Upload
ngokhuong
View
292
Download
11
Embed Size (px)
Citation preview
1 Laporan Akhir
Feasibility Study Pengadaan Calon Lahan Kompensasi Pembangunan Jalan Lintas Selatan (JLS)
KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan ke Hadirat Allah SWT, karena atas rahmat, hidayah dan perkenan-Nya-lah buku Laporan Akhir Feasibility Study Pengadaan Calon Lahan Kompensasi Pembangunan Jalan Lintas Selatan (JLS) ini dapat diselesaikan dengan baik. Tak lupa kami menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Banyuwangi atas kepercayaaan yang telah diberikan kepada kami serta kepada semua fihak yang telah mendukung terselesaikannya penyusunan laporan hasil penelitian ini. Kami juga memohon maaf apabila masih banyak terdapat kekurang-sempurnaan dan kekhilafan dalam penyusunan laporan ini Semoga buku ini dapat menjadi masukan dan inspirasi bagi perbaikan dan pengembangan penyelenggaraan pembangunan di Kabupaten Banyuwangi pada masa-masa yang akan datang. Banyuwangi, 2014 Tim Penyusun
2 Laporan Akhir
Feasibility Study Pengadaan Calon Lahan Kompensasi Pembangunan Jalan Lintas Selatan (JLS)
DAFTAR ISI Kata Pengantar Daftar Isi Bab 1 Pendahuluan 1.1. Pendahuluan ............................................................................................. 1 1.2. Maksud dan Tujuan ................................................................................... 4 1.3. Sasaran .................................................................................................... 4 1.4. Referensi Hukum ...................................................................................... 4 Bab 2 Pendekatan Teoritis 2.1. Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan ..................................................... 8 2.2. Penggunaan Kawasan Hutan Untuk Pembangunan ................................ 28
Bab 3 Metodologi 3.1. Pendekatan ............................................................................................. 35 3.2. Metode Analisis ....................................................................................... 36 3.3. Kebutuhan Dan Sumber Data ................................................................. 37 Bab 4 Gambaran Umum Kabupaten Banyuwangi 4.1. Geografis, Administratif, dan Kondisi Fisik .............................................. 40 4.2. Demografi ............................................................................................... 42 4.3. Sosial dan Budaya .................................................................................. 43 4.4. Sumber Daya Manusia ............................................................................ 44 4.5. Pengembangan Infrastruktur ................................................................... 45 4.6. Perekonomian Daerah ............................................................................ 46 4.7. Potensi Daerah ....................................................................................... 55 4.8. Analisis Perkembangan Sektoral ............................................................. 59 Bab 5 Analisa Kelayakan Lahan Pengganti 5.1. Pembangunan Jalan Lingkar Selatan ...................................................... 66 5.2. Kewajiban Lahan Pengganti .................................................................... 70 5.3. Kelayakan Lokasi .................................................................................... 75 5.4. Analisis Benefit Cost ............................................................................... 76 5.5. Aspek Hukum Pembebasan Tanah (Calon Lahan Pengganti) ................ 81 5.6. Dampak Sosial, Ekonomi dan Lingkungan .............................................. 82 Bab 6 Kesimpulan dan Rekomendasi 6.1. Kesimpulan ............................................................................................. 84 6.2. Rekomendasi .......................................................................................... 85 Daftar Pustaka
1 Laporan Akhir
Feasibility Study Pengadaan Calon Lahan Kompensasi Pembangunan Jalan Lintas Selatan (JLS)
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Pendahuluan
Pertumbuhan dan perkembangan kota atau wilayah berimplikasi pada
meningkatnya kebutuhan penduduk, disamping itu jumlah penduduk yang
senantiasa bertambah juga memiliki kontribusi yang besar bagi
peningkatan kebutuhan penduduk. Dengan pertambahan kebutuhan
penduduk maka akan bertambah pula permintaan perjalanan berupa
peningkatan aktivitas pergerakan orang dan barang dalam suatu wilayah
atau kota, yang mana aktivitas pergerakan ini mutlak memerlukan sarana
dan prasarana transportasi yang memadai baik secara kualitas maupun
kuantitas. Pembangunan infrastruktur transportasi yang dapat berupa
prasarana dan sarana jalan raya, prasarana dan sarana jaringan kereta
api, angkutan sungai, laut dan udara, semuanya bertujuan untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat dengan segala aktivitas pergerakan
orang dan barang yang menyertainya. Akan tetapi pada kenyataannya
laju mobilitas yang tinggi tidak selalu dapat diimbangi oleh laju
penyediaan jaringan prasarana dan sarana transportasi sehingga
berdampak pada menurunnya aksesibilitas dalam mencapai suatu titik
tujuan perjalanan, suatu tempat, lokasi kegiatan maupun pusat-pusat
pelayanan. Aksesibilitas adalah suatu ukuran kenyamanan yang
digunakan untuk mencapai suatu lahan atau lokasi kegiatan dengan
menggunakan sistem jaringan transportasi (Black, 1981). Tingkat
aksesibilitas dapat diukur dari jarak dan waktu. Jika suatu tempat memiliki
jarak yang berdekatan dikatakan memiliki aksesibilitas yang baik. Faktor
waktu berkarakter lebih dominan dibandingkan jarak, sebab jika waktu
tempuh yang diperlukan lebih pendek untuk menuju suatu tempat akan
dinyatakan memiliki aksesibilitas yang lebih baik meskipun memiliki jarak
yang relatif jauh, sebaliknya aksesibilitas dikatakan kurang baik jika waktu
tempuh yang diperlukan lebih lama walaupun jarak yang ditempuh lebih
dekat. Tinggi rendahnya aksesibilitas ditentukan oleh sistem jaringan
2 Laporan Akhir
Feasibility Study Pengadaan Calon Lahan Kompensasi Pembangunan Jalan Lintas Selatan (JLS)
transportasi yang menghubungkan antar tempat atau lokasi. Salah satu
jenis jaringan transportasi yang paling mendasar adalah jaringan
transportasi darat yang dalam hal ini adalah prasarana jalan.
Jalan merupakan prasarana transportasi darat yang berguna untuk
mendukung kelancaran lalu lintas atau pergerakan kendaraan yang
berupa arus menerus maupun belok (Standar Perencanaan Geometrik
Jalan Perkotaan, 1988). Jalan memiliki berbagai kelebihan seperti biaya
investasi yang relatif rendah, bersifat fleksibel memenuhi kebutuhan dan
perkembangan kota yang mana pembangunannya dapat dilakukan
secara bertahap, mempunyai karakteristik pelayanan door to door
serviceserta menjadi penghubung antar sistem perangkutan lain seperti
kereta api, angkutan sungai, laut, dan udara. Oleh karena itu tepat jika
prasarana jalan dianggap sebagai tulang punggung sistem jaringan
transportasi. Banyak sekali manfaat ekonomi, politik, sosial dan manfaat
teknis lain akan diperoleh dengan adanya jaringan jalan. Dalam lingkup
spasial, prasarana jalan diantaranya berperan besar dalam mendorong
perkembangan wilayah, meningkatkan pendapatan daerah, menjadi urat
nadi perekonomian sebagai jalur mobilitas manusia, distribusi barang dan
jasa, membuka isolasi daerah-daerah terpencil, mempercepat
pemerataan pembangunan dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat.
Disamping itu secara teknis jaringan jalan yang baik terutama berfungsi
dalam mengurangi kemacetan, meningkatkan aksesibilitas, meningkatkan
efisiensi waktu dan biaya transportasi masyarakat dan sebagainya.
Semua itu menuntut akan suatu sistem jaringan jalan yang optimal dalam
pelayanan, karena itu kinerja jalan sebagai parameter pelayanan jalan
harus senantiasa dipertahankan pada level yang baik. Berbagai usaha
dilakukan pemerintah dalam rangka mempertahankan kinerja jalan agar
tetap dapat melayani kebutuhan transportasi penduduk yang kian hari
kian meningkat. Usaha tersebut bisa berbentuk perbaikan sistem jaringan
jalan maupun perbaikan pada manajemen lalu lintas dan sistem
perangkutan dan pergerakan (Ohta, 1998 dalam Riyanto, 2007).
3 Laporan Akhir
Feasibility Study Pengadaan Calon Lahan Kompensasi Pembangunan Jalan Lintas Selatan (JLS)
Salah satu upaya mendorong pengembangan perekonomian dan pusat-
pusat pertumbuhan baru, Pemerintah Pusat menginisiasi pembangunan
Jalan Lingkar Selatan (JLS). Direncanakan JLS akan melintasi delapan
kabupaten, yakni Pacitan, Trenggalek, Tulungagung, Blitar, Malang,
Lumajang, Jember, dan Banyuwangi. Provinsi Jawa Timur memiliki
potensi sumber daya mineral yang luar biasa di kawasan selatan, tetapi
tidak dapat dimanfaatkan secara optimal karena ketiadaan akses.
Misalnya, kandungan emas di Jember dan Banyuwangi, pasir besi di
Lumajang, dan marmer di Trenggalek. Dengan adanya JLS,
perekonomian di selatan Jatim akan tumbuh dan akan membuka
lapangan pekerjaan baru. Di tahun 2012, pertumbuhan ekonomi Jatim
mencapai 7,27 persen dan diperkirakan dapat meningkat jika JLS
rampung dibangun. Ruas jalan yang telah selesai dibangun terdapat di
Pacitan, Malang, dan Tulungagung. Dengan demikian, pembangunan
ruas JLS yang nantinya rampung pada 2014 mencapai 251,58 km dan
telah menghabiskan anggaran Rp 2,3 triliun. Selain jalan, terdapat juga
jembatan sepanjang 1,6 km yang dibangun dengan anggaran sebesar Rp
291 miliar. Bagi Kabupaten Banyuwangi pembangunan ini akan
meningkatkan akses dari Tenkinol, Malangsari, Kendenglembu dan
menyatu dengan jalur eksisting di Glenmore.
Bagian penting dalam pelaksanaan pembangunan jalan lingkar selatan
tersebutadalah tersedianya lahan yang telah dibebaskan. Pemerintah
Kabupaten Banyuwangi telah membebaskan sejumlah lahan yang
menjadi jalur jalan lingkar selatan. Pembebasan lahan yang dimiliki oleh
perorangan dilakukan dengan ganti rugi tanah yang dibebaskan.
Sedangkan untuk tanah yang masuk kedalam kawasan hutan proses
ganti ruginya mengacu pada berbagai ketentuan yang lebih spesifik.
Tanah pengganti ini dalam prosesnya dibutuhkan telaahan berkait
kesesuaian secara teknis dan administratif. Oleh karena itu Pemerintah
Kabupaten Banyuwangi melalui Badan Perencanaan Pembangunan
Daerah Kabupaten Banyuwangi melaksanakan kegiatan Feasibility Study
Pengadaan Calon Lahan Kompensasi Pembangunan Jalan Lintas
Selatan (JLS).
4 Laporan Akhir
Feasibility Study Pengadaan Calon Lahan Kompensasi Pembangunan Jalan Lintas Selatan (JLS)
1.2. Maksud dan Tujuan
Maksud dan tujuan dari Penyusunan Feasibility Study Pengadaan Calon
Lahan Kompensasi Pembangunan Jalan Lintas Selatan (JLS) adalah
untuk untuk mengetahui tingkat kebutuhan dan kelayakan lahan
pengganti jalan lingkar selatan, mengetahui perkiraan waktu yang tepat
serta strategi yang sesuai dengan kemampuan pemerintah daerah dalam
pemenuhan laha pengganti di Kabupaten Banyuwangi ini
1.3. Sasaran
Sasaran yang ingin dicapai dari pekerjaan “Penyusunan Feasibility Study
Pengadaan Calon Lahan Kompensasi Pembangunan Jalan Lintas
Selatan (JLS)” adalah :
1. Mengidentifikasi kondisi eksisting Jalan Lingkar Selatan, fenomena
keberadaan dan tingkat perkembangan pelaksanaannya.
2. Menginventarisir dan menganalisis kebutuhan lahan pengganti yang
menjadi tanggungjawab Pemerintah Kabupaten Banyuwangi
3. Menganalisis kelayakan calon-calon lahan pengganti yang memenuhi
persayaratan teknis, administratif dan pembiayaan sesuai ketentuan
yang berlaku.
4. Memberikan simpulan mengenai tingkat kebutuhan dan kelayakan
lahan pengganti Jalur Lingkar Selatan serta rekomendasi mengenai
kelanjutan dan strategi pelaksanaan penggantian lahan di Kabupaten
Banyuwangi.
1.4. Referensi Hukum
1. Undang – Undang Dasar Tahun 1945 pasal 33;
2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Undang-Undang
Pokok Agraria (UUPA);
3. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber
daya Alam Hayati dan Ekosistem;
4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup;
5 Laporan Akhir
Feasibility Study Pengadaan Calon Lahan Kompensasi Pembangunan Jalan Lintas Selatan (JLS)
5. Undang – Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah;
6. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan;
7. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional;
8. Undang–Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8
tahun 2005 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan atas
Undang–Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah;
9. Undang–Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah;
10. Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004, tentang Jalan;
11. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Nasional;
12. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang;
13. Undang-Undang Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan;
14. Undang-Undang RI Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup;
15. Peraturan Pemerintah No.33 Tahun 1970 tentang Perencanaan
Hutan;
16. Peraturan Pemerintah No.28 tahun 1985 tentang Perlindungan Hutan;
17. Peraturan Pemerintah No.16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan
Tanah;
18. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan
Keuangan Daerah;
19. Peraturan Pemerintah No.34 tahun 2006 tentang Jalan;
20. Peraturan Pemerintah No.40 Tahun 2006 tentang Tata Cara
Penyusunan Rencana Pembangunan Nasional;
21. Peraturan Pemerintah No.6 tahun 2007 tentang Tata Hutan dan
Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan;
6 Laporan Akhir
Feasibility Study Pengadaan Calon Lahan Kompensasi Pembangunan Jalan Lintas Selatan (JLS)
22. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian
Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah
Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota;
23. Peraturan Pemerintah No.26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata
Ruang Wilayah Nasional;
24. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang
Penyelenggaraan Penataan Ruang;
25. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 36 tahun 2005 tentang
Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum;
26. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2006
tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005
tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan
27. Pembangunan Untuk Kepentingan Umum;
28. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2010 tentang
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2010-
2014;
29. Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN Nomor 1 Tahun 1994 tentang
Ketentuan Pelaksanaan Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993;
30. Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 13 tahun 2006 tentang
Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah;
31. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 3 tahun 1989 tentang
Pengelolaan Kawasan Budidaya;
32. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1990
tentang Pengelolaan Kawasan Lindung;
33. Keputusan Presiden Republik Indonesia No.62 Tahun 2000 tentang
Koordinasi Penataan Ruang Nasional;
34. Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor :
P.38/Menhut-II/2012 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri
Kehutanan Nomor P.18/Menhut-II/2011 Tentang Pedoman Pinjam
Pakai Kawasan Hutan
35. Peraturan Dalam Negeri No. 50 Tahun 2009 tentang Pedoman
Koordinasi Penataan Ruang Daerah;
7 Laporan Akhir
Feasibility Study Pengadaan Calon Lahan Kompensasi Pembangunan Jalan Lintas Selatan (JLS)
36. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 Tahun 1998 tentang
Penyelenggaraan Penataan Ruang di Daerah;
37. Peraturan Daerah Kabupaten Banyuwangi Nomor 8 Tahun 2012
tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Banyuwangi Tahun
2012-2032;
38. Keputusan Menteri Kimpraswil No. 27 Tahun 2002 tentang Penataan
Pedoman Bidang Penataan Ruang; dan
39. Peraturan perundang-undangan terkait lainnya yang berlaku
8 Laporan Akhir
Feasibility Study Pengadaan Calon Lahan Kompensasi Pembangunan Jalan Lintas Selatan (JLS)
BAB 2 PENDEKATAN TEORITIS
2.1. Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan
Tanah merupakan modal dasar pembangunan. Hampir tak ada kegiatan
pembangunan (sektoral) yang tidak memerlukan tanah. Oleh karena itu
tanah memegang peranan yang sangat penting, bahkan menentukan
berhasil tidaknya suatu pembangunan. Kegiatan pembangunan yang
dilaksanakan baik untuk kepentingan umum maupun swasta selalu
membutuhkan tanah sebagai wadah pembangunan. Saat ini,
pembangunan terus meningkat sedangkan persediaan tanah tidak
berubah. Keadaaan ini berpotensi menimbulkan konflik karena
kepentingan umum dan kepentingan perorangan saling berbenturan.
Perlu diketahui bahwa pengaturan terkait pengadaan tanah bagi
pembangunan untuk kepentingan umum, Pemerintah telah menerbitkan
peraturan secara berturut-turut adalah Peraturan Menteri Dalam Negeri
(Permendagri) Nomor 15 Tahun 1975 tentang Ketentuan-Ketentuan
Mengenai Tata Cara Pembebasan Tanah, Keputusan Presiden (Keppres)
Nomor 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan
Pembangunan untuk Kepentingan Umum, Peraturan Presiden (Perpres)
Nomor 36 Tahun 2005 yang kemudian diubah menjadi Perpres Nomor 65
Tahun 2006 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan
untuk Kepentingan Umum.
Peraturan perundang-undangan diatas selama ini dianggap belum
memenuhi rasa keadilan bagi pihak yang kehilangan tanahnya. Bagi
pemerintah yang memerlukan tanah, peraturan perundang-undangan
yang telah diterbitkan tersebut dipandang masih menghambat atau
kurang untuk memenuhi kelancaran pelaksanaan pembangunan sesuai
rencana. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan
Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum yang ditetapkan
9 Laporan Akhir
Feasibility Study Pengadaan Calon Lahan Kompensasi Pembangunan Jalan Lintas Selatan (JLS)
pada bulan Januari 2012, merupakan undang-undang yang ditunggu-
tunggu. Alasan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012
karena pelaksanaan pengadaan tanah pada saat ini masih lambat dalam
mendukung pembangunan infrastruktur. Pelaksanaan pengadaan tanah
selama ini masih dilakukan secara ad hoc dan menimbulkan banyak
permasalahan serta belum menjamin kepastian waktu dalam
pembebasan tanahnya. Sebagai peraturan pelaksana dari Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2012 yang mengatur teknis pembebasan lahan,
maka pada tanggal 7 Agustus 2012 yang lalu, Presiden telah menerbitkan
Perpres Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan
Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
Namun, dalam perjalanan waktu penetapan Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2012 ini tidak lepas dari pro dan kontra dari beberapa elemen
masyarakat. Sudah terdapat upaya judicial review dari beberapa
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang tergabung dalam Koalisi
Rakyat Anti Perampasan Tanah Rakyat (Karam Tanah) yang
beranggotakan Serikat Petani Indonesia (SPI), Indonesian Human Right
Committee for Social Justice (IHCS), Yayasan Bina Desa Sadajiwa,
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Koalisi Rakyat untuk Keadilan
Perikanan (KIARA), Walhi, Aliansi Petani Indonesia (API), Sawit Watch,
Koalisi Rakyat untuk Hak atas Air (KruHA), Perserikatan Solidaritas
Perempuan, Yayasan Pusaka, Elsam, Indonesia for Global Justice, dan
Serikat Nelayan Indonesia (SNI), yang menilai Undang-Undang tersebut
tidak berpihak kepada masyarakat.
Karam Tanah menilai bahwa Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012
memuat kewenangan pemerintah dengan dalih membangun fasilitas
umum, yang sesungguhnya tidak digunakan demi kepentingan umum,
tetapi lebih berorientasi pada kepentingan bisnis seperti membangun
jalan tol dan pelabuhan. Selain itu, terdapat beberapa kritik terkait
klausula yang dinilai kurang tepat serta beberapa ketentuan yang
memerlukan tambahan penjelasan dan beberapa materi yang belum
tercakup dalam peraturan ini.
10 Laporan Akhir
Feasibility Study Pengadaan Calon Lahan Kompensasi Pembangunan Jalan Lintas Selatan (JLS)
2.1.1. Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum
Sebelum Berlakunya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012
Review terhadap beberapa negara menunjukkan tidak ada negara yang
tidak memiliki kewenangan untuk mengambil tanah untuk kepentingan
pembangunan. Kecepatan pertumbuhan ekonomi di the new emerging
market tidak terlepas dari proses pengambilan tanah untuk pembangunan
infrastruktur dan wilayah perkotaan. Negara-negara seperti Cina, Korea
Selatan, dan Singapura melakukan pembebasan tanah secara besar-
besaran untuk kepentingan transportasi, perkantoran, fasilitas energi dan
infrastruktur lainnya. Beberapa literatur juga menujukkan trend penurunan
pengambilan tanah oleh pemerintah (Azuela, 2007). Pengambilan tanah
oleh pemerintah bukan saja makin menurun tapi juga semakin sulit untuk
dilakukan. Menurut Azuela, terdapat beberapa faktor yang menyebabkan
makin sulitnya pengambilan tanah oleh pemerintah yaitu: (1) meluasnya
ketidakpuasan masyarakat terhadap praktik-praktik pengambilan tanah
oleh pemerintah, (2) meningkatnya independensi lembaga peradilan, (3)
menguatnya tekanan dari pemberitaan media massa, dan (4) dampak
implementasi perjanjian internasional.
Berdasarkan review atas implementasi pengadaan tanah untuk
kepentingan umum dari beberapa Negara, terdapat beberapa
permasalahan yang dapat dijadikan pelajaran bagi proses pengaturan
pengadaan tanah bagi pembangunan untukkepentingan umum di
Indonesia. Dari analisa terhadap masalah pengadaan tanah untuk
pembangunan di berbagai negara, dapat disimpulkan:
Pertama, hampir di seluruh negara pengadaan tanah untuk
pembangunan menjadi semakin sulit dilakukan. Ketidakpuasan
masyarakat, makin independennya lembaga peradilan, tekanan pers, dan
perjanjian internasional menjadi faktor-faktor sulitnya pembebasan tanah.
Untuk Indonesia, diperkirakan trend ini juga akan terjadi. Kedua, tidak ada
praktik pengadaan tanah untuk pembangunan yang benar-benar
sempurna. Hampir di semua negara yang menjadi sampel mengalami
permasalahan. Hanya saja, tingkat kerumitan permasalahan dan
11 Laporan Akhir
Feasibility Study Pengadaan Calon Lahan Kompensasi Pembangunan Jalan Lintas Selatan (JLS)
dampaknya pada penundaan proyek berbeda-beda. Untuk Indonesia,
saat ini adalah momentum untuk perbaikan terhadap kebijakan, prosedur,
dan praktik-praktik pengadaan tanah untuk pembangunan. Ketiga,
pelaksanaan pembebasan tanah dapat dipermudah dengan dua
pendekatan.
a. Pendekatan dengan meningkatkan keberpihakan dan penghormatan
terhadap pemilik hak atas tanah
Pendekatan ini dilakukan dengan mengedepankan sosialisasi,
negosiasi, dan pemberian kompensasi yang lebih komprehensif.
