Upload
others
View
6
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
KATA PENGANTAR
PPI BRIEF adalah analisis PPI Dunia atas kondisi nasional dan internasional terkini. PPI Brief
diterbitkan oleh Pusat Kajian dan Gerakan PPI Dunia dan memuat kajian ringkas berisi analisis
dan tinjauan kritis dari anggota Perhimpunan Pelajar Indonesia dari berbagai belahan dunia. PPI
Brief diterbitkan sebagai kontribusi pemikiran PPI untuk memecahkan masalah-masalah
kebijakan baik di tingkat nasional dan internasional. PPI Dunia berupaya mengumpulkan analisa
akademis, studi komparatif, dan masukan ide-ide segar dari rumpun ilmu sosial humaniora,
ekonomi, lingkungan, sains dan teknologi, yang merupakan pelajaran (lesson learned) yang di
dapat di ruang kelas (hasil sintesa studi akademis dan produksi pengetahuan yang terjadi dalam
diri pribadi) maupun kajian kolektif yang menawarkan angin segar kemajuan berdasarkan data,
pengetahuan, dan temuan-temuan yang relevan.
PPI Dunia telah mengumpulkan dan menerima lima belas (15) manuskrip kajian kritis
kebijakan maupun kajian teknis yang bisa dijadikan pertimbangan dalam merumuskan,
menyesuaikan, dan memutuskan kebijakan-kebijakan pemerintah Indonesia di masa kini dan
yang akan datang. Setelah proses editorial, per September 2020 Pusat Kajian dan Gerakan PPI
Dunia 2019-2020 telah menerbitkan lima belas (15) hasil kajian dan sumbang pikiran
mahasiswa Indonesia yang sedang dan/atau baru saja menyelesaikan studinya di luar negeri
dalam kompilasi dan file terpisah Policy Brief PPI Dunia, di bawah payung besar Perhimpunan
Pelajar Indonesia se-Dunia (PPI Dunia).
Dalam bidang ekonomi, Komisi Ekonomi telah membuat dua kajian di tentang Tinjauan
Performa Ekonomi Indonesia Periode 2014-2019 yang menerangkan bahwa melihat bahwa
capaian Kabinet Kerja jilid 1 Presiden Joko Widodo (2014-2019) dalam bidang ini cukup
memuaskan. Namun, capaian tersebut belum tergolong optimal dalam menerjemahkan target
Nawa Cita yang dijanjikan.
Kajian ke-2 adalah Dampak Ketidakpastian Ekonomi Global Terhadap Perkonomian
Indonesia yang menjelaskan gambaran umum global uncertainty dan implikasinya terhadap
perekenomian Indonesia.
Selanjutnya, di bidang energi, Komisi Energi telah menghasilkan tiga kajian yakni pertama,
Peluang Besar Energi Surya Sebagai Masa Depan Indonesia sebagai upaya menggenjot
energi terbarukan guna mengejar target bauran energi nasional mengingat potensi energi surya
sangat besar di Indonesia. Kedua, Gas Bumi untuk Masa Depan Kelistrikan dan Kendaraan
Berbahan Bakar Gas yang menguraikan manfaat gas bumi yang lebih ramah lingkungan,
mengurangi penggunaan BBM, dan mampu mengurangi defisit neraca perdagangan. Ketiga,
Potensi Energi Baru Terbarukan di Provinsi Nusa Tenggara Barat yang memaparkan bahwa
wilayah Nusa Tenggara Barat memiliki keterbatasan akses dalam pengembangan infrastruktur
sumber daya energi primer. Untuk itu, pengembangan dan pemanfaatan sumber energi baru
terbarukan menjadi salah satu solusi dalam mengatasi masalah energi di wilayah Nusa Tenggara
Barat. Keempat, Life Electric Vehicle Batteries Implementation for Stationary Energy
Storage Application in Indonesia menyimpulkan bahwa “Electricity storage will play a key
role in facilitating the next stage of the global energy transition by enabling higher shares of
variable renewable electricity, by accelerating off-grid electrification and directly decarbonising
the transport sector”.
Selain itu, Komisi Hukum, Pertahanan, dan Keamanan telah menulis tentang Decoupling
Amerika Serikat, Tiongkok, dan Indonesia yang mengelaborasikan decoupling AS-Tiongkok
dapat memiliki pengaruh yang besar terhadap globalisasi dan berpotensi memecah dunia
Kembali ke berbagai sphere of influences yang didominasi oleh satu negara atau blok yang kuat.
Lebih lanjut, Komisi Kesehatan telah melakukan dua kajian, pertama, Tinjauan Sistem
Pembiayaan Kesehatan di Indonesia: Menilai Kesiapan Indonesia Menuju Cakupan
Kesehatan Semesta yang menjelaskan bahwa untuk mencapai kesehatan semesta, pemerintah
perlu melakukan optimalisasi terhadap anggaran kesehatan dan dana untuk Jaminan Kesehatan
Nasional (JKN) serta pencegahan perilaku adverse selection oleh peserta JKN dan fraud oleh
pelaku kesehatan. Kedua, Tinjauan Kesiapan Indonesia Dalam Memasuki Masa New
Normal Selama Pandemi COVID-19 di Indonesia: Aspek Tatalaksana Kesehatan
Masyarakat yang menyebutkan bahwa ada tiga hal yang harus dijamin selama Adaptasi
Kebiasaan Baru (AKB) dilakukan yakni optimalisasi perlindungan komunitas, optimalisasi
perlindungan tenaga medis dan fasilitas kesehatan, serta optimalisasi deteksi kasus.
Berikutnya, Komisi Pemuda telah menerbitkan kajian dengan judul Pendalaman dan Strategi
Pemanfaatan Bonus Demografi di Indonesia yang mengulas variabel krusial sebagai
pendorong (Input) dan penarik (Input after process) yang menentukan kualitas pemuda dan juga
lahan pemuda untuk berkarya dalam rangka menghasilkan nilai tambah dalam bentuk barang
maupun jasa. Sebagai faktor pendorong yaitu khusunya pendidikan. Sementara itu, Komisi
Maritim dan Kelautan mempublikasikan dua kajian, pertama, Tantangan dan Potensi Garam
Nasional yang menelaborasikan bahwa untuk mencapai swasembada garam nasional,
pemerintah perlu menggali potensi produksi garam nasional dengan melakukan intensifikasi
lahan, ekstensifikasi lahan, dan peningkatan kualitas garam rakyat. Kedua, Pengelolaan
Sumber Daya Ikan Berkelanjutan di Indonesia yang mendorong agar pemerintah
mempercepat pemulihan dalam sektor budidaya perikanan pasca pandemi dengan cara
mengurangi beban biaya produksi, keringanan kredit, dan memperlancar rantai pasok.
Seterusnya, Komisi Pangan mengangkat judul Membangun Ketahanan Pangan Indonesia di
tengah Pandemi COVID-19 yang menjelaskan bahwa pandemi COVID-19 merupakan
momentum revitalisasi pertanian secara holistik dengan menyiapkan langkah taktis yang
fundamental. Selanjutnya, Komisi Pendidikan telah menerbitkan kajian dengan judul
Pandangan Dan Rekomendasi Kebijakan Untuk Potret Ketidakmerataan Pelayanan
Terhadap Guru Di Daerah yang mendorong adanya pemerataan pelayanan guru di daerah.
Pemerintah diharapkan mempunyai program untuk meratakan atau redistribusi jumlah kepala
sekolah dan guru yang bisa menjangkau seluruh wilayah termasuk wilayah 3T. Terakhir, Komisi
Teknologi menulis tentang Peran Teknologi Dalam Sektor Pembangunan di Sektor
Pertanian Indonesia yang mengelaborasikan Reformasi Agraria dengan fundamental
framework yang jelas sebagai prasyarat agar ke depannya suatu intervensi teknologi di sector
pertanian dapat berfungsi optimal dan efektif.
Sebagai penutup kata pengantar ini, kami ucapkan terimakasih banyak kepada Koordinator PPI
Dunia Fadlan Muzakki (PPI Tiongkok), Sekretaris Umum PPI Dunia Ahmad Ghiyats Fawwaz
(HPMI Yordania), dan ketua komisi-komisi PPI Dunia yang telah melanjutkan mandat
Simposium Internasional 2019 di Johor Bahru, Malaysia. Terkhusus, Ketua Komisi Ekonomi
Muhammad Putra Hutama (PPI Hongaria), Ketua Komisi Energi Fransesco Redy Karo Karo
(PERMIRA Rusia), Ketua Komisi Pendidikan Kifah Gibraltar Bey Fananie (P3I Azerbaijan),
Ketua Komisi Kesehatan Silvester Henry Lerasina (PPI Tiongkok), Ketua Komisi Sosial
Budaya Khoirul Bakhri Basyarudin (PPI Aljazair),
Ketua Komisi Pangan Simatupang Yitzhak Karunia (PPI Jerman), Ketua Komisi Pemuda
Narendra Ning Ampledenta (PPI Jerman), Ketua Komisi Hukum, Pertahanan, dan Kemanan
Wasisto Raharjo Jati (PPI Australia), Ketua Komisi Maritim dan Kelautan Dhaneswara Al
Amien (PPI Swedia), Ketua Komisi Teknologi Heru Shokhibul Burhan (PPI Turki).
Tidak lupa kami apresiasi sebesar-besarnya kepada para editor dan desainer yang telah
membantu dalam penyusunan Policy Brief PPI Dunia diantaranya Alfin Rosyidha (PPI India),
Alfa Taufan Latif (PPI India), Shabrina Izzati Adliah (PERMIRA Rusia), Farra Addina
Islami (PPMI Mesir), Hilda Humaira (PPMI Mesir), Muhammad Kamal Ihsan (PPMI Mesir),
Agus Salim Suherman (PPMI Mesir) Ahmad Maulana Albarizi (PPI Lebanon), Bernadetta
Tiare Rachel Njo (PPI Taiwan), Salsabila Putri Dywantie (PPI India), Fatimah Mustafawi
Muhammadi (IPI Iran), Andi Mohammad Muthahhari (IPI Iran), Gading Ekapuja Aurizki
(PPI United Kingdom), Cindy Evania Charis (PPI Tiongkok), dan Desainer Muhammad
Ramadhani (PERMIRA Rusia).
Juga kami ucapkan terimakasih kepada Tim Pusat Kajian dan Gerakan PPI Dunia 2018/2019
yang telah memberikan kontribusi dalam merancang konsep kajian dan gerakan strategis untuk
PPI Dunia yaitu teruntuk Ahmad Rizky Mardhatillah Umar (PPI Australia), Bening Tirta
Muhammad (PPI Singapura), dan Rachmad Adi Riyanto (PPI Jepang)
Semoga kumpulan hasil kajian dan gagasan yang terbit dalam kompilasi Policy Brief PPI Dunia
ini tidak hanya sekadar menjadi arsip, melainkan menjadi pemantik kajian-kajian lebih
mendalam dan lebih bernas, serta menjadi upaya untuk menjadi partner bagi pemerintah dalam
berbagi gagasan, ide, terobosan, dan inovasi untuk mengakselerasi kemajuan bangsa Indonesia
ke depan.
Salam Inovatif-Progresif-Aspiratif
Malaysia, 30 Agustus 2020
Tertanda,
Ahmad Zacky Makarim (PPI Malaysia)
Chief Editor Policy Brief PPI Dunia 2019-2020
Muhammad Iksan Kiat (PERMIRA Rusia) & Ahmad Baihaqi Maskum (PPMI Mesir)
Co-Editor Policy Brief PPI Dunia 2019-2020
DAFTAR ISI
1. Tinjauan Performa Ekonomi Indonesia Periode 2014-2019
2. Dampak Ketidakpastian Global Terhadap Perekonomian Indonesia
3. Peluang Besar Energi Surya Sebagai Masa Depan Energi Indonesia
4. Gas Bumi Untuk Masa Depan Kelistrikan dan Kendaraan Berbahan Bakar Gas
(BBG)
5. Potensi Energi Baru Terbarukan di Provinsi Nusa Tenggara Barat
6. Life Electric Vehicle Batteries Implementation for Stationary Energy Storage
Application in Indonesia
7. Decoupling Amerika Serikat, Tiongkok, dan Indonesia.
8. Tinjauan Sistem Pembiayaan Kesehatan di Indonesia: Menilai Kesiapan
Indonesia Menuju Cakupan Kesehatan Semesta
9. Tinjauan Kesiapan Indonesia Dalam Memasuki Masa New Normal Selama
Pandemi COVID-19 di Indonesia: Aspek Tatalaksana Kesehatan Masyarakat
10. Pendalaman dan Strategi Pemanfaatan Bonus Demografi di Indonesia
11. Tantangan dan Potensi Garam Nasional
12. Pengelolaan Sumber Daya Ikan Berkelanjutan di Indonesia
13. Membangun Ketahanan Pangan di Indonesia
14. Pandangan Dan Rekomendasi Kebijakan Untuk Potret Ketidakmerataan
Pelayanan Terhadap Guru di Daerah
15. Peran Teknologi Dalam Pembangunan di Sektor Pertanian Indonesia
Tinjauan Performa Ekonomi
Indonesia Periode 2014-2019
Komisi Ekonomi PPI Dunia No. 1 / 2020
Penulis: Putra Hutama, Denny Irawan, Chairul
Adi, Achyar Al Rasyid, Perwira Yodanto
Editor: Denny Irawan
RINGKASAN EKSEKUTIF
Dalam seri kajian ini, kami menyajikan gambaran umum terhadap perekonomian Indonesia
pada periode 2014-2019. Secara umum, tentunya periode ini berkaitan dengan masa
pemerintahan Kabinet Kerja 2014-2019 di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo.
Meskipun demikian, kami tidak bisa mengesampingkan fakta bahwa performa perekonomian
Indonesia di periode ini juga ikut dipengaruhi oleh kinerja pemerintahan periode sebelumnya.
Kami mendasarkan penilaian kami dengan mengacu pada dua benchmark, yaitu perekonomian
negara- negara berkembang lainnya di kelompok BRICS dan MINT, dan dokumen-dokumen
resmi dari pemerintah. Kami meyakini bahwa posisi Indonesia yang semakin penting dalam
konstelasi perekonomian Internasional tidak akan terlepas dari kondisi negara-negara mitra dan
perekonomian AS dan Tiongkok yang tetap dominan. Eskalasi perang dagang juga
memberikan warna khusus dalam gejolak perekonomian global beberapa tahun terakhir yang
tentunya memiliki pengaruh penting bagi perekonomian Indonesia.
Kajian ini terdiri atas lima tulisan pendek yang berfokus pada lima topik. Tiga topik pertama
berorientasi pada performa makroekonomi, fiskal dan perdagangan. Dua kajian berikutnya
berfokus pada pembangunan regional melalui dana desa dan peningkat kesejahteraan. Secara
umum kami melihat bahwa perekonomian Indonesia merupakan salah satu dengan performa
terbaik di kelompok BRICS- MINT, khususnya dari aspek makroekononomi. Pun demikian,
pertanyaan besar yang masih menjadi tantangan adalah kualitas pertumbuhan yang sejauh ini
masih bertumpu pada konsumsi, dan memiliki kontribusi yang terbilang kurang optimal dalam
penciptaan lapangan kerja dan pengentasan kemiskinan.
Pada tulisan pertama, kami menyajikan gambaran umum performa makroekonomi Indonesia.
Secara umum, Indonesia tetap menjadi salah satu negara dengan performa makroekonomi
terbaik di kelompok BRICS-MINT. Namun, tentu terdapat beberapa catatan penting,
khususnya terkait kualitas pertumbuhan Indonesia yang sejauh ini masih bertumpu dengan
konsumsi.
Kedua, kami menyajikan gambaran kinerja fiskal pemerintah. Kami melihat bahwa kontribusi
pajak dalam pembiayaan APBN menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan dalam lima
tahun terakhir, meskipun belum diimbangi kemampuan yang baik dalam pencapaian target.
Ketiga, kami menyajikan gambaran kinerja perdagangan dan diplomasi ekonomi. Kami melihat
bahwa performa perdagangan Indonesia masih menghadapi tantangan berat untuk dapat
berkembang. Pengaruh perang dagang global merupakan salah satu faktor utama penyebabnya.
Di samping itu, peran diplomasi ekonomi yang sudah gencar dilakukan belum menunjukkan
hasil yang signifikan.
Keempat, kami menyajikan gambaran capaian pembanguna regional, khususnya terkait peran
strategis dana desa. Kami melihat indikasi dampak positif dana desa terhadap pembangunan
desa. Meskipun demikian, terdapat tantangan besar untuk peningkatan kapasitas perangkat
desa agar penyerapan dana desa bisa lebih efektif.
Kelima, kami menyajikan gambaran capaian pembangunan ekonomi yang dilihat dari tiga
indikator utama indeks pembangunan manusia, yaitu kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan.
Kami melihat bahwa capaian Kabinet Kerja jilid 1 Presiden Joko Widodo (2014-2019) dalam
bidang ini cukup memuaskan. Namun, capaian tersebut belum tergolong optimal dalam
menerjemahkan target Nawa Cita yang dijanjikan.
Performa Makroekonomi Indonesia di Periode 2014-2019
Denny Irawan
Stabilitas dan Pencapaian
Sepanjang periode 2014-2019, performa makroekonomi Indonesia dapat dikatakan stabil,
meskipun memiliki beberapa catatan. Dalam artikel ini dilakukan perbandingan performa
makroekonomi Indonesia dengan negara-negara berkembang lainnya dalam kelompok BRICS
dan MINT yang terdiri dari Brazil, Rusia, India, Cina, Afrika Selatan, Meksiko, Indonesia,
Nigeria dan Turki.
Secara kumulatif sepanjang periode 2014Q1-2019Q2, perekonomian Indonesia merupakan
salah satu negara yang bertumbuh paling tinggi di lingkungan BRICS-MINT (Gambar 1.a).
Perekonomian Indonesia bertumbuh sebesar total 29,48% sepanjang periode tersebut, dan
merupakan yang tertinggi ketiga setelah India (44,52%) dan Tiongkok (40,58%). Sementara
itu, beberapa negara lainnya cenderung bertumbuh lebih lambat, seperti Afrika Selatan, yang
secara kumulatif bertumbuh sebesar 5,21%, dan Rusia (1,56%). Bahkan, terdapat negara yang
mengalami penyusutan ukuran perekonomian, yaitu Brazil yang tumbuh negatif sebesar -4,79%
secara kumulatif.
Gambar 1. (a) Pertumbuhan PDB Kumulatif BRICS-MINT 2014-2019Q2 (%); dan
(b) Pergerakan Nilai Tukar Kumulatif BRICS-MINT 2014-2019Q3 (%)
Sumber: World Bank (2019) dan IMF (2019)
Disamping itu, performa makroekonomi Indonesia dapat dilihat juga dari nilai tukar Rupiah
yang secara kumulatif terdepresiasi sebesar 24% pada periode 2014-2019Q3 (Gambar 1.b.).
Performa ini menempatkan Rupiah di posisi ketiga di lingkungan BRICS-MINT. Meskipun
demikian, stabilitas ini diproyeksikan sulit untuk dipertahankan seiring menguatnya tensi
perang dagang dunia yang terus memberi tekanan terhadap mata uang negara-negara
berkembang, termasuk Rupiah. Performa nilai tukar Rupiah ini tentunya tidak terlepas dari
posisi akomodatif kebijakan moneter oleh Bank Indonesia, yang cukup efektif dalam menjaga
stabilisasi nilai tukar Rupiah. Di samping itu, keberhasilan yang dicapai sejauh ini juga
merupakan kontribusi atas disiplin fiskal yang terus terjaga di bawah batas aman 3% PDB.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia juga merupakan salah satu yang paling stabil sepanjang
periode 2014- 2019 (Gambar 2). Laju pertumbuhan tetap terjaga di kisaran 5%+, meskipun
terdapat tren penurunan. mendekati angka 5%. Tiongkok juga stabil dengan laju pertumbuhan
di atas 6%, dengan tren penurunan seiring gejolak perang dagang dalam beberapa tahun
terakhir. Sedangkan negara-negara lainnya memiliki fluktuasi laju pertumbuhan ekonomi yang
cukup tinggi. Bahkan, pertumbuhan ekonomi Turki tercatat negatif dalam periode 2018Q4-
2019Q2.
Gambar 2. Pertumbuhan PDB (YoY) Indonesia dan Negara-Negara Berkembang Lainnya, 2014-2019
Sumber: World Bank (2019)
Tingkat pengangguran terbuka terus mengalami penurunan, dimana publikasi terakhir BPS
pada bulan Agustus 2019 menunjukkan angka pengangguran berada di posisi 5,28%, atau turun
dari posisi Agustus 2018 sebesar 5,34%. Di satu sisi, hal ini merupakan indikasi bahwa
pertumbuhan ekonomi Indonesia yang cenderung stabil terus berkontribusi secara positif
terhadap penciptaan lapangan kerja. Akan tetapi, tren penurunan angka pengangguran yang
semakin mengecil dibandingkan stabilitas pertumbuhan PDB menunjukkan bahwa penciptaan
lapangan kerja dari pertumbuhan ekonomi Indonesia menurun.
Gambar 3. (a) Tingkat Pengangguran Terbuka Indonesia (%); dan (b) Tingkat Inflasi
YoY(%), Sumber: BPS, 2019
Selain itu, inflasi terus terjaga stabil berada di kisaran 3% selama periode 2015-2019, dimana
inflasi YoY Oktober 2019 tercatat sebesar 3,13%, berada pada level yang sama dengan posisi
Desember 2018. Laju inflasi ini diproyeksikan tetap terjaga, bahkan ada kecenderungan
melemah seiring perlambatan ekonomi global.
Beberapa Catatan
Meskipun perekonomian Indonesia cenderung stabil di tengah gejolak yang melanda berbagai
negara lain, terdapat beberapa hal yang tetap perlu diwaspadai. Pertama, performa ekonomi
Indonesia tampak terus melemah. Gambar 4 menjabarkan dinamika siklus bisnis perekonomian
Indonesia dibandingkan dinamika siklus bisnis total negara-negara G20. Siklus ini
menggambarkan deviasi pertumbuhan ekonomi dari tren masing-masing. Tampak bahwa
perekonomian G20 berada pada kondisi di bawah garis tren, atau dalam posisi negatif. Di sisi
lain, perekonomian Indonesia masih berada pada posisi positif, meskipun sudah hampir
menyentuh garis tren. Seiring dengan proyeksi perekonomian dunia yang akan terus mengalami
perlambatan, terdapat peluang besar bagi perekonomian Indonesia untuk masuk ke dalam
siklus bawah dalam beberapa triwulan ke depan.
Gambar 4. Siklus Bisnis Indonesia dan Total Negara G20, 2010-2019
Sumber: OECD (2019), Diolah
Tabel 1. Struktur PDB Indonesia Berdasarkan Penggunaan, 2010-2019Q2 (%)
Komponen 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019Q2
Konsumsi Rumah
Tangga 56.2 55.6 55.4 55.3 55.5 55.4 55.5 55.4 55.4 54.9
Konsumsi Pemerintah 9.0 9.0 8.8 8.9 8.6 8.6 8.2 8.0 7.9 7.7
PMTDB 31.0 31.8 32.7 32.5 32.4 32.4 32.2 32.6 33.0 31.8
Net Ekspor 1.9 2.0 0.4 1.0 0.7 1.6 1.6 1.8 0.8 1.8
Perubahan Inventori 1.9 1.6 2.3 1.5 1.9 1.3 1.4 1.3 1.9 2.2
Diskrepansi Statistik - 0.0 0.4 0.7 0.9 0.7 1.1 0.9 0.9 1.6
Total 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
Sumber: BPS (2019)
Kedua, persoalan lain yang tetap menjadi perhatian adalah struktur perekonomian Indonesia
yang tetap bertumpu pada konsumsi rumah tangga, yang berkontribusi sekitar 55% terhadap
PDB. Struktur tersebut terus bertahan setidaknya dalam satu dekade terakhir. Pada saat
terjadinya krisis global pada tahun 2008, posisi dominan konsumsi disinyalir merupakan faktor
utama yang menjaga perekonomian. Indonesia tetap dapat bertumbuh secara positif. Akan
tetapi, perlu diperhatikan juga kualitas pertumbuhan dengan struktur ekonomi yang demikian.
Hal ini terkait dengan kapasitas produksi perekonomian Indonesia. Sebab, sektor produksi yang
ditandai dengan ekspor dan investasi merupakan kunci dari pertumbuhan berkualias yang
berkontribusi positif terhadap penciptaan lapangan kerja dan pengentasan kemiskinan. Di
samping itu, peran konsumsi pemerintah semakin menyusut, sementara porsi investasi
(PMTDB) cenderung stagnan.
Ketiga, penting juga untuk diperhatikan yaitu korekasi antara pertumbuhan ekonomi terhadap
penciptaan lapangan kerja. Gambar 5 menjabarkan perbandingan pertumbuhan ekononomi
dengan laju penurunan tingkat pengangguran. Tampak bahwa elastisitas pertumbuhan terhadap
penurunan angka penangguran berada di kisaran -0,1 hingga -0,3 dalam tiga tahun terakhir.
Rendahnya angka elastisitas tersebut disinyalir disebabkan oleh pertumbuhan yang masih
didominasi konsumsi. Tentu ini yang harus menjadi fokus ke depannya, mengingat
pertumbuhan angkatan kerja Indonesia yang masih positif.
Gambar 5. Laju Pertumbuhan PDB dan Penurunan Tingkat Pengangguran
Sumber: BPS, 2019
Diskusi dan Rekomendasi
Dari sisi makroekonomi, perekonomian Indonesia merupakan salah satu perekonomian dengan
performa yang terbaik dibandingkan dengan negara-negara berkembang dalam lingkungan
BRICS- MINT. Hal ini dapat dilihat dari stabilitas pertumbuhan dan stabilitas nilai tukar.
Secara domestik, performa makroekonomi Indonesia juga tampak dari inflasi yang terjaga di
kisaran 3% sepanjang 2015- 2019. Selain itu, stabilitas juga ditunjukkan dari tingkat
pengangguran terbuka yang terus menurun.
Namun, terdapat indikasi yang jelas tentang perlambatan laju perekonomian, sebagaimana
terlihat dalam pertumbuhan YoY. Risiko ketidakpastian dan perlambatan perekonomian global
juga menjadi salah satu faktor penting yang perlu diantisipasi. Di sisi lain, elastisitas
pertumbuhan terhadap penurunan angka pengangguran juga tampak mengalami penurunan.
7,00 0,06 5,94
6,18
6,00 0,05 5,61 5,5 5,34
5,28
5,00
5,06 5,15 5,17 5,04
4,00 4,94 4,88
-0,02 -0,01
3,00 -0,03
2,00 -0,06
1,00
0,04
0,02
0,00
-0,02
-0,04
-0,06
-0,08
-0,10 2014 2015
-0,12
2016 2017 2018 2019Q2
Pertumbuhan Pengangguran Elastisitas - Kanan
Oleh sebab itu, terdapat beberapa hal yang dapat menjadi perhatian kedepannya. Pertama,
Indonesia perlu terus mempromosikan investasi dan mengupayakannya menjadi motor baru
pendorong pertumbuhan. Peran pemerintah tentunya penting dalam menarik arus investasi baik
asing maupun domestik untuk tetap menggiatkan perekonomian nasional. Kedua, kebijakan
moneter yang akomodatif perlu terus dipertahankan. Stabilitas nilai tukar yang bisa dicapai
sejauh ini tidak terlepas dari keberhasilan Bank Indonesia dalam menjaga nilai tukar berada
pada kisaran yang diharapkan. Ketiga, disiplin fiskal perlu tetap dijaga, meskipun ruang gerak
untuk ekspansi masih tetap ada. Seiring dengan perlambatan yang diprediksi masih akan terus
terjadi, pemerintah dinilai perlu meningkatkan belanja untuk menjaga stabilitas kinerja
perekonomian.
DAFTAR PUSTAKA
1. Badan Pusat Statistik.2019. www.bps.go.id
2. The International Monetary Fund (IMF) International Financial Statistics. 2019.
www.data.imf.org
3. Organization of Economic Cooperation and Development. 2019. www.data.oecd.org
4. The World Bank Global Economic Monitor. 2019. www.data.worldbank.org
Performa Fiskal Indonesia di Periode 2014 – 2019
Chairul Adi
1. Kinerja Penerimaan
Kontribusi pajak dalam pembiayaan APBN menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan
dalam lima tahun terakhir dan pada tahun 2019, pajak diharapkan dapat berkontribusi sekitar
82,5% dari total pendapatan negara, angka yang tertinggi sepanjang sejarah. Namun,
meningkatnya peran perpajakan dalam APBN belum diimbangi kemampuan dalam pencapaian
target. Hal ini terlihat dari kinerja penerimaan perpajakan selama periode pertama
pemerintahan Presiden Joko Widodo yang kurang memuaskan. Realisasi penerimaan dari
sektor perpajakan melenceng cukup jauh dari target yang ditetapkan dalam APBN, bahkan
merupakan capaian terendah dalam dua dekade terakhir. Demikian halnya di akhir periode
pertama pemerintahan Presiden Joko Widodo. Sampai dengan bulan Oktober 2019, penerimaan
pajak baru mencapai sekitar Rp1.018 triliun, hanya tumbuh sebesar 0,23% dibanding periode
yang sama tahun lalu. Jumlah ini setara dengan 64,56% dari target APBN 2019 dan lebih rendah
dari capaian periode yang sama tahun lalu yang mencapai 71.39%. Dengan hanya dua bulan
tersisa, realisasi target penerimaan pajak diperkirakan sulit melampaui capaian tahun lalu.
Rendahnya kolektibilitas pajak tercermin dari rendahnya tax ratio Indonesia, yakni
perbandingan penerimaan perpajakan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Data OECD
menunjukkan bahwa tax ratio Indonesia dalam beberapa terakhir menunjukkan tren penurunan.
Pada tahun 2017, tax ratio Indonesia hanya sebesar 11,53%, merupakan yang terendah di antara
negara-negara di Asia Pasifik, bahkan lebih rendah dari rata-rata negara Amerika Latin dan
Afrika. Masih belum optimalnya kinerja di sektor perpajakan dipengaruhi beberapa faktor.
Faktor ketidakpastian ekonomi global dan perang dagang diyakini ikut berkontribusi pada
perlambatan ekonomi domestik yang kemudian berdampak pada lambannya pertumbuhan
penerimaan perpajakan dan tax ratio yang terus turun dalam beberapa tahun terakhir. Dominasi
lapangan kerja di sektor informal5 (sekitar 57%) juga turut berdampak pada sulitnya
menggenjot penerimaan pajak. Pemetaan potensi dan pengenaan basis pajak yang relatif lebih
sulit di sektor informal serta relatif banyaknya insentif pajak (atau pembebasan pengenaan
pajak) yang diberikan di sektor tersebut, misal pertanian dan perikanan, menjadi salah satu
tantangan tersendiri bagi pemerintah.
Faktor lain yang tidak kalah penting adalah tingkat kepatuhan wajib pajak. Reformasi di bidang
administrasi perpajakan, antara lain melalui simplifikasi pendaftaran NPWP serta penyampaian
laporan SPT secara elektronik merupakan salah satu capaian positif di sektor perpajakan.
Kebijakan tersebut berhasil meningkatkan jumlah penduduk yang memiliki NPWP dan
kepatuhan dalam menyampaikan SPT. Namun, tingginya tingkat kepatuhan penyampaian SPT
tidak serta merta dapat dijadikan indikasi bahwa informasi perpajakan di dalamnya telah
disampaikan secara akurat. Hal ini diperkuat hasil survei OECD yang menunjukkan bahwa
penghindaran pajak merupakan salah satu masalah yang cukup krusial di Indonesia (Lewis
2019). Menggali potensi pengenaan objek pajak baru tentu merupakan hal yang sangat penting
untuk terus dilakukan, misal pajak terhadap e-commerce, content providers, dan sebagainya.
Akan tetapi, perluasan basis objek pajak baru di tengah tekanan pelambatan ekonomi global
dikhawatirkan menjadi disinsentif bagi pelaku usaha yang pada gilirannya justru menjadi
kontraproduktif bagi penerimaan perpajakan secara keseluruhan. Untuk itu, meningkatkan
kepatuhan dan penegakan hukum atas kewajiban pembayaran pajak yang sudah jelas diatur
perlu mendapat porsi yang lebih besar. Penguatan basis data perpajakan, pemanfaatan teknologi
dan kapasitas SDM, serta sinergitas antar institusi, baik di dalam maupun di luar negeri, jauh
lebih penting daripada sekedar menitikberatkan pada penambahan jumlah pegawai pajak.
Program pengampunan pajak (tax amnesty). yang diklaim merupakan salah satu yang tersukses
di dunia semestinya menjadi momentum yang sangat tepat untuk mendorong kepatuhan dan
penegakan hukum bagi wajib pajak.
Tabel 2. Kinerja Sektor Perpajakan
Tahun
Kontribusi Pajak
terhadap APBN6
Realisasi Penerimaan
Pajak7
Pertumbuhan Target
Penerimaan Pajak8
Tax Ratio9
2000 56,45% 104,37% - 7,87%
2001 61,63% 100,44% 66,33% 10,90%
2002 70,37% 97,85% 16,23% 11,27%
2003 70,90% 97,42% 15,72% 11,81%
2004 69,55% 100,85% 11,97% 12,10%
2005 70,08% 98,60% 26,51% 12,36%
2006 64,14% 96,27% 20,76% 11,92%
2007 69,37% 99,79% 15,75% 12,17%
2008 67,10% 108,12% 23,82% 12,99%
2009 73,04% 95,09% 7,01% 11,06%
2010 72,67% 97,31% 14,01% 11,36%
2011 72,19% 99,45% 18,21% 12,17%
2012 73,28% 96,49% 15,65% 12,48%
2013 74,87% 93,81% 13,00% 12,50%
2014 73,97% 92,04% 8,51% 12,16%
2015 82,25% 83,29% 19,51% 12,11%
2016 82,59% 83,48% 3,35% 12,00%
2017 80,63% 91,23% -4,32% 11,53%
2018 78,14% 93,86% 9,87% -
2019 82,51% 64,56%10 10,4% -
Sumber: Kemenkeu, OECD
Gambar 6. Perbandingan Tax Ratio di Beberapa Negara Tahun 2017
Sumber: OECD
Penerimaan cukai secara nominal menunjukkan tren kenaikan dari tahun ke tahun. Namun
pertumbuhannya dalam lima tahun terakhir tercatat hanya sekitar 35%, cukup jauh
dibandingkan pertumbuhan pada lima tahun sebelumnya yang mencapai lebih dari 100%.
Kenaikan cukai hasil tembakau yang cukup signifikan pada tahun 2020 serta rencana
pengenaan cukai terhadap penggunaan plastik merupakan salah satu langkah tepat untuk
meningkatkan potensi penerimaan negara sekaligus menekan konsumsi kedua barang tersebut.
Namun yang tidak kalah pentingnya adalah meningkatkan pengawasan untuk mengurangi
jumlah rokok ilegal yang beredar di masyarakat.
Sementara itu, meski kontribusinya terhadap APBN relatif menurun seiring naiknya porsi
penerimaan dari sektor perpajakan, kinerja penerimaan negara yang bersumber dari PNBP pada
2014 – 2018 relatif lebih baik dari periode-periode sebelumnya. Pada tahun 2018, realisasi
PNBP mencapai lebih dari 148% dari target yang ditetapkan di APBN, tertinggi dalam dua
dekade terakhir.
2. Kinerja Pengeluaran
Belanja negara terus mengalami pertumbuhan dari tahun ke tahun. Pada periode pertama
pemerintahan Presiden Joko Widodo, jumlah realisasi belanja negara berhasil mencapai lebih
dari Rp2.000 triliun dalam satu tahun APBN. Artinya, hanya dalam waktu delapan tahun,
APBN telah naik lebih dari dua kali lipat. Namun jika dilihat dari pertumbuhan tahunan,
kenaikan APBN relatif lebih lambat dibanding periode pemerintahan sebelumnya. Selama 10
tahun pemerintahan Presiden SBY, APBN tumbuh rata- rata sebesar 16,35% per tahun
sementara selama periode pertama pemerintahan Presiden Joko Widodo, APBN rata-rata naik
sebesar 5,61%. Dari sisi penyerapan anggaran, kinerja kementerian dan lembaga juga relatif
lebih rendah dibanding periode-periode sebelumnya, bahkan pada tahun 2016 tingkat
penyerapan anggaran kurang dari 90%, terendah dalam dua dekade terakhir.
Beberapa hal positif perlu digarisbawahi terkait alokasi belanja negara. Kebijakan pemotongan
subsidi BBM merupakan salah satu lompatan besar pemerintah dalam lima tahun terakhir. Pada
tahun 2015, anggaran belanja subsidi turun sekitar 50% tahun sebelumnya dan terus turun
dalam beberapa tahun terakhir. Namun, realisasi belanja subsidi tahun 2018 kembali
mengalami kenaikan seiring naiknya harga minyak dan pelemahan Rupiah.
Turunnya belanja subsidi dalam beberapa tahun terakhir memberikan ruang fiskal yang lebih
lebar bagi pemerintah untuk mengalokasikannya pada sektor lain, terutama infrastruktur.
Anggaran belanja infrastruktur tercatat mengalami kenaikan yang cukup signifikan, yaitu
hampir 170% dalam lima tahun terakhir. Lebih dari 200 proyek strategis nasional, termasuk di
dalamnya 37 proyek infrastruktur prioritas, ditargetkan untuk dilaksanakan sepanjang tahun
2015 – 2019. Meskipun masih banyak kendala pada tataran implementasi, antara lain terkait
pembebasan lahan, proses tender, dan overutilisation BUMN, capaian pembangunan di sektor
infrastruktur perlu diapresiasi. Data dari World Bank, misalnya, menunjukkan bahwa Logistic
Performance Index (LPI) Indonesia naik dari 3,08 pada tahun 2014 menjadi 3,15 pada tahun
2018. Dari sisi peringkat juga terjadi kenaikan dari 53 menjadi 46. Pengembangan skema
dukungan pemerintah, antara lain melalui skema Viability Gap Fund dan Availability Payment,
diyakini dapat mendorong kontribusi KPBU (Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha) dalam
mendukung pembiayaan infrastruktur.
Alokasi belanja di sektor pendidikan meningkat dalam lima tahun terakhir, namun secara
proporsi relatif stagnan di kisaran 20%. Sebaliknya, porsi anggaran di bidang kesehatan
menunjukkan tren peningkatan dalam lima tahun terakhir. Satu hal yang perlu dicermati, dalam
lima tahun terakhir terjadi peningkatan porsi belanja pegawai dibanding periode pemerintahan
sebelumnya. Padahal pada saat yang bersamaan Pemerintah tidak menaikkan gaji ASN dan juga
adanya moratorium penerimaan CPNS sejak tahun 2015. Kenaikan tersebut mungkin
disebabkan proses remunerasi sebagai bagian dari proses reformasi birokrasi yang masih terus
berjalan di beberapa kementerian/lembaga. Dengan kembali dibukanya pendaftaran CPNS
sejak beberapa tahun terakhir, pemerintah perlu mewaspadai pembengkakan porsi belanja
pegawai yang dapat berdampak pada menyempitnya ruang gerak fiskal.
Tabel 3. Alokasi Belanja Negara (Rp Triliun)
Tahun Pendidikan Kesehatan Infrastruktur Pegawai Barang/Jasa Modal Total Belanja
2010 216,7 29,9 148,1 97,6 80,3 1.042,1
2011 258,3 36,1 114,2 175,7 124,6 117,9 1.295,0
2012 297,4 40,6 145,5 197,9 140,9 145,1 1.491,4
2013 332,2 46,3 168,5 221,7 169,7 180,9 1.650,6
2014 353,4 59,6 154,1 243,7 176,6 147,3 1.767,3
2015 390,3 69,3 256,1 281,1 233,3 215,4 1.796,6
2016 370,8 92,8 269,1 305,1 259,6 169,5 1.864,3
2017 406,1 92,2 379,7 312,7 291,5 208,7 2.004,1
2018 431,7 109,0 394,0 346,9 347,5 184,1 2.213,1
2019 492,5 123,1 415,0 381,6 345,2 189,3 2.461,1
3. Kinerja Pembiayaan
Utang menjadi isu yang cukup panas dalam beberapa tahun terakhir. Sebagian masyarakat
mengkritik jumlah utang pemerintah yang naik signifikan dalam lima tahun terakhir. Kritik
tersebut cukup beralasan mengingat data lima tahun terakhir menunjukkan bahwa utang
pemerintah naik sekitar 71,69%, yaitu dari sebesar Rp2.609 triliun pada akhir tahun 2014
menjadi sebesar Rp4.479 triliun pada akhir tahun 2018. Dalam empat tahun terakhir,
outstanding utang pemerintah tumbuh rata-rata sekitar 15% per tahun, atau hampir dua kali
lipat pertumbuhan utang tahunan selama 10 tahun pemerintah Presiden SBY. Di sisi lain,
nominal defisit APBN hanya tumbuh sebesar 6% per tahun. Dengan kata lain, pertumbuhan
utang lebih tinggi dari pertumbuhan nominal defisit APBN. Hal ini dikarenakan adanya pos
penyertaan modal, khususnya BUMN infrastruktur, yang tidak masuk dalam komponen
penghitungan defisit APBN. Rasio utang terhadap PDB juga menunjukkan kenaikan, yaitu dari
24,7% pada akhir 2014 menjadi 29,9% pada akhir 2018. Angka tersebut masih jauh lebih
rendah dari batas maksimum yang disyaratkan dalam undang-undang, yaitu sebesar 60% dari
PDB.
Meski level utang pemerintah masih dalam batas aman, pemerintah perlu waspada dan berhati-
hati dalam kebijakan pengelolaan utang. Yang pertama, pemerintah perlu memastikan bahwa
alokasi belanja negara efektif dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Tanpa didukung
alokasi anggaran ke sektor-sektor yang produktif, pertumbuhan utang pemerintah tidak akan
sustainable. Selain itu, porsi utang (berupa Surat Berharga Negara/SBN) dalam denominasi
mata uang asing menunjukkan peningkatan dalam lima tahun terakhir. Hal ini tentu saja
berdampak pada meningkatnya eksposur utang pemerintah terhadap risiko pergerakan nilai
tukar, terlebih dalam beberapa tahun ke depan ekonomi global diperkirakan masih belum stabil.
Kebijakan penerbitan SBN dalam denominasi mata uang asing perlu lebih selektif dan
disesuaikan dengan kebutuhan pembiayaan pemerintah. Hal lain yang perlu diwaspadai adalah
porsi kepemilikan asing yang relatif cukup tinggi. Di satu sisi hal ini menunjukkan kepercayaan
investor global terhadap Indonesia, namun di sisi lain juga meningkatkan eksposur risiko
pembalikan modal secara tiba-tiba (sudden reversal). Untuk itu, meningkatnya penerbitan
utang perlu diimbangi upaya pendalaman pasar dan perluasan basis investor domestik yang
lebih optimal. Namun, upaya ini tidak akan efektif tanpa diimbangi peningkatan kapasitas dan
likuiditas pasar keuangan domestik. Selain itu, koordinasi antar otoritas sangat penting untuk
mencegah terjadinya kanibalisme atau ‘perebutan’ likuiditas antara pemerintah, bank, dan
pelaku pasar lainnya.
Sumber: Statistik Sistem Keuangan Indonesia, Bank Indonesia
Sumber: Statistik Sistem Keuangan Indonesia, Bank Indonesia
Tabel 4. Persentase Kepemilikan Asing di Obligasi Pemerintah
2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019
Indonesia 18,56 30,53 30,8 32,98 32,54 38,13 38,21 37,55 39,82 37,71 38,64
Japan 5,97 6,45 8,5 8,56 8,45 9,07 10,43 10,63 11,23 N/A N/A
Korea 7,64 11,05 12,9 10,91 10,72 10,81 10,05 10,47 11,21 11,8 N/A
Malaysia 13,48 21,63 26,6 30,1 29,4 29,02 31,7 32,16 29,23 23,99 22,99
Thailand 3,23 7,22 11,51 16,37 17,42 18,3 14,23 14,1 15,57 18,48 17,21
DAFTAR PUSTAKA
1. Asian Bonds Online, 2019, https://asianbondsonline.adb.org/data-portal/ Badan
Pusat Statistik 2019, Tenaga Kerja, https://www.bps.go.id/subject/6/tenaga-
kerja.html#subjekViewTab3
2. Bank Indonesia, 2019, Statistik Sistem Keuangan Indonesia
3. Kemenkeu 2019, ‘APBN KiTa: Kinerja dan Fakta’, Edisi November 2019,
https://www.kemenkeu.go.id/apbnkita
4. Kemenkeu 2018, ‘APBN KiTa: Kinerja dan Fakta’, Edisi November 2018,
https://www.kemenkeu.go.id/apbnkita
5. Kemenkeu, 2019, Portal Data APBN, http://www.data-apbn.kemenkeu.go.id/
6. Lewis, C 2019, Raising more public revenue in Indonesia in a growth-and equity-
friendly way, OECD Economics Department Working Paper Series No. 1534.
7. OECD, 2019, ‘Revenue Statistics in Asian and Pacific Economies 2019 -
Indonesia’, https://www.oecd.org/tax/tax-policy/revenue-statistics-asia-and-pacific-
indonesia.pdf
Performa Perdagangan Internasional dan Diplomasi Indonesia di
Periode 2014-2019
M. Putra Hutama
Pada bagian ini disajikan ulasan mengenai performa perdagangan internasional dan diplomasi
ekonomi Indonesia di periode 2014-2019. Kami mengevaluasi neraca perdagangan Indonesia
dengan melihat selisih ekspor dan impor serta mengidentifikasi faktor-faktor apa saja yang
menyebabkan Indonesia mengalami surplus/defisit perdagangan. Tulisan ini juga akan
menyajikan data 10 besar komoditas (HS6) utama ekspor Indonesia dalam 5 tahun terakhir.
Lebih lanjut, kami akan menjabarkan beberapa kebijakan pemerintah dalam meningkatkan
jumlah ekspor melalui diplomasi perjanjian dagang bilateral maupun multilateral. Saat ini,
Indoensia sudah memiliki beberapa perjanjian perdagangan bebas multilateral, yaitu AFTA
(Asean Free Trade Agreement) dan 3 perjanjian bilateral dengan Jepang, Chile dan Pakistan.
Diakhir bagian, kami akan menjabarkan potensi dan tantangan perdangan international dan
diplomasi yang dapat dilakukan oleh pemerintah Indonesia 5 tahun ke depan.
Secara teori, perdagangan internasional dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan
meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi (Kerr & Gaisford, 2007). Hal tersebut
terjadi dikarenakan setiap negara yang terlibat dalam perdagangan international secara otomatis
dapat mencipatakan spesialisasi produk atau jasa sehingga harga produksi lebih efisien. Harga
produksi yang lebih efisien dapat menurunkan harga penjualan yang membuat konsumen atau
masyarakat bisa menikmati lebih banyak produk atau jasa. Perdangangan internasional juga
dapat menstimulus foreign direct investment atau investasi luar negeri, hal tersebut dapat
mendorong inovasi, serta transfer pengetahuan dan teknologi. Meskipun demikian, tentunya
setiap negara tetap perlu melakukan kalkulasi untuk mengukur biaya dan manfaat dari membuka
pasar impor serta mencari sebanyak banyaknya negara untuk pasar ekspor. Perjanjian dagang
baik preferrential maupun free trade agreement (FTA) menjadi salah satu strategi bagi setiap
negara untuk meningkatkan arus ekspor dan impor baik bilateral maupun multilateral.
Performa Perdagangan Internasional Indonesia 2014-2018
Dalam 5 tahun terakhir, Indonesia mencatatkan nilai ekspor yang fluktuatif. Pada periode 2014-
2016, nilai ekspor Indonesia mengalami penurunan hingga 17,9 %. Akan tetapi, sejak tahun
2016 sampai tahun 2018, ekspor indonesia mengalami kenaikan yang cukup signifikan sebesar
24,7%. Naik turunnya nilai ekspor Indonesia sejalan dengan naik turunnya nilai ekspor global.
Hal serupa juga menjelaskan terjadinya penurunan impor Indonesia sebesar 23,9% dari 2014
hingga 2016 dan mengalami kenaikan kembali sebesar 39,1% dari 2016 hingga 2018.
Penurunan ekspor dan impor Indonesia sejalan dengan penurunan jumlah volume perdagangan
global 2014-2017. Hal ini terindikasi karena pada tahun tersebut expor dan impor global “lesu”
dikarenakan komitmen inggris untuk keluar dari European Union (Brexit) dan mulainya perang
dagang antara China dan USA.
Performa neraca perdagangan Indonesia pada awal periode Presiden Jokowi memiliki tren yang
meningkat. Pada tahun 2014 Indonesia mencatatkan defisit perdagangan sebesar 2,1 miliar
USD. Selanjutnya Indonesia mengalami kenaikan hingga mencapai puncaknya pada tahun
2017, dimana neraca perdagangan surplus sebesar 11,9 miliar USD. Akan tetapi pada tahun
2018, Indonesia kembali mencatatkan performa negatif. Neraca perdagangan kembali defisit
sebesar -8,5 miliar USD atau lebih buruk 6,4 miliar USD dari tahun 2014.
Gambar 7. Neraca Perdagangan Indonesia 2014-2018
Sumber: Trademap
Pada Tabel 3 dapat kita lihat pembagian komoditas ekspor dan impor Indonesia yang terbagi
ke dalam produk migas dan produk non migas. Cukup menarik bahwasannya terjadi penurunan
yang cukup drastis sebesar 43,4% pada impor produk migas 2014-2017. Hal tersebut sejalan
dengan penghapusan kebijakan BBM bersubsidi oleh pemerintah. Jika hanya mengacu
terhadap produk non-migas, sejak tahun 2014 hingga 2017 Indonesia mencatat surplus
perdagangan mengalami peningkatan sebesar 81,4%. Akan tetapi pada tahun 2018, neraca
Juta
USD
200
180
160
140
120
100
80
60
15,0
10,0
5,0
-
2014 2015 2016 2017 2018
Nilai Ekspor Nilai Impor Neraca Perdagangan - kiri
produk non migas Indonesia mengalami penurunan yang signifikan sebesar 80% akibat
terjadinya peningkatan nilai impor. Faktor yang disinyalir menyebabkan naiknya nilai impor
yaitu pelemahan nilai tukar rupiah pada tahun 2017-2018 yang mengakibatkan nilai impor
Indonesia melonjak atau yang lebih dikenal dengan istilah J-curve effect.
Tabel 3. Neraca Perdagangan Migas dan Non-Migas (Juta USD) URAIAN 2014 2015 2016 2017 2018
EKSPOR 175.980,00 150.366,30 145.186,20 168.828,20 180.012,70
- MIGAS 30.018,80 18.574,40 13.105,50 15.744,30 17.171,70
- NON MIGAS 145.961,20 131.791,90 132.080,80 153.083,90 162.840,90
IMPOR 178.178,80 142.694,80 135.652,90 156.985,60 188.711,20
- MIGAS 43.459,90 24.613,20 18.739,30 24.316,00 29.868,40
- NON MIGAS 134.718,90 118.081,60 116.913,60 132.669,50 158.842,80
NERACA -2.198,80 7.671,50 9.533,30 11.842,60 -8.698,60
- MIGAS -13.441,10 -6.038,80 -5.633,90 -8.571,70 -12.696,70
- NON MIGAS 11.242,30 13.710,30 15.167,20 20.414,30 3.998,10
Sumber: BPS, diolah Pusat Data dan Sistem Informasi, Kementerian Perdagangan
Faktor lain yang menyebabkan Indonesia mengalami kenaikan impor khususnya pada tahun
2017 dan 2018 adalah kenaikan impor migas. Hal tersebut adalah dampak dari pemerintah
memutuskan untuk tidak menaikan harga BBM jenis premium. Pada tahun 2018 Pemerintah
tidak menaikan harga BBM jenis premium dikarenakan daya beli masyarakat yang sedang lesu
(CNN, 2018). Melebarnya defisit dari produk migas dan penurunan surplus dari produk non
migas menyebabkan pada tahun 2018 Indonesia mengalami defisit neraca dagang.
Komoditas Utama Indonesia
Berikut kami menyajikan 10 komoditas (HS6) utama Indonesia beserta nilai ekspor 5 tahun
terakhir. Dapat dilihat pada tabel dibawah, dari 10 produk ekspor Indonesia terdapat 7 produk
yang mengalami penurunan nilai ekspor pada tahun 2018 sedangkan hanya 3 produk yang
mengalami kenaikan yaitu batu bara, biji tembaga, dan batu bara muda. Seiring dengan
peningkatan nilai ekspor Indonesia di periode 2014-2018, dapat dikatakan Indonesia memiliki
beberapa produk lainnya yang secara nilai ekspornya meningkat tidak terpaut dengan
komoditas utama saja.
Sepuluh besar negara tujuan ekspor adalah Jepang, Tiongkok, Amerika Serikat, India,
Singapura, Korea Selatan, Malaysia, Filipina dan Thailand. Pada kondisi saat ini dimana
Indonesia mengalami depresiasi atau penurunan nilai tukar, seharusnya Indonesia dapat
meningkatkan jumlah nilai ekspor Indonesia karena barang-barang Indonesia menjadi lebih
kompetitif secara harga khususnya untuk komoditas unggulan Indonesia.
Tabel 4. Ekspor Komoditas Unggulan Indonesia (Ribu USD)
HS 6
Code HS 6 Digit 2014 2015 2016 2017 2018
151190 Coal 9.289.576 7.499.532 6.532.251 10.481.88
5
14.074.12
6
151190 Palm oil and its fractions 13.258.16
3
10.997.18
1
11.059.84
7
13.814.89
6
12.951.02
3
271111 Natural gas, liquefied 11.704.46
4 7.356.930 5.146.437 6.185.173 6.959.160
270112 Bituminous coal 9.404.300 7.217.732 6.365.838 7.380.177 6.536.145
270900 Petroleum oils, crude 9.271.214 6.479.432 5.196.717 5.237.639 5.120.474
260300 Copper ores 1.683.588 3.277.158 3.481.557 3.439.604 4.186.742
400122 Natural rubber “TSNR” 4.595.062 3.564.085 3.242.193 4.959.556 3.836.614
271121 Natural gas, gaseous state 5.471.346 2.971.637 1.845.915 2.599.883 3.632.906
151110 Crude palm oil 4.206.741 4.388.094 3.305.575 4.698.225 3.576.825
270210 Lignite 2.121.529 1.281.696 1.613.044 2.594.188 3.329.336
Sumber: Trademap
Diplomasi Ekonomi Melalui Perjanjian Dagang
Diplomasi ekonomi menjadi salah satu prioritas dalam politik luar negeri Indonesia dalam lima
tahun terakhir dibawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo untuk meningkatkan volume
ekspor Indonesia ( Kementerian Luar Negeri Indonesia, 2015). Menurut data yang didapat dari
Kementerian Perdagangan, sejauh ini Indonesia memiliki 1 multilateral FTA dengan Negara
ASEAN (AFTA) (1993), serta AFTA dengan beberapa negara seperti Australia, Selandia Baru,
India, Jepang, Tiongkok dan Korea Selatan serta 3 perjanjian bilateral dengan Jepang, Pakistan
dan Chile. Jika dibandingkan dengan negara tetangga seperti Malaysia, Vietnam dan Thailand
berdasarkan jumlah perjanjian bilateral, Indonesia mengalami ketinggalan dengan Thailand
dan Malaysia yang telah memiliki 7 perjanjian bilateral dan memiliki jumlah perjanjian yang
sama dengan Vietnam (Mandiri Group Research, 2019).
Selama 5 tahun terakhir, Indonesia hanya menyepakati 1 perjanjian bilateral yaitu dengan
Chile. Hal tersebut bukan berarti bahwa Pemerintah telah gagal dalam berdiplomasi ekonomi.
Saat ini Indonesia mempunyai 16 perjanjian yang sedang dinegosiasikan dan 2 perjanjian yang
sudah ditandatangani namun masih dalam proses ratifikasi. Serta, terdapat 11 negosiasi awal
yang telah diinisiasi oleh pemerintah dalam rentang waktu 2017-2018. Hal tersebut dapat
diartikan bahwa Indonesia telah melakukan usaha yang baik dalam mempromosikan ekspor
melalui penghapusan/penurunan tarif. Dalam negosiasi perjanjian perdagangan, pemerintah
harus mendapatkan penurunan tarif yang dapat meningkatkan nilai ekspsor dan pangsa pasar
produk Indonesia. Dari sisi penurunan tarif oleh Indonesia, pemerintah harus
mempertimbangkan tarif produk apa saja yang perlu menjadi perhatian agar tidak mematikan
perusahaan dalam negeri. Lebih lanjut, pemerintah telah melakukan tinjauan umum terhadap
IJEPA di tahun 2019 (Kementerian Perdagangan, 2019). Hal tersebut merupakan kebijakan
yang sangat baik karena Indonesia dapat mereviu kembali komoditas mana yang perlu
mendapatkan penurunan tarif serta komoditas mana yang tidak relevan untuk mendapatkan
penurunan tarif dikarenakan Indonesia tidak memiliki kapasitas untuk mengekspor produk
tersebut.
Potensi dan Tantangan Indonesia 2019-2024
Pada tahun 2020, Uni Eropa melarang penggunaan produk kelapa sawit yang akan membuat
Indonesia mengalami penurunan nilai ekspor yang cukup signifikan. Hal ini dikarenakan kelapa
sawit merupakan produk unggulan Indonesia, perlu diingat bahwa Indonesia merupakan
penghasil terbesar kelapa sawit. Melalui negosiasi perjanjian CEPA (comprehensive Economic
Partnership Agreement) dengan Uni Eropa, diharapkan dapat membuka peluang Indonesia
tetap bisa mengekspor produk kelapa sawit ke Eropa.
Guna meningkatkan ekspor Indonesia, pemerintah harus segera menambah jumlah perjanjian
bilateral maupun perjanjian multilateral yang tentunya dapat menguntungkan produk
Indonesia. Hal ini dapat tercapai jika hasil negosiasi, Indonesia mendapatkan fasilitas
penurunan atau penghapusan tarif untuk komoditas unggulan Indonesia. Lebih lanjut,
pemerintah perlu memberi stimulus bagi kalangan industri Indonesia khususnya yang
berorientasi ekspor agar menjadi lebih efisien dan lebih kompetitif, sehingga Indonesia bisa
mengambil pangsa pasar produk ekspor negara lain. Strategi ini tentunya dapat meningkatkan
nilai ekspor Indonesia untuk jangka panjang. Dari sisi Impor, pemerintah juga harus
memperhatikan Industri Indonesia dalam memberikan penurunan tarif untuk negara mitra. Hal
ini bertujuan agar produk dalam negeri mampu bersaing dengan produk luar negeri.
DAFTAR PUSTAKA
1. Kementerian Luar Negeri Indonesia. (2015). Rencana Strategis 2015 - 2019. Retrieved from
kemlu.go.id:
https://kemlu.go.id/download/L3NpdGVzL3B1c2F0L0RvY3VtZW50cy9BS0lQL0tlbWVud
GVyaWFuJTIwTHVhciUyME5lZ2VyaS9SZW5jYW5hJTIwU3RyYXRlZ2lzJTIwS2VtbHUl
Mj AyMDE1LTIwMTkucGRm
2. CNN. (2018, 10 10). Daya Beli jadi Alasan Jokowi Tunda Kenaikan Harga Premium.
Retrieved from CNN Indonesia:
https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20181010190446-85-337448/daya-beli-jadi
alasan-jokowi- tunda-kenaikan-harga-premium
3. Kementerian Perdagangan. (2019). Direktorat Jenderal Perundingan Perdagangan
Internasional. Retrieved from List Perjanjian Dagang: http://ditjenppi.kemendag.go.id/
4. Kerr, W. A., & Gaisford, J. D. (2007). Handbook on International Trade. Massachusetts:
Edward Elgar Publishing, Inc.
5. Mandiri Group Research. (2019). Special Topic on Free Trade Agreements: Capitalizing
Bilateral Agreements to Promote Export. Jakarta: Mandiri Office of Chief Economist .
www.trademap.com http://ditjenppi.kemendag.go.id/
Performa Pembangunan Regional Indonesia di Periode 2014-
2019: Peranan Dana Desa
Achyar Al Rasyid
Dana Desa diatur dalam Undang-Undang (UU) no. 6 tahun 2014, lalu turunannya diatur dalam
Pertauran Pemerintah (PP) no. 47 tahun 2015 tentang perubahan atas PP 43/2014 tentang
peraturan pelaksanaan UU no. 6 tahun 2015 dan PP no. 8 tahun 2016 tentang perubahan kedua
atas PP no. 60 tahun 2014 tentang Dana Desa yang bersumber dari APBN. Selanjutnya kedua
PP tersebut diturunkan lagi masing-masing dengan Pertaruan Kementerian Dalam Negeri
(PERMENDAGRI), Peraturan Kementerian Desa (PERMENDES), dan Peraturan
Kementerian Keuangan (PMK). Pengertian Dana Desa itu sendiri adalah dana APBN yang
diperuntukkan bagi desa yang ditransfer melalui APBD kabupaten/kota dan diprioritaskan
untuk pelaksanaan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa. Tujuan utama dari dana
desa yaitu meningkatkan pelayanan publik di desa, mengentaskan kemiskinan, memajukan
perekonomian desa, mengatasi kesenjangan pembangunan antar desa, dan memperkuat
masyarakat desa sebagai subjek pembangunan.
Pencapaian Dana Desa
Pemerintah telah mengalokasikan anggaran Dana Desa dengan jumlah yang cukup besar untuk
selanjutnya diberikan kepada desa-desa di seluruh Indonesia. Dana desa pada tahun 2015
dianggarkan sebesar Rp20,7 triliun, yang artinya rata-rata setiap desa memperoleh alokasi
sebesar Rp280 juta. Alokasi ini meningkat pada tahun 2016 menjadi Rp46,98 triliun dimana
setiap desa memperoleh rata- rata sebesar Rp628 juta, dan selanjutnya di tahun 2017 kembali
meningkat menjadi Rp 60 Triliun yang artinya setiap desa memperoleh rata-rata sebesar Rp800
juta.
Hasil evaluasi tahun pelaksanaan 2015-2017 menunjukkan bahwa Dana Desa berkontribusi
dalam pembangunan sarana/prasarana bagi masyarakat, yaitu berupa terbangunnya 914 ribu
meter jembatan; lebih dari 95,2 ribu kilometer jalan desa; 2.201 unit tambatan perahu; 21.357
unit PAUD; 19.485 unit sumur; 6.041 unit POLINDES; 103.405 unit drainase dan irigasi;
22.616 unit sambungan air bersih;
5.220 unit Pasar Desa; 10.964 unit Posyandu; 1.338 unit embung; dan 21.811 unit BUMDesa;
Data lapangan pada tahun 2015 jumlah penyerapan tenaga kerja akibat dari kontribusi Dana
Desa berjumlah 1,7 juta jiwa. Selanjutnya, tenaga kerja yang diserap pada tahun 2016 sebagai
akibat dari kontribusi Dana Desa sejumlah 3,9 juta jiwa. Tenaga kerja yang terserap pada tahun
2017sebagai akibat dari kontribusi Dana Desa berjumlah 5 juta jiwa. Dengan diasumsikan
bahwa tenaga kerja yang mampu diserap POLINDES sebanyak 18.123 jiwa, Posyandu mampu
menyerap sebanyak 64.071 jiwa, BUMDes dapat menyerap 65.919 jiwa, pasar dapat menyerap
15.660 jiwa, dan PAUD mampu menyerap 41.919 jiwa.
Program Pada Karya Tunai (PDT) Menjadi Ujung Tombak
Untuk menurunkan angka kemiskinan, gizi buruk,dan pembangunan di desa, pada awal 2018
kebijakan Padat Karya Tunai (PDT) digulirkan oleh pemerintah sebagi bagian dari program
Dana Desa (DD) untuk pembangunan. Kebijakan ini merupakan turunan dari Surat Keputusan
Bersama (SKB) Empat Menteri tentang Penyelarasan dan Penguatan Kebijakan Percepatan
Pelaksanaan Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 (UU Desa) yang diterbitkan pada Desember
2017. Program ini adalah program swakelola pembangunan pedesaan dengan menggunakan
dana desa. Program ini melibatkan secara aktif masyarakat desa, dengan tujuan menyerap
tenaga kerja di desa. Di samping itu, program ini juga tentunya berorientasi dalam menunjang
pertumbuhan ekonomi desa-desa dengan kriteria implementasi yang mewajibkan tenaga kerja
berasal dari lokal desa, dengan 30% anggaran wajib dialokasikan untuk upah, serta bahan dan
barang material wajib dibeli di desa, dan hanya jika tidak tersedia, maka bias dibeli di tingkat
kecamatan. Harapan utama program ini adalah kelompok marjinal di desa bias ikut terlibat
menjadi tenaga kerja. Kelompok marginal yang dimaksud adalah keluarga miskin, penganggur
dan setengah penganggur, serta keluarga yang beranggotakan anak balita penderita gizi buruk.
