.46 0.96 16.66 0.22 18.03 36.41 0.19 0.02 1.87 0.13 5 3.85 13.24 0.58 5.39 2.46 0.96 16.67 0.22 18.03 36.41 0.19 0.02 1.87 0.13 6 3.85 13.24 0.58 5.39 2.46 0.96 16.67 0.22 18.03 36.41 0.19 0.02 1.87 0.13
12 3.85 13.24 0.58 5.39 2.46 0.96 16.67 0.22 18.03 36.41 0.19 0.02 1.87 0.13 18 3.85 13.24 0.58 5.39 2.46 0.96 16.67 0.22 18.03 36.41 0.19 0.02 1.87 0.13 24 3.85 13.24 0.58 5.39 2.46 0.96 16.67 0.22 18.03 36.41 0.19 0.02 1.87 0.13 36 3.85 13.24 0.58 5.39 2.46 0.96 16.67 0.22 18.03 36.41 0.19 0.02 1.87 0.13 48 3.85 13.24 0.58 5.39 2.46 0.96 16.67 0.22 18.03 36.41 0.19 0.02 1.87 0.13 60 3.85 13.24 0.58 5.39 2.46 0.96 16.67 0.22 18.03 36.41 0.19 0.02 1.87 0.13
Min 3.85 10.13 0.44 5.39 2.27 0.95 13.72 0.02 18.03 36.41 0.00 0.00 1.86 0.00 Max 4.25 13.24 0.58 5.51 2.46 0.96 16.85 0.22 19.69 40.85 0.19 0.02 1.96 0.13 Kemantapan 3.85 13.24 0.58 5.39 2.46 0.96 16.67 0.22 18.03 36.41 0.19 0.02 1.87 0.13 Rerata 3.86 13.18 0.58 5.40 2.46 0.96 16.62 0.21 18.06 36.49 0.18 0.02 1.87 0.12 Bulan Min 3 1 1 4 2 1 1 1 3 4 1 1 3 1 Bulan Max 1 3 2 1 1 2 2 3 1 1 3 4 1 3 Bulan Kemantapan 3 3 2 4 4 4 5 3 3 4 3 4 4 3
99
Lampiran Tabel LT.2. Hasil Analisis Dekomposisi Ragam Harga Produsen Jagung Indonesia Periode Januari 1993 – Desember
2013
Period Guncang-
an PO Guncang-
an PW Guncang-
an ER Guncang-
an TM Guncang-
an PM Guncang-
an QM Guncang-
an PC Guncang-
an QC Guncang-
an PG Guncang-
an PF Guncang-
an QF Guncang-
an PI Guncang-
an PE Guncang-
an CC
1 2.50 0.16 1.26 0.01 0.06 1.39 0.08 0.40 0.00 91.67 0.00 0.00 2.48 0.00 2 5.84 1.81 0.88 0.14 49.56 0.82 0.66 0.17 6.15 30.56 0.17 0.45 2.78 0.01 3 5.14 1.58 1.69 2.29 47.93 0.81 4.54 0.15 5.55 26.80 0.17 0.50 2.80 0.05 4 9.41 1.86 1.83 3.74 43.26 0.97 5.64 0.23 5.03 23.71 0.16 0.58 2.62 0.97 5 9.28 1.89 1.80 3.93 42.54 1.22 5.70 0.24 5.00 23.31 0.24 0.85 2.74 1.26 6 9.58 2.09 2.02 4.01 41.59 1.21 5.91 0.24 5.03 22.86 0.25 0.97 2.68 1.56
12 9.62 2.09 2.01 3.99 41.29 1.37 5.96 0.33 5.01 22.70 0.27 1.11 2.67 1.58 18 9.62 2.09 2.01 3.99 41.29 1.37 5.96 0.33 5.01 22.70 0.27 1.11 2.67 1.58 24 9.62 2.09 2.01 3.99 41.29 1.37 5.96 0.33 5.01 22.70 0.27 1.11 2.67 1.58 36 9.62 2.09 2.01 3.99 41.29 1.37 5.96 0.33 5.01 22.70 0.27 1.11 2.67 1.58 48 9.62 2.09 2.01 3.99 41.29 1.37 5.96 0.33 5.01 22.70 0.27 1.11 2.67 1.58 60 9.62 2.09 2.01 3.99 41.29 1.37 5.96 0.33 5.01 22.70 0.27 1.11 2.67 1.58
Min 2.50 0.16 0.88 0.01 0.06 0.81 0.08 0.15 0.00 22.70 0.00 0.00 2.48 0.00 Max 9.62 2.09 2.02 4.01 49.56 1.39 5.96 0.40 6.15 91.67 0.27 1.11 2.80 1.58 Kemantapan 9.62 2.09 2.01 3.99 41.29 1.37 5.96 0.33 5.01 22.70 0.27 1.11 2.67 1.58 Rerata 9.35 2.04 1.97 3.83 40.91 1.34 5.74 0.32 4.95 24.08 0.26 1.05 2.67 1.49 Bulan Min 1 1 2 1 1 3 1 3 1 12 1 1 1 1 Bulan Max 9 6 6 6 2 1 8 1 2 1 8 7 3 7 Bulan Kemantapan 9 8 7 7 10 10 8 12 7 12 8 9 7 7
100
Lampiran Tabel LT.3. Hasil Analisis Dekomposisi Ragam Harga Produsen Kedelai Indonesia Periode Januari 1993 – Desember 2013
Period Guncang-
an PO Guncang-
an PW Guncang-
an ER Guncang-
an TM Guncang-
an PM Guncang-
an QM Guncang-
an PC Guncang-
an QC Guncang-
an PG Guncang-
an PF Guncang-
an QF Guncang-
an PI Guncang-
an PE Guncang-
an CC
