Upload
others
View
6
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
258 Kategori kawasan konservasi perairan di Indonesia
VI KATEGORI KAWASAN
KONSERVASI PERAIR-
AN DI INDONESIA
6.1 Pendahuluan
Mengacu pada pedoman IUCN terbaru, Protected Area (PA) ialah sebuah wilayah geografi
yang jelas, dikenal, ditujukan dan dikelola, dengan aturan legal atau cara lain yang efektif, untuk
mencapai tujuan jangka panjang konservasi alam, terkait dengan jasa yang disediakan ekosistem dan
nilai budaya. Pada konteks buku ini, protected area diterjemahkan sebagai Kawasan Konservasi (KK),
istilah yang secara resmi digunakan pada penjelasan Undang Undang No. 31 tahun 2004 tentang
Perikanan. Berdasarkan tempatnya, kawasan konservasi bisa dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu KK
yang berada di darat dan KK yang meliputi wilayah perairan. Beberapa KK di Indonesia bisa
mempunyai kedua wilayah (darat dan laut) sekaligus. Sebagai contoh misalnya, ialah: Taman
Nasional Komodo dan Taman Nasional Bali Barat. Khusus untuk kawasan konservasi di wilayah
perairan, IUCN menggunakan terminologi Marine Protected Area (MPA). Namun tidak ada istilah
khusus yang digunakan untuk menunjukkan kawasan konservasi yang di darat, selain protected area.
Artinya, PA ialah istilah umum untuk menjelaskan kawasan konservasi, namun juga berarti kawasan
konservasi yang ada di darat. Sementara MPA digunakan untuk menjelaskan PA di wilayah perairan,
terutama laut. Pada kasus seperti Taman Nasional (TN) Komodo atau TN Bali Barat, penggunaan
istilah disesuaikan dengan konteks atau subjek yang menjadi fokus pembahasan. Istilah PA bisa
digunakan ketika membahas perlindungan hewan Komodo (di darat). Sementara untuk perlindungan
lokasi pemijahan ikan kerapu, TN Komodo bisa disebut sebagai MPA.
Marine Protected Area (MPA) ialah terminologi yang paling umum, global dan paling banyak
diadopsi oleh baik institusi pemerintah maupun non-pemerintah (LSM), untuk menggambarkan
suatu kawasan konservasi di wilayah perairan. Hal ini dimungkinkan karena istilah tersebut tertulis
dalam IUCN (International Union for Conservation of Nature), suatu organisasi internasional yang
bergerak dalam bidang perlindungan keanekaragaman hayati. Selain MPA, kita juga sering membaca
beberapa istilah lain yang mirip atau diaplikasikan untuk tujuan yang hampir sama. Terminologi
tersebut diantaranya termasuk marine sanctuaries, fish sanctuary, marine reserves, fish-habitat
protection, parks, heritage areas, nature monuments, fish refugees, endangered critical habitats,
fisheries closures atau sejenisnya. Pada bab ini kita akan membahas beberapa terminologi yang
sering dipakai di Indonesia, definisi dan batasan resmi tentang kawasan konservasi perairan (KKP)
yang mengacu pada pengertian MPA dan pembagian (kategorisasi) KKP yang umum di Indonesia.
Sebagai perbandingan dan untuk memahami kemajuan yang telah dicapai dalam pengelolaan KKP,
Tujuan pembelajaran:
Memahami tujuan pembentukan
kawasan konservasi perairan,
karakteristik kawasan berdasarkan
kategori yang berbeda, sesuai
dengan tujuan penetapan
kawasan; memahami kategori
kawasan konservasi perairan yang
terdapat di Indonesia dan
kemungkinan kategori yang akan
berkembang di masa akan datang.
259 Kategori kawasan konservasi perairan di Indonesia
juga akan dibahas beberapa kategori lainnya seperti yang disajikan pada IUCN maupun aturan lain,
selain KKP itu sendiri.
6.1.1 Terminologi
Indonesia menggunakan berbagai istilah dan nomenklatur untuk menjelaskan terminologi
umum dari Marine Protected Area (MPA). Departemen Kehutanan, melalui Undang-Undang No. 5
tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, menggunakan istilah
Kawasan Suaka Alam (KSA) dan Kawasan Perlindungan Alam (KPA). Dari dua kategori kawasan
konservasi ini kita mengenal istilah Cagar Alam, Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Hutan
Raya dan Taman Wisata Alam. Batasan lebih detail tentang masing-masing kategori kawasan
konservasi ini disajikan pada Peraturan Pemerintah No. 68 Tahun 1998 tentang KSA dan KPA.
Konservasi sumber daya alam hayati didefinisikan sebagai usaha pengelolaan sumber daya alam
hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan
persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya.
Definisi ini sangat jelas menyiratkan keinginan untuk membuat keseimbangan antara pemanfaatan
sumber daya pada satu sisi dengan keinginan menjaga agar sumber daya hayati tetap tersedia dan
bisa dinikmati oleh generasi yang akan datang secara berkelanjutan. Namun pada kondisi di lapang,
lebih sering kita menemukan penolakan masyarakat terhadap ide kawasan konservasi – suatu bukti
keuntungan jangka pendek lebih dianggap sebagai prioritas publik dibandingkan keuntungan jangka
panjang.
Selain terminologi resmi yang diintroduksi pemerintah, pada tingkat lapang juga tejadi
usaha-usaha untuk melindungi wilayah perairan, terutama di laut. Usaha ini lebih banyak diinisiasi
oleh Lembaga Non Pemerintah (LSM) dengan melibatkan masyarakat lokal dan dengan bantuan
hibah dari lembaga asing maupun donor perseorangan. Pada awal pertengahan tahun 1990an
masyarakat Desa Blongko, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara mencetuskan istilah Daerah
Perlindungan (DPL). DPL didefinisikan sebagai kawasan di laut (terumbu karang, lamun dan bakau)
yang dikelola dan dilindungi melalui Keputusan desa untuk mempertahankan keunikan, keindahan,
produktifitas atau rehabilitasi suatu kawasan. Aturan utama dari DPL adalah melarang segala bentuk
kegiatan ekstraktif, seperti pengambilan atau penangkapan ikan. Sedangkan kegiatan non-ekstraktif
seperti snorkeling atau menyelam masih bisa dilakukan dengan memperhatikan dampak minimal
pada kawasan. Proyek ini didukung secara bersama oleh Pemerintah Kabupaten Minahasa, Proyek
Pesisir (CRMP), USAID dan bantuan teknis dari University of Rhode Island. Dengan luas total kawasan
mencapai 6 ha, DPL Blongko mengadopsi konsep DPL di Apo Island, Filipina (Kasmidi et. al., 1999).
Pada awal tahun 200an, DitJen Perikanan Tangkap, melalui projek yang didanai bersama
dengan ADB, menduplikasi konsep DPL pada lima lokasi berbeda: Bengkalis (Riau), Tegal (Jawa
Tengah) Prigi dan Muncar (Jawa Timur) dan Lombok Timur (Nusa Tenggara Barat). Ukuran DPL
bervariasi antara 12 – 280 ha (ADB, 2008). Pengelolaan DPL dilakukan oleh masyarakat bersama
pemerintah desa, sedangkan pengawasan terhadap aturan DPL dilakukan melalui badan
POKMASWAS (Kelompok Masyarakat Pengawas). Sayangnya, dokumentasi dampak keberhasilan DPL
yang berukuran sedikit lebih besar dari DPL Blongko belum sempat disajikan selama aktifitas projek
sehingga sulit untuk mengambil pembelajaran dari kelima lokasi DPL tersebut.
Sejak tahun 2003, beberapa LSM internasional, seperti The Nature Conservancy (TNC), WWF
dan Conservation International (CI) memperkenalkan istilah Kawasan Perlindungan Laut (KPL)
dengan ukuran yang relatif lebih besar (Wiadnya et. al., 2005a; 2005b). Contoh kasus yang
digunakan adalah Taman Nasional Komodo (± 120.000 ha), Taman Nasional Wakatobi (± 1,2 juta ha)
dan Taman Nasional Teluk Cendrawasih (± 1,4 juta ha). KPL yang berukuran relatif besar diharapkan
akan memberikan dampak nyata terhadap perlindungan keanekaragaman hayati dan peningkatan
perikanan di sekitar (luar) kawasan (mekanisme spill-over dan export larvae). Kementerian Kelautan
dan Perikanan (sebelumnya Departemen Kelautan dan Perikanan) juga memperkenalkan istilah
260 Kategori kawasan konservasi perairan di Indonesia
Kawasan Konservasi Laut (KKL) untuk definisi yang hampir sama dengan KPL maupun DPL. Istilah
penamaan atau terminologi ini sering menjadi perdebatan pada diskusi Komisi Nasional Konservasi
Laut (KomNas KoLaut) yang dibentuk oleh Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil ketika
itu.
Melalui Undang-Undang No. 32 tahun 2004, Pemerintah Daerah di Indonesia mendapat
mandat dan bertanggung jawab dalam pengelolaan kawasan konservasi perairan (Pasal 18, Ayat 3).
Kewenangan dan tanggung jawab ini memungkinkan untuk munculnya istilah baru dalam
nomenklatur KKP. Istilah yang sering dipakai adalah kawasan konservasi laut daerah (KKLD). Sampai
saat ini, ada beberapa KKLD yang ditetapkan berdasarkan Peraturan Bupati setempat. Beberapa
contoh diantaranya adalah KKL Berau (Propinsi Kalimantan Timur), KKLD Raja Ampat (Propinsi Papua
Barat) dan KKP Nusa Penida, Kabupaten Klungkung (Propinsi Bali).