Pendekatan yang mengedepankan sosialisasi, negosiasi, dan
pemberian kompensasi yang lebih komprehensif memiliki
konsekuensi pada ketersediaan anggaran. Pemberian kompensasi
secara komprehensif membutuhkan dana yang besar. Dengan
demikian, penetapan kebijakan terhadap komponen apa saja yang
akan diperhitungkan dan bagaimana metode perhitungannya harus
memperhatikan kemampuan keuangan Negara.
b. Pendekatan dengan memperkuat kewenangan negara untuk
mengambil tanah pada harga yang ditetapkan walaupun tanpa
kerelaan pemilik tanah.
Pendekatan ini dilakukan dengan menggunakan kewenangan yang
diberikan Undang-Undang. Pendekatan yang mengedepankan
kewenangan pencabutan hak membutuhkan ketegasan sikap dan
wibawa pemerintah dan aparatnya. Penggunaan kewenangan
pencabutan hanya efektif dilaksanakan oleh pemerintah dan
aparatnya yang dikenal memiliki integritas dan tidak memiliki vested
interest dalam setiap tindakannya. Rendahnya integritas dan
buruknya reputasi pemerintah dan aparatnya di mata masyarakat
akan menyebabkan resistensi dari masyarakat.
Mengacu pada hasil review pengadaan tanah oleh Pemerintah pada
beberapa negara serta untuk menjamin terselenggaranya pembangunan
untuk kepentingan umum, diperlukan tanah yang pengadaannya
dilaksanakan dengan mengedepankan prinsip kemanusiaan, demokratis,
dan adil. Untuk mengakomodir hal tersebut, maka pada tahun 2012,
Pemerintah bersama DPR telah menetapkan Undang-Undang Nomor 2
12 Laporan Akhir
Feasibility Study Pengadaan Calon Lahan Kompensasi Pembangunan Jalan Lintas Selatan (JLS)
Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk
Kepentingan Umum. Sebagai pelaksanaan amanat Pasal 53 dan Pasal
59 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012, Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono pada 7 Agustus lalu telah menandatangani Perpres Nomor 71
Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi
Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Perpres ini mengatur tata cara
pengadaan tanah untuk kepentingan umum dari tahapan perencanaan,
tahapan persiapan, tahapan pelaksanaan, sampai dengan penyerahan
hasil.
Sebelum diberlakukannya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012,
pengaturan tentang pengadaan tanah didasarkan pada Perpres Nomor
36 Tahun 2005 yang kemudian diubah menjadi Perpres Nomor 65 Tahun
2006 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk
Kepentingan Umum. Sesuai Perpres tersebut, pengadaan tanah
dilakukan oleh Panitia Pengadaan Tanah yang bersifat ad-hoc.
Prosesnya sering terhambat oleh diskontinuitas anggaran. Selain itu,
masalah lain yang sering muncul adalah definisi pembangunan untuk
kepentingan umum yang masih banyak diperdebatkan. Dan yang lebih
penting lagi, pengadaan tanah juga bersinggungan dengan isu hukum
mendasar seperti hak azasi manusia, prinsip keadilan, prinsip
keseimbangan antara kepentingan negara dengan kepentingan
masyarakat baik secara individu maupun kelompok.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 merupakan sebuah langkah
perbaikan, karena peraturan perundang-undangan sebelumnya dianggap
belum memenuhi rasa keadilan bagi pihak yang kehilangan tanahnya.
Dengan diterbitkannya undang-undang tersebut diharapkan dapat
mengatasi permasalahan-permasalahan dalam pengadaan tanah.
Beberapa permasalahan mendasar dalam proses pengadaan tanah
selama ini antara lain: pertama, belum tersedianya aturan dasar, prinsip,
prosedur dan mekanisme pengadaan tanah; kedua, belum ditetapkannya
kelembagaan pengadaan tanah; ketiga, tidak adanya peraturan khusus
pembiayaan pengadaan tanah; dan keempat, belum jelasnya kriteria
13 Laporan Akhir
Feasibility Study Pengadaan Calon Lahan Kompensasi Pembangunan Jalan Lintas Selatan (JLS)
kegiatan yang dapat dikategorikan sebagai kepentingan umum. Keempat
permasalahan tersebut menjadi salah satu penghambat untuk mencapai
tujuan pembangunan untuk kepentingan umum.
2.1.2. Landasan Penyusunan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012
Jika ditelaah secara seksama, pada bagian konsiderans Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2012 termaktub politik perundang-undangan
(legalpolitics) sebagai berikut:
a. bahwa dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil, makmur,
dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pemerintah perlu
melaksanakan pembangunan;
b. bahwa untuk menjamin terselenggaranya pembangunan untuk
kepentingan umum, diperlukan tanah yang pengadaannya
dilaksanakan dengan mengedepankan prinsip kemanusiaan,
demokratis, dan adil;
c. bahwa peraturan perundang-undangan di bidang pengadaan
tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum belum dapat
menjamin perolehan tanah untuk pelaksanaan pembangunan;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu membentuk undang-undang
tentang pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan
umum.
Dasar filosofi yang harus menjadi basis Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2012 sebagaimana pula halnya dengan Undang-Undang Pokok Agraria
(UUPA) adalah Pancasila khususnya sila kedua, keempat serta kelima
sebagaimana telah termaktub pada konsiderans Undang-Undang Nomor
2 Tahun 2012 huruf a dan b diatas. Seharusnya dengan pencantuman
landasan filosofi tersebut harus mempertegas bahwa kegiatan
pembangunan yang dimaksud sesungguhnya diabdikan untuk
kepentingan siapa, dilakukan dengan cara yang bagaimana, serta
bagaimana langkah mencapai cara dimaksud.
14 Laporan Akhir
Feasibility Study Pengadaan Calon Lahan Kompensasi Pembangunan Jalan Lintas Selatan (JLS)
Sila-sila Pancasila sebagaimana dinyatakan oleh Notonagoro (1984)
merupakan pengisi dan pengarah serta menjiwai setiap norma-norma
yang hendak dirumuskan. Tulisan Notonagoro yang sama menyatakan
bahwa "Segala peraturan hukum yang ada dalam negara Indonesia mulai
saat berdirinya merupakan suatu tertib hukum. Dalam setiap tertib hukum
diadakan pembagian susunan yang hierarkis. Setiap peraturan
perundangan yang diundangkan seharusnya merupakan penjabaran dari
nilai-nilai yang terkandung dari sila-sila Pancasila yang seharusnya tiap
kualifikasi setiap rumusan sila pertama dalam rangkaian kesatuan dengan
sila-sila yang lainnya". Dapat dikatakan bahwa secara filosofis, maka
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 seolah-olah hendak menjalankan
amanat yang terkandung pada sila-sila Pancasila berpedoman pada
prinsip kemanusiaan, demokratis serta keadilan, walaupun pengaruh dari
ideologi neo-kapitalis tak diragukan lagi. Salah satu bukti yang nyata
adalah masuknya kepentingan swasta dalam undang-undang ini dengan
dalih untuk kepentingan pembangunan.
Selain itu, permasalahan-permasalahan terkait pengadaan tanah untuk
kepentingan umum yang timbul sebagai akibat lemahnya pengaturan
dalam Perpres Nomor 36 Tahun 2005 yang kemudian diubah menjadi
Perpres Nomor 65 Tahun 2006 antara lain pelaksanaan pengadaan tanah
yang masih lambat dalam mendukung Pembangunan Infrastruktur,
pelaksanaannya oleh panitia ad hoc dan menimbulkan banyak
permasalahan seperti tindak pidana, serta belum menjamin kepastian
waktu dalam pembebasan tanahnya menjadi dasar sosiologis dan yuridis
diterbitkannya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 guna mendukung
percepatan Pembangunan Infrastruktur dan sekaligus mempercepat
Pembangunan Ekonomi.
2.1.3. Prosedur Pelaksanaan Pengadaan Tanah Berdasarkan Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2012 dan Peraturan Pelaksananya
Tata cara atau prosedur pengadaan tanah untuk kepentingan umum telah
diatur secara jelas dalam UU PTUP dan peraturan pelaksananya, mulai
dari tahapan perencanaan, tahapan persiapan, tahapan pelaksanaan,
15 Laporan Akhir
Feasibility Study Pengadaan Calon Lahan Kompensasi Pembangunan Jalan Lintas Selatan (JLS)
sampai dengan penyerahan hasil berdasarkan Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2012 dan Perpres Nomor 71 Tahun 2012 sebagai berikut.
a. Tahap Perencanaan
Setiap instansi yang memerlukan tanah bagi pembangunan untuk
kepentingan umum, agar menyusun Dokumen Perencanaan
Pengadaan Tanah, yang sedikitnya memuat: (1) maksud dan
tujuan rencana pembangunan, (2) kesesuaian dengan Rancangan
Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan Prioritas Pembangunan, (3)
letak tanah, (4) luas tanah yang dibutuhkan, (5) gambaran umum
status tanah, (6) perkiraan jangka waktu pelaksanaan pengadaan
tanah dan pelaksanaan pembangunan, (7) perkiraan nilai tanah,
dan (8) rencana penganggaran. Dokumen Perencanaan
Pengadaan Tanah tersebut disusun berdasarkan studi kelayakan
yang mencakup: (1) survei sosial ekonomi, (2) kelayakan lokasi,
(3) analisis biaya dan manfaat pembangunan bagi wilayah dan
masyarakat, (4) perkiraan harga tanah, (5) dampak lingkungan
dan dampak sosial yang mungkin timbul akibat pengadaan tanah
dan bangunan, serta (6) studi lain yang diperlukan Dokumen
Perencanaan tersebut selanjutnya diserahkan oleh instansi yang
memerlukan tanah kepada Gubernur yang melingkupi wilayah
dimana letak tanah berada. b. Tahap Persiapan
Dalam tahapan pelaksanaan, Gubernur membentuk Tim
Persiapan dalam waktu paling lama 10 hari kerja, yang
beranggotakan: (1) Bupati/Walikota, (2) SKPD Provinsi terkait, (3)
instansi yang memerlukan tanah, dan (4) instansi terkait lainnya.
Untuk kelancaran pelaksanaan tugas Tim Persiapan, Gubernur
membentuk sekretariat persiapan Pengadaan Tanah yang
berkedudukan di Sekretariat Daerah Provinsi. Adapun tugas Tim
Persiapan sebagai berikut:
a. Melaksanakan pemberitahuan rencana pembangunan
Pemberitahuan rencana pembangunan ditandatangani Ketua Tim
Persiapan dan diberitahukan kepada masyarakat pada lokasi
rencana pembangunan, paling lama 20 hari kerja setelah
16 Laporan Akhir
Feasibility Study Pengadaan Calon Lahan Kompensasi Pembangunan Jalan Lintas Selatan (JLS)
Dokumen Perencanaan Pengadaan Tanah diterima resmi oleh
Gubernur.
Pemberitahuan dapat dilakukan secara langsung melalui
sosialisasi, tatap muka, dan/atau surat pemberitahuan, atau
melalui pemberitahuan secara tidak langsung melalui media cetak
maupun media elektronik.
b. Melakukan pendataan awal lokasi rencana pengadaan
Pendataan awal lokasi rencana pengadaan meliputi kegiatan
pengumpulan data awal Pihak yang Berhak dan Objek Pengadaan
Tanah bersama aparat kelurahan/desa paling lama 30 hari kerja
sejak pemberitahuan rencana pembangunan.
Hasil pendataan dituangkan dalam bentuk daftar sementara lokasi
rencana pembangunan yang ditandatangani Ketua Tim Persiapan
sebagai bahan untuk pelaksanaan Konsultasi Publik rencana
pembangunan.
c. Melaksanakan Konsultasi Publik rencana pembangunan
Konsultasi Publik rencana pembangunan dilakukan untuk
mendapatkan kesepakatan lokasi rencana pembangunan dari
Pihak yang Berhak dan masyarakat yang terkena dampak, dan
dilaksanakan paling lama 60 hari kerja sejak tanggal
ditandatanganinya daftar sementara lokasi rencana
pembangunan. Hasil kesepakatan atas lokasi rencana
pembangunan dituangkan dalam berita acara kesepakatan.
Apabila, dalam Konsultasi Publik, Pihak yang Berhak dan
masyarakat yang terkena dampak atau kuasanya tidak sepakat
atau keberatan, maka dilaksanakan Konsultasi Publik ulang paling
lama 30 hari kerja sejak tanggal berita acara kesepakatan. Jika
dalam Konsultasi Publik ulang masih terdapat pihak yang
keberatan atas rencana lokasi pembangunan, instansi yang
memerlukan tanah melaporkan keberatan kepada Gubernur
melalui Tim Persiapan. Selanjutnya, Gubernur membentuk Tim
Kajian Keberatan yang terdiri atas:
a. Sekretaris Daerah Provinsi atau pejabat yang ditunjuk sebagai
ketua merangkap anggota;
17 Laporan Akhir
Feasibility Study Pengadaan Calon Lahan Kompensasi Pembangunan Jalan Lintas Selatan (JLS)
b. Kepala Kantor Wilayah BPN sebagai sekretaris merangkap
anggota;
c. Instansi yang menangani urusan pemerintahan di bidang
perencanaan pembangunan daerah sebagai anggota;
d. Kepala Kantor Wilayah Kementrian Hukum dan HAM sebagai
anggota;
e. Bupati/Walikota atau pejabat yang ditunjuk sebagai anggota;
f. Akademisi sebagai anggota.
Tugas Tim Kajian Keberatan meliputi:
a. Menginventarisasi masalah yang menjadi alasan keberatan;
b. Melakukan pertemuan atau klarifikasi dengan pihak yang
keberatan;
c. Membuat rekomendasi diterima atau ditolaknya keberatan
yang ditandatangani Ketua Tim Kajian Keberatan kepada
Gubernur. Berdasarkan rekomendasi dari Tim Kajian, Gubernur
mengeluarkan surat diterima atau ditolaknya keberatan atas lokasi
rencana pembangunan. Penanganan keberatan oleh Gubernur
dilakukan paling lama 14 hari kerja sejak diterimanya keberatan.
Dalam hal Gubernur memutuskan dalam suratnya menerima
keberatan, instansi yang memerlukan tanah membatalkan
rencana pembangunan atau memindahkan lokasi rencana
pembangunan ke tempat lain. 4) Menyiapkan Penetapan Lokasi
Pembangunan
d. Penetapan Lokasi Pembangunan dibuat berdasarkan
kesepakatan yang telah dilakukan Tim Persiapan dengan Pihak
yang Berhak atau berdasarkan karena ditolaknya keberatan dari
Pihak yang Keberatan. Penetapan Lokasi Pembangunan dilampiri
peta lokasi pembangunan yang disiapkan oleh instansi yang
memerlukan tanah.
Penetapan Lokasi Pembangunan berlaku untuk jangka waktu 2
tahun dan dapat dilakukan permohonan perpanjangan waktu 1 kali
untuk waktu paling lama 1 tahun kepada Gubernur yang diajukan
18 Laporan Akhir
Feasibility Study Pengadaan Calon Lahan Kompensasi Pembangunan Jalan Lintas Selatan (JLS)
paling lambat 2 bulan sebelum berakhirnya jangka waktu
Penetapan Lokasi Pembangunan.
e. Mengumumkan Penetapan Lokasi Pembangunan
Pengumuman atas Penetapan Lokasi Pembangunan untuk
kepentingan umum paling lambat 3 hari sejak dikeluarkan
Penetapan Lokasi Pembangunan yang dilaksanakan dengan cara:
a) Ditempelkan di kantor Kelurahan/Desa, dan/atau kantor
Kabupaten/Kota dan di lokasi pembangunan;
b) Diumumkan melalui media cetak dan/atau media
elektronik. Pengumuman Penetapan Lokasi Pembangunan
dilaksanakan selama paling kurang 14 hari kerja.
f. Melaksanakan tugas lain yang terkait persiapan pengadaan tanah
bagi pembangunan untuk kepentingan umum yang ditugaskan
oleh Gubernur Dalam hal ini, Gubernur dapat mendelegasikan
kewenangan pelaksanaan tahapan persiapan pengadaan tanah
bagi pembangunan untuk kepentingan umum kepada
Bupati/Walikota berdasarkan pertimbangan efisiensi, efektivitas,
kondisi geografis, sumber daya manusia dan pertimbangan lain.
b. Tahap Pelaksanaan
Berdasarkan Penetapan Lokasi Pembangunan untuk kepentingan
umum, instansi yang memerlukan tanah mengajukan pelaksanaan
Pengadaan Tanah kepada Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah
dengan dilengkapi/dilampiri Dokumen Perencanaan Pengadaan
Tanah dan Penetapan Lokasi Pembangunan.
Ketentuan mengenai penyelenggaraan pengadaan tanah
diserahkan kepada Kepala BPN, yang pelaksanaannya
dilaksanakan oleh Kepala Kantor Wilayah BPN selaku Ketua
Pelaksana Pengadaan Tanah (dengan pertimbangan efisiensi,
efektifitas, kondisi geografis dan sumber daya manusia, dapat
didelegasikan kepada Kepala Kantor Pertanahan), dengan
susunan keanggotaan berunsurkan paling kurang:
1. Pejabat yang membidangi urusan Pengadaan Tanah di
lingkungan Kantor Wilayah BPN;
19 Laporan Akhir
Feasibility Study Pengadaan Calon Lahan Kompensasi Pembangunan Jalan Lintas Selatan (JLS)
2. Kepala Kantor Pertanahan setempat di lokasi Pengadaan
Tanah;
3. Pejabat SKPD Provinsi yang membidangi urusan pertanahan;
4. Camat setempat pada lokasi Pengadaan Tanah;
5. Lurah/Kepala Desa atau nama lain pada lokasi Pengadaan
Tanah.
Pelaksana Pengadaan Tanah kemudian melakukan penyiapan
pelaksanaan Pengadaan Tanah yang dituangkan dalam Rencana
Kerja yang memuat paling kurang:
1. Rencana pendanaan pelaksanaan;
2. Rencana waktu dan penjadwalan pelaksanaan;
3. Rencana kebutuhan pelaksana pengadaan;
4. Rencana kebutuhan bahan dan peralatan pelaksanaan;
5. Inventarisasi dan alternatif solusi faktor-faktor penghambat
dalam pelaksanaan;
6. Sistem monitoring pelaksanaan.
Pelaksanaan Pengadaan Tanah secara garis besar meliputi:
1) Inventarisasi dan identifikasi penguasaan, pemilikan, penggunaan,
dan pemanfaatan tanah
Dilakukan dengan jangka waktu paling lama 30 hari. Adapun
kegiatannya meliputi:
a) Pengukuran dan pemetaan bidang per bidang tanah; dan
b) Pengumpulan data Pihak yang Berhak dan Objek Pengadaan
Tanah.
Hasil inventarisasi dan identifikasi penguasaan, pemilikan,
penggunaan, dan pemanfaatan tanah tersebut wajib diumumkan
di kantor desa/kelurahan, kantor kecamatan dan tempat
Pengadaan Tanah dilakukan dalam waktu paling lama 14 hari
kerja.
Dalam hal tidak menerima hasil inventarisasi, Pihak yang Berhak
dapat mengajukan keberatan kepada Ketua Pelaksana
Pengadaan Tanah dalam waktu paling lama 14 hari kerja terhitung
20 Laporan Akhir
Feasibility Study Pengadaan Calon Lahan Kompensasi Pembangunan Jalan Lintas Selatan (JLS)
sejak diumumkan hasil inventarisasi, untuk kemudian dilakukan
verifikasi dan perbaikan dalam waktu paling lama 14 hari kerja
terhitung sejak diterimanya pengajuan keberatan atas hasil
inventarisasi.
2) Penilaian Ganti Kerugian
Hasil pengumuman dan/atau verifikasi serta perbaikan atas hasil
inventarisasi dan identifikasi penguasaan, pemilikan, penggunaan,
dan pemanfaatan tanah ditetapkan oleh Ketua Pelaksana
Pengadaan Tanah dan selanjutnya menjadi dasar penentuan
Pihak yang Berhak dalam pemberian Ganti Kerugian. Penetapan
besarnya nilai ganti kerugian oleh Ketua Pelaksana Pengadaan
Tanah berdasarkan hasil penilaian jasa penilai atau penilai publik
yang ditunjuk dan ditetapkan oleh Ketua Pelaksana Pengadaan
Tanah yang penilaiannya dilaksanakan paling lama 30 hari kerja.
3) Musyawarah penetapan Ganti Kerugian
Pelaksana Pengadaan Tanah melakukan musyawarah dengan
Pihak yang Berhak dalam waktu paling lama 30 hari kerja sejak
hasil penilaian dari Penilai disampaikan kepada Ketua Pelaksana
Pengadaan Tanah untuk menetapkan bentuk dan/atau besarnya
Ganti Kerugian berdasarkan hasil penilaian Ganti Kerugian. Hasil
kesepakatan dalam musyawarah tersebut menjadi dasar
pemberian Ganti Kerugian kepada Pihak yang Berhak/kuasanya
yang dimuat dalam berita acara kesepakatan.
Dalam hal tidak terjadi kesepakatan mengenai bentuk dan/atau
besarnya Ganti Kerugian, Pihak yang Berhak dapat mengajukan
keberatan kepada Pengadilan Negeri setempat dalam waktu
paling lama 14 hari kerja setelah musyawarah penetapan Ganti
Kerugian. Pengadilan Negeri memutus bentuk dan/atau besarnya
Ganti Kerugian dalam waktu paling lama 30 hari kerja sejak
diterimanya pengajuan keberatan.
Pihak yang keberatan terhadap putusan Pengadilan Negeri, dalam
waktu paling lama 14 hari kerja dapat mengajukan kasasi kepada
Mahkamah Agung. Mahkamah Agung wajib memberikan putusan
dalam waktu paling lama 30 hari kerja sejak permohonan kasasi
21 Laporan Akhir
Feasibility Study Pengadaan Calon Lahan Kompensasi Pembangunan Jalan Lintas Selatan (JLS)
diterima. Putusan Pengadilan Negeri/Mahkamah Agung yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap menjadi dasar
pembayaran Ganti Kerugian kepada pihak yang mengajukan
keberatan.
4) Pemberian Ganti Kerugian
Pemberian ganti kerugian dapat dilakukan dalam bentuk:
a) Uang
b) Tanah Pengganti
c) Pemukiman kembali
d) Kepemilikan saham
e) Bentuk lain yang disetujui kedua belah pihak
Pelaksana Pengadaan Tanah membuat penetapan mengenai
bentuk ganti kerugian berdasarkan berita acara kesepakatan
dan/atau putusan Pengadilan Negeri/Mahkamah Agung.
