Upload
aliy-zulfanni
View
152
Download
4
Embed Size (px)
Citation preview
Pengaruh Ada atau Tidak-Nya Perbedaan Mazhab Terhadap Cara Bergaul Pada Siswa/Siswi SMA Plus Muthahhari.
Disusun Oleh : Muhammad Aliy Zulfanni
Kelas : XII IPA II
YAYASAN MUTHAHHARI UNTUK PENCERAHAN PEMIKIRAN ISLAM
SMA PLUS MUTHAHHARIJl. Kampus II No.13-17 Babakansari Kiaracondong, Tlp (022) 7204780 Bandung
BAB I
Latar Belakang Pemikiran.
Mazhab Adalah istilah dari bahasa Arab, yang berarti jalan yang dilalui dan
dilewati, sesuatu yang menjadi tujuan seseorang baik konkrit maupun abstrak.
Sesuatu dikatakan mazhab bagi seseorang jika cara atau jalan tersebut menjadi
ciri khasnya. Menurut para ulama dan ahli agama Islam, yang dinamakan
mazhab adalah metode (manhaj) yang dibentuk setelah melalui pemikiran dan
penelitian, kemudian orang yang menjalaninya menjadikannya sebagai pedoman
yang jelas batasan-batasannya, bagian-bagiannya, dibangun di atas prinsip-
prinsip dan kaidah-kaidah.
Mazhab menurut ulama fiqih, adalah sebuah metodologi fiqih khusus yang
dijalani oleh seorang ahli fiqih mujtahid yang berbeda dengan ahli fiqih lain,
yang menghantarkannya memilih sejumlah hukum dalam kawasan ilmu furu'.
Ini adalah pengertian mazhab secara umum, bukan suatu mazhab khusus.
kumpulan pendapat mujtahid yang berupa hukum-hukum Islam, yang digali dari
dalil-dalil syariat yang rinci serta berbagai kaidah (qawâ’id) dan landasan
(ushûl) yang mendasari pendapat tersebut, yang saling terkait satu sama lain
sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh (Nahrawi, 1994: 208; Abdullah,
1995: 197). Menurut Muhammad Husain Abdullah (1995:197), istilah
mazhab mencakup dua hal: (1) sekumpulan hukum-hukum Islam yang digali
seorang imam mujtahid; (2) ushul fikih yang menjadi jalan (tharîq) yang
ditempuh mujtahid itu untuk menggali hukum-hukum Islam dari dalil-dalilnya
yang rinci.
Mazhab yang digunakan secara luas saat ini antara lain mazhab Hanafi,
mazhab Maliki, mazhab Syafi'i dan mazhab Hambali dari kalangan Sunni.
Sementara kalangan Syi'ah memiliki mazhab Ja'fari, Ismailiyah dan Zaidiyah.
Oleh karna berbagai macamnya Mazhab yang ada sering kali membuat
persengketaan diluar maupun didalam mazhab yang sama. Karna memang
perbedaan selalu mengundang kontroversi. Tapi tak menutup kemungkinan
perbedaan yang ada dapat memberikan dampak positif juga. Dan ini juga tentu
dapat mempengaruhi cara kita bergaul dengan kawan kita yang memiliki
mazhab yang berbeda dengan kita.
Rumusan Masalah
1) Apa yang dimaksud dengan mazhab?
2) Apa gunanya mazhab bagi umat manusia?
3) Ada atau tidak-kah perbedaan mazhab di SMA Plus Muthahhari?
4) Jika ada, Apa dampak Positif dan Negatif dari adanya perbedaan
mazhab di SMA Plus Muthahhari?
Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui ada atau tidak-nya pengaruh perbedaan mazhab di SMA
Plus Muthahhari dan dampak positif serta dampak negatif atas keberadaan
perbedaan mazhab diantara siswa/siswi SMA Plus Muthahhari.
Manfaat Penelitian
Kita dapat mengetahui pengaruh adanya perbedaan mazhab diantara
siswa/siswi SMA Plus Muthahhari. Dan setelah kita mengetahui dampak-nya.
Kita dapat mengintrospeksi, bercermin pada kesalahan kita (jika ada) dan
memperbaikinya. Setelah kita melakukan penelitian kita mendapatnkan
pencerahan tentang bagaimana kita seharusnya menghadapi perbedaan mazhab
yang ada.
Ruang Lingkup Penelitian
Ada atau tidak-nya dampak dari pengaruh adanya perbedaan mazhab
diantara Siswa/Siswi Sma Plus Muthahhari.
Definisi Operasional
Mazhab menurut bahasa Arab adalah isim makan (kata benda keterangan
tempat) dari akar kata dzahab (pergi) (Al-Bakri, I‘ânah ath-Thalibin, I/12).
Jadi, mazhab itu secara bahasa artinya, “tempat pergi”, yaitu jalan (ath-tharîq)
(Abdullah, 1995: 197; Nahrawi, 1994: 208).
Sedangkan menurut istilah ushul fiqih, mazhab adalah kumpulan pendapat
mujtahid yang berupa hukum-hukum Islam, yang digali dari dalil-dalil syariat
yang rinci serta berbagai kaidah (qawâ’id) dan landasan (ushûl) yang mendasari
pendapat tersebut, yang saling terkait satu sama lain sehingga menjadi satu
kesatuan yang utuh (Nahrawi, 1994: 208; Abdullah, 1995: 197). Menurut
Muhammad Husain Abdullah (1995:197), istilah mazhab mencakup dua hal:
(1) sekumpulan hukum-hukum Islam yang digali seorang imam mujtahid; (2)
ushul fikih yang menjadi jalan (tharîq) yang ditempuh mujtahid itu untuk
menggali hukum-hukum Islam dari dalil-dalilnya yang rinci.
Dengan demikian, kendatipun mazhab itu manifestasinya berupa hukum-
hukum syariat (fikih), harus dipahami bahwa mazhab itu sesungguhnya juga
mencakup ushul fikih yang menjadi metode penggalian (tharîqah al-istinbâth)
untuk melahirkan hukum-hukum tersebut. Artinya, jika kita mengatakan
mazhab Syafi’i, itu artinya adalah, fikih dan ushul fikih menurut Imam Syafi’i
(Nahrawi, 1994: 208).
Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani menegaskan dua unsur mazhab ini
dengan berkata, “Setiap mazhab dari berbagai mazhab yang ada mempunyai
metode penggalian (tharîqah al-istinbâth) dan pendapat tertentu dalam hukum-
hukum syariat.” (Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah, II/395).
Berbagai mazhab fikih lahir pada masa keemasan fikih, yaitu dari abad ke-2 H
hingga pertengahan abad ke-4 H dalam rentang waktu 250 tahun di bawah
Khilafah Abbasiyah yang berkuasa sejak tahun 132 H (Al-Hashari, 1991: 209;
Khallaf, 1985:46; Mahmashani, 1981: 35). Pada masa ini, tercatat telah lahir
paling tidak 13 mazhab fikih (di kalangan Sunni) dengan para imamnya masing-
masing, yaitu: Imam Hasan al-Bashri (w. 110 H), Abu Hanifah (w. 150 H), al-
Auza’i (w. 157 H), Sufyan ats-Tsauri (w. 160 H), al-Laits bin Sa’ad (w. 175 H),
Malik bin Anas (w. 179 H), Sufyan bin Uyainah (w. 198 H), asy-Syafi’i (w. 204
H), Ahmad bin Hanbal (w. 241 H), Dawud azh-Zhahiri (w. 270 H), Ishaq bin
Rahawaih (w. 238 H), Abu Tsaur (w. 240 H), dan Ibn Jarir ath-Thabari (w. 310
H) (Lihat: al-’Alwani, 1987: 88; as-Sayis, 1997: 146).
Bagaimana mazhab-mazhab itu lahir di tengah masyarakat dalam kurun
sejarah saat itu? Seperti dijelaskan Nahrawi (1994: 164-168), terdapat berbagai
faktor dalam masyarakat yang mendorong aktivitas keilmuan yang pada
akhirnya melahirkan berbagai mazhab fikih, antara lain:
Pertama, kestabilan politik dan kesejahteraan ekonomi.
Kedua, kesungguhan para ulama dan fukaha.
Ketiga, perhatian para khalifah terhadap fikih dan fukaha.
Keempat, pembukuan ilmu-ilmu (tadwîn al-‘ulûm). Pada masa ini telah
dilakukan pembukuan berbagai cabang ilmu seperti hadis, fikih, dan tafsir yang
memudahkan tersedianya rujukan untuk mengembangkan ilmu fikih.
Kelima, adanya berbagai perdebatan dan diskusi (munâzharât) di antara ulama.
Ini merupakan faktor terbesar yang merangsang perkembangan ilmu fikih
(Nahrawi, 1994: 164-168. Lihat juga: Al-Hudhari Bik, 1981: 174-182;
Khallaf, 1985: 46-48; Al-Hashari, 1991: 209-213).
Bagaimana terbentuknya mazhab-mazhab itu sendiri? Menurut Syaikh
Taqiyuddin an-Nabhani (1994: 386), berbagai mazhab itu terbentuk karena
adanya perbedaan (ikhtilâf) dalam masalah ushûl maupun furû‘ sebagai dampak
adanya berbagai diskusi (munâzharât) di kalangan ulama. Ushul terkait dengan
metode penggalian (tharîqah al-istinbâth), sedangkan furû‘ terkait dengan
hukum-hukum syariat yang digali berdasarkan metode istinbâth tersebut.
Lebih jauh An-Nabhani menerangkan bagaimana dapat terjadi perbedaan
metode penggalian (tharîqah al-istinbâth) hukum tersebut. Ini disebabkan
adanya perbedaan dalam 3 (tiga) hal, yaitu: (1) perbedaan dalam sumber hukum
(mashdar al-ahkâm); (2) perbedaan dalam cara memahami nash; (3) perbedaan
dalam sebagian kaidah kebahasaan untuk memahami nash (An-Nabhani, 1994:
387-392).
Mengenai perbedaan sumber hukum, hal itu terjadi karena ulama berbeda
pendapat dalam 4 (empat) perkara berikut, yaitu:
1. Metode mempercayai as-Sunnah serta kriteria untuk menguatkan satu riwayat
atas riwayat lainnya. Para mujtahidin Irak (Abu Hanifah dan para sahabatnya),
misalnya, berhujjah dengan sunnah mutawâtirah dan sunnah masyhûrah;
sedangkan para mujtahidin Madinah (Malik dan sahabat-sahabatnya) berhujjah
dengan sunnah yang diamalkan penduduk Madinah (Khallaf, 1985: 57-58).
2. Fatwa sahabat dan kedudukannya. Abu Hanifah, misalnya, mengambil fatwa
sahabat dari sahabat siapa pun tanpa berpegang dengan seorang sahabat, serta
tidak memperbolehkan menyimpang dari fatwa sahabat secara keseluruhan.
Sebaliknya, Syafi’i memandang fatwa sahabat sebagai ijtihad individual
sehingga boleh mengambilnya dan boleh pula berfatwa yang menyelisihi
keseluruhannya (Khallaf, 1985: 58-59).
3. Kehujjahan Qiyas. Sebagian mujtahidin seperti ulama Zhahiriyah
mengingkari kehujahan Qiyas sebagai sumber hukum, sedangkan mujtahidin
lainnya menerima Qiyas sebagai sumber hukum sesudah al-Quran, as-Sunnah,
dan Ijma (Khallaf, 1985: 59).
4. Subyek dan hakikat kehujjahan Ijma. Para mujtahidin berbeda pendapat
mengenai subyek (pelaku) Ijma dan hakikat kehujjahannya. Sebagian
memandang Ijma Sahabat sajalah yang menjadi hujjah. Yang lain berpendapat,
Ijma Ahlul Bait-lah yang menjadi hujah. Yang lainnya lagi menyatakan, Ijma
Ahlul Madinah saja yang menjadi hujah. Mengenai hakikat kehujjahan Ijma,
sebagian menganggap Ijma menjadi hujjah karena merupakan titik temu
pendapat (ijtimâ‘ ar-ra‘yi); yang lainnya menganggap hakikat kehujjahan Ijma
bukan karena merupakan titik temu pendapat, tetapi karena menyingkapkan
adanya dalil dari as-Sunnah (An-Nabhani, 1994: 388-389).
Mengenai perbedaan dalam cara memahami nash, sebagian mujtahidin
membatasi makna nash syariat hanya pada yang tersurat dalam nash saja.
Mereka disebut Ahl al-Hadîts (fukaha Hijaz). Sebagian mujtahidin lainnya tidak
membatasi maknanya pada nash yang tersurat, tetapi memberikan makna
tambahan yang dapat dipahami akal (ma‘qûl). Mereka disebut Ahl ar-Ra‘yi
(fukaha Irak). Dalam masalah zakat fitrah, misalnya, para fukaha Hijaz
berpegang dengan lahiriah nash, yakni mewajibkan satu sha’ makanan secara
tertentu dan tidak membolehkan menggantinya dengan harganya. Sebaliknya,
fukaha Irak menganggap yang menjadi tujuan adalah memberikan kecukupan
kepada kaum fakir (ighnâ’ al-faqîr), sehingga mereka membolehkan berzakat
fitrah dengan harganya, yang senilai satu sha‘ (1 sha‘= 2,176 kg takaran
gandum) (Khallaf, 1985: 61; Az-Zuhaili, 1996: 909-911).
Mengenai perbedaan dalam sebagian kaidah kebahasaan untuk memahami
nash, hal ini terpulang pada perbedaan dalam memahami cara pengungkapan
makna dalam bahasa Arab (uslûb al-lughah al-‘arabiyah). Sebagian ulama,
misalnya, menganggap bahwa nash itu dapat dipahami menurut manthûq
(ungkapan eksplisit)-nya dan juga menurut mafhûm mukhâlafah (pengertian
implisit yang berkebalikan dari makna eksplisit)-nya. Sebagian ulama lainnya
hanya berpegang pada makna manthûq dari nash dan menolak mengambil
mafhûm mukhâlafah dari nash (Khallaf, 1985: 64).
Bolehkah kita bertaklid (mengikuti) mazhab tertentu? Menjawab pertanyaan
ini, Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani (1994:232) menyatakan, sesungguhnya
Allah SWT tidak memerintahkan kita mengikuti seorang mujtahid, seorang
imam, ataupun suatu mazhab. Yang diperintahkan Allah SWT kepada kita
adalah mengikuti hukum syariat dan mengamalkannya. Itu berarti, kita tidak
diperintahkan kecuali mengambil apa saja yang dibawa Rasulullah Saw kepada
kita dan meninggalkan apa saja yang dilarangnya atas kita (Qs. al-Hasyr [59]:
7).
Karena itu, An-Nabhani menandaskan, secara syar‘î kita tidak dibenarkan
kecuali mengikuti hukum-hukum Allah; tidak dibenarkan kita mengikuti
pribadi-pribadi tertentu (An-Nabhani, 1994: 232).
Akan tetapi, fakta menunjukkan, tidak semua orang mempunyai
kemampuan menggali hukum syariat sendiri secara langsung dari sumber-
sumbernya (Al-Quran dan as-Sunnah). Karena itu, di tengah-tengah umat
kemudian banyak yang bertaklid pada hukum-hukum yang digali oleh seorang
mujtahid. Mereka pun menjadikan mujtahid itu sebagai imam mereka dan
menjadikan hukum-hukum hasil ijtihadnya sebagai mazhab mereka (An-
Nabhani, 1994: 232). Persoalannya, apakah bermazhab ini sesuatu yang
dibenarkan syariat Islam?
An-Nabhani menjawab, hal itu bergantung pada persepsi umat terhadap
masalah ini. Jika mereka berpaham bahwa yang mereka ikuti adalah hukum-
hukum syariat yang digali oleh seorang mujtahid maka bermazhab adalah
sesuatu yang sahih dalam pandangan syariat Islam. Sebaliknya, jika umat
berpaham bahwa yang mereka ikuti adalah pribadi mujtahid (syakhsh al-
mujtahid), bukan hukum hasil ijtihad mujtahid itu, maka bermazhab seperti ini
adalah sesuatu yang bertolak belakang dengan syariat Islam (An-Nabhani,
1994: 232).
Walhasil, para pengikut mazhab wajib memperhatikan hal ini dengan
sangat seksama; sekali lagi, sangat seksama, yaitu bahwa yang mereka ikuti
hanyalah hukum syariat yang digali oleh mujtahid, bukan pribadi mujtahid yang
bersangkutan. Kalau seseorang bermazhab Syafi’i, misalnya, maka wajiblah dia
mempunyai persepsi, bahwa yang dia ikuti bukanlah Imam Syafi’i sebagai
pribadi (taqlîd asy-syaksh), melainkan hukum syariat yang digali oleh Imam
Syafi’i (taqlîd al-ahkâm). Jika persepsinya tidak demikian, maka para pengikut
mazhab pada Hari Kiamat kelak akan ditanya oleh Allah Azza wa Jalla,
mengapa mereka meninggalkan hukum Allah dan mengikuti pribadi-pribadi
yang statusnya juga sesama hamba-Nya seperti halnya para pengikut mazhab
itu? (An-Nabhani, 1994: 232 & 394).
Para pengikut mazhab, di samping wajib mempunyai persepsi yang benar
tentang bermazhab (seperti diuraikan sebelumnya), wajib memahami setidaknya
2 (dua) prinsip penting lainnya dalam bermazhab (Abdullah, 1995: 372), yaitu:
Pertama, wajib atas muqallid suatu mazhab untuk tidak fanatik (ta‘âshub)
terhadap mazhab yang diikutinya (Ibn Humaid, 1995: 54). Tidaklah benar,
ketika Syaikh Abu Hasan Abdullah al-Karkhi (w. 340 H), seorang ulama
mazhab Hanafi, berkata secara fanatik, “Setiap ayat al-Quran atau hadis yang
menyalahi ketetapan mazhab kita bisa ditakwilkan atau dihapus (mansûkh).”
(Abdul Jalil Isa, 1982: 74). Karena itu, jika terbukti mazhab yang diikutinya
salah dalam suatu masalah, dan pendapat yang benar (shawâb) ada dalam
mazhab lain, maka wajib baginya untuk mengikuti pendapat yang benar itu
menurut dugaan kuatnya. Para imam mazhab sendiri mengajarkan agar kita
tidak bersikap fanatik. Ibnu Abdil Barr meriwayatkan, bahwa Imam Abu
Hanifah pernah berkata, “Idzâ shaha al-hadîts fahuwa madzhabî (Jika suatu
hadis/pendapat telah dipandang sahih maka itulah mazhabku).” (Al-Bayanuni,
1994: 90). Al-Hakim dan Al-Baihaqi juga meriwayatkan, bahwa Imam Syafi’i
pernah mengatakan hal yang sama. Dalam satu riwayat, Imam Syafi’i juga
pernah berkata, “Jika kamu melihat ucapanku menyalahi hadis, amalkanlah
hadis tersebut dan lemparkanlah pendapatku ke tembok.” (Al-Dahlawi, 1989:
112).
Kedua, sesungguhnya perbedaan pendapat (khilâfiyah) di kalangan mazhab-
mazhab adalah sesuatu yang sehat dan alamiah, bukan sesuatu yang janggal atau
menyimpang dari Islam, sebagaimana sangkaan sebagian pihak. Sebab,
kemampuan akal manusia berbeda-beda, sebagaimana nash-nash syariat juga
berpotensi memunculkan perbedaan pemahaman. Perbedaan ijtihad di kalangan
sahabat telah terjadi sejak zaman Rasulullah Saw. Beliau pun membenarkan hal
tersebut dengan taqrîr-nya (Abdullah, 1995: 373).
Hipotesis
Adanya perbedaan mazhab diantar siswa/siswi SMA Plus Muthahhari tidak
memberikan dampak yang negatif bagi siswa/siswi SMA Plus Muthahhari.
Karena siswa/siswi SMA Plus Muthahhari didik dengan baik bagaimana
caranya menghadapi perbedaan yang ada. Jadi perbedaan mazhab tidak
mempengaruhi cara bergaul diantara siswa/siswi SMA Plus Muthahhari. Karna
siswa/siswi SMA Plus Muthahhari mengajarkan bahwa tidak ada islam, hindu,
Kristen, ataupun budha. Yang ada itu manusia yang perilakunya baik dan
manusia yang perilakunya buruk. Dan adanya perbedaan mazhab-pun sama
sekali tidak akan mempengaruhi hubungan pertemanan siswa/siswi SMA Plus
Muthahhari. Karna perbedaan tersebut tak seharusnya berujung perselisihan.
Dan bagi siswa/siswi SMA Plus Muthahhari, lebih baik berlomba-lomba dalam
kebaikan itu lebih penting.
BAB II
Studi Pustaka
Angket1) Populasi : SMA Plus Muthahhari2) Sampel :
Kelas XA :
Daftar Pustaka
1. Abdullah, M. Husain. 1995. Al-Wadhîh fî Ushûl sl-Fiqh. Beirut: Darul
Bayariq.
2. Ad-Dahlawi, Syah Waliyullah. 1989. Lahirnya Mazhab-Mazhab Fiqh (Al-
Inshâf fî Bayân Asbâb al-Ikhtilâf). Terjemahan oleh Mujiyo Nurkholis.
Bandung: CV Rosda.
3. Al-‘Alwani, Thaha Jabir. 1987. Adâb Al-Ikhtilâf fî al-Islâm. Washington: Al-
Ma’had Al-‘Alami li Al-Fikr Al-Islami (IIIT).
4. Al-Bakri, As-Sayyid. T.t. I‘ânah ath-Thâlibîn. Jld. I. Semarang: Maktabah wa
Mathba’ah Toha Putera.
5. Al-Bayanuni, M. Abul Fath. 1994. Studi Tentang Sebab-Sebab Perbedaan
Mazhab (Dirâsât fî al-Ikhtilâfât al-Fiqhiyah). Terjemahan oleh Zaid Husein Al-
Hamid. Surabaya: Mutiara Ilmu.
6. Al-Hashari, Ahmad. 1991. Târîkh al-Fiqh al-Islami Nasy’atuhu,
Mashâdiruhu, Adwâruhu, Madârisuhu. Beirut: Darul Jil.
7. An-Nabhani, Taqiyuddin. 1994. Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyah. Jld. I.
Beirut: Darul Ummah
8. As-Sayis, M. Ali. 1997. Fiqih Ijtihad Pertumbuhan dan Perkembangannya
(Nasy’ah al-Fiqh al-Ijtihâdi wa Athwâruhu). Terjemahan oleh M. Muzamil.
Solo: CV Pustaka Mantiq.
9. Az-Zuhaili, Wahbah. 1996. Al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu. Jld. II. Beirut:
Darul Fikr.
10. Bik, M. Al-Hudhari. 1981. Târîkh Tasyrî‘ al-Islâmi. T.tp.: Maktabah Dar
Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyah.
11. Ibn Humaid, Shalih Abdullah. 1995. Adab Berselisih Pendapat (Adab al-
Khilâf). Terjemahan oleh Abdul Rosyad Shiddiq. Solo: Khazanah Ilmu.
12. Isa, Abdul Jalil. 1982. Masalah-Masalah Keagamaan Yang Tidak Boleh
Diperselisihkan Antar Sesama Umat Islam (Mâ Lâ Yajûzu fîhi al-Khilâf bayna
al-Muslimîn). Terjemahan oleh M. Tolchah Mansoer & Masyhur Amin.
Bandung: PT Alma’arif.
13. Khallaf, Abdul Wahhab. 1985. Ikhtisar Sejarah Hukum Islam (Khulâshah
Târîkh at-Tasyrî‘ al-Islâmî). Terjemahan oleh Zahri Hamid & Parto Djumeno.
Yogyakarta: Dua Dimensi.
14. Mahmashani, Subhi. 1981. Filsafat Hukum Dalam Islam (Falsafah at-Tasyrî‘
fî al-Islâm). Terjemahan oleh Ahmad Sudjono. Bandung: PT Alma’arif.
15. Nahrawi, Ahmad. 1994. Al-Imâm asy-Syâfi‘i fî Mazhabayhi al-Qadîm wa
al-Jadîd. Kairo: Darul Kutub.
16. Sammarah, Ihsan. 1991. Mafhûm al-’Adalah al-Ijtimâ‘yah fî al-Fikri al-
Islâmî al- Mu‘âshir. Beirut: Dar An-Nahdhah Al-Islamiyah.
17. www.persoalan-seputar-mazhab.html
18. www.wikipedia\mazhab.com
19. www.kampusislam\mazhab.com