Dengan tujuan untuk pengelolaan perikanan berkelanjutan, pemerintah memberlakukan
Undang-Undang No. 31 tahun 2004 tentang Perikanan, sebagai pembaruan dari ketentuan
sebelumnya (Undang-Undang No. 9 tahun 1985). Pada ketentuan ini pemerintah memperkenalkan
istilah suaka perikanan (Pasal 7, ayat 1) dan konservasi ekosistem (Pasal 13, ayat 1) sebagai alat
pengelolaan perikanan. Dari ketentuan dalam Undang-Undang No. 31 tahun 2004, dikeluarkan
Peraturan Pemerintah (PP) No. 60 tahun 2007 tentang konservasi sumber daya ikan (KSDI). Melalui
PP No. 60 tahun 2007, pemerintah memperkenalkan istilah kawasan konservasi perairan (KKP)
sebagai terminologi umum dari berbagai istilah sebelumnya. Batasan KKP dibuat mengacu pada
istilah umum yang ditetapkan oleh IUCN tentang MPA.
Sampai saat ini di Indonesia, paling tidak, terdapat 8 istilah atau terminology berbeda
tentang kawasan konservasi di wilayah perairan, ialah: kawasan perlindungan laut (KPL), kawasan
konservasi laut (KKL), kawasan konservasi perairan (KKP), daerah perlindungan laut (DPL), kawasan
konservasi laut daerah (KKLD), suaka perikanan, kawasan suaka alam (KSA) dan kawasan
perlindungan alam (KPA). Sebagian dari istilah tersebut belum terdefinisikan secara jelas (KPL, KKL,
KKLD, suaka perikanan), ada yang sudah terdefinisikan walaupun tidak mempunyai konsekuensi
hukum (DPL), maupun yang sudah didefinisikan melalui perangkat hukum yang jelas (KSA, KPA dan
KKP). Namun definisi dari berbagai istilah tersebut secara implisit hampir sama, mengacu pada
definisi dari istilah Marine Protected Area (MPA) yang dibuat oleh IUCN.
6.1.2 Definisi
Menurut definisi IUCN, Marine Protected Area (MPA) dinyatakan sebagai wilayah perairan
termasuk flora, fauna dan corak budaya dan sejarah yang berkaitan, dilindungi secara hukum
maupun cara lain yang efektif, untuk melindungi sebagian atau seluruh lingkungan di sekitarnya
(Kelleher, 1999). Untuk mengurangi penggunaan kata-kata asing, istilah umum yang dipakai dalam
buku ini, sebagai terjemahan langsung dari MPA adalah kawasan konservasi perairan. KKP
merupakan istilah yang digunakan dalam PP No. 60 tahun 2007, didefinisikan sebagai kawasan
perairan yang dilindungi, dikelola dengan sistem zonasi, untuk mewujudkan pengelolaan sumber
daya ikan dan lingkungannya secara berkelanjutan. Dengan demikian, pembaca tidak akan
dibingungkan dengan berbagai istilah yang sebenarnya mempunyai arti sama. Walaupun demikian,
tidak ada larangan untuk menggunakan istilah-istilah lainnya untuk tujuan spesifik. Istilah DPL
misalnya, bisa digunakan secara spesifik untuk memberikan ketegasan terhadap suatu KKP yang
dikelola oleh masyarakat lokal (community-based MPA management). KPA dan KSA merupakan
bentuk KKP yang secara hukum dikelola oleh Kementerian Kehutanan, melalui instansi di bawah
DitJen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA). Sedangkan KKLD mengacu pada jenis KKP
yang dikelola oleh Pemerintah Propinsi atau Pemerintah Kabupaten / Kota Madya, sesuai dengan
mandat dalam UU No. 32 tahun 2004.
261 Kategori kawasan konservasi perairan di Indonesia
Dari definisi tersebut di atas, paling tidak ada lima (5) prinsip dasar yang perlu diperhatikan
dari batasan KKP, ialah:
a. Adanya wilayah perairan tertentu dengan batas-batas (delineasi) yang jelas, walaupun
membuat tanda batas di wilayah perairan termasuk pekerjaan yang agak sulit. Sebagai
contoh, Taman Nasional Komodo, memiliki batas wilayah perairan yang tetap dengan total
luas mencapai ± 120.000 ha;
b. Wilayah perairan tersebut mempunyai ciri atau karakteristik tertentu yang akan
memberikan manfaat positif dalam usaha perlindungan keanekaragaman hayati atau
tujuan lain yang terkait (seperti peningkatan kesehatan stok perikanan tangkap, pariwisata,
bentang alam atau sejenisnya). Terumbu karang yang sehat merupakan salah satu
karakteristik yang sering dijadikan pertimbangan dalam memilih suatu wilayah sebagai
KKP;
c. Harus ada aturan pembatasan yang sangat jelas, boleh tertulis atau kebiasaan yang tidak
tertulis yang diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya. UU No. 5 tahun 1990
bersama PP No. 68 tahun 1998, UU No. 31 tahun 2004 bersama PP No. 60 tahun 2007
merupakan contoh aturan tertulis tentang MPA di Indonesia. Sedangkan Sasi Laut, Awig-
Awig dan Panglima Laot merupakan contoh dari aturan tidak tertulis tentang perlindungan
laut;
d. Keberadaan KKP harus diakui secara luas dengan adanya sistem tata kelola (governance)
yang jelas. Pengelola KKP bisa murni dari pemerintah, murni oleh masyarakat maupun
kemitraan diantara keduanya (co-management)
e. Aturan tersebut pada point (c), ditegakkan dan dipatuhi oleh semua orang, tanpa kecuali,
serta terdapat sanksi mengikat bagi pelanggar aturan. Pernah terjadi, seorang yang
beberapa kali ketahuan melakukan pencurian rusa dari suatu wilayah Taman Nasional,
dikenakan hukuman penjara sampai 10 tahun.
Setiap KKP mempunyai aturannya tersendiri, yang bisa berbeda dengan KKP lainnya.
Beberapa KKP mempunyai aturan yang sangat ketat, melarang semua bentuk kegiatan ekstraktif
(pengambilan) pada seluruh wilayah KKP. Bahkan ada KKP yang membatasi jumlah kunjungan
(visitasi) atau bahkan melarang kegiatan visitasi kecuali untuk penelitian dan monitoring. KKP lainnya
memberikan ijin untuk memasuki wilayah KKP, asalkan tidak melakukan kegiatan ekstraktif
(menangkap ikan atau mengambil tanaman dari dalam kawasan). Namun ada juga KKP yang
membolehkan beberapa kegiatan ekstraktif terbatas pada sebagian kecil dari wilayah KKP. Bahkan,
bisa saja suatu KKP dibagi dalam wilayah-wilayah, masing-masing dengan peruntukkan berbeda.
Pembagian wilayah peruntukan dalam KKP sering disebut dengan istilah zonasi (zonasi KKP
selanjutnya dibahas pada Bab tersendiri).
6.2 Tujuan Pembentukan KKP
Beberapa dokumen menyatakan bahwa cikal bakal Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu
sudah terbentuk sekitar tahun 1975. Pada saat yang sama pemerintah juga mempersiapkan
pembentukan Taman Nasional Bunaken, Sulawesi Utara. Awalnya, KKP dijadikan sebagai alat untuk
mempertahankan keutuhan keanekaragaman hayati perairan. Tujuan pembentukan KKP ialah untuk
melindungi keanekaragaman hayati dengan cara melindungi habitat atau tempat hidupnya. Selama
periode ini (sebelum tahun 1980an), Kawasan Konservasi (termasuk KKP) sering kali dipandang
sebagai gagasan yang kering, tidak mempunyai visi yang jelas. Aturan konservasi tidak
terdokumentasi dengan baik, petugas tidak melaksanakan penegakan aturan konservasi dengan baik
dan masyarakat bersifat netral terhadap kawasan konservasi.
Sejak awal tahun 1980an pemerintah bersama masyarakat mulai merasakan dampak
ekstraksi secara berlebihan. Di laut, nelayan merasakan terjadinya over-fishing atau penangkapan
262 Kategori kawasan konservasi perairan di Indonesia
berlebih, yang menyebabkan penurunan hasil tangkapan nelayan. Di darat, masyarakat mengalami
gangguan kekeringan, tanah longsor dan banjir akibat penebangan hutan secara berlebihan. Pada
tahun 1992, Persatuan Bangsa-Bangsa mengeluarkan resolusi perlindungan keanekaragaman hayati
sebagai bagian dari pembangunan berkelanjutan. Belakangan, Konvensi yang dilakukan di Rio de
Jeneiro, Brasil tersebut terkenal dengan UNCBD (United Nation Convention on Biological Diversity).
Indonesia meratifikasi UNCBD dua tahun kemudian, melalui UU No. 5 tahun 1994. Sejak saat itu,
pemerintah dan masyarakat mulai memandang kawasan konservasi sebagai salah satu metode
dalam pemanfaatan sumber daya alam secara berkelanjutan. Selain untuk melindungi
keanekaragaman hayati, beberapa KKP juga dibentuk dengan tujuan untuk mempertahankan
perikanan secara berkelanjutan.
Pada awal tahun 2000an, FAO mulai memberikan peringatan kepada pemerintah bangsa-
bangsa di dunia bahwa total produksi perikanan laut sudah mengalami stagnasi (Gambar 6.1). Dalam
pidatonya pada tahun 2004, Kofi Annan, SekJen PBB, menyatakan 75% dari stok sumber daya
perikanan dunia dieksploitasi pada laju diatas kemampuan stok untuk melakukan pemulihan, yang
berakibat pada penangkapan berlebih. Sebagai negara dengan produksi perikanan laut urutan ke-
empat terbesar di dunia, Indonesia juga mengalami kondisi yang hampir sama. Kompilasi beberapa
studi tentang status stok sumber daya perikanan menunjukkan gambaran yang menyedihkan
(Wiadnya et. al., 2005). Dari 129 kesimpulan hasil penelitian, 82 kesimpulan diantaranya
menyatakan bahwa sumber daya perikanan Indonesia berada pada kondisi tangkap penuh (fully-
exploited) atau tangkap lebih (over-exploited). Beberapa pihak mulai merasakan kawasan konservasi
sebagai suatu kebutuhan yang mendesak yang harus segera dilakukan. Kalau tidak, masyarakat
pesisir akan segera kehilangan satu diantara beberapa sumber mata pencaharian, dari penangkapan
ikan.