Pemberian Ganti Kerugian dibuat dalam berita acara pemberian
Ganti Kerugian yang dilampiri dengan:
a) Daftar Pihak yang Berhak penerima Ganti Kerugian
b) Bentuk dan besarnya Ganti Kerugian yang telah diberikan
c) Daftar dan bukti pembayaran/kwitansi
d) Berita acara pelepasan hak atas tanah dan penyerahan bukti
penguasaan atau kepemilikan Objek Pengadaan Tanah
kepada instansi yang memerlukan tanah melalui Pelaksana
Pengadaan Tanah. Dalam hal Pihak yang Berhak menolak
bentuk dan/atau besarnya Ganti Kerugian berdasarkan hasil
musyawarah atau putusan pengadilan negeri/Mahkamah
Agung, Ganti Kerugian dititipkan di Pengadilan Negeri
setempat. Penitipan Ganti Kerugian juga dilakukan terhadap:
a. Pihak yang Berhak menerima Ganti Kerugian
tidak diketahui keberadaannya;
b. Objek Pengadaan Tanah yang akan diberikan Ganti
Kerugian:
c. sedang menjadi objek perkara di pengadilan;
d. masih dipersengketakan kepemilikannya;
e. diletakkan sita oleh pejabat yang berwenang; atau
22 Laporan Akhir
Feasibility Study Pengadaan Calon Lahan Kompensasi Pembangunan Jalan Lintas Selatan (JLS)
f. menjadi jaminan di bank.
Pada saat pelaksanaan pemberian Ganti Kerugian dan Pelepasan
Hak telah dilaksanakan atau pemberian Ganti Kerugian sudah
dititipkan di Pengadilan Negeri, kepemilikan atau Hak Atas Tanah
dari Pihak yang Berhak menjadi hapus dan alat bukti haknya
dinyatakan tidak berlaku dan tanahnya menjadi tanah yang
dikuasai langsung oleh negara.
c. Tahap Penyerahan Hasil Pengadaan Tanah
Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah menyerahkan hasil
pengadaan tanah kepada instansi yang memerlukan tanah disertai
data Pengadaan Tanah paling lama 7 hari kerja sejak pelepasan
hak Objek Pengadaan Tanah dengan berita acara. Setelah proses
penyerahan, paling lama 30 hari kerja instansi yang memerlukan
tanah wajib melakukan pendaftaran/pensertifikatan untuk dapat
dimulai proses pembangunan.
Pendanaan atas pengadaan tanah bagi pembangunan untuk
kepentingan umum, dibebankan pada instansi yang memerlukan
tanah dan dituangkan dalam dokumen penganggaran yang
bersumber dari APBN/APBD.
Dalam rangka efisiensi dan efektivitas, pengadaan tanah untuk
kepentingan umum yang luasnya tidak lebih dari 1 hektar, dapat
dilakukan secara langsung oleh instansi yang memerlukan tanah
dengan para pemegang hak atas tanah dengan cara jual beli atau
cara lain yang disepakati kedua belah pihak.
2.1.4. Kekurangan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012
Dalam perjalanannya, pengesahan Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2012 menemui hambatan dimana terdapat permohonan judicial review
dari Koalisi Rakyat Anti Perampasan Tanah Rakyat (Karam Tanah) yang
berpendapat bahwa substansi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012
belum berpihak kepada kepentingan rakyat. Hal tersebut terkait definisi
tentang 'pembangunan untuk kepentingan umum' yang didalamnya
terlihat mengakomodir kepentingan swasta dalam Undang-Undang ini
dengan dalih untuk kepentingan pembangunan.
23 Laporan Akhir
Feasibility Study Pengadaan Calon Lahan Kompensasi Pembangunan Jalan Lintas Selatan (JLS)
Definisi pembangunan untuk kepentingan umum pada dasarnya sudah
diuraikan dalam Pasal 1 angka 6, Pasal 9 ayat (1), dan Pasal 10 Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2012. Berdasarkan Pasal 1 angka 6 Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2012 disebutkan definisi mengenai kepentingan
umum sebagai kepentingan bangsa, negara, dan masyarakat yang harus
diwujudkan oleh pemerintah dan digunakan sebesar-besarnya untuk
kemakmuran rakyat. Pada Pasal 9 ayat (1) lebih lanjut dijelaskan bahwa
penyelenggaraan pengadaan tanah untuk kepentingan umum
memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pembangunan dan
kepentingan masyarakat. Kemudian dalam Pasal 10 Undang-Undang ini
ditentukan bahwa tanah untuk kepentingan umum digunakan untuk
pembangunan:
a. pertahanan dan keamanan nasional;
b. jalan umum, jalan tol, terowongan, jalur kereta api, stasiun kereta
api, dan fasilitas operasi kereta api;
c. waduk, bendungan, bendung, irigasi, saluran air minum, saluran
pembuangan air dan sanitasi, dan bangunan pengairan lainnya;
d. pelabuhan, bandar udara, dan terminal;
e. infrastruktur minyak, gas, dan panas bumi;
f. pembangkit, transmisi, gardu, jaringan, dan distribusi tenaga
listrik;
g. jaringan telekomunikasi dan informatika Pemerintah;
h. tempat pembuangan dan pengolahan sampah;
i. rumah sakit Pemerintah/Pemerintah Daerah;
j. fasilitas keselamatan umum;
k. tempat pemakaman umum Pemerintah/Pemerintah Daerah;
l. fasilitas sosial, fasilitas umum, dan ruang terbuka hijau publik;
m. cagar alam dan cagar budaya;
n. kantor Pemerintah/Pemerintah Daerah/desa;
o. penataan permukiman kumuh perkotaan dan/atau konsolidasi
tanah, serta perumahan untuk masyarakat berpenghasilan rendah
dengan status sewa;
p. prasarana pendidikan atau sekolah Pemerintah/Pemerintah
Daerah;
24 Laporan Akhir
Feasibility Study Pengadaan Calon Lahan Kompensasi Pembangunan Jalan Lintas Selatan (JLS)
q. prasarana olahraga Pemerintah/Pemerintah Daerah; dan
r. pasar umum dan lapangan parkir umum.
Isi ketentuan pasal-pasal diatas oleh beberapa kalangan dianggap telah
menghilangkan hak warga negara untuk menentukan jenis-jenis
pembangunan untuk kepentingan umum dan mana yang bukan. Sebab,
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 ini telah mendefinisikan sendiri
dan menentukan jenis-jenis pembangunan yang dikategorikan untuk
kepentingan umum (Andrinof A. Chaniago, Dosen FISIP UI selaku Ahli
dalam Sidang pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 di
Mahkamah Konstitusi). Berdasarkan ketentuan pasal-pasal diatas, yaitu
pada Pasal 10 dicontohkan bahwa pembangunan jalan tol dan semua
jenis proyek pelabuhan tidak tepat jika dikategorikan sebagai kepentingan
umum karena dikelola secara bisnis dan melayani kalangan tertentu saja.
Selain itu, dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 ini tidak
ditemukan mengenai definisi kepentingan pembangunan dan kepentingan
masyarakat yang menjadi syarat penyelenggaraan 'kepentingan umum'
sebagaimana dicantumkan dalam ketentuan Pasal 9 ayat (1). Hal ini
menunjukkan masih terdapatnya kekaburan definisi pembangunan untuk
kepentingan umum dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 seperti
halnya peraturan-peraturan sebelumnya.
Selain itu, dalam Pasal 39, Pasal 42 ayat (1) dan Pasal 43 Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2012 diatur bahwa dalam hal Pihak yang Berhak
menolak bentuk dan/atau besarnya Ganti Kerugian, tetapi tidak
mengajukan keberatan dalam waktu 14 hari kerja setelah musyawarah
penetapan Ganti Kerugian, karena hukum Pihak yang Berhak dianggap
menerima bentuk dan besarnya Ganti Kerugian. Ganti Kerugian tersebut
kemudian dititipkan di pengadilan negeri setempat. Pada saat
pelaksanaan pemberian Ganti Kerugian dan Pelepasan Hak telah
dilaksanakan atau pemberian Ganti Kerugian sudah dititipkan di
pengadilan negeri, kepemilikan atau Hak Atas Tanah dari Pihak yang
Berhak menjadi hapus dan alat bukti haknya dinyatakan tidak berlaku dan
tanahnya menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh negara.
25 Laporan Akhir
Feasibility Study Pengadaan Calon Lahan Kompensasi Pembangunan Jalan Lintas Selatan (JLS)
Hapusnya kepemilikan atau Hak Atas Tanah dari pihak yang berhak yang
menolak hasil musyawarah tetapi tidak mengajukan keberatan
sebagaimana diatur Pasal 39, 42 ayat (1) dan 43 di atas, menunjukkan
represifnya Undang-Undang ini yang sengaja ditabrakkan dengan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-hak
Tanah dan Benda-benda yang Ada Diatasnya. Pasal 43 ini jelas tidak
sesuai dengan apa yang telah diuraikan dalam diktum Menimbang,
Ketentuan Umum Pasal 1 angka 2 dan angka 10 serta Pasal 2 Undang-
Undang ini sendiri yaitu pengadaan tanah untuk kepentingan umum harus
memperhatikan asas kemanusiaan, keadilan, kesepakatan, dan asas-
asas lain.
Kemudian dalam Pasal 1 angka 4 dan Pasal 33 point b Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2012 disebutkan bahwa obyek pengadaan tanah dan
penilaian besarnya nilai Ganti Kerugian oleh Penilai antara lain meliputi
ruang atas tanah dan bawah tanah. Definisi mengenai apa yang
dimaksud 'ruang atas tanah dan bawah tanah' pada pasal tersebut tidak
dijelaskan lebih lanjut dalam Undang-Undang ini maupun peraturan
pelaksananya. Hal ini menjadi kabur apabila dihubungkan dengan bunyi
Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa
bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh
Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Dalam hal ini, perlu kejelasan yang dimaksud serta batasan ruang atas
tanah dan bawah tanah. Hal ini juga dimaksudkan untuk memberikan
penjelasan atas ketentuan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (atau sering disingkat
UUPA) dimana menyebutkan bahwa hak atas tanah meliputi permukaan
bumi, ruang atasnya dan bawahnya sekedar diperlukan yang berkaitan
dengan permukaan tanahnya. Namun, dalam UUPA tersebut belum
menjelaskan mengenai definisi dan batasan ruang atas tanah dan bawah
tanah.
Represifnya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 juga terlihat pada
Pasal 41 ayat (2) dan ayat (3) yang menyatakan bahwa Pihak yang
26 Laporan Akhir
Feasibility Study Pengadaan Calon Lahan Kompensasi Pembangunan Jalan Lintas Selatan (JLS)
Berhak harus menyerahkan bukti penguasaan atau kepemilikan yang
merupakan satu-satunya bukti yang sah menurut hukum dan tidak dapat
diganggu gugat di kemudian hari. Kalimat "tidak dapat diganggu gugat di
kemudian hari" ini bertentangan dengan fakta hukum yang sedang
berlangsung di Indonesia, dalam hal ini Pasal 19 ayat (2) UUPA sebagai
berikut:
Pasal 19 UUPA:
a. Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan
pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut
ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.
b. Pendaftaran tersebut dalam ayat (1) pasal ini meliputi:
1. pengukuran perpetaan dan pembukuan tanah;
2. pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak
tersebut;
3. pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku
sebagai alat pembuktian yang kuat.
Bahwa Pasal 19 ayat (2) huruf c. UUPA menegaskan surat-surat tanda
bukti hak sebagai alat pembuktian yang kuat, dalam hal ini belum sebagai
alat pembuktian yang mutlak. Alat bukti kepemilikan tanah di Indonesia
yang sudah berupa Sertifikat Hak Atas Tanah saja setiap saat atau di
kemudian hari masih dapat diganggu gugat.
Seperti halnya Perpres Nomor 65 Tahun 2006, Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2012 dan Perpres Nomor 71 Tahun 2012 sudah mengatur batasan
waktu untuk tiap tahap pengadaan tanah. Namun, masih terdapat
kekurangan dalam peraturan ini dimana belum diatur sanksi dalam hal
batas waktu untuk setiap tahapan terlampaui.
2.1.5. Kelebihan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012
Namun, dibalik sifat represif dari Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012
maupun Perpres Nomor 71 Tahun 2012 sebagai peraturan pelaksananya,
tidak dapat dipungkiri bahwa terdapat perbaikan yang signifikan dari
peraturan sebelumnya yaitu Perpres Nomor 65 Tahun 2006. Sebagai
contoh, ketentuan Pasal 35 yang menyatakan apabila dalam hal bidang
tanah tertentu yang terkena Pengadaan Tanah terdapat sisa yang tidak
27 Laporan Akhir
Feasibility Study Pengadaan Calon Lahan Kompensasi Pembangunan Jalan Lintas Selatan (JLS)
lagi dapat difungsikan sesuai dengan peruntukan dan penggunaannya,
Pihak yang Berhak dapat meminta penggantian secara utuh atas bidang
tanahnya. Bunyi pasal ini belum pernah muncul di peraturan peraturan
sebelumnya. Pasal ini muncul dalam rangka mewujudkan pengadaan
tanah yang adil. Setelah penetapan lokasi pembangunan Pihak yang
Berhak hanya dapat mengalihkan hak atas tanahnya kepada Instansi
yang memerlukan tanah melalui Lembaga Pertanahan. Hal ini untuk
menghindari "calo" dan spekulan tanah, pembatasan ini belum pernah
muncul pada peraturan perundang-undangan sebelumnya.
Selain itu, dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 maupun Perpres
Nomor 71 Tahun 2012 telah diatur mengenai jangka waktu pelaksanaan
pengadaan tanah yang jelas dari mulai tahapan perencanaan, tahapan
persiapan, tahapan pelaksanaan, sampai dengan penyerahan hasil,
termasuk didalamnya pihak-pihak yang berperan dalam masing-masing
tahapan. Peraturan ini juga mengatur durasi waktu setiap tahapan dalam
proses pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum.
Sebenarnya batasan waktu juga telah diatur dalam Perpres Nomor 65
Tahun 2006, namun dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012
maupun Perpres Nomor 71 Tahun 2012 sudah secara tegas mengatur
durasi waktu keseluruhan penyelenggaraan pembebasan tanah untuk
kepentingan umum paling lama (maksimal) 583 hari.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 maupun Perpres
Nomor 71 Tahun 2012 juga diatur keharusan instansi yang memerlukan
tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum agar menyusun
dokumen perencanaan pengadaan tanah. Karena itu harus disebutkan
tujuan rencana pembangunan, kesesuaian dengan Rancangan Tata
Ruang Wilayah (RTRW), letak tanah, luas tanah yang dibutuhkan,
gambaran umum status tanah, dan perkiraan nilai tanah. Lalu selanjutnya
diserahkan kepada Gubernur yang melingkupi wilayah dimana letak tanah
berada.
28 Laporan Akhir
Feasibility Study Pengadaan Calon Lahan Kompensasi Pembangunan Jalan Lintas Selatan (JLS)
Lebih lanjut, peraturan ini juga menyinggung soal pengaturan ganti
kerugian, pengalihan hak tanah, dan lainnya. Selain itu, terdapat
pengaturan soal penolakan dari pihak yang berhak untuk penggantian
rugi atas lahan tersebut dan sengketa lahan di pengadilan. Terkait
pengaturan sumber dana pengadaan tanah, termasuk pengadaan tanah
berskala kecil maupun pengadaan tanah untuk pembangunan
infrastruktur minyak, gas, dan panas bumi juga tidak luput diatur
didalamnya.
2.2. Penggunaan Kawasan Hutan Untuk Pembangunan
Sebagian rencana pembangunan Jalan Lingkar Selatan melewati
kawasan hutan dimana pengaturan ganti ruginy diatur secara khusus.
Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan diluar
kehutanan hanya dapat dilakukan dalam kawasan hutan produksi
dan kawasan hutan lindung dengan mempertimbangkan batasan luas,
jangka waktu tertentu, dan kelestarian lingkungan.
Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar
kegiatan kehutanan hanya dapat dilakukan untuk kegiatan yang
mempunyai tujuan strategis yang tidak dapat dielakkan, termasuk
diantaranya adalah kegiatan pertanian tertentu dalam rangka
ketahanan pangan dan ketahanan energi.
Persyaratan terhadap hapusnya persetujuan prinsip penggunaan
kawasan hutan atau izin pinjam pakai kawasan hutan perlu diubah
dengan pertimbangan untuk memberi kepastian hukum dalam
melakukan kegiatan bagi pemegang izin pinjam pakai kawasan
hutan.Berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang
Penataan Ruang, Pemerintah Daerah menetapkan Rencana Tata
Ruang Wilayah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota
menetapkan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota yang
menjadi pedoman dalam pemanfaatan ruang.
Dalam penetapan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi atau
Kabupaten/Kota terdapat perubahan peruntukan dan fungsi kawasan
29 Laporan Akhir
Feasibility Study Pengadaan Calon Lahan Kompensasi Pembangunan Jalan Lintas Selatan (JLS)
hutan yang belum mengacu pada perubahan peruntukan dan fungsi
kawasan hutan hasil penelitian terpadu sebagaimana diatur dalam
Pasal 19 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun
2004. Perubahan peruntukan tersebut mengakibatkan perbedaan
peruntukan ruang antara Rencana Tata Ruang Wilayah dengan
peruntukan dan fungsi kawasan hutan.
Perbedaan peruntukan ruang tersebut di atas mengakibatkan
perbedaan acuan dalam penggunaan ruang sehingga menimbulkan
ketidakpastian penggunaan ruang. Perbedaan acuan dalam
penggunaan ruang tersebut harus diselesaikan dengan ketentuan
dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun
2004.
Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang yang mencabut Undang-Undang Nomor 24 Tahun
1992 tentang Penataan Ruang, maka Rencana Tata Ruang Wilayah
yang telah ditetapkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun
1992 tentang Penataan Ruang, wajib menyesuaikan melalui kegiatan
penyesuaian pemanfaatan ruang sesuai dengan Undang-Undang Nomor
26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Pemanfaatan ruang yang
tidak sesuai dengan rencana tata ruang harus disesuaikan dengan
rencana tata ruang melalui kegiatan penyesuaian pemanfaatan ruang.
Sehingga semua kegiatan usaha pertambangan yang izinnya
diterbitkan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan Rencana Tata Ruang
Wilayah Provinsi yang ditetapkan sebelum berlakunya Undang-Undang
Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, namun berdasarkan
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun
2004 areal tersebut merupakan kawasan hutan dengan fungsi hutan
produksi, pemegang izin wajib mengajukan permohonan izin pinjam
30 Laporan Akhir
Feasibility Study Pengadaan Calon Lahan Kompensasi Pembangunan Jalan Lintas Selatan (JLS)
pakai kawasan hutan kepada Menteri. Kawasan hutan dapat digunakan
untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan, antara lain
kegiatan:
a) religi;
b) pertambangan;
c) instalasi pembangkit, transmisi, dan distribusi listrik, serta teknologi
energi baru dan terbarukan;
d) pembangunan jaringan telekomunikasi, stasiun pemancar radio, dan
stasiun relay televisi;
e) jalan umum, jalan tol, dan jalur kereta api;
f) sarana transportasi yang tidak dikategorikan sebagai sarana
transportasi umum untuk keperluan pengangkutan hasil produksi;
g) sarana dan prasarana sumber daya air, pembangunan jaringan
instalasi air, dan saluran air bersih dan/atau air limbah;
h) fasilitas umum;
i) industri terkait kehutanan;
j) pertahanan dan keamanan;
k) prasarana penunjang keselamatan umum; atau
l) penampungan sementara korban bencana alam.
Dengan syarat sebagai berikut:
a) hanya dapat dilakukan di dalam kawasan hutan produksi; dan/atau
kawasan hutan lindung. Berarti pembangunan di luar kegiatan
kehutanan tidak dapat dilakukan dalam hutan konservasi (Taman
Nasional, Cagar Alam, tahura dan sebaginya )
b) tanpa mengubah fungsi pokok kawasan hutan dengan
mempertimbangkan batasan luas dan jangka waktu tertentu serta
kelestarian lingkungan
c) kawasan hutan lindung hanya dapat dilakukan penambangan dengan
pola pertambangan bawah tanah (tidak boleh melakukan
penambangan dengan pola pertambangan terbuka)dengan ketentuan
dilarang mengakibatkan turunnya permukaan tanah; berubahnya
fungsi pokok kawasan hutan secara permanen; dan terjadinya
kerusakan akuiver air tanah
31 Laporan Akhir
Feasibility Study Pengadaan Calon Lahan Kompensasi Pembangunan Jalan Lintas Selatan (JLS)
d) hanya dapat dilakukan untuk kegiatan yang mempunyai tujuan
strategis yang tidak dapat dielakkan yaitu kegiatan yang diprioritaskan
karena mempunyai pengaruh yang sangat penting secara nasional
terhadap kedaulatan negara, pertahanan keamanan negara,
pertumbuhan ekonomi, sosial, budaya dan/atau lingkungan.
e) Penggunaan kawasan hutan dilakukan berdasarkan izin pinjam pakai
kawasan hutan yang diberikan oleh Menteri berdasarkan permohonan
f) Penggunaan kawasan hutan untuk pertambangan yang berdampak
penting dan cakupan yang luas serta bernilai strategis, izin pinjam
pakai kawasan hutan hanya dapat diberikan setelah mendapat
persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat
g) Tukar menukar kawasan hutan tidak boleh mengurangi luas kawasan
hutan tetap dan hanya dapat dilakukan dengan ketentuan:
h) kawasan hutan yang dimohon berupa HP dan/atau HPT yang tidak
dibebani izin penggunaan kawasan hutan, izin pemanfaatan hutan,
persetujuan prinsip tukar menukar kawasan hutan, atau bukan
merupakan KHDTK; dan
i) tetap terjaminnya luas kawasan hutan paling sedikit 30% (tiga puluh
perseratus) dari luas daerah aliran sungai, pulau, dan/atau provinsi
dengan sebaran yang proporsional sehingga dapat mempertahankan
daya dukung kawasan hutan tetap layak kelola.
j) dilarang menebang pohon dan wajib mempertahankan keadaan
vegetasi hutan pada kawasan perlindungan setempat pada areal
dengan radius atau jarak sampai dengan: 500 (lima ratus) meter dari
tepi waduk atau danau; 200 (dua ratus) meter dari tepi mata air dan
kiri kanan sungai di daerah rawa; 100 (seratus) meter dari kiri kanan
tepi sungai; 50 (lima puluh) meter dari kiri kanan tepi anak sungai; 2
(dua) kali kedalaman jurang dari tepi jurang; dan 130 (seratus tiga
puluh) kali selisih pasang tertinggi dan pasang terendah dari tepi
pantai.
k) Untuk tukar menukar kawasan hutan pantai berupa mangrove/bakau,
lahan pengganti harus lahan pantai berupa mangrove/bakau atau
lahan pantai yang dapat dijadikan hutan mangrove/bakau.
