Upload
tracy-taylor
View
41
Download
1
Embed Size (px)
DESCRIPTION
yyyyy
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
Demensia merupakan suatu sindrom akibat penyakit otak, biasanya bersifat kronik
atau progresif serta terdapat gangguan fungsi luhur (fungsi kortikal yang multipel), termasuk
daya ingat, daya pikir, daya orientasi, daya pemahaman, berhitung, kemampuan belajar,
berbahasa, dan daya kemampuan menilai. Kesadaran tidak berkabut, dan biasanya disertai
hendaya fungsi kognitif, ada kalanya diawali oleh kemerosotan (deterioration) dalam
pengendalian emosi, perilaku sosial atau motivasi. Sindrom ini terjadi pada penyakit
Alzheimer, pada penyakit serebrovaskuler, dan pada kondisi lain yang secara primer atau
sekunder mengenai otak.2
1
BAB II
DEMENSIA
2.1. Definisi
Demensia ialah kondisi keruntuhan kemampuan intelek yang progresif setelah
mencapai pertumbuhan & perkembangan tertinggi (umur 15 tahun) karena gangguan otak
organik, diikuti keruntuhan perilaku dan kepribadian, dimanifestasikan dalam bentuk
gangguan fungsi kognitif seperti memori, orientasi, rasa hati dan pembentukan pikiran
konseptual. Biasanya kondisi ini tidak reversibel, sebaliknya progresif. 2
Demensia merupakan kerusakan progresif fungsi-fungsi kognitif tanpa disertai
gangguan kesadaran. Demensia adalah Sindrom penyakit akibat kelainan otak bersifat
kronik / progresif serta terdapat gangguan fungsi luhur (Kortikal yang multiple) yaitu ; daya
ingat , daya fikir , daya orientasi , daya pemahaman , berhitung , kemampuan belajar,
berbahasa , kemampuan menilai. Kesadaran tidak berkabut , Biasanya disertai hendaya fungsi
kognitif , dan ada kalanya diawali oleh kemerosotan (detetioration) dalam pengendalian
emosi, perilaku sosial atau motivasi sindrom ini terjadi pada penyakit Alzheimer, pada
penyakit kardiovaskular, dan pada kondisi lain yang secara primer atau sekunder mengenai
otak. 3
2.2. Epidemiologi
Prevalensi demensia semakin meningkat dengan bertambahnya usia. Prevalensi
demensia sedang hingga berat bervariasi pada tiap kelompok usia. Pada kelompok usia diatas
65 tahun prevalensi demensia sedang hingga berat mencapai 5 persen, sedangkan pada
kelompok usia diatas 85 tahun prevalensinya mencapai 20 hingga 40 persen. 1,2,4
Dari seluruh pasien yang menderita demensia, 50 hingga 60 persen diantaranya
menderita jenis demensia yang paling sering dijumpai, yaitu demensia tipe Alzheimer
(Alzheimer’s diseases). Prevalensi demensia tipe Alzheimer meningkat seiring bertambahnya
usia. Untuk seseorang yang berusia 65 tahun prevalensinya adalah 0,6 persen pada pria dan
0,8 persen pada wanita. Pada usia 90 tahun, prevalensinya mencapai 21 persen. Pasien
dengan demensia tipe Alzheimer membutuhkan lebih dari 50 persen perawatan rumah
(nursing home bed). 1,2,4
Jenis demensia yang paling lazim ditemui berikutnya adalah demensia vaskuler, yang
secara kausatif dikaitkan dengan penyakit serebrovaskuler. Hipertensi merupakan factor
predisposisi bagi seseorang untuk menderita demensia. Demensia vaskuler meliputi 15
2
hingga 30 persen dari seluruh kasus demensia. Demensia vaskuler paling sering ditemui pada
seseorang yang berusia antara 60 hingga 70 tahun dan lebih sering pada laki-laki daripada
wanita. Sekitar 10 hingga 15 persen pasien menderita kedua jenis demensia tersebut. 1,5
Penyebab demensia paling sering lainnya, masing-masing mencerminkan 1 hingga 5
persen kasus adalah trauma kepala, demensia yang berhubungan dengan alkohol, dan
berbagai jenis demensia yang berhubungan dengan gangguan pergerakan, misalnya penyakit
Huntington dan penyakit Parkinson. Karena demensia adalah suatu sindrom yang umum, dan
mempunyai banyak penyebab, dokter harus melakukan pemeriksaan klinis dengan cermat
pada seorang pasien dengan demensia untuk menegakkan penyebab demensia pada pasien
tertentu. 1
2.3. Etiologi
Penyebab demensia yang paling sering pada individu yang berusia diatas 65 tahun
adalah (1) penyakit Alzheimer, (2) demensia vaskuler, dan (3) campuran antara keduanya.