Sehingga tambahan pendapatan bisa diperoleh oleh mereka yang berefek pada perbaikan
kehidupan. Melalui Petunjuk Teknis Penggunaan Dana Desa Tahun 2018 untuk Padat Karya
Tunai (Juknis PKT), Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi
(KemendesPDTT) mewajibkan seluruh desa penerima DD untuk melaksanakan PKT, dengan
ketentuan, antara lain, desa:
1. wajib mengalokasikan minimal 30% anggaran kegiatan pembangunan yang berasal dari
DD (DD-Kegiatan Pembangunan) untuk membayar upah tenaga kerja;
2. melakukan pemusatan kembali (refocusing) penggunaan porsi DD tersebut pada tiga
hingga lima kegiatan pembangunan sesuai Peraturan Mendes PDTT No. 19 Tahun 2017
tentang Penetapan Prioritas Penggunaan DD; dan
3. wajib mengutamakan warga marginal dalam perekrutantenaga kerja yang mencakup tenaga
kerja ahli, pembantutenaga kerja ahli, dan tenaga dari masyarakat desa setempat.
Pengaruh Dana Desa Terhadap Kesenjangan dan Pengentasan Kemiskinan
Selama dua tahun terakhir (2017-2018) dana desa meningkatkan kualitas hidup masyarakat
desa, antara lain dengan menurunnya rasio ketimpangan perdesaan dari 0,34 pada tahun 2014
menjadi 0,32 di tahun 2017. Menurunnya jumlah penduduk miskin perdesaan dari 17,7 juta
tahun 2014 menjadi 17,1 juta tahun 2017 dan, adanya penurunan persentase penduduk miskin
perdesaan dari 14,09% pada tahun 2015 menjadi 13,93% di tahun 2017.
Dana Desa tidak bisa dipungkiri merupakan suatu program yang positif bagi pembangunan di
daerah. Program ini merupakan hasil kesamaan persepsi dan pemikiran DPR sebagai
pembentuk Undang- Undang serta pemerintah sebagai eksekutor. Dasar pemikiran utamanya
adalah semangat desentralisasi, yaitu mewujudkan Indonesia adil dan makmur dengan
pelibatan seluruh elemen masyarakat sampai ke tingkatan paling bawah, yaitu desa. Dengan
kata lain, program ini juga memiliki semangat pemerataan ekonomi bagi seluruh lapisan
masyarakat.
Permasalahan dan Rekomendasi
Oleh sebab itu, program ini penting untuk dilanjutkan meskipun tentu terdapat beberapa catatan
untuk memperbaiki dan meningkatan pengaruh positif dari program Dana Desa. Salah satunya
adalah perlu adanya peningkatan kapasitas secara konsisten bagi sumber daya manusia (SDM)
pemerintah desa. Beberapa penelitian menemukan bahwa salah satu masalah utama penyaluran
Dana Desa terdapat pada manajemen penyaluran dan pelaporan yang dilakukan pemerintah
desa15. Manajemen penyaluran yang dimaksud menyangkut kemampuan menganalisa dan
membuat keputusan (decision making) skala prioritas dana desa. Aparatur desa menjadi bagian
pemerintah ditingkatan terbawah yang menjalankan program ini. Sehingga kemampuan,
kapasitas, serta kemahiran dalam mengelola birokrasi pemerintah desa menjadi kunci dalam
optimalnya dana desa. Aparatur pemerintah desa perlu dengan detil, cermat, dan inovatif dalam
melihat potensi yang ada di desanya. Setelah itu perlu dibuat skala prioritas dalam hal
penyaluran program dana desa. Terakhir diperlukan implementasi dan eksekusi program
lapangan dengan langkah yang “out of the box” dalam tataran pelaksanaan ide, sehingga
program yang dijalankan bukan hanya program rutinitas tapi juga memberikan kebermanfaatan
yang tinggi pada masyarakat desa. Secara keseluruhan kemampuan aparatur desa ini perlu
diupgrade secara baik karena menjalankan program dana desa sama dengan perlunya
mengupgrade kemampuan manajerial, mengelola birokrasi, serta pemikiran kreatif dan inovatif
pada tingkatan pelaksanaan terbawah yaitu aparatur pemerintah desa. Disamping itu, masalah
lainnya adalah terdapat masalah pada kualitas pelaporan yang erat kaitannya dengan
kemampuan manajemen akuntansi. Hal ini merupakan tantangan karena dana desa adalah
program pemerintah pusat yang merupakan program besar namun dijalankan pada tataran
terkecil, yaitu desa. Sehingga apa yang diinginkan dan menjadi kooridor dari pemerintah pusat
perlu dimengerti dan diikuti oleh aparatur pemerintah terkecilnya, yaitu desa. Dapat
dibayangkan dengan jumlah desa penerima dana desa perlu melaporkan pelaksanaan program
dana desa dengan aturan-aturan baku dari pemerintah pusat demi tetap terjaganya spirit Good
Governance. Sehingga paradigma berpikir efektif dan efisien serta kemampuan akuntansi para
aparatur pemerintah desa perlu ditingkatkan. Peningkatan atas kemampuan-kemampuan
tersebut tentunya dapat memperkuat efektifitas Dana Desa.
Dalam kebijakan program padat karya tunai di desa yang bertujuan untuk memberikan akses
kepada masyarakat marjinal di desa memiliki problem pada kemampuan ahli yang tersedia.
Tentunya beberapa pekerjaan memerlukan kualifikasi teknis khusus yang perlu dipenuhi untuk
memenuhi aturan pelaksana kerja, namun kelompok marjinal disebut marjinal dikarenakan
memiliki taraf pendidikan yang tidak terlalu tinggi juga tidak memiliki pekerjaan, sehingga
kelompok ini sulit mengisi kebutuhan tenaga ahli dalam kekhususan bidang pekerjaan tersebut.
Untuk mengatasi pemerintah pusat dalam hal ini KEMENDES-PDT RI perlu
mempertimbangkan kebijakan perekrutan terbuka, khususnya untuk posisi pekerja. Sementara
untuk tenaga ahli, pemerintah desa perlu memberdayakan terlebih dahulu sumber daya manusia
desa yang sudah memiliki kualifikasi ahli sebagai tenaga ahli dalam suatu pekerjaan. Hal ini
dapat dilakukan dengan tetap menjalankan program pembinaan dan peningkatan kapasitas
kepada penduduk desa marjinal dengan sistem pelatihan, kursus, atau kerja praktek (magang).
Di masa yang akan datang, diharapkan kualifikasi dan kemampuan yang dimiliki mampu
mengantar untuk dapat berpartisipasi sebagai tenaga kerja ahli. Pada akhirnya program ini
memiliki efek berkelanjutan jangka panjang selain memberikan lapangan pekerjaan juga
meninghkatkan kualitas kemampuan masyarakat marjinal desa.
Tentunya kekurangan-kekurangan diatas merupakan bagian dari proses berjalannya program
ini. Dimana ada program dijalankan maka sudah barang tentu pasti akan ada kelebihan dan
kekurangan. Kelebihan perlu dipertahankan dan ditingkatkan, kekurangan perlu dievaluasi dan
dibenahi. Program dana desa dengan spirit desentralisasi membangun Indonesia dari pinggiran
sudah sangat tepat, efek pertumbuhan ekonomi dan mengurangi kesenjangannya sudah terlihat.
Untuk proses membenahi kekurangan dan mengevaluasi pelaksanaan adalah proses yang akan
terus berjalan untuk membuat program ini semakin lebih baik kedepan, yang secara
keseluruhan lebih kepada meningkatkan kemampuan Sumber Daya Manusia (SDM) desa.
DAFTAR PUSTAKA
1. Buku Saku Dana Desa, Kementerian Keuangan
2. Pengaruh Dana Desa Terhadap Tingkat Kemiskinan dan Kesejahteraan Masyarakat di
Kabupaten/Kota Provinsi Bali, Made Krisna Kalpika Sunu dan Made Suyana Utama,
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana (Unud), Bali, Indonesia
3. Pengaruh Dana Desa dan Alokasi Dana Desa Terhadap Tingkat Kemiskinan Di Kecamatan
Gemeh Kabupaten Kepulauan Talaud, Dianti Lalira, Amran T. Nakoko, Ita Pingkan F.
Rorong, Jurusan Ekonomi Pembangunan, Fakultas Ekonomi Dan Bisnis, Universitas Sam
Ratulangi, Manado, Indonesia
4. Dampak Program Dana Desa Terhadap Peningkatan Pembangunan dan Ekonomi di
Kecamatan Pineleng Kabupaten Minahasa, Feiby Vencentia Tangkumahat, Vicky V. J.
Panelewen, Arie D. P. Mirah, Agri-Sosio Ekonomi Unsrat
5. Dampak Alokasi Dana Desa Terhadap Pembangunan dan Kesejahteraan Masyarakat Desa
Di Kabupaten Bantul Daerah Istimewa Yogyakarta, Siti Muslihah, Hilda Octavana Siregar,
Sriniyati, Universitas Gadjah Mada , Departemen Ekonomika dan Bisnis Sekolah Vokasi
6. Pengelolaan Keuangan Dana Desa, Inten Meutia, Liliana, Universitas Sriwijaya
7. Sistem Pengelolaan Dana Desa, Muhammad Ismail, Ari Kuncara Widagdo, Agus Widodo,
Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Sebelas Maret
8. Memperbaiki Kebijakan Padat Karya Tunai Desa Seri UU Desa No. 5/Okt/2018, SMERU
Research Institute
9. Penelitian LIPI : Jurnal Penelitian Politik Vol. 13 No. 2 Desember 2016
Performa Pembangunan Kualitas Hidup Manusia
Indonesia di 2014-2019
Perwira Yodanto
Capaian pembangunan kualitas hidup masyarakat Indonesia di periode 2014-2019 tergolong
memuaskan. Meskipun demikian, capaian tersebut belum tergolong optimal dalam
menerjemahkan target Nawa Cita yang dijanjikan oleh Presiden Joko Widodo pada saat
berkampanye di tahun 2014.
Hingga tahun 2018, rangkuman olah data BPS atas Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
menunjukkan tren yang selalu meningkat sepanjang periode pemerintahan. Terdapat beberapa
catatan yang perlu segera ditindaklanjuti atas indeks yang memiliki indikator utama yang
meliputi dimensi kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan tersebut. Dari ketiga elemen, faktor
yang terkait dimensi kesehatan adalah yang paling menyita perhatian publik, yaitu kontroversi
BPJS yang belum menemukan kestabilan operasional. Secara komparatif, disparitas IPM di
level pemerintahan daerah sudah terlihat menurun.
Nawa Cita dan Indeks Pembangunan Manusia
Dalam salah satu butir Nawa Cita, Pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla berjanji untuk
meningkatkan kualitas hidup manusia dan masyarakat Indonesia (Kompas 2014). Hal tersebut
akan diterjemahkan dalam lima program. Tiga diantaranya ditempuh dengan jalan
meningkatkan kualitas pendidikan dan pelatihan melalui Program “Indonesia Pintar” dengan
pendidikan 12 tahun dan gratis; meningkatkan layanan kesehatan publik melalui Program
Kartu Indonesia Sehat; dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui Program
“Indonesia Kerja” dan “Indonesia Sejahtera” (UNDP 2015). Selanjutnya, pemerintah telah
menyelaraskan poin kelima dari Nawa Cita tersebut ke dalam Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional (RPJMN). Pemerintah menggunakan Indeks Pembangunan Manusia
(IPM) sebagai indikator utama yang digunakan untuk mengukur kinerja dalam zona ini.
Tabel 5. Laju Pertumbuhan Indeks Pembangunan Manusia Nasional, 2010-2018
Tahun Pertumbuhan (%)
2010-2011 0,84
2011-2012 0,90
2012-2013 0,91
2013-2014 0,87
2014-2015 0,93
2015-2016 0,91
2016-2017 0,90
2017-2018 0,82
Sumber: BPS, 2019
IPM atau yang jamak dikenal dengan Human Development Index (HDI) adalah indikator yang
diadopsi oleh United National Development Programme (UNDP) untuk mengukur capaian
rata-rata dalam dimensi pokok pembagunan manusia suatu negara. Dimensi yang diukur adalah
long and healthy life, knowledge, dan a decent standard of living. Sejak tahun 1996, Indonesia
menghitung IPM secara berkala setiap tiga tahun sekali. Frekuensi ini lalu berubah menjadi
setiap tahun untuk keperluan penghitungan Dana Alokasi Umum (DAU) sejak tahun 2004.
Dimensi pertama di-proxy-kan dengan Umur Harapan Hidup saat lahir (UHH). Sedangkan
dimensi pengetahun memiliki dua indikator, yaitu Harapan Lama Sekolah (HLS) dan Rata-rata
Lama Sekolah (RLS). Berubah sejak 2015, dimensi standar hidup layak tidak lagi dikukur
dengan Pendapatan Nasional Bruto (PNB) melainkan menggunakan indikator pengeluaran per
kapita. Dengan demikian, terdapat perbedaan antara pengukuran yang dilakukan oleh BPS
dengan metode yang dilakukan oleh UNDP. IPM dikategorikan menjadi empat kelompok
status, yaitu Sangat Tinggi (> 80), Tinggi (70-80), Sedang (60-70), dan Rendah (<60).
Sejak 2016, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan bahwa Indonesia telah memasuki
kelompok status “Tinggi” (BPS 2019). Saat itu capaian IPM di masa Kabinet Kerja menyentuh
angka 70,18. Selama satu dekade, tren IPM Indonesia memang terus mengalami progres positif.
Rata-rata pertumbuhan IPM sejak 2010 hingga 2018 tercatat sebesar 0,88 persen dengan torehan
progres tertinggi yang dicapai pemerintah pada tahun 2015, yaitu mencapai 0,93 persen.
Berikut ini adalah rangkuman BPS atas prestasi pemerintah dalam membangun kualitas hidup
rakyat.
.
Gambar 7. Indeks Pembangunan Manusia Nasional, 2010-2018
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2019
Di tataran global, UNDP menempatkan Indonesia di peringkat 116 dari 189 negara yang
dicatat. Indonesia disejajarkan dengan Afrika Selatan, Mesir, Filipina, Vietnam, dan Bolivia.
Sedangkan di level ASEAN, Indonesia berada di urutan keenam, setelah Singapura (no. 9
dunia), Brunei (no. 39), Malaysia (no. 57), Thailand (no. 83), dan Filipina (no. 113) (BPS
2019).
Di level domestik, catatan prestisius di tahun 2018 ditunjukkan oleh Provinsi Papua atas
prestasinya meninggalkan status ‘Rendah’ menjadi berstatus ‘Sedang’ dengan raihan nilai IPM
60,06 dan pertumbuhan sebesar 1,64 persen dari tahun sebelumnya. Pertumbuhan IPM tertinggi
juga dialami oleh Sulawesi Barat dengan 1,24 persen dan Papua Barat dengan 1,19 persen.
Perubahan status juga dialami oleh Jambi, Bengkulu, Bangka Belitung, Kalimantan Tengah,
Kalimantan Selatan, Kalimantan Utara, dan Sulawesi Tenggara dari ‘Sedang’ di 2017 menjadi
‘Tinggi’. Di sisi lain, status ‘Sangat Tinggi’ tidak otomatis menjamin DKI Jakarta mencetak
pertumbuhan tinggi pula. Ibukota hanya mampu mengerek pertumbuhan IPM sebesar 0,51
persen untuk mendorong raihan IPM-nya menjadi 80,47. Berstatus sama-sama ‘Tinggi’, Bali
dan Kepulauan Riau menemani DKI Jakarta dengan catatan pertumbuhan masing-masing yaitu
0,63 persen dan 0,52 persen.
Penurunan disparitas yang cukup signifikan juga nampak antara provinsi dengan capaian
tertinggi dengan yang terendah, khususnya di Indonesia Timur. Untuk IPM, selisih terakhir
antara provinsi dengan nilai tinggi, yaitu DKI Jakarta, dengan Papua sebagai pemegang angka
terendah adalah 20,41. Selisih UHH DI Yogyakarta dengan Sulawesi Barat kini menjadi 10,24
tahun. DIY juga mencetak selisih sebesar 4,73 tahun terhadap Papua pada kalibrasi HLS. Papua
74,00
72,00
70,00
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018
IPM
66,53 67,09
67,70 68,31
68,90 69,55
70,18 70,81
71,39
Ind
eks
71,50 71,20
71,00
70,50
70,00
69,50
69,00 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018
UHH
juga masih tertinggal dari DKI sebesar 4,53 tahun di indikator RLS. Lagi-lagi antara DKI
Jakarta dan Papua terdapat gap yang lebar untuk rata-rata pengeluaran per kapita yaitu Rp.
10.969.000.
Capaian Dimensi Kesehatan
Pemerintah mengklaim prestasinya dalam meningkatkan taraf kesehatan masyarakat Indonesia.
Melalui Program “Indonesia Sehat”, pemerintah melaporkan telah mengakomodasi 96,8 juta
peserta Kartu Indonesia Sehat serta menyelamatkan 1,7 juta Balita dari stunting dengan
penurunan prevalensi dari 37,2 persen di 2013 menjadi 30,8 persen di 2018 (KSP 2019). Diukur
dengan UHH, statistik yang disajikan oleh BPS menunjukkan tren yang positif, yaitu di angka
71,20 pada tahun 2018. Artinya, setiap bayi yang lahir pada tahun tersebut diproyeksikan akan
memiliki harapan hidup hingga usia 71,2 tahun. Angka mortalitas juga mengalami penurunan
dari 14,31 persen di 2017 menjadi 13,91 persen di 2018. Secara tidak langsung, peningkatan
UHH mengindikasikan peningkatan level kesehatan masyarakat di seluruh aspek kesehatan.
Gambar 8. Umur Harapan Hidup (UHH) Nasional, 2010-2018
Sumber: BPS, 2019
Namun demikian, ketidakstabilan operasional dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
(BPJS) Kesehatan telah menyedot perhatian publik dalam 5 tahun Pemerintahan Jokowi-JK
(Tempo 2019; Kompas 2019). Selain mengeluhkan tingkat kualitas layanan (Liputan6 2018),
masyarakat mengaku bingung dengan tingginya frekuensi perubahan prosedur administratif
untuk mengakses layanan kesehatan (Kompas 2016; CNN Indonesia 2017). Hal senada juga
dikeluhkan oleh tenaga kesehatan (IDI 2018, Kumparan 2019). Ketidaksinkronan prosedur
administratif dengan pihak BPJS Kesehatan cukup mengganggu pemberian layanan kepada
pasien, sehingga terkadang layanan yang diberikan menjadi sub-standar untuk mencocokkan
dengan ketentuan BPJS Kesehatan (Tribunnews 2018).
Tah
un
Di sisi keuangan, terhitung banyak rumah sakit yang mengeluhkan lambannya BPJS Kesehatan
dalam melunasi piutang mereka (Kompas 2018). Defisit di neraca lembaga bentukan pemerintah
tersebut lebih besar proporsinya disebabkan oleh rendahnya partisipasi peserta BPJS Kesehatan
untuk membayar premi secara rutin dan minimnya kontribusi pemda (Kementerian Keuangan
2019). Kementerian Keuangan telah melakukan bail out untuk menyokong operasional BPJS
Kesehatan, hingga pada akhirnya pemerintah memutuskan menaikkan premi dan beberapa
prosedur teknis terkait untuk melancarkan nadi organisasi (CNBC 2018, Kementerian
Keuangan 2019; The Jakarta Post 2019).
Capaian Dimensi Pendidikan
Berdasarkan IPM, upaya pemerintah meningkatkan kualitas pendidikan Indonesia menuai hasil
yang cukup positif. Program “Indonesia Pintar” yang perinciannya diatur dalam Permendikbud
Nomor 19 Tahun 2016 mampu mendorong peningkatan HLS dan RLS tiap tahunnya, masing-
masing 1,69 persen/tahun untuk HLS dan 1,14 persen/tahun untuk RLS. Hingga 2018, HLS
yang dihitung dari proyeksi pendidikan anak usia 7 tahun mencapai 12,91 tahun. Artinya,
program-program jangka pendek pemerintah mampu menjamin mereka untuk bersekolah
hingga hampir 13 tahun ke depan. Sedangkan RLS yang dihitung dari rata-rata lama sekolah
penduduk berusia 25 tahun ke atas, menunjukkan output ari pembangunan jangka panjang
sebelumnya yang dilakukan pemerintah telah mencapai 8,17 tahun di 2018.
Gambar 9. Harapan Lama Sekolah (HLS) dan Rata-Rata Lama Sekolah (RLS) Nasional, 2010- 2018
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2019
Melalui Program “Indonesia Pintar” pula, pemerintah mengaku telah membagikan Kartu
Indonesia Pintar kepada 18,9 juta siswa (KSP, 2019) selama 2014-2018. Jumlah siswa putus
sekolah juga menurun drastis di periode itu. Siswa SD paling signifikan mengalami penurunan
untuk angka putus sekolah yaitu sebanyak 33.268 siswa pada tahun ajaran 2018/2019 dari
176.909 siswa di tahun ajaran 2014/2015. Disusul oleh siswa SMA/SMK dari 154.501 siswa.
menjadi 41.310 siswa yang putus sekolah, lalu dari 85.000 siswa menjadi 28.651 siswa SMP
yang putus sekolah. Melalui Program “Indonesia Pintar” pula, pemerintah mengaku telah
membagikan Kartu Indonesia Pintar kepada 18,9 juta siswa (KSP, 2019) selama 2014-2018.
Jumlah siswa putus sekolah juga menurun drastis di periode itu. Siswa SD paling signifikan
mengalami penurunan untuk angka putus sekolah yaitu sebanyak 33.268 siswa pada tahun
ajaran 2018/2019 dari 176.909 siswa di tahun ajaran 2014/2015. Disusul oleh siswa SMA/SMK
dari 154.501 siswa menjadi 41.310 siswa yang putus sekolah, lalu dari 85.000 siswa menjadi
28.651 siswa SMP yang putus sekolah.
Gambar 10. Jumlah Siswa Putus Sekolah, 2014-2018
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2019
Akan tetapi, ada beberapa catatan yang perlu diperhatikan dari pembangunan dimensi
pendidikan selama Presiden Joko Widodo menjalankan mandat. Hal tersebut meliputi sarana
pendidikan baik yang masih minim, seperti pada tahun 2018 ruang kelas yang baik untuk tingkat
SD hanya sekitar 27,4 persen, SMP sebanyak 31,28 persen dan SMA/SMK sejumlah 45,95
persen. Selain itu, gonta-ganti kurikulum selama periode 2014-2019 tergolong membingungkan
tidak hanya siswa, melainkan juga para pengajar dan orang tua (Antara 2014, Tirto 2016). Sistem
zonasi sekolah yang diterapkan pada 2018 juga menjadi kontroversi bagi pihak sekolah, orang
tua maupun alumni yang meneruskan jenjang pendidikan ke lebih tinggi (Kompas 2018,
SindoNews, 2019).
Capaian Dimensi Kesejahteraan
Pada dimensi ini, pemerintah mencanangkan Program “Keluarga Harapan” dan Program
“Indonesia Kerja’. Kedua program ini sedikit banyak mendorong peningkatan IPM pada
indikator Rata-rata Pengeluaran per Kapita/tahun Disesuaikan. Pemerintah telah membagikan
insentif kepada 10 juta
keluarga peserta Program Keluarga Harapan dan mereformasi sistem bantuan sosial dari Beras
Sejahtera (Rastra) menjadi Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) secara bertahap sejak 2017.
Senada dengan indikator lainnya, tren positif juga ditunjukkan oleh indikator pada dimensi ini
dengan angka capaian akhir sejumlah Rp. 11.059.000. Semenjak 2010, terhitung peningkatan
kesejahteraan penduduk Indonesia tumbuh sekitar 2 persen/tahun.
Gambar 11. Rata-Rata Pengeluaran Per Kapita / Tahun di Tingkat Nasional, 2010-2018
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2019
Namun, untuk melihat kinerja pemerintah meningkatkan tingkat kesejahteraan juga diperlukan
indikator lainnya seperti tren pada tingkat kemiskinan, Rasio Gini, maupun tingkat
pengangguran terbuka. Pada durasi 2014-2018, ketiganya menunjukkan slope yang negatif,
bahkan tingkat kemiskinan mencapai satu digit untuk pertama kalinya di tahun 2018. Artinya,
bias pada indikator yang digunakan dalam IPM tereduksi oleh konsistensi yang ditunjukkan
oleh ketiga indikator lainnya. Berikut adalah garfiknya.
Gambar 12. Angka Kemiskinan Nasional, 2014-2018
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2019
11.500 11.059
11.000 10.420 10.664
10.500 9.903
10.150
10.000
9.500
9.000
9.437 9.647 9.815 9.858
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018
Rata-rata Pengeluaran Per Kapita
12,00
11,50
11,00
10,50
10,00
11,25 11,22 10,96
11,13 10,86
10,70 10,64
10,12 9,82
9,66
Mar 2014 Sep 2014 Mar 2015 Sep 2015 Mar 2016 Sep 2016 Mar 2017 Sep 2017 Mar 2018 Sep 2018
(%)
Rib
u R
up
iah
Gambar 13. Rasio Gini Nasional, 2014-2018
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2019
Gambar 14. Tingkat Pengangguran Terbuka Nasional (Agustus), 2010-2019
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2019
Kesimpulan dan Rekomendasi
Pemerintahan Jokowi-JK di periode 2014-2019 secara umum telah mencapai keberhasilan
dalam membangun kualitas manusia Indonesia. Angka agregat IPM beserta indikator di tiap
dimensi menunjukkan tren yang positif merupakan bukti keberhasilan program-program yang
diimplementasikan. Indikator-indikator lainnya juga mendukung prestasi tersebut dan
mereduksi bias yang mungkin terefleksi dalam indikator IPM. Namun demikian, banyak fakta
lapangan yang tidak terukur pada ketiga dimensi menunjukkan adanya tantangan dan juga
masalah yang harus ditindaklanjuti. Pada periode kedua Presiden Jokowi, hal-hal tersebut perlu
segera dirumuskan strategi pemecahan masalahnya. Misalnya, untuk BPJS Kesehatan,
pengelolaan portofolio ekuitasnya perlu didiversifikasi secara cermat, sehingga mampu
menyokong operasional dengan lebih stabil. Kemudian untuk dimensi pendidikan, perbaikan
sarana dan prasarana sekolah melalui program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) perlu
pengawasan yang lebih ketat sehingga intensi untuk penyalahgunaan insentif pemerintah
tersebut bisa diminimalisasi.
0,430
0,420
0,410
0,400
0,390
0,414
0,406 0,408 0,402
0,397 0,394 0,393 0,391 0,389
0,384
Mar 2014 Sep 2014 Mar 2015 Sep 2015 Mar 2016 Sep 2016 Mar 2017 Sep 2017 Mar 2018 Sep 2018
Ras
io G
ini
7,50 7,14
7,00 6,56
6,50 6,14 6,25 6,18 5,94
6,00 5,61 5,50
5,50 5,34 5,28
5,00
4,50 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019
Tin
gkat
Pe
nga
ngg
ura
n
Terb
uka
(%
)
Untuk dimensi kesejahteraan, pemerintah perlu untuk menstimulasi dan menyokong
pertumbuhan UMKM yang mengeksplorasi potensi dan kearifan lokal, dengan harapan tingkat
kesjahteraan warga juga akan terkerek naik secara merata.
DAFTAR PUSTAKA
1. Antara 2014, ‘Kurikulum pendidikan ganti menteri ganti
kebijakan’, AntaraNews https://www.antaranews.com/berita/469132/kurikulum-
pendidikan-ganti-menteri-ganti- kebijakan
2. Badan Pusat Statistik 2019, Indeks Pembangunan Manusia 2018, Badan Pusat Statistik,
3. CNBC 2018, ‘Kemenkeu segera cairkan bailout bpjs kesehatan’, CNBC Indonesia
https://www.cnbcindonesia.com/news/20180914074234-4-33056/kemenkeu-segera-
cairkan-bailout- bpjs-kesehatan
4. CNN Indonesia 2017, ‘Masyarakat keluhkan layanan bpjs kesehatan’,
CNN Indonesia https://www.youtube.com/watch?v=B3hA6FllDXI
5. Ikatan Dokter Indonesia 2018, ‘Fokus kami soal kebijakan bpjs yang merugikan
masyarakat’, IDI Online http://www.idionline.org/berita/fokus-kami-soal-kebijakan-bpjs-
yang-merugikan-masyarakat/
6. Kantor Staf Presiden 2019, ‘Lima tahun maju bersama’, Capaian Pemerintahan Joko
Widodo – Jusuf Kalla, Kantor Staf Presiden http://www.ksp.go.id/wp-
content/uploads/2019/10/Lima-Tahun-Maju-Bersama-1.pdf
7. Kementerian Keuangan 2017, ‘Bpjs kesehatan defisit pemerintah sentil minimnya
kontribusi pemda’, Kementerian Keuangan
https://www.kemenkeu.go.id/publikasi/berita/bpjs-kesehatan-defisit-pemerintah-sentil-
minimnya- kontribusi-pemda/---------- 2019, ‘Ini alasan iuran bpjs perlu penyesuaian’,
Kementerian Keuangan https://www.kemenkeu.go.id/publikasi/berita/ini-alasan-iuran-
bpjs-perlu-penyesuaian/
8. Kompas 2014, ‘”Nawa cita” 9 agenda prioritas Jokowi jk’, Kompas
https://nasional.kompas.com/read/2014/05/21/0754454/.nawa.cita.9.agenda.prioritas.joko
wi-jk
9. Kompas 2014, ‘”Nawa cita” 9 agenda prioritas Jokowi jk’, Kompas
https://nasional.kompas.com/read/2014/05/21/0754454/.nawa.cita.9.agenda.priorita
s.jokowi-jk
10. ---------- 2016, ‘Layanan bpjs kesehatan, puaskah publik?’, Kompas
https://www.youtube.com/watch?v=cBlqwhJ5vMA
11. ---------- 2018, ‘Faskes keluhkan bpjs kesehatan lambat membayar ini penjelasannya’,
Kompas https://ekonomi.kompas.com/read/2018/08/21/080800126/faskes-keluhkan-
bpjs-kesehatan-lambat-
membayar-ini-penjelasannya
12. ---------- 2018, ‘Mulai tahun 2019 kemendikbud ubah sistem penerimaan siswa baru’,
Kompas https://edukasi.kompas.com/read/2018/09/18/14000351/mulai-tahun-2019-
kemendikbud-ubah-sistem-penerimaan-siswa-baru
13. -------- 2019, ‘Ombudsman ri minta pemerintah tutup defisit bpjs kesehatan dengan dana
dari cukai rokok’, Kompas
14. https://nasional.kompas.com/read/2019/10/13/18054461/ombudsman-ri-minta-
pemerintah-tutup- defisit-bpjs-kesehatan-dengan-dana-dari
15. Kumparan 2019, ‘Rs dan klinik keluhkan syarat akreditasi di bpjs kesehatan’, Kompas
https://kumparan.com/kumparanbisnis/rs-dan-klinik-keluhkan-syarat-akreditasi-di-
bpjs-kesehatan-
1sCwIQQPChe
16. Liputan6 2018, ‘Ke istana dewan kesehatan rakyat keluhkan ragam masalah bpjs
kesehatan’, Liputan6 https://www.liputan6.com/health/read/3642313/ke-istana-dewan-
kesehatan-rakyat-keluhkan-ragam-
masalah-bpjs-kesehatan
17. United Nation Development Programme 2015, ‘Converging Development agendas: ‘nawa
cita’, ‘rpjmn’, and sdg’, UNDP Indonesia Country Office
18. Sindonews 2019, ‘Mendikbud sistem zonasi solusi masalah pendidikan’,
Sindonews https://nasional.sindonews.com/read/1413943/144/mendikbud-
sistem-zonasi-solusi-masalah-pendidikan-1561226206
19. Tempo 2019, ‘Mendikbud sistem zonasi solusi masalah pendidikan’, Tempo
https://fokus.tempo.co/read/1257616/kontroversi-rencana-sanksi-untuk-
penunggak-iuran-bpjs-kesehatan/full&view=ok
20. The Jakarta Post 2019, ‘Bpjs-premium-increase-stirs-controversy’, The Jakarta Post
https://www.thejakartapost.com/news/2019/09/02/bpjs-premium-increase-stirs-
controversy.html Tirto 2016, ‘Mengakhiri kutukan ganti menteri ganti kurikulum’,
21. Tirto https://tirto.id/mengakhiri-kutukan-ganti-menteri-ganti-kurikulum-bwqv
22. Tribunnews 2018, ‘Kerugian yang dialami pasien dan dokter karena aturan baru
bpjs kesehatan’, TribunNews
https://www.tribunnews.com/kesehatan/2018/08/03/kerugian-yang-dialami-pasien-
dan dokter-karena- aturan-baru-bpjs-kesehatan
Profil Penulis
Muhammad Putra Hutama adalah ketua Komisi Ekonomi PPI
Dunia 2019/2020 dan mahasiswa Master di Corvinus
University of Budapest jurusan International Economics and
Business. Mempunyai pengalaman sebagai asisten peneliti di
PRISMA CEDS Unpad.
Denny Irawan adalah kepala Divisi Kajian Ekonomi PPI
Dunia 2019/2020 dan mahasiswa doktoral bidang Economics
di The Australian National University (ANU), Australia.
Mempunyai pengalaman sebagai peneliti di Lembaga
Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat, Fakultas Ekonomi
dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI).
Chairul Adi adalah anggota Komisi Ekonomi PPI Dunia
2019/2020 dan pegawai Kementerian Keuangan RI yang
tengah menjalani tugas belajar di tingkat doktoral dalam
bidang Political Economy di The University of Sydney,
Australia.
Achyar Al Rasyid adalah anggota Komisi Ekonomi PPI
Dunia 2019/2020 dan sedang berkuliah doktoral dalam
bidang Urban Planning di Tianjin University, Republik
Rakyat Tiongkok.
Perwira Yodanto adalah anggota Komisi Ekonomi PPI
Dunia 2019/2020 dan pegawai Kementerian Keuangan RI
yang saat ini akan mendalami 2 spesialisasi (Policy Analysis
dan Economic Policy) dalam program Master of Public
Policy di The Australian National University (ANU)
Canberra, Australia.
DAMPAK KETIDAKPASTIAN GLOBAL
TERHADAP PEREKONOMIAN INDONESIA
Komisi Ekonomi PPI Dunia, PPI Brief No. 2 / 2020
Penulis: Putra Hutama, Denny Irawan, Chairul Adi, Hadi Prasojo, Perwira Yodanto
Editor: Muhammad Putra Hutama
RINGKASAN EKSEKUTIF
Dalam seri kajian ini, kami menyajikan gambaran umum tentang ketidakpastian global serta
dampaknya terhadap perekonomian Indonesia. Secara harfiah, ketidakpastian global (global
uncertainty) dapat dimaknai sebagai suatu kondisi yang serba tidak pasti (uncertain) yang
memiliki implikasi secara global. Uncertainty umumnya melibatkan elemen kejut (surprise)
yang tidak dapat diprediksi eksistensi maupun implikasinya. Beberapa contoh ketidakpastian
dalam 20 tahun terakhir seperti Perang Iraq, penyebaran Virus SARS, subprime mortgage,
Brexit, Perang dagang AS-Tiongkok, dan penyebaran Virus Korona (COVID-19).
Kajian ini terdiri dari lima tulisan pendek yang berfokus pada lima topik. Pada tiga tulisan
pertama, kami akan membahas dampak dari ketidakpastian global terhadap perekonomian
Indonesia, ketahanan fiskal, dan neraca perdagangan. Dua tulisan berikutnya akan membahas
kondisi daya beli dan penyerapan tenaga kerja serta ketahanan energi Indonesia. Secara umum,
Indonesia mendapatkan dampak negatif dari ketidakpastian global yaitu dapat dilihat dengan
melambatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia. Ada beberapa hal yang perlu menjadi catatan
serta apresiasi atas kebijakan yang diambil oleh pemerintah untuk mengurangi resiko
ketidakpastian global terhadap perekonomian Indonesia.
Pada tulisan pertama, kami menyajikan pola perkembangan ketidakpastian global serta
transmisinya terhadap perekonomian Indonesia. Secara umum, ketidakpastian ekonomi dan
geopolitik global cenderung memiliki tren peningkatan pada 2-3 tahun terakhir meskipun
kondisi geopolitik domestik Indonesia cenderung lebih stabil bila dibandingkan risiko
geopolitik global. Lebih lanjut, pergerakan nilai tukar Rupiah sangat ditentukan faktor-faktor
global seperti harga komoditas dan ketidakpastian ekonomi serta dinamika pasar modal
domestik lebih dipengaruhi faktor-faktor domestik dan tidak secara langsung dipengaruhi
faktor global.
Kedua, kami akan membahas dampak ketidakpastian global terhadap stabilitas fiskal seperti
defisit fiskal, kinerja perpajakan, utang pemerintah, dan implementasi program-program
strategis. Secara umum penerimaan pajak pada tahun 2019 mengalami penurunan pertumbuhan
dengan kata lain secara nominal defisit anggaran mengalami kenaikan.
Ketiga, kami akan meyajikan gambaran performa perdagangan Indonesia di era ketidakpastian
global. Secara umum, Indonesia menderita defisit neraca perdagangan akibat dampak dari
perang dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok. Langkah konkret yang bisa diambil oleh
pemerintah adalah menambah jangkauan ekspor Indonesia melalui diplomasi ekonomi. Lebih
lanjut, kami akan menyajikan perkembangan perundingan IEU-CEPA serta produk potensial
untuk ekspor ke Uni-Eropa.
Keempat, kami akan menyajikan gambaran daya beli masyarakat dan serapan tenaga kerja.
Secara umum pemerintah Indonesia telah mengeluarkan 16 jilid paket kebijakan ekonomi
sebagai respon untuk mengurangi resiko ketidakpastian global.
Kelima, kami akan membahas volatilitas komoditas minyak bumi bagi perekonomian Indonesia.
Secara historis harga minyak global mengalami fluktuasi yang cukup ekstrem dengan berbagai
faktornya yang berdampak terhadap ketahanan energi dalam negeri karena Indonesia sangat
bergantung terhadap impor. Beberapa upaya yang perlu diambil oleh pemerintah diantaranya:
(i) Memenuhi target lifting
(ii) Peningkatan infrastruktur pengolahan dan penyimpanan
(iii) Hedging dengan kontrak berjangka;
(iv) Mekanisme stabilitas harga
(v) Konservasi dan diversifikasi energi.
Ketidakpastian Global dan Transmisinya terhadap
Perkonomian Indonesia
Denny Irawan
Pendahuluan
Banyak pihak yang mempertanyakan mengapa siklus krisis yang normalnya terjadi setiap 1
dekade tidak terwujud pada tahun 2018 lalu. Banyak pula yang memprediksi bahwa akan terjadi
pergeseran ke tahun berikutnya, yaitu 2019, yang nyatanya juga tidak terjadi.
Beberapa analis telah memberikan argumennya untuk berusaha menjelaskan fenomena ini.
Salah satu argumen yang paling populer dan bernuansa skeptis adalah bahwa perekonomian
dunia tumbuh lebih lambat dari dekade-dekade sebelumnya. Dengan kata lain, gelembung
(bubble) perekonomian dunia belum cukup besar untuk pada akhirnya meletus. Sehingga bisa
jadi terhindarnya ekonomi dunia dari krisis di tahun 2018/2019 hanyalah sekedar fenomena
tertundanya letusan gelembung perekonomian global.
Argumen lainnya bernuansa lebih optimis. Pertumbuhan perekonomian dunia yang lebih
lambat dari dekade-dekade yang lalu memang terjadi, namun diyakini bahwa hal tersebut
karena para regulator dalam perekonomian (moneter, fiscal, dan lainnya) berhasil menerapkan
kebijakan yang lebih baik. Stabilitas menjadi fokus utama dan buah keberhasilannya adalah
perekonomian yang terbukti lebih tahan terhadap guncangan.
Perkembangan ketidakpastian global
Gambar 1 menampilkan pola perkembangan ketidakpastian global yang ditunjukkan oleh indeks
Global Economic Policy Uncertainty (GEPU) dari Davis (2016). Indeks ini merupakan suatu
ukuran ketidakpatian kebijakan ekonomi global yang berbasis metode word scrapping terhadap
media-media massa berpengaruh di dunia. Indeks ini dikeluarkan secara bulanan. Apabila kita
lihat pada polanya, indeks ini menunjukan tren kenaikan selama beberapa tahun terakhir,
meskipun sangat berfluktuatif setiap bulannya. Satu hal yang disayangkan adalah GEPU untuk
tingkat nasional Indonesia tidak tersedia.
Sementara itu, Gambar 2 menampilkan indeks Geopolitical Risk (GPR) baik di tingkat global
(GPR_GLOB) maupun untuk nasional Indonesia (GPR_IND). Indeks ini diperbarui setiap
bulan dan bersumber dari Caldara dan Iacoviello (2019). Sama seperti GEPU, indeks GPR juga
didasarkan pada metode word scrapping berdasarkan media massa di masing-masing region
maupun global. Yang membedakan adalah GPR berfokus pada risiko-risiko geopolitik,
sedangkan GEPU berfokus pada ketidakpastian kebijakan ekonomi. Meskipun demikian, dapat
kita lihat terdapat pola yang menyerupai antara GEPU dan GPR_GLOB, dimana terdapat tren
kenaikan ketidakpastian secara global pada tahun- tahun terakhir. Hal menarik lainnya adalah
GPR tersedia untuk tingkat nasional Indonesia. Apabila kita lihat pada Gambar 2, tingkat
GPR_IND memiliki pola yang cenderung datar bila dibandingkan dengan GPR_GLOB,
sehingga secara umum terjadi divergensi tren. Secara intuitif, hal ini menunjukkan bahwa risiko
geopolitik domestik di Indonesia lebih stabil dibandingkan yang terjadi di tingkat global. Hal
ini dirasa wajar, mengingat berbagai eskalasi tensi geopolitik internasional seperti perseteruan
di Timur Tengah secara umum tidak memiliki dampak terhadap stabilitas domestik Indonesia.
Gambar 1. Global Economic Policy Uncertainty (GEPU)
Sumber: Davis (2016)
Gambar 2. Global and Indonesia Geopolitical Risk (GPR)
Sumber: Caldara dan Iacoviello (2019)
Sementara itu, terlihat bahwa pergerakan harga komoditas global mulai bergerak pulih setelah
sempat terjatuh dan mencapai titik terendahnya di tahun 2015. Hal ini dapat dilihat dari indeks
komoditas IMF sebagaimana dijabarkan oleh Gambar 3. Sebagaimana sudah diketahui secara
umum, perekonomian Indonesia sebagai net-importir BBM seringkali memiliki efek ganda
terhadap fluktuasi harga komoditas. Untuk beberapa komoditas unggulan seperti sawit dan
batubara, kenaikan positif harga komoditas secara umum akan berdampak positif. Sebaliknya,
Indonesia seringkali merasakan dampak negatif dari pola kenaikan harga komoditas karena ini
bermakna naiknya nilai impor BBM yang harus ditanggung Indonesia.
Gambar 3. IMF Commodity Index (COMM)
Sumber: IMF Commodity
Gambar 4 dan 5 masing-masing menjabarkan dua variabel makroekonomi, yaitu nilai tukar
USD terhadap Rupiah (EX_RATE) dan Indeks Harga Saham Gabungan (JKSE) milik Bursa
Efek Indonesia (BEI). Dalam satu tahun terakhir, Rupiah mulai mengalami penguatan terhadap
US Dollar. Sementara itu, IHSG juga secara bertahap mengalami penguatan, meskipun sempat
melemah dalam beberapa bulan terakhir.
Gambar 4. Nilai Tukar Rupiah terhadap USD (EX_RATE)
Sumber: Bank Indonesia
Gambar 5. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG)
Sumber: Yahoo Finance
Transmisi ketidakpastian global terhadap perekonomian Indonesia
Dalam studi ini, penulis mencoba melakukan pemodelan sederhana untuk melihat pola
transmisi shock global terhadap perekonomian Indonesia. Untuk tujuan ini, digunakan
pendekatan Vector Autoregressive (VAR)2. Pendekatan ini dikenal sangat baik untuk
melakukan analisis antara variabel makroekonomi, termasuk dalam pemodelan transmisi shock
makroekonomi. Terdapat beberapa hal utama yang membuat model VAR dinilai lebih baik
dibandingkan regresi linear standar untuk tujuan ini. Salah satu yang utama adalah
kemampuannya melakukan isolasi shock sehingga pemodelan terhindar dari permasalahan
reverse causality, yang sangat lumrah terjadi pada variabel-variabel makroekonomi.
Terdapat enam variabel yang diikutsertakan, yang terbagi kedalam kedua kelompok.
Kelompok pertama yaitu variabel ketidakpastian global. Dalam kelompok ini terdapat tiga
variabel. Pertama, Global Economic Policy Uncertainty (GEPU) dari Davis (2016). Kedua,
Geopolitical Risk Global (GPR_GLOB) dari Caldara dan Iacoviello (2018). Ketiga, yaitu
indeks harga komoditas global (COMM) dari IMF. Sementara untuk tingkat domestik
Indonesia, terdapat tiga variabel, yaitu Geopolitical Risk Indonesia (GPR_IND), nilai tukar
Rupiah terhadap USD (EX_RATE), dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG).
Periode analisis mencakup dari Januari 2010 hingga Januari 2020, dengan frekuensi data
bulanan. Seluruh variabel ditransformasikan ke dalam logaritma. Analisis menggunakan lag 6
bulan. Serta, dilakukan dekomposisi pada error term hasil estimasi VAR menggunakan
Dekomposisi Cholesky. Hal ini dilakukan untuk mengisolasi shock dari masing-masing variabel
terhadap variabel lainnya, sehingga menghindari analisis yang bersifat spurious. Dekomposisi
Cholesky yang diterapkan memiliki urutan sebagai berikut: 𝑓 = (𝐺𝐸𝑃𝑈 → 𝐺𝑃𝑅_𝐺𝐿𝑂𝐵 → 𝐶𝑂𝑀𝑀 →
𝐺𝑃𝑅_𝐼𝑁𝐷 → 𝐸𝑋_𝑅𝐴𝑇𝐸 → 𝐽𝐾𝑆𝐸). Variabel EX_RATE dalam analisis ini diposisikan dimana
kenaikan EX_RATE bermakna apresiasi Rupiah, untuk mempermudah analisis.
Hasil dari estimasi model VAR yang dilakukan disajikan dalam Gambar 6 dan Tabel 1. Pada
Gambar 6, ditampilkan respons dari masing-masing variabel domestic (GPR_IND, EX_RATE,
JKSE) terhadap shock keenam variabel dalam estimasi. Grafik respons ini dikenal sebagai
Impulse Response Function (IRF). Hasil estimasi IRF yang didapatkan menunjukkan error band
yang cukup besar. Hal ini membuat analisis berdasarkan IRF tersebut hanya bisa digunakan
sebagai suatu analisis yang bersifat indikatif semata. Hasil yang didapatkan menunjukkan
bahwa geopolitical risk Indonesia (GPR_IND) merespon secara positif terhadap shock
geopolitical risk global (GPR_GLOB).
2Sebagian analisis pada tulisan ini didasarkan pada pemodelan sederhana menggunakan Vector Autoregression
(VAR) standar. Penulis memastikan bahwa seluruh prosedur yang dilakukan telah memenuhi kaidah standar
estimasi VAR. Meskipun demikian, melihat dari hasil estimasi Impulse Response Function (IRF) dengan error band
yang cukup besar, maka hasil pemodelan ini hanya bisa digunakan sebagai suatu analisis indikatif. Analisis ini
merupakan pandangan pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan PPI Dunia secara resmi. Penulis
maupun PPI Dunia tidak bertanggungjawab atas kerugian-kerugian yang dapat timbul akibat pengambilan
keputusan yand didasarkan pada analisis ini.
Gambar 6. Response Variabel Lokal Terhadap Shock Global dan Lokal
Sumber: Estimasi Penulis
14
Sementara itu, nilai tukar (EX_RATE) tampak merespons secara positif (apresiasi) terhadap
shock GEPU dan COMM. Secara intuitif, hal ini menunjukkan ketidakpastian global direspon
secara positif dengan penguatan Rupiah. Sekilas, hal ini memberikan intuisi yang bertolak
belakang dengan pandangan umum bahwa ketidakpastian global akan berdampak buruk bagi
Indonesia. Meskipun demikian, bila kita melihat GPR_IND bergerak lebih stabil dari
GPR_GLOB, maka bisa diartikan bahwa Indonesia termasuk negara yang secara umum lebih
stabil bila dibandingkan dengan kondisi global. Sehingga wajar apabila terdapat peningkatan
ketidakpastian di level global justru bisa berdampak positif bagi beberapa indikator domestik.
Sementara itu, respon apresiatif EX_RATE terhadap peningkatan COMM bisa dimaknai
sebagai peningkatan kepercayaan terhadap performa ekspor Indonesia. Hal ini mengingat
bahwa sekitar 35% ekspor Indonesia masih didominasi oleh komoditas.3
Terakhir, variabel JKSE tampak secara signifikan merespon positif apresiasi Rupiah
(EX_RATE). Hal ini dapat dikatakan sesuai ekspektasi. Pertama, apresiasi Rupiah dapat
dimaknai secara positif sebagai peningkatan kepercayaan terhadap performa perekonomian
domestik. Kedua, salah satu penyebab utama apresiasi Rupiah diantaranya adalah masuknya
arus uang asing ke pasar modal dalam negeri, sehingga tentu akan sangat wajar bila kenaikan
JKSE diiringi dengan penguatan Rupiah.
Tabel 1. Dekomposisi Varians Hasil Estimasi VAR (Dalam %)
Variabel
Dependen
Kontribusi Shock Masing-Masing Variabel
Total GEPU GPR_GLOB COMM GPR_IND EX_RATE JKSE
GPR_IND 6.72 11.23 4.97 65.54 5.55 5.98 100
EX_RATE 17.33 0.62 17.77 6.23 24.63 33.41 100
JKSE 3.09 4.36 8.08 13.40 12.51 58.56 100
Sumber: Estimasi Penulis
Fitur menarik lainnya dari estimasi VAR adalah dekomposisi varians (variance
decomposition), sebagaimana dijabarkan pada Tabel 1. Dekomposisi ini menjabarkan secara
proporsional dinamika suatu variabel sebagaimana dijelaskan oleh variabel-variabel lainnya
dalam estimasi. Sebagai contoh, tampak bahwa pergerakan GPR_IND dijelaskan sebesar
65.54% oleh dirinya sendiri, 11.23% oleh GPR_GLOB, dan 6.72% oleh GEPU. Hal ini
14
menunjukkan bahwa selain oleh dirinya sendiri, GPR_IND bisa dijelaskan oleh GPR_GLOB
dan GEPU.
Untuk EX_RATE, tampak terdapat tiga faktor dominan yang menjelaskan pergerakannya di luar
dirinya sendiri, yaitu JKSE (33.41%), COMM (17.77%), dan GEPU (17.33%). Hal ini
memperkuat pemahaman umum bahwa nilai tukar Rupiah memang memiliki korelasi positif
terhadap pergerakan harga saham domestik, serta dipengaruhi faktor harga komoditas dan
ketidakpastian perekonomian global.
Terakhir, JKSE tampak cukup dominan dipengaruhi dua faktor domestik selain dirinya sendiri,
yaitu GPR_IND (13.40%) dan EX_RATE (12.51%). Sementara faktor-faktor global hanya
berkontribusi cukup kecil. Hal ini menunjukkan kondisi pasar modal domestik lebih banyak
dipengaruhi oleh faktor- faktor domestik dan hanya dipengaruhi faktor-faktor global secara
tidak langsung.
Sebuah Kejutan di Awal Tahun 2020: Wabah Coronavirus (COVID-19)
Pada penghujung 2019, dunia masih befokus pada analisis seputar faktor-faktor ekonomi
sebagai sumber ketidakpastian global. Tidak ada yang menyangka bahwa akan terjadi suatu
disrupsi signifikan akibat kemunculan varian baru Coronavirus, yaiu COVID-19. Kalaupun ada
yang memprediksi faktor non-ekonomi sebagai sumber ketidakpastian, umumnya akan
mengarah pada faktor terkait perubahan iklim.
Berbeda dengan faktor-faktor ekonomi dan perubahan iklim yang keberadaannya sudah lebih
dulu diketahui dan pergerakannya dapat dipekirakan, pandemi COVID-19 masih menyisakan
banyak misteri. Banyak hal yang belum dipahami terhadap varian baru keluarga virus Korona
tersebut. Dari sudut pandang kemanusiaan, tentu tidak elok untuk memberikan suatu prioritas
tertentu atas menyebarnya suatu pandemi kesehatan baru. Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa
kemunculan pandemi yang terjadi di perekonomian kedua terbesar dunia (Tiongkok) tentu
memunculkan kewaspadaan bagi banyak pihak. Hingga tanggal 22 Februari 2020, terhitung
sudah terdeteksi 78 ribu kasus di lebih dari 30 negara, dengan angka kematian menyentuh lebih
dari 2,300.4 Kabar baiknya adalah terdapat 21 ribu lebih pengidap yang telah dinyatakan
sembuh.
14
Secara ekonomi, dampaknya mulai terasa. Berbagai analisis telah memprediksi bahwa
kemunculan isu kesehatan global ini akan semakin mempercepat perlambatan perekonomian
global. Dampak paling dekat dan serius adalah menurunnya secara drastis berbagai kegiatan
ekonomi yang memerlukan mobilitas orang, seperti pariwisata dan penerbangan. Hal ini
mengingat banyak negara yang segera menerapkan larangan bepergian ke dan dari Tiongkok.
Dalam konteks Indonesia, tidak terdapat kasus positif Coronavirus sejauh ini. Hal ini tentu
memunculkan tanya dan kecurigaan. Pemerintah pun sudah berusaha membuka diri sebaik
mungkin untuk menghalau kecurigaan-kecurigaan tersebut. Terkait dengan transparansi ini,
pemerintah perlu diapresiasi. Meskipun demikian, fakta bahwa banyak persoalan terhadap
ketahanan kesehatan di dalam negeri tentu memerlukan perhatian dan usaha yang lebih serius.
Secara ekonomi, beberapa sektor di Indonesia mulai merasakan dampaknya. Pemerintah
berusaha tanggap dengan mempersiapkan berbagai insentif untuk menghalau dampak negatif
terhadap perekonomian terus meluas. Satu hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa insentif
yang diberikan harus tepat sasaran. Sehingga dapat memberikan dampak yang efektif tanpa
meyisakan persoalan di jangka panjang. Disiplin fiskal pun perlu tetap dijaga, mengingat
prestasi jangka panjang yang telah diraih Kementerian Keuangan tidak elok jika harus runtuh
dalam sesaat. Akhir kata, semoga perlambatan yang terjadi dapat termitigasi dengan baik dan
optimisme pembangunan tetap terjaga.
DAFTAR PUSTAKA
Caldara, D. and Iacoviello, M. (2018). Measuring Geopolitical Risk. International Finance
Discussion Paper, 2018(1222):1–66.
Davis, S. J. (2016). An Index of Global Economic Policy Uncertainty. NBER Working Paper,
(October):1– 12.
14
Global Uncertainty dan Dampaknya terhadap Ketahanan
Fiskal
Chairul Adi
Dampak Ketidakpastian Global terhadap perekonomian dan ketahanan fiskal
Ketidakpastian global berdampak pada melambatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Peningkatan macroeconomic uncertainty sejak kuartal terakhir 2018 berimbas pada
melambatnya pertumbuhan PDB Indonesia pada kuartal pertama 2019 sebagaimana terlihat
pada grafik di bawah ini.
Grafik 1: Laju pertumbuhan PDB triwulanan year-on-year (diolah dari BPS)
Grafik selanjutnya menampilkan struktur PDB dan memberikan gambaran yang lebih detil
mengenai elemen mana yang paling terdampak. Dari grafik tersebut terlihat jelas bahwa kinerja
ekspor mengalami tekanan akibat ketidakpastian global. Pertumbuhan ekspor mulai melambat
pada kuartal keempat 2018. Bahkan, hampir sepanjang tahun 2019 pertumbuhannya negatif,
kecuali pada kuartal ketiga yang tumbuh tipis sebesar 0,1%. Jika dilihat lebih detil lagi, ekspor
migas mengalami penurunan yang sangat tajam dibandingkan ekspor non-migas maupun jasa.
Sepanjang tahun 2019, ekspor migas Indonesia terus mengalami penyusutan, berturut-turut
sebesar -7,82% pada kuartal pertama, -31,95% pada kuartal kedua, -9,01% pada kuartal ketiga,
dan -21,50% pada kuartal terakhir.
14
Grafik 2: Laju pertumbuhan PDB berdasarkan penggunaan (diolah dari BPS)
Tingginya ketidakpastian global telah memicu sentimen proteksionisme di beberapa negara
yang berdampak pada menurunnya transaksi perdagangan internasional. Akibatnya,
permintaan global mengalami kontraksi sebagaimana tercermin dari indeks Global PMI
(Purchasing Managers’ Index) yang terus menunjukkan tren penurunan sepanjang tahun 2019.
Melambatnya permintaan global berimbas pada tertekannya harga komoditas global. Harga
minyak mentah, misalnya, turun lebih dari 10% sepanjang tahun 2019 yang tentu saja
berdampak pada kinerja ekspor migas Indonesia. Perlambatan ekonomi juga membawa
dampak bagi kinerja fiskal pemerintah, khususnya penerimaan pajak.
Grafik di bawah ini menunjukkan bahwa penerimaan perpajakan pada tahun 2019 hanya
tumbuh sebesar 1,7%, merupakan yang terendah setidaknya dalam 10 tahun terakhir.
Grafik 3: Kinerja penerimaan perpajakan (sumber: Kementerian Keuangan, diolah)
Jika dirinci lebih lanjut berdasarkan sektor sebagaimana tersaji pada Tabel 1, terlihat bahwa
sektor pertambangan mengalami kontraksi terbesar, yaitu 19% pada tahun 2019. Hal ini cukup
kontras dengan kondisi tahun 2018 yang justru mencatatkan pertumbuhan tertinggi, yaitu
mencapai 50,7%. Sektor lain yang juga mengalami penurunan adalah industri manufaktur yang
turun sebesar 1,8%. Sementara itu jika dilihat dari jenis pajaknya, PPh migas mengalami
penurunan sebesar 8,7%. Data tersebut mengonfirmasi penjelasan sebelumnya mengenai
dampak ketidakpastian global terhadap harga komoditas global, khususnya minyak dan gas.
Masih dari sisi jenis pajak, PPh Badan juga tercatat mengalami perlambatan, yaitu hanya
tumbuh sebesar 1,07% dari tahun sebelumnya. Hal ini mengindikasikan dampak pelambatan
ekonomi global terhadap sektor produksi di dalam negeri.
Sektor Realisasi 2019 (Rp T) ∆% 2018-2019 ∆% 2017-2018
Industri pengolahan 365,39 (1,8) 10,9
Perdagangan 246,85 2,9 20,5
Jasa keuangan dan asuransi 175,98 7,7 11,5
Konstruksi dan real estat 89,65 3,3 6,0
Pertambangan 66,12 (19,0) 50,7
Transportasi dan
pergudangan
50,33 18,7 14,4
Tabel 1: Realisasi pajak tahun 2019 berdasarkan sektor (sumber: Kementerian Keuangan)
Melesetnya target penerimaan pajak berdampak pada melebarnya defisit fiskal tahun 2019 ke
level 2,2%, atau sekitar Rp353 triliun. Meskipun masih dalam batas aman (di bawah 3% dari
PDB), defisit anggaran mengalami kenaikan dari tahun lalu yang tercatat sebesar 1,82% atau
sekitar Rp269 triliun. Dengan kata lain, secara nominal defisit anggaran naik sekitar 31% dari
tahun lalu, atau setara Rp83,61 triliun. Dengan tingginya short fall penerimaan pajak,
konsekuensinya pemerintah harus menambah utang untuk menambal defisit anggaran. Selama
tahun 2019, pemerintah tercatat telah menerbitkan SBN sebanyak Rp903,36 triliun dan
pinjaman sebesar Rp74,22 triliun. Dengan demikian sampai dengan akhir tahun 2019 total
utang pemerintah mencapai Rp4.779,28 triliun, yang terdiri dari Rp4.014,81 triliun SBN dan
Rp763,79 triliun pinjaman. Dibanding tahun sebelumnya, jumlah tersebut naik sekitar Rp317,5
triliun (7,12%). Sementara itu, rasio utang pemerintah terhadap PDB tercatat sebesar 29,8%.
Meski utang Indonesia terus bertambah, namun hal tersebut sepertinya tidak mempengaruhi
kemampuan Indonesia untuk menarik utang. Dengan rasio utang terhadap PDB yang masih di
kisaran 30%, kepercayaan investor terhadap kapasitas fiskal pemerintah diperkirakan masih
tetap terjaga. Sejak 2017 Indonesia juga telah memperoleh predikat investment grade (BBB)
dari seluruh lembaga pemeringkat global. Bahkan pada Januari 2020, JCRA, lembaga
pemeringkat dari Jepang, telah menaikkan peringkat sovereign credit Indonesia ke level BBB+.
Hal ini mengindikasikan turunnnya risiko kredit dan meningkatnya kapasitas pengelolaan
utang pemerintah.
Selain itu, ketidakpastian global telah mendorong negara-negara di dunia untuk menerapkan
kebijakan moneter yang ekspansif, di antaranya dengan menurunkan suku bunga acuan.
Akibatnya, modal mengalir ke negara-negara emerging market dengan suku bunga yang lebih
kompetitif, termasuk Indonesia. Masuknya likuiditas global berdampak pada menurunnya
tingkat imbal hasil (yield) Surat Utang Negara (SUN). Sebagai gambaran, yield untuk SUN
tenor 10 Rupiah tahun turun dari 7,997% pada akhir 2018 menjadi 7,047% pada akhir tahun
2019, atau turun sekitar 12%. Beberapa lelang SBN di awal tahun 2020 juga tercatat
membukukan penawaran beli (bid) yang cukup tinggi sehingga yield dapat lebih optimal. Tren
penurunan yield tentu saja berdampak positif bagi ruang gerak fiskal karena beban bunga utang
yang harus dibayar pemerintah akan menurun.
Data-data di atas menunjukkan bahwa pemerintah diperkirakan tidak akan mengalami kesulitan
dalam menerbitkan SBN sepanjang tahun 2020. Namun yang perlu diwaspadai, tingginya
global uncertainty juga membuka peluang terjadinya sudden reversal atau penarikan modal
secara tiba-tiba. Terlebih, porsi investor non-residen di pasar keuangan Indonesia terbilang
cukup tinggi. Di pasar SBN, misalnya, porsi investor asing tercatat naik dari 37,71% pada tahun
2018 menjadi 38,60% pada tahun 2019. Sayangnya, pemicu terjadinya sudden reversal bisa dari
mana saja dan sukar untuk diprediksi, termasuk situasi geopolitik dunia yang tentu saja di luar
jangkauan pemerintah Indonesia. Mitigasi yang dapat dilakukan pemerintah adalah dengan
memperkuat basis investor domestik sehingga dapat menjadi buffer untuk meminimalisir
dampak sudden reversal terhadap stabilitas pasar.
Secara teoritis, realisasi program-program pemerintah dapat terancam akibat menurunnya
kinerja penerimaan pajak. Namun, data menunjukkan bahwa realisasi belanja pemerintah
mampu tumbuh sebesar 3% dibanding tahun lalvu meskipun penerimaan pajak hanya tumbuh
sebesar 1,7%. Hal ini mengindikasikan stance pemerintah untuk tidak melakukan penghematan
belanja meskipun penerimaan pajak kurang menggembirakan. Hal ini dapat dipahami sebagai
upaya pemerintah mempertahankan pertumbuhan ekonomi di tengah tekanan pelambatan
ekonomi global. Namun jika dilihat lebih detil pada tabel di bawah ini, terlihat bahwa
pertumbuhan cukup besar terjadi pada pos belanja bantuan sosial. Hal ini menunjukkan bahwa
fokus pemerintah adalah mempertahankan daya beli, khususnya bagi masyarakat menengah ke
bawah. Sebaliknya, belanja barang dan belanja modal justru mengalami penurunan.
