Upload
dangbao
View
223
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
i
KEABSAHAN PRAKTIK WAKAF (STUDI KASUS DAERAH
PEBAYURAN KM 08 KERTASARI-PEBAYURAN KAB. BEKASI-JAWA
BARAT)
Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum Agar Memenuhi
Salahsatu Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Syari’ah (S.Sy)
oleh :
MOCHAMAD AWALUDIN ROMDONI
108044100034
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1435 H/2014 M
ii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING
KEABSAHAN PRAKTIK WAKAF (STUDI KASUS DAERAH PEBAYURAN
KM 08 KERTASARI-PEBAYURAN KAB. BEKASI-JAWA BARAT)
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah Dan Hukum Agar Memenuhi
Salahsatu Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy.)
Oleh
MOCHAMAD AWALUDIN ROMDONI
108044100034
Pembimbing Skripsi
(Dr. Hj. Mesraini, M. Ag)
NIP. 197602132003122001
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1435 H/2014 M
iii
HALAMAN PENGESAHAN UJIAN SKRIPSI
Skripsi berjudul “KEABSAHAN PRAKTIK WAKAF (STUDI KASUS DAERAH
PEBAYURAN KM 08 KERTASARI-PEBAYURAN KAB. BEKASI-JAWA
BARAT)”, telah diujikan dalamSidang Munaqosah Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Pada tanggal 09 Mei
2014. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar
Sarjana Syariah (S.Sy) pada Program Studi Hukum Keluarga.
Jakarta, 09 Mei 2014
Mengesahkan,
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Dr. H. J.M. Muslimin, M.A.
NIP. 196808121999031014
PANITIA UJIAN
1. Ketua Drs. H.A.Basiq Djalil, SH., MA. (...……………..)
NIP. 195003061976031001
2. Sekretaris Hj. Rosdiana, MA. (...……………..)
NIP. 196509081995031001
3. Pembimbing Dr. Hj. Mesraini, M. Ag (...……………..)
NIP. 197602132003122001
4. Penguji I Dr. H. J.M. Muslimin, M.A. (...……………..)
NIP. 196808121999031014
5. Penguji II Drs. H.A.Basiq Djalil, SH., MA. (...……………..)
NIP. 195003061976031001
iv
LEMBAR KEASLIAN SKRIPSI
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah
satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan hasil plagiasi dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 11 April 2014
Mochamad Awaludin Romdoni
v
ABSTRAKSI
Praktik wakaf yang terjadi dalam kehidupan masyarakat belum sepenuhnya
berjalan tertib dan efisien sehingga dalam berbagai kasus harta benda wakaf tidak
terpelihara sebagaimana mestinya, terlantar atau beralih ke tangan pihak ketiga
dengan cara melawan hukum. Keadaan demikian itu, tidak hanya beberapa faktor,
baik dalam pengelolaan, masalah administrasi serta pengembangan harta benda wakaf
ditemukan dalam masyarakat Indonesia.
Fakta demikian banyak ditemukan di beberapa daerah, yang pada akhirnya
perwakafan di Indonesia tidak mengalami perkembangan namun sebaliknya.Bahkan
banyak benda wakaf yang hilang atau bersengketa dengan pihak ketiga akibat tidak
adanya bukti tertulis, seperti ikrar wakaf, sertifikat tanah belum jelas dan banyak lagi
yang lainnya.Hal itu seperti yang ditemukan oleh penulis di daerah Kertasari Kec.
Pebayuran Kab. Bekasi.Yang mana ada beberapa kendala praktik wakaf di daerah itu,
hingga kini belum bisa tersertifikasi tanah wakaf.Padahal menurut UU No. 41 Tahun
2004 Tentang Wakaf pada pasal 32 dan Pasal 68 diwajibkan untuk didaftarkan
kepada pihak yang berwenang setelah dilakukan ikrar wakaf didepan PPAIW
(Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf). Masalah lain dari praktik wakaf di daerah
Kertasari yaitu wakif dalam hal ini H. M. Yasin juga turut serta menjadi nadzir
(pengelola wakaf) dalam yayasan Hidayatunnajah. Untuk itu bagaimanakah
kedudukan kedua masalah tersebut jika dilihat dari segi hukum Islam (fiqh) dan
peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Setelah melakukan observasi dan wawancara denganberbagai narasumber,
penulis menemukan beberapa kesimpulan, yaitu:
1. Keabsahan wakaf tidak terlepas dari segi legalitas (sah atau tidaknya) sebuah
praktik wakaf secara hukum. Dalam hal ini kesahihan praktik wakaf dilihat dari
pandangan hukum Islam (fiqh), hal tersebut juga tidak terlepas dari kebenaran
menurut hukum secara tertulis ataupun pada tataran ijtihad para ulama. Untuk itu
diperlukan penelahaan pada kajian normatif (hukum) maupun segi kesejarahan
praktik wakaf. Ulama klasik dalam menetapkan sebuah keabsahan wakaf dilihat
dari keberadaan syarat dan rukun itu pada praktiknya. Adapun Rukun wakaf
menurut mayoritas ulama selain Hanafi adalah orang yang mewakafkan (fikaw),
tujuan diwakafkan (maukuf ‘alahi), barang wakafan (maukuf bih), dan sighat
wakaf. Sedangkan menurut mazhab Hanafi, rukun wakaf itu hanya ada satu, yaitu
shighat. Shighat di sini adalah lafaz-lafaz yang menunjukkan kepada makna wakaf
atau pelafalan yang menunjukan makna (substansi) wakaf. Dan tidak
ditemukannya persyaratan keharusan pencatatan ataupun pendaftaran wakaf
seperti dalam perundangan Indonesia.
2. Setelah adanya UU No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria dan
PP (Peraturan Pemerintah) No. 28 Tahun 1977 Tentang perwakafan Tanah Milik,
Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang
vi
No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf. Bahwa praktik wakaf bisa dikatakan sah dan
kuat secara hukum bila unsur-unsur rukun-syarat wakaf terpenuhi dan didaftarkan
kepada pihak yang berwenang, dalam hal ini wakaf yang tidak bergerak kepada
PPAIW (Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf) daerah dan Badan Pertanahan
setempat. Jika tidak terpenuhi maka sah saja wakaf jika praktik wakaf dilakukan
sebelum UU. No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf berlaku. Namun terdapat praktik
wakaf setelah lima tahun diberlakukan undang-undang ini maka praktik wakaf
tersebut secara hukum tidak mempunyai kekuatan mengikat (sah). Pasal 69
undang-undang ini menegaskan: (1) Dengan berlakunya Undang-Undang
ini,wakaf yang dilakukan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku sebelum diundangkannya Undang-Undang ini, dinyatakan sah
sebagai wakaf menurut Undang-Undang ini. (2) Wakaf sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) wajib didaftarkan dan diumumkan paling lama 5 (lima) tahun sejak
Undang-Undang ini diundangkan.
3. Jika dilihat dari segi keabsahannya praktik wakaf di daerah Kertasari Kec.
Pebayuran Kab. Bekasi adalah sah secara fiqh. Karena terkumpulnya syarat dan
rukunya seperti wakifnya adalah H. Muhammad Yasin, tujuan wakaf (mauquf
‘alahi) yaitu sebagai balai pendidikan Islam, barang wakafnya (maukuf bih) yaitu
tanah dengan luas 84.000 M2
(Delapan Puluh Empat Ribu Meter Persegi) dan tiga
buah bangunan di atasnya, ikrar wakaf telah dilakukan oleh wakif baik dengan
lisan maupun dengan tulisan tanpa mengandung kesamaran. Untuk masalah
pendaftaran wakafnya sendiri demi kepentingan pencatatan administratif, jika
dilihat dari perspektif perundangan Indonesia maka belum dikatakan sah sebagai
tanah wakaf, karena belum terselesaikannya pendaftaran wakaf itu sendiri.
Pendaftaran wakaf merupakan hal terpenting dalam peraturan perundangan
Indonesia, karena pencatatan dan pendaftaran menyulitkan sengketa pertanahan
(wakaf) dikemudian hari.
Key Word /Kata Kunci: KeabsahanWakaf, Pandangan Fiqh, dan Pandangan
Perundang-undangan Indonesia
vii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang merajai alam
semesta yang telah memberikan kenikmatan kepada semua hamba-Nya sehingga
dengan nikmat tersebut kita semua masih dalam lindungan-Nya.Yakni nikmat iman,
Islam dan kesehatan.
Shalawat dan salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad saw.
yang menjadi teladan bagi semua manusia tak terkecuali penulis sendiri, semoga kita
semua mendapatkan syafa’atnya di hari akhirat.
Akhirnya penulis bisa menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan judul
“Keabsahan Peraktik Wakaf (Studi Kasus Daerah Pebayuran Km 08 Kertasari-
Pebayuran Kab. Bekasi Jawa Barat)” .Penulisan skripsi ini guna memenuhi salah
satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Syariah pada Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.Dalam penulisan skripsi
ini, penulis menyadari bahwa masih banyak kesalahan, kekurangan dan jauh dari
sempurna karena kesempurnaan itu hanyalah milik Allah SWT semata.
Keberhasilan penulis menyelesaikan skripsi ini tidak terlepas berkat dukungan
doa, moril dan materil dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan yang
berbahagia ini penulis ingin mengucapkan terima kasih sedalam-dalamnya kepada
Bapak:
viii
1. Dr. H. J.M Muslimin, M.A. selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA, dan Hj. Rosdiana, MA, Selaku Ketua
dan Sekretaris Program Studi Hukum Keluarga.
3. Dr. Hj. Mesraini, M.Ag selaku pembimbing yang dengan berbagai
kesibukannya masih sempat untuk berdiskusi dan memeriksa skripsi
penulis dan selalu memberikan motivasi serta arahan kepada penulis
dalam penyusunan skripsi ini.
4. Seluruh Staff pengajar (dosen) Prodi Ahwal Al-SyakhshiyyahFakultas
Syariah dan Hukum yang telah banyak menyumbang ilmu dan
memberikan motivasi sepanjang penulis berada di sini.
5. Perpustakaan Umum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
dan Perpustakaan Fakultas Syariah dan hukum yang telah memberikan
fasilitas referensi buku-buku dalam studi kepustakaan.
6. Drs. H. Agus Sujadi. Kepala KUA Pebayuran Kab. Bekasi, dan KH
Mahrus Amin. Mudir Pondok Pesantren Darunnajah Ulujami Jakarta yang
telah memberikan informasi kepada penulis.
7. Teristimewa untuk ayahanda H. Jamaludin dan ibunda Hj. Mardiah
Akhmad tercinta, yang telah merawat dan mengasuh serta mendidik
dengan penuh kasih sayang dan memberikan pengorbanan yang tak
terhitung nilainya baik dari segi moril maupun materil. Dan untuk adik-
adikku Moch. Ihsan R dan Moch. Hafidz Al azka.
ix
8. Teristimewa untuk adinda Resta Dwiva tercinta yang setia menemani dan
memberikan support dan motivasi kepada penulis dalam penulisan skripsi
ini.
9. Teman-teman senasib dan seperjuangan Konsentrasi Peradilan Agama
angkatan 2008 yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah
menjadi sandaran dalam keseharian penulis serta tidak pernah henti
memberikan support juga bantuannya dalam penulisan skripsi ini.
10. Teman-teman tercinta Ahmad Fauzi, Faisal hidayatullah, Muhdi Abdul
Aziz, Aufar Ramadano Putra, Ryan Umar, M. Nurul Fachri, M. Subhi
Mahma Soni, dan M Iqbal Perdana yang telah memberikan support,
inspirasi dan motivasi kepada penulis.
Demikian ucapan terima kasih yang tulus penulis sampaikan mudah-mudahan
kebaikan-kebaikannya dapat diterima dan dibalas Allah SWT.Dengan kerendahan
hati penulis mengucapkan terimakasih banyak.
Jakarta,11 April 2014
Penulis
Mochamad Awaludin Romdoni
x
DAFTAR ISI
Hal.
HALAMAN JUDUL ..................................................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................................. ii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ....................................................................... iii
HALAMAN KEASLIAN SKRIPSI ................................................................................ iv
ABSTRAKSI ..................................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ...................................................................................................... vii
DAFTAR ISI ..................................................................................................................... x
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................ 1
A. Latar Belakang Masalah ............................................................................. 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ......................................................... 12
C. Tujuan Penelitian ....................................................................................... 13
D. Manfaat Penelitian ..................................................................................... 14
E. Metodelogi Penelitian ................................................................................ 14
F. Review Terdahulu ...................................................................................... 19
G. Sistematika Penulisan ................................................................................ 22
BAB II KONSEP HUKUM WAKAF ......................................................................... 24
A. Pengertian Wakaf ........................................................................................ 24
B. Dasar Hukum Wakaf ................................................................................... 28
C. Syarat dan Rukun Wakaf ............................................................................ 30
xi
D. Sejarah Hukum Perwakafan Di Indonesia .................................................. 33
BAB III KRONOLOGIS MASALAH WAKAF DI DAERAH PEBAYURAN
KAB. BEKASI-JAWA BARAT ..................................................................... 44
A. Kronologis Wakaf ....................................................................................... 44
B. Pokok Permasalahan ................................................................................... 49
C. Data data Terkait ......................................................................................... 51
BAB IV KEABSAHAN PRAKTIK WAKAF STUDI KASUS DAERAH
PEBAYURAN KM. 8 KAB. BEKASI - JAWA BARAT ............................ 57
A. Keabsahan Wakaf Perspektif Fiqh ............................................................. 57
B. Keabsahan dan Prosedur Wakaf Perspektif
Perundangan-undangan Indonesia ............................................................. 65
C. Analisis Kasus ............................................................................................. 74
BAB V PENUTUP ........................................................................................................ 83
A. Kesimpulan ................................................................................................ 83
B. Saran-saran ................................................................................................. 85
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................ 87
LAMPIRAN-LAMPIRAN ............................................................................................... 91
1. Surat Wawancara ........................................................................................ 91
2. Hasil Wawancara I ...................................................................................... 92
3. Hasil Wawancara II ..................................................................................... 96
xii
4. Hasil Wawancara III ................................................................................... 100
5. Foto Wawancara.......................................................................................... 105
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Membicarakan tentang persoalan wakaf adalah merupakan isu yang
menarik.1 Perwakafan atau wakaf merupakan pranata dalam keagamaan Islam
yang sudah mapan. Dalam hukum Islam, wakaf termasuk ke dalam ibadah
kemasyarakatan (ibadah ijtimaiyah). Sepanjang sejarah Islam, wakaf merupakan
sarana dan modal yang amat penting dalam memajukan perkembangan agama2
dan kemajuan Negara bangsa.
Tujuan utama Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana
diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 antara lain adalah memajukan kesejahteraan umum. Untuk
mencapai tujuan tersebut, perlu menggali dan mengembangkan potensi yang
terdapat dalam pranata keagamaan yang memiliki manfaat ekonomis. Salah satu
langkah strategis untuk meningkatkan kesejahteraan umum, perlu meningkatkan
peran wakaf sebagai pranata keagamaan yang tidak hanya bertujuan
menyediakan berbagai sarana ibadah dan sosial, tetapi juga memiliki kekuatan
1 Ahmad Rofiq, Fiqih Kontekstual dari Normatif ke Pemaknaan Sosial, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 318.
2 Departemen Agama, Perkembangan Pengelolaan Wakaf di Indonesia, (Jakarta: Proyek
Peningkatan Zakat dan Wakaf Dirjen Bimas dan Penyelenggaraan Haji, 2003), hlm. 1
2
ekonomi yang berpotensi, antara lain untuk memajukan kesejahteraan umum,
sehingga perlu dikembangkan pemanfaatannya sesuai dengan prinsip syariah.3
Praktik wakaf yang terjadi dalam kehidupan masyarakat belum
sepenuhnya berjalan tertib dan efisien sehingga dalam berbagai kasus harta
benda wakaf tidak terpelihara sebagaimana mestinya, terlantar atau beralih ke
tangan pihak ketiga dengan cara melawan hukum. Keadaan demikian itu, tidak
hanya karena kelalaian atau ketidakmampuan Nazhir4 dalam mengelola dan
mengembangkan harta benda wakaf tetapi karena juga sikap masyarakat yang
kurang peduli atau belum memahami status harta benda wakaf yang seharusnya
dilindungi demi untuk kesejahteraan umum sesuai dengan tujuan, fungsi, dan
peruntukan wakaf.
Secara bahasa wakaf berasal dari kata waqof yang artinya al-habs
(menahan).5 Dalam pengertian istilah, wakaf adalah menahan atau menghentikan
harta yang dapat di ambil manfaatnya guna kepentingan kebaikan untuk
mendekatkan diri kepada Allah.6 Menurut Sayyid Sabiq wakaf berarti menahan
harta dan memberikan manfaatnya di jalan Allah.7 Menurut Muhammad Jawad
3 Penjelasan UU. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf. hlml. 18
4 Adalah orang yang memegang amanah untuk memelihara dan menyelenggarakan harta
wakaf sesuai dengan tujuan wakaf. Suhrawardi K. Lubis, dkk, wakaf dan Pemberdayaan Umat,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm. 150.
5 Sayyid Sabiq, Fiqih al-Sunah, (Beriut: Dar al-Fikr, tth), hlm. 307. Lihat juga Syeikh
Zainuddin Ibn Abd Aziz Al-maliabary, Fath al-Mu’min, (Semarang: Toha Pura, tth), hlm. 87.
6 Imam Taqiyuddin Abu Baakar ibn Muhammad al-Hussain, Kifayah al-Akhyar, Juz 1,
(Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, t,th), hlm. 319.