32 Laporan Akhir
Feasibility Study Pengadaan Calon Lahan Kompensasi Pembangunan Jalan Lintas Selatan (JLS)
l) Dalam hal tidak tersedia lagi lahan pengganti berupa mangrove/bakau
atau lahan pantai yang dapat dijadikan hutan mangrove/bakau, dapat
diganti dengan lahan lain dengan persyaratan tambahan sesuai
rekomendasi Tim Terpadu.
2.2.1. Tukar Menukar Kawasan Hutan
Tukar menukar kawasan hutan dilakukan untuk:
a) pembangunan di luar kegiatan kehutanan yang bersifat permanen;
(penempatan korban bencana alam; kepentingan umum, termasuk
sarana penunjang);
b) menghilangkan enclave dalam rangka memudahkan pengelolaan
kawasan hutan;
c) memperbaiki batas kawasan hutan.
2.2.2. Persyaratan Lahan Pengganti
Persyaratan Lahan Pengganti:
a) letak, luas dan batas lahan penggantinya jelas;
b) letaknya berbatasan langsung dengan kawasan hutan;
c) terletak dalam daerah aliran sungai, pulau, dan/atau provinsi yang
sama;
d) dapat dihutankan kembali dengan cara konvensional;
e) tidak dalam sengketa dan bebas dari segala jenis pembebanan dan
hak tanggungan; dan
f) mendapat rekomendasi dari gubernur dan bupati/walikota.
2.2.3. Tata Cara Permohonan Tukar Menukar Kawasan Hutan
Tata Cara Permohonan Tukar Menukar Kawasan Hutan
1. Tukar menukar kawasan hutan dilakukan berdasarkan permohonan
yang diajukan oleh:
a. menteri atau pejabat setingkat menteri;
b. gubernur;
c. bupati/walikota;
d. pimpinan badan usaha; atau
e. ketua yayasan.
33 Laporan Akhir
Feasibility Study Pengadaan Calon Lahan Kompensasi Pembangunan Jalan Lintas Selatan (JLS)
2. Permohonan kepada Menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang kehutanan, dengan tembusan disampaikan
kepada:
a. Sekretaris Jenderal;
b. Direktur Jenderal; dan
c. Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan.
2.2.4. Syarat Permohonan Tukar Menukar Kawasan Hutan
1. Persyaratan Administrasi
a. surat permohonan yang dilampiri dengan peta lokasi kawasan
hutan yang dimohon dan peta usulan lahan pengganti pada peta
dasar dengan skala minimal 1:100.000;
b. izin lokasi dari bupati/walikota/gubernur sesuai dengan
kewenangannya;
c. izin usaha bagi permohonan yang diwajibkan mempunyai izin
usaha;
d. rekomendasi gubernur dan bupati/walikota, dilampiri peta
kawasan hutan yang dimohon dan usulan lahan pengganti pada
peta dasar dengan skala minimal 1:100.000;
e. pernyataan untuk tidak mengalihkan kawasan hutan yang
dimohon kepada pihak lain dan kesanggupan untuk memenuhi
ketentuan peraturan perundang-undangan dalam bentuk surat
pernyataan tersendiri bagi pemohon Pemerintah atau pemerintah
daerah; dan
f. pernyataan untuk tidak mengalihkan kawasan hutan yang
dimohon kepada pihak lain dan kesanggupan untuk memenuhi
ketentuan peraturan perundang-undangan dalam bentuk akta
notaris bagi pemohon badan usaha atau yayasan.
g. Dalam hal permohonan diajukan oleh badan usaha atau yayasan,
selain persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditambah persyaratan lain, meliputi:· profil badan usaha atau
yayasan;· Nomor Pokok Wajib Pajak;· akta pendirian berikut
34 Laporan Akhir
Feasibility Study Pengadaan Calon Lahan Kompensasi Pembangunan Jalan Lintas Selatan (JLS)
perubahannya; dan · laporan keuangan 2 (dua) tahun terakhir
yang diaudit oleh Akuntan Publik.
2. Persyaratan Teknis
a. proposal, rencana teknis atau rencana induk termasuk rencana
lahan pengganti dan reboisasi/penanaman;
b. pertimbangan teknis dari Direktur Utama Perum Perhutani apabila
kawasan hutan yang dimohon merupakan wilayah kerja Perum
Perhutani; dan
c. hasil penafsiran citra satelit 2 (dua) tahun terakhir atas kawasan
hutan yang dimohon dan usulan lahan pengganti yang disertai
dengan pernyataan dari pemohon bahwa hasil penafsiran dijamin
kebenarannya, kecuali permohonan tukar menukar kawasan
hutan untuk penempatan korban bencana alam tidak perlu hasil
penafsiran citra satelit.
35 Laporan Akhir
Feasibility Study Pengadaan Calon Lahan Kompensasi Pembangunan Jalan Lintas Selatan (JLS)
BAB 3 METODOLOGI 3.1. Pendekatan
Untuk mencapai tujuan sesuai sasaran yang ditentukan di dalam
kerangka Acuan Kerja maka sebelum dibuat metode terperinci perlu
ditentukan lebih dahulu prinsip-prinsip dasar dan penyederhanaan
pelaksanaan. Harus lebih dahulu dipastikan tujuan dan prinsip yang benar
sehingga keputusan yang akan diambil dapat mencapai sasaran. Tanpa
hal ini maka program yang dilaksanakan kemungkinan akan gagal dan
tidak efisien selama pelaksanaannya sehingga tujuan akhir tidak tercapai.
Sangat diperlukan membuat identifikasi dan mengerti ruang lingkup,
pekerjaan yang akan dilaksanakan nantinya sebelum memutuskan
metode pelaksanaan yang diperlukan. Untuk mencapai tujuan sesuai
sasaran yang ditentukan di dalam Kerangka Acuan Kerja maka sebelum
dibuat metode terperinci perlu ditentukan lebih dahulu prinsip-prinsip
dasar dan penyederhanaan pelaksanaan. Harus lebih dahulu dipastikan
tujuan dan prinsip yang benar sehingga keputusan yang akan diambil
dapat mencapai sasaran. Tanpa hal ini maka program yang dilaksanakan
kemungkinan akan gagal dan tidak efisien selama pelaksanaannya
sehingga tujuan akhir tidak tercapai. Sangat diperlukan membuat
identifikasi dan mengerti ruang lingkup, pekerjaan yang akan
dilaksanakan nantinya sebelum memutuskan metode pelaksanaan yang
diperlukan.
Dokumen Perencanaan Pengadaan Tanah ini disusun berdasarkan studi
kelayakan yang mencakup: (1) survei sosial ekonomi, (2) kelayakan
lokasi, (3) analisis biaya dan manfaat pembangunan bagi wilayah dan
masyarakat, (4) perkiraan harga tanah, (5) dampak lingkungan dan
dampak sosial yang mungkin timbul akibat pengadaan tanah dan
bangunan
36 Laporan Akhir
Feasibility Study Pengadaan Calon Lahan Kompensasi Pembangunan Jalan Lintas Selatan (JLS)
3.2. Metode Analisis
Adapun pendekatan yang digunakan untuk menganalisa kelayakan Calon
Tanah Pengganti JLS adalah pendekatan sosial ekonomi, lingkungan,
dan lingkungan Pendekatan ekonomi digunakan untuk menilai kelayakan
pendirian ditinjau dari aspek manfaaat biaya. Adapun pendekatan
lingkungan dimanfaatkan untuk menganalisis sejauh mana keberadaan
tanah pengganti akan berdampak pada lingkungan sekitarnya dan
bagaimana cara mengantisipasi atau meminimalkan kondisi negatif yang
akan muncul. Sedangkan pendekatan sosial digunakan untuk
mencermati sejauhmana kehidupan sosial kemasyarakatan terpengaruh
oleh adanya pertukaran lahan. Dalam studi ini penilaian kelayakan adalah
sebagai berikut:
3.2.1. Aspek Lokasi
Penilaian terhadap kelayakan alternatif lokasi utamanya berkait dengan
tata ruang, topografi, aspek legal kepemilikan lahan dan sebagainya
sesuai dengan yang diatur dalam berbagai ketentuan perundangan.
Penilaian didasarkan pembobotan lahan sesuai dengan acuan peraturan
yang berlaku.
3.2.2. Aspek Sosial Ekonomi
Penilaian terhadap aspek demografi meliputi perkembangan
kependudukan, cakupan layanan, dan proyeksi kependudukan serta
kaitannya dengan penyediaan layanan jalan dan hutan terdampak.
3.2.3. Aspek Pembangunan Daerah
Penilaian terhadap aspek pembangunan daerah meliputi Pembangunan
infrastruktur berkaitan dengan tata letak/lokasi dan kemudahan dalam
pemanfaatan sarana dan prasarana. Kelayakan disesuaikan dengan
peraturan tata ruang wilayah.
3.2.4. Aspek Kebutuhan Biaya dan Manfaat Biaya
Aspek ini berkait dengan perhitungan kebutuhan pembiayaan berkait
dengan luas area dan sarana yang akan dibangun sesuai dengan
kebutuhan lahan pengganti.
37 Laporan Akhir
Feasibility Study Pengadaan Calon Lahan Kompensasi Pembangunan Jalan Lintas Selatan (JLS)
Analisis manfaat-biaya merupakan analisis yang digunakan untuk
mengetahui besaran keuntungan/kerugian serta kelayakan suatu proyek.
Dalam perhitungannya, analisis ini memperhitungkan biaya serta manfaat
yang akan diperoleh dari pelaksanaan suatu program. Sesuai dengan
dengan maknat ekstualnya yaitu benefit cost (manfaat-biaya) maka
analisis ini mempunyai penekanan dalam perhitungan tingkat
keuntungan/kerugian suatu program atau suatu rencana dengan
mempertimbangkan biaya yang akan dikeluarkan serta manfaat yang
akan dicapai.
3.3. Kebutuhan Dan Sumber Data
Data yang dibutuhkan terdiri dari data primer dan data sekunder. Data
primer diperoleh langsung dari nara sumber yang antara terdiri dari atas :
a. Pejabat Pemerintah terkait (BAPPEDA, Perhutani, BLH, Camat, dll),
untuk mengetahui kebijakan yang diambil dalam dalam pembangunan
JLS.
b. Tokoh Masyarakat dan pemangku kepentingan, untuk mengetahui
umpan balik masyarakat, sehubungan dengan adanya rencana
pendirian Kantor Kecamatan tersebut.
c. Sedangkan data sekunder diperoleh melalui bahan publikasi yang
diterbitkan oleh instansi terkait dan berhubungan langsung dengan
studi ini.
3.4. Teknik Pengumpulan dan Pengolahan Data
Studi ini dibagi dalam dua tahap pengumpulan data. Tahap pertama di
fokuskan kepada aktivitas desk research yang meliputi telaah pustaka
dan pencarian data sekunder. Tahap kedua akan memfokuskan pada
pencirian data primer melalui wawancara mendalam (indepth interview)
dengan nara sumber terpilih baik dari kalangan pejabat pemerintahan,
maupun masyarakat dengan metode random sampling. Adapun teknik
pengolahan data didasarkan kepada aspek-aspek analisis kelayakan
yang antara lain meliputi :
38 Laporan Akhir
Feasibility Study Pengadaan Calon Lahan Kompensasi Pembangunan Jalan Lintas Selatan (JLS)
1. Aspek Kelayakan Teknis, melalui teknik analisis deskriptif terhadap
variabel-variabel yang telah ditentukan. Untuk kelayakan lokasi
digunakan analisi kesesuaian lahan.
2. Aspek Kelayakan Lingkungan diterapkan secara deskriptif untuk
mengetahui dan mengukur kemanfaatan dan kerugian yang diprediksi
akan muncul dengan adanya fasilitas JLS.
3. Teknik Analisis Manfaat Biaya (BCR)
Analisis manfaat-biaya merupakan analisis yang digunakan untuk
mengetahui besaran keuntungan/kerugian serta kelayakan suatu
proyek. Dalam perhitungannya, analisis ini memperhitungkan biaya
serta manfaat yang akan diperoleh dari pelaksanaan suatu program.
Sesuai dengan dengan maknat ekstualnya yaitu benefit cost
(manfaat-biaya) maka analisis ini mempunyai penekanan dalam
perhitungan tingkat keuntungan/kerugian suatu program atau suatu
rencana dengan mempertimbangkan biaya yang akan dikeluarkan
serta manfaat yang akan dicapai. Dibandingkan penerapannya dalam
bidang investasi, penerapan Benefit Cost Ratio (BCR) telah banyak
mengalami perkembangan. Salah satu perkembangan analisis BCR
antara lain yaitu penerapannya dalam bidang pengembangan
ekonomi daerah.
Dalam bidang pengembangan daerah, analisis ini umum digunakan
pemerintah daerah untuk menentukan kelayakan pengembangan
suatu proyek. Aplikasi BCR dalam sektor publik harus
mempertimbangkan beberapa aspek terkait manfaat sosial (social
welfare function) dan lingkungan serta tak kalah penting adalah faktor
efisiensi. Faktor efisiensi mutlak menjadi perhatian menimbang
terbatasnya dana dan kemampuan pemerintah daerah sendiri. Secara
terinci aspek-aspek tersebut juga mempertimbangkan dampak
penerapan suatu program dalam masyarakat baik secara langsung
(direct impact) maupun tidak langsung (indirect impact) faktor
eksternalitas, ketidakpastian (uncertainty), risiko (risk) serta shadow
price. Efisiensi ekonomi merupakan kontribusi murni suatu program
dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat. Sehingga yang
39 Laporan Akhir
Feasibility Study Pengadaan Calon Lahan Kompensasi Pembangunan Jalan Lintas Selatan (JLS)
menjadi perhatian utama dalam penerapan BCR dalam suatu proyek
pemerintah yang berkaitan dengan sektor publik adalah redistribusi
sumber daya.
Analisis biaya-manfaat (CBA), kadang-kadang disebut analisis
manfaat-biaya (BCA), adalah proses sistematis untuk menghitung dan
membandingkan manfaat dan biaya dari proyek untuk dua tujuan:
1. Untuk menentukan apakah itu adalah investasi yang sehat
(pembenaran / kelayakan).
2. Untuk melihat bagaimana membandingkan dengan proyek-
proyek alternatif (peringkat / prioritas tugas). Ini melibatkan
membandingkan biaya total diharapkan setiap pilihan terhadap
manfaat yang diharapkan total, untuk melihat apakah
manfaatnya lebih besar daripada biaya, dan seberapa banyak.
Dalam CBA, manfaat dan biaya yang dinyatakan dalam bentuk uang,
dan disesuaikan dengan nilai waktu dari uang, sehingga semua aliran
arus manfaat dan biaya proyek dari waktu ke waktu (yang cenderung
terjadi pada titik-titik berbeda dalam waktu) disajikan pada dasar
umum dalam hal mereka "nilai sekarang".
40 Laporan Akhir
Feasibility Study Pengadaan Calon Lahan Kompensasi Pembangunan Jalan Lintas Selatan (JLS)
BAB 4 GAMBARAN UMUM KABUPATEN BANYUWANGI 4.1. Geografis, Administratif, dan Kondisi Fisik
Secara geografis Kabupaten Banyuwangi terletak di ujung timur Pulau
Jawa. Daerahnya terbagi atas dataran tinggi yang berupa daerah
pegunungan, merupakan daerah penghasil berbagai produksi
perkebunan. Daratan yang datar dengan berbagai potensi yang berupa
produksi tanaman pertanian, serta daerah sekitar garis pantai yang
membujur dari arah Utara ke Selatan yang merupakan daerah penghasil
berbagai biota laut. Berdasarkan garis batas koordinatnya, posisi
Kabupaten Banyuwangi terletak diantara 7 43‟ - 8 46‟ Lintang Selatan dan
113 53‟ - 114 38‟ Bujur Timur. Secara administratif sebelah utara
berbatasan dengan Kabupaten Situbondo, sebelah timur Selat Bali,
sebelah selatan Samudera Indonesia serta sebelah Barat berbatasan
dengan Kabupaten Jember dan Bondowoso.
Gambar 1 Peta Administrasi Kabupaten Banyuwangi
41 Laporan Akhir
Feasibility Study Pengadaan Calon Lahan Kompensasi Pembangunan Jalan Lintas Selatan (JLS)
Luas Wilayah Kabupaten Banyuwangi adalah 5.782,50 km2, yang
merupakan daerah kawasan hutan mencapai 183.396,34 ha atau sekitar
31,72%, persawahan sekitar 66.152 ha atau 11,44%, perkebunan dengan
luas sekitar 82.143,63 ha atau 14,21%, permukiman dengan luas sekitar
127.454,22 ha atau 22,04%. Adapun sisanya seluas 119.103,81 ha atau
20,63 persen dipergunakan untuk berbagai manfaat fasilitas umum dan
fasilitas sosial seperti jalan, ruang terbuka hijau, ladang, tambak dan lain-
lainnya. Selain penggunaan luas daerah yang demikian itu, Kabupaten
Banyuwangi memiliki panjang garis pantai sekitar 175,8 km, serta serta
pulau-pulau kecil sebanyak 10 buah. Seluruh wilayah tersebut telah
memberikan manfaat besar bagi kemajuan ekonomi.
Tabel 1 Nama, Luas Wilayah per-Kecamatan dan Jumlah Kelurahan/Desa
Nama Kecamatan Jumlah Desa /Kelurahan
Luas Wilayah
(Km2) (%) thd total
1. Pesanggaran 5 /- 802,5 13,9
2. Siliragung 5 /- 95,15 1,6
3. Bangorejo 7 /- 137,43 2,4
4. Purwoharjo 8 /- 200,3 3,5
5. Tegaldlimo 9 /- 1.341,12 23,2
6. Muncar 10 /- 146,07 2,5
7. Cluring 9 /- 97,44 1,7
8. Gambiran 6 /- 66,77 1,2
9. Tegalsari 6 /- 65,23 1,1
10. Glenmore 7 /- 421,98 7,3
11. Kalibaru 6 /- 406,76 7,0
12 Genteng 5 /- 82,34 1,4
13 Srono 10 /- 100,77 1,7
14 Rogojampi 18 /- 102,33 1,8
15 Kabat 16 /- 107,48 1,9
16 Singojuruh 11 /- 59,89 1,0
17 Sempu 7 /- 174,83 3,0
18 Songgon 9 /- 301,84 5,2
19. Glagah 8 /2 76,75 1,3
20. Licin 8 /- 169,25 2,9
21. Banyuwangi - /18 30,13 0,5
22. Giri 2 /4 21,31 0,4
23. Kalipuro 5 /4 310,03 5,4
24. Wongsorejo 12 /- 464,8 8,0
JUMLAH : 189/28 5.782,50 100 Sumber : Banyuwangi Dalam Angka,2011
42 Laporan Akhir
Feasibility Study Pengadaan Calon Lahan Kompensasi Pembangunan Jalan Lintas Selatan (JLS)
Wilayah daratannya terdiri atas dataran tinggi berupa pegunungan yang
merupakan daerah penghasil produk perkebunan; dan dataran rendah
dengan berbagai potensi produk hasil pertanian serta daerah sekitar garis
pantai yang membujur dari arah utara ke selatan yang merupakan daerah
penghasil berbagai biota laut. Kabupaten Banyuwangi terdiri dari 24
kecamatan, 28 kelurahan dan 189 desa. Dengan jumlah desa terbanyak
di Kecamatan Rogojampi sebanyak 18 desa. Kecamatan terluas adalah
Kecamatan Tegaldlimo dengan luas 1341,12 Ha, sedangkan kecamatan
terkecil adalah Kecamatan Giri dengan luas 21,31 Ha.
4.2. Demografi
Sampai dengan akhir tahun 2010 lalu penduduk Kabupaten Banyuwangi
tercatat sebanyak 1.615.548 jiwa menurut hasil registrasi oleh Dinas
Kependudukan dan Catatan Sipil. Sedangkan berdasarkan hasil Sensus
Penduduk 2010 dengan laju pertumbuhan penduduk 0,44 persen per
tahun, jumlah penduduk akhir tahun 2010 diproyeksikan sebanyak
1.556.078 jiwa. Sejak tahun 1980 sampai dengan 1990 angka
pertumbuhan penduduk Kab. Banyuwangi tercatat 0,22 persen. Pada
tahun 2000 sampai dengan 2010 angka pertumbuhan penduduk tercatat
sebesar 0,44 persen
Menurut hasil pendataan Sensus Penduduk tahun 2010, dengan
menggunakan pendekatan komposisi umur yang dibedakan laki-laki
dengan perempuan, diperoleh angka harapan hidup perempuan lebih
tinggi bila dibanding dengan angka harapan hidup laki-laki. Kaum
perempuan lebih bertahan hidup ketika mendekati umur 60 tahun keatas,
sedang laki-laki ada kelompok umur yang sama dengan perempuan
mempunyai kecenderungan dengan jumlah yang terus menurun
Angka keterbandingan yang demikian itu umumnya disebut dengan Sex
Ratio. Secara detil bila diikuti berdasarkan komposisi kelompok umur
antara laki-laki dengan perempuan, Sex Ratio tertinggi terjadi pada
kelompok umur 0 – 14 tahun. Pada kelompok umur ini anak laki-laki
jumlahnya relatif lebih banyak bila dibanding dengan jumlah penduduk
43 Laporan Akhir
Feasibility Study Pengadaan Calon Lahan Kompensasi Pembangunan Jalan Lintas Selatan (JLS)
perempuan. Dari hasil SP 2010 penyebaran penduduk Kabupaten
Banyuwangi masih tertumpu di Kecamatan Muncar (125.698 orang),
kemudian diikuti oleh Kecamatan Banyuwangi (101.567 orang) dan
Kecamatan Rogojampi (100.315 orang). Sedangkan Kecamatan dengan
jumlah penduduk paling sedikit adalah Kecamatan Giri (29.298 orang)
kemudian Kecamatan Licin (32.936 orang) dan Kecamatan Glagah
(33.932 orang).
Dengan luas wilayah Kabupaten Banyuwangi sekitar 5.781 km2 yang
didiami oleh 1.610.910 orang maka rata-rata tingkat kepadatan penduduk
Kabupaten Banyuwangi adalah sebanyak 279 orang per km2.Kecamatan
yang paling tinggi tingkat kepadatan penduduknya adalah Kecamatan
Banyuwangi yakni sebanyak 3.371 orang per km2 sedangkan yang paling
rendah adalah Kecamatan Tegaldlimo yakni sebanyak 49 orang per km 2.
Sedangkan sampai dengan akhir tahun 2012 , penduduk Kabupaten
Banyuwangi tercatat sekitar 1.568.898 jiwa. Yang terdiri dari laki-laki
sejumlah 778.906 jiwa dan perempuan ada sebanyak 789.992 jiwa. Dari
sejumlah penduduk ini terdapat 471.588 kepala rumah tangga.
