Upload
others
View
25
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
68
MAJAZ „AQLIY DALAM SURAH AL-BAQARAH
Oleh: Muhammad Syamsudin Noor1
Abstrak
Majaz diklasifikasikan menjadi dua, yaitu majaz lughawy dan majaz „aqliy.
Selanjutnya majaz lughawy terbagi menjadi dua yaitu isti‟arah dan mursal. Surah
Al-Baqarah sebagai surah terpanjang dalam Al-Qur‟an banyak sekali
mempergunakan majaz dalam ungkapan-ungkapannya. Baik majaz itu berupa
isti‟arah, majaz mursal ataupun majaz „aqliy. „Majaz aqliy adalah penyandaran
fi‟il atau kata yang menyerupainya kepada tempat penyandaran yang tidak
semestinya karena adanya suatu hubungan dan disertai qarinah yang menghalangi
dipahaminya sebagai penyandaran yang haqiqi. Disebut demikian karena pada
majaz aqliy setiap lafaz-lafaznya digunakan untuk maknanya yang asli.
Sedangkan majaz-nya terletak pada segi tarkib (susunan) atau isnad
(penyandaran).
Kata Kunci: Majaz ‘Aqliy, qarinah, ‘alaqah
1 Dosen Bahasa Arab Fakultas Tarbiyah IAIN Antasari.
69
A. Pendahuluan
1. Pengertian Haqiqah
Sebelum kita memasuki pada pembahasan mengenai majaz, ada baiknya
kita membahas terlebih dahulu mengenai muqabil2 majaz, yaitu haqiqah. Haqiqah
ialah:
3" "... ىي الكلمة الدستعملة فيما ىي موضوعة لو من غير تأ ويل في الوضع
“Ia adalah kata yang dipakai dalam kalimat yang kata itu memang
dimaksudkan untuk makna yang ditetapkan tanpa ada ta‟wil dalam susunannya”
Kalau kita mengatakan “saya melihat singa di hutan”, maka arti dari kata
“singa” adalah jelas yaitu seekor hewan pemangsa. Sehingga tidak perlu lagi
penjelasan mengenai makna singa yang kita maksud.
Haqiqah terbagi tiga, yaitu: lughawiyyah, syar‟iyyah dan „urfiyyah.4
Sebab terbaginya adalah bahwa suatu lafaz kata tidak akan menunjukkan kepada
makna suatu musamma (yang dinamai) tanpa ada ketentuan asal. Ketika kita
menyebut “rokok”, terbayanglah kita pada sebuah benda kecil terbuat dari
tembakau yang digulung dengan kertas, yang panjangnya beberapa sentimeter,
yang sering dihisap asapnya setelah dibakar terlebih dahulu ujungnya. Kata
“rokok” asalnya tidak memiliki makna apa-apa. Namun setelah “sang penemu”
rokok itu menamakannya dengan “rokok” makna rokok itu menjadi nama bagi
benda tersebut.
2 Muqābil (مقابل) artinya yang berlawanan. Maksudnya adalah lawan kata.
3 Abu Ya‟kub Yusuf As Sakaki, Miftahul Ulum, Darul Kutub Al Ilmiah, Beirut, 1987,
h. 358 4Ahmad Mathlub, Fununun Balaghiyyah, Darul Buhuts al-Ilmiyyah, Kuwait, 1975, h.82.
70
Suatu haqiqah tergolong sebagai lughawiyyah apabila sang peletak suatu
kata untuk suatu makna tersebut adalah sang peletak bahasa itu sendiri. Dalam arti
kata, bahasa sendiri menunjukkan makna kata itu. Misalnya ialah kata “singa”
untuk menunjukkan kepada seekor hewan pemangsa yang paling buas.
Haqiqah digolongkan sebagai syar‟iyyah apabila sang peletak asal makna
kata itu adalah syaari‟ yaitu Allah Swt. Haqiqah syar‟iyyah ini banyak sekali kita
temukan dalam istilah-istilah agama Islam. Salah satunya ialah kata “salat”
Salat arti asalnya secara bahasa adalah doa. Allah memilih kata tersebut .(الصلاة)
untuk menunjukkan kepada suatu makna yaitu kumpulan perbuatan-perbuatan dan
perkataan-perkataan yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam.
Dengan demikian mayoritas kata salat dan iystiqaaq-isytiqaaqnya dalam al-
Qur‟an menunjukkan kepada makna tersebut.5
Apabila peletak asal suatu makna kata itu tidak jelas, tetapi kata tersebut
sudah populer menunjukkan kepada suatu makna, maka kata tersebut termasuk
kategori haqiqah ‟urfiyyah.6 Misalnya ialah kata “iwak” pada masyarakat Banjar
untuk menunjukkan kepada daging sapi atau daging kambing. Arti asal iwak
adalah ikan. Tetapi dalam perkembangannya arti iwak menjadi meluas. Sehingga
sering kita mendengar orang Banjar mengatakan “iwak daging”. Padahal
sebenarnya menurut arti asalnya, sapi dan kambing bukan tergolong iwak.
5 Isytqiâaq adalah termasuk pembahasan ilmu sharaf. Maksudnya ialah pemecahan kata dengan
wazan tertentu sehingga menghasilkan bentukan kata yang bermakna berbeda-beda. 6 ‟Urfiyyah asal katanya adalah „urf artinya ialah suatu yang berkenaan dengan istilah kebiasaan
71
Haqiqah bisa saja dibagi lagi menjadi lebih dari tiga macam yang telah
disebutkan di atas. Karena suatu kata adakalanya menunjukkan suatu makna,
tetapi pada saat dan ketentuan yang lain, kata itu menunjukkan makna yang lain
Haqiqah bisa saja dibagi lagi menjadi lebih dari tiga macam yang telah
disebutkan di atas. Karena suatu kata adakalanya menunjukkan suatu makna,
tetapi pada saat dan ketentuan lain, kata itu menunjukkan makna yang lain pula.
Sebagai contoh adalah kata “virus”. Kata “virus” dalam istilah kedokteran adalah
jasad renik yang hanya dapat dilihat melalui mikroskop. Tetapi kata tersebut
dalam istilah komputer adalah suatu program yang mengacaukan sistem kerja
komputer. Jadi, kata virus dalam istilah ilmu kedokteran atau istilah komputer
walaupun berbeda makna dan maksudnya adalah haqiqah. Jadi, sebagaimana
yang telah disebutkan di atas, haqiqah boleh dibagi-bagi lagi menjadi beberapa
macam sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berbeda-beda.
2. Pengertian Majaz
Kata “majaz” diambil dari fi‟il madhi جاز, artinya melewati. Para ulama
menamakan suatu lafaz yang dipindahkan dari makana yang asalnya dengan
perkataan majaz karena mereka melewatkan lafaz tersebut dari makna aslinya.7
Sedangkan arti majaz dalam istilah ilmu balaghah ialah:
في غيرما وضع لو في اصطلاح التخاطب لعلاقة مع قرينة المجاز ىو اللفظ الدستعمل" 8" مانعة من إرادة الدعنى الوضعي
7Sayyid Ahmad al-Hasyimi, Jawāhirul Balāghah, Darul Fikri, Beirut, 1994, h. 253.
8Ibid., h. 253.
72
“Majaz ialah lafaz yang digunakan pada selain arti yang ditetapkan
karena adanya persesuaian serta qarinah (pertanda) yang mencegah untuk
menghendaki makna aslinya”
Kalau kita mengatakan “saya melihat singa di hutan”, maka makna singa
pada kalimat tersebut adalah jelas, yaitu binatang pemangsa paling buas. Tetapi
kalau kita mengucapkan “saya melihat singa di madrasah”, maka makna singa
tidak mungkin pemangsa yang paling buas, karena ada qarinah (pertanda) yaitu di
madrasah. Sedangkan singa lazimnya berada di hutan dan mustahil ia berada di
madrasah. Karena itu pasti kata “singa” pada kalimat tersebut dimaknai seorang
manusia. Lalu apakah hubungannya manusia dengan singa? Sifat yang paling
menonjol dari singa adalah berani. Jadi, “singa” dalam kalimat tersebut diartikan
seorang manusia yang memiliki sifat pemberani seperti singa. Kata “singa”
tersebut adalah majaz dalam kategori isti‟arah.