3
Mughniah, wakaf adalah sejenis pemberian yang pelaksanaanya dilakukan
dengan jalan (pemilikan) asal, lalu menjadikan manfaatnya berlaku umum.8
Menurut Amir Syarifuddin, wakaf adalah menghentikan pengalihan hak atas
suatu harta dan menggunakan hasilnya bagi kepentingan umum sebagai
pendekatan diri kepada Allah.9 Sedangkan menurut As Shan’ani, wakaf adalah
menahan harta yang dapat diambil manfaatnya tanpa menghabiskan atau
merusakan bendanya (ainnya) dan digunakan untuk kebaikan.10
Dari rumusan pengertian di atas terlihat bahwa dalam fiqh Islam, wakaf
sebenarnya dapat meliputi berbagai benda. Walaupun berbagai riwayat atau
hadits yang menceritakan masalah wakaf ini terkait masalah wakaf tanah, tapi
para ulama memahami bahwa wakaf non-tanah pun boleh saja, asalkan bendanya
tidak langsung musnah atau habis ketika diambil manfaatnya.11
Dari beberapa
definisi serta rumusan di atas mengenai pengertian wakaf, penulis menyimpulkan
bahwa yang dimaksud dengan wakaf ialah suatau usaha menghentikan atau
menahan perpindahan hak milik suatu harta yang bermanfaat dan tahan lama,
7 Sayyid Sabiq, Fiqih al-Sunah, (Beriut: Dar al-Fikr, tth), hlm. 307
8 Muhammad Jawad Mughniyah, al-Fiqh ala al-Mazahib al-Khamsah, terj. Masykur Afif
Muhammad, Idrus al-kaff, ”Fiqih Lima Mazhab, (Jakarta: Lentera, 2001), hlm. 635.
9 Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqih, (Jakarta: Peranada Media, 2003), hlm.
223.
10
Muhammad bin Ismail al-Kahlani as-San’ani, Subul as-Salam, Juz 3, (Cairo: Syirkah
Maktabah Mustafa al-babi al-Halabi, tth), hlm. 114.
11
Adijani al-Alabiji, Perwakafan Tanah di Indonesia dalam Teori dan Praktek, (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 26.
4
sehingga manfaat dari harta tersebut dapat di gunakan untuk mencari ridha allah
SWT.
Adapun dasar hukum wakaf dapat dilihat dalam al-Qur’an, di antaranya
dalam surat Ali Imran ayat 92:
12
Artinya: kamu sekali – sekali tidak sampai kepada kebajikan, sebelum kamu
menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu
nafkahkan maka sesungguhnya allah mengetahuinya (Q.S. ali- imran: 92).13
Kemudian dasar hukum wakaf dalam hadits dijelaskan pula yaitu:
عه اثه عمر رض اهلل عىمب لبل: أصبة عمر أرضب ثخجر فأتى انىج صهى اهلل عه
سهم ستأمر فب فمبل: برسل اهلل أصجت أرضب ثخجر نم أصت مضبال لط أوفس
ت حجست عىدي مى فمب تأمرو ث. فمبل ن رسل اهلل صهى اهلل عه سهم, إن شئ
أصهب تصدلت ثب فتصدق ثب عمر, أوب التجبع التت الترث. لبل تصدق ثب فى
انفمراء فى انمرثى فى انرلبة فى سجم اهلل اثه انسجم انضف الجىبح عهى مه
نب أن أكم مىب ثبنمعرف طعم غر متمل مبال)متفك عه( انهفظ نمسهم ف
دق ثأصهب الجبع الت نكه ىفك ثمريراة نهجخبري: تص14
12
QS: Ali ‘Imran: 92
13
Yayasan Penterjemah/Penafsir al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Surabaya:
DEPAG RI, 1978), hlm. 91
14
HR. Muslim
5
Dari Ibnu Umar RA. berkata, bahwa sahabat Umar RA memperoleh
sebidang tanah di Khaibar, kemudian menghadap kepada Rasulullah untuk
mohon petunjuk. Umar berkata: Ya Rasulullah! Saya mendapatkan sebidang
tanah di Khaibar, saya belum pernah mendapatkan harta sebaik itu, maka
apakah yang engkau perintahkan kepadaku? Rasulullah bersabda: bila kau
suka, kau tahan tanah itu dan engkau shodaqohkan. Kemudian Umar
melakukan shodaqah, tidak dijual, tidak diwarisi dan tidak juga dihibahkan.
Berkata Ibnu Umar: Umar menyedekahkan kepada orang-orang fakir, kaum
kerabat, budak belian, sabilillah, ibnu sabil dan tamu. Dan tidak dilarang
bagi yang menguasai tanah wakaf itu (pengurusnya) makan dari hasilnya
dengan cara yang baik dengan tidak bermaksud menumpuk harta”
(Muttafaq ‘Alaih) susunan matan tersebut menurut riwayat Muslim. Dalam
riwayat al-Bukhari: Beliau sedekahkan pokoknya, tidak dijual dan tidak
dihibahkan, tetapi diinfakkan hasilnya. (HR. Muslim)
Untuk memenuhi kriteria di atas para ulama memberikan rukun wakaf itu
sendiri dengan beberapa rincian. Dan mereka berpendapat bahwa Wakaf
dinyatakan sah apabila telah terpenuhi rukun dan syarat. Rukun wakaf ada 4
yaitu: 1 wakif (orang yang mewakafkan); 2. Maukuf Bih (barang/harta yang di
wakafkan); 3. Maukuf alih (peruntukan/tujuan wakaf); 4. Shighat (pernyataan
wakif sebagai suatu kehendak untuk mewakafkan harya bendanya).15
Pemberian
syarat dan rukun seperti ini merupakan upaya pencegahan (preventif) agar tidak
terjadi sengketa wakaf yang tidak diinginkan. Hal demikian merupakan inti dari
ajaran syariat Islam yang menjunjung nilai-nilai kemaslahatan umat manusia.
Melihat kondisi modern yang sangat kompleks, para ulama fiqh
kontemporer telah menelurkan beberapa konsep tentang upaya pencegahan
konflik dalam beberapa hal. Al-Qur’an telah menjelaskan secara umum dalam
15
Faisal Haq dan Saiful Anam, Hukum Wakaf dan Perwakafan di Indonesia, (Pasuruan
Jawa Timur: GBI ,1994), hlm. 17. Lihat juga Muhammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam Zakat
dan Wakaf, (Jakarta: UI Press, 1988), hlm. 84-85.
6
surat al-Baqarah 282 tentang hutang-piutang yang mewajibkan hutang harus
dicatat guna tidak terjadinya sengketa yang berkepanjangan dikemudian hari. Hal
demikian menjadi pintu ijtihad oleh para ulama untuk menelaah lebih dalam
bahwa tradisi pencatatan dalam beberapa hal seperti kasus perdata/pidana
menjadi sangatlah penting. Misalnya saja peraturan tentang pencatatan
perkawinan merupakan penganalogian (qiyas) antara pencatatan hutang-piutang
dengan pencatatan nikah. Dengan demikian meskipun fiqh tidak menjelaskan
secara detail untuk mencatatkan persoalan wakaf, tetapi ada aturan-aturan umum
yang sebetulnya aturan dalam fiqh juga memberikan apresiasi terhadap
pencatatan atau pendaftaran wakaf itu sendiri. Karena fungsi pencatatan amatlah
penting, serta berguna kelak dikemudian hari agar tidak menimbulkan suatu
sengketa. Sebab, masalah perwakafan merupakan hal yang krusial dan sering
menimbulkan sengketa yang berkepanjangan.
Hal itu pula menjadi semangat peraturan perundang-undangan Indonesia
tentang pencatatan serta pendaftaran perwakafan guna mengikis persoalan
sengketa perwakafan yang semakin kompleks. Dimulai dengan kehadiran
Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 Tentang Perwakafan Tanah Milik,
menjadi semangat baru dalam peraturan ini mengenai regulasi serta keharusan
pendaftaran wakaf secara tertib administratif yaitu dicatatkan sekaligus
didaftarkan.
Dalam penjelasannya, PP No. 28 Tahun 1977 Tentang Perwakafan Tanah
Milik, sebelum lahirnya peraturan ini, pengaturan tentang perwakafan tanah
7
milik ini tidak diatur secara tuntas dalam bentuk suatu peraturan perundang-
undangan, sehingga memudahkan terjadinya penyimpangan dari hakekat dan
tujuan wakaf itu sendiri, terutama sekali disebabkan terdapatnya beraneka ragam
bentuk perwakafan (wakaf keluarga, wakaf umum dan lain-lain), dan tidak
adanya keharusan untuk didaftarkannya benda-benda yang diwakafkan, sehingga
banyaklah benda-benda wakaf yang tidak diketahui lagi keadaannya.16
Dengan jelas tata cara mewakafkan dan pendaftarannya telah diatur
dalam Pasal 10 PP. No. 28 Tahun 1977 Tentang Perwakfan Tanah Milik. Yaitu:
(1) Setelah kata Ikrar Wakaf dilaksanakan sesuai dengan ketentuan ayat (4) dan
(5) pasal 9, maka Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf atas nama Nadzir yang
bersangkutan, diharuskan mengajukan permohonan kepada
Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah cq. Kepala Sub Direktorat Agraria
setempat untuk mendaftar perwakafan tanah milik yang bersangkutan
menurut ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961.
(2) Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah cq. Kepala Sub Direktorat Agraria
setempat, setelah menerima permohonan tersebut dalam ayat (1) mencatat
perwakafan tanah milik yang bersangkutan pada buku tanah dan
sertifikatnya.
(3) Jika tanah milik yang diwakafkan belum mempunyai sertifikat maka
pencatatan yang dimaksud dalam ayat (2) dilakukan setelah untuk tanah
tersebut dibuatkan sertifikatnya.
(4) Oleh Menteri Dalam Negeri diatur tatacara pencatatan perwakafan yang
dimaksud dalam ayat (2) dan (3).
(5) Setelah dilakukan pencatatan perwakafan tanah milik dalam buku tanah dan
sertifikatnya seperti dimaksud ayat (2) dan (3), maka Nadzir yang
bersangkutan wajib melaporkannya kepada pejabat yang ditunjuk oleh
Menteri Agama.
Setelah berjalan cukup lama peraturan ini, terdapat beberapa kekurangan,
namun keberadaaan pengaturan wakaf diperkuat dengan sejumlah peraturan yang
16
Penjelasan Umum Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 Tentang Perwakafan
Tanah Milik, hlm. 9
8
baru seperti Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum
Islam, kemudian lahir setelah itu juga Undang-Undang No. 41 Tahun 2004
Tentang Wakaf. Bisa disimpulkan bahwa seluruh peraturan perundangan yang
berkaitan dengan perwakafan mempunyai prinsip semangat pencatatan serta
pendaftaran harta wakaf kepada pihak yang berwenang. Untuk lebih jelasnya
Pasal 34 UU No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf menjelaskan bahwa Pemerintah
berwenang menyatakan harta benda wakaf telah terdaftar dan tercatat pada
negara dengan status sebagai harta benda wakaf.17
Kewajiban pendaftaran tanah
wakaf disebutkan pula dalam Pasal 69 UU No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf
yaitu
(1) Dengan berlakunya Undang-Undang ini,wakaf yang dilakukan
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
sebelum diundangkannya Undang-Undang ini, dinyatakan sah sebagai
wakaf menurut Undang-Undang ini.
(2) Wakaf sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib didaftarkan dan
diumumkan paling lama 5 (lima) tahun sejak Undang-Undang ini
diundangkan.
Kesimpulan dari pemaparan diatas, yaitu terdapat perbedaan jelas antara
pandangan fiqh dengan peraturan perundang-undangan di Indonesia terkait sah
tidaknya perbuatan wakaf. Pandangan fiqh jelas lebih mengedepankan
terpenuhinya syarat dan rukun wakaf itu sendiri pada prakteknya, dan tidak ada
ketentuan harta benda wakaf harus dicatatkan ataupun didaftarkan. Sedangkan
dalam perundangan Indonesia selain terkumpulnya syarat dan rukun wakaf,
pemenuhan agar dicatat serta didaftarkan merupakan sebuah kemestian
17
Penjelasan Pasal 34 Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf
9
(keharusan). Yang mana pencatatan dan pendaftaran merupakan langkah
pencegahan dalam konflik yang melibatkan harta wakaf.
Hal itu seringkali terjadi di beberapa wilayah Indonesia, seperti praktik
wakaf bagi sebagian masyarakat masih mempergunakan dengan pendekatan fiqh
klasik,18
dikarenakan tingginya tingkat kepercayaan masyarakat pada wakaf.
Seiring berjalannya waktu dan kompleksitas masyarakat, mulailah bermunculan
kasus masalah perwakafan.19
baik itu sengketa intern maupun sengketa ekstern.
Banyak kasus yang melibatkan sengketa antara ahli waris si pewakif dengan
nadzir, dengan alasan tertentu, ada juga persoalan mengenai ahli waris dari wakif
ingin menarik kembali tanah yang sudah diwakafkan, sehingga menimbulkan
sengketa pada keduanya. Dan banyak lagi contoh-contoh sengketa wakaf lainnya.
Seperti yang ditemukann oleh penulis tentang pendaftaran tanah wakaf di
Daerah Jl. Raya Pebayuran KM 08 Kertasari, Pebayuran Kab. Bekasi-Jawa Barat
yang melibatkan beberapa permasalahan mulai dari konflik pencatatan hingga
ketidak-jelasan status tanah wakaf tersebut yang sampai saat ini belum
didaftarkan kepada pihak yang berwenang. Di bawah ini merupakan kronologis
kasus di daerah Pebayuran Kab. Bekasi-Jawa Barat.
Pada awal Maret 1989 H. M Yasin memberikan kepercayaan kepada KH.
Makhrus Amin untuk membangun sebuah madrasah yang diberi nama An-Najah,
18
Achmad Djunaidi dan Tbobieb, Menuju Era Wakaf Produktif, (Depok: Mumtaz
Publishing, 2008), cet. Ke- 5, hlm. 48
19
Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam, Peraturan Perundangan
Perwakafan, (Departemen Agama RI, 2006), hlm. 4
10
rencana pembangunan madrasah tersebut di Daerah Pebayuran Kab. Bekasi.
Setelah itu, mereka melakukan perundingan antara KH. Makhrus Amin dengan
H. M Yasin sekaligus melakukan survey tanah yang hendak diwakafkan seluas 7
hektar. Setelah itu terjadi kesalahpahaman antara H.M Yasin dengan KH.
Makhrus Amin terkait lokasi tanah yang berada di depan rumah H.M. yasin.
Namun H. M. Yasin membatalkan untuk mewakafkan tanah di depan rumahnya
dan kemudian menyerahkan tanah persawahannya seluas kurang lebih 7 hektar.
Tepat pada tanggal 20 Mei 1989 KH. Makhrus Amin, H.M Yasin,
Kepala KUA, dan kepala Desa Pebayuran mengadakan Rapat di kantor Kec.
Pebayuran dalam hal penetapan pembangunan madrasah. Satu hari setelah
pertemuan itu, mulailah pembangunan gedung pesantren tepat di tanah yang telah
diwakafkan dengan ikrar wakaf secara lisan.
Setelah sekian lama berdiri pondok pesantren tersebut, barulah Ikrar
wakaf tanah pesantren pun dibuatkan secara tertulis yaitu pada tanggal 20 Mei
2003 di Gedung Aula Pesantren dengan dihadiri oleh Petinggi Pondok Pesantren,
dengan disaksikan oleh banyak saksi mulai dari pejabat pemerintah seperti
Bupati, Camat, Kepala KUA (Kantor Urusan Agama) daerah Pebayuran, guru
dan segenap para Santri.20
Namun setelah berjalannya ikrar wakaf tersebut hingga kini belum
mendapatkan sertifikat tanah wakaf, seperti yang dituturkan dari para
20
Lihat Gambar Akta Ikrar Wakaf Pada Bab III
11
narasumber.21
Ada beberapa alasan mengapa pensertifikatan wakaf ini tidak
terlaksana, yaitu keengganan wakif (H. M. Yasin) mengganti nama sertfikat
wakaf atas nama orang lain, dalam hal ini wakif harus mengganti akta jual beli
(AJB) yang dimilikinya menjadi sertifikat hak milik (SHM). Namun hal itu tidak
bisa berubah statusnya dari akta jual beli (AJB) menjadi sertifikat hak milik
(SHM), karena tanah yang dimiliki H. M. Yasin melebihi kapasitas yang
ditentukan undang-undang.22
Disamping itu pula waakif (orang yang mewakafkan) yaitu H. M. Yasin
telah meninggal dunia pada tahun 2013. Dan dari penuturan para narasumber
hingga kini terlihat ketidakjelasan status tanah wakafnya. Hal ini bukan tidak
mungkin dikemudian hari menimbulkan sebuah permasalahan, untuk itu
bagaimanakah keabsahan praktik wakaf di daerah Pebayuran Kab. Bekasi jika
dilihat dari segi Fiqh dan peraturan perundangan Indonesia.
Maka dari itu, penulis tertarik untuk membahas lebih komprehensif dalam
sebuah penelitian skripsi yang berjudul: KEABSAHAN PRAKTIK WAKAF
(STUDI KASUS DAERAH PEBAYURAN KM. 08 KERTASARI-
PEBAYURAN KAB. BEKASI-JAWA BARAT).