Belanja Realisasi 2019 (Rp T) Capaian (%) Growth (%)
Belanja pegawai 375,84 98,50 8,35
Belanja barang 333,98 96,74 (3,88)
Belanja modal 180,92 95,55 (1,74)
Pembayaran bunga utang 275,54 99,88 6,82
Subsidi 201,83 89,98 (6,94)
Belanja hibah 6,47 333,53 325,67
Tabel 2: Realisasi belanja pemerintah pusat (sumber: Kementerian Keuangan)
Belanja bantuan sosial 113,08 110,80 34,11
Belanja lain-lain 11,25 9,87 (30,39)
TOTAL 1.498,91 91,71 3,00
Antisipasi pemerintah melalui APBN 2020
Meskipun ketidakpastian global diperkirakan masih terus berlanjut di tahun 2020, beberapa
pihak memperkirakan dampaknya terhadap perekonomian global tidak seburuk tahun lalu. IMF
memperkirakan ekonomi global akan tumbuh sebesar 3,3% tahun ini, lebih tinggi dari estimasi
pertumbuhan tahun 2019 yang hanya sebesar 2,9%. Untuk Indonesia sendiri, pertumbuhan
ekonomi diproyeksi sebesar 5,1-5,5% (Bank Indonesia), 5,1% (IMF dan World Bank), 5,2%
(ADB), dan 4,8% (INDEF). Dalam APBN 2020, pemerintah bahkan menargetkan
pertumbuhan ekonomi sebesar 5,3%. Dibandingkan proyeksi dari institusi lainnya, outlook
pemerintah tersebut terbilang cukup optimistis.
Demikian halnya dengan postur APBN 2020 sebagaimana terlihat pada tabel di bawah ini.
Pemerintah optimis penerimaan perpajakan tahun ini dapat tumbuh sebesar 20,73% jika
dibandingkan realisasi tahun lalu, atau tumbuh sebesar 15,60% jika dibandingkan dengan
APBN 2019. Target tersebut terbilang sangat tinggi dan sepertinya akan sulit tercapai. Tahun
lalu, dengan pertumbuhan PDB sebesar 5,02%, penerimaan perpajakan hanya tumbuh 1,7%
(Grafik 4). Artinya, 1% pertumbuhan PDB berkontribusi pada kenaikan realisasi pajak sebesar
0,3%. Jika ditarik ke belakang, elastisitas pertumbuhan realisasi penerimaan perpajakan
terhadap pertumbuhan PDB rata-rata sebesar 2,3. Jika mengacu pada angka ini dan dengan
asumsi PDB dapat tumbuh sebesar 5,3% pada tahun 2020, maka penerimaan perpajakan
diperkirakan hanya akan tumbuh sebesar 12,19% dari realisasi tahun lalu.
Demikian halnya dengan postur APBN 2020 sebagaimana terlihat pada tabel di bawah ini.
Pemerintah optimis penerimaan perpajakan tahun ini dapat tumbuh sebesar 20,73% jika
dibandingkan realisasi tahun lalu, atau tumbuh sebesar 15,60% jika dibandingkan dengan
APBN 2019. Target tersebut terbilang sangat tinggi dan sepertinya akan sulit tercapai. Tahun
lalu, dengan pertumbuhan PDB sebesar 5,02%, penerimaan perpajakan hanya tumbuh 1,7%
(Grafik 4). Artinya, 1% pertumbuhan PDB berkontribusi pada kenaikan realisasi pajak sebesar
0,3%. Jika ditarik ke belakang, elastisitas pertumbuhan realisasi penerimaan perpajakan
terhadap pertumbuhan PDB rata-rata sebesar 2,3. Jika mengacu pada angka ini dan dengan
asumsi PDB dapat tumbuh sebesar 5,3% pada tahun 2020, maka penerimaan perpajakan
diperkirakan hanya akan tumbuh sebesar 12,19% dari realisasi tahun lalu.
Pos APBN 2020 (Rp T) Realisasi 2019 (RP T) Growth (%)
Pendapatan negara 2.233,2 1.957,2 14,10
Penerimaan perpajakan 1.865,7 1.545,3 20,73
Belanja negara 2.540,4 2.310,2 9,96
Belanja pemerintah pusat 1.683,5 1.498,9 12,32
Transfer ke daerah dan dana
desa
856,9 811,3 5,62
Defisit 307,2 353,0 (12,97)
Defisit (% terhadap PDB) 1,76% 2,20% (20,00)
Tabel 3: Postur APBN 2020 (sumber: Kementerian Keuangan)
Grafik 4: Pertumbuhan penerimaan perpajakan dan pertumbuhan PDB (sumber:
Kementerian Keuangan, diolah)
Dari sisi belanja, sebagaimana terlihat pada tabel di bawah ini, anggaran pendidikan dan
kesehatan mengalami kenaikan terbesar. Sementara itu, alokasi belanja perlindungan sosial
hanya tumbuh sekitar 1%. Angka ini lebih kecil dibandingkan tahun sebelumnya yang naik
sekitar 7%. Pertumbuhan anggaran infrastruktur mengalami akselerasi dibanding periode
sebelumnya yang tercatat hanya tumbuh sekitar 1,4%. Dari alokasi belanja tersebut, terlihat
bahwa pemerintah tahun ini fokus pada peningkatan kualitas SDM melalui peningkatan
kualitas pendidikan dan kesehatan. Langkah ini cukup strategis dalam meningkatkan daya
saing Indonesia di masa mendatang. Namun, efeknya terhadap perekonomian umumnya
belum akan terlihat dalam jangka pendek. Kenaikan belanja infrastruktur diharapkan dapat
mendorong pergerakan ekonomi dalam jangka pendek meskipun dampak yang lebih besar
umumnya juga baru akan terlihat dalam jangka panjang.
Tabel 4: Alokasi belanja APBN 2020 (sumber: Kementerian Keuangan)
Untuk membiayai APBN 2020, kebutuhan pembiayaan diperkirakan mencapai Rp741,83
triliun yang akan dipenuhi sebesar Rp690,51 triliun (93,1%) dari penerbitan SBN dan sebesar
Rp51,32 triliun (6,9%) dari pinjaman. Jumlah tersebut lebih rendah dari realisasi tahun 2019.
Namun melihat target penerimaan pajak tahun 2020 yang terlalu tinggi, jumlah kebutuhan
pembiayaan pemerintah diperkirakan akan membengkak. Dengan outlook peringkat kredit
Indonesia yang cukup positif, pemerintah sepertinya tidak akan kesulitan memenuhi kebutuhan
pembiayaan tersebut.
Catatan akhir
Meningkatnya global uncertainty dalam setahun terakhir telah berdampak pada melambatnya
pertumbuhan ekonomi Indonesia. Di sisi fiskal, dampak ketidakpastian dan pelambatan
ekonomi global terlihat jelas pada kinerja penerimaan perpajakan, khususnya di sektor
pertambangan. Untuk menjaga pertumbuhan, pemerintah berusaha mendorong belanja
khususnya untuk mempertahankan daya beli masyarakat kelas menengah ke bawah.
Konsekuensinya, pemerintah harus menerbitkan lebih banyak utang. Dari sisi risiko,
peningkatan jumlah utang pemerintah sejauh ini masih dalam level aman. Namun, yang perlu
diperhatikan adalah potensi terjadinya sudden reversal yang dapat membahayakan stabilitas
pasar keuangan. Perlu upaya keras untuk menciptakan buffer melalui peningkatan kapasitas
dan pendalaman pasar domestik. Perekonomian Indonesia diperkirakan masih akan dibayangi
ketidakpastian global selama tahun 2020. Meski demikian, pemerintah terlihat sangat
optimistis dengan menargetkan pertumbuhan penerimaan perpajakan mencapai 20,73% dari
realisasi tahun 2019.
Belanja APBN APBN 2020 (Rp T) Outlook 2019 (RP T) Growth (%)
Pendidikan 508,1 478,4 6,21
Kesehatan 132,2 117,0 12,99
Perlindungan sosial 372,5 369,1 0,92
Infrastruktur 423,3 399,7 5,90
Dengan kondisi global yang masih tidak menentu, target tersebut kemungkinan besar tidak
akan tercapai. Dari sisi belanja, pemerintah perlu mempertahankan alokasi belanja meskipun
target penerimaan pajak diperkirakan tidak tercapai. Hal ini penting untuk mempertahankan
momentum pertumbuhan. Yang tidak kalah penting adalah memastikan bahwa anggaran
dialokasikan untuk pos belanja yang produktif. Alokasi belanja dimaksud bukan hanya yang
berkontribusi pada penciptaan pertumbuhan dalam jangka panjang saja namun perlu
diperhatikan juga keseimbangan untuk mendorong pertumbuhan dalam jangka pendek serta
menjaga daya beli masyarakat. Langkah tersebut tentu saja akan memperlebar defisit anggaran
dan memaksa pemerintah menerbitkan lebih banyak utang. Namun dengan melihat risiko utang
pemerintah saat ini, penambahan utang diperkirakan tidak akan mengganggu kesehatan
keuangan pemerintah. Namun yang perlu diperhatikan adalah bagaimana menggali potensi
sumber pembiayaan yang berasal dari investor domestik yang perlu diperhatikan adalah potensi
terjadinya sudden reversal yang dapat membahayakan stabilitas pasar keuangan. Perlu upaya
keras untuk menciptakan buffer melalui peningkatan kapasitas dan pendalaman pasar domestik.
Perekonomian Indonesia diperkirakan masih akan dibayangi ketidakpastian global selama
tahun 2020. Meski demikian, pemerintah terlihat sangat optimistis dengan menargetkan
pertumbuhan penerimaan perpajakan mencapai 20,73% dari realisasi tahun 2019. Dengan
kondisi global yang masih tidak menentu, target tersebut kemungkinan besar tidak akan
tercapai. Dari sisi belanja, pemerintah perlu mempertahankan alokasi belanja meskipun target
penerimaan pajak diperkirakan tidak tercapai. Hal ini penting untuk mempertahankan
momentum pertumbuhan. Yang tidak kalah penting adalah memastikan bahwa anggaran
dialokasikan untuk pos belanja yang produktif. Alokasi belanja dimaksud bukan hanya yang
berkontribusi pada penciptaan pertumbuhan dalam jangka panjang saja namun perlu
diperhatikan juga keseimbangan untuk mendorong pertumbuhan dalam jangka pendek serta
menjaga daya beli masyarakat. Langkah tersebut tentu saja akan memperlebar defisit anggaran
dan memaksa pemerintah menerbitkan lebih banyak utang. Namun dengan melihat risiko utang
pemerintah saat ini, penambahan utang diperkirakan tidak akan mengganggu kesehatan
keuangan pemerintah. Namun yang perlu diperhatikan adalah bagaimana menggali potensi
sumber pembiayaan yang berasal dari investor domestik.
DAFTAR PUSTAKA
1. BPS 2020, accessed 1 February 2020, [www.bps.go.id].
2. Jurado, K, Ludvigson, SC & Ng, S 2015, ‘Measuring uncertainty’, The American
Economic Review, vol. 105, no. 3, pp. 1177-1216.
3. Kementerian Keuangan 2020, accessed 1 February 2020, [www.kemenkeu.go.id].
Tantangan dan Peluang Meningkatkan Neraca Perdagangan di
Era Ketidakpastian Global
M Putra Hutama
Pada bagian ini akan kami sajikan ulasan mengenai dampak ketidakpastian global terhadap
kondisi ekspor dan impor Indonesia. Secara umum, kami akan menjabarkan latar belakang
masalah perang dagang antara dua negara adidaya yaitu Amerika Serikat dan Tiongkok serta
dampak terhadap performa ekspor dan impor Indonesia. Selain itu, pada bagian ini juga kami
akan menjelaskan proses negosiasi Indonesia-European Union Comprehensive Economics
Partnership Agreement (IEU-CEPA) sebagai salah satu solusi Indonesia untuk menciptakan
pasar baru. Meskipun sampai saat ini belum ada persetujuan IEU-CEPA, Indonesia dan EU
telah melakukan 9 kali pertemuan untuk membahas poin-poin persetujuan. Kami akan
menjabarkan alasan mengapa perjanjian ini dirasa penting bagi Indonesia dan komoditas apa
saja yang akan menjadi unggulan agar dapat dinegosiasikan untuk penurunan tariff.
Ketidakpastian global akibat perang dagang
Beberapa tahun terakhir dunia sedang dihadapkan dengan ketidakpastian. Hal ini dipicu salah
satunya oleh perang dagang antara dua negara dengan kekuatan ekonomi terbesar saat ini yaitu
Tiongkok dan Amerika serikat. Perang dagang ini dimulai pada tahun 2017, saat Amerika
serikat (AS) menyatakan bahwa impor solar panel dan mesin cuci dapat membahayakan
industri dalam negeri AS lalu dilanjutkan dengan menaikan tarif impor untuk produk tersebut
ditahun 2018. Aksi balasan juga dilakukan oleh Tiongkok dengan menaikan tarif produk
sorgum dari Amerika Serikat sebesar 178,6% dengan alasan anti-dumping. Perang menaikan
tarif tidak berhenti hanya untuk kedua produk tersebut, hingga tahun 2019 kedua negara
menaikan tarif produk seperti baja, besi, buah, kacang, babi, kendaraan, pesawat terbang, kapal,
kedelai, dan lain lain (Bown & Kolb, 2020). Perang dagang yang dimulai oleh Amerika Serikat
diduga kuat merupakan langkah Amerika untuk memulihakan defisit neraca dagang sebesar
796 miliar USD yang hampir setengahnya merupakan defisit dagang dengan Tiongkok (WITS,
2020). Tujuan lainnya adalah AS berniat untuk meningkatkan pendapatan dari hak Cipta,
Paten, dan Merek Dagang yang selama ini diklaim tidak didapatkan sesuai dengan porsinya.
Aksi yang dilakukan oleh kedua negara adidaya ini memicu penurunan perdagangan global
serta memberikan dampak yang lebih buruk bagi negara “emerging” seperti Indonesia. Dapat
kita lihat pada grafik dibawah, meskipun penurunan nilai perdagangan dunia sudah dimulai
sejak tahun 2015, kami berpendapat bahwa penurunan sebesar 5,8% (2014-2017) merupakan
sumbangsih dari penurunan nilai perdagangan produk-produk “perang tarif” AS-Tiongkok.
Dampak dirasakan oleh Indonesia adalah pertumbuhan impor lebih besar dari ekspor sehingga
menyebabkan defisit neraca perdagangan sebesar USD8 miliar. Hal ini merupakan defisit untuk
pertama kalinya sejak 2014 bahkan lebih besar dari defisit yang Indonesia terima ditahun 2012.
Defisit tersebut diduga kuat merupakan dampak dari perang dagang AS-Tiongkok dikarenakan
menurut data BPS impor Indonesia naik dikarenakan impor non-gas.
Perang dagang berdampak buruk bagi negara diluar AS dan Tiongkok dikarenakan terdapatnya
oversupply produk perang tarif di pasar internasional, hal ini menyembabkan penurunan harga
produk tersebut yang cukup signifikan. Penurunan harga tersebut membuat barang impor dari
Tiongkok maupun AS menjadi lebih kompetitif di negara negara berkembang termasuk
Indonesia. Data yang kami peroleh dari Trademap menyatakan produk-produk impor seperti
Mesin (HS84), Mesin Listrik (HS85) serta Baja dan Besi (HS72) mengalami kenaikan rata rata
sebesar 36,41% 2017-2018. Selain itu, Ekspor Indonesia mengalami perlambatan pertumbuhan
dikarenakan harga dari barang substitusi produk ekspor Indonesia mengalami penurunan harga.
Grafik 1. Perdagangan International 2012-2018 (Sumber: Perhitungan penulis berasal dari
Trademap)
250 15
200 12
8 9 10
150 5
100 -2
0 -2
50 -4 -5
0
2013 2014 2015 2016 2017
-8 -10
2018 2012
Perdagangan Global- in Triliun $
Ekpor Indonesia- miliyar $
Impor Indonesia - miliyar $
Neraca perdagangan Indonesia - miliyar $
Meningkatkan Neraca Perdaganagan Melalui IEU-CEPA (Indonesia-
European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement)
Dengan adanya ketidakpastian global yang salah satu penyebabnya adalah ketidakpastian
perjanjian multirateral dibawah World Trade Organization, langkah tepat yang harus diambil
oleh setiap negara termasuk Indonesia guna meningkatkan nilai ekspor adalah mencari partner
untuk melakukan perjanjian dagang baik bilateral atau regional. Saat ini Indonesia memiliki 17
perjanjian dagang yang sedang dinegosiasikan baik bilateral maupun regional7. Perjanjian yang
menarik untuk didiskusikan adalah perjanjian dengan negara Uni-Eropa. Uni-Eropa merupakan
pasar besar dengan GDP sebesar 18.678 Triliun USD dan populasi sebanyak 513 juta orang
(World Bank , 2020). Uni-Eropa merupakan gabungan dari 27 negara yaitu Austria, Belgia,
Bulgaria, Kroasia, Ciprus, Ceko, Denmark, Estonia, Finlandia, Prancis, Jerman, Yunani,
Hongaria, Irlandia, Italia, Latvia, Lithuania, Luxemburg, Malta, Belanda, Polandia, Portugal,
Romania, Slovakia, Slovenia, Spanyol, dan Swedia yang memiliki pasar tunggal dan bebas
perpindahan barang. Selain itu, perjanjian ini juga menarik untuk dibahas karena komitmen
Uni-Eropa untuk pelarangan Produk Sawit pada tahun 2020 yang dimana Sawit merupakan
produk unggulan dari Indonesia. Data terakhir yang didapakan dari trademap menyatakan
terjadi penurunan impor sawit oleh Eropa sebesar 69,5% 2018-2019. Melalui perjanjian ini
diharapkan Indonesia akan membuka peluang ekspor produk sawit.
Vietnam telah menyepakati perjanjian dagang oleh Uni-Eropa sejak tahun 2012. Berikut kami
menyajikan perbandingan antara Indonesia dan Vietnam ekspor produk ke Eropa baik sebelum
perjanjian maupun sesudah perjanjian. Pada tahun 2011, ekspor dan market share produk
Indonesia di Eropa lebih besar dibandingkan dengan produk Vietnam. Pada tahun 2012, Ekspor
dan market share produk Vietnam lebih besar dibanding produk Indonesia. Perlu dicatat, pada
tahun 2012, Vietnam dan Uni-Eropa telah sepakat untuk menurunkan tarif dan non-tariff
barriers. Dampak perjanjian dagang tersebut dapat dilihat sangat signifikan karena ekspor dan
market share produk Vietnam terus meningkat. Berbanding terbalik dengan Indonesia dimana
terus mengalami penurunan ekspor serta market share. Hingga pada tahun 2018, persentase
perbedaan ekspor Indonesia ke eropa dengan Vietnam ke Eropa sebesar 241% dan persentase
perbedaan market share adalah sebesar 248%.
Grafik 2. Indonesia vs Vietnam (Sumber: Trademap, perhitungan penulis)
Pada tahun 2019, Indonesia dan Uni-Eropa telah melakukan 9 kali pertemuan untuk
merampungkan perjanjian dagang tersebut. Negosiasi pertama Uni-Eropa dan Indonesia
dilakukan pada 18 Juli 2016 di Brussel. Sekitar 80% perjanjian yang dinegosiasikan akan
rampung, jika tidak meleset dari perkiraan IEU-CEPA akan disetujui tahun 2020 ini. Indonesia
akan menjadi negara ke 6 di asia tenggara yang memiliki perjanjian dagang dengan Uni-Eropa
yang sebelumnya Uni-Eropa telah memiliki perjanjian dagang dengan Singapura (2010),
Malaysia (2010), Vietnam (2012), Thailand (2013), dan Filipina (2015) (European Union,
2020). Sejauh ini Indonesia telah mengekspor produk ke beberapa negara besar Eropa seperti
Spanyol, Jerman dan Belanda dengan 5 produk unggulan yaitu Minyak Hewan dan Tumbuhan
(HS15), Alas Kaki (HS64), Produk Kimia (HS38), Mesin Listrik(HS85), dan produk karet
(HS40).
Tabel 1. Revealed Comparative Advantage Produk Indonesia 2018 (Sumber: World Integrated
Trade Solution or WITS)
Dapat kita lihat pada tabel 1, berdasarkan hasil Revealed Comperative Advantage Indonesia ke
dunia memiliki keunggulan untuk mengekspor produk makanan olahan, alas kaki, bahan bakar,
hasil tambang, textile dan baju, plastik atau karet, sayuran, dan kayu (lebih dari 1,00). Terdapat
beberapa produk unggulan Indonesia ke dunia akan tetapi tidak menjadi produk unggulan
Indonesia di Uni-Eropa seperti Bahan Bakar, Hasil Tambang, dan Sayuran. Ada beberapa
kemungkinan alasan produk unggulan Indonesia tersebut tidak menjadi produk unggulan di
Eropa. Pertama, tarif yang ditetapkan oleh Uni- Eropa kemungkinan tinggi, sehingga produk
Indonesia tersebut menjadi mahal dan tidak kompetitif. Kedua, terdapat perbedaan standar yang
ditetapkan oleh Uni-Eropa sehingga produk terebut bisa masuk ke pasar Uni-Eropa. Indonesia
sebetulnya memiliki ruang untuk meningkatkan nilai ekspor khususnya melalui produk produk
unggulan ini. Kami menyarankan Indonesia untuk bernegosiasi dengan Uni-Eropa melalui
perjanjian IEU-CEPA agar menurunkan tarif serta mempermudah masuknya produk unggulan
tersebut (Non-Tariff Barriers).
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Center for Strategic and International Studies (Damuri,
Atje, & Soedjito, 2017), potensi yang dapat Indonesia hasilkan dengan IEUCEPA adalah
meningkatnya ekspor produk Indonesia sebesar 5,4% per tahun jika skema penghapusan tarif
terlaksana untuk setiap produk. Skema kedua adalah jika Indonesia gagal menyetujui perjanjian
ini sekaligus Uni-Eropa menghapus kebijakan Generalized System of Preference (GSP) maka
Indonesia akan mengalami penurunan ekspor ke Uni-Eropa sebesar 8% pertahun. Hal ini
dikarenakan produk alas kaki, tekstil, dan baju mendapatkan fasilitas tarif GSP.
DAFTAR PUSTAKA
Bown, C. P., & Kolb, M. (2020, January 24). Trump’s Trade War Timeline: An Up-to-Date Guide.
Retrieved from Peterson Institute for International Economics:
https://www.piie.com/sites/default/files/documents/trump-trade-war-
timeline.pdf
Damuri, Y. R., Atje, R., & Soedjito, A. (2017). Study on the Impact of an EU-Indonesia CEPA.
Jakarta: Center for Strategic and International Studies.
European Union. (2020, January 17). EU-Indonesia CEPA Negotiations. Retrieved from
European Union External Actions:
https://eeas.europa.eu/headquarters/headquarters- homepage/53277/eu-indonesia-
cepa-negotiations_zh-hans
WITS. (2020). Retrieved from US Trade Summary.
World Bank . (2020). European Union . Retrieved from The World
Bank Data: https://data.worldbank.org/region/european-union
Volatilitas Komoditas Minyak Bumi bagi Perekonomian
Indonesia
Hadi Prasojo
Peran komoditas minyak bumi pada perekonomian
Komoditas energi memiliki peranan penting dalam perekonomian karena digunakan sebagai
faktor produksi oleh industri maupun konsumsi oleh individu / rumah tangga dalam berbagai
wujud. Salah satu dari komoditas energi tersebut adalah minyak bumi, yang produk turunan /
olahan hasil pengilangan (refinery)-nya digunakan dalam berbagai hal dalam kehidupan, mulai
dari bahan bakar minyak (BBM) untuk kendaraan hingga produk petrokimia untuk industri.
Indonesia cukup bergantung dengan komoditas minyak bumi, dapat dilihat dari salah satu
indikator yang mewakili yaitu porsi minyak bumi dalam konsumsi energi primer (oil share of
primary energy). Pada 2018, Indonesia mengonsumsi minyak bumi sebesar 83,4 mtoe (juta ton
ekuivalen minyak) dari total 185,5 mtoe energi yang dikonsumsi (BP, 2019), sehingga porsi
minyak bumi dalam konsumsi energi primer sebesar 44.96%. Jika dibandingkan dengan total
dunia yang sebesar 33,62 % atau total Asia-Pasifik sebesar 28,32%, tentunya nilai tersebut
cukuplah besar. Perbandingan porsi minyak bumi dalam konsumsi energi primer dengan negara
lainnya ditampilkan pada Gambar 1.
Gambar 1. Porsi minyak bumi dalam konsumsi energi primer negara (%), 2018 (Sumber: BP, 2019;
diolah)
100%
90%
80%
70%
60%
Indonesia,
44.96% 40%
30%
20%
Total Asia Pacific,
28.32%
Total World,
33.62%
10%
0%
Uzb
ekis
tan
Ukr
aine
Trin
idad
& T
ob
ago
Icel
and
Chin
a
Rus
sian
Fed
erat
ion
Kaz
akh
stan
Sou
th A
fric
a
Esto
nia
No
rway
Turk
men
ista
n
Ban
glad
esh
Cze
ch R
epub
lic
Qat
ar
Slo
vaki
a
Bul
gari
a
Swed
en
Bel
aru
s
Tota
l Asi
a P
acif
ic
Pak
ista
n
Vie
tnam
Ind
ia
Om
an Ir
an
Ven
ezu
ela
Rom
ania
Pola
nd
Turk
ey
Cana
da
Aze
rbai
jan
Fran
ce
Tota
l W
orld
Alg
eria
Ger
man
y
Col
om
bia
Arg
enti
na
Finl
and
Aus
tral
ia
Mal
aysi
a
Hu
nga
ry
Swit
zerl
and
Slo
ven
ia
Aus
tria
New
Zea
land
No
rth
Mac
edo
nia
Egyp
t
Ital
y
US
Uni
ted
Kin
gdo
m
Jap
an
Un
ited
Ara
b E
mir
ates
Taiw
an
Cro
atia
Sou
th K
orea
Mex
ico
Port
ugal
Isra
el
Latv
ia
Indo
nesi
a
Chi
le
Bra
zil
Peru
Den
mar
k
Phili
ppin
es
Spai
n
Net
herl
ands
Irel
and
Thai
land
Kuw
ait
Bel
giu
m
Lith
uan
ia
Gre
ece
Sau
di A
rab
ia
Mor
occo
Sri
Lank
a
Ecua
dor
Ch
ina
Hon
g K
ong
SAR
Iraq
Luxe
mbo
urg
Sing
apor
e
Cypr
us
40,000
30,000
20,000
10,000
40,000
30,000
20,000
10,000
Dalam proses pemenuhannya, Indonesia telah menjadi negara net oil importer semenjak tahun
2004 mengingat kebutuhan konsumsi yang terus meningkat sementara tingkat produksi yang
menurun. Sehingga diperlukan impor untuk pemenuhan kebutuhan tersebut baik berupa
minyak mentah (crude oil) maupun minyak olahan. Terus mengingkatnya volume dan nilai
impor minyak mentah maupun olahan di Indonesia dapat dilihat pada Gambar 2 dan Gambar 3.
Pada tahun 2018, Indonesia mengimpor minyak mentah senilai US$9,2 miliar dan minyak
olahan senilai US$17,6 miliar sedangkan ekspor minyak mentah senilai US$5,2 miliar dan
minyak olahan senilai US$1,6 miliar. Produk minyak mentah dan olahan inilah yang juga turut
menyumbangkan defisit neraca perdagangan Indonesia saat ini.
Gambar 2. Volume ekspor-impor minyak Indonesia (ribu ton), 2000-2018 (Sumber: BPS, 2019)
Gambar 3. Nilai ekspor-impor minyak Indonesia (juta US$), 2000-2018 (Sumber: BPS, 2019)
160
140
120
100
80
60
40
Besarnya volume impor minyak mentah maupun olahan membuat Indonesia sangatlah
bergantung dengan harga minyak mentah di tingkat global dalam penentuan nilainya.
Pentingnya harga minyak mentah global tersebut menjadikannya salah satu indikator dalam
asumsi makro pada Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) Indonesia,
selain juga disertai indikator energi lainnya yaitu lifting (tingkat produksi) minyak dan gas
bumi. Di samping itu, harga minyak mentah Indonesia (Indonesia Crude Price / ICP) sendiri
diformulasikan dalam peraturan Keputusan Menteri ESDM berdasarkan harga keekonomian
lapangan-lapangan yang ada di Indonesia juga menyesuaikan dengan harga tingkat global
(ESDM, 2020). Mempelajari bagaimana harga minyak mentah global terbentuk penting untuk
dilakukan.
Secara historis harga minyak mentah global dalam beberapa tahun ke belakang mengalami
banyak fluktuasi. Sebagai ilustrasi ditampilkan salah satu harga minyak mentah ringan dari
kawasan North Sea yang umum dijadikan acuan global yaitu Dated Brent pada Gambar 4
Gambar 4. Harga minyak mentah global acuan Dated Brent (US$/barrel), 2000-2019
(Sumber: IndexMundi, 2020)
Beberapa faktor yang membentuk fluktuasi dan volatilitas harga minyak global tersebut adalah
sebagai berikut:
▪ Layaknya produk lainnya, harga dibentuk oleh adanya mekanisme pasar (supply dan
demand) pun termasuk dengan komoditas energi lainnya. Contohnya adalah dengan
meningkatnya supply dari mulai berproduksinya shale oil AS dan oil sand Kanada pada Q3
2014 - Q1 2015 yang membuat jatuhnya harga minyak (Dated Brent) dari 97,34 US$/barrel
pada September 2014 menjadi 55,79 US$/barrel pada Maret 2015.
▪ Kejadian krisis contohnya krisis finansial global pada Q3 2008 yang membuat
jatuhnya harga minyak dari 99,06 US$/barrel pada September 2008 menjadi 41,58
US$/barrel pada Desember 2008.
▪ Beberapa negara yang memiliki tingkat produksi minyak tinggi berperan besar dalam
penentuan harga minyak. Contohnya adalah upaya negara-negara anggota OPEC
(Organization of the Petroleum Exporting Countries) memotong produksinya hingga 4,2
juta barrel/day pada Q1 2009 yang membuat kembali meningkatnya harga minyak dari
US$41,58/barrel pada Desember 2008 menjadi US$68,62/barrel pada juni 2009. Adapun
dikarenakan turunnya pengaruh OPEC, saat ini negara-negara OPEC berkoordinasi dengan
negara-negara non-OPEC membentuk forum OPEC+ dengan harapan yang sama untuk
menstabilkan harga minyak.
▪ Kondisi geopolitik global, contohnya adalah kasus terorisme 9/11 pada Q3 2001 yang
membuat jatuhnya harga minyak dari 25,54 US$/barrel pada September 2001 menjadi 18,6
US$/barrel pada Desember 2001.
Upaya mengurangi resiko volatilitas harga minyak mentah global
Berdasarkan beberapa kajian (Bacon & Kojima, 2008; Kojima, 2009) dan opini penulis, upaya-
upaya mengurangi resiko volatilitas harga minyak mentah global sekaligus menjawab
tantangan energy trilemma (ketahanan pasokan, keterjangkauan, dan keberlanjutan lingkungan
termasuk perubahan iklim) yang juga dapat diterapkan bagi Indonesia didiskusikan sebagai
berikut:
▪ Memenuhi target lifting serta peningkatan infrastruktur pengolahan dan
penyimpanan. Mengingat besarnya nilai impor minyak tidak hanya pada minyak mentah
namun juga minyak yang telah diolah. Upaya-upaya pemenuhan target lifting minyak mentah
domestik dilakukan melalui pembaruan sistem kontrak untuk meningkatkan investasi,
eksplorasi baru untuk peningkatan penemuan cadangan, efisiensi produksi, hingga
pelaksanaan teknik-teknik produksi tersier (enhance oil recovery dll) pada lapangan tua.
Adapun upaya peningkatan produksi minyak olahan dilakukan melalui peningkatan
infrastruktur pengolahan berupa kilang-kilang. Juga dibutuhkan infrastruktur tangki timbun
(storage) untuk meningkatkan cadangan strategis / operasional.
▪ Hedging (lindung nilai) dan mekanisme stabilisasi harga. Hedging dengan melakukan
kontrak-kontrak pembelian / impor dengan harga yang telah ditentukan untuk jangka waktu
tertentu. Mekanisme stabilisasi harga termasuk pembagian risiko antara pemerintah dengan
melalui subsidi tanpa membebani kapasitas fiskal (maupun BUMN di bidang terkait) dan
masyarakat sebagai konsumen secara langsung. Subsidi dikhususkan ditargetkan pada jenis-
jenis energi tertentu. Juga dengan disertai kompensasi baik berupa bantuan tunai maupun
jaminan sosial yang ditargetkan kepada yang membutuhkan dalam rangka menanggulangi
dampak pada kenaikan harga di masyarakat sebagai konsumen akhir. Beberapa negara
membentuk lembaga Oil / Fuel Price Stabilization Fund untuk mendukung stabilisasi harga
ini.
▪ Konservasi dan diversifikasi energi. Konservasi energi dengan melakukan efisiensi dari
hulu hingga hilir penggunaan berbagai jenis energi. Diversifikasi energi dengan
mengoptimalisasi penggunaan potensi energi lokal setempat terutama energi baru terbarukan
diantaranya panas bumi, tenaga surya, tenaga angin, tenaga air, dll. Pembahasan komoditas
energi memang tidaklah bisa untuk dibahas dengan satu jenis komoditas energi saja,
mengingat adanya kemungkinan substitusi maupun pencampuran jenis energi yang tentunya
tetap tidaklah mudah dengan membutuhkan penyesuaian teknologi. Pun tentunya juga
penting untuk mengelola resiko volatilitas komoditas-komoditas energi lainnya diantaranya
batu bara, gas bumi, bahan bakar nabati (BBN) / biofuel dari minyak kelapa sawit (CPO),
dll yang harganya juga mengalami fluktuasi. Upaya-upaya tersebut telah terus dilakukan oleh
pemerintah, namun tetap dibutuhkan kecepatan inovasi untuk menjawab kecepatan
tantangan yang ada di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Bacon, R., & Kojima, M. 2008. Coping with Oil Price Volatility. ESMAP Special Report 005/08.
Washington, DC: World Bank.
https://esmap.org/sites/default/files/esmap-
files/8142008101202_coping_oil_price.pdf
Badan Pusat Statistik (BPS). 2019. Nilai Ekspor dan Impor Migas (juta US$) 1996-2018.
https://www.bps.go.id/statictable/2014/09/08/1004/nilai-ekspor-dan-impor-migas-juta-
us-1996- 2018.html
Badan Pusat Statistik (BPS). 2019. Volume Ekspor dan Impor Migas (juta US$) 1996-
2018. https://www.bps.go.id/statictable/2014/09/08/1003/volume-ekspor-dan-
impor-migas-berat- bersih-ribu-ton-1996-2018.html
British Petroleum (BP). 2019. BP Statistical Review of World Energy 2019.
https://www.bp.com/en/global/corporate/energy-economics/statistical-review-
of-world- energy/downloads.html
IndexMundi. 2020. Crude Oil (petroleum): ‘Dated Brent’ Monthly Price (US$ per barrel)
2000-2019. https://www.indexmundi.com/commodities/?commodity=crude-oil-
brent&months=240
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). 2019. Keputusan Menteri ESDM
Nomor 269 K/10/MEM/2019 tentang Perubahan atas Keputusan Menteri ESDM
Nomor 138 K/12/MEM/2019 tentang Formula Harga Minyak Mentah Indonesia.
https://jdih.esdm.go.id/storage/document/Kepmen%20269%20K%2010%20MEM%20
2019_Pe rubahan%20Formula%20ICP_salinan+stempel.pdf
Kojima, M. 2009. Government Response to Oil Price Volatility: Experience of 49
Developing Countries. Extractive Industries for Development Series #10.
Washington, DC: World Bank.
https://siteresources.worldbank.org/INTOGMC/Resources/10-govt_response-
hyperlinked.pdf
Efek Ketidakpastian Ekonomi Global Terhadap Serapan
Tenaga Kerja dan Daya Beli Masyarakat Indonesia
Perwira Yodanto
Rentetan peristiwa ekonomi dunia yang kurang menguntungkan atau yang akrab dikenal
dengan global economic uncertainty tentunya menimbulkan gejolak bagi perekonomian
Indonesia. Dalam kurun 5 tahun terakhir saja pemerintah Indonesia tercatat mengumumkan
belasan jilid paket kebijakan ekonomi untuk merespon imbasnya. Secara makro, raihan kinerja
ekonomi Indonesia tergolong masih bagus. Namun, fluktuasi fenomena ini masih berlanjut
sehingga Pemerintah dituntut waspada terhadap efek yang ditimbulkan di ranah
mikroekonomi. Efek dari gejolak ketidakpastian ini terhadap tingkat serapan tenaga kerja dan
daya beli masyarakat menjadi objek analisa dalam tulisan ini.
Global Economic Policy Uncertainty dan Respon Paket Kebijakan Ekonomi
Lebih dari satu dekade terakhir dunia mengalami global economic uncertainty. Peristiwa
ekonomi yang sangat mengemuka diantaranya adalah meletupnya Global Financial Crisis pada
2008, krisis ekonomi Yunani dan drama Brexit yang begitu menyibukkan Uni Eropa, sampai
tarik menarik dua polar magnet ekonomi dunia, China dan Amerika Serikat, selalu memasuki
babak baru dalam trade war. Sebagai partisipan G20, Indonesia tidak punya celah untuk tidak
terdampak oleh gelombang ini.
Tim Ekonomi Kabinet Kerja (2014-2019) telah mengumumkan 16 Paket Kebijakan Ekonomi
(Bappenas 2019) untuk merespon global economic uncertainty. Selama impelementasi,
Indonesia menunjukkan ketahanan ekonomi makro dengan rata-rata pertumbuhan ekonomi
yang cukup stabil, masih di atas 5% per tahunnya. Kondisi ini jauh lebih baik dibandingkan
dengan negara berkembang lainnya yang berkisar di angka 4,4% (Bappenas 2020). Adapun laju
inflasi bisa ditekan di kisaran 3,2% sepanjang 2015-2019 dan pertumbuhan investasi rata-rata
sebesar 5,4% per tahun di periode yang sama. Dalam perspektif mikroekonomi, dua indikator
terakhir memberi harapan bahwa Indonesia dalam status survived.
Aspek Uncertainty pada Investasi dan Serapan Tenaga Kerja
Dengan 265 juta penduduk, APBN saat ini tentu tidak memadai untuk memenuhi beban
domestik yang besar. Hadirnya investasi memainkan peran signifikan untuk mendongkrak laju
perekonomian nasional. Namun, efek trade war terhadap iklim investasi menjadi perhatian
serius Presiden Joko Widodo. Paket kebijakan ekonomi dan peningkatan Ease of Doing
Business yang dinilai dapat memanjakan investor asing ternyata belum berhasil merayu capital
inflow dari 33 perusahaan yang hengkang dari China (CNN Indonesia 2019). Meski Presiden
kecewa dengan fakta tersebut (CNN Indonesia 2019), namun selama periode pertama
pemerintahannya Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) dilaporkan turun dari 6,18% (2015)
menjadi 5,28% (2019). Penurunan itu berwujud penciptaan 11 juta lapangan kerja akibat
ekspansi ekonomi domestik (Bappenas 2020).
Meski kuantitasnya 1 juta lebih tinggi dari target penciptaan lapangan kerja, prestasi tersebut
belum merefleksikan kualitas dari skill yang diterapkan dalam pekerjaan. Dengan terbatasnya
belanja modal untuk pembangunan infrastruktur, tentunya sektor swasta berperan penting
dalam penyerapan angkatan kerja terbuka. Sektor swasta yang paling tampak adalah decacorn
atau unicorn berbasis transportasi seperti ‘Go-Jek’ dan ‘Grab’ (Bloomberg 2019) yang
memobilisasi pencari kerja untuk bergabung sebagai mitra terlepas latar belakang pendidikan
dan kompetensinya. Data BPS juga menunjukkan bahwa per Februari 2019, sektor informal
menyumbang 57,27% lapangan pekerjaan baru dan selalu konsisten berkontribusi di kisaran
hampir 60% dalam beberapa waktu terakhir (CNBC Indonesia, 2019).
Elemen uncertainty lain yang perlu diwaspadai adalah aspek keberlanjutan (sustainability)
pekerja sektor informal di industri start-up dan disrupsi teknologi informasi. Selain
mengokohkan kesetiaan pelanggannya, decacorn sepeti ‘Go-Jek’ tentunya memilih strategi
bisnis yang akan membuat investor globalnya. bertahan karena orientasi investor di industri
financial technology/fintech bukan sebagai pengendali, melainkan murni bagi hasil (CNBC
Indonesia 2018).
Artinya, posisi mitra pengendara sangat rentan yang berujung pada tren income yang turun. Ke
depan, disrupsi teknologi berwujud otomatisasi, digitalisasi, dan Artificial Intelligence (AI)
juga diprediksi mengancam 51,8% atau 52,6 juta potensi pekerjaan di Indonesia (INFID 2019,
Bappenas 2020). Tentunya pemerintah harus menaruh perhatian besar pada peningkatan
kompetensi dan kapasitas baik pekerja di sektor formal terlebih lagi informal untuk mereduksi
risiko pekerjaan yang hilang.
Ancaman pada Optimisme Tingkat Daya Beli Masyarakat
Terlepas dari prestasi turunnya TPT, pemerintah perlu mewaspadai faktor uncertainty pada
daya beli masyarakat. Konsumsi domestik merupakan kekuatan ekonomi Indonesia mengingat
exposure ekonomi nasional pada perekonomian global yang relatif terbatas/ small open
economy (Kontan 2020). Di periode 2014-2019, konsumsi rumah tangga masih stabil di angka
5%, menyusul tingkat inflasi yang terjaga di kisaran 3%. Pemerintah berharap dalam 5 tahun
mendatang terjadi peningkatan konsumsi masyarakat rata-rata 5,6% per tahun (Bappenas
2020). Namun, proyeksi serapan tenaga kerja telah menunjukkan implikasinya pada tren
income individu. Artinya, optimisme pada tingkat konsumsi masyarakat ke depannya juga
masih terancam.
Pemerintah harus meracik formula yang tepat untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang
imbasnya tentu mempengaruhi tingkat daya beli masyarakat. Selain faktor inflasi, beberapa hal
yang perlu dijaga kestabilannya antara lain ketersediaan komoditas pangan strategis, tata kelola
sistem logistik nasional dan konektivitas antarwilayah, serta subsidi (Bappenas 2020). Kenaikan
sejumlah tarif misalnya pada listrik, BBM, LPG 3 kg atau iuran BPJS, jelas berimbas sangat
besar pada daya beli masyarakat di level pendapatan rendah yang memiliki porsi 17,71%
konsumsi nasional (Kontan 2020). Kebijakan cash transfer (bansos) sebagai kompensasi bagi
mereka, harus memiliki sistem monitoring yang menjamin penyaluran tepat sasaran. Di kutub
lainnya, Pemerintah perlu mempertimbangkan fenomena penurunan konsumsi kelompok
penghasilan tinggi yang porsinya menguasai 45,36% konsumsi nasional (INDEF, 2019).
Faktor-faktor ini merupakan pencetus perlambatan pertumbuhan konsumsi rumah tangga.
Pungkasnya, meskipun tidak secara langsung berdampak, global economic
Profil Penulis
Muhammad Putra Hutama adalah ketua Komisi Ekonomi PPI Dunia
2019/2020 dan mahasiswa Master di Corvinus University of Budapest,
Hongaria jurusan International Economics and Business. Mempunyai
pengalaman sebagai asisten peneliti di PRISMA CEDS Unpad.
Denny Irawan adalah kepala Divisi Kajian Ekonomi PPI Dunia 2019/2020
dan mahasiswa doktoral bidang Economics di The Australian National
University (ANU), Australia. Mempunyai pengalaman sebagai peneliti di
Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat, Fakultas Ekonomi dan
Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI).
Chairul Adi adalah anggota Komisi Ekonomi PPI Dunia 2019/2020 dan
pegawai Kementerian Keuangan RI yang tengah menjalani tugas belajar di
tingkat doktoral dalam bidang Political Economy di The University of
Sydney, Australia.
Perwira Yodanto adalah anggota Komisi Ekonomi PPI Dunia 2019/2020
dan pegawai Kementerian Keuangan RI yang saat ini akan mendalami 2
spesialisasi (Policy Analysis dan Economic Policy) dalam program Master
of Public Policy di The Australian National University (ANU) Canberra,
Australia.
Hadi Prasojo adalah anggota Komisi Ekonomi PPI Dunia 2019/2020 dan
mahasiswa Master di Corvinus University of Budapest, Hongaria jurusan
Economic Analysis. Mempunyai pengalaman sebagai asisten peneliti di
Pusat Kebijakan Keenergian - Institut Teknologi Bandung (CREP-ITB).
DAFTAR PUSTAKA
1. Bappenas 2019, Paket Kebijakan Ekonomi, Bappenas,
bappenas.go.id https://www.bappenas.go.id/id/data-dan-
informasi-utama/publikasi/paket-kebijakan-ekonomi
2. Bappenas 2019, Paket Kebijakan Ekonomi, Bappenas,
bappenas.go.id https://www.bappenas.go.id/id/data-dan-
informasi-utama/publikasi/paket-kebijakan-ekonomi
3. Bappenas 2019, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024
4. CB Insight 2020, The Complete List of
Unicorn Companies, CB Insight
https://www.cbinsights.com/research-
unicorn-companies
5. CNBC Indonesia 2018, Salah Satu Jawaban Kenapa Go-Jek
Diidamkan Investor Asing, CNBC Indonesia, cnbcindonesia.com
6. https://www.cnbcindonesia.com/tech/20180119134213-37-
1994/salah-satu-jawaban-kenapa-go-jek- diidamkan-investor-asing
7. CNBC 2019, Perang Dagang, Apple Hingga Nintendo Hengkang
Dari China, CNBC Indonesia, cnbcindonesia.com
8. https://www.cnbcindonesia.com/news/20190828140016-4-
95363/perang-dagang-apple-hingga- nintendo-hengkang-dari-china
9. CNBC Indonesia 2019, Angka Pengangguran Turun Gegara Jadi
Driver Gojek-Grab?, CNBC Indonesia,
cnbcindonesia.com,https://www.cnbcindonesia.com/news/201910
09070933-4-105456/angka-pengangguran-turun- gegara-jadi-
driver-gojek-grab
10. CNN Indonesia 2019, Jokowi Kecewa 33 Pabrik yang Hengkang
dari China Tidak ke RI, CNN Indonesia, cnnindonesia.com,
https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20190904155723-92-
427496/jokowi-kecewa-33-pabrik- yang-hengkang-dari-china-
tidak-ke-ri
11. International NGO Forum for Indonesia Development 2019, Humaniora Banyak
Pekerjaan Terancam Hilang, INFID, infid.org.
https://www.infid.org/humaniora-banyak-pekerjaan-terancam-hilang/
12. Kontan 2020, Kenaikan Sejumlah Tarif Bakal Menekan Daya Beli
Masyarakat Tahun Ini, Kontan Nasional, kontan.co.id
https://nasional.kontan.co.id/news/kenaikan-sejumlah-tarif-bakal-
menekan-daya-beli-masyarakat- tahun-ini
13. Okezone 2018, Daftar Lengkap Paket Kebijakan Ekonomi Jilid I hingga
XVI, Cek di Sini, Okezone Ekonomi, okezone.com
https://economy.okezone.com/read/2018/11/16/20/1978661/daftar-
lengkap- paket-kebijakan-ekonomi-jilid-i-hingga-xvi-cek-di-sini
14. Sherpa G20 Indonesia 2020, Sejarah Singkat G20, Sherpa G20 Indonesia
https://www.sherpag20indonesia.ekon.go.id/sejarah-singkat-g20
Peluang Besar Energi Surya
Sebagai Masa Depan Energi Indonesia
Komisi Energi PPI Dunia, PPI Brief No. 3 / 2020 Penulis: David Firnando Silalahi
RINGKASAN EKSEKUTIF
• Indonesia perlu lebih menggenjot lagi penggunaan energi terbarukan guna mengejar target
bauran energi nasional sebagaimana tercantum dalam Perpres nomor 22 tahun 2017
tentang Rencana Umum Energi Nasional serta untuk memenuhi target pengurangan emisi
karbon sebagaimana komitmen yang telah dibuat dalam Paris Agreement 2015.
• Energi surya dapat memainkan peran penting untuk memenuhi kedua target tersebut
mengingat potensinya yang sangat besar di Indonesia (mencapai lebih dari 200 GW) serta
harganya yang semakin kompetitif (mengalami penurunan lebih dari 80% dalam kurun
waktu 10 tahun terakhir).
• Tantangan implementasi energi surya (PLTS) berupa penyediaan lahan dapat diatasi
dengan menggunakan skema terintegrasi dengan bangunan, terintegrasi dengan lahan
pertanian, serta PLTS terapung.
• Tantangan kebutuhan media penyimpan sebagai solusi untuk karakter intermitansi energi
surya dapat diatasi dengan mengembangkan skema teknologi PLTA off-river pumped
hydro storage.
• Perlunya percepatan penerbitan Undang-Undang tentang Energi Terbarukan serta
peninjauan ulang implementasi Kebijakan Energi Nasional dan produk turunannya untuk
mendorong ekspansi energi terbarukan di Indonesia.
Latar Belakang
Indonesia berada pada kawasan ‘Sabuk Sinar Matahari’ (Sunshine Belt), yaitu kawasan yang
terletak antara 35 derajat Lintang Utara dan 35 derajat Lintang Selatan. Kawasan yang
mendapat pancaran sinar matahari terbanyak sepanjang tahun. Kawasan sunshine belt dihuni
lebih dari 70% populasi penduduk dunia. Potensi sinar matahari yang dinikmati Indonesia
tersedia sepanjang tahun.
Tidak seperti negara-negara lain di wilayah Utara, misalnya negara-negara Eropa atau Kanada,
yang selalu siaga menghadapi musim dingin periode dimana matahari bersinar sangat minim,
sehingga perlu menyiapkan cadangan energi (gas, minyak, batubara) untuk aktivitas harian dan
menghangatkan udara. Indonesia tidak mengenal musim dingin. Malahan Indonesia lebih
butuh pendingin ruangan (air conditioning) karena udara sekitar yang semakin panas.
Gambar 1. Indonesia berada pada kawasan ‘Sunshine Belt’
Rata-rata potensi sinar matahari harian yang diterima Indonesia (Global Horizontal Irradiance)
sebesar 4,8 kWh/m2 [1]. Lebih tinggi dari potensi yang dimiliki Jepang sebesar 3,9 kWh/m2,
Tiongkok sebesar 3,8 kWh/m2, atau Jerman yang hanya 2,9 kWh/m2 [2]. yang juga mengalami
variasi musim. Meski potensi yang dimiliki besar, pada tahun 2019 kapasitas PLTS di
Indonesia baru mencapai 0,23 GW [3].
Komitmen Indonesia pada Paris Agreement 2015
Indonesia merupakan bagian dari aksi global untuk mengendalikan perubahan iklim global.
Dalam Paris Agreement 2015, Indonesia telah menjanjikan pada dunia akan memenuhi
komitmen mengurangi emisi karbon sebesar 29% (dengan usaha sendiri) hingga 41% (jika ada
bantuan internasional) pada tahun 2030 [4]. Indonesia telah meratifikasi dalam Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement to the United Nations Framework
Convention on Climate Change [5], dengan menjanjikan komitmen transisi penggunaan energi
fosil menjadi energi terbarukan, dengan target bauran energi terbarukan sudah mencapai 23%
pada tahun 2025.
Gambar 2. Emisi Gas Rumah Kaca di Indonesia Tahun 2017
Namun, Climate Action Tracker (CAT), sebuah lembaga penelitian independen yang
memantau aksi penurunan emisi, melaporkan bahwa Indonesia gagal melakukan pengurangan
emisi karbon karena tidak ada aksi konkret. CAT memberikan predikat Indonesia sebagai
negara dengan “aksi yang sangat tidak memadai” [6].
Sektor energi secara total menyumbang 49% dari emisi gas rumah kaca tahun 2017 [7], ini
jumlahan dari emisi pada kegiatan pertambangan, migas, transportasi dan pembangkitan listrik.
Khusus pembangkit listrik dan transportasi menjadi menyumbang 34% dari total emisi karbon
Indonesia pada tahun 2017. Emisi ini dapat meningkat seiring pertumbuhan ekonomi dan
konsumsi energi, jika tidak ada upaya untuk beralih pada sumber energi yang rendah emisi
bahkan tanpa emisi, yaitu energi terbarukan. Elektrifikasi sektor transportasi menjadi tantangan
sekaligus peluang untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Transisi pembangkitan tenaga
listrik dari pembangkit fosil menjadi pembangkitan dari energi terbarukan juga menjadi
peluang bagi Indonesia untuk turut berkontribusi pada pencegahan perubahan iklim global. Jika
34% ini bisa fokus digarap, maka janji dalam Paris Agreement itu sudah bisa tercapai bahkan
melampaui target 29% dengan usaha Indonesia sendiri.
Perkembangan energi terbarukan global : Solar PV
Secara global, tahun 2019, total PTLS tambahan mencapai kapasitas total 115 GW,
sehingga total kumulatif PLTS seluruh dunia telah mencapai 627 GW [8]. Harga yang terus
turun dan bersaing dengan pembangkit fosil menjadi pemicu pesatnya perkembangan PLTS di
seluruh dunia. Berikut perkembangan PLTS yang signifikan di beberapa negara:
Australia: Australia telah mencapai target bauran 24% energi terbarukan pada tahun 2019
dan menargetkan 50% pada tahun 2025. Australia berhasil menambahkan 2,2 GW
pembangkit energi terbarukan skala besar hanya di tahun 2019, sebagian besar PLTS total
kapasitas 1,4 GW. Selain itu, PLTS skala kecil / rooftop < 100 kW mencapai 287.504
instalasi dengan total kapasitas 2,2 GW. Australia mengembangkan energi terbarukan
sebesar 250 Watt per orang, 10 kali lebih cepat dibandingan rata-rata dunia, dan 4 kali
lebih cepat dibandingkan Eropa, China, Jepang atau Amerika Serikat.
China: Dalam tiga tahun terakhir, China membangun PLTS sebanyak 126,5 GW. China
memiliki PLTS total kumulatif 204,7 GW, angka ini sepertiga dari total kapasitas PLTS di
seluruh dunia.
India : Tahun 2019, India membangun PLTS sebanyak 9,9 GW. India telah membangun
PLTS dengan total kapasitas 32 GW dari target 100 GW yang optimis akan dicapai pada
tahun 2022 [9].
Vietnam: Kapasitas pembangkit listrik energi terbarukan di Vietnam sudah mencapai 24,
6 GW. Tahun lalu Vietnam berhasil membangun PLTS baru sebesar 4,8 GW.
Perkembangan energi terbarukan Indonesia
Potensi energi terbarukan Indonesia sebagaimana tercantum dalam Rencana Umum Energi
Nasional mencapai setara kapasitas pembangkit listrik 443,2 GW [10]. Namun demikian
pemanfaatannnya hingga kini sangat kecil. Total kapasitas pembangkit listrik energi terbarukan
nasional baru sekitar 10,2 GW atau baru 2,3% dari potensinya [3]. Kapasitas energi terbarukan
hanya setara 0,04 Watt per orang, sangat kecil dibandingkan dengan rata-rata dunia yang
mencapai 25 Watt per orang.
Tabel 1. Potensi Energi Terbarukan Indonesia (RUEN, 2015)
No Jenis Energi Terbarukan Potensi (MW)
1 Panas Bumi 29,544
2 Air 75,091
3 Mini dan Mikro Hidro 19,385
4 Bioenergi 32,654
5 Energi Surya 207,898
(4,8 kWh/m2/day)
6 Angin 60,647
(>= 4 m/s)
7 Arus Laut 17,989
Total 443,208
Gambar 3. Bauran pembangkitan listrik dan kapasitas terpasang 2019 (ESDM)
Indonesia menghasilkan 275 TWh[3] listrik dari pembangkit dengan total kapasitas sebesar 69,1
Gigawatt (GW). Namun sekitar 88% listrik tersebut dihasilkan dari pembangkit listrik dengan
energi fosil - batubara, gas, dan diesel. Hanya sebagian kecil saja (bauran 12%), yang berasal
dari pembangkit energi terbarukan - air, angin, panas bumi, surya, dan biofuel. Padahal potensi
yang dimiliki cukup besar.
Peluang Pengembangan Solar PV
1) Kebutuhan energi listrik yang masih terus tumbuh
Proyeksi dalam Rencana Umum Kelistrikan Nasional menyatakan bahwa kebutuhan listrik
pada tahun 2038 nanti akan mencapai 1.000 TWh atau setara 3,3 MWh per kapita. Jika tren
ini terus berlanjut, maka pada tahun 2050 nanti, konsumsi per kapita diperkirakan akan
mencapai sebesar 7,7 MWh atau sebesar 2.600 TWh [11]. Maka perlu tambahan pembangkit
untuk memenuhi kebutuhan ini.
Selain kebutuhan listrik pada sektor industri dan bisnis yang terus tumbuh, kebutuhan akan
mesin AC yang terus meningkat, peralihan menggunakan kompor listrik, dan transisi pada
kendaraan bermotor listrik, menjadi faktor pendorong dari tumbuhnya konsumsi listrik
Indonesia hingga tahun 2050 nanti. Atau misalnya jika kita berkaca pada negara tetangga,
Singapura saat ini bisa dikatakan sudah maju, sejajar dengan negara-negara Barat.
Bukan tidak mungkin, 30 tahun dari saat ini, Indonesia akan mirip seperti Singapura saat
ini. Konsumsi listrik perkapita di Singapura telah mencapai 9 MWh per kapita [12].
Konsumsi Indonesia yang saat ini baru 1 MWh per kapita akan menjadi sama dengan
Singapura pada tahun 2050 nanti. Apabila ini terjadi, dan diharapkan seluruh pasokan dari
energi surya, maka dibutuhkan sekitar 1800 GW PLTS untuk memenuhi kebutuhan listrik
tersebut.
2) Potensi yang didukung luasnya negara Indonesia
Dengan luas daratan 1,92 juta kilometer persegi [13], dan tingkat radiasi sinar matahari rata-
rata sebesar 4,8 kWh/m2/hari, maka secara teknis Indonesia memiliki potensi energi surya
yang sangat besar, mencapai 360.000 Gigawatt (GW). Kapasitas ini mampu memproduksi
listrik hingga 640.000 TWh per tahun [14]. Namun demikian, kita tidak akan menghabiskan
seluruh potensi ini.
3) Harga yang semakin kompetitif
Secara global, tren harga listrik dari pembangkit energi terbarukan terus mengalami
penurunan, seiring pesatnya perkembangan teknologi, terutama harga pembangkitan solar
PV dan angin. Harga solar PV tercatat turun dari 37,8 cent USD per kWh di tahun 2010,
menjadi 6,8 cent USD per kWh pada tahun 2019. Demikian juga harga listrik pembangkit
listrik tenaga angin (wind on-shore), turun dari USD8,6 cent per kWh menjadi USD5,3 cent
per kWh. Tampak bahwa sedemikian cepat penurunan pada harga solar PV, mencapai lebih
dari 80% dalam periode 10 tahun. Sedangkan harga wind on-shore turun sekitar 40% [15].
Tampak bahwa teknologi ini semakin diminati oleh masyarakat global. Tidak
mengherankan, jika Indonesia pun mulai muncul teknologi solar PV dalam proyek skala
grid, misalnya PLTS terapung di Waduk Cirata, yang harga nya sekitar 5,8 cent USD per
kWh [16], lebih rendah dari biaya produksi rata-rata PLN sebesar 7,8 cent USD per kWh
[17], artinya ini sudah tidak memerlukan subsidi. Ini menjadi angin segar bagi
pengembangan energi terbarukan di Indonesia.
Harga solar PV yang sudah kompetitif dan masih akan terus turun menjadi peluang baik
bagi Indonesia. Tidak lagi dibutuhkan subsidi. Mengapa kita tidak memulai untuk segera
memanfaatkannya?
4) Pembangkit fosil yang semakin tua dan perlu digantikan
Pembangkit listrik yang saat ini sedang beroperasi akan semakin tua dan mencapai lifetime
nya. Bahkan yang baru mulai beroperasi tahun ini pun, 20 – 30 tahun lagi akan keluar dari
sistem karena habis umur operasinya.
Berdasarkan data dari Kementerian ESDM, dari total kapasitas 17 GW PLTU milik PLN
terdapat PLTU total kapasitas 4.200 MW sudah berumur > 20 tahun (beroperasi < tahun
2000). Sebanyak 1.050 MW sudah berumur > 10 tahun (beroperasi < tahun 2010), dan
pembangkit listrik milik swasta (IPP) yang berumur > 20 tahun terdapat sebanyak 2.464
MW (beroperasi < tahun 2000). Ini pada waktunya akan bertahap ‘retired’ dari sistem [18].
5) Tidak perlu waktu lama dalam pembangunannya
Membangun PLTS jauh lebih cepat daripada membangun pembangkit berbahan bakar
fosil. Konstruksi PLTS hanya memerlukan kurang dari dua tahun, sedangkan PLTU
membutuhkan setidaknya waktu tiga tahun. Contohnya pembangunan PLTS Oelpuah
kapasitas 5 MW di Kupang, selesai dalam waktu 12 bulan [19]. Lebih cepat enam bulan dari
perencanaan awal.
Tantangan Pengembangan Solar PV dan Solusinya
1) Penyediaan lahan
Banyak pendapat mengatakan bahwa sulit untuk pengadaan lahan. Nanti dibangun dimana
PLTS nya? Dengan asumsi bahwa konsumsi listrik per kapita Indonesia menyamai
Singapura, 9 MWh per kapita (skenario optimis). Ini setara dengan 3000 TWh per tahun.
Hanya 0,5% (3.000 TWh / 640.000 TWh) saja dari potensi yang kita butuhkan.
a. Skema PLTS Berbasis Tanah (Ground Mounted Solar PV)
Dengan menggunakan teknologi Maverick 5B, yang memanfaatkan lahan secara efisien,
tiap kapasitas 1,5 MW membutuhkan 1 hektar [20]. Maka 3000 TWh akan dipasok oleh
PLTS dengan kapasitas sekitar 1800 GW. PLTS dengan kapasitas ini akan memerlukan
hamparan lahan sekitar 12.000 km2. Ini bukan hanya luasan yang besar, hanya 0,6% dari
luas daratan Indonesia yang mencapai 1,92 juta km2.
Gambar 4. Proyek PLTS yang dikembangan Maverick 5B di Australia
Lahan bekas kegiatan tambang yang sudah tidak lagi berproduksi, selesai diambil mineral
atau batubaranya, dapat dijadikan lahan pengembangan PLTS. Total lahan tambang saat ini
sekitar 10,8 juta hektare [21]. Misalnya kegiatan reklamasi dapat digantikan dengan kegiatan
pembangunan PLTS sebagai alternatif selain ‘dihutankan’ kembali. Hal ini dilakukan di
Tiongkok, Jerman, Australia.
b. Skema PLTS Terapung (Floating Solar PV)
Untuk mengurangi potensi konflik penggunaan lahan, maka perairan dapat menjadi solusi.
Indonesia memiliki total luasan danau sebesar 121.000 km2 [22], sangat potensial menjadi
tempat pembangunan PLTS terapung sebagaimana PLTS Cirata 145 MW di Danau
(Waduk) Cirata, Jawa Barat.
Gambar 5. PLTS terapung di Belanda (solarfloat.com)
Selain itu, perairan laut tenang pada laut kepulauan atau laut internal Indonesia juga
berpotensi. Misalnya peta BMKG berikut [23], tampak bahwa tinggi ombak relatif kecil di
lautan internal Indonesia, yang berwarna biru. Luas laut internal ini sekitar 3,1 juta km2 [13].
Banyak sekali panel surya bisa dipasang terapung di permukaan laut. Luas 12.000 km2
sangat kecil tidak lebih dari 0,4% dari laut internal Indonesia.
Gambar 6. Rata-rata tinggi gelombang maksimum perairan laut Indonesia
c. Skema PLTS Terintegrasi dengan Bangunan (Building Integrated PV)
Selain itu, skema Building Integrated PV juga bisa mengakomodir sebagian panel surya.
Misalnya pada rooftop atau dinding vertikal bangunan industri atau gedung
publik/komersil. Sebagaimana diterapkan oleh negara-negara maju, misalnya Singapura
[24].
Gambar 7. Solar PV terintegrasi dengan bangunan di Singapura
Menurut IESR, potensi Indonesia untuk rooftop pada range 34 – 116 GW [25]. Potensi ini
cukup besar untuk dimanfaatkan.
d. Skema PLTS Terintegrasi dengan Pertanian (Agri-Photovoltaic)
Skema lain yang juga terus dikembangkan, skema Agri-Photovoltaic atau disingkat
Agrivoltaic, juga mulai banyak dilakukan negara-negara yang lahannya terbatas seperti
Jepang. Lahan pertanian juga dipasangi Solar PV, dalam lokasi yang sama diperoleh energi
listrik sekaligus hasil panen untuk pangan.
Gambar 8. Agrivoltaic di Prancis [25]
2) Mitigasi sifat intermittensi Solar PV
Sifat intermittensi merupakan karakter yang melekat pada jenis energi terbarukan yang
memang tidak tersedia selama 24 jam. Harus diterima bahwa fakta angin tidak selalu
bertiup untuk memutar turbin pada pembangkit listrik tenaga angin. Matahari yang bersinar
hanya pada siang hari, efektif sekitar 4-5 jam di Indonesia. Padahal beban listrik harus
dipasok selama 7x24 jam. Ini sebetulnya masalah dimasa lampau, saat teknologi
penyimpan energi belum tersedia.
