Upload
dwi-tantri-sp
View
43
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
KASUS
DEMAM TIFOID
Oleh :
YUNI RAMADHANI
04.45379.00169.09
Pembimbing :
dr. Carta Gunawan, Sp.PD
LAB. ILMU PENYAKIT DALAM FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
2010
1
DAFTAR ISI
Halaman Judul.................................................................................................. 1
Daftar Isi........................................................................................................... 2
BAB I PENDAHULUAN................................................................................. 3
1.1 Latar Belakang............................................................................................ 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA...................................................................... 5
2.1 Definisi...................................................................................................... 5
2.2 Epidemiologi........................................................................................... 6
2.3 Etiologi.................................................................................................... 8
2.4 Patofisiologi............................................................................................ 9
2.5 Manifestasi Klinis...................................................................................10
2.6 Pemeriksaan Penunjang...........................................................................10
2.7 Diagnosis.................................................................................................12
2.8 Penatalaksanaan......................................................................................12
2.9 Resistensi terhadap Antibiotika...............................................................15
2.10 Komplikasi..............................................................................................16
2.11 Pencegahan..............................................................................................18
2.12 Prognosis.................................................................................................19
BAB III LAPORAN KASUS...........................................................................20
BAB IV ANALISA KASUS............................................................................28
BAB V PENUTUP...........................................................................................32
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................33
2
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Demam tifoid masih merupakan penyakit endemik di Indonesia. Penyakit
ini termasuk penyakit menular yang tercantum dalam Undang-undang nomor 6
Tahun 1962 tentang wabah. Kelompok penyakit menular ini merupakan penyakit
yang mudah menular dan dapat menyerang banyak orang sehingga dapat
menimbulkan wabah.1
Surveilans Departemen Kesehatan RI, frekuensi kejadian demam tifoid di
Indonesia pada tahun 1990 sebesar 9,2 dan pada tahun 1994 terjadi peningkatan
frekuensi menjadi 15,4 per 10.000 penduduk. Dari survei berbagai rumah sakit di
Indonesia dari tahun 1981 sampai dengan 1986 memperlihatkan peningkatan
jumlah penderita sekitar 35,8% yaitu dari 19.596 menjadi 26.606 kasus.1
Insidens demam tifoid bervariasi di tiap daerah dan biasanya terkait
dengan sanitasi lingkungan, di daerah rural (Jawa Barat) 157 kasus per 100.000
penduduk, sedangkan di daerah urban ditemukan 760-810 kasus per 100.000
penduduk. Perbedaan insidens di perkotaan berhubungan erat dengan penyediaan
air bersih yang belum memadai serta sanitasi lingkungan dengan pembuangan
sampah yang kurang memenuhi syarat kesehatan lingkungan.1
Case fatality rate (CFR) demam tifoid di tahun 1996 sebesar 1,08% dari
seluruh kematian di Indonesia. Namun demikian berdasarkan hasil Survei
Kesehatan Rumah Tangga Departemen Kesehatan RI (SKRT Depkes RI) tahun
1995 demam tifoid tidak termasuk dalam 10 penyakit dengan mortalitas tertinggi.1
Demam tifoid merupakan penyakit sistemik yang memiliki karakteristik
berupa demam dan nyeri abdomen yang diakibatkan oleh diseminasi S.typhii atau
S.paratyphii. Penyakit ini pada awalnya disebut sebagai demam tifoid karena
memiliki kemiripan klinis dengan penyakit tifus. Walaupun demikian pada awal
abad ke-19 demam tifoid dengan jelas didefinisikan secara patologis sebagai suatu
penyakit unik berdasarkan asosiasinya dengan pembesaran plak Peyer dan nodus
limfatikus mesenterika. Pada tahun 1869, istilah demam enteric diajukan dan
3
sebagai desain alternatif untuk membedakan demam tifoid dengan tifus.
Walaupun demikian, sampai saat ini kedua istilah tersebut masih dipergunakan
secara bergantian.2
Penyakit ini banyak menimbulkan masalah pada kelompok umur dewasa
muda, karena tidak jarang disertai perdarahan dan perforasi usus yang sering
menyebabkan kematian penderita. Selain itu penyakit ini memerlukan hari
perawatan dan masa pemulihan sehabis perawatan yang cukup lama.3
Usaha imunisasi secara nasional terhadap demam tifoid tidak lagi
dilaksanakan dewasa ini karena vaksinnya belum ada yang memadai. Walaupun
vaksin parenteral tifoid yang konvensional seperti terdapat pada vaksin typa atau
chotypa memberikan perlindungan sebesar 5188%, vaksin ini menimbulkan gejala
samping yang sangat mengganggu karena secara sistemik dapat menimbulkan
demam, sakit kepala dan rasa lesu serta secara lokal menyebabkan sakit dan
bengkak di tempat suntikan sehingga penggunaannya tidak begitu populer tidak
saja di Indonesia tapi hampir di seluruh dunia. Vaksin baru yang ada sekarang
sebagian besar masih dalam taraf pengembangan penelitian, baik uji klinik
maupun uji coba di lapangan. Akan tetapi salah satu dari vaksin tersebut sudah
ada yang telah mendapat lisensi di beberapa negara Eropa dan Amerika dan sudah
mulai beredar di pasaran sekarang ini yaitu, strain Ty21 a S. typhi yang
dilemahkan dan yang diperoleh dengan cara rekayasa genetika.3
1.2. Tujuan
Penulisan ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan serta mengkritisi
kasus bagi penulis dan pembaca mengenai demam tifoid.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Demam Tifoid adalah suatu infeksi yang disebabkan oleh bakteri
Salmonella typhi. Demam tifoid merupakan penyakit endemis di beberapa Negara
berkembang, dimana sanitasi lingkungan kurang dijaga dengan baik.4
Gambar. Bakteri Salmonella Typhi
Bakteri tifoid ditemukan di dalam tinja dan air kemih penderita.