Penyebab lain yang mencapai kira-kira 10 persen diantaranya adalah demensia jisim Lewy
(Lewy body dementia), penyakit Pick, demensia frontotemporal, hidrosefalus tekanan normal,
demensia alkoholik, demensia infeksiosa (misalnya human immunodeficiency virus (HIV)
atau sifilis) dan penyakit Parkinson. Banyak jenis demensia yang melalui evaluasi dan
penatalaksanaan klinis berhubungan dengan penyebab yang reversibel seperti kelaianan
metabolik (misalnya hipotiroidisme), defisiensi nutrisi (misalnya defisiensi vitamin B12 atau
defisiensi asam folat), atau sindrom demensia akibat depresi. Pada tabel 2.1 berikut ini dapat
dilihat kemungkinan penyebab demensia :
Tabel 2.1. Kemungkinan penyebab demensia
Demensia Degeneratif
· Penyakit Alzheimer
· Demensia frontotemporal
(misalnya; Penyakit Pick)
· Penyakit Parkinson
· Demensia Jisim Lewy
· Ferokalsinosis serebral idiopatik
(penyakit Fahr)
· Kelumphan supranuklear yang
Lain-lain
· Penyakit Huntington
· Penyakit Wilson
· Leukodistrofi metakromatik
Infeksi
· Penyakit Prion (misalnya
penyakit Creutzfeldt-Jakob,
bovine spongiform encephalitis,
(Sindrom Gerstmann-
3
Progresif
Trauma
· Dementia pugilistica,
posttraumatic dementia
· Subdural hematoma
Kelainan Psikiatrik
· Pseudodemensia pada depresi
· Penurunan fungsi kognitif pada
skizofrenia lanjut
Tumor
· Tumor primer maupun metastase
(misalnya meningioma atau tumor
metastasis dari tumor payudara
atau tumor paru)
Kelainan jantung, vaskuler dan anoksia
· Neuroakantosistosis
· Infark serebri (infark tunggak
mauapun mulitpel atau infark
lakunar)
· Penyakit Binswanger
(subcortical arteriosclerotic
encephalopathy)
· Insufisiensi hemodinamik
(hipoperfusi atau hipoksia)
Straussler)
· Acquired immune deficiency
syndrome (AIDS)
· Sifilis
Fisiologis
· Hidrosefalus tekanan normal
Kelainan Metabolik
· Defisiensi vitamin (misalnya
vitamin B12, folat)
· Endokrinopati (e.g.,
hipotiroidisme)
· Gangguan metabolisme kronik
(contoh : uremia)
Obat-obatan dan toksin
· Alkohol
· Logam berat
· Radiasi
· Pseudodemensia akibat
pengobatan (misalnya
penggunaan antikolinergik)
· Karbon monoksida
Penyakit demielinisasi
· Sklerosis multipel
4
Gambar.2.1. Perbadingan persentase etiologi dari demensia. 6
2.3.1. Demensia Tipe Alzheimer
Alois Alzheimer pertama kali menggambarkan suatu kondisi yang selanjutnya diberi
nama dengan namanya dalam tahun 1907, saat ia menggambarkan seorang wanita berusia 51
tahun dengan perjalanan demensia progresif selama 4,5 tahun. Diagnosis akhir Alzheimer
didasarkan pada pemeriksaan neuropatologi otak; meskipun demikian, demensia Alzheimer
biasanya didiagnosis dalam lingkungan klinis setelah penyebab demensia lain telah
disingkirkan dari pertimbangan diagnostic. 2
Gambar.2.2 Penyakit Alzheimer. Tampak secara jelas plak senilis disebelah kiri.
Beberapa serabut neuron tampak kusut disebelah kanan.
5
Menjadi catatan tentang adanya kekacauan hantaran listrik pada sistem kortikal. 2
Gambar.2.3 Sel otak pada Penyakit Alzheimer dibandingkan dengan sel otak normal. 7
2.3.1.1.Faktor Genetik
Walaupun penyebab demensia tipe Alzheimer masih belum diketahui, telah
terjadi kemajuan dalam molekular dari deposit amiloid yang merupakan tanda utama
neuropatologi gangguan. Beberapa peneliti menyatakan bahwa 40 % dari pasien
demensia mempunyai riwayat keluarga menderita demensia tipe Alzheimer, jadi
setidaknya pada beberapa kasus, faktor genetic dianggap berperan dalam
perkembangan demensia tipe Alzheimer tersebut. Dukungan tambahan tentang
peranan genetik adalah bahwa terdapat angka persesuaian untuk kembar monozigotik,
dimana angka kejadian demensia tipe Alzheimer lebih tinggi daripada angka kejadian
pada kembar dizigotik. Dalam beberapa kasus yang telah tercatat dengan baik,
gangguan ditransmisikan dalam keluarga melalui satu gen autosomal dominan, walau
transmisi tersebut jarang terjadi. 2
2.3.1.2 Protein prekursor amiloid
Gen untuk protein prekusor amiloid terletak pada lengan panjang kromosom
21. Melalui proses penyambungan diferensial, dihasilkan empat bentuk protein
prekusor amiloid. Protein beta/A4, yang merupakan konstituen utama dari plak
senilis, adalah suatu peptida dengan 42-asamamino yang merupakan hasil pemecahan
dari protein prekusor amiloid. Pada kasus sindrom Down (trisomi kromosom 21)
ditemukan tiga cetakan gen protein prekusor amiloid, dan pada kelainan dengan
6
mutasi yang terjadi pada kodon 717 dalam gen protein prekusor amiloid, suatu proses
patologis yang menghasilkan deposit protein beta/A4 yang berlebihan. Bagaimana
proses yang terjadi pada protein prekusor amiloid dalam perannya sebagai penyebab
utama penyakit Alzheimer masih belum diketahui, akan tetapi banyak kelompok studi
yang meneliti baik proses metabolisme yang normal dari protein prekusor amiloid
maupun proses metabolisme yang terjadi pada pasien dengan demensia tipe
Alzheimer untuk menjawab pertanyaan tersebut. 2
2.3.1.3 Gen E4 multipel
Sebuah penelitian menunjukkan peran gen E4 dalam perjalanan penyakit
Alzheimer. Individu yang memiliki satu kopi gen tersebut memiliki kemungkinan tiga
kali lebih besar daripada individu yang tidak memiliki gen E4 tersebut, dan individu
yang memiliki dua kopi gen E4 memiliki kemungkinan delapan kali lebih besar
daripada yang tidak memiliki gen tersebut. Pemeriksaan diagnostik terhadap gen ini
tidal direkomendasikan untuk saat ini, karena gen tersebut ditemukan juga pada
individu tanpa demensia dan juga belum tentu ditemukan pada seluruh penderita
demensia. 2
2.3.1.4 Neuropatologi
Penelitian neuroanatomi otak klasik pada pasien dengan penyakit Alzheimer
menunjukkan adanya atrofi dengan pendataran sulkus kortikalis dan pelebaran
ventrikel serebri. Gambaran mikroskopis klasik dan patognomonik dari demensia tipe
Alzheimer adalah plak senilis, kekusutan serabut neuron, neuronal loss (biasanya
ditemukan pada korteks dan hipokampus), dan degenerasi granulovaskuler pada sel
saraf. Kekusutan serabut neuron (neurofibrillary tangles) terdiri dari elemen
sitoskletal dan protein primer terfosforilasi, meskipun jenis protein sitoskletal lainnya
dapat juga terjadi. Kekusutan serabut neuron tersebut tidak khas ditemukan pada
penyakit Alzheimer, fenomena tersebut juga ditemukan pada sindrom Down,
demensia pugilistika (punch-drunk syndrome) kompleks Parkinson-demensia Guam,
penyakit Hallervon-Spatz, dan otak yang normal pada seseorang dengan usia lanjut.