PLTS memang harus dilengkapi dengan teknologi penyimpan energi. Bisa berupa baterai
fisik yang saat ini teknologinya terus berkembang. Bisa juga menggunakan teknologi
pumped hydro energy storage, menyimpan energi listrik berlebih yang diproduksi oleh
panel surya pada siang hari, dapat disimpan dalam bentuk potensi tenaga air (hydro-
storage). Manakala dibutuhkan energi listrik, maka diubah kembali menjadi energi listrik,
misalnya saat cuaca sedang mendung atau pada malam hari saat matahari tidak bersinar
lagi.
PLTA off-river pumped-hydro storage sebagai solusi intermittensi
Berdasarkan hasil studi yang dilakukan oleh Australian National University, tempat penulis
menempuh tugas belajar, Indonesia memiliki potensi pumped hydro energy
storage hingga 820.000 GWh yang tersebar di 26.000 potensi lokasi [27]. Potensi ini lebih
dari 100 kali kapasitas yang dibutuhkan untuk mewujudkan pasokan listrik yang
seluruhnya berasal dari energi surya.
Gambar 9. Potensi lokasi pumped-hydro energy storage di Indonesia [27]
Gambar 10. PLTA ‘on river’ pumped-hydro energy storage di Australia [27]
Gambar 11. PLTA ‘off river’ pumped-hydro energy storage di Italia [27]
Skema PLTA off-river pumped hydro storage memiliki keunggulan yang tidak dimiliki
skema on river, sehingga sangat tepat untuk dikembangkan mendukung sistem energi
terbarukan, yaitu:
a. Ukuran waduk cukup 1 – 100 hektar saja. Tidak memerlukan penenggelaman lahan
yang luas untuk waduknya.
b. Pengendalian banjir tidak banyak diperlukan (karena tidak berada pada aliran sungai)
c. Tinggi (head) dapat mencapai 2-5 kali lebih besar, karena waduk teratas (upper
reservoir) berada pada bukit, bukan di lembah sungai
d. Dampak lingkungan yang minimal, mengingat tidak membangun bendung pada aliran
sungai;
e. Dampak sosial kecil minimal, karena tidak perlu menenggelamkan lahan/desa warga
Berdasarkan hasil studi yang dilakukan oleh Australian National University, tempat penulis
menempuh tugas belajar, Indonesia memiliki potensi pumped hydro energy
storage hingga 820.000 GWh yang tersebar di 26.000 potensi lokasi [27]. Potensi ini lebih
dari 100 kali kapasitas yang dibutuhkan untuk mewujudkan pasokan listrik yang
seluruhnya berasal dari energi surya.
3) Kontrak Jangka Panjang dengan Pembangkit Swasta
PT PLN (Persero), sebagai penyedia listrik negara, masih terikat kontrak jual beli dengan
banyak pembangkit listrik swasta (IPP). Sesuai regulasi [28], kontrak jual beli berlangsung
antara 20 - 30 tahun. Jadi, meskipun Indonesia memiliki potensi energi surya yang
demikian besar, kita tidak bisa serta menghentikan kontrak tersebut dan menggantikan
dengan PLTS, karena PLN masih terikat kontrak jangka panjang tersebut.
Pembangkit listrik yang saat ini sedang beroperasi akan semakin tua dan mencapai lifetime
nya. Bahkan pembangkit yang baru mulai beroperasi pun, 20 - 30 tahun lagi akan berhenti,
keluar dari sistem karena habis umur operasinya. Pembangkit fosil ini nantinya perlu
direncanakan diganti oleh pembangkit energi terbarukan.
Rekomendasi
Transisi penggunaan energi fosil menjadi energi terbarukan menjadi suatu hal tidak bisa
dihindari. Meskipun potensi energi terbarukan Indonesia cukup besar, namun energi surya
memiliki keunggulan tersendiri, tersedia dimana-mana, lebih ramah lingkungan, dan harga saat
ini menjadi kelebihan energi surya dibandingkan energi lainnya. Tidak ada alasan kuat untuk
tidak memanfaatkan energi surya yang Sang Pencipta sudah anugrahi demikian besar di
Indonesia.
Untuk itu, perlunya disusun peta jalan (roadmap) pengembangan energi surya dalam
rangka mewujudkan energi surya sebagai masa depan energi Indonesia. Roadmap tersebut
memuat minimal:
a. Penyediaan lahan/lokasi untuk pemasangan PLTS:
1) Skema berbasis lahan tanah (ground-mounted)
2) Skema terintegrasi dengan bangunan : rooftop, facade (building integrated);
3) Skema terapung:
- terapung pada perairan tawar: danau, waduk (floating PV);
- terapung pada perairan laut: laut internal (ocean floating PV)
4) Skema terintegrasi dengan lahan pertanian (agrivoltaic)
b. Target tahunan integrasi PLTS pada grid nasional, minimal menggantikan pembangkit fosil
yang akan ‘retired’ dari sistem;
c. Penyiapan lokasi penyimpanan energi (pumped-hydro energy storage) sesuai besaran
penetrasi energi surya;
d. Penyiapan industri pembuatan panel surya dalam negeri dan sumber daya manusia;
e. Target penelitian panel surya dalam rangka penguasaan teknologi solar PV;
f. Target kewajiban bertahap minimal bauran penggunaan energi terbarukan pada
masyarakat, khususnya industri dan bisnis;
Selain itu, perlu adanya peninjauan ulang implementasi Kebijakan Energi Nasional dan
produk turunannya untuk mendorong ekspansi energi terbarukan seperti energi surya, dan
kebijakan untuk menghentikan pengadaan pembangkit tenaga listrik berbahan bakar fosil.
Hanya proyek yang sudah komitmen yang diteruskan. Dan yang tidak kalah penting perlunya
percepatan penerbitan Undang-Undang tentang Energi Terbarukan;
DAFTAR PUSTAKA
1. https://globalsolaratlas.info/download/indonesia
2. PPI Brief no. 10 / 2019, Realisasi Industri Manufaktur Sel Surya di Indonesia: Kesempatan
Mengejar di Generasi Kedua
3. https://www.esdm.go.id/assets/media/content/content-capaian-kinerja-2019-dan-program-
2020.pdf
4. https://www4.unfccc.int/sites/ndcstaging/PublishedDocuments/Indonesia%20First/First%2
0NDC%20Indonesia_submitted%20to%20UNFCCC%20Set_November%20%202016.pdf
5. http://ppid.menlhk.go.id/berita_klhk/browse/250
6. https://climateactiontracker.org/countries/indonesia/
7. http://ditjenppi.menlhk.go.id/reddplus/images/adminppi/dokumen/statistik_PPI_2018_opt.
8. http://www.iea-pvps.org/fileadmin/dam/public/report/technical/PVPS_report_-
_A_Snapshot_of_Global_PV_-_1992-2014.pdf
9. https://ieefa.org/india-on-track-to-meet-100gw-solar-target-by-2022-minister-says/
10. https://www.esdm.go.id/assets/media/content/content-rencana-umum-energi-nasional-
ruen.pdf
11. https://jdih.esdm.go.id/storage/document/Kepmen-esdm-143-
Thn%202019%20RUKN%202019.pdf
12. https://www.ema.gov.sg/Singapore-Energy-Statistics-2019/Ch06/index6
13. https://maritim.go.id/menko-maritim-luncurkan-data-rujukan-wilayah-kelautan-indonesia/
14. https://theconversation.com/why-solar-energy-can-help-indonesia-attain-100-green-
electricity-by-2050-134807
15. https://irena.org/newsroom/articles/2020/Jun/How-Falling-Costs-Make-Renewables-a-
Cost-effective-Investment
16. http://ebtke.esdm.go.id/post/2020/01/23/2463/plts.terapung.terbesar.di.asia.tenggara.siap.d
ikembangkan?lang=en
17. https://jdih.esdm.go.id/peraturan/Kepmen-esdm-55-Thn%202019.pdf
18. Data Pembangkit , Direktorat Pembinaan Pengusahaan Ketenagalistrikan, Direktorat
Jenderal Ketenagalistrikan
19. https://ekonomi.bisnis.com/read/20151227/44/505129/listrik-tenaga-surya-plts-kupang-
siap-setrum-pln
20. https://5b.com.au/
21. Direktorat Teknik dan Lingkungan Mineral dan Batubara, www.minerba.esdm.go.id
22. https://setjen.pu.go.id/source/File%20pdf/Buku%20Induk%20Statistik/Buku%20Induk%2
0Statistik%20Tahun%202017.pdf
23. https://peta-maritim.bmkg.go.id/, diakses 25 Mei 2020
24. https://www.nccs.gov.sg/docs/default-source/default-document-library/solar-photovoltaic-
roadmap-for-singapore-a-summary.pdf
25. http://iesr.or.id/v2/tag-content/potensi-pasar-rooftop-solar/
26. https://sunagri.fr/en/the-concept-in-detail/
27. http://re100.eng.anu.edu.au/global/index.php
28. https://jdih.esdm.go.id/storage/document/Permen%20ESDM%20Nomor%2010%20Tahun
%202018.pdf
29. WEE, T. C. (2018). Developing A Digital Economy Sub-Index for Cities, For Smart and
Sustainable Growth, Retrieved March 31, 2019, from https://www.itu.int/en/ITU-
T/ssc/201804/Documents/5_Tan Chee Wee Singapore.pdf
30. Harvard Journal of Law & Technology, Vol.13, No.3, 2000
Tentang Penulis
David Firnando Silalahi, penerima Beasiswa Pendidikan Indonesia LPDP
RI 2018, saat ini menempuh studi PhD pada Research School of
Electrical, Energy, and Material Engineering, The Australian National
University. Dengan tema penelitian ‘100% Renewable Energy for
Indonesia’.
Email: [email protected]; Mobile: +61450695645
z
Gas Bumi Untuk Masa Depan
Kelistrikan dan Kendaraan Berbahan
Bakar Gas (BBG)
KOMISI ENERGI PPI DUNIA, PPI Brief No. 4 / 2020
Penulis: Sami Aji
RINGKASAN EKSEKUTIF
✓ Gas bumi merupakan salah satu sumber energi primer yang paling banyak
digunakan di dalam negeri setelah minyak bumi dan batu bara, sehingga gas bumi
memiliki peranan penting dalam kebijakan bauran energi di Indonesia.
✓ Manfaat gas bumi adalah sebagai sumber energi (pembangkit listrik, transportasi,
rumah tangga, sektor komersial, dan industri), sebagai bahan baku (pupuk,
petrokimia, plastik, methanol dan LPG), sebagai lifting minyak, dan komoditas
ekspor (dalam bentuk LNG dan jaringan pipa).
✓ Peranan gas bumi sangat penting dalam menjaga frekuensi sistem ketenagalistrikan
pada pembangkit listrik karena memiliki respon yang cepat dalam penyesuaian
beban permintaan listrik.
✓ Manfaat penggunaan gas bumi adalah lebih ramah lingkungan, mengurangi
penggunaan BBM, mengurangi defisit neraca perdagangan, membuka peluang
usaha, BBG lebih murah daripada BBM, dan perawatan kendaraan BBG lebih
mudah karena tidak meninggalkan sisa (kerak) sehingga mesin, busi, knalpot akan
bertahan lama.
Pendahuluan
Natural gas atau gas bumi merupakan komponen yang vital dalam hal suplai energi dengan
karakteristik tidak berwarna, tidak berbentuk, tidak berbau, bersih, aman dan paling efisien
dibandingkan dengan sumber energi fosil lainya seperti minyak bumi dan batu bara. Gas
bumi juga mampu menghasilkan pembakaran yang low emisi sehingga lebih ramah
lingkungan. Gas bumi memiliki kandungan penyusun terdiri dari metana (CH4). Gas bumi
juga dapat mengandung etana (C2H6), propana (C3H8), butana (C4H10) dan juga gas yang
mengandung sulfur.
Tabel 1 : Komposisi Gas Alam
Dari tahun ke tahun jumlah kendaraan terus meningkat, dan masih didominasi oleh
kendaraan BBM. Dengan meningkatnya jumlah kendaraan yang begitu tajam, juga
memengaruhi konsumsi bahan bakar minyak (BBM) yang ikut meningkat tajam. Dengan
semakin naiknya konsumsi BBM diperlukan produksi minyak yang lebih besar tiap
tahunnya, tetapi kenyataannya produksi minyak dalam negeri sejak tahun 2000 sudah
menglami penurunan sehingga Indonesia harus menjadi net importir minyak. Selain itu,
BBM tidak ramah lingkungan sehingga menyebabkan polusi udara. Program konversi
kendaraan dari berbahan bakar minyak (BBM) ke berbahan bakar gas (BBG) sejak tahun
2012, tidak mengalami kemajuan yang signifikan.
Peranan Gas Bumi di Indonesia
Dengan hadirnya gas bumi bertujuan untuk memenuhi kebutuhan energi dalam negeri
(domestik), mengurangi ekspor BBM dan LPG secara bertahap dan sebagai modal
pembangunan nasional. Data per 1 Januari 2017, cadangan gas Indonesia tercatat 142,72
Trilliun Standard Cubic Feet (TSCF) dengan cadangan terbukti sebesar 100,36 TSCF dan
cadangan potensial 42,36 TSCF dengan ketersediaan 1,53% total cadangan gas dunia.
Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional, dalam
tercapainya bauran energi primer, peranan gas bumi minimal 22% pada tahun 2025 dan
24% pada tahun 2050.
Kegiatan operasi gas alam di Indonesia dibagi menjadi 2 kegiatan, yakni kegiatan hulu
(upstream) dan kegiatan hilir (downstream). Kegiatan hulu meliputi kegiatan eksplorasi dan
produksi yang diatur di Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2004. Peraturan Pemerintah
Nomor 55 Tahun 2009 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi. Kegiatan usaha
hilir, meliputi pengolahan (pemurnian, pemisahan, pencairan, dan pemampatan),
pengangkutan, penyimpanan dan niaga (pembelian, penjualan, ekspor, dan impor) yang
diatur di Peraturan Pemerintah Nomor 36 tahun 2004. Peraturan Pemerintah Nomor 30
Tahun 2009 tentang Kegiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi.
Pemanfaatan gas bumi di Indonesia dimulai pada tahun 1960-an dengan penyaluran gas
bumi melalui pipa dari lapangan gas bumi PT. Stanvac Indonesia di Pendopo, Sumatera
selatan, dikirim melalui pipa gas ke pabrik pupuk PUSRI IA milik PT Pupuk Sriwijaya di
Palembang. Perkembangan meningkat pesat sejak tahun 1974. PT pertamina mulai
memasok gas alam melalui pipa gas dari ladang gas alam di Prabumulih, Sumatera Selatan
ke pabrik pupuk pusri II, III, dan IV di Palembang, setelahnya pemanfaatan mulai menyebar
ke wilayah lain di Indonesia.
Pemanfaatan gas bumi dibagi menjadi 4 manfaat utama, yaitu :
1. Sebagai sumber energi (pembangkit listrik (PLTGU, PLTG, PLTMG),
transportasi (bahan bakar kereta dan kapal pengangkut, kendaraan Berbahan
Bakar Gas), rumah tangga, dan sektor komersial (bahan bakar untuk memasak),
dan Industri (peleburan besi baja, pembuatan kaca dan keramik).
2. Sebagai bahan baku (pupuk, petrokimia, plastik, methanol dan LPG).
3. Lifting Minyak.
4. Komoditas Ekspor (dalam bentuk LNG dan jaringan pipa)
Gas Bumi Dalam Tenaga Kelistrikan
Salah satu pemanfaatan gas bumi adalah sebagai sumber energi di pembangkit listrik yang
lebih bersih dan harga lebih kompetitif dalam bentuk Pembangkit Listrik Tenaga Gas dan
Uap (PLTGU), Pembangkit Listrik Tenaga Gas turbin (PLTG) dan Pembangkit Listrik
Tenaga Mesin Gas (PLTMG). Peranan gas bumi dalam sistem jaringan listrik adalah
sebagai Load Follower (PLTGU) yang berfungsi untuk mengimbangi riak-riak dari
perubahan beban sistem jaringan listrik dan Peaker (PLTG dan PLTMG) yang dibebani
pada saat beban puncak.
Berdasarkan Grid Code, rentang frekuensi sistem dalam keadaan operasi yang baik apabila
operasi normal (49,8 – 50,2 Hz), penyimpangan dalam waktu singkat (49,5 – 50,5 Hz) dan
Kondisi gangguan (47,5 – 52 Hz). Apabila frekuensi berada di luar batas toleransi (kondisi
gangguan), maka harus segera dilakukan pelepasan beban (load shedding) dan/atau
pelepasan unit pembangkit dari sistem secara bertahap. Apabila sistem gagal mencapai
keseimbangan, maka dapat berakibat terjadinya pemadaman total (black out). Supply-
Demand dalam operasi sistem tenaga listrik dari detik ke detik memiliki frekuensi yang
sangat dinamis dan variatif. Besaran tegangan dan frekuensi dijaga konstan sehingga
produksi (dari pembangkit) setiap detik ditentukan oleh permintaan pada detik itu juga.
Pembangkit listrik tenaga gas adalah salah satu pembangkit listrik yang memiliki respon
yang cepat dalam memenuhi perubahan permintaan yang cepat (cepat menyesuaikan
beban), sehingga peranan gas sangat penting dalam menjaga frekuensi sistem ketenaga
listrik.
Keseimbangan demand dan supply harus tetap dijaga agar kinerja ketenagalistrikan dapat
berjalan optimal dengan menjaga kualitas (tegangan, frekuensi, keandalan) dan
menghindari over investment. Tiga aspek yang harus diperhatikan dan dijaga
keseimbangannya adalah Energy security, Energy Equity (aksesibilitas dan keterjangkauan
harga) dan Environment Sustainability. Untuk mewujudkan tujuan pembangunan
ketenagalistrikan yakni ketersediaan jumlah listrik yang cukup, kualitas listrik yang baik
dan harga yang wajar yang tercantum dalam Undang Undang Nomor 30 tahun 2009 tentang
Ketenagalistrikan dengan memperhatikan 3 aspek utama diatas. Pemanfaatan sumber energi
primer gas bumi merupakan solusi yang tepat dan perlu dikembangkan.
Pengembangan Kendaraan Bermotor Berbahan Bakar Gas (BBG) di
Indonesia
Tabel 2 : Data Jumlah Kendaraan, Sumber : BPS, 2020
Berdasarkan data jumlah kendaraan dari BPS tahun 2020, jumlah kendaraan dari tahun 2008
hingga 2018 terjadi peningkatan. Peningkatan yang cukup signifikan masih di dominasi
sepeda bermotor yang kenaikannya mencapai 3 kali lipat dan mobil penumpang (mobil
pribadi) terjadi kenaikan 2 kali lipat. Sepeda motor dan mobil penumpang mendominasi
berbahan bakar minyak. Dapat dibayangkan betapa besar subsidi BBM yang harus
ditanggung oleh pemerintah. Untungnya Transjakarta (mobil bus), beberapa armada taksi
dan angkutan bajaj sudah menggunakan berbahan bakar gas, namun itu sebagian besar
berada di kota Jakarta saja. Bahkan, jika ada individu yang ingin beralih dari BBM ke BBG
itu memerlukan converter kit, dan memerlukan biaya yang tidak sedikit yaitu berkisar
hingga 20 juta rupiah (finance detik, 19/03/2015).
Di Tiongkok kendaraan bermotor (mobil, motor, dan bus dalam kota) sudah memakai bahan
bakar gas (BBG) sehingga dapat menurunkan tingkat polusi yang disebabkan oleh bahan
bakar minyak. Ini menunjukkan bahwa sumber energi gas bumi dan listrik saling
melengkapi dikarenakan kendaraan listrik memiliki batas jangkauan dan memerlukan waktu
untuk mengisi ulang kembali daya listrik. Melihat perkembangan hingga sampai saat ini,
Indonesia masih jauh dalam pemerataan kendaraan bermotor Berbahan Bakar Gas (BBG).
Terlebih lagi pada tahun 2012 pemerintah sempat menggencarkan kendaraan bermotor
Berbahan Bakar Gas (BBG) dan pada saat ini terkesan jalan ditempat.
• Manfaat Penggunaan Gas Alam:
1. Lebih ramah lingkungan
2. Mengurangi penggunaan BBM dan Mengurangi defisit neraca perdagangan.
3. Membuka peluangnya usaha
2008 2013 2018
Mobil Penumpang 7489852 11484514 16440987
Mobil Bis 2059187 2286309 2538182
Mobil Barang 4452343 5615494 7778544
Sepeda motor 47683681 84732652 120101047
Jumlah 61685063 104118969 146858759
Jenis Kendaraan
Tahun
4. BBG lebih murah daripada BBM
5. Perawatan kendaraan BBG lebih mudah karena tidak meninggalkan sisa (kerak)
sehingga mesin, busi, knalpot akan bertahan lama.
Tantangan
Sumber Daya Gas Bumi
• Ketersediaan gas alam hanya untuk 47 tahun kedepan dengan cadangan yang dimiliki
saat ini (asumsi rata-rata produksi 2,9 TSCF per tahun).
• Cadangan gas alam di Indonesia bagian Timur berada pada laut dalam.
• Cadangan terbesar gas alam berada di East Natuna (46 TSCF tidak termasuk CO2) yang
mengandung 72% CO2.
Sistem Ketenagalistrikan
• Belum meratanya harga listrik nasional disebabkan ketersediaan energi yang masih
sedikit di Indonesia bagian Timur.
• Perubahan kebutuhan gas dalam RUPTL.
• Pembangkit tersebar, kapasitas kecil dan memerlukan pembangunan jetty yang mahal
• Cadangan gas yang tidak bisa dipastikan 100% tepat, seringkali terjadi decline yang
lebih cepat.
• Sumur gas yang dialirkan melalui gas pipa ke pembangkit cenderung tidak cocok untuk
penyerapan gas secara fluktuatif (gas yang dialirkan tidak bisa merespon dengan cepat
naik turunnya frekuensi pembangkit).
• Filling station LNG skala kecil saat ini hanya tersedia di Bontang dan memiliki
keterbatasan ukuran kapal dalam perolehan izin.
• Penyediaan LNG pada Q3 dan Q4 yang susah terwujud.
Kendaraan Bahan Bakar Gas
• Infrastruktur yang belum memadai dan belum tersebar ke seluruh wilayah Indonesia.
• Mahalnya biaya untuk membeli converter kit
• Standardisasi yang kurang jelas
• Sumber daya manusia yang belum memadai
Rekomendasi
Sumber Daya Gas Alam
• Meningkatkan kegiatan eksplorasi sehingga meningkatkan nilai cadangan gas alam
nasional
• Kebijakan strategis dalam penyediaan data dan informasi yang akurat
• Kemudahan dalam perizinan
• Penerapan sistem kontrak baru untuk menarik investasi, terutama untuk wilayah
Indonesia bagian Timur
Sistem Ketenagalistrikan
• Membangun PLTG dalam bentuk platform (seperti platform minyak di lepas pantai) di
wilayah Indonesia bagian Timur yang lahannya susah dibebaskan dan dibutuhkan
listrik dalam skala kecil.
• Membangun pembangkit di pulau Sumatera dan interkoneksi listrik ke pulau Jawa.
• Membangun filling station LNG di Tangguh, Teluk Lamong dan FSRU Jawa-1.
Kendaraan BBG
• Pembangunan infrastruktur SPBG dan bengkel-bengkel untuk kendaraan BBG.
• Penyediaan Converter Kit yang ekonomis.
• Regulasi dan standardisasi yang jelas
• Melakukan pelatihan berkala dan mendorong akademisi (SMK, Akademi dan
Universitas) untuk menciptakan sumber daya manusia yang kompeten tentang mesin
kendaraan BBG.
Industri, Rumah Tangga dan Komersial
• 20 tahun kedepan tenaga listrik akan meningkat sekitar 3 kali lipat dari sekarang
(pertumbuhan 6,9% per tahun), dengan didominasi oleh pertumbuhan sektor industri.
Pembangunan Industri (Pupuk, petrokimia, smelter, plastik dan methanol)
diproyeksikan dibangun di wilayah Indonesia bagian Timur mengingat cadangan gas
alam yang banyak di Indonesia bagian Timur.
• Meningkatkan jaringan gas untuk kebutuhan rumah tangga dan komersial.
DAFTAR PUSTAKA
1. Bee, O.J. 1982. The Petroleum Resources of Indonesia.Melbourne: Oxford University
Press.
2. BPS, 2020. Statistik Indonesia. Jakarta: Biro Pusat Statistik.
3. DEN. 2019. Ketahanan Energi Indonesia 2019. Sekretariat Jenderal Dewan Energi
Nasional.
4. DEN, 2019.Laporan Kajian Penelaahan Neraca Energi Nasional 2019. Sekretariat Jenderal
Dewan Energi Nasional.
5. DEN, 2019. Laporan Kinerja 2019. Sekretariat Jenderal Dewan Energi Nasional.
6. DEN, 2019. Outlook Energi Indonesia 2019. Sekretariat Dewan Energi Nasional.
7. ESDM, 2018.Laporan Tahunan Capaian Pembangunan 2018.Direktorat Jendral Minyak
dan Gas Bumi.Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral.
8. ESDM, 2018. Neraca Gas Bumi Indonesia 2018-2027. Direktorat Jendral Minyak dan Gas
Bumi.Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral.
9. Inkpen, A., Moffett M.H. 2011. The Global Oil & Gas Industry, Management, Strategy &
Finance. Oklahoma : PennWell.
10. Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Peraturan
Pemerintah Nomor 36 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi.
11. Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan
Gas Bumi.
12. Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hilir Minyak dan
Gas Bumi.
13. Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan
Pemerintah Nomor 35 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi.
14. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional.
15. Smil, V.2015. Natural Gas Fuel for the 21 st Century. United Kingdom, WS: Wiley.
16. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan.
17. https://www.kompasiana.com/yplaksana/550fdef1a33311c839ba7d3a/jenis-bahan-bakar-
gas-untuk-kendaraan
18. https://finance.detik.com/energi/d-2863898/mobil-anda-mau-pakai-bbg-ini-biaya-yang-
harus-disiapkan
19. https://www.cnbcindonesia.com/news/20190808150355-4-90726/ri-mau-gaspol-mobil-
listrik-belajar-dulu-dari-konversi-bbg
Profil Penulis
Sami Aji adalah Mahasiswa Sarjana tingkat akhir jurusan International
Business Management, di Sichuan University, Tiongkok, dan Anggota Komisi
Energi tahun 2019-2020
Potensi Energi Baru Terbarukan di
Provinsi Nusa Tenggara Barat
KOMISI ENERGI PPI DUNIA, PPI Brief No. 5 / 2020
Penulis: Arif Pasadita dan Imam Wierawansyah Eltara
RINGKASAN EKSEKUTIF
• Kebutuhan akan sumber daya energi akan terus meningkat dikarenakan
bertambahnya jumlah penduduk dan berkembangnya kualitas hidup. Kondisi ini
memerlukan suatu antisipasi akan ketergantungan energi fosil, terutama wilayah
Nusa Tenggara Barat yang memiliki keterbatasan akses dalam pengembangan
infrastruktur sumber daya energi primer.
• Pengembangan dan pemanfaatan sumber energi baru terbarukan menjadi salah satu
solusi dalam mengatasi masalah energi di wilayah Nusa Tenggara Barat.
• Tantangan yang hadir dalam realisasi energi baru terbarukan di wilayah Nusa
Tenggara Barat adalah proses pengembangan energi, kerjasama dengan pihak
pengembang, minimnya investasi dan kurang memadainya sumber daya manusia
yang akan mengelola teknologi energi baru terbarukan.
• Efisiensi dan biaya merupakan kunci utama yang harus diselesaikan agar dapat
menggeser ketergantungan energi fosil ke energi terbarukan.
Latar Belakang
Energi adalah salah satu kebutuhan masyarakat yang tidak bisa lepas dari kehidupan sehari-
hari, tidak hanya secara pribadi tapi juga dalam kehidupan berbangsa dan bernegara (M.
Azhar, 2018). Gangguan pasokan energi secara langsung akan mempengaruhi pertumbuhan
ekonomi dan pembangunan suatu negara. Oleh karena itu, masing-masing negara memiliki
strategi energi khusus untuk mengamankan pembangunan nasionalnya. Dalam kasus
Indonesia, strategi energi dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang
Energi. Dalam pasal 2, tercantum strategi pengelolaan energi yang pada prinsipnya
didasarkan pada asas-asas manfaat, nasionalitas, efisiensi yang setara, nilai tambah
ekonomi, keberlanjutan, kesejahteraan masyarakat, pelestarian lingkungan, keamanan
nasional, dan integritas. Prinsip-prinsip ini mengarah pada keberlanjutan pembangunan
nasional dan keamanan energi atau disebut Energy Security1.
1 Muhammad Azhar, The New Renewable Energy Consumption Policy of Rare Earth Metals to Build Indonesia's National Energy Security, Conference Guidelines The 1st Sriwijaya Internasional Conference on Environmental Issues, di Hotel Horison Ultima, Palembang, Indonesia, 26 – 27 September 2018, hlm. 86.
Penggunaan energi di Indonesia khususnya di daerah Nusa Tenggara Barat masih didominasi
oleh penggunaan energi tak terbarukan yang berasal dari fosil, khususnya minyak bumi dan
batu bara, namun seiring berjalannya waktu, ketersediaan energi fosil semakin menipis dan
untuk mengantisipasinya energi baru terbarukan (EBT) merupakan alternatif terbaik2.
Penggunaan energi baru dan terbarukan harus menjadi perhatian utama pemerintah Nusa
Tenggara Barat tidak hanya sebagai upaya untuk mengurangi pemakaian energi fosil melainkan
juga untuk mewujudkan energi bersih atau ramah lingkungan. Sejalan dengan meningkatnya
jumlah penduduk dan perekonomian negara hingga ke daerah permintaan akan penyedian
energi terus mengalami peningkatan. Pada tahun 2017 Provinsi Nusa Tenggara Barat memiliki
jumlah penduduk sebesar 4.995.578 jiwa. Jumlah tersebut naik sebesar 4.64% dibandingkan
pada tahun 2014 yang jumlah penduduknya sebesar 4.773.795 jiwa.3 Apabila diproyeksikan
pada tahun 2020 dengan kenaikan jumlah penduduk yang sama. Maka, jumlah penduduk
Provinsi Nusa Tenggara Barat saat ini mencapai kurang lebih 5.217.361 jiwa. Kebutuhan
energi listrik di berbagai sektor terutama di sektor rumah tangga yang ada di wilayah Provinsi
Nusa Tenggara Barat pastinya akan meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk
dan aktivitas ekonomi.
Gambar 1. Data Jumlah Pelanggan per Jenis Pelanggan dan Energi Terjual per Kelompok
Pelanggan PLN Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat (Sumber: Statistik PLN. 2018. Page 5-7)
2 Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik dan Kerja Sama Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Jurnal Energi : Program Strategis EBTKE dan Ketenagalistrikan, Edisi 02, 2016, hlm. 9 3 https://ntb.bps.go.id/dynamictable/2015/03/12/5/jumlah-penduduk-menurut-kabupaten-kota-1993---2017.html
0.00200,000.00400,000.00600,000.00800,000.00
1,000,000.001,200,000.001,400,000.00
RumahTangga
Industri Bisnis Sosial GedungKantor
Pemerintah
PeneranganJalan Umum
Data Jumlah Pelanggan PLN Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat
Jumlah Pelanggan per Jenis Pelanggan
Energi Terjual per Kelompok Pelanggan (kWH)
Berdasarkan data dari Perusahaan Listrik Negara wilayah Nusa Tenggara Barat pada tahun
2018, pemakaian energi listrik terbesar terletak di sektor rumah tangga yaitu sebesar 1.129.510
kWh dengan jumlah pelanggan 1.284.314. Setelah itu disusul oleh sektor komersial 367.900
kWh dengan 37.890 pelanggan seterusnya di sektor industri dengan pemakaian sebesar
105.820 kWh dengan 399 pelanggan kemudian disektor publik 104.560 kWh dengan 6.795
pelanggan dan terakhir sektor sosial dengan pemakaian 69.020 kWh dengan 24.657 pelanggan
yang terlihat di Gambar 1.4 Hal ini diproyeksikan akan terus meningkat jumlahnya pada tahun
mendatang sehingga pasokan energi yang ada diperkirakan tidak akan cukup untuk memenuhi
kebutuhan energi listrik di Provinsi Nusa tenggara Barat dikarenakan meningkatnya kebutuhan
energi listrik tidak diiringi dengan penambahan kapasitas pembangkit listrik.
Tabel 1. Data Jumlah Kapasitas Terpasang, Daya Mampu dan Energi yang Diproduksi oleh PLN
Wilayah Nusa Tenggara Barat
Jenis Pembangkit
Listrik
Kapasitas
Terpasang (MW)
Daya Mampu
(MW)
Energi yang
Diproduksi (GWh)
PLTA 2.02 1.78 5.96
PLTU 60 50 267.95
PLTD 144.12 93.13 343.04
PLT Surya 0.83 0.82 0.52
Sumber: Statistik PLN. 2018. Page 22-23
Permasalahan utamanya dalam penyediaan tenaga listrik dikarenakan keterbatasan mesin
pembangkit. Pada tahun 2018, jumlah kapasitas pembangkit listrik yang terpasang di Provinsi
Nusa Tenggara Barat sebesar 206,97 MW sedangkan jumlah daya yang mampu dihasilkan dari
pembangkit listrik tersebut adalah sebesar 145,73 MW.5 Adapun rincian data kapasitas yang
terpasang, daya mampu dan energi yang diproduksi dapat dilihat di Tabel 1. Dari tabel tersebut
dapat dilihat bahwa Provinsi Nusa Tenggara Barat telah menggunakan Energi Baru Terbarukan
berupa Pembangkit Listrik Tenaga Surya dengan kapasitas terpasang sebesar 0,83 MW yang
mampu menghasilkan energi sebesar 0,52 GWh. Jumlah ini sangatlah sedikit jika dibandingkan
dengan target pemerintah Nusa Tenggara Barat untuk menggunakan energi baru terbarukan
4 Statistik PLN. 2018. Page 5-7 5 Statistik PLN. 2018. Page 22-23
sebesar 5% dari total produksi energi di Nusa Tenggara Barat pada tahun 2025.6 Untuk
mengatasi masalah tersebut, perlu dilakukan penanganan serius dalam bidang pengembangan
Energi Baru Terbarukan. Diperlukan kerjasama antara pemerintah sebagai pembuat kebutuhan
dan penentu kebijakan, pihak penyedia teknologi, pihak penyandang dana, serta peran aktif dan
pasif masyarakat dalam mendukung penggunaan EBT. Sebagai wilayah tropis dengan garis
pantai yang sangat panjang, Nusa Tenggara Barat memiliki potensi pengembangan sumber
energi terbarukan yang cukup besar7. Menurut data dari NASA yang diakses melalui software
RETScreen, wilayah Nusa Tenggara Barat memiliki rata-rata Daily Solar Radiation (DSR)
sebesar 5.47 kWh/m²/d. Detail data DSR selama 1 tahun dipresentasikan pada grafik berikut:
Gambar 2. Data Daily Solar Radiation di Tiga Kabupaten/Kota di Wilayah Provinsi Nusa
Tenggara Barat (Sumber: NASA diakses melalui software RETScreen)
Melihat data di atas, wilayah provinsi Nusa Tenggara Barat dapat dikategorikan menyimpan
potensi yang sangat besar untuk pengembangan energi surya. Durasi sinar matahari yang relatif
konstan yakni 12 jam/hari sepanjang tahun, dengan intensitas radiasi cahaya matahari yang
terbilang tinggi. Rata-rata radiasi sinar matahari harian sepanjang tahun di seluruh dunia adalah
4.99 kWh/m2 atau setara dengan 17.98 MJ/m2. Sementara Nusa Tenggara Barat memiliki rata-
rata sebesar 5.47 kWh/m2 atau setara dengan 19.69 MJ/m2. Potensi ini nantinya dapat
6 https://www.casindo.info/fileadmin/casindo/Output_and_deliverables/D25__WNT_Indonesia-finalreport.pdf. Page 3 7 Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. (2018). Handbook Of Energy & Economic
Statistics of Indonesia. Jakarta.
0
1
2
3
4
5
6
7
Daily Solar Radiation (kWh/m²/d)
Mataram Sumbawa Bima
diaplikasikan dalam berbagai sektor, misalnya penyediaan listrik pada instansi rumah sakit,
sekolah, dan kantor. Teknologi energi surya seperti solar photovoltaic system (PV) dapat
digunakan untuk penerangan, industri peternakan skala kecil, hingga penyediaan tenaga listrik
bagi perangkat elektronik di rumah.
Tantangan
Walaupun kondisi geografis Nusa Tenggara Barat memiliki potensi pengembangan energi
terbarukan, transisi ke energi tersebut masih merupakan suatu tantangan besar. Target
penggunaan energi terbarukan 5% persen mungkin akan sedikit lebih lama bisa terealisasi
dikarenakan adanya mega proyek lain yang sedang digarap di wilayah ini seperti pembuatan
sirkuit Moto GP dan sektor wisata lainnya.
Tantangan lainnya dalam pengembangan energi terbarukan adalah mulai dari keterbatasan
lahan terbuka untuk pemanfaatan energi baru terbarukan dan biaya investasi yang tinggi
untuk pemanfaatan teknologi baru dan terbarukan. Khususnya ketersediaan material
penelitian, prasarana, dan sarana penelitian masih sangat terbatas. Faktor lainnya adalah
sebagian besar teknologi terbarukan masih diimpor dari luar negeri dan masih sangat sedikit
industri dalam negeri yang melakukan pengembangan energi terbarukan. Hal itu
mengakibatkan proses peralihan ke energi terbarukan di Indonesia secara umum menjadi
sangat lambat.
Tantangan lainnya adalah ketidakkonsistenan rencana-rencana pembangunan yang telah
ditetapkan antara kementerian dan lembaga yang terkait. Dirangkum dari kompas.com terkait
dengan koordinasi penerapan energi terbarukan, ada 7 institusi yang bertanggung jawab atas
kebijakan energi terbarukan. Hal ini tentunya dapat memunculkan perbedaan data antar
institusi sehingga pengembangan energi terbarukan menjadi tidak konsisten. Selain itu,
kebijakan-kebijakan terkait pengembangan energi terbarukan relatif berubah-ubah setiap
waktu, contohnya dalam penetapan feed in tariff renewable energy. Adanya otonomi daerah
juga menjadi tantangan bagi pemerintah daerah untuk mengimplementasikan kebijakan dan
program pengembangan energi terbarukan. Pemerintah daerah belum memiliki kapasitas cukup
dalam memanfaatkan sumber daya energi terbarukan, ditambah lagi penelitian teknologi energi
terbarukan di Indonesia masih sedikit sehingga kemampuan sumber daya manusia masih
rendah. Pemerintah pusat harus memiliki komitmen dalam peningkatan bauran energi
terbarukan serta memastikan implementasi program kerja yang sudah disepakati. Tanpa ada
kebijakan atau dukungan yang sesuai, proses peralihan ke energi terbarukan mungkin masih
akan tetap lambat.
Rekomendasi Kebijakan
Berdasarkan pemaparan di atas, penulis merekomendasikan kepada pemerintah pusat
Indonesia khususnya pemerintah Nusa Tenggara Barat dan instansi atau stakeholders terkait
untuk segera memulai pengembangan energi baru terbarukan. Empat strategi yang dapat
dilakukan untuk mempercepat inisiasi penerapan energi terbarukan tersebut.
Strategi pertama adalah melakukan pengembangan energi baru terbarukan secara komersial
dan non komersial. Untuk yang komersial, bagaimana berkontrak dengan PLN, dengan pelaku
usaha untuk bisa berproduksi. Non-komersial, bagaimana pemerintah memberikan pilot
project agar energi terbarukan bisa dicontoh dan bisa dikomersialkan secara baik. Di level
daerah, pemerintah perlu membentuk badan usaha Energi Terbarukan tersendiri yang
ditugaskan untuk mengembangkan, memanfaatkan dan atau membeli EBT. Dalam hal ini bisa
bekerja sama dengan PLN ataupun Perusahaan Energi yang sedang beroperasi di Indonesia.
Strategi kedua adalah melakukan kerjasama dalam pengembangan infrastruktur dengan
daerah lain untuk keamanan suplai energi primer dan energi sekunder dari luar Provinsi Nusa
Tenggara Barat. Selain itu kerjasama juga dilakukan di tingkat nasional, regional, dan
internasional terutama dalam rangka akses informasi, pendanaan, dan alih teknologi. Khusus
untuk kerjasama dengan negara lain, dapat dilakukan dengan melihat negara-negara yang
sudah berhasil menerapkan energi terbarukan di wilayahnya. Salah satunya adalah Australia
yang mengadaptasi tenaga surya dan angin di negaranya. Menurut informasi yang dikutip dari
Operator Pasar Energi Australia (AEMO), Australia sudah memiliki kemampuan teknis untuk
mengoperasikan sistem energi terbarukan tenaga surya dan angin dengan aman, dimana tiga
perempat energi yang digunakan berasal dari pembangkit energi angin dan matahari.
Strategi ketiga adalah dengan cara membuka peluang investasi di bidang energi terbarukan.
Pembangunan sektor energi harus didukung dengan tersedianya peraturan dan kebijakan yang
mengatur tentang penyediaan dan pemanfaatan energi di tingkat daerah. Kebijakan investasi
yang diberikan harus memberikan kemudahan proses perizinan dalam rangka menarik minat
investor dalam pengembangan infrastruktur energi di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Langkah
awal yang dapat dilakukan adalah dengan memberdayakan perusahaan-perusahaan dalam
negeri yang bergerak di bidang pengelolaan energi terbarukan baik dari segi pemberdayaan
teknologi, bahan baku, dan juga tenaga ahli. Khusus untuk tenaga ahli dapat disiapkan melalui
pembukaan jurusan baru yang berkaitan dengan energi terbarukan di kampus-kampus yang ada
di wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat. Hal ini perlu disiapkan secara matang guna
menyiapkan sumber daya manusia berkualitas untuk penelitian yang berkelanjutan dalam
melakukan pengembangan dan penerapan energi terbarukan nantinya.
Sebagai penutup, tentunya ketiga rekomendasi diatas perlu diimbangi dengan strategi
keempat, memunculkan kesadaran kepada masyarakat, dengan cara melaksanakan kegiatan
hemat energi di hari tertentu dan dibentuknya Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang
selalu memberikan edukasi akan akses energi primer dan sekunder kepada masyarakat. Selain
itu, membangun kerjasama dengan universitas yang ada di Nusa Tenggara Barat dalam
melakukan sosialisasi hemat energi dalam bentuk kegiatan kuliah kerja nyata oleh mahasiswa
di pedesaan. Dari kegiatan ini, diharapkan dapat memunculkan sinergi antara percepatan
pembangunan energi baru terbarukan dan sumber daya manusia di wilayah Nusa Tenggara
Barat. Edukasi langsung ke masyarakat dengan cara memberikan pelatihan ke masyarakat
adalah salah satu cara yang tepat untuk mendorong kreativitas masyarakat. Regulasi penerapan
energi terbarukan dalam kegiatan pengembangan, usaha penyediaan dan pemanfaatan energi
primer dan energi sekunder harus mengutamakan keseimbangan ekologi dan lingkungan
sekitar.
DAFTAR PUSTAKA
1. Azhar, Muhammad. 2018. Kebijakan Konsumsi Energi Baru Terbarukan dari Logam Bumi
Langka untuk Membangun Keamanan Energi Nasional Indonesia, Pedoman Konferensi
Konferensi Internasional Sriwijaya 1 tentang Masalah Lingkungan, di Hotel Horison
Ultima, Palembang, Indonesia, 26 - 27 September 2018, hlm. 86.
2. Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik dan Kerja Sama Kementerian Energi dan
Sumber Daya Mineral, Jurnal Energi : Program Strategis EBTKE dan Ketenagalistrikan,
Edisi 02, 2016, hlm. 9
3. Yandri, Erkata. 2018. Meningkatkan Keamanan Energi Melalui Perincian Indikator Energi
Terbarukan dan Efisiensi Guna Membangun Ketahanan Nasional Dari Daerah. Jurnal
Ketahanan Nasional. Volume 24 . Halaman 239-260.
4. https://ntb.bps.go.id/dynamictable/2015/03/12/5/jumlah-penduduk-menurut-kabupaten-
kota-1993---2017.html
5. Perusahaan Listrik Negara (PLN), 2018. Statistik PLN. [online] Available at:
<http://www.pln.co.id>.
6. https://www.casindo.info/fileadmin/casindo/Output_and_deliverables/D25__WNT_Indon
esia-finalreport.pdf. Page 3
7. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. 2018. Handbook Of Energy & Economic
Statistics of Indonesia. Jakarta.
8. DEN. 2014. Laporan Dewan Energi Nasional 2014. Dewan Energi Nasional Republik
Indonesia.
9. Undang-undang Nomor 30 tahun 2007 Tentang Energi.
Tentang Penulis
Imam Wierawansyah Eltara adalah Anggota Komisi Energi PPI
Dunia dan kandidat Master Double Degree di Vistula University
mengambil jurusan Energy Management dan di Instituto
Politechnico de Braganca mengambil jurusan Teknologi
Manajemen.
Arif Pasadita adalah Anggota Komisi Energi PPI Dunia dan
kandidat S-2 di Vistula University mengambil jurusan Energy
Management.
z
Life Electric Vehicle Batteries
Implementation for Stationary Energy
Storage Applications in Indonesia
KOMISI ENERGI PPI DUNIA, PPI Brief No. 6 / 2020
Penulis: Gusta Ventura Purba
EXECUTIVE SUMMARY
• Electricity storage will play a key role in facilitating the next stage of the global energy
transition by enabling higher shares of variable renewable electricity, by accelerating
off-grid electrification and directly decarbonising the transport sector.
• Particularly for battery energy storage systems (BES), the capacity in stationary
applications is expected to have 17- to 38-fold increase in 2030 compared to 2017.
• Electric vehicle (EV) commercialization in Indonesia will increase batteries’ raw
material extraction.
• EV battery that has been degraded to 80% of its original capacity could no longer be
used for normal (long range) EV services, due to lack of current and capacity needed.
• 2nd life EV battery (SLEB) can be used as an alternative of energy storage system for
stationary applications in Indonesia.
• Data presented in this policy brief, mostly adopted from global scale data and overseas
cases outside of Indonesia. If applicable, further studies would be needed in order to
discuss the implementation of second life EV batteries in Indonesia, such as: end-of-
life and life cycle assessments of EV products that will be sold in Indonesia.
Recommendations
• Based on the advantages and opportunities presented in this report, 2nd life EV battery
(SLEB) deserves further studies, such as detailed LCA and economic assessment
comparisons between EV battery production without refurbished (SLEB) application
and with SLEB application in order to understand better the benefits and drawbacks
from both applications.
• Once decided that SLEB is feasible to be used, refurbished or second life EV battery
application can be considered in the end-of-life (EOL) of EV, as an alternative of
treatment besides recycling and direct disposal for used EV batteries as one of the
references to set the legal framework for SLEB application.
Introduction
Along with the current energy transition momentum in Indonesia from conventional energy to
renewable energy (RE), the country’s demand for stationary energy storage is expected to
increase significantly in the future. Smart grid applications and off-grid rooftop PVs are two
examples out of many future applications that require proper energy storage system (ESS). For
the conventional grid, the most widely utilised storage technology is pumped storage hydro
(PSH). However, in RE integration and improvement of the services in smart grid applications,
it is expected the role of other storage technologies would increase in order to cover wider
ranges of power and discharging time in the applications. On the other side, rooftop PVs most
likely would require batteries as the storage system.
In the transportation sector, the government of Indonesia provides recently the legal framework
for the commercialization of electric vehicle (EV) in Indonesia. This will boost the sales of
EVs in the country in the near future. Today, battery-based EV manufacturers utilise either lead
acid or li-ion battery as the built-in energy storage for their products. This EV
commercialization will require a lot of batteries to support the charging station. Another fact is
a battery of an EV can only be used for EV services within the range of 80% – 100% of its
original storage capacity. Below this level of capacity, the battery could no longer provide
enough current and capacity to run the EV. Waves of used EV batteries as waste will become
a problem that should be tackled in the future. Even though it is no more suitable for EV
services, most of these former EV batteries could be used for other services such as energy
storage for intermittent solar PV or wind, ancillary services in electricity industries, charging
stations for EVs, and other applications that require less battery performance level compared
to the requirements in EV services. This repurposed battery is called 2nd life EV battery
(SLEB).
In this policy brief, it is discussed the insight of the opportunity and the advantages of SLEBs
implementation in stationary energy storage systems (ESSs) such as smart grid applications,
rooftop solar PV, EV charging stations, and other stationary energy storage.
Targets, New Regulations, and Current Trends Pertinent to Electricity and
EV in Indonesia
RE Targets and Smart Grid Implementation in Indonesia
The government of Indonesia in its PP No. 22 Tahun 2017 Tentang Rencana Umum Energi
Nasional (RUEN) regulates that the shares of solar PV and wind should contribute at least 18.4
% (8.1 GW) out of the minimum RE target of 23% (45.1 GW) in 2025 and 43.5 % (73 GW)
out of the minimum RE target of 31% (167.6 GW) in 2050 [1]. Moreover, as planned in RUKN
2019 – 2038 [2], smart grid application is expected to be started in 2020 [3]. Besides providing
two ways communication between the grid and the consumers, smart grid also integrates the
intermittent RE sources such as solar PV and wind. Due to this intermittency, solar PV and
wind should always be supported by storage technologies that could perform fast response
actions in order to store excess produced electricity while the load level is lower than the
generated power and to release the stored energy when needed. The improvement in the
performance of other services in smart grid applications, for example power quality and
ancillary services, also requires storage technologies that possess faster discharging time
characteristics compared to PHS. SLEB is one of the available options to cover the energy
storage needs in the smart grid implementation.
EV Commercialization in Indonesia
From the side of transportation sector, the government of Indonesia has established a new
regulation as the legal framework for EV industry in Indonesia, that is PP No. 55 Tahun 2019
Tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai [4]. Even though
there is an uncertainty of accuracy regarding the future sales of EVs in Indonesia, especially
distorted by the existence of the pandemic situation, the government has set its policy on
flourishing EV commercialization in Indonesia. Therefore, a rapid increase in sales is expected
to be happened in the near future, which require a lot of new batteries. As has been mentioned
previously, after around 8 years of usage, each of these EV batteries will reach its service end
in EV application and therefore should be sorted out in order to determine whether it should be
disposed in the landfill, recycled, or reused as a 2nd life EV battery. Further studies should be
done in order to establish new laws and procedures that can determine the best treatment out
of the three for these used batteries, especially in terms of the economic and the environment.
Available Energy Storage Technologies for Stationary Applications
Today, the state of the art of energy storage technologies, that are ready to be used, are as
follows: pumped hydro storage (PSH), various types of battery, flywheels, electrochemical
double-layer capacitors (EDLC), vanadium redox flow battery, Thermo-Electric Energy
Storage(TESS),
Figure 2-1 Maturity vs capital - technology risk of energy storage technologies (Source
[5][6])
compressed-air energy storage (CAES), and superconducting magnetic energy storage
(SMES). Other two technologies, namely synthetic natural gas (SNG) and hydrogen, are still
under development (see Figure 2-1).
Electricity storage will play a key role in facilitating the next stage of the global energy
transition by enabling higher shares of variable renewable electricity, by accelerating off-grid
electrification and directly decarbonising the transport sector. Particularly for battery energy
storage systems (BES), the capacity in stationary applications could increase from a current
estimate of 11 GWh in 2017 to 181-421 GWh in 2030, which represents 17- to 38-fold increase
[7]. This means that besides batteries demand growth in the transportation sector, stationary
applications will also cause a rapid growing of battery raw materials extraction activities in the
world. This will also be the case in Indonesia, since the country is targeting to increase its RE
Lead acid batteries
shares and starting to flourish the commercialization of EVs in the near future. Instead of
utilising new batteries to cover all of the storage demands, SLEBs has the potential to be used
as well as BES for stationary applications.
EV Battery Life Cycle
It is expected that in the future wave of EV batteries waste in Indonesia could not be avoided.
Figure 4-1 [8] shows an illustration of an EV battery life cycle. The EV battery life cycle begins
with raw materials extraction and reprocessing. The raw materials are supplied as feedstocks
into the battery manufacturing process to produce new battery packs that will be used in electric
vehicles. After 20% level of capacity degradation, each of the used battery packs has three
possibilities of treatment, namely: disposed to the junkyard, recycled, or remanufactured to be
used as a 2nd life EV battery for various stationary storage applications.
Figure 4-1 An illustration of electric vehicle battery life cycle
2nd Life EV Battery (SLEB) for Stationary Applications
SLEB Definition
2nd life electric vehicle (EV) battery (SLEB) is a battery that is directly reuse or remanufactured
from former EV battery and can be used for purposes other than EV services. To be used in an
EV, the battery should retain the remaining storage capacity with the level of at least 80% from
its original capacity. Based on the time or distance warranty from various EV manufacturers,
this level is plausible to be reached after 8 years or 160.000 km of usage. Below this 80% level,
the battery could no longer provide enough current and capacity to run the EV.
Remanufacturing
Before used for another purpose, a former EV battery needs to be remanufactured. The
remanufacturing can be done in three different approaches: direct reuse of the battery pack,
the battery pack dismantled into modules, and the battery pack dismantled into cells.
Regardless the type of approach that is taken, remanufacturing requires the starting steps as
follows: collection of different types of battery packs, the evaluation of the remaining available
capacity, and the evaluation of their assembly structures. The last two approaches most likely
require additional steps such as modules/cells sorting components such as circuitry parts,
module casings, and/or battery casings.
Possible SLEB Applications in Indonesia
Based on area (see Table 5-1), SLEB applications can be categorised into three categories
namely: residential, commercial, and industrial.
Storage Applications
Residential Load following
Back-up systems
Commercial
Load following
Back-up systems
Peak saving
Industrial
Load levelling
Renewable firming
Spinning reserve/area regulation
Peak shaving
Transmission stabilisation
Table 5-1 SLEB applications based on area (Source [9])
Based on usage (see Table 5-2), SLEB applications can be categorised also into three
categories, namely: grid stationery, off-grid stationery, mobile applications.
Storage Applications
Grid Stationery Renewable energy farming
Generation-side asset management
Energy arbitrage
Area and frequency regulation
Off-grid Statinery Isolated grids
Mobile Applications EV charging station
Shorter range trip and vehicle-to-grid (V2G)
Table 5-2 SLEB applications based on usage (Source [9])
Advantages
Here are the advantages of 2nd life EV batteries compared to new batteries:
1. Abundant Supply of Raw Materials
In the global level, International Energy Agency predicts in its Global EV Outlook 2019, that
based on their New Policies Scenario and 30EV@30 Scenario, the amount of sold EVs
compared to all sold cars in 2030 could reach 23 million yearly/130 million stock or 43 million
yearly/250 million stock, respectively, which is significantly higher than the percentage of
yearly sold EVs in 2018 that is around 2.1 million yearly/5.1 million stock [10][11].
As explicitly disclosed by the name itself (2nd life EV batteries) the main source of raw material
for the production are the used batteries that are taken out from EVs. This means that the growth
of EVs market corresponds almost directly to the growth of 2nd life EV batteries’ raw material
itself.
Figure 5-1 Global SLEB supply (Source [8])
Particularly for li-ion battery only, Engel et al. [8] predict that the global supply for SLEB
could surpass 200 GWh in 2030, which is more than enough to cover the utility-scale li-ion
battery needs in the same year.
2. Decreased Cost of Energy Storage System (ESS)
In this age of ever-increasing use of renewable energy sources (RES), ESSs are becoming an
essential part to complement RES-intermittencies, and also to provide a number of ancillary
services to the grid. In such cases, the high cost of ESS become a serious concern. SLEBs are
expected to cost less than new ESSs, and still be capable to serve the grid-duties perfectly; and
thus will provide a very attractive solution for such use-cases. This is especially significant as
it will enable further penetration of RES in the energy generation sector while opening up
affordable options for operators to provide reliable services. A 2012 study made by Shokrzadeh
et al. showed that SLBESS could cost 31.71% of new ESSs, based on their estimations [12].
3. Reduced Cost of EV
The price of batteries contributes significantly to the comparatively high price of EVs [13]. If
additional value for used EV batteries are created because of the SLEBs industry, then such
vehicles will retain more resale values; and if there is a battery takeback or leasing system
available from the automobile manufacturers, then the price of the EVs itself can come down.
Such a system was adopted by Nissan for its Leaf EV [14]. This practice is expected to increase
EV penetration and contribute to a greener transportation sector.
4. Energy and Environmental Impacts
The most prominent impacts of SLEBs, and almost the whole point of such an approach, are
the gains it facilitates in terms of energy and environmental benefits. 80% energy of traction
batteries, and significant amount of energy left in used batteries generated from other sources,
will be wasted if they are not reused. Reference [15] showed that from 2015 to 2040, 63% of
the EV batteries could end up in waste stream. This will be a huge waste of the energy, time,
and effort spent on collecting the raw materials, and manufacturing the batteries. And if these
batteries are not reused, they will end up in landfills that will pollute the environment. A
second-life use thus significantly dials down such wastes, and presents an opportunity to make
good use of the energy spent in producing the batteries in an environment friendly way.
Reference [16] stated that 15-70% reduction in gross energy demand and global warming
possibility can be achieved by expanding battery-life through SLEB application. Reference
[17] also showed there existed scopes to improve the use of batteries thorough better reuse and
recycle process, and reduce ecological impacts through that. Sathre et al. showed that the
renewable penetration supported by SLB from PHEVs can provide around 15 TWh energy per
year in 2050 in California, while reducing 7 million metric tons CO2 in equivalent emission
[14]. Ahmadi et al. showed that SLEB application of vehicle batteries could be compared to
converting conventional vehicles into electric ones, and thus;
Existing Projects of SLEB Applications
As can be seen in Table 6-1, many EV manufacturers and other companies have initiated the
implementation of such applications in the form of various energy storage systems that use
SLEB or former EV batteries as the main component of the energy storage. [19]
EV Model Manu-
facturer
Collaborating
Companies
Repurposed Project Capacity Period
Plug-in
vehicles
Daimlers The Mobility
House, GETEC
Energy storage application at
REMONDIS (Lünen,
Germany)
13 MWh
(largest in the
world)
2015
ActiveE
and i3
BMW Bosch, BMW,
Vatenfall
Energy storage application
(Project: “Battery 2nd life”) in
existing Vattenfall virtual
power plant (freq. regulation,
peak shavings for utilities,
household-PV)
2 MW;
2.8 MWh
(2600 battery
modules from
100 EV)
Battery
2nd Life,
since
22.09.20
16
i3 BMW BMW, Beck
Automation
A stationary storage solution
that integrates BMW's i3
vehicle high-voltage batteries
was developed in partnership
of BMW with BECK
Automation. The system
includes a voltage converter
and power electronics to
manage the energy flow
between renewable energy
sources, a home interface,
and the battery.
22 or 33 kWh 2016
LEAF Nissan Nissan, Eaton Residential energy storage
unit (xStorage) for
customer’s advantage of
time-of-use pricing and back
power;
Back-up power for Johan
Cruijfff ArenA (Amsterdam)
xStorage Home
unit:
3.5 kW or 6 kW
Johan Cruijiff
ArenA:
The maximum is
3 MW
2016
LEAF;
e-NV200
Nissan Nissan;
Sumitomo
partnered with
‘4R Energy’
and ‘Green
Repurposing of used electric
car battery packs in large
commercial-scale grid-tied
energy storage systems -
''Second-Life Grid-Tied
Storage Program for Electric
not mentioned 2015
Charge
Networks’
Car Battery Packs''., These
former EV battery packs are
tested, repackaged and
combined with other used
battery packs into a large
grid- connected system
designed to offset peak
electricity demand. The first
of these combined storage
units will be installed and
commissioned at a Nissan
North America facility in the
U.S.
LEAF Nissan FreeWire
Technologies
(California),
Siemens
The Mobi Charger is a
portable charging station
powered by second-life
former EV batteries from the
Nissan Leaf that can charge
five cars per day, using lower-
cost, off-peak energy stored
in repurposed former EV
batteries. It uses Siemens’
eCar Operation Center, a
cloud- based interface for
managing large-scale former
EV charging. The system is
currently in use by several
large utilities, enabling them
to use former EV charging as
a resource to support grid
stability. The adoption of the
Mobi Charger could save
charging costs for customers
not mentioned 2015
and create value through grid
storage, load levelling, and
demand response.
not
mentioned
Renault Renault,
Connected
Energy
A modular storage product
called E-STOR (storing
energy generated from
intermittent renewable
resources; charging at off-
peak times, enabling users to
reduce energy costs)
50kW;
50kWh
2016
C-Zero;
Ion;
i-MiEV
Peugeot;
Citroen;
Mitsubishi
EDF
(Électricité de
France), Forsee
Power,
Mitsubishi
Motors
Corporation,
Mitsubishi
Corporation,
PSA Peugeot
Citroën
Delivering an optimised
smart grid and Energy
Management System,
combining solar, using new
and reused batteries
Combination of
High Voltage
(330 V) and Low
Voltage (48V)
Energy Storage
System
Septembe
r 2015
All
models
circulate
in
Netherlan
ds
All
models’
manu-
facturers
of
batteries
circulate
in
Netherlan
ds
Peter Ursem
Autobedrijf
B.V., ARN
(Auto
Recycling
Nederland)
Former EV batteries will be
sent to Peter Ursem's
installation., where its
customers which are
manufacturers of new
products using second-use
battery cells use these
batteries as the feedstock
not mentioned As of
20.06.20
16
Volt Chevrolet GM (General
motors), ABB
Reuse application for xEV
batteries was demonstrated
25 kW;
50 kW
Since
2013
(Asea Brown
Boveri)
by GM and ABB since 2013.
Five used Chevrolet Volt
batteries were repackaged
into a modular unit (which is
used for uninterruptible
power supply and grid power
balancing system. New tests
and activities are ongoing
Table 6-1 Inventory of Industrial Initiatives of SLEB Applications
REFERENCES
[1] Peraturan Preslden Republlk Indonesia Nomor 22 Tahun 2017 Tentang Rencana Umum
Energi Nasional. Indonesia, 2017.
[2] Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia No. 143
K/20/MEM/2019 Tentang Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional Tahun 2019
sampai dengan Tahun 2038. Indonesia, 2019.
[3] “Smart Grid Akan Diterapkan di Tahun 2020,” 2019. [Online]. Available:
https://www.esdm.go.id/id/berita-unit/direktorat-jenderal-ketenagalistrikan/smart-grid-
akan-diterapkan-di-tahun-2020.
[4] Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2019 Tentang Percepatan
Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle)
Untuk Transportasi Jalan. Indonesia, 2019.
[5] J. Moore and B. Shabani, “A critical study of stationary energy storage policies in
Australia in an international context: The role of hydrogen and battery technologies,”
Energies, vol. 9, no. 9, 2016, doi: 10.3390/en9090674.
[6] World Energy Council, “E-storage : Shifting from cost to value. Wind and solar
applications,” World Futur. Energy Summit, pp. 1–14, 2016.
[7] International Renewable Energy Agency (IRENA), Electricity storage and renewables:
Costs and markets to 2030, no. October. 2017.
[8] H. Engel, P. Hertzke, and G. Siccardo, “Second-life EV batteries: The newest value pool
in energy storage,” McKinsey Co., no. April, 2019.
[9] E. Hossain, D. Murtaugh, J. Mody, H. M. R. Faruque, M. S. H. Sunny, and N.
Mohammad, “A Comprehensive Review on Second-Life Batteries: Current State,
Manufacturing Considerations, Applications, Impacts, Barriers Potential Solutions,
Business Strategies, and Policies,” IEEE Access, vol. 7, no. May, pp. 73215–73252,
2019, doi: 10.1109/ACCESS.2019.2917859.
[10] Till Bunsen et al., “Global EV Outlook 2019 to electric mobility,” OECD iea.org, p.
232, 2019.
[11] M. Wall, “Automotive Industry Outlook: Managing Volatility and Leveraging
Opportunities in a Dynamic Market Environment,” no. February, pp. 1–18, 2019.
[12] S. Shokrzadeh and E. Bibeau, “Repurposing Batteries of Plug-In Electric Vehicles to
Support Renewable Energy Penetration in the Electric Grid,” SAE Tech. Pap., 2012.
[13] M. O. Ramoni and H. C. Zhang, “End-of-life (EOL) issues and options for electric
vehicle batteries,” Clean Technol. Environ. Policy, vol. 15, no. 6, pp. 881–891, 2013,
doi: 10.1007/s10098-013-0588-4.
[14] “The Top Gear Car Review: Nissan Leaf,” 2019. [Online]. Available:
https://www.topgear.com/car-reviews/nissan/leaf/owning.
[15] K. Richa, “Sustainable management of lithium-ion batteries after use in electric
vehicles,” p. 199, 2016.
