Upload
others
View
35
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
KARAKTERISTIK SOSIS RASA AYAM DARI SURIMI IKAN LELE DUMBO (Clarias gariepinus) DENGAN PENAMBAHAN
ISOLAT PROTEIN KEDELAI
NISA NANTAMI
DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
2011
RINGKASAN
NISA NANTAMI. C34070093. Karakteristik Sosis Rasa Ayam dari Surimi Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) dengan Penambahan Isolat Protein Kedelai. Dibimbing oleh DJOKO POERNOMO dan PIPIH SUPTIJAH
Sosis merupakan salah satu produk diversifikasi olahan pangan digemari oleh semua lapisan masyarakat. Ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) saat ini cukup potensial untuk dimanfaatkan dan diolah. Sebagian masyarakat tidak menyukai lele dumbo karena bau amis. Oleh karena itu sosis ikan lele dumbo ini dibuat dengan penambahan perasa ayam. Komponen lain yang ditambahkan yaitu isolat protein kedelai (IPK), berfungsi sebagai bahan pengikat dan pengisi untuk menggantikan kandungan protein pada sosis ikan yang dihasilkan. Penelitian ini bertujuan untuk membuat produk diversifikasi olahan dari ikan lele dumbo dalam bentuk sosis, menemukan konsentrasi isolat protein kedelai (IPK) untuk menghasilkan sosis ikan terpilih, menganalisis karakteristik fisik dan nilai gizi yang terkandung dalam sosis ikan lele dumbo dan membandingkan sosis ikan lele dumbo dengan sosis komersial.
Metode penelitan dibagi menjadi dua tahap, yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Penelitian pendahuluan dilakukan untuk menentukan kekuatan gel terpilih. Perlakuan pada penelitian pendahuluan adalah frekuensi pencucian daging lumat (1 kali, 2 kali, dan 3 kali). Pada penelitian utama, sosis ikan dibuat dengan menggunakan surimi terpilih dari penelitian pendahuluan yang kemudian dilakukan penambahan IPK (Isolat Protein Kedelai) dengan konsentrasi yang berbeda (10%, 13%, 16% dan 19%).
Hasil frekuensi pencucian daging lumat yang terpilih yaitu pencucian sebanyak 2 kali, dengan rendemen sebesar 18,72%. Hasil analisis untuk sosis ikan lele dumbo, formula terpilih yang disukai panelis yaitu IPK dengan konsentrasi 13%. Kekuatan gel, WHC, dan stabilitas emulsi yang tertinggi pada konsentrasi IPK 19% dengan nilai berturut-turut 292,45 (gf), 84,79%, dan 61,23%. Hasil analisis proksimat untuk kadar abu sebesar 1,60%, protein sebesar 15,97%, lemak sebesar 0,61%, karbohidrat sebesar 2,22%, kadar air sebesar 79,6% serta hasil TPC sebesar 5 cfu/g. Hasil uji perbandingan berpasangan dilakukan secara subjektif dan objektif. Hasil uji secara objektif pada parameter kekuatan gel, daya ikat air dan stabilitas emulsi menghasilkan nilai lebih rendah dibandingkan sosis komersial yaitu 220,55 gf, 79,36% dan 61,23%. Hasil uji perbandingan secara subjektif diketahui bahwa uji lipat, uji gigit, aroma dan rasa sosis ikan lele dumbo lebih disukai dibandingkan sosis komersial. Kandungan gizi protein dan karbohidrat sosis ikan lele dumbo lebih unggul dibandingkan sosis komersial.
KARAKTERISTIK SOSIS RASA AYAM DARI SURIMI IKAN LELE DUMBO (Clarias gariepinus) DENGAN PENAMBAHAN
ISOLAT PROTEIN KEDELAI
NISA NANTAMI
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2011
Judul : Karakteristik Sosis Rasa Ayam dari Surimi Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) dengan Penambahan Isolat Protein Kedelai
Nama : Nisa Nantami
NIM : C34070093
Program Sarjana : Teknologi Hasil Perairan
Menyetujui :
Pembimbing 1 Pembimbing 2
Ir. Djoko Poernomo, B.Sc Dra. Pipih Suptijah, MBA
NIP : 19580419 198303 1 001 NIP : 19531020 198503 2 001
Mengetahui :
Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan
Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS., MPhil.
NIP : 19580511 198503 1 002
Tanggal Lulus : ………………………..
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul Karakteristik
Sosis Rasa Ayam dari Surimi Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) dengan
Penambahan Isolat Protein Kedelai adalah karya saya sendiri dan belum
diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
skripsi ini.
Bogor, Agustus 2011
Nisa Nantami C34070093
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas karuniaNya
yang berlimpah, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi hasil penelitian
yang berjudul “Karakteristik sosis rasa ayam dari surimi ikan lele dumbo
(Clarias gariepinus) dengan penambahan isolat protein kedelai”. Penyusunan
skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana pada
Departemen Teknologi, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian
Bogor. Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu penulis dalam menyelesaikan laporan ini, terutama kepada:
1 Bapak Ir. Djoko Poernomo sebagai pembimbing akademik dan dosen
pembimbing I yang telah memberikan bimbingan dalam penyusunan skripsi
hasil penelitian ini.
2 Ibu Dra. Pipih Suptijah, MBA sebagai dosen pembimbing II atas bimbingan
dan saran kepada penulis.
3 Bapak Dr. Ir. Agoes M. Jacoeb, Dipl-Biol sebagai dosen penguji.
4 Bapak Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS., MPhil. sebagai Ketua Departemen
Teknologi Hasil Perairan.
5 Keluarga tercinta terutama Mama, Papa, Aa, Mas dan Bibi yang selalu
menyayangi dan menyemangati Penulis setiap waktu.
6 Teman satu bimbingan, Salman, Idris dan terutama partner saya Ibel
terimakasih atas kerjasamanya selama penelitian dan penyusunan skripsi ini.
7 Kakak THP 43 atas informasi, nasihat dan bantuannya selama penelitian.
8 Teman-Teman THP 44 atas persahabatan, kebersamaan, bantuan, doa dan
canda tawa yang diberikan.
9 Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini
yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan skripsi hasil
penelitian ini. Oleh karena itu, Penulis mengharapkan saran dan kritik yang dapat
membangun dalam penyempurnaan penyusunan skripsi hasil penelitian ini.
Bogor, Agustus 2011
Penulis
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bogor, Jawa Barat pada tanggal
26 Oktober 1989. Penulis merupakan anak ketiga dari tiga
bersaudara pasangan Dadang Sunandar, SH dan
Dra. Tri Utami, MM. Penulis memulai jenjang pendidikan
formal di Taman kanak-kanak Anris, kemudian melanjutkan di
SD Negeri 1 Lawanggintung (tahun 1995-2001), selanjutnya
penulis melanjutkan pendidikan di SLTP Negeri 7 Bogor (tahun 2001-2004). Pendidikan
menengah atas ditempuh penulis di SMA Negeri 4 Bogor (tahun 2004-2007). Pada tahun 2007, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur SPMB
(Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru) dan pada tahun 2008 penulis diterima di
Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut
Pertanian Bogor. Selama menempuh pendidikan di IPB penulis pernah menjadi
Asisten Luar Biasa matakuliah Ikhtiologi Departemen Manajemen Sumberdaya
Perairan (Tahun 2009/2010), Asisten matakuliah Teknologi Produk Tradisional
Hasil Perairan (2010/2011), dan Asisten matakuliah Teknologi Pengolahan Hasil
Perairan (2010/2011).
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, penulis melakukan penelitian dan penyusunan
skripsi dengan judul Karakteristik Sosis Rasa Ayam dari Surimi Ikan Lele
Dumbo (Clarias Gariepinus) dengan Penambahan Isolat Protein Kedelai,
dibawah bimbingan Bapak Ir. Djoko Poernomo dan Dra. Pipih Suptijah, MBA.
DAFTAR ISI
Hal
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... xi
DAFTAR TABEL ............................................................................................. xii
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... xiii
1 PENDAHULUAN .......................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang .......................................................................................... 1
1.2 Tujuan ........................................................................................................ 2
2 TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................ 3
2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) ............ 3
2.2 Komposisi Gizi Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) ........................... 4
2.3 Sosis ........................................................................................................... 4 2.3.1 Pembuatan sosis ................................................................................ 5 2.3.2 Komposisi sosis ................................................................................. 6
2.4 Protein Ikan ............................................................................................... 7 2.4.1 Protein miofibril ................................................................................ 8 2.4.2 Protein sarkoplasma .......................................................................... 8 2.4.3 Protein stroma ................................................................................... 9
2.5 Surimi ....................................................................................................... 9
2.6 Emulsi Ikan ............................................................................................. 11
2.7 Bahan Pengikat dan Pengisi ................................................................... 12 2.7.1 Isolat protein kedelai ....................................................................... 12 2.7.2 Tepung tapioka ................................................................................ 15
2.8 Bahan Tambahan ....................................................................................... 16 2.8.1 Garam ................................................................................................ 16 2.8.2 Gula ................................................................................................... 17 2.8.3 Air ..................................................................................................... 17 2.8.4 Lada putih .......................................................................................... 17 2.8.5 Bawang putih (Allium sativum) ......................................................... 18 2.8.7 Bawang merah (Allium ascalonicum) ............................................... 18 2.8.7 Perasa ayam ....................................................................................... 18 2.8.8 Jahe (Zingiber officinale) .................................................................. 19
2.9 Lemak ....................................................................................................... 20
2.10 Selongsong .............................................................................................. 20
3 METODOLOGI ............................................................................................ 22
3.1 Waktu dan Tempat ................................................................................... 22
3.2 Bahan dan Alat ......................................................................................... 22
3.3 Tahapan Penelitian ................................................................................... 22 3.3.1 Penelitian pendahuluan ....................................................................... 22 3.3.2 Penelitian utama .................................................................................. 24
3.4 Prosedur Analisis ...................................................................................... 25 3.4.1 Uji organoleptik (Rahayu 1998) ......................................................... 27 3.4.2 Analisis kimia ..................................................................................... 27
1) Analisis kadar air (AOAC 1995).................................................... 27 2) Analisis kadar abu (AOAC 1995) .................................................. 28 3) Analisis kadar protein (AOAC 1995) ............................................ 28 4) Analisis kadar lemak (AOAC 1995) .............................................. 28 5) Analisis kadar karbohidrat by difference........................................ 29
3.4.3 Analisis fisik ....................................................................................... 29 1) Kekuatan gel ................................................................................. 29 2) Water Holding Capacity (WHC) .................................................... 30 3) Stabilitas emulsi ............................................................................. 30 4) Uji lipat .......................................................................................... 31 5) Uji gigit ........................................................................................... 31 6) Rendemen ....................................................................................... 31
3.4.4 Analisis mikrobiologi Total Plate Count (TPC) ................................. 32
3.5 Rancangan Percobaan dan Analisis data .................................................. 32
4 HASIL DAN PEMBAHASAN ..................................................................... 34
4.1 Penelitian Pendahuluan ............................................................................ 34 4.1.1 Karakteristik fisik gel ikan ................................................................... 34
a) Rendemen ....................................................................................... 34 b) Uji lipat .......................................................................................... 35 c) Uji gigit .......................................................................................... 36 d) Kekuatan gel .................................................................................. 38
4.1.2 Karakteristik sensori gel ikan ............................................................... 39 a) Penampakan ................................................................................... 39 b) Warna ............................................................................................. 40 c) Aroma ............................................................................................. 41 d) Rasa ................................................................................................ 42 e) Tekstur ........................................................................................... 43
4.2 Penelitian Utama ...................................................................................... 44 4.2.1 Karakteristik fisik sosis ikan ................................................................ 44
a) Uji lipat .......................................................................................... 44 b) Uji gigit .......................................................................................... 46 c) Kekuatan gel .................................................................................. 47 d) Water Holding Capacity (WHC) ................................................... 48 e) Stabilitas emulsi ............................................................................. 49
4.2.2 Karakteristik sensori sosis ikan ........................................................... 51 a) Penampakan ................................................................................... 51 b) Warna ............................................................................................. 52 c) Aroma ............................................................................................. 54
d) Rasa ................................................................................................ 55 e) Tekstur ........................................................................................... 56
4.2.3 Karakteristik kimia dan mikrobiologi sosis ikan ................................. 58 4.2.3.1 Analisis proksimat ................................................................... 58 a) Kadar air .................................................................................... 59 b) Kadar abu .................................................................................. 60 c) Protein ........................................................................................ 60 d) Lemak ....................................................................................... 61 d) Karbohidrat ................................................................................ 61 4.2.3.2 Total Plate Count (TPC) .......................................................... 62
4.2.4 Analisis uji perbandingan berpasangan ............................................... 62
5 KESIMPULAN DAN SARAN ..................................................................... 66
5.1 Kesimpulan ................................................................................................ 66
5.2 Saran .......................................................................................................... 66
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 67
LAMPIRAN ........................................................................................................ 72
DAFTAR GAMBAR
No Hal
1 Ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) ............................................................. 4
2 Skema emulsi o/w dan w/o ........................................................................... 11
3 Diagram alir proses pengolahan isolat protein kedelai ................................. 15
4 Diagram alir penelitian pendahuluan pembuatan gel ikan ............................ 23
5 Diagram alir penelitian utama pembuatan sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) ...................................................................................... 25
6 Histogram rata-rata uji lipat gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) ........ 35
7 Histogram rata-rata uji gigit gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus)........ 37
8 Histogram kekuatan gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) .................... 38
9 Histogram rata-rata penampakan gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) ...................................................................................... 39
10 Histogram rata-rata warna gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) .......... 40
11 Histogram rata-rata aroma gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) .......... 41
12 Histogram rata-rata rasa gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) .............. 42
13 Histogram rata-rata tekstur gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) ......... 43
14 Histogram rata-rata uji lipat sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) ..... 45
15 Histogram rata-rata uji gigit sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) ..... 46
16 Histogram kekuatan gel sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) ........... 47
17 Histogram WHC sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) ...................... 49
18 Histogram rata-rata stabilitas emulsi sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) ...................................................................................... 50
19 Histogram rata-rata penampakan sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) ...................................................................................... 52
20 Histogram rata-rata warna sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) ....... 53
21 Histogram rata-rata aroma sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) ....... 54
22 Histogram rata-rata rasa sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) ........... 55
23 Histogram rata-rata tekstur sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) ...... 57
24 Histogram uji perbandingan berpasangan ..................................................... 63
DAFTAR TABEL
No Hal
1 Komposisi kimia proksimat ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) ................ 4
2 Syarat mutu sosis daging menurut SNI 01-3820-1995 ................................... 7
3 Standar mutu surimi ...................................................................................... 10
4 Komposisi kimia isolat protein kedelai (bk) ................................................. 13
5 Bahan dan bumbu pada penelitian utama...................................................... 24
6 Hasil analisis proksimat dan TPC sosis ikan lele dumbo .............................. 59
7 Hasil analisis uji perbandingan berpasangan secara subjektif ...................... 64
DAFTAR LAMPIRAN
No Hal
1 Lembar penilaian uji kesukaan (hedonik) kamaboko ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) ..................................................................................... 73
2 Lembar penilaian uji lipat gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) .......... 74
3 Lembar penilaian uji gigit gek ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) ......... 75
4 Lembar penilaian uji sensori (hedonik) sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) dengan perasa ayam .................................................... 76
5 Lembar penilaian uji lipat sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) ....... 77
6 Lembar penilaian uji gigit sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) ....... 78
7 Nilai uji sensori, uji lipat dan uji gigit kamaboko ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) ..................................................................................... 79
8 Uji Kruskal Wallis pengaruh perbedaan frekuensi pencucian terhadap uji lipat gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) ............................................ 80
9 Uji lanjut Multiple Comparison pengaruh perbedaan frekuensi pencucian terhadap uji lipat (Clarias gariepinus) ......................................................... 80
10 Uji Kruskal Wallis pengaruh perbedaan frekuensi pencucian terhadap uji gigit gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) ............................................ 81
11 Uji lanjut Multiple Comparison pengaruh perbedaan frekuensi pencucian terhadap uji gigit (Clarias gariepinus) ......................................................... 81
12 Grafik uji kenormalan galat kekuatan gel pada gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) ..................................................................................... 82
13 Analisis ragam terhadap kekuatan gel pada gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) ..................................................................................... 82
14 Uji Kruskal Wallis pengaruh perbedaan frekuensi pencucian terhadap penampakan gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) ............................... 83
15 Uji Kruskal Wallis pengaruh perbedaan frekuensi pencucian terhadap warna gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus).......................................... 83
16 Uji Kruskal Wallis pengaruh perbedaan frekuensi pencucian terhadap rasa gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) ............................................. 84
17 Uji Kruskal Wallis pengaruh perbedaan frekuensi pencucian terhadap aroma gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) ......................................... 84
18 Uji Kruskal Wallis pengaruh perbedaan frekuensi pencucian terhadap tekstur gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) ........................................ 85
19 Nilai uji sensori, uji lipat dan uji gigit sosis ikan lele dumbo .................... 86
20 Uji Kruskal Wallis pengaruh perbedaan penambahan konsentrasi IPK terhadap uji lipat sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) ..................... 87
21 Uji lanjut Multiple Comparison pengaruh perbedaan penambahan konsentrasi terhadap uji lipat sosis ikan lele dumbo(Clarias gariepinus) ... 87
22 Uji Kruskal Wallis pengaruh perbedaan penambahan konsentrasi IPK terhadap uji gigit sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) ..................... 88
23 Uji lanjut Multiple Comparison pengaruh perbedaan penambahan konsentrasi terhadap uji gigit sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) .. 88
24 Grafik uji kenormalan galat kekuatan gel (Clarias gariepinus) .................. 89
25 Analisis ragam dan uji lanjut Multiple Comparison terhadap kekuatan gel sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) ................................................. 89
26 Grafik uji kenormalan galat WHC .............................................................. 90
27 Analisis ragam WHC sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) .............. 90
28 Grafik uji kenormalan galat stabilitas emulsi............................................... 91
29 Analisis ragam stabilitas emulsi sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) ..................................................................................... 91
30 Uji Kruskal Wallis pengaruh perbedaan penambahan konsentrasi IPK terhadap penampakan sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) ............. 92
31 Uji Kruskal Wallis pengaruh perbedaan penambahan konsentrasi IPK terhadap warna sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) ........................ 92
32 Uji Kruskal Wallis pengaruh perbedaan penambahan konsentrasi IPK terhadap aroma sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) ........................ 93
33 Uji Kruskal Wallis pengaruh perbedaan penambahan konsentrasi IPK terhadap rasa sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) ........................... 93
34 Uji lanjut Multiple Comparison perbedaan penambahan konsentrasi IPK terhadap rasa sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) ........................... 94
35 Uji Kruskal Wallis pengaruh perbedaan penambahan konsentrasi IPK terhadap tekstur sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) ....................... 94
36 Uji lanjut Multiple Comparison perbedaan penambahan konsentrasi IPK terhadap tekstur sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) ....................... 94
37 Contoh perhitungan rendemen daging lumat dan rendemen surimi ............ 95
38 Gambar hasil gel ikan dengan perbedaan frekuensi pencucian ................... 96
39 Dokumentasi diagram alir pembuatan sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) ..................................................................................... 97 40 Gambar hasil sosis ikan lele dumbo dengan perbedaan penambahan
konsentrasi IPK ............................................................................................ 98
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ikan merupakan salah satu komoditas perairan yang sangat potensial untuk
dimanfaatkan. Kebutuhan pasar akan ikan terus meningkat seiring dengan
peningkatan jumlah penduduk dan pendapatan. Selain itu, semakin banyak
masyarakat yang beralih ke produk perikanan yang dianggap aman untuk
dikonsumsi, bila dibandingkan dengan produk hewan mamalia yang akhir-akhir
ini banyak menimbulkan berbagai penyakit ternak misal sapi gila, anthrax, dan
sebagainya.
Salah satu komoditas perikanan yang saat ini cukup banyak digemari oleh
masyarakat adalah ikan lele dumbo (Clarias gariepinus). Kebutuhan lele
konsumsi dalam negeri terus mengalami peningkatan sejalan dengan semakin
populernya lele sebagai hidangan yang sangat lezat. Data produksi untuk ikan lele
dumbo di Indonesia beberapa tahun terakhir ini meningkat cukup signifikan pada
tahun 2004 sebesar 60.000 ton, dan meningkat pada tahun 2005 menjadi 79.000 ton
dan pada tahun 2007 semakin meningkat menjadi 96.140 ton (Nurimala et al. 2009).
Namun, pemanfaatan ikan lele dumbo hingga saat ini masih terbatas misalnya
digoreng, dan masih sedikitnya bentuk olahan ikan lele dumbo menjadi produk
perikanan.
Upaya untuk meningkatkan konsumsi dan pendayagunaan terhadap hasil
perikanan khususnya ikan lele dumbo, adalah diversifikasi olahan. Ikan lele
dumbo diolah menjadi produk baru dengan tetap mempertahankan komposisi gizi
yang terkandung di dalamnya. Beberapa keuntungan produk ini yaitu, harga relatif
murah, enak, dan mudah didapat. Salah satu produk olahan ikan sebagai upaya
diversifikasi yaitu sosis ikan.
Sosis merupakan salah satu produk diversifikasi olahan pangan yang saat
ini digemari oleh semua lapisan masyarakat. Mengingat aktivitas masyarakat yang
sangat padat, kecenderungan mencari makanan yang praktis dengan kandungan
energi dan gizi yang cukup. Sosis ikan merupakan pilihan yang tepat untuk
dikonsumsi, karena merupakan makanan siap saji dan bergizi tinggi.
Sebagian masyarakat tidak menyukai lele dumbo karena bau amis yang
tidak sedap. Oleh karena itu sosis ikan lele dumbo ini dibuat dengan penambahan
2
perasa ayam untuk menghilangkan bau amis ikan. Bahan perasa sendiri dari segi
pembuatannya dibedakan menjadi dua, yaitu flavor natural (alami) dan sintetis
(buatan). Perasa alami diambil dari bahan-bahan alami, misalnya rasa bawang
maka diambil dari ekstrak bawang dan rasa ayam diambil dari sari ayam
(LPPOM 2010). Komponen sosis lainnya yang ditambahkan yaitu Isolat Protein
Kedelai (IPK), penambahan IPK ini bertujuan sebagai bahan pengikat dan pengisi
yang dapat menggantikan kandungan protein pada sosis ikan yang dihasilkan serta
dapat mereduksi pemakaian bahan baku daging ikan pada pembuatan sosis,
sehingga dapat menghasilkan sosis dengan kadar protein tinggi walaupun daging
yang dipakai dalam jumlah sedikit.
Oleh karena itu upaya pengembangan produk olahan ikan lele dumbo
sangat perlu dilakukan. Hal ini untuk meningkatkan daya terima masyarakat
terhadap ikan lele dumbo dan meningkatkan nilai ekonomis dari ikan tersebut,
serta upaya diversifikasi sosis ikan ini diharapkan dapat meningkatkan konsumsi
masyarakat terhadap produk olahan ikan.
1.2 Tujuan
Tujuan dilakukannya penelitian ini meliputi:
1) Membuat produk diversifikasi olahan dari ikan lele dumbo
(Clarias gariepinus) dalam bentuk sosis
2) Menemukan konsentrasi Isolat Protein Kedelai (IPK) yang dapat
menghasilkan sosis ikan terpilih
3) Menganalisis karakteristik fisik dan nilai gizi yang terkandung dalam sosis
ikan lele dumbo.
4) Membandingkan sosis ikan lele dumbo terpilih dengan sosis komersial
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus)
Ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) merupakan jenis ikan lele hasil
perkawinan antara Clarias mossambicus dari Kenya dan Clarias fuscus dari
Taiwan yang dibawa ke Indonesia oleh PT. Cipta Mina Sentosa (Suyanto 1999).
Ikan ini dibudidayakan di Indonesia. Bentuk ikan lele dumbo yaitu, tubuh
memanjang dan berkulit licin (tidak bersisik), bentuk kepala pipih dengan tulang
keras sebagai batok kepala. Terdapat empat pasang sungut di sekitar mulut. Pada
sirip dada terdapat patil atau duri keras yang berfungsi sebagai alat untuk
mempertahankan diri. Ikan lele dapat hidup dalam kondisi perairan yang sedikit
mengandung kadar oksigen, karena ikan lele memiliki alat pernapasan tambahan
yang terletak di bagian depan rongga insang yang memungkinkan ikan untuk
mengambil oksigen dari udara (Suyanto 1999).
Habitat dari ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) yaitu di sungai dengan
arus air yang perlahan, telaga, rawa, waduk, dan sawah yang tergenang air.
