39
TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN (CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY) DAN PENGATURANNYA DALAM UUPT By : Busyra Azheri 1 Abstract “Sejalan dengan dinamika masyarakat dan tuntutan era global, maka perusahaan harus mengubah paradigmanya dari “profit oriented” ke corporate image” yang diimplementasikan dalam bentuk corporate social responsibility (CSR). Untuk itu perusahaan tidak lagi memaknai CSR sebagai tanggung jawab “moral” an-sich, tetapi merupakan suatu kewajiban dalam makna liability. Namun dalam pelaksanaannya CSR ini sebaiknya lebih bersifat self regulation yang dikawal dengan regulasi yang bersifat corporate state. Sehingga Pasal 74 UUPT yang dijadikan dasar sebagai pelaksanaan CSR di Indonesia perlu di evaluasi secara komprehensif”. " In line with global era demand and public dynamics, hence company have to alter the paradigm from" profit oriented" to" corporate image" what is implementation in the form of corporate social responsibility ( CSR). For the purpose company [shall] no longer mean CSR as responsibility" moral" an-sich, but is an obligation in liability meaning. But in the execution of this CSR better more have the character of as of self regulation which guarded with regulation having the character of corporate state. So That Section of 74 UUPT taken as base as execution of CSR in Indonesia needing in evaluation comprehensively". 1 Dosen Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang. Sekarang lagi menyelesaikan Program Doktor pada Program Pascasarja Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang. Page 1-39

Kajian Kritis CSR dalam UUPT

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Kajian Kritis CSR dalam UUPT

TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN

(CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY)

DAN PENGATURANNYA DALAM UUPT

By : Busyra Azheri1

Abstract

“Sejalan dengan dinamika masyarakat dan tuntutan era global, maka perusahaan harus mengubah paradigmanya dari “profit oriented” ke “corporate image” yang diimplementasikan dalam bentuk corporate social responsibility (CSR). Untuk itu perusahaan tidak lagi memaknai CSR sebagai tanggung jawab “moral” an-sich, tetapi merupakan suatu kewajiban dalam makna liability. Namun dalam pelaksanaannya CSR ini sebaiknya lebih bersifat self regulation yang dikawal dengan regulasi yang bersifat corporate state. Sehingga Pasal 74 UUPT yang dijadikan dasar sebagai pelaksanaan CSR di Indonesia perlu di evaluasi secara komprehensif”.

" In line with global era demand and public dynamics, hence company have to alter the paradigm from" profit oriented" to" corporate image" what is implementation in the form of corporate social responsibility ( CSR). For the purpose company [shall] no longer mean CSR as responsibility" moral" an-sich, but is an obligation in liability meaning. But in the execution of this CSR better more have the character of as of self regulation which guarded with regulation having the character of corporate state. So That Section of 74 UUPT taken as base as execution of CSR in Indonesia needing in evaluation comprehensively".

Pendahuluan

Sejak digulirnya diskursus tentang tanggung jawab sosial perusahaan

(Corporate social responsibility, selanjutnya disingkat CSR) dalam amandemen

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas, telah timbul pro

dan kontra serta resistensi terhadap hal tersebut. Puncaknya terjadi pada saat

diaturnya CSR dalam Pasal 74 Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang

Perseroan Terbatas (selanjutnya disingkat UUPT). Bahkan Kamar Dagang Indonesia

(KADIN) setelah disahkannya UUPT langsung menyatakan akan menggugat klausul

tersebut ke Mahkamah Konstitusi. Polemik ini tidak terlepas dari pemahaman

1 Dosen Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang. Sekarang lagi menyelesaikan Program Doktor pada Program Pascasarja Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang.

Page 1-25

Page 2: Kajian Kritis CSR dalam UUPT

terhadap konsep CSR itu sendiri, hal ini diperkuat lagi dengan berbagai hasil

penelitian dan survei yang menunjukkan bahwa pemahaman dan pelaksanaan CSR di

kalangan dunia usaha di Indonesia amat rendah.2 Selama ini kalangan dunia usaha

melihat CSR sebagai suatu kegiatan yang bersifat sukarela (voluntary),

kedermawanan (philantropy) dan kemurahan hati (charity), sehingga tidak perlu

diatur dalam undang-undang. Apa lagi disinyalir hanya negara Indonesia satu-

satunya negara yang mengatur CSR secara eksplisit dalam ketentuan perundang-

undangan, karena di negara lain seperti Jerman, Amerika Serikat, Inggris, dan

Prancis serta Australia tetap menyerahkan implementasi CSR pada perusahaan

berlandaskan pada sifat voluntary.

Rendahnya pemahaman terhadap CSR ini terlihat dari implementasinya

sendiri, hal ini dibuktikan dengan dampak keberadaan suatu perusahaan itu sendiri.

Secara teoritis seharusnya keberadaan perusahaan pada suatu wilayah tertentu, dapat

menyerap tenaga kerja, meningkatkan produktifitas ekonomi, dan dapat menjadi aset

pembangunan nasional maupun daerah. Namun kenyataannya, selama puluhan tahun

keberadaan suatu perusahaan di Indonesia cenderung memarginalkan masyarakat

sekitarnya, bahkan lebih “ekstrim” lagi justru menanamkan benih konflik yang

bersifat laten. Kondisi ini secara tegas diakui oleh pemerintah, sebagaimana dapat

dibuktikan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN)

2004-2009, tentang permasalahan dan agenda pembangunan menegaskan bahwa

telah terjadi ekses negatif dari pembangunan, yaitu timbulnya berbagai kesenjangan,

mulai kesenjangan antar golongan, pendapatan dan pembangunan antar wilayah dan

lain sebagainya.

Fakta empiris lain juga menunjukkan bahwa begitu cepatnya arus dinamika

sosial kemasyarakatan dan semakin berkurangnya peran pemerintah, serta

dominannya peran sektor swasta dalam pembangunan ekonomi suatu negara.3

Kondisi ini juga di picu dengan meningkatnya kesadaran dan tuntutan masyarakat

terhadap keadilan sosial, lingkungan hidup dan Hak-hak Asasi Manusia (HAM) serta

penegakan hukum (law enforcement) yang berkaitan dengan aktivitas dunia usaha itu

2 Survei KOMPAS tanggal 7 Agustus 2007 menunjukkan tidak lebih dari 30 % perusahaan di seluruh Indonesia melaksanakan CSR. Pelaksanaan CSR itu sendiri dikaitkan dengan bantuan terhadap bencana alam.

3 Teguh, 2006, Tanggung Jawab Sosial Harus Dilakukan, makalah pada seminar “Corporate Social Responsibility”: Integreting Social Aspect into The Business, Ikatan Keluarga Mahasiswa Manajemen Universitas Gajah Mada (UGM), Yogyakarta, 11 Maret 2006.

Page 2-25

Page 3: Kajian Kritis CSR dalam UUPT

sendiri. Dengan kata lain, yang dibutuhkan masyarakat dewasa ini terhadap

keberadaan suatu perusahaan adalah transparansi dalam “will imformed”.

Begitu pula halnya bila di lihat dari aspek ekonomi perusahaan, selama ini

sebagian besar perusahaan masih menganut doktrin ekonomi klasik yaitu

“maximization profit”, sebagai mana dinyatakan oleh Adam Smith yang

menegaskan bahwa “tujuan utama dari perusahaan adalah menekan biaya serendah

mungkin dan meningkatkan efisiensi setinggi mungkin demi memaksimalkan laba”.

Namun di era global dan pasar bebas dewasa ini, doktrin tersebut sudah usang,

sehingga mesti ada paradigma baru dalam berusaha yaitu bagaimana perusahaan

dalam aktivitasnya mampu menciptakan “positive image” terhadap para

stakeholders yaitu dengan mengimplementasikan prinsip-prinsip CSR dalam

aktivitas dunia usaha.