Penyebaran bakteri ke dalam makanan atau minuman bisa terjadi akibat pencucian
tangan yang kurang bersih setelah buang air besar maupun setelah berkemih, Lalat
juga bisa menyebarkan bakteri secara langsung dari tinja ke makanan.4
Bakteri Salmonella typhi masuk ke dalam saluran pencernaan dan bisa
masuk ke dalam peredaran darah. Hal ini akan diikuti oleh terjadinya peradangan
pada usus halus dan usus besar. Pada kasus yang berat, yang bisa berakibat fatal,
jaringan yang terkena bisa mengalami perdarahan dan perforasi (perlubangan).4
Sekitar 3% penderita yang terinfeksi oleh Salmonella typhi dan belum
mendapatkan pengobatan, di dalam tinjanya akan ditemukan bakteri ini selama
lebih dari 1 tahun. Beberapa dari pembawa bakteri ini tidak menunjukkan gejala-
gejala dari demam tifoid.4
Sembilan puluh persen kasus demam tifoid terjadi pada umur 3-19 tahun,
kejadian meningkat setelah umur 5 tahun. Pada minggu pertama sakit, demam
5
tifoid sangat sukar dibedakan dengan penyakit demam lainnya. Untuk memastikan
diagnosis diperlukan pemeriksaan biakan kuman untuk konfirmasi.4
2.2. Epidemiologi
Di negara yang sedang berkembang insidensi demam tifoid pada
umumnya sangat tinggi. Demikian juga di Indonesia, insidensi demam tifoid
sangatlah tinggi. Berdasarkan penelitian epidemiologi yang intensif dan
longitudinal dari demam tifoid yang dilakukan oleh Simanjuntak dkk. di Paseh,
Jawa Barat, yang diselenggarakan dengan bantuan dana dari WHO terungkap
bahwa insidensi demam tifoid pada masyarakat di daerah semi urban ialah 357,6
kasus per 100.000 penduduk per tahun. Selain itu morbiditas S. paratyphi A ialah
44,7 kasus per 100.000 penduduk per tahun, sedangkan Salmonella Group B
sangat rendah (12,8 kasus per 100.000 penduduk per tahun). Ternyata S..typhi
ditemukan juga pada anak usia 0-3 tahun (morbiditas 263/105/thn) dengan usia
termuda adalah 2,5 tahun. Kenyataan ini merupakan informasi baru, karena
selama ini dianggap bahwa demam tifoid hanya terdapat pada anak yang lebih
besar dan orang dewasa. Akan tetapi ternyata 77% penderita demam tifoid
terdapat pada usia 3-19 tahun dengan puncak tertinggi pada usia 10-15 tahun
(morbiditas: 687,9/105/thn).3
Selain itu dapat dikemukakan bahwa penderita demam tifoid yang
memerlukan perawatan di rumah sakit hanya 1/7 dari seluruh kasus. Golongan
yang memerlukan perawatan itu adalah anak yang lebih tua dan dewasa muda.
Anak yang lebih muda (di bawah 10 tahun) memperlihatkan gejala penyakit yang
lebih ringan, sehingga golongan ini hampir tidak memerlukan perawatan di rumah
sakit. Hal ini merupakan suatu keuntungan dari satu pihak karena meringankan
beban perawatan. Tapi dari segi epidemiologi keadaan ini merupakan hal yang
dapat merugikan, karena yang tidak dirawat di rumah sakit dapat merupakan
sumber penularan yang potensial pada orang lain. Umumnya di daerah semi urban
di Indonesia tidak ada atau jarang jamban yang tertutup (pakai septic tank);
apalagi penderita sering datang terlambat berobat ke fasilitas kesehatan. Rata-rata
mereka baru datang berobat setelah demam 35 hari (64%), bahkan ada yang baru
datang berobat setelah demam 20 hari. Makin lama tenggang waktu antara mulai
6
sakit hingga datang berobat akan memungkinkan penyebaran kuman penyebab
demam tifoid ke sekitarnya menjadi lebih besar.3
Daerah lain yang pernah diselidiki insidensi demam tifoidnya ialah
Kompleks Pertamina, Plaju suatu daerah urban di Sumatera Selatan, yaitu pada
saat dilakukan penilaian vaksin oral demam tifoid, Ty21 a pada karyawan dan
keluarganya. Di sini ditemukan insidensi demam tifoid sebesar 810 kasus per
100.000 penduduk per tahun pada penduduk berumur 3-44 tahun.3
Ternyata ada perbedaan insidensi demam tifoid yang menyolok antara
Kecamatan Paseh, Jawa Barat (360 kasus/105/thn,daerah semi urban) dan
Kompleks Pertamina Plaju, Sumatera Selatan (810 kasus/105/thn, daerah urban).
Perbedaan yang cukup menyolok ini, walaupun waktu pemeriksaannya hampir
bersamaan tentu saja dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain perbedaan lokasi
dan sifat lokasi (semi urban v/s urban), di mana epidemiologi penyakit ini akan
dipengaruhi oleh keadaan sanitasi lingkungan, sosio-budaya dan sosio-ekonomi
masyarakatnya. Akan tetapi salah satu faktor yang memegang peranan cukup
besar ialah ketajaman diagnosis laboratorium, karena teknik dan pelaksanaan
isolasi S. typhi yang dilakukan di Kompleks Pertamina, Plaju merupakan
penyempurnaan dari teknik dan pelaksanaan isolasi di Kecamatan Paseh, Jabar. Di
Paseh darah yang diambil untuk kultur hanya sebanyak 5 ml per orang yang
dicampur dengan 20 ml media ox gall (pengenceran 5x) sedang di Plaju darah
yang diambil adalah 10 ml per orang dan yang dicampur dengan 90 ml ox gall
(pengenceran 10x). Selain itu pemeriksaan selanjutnya campuran darah-ox gall
yang diambil dari penderita di Paseh dilakukan di Jakarta. Pengiriman campuran
darah-ox gall ini, yang diambil setiap hari dari penderita, dilakukan 2x seminggu;
hal mana akan menurunkan daya isolasi laboratorium cukup besar. Sebaliknya
dengan keadaan di Plaju, campuran darah-ox gall yang diambil tiap hari langsung
di kultur di laboratorium yang berada di lokasi pengambilannya dan penanaman
subkultur ke media differensial Mc Conkey dan DCLS dilakukan sampai 7 kali
(had ke-1, 2, 3, 4, 5, 8 dan 14) sehingga daya isolasinya jauh lebih besar. Pada
umumnya dalam praktek sehari-hari di laboratorium mikrobiologi di Indonesia,
darah yang diambil untuk kultur hanya 2-3 ml dan dimasukkan ke dalam hanya 5
7
ml ox-gall (pengenceran 2-3 kali); dengan begitu, besar kemungkinan banyak
demam tifoid yang tak terdiagnosis. Itulah sebabnya kasus demam tifoid boleh
dikatakan underreported, hal yang sangat menyesatkan.3
Bila dilihat insidensi demam tifoid berdasarkan golongan umur, maka
golongan umur yang berisiko tinggi (vulnerable group) untuk menderita demam
tifoid adalah kelompok anak umur 3-19 tahun. Kelompok umur ini merupakan
kelompok khusus di masyarakat yaitu kelompok anak sekolah, yang kemungkinan
besar sering jajan di sekolah atau di tempat lain di luar rumah. Dengan demikian
dapat diduga bahwa penularan penyakit ini terjadi pada golongan ini melalui jajan
sembarangan di sekolah atau di tempat lain. Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa penularan kemungkinan besar terjadi di luar rumah. Pendapat ini didukung
oleh kenyataan bahwa selama 2,5 tahun pelacakan demam tifoid di Kompleks
Pertamina, Plaju tak ada satu keluargapun di mana ada 2 orang menderita demam
tifoid sekaligus atau berurutan. Hal ini memberi isyarat bahwa pengawasan
kesehatan pada penjual makanan jajanan perlu mendapat perhatian dan bimbingan
dari para petugas kesehatan terkait.3
2.3. Etiologi
Demam tifoid disebabkan oleh Salmonella enterica serovar typhii. Bakteri
ini merupakan bakteri gram negatif, motil, fakultatif anaerobik, memproduksi
asam dari fermentasi glukosa dan manosa. Kebanyakan bakteri ini memproduksi
hidrogen sulfida (H2S) dan bisa bertahan pada pembekuan dalam waktu yang
panjang. Bakteri ini ditransmisikan melalui air dan makanan yang terkontaminasi
feses.2
Bakteri ini mempunyai antigen permukaan yang penting untuk diagnosis
secara serologis,yaitu :
1. Antigen O, merupakan lipopolisakarida dari membran luar bakteri
2. Antigen H, merupakan protein yang berhubungan dengan flagel dari bakteri
3. Antigen Vi, berhubungan dengan kapsul dari bakteri.2
2.4. Patogenesis
8
Masuknya kuman Salmonella typhi (S. typhi) dan Salmonella paratyphi (S.