Ikan lele dapat hidup dan tumbuh dengan baik pada 25-35 °C dan dapat tumbuh
optimum pada suhu 30 °C. Ikan lele dapat memijah baik secara alami maupun
dengan system suntik. Ikan lele bersifat nokturnal, yang berarti aktif mencari
makanan di malam hari (Mahyuddin 2008).
Klasifikasi ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) menurut Saanin (1984)
adalah sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Pisces
Sub Kelas : Teleostei
Ordo : Ostariophysi
Famili : Clariidae
Genus : Clarias
Spesies : Clarias gariepinus
4
Menurut Prihartono et al. (2000), ikan lele dumbo memiliki beberapa
keunggulan. Pertama, ikan lele dumbo dapat tumbuh lebih cepat dibandingkan
lele lokal. Kedua, lele dumbo dapat tumbuh lebih besar, satu ekor ikan lele
mampu mencapai berat 2-3 kg. ketiga, telur ikan lele dumbo lebih banyak
sehingga dapat menghasilkan benih lebih banyak. Keempat, biaya pemeliharaan
untuk ikan lele dumbo lebih murah, karena dapat diberi berbagai macam pakan
diantaranya pellet maupun berbagai jenis bangkai. Gambar ikan lele dumbo dapat
dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1 Ikan lele dumbo (Clarias gariepinus)
(Sumber: Anonim 2011)
2.2 Komposisi Gizi Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus)
Kandungan gizi dan kalori yang terdapat pada daging lele dumbo meliputi
protein, lemak, karbohidrat, mineral, kalsium, fosfor, besi, vitamin A, vitamin B,
air dan energi. Pada umumnya bagian ikan yang dapat dimakan (edible portion)
berkisar antara 45-50% dari berat ikan. Analisis proksimat dari komposisi kimia
ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Komposisi kimia proksimat ikan lele dumbo (Clarias gariepinus)
Komposisi Mentah Rebus Goreng Panggang
Kadar air (%) 75,68 71,08 63,32 65,76 Protein (%) 16,80 21,14 21,82 24,28 Lemak (%) 5,70 5,90 9,30 6,88 Kadar abu (%) 1,00 1,20 2,30 2,62
Sumber : Rosa et al. (2007)
2.3 Sosis
Sosis merupakan salah satu produk diversifikasi pangan yang saat ini
digemari oleh semua lapisan masyarakat. Sosis atau sausage berasal dari bahasa
latin salsus yang berarti daging yang digarami atau diawetkan dengan
5
penggaraman. Saat ini sosis tidak hanya dibuat menggunakan daging saja,
melaikan dari kedelai dan ikan. Pembuatan sosis ikan sekarang ini belum banyak
dikenal masyarakat. Padahal jika ditinjau dari kandungan gizinya, ikan memiliki
kandungan protein yang tinggi dan merupakan salah satu alternatif produk pangan
yang mudah dikonsumsi (Suhartini dan Nur 2005).
Sosis ikan merupakan suatu produk berasal dari daging ikan yang
dicampurkan dengan bahan tambahan, dicetak dalam selongsong serta mengalami
proses pemanasan (Raju et al. 2003). Sosis adalah daging cincang yang diberi
perlakuan penambahan pengawet berupa garam serta bahan lainnya meliputi
bumbu-bumbu, bahan pengikat dan air yang kemudian dibentuk dengan ukuran
yang sama menggunakan selongsong yang terbuat dari jaringan ikat usus hewan
atau selulosa sehingga membentuk silinder (Kramlich 1971).
Sosis adalah produk yang dihasilkan dari emulsi minyak dalam air
(oil in water). Struktur dasar emulsi adalah campuran dari bagian-bagian daging
halus yang tersebar sebagai emulsi lemak dalam air. Berdasarkan metode
pembuatannya, sosis dibagi menjadi 6 kelompok yaitu: sosis segar, sosis asap
tidak dimasak, sosis asap dimasak, sosis masak, sosis fermentasi, dan daging
giling masak. Sosis ready to eat merupakan konversi dari sosis fermentasi kering
yang dilakukan dengan cara mengiris potongan, kemudian dikemas dengan
metode vakum, modifikasi atmosfer yang cukup menjadi permeable atau
penghalang aerobik. Penggunaan teknologi tradisional untuk menjaga sanitasi
pemotongan dan pengemasan sosis fermentasi ready to eat, tidak mungkin dapat
terlaksana (Cabeza et al. 2009).
2.3.1 Pembuatan sosis
Prinsip pembuatan sosis ikan meliputi penyiangan, pencucian, filleting,
penirisan, penggilingan bersama bahan pengikat dan bumbu-bumbu, pemasukan
dalam casing, perebusan dan penggorengan. Menurut Shierly (2002), tahapan
pembuatan sosis ikan adalah sebagai berikut:
a) Penyiangan dan pencucian
Pembuangan bagian yang tidak diperlukan dari tubuh ikan, antara lain isi
perut, sirip ekor, serta daging bagian perut. Tujuan dari penyiangan dan pencucian
6
yaitu untuk menghilangkan segala kotoran, darah, dan lendir yang merupakan
sumber bakteri pembusuk dan pathogen.
b) Filleting
Filleting merupakan proses memisahkan antara daging dengan tulang-
tulangnya serta dilakukan pembuangan kulit.
c) Penggilingan
Penggilingan bertujuan untuk menghaluskan daging sehingga mudah
dicampur dengan bahan-bahan lain untuk membentuk adonan. Penggilingan
daging lumat bertujuan pula untuk memperkecil ukuran, memperoleh daging
giling yang berukuran seragam, mengesktraksi protein larut dalam air dan larutan
garam serta untuk proses emulsifikasi.
d) Pengadonan
Pengadonan merupakan proses pencampuran dari berbagai bahan dasar
agar semua bahan tercampur merata. Suhu sangat berperan dalam menjaga
kestabilan adonan.
e) Pengisian dalam selongsong
Adonan selanjutnya dimasukkan ke dalam selongsong/casing, kemudian
diikat menggunakan benang dengan ukuran yang seragam yaitu 10-15 cm.
f) Perebusan
Pemasakan sosis dilakukan dengan cara perebusan pada suhu 60-70 °C
selama 15 menit. Perebusan yang dilakukan terlalu lama dapat menyebabkan zat
makanan akan terkestraksi dan akhirnya terbuang saat perebusan. Setelah
perebusan dilakukan pendinginan agar suhu sesuai dengan suhu ruang.
2.3.2 Komposisi sosis
Sosis merupakan produk olahan makanan sebagai usaha diversifikasi yang
terbuat daging lumat ikan maupun daging yang banyak mengandung air, protein,
lemak dan mineral-mineral.
a) Protein
Jumlah dan jenis daging serta jumlah bahan pengikat dapat mempengaruhi
kadar protein pada sosis. Protein dalam daging dikelompokkan menjadi tiga
kelompok berdasarkan kelarutannya, meliputi protein sarkoplasma yang dapat
7
larut dalam air, protein miofibril dapat larut dalam larutan garam, dan protein
stroma yang tidak larut dalam larutan garam.
b) Air
Kadar air merupakan komponen sangat penting dalam bahan pangan,
karena dapat mempengaruhi penampakan, tekstur dan citarasa. Kadar air pada
sosis dapat dipengaruhi berdasarkan jumlah pati maupun jumlah es yang
ditambahkan (Rompis 1998).
c) Abu
Abu yang terdapat dalam daging umumnya terdiri dari fosfor, kalsium,
iron, magnesium, sulfur, sodium dan potassium. Kadar abu pada sosis berasal dari
daging, tepung, sodium tripolifosfat maupun garam yang ditambahkan.
d) Lemak
Kandungan lemak dalam pembuatan sosis merupakan komponen penting.
Kadar lemak dapat dipengaruhi oleh penambahan jenis dan jumlah daging serta
lemak dalam pembuatan sosis.
e) Karbohidrat
Kadar karbohidrat daging segar yaitu kurang dari 1% dari berat daging dan
umumnya dalam bentuk glikogen dan asam laktat. Kandungan karbohidrat pada
sosis dapat berbeda berdasarkan jenis dan jumlah pengisi yang ditambahkan.
Tabel 2 Syarat mutu sosis daging menurut SNI 01-3820-1995
No Kriteria Uji Satuan Persyaratan 1 Keadaan : 1.1 Bau - Normal 1.2 Rasa - Normal 1.3 Warna - Normal 1.4 Tekstur - Bulat panjang 2 Air %b/b Maks 67.0 3 Abu %b/b Maks 3.0 4 Protein %b/b Min 13.0 5 Lemak %b/b Maks 25.0 6 Karbohidrat %b/b Maks 8
Sumber: SNI 1995
2.4 Protein Ikan
Senyawa kimia yang kandungannya terdapat dalam jumlah terbesar dalam
tubuh ikan setelah kadar air yaitu kadar protein. Protein terdapat dalam ikan
8
diperkirakan nilainya mencapai 11-27% (Shahidi dan Botta 1994). Protein ikan
dapat dibagi menjadi 3 golongan berdasarkan tingkat kelarutannya, meliputi
protein miofibril sebesar 65-75%, protein sarkoplasma sebesar 18-35%, dan
jaringan ikat atau stroma (Mackie 1992).
2.4.1 Protein miofibril
Protein miofibril merupakan bagian terbesar dalam jaringan tubuh ikan,
Protein miofibril berperan dalam penggumpalan dan pembentukan gel pada saat
pengolahan. Sifat protein ini yaitu larut garam atau disebut PLG (Protein Larut
Garam). Protein miofibril terdiri dari aktin, miosin dan protein regulasi
(tropomiosin, troponin, dan aktinin). Aktin dan miosin bergabung membentuk
aktomiosin. Miosin merupakan protein esensial untuk peningkatan elastisitas gel
protein. Miosin merupakan fraksi miofibril yang paling berlimpah dalam otot ikan
dan memiliki kontribusi sekitar 50-60% dari berat total jumlah protein. Aktin
merupakan fraksi miofibril terbesar kedua setelah myosin, menyusun sekitar 20%
dari kandungan total jumlah protein. Sedangkan tropomiosin dan troponin
jumlahnya 10% dari total protein (Shahidi dan Botta 1994). Protein miofibril akan
mengalami denaturasi dengan kisaran nilai pH kurang dari 6,5 yang berdampak
pada kemampuan pembentukan gel. Pembentukan gel oleh protein miofibril pada
surimi dipengaruhi berbagai faktor diantaranya konsentrasi protein miofibril
(PLG), jumlah air yang terkandung, tipe ion dan kekuatannya, pH, dan interaksi
yang terjadi antara miofibril dengan bahan lain yang ditambahkan (Lee 1984).
2.4.2 Protein sarkoplasma
Protein terbesar kedua adalah sarkoplasma. Protein sarkoplasma (albumin,
mioalbumin, dan mioprotein) merupakan jenis protein yang larut dalam air,
protein ini ditemukan dalam plasma sel. Fraksi protein ini jumlahnya 20-30% dari
seluruh protein (Shahidi dan Botta 1994). Karakteristik dari protein ini adalah
bobot molekul relatif rendah, pH isoelektrik tinggi dan struktur bulat. Hal ini yang
menyebabkan protein sarkoplasma memiliki daya larut yang tinggi dalam air.
Protein sarkoplasma diperlukan untuk metabolisme anaerob sel otot dan pembawa
oksigen. Protein ini tidak berperan sebagai pembentuk gel. Selama pembentukan
matriks gel, protein ini dapat mengganggu cross-linking miosin karena protein ini
tidak dapat membentuk gel dan rendahnya kapasitas pengikatan air yang dimiliki.
9
Kandungan protein sarkoplasma pada daging ikan bervariasi berdasarkan spesies
ikan. Salah satu jenis protein sarkoplasma yang berkaitan dengan mutu daging
adalah mioglobin, yang terdiri dari dua komponen yaitu fraksi protein disebut
globin, dan fraksi nonprotein yang disebut heme. Protein tersebut berfungsi dalam
memberikan warna merah pada daging segar (Suzuki 1981).
2.4.3 Protein stroma
Protein jaringan ikat (stroma) merupakan protein yang jumlahnya paling
sedikit. Protein ini tidak larut dalam air, larutan asam HCl ataupun NaOH dan
kontribusinya sebesar 10% dari total protein kasar (Shahidi dan Botta 1994).
Protein stroma terdapat pada bagian luar sel otot. Penyusun dari stroma yaitu
kolagen dan elastin. Jika jaringan penghubung yang mengandung sebagian besar
kolagen dipanaskan dalam waktu yang lama, kolagen tersebut akan berubah
menjadi gelatin. Ikan yang memiliki daging merah lebih banyak stromanya lebih
banyak jika dibandingkan dengan ikan daging putih (Suzuki 1981). Pada saat
pengolahan surimi, protein ini tidak dihilangkan karena mudah larut dalam panas
dan merupakan komponen netral pada produk akhir (Hall dan Ahmad 1992).
2.5 Surimi
Surimi merupakan produk antara yang digunakan dalam berbagai macam
produk yang telah dikenal di berbagai negara. Surimi dapat dibuat dengan
menggunakan ikan air tawar maupun ikan air laut. Untuk jenis ikan air tawar,
sebelum diolah terlebih dahulu dilakukan pemberokan agar bau lumpur pada
produk akhir dapat dikurangi. Produk komersial surimi dibuat dengan cara
memisahkan daging ikan dari tulang dan kulit yang kemudian diikuti proses
pencucian (1-3 kali) menggunakan air atau larutan garam. Selanjutnya dilakukan
pemerasan dan pencampuran dengan cryoprotectant untuk mecegah denaturasi
protein dan kehilangan fungsinya selama penyimpanan beku. Sebagai sumber
protein, surimi dari berbagai spesies ikan dapat digunakan di beberapa negara
untuk memproduksi produk berbasis surimi seperti kue ikan, bola-bola ikan,
burger ikan, sosis ikan, mie ikan dan stik imitasi (Shaviklo 2006).
Jenis ikan yang ideal untuk mendapatkan kualitas surimi yang baik adalah
yang mempunyai kemampuan pembentukan gel yang baik, karena dapat
10
mempengaruhi elastisitas tekstur. Sebaiknya menggunakan ikan yang masih segar
karena elastisitas yang terbaik hanya didapatkan dari ikan segar (BPPMHP 1987
diacu dalam Muhibuddin 2010). Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kualitas
surimi yaitu cara penyiangan, besarnya partikel dari daging lumat, kualitas air,
peralatan, serta cara pencucian. Selain itu suhu air pencucian dan suhu saat
penggilingan pun dapat mempengaruhi kualitas surimi. Jika suhu air lebih tinggi
akan lebih banyak melarutkan protein larut garam (Lee 1984).
Pencucian merupakan tahapan yang paling penting, khususnya untuk ikan-
ikan yang memiliki kemampuan pembentukan gel yang rendah. Pencucian surimi
bertujuan untuk melarutkan lemak, darah, enzim dan protein sarkoplasma yang
dapat menghambat pembentukan gel, serta menghilangkan komponen yang dapat
mengurangi kualitas surimi (Park 2005). Selain itu, pengaruh pencucian adalah
untuk mendapatkan warna daging yang putih (Suzuki 1981). Air yang digunakan
untuk pencucian adalah air dingin dengan suhu antara 5-10 °C. Pencucian
sebanyak dua kali dengan rasio air dan daging 3:1 telah dinilai cukup. Protein
dapat hilang pada pencucian kedua dan ketiga berturut-turut sebesar 27% dan 38%
pada pengolahan surimi (Benjakul et al. 1996 diacu dalam Muhibuddin 2010).
Kadar air pada daging akan meningkat dari 82% menjadi 85% menjadi 90%
hingga 92% setelah pencucian berulang kali. Untuk mengurangi kadar air ini
dapat dilakukan penambahan cryoprotectant dan proses pembekuan (Park 2005).
Kualitas surimi yang baik adalah yang berwarna putih, kuat dan dapat
membentuk gel (Winarno 1993). Komponen yang berperan dalam pembentukan
gel ini adalah protein miofibril yang dapat diekstrak menggunakan larutan garam.
Standar mutu surimi dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Standar mutu surimi
Tingkatan mutu (Grade)
Surimi Kadar air (%) pH Impurities
(Score) Kekuatan gel (g cm)
tanpa pati 1 75 ± 0,5 >7 10 >680 2 75 ± 0,5 7 >9 >680 3 75 ± 0,5 7 >8 >640 4 75 ± 1,0 7 >6 >520 5 75 ± 1,0 7 >5 >440 6 75 ± 1,0 7 >4 >310
Sumber : Lanier (1992)
11
2.6 Emulsi Ikan
Sosis adalah produk yang dihasilkan dari emulsi minyak dalam air (o/w).
Emulsi merupakan dispersi atau suspensi suatu cairan dalam cairan lain, namun
molekul dari kedua cairan tersebut tidak berbaur melainkan saling antagonistik.
Air dan minyak merupakan cairan yang tidak saling berbaur tetapi saling ingin
terpisah karena mempunyai berat jenis yang bebeda. Tiga bagian utama yang
umumnya terdapat pada suatu emulsi, diantaranya bagian yang terdispersi yaitu
butir-butir lemak (fase diskontinyu), bagian pendispersi (fase kontinyu) yang
terdiri dari air, bagian emulsifier yang berfungsi untuk menjaga agar butir minyak
tetap tersuspensi di dalam air (Winarno 1997). Pada emulsi minyak dalam air
(O/W), air berperan sebagai fase pendispersi dan minyak sebagai fase terdispersi.
Sebaliknya pada emulsi air dalam minyak (W/O), minyak sebagai fase pendispersi
dan air sebagai fase terdispersi. Berikut ini merupakan skema tipe emulsi yang
dapat dilihat pada Gambar 2.
(a) (b)
Gambar 2 Skema emulsi (a) O/W dan (b) W/O
Terdapat tiga tipe protein yang berperan dalam pembentukan emulsi sosis,
antara lain 1) protein sarkoplasma yang larut dalam air, namun kurang larut dalam
garam, 2) aktin dan miosin yang sangat larut dalam larutan garam, 3) protein
lainnya misalnya mioglobin yang larut dalam air dan garam. Untuk mendapatkan
hasil emulsi yang baik dapat dilakukan dengan cara memecah atau melumatkan
daging prerigor bersama-sama dengan es, garam dan baha curing, kemudian
disimpan beberapa jam sehingga proses ekstraksi protein lebih efisien.
Protein merupakan senyawa poliionik yang bersifat surface-active. Oleh
karena itu, protein dapat membantu proses pembentukan dan penstabilan emulsi
minyak-air. Kemampuan protein dalam menstabilkan emulsi didasarkan oleh
12
adanya gugus polar dan non polar dari gugus asam amino. Emulsifier yang utama
dalam emulsi sosis yaitu protein larut garam, meliputi aktin dan myosin yang
digabung menjadi aktomiosin (Kramlich et al. 1973).
Stabilitas emulsi menunjukkan kestabilan suatu bahan dalam system
emulsi atau terdapat keseragaman molekul fase pendispersi dan fase terdispersi
dalam kondisi baik. Untuk mendapatkan emulsi yang pekat dan stabil dari kedua
cairan, maka diperlukan komponen ketiga, yaitu bahan pengemulsi. Fungsi dari
komponen ketiga yaitu untuk mempercepat terjadinya emulsi dan memberikan
atau meningkatkan kestabilan emulsi, karena struktur molekul pengemulsi
mengandung dua bagian, satu bagian memiliki sifat polar atau hidrofil, bagian
yang lain yaitu bersifat non polar atau hidrofob. Stabilitas emulsi dipengaruhi oleh
temperatur selama proses emulsifikasi, ukuran partikel lemak, pH, viskositas
emulsi, jumlah dan tipe protein yang larut (Kramlich 1971).
2.7 Bahan Pengikat dan Pengisi
Penambahan bahan pengisi berfungsi untuk memperbesar jumlah produk
sosis. Bahan pengisi (filler) yang ditambahkan dalam pembuatan sosis antara lain
tepung tapioka yang memiliki kandungan pati yang tinggi namun rendah protein.
Bahan pengikat (binder) yang umumnya digunakan dalam pembuatan sosis adalah
lemak. Bahan pengikat berfungsi sebagai bahan pengental, memperbaiki stabilitas
emulsi, memperbaiki hasil irisan, memperbaiki aroma, memperbaiki rasa,
menahan lemak, dan membentuk tekstur yang padat dan menarik air
(Wilson 1960).
2.7.1 Isolat protein kedelai
Bahan pengikat yang umum digunakan pada pembuatan sosis adalah isolat
protein. Isolat soy protein (ISP) dengan nama lain isolat protein kedelai
merupakan produk dari protein kedelai yang berlemak rendah, protein ini diolah
sedemikian rupa sehingga memiliki kandungan protein yang tinggi. Kandungan
protein pada isolat protein kedelai minimum 95 %. Produk ini hampir bebas dari
karbohidrat, serat dan lemak sehingga sifat fungsionalnya jauh lebih baik
dibandingkan dengan konsentrat kedelai dan tepung kedelai (Koswara 1992).
Isolat protein kedelai sangat dibutuhkan dalam industi pangan, karena banyak
13
digunakan untuk formulasi berbagai jenis makanan. Sifat yang diunggulkan dari
isolat protein kedelai adalah sifat fungsional proteinnya. Sifat ini menentukan
pemakaian atau fungsi produk tersebut dalam berbagai produk makanan
(Koswarab 2005). Berbagai macam bentuk isolat protein kedelai dengan sifat
fungsional yang berbeda dapat diperoleh secara komersil. Sifat fungsional protein
yang utama antara lain emulsifikasi, daya serap lemak dan daya serap air
(Ulya 2005).
Isolat protein kedelai biasanya digunakan sebagai campuran dalam
makanan olahan daging dan susu. Prospeknya sangat luas, bukan hanya sebagai
campuran tetapi juga bahan utama dalam industri makanan. Salah satu senyawa
yang terdapat pada protein kedelai yaitu lesitin. Lesitin nabati paling baik dari
lesitin hewani yang mempunyai sifat superior (dapat berfungsi sebagai peremaja
sel tubuh, sehingga vitalitasnya meningkat). Lesitin memiliki sifat emulsif
terhadap lemak. Protein kedelai memiliki memiliki dua peran dalam mekanisme
emulsifikasi. Pertama, dapat membantu membentuk formasi emulsi O/W (oil in
water) dan kedua, dapat menjaga stabilitas emulsi (Wolf 1990).
Isolat protein ini sudah banyak digunakan dalam industri daging karena
kemampuannya dalam mengikat air dan lemak serta mampu membentuk gel
selama pemanasan. Penambahan dalam jumlah besar dapat menyebabkan warna
produk menjadi coklat dan memberikan bau dan cita rasa langu sehingga
menurunkan mutu sensori (warna dan rasa) produk akhir (Wulandhari 2007).
Produk-produk olahan kedelai tersebut terdapat dalam bentuk tepung kedelai,
konsentrat protein, atau protein isolat. Bahan pengikat ini mengandung protein
yang tinggi. Jumlah protein yang tinggi ini dapat menstabilkan emulsi sosis yang
terbentuk (Soeparno 1994). Komposisi kimia isolat protein kedelai (% bk) dapat
dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4 Komposisi kimia isolat protein kedelai (% berat kering) Parameter Jumlah %
Protein (N x 6,25) 90-92 Lemak 0,5-1,0 Serat kasar 0,1-0,2 Abu 4,0-5,0 Kadar air 0 Karbohidrat (by difference) 3-4
Sumber: Soy Protein Council (1987) diacu dalam Mervina (2009)
14
Proses pembuatan isolat protein kedelai, pertama biji kedelai kering
direndam 5-8 jam, diikuti pembuatan bubur kedelai (kedelai dikupas kulitnya dan
dihancurkan seperti pada pembuatan susu kedelai), kemudian diencerkan hingga
perbandingan kedelai kering : air = 1:8. Selanjutnya dilakukan pengaturan pH
hingga 8,5-8,7 dan diaduk selama 30 menit. Pengaturan pH dilakukan dengan
penambahan larutan NaOH 2N dan dipanaskan hingga suhu 50-55 °C untuk
meningkatkan efisiensi ekstraksi protein. Setelah protein terekstrak, maka residu
non protein harus dipisahkan dengan sentrifugal. Pada tahap ini sangat penting
karena dapat menentukan kemurnian isolat protein kedelai yang dihasilkan.
Semakin cepat sentrifugal dilakukan, maka semakin murni isolat yang dihasilkan
dan kandungan proteinnya pun makin tinggi serta memiliki sifat fungsional yang
semakin baik.