Kekusutan serabut neuron biasanya ditemukan di daerah korteks, hipokampus,
substansia nigra, dan lokus sereleus. 8
Plak senilis (disebut juga plak amiloid), lebih kuat mendukung untuk
diagnosis penyakit Alzheimer meskipun plak senilis tersebut juga ditemukan pada
7
sindrom Down dan dalam beberapa kasus ditemukan pada proses penuaan yang
normal. 2
2.3.1.5. Neurotransmiter
Neurotransmiter yang paling berperan dalam patofisiologi dari demensia
Alzheimer adalah asetilkolin dan norepinefrin. Keduanya dihipotesis menjadi
hipoaktif pada penyakit Alzheimer. Beberapa penelitian melaporkan pada penyakit
Alzheimer ditemukannya suatu degenerasi spesifik pada neuron kolinergik pada
nukleus basalis meynert. Data lain yang mendukung adanya defisit kolinergik pada
Alzheimer adalah ditemukan konsentrasi asetilkolin dan asetilkolintransferase
menurun. 2
2.3.1.6. Penyebab potensial lainnya
Teori kausatif lainnya telah diajukan untuk menjelaskan perkembangan
penyakit Alzheimer. Satu teori adalah bahwa kelainan dalam pengaturan metabolisme
fosfolipid membrane menyebabkan membran yang kurang cairan yaitu, lebih kaku
dibandingkan dengan membrane yang normal. Penelitian melalui spektroskopik
resonansi molekular (Molecular Resonance Spectroscopic; MRS) mendapatkan kadar
alumunium yang tinggi dalam beberapa otak pasien dengan penyakit Alzheimer. 2
2.3.2. Demensia vaskuler
Penyebabnya adalah penyakit vaskuler serebral yang multipel yang menimbulkan
gejala berpola demensia. Ditemukan umumnya pada laki-laki, khususnya dengan riwayat
hipertensi dan faktor resiko kardiovaskuler lainnya. Gangguan terutama mengenai pembuluh
darah serebral berukuran kecil dan sedang yang mengalami infark dan menghasilkan lesi
parenkhim multiple yang menyebar luas pada otak (gambar 2.2). Penyebab infark berupa
oklusi pembuluh darah oleh plaq arteriosklerotik atau tromboemboli dari tempat
lain( misalnya katup jantung). Pada pemeriksaan akan ditemukan bruit karotis, hasil
funduskopi yang tidak normal atau pembesaran jantung (gambar 2.3). 2,3
8
Gambar.2.4. Makroskopis korteks serebral pada potongan koronal dari suatu kasus demensia
vascular. Infark lakunar bilateral multipel mengenai thalamus, kapsula interna dan globus
palidus. 2
Gambar 2.5 Pasien dengan demensia kronik biasanya memerlukan perawatan custodial.
Pasien biasanya mengalami kemunduran perilaku,
seperti menghisap jari,khas pada jenis ini. 2
9
Gambar 2.6 Gambaran Demensia Vaskular. 8
2.3.3. Penyakit Binswanger
Dikenal juga sebagai ensefalopati arteriosklerotik subkortikal, ditandai dengan
ditemukannya infark-infark kecil pada subtansia alba yang juga mengenai daerah korteks
serebri (Gambar 2.4). Dulu dianggap penyakit yang jarang terjadi tapi dengan pencitraan
yang canggih dan kuat seperti resonansi magnetik (Magnetic Resonance Imaging; MRI)
membuat penemuan kasus ini menjadi lebih sering. 2
10
Gambar.2.7. Penyakit Binswanger. Potongan melintang menunjukkan gambaran infark pada
bagian putih subkortikal.dengan pengurangan subtansia grisea. 2
2.3.4. Penyakit Pick
Penyakit Pick ditandai atrofi yang lebih banyak dalam daerah frontotemporal. Daerah
tersebut mengalami kehilangan neuronal, gliosis dan adanya badan Pick neuronal, yang
merupakan massa elemen sitoskeletal. Badan Pick ditemukan pada beberapa specimen
postmortem tetapi tidak diperlukan untuk diagnosis. Penyebab dari penyakit Pick tidak
diketahui. Penyakit Pick berjumlah kira-kira 5% dari semua demensia ireversibel. Penyakit
ini paling sering pada laki-laki, khususnya yang memiliki keluarga derajat pertama dengan
penyakit ini. Penyakit Pick sukar dibedakan dengan demensia Alzheimer. Walaupun stadium
awal penyakit lebih sering ditandai oleh perubahan kepribadian dan perilaku, dengan fungsi
kognitif lain yang relative bertahan. Gambaran sindrom Kluver-Bucy (contohnya:
hiperseksualitas, flaksiditas, hiperoralitas) lebih sering ditemukan pada penyakit Pick
daripada pada penyakit Alzheimer. 2
11
Gambar.2.8. Penyakit Pick dengan kelainan patologi yang luas . Gambaran menunjukkan
atrofi yang paling luas pada lobus frontalis serta pada lobus temporalis dan parietalis . 2
Gambar.2.9. Pemeriksaan PET pada penyakit PICK. 6
2.3.5. Penyakit Jisim lewy (Lewy body diseases)
Penyakit Jisim Lewy adalah suatudemensia yang secara klinis mirip dengan penyakit
lzheimer dan sering ditandai oleh adanya halusinasi, gambaran Parkinsonisme, dan gejala
ekstrapiramidal. Inklusi Jisim Lewy ditemukan di daerah korteks serebri. Insiden yang
sesungguhnya tidak diketahui. Pasien dengan penyakit Jisim Lewy ini menunjukkan efek
yang menyimpang (adverse effect) ketika diberi pengobatan dengan antipsikotik. 2,3
2.3.6. Penyakit Huntington
Penyakit Huntington secara klasik dikaitkan dengan perkembangan demensia.
Demensia pada penyakit ini terlihat sebagai demensia tipe subkortikal yang ditandai dengan
abnormalitas motorik yang lebih menonjol dan gangguan kemampuan berbahasa yang lebih
ringan dibandingkan demensia tipe kortikal. Demensia pada penyakit Huntington
12
menunjukkan perlambatan psikomotor dan kesulitan dalam mengerjakan pekerjaan yang
kompleks, akan tetapi memori, bahasa, dan tilikan relatif utuh pada stadium awal dan
pertengahan penyakit. Dalam perkembangannya, demensia menjadi lengkap dan gambaran
klinis yang membedakannya dengan demensia tipe Alzheimer adalah tingginya insiden
depresi dan psikosis, selain gangguan pergerakan berupa gambaran koreoatetoid klasik. 2
2.3.7. Penyakit Parkinson
Sebagaimana pada penyakit Huntington, Parkinsonisme merupakan penyakit pada
ganglia basalis yang biasanya dikaitkan dengan demensia dan depresi. Diperkirakan 20
hingga 30 persen pasien dengan penyakit Parkinson mengalami gangguan kemampuan
kognitif. Gerakan lambat pada pasien dengan penyakit Parkinson sejajar dengan perlambatan
berpikir pada beberapa pasien, suatu gambaran yang sering disebut oleh para klinis sebagai
bradifrenia. 2
2.4. Gambaran Klinis
2.4.1.Kepribadian
Perubahan kepribadian pada seseorang yang menderita demensia biasanya akan
mengganggu bagi keluarganya. Ciri kepribadiaan sebelum sakit mungkin dapat menonjol
selama perkembangan demensia. Pasien dengan demensia juga menjadi tertutup serta
menjadi kurang perhatian dibandingkan sebelumnya. Seseorang dengan demensia yang
memiliki waham paranoid umumnya lebih cenderung memusuhi anggota keluarganya dan
pengasuhnya. Pasien yang mengalami kelainan pada lobus fraontalis dan temporalis
biasanya mengalami perubahan kepribadian dan mungkin lebih iritabel dan eksplosif. 2
2.4.2. Halusinasi dan Waham
Diperkirakan sekitar 20 hingga 30 persen dengan demensia (terutama pasien
dengan demensia tipe Alzheimer) memiliki halusinasi, dan 30 hingga 40 persen memiliki
waham, terutama waham paranoid yang bersifat tidak sistematis, meskipun waham yang
sistematis juga dilaporkan pada pasien tersebut. Agresi fisik dan bentuk-bentuk kekerasan
lainnya lazim ditemukan pada pasien dengan demensia yang juga memiliki gejala-gejala