Persesuaian (‟alaqah) antara makna haqiqi dan makna majaz terkadang
“musyabahah”, artinya penyerupaan. Bila persesuaian itu merupakan
penyerupaan, maka makna majaz disebut “isti‟arah” (الاستعارة), dan jika bukan
penyerupaan, maka disebut majaz mursal ( الدرسل ازالمج ). Adapun qarinah atau
pertanda yang menunjukkan artiyang dikehendaki, kadang-kadang berupa lafaz
yang diucapkan atau lafzhiyyah (لفظية) dan kadang-kadang berupa keadaan atau
haliyyah ( اليةح ) sebagaimana akan diterangkan.
73
Secara umum Ali al-Jarimi dan Musthafa Usman membagi majaz menjadi
dua macam, yaitu majaz lughawi dan majaz ‟‟aqliy. Majaz lughawi dilihat dari
‟alaqah-nya terbagi menjadi dua bagian, yaitu isti‟arah dan majaz mursal.
3. Pengertian ’Alaqah
‟Alaqah (علاقة) adalah:
9" الدناسبة بين الدعنى الدنقول عنو والدنقول إليو"...
“Persesuaian antara makna yang dipindahkan dan makna yang
dipindahi.”
Disebut ‟alaqah karena dengan hal itu makna yang kedua dapat berkait
dan bersambung dengan makna yang pertama. Dengan demikian hati langsung
berpindah dari makna yang pertama menuju makna yang kedua. Dengan
diisyaratkannya melihat persesuaian, maka dikecualikan ucapan yang keliru atau
Ghalath. Seperti ucapan, “ambillah buku ini”, dengan mengisyaratkan kepada
seekor kuda misalnya. Sebab dalam contoh ini tidak ada persesuaian yang bisa
dilihat.
Sebagaimana telah dijelaskan, bahwa ‟alaqah adakalanya penyerupaan
dan adakalanya bukan penyerupaan. ‟alaqah merupakan penyerupaan terdapat
dalam isti‟arah sedangkan ‟alaqah yang bukan penyerupaan terdapat dalam majaz
mursal dan majaz ‟‟aqliy. ‟Alaqah yang bukan penyerupaan ada beberapa macam.
Diantara macam-macam itu ada yang khusus terdapat pada majaz mursal, ada
9Ibid., h. 254.
74
yang khusus terdapat pada majaz „aqliy dan ada pula yang bisa berlaku pada
kedua macam majaz tersebut.
4. Pengertian Qarinah
Qarinah ialah:
..." وضع لو ما الأمر الذي يجعلو الدتكلم دليلا على أنو أراد باللفظ غير"...
“Perkara yang dijadikan oleh mutakallim sebagai petunjuk bahwa ia
menghendaki dengan suatu lafaz itu pada selain makna aslinya”.
Dengan dikecualikannya pertanda atau qarinah dengan ketentuan
“menghalangi untuk menghendaki makna asli”, maka dikecualikan bentuk
“kinayah” (الكناية).11 Sebab kinayah mempunyai qarinah yang tidak menghalangi
untuk menghendaki makna asli.
Qarinah itu ada kalanya lafzhiyyah dan ada kalanya haliyyah. Qarinah
disebut lafzhiyyah apabila qarinah-nya diucapkan dalam susunan kalimat.
Contohnya ialah seperti ucapan kita (رأيت أسدا في الددرسة) aku melihat seekor singa
di madrasah. Qarinah-nya ialah lafaz madrasah. Karena singa yang sebenarnya
10
Ibid., h. 253. 11
Kinayah (الكناية) ialah lafaz yang dimaksudkan untuk menunjukkanpengertian lazimnya,
tetapi dapat dimaksudkan untuk makna asalnya. Contoh, و ميتاأيحب أحدكم أن يأكل لذم أخي (Sukakah salah
seorang dari kalian memakan daging saudaranya yang sudah mati. QS. Al-Hujurat/49:12) Allah
menyindir tentang menggunjing dengan kata ”manusia makan manusia”. Demikian ini sangat
pantas. Sebab menggunjing adalah mengungkapkan cacat manusia dan merobek-robek perangai
terpujinya. Menutupi perangai terpuji adalah menyamakan manusia makan daging orang yang
digunjingnya.
75
mustahil berada di madrasah jadi kalimat tersebut adalah majaz (isti‟arah) yang
qarinah-nya adalah lafzhiyyah.
Qarinah disebut sebagai haliyyah, apabila qarinah hanya dipahami dari
keadaan mutakallim atau dari kenyataan yang ada. Contohnya ialah firman Allah
mereka menjadikan jari-jari mereka di dalam telinga (يجعلون أصبعهم في ءاذانهم)
mereka. Qarinah dari ayat ini tidak dipahami dari lafaz-lafaznya melainkan dari
keadaannya saja bahwa mustahil memasukkan jari ke dalam telinga. Karena itu
qarinah-nya disebut haliyyah.
B. Majaz Aqliy
1. Pengertian Majaz Aqliy
Majaz Aqliy ialah:
من إرادة مانعة مع قرينة لو لعلاقة ىو ما معناه إلى غيرفي ما فعل أولا إسناد ىو"... "الحقيقي الإسناد
“majaz aqliy adalah penyandaran fi‟il atau kata yang menyerupainya
kepada tempat penyandaran yang tidak semestinya karena adanya suatu
hubungan dan disertai qarinah yang menghalangi dipahaminya sebagai
penyandaran yang haqiqi.”
Disebut demikian karena pada majaz aqliy setiap lafaz-lafaznya digunakan
untuk maknanya yang asli. Sedangkan majaz-nya terletak pada segi tarkib
(susunan) atau isnad (penyandaran).
12
Ali Al-Jarimi dan Musthafa Amin, op.cit., h. 117.
*Dalam sumber yang lain tertulis إذا وفاك tetapi tidak ada perbedaan mendasar pada makna
antara kedua kata tersebut.
76
Sebagian ahli balaghah ada yang memasukkan pembahasan mengenai
majaz aliy ini dalam uraian mengenai keadaan isnad, yaitu suatu pembahasan
dalam ilmu ma‟ani. Tetapi ada pula sebagian mereka yang memasukkannya ke
dalam uraian mengenai pembagian lafaz menjadi haqiqah dan majaz, yaitu suatu
pembahasan dalam ilmu bayan.
Sebagaimana majaz lughawiy, majaz aqliy pun haruslah mempunyai
qarinah yang menunjukkan bahwa penyandaran fa‟il atau semaknanya kepada fi‟il
adalah majaz. Baik qarinah itu lafzhiyyah maupun maknawiyyah. Sebab, suatu
perkataan seandainya tidak ada qarinah, maka akan segera dipahami secara
haqiqah. Contoh majaz aqliy yang ber qarinah lafzhiyyah ialah sebagaimana
Abu an-Najm berikut ini:
كلو لم أصنع ذنبا علي # تدعي أصبحت أم الخيار قد عن قنزع عنو قنزعا ميز # صلع من أن رأت رأسي كرأس الأ
عيأبطئي أو أسر # جذب الليالى حتى إذا واراك أفق فارجعي # أفناه قيل الله للشمس أطلعى
“Ibunya al-Khiyar telah menuduhkan atasku suatu dosa yang tidak aku
lakukan, hanya karena, ia melihat kepalaku seperti kepala orang yang
botak. Gombak rambut demi gombak rambut telah dipisahkan oleh
berlalunya malam-malam. Pelan-pelanlah atau bergegaslah! Kepalaku
telah dihabisi (rambut-rambutnya) oleh firman Allah kepada matahari
“terbitlah engkau sampai kau ditutupi ufuk, kemudian kembalilah
(terbitlah kembali)”.
Dalam perkataan Abu An-Najm tersebut, perontokkan rambut dari kepala
disandarkan kepada malam-malam. Padahal secara akal, yang menyebabkan
rontoknya rambut adalah panasnya matahari. Bait terakhir perkataan itu (afnahu
qilullah dan seterusnya), adalah qarinah bahwa penyandaran rontoknya rambut
13
Abu Ya‟kub Yusuf As Sakaki, op.cit., h. 393.
77
kepada malam adalah majazy. Dengan demikian qarinah yang menunjukkan
bahwa penyandaran rontoknya rambut terhadap malam merupakan majaz adalah
lafzhiyyah, yaitu baik terakhir dari perkataan Abu An-Najm tersebut.
Sedangkan contoh qarinah maknawiyyah ialah seperti mustahilnya
musnad terselenggara dengan musnad ilaih yang disebut bersamanya secara akal.
Dengan pengertian, akal sudah tentu menganggap terselenggaranya musnad
sebagai suatu kemustahilan, seperti perkataan: ك جائ ب ي كت محب , kecintaan
kepadamu membawaku kepadamu. Juga seperti mustahilnya hal tersebut menurut
kebiasaan, seperti ه م ممر ا جند, artinya sang raja telah mengusir bala tentara.
Contoh ini menunjukkan kemustahilan tentang pengusiran bala tentara dengan
sang raja sendirian menurut kebiasaan, meskipun hal itu mungkin secara akal.
Contoh lain ialah perkataan dari orang yang bertauhid, seperti:
العشي ومر الغداة كر # وأفنى الكبير أشاب الصغيرر
“Telah mengubankan si anak kecil dan membinasakan orang tua,
berulang-ulangnya waktu pagi dan lewatnya sore hari”.
Munculnya ucapan tersebut dari orang yang bertauhid adalah merupakan
pertanda atau qarinah maknawiyyah yang menunjukkan bahwa isnad-nya lafaz
ج غ ج ك ز kepada lafaz أفن dan lafaz أش ا dan lafaz ج عش ي م ز adalah majaz. Contoh
tersebut tidak tergolong mustahil, karena sebagian besar orang yang berkeyakinan
salah memilih pemahaman tersebut. Dalam majaz aqliy ini sebuah fi‟il tidak wajib
mempunyai fa‟il yang dapat diketahui isnad-nya secara haqiqi. Sebagaimana
contoh terdahulu, karena terkadang tidak bisa diketahui secara haqiqi, seperti:
78
إذا ما زدتو نظرا # يزيدك وجهو حسنا
“wajahmu menambahmu semakin indah
Jikalau engkau menambah dalam memandang”
Isnad dalam contoh di atas adalah majaz aqliy. Tetapi isnad haqiqi-nya
tidak diketahui secara pasti. Barangkali yang mengetahui isnad haqiqi-nya secara
pasti adalah Cuma si empunya perkataan tersebut.
2. Bentuk-Bentuk Majaz Aqliy
Majaz aqliy dilihat dari makna musnad dan musnad ilaih-nya* mempunyai
empat macam bentuk, yaitu:
a. Majaz aqliy yang kedua ujungnya (musnad dan musnad ilaih) bermakna
haqiqi, seperti شفي ج طبيب جلمزيض, “dokter itu menyembuhkan orang yang
sakit”. Lafaz ج طبيب yang merupakan musnad ilaih adalah haqiqah dan
musnad-nya yaitu menyembuhkan yang sakit شفاء جلمزيض adalah haqiqah-
juga.
b. Majaz aqliy yang kedua ujungnya bermakna majazy, seperti أحي مرض
شبا ج ممان pengaruh masa telah menghidupkan bumi”. Lafaz“ ,شبا ج ممان
yang merupakan musnad ilaih adalah majaz mursal yang maksudnya
adalah “musim hujan”. Sedangkan musnad-nya yaitu مرض ح اء
(menghidupkan bumi) adalah isti‟arah yang maksudnya ialah menghiasi
bumi.
79
c. Majaz aqliy yang musnad-nya haqiqah sedangkan musnad ilaih-nya
majaz. Misalnya أهبب ج بقل شبا ج ممان, “pengaruh masa telah
menumbuhkan sayur mayur”. Lafaz شبا ج ممان adalah musnad ilaih yang
bermakna majaz. Sedangkan musnad-nya yaitu هبات ج بقل (menumbuhkan
sayur mayur) bermakna haqiqah.
d. Majaz aqliy yang musnad-nya majaz sedangkan musnad ilaih-nya
haqiqah. Maksudnya ialah, “musim bunga telah menghidupkan bumi”.
musnad ilaih-nya yaitu أحي ج زب ع مرض (musim bunga) adalah haqiqah.
Sedangkan musnad-nya yaitu مرض ح اء (menghidupkan bumi) adalah
isti‟arah.14
3. ‘Alaqah-‘Alaqah Majaz Aqliy
Sebagaimana majaz mursal, majaz aqliy pun haruslah mempunyai
„alaqah. Diantara alaqah- alaqah-nya yang paling masyhur yang diterangkan oleh
Dr. Ahmad Mathlub dalam fununun balaghiyyah, adalah:
1) Mafuliyyah, (مفعى ة) yaitu yang dibangun untuk فاعل tetapi pada
haqiqahnya disandarkan kepada مفعىل به. seperti firman Allah ةفي عيش
*Musnad adalah khabar, fi‟il tām, ism fi‟il, mubtada‟ yang berupa ism sifat yang cukup
dan marfu‟ nya beberapa khabar „amil, mawasikh, mashdar yang mengganti dari fi‟il. Sedangkan
musnad ialah mubtada‟ yang mempunyai khabar, fa‟il, na‟ibul fa‟il dan beberapa ism dari amil
nawasikh. 14
Lihat Ahmad Mathlub, op.cit., h. 104-105.
80
.dalam satu kehidupan yang meridhai (QS. Al-Qari‟ah/101 : 7) ,رجض ة
Lafaz رجض ة maksudnya adalah مزض ة (diridhai)
2) Fa‟iliyyah ( هيةفبع ) yaitu yang dibangun untuk يفعىل ث dan pada
haqiqah-nya disandarkan kepada فبعم. Seperti سيم يفعى banjir dipenuhi.
Lafaz يفعى adalah يجي نهفعىل (dibangun untuk menyatakan maf‟ul) yang
maknanya dipenuhi. Sebenarnya banjirlah yang memenuhi itu. Jadi,
lafaz, يفعى maksudnya adalah يفعى
3) Mashdariyyah, (يصذسية) yaitu yang dibangun untuk فبعم dan disandarkan
kepada mashdar secara majaz. Misalnya ك وك ج ج ك ك ,
Kesungguhanmu sungguh-sungguh dan keletihanmu letih. Fi‟il جذ dan كذ
semestinya disandarkan kepada fa‟il-nya masing-masing , yaitu جذ dan كذ
4) Zamaniyyah, (صيبية) yaitu yang dibangun untuk فبعم tetapi disandarkan
kepada masa. Misalnya هبس صبئى, siang harinya telah berpuasa.
Karena siang tidaklah puasa, tetapi puasa adalah waktu siang.
5) Makâniyyah, (يكبية) yaitu yang dibangun untuk dan disandarkan
kepada tempat. Seperti firman Allah حتهمجزي من ث
ا منهار ث
dan ,وجعل
kami jadikan sungai-sungai mengalir di bawah mereka. (QS. Al-
An‟am/6 : 6), sedangkan sungai tidak mengalir, yang mengalir
sebenarnya adalah yang berada di sungai itu yaitu air.