21
Hasil Wawancara Pada Lampiran Wawancara
22 Hasil Hasil Wawancara bersama Agus Sujadi selaku KUA / PPAIW Kec. Pebayuran
di Kantor Urusan Agama (KUA) Kec. Pebayuran pada tanggal 23 Desember 2013 pukul 16.05 –
16.35 WIB.
12
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Untuk lebih terarah dan menghindari salah persepsi dari pembaca, maka
penulis membatasi pembahasan ini sesuai dengan latar belakang yaitu terkait
keabsahan praktik wakaf menurut pandangan Fiqh dan peraturan perundangan
Indonesia. Seperti yang kita tahu, membicarakan keabsahan wakaf tidak terlepas
dari pengertian sah tidaknya sebuah wakaf dilihat dari segi hukum, dalam
pemahaman ini yaitu sesuatu hal yang menjadi penentu sah tidaknya sebuah
praktik wakaf baik dari segi legalitas serta kesahihannya terkumpulnya syarat
dan rukun. Jadi bisa disimpulkan wakaf bisa dikatakan sah jika segala syarat dan
rukun terpenuhi secara hukum, dalam hal ini yaitu menurut pendapat ulama Fiqh
dan perundangan Indonesia. Dalam hal ini keabsahan praktik wakaf di Daerah
Pebayuran KM. 08 Kertasari Kec. Pebayuran Kab. Bekasi.
2. Perumusan Masalah
Agar lebih terfokus pada pembahasan. penulis akan rumuskan sesuai
permasalahan terkait masalah ketimpangan proses sertifikasi tanah wakaf di
Daerah Pebayuran KM. 08 Kertasari Kec. Pebayuran Kab. Bekasi yang tidak
sesuai dengan UU No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf pada pasal 32 dan Pasal
68. Yang mana dalam pasal tersebut diwajibkan kepada seluruh pihak untuk
mendaftarkan harta benda wakaf kepada pihak berwenang. kenyataannya banyak
yang tidak mendaftarkannya rumusan tersebut penulis rinci dalam bentuk
pertanyaan sebagai berikut:
13
a. Apa saja yang menjadi penentu sah tidaknya sebuah wakaf perspektif
fiqh?
b. Bagaimanakah keabsahan wakaf perspektif perundangan-undangan di
Indonesia?
c. Bagaimanakah keabsahan praktik wakaf daerah Pebayuran Kab. Bekasi
jika dilihat dari segi fiqh dan perundangan-undangan Indonesia?
C. Tujuan Penelitian
Penulis mengadakan penelitian ini karena adanya hal-hal yang sekiranya
penulis ingin capai sehingga sampai pada beberapa kesimpuan awal dan
selanjutnya akan mendapatkan kesimpulan akhir yang nantinya akan menjadi
karya tulis yang baik dan bermutu, dan akan melahirkan saran dan analisis yang
sesuai. Ada beberapa hal pokok yang ingin segera penulis capai dan ketahui di
antaranya adalah:
1) Untuk mengetahui apa saja yang menjadi penentu sah tidaknya sebuah
wakaf menurut perspektif fiqh.
2) Dapat mengetahui ketentuan sah tidaknya wakaf perspektif perundangan-
undangan di Indonesia.
3) Mengetahui keabsahan praktik wakaf daerah Pebayuran Kab. Bekasi jika
dilihat dari segi fiqh dan perundangan-undangan Indonesia.
14
D. Manfaat Penelitian
1. Teoritis
Penelitian ini sebagai upaya perluasan wawasan keilmuan hukum Islam
terlebih dalam bidang perwakafan, serta peningkatan keterampilan menulis karya
ilmiah dalam rangka mengembangkan ilmu pengetahuan hukum Islam, dan juga
diharapkan dapat dijadikan pertimbangan dan tambahan referensi untuk
mendalami hukum Islam.
2. Praksis
Penelitian ini bermanfaat bagi akademisi, hakim, mahasiswa, santri serta
para penggiat kajian keilmuan hukum Islam, sebagai acuan dalam mengemban
memahami hukum perwakafan di Indonesia yang berdimensikan hukum Islam,
serta sebagai sebagai sumbangsih pikiran dari peneliti dalam kerangka
pembangunan hukum Islam yang berkarakter Indonesia yang berkembang sesuai
dengan zaman dan tempat.
E. Metode Penelitian
Adapun metode penelitian yang penulis lakukan adalah penelitian
kualitatif, yaitu dengan menggunakan penelitian lapangan (field research) dan
penelitian kepustakaan (library research). Metode kepustakaan (library
research) didasarkan dengan mengumpulkan data-data dan bahan-bahan
penelitian melalui studi kepustakaan yang diperoleh melalui kajian undang-
15
undang dan peraturan-peraturan yang ada di bawahnya serta bahan-bahan yang
lainnya yang berhubungan dengan data-data penelitian.23
a. Jenis Penelitian dan Pendekatan
Jenis penelitian yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah
1) Penelitian yuridis normatif yaitu penelitian yang difokuskan untuk mengkaji
penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum baik hukum islam
(fiqh) maupun hukum positif.24
2) Penelitian kepustakaan (library research) yaitu penelitian yang dilakukan
dengan cara mengkaji, menganalisa serta merumuskan buku-buku, literatur
dan yang lainnya yang ada relevansinya dengan judul skripsi ini.
Sedangkan pendekatan yang dilakukan dalam penyusunan skripsi ini
menggunakan: pendekatan konseptual (conseptual approach).25
Pendekatan ini
beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang dalam
hukum Islam. Dengan mempelajari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin
hukum Islam, peneliti akan menemukan ide-ide yang melahirkan pengertian-
pengertian umum terkait keabsahan wakaf, konsep pencatatan ikrar dan
pendaftaran wakaf.
23
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: Rineka
Cipta, 2006). Lihat pula Afifi Fauzi Abbas, Metodologi Penelitian, (Jakarta: Adelina Offset,
2010), hlm.158.
24
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum Normatif, (Malang:
Bayumedia Publishing, 2008), hlm. 294.
25
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta, Kencana, 2011), cet. 7, hlm. 137
16
b. Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data bahan hukum
primer yaitu bahan-bahan mengikat yakni, data-data terkait status tanah tersebut,
seperti akta otentik, gambar-gambar denah tanah wakaf serta pandangan para
petinggi terkait tanah wakaf tersebut. Selain itu data primer juga dapat diperoleh
dari hasil wawancara kepada para pihak seperti nadzir (KH. Makrus), saksi
wakaf (Ust. Mustofa) dan PPAIW Kec. Pebayuran.
Adapun sumber data sekunder lainnya yaitu bahan-bahan hukum Islam
(fiqh) serta peraturan perundang-undangan yang memberikan penjelasan
mengenai bahan primer seperti UU No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf,
Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 Tentang Perwakafan Tanah Milik,
Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Begitu juga bahan
lainnya yang terdiri dari buku-buku para ahli hukum Islam yang berpengaruh,
maupun ahli hukum positif, jurnal-jurnal hukum Islam, pendapat para sarjana.26
Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti
kamus, encyclopedia, dan lain-lain.27
26
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif suatu tinjauan
singkat, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), hlm. 13.
27
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum Normatif, hlm. 296.
17
c. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Dalam upaya pengumpulan data yang diperlukan, maka digunakan
metode sebagai berikut:
1. Metode Dokumentasi
Metode dokumentasi adalah mencari hal-hal atau variabel berupa catatan,
transkrip, buku, surat kabar, media online, majalah, prasasti, notulen, rapat,
agenda, dan sebagainya.28
Dalam penelitian ini, metode dokumentasi dilakukan
dengan mengumpulkan pemotrentan wilayah tempat wakaf, pemotretan akta
ikrar wakaf, denah wakaf yaitu Kertasari Pebayuran Kab. Bekasi, dan foto
wawancara dengan narasumber.
2. Metode Interview
Wawancara atau interview merupakan tanya jawab secara lisan dimana dua
orang atau lebih berhadapan secara lansung. Dalam proses interview ada dua
pihak yang menempati kedudukan yang berbeda. Satu pihak sebagai berfungsi
sebagai pencari informasi atau interviewer sedangkan pihak lain baerfungsi
sebagai pemberi informasi atau informan (responden).29
Proses wawancara ini
akan diajukan kepada pihak yang terkait dalam skripsi ini, seperti langsung
kepada narasumber pertama yaitu KH. Mahrus Amin sebagai pimpinan
yayasan Hidayatunnajah, Narasumber kedua yaitu Drs. KH. Mustofa Hadi
28
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif suatu tinjauan
singkat, hlm. 201.
29
Soemitro Romy H. Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990),
hlm. 71.
18
Chirzin sebagai saksi ikrar wakaf dan terkakhir kepada Kepala PPAIW Kec.
Pebayuran.
3. Observasi
Adapun Observasi adalah merupakan sebuah proses penelitian secara
mendalam untuk mengetahui proses perubahan status tanah wakaf yang terjadi di
Pebayuran Kab. Bekasi.
d. Teknik Analisis Bahan
Adapun analisis bahan terkait judul skripsi merupakan langkah-langkah
yang berkaitan dengan bahan-bahan yang telah dikumpulkan untuk menjawab
isu yang telah dirumuskan dalam rumusan masalah.
Pada penelitian ini, pengolahan bahan studi, hakikatnya merupakan
kegiatan untuk mengadakan sistematisasi terhadap bahan-bahan yang telah ada.
Sistematisasi berarti membuat klasifikasi terhadap bahan-bahan tertulis tersebut
untuk memudahkan pekerjaan analisis.
Analisis terkait skripsi ini dengan mempergunakan antara lain:
1) Mengumpulkan hasil wawancara beserta analisis buku-buku mengenai
pandangan
2) Adapun yang terakhir merupakan hasil analisis penulis terkait
Pandangan Status Tanah Wakaf tersebut setelah dilihat dari hukum
Islam (fiqh) dan Hukum Positif.
19
e. Teknik Penulisan
Dalam penulisan dan penyusunan skripsi ini, penulis berpedoman pada
prinsip-prinsip yang telah diatur dan dibukukan dalam buku pedoman penulisan
skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta tahun 2014.
E. Review Terdahulu
Untuk melihat keaslian skripsi yang ditelusuri oleh penulis, perlu kiranya
melakukan review terdahulu guna melihat sejauh mana pembahasan terkait judul
skripsi yang penulis telusuri memiliki persamaan (dalam hal yang bukan
substansi) dan perbedaan dalam hal substansi. Oleh sebab itu penulis hadir dalam
dua review terdahulu yang hampir mirip, yaitu:
1. Rizal Anshor, Fungsi Dan Kewenangan Pejabat Pembuat Aktra Ikrar
Wakaf (PPAIW) Terhadap Pendaftaran Tanah Wakaf studi kasus
PPAIW Kec. Kebayoran Baru, (Jakarta: Fakultas syariah dan hukum,
2011).
Pembahasan: dalam skripsi ini di bahas mengenai fungsi dan
wewenang pejabat pembuat aktra ikrar wakaf (PPAIW) dalam hal
pendaftaran tanah wakaf. Upaya agar tidak terjadinya sengketa tanah wakaf
bahwa UU no. 41/2004 tentang Wakaf dan PP No. 28/1977 tentang tanah
wakaf hak milik menjadi hal penting ketika tanah wakaf itu dicatatkan
kepada PPAIW. Bahkan dalam peraturan menteri agama no. 1 tahun 1978
20
tentang peraturan pelaksana peraturan pemerintah no. 28 tahun 1977 tentang
tanah wakaf hak milik mengenai pejabat yang ditunjuk untuk pembuatan
akta ikrar wakaf yaitu PPAIW dengan lebih khusus KUA (kantor urusan
agama) daerah setempat menjadi pejabat pembuat akta ikrar wakaf. Melihat
kewenangan penyelenggaraan administrasi wakaf yang berada di tingkat
kecamatan menjadi hal yang sangant penting ketika pencatatan wakaf itu
dilangsungkan. Dalam skipsi ini yang menjadi sorotan yaitu tanah wakaf di
wilayah Kec. Kebayoran baru. Yang mana ada sekitar 85 tanah wakaf namun
terdapat kendala-kendala—sehingga memunculkan sengketa tanah wakaf di
daerah setempat. Dalam hal ini, bahwa PPAIW menjadi sangat fundamental
ketika tugas, peran sertan implementasi kewenangan PPAIW terhadap
pendataan maupun pengawasan terhadap tanah wakaf tersebut. Namun
terjadi ketidak sinkronan antara pemahaman masyarakat dengan tujuan
pencatatan wakaf itu sendiri. Pemahaman Masyarakat yang sangat minim
menjadi kendala serta menimbulkan permasalahan besar sehingga timbul
konflik akibat ketidaktahuan pencatatan atau pendaftara akta ikrar wakaf
kepada PPAIW daerah setempat. Adapun metodelogi yang digunakan dalam
sripsi ini adalah metode kuantitatif yaitu mengolah data statistik yang tersaji
dengan ditambah denegan metode wawancara untuk mendapatkan hasil yang
lebih maksimal dalam penelitian ini.
21
2. Naufal Azhar, Peranan Ppaiw (Pejabat Pembuat Akta Ikrar
Wakaf)Dalam Mencegah Terjadinya Sengketa Wakaf di KUA Kec.
Bekasi Barat. (Jakarta: Fakultas Syariah Dan Hukum, 2011).
Pembahasan: Adapun pembahasan Dalam skripsi ini yaitu pelaksanaan
ikrar wakaf dilaksanakan oleh para pihak yang berwenang, seperti
pengucapan ikrar wakaf harus dilaksanakan didepan PPAIW (pejabat
pembuat akta ikrar wakaf) sesuai dengan PP No. 1 tahun 1978 bahwa KUA
sebagai tim yang ditunjuk dalam hal itu. Dalam hal ini PPAIW berkewajiban
untuk meneliti kehendak wakif, mengesahkan nazhir, meneliti saksi ikrar
wakaf, menyampaikan akta ikrar wakaf beserta salinannya dalam waktu 1
bulan sejak dibuatnya. Dalam hal lain, agar tidak terjadinya sengketa tanah
wakaf, dalam pasal 40 UU no. 41/2004 tentang Wakaf bahwa benda wakaf
yang sudah diwakafkan itu dilarang untuk dijadikan jaminan, disita,
dihibahkan, dijual, diwariskan, ditukar atau dialihkan dalam bentuk
pengalihan hak lainnya. Namun ketika terjadi pelanggaran perjanjian oleh
nazhir dengan seorang wakif maka sengketa tersebut harus diselesaikan
dengan cara musyawarah. Lebih jelasnya dalam pasal 62 UU no. 41/2004
tentang Wakaf manakala terjadi sengketa maka sengketa tersebut ditempuh
lewat jalur musyawarah (untuk mencapai mufakat), apabila tidak terjadi
mufakat maka dapat diselesaikan melalui mediasi, arbitrase atau pengadilan.
Kaitannya dengan wilayah yang diteliti yaitu sejauh mana peranan PPAIW
dalam mencegah sengketa tanah wakaf. Adapun metode penelitian yang
22
digunakan dalam skripsi ini adalah menggunakan pendekatan yuridis
sosiologis yakni mengkaji UU no. 41/2004 tentang perwakafan, sedangkan
jenis penelitian yang digunakan adalah melalui pendekatan kualitatif.
F. Sistematika Penulisan
Agar pembahasan studi ini terarah, maka sistematika penulisannya
sebagai berikut:
BAB 1 Pendahuluan
Terdiri dari latar belakang masalah, pembatasan masalah,
rumusan masalah, tujuan penelitian, metode penelitian, dan
sistematika penulisan.
BAB II Konsep Hukum Wakaf
Bab ini terdiri dari Pengertian Wakaf, Dasar Hukum Wakaf,
Syarat dan Rukun Wakaf, dan terakhir Sejarah Hukum
Perwakafan di Indonesia.
BAB III Kronologis Masalah Wakaf di Daerah Pebayuran Kab. Bekasi-
Jawa Barat
Bab ini menjelaskan terkait masalah, Kronologis Wakaf, Pokok
Permasalahan dan Data-data Terkait yang menjadi bukti praktik
wakaf.
BAB IV Keabsahan Praktik Wakaf Daerah Pebayuran Kab. Bekasi
Perspektif Fiqh dan Perundangan Indonesia.
23
Di bab ini penulis menjelaskan tentang Keabsahan Wakaf
Perspektif Fiqh, Ketentuan Sah Wakaf Perspektif Perundangan
di Indonesia dan Analisis Kasus Praktik Wakaf Daerah
Pebayuran Kab. Bekasi Perpektif Fiqh dan Perundangan
Indonesia.
BAB V Penutup
Meliputi Kesimpulan dan Saran-saran.
24
BAB II
KONSEP HUKUM WAKAF
Dalam bab II, penulis memberikan pembahasan tentang konsep hukum
wakaf secara umum beserta penjelasannya masing-masing. Menurut penulis hal
itu menjadi relevan untuk disajikan dalam bab ini, guna tidak terjadi
kesalahpahaman. Untuk lebih jelasnya di bawah ini penulis sajikan pengertian
wakaf, konsep wakaf dan sejarah peraturan perwakafan di Indonesia.
A. Pengertian Wakaf
Jika ditelusuri dengan seksama, kata “wakaf” terambil atau diilhami dari
kata “qifuhum” dalam surat al-Shaffat ayat 24, kata “waqifu” dalam surat al-
An'am ayat 27 dan 30, serta dalam surat Saba‟ayat 31 dengan kata “mauqufun”.
Dari keempat ayat tersebut, terjemahan al-Qur‟an Departemen Agama RI
memaknai kata “qifuhum” dengan “tahanlah mereka” (di tempat perhentian),
kemudian kata “waqifu” dengan makna “mereka dihadapkan”, dan kata
“mauqufun” bermakna “dihadapkan”.1
Adapun bentuk jam a‟ (plural) dari kata wakaf yaitu “auqâf” berasal dari
kata benda abstrak (masdar) atau kata kerja (fi‟il) yang dapat berfungsi sebagai
kata kerja transitif (fi‟il muta‟addi) atau kata kerja intransitif (fi‟il lazim), berarti
1 Suhrawardi K. Lubis, dkk, Wakaf dan Pemberdayaan Umat, (Jakarta: Sinar Grafika,
2010), hal.8. lihat juga Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 1997), hlm. 481.