Pada sisi lain, dari konteks global CSR telah menjadi suatu tuntutan, dengan

terbentuknya ikatan-ikatan ekonomi dunia seperti WTO, AFTA, APEC, UE dan lain-

lain sebagainya yang mencantumkan berbagai persyaratan untuk berkompetisi dan

dapat memasuki suatu kawasan tertentu, seperti ISO 14000 dan 14001 yang

berkaitan dengan manajemen lingkungan serta ISO 260004 tentang petunjuk

(gaideline) implementasi dan aplikasi CSR.

Begitu pula halnya bila dilihat dari prinsip tata kelola perusahaan yang baik

(Good Corporate Governance (GCG)) yang dituangkan pada 4 (empat) prinsip

dasar5 yaitu fairness,6 transparancy,7 acuntability8 and responsibility. Sedangkan

CSR sendiri merupakan bagian dari prinsip responsibility yang dijabarkannya

sebagai berikut yaitu :

Bahwa peran pemegang saham harus diakui sebagaimana ditetapkan hukum dan kerja sama secara aktif antara perusahaan serta para

4 ISO 26000 baru diluncurkan (launching) pada Oktober 2008. ISO ini hanya bersifat sukarela dan hanya memuat petunjuk (guideline) tentang standar CSR. Lebih lanjut lihat www.mvo-platform.nl. Diakses, Oktober, 28,2007.

5 Lebih lanjut lihat I Nyoman Tjager, dkk, Corporate Governance – Tantangan dan Kesempatan bagi Komunitas Bisnis Indonesia, Prenhallindo, Jakarta, halaman 19.

6 Kewajaran (fairness) adalah perlakuan yang sama terhadap para pemegang saham dan keterbukaan informasi serta melarang insider trading. Hal ini dituangkan dalam corporate conduct.

7 Transparansi (transparancy) lebih ditekankan pada hak pemegang saham berkaitan dengan pemberian informasi yang tepat waktu dan benar, pengambilan keputusan yang mendasar dan turut memperoleh bagian keuntungan.

8 Akuntabilitas (accuntability) adalah hal yang berkaitan dengan tanggung jawab manajemen melalui effective oversight didasarkan atas balance of power antara manajer, pemegang saham, dewan komisaris dan auditor.

Page 3-25

Page 4: Kajian Kritis CSR dalam UUPT

pemegang kepentingan (stakeholders) dalam menciptakan kekayaan, lapangan kerja, dan lain sebaginya. Selain itu harus dipahami juga bahwa perusahaan sebagai bagian lembaga dalam kehidupan masyarakat dalam bertindak harus memperhatikan kebutuhan masyarakat yang ada di sekitar perusahaan. Prinsip ini diwujudkan atas dasar kesadaran bahwa tanggung jawab merupakan konsekuensi logis dari adanya wewenang; menyadari akan adanya tanggung jawab sosial; menghindari penyalah gunakan kekuasaan; menjadi profesional dan menjunjung etika; memelihara lingkungan bisnis yang sehat.

Namun demikian perlu dipahami bahwa 3 (tiga) prinsip pertama (fairness,

transparency and accountability) dari GCG memberikan penekanan terhadap

kepentingan pemegang saham (shareholders driven concept). Sedangkan prinsip

responsibility menekankan pada stakeholders driven concept.9 Dengan kata lain,

prinsip responsibility dalam GCG menekankan agar perusahaan lebih

memperhatikan kepentingan stakeholders, baik berkaitan dengan upaya menciptakan

nilai tambah (value added) dari produk barang dan jasa serta memelihara

kesinambungan nilai tambah yang diciptakannya.

Permasalahannya sekarang adalah belum ada suatu kesatuan pandang, baik

pada tingkat filosofis-teoritis maupun praktis tentang CSR itu sendiri.10 Dengan tidak

adanya kesatuan pandangan tersebut, maka perusahaan dan stakeholders membuat

variabel tersendiri dalam memaknai dan mengimplementasikannya. Sehingga tidak

salah, jika pada saat disahkannya UUPT pada tanggal 20 Juli 2007 timbul berbagai

komentar, tanggapan, dan resistensi sehubungan dengan di masukannya pengaturan

CSR dalam UUPT tersebut. Berkaitan hal tersebut, tulisan yang sederhana ini

berusaha memberikan sumbang pikir tentang pemahaman terhadap pengertian dan

ruang lingkup CSR, dan stakeholders theory serta bagaimana pengaturannya lebih

lanjut dalam konteks hukum perusahaan Indonesia ke depan.

Pengertian Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (Corporate Social

Responsibility)

Pada saat sekarang ini terdapat suatu yang paradoks terhadap pemaknaan

CSR, karena belum ada kesamaan visi dan pengertian terhadap CSR itu sendiri.

9 Sita Supomo, Corporate Social responsibility (CSR) dalam Prinsip GCG, dalam http://www.fcgi.or.id, diakses 05/03/07.

10 Sonny Keraf, Etika Bisnis, Tuntutan dan Relevansinya, Kanisus, Yogyakarta, 1998, halaman 113.

Page 4-25

Page 5: Kajian Kritis CSR dalam UUPT

Kalangan dunia usaha sendiri memahami bahwa CSR itu penting dalam

keberlanjutan (sustainability) usaha dan para stakeholders mereka, namun hanya

sebagian kecil yang mengimplementasikan CSR dalam aktivitas usahanya. hal ini

senada dengan pernyataan Gurvy Kavei bahwa praktek CSR di percayai menjadi

landasan fundamental bagi pembangunan berkelanjutan (sustainability development),

bukan hanya bagi perusahaan, tetapi juga bagi stakeholder dalam arti keseluruhan.11

Untuk lebih jelasnya mengenai pengertian atau rumusan CSR dapat dilihat

sebagai berikut :

a. The World Business Council for Sustainable Development (WBCSD)

Menyebutkan CSR sebagai “continuing commitment by business to behave

ethically and contribute to economic development while improving the quality of

life of the workforce and their families as wol as of the local community and

society at large”.

b. World Bank

Menegaskan bahwa CSR sebagai “the commitment of business to contribute to

sustainable economic development working with employees and their

representatives, the local community and society at large to improve quality of

life, in ways that are both good for business and good for development”

c. European Union

Merumuskan bahwa “CSR is a concept whereby companies integrate social and

environmental concerns in their business operations and in their interaction with

their stakeholders on a voluntary basis”.

d. Pasal 1 angka 3 Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan

Terbatas.

Tanggung jawab sosial dan lingkungan adalah komitmen Perseroan untuk

berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan

kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi Perseroan sendiri,

komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya.

Secara prinsip rumusan WBCSD dengan world bank sama-sama menekankan

CSR sebagai komitmen bisnis untuk berkontribusi dalam pembangunan ekonomi

berkelanjutan, bekerja sama dengan karyawan perusahaan, keluarga karyawan, dan

11 Teguh, Tanggung Jawab Sosial Harus Dilakukan, makalah pada seminar “Corporate Social Responsibility”: Integreting Social Acpect into The Business, Ikatan Keluarga Mahasiswa Manajemen Universitas Gajah Mada (UGM), Yogyakarta, 11 Maret 2006.

Page 5-25

Page 6: Kajian Kritis CSR dalam UUPT

masyarakat setempat (lokal) dalam rangka meningkatkan kualitas kehidupan. Namun

demikian world bank menambahkan sepanjang aktivitas dimaksud bermanfaat bagi

perusahaan dan pembangunan sendiri. Sedangkan pengertian dari European Union

tentang CSR hanya menggambarkan sebagai suatu konsep, di mana perusahaan

berusaha mengintegrasikan aspek sosial dan lingkungan serta dengan stakeholders12

atas dasar “voluntary” dalam melakukan aktivitas usahanya. Lain lagi halnya

rumusan CSR yang di tegaskan dalam UUPT justru mencoba memisahkan antara

tanggung jawab sosial (social responsibility) dengan tanggung jawab lingkungan

(environment responsibility). Namun demikian pemisahan tersebut tetap

mendeskripsikan komitmen perusahaan dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan

dalam upaya meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan.

Perbedaan ini diperkuat lagi dengan rumusan dari Trinidad and Tobacco

Bureau of Standard (TTBS) menyimpulkan bahwa CSR terkait dengan nilai dan

standar yang dilakukan berkenaan dengan beroperasinya sebuah perusahaan.