Gambar 6.1 Total produksi perikanan laut dunia sejak tahun 1950 – 2006. Jika kita keluarkan data
produksi dari Cina, perikanan laut dunia mengalami stagnasi sejak pertengahan tahun
1980 (Sumber: FAO, 2008)
Pada jaman dulu, secara tidak sadar dan tidak sengaja, nenek moyang kita telah mempunyai
kawasan konservasi perairan. KKP ketika itu bisa dibayangkan sebagai tempat-tempat di laut yang
karena keterbatasan manusia, dibiarkan tidak terjamah dan tidak diganggu. Masyarakat hanya
263 Kategori kawasan konservasi perairan di Indonesia
memanfaatkan sebagian kecil wilayah di laut karena kemampuan teknologi eksplorasi yang masih
terbatas. Jika terjadi penangkapan berlebih pada daerah yang dieksploitasi, akan segera terjadi
pergantian stok baru (replenishment) dari lokasi yang tidak terjamah tersebut, melalui proses
limpasan atau spill-over dan ekspor larva atau telur. Perkembangan teknologi dan pertambahan
penduduk mendesak KKP alam tersebut sehingga jumlah dan luasnya semakin mengecil. Sebaliknya,
lahan eksploitasi semakin luas, kemampuan replenishment semakin kecil, penangkapan berlebih
menjadi fenomena yang semakin umum, kelangkaan spesies ikan secara sekuensial dimulai dari jenis
yang harganya paling tinggi dan lokasi dengan kondisi alam yang masih asli semakin sulit didapat.
Pada kondisi dimana sumber daya alam di laut sudah semakin terbatas sementara tekanan
eksploitasi terus meningkat, perlindungan kawasan menjadi jawaban yang perlu segera dilakukan.
Namun pengembangan KKP selalu mendapat penolakan yang kuat dari masyarakat, terutama di
Indonesia. Kemiskinan dan alternatif mata pencaharian ialah dua alasan utama penolakan terhadap
KKP. Tragedi milik bersama atau umum (tragedy of common) juga merupakan dalih yang paling
ampuh untuk melakukan
Pembentukan suatu KK atau KKP, pada awalnya, bertujuan hanya untuk melindungi
keanekaragaman hayati. Dengan berkembangan ilmu pengetahuan, perubahan kondisi ekologi dan
status pemanfaatan sumber daya hayati, suatu KK bisa mempunyai fungsi atau tujuan ganda, selain
perlindungan keanekaragaman hayati. Diantara tujuan tersebut, ialah:
a. Penelitian ilmiah dan ilmu pengetahuan
b. Perlindungan terhadap alam liar / hutan belantara
c. Perlindungan & pengawetan keanekaragaman spesies dan genetik
d. Mempertahankan jasa-jasa lingkungan
e. Melindungi corak budaya dan bentang alam yang spesifik
f. Wisata dan rekreasi
g. Pendidikan
h. Pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungannya secara berkelanjutan
i. Memelihara atribut budaya atau tradisi
6.3 Kategori Kawasan Konservasi, Termasuk KKP
Laporan World Database on Protected Areas (WDPA) menyatakan, sampai dengan awal
tahun 2009 tercatat ada 29.971 kawasan konservasi di dunia, baik yang ada di darat, murni perairan
(laut), maupun KK yang mencakup wilayah darat dan perairan. Masing-masing KK mempunyai
bentuk, ukuran, karakteristik ekologi dan keanekaragaman hayati, sejarah pembentukan dan tujuan,
aturan pengelolaan dan badan pengelola yang berbeda satu sama lain. Untuk penyederhanaan,
IUCN membuat sistem nomenklatur kawasan konservasi yang dibagi ke dalam 6 (enam) kategori
dasar (Kelleher, 1999). Belakangan, sistem nomenklatur ditambah menjadi total 10 kategori (Dudley,
2008).
6.3.1 Penentuan Kategori
Setiap kawasan konservasi di dunia bisa masuk ke dalam salah satu dari 6 (enam) kategori KK
menurut IUCN. Ada 5 (lima) ketentuan dasar yang membedakan antara kategori satu dengan
lainnya, ialah: (1) tujuan utama pembentukan KK; (2) tujuan tambahan/lain; (3) Ciri khas yang ada
dalam suatu KK; (4) perannya dalam konteks bentang alam/bentang laut; dan (5) keunikan yang
terdapat dalam suatu KK. Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, penamaan masing-masing
kategori kawasan konservasi ialah:
• Kategori Ia: Strict Nature Reserve
• Kategori Ib: Wilderness Area
264 Kategori kawasan konservasi perairan di Indonesia
• Kategori II: National Park
• Kategori III: Natural Monument / Features
• Kategori IV: Habitat / Species Management Area
• Kategori V: Protected Landscape / Seascape
• Kategori VI: Protected area with sustainable use of natural resources
• Kategori VII: Anthropological Reserve
• Kategori VIII: Multiple-Use Management Area
• Kategori IX: Biosphere Reserve
• Kategori X: World Heritage Site (Natural)
6.3.2 Kategori Ia: Strict Nature Reserve
Termasuk dalam kategori Ia adalah kawasan konservasi yang ditetapkan dengan tujuan
utama melindungi keanekaragamen hayati, corak geologi / morfologi, membatasi kunjungan dan
pemanfaatan oleh manusia. KKP kategori Ia sangat cocok untuk dijadikan objek penelitian ilmiah dan
monitoring.
Sata ini, hampir semua wilayah terumbu karang sudah terjamah dan dimanfaatkan untuk
kepentingan perikanan, wisata maupun eksploitasi batu kapur. Habitat, ekosistem dan sumber daya
yang ada di dalam wilayah terumbu karang sudah berubah jauh dari kondisi aslinya. KKP kategori Ia
bisa dijadikan acuan (reference point) untuk mempelajari dan memahami besarnya perubahan
tersebut
Tujuan utama KKP kategori Ia, ialah: untuk melindungi ekosistem, spesies dan/atau corak
geodiversitas yang berkala regional, nasional maupun global – atribut tersebut terbentuk
(umumnya) secara alami, bukan oleh kekuatan manusia, dan bisa mengalami kerusakan atau
terdegradasi jika mendapat gangguan oleh aktifitas manusia, walaupun dalam tekanan yang relatif
rendah.
Tujuan lain/tambahan ialah:
• untuk mempertahankan (mengawetkan) ekosistem, spesies dan corak geodiversitas pada
kondisi alami, dimana gangguan oleh manusia diusahakan pada tingkat minimal.
• untuk mendapatkan suatu contoh lingkungan alami sebagai objek penelitian ilmiah,
monitoring lingkungan dan pendidikan, termasuk wilayah yang masih asli;
• untuk meminimasi gangguan melalui perencanaan secara hati-hati dan implementasi
kegiatan penelitian maupun kegiatan terbatas lainnya yang disetujui
• untuk mempertahankan nilai budaya dan spiritual terkait dengan alam
Ciri khas yang dimiliki oleh KKP kategori Ia ialah:
• terdapat spesies asli pada ukuran yang nyata secara ekologis atau bisa dikembalikan kepada
ukuran normalnya melalui proses alami atau melalui intervensi dalam skala waktu terbatas;
• mempunyai ekosistem alami yang lengkap, sebagian besar masih utuh dengan proses
ekologi yang juga utuh, atau bisa dikembalikan melalui intervensi yang terbatas
• secara nyata, bebas dari pengaruh intervensi kegiatan manusia – kunjungan ke dalam
kawasan sangat terbatas, tidak ada kegiatan ekstraktif dan tidak ada pemukiman di dalam
kawasan
• tidak memerlukan intervensi yang nyata untuk mencapai tujuan konservasi
• cocok sebagai lokasi monitoring untuk mempelajari dampak kegiatan manusia
• jumlah kunjungan ke dalam kawasan relatif rendah
Peran KKP kategori Ia dalam konteks bentang alam/bentang laut, ialah:
• melindungi beberapa wilayah yang subur, yang tidak akan bisa bertahan jika berada di luar
kawasan konservasi
265 Kategori kawasan konservasi perairan di Indonesia
• menjadi titik acuan (reference point) kegiatan monitoring untuk mengetahui dampak
kegiatan manusia terhadap alam yang dilakukan di luar kawasan (misalnya: penangkapan
ikan, pencemaran)
• menjadi tempat untuk mempelajari kondisi ekosistem yang asli
• melindungi jasa ekosistem lainnya (seperti mencegah terjadinya gelombang tsunami,
melindungi dari abrasi atau mempertahankan suplai oksigen)
6.3.3 Kategori Ib: Wilderness Area
Kawasan konservasi (KKP) kategori Ib umumnya berukuran relatif besar, kawasan alami,
tidak/hampir tidak ada modifikasi, mempertahankan ciri dan pengaruhnya secara alami, tidak ada
pemukiman permanen atau berpengaruh nyata terhadap kawasan, dilindungi dan dikelola untuk
mempertahankan kondisi alami kawasan.