Filtrat yang diperoleh dari tahap pemisahan (berisi protein yang larut),
kemudian diturunkan pH-nya sampai 4,5 sehingga protein akan mengendap.
Penurunan pH ini dapat dilakukan dengan larutan HCl 2N atau larutan TCA
kemudian dipisahkan dengan sentrifugal. Selanjutnya endapan tersebut dicuci
(dicampur air lalu disentrifugal lagi ulangi beberapa kali). Endapan dibuat
suspensi kental dengan air (1:2) dan dikeringkan dengan spray dryer. Selanjutnya
didapatkan hasil berupa isolat protein kedelai. Jika setelah pencucian dilakukan
netralisasi dengan NaOH 2N sampai pH 6-8 lalu dikeringkan, maka menghasilkan
produk isolat proteinat kedelai. Produk ini lebih awet dibandingkan dengan isolat
protein kedelai (Koswara 1992).
Cara diatas sering juga dimodifikasi yakni tanpa mengalami proses
netralisasi. Proses ini akan menghasilkan protein kedelai dalam bentuk protein
dalam keadaan isoelektriknya. Proses ini merupakan proses yang paling sering
digunakan dalam memproduksi isolat protein kedelai secara komersial. Selain
cara di atas masih banyak cara lainnya untuk memproduksi isolat protein kedelai,
misal pemisahan berdasarkan perbedaan berat molekul, proses membran, ekstraksi
dengan air, dan ekstraksi dengan larutan garam (Mervina 2009).
Diagram alir proses pengolahan isolat protein kedelai yang dapat dilihat
pada Gambar 3.
15
Tepung : air = 1:8
Gambar 3 Diagram alir proses pengolahan isolat protein kedelai (Sumber: Ulya 2005)
2.7.2 Tapioka
Tepung tapioka merupakan bahan pengisi yang paling umum digunakan
dalam pembuatan sosis. Tapioka merupakan pati yang diperoleh dari ubi kayu
melalui proses pemarutan, pemerasan, penyaringan, pengendapan, dan
Tepung kedelai bebas lemak
Biji kedelai kering
Pencampuran
Perendaman
Pengupasan kulit
Pembuatan bubur kedelai/ susu kedelai
Kulit ari
Ekstraksi NaoH 2N, pH 8,5-8,7
Pengadukan Suhu 50-55◦C
Sentrifuse
Filtrat Residu (polisakarida, pigmen dan komponen nonprotein lain)
Pengendapan pada pH 4,5
Filtrat Endapan protein
Pencucian
Pengeringan
Isolat Protein Kedelai
16
pengeringan. Pati merupakan komponen utama tepung tapioka yang tidak
memiliki rasa dan bau sehingga dapat dipergunakan untuk modifikasi rasa.
Tapioka sering digunakan dalam pembuatan sosis karena selain harganya yang
murah juga memberikan citarasa netral serta warna terang pada produk sosis.
Keberadaan granula pati yang mengembang selama gelatinisasi pati tidak
meningkatkan elestisitas gel. Berdasarkan uji organoleptik yang telah dilakukan
pada penelitian sebelumnya, penambahan tepung tapioka sebanyak 5-10 % tidak
berpengaruh nyata terhadap semua karakteristik penampakan, warna, tekstur,
aroma, dan rasa produk kamaboko ikan lele dumbo (Hermawan 2002).
2.8 Bahan Tambahan
Bahan tambahan lain yang digunakan dalam penelitian pembuatan sosis
ikan ini antara lain garam, gula, air, lada putih, bawang putih, bawang merah,
minyak, lemak, jahe dan perasa ayam (kaldu ayam).
2.8.1 Garam
Garam merupakan bumbu yang biasanya ditambahkan pada adonan
pembuatan sosis untuk meningkatkan cita rasa dan pembentuk tekstur. Pemakaian
garam NaCl biasanya lebih banyak diatur oleh rasa, kebiasaan dan tradisi daripada
keperluan. Menurut Winarno (1997), makanan yang mengandung garam kurang
dari 0,3% akan terasa hambar sehingga kurang disenangi. Pemakaian garam
dengan konsentrasi rendah (1 – 3 %) tidak bersifat membunuh bakteri, melainkan
hanya memberikan cita rasa. Garam berfungsi sebagai pengawet karena garam
berperan sebagai penghambat mikroorganisme tertentu. Selain itu, pemakaian
garam juga dapat mempengaruhi aktivitas air (aw) dari bahan, sehingga dapat
mengendalikan pertumbuhan mikroorganisme. Garam dapat mengakibatkan
proses osmosis pada sel-sel mikroorganisme sehingga terjadi plasmolisis (kadar
air dalam sel bakteri berkurang, sehingga lama kelamaan dapat menyebabkan
bakteri mati) (Moeljanto 1992).
2.8.2 Gula
Gula merupakan senyawa kimia yang termasuk karbohidrat dengan rasa
manis dan sering digunakan sebagai pemanis, tetapi dalam industri pangan
biasanya digunakan untuk menyatakan sukrosa yang diperoleh dari bit atau gula
17
tebu. Adanya gula, sukrosa, pati dan lain-lain dapat meningkatkan cita rasa pada
makanan serta menimbulkan rasa khusus pada makanan (Buckle et al. 1987).
Gula tebu dihasilkan dari tanaman tebu (Saccharum officinarum L.) dan
digunakan sebagai bahan pemanis alami. Rendemen tebu maksimal tercapai pada
bulan Agustus, selanjutnya berangsur menurun karena tebu merupakan tanaman
semusim. Sampai saat ini gula tebu masih dianggap sebagai pemberi rasa manis
yang aman untuk kesehatan. Selain memberikan rasa manis, gula juga berfungsi
sebagai pengawet karena memiliki sifat higroskopis. Kemampuannya menyerap
kandungan air dalam bahan pangan ini bisa memperpanjang masa simpan
(Saparinto dan Hidayati 2006).
2.8.3 Air
Air merupakan salah satu komponen penting dalam pembuatan sosis.
Kandungan air sekitar 45-55% dari berat total sosis, tergantung dari jumlah cairan
yang ditambahkan dan jenis daging (Soeparno 1994). Penambahan air atau es
berfungsi menurunkan suhu adonan selama proses cutter, sehingga mencegah
denaturasi protein akibat suhu yang meningkat saat cutting, untuk melarutkan
garam, dan memudahkan ekstraksi protein serabut otot. Selain itu, air atau es juga
berfungsi melarutkan protein miosin yang merupakan pembentuk emulsi sehingga
dihasilkan emulsi yang stabil. Protein miosin hanya dapat larut pada suhu 4-5 °C
sehingga sangat penting menggunakan air dingin (Kramlich et al. 1973). Air atau
es juga berfungsi melarutkan bumbu-bumbu dan garam sehingga dapat tersebar
lebih merata. Air akan banyak mempengaruhi tekstur produk, keawetan, dan
penampakan.
2.8.4 Lada putih
Lada atau merica merupakan rempah-rempah yang sering digunakan
dalam pengolahan makanan. Lada sering ditambahkan pada saat memasak ikan
atau daging. Lada mempunyai peranan dalam dehidrasi sehingga dapat berfungsi
sebagai penghambat pertumbuhan mikroba dalam bahan pangan. Lada sangat
digemari karena memiliki dua sifat penting yaitu rasanya yang pedas dan
aromanya yang khas. Kedua sifat tersebut disebabkan kandungan bahan-bahan
kimia organik yang terdapat pada lada. Rasa pedas lada disebabkan oleh adanya
zat piperin dan piperanin serta hapisin (Rismunandar 1993).
18
2.8.5 Bawang putih (Allium sativum)
Bawang putih berfungsi sebagai penambah aroma dan untuk meningkatkan
citarasa produk yang dihasilkan. Bawang putih mengandung senyawa allisin,
yang dapat menentukan bau khas bawang putih. Bawang putih juga mengandung
beberapa vitamin diantaranya thiamin, niasin, riboflavin, asam askorbat,
vitamin B, vitamin C dan mengandung β-karoten yang merupakan bentuk vitamin
A dalam jumlah yang sedikit (Wibowo 1999). Karakteristik bawang putih akan
terlihat apabila dilakukan pemotongan atau perusakan jaringan (Palungkun dan
Budiarti 1992).
2.8.6 Bawang merah (Allium ascalonicum L.)
Bawang merah umumnya digunakan sebagai bumbu masak. Bawang
merah memiliki kandungan kimia sebagian besar terdiri dari air sekitar 80-85%,
protein sebesar 1,5%, lemak sebesar 0,3% dan karbohidrat sebesar 9,2%. Selain
itu, umbi bawang merah juga terdapat suatu senyawa yang mengandung ikatan
asam amino yang tidak berbau, tidak berwarna dan dapat larut dalam air. Ikatan
asam amino ini disebut dengan allin yang karena sesuatu hal berubah menjadi
allicin (Wibowo 1999). Bawang merah berperan sebagai antioksidan, berdasarkan
penelitian diketahui bahwa ekstrak bawang merah dapat menurunkan bilangan
peroksida dan kadar asam lemak bebas sebagai indikasi tingkat kerusakan minyak
(Panagan 2010).
2.8.7 Perasa ayam
Pemicu pengunaan bahan perasa karena langkanya bahan baku yang
menjadi dasar pembuatan produk itu sendiri. Misalnya saja pada hasil pertanian,
biasanya bahan pangan yang dihasilkan mengalami perubahan mutu dan rasa
seiring dengan perubahan musim dan iklim. Padahal perbedaan mutu dan rasa
tersebut tidak diinginkan oleh konsumen, sehingga dalam produk industri
dipakailah bahan perasa untuk mentabilkan mutu dan rasa.
Berdasarkan segi pembuatannya, perasa dibedakan menjadi dua, yaitu
flavor natural (alami) dan sintetis (buatan). Perasa alami diambil dari bahan-
bahan alami, misalnya rasa bawang maka diambil dari ekstrak bawang dan rasa
ayam diambil dari sari ayam. Sedangkan untuk perasa buatan dihasilkan dari
19
bahan-bahan sintetis, seperti bahan-bahan kimia yang berasal dari turunan minyak
bumi (LPPOM 2010).
Penggunaan perasa dari bahan sintetis pada bahan pangan perlu
diperhatikan kadar pemakaiannya, karena pada perasa sintetis terdapat bahan
kimia yang sengaja ditambahkan untuk menghasilkan turunan rasa yang
diinginkan. Untuk bahan perasa alami tidak dibatasi dalam pemakaiannya.
Pemakaian bahan perasa dapat menguntungkan bagi produsen misal dapat
menghasilkan berbagai rasa hanya dengan menambahkan perasa (flavor) serta
meminimalkan biaya produksi (Irham 2009).
Jenis perasa yang ditambahkan dalam pembuatan sosis yaitu bahan perasa
alami. Perasa alami yang ditambahkan yaitu kaldu ayam. Saripati ayam atau
dikenal dengan kaldu ayam sejak lama telah diketahui bahwa memiliki manfaat
yang besar dalam menjaga stamina tubuh. Cara termudah untuk mendapatkan
saripati ayam ialah membuat sendiri kaldu ayam atau membeli suplemen sariparti
ayam yang tersedia di pasaran. Pembeda antara keduanya, hanya terletak pada
kadar lemak yang sudah dihilangkan pada produk suplemen saripati ayam. Tidak
mengherankan, orang China sering membuat sup kaldu ayam untuk mengobati
penderita masuk angin. Selain itu, khasiat dari kaldu ayam tidak terbatas pada
stamina tapi juga meningkatkan daya ingat seseorang. Selain minyak ikan, saripati
ayam juga dapat meningkatkan kinerja otak. Konsumsi saripati ayam sendiri
diperuntukkan bagi semua umur. Saripati ayam juga tidak menimbulkan efek
ketergantungan atau efek samping sehingga tidak ada batasan dalam
mengkonsumsi saripati ayam (Kompas 2010).
2.8.8 Jahe (Zingiber officinale)
Jahe dapat digunakan sebagai sebagai bumbu masak, pemberi aroma
berbagai makanan dan minuman serta bahan obat-obatan tradisional. dan aneka
keperluan lainnya. Kegunaan jahe antara lain dapat merangsang kelenjar
pencernaan, baik untuk membangkitkan nafsu makan dan pencernaan. Sifat khas
jahe disebabkan terdapatnya kandungan minyak atsiri dan oleoresin jahe. Minyak
atsiri menyebabkan aroma harum jahe, sedangkan oleoresin menyebabkan rasa
pedas. Kandungan minyak atsiri dalam jahe kering sekitar 1 – 3 %. Komponen
utama minyak atsiri jahe yang menyebabkan bau harum adalah zingiberen dan
20
zingiberol. Oleoresin jahe banyak mengandung komponen pembentuk rasa pedas
yang tidak menguap. Komponen dalam oleoresin jahe terdiri atas gingerol dan
zingiberen, shagaol, minyak atsiri dan resin. Pemberi rasa pedas dalam jahe yang
utama adalah zingerol (Koswaraa 2005). Bagian tumbuhan jahe yang digunakan
adalah rimpang. Kandungan kimia dari rimpang jahe yaitu minyak atsiri yang
terdiri dari senyawa-senyawa seskuiterpen, zingiberen, zingeron, oleoresin,
kamfena, limonen, borneol, sineol, sitral, dan zingiberal. Disamping itu terdapat
juga pati, damar, asam-asam organik seperti asam malat dan asam oksalat,
Vitamin A, B, dan C, serta senyawa flavonoid dan polifenol (Matondang 2008).
2.9 Lemak
Penambahan lemak dalam pembuatan sosis bertujuan untuk membentuk
sosis yang kompak, empuk dan kelezatan sosis, lemak hewani ataupun minyak
nabati dapat ditambahkan dalam pembuatan sosis (Erdiansyah 2006). Lemak yang
ditambahkan pada sosis dapat berupa lemak nabati maupun lemak hewani, dengan
kadar berkisar antara 5-25%. Keuntungan dari lemak nabati yaitu, mengandung
kolesterol kandungan linoleat, oleat, dan linolenat yang lebih besar dibandingkan
lemak hewani (Dotulong 2009). Sosis yang baik dapat dihasilkan dengan
menggunakan penambahan lemak hewani. Dengan lemak hewani, tekstur sosis
akan menjadi lebih baik. Sedangkan lemak nabati yang biasanya cair pada suhu
kamar akan menghasilkan tekstur yang lebih lunak. Jumlah penambahan lemak
dalam pembuatan sosis dibatasi untuk mempertahankan tekstur selama
pengolahan dan penanganannya, lemak yang ditambahkan tidak boleh lebih dari
30% bobot daging (Erdiansyah 2006).
2.10 Selongsong
Selongsong (casing) merupakan pembungkus yang digunakan untuk
membungkus dan membentuk sosis. Terdapat tiga jenis selongsong (casing) yang
sering digunakan dalam pembuatan sosis, yaitu alami, kolagen, serta selulosa.
Selongsong alami biasanya terbuat dari usus alami hewan. Casing ini mempunyai
keuntungan dapat dimakan, bergizi tinggi, dan melekat pada produk. Kerugian
penggunaan casing ini adalah produk tidak awet casing kolagen biasanya
berbahan baku dari kulit hewan besar. Keuntungan dari penggunaan selongsong
ini adalah dapat diwarnai, bisa dimakan, dan melekat pada produk. Casing
21
selulosa biasanya berbahan baku pulp. Keuntungan casing selulosa adalah dapat
dicetak atau diwarnai dan murah. Casing selulosa sangat keras dan dianjurkan
untuk tidak dimakan. Saat ini telah dikembangkan poly amid casing, yaitu
selongsong yang terbuat dari plastik. Casing jenis ini tidak bisa dimakan, dapat
dibuat berpori atau tidak, bentuk dan ukurannya dapat diatur, tahan terhadap
panas, dan dapat dicetak (Astawan 2008).
3 METODOLOGI
3.1 Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari – Juni 2011. Bertempat di
Laboratorium Mikrobiologi Hasil Perairan dan Laboratorium Biokimia Hasil
Perairan, Laboratorium Organoleptik yang bertempat di Departemen Teknologi
Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Laboratorium Pengolahan
Pangan dan PAU (Pra Antar Universitas) di Depertemen Ilmu dan Teknologi
Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
3.2 Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain ikan lele dumbo
(Clarias gariepinus) yang didapat dari Pasar Ciampea, garam, ISP (Isolat Soy
Protein) yang didapat dari toko kimia Setia Guna, tepung tapioka, gula, lada
putih, air/es, bawang putih, bawang merah, jahe, dan plastik.
Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain timbangan digital,
baskom, talenan, pisau, kompor, thermometer, panci, grinder, food processor,
selongsong, sendok, benang kasur, stuffer, dan kain blacu. Alat yang digunakan
untuk analisis produk meliputi timbangan analitik, oven, desikator, alat penjepit,
gelas ukur, gelas piala, Texture analyzer, tabung reaksi, cawan petri, dan cawan
porselen.
3.3 Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan yaitu metode eksperimental. Metode
eksperimental adalah salah satu metode yang paling tepat untuk menyelidiki
hubungan sebab akibat variable yang digunakan. Penelitian ini dilakukan dalam
dua tahapan, yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian utama.
3.3.1 Penelitian pendahuluan
Penelitian pendahuluan bertujuan untuk mendapatkan kekuatan gel terbaik
pada gel ikan. Perlakuan pada penelitian pendahuluan adalah frekuensi pencucian
daging lumat (1 kali, 2 kali, dan 3 kali) dengan pencampuran garam yaitu sebesar
0,3% dari berat bahan untuk setiap perlakuan yang ditambahkan pada akhir
pencucian setiap perlakuan Analisis yang dilakukan untuk mengetahui hasil
23
terbaik yaitu dengan pengujian sensori, analisis fisik (uji lipat, uji gigit, kekuatan
gel dan perhitungan rendemen. Kemudian diolah menggunakan uji nonparametrik
(Kruskal Wallis). Diagram alir penelitian pendahuluan dapat dilihat pada
Gambar 4. Perlakuan pada penelitian pendahuluan:
a) Pencucian daging lumat sebanyak 1 kali dengan konsentrasi garam 0,3% b/b
b) Pencucian daging lumat sebanyak 2 kali dengan konsentrasi garam 0,3% b/b
yang ditambahkan pada pencucian terakhir
c) Pencucian daging lumat sebanyak 3 kali dengan konsentrasi garam 0,3% b/b
yang ditambahkan pada pencucian terakhir
Gambar 4 Diagram alir pembuatan gel ikan pada penelitian pendahuluan
Ikan Lele dumbo
Pembuatan fillet + pembuangan kulit
Pemerasan
Pencucian (air:daging = 3:1) air es+ garam 0,3% (b/b)
10 menit (5-10 °C)
Penyiangan
Pencucian (air) 10menit (5-10 °C) Pencucian (air) 10 menit (5-10 °C)
Pemerasan
Penggilingan
Pemerasan
Pencucian air + garam 0,3% (b/b)
10 menit (5-10 °C)
Pencucian (air) 10 menit (5-10 °C)
Pemerasan
Pemerasan
Pencucian air + garam 0,3% (b/b) 10 menit (5-10 °C)
Pemerasan Penimbangan
Pencetakan dalam tabung stainless diameter 3,25 cm dan tinggi 3 cm
Perebusan 45-50 °C (20 menit) dilanjutkan 80-90 °C (30 menit)
Gel ikan
Pengadonan + garam 2,5% (b/b)
Daging lumat
24
3.3.2 Penelitian utama
Hasil pengujian yang mempunyai nilai terbaik dari penelitian pendahuluan
digunakan dalam penelitian utama. Pada penelitian utama, sosis ikan dibuat
dengan menggunakan surimi terbaik dari penelitian pendahuluan yang kemudian
dilakukan penambahan IPK (Isolat Protein Kedelai) dengan konsentrasi yang
berbeda. Selain itu, ditambahkan pula bumbu-bumbu antara lain garam, gula, lada
putih, bawang putih, bawang merah, serta tepung tapioka sebesar 10% (dari berat
total IPK+daging) dengan jumlah yang sama untuk tiap perlakuan. Konsentrasi
bahan dan bumbu yang ditambahkan dalam penelitian utama dapat dilihat pada
Tabel 5.
Tabel 5 Bahan dan bumbu pada penelitian utama
Bahan dan bumbu % bobot total (IPK + daging)
Garam 3%
Gula 1,5%
Bawang putih 3%
Bawang merah 4%
Lada putih 0,5%
Jahe 0,25%
Perasa ayam 1%
Ekstrak lemak (ayam) 3%
Tapioka 10%
Air dingin 100%
Perlakuan penambahan Isolat protein kedelai (IPK) pada penelitian utama
dengan perhitungan dari berat total 100% (daging + IPK) :
a) Penambahan IPK 10% dan daging 90% sebagai perlakuan 1
b) Penambahan IPK 13% dan daging 87% sebagai perlakuan 2
c) Penambahan IPK 16% dan daging 84% sebagai perlakuan 3
d) Penambahan IPK 19% dan daging 81% sebagai perlakuan 4
Selanjutnya dilakukan analisis fisik untuk menentukan konsentrasi
penambahan IPK (Isolat Protein Kedelai) terbaik yaitu dengan pengujian sensori
(warna, rasa, aroma, tekstur, penampakan), uji lipat, kekuatan gel, stabililitas
25
emulsi dan daya ikat air, serta dilakukan pula analisis kimia untuk mengetahui
proksimat dari sosis ikan yang dihasilkan meliputi kadar air, kadar abu, protein,
lemak dan karbohidrat.
Pembuatan sosis ikan lele dumbo pada penelitian utama adalah sebagai
berikut. Ikan lele dumbo disiangi, difillet dan dibuang kulitnya, serta digiling
sehingga didapatkan daging lumat. Daging lumat dicuci dan diremas-remas dalam
air dingin selama 10 menit sambil diaduk-aduk kemudian disaring dan diperas
menggunakan kain blacu, pencucian diulangi sebanyak 2 kali dengan
perbandingan antara air/es dengan daging lumat 3:1. Saat pencucian kedua
dilakukan penambahan garam sebanyak 0,3 % dari berat daging. Surimi yang
didapat selanjutnya diberi IPK dengan konsentrasi berbeda (10%, 13%, 16% dan
19%) pada setiap perlakuan, kemudian ditambahkan bahan pengisi berupa tepung
tapioka sebesar 10% (dari berat total antara daging dan IPK). Selanjutnya
ditambahkan bumbu-bumbu (dari berat total antara daging dan IPK): garam 3%,
gula 1,5%, lada putih 0,5%, bawang merah 4%, bawang putih 3%, lemak 3%,
jahe 0,25%, dan perasa ayam 1% dengan jumlah yang sama untuk setiap
perlakuan. Pengadonan dilakukan hingga homogen dengan food processor selama
± 10 menit dan ditambahkan air dingin/es dengan perbandingan berat total 1:1.
Adonan yang telah homogen kemudian dimasukkan ke dalam selongsong
menggunakan stuffer dengan ukuran panjang untuk masing-masing sosis 10 cm
dan diikat dengan benang kasur. Perebusan dilakukan sebanyak 2 tahap,
perebusan pertama dilakukan pada suhu 45-50 °C selama 20 menit dan
dilanjutkan perebusan kedua dengan suhu 80-90 °C selama 30 menit. Sosis ikan
dapat diangkat dan didinginkan. Diagram alir pembuatan sosis ikan lele pada
penelitian utama dapat dilihat pada Gambar 5.
3.4 Prosedur Analisis
Teknik pengujian ada dua cara, yaitu secara subyektif dan secara obyektif.
Analisis obyektif yang dilakukan meliputi analisis kimia dan analisis fisik.
Analisis kimia dilakukan untuk sosis daging ayam (pembanding) dan sosis ikan
lele dumbo yang dihasilkan meliputi kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar
protein, dan kadar karbohidrat. Analisis fisik dilakukan pada sosis ikan yang
26
dihasilkan meliputi kekuatan gel, daya ikat air, stabilitas emulsi. Analisis secara
subyektif dilakukan dengan cara uji organoleptik.
