Upload
truongkiet
View
223
Download
4
Embed Size (px)
Citation preview
Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 2, Juni 2015
1
MENGUKUR RELIGIUSITAS UMMAT DALAM UPAYA PENINGKATAN ETOS
KERJA ISLAMI DI SEKTOR INFORMAL (Studi tentang Pengaruh Religiusitas
Pedagang Kaki Lima terhadap Etos KerjaIslami di
KawasanWisataZiarahSunanMuria Kudus)
Oleh : Saifuddin dan Titik Pujiati
Abstract
Cadgers (Pedagang Kaki Lima (PKL)) always face with pooverty problems, urban
problems, and formal sectors in industrial process. Is there any effect between cadger
religiosity around Sunan Muria cemetery Dawe District Kudus Region? This research
result shows that first,cadger religiosity around Sunan Muria cemetery Dawe District
Kudus Region is classified as high. Second,Islamic work ethic cadger around Sunan Muria
cemetery Dawe District Kudus Region is classified as very high. Third, according to the
quantitatif analysis from research result show that hypothesis that said there is significant
effect between religiosity level with Islamic work ethic. It means height of men religiosity
level will cause Islamic work ethic men become higher. That hypothesis can be accepted.
Key words: religiosity, Islamic work ethic, cadgers
Pendahuluan
Sebagai bagian dari usaha di sector informal, Pedagang Kaki Lima (PKL) selalu
berhadapan dengan persoalan-persoalan yang terkait dengan kemiskinan, persoalan
urbanisasi di dunia ketiga, dan bahkan berhadapan dengan sector formal dalam proses
industrialisasi. Di dalam konsep ekonomi politik, industrialisasi modern telah menciptakan
wacana sektor formal dan sector informal menjadi dua kajian yang sangat kontradiktif,
bahkan cenderung menempatkan sector informal sebagai bagian yang kontra produktif
dalam proses pembangunan. Hal ini berimplikasi pada sebuah kebijakan yang cenderung
mengeliminasi sector informal dari percaturan ekonomi politik di Indonesia, karena di
anggap sebagai variabel pengganggu pemandangan umum dan dianggap sebagai
representasi kemiskinan di perkotaan. Wujud penanganannya adalah berupa penggusuran
usaha ekonomi sector informal di perkotaan tanpa mengkaji lebih dalam tentang penyebab
keberadaan mereka dan apa implikasi dari keberadaan mereka.
Pada dataran empiris, ternyata apa yang kita lihat adalah sebuah kenyataan yang
jauh beda dengan apa yang ada dalam dataran konsep, paling tidak hubungan antara sector
sector formal dan sector informal bukan seperti yang dikonsepkan sebagai hubungan yang
Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 2, Juni 2015
2
kontradiktif dan kontra produktif. Keberadaan Pedagng Kaki Lima, misalnya, sebagai
gambaran dari sector informal tidak serta merta menjadi pengganjal dari laju pertumbuhan
ekonomi dan laju proses pembangunan, akan tetapi keberadaan mereka bukan tidak
mungkin adalah sebagai kepanjangan tangan dari proses industrialisasi, bahkan sebagai
dampak dari industrilisasi, aktifitas ekonomi di sector informal dapat dijadikan sebagai
strategi bertahan agar tetap survive akibat desakan yang sangat hebat dari arus industri di
perkotaan.
Hasil studi Tadjuddin telah menunjukkan bahwa sector informal sangatlah tidak
memadai untuk dijadikan sebagai konsep operasional, karena mengandung berbagai
kelemahan.1
Diantara kelemahan itu adalah pertama, ia tidak memasukkan sejumlah
pekerja bercirikan sector informal yang tersembunyi di sector formal. Kedua,
iamengabaikansejumlahpekerja yang berada di dalam sector informal itusendiri. Ketiga,
iamengabaikanadanyapersamaan yang beradadiantara sector formal dan sector informal.
Hal iniditunjukkandenganadanyapekerjaan di sector informal yang
justrulebihmapanpenghasilannya di banding pekerja di sector formal,
dibandingtingkatpendidikanpekerjanya pun relatifadakesamaanantarapekerja di sector
formal dan di sector informal.
Di dalam berbagai literature tentang industrialisasi, keberadaan sector informal
memang tidak bisa dilepaskan dari kondisi makro ekonomi suatu bangsa. Kasus yang
terjadi di Indonesia, misalnya, industrialisasi yang terjadi di perkotaan telah menarik
begitu deras gelombang urbanisasi, tanpa diimbangi dengan pembangunan di pedesaan
(rural). Maka dari itu membicarakan sector informal akan tidak bisa lepas dari pendekatan
makro ekonomi dalam proses Industrialisasi.
Proyek industrialisasi yang di lakukan oleh pemerintah Indonesia sejak tahun 1969
merupakan tonggak sejarah kehidupan bangsa yang menimbulkan dampak luar biasa di
dalam setiap sendi kehidupan baik ekonomi, politik maupun social budaya. Di
dalamaspekekonomi, sepertidigambarkanolehYustikabahwaindustrialisasi di Indonesia
1
Bandingkan dengan Tadjuddin Noer Effendi, Sumber Daya Manusia Peluang Kerja dan
Kemiskinan, Tiara Wacana, Yogyakarta 1995. Hal.77
Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 2, Juni 2015
3
setidaknyatelahmenggeseraktifitasekonomimasyarakatdari sector primer (pertanian),
menujuekonomi yang bersandarpadasektorsekunder ( industri) dansektortersier (jasa)2.
Pergeseran pola perilaku ekonomi tersebut juga berdampak pada struktur social dan
budaya masyarakat. Secara teoritis perubahan pola perilaku ekonomi dari system
subsistensi menuju pola ekonomi produksi akan mengakibatkan perubahan pola
kepemilikan masyarakat akan komoditas. Perbedaan kepemilikan inilah yang
membedakan secara diametral struktur masyarakat antara pemilik modal (capital) dan
kelompok yang tidak mempunyai (unhave) modal, dan sejarah telah membuktikan bahwa
industrialisasi modern sebagai kepanjangan tangan dari kapitalisme telah menciptakan
kesenjangan yang luar biasa antara pemilik modal dengan kelas pekerja.
Walaupundemikian, keputusanpolitikuntukmengambiljalanindustrialisasi
diIndonesiasebagaijalanmeretaskemakmuranhampirsudahmenjadikeniscayaan.
Langkahinidiambilkarena paling tidakmenyangkutduaalasanpenting. Pertama, padatahun-
tahuntersebutnegara-negara di seluruhduniajugamengerjakanproyekindustrialisasi di
negaramasing-masingdengandukunganteoripembangunanekonomi yang
memadai.Sehinggasecarateoritis, jikastrategiindustrialisasidilakukantelahadakonsepsi yang
mencukupiuntukmenentukanarahpembangunanekonomi.
Kedua, sejarah negara-negara yang telah berhasil memajukan ekonominya selalu
melewati tahapan industrialisasi pada proses pembangunannya. Strategi ini dianggap
berhasil karena telah mampu menggeser kegiatan ekonomi yang terkonsentrasi pada sektor
primer (pertanian) menuju sektor sekunder (industri/jasa) sebagaimana di maklumi
bersama bahwa sektor industri dapat memberikan nilai tambah (value added) yang lebih
tinggi di banding sektor primer.3
Pedagang Kaki Lima di kawasan makam Sunan Muria sebagai bagian dari usaha di
sektor informal, menjadi menarik untuk dikaji karena makam Sunan Muria merupakan
salah satu objek wisata religi yang tidak pernah sepi pengunjung. Tidak kurang dari 5.000
peziarah setiap akhir pekan. Agar sampai di makam kita bisa menggunakan angkutan ojek
atau jalan satu-satunya adalah berjalan kaki melewati 432 anak tangga, yang di kanan
2 Periksa dalam Ahmad Erani Yustika, Industrialisasi Pinggiran, Pustaka Pelajar, Yogyakarta 2000
Hal.61
3 Bandingkan dalam Helen Hughes, Keberhasilan Industrialisasi di Asia Timur, Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta 1992 hal. 08
Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 2, Juni 2015
4
kirinya berjajar ratusan pedagang kaki lima yang menjual berbagai macam souvenir,
warung makan, hasil bumi setempat, dan sebagainya.
Masyarakat pada umumnya memahami pedagang kaki lima sebagai pedagang yang
berjualan di bahu jalan atau trotoar. Namun, istilah kaki lima sebenarnya berasal dari
bahasa inggris “feet” yang artinya kaki, dulu lebar trotoar adalah 5 feet (5 kaki). Sehingga
kemudian muncul istilah pedagang kaki lima.4
Pedagang kaki lima merupakan suatu usaha yang memerlukan modal relatif sedikit,
berusaha dalam bidang produksi dan penjualan untuk memenuhi kebutuhan kelompok
konsumen tertentu. Lebih jauh lagi, latar belakang seseorang menjadi pedagang kaki lima
di antaranya adalah terpaksa (terpaksa karena tidak ada pekerjaan lain, terpaksa karena
tidak mendapatkan pekerjaan di sektor formal, terpaksa karena tidak mempunyai bekal
pendidikan dan modal yang cukup), ingin mencari rezeki yang halal daripada harus
menadahkan tangan atau berbuat kriminal, ingin mandiri dan tidak bergantung pada orang
lain.
Adapun moral ekonomi pedagang menurut James Scott dalam Damsar cenderung
mengalami dilema yaitu memilih antara memenuhi kewajiban moral kepada kerabat-
kerabat dan tetangga-tetangga untuk menikmati bersama pendapatan yang diperolehnya di
satu pihak, dan untuk mengakumulasikan modal dalam wujud barang dan uang di pihak
lain.5
Islam sebagai salah satu agama samawi, telah menekankan kepada umatnya untuk
bekerja. Karena sebenarnya bekerja adalah fitrah manusia. Maka kemudian Toto Tasmara
mendefinisikan bekerja sebagai suatu upaya yang sungguh-sungguh dengan mengerahkan
semua aset, pikir, dan dzikirnya untuk mengaktualisasikan atau menempatkan arti dirinya
sebagai hamba Allah dan bagian dari masyarakat yang terbaik (Khaira Ummah).6
Namun, jika melihat kenyataan sekarang ini, banyak umat Islam yang tidak lagi
dikenal dengan ajaran agamanya. Bahkan kian menjauh dari sumber-sumber ajaran Islam,
seiring dengan kesibukan dan kepentingan masing-masing. Sehingga keberadaan manusia
di tengah lingkungan pekerjaan seringkali orang tidak sempat menampilkan pribadi yang
4www.academia.edu/11397299/pedagang_kaki_lima diakses pada 28 Januari 2015 pukul 20:15 WIB
5 Damsar, Sosiologi Ekonomi, 2009, Jakarta : Raja Grafindo Persada, hlm. 90
6 Toto Tasmara, Membudayakan Etos Kerja Islami, 2002, Jakarta : Gema Insan Press, hlm. 25
Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 2, Juni 2015
5
sebenarnya. Bahkan ada orang yang kehilangan identitas dirinya dan menjadi asing
terhadap dirinya sendiri.
Oleh karena itu, untuk mengembalikan citra diri manusia yang sesuai dengan
kehendak penciptanya, maka peran agama sangat diperlukan. Selain untuk membina
kehidupan rohani manusia di satu sisi, juga untuk menghindari kemerosotan terhadap nilai-
nilai moral di sisi lain. Dalam rangka mendayagunakan potensi yang dimiliki, manusia
dapat mewujudkannya dengan bekerja. Karena memang bekerja sebagai fitrah manusia dan
juga untuk menyatakan keimanan dalam bentuk amal prestatif. Selanjutnya, agar bekerja
dapat menjadi amal yang prestatif maka diperlukan etos kerja untuk mewujudkannya.
Etos kerja menurut Mochtar Buchari dalam Asifuddin merupakan suatu sikap,
kebiasaan, serta ciri-ciri mengenai cara kerja yang dimiliki seseorang atau sekelompok
manusia.7 Adapun yang di maksud dengan etos kerja Islam itu sendiri adalah karakter dan
kebiasaan manusia berkenaan dengan kerja, yang terpancar dari sistem keimanan atau
aqidah Islam.8 Aqidah ini terbentuk dari ajaran wahyu dan akal yang bekerja sama secara
proporsional menurut fungsi masing-masing.
Terbentuknya etos kerja Islam, didasari oleh iman yang menjadi pandangan hidup,
yang memberi norma-norma dasasr untuk membangun dan membina mu’amalah. Oleh
karena itu, setiap muslim dituntut oleh imannya untuk menjadi orang yang bertakwa dan
bermoral amanah, berilmu, cakap, cerdas, cermat, hemat, rajin, tekun, dan bertekad bekerja
sebaik mungkin untuk menghasilkan yang terbaik.
Sedangkan religiusitas menurut Glock dan Stark dalam buku Djamaluddin Ancok
merupakan suatu komitmen religius (yang berhubungan dengan agama atau keyakinan
iman), yang dapat dilihat melalui aktivitas atau perilaku individu yang bersangkutan
dengan agama atau keyakinan iman yang dianut.9 Individu yang memiliki religiusitas yang
tinggi akan tercermin dalam perilakunya. Sebagaimana Glock dan Stark telah membagi
religiusitas ke dalam beberapa dimensi, yaitu dimensi keyakinan (sejauh mana seseorang
menerima dan mengakui hal yang dogmatik dalam agamanya).
Dimensi praktek agama (sejauh mana seseorang menunaikan kewajiban ritual
dalam agamanya), dimensi penghayatan (sejauh mana perasaan keagamaan yang pernah
7 Ahmad Janan Asifuddin, Etos Keja Islami, 2006, Surakarta : UMS Press, hlm. 27
8Ibid, hlm.234
9 Djamaluddin Ancok, dan Fuad Nashori Suroso, Psikologi Islam : Sousi Islam Atas Problem-Problem
Psikologi, 1995, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, hlm. 82
Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 2, Juni 2015
6
dialami dan dirasakan), dimensi pengetahuan agama (seberapa jauh seseorang mengetahui
dan memahami ajaran agama yang ada dalam kitab suci), dimensi pengamalan (sejauh
mana implikasi ajaran agama mempengaruhi perilaku seseorang dalam kehidupan sosial).10
Hubungan religiusitas dengan etos kerja merupakan hal yang sangat dipandang bagi
masyarakat di Indonesia. Mengingat masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang
menjunjung tinggi nilai-nilai agama, yang mendorong pemeluknya untuk berperilaku baik
dan bertanggung jawab atas segala perbuatannya, serta giat berusaha. Maka ketika
seseorang mempunyai tingkat religiusitas yang tinggi, sudah barang tentu orang tersebut
juga mempunyai etos kerja Islam yang tinggi. Dan apabila seseorang mempunyai etos kerja
Islam yang tinggi, maka orang tersebut tidak akan bekerja hanya sekedar untuk bekerja,
tetapi kesadaran bekerja yang timbul dari dalam diri mereka dilandasi dengan semangat
tauhid dan tanggung jawab uluhiyah. Persoalan yang kemudian muncul adalah Adakah
pengaruh antara religiusitas pedagang kaki lima terhadap etos kerja Islam di sekitar makam
sunan muria kecamatan dawe kabupaten kudus?
Memaknai Religiusitas
Menurut KamusBesar Bahasa Indonesia edisi kedua, kata pengaruh yakni “daya
yang ada atau timbul dari sesuatu (orang atau benda) yang ikut membentuk
watakkepercayaan dan perbuatan seseorang”. Pengaruh adalah “daya yang ada atau timbul
dari sesuatu (orang atau benda) yang ikut membentuk watak kepercayaan dan perbuatan
seseorang”.11
WJS.Poerwardaminta berpendapat bahwa pengaruh adalah daya yang ada atau
timbul dari sesuatu, baik orang maupun benda dan sebagainya yang berkuasa atau yang
berkekuatan dan berpengaruh terhadap orang lain.12
Dari pengertian diatas, maka dapat
disimpulkan bahwa pengaruhadalah sebagai suatu daya yang ada atau timbul dari suatu hal
yang memilikiakibat atau hasil dan dampak yang ada.
Banyak ahli menyebutkan agama berasal dari bahasa Sansekerta, yaitu “a” yang
berarti tidak dan “gama” yang berarti kacau. Maka agama berarti tidak kacau (teratur).
Dengan demikian agama itu adalah peraturan, yaitu peraturan yang mengatur keadaan
10
Ibid, hlm. 82 11
Kemendikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2001, Jakarta : Balai Pustaka, hlm. 845 12
WJS. Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2002,Jakarta: Balai Pustaka, Hal 731
Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 2, Juni 2015
7
manusia, maupun mengenai sesuatu yang gaib, mengenai budi pekerti dan pergaulan hidup
bersama.13
Ada beberapa istilah lain mengenai agama antara lain religi, religion (Inggris),
religie (Belanda), religio/religare (Latin), dan dien (Arab). Kata religion (bahasa Inggris)
dan religie (bahasa Belanda) adalah berasal dari bahasa induk dari kedua bahasa tersebut,
yaitu bahasa latin “religio” dari akar kata “relegare” yang berarti mengikat.14
Istilah religiusitas berasal dari kata religiosity yang berarti kesetiaan dan
pengabdian yang besar terhadap agama yang dianut atau dapat juga berarti perasaan
keagamaan (religious feeling = religious sentiment). Perasaan keagamaan adalah segala
perasaan batin yang berhubungan dengan Tuhan. Di dalamnya tercakup perasaan takut
terhadap Tuhan (fear to god), perasaan dosa (guilt feeling), kebesaran Tuhan (god's glory),
dan semacamnya. Religiusitas seseorang ialah tingkah lakunya yang sepenuhnya dibentuk
oleh kepercayaan kepada keghaiban atau alam ghaib. Religiusitas seseorang terwujud
dalam berbagai bentuk yang menjadi dimensi-dimensi religiusitas yaitu budaya intrinsik,
dan budaya ekstrinsik serta sosial intrinsik dan sosial ekstrinsik.15
Secara esensial agama merupakan peraturan-peraturan dari Tuhan YangMaha Esa
berdimensi vertikal dan horizontal yang mampu memberi doronganterhadap jiwa manusia
yang berakal agar berpedoman menurut peraturan Tuhandengan kehendaknya sendiri,
tanpa dipengaruhi untuk mencapai kebahagiaanhidup di dunia dan kebahagiaan di akhirat
kelak.16
Menurut Glock & Strak mendefinisikanagama merupakan sistem simbol, sistem
keyakinan, sistem nilai, dan sistemperilaku yang terlambangkan yang semuanya itu
berpusat pada persoalan-persoalanyang dihayati sebagai yang paling maknawi (ultimate
meaning).17
Dari istilah agama inilah kemudian muncul apa yang dinamakan religiusitas. Glock
dan Stark merumuskan religiusitas sebagai komitmen religius ( yang berhubungan dengan
13
Faisal Ismail, Paradigma Kebudayaan Islam : Studi Kritis dan Refleki Historis, 1997, Yogyakarta:
Titian Ilahi Press, hlm . 28 14
Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, 2002, Bandung : Remaja Rosdakarya, hlm. 13 15
Nurcholis Madjid, Islam dan Kemodernan dan Keindonesiaan, 1989, Bandung : Mizan, hlm. 138-
139 16
Sudarsono, Kenakalan Remaja, 2008, Jakarta : Rineka Cipta, hlm. 119 17
Djamaludin Ancok, dan Fuad Nashori Suroso, Psikologi Islam : Solusi Islam Atas Problem-Problem
Psikologi, 1995,Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hlm. 76
Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 2, Juni 2015
8
agama atau keyakinan iman), yang dapat dilihat melalui aktivitas atau perilaku individu
yang bersangkutan dengan agama atau keyakinan iman yang dianut.18
Dimensi Religiusitas
Pembagian dimensi-dimensi religiusitas menurut Glock dan Stark dalam buku
Ancok dan Suroso terdiri dari lima dimensi,19
yaitu :
a. Dimensi keyakinan (theideological dimension), tingkatan sejauh mana seseorang
menerima dan mengakui hal-hal yang dogmatik dalam agamanya, misalnya keyakinan
adanya sifat-sifat Tuhan, adanya malaikat, surga, para Nabi, dan sebagainya.
b. Dimensi peribadatan atau praktek agama (the ritualistic dimension), yaitu tingkatan
sejauh mana seseorang menunaikan kewajiban-kewajiban ritual dalam agamanya.
ritual dalam Islam dapat dibedakan menjadi tiga : primer, sekunder, tertier.
1) Ritual Islam yang primer adalah ritual yang wajib dilakukan oleh umat Islam.
Contohnya shalat lima waktu.
2) Ritual Islam yang sekunder adalah ibadah shalat sunnah. Contohnya bacaan dalam
rukuk dan sujud, shalat berjamaah, shalat tahajjud, shalat dhuha, dan lain-lain.
3) Ritual Islam yang tertier adalah ritual yang berupa njuran dan tidak sampai pada
derajat sunnah. Contohnya melakukan wiridan, membaca ayat kursi setelah
melakukan shalat wajib lima waktu.20
c. Dimensi feeling atau penghayatan (the experincal dimension) yaitu perasaan
keagamaan yang pernah dialami dan dirasakan seperti merasa dekat dengan Tuhan,
tentram saat berdoa, tersentuh mendengar ayat kitab suci, merasa takut berbuat dosa,
merasa senang doanya dikabulkan, dan sebagainya.
d. Dimensi pengetahuan agama (the inteelectual dimension) yaitu seberapa jauh
seseorang mengetahui dan memahami ajaran-ajaran agamanya terutama yang ada
dalam kitab suci, hadits, pengetahuan tentang fiqih, dan sebagainya.
e. Dimensi effect atau pengamalan (the consequential dimension), yaitu sejauh mana
implikasi ajaran agama mempengaruhi perilaku seseorang dalam kehidupan sosial,
18
Djamaludin Ancok dan Fuat Nashori Suroso, Op. Cit., hlm. 82 19
Djamaludin Ancok, Op.Cit., hlm. 82
20 Atang Abdhakim dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam ,2000, Jakarta : Remaja Rosdakarya,
hlm. 128-129
Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 2, Juni 2015
9
misalnya mendermakan harta untuk keagamaan dan sosial, menjenguk orang sakit,
mempererat silaturrahim, dan sebagainya.