Tujuan utama ialah: mempertahankan integritas ekologi kawasan alami dalam jangka
panjang, tidak terganggu (secara nyata) oleh dari kegiatan manusia, bebas dari fasilitas infrastruktur,
didominasi oleh proses dan kekuatan secara alami, sehingga generasi sekarang dan yang akan
datang mempunyai kesempatan untuk menikmati pengalaman alam seperti ini.
Tujuan lain/tambahan, ialah:
• Memberikan akses kepada public pada berbagai tingkat dari sebuah tipe kawasan yang
mempertahankan kualitas alam liar untuk generasi sekarang dan akan datang;
• Memberikan kesempatan kepada penduduk asli untuk memelihara kebiasaan dan tradisi
kehidupan alam liar mereka, tempat tinggal dengan densitas yang rendah dan
memanfaatkan sumber daya yang tersedia sesuai dengan tujuan konservasi;
• Melindungi nilai spiritual, budaya dan manfaat non-material dari penduduk asli maupun
penduduk non-asli, seperti hormat pada tempat-tempat suci, keramat dan/atau hormat
kepada leluhur
• Kegiatan pendidikan dan penelitian ilmiah yang invasive, dengan dampak minimal, diijinkan
untuk dilakukan, terutama jika kegiatan tersebut tidak memungkinkan untuk dilakukan di
luar kawasan.
Ciri khas yang dimiliki oleh KKP kategori Ib, ialah:
• Bebas dari fasilitas infrastruktur modern dan aktifitas industri ekstraktif, termasuk namun
tidak terbatas pada jalan aspal, pipa air, pipa listrik, instalasi untuk tower HP, lokasi
eksplorasi minyak dan gas, infrastruktur permanen lainnya, tambang, pembangunan
pembangkit tenaga air, pertanian intensif (seperti peternakan yang membutuhkan pada
rumput intensif), perikanan tangkap (komersial), pesawat udara dengan kemampuan
terbang rendah, membatasi atau melarang penggunaan motorisasi.
• Kondisi ekosistem masih utuh: mempunyai ekosistem alami yang sebagian besar masih utuh,
rakitan (assemblages) fauna dan flora asli yang masih lengkap atau hampir lengkap, sistem
predator-prey masih utuh, termasuk mamalia besar;
• Ukurannya cukup mewakili untuk perlindungan keanekaragaman hayati; memelihara proses
ekologi dan jasa ekosistem; memelihara refugia ekologi; sebagai penyangga terhadap
perubahan iklim; memelihara proses evolusi
• Menyediakan tempat yang sesuai untuk menyepi (dari kondisi polusi atau kebisingan),
memberikan kepuasan ketika mencapai tempat tersebut, cukup sepi dengan perjalanan
yang non-intrusif (tidak ada pengaruh motorisasi yang nyata dan konsisten dengan tujuan
biologis seperti disebutkan di atas)
• Bebas dari kehadiran atau pemanfaatan oleh pengguna secara berlebihan, yang akan
menurunkan tingkat keliaran alam sehingga menurunkan fungsinya dalam memenuhi aspek
biologi dan cultural seperti disebutkan di atas. Namun kehadiran manusia bukan faktor
266 Kategori kawasan konservasi perairan di Indonesia
penentu dalam penetapan kawasan kategori Ib. Tujuan utamanya ialah pada keutuhan
biologis dan tidak adanya infrastruktur permanen, industri bersifat ekstraktif, pertanian
intensif, motorisasi dan indikator teknologi modern lainnya.
Peran KKP kategori Ib dalam konteks bentang alam/bentang laut, ialah:
• Melindungi wilayah alami yang berukuran relatif besar untuk mempertahankan proses
ekosistem, termasuk evolusi dari pengaruh pembangunan atau pariwisata masal (tidak
terkontrol)
• Melindungi jasa ekosistem yang tepat untuk kebutuhan manusia
• Melindungi spesies dan komunitas ekologi tertentu yang memerlukan wilayah atau habitat
asli relatif luas
• Menyediakan tempat bagi spesies agar bisa bertahan secara berkelanjutan
• Memberikan kesempatan untuk merespons perubahan iklim, termasuk Pergeseran biome
6.3.4 Kategori II: National Park
Kawasan konservasi kategori II ialah kawasan alamiah yang berukuran relatif besar,
bertujuan untuk melindungi proses-proses ekologi, sebagai pelengkap dari karakteristik spesies dan
ekosistem dari wilayah tersebut, juga sebagai lingkungan yang sesuai untuk kegiatan pendidikan,
rekreasi ilmiah dan spiritual.
Tujuan utama kategori II, ialah: untuk melindungi keanekaragaman hayati bersama struktur
ekologi dan proses lingkungan yang sesuai serta mengembangkan pendidikan dan rekreasi
Tujuan lain/tambahan dari kategori II, ialah:
• Mengelola suatu wilayah (sealami mungkin) secara berkelanjutan, sebagai contoh dari
wilayah fisiografi, komunitas biotic, sumber genetic dan proses alamiah yang belum
terganggu;
• Untuk memelihara kesehatan dan fungsi ekologi dari populasi dan rakitan spesies asli pada
kepadatan yang cukup untuk melindungi integritas ekosistem dan ketahanannya (resilience)
dalam jangka panjang
• Berkontribusi, pada khususnya dalam usaha konservasi berbagai spesies , proses-proses
ekologi secara regional dan jalur migrasi
• Mengelola kunjungan untuk tujuan: inspirasi, pendidikan dan rekreasi pada tingkat yang
tidak menyebabkan degradasi biologis atau ekologis dari sumber daya alam
• Memperhatikan kebutuhan masyarakat lokal (asli), termasuk pemanfaatan sumber daya
secara subsisten, sepanjang hal ini tidak mempengaruhi tujuan utama pengelolaan;
• Berkontribusi terhadap perkembangan ekonomi lokal melalui pariwisata
Ciri khas yang dimiliki oleh KKP kategori II, ialah:
• Memiliki contoh perwakilan lingkungan alamiah, dan corak biologis dan lingkungan, atau
pemandangan, dimana spesies tanaman atau hewan asli, habitat dan geodiversitasnya
sangat spesial untuk kepentingan spiritual, ilmiah, pendidikan, rekreasi dan pariwisata
• Mempunyai ukuran dan kualitas yang memadai untuk mempertahankan fungsi ekologis dan
proses yang memungkinkan spesies dan komunitas asli untuk bisa bertahan dalam jangka
panjang dengan intervensi pengelolaan yang minimal
• Komposisi, struktur dan fungsi dari keanekaragaman hayati harus berada pada kondisi alami
atau secara potensial bisa dipulihkan kembali kepada kondisi alami, dengan resiko kecil dari
invasi spesies non-asli
Peran KKP kategori II dalam konteks bentang alam/bentang laut, ialah:
267 Kategori kawasan konservasi perairan di Indonesia
• Melindungi proses-proses ekologi skala besar yang tidak bisa dipenuhi oleh kawasan
konservasi skala kecil atau bentang alam cultural
• Melindungi jasa ekosistem yang sesuai
• Melindungi spesies dan komunitas tertentu yang memerlukan habitat alami cukup luas
• Menyediakan tempat bagi spesies agar bisa bertahan secara berkelanjutan
• Menyajikan pengunjung dengan informasi menarik tentang kebutuhan dan program
konservasi
• Mendukung pengembangan ekonomi, khususnya melalui pariwisata dan rekreasi yang
berkontribusi terhadap (utamanya) masyarakat lokal
6.3.5 Kategori III: Natural Monument/Features
Kawasan konservasi kategori III dibuat untuk melindungi monumen alam yang spesifik, bisa
dalam bentuk bentang alam di darat, bentang laut, gunung laut, gua bawah laut, corak geologi
seperti gua atau bahkan seperti kebun kuno. Kawasan ini umumnya berukuran relatif kecil namun
mempunyai nilai tinggi Mereka kawasan lindung umumnya cukup kecil dan sering memiliki nilai yang
tinggi bagi pengunjung.
Tujuan utama kategori III ialah: untuk melindungi lingkungan alami dengan keanekaragaman
hayati dan habitat terkait yang sangat menarik bagi pengunjung.
Tujuan lain/tambahan dari kategori III, ialah:
• Untuk melindungi keanekaragaman hayati pada wilayah bentang alam atau bentang laut,
kalau tidak dia akan mengalami perubahan besar
• Untuk melindungi situs alam yang spesifik dengan nilai spiritual dan / atau nilai-nilai budaya
yang juga memiliki nilai keanekaragaman hayati;
• Untuk mempertahankan nilai spiritual, tradisional dan nilai-nilai budaya yang ada di dalam
kawasan.
Ciri khas yang dimiliki oleh KKP kategori III, ialah:
• Corak geologi dan geomorfologi alamiah: seperti air terjun, tebing, kawah, gua, hamparan
fosil, hamparan pasir, bentuk batuan, lembah dan bentang laut seperti gunung laut atau
formasi karang;
• Bentang alam yang dipengaruhi kondisi budaya: seperti tempat tinggal gua dan jalan-jalan
setapak dari masa lalu;
• Situs alam: seperti berbagai bentuk tempat-tempat suci (taman keramat, mata air, air terjun,
pegunungan, laut teluk dll) yang penting bagi kepercayaan kelompok tertentu;
• Situs budaya dengan ekologi yang terkait: dimana perlindungan situs budaya juga akan
melindungi keanekaragaman hayati tertentu yang bernilai tinggi, seperti situs arkeologi /
sejarah yang terkait erat dengan lingkungan alami.