Gambar 5 Diagram alir pembuatan sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) pada penelitian utama
Ikan lele dumbo
Penyiangan
Pemfiletan + skinless
Pencucian
Penggilingan
Pencampuran dan pengadonan ±10
menit
Gula, garam, bawang merah, bawang putih, lada putih, lemak hewani, perasa ayam dan jahe
Tepung tapioka, Isolat Protein Kedelai
10,13,16,19% (berat total IPK+
daging)
Pemasukan dalam selongsong
(pencetakan)
Perebusan 45-50 °C (20 menit) dilanjutkan 80-90 °C (30 menit)
Sosis ikan
Pendinginan
Pemerasan
Surimi hasil pencucian
Pengikatan dengan panjang 10 cm
27
3.4.1 Uji organoleptik (Rahayu 1998)
Uji organoleptik yang dilakukan adalah uji kesukaan (hedonik), panelis
diminta untuk memberikan tanggapan tentang tingkat kesukaan atau
ketidaksukaan. Tingkatannya disebut skala hedonik, kemudian ditransformasikan
menjadi skala numerik dengan angka menaik menurut tingkat kesukaannya.
Dalam penelitian ini digunakan sembilan skala hedonik yang menunjukkan
tingkat kesukaan. Pelaksanaan uji dilakukan dengan cara menyajikan sosis ikan
yang dihasilkan dengan pemberian kode (menggunakan bilangan acak) dan
panelis diminta untuk memberikan penilaian pada score sheet yang telah
disediakan. Panelis yang dibutuhkan sebanyak 30 panelis semi terlatih. Parameter
uji meliputi rasa, warna, aroma, tekstur dan penampakan. Parameter rasa dinilai
pada saat memakan sosis. Parameter warna dan aroma dinilai dengan melihat dan
mencium aroma sosis. Parameter tekstur dinilai dengan perabaan oleh lidah pada
saat sosis dimakan. Lembar uji organoleptik dapat dilihat pada Lampiran 1 untuk
gel ikan lele dumbo dan Lampiran 4 untuk sosis ikan lele dumbo.
3.4.2 Analisis kimia
Analisis kimia yang dilakukan pada penelitian pembuatan sosis ikan ini
meliputi analisis kadar air, kadar abu, kadar lemak, protein dan karbohidrat.
1) Analisis kadar air (AOAC 1995)
Penentuan kadar air didasarkan pada perbedaan berat contoh sebelum dan
sesudah dikeringkan. Mula-mula cawan kosong dikeringkan dalam oven selama
30 menit dengan suhu 105 °C, lalu didinginkan dengan desikator selama 15 menit,
kemudian ditimbang. Sebanyak 5 gram contoh dimasukkan ke dalam cawan
kemudian dikeringkan dalam oven 100-102 °C selama 6 jam. Cawan didinginkan
dalam desikator selama 30 menit, kemudian ditimbang kembali. Kadar air dapat
dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
Kadar air (berat basah) : W3 X 100% W1
Keterangan : W1 : Berat contoh
W2 : Berat contoh setelah dikeringkan W3 : Kehilangan berat (W1-W2)
28
2) Analisis kadar abu (AOAC 1995)
Cawan dibersihkan dan dikeringkan dalam oven selama 30 menit pada
suhu 105 °C, lalu didinginkan dalam desikator selama 15 menit dan ditimbang.
Sebanyak 5 gram contoh ditimbang kemudian dimasukkan ke dalam cawan.
Sampel dipanaskan di atas kompor listrik hingga uap air hilang atau sampai
beratnya tetap. Selanjutnya dimasukkan ke dalam tanur pada suhu 600 °C selama
8 jam. Lalu didinginkan dalam desikator selama 30 menit dan ditimbang. Kadar
abu ditentukan dengan rumus:
Kadar abu (%) : Berat abu X 100% Berat contoh
3) Analisis kadar protein (AOAC 1995)
Kadar protein ditetapkan berdasarkan oksidasi bahan-bahan berkarbon dan
konversi nitrogen menjadi ammonia. Selanjutnya ammonia bereaksi dengan
kelebihan asam membentuk ammonium sulfat. Larutan dibuat menjadi basa dan
ammonia diuapkan untuk kemudian diserap dalam larutan asam borat. Nitrogen
yang terkandung dalam larutan dapat ditentukan dengan titrasi menggunakan
HCl 0,02 N. Penetapan kadar protein menggunakan metode Kjeldahl-mikro.
Sebanyak 2 gram contoh dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl, lalu
ditambahkan 1 tablet Kjeldahl dan 20 ml H2SO4 pekat. Kemudian didestruksi di
ruang asam sampai cairan jernih, kemudian didinginkan. Cairan yang diperoleh
selanjutnya ke dalam labu takar 100 ml, dipipet sebanyak 10 ml ke dalam alat
destilasi serta ditambahkan 10 ml NaOH pekat. Hasil destilasi ditampung dalam
10 ml asam borat (H3BO3) 4%, lalu dititrasi dengan larutan standar HCl 0,02 N
sampai terjadi perubahan warna menjadi abu-abu atau biru. Kadar protein dapat
dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
Nitrogen (%) : (ml HCl-ml blanko) x N HCl x 14,007 x fp X 100% mg sampel
4) Analisis kadar lemak (AOAC 1995)
Contoh diekstrak dengan pelarut heksana. Pelarut yang digunakan
diuapkan sehingga tersisa lemak dari contoh. Lemak tersebut kemudian ditimbang
29
dan dihitung presentasenya. Penentuan kadar lemak dilakukan dengan metode
ekstraksi Soxhlet. Sebanyak 5 gram contoh yang telah dihaluskan, dibungkus
dengan kertas saring, selanjutnya dimasukkan ke dalam alat ekstraksi Soxhlet, lalu
dialiri dengan air melalui kondensor. Pelarut heksana dituangkan ke dalam labu
lemak secukupnya sesuai dengan ukuran soxhlet yang digunakan dan dilakukan
refluks selama minimal 6 jam sampai pelarut turun kembali ke labu lemak. Pelarut
di dalam labu lemak didestilasi dan ditampung. Labu lemak berisi lemak hasil
ekstraksi kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 105 °C selama 5 jam.
Labu lemak kemudian didinginkan dalam desikator selama 20-30 menit dan
ditimbang. Berat residu dalam labu lemak dinyatakan sebagai berat lemak. Kadar
lemak dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
Kadar lemak (%) : Berat lemak (gram) X 100% Berat sampel (gram)
5) Analisis kadar karbohidrat by difference
Kadar karbohidrat dihitung dengan menghitung sisa (by diffrerence) yaitu
dengan rumus sebagai berikut :
Kadar karbohidrat (%) : 100% - (% air + % abu + % protein + % lemak)
3.4.3 Analisis Fisik
Analisis fisik yang dilakukan untuk menguji sosis ikan ini antara lain
analisis kekuatan gel, daya mengikat air (DMA), stabilitas emulsi, uji gigit dan uji
lipat.
1) Kekuatan gel
Pengukuran kekuatan gel (kekerasan) sosis dilakukan secara obyektif
dengan menggunakan Texture analyzer (TA-XT21). Tingkat kekerasan sosis ikan
dinyatakan dalam gram force tiap cm2(gf/cm2) yang berarti besarnya gaya tekan
untuk memecah deformasi produk. Sampel diletakkan di bawah probe berbentuk
silinder pada tempat penekanan, dengan sisi lebar ke atas, kemudian dilakukan
penekanan terhadap sampel dengan probe silinder tersebut. Kecepatan alat ketika
menekan sampel adalah 1 mm/s. Tekanan dilakukan sebanyak satu kali. Hasil
30
pengukuran akan tercetak pada kertas grafik dan dapat dilihat tinggi saat sampel
benar-benar pecah. Nilai tertinggi pada grafik menunjukkan nilai kekuatan gel
pada suatu bahan.
2) Water Holding Capacity (WHC) (Hamm 1972 diacu dalam Wahyuni 1992) Daya ikat air dapat diukur dengan menggunakan alat carverpress. Sampel
sebanyak 0,3 gram diletakkan di kertas saring dan dijepit dengan carverpress,
yaitu diantara dua plat jepitan berkekuatan 35 kg/cm2 selama 5 menit. Kertas
saring yang digunakan yaitu Whatman 1 no 40. Luas area basah yaitu luas air
yang diserap kertas saring akibat penjepitan, dengan kata lain selisih luas antara
lingkaran luar dan dalam kertas saring. Bobot air bebas (jumlah air dalam sosis
yang terlepas) dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:
Berat air : Luas area basah - 8,0 0,0948
% air bebas : Berat air x 100 % 3000mg WHC = kadar air total daging (%) - kadar air bebas (%)
3) Stabilitas emulsi ( AOAC 1995)
Pengukuran kestabilan emulsi dilakukan berdasarkan prinsip yaitu
mengukur kestabilan emulsi sosis terhadap perubahan suhu yang ekstrim. Sampel
sosis dihancurkan, lalu ditimbang sebanyak 5 gram dan dimasukkan ke dalam
oven dengan suhu 45 °C selama 1 jam. Kemudian dimasukkan ke dalam
pendingin bersuhu 0 °C selama 1 jam. Sampel dimasukkan kembali ke dalam
oven pada suhu 45 °C selama 1 jam. Pengamatan dilakukan terhadap
kemungkinan terjadinya pemisahan air dari emulsi. Jika terjadi pemisahan, maka
emulsi dikatakan tidak stabil dan tingkat kestabilananya dihitung berdasarkan
persentase fase terpisah terhadap emulsi keseluruhan. Stabilitas emulsi dapat
dihitung dengan rumus berikut:
SE (%) = Berat fase yang tersisa x 100% Berat total bahan emulsi
31
4) Uji lipat (Nasran dan Tambunan 1974 diacu dalam Purwandari 1999)
Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui tingkat elastisitas sosis. Uji ini
dilakukan dengan cara mengiris produk setebal 4-5 mm, yang hasil irisannya
dilipat dengan tangan, diantara ibu jari dan telunjuk, kemudian dilipat untuk
diamati kondisinya. Hasil pengamatan pada bagian lipatan dikonversikan dengan
score sheet yang telah disediakan yang dapat dilihat pada Lampiran 2 untuk gel
ikan lele dumbo dan Lampiran 5 untuk sosis ikan lele dumbo.
5) Uji gigit (Nasran dan Tambunan 1974 diacu dalam Purwandari 1999)
Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui tingkat kekenyalan sosis. Uji ini
dilakukan secara subjektif dari 30 panelis. Sampel sosis yang ingin diuji diiris
dengan ukuran setebal 5 mm. Pengujian dilakukan dengan cara menggigit sampel
antara gigi seri atas dan bawah, kemudian diamati daya lentingnya. Hasil
pengamatan pada bagian gigitan dikonversikan dengan score sheet yang telah
disediakan yang dapat dilihat pada Lampiran 3 untuk gel ikan lele dumbo dan
Lampiran 6 untuk sosis ikan lele dumbo.
6) Rendemen
Rendemen daging dihitung dengan membandingkan antara berat daging
dengan berat ikan utuh. Ikan lele dumbo utuh ditimbang sebagai berat awal (a).
kemudian dilakukan penyiangan dengan membuang kulit, tulang, isi perut dan
kepala lalu ditimbang sebagai berat akhir (b). Rendemen daging dihitung dengan
persamaan berikut ini.
Rendemen daging = b x 100% a
Rendemen surimi dihitung dengan membandingkan berat surimi dengan
berat ikan utuh. Ikan lele dumbo ditimbang sebagai berat awal (a), kemudian
daging lele tersebut dilumatkan, dilakukan pencucian dan pemerasan lalu
ditimbang sebagai berat akhir (c). Selanjutnya rendemen surimi dihitung dengan
persamaan berikut ini.
Rendemen surimi = c x 100% a
32
3.4.4 Analisis mikrobiologi Total Plate Count (TPC)
Analisis mikrobiologi dilakukan terhadap Total Plate Count menggunakan
media PCA (Potato Count Agar). Sampel sebanyak 25 gram disiapkan dan
dicampurkan dengan 225 ml Buffered Peptone Water, lalu dihomogenkan.
Selanjutnya dinyatakan pengenceran ke 1 (101). Pipet 1 ml dari pengenceran ke 1,
dimasukkan ke dalam 9 ml Buffered Peptone Water, dilakukan sampai ke
pengenceran 106 (101 s/d 106). Sebanyak 1 ml dari masing-masing pengencer
dipipet dalam cawan petri steril secara single dan duplo. Selanjutnya dituangkan
18-20 ml media PCA yang telah dicairkan yang bersuhu 45 ± 1°C ke dalam setiap
cawan petri. Campuran diratakan dengan membuat gerakan angka 8 pada tempat
yang datar dan dibiarkan hingga membeku. Selanjutnya semua cawan petri
dimasukkan dalam lemari pengeram (incubator) dengan posisi terbalik dan
inkubasikan pada suhu 35 ± 1°C selama 24 – 28 jam. Pertumbuhan koloni dicatat
pada setiap cawan yang mengandung 25 – 250 koloni setelah 48 jam. Kemudian
angka lempeng total dalam cawan tersebut dihitung dengan mengalikan jumlah
rata-rata koloni pada cawan dengan faktor pengenceran yang digunakan (sesuai).
3.5 Rancangan Percobaan dan Analisis Data
Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian pendahuluan
adalah nonparametrik (Kruskal Wallis) sedangkan penelitian utama menggunakan
Rancangan Acak Lengkap (RAL) satu faktor dengan empat taraf.
a) Penelitian pendahuluan
Faktor yang dikaji dalam penelitian pendahuluan adalah perbedaan
pencucian terhadap daging lumat yaitu sebanyak 1, 2, dan 3 kali. Pengolahan data
dilakukan dengan menggunakan analisis statistika nonparametrik menggunakan
uji Kruskal-Wallis melalui perangkat lunak Statictical Package for Social Science
(SPSS) 13.0. Jika hasil analisis berbeda nyata maka dilanjutkan dengan uji lanjut
Multiple comparison.
b) Penelitian utama
Faktor yang dikaji pada penelitian utama yaitu perbedaan penambahan
konsentrasi IPK (Isolat Protein Kedelai) yaitu 10%, 13%, 16%, dan 19% pada
pembuatan sosis ikan. Model umum rancangan acak lengkap (RAL) satu faktor
dengan empat taraf yang digunakan adalah sebagai berikut :
33
Yij = μ + τi + εij
Keterangan :
Yij = Nilai pengamatan pada taraf ke-i dan ulangan ke-j (j=1,2) μ = Nilai tengah atau rataan umum pengamatan τi = Pengaruh metode pengolahan pada taraf ke-i (i=1,2,3) εij = Galat atau sisa pengamatan taraf ke-i dengan ulangan ke-j
Hipotesa terhadap data hasil uji fisik pada berbagai penambahan
konsentrasi isolat protein kedelai adalah sebagai berikut:
H0 = Penambahan IPK dengan konsentrasi berbeda tidak memberikan pengaruh terhadap uji fisik sosis ikan lele dumbo
H1 = Penambahan IPK dengan konsentrasi berbeda memberikan pengaruh terhadap uji fisik sosis ikan lele dumbo
Jika uji F pada ANOVA memberikan pengaruh yang berbeda terhadap kekuatan gel, WHC, dan stabilitas emulsi sosis ikan lele dumbo maka dilanjutkan dengan uji Duncan.
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Penelitian Pendahuluan
Pada penelitian pendahuluan dilakukan penentuan frekuensi pencucian
daging lumat yang tepat (1 kali pencucian, 2 kali pencucian dan 3 kali pencucian)
dalam menghasilkan gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus). Hasil frekuensi
pencucian terbaik diketahui dengan cara menguji karakteristik fisik (uji lipat,
uji gigit dan kekuatan gel) dan uji sensori (hedonik). Surimi yang dihasilkan pada
penelitian pendahuluan dengan sifat fisika-kimia dan sensori terbaik dijadikan
bahan dasar dalam pembuatan produk sosis ikan pada penelitian utama.
4.1.1 Karakteristik fisik surimi
Surimi yang dihasilkan dari perlakuan frekuensi pencucian daging lumat
dilakukan analisis fisik seperti analisis rendemen, uji lipat dan uji gigit.
a) Rendemen
Rendemen dari suatu ikan merupakan rasio berat antara daging dengan berat
ikan utuh. Menurut Hadiwiyoto (1993), perhitungan rendemen digunakan untuk
memperkirakan berapa banyaknya bagian dari tubuh ikan yang dapat
dimanfaatkan sebagai bahan makanan. Rendemen yang dianalisis meliputi
rendemen daging dan rendemen surimi. Hasil analisis rendemen daging dari berat
ikan utuh sebesar 10000 gram didapat daging lumat sebesar 3102 gram dan
rendemen daging lumat sebesar 31,02%. Frekuensi pencucian 1 kali bobot surimi
yang didapat sebesar 630 gram dan rendemen surimi sebesar 18,9%. Frekuensi
pencucian 2 kali bobot surimi yang didapat sebesar 624 gram dan rendemen
surimi sebesar 18,72%. Frekuensi pencucian 3 kali bobot surimi yang didapat
sebesar 619 gram dan rendemen surimi sebesar 17,7%.
Rendemen daging ikan lele yang didapatkan sebesar 31,02%, sedangkan
rendemen surimi yang dihasilkan yaitu 18,9%, 18,72% dan 17,7%. Rendemen
surimi tertinggi yaitu pada perlakuan frekuensi pencucian 1 kali. Nilai rendemen
surimi ikan lele dumbo ini semakin menurun dengan semakin banyaknya
pencucian. Pada frekuensi pencucian 1 kali menurunkan nilai rendemen daging
sebesar 12,12 %, pada pencucian 2 kali menurunkan rendemen daging sebesar
35
12,3% dan pada pencucian 3 kali menurunkan rendemen daging sebesar 13,32%.
Rendemen daging yang semakin menurun ini dikarenakan, adanya proses
pencucian. Semakin banyak frekuensi pencucian akan menyebabkan semakin
banyak komponen yang akan terlarut bersama air antara lain protein sarkoplasma,
pigmen, lemak, dan darah (Reynolds et al. 2002).
Hasil dari ketiga perlakuan tersebut, dapat dilihat perbedaan rendemen serta
diketahui bahwa pencucian 1 kali memberikan rendemen tertinggi. Pencucian ini
dilakukan bertujuan untuk menghasilkan mutu gel yang baik dan kuat namun
tetap memperoleh rendemen yang tinggi. Oleh karena itu, frekuensi pencucian
yang terpilih yaitu sebanyak 2 kali, dengan asumsi memiliki rendemen yang
masih tinggi dan dapat menghasilkan gel yang baik. Menurut penelitian
sebelumnya, pencucian yang dilakukan terhadap daging lumat yaitu sebanyak
2 kali. Pencucian pertama dengan air untuk menghilangkan protein sarkoplasma,
dan pencucian kedua dengan penambahan 0,3% garam untuk melarutkan protein
miofibril dan membentuk sol aktomiosin (Astawan et al. 1996).
b) Uji lipat
Salah satu cara pengujian kualitas gel surimi yang dihasilkan dapat
dilakukan dengan uji lipat. Nilai rata-rata uji lipat gel ikan lele dumbo
(Clarias gariepinus) dengan perlakuan frekuensi pencucian daging lumat dapat
dilihat pada Gambar 6.
Keterangan : Angka-angka pada histogram yang diikuti dengan huruf superscsript yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (p<0,05) Kode: B1L : Frekuensi pencucian 1 kali A2Y : Frekuensi pencucian 2 kali T3M : Frekuensi pencucian 3 kali
Gambar 6 Histogram rata-rata uji lipat gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus)
36
Nilai rata-rata uji lipat pada gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) adalah
3,83-4,70. Penilaian terhadap uji lipat gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus)
dengan perlakuan perbedaan frekuensi pencucian yaitu tidak retak setelah dilipat
menjadi setengah lingkaran dan seperempat lingkaran. Hasil analisis
Kruskal-Wallis dapat dilihat pada Lampiran 8. Perlakuan frekuensi pencucian
daging lumat memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai rata-rata
uji lipat gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus). Hal ini diduga karena
pencucian dapat meningkatkan kekuatan gel dengan semakin pekatnya protein
miofibril, sehingga berpengaruh terhadap uji lipat yang dihasilkan. Hasil uji lipat
berkaitan langsung dengan tekstur gel terutama kekuatan gel. Semakin baik hasil
uji lipat (makin sukar retak), maka mutu gel ikan yang dihasilkan pun semakin
baik (Shaban et al. 1985 dalam Santoso et al. 1997).
Hasil uji lanjut Multiple comparison disajikan pada Lampiran 9, diperoleh
bahwa perlakuan frekuensi pencucian 3 kali menghasilkan nilai rata-rata uji lipat
yang berbeda nyata dengan pencucian 1 kali, sedangkan dengan pencucian 2 kali
tidak menghasilkan nilai rata-rata uji lipat yang berbeda nyata. Hal ini diduga
karena proses pencucian dapat menghilangkan protein sarkoplasma yang dapat
menghambat pembentukan gel sehingga pada frekuensi pencucian 2 kali
menghasilkan nilai rata-rata uji lipat yang lebih tinggi dan berbeda nyata dengan
pencucian 1 kali. Nilai rata-rata uji lipat pada pencucian 2 mengalami kenaikan,
sedangkan pada pencucian 3 kali mengalami penurunan diduga karena
menurunnya kekuatan gel akibat konsentrasi protein miofibril yang juga menurun.
Miofibril sangat berperan dalam penggumpalan dan pembentukan gel pada daging
ikan yang diolah (Erdiansyah 2006). Kadar air yang tinggi pun diduga dapat
menurunkan kekuatan gel pada pencucian ketiga. Pencucian yang berulang pun
dapat meningkatkan sifat hidrofilik daging, yang membuat penghilangan air
menjadi sulit dan daging mengembang (Kaba 2006).
c) Uji gigit
Uji gigit digunakan untuk mengukur tingkat elastisitas surimi secara sensori.
Nilai rata-rata uji gigit dengan perlakuan frekuensi pencucian daging lumat ikan
lele dumbo (Clarias gariepinus) dapat dilihat pada Gambar 7.
37
Keterangan : Angka-angka pada histogram yang diikuti dengan huruf superscsript yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (p<0,05) Kode: B1L : Frekuensi pencucian 1 kali A2Y : Frekuensi pencucian 2 kali T3M : Frekuensi pencucian 3 kali
Gambar 7 Histogram rata-rata uji gigit gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus)
Nilai rata-rata uji gigit gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) adalah
6,90-7,63. Penilaian terhadap uji gigit gel ikan lele dumbo dengan perlakuan
perbedaan frekuensi pencucian yaitu dapat diterima hingga agak kuat. Hasil
analisis Kruskal-Wallis dapat dilihat pada Lampiran 10. Perlakuan frekuensi
pencucian daging lumat memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai
rata-rata uji gigit gel ikan lele dumbo. Uji gigit digunakan untuk mengukur tingkat
elastisitas surimi secara sensori, keelastisan ini berhubungan dengan kekuatan gel
surimi. Pencucian dapat meningkatkan kekuatan gel surimi sehingga diduga juga
berpengaruh terhadap nilai uji gigit yang dihasilkan. Surimi yang baik adalah
surimi yang memiliki kekuatan gel yang tinggi (Park 2000).
Hasil uji lanjut Multiple comparison disajikan pada Lampiran 11, diketahui
bahwa perlakuan pencucian 1 kali berbeda nyata terhadap pencucian 3 kali,
sedangkan dengan pencucian 2 kali tidak berbeda nyata. Proses pencucian dapat
menghilangkan protein sarkoplasma yang dapat menghambat pembentukan gel
(Riesnawaty 2007). Hal ini diduga meningkatkan nilai rata-rata uji gigit gel ikan
lele dumbo (Clarias gariepinus) yang dihasilkan pada frekuensi pencucian 2 kali
jika dibandingkan pencucian 1 kali. Pada frekuensi pencucian 3 kali pun
menghasilkan nilai rata-rata uji gigit yang lebih tinggi dibandingkan frekuensi
pencucian 2 kali. Peningkatan frekuensi pencucian secara terus-menerus dapat
38
menghilangkan residu protein sarkoplasma yang dapat menghambat pembentukan
gel pada daging lumat (Kaba 2006).
d) Kekuatan gel
Kekuatan gel merupakan salah satu uji fisik yang umumnya dilakukan pada
bahan pangan untuk mengetahui tingkat gelasi produk tersebut. Nilai rata-rata
kekuatan gel pada gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) dengan perlakuan
frekuensi pencucian daging lumat dapat dilihat pada Gambar 8.
Keterangan : Angka-angka pada histogram yang diikuti dengan huruf superscsript yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (p<0,05) Kode: B1L : Frekuensi pencucian 1 kali A2Y : Frekuensi pencucian 2 kali T3M : Frekuensi pencucian 3 kali
Gambar 8 Histogram kekuatan gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus)
Nilai kekuatan gel pada gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) adalah
483,25-683,35 gf. Hasil analisis ragam dapat dilihat pada Lampiran 13. Perlakuan
perbedaan frekuensi pencucian daging lumat tidak memberikan pengaruh yang
berbeda nyata terhadap nilai kekuatan gel pada gel ikan lele dumbo. Nilai rata-rata
kekuatan gel cenderung menurun dengan bertambahnya frekuensi pencucian.