Sehingga CSR diartikan sebagai komitmen dalam berusaha secara etis, beroperasi

secara legal dan berkontribusi untuk peningkatan ekonomi, bersamaan dengan

peningkatan kualitas hidup dari karyawan dan keluarganya, komunitas lokal dan

masyarakat secara lebih luas.13

Berkaitan hal tersebut, perlu dilakukan “reinterpretasi” terhadap pemahaman

prinsip CSR oleh perusahaan secara komprehensif. Kalau selama ini CSR

diidentikkan dengan tanggung jawab dalam makna sosial an-sich, maka ke depan

tanggung jawab dalam makna “responsibility” harus dimaknai sebagai suatu

kewajiban.14 Jika hal ini dapat dilakukan, maka CSR sebagai komitmen dari suatu

perusahaan dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan akan dapat memberikan

manfaat, baik pada shareholder maupun stakeholders. Jika kemitraan antara

shareholder dengan stakeholders berjalan baik, sehingga terbentuklah hubungan

yang bersifat simbiosis mutualistik. Oleh karena itu perusahaan harus memaknai

12 Sony Keraf membagi stakeholder atas 2 (dua) yaitu ; kelompok primer yang terdiri atas pemilik modal atau saham, kreditur, karyawan, pemasok, konsumen, penyalur, dan pesaing atau rekanan, sedangkan kelompok sekunder terdiri atas pemerintah setempat, pemerintah asing, kelompok sosial, media masa, kelompok pendukung, masyarakat pada umumnya, dan masyarakat setempat. Lebih lanjut lihat Sonny Keraf, 1998, Etika Bisnis, Tuntutan dan Relevansinya, Yogyakarta, Kanisius, h.90.

13 Abdul Rasyid Idris, Corporate Social Responsibility (CSR), Sebuah Gagasan dan Implementasi, Artikel di Fajar Online, Makasar, 12 September 2006.

14 Busyra Azheri, Menggugat “Social Responsibility” Perusahaan, Padang Ekspres, Rabu, 28 Maret 2007.

Page 6-25

Page 7: Kajian Kritis CSR dalam UUPT

CSR tidak lagi sebagai beban moral etis, tetapi justru merupakan suatu kewajiban

yang harus dipertanggung jawabkan.

Penjelasan di atas senada dengan rumusan John Elkingston’s tentang

pengertian CSR yaitu sebagai berikut :15

“Corporate Social Responsibility is a concept that organisation, especially (but not only) corporations, have an obligation to consider the interests of costomers, employees, shareholders, communities, and ecological considerations in all aspects af their operations. This obligation is been to extend beyond their statutory obligation to comply with legislation”.

Berkaitan dengan pengerian CSR tersebut, John Elkingston’s mengelompokkan CSR

atas 3 (tiga) aspek yang lebih dikenal dengan istilah “Triple Bottom Line” meliputi

kesejahteraan atau kemakmuran ekonomi (economic prosperity), peningkatan

kualitas lingkungan (environmental quality), dan keadilan sosial (social justice).

Selain itu ia juga menegaskan bahwa bagi perusahaan yang ingin menerapkan konsep

pembangunan berkelanjutan (sustainability development) harus memperhatikan

“Triple P” yaitu profit, planet, and people. Bila dikaitkan antara “triple bottom line”

dengan “triple P” dapat disimpulkan bahwa “Ptofit” sebagai ujud aspek ekonomi,

“Planet” sebagai ujud aspek lingkungan dan “People” sebagai aspek sosial.16

Kemudian pada tahun 2002 Global Compact Initiative mempertegaskan kembali

tentang triple P ini dengan menyatakan bahwa sementara tujuan bisnis adalah untuk

mencari laba (profit)¸ ia seharusnya juga menyejahterakan orang (poeple), dan

menjamin keberanjuran kehidupan (planet) ini. Hubungan ini dapat diilustrasikan

dalam bentuk segi tiga sebagai berikut :17

Gambar 1 : Hubungan Tripel “P”

15 John Elkington, Cannibals with forks, the triple bottom line of twentieth century business, dikutip dari Teguh Sri Pembudi, 2005, CSR, Sebuah Keharusan dalam Investasi Sosial, Pusat Penyuluhan Sosial (PUSENSOS) Departemen Sosial RI, Jakarta, La Tofi Enterprise, h. 19.

16 Lebih lanjut lihat Yusuf Wibisono, 2007, Membedah Konsep & Aplikasi CSR, Fascho Publishing, Gresik, halaman 22-36.

17 Yanuar Nugroho, Artikel, Dilema Tanggung Jawab Perusahaan, Media Indonesia, 23 Agustus 2005.

Page 7-25

Page 8: Kajian Kritis CSR dalam UUPT

Sosial(People)

(Planet) (Profit) Lingkungan Ekonomi

Jika dilakukan pemetaan, maka ketiga aspek itu diwujudkan dalam kegiatan

sebagaimana terlihat dari tabel berikut.18

Tabel 1 : Kegiatan Corporate Social Responsibility

No Aspek Muatan1 Sosial Pendidikan, pelatihan, kesehatan, perumahan, penguatan

kelembagaan (secara internal, termasuk kesejahteraan karyawan) kesejahteraan sosial, olahraga, pemuda, wanita, agama, kebudayaan dan sebagainya.

2 Ekonomi Kewirausahaan, kelompok usaha bersama/unit mikro kecil dan menengah (KUB/UMKM), agrobisnis, pembukaan lapangan kerja, infrastruktur ekonomi dan usaha produktif lain

3 Lingkungan Penghijauan, reklamasi lahan, pengelolaan air, pelestarian alam, ekowisata penyehatan lingkungan, pengendalian polusi, serta penggunaan produksi dan energi secara efisien

Menurut Hardinsyah dan Iqbal, agar ketiga aspek tersebut dapat diimplementasikan

dibutuhkan strategi tertentu. Adapun strategi dasar yang dapat digunakan dalam

implementasi prinsip-prinsip CSR tersebut adalah :19

a. Penguatan kapasitas (capacity building);

b. Kemitraan (collaboration); dan

c. Penerapan inovasi.

Ruang Lingkup Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (Corporate Social

Responsibility)

Bila ditarik prinsip tanggung jawab sosial sebagaimana dijelaskan

sebelumnya pada konsep CSR, maka dapat disimpulkan bahwa CSR merupakan ujud

kepedulian perusahaan terhadap kepentingan pihak-pihak lain secara lebih luas dari

pada sekedar kepentingan perusahaan belaka. Dengan kata lain, meskipun secara

18 Lebih lanjut lihat Hardinsyah dkk, (2005) dan Iqbal, Muhammad (2006) Wacana Sinergi Konsep Corporate Social Responsibility Dan Payment For Environmental Services Dalam Upaya Pelestarian Sumberdaya Air (Kasus Daerah Aliran Sungai Brantas) Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Departemen Pertanian, Bogor.

19 Ibid.

Page 8-25

CSR

Page 9: Kajian Kritis CSR dalam UUPT

moral adalah baik bahwa perusahaan mengejar keuntungan, bukan berarti perusahaan

dibenarkan mencapai keuntungan tersebut dengan mengorbankan kepentingan-

kepentingan pihak lain yang terkait. Sehingga setiap perusahaan harus bertanggung

jawab atas tindakan dan kegiatan dari usahanya yang mempunyai dampak baik

langsung maupun tidak langsung terhadap orang-perorangan, masyarakat dan

lingkungan di mana perusahaan melakukan aktivitas usahanya.20 Permasalahannya

sekarang adalah apa saja yang termasuk lingkup CSR suatu perusahaan ?