Peran KKP kategori III dalam konteks bentang alam/bentang laut. Kategori III lebih
dimaksudkan untuk melindungi kondisi yang sangat spesial dan tidak umum, walaupun tidak
termasuk komponen logis dalam pendekatan konservasi, sehingga perannya dalam bentang alam
atau strategi regional terkadang lebih bersifat oportunistik, tidak mengikuti perencanaan logis. Pada
kasus lain (misalnya, sistem gua), kawasan tersebut mungkin bisa teridentifikasi memainkan peran
ekologi utama namun dalam rencana konservasi yang lebih luas. Monumen alam yang penting
kadang dapat memberikan insentif bagi perlindungan dan kesempatan untuk pendidikan lingkungan
/ budaya, dimana bentuk konservasi lainnya tidak bisa dilaksanakan terkait penolakan karena
tekanan penduduk atau pembangunan. Dengan cara ini, lokasi yang dikeramatkan atau situs budaya
yang masuk dalam kategori III dapat melestarikan contoh habitat alami.
268 Kategori kawasan konservasi perairan di Indonesia
6.3.6 Kategori IV: Habitat / Species Management Area
Kawasan konservasi kategori IV lebih ditujukan untuk melindungi spesies atau habitat
tertentu yang ditunjukkan dalam prioritas pengelolaan. Pada kawasan kategori ini sering dilakukan
intervensi secara regular untuk memenuhi kebutuhan spesies atau mempertahankan habitat.
Namun intervensi ini bukan karakteristik yang menjadi identitas kategori IV.
Tujuan utama kawasan kategori IV, ialah untuk menjaga, melestarikan dan mengembalikan
spesies dan habitat
Tujuan lain/tambahan dari kategori IV, ialah:
• Untuk melindungi pola vegetasi atau corak biologis lainnya melalui pendekatan pengelolaan
tradisional;
• Untuk melindungi fragmen habitat sebagai komponen strategi konservasi skala bentang
alam atau bentang laut;
• Untuk mengembangkan pendidikan bagi masyarakat umum dan apresiasi terhadap spesies
dan / atau habitat tertentu;
• Untuk menyediakan sarana bagi warga masyarakat perkotaan mendapatkan Kontak secara
teratur dengan alam.
Ciri khas yang dimiliki oleh KKP kategori IV, ialah:
• Melindungi spesies tertentu: melindungi target spesies tertentu, kalau tidak dia akan
terancam (misalkan, satu populasi terakhir dari satu spesies)
• Perlindungan habitat: untuk memelihara atau mengembalikan habitat, sering sebagai bagian
dari ekosistem;
• Pengelolaan aktif untuk mempertahankan target spesies: untuk menjaga viabilitas dari
populasi spesies tertentu, termasuk melalui habitat buatan atau memelihara (seperti
terumbu karang buatan), memberikan pakan tambahan atau sistem pengelolaan aktif
lainnya;
• Pengelolaan aktif ekosistem alami atau semi-alamiah: untuk memelihara habitat alami atau
semi-alamiah, bisa karena ukurannya terlalu kecil atau tidak bisa memenuhi kebutuhan
sendiri (self-sustaining), misalnya, jika ikan herbivore secara alami tidak ada, perannya harus
bisa digantikan dengan cara introduksi; atau melalui proses hidrologi seperti jaringan irigasi;
• Pengelolaan aktif ekosistem cultural: untuk mempertahankan sistem pengelolaan cultural
yang terkait dengan keanekaragaman hayati yang unik. Ekosistem buatan pada dasarnya
sudah mengalami modifikasi sehingga perlu dilakukan intervensi secara kontinyu. Tujuan
utama dari pengelolaan ialah mempertahankan keanekaragaman hayati terkait;
Peran KKP kategori IV dalam konteks bentang alam/bentang laut, ialah:
• Melindungi populasi spesies hampir punah yang memerlukan intervensi pengelolaan
tertentu untuk menjamin kelanjutan kehidupan populasi;
• Melindungi habitat yang terancam, termasuk fragmentasi habitat;
• Menjamin “stepping stone”, ialah tempat bagi spesies bermigrasi untuk mendapatkan
tempat mencari makan dan beristirahat, atau lokasi pemijahan;
• Menyediakan strategi dan pilihan manajemen yang fleksibel bagi wilayah penyangga, atau
keterkaitannya dengan koridor/jalur konservasi diantara kawasan yang bisa diterima oleh
masyarakat dan para pihak
6.3.7 Kategori V: Protected Landscape / Seascape
Kawasan dimana interaksi manusia dengan alam dari waktu ke waktu telah menghasilkan
area dengan karakter berbeda dengan nilai ekologis, biologis, budaya dan pemandangan yang nyata:
269 Kategori kawasan konservasi perairan di Indonesia
dan menjaga integritas dari interaksi ini sangat penting untuk melindungi dan mempertahankan
kawasan tersebut bersama alam dan nilai terkait lainnya.
Tujuan utama dari kawasan kategori V ialah: melindungi dan mempertahankan bentang
alam/bentang laut yang penting bersama kondisi alam dan nilai konservasi terkait lainnya yang
terbentuk dari interaksi dengan manusia melalui praktek-praktek pengelolaan tradisional.
Tujuan lain/tambahan dari kategori V, ialah:
• Untuk mempertahankan keseimbangan antara alam dan budaya melalui perlindungan
bentang alam/bentang laut dan pendekatan pengelolaan tradisional, masyarakat, budaya
dan nilai-nilai spiritual;
• Berkontribusi terhadap usaha konservasi skala yang lebih luas dengan mempertahankan
jenis yang berhubungan dengan karakteristik budaya dan/atau dengan memberikan peluang
konservasi pada bentang alam yang dimanfaatkan secara intensif;
• Memberikan kesempatan untuk kenikmatan, kesejahteraan dan aktivitas sosial-ekonomi
melalui rekreasi dan pariwisata;
• Untuk menyediakan produk-produk alami dan jasa lingkungan;
• Untuk memberikan suatu kerangka untuk mendukung keterlibatan aktif masyarakat dalam
pengelolaan bentang alam/bentang laut termasuk warisan alam dan budaya yang
terkandung didalamnya;
• Mendorong usaha konservasi keanekaragaman tanaman pertanian dan keanekaragaman
organisme perairan;
• Berfungsi sebagai model / contoh kelestarian atau keberlanjutan sehingga bisa digunakan
sebagai pembelajaran pada praktek yang lebih luas.
Ciri khas yang dimiliki oleh KKP kategori V, ialah:
• Bentang alam/laut dengan kualitas pemandangan yang tinggi bersama habitat, flora dan
fauna dan corak budaya terkait
• interaksi yang seimbang antara manusia dan alam yang telah berlangsung dari waktu ke
waktu dan masih memiliki integritas, atau masih ada harapan untuk mengembalikan
integritas tersebut;
• Unik atau pola pemanfaatan lahan tradisional, misalnya, sebagaimana dibuktikan dalam
sistem pertanian dan kehutanan yang berkelanjutan dan pemukiman manusia yang
berkembang seimbang dengan bentang alam mereka.
Peran KKP kategori V dalam konteks bentang alam/bentang laut, ialah:
• Beberapa kawasan kategori V berfungsi sebagai penyangga di sekitar kawasan konservasi
dengan tingkat perlindungan yang lebih ketat untuk lebih menjamin pemanfaatan lahan
darat dan air tidak mengancam integritas kawasan tersebut;
• Kawasan kategori V juga berfungsi sebagai penghubung habitat diantara beberapa kawasan
konservasi yang berdekatan;
• Spesies atau habitat berkembang terkait dengan sistem manajemen cultural dan hanya bisa
bertahan jika sistem manajemen tersebut dipertahankan;
• Menjadi sebuah framework / kerangka kerja jika tujuan konservasi hanya bisa dicapai dalam
wilayah yang relatif luas (misalkan top predator) pada wilayah bentang alam dengan pola
pemilikan lahan yang beragam;
• Sistem pengelolaan tradisional sering dihubungkan dengan komponen keanekaragaman
tanaman pertanian yang hanya bisa dipertahankan dengan sistem tersebut.
270 Kategori kawasan konservasi perairan di Indonesia
6.3.8 Kategori VI: Protected area with sustainable use of natural resources
Kategori VI melindungi ekosistem dan habitat, bersama nilai budaya terkait dan sistem
pengelolaan sumber daya alam berdasarkan tradisi. Kawasan ini umumnya berukuran luas, hampir
semua berada pada kondisi alamiah, sebagian dimanfaatkan secara berkelanjutan (sesuai dengan
atau memperhatikan prinsip konservasi alam). Pemanfaatan berkelanjutan ini menjadi salah satu
tujuan konservasi.
Tujuan utama dari kawasan kategori VI, ialah: melindungi ekosistem dan pemanfaatan
sumber daya alam secara berkelanjutan, terutama jika antara konservasi dan pemanfaatan
berkelanjutan bisa dilakukan secara bersama (saling memungkinkan)
Tujuan lain/tambahan:
• Mendorong pemanfaatan sumber daya alam secara berkelanjutan dengan memperhatikan
dimensi ekologi, ekonomi dan sosial;
• Mendorong manfaat sosial ekonomi terutama bagi masyarakat lokal yang relevan;
• Memfasilitasi keberlanjutan penghidupan masyarakat lokal
• Mengintegrasikan pendekatan cultural, sistem kepercayaan dan penggunaan kata didalam
kisaran pendekatan sosial ekonomi yang terkait dengan konservasi alam
• Berkontribusi terhadap pembangunan atau memelihara hubungan keseimbangan antara
manusia dengan alam
• Berkontribusi terhadap pembangunan berkelanjutan pada skala nasional, regional dan lokal
(terutama masyarakat lokal dan penduduk asli yang tergantung pada sumber daya alam
yang dilindungi tersebut)
• Memfasilitasi penelitian dan monitoring lingkungan, terutama terkait dengan pemanfaatan
sumber daya alam secara berkelanjutan;
• Bekerja sama dalam memberikan manfaat kepada masyarakat, terutama masyarakat lokal,
yang tinggal didalam atau di sekitar kawasan konservasi;
• Memfasilitasi kegiatan rekreasi dan pariwisata dalam skala kecil yang tepat
Ciri khas yang dimiliki oleh KKP kategori VI, ialah:
• Kawasan kategori VI sangat unik diantara sistem kategori IUCN, mempunyai wilayah untuk
pemanfaatan sumber daya alam secara berkelanjutan sebagai cara untuk mencapai
konservasi alam, bersama dan atau bersinergi dengan kategori perlindungan lainnya
• Kawasan kategori VI bertujuan untuk melindungi ekosistem dan habitat bersama nilai
cultural dan sistem pengelolaan (pemanfaatan) sumber daya alam. Oleh karena itu kawasan
kategori ini cenderung berukuran relatif besar (walaupun hal ini bukan suatu keharusan)
• Kawasan kategori VI tidak dirancang untuk memberikan peluang ekstraksi dalam skala
industri secara besar-besaran
• Secara umum, IUCN memberikan rekomendasi agar sebagian dari kawasan dipertahankan
sebagai wilayah alami, atau dinyatakan sebagai wilayah larang-ambil. Beberapa negara
menetapkan wilayah larang-ambil mencapai 2/3 bagian; IUCN menyarankan agar Keputusan
ini bisa diambil pada tingkat nasional, bahkan pada tingkat masing-masing kawasan.
Peran KKP kategori VI dalam konteks bentang alam/bentang laut, ialah:
• Kawasan kategori VI secara khusus dirancang untuk diterapkan dalam pendekatan bentang
alam/bentang laut;
• Kategori VI sangat sesuai untuk wilayah yang berukuran besar, seperti hutan tropis, lahan
basah yang kompleks, pantai dan laut – selain kawasan berukuran besar, dia juga harus
dihubungkan dengan kelompok kawasan lainnya, koridor atau jejaring (network) ekologi.
• Kategori VI juga sesuai untuk konservasi ekosistem alamiah, dimana sangat sedikit atau
tidak ada wilayah yang tertutup atau tanpa penduduk dan pemanfaatan sumber daya
271 Kategori kawasan konservasi perairan di Indonesia
dilakukan secara tradisional dengan dampak yang rendah serta tidak mempengaruhi status
dari ekosistem.
6.3.9 Kategori lainnya
Kategori kawasan konservasi sebenarnya bisa dipisahkan menjadi 3 (tiga) kelompok besar.
Perbedaan antar kelompok ditentukan oleh tujuan utama pembentukan kawasan konservasi, ialah:
(a) perlindungan keanekaragaman hayati, ekosistem dan bentang alam/laut, (b) perlindungan
sumber daya untuk pemanfaatan secara berkelanjutan dan (c) tujuan lain yang spesifik dan bersifat
global. Dari perbedaan tujuan tersebut, kawasan konservasi yang termasuk kelompok pertama,
ialah:
• Kategori Ia: strict Nature Reserve
• Kategori Ib: wilderness Area
• Kategori II: National Park
• Kategori III: Natural Monument/Landmark
• Kategori IV: Nature Conservation Reserve
• Kategori V: Protected Landscape/Seascape
Jenis kawasan konservasi perairan yang termasuk dalam satu kelompok ke-dua ialah:
• Kategori VI: Resource Reserve
• Kategori VII: Anthropological Reserve
• Kategori VIII: Multiple-Use Management Area
Sedangkan jenis kawasan konservasi yang mempunyai tujuan spesifik dan bernilai global ialah:
• Kategori IX: Biosphere Reserve
• Kategori X: World Heritage Site (Natural)
Pembentukan kawasan konservasi perairan untuk tujuan pengelolaan perikanan tangkap
secara berkelanjutan termasuk dalam kelompok ke-dua (Kategori VI dan VIII). Namun, setiap
kategori pada kelompok pertama juga pada akhirnya akan memberikan dampak positif bagi
perikanan, walaupun tidak secara langsung. Kelompok ketiga relatif kurang terkait dengan perikanan
tangkap, oleh karena itu tidak dibahas lebih lanjut pada bab ini.
6.4 Karakteristik Antar Kategori Kawasan Konservasi
Tabel 6.1 menyajikan karakteristik yang membedakan antar kategori dari kawasan
konservasi perairan. Kawasan konservasi kategori I mempunyai tingkat perlindungan yang relatif
lebih tinggi dibandingkan dengan kategori lainnya. Kategori Ia dan Ib berbeda dalam hal ukuran,
jumlah pengunjung dan tingkat perlindungan. Kawasan kategori Ib umumnya berukuran lebih besar,
bisa menerima pengunjung agak lebih banyak dan tingkat proteksi relatif lebih longgar, terkait
dengan ukurannya. Pengunjung dalam jumlah yang terbatas bisa menggunakan beberapa sarana
yang agak modern, jika memungkinkan. Sebagai contoh misalnya, pengunjung menggunakan sarana
speedboat untuk melakukan perjalanan pada area laut suatu kawasan dengan kategori Ib.
Sebaliknya kategori Ia, fokus lebih ditujukan untuk mempertahankan keaslian alam, dampak
kegiatan manusia harus diusahakan seminimal mungkin. Kawasan ini diutamakan untuk mempelajari
prubahan lingkungan alami atau monitoring perubahan iklim global seperti masalah “global
warming”.
Kawasan konservasi kategori II (National Park) mempunyai ukuran yang relatif sama dengan
kategori Ib. Namun kategori II lebih ditujukan untuk menerima kunjungan terkait dengan kegiatan
pendidikan, rekreasi, ilmiah atau spiritual. Jumlah kunjungan relatif bisa lebih banyak dibandingkan
272 Kategori kawasan konservasi perairan di Indonesia
dengan kategori Ia dan Ib. Prinsip dasar sebagai kawasan konservasi yang membuat kategori II unik
ialah bahwa pemanfaatan difoukuskan untuk kegiatan non-ekstraktif. Mengambil gambar atau foto
dengan menggunakan bantuan blitz misalnya, bisa diperbolehkan pada beberapa tempat tertentu.
Kegiatan yang bersifat ekstraktif, seperti pengambilan atau penangkapan ikan pada dasarnya tidak
bisa dilakukan pada kawasan kategori II. Beberapa kategori Taman Nasional masih memperboleh
(dalam zonasi) kegiatan ekstraktif yang terbatas, namun persentase wilayah pemanfaatan terbatas
ini biasanya tidak lebih dari 25%.
Kawasan konservasi kategori III umumnya berukuran relatif lebih kecil dan mempunyai nilai
bentang alam atau bentang laut yang relatif spesifik dan unik dibandingkan dengan kategori lainnya.
Kategori ini tidak harus merupakan suatu kesatuan ekosistem yang lengkap seperti pada kategori II,
sehingga ukurannya relatif lebih kecil. Aturan pengelolaan hampir mirip dengan kategori II, bahkan
kategori III mungkin sudah menerima dampak dari aktifitas manusia. Perbedaan mendasar terletak
pada ciri yang sangat unik, langka atau jarang ditemukan di tempat lain. Danau Kakaban dan
Maratua di Kalimantan Timur mungkin bisa dijadikan contoh sebagai monumen alam kategori III.
Kedua tempat ini merupakan satu-satunya lokasi di Indonesia yang mempunyai spesies ubur-ubur
yang tidak menyengat – ada empat jenis ubur-ubur yang terdapat pada laguna sebagai bentukan
dari karang atol, ialah: Aurelia aurita (Linnaeus, 1758), Tripedalia cystophora (Conant, 1897),
Mastigias papua (Lesson) dan Cassiopea ornata (Haeckel, 1880).
Kawasan konservasi kategori IV ditujukan untuk melindungi spesies atau habitat tertentu
yang ditunjukkan melalui aktifitas pengelolaan. Kategori ini sngat berbeda dibandingkan dengan
kategori lain dalam hal terjadinya usaha rehabilitasi habitat atau intervensi pengelolaan lainnya,
terkait dengan usaha untuk mempertahankan keberadaan spesies atau habitat tertentu. Ciri lainnya,
ialah ukurannya relatif kecil dan mengandung sebagian habitat (tidak lengkap), sehingga
memerlukan intervensi pengelolan secara teratur. Kalau tidak, habitat atau spesies mungkin tidak
bisa dipertahankan. Intervensi pengelolaan bisa dalam bentuk rehabilitasi, suplai makanan
tambahan, membentuk habitat baru, mengatasi hama atau organisme invasif. Kawasan ini jauh lebih
terbuka (accessible) bagi pengunjung dibandingkan dengan kategori lainnya.
Keunikan kawasan pada kategori V ialah adanya interaksi antara manusia dan alam dalam
waktu yang relatif lama sehingga dia terbentuk menjadi bentang alam atau laut yang unik dan proses
ini perlu dipertahankan. Kategori ini lebih khusus ditujukan untuk pengembangan rekreasi dan
pariwisata yang memberikan dampak positif bagi masyarakat lokal. Namun kawasan kategori ini
harus bisa bertindak menjadi model bagi pemanfaatan sumber daya secara berkelanjutan. Kawasan
konservasi kategori VI mengandung nilai konservasi yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan
pada kategori V. Kategori VI merupakan contoh dimana konservasi dan pemanfaatan secara
berkelanjutan (seperti perikanan tangkap) bisa berjalan secara bersama dan saling menguntungkan
(Tabel 6.1).