Pencucian daging ikan tidak mempengaruhi kualitas gel yang dihasilkan,
manakala NaCl (garam) digunakan (Astawan et al. 1996). Berdasarkan hasil ini,
diketahui bahwa perbedaan frekuensi pencucian tidak memenuhi asumsi bahwa
dapat memperbaiki kekuatan gel ikan lele dumbo. Kekuatan gel dipengaruhi oleh
penggunaan air saat dilakukan pencucian. Pada pencucian sebanyak 2 dan 3 kali
nilai kekuatan gel menurun dan diduga dipengaruhi oleh kadar air yang tinggi.
Pencucian yang berulang-ulang dapat meningkatkan sifat hidrofilik daging, yang
39
membuat penghilangan air dalam daging menjadi sulit dan daging mengembang
(Kaba 2006).
4.1.2 Karakteristik sensori gel ikan
Analisis sensori merupakan analisis yang dilakukan menggunakan kepekaan
indera manusia (panelis). Analisis sensori yang dilakukan adalah uji kesukaan
(hedonik), panelis diminta untuk memberikan tanggapan tentang tingkat kesukaan
atau ketidaksukaan. Tingkatan-tingkatannya disebut skala hedonik, dalam
analisisnya ditransformasikan menjadi skala numerik dengan angka yang semakin
naik menurut tingkat kesukaannya (Rahayu 1998).
a) Penampakan
Penampakan merupakan salah satu parameter yang menentukan tingkat
penerimaan dari panelis yang dinilai dengan penglihatan antara lain bentuk,
ukuran, warna dan sifat-sifat permukaan (halus, kasar, suram, mengkilap,
homogen, heterogen dan datar bergelombang). Nilai rata-rata penampakan gel
ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) dilihat pada Gambar 9.
Keterangan : Angka-angka pada histogram yang diikuti dengan huruf superscsript yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)
Kode: B1L : Frekuensi pencucian 1 kali A2Y : Frekuensi pencucian 2 kali T3M : Frekuensi pencucian 3 kali
Gambar 9 Histogram rata-rata penampakan gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus)
Nilai rata-rata penampakan gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) adalah
6,53-6,77. Penilaian terhadap penampakan gel ikan lele dumbo dengan perlakuan
perbedaan frekuensi pencucian yaitu agak suka. Hasil analisis Kruskal-Wallis
40
dapat dilihat pada Lampiran 14. Perlakuan frekuensi pencucian daging lumat tidak
memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap penampakan gel ikan lele
dumbo (Clarias gariepinus). Hal ini menunjukkan bahwa panelis memiliki tingkat
kesukaan yang sama untuk semua penampakan gel ikan lele dumbo. Penampakan
secara keseluruhan, dari ketiga hasil gel ikan dengan perbedaan frekuensi
pencucian yang dihasilkan tidak terlalu berbeda dari bentuk dan tampilan.
Semakin banyak frekuensi pencucian menyebabkan penampakan akan
semakin baik, karena hilangnya pigmen, lemak, darah, serta protein sarkoplasma
yang menyebabkan gel ikan pada pencucian sebanyak 3 kali terlihat lebih rapi,
putih dan kompak jika dibandingkan dengan gel ikan lele dumbo pada pencucian
1 kali. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya kemampuan daging untuk
membentuk gel dengan meningkatkan konsentrasi aktomiosin serta berkurangnya
protein sarkoplasma (Astawan et al. 1996).
b) Warna
Warna memegang peranan penting dalam penerimaan makanan
bersama-sama dengan bau, rasa, tekstur dan penampakan. Nilai rata-rata warna
gel ikan lele dumbo dengan perlakuan frekuensi pencucian daging lumat dapat
dilihat pada Gambar 10.
Keterangan : Angka-angka pada histogram yang diikuti dengan huruf superscsript yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)
Kode: B1L : Frekuensi pencucian 1 kali A2Y : Frekuensi pencucian 2 kali T3M : Frekuensi pencucian 3 kali
Gambar 10 Histogram rata-rata warna gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus)
41
Nilai rata-rata warna gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) adalah
6,40-6,90. Penilaian terhadap penampakan gel ikan lele dumbo dengan perlakuan
perbedaan frekuensi pencucian yaitu agak suka. Hasil analisis Kruskal-Wallis
dapat dilihat pada Lampiran 15. Perbedaan frekuensi pencucian daging lumat
tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai rata-rata warna gel
ikan lele dumbo (Clarias gariepinus). Hal ini menunjukkan bahwa panelis
memiliki tingkat kesukaan yang sama untuk semua warna gel ikan lele dumbo
yang dihasilkan dan memperlihatkan bahwa panelis masih menyukainya pada
semua perlakuan berdasarkan hasil uji sensori. Semakin banyak frekuensi
pencucian yang dilakukan, terlihat bahwa nilai rata-rata warna gel ikan lele
dumbo (Clarias gariepinus) semakin meningkat. Hal ini didukung oleh literatur
yang didapat, bahwa tujuan dari pencucian surimi adalah untuk meningkatkan
kemampuan pengikat gel dan meningkatkan kualitas warna dan aroma
(Muhibuddin 2010). Artinya semakin banyak frekuensi pencucian akan
menghasilkan warna yang lebih baik terhadap surimi ikan lele dumbo.
c) Aroma
Aroma merupakan salah satu faktor penting dalam menentukan kualitas
bahan makanan. Aroma makanan lebih banyak dipengaruhi oleh panca indera
penciuman. Nilai rata-rata aroma gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) dengan
perlakuan frekuensi pencucian daging lumat dapat dilihat pada Gambar 11.
Keterangan : Angka-angka pada histogram yang diikuti dengan huruf superscsript yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)
Kode: B1L : Frekuensi pencucian 1 kali A2Y : Frekuensi pencucian 2 kali T3M : Frekuensi pencucian 3 kali
Gambar 11 Histogram rata-rata aroma gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus)
42
Nilai rata-rata aroma gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) yang
dihasilkan yaitu 6,10-6,13. Penilaian terhadap aroma gel ikan lele dumbo dengan
perlakuan perbedaan frekuensi pencucian yaitu agak suka. Hasil analisis
Kruskal-Wallis dapat dilihat pada Lampiran 16, menunjukkan bahwa perlakuan
frekuensi pencucian daging lumat tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata
terhadap nilai rata-rata aroma gel ikan lele dumbo. Artinya panelis memiliki
tingkat kesukaan yang sama untuk semua aroma gel ikan lele dumbo. Hal ini
disebabkan pada proses pembuatan gel ikan ini tidak ada penambahan bumbu lain
kecuali garam ke tiap-tiap perlakuan. Garam yang ditambahkan hampir tidak
berbau, sehingga ketika diaplikasikan ke dalam produk tidak menimbulkan aroma
yang spesifik.
d) Rasa
Rasa merupakan faktor yang sangat menentukan suatu produk dapat
diterima atau tidak oleh konsumen. Rasa dipengaruhi oleh beberapa faktor,
diantaranya adalah senyawa kimia, suhu, konsentrasi dan interaksi dengan
komponen rasa lain (Winarno 2008). Hasil nilai rata-rata rasa gel ikan lele dumbo
(Clarias gariepinus), dengan perlakuan berbagai frekuensi pencucian dapat dilihat
pada Gambar 12.
Keterangan : Angka-angka pada histogram yang diikuti dengan huruf superscsript
yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (p<0,05) Kode: B1L : Frekuensi pencucian 1 kali A2Y : Frekuensi pencucian 2 kali T3M : Frekuensi pencucian 3 kali
Gambar 12 Histogram rata-rata rasa gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus)
Nilai rata-rata rasa gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) adalah
6,00-6,13. Penilaian terhadap rasa gel ikan lele dumbo dengan perlakuan
43
perbedaan frekuensi pencucian yaitu agak suka. Hasil analisis Kruskal-Wallis
dapat dilihat pada Lampiran 17. Perlakuan frekuensi pencucian daging lumat tidak
memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai rata-rata rasa gel ikan
lele dumbo (Clarias gariepinus). Nilai rata-rata rasa gel ikan lele dumbo yang
dihasilkan untuk setiap perlakuan relatif sama. Rasa yang dihasilkan dari gel ikan
ini diduga lebih dipengaruhi oleh bumbu yang ditambahkan kedalam adonan.
Namun karena penggunaan garam dengan konsentrasi yang sama untuk setiap
perlakuan, maka panelis cenderung memberikan penilaian yang sama. Garam
yang ditambahkan sebesar 2,5% (b/b) pada saat pencampuran berfungsi bukan
sebagai bumbu, melainkan untuk meningkatkan kekuatan ionik daging dan
mengekstrak aktomiosin sehingga terbentuk sol (Astawan et al. 1996).
e) Tekstur
Tekstur berhubungan dengan tingkat kekerasan atau keempukan suatu
produk. Menurut Rompis (1998), tekstur juga dapat diartikan sebagai halus
tidaknya suatu irisan pada saat produk disentuh dengan jari panelis. Penilaian
terhadap tekstur berasal dari sentuhan oleh permukaan kulit, biasanya
menggunakan ujung jari tangan sehingga dapat dirasakan tekstur suatu bahan.
Nilai rata-rata tekstur gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) dengan perlakuan
frekuensi pencucian daging lumat dapat dilihat pada Gambar 13.
Keterangan : Angka-angka pada histogram yang diikuti dengan huruf superscsript
yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (p<0,05) Kode: B1L : Frekuensi pencucian 1 kali A2Y : Frekuensi pencucian 2 kali
T3M : Frekuensi pencucian 3 kali
Gambar 13 Histogram rata-rata tekstur gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus)
44
Nilai rata-rata tekstur gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) adalah
6,23-6,83. Penilaian terhadap tekstur gel ikan lele dumbo dengan perlakuan
perbedaan frekuensi pencucian yaitu agak suka. Hasil analisis Kruskal-Wallis
dapat dilihat pada Lampiran 18. Perlakuan frekuensi pencucian daging lumat tidak
memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai rata-rata tekstur gel ikan
lele dumbo (Clarias gariepinus). Nilai rata-rata tekstur tertinggi pada frekuensi
pencucian 3 kali. Hal ini diduga karena proses pencucian dapat memperbaiki
tekstur gel ikan yang dihasilkan menjadi lebih kompak dengan menghilangkan
senyawa-senyawa pengotor. Proses pencucian dilakukan untuk menghilangkan
bau amis, pigmen, lemak dan terutama untuk menghilangkan protein sarkoplasma
yang dapat menghambat pembentukan gel (Toyoda et al. 1992).
4.2 Penelitian Utama
Penelitian utama dilakukan sebagai lanjutan dari penelitian pendahuluan.
Frekuensi pencucian yang terpilih berdasarkan uji sensori, uji fisik dan analisis
rendemen yang dilakukan yaitu sebanyak 2 kali. Tujuan dari penelitian ini yaitu
agar menghasilkan gel yang kuat namun dengan tekstur yang tidak terlalu keras
(elastis) dan tetap mementingkan rendemen yang dihasilkan. Penelitian utama ini
dilakukan dengan perlakuan perbedaan penambahan konsentrasi IPK (Isolat
Protein Kedelai) pada produk sosis ikan lele dumbo. Hasil produk sosis ikan
terbaik diketahui dengan cara menguji karakteristik fisik meliputi uji lipat,
uji gigit, kekuatan gel, stabilitas emulsi, daya mengikat air (WHC), uji
organoleptik (sensori), dan TPC (Total Plate Count).
4.2.1 Karakteristik fisik sosis ikan
Sosis ikan yang dihasilkan dengan perlakuan penambahan IPK (Isolat
Protein Kedelai) dengan konsentrasi yang berbeda, diuji secara fisik yang meliputi
uji lipat, uji gigit, kekuatan gel, stabilitas emulsi, dan Water Holding Capacity.
a) Uji lipat
Uji lipat ini dilakukan untuk mengetahui tingkat elastisitas sosis yang
dihasilkan (Purwandari 1999). Uji lipat ini dilakukan untuk mengetahui tingkat
elastisitas sosis yang dihasilkan. Nilai rata-rata uji lipat sosis ikan lele dumbo
45
(Clarias gariepinus) dengan perlakuan perbedaan penambahan konsentrasi IPK
(Isolat Protein Kedelai) dapat dilihat pada Gambar 14.
Keterangan : Angka-angka pada histogram yang diikuti dengan huruf superscsript yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (p<0,05) Kode: SA3 : Penambahan IPK konsentrasi 10% VB5 : Penambahan IPK konsentrasi 13% XC3 : Penambahan IPK konsentrasi 16% FD4 : Penambahan IPK konsentrasi 19%
Gambar 14 Histogram rata-rata uji lipat sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus)
Nilai rata-rata uji lipat pada sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus)
adalah 4,00-4,57. Penilaian terhadap uji lipat sosis ikan lele dumbo yaitu sosis
tidak retak setelah dilipat menjadi setengah lingkaran. Hasil analisis
Kruskal-Wallis dapat dilihat pada Lampiran 20. Perlakuan perbedaan penambahan
konsentrasi IPK (Isolat Protein Kedelai) memberikan pengaruh yang berbeda
nyata terhadap nilai rata-rata uji lipat sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus).
Isolat protein kedelai memiliki sifat higroskopis. Semakin tinggi kadar IPK yang
ditambahkan, maka akan semakin banyak air dalam adonan yang akan terserap.
Hal ini yang menyebabkan tekstur sosis menjadi lebih kompak (Widodo 2008).
Hasil uji lanjut Multiple comparison disajikan pada Lampiran 21. Perlakuan
IPK konsentrasi 10% menghasilkan nilai rata-rata uji lipat yang berbeda nyata
dengan perlakuan IPK konsentrasi 16% dan 19%, sedangkan dengan perlakuan
IPK konsentrasi 13% tidak berbeda nyata. Semakin banyak jumlah IPK yang
ditambahkan maka tekstur yang dihasilkan pun akan semakin keras dan kompak.
Penambahan IPK diduga akan meningkatkan jumlah ikatan silang antar protein
(Widodo 2008). Tekstur dan kekuatan gel dari sosis itu sendiri berpengaruh
46
terhadap uji lipat yang dilakukan, semakin kompak tekstur dari sosis maka
uji lipat yang dihasilkan pun akan semakin lebih baik. Uji lipat memiliki korelasi
positif dengan kekuatan gel, dimana peningkatan pada kekuatan gel diikuti dengan
meningkatnya uji lipat (Agustini et al. 2008).
b) Uji gigit
Uji gigit dilakukan untuk mengukur tingkat elastisitas dari sosis ikan lele
dumbo yang dihasilkan secara sensori. Nilai rata-rata uji gigit sosis ikan lele
dumbo (Clarias gariepinus) dengan perbedaan penambahan konsentrasi IPK
(Isolat Protein Kedelai) dapat dilihat pada Gambar 15.
Keterangan : Angka-angka pada histogram yang diikuti dengan huruf superscsript yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (p<0,05) Kode: SA3 : Penambahan IPK konsentrasi 10% VB5 : Penambahan IPK konsentrasi 13% XC3 : Penambahan IPK konsentrasi 16% FD4 : Penambahan IPK konsentrasi 19%
Gambar 15 Histogram rata-rata uji gigit sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus)
Nilai rata-rata uji gigit pada sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus)
adalah 6,20-7,02. Penilaian terhadap uji gigit sosis ikan lele dumbo berkisar antara
dapat diterima hingga cukup kuat. Hasil analisis Kruskal-Wallis dapat dilihat pada
Lampiran 22. Perlakuan perbedaan penambahan konsentrasi IPK (Isolat Protein
Kedelai) memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai rata-rata
uji gigit sosis ikan lele dumbo. Uji gigit digunakan untuk mengukur tingkat
elastisitas sosis secara sensori, elastisitas ini berhubungan dengan kekuatan gel
dari sosis tersebut. Penambahan IPK (Isolat Protein Kedelai) dengan konsentrasi
yang berbeda berpengaruh terhadap elastisitas sosis, maka berpengaruh pula
47
terhadap uji gigit yang dihasilkan. Hal ini disebabkan IPK (Isolat Protein Kedelai)
memiliki sifat fungsional dalam membentuk elastisitas karena terjadinya ikatan
disulfida (Koswara 1992). Selain itu IPK merupakan bahan pengikat yang
memiliki kemampuan dalam mengikat air dan lemak dan kemampuannya
membentuk gel selama pemanasan (Wulandhari 2007).
Hasil uji lanjut Multiple comparison disajikan pada Lampiran 23. Perlakuan
IPK konsentrasi 10% dan 13% menghasilkan nilai rata-rata uji gigit yang berbeda
nyata dengan perlakuan IPK konsentrasi16% dan 19%. Kadar IPK memiliki
korelasi positif terhadap elatisitas atau kekenyalan sosis. Semakin tinggi
konsentrasi IPK yang ditambahkan maka akan semakin meningkat kekenyalannya
dan meningkatkan nilai uji gigit. Hal ini dikarenakan semakin tinggi kandungan
protein dari IPK maka akan semakin banyak ikatan silang dan gel yang terbentuk,
akibatnya tekstur akan semakin kenyal dan kompak (Yulianti 2003).
c) Kekuatan gel
Kekuatan gel merupakan salah satu uji fisik yang umumnya dilakukan pada
bahan pangan untuk mengetahui tingkat gelasi produk tersebut. Nilai rata-rata
kekuatan gel sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) dengan perbedaan
penambahan konsentrasi isolat protein kedelai dapat dilihat pada Gambar 16.
Keterangan : Angka-angka pada histogram yang diikuti dengan huruf superscsript yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (p<0,05) Kode: SA3 : Penambahan IPK konsentrasi 10% VB5 : Penambahan IPK konsentrasi 13% XC3 : Penambahan IPK konsentrasi 16% FD4 : Penambahan IPK konsentrasi 19%
Gambar 16 Histogram kekuatan gel sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus)
Nilai kekuatan gel sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) adalah
192,45-292,45 gf. Hasil analisis ragam dapat dilihat pada Lampiran 25. Perlakuan
48
perbedaan penambahan konsentrasi IPK memberikan pengaruh yang berbeda
nyata terhadap nilai kekuatan gel sosis ikan lele dumbo. Nilai rata-rata
kekuatan gel pada sosis ikan ini cenderung meningkat dengan bertambahnya
konsentrasi IPK yang ditambahkan. Sifat fungsional lain dari protein adalah
kemampuannya dalam membentuk gel. Pembentukan gel protein ini dapat juga
digunakan untuk peningkatan penyerapan air, pengikatan partikel dan stabilitas
emulsi (Koswara 1992).
Hasil uji lanjut Multiple comparison disajikan pada Lampiran 25. Perlakuan
IPK konsentrasi 10% menghasilkan nilai rata-rata uji gigit yang berbeda nyata
dengan perlakuan IPK konsentrasi 19%, sedangkan dengan perlakuan IPK
konsentrasi 13% dan 16% menghasilkan nilai rata-rata uji gigit yang tidak berbeda
nyata. Pembentukan gel atau gelasi dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain
konsentrasi, pH, adanya komponen lain, serta perlakuan panas ketika pemasakan
(Yulianti 2003). Nilai kekuatan gel yang tinggi berhubungan dengan tingginya
komponen protein yang ditambahkan dengan rendahnya komponen lemak, serta
konsentrasi penambahan air (Huda et al. 2010). Faktor-faktor ini diduga
mempengaruhi nilai kekuatan gel sehingga nilainya pun berbeda-beda.
Penambahan konsentrasi protein yang semakin tinggi maka kekuatan gel pun akan
semakin tinggi (Hua et al. 2003).
d) Water Holding Capacity (WHC)
Water Holding Capacity (WHC) merupakan suatu nilai yang menunjukan
kemampuan protein daging untuk mengikat air atau cairan baik yang berasal dari
dirinya maupun yang berasal dari luar yang ditambahkan. Nilai daya ikat air pada
sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) dengan perbedaan penambahan
konsentrasi IPK (Isolat Protein Kedelai) dapat dilihat pada Gambar 17.
Nilai WHC (Water Holding Capacity) sosis ikan lele dumbo yaitu
78,42-84,79%. Hasil analisis ragam dapat dilihat pada Lampiran 27. Perlakuan
perbedaan penambahan konsentrasi IPK (Isolat Protein Kedelai) tidak
memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai WHC sosis ikan lele
dumbo (Clarias gariepinus). Terjadi peningkatan nilai WHC yang signifikan dari
konsentrasi 10%, 13%, 16% dan 19%.
49
Keterangan : Angka-angka pada histogram yang diikuti dengan huruf superscript yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (p<0,05) Kode: SA3 : Penambahan IPK konsentrasi 10% VB5 : Penambahan IPK konsentrasi 13% XC3 : Penambahan IPK konsentrasi 16% FD4 : Penambahan IPK konsentrasi 19%
Gambar 17 Histogram WHC sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus)
Hal ini membuktikan bahwa semakin tinggi konsentrasi isolat protein yang
ditambahkan maka akan meningkatkan nilai daya ikat air. Penambahan bahan
pengikat dalam pembuatan sosis bertujuan untuk meningkatkan daya ikat air
karena IPK (Isolat Protein Kedelai) memiliki sifat higroskopis (Koswara 1992).
Semakin meningkatnya WHC atau daya mengikat air sosis dengan semakin
tingginya kadar protein diduga terjadi karena adanya gugus-gugus polar dan
non polar pada protein. Protein terdiri dari gugus polar dan nonpolar
(Kumar et al. 2002). Gugus-gugus polar tersebut akan berinteraksi dengan ion
hidrogen dari air yang bersifat polar pula. Interaksi antara protein-protein dan
protein-air akan membentuk jaringan tiga dimensi yang kaku dan mampu
memperangkap sejumlah air. Semakin tinggi kandungan protein maka akan
semakin banyak air yang terikat dan mengakibatkan nilai WHC pun akan
meningkat. WHC atau daya ikat air pun sangat dipengaruhi oleh kandungan air,
protein, dan penggunaan garam (Kramlich 1971).
d) Stabilitas emulsi
Stabilitas emulsi dari suatu produk khususnya sosis dipengaruhi oleh
beberapa faktor antara lain pH, konsentrasi garam, jumlah penambahan air dan
suhu penggilingan. Nilai stabilitas emulsi sosis ikan lele dumbo
50
(Clarias gariepinus) dengan perbedaan penambahan konsentrasi IPK dapat dilihat
pada Gambar 18.
Keterangan : Angka-angka pada histogram yang diikuti dengan huruf superscript yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (p<0,05) Kode: SA3 : Penambahan IPK konsentrasi 10% VB5 : Penambahan IPK konsentrasi 13% XC3 : Penambahan IPK konsentrasi 16% FD4 : Penambahan IPK konsentrasi 19%
Gambar 18 Histogram stabilitas emulsi sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus)
Nilai stabilitas emulsi sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) adalah
56,09-61,23%. Hasil analisis ragam dapat dilihat pada Lampiran 29. Perlakuan
perbedaan penambahan konsentrasi isolat protein kedelai tidak memberikan
pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai stabilitas emulsi sosis ikan lele
dumbo. Nilai stabilitas emulsi pada sosis ikan ini mengalami fluktuasi dengan
semakin tinggi konsentrasi IPK yang ditambahkan. Menurut Yulianti (2003),
pembentukan gel protein dapat digunakan untuk peningkatan penyerapan air,
pengikatan partikel dan stabilitas emulsi.
Bahan pengikat IPK berfungsi sebagai emulsifier. Isolat protein yang
ditambahkan sebagai emulsifier ke dalam sistem yang terdiri dari air dan lemak,
maka yang terbentuk adalah emulsi fase dua cairan dan satu padatan. Partikel-
partikel padatan akan menstabilkan emulsi bila berada di lapisan yang terletak
diantara kedua cairan. Adsorpsi oleh protein terjadi karena interaksi hidrofobik
antara protein dengan permukaan lemak. Pada suatu sistem emulsi yang berperan
tidak hanya bahan pengikat saja, melainkan lemak dan air. Lemak selain berperan
sebagai pemberi rasa lezat pada sosis, berperan pula untuk pembentukan emulsi.