Perkembangan etika dunia usaha modern dewasa ini menegaskan paling

sedikit ada 4 (empat) ruang lingkup dari CSR yaitu :21

a. Keterlibatan perusahaan dalam kegiatan-kegiatan sosial yang berguna bagi

kepentingan masyarakat luas

Dalam image perusahaan yang berkembang saat ini, justru keterlibatannya dalam

berbagai aktivitas sosial seperti inilah yang menjadi “urgensi” dari CSR, bahkan

inilah satu-satunya yang kegiatan CSR yang dimaksud. Lingkup kegiatan sosial

yang paling banyak mendapat sorotan adalah keterlibatan perusahaan dalam

masalah ketimpangan sosial dan ekonomi. Kesadaran perusahaan ini diilhami

oleh konsep keadilan distributif.

Ada beberapa alasan mengapa perusahaan dilibatkan dan atau melibatkan diri

dalam kegiatan sosial tersebut :

1. Perusahaan dan karyawan adalah bagian integral dari masyarakat setempat.

2. Perusahaan telah diuntungkan dengan mendapatkan hak untuk mengelola

sumber daya alam atau aktivitas lainnya yang ada dalam masyarakat tersebut

dengan mendatangkan keuntungan pada perusahaan.

3. Melihatkan komitmen moral perusahaan untuk tidak melakukan aktivitas

yang merugikan masyarakat.

4. Sebagai upaya menjalin interaksi sosial antara perusahaan dengan

masyarakat, supaya keberadaan perusahaan dapat diterima ditengah-tengah

masyarakat itu sendiri.

b. Keuntungan ekonomis yang diperoleh perusahaan

Kegiatan usaha modern dewasa ini, sulit untuk memisahkan antara keuntungan

ekonomis dengan keuntungan dari keterlibatannya dalam aktivitas sosial. Fakta

20 Sonny Keraf, Op., Cit., h. 122. 21 Orasi Ilmiah Jack Mahoney Sj, tanggal 19 Agustus 1996 di Universitas Atma Jaya, Jakarta.

Lebih lanjut bisa juga dilihat dalam Sonny Keraf, Ibid., h. 123-127.

Page 9-25

Page 10: Kajian Kritis CSR dalam UUPT

empiris menunjukkan bahwa keterlibatan perusahaan dalam kegiatan sosial

sangat menunjang aktivitas usaha itu sendiri, yang pada akhirnya akan

menguntungkan perusahaan. Namun demikian dewasa ini masih ada perusahaan

yang menganut paham klasik sebagai mana yang diungkapkan M. Friedman

bahwa satu-satunya tanggung jawab sosial perusahaan adalah mendatangkan

keuntungan sebesar-besarnya bagi perusahaan. Dalam kerangka inilah,

keuntungan ekonomi dilihat sebagai sebuah lingkup tanggung jawab moral dan

sosial yang sah dari suatu perusahaan. Jika suatu perusahaan mengadakan

aktivitas sosial, justru aktivitas tersebut sebagai tanggung jawab sosial dalam arti

negatif.

c. Memenuhi aturan hukum yang berlaku, baik yang berkaitan dengan kegiatan

dunia usaha maupun kehidupan sosial masyarakat pada umumnya

Berkaitan dengan hal tersebut, dalam orasi ilmiah Jack Mahoney di universitas

Atma Jaya Jakarta, ia menegaskan bahwa lingkup tanggung jawab sosial

perusahaan yang paling penting dan urgen dewasa ini adalah “bagaimana suatu

perusahaan mematuhi aturan hukum”. Hal ini tidak terlepas dari integritas

masyarakat itu sendiri, karena perusahaan adalah bagian masyarakat yang

bertanggung jawab dan berkewajiban untuk menjaga ketertiban dan keteraturan

tatanan sosial.

Asumsi dasar yang digunakan oleh Jack Mahoney adalah jika suatu perusahaan

tidak mematuhi aturan hukum yang ada, sebagaimana halnya orang lain, maka

ketertiban dan keteraturan masyarakat tidak akan terwujud. Demikian pula

halnya dengan perusahaan, di mana tidak akan ada ketenangan, ketenteraman dan

rasa aman dalam melakukan setiap aktivitas usahanya, jika perusahaan itu tidak

menaati ketentuan hukum yang berlaku.

d. Menghormati hak dan kepentingan stakeholders atau pihak terkait yang

mempunyai kepentingan langsung maupun tidak langsung aktivitas perusahaan

Lingkup ke empat dari tanggung jawab sosial perusahaan ini, sedang

mendapatkan perhatian khusus dari masyarakat pengusaha dan para akademisi

etis dewasa ini. Semua itu tidak terlepas dari asumsi bahwa suatu perusahaan

punya tanggung jawab moral dan sosial, hal ini berarti perusahaan secara moral

dituntut dan menuntut dirinya sendiri untuk bertanggung jawab atas hak dan

kepentingan pihak-pihak terkait lainnya yang berkepentingan. Tanggung jawab

Page 10-25

Page 11: Kajian Kritis CSR dalam UUPT

sosial perusahaan lalu menjadi hal yang begitu konkret, baik demi terciptanya

suatu kehidupan sosial yang baik, maupun demi keberlanjutan dan keberhasilan

kegiatan usaha perusahaan yang bersangkutan.

Teori Stakeholders dalam Konteks Tanggung Jawab Sosial Perusahaan

(Corporate Social Responsibility)

Secara sederhana stakeholders sering dinyatakan sebagai para pihak, lintas

pelaku, atau pihak-pihak yang terkait dengan suatu isu, kepentingan dan atau

rencana tertentu. Ramizes dalam bukunya Cultivating Peace, mengidentifikasi

berbagai pendapat mengenai stakekholder ini. Beberapa definisi yang penting

dikemukakan seperti Freeman yang mendefinisikan stakeholders sebagai kelompok

atau individu yang dapat mempengaruhi dan atau dipengaruhi oleh suatu pencapaian

tujuan tertentu.22 Sedangkan Biset secara singkat mendefinisikan stekeholder

merupakan orang dengan suatu kepentingan atau perhatian pada permasalahan

tertentu. Stakeholders ini sering diidentifikasi dengan suatu dasar tertentu

sebagaimana dikemukakan Freeman, yaitu dari segi kekuatan dan kepentingan

terhadap isu. Grimble and Wellard melihat stakeholders dari segi posisi penting dan

pengaruh yang mereka miliki.23

Berdasarkan pengertian stakeholders tersebut, jelaslah bawah bicara

stakeholderss theory berarti membahas hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan

berbagai pihak. Teori ini lahir atas kritikan dan kegagalan shareholders theory atau

Friedman’s paradigm dalam upaya meningkatkan tanggung jawab perusahaan, yang

terletak pada tanggung jawab tunggal manajemen kepada shareholders. Atau dengan

bahasa lain Philip R.P. Coelho, James E. & John A Spry menyebutnya dengan “the

list of stakeholderss includes only shareholders“.24 Kegagalan tersebut mendorong

munculnya stakeholderss theory yang melihat shareholders merupakan bagian dari

stakeholderss itu sendiri. Atas dasar kedekatan pada pihak yang terkait dengan

perusahaan, maka stakeholderss ini dapat dikelompokkan atas 2 (dua) yaitu :25

22 Baca Freeman, R.E., 1984, Strategic Management: A Stakeholders Approach, Boston, Fitman, USA, halaman 37.

23 Lihat Ramirez, R., 1999. Stakeholders Analysis and Conflict Management dalam Daniel Buckles, 1999. Cultivating Peace, Conflict and Collaboration in Natural Resource Management , WBI Washinton, DC, USA, halaman 67.

24 Philip R.P. Coelho, James E. McClure & John A. Spry, 2003, The Social Responsibility of Corporate Management, A Classical Critique, Mid-American Journal of Business, Vol. 18. No. 1.halaman 17.

25 Sonny Keraf, Op., Cit., halaman 90.

Page 11-25

Page 12: Kajian Kritis CSR dalam UUPT

1. Kelompok Primer.

Kelompok ini terdiri atas pemilik modal atau saham (owners), kreditor,

karyawan, pemasok, konsumen, penyalur, dan pesaing atau rekanan.

2. Kelompok Sekunder

Sedangkan kelompok sekunder terdiri atas pemerintah setempat, pemerintah

asing, kelompok sosial, media masa, kelompok pendukung, masyarakat pada

umumnya, dan masyarakat setempat.