psikotik. 2
13
2.4.3. Mood
Pada pasien dengan gejala psikosis dan perubahan kepribadian, depresi dan
kecemasan merupakan gejala utama yang ditemukan pada 40 hingga 50 persen pasien
dengan demensia, meskipun sindrom depresif secara utuh hanya tampak pada 10 hingga
20 persen pasien. Pasien dengan demensia juga dapat menujukkan perubahan emosi yang
ekstrem tanpa provokasi yang nyata (misalnya tertawa dan menangis yang patologis). 2
2.4.4. Perubahan Kognitif
Pada pasien demensia yang disertai afasia lazim ditemukan adanya apraksia dan
agnosia dimana gejala-gejala tersebut masuk dalam kriteria DSM IV. Tanda-tanda
neurologis lainnya yang dikaitkan dengan demensia adalah bangkitan yaitu ditemukan
kira-kira pada 10 persen pasien dengan demensia tipe Alzheimer serta 20 persen pada
pasien dengan demensia vaskuler. Refleks primitif seperti refleks menggenggam, refleks
moncong (snout), refleks mengisap, reflex tonus kaki serta refleks palmomental dapat
ditemukan melalui pemeriksaan neurologis pada 5 hingga 10 persen pasien. Untuk
menilai fugsi kognitif pada pasien demensia dapat digunakan The Mini Mental State
Exam (MMSE). 9
Gambar.2.11. Test menggambar jam pada salah penilaian MMSE. 9
Pasien dengan demensia vaskuler mungkin mempunyai gejala-gejala neurologis
tambahan seperti sakit kepala, pusing, kepala terasa ringan, kelemahan, tanda defisit
neurologis fokal terutama yang terkait dengan penyakit serebro-vaskuler, pseudobulber
palsy, disartria, dan disfagia yang lebih menonjol dibandingkan dengan gejala-gejala
diatas pada jenis-jenis demensia lainnya. 2
14
2.4.5. Reaksi Katastrofik
Pasien dengan demensia juga menunjukkan penurunan kemampuan yang oleh
Kurt Goldstein disebut “perilaku abstrak”. Pasien mengalami kesulitan untuk memahami
suatu konsep dan menjelaskan perbedaan konsep-konsep tersebut. Lebih jauh lagi,
kemampuan untuk menyelesaikan masalah-masalah, berpikir logis, dan kemampuan
menilai suara juga terganggu. Goldstein juga menggambarkan reaksi katastrofik berupa
agitasi terhadap kesadaran subyektif dari defisit intelektual dalam kondisi yang penuh
tekanan. Pasien biasanya mengkompensasi defek yang dialami dengan cara menghindari
kegagalan dalam kemampuan intelektualnya, misalnya dengan cara bercanda atau dengan
mengalihkan pembicaraannya dengan pemeriksa. Buruknya penilaian dan kemampuan
mengendalikan impuls adalah lazim, biasanya ditemukan pada demensia yang secara
primer mengenai daerah lobus frontalis. Contoh dari kelainan ini adalah penggunaan kata-
kata yang kasar, bercanda dengan tidak wajar, ketidakpedulian terhadap penampilan dan
kebersihan diri, serta sikap acuh tak acuh dalam hubungan sosialnya. 2
2.4.6. Sindrom Sundowner
Sindrom sundowner ditandai dengan keadaan mengantuk, bingung, ataksia dan
terjatuh secara tiba-tiba. Gejala-gejala tersebut muncul pada pasien yang berumur lebih
tua yang mengalami sedasi yang berlebihan dan penderita demensia yang bereaksi secara
berlebihan terhadap obat-obat psikoaktif bahkan dengan dosis yang kecli sekalipun.
Sindrom tersebut juga muncul pada pasien demensia saat sitmulus eksternal seperti
cahaya dan isyarat interpersonal dihilangkan.
2.5. Klasifikasi
Demensia dapat diklasifikasikan berdasarkan umur, perjalanan penyakit, kerusakan
struktur otak, sifat klinisnya dan menurut Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan
Jiwa di Indonesia III (PPDGJ III). 1,3
1) Menurut Umur:
Demensia senilis (>65th)
Demensia prasenilis (<65th)
2) Menurut perjalanan penyakit:
Reversibel
Ireversibel (Normal pressure hydrocephalus, subdural hematoma, Defisiensi
vitamin B, Hipotiroidism, intoksikasi Pb)
15
3) Menurut kerusakan struktur otak
Tipe Alzheimer
Tipe non-Alzheimer
Demensia vaskular
Demensia Jisim Lewy (Lewy Body dementia)
Demensia Lobus frontal-temporal
Demensia terkait dengan HIV-AIDS
Morbus Parkinson
Morbus Huntington
Morbus Pick
Morbus Jakob-Creutzfeldt
Sindrom Gerstmann-Sträussler-Scheinker
Prion disease
Palsi Supranuklear progresif
Multiple sklerosis
Neurosifilis
Tipe campuran
4) Menurut sifat klinis:
Demensia proprius
Pseudo-demensia
Berdasarkan PPDGJ III demensia termasuk dalam F00-F03 yang merupakan
gangguan mental organik dengan klasifikasinya sebagai berikut ;
F 00 Demensia pada penyakit Alzheimer
F00.0 Demensia pada penyakit Alzheimer dengan onset dini
F00.1 Demensia pada penyakit Alzheimer dengan Onset Lambat
F00.2 Demensia pada penyakit Alzheimer dengan, tipe tidak khas atau tipe
campuran
F00.9 Demensia pada penyakit Alzheimer YTT (Yang Tidak Tergolongkan)
F 01 Demensia Vaskular
F01.0 Demensia Vaskular Onset akut
F01.1 Demensia Vaskular Multi-Infark
F01.2 Demensia Vaskular Sub Kortikal