273 Kategori kawasan konservasi perairan di Indonesia
Tabel 6.1 karakteristik dasar yang unik membedakan antara satu kategori kawasan konservasi perairan dengan kategori lainnya. Untuk perbandingan
secara vertikal, menggunakan referensi kategori pada kolom. Sedangkan perbandingan secara horizontal menggunakan referensi kategori pada
baris (Sumber: diadaptasi dari Dudley, 2008)
Kategori Ia Kategori Ib Kategori II Kategori III Kategori IV Kategori V Kategori VI
Kategori Ia
Aturan konservasi
lebih ketat, kunju-
ngan lebih terbatas
Aturan lebih ketat,
tidak ada fasilitas
infrastruktur
wisata
Ekosistem atau
bentang alam asli,
pengunjung sangat
terbatas
Pemanfaatn sangat
terbatas, tidak di-
tujukan menerima
kunjungan
Tidak ada inter-vensi
pengelolaan,
prioritas pada
kegiatan penelitian
Membatasi penga-
ruh manusia, fokus
untuk penelitian dan
monitoring
Kategori Ib
Ukuran lebih besar,
aturan pengunjung
lebih kendor
Jumlah pengunjung
dan infrastruktur
lebih terba tas
Ekosistem, bentang
alam masih asli,
pengunjung sangat
terbatas
Tidak ada intervensi
pengelolaan, masih
berbentuk alam lia r
Masih bersifat a lam
liar, tidak ada
intervensi
pengelolaan
Melindungi alam
liar, bukan
pemanfaatan
berkelanjutan
Kategori II
Kombinasi kon
servasi ekosistem
dan pariwisata, ada
zonasi
Ukuran re latif sama,
jumlah pengunjung
lebih banyak
Perlindungan pa da
ekosistem secara
keseluruhan, lebih
kompleks
Lebih fokus untuk
perlindungan eko-
sistem, bukan
habitat/spesies
Pengunjung lebih
terbatas untuk
mempertahankan
pada kondisi a lami
Pemanfaatan lebih
diutamakan untuk
kategori non-
ekstraktif
Kategori III
Lebih fukus pada
konservasi corak
alam tertentu/
spesifik
Lebih fokus untuk
melindungi ben-
tang alam, kunju-
ngan lebih banyak
Terbatas pada
perlindungan satu
jenis bentang alam,
tidak lengkap
Orientasi pa da
kondisi morphologi
dan budaya,
bukanbiologi
Bentang alam khas
dan bersifat monu-
mental & unik
Perlindungan
keunikan alam,
spesies dan
kunjungan wisata
Kategori IV
Memerlukan
intervensi
manajemen
(pengelolaan)
Ukuran re latif kecil,
ekosistem tidak
lengkap, ada inter-
vensi pengelolaan
Lebih pa da
perlindungan
habitat dan spesies
secara individu
Lebih terfokus
pada perlindungan
habitat ata u
spesies penting
Pengelolaan lebih
berorientasi untuk
melindungi
habitat/spesies
Intervensi penge-
lolaan habitat/
rehabilitasi,bukan
pemanfaatan
Kategori V
Bentang alam yang
sudah dirubah oleh
manusia dalam
waktu lama
Bentang alam/laut
yang sudah
dimanfaatakan oleh
manusia
Ekosistem sudah
berubah dan diper-
tahakan pada
kondisi tersebut
Perlindungan
bentang alam yang
sedang dimanfa-
atkan penduduk
Fokus pada perlin-
dungan bentang
alam/laut, bukan
spesies/habitat
Karakteristik alam
sudah berubah
karena interaksi
dengan manusia
Kategori VI
Konservasi
dikaitkan dengan
pemanfaatan
berkelanjutan
Ada zonasi dan
pengelolaan untuk
pemanfaatan
berkelanjutan
Mempunyai zona
pemanfaatan yang
lebih longgar
Perlindungan untuk
pemanfaa-tan
berkelanjutan
Orientasi pa da
konservasi alam
untuk pemanfa-
atan berkelanjutan
Fokus pada konser-
vasi alam untuk
pemanfaatan
berkelanjutan
274 Kategori kawasan konservasi perairan di Indonesia
6.5 Prinsip Dasar Dalam Penentuan Kategori Kawasan Konservasi Perairan
Semua kriteria dan petunjuk penentuan kategori kawasan konservasi perairan seperti di atas
sangat teoritis dan terlalu kompleks. Pengelola kawasan yang bekerja pada tingkat lapang lebih
senang pada pendekatan praktis dan langsung. Menggunakan ketentuan tersebut di atas sering tidak
praktis dan membosankan. Sebenarnya hal ini tidak perlu harus membebani pengelola dan praktisi
konservasi pada tingkat lapang. Namun karena mereka sering terlibat mulai dari tingkat
perencanaan, mereka tidak bisa menghindar dari pemikiran-pemikiran teoritis. Ketentuan di atas
sebenarnya dibutuhkan pada tingkat nasional, karena setiap negara yang membangun kawasan
konservasi akhirnya akan menyamakan kelompok kawasan ke dalam kategori standar secara
internasional. Sebagai contoh, kawasan konservasi perairan Raja Ampat yang sedang dibangun saat
ini, harus dilaporkan oleh pemerintah sebagai komitmen bangsa untuk ikut bertanggung jawab dala
m menjaga keanekaragaman hayati dan pemanfaatan secara berkelanjutan. Ketika menyampaikan
laporan kepada Badan Dunia (IUCN), pemerintah seharusnya bisa menyebutkan nantinya bahwa
kawasan konservasi perairan Raja Ampat termasuk dalam salah satu kategori standar yang selama
ini sudah disepakati oleh berbagai negara, termasuk Indonesia.
Sistem kategori tersebut di atas, sebenarnya ditujukan untuk mempermudah perencana dan
pengelola kawasan konservasi serta menghindari kebingungan karena mengadopsi sistem yang
beragam. Sistem ini juga akan mempermudah proses pelaporan, koleksi data, saling bertukar
informasi dan komunikasi diantara kawasan yang sejenis. Penentuan suatu kawasan ke dalam salah
satu kategori IUCN, ditentukan oleh 6 (hal) utama, ialah: (1) tujuan utama penetapan kawasan, (2)
tujuan lain jika ada; (3) ciri utama dari kawasan, (4) peran kawasan dalam bentang alam atau
bentang laut, (5) keunikan dari kawasan yang akan dibangun dan (6) masalah lainnya. Jika hal ini juga
dirasakan terlalu sulit, maka secara praktis kita bisa hanya mengambil hanya satu ketentuan saja,
yaitu menentukan tujuan dari pembentukan suatu kawasan konservasi perairan. Pada dasarnya,
tujuan pembentukan kawasan sangat beragam. Tabel 6.2 menyajikan 9 (sembilan) tujuan dasar
pembentukan suatu kawasan. Jika tujuan pembentukan kawasan lebih dari satu, perencana dan para
pihak harus bisa menentukan urutan prioritas dari tujuan tersebut. Ketika urutan prioritas tujuan
sudah diselesaikan maka, seluruh tujuan tersebut disesuaikan dengan ketentuan yang ada pada
Tabel 6.3. Maka kawasan konservasi perairan yang sedang atau akan dibangun akan mendekati salah
satu kategori seperti pada Tabel 6.2 di bawah. Hal-hal lain yang lebih detail bisa dilakukan oleh para
ahli dalam bidang perencanaan kawasan konservasi.
Tabel 6.2 Matrik tujuan pembentukan suatu suatu kawasan konservasi perairan dan kategori
kawasan berdasarkan ketentuan IUCN terdekat.
TUJUAN PENGELOLAAN KAWASAN Kategori dan Tujuan Pengelolaan
Ia Ib II III IV V VI
Penelitian ilmiah dan ilmu pengetahuan 1 3 2 2 2 2 3
Perlindungan alam liar/hutan belantara 2 1 2 3 3 - 2
Perlindungan keragaman spesies/genetik 1 2 1 1 1 2 1
Mempertahankan jasa ekosistem 2 1 1 - 1 2 1
Perlindungan bentang alam dan corak budaya
spesifik
- - 2 1 3 1 3
275 Kategori kawasan konservasi perairan di Indonesia
TUJUAN PENGELOLAAN KAWASAN Kategori dan Tujuan Pengelolaan
Ia Ib II III IV V VI
Perlindungan untuk pariwisata dan rekreasi - 2 1 1 3 1 3
Pendidikan dan pembelajaran - - 2 2 2 2 3
Pemanfaatan sumber daya secara berkelanjutan - 3 3 - 2 2 1
Memelihara atribut budaya dan tradisi - - - - - 1 2
Catatan skor nilai pada tujuan: 1 = tujuan utama; 2 = tujuan kedua; 3 = tujuan potensial - = tidak
berlaku
6.6 Kategori Kawasan Konservasi di Indonesia
Kawasan konservasi di Indonesia, berdasarkan preseden penetapannya, bisa dibedakan ke
dalam 4 (empat) kelompok: (1) kawasan konservasi melalui penetapan oleh Kementerian
Kehutanan; (2) kawasan konservasi melalui penetapan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan;
(3) kawasan konservasi melalui penetapan oleh Pemerintah Daerah; dan (4) melalui kesepakatan di
tingkat lokal. Berdasarakn Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 dan Peraturan Pemerintah Nomor
68 tahun 1998, Kementerian Kehutanan mempunyai taggung jawab untuk menetapkan dan
mengelola kawasan konservasi dengan tujuan utama perlindungan keanekaragaman hayati,
termasuk sumber daya hayati laut. Jenis kawasan konservasi dibedakan dalam dua kelompok besar,
ialah: Kawasan Pelestarian Alam (KPA) dan Kawasan Suaka Alam (KSA). Kawasan Suaka Alam
didefinisikan sebagai kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di daratan maupun di perairan yang
mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta
ekosistemnya yang juga berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan. Termasuk dalam
kelompok KSA ialah Cagar Alam (CA) dan Suaka Margasatwa (SM). Kawasan Pelestarian Alam
didefinisikan sebagai kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di daratan maupu di perairan yang
mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis
tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
Termasuk dalam kategori ini ialah: Taman Nasional (TN), Taman Hutan Raya (TAHURA) dan Taman
Wisata Alam (TWA).