25
menahan atau menghentikan sesuatu dan berdiam di tempat.2 Dengan kata lain,
perkataan waqf yang menjadi wakaf dalam bahasa Indonesia berasal dari kata
bahasa Arab: waqafa – yaqifu – waqfan yang berarti ragu-ragu, berhenti,
memperhentikan, memahami, mencegah, menahan, mengatakan,
memperlihatkan, meletakkan, memperhatikan, mengabdi dan tetap berdiri.3 Kata
al-waqf semakna dengan al-habs bentuk masdar dari habasa – yahbisu – habsan,
artinya berhenti, berdiri, berdiam di tempat atau menahan.4
Dalam pengertian istilah, wakaf juga bisa berarti menahan atau
menghentikan harta yang dapat diambil manfaatnya guna kepentingan kebaikan
untuk mendekatkan diri kepada Allah.5 Menurut Muhammad Jawad Mughniyah,
wakaf adalah sejenis pemberian yang pelaksanaannya dilakukan dengan jalan
menahan (pemilikan) asal, lalu menjadikan manfaatnya berlaku umum.6 Menurut
Amir Syarifuddin, wakaf adalah menghentikan pengalihan hak atas suatu harta
dan menggunakan hasilnya bagi kepentingan umum sebagai pendekatan diri
2 Didin Hafidhuddin, Islam Aplikatif, (Jakarta: Gema Insani Press, 2003), hlm. 120.
3 Ahmad Warson Munawir, al-Munawir, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), edisi ke-
2, hlm. 1576
4 Suhrawardi K. Lubis, dkk, Wakaf dan Pemberdayaan Umat, (Jakarta: Sinar Grafika,
2010), hlm.3
5 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997),
hlm. 490
6 Muhammad Jawad Mughniyah, al-Fiqh „Ala al-Mazahib al-Khamsah, Terj. Masykur,
Afif Muhammad, Idrus al-Kaff, "Fiqih Lima Mazhab, (Jakarta: Lentera, 2001), hal. 635
26
kepada Allah.7 Sedangkan menurut As Shan'ani, wakaf adalah menahan harta
yang dapat diambil manfaatnya tanpa menghabiskan atau merusakkan bendanya
(ainnya) dan digunakan untuk kebaikan.8
Dalam kajian literatur fiqh klasik, para ulama berbeda pendapat dalam
memberi pengertian wakaf. Perbedaan tersebut membawa akibat yang berbeda
pada hukum yang ditimbulkan. Definisi wakaf menurut ahli fiqh adalah sebagai
berikut:9
Pertama, Hanafiyah mengartikan wakaf sebagai menahan materi benda
(al-„ain) milik Wakif dan menyedekahkan atau mewakafkan manfaatnya
kepada siapapun yang diinginkan untuk tujuan kebajikan. Definisi wakaf
tersebut menjelaskan bahawa kedudukan harta wakaf masih tetap tertahan atau
terhenti di tangan Wakif itu sendiri. Dengan artian, Wakif masih menjadi
pemilik harta yang diwakafkannya, manakala perwakafan hanya terjadi ke atas
manfaat harta tersebut, bukan termasuk asset hartanya.
Kedua, Malikiyah berpendapat, wakaf adalah menjadikan manfaat suatu
harta yang dimiliki (walaupun pemilikannya dengan cara sewa) untuk diberikan
kepada orang yang berhak dengan satu akad (shighat) dalam jangka waktu
7 Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, (Jakarta: Prenada Media, 2003), hlm. 223
8 Muhammad bin Ismail al-Kahlani as-San'ani, Subul as-Salam, Juz 3, (Cairo: Syirkah
Maktabah Mustafa al-Babi al-Halabi, 1950), hlm. 114.
9 Penulis rangkum definisi wakaf dari bukunya M. Abid Abdullah al-Kabisi, Ahkam al-
Waqf fi al-Syari‟ah al-Islamiyyah, edisi terjemahan Hukum Wakaf, (Depok: Dompet Dhuafa
Republika dan IIMan, 2004), hal. 40-59
27
tertentu sesuai dengan keinginan Wakif. Definisi wakaf tersebut hanya
menentukan pemberian wakaf kepada orang atau tempat yang berhak saja.
Ketiga, Syafi„iyah mengartikan wakaf dengan menahan harta yang bisa
memberi manfaat serta kekal materi bendanya (al-„ain) dengan cara
memutuskan hak pengelolaan yang dimiliki oleh Wakif untuk diserahkan kepada
Nazhir yang dibolehkan oleh syariah. Golongan ini mensyaratkan harta yang
diwakafkan harus harta yang kekal materi bendanya (al-„ain) dengan artian harta
yang tidak mudah rusak atau musnah serta dapat diambil manfaatnya.
Keempat, Hanabilah mendefinisikan wakaf dengan bahasa yang
sederhana, yaitu menahan asal harta (tanah) dan menyedekahkan manfaat yang
dihasilkan.10
Keempat definisi wakaf menurut ulama klasik ternyata memberikan
inspirasi definisi wakaf dalam perundangan Indonesia, seperti Undang-undang
Nomor 41 tahun 2004, bahwa wakaf merupakan perbuatan hukum Wakif untuk
memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk
dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan
kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut
syariah.11
10
M. Abid Abdullah al-Kabisi, Ahkam al-Waqf fi al-Syari‟ah al-Islamiyyah, edisi
terjemahan Hukum Wakaf, (Depok: Dompet Dhuafa Republika dan IIMan, 2004), hlm. 59
11
Pasal 1 UU No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf
28
Dari beberapa definisi wakaf di atas, dapat disimpulkan bahwa wakaf
bertujuan untuk memberikan manfaat atau faedah harta yang diwakafkan kepada
orang yang berhak dan dipergunakan sesuai dengan ajaran syariah Islam. Hal ini
sesuai dengan fungsi wakaf yang disebutkan pasal 5 UU no. 41 tahun 2004 yang
menyatakan wakaf berfungsi untuk mewujudkan potensi dan manfaat ekonomis
harta benda wakaf untuk kepentingan ibadah dan untuk memajukan
kesejahteraan umum.
B. Dasar Hukum Wakaf
Secara umum, ayat al-Quran yang menerangkan konsep wakaf tidak
terlihat secara jelas. Adapun dasar utama disyariatkannya wakaf lebih dipahami
berdasarkan pemahaman konteks ayat al-Quran itu sendiri, yaitu wakaf
merupakan sebuah amal kebajikan.12
Para ulama dalam menerangkan konsep
wakaf ini didasarkan pada keumuman ayat-ayat al-Quran yang menjelaskan
tentang infaq fi sabilillah. Di antara ayat-ayat tersebut antara lain:
12
Achmad Djunaidi dan Tbobieb, Menuju Era Wakaf Produktif, (Depok: Mumtaz
Publishing, 2008), cet. Ke- 5, hal. 66
29
13
Artinya : "Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah)
sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami
keluarkan dari bumi untuk kamu. dan janganlah kamu memilih yang buruk-
buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, Padahal kamu sendiri tidak mau
mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. dan
ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji. QS. al-Baqarah:267)
14
Artinya : "Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang
sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai.
dan apa saja yang kamu nafkahkan Maka Sesungguhnya Allah
mengetahuinya." (Q.S Ali Imran:92)
Adapun Hadis yang menjadi dasar dari wakaf yaitu Hadis yang
menceritakan tentang kisah Umar bin al-Khaththab ketika menerima tanah di
Khaibar, yaitu:
13
QS. al-Baqarah: 267
14
Q.S Ali Imran: 92
30
عه اثه عمر رض اهلل عىمب لبل: أصبة عمر أرضب ثخجر فأتى انىج صهى اهلل عه
أصجت أرضب ثخجر نم أصت مضبال لط أوفس سهم ستأمر فب فمبل: برسل اهلل
عىدي مى فمب تأمرو ث. فمبل ن رسل اهلل صهى اهلل عه سهم, إن شئت حجست
أصهب تصدلت ثب فتصدق ثب عمر, أوب التجبع التت الترث. لبل تصدق ثب فى
الجىبح عهى مه انفمراء فى انمرثى فى انرلبة فى سجم اهلل اثه انسجم انضف
نب أن أكم مىب ثبنمعرف طعم غر متمل مبال)متفك عه( انهفظ نمسهم ف
راة نهجخبري: تصدق ثأصهب الجبع الت نكه ىفك ثمري15.
"Dari Ibnu Umar ra. berkata : 'Bahwa sahabat Umar ra. memperoleh
sebidang tanah di Khaibar, kemudian Umar ra. menghadap Rasulullah saw.
untuk meminta petunjuk. Umar berkata: "Hai Rasulullah saw., saya mendapat
sebidang tanah di Khaibar, saya belum mendapatkan harta sebaik itu, maka
apakah yang engkau perintahkan kepadaku?" Rasulullah saw. bersabda: "Bila
engkau suka, kau tahan (pokoknya) tanah itu, dan engkau sedekahkan
(hasilnya). "kemudian Umar mensedekahkan (tanahnya untuk dikelola), tidak
dijual, tidak dihibahkan dan tidak diwariskan. Ibnu Umar berkata: "Umar
menyedekahkannya (hasil pengelolaan tanah) kepada orang-orang fakir, kaum
kerabat, hamba sahaya, sabilillah, ibnu sabil dan tamu. Dan tidak dilarang bagi
yang mengelola (Nadhir) wakaf makan dari hasilnya dengan cara yang baik
(sepantasnya) atau memberi makan orang lain dengan tidak bermaksud
menumpuk harta" (HR. Muslim).
C. Syarat dan Rukun Wakaf
Agar tidak terhindar salah pengertian serta memperjelas pemahaman
syarat dan rukun wakaf, maka terlebih dahulu penulis mengemukakan
15
HR. Muslim
31
pengertian syarat dan rukun. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, rukun
adalah sesuatu yang harus dipenuhi untuk sahnya suatu pekerjaan,16
sedangkan
syarat adalah ketentuan (peraturan, petunjuk) yang harus diindahkan dan
dilakukan.17
Menuru Wahhab Khalaf bahwa syarat adalah sesuatu yang keberadaan
suatu hukum tergantung pada keberadaan sesuatu itu, dan dari ketiadaan sesuatu
itu diperoleh ketetapan ketiadaan hukum tersebut.18
Yang dimaksudkan adalah
keberadaan secara syara‟, yang menimbulkan efeknya. Sedangkan rukun, dalam
terminologi fikih, adalah sesuatu yang dianggap menentukan suatu disiplin
tertentu, di mana ia merupakan bagian integral dari disiplin itu sendiri. Atau
dengan kata lain rukun adalah penyempurna sesuatu, di mana ia merupakan
bagian dari sesuatu itu.19
Dalam pengertian wakaf, ketika menyebutkan rukun wakaf maka secara
otomatis terkandung didalamnya syarat-syarat wakaf, adapun unsur (rukun)
wakaf dan syarat yang menyertainya adalah sebagai berikut:
a) Waqif (orang yang mewakafkan).
16
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 2004), hlm. 966.
17
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 2004), hlm. 1114
18
Abdul Wahhab Khalaf, „Ilm Usul al-Fiqh ,(Kuwait: Dar al-Qalam, 1978), hlm. 118.
19
M. Abid Abdullah al-Kabisi, Ahkam al-Waqf fi al-Syari‟ah al-Islamiyyah, edisi
terjemahan Hukum Wakaf, (Depok: Dompet Dhuafa Republika dan IIMan, 2004), hlm. 87
32
Syarat wakif adalah sehat akalnya, dalam keadaan sadar, tidak dalam
keadaan terpaksa atau dipaksa, dan telah mencapai umur baligh.20
b) Mauquf atau benda yang diwakafkan
Syarat-syarat harta benda yang diwakafkan yang harus dipenuhi sebagai
berikut:
Benda wakaf dapat dimanfaatkan untuk jangka panjang, tidak sekali
pakai;
benda wakaf dapat berupa milik kelompok atau badan hukum;
hak milik wakif yang jelas batas-batas kepemilikannya;
benda wakaf itu dapat dimiliki dan dipindahkan kepemilikannya;
benda wakaf dapat dialihkan hanya jika jelas-jelas untuk maslahat
yang lebih besar;
benda wakaf tidak dapat diperjual belikan, dihibahkan atau
diwariskan.
c) Mauquf 'alaih (tujuan wakaf)
Untuk menghindari penyalahgunaan wakaf, maka wakif perlu
menegaskan tujuan wakafnya. Apakah harta yang diwakafkan itu untuk
menolong keluarganya sendiri sebagai wakaf keluarga (waqf ahly), atau
untuk fakir miskin, dan lain-lain, atau untuk kepentingan umum (waqf
khairy). Yang jelas tujuannya adalah untuk kebaikan, mencari keridhaan
20
Abi Yahya Zakariya al-Anshary, Fath al-Wahhab, Juz I, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th),
hlm. 256
33
Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya.21
Kegunaan wakaf bisa untuk
sarana ibadah murni, bisa juga untuk sarana sosial keagamaan lainnya
yang lebih besar manfaatnya.
d) Sighat Wakaf
Adapun pengertian shighat wakaf ialah segala ucapan, isyarat orang yang
bertekad untuk menyatakan kehendak dan menjelaskan apa yang
diinginkannya dalam hal transaksi wakaf. Shighat wakaf cukup dengan
ijab (kalimat memberi) saja dari Wakif tanpa memerlukan qabul dari
mauquf „alaihi. Begitu juga qabul tidak menjadi syarat sahnya wakaf dan
tidak juga menjadi syarat untuk berhaknya wakaf mauquf „alaihi
memperoleh manfaat harta wakaf, kecuali pada wakaf yang tidak
tertentu, hal ini menurut pendapat sebagian mazhab.22
D. Sejarah Hukum Perwakafan di Indonesia
Sejak dulu sebelum kermerdekaan Indonesia tiba, pelaksanaa wakaf
masih sangat sederhana, tidak disertai administrasi, cukup dilakukan ikrar
(pernyataan) secara lisan, kemudian masalah pengurusan dan pemeliharaaan
tanah wakaf diserahkan kepada nadzir. Karena sistem pengadministrasian yang
kurang baik inilah terdapat tanah-tanah wakaf yang bermunculan permasalahan,
21
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997),
hlm. 323
22
Direktorat Pemberdayaan Wakaf: Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam Depag RI,
FIqih Wakaf, (Dirjen BIMAS Depag RI, 2006), hlm. 55
34
seperti bentuknya yang hilang atau diambil alih oleh orang-orang yang tidak
bertanggung jawab, sengketa melalui pengadilan dan lain-lain.23
Dalam sejarahnya, pengaturan perwakafan di Indonesia bertujuan untuk
mengatur dan mengawasi tanah wakaf telah banyak dikeluarkan sejak zaman
pemerintah Kolonial Hindia Belanda, pemerintah zaman kemerdekaan sampai
terbitnya perundang-undangan yang mengatur tentang perwakafan, antara lain
Undang-undang No. 5 Tahun 1960 (UUPA), Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun
1977 tentang Perwakafan Tanah Milik jo. PMDN No. 6 Tahun 1977 dan PMA
No. 1 Tahun 1978, dan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang
Kompilasi Hukum Islam hingga lahirnya Undang-Undang No. 41 Tahun 2004
Tentang Wakaf. Di bawah ini merupakan sejarah awal mula pengaturan
perwakafan di Indonesia sejak zaman kolonial hingga sekarang ini.
1. Peraturan Wakaf Zaman Kolonial Hindia Belanda
Pada zaman Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda telah dikeluarkan
peraturan-peraturan, yaitu:
a. Surat Edaran Sekretaris Gubernemen Pertama tanggal 31 Januari 1905 No. 435
sebagaimana termuat dalam Bijblad 1905 Nomor 6196 tentang Toezict opden
bouw van Mohammedaansche bedenhuizen. Surat edaran ini ditujukan kepada
para kepala wilayah mengharuskan para Bupati membuat daftar rumah-rumah
23
Asmuni Mth, Wakaf: Seri Tuntunan Praktis Ibadah, (Yogyakarta: PT. Pustaka Insan
Madani, 2007), hlm. 79
35
ibadat bagi orang Islam. Dalam daftar itu harus dimuat asal-usul tiap rumah
ibadat dipakai shalat jum'at atau tidak, keterangan tentang segala benda yang
tidak bergerak yang oleh pemiliknya ditarik dari peredaran umum, baik dengan
nama wakaf atau dengan nama lain.
b. Surat Edaran Sekretari Gubernemen tanggal 04 Juni 1931 Nomor 1361/A
termuat dalam Bijblad No. 125/3 tahun 1931 tentang Toezict van de Regering op
Mohammedaansche bedehuizen Vrijdagdiensten en Wakafs. Surat edaran ini
merupakan kelanjutan dan perubahan dari Bijblad No. 6196, yaitu tentang
pengawasan Pemerintah atas rumah-rumah peribadatan orang Islam, sembahyang
jum'at dan wakaf. Untuk mewakafkan tanah tetap harus ada izin Bupati, yang
menilai permohonan itu dari segi tempat wakaf dan maksud pendirian.
c. Surat Edaran Sekretari Gubernemen tanggal 27 Mei 1935 Nomor 1273/A
termuat dalam Bijblad No. 13480 tahun 1935 tentang Toezict van de Regering op
Mohammedaansche bedehuizen Vrijdagdiensten en Wakafs. Dalam surat edaran
ini antara lain ditentukan bahwa Bijblad No. 61696 menginginkan registrasi
tanah wakaf yang dapat dipercaya. Maksud untuk mewakafkan tetap harus
diberitahukan kepada Bupati agar ia mendapat kesempatan untuk mendaftarkan
wakaf tersebut dan meneliti apakah ada peraturan umum atau peraturan setempat
yang melanggar dalam pelaksanaan maksud itu.
36
2. Peraturan Wakaf Masa kemerdekaan
Pada masa kemerdekaan, masalah wakaf mulai mendapat perhatian lebih
dari pemerintah indonesia, antara lain melalui pemerintah agama. Walaupun
undang undang tentang perwakafan tanah lahir 15 tahun setelah Indonesia
merdeka, namun sebelum itu pemerintah melalui pemerintah departemen agama
telah melahirkan beberapa petunjuk tentang pelaksanaan wakaf, antara lain
sebagai berikut:
a) Petunjuk tentang perwakafan tanah tanggal 22 desember 1953
b) Petunjuk tentang wakaf yang bukan milik kemasjidan, merupakan tugas
bagian D (ibadah sosial) jawatan urusan agama berdasarkan surat edaran
jawatan urusan agama tanggal 8 oktober 1956 nomor 3/D/1956
c) Petunjuk tentang prosedur perwakafan tanah berdasarkan surat edaran
jawatan urusan urusan agama nomor 5/1956.
Petunjuk dan surat edaran tentang wakaf, baik produk pemerintah kolonial
Belanda maupun yang dibuat oleh pemerintah Indonesia sendiri, tenyata masih
banyak mengandung kelemahan di sana sini, terutama belum memberikan
kepastian hukum bagi tanah tanah wakaf. Untuk menerbitkan itu semua,
pemerintah RI merasa perlu melakukan pembaruan hukum agraria. Maka, pada
tahun 1960 lahirlah Undang-undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Pokok
Dasar Agraria atau biasa disebut dengan undang undang pokok agraria (UUPA).
37
Dalam undang-undang tersebut kita dapat temui beberapa pasal mengenai
perwakafan, antara lain pada pasal 5, pasal 14, dan pasal 49 UU No. 5 Tahun
1960.24
Misalnya saja pasal 49 mengatakan bahwa hak milik tanah-tanah
keagamaan dan sosial, sepanjang dipergunakan untuk usaha dalam bidang
keagamaan sosial, diakui dan dilindungi.25
Artinya dalam pasal 49 UUPA
menjelaskan tentang tanah wakaf yang diakui oleh negara.
Seiring berjalannya waktu, sebagai realisasi ketentuan pasal 49 di atas
dikeluarkanlah pula peraturan pemerintah nomor 28 tahun 1977 tanggal 17 mei
1977 tentang Perwakafan Tanah Milik, PP ini terdiri atas tujuh bab, delapan belas
pasal, meliputi pengertian tentang wakaf syarat syarat sah wakaf, fungsi wakaf,
tatacara wakaf, pendaftaran wakaf, perubahan, penyelesaian perselisiahan, dan
pengawasan wakaf, ketentuan pidana, serta ketentuan peralihan.
Dikeluarkan PP nomor 28 tahun1977 yang disertai aturan pelaksanaannya,
sebenarnya bertujuan menjadikan wakaf sebagai suatu lembaga keagaamaan yang
dapat dipergunakan sebagai salah satu sarana pengembangan kehidupan
kenegaraan, khususnya bagi umat Islam.26
24
Asmuni Mth, Wakaf: Seri Tuntunan Praktis Ibadah, (Yogyakarta: PT. Pustaka Insan
Madani, 2007), hlm. 85
25
Asmuni Mth, Wakaf: Seri Tuntunan Praktis Ibadah, (Yogyakarta: PT. Pustaka Insan
Madani, 2007), hlm. 86
26
Asmuni Mth, Wakaf: Seri Tuntunan Praktis Ibadah, (Yogyakarta: PT. Pustaka Insan
Madani, 2007), hlm. 89
38
Tujuan ini sebernarnya berdasarkan kenyataan bahwa keadaan perwakafan
tanah tidak atau belum diketahui jumlah, bentuk, penggunaan, dan pegelolaanya,
disebabkan tidak adanya ketentuan administrasi yang mengatur tentang itu. Jadi,
pada waktu itu PP nomor 28 tahun 1977 memang merupakan hal urgen, terutama
untuk kepentingan seperti tersebut diatas, serta untuk memberi ketepatan hukum
dan kejelasan hukum tentang tanah perwakafan sesuai pasal 49 ayat 3 UUPA,
dengan hadirnya PP nomor 28 tahun 1977, berbagai penyimpangan dan sengketa
wakaf diharapkan dapat diminimalkan.
Dalam kaitan ini, departemen agama RI melakukan berbagai upaya untuk
mengurangi penyimpangan dan sengketa wakaf pasca lahirnya PP No. 28 tahun
1977. Diantara langkah langkah yang diambil oleh departemen agama adalah
sebagai berikut.
1. Mendata seluruh tanah wakaf hak milik diseluruh wilayah tanah
air.pendataan tanah wakaf hak milik ini sebagai langkah untuk
memastikan jumlah wakaf tanah di Indonesia untuk kemudian dijadikan
tolak ukur pengelolaan, pemberdayaan, dan pembinaan tanah wakaf.
2. Memberikan sertifikat tanah wakaf yang belum di sertifikasi dan
memberikan dan bantuan advokasi terhadap tanah wakaf yang bermasalah.
3. Memberikan beberapa peraturan yang berhubungan satu dengan yang
lainnya dalam masalah wakaf. Peraturan tersebut antara lain seperti:
39
a) Peraturan menteri agama nomor 1 tahun1978 tentang pelaksanaan
perturan pemerintah nomor 28 tahun 1977 tentang perwakafan
tanah milik.
b) Intruksi bersama menteri agama dan menteri dalam negeri nomor 1
tahun 1978 tentang pelaksanaan peraturan pemerintah nomor 28
tahun 1978 tentang perwakafan tanah milik tahun 1977
c) Intruksi menteri agama nomor 3 tahun 1978 tentang petunjuk
pelaksanaan keputusan menteri agama nomor 73 tahun 1978
tentang pendelegasian wewenang kepada kepala kantor urusan
agama kecamatan sebagai pejabat pembuat akta ikrar wakaf
(PPAIW).
d) Intruksi menteri agama nomor 15 tahun 1989 tentang pemuatan
akta ikrar wakaf dan pensertifikatan tanah wakaf
e) Intruksi bersama menteri agama dan kepala badan pertanahan
nasional nomor 4 tahun 1990, nomor 24 tahun 1990 tentang
sertifikasi tanah wakaf.
Selain peraturan peraturan di atas departemen agama RI juga menerbitkan
banyak peraturan yang lebih teknis, yang kedudukannya setingkat di bawah
peraturan/keputusan menteri.27
Semua peraturan di atas membuktikan keseriusan
27
Asmuni Mth, Wakaf: Seri Tuntunan Praktis Ibadah, (Yogyakarta: PT. Pustaka Insan
Madani, 2007), hlm. 88-89
40
pemerintah dalam menangani urusan perwakafan di Indonesia. Keseriusan
tersebut bahkan semakin menguat dengan dikeluarkannnya Intruksi Presiden RI
No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI) pada tanggal 10 Juni
1991. Substansi pembahasan dalam KHI terdapat dalam tiga buku, yaitu Buku I
tentang Hukum Perkawinan, Bukun II tentang Kewarisan dan Buku III tentang
Perwakafan. Meskipun KHI dalam Buku III tentang Perwakafan merupakan
perkembangan PP No. 28 Tahun 1977 Tentang Perwakafan Tanah Milik, 28
namun terdapat perbedaan mendasar dalam hal kedua peraturan tersebut, yaitu
misalkan mengenai objek wakaf, dalam PP No. 28 Tahun 1977 objek wakaf
hanya berupa tanah sesuai UUPA, sedangkan dalam KHI objek wakaf tidak
hanya berupa tanah milik lebih dari itu, seperti benda bergerak yang bernilai dan
tahan lama. Selain itu juga KHI mengatur tentang ketentuan yang belum diatur
dalam PP No. 28 Tahun 1977, seperti pembatasan jumlah nazir, dan banyak lagi
contoh perbedaan dari kedua peraturan tersebut.
Sejalan dengan hal di atas, meskipun terdapat kekurangan dan kelebihan
dari kedua peraturan tersebut khusus mengenai wakaf, ternyata telah menjadi
inspirasi dan usaha pembaharuan hukum nasional di bidang perwakafan. Berawal
dari itulah maka hadir pula Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf.
Sejarah lahirnya UU No. 41 Tahuan 2004 tentang Wakaf sebetulnya
merupakan berawal dari wacana wakaf tunai yang digagas oleh Prof. M. A.
28
.Asmuni Mth, Wakaf: Seri Tuntunan Praktis Ibadah, (Yogyakarta: PT. Pustaka Insan
Madani, 2007), hlm. 90
41
Mannan. Wacana tersebut mengembus hingga membuahkan hasil inisiatif dari
Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf Departemen Agama RI untuk
kemudian mengirim surat bernomor: Dt.III/5/BA.03.2/27772/2002 tertanggal 26
April 2002 kepada Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengenai permohonan fatwa
tentang wakaf uang. Setelah berselang cukup lama, keluarlah fatwa tersebut dari
MUI yang menghukumi bahwa wakaf uang hukumnya jawaz (boleh).29
Setelah lahirnya fatwa tersebut, Direktorat Pengembangan Zakat dan
Wakaf Departemen Agama RI kemudian mengusulkan pembentukan Badan
Wakaf Indonesia (BWI). Ide tersebut diusulkan langsung oleh menteri agama
kala itu kepada Presiden. Dari itu semua kemudian Departemen Agama RI
memperakasai untuk menyusun draft rancangan undang-undang (RUU) tentang
Wakaf. Maka mulailah Menteri Agama beserta jajarannya menggodok RUU
Perwakafan yang menjadi cikal bakal UU No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf.
Pada tanggal 27 oktober 2004 resmi undang-undang tersebut sah menjadi sebuah
peraturan perundang-undangan di Indonesia.30
Undang Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf terdiri atas
sebelas bab dan 71 (tujuh puluh satu) pasal yang meliputi pengertian tentang
wakaf, syarat-syarat sahnya wakaf, fungsi wakaf, tata cara mewakafkan dan
pendaftaran wakaf, perubahan, penyelesaian sengketa, pembinaan dan
29
Asmuni Mth, Wakaf: Seri Tuntunan Praktis Ibadah, (Yogyakarta: PT. Pustaka Insan
Madani, 2007), hlm. 93
30
Asmuni Mth, Wakaf: Seri Tuntunan Praktis Ibadah, (Yogyakarta: PT. Pustaka Insan
Madani, 2007), hlm. 94
42
pengawasan wakaf, Badan Wakaf Indonesia (BWI), ketentuan pidana dan
ketentuan peralihan.31
Dalam BAB III tentang Pendaftaran dan Pengumuman Harta Benda
wakaf yang termuat dalam pasal 32 sampai dengan pasal 39 sudah cukup rinci
mengatur tentang tertib administrasi perwakafan. Hal ini diperjelas lagi dengan
keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan
Undang Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf.
Dalam BAB IV Peraturan Pemerintah tersebut telah menjabarkan
bagaimana tata cara pendaftaran harta benda wakaf, baik harta benda wakaf tidak
bergerak maupun harta benda wakaf bergerak. Hal ini termuat dalam pasal 38
sampai dengan pasal 43 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 Tentang
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf.32
Semua peraturan tersebut dibuat hanya untuk menjaga dan melestarikan
harta benda wakaf di Indonesia. Jika harta benda wakaf tertata dengan baik,
maka kita akan dapat mengembangkan dan mengelola harta benda wakaf tersebut
dengan baik. Demikian juga hasil pengelolaan tersebut dapat didistribusikan
sebagaimana peruntukan harta benda wakaf.
Dengan adanya peraturan dan perundang-undangan yang sudah memadai,
diharapkan perwakafan di Indonesia menjadi tertib dan dapat berkembang
31
Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf
32
Direktorat Pemberdayaan Wakaf Dirjen BIMAS (Bimbingan Masyarakat Islam),
Panduan Pemberdayaan Tanah Wakaf Produktif Strategis di Indonesia, (Jakarta: Dirjen BIMAS,
2008), hlm. 27
43
dengan maksimal sehingga harta benda wakaf dapat membantu memperbaiki
kondisi kesejahteraan
44
BAB III
KRONOLOGIS MASALAH WAKAF
DI DAERAH PEBAYURAN KAB. BEKASI
Sengketa perwakafan banyak sekali ditemukan di beberapa daerah, baik
itu sengketa intern maupun sengketa ekstern. Seperti halnya banyak kasus yang
melibatkan sengketa antara ahli waris si pewakif dengan nazir, dengan alasan
tertentu, ada juga persoalan mengenai ahli waris dari wakif ingin menarik
kembali tanah yang sudah diwakafkan, sehingga menimbulkan sengketa pada
keduanya. Dan banyak lagi contoh-contoh sengketa wakaf lainnya. Dari berbagai
macam kasus yang ada di Indonesia, salah satunya seperti yang terjadi di Daerah
Jl. Raya Pebayuran KM 08 Kertasari-Pebayuran Kab. Bekasi-Jawa Barat yang
melibatkan beberapa permasalahan, seperti ketidakjelasan status tanah wakaf
karena belum terdaftar kepada pihak yang berwenang. Di bawah ini merupakan
kronologis kasus yang terjadi di Daerah Pebayuran Kab. Bekasi.
A. Kronologis Wakaf
Pada awal maret 1989 H. Muhammad Yasin memberikan kepercayaan
kepada KH. Makhrus Amin untuk membangun pondok pesantren bernama
Annajah, tepatnya di Jalan Raya Pebayuran KM 08 Desa Kertasari, Kecamatan
Pebayuran, Kabupaten Bekasi 17710 Jawa Barat.
Sebelum itu terjadi, berdirinya Pondok Pesantren Annajah diilhami dari
kekayaan yang dimiliki oleh seorang dermawan yaitu Bapak H. Muhammad
45
Yasin. Awalnya beliau berkeinginan untuk mendirikan Madrasah Tsanawiyah di
Pebayuran. Dalam perjalanannya, terdapat Praktek Pengabdian Masyarakat
(PPM) yang dilakukan oleh para santri Pondok Pesantren Darunnajah (sebuah
pesantren yang terletak di Jl. Ulujami Raya No. 86 Pesanggrahan - Jakarta
Selatan) yang melakukan kegiatan kerja nyatanya tepat di daerah Kertasari
Pebayuran Kab. Bekasi. Dari praktek para santri tersebut, telah memperlihatkan
kepada masyarakat suatu keunggulan serta kualitas para santri Darunnajah dalam
bidang kelimuan agama, sosial, pengetahuan umum dan budi pekertinya kepada
masyarakat setempat. Salah satu bukti nyata adalah terlahirnya generasi
cemerlang dari pondok ini yaitu Muhammad Ali seorang Qori bertarap
Internasional.1
Hal tersebut pula yang membuat ketertarikan tersendiri dari H. M. Yasin
untuk membuat sebuah perundingan kepada Pimpinan pondok, dalam hal ini KH.
Makhrus Amin agar terciptanya sebuah pesantren di daerah Kertasari. Setelah
melakukan perundingan antara kedua belah pihak, KH. Makhrus Amin bersama
H. M. Yasin hasilnya adalah H. M. Yasin untuk memberikan uang sekitar Rp.
200 Juta kepada pesantren tersebut untuk melakukan perkembangannya. Dalam
jangka dua bulan setelah itu, kapasitas santri yang kian hari kian meningkat
1 Hasil Wawancara bersama Ust. Mustofa (saksi), di Pondok Pesantren Darun Najjah (Jl.
Ulujami Raya No. 86 Pesanggrahan - Jakarta Selatan), 23 Desember 2013. Pukul 16.05 – 16.35
WIB
46
tercatat sekitar 200 santri masuk ke pesanren Darunnajah membuat pesantren ini
menjadi semakin tak mampu menampung banyaknya santri.2
Setelah melihat hal ini, kemudian KH. Makhrus melakukan negosiasi
dengan H. M Yasin untuk diadakan sebuah tanah wakaf yang cukup luas.
Hasilnya, kedua belah pihak bergegas melakukan survey tanah tepat di depan
Rumah H. M. Yasin. Namun setelah melakukan survey, terjadi kesalahpahaman
antara H.M. Yasin dengan KH. Makhrus terkait lokasi tanah yang berada di
depan rumah H.M. Yasin yang dirasa kurang memadai. Hal itu membuat H. M.
Yasin mengalihkan lokasi tanah wakaf yang awalnya di depan rumah kemudian
dipindah ke sebuah tanah persawahan miliknya, dengan luas sekitar 7 hektar.
Tepat pada tanggal 20 Mei 1989 Bapak KH. Makhrus Amin dan Bapak
H.M Yasin mengadakan rapat kembali di kantor Kecamatan Pebayuran yang
dihadiri oleh Bapak Kepala KUA, Bapak H. Madroi, H. Muhayar, Komisaris
Golkar Bapak Karmedi, dan segenap Pegawai Kecamatan serta Kepala Desa se-
Kecamatan Pebayuran, dan juga di hadiri oleh Bapak SOSPOL Jak – Sel, Letkol
TNI Azhari Baedowi dan menetapkan bahwa tanggal 21 Mei 1989 adalah hari
2 Hasil Wawancara dengan Mahrus Amin selaku nadzir di Pondok Pesantren Darun
Najjah, Jl. Ulujami Raya No. 86 Pesanggrahan - Jakarta Selatan, Pada tanggal 23 Desember
2013 Pukul 10.55 – 11.15 WIB
47
berdirinya Pondok Pesantren Annajah yang pada hari itu juga bertepatan dengan
Hari Kebangkitan Nasional.3
Selang Satu hari setelah pertemuan tersebut berlangsunglah pembangunan
Pondok Pesantren Annajah yaitu tanggal 21 Mei 1989, seperti gedung 20 – 21
Mei, Darul Ulum dan gedung lainnya. Pembangunan itu di kerjakan oleh tenaga
kerja sebanyak 275 orang pekerja yang didatangkan dari Cirebon maupun warga
setempat.
Setelah sekian tahun berdiri barulah dilakukan Ikrar wakaf pada tanggal
20 Mei Pada hari selasa tanggal 18 Rabi’ul Awal 1424 H bertepatan dengan
tanggal 20 Mei 2003 M, bertempat di Aula Kampus Pondok Pesantren Annajah
Kertasari Pebayuran Kabupaten Bekasi Jawa Barat. H. Mohammad Yasin
sebagai Wakif telah mengikrarkan sebidang tanah dengan luas 84.000 M2
(Delapan Puluh Empat Ribu Meter Persegi) dan tiga buah bangunan di atasnya,
dengan rincian tiga buah sertifikat atas nama orang lain (sertifikat tanah yang
telah dibeli oleh H. M Yasin). Tanah Wakaf tersebut terletak di Daerah Ds.
Kertasari Kec. Pebayuran. Kab. Bekasi - Jawa Barat. H. M. Yasin telah
mengikrarkan wakaf kepada Yayasan Wakaf Hidayatunnajah.
Adapun pembina dari Yayasan Hidayatunnajah yaitu: 1) H. Muhammad
Yasin; 2) Drs. KH. Mahrus Amin; 3) H. Iing Sarkim, S.H. Sedangkan pengurus
dari Yayasan Hidayatunnajah adalah 1) H.Tubagus Achmad Darojat, MBA 2)
3 Hasil Wawancara bersama Ust. Mustofa (saksi), di Pondok Pesantren Darun Najjah (Jl.
Ulujami Raya No. 86 Pesanggrahan - Jakarta Selatan), 23 Desember 2013. Pukul 16.05 – 16.35
WIB
48
Abdul Basied Hanif, S.E 3) H. Solahudin Nasution, Lc. Selanjutnya pengawas
yayasan wakaf Hidayatunnajah adalah 1) K.H Anshori Umar Sitanggal 2) Drs.
H.M. Habib Chirzin.4
Mengenai tujuan peruntukan wakaf tersebut adalah sebagai berikut:
a) Syarat wakaf tersebut di atas diperuntukan bagi pondok pesantren Annajah
sebagai balai pendidikan Islam yang harus tunduk kepada ketentuan
ketentuan Hukum agama Islam, menjadi amal jariyah, beribadah dan
beramal sholeh.
b) Bahwa pondok pesantren Annajah harus menjadi sumber ilmu pengetahuan
agama Islam, bahasa arab, bahasa inggris, ilmu pengetahuan umum dan
teknologi yang tetap berjiwa islam dan pesantren.
c) Bahwa lembaga lembaga yang bernaung di bawah Yayasan
Hidayatunnajah, harus menjadi lembaga yang berkhidmat kepada
masyarakat, membentuk karakter peribadi umat yang “tafaqquh fiddin”
yang merupakan kader ulama, Zu’ama, Aghnia menolong para fakir
miskin, memelihara yatim/dhuafa guna kesejahteraan lahir dan batin serta
dunia akhirat.
d) Bahwa pihak kedua berkewajiban : memelihara, mengembangkan dan
menyempurnakan agar balai pendidikan yang berada di bawah naungan
yayasan hidayatunnajah menjadi lembaga yang bermutu dan berarti dalam
tafaqquh fiddin.
4 Lihat data Lampiran Ikrar Wakaf Yayasan Hidayatunnajah
49
B. Pokok Permasalahan
Setelah penulis melakukan investigasi dan wawancara kepada para
narasumber yang bersangkutan, penulis menemukan permasalahan. Yang mana
dimulai sejak hari selasa tanggal 18 Rabi’ul Awal 1424 H / 20 Mei 2003 M,
bertempat di Aula Kampus Pondok Pesantren Annajah Kertasari Pebayuran
Kabupaten Bekasi Jawa Barat, H. Mohammad Yasin sebagai Wakif telah
mengikrarkan sebidang tanah dengan luas 84.000 M2
(Delapan Puluh Empat
Ribu Meter Persegi) dan tiga buah bangunan di atasnya, dengan rincian tiga buah
sertifikat atas nama orang lain (sertifikat tanah yang telah dibeli oleh H. M
Yasin). Tanah Wakaf tersebut terletak di Daerah Ds. Kertasari Kec. Pebayuran.
Kab. Bekasi - Jawa Barat. H. M. Yasin telah mengikrarkan wakaf tersebut di
atas kepada Yayasan Wakaf Hidayatunnajah sebagai nazirnya adalah Drs. KH.
Mahrus Amin.5
Sesuai dengan peraturan perundang-undangan di Indonesia tentang
pendaftaran wakaf, mekanisme pendaftaran tanah wakaf dimulai dengan
melakukan ikrar wakaf terlebih dahulu di depan PPAIW (pejabat pembuat akta
ikrar wakaf), setelah ditandatangani oleh para pihak akta wakaf, kemudian
barulah pendaftaran tanah wakaf dilakukan oleh PPAIW atas nama nazir dengan
tenggang waktu selama 7 (tujuh) hari setelah ikrar wakaf dilakukan.6 Namun
5 Lihat data Lampiran Ikrar Wakaf Yayasan Hidayatunnajah
6 Pasal 32 Undang-udang No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf
50
setelah 7 (tujuh) hari berselang, para pihak (PPAIW) kesulitan melakukan
pendaftaran tanah wakaf tersebut, karena terkendala pada pemindah-alihan hak
atas tanah dari orang lain kepada H. M Yasin. Di lain pihak juga H. M. Yasin
kesulitan hendak merubah status AJB (akta jual beli) menjadi SHM (sertifikat
hak milik) H. M. Yasin, dikarenakan tanah yang dimiliki oleh H. M. Yasin
melewati batas maksimal kepemilikan tanah.7
Setelah mengetahui kronologi dan duduk perkaranya, penulis menemukan
beberapa permasalahan. Titik permasalahannya adalah terdapat tiga buah bidang
tanah yang belum bersertifikat atas nama H. M. Yasin, karena pada waktu
pembelian H. M. Yasin belum membuatkan sertifikat atas namanya sendiri (balik
nama kepemilikan tanah). Permasalahan yang kedua adalah Ikrar Wakaf telah
dilakukan oleh Wakif kepada Nadzirnya dengan disaksikan lebih dari dua orang,
namun hingga sekarang belum dibuatkan sertifikat wakaf oleh PPAIW
kecamatan, disebabkan belumnya pemindahan atas nama tiga tanah tersebut.
7 Hasil Wawancara Bersama Agus Sujadi selaku KUA / PPAIW Kec. Pebayuran di
Kantor Urusan Agama (KUA) Kec. Pebayuran pada tanggal 23 Desember 2013 pukul 16.05 –
16.35 WIB.
51
52
53
54
55
56
57
BAB IV
KEABSAHAN PRAKTIK WAKAF
STUDI KASUS DAERAH PEBAYURAN KM. 8 KERTASARI
KAB. BEKASI JAWA BARAT
A. Kebsahan Wakaf Perspektif Fiqh
Membicarakan keabsahan1 wakaf tidak terlepas dari segi legalitas (sah
atau tidaknya) sebuah praktik wakaf secara hukum. Dalam hal ini kesahihan
praktik wakaf dilihat dari pandangan hukum Islam (fiqh), hal tersebut juga tidak
terlepas dari kebenaran menurut hukum secara tertulis ataupun pada tataran
ijtihad para ulama. Untuk itu diperlukan penelahaan pada kajian normatif
(hukum) maupun segi kesejarahan praktik wakaf.
Dalam sejarahnya, pengaturan tentang wakaf telah diperkenalkan oleh
Islam sejak lama. Fakta tersebut bisa dilihat dari beberapa naskah dan sejarah
Nabi Muhammad Saw dan para sahabat telah mempraktekan wakaf. Pendapat ini
berdasarkan hadits yang dirwayatkan oleh Umar bin Syabah dari „Amir bin Sa‟ad
bin Mu‟ad, ia berkata:
: سأ لا عي أ و ل حبس ف اإل و روي عي عوز بي شبه عي عوز بي سعد بي هعا د قا ل
صلى اهلل عله سال م فقا ل الوها جزو ى صد قة عوز و قا ل األ صا رصد قة رسى ل اهلل
2و سلن
1 Keabsahan merupakan sesuatu hal yang telah memiliki ketetapan hukum secara sah
atau tidaknya. Pieter Levianus H. dan Sujanto Farlin, Kamus Praktis Bahasa Indonesia,
(Tangerang: Scientific Press, 2008), hlm. 6
2 Al-Syaukani, Nail al-Authar, (Mesir, Musthafa al-Baby al-Halabi, t. th), hlm. 24. Lihat
juga Direktorat Pemberdayaan Wakaf: Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam Depag RI, Fiqih
Wakaf, (Dirjen BIMAS Depag RI, 2006), hlm. 4
58
“Kami bertanya tentang mula-mula wakaf dalam Islam? Orang
Muhajirin mengatakan adalah wakaf Umar, sedangkan orang Anshor
mengatakan wakaf Rasulullah SAW.
Dan dalam sejarahnya pula, praktik wakaf dapat ditemukan pada tahun
ketiga Hijriyah yaitu Rasulullah Saw mewakafkan tujuh kebun kurma di
Madinah; diantaranya ialah kebun A‟raf, Shafiyah, Dalal, Barqah dan kebun
lainnya. Ada juga praktik wakaf ditemukan secara nyata pada praktik Umar bin
Khatab, yaitu:
عه اثه عمر رض اهلل عىمب لبل: أصبة عمر أرضب ثخجر فأتى انىج صهى اهلل عه
سهم ستأمر فب فمبل: برسل اهلل أصجت أرضب ثخجر نم أصت مضبال لط أوفس
هلل صهى اهلل عه سهم, إن شئت حجست أصهب عىدي مى فمب تأمرو ث. فمبل ن رسل ا
تصدلت ثب فتصدق ثب عمر, أوب التجبع التت الترث. لبل تصدق ثب فى
انفمراء فى انمرثى فى انرلبة فى سجم اهلل اثه انسجم انضف الجىبح عهى مه
فظ نمسهم ف نب أن أكم مىب ثبنمعرف طعم غر متمل مبال)متفك عه( انه
راة نهجخبري: تصدق ثأصهب الجبع الت نكه ىفك ثمري3.
“Dari Ibnu Umar RA. berkata, bahwa sahabat Umar RA memperoleh sebidang
tanah di Khaibar, kemudian menghadap kepada Rasulullah untuk mohon
petunjuk. Umar berkata: Ya Rasulullah! Saya mendapatkan sebidang tanah di
Khaibar, saya belum pernah mendapatkan harta sebaik itu, maka apakah yang
engkau perintahkan kepadaku? Rasulullah bersabda: bila kau suka, kau tahan
tanah itu dan engkau shodaqohkan. Kemudian Umar melakukan shodaqah, tidak
dijual, tidak diwarisi dan tidak juga dihibahkan. Berkata Ibnu Umar: Umar
menyedekahkan kepada orang-orang fakir, kaum kerabat, budak belian, sabilillah,
ibnu sabil dan tamu. Dan tidak dilarang bagi yang menguasai tanah wakaf itu
(pengurusnya) makan dari hasilnya dengan cara yang baik dengan tidak
bermaksud menumpuk harta” (Muttafaq „Alaih) susunan matan tersebut menurut
riwayat Muslim. Dalam riwayat al-Bukhari: Beliau sedekahkan pokoknya, tidak
dijual dan tidak dihibahkan, tetapi diinfakkan hasilnya
3 HR. Muslim
59
Sebetulnya jika kita telusuri praktik wakaf yang telah dilakukan oleh
sahabat dan para ulama amatlah banyak. Namun dalam beberapa konseptual
persyaratan sah tidaknya sebuah wakaf merupakan sebuah ranah ijtihadi para
ulama. Hal tersebut dikarenakan minimnya ayat-ayat al-Qur‟an dan as-Sunah
menyinggung masalah wakaf.4 Dengan demikian, perincian terkait keabsahan
praktik wakaf diletakan pada ijtihadi (didasarkan pada ijtihad) bukan masalah
ta‟abudi (masalah yang telah ditetapkan).5
Walaupun begitu, ayat al-Qur‟an dan al-Hadits yang sedikit itu ternyata
mampu menjadi pedoman para ahli fiqh sejak masa sahabat Nabi hingga sekarang
dalam membahas dan mengembangkan hukum-hukum wakaf dengan metode
penggalian hukum (ijtihadi) mereka. Sebab itulah sebagian besar hukum-hukum
tentang wakaf dalam Islam ditetapkan sebagai hasil ijtihad dengan menggunakan
metode seperti qiyas (analogi/perbandingan), maslahah mursalah (penetapan
hukum berdasarkan prinsip kemaslahatan), dan banyak lagi metode yang lainnya.
Hal serupa seperti yang dilakukan oleh para ulama klasik dalam
menetapkan sebuah keabsahan wakaf dilihat dari beberapa hal. Seperti ulama
klasik menetapkan keabsahan wakaf tergantung keberadaan dan terpenuhinya
rukun dan syarat wakaf itu sendiri. Adapun Rukun wakaf menurut mayoritas
ulama selain Hanafi adalah orang yang mewakafkan (واقف), tujuan diwakafkan
.barang wakafan (Maukuf Bih), dan sighat wakaf ,(موقوف عليه)6 Sedangkan
menurut mazhab Hanafi, rukun wakaf itu hanya ada satu, yaitu shighat. Shighat
4 Direktorat Pemberdayaan Wakaf: Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam Depag RI, FIqih
Wakaf, (Dirjen BIMAS Depag RI, 2006), hlm.13
5 Asmuni Mth, Wakaf, (Yogyakarta: Pustakan Insan Madani, 2007), hlm. 42
6 M. Abid Abdullah al-Kabisi, Ahkam al-Waqf fi al-Syari‟ah al-Islamiyyah, edisi
terjemahan Hukum Wakaf, (Depok: Dompet Dhuafa Republika dan IIMan, 2004), hlm. 87
60
di sini adalah lafaz-lafaz yang menunjukkan kepada makna wakaf atau pelafalan
yang menunjukan makna (substansi) wakaf.7 Seperti contoh kata seseorang
“tanahku ini diwakafkan selamanya terhadap orang-orang miskin.
Seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya rukun merupakan
sesuatu yang pokok, maka apabila ketiadaanya sebuah rukun wakaf dalam
praktek, secara tidak langsung akan memberikan kecacatan terhadap praktik
wakaf itu sendiri. Selain pengertian tersebut, pengertian rukun juga sesuatu yang
dianggap menentukan suatu disiplin tertentu, dimana ia merupakan bagian
integral (kesatupaduan) dari disiplin itu sendiri. Atau dengan kata lain, rukun
adalah menyempurna sesuatu, di mana ia merupakan bagian dari sesuatu itu.
Untuk menentukan keabsahannya, dibawah ini unsur rukun wakaf yang
didalamnya terkandung syarat-syarat wakaf menurut para fuqaha terdiri dari: 8
a) Waqif (orang yang berwakaf)
Orang yang mewakafkan (wakif) disyaratkan memiliki kecakapan
hukum atau kamalul ahliyah (legal competent) dalam membelanjakan harta
maksudnya ketika hendak mewakafkan sesuatu hartanya.9 Kecakapan
bertindak disini meliputi beberapa hal, seperti merdeka, sehat akalnya, dalam
keadaan sadar, tidak dibawah pengampuan, tidak dalam keadaan terpaksa atau
dipaksa, dan telah mencapai umur baligh.10
Dalam pelaksanaannya praktik
wakaf, ada dua syarat yang harus dipenuhi wakif kaitannya dengan pihak lain:
7 M. Abid Abdullah al-Kabisi, Ahkam al-Waqf fi al-Syari‟ah al-Islamiyyah, edisi
terjemahan Hukum Wakaf, (Depok: Dompet Dhuafa Republika dan IIMan, 2004), hlm. 87
8 M. Abid Abdullah al-Kabisi, Ahkam al-Waqf fi al-Syari‟ah al-Islamiyyah, edisi
terjemahan Hukum Wakaf, (Depok: Dompet Dhuafa Republika dan IIMan, 2004), hlm. 87
9 Direktorat Pemberdayaan Wakaf: Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam Depag RI, FIqih
Wakaf, (Dirjen BIMAS Depag RI, 2006), hlm. 21.22
10
Abi Yahya Zakariya al-Anshary, Fath al-Wahhab, Juz I, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th) ,
hlm. 256
61
Waqif tidak terikat dengan hutang dan Waqif tidak dalam kondisi sakit
parah.11
b) Mauquf „Alaih (Peruntukan Wakaf/Tujauan Diwakafkan)
Yang dimaksud dengan mauquf „alaih adalah tujuan wakaf
(peruntukan wakaf). Wakaf harus dimanfaatkan dalam batas-batas yang sesuai
dan diperbolehkan oleh syariat Islam. Karena pada dasarnya, wakaf
merupakan amal yang mendekatkan diri kepada Tuhan. Karena mauquf „alaih
(yang diberi wakaf) haruslah bersandar pada kebajikan. Para ulama sepakat
bahwa peruntukan untuk kebajikanlah yang menjadi wakaf sebagai ibadah
pendekatan kepada Allah (taqarab ila Allah).12
c) Mauquf Bih (Harta yang diwakafkan).
Pembahasan harta yang hendak diwakafkan, para ulama membaginya
ke dalam dua unsur, yaitu pertama syarat sahnya harta yang diwakafkan dan
kedua tentang kadar harta wakaf. Untuk yang pertama, syarat sahnya Harta
wakaf itu harus mutaqawam (dapat disimpan dan halal), memiliki nilai (ada
harganya), harta wakaf itu jelas bentuknya, Harta wakaf merupakan hak milik
dari waqif, harta wakaf itu merupakan harta benda ynag tidak bergerak, seperti
tanah, atau benda yang disesuaikan dengan kebiasaan wakaf yang ada,
terpisah, bukan milik bersama.13
Sedangkan yang kedua tentang kadar harta
yang diwakafkan yaitu tidak melebih 1/3 harta wakiif guna kepentingan harta
warisan bagi keluarganya, baik berupa harta bergerak atau tidak.
11
M. Abid Abdullah al-Kabisi, Ahkam al-Waqf fi al-Syari‟ah al-Islamiyyah, edisi
terjemahan Hukum Wakaf, (Depok: Dompet Dhuafa Republika dan IIMan, 2004), hlm. 240
12
Direktorat Pemberdayaan Wakaf: Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam Depag RI,
FIqih Wakaf, (Dirjen BIMAS Depag RI, 2006), hlm. 48
13
Direktorat Pemberdayaan Wakaf: Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam Depag RI,
FIqih Wakaf, (Dirjen BIMAS Depag RI, 2006), hlm. 27
62
d) Shigat Wakaf (Ikrar Wakaf)
Pengertian shighat wakaf juga bisa dipahami dalam pengertian Ikrar
wakaf, yaitu segala ucapan atau isyarat dari orang yang berakad untuk
menyatakan kehendak dan menjelaskan apa yang diinginkannya, dalam hal ini
Pernyataan atau ikrar wakaf ini harus dinyatakan secara tegas dengan seperti,
kata "aku mewakafkan" atau "aku menahan" atau kalimat yang semakna
lainnya. Ikrar ini penting, karena pernyataan ikrar membawa implikasi
gugurnya hak kepemilikan wakif, dan harta wakaf menjadi milik Allah atau
milik umum yang dimanfaatkan untuk kepentingan umum yang menjadi
tujuan wakaf itu sendiri. Karena itu, konsekuensinya, harta wakaf tidak bisa
dihibahkan, diperjualbelikan, atau pun diwariskan. Dan perlu dicatat tidak
ditemukan ikrar wakaf harus dicatatkan, karena pada fuqaha tradisi tulis
menulis ataupun pencatatan dalam bentuk pendaftaran administratif tidak
ditemukan. Namun para fuqaha memberikan prasyarat itu dengan Shighat atau
Statmen wakaf harus jelas dan tegas, singkat pelafalannya, menunjukkan
bahwa wakaf tersebut bersifat langgeng dan tidak ada syarat yang mengikat,
yang bisa mempengaruhi hakikat wakaf dan bertentangan dengan ketentuan
wakaf.14
Selain syarat dan rukun terpenuhi, keabsahan wakaf menurut para ulama
dalam beberapa hal terdapat perselisihan, seperti Para fuqaha berbeda pendapat
dalam hal wakaf diberikan melalui perbuatan saja. Misalnya pemberian yang
tidak mengindahkan sighat (lafal atau ikrar wakaf). Menurut ahli Fiqh Hambali
(Hanabilah) berpendapat bahwa untuk kemaslahatan umum adalah sah. Meski
tanpa lafal, mereka menyamakannya dengan keabsahan jual beli tanpa lafal.
14
Direktorat Pemberdayaan Wakaf: Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam Depag RI,
FIqih Wakaf, (Dirjen BIMAS Depag RI, 2006), hlm. 56-61
63
Yaitu jual beli yang cukup dengan aktifitas membayar dari satu pihak dan
menyerahkan pihak lain. Hanya saja mereka mengisyaratkan adanya qarinah
(petunjuk) yang menunjukkan adanya keinginan berwakaf. Misalnya, seseorang
membangun masjid, lalu mengizinkan orang melakukan shalat di tempat itu, atau
membangun kuburan di atas tanah itu sebagai tempat mengubur.
Ibn Qudamah mengatakan bahwa sah tidaknya berwakaf itu ditentukan
oleh ada atau tidak adanya perkataan atau perbuatan yang mengarah pada praktek
wakaf. Misalnya, ia membangun masjid dan mengizinkan orang untuk shalat di
dalamnya, atau membangun kuburan dan membolehkan orang lain untuk
menjadikan tanah itu sebagai kuburan. Izin untuk melakukan shalat atau
menjadikan tanah sebagai kuburan itulah yang disebut sebagai perkataan atau
perbuatan yang mengidentifikasikan adanya wakaf.15
Demikianlah pemahaman secara tekstual dari apa yang diriwayatkan oleh
Imam Ahmad bin Hambal. Beliau meriwayatkan dari Abu Dawud dan Abu
Thalib tentang seseorang yang menyertakan rumahnya sebagai bagian dari
masjid, lalu orang tersebut mengizinkan orang lain melakukan shalat di dalamnya
dan tidak mengambil kembali rumah itu sebagai miliknya. Demikian juga, ketika
seseorang yang mengambil sebidang tanah sebagi perkuburan, lalu mengizinkan
orang lain menguburkan mayat disana, dan sejak saat itu. Ia tidak mengambil
kembali tanah tersebut sebagai miliknya. Riwayat tersebut berasal dari Imam
ahmad, dan riwayat selaras dengan pendapat Abu Hanifah.16
15
M. Abid Abdullah al-Kabisi, Ahkam al-Waqf fi al-Syari‟ah al-Islamiyyah, edisi
terjemahan Hukum Wakaf, (Depok: Dompet Dhuafa Republika dan IIMan, 2004), hlm. 93
16
M. Abid Abdullah al-Kabisi, Ahkam al-Waqf fi al-Syari‟ah al-Islamiyyah, edisi
terjemahan Hukum Wakaf, (Depok: Dompet Dhuafa Republika dan IIMan, 2004), hlm. 93
64
Abu Ya‟la menceritakan dari Imam Ahmad, ketika beliau ditanya oleh
Asram tentang seseorang yang membangun suatu bangunan dengan niat untuk
dijadikan kuburan. Namun ia ingin memiliki tanah itu lagi, maka Imam Ahmad
menjawab, “jika orang itu telah menjadikannya untuk Tuhan, maka tidak akan
kembali menjadi miliknya. “peristiwa ini semakin mempertegas keabsahan wakaf
yang dilakukan tanpa lafal. Sebab, Imam Ahmad melarang orang itu untuk
mengambilnya lagi sebagai miliknya, meskipun ia mewakafkan hanya melalui
niat, tanpa lafal. Golongan madzhab Hambali mendasarkan pendapat mereka atas
beberapa hal berikut :
a) Bahwa kebiasaan sudah berlaku demikian.
b) Bahwa saat perbuatan dilakukan. Sesungguhnya subtansi wakaf telah
terlihat. Oleh karena itu, yang demikian sama halnya dengan lafal.
c) Bahwa hal itu dapat disamakan dengan orang yang menghidangkan
makanan bagi tamunya untuk menikmati hidangan tanpa harus di
ucapakan.
Uraian di atas sesungguhnya hanya berlaku pada wakaf yang ditujukan
pada kemaslahatan umum. Sedangkan, wakaf yang ditujuakan untuk kaum fakir
miskin atau yang ditujukan bagi kalangan tertentu, menurut golongan Hanabilah
tidak sah tanpa lafal. Sebab adatnya yang berlaku adalah mengharuskan lafal atau
wakaf seperti itu. Sebaliknya, jika terdapat kebiasaan dalam suatu masyarakat
yang membolehkan tanpa lafal. Maka wakaf tanpa lafal bisa diterapkan.17
17
Faisal Haq, dkk, Hukum Wakaf dan Perwakafan di Indonesia, (Pasuruan: PT Garuda
Buana, t, th), hlm. 3
65
Jadi bisa disimpulkan bahwa keabsahaan wakaf menurut fiqh lebih
mengacu pada tataran normatf, yaitu lebih mengarah pada legalitas aturan (sah
atau tidaknya) sebuah praktik wakaf secara hukum. Di mana keabsahan praktik
wakaf dilihat dari terkumpulnya syarat dan rukun itu sendiri pada praktiknya.
Dalam hal ini adanya wakif, maukuf „alahi, maukuf bih, dan sighat wakaf. Dan
dalam literatur, tidak ditemukan persyaratan keharusan pencatatan ataupun
pendaftaran wakaf menjadi sebuah keabsahan wakaf.
B. Keabsahan Wakaf dan Prosedur Wakaf Perspektif Perundangan di
Indonesia
Sejak dan setelah datangnya Islam ke Indonesia, sebagian besar
masyarakat melaksanakan wakaf berdasarkan paham keagamaan yang dianut,
yaitu paham Syafi‟iyyah dan adat kebiasaan setempat.18
Sebelum adanya UU No.
5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria dan Peraturan Pemerintah
No. 28 Tahun 1977 Tentang perwakafan Tanah Milik, sebagian masyarakat
Indonesia masih menggunakan kebiasaan-kebiasaan keagamaan, seperti
kebiasaan melakukan perbuatan hukum perwakafan tanah secara lisan atas dasar
saling percaya kepada seseorang atau lembaga tertentu. Kebiasaan memandang
wakaf sebagai amal shaleh yang mempunyai nilai mulia dihadirat Tuhan tanpa
harus memerlukan prosedur administratif, dan harta wakaf dianggap milik Allah
semata yang siapa saja tidak akan berani menggangu gugat tanpa seizin Allah.
Paham masyarakat Indoneisa tersebut terlihat sangat lugu karena sikap
jujur dan saling percaya antara satu dengan yang lainnya pada aktivitas bersegi
agama. Praktik pelaksanaan wakaf semacam ini, pada paruh perjalanannya harus
18
Achmad Djunaidi dan Tbobieb, Menuju Era Wakaf Produktif, (Depok: Mumtaz
Publishing, 2008), cet. Ke- 5, hlm. 47
66
diakui memunculkan persoalan mengenai validitas legal kepemilikan tentang
harta wakaf, hingga berujung pada timbulnya persengketaan-persengketaan
karena tiadanya bukti-bukti yang mampu diwakafkan. Keberadaan perwakafan
tanah waktu itu dapat diteliti berdasarkan bukti-bukti catatan di Kantor Urusan
Agama (KUA) di Kecamatan ataupun Kabupaten.
Selain tradisi lisan dan tingginya kerpercayaan kepada penerima amanah
dalam melakukan wakaf, umat Islam Indonesia lebih banyak mengambil
pendapat dari golongan Syafi‟iyyah sebagaimana mereka mengikuti mazhabnya,
seperti tentang ikrar wakaf, harta yang boleh diwakafkan, kedudukan harta wakaf
setelah diwakafkan, harta wakaf ditujukan kepada siapa dan boleh tidaknya tukar
menukar harta wakaf.
Praktik wakaf yang terjadi dalam kehidupan masyarakat belum
sepenuhnya berjalan tertib dan efisien sehingga dalam berbagai kasus harta benda
wakaf tidak terpelihara sebagaimana mestinya, terlantar atau beralih ke tangan
pihak ketiga dengan cara melawan hukum. Keadaan demikian itu, tidak hanya
karena kelalaian atau ketidakmampuan Nazhir dalam mengelola dan
mengembangkan harta benda wakaf tetapi karena juga sikap masyarakat yang
kurang peduli atau belum memahami status harta benda wakaf yang seharusnya
dilindungi demi untuk kesejahteraan umum sesuai dengan tujuan, fungsi, dan
peruntukan wakaf.
Sebagaimana dijelaskan di atas, kebiasaan pencatatan atau pendaftaran
ikrar wakaf sebelum adanya PP No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah
Milik, masyarakat menggunakan pernyataan lisan saja yang didasarkan pada adat
kebiasaan keragaman yang bersifat lokal dirasa telah cukup oleh masyarakat.
Pernyataan jelas (shigat sharih) menurut pandangan Syafi‟i termasuk bentuk
67
pernyataan yang sah. Ulama sepakat setelah tercukupi syarat dan rukun wakaf,
maka hal itu menjadi keabsahan praktik wakaf itu sendiri.19
Setelah berjalan begitu lama, seiring tumbuh kembangnya masyarakat
serta kompleksitas permasalahan dalam pertanahan, mulailah dirasa perlu upaya
pencatatan serta pendaftaran ikrar wakaf dalam peraturan perundang-undangan
Indonesia. Dimulai dengan lahirnya PP No. 28 tahun 1977 tentang perwakafan
tanah milik yang secara khusus pembahasan mengenai pencatatan serta
pendaftaran harta wakaf kepada pihak yang berwenang, dalam hal ini adalah
pemerintah yang diwakili oleh KUA kecamatan dan lain-lain.
Untuk memenuhi kebutuhan hukum dalam rangka pembangunan hukum
nasional, Pemerintah telah menerbitkan Undang-Undang Nomor 41 tahun 2004
dan Peraturan Pemerintah Nomor 42 tahun 2006 tentang Wakaf. Pada dasarnya
ketentuan mengenai perwakafan berdasarkan dalam undang-undang ini sama
dengan Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah
Milik, namun terdapat pula berbagai pokok pengaturan yang baru seperti yang
telah dijelaskan pada bab sebelumya.
Jika dilihat dari segi sejarahnya, peraturan perundang-undangan Indonesia
terkait perwakafan menganut asas pencatatan serta pendaftaran harta wakaf
merupakan suatu kemestian, hal itu telah ada sejak diundangkanya Peraturan
Pemerintah No. 28 tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik. Dalam Pasal 10
disebutkan yaitu:
(1) Setelah kata Ikrar Wakaf dilaksanakan sesuai dengan ketentuan ayat (4) dan
(5) pasal 9, maka Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf atas nama Nadzir yang
bersangkutan,diharuskan mengajukan permohonan kepada Bupati/
Walikotamadya Kepala Daerah cq. Kepala Sub Direktorat Agraria setempat
untuk mendaftar perwakafan tanah milik yang bersangkutan menurut
19
Achmad Djunaidi dan Thobieb, Menuju Era Wakaf Produktif, (Depok: Mumtaz
Publishing, 2008), cet. Ke- 5, hlm. 48
68
ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961. (2)
Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah cq. Kepala Sub Direktorat Agraria
setempat, setelah menerima permohonan tersebut dalam ayat (1) mencatat
perwakafan tanah milik yang bersangkutan pada buku tanah dan
sertifikatnya.
(2) Jika tanah milik yang diwakafkan belum mempunyai sertifikat maka
pencatatan yang dimaksud dalam ayat (2) dilakukan setelah untuk tanah
tersebut dibuatkan sertifikatnya.
(3) Oleh Menteri Dalam Negeri diatur tatacara pencatatan perwakafan yang
dimaksud dalam ayat (2) dan (3).
(4) Setelah dilakukan pencatatan perwakafan tanah milik dalam buku tanah dan
sertifikatnya seperti dimaksud ayat (2) dan (3), maka Nadzir yang
bersangkutan wajib melaporkannya kepada pejabat yang ditunjuk oleh
Menteri Agama.20
Pencatatan ikrar wakaf dan pendaftarannya, dipertegas pula dalam
undang-undang No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf pada pasal 32, yaitu:
PPAIW (Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf) atas nama Nazhir mendaftarkan
harta benda wakaf kepada Instansi yang berwenang paling lambat 7 (tujuh)
hari kerja sejak akta ikrar wakaf ditandatangani.21
Lebih lanjut dalam Pasal 68 dan 69 undang-undang No. 41 Tahun 2004
Tentang Wakaf menyebutkan secara tersirat kewajiban pendaftaran wakaf oleh
pihak yang berwenang bersama nadzir.22
Pasal 68 tersebut berbunyi: (1) Menteri dapat mengenakan sanksi
administratif atas pelanggaran tidak didaftarkannya harta benda wakaf oleh
lembaga keuangan syariah dan PPAIW sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30
dan Pasal 32.23
Pasal 69 berbunyi: (1) Dengan berlakunya Undang-Undang ini,wakaf
yang dilakukan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku sebelum diundangkannya Undang-Undang ini, dinyatakan sah sebagai
20
Pasal 10 Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik
21
Pasal 32 Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf
22
Lembaga yang berwenang di sini yaitu PPAIW (Pejabat Pembuat Ikrar Wakaf) untuk
wakaf yang tidak bergerak, sedangkan Lembaga Keuangan Syariah wakaf yang bergerak.
23
Pasal 68 Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf
69
wakaf menurut Undang-Undang ini. (2) Wakaf sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) wajib didaftarkan dan diumumkan paling lama 5 (lima) tahun sejak Undang-
Undang ini diundangkan.
Mengenai Instansi yang berwenang untuk pendaftaran wakaf terdapat
mekanismenya masing-masing. Di bidang wakaf tanah adalah kewenangannya
Badan Pertanahan Nasional, Instansi yang berwenang di bidang wakaf benda
bergerak selain uang adalah instansi yang terkait dengan tugas pokoknya, instansi
yang berwenang di bidang wakaf benda bergerak selain uang yang tidak terdaftar
(unregistered goods) adalah Badan Wakaf Indonesia.24
Semua ini, untuk menciptakan tertib hukum dan administrasi wakaf guna
melindungi harta benda wakaf, Undang-Undang ini menegaskan bahwa
perbuatan hukum wakaf wajib dicatat dan dituangkan dalam akta ikrar wakaf dan
didaftarkan serta diumumkan yang pelaksanaannya dilakukan sesuai dengan tata
cara yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai
wakaf dan harus dilaksanakan.
Tata cara pembuatan akta ikrar wakaf (AIW) dan pendaftarannya diatur
berdasarkan status tanahnya, yang meliputi:
a) tanah milik bersertifikat dengan status hak milik;
b) tanah milik bersertifikat dengan status hak guna bangunan dan hak milik;
c) tanah hak milik yang belum bersertifikat
d) tanah milik Negara.25
Dari keempat bentuk tersebut, pendaftaran wakaf diilustrasikan seperti
dalam sebuah gambar di bawah ini menurut peraturan perundangan Indonesia:
24
Penjelasan Pasal 32 Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf
25
Asmuni Mth, MA, Wakaf, (Yogyakarta: Pustakan Insan Madani, 2007), hlm. 103
70
Prosedural Pendaftaran Wakaf (Tanah Milik)
Gambar 126
Untuk lebih jelasnya di bawah ini tatacara pendaftaran wakaf tidak
bergerak yang berkaitan dengan judul penulis, yaitu tanah hak milik yang belum
bersertifikat menurut peraturan perundangan Indonesia, dengan mengacu pada
peraturan di bawah ini: Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-pokok Agraria, Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 tentang
Perwakafan Tanah Milik, Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf,
Perturan Pemerintah No. 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan UU No 41. Tahun
2004 Tentang Wakaf, PP No 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah dan
PerMenAg (Peraturan Menteri Agama) No. 1 Tahun 1978 tentang Peraturan
Pelaksanaan PP No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik, adalah
sebagai berikut:
26
Ilustarsi Gambar Diambil dari “Wakaf Indonesia”,
http://mylittlefairy.blogspot.com/2010/11/v-behaviorurldefaultvmlo.html. Tanggal 02 Februari
2014, 16.45 WIB
71
a. Perorangan/Organisasi/Badan Hukum yang mewakafkan tanah hak miliknya
(sebagai calon wakif) diharuskan datang sendiri di hadapan Pejabat Pembuat
Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) untuk melaksanakan Ikrar Wakaf.
b. Calon wakif sebelum mengikrarkan wakaf, terlebih dahulu menyerahkan
kepada PPAIW, surat-surat sebagai berikut :
1). Sertifikat hak milik atau tanda bukti kepemilikan tanah;
2). Surat Pernyataan dari Calon Wakif mengenai kebenaran pemilikan tanah
dan tidak dalam sengketa diperkuat oleh Kepala Desa/ Lurah dan Camat
setempat
3). Surat Keterangan pendaftaran tanah;
4). Ijin Bupati/Walikota u.b Kantor Pertanahan Kab/Kota setempat, hal ini
terutama dalam rangka tata kota atau master plan city (desain tata kota).
c. PPAIW meneliti surat-surat dan syarat-syarat, apakah sudah memenuhi untuk
pelepasan hak atas tanah (untuk diwakafkan), meneliti saksi-saksi dan
mengesahkan susunan nadzir.
d. Dihadapan PPAIW dan dua orang saksi, wakif mengikrarkan atau
mengucapkan kehendak wakaf itu kepada nadzir yang telah disahkan. Ikrar
wakaf tersebut diucapkan dengan jelas, tegas dan dituangkan dalam bentuk
tertulis (bentuk W.1). Sedangkan bagi yang tidak bisa mengucapkan
(misalnya bisu) maka dapat menyatakan kehendaknya dengan suatu isyarat
dan kemudian mengisi blanko W.1.
Apabila wakif itu sendiri tidak dapat menghadap Pejabat Pembuat Akta Ikrar
Wakaf (PPAIW), maka wakif dapat membuat ikrar secara tertulis dengan
persetujuan dari Kandepag yang mewilayahi tanah wakaf dan kemudian surat
atau naskah tersebut dibacakan dihadapan nadzir setelah mendapat
72
persetujuan dari Kandepag. Selanjutnya penandatanganan Ikrar Wakaf
(bentuk W.1).
e. PPAIW membuat Akta Ikrar Wakaf (bentuk W.2) rangkap tiga dengan
dibubuhi materi menurut ketentuan yang berlaku dan selanjutnya dibuatkan
Salinan Akta Ikrar Wakaf (W.2.a) rangkap 4 (empat). selambat-lambatnya
satu bulan setelah dibuat Akta Ikrar Wakaf dikirim tiap-tiap lembar ke BPN
dan lainnya,dengan pengaturan pendistribusiannya sebagai berikut:
1). Akta Ikrar Wakaf
a. Lembar pertama disimpan PPAIW
b. Lembar kedua sebagai lampiran surat permohonan pendaftaran tanah
wakaf ke Kantor Pertanahan Kab/Kota (W.7)
c. Lembar ketiga untuk Pengadilan Agama setempat
2). Salinan Akta Ikrar Wakaf :
a. Lembar pertama untuk wakif
b. Lembar kedua untuk nadzir
c. lembar ketiga untuk Kandep. Agama Kabupatan/Kota
d. lembar keempat untuk Kepala Desa/ Lurah setempat.
e. Setelah pembuatan Akta, PPAIW mencatat dalam Daftar Akta Ikrar
Wakaf (bentuk W.4) dan menyimpannya bersama aktanya dengan baik.
Setelah melakukan Ikrar Wakaf secara lisan dengan disaksikan oleh para
pihak, serta telah mendapatkan Akta Ikrar Wakaf dari PPAIW, barulah kemudian
tahap pensertifikasian tanah wakaf itu sendiri. Di mana sesuai peraturan yang
berlaku, bahwa Prosedur Pendaftaran Tanah wakaf ke Instansi yang berwenang,
dalam hal ini adalah Kantor Pertanahan setempat pada sub Direktorat Agraria
Kabupaten/Kota, sebagaimana dimaksud Pasal 32 UU No. 41 Tahun 2004 jo
73
Pasal 10 PP No. 28 Tahun 1977 jo Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 6 Tahun
1977 adalah sebagai berikut :
a. Kepala KUA Kecamatan setempat atas nama Nadzir Wakaf mendaftarkan
wakaf ke BPN dengan mengisi Blangko W.7 dengan melampirkan dokumen
sebagai berikut:
1) Sertifikat Hak Atas Tanah (bagi yang sudah sertifikat), atau surat-
surat pemilikan tanah (termasuk surat pemindahan hak, surat
keterangan warisan, girik dan sejenisnya) bagi tanah hak milik yang
belum bersertifikat.
2) Surat Keterangan dari Lurah setempat yang diketahui Camat bahwa tanah
tersebut tidak dalam sengketa.
3) Akta Ikrar Wakaf atau Akta Pengganti Akta Ikrar Wakaf (asli lembar
kedua)
4) Foto Copy KTP Wakif apabila masih hidup.
5) Foto Copy KTP para nadzir.
6) Menyerahkan Materai bernilai Rp. 6.000 (enam ribu rupiah)
Setelah semuanya selesai dan lengkap, maka Proses Sertifikasi Tanah
Wakaf mulai dilakukan oleh:
1) Pihak Kantor Pertanahan Kab/Kota menerima berkas persyaratan
untuk proses sertifikasi tanah wakaf, kemudian meneliti kelengkapan
persyaratan administrasi.
2) Pihak Kantor Pertanahan melakukan pengukuran tanah wakaf untuk
dibuatkan Gambar Situasi Tanah.
3) Pihak BPN mencatat wakaf dalam Buku Tanah
74
4) Selanjutnya memproses dan menerbitkan sertifikat tanah.27
C. Analisis Kasus
Praktik wakaf yang terjadi dalam kehidupan masyarakat belum
sepenuhnya berjalan tertib dan efisien sehingga dalam berbagai kasus, harta
benda wakaf tidak terpelihara sebagaimana mestinya, terlantar atau beralih ke
tangan pihak ketiga dengan cara melawan hukum. Keadaan demikian itu, tidak
hanya karena kelalaian atau ketidakmampuan Nazhir dalam mengelola dan
mengembangkan harta benda wakaf tetapi karena juga sikap masyarakat
yang kurang peduli atau belum memahami status harta benda wakaf yang
seharusnya dilindungi demi untuk kesejahteraan umum sesuai dengan tujuan,
fungsi, dan peruntukan wakaf.28
Fakta demikian banyak ditemukan di beberapa daerah, yang pada
akhirnya perwakafan di Indonesia tidak mengalami perkembangan namun
sebaliknya. Bahkan banyak benda wakaf yang hilang atau bersengketa dengan
pihak ketiga akibat tidak adanya bukti tertulis, seperti ikrar wakaf, sertifikat tanah
belum jelas dan banyak lagi yang lainnya.29
Hal itu seperti yang ditemukan oleh
penulis di daerah Kertasari Kec. Pebayuran Kab. Bekasi. Yang mana ada
beberapa kendala praktik wakaf di daerah itu, hingga kini belum bisa
tersertifikasi tanah wakaf. Seperti yang telah digambarkan pada bab sebelumnya.
27
Kementrian Agama RI, Tata Cara Penomoran dan Pendaftaran Tanah Wakaf,
(Jakarta: Kementrian RI, t.th), hlm. 3-5
28
Nawawi Nurdin, Tatacara Pencatatan Harta Benda Wakaf, (Tt: tp, t.th), hlm. 1-2
29
Dirjen BIMAS (Bimbingan Masyarakat Islam) Pengembangan Zakat dan Wakaf ,
Paradigma Baru Wakaf di Indonesia, (Jakarta: Dirjen BIMAS, 2005), hlm. 98
75
Pada hari selasa tanggal 18 Rabi‟ul Awal 1424 H. bertepatan dengan
tanggal 20 Mei 2003 M, bertempat di Aula Kampus Pondok Pesantren Annajah
Kertasari Pebayuran Kabupaten Bekasi Jawa Barat. H. Muhammad Yasin sebagai
Wakif telah mengikrarkan sebidang tanah dengan luas 84.000 M2
(Delapan Puluh
Empat Ribu Meter Persegi) dan tiga buah bangunan di atasnya, dengan rincian
tiga buah sertifikat atas nama orang lain (sertifikat tanah yang telah dibeli oleh H.
M Yasin). Tanah Wakaf tersebut terletak di Daerah Ds. Kertasari Kec.
Pebayuran. Kab. Bekasi - Jawa Barat. H. M. Yasin telah mengikrarkan wakaf
kepada Yayasan Wakaf Hidayatunnajah, sebagai nazirnya yaitu dari pihak
Yayasan Hidayatunnajah.30
Nadzir dari wakaf tersebut juga Pembina Yayasan
Hidayatunnajah yaitu: 1) H. Muhammad Yasin; 2) Drs. KH. Mahrus Amin; 3) H.
Iing Sarkim, S.H.31
Pengurus Yayasan Hidayatunnajah adalah 1) H.Tubagus
Achmad Darojat, MBA; 2) Abdul Basied Hanif, S.; 3) H. Solahudin Nasution,
Lc. Sedangkan pengawas Yayasan Wakaf Hidayatunnajah adalah 1) K.H Anshori
Umar Sitanggal; 2) Drs. H.M. Habib Chirzin.
Adapun tujuan peruntukan wakaf (mauquf „alaihi) tersebut adalah sebagai
berikut:
a) Syarat wakaf tersebut di atas diperuntukan bagi pondok pesantren Annajah
sebagai balai pendidikan islam yang harus tunduk kepada ketentuan-
ketentuan hukum agama Islam, menjadi amal jariyah, beribadah dan
beramal sholeh.
b) Bahwa pondok pesantren annajah harus menjadi sumber ilmu pengetahuan
agama Islam, bahasa arab, bahasa inggris, ilmu pengetahuan umum dan
teknologi yang tetap berjiwa islam dan pesantren.
c) Bahwa lembaga lembaga yang bernaung di bawah Yayasan
Hidayatunnajah, harus menjadi lembaga yang berkhidmat kepada
masyarakat, membentuk karakter peribadi umat yang “tafaqquh fiddin”
yang merupakan kader ulama, zu‟ama, aghnia menolong para fakir miskin,
memelihara yatim/dhuafa guna kesejahteraan lahir dan batin serta dunia
akhirat.
30
Lihat Gambar Akta Ikrar Wakaf pada bab III
31
Lihat Gambar Akta Ikrar Wakaf pada bab III
76
d) Bahwa pihak kedua berkewajiban: memelihara, mengembangkan dan
menyempurnakan agar balai pendidikan yang berada di bawah naungan
yayasan hidayatunnajah menjadi lembaga yang bermutu dan berarti dalam
tafaqquh fiddin.32
Titik masalah yang pertama yaitu terdapat tiga buah bidang tanah yang
belum bersertifikat atas nama H. M. Yasin, karena pada waktu pembeliannya. H.
M. Yasin belum membuatkan sertifikat atas namanya sendiri (balik nama
kepemilikan tanah). Hal itu tidak bisa dilakukan pemindahan hak milik dari akta
jual beli (AJB) menjadi sertifikat hak milik (SHM), karena seluruh tanah yang
dimiliki H. M. Yasin melebihi kapasitas yang ditentukan undang-undang.33
Permasalahan yang kedua adalah sebagian pengelola wakaf (nadzir) merupakan
salah satu dari anggota Yayasan Hidayatunnah yaitu H. M Yasin. Dari kedua
masalah ini penting untuk menilai lebih jauh keabsahan praktik wakafnya.
Jika dilihat dari keabsahannya dalam kasus tersebut, merujuk pendapat
ulama atau perspektif fiqh, maka sah tidaknya praktik wakaf ditentukan
terkumpulnya rukun dan syarat wakaf itu sendiri. Seperti yang telah dijelaskan di
atas, rukun wakaf menurut mayoritas ulama selain Hanafi adalah orang yang
mewakafkan (wakif), tujuan diwakafkan (maukuf „alahi), barang wakafan
(maukuf bih), dan sighat wakaf (ikrar wakaf).34
Sedangkan menurut mazhab
Hanafi, rukun wakaf itu hanya ada satu, yaitu shighat. Shighat di sini adalah
32
Lihat Lampiran Akta Ikrar Wakaf pada bab III
33
Hasil Hasil Wawancara bersama Agus Sujadi selaku KUA / PPAIW Kec. Pebayuran
di Kantor Urusan Agama (KUA) Kec. Pebayuran pada tanggal 23 Desember 2013 pukul 16.05 –
16.35 WIB.
34 M. Abid Abdullah al-Kabisi, Ahkam al-Waqf fi al-Syari‟ah al-Islamiyyah, edisi
terjemahan Hukum Wakaf, (Depok: Dompet Dhuafa Republika dan IIMan, 2004), hlm. 87
77
lafaz-lafaz yang menunjukkan kepada makna wakaf atau pelafalan yang
menunjukan makna (substansi) wakaf.35
Dalam hal ini wakifnya adalah H. Muhammad Yasin, tujuan wakaf
(mauquf „alahi) yaitu sebagai balai pendidikan Islam yang harus tunduk kepada
ketentuan-ketentuan hukum Islam, menjadi amal jariyah, beribadah, beramal
sholeh, lembaga ini bertujuan pada pengabdian kepada masyarakat dengan
membentuk karakter peribadi umat yang “tafaqquh fiddin” yang merupakan
kader ulama, zu‟ama (pemimpin/pemerintah), menolong para fakir miskin,
memelihara yatim/dhuafa guna kesejahteraan lahir dan batin serta dunia akhirat.
Sedangkan barang wakafnya (maukuf bih) yaitu tanah dengan luas 84.000 M2
(Delapan Puluh Empat Ribu Meter Persegi) dan tiga buah bangunan di atasnya,
dengan rincian tiga buah sertifikat atas nama orang lain (sertifikat tanah yang
telah dibeli oleh H. M Yasin). Dan ikrar wakaf telah dilakukan oleh wakif baik
dengan lisan maupun dengan tulisan tanpa mengandung kesamaran, ikrar juga
disaksiakan sekitar lebih dari tiga belas (13) orang saksi. Mengenai nazhir itu
sendiri merupakan wakifnya juga, menurut fiqh diperkenankan selama itu tidak
bertentangan secara prinsip syariah. Menurut ulama fiqh seorang wakif bisa
menunjuk dirinya-sendiri atau orang lain untuk menjadi nadzir, tetapi jika
wakif tidak menunjuk siapapun untuk menjadi nadzir, maka yang bertindak
sebagai nadzir adalah qadli (hakim) dari pihak desa tempat wakaf tersebut.36
Untuk masalah pendaftaran wakafnya sendiri demi kepentingan pencatatan
administratif, dalam fiqh tidak ditemukan ketentuan ini. Jadi kesimpulannya
35
M. Abid Abdullah al-Kabisi, Ahkam al-Waqf fi al-Syari‟ah al-Islamiyyah, edisi
terjemahan Hukum Wakaf, (Depok: Dompet Dhuafa Republika dan IIMan, 2004), hlm. 87
36
Ibnu Syihab al-Ramli, Nihayah al-Muhtaj, Juz IV, (Beirut: Daar al-Kitab al-
Alamiyah, 1996), hlm. 397
78
praktik yang dilakukan di daerah kertasari kec. Pebayuran Kab. Bekasi sah
menurut Fiqh karena rukun dan syaratnya telah terpenuhi.
Berbeda dengan perspektif perundangan Indonesia, wakaf bisa dikatakan
sah harus memenuhi unsur syarat dan rukunnya. Dan yang paling terpenting yaitu
mensyaratkan perbuatan wakaf dicatatkan kemudian didaftarkan kepada instansi
yang berwenang seperti yang dijelaskan di atas. Pasal 69 berbunyi: (1) Dengan
berlakunya Undang-Undang ini,wakaf yang dilakukan berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku sebelum diundangkannya Undang-
Undang ini, dinyatakan sah sebagai wakaf menurut Undang-Undang ini. (2)
Wakaf sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib didaftarkan dan diumumkan
paling lama 5 (lima) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan.
Jadi, meski secara syarat dan rukun terpenuhi pada praktik wakaf di
daerah Kertasari Kec. