21
Pengaruh Ada atau Tidak-Nya Perbedaan Mazhab Terhadap Cara Bergaul Pada Siswa/Siswi SMA Plus Muthahhari. Disusun Oleh : Muhammad Aliy Zulfanni Kelas : XII IPA II YAYASAN MUTHAHHARI UNTUK PENCERAHAN PEMIKIRAN ISLAM

karya ilmiah

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: karya ilmiah

Pengaruh Ada atau Tidak-Nya Perbedaan Mazhab Terhadap Cara Bergaul Pada Siswa/Siswi SMA Plus Muthahhari.

Disusun Oleh : Muhammad Aliy Zulfanni

Kelas : XII IPA II

YAYASAN MUTHAHHARI UNTUK PENCERAHAN PEMIKIRAN ISLAM

SMA PLUS MUTHAHHARIJl. Kampus II No.13-17 Babakansari Kiaracondong, Tlp (022) 7204780 Bandung

Page 2: karya ilmiah

BAB I

Latar Belakang Pemikiran.

Mazhab Adalah istilah dari bahasa Arab, yang berarti jalan yang dilalui dan

dilewati, sesuatu yang menjadi tujuan seseorang baik konkrit maupun abstrak.

Sesuatu dikatakan mazhab bagi seseorang jika cara atau jalan tersebut menjadi

ciri khasnya. Menurut para ulama dan ahli agama Islam, yang dinamakan

mazhab adalah metode (manhaj) yang dibentuk setelah melalui pemikiran dan

penelitian, kemudian orang yang menjalaninya menjadikannya sebagai pedoman

yang jelas batasan-batasannya, bagian-bagiannya, dibangun di atas prinsip-

prinsip dan kaidah-kaidah.

Mazhab menurut ulama fiqih, adalah sebuah metodologi fiqih khusus yang

dijalani oleh seorang ahli fiqih mujtahid yang berbeda dengan ahli fiqih lain,

yang menghantarkannya memilih sejumlah hukum dalam kawasan ilmu furu'.

Ini adalah pengertian mazhab secara umum, bukan suatu mazhab khusus.

kumpulan pendapat mujtahid yang berupa hukum-hukum Islam, yang digali dari

dalil-dalil syariat yang rinci serta berbagai kaidah (qawâ’id) dan landasan

(ushûl) yang mendasari pendapat tersebut, yang saling terkait satu sama lain

sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh (Nahrawi, 1994: 208; Abdullah,

1995: 197). Menurut Muhammad Husain Abdullah (1995:197), istilah

mazhab mencakup dua hal: (1) sekumpulan hukum-hukum Islam yang digali

seorang imam mujtahid; (2) ushul fikih yang menjadi jalan (tharîq) yang

ditempuh mujtahid itu untuk menggali hukum-hukum Islam dari dalil-dalilnya

yang rinci.

Mazhab yang digunakan secara luas saat ini antara lain mazhab Hanafi,

mazhab Maliki, mazhab Syafi'i dan mazhab Hambali dari kalangan Sunni.

Sementara kalangan Syi'ah memiliki mazhab Ja'fari, Ismailiyah dan Zaidiyah.

Page 3: karya ilmiah

Oleh karna berbagai macamnya Mazhab yang ada sering kali membuat

persengketaan diluar maupun didalam mazhab yang sama. Karna memang

perbedaan selalu mengundang kontroversi. Tapi tak menutup kemungkinan

perbedaan yang ada dapat memberikan dampak positif juga. Dan ini juga tentu

dapat mempengaruhi cara kita bergaul dengan kawan kita yang memiliki

mazhab yang berbeda dengan kita.

Rumusan Masalah

1) Apa yang dimaksud dengan mazhab?

2) Apa gunanya mazhab bagi umat manusia?

3) Ada atau tidak-kah perbedaan mazhab di SMA Plus Muthahhari?

4) Jika ada, Apa dampak Positif dan Negatif dari adanya perbedaan

mazhab di SMA Plus Muthahhari?

Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui ada atau tidak-nya pengaruh perbedaan mazhab di SMA

Plus Muthahhari dan dampak positif serta dampak negatif atas keberadaan

perbedaan mazhab diantara siswa/siswi SMA Plus Muthahhari.

Manfaat Penelitian

Kita dapat mengetahui pengaruh adanya perbedaan mazhab diantara

siswa/siswi SMA Plus Muthahhari. Dan setelah kita mengetahui dampak-nya.

Kita dapat mengintrospeksi, bercermin pada kesalahan kita (jika ada) dan

memperbaikinya. Setelah kita melakukan penelitian kita mendapatnkan

pencerahan tentang bagaimana kita seharusnya menghadapi perbedaan mazhab

yang ada.

Page 4: karya ilmiah

Ruang Lingkup Penelitian

Ada atau tidak-nya dampak dari pengaruh adanya perbedaan mazhab

diantara Siswa/Siswi Sma Plus Muthahhari.

Definisi Operasional

Mazhab menurut bahasa Arab adalah isim makan (kata benda keterangan

tempat) dari akar kata dzahab (pergi) (Al-Bakri, I‘ânah ath-Thalibin, I/12).

Jadi, mazhab itu secara bahasa artinya, “tempat pergi”, yaitu jalan (ath-tharîq)

(Abdullah, 1995: 197; Nahrawi, 1994: 208).

Sedangkan menurut istilah ushul fiqih, mazhab adalah kumpulan pendapat

mujtahid yang berupa hukum-hukum Islam, yang digali dari dalil-dalil syariat

yang rinci serta berbagai kaidah (qawâ’id) dan landasan (ushûl) yang mendasari

pendapat tersebut, yang saling terkait satu sama lain sehingga menjadi satu

kesatuan yang utuh (Nahrawi, 1994: 208; Abdullah, 1995: 197). Menurut

Muhammad Husain Abdullah (1995:197), istilah mazhab mencakup dua hal:

(1) sekumpulan hukum-hukum Islam yang digali seorang imam mujtahid; (2)

ushul fikih yang menjadi jalan (tharîq) yang ditempuh mujtahid itu untuk

menggali hukum-hukum Islam dari dalil-dalilnya yang rinci.

Dengan demikian, kendatipun mazhab itu manifestasinya berupa hukum-

hukum syariat (fikih), harus dipahami bahwa mazhab itu sesungguhnya juga

mencakup ushul fikih yang menjadi metode penggalian (tharîqah al-istinbâth)

untuk melahirkan hukum-hukum tersebut. Artinya, jika kita mengatakan

mazhab Syafi’i, itu artinya adalah, fikih dan ushul fikih menurut Imam Syafi’i

(Nahrawi, 1994: 208).

Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani menegaskan dua unsur mazhab ini

dengan berkata, “Setiap mazhab dari berbagai mazhab yang ada mempunyai

metode penggalian (tharîqah al-istinbâth) dan pendapat tertentu dalam hukum-

hukum syariat.” (Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah, II/395).

Page 5: karya ilmiah

Berbagai mazhab fikih lahir pada masa keemasan fikih, yaitu dari abad ke-2 H

hingga pertengahan abad ke-4 H dalam rentang waktu 250 tahun di bawah

Khilafah Abbasiyah yang berkuasa sejak tahun 132 H (Al-Hashari, 1991: 209;

Khallaf, 1985:46; Mahmashani, 1981: 35). Pada masa ini, tercatat telah lahir

paling tidak 13 mazhab fikih (di kalangan Sunni) dengan para imamnya masing-

masing, yaitu: Imam Hasan al-Bashri (w. 110 H), Abu Hanifah (w. 150 H), al-

Auza’i (w. 157 H), Sufyan ats-Tsauri (w. 160 H), al-Laits bin Sa’ad (w. 175 H),

Malik bin Anas (w. 179 H), Sufyan bin Uyainah (w. 198 H), asy-Syafi’i (w. 204

H), Ahmad bin Hanbal (w. 241 H), Dawud azh-Zhahiri (w. 270 H), Ishaq bin

Rahawaih (w. 238 H), Abu Tsaur (w. 240 H), dan Ibn Jarir ath-Thabari (w. 310

H) (Lihat: al-’Alwani, 1987: 88; as-Sayis, 1997: 146).

Bagaimana mazhab-mazhab itu lahir di tengah masyarakat dalam kurun

sejarah saat itu? Seperti dijelaskan Nahrawi (1994: 164-168), terdapat berbagai

faktor dalam masyarakat yang mendorong aktivitas keilmuan yang pada

akhirnya melahirkan berbagai mazhab fikih, antara lain:

Pertama, kestabilan politik dan kesejahteraan ekonomi.

Kedua, kesungguhan para ulama dan fukaha.

Ketiga, perhatian para khalifah terhadap fikih dan fukaha.

Keempat, pembukuan ilmu-ilmu (tadwîn al-‘ulûm). Pada masa ini telah

dilakukan pembukuan berbagai cabang ilmu seperti hadis, fikih, dan tafsir yang

memudahkan tersedianya rujukan untuk mengembangkan ilmu fikih.

Kelima, adanya berbagai perdebatan dan diskusi (munâzharât) di antara ulama.

Ini merupakan faktor terbesar yang merangsang perkembangan ilmu fikih

(Nahrawi, 1994: 164-168. Lihat juga: Al-Hudhari Bik, 1981: 174-182;

Khallaf, 1985: 46-48; Al-Hashari, 1991: 209-213).

Bagaimana terbentuknya mazhab-mazhab itu sendiri? Menurut Syaikh

Taqiyuddin an-Nabhani (1994: 386), berbagai mazhab itu terbentuk karena

adanya perbedaan (ikhtilâf) dalam masalah ushûl maupun furû‘ sebagai dampak

adanya berbagai diskusi (munâzharât) di kalangan ulama. Ushul terkait dengan

metode penggalian (tharîqah al-istinbâth), sedangkan furû‘ terkait dengan

hukum-hukum syariat yang digali berdasarkan metode istinbâth tersebut.

Page 6: karya ilmiah

Lebih jauh An-Nabhani menerangkan bagaimana dapat terjadi perbedaan

metode penggalian (tharîqah al-istinbâth) hukum tersebut. Ini disebabkan

adanya perbedaan dalam 3 (tiga) hal, yaitu: (1) perbedaan dalam sumber hukum

(mashdar al-ahkâm); (2) perbedaan dalam cara memahami nash; (3) perbedaan

dalam sebagian kaidah kebahasaan untuk memahami nash (An-Nabhani, 1994:

387-392).

Mengenai perbedaan sumber hukum, hal itu terjadi karena ulama berbeda

pendapat dalam 4 (empat) perkara berikut, yaitu:

1. Metode mempercayai as-Sunnah serta kriteria untuk menguatkan satu riwayat

atas riwayat lainnya. Para mujtahidin Irak (Abu Hanifah dan para sahabatnya),

misalnya, berhujjah dengan sunnah mutawâtirah dan sunnah masyhûrah;

sedangkan para mujtahidin Madinah (Malik dan sahabat-sahabatnya) berhujjah

dengan sunnah yang diamalkan penduduk Madinah (Khallaf, 1985: 57-58).

2. Fatwa sahabat dan kedudukannya. Abu Hanifah, misalnya, mengambil fatwa

sahabat dari sahabat siapa pun tanpa berpegang dengan seorang sahabat, serta

tidak memperbolehkan menyimpang dari fatwa sahabat secara keseluruhan.

Sebaliknya, Syafi’i memandang fatwa sahabat sebagai ijtihad individual

sehingga boleh mengambilnya dan boleh pula berfatwa yang menyelisihi

keseluruhannya (Khallaf, 1985: 58-59).

3. Kehujjahan Qiyas. Sebagian mujtahidin seperti ulama Zhahiriyah

mengingkari kehujahan Qiyas sebagai sumber hukum, sedangkan mujtahidin

lainnya menerima Qiyas sebagai sumber hukum sesudah al-Quran, as-Sunnah,

dan Ijma (Khallaf, 1985: 59).

Page 7: karya ilmiah

4. Subyek dan hakikat kehujjahan Ijma. Para mujtahidin berbeda pendapat

mengenai subyek (pelaku) Ijma dan hakikat kehujjahannya. Sebagian

memandang Ijma Sahabat sajalah yang menjadi hujjah. Yang lain berpendapat,

Ijma Ahlul Bait-lah yang menjadi hujah. Yang lainnya lagi menyatakan, Ijma

Ahlul Madinah saja yang menjadi hujah. Mengenai hakikat kehujjahan Ijma,

sebagian menganggap Ijma menjadi hujjah karena merupakan titik temu

pendapat (ijtimâ‘ ar-ra‘yi); yang lainnya menganggap hakikat kehujjahan Ijma

bukan karena merupakan titik temu pendapat, tetapi karena menyingkapkan

adanya dalil dari as-Sunnah (An-Nabhani, 1994: 388-389).

Mengenai perbedaan dalam cara memahami nash, sebagian mujtahidin

membatasi makna nash syariat hanya pada yang tersurat dalam nash saja.

Mereka disebut Ahl al-Hadîts (fukaha Hijaz). Sebagian mujtahidin lainnya tidak

membatasi maknanya pada nash yang tersurat, tetapi memberikan makna

tambahan yang dapat dipahami akal (ma‘qûl). Mereka disebut Ahl ar-Ra‘yi

(fukaha Irak). Dalam masalah zakat fitrah, misalnya, para fukaha Hijaz

berpegang dengan lahiriah nash, yakni mewajibkan satu sha’ makanan secara

tertentu dan tidak membolehkan menggantinya dengan harganya. Sebaliknya,

fukaha Irak menganggap yang menjadi tujuan adalah memberikan kecukupan

kepada kaum fakir (ighnâ’ al-faqîr), sehingga mereka membolehkan berzakat

fitrah dengan harganya, yang senilai satu sha‘ (1 sha‘= 2,176 kg takaran

gandum) (Khallaf, 1985: 61; Az-Zuhaili, 1996: 909-911).

Mengenai perbedaan dalam sebagian kaidah kebahasaan untuk memahami

nash, hal ini terpulang pada perbedaan dalam memahami cara pengungkapan

makna dalam bahasa Arab (uslûb al-lughah al-‘arabiyah). Sebagian ulama,

misalnya, menganggap bahwa nash itu dapat dipahami menurut manthûq

(ungkapan eksplisit)-nya dan juga menurut mafhûm mukhâlafah (pengertian

implisit yang berkebalikan dari makna eksplisit)-nya. Sebagian ulama lainnya

hanya berpegang pada makna manthûq dari nash dan menolak mengambil

mafhûm mukhâlafah dari nash (Khallaf, 1985: 64).

Page 8: karya ilmiah

Bolehkah kita bertaklid (mengikuti) mazhab tertentu? Menjawab pertanyaan

ini, Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani (1994:232) menyatakan, sesungguhnya

Allah SWT tidak memerintahkan kita mengikuti seorang mujtahid, seorang

imam, ataupun suatu mazhab. Yang diperintahkan Allah SWT kepada kita

adalah mengikuti hukum syariat dan mengamalkannya. Itu berarti, kita tidak

diperintahkan kecuali mengambil apa saja yang dibawa Rasulullah Saw kepada

kita dan meninggalkan apa saja yang dilarangnya atas kita (Qs. al-Hasyr [59]:

7).

Karena itu, An-Nabhani menandaskan, secara syar‘î kita tidak dibenarkan

kecuali mengikuti hukum-hukum Allah; tidak dibenarkan kita mengikuti

pribadi-pribadi tertentu (An-Nabhani, 1994: 232).

Akan tetapi, fakta menunjukkan, tidak semua orang mempunyai

kemampuan menggali hukum syariat sendiri secara langsung dari sumber-

sumbernya (Al-Quran dan as-Sunnah). Karena itu, di tengah-tengah umat

kemudian banyak yang bertaklid pada hukum-hukum yang digali oleh seorang

mujtahid. Mereka pun menjadikan mujtahid itu sebagai imam mereka dan

menjadikan hukum-hukum hasil ijtihadnya sebagai mazhab mereka (An-

Nabhani, 1994: 232). Persoalannya, apakah bermazhab ini sesuatu yang

dibenarkan syariat Islam?

An-Nabhani menjawab, hal itu bergantung pada persepsi umat terhadap

masalah ini. Jika mereka berpaham bahwa yang mereka ikuti adalah hukum-

hukum syariat yang digali oleh seorang mujtahid maka bermazhab adalah

sesuatu yang sahih dalam pandangan syariat Islam. Sebaliknya, jika umat

berpaham bahwa yang mereka ikuti adalah pribadi mujtahid (syakhsh al-

mujtahid), bukan hukum hasil ijtihad mujtahid itu, maka bermazhab seperti ini

adalah sesuatu yang bertolak belakang dengan syariat Islam (An-Nabhani,

1994: 232).

Page 9: karya ilmiah

Walhasil, para pengikut mazhab wajib memperhatikan hal ini dengan

sangat seksama; sekali lagi, sangat seksama, yaitu bahwa yang mereka ikuti

hanyalah hukum syariat yang digali oleh mujtahid, bukan pribadi mujtahid yang

bersangkutan. Kalau seseorang bermazhab Syafi’i, misalnya, maka wajiblah dia

mempunyai persepsi, bahwa yang dia ikuti bukanlah Imam Syafi’i sebagai

pribadi (taqlîd asy-syaksh), melainkan hukum syariat yang digali oleh Imam

Syafi’i (taqlîd al-ahkâm). Jika persepsinya tidak demikian, maka para pengikut

mazhab pada Hari Kiamat kelak akan ditanya oleh Allah Azza wa Jalla,

mengapa mereka meninggalkan hukum Allah dan mengikuti pribadi-pribadi

yang statusnya juga sesama hamba-Nya seperti halnya para pengikut mazhab

itu? (An-Nabhani, 1994: 232 & 394).

Para pengikut mazhab, di samping wajib mempunyai persepsi yang benar

tentang bermazhab (seperti diuraikan sebelumnya), wajib memahami setidaknya

2 (dua) prinsip penting lainnya dalam bermazhab (Abdullah, 1995: 372), yaitu:

Pertama, wajib atas muqallid suatu mazhab untuk tidak fanatik (ta‘âshub)

terhadap mazhab yang diikutinya (Ibn Humaid, 1995: 54). Tidaklah benar,

ketika Syaikh Abu Hasan Abdullah al-Karkhi (w. 340 H), seorang ulama

mazhab Hanafi, berkata secara fanatik, “Setiap ayat al-Quran atau hadis yang

menyalahi ketetapan mazhab kita bisa ditakwilkan atau dihapus (mansûkh).”

(Abdul Jalil Isa, 1982: 74). Karena itu, jika terbukti mazhab yang diikutinya

salah dalam suatu masalah, dan pendapat yang benar (shawâb) ada dalam

mazhab lain, maka wajib baginya untuk mengikuti pendapat yang benar itu

menurut dugaan kuatnya. Para imam mazhab sendiri mengajarkan agar kita

tidak bersikap fanatik. Ibnu Abdil Barr meriwayatkan, bahwa Imam Abu

Hanifah pernah berkata, “Idzâ shaha al-hadîts fahuwa madzhabî (Jika suatu

hadis/pendapat telah dipandang sahih maka itulah mazhabku).” (Al-Bayanuni,

1994: 90). Al-Hakim dan Al-Baihaqi juga meriwayatkan, bahwa Imam Syafi’i

pernah mengatakan hal yang sama. Dalam satu riwayat, Imam Syafi’i juga

pernah berkata, “Jika kamu melihat ucapanku menyalahi hadis, amalkanlah

hadis tersebut dan lemparkanlah pendapatku ke tembok.” (Al-Dahlawi, 1989:

112).

Page 10: karya ilmiah

Kedua, sesungguhnya perbedaan pendapat (khilâfiyah) di kalangan mazhab-

mazhab adalah sesuatu yang sehat dan alamiah, bukan sesuatu yang janggal atau

menyimpang dari Islam, sebagaimana sangkaan sebagian pihak. Sebab,

kemampuan akal manusia berbeda-beda, sebagaimana nash-nash syariat juga

berpotensi memunculkan perbedaan pemahaman. Perbedaan ijtihad di kalangan

sahabat telah terjadi sejak zaman Rasulullah Saw. Beliau pun membenarkan hal

tersebut dengan taqrîr-nya (Abdullah, 1995: 373).

Hipotesis

Adanya perbedaan mazhab diantar siswa/siswi SMA Plus Muthahhari tidak

memberikan dampak yang negatif bagi siswa/siswi SMA Plus Muthahhari.

Karena siswa/siswi SMA Plus Muthahhari didik dengan baik bagaimana

caranya menghadapi perbedaan yang ada. Jadi perbedaan mazhab tidak

mempengaruhi cara bergaul diantara siswa/siswi SMA Plus Muthahhari. Karna

siswa/siswi SMA Plus Muthahhari mengajarkan bahwa tidak ada islam, hindu,

Kristen, ataupun budha. Yang ada itu manusia yang perilakunya baik dan

manusia yang perilakunya buruk. Dan adanya perbedaan mazhab-pun sama

sekali tidak akan mempengaruhi hubungan pertemanan siswa/siswi SMA Plus

Muthahhari. Karna perbedaan tersebut tak seharusnya berujung perselisihan.

Dan bagi siswa/siswi SMA Plus Muthahhari, lebih baik berlomba-lomba dalam

kebaikan itu lebih penting.

Page 11: karya ilmiah

BAB II

Studi Pustaka

Angket1) Populasi : SMA Plus Muthahhari2) Sampel :

Kelas XA :

Page 12: karya ilmiah

Daftar Pustaka

1. Abdullah, M. Husain. 1995. Al-Wadhîh fî Ushûl sl-Fiqh. Beirut: Darul

Bayariq.

2. Ad-Dahlawi, Syah Waliyullah. 1989. Lahirnya Mazhab-Mazhab Fiqh (Al-

Inshâf fî Bayân Asbâb al-Ikhtilâf). Terjemahan oleh Mujiyo Nurkholis.

Bandung: CV Rosda.

3. Al-‘Alwani, Thaha Jabir. 1987. Adâb Al-Ikhtilâf fî al-Islâm. Washington: Al-

Ma’had Al-‘Alami li Al-Fikr Al-Islami (IIIT).

4. Al-Bakri, As-Sayyid. T.t. I‘ânah ath-Thâlibîn. Jld. I. Semarang: Maktabah wa

Mathba’ah Toha Putera.

5. Al-Bayanuni, M. Abul Fath. 1994. Studi Tentang Sebab-Sebab Perbedaan

Mazhab (Dirâsât fî al-Ikhtilâfât al-Fiqhiyah). Terjemahan oleh Zaid Husein Al-

Hamid. Surabaya: Mutiara Ilmu.

6. Al-Hashari, Ahmad. 1991. Târîkh al-Fiqh al-Islami Nasy’atuhu,

Mashâdiruhu, Adwâruhu, Madârisuhu. Beirut: Darul Jil.

7. An-Nabhani, Taqiyuddin. 1994. Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyah. Jld. I.

Beirut: Darul Ummah

8. As-Sayis, M. Ali. 1997. Fiqih Ijtihad Pertumbuhan dan Perkembangannya

(Nasy’ah al-Fiqh al-Ijtihâdi wa Athwâruhu). Terjemahan oleh M. Muzamil.

Solo: CV Pustaka Mantiq.

9. Az-Zuhaili, Wahbah. 1996. Al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu. Jld. II. Beirut:

Darul Fikr.

10. Bik, M. Al-Hudhari. 1981. Târîkh Tasyrî‘ al-Islâmi. T.tp.: Maktabah Dar

Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyah.

11. Ibn Humaid, Shalih Abdullah. 1995. Adab Berselisih Pendapat (Adab al-

Khilâf). Terjemahan oleh Abdul Rosyad Shiddiq. Solo: Khazanah Ilmu.

12. Isa, Abdul Jalil. 1982. Masalah-Masalah Keagamaan Yang Tidak Boleh

Page 13: karya ilmiah

Diperselisihkan Antar Sesama Umat Islam (Mâ Lâ Yajûzu fîhi al-Khilâf bayna

al-Muslimîn). Terjemahan oleh M. Tolchah Mansoer & Masyhur Amin.

Bandung: PT Alma’arif.

13. Khallaf, Abdul Wahhab. 1985. Ikhtisar Sejarah Hukum Islam (Khulâshah

Târîkh at-Tasyrî‘ al-Islâmî). Terjemahan oleh Zahri Hamid & Parto Djumeno.

Yogyakarta: Dua Dimensi.

14. Mahmashani, Subhi. 1981. Filsafat Hukum Dalam Islam (Falsafah at-Tasyrî‘

fî al-Islâm). Terjemahan oleh Ahmad Sudjono. Bandung: PT Alma’arif.

15. Nahrawi, Ahmad. 1994. Al-Imâm asy-Syâfi‘i fî Mazhabayhi al-Qadîm wa

al-Jadîd. Kairo: Darul Kutub.

16. Sammarah, Ihsan. 1991. Mafhûm al-’Adalah al-Ijtimâ‘yah fî al-Fikri al-

Islâmî al- Mu‘âshir. Beirut: Dar An-Nahdhah Al-Islamiyah.

17. www.persoalan-seputar-mazhab.html

18. www.wikipedia\mazhab.com

19. www.kampusislam\mazhab.com

Page 14: karya ilmiah