1 4.55 5.24 2.59 6.28 33.21 0.21 16.28 0.30 12.75 18.45 0.00 0.00 0.14 0.00 2 4.40 4.89 2.29 7.69 32.32 0.29 15.19 1.35 11.76 17.93 0.56 0.92 0.16 0.25 3 4.52 4.83 2.25 7.78 31.81 0.30 14.97 1.77 11.57 17.65 0.55 1.21 0.51 0.26 4 4.52 4.83 2.25 7.82 31.72 0.31 14.93 1.89 11.54 17.60 0.55 1.22 0.56 0.26 5 4.52 4.83 2.24 7.82 31.71 0.31 14.92 1.91 11.54 17.59 0.55 1.23 0.57 0.26 6 4.52 4.83 2.24 7.81 31.70 0.31 14.92 1.92 11.53 17.59 0.55 1.23 0.57 0.26
12 4.52 4.83 2.24 7.81 31.70 0.31 14.92 1.92 11.53 17.59 0.55 1.23 0.57 0.26 18 4.52 4.83 2.24 7.81 31.70 0.31 14.92 1.92 11.53 17.59 0.55 1.23 0.57 0.26 24 4.52 4.83 2.24 7.81 31.70 0.31 14.92 1.92 11.53 17.59 0.55 1.23 0.57 0.26 36 4.52 4.83 2.24 7.81 31.70 0.31 14.92 1.92 11.53 17.59 0.55 1.23 0.57 0.26 48 4.52 4.83 2.24 7.81 31.70 0.31 14.92 1.92 11.53 17.59 0.55 1.23 0.57 0.26 60 4.52 4.83 2.24 7.81 31.70 0.31 14.92 1.92 11.53 17.59 0.55 1.23 0.57 0.26
Min 4.40 4.83 2.24 6.28 31.70 0.21 14.92 0.30 11.53 17.59 0.00 0.00 0.14 0.00 Max 4.55 5.24 2.59 7.82 33.21 0.31 16.28 1.92 12.75 18.45 0.56 1.23 0.57 0.26 Kemantapan 4.52 4.83 2.24 7.81 31.70 0.31 14.92 1.92 11.53 17.59 0.55 1.23 0.57 0.26 Rerata 4.52 4.84 2.25 7.79 31.74 0.31 14.95 1.88 11.56 17.61 0.54 1.20 0.56 0.26 Bulan Min 2 3 5 1 6 1 5 1 6 5 1 1 1 1 Bulan Max 1 1 1 4 1 4 1 6 1 1 2 5 5 3 Bulan Kemantapan 3 3 5 6 6 4 5 6 6 5 3 5 5 3
101
Lampiran Tabel LT.4. Hasil Analisis Dekomposisi Ragam Harga Konsumen Beras Indonesia Periode Januari 1993 – Desember
2013
Period Guncang-
an PO Guncang-
an PW Guncang-
an ER Guncang-
an TM Guncang-
an PM Guncang-
an QM Guncang-
an PC Guncang-
an QC Guncang-
an PG Guncang-
an PF Guncang-
an QF Guncang-
an PI Guncang-
an PE Guncang-
an CC
1 3.63 4.07 0.06 1.34 8.47 0.69 77.29 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 4.44 0.00 2 3.29 4.30 0.16 1.38 10.55 0.63 69.87 0.17 0.11 0.27 2.51 0.95 5.59 0.21 3 3.26 4.26 0.17 1.36 10.65 0.67 68.89 0.20 0.49 0.27 2.53 1.05 5.84 0.36 4 3.26 4.28 0.17 1.36 10.65 0.69 68.84 0.20 0.50 0.27 2.53 1.05 5.85 0.36 5 3.26 4.29 0.17 1.36 10.65 0.69 68.82 0.20 0.50 0.27 2.53 1.05 5.85 0.36 6 3.26 4.29 0.17 1.36 10.65 0.69 68.82 0.20 0.50 0.27 2.53 1.05 5.85 0.36
12 3.26 4.29 0.17 1.36 10.65 0.69 68.81 0.20 0.50 0.27 2.53 1.05 5.85 0.36 18 3.26 4.29 0.17 1.36 10.65 0.69 68.81 0.20 0.50 0.27 2.53 1.05 5.85 0.36 24 3.26 4.29 0.17 1.36 10.65 0.69 68.81 0.20 0.50 0.27 2.53 1.05 5.85 0.36 36 3.26 4.29 0.17 1.36 10.65 0.69 68.81 0.20 0.50 0.27 2.53 1.05 5.85 0.36 48 3.26 4.29 0.17 1.36 10.65 0.69 68.81 0.20 0.50 0.27 2.53 1.05 5.85 0.36 60 3.26 4.29 0.17 1.36 10.65 0.69 68.81 0.20 0.50 0.27 2.53 1.05 5.85 0.36
Min 3.26 4.07 0.06 1.34 8.47 0.63 68.81 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 4.44 0.00 Max 3.63 4.30 0.17 1.38 10.65 0.69 77.29 0.20 0.50 0.27 2.53 1.05 5.85 0.36 Kemantapan 3.26 4.29 0.17 1.36 10.65 0.69 68.81 0.20 0.50 0.27 2.53 1.05 5.85 0.36 Rerata 3.27 4.29 0.17 1.36 10.61 0.69 68.98 0.20 0.48 0.27 2.49 1.03 5.82 0.35 Bulan Min 3 1 1 1 1 2 8 1 1 1 1 1 1 1 Bulan Max 1 2 3 2 3 1 1 3 4 2 3 3 4 3 Bulan Kemantapan 3 5 3 3 3 4 8 3 4 2 3 3 4 3
102
Lampiran Tabel LT.5. Hasil Analisis Dekomposisi Ragam Harga Konsumen Jagung Indonesia Periode Januari 1993 – Desember
2013
Period Guncang-
an PO Guncang-
an PW Guncang-
an ER Guncang-
an TM Guncang-
an PM Guncang-
an QM Guncang-
an PC Guncang-
an QC Guncang-
an PG Guncang-
an PF Guncang-
an QF Guncang-
an PI Guncang-
an PE Guncang-
an CC
1 2.91 2.73 0.54 31.78 1.87 2.91 53.65 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 3.62 0.00 2 3.37 1.98 0.41 32.88 2.20 3.22 42.04 0.14 1.69 0.00 0.07 2.57 2.94 6.49 3 3.16 2.21 0.59 32.17 3.22 2.95 38.10 0.33 3.80 0.03 0.12 2.67 4.47 6.19 4 3.12 2.37 0.67 32.26 3.50 2.86 36.92 0.56 4.03 0.04 0.23 2.87 4.56 6.00 5 3.10 2.56 0.84 31.98 3.47 2.89 36.74 0.56 4.03 0.12 0.23 2.91 4.63 5.95 6 3.10 2.65 0.94 31.72 3.44 2.93 36.58 0.58 4.03 0.13 0.26 3.00 4.60 6.04
12 3.11 2.68 0.95 31.58 3.45 2.92 36.49 0.63 4.07 0.14 0.28 3.02 4.59 6.09 18 3.11 2.68 0.95 31.58 3.45 2.92 36.49 0.63 4.07 0.14 0.28 3.02 4.59 6.09 24 3.11 2.68 0.95 31.58 3.45 2.92 36.49 0.63 4.07 0.14 0.28 3.02 4.59 6.09 36 3.11 2.68 0.95 31.58 3.45 2.92 36.49 0.63 4.07 0.14 0.28 3.02 4.59 6.09 48 3.11 2.68 0.95 31.58 3.45 2.92 36.49 0.63 4.07 0.14 0.28 3.02 4.59 6.09 60 3.11 2.68 0.95 31.58 3.45 2.92 36.49 0.63 4.07 0.14 0.28 3.02 4.59 6.09
Min 2.91 1.98 0.41 31.58 1.87 2.86 36.49 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 2.94 0.00 Max 3.37 2.73 0.95 32.88 3.50 3.22 53.65 0.63 4.07 0.14 0.28 3.02 4.63 6.49 Kemantapan 3.11 2.68 0.95 31.58 3.45 2.92 36.49 0.63 4.07 0.14 0.28 3.02 4.59 6.09 Rerata 3.11 2.66 0.93 31.64 3.40 2.92 36.91 0.60 3.95 0.13 0.27 2.95 4.54 5.99 Bulan Min 1 2 2 12 1 4 11 1 1 1 1 1 2 1 Bulan Max 2 1 7 2 4 2 1 11 9 8 9 7 5 2 Bulan Kemantapan 8 10 7 12 7 7 11 11 9 8 9 7 7 8
103
Lampiran Tabel LT.6. Hasil Analisis Dekomposisi Ragam Harga Konsumen Kedelai Indonesia Periode Januari 1993 –
Desember 2013
Period Guncang-
an PO Guncang-
an PW Guncang-
an ER Guncang-
an TM Guncang-
an PM Guncang-
an QM Guncang-
an PC Guncang-
an QC Guncang-
an PG Guncang-
an PF Guncang-
an QF Guncang-
an PI Guncang-
an PE Guncang-
an CC
1 0.08 0.12 1.14 13.71 29.17 0.48 47.65 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 7.65 0.00 2 0.32 0.30 1.02 11.22 31.64 0.53 40.89 0.20 0.72 4.43 0.20 0.45 7.75 0.32 3 0.51 0.41 1.01 11.15 31.30 0.81 40.39 0.32 0.72 4.38 0.20 0.45 8.03 0.32 4 0.51 0.41 1.01 11.16 31.24 0.88 40.30 0.38 0.72 4.37 0.20 0.46 8.03 0.32 5 0.52 0.42 1.01 11.16 31.22 0.90 40.28 0.40 0.72 4.37 0.20 0.46 8.03 0.32 6 0.52 0.42 1.01 11.16 31.22 0.90 40.27 0.40 0.72 4.37 0.20 0.46 8.03 0.32
12 0.52 0.42 1.01 11.16 31.22 0.90 40.27 0.40 0.72 4.37 0.20 0.46 8.03 0.32 18 0.52 0.42 1.01 11.16 31.22 0.90 40.27 0.40 0.72 4.37 0.20 0.46 8.03 0.32 24 0.52 0.42 1.01 11.16 31.22 0.90 40.27 0.40 0.72 4.37 0.20 0.46 8.03 0.32 36 0.52 0.42 1.01 11.16 31.22 0.90 40.27 0.40 0.72 4.37 0.20 0.46 8.03 0.32 48 0.52 0.42 1.01 11.16 31.22 0.90 40.27 0.40 0.72 4.37 0.20 0.46 8.03 0.32 60 0.52 0.42 1.01 11.16 31.22 0.90 40.27 0.40 0.72 4.37 0.20 0.46 8.03 0.32
Min 0.08 0.12 1.01 11.15 29.17 0.48 40.27 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 7.65 0.00 Max 0.52 0.42 1.14 13.71 31.64 0.90 47.65 0.40 0.72 4.43 0.20 0.46 8.03 0.32 Kemantapan 0.52 0.42 1.01 11.16 31.22 0.90 40.27 0.40 0.72 4.37 0.20 0.46 8.03 0.32 Rerata 0.51 0.41 1.01 11.20 31.19 0.88 40.41 0.39 0.71 4.30 0.20 0.45 8.02 0.32 Bulan Min 1 1 3 3 1 1 6 1 1 1 1 1 1 1 Bulan Max 5 5 1 1 2 5 1 5 2 2 2 4 3 2 Bulan Kemantapan 5 5 3 4 5 5 6 5 2 4 2 4 3 2
104
Lampiran Tabel LT.7. Hasil Analisis Impuls Respons Harga Produsen Beras Indonesia Periode Januari 1993 – Desember 2013
Period Guncang-
an PO Guncang-
an PW Guncang-
an ER Guncang-
an TM Guncang-
an PM Guncang-
an QM Guncang-
an PC Guncang-
an QC Guncang-
an PG Guncang-
an PF Guncang-
an QF Guncang-
an PI Guncang-
an PE Guncang-
an CC
1 6.8287 7.4887 1.5221 2.8899 -2.1910 -3.5480 4.2480 0.0249 5.2693 6.6021 0.0000 0.0000 2.3727 0.0000 2 1.3998 4.9960 -1.0502 1.0264 -0.4869 -1.3605 2.6751 0.0786 -1.2201 1.0392 0.2940 0.1632 0.6931 -0.0458 3 -0.1962 18198 -0.1999 -0.0052 0.6776 0.1090 -0.0426 -0.0414 0.0039 0.2892 -0.7572 0.1416 0.1249 0.4490 4 -0.0856 0.2588 -0.1485 0.0561 0.1710 0.4096 -0.1728 0.0095 -0.1769 0.0023 -0.0371 0.1113 -0.1735 0.0392 5 -0.0212 0.0228 -0.0104 -0.0373 -0.0504 -0.0935 -0.0982 -0.0059 -0.0208 -0.0058 -0.0063 0.0430 -0.1122 0.0593 6 -0.0407 -0.0218 -0.0016 -0.0040 -0.0058 0.0949 -0.0405 0.0028 0.0177 -0.0082 0.0166 0.0331 -0.0341 -0.0038
12 0.0000 -0.0003 0.0002 -0.0001 0.0002 0.0007 -0.0001 0.0001 0.0002 0.0000 0.0001 0.0000 0.0001 0.0000 18 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 24 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 36 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 48 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 60 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
Min -0.1962 -0.0218 -1.0502 -0.0373 -2.1910 -3.5480 -0.1728 -0.0414 -1.2201 -0.0082 -0.7572 -0.0006 -0.1735 -0.0458 Max 6.8287 7.4887 1.5221 2.8899 0.6776 0.4096 4.2480 0.0786 5.2693 6.6021 0.2940 0.1632 2.3727 0.4490 Kemantapan 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 Rerata 0.1314 0.2428 0.0018 0.0654 -0.0318 -0.0735 0.1095 0.0011 0.0646 0.1319 -0.0081 0.0083 0.0475 0.0084 Bulan Min 3 6 2 5 1 1 4 3 2 5 3 1 4 2 Bulan Max 1 1 1 1 3 4 1 2 1 1 2 2 1 3 Bulan Kemantapan 12 15 14 14 15 17 14 14 14 11 13 10 13 12
105
Lampiran Tabel LT.8. Hasil Analisis Impuls Respons Harga Produsen Jagung Indonesia Periode Januari 1993 – Desember
2013
Period Guncang-
an PO Guncang-
an PW Guncang-
an ER Guncang-
an TM Guncang-
an PM Guncang-
an QM Guncang-
an PC Guncang-
an QC Guncang-
an PG Guncang-
an PF Guncang-
an QF Guncang-
an PI Guncang-
an PE Guncang-
an CC
1 3.1274 0.5252 1.5301 0.1175 0.1692 -0.6498 0.2455 -0.1711 0.0008 6.2940 0.0000 0.0000 1.5934 0.0000 2 7.6755 -3.0554 1.6178 0.7738 8.1115 0.5740 -1.2308 -0.0858 2.8206 0.2376 0.5131 -1.1797 -2.4493 -0.1399 3 -0.9260 -0.0517 2.4333 3.2836 -2.7228 0.3206 3.3003 -0.0148 -0.5553 -0.5963 0.2327 0.6318 1.1680 0.2654 4 -8.7749 1.8588 -1.6365 3.1660 -1.6773 -0.5613 2.3180 -0.1731 0.5900 -0.8510 0.0906 -0.7602 0.8688 -1.3619 5 0.6088 -0.6325 0.2105 1.2087 0.0930 -0.5800 -0.7096 0.0641 -0.3082 -0.0546 -0.4303 -1.0964 0.8104 -0.7878 6 2.8671 -1.3480 1.4111 -1.0163 0.1393 0.1277 -1.0441 0.0407 0.5206 0.3610 -0.1690 0.7587 0.1323 0.8233
12 0.0251 0.0249 -0.1064 0.0170 -0.0246 0.0319 -0.0016 -0.0308 -0.0144 -0.0115 -0.0065 0.0011 0.0086 -0.0115 18 0.0152 -0.0059 -0.0062 0.0000 -0.0002 0.0000 -0.0043 -0.0039 -0.0002 -0.0002 -0.0023 -0.0022 -0.0018 -0.0006 24 0.0026 -0.0002 -0.0012 0.0002 -0.0003 0.0003 -0.0004 -0.0008 0.0002 0.0000 0.0000 0.0000 -0.0002 0.0000 36 0.0001 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 48 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 60 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
Min -8.7749 -3.0554 -1.6365 -1.0163 -2.7228 -0.6498 -1.2308 -0.1731 -0.5553 -0.8510 -0.4303 -1.1797 -2.4493 -1.3619 Max 7.6755 1.8588 2.4333 3.2836 8.1115 0.5740 3.3003 0.0724 2.8206 6.2940 0.5131 0.7836 1.5934 0.8233 Kemantapan 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 Rerata 0.0788 -0.0521 0.0905 0.1202 0.0682 -0.0060 0.0394 -0.0064 0.0476 0.0908 0.0078 -0.0150 0.0376 -0.0142 Bulan Min 4 2 4 6 3 1 2 4 3 4 5 2 2 4 Bulan Max 2 4 3 3 2 2 3 10 2 1 2 7 1 6 Bulan Kemantapan 37 33 34 33 33 29 31 31 32 32 33 32 29 29
106
Lampiran Tabel LT.9. Hasil Analisis Impuls Respons Harga Produsen Kedelai Indonesia Periode
Januari 1993 – Desember 2013
Period Guncang-
an PO Guncang-
an PW Guncang-
an ER Guncang-
an TM Guncang-
an PM Guncang-
an QM Guncang-
an PC Guncang-
an QC Guncang-
an PG Guncang-
an PF Guncang-
an QF Guncang-
an PI Guncang-
an PE Guncang-
an CC
1 3.7954 3.1317 1.9779 1.4237 3.2413 -0.6464 2.1198 0.0869 1.8166 2.9864 0.0000 0.0000 0.3739 0.0000 2 1.4438 1.0182 0.4140 0.9535 1.2647 -0.5282 -0.6841 0.1815 0.5506 1.1598 0.7612 0.9553 0.2378 -0.1081 3 0.8410 0.1962 -0.0567 0.2905 0.0606 -0.1701 -0.0876 0.1168 0.0100 0.0116 0.0810 0.5516 0.6644 0.0243 4 0.2459 -0.1439 -0.0184 0.1494 -0.0157 0.1615 -0.0527 0.0600 -0.0138 0.0371 -0.0041 0.1335 0.2408 -0.0114 5 0.1167 -0.1311 -0.0178 0.0303 -0.0333 -0.0595 -0.0155 0.0294 -0.0219 0.0025 -0.0040 0.0529 0.1246 -0.0012 6 0.0099 -0.0742 -0.0175 0.0083 -0.0144 0.0310 -0.0061 0.0141 -0.0105 -0.0045 -0.0110 0.0263 0.0532 -0.0012
12 0.0000 -0.0007 -0.0002 0.0000 -0.0001 0.0001 0.0000 0.0001 -0.0001 0.0000 -0.0001 0.0000 0.0003 0.0000 18 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 24 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 36 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 48 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 60 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
Min -0.0008 -0.1439 -0.0567 -0.0002 -0.0333 -0.6464 -0.6841 0.0000 -0.0219 -0.0045 -0.0110 -0.0001 0.0000 -0.1081 Max 3.7954 3.1317 1.9779 1.4237 3.2413 0.1615 2.1198 0.1815 1.8166 2.9864 0.7612 0.9553 0.6644 0.0243 Kemantapan 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 Rerata 0.1078 0.0655 0.0377 0.0476 0.0748 -0.0202 0.0212 0.0083 0.0386 0.0699 0.0136 0.0288 0.0289 -0.0016 Bulan Min 6 4 3 7 5 1 2 10 5 5 6 1 9 2 Bulan Max 1 1 1 1 1 4 1 2 1 1 2 2 3 3 Bulan Kemantapan 12 16 14 12 14 13 12 13 14 11 14 11 15 10
107
Lampiran Tabel LT.10. Hasil Analisis Impuls Respons Harga Konsumen Beras Indonesia Periode Januari 1993 – Desember 2013
Period Guncang-
an PO Guncang-
an PW Guncang-
an ER Guncang-
an TM Guncang-
an PM Guncang-
an QM Guncang-
an PC Guncang-
an QC Guncang-
an PG Guncang-
an PF Guncang-
an QF Guncang-
an PI Guncang-
an PE Guncang-
an CC
1 3.1414 2.3624 0.2863 0.7081 2.0211 -1.5056 5.0159 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 1.7751 0.0000 2 0.4497 1.0323 0.3828 0.2872 1.2842 -0.2841 0.6821 -0.0398 -0.2097 0.2856 -1.4730 -0.8752 1.1475 0.2866 3 0.2293 -0.1670 0.1364 0.0285 0.3742 0.4195 0.0258 0.0178 -0.3881 -0.0140 -0.2073 -0.3061 0.5138 -0.2452 4 0.0760 -0.2042 0.0806 -0.0057 -0.0308 -0.2368 -0.0440 -0.0068 -0.0578 0.0284 0.0218 -0.0116 0.1091 0.0335 5 -0.0180 -0.1104 0.0285 0.0076 0.0326 0.0667 -0.0207 0.0053 0.0318 -0.0032 0.0500 0.0340 0.0471 -0.0283 6 0.0183 -0.0102 0.0022 0.0036 -0.0178 -0.0785 0.0137 -0.0025 0.0042 0.0016 0.0160 0.0070 -0.0034 0.0125
12 0.0000 0.0002 -0.0001 0.0001 -0.0002 -0.0008 0.0001 -0.0001 -0.0001 0.0000 0.0000 0.0000 -0.0001 0.0000 18 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 24 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 36 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 48 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 60 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
Min -0.0180 -0.2042 -0.0016 -0.0057 -0.0308 -1.5056 -0.0440 -0.0398 -0.3881 -0.0140 -1.4730 -0.8752 -0.0034 -0.2452 Max 3.1414 2.3624 0.3828 0.7081 2.0211 0.4195 5.0159 0.0178 0.0318 0.2856 0.0500 0.0340 1.7751 0.2866 Kemantapan 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 Rerata 0.0649 0.0484 0.0153 0.0172 0.0612 -0.0267 0.0946 -0.0004 -0.0102 0.0050 -0.0266 -0.0192 0.0599 0.0009 Bulan Min 5 4 6 4 4 1 4 2 3 3 2 2 6 3 Bulan Max 1 1 2 1 1 3 1 3 5 2 5 5 1 2 Bulan Kemantapan 12 15 14 14 15 17 14 13 14 10 12 11 12 11
108
Lampiran Tabel LT.11. Hasil Analisis Impuls Respons Harga Konsumen Jagung Indonesia Periode Januari 1993 – Desember
2013
Period Guncang-
an PO Guncang-
an PW Guncang-
an ER Guncang-
an TM Guncang-
an PM Guncang-
an QM Guncang-
an PC Guncang-
an QC Guncang-
an PG Guncang-
an PF Guncang-
an QF Guncang-
an PI Guncang-
an PE Guncang-
an CC
1 -2.5196 1.6390 -0.7478 5.0533 0.6792 -0.7035 4.8794 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 1.4364 0.0000 2 -1.9476 -0.0411 -0.1556 3.2870 0.5340 -0.5086 1.3627 -0.0897 0.7482 0.0023 0.1669 -1.4282 0.4925 -1.5833 3 0.6113 -0.7969 0.5958 1.7465 -0.6818 0.1011 0.3263 -0.1110 0.9126 -0.1026 -0.1639 0.5548 1.2560 -0.3764 4 0.4542 -0.5868 0.3943 1.1762 -0.3853 0.0133 -0.0708 -0.1263 0.3634 0.0802 -0.2245 0.5111 0.4628 -0.0669 5 0.1824 -0.5887 0.5409 0.2783 0.0321 0.1336 -0.3748 -0.0222 0.1308 0.1663 0.0134 0.2436 0.3148 -0.0529 6 0.3559 -0.4207 0.4255 -0.2180 0.0526 0.1295 -0.3731 0.0334 0.1235 0.0860 0.1292 0.3308 0.1422 0.2572
12 -0.0038 -0.0569 -0.0256 -0.0230 0.0085 0.0069 -0.0097 -0.0005 0.0012 0.0014 0.0221 0.0110 -0.0209 0.0066 18 0.0021 -0.0069 -0.0004 -0.0024 0.0018 0.0007 -0.0013 0.0007 0.0009 0.0011 0.0029 0.0014 -0.0024 0.0000 24 0.0001 -0.0007 0.0002 -0.0004 0.0003 0.0002 -0.0001 0.0002 0.0001 0.0002 0.0004 0.0003 -0.0002 0.0000 36 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 48 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 60 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
Min -2.5196 -0.7969 -0.7478 -0.2180 -0.6818 -0.7035 -0.3748 -0.1263 -0.1030 -0.1026 -0.2245 -1.4282 -0.0238 -1.5833 Max 0.6113 1.6390 0.5958 5.0533 0.6792 0.1336 4.8794 0.0392 0.9126 0.1663 0.1669 0.5548 1.4364 0.2572 Kemantapan 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 Rerata -0.0496 -0.0248 0.0181 0.1818 0.0019 -0.0137 0.0874 -0.0038 0.0331 0.0025 -0.0018 0.0076 0.0693 -0.0244 Bulan Min 1 3 1 6 3 1 5 4 8 3 4 2 11 2 Bulan Max 3 1 3 1 1 5 1 7 3 5 2 3 1 6 Bulan Kemantapan 35 31 29 30 28 30 29 29 30 30 30 30 27 22
109
Lampiran Tabel LT.12. Hasil Analisis Impuls Respons Harga Konsumen Kedelai Indonesia Periode Januari 1993 – Desember 2013
Period Guncang-
an PO Guncang-
an PW Guncang-
an ER Guncang-
an TM Guncang-
an PM Guncang-
an QM Guncang-
an PC Guncang-
an QC Guncang-
an PG Guncang-
an PF Guncang-
an QF Guncang-
an PI Guncang-
an PE Guncang-
an CC
1 -0.8137 -0.7651 2.1370 3.4200 4.9415 -1.6043 5.8980 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 4.5689 0.0000 2 1.6136 1.1176 0.6429 0.1027 2.8242 0.9371 -1.3149 0.1284 0.7781 2.6328 0.7519 -1.1008 -2.2348 -0.2023 3 1.4314 0.8409 -0.1765 0.2714 0.2199 -1.3630 -0.0901 0.1003 -0.0507 0.0698 -0.1249 0.1583 1.1221 0.0061 4 0.1405 -0.1060 -0.0465 0.2102 0.1341 0.7268 -0.0432 0.0743 0.0386 0.0602 0.0429 0.1436 0.2621 -0.0113 5 0.3146 -0.1144 -0.0057 0.0507 -0.0163 -0.2955 -0.0367 0.0344 -0.0285 0.0459 -0.0090 -0.0155 0.1417 -0.0100 6 -0.0178 -0.0763 -0.0330 0.0115 0.0016 0.1177 -0.0052 0.0200 -0.0060 -0.0126 -0.0104 0.0536 0.0872 0.0015
12 0.0000 -0.0011 -0.0004 -0.0001 -0.0002 0.0002 0.0000 0.0002 -0.0002 -0.0001 -0.0001 0.0001 0.0006 0.0000 18 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 24 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 36 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 48 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 60 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
Min -0.8137 -0.7651 -0.1765 -0.0003 -0.0163 -1.6043 -1.3149 0.0000 -0.0507 -0.0126 -0.1249 -1.1008 -2.2348 -0.2023 Max 1.6136 1.1176 2.1370 3.4200 4.9415 0.9371 5.8980 0.1284 0.7781 2.6328 0.7519 0.1583 4.5689 0.0061 Kemantapan 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 Rerata 0.0453 0.0135 0.0416 0.0679 0.1348 -0.0251 0.0733 0.0062 0.0119 0.0467 0.0106 -0.0127 0.0667 -0.0037 Bulan Min 1 1 3 8 5 1 2 1 3 6 3 2 2 2 Bulan Max 2 2 1 1 1 2 1 2 2 2 2 3 1 3 Bulan Kemantapan 14 16 15 13 14 13 12 14 14 13 14 13 15 12
110
Lampiran Tabel LT.13. Analisis Biaya Usahatani Padi Sawah di Provinsi
JawaBarat, 2014 (Luas Lahan 1 Ha, Masa pertanaman 4 Bulan)
No. Uraian Volume Satuan (Rp) Jumlah (Rp)
I PENGELUARAN
A. Tenaga Kerja
1) Pesemaian 2 HKP 25,000 50,000
2) Merendam Benih 1 HKP 25,000 25,000
3) Pengolahan tanah / Persiapan lahan
- mekanisasi 1 unit 500,000 500,000
- manusia 20 HKP 25,000 500,000
4) Penanaman 27 HKW 20,000 540,000
5) pemeliharaan
Memupuk 45 HKP 25,000 1,125,000
Menyiang 20 HKW 20,000 400,000
Pengend.hama dan penyakit 10 HKP 25,000 250,000
6) Panen
memanen,merontok, mengangkut 55 HKW 20,000 1,100,000
mengeringkan 35 HKP 25,000 875,000
Pengarungan dan penyimpanan 10 HKP 25,000 250,000
Jumlah A. 5,615,000
B. Sarana Produksi (Saprodi)
1) Benih/bibit 25 kg 5,500 137,500
2) Pupuk (Anorganik)
- urea 100 kg 1,600 160,000
- NPK 300 kg 2,300 690,000
3) Pupuk Organik/Kandang/Hijau 2,000 kg 1,000 2,000,000
4) Pestisida 2 liter 150,000 300,000
Jumlah B 3,287,500
C. Lain-lain Pengeluaran
1 Sewa lahan 1 Ha 3,000,000 3,000,000
2 Iuran P3A/HIPPA 1 Ha 200,000 200,000
Jumlah C 3,200,000
Total Pengeluaran/Biaya Produksi (I=A+b+C) 12,102,500
II. PENERIMAAN / OUTPUT
Nilai Produksi/Penerimaan (II) 6,04
6 kg 3,370 20,375,020
III. ANALISIS BIAYA USAHA TANI
a. Keuntungan (U) = II-I 8,272,520
b. R/C ratio = (II/I) 1.68
c. B/C ratio = (U/I) 0.68
d. Keuntungan per bulan
2,068,130
e. Keuntungan per kg 1,368
f. BEP
1) harga 2,002
2) produksi 3,591
111
Lampiran Tabel LT.14. Analisis Biaya Usahatani Padi Ladang di Provinsi JawaBarat, 2014 (Luas Lahan 1 Ha, Masa pertanaman
4 Bulan)
No. Uraian Volume Satuan (Rp) Jumlah (Rp)
I PENGELUARAN
A. Tenaga Kerja
1) Pengolahan tanah / Persiapan
lahan : laki-laki 60 HKP 25,000 1,500,000
3) Penanaman
- laki-laki 5 HKP 25,000 125,000
- wanita 25 HKW 20,000 500,000
4) pemeliharaan
- Pemupukan 45 HKP 25,000 1,125,000
- Penyiangan 20 HKW 20,000 400,000
-Pengend.hama dan penyakit 10 HKP 25,000 250,000
5) Panen dan pasca panen
- panen, perontokan dan
pengangkutan 35 HKP 25,000 875,000
-pengeringan 55 HKW 20,000 1,100,000
- Pengarungan dan penyimpanan 10 HKP 25,000 250,000
Jumlah A. 5,875,000
B. Sarana Produksi (Saprodi)
1 Benih/bibit 25 kg 5,500 137,500
2 Pupuk (Anorganik)
- urea 100 kg 1,600 160,000
- NPK 300 kg 2,300 690,000
3 Pestisida 1 kg 100,000 100,000
Jumlah B 1,087,500
C. Lain-lain Pengeluaran
1 Sewa lahan 1 Ha 2,000,000 2,000,000
2 Iuran P3A/HIPPA 1 Ha 200,000 200,000
Jumlah C 2,200,000
Total Pengeluaran/Biaya Produksi (I=A+B+C) 9,162,500
II. PENERIMAAN / OUTPUT
Nilai Produksi/Penerimaan (II) 3,932 kg 2,800 11,009,600
III. ANALISIS BIAYA USAHA TANI
a. Keuntungan (U) = II-I 1,847,100
b. R/C ratio = (II/I) 1.20
c. B/C ratio = (U/I) 0.20
d. Keuntungan per bulan 461,775
e. Keuntungan per kg 470
f. BEP
1) harga 2,330
2) produksi 3,272
112
Lampiran Tabel LT.15. Analisis Biaya Usahatani Jagung di Provinsi JawaBarat,
2014 (Luas Lahan 1 Ha, Masa pertanaman 4 Bulan)
No. Uraian Volume Satuan (Rp) Jumlah (Rp)
I PENGELUARAN
A. Tenaga Kerja
1) Pengolahan tanah s/d siap
tanam 24 HKP 25,000 600,000
2) Penanaman 10 HKP 25,000 250,000
10 HKW 20,000 200,000
3) pemeliharaan
Memupuk 20 HKP 25,000 500,000
Menyiang 20 HKP 25,000 500,000
Pengend.hama dan penyakit 5 HKP 25,000 125,000
Pengairan 20 HKP 25,000 500,000
4) Panen
Pemanenan, Pengakutan dan 25 HKW 20,000 500,000
Penyimpanan 20 HKP 25,000 500,000
Jumlah A. 3,675,000
B. Sarana Produksi (Saprodi)
1 Benih/bibit 30 kg 40,000 1,200,000
2 Pupuk (Anorganik)
- Urea 300 kg 1,600 480,000
- TSP 100 kg 2,000 200,000
- KCl 100 kg 2,500 250,000
3 Pupuk Organik/Kandang/Hijau 2,000 kg 1,000 2,000,000
4 Insektisida 1 liter 100,000 100,000
Jumlah B 4,230,000
C. Lain-lain Pengeluaran
1 Sewa lahan 1 Ha 2,000,000 2,000,000
2 Iuran P3A/HIPPA 1 Ha 200,000 200,000
Jumlah C 2,200,000
Total Pengeluaran/Biaya Produksi (I=A+b+C) 10,105,000
II. PENERIMAAN / OUTPUT
Nilai Produksi/Penerimaan (II) 6,423 kg 2,595 16,667,685
III. ANALISIS BIAYA USAHA TANI
a. Keuntungan (U) = II-I 6,562,685
b. R/C ratio = (II/I) 1.65
c. B/C ratio = (U/I) 0.65
d. Keuntungan per bulan 1,640,671
e. Keuntungan per kg 1,022
f. BEP
1) harga 1,573
2) produksi 3,894
113
Lampiran Tabel LT.16. Analisis Biaya Usahatani Kedelai di Provinsi JawaBarat,
2014 (Luas Lahan 1 Ha, Masa pertanaman 4 Bulan)
No Uraian Volume Satuan (Rp) Jumlah (Rp)
I PENGELUARAN
A. Tenaga Kerja
1) Pengolahan Tanah/Persiapan lahan
- Pria 20 HKP 25,000 500,000
- wanita 4 HKW 20,000 80,000
2) Penanaman
- Pria 10 HKP 25,000 250,000
- wanita 8 HKW 20,000 160,000
3) Pemeliharaan
- Penyiangan 20 HKW 20,000 400,000
- Pemupukan 5 HKP 25,000 125,000
5 HKW 20,000 100,000
- Perlintan 4 HKP 25,000 100,000
4) Panen
- memanen, merontok, mengangkut 18 HKP 25,000 450,000
- mengeringkan 4 HKW 20,000 80,000
Jumlah A 2,245,000
B. Sarana Produksi (Saprodi)
1) Benih/bibit 40 kg 10,000 400,000
2) Pupuk (Anorganik)
- Urea 75 kg 1,600 120,000
- KCL 50 kg 2,500 125,000
- TSP 100 kg 2,000 200,000
- PPC 1 lt 40,000 40,000
3) Pupuk Organik/Kandang/Hijau 2,000 kg 1,000 2,000,000
Jumlah B 2,885,000
C. Lain-lain Pengeluaran
1) Sewa lahan 1 Ha 2,000,000 2,000,000
2) Iuran P3A/HIPPA 1 Ha 200,000 200,000
Jumlah C 2,200,000
Total Pengeluaran/ Biaya Produksi (I=A+B+C) 7,330,000
II. PENERIMAAN / OUTPUT
Nilai Produksi/Penerimaan (II) 1,574 kg 6,000 9,444,000
III. ANALISIS BIAYA USAHA TANI
a. Keuntungan (U) = II-I 2,114,000
b. R/C ratio = (II/I) 1.29
c. B/C ratio = (U/I) 0.29
d. Keuntungan per bulan 528,500
e. Keuntungan per kg 1,343
f. BEP
1) harga 4,657
2) produksi 1,222