[16] K. Richa, C. W. Babbitt, N. G. Nenadic, and G. Gaustad, “Environmental trade-offs
across cascading lithium-ion battery life cycles,” Int. J. Life Cycle Assess., vol. 22, no.
1, pp. 66–81, 2017, doi: 10.1007/s11367-015-0942-3.
[17] L. Unterreiner, V. Jülch, and S. Reith, “Recycling of Battery Technologies - Ecological
Impact Analysis Using Life Cycle Assessment (LCA),” Energy Procedia, vol. 99, no.
March, pp. 229–234, 2016, doi: 10.1016/j.egypro.2016.10.113.
[18] L. Ahmadi, A. Yip, M. Fowler, S. B. Young, and R. A. Fraser, “Environmental
feasibility of re-use of electric vehicle batteries,” Sustain. Energy Technol. Assessments,
vol. 6, pp. 64-74, 2014.
[19] S. Bobba et al., Sustainability Assessment of Second Life Application of Automotive
Batteries (SASLAB). 2018.
About the Author
Gusta Ventura Purba is a member of Energy
Commission of Overseas Indonesian Students'
Association Alliance and a student in the
Master Degree Programme of MSc Energy
Storage of EIT InnoEnergy Master's School
(1st year in Instituto Superior Técnico-
Portugal and 2nd year in Aalto University-
Finland).
z
Decoupling Amerika Serikat, Tiongkok
dan Indonesia
Komisi Hukum, Pertahanan, Dan Keamanan PPI
Dunia, PPI Brief No. 7 / 2020 Penulis: Pasha Aulia Muhammad, Wasisto Raharjo Jati,
Sudharmono Saputra
“…AS tentu saja mempertahankan opsi, dibawah berbagai kondisi, untuk
berpisah secara penuh dari Tiongkok. ”
- Presiden Donald Trump8
RINGKASAN EKSEKUTIF
• Decoupling AS-Tiongkok adalah sebuah keadaan yang dapat mengubah tatanan dunia
global
• Decoupling AS-Tiongkok bukanlah sesuatu yang terjadi tiba-tiba, tetapi memiliki latar
belakang sejarah sebelumnya
• Decoupling AS-Tiongkok dapat memiliki efek yang besar terhadap globalisasi dan
berpotensi memecah dunia kembali ke berbagai sphere of influences yang didominasi
oleh satu negara atau blok yang kuat
• Terpecahnya kembali dunia ke sphere of influences ini tidak akan terlihat persis seperti
dunia pada masa perang dingin
• Indonesia perlu untuk mulai memikirkan ulang posisinya dan strateginya di dunia yang
berubah, dikarenakan efek dari decoupling ini bisa berefek besar ke Indonesia
Latar Belakang
Ketegangan antara AS dan Tiongkok telah menarik perhatian di tanah air. Mantan Wakil Ketua
DPR, Fadli Zon misalnya, mengeluarkan pernyataan bahwa Indonesia sebaiknya “…jangan
ikut campur” jika AS dan Tiongkok berperang.9 Nur Meianti (2020) juga menulis di kolom
opini salah satu media nasional mengenai decoupling antara AS dan Tiongkok dan apa yang
harus dilakukan Indonesia (Nur Meianti, 2020).
Bukan hanya ketegangan antara AS dan Tiongkok saja yang menjadi perhatian, ketegangan
antara Tiongkok dan Indonesia dalam isu tertentu juga masih sangat hangat. Jika kita melihat
8 Trump, Donald J. 2020. Twitter. Juni 18, 2020.
https://twitter.com/realDonaldTrump/status/1273706102023237633?ref_src=twsrc%5Etfw%7Ctwcamp%5Etwe
etembed%7Ctwterm%5E1273706102023237633%7Ctwgr%5E&ref_url=https%3A%2F%2Fwww.dw.com%2F
en%2Fcomplete-decoupling-from-china-remains-an-option-says-trump%2Fa-53866003. 9 Vebriyanto, Widian. “Jika China Dan Amerika Jadi Perang, Baiknya Indonesia Menunggu Durian Runtuh.”
Rmol.Id, 27 Juli 2020, politik.rmol.id/read/2020/05/27/436529/jika-china-dan-amerika-jadi-perang-baiknya-
indonesia-menunggu-durian-runtuh.
contoh yang lebih spesifik, kebijakan pemerintah Indonesia juga baru-baru ini memprotes
klaim maritim Tiongkok di Laut Cina Selatan dengan merujuk kepada keputusan arbitrase
internasional yang memenangkan Filipina melawan Tiongkok ketika Filipina membawa
masalah sengketa wilayah di Laut Cina Selatan ke arbitrase internasional. Keputusan Indonesia
untuk merujuk kepada keputusan arbitrase tersebut mendapat perhatian yang luas dari pihak
luar.10 Ini hanya merupakan salah satu contoh kenapa isu decoupling Tiongkok dan AS dapat
memiliki efek langsung ke Indonesia.
Kebangkitan ekonomi-politik Tiongkok di kawasan regional Asia Timur menimbulkan
beberapa kekhawatiran beberapa negara tetangganya, seperti Vietnam, dan Filipina, dan juga
negara-negara sekutu Amerika Serikat di Asia seperti Korea Selatan, Jepang, dan Republik
Tiongkok (Taiwan). Amerika Serikat dan negara sekutunya merasa dengan semakin
berpengaruhnya Tiongkok akan berdampak pada instabilitas kawasan.
Hal ini tidak terlepas dari pandangan AS bahwa politik luar negeri Tiongkok semakin ekspansif
dalam memperjuangkan kepentingan nasionalnya. Klaim Laut Cina Selatan secara unilateral
dengan cara militerisasi di daerah tersebut adalah salah satu contoh nyata bentuk kebijakan luar
negeri Tiongkok yang dianggap agresif oleh AS.11 Oleh karena itulah, beberapa negara
tetangga merasa terancam kepentingan regional ekonomi-politiknya, misalnya saja
perdagangan maupun eksplorasi sumber daya laut seperti sumber daya perikanan dan migas
lepas pantai.
Hadirnya Tiongkok sebagai kekuatan global baru (revisionist power) tersebut secara langsung
menantang Amerika Serikat sebagai sebagai kekuatan global yang telah eksis (super power).
Rivalitas dua negara besar tersebut telah menimbulkan berbagai perang proksi (proxy war)
dalam bentuk kebijakan perdagangan, keterlibatan operasi militer, maupun bentuk aliansi
ekonomi global. Kondisi ini menarik apabila bisa dilanjut dalam analisa akademis, bagaimana
klaim dan rivalitas kedua negara itu berlangsung?
Policy Brief ini bertujuan untuk memberikan pembaca sekilas mengenai alasan dari retak dan
memanasnya hubungan antara AS dan Tiongkok, efeknya di kawasan di Asia, dan langkah apa
yang bisa dilakukan Indonesia dalam situasi ini.
10 Laksmana, Evan A. 2020. “Why Indonesia Invokes the Philippines’ South China Sea Arbitration Win.” South
China Morning Post. Juni 2, 2020. https://www.scmp.com/week-asia/opinion/article/3087017/why-indonesia-
wont-let-beijing-forget-philippines-south-china-sea. 11 Mattis, Jim. Summary of the 2018 national defense strategy of the United States of America. Department of
Defense Washington United States, 2018. Hal 1.
Decoupling Dan Rivalitas AS-Tiongkok
Dalam analisa hubungan internasional, decoupling secara sederhana diartikan sebagai
pengurangan ketergantungan ekonomi dan teknologi pada suatu negara, yang kemudian
memicu adanya inovasi untuk mandiri (Wei, 2019:550). Hal tersebut menunjukkan kalau suatu
negara secara psikologis memiliki daya getar (deterrence factor) melalui kemdanirian ekonomi
dan teknologi. Hal tersebut tentunya menimbulkan pro dan kontra mengingat globalisasi kini
telah mengajak semua negara untuk membangun interdependensi satu sama lain. Adanya
kepentingan ekonomi nasional yang ekspansif adalah salah satu bentuk nyatanya. Amerika
Serikat maupun Tiongkok sama-sama memiliki kepentingan akan pemenuhan kebutuhan
dalam negerinya. Namun rivalitas keduanya kemudian membentuk adanya hubungan kurang
harmonis antar keduanya.
Hubungan antara dua kekuatan global yang tengah merenggang telah memunculkan spekulasi
berbagai pdanangan. Kondisi tersebut mengingat kedua negara merupakan negara produsen
dan konsumen terbesar di dunia yang memiliki dampak secara global. Kedua negara juga
sebenarnya telah memiliki hubungan ketergantungan satu sama lain. Namun terkadang pula
relasi kedua negara tersebut menjadi fluktuatif karena isu-isu sensitif.
Decoupling antara AS dan Tiongkok ini membuat khawatir banyak pihak. Johnson dan Gramer
(2020) berargumen bahwa terakhir kali terjadi pemisahan besar antara negara-negara besar
seperti ini pada 1914, perang besar berkecamuk selama 30 tahun. Menariknya, pemisahan besar
ini juga terjadi bersamaan dengan berakhirnya gelombang pertama globalisasi (1870-1914).12
12 Chdany, Laurence, dan Brian Seidel. "Is Globalization’s Second Wave about to Break?’." Brookings Institute Global Views 4 (2016).
Sumber: Global Economics dan Development at Brookings.
“Perhitungan berdasarkan IMF 2015, Lane dan Milesi-Ferretti 2013, Maddison 2001, Maddison
Project 2015, McKeown 2004, McKeown 2010, Riley 2009, U.N. 1999, U.N. 2015a, U.N. 2015b,
UNCTAD 2015, A.S.Biro Sensus 1975, Bank Dunia 2015, Bank Dunia 2016, dan WTO 2016. Ekspor
barang dagangan dan capital stock asing disini merupakan dolar dalam nilai pasar sebagai bagian
dari pendapatan global yang dinyatakan dalam dolar internasional,d an karena itu akan berbeda
dengan yang dikutip di tempat lain” (Chdany dan Seidel, 2016: 3)
Hubungan antara AS dan Tiongkok tidak selalu tegang seperti ini. Semenjak Amerika
menormalisasi hubungan dengan Republik Rakyat Tiongkok pada tahun 1979, hubungan
Tiongkok dan America Serikat menghangat. Bahkan isu yang dipandang kontroversial seperti
insiden Tianamen 1989 pun dalam jangka panjang tidak memecah hubungan AS dengan
Tiongkok, dan terbatas sebagai sekedar simbol pelanggaran HAM di Tiongkok yang kadang
diungkit kembali oleh Amerika (Xuenying, 2016:215 dan 228-229). Walaupun begitu, masalah
domestik Tiongkok di Hongkong, Tibet, maupun Xinjiang sering kali menjadi titik perdebatan
panas Amerika Serikat dan Tiongkok. Hal itu masih ditambah pula masalah pelanggaran HAM
yang senantiasa diungkit oleh Amerika Serikat.
Pada awal dekade 2000-an, santer terdengar istilah “Chimerica”, untuk mendeskripsikan
hubungan erat dan interdependensi ekonomi antara Amerika Serikat dan Tiongkok yang
menopang dan mendorong ekonomi dunia (Ferguson & Schularick, 2007). Namun hubungan
dekat ini pada akhirnya mendingin, hingga puncaknya dengan munculnya isu decoupling
antara Tiongkok dan Amerika Serikat.
Perspektif Amerika Serikat
Analisa decoupling dari Amerika Serikat memperlihatkan tendensi kembalinya Amerika
Serikat untuk beraliansi dengan Uni Eropa atau malah mungkin Rusia untuk membendung
pengaruh global Tiongkok. Adanya hubungan fluktuatif terhadap Tiongkok membuat Amerika
Serikat untuk berupaya membangun kemitraan strategis dengan negara-negara yang berpotensi
menjadi kekuatan global. Terlepas dari isu Krimea, Amerika Serikat sepertinya enggan untuk
menanggapinya. Mungkin saja salah satu pertimbangan AS adalah untuk tetap membuka opsi
aliansi dengan Rusia untuk menghadang laju Tiongkok.
Ketegangan antara AS dan Tiongkok ini sedikit banyak diawali oleh ketegangan di bidang
perdagangan antara AS dan Tiongkok, tetapi setelah itu mulai menjurus ke arah persaingan
antar negara yang lebih luas. Mattis, J. (2018) dalam Rangkuman Strategi Pertahanan Nasional
Amerika Serikat 2018 menyatakan bahwa era “persaingan antar negara” adalah perhatian
utama bagi keamanan AS, dan bukan lagi terorisme.13
Bagi Amerika Serikat, kebangkitan Tiongkok tersebut memberikan dua sinyal elemen
penting:
Pertama, Tiongkok ingin menunjukkan diri sebagai salah satu kekuatan global yang muncul
dari kawasan regionalnya sendiri. Asia Timur selama ini dikenal sebagai kawasan strategis
karena aktivitas aktif perdagangan internasional dan juga potensi perikanan dan sumber daya
migas bawah laut. Kedua faktor itu yang mendorong Tiongkok untuk bisa tampil sebagai
kekuatan global baru (revisionist power).
Kedua, Tiongkok secara psikologis merasa terancam kedaulatannya dengan “kepungan”
Amerika Serikat dan negara sekutunya di Asia Timur. Adapun negara sekutu Tiongkok seperti
Korea Utara tidaklah cukup kuat sebagai zona penyeimbang (buffer zone) antara Jepang dan
13 Mattis, Jim. Ibid.
Korea Selatan. Hal itu juga yang memicu Tiongkok untuk menyeimbangkan pendulum
keseimbangan kekuatan global di kawasan, atau malah mungkin mendominasi kawasan Asia
Timur secara geopolitik.
Perspektif Tiongkok
Analisa decoupling dari Tiongkok memperlihatkan kalau itu lebih ditujukan pada membangun
kemdanirian diri. Hal tersebut mengingat Tiongkok yang memiliki kapasitas untuk
memproduksi dan membeli produksinya sendiri. Hal ini dikarenakan daya konsumerisme
masyarakat Tiongkok yang besar. Hal lain yang perlu dipertimbangkan adalah aliansi
Tiongkok dengan negara-negara lain seperti halnya BRICS maupun Belt Road Initiative telah
membuat kekuatan diplomasi Tiongkok bertambah kuat. Dengan mempertimbangkan aspek
tersebut, tampaknya bukan hal sulit bagi Tiongkok melepaskan diri dari Amerika Serikat.
Ada dua hal yang menjadi perhatian Tiongkok
Pertama, posisi AS di kawasan. Bagi Tiongkok sejak lama keberadaan AS di kawasan adalah
sebuah tantangan yang harus dihadapi. Dari segi keamanan, AS sudah sejak lama menunjukkan
bahwa keamanan Republik Tiongkok (Taiwan) merupakan salah satu hal yang merupakan
kepentingan AS.14 Hal ini adalah hal yang membuat Tiongkok lama gusar. Zhao (2012:45)
misalnya beragumen bahwa salah satu penyebab menegangnya hubungan AS dengan Tiongkok
pada tahun 2010 adalah ketika AS menjual senjata kepada Taiwan.
Selain itu, kekuatan angkatan laut AS dan keberadaan AS di kawasan bisa saja digunakan untuk
membatasi pertumbuhan ekonomi Tiongkok dengan mengontrol akses Tiongkok ke sumber
energi dan pasar internasional.15 Walaupun AS sejauh ini belum pernah menggunakan
kekuatan militernya untuk membatasi akses Tiongkok ke kedua hal tersebut, sikap AS yang
sangat kombatif ketika menghadapi upaya salah satu perusahaan Tiongkok, Huawei, untuk
mengikuti tender infrastruktur 5G di berbagai negara bukan tidak mungkin membuat ketakutan
Tiongkok kalau AS bisa saja menggunakan kekuatan militernya untuk membatasi akses
Tiongkok ke energi dan pasar dengan menggunakan kekuatan militer.
14 Zablocki, Clement J. 1979. “United States-Taiwan Relations Act.” Cia.Gov. https://www.cia.gov/library/readingroom/docs/CIA-RDP85-00003R000100050016-5.pdf. Hal. 5 15 Yunheng, Zhou. 2011. “ ’Lun Zhongmei Zhijian De Haiquan Maodun’ (On Sino-US Sea Power Conflict).” Xidanai
Guoji Guanxi (Contemporary International Relations), no. 2.
Kedua, Tiongkok juga merasa perlu untuk menaikan kemampuan teknik dan teknologi basis
manufakturnya. Inilah salah satu alasan kenapa Tiongkok meluncurkan program “Made in
China 2025.”16 Walau slogan ini akhirnya dicabut kembali oleh Tiongkok akibat protes AS
yang menganggap program menggunakan kebijakan-kebijakan yang akan merugikan industri
AS demi membuat Tiongkok maju17, programnya sendiri tetap ada18. Aksi AS yang merespons
dengan sangat kuat kebijakan ini meningkatkan kecurigaan Tiongkok kepada AS, yang
dianggap berusaha menahan agar Tiongkok tidak menyalip AS.
Efek decoupling ke kawasan di Asia Tenggara dan Asia Timur
Laut Cina Selatan
Kawasan lautan ini akan menjadi salah satu titik sentral decoupling. Tiongkok secara garis
besar akan berupaya mempertahankan kepentingannya di kawasan ini melalui penguatan
armada angkatan laut. Sementara itu di sisi lain, Amerika Serikat beserta para sekutunya akan
berupaya menghadang laju Tiongkok tersebut dengan berbagai macam latihan operasi militer.
Dengan kata lain, decoupling ini akan menambah intens rivalitas antara Amerika Serikat dan
Tiongkok di kawasan. Mungkin saja aktivitas militer dari kedua belah pihak akan terus naik di
kawasan ini. Tanda-tanda dari hal ini sudah mulai terlihat.
Tiongkok pada 2020 misalnya mengirim kapal induknya ke kawasan Laut Cina Selatan untuk
melakukan latihan militer.19 AS sendiri melakukan reorganisasi besar-besaran marinirnya agar
dapat beroperasi dengan lebih mudah di lingkungan kepulauan di Pasifik, seperti misalnya (tapi
tidak terbatas di) pulau-pulau dan karang di Laut Cina Selatan.20
Laut Cina Timur
Kawasan lautan ini mungkin menjadi menjadi bagian dari perang proksi sekutu Amerika
Serikat yakni Korea Selatan dan Jepang maupun sekutu Tiongkok yakni Korea Utara. Kondisi
tersebut sangat memungkinkan terjadinya konflik bersenjata sewaktu-waktu. Tiongkok sendiri
16 Liu, Kerry. "Chinese manufacturing in the shadow of the China–US trade war." Economic Affairs 38.3 (2018) 17 Lee, John. End of Chimerica: The passing of global economic consensus dan the rise of US--China strategic 136 technological competition. Australian Strategic Policy Institute. Hal. 2 18 Wei, Lingling. "Beijing Drops Contentious 'made in China 2025' Slogan, but Policy Remains; U.S. has Slammed Program as a Subsidy-Stuffer to Advance China as Global Technology Leader at U.S. Expense." Wall Street Journal (Online), Mar 05 2019, ProQuest. Web. 14 Juli 2020. 19 Global Times. 2020. “Chinese Aircraft Carrier Liaoning Conducts Exercises in South China Sea: PLA Navy Spokesperson.” Global Times. April 13, 2020. https://www.globaltimes.cn/content/1185471.shtml. 20 Cancian, Mark F. 2020. “The Marine Corps’ Radical Shift toward China.” CSIS. Maret 25, 2020. https://www.csis.org/analysis/marine-corps-radical-shift-toward-china.
juga sudah berupaya untuk menunjukkan pengaruhnya di wilayah Laut Cina Timur yang
diklaim sebagai wilayah Tiongkok dengan memproklamasikan adanya ADIZ di Laut Cina
Timur yang mewajibkan semua pesawat yang melintas di kawasan untuk memberi notifikasi
terlebih dahulu kepada otoritas Tiongkok.21
Selain itu, laut Cina Timur juga merupakan lokasi dari Republik Tiongkok (Taiwan). Tiongkok
baru-baru ini baru saja menghilangkan rujukan ke “reunifikasi secara damai” dalam laporan
tahunan Perdana Menteri RRT Li Keqiang.22 Di sisi lain, AS juga baru-baru ini memperkuat
undang-undang baru yang memperkuat dukungan AS terhadap posisi internasional Taiwan.23
Jika Tiongkok berusaha untuk mempersatukan kembali Tiongkok dengan Taiwan dengan cara
paksa, maka AS bisa saja mengintervensi.
Salah satu intervensi yang bisa dilakukan AS, selain dengan intervensi langsung di kawasan
ini atau di Taiwan dengan asset militernya, bisa saja dengan melakukan “karantina” atau
blokade terhadap arah transportasi energi dan pasar ke Tiongkok yang melewati Selat Malaka
atau mengawal konvoi kapal negara lain di kawasan melalui laut lepas ke energi dan pasar,
sesuatu yang mungkin, bergantung pada situasi, bisa merugikan Tiongkok pada keadaan krisis.
Karantina seperti ini pada masa damai pernah digunakan oleh AS pada masa Krisis Rudal
Kuba.24 Pengawalan sendiri pada masa damai pernah dilakukan di Teluk Persia pada masa
Perang Irak-Iran melalui Operasi Ernest Will.25 Hal ini bisa berpotensi menyeret Indonesia ke
tengah ketegangan antara AS dan Tiongkok.
Korea Utara
Tiongkok diperkirakan dalam posisi netral dalam kasus Korea Utara ini. Adanya persetujuan
atas sanksi tambahan dari PBB kepada Korea Utara membuktikkan kalau Tiongkok “sedikit
21 Ministry of National Defense The People’s Republic of China. 2013. “Announcement of the Aircraft Identification Rules for the East China Sea Air Defense Identification Zone of the P.R.C.” November 28, 2013. https://web.archive.org/web/20131128215834/http://eng.mod.gov.cn/Press/2013-11/23/content_4476143.htm. 22 Huang, Kristin. 2020. “Chinese Government Drops References to ‘Peaceful’ Taiwan Reunification.” South China Morning Post. Mei 22, 2020. https://www.scmp.com/news/china/politics/article/3085700/chinese-government-drops-references-peaceful-reunification. 23 116th Congress. 2020. “Text - S.1678 - 116th Congress (2019-2020): Taiwan Allies International Protection dan Enhancement Initiative (TAIPEI) Act of 2019.” Congress.Gov. Maret 26, 2020. https://www.congress.gov/bill/116th-congress/senate-bill/1678/text. 24 Naval History dan Heritage Commdan. 2020. “The Naval Quarantine of Cuba.” Mei 8, 2020. https://www.history.navy.mil/research/library/online-reading-room/title-list-alphabetically/n/the-naval-quarantine-of-cuba.html. 25 Froehlich, Paul. 1988. “In Harm’s Way.” All Hdans Magazine of the US Navy, Maret 1988. https://www.navy.mil/ah_online/archpdf/ah198803.pdf. Hal 4-11
melepas tangan” terhadap Korea Utara. Namun untuk kepentingan strategis lainnya, Tiongkok
akan membantu Korea Utara dalam hal lainnya seperti pertahanan seandainya ada konflik
terbuka. Hal ini mengingat Tiongkok memandang Korea Utara sebagai zona penyangga
terhadap keutuhan wilayahnya. Jika Tiongkok misalkan tidak membantu Korea Utara, berat
kiranya bagi Tiongkok untuk menghadapi pasukan AS langsung di perbatasan Tiongkok.26
Indonesia Mengayuh di Antara Banyak Karang
Terhadap potensi konflik yang akan melanda ke depan, Indonesia sebenarnya tidak terlalu
terkena dampak konflik terbuka antara Tiongkok dan Amerika Serikat, selama konflik ini tidak
bergerak menuju arah konflik bersenjata. Namun demikian, Indonesia tetap riskan bisa terjebak
diantara kedua kekuatan ini, atau bahkan menjadi salah satu tempat konflik kedua kekuatan
Pertama, salah satu efek tidak langsung dari decoupling AS dan Tiongkok adalah mungkin
munculnya blok perdagangan yang dipelopori dua negara kekuatan global tersebut. Yang
dimaksud dengan munculnya blok perdagangan disini bukan hanya melingkupi blok
perdagangan seperti misalnya area perdagangan bebas yang eksklusif, tetapi juga ekosistem
teknologi berbeda dan tidak kompatibel. Misalnya, teknologi 5G. Jika laju berpisah Tiongkok
dan AS terus bergerak dalam tren ini, maka bukan gtidak mungkin kalau teknologi 5G dari
Tiongkok dan teknologi 5G dari atau yang didukung oleh AS tidak akan kompatibel dengan
satu sama lain.
AS pada 1998 melarang komponen AS untuk diluncurkan oleh Tiongkok, yang secara praktis
membuat industri luar angkasa Tiongkok tidak bisa meluncurkan sebagian besar satelit di
dunia.27 Di masa depan, dengan Tiongkok yang dengan gencar memasarkan teknologinya,
bukan tidak mungkin banyak negara akan terjebak dalam ekosistem teknologi AS atau
Tiongkok karena teknologi dari kedua negara ini tidak bisa digunakan bersamaan, baik karena
alasan teknis maupun alasan hukum.
Selain itu, bisa saja internet akan terbelah dua antara internet yang mengikuti nilai-nilai
Tiongkok dan nilai-nilai AS. Tiongkok saat ini mulai mengekspor teknologi dan keahlian
pemantauan internet kepada konsumen diluar Tiongkok.28 Bukan tidak mungkin, jika suatu
26 Bennet, Bruce W. 2013. “Preparing for the Possibility of a North Korean Collapse.” Rdan Corporation. Hal xvii 27 Mitsuru, Obe, dan Yifan Yu. 2020. “SpaceX Success Had Asian Start-Ups Dreaming of the Stars.” Financial Times. Juli 12, 2020. https://www.ft.com/content/8351b52a-78ba-4148-b4e8-4e11b7919126. 28 Mozur, Paul, Jonah M Kessel, dan Melissa Chan. 2019. “Made in China, Exported to the World: The Surveillance State.” The New York Times, April 24, 2019. https://www.nytimes.com/2019/04/24/technology/ecuador-surveillance-cameras-police-government.html.
negara menggunakan teknologi pemantauan internet dari Tiongkok, perusahaan teknologi dari
Barat dapat berupaya untuk menggunakan teknologi untuk menjamin agar nilai-nilai yang
dibawa perushaan tersebut, seperti misalnya nilai privasi komunikasi, tidak terganggu atau
direbut dengan penggunaan teknologi pemauntauan internet dari Tiongkok.
Kedua, dilihat secara militer, Indonesia berbatasan dengan selat Malaka dan selat Lombok.
Kedua selat ini digunakan Tiongkok dan negara-negara seperti Jepang, Korea Selatan, dan
Republik Tiongkok (Taiwan) untuk mengakses suplai energi di Timur Tengah dan pasar bagi
produk mereka. Jika terdapat ketegangan di kawasan yang menyebabkan salah satu saja dari
negara di sepanjang rute pelayaran kapal dari Teluk Persia atau Terusan Suez ke Asia Timur
untuk melakukan aksi yang dapat dipandang oleh Tiongkok atau negara Asia Timur lainnya
menarget arus transportasi mereka ke sumber energi dan pasar, maka mereka bisa saja
mengunakan kekuatan militer untuk berusaha untuk membuka akses transportasinya kembali.
Hal ini bisa saja menarik Indonesia ke dalam permainan geopolitik atau bahkan konflik dimana
Indonesia bukan hanya menjadi salah satu pemain, tetapi juga menjadi medan perang negara-
negara tersebut.
Dalam konteks ini, Indonesia perlu untuk meninjau kembali politik bebas aktifnya untuk bukan
hanya menyinergiskan kepentingan nasional di tengah kompetisi global tersebut, tetapi juga
agar Indonesia tidak terjebak di tengah pusaran ketegangan di antara Tiongkok, AS, dan negara
lain di kawasan, agar Indonesia tidak bernasib seperti Polandia atau Belgia di Perang Dunia
Kedua, yang relatif lebih lemah dari kekuatan besar di kawasan dan berusha mempertahankan
kedaulatannya, tetapi pada akhirnya malah menjadi korban.
Hal konkretnya mungkin Indonesia berperan sebagai pelopor kekuatan negara menengah
(middle power) yang berhak untuk bersuara di tengah rivalitas kedua negara itu. Suara
Indonesia sebagai negara yang strategis di Asia Tenggara itu akan diperhatikan oleh Tiongkok
maupun Amerika Serikat. Walaupun demikian, Indonesia juga perlu mempertimbangkan untuk
meningkatkan kemampuannya agar tidak dipandang militer dalam konflik militer.
Mencapai MEF adalah salah satu langkah konkret menuju arah tersebut, tetapi langkah lainnya
untuk semakin memperkuat posisi Indonesia, entah dengan menjalin hubungan kerjasama
bilateral atau multilateral yang kuat dengan negara-negara lain dan/atau memperkuat potensi
militer Indonesia sangat diperlukan.
Pertanyaan yang dihadapi pemangku kebijakan Indonesia kedepan bisa jadi adalah pertanyaan-
pertanyaan berikut:
- Langkah apa yang bisa diambil Indonesia agar mendapat keuntungan maksimal dari
decoupling AS dan Tiongkok?
- Sejauh apa Indonesia harus dekat atau menjaga jarak dengan kekuatan dan negara-
negara di kawasan, seperti ASEAN, tetapi juga termasuk AS dan Tiongkok, baik dari
segi ekonomi, teknologi, maupun militer?
- Langkah apa yang harus dilakukan Indonesia untuk memperkuat posisi militernya
dalam atmosfer decoupling AS dan Tiongkok? Sejauh apa langkah yang harus diambil
Indonesia?
- Apa ada langkah atau opsi yang mungkin terlalu berat untuk diambil Indonesia? Jika
ya, apakah asumsi yang mendasari perhitungan tersebut perlu dipikirkan kembali?
Kesimpulan
Jika decoupling pada akhirnya terus berlanjut, relasi dependensi antara Amerika Serikat dan
Tiongkok berubah menjadi hubungan rivalitas. Hal tersebut berpotensi menimbulkan konflik
terbuka maupun perang proksi di level regional maupun internasional. Kondisi ini tentu saja
akan menganggu, jika tidak memutus, relasi interdependensi semua negara yang telah terbina
dalam globalisasi. Indonesia dapat berperan sebagai pelopor kekuatan menengah bisa
mereduksi dampak konflik itu dan berperan sebagai orator kepentingan negara kawasan
terhadap rivalitas kedua negara global itu.
Di sisi lain, Indonesia, karena posisi strategisnya, bisa saja menjadi korban dari perang proksi
ataupun konflik terbuka diantara AS, Tiongkok, dan negara di kawasan. Karena itu, penting
bagi Indonesia untuk mulai memikirkan bagaimana posisi terbaik yang bisa mempertahankan
posisi dan mengamankan kedaulatan bangsa, baik melalui diplomasi maupun melalui
meningkatkan kapasitas militer dan ekonomi.
DAFTAR PUSTAKA
1. 116th Congress. 2020. “Text - S.1678 - 116th Congress (2019-2020): Taiwan Allies
International Protection dan Enhancement Initiative (TAIPEI) Act of 2019.”
Congress.Gov. Maret 26, 2020. https://www.congress.gov/bill/116th-congress/senate-
bill/1678/text.
2. Bennet, Bruce W. 2013. “Preparing for the Possibility of a North Korean Collapse.”
Rdan Corporation
3. Cancian, Mark F. 2020. “The Marine Corps’ Radical Shift toward China.” CSIS. Maret
25, 2020. https://www.csis.org/analysis/marine-corps-radical-shift-toward-china.
4. Chdany, Laurence, dan Brian Seidel. "Is Globalization’s Second Wave about to
Break?’." Brookings Institute Global Views 4 (2016).
5. Ferguson, Niall, dan Moritz Schularick. "‘Chimerica dan the global asset market boom."
International Finance 10, no. 3 (2007): 215-239.
6. Froehlich, Paul. 1988. “In Harm’s Way.” All Hdans Magazine of the US Navy, Maret
1988. https://www.navy.mil/ah_online/archpdf/ah198803.pdf.
7. Global Times. 2020. “Chinese Aircraft Carrier Liaoning Conducts Exercises in South
China Sea: PLA Navy Spokesperson.” Global Times. April 13, 2020.
https://www.globaltimes.cn/content/1185471.shtml.
8. Hu, XueYing. "Legacy of Tiananmen Square Incident in Sino-US Relations (post-2000)."
East Asia 33, no. 3 (2016): 213-232.
9. Huang, Kristin. 2020. “Chinese Government Drops References to ‘Peaceful’ Taiwan
Reunification.” South China Morning Post. Mei 22, 2020.
https://www.scmp.com/news/china/politics/article/3085700/chinese-government-drops-
references-peaceful-reunification.
10. Johnson, Keith, dan Robbie Gramer. 2020. “The Great Decoupling.” Foreign Policy. Mei
14, 2020. https://foreignpolicy.com/2020/05/14/china-us-pdanemic-economy-tensions-
trump-coronavirus-COVID-new-cold-war-economics-the-great-decoupling/.
11. Laksmana, Evan A. 2020. “Why Indonesia Invokes the Philippines’ South China Sea
Arbitration Win.” South China Morning Post. Juni 2, 2020. https://www.scmp.com/week-
asia/opinion/article/3087017/why-indonesia-wont-let-beijing-forget-philippines-south-
china-sea.
12. Lee, John. End of Chimerica: The passing of global economic consensus dan the rise of
US--China strategic 136 technological competition. Australian Strategic Policy Institute.
Hal. 2
13. Liu, Kerry. "Chinese manufacturing in the shadow of the China–US trade war." Economic
Affairs 38.3 (2018)
14. Mattis, Jim. Summary of the 2018 national defense strategy of the United States of
America. Department of Defense Washington United States, 2018.
15. Ministry of National Defense The People’s Republic of China. 2013. “Announcement of
the Aircraft Identification Rules for the East China Sea Air Defense Identification Zone
of the P.R.C.” November 28, 2013.
https://web.archive.org/web/20131128215834/http://eng.mod.gov.cn/Press/2013-
11/23/content_4476143.htm.
16. Mitsuru, Obe, dan Yifan Yu. 2020. “SpaceX Success Had Asian Start-Ups Dreaming of
the Stars.” Financial Times. Juli 12, 2020. https://www.ft.com/content/8351b52a-78ba-
4148-b4e8-4e11b7919126.
17. Mozur, Paul, Jonah M Kessel, dan Melissa Chan. 2019. “Made in China, Exported to the
World: The Surveillance State.” The New York Times, April 24, 2019.
https://www.nytimes.com/2019/04/24/technology/ecuador-surveillance-cameras-police-
government.html.
18. Naval History dan Heritage Commdan. 2020. “The Naval Quarantine of Cuba.” Mei 8,
2020. https://www.history.navy.mil/research/library/online-reading-room/title-list-
alphabetically/n/the-naval-quarantine-of-cuba.html.
19. Nur Meianti. 2020. “OPINI: Bagaimana Indonesia Memposisikan Diri Di Era
Decoupling.” Liputan6.Com, Juni 14, 2020.
https://www.liputan6.com/bisnis/read/4279085/opini-bagaimana-indonesia-
memposisikan-diri-di-era-decoupling.
20. Trump, Donald J. 2020. Twitter. Juni 18, 2020.
https://twitter.com/realDonaldTrump/status/1273706102023237633?ref_src=twsrc%5Etf
w%7Ctwcamp%5Etweetembed%7Ctwterm%5E1273706102023237633%7Ctwgr%5E&r
ef_url=https%3A%2F%2Fwww.dw.com%2Fen%2Fcomplete-decoupling-from-china-
remains-an-option-says-trump%2Fa-53866003.
21. Wei, Li. "Towards Economic Decoupling? Mapping Chinese Discourse on the China–US
Trade War." The Chinese Journal of International Politics 12, no. 4 (2019): 519-556.
22. Wei, Lingling. "Beijing Drops Contentious 'made in China 2025' Slogan, but Policy
Remains; U.S. has Slammed Program as a Subsidy-Stuffer to Advance China as Global
Technology Leader at U.S. Expense." Wall Street Journal (Online), Mar 05 2019,
ProQuest. Web. 14 Juli 2020.
23. Yunheng, Zhou. 2011. “ ’Lun Zhongmei Zhijian De Haiquan Maodun’ (On Sino-US Sea
Power Conflict).” Xidanai Guoji Guanxi (Contemporary International Relations), no. 2.
24. Zablocki, Clement J. 1979. “United States-Taiwan Relations Act.” Cia.Gov.
https://www.cia.gov/library/readingroom/docs/CIA-RDP85-00003R000100050016-
5.pdf.
25. Zhao, Xiuye. "Chinese Perception of the US Strategic Position in East Asia: An Analysis
of Civilian dan Military Perspectives." American Intelligence Journal 30, no. 1 (2012): 45-
54.
Tentang Penulis
Wasisto Raharjo Jati, biasa dipanggil Wasis, telah
menjadi staf peneliti di Pusat Penelitian Politik – LIPI sejak
tahun 2014. Gelar sarjana strata satu (S-1) Politik dan
Pemerintahan diraih dari Universitas Gadjah Mada (UGM)
pada tahun 2012. Sekarang ini dia sedang menempuh
pendidikan strata dua (S-2) di Program Master of Political
Science di the Australian National University (ANU).
Pasha Aulia Muhammad terlahir di Bandung pada 21 Juni
1999. Penulis saat ini masih berada pada tahun ketiga dari
empat tahun total waktu pendidikan Bachelor (S-1) Political
Science and World Politics di National Research University
Higher School of Economics St. Petersburg Filial.
Penulis juga sempat mendapat kehormatan untuk mengikui program pertukaran pelajar
Erasmus selama satu semester di University College London School of Slavonic and East
European Sciences (UCL SSEES). Selain itu, penulis juga aktif di berbagai aktivitas
ekstrakurikuler, seperti MUN misalnya, baik sebagai delegate maupun chair, dan berpartisipasi
aktif di berbagai organisasi dan menjadi sukarelawan di berbagai kegiatan baik di dalam
maupun di luar negeri, seperti misalnya di Permira Rusia, AIESEC Rusia, KMI-REET, dan
KNPI.
Sudharmono Saputra, S.H., M.H., lahir di Tanjung Karang
tanggal 12 Maret 1991. Jenjang pendidikan dasar ia tempuh
di SDN 2 Rawa Laut, Bandar Lampung dan SMPN 1 Bandar
Lampung. Adapun jenjang pendidikan menengah di SMAT
Krida Nusantara Bandung dan SMA N 9 Bandar Lampung.
Kemudian, ia menempuh kuliah di Fakultas Hukum
Universitas Lampung dan melanjutkan jenjang Magister
Hukum Bisnis di Universitas Gajah Mada.
Saat ini, ia telah menyelesaikan pendidikan LLM International Commercial Law di
Bournemouth University. Sampai saat ini, ia tercatat sebagai Advokat pada Organisasi Advokat
PERADI dan juga tercatat sebagai Kurator dan Pengurus pada Organisasi AKPI.
Tinjauan Sistem Pembiayaan
Kesehatan di Indonesia: Menilai
Kesiapan Indonesia menuju Cakupan
Kesehatan Semesta
Komisi Kesehatan PPI Dunia, PPI Brief No. 8 / 2020
Penulis: Yoser Thamtono
RINGKASAN EKSEKUTIF
● 6 tahun semenjak dicanangkannya program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) di
Indonesia, berbagai hambatan masih dijumpai dalam mencapai target cakupan kesehatan
semesta
● Hambatan yang dijumpai diantaranya: masih jelasnya ketimpangan taraf kesehatan dan
sebaran fasilitas kesehatan, kualitas kesehatan yang tidak mumpuni, sistem pembayaran
BPJS yang belum cukup progresif dan memberi ruang untuk terjadinya adverse selection
dan cakupan proteksi finansial yang belum mumpuni
● Di sisi lain, adanya defisit anggaran BPJS Kesehatan dan rendahnya anggaran kesehatan
Indonesia mengancam keberlangsungan program JKN
● Untuk menyokong tercapainya cakupan kesehatan semesta, pemerintah perlu melakukan
optimalisasi terhadap: anggaran kesehatan dan dana untuk JKN, kualitas pelayanan
kesehatan, distribusi, dan pengadaan obat-obatan, serta pencegahan terhadap perilaku
adverse selection oleh peserta JKN dan fraud oleh pelaku kesehatan.
Pendahuluan
Badan Kesehatan Dunia (WHO) dalam World Health Report 2010 merumuskan 3 pilar utama
untuk mencapai cakupan kesehatan semesta (Universal Health Coverage), yakni tercapainya
ekuitas (kesetaraan) dalam akses dan pelayanan kesehatan, tersedianya pelayaan kesehatan
berkualitas, dan proteksi finansial dari biaya kesehatan katastrofik (1). Sejak 1 Januari 2014,
Indonesia telah memulai langkah menuju cakupan kesehatan semesta melalui pencanangan
Program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS).
Pemerintah Indonesia menargetkan semua penduduk Indonesia terdaftar dalam skema asuransi
JKN di akhir tahun 2019, namun per Mei 2019 cakupan peserta JKN baru mencapai 221,6 juta
jiwa dari total 265 juta penduduk(2). Di sisi lain, berbagai masalah masih menyelimuti
penyelenggaraan sistem asuransi kesehatan nasional pertama yang dimiliki Indonesia ini. Di
kajian ini, penulis akan menyajikan potret kesiapan Indonesia menuju cakupan kesehatan
semesta dan memberi masukan untuk penyelenggaraan JKN ke depannya.
Sistem Pembiayaan kesehatan di Indonesia
Ada 3 fungsi utama sistem pembiayaan kesehatan: mengumpulkan dana kesehatan (revenue
collection), menempatkan dana kesehatan yang terkumpul dalam satu wadah (pooling) dan
pembayaran fasilitas kesehatan (purchasing). Berikut adalah paparan singkat mekanisme
Badan Penyelenggara jaminan sosial (BPJS), sebagai badan yang bertanggungjawab untuk
penyelenggaraan JKN, dalam menjalankan ke-3 fungsi tersebut.
Pertama, dalam mengumpulkan dana kesehatan, program Jaminan Kesehatan Nasional di
Indonesia merupakan gabungan dari sistem asuransi model Beveridge (pembiayaan dari
pajak) dan Bismarck (sistem asuransi kesehatan yang didanai oleh penyedia kerja dan
karyawan melalui pemotongan gaji). Sumber dana kesehatan utama berasal dari iuran yang
dibayarkan oleh peserta, dimana terdapat dua jenis kepesertaan dalam JKN: Peserta Penerima
Bantuan Iuran (PBI) dan Peserta Bukan Penerima Bantuan Iuran (Non-PBI)(3). Peserta PBI,
yang mencakup fakir miskin dan penduduk dengan disabilitas, iurannya dibayarkan oleh
Pemerintah. Peserta PBI di Indonesia mencakup 94 juta orang atau sekitar 40% dari seluruh
populasi(4).
Adapun iuran bagi Peserta PPU (Pekerja Penerima Upah) yaitu sebesar 5 persen dari Gaji atau
Upah per bulan(3), dimana pembayarannya dilakukan bersama antara pemberi kerja (4%) dan
peserta PPU (1%). Di sisi lain, untuk mereka yang termasuk dalam pekerja bukan penerima
upah atau peserta mandiri dapat membeli iuran berdasarkan kelas perawatan yang diinginkan.
Keanggotaan bersifat wajib, namun pada kenyataannya untuk peserta mandiri dan bukan PPU,
tidak ada sanksi bila tidak terdaftar dalam JKN. Sumber dana kesehatan lain termasuk
kontribusi pemerintah lewat pajak penghasilan, cukai rokok, dan dana dari organisasi pemberi
bantuan internasional(4).
Kedua, dalam menjalankan fungsi pooling, BPJS menggunakan sistem unitary risk pooling
dimana dana dikumpulkan dalam satu wadah yang dikelola hanya oleh BPJS Kesehatan. Sistem
ini menjamin pembiayaan kesehatan bagi seluruh penduduk tanpa memperhatikan besaran
kontribusi yang dibayarkan masing-masing peserta. Dengan demikian akan terjadi mekanisme
subsidi silang dari mereka dengan status sosial yang lebih tinggi ke mereka yang
berpenghasilan rendah(5). Selain itu, dengan adanya sistem pooling nasional, masyarakat dapat
memperoleh pelayanan kesehatan dimanapun tanpa memandang asal wilayah tinggal,
sepanjang masih berada dalam wilayah NKRI.
Ketiga, dalam menjalankan fungsi pembayaran (purchasing mechanism), JKN menggunakan
sistem subsidi pada penyedia jasa (supply-side subsidy). Pembayaran pada pada fasilitas
kesehatan tingkat pertama (puskesmas atau klinik) menggunakan sistem kapitasi; sedangkan,
pada fasilitas kesehatan tingkat lanjutan (rumah sakit) pembayaran dilakukan secara prospektif
menggunakan sistem INA-CBGs.
1. Kelemahan sistem pembiayaan kesehatan di Indonesia
1.1. Masalah dalam mencapai Ekuitas
Prinsip ekuitas atau kesetaraan dalam kesempatan untuk mencapai taraf kesehatan yang
optimal merupakan salah satu komponen utama dalam mencapai cakupan kesehatan
semesta. Konsep ekuitas sejatinya sejalan dengan gagasan keadilan yang tertuang dalam
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28H Ayat (2) yang berbunyi, “Setiap orang berhak
mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan
manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan”.
Di Indonesia saat ini, pencapaian ekuitas di bidang layanan kesehatan masih terhambat oleh
berbagai masalah diantaranya sebaran fasilitas kesehatan yang belum merata dan
ketimpangan taraf angka kesakitan dan kematian di berbagai daerah. Sebuah penelitian
menunjukkan bahwa nilai indeks konsentrasi layanan rumah sakit di Indonesia bertambah
dari 0.0336 pada tahun 2015 ke 0.0382 pada tahun 2016(6), yang menunjukkan adanya
penambahan ketimpangan dalam hal akses dan utilisasi layanan kesehatan oleh penduduk
kaya daripada penduduk miskin. Di sisi lain, ketimpangan taraf kesehatan masih sangat
nyata di Indonesia. Angka kematian ibu di provinsi berpenghasilan rendah tercatat 66%
lebih tinggi daripada di provinsi berpenghasilan tinggi, seperti di Jawa dan Bali(7). Hal
senada dijumpai pada angka kematian neonatal, dimana pada kelompok rumah tangga
berpenghasilan paling rendah, angka kematian neonatal mencapai 3 kali lipat lebih tinggi
daripada di rumah tangga berpenghasilan tinggi(8). Untuk angka kematian balita (AKABA),
Papua mencatat angka kematian hingga 116.2 per 1000 kelahiran bila dibandingkan dengan
provinsi Riau yang memiliki AKABA terendah sebesar 27.4 kematian per 1000
kelahiran(9).
Ketimpangan tidak hanya dijumpai dalam hal akses ke layanan kesehatan tapi juga pada
mekanisme pengumpulan dana kesehatan JKN. Sejatinya, sistem pembiayaan kesehatan
harus bersifat progresif sesuai dengan kemampuan masyarakat untuk membayar; dengan
kata lain, mereka yang berpenghasilan tinggi sepatutnya membayar iuran yang lebih
tinggi(10). Meski bagi pekerja PPU pembayaran iuran JKN bersifat mengikat dan progresif
sesuai dengan pendapatan, namun bagi peserta non PPU keanggotaan bersifat sukarela.
Untuk mendaftar, peserta dapat memilih membayar iuran yang berkisar dari Rp 25.500
untuk kelas 3, hingga Rp 80.000 untuk kelas 1. Masalahnya, sistem kelas ini bersifat
sukarela dan tidak mempertimbangkan penghasilan peserta; dengan demikian, peserta yang
kaya bisa saja dengan mudah memilih membayar iuran setara kelas 3. Hal ini menyebabkan
mekanisme subsidi silang antara kelompok berpenghasilan tinggi dan berpenghasilan
rendah tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Di sisi lain, sistem iuran yang bersifat sukarela ini sangat rentan untuk dimanfaatkan oleh
peserta yang dapat dengan mudah mendaftarkan diri ketika memerlukan pengobatan dan
berhenti membayar iuran sesudah mendapatkan pengobatan (adverse selection). Hal-hal
seperti ini tentu perlu menjadi perhatian bagi pemerintah dalam merumuskan arah
kebijakan JKN ke depannya.
1.2. Kualitas pelayanan kesehatan yang tidak merata
Secara cakupan kesehatan, BPJS sebenarnya cukup sukses mengingat bila dibandingkan
dengan tahun 2016, jumlah FKRTL (Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan) yang
bekerja sama dengan BPJS Kesehatan meningkat dari 2068 menjadi 2455 FKRTL di akhir
tahun 2018. Peningkatan juga dialami pada jumlah Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama
(FKTP) yang telah mencapai 23.298 di akhir tahun 2018(11). Namun begitupun, masalah
masih dijumpai pada jumlah tenaga kesehatan dan kualitas fasilitas kesehatan yang
sebarannya tidak merata di seluruh wilayah di Indonesia.
Dalam hal sebaran tenaga kesehatan, kepadatan rasio dokter masih sangat timpang dimana
di Jakarta terdapat 65 dokter per 100,000 penduduk sementara di Maluku dan Nusa
Tenggara Timur rasio dokter adalah 14 per 100,000 penduduk(12). Hal serupa dijumpai pada
sebaran perawat dan bidan yang terpusat di provinsi besar (gambar 1 dan 2)(13).
Gambar 1 Distribusi dan rasio perawat di Indonesia(13)
Gambar 2 Distribusi dan rasio bidan di Indonesia(13)
Sebaran tenaga kesehatan yang tidak merata ini sebenarnya sejalan dengan sebaran fasilitas
kesehatan yang juga terpusat di kota-kota besar daripada daerah pedesaan(14,15). Untuk
cakupan sebaran puskesmas di kecamatan saja, misalnya, hanya 63.1% di Papua, sementara
di provinsi besar seperti di DKI Jakarta, Bali, dan Nusa Tenggara Barat, ketersediaan
puskesmas mencapai 100% kecamatan(9). Untuk ketersediaan dokter umum di fasilitas
kesehatan regional, angka tertinggi dijumpai di DI Yogyakarta mencapai 99.2% dan
terendah di Papua dengan cakupan hanya 34.4%(9). Sama halnya dengan sebaran dokter
spesialis yang masih terpusat di daerah perkotaan(13).
Kualitas fasilitas pelayanan kesehatan juga masih belum optimal. Kurang dari 80%
puskesmas di Indonesia bagian Timur yang melaporkan kelengkapan cakupan vaksin
wajib: campak, DPT, polio dan BCG(13). Begitu pula untuk penanganan penyakit tidak
menular seperti diabetes-mellitus, hanya 54% puskesmas di Indonesia yang memiliki alat
untuk memeriksa kadar gula darah dan pemeriksaan urin(13).
1.3. Cakupan proteksi finansial JKN belum mumpuni
Program JKN masih belum mampu memberikan proteksi finansial yang optimal kepada
seluruh rakyat Indonesia. Data dari Bank Dunia menunjukkan di tahun 2015 terdapat lebih
dari 9 juta orang di Indonesia yang mengeluarkan lebih dari 10% pendapatannya untuk
biaya kesehatan dan 1 juta diantaranya mengeluarkan lebih dari 25% dari
penghasilannya(16). Sementara itu, masih banyak pengeluaran kesehatan yang dikeluarkan
dari kantong sendiri atau Out-of-Pocket (OOP). Meski JKN telah berhasil menurunkan
persentase OOP dari 56% di tahun 2012 ke 37.3% di tahun 2016(17), angka ini masih jauh
dari rekomendasi OOP minimal untuk perlindungan finansial sebesar 15-20%(18).
Penelitian dari Prakarsa di tahun 2017 menunjukkan bahwa komponen obat merupakan
penyebab tertinggi OOP di era JKN dengan kontribusi sebesar 75.16%(19). Terdapat dua
alasan kenapa pasien harus mengeluarkan biaya tambahan untuk membeli obat: distribusi
obat yang tidak merata di rumah sakit dan tidak dijaminnya jenis obat tertentu oleh BPJS(19).
Di sisi lain, sebagai akibat dari sebaran fasilitas kesehatan yang tidak merata, di daerah-
daerah tertentu masyarakat masih harus mengeluarkan pengeluaran tidak langsung yang
cukup tinggi untuk biaya transportasi, akomodasi, dan makanan selama berobat. Di Papua,
misalnya jarak rata-rata dari rumah tangga menuju ke pusat layanan kesehatan terdekat
mencapai 30 km, delapan kali lebih tinggi dari angka di Jawa(13). Lebih lagi, masih
ditemukan pungutan tambahan di rumah sakit baik untuk cost-sharing obat yang tidak
ditanggung BPJS maupun biaya untuk fasilitas kesehatan lainnya(19,20).
1.4. Defisit anggaran yang membebani keberlansungan program JKN
Permasalahan lain yang dihadapi BPJS adalah keberlanjutan pembiayaan kesehatan. BPJS
menghadapi defisit keuangan yang semakin bertambah setiap tahunnya. Defisit pada akhir
tahun 2019 diperkirakan mencapai Rp 32 triliun(21). Besar kemungkinan terjadinya defisit
disebabkan oleh biaya klaim yang lebih besar dibanding pendapatan iuran peserta. Pada
dasarnya, permasalahan paling mendasar yang dihadapi BPJS adalah tidak sesuainya iuran
yang harus dibayarkan peserta dengan hitungan akturia yang lazim digunakan dalam
program seperti ini(22). Jika pengelolaan dana kesehatan tidak kunjung membaik, maka
dapat diprediksi defisit akan terus membesar, linier dengan jumlah kepesertaan yang terus
meningkat. Lebih lagi, adanya fenomena adverse selection, lemahnya regulasi dan kendali
tingkat utilisasi, dan potensi marking-up di rumah sakit dapat memperparah defisit yang
dialami BPJS.
1.5. Alokasi anggaran kesehatan Indonesia belum efisien
Untuk menilai efisiensi dan ketepatan alokasi anggaran kesehatan di Indonesia, ada dua hal
yang bisa dilihat yakni alokasi anggaran belanja negara untuk sektor kesehatan dan alokasi
anggaran kesehatan tersebut sendiri secara spesifik. Dalam hal alokasi anggaran belanja
negara, pengeluaran sektor kesehatan Indonesia terhadap produk domestik bruto di tahun
2016 menurut World Bank baru 3,12%(23). Angka ini tentu masih sangat rendah bila
dibandingkan dengan target ideal untuk mencapai cakupan kesehatan semesta sebesar
5%(24). Di sisi lain, di sektor kesehatan sendiri, anggaran kesehatan masih lebih banyak
dialokasikan untuk kuratif (30%) daripada preventif dan promotif (8.5%)(13).
Selain efisiensi dalam hal alokasi anggaran, negara perlu mewujudkan pula efisiensi
teknikal dengan mencapai output kesehatan yang optimal dengan biaya seminimal
mungkin. Dalam upaya menekan biaya dan mencapai efisiensi teknikal, BPJS
memberlakukan sistem tendering lewat e-catalogue dan formularium nasional dan
membentuk komite penilaian teknologi kesehatan untuk melakukan evaluasi ekonomis
terhadap teknologi dan obat baru. Namun dalam prakteknya, sekitar 40% dari obat yang
diresepkan dokter berasal dari obat-obat di luar formularium nasional, yang juga menjadi
alasan tingginya angka Out-of-Pocket cost di Indonesia(25).
Rekomendasi
Bila dilihat dari capaian sejauh ini, kita sebenarnya patut mengapresiasi BPJS karena telah
berhasil meningkatkan cakupan JKN melebihi angka minimal 80% untuk cakupan
kesehatan semesta. Begitupun, luasnya cakupan jaminan kesehatan bukan satu-satunya
faktor yang dipertimbangkan dalam cakupan kesehatan semesta. Prinsip ekuitas, kualitas
pelayanan, dan perlindungan finansial terhadap biaya kesehatan katastrofik, merupakan
komponen penting lainnya yang masih belum ideal penerapannya saat ini. Untuk itu
beberapa rekomendasi berikut ini sebaiknya dipertimbangkan oleh pemerintah dan BPJS
1. Pemerintah perlu menaikkan anggaran kesehatan Indonesia
Anggaran kesehatan Indonesia saat ini masih terlalu rendah untuk menciptakan pelayanan
kesehatan optimal. Dengan anggaran kesehatan 3.12% dari produk domestik bruto,
pengeluaran Indonesia untuk sektor kesehatan menjadi salah satu yang paling rendah
dibanding negara ASEAN lainnya. Sebagai patokan relatif, paling tidak diharapkan
Indonesia dapat menganggarkan 5% dari total PDB-nya untuk sektor kesehatan untuk
mencapai cakupan kesehatan semesta(26). Selain itu, pemerintah perlu menambah anggaran
kesehatan untuk sektor preventif dan promotif mengingat saat ini fokus pendanaan lebih
terpusat pada sektor kuratif.
2. Meningkatkan kualitas layanan kesehatan di Indonesia
Perhatian lebih perlu diberikan oleh pemerintah untuk memastikan pembangunan
infrastruktur di bidang kesehatan, antara lain pembangunan fasilitas kesehatan dasar, akses
jalan menuju fasilitas kesehatan, dan transportasi ambulan yang merata di seluruh
Indonesia. Pembangunan perlu difokuskan untuk mencapai rasio fasilitas kesehatan dengan
jumlah penduduk di daerah yang merata di seluruh Indonesia.
Selain itu, pemerintah perlu memberikan perhatian pada upaya membangun SDM tenaga
kesehatan dan merekrut tenaga kesehatan tersebut ke daerah. Hal ini mengharuskan
pemerintah memberikan subsidi atau beasiswa untuk pendidikan kedokteran, keperawatan,
dan kesehatan lainnya karena bila tidak sangat tidak mungkin untuk memaksakan tenaga
kesehatan berpraktik di daerah.
3. Optimalisasi distribusi dan pembiayaan obat-obatan
Distribusi dan pengadaan obat-obatan di seluruh wilayah Indonesia perlu menjadi salah satu
fokus di faktor kesehatan ke depannya mengingat obat-obatan merupakan penyumbang
biaya OOP pelayanan kesehatan terbesar di Indonesia. Selain itu, formularium nasional
perlu terus diperbarui dan peran komite penilaian teknologi kesehatan perlu dioptimalkan
untuk dapat memastikan evaluasi ekonomis obat-obatan yang dapat ditanggung BPJS.
Sosialisasi perlu dilakukan kepada tenaga medis mengenai peresepan untuk pasien JKN.
Mekanisme kontrol dan deteksi dini fraud juga perlu diberlakukan, misalnya dengan
memperkuat sistem verifikator dan investigator di pelayanan primer dan rujukan, untuk
mengurangi angka peresepan di luar formularium nasional dan fraud di fasilitas kesehatan.
4. Peningkatan dana untuk sistem JKN
Dalam hal ini ada dua hal yang perlu dilakukan yakni merumuskan sistem iuran JKN yang
bersifat progresif dan optimalisasi sumber dana di luar iuran peserta JKN. Pertama,
pemerintah perlu bekerja sama dengan tenaga ahli ekonomi kesehatan untuk merumuskan
peningkatan tarif iuran peserta JKN mengingat iuran saat ini masih tidak sesuai dengan
perhitungan aktuarial. Perhatian perlu diberikan pada upaya menerapkan sistem
pembayaran yang progresif sesuai dengan kemampuan membayar dan bukan sukarela
memilih jumlah pembayaran sesuai kelas. Penyesuaian juga perlu dilakukan untuk tarif
regional mengingat UMP dan biaya hidup dasar di Indonesia saat ini belum merata sehingga
penerapan iuran nasional bisa saja memberatkan penduduk di daerah tertentu.
Kedua, perlu optimalisasi dana di luar iuran, misalnya dengan optimalisasi cukai rokok dan
peralihan subsidi dari sektor lain. Tentu hal ini perlu dilakukan dengan pertimbangan
matang dan perlu dilakukan evaluasi manfaat risiko yang mumpuni sebelum pemerintah
memutuskan pengalihan subsidi dari sektor lain ke JKN. Pilihan lain untuk mengatasi
defisit, adalah meredefinisi dan mengurangi paket manfaat program untuk mereka yang
mampu. Namun hal ini kurang direkomendasikan karena akan berakibat pada berkurangnya
minat peserta mandiri dalam mendaftarkan diri.
5. Audit keuangan atas BPJS kesehatan yang berkelanjutan, terbuka dan
transparan
Selain memastikan tidak ada fraud di pelaku kesehatan, pemerintah tentu perlu memperkuat
sistem anti-fraud di tubuh BPJS sendiri. Perlu adanya audit yang regular dan terbuka di
BPJS selain untuk acuan penalangan defisit juga untuk memastikan pengelolaan anggaran
yang tepat sasaran di BPJS.
6. Mencegah perilaku adverse selection
Perlu adanya mekanisme yang mengikat untuk memastikan peserta tidak melakukan
adverse selection dan mengurangi peserta yang menunggak pembayaran iuran setelah tidak
membutuhkan pelayanan kesehatan lagi (turnout). Pemerintah perlu memikirkan cara untuk
meningkatkan dan mewajibkan cakupan JKN bagi peserta mandiri bila pemerintah tetap
ingin menargetkan cakupan 100% kepesertaan, mengingat saat ini tidak ada sanksi dan
regulasi yang mengikat peserta non PPU dan mandiri untuk mendaftarkan diri dalam JKN.
DAFTAR PUSTAKA
1. WHO. The world health report: health systems financing: the path to universal coverage.
[Internet]. 2010 [cited 2019 Jul 11]. Available from:
https://apps.who.int/iris/bitstream/handle/10665/44371/9789241564021_eng.pdf?sequence=1
2. Deloitte Indonesia. Memastikan Keberlangsungan JKN-KIS untuk Masyarakat Indonesia.
Deloitte Indonesia Perspectives [Internet]. 2019 [cited 2019 Dec 7]; Available from:
https://www2.deloitte.com/content/dam/Deloitte/id/Documents/about-deloitte/id-about-dip-
edition-1-chapter-1-id-sep2019.pdf
3. BPJS Kesehatan. Panduan Praktis Tentang Kepesertaan Dan Pelayanan Kesehatan Yang
Diselenggarakan Oleh BPJS Kesehatan Berdasarkan Regulasi Yang Sudah Terbit [Internet].
[cited 2019 Dec 5]. Available from: https://bpjs-
kesehatan.go.id/bpjs/dmdocuments/a9c04aa825ffc12d24aeee668747f284.pdf
4. Agustina R, Dartanto T, Sitompul R, Susiloretni K, Suparmi S, Achadi E, et al. Universal health
coverage in Indonesia: concept, progress, and challenges. Lancet. 2018 Dec 1;393.
5. Smith PC, Witter SN. Risk Pooling in Health Care Financing: The Implications for Health
System Performance [Internet]. 2004 [cited 2019 Jul 18]. Available from:
https://openknowledge.worldbank.org/bitstream/handle/10986/13651/315950HNP0Chap1tterR
iskPoolingFinal.pdf?sequence=1&isAllowed=y
6. Ariani DS, Pujiyanto. Ekuitas Layanan Rawat Inap Rumah Sakit di Indonesia. J Ekon Kesehat
Indones. 2019;4(1):21–31.
7. Cameron L, Contreras Suarez D, Cornwell K. Understanding the determinants of maternal
mortality: An observational study using the Indonesian Population Census. PLoS One. 2019 Jun
3;14(6):e0217386–e0217386.
8. UNICEF. Maternal and Newborn Health Disparities in Indonesia [Internet]. 2017. Available
from: https://data.unicef.org/wp-content/uploads/country_profiles/Indonesia/country
profile_IDN.pdf
9. WHO. State of health inequality: Indonesia. Geneva: World Health Organisation; 2017.
10. Asante A, Price J, Hayen A, Jan S, Wiseman V. Equity in Health Care Financing in Low- and
Middle-Income Countries: A Systematic Review of Evidence from Studies Using Benefit and
Financing Incidence Analyses. Ho Y-S, editor. PLoS One. 2016 Apr 11;11(4):e0152866–
e0152866.
11. BPJS Kesehatan. Laporan Pengelolaan Program dan Laporan Keuangan Tahun 2018 (auditan)
[Internet]. Jakarta; 2019. Available from: https://bpjs-kesehatan.go.id/bpjs/unduh/index/1328
12. Laksono A, Ridlo I, ernawaty. Distribution Analysis of Doctors in Indonesia [Internet]. 2019.
Available from: https://osf.io/preprints/inarxiv/df6ns/download
13. Mahendradhata Y, Trisnantoro L, Listyadewi S, Soewondo P, MArthias T, Harimurti P, et al.
The Republic of Indonesia Health System Review [Internet]. Hort K, Patcharanarumol W,
editors. Vol. 7. New Delhi: World Health Organization, Regional Office for South-East Asia,
2017; 2017 [cited 2019 Dec 13]. 1 p. Available from:
https://apps.who.int/iris/bitstream/handle/10665/254716/9789290225164-eng.pdf
14. Laksono A, Dwi Wulandari R, Soedirham O. Urban and Rural Disparities in Hospital Utilization
among Indonesian Adults. Iran J Public Health. 2019 Feb 6;48:247–55.
15. Johar M, Soewondo P, Pujisubekti R, Satrio HK, Adji A. Inequality in access to health care,
health insurance and the role of supply factors. Soc Sci Med. 2018 Sep 1;213:134–45.
16. World Bank. Number of people spending more than 25% of household consumption or income
on out-of-pocket health care expenditure - Indonesia | Data [Internet]. [cited 2019 Dec 11].
Available from:
https://data.worldbank.org/indicator/SH.UHC.OOPC.25.TO?end=2015&locations=ID&start=2
001&view=chart
17. World Bank. Out-of-pocket expenditure (% of current health expenditure) - Indonesia | Data
[Internet]. [cited 2019 Dec 11]. Available from:
https://data.worldbank.org/indicator/SH.XPD.OOPC.CH.ZS?locations=ID
18. Schieber G, Cashin C, Saleh K, Lavado R. Health Financing in Ghana. Washington DC: The
World Bank; 2012.
19. Prakarsa. Jaminan Kesehatan Nasional: Implementasi, Koreksi dan Keberlanjutan (Policy Brief
Juni 2018) [Internet]. 2018 [cited 2019 Dec 11]. Available from: http://theprakarsa.org/wp-
content/uploads/2019/01/Jaminan-Kesehatan-Nasional.pdf
20. Yuniarti E, Prabandari YS, Kristin E, Suryawati S. Rationing for medicines by health care
providers in Indonesia National Health Insurance System at hospital setting: a qualitative study.
J Pharm policy Pract. 2019 May 7;12:7.
21. Julita L. Wamenkeu Ungkap Borok BPJS Kesehatan Hingga Defisit Rp 32 T [Internet]. 2019
[cited 2019 Dec 13]. Available from: https://www.cnbcindonesia.com/news/20191007153718-
4-104993/wamenkeu-ungkap-borok-bpjs-kesehatan-hingga-defisit-rp-32-t
22. BPJS Kesehatan. RINGKASAN EKSEKUTIF: Pengelolaan Program Dan Laporan Keuangan
Jaminan Sosial Kesehatan, Laporan. 2016.
23. World Bank. Current health expenditure (% of GDP) - Indonesia | Data [Internet]. [cited 2019
Dec 13]. Available from:
https://data.worldbank.org/indicator/SH.XPD.CHEX.GD.ZS?locations=ID
24. McIntyre D, Garshong B, Mtei G, Meheus F, Thiede M, Akazili J, et al. Beyond fragmentation
and towards universal coverage: Insights from Ghana, South Africa and the United Republic of
Tanzania. Bull World Health Organ. 2008;86(11):871–6.
25. Wasir R, Irawati S, Makady A, Postma M, Goettsch W, Buskens E, et al. Use of medicine pricing
and reimbursement policies for universal health coverage in Indonesia. PLoS One. 2019 Feb
19;14:e0212328.
26. Jowett M, Brunal MP, Flores G, Cylus J. Spending targets for health: no magic number
[Internet]. 2016 [cited 2019 Jul 12]. Available from: http://www.who.int/health_financing
Tentang Penulis
Yoser Thamtono adalah anggota divisi Kajian Komisi Kesehatan PPI
Dunia 2019/2020 dan Mahasiswa Master of Public Health dalam bidang
Health Economic dan Master of Health Management di University of New
South Wales, Australia.
Tinjauan Kesiapan Indonesia Dalam
Memasuki Masa New Normal Selama
Pandemi COVID-19 di Indonesia:
Aspek Tatalaksana Kesehatan
Masyarakat
Komisi Kesehatan PPI Dunia, PPI Brief No. 9 / 2020
Penulis: Yoser Thamtono & Indri Kartiko Sari
RINGKASAN EKSEKUTIF
• New normal bukanlah kembalinya masyarakat ke norma dan kebiassan semula sebelum
pandemi (old normal), namun mencerminkan adaptasi kebiasaan baru (AKB) dengan
pembatasan tertentu yang hendaknya dipatuhi.
• Terdapat 3 indikator yang perlu diperhatikan sebelum menerapkan AKB: epidemiologis,
surveillans dan pelayanan kesehatan.
• Pemberlakuan AKB sejatinya harus dinilai berdasarkan kapasitas daerah bukan hanya
nasional.
• Secara garis besar, 3 hal harus dijamin selama AKB dilakukan: Optimalisasi perlindungan
komunitas, optimalisasi perlindungan tenaga medis dan fasilitas kesehatan, serta
optimalisasi deteksi kasus.
PENDAHULUAN
Pemerintah Indonesia sudah mulai melonggarkan pembatasan sosial bersakala besar (PSBB)
di berbagai daerah dan menggalakkan new normal atau adaptasi kebiasaan baru (AKB).
Terlepas dari masih pesatnya pertumbuhan kasus COVID-19 di Indonesia, beberapa daerah
merasa sudah siap dan perlu membuka kembali roda perekonomian. Namun, pemberlakuan
AKB tentunya perlu dilakukan secara hati-hati setelah mempertimbangkan kesiapan daerah
dalam menerapkan AKB.
Pemberlakuan AKB sejatinya merupakan trade-off antara aspek kesehatan dan ekonomi. Di
satu sisi, roda perekonomian perlu tetap berjalan, namun di sisi lain kita tentu perlu siap
menghadapi lonjakan kasus baru yang akan terjadi bila pelonggaran pembatasan sosial
diterapkan secara luas. Kajian singkat berikut akan membahas beberapa indikator kesehatan
yang perlu diperhatikan dalam menerapkan kebijakan AKB, dan beberapa hal yang perlu
dilakukan selama melakukan AKB, ditinjau dari sisi kesehatan masyarakat.
SITUASI COVID-19 DI INDONESIA
Per tanggal 16 Agustus 2020, data dari Kemenkes menunjukkan terdapat 139,549 kasus di
Indonesia dengan jumlah kematian sementara 6,150 (case fatality rate 4.4%) (Kemenkes n.d.).
Diantara total kasus ini, sebaran kasus konfirmasi paling banyak dijumpai di pulau Jawa : DKI
Jakarta dengan 29,400 kasus (21.1%), disusul Jawa Timur (20%), Jawa Tengah (8.3%), Jawa
Barat (6.2%), dan Banten (1.6%). Di luar Jawa, kasus paling banyak dijumpai di Sulawesi
Selatan (7.9%), Kalimantan Selatan (5.1%) dan Sumatera Utara (4.1%) (Gugus Tugas
Percepatan Penanganan COVID-19 n.d.).
Gambar: Epidemic curve COVID-19 di Indonesia per tanggal 11 Agustus 2020 (WHO 2020b)
Gambar: Distribusi sebaran kasus COVID-19 di Indonesia (WHO 2020b)
Diantara jumlah kasus tersebut, proporsi kasus terbanyak dijumpai pada usia produktif (25-44
tahun), menunjukkan resiko penularan yang tinggi pada usia produktif di Indonesia. Tentu
beberapa hal bisa mendasari temuan ini, diantaranya: besarnya populasi penduduk usia
produktif di Indonesia, dan juga gaya hidup dan faktor lingkungan pekerjaan yang
memungkinkan rantai penularan yang cepat (Kemenkes n.d.).
APA SAJA YANG PERLU DIPERHATIKAN SEBELUM MENERAPKAN AKB
Negara – negara di Eropa mulai memberlakukan transisi AKB secara bertahap mulai
pertengahan April 2020. WHO Regional Eropa menerapkan beberapa persyaratan transisi
menuju AKB untuk negara-negara di Eropa, yaitu (WHO Europe 2020):
⚫ Terdapat bukti bahwa transmisi COVID-19 dapat dikontrol
⚫ Terdapat sistem kesehatan masyarakat dan kapasitasnya, termasuk rumah sakit dan
fasilitas yang mampu mengidentifikasi, mengisolasi, mengetes, melacak kontak, dan
mengkarantina COVID-19
⚫ Terdapat minimalisasi risiko wabah dalam high-vulnerability settings, khususnya pada
Panti Tresna Werdha, fasilitas kesehatan mental, dan masyarakat yang tinggal di
pemukiman padat penduduk
⚫ Terdapat protokol pencegahan yang mapan di kantor – kantor dan tempat bekerja dengan
physical distancing, fasilitas cuci tangan, dan promosi etika pernapasan (penggunaan
masker, etika batuk bersin)
⚫ Terdapat risiko importasi virus dari luar area yang dapat ditangani
⚫ Terdapat komunitas yang mampu bersuara dan berperan aktif dalam transisi
Di Indonesia, dilakukan high level discussion pada akhir Mei 2020 untuk membahas kesiapan
rumah sakit dalam mengantisipasi infeksi gelombang kedua dan AKB (WHO Indonesia 2020;
SetKab RI 2020). Salah satu titik berat diskusi ini adalah pada komponen dalam manajemen
risiko pandemi, yang mencakup: komando dan koordinasi; surveilans; respon medis;
pencegahan dan kontrol infeksi; laboratorium, intervensi farmasi dan indikator monitoring
(WHO Indonesia 2020; SetKab RI 2020).
Pada pertengahan Juli 2020, Pemerintah Indonesia mengeluarkan Pedoman penanggulangan
COVID-19 nasional lewat Keputusan Menteri Kesehatan No. HK.01.07/MENKES/413/2020,
yang menggarisbawahi tiga tujuan utama penanggulanngan COVID-19: perlambatan dan
penghentian laju transmisi, optimalisasi layanan kesehatan untuk pasien COVID-19 dan
penekanan dampak COVID-19 terhadap sistem kesehatan dan dampak sistemiknya terhadap
bidang ekonomi dan sektor lainnya (Kemenkes RI 2020). Terdapat tiga pendekatan yang harus
menjadi perhatian sebelum penerapan AKB: kondisi epidemiologi di daerah; surveilans
kesehatan masyarakat; peyanan kesehatan yang harus dipenuhi kabupaten atau kota
Berdasarkan tiga pendekatan tersebut, beberapa indikator yang patut diperhatikan dalam
penyelenggaraan AKB, adalah (COVID19.go.id n.d.; Kemenkes RI 2020):
Epidemiologis – Apakah wabah sudah terkendali?
1. Angka reproduktif efektif kurang dari 1, menunjukan terkendalinya wabah
2. Penurunan jumlah kasus positif selama 2 minggu sejak puncak terakhir (target lebih dari
50%)
3. Positivity rate (angka kasus positif usai diperiksa di laboratorium) kurang dari 5% atau
hanya 5% dari seluruh sampel
4. Penurunan jumlah kasus yang probable selama dua minggu sejak puncak terakhir (target
lebih dari 50%)
5. Penurunan jumlah kematian, baik kasus probable maupun konfirmasi
6. Penurunan kasus yang masih dirawat baik probable maupun konfirmasi
7. Kenaikan jumlah sembuh dari kasus positif
Sistem surveillans – Apakah surveillans kesehatan mampu mendeteksi dan mengidentifikasi
kasus dan kontak eratnya?
1. > 80% kasus konfirmasi berasal dari daftar kontak dan dapat diidentifikasi kelompok
klusternya
2. 90% kasus suspek diisolasi dan dilakukan pengambilan spesimen dalam waktu kurang
dari 48 jam sejak munculnya gejala
3. Lama hasil pemeriksaan lab keluar sejak specimen dikirimkan hasilnya adalah 3x24 jam
Sistem pelayanan kesehatan – Apakah sistem kesehatan mampu menangani kasus COVID-
19?
1. Setiap rumah sakit mampun mengatasi surge capacity lebih dari 20%
2. Seluruh fasyankes dapat melakukan screening terhadap COVID-19
3. Seluruh fasyankes memiliki mekanisme isolasi suspek COVID-19
4. Seluruh pasien COVID-19 dan pasien parah bukan COVID-19 dapat memperoleh
tatalaksana sesuai standar
APAKAH INDONESIA SUDAH SIAP MEMASUKI NEW NORMAL?
Penentuan bisa tidaknya Indonesia memasuki fase new normal harus dikembalikan pada
kapasitas daerah berdasarkan ketiga indikator (epidemiologis, suveillans, dan pelayanan
kesehatan). Setiap daerah perlu merumuskan dengan detail kapan pelonggaran bisa dilakukan
dan kapan harus diperketat kembali, mengingat peningkatan laju pertambahan kasus setelah
AKB sebenarnya sudah diduga.
Awal Juli 2020, Presiden Jokowi menyampaikan lima arahan terkait AKB (presidenri.go.id
n.d.). Pertama, prakondisi ketat dengan sosialisi protokol kesehatan yang wajib dilakukan oleh
masyarakat antara lain dengan memakai masker, menjaga jarak, mencuci tangan, menghindari
kerumunan atau keramaian, dan menjaga imunitas tubuh. Kedua, pengambilan kebijakan
cermat berdasarkan data dan fakta di lapangan dengan menginstruksi kepala daerah
berkoordinasi dengan Gugus Tugas COVID-19 apabila daerah tersebut ingin memasuki fase
AKB. Ketiga, penentuan prioritas yang matang mengenai sektor dan aktivitas yang bisa dibuka
secara bertahap seperti penerapan protokol kesehatan di tempat ibadah, pasar, dan lain
sebagainya. Keempat, penguatan konsolidasi dan koordinasi Presiden dengan pemerintah
pusat dengan daerah, mulai dari provinsi hingga tingkat RT serta dengan Forum Komunikasi
Pimpinan Daerah (Forkompinda). Kelima, evaluasi yang dilakukan secara rutin meskipun ada
penurunan kasus baru di suatu daerah karena kondisi yang tidak dapat ditebak dan dapat
berubah setiap waktu).
NEW NORMAL BUKAN OLD NORMAL
Satu hal yang perlu digaris bawahi adalah new normal (AKB) tidak mencerminkan kembalinya
masyarakat ke kebiasaan lama seperti semula. Sesuai dengan namanya, adaptasi kebiasaan baru
mengindikasikan adanya perubahan perilaku yang akan diadaptasi dan dijadikan kebiasaan
sehari-sehari paling tidak sampai pandemi ini berlalu.
Ada beberapa penatalaksanaan berbasis kesehatan masyarakat yang perlu digalakkan selama
menjalani AKB ini:
1. Optimalisasi perlindungan komunitas
Satu hal yang perlu dipastikan pada saat memasuki AKB, adalah perlu dilakukan intervensi
yang optimal untuk melindungi komunitas dari penularan COVID-19 ketika mereka
memulai kembali aktivitas sehari-hari. Ada beberapa hal yang perlu dipastikan untuk
mencapai tujuan ini.
a. Masker sebagai komponen wajib dalam AKB
COVID-19 adalah virus yang ditularkan melalui droplet saluran napas, dan ada
kemungkinan dapat ditularkan secara aerosol (Jayaweera et al. 2020). Dengan demikian,
pemakaian masker sejatinya akan sangat membantu dalam memutus rantai penularan
infeksi. Mengenai jenis masker, masker medis sebaiknya dipertahankan untuk tenaga
medis. Penggunaan masker non-medis untuk masyarakat umum lebih dianjurkan terutama
bila suplai dan distribusi APD medis sangat terbatas.
Pertimbangan untuk mewajibkan pemakaian masker di tempat umum, dan sanksi bagi yang
tidak mematuhi, bisa dipertimbangkan. Masker non-medis yang ideal perlu mengandung
tiga lapisan: lapisan dalam yang berbahan hidrofilik (katun atau campuran katun);
lapisan luar yang berbahan hidrofobik (polipropilena, poliester, atau campuran
keduanya); lapisan tengah hidrofobik yang terbuat dari bahan tanpa tenun sintetis seperti
polipropilena atau lapisan katun yang dapat meningkatkan filtrasi atau menahan droplet
(WHO 2020a). Perlu adanya pemantauan terhadap kualitas masker non-medis yang beredar
di masyarakat agar memenuhi mutu optimal untuk masker non-medis.
Tentu untuk mencapai penggunaan masker secara luas, pemerintah juga perlu memastikan
distribusi dan penyebaran masker ini ke seluruh daerah. Pemerintah perlu memastikan tidak
ada oknum-oknum yang memainkan harga pasar untuk menaikkan harga ketika permintaan
(demand) meningkat untuk masker. Bila perlu pemerintah bisa melakukan distribusi
langsung masker kepada masyarakat.
b. Pencegahan penularan di ruang publik
Penelitian menunjukkan bahwa virus COVID-19 dapat bertahan pada media plastik dan
besi nirkarat (stainless steel) hingga 3 hari (Hammett 2020). Maka dari itu, perlu dilakukan
pembersihan secara rutin untuk daerah-daerah yang cenderung ramai dan rentan menjadi
tempat penularan infeksi, seperti transportasi publik, area perkantoran, area perbelanjaan,
pasar, supermarket, sekolah, tempat ibadah, dan tempat lainnya dimana orang-orang dapat
berkumpul. Perlu juga dibatasi jumlah orang maksimal yang dapat berkumpul dalam 1
ruang, idealnya agar dapat memberikan jarak antar orang sebesar 1-2 meter.
Tempat-tempat yang ramai dikunjungi, seperti: restoran, sekolah, perkantoran perlu juga
melakukan pembatasan jarak antar individu untuk menerapkan social distancing.
Penyediaan sarana tempat cuci tangan, sabun atau hand sanitiser di ruang publik dan
transportasi publik juga harus dipastikan tercapai minimal 50-75%.
c. Pembatasan pergerakan antar negara dan antar daerah
Perlu dilakukan pembatasan perpindahan penduduk dari tempat dengan risiko tinggi ke
risiko rendah. Hal yang bisa dilakukan adalah mewajibkan setiap orang yang ingin
berpergian antar daerah di Indonesia untuk memiliki paling tidak rapid test sebelum
berangkat dan memastikan isolasi mandiri berjalan lancar di daerah tujuannya. Untuk
pelancong dari negara lain perlu didapatkan hasil PCR, dan tetap perlu dilakukan isolasi
mandiri untuk memastikan bahwa mereka tidak sedang dalam masa inkubasi.
Perlu dilakukan pembatasan kapasitas penumpang yang diizinkan sesuai Peraturan Menteri
Perhubungan (Permenhub) Nomor 41/2020 (Kemenhub RI 2020). Misalnya, untuk pesawat
terbang yang diizinkan adalah terisi maksimal 70% dari kapasitas maksimal. Pemberlakuan
pemeriksaan suhu atau rapid test di wilayah perbatasan juga tetap perlu dilakukan.
d. Peningkatan upaya promosi kesehatan
Perlu dilakukan upaya peningkatan promosi kesehatan untuk mengajarkan kepada seluruh
warga mengenai entitas sesungguhnya AKB. Perhatian perlu dititik-beratkan pada perlunya
segera memeriksakan diri bila mengalami gejala influenza-like illness (batuk, demam) dan
pencegahan yang bisa dilakukan oleh diri sendiri.
Perlu juga dilakukan perlindungan terhadap penderita dan upaya meredam stigma dalam
masyarakat, mengingat rasa takut untuk memeriksakan diri dapat timbul karena ketakutan
masyarakat akan stigma yang akan diperoleh diri dan keluarganya bila terdiagnosis
COVID-19.
2. Optimalisasi Perlindungan Tenaga Medis
Ketersediaan dan keberlanjutan suplai APD ke rumah sakit dan fasilitas kesehatan juga
perlu dipastikan oleh pemerintah selama masa pandemi. Tenaga kesehatan adalah ujung
tombak penanganan COVID-19, sehingga menjadi tanggung jawab pemerintah untuk
memberikan perlindungan yang memadai. Suplai APD lengkap perlu dipastikan sampai ke
seluruh fasilitas kesehatan mulai dari primer, sekunder, dan tersier. Suplai APD lengkap
ini harus terjamin minimal 75-100% dari seluruh fasilitas kesehatan.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah Bed occupancy ratio (BOR) dan kapasitas ruang
ICU dan ventilator. Pemerintah perlu waspada jika BOR sudah melebihi 60-80%, dengan
meningkatkan pembatasan sosial agar tidak terjadi overcapacity pada rumah sakit.
Pemerintah dan sektor swasta juga perlu bekerja sama untuk mengoptimalkan pelayanan
layanan kesehatan virtual untuk melayani pasien dengan kondisi yang tidak memerlukan
perawatan atau kunjungan rumah sakit. Perlengkapan pasca wafat (kantong mayat plastik
dan plastik pembungkus jenazah) juga harus dipastikan ketersediaannya di semua rumah
sakit.
3. Optimalisasi kemampuan deteksi kasus
Ketika dilakukan pelonggaran pembatasan sosial, perlu dilakukan peningkatan kapasitas
dalam deteksi dan penanganan kasus. Perlu dipastikan seluruh daerah punya kemampuan
mendeteksi kasus dan mempunyai kemampuan deteksi PCR dan rapid test yang mumpuni
dan cepat. Perlu pula dibangun pusat-pusat tes di daerah-daerah dengan keterbatasan
kemampuan testing. Contact tracing juga harus terus dilakukan dan ditingkatkan
kapasitasnya untuk melihat perkembangan kasus di berbagai wilayah. Singkatnya, tiga
komponen utama penanganan COVID-19: tracing-testing-treating, perlu digalakkan di
seluruh wilayah NKRI, tanpa terkecuali.
4. AKB harus diterapkan berdasarkan kapasitas masing-masing daerah
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, AKB bisa diterapkan hanya bila daerah memenuhi
indikator epidemiologis, surveilllans dan pelayanan kesehatan. Artinya dalam menerapkan
new normal, kita tidak bisa hanya mengandalkan informasi COVID-19 di tingkat nasional.
Penerapan AKB harus dilakukan berdasarkan kapabilitas masing-masing daerah mulai dari
tingkat provinsi hingga ke tingkat kota berdasarkan indikator yang telah disepakati.
Demikian pula di lingkup daerah sendiri, pemerintah daerah bisa memutuskan untuk
menerapkan atau memperketat PSBB di daerah-daerah yang menjadi cluster kasus COVID-
19 untuk mencegah penularan lebih lanjut.
DAFTAR PUSTAKA
COVID19.go.id. n.d. “Pendekatan Dan Indikator Daerah Siap Adaptasi Kebiasaan Baru.Jpeg
(1280×1271).” Accessed August 18, 2020.
https://COVID19.go.id/storage/app/media/Materi Edukasi/Pendekatan dan Indikator
Daerah Siap Adaptasi Kebiasaan Baru.jpeg.
Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19. n.d. “Peta Sebaran .” Accessed August 17,
2020. https://COVID19.go.id/peta-sebaran.
Hammett, Emma. 2020. “How Long Does Coronavirus Survive on Different Surfaces?” BDJ
Team 7 (5): 14–15. https://doi.org/10.1038/s41407-020-0313-1.
Jayaweera, Mahesh, Hasini Perera, Buddhika Gunawardana, and Jagath Manatunge. 2020.
“Transmission of COVID-19 Virus by Droplets and Aerosols: A Critical Review on the
Unresolved Dichotomy.” Environmental Research 188 (June): 109819.
https://doi.org/10.1016/j.envres.2020.109819.
Kemenhub RI. 2020. “Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor PM 41
Tahun 2020.” 2020. https://setkab.go.id/wp-content/uploads/2020/06/PM-41-TAHUN-
2020.pdf.
Kemenkes. n.d. “Info Infeksi Emerging Kementerian Kesehatan RI.” Accessed August 17,
2020. https://COVID19.kemkes.go.id/.
Kemenkes RI. 2020. “Keputusan Menteri Kesehatan No. HK.01.07/MENKES/413/2020.”
https://COVID19.go.id/storage/app/media/Regulasi/KMK No. HK.01.07-MENKES-
413-2020 ttg Pedoman Pencegahan dan Pengendalian COVID-19.pdf.
presidenri.go.id. n.d. “Lima Arahan Presiden Terkait Penerapan Adaptasi Kebiasaan Baru.”
Accessed August 18, 2020. https://www.presidenri.go.id/siaran-pers/lima-arahan-
presiden-terkait-penerapan-adaptasi-kebiasaan-baru/.
SetKab RI. 2020. “Gov’t Formulates Health Protocol to Prepare ‘New normal’- Sekretariat
Kabinet Republik Indonesia.” 2020. https://setkab.go.id/en/govt-formulates-health-
protocol-to-prepare-new-normal/.
WHO. 2020a. “Anjuran Mengenai Penggunaan Masker Dalam Konteks COVID-19: Panduan
Interim.” https://www.who.int/docs/default-source/searo/indonesia/COVID19/anjuran-
mengenai-penggunaan-masker-dalam-konteks-COVID-19-june-
20.pdf?sfvrsn=d1327a85_2.
———. 2020b. “Situation Report-7 INDONESIA Situation Report 19 Internal for SEARO.”
https://www.who.int/docs/default-source/searo/indonesia/COVID19/who-situation-
report-20.pdf?sfvrsn=a240cd2e_2.
WHO Europe. 2020. “Statement – Transition to a ‘New normal’ during the COVID-19
Pandemic Must Be Guided by Public Health Principles.”
https://www.euro.who.int/en/media-centre/sections/statements/2020/statement-
transition-to-a-new-normal-during-the-COVID-19-pandemic-must-be-guided-by-public-
health-principles.
WHO Indonesia. 2020. “Coronavirus Disease 2019 (COVID-19): Situation Report-10.” 2020.
https://www.who.int/docs/default-source/searo/indonesia/COVID19/who-situation-
report-10.pdf?sfvrsn=2bf49429_2.
TENTANG PENULIS
Yoser Thamtono adalah Anggota Divisi Kajian Komisi Kesehatan PPI
Dunia 2019/2020 dan Mahasiswa Master of Public Health dalam bidang
Health Economic dan Master of Health Management di University of New
South Wales, Australia.
Indri Kartiko Sari adalah Anggota Divisi Kajian Komisi Kesehatan PPI
Dunia 2019/2020 dan Mahasiswa Pascasarjana tingkat Doktoral dalam
bidang International Nutrition di Jumonji University, Jepang.
z
Pendalaman dan Strategi
Pemanfaatan Bonus Demografi di
Indonesia
Komisi Pemuda PPI Dunia, PPI Brief No. 10 / 2020
Penulis: Narendra Ning Ampeldenta, Edwin Hartarto, Valya
Andyani, Muhammad Arrayyaan Makiatu
RINGKASAN EKSEKUTIF
1. Sejatinya visi dan misi komisi kepemudaan dari PPI dunia adalah membantu pemangku
kepentingan untuk membangun pemuda Indonesia yang lebih berkualitas dan relevan
untuk masa-masa mendatang, terlebih lagi dalam masa bonus demografi indonesia dan
juga era IoT yang sudah di depan mata.
2. Kajian ini mengulas variabel krusial sebagai pendorong (Input) dan pernarik (Input
after process) yang menentukan kualitas pemuda dan juga lahan pemuda untuk berkarya
dalam rangka menghasilkan nilai tambah dalam bentuk barang maupun jasa. Sebagai
faktor pendorong yaitu khusunya Pendidikan. Dalam kajian ini berdasarkan diskusi
dengan para mentor dan ahli, pendidikan indonesia mempunyai masalah besar seperti
tercermin pada skor PISA, kesejahteraan guru dan minat belajar di tingkat pendidikan
dasar.
3. 3 Faktor krusial telah dikonsultasikan sebagai faktor krusial diantara permasalahan
pendidikan lain. Selain itu, sebagai penarik, Kecakapan pemuda untuk menyongsong
era IoT (Internet of Things) setelah mengalami process pendidikan adalah sebuah hal
yang sangat tidak bisa dielakkan dalam kesempatan pemuda untuk berkarya dengan
daya innovasi dan kreativitas. Di kajian ini, pemuda diperkenalkan dengan peluang
kerja dan bisnis dengan memanfaatkan prinsip IoT di berbagai bidang sektor usaha
yang bernilai tinggi, seperti perikanan berorientasi ekspor, pertambangan, pengolahan
material, pertanian. Sehingga dengan kajian ini pemangku kepentingan dapat
memperoleh pandangan untuk membangun pemuda dengan tepat berdasarkan faktor
pendorong dan penarik seperti di atas.
Pendahuluan
Saat ini dunia sedang berada di depan Gerbang Revolusi Industri 4.0. Dimana Revolusi
tersebut akan merubah drastis cara kita berhubungan satu sama lain, hidup, bekerja, bahkan
sampai kepada bagaimana cara kita mendidik generasi mendatang. Perubahan tersebut terjadi
dikarenakan pemanfaatan teknologi pintar, diantaranya kecerdasan buatan (Artificial
Intelligence), big data, augmented reality, blockchain, Internet of Things (IoT), dan
otomatisasi. Teknologi tersebut akan mendisrupsi banyak aspek dunia industri di seluruh dunia
dengan kecepatan yang begitu cepat.
Tren Global
Agar tetap kompetitif di lingkungan yang terglobalisasi, industri perlu terus mengembangkan
sistem produksi agar tetap bisa mengakomodasi permintaan pasar yang terus berubah.
Pemanfaatan teknologi dimaksimalkan untuk mencapai tingkat efisiensi produksi, berekspansi
ke pasar baru, dan bersaing pada produk-produk baru untuk basis konsumen global yang
jumlahnya meningkat dengan hadir nya teknologi. Dalam periode 2018 – 2022, setidaknya
ada empat kemajuan teknologi yang secara spesifik akan mendominasi dalam dunia industri,
antara lain internet seluler berkecepatan tinggi (ubiquitous high-speed mobile internet),
kecerdasan buatan (Artificial Intelligence), adopsi big data yang meluas dalam berbagai
bidang, dan cloud technology.
Di tahun 2022, 85 persen responden dari perusahan menyatakan akan mengadaptasi user and
big data analytics dalam kegiatan produksi mereka. Investasi bisnis dalam skala yang cukup
besar diperkirakan akan hadir untuk mengembangkan Machine Leaning dan augmented and
virtual reality. Beberapa teknologi robotik terbaru saat ini sudah banyak di adopsi oleh dunia
Industri dan akan terus berkembang, antara lain non-humanoid land robots, stationary robots,
dan fully automated aerial drones1.
Sebagaimana kekuatan komputasi berkembang secara eksponensial, hal ini akan memberikan
dampak terhadap beragam kategori pekerjaan, khususnya yang melibatkan tenaga kerja manual
yang repetitif dan akurat secara mekanis, yang mana pekerjaan yang berlandaskan hal tersebut
kemungkinan besar akan mengalami otomasi. Dalam sebuah sensus ekonomi Amerika Serikat
belum lama ini, yang menarik korelasi antara teknologi dan pengangguran, menunjukkan
bahwa inovasi-inovasi dalam bidang informasi dan teknologi cenderung meningkatkan
produktivitas dengan mengganti peran para pekarja yang ada, dibanding menciptakan produk
baru yang memerlukan tenaga kerja baru2 .
Sebuah penelitian dari Oxford Martin School3 telah mengukur korelasi dan dampak dari
perkembangan teknologi dan pengangguran, dengan memeringkatkan beberapa profesi
berbeda bedasarkan kemungkinan terkena risiko otomasi (dengan menggunakan skala “0“ yang
berarti tidak berisiko sampai ke “1“ yang berarti paling berisiko terkena otomasi). Ketika
ketika melihat penelitan tersebut, polarisasi yang lebih besar terhadap pasar tenaga kerja akan
menjadi tren kedepan. Lanskap ketenagakerjaan akan bertumpu pada pekerjaan-pekerjaan yang
mengandalkan kemampuan kreatif dan kognitif dibanding kemampuan rutin dan repetitif.
Profesi Dengan Kemungkinan Paling Rentan Terkena Otomasi
Kemungkinan Jenis Pekerjaan
0,99 Telemarketer
0,99 Petugas Pajak
0,98 Juru Taksir Asuransi
0,98 Wasit Olahraga
0,98 Sekertaris Legal
0,97 Pramusaji
0,97 Kontraktor Tenaga Kerja Pertanian
0,97 Makelar Rumah
0,94 Kurir dan Pembawa Pesan
Profesi Dengan Kemungkinan Paling Tidak Rentan Terkena Otomasi
Kemungkinan Jenis Pekerjaan
0,0031 Pekerja Sosial untuk Kesehatan Mental dan
Penyalahgunaan Obat-obatan
0,0040 Koreografer
0,0043 Psikolog
0,0055 Manajer Sumber Daya Manusia (HRD)
0,0065 Analis Sistem Komputer
0,0077 Ahli Antropologi dan Arkeologi
0,0100 Ahli Kelautan
0,0130 Manajer Penjualan
0,0150 Kepala Eksekutif
Kondisi dan Gambaran di Indonesia
Kondisi dan gambaran masa depan ketenagakerjaan di Indonesia bisa jadi mengarah kepada
tren yang lebih positif. Meskipun jumlah pekerjaan yang berisiko terotomasi mencapai 16
persen dari jumlah total pada tahun 2030, yakni setara dengan 23 juta pekerjaan, diperkirakan
ada 27 sampai 46 juta pekerjaan baru dapat diciptakan pada periode yang sama. Pekerjaan
seperti mengumpulkan dan memproses data, pekerjaan yang mengandalkan aktivitas fisik juga
repetitif memiliki potensi tinggi untuk terotomasi, yakni diatas 70 persen4.
Penciptaan dan pemanfaatan 27 sampai 46 juta pekerjaan baru tentunya bisa menjadi penting
dikarenakan bonus demografi yang sedang dialami Indonesia. Pemanfaatan bonus demografi,
yang mengarah kepada pemanfaatan lapangan kerja baru tersebut tentunya bergantung kepada
kualitas Sumber Daya Manusia (SDM), dalam hal ini kualitas pemuda Indonesia. Pada tahun
2018, angka partisipasi sekolah Indonesia hanya mencapai 26,37 persen dari jumlah total
Pemuda Indonesia5.
Aspek angka partisipasi pendidikan tinggi dan pengangguran terbuka pemuda Indonesia harus
menjadi perhatian ke depan, dikarenakan masih terdapat gap yang cukup tinggi, yang
dikhawatirkan akan menghambat pemanfaatan bonus demografi di Indonesia.
Data Proyeksi Pemuda Indonesia (Sumber: Badan Pusat Statistik dan Kemenpora)
No. Indikator 2018 2019 2020 2024 2029 2030
1 Jumlah Pemuda
(juta jiwa)
63,82 64,57 65,18 67,61 70,65 71,26
2 Angka Partisipasi
Sekolah
26,37 27,40 32,56 32,56 37,73 38,76
3 Proporsi pendidikan
SMA (%)
39,03 39,93 40,83 44,43 48,93 49,83
4 Proporsi Pendidikan
Tinggi (%)
8,22 8,45 8,68 9,59 10,72 10.95
5 Tingkat Partisipasi
Angkatan Kerja (%)
60,80 60,59 60,38 59,54 58,49 58,28
6
Tingat
Pengangguran
Terbuka (%)
13,92 14,40 14,88 16,81 19,22 19,70
Dari tabel diatas kita bisa simpulkan pada tahun 2018, hanya satu dari 12 anak Indonesia yang
berkesempatan mengenyam pendidikan tinggi. Bedasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS)
pada Februari 2019, menunjukkan bahwa pengangguran dari kalangan Diploma I, II, III
mencapai 6,89 persen dan SMA sebesar 6,78 persen. Angka pengangguran dari kalangan
Universitas, yang minimal memegang ijazah S-1, mencapai 6,24 %. Penyumbang angka
pengangguran tertinggi terdapat dari kalangan SMK, yakni sebesar 8,63 persen.
Hal ini menandakan angka pengangguran terdidik di Indonesia masih cukup tinggi, terlebih
dari kalangan SMK yang didesain untuk mencegah pengangguran. Tingginya angka
pengangguran dari kalangan terdidik menandakan tidak adanya link and match dari dunia
pendidikan dengan sektor tenaga kerja.
Jika kita melihat pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam lima tahun ke belakang yang berkisar
diangka 5 persen, hal ini bisa dimengerti dikarenakan penduduk yang bekerja didominasi oleh
mereka yang berpendidikan rendah. Dari total persentasi angka tenaga kerja di Indonesia, 59
persen berasal dari mereka yang berpendidikan maksimal SMP.
Tingkat Pengangguran Terbuka Menurut Pendidikan Februari 2018 & 2019
Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS)
Kerangka Klasifikasi Skill yang Dibutuhkan
Untuk menyambut bonus demografi tentunya dibutuhkan skill dan mindset yang tepat. Data
dari Departemen Ketenagakerjaan Amerika Serikat melampir skill dan keterampilan apa yang
dibutuhkan untuk menyambut industri ke depan6. Dalam hal Indonesia, tentunya harus
disesuaikan dengan budaya dan karakteristik Indonesia yang terkenal dengan gotong-royong
dan kekeluargaan. Dengan mengamati kondisi di Indonesia, skills yang terlampir dibawah
dirasa cocok untuk diterapkan sesuai dengan kearifan dan budaya di Indonesia.
Simpul Kompetensi (Skill) Jabaran Kompetensi (O*NET) Deskripsi
Analytical Thinking and
Innovation
Analytical Thinking Kemampuan untuk menganalisa
sebuah Informasi dan penggunaan
logika untuk mengatasi masalah
Innovation Kemampuan untuk berfikir kreatif
dan mencari strategi alternatif
untuk mengembangkan ide dan
jawaban terkait pemecahan sebuah
masalah
Complex Problem-solving Complex Problem-solving Kemampuan mengidentifikasi
masalah yang kompleks dan
meninjau informasi terkait untuk
mengembangkan dan
mengevaluasi opsi dan
mengimplementasikan solusi
Creativity, Originality, and
Initiative
Initiative Kesediaan untuk mengambil
tanggung jawab dan menghadapi
tantangan
Creativity Kemampuan untuk mencari dan
mengimplementasikan ide-ide
dalam mengatasi masalah
Responsibilty Kemampuan untuk membuat
keputusan sendiri
Originality Kemampuan untuk memunculkan
ide yang tidak biasa terhadap
situasi tertentu, atau
mengembangkan cara-cara kreatif
untuk menyelesaikan masalah
Critical Thinking and Analysis Critical Thinking Kemampuan menggunakan logika
dan penalaran untuk
mengidentifikasi kekuatan dan
kelemahan dari solusi alternatif,
kesimpulan atau pendekatan untuk
masalah
Monitoring Memantau / menilai kinerja diri,
orang lain, atau organisasi untuk
melakukan perbaikan atau
mengambil tindakan korektif
Emotional Intelligence
Concern for others Peka terhadap kebutuhan dan
perasaan orang lain serta
memahami dan membantu dalam
sebuah pekerjaan
Cooperation Kemampuan untuk bersikap
kooperatif dan kolaboratif dalam
memecahkan suatu masalah
Social Orientation Kemampuan untuk bekerja sama
didalam tim dan terhubung dengan
tim
Social Perceptiveness Kemampuan untuk menganalisa
reaksi orang lain dan memahami
mengapa mereka bereaksi
demikian
Persuasion and Negotiation Negotiation Berusaha menyatukan dalam
sebuah konflik dan berusaha
mendamaikan perbedaan
(rekonsiliasi)
Persuasion Mengajak orang lain untuk
mengubah pikiran/pandangan dan
perilaku kearah positif
Reasoning, Problem Solving,
and Ideation
Idea Generation and Reasoning
Abilities
Kemampuan untuk mengelola
informasi dalam pemecahan
masalah
Quantitative Abilities Kemampuan untuk melibatkan
kemampuan matematika dalam
pemecahan masalah
Service Orientation Service Orientation Secara aktif mencari cara untuk
membantu orang lain
Leadership and Social Influence Leadership Kemampuan untuk memimpin,
mengambil perubahan,
menawarkan pendapat dan arahan
Social Influence Memiliki dampak positif terhadap
orang lain dalam organisasi,
menunjukan karakter dan energi
positif serta kepemimpinan
Sumber Data: WEF Future Jobs 2018, US Departement of Labor
Pekerjaan-pekerjaan Baru Yang Akan Muncul di Indonesia7:
Persentase Adopsi Teknlogi Baru Dalam Industri:
Sumber Data: WEF Future Jobs 2018, US Departement of Labor
Success Story Negara Lain dan Bagaimana Indonesia dapat Mengatasi Kesenjangan
Keterampilan di Masa Depan
Pendekatan yang berbeda harus mulai dipikirkan pemerintah untuk menjembatani kesenjangan
keterampilan di masa depan. Untuk melakukannya, menetapkan kerangka kerja yang spesifik
dan terukur untuk membantu pelaku bisnis dan institusi pendidikan untuk mengakses dan
memfasilitasi penyediaan keterampilan baru di masa depan dirasa penting untuk mulai
dilakukan.
Contoh-contoh dari negara yang sukses memanfaatkan bonus demografi dan mengatasi gap
keterampilan diharapkan bisa menawarkan alternatif kebijakan dan menutup kesenjangan
keterampilan di masa depan. Kami telah merangkum contoh-contoh yang dirasa cocok untuk
diterapkan dan didefinisikan kembali untuk menciptakan dasar yang kuat dalam
pengembangan keterampilan untuk menyambut era Industri 4.0 di Indonesia8 .
1. Memperkenalkan Materi dan Konsep Pengajaran Keterampilan Teknologi di Sekolah
dan Universitas
Contoh Studi Kasus:
Sekolah-sekolah dan Universitas di Tiongkok telah menyesuaikan materi pelajaran mereka
dengan permintaan Industri baru masa depan yang berbasis pada keterampilan teknologi.
Banyak dari institusi pendidikan di Tiongkok menerapkan bahan pengajaran untuk
pengenalan keterampilan teknologi melalui model buku seperti “Fundamentals of Artificial
Intelligence“. Pengenalan konsep Kecerdasan Buatan dan pendekatan kepada teknologi
juga dikenalkan ke pelajar-pelajar dari lintas disiplin yang lain.
Demikian pula dengan beberapa sekolah dasar di Amerika Serikat yang mengaplikasikan
keterampilan teknologi didalam materi pelajaran mereka, seperti pengembangan web dalam
berbagai mata pelajaran termasuk Kimia bahkan Sejarah.
Pendekatan Bagi Indonesia
Sekolah dan Universitas di Indonesia dapat mengintegrasikan keterampilan teknologi ke
dalam mata pelajaran yang diajarkan. Memberikan sekolah kebebasan untuk membentuk
program pembelajaran mereka sendiri mengenai keterampilan teknologi mana yang dapat
diintegrasikan sebagai komponen dalam pembelajaran menjadi hal yang harus
dipertimbangkan.
Sebagai contoh, dalam kelas bahasa Inggris, Sekolah dapat mengenalkan sebuah program
pemrograman secara billingual. Pelatihan robotika dasar juga dapat diintegrasikan dengan
pelajaran yang ada, misalnya dalam pelajaran geografi, siswa dapat diarahkan untuk
membangun sebuah mesin kecil yang dapat mengambil sampel bumi. Tentunya, peran
Pemerintah untuk merancang, menjembatani, dan mengalokasikan anggaran untuk fokus
tersebut dirasa penting untuk mempersiapkan siswa dalam menghadapi era Industri 4.0.
2. Mengenalkan Konsep Pengajaran Lintas-Disiplin di Sekolah dan Universitas
Contoh Studi Kasus:
Finlandia telah mengenalkan sebuah konsep project-based learning dibanding materi
pengajaran secara konvensional seperti matematika dan sejarah klasik. Ide ini dimaksudkan
untuk menumbuhkan semangat kolaborasi antar siswa dan mengembangkan kemampuan
problem-solving dari peserta didik.
Pendekatan Bagi Indonesia:
Salah satu pendekatan yang dapat dilakukan oleh instansi pendidikan ialah
memperkenalkan metode pengajaran dengan konsep kerja proyek (project-work-methods)
dan self-developed future skills untuk diajarkan kepada siswa dari lintas disiplin ilmu,
seperti kerja tangkas dan entrepreneurial thinking dibanding dengan hanya belajar dengan
fokus pada satu mata pelajaran tertentu.
3. Membangun Pusat Penelitian Keteramplan Masa Depan (Future Skills Research
Hubs)
Contoh Studi Kasus:
Untuk memastikan bagaimana penelitian tentang keterampilan masa depan dapat
diimplementasikan, pada tahun 2017 Frankfurt School of Finance & Management
mendirikan sebuah lembaga think tank dan pusat penelitian, yakni Frankfurt School
Blockchain Center. Lembaga ini dirancang sebagai pusat penelitian dan mempelajari
bagaimana implikasi blockchain untuk bisnis dan administrasi. Pusat Penelitian dan
Lembaga ini juga bertujuan sebagai platform berbagi pengetahuan bagi para pembuat
kebijakan, pelaku industri Start-Ups, juga pakar dan pelaku Industri lain.
Pendekatan Bagi Indonesia:
Pusat-pusat atau Hub seperti tadi dapat juga diterapkan di Indonesia dengan universitas bisa
menjadi pelopor. Setiap universitas diharapkan dapat membuat pusat atau hub tersebut yang
mengarah pada pengembangan keterampilan baru masa depan (sebagai contoh, Pusat atau
Hub untuk Data Analyst atau Pusat pengembangan robot cerdas). Sinergi antara pendidikan
dasar dan menengah (SD-SMA) bisa terjadi dalam pusat tersebut, sebagai contoh, adanya
sharing pengetahuan dengan sekolah juga bekerja-sama dalam merumuskan bahan ajar apa
yang akan diterapkan dikelas.
Untuk memacu keaktifan dari pusat tersebut, beasiswa juga akan diberikan kepada pengajar
yang terlibat dalam penelitian terkait industri dan keterampilan masa depan. Pemberian
tambahan Credit-Point untuk mahasiswa dapat memacu keaktifan untuk memanfaatkan
pusat tersebut. Hal ini dapat juga memberikan dorongan untuk terciptanya penelitian dan
budaya kolaborasi lintas-disiplin yang baru.
Pusat tersebut juga dapat digunakan sebagai penghubung antara dunia usaha, dalam hal ini
pelaku bisnis dengan institusi pendidikan. Pemerintah dapat menyediakan dana yang hanya
dapat diakses jika pelaku bisnis bekerja sama dengan pusat tersebut dalam rangka
melakukan penelitian tertentu yang bersifat customer-oriented.
Faktor Kesejahteraan Pendidik Sebagai Variable Kualitas
Pendidikan
Pendahuluan
Di Indonesia, sistem pendidikan nasional diatur dalam UU No. 20 tahun 2003 pada Pasal I:
“Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia,
serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara”.
Sedangkan mengenai tenaga kependidikan dan pendidik juga diterangkan:
“Tenaga kependidikan adalah anggota masyarakat yang mengabdikan diri
dan diangkat untuk menunjang penyelenggaraan pendidikan.”
“Pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru,
dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator,
dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi
dalam menyelenggarakan pendidikan.”
Pembahasan
Meningkatnya Harapan terhadap Para Pendidik
Secara mendasar, para guru dituntut memiliki pengetahuan luas dan mendalam mengenai
spesifik disiplin ilmu tertentu, kurikulum terkait, dan bagaimana cara belajar siswa. Tuntutan
perkembangan era industri 4.0 menambah permintaan pada aspek pendidikan agar mencapai
tujuan para siswa di masa depan. Oleh karena itu tugas yang dibebankan kepada para guru
bertambah menjadi lebih menantang lagi.
Para pendidik diharapkan mampu membekali para siswa dengan kemampuan kognitif dan
mengembangkan juga kemampuan non-kognitif, diantaranya kepercayaan diri dan hubungan
kolaboratif antar siswa. Ditambah lagi dengan permintaan untuk mampu menangani siswa
secara efektif dan berkolaborasi dengan para guru lain dan orang tua siswa. Selain itu, para
pendidik juga dalam praktik mengajarnya seringkali dihadapkan dengan problem yang tidak
terduga dan harus mampu menanganinya secara tepat.
Faktor Penentu Kinerja Pendidik
Berbagai pengamatan menunjukkan bahwa faktor kesejahteraan pendidik berdampak pada
motivasi, efektifitas, dan komitmen kerja mereka. Masalah yang bisa muncul kemudian adalah
berkurangnya minat untuk mengajar yang bermuara pada krisis guru.
Faktor kepuasan guru terhadap pekerjaannya adalah salah satu pendorong kinerja, dimana
kepuasan ini sebanding dengan tingkat profesionalitas. Profesionalitas yang dimaksud
diantaranya mencakup: kepercayaan diri pada profesi, persiapan dan pembelajaran yang
matang, penerapan profesional secara kolektif, decision making berdasarkan apa yang
dikuasainya, penerimaan tanggung jawab, dan akuntabilitas secara profesional atas nama
pekerjaan.
Selain yang disebutkan di atas, metode pelatihan guru profesional yang paling baik untuk
diterapkan adalah, selain pelatihan dasar mengajar, ialah pelatihan in-service yang berbasis
sekolah (Firman dan Tola, 2008), dimana pengembangan profesionalitas dilakukan di sekolah,
dipimpin oleh kepala sekolah dengan guru di suatu sekolah, sehingga mereka mampu
menciptakan lingkungan yang paling ideal juga untuk diterapkan di sekolah-sekolah. Mereka
mengajar dan mempelajari proses pembelajaran di kelas-kelas, di mana sebelum dan
sesudahnya dilakukan diskusi grup mengenai cara efektif dalam mengajarkan tema tertentu,
kemudian dievaluasi, dan diimplementasikan. Keaktifan kepala sekolah dalam manajemen dan
pembelajaran pengajaran ini akan berdampak positif pada keberlangsungan perbaikan atmosfer
pengajaran di samping profesionalitas dan pengalaman guru. Pelatihan serupa juga telah sukses
dilakukan di Singapura dan Shanghai, dan dikembangkan juga menjadi proyek riset kolaboratif
di Jepang dan Finlandia.
Penghargaan terhadap Pengajar
Sumber: Andreas Schleicher (2018), Valuing our Teachers and Raising their Status: How Communities Can Help, International Summit on the Teaching
Profession, Figure 4.1, http://dx.doi.org/10.1787/9789264292697-en
Meskipun para pendidik memainkan peran penting dalam pendidikan, Teaching and Learning
International Survei (TALIS 2013) mendapati secara mengejutkan bahwa hanya sepertiga dari
tenaga pengajar yang meyakini bahwa pekerjaan mereka dihargai. Sejauh mana para pendidik
berpartisipasi dalam pengambilan keputusan memiliki keterkaitan kuat dengan kecenderungan
penghargaan masyarakat terhadap profesi mereka.
Relasi Kepuasan Pengajar terhadap Nilai PISA
Menurut survei yang dilakukan oleh Organisation for Economic Co-operation and
Development (OECD) melalui penilaian asesmen Programme for International Student
Assessment (PISA), persentase pendidik dengan persepsi bahwa pekerjaannya adalah sesuatu
yang dihargai di masyarakat berbanding positif dengan peningkatan nilai PISA yang
merepresentasikan kualitas pendidikan. Hal ini terlihat pada negara-negara dengan persentase
pendidik dengan persepsi positif yang besar, mereka memiliki learning outcome yang unggul.
Sumber: Andreas Schleicher (2018), Valuing our Teachers and Raising their Status: How Communities Can Help, International Summit on the Teaching
Profession, Figure 4.2, http://dx.doi.org/10.1787/9789264292697-en
Bagaimana menimbulkan kecintaan belajar dan passion pada siswa SD
Pendahuluan
Di tahun 2018, Indonesia memperoleh rata-rata skor 382 dalam survei PISA (The Programme
for International Student Assessment). Survei ini dilakukan 3 tahun sekali untuk menguji
kemampuan siswa di berbagai negara di seluruh dunia berdasarkan tiga kategori: kemampuan
membaca, pemahaman matematika dan pemahaman sains. Hasil survei ini menunjukkan
bahwa Indonesia menduduki peringkat ke-73 dari dari 79 negara yang berpartisipasi, bahkan
jauh di belakang negara-negara yang kekuatan ekonominya lebih lemah daripada Indonesia,
seperti contohnya Peru, Kazakhstan, dan Maroko. Sebagai perbandingan, negara yang
menduduki peringkat tertinggi adalah Republik Rakyat Cina dengan rata-rata skor 579.
Negara-negara lain yang menempati posisi tinggi adalah Singapura, Kanada, Finlandia, dan
Irlandia. Survei ini menunjukkan bahwa sistem pendidikan di Indonesia belumlah optimal.
Meskipun survei PISA hanya melibatkan murid berusia 15 tahun yang sedang menduduki
jenjang pendidikan menengah (SMP), tentunya hasil ini tidak terlepas dari sistem pendidikan
dasar (SD) yang menjadi fondasi dari jenjang pendidikan berikutnya. Sejak maraknya tema
Revolusi Industri 4.0, para pemangku kebijakan ditantang untuk memperbaiki pendidikan di
Indonesia. Revolusi Industri 4.0 akan menuntut para tenaga kerja di masa depan untuk memiliki
skill set dan know-how yang berbeda dari sistem pendidikan tradisional yang selama ini
diterapkan. Kecintaan kepada proses pembalajaran dan passion merupakan poin penting dalam
meningkatkan kemampuan siswa menguasai materi pembelajaran dan berpikir kritis serta
kreatif. Bagaimanakah Indonesia dapat menembuhkan rasa cinta belajar, terutama di kalangan
murid jenjang pendidikan dasar (SD), sehingga nantinya dapat mendorong mereka untuk
menimbulkan inovasi-inovasi yang selaras dengan tuntutan Revolusi Industri 4.0?
Hipotesa
Pendidikan di Indonesia masih menitikberatkan penguasaan hafalan dan perolehan nilai,
sehingga mengabaikan fakta bahwa setiap siswa adalah individu yang memiliki minat dan
bakat yang berbeda-beda. Selain itu, keberanian bertanya para siswa juga masih sangat rendah.
Akibatnya, siswa hanya belajar untuk lulus ujian dan mendapatkan nilai bagus, dan
melewatkan poin terpenting dalam proses edukasi, yaitu pemahaman dan pembentukan
karakter serta pemecahan masalah.
Idealnya, sistem pendidikan Indonesia harus dapat menawarkan sistem pendidikan yang
memungkinkan siswanya untuk tidak hanya menghafal, namun memahami materi. Para
pengajar harus dapat mendorong siswa untuk berani bertanya dan berpikir kritis. Sebaiknya
sekolah juga dapat menawarkan lingkungan pembelajaran yang kondusif untuk menciptakan
inovasi. Tentunya, minat dan bakat siswa juga perlu diperhitungkan. Terlebih lagi, sekolah
perlu menghindari beban pelajaran yang terlalu berlebihan, sehingga murid dapat menyisakan
waktu luangnya untuk mendalami minat dan bakat masing-masing.
Kajian
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim pernah menegaskan bahwa di masa
depan, kompetensi menghafal tidak lagi dibutuhkan. Kompetensi yang dibutuhkan masyarakat
Indonesia saat ini meliputi kreativitas, kemampuan bekerja sama dan berkolaborasi, berpikir
dan memproses informasi secara kritis, mempertanyakan validitas sebuah informasi,
pemecahan masalah dan kemampuan berempati. Jika kita lihat sistem pendidikan di negara-
negara maju, kita akan menemukan pola yang serupa dengan pernyataan Nadiem Makarim. Di
Finlandia contohnya, para siswa tidak diwajibkan untuk mengambil ujian terstandardisasi
dalam bentuk apapun. Para guru memiliki kebebasan dalam menentukan sistem penilaian para
muridnya, yang seringkali didasari oleh kemampuan individu masing-masing murid.
Meskipun begitu, dalam survei PISA, Finlandia menempati posisi ketujuh dengan rata-rata
skor 516. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan menghafal dan lulus ujian bukanlah faktor
krusial dalam suatu sistem pendidikan. Terlebih di jenjang SD, fokus dari pendidikan
seharusnya bukan kompetensi menghafal. Usia yang masih dini seharusnya menjadi saat yang
kondusif untuk menumbuhkan rasa kecintaan dalam ”belajar“ melalui aktivitas bebas, kreatif,
dan eksploratif, dan bukan melalui beban menghafal. Oleh karena sebab inilah, di Finlandia,
masa SD baru dimulai ketika siswa berusia 7 tahun.
Dari beberapa faktor yang disebutkan oleh Nadiem Makarim, salah satu faktor yang menarik
adalah “kemampuan mempertanyakan validitas sebuah informasi”, atau dengan kata lain,
kemampuan bertanya dan berpikir kritis. Di Indonesia, guru tidak pernah salah. Mengkoreksi
guru sama dengan menjadi murid yang tidak sopan. Jika kita perhatikan, arus input informasi
di kelas-kelas SD di Indonesia lebih banyak satu arah, yaitu dari guru ke murid. Murid tidak
didorong untuk berani bertanya, apalagi berdiskusi. Fenomena ini kontraproduktif terhadap
kemajuan belajar siswa. Dalam era Revolusi Industri 4.0, proses yang hanya menuntut input
informasi searah akan dapat dengan mudah dilaksanakan oleh mesin maupun komputer. Yang
tidak dapat tergantikan adalah SDM yang mampu berpikir kritis, mengkoreksi informasi yang
salah serta beradaptasi. Jika cara berpikir ini tidak ditanamkan sejak SD, maka Indonesia akan
mengalami kesulitan untuk mempersiapkan SDM nya dalam menyambut Revolusi Industri 4.0.
Untuk memungkinkan siswa mempraktikkan keterampilan pemecahan masalah, rasa ingin tahu
dan literasi kegagalan, sekolah perlu menyediakan lingkungan belajar yang akan
memungkinkan siswa untuk menjadi pencipta menggunakan berbagai alat bantu fisik dan
digital. Ini dapat membantu memperdalam kecintaan belajar para siswa yang akan mendorong
mereka untuk memahami dunia melalui proses yang membutuhkan kolaborasi dan kreativitas.
Fasilitas seperti laboratorium bukan hanya perlu memenuhi fungsi tradisionalnya sebagai alat
bantu untuk memahami relasi antara teori dan praktik, namun juga perlu menjadi media bagi
para siswa untuk berkreasi dan berinovasi.
Selain itu, guru perlu memperhitungkan minat dan bakat masing-masing siswa. Di Indonesia,
Kurikulum K-13 tidak memungkinkan para siswa SD untuk menentukan mata pelajaran yang
mereka harus ambil berdasar minat dan bakat masing-masing. Sebagai perbandingan, di
Finlandia, siswa dapat mengalokasikan 20% dari total waktu mereka untuk mendalami subjek
pilihan masing-masing. Selain itu, pada umumnya sekolah menawarkan guided counseling
untuk membantu para siswa menyusun jadwal pelajaran yang sesuai dengan minat dan bakat
mereka. Sistem ini memungkinkan para siswa untuk menyadari lingkup ketertarikan mereka
sejak dini dan ikut berperan aktif dalam menentukan masa depan mereka. Dalam hal ini,
sekolah dapat mengadaptasi sistem di Finlandia dengan memperluas dan mengoptimalkan
fungsi dari guru bimbingan konseling (guru BK) yang memang sudah dimiliki oleh banyak SD
di Indonesia.
Selain itu, beban pekerjaan rumah (PR) juga menjadi faktor yang perlu dipertimbangkan. Di
Indonesia, PR dengan jumlah yang bertumpuk seakan sudah menjadi tradisi. Tujuan dari PR
adalah membantu murid memperdalam dan mengulang materi. Namun, jika beban dari PR ini
melebihi yang seharusnya, murid akan kehilangan konsentrasi dan waktu luang yang
seharusnya dapat dimanfaatkan untuk mendalami minat dan bakat masing-masing. Di
Finlandia, setiap minggunya murid hanya menghabiskan waktu 3 jam untuk mengerjakan PR.
Sebagai gantinya, murid didorong untuk mengambil kelas ekstrakurikuler untuk mendalami
minat mereka. Selain itu, isi dari PR perlu didesain untuk tidak berkisar di pemecahan soal
yang formulatif, melainkan lebih tentang memahami dunia empirik di sekitarnya ataupun
pemecahan masalah yang menuntut kreativitas. Dengan begitu, selama mengerjakan PR, skill
problem solving para siswa juga akan diasah.
Tentu saja, setiap negara memiliki ciri khas masing-masing dalam sistem pendidikannya.
Sistem pendidikan di Indonesia, terlepas dari segala kekurangannya, merupakan produk dari
berbagai proses revisi dan adaptasi bertahun-tahun yang telah disesuaikan dengan kondisi di
Indonesia. Dalam usaha memperbaiki sistem pendidikannya, Indonesia tidak bisa mencontoh
persis negara lain – penyesuaian tetap perlu. Namun, jika Indonesia berpegang teguh kepada
komitmennya untuk menyambut bonus demografi di tahun 2035-2045, maka Indonesia harus
berani mengakui poin-poin kekurangan dalam pendidikannya dan memulai gebrakan baru,
dimulai dari sistem pendidikan sekolah dasar yang – sesuai dengan namanya – memang
merupakan dasar dari segala langkah berikutnya.
Pengaplikasian IoT Untuk Membuka Lapangan Kerja Berkualitas dari
Hasil System Pendidikan
Pendahuluan
Sejatinya Indonesia adalah bangsa yang besar terdiri dari 34 Provinsi yang tersebar menjadi
17000-an pulau yang tersebar dengan total penduduk 260-an juta jiwa. Tetapi hal lain dari
bangsa yang besar ini masih terjadinya pemusatan populasi, keberadaban dan budaya di pulau
jawa, dimana di pulau Jawa sendiri masih belum merata. Hal ini dapat kita indikasikan salah
satunya dari data pendapatan perkapita Indonesia tiap provinsi yang masih terlihat ketimpangan
yang signifikan.
Disisi lain Indonesia mengalami bonus demografi dimana populasi usia produktif Indonesia
megalami surplus sehingga generasi muda indonesia di daerah mempunyai potensi yang besar
sebagai penggerak Inovasi teknologi dan roda perekonomian. Selain itu dunia global pun
mengalami revolusi teknologi industry 4.0, dimana digitalisasi menjadi lumrah di tiap
kehidupan manusia yang membawa kemudahan pada kehidupan bermasyarakat dan potensi
akselerasi pertumbuhan pada perekonomian. Berdasarkan 3 hal diatas yaitu ketimpangan
pendapatan, bonus demografi di daerah-daerah dan era revolusi industri 4.0 dimana semua alat
akan terhubung dengan Internet dan terdigitalisasi (IoT), beberapa sektor usaha pencipta
lapangan kerja untuk pemuda yang berpotensi di daerah harus dikembangkan dan mengalami
digitalisasi agar menjadi relevan untuk kegiatan value added dari supply chain di dunia global,
baik dari aspek marketing, produksi, dan development (pengembangan). Dengan adanya
digitalisasi, sektor usaha dimudahkan dan dimungkinkan menjadi global, walaupun terletak
jauh dari pusat perkotaan. Berikut ini sektor-sektor yang berpotensi dikembangkan di beberapa
daerah di Indonesia secara umum di setiap daerah: Pertanian, Perikanan Tambak (Fish
Farming/Aquaculture), Pengolahan barang Tambang (Smelter).
Dalam hal ini kajian meng-exclude perikanan tangkap dikarenakan skala industri yang tidak
sustainable bila terjadi massivikasi (over fishing). Digitalisasi pengolahan barang tambang
akan menjadi hal yang sangat menjanjikan dikarenakan kebutuhan barang tambang sendiri
yang meningkat seperti untuk Li-Ion battery, komponen mobil listrik, kendaraan roda 2 listrik,
gadget, dll. Hal ini bisa di lakukan dengan alat-alat yang lebih murah dari pada tahun-tahun
sebelumnya, dikarenakan kemajuan teknologi seperti MicroProcessor Rasberry Pi atau Micro-
PC , dimana alat alat ini berperan meminta data dari control SCADA / PLC (Programable Logic
Controller) untuk dijadikan sebagai tampilan dashboard dan Big Data untuk analisa
selanjutnya.
Pertanian
Dalam pertanian faktor yang dapat mempengaruhi produksi lahan memang sangat banyak
sekali, mulai dari cuaca, kandungan air dan kimia dalam tanah, curah hujan, risiko bahaya dari
hama, dan lainnya. Dimana permintaan produk pertanian secara global akan megalami
peningkatan pesat karena populasi dunia yang akan menyentuh 9.8 milliar, dengan terbatasnya
lahan pertanian di seluruh dunia dan pertumbuhan penduduk yang pesat. Dalam kemajuan
teknologi, faktor kunci kinerja pertanian dapat dianalisa dan diprediksi dengan mengekstrak
data dari lahan pertanian. Tentu saja dimana lahan pertanian akan di pasang banyak wireless
multi-sensors dan sebagainya, sehingga data-data yang dibutuhkan dapat diterima oleh sistem
operasi dan dijadikan sebagai bahan analisa, seperti gambaran pada berikut:
sehingga dalam intinya, produksi pertanian bisa dapat ditingkatkan dengan sumber daya yang
lebih hemat dan beban kerja yang akan lebih sedikit dengan luasan lahan yang tetap. Berikut
ini aspek-aspek yang dapat di realisasikan dengan implementasi IoT di Agriculture:
1.) Data Lahan pertanian dikumpulkan oleh sensor pertanian pintar, seperti. kondisi cuaca,
kualitas tanah, kemajuan pertumbuhan tanaman atau kesehatan ternak. Sehingga faktor yang
mempengaruhi dapat lebih terkontrol.
2.) Manajemen biaya dan pengurangan limbah berkat peningkatan kontrol atas produksi.
Mampu melihat anomali dalam pertumbuhan tanaman atau kesehatan ternak, Anda akan dapat
mengurangi risiko kehilangan hasil panen Anda.
3.) Peningkatan efisiensi bisnis melalui proses otomatisasi. Dengan menggunakan perangkat
pintar, kita dapat mengotomatisasi beberapa proses di seluruh siklus produksi seperti irigasi,
pemupukan, atau pengendalian hama.
4.) Kualitas dan volume produk ditingkatkan. Dapatkan kontrol yang lebih baik atas proses
produksi dan pertahankan standar kualitas tanaman dan kapasitas pertumbuhan yang lebih
tinggi melalui otomatisasi.
5.) yang paling terpenting selain sisi produksi juga, produkt pertanian bisa juga di marketingkan
secara global melalui jaringan internet dan petani juga bisa melihat langsung apa yang di
butuhkan customer sehingga produktnya relevant bagi pasar (direct B-2-B).
Perikanan Tambak (aquaculture )
Perikanan merupakan salah satu pencarian utama bagi penduduk pesisir yang tidak berada di
perkotaan, dimana mata pencaharian mereka kebanyakan sebagai nelayan (perikanan tangkap),
selain itu pula produkt produkt perikanan Indonesia sangat punya potensi untuk menjadi
produkt dengan value-added tinggi yang berorientasi Export seperti Lobster (Tambak), Tuna
(Tambak), Udang (Tambak) dan lainnya. Dengan adanya constraint over fishing karena masif
nya exploitasi populasi ikan di perairan Indonesia. Maka perikanan tambak (Fish Farming)
merupakan salah satu solusinya. dengan potensi digitalisasi pada perikanan tambak memang
sangatlah besar, dikarenakan peningkatan produksi perikanan per satuan luas tambak yang
tergantung dari banyak faktor, sama halnya seperti pertanian dimana faktor yang kompleks
seperti temperatur, kadar pH, konduktivitas elektrik pada air, kandungan kimia pada air, dan
lainnya. Hal ini mengakibatkan analisa menjadi kompleks dan terkadang harus dilakukan
dengan multi sensor fusion dan machine learning (AI) algorithm. Berikut ini hal hal potensial
bila IoT dan Digitalisasi dilakukan di sektor perikanan tambak Indonesia:
1.) Pada tambak Udang (Air Asin), tempteratur dan kadar garam pada air sangat mempengaruhi
pertumbuhan udang dan perkembangbiakannya, sehingga dengan alat digitalisasi yang murah
menggunakan sensor temperature dan micro processor seperti Raspberry PI kondisi tambak
akan bisa di ketahui dan di analisa secara real-time untuk keputusan yang akan diambil dengan
cepat
2.) Dalam dunia tambak, terutama untuk Tuna Farming dimana Indonesia harus memulai ini di
jangka waktu dekat, populasi ikan menjadi faktor analisa yang penting, selama ini bilang
tambak sangat besar untuk menghitung jumlah populasi ikan sangat sulit. Untuk hal ini
perhitungan berdasarkan image-recognition dengan AI (deep learning) sangat membantu
3.) Dengan populasi ikan yang terhitung dengan jelas, khususnya pada tuna farming, akan
banyak optimisasi pada beberapa faktor dan parameter yang bisa dilakukan sebagaimana figure
berikut:
Pengolahan barang tambang
Link:[10]
Dimana Indonesia kala ini memiliki keharusan untuk mengolah sumber daya alamnya sendiri
dan juga potensi Indonesia sebagai global player pada industri logam dan mineral, Pengolahan
barang tambang seperti Smelting menjadi isu sentral. Smelter pada normalnya, sangat
membutuhkan capital investment yang sangat tinggi dan juga tingkat process automatisasi yang
tinggi, sehingga kerusakan alat-alat yang kompleks dapat mengakibatkan berhentinya operasi
plant dengan cost yang di akibatkan karena maintenance dan berhentinya produksi sangatlah
tinggi dan dihindari. Aplikasi IoT dan digitalisasi dalam industri pengolahan mineral dapat
menghindari hal ini terjadi dengan beberapa potensi sebagai berikut:
1.) Mendeteksi kerusakan tanpa memberhentikan operasi alat-alat (Predictive
Maintenance), dimana secara konvesional (Planned Maintenance), alat alat akan di check
secara berkala dan menstop pengoprasian hanya untuk memeriksa ketersediaan alat-alat
processing. Hal ini dapat di hindari dengan metode predictive maintenance yang menggunakan
multi sensor Fusion untuk pengambilan data, micro system architecture untuk pusat kontrol
terhubung internet dan software dengan Artificial Intelligence untuk analisa. Sehingga pada
saat plant beroperasi, decision maker tetap dapat mengetahui kondisi dari processing plant.
2.) Dengan terhubungnya processing plant dengan jaringan internet, bagian yang
dibutuhkan untuk kepentingan maintenance dan ekspansi plant yang dulunya harus dipesan
dari pabrik, sekarang bisa diproduksi secara lokal di tempat processing plant berada dengan
3D-printing, dimana data bagian CAD akan bisa diunduh dan dicetak oleh 3D-Printing. Hal ini
dapat mengurangi cost dari plant idle time, part logistic dan lainnya.
3.) Selain itu pula ada Software Asisstance dengan algorithma AI, yang bisa membantu
operator control system dengan SCADA di smelter untuk mengetahui keadaan entire process
plant dengan adanya analisa otomatis. Sehingga operator bisa cepat menentukan keputusan
dalam operasi entire plant bilamana ada terjadinya hal-hal yang anomali pada beberapa
parameter processing plant.
4.) Kemajuan Multi-Sensor Fusion dengan kemampuan wireless yang bisa mengukur tanpa
dilakukan oleh orang dari jarak jauh dan ketepatan yang jitu menjadikan digitalisasi dan
aplikasi IoT pada processing plant menjadi lebih feasible bagi kalangan industri. Karena hal
ini dapat mengurangi biaya personil dan menghindari kecelakan kerja dimana alat pemrosessan
sangat berbahaya bagi manusia didekatnya.
5.) Dengan IoT, kita dapat menganalisa secara realtime raw material yang ada di storage
sehingga tidak terjadi overloading atau lost stockpile, sehingga storage yang ada bisa
digunakan dengan optimal pembuktian dan hasil dari digitalisasi di beberapa sektor tersebut
dari peluang digitalisasi di atas, pemuda Indonesia perlu diberikan pendidikan dan mindset
dengan insight-insight bahwa kesempatan terbuka lebar bila skill set dan mindset mereka
relevan dengan digitalisasi di dunia.
DAFTAR PUSTAKA
1. Strategic Drivers of New Business Models; World Economic Forum Future Jobs, 2018
2. Dampak kepada Substitusi Tenaga Kerja; Revolusi Industri Keempat Klaus Schwab
3. Carl Benedikt Frei & Michael Osborne, Oxford University,2013
4. Automation and the Future of Work in Indonesia, McKinsey & Company, 2019
5. Data Proyeksi Pemuda Indonesia sampai dengan 2030, Badan Pusat Statistik & Kementrian
Pemuda dan Olahraga Republik Indonesia, 2018
6. Classification of skills used, base on O*NET content model, World Economic Forum Future
Jobs, 2018
7. Indonesia’s future Industry profile, World Economic Forum Future Jobs, 2018
8. Future Skills, World Goverment Summit, in partnership with McKinsey&Company, 2019
9. Andreas Schleicher (2018), Valuing our Teachers and Raising their Status: How Communities
Can Help, International Summit on the Teaching Profession,
http://dx.doi.org/10.1787/9789264292697-en
10. Andreas Schleichter (2018), PISA 2018: Insights and Interpretations, OECD
11. Harry Firman dan Burhanuddin Tola (2008), The Future of Schooling in Indonesia, CICE
Hiroshima University, Journal of International Cooperation in Education, Vol.11 No.1 (2008)
pp.71 ~ 84
12. https://kelembagaan.ristekdikti.go.id/wp-content/uploads/2016/08/UU_no_20_th_2003.pdf
13. https://ilmu-pendidikan.net/pendidikan/komponen-utama-sistem-pendidikan
14. https://www.forbes.com/sites/bernardmarr/2019/05/22/8-things-every-school-must-do-to-
prepare-for-the-4th-industrial-revolution/#53d7354a670c
15. https://www.oecd.org/pisa/PISA-results_ENGLISH.png
16. https://www.oecd.org/pisa/publications/PISA2018_CN_FIN.pdf
17. https://edukasi.kompas.com/read/2019/10/16/07115281/soft-skill-jadi-bekal-pustakawan-
hadapi-disrupsi-revolusi-industri-40?page=all
18. https://www.cnnindonesia.com/nasional/20191214032015-20-456911/nadiem-sebut-
kompetensi-menghafal-tak-lagi-dibutuhkan?
19. https://bigthink.com/mike-colagrossi/no-standardized-tests-no-private-schools-no-stress-10-
reasons-why-finlands-education-system-in-the-best-in-the-world
20. https://www.forbes.com/sites/bernardmarr/2019/05/22/8-things-every-school-must-do-to-
prepare-for-the-4th-industrial-revolution/#57c6ea3c670c
21. http://www.ncee.org/wp-content/uploads/2010/04/Finland-Education-Report.pdf
22. https://www.fatherly.com/love-money/education/schools-days-around-world/
23. Mubarak, Dr. H. A. Zaki. Problematika Pendidikan Kita: Masalah-masalah Pendidikan Faktual
dari Guru, Desain Sekolah dan Dampaknya. Depok: Ganding Pustaka 2019. 127.
24. https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2019/07/31/inilah-pdrb-34-provinsi-di-indonesia-
pada-2018
25. https://ieeexplore.ieee.org/document/8784034
26. https://itnext.io/agriculture-is-the-most-essential-form-of-food-production-for-humanity-
c43d5621fe23
27. https://easternpeak.com/blog/iot-in-agriculture-5-technology-use-cases-for-smart-farming-
and-4-challenges-to-consider
28. https://www.metso.com/blog-hub/mining-minds/intelligent-minerals-processing-powered-by-
ai-and-iot/
29. https://www.automationworld.com/factory/iiot/blog/13319348/improving-uptime-for-mineral-
processing
30. https://www.slideshare.net/MetsoGroup/intelligent-minerals-processing-powered-by-ai-and-
iot
31. https://www.kernelsphere.com/smart-pond
32. http://www.libelium.com/controlling-fish-farms-water-quality-with-smart-sensors-in-iran/
33. https://new.abb.com/metals/digital
34. https://www.researchgate.net/publication/334091423_IoT_Based_Automated_Fish_Farm_Aq
uaculture_Monitoring_System
35. https://www.sojitz.com/en/news/2017/08/20170808.php
TENTANG PENULIS
Narendra Ning Ampeldenta, Hocshule Rhein-Main, Bachelor of
Engineering, Interdisziplinäre Ingenieurwissenschaften
Edwin Hartarto, Karlsruhe Institute of Technology (KIT), Master of
Science, Mechanical Engineering (Artificial Intelligence for Industrial
Automation and Robotics)
Muhammad Arrayyan Makiatu, Bachelor of Science (Renewable
Energy), University of Stuttgart, Germany.
Valya Andyani, Karlsruhe University of Applied Science (Hochschule
Karlsruhe), Master of Engineering, Construction Management
z
Tantangan dan Potensi Garam
Nasional Komisi Maritim dan Kelautan PPI Dunia, PPI Brief
No. 11 / 2020
Penulis: Dhaneswara Al Amien dan Farah Adrienne
RINGKASAN EKSEKUTIF
1. Kebutuhan garam industri selalu meningkat 5%-7% setiap tahunnya, namun kualitas
garam produksi lokal belum memenuhi standar garam sektor industri. Untuk mencapai
swasembada garam, pemerintah terus menggali potensi produksi garam nasional
dengan melakukan intensifikasi lahan, ekstensifikasi lahan, dan peningkatan kualitas
garam rakyat.
2. Dalam proses pendistribusian garam nasional, terdapat kendala yaitu mahalnya biaya
transportasi. Jaringan logistik dan pola distribusi garam yang kurang menguntungkan
petambak garam, menyebabkan besarnya disparitas antara harga jual dari petambak
dengan harga akhir bagi konsumen.
3. Data garam masih belum terintegrasi dan berasal dari satu pintu, sehingga sering terjadi
kesimpangsiuran mengenai garam nasional. Sebagai pengambil kebijakan, pemerintah
disarankan untuk dapat menyediakan data yang representatif dengan kondisi di lapang
terkait besarnya produksi garam yang diklasifikasikan berdasarkan kualitasnya, data
stok garam di akhir tahun, kebutuhan garam berdasarkan pemanfaatannya, informasi
mengenai data-data klimatologi dan meteorologi wilayah sentra garam.
Pendahuluan
Garam adalah produk industri kimia dasar Chlor Alkali yang terdiri dari garam konsumsi dan
garam industri (Kementerian Perindustrian, 2014). Garam konsumsi merupakan garam yang
digunakan untuk konsumsi atau dapat diolah menjadi garam rumah tangga dan garam diet
untuk konsumsi masyarakat. Sedangkan, Garam industri adalah garam yang digunakan sebagai
bahan baki /penolong pada proses produksi. Pengelompokan garam berdasarkan Peraturan
Menteri Perindustrian RI Nomor 88/M-IND/PER/10/2014 adalah.
Figur 1 Pengelompokan Garam
Berdasarkan berbagai sumber, untuk kebutuhan garam konsumsi telah dapat dipenuhi oleh
produksi nasional. Namun memang untuk kebutuhan industri, masih dipenuhi sebagian oleh
produksi dalam negeri dan impor. Sampai sekarang, belum ada sistem satu data nasional terkait
jumlah produksi, konsumsi, dan impor (garam industri). Data terkait garam tersebar dari
instansi Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Kelautan dan
Perikanan, PT Garam (Persero), dan asosiasi pengusaha. Volume impor garam impor
mengalami tren kenaikan dari tahun 2015 sampai dengan tahun 2018, namun terjadi penurunan
di tahun 2019.
Tabel 1 Data Impor Garam (2014-2019) (Badan Pusat Statistik, 2020)
Negara Asal 2015 2016 2017 2018 2019
Berat Bersih : 000 Kg
Australia 1 489 582.0 1 753 934.2 2 296 681.3 2 603 186.0 1 869 684.2
India 333 731.2 380 505.4 251 590.1 227 925.6 719 550.4
Tiongkok1 37 404.1 4 630.1 269.2 899.7 568.0
Selandia Baru 2 248.0 2 926.1 2 669.5 3 806.8 4 052.4
Singapura 30.4 91.2 121.5 239.0 229.3
Jerman 237.0 369.9 300.1 236.0 243.0
Garam
Konsumsi
Rumah Tangga
NaCL min. 94%
Diet
NaCl max 60%
Industri
Kimia
NaCl min 96%
Aneka Pangan
NaCl min 97%
Farmasi
NaCl min 99.8%
Perminyakan
NaCl min 95%
Penyaman Kulit
NaCl min 85%
Water Treatment
NaCl 85% / 95%
Denmark 343.0 367.5 486.8 816.7 496.2
Lainnya 473.6 918.6 704.7 1 967.6 573.8
Jumlah 1 864 049.3 2 143 743.0 2 552 823.2 2 839 077.4 2 595 397.3
Stakeholders terkait dengan garam nasional dapat dikelompokan berdasarkan kepengtingannya
menjadi pengambil kebijakan, produksi, dan konsumi (pasar) garam nasional.
Figur 2 Stakeholder Garam Indonesia
Analisa Garam Nasional
Potensi Garam Nasional
Peningkatan kebutuhan garam konsumsi terjadi seiring dengan meningkatnya jumlah
penduduk di Indonesia. Pertumbuhan industri di Indonesia juga mengakibatkan kebutuhan
garam nasional memiliki tren yang cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Menurut data
BPS, kebutuhan garam industri selalu meningkat 5%-7% setiap tahunnya. Pada tahun 2020,
total kebutuhan garam di Indonesia mencapai 4.464.670 ton.
Tabel 2 Kebutuhan Garam di Indonesia (Badan Pusat Statistik, 2020)
NO RINCIAN 2016 2017 2018 2019 ESTIMASI 2020
1 Industri manufaktur 2.881.299 3.088.007 3.339.437 3.466.819 3.744.655
2 Rumah tangga 307.595 310.076 313.775 317.634 321.541
3 Komersial 326.546 313.077 339.739 358.085 377.422
4 Peternakan dan perkebunan 17.448 18.175 18.932 19.964 21.052
TOTAL 3.532.887 3.729.334 4.011.883 4.162.502 4.464.670
*satuan dalam ton
Demi tercapainya swasembada garam, peran pemerintah dalam peningkatan kualitas dan
kuantitas garam sangatlah diperlukan. Dalam penelitian Wirjodirdjo (2004) menjelaskan
bahwa strategi yang dapat dilakukan untuk mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap
garam impor adalah dengan melakukan intensifikasi lahan, ekstensifikasi lahan, dan
peningkatan kualitas garam rakyat.
Riset dan teknologi memiliki peran penting dalam membawa kembali kejayaan Indonesia
dalam produksi garam. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah lama melakukan
penelitian dan pengembangan iptek sederhana untuk pemurnian garam laut. Selain itu, BPPT
di bawah koordinasi Kementerian Riset dan Teknologi juga telah mencangangkan beberapa
program untuk dapat meningkatkan pemanfaatan garam lokal untuk sektor industri. Dalam
sektor CAP, dilakukan implementasi teknologi garam tanpa lahan dan juga pembenahan lahan
pergaraman terintegrasi dan ekstensifikasi lahan. Dalam sektor pangan dan pengeboran
minyak, telah dibangun pabrik pemurnian garam rakyat menjadi garam industri, investasi
pembangunan lahan garam industri di NTT mencapai 2.444 ha dengan estimasi hasil produksi
sebesar 330.756 ton.
Dalam hal kuantitas dan kualitas dan basis teknologi, PT. Garam melakukan normalisasi,
revitalisasi, dan ekspansi lahan untuk menambah luas lahan pergaraman sehingga dapat
menambah kapasitas produksi per tahunnya. Pembangunan washing plan juga dilakukan agar
kualitas produksi garam homogen dan kualitasnya meningkat. PT. Garam juga menerapkan
teknologi untuk mengikat/memfilter logam pengotor di awal proses agar dapat mencapai
standar kualitas garam industri.
Untuk mencapai swasembada garam, pemerintah terus menggali potensi produksi garam
nasional. Bentuk usaha PT. Garam dalam meningkatkan produksi garam kedepannya yaitu
dengan meng-upgrade pabrik garam yang sudah ada dan membangun beberapa pabrik garam
baru. Selain itu, pada tahun 2021 PT. Garam bekerjasama dengan PT. Pertamina Paraniaga
dalam offtake produksi garam bahan baku untuk aneka pangan dengan kapasitas 300.000 ton
per tahun.
PT. Garam. 2020. Roadmap Pengembangan Produksi PT Garam. Surabaya.
Tabel 3 Pengembangan Produksi Garam (PT Garam (Persero), 2020)
NO PROYEK TAHUN KAPASITAS
1 Pembangunan paprik di Segoromadu, Gresik 2020 30.000 Ton / Tahun
2 Pembangunan paprik di Bipolo, Kupang 2020 6.000 Ton / Tahun
3 Pembangunan Chemical Plant 2021 200.000 Ton / Tahun
4 Pembangunan pabrik di Cirebon 2022 30.000 Ton / Tahun
5 Pembangunan pabrik rafinasi di Segoromadu, Gresik 2022 60.000 Ton / Tahun
6 Optimalisasi lahan pergaraman di Madura, Gresik,
Kupang
2024 600.000 Ton / Tahun
Dalam rangka mengontrol kualitas garam nasional, pemerintah mengeluarkan standardisasi
kandungan zat tertentu dalam garam. Untuk garam konsumsi beriodium contohnya, diatur
dalam SNI 3556:2016. Tujuan dari standarisasi ini adalah untuk Mendorong produsen dalam
meningkatkan kualitas produk sesuai dengan persyaratan standar mutu yang telah ditentukan
serta melindungi pemakai (konsumen) dari resiko penggunaan garam konsumsi beriodium
yang tidak memenuhi standar mutu.
Tabel 4 Syarat Mutu Garam Konsumsi Beriodium (Kementerian Perindustrian, 2014)
NO PARAMETER SATUAN BATAS ATAS
1 Kadar air % Maksimal 7
2 Kadar iodium sebagai KIO3 mg/kg Maksimal 30
3 Bagian yang tidak larut dalam air (atas dasar bahan kering) % Maksimal 0.5
4 Cemaran Kadmium mg/kg Maksimal 0.5
5 Cemaran timbal mg/kg Maksimal 10.0
6 Cemaran raksa mg/kg Maksimal 0.1
7 Cemaran arsen mg/kg Maksimal 0.1
Standarisasi mutu garam industri aneka pangan juga diatur dalam SNI 8207:2016, yang
bertujuan untuk meningkatkan dan memberikan jaminan mutu produk dalam rangka
perlindungan konsumen, meningkatkan produktivitas dan daya saing, serta mendukung ekspor
industri non migas.
Tabel 5 Syarat Mutu Garam Industri Aneka Pangan (Kementerian Perindustrian, 2014)
NO PARAMETER SATUAN BATAS ATAS
1 Kadar air % Maksimal 0.5
2 Kadar kalsium % Maksimal 0.06
3 Bagian yang tidak larut dalam air % Maksimal 0.5
4 Kadar magnesium % Maksimal 0.06
5 Kadar iodium sebagai KIO3 mg/kg Minimal 30
6 Cemaran kadmium mg/kg Maksimal 0.5
7 Cemaran timbal mg/kg Maksimal 10.0
8 Cemaran raksa mg/kg Maksimal 0.1
9 Cemaran arsen mg/kg Maksimal 0.1
Tantangan Garam Nasional
Pasokan garam nasional berasal dari produksi PT. Garam dan produksi garam rakyat.
Keduanya menggunakan metode penguapan air laut oleh sinar matahari atau kerap disebut
solar evaporation. PT. Garam menggunakan lahan penguapan yang lebih luas serta waktu
penguapan yang lebih lama dibanding dengan produksi garam rakyat. Hal ini menimbulkan
perbedaan yang signifikan dalam segi kualitas. Dalam segi kualitas, garam lokal belum dapat
memenuhi persyaratan untuk beberapa sektor industri seperti CAP, farmasi dan kosmetik,
pengeboran minyak, dan aneka pangan. Kualitas garam rakyat yang masih diolah secara
tradisional, umumnya memerlukan pengolahan kembali sebelum dijadikan garam konsumsi
maupun industri. Untuk garam konsumsi rumah tangga, dibutuhkan kandungan NaCl minimal
94%. Sedangkan untuk kebutuhan industri, kandungan NaCl harus berada di atas 97%.
Dalam proses pendistribusiannya, garam nasional juga memiliki kendala yaitu mahalnya biaya
transportasi. Jaringan logistik dan pola distribusi garam yang kurang menguntungkan
petambak garam, menyebabkan besarnya disparitas antara harga jual dari petambak dengan
harga akhir bagi konsumen. Harga juga menjadi faktor penting dalam faktor ekonomi pada
industri, harga bahan baku yang tinggi tidak hanya akan berdampak pada menurunnya profit
perusahaan namun juga akan berdampak pada tingginya harga produk jadi yang membuat
industri dalam negeri menjadi tidak kompetitif.
Neraca garam nasional menunjukan pada tahun 2020, kebutuhan garam nasional mencapai
4.464.670 ton, sedangkan kapasitas produksi hanya 2.327.078 ton, sehingga terdapat
kesenjangan antara jumlah produksi dan kebutuhan sejumlah 2.137.592 ton. Kekurangan ini
akan ditutup dengan mengimpor garam dari beberapa negara. Namun di sisi lain, masih banyak
juga produksi garam rakyat yang tidak terserap sehingga membuat harga garam anjlok. Dalam
hal ini, peran pemerintah dalam menentukan harga dasar garam sangatlah diperlukan.
Ketersediaan data yang valid merupakan hal yang vital dalam mengukur ketercapaian
swasembada. Namun pada kenyataannya, data garam masih belum terintegrasi dan berasal dari
satu pintu, sehingga sering terjadi kesimpangsiuran mengenai garam nasional. Sebagai
pengambil kebijakan, pemerintah disarankan untuk dapat menyediakan data yang representatif
dengan kondisi di lapang terkait besarnya produksi garam yang diklasifikasikan berdasarkan
kualitasnya, data stok garam di akhir tahun, kebutuhan garam berdasarkan pemanfaatannya,
informasi mengenai data-data klimatologi dan meteorologi wilayah sentra garam (Dharmayanti
et al., 2013)
Dengan segala tantangan yang ada, peran pemerintah sangat diperlukan dalam menjamin
kesejahteraan petambak garam. Menurut Fauzin (2019) dalam penelitiannya, model kebijakan
perlindungan sosial yang efektif dalam penanggulangan kemiskinan petambak garam di
Madura yaitu dengan merumuskan sebuah kebijakan yang memungkinkan para petambak
garam untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusianya dan rumusan kebijakan yang
akan menentukan kriteria kualitas garam secara terbuka, sehingga para petambak garam secara
mudah dapat mengetahui kualitas garam dari hasil produksinya.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik, 2020. Badan Pusat Statistik. [Online]
Available at: https://www.bps.go.id/statictable/2019/02/14/2013/impor-garam-menurut-
negara-asal-utama-2010-2019.html
[Diakses 30 May 2020].
Fauzin, 2019. Analisis Pengaturan Perlindungan Petambak Garam di Kabupaten Sampang
dalam Kebijakan Tata Kelola Garam. Universitas Trunojoyo: Jurnal Paramator , 12(2), pp.
113-121.
Kementerian Perindustrian, 2014. JDIH Kemenperin. [Online]
Available at: http://jdih.kemenperin.go.id/site/download_peraturan/1862
[Diakses 30 May 2020].
PT Garam (Persero), 2019. Laporan Tahunan PT Garam (Persero) 2018, Surabaya: PT Garam
(Persero).
PT Garam (Persero), 2020. Roadmap Pengembangan Produksi PT Garam, Surabaya: PT
Garam (Persero).
Wirjodirdjo, B., 2004. Skenario Kebijakan Pengembangan Pergaraman Nasional Dalam Usaha
Mengurangi Ketergantungan Luar Negeri: Suatu Penghampiran Model Sistem Dinamik. Jurnal
Eksekutif.
Dharmayanti, S., 2013. Analisis Ketersediaan Garam Menuju Pencapaian Swasembada Garam
Nasional Yang Berkelanjutan (Suatu Pendekatatan Model Dinamik). Jurnal Sosial Ekonomi
Kementerian Perikanan 8(1).
Tentang Penulis
Dhaneswara Al Amien adalah Ketua Komisi Kelautan PPI Dunia
2019/2020 dan mahasiswa Magister Maritime Management, Chalmers
University of Technology, Swedia
Farah Adrienne anggota Komisi Kelautan PPI Dunia 2019/2020 dan
mahasiswi Magister Hydraulic Engineering, Zheijang Univeristy,
Tiongkok
z
Pengelolaan Sumber Daya Ikan
Berkelanjutan di Indonesia Komisi Maritim dan Kelautan PPI Dunia, PPI Brief
No. 12 / 2020
Penulis: Faisal Hamzah, Karina Sujatmiko, Lusita Meilana,
Farah Adrienne
RINGKASAN EKSEKUTIF
⚫ Terdapat empat WPP-NRI yang mengalami dampak signifikan akibat pandemi, namun
secara keseluruhan, aktivitas produksi perikanan di Indonesia masih terjaga.
⚫ Kebijakan pemerintah dalam pengalihan pasar ekspor berhasil meningkatkan nilai ekspor
hasil perikanan Indonesia dalam masa pandemi ini.
⚫ Dalam rangka mempercepat pemulihan dalam sektor budidaya perikanan, pemerintah
perlu memberikan stimulus dengan cara mengurangi beban biaya produksi, keringanan
kredit dan memperlancar rantai pasok.
Pendahuluan
Sumberdaya perikanan memberikan kontribusi penting bagi perekonomian nasional dan
kesejahteraan nelayan. Hal ini tercermin melalui pertumbuhan produk domestik bruto
perikanan relatif lebih tinggi diatas 5% dibandingkan pertumbuhan produk domestik bruto
nasional. Produksi perikanan tangkap meningkat setiap kuartal tiap tahunnya dan mengalami
lonjakan yang cukup signifikan 4.9 juta ton tahun 2009 menjadi 7.0 juta ton tahun 2017[1].
Namun, seiring dengan akselarasinya peningkatan ekonomi dari sektor perikanan dan kelautan,
perlu diimbangi antara kegiatan penangkapan ikan dengan usaha pelestarian stok sumberdaya
ikan nasional[2]. Indonesia menerapkan sebelas wilayah pengelolaan perikanan (WPP) yang
digunakan sebagai dasar pengelolaan perikanan secara lestari dan berkelanjutan berdasarkan
tipe ekologi, karakteristik wilayah, dan sumberdaya ikan. WPP ini dibuat untuk mengatur
pengelolaan perikanan secara lestari berkelanjutan dan juga berfungsi sebagai bahan utama
untuk pendugaan potensi, penelitian, pembudidayaan ikan, pengendalian, konservasi, dan
pengembangan perikanan yang meliputi perairan pedalaman, perairan kepulauan, laut
territorial, zona tambahan, dan zona ekonomi eksklusif[3].
Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mencanangkan
12,54 dan 13,1 juta ton/tahun potensi stok ikan di Indonesia pada tahun 2017 dan 2018[4,5].
Potensi ini meningkat ~50% jika dibandingkan pada tahun 1997 (6,19 juta ton/tahun). Namun
dari sejumlah potensi stok ikan tersebut, terdapat status kelompok ikan yang berada dalam
katagori pemanfaatan penuh (44%; fully exploited) dan berlebih (38%; over exploited).
Kelompok seperti ikan pelagis ikan kecil, pelagis besar, dan ikan demersal cenderung
mengalami perbaikan status membaik yang menunjukan keseimbangan antara jumlah yang
ditangkap dengan sumber daya ikan yang tersedia, namun status memburuk dicerminkan pada
ikan karang dan lobster[4]. Berdasarkan data sistem monitoring kapal (vessel monitoring
system), aktivitas kapal penangkapan ikan mayoritas beroperasi hanya di WPP tertentu saja dan
untuk wilayah pengelolaan lainnya belum termanfaatkan secara optimal.
Total produksi perikanan budidaya laut yang mendukung produktivitas perikanan di WPP
mengalami penurunan sebesar 3,07% pertahun pada kondisi eksisting marikultur periode 2015-
2019 dan menjadi isu penting yang harus dicari jalan tengahnya. Adapun dua komoditas
penting budidaya laut tersebut yang mengalami penurunan tersebut adalah rumput laut dan
kekerangan. Hal ini disebabkan adanya alih fungsi lahan budidaya marikultur menjadi fungsi
lain seperti pariwisata dan konservasi. Selanjutnya dari sisi onfarm penurunan harga jual
produksi, penyakit, keterbatasan ketersediaan benih, dan keterbatasan akses pasar juga menjadi
penyebab turunnya minat pelaku usaha budidaya laut.
Mengingat besarnya potensi sumber daya perikanan dan kelautan baik perikanan tangkap
maupun budidaya dan dengan segala tantangannya, Presiden Joko Widodo mengarahkan
kebijakan pembangunan kelautan dan perikanan demi mewujudkan Indonesia maju melalui
peningkatan pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan yang berkelanjutan serta
pengawasannya, industrialisasi kelautan dan perikanan, kebijakan dan regulasi berbasis data,
informasi, pengetahuan yang faktual dan komunikasi dengan stakeholders.
Penguatan pengelolaan perikanan tangkap dan budidaya berbasis WPP seperti perizinan,
investasi, alokasi tangkap hingga sistem logistik perikanan perlu ditingkatkan; serta
optimalisasi sentra kelautan dan perikanan untuk garda bisnis di pulau-pulau kecil dan
perbatasan perlu digalakan, mengingat daerah tersebut memiliki potensi besar. Semua hal
diatas perlu mendapatkan perhatian khusus. Sinkronisasi semua elemen dan lintas sektor
perikanan dan kelautan mulai dari hulu hingga hilir adalah suatu keharusan sehingga
kesejahteraan nelayan, transformasi ekonomi bidang perikanan dan kelautan dapat terwujud
dengan tetap menciptakan lestari dan berkelanjutan terhadap sumberdaya kelautan dan
perikanan.
Keanekaragaman, status, dan tingkat pemanfaatan sumber daya ikan
Menteri Kelautan dan Perikanan melalui Pasal 7(1) Undang-undang No. 31 Tahun 2004 yang
diamandemen menjadi UU No. 45 Tahun 2009 telah menetapkan potensi dan alokasi sumber
daya ikan (SDI) di WPP RI yang bertujuan untuk pengelolaan sumber daya ikan berkelanjutan.
Pengelolaan perikanan Indonesia tersebut dibagi kedalam 11 wilayah seperti pada Tabel 2.
Tabel 2. Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) Indonesia.
No WPP Lokasi
571 perairan Selat Malaka dan Laut Andaman
572 perairan Samudera Hindia sebelah Barat Sumatera dan Selat Sunda
573 perairan Samudera Hindia sebelah Selatan Jawa hingga sebelah Selatan
Nusa Tenggara, Laut Sawu, dan Laut Timor bagian Barat
711 perairan Selat Karimata, Laut Natuna, dan Laut China Selatan
712 perairan Laut Jawa
713 perairan Selat Makassar, Teluk Bone, Laut Flores, dan Laut Bali
714 perairan Teluk Tolo dan Laut Banda
715 perairan Teluk Tomini, Laut Maluku, Laut Halmahera, Laut Seram dan
Teluk Berau
716 perairan Laut Sulawesi dan sebelah Utara Pulau Halmahera
717 perairan Teluk Cenderawasih dan Samudera Pasifik
718 perairan Laut Aru, Laut Arafuru, dan Laut Timor bagian Timur
Masing-masing wilayah memiliki jumlah potensi sumberdaya dan pengelolaan yang beragam.
Keragaman sumber daya ikan yang tertangkap di WPP digolongkan menjadi 10 jenis yaitu
pelagis kecil, pelagis besar, demersal, ikan karang, udang, lobster, kepiting bakau, ranjungan,
dan cumi-cumi. Dominasi jenis sumber daya sangat dipengaruhi oleh karakteristik dari lokasi
tersebut, seperti sedimen, suhu dan faktor oseanografi lainnya. Sumber daya dominan pada
WPP dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Sumberdaya Dominan dan Penyebabnya di Lokasi WPP
Jenis Lokasi WPP Keterangan
Ikan pelagis kecil 572, 715, 716, 717, dan
718
mendominasi pada WPP yang dipengaruhi
oleh Samudera Hindia dan Samudera Pasifik
Ikan pelagis besar, dan
cumi-cumi
573 dan 713 mendominasi pada WPP yang bersifat
oseanik
Ikan demersal 711, 712 dan 571. mendominasi pada wilayah laut dangkal yang
dasar perairannya cenderung berlumpur
Crustacea seperti udang,
lobster kepiting, dan
rajungan
hampir di seluruh WPP dipengaruhi oleh luasan terumbu karang dan
mangrove
Analisis lebih lanjut yaitu jumlah potensi total sumber daya ikan di perairan indonesia pada
tahun 2016 adalah sebesar 19.642.438 ton/tahun dengan potensi tertinggi terdapat di WPP 718
sebesar 2.637.565 ton/tahun (13,4%) dan potensi terendah sebesar 425444 ton/tahun (2,2%) di
WPP 571. Tingginya potensi sumber daya ikan di WPP 718 tersebut berkaitan dengan tingkat
kesuburan perairan di wilayah Laut Arafuru yang berhubungan dengan Laut Banda serta Laut
Timor yang memungkin terjadinya mixing antara air tawar dari Papua dan Arafuru[6].
Dalam upaya mencapai pemanfaatan optimal dan berkelanjutan, maka perlu dilakukan adanya
evaluasi terhadap perbandingan tingkat pemanfaatan sumber daya ikan di masing-masing
wilayah. Gambar 1 menunjukkan adanya perbandingan tingkat pemanfaatan sumber daya ikan
pada tahun 2013 dan 2016. Perbandingan kondisi tingkat pemanfaatan ini detentukan
berdasarkan nilai Jumlah Tangkapan yang Diperbolehkan (JTB) dan potensi ikan laut. Tingkat
pemanfaatan secara keseluruhan diindikasikan warna dalam peta, warna merah yaitu
mengindikasikan status overfishing, warna kuning yaitu kondisi fully-exploited, dan indikator
warna hijau menunjukan kondisi moderate. Dari perubahan warna pada tahun 2013 dan 2016
maka terlihat bahwa telah terjadi perubahan status stok baik itu membaik maupun memburuk
pada masing-masing sumberdaya di masing-masing WPP. Kondisi perubahan stasus stok
sumberdaya dari tahun 2013 dan 2016 dapat dilihat pada Tabel 4 dan Gambar 3. Status stok
kepiting bakau dan rajungan tidak diketahui karena tidak tersedianya data pada tahun 2013.
Berdasarkan data tersebut hanya di WPP 715 yang tidak ada peningkatan dan hanya ada
penurunan sumberdaya. Sementara di WPP 571, 572, 716 dan 718 terjadi peningkatan dan
tidak ada penurunan sumberdaya.
Tabel 4. Perubahan Status Stock Sumberdaya Tahun 2013 – 2016.
Jenis Sumberdaya
WPP
571 572 573 711 712 713 714 715 716 717 718
Ikan pelagis kecil baik
baik turun baik turun baik baik baik
Ikan pelagis besar
baik
turun baik
Ikan demersal
baik baik
baik turun
Ikan karang baik
baik baik baik baik
baik
Lobster
turun turun
turun turun
baik
Cumi-cumi turun turun turun
Gambar 3. Status WPP berdasarkan data tahun 2013 -2016.
Selain potensi perikanan tangkap, pemerintah juga mencanangkan target potensi dan
pemanfaatan berbasis marikultur di masing-masing WPP (Gambar 2) yang didasarkan pada
landasan hukum WPP diantaranya UU No. 45/2009 tentang Perubahan UU No.31/2004 tentang
perikanan, Perpres No 18/2020 tentang RPJMN 2020-2024, dan Permen KP No. 18/2014
tentang Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara RI[7,8]. Komoditas marikultur di masing-
masing WPP ini diantaranya WPP 571 berpotensi untuk budidaya ikan kakap dan kerapu; WPP
572 yaitu lobster, kakap, dan kaerapu; WPP 573 dan 711 berpotensi untuk budidaya lobster,
kakap, kerapu, bawal bintang dan rumput laut; potensi budidaya WPP 715, 717, 714 yaitu
lobster, kerapu, kakap, kekerangan, dan rumput laut; WPP 712 yaitu budidaya ikan bawal
bintang, kerapu, kakap, dan kekerangan; komoditas WPP 716 dan 718 yaitu lobster, kerapu,
kakap, dan rumput laut; sedangkan komoditas marikultur di WPP 713 yaitu kekerangan,
kerapu, kakap, bawal bintang, dan rumput laut.
Secara keseluruhan, Perairan Indonesia memiliki potensi luas wilayah yang dapat dijadikan
sebagai marikultur sebesar 12.401.270 Ha, dengan luasan terbesar yaitu 3.295.302 Ha di WPP
711 (26,6%) dan terendah yaitu 158.188 Ha di WPP 717 (1,3%). Sedangkan, total wilayah
pemanfaatan wilayah marikultur di Perairan Indonesia yaitu sebanyak 418.749 Ha, dengan luas
pemanfaatan terbesar yaitu di WPP 713 (13,2%) yang memiliki besar estimasi target produksi
pada tahun 2024 sebesar 5.078.000 ton, dan terendah yaitu di WPP 571 (0,04%) dengan besar
target produksi pada tahun 2024 mencapai 5000 ton.
Gambar 2. Potensi dan Pemanfaatan Marikultur Berbasis Wilayah Pengelolaan Perikanan
(WPP). Sumber: Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, Kementrian Kelautan dan
Perikanan
Tantangan pengelolaan perikanan di Indonesia
Seiring dengan besarnya potensi sumber daya ikan baik perikanan tangkap dan budidaya yang
tercermin pada setiap WPP, Indonesia dihadapkan dengan berbagai tantangan dalam
pemanfaatan dan pengelolaan. Berdasarkan data yang diperoleh dari tahun 2013 – 2016,
aktivitas perikanan di Indonesia faktanya belum menunjukan kinerja yang optimal, baik di
bidang perikanan tangkap maupun budidaya. Hambatan terbesar optimalisasi sumber daya ikan
ada pada perikanan budidaya.
a. Perikanan Tangkap
Secara garis besar, tantangan utama pada perikanan tangkap meliputi kriminalitas kelautan,
batas maritim serta pengelolaan industrinya. Aktivitas IUU (illegal, unreported, unregulated)
fishing menjadi isu prioritas revitalisasi perikanan tangkap yang perlu mendapat perhatian
lebih. Permasalahan lain yaitu penggunaan alat penangkapan ikan yang dapat merusak habitat
ikan serta ekosistem laut. Lemahnya sistem pengawasan pemanfaatan sumber daya ikan ini
menyebabkan aktivitas ilegal terus terjadi. Praktik ilegal ini telah menyebabkan negara merugi
sebesar USD 20 miliar per tahun. Tak hanya itu, Presiden Joko Widodo mengungkapkan bahwa
akibat aktivitas ilegal ini, sekitar 65% terumbu karang di Indonesia pun terancam
kelestariannya.
Sengketa yang sering terjadi di zona tangkapan ikan juga menghambat pemanfaatan potensi
perikanan tangkap. Sebagai contoh, nelayan di wilayah perbatasan masih sering melintas batas
negara karena ketidaktahuan. Illegal fishing masih marak terjadi dimana kapal ikan asing
mayoritas berasal dari Vietnam, Malaysia, dan Filipina. Hal ini disebabkan oleh pengawasan
sumber daya kelautan dan perikanan (SDKP) yang belum maksimal.
Kebijakan pengawasan sumber daya kelautan dan perikanan diarahkan untuk meningkatkan
kapasitas dan kapabilitas pengawasan sumber daya kelautan dan perikanan dalam rangka
mewujudkan Indonesia bebas illegal fishing dan kegiatan yang merusak sumber daya kelautan
dan perikanan. Pada praktiknya, belum semua Provinsi hingga tingkat kabupaten/kota mampu
melaksanakan mandat pengawasan SDKP. Belum adanya kelembagaan khusus yang
menangani pengawasan karena keterbatasan SDM, sarana prasarana, dan anggaran.
Penguatan pengelolaan perikanan berbasis WPP juga belum efektif. Pengelolaan SDI berbasis
WPP adalah pengelolaan hulu-hilir secara terintegrasi dan berbasis kewilayahan (spasial) yang
melibatkan multi stakeholders dan multisektor untuk mewujudkan keseluruhan aspek dari
pembangunan perikanan dengan akelerasi yang lebih cepat. Lembaga Pengelolaan Perikanan-
WPP sudah disusun, namun belum optimal serta memerlukan peninjauan kembali konsep
kelembagaan dan operasionalnya. Tantangan yang dihadapi dalam pengelolaan WPP ini antara
lain: 1) Saat ini praktik pengelolaan perikanan masih dilakukan secara terpusat: baik dari segi
regulasi, kelembagaan maupun investasinya, 2) Terkendala implementasi UU 23/2014 (tentang
pemerintah daerah) yang memberikan kewenangan kepada provinsi untuk mengelola laut, 3)
Kurangnya data WPP untuk menentukan arah kebijakan. Saat ini WPP hanya sebagai basis
perhitungan stok, tidak sebagai basis perhitungan fishing effort, 4) Pemanfaatan hasil litbang
untuk perikanan kurang optimal hanya berkutat dikalangan peneliti.
b. Perikanan Budidaya
Tantangan juga hadir dalam sektor perikanan budidaya. Dalam bidang ini, total produksi
perikanan mengalami penurunan rata – rata sebesar 3,07% per tahun (Gambar 3a). Nilai
produksi perikanan budidaya laut cenderung fluktuatif. Tahun 2015 yang mencapai 11367000
ton, kemudian terus mengalami penurunan dari tahun ke tahun, hingga tahun 2019 total
produksi hanya mencapai 10033000 ton, atau turun sekitar 11,73% sejak tahun 2016. Hal ini
dipengaruhi oleh penurunan volume produksi dan harga jual komoditas. Salah satu tantangan
pengembangan marikultur adalah pemanfaatan dan alokasi lahan marikultur yang masih belum
optimal, serta belum adanya perencanaan spasial yang komprehensif dalam usaha budidaya
marikultur.
a. b.
Gambar 3. Produksi perikanan budidaya laut (a) dan jumlah rumah tangga perikanan (b) di
Indonesia periode 2015-2019.
Sumber: Dirjen Perikanan Budidaya Kementerian Kelautan dan Perikanan
Jumlah rumah tangga perikanan (RTP) pembudidaya laut juga mengalami penurunan periode
2015 – 2019. Pada tahun 2015, tercatat RTP sebanyak 168163 unit. Kemudian pada tahun
2016, terjadi sedikit penurunan sejumlah 0,28%. Jumlah RTP sempat mengalami kenaikan
pada tahun 2017, dengan total RTP 192344 unit, namun pada tahun 2018, total RTP turun
cukup drastis hingga hanya mencapai 163459 ton. Pada tahun 2019, kembali terjadi penurunan
total RTP menjadi 137925 unit, yang juga merupakan jumlah terendah RTP dalam kurun 5
tahun terakhir. Hal ini diakibatkan karena adanya alih fungsi lahan budidaya marikultur
menjadi fungsi lain seperti pariwisata dan konservasi. Pengelolaan marikultur juga tidak
memiliki dukungan infrastruktur yang memadai. Selain itu, aksesibilitas dan ketersediaan
infrastruktur pendukung di kawasan budidaya laut seperti jalan produksi, pasokan listrik dan
air tawar, dan unit pengolah ikan saat ini belum memadai.
Penyediaan input produksi juga menjadi tantangan bagi pelaku usaha marikultur. Konektivitas
sistem logistik input produksi belum efisien yang menyebabkan mahalnya biaya produksi dan
rendahnya tingkat produktivitas. Lokasi produksi yang terfragmentasi dan efisiensi sistem
logistik ikan perlu diwujudkan. Di sisi lain, ketersediaan induk unggul, benih bermutu, dan
pakan yang terbatas untuk budidaya ikan laut yang selama ini masih berorientasi dari alam.
Terbatasnya kesediaan benih dan penurunan harga jual produksi juga menjadi penyebab
turunnya minat pelaku usaha budidaya laut.
Sumber daya manusia juga menjadi faktor penting dalam usaha budidaya laut. Kompetensi
sumber daya manusia pembudidaya ikan/rumput laut masih rendah dan belum siap untuk
adaptif terhadap peningkatan teknologi. Selain itu, kelembagaan pembudidaya ikan juga belum
terkelola dengan baik. Sebagai contoh, kelompok pembudidaya ikan (Pokdakan) masih banyak
yang tidak berbadan hukum. Keterbatasan akses permodalan juga menjadi tantangan serius,
mengingat sektor marikultur ini memerlukan modal yang besar, sehingga akses permodalan
bagi pelaku usaha kelautan dan perikanan ini perlu diperluas dan dipermudah dalam
perolehannya.
Dalam bidang manajemen penyakit dan daya dukung lingkungan, tantangan yang dihadapi
antara lain yaitu manajemen pengendalian penyakit dan monitoring residu yang belum optimal,
penurunan daya dukung lingkungan terutama pada keramba jaring apung dengan padat tebar
tinggi, limbah rumah tangga dan industri yang mencemari lingkungan laut serta ancaman
climate change.
Keterbatasan akses pasar juga menjadi tantangan dalam bidang budidaya ikan. Persyaratan
pasar ekspor semakin ketat, antara lain bebas residu, antibiotik, bakteria, ketelusuran,
berstandar, dan tersertifikasi. Selain itu, permintaan produk budidaya ikan laut sebagian besar
dalam kondisi hidup/fresh. Tidak hanya akses terhadap potensi pasar global, mutu produk
olahan perikanan skala usaha mikro kecil dan menengah juga masih perlu ditingkatkan agar
dapat memenuhi standar internasional. Sehingga akses pasar usaha mikro kecil dan menengah
tidak hanya terbatas ke market lokal saja
Rekomendasi
1. Perikanan tangkap
Kondisi WPP saat ini adalah fully dan overexploited, oleh karena itu usaha konservasi
dibutuhkan untuk menjaga keberlanjutan terutama spawning dan nursery ground ikan ekonomis
penting dan peningkatan ukuran ikan. Untuk itu, diperlukan komponen konservasi seperti 1)
regulasi penetapan kawasan konservasi yang tepat melalui mekanisme marine spatial planning;
2) pengawasan terhadap illegal fishing berupa penjagaan terhadap batas wilayah, memberikan
sanksi penangkapan ikan tanpa ijin dan melarang tegas tata cara penangkapan yang tidak ramah
lingkungan; 3) pendataan alat tangkap dan hasil tangkapan agar selalu terpantau kondisi
kelimpahan dan keanekaragaman hayatinya; 4) pemberdayaan ekonomi masyarakat di
sekitar kawasan konservasi, dibarengi dengan edukasi sehingga memberikan
kesadaran masyarakat bahwa ekosistem yang terjaga baik meningkatkan hasil tangkapan ikan.
Dalam rangka membangun industri kawasan di pulau pulau terluar dan perbatasan, serta
mendekatkan dengan gateway ekspor, perlu dilakukan penguatan pelabuhan perikanan, sarana
dan prasarana yang mendukung termasuk didalamnya sentra kelautan dan perikanan terpadu.
Untuk mendukung tujuan diatas perlu dilakukan dukungan multisektor dari semua berbagai
elemen baik swasta maupun pemerintah. Sebagai contoh dukungan pasokan listrik dan air
tawar yang memadai, jasa perbankan, pelabuhan skala nasional dan internasional, kapasitas
pengangkutan ikan, jaringan telekomunikasi serta fasilitas pemukiman. Selain itu, optimalisasi
sumberdaya manusia lokal berserta mutu kualitasnya juga perlu diperhatikan.
Penguatan lembaga pengelolaan perikanan berbasis WPP dan satgas WPP termasuk
didalamnya dasar hukum dan level kewenangan. Lembaga ini berfungsi menjembatani saluran
komunikasi dalam rangka mengimplementasikan kebijakan dari level nasional ke masing-
masing WPP. Dalam tataran teknis, level nasional memberikan kebijakan arah tindakan
pengelolaan dan implementasi rencana pengelolaan perikanan yang spesifik di masing-masing
WPP melalui berbagai bentuk koordinasi seperti kelompok kerja, panel ilmiah, panel
konsultatif, dan komisi pengelola. Hal lain yang diperlukan adalah koordinasi yang jelas sesuai
dengan tugas dan fungsi masing-masing, melibatkan unsur ilmiah (peneliti dan pakar) dalam
panel ilmiah, serta pelibatan pemangku kepentingan masyarakat perikanan dalam panel
konsultatif. Adapun tujuan akhir dari Lembaga pengelolaan perikanan WPP yaitu menjaga
sumber daya ikan yang berkelanjutan.
Optimalisasi pemanfaatan SDI pada wilayah ZEE dan laut lepas melalui alokasi dan
pemanfaatan kuota. Indonesia bisa memanfaatkan peluang penangkapan ikan tuna melalui
keanggotan Indian Ocean tuna Commision (WPP NRI: 571,572 dan 573), Commission for the
Conservation Bluefin Tuna dan Western Central Pacific Fisheries Commission (WPP-NRI:
716 dan 717) dan archipelagic Tuna (WPP-NRI: 713,714, dan 715). Hal-hal yang terkait
dengan peluang kedepan seperti peningkatan landed tuna product dalam bentuk fresh yang
siap dieskpor, percepatan penyelesaian Fisheries Improvement program yang sedang berjalan
dalam rangka proses mendapatkan sertifikasi MSC Eco-Label untuk komoditas tuna serta
replikasi program sertifikasi produk FAIR TRADE, khususnya untuk peningkatanan nilai
produk hasil tangkapan nelayan skala kecil (<30GT).
Selain rekomendasi diatas, mengutip dua inti strategi dalam penanganan IUU Fishing di
wilayah WPP khususnya diwilayah WPP 711, WPP 716, WPP 717, dan WPP 718 yang
disampaikan oleh Ibu Susi Pudjiastuti Menteri Kelautan dan Perikanan 2014-2019 beserta
pembicara lainnya dalam sebuah acara Webinar yang diselenggarakan pada 12 juni 2020 dalam
upaya pengamanan wilayah laut rawan yaitu “political will” dan “political action”. Sedangkan
langkah-langkah yang diprioritaskan diantaranya: 1) perbaikan infrastruktur; 2) patrol secara
rutin; 3) penguasaan wilayah ZEE dan mengenali kehadiran nelayan Indonesia; 4) pemberian
beberapa pembekalan kepada nelayan Indonesia seperti pengetahuan, teknologi, bantuan kapal
dengan teknologi yang memadai, dan sikap bela negara; serta 5) pengerahan pengetahuan
nelayan baik lokal maupun luar terhadap jumlah tangkapan yang diperbolehkan dan
penggunaan alat tangkap yang ramah lingkungan.
2. Perikanan budidaya
Dalam rangka tata kelola sumberdaya ikan perairan darat dengan pendekatan eksosistem, perlu
disusun rencana pengelolaan perikanan di wilayah pengelolaan perikanan khususnya di
perairan darat baik jangka pendek maupun panjang. Perlu dilakukan perbaikan pendataan dan
profil sumber daya ikan perairan darat dan dilakukan pemetaan kembali wilayah-wilyah yang
berpotensi untuk dibangkitkan produksinya melalui pendekatan ekosistem disetiap WPP.
Penyusunan panduan-panduan teknis pemanfaatan potensi perairan darat secara terintegrasi
melibatkan kemitraan terkait.
Penyusunan pedoman penatakeloaan SDI dengan pendekatan ekosistem yang optimal dan
berkelanjutan dapat dilakukan melalui pembentukan kelembaagan peningkatan pengelolaan
SDI perairan darat. Operasionalisasi tempat pendaratan ikan (TPI) perairan darat yang sudah
dibangun. Saat ini, ada 14 WPP perairan darat dan baru tersedia 7 TPI perairan darat yang jauh
dari kata maksimal dibandingkan dengan jumlah luasan perikanan darat (54 juta Ha) dan
potensi yang mencapai 551.605 ton pada tahun 2019. Penguatan suaka perikanan serta
pemulihan SDI dan lingkungannya di perairan darat juga tidak dilupakan.
Integrasi spasial tiap WPP untuk pengembangan marikultur, yaitu pada bagian supply, demand,
dan integrasi lintas sektoral seperti pada gambar dibawah. Pengumpulan data kondisi setiap
WPP harus dilakukan sebelum dimulai pengembangan, sehingga diketahui komoditas
unggulan di tiap WPP. Intensifikasi teknologi dan akses pasar disesuaikan berdasarkan
komoditas unggulan tiap WPP. Insentif pembudidaya sangat penting agar bisnis dapat berlanjut
secara berkelanjutan, mekanisme ini sebaiknya melalui penguatan koperasi nelayan/perikanan.
Koperasi memungkinkan peran aktif masyarakat sebagai pengelola dimana keuntungan akan
diberikan secara adil kepada seluruh anggota koperasi.
Gambar 4. Konsepsi pembangunan marikultur berbasis WPP
Sumber: Dirjen Perikanan Budidaya Kementerian Kelautan dan Perikanan
DAFTAR PUSTAKA
[1] Badan Pusat Statistik 2020
[2] Sujiyanto. 2015. Strategi kebijkaan pengelolaan nelayan andon sebagai upaya pelestarian
sumberdaya ikan di kota Tegal. Buletin Ilmiah Marina Sosek KP, Vol.1. No. 1, 29-39.
http://dx.doi.org/10.15578/marina.v1i1.1025.
[3] Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 18/PERMEN-KP/2014 tentang wilayah
pengelolaan perikanan negara republik Indonesia.
[4] Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 50/PERMEN-KP/2017 tentang Estimasi potensi,
jumlah tangkapan yang diperbolehkan, dan tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan di wilayah
pengelolaan perikanan negara republik Indonesia.
[5] Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2020. KKP suarakan stok ikan Indonesia meningkat di HLP-
Canberra.https://news.kkp.go.id/index.php/kkp-suarakan-stok-ikan-indonesia-meningkat-di-
hlp-canberra/
[6] Naamin, N. 1984. Dinamika populasi udang jerbung (Penaeusmerguiensis deMan) di
perairanArafura dan alternatif pengelolaannya. Disertasi Doktor pada Fakultas Pasca Sarjana,
IPB Bogor: 381 hal.
[7] Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 18/2020 tentang rencana pembangunan Jangka
menengah nasional 2020-2024.
[8] Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 9/PERMEN-KP/2020 tentang wilayah
pengelolaan perikanan negara republik Indonesia di perairan darat.
TENTANG PENULIS
Farah Adrienne anggota Komisi Kelautan PPI Dunia 2019/2020 dan
mahasiswi Magister Hydraulic Engineering, Zheijang Univeristy,
Tiongkok
Faisal Hamzah anggota Komisi Kelautan PPI Dunia 2019/2020 adalah
mahasiswa doktoral Marine Chemistry, Xiamen University, Tiongkok.
Lusita Meilana sedan melanjutkan studi master di Xiamen University
mengambil jurusan Marine Affairs. Saat ini merupakan kandidat doktoral
di Xiamen University, Cina dengan fokus studi yaitu bidang Coastal and
Ocean Management.
Karina Aprilia Sujatmiko lahir di Bandung pada tanggal 24 April 1986.
Memperoleh gelar sarjana sains di program studi Oseanografi, fakultas
ilmu kebumian dan teknologi mineral, Institut teknologi bandung. Saat ini
menjadi kandidat doctoral di Fakultas Societal Safety Sciences, Kansai
University, Osaka, Jepang dengan focus studi mengenai bencana multi-
hazard seperti yang terjadi pada bencana di Palu, Sulawesi tahun 2018.
Membangun Ketahanan Pangan
Indonesia di tengah Pandemi COVID-
19 Komisi Pangan PPI Dunia, PPI Brief No. 13 / 2020
Penulis: Bayu Rizky Pratama
RINGKASAN EKSEKUTIF
• Pandemi COVID-19, efeknya akan sangat bervariasi terhadap berbagai sektor
perekonomian. Hasil kajian dari beberapa lembaga menyatakan bahwa sektor pertanian
akan terkena dampak dari adanya pandemi COVID-19. Hal ini terjadi karena adanya
pembatasan sosial sehingga terdapat resiko disrupsi rantai penawaran dan terpuruknya
permintaan.
• Sektor pertanian merupakan sektor penopang ketahanan pangan dan kebutuhan nutrisi
yang sangat krusial di saat krisis ekonomi global ketika terjadi pandemi. Namun, krisis
saat pandemi ini juga merupakan kesempatan untuk merevitalisasi sektor pertanian
secara keseluruhan.
• Pemerintah perlu menyiapkan langkah taktis yang fundamental, seperti memberikan
dukungan penuh terhadap industri pertanian dan pangan, memantau dan mengatur
harga serta distribusi hasil pertanian, membangun jaringan dengan lembaga terkait,
internasional agensi (NGO), dan komunitas lokal pertanian.
Pendahuluan
Sejak kemunculannya pertama kali di Wuhan pada tanggal 31 Desember 2019, pandemi
COVID-19 kini sudah menjadi masalah global yang mempengaruhi kehidupan manusia dan
semua komponennya. Dari kejadian pandemi di masa lalu telah menunjukkan bahwa wabah
virus dapat berdampak pada aktivitas manusia dan pertumbuhan ekonomi. Efek dari pandemi
tersebut juga berdampak pada sektor pertanian, dimana ketika terjadi wabah menular seperti
pandemi COVID-19 terjadi peningkatan kelaparan dan kekurangan gizi. Situasi ini semakin
memburuk akibat adanya pembatasan sosial, kekurangan tenaga kerja pada sektor pertanian
dan sulitnya petani menjual hasil mereka ke pasar.
Pertanian adalah salah satu sektor terpenting dalam pembangunan manusia dan terkait dengan
ketahanan pangan dan kebutuhan nutrisi. Organisasi pangan dan pertanian dunia (WHO)
menyatakan bahwa pandemi COVID-19 mempengaruhi sektor pertanian dalam dua aspek
penting, yaitu rantai pasokan dan permintaan pangan. Kedua aspek ini terkait langsung dengan
ketahanan pangan dan kebutuhan nutrisi masyarakat, sehingga pandemi COVID-19 secara
langsung berdampak terhadap ketahanan pangan.
Produksi dan Konsumsi di Sektor Pangan
Peran petani pada masa pandemi COVID-19 saat ini sangatlah penting. Petani merupakan
produsen utama dalam rantai pasok makanan yang harus mendapatkan perhatian. Pada masa
pandemi COVID-19 seluruh negara di dunia berusaha memenuhi kebutuhan pangan
domestiknya sendiri karena jalur perdagangan internasional terganggu semenjak wabah
COVID-19 menyebar luas. Produksi dalam negeri dapat menjadi tumpuan utama dalam
menghadapi wabah COVID-19, termasuk Indonesia. Kebutuhan produksi pertanian seperti alat
mesin, suplai benih dan pupuk, serta faktor pendukung produksi lainnya perlu mendapatkan
perhatian khusus dari pemerintah.
Diperlukan perencanaan yang signifikan untuk membuat kebijakan yang mendukung
terjadinya peningkatan produksi pertanian. Perlu kita ingat bahwa mayoritas petani di
Indonesia adalah petani kecil dengan kepemilikan lahan dibawah 1 hektar. Perhatian dan
bantuan dari pemerintah diperlukan untuk meningkatkan kapasitas kinerja produksi para petani
sehingga ketersediaan pangan dapat tercukupi. Selain itu juga diperlukan kebijakan yang
mengatur protokol produksi pertanian yang dapat melindungi petani dari wabah COVID-19
sehingga kualitas dan keamanan pangan terbebas dari COVID-19.
Perlu adanya pengawasan yang dilakukan oleh Kementerian Pertanian dan lembaga terkait
untuk memastikan proses produksi berjalan dengan baik menggunakan protokol produksi yang
menjaga kualitas dan keamanan pangan.
Tingkat Kerawanan Ketahanan Pangan Indonesia
Kebutuhan konsumsi pangan dunia tentu dengan mengalami guncangan setelah adanya
pandemi yang menghantam sangat cepat. Tentu perlu respon cepat dalam menanggapi
perubahan drastis akibat pandemi COVID-19 ini, terlebih dengan adanya resiko kerawanan
pangan dunia, termasuk yang juga berimbas ke Indonesia.
Dengan adanya pandemi, struktur distribusi pangan secara otomatis akan banyak mengalami
perubahan, dengan kebutuhan konsumsi yang diprediksi akan tetap sama. Penyaluran produksi
pangan tidak akan berjalan dengan normal, terlebih dengan banyaknya pembatasan sosial
berskala besar (PSBB) yang dilakukan dari beberapa daerah di Indonesia. Pemerintah, baik
pusat maupun daerah perlu memperhatikan dampak dari adanya banyak pembatasan sosial
(PSBB) seperti ini, karena secara langsung akan berdampak pada tingkat distribusi arus produk
pertanian, sedangkan dalam jangka waktu menengah dan panjang, akan menimbulkan krisis
pangan apabila tidak ditangani secara cepat dan tepat.
Salah satu komoditas pangan utama yang mengalami dampak hebat di awal pandemi adalah
daging ayam dengan adanya penurunan harga yang sangat jauh di bawah harga pokok produksi
(HPP) ternak ayam. Sejak awal pandemi, April 2020, peternak ayam mulai mengalami tingkat
kejatuhan harga ayam hingga level 4000-5000 rupiah/ kg daging ayam, padahal HPP produksi
adalah sekitar 17.000 rupiah (cnnindonesia.com, 2020). Padahal harga di tingkat konsumen
masih pada kisaran 30.000 rupiah. Kg (kompas.com, 2020). Hal ini bisa terjadi akibat dari tidak
lancarnya jalur distribusi produk pertanian Indonesia, yang menuntut masyarakat untuk tidak
dapat mengakses sentra-sentra penjualan produk pertanian, seperti pasar, mall, dan tempat
perbelanjaan produk pertanian. Oleh karena itu, secara otomatis pengusaha pasar akan
mengurangi stok ayam secara drastis, sedangkan di sisi lain, produksi peternak ayam nasional
dalam jumlah yang tetap, sehingga menimbulkan cut-off supply besar-besaran dari peternak
ayam.