51
Jika lemak yag ditambahkan tidak tepat maka akan dihasilkan emulsi yang tidak
kuat (Kramlich 1971). Lemak yang ditambahkan pada pembuatan sosis ikan ini
dalam konsentrasi yang rendah yaitu sebesar 3 % untuk setiap perlakuan. Hal ini
yang menyebabkan stabilitas emulsi pada konsentrasi 16% dan 19% nilainya
menurun.
Stabilitas emulsi sosis dipengaruhi oleh konsentrasi garam yang
ditambahkan, jumlah penambahan air serta suhu penggilingan. Stabilitas emulsi
akan rusak jika daging digiling pada suhu di atas 16 °C, hal ini disebabkan oleh
pada suhu tersebut protein akan mulai terdenaturasi sehingga molekul lemak tidak
dapat diikat lagi oleh molekul protein dalam suatu matriks ikatan. Dampak positif
dari stabilitas emulsi yaitu menghasilkan sosis dengan sifat irisan halus, tekstur
kenyal, kompak dan tidak berongga (Chamidah 2008). Emulsifikasi juga
dipengaruhi oleh konsentrasi isolat protein kedelai dan pH (Torrezan 2006).
4.2.2 Karakteristik sensori gel ikan
Analisis sensori yang dilakukan adalah uji kesukaan (hedonik) terhadap gel
ikan lele dumbo. Panelis diminta untuk memberikan tanggapan tentang tingkat
kesukaan atau ketidaksukaan. Tingkatan-tingkatannnya disebut skala hedonik,
dalam analisisnya ditransformasikan menjadi skala numerik dengan angka menaik
menurut tingkat kesukaannya (Rahayu 1998). Analisis sensori yang dilakukan
meliputi parameter penampakan, warna, aroma, rasa dan tekstur yang dinilai
dengan menggunakan kepekaan indera.
a) Penampakan
Penampakan produk memegang peranan penting dalam hal penerimaan
konsumen, karena penilaian awal dari suatu produk adalah penampakannya
sebelum faktor lain dipertimbangkan secara visual. Penampakan merupakan
parameter yang menentukan penerimaan dari panelis karena banyak sifat mutu
komoditas dinilai dengan penglihatan misalnya bentuk, ukuran, warna dan sifat
permukaan (halus, kasar, buram, cerah, homogen, heterogen, datar dan
bergelombang). Nilai rata-rata penampakan sosis ikan lele dumbo
(Clarias gariepinus) dengan perbedaan penambahan konsentrasi IPK (Isolat
Protein Kedelai) dapat dilihat pada Gambar 19.
52
Keterangan : Angka-angka pada histogram yang diikuti dengan huruf superscsript yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (p<0,05) Kode: SA3 : Penambahan IPK konsentrasi 10% VB5 : Penambahan IPK konsentrasi 13% XC3 : Penambahan IPK konsentrasi 16% FD4 : Penambahan IPK konsentrasi 19%
Gambar 19 Histogram rata-rata penampakan sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus)
Nilai rata-rata penampakan sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus)
adalah 6,57-7,10. Penilaian panelis terhadap penampakan sosis ikan lele dumbo
yaitu agak suka hingga suka. Hasil analisis Kruskal-Wallis dapat dilihat pada
Lampiran 30. Perlakuan perbedaan penambahan konsentrasi IPK (Isolat Protein
Kedelai) tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai rata-rata
penampakan sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus). Penampakan merupakan
parameter yang diamati secara keseluruhan dari bentuk, warna dan sifat
permukaan. Penampakan dari sosis ikan yang dihasilkan relatif sama, hanya
sedikit perbedaan dari warna pada tiap perlakuan, yaitu semakin banyak
konsentrasi IPK yang ditambahkan warna sosis pun menjadi agak gelap. Isolat
protein kedelai secara fisik berupa bubuk halus berwarna krem atau kecoklatan
(Kumar et al. 2002). Hal ini yang menyebabkan penilaian panelis semakin
menurun dari konsentrasi IPK terkecil hingga konsentrasi IPK terbesar.
Penambahan IPK dapat berfungsi sebagai zat aditif untuk memperbaiki tekstur
dan aroma produk sehingga mempengaruhi penampakan produk (Mervina 2009).
b) Warna
Warna menjadi faktor yang menarik dalam penerimaan suatu produk oleh
panelis. Nilai rata-rata warna pada sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus)
53
dengan perbedaan penambahan konsentrasi IPK (Isolat Protein Kedelai) dapat
dilihat pada Gambar 20.
Keterangan : Angka-angka pada histogram yang diikuti dengan huruf superscsript yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (p<0,05) Kode: SA3 : Penambahan IPK konsentrasi 10% VB5 : Penambahan IPK konsentrasi 13% XC3 : Penambahan IPK konsentrasi 16% FD4 : Penambahan IPK konsentrasi 19%
Gambar 20 Histogram rata-rata warna sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus)
Nilai rata-rata warna pada sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) adalah
6,00-6,53. Penilaian panelis terhadap tekstur sosis ikan lele dumbo yaitu agak
suka. Hasil analisis Kruskal-Wallis dapat dilihat pada Lampiran 31. Perlakuan
perbedaan penambahan konsentrasi IPK (Isolat Protein Kedelai) tidak
memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai rata-rata warna sosis
ikan lele dumbo (Clarias gariepinus). Warna sosis dipengaruhi oleh bahan pengisi
dan bahan pengikat yang ditambahkan.
Tepung tapioka yang digunakan sebagai bahan pengisi sedikitnya dapat
mempengaruhi warna sosis yang dihasilkan. Faktor lainnya adalah bahan
pengikat, yaitu isolat protein kedelai secara fisik berupa bubuk halus berwarna
krem atau kecoklatan (Kumar et al. 2002). Jika ditambahkan dalam konsentrasi
kecil tidak akan mempengaruhi warna sosis. Pada penelitian ini, IPK yang
ditambahkan dengan konsentrasi yang cukup besar yaitu 10%, 13%, 16% dan
19%. Hal ini yang menyebabkan penilaian panelis semakin menurun dengan
bertambahnya konsentrasi IPK. Kurang disukainya warna sosis tersebut
kemungkinan besar karena sosis berwarna agak coklat muda dan tidak cerah.
Penambahan dalam jumlah besar dapat menyebabkan warna produk menjadi
54
coklat sehingga menurunkan mutu sensori (warna dan rasa) produk akhir
(Wulandhari 2007).
c) Aroma
Aroma merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi tingkat
kesukaan panelis terhadap suatu produk. Bau yang dapat diterima oleh indera
penciuman, umumnya lebih banyak campuran empat bau yaitu harum, asam,
tengik dan hangus (Winarno 2007). Nilai rata-rata aroma sosis ikan lele dumbo
(Clarias gariepinus) dengan perbedaan penambahan konsentrasi IPK (Isolat
Protein Kedelai) dapat dilihat pada Gambar 21.
Keterangan : Angka-angka pada histogram yang diikuti dengan huruf superscsript yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (p<0,05) Kode: SA3 : Penambahan IPK konsentrasi 10% VB5 : Penambahan IPK konsentrasi 13% XC3 : Penambahan IPK konsentrasi 16% FD4 : Penambahan IPK konsentrasi 19%
Gambar 21 Histogram rata-rata aroma sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus)
Nilai rata-rata aroma pada sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) adalah
5,30-5,93. Penilaian panelis terhadap aroma sosis ikan lele dumbo yaitu agak
suka. Hasil analisis Kruskal-Wallis dapat dilihat pada Lampiran 32. Perlakuan
perbedaan penambahan konsentrasi IPK tidak memberikan pengaruh yang
berbeda nyata terhadap nilai rata-rata aroma sosis ikan lele dumbo. Aroma
dipengaruhi oleh bumbu dan kaldu yang ditambahkan ke dalam adonan, namun
dikarenakan jenis dan konsentrasi yang ditambahkan sama maka aroma yang
dihasilkan dari tiap sosis pun sama. Bumbu-bumbu, kaldu dan ekstrak lemak
ayam memiliki sifat volatil akibat proses pemasakan.
55
Pada perlakuan IPK 19% penilaian rata-rata aroma menurun. Hal ini diduga
karena semakin banyak konsentrasi IPK yang ditambahkan akan mempengaruhi
aroma dari sosis yang dihasilkan, dengan kata lain aroma IPK mendominasi
aroma sosis ikan tersebut. Penambahan dalam jumlah besar dapat memberikan
bau dan cita rasa langu sehingga menurunkan mutu sensori produk akhir
(Wulandhari 2007). Penambahan isolat protein kedelai dengan konsentrasi tinggi
pada produk olahan seperti baso dan burger mempengaruhi penilaian sensori dan
menurunkan aroma produk tersebut (Katarzyna dan Krystyna 2008).
d) Rasa
Rasa merupakan faktor yang mempengaruhi penilaian terhadap suatu
produk dapat diterima atau tidak oleh konsumen. Rasa dipengaruhi oleh beberapa
faktor, diantaranya adalah senyawa kimia, suhu, konsentrasi dan interaksi dengan
komponen rasa lain (Winarno 2008).Nilai rata-rata rasa sosis ikan lele dumbo
(Clarias gariepinus) dengan perbedaan penambahan konsentrasi IPK (Isolat
Protein Kedelai) dapat dilihat pada Gambar 22.
Keterangan : Angka-angka pada histogram yang diikuti dengan huruf superscsript yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (p<0,05) Kode: SA3 : Penambahan IPK konsentrasi 10% VB5 : Penambahan IPK konsentrasi 13% XC3 : Penambahan IPK konsentrasi 16% FD4 : Penambahan IPK konsentrasi 19%
Gambar 22 Histogram rata-rata rasa sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus)
Nilai rata-rata rasa pada sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) adalah
5,33-6,53. Penilaian panelis terhadap rasa sosis ikan lele dumbo berada antara
biasa hingga agak suka. Hasil analisis Kruskal-Wallis yang dapat dilihat pada
Lampiran 33. Perlakuan perbedaan penambahan konsentrasi IPK (Isolat Protein
56
Kedelai) memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai rata-rata rasa
sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus). Rasa sosis dipengaruhi dari beberapa
faktor, yaitu jenis bumbu, konsentrasi bumbu, bahan pengisi serta bahan pengikat
yang ditambahkan. Jenis bumbu serta konsentrasi yang digunakan untuk tiap
perlakuan sama. Penggunaan bahan pengisi seperti tepung tapioka dapat
berpengaruh nyata terhadap tekstur dan rasa pada sosis ikan (Nurhayati 1996).
Hasil uji lanjut Multiple comparison disajikan pada Lampiran 34. Perlakuan
IPK konsentrasi 10% menghasilkan nilai rata-rata rasa yang berbeda nyata dengan
perlakuan IPK konsentrasi 13%, 16% dan 19%. Hal ini terlihat dari histogram
rata-rata rasa, penurunannya terlihat signifikan dari konsentrasi terendah hingga
konsentrasi tertinggi. Rasa pada sosis ikan lele dumbo tersebut dipengaruhi dari
banyaknya IPK yang ditambahkan. IPK (Isolat Protein Kedelai) dengan
konsentrasi 1% yang ditambahkan ke dalam adonan, tidak mempengaruhi rasa
sosis (Widodo 2008). Akan tetapi, konsentrasi IPK yang ditambahkan pada sosis
ikan pada penelitian ini cukup tinggi yaitu 10%, 13%, 16% dan 19%. Semakin
tinggi kadar IPK yang ditambahkan, akan mempengaruhi rasa sosis yang
dihasilkan, karena dapat menghasilkan rasa agak pahit. Rasa pahit ini disebabkan
oleh adanya senyawa-senyawa glikosida dalam biji kedelai. Diantara glikosida-
glikosida tersebut soyasaponin dan sapogenol merupakan penyebab rasa pahit
yang utama dalam kedelai dan produk non fermentasi. Penambahan dalam jumlah
besar dapat menyebabkan warna produk menjadi coklat dan memberikan bau dan
cita rasa langu sehingga menurunkan mutu sensori (warna dan rasa) produk akhir
(Wulandhari 2007).
e) Tekstur
Tekstur dapat diartikan sebagai halus tidaknya suatu irisan pada saat produk
disentuh dengan jari panelis (Rompis 1998). Tekstur berhubungan dengan tingkat
kekerasan atau keempukan suatu produk. Penilaian terhadap tekstur berasal dari
sentuhan oleh permukaan kulit, biasanya menggunakan ujung jari tangan sehingga
dapat dirasakan tekstur suatu bahan. Nilai rata-rata tekstur sosis ikan lele dumbo
(Clarias gariepinus) dengan perbedaan penambahan konsentrasi IPK dapat dilihat
pada Gambar 23.
57
Keterangan : Angka-angka pada histogram yang diikuti dengan huruf superscsript yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (p<0,05) Kode: SA3 : Penambahan IPK konsentrasi 10% VB5 : Penambahan IPK konsentrasi 13% XC3 : Penambahan IPK konsentrasi 16% FD4 : Penambahan IPK konsentrasi 19%
Gambar 23 Histogram rata-rata tekstur sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus)
Nilai rata-rata tekstur pada sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus)
adalah 6,47-7,23. Penilaian panelis terhadap tekstur sosis ikan lele dumbo
berada antara agak suka hingga suka. Hasil analisis Kruskal-Wallis dapat dilihat
pada Lampiran 35. Perlakuan perbedaan penambahan konsentrasi IPK
memberikan berbeda memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai
rata-rata tekstur sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus). Tekstur sosis dapat
dipengaruhi berdasarkan jenis bahan pengikat yang ditambahkan. Isolat protein
kedelai merupakan jenis bahan pengikat yang mengandung protein yang tinggi.
Kandungan protein ini akan meningkatkan jumlah ikatan silang antar protein yang
menyebabkan tekstur akan menjadi lebih kompak.
Hasil uji lanjut Multiple comparison disajikan pada Lampiran 36. Perlakuan
IPK konsentrasi 10% menghasilkan nilai rata-rata tekstur yang berbeda nyata
dengan perlakuan IPK konsentrasi 19%, sedangkan dengan perlakuan IPK
konsentrasi 13% dan 16% menghasilkan nilai rata-rata tekstur yang tidak berbeda
nyata. Hal ini membuktikan bahwa antara IPK konsentrasi terendah dengan
konsentrasi tinggi dapat menghasilkan tekstur sosis yang berbeda. Sosis yang
ditambahkan IPK akan menyebabkan tekstur menjadi lebih kompak, karena
penambahan IPK akan meningkatkan jumlah ikatan silang antar protein
58
(Widodo 2008). Tekstur memiliki korelasi yang positif pula dengan kekuatan gel.
Semakin tinggi penilaian tekstur yang dihasilkan, tinggi pula nilai kekuatan gel
sosis tersebut. Selain itu, diduga proses pemasakan dapat mempengaruhi tingkat
keempukan sosis, karena bertujuan untuk mengkoagulasikan protein sehingga
menghasilkan sosis dengan tekstur yang kompak, karena protein kedelai termasuk
protein globular dan juga larut pada larutan garam, sehingga akan terekstrak dan
menyebar rata pada adonan, saat perebusan terbentuklah matrik protein yang rigid
(Yulianti 2003).
4.2.3 Karakteristik kimia dan mikrobiologi sosis
Analisis kimia yang dilakukan untuk menguji sosis ikan lele dumbo
(Clarias gariepinus) yaitu analisis proksimat (kadar air, kadar abu, protein, lemak
dan karbohidrat). Analisis mikrobiologi yang dilakukan yaitu analisis TPC
(Total Plate Count). Sosis ikan lele dumbo yang dihasilkan dengan perbedaan
perlakuan penambahan frekuensi IPK (Isolat Protein Kedelai) yaitu 10%, 13%,
16% dan 19%, diduga memiliki karakteristik kimia yang tidak jauh berbeda. Oleh
karena itu, analisis proksimat dan uji TPC yang dilakukan hanya untuk sosis
dengan perlakuan yang terpilih dari hasil uji indeks kinerja. Metode bayes
(uji indeks kinerja) merupakan teknik yang digunakan untuk pengambilan
keputusan dari beberapa alternatif berdasarkan tingkat kepentingannya pada suatu
bahan pangan. Tahap metode bayes meliputi perangkingan, penentuan nilai eigen,
perkalian dengan matriks sekawan, dan pembobotan. Tahap perangkingan
dilakukan dengan oleh panelis terlatih maupun pendapat ahli gizi. Parameter yang
dinilai yaitu warna, rasa, penampakan, tekstur dan aroma. Sosis yang terpilih
berdasarkan metode bayes yaitu sosis dengan penambahan IPK konsentrasi 13%.
4.2.3.1 Analisis proksimat
Analisis proksimat merupakan salah satu jenis analisis kimia yang
umumnya dilakukan untuk menguji bahan pangan. Analisis proksimat ini
dilakukan untuk mengetahui komposisi kimia dari suatu bahan pangan secara
kasar. Analisis yang dilakukan meliputi analisis kadar air, kadar abu, protein,
lemak dan karbohidrat by difference. Hasil analisis proksimat dan TPC
(Total Plate Count) sosis ikan lele dumbo dapat dilihat pada Tabel 6.
59
Tabel 6 Hasil analisis proksimat dan TPC sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus)
No. Komposisi Hasil Standar SNI 1 Kadar air (% bb) 79,6 Maks. 67 2 Protein (%bb) 15,97 Min. 13 3 Lemak (%bb) 0,61 Maks. 25 4 Kadar abu (%bb) 1,60 Maks. 3 5 Karbohidrat (%bb) 2,22 Maks. 8 6 TPC (cfu/gr) 5 Maks. 105
a) Kadar air
Air merupakan komponen yang penting dalam makanan karena air dapat
mempengaruhi penampakan, tekstur dan cita rasa (Winarno 2008). Kadar air
merupakan komponen penyusun terbesar. Nilai kadar air sosis ikan lele dumbo
dengan perlakuan penambahan konsentrasi IPK (Isolat Protein Kedelai) dapat
dilihat pada Tabel 6. Nilai kadar air yang diperoleh yaitu sebesar 79,6%. Kadar air
dari sosis ini terbilang tinggi. Kadar air maksimal untuk sosis daging yaitu
maksimal 67% (bb) SNI (1995). Hal ini disebabkan oleh komposisi air yang
digunakan dalam pembuatan sosis berbeda dari sosis pada umumnya. Air yang
ditambahkan ke dalam adonan sosis dalam jumlah yang lumayan besar, yaitu
dengan perbandingan 1:1. Artinya, ketika adonan yang digunakan dengan bobot
total 100 gr, maka air yang digunakan pun sebanyak 100 ml. Hal ini disebabkan
oleh tujuan dari penelitian ini yaitu untuk membandingkan dengan sosis
komersial, maka formula yang digunakan untuk membuat tekstur sosis ini
menjadi lentur dan kenyal seperti sosis-sosis siap makan yang sudah beredar di
pasaran.
Pemakaian air yang terbilang tinggi ini dikarenakan perlakuan penambahan
IPK (Isolat Protein Kedelai). Semakin banyak konsentrasi IPK yang ditambahkan,
akan menyebabkan adonan menjadi semakin menyatu, karena sifat IPK itu sendiri
sebagai bahan pengikat. Oleh karena itu diperlukan penambahan air dalam jumlah
yang tinggi agar membuat adonan sosis dengan penambahan IPK menjadi kalis.
Kadar air pada sosis dapat dipengaruhi berdasarkan jumlah pati maupun jumlah es
yang ditambahkan (Rompis 1998). Kadar air yang tinggi diduga jumlah bakteri
patogen telah meningkat, dengan semakin banyak jumlah bakteri maka air yang
60
dihasilkan dari metabolisme akan memberikan sumbangan kadar air dalam sosis
(Chamidah 2008).
b) Kadar abu
Kadar abu yang terukur merupakan bahan-bahan anorganik yang tidak
terbakar dalam proses pengabuan, sedangkan bahan-bahan organik akan terbakar
(Winarno 2004). Kadar abu merupakan komponen penyusun terkecil kedua
sebelum kadar lemak. Nilai kadar abu sosis ikan lele dumbo dengan perlakuan
penambahan konsentrasi IPK (Isolat Protein Kedelai) dapat dilihat pada Tabel 6.
Nilai kadar abu yang diperoleh yaitu sebesar 1,60%. Kadar abu sosis ini lebih
rendah dan masuk dalam batas yang diizinkan oleh SNI sosis daging, yaitu
maksimal 3% (bb). Kandungan abu menggambarkan jumlah mineral total yang
terdapat pada makanan. Abu yang terdapat dalam daging umumnya terdiri dari
fosfor, kalsium, iron, magnesium, sulfur, sodium dan potassium. Kandungan abu
pada sosis ini berasal dari kandungan mineral yang sebagian besar terdapat pada
ikan lele dumbo dan garam yang ditambahkan seperti Kalsium (Ca), Phosfor (P),
Besi (Fe), Natrium (Na), dan Kalium (K) (Rosa et al. 2007).
c) Protein
Protein merupakan salah satu zat makanan yang penting bagi tubuh, karena
selain berfungsi sebagai bahan bakar dalam tubuh, berperan pula sebagai zat
pembangun dan pengatur (Winarno 2004). Protein merupakan komponen
penyusun terbesar kedua setelah kadar air. Nilai protein sosis ikan lele dumbo
dengan perlakuan penambahan konsentrasi IPK (Isolat Protein Kedelai) dapat
dilihat pada Tabel 6. Nilai protein yang diperoleh yaitu sebesar 15,97%. Kadar
protein sosis ini terbilang cukup tinggi. Kandungan protein minimal untuk sosis
daging yaitu 13% (bb) (SNI 1995). Kadar protein pada sosis ikan lele dumbo ini
tinggi karena dipengaruhi oleh bahan pengikat yang ditambahkan yaitu IPK
(Isolat Protein Kedelai). IPK (Isolat Protein Kedelai) merupakan salah satu hasil
isolasi protein kedelai selain tepung dan konsentrat protein kedelai. Isolat protein
merupakan bentuk protein paling murni dengan kadar protein minimal 95%
(berdasarkan berat kering). Isolat protein hampir bebas dari karbohidrat, serat, dan
lemak sehingga sifat fungsionalnya jauh lebih baik dibandingkan dengan
konsentrat protein maupun tepung kedelai (Kumar et al. 2002). Daging olahan
61
tanpa bahan pengawet memiliki asam amino lebih banyak (menunjukkan
kandungan protein lebih tinggi) dibandingkan daging olahan dengan penambahan
bahan pengawet (Husni et al. 2007).
d) Lemak
Lemak yang terkandung dalam bahan pangan yaitu lemak kasar dan
merupakan kandungan total lipida dalam jumlah yang sebenarnya
(Winarno 2004). Kadar lemak merupakan komponen terkecil dari kelima
komposisi. Nilai lemak sosis ikan lele dumbo dengan perlakuan penambahan
konsentrasi IPK (Isolat Protein Kedelai) dapat dilihat pada Tabel 6. Nilai lemak
yang diperoleh yaitu sebesar 0,61%. Kadar lemak sosis ini terbilang sangat
rendah. Kandungan lemak maksimal untuk sosis daging yaitu 25% (bb)
(SNI 1995). Hal ini dikarenakan, daging lumat yang digunakan sebagai bahan
baku sudah mengalami pencucian 2 kali untuk dijadikan surimi. Proses pencucian
dapat menghilangkan komponen-komponen pengganggu seperti darah, lemak, dan
substansi lainnya (Kaba 2006). Kadar lemak sosis ini rendah karena lemak yang
ditambahkan ke dalam adonan pun hanya sebesar 3% dari bobot total. Lemak
yang ditambahkan pada sosis dapat berupa lemak nabati maupun lemak hewani,
dengan kadar berkisar antara 5-25% (Erdiansyah 2006).
e) Karbohidrat by difference
Karbohidrat memiliki peranan dalam menentukan karakteristik bahan
makanan seperti rasa, warna, tekstur dan lain-lain. Kandungan karbohidrat pada
sosis dapat berbeda berdasarkan jenis dan jumlah pengisi yang ditambahkan.
Kadar karbohidrat merupakan komponen penyusun terbesar setelah protein. Nilai
kadar karbohidrat sosis ikan lele dumbo dengan perlakuan penambahan
konsentrasi IPK (Isolat Protein Kedelai) dapat dilihat pada Tabel 6. Nilai kadar
karbohidrat yang diperoleh yaitu sebesar 2,22%. Karbohidrat sosis ini cukup
rendah. Kadar karbohidrat maksimal untuk sosis daging yaitu maksimal 8% (bb)
(SNI 1995). Karbohidrat pada ikan merupakan polisakarida, yaitu glikogen yang
terdapat dalam sarkoplasma diantara miofibril-miofibril (Erdiansyah 2006).
Glikogen yang terdapat dalam sarkoplasma ini larut saat pencucian pada tahap
pembuatan surimi. Hal ini diduga yang menyebabkan kadar karbohidrat rendah.
62
Kandungan karbohidrat dalam sosis ikan ini diperoleh dari tepung tapioka
dan gula yang ditambahkan. Tepung tapioka memiliki kadar pati sebesar 51,36%
yang merupakan polisakarida dari unit D-glukosa (Harris 2001). Gula merupakan
senyawa kimia yang termasuk karbohidrat yang sering digunakan sebagai
pemanis, tetapi dalam industri pangan biasanya digunakan untuk menyatakan
sukrosa yang diperoleh dari gula tebu (Buckle et al. 1987). Faktor lain yang
menyebabkan kandungan karbohidrat pada sosis ini rendah yaitu dari jenis bahan
pengikat yang ditambahkan, isolat protein kedelai merupakan salah satu produk
kedelai yang tidak memiliki kandungan karbohidrat dibandingkan dengan tepung
kedelai maupun konsentrat protein kedelai (Kumar et al. 2002).
4.2.3.2 Total Plate Count (TPC)
Total Plate Count (TPC) merupakan analisis mikrobiologi yang dilakukan
untuk menghitung jumlah total mikroorganisme yang terdapat pada suatu produk
pangan. Jumlah total mikroorganisme akan menentukan mutu produk pangan.
Nilai TPC sosis ikan lele dumbo dengan perlakuan penambahan konsentrasi IPK
(Isolat Protein Kedelai) dapat dilihat pada Tabel 6. Nilai TPC yang terdapat pada
sampel sosis ikan lele dumbo tersebut sebesar 5 cfu/gr. TPC dari sosis ini
terbilang cukup rendah. Nilai TPC maksimal untuk sosis daging yaitu maksimal
105 cfu/gr (SNI 1995). Mutu mikroorganisme itu sendiri dapat menentukan daya
simpan suatu produk dan keamanan pangan yang ditentukan oleh jumlah spesies
patogen yang terdapat dalam suatu produk (Buckle et.al 1987). Beberapa bumbu
yang digunakan bersifat sebagai antioksidan sehingga dapat menghambat
ketengikan serta memiliki aktivitas antimikroba sehingga dapat menghambat
pertumbuhan mikroba merugikan (Soeparno 1994). Oleh karena sosis ikan lele
dumbo ini memiliki jumlah total mikroorganisme yang lebih rendah dari batas
aman maka produk tersebut aman untuk dikonsumsi.
4.2.4 Analisis uji perbandingan berpasangan
Uji perbandingan berpasangan bertujuan untuk membandingkan produk
terbaik hasil uji hedonik dengan produk komersial. Selain itu, untuk mengetahui
kelemahan atau keunggulan dari produk baru dengan produk komersial
(Rahayu 2001). Uji perbandingan berpasangan dilakukan dengan cara
63
membandingkan antara produk terpilih yaitu sosis ikan lele dumbo dengan sosis
ayam komersial. Uji perbandingan pasangan dilakukan oleh 30 orang panelis
dengan parameter yang diujikan adalah uji lipat, aroma, tekstur, penampakan,
rasa, dan uji gigit.
Produk terpilih berdasarkan penilaian dari hasil uji panelis adalah sosis ikan
lele dumbo dengan penambahan konsentrasi isolat protein kedelai sebanyak 10%
dan 13%. Pemilihan produk terbaik berdasarkan indeks kinerja atau metode
Bayes. Histogram uji perbandingan berpasangan dapat dilihat pada Gambar 24.
Gambar 24 Histogram uji perbandingan berpasangan sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) dengan sosis komnersial
Nilai rata-rata uji perbandingan berpasangan sosis ikan lele dumbo dengan
penambahan isolat protein kedelai 13 %, dengan sosis ayam komersial pada
parameter uji lipat, aroma, tekstur, dan uji gigit menghasilkan nilai positif. Hal ini
menunjukkan mutu produk sosis ikan lele dumbo yang lebih disukai daripada
sosis ayam komersial. Sedangkan pada parameter penampakan dan rasa
menghasilkan nilai negatif yang menunjukkan bahwa panelis lebih menyukai
produk komersial.
Sosis ikan lele dumbo memiliki nilai uji lipat, uji gigit dan tekstur yang
tidak berbeda dengan sosis komersial, ini membuktikan bahwa mutu gel yang
terbentuk atau tingkat elastisitas antara sosis ikan lele dumbo dan sosis komersial
sama. Penambahan isolat protein kedelai pada sosis ikan dapat memperbaiki
tekstur dan kekuatan gel pada sosis ikan, karena IPK memiliki sifat higroskopis
yang dapat menyerap air sehingga tekstur yang dihasilkan lebih kompak
64
(Widodo 2008). Aroma sosis ikan lele dumbo berasal dari bumbu-bumbu dan
perasa ayam alami yang ditambahkan sehingga menimbulkan aroma yang lebih
harum. Aroma dari sosis ikan lele dumbo ini lebih disukai dibandingkan sosis
ayam komersial. Kaldu ayam yang ditambahkan pun selain untuk memperbaiki
aroma dan rasa juga mempunyai kemampuan untuk meningkatkan kinerja otak .
Analisis uji perbandingan yang dilakukan selanjutnya yaitu secara objektif
dengan beberapa paramaeter uji antara lain kekuatan gel, daya ikat air (WHC) dan
stabilitas emulsi. Berikut dapat dilihat hasil uji perbandingan berpasangan antara
sosis ikan lele dumbo yang terpilih dan sosis komersial pada Tabel 7.
Tabel 7 Hasil analisis uji perbandingan berpasangan secara objektif
Parameter Sosis ikan lele dumbo Sosis ayam komersial
Kekuatan gel (gf) 220,55 338 WHC (%) 79,36 94,05 Stabilitas emulsi (%) 61,23 100
Hasil analisis uji perbandingan secara objektif untuk parameter kekuatan
gel, daya ikat air (WHC) dan stabilitas emulsi diketahui bahwa nilai untuk sosis
ikan lele dumbo lebih rendah dibandingkan dengan sosis komersial. Kekuatan gel
sosis ikan lele dumbo sebesar 220,55 (gf) hasil ini lebih rendah dibandingkan
dengan sosis komersial. Hal ini disebabkan oleh penggunaan komposisi air pada
pembuatan sosis ikan lele dumbo terlalu banyak yaitu dengan perbandingan 1:1
dari bobot total. Semakin tinggi jumlah air yang ditambahkan dapat
mempengaruhi nilai kekuatan gel sosis yang dihasilkan. Kekuatan gel dipengaruhi
oleh komponen protein yang ditambahkan serta rendahnya komponen lemak dan
tingginya konsentrasi air yang ditambahkan (Huda et al. 2010).
Daya ikat air atau water holding capacity (WHC) pada sosis ikan lele
dumbo nilainya pun lebih rendah dibandingkan dengan sosis komersial yaitu
sebesar 79,36%. Water Holding Capacity (WHC) merupakan suatu nilai yang
menunjukan kemampuan protein daging untuk mengikat air atau cairan baik yang
berasal dari dirinya maupun yang berasal dari luar yang ditambahkan. Semakin
tinggi kandungan protein maka akan semakin banyak air yang terikat dan
mengakibatkan nilai WHC pun akan meningkat. Namun, jumlah air yang
ditambahkan pada adonan pembuatan sosis dalam konsentrasi yang besar dan
65
lebih banyak dibandingkan dengan protein yang ditambahkan, sehingga tidak
semua air dapat terikat oleh protein yang ditambahkan. WHC atau daya ikat air
sangat dipengaruhi oleh kandungan air dan protein (Kramlich 1971). Faktor lain
yaitu perbedaan bahan pengikat yang digunakan antara kedua sosis. Pada sosis
ikan lele dumbo menggunakan bahan pengikat isolat protein kedelai, sedangkan
pada sosis ayam komersial bahan pengikat yang digunakan yaitu pati. Pati
memiliki kemampuan mengikat air yang tinggi (Gemisoesanto 2005).
Nilai stabilitas emulsi pada sosis ikan lele dumbo lebih rendah
dibandingkan dengan sosis komersial yaitu sebesar 61,23%. Sosis merupakan
makanan dengan sistem emulsi minyak dalam air. Peran isolat protein kedelai
yang ditambahkan yaitu sebagai bahan pengemulsi atau bahan pengikat. Namun
dalam suatu sistem emulsi yang berperan tidak hanya protein saja melainkan air
dan lemak. Lemak berperan dalam pembentukan emulsi. Jika lemak yang
ditambahkan tidak tepat maka emulsi yang dihasilkan pun tidak kuat
(Kramlich 1971). Lemak yang ditambahkan dalam pembuatan sosis ikan lele
dumbo ini dalam konsentrasi yang rendah yaitu hanya sebesar 3% dan sama untuk
setiap perlakuan. Batas maksimum penambahan lemak dalam pembuatan sosis
yaitu sebesar 25% (Erdiansyah 2006).
Selain itu, penyusun dari kedua sosis pun berbeda, dilihat dari analisis
proksimat pada sosis komersial, diketahui bahwa kadar karbohidrat lebih tinggi
dibandingkan dengan sosis ikan lele dumbo dan syarat mutu sosis. Hal ini diduga
pengikat yang digunakan pada sosis komersial berbeda dengan sosis ikan lele
dumbo, yaitu menggunakan pati dengan kandungan karbohidrat yang lebih tinggi.
Pada sosis komersial menggunakan pemasakan dengan suhu sterilisasi, jika
menggunakan protein sebagai bahan pengikat akan menyebabkan protein
terdenaturasi. Nilai stabilitas emulsi yang dihasilkan dari sosis komersial pun
sangat stabil, karena saat dilakukan proses pemisahan tidak ada bagian yang
terpisah antara air maupun lemak. Hal ini yang menyebabkan nilai stabilitas
emulsi pada sosis ikan lele dumbo lebih rendah dibandingkan pada sosis
komersial.
5 KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Frekuensi pencucian daging lumat yang terpilih sebanyak 2 kali, dengan
rendemen 18,72%, kekuatan gel 542,40 gf dan memiliki penilaian sensori lebih
tinggi dibandingkan pencucian 1 kali. Formula sosis terpilih yaitu dengan
penambahan IPK konsentrasi 13%. Semakin banyak konsentrasi IPK yang
ditambahkan dapat memperbaiki tekstur, kekuatan gel dan daya ikat air. Hasil
proksimat untuk kadar abu 1,60%, protein 15,97%, lemak 0,61%, karbohidrat
2,22%, kadar air 79,6% serta hasil TPC 5 cfu/g. Hasil ini lebih rendah dari batas
aman maka sosis ikan ini aman untuk dikonsumsi. Hasil uji perbandingan
berpasangan pada parameter kekuatan gel, daya ikat air dan stabilitas emulsi
menghasilkan nilai lebih rendah dibandingkan sosis komersial yaitu 220,55 gf,
79,36% dan 61,23%. Hasil uji lipat, uji gigit, tekstur dan aroma sosis ikan lele
dumbo lebih disukai dibandingkan dengan sosis komersial. Kandungan gizi untuk
protein dan karbohidrat pada sosis ikan lele dumbo lebih unggul dibandingkan
sosis komersial.
5.2 Saran
Penelitian karakteristik sosis ikan lele dumbo dengan penambahan IPK,
dilakukan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh IPK terhadap tingkat
kesukaan panelis, dengan mempertimbangkan bentuk dan tekstur sesuai dengan
sosis komersil. Namun dibutuhkan beberapa penyempurnaan terhadap produk ini,
yaitu:
1) Perlu pengurangan komposisi air yang ditambahkan ke dalam adonan, karena
dapat mempengaruhi tekstur dan kadar air yang dihasilkan
2) Perlu penambahan konsentrasi lemak ke dalam adonan untuk meningkatkan
stabilitas emulsi sosis dan memperbaiki tekstur
3) Perlu dilakukan pemisahan lemak dari kaldu ayam yang dipakai karena
mengandung asam lemak rantai pendek
4) Perlu dilakukan uji derajat putih untuk mengetahui perbedaan warna dari setiap
perlakuan sosis ikan lele dumbo.
DAFTAR PUSTAKA
[AOAC] Association of Official Analytical Chemist. 1995. Ilmu Pangan. Hari P, Adiono, penerjemah. Jakarta: UI-Pr. Terjemahan dari: Food Science.
Agustini TW, Darmanto YS dan Danar PKP. 2008. Evaluation on utilization of small marine fish to produce surimi using different cryoprotective agents to increase the quality of surimi. Jounal of Coastal Development. 11(3): 131-140.
Anonim 2011. Ikan Lele Dumbo. http://google.co.id [20 Januari 2011].
Astawan M, Mita W, Joko S dan Siti S. 1996. Pemanfaatan ikan gurami (Osphornemus gouramy Lac.) dalam pembuatan gel ikan. Buletin Teknologi dan Industri Pangan. 7(1): 1-7.
Astawan M. 2008. Bahaya laten sepotong sosis. http://www.rumahsehat.com [09 Februari 2011].
Buckle et al. 1987. Ilmu Pangan. Purnomo, H. Dan Adiono, penerjemah. Jakarta : Universitas Indonesia Press.
Cabeza MC et al. 2009. Safety and quality of ready-to-eat dry fermented sausages subjected to E-beam radiation. Journal of Meat Science. 83(2): 320-327.
Chamidah A. 2000. Evaluasi karakteristik fisik dan kimia sosis lele dumbo (C. gariepinus) selama penyimpanan 6 hari dengan penambahan dan tanpa penambahan kultur starter Lactobacillus casei. 3: 253-260.
Dotulong V.2009. Nilai proksimat sosis ikan ekor kuning (Caesio spp.) berdasarkan jenis casing dan lama penyimpanan. Pacific Journal. 1(4): 506-509.
Erdiansyah. 2006. Teknologi penanganan bahan baku terhadap mutu sosis ikan patin (Pangasius pangasius) [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Hadiwiyoto S. 1993. Teknologi Pengolahan Perikanan Jilid I. Yogyakarta: Liberty.
Hall GM, Ahmad NH. 1992. Surimi and fish minced product. Dalam Hall GM (editors). Fish Processing and Technology. New York: Blackie Academic and Professional.
Harris H. 2001. Kemungkinan penggunaan edible film dari pati tapioka untuk pengemas lempuk. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia. 3(2): 99-106.
Hermawan D. 2002. Pengaruh konsentrasi tepung tapioka dan kalsium karbonat (CaCO3) terhadap mutu kamaboko ikan lele (Clarias gariepinus) [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
68
Hua Y, Steve WC, Qi W. 2003. Gelling property of soy protein-gum mixtures. Food Hydrocolloids. 17(6): 889-894.
Huda N, Lin HW, Alishair TL dan Ishamri I. 2010. Physicochemical properties of Malaysian commercial chicken sausage. International Journal of Poultry Science. 9(10): 954-958.
Husni E, Asmaedy S dan Reci A. 2007. Analisa zat pengawet dan protein dalam makanan siap saji sosis. Jurnal Sains dan Teknologi Farmasi. 12(2): 108-111
Kaba N. 2006. The determination of technology and storage period od surimi production from ancovy (Engraulis encrasicholus). Turkish Journal of Fisheries and Aquatic Sciences. 6(1): 29-35.
Kataryzna W dan Krystyna S. 2008. The application of wheat fibre and soy isolate impregnated with iodine salts to fortify processed meats. Meat Science. 80(4): 1340-1344.
Koswara S. 1992. Teknologi Pengolahan Kedelai: Menjadikan Makanan Bermutu. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Koswaraa S. 2005. Jahe, rimpang dengan sejuta khasiat. http://ebookpangan.com [09 Februari 2011].
Koswarab S. 2005. Teknologi Pengolahan Kedelai (teori dan praktek). http://ebook.pangan.com [09 Februari 2011].
Kompas. 2010. Saripati ayam. http://kesehatan.kompas.com [05 Februari 2011].
Kramlich WE. 1971. Sausage Product. In: Price J.S and B.S. Schweigert (Eds.). 1987. The Science of Meat Product. San Fransisco: Freeman WH and Co.
Kramlich WE, Pearson AM, dan Tauber FW. 1973. Processed Meats. The AVI Publishing Co., Westport-Connecticut.
Kumar R, Veena C, Saroj M, IK Varma dan Bo M. 2002. Adhesives and plastics based on soy protein products. Industrial Crops and Products. 16: 155-172.
[LPPOM] Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Makanan. 2010. Hati-hati memilih bahan perasa makanan. http://food.detik.com [08 Februari 2011].
Mackie IM. 1992. Surimi From Fish. Di dalam Johmston DE, Knight MK, Ledward DA (Eds). The Chemistry of Muscle-bared Foods. United Kingdom: Royal Society of Chemistry.
Mahyuddin K. 2008. Panduan Lengkap Agribisnis Lele. Jakarta: Penebar Swadaya.
69
Matondang I. 2008. Zingiber officinale L. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tumbuhan Obat. Jakarta: UNAS Press.
Mervina. 2009. Formulasi biskuit dengan subtitusi tepung ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) dan isolat protein kedelai (Glycine max) sebagai makanan potensial untuk anak baliti gizi kurang [skripsi]. Bogor: Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
Moeljanto. 1992. Pengawetan dan Pengolahan Hasil Perikanan. Jakarta : Penebar Swadaya.
Muhibuddin FW. 2010. Karakteristik fisika kimia surimi dari daging lumat hasil tangkap sampingan (HTS) pukat udang [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Nurimala M, Nurjanah, dan Utama RH. 2009. Kemunduran mutu ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) pada penyimpanan suhu chilling dengan perlakuan cara mati. Jurnal Pengolahan Hasil Perikanan Indonesia. 12(1): 1-5.
Palungkun R, Budiarti A. 1992. Pengetahuan Gizi Mutakhir Mineral. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Panagan AT. Pengaruh penambahan bubuk bawang merah (Allium ascalonicum) terhadap bilangan peroksida dan kadar asam lemak bebas minyak goreng curah. Jurnal Penelitian Sains. 10: 06-05.
Park JW. 2000. Manufacturing of surimi from light muscle fish. Dalam Park JW (eds). Surimi and Surimi Seafood. New York: Marcel Dekker, Inc.
Park JW. 2005. Surimi: Manufacturing and evaluation. Dalam Park JW (eds). Surimi and Surimi Seafood. Boca Raton: CRC Press Taylor and Francis Group.
Purwandhari Y. 1999. Pengaruh lama penyimpanan terhadap penerimaan produk emulsi dan surimi dan tahu ikan (shalted dried fish cake) cucut [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Rahayu WP. 1998. Penuntun Praktikum Penilaian Organoleptik. Teknologi Pangan dan Gizi. Fakultas Teknologi Pertanian. Bogor: IPB.
Raju CV, Shamasunandar BA, Udupa KS. 2003. The use of nisin as a preservative in fish sausage stored at ambient (28 ± 2°C) and refrigerated (6 ± 2°C) temperatures. International Journal of Food Science and Technology. 38(2): 171-185.
Rismunandar. 1993. Lada, Budidaya dan Tata Niaganya. Jakarta: Penebar Swadaya.
Reynolds J, Park JW, Choi YJ. 2002. Physicochemical properties of pacific whiting surimi as affected by various freezing and storage conditions. J. Food Sci. 67(6): 2072-2078.
70
Riesnawaty CJ. 2007. Pemanfaatan surimi lele dumbo (Clarias gariepinus) [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor
Rismunandar. 1993. Lada, Budidaya dan Tata Niaganya. Jakarta: Penebar Swadaya.
Rompis JEG. 1998. Pengaruh kombinasi bahan pengikat dan bahan pengisi terhadap sifat fisik, kimia serta palatabilitas sosis sapi [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Rosa R, Bandara NM, Nunes ML. 2007. Nutritional quality of African catfish Clarias gariepinus (Burchell 1822): a positive criterion for the future development of the European production of Silurodei. International journal of Food Science and Technology 42(3): 342-351.
Saanin H.1984. Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan I, Bandung : Bina cipta Bandung.
Santoso J, Trilaksani W, Nurjanah, Nurhayati T. 1997. Perbaikan mutu gel ikan mas (Cyprinus carpio) melalui modifikasi proses [laporan penelitian]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Saparinto C dan Hidayati D. 2006. Bahan Tambahan Pangan. Yogyakarta: Kanisius.
Standar Nasional Indonesia. 1995. Syarat Mutu Sosis Daging. SNI 01-3820-1995. Jakarta: Badan Standardisasi Nasional.
Shahidi F dan Botta JR. 1994. Seafoods: Chemistry, Processing Technology and Quality. London: Blackie Academic and Professional and Imprint of Chapmant and Hall.
Shaviklo GR. 2006. Quality assessment of fish protein isolates using surimi standard methods. Iran: Fisheries Training Programme. The United Nations University.
Soekarto ST. 1985. Penilaian Organoleptik Untuk Industri Pangan dan Hasil Pertanian. Jakarta: Bharata Karya Aksara
Soeparno. 1994. Ilmu dan Teknologi Daging. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Suhartini S dan Nur H. 2005. Olahan Ikan Segar. Surabaya: Trubus Agrisarana.
Suyanto R. 1999. Budidaya Ikan Lele. Jakarta: Penebar Swadaya.
Toyoda KI, Kimura T, Fujita SF, Noguchi, Lee CM. 1992. The surimi manufacturing process. Dalam: Lanier TC, Lee CM (eds). Surimi Technology. New York: Marce Dekker, Inc.
71
Torrezan R, Whye PT, Alan EB, Richard AF dan Marcelo C. 2006. Effects of high pressure on functional properties of soy protein. Foof Chemistry. 104(1): 140-147.
Ulya M. 2005. Studi Kelayakan Pendirian Industri Isolat Soy Protein. Program studi Teknologi Industri Pertanian. Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor.
Wahyuni M. 1992. Sifat kimia dan fungsional ikan hiu lanyam (Charcarinus limbatus) serta penggunaannya dalam pembuatan sosis [tesis]. Bogor : Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.
Wibowo S. 1999. Budidaya Bawang Putih, Merah dan Bombay. Jakarta : PT Penebar Swadaya.
Widodo SA. 2008. Karakteristik sosis ikan kurisi (Nemipterus nematophorus) dengan penambahan isolat protein kedelai dan karagenan pada penyimpanan suhu chilling dan freezing. [skripsi]. Bogor : Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Wilson GD. 1960. Sausage product. Di dalam : J. B. Evans, B. S. Scweigert, C. F. Liven, dan D. M. Doty (Eds.), The Science of Meat and Meat Product. San Fransisco: Freeman WH and Co.
Winarno FG. 2007. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta : PT Gramedia.
Winarno FG. 2008. Kimia Pangan dan Gizi. Bogor : MBrio Press.
Wulandhari NW. 2007. Optimasi formulasi sosis berbahan baku surimi ikan patin (Pangasius pangasius) dengan penambahan karagenan (Eucheuma sp.) dan susu skim untuk meningkatkan mutu sosis [skripsi]. Bogor : Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Yulianti T. 2003. Mempelajari pengaruh karakteristik isolat protein kedelai terhadap mutu sosis [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
73
Lampiran 1 Lembar penilaian uji kesukaan (hedonik) kamaboko ikan lele dumbo
Nama panelis : Tanggal pengujian : Jenis contoh : Kamaboko ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) Instruksi : Nyatakan penilaian Anda sesuai dengan tingkat kesukaan Anda Kode sampel
Penampakan Warna Rasa Aroma Tekstur
B1L
A2Y
T3M
Keterangan : 9 Amat sangat suka 8 Sangat suka 7 Suka 6 Agak suka 5 Biasa 4 Kurang suka 3 Tidak suka 2 Sangat tidak suka 1 Amat sangat tidak suka
74
Lampiran 2 Lembar penilaian uji lipat gel ikan lele dumbo Nama panelis : Tanggal pengujian : Jenis contoh : Kamaboko ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) Instruksi : Nyatakan penilaian anda sesuai dengan kolom berikut Kode
sampel Skor Keterangan
B1L
5 Tidak retak setelah dilipat menjadi seperempat lingkaran. 4 Tidak retak setelah dilipat menjadi setengah lingkaran. 3 Retak berangsur-angsur setelah dilipat menjadi setengah lingkaran.2 Langsung retak setelah dilipat menjadi setengah lingkaran. 1 Pecah apabila ditekan dengan jari.