F01.3 Demensia Vaskular campuran kortikal dan subkortikal
16
F01.8 Demensia Vaskular lainnya
F01.9 Demensia Vaskular YTT
F02 Demensia pada penyakit lain
F02.0 Demensia pada penyakit PICK
F02.1 Demensia pada penyakit Creutzfeldt-Jakob
F02.2 Demensia pada penyakit Huntington
F02.3 Demensia pada penyakit parkinson
F02.4 Demensia pada penyakit HIV
F02.8 Demensia pada penyakit lain YDT –YDK (Yang Di-Tentukan-Yang Di-
Klasifikasikan ditempat lain)
F03 Demensia YTT
Karakter kelima dapat digunakan untuk menentukan demensia pada F00-F03 sebagai
berikut :
1. .X0 Tanpa gejala tambahan
2. .X1 Gejala lain, terutama waham
3. .X2 Halusinasi
4. .X3 Depresi
5. .X4 Campuran lain
2.6. Diagnosis dan Keluhan Utama
Diagnosis demensia ditetapkan dalam DSM-IV-TR, untuk demensia tipe Alzheimer’s
(tabel 2.2).2 Diagnosis demensia berdasarkan pemeriksaan klinis, termasuk pemeriksaan
status mental, dan melalui informasi dari pasien, keluarga, teman dan teman sekerja. Keluhan
terhadap peerubahan sifat pasien dengan usia lebih tua dari 40 tahun membuat kita harus
mempertimbangan dengan cermat untuk mendiagnosis dimensia. 2
17
Tabel 2.2 Kriteria Diagnostik untuk Demensia
A. Perkembangan defisit kognitif multipel yang dimanifestasikan dengan baik
1. Gangguan daya ingat (gangguan Kemampuan untuk mempelajari informasi baru dan untuk mengingat informasi yang telah dipelajari sebelumnya)
2. Satu (atau lebih) gangguan kognitif berikut;
a) Afasia (gangguan bahasa)b) Apraksia (gangguan kemampuan
untuk melakukan aktivitas motorik walaupun fungsi motorik utuh)
c) Agnosia (kegagalan untuk mengenali atau mengidentifikasi benda walaupun fungsi sensorik utuh
d) Gangguan dalam fungsi eksekutif (yaitu merencanakan, mengorganisasi, mengurutkan dan abstrak)
B. Defisit kognitif dalam kriteria A1 dan A2 masing-masing menyebabkan gangguan yangbermakna dalam fungsi sosial atau pekerjaan dan menunjukkan suatu penurunan bermakna dari tingkat fungsi sebelumnya
C. Perjalanan penyakit ditandai oleh onset yang bertahap dan penurunan kognitif yang terus menerus
D. Defisit kognitif dalam kriteria A1 dan A2 bukan karena salah satu berikut ;
1. Kondisi sistem saraf pusat lain yang menyebabkan defisit progresif dalam daya ingat kognisi misalnya penyakit serebrovaskuler, penyakit Parkinson, penyakit Huntington, hematoma subdural , hidrosefalus tekanan normal, tumor otak
2. Kondisi sistemik yang diketehui menyebabkan demensia misalnya, hipotiroidisme, defisiensi vitamin B12 atau asam folat, defisiensi niasin, hiperkalsemia, neurosifilis, infeksi HIV
3. Kondisi yang berhubungan dengan zat
E. Defisit tidak terjadi semata-mata selama perjalanan suatu delirium
F. Gangguan tidak lebih baik diterangkan oleh gangguan aksis lainnya (misalnya, gangguandepresif berat, Skizofrenia)
Kondisi akibat zat Kode didasarkan pada tipe onset dan ciri yang menonjol; Tanpa gangguan perilaku ; Jika ganguan kognitif tidak disertai dengan gangguan perilaku yang bermaknasecara klinis
Dengan gangguan perilaku ; Jika gangguan kognitif disertai gangguan perilaku yang bermakna secara klinis (misalnya keluyuran, agitasi) Subtipe yang spesifik;Dengan onset dini : jika onset pada umur < 65 tahun Dengan onset lanjut ; jika onset padausia > 65 tahun
Catatan cara ; Penyakit Alzheimer ditulis pada aksis 3. Gejala klinis lain yang menonjol yang berhubungan dengan penyakit Alzheimer,sdidiagnosis pada aksis I ( misalnya gangguan mood yang berkaitan dengan penyakit Alzheimer, dengan depresi yang menonjol, dan perubahan kepribadian yang berhubungan dengan penyakit Alzheimer, tipe agresif )
18
2.7. Penatalaksanaan
Langkah pertama dalam menangani kasus demensia adalah melakukan verifikas
diagnosis. Diagnosis yang akurat sangat penting mengingat progresifitas penyakit dapat
dihambat atau bahkan disembuhkan jika terapi yang tepat dapat diberikan. Tindakan
pengukuran untuk pencegahan adalah penting terutama pada demensia vaskuler. Pengukuran
tersebut dapat berupa pengaturan diet, olahraga, dan pengontrolan terhadap diabetes dan
hipertensi. Obat-obatan yang diberikan dapat berupa antihipertensi, antikoagulan, atau
antiplatelet. Pengontrolan terhadap tekanan darah harus dilakukan sehingga tekanan darah
pasien dapat dijaga agar berada dalam batas normal, hal ini didukung oleh fakta adanya
perbaikan fungsi kognitif pada pasien demensia vaskuler. Tekanan darah yang berada
dibawah nilai normal menunjukkan perburukan fungsi kognitif, secara lebih lanjut, pada
pasien dengan demensia vaskuler. Pilihan obat antihipertensi dalam hal ini adalah sangat
penting mengingat antagonis reseptor b-2 dapat memperburuk kerusakan fungsi kognitif.
Angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitor dan diuretik telah dibuktikan tidak
berhubungan dengan perburukan fungsi kognitif dan diperkirakan hal itu disebabkan oleh
efek penurunan tekanan darah tanpa mempengaruhi aliran darah otak. Tindakan bedah untuk
mengeluarkan plak karotis dapat mencegah kejadian vaskuler berikutnya pada pasien-pasien
yang telah diseleksi secara hati-hati. Pendekatan terapi secara umum pada pasien dengan
demensia bertujuan untuk memberikan perawatan medis suportif, dukungan emosional untuk
pasien dan keluarganya, serta terapi farmakologis untuk gejala-gejala yang spesifik, termasuk
perilaku yang merugikan. 2
2.7.1. Terapi Psikososial
Kemerosotan status mental memiliki makna yang signifikan pada pasien dengan
demensia. Keinginan untuk melanjutkan hidup tergantung pada memori. Memori jangka
pendek hilang sebelum hilangnya memori jangka panjang pada kebanyakan kasus
demensia, dan banyak pasien biasanya mengalami distres akibat memikirkan bagaimana
mereka menggunakan lagi fungsi memorinya disamping memikirkan penyakit yang
sedang dialaminya. Identitas pasien menjadi pudar seiring perjalanan penyakitnya, dan
mereka hanya dapat sedikit dan semakin sedikit menggunakan daya ingatnya. Reaksi
emosional bervariasi mulai dari depresi hingga kecemasan yang berat dan teror
katastrofik yang berakar dari kesadaran bahwa pemahaman akan dirinya (sense of self)
menghilang. 2
19
Pasien biasanya akan mendapatkan manfaat dari psikoterapi suportif dan edukatif
sehingga mereka dapat memahami perjalanan dan sifat alamiah dari penyakit yang
dideritanya. Mereka juga bisa mendapatkan dukungan dalam kesedihannya dan
penerimaan akan perburukan disabilitas serta perhatian akan masalah-masalah harga
dirinya. Banyak fungsi yang masih utuh dapat dimaksimalkan dengan membantu pasien
mengidentifikasi aktivitas yang masih dapat dikerjakannya. Suatu pendekatan
psikodinamik terhadap defek fungsi ego dan keterbatasan fungsi kognitif juga dapat
bermanfaat. Dokter dapat membantu pasien untuk menemukan cara “berdamai” dengan
defek fungsi ego, seperti menyimpan kalender untuk pasien dengan masalah orientasi,
membuat jadwal untuk membantu menata struktur aktivitasnya, serta membuat catatan
untuk masalah-masalah daya ingat. 2
Intervensi psikodinamik dengan melibatkan keluarga pasien dapat sangat membantu.
Hal tersebut membantu pasien untuk melawan perasaan bersalah, kesedihan, kemarahan,
dan keputusasaan karena ia merasa perlahan-lahan dijauhi oleh keluarganya. 2
2.7.2. Farmakoterapi
Dokter dapat meresepkan benzodiazepine untuk insomnia dan kecemasan,
antidepresi untuk depresi, dan obat-obat antipsikotik untuk waham dan halusinasi, akan
tetapi dokter juga harus mewaspadai efek idiosinkrasi obat yang mungkin terjadi pada
pasien usia lanjut (misalnya kegembiraan paradoksikal, kebingungan, dan peningkatan
efek sedasi). Secara umum, obatobatan dengan aktivitas antikolinergik yang tinggi
sebaiknya dihindarkan. 2
Donezepil, rivastigmin, galantamin, dan takrin adalah penghambat kolinesterase
yang digunakan untuk mengobati gangguan kognitif ringan hingga sedang pada penyakit
Alzheimer. Obat-obat tersebut menurunkan inaktivasi dari neurotransmitter asetilkolin
sehingga meningkatkan potensi neurotransmitter kolinergik yang pada gilirannya
menimbulkan perbaikan memori. Obat-obatan tersebut sangat bermanfaat untuk
seseorang dengan kehilangan memori ringan hingga sedang yang memiliki neuron
kolinergik basal yang masih baik melalui penguatan neurotransmisi kolinergik. 2
Donezepil ditoleransi dengan baik dan digunakan secara luas. Takrin jarang
digunakan karena potensial menimbulkan hepatotoksisitas. Sedikit data klinis yang
tersedia mengenai rivastigmin dan galantamin, yang sepertinya menimbulkan efek
gastrointestinal (GI) dan efek samping neuropsikiatrik yang lebih tinggi daripada
20
donezepil. Tidak satupun dari obat-obatan tersebut dapat mencegah degenerasi neuron
progresif. 2
Menurut Witjaksana Roan terapi farmakologi pada pasien demensia berupa:
Antipsikotika tipik: Haloperidol 0,25 - 0,5 atau 1 - 2 mg
Antipsikotika atipik:
o Clozaril 1 x 12.5 - 25 mg
o Risperidone 0,25 - 0,5 mg atau 0,75 - 1,75
o Olanzapine 2,5 - 5,0 mg atau 5 - 10 mg
o Quetiapine 100 - 200 mg atau 400 - 600 mg
o Abilify 1 x 10 - 15 mg
Anxiolitika
o Clobazam 1 x 10 mg
o Lorazepam 0,5 - 1.0 mg atau 1,5 - 2 mg
o Bromazepam 1,5 mg - 6 mg
o Buspirone HCI 10 - 30 mg
o Trazodone 25 - 10 mg atau 50 - 100 mg
o Rivotril 2 mg (1 x 0,5mg - 2mg)
Antidepresiva
o Amitriptyline 25 - 50 mg
o Tofranil 25 - 30 mg
o Asendin 1 x 25 - 3 x 100 mg (hati2, cukup keras)
o SSRI spt Zoloft 1x 50 mg, Seroxat 1x20 mg, Luvox 1 x 50 -100 mg,
Citalopram 1 x 10 - 20 mg, Cipralex, Efexor-XR 1 x 75 mg, Cymbalta 1 x
60 mg.
o Mirtazapine (Remeron) 7,5 mg - 30 mg (hati2)
Mood stabilizers
o Carbamazepine 100 - 200 mg atau 400 - 600 mg
o Divalproex 125 - 250 mg atau 500 - 750 mg
o Topamate 1 x 50 mg
o Tnileptal 1 x 300 mg - 3 x mg
o Neurontin 1 x 100 - 3 x 300 mg bisa naik hingga 1800 mg
21
o Lamictal 1 x 50 mg 2 x 50 mg
o Priadel 2 - 3 x 400 mg
Obat anti-demensia pada kasus demensia stadium lanjut sebenarnya sudah tak
berguna lagi, namun bila diberikan dapat mengefektifkan obat terhadap BPSD (Behavioural
and Psychological Symptoms of Dementia):
Nootropika:
o Pyritinol (Encephabol) 1 x100 - 3 x 200 mg
o Piracetam(Nootropil) 1 x 400 - 3 x 1200 mg
o Sabeluzole (Reminyl)
Ca-antagonist:
o Nimodipine (Nimotop 1 - 3 x 30 mg)
o Citicholine (Nicholin) 1 - 2 x 100 - 300 mg i.v / i.m.
o Cinnarizine(Stugeron) 1 - 3 x 25 mg
o Pentoxifylline (Trental) 2 - 3 x 400 mg (oral), 200 - 300 mg infuse
o Pantoyl-GABA
Acetylcholinesterase inhibitors
o Tacrine 10 mg dinaikkan lambat laun hingga 80 mg. Hepatotoxik
o Donepezil (Aricept) centrally active reversible cholinesterase inhibitor, 5
mg 1x/hari
o Galantamine (Riminil) 1 - 3 x 5 mg
o Rivastigmin (Exelon) 1,5, 3, 4, 5, 6 mg
o Memantine 2 x 5 - 10 mg
2.7.3. Terapi dengan Menggunakan Pendekatan Lain
Obat-obatan lain telah diuji untuk meningkatkan aktivitas kognitif termasuk penguat
metabolisme serebral umum, penghambat kanal kalsium, dan agen serotonergik.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa slegilin (suatu penghambat monoamine
oksidase tipe B), dapat memperlambat perkembangan penyakit ini. 2,5
Terapi pengganti Estrogen dapat menginduksi risiko penurunan fungsi kognitif pada
wanita pasca menopause, walau demikian masih diperlukan penelitian lebih lanjut
mengenai hal tersebut. Terapi komplemen dan alternatif menggunakan ginkgo biloba dan
22
fitoterapi lainnya bertujuan untuk melihat efek positif terhadap fungsi kognisi. Laporan
mengenai penggunaan obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS) memiliki efek lebih rendah
terhadap perkembangan penyakit Alzheimer. Vitamin E tidak menunjukkan manfaat
dalam pencegahan penyakit. 2,5
23
BAB III
SIMPULAN DAN SARAN
3.1. Simpulan
1. Demensia merupakan kerusakan progresif fungsi-fungsi kognitif tanpa disertai
gangguan kesadaran
2. Prevalensi demensia semakin meningkat dengan bertambahnya usia
3. Demensia yang paling sering dijumpai, yaitu demensia tipe Alzheimer (Alzheimer’s
diseases)
4. Perubahan psikiatrik dan neurologis pada pasien demensia meliputi kepribadian,
halusinasi dan waham,mood, perubahan kognitif, reaksi Katastrofik, Sindrom
Sundowner
5. Demensia dapat diklasifikasikan berdasarkan umur, perjalanan penyakit, kerusakan
struktur otak,sifat klinisnya dan menurut Pedoman Penggolongan dan Diagnosis
Gangguan Jiwa di Indonesia III
6. Diagnosis demensia ditetapkan dalam DSM-IV-TR dan Pedoman Penggolongan dan
Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III
7. Perjalanan penyakit yang klasik pada demensia adalah awitan (onset) yang dimulai
pada usia 50 atau 60-an dengan perburukan yang bertahap dalam 5 atau 10 tahun,
yang sering berakhir dengan kematian
8. Diagnosis Banding meliputi Demensia tipe Alzheimer lawan demensia vaskuler,
demensia vaskuler lawan transient ishemic attacks , delirium, depresi, skizofrenia,
proses penuaan yang normal, gangguan lainnya (retardasi mental, gangguan ,depresi
berat)
9. Penatalaksanaan pasien demensia meliputi
10. Terapi pada demensia meliputi psikososial, farmakoterapi, terapi dengan
menggunakan pendekatan lain, Behavioural And Psychological Symptoms Of
Dementia (BPSD)
3.2. Saran
Demensia adalah suatu kelainan organik yang dalam penegakkan diagnosisnya
membutuhkan ketelitian baik dari anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang dan
harus diingat penatalaksanaan pada pasien demensia bukan hanya farmakologi tetapi bersifat
holistic.
24
DAFTAR PUSTAKA
1. Roan Witjaksana. Delirium dan Demensia. Diakses dari :
http://www.idijakbar.com/prosiding/delirium.htm.
2. Sadock, Benjamin James; Sadock, Virginia Alcott. Delirium, dementia, amnestic and
cognitive disorders. Kaplan & Sadock's Synopsis of Psychiatry: Behavioral
Sciences/Clinical Psychiatry, 10th Edition. Lippincott Williams & Wilkins.
3. Direktorat Kesehatan Jiwa Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman
Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III. Jakarta: Departemen
Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pelayanan Medik, 1993. 49-67
4. Dementia. Diakses dari : http://www.medicinenet.com/dementia/ article. htm.
5. Maslim R.Buku saku Diagnosis Gangguan Jiwa rujukan ringkas dari PPDGJ III.2001,
Jakarta; PT Nuh Jaya. 20- 26
6. Memory Disoders. Diakses dari : http://www.gabehavioral.com/Memory
%20Disorders.htm.
7. Information about dementia. Diakses dari
http://www.umsl.edu/~homecare/dementia.htm. 7 Oktober 2008
8. Dementia. Diakses dari : http://www.geriatricsandaging.ca/fmi/xsl/article.xsl?-
lay=Article&Name=Dementia:%20Biological%20and%20Clinical%20Advances--
Part%20I&-find.
9. Smith, David S. Field Guide to Bedside Diagnosis, 2nd Edition. 2007 Lippincott
Williams & Wilkins
25