paratyphi) ke dalam tubuh manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi
kuman. Sebagian kuman dimusnahkan dalam lambung, sebagian lolos masuk ke
dalam usus dan selanjutnya berkembang biak. Bila respon imunitas humoral
mukosa (IgA) usus kurang baik maka kuman akan menembus sel-sel epitel
(terutama sel-M) dan selanjutnya ke lamina propia. Di lamina propia kuman
berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama oleh makrofag.
Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya
dibawa ke plague Peyer ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening
mesentrika. Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman yang terdapat di dalam
makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakterimia pertama
yang asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh
terutama hati dan limpa. Di organ-organ ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit
dan kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya
masuk ke dalam sirkulasi darah lagi mengakibatkan bakteremia yang kedua
kalinya disertai dengan tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik.1
Di dalam hati, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang
biak, dan bersama cairan empedu diekskresikan secara “intermittent” ke dalam
lumen usus. Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi
ke dalam sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali,
berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka saat fagositosis kuman
Salmonella terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi yang selanjutnya akan
menimbulkan gejala reaksi inflamasi sisteemik, seperti demam, malaise, mialgia,
sakit kepala, sakit perut, instabilitas vaskuler, gangguan mental dan koagulasi.1
Di dalam plague Peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi
hyperplasia jaringan (S. typhi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas
tipe lambat, hyperplasia jaringan dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna
dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar plague Peyeri yang sedang
mengalami nekrosis dan hiperplasia akibat akumulasi sel-sel mononuclear di
dinding usus. Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke
lapisan otot, serosa usus, dan dapat mengakibatkan perforasi.1
9
Endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel kepiler dengan akibat
timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskular,
pernapasan dan gangguan organ lainnya.1
2.5. Manifestasi Klinis
Masa tunas demam tifoid berlangsung antara 10-14 hari. Gejala-gejala
klinis yang timbul sangat bervariasi dari ringan sampai dengan berat, dari
asimtomatik hingga gambaran penyakit yang khas disertai komplikasi hingga
kematian.1
Pada minggu pertama gejala klinis penyakit ini ditemukan keluhan dan
gejala serupa dengan penyakit infeksi akut pada umumnya yaitu demam, nyeri
kepala tumpul bagian frontal, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah,
obstipasi atau diare, perasaan tidak enak di perut, malaise, batuk kering dan
epistaksis. Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan meningkat. Sifat
demam adalah meningkat perlahan-lahan dan terutama pada sore hingga malam
hari. Dalam minggu kedua gejala-gejala menjadi jelas berupa demam, bradikardia
relatif (bradikardia relatif adalah peningkatan suhu 1C tidak diikuti peningkatan
denyut nadi 8 kali per menit), lidah yang berselaput (kotor di tengah, tepi dan
ujung meah serta tremor), hepatomegali, splenomegali, meteroismus, gangguan
mental berupa somnolen, stupor, koma, delirium, atau psikosis. Roseolae (lesi
makulopapula eritema dengan diameter kurang lebih 2-4 mm, biasanya terdapat di
abdomen dan dinding dada) jarang ditemukan pada orang Indonesia.1,2
2.6. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Rutin
Pada pemeriksaan darah rutin, kadar hemoglobin, leukosit dan trombosit
bisa dalam nilai normal atau sedikit menurun. Tes fungsi hati (SGOT/SGPT)
biasanya meningkat ringan. Pada anak-anak, kadar leukosit bisa meningkat
sampai 20.000-25.000/mm3. Kadar trombosit yang rendah mungkin berhubungan
dengan derajat keparahan penyakit.6
Uji Widal
10
Uji widal dilakukan untuk deteksi antibodi terhadap kuman S.typhi. pada
uji widal terjadi suatu reaksi aglutinasi antara antigen kuman S.typhi dengan
antibodi yang disebut aglutinin. Antigen yang digunakan pada uji widal adalah
suspensi Salmonella yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Maksud
uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita
tersangka demam tifoid yaitu: a) Aglutinin O (dari tubuh kuman), b) Aglutinin H
(flagella kuman), dan c) Aglutinin Vi (simpai kuman).1
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan
untuk diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya semakin besar
kemungkinan terinfeksi kuman ini.1
Pembentukan agglutinin mulai terjadi pada akhir minggu pertama demam,
kemudian meningkat secara cepat dan mencapai puncak pada minggu ke-empat,
dan tetap tinggi selama beberapa minggu. Pada fase akut mula-mula timbul
aglutinin O, kemudian diikuti dengan aglutinin H. Pada orang yang telah sembuh
aglutinin O masih tetap dijumpai setelah 4-6 bulan, sedangkan aglutinin H
menetap lebih lama antara 9-12 bulan. Oleh karena itu uji widal bukan untuk
menentukan kesembuhan penyakit.1
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi uji widal yaitu:1) pengobatan
dini dengan antibiotik, 2) gangguan pembentukan antibodi dan pemberian
kortikosteroid, 3) waktu pengambilan darah, 4) daeah endemic atau non-endemik,
5) riwayat vaksinasi, 6) reaksi anamnestik, yaitu peningkatan titer aglutinin pada
infeksi bukan demam tifoid akibat infeksi demam tifoid masa lalu atau vaksinasi,
7) faktor teknik pemeriksaan antar laboratorium, akibat aglutinasi silang, dan
strain Salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen.1
Saat ini belum ada kesamaan pendapat mengenai titer aglutinin yang
bermakna diagnostik untuk demam tifoid. Batas titer yang sering dipakai hanya
kesepakatan saja, hanya berlaku setempat dan batas ini bahkan dapat berbeda di
berbagai laboratorium setempat.1
Kultur Darah
11
Biakan darah akan menghasilkan hasil yang positif pada 60-80 % kasus.