4.3. Sosial dan Budaya
Fasilitas pendidikan yang terdapat di Kabupaten Banyuwangi terdiri dari
Taman Kanak-kanak (TK), Madrasah Ibtidaiyah (MI), Sekolah Dasar (SD),
Madrasah Tsanawiayah (MTs), Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama
(SLTP), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA),
dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Sesuai dengan data yang ada,
maka tingkat , SD 826 unit, SLTP 159 Unit, SMA 46 unit, SMK 35 unit, MI
243 unit, MTs 81 unit dan MA 30 unit. Fasilitas pendidikan yang ada pada
tiap kecamatan menyebar secara merata. Untuk lebih jelasnya dapat
dilihat pada Tabel berikut:
44 Laporan Akhir
Feasibility Study Pengadaan Calon Lahan Kompensasi Pembangunan Jalan Lintas Selatan (JLS)
Tabel 2 Fasilitas pendidikan yang tersedia di Kabupaten Banyuwangi
No. Nama
Kecamatan
Jumlah Sarana Pendidikan Umum Agama
SD SLTP SMA SMK MI MTs MA 1 Pesanggaran 37 6 1 1 3 1 1 2 Siliragung 28 8 1 1 8 1 1 3 Bangorejo 34 5 2 1 11 2 0 4 Purwoharjo 32 9 3 0 12 3 1 5 Tegaldlimo 33 6 3 2 16 2 1 6 Muncar 49 12 1 4 17 7 2 7 Cluring 36 6 1 2 16 5 2 8 Gambiran 33 7 2 1 7 2 0 9 Tegalsari 27 5 1 2 9 4 2 10 Glenmore 46 8 4 1 10 6 1 11 Kalibaru 31 8 1 1 6 1 1 12 Genteng 38 14 6 3 7 3 2 13 Srono 45 11 4 3 19 4 1 14 Rogojampi 48 8 3 2 10 4 0 15 Kabat 39 2 1 0 18 6 2 16 Singojuruh 29 3 1 1 3 1 1 17 Sempu 33 9 0 1 12 2 0 18 Songgon 31 4 1 0 8 3 2 19 Glagah 19 2 1 1 2 0 0 20 Licin 37 2 0 0 6 3 1 21 Banyuwangi 40 9 4 4 5 3 1 22 Giri 16 3 2 3 7 3 1 23 Kalipuro 28 5 1 0 16 8 3 24 Wongsorejo 37 7 2 1 15 7 4 Jumlah : 826 159 46 35 243 81 30
Sumber: Banyuwangi Dalam Angka, 2011
Namun demikian di Kabupaten Banyuwangi, masalah kemiskinan masih
cukup mendominasi. Angka kemiskinan di Kabupaten Banyuwangi
memang mengalami penurunan. Tetapi, jumlah penduduk yang
terkatagori miskin masih cukup besar. Berdasarkan hasil sensus
ekonomi tahun 2005, penduduk miskin di Kabupaten Banyuwangi
mencapai 157.347 KK., untuk tahun 2007 jumlahnya menurun menjadi
156.714 KK. Data terbaru berdasarkan hasil PPLS tahun 2008, jumlah
penduduk miskin menurun lagi menjadi 129.324 KK.
4.4. Sumber Daya Manusia
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kabupaten Banyuwangi terus
mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2011
bahkan tercatat sebesar 72,8* melampaui Provinsi Jawa Timur sebesar
72,15. Kondisi yang belum pernah terjadi pada tahun-tahun sebelumnya.
45 Laporan Akhir
Feasibility Study Pengadaan Calon Lahan Kompensasi Pembangunan Jalan Lintas Selatan (JLS)
Grafik 1 Perkembangan IPM Kabupaten Banyuwangi dan
4.5. Pengembangan Infrastruktur
Salah satu indikator dalam ketersediaan infrastruktur adalah kondisi
dan panjang jalan yang disediakan oleh pemerintah, baik oleh
Pemerintah Kabupaten, Provinsi maupun Pusat. Selama lima periode,
perkembangan panjang jalan Kabupaten, Provinsi maupun Pusat tidak
mengalami perubahan. Masing-masing panjang jalan untuk kabupaten,
provinsi dan pusat (nasional) adalah 2.718,8 km; 114,26km; dan 130,08
km.
Grafik 2 Perkembangan Jalan Kabupaten, Provinsi, dan Nasional
Sumber: Bina Marga Provinsi Jatim dan Dinas PU Kab.Banyuwangi (dalam
RPJMD Kabupaten Banyuwangi 2010)
46 Laporan Akhir
Feasibility Study Pengadaan Calon Lahan Kompensasi Pembangunan Jalan Lintas Selatan (JLS)
Luas irigasi Kabupaten Banyuwangi dalam kondisi baik pada tahun
2006 meningkat pada tahun 2007 sebesar 98 persen dan pada
tahun 2009 mencapai 99 persen. Cakupan bina kelompok tani pada
tahun 2006 sebesar 25,03 persen mengalami peningkatan pada tahun
2009 tahun 2010 menjadi 25,95 persen. Di sektor perikanan, dapat
dilihat adanya produksi perikanan pada tahun 2010 sebesar 57,8
ribu ton, meningkat dari tahun 2009 yang hanya sebesar 44,84 ribu
ton.
Disamping itu, peningkatan infrastruktur pariwisata menjadi salah satu
fokus dalam lima tahun terakhir. Seiring dengan pengembangan
kawasan segitiga berlian wisata yaitu ijen, sukamade, dan plengkung,
maka infrastruktur menuju destinasi wisata tersebut menjadi salah
satu prioritas penanganan. Pemeliharaan jalur transportasi menuju Ijen
dilaksanakan dalam rangka pengembangan wisata dan pengembangan
wilayah Kecamatan Licin dan Glagah.
4.6. Perekonomian Daerah
Pergerakan ekonomi Banyuwangi yang meningkat dalam beberapa tahun
terakhir, dikontribusi oleh dua sektor utama yaitu pertanian (termasuk
perikanan dan peternakan) serta perdagangan, hotel dan restoran.
Pertanian memberikan kontribusi rata-rata 46,5 persen sedangkan
perdagangan, hotel dan restoran memberikan kontribusi rata-rata 26,8
persen. Sektor pertanian tidak hanya menjadi andalan Banyuwangi,
namun juga sektor yang diandalkan di level Jawa Timur. Pertumbuhan
dan kontribusi sektor ini di Banyuwangi melampaui Jawa Timur, sehingga
menurut analisis tipologi Klassen, sektor pertanian menjadi masuk dalam
kategori sektor prima. Sektor pertanian termasuk didalamnya sub sektor
perikanan, peternakan, perkebunan, dan kehutanan merupakan sektor
yang menghidupi mayoritas penduduk Banyuwangi (market share) paling
besar, yang menjadi hajat hidup orang banyak. Untuk itu dalam beberapa
tahun kedepan, Pemerintah Kabupaten Banyuwangi menetapkan
47 Laporan Akhir
Feasibility Study Pengadaan Calon Lahan Kompensasi Pembangunan Jalan Lintas Selatan (JLS)
kebijakan untuk tetap meletakkan sektor ini sebagai prioritas unggulan
utama.
Sementara itu, sektor perdagangan, hotel dan restoran, meskipun dalam
posisi kedua dalam memberi kontribusi ekonomi Banyuwangi, namun
menjadi lokomotif utama yang mengangkat tumbuhnya perekonomian.
Sektor ini pada tahun 2011 mampu tumbuh 8,9 persen dan pada tahun
2012 mencapai posisi 9,2 persen melampaui total pertumbuhan ekonomi
Banyuwangi. Sedangkan sektor pertanian yang menjadi unggulan utama,
hanya tumbuh rata-rata 5 persen. Ketika sektor perdagangan, jasa, dan
restoran serta sektor konstruksi mengalami trend peningkatan, sektor
lainnya akan mengalami trend penurunan.
Kondisi ini menunjukkan bahwa saat ini Banyuwangi dalam proses
transformasi, dari pertanian ke sektor jasa perdagangan. Sektor
pertanian, di samping pertumbuhannya lambat, kontribusinya terhadap
total PDRB semakin tahun semakin menurun. Jika pada tahun 2007-2008
kontribusi sektor pertanian pada posisi diatas 47 persen, maka pada
tahun 2010 turun menjadi 46 persen dan turun lagi pada posisi 45,9
persen pada tahun 2011.
Sedangkan pada sektor perdagangan, hotel dan restoran, yang menjadi
lokomotif pertumbuhan ekonomi Banyuwangi, faktanya merupakan sektor
„terbelakang‟ dalam konstelasi ekonomi Jawa Timur. Rerata pertumbuhan
sektor perdagangan, hotel dan restoran Jawa Timur lebih tinggi daripada
Banyuwangi. Pada sektor ini, ternyata didominasi oleh perdagangan yang
mencapai hampir 90 persen, sedangkan peran sektor hotel dan restoran
hanya pada kisaran 10 persen. Pada sektor pertanian, masih ditentukan
oleh sub sektor tanaman bahan makanan yang mendominasi hingga 50
persen, sedangkan perkebunan 20 persen, perikanan 17 persen,
peternakan 10 persen dan kehutanan 3 persen. Inilah tantangan yang
masih harus dihadapi saat ini dan pada tahun-tahun mendatang. Ini juga
merupakan resultan kerja bareng Pemerintah (seluruh satuan kerja
perangkat daerah), bersama swasta dan seluruh komponen masyarakat,
48 Laporan Akhir
Feasibility Study Pengadaan Calon Lahan Kompensasi Pembangunan Jalan Lintas Selatan (JLS)
yang masih harus terus diupayakan peningkatannya. Peran pemerintah
dicerminkan dari besarnya prosentase APBD terhadap total PDRB.
APBD Kabupaten Banyuwangi pada tahun 2012 sebesar 1,86 Trilyun
Rupiah, namun proporsinya dalam menstimulasi perekonomian hanya 6,6
persen. Selebihnya (93,4 persen) adalah kontribusi seluruh komponen
masyarakat dan swasta.
Sebagai gambaran bahwa dari 1,86 trilyun dialokasikan antara lain 42,5
persen untuk memenuhi belanja pendidikan, 13,4 persen infrastruktur,
9,23 persen kesehatan, selebihnya untuk membiayai 22 urusan
pembangunan. Anggaran infrastruktur sebesar 250 milyar rupiah
diperuntukkan untuk meningkatkan aksesibilitas umum (pembangunan/
rehab jalan dan jembatan serta infrastruktur strategis lainnya), menunjang
sektor pertanian (pembangunan /rehab jaringan irigasi), kesehatan
(pengembangan/ rehab jaringan puskesmas), dan peningkatan sarana
publik lainnya.
Dalam konstelasi pertumbuhan ekonomi, meskipun belanja pemerintah
relatif kecil dibanding total PDRB (hanya 6,6 persen), tetapi diharapkan
mampu mendorong 3 faktor utama fundamental ekonomi Banyuwangi
yaitu peningkatan netto perdagangan dan konsumsi lokal, peningkatan
konsumsi produk lokal, serta masuknya investasi. Pertama, peningkatan
netto perdagangan dan konsumsi lokal. Penduduk Banyuwangi dengan
jumlah 1,56 juta jiwa merupakan terbesar keempat penduduk di Jawa
Timur. Penduduk yang besar ini merupakan pasar yang sangat potensial.
Untuk itu, penduduk Banyuwangi harus mengutamakan untuk
mengkonsumsi produk lokal Banyuwangi atau setidaknya membeli produk
domestik yang dijual di Banyuwangi, supaya ekonomi di Banyuwangi
bergerak dan tumbuh. Tentunya dengan catatan bahwa produk lokal
Banyuwangi harus berdaya saing; berkualitas dengan harga yang
terjangkau atau relatif murah. Oleh sebab produk Banyuwangi harus
berhadapan dengan produk-produk dari luar Banyuwangi bahkan dari
negara lain. Pilihan masyarakat seharusnya pada jeruk, durian, batik atau
produk lokal Banyuwangi lainnya, bukan mengkonsumsi jeruk, durian,
49 Laporan Akhir
Feasibility Study Pengadaan Calon Lahan Kompensasi Pembangunan Jalan Lintas Selatan (JLS)
batik atau produk import. Jika ini dilakukan oleh seluruh masyarakat,
maka netto perdagangan Banyuwangi akan surplus dan yang jauh lebih
penting adalah memberikan dampak ikutan kepada petani dan produsen
lokal Banyuwangi untuk terus memproduksi, memberikan upah tenaga
kerja, mengurangi pengangguran, dan seterusnya.
Kedua, peningkatan investasi. Posisi Kabupaten Banyuwangi sangat
strategis karena terletak di ujung Pulau Jawa dan berbatasan dengan
Provinsi Bali. Dalam Materplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan
Ekonomi Indonesia (MP3EI), posisi Banyuwangi merupakan pintu
gerbang Koridor Ekonomi Jawa sebagai “Pendorong Industri dan Jasa
Nasional”, yang menghubungkan dengan Koridor Ekonomi Bali Nusa
Tenggara sebagai “Pintu Gerbang Pariwisata dan Pendukung Pangan
Nasional”. Pada posisi ini, diharapkan Banyuwangi, dalam koridor
ekonomi nasional ini menjadi „pintu‟ untuk masuknya investasi.
Harapan tersebut nampaknya semakin dekat dengan kenyataan. Dari
data Badan Penanaman Modal Jawa Timur, jika sebelumnya minat
investasi di Banyuwangi hanya menjadi rangking 31 diantara 38
Kabupaten/Kota di Jawa Timur, saat ini menempati posisi rangking ketiga
sebagai daerah yang paling diminati investor setelah Gresik dan
Surabaya. Dengan keberadaan investor, diharapkan bisa membangun
sinergi positif demi kemajuan Banyuwangi ke depan. Untuk itulah,
investasi apa pun, terutama investasi di sektor yang terkait dengan
pertanian (termasuk perikanan dan peternakan) harus didorong lebih kuat
dan lebih cepat guna mendayagunakan lebih banyak sumberdaya alam di
Banyuwangi.
Upaya peningkatan investasi dengan konsep penataan dan
pengembangan wilayah telah dirumuskan dan disesuaikan dengan
potensi dan kebutuhan di Kabupaten Banyuwangi. Konsep
pengembangan wilayah Banyuwangi telah ditetapkan dalam Rencana
Tata Ruang Wilayah Kabupaten Banyuwangi Tahun 2011-2031, Pertama
Konsep pengembangan wilayah berbasis karakter sumberdaya yang
50 Laporan Akhir
Feasibility Study Pengadaan Calon Lahan Kompensasi Pembangunan Jalan Lintas Selatan (JLS)
dimiliki, yaitu Pengembangan kegiatan industri pengolahan potensi
kelautan dan perikanan yang terintegrasi dengan pengembangan
kawasan Minapolitan di Kecamatan Muncar; Pengembangan agroindustri
berada disentra produksi pertanian terintegrasi dengan pengembangan
kawasan agropolitan di Kecamatan Bangorejo, Siliragung, Kalibaru dan
Kalipuro; Pengembangan industri kecil (home industry) dan menengah
yang tersebar di seluruh kecamatan. Konsep ini menekankan pada pilihan
komoditas unggulan sebagai motor penggerak ekonomi.
Kedua, Konsep pengembangan wilayah berbasis penataan ruang.
Konsep pusat pertumbuhan yang menekankan perlunya investasi dengan
dukungan infrastruktur yang baik. Pengembangan kawasan industri
estate atau kawasan industri terpadu diarahkan di Kecamatan
Wongsorejo; dan Pengembangan kegiatan industri yang terintegrasi
dengan pengembangan Pelabuhan Umum dan Pelabuhan Khusus
diarahkan di Kecamatan Kalipuro; Saat ini sedang diupayakan realisasi
Kawasan Industri Wongsorejo (KIW) seluas 600 hektar dari 1.000 hektar
lahan yang telah disiapkan. Ini semua merupakan ikhtiar dalam upaya
menjadikan kawasan Banyuwangi utara sebagai kawasan industri guna
menyokong perekonomian Banyuwangi dalam skala yang lebih luas lagi.
Dengan dukungan dana APBN, pemerintah juga akan melakukan
penambahan runway lapangan terbang Blimbingsari serta runway lighting
sehingga bisa digunakan untuk pendaratan malam hari dan mampu
melayani rute penerbangan armada setara Boeing. Mulai tanggal 1 Mei
2012 yang lalu frekuensi penerbangan dari Banyuwangi-Surabaya oleh
Merpati Air sudah dilakukan tiap hari, dan mulai tanggal 20 September
2012, maskapai Wings Air telah membuka penerbangan Banyuwangi-
Surabaya PP setiap hari. Dengan demikian diharapkan akan semakin
banyak investor yang tertarik untuk menanamkan modalnya di
Banyuwangi.
Investasi dan pertumbuhan ekonomi diharapkan memberikan dampak
pada perluasan lapangan kerja, pengurangan pengangguran dan
51 Laporan Akhir
Feasibility Study Pengadaan Calon Lahan Kompensasi Pembangunan Jalan Lintas Selatan (JLS)
pengurangan kemiskinan. Pengurangan pengangguran ditunjukkan dari
menurunnya Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT). Pada tahun 2010,
TPT di Banyuwangi mencapai 3,92 persen dari seluruh angkatan kerja.
Kondisi ini membaik pada tahun 2011, tingkat pengangguran terbuka
menurun mencapai 3,71 persen, berada di bawah TPT Jawa Timur yang
mencapai 4,16 persen. Pada tahun 2009, prosentase penduduk miskin di
Banyuwangi mencapai 12,16 persen penduduk. Kondisi ini membaik pada
tahun 2010, penduduk miskin di Banyuwangi menurun mencapai 11,25
persen, berada di bawah penduduk miskin Jawa Timur yang mencapai
15,2 persen dan penduduk miskin nasional sebesar 13,33 persen
penduduk. Investasi di Banyuwangi diharapkan mampu terus
meningkatkan angka partisipasi angkatan kerja dan pada gilirannya
mampu menurunkan pengangguran dan kemiskinan.
Meningkatnya pertumbuhan ekonomi dan investasi disisi lain, jika tidak
diantisipasi dapat memberikan dampak sosial dan disparitas. Untuk itu
Pemerintah Kabupaten Banyuwangi terus memberikan dukungan
terhadap penyelenggaraan jaminan sosial. Jumlah industri non formal di
Banyuwangi saat ini sebesar 14.926 Unit Usaha, dengan Jumlah Tenaga
Kerja sebanyak 54.869 orang, terus didorong untuk terlindungi jaminan
sosial. Asuransi Kesejahteraan Sosial (Askesos) saat ini telah diikuti
3.261 peserta dari 17 lembaga, dengan dana keseluruhan sebesar Rp.
510 juta. Sedangkan Jamsostek (Jaminan Sosial Tenaga Kerja), saat ini
telah diikuti 20.796 tenaga kerja pada 787 lembaga. Jaminan Kesehatan
Daerah (Jamkesda) telah disediakan (kuota) sebesar 66.911 dengan
realisasi sebesar 2.542 (3,8 persen). Adapun Jaminan Kesehatan
Masyarakat (Jamkesmas) bersumberdana APBN disediakan kuota
463.210 dengan realisasi sebesar 154.915 (33,4 persen).
Sebagaimana tadi diuraikan bahwa sektor pertanian termasuk sub sektor
perikanan kelautan sebagai prioritas utama pembangunan daerah.
Pengembangan investasi diharapkan memberikan efek pengganda
(multiplier effect) yang lebih luas kepada ekonomi Banyuwangi
khususnya di sektor pertanian. Pada tahun 2011 luas panen 116,7 ribu
52 Laporan Akhir
Feasibility Study Pengadaan Calon Lahan Kompensasi Pembangunan Jalan Lintas Selatan (JLS)
hektar dan produksi padi mencapai 761,3 ribu ton. Provitas padi pada
tahun 2012 sebesar 6,33 ton per hektar.
Dukungan APBD pada pembangunan jalan usaha tani tahun 2011
sebesar Rp. 2,16 milyar yang tersebar pada 12 Kecamatan, Jalan
produksi disentra produksi kapas, tembakau dan kelapa sebesar Rp.
758,4 juta di Kec. Sempu dan Wongsorejo, dan Jaringan irigasi tingkat
usaha tani (JITUT) serta Jaringan Irigasi Pedesaan (JIDES) dengan dana
sebesar Rp. 1,74 yang tersebar di 24 kecamatan. Dukungan peningkatan
infrastruktur juga terus diupayakan guna peningkatan produksi dan
produktifitas pertanian. Pada tahun 2011, saluran tersier yang diperbaiki
mencapai 44,4 km dengan baku sawah terairi 3.330 hektar. Sedangkan
saluran skunder yang diperbaiki mencapai 1,03 km dengan baku sawah
terairi 300 hektar.
Sementara itu, dengan dukungan dana APBN, Waduk Bajulmati yang
terletak di Desa Watukebo Kecamatan Wongsorejo terus berlangsung,
dengan harapan nantinya berfungsi untuk meningkatkan areal sawah
beririgasi teknis seluas 1.800 hektar, penyediaan air bersih untuk 18.000
KK, air bersih untuk pelabuhan dengan kapasitas 0,06 m3/detik, dan
pariwisata serta perikanan. Sedangkan pada sub sektor perikanan dan
kelautan, produksi tahun 2011 tercatat sebesar 31,01 ribu ton dengan
produksi budidaya sebesar 1.090 ton dan produksi tangkap sebesar 29,9
ribu ton. Produksi ini meningkat pada tahun 2012 menjadi sebesar 45,7
ton.
Kinerja ekonomi masa lalu Kabupaten Banyuwangi merupakan pondasi
bagi pertumbuhan saat ini. Kondisi ekonomi Kabupaten Banyuwangi
mengalami pertumbuhan dari tahun ke tahunnya sejak tahun 2006 yaitu
sebesar 4,74 %. Kondisi ini terus meningkat pada tahun 2006 – 2010,
pertumbuhan ekonomi di Banyuwangi sebesar 6,22 %. Hal ini dapat
dilihat pada besaran PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) ADHK
(Atas Dasar Harga Konstan) tahun 2010 mencapai 11.099.055,81 juta
rupiah, meningkat dari tahun sebelumnya sebesar 10.439.329,31 juta
53 Laporan Akhir
Feasibility Study Pengadaan Calon Lahan Kompensasi Pembangunan Jalan Lintas Selatan (JLS)
rupiah. Angka pendapatan per kapita kabupaten Banyuwangi tahun 2010
sebesar Rp. 6.101.969,78 Tahun 2012 tampaknya menjadi tahun terbaik
dalam sejarah perekonomian Banyuwangi. Kinerja makro ekonomi
Banyuwangi dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir terus mengalami
trend peningkatan. Pada tahun 2011-2012 menjadi tahun pertumbuhan
ekonomi yang sangat atraktif. Dalam rentang waktu tahun 2003-2010
ekonomi Banyuwangi hanya tumbuh pada kisaran 4-6 persensaja. Namun
pada tahun 2011 pertumbuhan ekonomi mencapai 7,02 persen dan
sampai pada posisi 7,15 persen pada tahun 2012 (selengkapnya lihat
grafis).