A2Y
T3M
75
Lampiran 3 Lembar penilaian uji gigit gel ikan lele dumbo
Nama panelis : Tanggal pengujian : Jenis contoh : Kamaboko ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) Instruksi : Nyatakan penilaian anda sesuai dengan kolom berikut Kode sampel Skor B1L A2Y T3M Keterangan : Nilai Sifat kekenyalan (springiness) 10 Daya lenting amat sangat kuat 9 Daya lenting amat kuat 8 Daya lenting kuat 7 Daya lenting agak kuat 6 Daya lenting dapat diterima 5 Daya lenting agak diterima 4 Daya lenting agak lemah 3 Daya lenting lemah 2 Daya lenting amat lemah 1 Tidak ada daya lenting, seperti bubur
76
Lampiran 4 Lembar penilaian uji sensori (hedonik) sosis ikan lele dumbo Nama panelis : Tanggal pengujian : Jenis contoh : Sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) Instruksi : Nyatakan penilaian Anda sesuai dengan tingkat kesukaan Anda Kode sampel
Penampakan Warna Rasa Aroma Tekstur
SA3 VB5 XC2 FD4 Keterangan : 9 Amat sangat suka 8 Sangat suka 7 Suka 6 Agak suka 5 Biasa 4 Kurang suka 3 Tidak suka 2 Sangat tidak suka 1 Amat sangat tidak suka
77
Lampiran 5 Lembar penilaian uji lipat sosis ikan lele dumbo
Nama panelis : Tanggal pengujian : Jenis contoh : Sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) Instruksi : Nyatakan penilaian anda sesuai dengan kolom berikut Kode
sampel Skor Keterangan
SA3
5 Tidak retak setelah dilipat menjadi seperempat lingkaran. 4 Tidak retak setelah dilipat menjadi setengah lingkaran. 3 Retak berangsur-angsur setelah dilipat menjadi setengah lingkaran.2 Langsung retak setelah dilipat menjadi setengah lingkaran. 1 Pecah apabila ditekan dengan jari.
VB5 XC2 FD4
78
Lampiran 6 Lembar penilaian uji gigit sosis ikan lele dumbo dengan perasa ayam Nama panelis : Tanggal pengujian : Jenis contoh : Sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) Instruksi : Nyatakan penilaian anda sesuai dengan kolom berikut Kode sampel Skor SA3 VB5 XC2 FD4 Keterangan : Nilai Sifat kekenyalan (springiness) 10 Amat sangat kuat 9 Sangat kuat 8 Kuat 7 Cukup kuat 6 Dapat diterima 5 Dapat diterima, sedikit kuat 4 Lemah 3 Cukup lemah 2 Sangat lemah 1 Tekstur seperti bubur,tidak ada kekerasan
79
Lampiran 7 Nilai organoleptik uji sensori, uji lipat dan uji gigit kamaboko ikan lele dumbo
Parameter Penampakan Warna Rasa Aroma Tekstur Uji lipat Uji gigit Panelis B1L A2Y T3M B1L A2Y T3M B1L A2Y T3M B1L A2Y T3M B1L A2Y T3M B1L A2Y T3M B1L A2Y T3M 1 5 5 6 6 6 7 6 5 5 6 6 6 7 4 7 5 5 5 6 6 8 2 7 7 7 6 7 6 6 6 5 6 5 5 7 6 7 5 5 5 8 8 9 3 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 6 6 5 6 7 5 4 4 6 7 7 4 7 7 7 6 7 7 5 5 5 4 3 5 5 5 6 5 5 5 7 4 8 5 7 8 7 6 7 8 6 7 7 7 7 8 6 7 7 4 5 5 7 8 8 6 8 7 7 7 7 8 8 7 7 8 6 4 8 7 8 4 5 5 7 7 7 7 8 8 7 7 7 7 7 6 7 7 6 5 7 6 6 5 4 5 8 7 8 8 7 7 6 7 8 6 7 7 7 6 6 5 6 7 5 3 5 5 7 7 5 9 5 5 4 4 5 4 4 5 5 5 5 5 5 5 5 3 5 5 8 8 8 10 7 7 6 7 6 6 6 7 7 4 5 5 7 7 7 3 5 5 8 9 8 11 7 7 8 7 7 8 6 6 7 6 7 7 7 8 8 5 5 5 8 7 7 12 7 7 6 7 7 7 6 6 4 6 6 5 7 7 7 4 5 5 6 7 7 13 4 4 8 5 6 8 4 5 8 6 5 6 6 3 9 3 5 3 4 7 9 14 7 7 7 7 7 7 6 5 5 7 6 6 7 6 7 5 5 5 9 8 8 15 6 7 8 6 7 8 7 6 8 6 7 8 6 7 9 3 5 4 8 7 9 16 6 8 8 6 7 8 5 6 6 7 6 8 6 7 7 3 5 5 7 8 8 17 7 7 7 7 7 7 3 4 4 4 4 4 4 7 8 3 5 5 7 8 8 18 6 8 8 5 8 8 5 7 6 6 7 7 5 6 6 3 5 5 5 7 8 19 7 7 6 8 7 6 7 7 7 6 7 7 6 7 7 4 4 5 7 7 8 20 7 6 5 7 6 6 7 6 6 7 7 6 7 6 6 3 5 5 6 7 7 21 7 7 8 8 8 8 6 6 6 8 7 8 8 8 8 5 5 5 9 9 9 22 7 7 7 7 7 7 6 7 7 6 7 6 5 7 6 4 5 5 6 6 5 23 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 6 7 7 7 7 4 4 4 8 6 7 24 8 8 8 8 8 8 8 8 8 7 8 8 8 8 8 3 4 4 7 8 8 25 5 5 6 5 6 6 6 5 6 5 5 6 7 4 7 5 5 5 8 7 9 26 6 6 6 5 6 7 4 6 4 7 7 5 5 6 5 3 5 3 6 8 6 27 7 7 6 7 7 7 8 7 6 8 8 7 7 8 7 3 5 4 6 8 8 28 4 4 6 4 5 5 3 5 4 3 5 4 4 6 4 2 4 5 4 5 8 29 6 5 7 6 7 7 7 6 6 5 7 7 5 7 7 3 3 4 6 6 5 30 7 6 7 7 6 6 7 7 7 7 6 7 7 6 7 5 4 5 8 6 9 Rata-rata 6,53 6,6 6,77 6,40 6,77 6,90 6,00 6,13 6,13 6,13 6,10 6,10 6,23 6,37 6,83 3,83 4,70 4,67 6,90 7,10 7,63
80
Lampiran 8 Uji Kruskal Wallis pengaruh perbedaan frekuensi pencucian terhadap uji lipat gel ikan lele dumbo pada penelitian pendahuluan
Ranks kode N Mean Rank ujilipat B1L 30 30,72 A2Y 30 53,18 T3M 30 52,60 Total 90
Test Statistics(a,b) ujilipat Chi-Square 18,746 df 2 Asymp. Sig. ,000
a Kruskal Wallis Test b Grouping Variable: kode
Lampiran 9 Uji lanjut Multiple Comparison pengaruh perbedaan frekuensi pencucian terhadap uji lipat (penelitian pendahuluan)
ujilipat Duncan
kode N
Subset for alpha = .05
1 2 B1L 30 3,83 T3M 30 4,67A2Y 30 4,70Sig. 1,000 ,858
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 30,000.
81
Lampiran 10 Uji Kruskal Wallis pengaruh perbedaan frekuensi pencucian terhadap uji gigit gel ikan lele dumbo pada penelitian pendahuluan
Ranks kode N Mean Rank ujigigit B1L 30 38,98 A2Y 30 42,10 T3M 30 55,42 Total 90
Test Statistics(a,b) ujigigit Chi-Square 7,235 df 2 Asymp. Sig. ,027
a Kruskal Wallis Test b Grouping Variable: kode
Lampiran 11 Uji lanjut Multiple Comparison pengaruh perbedaan frekuensi pencucian terhadap uji gigit (penelitian pendahuluan)
ujigigit Duncan
kode N
Subset for alpha = .05
1 2 B1L 30 6,90 A2Y 30 7,10 7,10T3M 30 7,63Sig. ,512 ,083
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 30,000.
82
Lampiran 12 Grafik uji kenormalan galat kekuatan gel pada gel ikan lele dumbo
800700600500400300
99
95
90
80
70
60504030
20
10
5
1
kekuatan gel
Perc
ent
Mean 569.7StDev 105.3N 6KS 0.136P-Value >0.150
Probability Plot of kekuatan gelNormal
Lampiran 13 Analisis ragam terhadap kekuatan gel pada gel ikan lele dumbo
83
Lampiran 14 Uji Kruskal Wallis pengaruh perbedaan frekuensi pencucian terhadap penampakan gel ikan lele dumbo pada penelitian pendahuluan
Ranks kode N Mean Rank penampakan B1L 30 43,15 A2Y 30 45,77 T3M 30 47,58 Total 90
Test Statistics(a,b) penampakan Chi-Square ,506 df 2 Asymp. Sig. ,776
a Kruskal Wallis Test b Grouping Variable: kode
Lampiran 15 Uji Kruskal Wallis pengaruh perbedaan frekuensi pencucian terhadap warna gel ikan lele dumbo pada penelitian pendahuluan
Ranks kode N Mean Rank warna B1L 30 38,95 A2Y 30 46,40 T3M 30 51,15 Total 90
Test Statistics(a,b) warna Chi-Square 3,812 df 2 Asymp. Sig. ,149
a Kruskal Wallis Test b Grouping Variable: kode
84
Lampiran 16 Uji Kruskal Wallis pengaruh perbedaan frekuensi pencucian terhadap rasa gel ikan lele dumbo pada penelitian pendahuluan
Ranks kode N Mean Rank rasa B1L 30 44,65 A2Y 30 45,25 T3M 30 46,60 Total 90
Test Statistics(a,b) rasa Chi-Square ,095 df 2 Asymp. Sig. ,954
a Kruskal Wallis Test b Grouping Variable: kode
Lampiran 17 Uji Kruskal Wallis pengaruh perbedaan frekuensi pencucian terhadap aroma gel ikan lele dumbo pada penelitian pendahuluan
Ranks kode N Mean Rank aroma B1L 30 46,67 A2Y 30 45,22 T3M 30 44,62 Total 90
Test Statistics(a,b) aroma Chi-Square ,104 df 2 Asymp. Sig. ,949
a Kruskal Wallis Test b Grouping Variable: kode
85
Lampiran 18 Uji Kruskal Wallis pengaruh perbedaan frekuensi pencucian terhadap tekstur gel ikan lele dumbo pada penelitian pendahuluan
Ranks kode N Mean Rank tekstur B1L 30 40,13 A2Y 30 43,68 T3M 30 52,68 Total 90
Test Statistics(a,b) tekstur Chi-Square 4,048 df 2 Asymp. Sig. ,132
a Kruskal Wallis Test b Grouping Variable: kode
86
Lampiran 19 Nilai uji sensori, uji lipat dan uji gigit sosis ikan lele dumbo
Parameter Penampakan Warna Rasa Aroma Tekstur Uji lipat Uji lipat Panelis SA
3 VB5
XC2
FD4
SA3
VB5
XC2
FD4
SA3
VB5
XC2
FD4
SA3
VB5
XC2
FD4
SA3
VB5
XC2
FD4
SA3
VB5
XC2
FD4
SA3
VB5
XC2
FD4
1 7 7 6 6 6 6 6 6 7 7 6 6 5 6 6 5 7 7 8 7 5 4 5 5 6 6 7 8 2 6 6 7 6 7 7 7 5 6 6 7 6 5 5 4 4 7 6 6 7 4 5 5 5 4 6 6 7 3 7 7 6 5 7 7 5 6 6 6 6 5 5 8 7 5 6 7 7 6 4 5 4 5 5 4 6 7 4 7 7 7 6 7 7 5 7 7 6 6 4 7 6 7 7 6 7 6 7 5 5 4 5 8 6 7 6 5 7 6 4 5 6 5 5 6 6 5 6 6 8 5 8 7 7 6 7 8 4 5 5 4 7 8 6 7 6 7 8 7 5 8 7 6 5 7 6 7 5 6 7 7 5 7 7 7 7 3 4 4 4 7 5 7 8 7 7 7 7 7 8 6 6 6 6 7 5 7 6 5 5 5 7 6 6 8 5 5 5 4 7 6 7 7 8 8 7 7 7 7 6 7 5 7 6 8 5 5 7 6 5 5 8 5 6 4 5 4 5 6 6 6 8 9 8 8 4 7 7 7 6 7 5 5 5 5 7 5 4 6 6 6 7 7 3 4 4 5 5 8 7 7 10 9 9 8 7 6 7 7 6 6 7 7 4 4 5 6 4 8 8 8 8 5 3 4 5 5 6 6 6 11 8 8 8 7 7 8 6 7 8 7 6 8 9 8 6 7 7 7 7 8 5 5 5 5 7 6 7 8 12 6 6 7 7 5 5 6 6 6 6 4 5 6 5 6 6 6 6 7 6 4 4 5 4 5 7 8 7 13 6 7 7 8 7 6 6 6 7 5 6 4 6 5 6 6 5 8 7 7 3 4 5 5 6 5 6 7 14 7 6 7 7 6 5 5 6 6 4 5 7 3 5 6 4 6 5 6 7 5 5 4 4 4 5 7 6 15 8 8 6 8 7 6 7 7 8 6 7 4 7 7 7 7 5 7 7 8 3 4 3 5 6 6 6 7 16 7 9 8 7 6 7 6 6 6 7 6 6 7 9 6 7 4 7 8 8 4 5 4 5 6 7 8 6 17 7 7 6 7 6 6 5 6 6 5 6 5 4 5 7 4 7 7 8 8 5 3 5 3 7 6 7 7 18 8 7 8 7 7 6 7 7 6 8 6 5 4 8 7 5 7 8 7 7 3 5 4 4 7 7 5 7 19 7 7 7 7 5 5 5 6 7 7 7 4 5 7 7 4 5 6 6 8 4 3 5 5 6 7 7 7 20 7 7 7 7 7 7 6 7 6 6 6 6 5 5 5 5 7 6 8 7 4 3 5 4 7 8 7 7 21 8 5 8 8 7 7 8 7 7 5 7 7 6 5 7 6 7 5 5 8 3 4 5 4 7 6 7 6 22 6 6 6 6 6 6 5 5 6 6 5 6 5 5 4 4 7 6 7 7 4 5 5 5 6 7 6 7 23 7 6 6 7 6 6 7 6 6 4 4 5 6 5 6 7 8 7 8 8 3 4 5 5 5 5 7 8 24 7 6 7 5 7 6 6 6 6 7 5 5 6 4 5 4 7 6 6 7 4 3 4 5 6 8 9 8 25 7 7 7 7 7 6 7 5 5 5 5 5 6 6 6 6 8 8 8 8 3 4 5 4 9 7 7 9 26 6 6 5 5 6 6 7 6 8 6 6 6 5 7 6 5 6 7 7 6 4 4 4 5 7 7 8 5 27 7 8 8 7 6 7 7 5 7 5 5 3 4 4 5 4 7 7 7 7 5 5 3 5 7 8 7 8 28 8 7 8 6 6 6 6 6 7 6 6 5 4 6 7 5 7 7 7 7 5 3 5 5 6 5 6 7 29 7 8 5 7 7 7 7 6 7 7 5 7 4 7 6 7 6 6 6 7 4 4 4 4 6 6 8 7 30 6 6 6 6 6 6 7 5 8 4 5 4 3 3 3 3 6 6 7 7 3 4 5 4 6 6 7 6 Rataan 7,1 6,9 6,6 6,5 6,5 6,3 6,2 6 6,5 5,9 5,8 5,3 5,4 5,8 5,9 5,3 6,5 6,7 6,9 7,2 4 4,2 4,5 4,6 6,2 6,3 6,8 7,0
87
Lampiran 20 Uji Kruskal Wallis pengaruh perbedaan penambahan konsentrasi IPK terhadap uji lipat sosis ikan lele dumbo pada penelitian utama
Ranks kode N Mean Rank ujilipat SA3 30 47,55 VB5 30 55,90 XC2 30 67,03 FD4 30 71,52 Total 120
Test Statistics(a,b) ujilipat Chi-Square 10,413 df 3 Asymp. Sig. ,015
a Kruskal Wallis Test b Grouping Variable: kode
Lampiran 21 Uji lanjut Multiple Comparison pengaruh perbedaan penambahan
konsentrasi terhadap uji lipat sosis ikan lele dumbo ujilipat Duncan
kode N
Subset for alpha = .05
1 2 SA3 30 4,00 VB5 30 4,20 4,20XC2 30 4,47FD4 30 4,57Sig. ,266 ,054
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 30,000.
88
Lampiran 22 Uji Kruskal Wallis pengaruh perbedaan penambahan konsentrasi IPK terhadap uji gigit sosis ikan lele dumbo pada penelitian utama
Ranks Kode N Mean Rank ujigigit SA3 30 47,63 VB5 30 51,58 XC2 30 67,67 FD4 30 75,12 Total 120
Test Statistics(a,b) ujigigit Chi-Square 13,984 df 3 Asymp. Sig. ,003
a Kruskal Wallis Test b Grouping Variable: kode
Lampiran 23 Uji lanjut Multiple Comparison pengaruh perbedaan penambahan konsentrasi terhadap uji gigit sosis ikan lele dumbo
ujigigit Duncan
kode N
Subset for alpha = .05
1 2 SA3 30 6,20 VB5 30 6,33 XC2 30 6,83FD4 30 7,03Sig. ,595 ,425
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 30,000.
89
Lampiran 24 Grafik uji kenormalan galat kekuatan gel
kekuatan gel
Perc
ent
350300250200150100
99
95
90
80
70
60504030
20
10
5
1
Mean
>0,150
233,3StDev 48,60N 8KS 0,229P-Value
Probability Plot of kekuatan gelNormal
Lampiran 25 Analisis ragam dan uji lanjut Multiple comparison terhadap
kekuatan gel sosis ikan lele dumbo
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: kekuatangel
Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model 10756,964(a) 3 3585,655 9,293 ,028 Intercept 450727,651 1 450727,651 1168,146 ,000 perlakuan 10756,964 3 3585,655 9,293 ,028 Error 1543,395 4 385,849 Total 463028,010 8 Corrected Total 12300,359 7
a R Squared = ,875 (Adjusted R Squared = ,780)
kekuatangel Duncan
perlakuan N
Subset
1 2 10% 2 192,4500 13% 2 220,5500 16% 2 244,0000 244,000019% 2 292,4500Sig. ,062 ,069
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 385,849. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2,000. b Alpha = ,05.
90
Lampiran 26 Grafik uji kenormalan galat WHC
WHC
Perc
ent
90,087,585,082,580,077,575,0
99
95
90
80
70
60504030
20
10
5
1
Mean
>0,150
81,26StDev 3,050N 8KS 0,154P-Value
Probability Plot of WHCNormal
Lampiran 27 Analisis ragam terhadap WHC sosis ikan lele dumbo
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: WHC
Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model 51,310(a) 3 17,103 4,959 ,078 Intercept 52830,377 1 52830,377 15318,980 ,000 perlakuan 51,310 3 17,103 4,959 ,078 Error 13,795 4 3,449 Total 52895,481 8 Corrected Total 65,104 7
a R Squared = ,788 (Adjusted R Squared = ,629)
91
Lampiran 28 Grafik uji kenormalan galat stabilitas emulsi
stabilitas emulsi
Perc
ent
6664626058565452
99
95
90
80
70
60504030
20
10
5
1
Mean
>0,150
59,13StDev 2,638N 8KS 0,201P-Value
Probability Plot of stabilitas emulsiNormal
Lampiran 29 Analisis ragam terhadap stabilitas emulsi sosis ikan lele dumbo
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: stabilitasemulsi
Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model 32,670(a) 3 10,890 2,716 ,179 Intercept 27970,855 1 27970,855 6976,276 ,000 perlakuan 32,670 3 10,890 2,716 ,179 Error 16,038 4 4,009 Total 28019,563 8 Corrected Total 48,708 7
a R Squared = ,671 (Adjusted R Squared = ,424)
92
Lampiran 30 Uji Kruskal Wallis pengaruh perbedaan penambahan konsentrasi IPK terhadap penampakan sosis ikan lele dumbo pada penelitian utama
Ranks kode N Mean Rank penampakan SA3 30 69,07 VB5 30 63,30 XC2 30 57,58 FD4 30 52,05 Total 120
Test Statistics(a,b) penampakan Chi-Square 4,548 df 3 Asymp. Sig. ,208
a Kruskal Wallis Test b Grouping Variable: kode
Lampiran 31 Uji Kruskal Wallis pengaruh perbedaan penambahan konsentrasi IPK terhadap warna sosis ikan lele dumbo pada penelitian utama
Ranks kode N Mean Rank warna SA3 30 71,73 VB5 30 62,12 XC2 30 58,47 FD4 30 49,68 Total 120
Test Statistics(a,b) warna Chi-Square 7,179 df 3 Asymp. Sig. ,066
a Kruskal Wallis Test b Grouping Variable: kode
93
Lampiran 32 Uji Kruskal Wallis pengaruh perbedaan penambahan konsentrasi IPK terhadap aroma sosis ikan lele dumbo pada penelitian utama
Ranks kode N Mean Rank aroma SA3 30 54,98 VB5 30 64,50 XC2 30 70,35 FD4 30 52,17 Total 120
Test Statistics(a,b) aroma Chi-Square 5,563 df 3 Asymp. Sig. ,135
a Kruskal Wallis Test b Grouping Variable: kode Lampiran 33 Uji Kruskal Wallis pengaruh perbedaan penambahan konsentrasi
IPK terhadap rasa sosis ikan lele dumbo pada penelitian utama Ranks kode N Mean Rank rasa SA3 30 80,20 VB5 30 60,72 XC2 30 57,77 FD4 30 43,32 Total 120
Test Statistics(a,b) rasa Chi-Square 18,558 df 3 Asymp. Sig. ,000
a Kruskal Wallis Test b Grouping Variable: kode
94
Lampiran 34 Uji lanjut Multiple Comparison pengaruh perbedaan penambahan konsentrasi IPK terhadap rasa sosis ikan lele dumbo
rasa Duncan
kode N
Subset for alpha = .05
1 2 3 FD4 30 5,33 XC2 30 5,83 5,83 VB5 30 5,90 SA3 30 6,53Sig. ,054 ,796 1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 30,000.
Lampiran 35 Uji Kruskal Wallis pengaruh perbedaan penambahan konsentrasi IPK terhadap tekstur sosis ikan lele dumbo pada penelitian utama
Ranks kode N Mean Rank tekstur SA3 30 49,32 VB5 30 54,07 XC2 30 62,43 FD4 30 76,18 Total 120
Test Statistics(a,b) tekstur Chi-Square 11,756 df 3 Asymp. Sig. ,008
a Kruskal Wallis Test b Grouping Variable: kode
Lampiran 36 Uji lanjut Multiple Comparison pengaruh perbedaan penambahan konsentrasi IPK terhadap tekstur sosis ikan lele dumbo
tekstur
Duncan
kode N
Subset for alpha = .05
1 2 SA3 30 6,47 VB5 30 6,67 XC2 30 6,87 6,87FD4 30 7,23Sig. ,086 ,096
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 30,000.
95
Lampiran 37 Contoh perhitungan rendemen daging lumat dan rendemen surimi
Pencucian daging lumat dengan frekuensi pencucian 2 kali
Ikan lele utuh = 10kg = 10000 gram
Daging lumat = 3102 gram (31,02%)
Daging lumat untuk tiap perlakuan = 1034 gram
o Pencucian pertama
Air : daging (3:1) = 1034 gram x 3 = 3102 ml
Hasil = 658 gram
o Pencucian kedua
Air : daging (3:1) = 658 gram x 3 = 1974 ml
Garam = 658 gram x 0,3% = 1,9 gram
Hasil = 624 gram
Bobot surimi dengan frekuensi pencucian 2 kali = 624 gram
Rendemen surimi frekuensi pencucian 2 kali :
Rendemen surimi = bobot surimi x 100% (Bobot daging utuh : 3)
= 624 gram x 100% 3333 gram
= 18,72%
96
Lampiran 38 Gambar hasil gel ikan dengan perbedaan frekuensi pencucian
Frekuensi pencucian 1 kali Frekuensi pencucian 2 kali
Frekuensi pencucian 3 kali Uji organoleptik kamaboko
97
Lampiran 39 Dokumentasi diagram alir pembuatan sosis ikan lele dumbo dengan perasa ayam
98
Lampiran 40 Hasil sosis ikan lele dumbo dengan perbedaan penambahan konsentrasi IPK
IPK konsentrasi 10 % IPK konsentrasi 13 %
IPK konsentrasi 16 % IPK konsentrasi 19 %