Pendapat itu sesuai dengan lima aspek dalam pelaksanaan ajaran agama Islam
tentang aspek-aspek religiusitas yaitu aspek iman sejajar dengan religious belief, aspek
Islam sejajar dengan religious practice, aspek ihsan sejajar dengan religious feeling, aspek
ilmu sejajar dengan relgious knowledge, dan aspek amal sejajar dengan religious effect.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa setiap individuberbeda-
beda tingkat religiusitasnya dan dipengaruhi oleh dua macam faktorsecara garis besarnya
yaitu internal dan eksternal. Faktor internal yang dapatmempengaruhi religiusitas seperti
adanya pengalaman-pengalaman emosionalkeagamaan, kebutuhan individu yang mendesak
untuk dipenuhi seperti kebutuhanakan rasa aman, harga diri, cinta kasih dan sebagainya.
Sedangkan pengaruheksternalnya seperti pendidikan formal, pendidikan agama dalam
keluarga, tradisi-tradisi sosial yang berlandaskan nilai-nilai keagamaan, tekanan-tekanan
lingkungan sosial dalam kehidupan individu.
Pedagang Kaki Lima dalam Kajian
Menurut Damsar pedagang didefinisikan sebagai orang atau instansi yang
memperjual belikan produk atau barang kepada konsumen baik secara langsung maupun
tidak langsung.21
Damsar menggolongkan pedagang dalam tiga kategori22
:
1. Penjual distributor
Pedagang distributor (tunggal) yaitu pedagang yang memegang hak distribusi satu
produk dari perusahaan tertentu.
2. Pengecer besar
Pengecer besar dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu pedagang besar yang termasuk
pengusaha warung di tepi jalan atau pojok depan sebuah halaman rumah, dan
pedagang pasar yaitu mereka yang memiliki hak atas tempat yang tetap dalam jaringan
pasar resmi.
3. Pedagang eceran
Pengecer kecil termasuk dalam kategori pedagang pasar yang berjualan di pasar, di
tepi jalan, maupun mereka yang menempati kios-kios di pinggiran pasar yang besar.
21
Damsar, Op. Cit.,, hlm. 106 22
Ibid, hlm. 106-107
Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 2, Juni 2015
10
Pedagang kaki lima adalah suatu usaha yang memerlukan modal relatif sedikit,
berusaha dalam bidang produksi dan penjualan untuk memenuhi kebutuhan kelompok
konsumen tertentu.
Pada umumnya masyarakat memahami pedagang kaki lima merupakan pedagang
yang menggunakan bahu jalan atau trotoar sebagai tempat untuk berdagang. Asal mula kata
pedagang kaki lima menurut Julissar An-Naf adalah berasal dari bahasa Inggris “feet” yang
artinya kaki, di mana ukura 1 feet adalah sekitar 31 cm. Dulu lebar trotoar adalah 5 feet
(sekitar 1.5 m).23
Selanjutnya pedagang yang berjualan di sepanjang trotoar disebut
pedagang kaki lima.
Latar belakang seseorang menjadi pedagang kaki lima yaitu:
1. Terpaksa : terpaksa karena tidak ada pekerjaan lain, terpaksa karena tidak
mendapatkan pekerjaan di sektor formal, terpaksa karena harus mencukupi kebutuhan
hidup diri dan keluarganya. Terpaksa karena tidak mempunyai tempat yang layak
untuk membuka usaha, dan terpaksa karena tidak mempunyai bekal pendidikan dan
modal yang cukup untuk membuka usaha formal.
2. Ingin mencari rezeki yang halal dari pada harus menadahkan tangan, merampok atau
berbuat kriminal lain.
3. Ingin mandiri dan tidak bergantung pada orang lain, termasuk tidak bergantung pada
orang tua.
4. Ingin menghidupi keluarga, memperbaiki taraf hidup, bukan hanya sekadar pekerjaan
sambilan.
5. Karena sudah sulit mencari penghasilan.
Adapun moral ekonomi pedagang menurut James Scott dalam Damsar yaitu bahwa
masyarakat petani umumnya dicirikan dengan tingkat solidaritas yang tinggi dan dengan
suatu sistem nilai yang menekankan tolong menolong, pemilikan bersama sumber daya dan
keamanan subsistensi. Terdapat bukti kuat bahwa, bersama – sama resiprositas, hak
terhadap subsistensi merupakan suatu prinsip moral yang aktif dalam tradisi desa kecil. Ini
direfleksikan pada tekanan – tekanan sosial terhadap orang yang relatif berpunya di dalam
desa tersebut untuk membuka tangan dengan lebar menyambut tetangga – tetangga atau
kerabat – kerabat yang kurang bernasib baik. Dalam kondisi seperti ini pedagang
menghadapi dilema yaitu memilih antara memenuhi kewajiban moral kepada kerabat-
23
www.academia.edu/11397299/pedagang_kaki_limadiakses pada 28 Januari 2015 pukul 20:15 WIB
Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 2, Juni 2015
11
kerabat dan tetangga-tetangga untuk menikmati bersama pendapatan yang diperolehnya
sendiri di satu pihak dan untuk mengakumulasikan modal dalam wujud barang dan uang di
pihak lain.24
Menurut Kamus Besar bahasa Indonesia prinsip merupakan asas atau kebenaran
yang menjadi dasar berpikir dan bertindak. Sedangkan prinsip hidup adalah hal terpenting
yang pada umumnya kita inginkan terlaksana ketika kita dihadapkan pada pilihan-pilihan
dalam situasi tertentu.Semestinya setiap orang memiliki prinsip hidupnya sendiri. Begitu
pula dengan pedagang kaki lima, mereka juga mempunyai prinsip hidup dalam
menjalankan pekerjaannya, diantaranya:
a) Tidak mengejar target
b) Menerima apa adanya
c) Sabar
d) Sederhana
e) Tidak menyerah pada nasib
f) Berani mengambil resiko
g) Pekerja keras
Etos Kerja dalam Perspektif Islam
Menurut Tasmara, secara etimologis, kata etos kerja itu sendiriberasal dari bahasa
Yunani, yakni ethos yang berarti sikap, kepribadian, watak, karakter, serta keyakinan atas
sesuatu.25
Dari perkataan ”etos” terambil pulaperkataan ”etika” dan ”etis” yang merujuk
kepada maknaakhlak atau bersifat akhlaqi yaitu kualitas esensial seseorangatau suatu
kelompok termasuk suatu bangsa.26
Jadi etika adalah seperangkat nilai tentang baik, benar, buruk, dan salah yang
berdasarkan prinsip-prinsip moralitas, khususnya dalam perilaku dan tindakan. Sehingga
etikasalahsatu faktor penting bagi terciptanya kondisi kehidupanmanusia yang lebih baik.
Kerja adalah segala aktivitas yang dilakukan karena adadorongan untuk
mewujudkan sesuatu sehingga tumbuh rasatanggung jawab yang benar untuk
24
Damsar, Op. Cit.,, hlm. 90 25
Toto Tasmara, Op. Cit., hlm. 15 26
Nurcholis Majid, Op. Cit., hlm. 410
Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 2, Juni 2015
12
menghasilkan karya atauproduk yang berkualitas dan dilakukan dengan kesengajaandan
direncanakan.27
Kata etos kerja, menurut Mochtar Buchori dalam Asifudin dapatdiartikan sebagai
sikap dan pandangan terhadap kerja, kebiasaan kerja, ciri-ciriatau sifat-sifat mengenai cara
kerja yang dimiliki seseorang, suatu kelompokmanusia atau suatu bangsa. Ia juga
menjelaskan bahwa etos kerja merupakanbagian tata nilai baik individu, masyarakat atau
bangsa itu sendiri.28
Sedangkanmenurut Tasmara, etos kerja adalah totalitas kepribadian diri sertacara
mengekspresikan, memandang, meyakini, dan memberikan makna padasesuatu yang
mendorong dirinya untuk bertindak dan meraih amal yangoptimal.29
Adapun yang dimaksud dengan etos kerja Islam itu sendiri, menurutAsifudin
merupakan karakter dan kebiasaan manusia berkenaandengan kerja, terpancar dari sistem
keimanan/aqidah Islam yang merupakansikap hidup mendasar terhadapnya.30
Menurut Tasmara, etos kerja Islam adalah suatu upaya yang sungguh-sungguh,
dengan mengerahkanseluruh aset, pikiran, dan dzikirnya untuk mengaktualisasikan
ataumenampakan arti dirinya sebagai hamba Allah yang harus menundukan duniadan
menempatkan dirinya sebagai bagian dari masyarakat yang terbaik (khairul ummah) atau
dengan kata lain dapat juga kita katakan bahwa hanyadengan bekerja manusia itu
memanusiakan dirinya.31
Etos kerja Islam pada hakekatnya merupakan bagiandari konsep Islam tentang
manusia karena etos kerja adalahbagian dari proses eksistensi diri manusia dalam
lapangankehidupannya yang amat luas dan komplek. Etos kerjamerupakan nilai-nilai yang
membentuk kepribadian seseorangdalam bekerja. 32
Etos kerja pada hakekatnya di bentuk dandipengaruhi oleh sistem nilai yang dianut
seseorang dalambekerja. Yang kemudian membentuk semangat yangmembedakannya
antara yang satu dengan yang lain. Etos kerja Islam dengan demikian merupakan refleksi
27
Toto Tasmara , Etos Kerja Pribadi Muslim, 1995, Jakarta : Dana Bhakti Wakaf, hlm. 27 28
Ahmad Asifudin, Op.Cit., hlm. 27 29
Toto Tasmara, Membudayakan Etos Kerja Islami,Op.Cit., hlm. 8
30 Ahmad Asifudin, Op.Cit., hlm. 234
31Toto Tasmara, Membudayakan Etos Kerja Islami,Op.Cit., hlm. 25
32 Moh Ali Aziz, Ed, Dakwah Pemberdayaan Masyarakat : Paradikma Aksi metodologi, 2005,
Yogyakarta : Pustaka Pesantren, hlm. 35
Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 2, Juni 2015
13
pribadi seorangkholifah yang bekerja dengan bertumpu pada kemampuankonseptual yang
dimilikinya yang bersifat kreatif daninovatif.33
Islam dan Etos Kerja
Menurut AhmadIslam adalah agama yang menghargaikerjakeras.34
Kenyataan ini
dapat terlihat dari serangkaian firman Allah dalam Al-Qur'an yang sangat menekankan arti
penting, diantaranya :
Artinya : “Katakanlah, hai kaumku, bekerjalah sesuai dengan keadaanmu, sesungguhnya
Aku akan bekerja (pula) maka kelak kamu akan mengetahui.”35
Artinya : “Katakanlah, bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang
mukmin akan melihatpekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada
Allah Yang Maha Mengetahui akan yang baik dan yang nyata, lalu diberitakan-
Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.”36
Menurut Ahmad Islam tidak hanya memerintahkan manusiahanya untuk sholat saja,
namun manusia juga diperintahkan untuk mencarirezeki di bumi.37
33
Ibid, hlm. 35 34
Mustaq Ahmad, Etika Bisnis Dalam Islam, 2001, Jakarta : Pustaka Al- Kautsar, hlm. 16 35
Al-Qur'anul Karim, Al-Qur'an dan Terjemahannya, t.th., Kudus : CV. Mubarokatan Thoyyibah, (QS.