6) Sababiyyah (سججية) yaitu yangdibangun untuk فبعم disandarkan kepada
sebab. Seperti firman Allah يا هامان جبن لي صزحا, wahai Haman bangunlah
81
untukku sebuah bangunan yang tinggi. (QS. Al-Mu‟min/40 : 36).
Musnad, yaitu ثبء (membangun) adalah haqiqah, musnad ilaih yaitu
“haman” adalah juga haqiqah, karena digunakan untuk maknanya yang
asli. Ayat ini dikatakan majaz dari segi penyandaran kepada Haman,
padahal Haman tidak akam membangun, tetapi yang membangun adalah
para pekerjanya. Karena itu penyandaran kepada Haman adalah karena
Haman menyebabkan pekerja itu membuat bangunan.15
4. Nilai Majaz Mursal dan Majaz Aqliy dalam Balaghah
Apabila kita perhatikan macam-macam majaz mursal dan majaz aqliy,
maka akan kita temukan bahwa kebanyakan majaz itu mengemukakan makna
yang dimaksud dengan singkat. Bila kita mengatakan جنديش هم ج قائ (komandan itu
mengusir pasukan musuh), atau جلمدلس كذج قزر (majelis menetapkan demikian), maka
akan lebih ringkas daripada kita katakan جنديش ج قائ هم ج ىد (tentaranya komandan
itu mengusir pasukan musuh), atau قزر أهل جلمدلس كذج (anggota-anggota majelis itu
menetapkan demikian). Tidak syak lagi bahwa keringkasan itu adalah salah satu
jenis balaghah.
Disamping itu, ada celah-celah balaghah yang lain pada kedua majaz ini,
yakni kemahiran memilih titik singgung antara makna asli dan makna majazi
dengan mengusahakan majaz itu dapat menggambarkan makna yang dikehendaki
dengan gambaran yang lebih baik, seperti menyebut intelijen dengan mata.
15
Ibid., h. 105-107.
82
Dan semisal isnad-nya sesuatu kepada sebabnya, atau tempatnya, atau
masanya, pada contoh-contoh majaz aqliy. Dalam kaitan ini segi kesempurnaan
menghendaki agar sebab yang kuat, tempat dan masa yang khusus dipilih.
Apabila kita memfokuskan pemikiran, maka akan dimengerti bahwa pada
ghalib-nya macam-macam majaz mursal dan majaz aqliy tidak lepas dari segi
kesempurnaan yang indah, yang mempunyai kesan dalam membuat majaz itu
sebagai bentuk yang indah lagi menarik. Sebab mengucapkan keseluruhan untuk
menghendaki bagian ( جندمء طلاق ج كل و رجد ) adalah suatu segi kesempurnaan.
Demikian juga mengatakan suatu bagian untuk menghendaki keseluruhan (طلاق
.(جندمء و رجد ج كل
Apabila kita perhatikan dengan cermat, maka akan kita dapatkan bahwa
kebanyakan majaz mursal dan majaz aqliy itu tidak lepas dari mubalaghah
(berlebih-lebihan) yang indah dan berpengaruh, menjadikan majaz itu begitu
menarik dan mencengkram kuat dalam hati. Penyebutan keseluruhan dengan
maksud sebagian adalah suatu mubalaghah, demikian juga menyebut sebagian
dengan maksud keseluruhan. Seperti kita mengucapkan فلا فى (Fulan adalah
mulut) untuk maksud bahwa si Fulan itu adalah orang rakus yang menelan segala
sesuatu. Atau seperti orang mengucapkan فلا أف (Fulan adalah hidung), ketika ia
bermaksud menyifati Fulan dengan hidung besar, lalu ia membuat susunan yang
sempurna dan menjadikan si Fulan itu seolah-olah secara keseluruhan.
Diantara contoh yang dikutip dari sebagian sastrawan dalam menyifati
seseorang yang berhidung besar adalah:
83
في أنفو أم أنفو فيو لست أدري أىو “Aku tidak tahu apakah ia itu dalam hidungnya atau hidungnya ada
padanya”
.
C. Majaz ‘aqliy dalam Surah Al-Baqarah
1. Ayat 2
Kitab (al-Qur‟an) ini tidak ada keragu-raguan padanya: petunjuk bagi
mereka yang bertaqwa.
Dalam ayat di atas memberi petunjuk dinisbahkan kepada Al-Qur‟an.
Padahal memberi petunjuk yang sebenarnya hanyalah Allah Swt. Penyandaran
pemberian petunjuk kepada Allah adalah majaz „aqliy dengan alaqah
sababiyyah.16
Adanya mubalaghah (berlebih-lebihan) dalam menyandarkan
petunjuk kepada Al-Qur‟an, menunjukkan ketinggian dan kemuliaan serta
besarnya pengaruh Al-Qur‟an terhadap si pembacanya. Sehingga seolah-olah Al-
Qur‟an sendirilah yang sebenarnya memberi petunjuk tanpa ada campur tangan
Tuhan lagi.
16
Ahmad Ash-Shawi, op.cit., h. 22.
84
Menurut penelitian penulis, Allah menyandarkan pemberian petunjuk
selain kepada diri-Nya di dalam Al-Qur‟an hanyalah kepada Al-Qur‟an dan
kepada Nabi Muhammad Saw. Contoh lain ayat tentang penyandaran pemberian
petunjuk kepada Al-Qur‟an ialah surah al-Isra ayat 9.
Sesungguhnya Al-Qur‟an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang
lebih lurus ...
Sedangkan ayat yang menunjukkan penyandaran pemberian petunjuk
kepada Nabi Muhammad terdapat pada surah Asy-Syuura ayat 52:
Dan sesungguhnya kamu (wahai Muhammad)benar-benar memberi
petunjuk kepada jalan yang lurus (QS. Asy-Syuura/42 : 52).
Hal di atas menunjukkan bahwa Al-Qur‟an dan Sunnah Nabi adalah
jaminan. Barang siapa yang berpegang kepada keduanya maka ia akan selalu
mendapat petunjuk. Sebagaimana sabda Nabi:
بن إسحاق الفقيو )قال( أنبأنا محمد بن عيس بن السكن الواسطي )قال( بكر أبو أخبرناالعزيز بن عبدحدثنا داود بن عمرو الضبي )قال( حدثنا صالح بن موسى الطلمحي عن تركت فيكم رفيع عن أبي صالح عن أبي ىريرة رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: إني قد
85
الحوض )رواه حاكم( على يردا تىب الله وسنتي ولن يتفرقا حا كتاين لن تضلوا بعدهمشيئ17
Memberitahukan kami Abu Bakar bin Ishak al-Faqih (ia berkata)
memberitahukan kepada kami Muhammad bin Isa bin as-Sakan al-Wasithi
(ia berkata) Menceritakan kepada kami Daud bin amr Adh-Dhabiy (ia
berkata) Menceritakan kepada kami Sholih bin Musa ath-Thalhi dari
Abdul Aziz bin Rafi‟ dari Abu Sholih dari Abu Hurairah r.a. ia berkata:
Sesungguhnya Rasulullah Saw bersabda: Sesungguhnya Aku benar-benar
telah meninggalkan dua perkara untuk kalian yang membuat kalian tidak
akan sesat, yaitu kitabullah (Al-Qur‟an) dan Sunnahku. Kedua perkara itu
tak akan berselisih sehingga kedua-duanya kembali kepadaku di telaga
(HR. Hakim).
2. Ayat 19
... Dan Allah meliputi orang-orang kafir ...
Allah bersifat mukhalafah lil hawadits yang artinya bahwa zat-Nya
bersalahan dengan makhluk. Mustahil bagi Allah memiliki kesamaan dengan
makhluk-makhluk-Nya, seperti bersifat benda, menempati suatu tempat, tersusun
dari sesuatu, mempunyai anggota tubuh, dilahirkan, melahirkan, bersambung,
terpisah, bersifat hewani, bersifat nabati atau berpindah dari suatu tempat ke
tempat lain. Demikian pula, mustahil bagi Allah memiliki bekas perbuatan
kejiwaan, seperti tertawa, heran, dan lain sebagainya.18
Kata الإحبطة biasa diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan
“meliputi”, artinya secara bahasa ialah mencakup atau terhimpun akan sesuatu
seperti halnya suatu amplop menghimpun isi amplop itu. Hal ini mustahil bagi zat
17
Abu Abdillah al-Hakim an-Naisaburi, Al-Mustadrak „Alash-Shahihain, J.1, Darul Fikri,
Beirut, 1978, h. 93. Lafaz yang diberi tanda kurung adalah dari penulis. 18
Sayyid Husain Afandy, Al-Hushinul Hamidiyyah, Maktabah Al-Hidayah, Surabaya, tth,
h. 19.
86
Allah Swt. Karena itu Imam Jalaluddin As-Suyuthi mengisyaratkan penolakan
terhadap arti zahir dari ihathah itu, dengan kata ىثىههوق ر فلا يف علما (ilmu dan
kekuasaan-Nya sehingga mereka tidak akan lepas dari-Nya).19
Maksudnya ialah
ihathah secara maknawi yaitu keadaan mereka yang terpaksa dan tidak pernah
luput dari pengetahuan dan kekuasaan Allah Swt.20
Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa penyandaran الإحبطة kepada
zat Allah pada ayat ini adalah majaz „aqliy.
Dr. Abdul Azhim Muhammad al-Muth‟i dalam disertasi beliau yang
berjudul Khashaushut Ta‟bir Al-Qur‟ani, menyimpulkan bahwa Al-Qur‟an tidak
pernah memakai materi ihathah ini dalam makna yang sebenarnya (makna secara
bahasa) kecuali dalam susunan yang berbicara tentang neraka jahannam, 21
yaitu:
1) Surah At-Taubah ayat 49 بالكافرينلمحيطة جهن موإن (dan sesungguhnya neraka
Jahannam itu benar-benar meliputi orang-orang yang kafir)
2) Surah Al-Ankabut ayat 54 بالكافرينلمحيطة جهن موإن (dan sesungguhnya neraka
Jahannam itu benar-benar meliputi orang-orang yang kafir); dan
3) Surah Al-Kahfi ayat 29 المينأعتدناإن ا سرادقهابهمأحاطناراللظ (sesungguhnya Kami
telah menyediakan bagi orang-orang yang zalim itu neraka yang gejolaknya
meliputi mereka)22
Dalam surah Al-Baqarah, kata (حاطة ) ini disebutkan sebanyak tiga kali.
Yaitu pada ayat 19 ( ولا يييطى ثشيئ ) dan 255 (وأحبطث ث خطيئح) 81 ,( ييي ثبنكبفشيوالله
19
Jalaluddin Muhammad bin Ahmad Muhammad al-Mahally dan Jalaluddin Abdurrahman
bin Abu-Bakar As-Suyuthi, op.cit., h. 4. 20
Ahmad Ash-Shawi, op.cit., h. 31. 21
Abdul Azhim Ibrahim Muhammad al-Muth‟i, op.cit., h. 340 22
Ibid., h. 336.
87
Sebagaimana telah dijelaskan, tiga materi dalam surah Al-Baqarah .(ي عه
inipun merupakan majaz.
3. Ayat 25
...bahwa bagi mereka disediakan surga-surga yang mengalir sungai-
sungai di dalamnya ...
Mengalir, adalah sifat dari air, bukan sifat sungai. Penyandaran جشيب
(mengalir) kepada sungai tidak syak lagi adalah majaz „aqliy. Alaqahnya ialah
makaaniyyah. Sebab, sungai adalah tempat air mengalir.
Isnad (penyandaran) kata mengalir kepada sungai terdapat pada dua
tempat dalam surah al-Baqarah. Yaitu pada ayat 25 di atas dan pada ayat 266
dengan redaksi yang sama.
4. Ayat 36
...Lalu keduanya digelincirkan oleh syaithan dari syurga itu dan
dikeluarkan dari keadaan semula (kenikmatan dalam syurga) ...
Dalam ayat ini terdapat majaz „aqliy yaitu penggelinciran terhadap Adam
dan Hawa yang disandarkan kepada syaithan. Syaithan hanyalah merupakan sebab
dari turunnya mereka berdua itu dari surga. Pada haqiqahnya yang menurunkan
mereka ke bumi adalah Allah Swt, dan hal itu memang sudah ketetapan Allah.
88
Sebab Allah berkeinginan menjadikan Adam sebagai khalifah di atas bumi
sebagaimana diisyaratkan oleh Allah dalam surah Al-Baqarah ayat 30.
ليفرة ...ورإذ قرالر رربكر للمرلائكرة إني جراعل في الأرض خر Dan ingatlah ketika berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku
hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. (QS. Al-Baqarah/2:30)
Was-was Iblis adalah penyebab turunnya Nabi Adam dan istri beliau
Hawa ke bumi. Sebenarnya Iblis tidaklah bermaksud mengeluarkan mereka dari
surga, ia hanya ingin menjatuhkan Adam dari ketinggian martabatnya.23
Ketinggian martabat Nabi Adam ini dapat dimengerti ketika Allah memerintahkan
para Malaikat dan Iblis untuk sujud kepada Adam. Perintah itu ditaati oleh seluruh
malaikat kecuali Iblis yang membangkang karena merasa lebih hebat dari Adam
dalam penciptaan. Cerita tentang sujudnya para malaikat dan pembangkangan
Iblis ini terdapat dalam beberapa tempat di dalam Al-Qur‟an, diantaranya dalam
surah Al-Baqarah ayat 34.
Dan ingatlah ketika Kami berfirman kepada para malaikat: “Sujudlah
kamu kepada Adam”. Maka sujudlah mereka kecuali Iblis, ia enggan dan
23
Muhammad bin Ahmad al-Anshori al-Qurthubi, op.cit., h. 312.
89
takabbur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir.
(QS. Al-baqarah/2 : 34)
5. Ayat 50
Dan (ingatlah) ketika Kami belah laut untukmu. Kami selamatkan kamu
dan Kami tenggelamkan (Fir‟aun) dan pengikut-pengikutnya sedang kamu
(sendiri) melihat (kejadian pembelahan laut dan seterusnya itu).
yang disandarkan kepada orang-orang Bani Israil zaman (melihat) انظش
Nabi Muhammad Saw tidak syak lagi adalah majaz „aqliy. Sebab, orang-orang
Bani Israil zaman Nabi itu tidak menyaksikan kejadian pembelahan laut.
Penggalan ayat ظشو حى ج adalah (sedang kamu sendiri menyaksikannya) وأ
jumlah haliyyah yang mengandung majaz. Maksudnya ialah واثبؤكى يظشو (sedang
nenek moyang kamu sendiri menyaksikan). Maf‟ul pada ayat ini dibuang, yaitu
kejadian-kejadian pembelahan laut, tenggelamnya Fir‟aun dan bala tentaranya dan
lain-lain).24
Penyandaran fi‟il yang dikerjakan oleh orang-orang Bani Israil zaman
Nabi Musa kepada orang-orang Bani israil zaman Nabi muhammad Saw cukup
banyak ditemukan dalam Al-Qur‟an. Dalam surah Al-Baqarah saja, penulis
menemukan beberapa buah penyandaran fi‟il dalam beberapa ayat, yaitu:
) pada ayat 50 dan 55 (melihat) انظش (1 ظشو حى ج (وأ
24
Syihabuddin al-Alusi al-Baghdadi, op.cit., h. 256.
90
) pada ayat 51 dan 92 (penyembahan anak sapi) اجخبر انعجم (2 العجلات خذتمثم )
(وإر قهحى) pada ayat 56 dan 61 (berkata) انقىل (3
) pada ayat 56 (mati) انىت (4 موتكمبعدمن )
) pada ayat 57 (makan) الأكم (5 رزقناكمماطيباتمنكلوا )
membunuh, saling tuduh menuduh dan menyembunyikan) انقحم وانذاسؤوانكحب (6
kebenaran) pada ayat 72 ( فيهافاد ارأتمنفساقتلتموإذ تكتمونكنتممامخرج والل ); dan
) pada ayat 91 (membunuh) انقحم (7 أنبياءتقتلونفلمقل الل )
Tidak pernah terdengar kalau orang-orang Yahudi zaman Nabi
Muhammad Saw itu membantah penyandaran-penyandaran fi‟il tersebut kepada
mereka. Misalnya dengan berkata: “Ah, itukan bukan kami, tetapi nenek moyang
kami”. Padahal jelas-jelas mereka mengetahui bahwa apa yang telah dilakukan
oleh nenek moyang mereka itu, seperti membunuh, menyembah anak sapi,
pembangkangan dan lain sebagainya itu menjukkan aib dan kelemahan iman
mereka. Kalau saja mereka itu betul-betul beriman kepada Allah, mereka pasti
akan malu karena terbongkarnya aib dan kelemahan iman nenek moyang mereka
itu. Hal tersebut menunjukkan tingginya persatuan, kesatuan dan kekompakan
mereka dalam keingkaran dan berbuat kefasikan.
6. Ayat 55
91
Dan (ingatlah) ketika kamu berkata: “Hai Musa, kami tidak akan beriman
kepadamu sebelum kami melihat Allah dengan terang”, karena itu kamu
dibinasakan halilintar sedang kamu menyaksikannya.
Kata أخزت yang dimaknai dengan “membinasakan”25
. Pada ayat ini
diisnadkan kepada انصبعقة (halilintar). Seakan-akan memang halilintarlah yang
membuat mereka binasa. Padahal yang membinasakan mereka pada haqiqahnya
adalah Allah. Halilintar hanyalah sebab yang menyebabkan mereka binasa, dan
Allah lah yang membuat halilintar itu menjadi sebab kebinasaan mereka. Oleh
karena itu, pembinasaan orang-orang Bani israil yang diisnadkan kepada انصبعقة
(halilintar) adalah majaz „aqliy yang alaqahnya adalah sababiyyah.
7. Ayat 93
... katakanlah: “amat jahat perbuatan yang diperintahkan imanmu
kepadamu, jika betul kamu beriman.
Kata الأيش (memerintahkan) yang disandarkan kepada iman dalam ayat ini
adalah majaz „aqliy. Sebab, iman bukanlah sesuatu yang memerintah. Penyandaran
Sedangkan idhafah iman kepada .(pengejekan) انحهكى kepada iman adalah untuk الأيش
mereka adalah untuk menunjukkan bahwa sebenarnya mereka tidak betul-betul
beriman, sebagaimana dikabarkan Allah dalam lanjutan ayat, إ كحى يؤيي (jika betul
kamu beriman). Padahal telah diketahui bahwa barang siapa yang mengaku
25
Lihat, Abdul Azhim Ibrahim Muhammad al-Muth‟i, op.cit., h. 350.
92
beriman, seharusnya perbuatannya menunjukkan iman itu. Jika tidak ia dihukumkan
belum beriman.26
8. Ayat 115
... Sesungguhnya Allah Maha Luas dan Maha Mengetahui.
Maha Luas adalah sifat dari Sifat Allah, bukan sifat dari Zat-Nya. Sebab,
zat Allah bukan materi yang dapat diukur sehingga dapat dikatakan luas, sempit,
besar, kecil, tinggi, pendek dan lain sebagainya. Luas yang dimaksud dalam ayat
ini adalah luasnya karunia dan pemberian-Nya.27
Yaitu, sahnya shalat tidaklah
ditentukan oleh menghadap ke Baitil Maqdis atau tidak, sebagaimana yang
diklaim oleh orang-orang Yahudi. Tetapi, Allah mengkhususkan bagi orang-orang
yang beriman dengan kelebihan karunianya yang tidak dikaruniakan kepada
orang-orang Yahudi, yaitu seperti perkara Kiblat, seluruh permukaan bumi bisa
dijadikan tempat shalat, tanah yang dapat dijadikan sebagai alat yang mensucikan
dan lain-lain.28
9. Ayat 125
Dan (ingatlah) ketika Kami menjadikan rumah itu (Baitullah) sebagai
tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman.
26
Isma‟il Haqiyyul Bursuwi, op.cit., h. 127. 27
Muhammad Ali Ash-Shabuni, op.cit., h. 89. 28
Ahmad Ash-Shawi, op.cit., h. 82.
93
Dalam ayat ini terdapat penggunaan mashdar pada tempat ism fa‟il, yaitu
pada firman-Nya وأيب. Hal ini dimaksudkan untuk mubalaghah (melebih-
lebihkan). Sedangkan penyandaran الأي kepada انيث adalah majaz „aqliy dengan
alaqah mashdariyyah. Maksudnya ialah أمن من دخله (aman bagi orang yang masuk
ke dalamnya), sebagaimana firman Allah, يبآوي دخه كب (barangsiapa
memasukinya (baitullah itu) maka menjadi amanlah ia) (QS. Ali imran/3 : 97).29
10. Ayat 126
Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berdoa: “Ya Tuhanku, jadikanlah negeri
ini., negeri yang aman sentosa, ....
Kata ثهذا آيب (kota yang (ber) aman) dalam ayat ini adalah majaz „aqliy.
Maksudnya ialah راأي (yang memiliki keamanan), seperti firman Allah عيشة فيفهو
Atau .(dalam kehidupan yang meridhai/diridhai. QS. Al-Qari‟ah/101 : 7) راضية
bisa juga maksudnya أمن من دخله (aman orang yang didalamnya) seperti perkataan
orang Arab نيم بجى (malam adalah waktu orang untuk tidur.30
Alaqah dari majaz aqli pada kata بثهذا آي dalam ayat ini adalah maf‟uliyyah
atau bisa juga dikatakan alaqahnya adalah makaaniyyah.
11. Ayat 143
29
Muhammad Ali Ash-Shabuni, op.cit., h. 94. 30
Abul Qasim Az-Zamakhsyari, op.cit., h. 310.
94
Dan tidaklah kami menjadi kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang)
melaionkan akami kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti
Rasul dan siapa yang membelot ....
Kalau kita perhatikan ayat di atas, diperoleh pengertian bahwa seakan-
akan pemindahan arah kiblat itu bagi Allah merupakan suatu penelitian untuk
mengetahui siapa yang betul-betul beriman dan siapa yang membelot (murtad).
Padahal Allah mengetahui segala sesuatu baik yang sudah terjadi maupun yang
akan terjadi. Allah berfirman:
...الأمر من ق ربل ورمن ب رعد ...لل Dan kepunyaan Allah lah urusan sebelum dan sesudah (QS. A-Ruum/30 : 4)
Dalam surah lain Allah berfirman:
قرد أرحرا ر بكل شريءع علم ا...ورأرن اللهر ... Dan sesungguhnya Allah, ilmu-nya benar-benar meliputi segala
sesuatu. (QS. Ath-Thalaq/65 : 12)
Jelaslah bahwa penyandaran نعهى (untuk mengetahui) kepada Allah adalah
mustahil dan sangat tidak layak sekali bagi Zat Yang Maha Mengetahui. Dengan
demikian hal itu adalah majaz „aqliy dengan qarinah haliiyah.
Ali bin Abi Thalib r.a. berkata bahwa makna dari نعهى itu ialah نشي (untuk
melihat). Sebab orang-orang Arab biasa mengucapkan lafaz انعهى (mengetahui)
untuk makna انشؤية (melihat) dan sebaliknya, mengucapkan انشؤية untuk makna انعهى
95
Seperti firman Allah ربكفعلكيفترألم (apakah kamu tidak mengetahui bagaimana
Allah telah bertindak terhadap tentara gajah. QS. Al-Fil/105 : 1). ترألم Pada ayat
tersebut maknanya ialah أنى جعهى 31
Bisa juga dikatakan, makna dari نعهى adalah هى محمدعني (agar Nabi Muhammad
menjadi tahu). Dinisbahkan kepada Allah untuk menunjukkan kemuliaan dan
ketinggian derajat Nabi, serta dekatnya beliau dengan Allah. Seperti firman Allah
dalam hadits Qudsi, ...يباثب ادو يشضث قهى جعذي... 32
Allah menyandarkan sakit kepada
diri-Nya, padahal ia terhindar dari sakit, untuk menunjukkan dekatnya si sakit itu
dengan (Allah).
12. Ayat 153
... Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar.
Kalau kita berkata: “Ali bersama Amir di dalam kelas”, maka akan timbul
pemahaman bahwa Ali berada di dekat Amir secara fisik, karena Ali dan Amir
sama-sama berada di dalam satu tempat, dan wujud mereka berdua itu memang
ada dan eksis di tempat itu.
Tetapi tidak demikian halnya, kalau kita nisahkan انعية (kebersamaan) itu
kepada Allah, seperti ayat di atas. Kita tidak boleh memahami bahwa Allah dekat
dengan orang-orang yang sabar secara fisik, sehingga dikatakan dimana ada orang
31
Muhammad bin Ahmad al-Anshori al-Qurthubi, op.cit., h. 156. 32
Muslim, op.cit., J.1, h. 426
96
yang sabar maka di situ ada Allah. Tetapi kedekatan yang dimaksud adalah
kedekatan pertolongan.33
Selain ayat di atas, Allah juga menisbahkan kebersamaan dirinya bersama-
sama orang yang bertaqwa. Yaitu pada ayat 194.
مرعر المت قينر وراعلرموا أرن اللهر ... ...Dan ketahuilah sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang
bertaqwa
Kebersamaan Allah dengan makhluk-Nya adakalanya bermakna dengan
memberi pertolongan seperti ayat 153 dan 194 surah Al-Baqarah di atas. Tetapi,
ada juga yang bermakna dengan mengetahui dan mengusai. Inilah yang dimaksud
dengan kebersaman-Nya setiap orang di dalam ayat 7 surah Al-Mujadillah
berikut:
...Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah yang
keempatnya. Dan tiada pembicaraan rahasia antara lima orang
melainkan Dia-lah yang keenam itu. Dan tiada pula pembicaraan antara
jumlah yang kurang dari itu atau lebih banyak, melainkan Dia ada
bersama mereka dimanapun dia berada... (QS. Al-Mujadillah/58 : 7).
Dengan demikian jelaslah bahwa يعية (kebersamaan) yang disandarkan
kepada Allah pada ayat 153 dan 194 di atas adalah majaz „aqliy.
33
Lihat, Ahmad Ash-Shawi, op.cit., h. 100.
97
13. Ayat 225
Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpahmu yang tidak dimaksud
untuk (bersumpah), tetapi Allah menghukummu disebabkan (sumpahmu)
yang diusahakan oleh hatimu...
Kata bahasa Arab يكحت -كحت sering diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia dengan arti “mengusahakan”. Kata ini dalam Al-Qur‟an biasanya di-
isnad-kan kepada diri (فس) keseluruhan secara langsung. Misalnya ialah firman
Allah:
...لذررا مرا كرسربرت ورعرلري هرا مرا اكترسربرت... ...Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia
mendapat siksa (dari kejahatan) yang ia kerjakan...
Juga dalam ayat lain:
لى من كتب سيئة...ب
(bukan demikian) yang benar, barang siapa yang mengusahakan suatu
kejahatan ...
Pada ayat 225 di atas, kata كحت diisnadkan kepada قهىة (hati-hati). Padahal
kata ini lazimnya harus di-isnad-kan kepada makna diri secara keseluruhan bukan
98
kepada hati yang merupakan bagian dari diri itu. Kata كحت yang di-isnad-kan
kepada makna diri (فس) secara keseluruhan adalah isnad yang haqiqi. Apabila
kata ini di-isnad-kan kepada bagian dari diri, maka isnad-nya adalah isnad majazi
atau kita sebut juga majaz „aqliy.
14. Ayat 283
...dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian dan
barangsiapa yang menyebunyikannya maka sesungguhnya ia adalah
orang yang berdosa hatinya...
Dalam ayat ini juga terdapat majaz „aqliy, yaitu dalam penyandaran
keadaan berdosa kepada hati. Keadaan berdosa sebenarnya adalah pekerjaan diri
secara keseluruhan, dan bukan pekerjaan bagian-bagian diri. Apabila ada
seseorang yang berzina, maka seluruh dirinya berdosa, tidak hanya kemaluannya
saja yang berdosa.
Menyembunyikan kesaksian maksudnya ialah merahasiakannya dan tidak
mengatakannya ketika kesaksian itu diperlukan. Hal ini adalah perbuatan dosa
yang dilakukan oleh hati. Penyandaran pekerjaan kepada anggota tubuh yang
melakukannya adalah ungkapan yang paling baligh. Apabila kita ingin menambah
keyakinan pendengar terhadap apa yang ingin kita katakan, biasanya kita berkata:
“saya melihatnya dengan mata kepala saya sendiri”.34
34
Abul Qasim Az-Zamakhsyari, op.cit., h. 310.
99
Biasa pula kita katakan bahwa adanya dosa yang disandarkan kepada hati
pada ayat ini ialah agar jangan dikira bahwa penyembunyian kesaksian adalah
dosa yang berhubungan dengan lidah saja. hatilah yang sebenarnya berperan,
sebab lidah hanya menunjukkan apa yang ada di dalam hati.
100
D. Kesimpulan
1. Majaz Aqliy. Majaz kategori ini ditemukan dalam beberapa ayat, yaitu
ayat 2, 19, 25, 36, 50, 51, 55, 56, 57, 61, 72, 91, 92, 93, 115, 125, 126, 143,
153, 194, 225, 266, dan 283.
2. Rahasia yang terkandung pada majaz-majaz dalam surah al-Baqarah
secara umum antara lain, ialah:
a. Memperindah susunan redaksi ayat.
b. Mempersingkat redaksi, tetapi memperpadat isi.
c. Menghindari penggunaan kata yang tidak perlu
d. Membuat makna ayat lebih baligh.
e. Memberi faedah penglebih-lebihan (mubalaghah) khususnya ayat-ayat
dalam kategori isti‟arah sehingga makna ayat lebih kuat pengaruhnya
terhadap hati.
101
DAFTAR PUSTAKA
Ad-Darwisy, Muhyiddin I‟rabul-Qur‟an al-Karim wa Bayanuh, Jilid 1, Dar Ibni
Katsir, Damaskus, 1992.
Afandy, Sayyid Husain, Al-Hushun al-Hamidiyyah, Maktabah Al-Hidayah,
Surabaya, tth.
Al-Andalusi, Abu al-Hayyan Tafsir an-Nahr al-Mādd, Jilid Darul Fikri, Beirut,
1987.
Al-Baghdadi, Syihabuddin al-Alusi, Ruhul Ma‟ani fi Tafsir al-Qur‟an al-Azhim
was Sab‟il Matsani, Darul Ihya Turatsil Arabiyyah, Beirut, tth.
Al-Bukhari, Muhammad bin Ismail, Matnul Bukhari, Juz 1, Dar an-Nasyril
Mishriyyah, Surabaya.
_________, Matnul Bukhari, diterjemahkan oleh Ahmad Sunarto dkk dengan
judul: Shahih Bukhari, CV. Asy-Syifa‟, Semarang, Jilid 3, 1991.
Bursuwi, Isma‟il Haqiyy, Tafsir Ruh al-Bayan, Juz 1, Darul Fikri, Beirut, tth.
Al-Bustani, Karam, et.al., Al-Munjid fi al-Lughah wal „a‟lam, Maktabah
Syarqiyyah, Beirut, 1960.
Al-Hafid, Ibnu Rusydi, Bidayatul Mujtahid, Juz 1, Toha Putera Semarang,
Semarang, t.th.
al-Hasan, Sirajuddin Abu Hafsh Umar bin Abi, Tafsir Gharib al-Qur‟an, „Alam
al-Kutub, Beirut, 1987.
al-Hasyimi, Sayyid Ahmad, Jawahirul Balaghah, Darul Fikri, Beirut, 1994.
_________, Jawahirul Balaghah, diterjemahkan oleh M. Zuhri dan K. Ahmad
Chumaidi Umar dengan judul: Mutiara Ilmu Balaghah dalam Ilmu
Ma‟ani, Mutiara Ilmu, Surabaya, Cet. Pertama, 1994.
_________, Jawahirul Balaghah, diterjemahkan oleh M. Zuhri dan K. Ahmad
Chumaidi Umar dengan judul: Mutiara Ilmu Balaghah dalam Ilmu
Bayan dan Ilmu Ma‟ani, Mutiara Ilmu, Surabaya, Cet. Pertama, 1994.
Ali, Atabik, dan Ahmad Zuhdi Muhdhor, Kamus Kontemporer Arab Indonesia,
Yayasan Ali Maksum Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta, 1996.
Al-Jarimi, Ali, dan Musthafa Amin, Al-Balaghah al-Wadhihah, Al-Hidayah,
Surabaya, 1961.
102
_________, Al-Balaghah al-Wadhihah, diterjemahkan oleh Mujiyo Nurkholis
dkk, Sinar Baru Algesindo, Bandung, 1993.
_________, An-Nahwul Wadhih, Juz 1, Darul Ma‟arif, Libanon, tth.
Al-Jurjani, Abdul Qahir, Asrar al-Balaghah, Darul Fikri, Beirut, t.th.
al-Mahally, Jalaluddin Muhammad bin Ahmad Muhammad dan Jalaluddin
Abdurrahman bin Abu-Bakar As-Suyuthi, Tafsir al-Qur‟an al-„Azhim lil
Imamainil Jalilain, Maktabah Darul Kutub al-Ilmiyyah, Indonesia, t.th.
al-Muth‟i, Abdul Azhim Ibrahim Muhammad, Khashaish at-Ta‟bir al-Qur‟ani,
Maktabah Wahbah, Kairo, 1992.
Al-Muqaddasi, Al-Hasani, Fathurrahman li Tholib āyātil Qur‟an, Al-Hidayah,
Surabaya, t.th.
Al-Qurthubi, Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al Anshari, Tafsir al-
Qurthubi, Maktabah al Arabiyah, Mesir, Jilid 1, 1966.
_________, Tafsir al-Qurthubi, Maktabah al‟Arabiyyah, Mesir, Jilid 2, 1966.
An-Naisaburi, Abu Abdillah al-Hakim, Al-Mustadrak „Alash-Shahihain, Juz 1,
Darul Fikri, Beirut, 1978.
An-Nasafi, Abul Barakat Abdullah, Tafsir an-Nasafi, Jilid 1, Darul Fikri, Beirut,
tth.
Ash-Shabuni, Muhammad Ali, At-Tibyan fi Ulum al-Qur‟an, „Alam al-Kutub,
Beirut, 1985.
_________, Shafwatut Tafasir, Jilid 1, Darul Fikr, Beirut, 1976.
Ash-Shawi, Ahmad, Hasyiyatush Shawi „ala Tafsir al-Jalalain, Juz 1, Darul Fikri,
Beirut, 1993.
As-Sakaki, Abu Ya‟kub Yusuf, Miftahul Ulum, Darul Kutub Al-Ilmiah, Beirut,
1987.
As-Suyuthi, Jalaluddin Abdurrahman Asy-Syafi‟i, Al-Itqan fi Ulum al-Qur‟an,
Juz 2, Darul Fikri, Beirut, t.th.
_________, Al-Jami‟ Ash-Shaghir, Darul Fikri, Beirut, t.th.
_________, Mu‟tarakul „Aqran fi I‟jazil Qur‟an, Jilid I, Darul Kutub al-Ilmiyyah,
1988, h. 194.
103
Asy-Syahrawi, Muhammad al-Mutawalli Mu‟jizatul Qur‟an, diterjemahkan oleh
Muhammad Ali dan H. Abdullah dengan judul: Mukjizat Al-Qur‟an,
Bungkul Indah, Surabaya, 1995.
Asy-Syaukani, Muhammad bin Ali, Fathul Qadir, Jilid 1, Darul Fikr, Beirut,
1964.
Az-Zamakhsyari, Abul Qasim Mahmud bin Umar, Al-Kasysyaf, Jilid 1, Darul
Fikri, Beirut, tth.
Az-Zarkasyi, Muhammad bin Abdullah, Al-Burhan fi „Ulum al-Qur‟an, Juz 4,
Darul Kutub al-Ilmiyyah, Beirut, 1988.
Mathlub, Ahmad, Fununun Balaghiyyah, Darul Buhuts al-Ilmiyyah, Kuwait,
1975.
Mudhary, KH. Bahaudin, Dialog Masalah Ketuhanan Yesus, Pustaka Da‟i,
Sumenep, 1998.
Muhadjir, Noeng, Metodologi Penelitian Kualitatif, PT. Rake Sarasin,
Yogyakarta, 1996, Cet. III.
Muslim, Shahih Muslim, Juz 1, Toha Putera, Semarang, t.th.
_________, Shahih Muslim, diterjemahkan oleh KH. Adib Bisri Musthofa, CV.
Asy-Syifa‟, Semarang, Juz 1, 1992.
Nashif, Hifni Bik, et.al, Qawâi‟id al-Lughah al-Arabiyyah Litalâmîzi Madîrisi
ats-Tsânawiyyah, Wizârah al-Ma‟arif al-Ulumiyyah, Surabaya, t.th.
Nashif, Mansur Ali, At-Taj al-Jami‟u lil Ushul fi Ahadits ar-Rasul, Jilid 2, Darul
Fikri, Beirut, t.th.
_________, At-Taj al-Jami‟u lil Ushul fi Ahadits ar-Rasul, diterjemahkan oleh
Bahrun Abu Bakar dengan judul: Mahkota Pokok-Pokok Hadits
Rasulullah Saw, Sinar Baru Algesindo, Bandung, Jilid 1, 1993.
Radhiy, Syarif, Talkhish al-Bayan fi Majāzātil-Qur‟an, Alam al-Kutub, Beirut,
1986.
Shihab, Muhammad Quraisy, Wawasan Al-Qur‟an, Mizan, Bandung, 1998.
Soetarman, D., et.al., Kamus Praktis Bahasa Indonesia Yang Benar dan
Singkatan-Singkatan Kata indah, Surabaya, 1988.
Yunus, Mahmud, Kamus Arab-Indonesia, Yayasan Penyelenggaraan Penterjemahan/
Pentafsiran Al-Qur‟an, Jakarta, t.th.
104
Yuwono, Trisno, dan Pius Abdullah, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Praktis,
Arkola, Surabaya, 1994.