Hal ini dipengaruhi oleh penggunaan antibiotik sebelum sampel darah diambil dan
jumlah darah yang diambil. Sampel darah diambil pada minggu pertama
timbulnya gejala, biasanya sebanyak 10 – 15 mL. Sementara itu, biakan sumsum
tulang akan menghasilkan hasil yang positif pada 80-95 % kasus, terlepas apakah
sebelum sampel diambil sudah ada penggunaan antibiotik atau belum. Biakan
yang berasal dari sumsum tulang memang lebih sensitif dari biakan darah karena
pada dasarnya kuman S typhi lebih banyak berada di sumsum tulang daripada di
darah. Meskipun demikian, sampel dari sumsum tulang lebih sulit untuk diperoleh
daripada sampel darah. Setelah sampel diambil, sampel tersebut akan ditempatkan
dalam medium yang mendukung tumbuhnya kuman S typhi tersebut (medium
empedu). Dalam 48-72 jam, kultur tersebut akan dilihat di bawah mikroskop
apakah terdapat kuman S typhi atau tidak.6
2.7. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala-gejala dan hasil pemeriksaan
fisik. Untuk memperkuat diagnosis, dilakukan biakan darah, tinja, air kemih atau
jaringan tubuh lainnya guna menemukan bakteri penyebabnya.4
2.8. Penatalaksanaan
Sampai saat ini masih dianut trilogi penatalaksanaan demam tifoid, yaitu:
Istirahat dan Perawatan
Tirah baring dan perawatan profesional bertujuan untuk mencegah
komplikasi. Tirah baring dengan perawatan sepenuhnya di tempat seperti makan,
minum, mandi, buang air kecil, dan buang air besar akan membantu dan
mempercepat masa penyembuhan. Dalam perawatan perlu sekali dijaga
kebersihan tempat tidur, pakaian dan perlengkapan yang dipakai. Posisi pasien
perlu diawasi untuk mencegah dekubitus dan pneumonia ortostatik, serta higiene
perorangan tetap perlu dijaga dan diperhatikan.1
Diet dan terapi penunjang
12
Diet merupakan hal yang cukup penting dalam poses penyembuhan
penyakit demam tifoid, karena makanan yang kurang akan menurunkan keadaan
umum dan gizi penderita akan semakin turun dan proses penyembuhan akan
menjadi lama.1
Dimasa lampau penderita demam tifoid diberi diet bubur saring, kemudian
ditingkatkan menjadi bubur kasar dan akhirnya diberikan nasi, yang perubahan
diet tersebut disesuaikan dengan tingkat kesembuhan pasien. Pemberian bubur
saring tersebut ditujukan untuk menghindari komplikasi perdarahan saluran cerna
atau perforasi usus. Hal ini disebabkan ada pendapat bahwa usus harus
diistirahatkan. Beberapa peneliti menunjukkan bahwa pemberian makan padat
dini yaitu nasi dengan lauk pauk rendah selulosa (menghindari sementara sayuran
yang berserat) dapat diberikan dengan aman pada pasien demam tifoid.1
Pemberian antimikroba
Obat-obat antimikroba yang sering digunakan untuk mengobati demam
tifoid adalah sebagai berikut:
Kloramfenikol. Di Indonesia kloramfenikol masih merupakan obat pilihan utama
untuk mengobati demam tifoid. Dosis yang diberikan adalah 4 x 500 mg per hari
dapat diberikan secara per oral atau intravena. Diberikan sampai dengan 7 hari
bebas panas. Penyuntikan intramuskular tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis
ester ini tidak dapat diramalkan dan tempat suntikan terasa nyeri. Dari
pengalaman penggunaan obat ini dapat menurunkan demam rata-rata 7,2 hari.
Penulis lain menyebutkan penurunan demam dapat terjadi rata-rata setelah hari
ke-5.1
Tiamfenikol. Dosis dan efektifitas tiamfenikol pada demam tifoid hamper sama
dengan kloramfenikol, akan tetapi komplikasi hematologi seperti kemungkinan
terjadinya anemia aplastik lebih rendah dibandingkan dengan kloramfenikol.
Dosis tiamfenikol adalah 4 x 500 mg, demam rata-rata menurun pada hari ke-5
sampai ke-6.1
13
Kotrimoksazol. Efektivitas obat ini dilaporkan hampir sama dengan
kloramfenikol. Dosis untuk orang dewasa adalah 2 x 2 tablet (1 tablet
mengandung sulfametoksazol 400 mg dan 80 mg trimetoprim) diberikan selama 2
minggu.1
Ampisilin dan amoksisilin. Kemampuan obat ini untuk menurunkan demam
lebih rendah dibandingkan dengan kloramfenikol, dosis yang dianjurkan berkisar
antara 50-150 mg/kgBB dan digunakan selama 2 minggu.1
Sefalosporin generasi ketiga. Hingga saat ini golongan sefalosporin generasi ke-
3 yang terbukti efektif untuk demam tifoid adalah seftriakson, dosis yang
dianjurkan adalah antara 3-4 gram dalam dekstrosa 100 cc diberikan selama ½
jam perinfus sekali sehari, diberikan selama 3 hingga 5 hari.1
Golongan Fluorokuinolon. Golongan ini beberapa jenis bahan sediaan dan
aturan pemberiannya:
• Norfloksasin dosis 2 x 400 mg/hari selama 14 hari
• Siprofloksasin dosis 2 x 500 mg/hari selama 6 hari
• Ofloksasin dosis 2 x 400 mg/hari selama 7 hari
• Pefloksasin dosis 400 mg/hari selama 7 hari
• Fleroksasin dosis 400 mg/hari selama 7 hari
Demam pada umumnya mengalami lisis pada hari ke-3 atau menjelang
hari ke-4. Hasil penurunan demam sedikit lebih lambat pada penggunaan
norfloksasin yang merupakan fluorokuinolon pertama yang memiliki
bioavailabilitas tidak sebaik fluorokuinolon yang dikembangkan kemudian.1
Kombinasi obat antimikroba.
Kombinasi 2 antibiotik atau lebih diindikasikan hanya pada keadaan tertentu saja
antara lain toksik tifoid, peritonitis atau perforasi, serta syok septic, yang pernah
terbukti ditemukan 2 macam organisme dalam kultur darah selain kuman
Salmonella.1
Kortikosteroid. Penggunaan steroid hanya diindikasikan pada toksik tifoid atau
demam tifoid yang mengalami syok septic dengan dosis 3 x 5 mg.1 Biasanya
14
diberikan di rumah sakit karena butuh pengawasan ketat. Dapat digunakan
Deksametason dengan dosis awal 3 mg/kg BB diikuti dengan 1 mg/kg BB setiap 6
jam selama 48 jam.6
Jika terjadi perforasi usus, diberikan antibiotik berspektrum luas (karena
berbagai jenis bakteri akan masuk ke dalam rongga perut) dan mungkin perlu
dilakukan pembedahan untuk memperbaiki atau mengangkat bagian usus yang
mengalami perforasi.4
2.9. Resistensi terhadap Antibiotika
Suatu hal yang menggembirakan dari segi resistensi terhadap antibiotika
ialah bahwa S. typhi, spesies yang paling toksis sehingga paling ditakuti dari
genus Salmonella, masih sensitif terhadap hampir semua antibiotika yang biasa
dipakai untuk pengobatan penyakit ini. Resistensi terhadap kloramphenikol dan
ampisilin masing-masing baru mencapai 6%. Spesies lainnya yang masih
memperlihatkan sensitifitas yang tinggi pada beberapa antibiotika ialah S.
paratyphi A. Akan tetapi keadaannya menjadi terbalik dengan Salmonella Grup B
dan C. Grup ini telah memperlihatkan resistensi yang sangat tinggi terhadap
hampir semua antibiotika yang biasa dipergunakan. Hal ini sangat
memprihatinkan terutama bila mengenai anak-anak. Seperti diketahui derivat
kuinolon yang akhir-akhir ini dianggap sebagai penyelamat pada infeksi yang
kumannya sudah resisten terhadap berbagai antibiotika, belum diketahui
keamanan pemakaiannya pada anak-anak.3
2.10. Komplikasi
Sebagian besar penderita mengalami penyembuhan sempurna, tetapi bisa
terjadi komplikasi, terutama pada penderita yang tidak diobati atau bila
pengobatannya terlambat.
Sebagai suatu penyakit sistemik maka hampir semua organ utama tubuh
dapat diserang dan berbagai komplikasi serius dapat terjadi. Beberapa komplikasi
yang dapat terjadi pada demam tifoid yaitu :
• Komplikasi intestinal. Perdarahan usus, perforasi usus, ileus paralitik,
pankreatitis
15
• Komplikasi ekstra-intestinal
o Komplikasi kardiovaskular: gagal sirkulasi perifer, miokarditis,
tromboflebitis.
o Komplikasi darah: anemia hemolitik, trombositopenia, KID, thrombosis
o Komplikasi paru: pneumonia, empiema, pleuritis
o Komplikasi hepatobilier: hepatitis, kolesistitis
o Komplikasi ginjal: glomerulonefritis, pielonefritis, spondilitis, arthritis
o Komplikasi neuropsikiatrik/tifoid toksik1
Perdarahan intestinal
Perdarahan saluran cerna merupakan komplikasi yang paling sering
terjadi, sekitar 10 % kasus. Hal ini terjadi karena erosi/pengikisan plak Peyer yang
sudah mati (nekrosis) dari dinding usus bagian dalam yang dilalui pembuluh
darah. Biasanya akan terlihat darah di feses. Perdarahan biasanya ringan dan tidak
membutuhkan transfusi. Hanya 2 % kasus yang menunjukkan perdarahan yang
cukup fatal. Biasanya perdarahan terjadi pada minggu ketiga.4,6
Perforasi usus
Perforasi usus adalah komplikasi yang cukup serius, terjadi pada 1-3 %
kasus. Terdapat lubang di usus, akibatnya isi usus dapat masuk ke dalam rongga
perut dan menimbulkan gejala. Tanda-tanda perforasi usus adalah nyeri perut
yang tidak tertahankan (acute abdomen), atau nyeri perut yang sudah ada
sebelumnya mengalami perburukan, denyut nadi meningkat dan tekanan darah
menurun secara tiba-tiba. Ini membutuhkan penanganan segera.6
Hepatitis tifosa
Pembengkakan hati ringan sampai sedang dijumpai pada 50% kasus
dengan demam tifoid dan lebih banyak dijumpai karena S.typhi daripada
S.paratyphi. Untuk membedakan apakah hepatitis ini oleh karena tifoid, virus,
malaria atau amuba maka perlu diperhatikan kelainan fisik, parameter
laboratorium, dan bila perlu histopatologik hati. Pada demam tifoid kenaikan
enzim transaminase tidak relevan dengan kenaikan serum bilirubin (untuk
16
membedakan dengan hepatitis oleh karena virus). Hepatitis tifosa dapat terjadi
pada pasien dengan malnutrisi dan system imun yang kurang. Meskipun sangat
jarang, komplikasi hepatoensefalopati dapat terjadi.1
Ensefalopati tifoid
Ensefalopati tifoid ditandai dengan penurunan kesadaran, koma, syok,
hanya bisa berbaring dengan mata setengah tertutup. Dengan pemberian
deksametason (steroid) 3 mg/kg BB melalui infus dalam 30 menit diikuti 1 mg/kg
BB dalam 6 jam selama 48 jam, mengurangi angka kematian karena ensefalopati
tifoid.6
Meskipun pasien sembuh, ada sekitar 5-10 % yang mengalami
kekambuhan, tetapi gejalanya lebih ringan dibanding sebelumnya, gejala-gejala
infeksi awal kembali timbul dalam waktu 2 minggu setelah demam mereda. Untuk
anak-anak biasanya angkanya lebih rendah, sekitar 2-4 %. Setelah sembuh pun,
kadang kala di dalam feses pasien masih terdapat kuman S typhi yang dapat
menular ke orang lain. Jika hal ini terjadi selama lebih dari 3 bulan, maka orang
tersebut disebut pembawa (carrier) kronik. Meskipun demikian, tidak semua akan
menjadi carrier kronik, kurang dari 2 % pasien anak akan menjadi carrier kronik,
semakin dewasa, semakin mungkin menjadi carrier kronik. Wanita dan orang tua
atau orang yang menderita batu saluran empedu (cholelitiasis) merupakan
kelompok yang paling sering menjadi carrier kronik. Meskipun demikian, para
carrier kronik tidak menunjukkan gejala apapun. Itulah, mengapa menjaga higiene
pribadi dan lingkungan menjadi sangat penting untuk mencegah penularan
penyakit ini.4,6
2.11. Pencegahan
Untuk dapat mencegah penyakit ini harus tahu terlebih dahulu cara
penularan dan faktor resikonya.6
Kuman S typhi menular melalui jalur oro-fekal, artinya kuman masuk
melalui makanan atau minuman yang tercermar oleh feses yang mengandung S
typhi. Di negara endemis seperti Indonesia, faktor resikonya antara lain makan
makanan yang tidak disiapkan sendiri di rumah (karena tidak terjamin
17
kebersihannya), minum air yang terkontaminasi, kontak dekat dengan penderita
tifoid, sanitasi perumahan yang buruk, higiene perorangan yang tidak baik dan
penggunaan antibiotik yang tidak tepat.6
Oleh karena itu, pencegahan yang paling sederhana adalah dengan
mencuci tangan sebelum makan dan sesudah buang air, menyiapkan makanan
sendiri, tidak buang air besar sembarangan (di negara kita masih banyak keluarga
yang tidak memiliki jamban sendiri), memasak makanan terlebih dahulu, bijak
dalam menggunakan antibiotik.6
Selain hal-hal di atas, saat ini sudah tersedia vaksin untuk tifoid. Ada 2
macam vaksin, yaitu vaksin hidup yang diberikan secara oral (Ty21A) dan vaksin
polisakarida Vi yang diberikan secara intramuskular/disuntikkan ke dalam otot.
Menurut FDA Amerika, efektivitas kedua vaksin ini bervariasi antara 50-80 %.
Vaksin hidup Ty21A diberikan kepada orang dewasa dan anak yang berusia 6
tahun atau lebih. Vaksin ini berupa kapsul, diberikan dalam 4 dosis, selang 2 hari.
Kapsul diminum dengan air dingin (suhunya tidak lebih dari 37 oC), 1 jam
sebelum makan. Kapsul harus disimpan dalam kulkas (bukan di freezer). Vaksin
ini tidak boleh diberikan kepada orang dengan penurunan sistem kekebalan tubuh
(HIV, keganasan). Vaksin juga jangan diberikan pada orang yang sedang
mengalami gangguan pencernaan. Penggunaan antibiotik harus dihindari 24 jam
sebelum dosis pertama dan 7 hari setelah dosis keempat. Sebaiknya tidak
diberikan kepada wanita hamil. Vaksin ini harus diulang setiap 5 tahun. Efek
samping yang mungkin timbul antara lain, mual, muntah, rasa tidak nyaman di
perut, demam, sakit kepala dan urtikaria.6
Vaksin polisakarida Vi dapat diberikan pada orang dewasa dan anak yang
berusia 2 tahun atau lebih. Cukup disuntikkan ke dalam otot 1 kali dengan dosis
0,5 mL. Vaksin ini dapat diberikan kepada orang yang mengalami penurunan
sistem imun. Satu-satunya kontra indikasi vaksin ini adalah riwayat timbulnya
reaksi lokal yang berat di tempat penyuntikkan atau reaksi sistemik terhadap dosis
vaksin sebelumnya. Vaksin ini harus diulang setiap 2 tahun. Efek samping yang
mungkin timbul lebih ringan dari pada jika diberikan vaksin hidup. Dapat timbul
18
reaksi lokal di daerah penyuntikkan. Tidak ada data yang cukup untuk
direkomendasikan kepada wanita hamil.6
2.12. Prognosis
Jika demam tifoid tidak ditangani, kadar kematian bisa mencapai kira-kira
10%. Jika demam tifoid ditangani, kadar kematian berkurang menjadi 0.1%.5
19
BAB III
LAPORAN KASUS
3.1 Anamnesis
Pasien MRS pada tanggal 23 Oktober 2010, anamnesis dilakukan pada tanggal 28
Oktober 2010 pukul 15.00 wita. Anamnesa yang dilakukan berupa autoanamnesa.
ANAMNESA UMUM
Identitas
Nama : Nn. J
Umur : 18 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Tenggarong Seberang
Agama : Islam
Status : Belum Menikah
Pendidikan : SMA
ANAMNESA KHUSUS
Keluhan Utama
Demam
Riwayat Penyakit Sekarang
Demam mulai dirasakan sejak 7 hari sebelum masuk rumah sakit. Demam
dirasakan terutama pada sore dan malam hari, disertai menggigil. Pasien juga
mengeluhkan adanya rasa pusing berputar sejak 1 minggu sebelum masuk rumah
sakit, nyeri ulu hati, dan mual namun tidak muntah. Pasien mengaku tidak ada
buang air besar sudah sejak 4 hari sebelum masuk rumah sakti. Buang air kecil
normal. Pasien juga mengeluhkan batuk kering sejak 3 hari sebelum masuk rumah
sakit. Pasien mengeluhkan nafsu makan menurun drastis. Pasien sempat berobat 3
hari sebelum masuk rumah sakit ke puskesmas dan dilakukan pemeriksaan darah,
kemudian diberi obat kloramfenikol 250 mg, parasetamol dan vitamin.
20
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien mengaku tidak pernah mengalami gejala seperti ini sebelumnya.
Riwayat sakit kuning (-)
Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat penyakit serupa (-)
Riwayat penyakit kuning (-)
3.2 Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum : Sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis, E4V5M6
Tanda Vital
TD : 100/60 mmHg (berbaring)
N : 88 x/menit regular, isi cukup, kuat angkat
RR : 20 x/menit torakoabdominal
T : 36,8 0C (axila)
Kepala/leher
Umum
Ekspresi : sakit sedang, lemah
Rambut : tidak ada kelainan
Kulit muka : terlihat pucat
Mata
Palpebra : edema (-/-)
Konjungtiva : anemis (+)
Sclera : ikterus (-)
Pupil : isokor diameter 3mm/3mm, refleks cahaya (+/+)
Hidung
Septum deviasi (-)
Sekret (-)
21
Nafas cuping hidung (-)
Teli nga
Bentuk : normal
Lubang telinga : normal, sekret (-)
Proc. Mastoideus : nyeri (-/-)
Pendengaran : normal
Mulut
Nafas : fetor hepatikum (-)
Bibir : pucat (+), sianosis (-)
Gusi : perdarahan (-)
Mukosa : hiperemis (-), pigmentasi (-)
Lidah : makroglosia (-), mikroglosia (-), lidah kotor (+)
Faring : hiperemis (-)
Leher
Umum : simetris, tumor (-)
Kelenjar limfe : membesar (-)
Trakea : di tengah, deviasi (-)
Tiroid : membesar (-)
V. Jugularis : JVP (-)
Thorax
Pulmo:
Inspeksi : bentuk simetris, gerakan simetris, retraksi ICS (-)
Palpasi : fremitus raba dekstra = sinistra
Perkusi : sonor di seluruh lapangan paru
Auskultasi : suara nafas vesikuler, ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Cor:
Inspeksi : ictus cordis tampak di ICS V
Palpasi : ictus cordis teraba di ICS V, thrill (-)
Perkusi : Kanan : ICS III parasternal dekstra
22
Kiri : ICS V midclavicular sinistra
Auskultasi : S1S2 tunggal, regular, murmur (-), gallop (-)
Abdomen:
Inspeksi : cembung, simetris
Palpasi : distended, nyeri tekan (-), massa (-), hepar/lien/ginjal tidak dapat
diraba
Perkusi : shifting dullness (-)
Auskultasi : bising usus (+) normal
Ekstremitas:
Superior
Ekstremitas hangat
Edema (-)
Sianosis (-)
Clubbing finger (-)
Palmar eritema (-)
Kekuatan otot : Kanan = Kiri (5=5)
In ferior
Ekstremitas hangat
Edema tungkai (-) ka/ki
Sianosis (-)
Kekuatan otot : Kanan = Kiri (5=5)
23
3.3 Pemeriksaan Penunjang
Hasil Laboratorium:
23/10/10 25/10/10 26/10/10 27/10/10 29/10/10 1/11/10Leukosit 6.300 5.900HB 10,1 9,7Ht 30,1 29,6Trombo 402.000 405.000LED 64GDS 80 122SGOT 191 348 43SGPT 437 577 264Bil Total 0,3Bil direk 0,1Bil indir 0,2Prot Tot 7,7 7,2Albumin 2,9 2,9Globulin 4,8 4,3Koles 132As. Urat 3,2Ureum 21,4 20,7Kreatinin 0,5 0,7Malaria -Dengue IgG +Dengue IgM -HBs Ag -
urineBerat jenis 1,020Ketone +3Nitrit -Hb +4Warna KuningKejernihan KeruhpH 6,0Protein +1Glukosa -Bilirubin -Urobilinogen -Sel epitel +Leukosit 0-1Eritrosit penuh
24
Uji widal (25/10/10)
1/80 1/160 1/320
Salmonella typhi O + -
Salmonella typhi H + + +
Salmonella paratyphi A-O -
Salmonella paratyphi A-H + -
Salmonella paratyphi B-O + -
Salmonella paratyphi B-H + -
Salmonella paratyphi C-O -
Salmonella paratyphi C-H + -
3.4 Diagnosis
Demam tifoid dengan komplikasi hepatitis
3.5 Penatalaksanaan :
RL 12 tpm
PCT 3 x 1 tab prn
Inj ceftriaxone 2 x 1 amp
Ranitidine 2 x 1 amp
Odancentron 3 x 1 amp
Curcuma 3 x 1 tab
Imboost force 2 x 1
Diet lunak
Methioson 2 x 1
Inf aminofusin hepar 10 tpm
3.6 Follow Up
Tanggal/Jam Perjalanan penyakit Perintah Pengobatan / Tindakan yang diberikan
24/10/2010 S : lemas (+), demam (+), mual (+)
RL 12 tpmPCT 3 x 1 tab prn
25
O : CM, TD: 110/70 mmHg, N: 96 x/I, RR: 28 x/I, T: 39,1C
A : demam tfoid
Inj ceftriaxone 2 x 1 ampRanitidine 2 x 1 ampOdancentron 3 x 1 ampCurcuma 3 x 1 tab
25/10/2010 S : lemas (+), demam (+), mual (+), batuk kering (+)
O : CM, TD: 100/70 mmHg, N: 90 x/I, RR: 20 x/I, T: 37,4C
A : demam tfoid
RL 12 tpmPCT 3 x 1 tab prnInj ceftriaxone 2 x 1 ampRanitidine 2 x 1 ampOdancentron 3 x 1 ampCurcuma 3 x 1 tab
26/10/2010 S : lemas (+), demam (+), mual (-)
O : CM, TD: 120/70 mmHg, N: 96 x/I, RR: 22 x/I, T: 37C
A : demam tfoid
RL 12 tpmPCT 3 x 1 tab prnInj ceftriaxone 2 x 1 ampRanitidine 2 x 1 ampOdancentron 3 x 1 ampCurcuma 3 x 1 tabImboost force 2 x 1Diet lunak
27/10/2010 S : lemas (+), demam (-), mual (-)
O : CM, TD: 100/60 mmHg, N: 84 x/I, RR: 22 x/I, T: 36,8C
A : demam tfoid
RL 12 tpmPCT 3 x 1 tab prnInj ceftriaxone 2 x 1 ampRanitidine 2 x 1 ampOdancentron 3 x 1 ampCurcuma 3 x 1 tabImboost force 2 x 1Methioson 2 x 1Cek SGOT, SGPT
28/10/2010
SGOT: 348SGPT: 577
S : keluhan (-)
O : CM, TD: 100/60 mmHg, N: 88 x/I, RR: 20 x/I, T: 36,8C
A : demam tfoid
RL 12 tpmPCT 3 x 1 tab prnInj ceftriaxone 2 x 1 ampRanitidine 2 x 1 ampOdancentron 3 x 1 ampCurcuma 3 x 1 tabImboost force 2 x 1Methioson 2 x 1Inf aminofusin hepar 10 tpmCek HBs Ag
29/10/2010 S : keluhan (-)
O : CM, TD: 100/70
RL 12 tpmRanitidine 2 x 1 ampOdancentron 3 x 1 amp
26
mmHg, N: 80 x/I, RR: 20 x/I, T: 36,8C
A : demam tfoid
Curcuma 3 x 1 tabImboost force 2 x 1Methioson 2 x 1Inf aminofusin hepar 10 tpm
30/10/2010
HBs Ag (-)
S : keluhan (-)
O : CM, TD: 120/80 mmHg, N: 84 x/I, RR: 22 x/I, T: 36,5C
A : demam tfoid
RL 12 tpmRanitidine 2 x 1 tabCurcuma 3 x 1 tabImboost force 2 x 1Methioson 2 x 1Inf aminofusin hepar 10 tpmCek SGOT/SGPT
31/10/2010 S : keluhan (-)
O : CM, TD: 110/70 mmHg, N: 80 x/I, RR: 20 x/I, T: 36,8C
A : demam tfoid
RL 12 tpmRanitidine 2 x 1 tabCurcuma 3 x 1 tabImboost force 2 x 1Methioson 2 x 1Inf aminofusin hepar 10 tpm
1/11/2010
SGOT: 43SGPT: 264
S : keluhan (-)
O : CM, TD: 110/70 mmHg, N: 80 x/I, RR: 20 x/I, T: 36,8C
A : demam tfoid
RL 12 tpmRanitidine 2 x 1 tabCurcuma 3 x 1 tabImboost force 2 x 1Methioson 2 x 1Inf aminofusin hepar 10 tpm
2/11/2010 S : keluhan (-)
O : CM, TD: 110/80 mmHg, N: 76 x/I, RR: 20 x/I, T: 36,5C
A : demam tfoid
RL 12 tpmRanitidine 2 x 1 tabCurcuma 3 x 1 tabImboost force 2 x 1Methioson 2 x 1Inf aminofusin hepar 10 tpm
3/11/2010 S : keluhan (-)
O : CM, TD: 120/70 mmHg, N: 82 x/I, RR: 20 x/I, T: 36,5C
A : demam tfoid
RL 12 tpmRanitidine 2 x 1 tabCurcuma 3 x 1 tabImboost force 2 x 1Methioson 2 x 1Inf aminofusin hepar 10 tpmKRS
27
BAB IV
ANALISA KASUS
Diagnosa: demam tifoid
4.1 Anamnesis
Fakta Teori
Seorang perempuan Nn. J, umur: 18
tahun
Pasien mengalami keluhan seperti:
- Demam (+)
- menggigil (+)
- pusing (+)
- Nyeri ulu hati (+)
- mual (+)
- konstipasi (+)
- nafsu makan menurun
- Riwayat keluarga dengan
penyakit serupa (-)
golongan umur yang berisiko tinggi
(vulnerable group) untuk menderita
demam tifoid adalah kelompok anak
umur 3-19 tahun.
Keluhan yang dapat diperoleh dari
seorang pasien dengan demam tifoid
dapat berupa:
- Demam
- nyeri kepala tumpul bagian
frontal
- pusing
- nyeri otot
- anoreksia
- mual
- muntah
- obstipasi atau diare
- perasaan tidak enak di perut
- malaise
- batuk kering
- epistaksis
Pada kasus ini didapatkan seorang perempuan Nn. J umur 18 tahun.
Berdasarkan data epidemiologi di Indonesia, golongan umur yang berisiko tinggi
28
(vulnerable group) untuk menderita demam tifoid adalah kelompok anak umur 3-
19 tahun.
Berdasarkan anamnesis didapatkan manifestasi demam tifoid yang sesuai
dengan teori, yaitu berupa demam yang disertai menggigil pada sore dan malam
hari, pusing, nyeri ulu hati, penurunan nafsu makan, mual, dan konstipasi.
4.2 Pemeriksaan Fisik
Fakta Teori
Pada pasien ini ditemukan:
Suhu badan meningkat
Bradikardia relative
Lidah kotor
Pada pasien dengan demam tifoid dapat
ditemukan:
suhu badan meningkat.
bradikardia relatif
lidah yang berselaput (kotor di
tengah, tepi dan ujung merah serta
tremor)
hepatomegali
splenomegali
meteroismus
gangguan mental berupa somnolen,
stupor, koma, delirium, atau
psikosis.
Pada pemeriksaan fisik kasus ini didapatkan temuan kinis berupa suhu badan
meningkat, bradikardia relatif dan lidah kotor Hal ini sesuai dengan teori tanda
klinis dari demam tifoid.
4.3 Pemeriksaan Penunjang
Fakta Teori
Laboratorium
- Darah lengkap
Laboratorium
- Darah lengkap
kadar hemoglobin, leukosit dan
29
Hb: 9,7 – 10,1
Leuko: 5.900 – 6.300/ mL3
Trombosit: 402.000 – 405.000
- Tes fungsi hati
SGOT 43 - 348 u/L dan SGPT
264 - 577 u/L.
- Uji widal
Salmonella typhi O (+) 1/80
Salmonella typhi H (+) 1/80,
1/160, 1/320
- Kultur darah tidak dilakukan.
trombosit bisa dalam nilai normal atau
sedikit menurun.
- Tes fungsi hati (SGOT/SGPT)
biasanya meningkat ringan.
- Uji widal
menentukan adanya aglutinin
dalam serum penderita tersangka
demam tifoid (Aglutinin O, H dan Vi).
Semakin tinggi titernya semakin besar
kemungkinan terinfeksi kuman ini.
- Kultur darah
apakah terdapat kuman S typhi atau
tidak
Pada pemeriksaan penunjang darah lengkap didapatkan hasil leukosit yang
normal, hemoglobin didapatkan hasil yang sedikit menurun, sedangkan trombosit
sedikit meningkat. Pada pemeriksaan kimia darah lengkap terdapat kadar SGOT
SGPT yang sangat tinggi yaitu SGOT 43 - 348 dan SGPT 264 - 577. Pada kasus
ini didapatkan SGOT dan SGPT yang sangat tinggi mungkin karena sudah adanya
komplikasi pada hepar.
4.4 Diagnosis
Fakta Teori
Pada pasien ditemukan fakta:
- Demam disertai menggigil pada
sore dan malam hari
- Lidah kotor
- Uji widal
Salmonella typhi O (+) 1/80
Diagnosis ditegakkan berdasarkan
gejala-gejala dan hasil pemeriksaan
fisik. Untuk memperkuat diagnosis,
dilakukan biakan darah, tinja, air kemih
atau jaringan tubuh lainnya guna
menemukan bakteri penyebabnya
30
Salmonella typhi H (+) 1/80,
1/160, 1/320
Biasanya diagnosa demam tifoid mudah ditegakkan karena gejala yang
muncul bersamaan dan khas. Walaupun diagnosis pada kasus tertentu
memerlukan pemeriksaan tambahan.
4.5 Pengobatan
Fakta Teori
Terapi yang diberikan pada pasien:
RL 12 tpm
PCT 3 x 1 tab prn
Inj ceftriaxone 2 x 1 amp
Ranitidine 2 x 1 amp
Odancentron 3 x 1 amp
Curcuma 3 x 1 tab
Imboost force 2 x 1
Diet lunak
Methioson 2 x 1
Inf aminofusin hepar 10 tpm
penatalaksanaan demam tifoid, yaitu:
- Istirahat dan perawatan
- Diet dan terapi penunjang
- Pemberian antimikroba
Antimikroba yang digunakan telah sesuai berkaitan dengan fungsinya
dalam menghambat sintesis dinding sel mikroba serta berdasarkan resistensi yaitu
golongan sefalosporin generasi ketiga, ceftriaxon. Imboost force untuk
memperbaiki daya tahan tubuh. Methioson diberikan untuk membantu fungsi
organ hati. Infus aminofusin hepar untuk nutrisi dengan gangguan fungsi hati
berat berkaitan dengan adanya SGOT dan SGPT yang sangat meningkat pada
pasien.
31
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang
yang dilakukan pada pasien ini maka diagnosa pada pasien ini adalah
demam tifoid dengan komplikasi hepatitis.
Pada pasien ini telah dilakukan pemeriksaan tambahan lengkap yang
membantu melihat perkembangan penyakit.
Penatalaksanaan yang didapatkan pada pasien ini memenuhi standar terapi
yang sesuai dengan literatur.
32
DAFTAR PUSTAKA
1. Widodo, Djoko. Demam Tifoid. (penyunt.) Aru. W.Sudoyo, Bambang
Setiyohadi dan Idrus Alwi dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi IV.
Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Indonesia, 2006, Vol. 3, 398, hal. 1774-1779.
2. MedicalEra. Demam Tifoid. (Online) Juni 2010, (http://medicalera.com,
Diakses tanggal 12 Desember 2010).
3. Simanjuntak, C.H. Demam Tifoid, Epidemiologi, dan Perkembangan
Penelitiannya. Cermin Dunia Kedokteran, No.83, 1993.
4. Adulgopar. Demam Tifoid. (Online) 2009,
(http://adulgopar.files.wordpress.com, Diakses tanggal 22 Desember 2010).
5. Irga. Demam Tifoid. (Online) 2009, (http://irwanashari.com, Diakses tanggal
22 Desember 2010).
6. Yoga. Demam Tifoid. (Online) 2010, (http://milissehat.web.id, Diakses
tanggal 22 Desember 2010).
33