Pada tahun 1994 pemerintah meratifikasi United Nations Convention on Biological Diversity
(UNCBD) melalui Undang-Undang Nomor 5 tahun 1994. Pada saat yang sama kita kedatangan ahli
untuk melakukan penilaian terhadap sistem kawasan konservasi di Indonesia. Bersama peneliti dari
Indonesia, tim menyimpulkan bahwa 4 (empat) dari kategori kawasan konservasi yang kita punyai
masuk dalam kategori standar IUCN, ialah Cagar Alam, Taman Nasional, Suaka Margasatwa dan
Taman Wisata Alam. Taman Hutan Raya tidak dijelaskan dan tidak termasuk dalam salah satu
kategori yang disetujui IUCN, tanpa penjelasan di dalam teks. Saat ini, pengelolaan TAHURA sudah
diserahkan oleh Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Propinsi.
276 Kategori kawasan konservasi perairan di Indonesia
Tabel 6.3 Kawasan Konservasi di Indonesia yang termasuk kategori IUCN, berdasarkan penilaian
yang dilakukan pada tahun 1994 (Sumber: Alder, Sloan & Uktolseya, 1994)
NO Kategori sesuai IUCN Nomenklatur Indonesia Karakteristik yang menjadi pertimbangan
Ia: Strict Nature
Reserve
Cagar Alam Tingkat perlindungan ketat, fokus untuk
penelitian dan monitoring non-manipulatif,
jumlah kunjungan sangat terbatas
Ib: Wilderness Area -
II: National Park Taman Nasional Mempunyai nilai alamiah yang khas pada skala
nasional, regional maupun global; berukuran agak
besar untuk menampung pengunjung tanpa
merubah keaslian kawasan
III: Natural Monument/
Landmark
-
IV: Nature Conservation
Reserve
Suaka Margasatwa Ada manipulasi atau intervensi pengelola pada
habitat atau spesies
V: Protected
Landscape/ Seascape
Taman Wisata Alam Nilai untuk potensi rekreasi (pemandangan alam)
tinggi, nilai konservasi agak rendah
VI: Resource Reserve -
Berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan,
pemerintah mensyaratkan pengelolaan perikanan tangkap melalui pendekatan perlindungan
kawasan. Ketentuan ini diimplementasikan pada Peraturan Pemerintah Nomor 60 tahun 2007
tantang Konservasi Sumber Daya Ikan. Konservasi sumber daya ikan didefinisikan sebagai upaya
perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan sumber daya ikan, termasuk ekosistem, jenis, dan
genetik untuk menjamin keberadaan, ketersediaan, dan kesinambungannya dengan tetap
memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragaman sumber daya ikan. Pemerintah
memperkenalkan istilah kawasan konservasi perairan (KKP), sebagai terjemahan dari istilah umum
dari marine protected areas (MPA). Kawasan Konservasi Perairan didefinisikan sebagai kawasan
perairan yang dilindungi, dikelola dengan sistem zonasi, untuk mewujudkan pengelolaan sumber
daya ikan dan lingkungannya secara berkelanjutan. KKP dibedakan ke dalam 4 (empat) kategori,
ialah: Taman Nasional Perairan, Suaka Alam Perairan, Taman Wisata Perairan dan Suaka Perikanan.
Ke-empat nomenklatur kawasan yang baru ini belum dievaluasi termasuk ke dalam salah satu
kategori internasional tersebut di atas.
Tiga tahun kemudian, melalui Undang-Undang Nomor 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Pemerintah memperkenalkan istilah baru, ialah Kawasan
Konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil didefinisikan sebagai kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil dengan ciri khas
tertentu yang dilindungi untuk mewujudkan pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
secara berkelanjutan. Jenis kawasan dibedakan menjadi: (1) Kawasan Konservasi Pesisir dan Pulau-
Pulau Kecil (KKP3K), (2) Kawasan Konservasi Maritim (KKM), (3) Kawasan Konservasi Perairan (KKP),
dan (4) Sempadan Pantai. Seluruh sistem kawasan ini masih belum bisa digolongkan ke dalam salah
satu kategori standar internasional seperti pada IUCN. Pengelolaan kawasan konservasi di wilayah
pesisir dan pulau-pula kecil serta kawasan konservasi peraian menjadi ekwenangan Kemnterian
Kelautan dan Perikanan.
277 Kategori kawasan konservasi perairan di Indonesia
Melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah tanggung jawab
pengelolaan kawasan konservasi di wilayah perairan bisa menjadi tanggung jawab dan kewenangan
Pemerintah Daerah. Bupati Berau, melalui Peraturan Bupati Nomor 31 tahun 2005, telah menunjuk
wilayah pesisir dan laut di wilayah Kabupaten Berau Sebagai Kawasan Konservasi Laut – terminologi
baru yang dikembangkan oleh instansi pemerintah. Pada saat yang hampir sama, Bupati Raja Ampat
juga telah menunjuk suatu kawasan dengan istilah lain, Kawasan Konservasi Laut Daerah. Kedua
jenis kawasan konservasi ini juga belum dievaluasi, termasuk ke dalam salah satu kategori seperti
pada ketentuan IUCN.
Pemerintah Bangsa-Bangsa di dunia, melalui IUCN, telah mengeluarkan pedoman dalam
menentukan kategori kawasan konservasi, termasuk konservasi laut atau perairan. Pedoman ini
dimaksudkan untuk mempermudah pemerintah di tingkat nasional dalam menyusun sistem
klasifikasi kawasan. Peraturan tentang kawasan konservasi di Indonesia cukup beragam, dan menjadi
tanggung jawab instansi pemerintah yang berbeda – Kementerian Kehutanan, kementerian Kelautan
dan Perikanan dan Pemerintah Daerah. Dilihat dari antusiame dalam membangun kawasan
konservasi, isyarat ini bisa dipandang sebagai berita yang menggembirakan. Namun, langkah awal ini
harus diikuti dengan tindak lanjut yang konsisten, sampai pada implementasi pada tingkat lapang.
Sampai saat ini, Kementerian Kehutanan relatif sudah lebih maju dalam mengembangkan sistem
klasifikasi dan pengelolaan kawasan di Indonesia. Kemajuan ini bisa dijadikan contoh bagi instansi
lainnya untuk menjaga kelestarian sumber daya hayati dan pemanfaatan sumber daya secara
berkelanjutan.
Gambar 6.2 Jenis dan lokasi kawasan konservasi di Indonesia berdasarkan sistem yang dikelola oleh
Kementerian Kehutanan (Sumber: PHKA dan JICA, April 2005).
278 Kategori kawasan konservasi perairan di Indonesia
Bahan bacaan utama:
Alder J., N. A. Sloan, & H. Uktolseya (1994). Advances In Marine Protected Area Management In
Indonesia: 1988 - 1993. Ocean & Coastal Management 25: 63-75.
Dudley, N. (2008). Guidelines for Applying Protected Area Management Categories. N. Dudley.
Gland, Switzerland, IUCN: x + 86.
Kelleher, G. (1999). Guidelines for Marine Protected Areas. IUCN, Gland, Switzerland and Cambridge,
UK. xxiv +107pp.
Ringkasan:
1. Protected area (PA) ialah istilah umum yang diterjemahkan kedalam Bahasa Indonesia sebagai
kawasan konservasi. Indonesia mempunyai berbagai istilah berbeda yang mengacu pada istilah
umum protected area. Sebutkan semua istilah kawasan konservasi yang anda kenal ada di
Indonesia.
2. Apa latar belakang terbentuknya berbagai penamaan dari kawasan konservasi di Indonesia?
3. Indonesia mempunyai 4 (empat) kategori kawasan konservasi yang masuk dalam kategori
standar internasional yang dikeluarkan oleh IUCN. Sebutkan kategori kawasan konservasi
tersebut
4. Di dunia terdapat 10 kategori kawasan konservasi, namun hanya 6 (enam) kategori yang paling
sering digunakan. Sebutkan ke-enam kategori kawasan konservasi tersebut
5. Indonesia akan segera menetapkan suatu kawasan konservasi perairan (KKP). Tujuan utama
pembentukan kawasan ialah: melindungi keragaman spesies/genetik, memelihara dan
melindungi jasa ekosistem, dan mempertahankan pemanfaatan sumber daya secara
berkelanjutan. Apa kategori dari kawasan yang akan dibangun?
6. Pada saat yang sama, pemerintah juga mempersiapkan kawasan konservasi di wilayah lain
dengan tujuan utama pembentukan: sebagai tempat untuk penelitian ilmiah dan ilmu
pengetahuan, dan perlindungan keragaman spesies / genetik. Apa kategori dari kawasan yang
akan dibangun?
7. Sebutkan alasan yang kuat untuk memasukkan Komodo sebagai kawasan konservasi dengan
kategori Taman Nasional
8. Jelaskan prinsip dasar yang membedakan kawasan konservasi antara tipe Ia (strict nature
reserve) dengan Tipe II (National Park)
9. Suatu kawasan konservasi perairan (KKP) dirancang dan ditetapkan dengan tujuan utama
pengelolaan perikanan tangkap berkelanjutan. KKP ini termasuk dalam tipe atau kategori mana
(I – X). Jelaskan alasan mendasar dari pilihan anda
10. Walaupun tidak resmi, kita mengenal beberapa contoh kawasan konservasi perairan yang
dikelola oleh masyarakat lokal. Apa nama (nomenklatur) dari kawasan konservasi perairan
tersebut?