Az-Zumar : 39), hlm. 461 36
Ibid, (QS. At Taubah : 105), hlm. 202 37
Mustaq Ahmad, Op.Cit. hlm.17
Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 2, Juni 2015
14
Artinya : “apabila telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan
carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu
beruntung.”38
Jadi dalam ayat tersebut tersirat pesan yaitu hendaknya kita beribadahsebagaimana
diwajibkan, namun kita juga harus bekerja mencari rezeki darikemurahan Allah. Bersama
dengan itu, kita senantiasa ingat kepada-Nya. Yakni memenuhi semua ketentuan etis dan
akhlaq dalam bekerja itu, denganmenyadari pengawasan dan perhitungan Allah terhadap
setiap bentuk kerjakita.
Menurut Tasmara, etos kerja Islam menekankan pada kerjasama dalam bekerja, dan
konsep konsultasi yang terlihat sebagai jalan untukmengatasi rintangan atau masalah dan
menghindari kesalahan. Hubungansosial dalam bekerja merupakan pendorong yang
bertujuan untukmempertemukan kebutuhan seseorang dan membuat keseimbangan
antarakebutuhan individu dan kehidupan sosial.39
Karateristik Etos kerja Islam
Etos kerja seorang muslim, dibentuk oleh iman yang menjadipandangan hidupnya,
yang memberinya norma-norma dasar untukmembangun dan membina mu’amalahnya.
Seorang muslim dituntutoleh imannya untuk menjadi orang yang bertakwa dan
bermoralamanah, berilmu, cakap, cerdas, cermat, hemat, rajin, tekun, danbertekad bekerja
sebaik mungkin untuk menghasilkan yang terbaik.40
Dalam buku manajemen syari’ah dalam praktik karanganDidin hafidhuddin dan
Hendri tanjung, etosdapat diartikan sebagai berkehendak atau berkemauan yang
38
Al-Qur’anul Karim, Op.Cit., (QS. Al Jumu’ah : 10), hlm. 553 39
Toto Tasmara, Membudayakan Etos Kerja Islami,Op.Cit., hlm. 26
40 Buchari Alma dan Donni juni priansa, Manajemen Bisnis Syari’ah, 2009, Bandung : Alfabeta, hlm.
175
Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 2, Juni 2015
15
disertaisemangat yang tinggi dalam rangka mencapai cita-cita yang positif. Adabeberapa
ciri etos kerja Islam, antara lain adalah sebagai berikut41
:
1. Al-Shalah atau baik dan manfaat.
2. Al-Itqan (kemantapan dan perfectnees)
3. Al-Ihsan atau melakukan yang terbaik dan lebih baik lagi.
4. Al-Mujahadah atau kerja keras yang optimal.
5. Tanafus dan ta’awun atau berkompetisi dan tolong menolong.
6. Mencermati nilai waktu.
Toto Tasmara menyebutkan dalam bukunyamembudayakan Etos Kerja Islami
bahwa terdapat 25 prinsipatau ciri Etos Kerja Muslim yang mengarahkan terhadap perilaku
adalah sebagai berikut42
:
1. Kecanduan terhadap waktu
2. Memiliki moralitas yang bersih (ikhlas)
3. Memiliki kejujuran
4. Memiliki komitmen (Aqidah, Aqad, Itiqod)
5. Kuat pendirian (Istiqomah)
6. Bersikap disiplin
7. Konsekuen dan berani menghadapi tantangan
8. Memiliki sikap percaya diri
9. Bersifat kreatif
10. Bertanggung jawab
11. Bahagia karena melayani
12. Memiliki harga diri
13. Memiliki jiwa kepemimpinan
14. Berorientasi pada masa depan
15. Hidup berhemat dan efisien
16. Memiliki jiwa wiraswasta
17. Memiliki insting bertanding (Fastabiqul Khairat)
18. Bersifat mandiri
19. Belajar dan haus mencari ilmu
41
Didin hafidhuddin, dan Hendri tanjung, Manajemen Syari’ah Dalam Praktik, 2003, Jakarta: gema
insani press, hlm.40-41 42
Toto Tasmara,Op. Cit., hlm. 139
Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 2, Juni 2015
16
20. Memiliki semangat perantauan
21. Memperhatikan kesehatan dan gizi
22. Tangguh dan pantang menyerah
23. Berorientasi pada produktivitas
24. Memperkaya jaringan Silaturahmi
25. Memiliki semangat perubahan (Spirit of change)
Menurut Asifudin, karakteristik etos kerja islami digali dandirumuskan berdasarkan
konsep iman dan amal shaleh dengan memberikanprioritas penekanan pada etos kerja
islami beserta prinsip-prinsip dasarnyasebagai fokus. Karena etos kerja apapun menurut
Qurany tidak dapat menjadiislami bila tidak dilandaskan pada konsep iman dan amala
shaleh.43
LanjutAsifudin bahwa dari konsep iman, ilmu dan amal, dapat digali
dandirumuskan karakteristik-karakteristik etos kerja islami44
:
a. Kerja merupakan penjabaran Aqidah
ciri-ciri orang yang mengganggap bahwa kerja merupakan penjabaran dari aqidah
adalah :
(1) Dapat menerima kenyataan berkenaan dengan diri sendiri, orang laindan alam
(2) Berperilaku wajar tidak dibuat-buat
(3) Berpendirian teguh dan tidak mudah terpengaruh
(4) Konsentrasi perbuatan tidak pada ego, melainkan pada kewajiban danrasa
tanggung jawab
(5) Memiliki kesegaran apresiasi terhadap alam dan kehidupan
(6) Mempunyai kehidupan motivasi yang terutama digerakan oleh motivasi ibadah
dan hasrat memperoleh kehidupan surgawi di akhiratkelak.
b. Kerja Dilandasi Ilmu
Ciri-ciri orang yang mengganggap bahwa kerja dilandasi ilmuadalah :
(1) Pernah atau sering mengalami pengalaman puncak
(2) Mampu membedakan antara tujuan benar dan salah, baik dan buruk
(3) Menyukai efisiensi dan efektivitas kerja
(4) Mempunyai disiplin pribadi
c. Kerja dengan Meneladani Sifat-sifat Ilahi serta Mengikuti Petunjukpetunjuk-Nya.