Sedangkan pada sisi lain. Brytting menuliskan bahwa suatu organisasi

perusahaan terdiri atas koalisi dari para stakeholders yang berbeda yang memberikan

kontribusi terhadap kegiatan organisasi. Koalisi ini dapat dilihat dari gambar koalisi

stakeholder di bawah ini:26

Gambar 2 : Coalitions of Stakeholders

Pada sisi lain Sadosrky menyatakan bahwa terdapat 3 (tiga) hal yang menjadi

isu krusial dalam ruang lingkup stakeholders pada saat ini yaitu :27

1. Regulasi pemerintah (govermental regulation) yaitu peraturan yang dikeluarkan

pemerintah menjadi aspek penting yang harus diperhatikan oleh perusahaan.

2. Kelompok masyarakat (community) adalah elemen konsumen yang

mengkonsumsi hasil produksi dari perusahaan. Jika merugikan masyarakat

kelompok lain seperti institusi pendidikan akan merespon secara kajian akademis

26 Suharna, Nana, 2006, Gagasan dan Aksi Tanggungjawab Sosial perusahaan dalam Masyarakat: Studi Kasus Empat Perusahaan, Yappika, Jakarta.

27 Asyraf Wajdi Dusuki & Humayon Dar, Empirical Examination of Stakeholders Perspective, dalam http://www.bc.edu/centers/ccc/Media/2002_mbawinner.pdf, diakses Juni, 14, 2007.

.

Page 12-25

CORPORATION

CustomersSuppliers

CompetitionEmployers

Owners Environment

Society

Page 13: Kajian Kritis CSR dalam UUPT

3. Organisasi lingkungan (environmental organization) adalah salah satu kekuatan

kontrol sosial yang dapat mengawasi aktivitas perusahaan. aktivitas organisasi

lingkungan dapat memobilisir gerakan masyarakat dan opini terhadap aktivitas

perusahaan, sehingga kepentingan organisasi tersebut sering kali berbenturan

dengan kepentingan perusahaan jika tidak disikapi dengan bijaksana.

Salah seorang tokoh teori ini Kenneth Andrews, di mana pada tahun 1972

memberikan ilustrasi ringkas berkaitan dengan upaya meningkatkan tanggung jawab

perusahaan di luar shareholders. Ia menyatakan bahwa eksekutif perusahaan

sekarang ini termasuk orang yang tidak dapat membatasi dirinya untuk hanya

menjalankan aktivitas ekonomi, sekaligus mengabaikan konsekuensi sosial. Dengan

kata lain para manajer lebih mengarahkan dirinya dan perusahaan kepada masalah

sosial karena mereka terstimulasi untuk melakukan hal tersebut. Para manajer

menyadari bahwa suatu perusahaan privat yang besar adalah sebuah institusi publik

dan manajemen yang dijalankan menurut pedoman nilai moral yang terkandung

dalam kesadaran perusahaan itu sendiri. Lebih jelasnya Kenneth Andrews

menyatakan :28

“.....in effect that present-day corporate executives are increasingly the kind of people who cannot be excepted to confine themselves to pursue economic activity while ignoring its social consequences, means merely that manager will concern themselves and their companies with social problems because they find it stimulating to do so. ……(the managers) realize that a large “private” corporation is a public institution and that its management is conducted under the guidance of implicit moral values constituting a corporate conscience.

Selanjutnya Kenneth Andrews menegaskan bahwa perubahan paradigma

shareholders menjadi paradigma stakeholderss tidak terlepas dari 3 (tiga) aspek yaitu

: Pertama; self-interest adalah secara personal akan memberikan stimulus kepada

para eksekutif perusahaan yang akan mengarahkan sumber daya bisnis untuk

mengatasi masalah sosial. Kedua; moralitas adalah nilai etika yang mengatur

aktivitas kegiatan perusahaan dan. Ketiga; refikasi perusahaan adalah nilai moral

yang diyakini oleh perusahaan.29 Diharapkan melalui stakeholderss theory akan

28 Philip R.P. Coelho, James E. McClure & John A. Spry, 2003, The Social Responsibility of Corporate Management, A Classical Critique, Mid-American Journal of Business, Vol. 18, No. 1, halaman 19-20.

29 Ibid., halaman 20.

Page 13-25

Page 14: Kajian Kritis CSR dalam UUPT

mampu meningkatkan moralitas keputusan yang akan diambil oleh perusahaan dalam

melaksanakan aktivitas usahanya.

Apabila stakeholderss theory ini dilihat dari perspektif CSR, maka akan

berdampak negatif pada pondasi praktis dan etika kapitalisme serta melemahkan

kewajiban manajer kepada shareholders. Berkaitan hal tersebut Sonny Keraf

menegaskan bahwa teori ini bermuara pada prinsip minimal yaitu tidak merugikan

hak dan kepentingan pihak yang berkepentingan mana pun dalam suatu bisnis. Hal

ini bermakna bawah suatu bisnis harus dijalankan secara baik dan etis demi

kepentingan semua pihak yang terkait dengan bisnis tersebut. Pada akhirnya teori

digunakan demi kepentingan perusahaan itu sendiri, agar perusahaan tersebut

berhasil dan bertahan lama.30

Pengaturan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (Corporate Social

Responsibility) dalam UUPT

Sebelum bicara mengenai konsep CSR dalam UUPT, perlu dipahami dasar

filosofis CSR dalam konstitusi terutama berkaitan dengan maksud dan tujuan

berbangsa dan bernegara sebagai mana termaktub dalam preambul UUD 1945 yang

menegaskan sebagai berikut :

“.......... Pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial,31.........”.

Alinea ke empat pembukaan UUD 1945 ini mendeskripsikan bahwa “the

founding father” ingin meletakkan rumusan tujuan negara Indonesia yaitu negara

kesejahteraan (welfare state). Amanah pembukaan konstitusi ini diejawantahkan

pada Bab X tentang Warga Negara dan Penduduk Pasal 28, Bab XA tentang Hak

Asasi Manusia Pasal 28 C ayat (1), Pasal 28 H ayat (1), dan (3) serta Bab XIV

tentang Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial Pasal 33 ayat (4).32

Pasal 28, 28 C, 28 H dan Pasal 33 UUD 1945 sebagaimana tersebut di atas

secara prinsip sebenarnya telah mengamanatkan bahwa setiap perusahaan yang

melakukan aktivitas usaha di Indonesia harus mampu memberikan dampak positif

30 Sonny Keraf, Op. Cit., halaman 89.31 Cetak tebal dan garis bawah sengaja dilakukan sebagai penegasan saja oleh penulis.32 Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Amandemen ke 4 (empat).

Page 14-25

Page 15: Kajian Kritis CSR dalam UUPT

terhadap masyarakat, terutama berkaitan dengan tingkat kesejahteraannya. Upaya

meningkatkan kesejahteraan ini harus terlihat dari penerapan prinsip demokrasi

ekonomi, efisiensi, keberlanjutan (sustainebility), dan berwawasan lingkungan. Bila

konsep ini dikaitkan dengan pengertian CSR sebagaimana disebutkan di atas,

sebenarnya tidak ada alasan bagi pengusaha Indonesia atau perusahaan untuk tidak

menerapkan CSR dalam aktivitas usahanya, karena CSR ini telah menjadi amanat

konstitusi. Permasalahannya sekarang adalah bagaimana membuat regulasi yang

mampu mengejawantahkan amanat konstitusi itu sendiri, salah satunya adalah

dengan mengamandemen Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan

Terbatas.

Sebagaimana diketahui, untuk pertama kali pengaturan tentang Perseroan

Terbatas (PT) tunduk pada Kitab Undang-undang Hukum Dagang (Wetboek van

Koophandel, Staatsblad 1847:23), tepatnya Pasal 36-56. Untuk mengantisipasi

tuntutan dan perkembangan ekonomi serta dunia usaha, maka dikeluarkanlah

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas (UUPT).

Meskipun UUPT ini masih relatif baru (± 12 tahun) ternyata dirasakan tidak sesuai

lagi dengan perkembangan hukum dan kebutuhan masyarakat, apa lagi berhadapan

dengan tuntutan era global dan pasar bebas sehingga perlu diganti dengan UUPT

yang baru.

Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia sebagai lembaga yang

berwenang untuk itu telah merespons dengan membuat Rancangan Undang-undang

Perseroan Terbatas (RUUPT) sejak awal tahun 2000-an. Setelah melalui perjalanan

yang panjang dan proses politik yang alot di tingkat DPR, maka pada hari Jumat, 20

Juli 2007, RUUPT telah disahkan oleh DPR. Salah satu materi dalam UUPT ini

adalah berkaitan dengan lembaga tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan

(Corporate Social and Enviroment Responsibility)33. Ketentuan mengenai CSR

dalam UUPT yang baru ini dapat dilihat pada Pasal 74 yang berbunyi sebagai

berikut :

(1) Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan.

33 Makalah ini tetap menggunakan terminologi CSR, meskipun dalam UUPT menambahkan dengan lingkungan. Karena terminologi CSR yang dikenal secara umum selama ini telah mencakup aspek lingkungan.

Page 15-25

Page 16: Kajian Kritis CSR dalam UUPT

(2) Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya Perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran.

(3) Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bila dilihat dari law making proces-nya, konsep mengenai CSR dalam UUPT

yang baru disahkan ini tidak terlepas dari aksi dan tuntutan masyarakat dan Lembaga

Swadaya Masyarakat (LSM). Sebagaimana telah dinyatakan sebelumnya di mana

sekarang ini begitu cepat dan derasnya dinamika sosial masyarakat, serta semakin

menurunnya peran pemerintah dan semakin vitalnya peran sektor swasta dalam

pembangunan. Kondisi ini juga di picu dengan meningkatnya kesadaran dan

tuntutan tentang keadilan sosial, lingkungan hidup dan Hak-hak Asasi Manusia

(HAM) dan law enforcement serta will informed dalam aktivitas usaha setiap

perusahaan.

Kemudian mengingat amanat konstitusi dan melihat fakta empiris dari

dampak pembangunan selama ini sebagaimana diakui pemerintah dalam RPJMN

2004-2009, maka sangat rasional sekali CSR diatur dalam sistem perundang-

undangan di bidang hukum perusahaan. Hal ini dilakukan sebagai upaya

mewujudkan tujuan pembangunan perekonomian yang berlandaskan pada prinsip

kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan,

kemandirian, serta menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional

sebagai upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Atas pertimbangan hal

tersebut, maka UUPT merumuskan CSR sebagai bagian dari kewajiban perusahaan

dalam melakukan aktivitas kegiatannya di Indonesia. Kemudian dalam penjelasan

UUPT ditegaskan bahwa ketentuan mengenai CSR ini dimaksudkan untuk

mendukung terjalinnya hubungan Perseroan yang serasi, seimbang, dan sesuai

dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat setempat.

Namun demikian regulasi yang sangat akomodatif ini secara teoritis masih

perlu dievaluasi kembali. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, sampai saat

sekarang ini, baik di kalangan akademisi, praktisi, pemerintahan dan maupun LSM

Page 16-25

Page 17: Kajian Kritis CSR dalam UUPT

belum mempunyai visi yang sama terhadap pengertian maupun prinsip dari

terminologi CSR itu sendiri. Walaupun pada prinsipnya mereka sepakat bahwa CSR

ini penting dalam menciptakan iklim usaha yang kondusif dan sekaligus sebagai ujud

akuntabilitas publik. Dengan kata lain, baik dari segi terminologi, pengertian, prinsip,

dan ruang lingkup CSR masih bersifat debateble.

Sebelum membahas dan mengkritisi rumusan Pasal 74 UUPT, persoalan

pertama yang perlu dipahami adalah apa yang dimaksud dengan perusahaan itu

sendiri. Jawab atas pertanyaan itu dapat dilihat pada Pasal 5 Undang-undang Nomor

3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan menjelaskan bahwa dimaksud

perusahaan adalah badan hukum (Perseroan dan Koperasi), persekutuan, perorangan

(CV dan Firma), dan perusahaan dalam bentuk lainnya yang ditetapkan dalam

undang-undang. Jadi jelaslah bahwa perusahaan itu tidak hanya dalam bentuk

Perseroan saja, tetapi masih ada bentuk lain, seperti CV, Firma, Perum, Koperasi dan

lain sebagainya. Persoalan di sini adalah apakah perusahaan selain Perseroan tidak

diwajibkan melaksanakan CSR walaupun ia bergerak dalam bidang dan/atau

berkaitan dengan sumber daya alam ? Kalau rujukannya adalah UUPT, maka secara

yuridis jelas perusahaan selain Perseroan tidak terikat dengan aturan CSR tersebut.

Terlepas dari persolan bentuk perusahaan sebagaimana dimaksud di atas,

sebenarnya rumusan Pasal 74 UUPT ini menimbulkan berbagai persoalan yaitu

sebagai berikut :

A. Pasal 74 ayat (1) menyatakan bahwa “Perseroan yang

menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber

daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan”.

Rumusan ini seperti justru bersifat kabur dan berbau diskriminatif, karena hanya

mewajibkan perusahaan yang bergerak dalam bidang atau berkaitan dengan

sumber daya alam saja yang diwajibkan melaksanakan CSR. Persoalan sekarang

adalah apa yang dijadikan variabel sehingga suatu perusahaan dapat

dikelompokkan sebagai perusahaan yang bergerak di bidang dan/atau berkaitan

dengan sumber daya alam itu sendiri ? Kemudian bagaimana pula variabel

perusahaan yang tidak bergerak di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber

daya alam itu sendiri ? Kemudian, apakah perusahaan yang tidak termasuk di

Page 17-25

Page 18: Kajian Kritis CSR dalam UUPT

bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam tidak diwajibkan

melaksanakan CSR dalam aktivitas usahanya ?

Sebenarnya tidak perlu ditegaskan perusahaan yang bergerak dan/atau

berhubungan dengan sumber daya alam yang diwajibkan melaksanakan CSR,

karena selama ini perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang jasa, seperti

perbankan, lembaga pembiayaan, asuransi dan lain sebagainya juga aktif

melaksanakan kegiatan CSR.

Bila klausul Pasal 74 ayat (1) ini juga yang dijadikan dasar pelaksanaan CSR,

maka akan tetap muncul makna yang bersifat “ambigu”. Pada satu sisi bersifat

“wajib” dalam makna liability dan pada sisi lain tetap bersifat sukarela

(voluntary) dalam makna responsibility. Oleh karena itu rumusan Pasal 74 ayat

(1) di ubah menjadi “bahwa seluruh perusahaan yang beroperasi di

Indonesia wajib melaksanakan tanggung jawab sosial”. Dengan rumusan

seperti ini tidak ada lagi ambiguitas dan diskriminatif bidang usahanya yang

diwajibkan melaksanakan CSR dalam aktivitas usahanya..

B. Pasal 74 ayat (2) menyatakan bahwa “Tanggung Jawab

Sosial dan Lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan

kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya

Perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan

kewajaran”.

Ketentuan ini perlu penyebaran lebih lanjut, terutama berkaitan dengan makna

“kewajiban Perseroan yang dianggarkan” dan “diperhitungkan sebagai biaya

Perseroan”. Berdasarkan ketentuan ini, setiap Perseroan harus merancang

kegiatan CSR sejak awal suatu perusahaan beroperasi. Secara teoritis aturan ini

sudah pasti memberatkan perusahaan, karena sejak awal perusahaan sudah

mengeluarkan biaya untuk kegiatan CSR, pada hal belum diketahui apakah

perusahaan itu akan “profit” atau “lost out” dalam tahun anggaran yang

bersangkutan. Oleh karena itu harus jelas makna kewajiban perseroan yang

dianggarkan tersebut. Apakah dianggarkan sejak perusahaan beroperasi atau

setelah beberapa waktu perusahaan itu beroperasi.