Hal ini tentu akan menimbulkan guncangan bahan pangan utama masyarakat dalam jangka
pendek, yang diakibatkan karena arus modal peternak yang tidak akan cukup untuk memulai
kembali putaran budidaya selanjutnya. Finance detik (2020) mencatat apabila kondisi ini terus
berlanjut, maka akan terdapat 12 juta karyawan peternak akan mengalami PHK secara besar-
besaran akibat dari bangkrutnya peternak ayam rakyat di Indonesia.
Dari satu komoditas pangan utama ayam ini, seharusnya pemerintah dapat mengantisipasi lebih
jauh mengenai cara penyaluran bahan pangan nasional, di sisi lain pemerintah juga harus
waspada jumlah stok pangan utama konsumsi masyarakat, terutama berkaitan dengan
komoditas utama lainnya yang jauh lebih dibutuhkan sebagai bahan pokok konsumsi
Indonesia.
Beberapa komoditas lainnya yang juga dikhawatirkan mengalami kerawanan adalah komoditas
beras nasional. Kekhawatiran ini timbul karena komoditas beras nasional Indonesia memiliki
kebutuhan pasar yang begitu besar, sedangkan dari sisi produksi Indonesia masih memiliki
kecenderungan import beras. Berbeda dengan komoditas ayam yang memiliki kecenderungan
produksi stabil, dengan dukungan peternak rakyat dan peternak perusahaan besar hasil dari
foreign direct invesment (FDI), sehigga tingkat produksi masih bisa memenuhi kebutuhan
konsumsi domestik.
Data BPS menyebutkan bahwa sebelum memasuki pandemi COVID-19, Indonesia sudah
mengalami penurunan produksi padi nasional, dari 2018 ke 2019, produksi padi telah
mengalami penurunan cukup signifikan. Berikut disajikan data nasional produksi padi
nasional.
Gambar 1 Produksi beras nasional
Sumber: BPS (2020)
Gambar 1 (Continued)
Sumber: BPS (2020)
Berdasarkan data tersebut, penurunan lebih disebabkan karena adanya (1) degradasi lahan
produksi pertanian dan (2) berkurangnya produktivitas per produksi padi nasional. Hal tersebut
memberikan alarm bagi pemerintah bahkan sebelum terjadinya pandemi COVID-19, terlebih
dari data tersebut, beberepa daerah produsen utama padi nasional yakni (1) Jawa Tengah
dengan total produksi 9, 655 juta ton padi, (2) Jawa Timur dengan 9,580 juta ton, (3) Jawa
Barat dengan produksi 9,084 juta ton, dan (4) Sulawesi Selatan dengan total produksi padi
mencapai 5,054 juta ton. Daerah-daerah sentra produksi padi nasional ini merupakan daerah
yang termasuk tingkat penyebaran COVID-19 tertinggi di Indonesia, yang mana banyak sekali
diberlakukan PSBB secara berulang, belum lagi resiko petani-petani pangan utama di daerah
tersebut yang terserang COVID-19 akibat dari interkasi intens petani dengan multi aktor
pertanian seperti, supplier pupuk, tengkulak, dan penyedia saprotan pertanian. Terlebih lagi
adanya fakta bahwa kebanyakan petani Indonesia adalah petani yang sudah memasuki usia
non-produktif / tua, yang tentu sangat rawan sekali untuk terjangkit COVID-19.
Waspada Kemacetan Saluran Distribusi Produksi dan Input Factor
Pertanian
Dengn adanya data yang telah disebutkan, menjadikan pertanian Indonesia di ambang alarm
kerawanan yang perlu benar-benar diawasi secara intensif oleh pemerintah, baik pusat maupun
daerah. Saluran distribusi mulai dari input pertanian hingga output hasil produksi menjadi
faktor yang perlu difasilitasi oleh pemerintah. Satu saja input yang tersendat akibat dari PSBB
atau pembatasan lainnya, akan menimbulkan guncangan produksi secara masif.
Sebagai catatan, petani saat ini sangat bergantung kepada input pertanian seperti pupuk dan
pestisida dalam menjalankan produksi pertanian. Sehingga, apabila input pertanian ini tidak
dapat tersedia dengan baik, mulai dari kuantitas ataupun kecepatan penyaluran, otomatis akan
sangat menghambat produksi pertanian, terutama tanaman pangan utama termasuk padi.
Saat ini, dalam mencukupi kebutuhan pupuk nasional, pertanian Indonesia bergantung pada
produksi pupuk dari PT Pupuk Indonesia yang merupakan holding company dari produsen
pupuk nasional. Selain itu, ketersediaan pupuk nasional juga di supply dari skema impor,
berikut data impor pupuk Indonesia selama beberapa tahun (BPS, 2020).
Gambar 2 Impor pupuk menurut negara asal
Sumber: BPS (2020)
Berdasarkan data tersebut, supplier pupuk nasional masih bergantung kepada China sebagai
importir terbesar pupuk yang masuk ke dalam negeri. Hal ini patut menjadi kewaspadaan
pemerintah, bagaiamana skema pemenuhan kebutuhan pupuk nasional, terlebih dengan adanya
pembatasan arus barang masuk ke dalam negeri terutama yang berasal dari China. Di sisi lain,
China pun telah memberlakukan skema lockdown ketat guna mengurangi kasus COVID-19
yang terjadi, yang tentunya memiliki konsekuensi adanya shift work atau bahkan factory
lockdown, sehingga total produksi pupuk tentu akan sangat berpengaruh.
Politik Perdagangan Komoditas Jadi Ancaman Krisis Pangan Indonesia
Adanya kasus COVID-19 yang menjangkit hampir seluruh negara di dunia mengakibatkan
banyak negara telah melakukan lockdown sangat ketat sebagai proteksi kesehatan dalam negeri
masing-masing negara. Dengan mengutamakan kebutuhan dalam negeri masing-masing
negara, tentu otomatis akan membangkitkan alarm masing-masing negara untuk
memprioritaskan kebutuhan domestik, mulai dari proteksi kesehatan, keamanan pangan,
hingga safety net sosial dan ekonomi.
Dengan kondisi seperti ini, maka akan berimbas pada perubahan drastis politik dagang masing-
masing negara. Keyakinan untuk mengamankan kebutuhan domestik akan membuat negara
tidak lagi memprioritaskan pemulihan hasil ekspor, melainkan bagaimana melindungi stock
dan kebutuhan dasar masing-masing negara, termasuk diantaranya adalah keamanan pangan.
Oleh karena itu, hal inilah yang dikhawatirkan oleh sejumlah negara di dunia, terutama negara
yang bergantung pada import komoditas pangan.
Untuk kawasan dunia, Rusia, Kazakhstan, dan Ukraina telah mengumumkan pembatasan
ekspor gandum (indopremier.com), padahal negara-negara ini adalah sebagai pengekspor
utama gandum untuk kawasan eropa. Sedangkan untuk wilayan Asia, kekhawatiran timbul
dengan adanya penangguhan kebijakan ekspor dari Vietnam selaku salah satu penyuplai beras
terbesar dunia, utamanya untuk kawasan Asia, dengan alasan untuk melindungi pasokan dalam
negeri di tengah kekeringan yang mengancam produksi domestik. Sementara produsen beras
terbesar dunia, yakni China dan India, sedang mengalami masalah besar kasus COVID-19 yang
merebak sangat massive sehingga otomatis akan sangat mempengaruhi jumlah produksi beras.
Terlebih China dengan kebutuhan konsumsi untuk 1.4 milyar warga negaranya, maka China
telah merilis komitmen untuk tidak akan banyak melakukan impor ataupun ekspor, tetapi ingin
memastikan akan dapat menjaga cadangan berasnya, hingga dapat kembali memulihkan
kondisi ekonomi domestiknya setelah ganguan COVID-19.
Disisi lain, ada hal yang perlu diwaspadai dari perubahan politik dagang komoditas pangan ini.
Dengan adanya kenaikan permintaan kebutuhan pangan dunia, tentu akan membentuk harga
pangan dunia menjadi naik. Apabila tidak dikontrol dengan waspada maka hal ini akan kembali
menjadikan harga pangan – dalam hal ini beras—akan menjadi sangat tidak stabil sama seperti
krisis 2008 ketika harga per ton beras mencapai USD1000/ton. Untuk saat ini, harga beras
mencapai USD510 per ton yang diukur dari harga jual beras putih Thailand sebagai patokan
ekspor Asia. Harga ini merupakan harga tertinggi sejak 2013, yang mencerminkan bahwa
pangan mulai menjadi urgensi masing-masing negara, sehingga meningkatkan harga secara
perlahan akibat dari peningkatan demand yang mulai mendesak. Hal itu belum lagi berbicara
mengenai politik dagang khusus yang bisa saja dilakukan negara-negara peng-import utama
pangan, beras, seperti Philipina telah mengalokasikan lebih dari USD600 juta untuk
mengamankan kebutuhan domestiknya dengan membeli 300.000 ton beras dari negara-negara
produsen utama.
FAO menyebut bahwa negara-negara akan menjual kelimpahan stok berasnya dengan sangat
berhati-hati. Semua negara hanya ingin memastikan bahwa mereka memiliki cukup persediaan
pangan untuk diri mereka sendiri, demi keamanan pangan domestik (indopremier.com, 2020).
Dengan berbagai hal tersebut, politik dagang Indonesia harus segera merespon dengan cepat,
apakah ketersediaan dalam negeri akan mampu memenuhi kebutuhan nasional, tidak hanya
dalam jangka pendek 3-6 bulan, melainkan stok kecukupan beras untuk kurun waktu jangka
menengah 1-2 tahun. Hal ini perlu dilakukan, mengingat kasus COVID-19 yang terjadi di
Indonesia belum menunjukkan tanda-tanda perlambatan dan bahkan masih stabil di angka
ratusan per harinya. Sehingga masih akan menghambat produksi dan distribusi komoditas-
komoditas penting nasional.
Stok Beras Nasional, Kerawanan Musim Kering Panjang, dan Panic
Buying
Keterjaminan stok beras nasional menjadi urgensi utama dalam isu kerawanan pangan dunia.
Oleh sebab itu, pemerintah melakukan berbagai langkah pencegahan agar dapat mengantisipasi
kekurangan pangan domestik. Saat ini, stok beras nasional dikatakan aman, dengan jumlah
cadangan beras pemerintah (CBP) berada dikisaran 1-1.5 juta ton (indonesia.go.id, 2020).
Dısisi lain, BULOG juga mengklaim bahwa mereka telah memiliki cadangan beras sebesar 1.6
juta ton, yang menjamin kemaman beras nasional selama masa penanganan COVID-19
(pasardana.id, 2020).
Namun, yang jadi persoalan adalah memasuki musim kering, tentu akan banyak kendala yang
dapat menghambat produksi beras nasional, sedangkan disisi lain permintaan beras akan
semakin meningkat, belum lagi apabila terjadi panic buying akibat adanya Gelombang II
COVID-19 dengan kasus meninggal yang melonjak drastis. Tentu hal ini sangat tidak
diharapkan, namun, merujuk dari banyak kasus di negara dunia, seperti China dan kawasan
lainnya, maka gelombang II COVID-19 ini harus benar-benar menjadi perhatian serius bagi
pemerintah Indonesia, terlebih dengan lamanya penanganan COVID-19 saat ini.
Panic buying disini tidak bisa dikesampingkan dan hanya menjadi variable minor, karena
justru inilah yang menjadi tanda bahwa keamanan socio-economy dalam keadaan stabil atau
tidak. Kejadian rush money 1998, dan pembelian masker secara massive pada awal terjadinya
pandemi COVID-19 ini menjadi salah satu contohnya, bagaimana panic buying menjadikan
stok langka dan harga meningkat secara luar biasa. Maka dari itu, antisipasi awal dari
pemerintah mengenai penyediaan stok beras nasional sebagai bagian dari keterjaminan
keamanan pangan menjadi prioritas untuk mengantisipasi terjadinya panic buying jilid II yang
tentunya akan benar-benar mengancam ketahanan pangan nasional dengan ketersediaan dan
penyaluran yang tidak dapat dijamin.
Pemerintah juga harus benar-benar mengantisipasi ancaman musim kemarau panjang yang
akan mulai berlangsung setelah bulan Juli 2020. Berdasarkan prediksi dari BMKG, 30%
wilayah-wilayah yang masuk zona musim ke depan akan mengalami kemarau yang lebih
kering dari biasanya. Oleh sebab itu, antisipasi, mitigasi harus betul-betul disiapkan sehingga
ketersediaan dan stabilitas harga bahan pangan tidak terganggu (finance.detik.com, 2020). The
Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) menyebutkan bahwa
kekeringan akan sangat mengancam musim panen kedua di tahun 2020 ini. Apabila kekeringan
mulai terjadi, maka defisit beras nasional tidak hanya akan terjadi pada Oktober, November,
dan Desember, bahkan akan terjadi pula mulai Agustus, September yang menyebabkan
produksi bisa minus (finance.detik.com, 2020). INDEF menanmbahkan bahwa negara-negara
pengekspor beras dunia, seperti Vietnam, Thailand, dan India telah mendeklarasikan bahwa
mereka tidak akan mengekspor berasnya selama musim pandemi ini. Lebih jauh, apabila
produksi nasional hanya 1.6 juta ton, dengan konsumsi nasional mencapai 2.5 juta ton, maka
ada gap yang besar sekitar 700 ribu ton per bulan.
Dari fakta tersebut, produksi beras nasional benar-benar harus menjadi isu penting, menginat
Indonesia saat ini tidak dapat menggantungkan diri pada skema impor beras internasional.
Sehingga, mau tidak mau, pemerintah harus menyiapkan skenario penting dalam menjaga
keterjaminan stok pangan nasional, terutama selama masa pandemi di Indonesia yang masih
akan terus berlangsung, sebelum ditemukannya vaksin khusus COVID-19.
Solusi Jangka Pendek Keamanan Pangan Nasional: Keterjaminan Input
dan Mitigasi Musim Kemarau
Musim kering adalah kendala utama pangan nasional, mengingat produksi akan benar-benar
terbatas, terutama memasuki bulan Agustus dimana musim tanah sudah akan beralih ke
komoditas selain beras yang biasanya ditanam pada musim tanam I selama Januari hingga Mei,
musim hujan. Dengan ketidakpastian sampai berapa lama masa pandemi COVID-19 ini akan
berakhir, ditambah dengan respon negara-negara produsen beras dunia yang menutup keran
ekspor mereka, maka Indonesia harus melakukan pembenahan internal guna menjamin
ketahanan pangan nasional.
FAO menyebut bahwa keamanan pangan adalah tanggung jawab semua orang, sehingga
diperlukan partisipasi semua pihak untuk melakukan koordinasi lebih baik, mulai dari pihak
industri, petani, pelaku rantai pasok pangan, serta lembaga swadaya masyarakat dalam
menjamin ketersediaan dan penyaluran makanan (antaranews.com, 2020).
Ketahanan pangan sangat bergantung pada seberapa besar kapasitas petani untuk dapat
memproduksi tanaman pangan, utamanya beras sebagai pangan utama masyarakat Indonesia.
Oleh karena itu, fokus utama pemerintah juga harus menitikberatkan pada pemulihan ekonomi
petani, selain dari UMKM, yang terdampak COVID-19. Oleh karena itu, perlu adanya jaminan
bahwa petani akan mendapatkan input factor pertanian yang memadahi, dari segi kuantitas dan
kualitas, serta harga yang telah tersubsidi dengan cepat. Mulai dari benih, pupuk, pestisida,
hingga alutsista pertanian perlu di-support oleh pemerintah. Sehingga, kecepatan waktu tanam,
serta proses pemanenan akan dapat dikontrol dengan baik dan sistematis.
Selain itu, sarana seperti penyediaan waduk dan juga sumur-sumur disekitar wilayah tanam,
akan sangat membantu petani untuk dapat terus menanam padi, mengingat padi membutuhkan
air dengan intensitas banyak, sehingga hanya cocok dilakukan pada musim hujan. Namun,
dengan adanya sumber air yang bisa dimanipulasi dengan pembangunan waduk dan sumur-
sumur serapan air, maka proses penanaman padi dapat terus dilakukan dalam jangka pendek
selama musim pandemi COVID-19, dengan sokongan pupuk nitrogen yang diberikan kepada
petani.
DAFTAR PUSTAKA
Harga Ayam Jatuh, Berdikari Usul Ayam Potong Masuk Bansos. In cnnindonesia (online).
https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20200421101928-92-495543/harga-ayam-
jatuh-berdikari-usul-ayam-potong-masuk-bansos. April, 2020.
Wabah Corona dan Ancaman Kebangkrutan Peternak Ayam di Indonesia. In kompas.com
(online). https://regional.kompas.com/read/2020/04/17/12320021/wabah-corona-dan-
ancaman-kebangkrutan-peternak-ayam-di-indonesia. April 17, 2020.
12 Juta Pegawai Peternakan Ayam Terancam PHK. In detik.com (online).
https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-4967082/12-juta-pegawai-
peternakan-ayam-terancam-phk. April 6, 2020.
BULOG Pastikan Stok Beras Aman Selama Penanganan COVID-19. In pasardana.id (online).
https://pasardana.id/news/2020/3/17/bulog-pastikan-stok-beras-aman-selama-
penanganan-COVID-19/. Maret 17, 2020.
Kekhawatiran Keamanan Pangan Mulai Mengancam Ekspor Beras di Asia. In
indopremier.com (online).
https://www.indopremier.com/ipotnews/newsDetail.php?jdl=Kekhawatiran_Keamana
n_Pangan_Mulai_Mengancam_Ekspor_Beras_di_Asia&news_id=117709&group_ne
ws=IPOTNEWS&taging_subtype=PG002&name=&search=y_general&q=,&halaman
=1. April 1, 2020.
Begini Dampak Musim Kemarau di Tengah Corona. In Detik.com (online).
https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-5006638/begini-dampak-musim-
kemarau-di-tengah-corona. Mei 8, 2020.
FAO serukan penjaminan keamanan pangan di tengah wabah COVID-19. In antaranews.com
(online). https://www.antaranews.com/berita/1539408/fao-serukan-penjaminan-
keamanan-pangan-di-tengah-wabah-COVID-19. Juni 7, 2020.
Tentang Penulis
Bayu Rizky Pratama merupakan Lulusan Program Magister
Agricultural and Resource Economics di Kasetsart University,
Thailand dan aktif sebagai Divisi Kajian Komisi Pangan PPI
Dunia 2019/2020.
z
Pandangan Dan Rekomendasi
Kebijakan Untuk Potret
Ketidakmerataan Pelayanan Terhadap
Guru Di Daerah
Komisi Pendidikan PPI Dunia, PPI Brief No. 14 / 2020
Penulis: Januar Widakdo
RINGKASAN EKSEKUTIF
• Pelayanan pemerintah terhadap guru di daerah masih belum merata jika dilihat dari
fasilitas yang diberakan. Tidak sedikit guru yang ada di daerah 3T (Terluar, Terdepan,
dan Tertinggal) masih kesulitan untuk mendapatkan sarana dan prasarana untuk bahan
mengajar.
• Perlu adanya kebijakan pemerintah yang mendukung pemerataan pelayanan terhadap
guru di daerah. Pemerintah diharapkan mempunyai program untuk meratakan atau
redistribusi jumlah kepala sekolah dan guru yang bisa menjangkau seluruh wilayah
Indonesia termasuk wilayah 3T. Program bisa berupa mutasi atau penyebaran kepala
sekolah dan guru dari daerah yang kelebihan ke daerah yang kekurangan guru.
• Berangkat dari masalah-masalah yang dikemukakan, beberapa rekomendasi kebijakan
telah diberikan kepada pemerintah, salah satunya adalah pemerintah dapat mendorong
peran serta masyarakat untuk mengupayakan peningkatan jumlah guru yang memenuhi
standar sesuai dengan yang ditetapkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
PENDAHULUAN
Keberhasilan suatu negara tidak hanya ditentukan oleh perkembangan politiknya maupun
perkembangan ekonominya. Tetapi, keberhasilan suatu negara dapat ditentukan juga oleh
tingkat perkembangan Sumber Daya Manusia (SDM) dalam dunia pendidikan. Tingkat
keberhasilan dalam dunia pendidikan tak cukup dinilai dari kemajuan prestasi anak-anak
Indonesia dalam ajang-ajang internasional, misalnya olimpiade matematika. Bahkan, prestasi
segelintir anak berprestasi tersebut bisa memberikan pesan “menyesatkan” dan pembenaran
atas berbagai fenomena pengabaian sebagian besar anak yang tertinggal. Potret buram
pendidikan di tanah air menjadi masalah paling serius yang dialami bangsa kita ini, mulai dari
kurangnya tenaga pendidikan hingga kurangnya sarana dan prasarana penunjang proses
pembelajaran khusus di daerah terpencil atau pedalaman.
Tenaga pengajar merupakan komponen terpenting yang harus ada di dalam proses belajar-
mengajar selain siswa itu sendiri. Tidak jarang saat siswa sudah semangat datang ke sekolah,
mereka harus kecewa karena tidak ada guru yang datang. Distribusi guru antara pedalaman
dengan perkotaan memang berbanding terbalik. Di perkotaan terkadang kelebihan tenaga guru,
sedangkan di pedalaman tenaga guru masih sangat kurang. Di pedalaman, seorang guru harus
mengajar dua atau tiga kelas sekaligus. Seperti yang terjadi di Kabupaten Yahukimo, Papua.
Di kabupaten tersebut terdapat 66 sekolah, akan tetapi hanya terdapat 117 orang guru. Itu
artinya setiap sekolah hanya mempunyai kurang dari dua orang guru.
Potret ketidakmerataan pelayanan terhadap tenaga pengajar atau guru di daerah merupakan
tema yang sensitif dan hampir semua orang tahu permasalahannya. Perspektif guru di setiap
daerah itu berbeda antara setiap pulau dan daerah yang ada. Keadaaan yang ada di Pulau Jawa
dan di pulau lainnya berbeda, dan fasilitasnya juga berbeda. Realitanya dapat dilihat dari Ujian
Kompetensi Guru (UKG) pada tahun 2015. Program ini adalah bagian dari program pemerintah
yang terdiri dari berbagai macam tes. Tes ujian yang dilakukan meliputi tes pedagogik, yaitu
tes bagaimana cara kita mengajar, dan tes profesional ilmu kemampuan dasar. Dari hasil dari
ujian keterampilan guru ini pemerintah ingin mengetahui bagaimana kompetensi guru-guru
pada saat sekarang ini. Sehingga pemerintah dapat memberikan bantuan lebih lanjut. Hasil
UKG pada tahun 2014 menunjukkan bahwa hasil ujian tertinggi diraih oleh Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta dan terendah yaitu Provinsi Maluku Utara.
Padahal sebelum tahun 2015 ketika reformasi sudah dilaksanakan, pemerintah sudah
memberikan kebijakan pendidikan yang diambil dari APBN sebesar 20%. Pemerintah daerah
mendapatkan sekitar 60% dan kementerian pusat mendapatkan kurang dari 40%. Pemerintah
sudah memberikan banyak sekali tunjangan baik dari segi fasilitas, gaji income guru dan
sebenarnya sebelum reformasi bagaimana masalah yang sekarang adalah guru-guru daerah
pada saat ini memang diberikan tunjangan, mereka juga diberikan dinas pendidikan semua
bekerja. Pada saat ini guru daerah sudah mendapatkan pelatihan, tunjangan, sertifikasi, dan gaji
yang bagus dan lain-lain, hal-hal tersebut merupakan bagian positif yang didapat oleh guru di
daerah tersebut.
Masalah kependidikan yang dihadapi adalah kurangnya keseriusan pemerintah dalam
memajukan pendidikan di Indonesia. Pemerintah sudah membuat peraturan tentang sistem
pendidikan dengan sangat baik, namun dalam prosesnya sistem tersebut tidak berjalan baik,
bahkan terkesan berhenti di tengah jalan. Ketidakmampuan pemerintah dalam menangani
masalah kependidikan menunjukkan bahwa minimnya kesadaran betapa pentingnya suatu
pendidikan. Dari waktu ke waktu pendidikan di Indonesia tetap berjalan di tempat dan tidak
mengalami perkembangan yang baik. Pemerintah seharusnya menjadikan masalah pendidikan
menjadi prioritas utama yang harus dituntaskan secepat mungkin.
PENDIDIKAN NASIONAL
Dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional disebutkan bahwa setiap
warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu.
Bahkan warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau
sosial berhak memperoleh pendidikan khusus. Demikian pula warga negara di daerah terpencil
atau terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan
khusus.
Untuk memenuhi hak warga negara, pemerintah pusat dan pemerintah daerah wajib
memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang
bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi. Pemerintah pusat dan pemerintah daerah
wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara
yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun. Untuk mengejar ketertinggalan dunia
pendidikan baik dari segi mutu dan alokasi anggaran pendidikan dibandingkan dengan negara
lain, UUD 1945 mengamanatkan bahwa dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya
pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah.
Dengan kenaikan jumlah alokasi anggaran pendidikan diharapkan terjadi pembaharuan sistem
pendidikan nasional yaitu dengan memperbaharui visi, misi, dan strategi pembangunan
pendidikan nasional. Pendidikan nasional mempunyai visi terwujudnya sistem pendidikan
sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga negara
Indonesia berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif
menjawab tantangan zaman yang selalu berubah.
Sesuai dengan visi tersebut, pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia
yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,
cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
DEFINISI GURU
Berdasarkan UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, Guru adalah pendidik
profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih,
menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan
formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Kedudukan guru sebagai tenaga
profesional berfungsi untuk meningkatkan martabat dan peran guru sebagai agen pembelajaran
untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional.
Mengutip pendapat Laurence D. Hazkew dan Jonathan C. Mc Lendon dalam bukunya This is
Teaching: “Guru adalah seseorang yang mempunyai kemampuan dalam menata dan mengelola
kelas”. Sedangkan menurut Jean D. Grambs dan C. Morris Me Clare dalam Foundation of
Teaching, An Introduction to Modern Education, him.: “Guru adalah mereka yang secara sadar
mengarahkan pengalaman dan tingkah laku dari seorang individu hingga dapat terjadi
pendidikan”.
Apabila dilihat dari beberapa pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa orang yang disebut
guru adalah orang yang memiliki kemampuan merancang program pembelajaran serta mampu
menata dan mengelola kelas agar peserta didik dapat belajar dan pada akhirnya dapat mencapai
tingkat kedewasaan sebagai tujuan akhir dari proses pendidikan serta secara sadar bertanggung
jawab dalam mendidik, mengajar, dan membimbing peserta didiknya.
KONDISI DAN MASALAH GURU DI WILAYAH PERBATASAN
Kekurangan tenaga pendidik menjadi salah satu faktor penyebab tidak berjalan lancar kegiatan
belajar mengajar, sehingga hal itu menjadi permasalahan sendiri bagi sekolah yang ada di
kawasan perbatasan. Padahal tenaga pendidik harus memiliki 7 kemampuan untuk menjadi
tenaga yang profesional (Gambar 1)
Gambar 1. 7 skill untuk menjadi guru yang profesional
FAKTOR PENYEBAB RENDAHNYA KUALITAS GURU DI INDONESIA
Penurunan kualitas guru memang disebabkan oleh sejumlah faktor, dan memang beberapa
faktor tersebutlah yang mengakibatkan pada penurunan kualitas dan kinerja guru. Dalam
masalah ini beberapa faktor yang menyebabkan pada penurunan kualitas guru yaitu :
1. Kurang pedulinya pemerintah akan nasib para guru.
Kurang pedulinya pemerintah akan nasib guru memang sangat mempengaruhi kualitas dan
kinerja guru. Ini dikarenakan bilamana pemerintah tidak peduli akan nasib kehidupan para
guru, maka kondisi ekonomi para guru pun juga akan tidak stabil. Dan ini juga akan berdampak
pada kualitas guru itu sendiri.
2. Banyaknya guru yang kurang mengenal tentang teknologi (gagap teknologi)
Banyaknya guru yang kurang mengenal teknologi, ini memungkinkan para guru untuk sulit
berpikir lebih maju, pasalnya teknologi ini sangat penting dalam menunjang karir seorang guru.
3. Gaji yang rendah,
Hal tampaknya juga akan menghambat peningkatan kualitas pada guru, karena penghasilan
atau gaji yang rendah, itu akan mempengaruhi konsentrasi dan motivasi para guru saat
mengajar.
4. Banyaknya masalah pribadi yang mendera para guru.
Banyaknya masalah pribadi yang dihadapi oleh guru dapat berdampak terhadap performance
saat mengajar menurun.
5. Sikap acuh atau tidak peduli
Sikap acuh atau tidak peduli yang ditunjukkan seorang pendidik contohnya ialah masalah
ketidakhadiran guru pada jam yang telah ditentukan. Pada saat sekarang ini biasanya sebab-
sebab ketidakhadiran itu bermacam-macam. Misalnya, dikarenakan hal-hal kecil seperti malas,
lebih mengutamakan hal pribadi dan lain sebagainya.
STRATEGI PENINGKATAN KUALITAS GURU
1. Sertifikasi
Sertifikasi semacam ‘ujian nasional’ bagi semua guru dari tingkat SD sampai SMA. ‘UN’ guru
ini digunakan sebagai langkah pemetaan terhadap kompetensi guru secara nasional. Program
ini juga penting sebagai upaya melihat sejauh mana persebaran guru-guru yang benar- benar
kompeten di bidangnya. Beberapa permasalahan dalam proses sertifikasi:
a. Penentuan guru untuk mengikuti sertifikasi,
b. Penentuan Assessor,
c. Proses penilaian portofolio/PLPG,
d. Pengawasan dalam pelaksanaan sertifikasi,
e. Tantangan bagi guru yang bersertifikasi.
2. Perlunya kebijakan persebaran guru-guru berkualitas
Fakta di lapangan menunjukkan: guru-guru berkualitas banyak tersebar di sekolah-sekolah
favorit (effective schools) di perkotaan. Hal ini wajar karena mereka melihat jaminan, baik dari
sisi ekonomi maupun karir yang lebih menjanjikan di sekolah- sekolah itu. Bandingkan dengan
guru-guru yang ada di daerah tertinggal/terpencil.
3. Perlunya pencarian bibit unggul dalam profesi keguruan
Meningkatkan pengakuan dan penghasilan yang lebih kompetitif bagi profesi guru, sehingga
hal ini bisa memikat para lulusan terbaik dari SMA untuk melanjutkan ke program keguruan.
4. Restrukturisasi lembaga-lembaga keguruan
Pemerintah perlu melakukan restrukturisasi menyeluruh terhadap lembaga-lembaga keguruan
di tanah air, terutama dari segi rekrutmen mahasiswanya, sehingga jaminan kualitasnya
semakin unggul dan bisa dipertanggungjawabkan.
5. Kesejahteraan Guru
a. Kesejahteraan: Gaji dan tunjangan yang diterima bersama gaji tiap bulan.
b. Kurang mencukupi.
c. Masalah Indonesia dan negara-negara tetangga lainnya.
6. Beasiswa
Salah satu rangsangan bagi guru, sehingga mereka dapat melanjutkan pendidikan dan
memperluas wawasan.
7. Penghargaan
a. Guru yang berprestasi,
b. Berdedikasi luar biasa, dan/atau
c. Bertugas di daerah khusus,
d. Guru yang gugur dalam melaksanakan tugas di daerah khusus,
e. Penghargaan kepada guru dapat diberikan dalam bentuk tanda jasa, kenaikan pangkat
istimewa, finansial, piagam, dan/atau bentuk penghargaan lain (UU. No. 15 tahun 2005 bagian
keenam pasal 36 dan 37).
PROGRAM-PROGRAM PENDIDIKAN YANG DAPAT DIBERIKAN KEPADA
ANAK MUDA UNTUK MEMBANTU GURU/PENGAJAR DI DAERAH TERPENCIL
Hal yang bisa kita lakukan sebagai kaum milenial yang ingin ikut memajukan negara salah
satunya yaitu menjadi guru di pedalaman. Menjadi guru di pedalaman adalah salah satu
sumbangsih kita untuk mencerdaskan bangsa ini. Menjadi ujung tombak yang langsung terjun
dan mengedukasi adik-adik kita di daerah pedalaman bisa jadi cara efektif. Adapun beberapa
program yang sudah berjalan selama ini adalah:
1. Guru Garis Depan (GGD)
Gambar 2. Para volunteer Guru Garis Depan (GGD)
Guru Garis Depan adalah salah satu program pemerintah yang menerjunkan sejumlah guru ke
daerah pelosok pedalaman. Nantinya, para kandidat guru ini akan diangkat menjadi Pegawai
Negeri Sipil yang gajinya bisa mencapai 8 juta tiap bulannya. Untuk mengetahui syarat dan
cara mendaftarnya kamu bisa membuka websitenya di www.gurugarisdepan.org.
2. Indonesia Mengajar
Gambar 3. Suasana saat mengajar murid dalam kelas inspirasi
Gerakan Indonesia Mengajar mengajak semua lapisan masyarakat untuk ikut terjun dan ambil
bagian dalam perbaikan sistem pendidikan di Indonesia. Selain menjadi pengajar, kamu juga
bisa bergabung menjadi relawan atau bahkan ikut gabung iuran. Kamu bisa mencari info lebih
lanjut di Indonesiamengajar.org.
3. 1000 guru
Gambar 4. volunteer 100 guru
Sesuai dengan tagline-nya: traveling & teaching, seribuguru.org mengajak anak muda berusia
17-35 tahun untuk ikut terjun dan mengajar langsung adik-adik kita dari Sabang-Merauke.
Hingga November 2016, 1000 guru telah membantu kebutuhan 5000 anak sekolah pedalaman
di 18 provinsi di Indonesia.
4. Komunitas Jendela
Gambar 5 Komunitas Jendela dunia
Komunitasjendela.org yang terbentuk di Yogyakarta pada 12 Maret 2011 ini berfokus pada
pengadaan perpustakaan bagi adik-adik di daerah pedalaman. Tak hanya membangun
perpustakaan, mereka juga ikut mengedukasi anak-anak di pelosok. Sekarang ini, komunitas
Jendela sudah memiliki cabang di beberapa daerah seperti Bandung, Jakarta, Lampung,
Bengkalis, Malang, Sumut, Jember, Bangka.
REKOMENDASI KEBIJAKAN
Tujuan pembangunan nasional dan amanat dalam Pembukaan UUD 1945 adalah mencerdaskan
kehidupan bangsa. Seluruh anak bangsa berhak mendapatkan pendidikan dasar di manapun di
wilayah NKRI ini. Maka, problematika dalam sebaran kepala sekolah dan guru khususnya di
wilayah 3T harus menjadi perhatian serius pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.
Rekomendasi yang dapat diusulkan kepada para pengambil kebijakan baik di pemerintah
daerah maupun kementerian adalah sebagai berikut:
1. Pemerintah diharapkan mempunyai program untuk memeratakan atau redistribusi jumlah
kepala sekolah dan guru yang bisa menjangkau seluruh wilayah Indonesia termasuk
wilayah 3T. Program bisa berupa mutasi atau penyebaran kepala sekolah dan guru dari
daerah yang kelebihan ke daerah yang kekurangan guru.
2. Mengadakan pengangkatan atau rekruitmen guru untuk memenuhi kekurangan guru oleh
pemerintah daerah yang wilayahnya termasuk dalam kategori 3T berdasar pada Peraturan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 23 Tahun 2013 Tentang Perubahan Atas
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 15 Tahun 2010 tentang Standar Pelayanan
Minimal Pendidikan Dasar di Kabupaten/Kota.
3. Pengangkatan atau rekruitmen guru hendaknya mengikuti aturan yang tertuang dalam
Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 2003 Tentang Wewenang Pengangkatan, Pemindahan,
dan Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil. Kebutuhan guru tidak mungkin bisa dipenuhi
sekaligus agar segera bisa sesuai dengan standar yang ditetapkan. Pemenuhan kebutuhan
dilakukan secara bertahap dengan mengacu pada anggaran yang dimiliki oleh masing-
masing pemerintah kabupaten/kota di wilayah 3T. Paling tidak pemerintah kabupaten/kota
harus memiliki rancangan dalam pemenuhan kebutuhan guru.
4. Pemerintah agar mendorong peran serta masyarakat untuk mengupayakan peningkatan
jumlah guru yang memenuhi stardar sesuai dengan yang ditetapkan oleh Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan.
5. Perlu peningkatan kuantitas dan kualitas sarana dan prasarana pendidikan sesuai standar
yang ditetapkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
6. Pemerintah memberikan reward yang menarik agar memotivasi para guru yang profesional
untuk dapat mengajar di daerah-daerah terpencil.Kesejahteraan guru yang mengajar di
daerah pedalaman juga harus diperhatikan, mungkin lebih baik kalau mereka didirikan
rumah tinggal dekat dengan sekolah tempat mereka mengajar sehingga jarak tempuhnya
tidak terlalu jauh.
DAFTAR PUSTAKA
http://www.seputarmalang.com/info/info-pendidikan/potret-pendidikan-di-indonesia/11967
PPI TV. (2020, 2 Maret). “[LIVE] Potret ketidakmerataan pelayanan terhadap guru di daerah.
(https://open.spotify.com/episode/0wWyswZAFUjP8Sbl22ggM0?si=BGKXmvvQS0WLvxB
y09mvbw)
https://penanegeri.com/kekurangan-guru-sertu-deni-arya-bantu-mengajar-di-sekolah-
perbatasan/
https://www.idntimes.com/life/education/pinka-wima/program-guru-pelosok-yang-wajib-
diikuti-anak-muda
http://staffnew.uny.ac.id/upload/132308486/pendidikan/materi+pertemuan+13.pdf
Buchori, Mochtar. Spektrum Problematika Pendidikan di Indonesia, Tiara Wacana, Yogya,
Cetakan Pertama, 1994, hal 23.
Tilaar, H.A.R.Paradigma Pendidikan Nasional, Rineka Cipta, Jakarta. Cetakan Kedua, 2004,
hal 144.
http://sumberdaya.ristekdikti.go.id/wp-content/uploads/2016/02/uu-nomor-20-tahun-2003-
tentang-Sisdiknas.pdf Undang-undang No.20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan
Nasional (Sisdiknas)
http://sindikker.ristekdikti.go.id/dok/UU/UUNo142005(Guru%20&%20Dosen).pdf Undang-
undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen
http://humaniora.uin-malang.ac.id/phocadownload/publikasi_ilmiah/Umi-Machmudah-
PROFESIONALISME-GURU.pdf hlm.1
https://oioey.wordpress.com/2016/07/19/upaya-pemerintah-dalam-meningkatkan-kualitas-
guru-di-indonesia/
TENTANG PENULIS
Januar Widakdo adalah Mahasiswa Doktoral dalam bidang Applied
Science and Technology di National Taiwan University of Science and
Technology, Taiwan, serta Anggota Komisi Pendidikan PPI Dunia.
Peran Teknologi Dalam Pembangunan
di Sektor Pertanian Indonesia Komisi Teknologi PPI Dunia, PPI Brief No. 15 / 2020
Penulis: Yoga Adi Pradipta
RINGKASAN EKSEKUTIF
• Berkaca pada sejarah Indonesia, anggapan bahwa intervensi teknologi dapat
menyelesaikan permasalahan di sektor pertanian Indonesia terbukti berimbas
sebaliknya. Hanya pemilik lahan yang lebih besar yang bisa mendapatkan surplus hasil
pertanian dari intervensi teknologi pada Revolusi Hijau Indonesia. Mayoritas petani di
Indonesia, yaitu petani skala kecil maupun buruh tani, tetap hidup dalam kemiskinan
dan hanya menjadi pekerja upahan di pertanian yang lebih besar
• Berhasilnya suatu intervensi teknologi erat kaitannya dengan konteks dan keadaan
sosial pada suatu wilayah. Agar intervensi teknologi dapat berfungsi optimal diperlukan
serangkaian kebijakan dan prasyarat untuk menciptakan prakondisi yang mendukung
implementasi teknologi tersebut. Hal ini dikarenakan terdapat beberapa akar
permasalahan sosial maupun politis pada suatu wilayah yang tidak dapat diselesaikan
dengan menggunakan teknologi.
• Pembangunan yang relevan yang didasarkan pada pemahaman konteks dan situasi
keadaan di Indonesia perlu dilakukan. Pada saat ini, berdasarkan kondisi dan konteks
sosial di Indonesia pemerintah harus melakukan Reformasi Agraria dengan
fundamental framework yang jelas sebagai prasyarat agar ke depannya suatu intervensi
teknologi di sektor pertanian dapat berfungsi optimal dan efektif.
Pendahuluan
Setelah berakhirnya rezim orde lama, Indonesia memasuki rezim pemerintahan orde baru pada
tahun 1966. Pada rezim ini Indonesia berkomitmen untuk mengikuti model pembangunan
kapitalis dan berupaya mengintegrasikan dirinya ke dalam sistem kapitalis dunia sebagai
landasan pembangunannya (Rachman, 2011). Melalui model pembangunan kapitalis ini,
pembangunan suatu negara pada umumnya didasarkan pada diskursus pembangunan yang
bersumber dari realitas negara-negara maju, dimana pembangunan itu selalu diasosiasikan
dengan industrialisasi, modernisasi pertanian, dan urbanisasi (Escobar, 1995). Pembangunan
dimaknai hanya sebatas suatu peningkatan laju pertumbuhan ekonomi tanpa
mempertimbangkan tentang perbedaan realita dan kompleksitas keadaan di negara
berkembang yang tentu saja berbeda dengan negara maju (Chambers, 1995). Diskursus
pembangunan tersebut menyebabkan kita melupakan apa makna sebenarnya dari
pembangunan, dan kita harus mempertanyakan siapa pihak yang sebenarnya telah benar-benar
diuntungkan dari pengertian pembangunan semacam ini. Misalnya, jika kita melihat kembali
ke Indonesia pada awal 1980-an, negara ini mencapai periode swasembada beras yang singkat
melalui penerapan teknologi modern dalam program akselarasi pertanian yang disebut dengan
"Revolusi Hijau." Tetapi kita tidak dapat mengabaikan fakta bahwa mayoritas petani Indonesia,
yang merupakan petani skala kecil dan buruh tani, masih hidup dalam kemiskinan (White,
2018). Fenomena ini mengindikasikan bahwa ada sesuatu yang salah ketika pembangunan
dilakukan menggunakan lensa pembangunan negara maju tanpa mempertimbangkan konteks
maupun keadaan sosial negara berkembang. Tujuan dari tulisan ini adalah untuk memahami
model pembangunan yang dipraktikkan pada sektor pertanian Indonesia dan bagaimana
pembangunan yang didasarkan pada transfer teknologi yang sarat modal tersebut berdampak
pada kesejahteraan petani Indonesia.
Diskursus Peran Teknologi dalam Pembangunan
Ketika kita berbicara tentang pembangunan, kita tidak dapat menyangkal peran besar dari
kemajuan teknologi maupun infrastruktur. Baik kita adalah pendukung ide-ide pembangunan
oleh Karl Marx ataupun Adam Smith, kedua aliran pemikiran percaya bahwa kunci untuk
perbaikan masyarakat tertanam dalam inovasi teknologi akan tetapi dengan alasan yang
berbeda. Perbedaan keduanya adalah tujuan pemanfaatan teknologi; ada yang menekankan
penggunaan kemampuan produktifitas teknologi untuk pemenuhan kebutuhan dasar demi
kebermanfaatan masyarakat banyak, adapula yang berfokus pada peningkatan laba entitas
privat yang kemudian akan mengarah pada pengembangan masyarakat (Thomas, 2000).
Namun permasalahan yang timbul dalam situasi saat ini khususnya di negara-negara dunia
ketiga adalah gagasan tentang peran teknologi atau infrastruktur sebagai aktor penting
pembangunan tidak berasal dari hubungan sebab akibat ataupun pemahaman mengenai konteks
sosial di negara berkembang sebagai penerima intervensi teknologi. Melainkan pembangunan
hanya disasarkan dari diskursus yang dibentuk oleh beberapa pihak yang merepresentasikan
pembangungan (Escobar, 1995). Hal tersebut dapat menjadi suatu permasalahan tersendiri
karena definisi pembangunan yang didefinisikan oleh beberapa pihak tersebut akan
menentukan tujuan dan makna dari penerapan suatu teknologi, yang tentu kemudian akan
menentukan nasib suatu negara yang menerapkan anjuran pembangunan tersebut. Dalam hal
ini, organisasi pembangunan internasional dan para profesional dari negara maju, dengan
persepsi pribadi mereka mengenai pembangunan, merupakan beberapa aktor utama yang
bertanggung jawab atas konstruksi definisi pembangunan yang mereduksi dan
menstandardisasi pembangunan di negara dunia ketiga (Chambers, 1995). Dalam hal ini dunia
barat, sebagai pihak dominan yang menguasai diskursus mengenai pembangunan, memiliki
prakonsepsi dan agenda mereka sendiri mengenai peran teknologi sebagai sarana untuk
mencapai gagasan mereka akan pembangunan. Akibat pandangan bias mereka tentang definisi
pembangunan tersebut, secara historis banyak masyarakat di dunia ketiga yang harus
tereksploitasi dengan sistem yang mereka bentuk.
Dalam diskursus tersebut, cetak biru pembangunan didasarkan pada asumsi dalam teori
modernisasi. Teori ini berasal dari W.W. Rostow, seorang ekonom Amerika yang pada tahun
1960 mempresentasikan "Tahapan Pertumbuhan Ekonomi." Rostow berpendapat bahwa setiap
negara memiliki kesempatan yang sama untuk berkembang tanpa harus mengkhawatirkan
tentang perbedaan konteks ataupun perbedaan situasi yang ada pada setiap negara (Rostow,
1960). Menurut teorinya setiap negara akan melalui lima tahap proses pembangunan sebagai
berikut: tahap masyarakat tradisional, tahap prasyarat untuk lepas landas, tahap lepas landas,
tahap menuju kematangan, dan tahap konsumsi massa yang tinggi (Rostow, 1960). Dia percaya
bahwa perubahan yang radikal terkait produktivitas pertanian sangat penting sebagai prasyarat
untuk lepas landas (lepas landas menuju masayarakat modern) (Rostow, 1960). Dia
menekankan bahwa pembangunan adalah masalah solusi teknologi untuk meningkatkan
produktivitas di sektor pertanian maupun industri, yang dapat dicapai dengan adanya intervensi
eksternal oleh bantuan negara yang lebih maju. Selain itu, intervensi ini harus melibatkan
pemerintah nasional di negara berkembang untuk mendukung program bantuan dari negara
yang lebih kaya atau organisasi internasional, contohnya seperti organisasi PBB dan Bank
Dunia (Gore, 2000). Dalam hal ini kita dapat melihat penerapan teori ini dalam praktik
Revolusi Hijau dimana modernisasi dilakukan dengan transfer teknologi top-down, dan praktik
ini diterima secara luas di antara negara-negara dunia ketiga karena sejalan dengan masalah
krisis pangan pada saat itu termasuk di Indonesia.
Revolusi Hijau Indonesia dan Pentingnya Peran Reformasi Agraria
Pada awal tahun 1970-an, diskursus pembangunan yang dibangun pada saat itu adalah
mengenai bagaimana cara mengatasi masalah kelaparan dan kemiskinan akibat krisis pangan
yang berkaitan dengan meningkatnya populasi penduduk dunia (Hart, 2006). Fokus
pembangunan kembali bergeser untuk mencapai swasembada pangan nasional. Revolusi Hijau
yang merupakan transfer kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam pengembangbiakan
tanaman secara modern, peningkatan irigasi, pengembangan pupuk anorganik, dan pestisida
modern dipandang sebagai jawaban atas krisis pangan di negara-negara berkembang (Hazell,
2009).
Revolusi Hijau menyebar dengan cepat ke seluruh Asia yang saat itu sedang berkembang
sehingga menyebabkan peningkatan hasil panen yang dramatis, terutama untuk tanaman beras
dan gandum, yang merupakan dua tanaman pangan paling penting bagi negara-negara
berkembang (Hazell, 2009). Program intervensi teknologi pertanian berskala besar ini
melibatkan beberapa aktor seperti lembaga donor internasional, pemerintah, perusahaan, dan
pusat penelitian pertanian, dimana mereka menjanjikan pengurangan kemiskinan dan
keamanan pangan (Bergius & Buseth, 2019). Lebih lanjut, aktor-aktor ini akan membantu
memenuhi prasyarat yang dibutuhkan untuk Revolusi Hijau.
Menurut Hazell, Revolusi Hijau lebih dari sekedar transfer tunggal teknologi. Lebih dari itu,
diperlukan serangkaian kebijakan dan prasyarat untuk memastikan program akselerasi
pertanian ini dapat berfungsi optimal dan efektif pada satu wilayah (Hazell, 2009). Jika petani
ingin mengadopsi program Revolusi Hijau, mereka membutuhkan akses ke seperangkat input
seperti pupuk, benih unggul, pestisida, irigasi air, kredit musiman, pengetahuan untuk
menggunakannya, dan akses ke pasar dengan harga yang menguntungkan dan stabil (Hazell,
2009).
Dan untuk mencapai prasyarat-prasyarat ini dibutuhkan tingkat akumulasi investasi yang tinggi
pada biaya penelitian dan pengembangan pertanian, pembangunan jalan-jalan, irigasi, listrik,
dan infrastruktur lainnya, serta perlu adanya lembaga-lembaga privat dan publik yang efektif
dalam membantu proses pertanian (Hazell, 2009). Hanya dengan kondisi-kondisi seperti itulah
Revolusi Hijau memungkinkan untuk membuat keuntungan produktivitas yang signifikan.
Jika kita melihat kembali Revolusi Hijau Indonesia, program tersebut dimulai pada awal tahun
1970-an, dan negara Indonesia mencapai periode swasembada beras yang singkat pada tahun
1980-an melalui program ini (White, 2018). Program Revolusi Hijau mewajibkan petani untuk
membeli paket modernisasi pertanian berupa benih jenis baru, pupuk, pestisida, fasilitas irigasi,
dan teknik pertanian baru untuk meningkatkan tingkat produksi mereka. Program ini dibuat,
didanai, dan diimplementasikan melalui lembaga pembangunan internasional dengan
perusahaan transnasional sebagai pemegang proyek yang memberikan layanan teknologi dan
input pertanian (Rachman, 2011). Pada saat itu tampaknya transfer teknologi tersebut telah
berhasil mencapai tujuan pembangunan yang diinginkan. Namun, pada nyatanya ada berbagai
masalah yang timbul karena program ini. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, Revolusi
Hijau lebih dari sekadar intervensi teknologi; diperlukan serangkaian kebijakan untuk
menciptakan prasyarat Revolusi Hijau. Indonesia, khususnya di pulau Jawa, diskursus yang
dibangun melalui program Revolusi Hijau pada waktu itu adalah bahwa ketika peningkatan
produktivitas pertanian meningkat, petani dapat berinvestasi untuk memperluas kegiatan non-
pertanian dan mendapatkan penghasilan dari usaha non-pertanian tersebut. Tetapi tampaknya
mereka melupakan tentang kondisi sosial kepemilikan tanah di Indonesia yang tentunya
berbeda dengan negara maju.
Hak kepemilikan tanah adalah faktor penting dalam keberhasilan Revolusi Hijau. Hal ini akan
menentukan siapa yang akan mendapatkan manfaat terbesar dari intervensi teknologi dalam
Revolusi Hijau yang sarat modal tersebut. Masalah yang seringkali harus dihadapi di negara
berkembang adalah bahwa hak atas properti didefinisikan oleh hukum informal dan belum
diformalkan (De Soto, 1993). Hak kepemilikan tanah secara informal yang seringkali terjadi
di negara-negara berkembang menunjukkan bahwa negara-negara dunia ketiga pada dasarnya
masih menghadapi tantangan yang dihadapi para politisi negara-negara barat 100-200 tahun
yang lalu (De Soto, 1993).
Menurut studi Agro-Economic Survei (AES) di Indonesia, khususnya di pulau Jawa pada tahun
1970-an, mayoritas pemilik tanah umumnya bukan merupakan petani. Banyak dari mereka
adalah pejabat desa dan pemilik usaha di sisi hulu dan hilir pertanian; kepemilikan tanah
mereka adalah sumber pendapatan melalui sewa tanah (White, 2018). Selain itu, Sinaga dan
White mengidentifikasi kelas agraria di pedesaan Jawa menjadi empat kategori, yakni: petani
kaya dengan kepemilikan tanah lebih dari 2 ha; petani menengah yang memiliki 40,5–2,0 ha;
petani kecil yang menguasai kurang dari 0,5 ha; dan buruh tani yang tidak memiliki tanah
(Sinaga & White, 1980).
Semua kelas terlibat dalam kegiatan non-pertanian, tetapi perbedaan kontrol mereka atas tanah
memengaruhi kemampuan mereka untuk berkembang, dan mengakumulasi modal dari hasil
pertanian, ke kegiatan non-pertanian. Dalam kasus di pulau Jawa ini, proporsi kepemilikan
tanah mayoritas penduduk pedesaan adalah 60-70 persen tidak memiliki tanah atau memiliki
kurang dari 0,5 ha (Rachman, Savitri, & Shohibuddin, 2009). Di bawah kondisi distribusi tanah
yang tidak merata, mereka hanya menjadi buruh atau pekerja upahan di pertanian yang lebih
besar dan hanya pemilik lahan yang lebih besar yang bisa mendapatkan surplus dari kegiatan
pertanian dari Revolusi Hijau dan kemudian diinvestasikan dalam kegiatan non-pertanian
dengan pengembalian keuntungan yang lebih tinggi. Itulah sebabnya meskipun ada surplus
akibat implementasi Revolusi Hijau, namun petani skala kecil dan buruh tani tak bertanah
masih hidup dalam kemiskinan.
Jika kita belajar dari kisah sukses Revolusi Hijau Jepang pada periode 1950 hingga 1980, kita
dapat melihat perbedaan distribusi kepemilikan tanah di Jepang dimana telah lebih dahulu
terstruktur dan terbagi secara merata apabila dibandingkan dengan kondisi di Indonesia.
Sebelum menerapkan Revolusi Hijau, pemerintah Jepang telah melakukan reformasi agraria.
Reformasi agraria Jepang telah berhasil merombak konsentrasi kepemilikan tanah, dan
landlessness tidak ada lagi.
Selain itu, seluruh lapisan masyarakat agraria dapat mengakumulasi pendapatan mereka dari
sektor pertanian dan kemudian berinvestasi lebih lanjut dalam membangun pertanian mereka
maupun pada kegiatan non-pertanian (Rachman, Savitri, & Shohibuddin, 2009). Dalam hal ini,
Jepang menunjukkan tahapan modernisasi oleh Rostow secara akurat dimana surplus dari
sektor pertanian melalui intervensi teknologi dalam Revolusi Hijau dapat diinvestasikan dalam
kegiatan non-pertanian, dan ketika pendapatan non-pertanian meningkat, surplus tersebut
diinvestasikan untuk lebih memperluas kegiatan non-pertanian yang akan mengarah pada
pembentukan masyarakat modern.
Reformasi agraria telah menjadi titik awal yang penting bagi Jepang dalam penguatan sistem
produksi pertanian yang didominasi oleh petani skala kecil (Djurfeldt, Holmén, Jirström, &
Larsson, 2005). Sebenarnya, di Indonesia sendiri khususnya di pulau Jawa, pernah
merencanakan program reformasi agraria pada tahun 1960-an, yaitu beberapa tahun sebelum
terjadinya pelaksanaan Revolusi Hijau, tetapi program ini dihentikan pada awal rezim Suharto
(1966-1998) karena reformasi agraria dianggap sebagai pergerakan komunis dan merupakan
visi sosialis Soekarno dimana hal tersebut dianggap tidak selaras dengan model pembangunan
kapitalis (Rachman, 2011). Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa intervensi teknologi
pada sektor pertanian yang sarat modal tanpa adanya distribusi tanah yang adil melalui proses
reformasi agraria dapat memperburuk situasi yang ada.
Redefinisi Reformasi Agraria di Indonesia
Ketika berakhirnya era Orde Baru Soeharto pada tahun 1998, manuver ruang politik baru
menjadi lebih dimungkinkan. Gagasan reformasi agrarian dihidupkan kembali oleh kolaborasi
aktivis gerakan agraria dan Badan Pertanahan Nasional (“BPN”). Pada tahun 2007, Presiden
Indonesia saat itu, Susilo Bambang Yudhoyono, mengumumkan implementasi program
redistribusi tanah, yang merupakan bagian dari kebijakan reformasi agraria. Program ini adalah
strategi pemerintah untuk mengurangi kemiskinan, yang terdiri dari redistribusi tanah negara
untuk masyarakat miskin pedesaan dan program pendaftaran tanah (Rachman, 2011).
Ironisnya, karena beberapa tantangan politik, program reformasi agraria yang ambisius ini
direduksi maknanya dan diredefinisikan menjadi program sertifikasi kepemilikan tanah, yang
pada dasarnya memiliki esensi yang berbeda dengan reformasi agraria yang genuine. Lebih
lanjut, pembingkaian ulang reformasi agrarian menjadi hanya sebatas sertifikasi kepemilikan
tanah ini menimbulkan konflik antara BPN dengan aktivis agraria karena program tersebut
dianggap hanya mendukung kepentingan model pertumbuhan ekonomi neoliberal saat ini
(Rachman, 2011). Mereka menekankan bahaya karakter predator dan serakah dari ekonomi
kapitalis, sertifikasi tanah yang dilakukan oleh pemerintah saat ini dianggap hanyalah sebagai
alat sistematis yang memaksa petani kecil untuk menjual tanah mereka dengan cepat kepada
pemilik modal besar karena beratnya tekanan kondisi sosial ekonomi saat ini (Rachman, 2011).
Aktivis agraria Indonesia, Gunawan Wiradi, mengkritik sertifikasi tanah oleh pemerintah yang
dilakukan tanpa fundamental framework yang jelas, karena reformasi agraria tidak hanya
sekedar membagikan sertifikat tanah, dan menurutnya tidak ada negara yang melakukan
reformasi agraria seperti itu (Wiradi, 2016). Dia berpendapat bahwa reformasi agraria yang
genuine harus didasarkan pada fundamental framework, apakah itu model kapitalis seperti
Amerika Serikat, model neopopulis seperti Jepang, dan Korea Selatan, atau bahkan model
sosialis, semua itu harus didasarkan pada basis penelitian yang kuat tentang konteks kondisi
sosial, struktur kepemilikan, dan ekologi tanah (Wiradi, 2016).
Sayangnya, Indonesia tidak memiliki satu peta tematik yang dapat digunakan sebagai dasar
untuk merumuskan kebijakan reformasi agrarianya. Inisiatif Kebijakan Satu Peta baru diambil
pada tahun 2016 oleh Presiden Joko Widodo, dengan penyelesaiannya yang ditargetkan pada
akhir tahun 2020 (OPEN GOV, 2020). Sistem yang tidak adil pada sektor pertanian di
Indonesia ini juga berdampak pada generasi muda Indonesia yang memandang petani sebagai
pekerjaan buruh kelas bawah, yang hidupnya penuh dengan eksploitasi (Aji, 2019).
Meskipun para pemuda tersebut tidak mengerti bagaimana sebenarnya mekanisme eksploitasi
itu berakar, namun citra buruk petani sudah cukup mempengaruhi sikap apatisme mereka
terhadap dunia pertanian. Saat ini banyak generasi petani yang lebih tua mencapai usia yang
tidak produktif, namun generasi yang lebih muda lebih memilih bekerja pada pekerjaan
berbasis karir di daerah perkotaan (Aji, 2019). Ironisnya pemerintah melihat hal ini sebagai
permasalahan baru dan melupakan fakta bahwa sistem pertanian yang mereka ciptakan juga
berperan dalam pembentukan citra petani saat ini (Aji, 2019).
Kesimpulan
Kita dapat melihat bahwa diskursus mengenai pembangunan yang menekankan transfer
teknologi dari negara yang lebih maju akan mampu membawa pembangunan dan memperbaiki
masalah di negara-negara berkembang, kadang tidak relevan dengan realitas negara
berkembang. Ada beberapa masalah sosial yang perlu diperbaiki secara sosial atau bahkan
secara politis. Dari kasus Indonesia, kita dapat melihat bagaimana implementasi Revolusi Hijau
tidak didasarkan pada pemahaman tentang kondisi sosial dan konteks kepemilikan tanah
Indonesia. Di bawah kondisi distribusi tanah yang tidak merata, petani yang tidak memiliki
tanah hanya menjadi pekerja upahan di pertanian yang lebih besar dan hanya pemilik lahan
yang lebih besar yang bisa mendapatkan surplus dari kegiatan pertanian dari Revolusi Hijau
dan kemudian dapat berinvestasi dalam bisnis non-pertanian dengan pengembalian keuntungan
yang lebih tinggi. Jika kita melihat Revolusi Hijau Jepang, reformasi agraria adalah salah satu
elemen penting untuk memodernisasi masyarakat melalui pertanian. Reformasi agraria Jepang
telah berhasil menghilangkan konsentrasi kepemilikan tanah, dan landlessness tidak ada lagi,
sehingga semua lapisan populasi pertanian dapat mengakumulasikan pendapatan dari lahan
mereka dan berinvestasi dalam membangun pertanian mereka maupun bisnis non-pertanian.
Sistem yang tidak adil ini juga membuat masalah regenerasi petani. Ke depan, pembangunan
yang relevan yang didasarkan pada pemahaman konteks dan situasi keadaan di Indonesia perlu
dilakukan.
Daftar Pustaka
Aji, G. B. (2019). Setengah Abad Ketergantungan Catatan Untuk Generasi Milenial. Insist Press.
Anderson., B. R. (2002). Bung Karno and the Fossilization of Soekarno's Thought. Indonesia, (74), 1-
19. doi:10.2307/3351522.
Bergius, M., & Buseth, J. T. (2019). Towards a green modernization development discourse: the new
green revolution in Africa. Norwegian University of Life Sciences (NMBU), Norway.
Bornstein, D. (2007). “The Light in my Head Went On.”. In How to Change the World: Social
Entrepreneurs and the Power of New Ideas, 21-40. Oxford University Press.
Chambers, R. (1995). “Poverty and Livelihoods: Whose reality counts?”. Environment and
Urbanization, Vol. 7, No. 1:173-204.
De Soto, H. (1993). “The missing ingredient.” . The Economist 328, no. 7828: 8-10.
Djurfeldt, G., Holmén, H., Jirström, M., & Larsson, R. (2005). The African Food Crisis: Lessons from
the Asian Green Revolution. CABI Publishing.
Escobar, A. (1995). “Imagining a Post-Development Era.” In Power of Development edited by J. Crush.
. London: Routledge.
Escobar, A. (1995). Encountering development: The making and unmaking of the Third World.
Princeton, N.J: Princeton University Press.
Frank, A. G. (1966). “The Development of Underdevelopment.” . Monthly Review (18), 17-31.
Gore, C. (2000). “The Rise and Fall of the Washington Consensus as a Paradigm for Developing
Countries.” . World Development 28(5): 789-804.
Hart, G. (2006). “Beyond Neoliberalism? Post-Apartheid Developments in Historical and Comparative
Perspective.”. In The Development Decade? edited by V. Padayachee, 13–32. Pretoria, South
Africa: HSRC Press,.
Hazell, P. B. (2009). The Asian Green Revolution . INTERNATIONAL FOOD POLICY RESEARCH
INSTITUTE .
Hirschman, A. (1981). “The Rise and Decline of Development Economics.” In Essays in Trespassing:
Economics to Politics and Beyond. Cambridge University Press., 1-24.
Huat, C. B. (2004). Communitarian Politics In Asia. RoutledgeCurzon Taylor & Francis Group, 148.
Moon, S. (1998). Takeoff or Self-Sufficiency? Ideologies of Development in Indonesia, 1957-1961.
Technology and Culture, 39(2), 187-212.
Rachman, :. N., Savitri, L. A., & Shohibuddin, M. (2009). Questioning pathways out of poverty:
Indonesia as an illustrative case for the World Bank's transforming countries. The Journal of
Peasant Studies, 36:3, 621-627.
Rachman, N. F. (2011). The Resurgence of Land Reform Policy and Agrarian Movements in Indonesia.
Berkeley: University of California.
Rostow, W. W. (1960). The Stages of Economic Growth: A Non-Communist Manifesto. Cambridge:
Cambridge University Press.
Sinaga, R., & White., B. (1980). Beberapa Aspek Kelembagaan di Pedesaan Jawa dalam Hubungannya
dengan Kemiskinan Struktural in Alfian et al., eds. Kemiskinan struktural:suatu bunga rampai.
Jakarta: Pulsar.
Thomas, A. (2000). “Meanings and Views of Development” In Poverty and Development: Into the 21st
century. Oxford University Press., 23-48.
White, B. (2018). Marx and Chayanov at the margins: understanding agrarian change in Java. The
Journal of Peasant Studies.
Wiradi, G. (2016). Agrarian Reform General Concept. This writing is a concise note of the speech given
by Gunawan Wiradi on the event of "Temu Tani Se-Jawa, YTKI, Jakarta, May 1st 2003.
Tentang Penulis
Yoga Adi Pradipta adalah Anggota Komisi Teknologi PPI Dunia
2019/2020 dan Mahasiswa Master of Science dalam bidang Digital
Society di International Institute of Information Technology
Bangalore, India.