43
Ahmad Asifudin, Op.Cit., hlm. 101 44
Ibid, hlm. 104
Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 2, Juni 2015
17
Ciri-ciri orang yang mengganggap bahwa kerja dengan meneladanisifat-sifat Ilahiah
serta mengikuti petunjuk-petunjukNya adalah :
1) Memiliki jiwa sosial dan sifat demokratis
2) Mengembangkan kreativitas
3) Percaya pada potensi insani karunia Tuhan untuk melaksanakantugasnya yaitu
bertawakkal kepada Allah SWT
4) Mengembangkan sikap hidup kritis konstruktif
Beberapa kajian konsep di atas dapat dipolakan menjadi paradigma berfikir berikut
ini ;
Ha
Hal ini dapat diambil sebuah rumusan hipotesa “Ada pengaruh yang signifikan antara
tingkat religiusitas dengan etos kerja Islam, artinya tingginya tingkat religiusitas seseorang
akan menyebabkan seseorang lebih tinggi etos kerja Islamnya”.
Metode dan Hasil Penelitian
Studi ini berusaha mengukur datamelalui analisis statistik dengan menggunakan
pendekatan penelitian kuantitatif. Adapun jumlah sample yang dipakai sebanyak 75
responden yang merupakan Pedagang Kaki lima di kawasan Makam Sunan Muria. Jumlah
Ideologis
Intelektual
Ritualitas
Pengalama
n
Konsekuen
si
Religiusita
s (X)
Etos Kerja
Islam
(Y)
Aqidah Keilmuan Keteladana
n
Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 2, Juni 2015
18
ini merupakan angka standart pengambilan sample yakni 25% dari populasi yang
berjumlah 300 Pedagang, dengan teknik random sampling.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pertama, religiusitas pedagang kaki lima
di sekitar makam Sunan Muria kecamatan Dawe kabupaten Kudus diperoleh nilai rata-rata
sebesar 152,93 nilai tersebut tergolong dalam kategori tinggi, karena berada di dalam
interval nilai 122-162. Kedua, etos kerja Islam pedagang kaki lima di sekitar makam Sunan
Muria kecamatan Dawe kabupaten Kudus termasuk dalam kategori sangat tinggi, hal ini
terbukti dari analisis data hasil angket yang memiliki nilai rata-rata 170,43 dan berada pada
interval 163-203. (3) berdasarkan analisis kuantitatif dari hasil penelitian menunjukkan
bahwa hipotesis yang menyatakan ada pengaruh yang signifikan antara tingkat religiusitas
dengan etos kerja Islam, artinya tingginya tingkat religiusitas seseorang akan menyebabkan
seseorang lebih tinggi etos kerja Islamnya. Hipotesis tersebut dapat diterima kebenarannya,
hal ini terbukti dari nilai Fhitung sebesar 15,566, yang kemudian nilai ini dibandingkan
dengan nilai Ftabel signifikansi 5% sebesar 3,97. Maka Fhitung lebih besar dari Ftabel (15,566 >
3,97) sehingga Ha diterima dan Ho ditolak. Variabel X mempengaruhi variabel Y dengan
nilai sebesar 17,58%, sedangkan sisanya 100% - 17,58% = 82,42% adalah pengaruh
variabel lain yang belum diteliti.
Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 2, Juni 2015
19
DAFTAR PUSTAKA
Abdhakim, Atang dan Jaih Mubarok,2000, Metodologi Studi Islam , Jakarta : Remaja
Rosdakarya
Ahmad, Mustaq, 2001, Etika Bisnis Dalam Islam,Jakarta : Pustaka Al- Kautsar
Al-Qur'anul Karim, Al-Qur'an dan Terjemahannya, t.th., Kudus : CV. Mubarokatan
Thoyyibah
Ancok, Djamaluddin, dan Fuad Nashori Suroso,1995, Psikologi Islam : Solusi Islam Atas
Problem-Problem Psikologi, Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Asifuddin , Ahmad Janan, 2006, Etos Keja Islami,Surakarta : UMS Press
Aziz , Moh Ali, Ed,2005, Dakwah Pemberdayaan Masyarakat : Paradikma Aksi
metodologi, Yogyakarta : Pustaka Pesantren
Buchari Alma dan Donni juni priansa,2009,Manajemen Bisnis Syari’ah, Bandung:
Alfabeta
Damsar,2009, Sosiologi Ekonomi, Jakarta : Raja Grafindo Persada
Effendi, Tadjuddin Noer,1995, Sumber Daya Manusia Peluang Kerja dan
Kemiskinan,Yogyakarta:Tiara Wacana
Hafidhuddin, Didin, dan Hendri tanjung,2003,Manajemen Syari’ah Dalam
Praktik,Jakarta: gema insani press
Hughes , Helen,1992, Keberhasilan Industrialisasi di Asia Timur, Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama
Ismail,Faisal, 1997, Paradigma Kebudayaan Islam : Studi Kritis dan Refleki
Historis,Yogyakarta: Titian Ilahi Press
Kahmad, Dadang,2002, Sosiologi Agama, Bandung : Remaja Rosdakarya
Kemendikbud,2001, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka
Madjid, Nurcholis, 1989, Islam dan Kemodernan dan Keindonesiaan,Bandung : Mizan
Poerwadarminta,WJS. 2002, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka
Sudarsono,2008, Kenakalan Remaja,Jakarta : Rineka Cipta
Yustika, Ahmad Erani, 2000, Industrialisasi Pinggiran,Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 2, Juni 2015
20
Tasmara , Toto , 1995,Etos Kerja Pribadi Muslim, Jakarta : Dana Bhakti Wakaf