Sebagai perbandingan dapat dilihat Keputusan Menteri BUMN Nomor KEP-

236/MBU/2003 tentang Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil dan

Page 18-25

Page 19: Kajian Kritis CSR dalam UUPT

Program Bina Lingkungan.34 Yang perlu dicatat dalam ketentuan ini adalah

bahwa dana program kemitraan dan bina lingkungan ini diambil dari 1 % laba

bersih setelah dipotong pajak. Dalam aturan ini jelas dari mana sumber dananya

dan kapan harus dilakukan kegiatan dimaksud.

Ketentuan mengenai dana yang dianggarkan untuk kegiatan CSR ini berkaitan

dengan Pasal 63 UUPT menegaskan :

(1) Direksi menyusun rencana kerja tahunan sebelum dimulainya tahun buku yang akan datang.

(2) Rencana kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat juga anggaran tahunan Perseroan untuk tahun buku yang akan datang.

Karena CSR bagian dari rencana tahunan yang dianggarkan dari biaya

perusahaan, maka dengan sendirinya CSR tersebut akan menjadi bagian dari

laporan tahunan suatu perseroan sebagaimana dimaksud Pasal 66 ayat (2) poin c.

Berkaitan dengan hal tersebut, sudah barang tentu kegiatan CSR yang

dianggarkan itu mempunyai implikasi tertentu, baik dari segi pendapatan negara

maupun kelembagaan. Implikasi ini di antaranya berkaitan dengan :

1. Mengingat biaya CSR sebagai bagian dari pengeluaran suatu

perusahaan dan tidak bagian dari persentase keuntungan. Untuk itu

pemerintah harus memberikan kompensasi tertentu kepada perusahaan,

kompensasi ini dapat diberikan dalam bentuk insentif dalam bidang

perpajakan. Apakah itu dalam bentuk pajak penghasilan, pajak pertambahan

nilai dan lain sebagainya. Konsekuensi dari insentif ini akan berdampak pada

berkurangnya penghasilan negara dari pajak.

Jika pemerintah tidak memberikan insentif dalam berbagai bentuk, justru

yang muncul adalah penambahan komponen biaya produksi (cost product).

Akibat tingginya cost product, yang akan menanggung akibatnya adalah

konsumen, sehingga konsumen untuk memperoleh suatu produk atau jasa

tidak berdasarkan harga riil, tetapi berdasarkan harga cost product. Maka

dengan sendirinya, biaya yang dikeluarkan perusahaan untuk kegiatan CSR

justru dibebani kepada konsumen atau stakeholders. Kalau ini yang terjadi,

maka hilanglah makna esensial dari CSR itu sendiri, sehingga CSR hanya

sebagai slogan bagi perusahaan dalam rangka strategi bisnisnya. Dengan kata

34 Dalam prakteknya Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL) sering disebut dengan Community development (CD).

Page 19-25

Page 20: Kajian Kritis CSR dalam UUPT

lain, jika tidak jelas ujud dan bentuk insentif yang diberikan kepada

perusahaan yang melaksanakan CSR, maka stakeholders tetap pada posisi

yang dirugikan, sedangkan perusahaan sebagai pihak yang diuntungkan.

2. CSR sebagai kegiatan yang dianggarkan dan bagian dari biaya

perusahaan. Persoalannya di sini adalah bagaimana jika perusahaan yang

bersangkutan mengalami kerugian ? Apakah perusahaan tersebut tetap

melaksanakan kegiatan CSR-nya pada tahun yang bersangkutan atau

menunda sampai perusahaan itu mendapat keuntungan. Kemudian bagaimana

pula halnya dengan kewajiban pajak yang harus dibayar oleh perusahaan

yang bersangkutan ? Apakah perusahaan yang mengalami kondisi seperti ini

tetap diberikan insentif atau tidak. Kalau regulasinya tidak jelas, insentif

yang diberikan justru akan jadi alasan bagi perusahaan nakal untuk

menghindar dari kewajiban membayar pajak.

3. Karena CSR telah menjadi bagian dari rencana kerja dan laporan

tahunan suatu perusahaan, untuk itu mesti jelas lembaga yang berhak

melakukan pengawasan dan atau sertifikasi atas pelaksanaan CSR. Apakah

diserahkan pada departemen dan atau dinas terkait dengan bidang usaha

perusahaan yang bersangkutan atau ditetapkan lembaga atau badan tersendiri

untuk itu.

Penetapan lembaga ini sangat penting, seperti di Uni Eropa di mana

ditetapkan suatu lembaga tersendiri yang bertugas untuk melakukan audit atas

pelaksanaan CSR pada suatu perusahaan. Bagi perusahaan yang telah diaudit

akan diberikan semacam sertifikat sebagai bukti bahwa perusahaan yang

bersangkutan telah melaksanakan CSR. Sertifikat nantinya akan menjadi

semacam pertimbangan bagi lembaga keuangan dalam hal pertimbangan jika

perusahaan yang bersangkutan mengajukan permohonan kredit. Selain itu

sertifikat CSR ini juga sekaligus digunakan sebagai promosi produk yang

dihasilkan, karena produk tersebut diberi label CSR.35 Jadi peran dari

lembaga sertifikasi ini sangat penting, kalau memang lembaga CSR ini mau

dijadikan sebagai pengejawantahan amanat konstitusi.

35 Lebih lanjut lihat Rute Abreu, David Crowther, Fátima David, & Fernando Magro, 2004, A European Perspective on Corporate Social Responsibility, Journal of Business Ethics 46: 215-237, Kluver Academic Publishers.

Page 20-25

Page 21: Kajian Kritis CSR dalam UUPT

C. Pasal 74 ayat (3) juga menegaskan bahwa Perseroan yang

tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud ayat (1) dikenakan

sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Rumusan Pasal 74 ayat (3) ini menegaskan bahwa CSR telah dinyatakan sebagai

kewajiban dalam makna liability, mau tidak mau harus ada sanksi bagai

perusahaan yang tidak melaksanakannya. Permasalahannya sekarang adalah

UUPT tidak mengatur mengenai sanksi baik dari aspek perdata maupun pidana,

termasuk juga sanksi bagi perusahaan yang tidak melaksanakan CSR. Hal ini

berbeda dengan UUPM yang mengatur mengenai sanksi bagi investor yang tidak

melakukan kewajibannya sebagaimana dimaksud Pasal 15 UUPM yang

menegaskan sebagai berikut :

Setiap penanam modal berkewajiban:a. Menerapkan prinsip tata kelola perusahaan yang baik;b. Melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan;c. Membuat laporan tentang kegiatan penanaman modal

dan menyampaikannya kepada Badan Koordinasi Penanaman Modal;

d. Menghormati tradisi budaya masyarakat sekitar lokasi kegiatan usaha penanaman modal; dan

e. Mematuhi semua ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bagi perusahaan penanaman modal yang tidak melaksanakan kewajibannya, di

antaranya tentang pelaksanaan CSR akan dikenakan sanksi sebagaimana

ditegaskan Pasal 34 UUPM sebagai berikut :

(1) Badan usaha atau usaha perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana ditentukan dalam Pasal 15 dapat dikenai sanksi administratif berupa:a. Peringatan tertulis;b. Pembatasan kegiatan usaha;c. Pembekuan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman

modal; atau d. Pencabutan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman

modal.

(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh instansi atau lembaga yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(3) Selain dikenai sanksi administratif, badan usaha atau usaha perseorangan dapat dikenai sanksi lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Page 21-25

Page 22: Kajian Kritis CSR dalam UUPT

Lebih menarik lagi dari aturan Pasal 74 ayat (3) ini adalah bahwa sanksi yang

dijatuhkan itu merujuk pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada.

Rumusan ini juga bermakna bahwa aturan CSR dalam UUPT tetap merujuk pada

ketentuan peraturan perundang-undangan yang bersifat sektoral lainnya, seperti

masalah konsumen tunduk pada Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999, tentang

lingkungan tunduk pada Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang

Pengelolaan Lingkungan Hidup dan lain sebagainya. Hal ini semakin

mempertegas bahwa pengaturan CSR dalam UUPT semakin bias dan cenderung

dipaksakan tanpa konsep yang jelas.

D. Pasal 74 ayat (4) menegaskan bahwa ketentuan lebih lanjut

mengenai tanggung jawab sosial dan lingkungan diatur dengan Peraturan

Pemerintah. Permasalahannya di sini adalah bagaimana merumuskan Peraturan

Pemerintah (PP)-nya sendiri, kalau memang ketentuan CSR dalam UUPT masih

merujuk pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang lain. Selain itu

yang dikhawatirkan adalah topang tindihnya aturan yang mengatur mengenai

pelaksanaan CSR itu sendiri. Apabila terjadi pelanggaran aturan mana yang akan

dijadikan sebagai rujukannya, sehingga hal ini berdampak pada upaya penegakan

hukum (law enforcement) itu sendiri.

Rekomendasi

Berdasarkan uraian atas permasalahan yang berkaitan dengan pengaturan

CSR dalam Pasal 74 UUPT, ada beberapa hal yang perlu disikapi dan diperhatikan

dalam upaya mengimplementasikan CSR dalam aktivitas perusahaan yaitu sebagai

berikut :

1. Perlu dilakukan reinterpretasi atas terminologi dan prinsip

yang berkaitan dengan tanggung jawab sosial perusahaan (Corporate Social

Responsibility). Hal perlu dilakukan supaya jangan terjebak dengan konsep yang

sebenarnya belum tahu sesuai dengan karakter bangsa Indonesia sendiri yang

berlandaskan pada amanat Pasal 33 UUD 1945.

2. Perlu ditinjau kembali rumusan Pasal 74 UUPT, karena CSR

ini bukan hanya tanggung jawab perusahaan yang bergerak pada bidang dan/atau

berkaitan dengan sumber daya alam saja, tetapi lebih luas dari pada itu. Selain itu

perlu juga di tinjau kembali, apakah perusahaan dalam bentuk Perseroan saja

Page 22-25

Page 23: Kajian Kritis CSR dalam UUPT

yang diwajibkan melaksanakan CSR dan bagaimana dengan bentuk perusahaan

yang lainnya selain Perseroan.

3. Harus dilakukan sinkronisasi dari berbagai ketentuan

peraturan perundang-undangan yang telah mengatur prinsip-prinsip CSR tidak

terjadi topang tindih antara peraturan yang satu dengan yang lainnya.

4. Mengingat luasnya cakupan dari prinsip-prinsip CSR itu,

sebaiknya pengaturannya lebih bersifat self regulation yang dikawal dengan

regulasi dalam bentuk corporate state. Sehingga masing-masing perusahaan bisa

melakukan berbagai inovasi dan improvisasi dalam pelaksanaan CSR itu sendiri.

5. Apabila dari ketentuan peraturan perundang-undangan yang

ada masih dianggap belum memadai sebagai dasar hukum pelaksanaan CSR,

untuk itu perlu kiranya dibuat regulasi yang bersifat umum sebagai payung

hukumnya, sepanjang substansinya tidak lagi bersifat ambiguitas dan

diskriminatif terhadap bidang usaha yang ada.

Penutup

Berdasarkan uraian di atas, diharapkan kalangan dunia usaha semakin

memahami esensi dari tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social

responsibility) dalam aktivitas usaha yang mereka lakukan. Para pengelola

perusahaan tidak lagi memakna CSR sebagai tanggung jawab “moral” an-sich,

tetapi merupakan suatu kewajiban dalam makna liability. Sehingga segala biaya yang

dikeluarkan oleh perusahaan berkaitan dengan implementasi CSR tidak lagi dianggap

sebagai “lost cost” atau “amoral” terhadap shareholders sebagaimana dinyatakan

oleh Milton Friedman36, tetapi dimasukkan sebagai biaya perusahaan. Namun

demikian tetap perlu dilakukan evaluasi secara komprehensif terhadap rumusan Pasal

74 UUPT karena sarat dengan berbagai persoalan yang bisa dimaknai lebih bersifat

ambiguitas dan diskriminatif.

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku :

36 Milton Friedman, September, 13,1970, The Social Responsibility of Business is to Increase its Profits, The New York Times Magazine, http://www.colorado.edu/studentgroups/libertarians/ issues/friedman-soc-resp-business.html.

Page 23-25

Page 24: Kajian Kritis CSR dalam UUPT

Freeman, R.E., 1984, Strategic Management: A Stakeholders Approach, Boston, Fitman, USA.

Hardinsyah dkk, (2005) dan Iqbal, Muhammad (2006) Wacana Sinergi Konsep Corporate Social Responsibility Dan Payment For Environmental Services Dalam Upaya Pelestarian Sumberdaya Air (Kasus Daerah Aliran Sungai Brantas) Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Departemen Pertanian, Bogor.

I Nyoman Tjager, dkk, 2003, Corporate Governance – Tantangan dan Kesempatan bagi Komunitas Bisnis Indonesia, Prenhallindo, Jakarta.

Irene, Sadosrky dan Henrique, 1999, Ibid.

Philip R.P. Coelho, James E. McClure & John A. Spry, 2003, The Social Responsibility of Corporate Management, A Classical Critique, Mid-American Journal of Business, Vol. 18. No. 1.

Ramirez, R., 1999. Stakeholders Analysis and Conflict Management dalam Daniel Buckles, 1999. Cultivating Peace, Conflict and Collaboration in Natural Resource Management, WBI Washinton, DC, USA.

Rute Abreu, David Crowther, Fátima David, & Fernando Magro, 2004, A European Perspective on Corporate Social Responsibility, Journal of Business Ethics 46: 215-237, Kluver Academic Publishers.

Suharna, Nana, 2006, Gagasan dan Aksi Tanggungjawab Sosial perusahaan dalam Masyarakat: Studi Kasus Empat Perusahaan, Yappika, Jakarta.

Sonny Keraf, 1998, Etika Bisnis, Tuntutan dan Relevansinya, Kanisus, Yogyakarta.

Teguh, 2006, Tanggung Jawab Sosial Harus Dilakukan, makalah pada seminar “Corporate Social Responsibility”: Integreting Social Aspect into The Business, Ikatan Keluarga Mahasiswa Manajemen Universitas Gajah Mada (UGM), Yogyakarta, 11 Maret 2006.

Teguh Sri Pembudi, 2005, CSR, Sebuah Keharusan dalam Investasi Sosial, Pusat Penyuluhan Sosial (PUSENSOS) Departemen Sosial RI, Jakarta, La Tofi Enterprise.

Yusuf Wibisono, 2007, Membedah Konsep & Aplikasi CSR, Fascho Publishing, Gresik, halaman 22-36.

B. Jurnal, Majalah, dan Koran :

Abdul Rasyid Idris, Corporate Social Responsibility (CSR), Sebuah Gagasan dan Implementasi, Artikel di Fajar Online, Makasar, 12 September 2006.

Busyra Azheri, Menggugat “Social Responsibility” Perusahaan, Padang Ekspres, Rabu, 28 Maret 2007.

KOMPAS, tanggal 7 Agustus 2007.

Yanuar Nugroho, Artikel, Dilema Tanggung Jawab Perusahaan, Media Indonesia, 23 Agustus 2005.

C. Peraturan Perundang-undangan :

Page 24-25

Page 25: Kajian Kritis CSR dalam UUPT

Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Amandemen ke 4 (empat).

Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.

Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

D. Wabside :

Asyraf Wajdi Dusuki & Humayon Dar, Empirical Examination of Stakeholders Perspective, dalam http://www.bc.edu/centers/ccc/ Media/2002mbawinner. pdf , diakses Juni, 14, 2007.

Milton Friedman, September, 13,1970, The Social Responsibility of Business is to Increase its Profits, The New York Times Magazine, http://www.colorado.edu/ studentgroups/libertarians/issues/friedman-soc-resp- business.html.

Sita Supomo, Corporate Social responsibility (CSR) dalam Prinsip GCG, dalam http://www.fcgi.or.id, Maret, 05, 2007.

ISO 26000. Lebih lanjut lihat www.mvo-platform.nl. Diakses, Oktober, 28,2007.

Page 25-25