Dalam lintasan waktu 2003-2012, pertumbuhan ekonomi Banyuwangi
meningkat stabil dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi Jawa Timur
yang cenderung fluktuatif. Fundamental ekonomi Banyuwangi juga relatif
kuat dibanding Jawa Timur. Terbukti ditengah krisis yang terjadi tahun
2008-2009 akibat Subprime Mortage di AS, Ekonomi Indonesia tertekan
pada posisi 4,55 persen yang kemudian berimbas menekan ekonomi
Jawa Timur menjadi 5,01 persen. Pada kondisi yang cukup sulit tersebut,
ekonomi Banyuwangi masih tumbuh pada posisi 6 persen. Dengan
kondisi itu, diprediksikan pertumbuhan ekonomi Banyuwangi masih akan
terus meningkat dan ketika momentum pertumbuhan ini bisa dijaga maka
pada tahun 2013 ekonomi Banyuwangi dapat tumbuh 7,2 persen atau
bahkan lebih.
Guncangan ekonomi global dan nasional relatif tidak mempengaruhi laju
ekonomi Banyuwangi. Dukungan sektor riel yang kuat menjadi modal
penting bergeraknya ekonomi di Banyuwangi selama ini. Basis
pertumbuhan ini diprediksi akan terus menguat sehingga menjadikan
perekonomian Banyuwangi lebih atraktif lagi pada tahun-tahun
mendatang.
Dengan inflasi pada kisaran tersebut (kisaran 4,9-5,3 persen), memberi
pengaruh yang positif dalam mendorong perekonomian menjadi lebih
baik; masyarakat lebih bergairah untuk bekerja, melaksanakan
54 Laporan Akhir
Feasibility Study Pengadaan Calon Lahan Kompensasi Pembangunan Jalan Lintas Selatan (JLS)
diversifikasi usaha, dan mengadakan investasi yang dampaknya
meningkatkan pendapatan masyarakat dan daerah. Sebaliknya, jika
terjadi hiperinflasi (diatas 10 persen) akan menyebabkan gangguan
stabilitas ekonomi dan para pelaku ekonomi enggan untuk melakukan
aktifitas dalam perekonomian karena menurunnya daya beli masyarakat
sebagai akibat harga-harga meningkat.
Indeks daya beli yang ditunjukkan dari pengeluaran riel per kapita juga
menunjukkan peningkatan yang signifikan dalam 2 tahun terakhir. Jika
pada tahun-tahun sebelumnya hingga tahun 2010, pengeluaran riel per
kapita pada kisaran 620 ribu rupiah, maka pada tahun 2011 sebesar
632,8 ribu rupiah dan mencapai 635,3 ribu rupiah pada tahun 2012.
Pengeluaran riel yang meningkat disebabkan pendapatan yang
meningkat. Pendapatan masyarakat yang ditunjukkan dari PDRB per
kapita juga nampak peningkatan yang signifikan. PDRB perkapita dalam
bebeberapa tahun terakhir dalam kisaran 6-15 juta per kapita per tahun,
meningkat signifikan menjadi 16,8 juta per kapita per tahun pada 2011
dan menjadi 18,1 juta per kapita per tahun pada 2012.
Meskipun ekonomi Banyuwangi telah bergerak dan tumbuh meningkat,
namun beban dan tantangan masih cukup tinggi. Pertumbuhan ekonomi
Banyuwangi juga telah memberi dorongan penurunan angka kemiskinan.
Pada tahun 2011 sekitar 12,25 persen penduduk di bawah angka
kemiskinan Provinsi Jawa Timur (15,2 persen) dan angka kemiskinan
nasional (13,3 persen). Pertumbuhan ekonomi telah mendorong
peningkatan pendapatan penduduk miskin, namun diakui bahwa
peningkatan pendapatan mereka dibawah laju peningkatan pendapatan
kelompok masyarakat menengah keatas. Fakta ini menunjukkan bahwa
masih ada disparitas pendapatan masyarakat.
Kabupaten Banyuwangi yang terdiri dari 24 kecamatan, ada 5 kecamatan
yang menjadi pendukung utama perekonomian Kabupaten Banyuwangi,
yaitu Kecamatan Muncar yang memberikan kontribusi sebesar 9,45%,
kemudian Kecamatan Wongsorejo 8,12%, Kecamatan Kalipuro 6,73%,
55 Laporan Akhir
Feasibility Study Pengadaan Calon Lahan Kompensasi Pembangunan Jalan Lintas Selatan (JLS)
Kecamatan Banyuwangi 6,20% dan Kecamatan Rogojampi 6,20%.
Hampir separuh dari seluruh kegiatan ekonomi yang ada di Kabupaten
Banyuwangi bergerak di bidang Pertanian dengan luas tanah persawahan
sekitar 66.152 Ha atau sekitar 11,44% sehingga mempunyai pengaruh
terhadap struktur ekonomi sebesar 49,18%. Sektor ekonomi kedua yang
mempunyai peranan terbesar adalah Sektor Perdagangan, Hotel dan
Restoran dengan besar sumbangannya terhadap perekonomian
Kabupaten Banyuwangi sebesar 24,05%. Angka Pertumbuhan Ekonomi
sering digunakan sebagai salah satu indikator penting dalam mengkaji
kinerja ekonomi suatu daerah, apabila semakin tinggi angka pertumbuhan
ekonomi suatu daerah maka akan semakin baik kinerja ekonomi daerah
tersebut. Laju pertumbuhan PDRB Kabupaten Banyuwangi (Atas
Dasar Harga Berlaku) dari tahun 2008 sampai dengan tahun 2011
menunjukkan perkembangan yang signifikan yaitu pada tahun 2008
sebesar 18,372 milyar rupiah, meningkat menjadi 20,723 milyar
rupiah pada tahun 2009 dan meningkat menjadi 23,558 milyar rupiah
di tahun 2010 serta di tahun 2011 meningkat menjadi 26,367 milyar
rupiah.
4.7. Potensi Daerah
Daya saing daerah adalah kemampuan perekonomian daerah dalam
mencapai pertumbuhan tingkat kesejahteraan yang tinggi dan
berkelanjutan dengan tetap terbuka pada persaingan dengan provinsi
lainnya yang berdekatan, domestik atau internasional. Aspek daya saing
daerah terdiri dari kemampuan ekonomi daerah, fasilitas wilayah atau
infrastruktur, iklim berinvestasi, dan sumber daya manusia. Indikator
aspk daya saing daerah terdiri dari:
4.7.1. Kemampuan Ekonomi Daerah
Dalam menunjang besarnya PDRB Kabupaten Banyuwangi, sektor
pertanian merupakan sektor yang memilki kontribusi tertingggi dalam
besarnya PDRB yang hampir mencapai 50%. Hal ini disebabkan
karena Kabupaten Banyuwangi merupakan produsen sektor primer
terutama beras dan perikanan, dimana merupakan salah satu
56 Laporan Akhir
Feasibility Study Pengadaan Calon Lahan Kompensasi Pembangunan Jalan Lintas Selatan (JLS)
lumbung beras Provinsi Jawa Timur dan produsen ikan laut
(Muncar). Dua sektor utama penunjang perekonomian Kabupaten
Banyuwangi adalah sektor pertanian serta sektor perdagangan, hotel
dan restoran.
Wilayah Kabupaten Banyuwangi membentang dari dataran rendah
hingga pegunungan, dari kawasan nelayan di sepanjang garis pantai
hingga kawasan pertanian dan perkebunan yang terhampar dari
wilayah utara, selatan hingga wilayah barat. Sehingga, Kabupaten
Banyuwangi memiliki beberapa keunggulan daerah, dimana apabila
dapat dimanfaatkan dengan baik akan dapat meningkatkan
pertumbuhan perekonomian daerah. Beberapa potensi daerah yang
dimaksud adalah:
a. Potensi wisata dan budaya
Kabupaten Banyuwangi dengan Triangel Diamond-nya
(Segitiga Berlian) memilki berbagai macam tujuan wisata,
sebelah utara Kawah Ijen dengan belerang dan perkebunan
yang mengelilinginya. Di tengah ada GLand (Plengkung)
surga bagi peselancar dengan ombaknyanya yang memukau.
Sebelah selatan ada Sukamade dengan Penangkaran Penyu-
nya akan mampu menarik wisatawan. Belum lagi dengan adat
istiadatnya yang unik dan menarik. Berikut Triangel Diamond
Kabupaten Banyuwangi.
Kawah Ijen
Kawah Ijen yang berada di ketinggian 2.386 m di
atas permukaaan laut, merupakan kawah danau terbesar
di Pulau Jawa, kawah berbentuk ellips dengan ukuran
kurang lebih 960 x 600 m dengan ketinggian
permukaan air danau kurang lebih 2.140 m di atas
permukaaan laut dengan kedalaman danau kurang
lebih 200 m serta merupakan danau terasam di dunia
dengan ph 0,5. Kawah belerang berada dalam
sulfatara yang dalam. Kedalamannya 200 m dan
mengandung kira-kira 36 juta meter kubik air asam
57 Laporan Akhir
Feasibility Study Pengadaan Calon Lahan Kompensasi Pembangunan Jalan Lintas Selatan (JLS)
beruap, diselimuti kabut berbau belerang yang
berputar-putar diatasnya. Di dalam kawah, berbagai
warna dan ukuran batu belerang dapat ditemukan.
Sungguh, Kawah ijen merupakan taman batu belerang
yang indah.
Alas Purwo – Plengkung
Plengkung atau yang dikenal oleh wisatawan
mancanegara dengan nama G-Land merupakan surga
bagi para peselancar profesional dari dalam negeri
maupu mancanegara. Huruf G berasal dari kata
Grajagan, nama dari sebuah teluk yang memiliki
ombak yang besar. G-Land dikelilingi oleh hutan hujan
tropis yang masih alami. Bulan Mei sampai Oktober
adalah bulan terbaik untuk surfing. G-Land
menawarkan olahraga surfing yang paling digemari oleh
para pesurfer dan disarankan hanya untuk para
pesurfer profesional karena ombaknya yang dapat
mencapai 5 meter. Kebanyakan dari para peselancar
berangkat dari Bali, melalui Banyuwangi langsung ke G-
Land atau ke Grajagan, kemudian menyewa boat ke
Pantai Plengkung. Untuk menginap tersedia cottage
dan Jungle Camp dekat pantai bagi para pengunjung.
Pantai Sukamade
Jarak Pantai Sukamade kira-kira 97 km ke arah barat
daya dari Kota Banyuwangi. Pantai Sukomade
merupakan pantai yang tenang dan indah. Pada
mulanya pantai ini ditemukan oleh Belanda pada tahun
1927. Karet, kopi, dan coklat ditanam di tanah perkebunan
seluas1.200 hektar. Sukamade merupakan hutan lindung
alam di Jawa Timur yang berhubungan dengan
penangkaran penyu. Perjalanan malam hari ke Pantai
Sukamade menjadi tak terlupakan. Para pengunjung
dibimbing oleh para pemandu penjaga hutan yang
berpengalaman untuk melihat penyu yang mendarat ke
58 Laporan Akhir
Feasibility Study Pengadaan Calon Lahan Kompensasi Pembangunan Jalan Lintas Selatan (JLS)
pantai dan bertelur di pantai pasir. Penyu betina
biasanya bertelur hingga ratusan yang diletakkan di
dalam pasir pantai. Penyu betina biasanya mulai
mendarat di pantai jam 07.30 malam dan kembali ke
laut pada jam 12.00 malam hari. Bulan Nopember
hingga Maret adalah musim penyu bertelur.
b. Perikanan
Di bagian timur, terdapat salah satu penghasil ikan terbesar
di Indonesia yaitu Pelabuhan Ikan Muncar.
c. Potensi pengembangan sektor pertanian
Sumbangan sektor pertanian terhadap PDRB di Kabupaten
Banyuwangi terbilang besar dibandingkan dengan sektor lain.
Rata-rata sumbangan sektor ini mencapai sekitar 50% setiap
tahunnya. Hal ini merupakan sebuah potensi besar untuk
dikembangkan. Namun, potensi tersebut belum termanfaatkan
secara baik karena produk-produk pertanian masih belum
terkait secara baik Sumber daya manusia yang melimpah
Kabupaten Banyuwangi selain memilki luas wilayah yang
paling besar dari seluruh kabupaten/kota di Jawa Timur, juga
memilki sumber daya manusia yang melimpah sebaga salah satu
modal pembangunan.
4.7.2. Fokus Iklim Berinvestasi
Salah satu upaya untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi adalah
melalui investasi. Dengan investasi akan dapat menumbuhkan dan
meningkatkan kegiatan sektor riil yang selanjutnya akan
meningkatkan produksi dan nantinya akan meningkatkan pendapatan
dan pertumbuhan ekonomi. Perkembangan iklim investasi di
KabupatenBanyuwangi meningkat dari tahun ke tahun. Tahun 2010
jumlah PMA sebanyak 17 dengan nilai investasi sebesar $.2.143.483
dan PMDN sebanyak 32 dengan nilai investasi sebesar
Rp.1.257.726.778.207,-. Sedangkan tahun 2011 mengalami
59 Laporan Akhir
Feasibility Study Pengadaan Calon Lahan Kompensasi Pembangunan Jalan Lintas Selatan (JLS)
peningkatan menjadi 21 PMA dengan nilai investasi $3.602.118 dan 46
PMDN dengan nilai investasi Rp.1.796.752.540.295,-.
4.8. Analisis Perkembangan Sektoral
Pergerakan ekonomi Banyuwangi yang meningkat dalam beberapa tahun
terakhir, dikontribusi oleh dua sektor utama yaitu pertanian (termasuk
perikanan dan peternakan) serta perdagangan, hotel dan restoran.
Pertanian memberikan kontribusi rata-rata 46,5 persen sedangkan
perdagangan, hotel dan restoran memberikan kontribusi rata-rata 26,8
persen.
Sektor pertanian tidak hanya menjadi andalan Banyuwangi, namun juga
sektor yang diandalkan di level Jawa Timur. Pertumbuhan dan kontribusi
sektor ini di Banyuwangi melampaui Jawa Timur, sehingga menurut
analisis tipologi Klassen, sektor pertanian menjadi masuk dalam kategori
sektor prima (lihat grafis). Sektor pertanian termasuk didalamnya sub
sektor perikanan, peternakan, perkebunan, dan kehutanan merupakan
sektor yang menghidupi mayoritas penduduk Banyuwangi (market share)
paling besar, yang menjadi hajat hidup orang banyak. Untuk itu dalam
beberapa tahun kedepan, Pemerintah Kabupaten Banyuwangi
menetapkan kebijakan untuk tetap meletakkan sektor ini sebagai prioritas
unggulan utama.
Sementara itu, sektor perdagangan, hotel dan restoran, meskipun dalam
posisi kedua dalam memberi kontribusi ekonomi Banyuwangi, namun
menjadi lokomotif utama yang mengangkat tumbuhnya perekonomian.
Sektor ini pada tahun 2011 mampu tumbuh 8,9 persen dan pada tahun
2012 mencapai posisi 9,2 persen melampaui total pertumbuhan ekonomi
Banyuwangi. Sedangkan sektor pertanian yang menjadi unggulan utama,
hanya tumbuh rata-rata 5 persen. Ketika sektor perdagangan, jasa, dan
restoran serta sektor konstruksi mengalami trend peningkatan, sektor
lainnya akan mengalami trend penurunan.
60 Laporan Akhir
Feasibility Study Pengadaan Calon Lahan Kompensasi Pembangunan Jalan Lintas Selatan (JLS)
Kondisi ini menunjukkan bahwa saat ini Banyuwangi dalam proses
transformasi, dari pertanian ke sektor jasa perdagangan. Sektor
pertanian, di samping pertumbuhannya lambat, kontribusinya terhadap
total PDRB semakin tahun semakin menurun. Jika pada tahun 2007-2008
kontribusi sektor pertanian pada posisi diatas 47 persen, maka pada
tahun 2010 turun menjadi 46 persen dan turun lagi pada posisi 45,9
persen pada tahun 2011. Sedangkan pada sektor perdagangan, hotel
dan restoran, yang menjadi lokomotif pertumbuhan ekonomi Banyuwangi,
faktanya merupakan sektor „terbelakang‟ dalam konstelasi ekonomi Jawa
Timur. Rerata pertumbuhan sektor perdagangan, hotel dan restoran Jawa
Timur lebih tinggi daripada Banyuwangi. Pada sektor ini, ternyata
didominasi oleh perdagangan yang mencapai hampir 90 persen,
sedangkan peran sektor hotel dan restoran hanya pada kisaran 10
persen. Pada sektor pertanian, masih ditentukan oleh sub sektor tanaman
bahan makanan yang mendominasi hingga 50 persen, sedangkan
perkebunan 20 persen, perikanan 17 persen, peternakan 10 persen dan
kehutanan 3 persen. Inilah tantangan yang masih harus dihadapi saat ini
dan pada tahun-tahun mendatang. Ini juga merupakan resultan kerja
bareng Pemerintah (seluruh satuan kerja perangkat daerah), bersama
swasta dan seluruh komponen masyarakat, yang masih harus terus
diupayakan peningkatannya. Peran pemerintah dicerminkan dari
besarnya prosentase APBD terhadap total PDRB. APBD Kabupaten
Banyuwangi pada tahun 2012 sebesar 1,86 Trilyun Rupiah, namun
proporsinya dalam menstimulasi perekonomian hanya 6,6 persen.
Selebihnya (93,4 persen) adalah kontribusi seluruh komponen
masyarakat dan swasta.
Sebagai gambaran bahwa dari 1,86 trilyun dialokasikan antara lain 42,5
persen untuk memenuhi belanja pendidikan, 13,4 persen infrastruktur,
9,23 persen kesehatan, selebihnya untuk membiayai 22 urusan
pembangunan. Anggaran infrastruktur sebesar 250 milyar rupiah
diperuntukkan untuk meningkatkan aksesibilitas umum
(pembangunan/rehab jalan dan jembatan serta infrastruktur strategis
61 Laporan Akhir
Feasibility Study Pengadaan Calon Lahan Kompensasi Pembangunan Jalan Lintas Selatan (JLS)
lainnya), menunjang sektor pertanian (pembangunan/rehab jaringan
irigasi), kesehatan (pengembangan/rehab jaringan puskesmas), dan
peningkatan sarana publik lainnya. Dalam konstelasi pertumbuhan
ekonomi, meskipun belanja pemerintah relatif kecil dibanding total PDRB
(hanya 6,6 persen), tetapi diharapkan mampu mendorong 3 faktor utama
fundamental ekonomi Banyuwangi yaitu peningkatan netto perdagangan
dan konsumsi lokal, peningkatan konsumsi produk lokal, serta masuknya
investasi.
Pertama, peningkatan netto perdagangan dan konsumsi lokal. Penduduk
Banyuwangi dengan jumlah 1,56 juta jiwa merupakan terbesar keempat
penduduk di Jawa Timur. Penduduk yang besar ini merupakan pasar
yang sangat potensial. Untuk itu, penduduk Banyuwangi harus
mengutamakan untuk mengkonsumsi produk lokal Banyuwangi atau
setidaknya membeli produk domestik yang dijual di Banyuwangi, supaya
ekonomi di Banyuwangi bergerak dan tumbuh. Tentunya dengan catatan
bahwa produk lokal Banyuwangi harus berdaya saing; berkualitas dengan
harga yang terjangkau atau relatif murah. Oleh sebab produk Banyuwangi
harus berhadapan dengan produk-produk dari luar Banyuwangi bahkan
dari negara lain. Pilihan masyarakat seharusnya pada jeruk, durian, batik
atau produk lokal Banyuwangi lainnya, bukan mengkonsumsi jeruk,
durian, batik atau produk import. Jika ini dilakukan oleh seluruh
masyarakat, maka netto perdagangan Banyuwangi akan surplus dan
yang jauh lebih penting adalah memberikan dampak ikutan kepada petani
dan produsen lokal Banyuwangi untuk terus memproduksi, memberikan
upah tenaga kerja, mengurangi pengangguran, dan seterusnya.
Kedua, peningkatan investasi. Posisi Kabupaten Banyuwangi sangat
strategis karena terletak di ujung Pulau Jawa dan berbatasan dengan
Provinsi Bali. Dalam Materplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan
Ekonomi Indonesia (MP3EI), posisi Banyuwangi merupakan pintu
gerbang Koridor Ekonomi Jawa sebagai “Pendorong Industri dan Jasa
Nasional”, yang menghubungkan dengan Koridor Ekonomi Bali Nusa
Tenggara sebagai “Pintu Gerbang Pariwisata dan Pendukung Pangan
62 Laporan Akhir
Feasibility Study Pengadaan Calon Lahan Kompensasi Pembangunan Jalan Lintas Selatan (JLS)
Nasional”. Pada posisi ini, diharapkan Banyuwangi, dalam koridor
ekonomi nasional ini menjadi „pintu‟ untuk masuknya investasi.
Harapan tersebut nampaknya semakin dekat dengan kenyataan. Dari
data Badan Penanaman Modal Jawa Timur, jika sebelumnya minat
investasi di Banyuwangi hanya menjadi rangking 31 diantara 38
Kabupaten/Kota di Jawa Timur, saat ini menempati posisi rangking ketiga
sebagai daerah yang paling diminati investor setelah Gresik dan
Surabaya. Dengan keberadaan investor, diharapkan bisa membangun
sinergi positif demi kemajuan Banyuwangi ke depan. Untuk itulah,
investasi apa pun, terutama investasi di sektor yang terkait dengan
pertanian (termasuk perikanan dan peternakan) harus didorong lebih kuat
dan lebih cepat guna mendayagunakan lebih banyak sumberdaya alam di
Banyuwangi.
Upaya peningkatan investasi dengan konsep penataan dan
pengembangan wilayah telah dirumuskan dan disesuaikan dengan
potensi dan kebutuhan di Kabupaten Banyuwangi. Konsep
pengembangan wilayah Banyuwangi telah ditetapkan dalam Rencana
Tata Ruang Wilayah Kabupaten Banyuwangi Tahun 2011-2031, Pertama
Konsep pengembangan wilayah berbasis karakter sumberdaya yang
dimiliki, yaitu Pengembangan kegiatan industri pengolahan potensi
kelautan dan perikanan yang terintegrasi dengan pengembangan
kawasan Minapolitan di Kecamatan Muncar; Pengembangan agroindustri
berada disentra produksi pertanian terintegrasi dengan pengembangan
kawasan agropolitan di Kecamatan Bangorejo, Siliragung, Kalibaru dan
Kalipuro; Pengembangan industri kecil (home industry) dan menengah
yang tersebar di seluruh kecamatan. Konsep ini menekankan pada pilihan
komoditas unggulan sebagai motor penggerak ekonomi.
Kedua, Konsep pengembangan wilayah berbasis penataan ruang.
Konsep pusat pertumbuhan yang menekankan perlunya investasi dengan
dukungan infrastruktur yang baik. Pengembangan kawasan industri
estate atau kawasan industri terpadu diarahkan di Kecamatan
Wongsorejo; dan Pengembangan kegiatan industri yang terintegrasi
63 Laporan Akhir
Feasibility Study Pengadaan Calon Lahan Kompensasi Pembangunan Jalan Lintas Selatan (JLS)
dengan pengembangan Pelabuhan Umum dan Pelabuhan Khusus
diarahkan di Kecamatan Kalipuro; Saat ini sedang diupayakan realisasi
Kawasan Industri Wongsorejo (KIW) seluas 600 hektar dari 1.000 hektar
lahan yang telah disiapkan. Ini semua merupakan ikhtiar dalam upaya
menjadikan kawasan Banyuwangi utara sebagai kawasan industri guna
menyokong perekonomian Banyuwangi dalam skala yang lebih luas lagi.
Dengan dukungan dana APBN, pemerintah juga akan melakukan
penambahan runway lapangan terbang Blimbingsari serta runway lighting
sehingga bisa digunakan untuk pendaratan malam hari dan mampu
melayani rute penerbangan armada setara Boeing. Mulai tanggal 1 Mei
2012 yang lalu frekuensi penerbangan dari Banyuwangi-Surabaya oleh
Merpati Air sudah dilakukan tiap hari, dan mulai tanggal 20 September
2012, maskapai Wings Air telah membuka penerbangan Banyuwangi-
Surabaya PP setiap hari. Dengan demikian diharapkan akan semakin
banyak investor yang tertarik untuk menanamkan modalnya di
Banyuwangi.
Investasi dan pertumbuhan ekonomi diharapkan memberikan dampak
pada perluasan lapangan kerja, pengurangan pengangguran dan
pengurangan kemiskinan. Pengurangan pengangguran ditunjukkan dari
menurunnya Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT). Pada tahun 2010,
TPT di Banyuwangi mencapai 3,92 persen dari seluruh angkatan kerja.
Kondisi ini membaik pada tahun 2011, tingkat pengangguran terbuka
menurun mencapai 3,71 persen, berada di bawah TPT Jawa Timur yang
mencapai 4,16 persen. Pada tahun 2009, prosentase penduduk miskin di
Banyuwangi mencapai 12,16 persen penduduk. Kondisi ini membaik pada
tahun 2010, penduduk miskin di Banyuwangi menurun mencapai 11,25
persen, berada di bawah penduduk miskin Jawa Timur yang mencapai
15,2 persen dan penduduk miskin nasional sebesar 13,33 persen
penduduk. Investasi di Banyuwangi diharapkan mampu terus
meningkatkan angka partisipasi angkatan kerja dan pada gilirannya
mampu menurunkan pengangguran dan kemiskinan.
64 Laporan Akhir
Feasibility Study Pengadaan Calon Lahan Kompensasi Pembangunan Jalan Lintas Selatan (JLS)
Meningkatnya pertumbuhan ekonomi dan investasi disisi lain, jika tidak
diantisipasi dapat memberikan dampak sosial dan disparitas. Untuk itu
Pemerintah Kabupaten Banyuwangi terus memberikan dukungan
terhadap penyelenggaraan jaminan sosial. Jumlah industri non formal di
Banyuwangi saat ini sebesar 14.926 Unit Usaha, dengan Jumlah Tenaga
Kerja sebanyak 54.869 orang, terus didorong untuk terlindungi jaminan
sosial. Asuransi Kesejahteraan Sosial (Askesos) saat ini telah diikuti
3.261 peserta dari 17 lembaga, dengan dana keseluruhan sebesar Rp.
510 juta. Sedangkan Jamsostek (Jaminan Sosial Tenaga Kerja), saat ini
telah diikuti 20.796 tenaga kerja pada 787 lembaga. Jaminan Kesehatan
Daerah (Jamkesda) telah disediakan (kuota) sebesar 66.911 dengan
realisasi sebesar 2.542 (3,8 persen). Adapun Jaminan Kesehatan
Masyarakat (Jamkesmas) bersumberdana APBN disediakan kuota
463.210 dengan realisasi sebesar 154.915 (33,4 persen).
Sebagaimana tadi diuraikan bahwa sektor pertanian termasuk sub sektor
perikanan kelautan sebagai prioritas utama pembangunan daerah.
Pengembangan investasi diharapkan memberikan efek pengganda
(multiplier effect) yang lebih luas kepada ekonomi Banyuwangi
khususnya di sektor pertanian. Pada tahun 2011 luas panen 116,7 ribu
hektar dan produksi padi mencapai 761,3 ribu ton. Provitas padi pada
tahun 2012 sebesar 6,33 ton per hektar.
Dukungan APBD pada pembangunan jalan usaha tani tahun 2011
sebesar Rp. 2,16 milyar yang tersebar pada 12 Kecamatan, Jalan
produksi disentra produksi kapas, tembakau dan kelapa sebesar Rp.
758,4 juta di Kec. Sempu dan Wongsorejo, dan Jaringan irigasi tingkat
usaha tani (JITUT) serta Jaringan Irigasi Pedesaan (JIDES) dengan dana
sebesar Rp. 1,74 yang tersebar di 24 kecamatan. Dukungan peningkatan
infrastruktur juga terus diupayakan guna peningkatan produksi dan
produktifitas pertanian. Pada tahun 2011, saluran tersier yang diperbaiki
mencapai 44,4 km dengan baku sawah terairi 3.330 hektar. Sedangkan
65 Laporan Akhir
Feasibility Study Pengadaan Calon Lahan Kompensasi Pembangunan Jalan Lintas Selatan (JLS)
saluran skunder yang diperbaiki mencapai 1,03 km dengan baku sawah
terairi 300 hektar.
Sementara itu, dengan dukungan dana APBN, Waduk Bajulmati yang
terletak di Desa Watukebo Kecamatan Wongsorejo terus berlangsung,
dengan harapan nantinya berfungsi untuk meningkatkan areal sawah
beririgasi teknis seluas 1.800 hektar, penyediaan air bersih untuk 18.000
KK, air bersih untuk pelabuhan dengan kapasitas 0,06 m3/detik, dan
pariwisata serta perikanan. Sedangkan pada sub sektor perikanan dan
kelautan, produksi tahun 2011 tercatat sebesar 31,01 ribu ton dengan
produksi budidaya sebesar 1.090 ton dan produksi tangkap sebesar 29,9
ribu ton. Produksi ini meningkat pada tahun 2012 menjadi sebesar 45,7
ton.
66 Laporan Akhir
Feasibility Study Pengadaan Calon Lahan Kompensasi Pembangunan Jalan Lintas Selatan (JLS)
BAB 5 ANALISA KELAYAKAN LAHAN PENGGANTI
5.1. Pembangunan Jalan Lingkar Selatan
Salah satu program strategis Pemerintah Provinsi Jawa Timur di bidang
infrastruktur yang dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka
Panjang Daerah (RPJPD) Provinsi Jawa Timur Tahun 2005 – 2025,
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi
Jawa Timur Tahun 2009 – 2014 dan dituangkan dalam Peraturan Daerah
Provinsi Jawa Timur Nomor 2 Tahun 2006 tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah (RTRW) Provinsi Jawa Timur Tahun 2005 – 2020 adalah
Pembangunan Jalan Lintas Selatan Provinsi Jawa Timur meliputi
Kabupaten Pacitan, Kabupaten Trenggalek, Kabupaten Tulungagung,
Kabupaten Blitar, Kabupaten Lumajang, Kabupaten Jember dan
Kabupaten Banyuwangi.
Tujuan Pembangunan Jalan Lintas Selatan Provinsi Jawa Timur dalam
rangka mengurangi kesenjangan (disparitas) perkembangan
pembangunan wilayah selatan Jawa Timur dengan wilayah bagian tengah
dan utara dari Provinsi Jawa Timur. Sasaran dalam Pembangunan Jalan
Lintas Selatan adalah :
Pemeratakan hasil-hasil pembangunan, meningkatkan
pertumbuhan ekonomi, memperluas kesempatan kerja dan
menjamin keberlanjutan Pembangunan Daerah.
Meningkatkan pengelolaan potensi sumber daya alam yang
berwawasan lingkungan sesuai dengan RTRW Provinsi Jawa
Timur dan RTRW Kabupaten.
Meningkatkan Pendapatan Masyarakat dan PAD melalui
pengembangan sarana dan prasarana transportasi.
67 Laporan Akhir
Feasibility Study Pengadaan Calon Lahan Kompensasi Pembangunan Jalan Lintas Selatan (JLS)
Memberdayakan peran serta masyarakat melalui optimalisasi
pengembangan usaha ekonomi produktif di wilayah selatan
provinsi jawa timur yang berbasis potensi sumber daya alam lokal.
Pembangunan jalan lintas selatandi Jawa Timur tersebut akan
berdampak pada peningkatan sektor-sektor pembangunan di wilayah
selatan, sehingga dalam mendukung dan mewujudkan program
pembangunan jalan lintas selatan telah dituangkan dalam Kesepakatan
Bersama antara Pemerintah Provinsi Jawa Timur dan 8 (delapan)
Pemerintah Kabupaten yang dilewati jalan lintas selatan ditetapkan dalam
Kerjasama Pembangunan Wilayah Selatan Jawa Timur Nomor :
120.1/403/012/2001 – Nomor : 129 Tahun 2001 tanggal 26 September
2001. Bidang kerjasama menjadi prioritas pengembangan di wilayah
selatan meliputi : Bidang pekerjaan umum, kehutanan dan perkebunan,
pertanian, industri dan perdagangan, kelautan, pertambangan, pariwisata
dan sektor lainnya disesuaikan dengan kebutuhan daerah.
Pembangunan Jalan Lintas Selatan ini statusnya ditingkatkan menjadi
program strategis nasional dan pencanangannya dilakukan oleh Presiden
RI pada tanggal 14 Februari 2004 bertempat di Kabupaten Blitar. Biaya
pembangunan fisik ditanggung oleh pemerintah provinsi, sedangkan
biaya pembebasan tanah telah disediakan oleh masing-masing Pemkab
terkait. Dalam pembangunan JLS tidak lepas dari kendala – kendala yang
menghadang. Berbagai permasalahan umum yang dihadapi baik teknis
maupun non teknis, seperti keterbatasan dana, keadaan topografi,
pembebasan lahan, kesulitan penggunaan tanah perhutani, aksesibilitas
rendah, dan yang lainnya. Pengembangan jalan penghubung utama di
bagian Selatan atau dikenal Jalan Lintas Selatan (JLS) sebagai
program regional telah direspon Kabupaten Banyuwangi. Jalan yang
diarahkan untuk menghubungkan mulai dari Pacitan– Trenggalek –
Tulungagung – Blitar – Malang – Lumajang – Jember – Banyuwangi
dengan panjang ruas 618,80 km. Di Kabupaten Banyuwangi, Jalan
Lintas Selatan akan menghubungkan Tengkinol- Malangsari–
Kendenglembu– Glenmore – Gentengkulon – Rogojampi – Banyuwangi
68 Laporan Akhir
Feasibility Study Pengadaan Calon Lahan Kompensasi Pembangunan Jalan Lintas Selatan (JLS)
– Ketapang, dengan panjang 110 Km. Peningkatan ketersediaan
infrastruktur merupakan salah satu hal yang mendukung kelancaran
mobilitas barang dan jasa.
Pembangunan Jalan Lintas Selatan di Kabupaten Banyuwangi, meliputi :
1. Jalan Arteri Primer total panjang jalan 110 Km, melewati :
Jalan arteri primer yang ada (Jalan Nasional) = 76,30 Km ;
Kawasan hutan Perhutani KPH Banyuwangi Selatan = 10,89
Km
Kawasan perkebunan PTPN XII (Persero) di Unit Usaha
Strategik (UUS) Malangsari, UUS Kendenglembu, UUS Kalirejo
/ Pengundangan = 22,81 Km
2. Trase yang melewati kawasan hutan dan kawasan perkebunan
sebagian besar merupakan kegiatan pembukaan lahan.
3. Jalan Kolektor Primer total panjang 163,23 Km, berupa jalan
kabupaten yang terkoneksi dengan ruas jalan arteri primer dan
melewati beberapa kecamatan di wilayah selatan Kabupaten
Banyuwangi.
Pembangunan sarana jalan raya harus memberikan manfaat bagi
berbagai kepentingan sosio ekonomis masyarakat dilingkungannya.
Wipper (1994) menyatakan ada dua hal penting yang seharusnya menjadi
orientasi pembangunan sarana ini. Kedua hal itu adalah keselamatan dan
kualitas kehidupan kerja. Artinya pembangunan ini tidak hanya
memberikan kemudahan dan perlindungan fisik, tetapi seharusnya
memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk meningkatkan taraf
hidupnya. Terbukanya (kemudahan) akses dengan pihak lain (luar)
memberikan peluang kepada masyarakat untuk memperbaiki taraf
hidupnya. Poister dan Harris (2000) menegaskan bahwa progam mutu
terpadu harus merupakan komitmen yang harus dipertahankan dalam
rangka peningkatan kualias cara hidup. Pembangunan sarana jalan
merupakan sistem yang sangat kompleks dan terpadu. Talvitie (1999)
menggunakan pendekatan yang lebih komprehensif dalam
menggambarkan sistem transportasi. Dalam pandangannya sistem ini
69 Laporan Akhir
Feasibility Study Pengadaan Calon Lahan Kompensasi Pembangunan Jalan Lintas Selatan (JLS)
tidak hanya merupakan input – proses – maupun output, namun juga
termasuk didalamnya adalah dampak (outcome) dan berbagai
konsekuensi lain (consequences).
Poister dan Harris (2000) menyatakan bahwa membangun sistem jalan
raya harus memberikan dampak terhadap peningkatan kualitas layanan,
efektifitas dalam segala hal dan penghematan. Untuk itu, proses yang
terjadi dalam sistem ditujukan untuk mengelola organisasi, mendapatkan
informasi, mengembangkan alternatif, mengevaluasi program-program,
mengalokasi berbagai sumber daya untuk menghasilkan produk dan jasa,
serta output untuk para pengguna jalan (road users).
Sistem jalan raya merupakan sistem yang secara mandiri adaptif (self
adaptive), hal ini disebabkan tujuan dan sasaran yang ada sebenarnya
merupakan respon dari evaluasi terhadap output, proses, dampak
70 Laporan Akhir
Feasibility Study Pengadaan Calon Lahan Kompensasi Pembangunan Jalan Lintas Selatan (JLS)
(outcome), berbagai konsekuensi dan umpan balik yang diberikan oleh
komunitas sistem.
Gambaran komprehensif Talvitie (1999) menegaskan bahwa keberhasilan
sistem tidak hanya berhenti pada output, tetapi juga perlu melihat dampak
atau imbas yang terjadi sehubungan dengan pemanfaatan fasilitas yang
diberikan pemerintah tersebut. Pembangunan sarana ini harus
berdampak pada naiknya aksesibilitas, semakin berkurangnya
kemaceten, peningkatan kualitas jalan raya dan berkurangnya waktu
perjalanan maupun berkurangannya polusi udara. Pembangunan ini juga
memberikan konsekuensi misal perununan kualitas kesehatan
(dikarenakan polusi tinggi), lapangan kerja yang lebih terbuka, semakin
sempitnya lahan dan sebagainya.
Konsekuensi-konsekuensi yang muncul bisa jadi kurang menguntungkan
(misal penurunan kualitas kesehatan dan turunnya nilai-nilai). Dampak
maupun konsekuensi negatif yang muncul sebagai akibat pembangunan
jalan raya sedapat mungkin diantisipasi atau bila terlanjur terjadi,
informasi yang diterima diharapkan dapat memberikan umpan balik
masukan penting bagi pemerintah guna perbaikan sistem dan mutu
layanan dimasa mendatang. Terkait dengan mutu layanan, Poister dan
Harris (2000) menyatakan bahwa hal ini merupakan proposisi jangka
panjangdan cenderung kontraproduktif. Oleh karena itu perlu untuk
senantiasa dipertimbangkan baik pada awal kegiatan maupun akhir.
Mereka juga merekomendasikan pentingnya investasi untuk melatih
karyawan. Diperlukan kesabaran dan ekspektasi yang realistis dalam
menunggu hasil yang diharapkan
5.2. Kewajiban Lahan Pengganti
Ditinjau dari kondisi geografis dan pembangunan trase jalan lintas selatan
melewati Jalan Nasional, Jalan Provinsi, Jalan Kabupaten eksisting yang
berada di masing-masing Kabupaten dan sebagian trase jalan lintas
selatan melewati kawasan hutan milik Perum Perhutani Unit II Jawa
Timur. Berkenaan dengan pembangunan jalan lintas selatan kawasan
71 Laporan Akhir
Feasibility Study Pengadaan Calon Lahan Kompensasi Pembangunan Jalan Lintas Selatan (JLS)
hutan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku dikenakan
ketentuan-ketentuan yang wajib dipenuhi oleh Dinas/Instansi terkait baik
dari unsur Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten.
Di Kabupaten Banyuwangi panjang trase jalan lintas selatan sekitar 110
Km, sebagian besar melewati ruas jalan nasional, jalan provinsi dan
sebagian kecil melewati jalan kabupaten. Sebagian trase jalan lintas
selatan juga melewati perkebunan dan kawasan hutan. Penggunaan
kawasan hutan untuk pembangunan jalan lintas selatan sesuai peraturan
perundangan yang berlaku dilakukan melalui mekanisme pinjam pakai
kawasan hutan. Berkenaan hal tersebut, Pemerintah Kabupaten
Banyuwangi sudah mendapat surat Menteri Kehutanan RI. tanggal 19
Agustus 2009 Nomor S.651/Menhut -VII/2009 perihal persetujuan Prinsip
Penggunaan Kawasan Hutan seluas ± 25,79 Ha Untuk Pembangunan
Jalan Lintas Selatan Jawa Timur a.n. Bupati Banyuwangi di Kabupaten
Banyuwangi Provinsi Jawa Timur, kewajiban-kewajiban yang harus
dipenuhi oleh Pemerintah Kabupaten Banyuwangi (Bupati Banyuwangi)
yaitu :
a. Menyediakan dan menyerahkan lahan bukan kawasan hutan
kepada Kementrian Kehutanan seluas ± 25,79 ha yang “ clear and
clean “ sebagai kompensasi atas kawasan hutan yang digunakan;
b. Menanggung biaya tata batas pinjam pakai kawasan hutan.
c. Menanggung biaya inventarisasi tegakan;
d. Menangung biaya pengukuhan kawasan hutan yang berasal dari
lahan kompensasi;
e. Melaksanakan dan menanggung biaya reboisasi atas lahan
kompensasi;
f. Melaksanakan reklamasi dan reboisasi pada kawasan hutan yang
sudah tidak dipergunakan tanpa menunggu selesainya jangka
waktu pinjam pakai kawasan hutan;
g. Menyelenggarakan perlindungan hutan;
h. Memberikan kemudahan bagi aparat kehutanan baik pusat
maupun daerah sewaktu melakukan monitoring dan evaluasi di
lapangan.
72 Laporan Akhir
Feasibility Study Pengadaan Calon Lahan Kompensasi Pembangunan Jalan Lintas Selatan (JLS)
i. Menanggung seluruh biaya sebagai akibat adanya pinjam pakai
kawasan hutan.
j. Mengingat pemenuhan kewajiban-kewajiban huruf f, g, h, i
dilaksanakan pada saat telah terbit izin pinjam pakai kawasan
hutan, maka pemohon wajib membuat pernyataan di depan
notaris;
k. Membayar ganti rugi nilai tegakan kepada Perum Perhutani;
l. Membayar PSDH dan DR kepada Pemerintah sesuai ketentuan
yang berlaku;
m. Membayar biaya inventasi pengelolaan hutan atau pemanfaatan
hutan kepada Perum Perhutani akibat penggunaan kawasan
hutan sesuai dengan luas areal hutan tanaman yang dipinjam
pakai dan jangka waktu pinjam pakai kawasan hutan;
Persetujuan prinsip penggunaan kawasan hutan tersebut diatas, bukan
merupakan izin pinjam pakai kawasan hutan sehingga kegiatan
pembangunan trase jalan lintas selatan di kawasan hutan tidak boleh
dilaksanakan sebelum beberapa kewajiban utama dilaksanakan oleh
Pemerintah Kabupaten Banyuwangi sebagai dasar memperoleh Izin
Pinjam Pakai Kawasan Hutan dari Menteri kehutanan RI.
Adapun Lokasi Calon Lahan Kompensasi yang diajukan oleh Pemerintah
Kabupaten Banyuwangi di Wilayah Kabupaten Banyuwangi adalah
sebagai berikut:
73 Laporan Akhir
Feasibility Study Pengadaan Calon Lahan Kompensasi Pembangunan Jalan Lintas Selatan (JLS)
Lokasi I
No Kriteria Keterangan
1 Status Tanah Yasan dengan kepemilikan terdiri dari ± 40 0rang, belum bersertifikat
2 Lokasi a. Menurut administrasi pemerintahan : Dusun : Krajan Dua Desa : Bangsring Kecamatan : Wongsorejo Kabupaten : Banyuwangi Berbatasan dengan kawasan hutan : Petak : 64, Pal B.320 s/d B.345 RPH : Selogiri BKPH : Ketapang KPH : Banyuwangi Utara
3 Luas ± 22,29 ha (lebih kurang dua puluh dua koma dua puluh sembilan hektar)
4 DAS Sampean
5 Kondisi lapangan a. Lapangan : landai b. Jenis tanah : Latosol c. Ketinggian : 88 mdpl d. Kemiringan : 0 s/d 10 % e. Solum : agak dalam f. Jenis tanaman : semusim, sengon, dan mangga
74 Laporan Akhir
Feasibility Study Pengadaan Calon Lahan Kompensasi Pembangunan Jalan Lintas Selatan (JLS)
Lokasi II
No Kriteria Keterangan
1 Status Tanah Yasan dengan kepemilikan ± 5 orang, belum bersertifikat
2 Lokasi Menurut administrasi pemerintahan : Dusun : Pal Tujuh Karangrejo Utara Desa : Wongsorejo Kecamatan : Wongsorejo Kabupaten : Banyuwangi Berbatasan dengan kawasan hutan : Petak : 24d (Pal B.108/1 s/d B.111/B. 108/10) dan (Pal B. 112/1 s/d B.112/6) RPH : Alasbuluh BKPH : Watudodol KPH : Banyuwangi Utara
3 Luas ± 5 ha
4 DAS Sampean
5 Kondisi lapangan a. Lapangan : lereng landai b. Jenis tanah : latosol c. Ketinggian : 250 m dpl d. Kemiringan : 5 s/d 35 % e. Solum : agak dalam f. Jenis tanaman: semusim
75 Laporan Akhir
Feasibility Study Pengadaan Calon Lahan Kompensasi Pembangunan Jalan Lintas Selatan (JLS)
5.3. Kelayakan Lokasi
Pemerintah Kabupaten Banyuwangi telah mendapatkan persetujuan
prinsip dari Menteri kehutanan No. S.651/Menhut-VII/2009 tanggal 19
Agustus 2009, Perihal Persetujuan Prinsip Penggunaan Kawasan Hutan
Seluas ± 25,79 Ha Untuk Pembangunan Jalan Lintas Selatan Jawa Timur
a.n. Bupati Banyuwangi di Kabupaten Banyuwangi, Provinsi Jawa Timur,
dengan proses pinjam pakai dengan kompensasi ratio 1 : 1.
Calon lahan kompensasi yang telah diajukan oleh Pemerintah Kabupaten
Banyuwangi dan telah dinilai kelayakan teknisnya seluas ± 27 ha, masuk
wilayah administrasi pemerintahan Kabupaten Banyuwangi dan masuk
wilayah kerja Perum Perhutani KPH Banyuwangi Utara .
Kondisi di lapangan terhadap lahan kompensasi adalah sebagai berikut :
1. Merupakan tanah yasan dengan solum agak dalam s/d dalam.
2. Lokasi dalam satu DAS dengan lokasi kawasan hutan yang
dimohon pinjam pakai, yaitu wilayah DAS Sampean.
3. Terdapat jenis tanaman sengon, jabon, kopi, kelapa, mangga,
srikaya, dan tanaman semusim dengan keadaan tumbuh baik.
4. Pada lokasi II/ Dusun Pal Tujuh Karangrejo Utara, Desa
Wongsorejo, Kecamatan Wongsorejo, Kabupaten Banyuwangi
pada keluasan ± 5,00 ha terdapat kawasan berupa curah yang
akan difungsikan sebagai kawasan perlindungan setempat (KPS)
seluas ± 1,50 ha.
Berdasarkan Pasal 32 Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia
Nomor : P.38/Menhut-II/2012 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri
Kehutanan Nomor P.18/Menhut-II/2011 Tentang Pedoman Pinjam Pakai
Kawasan Hutan Calon lahan kompensasi sebagaimana dimaksud,
diharuskan memenuhi persyaratan:
1. letaknya berbatasan langsung dengan kawasan hutan, kecuali lahan
kompensasi tersebut dapat dikelola dan dijadikan satu unit
pengelolaan hutan;
76 Laporan Akhir
Feasibility Study Pengadaan Calon Lahan Kompensasi Pembangunan Jalan Lintas Selatan (JLS)
2. terletak dalam daerah aliran sungai, pulau, dan/atau provinsi yang
sama;
3. dapat dihutankan kembali dengan cara konvensional;
4. tidak dalam sengketa dan bebas dari segala jenis pembebanan dan
hak tanggungan; dan
5. mendapat rekomendasi dari gubernur atau bupati/walikota.
Berdasarkan syarat tersebut calon lahan kompensasi telah memenuhi
setidaknya 3 persyaratan yaitu letaknya berbatasan langsung dengan
hutan, terletak pada daerah aliran sungai yang sama dan dapat
dihutankan kembali secara konvensional. Sesuai dengan persetujuan
prinsip dari Menteri Kehutanan No. S.651/Menhut-VII/2009 tanggal 19
Agustus 2009, Pemerintah Kabupaten Banyuwangi dibebani kewajiban
menyediakan lahan kompensasi minimal seluas ± 25,79 ha untuk
memenuhi ratio 1 : 1 dan luasan total lahan kompensasi telah memenuhi
luas lahan kompensasi minimal
5.4. Analisis Benefit Cost
Untuk memenuhi kewajiban penyediaan lahan kompensasi Pemerintah
Kabupaten Banyuwangi telah mengeluarkan anggaran yang bersumber
dari APBD Kabupaten Banyuwangi dengan rincian sebagai berikut:
No. KEWAJIBAN SUDAH BELUM KETERANGAN
1 2 3 4 5
1 Membayar biaya inventarisasi tegakan dan PPN 10% dari seluruh pemenuhan kewajiban
√ Total yang harus dibayar Rp. 77.283.000,00,- Sudah dibayar Rp. 77.283.000,- Kurang Rp. 0,- Total PPN 10% Rp. 37.082.576,00 Sudah dibayar Rp. 37.082.576,00 Kurang Rp. 0,- Jumlah Invetarisasi tegakan dan PPN 10% = Rp. 114.365.576,00 Keterangan : Sumber APBD Kabupaten Tahun 2011
77 Laporan Akhir
Feasibility Study Pengadaan Calon Lahan Kompensasi Pembangunan Jalan Lintas Selatan (JLS)
No. KEWAJIBAN SUDAH BELUM KETERANGAN
1 2 3 4 5
2 Dana untuk pembebasan lahan kompensasi
√ Sudah dialokasi dana pembebasan lahan APBD Kabupaten Banyuwangi tahun sebesar ±Rp. 1.000.000.000,- untuk realisasi menunggu persetujuan Menteri Kehutanan RI atas usulan calon lahan kompensasi
3 Surat Kementerian Kehutanan atas Usulan Calon Lahan Kompensasi
√ Surat Kementerian Kehutanan tanggal 26 Juli 2011 nomor S.479/Menhut-VII/PKH/2011 atas usulan calon lahan kompensasi untuk pembangunan JLS yang pada prinsipnya telah memenuhi persyaratan, kecuali peta yang dilampirkan belum terdapat koordinat. Pemerintah Kabupaten melalui surat tanggal 6 Januari 2012 mengirimkan surat untuk pemenuhan data peta yang dengan dilengkapi koordinat.
4 Usulan Calon lahan kompensasi
√ Kabupaten Banyuwangi melalui surat Bupati Banyuwangi tanggal 26 Mei 2011 nomor 050/1729/429.202/2011 mengirimkan surat Usulan Calon Lahan Kompensasi atas Penggunaan Kawasan Hutan untuk pembangunan jalan lintas selatan di Kabupaten Banyuwangi kepada Menteri Kehutanan, berdasarkan Penilaian teknis terhadap calon lahan kompensasi atas penggunaan hutan pada tanggal 23 Desember 2010 seluas ± 25,79 Ha di
78 Laporan Akhir
Feasibility Study Pengadaan Calon Lahan Kompensasi Pembangunan Jalan Lintas Selatan (JLS)
No. KEWAJIBAN SUDAH BELUM KETERANGAN
1 2 3 4 5
Kecamatan Wongsorejo.
5 Menyerahkan lahan kompensasi
√ Pengadaan Lahan Kompensasi sudah dialokasikan pada APBD Kabupaten Banyuwangi Tahun 2010 sebesar Rp. 1,5 M, akan tetapi belum direalisasikan menunggu hasil kegiatan penilaian kelayakan teknis calon lahan kompensasi yang dilaksanakan BAPPEDA Kabupaten Banyuwangi Tahun Anggaran 2010 (Mengacu pada mekanisme Permenhut RI. No. P.43/Menhut-II/2008 ttg Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan)
6 Menanggung biaya tata batas
√ Total yang harus dibayar Rp. 152.527.300,- Sudah dibayar Rp. 152.527.300,- Kurang Rp. 0,- Keterangan : Sumber dana APBD Kabupaten Tahun 2010
7 Menanggung biaya pengukuhan lahan kompensasi
√ Menunggu setelah pelaksanaan lahan kompensasi
8 Menanggung Reboisasi lahan kompensasi
√ Menunggu setelah pelaksanaan lahan kompensasi
9 Menanggung reklamasi dan reboisasi lahan yang tidak digunakan (membuat pernyataan didepan notaris)
√ Kegiatan belum dilaksanakan, tetapi Surat Pernyataan Bupati Banyuwangi dikuatkan dg Notaris tertanggal 4 November 2009, sudah dilaksanakan dan dikirimkan ke Menteri Kehutanan RI.
10 Menyelenggarakan perlindungan hutan (membuat pernyataan dengan diketahui notaris)
√ Kegiatan belum dilaksanakan, tetapi Surat Pernyataan Bupati Banyuwangi dikuatkan dg Notaris tertanggal 4
79 Laporan Akhir
Feasibility Study Pengadaan Calon Lahan Kompensasi Pembangunan Jalan Lintas Selatan (JLS)
No. KEWAJIBAN SUDAH BELUM KETERANGAN
1 2 3 4 5
November 2009, sudah dilaksanakan dan dikirimkan ke Menteri Kehutanan RI.
11 Memberi kemudahan aparat kehutanan melakukan monev (membuat pernyataan dengan diketahui notaris)
√ Kegiatan belum dilaksanakan, tetapi Surat Pernyataan Bupati Banyuwangi dikuatkan dg Notaris tertanggal 4 November 2009, sudah dilaksanakan dan dikirimkan ke Menteri Kehutanan RI.
12 Menanggung seluruh biaya akibat adanya pinjam pakai (membuat pernyataan dengan diketahui notaris)
√ Kegiatan belum dilaksanakan, tetapi Surat Pernyataan Bupati Banyuwangi dikuatkan dg Notaris tertanggal 4 November 2009, sudah dilaksanakan dan dikirimkan ke Menteri Kehutanan RI.
13 Membayar ganti rugi tegakan
√ Total yang harus dibayar Rp. 55.031.500,- Sudah dibayar Rp. 55.031.500,- Kurang Rp. 0,- Keterangan : Sumber dana APBD Kabupaten Tahun 2010
13 Membayar PSDA √
14 Membayar biaya investasi
√ Total yang harus dibayar Rp. 3.334.000,- x 25,79 Ha = Rp. 85.983.860,- Sudah dibayar Rp. 85.983.860,- (sumber dana APBD Kab. Banyuwangi Tahun 2010) Kurang Rp. 0,-
80 Laporan Akhir
Feasibility Study Pengadaan Calon Lahan Kompensasi Pembangunan Jalan Lintas Selatan (JLS)
Adapun estimasi total biaya inventasi untuk lahan kompensasi adalah
sebagai berikut:
No. Cost Total
1 Pembayaran biaya inventarisasi tegakan dan PPN 10% dari seluruh pemenuhan kewajiban 114.365.576
2 Dana untuk pembebasan lahan kompensasi (estimasi harga per m2 Rp. 20.000,-) 5.400.000.000
3 Pembayaran biaya tata batas 152.527.300
4 Estimasi biaya pengukuhan lahan kompensasi 270.000.000
5 Estimasi Biaya Reboisasi lahan kompensasi 270.000.000
6 Estimasi reklamasi dan reboisasi lahan yang tidak digunakan (membuat pernyataan didepan notaris) 270.000.000
7 Estimasi perlindungan hutan (membuat pernyataan dengan diketahui notaris) 270.000.000
8 Estimasi Pembayaran ganti rugi tegakan
9 Estimasi Pembayaran PSDA 270.000.000
10 Pembayaran investasi 85.938.860
Total Cost 7.102.831.736
Untuk perhitungan benefit; mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh
Tunjung Hapsari (2011) bahwa peningkatan 1 persen panjang jalan
meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebesar 0,176395 persen. Menurut
statusnya jalan terbagi atas 3 kategori, yaitu jalan nasional, jalan propinsi,
dan jalan kabupaten/kota. Panjang jalan nasional di Kabupaten
Banyuwangi pada tahun 2010 mencapai 101 Km, dengan kondisi baik 50
Km dan kondisi sedang 51 KM. Panjang jalan propinsi mencapai 114 Km,
dengan kondisi baik 44 Km, kondisi sedang 62 Km dan rusak ringan 8
Km, sedangkan panjang jalan kabupaten mencapai 1.541 Km, sehingga
total panjang jalan Kabupaten Banyuwangi tahun 2010 secara
keseluruhan menjadi 1.756 Km. Sedangkan lahan yang dikompensasikan
mencakup 3,5 km atau atau tumbuh sekitar 0,199%. Pertumbuhan
tersebut berkontribusi sebesar 0,035% PDRB Kabupaten Banyuwangi.
Jika diasumsikan umur ekonomis jalan adalah 20 tahun dan PDRB harga
berlaku Kabupaten Banyuwangi tahun 2012 adalah 28,3 triliun maka
benefit yang diperoleh adalah sebesar 596,9 juta per tahun atau 11,9
milyar rupiah dalam 20 tahun. Benefit Cost Ratio yang diperoleh dari
proyek ini adalah sebesar 11,9 milyar dibagi 7,1 milyar atau sebesar
1,682 sehingga secara finansial layak dilaksanakan.
81 Laporan Akhir
Feasibility Study Pengadaan Calon Lahan Kompensasi Pembangunan Jalan Lintas Selatan (JLS)
5.5. Aspek Hukum Pembebasan Tanah (Calon Lahan Pengganti)
Pengadaan tanah (calon Lahan Pengganti) untuk pembangunan Jalan
Lingkar Selatan yang merupakan jalan umum, termasuk dalam
pengadaan tanah untuk kepentingan umum, sebagaimana terdapat dalam
Pasal 10 huruf b Undang-Undang No. 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan
Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum (“UU
2/2012”):
Pasal 10 UU 2/2012:
“Tanah untuk Kepentingan Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (1) digunakan untuk pembangunan:
a. …;
b. jalan umum, jalan tol, terowongan, jalur kereta api, stasiun kereta api,
dan fasilitas operasi kereta api;
…”
Pada dasarnya pengadaan tanah untuk kepentingan umum dilaksanakan
dengan pemberian ganti kerugian yang layak dan adil sebagaimana
dikatakan dalam Pasal 9 ayat (2) UU 2/2012. Penilaian besarnya nilai
ganti kerugian atas tanah yang terkena pengadaan tanah untuk
kepentingan umum ditetapkan oleh Penilai (Pasal 33 jo. Pasal 32 UU
2/2012). Penilai ini ditetapkan oleh Lembaga Pertanahan (Pasal 31 ayat
(1) UU 2/2012). Nilai ganti kerugian yang dinilai oleh Penilai merupakan
nilai pada saat pengumuman penetapan lokasi pembangunan untuk
kepentingan umum (Pasal 34 ayat (1) UU 2/2012).
Penetapan besarnya nilai ganti kerugian dilakukan oleh Ketua Pelaksana
Pengadaan Tanah berdasarkan hasil penilaian jasa penilai atau penilai
publik tersebut (Pasal 63 Peraturan Presiden No. 71 Tahun 2012 Tentang
Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum). Nilai ganti kerugian berdasarkan hasil penilaian
Penilai tersebut menjadi dasar musyawarah penetapan ganti kerugian
(Pasal 34 ayat (3) UU 2/2012). Penentuan bentuk dan besarnya ganti
kerugian dilakukan dengan musyawarah antara Lembaga Pertanahan
dengan pihak yang berhak dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari
82 Laporan Akhir
Feasibility Study Pengadaan Calon Lahan Kompensasi Pembangunan Jalan Lintas Selatan (JLS)
(Pasal 37 ayat (1) UU 2/2012). Pihak yang berhak adalah pihak yang
menguasai atau memiliki objek pengadaan tanah (Pasal 1 angka 3 UU
2/2012). Hasil kesepakatan dalam musyawarah menjadi dasar pemberian
ganti kerugian kepada pihak yang berhak. Hasil kesepakatan tersebut
dimuat dalam berita acara kesepakatan (Pasal 37 ayat (2) UU 2/2012).
Jika tidak terjadi kesepakatan mengenai bentuk dan/atau besarnya ganti
kerugian, pihak yang berhak dapat mengajukan keberatan kepada
pengadilan negeri setempat dalam waktu paling lama 14 (empat belas)
hari setelah musyawarah penetapan ganti kerugian (Pasal 38 ayat (1) UU
2/2012). Pengadilan negeri memutus bentuk dan/atau besarnya ganti
kerugian dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak
diterimanya pengajuan keberatan (Pasal 38 ayat (2) UU 2/2012). Jika ada
pihak yang keberatan dengan putusan pengadilan negeri, maka pihak
yang keberatan tersebut, dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari
kerja, dapat mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung Republik
Indonesia (Pasal 38 ayat (3) UU 2/2012). Selanjutnya, Mahkamah Agung
wajib memberikan putusan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari
kerja sejak permohonan kasasi diterima (Pasal 38 ayat (4) UU 2/2012).
Putusan pengadilan negeri/Mahkamah Agung yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap menjadi dasar pembayaran ganti kerugian kepada
pihak yang mengajukan keberatan (Pasal 38 ayat (5) UU 2/2012). Jika
pihak yang berhak menolak bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian,
tetapi tidak mengajukan keberatan dalam waktu yang telah ditetapkan
dalam Pasal 38 ayat (1) UU 2/2012, maka karena hukum pihak yang
berhak dianggap menerima bentuk dan besarnya ganti kerugian hasil
musyawarah (Pasal 39 UU 2/2012).
5.6. Dampak Sosial, Ekonomi dan Lingkungan
Pembangunan sarana jalan raya harus memberikan manfaat bagi
berbagai kepentingan sosio ekonomis masyarakat dilingkungannya.
Wipper (1994) menyatakan ada dua hal penting yang seharusnya menjadi
orientasi pembangunan sarana ini. Kedua hal itu adalah keselamatan dan
83 Laporan Akhir
Feasibility Study Pengadaan Calon Lahan Kompensasi Pembangunan Jalan Lintas Selatan (JLS)
kualitas kehidupan kerja. Artinya pembangunan ini tidak hanya
memberikan kemudahan dan perlindungan fisik, tetapi seharusnya
memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk meningkatkan taraf
hidupnya. Terbukanya (kemudahan) akses dengan pihak lain (luar)
memberikan peluang kepada masyarakat untuk memperbaiki taraf
hidupnya. Pembangunan sarana ini harus berdampak pada naiknya
aksesibilitas, semakin berkurangnya kemacetan, peningkatan kualitas
jalan raya dan berkurangnya waktu perjalanan maupun berkurangannya
polusi udara. Pembangunan ini juga memberikan konsekuensi misal
perununan kualitas kesehatan (dikarenakan polusi tinggi), lapangan kerja
yang lebih terbuka, semakin sempitnya lahan dan sebagainya.
Konsekuensi-konsekuensi yang muncul bisa jadi kurang menguntungkan
(misal penurunan kualitas kesehatan dan turunnya nilai-nilai). Dampak
maupun konsekuensi negatif yang muncul sebagai akibat pembangunan
jalan raya sedapat mungkin diantisipasi atau bila terlanjur terjadi,
informasi yang diterima diharapkan dapat memberikan umpan balik
masukan penting bagi pemerintah guna perbaikan sistem dan mutu
layanan dimasa mendatang.
Berkait dengan dampak sosial; calon lokasi lahan kompensasi utamanya
lokasi 1 merupakan lahan yang dimiliki oleh kurang lebih 40 orang dan
terdapat rumah warga dengan bangunan permanen sebanyak kurang
lebih 8 rumah sehingga pembebasannya perlu sosialisasi dan
pendekatan yang lebih intensif.
84 Laporan Akhir
Feasibility Study Pengadaan Calon Lahan Kompensasi Pembangunan Jalan Lintas Selatan (JLS)
BAB 6 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
6.1. Kesimpulan
1. Berdasarkan Pasal 32 Peraturan Menteri Kehutanan Republik
Indonesia Nomor : P.38/Menhut-II/2012 Tentang Perubahan Atas
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.18/Menhut-II/2011 Tentang
Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan calon lahan kompensasi
telah memenuhi 3 persyaratan yaitu letaknya berbatasan langsung
dengan hutan, terletak pada daerah aliran sungai yang sama dan
dapat dihutankan kembali secara konvensional. Sedangkan 2 syarat
lainnya bersifat normatif dan diharapkan dapat dipenuhi.
2. Sesuai dengan persetujuan prinsip dari Menteri Kehutanan No.
S.651/Menhut-VII/2009 tanggal 19 Agustus 2009, Pemerintah
Kabupaten Banyuwangi dibebani kewajiban menyediakan lahan
kompensasi minimal seluas ± 25,79 ha untuk memenuhi ratio 1 : 1
dan luasan total lahan kompensasi telah memenuhi luas lahan
kompensasi minimal.
3. Pembebasan lahan pada lokasi 1 berupa tanah yasan dengan
kepemilikan ±22 orang dengan status tanah belum bersertifikat
sedangkan pada lokasi II/ Dusun Pal Tujuh Karangrejo Utara, Desa
Wongsorejo, Kecamatan Wongsorejo, Kabupaten Banyuwangi pada
keluasan ± 5,00 ha terdapat kawasan berupa curah yang akan
difungsikan sebagai kawasan perlindungan setempat (KPS) seluas ±
1,50 ha dengan kepemilikan 5 orang.
4. Biaya yang dibutuhkan untuk lahan pengganti adalah sebesar Rp.
7.102.831.736 (Tujuh milyar seratus dua juta delapan ratus tiga puluh
satu ribu tujuh ratus tiga puluh enam rupiah).
5. Benefit Cost Ratio yang diperoleh dari proyek ini adalah sebesar
1,682 sehingga secara finansial layak dilaksanakan.
85 Laporan Akhir
Feasibility Study Pengadaan Calon Lahan Kompensasi Pembangunan Jalan Lintas Selatan (JLS)
6.2. Rekomendasi
1. Berkait dengan Peraturan Presiden No. 40 tahun 2014 tentang
Perubahan Atas Peraturan Presiden No. 71 tahun 2012 Tentang
Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum beberapa perubahan yang perlu diperhatikan
adalah sebagai berikut:
a. Ketentuan mengenai sumber dana biaya operasional dan
biaya pendukung untuk kegiatan pengadaan lahan baik dari
APBN dan APBD akan diatur sesuai Peraturan Menteri
Keuangan. Sehingga untuk realisasi lahan pengganti harus
sesuai Peraturan Menteri Keuangan yang diterbitkan
Kementerian Keuangan.
b. Ketentuan pasal 121 diubah menjadi dalam rangka efisiensi
dan efektivitas, pengadaan tanah untuk kepentingan umum
yang luasnya tidak lebih dari 5 ha, dapat dilakukan langsung
oleh instansi yang memerlukan tanah dengan para pemegang
hak atas tanah, dengan cara jual beli atau tukar menukar atau
cara lain yang disepakati kedua belah pihak.
2. Mengingat proses administratif pengadaan lahan pengganti yang
panjang, lahan pengganti yang akan dibebaskan diharapkan
ukurannya lebih luas dari ketentuan sebagai antisipasi perubahan
pengukuran luas lahan.
86 Laporan Akhir
Feasibility Study Pengadaan Calon Lahan Kompensasi Pembangunan Jalan Lintas Selatan (JLS)
DAFTAR PUSTAKA
Jayadinata, Johara T. "Tata guna tanah dalam perencanaan pedesaan perkotaan dan wilayah " 1999, ITB Bandung
Sugiyono. 2010. Metodologi Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D.ALFABETA. Bandung.
Tarigan, Robinson. 2006. Perencanaan Pembangunan Wilayah, Bumi Aksara, Jakarta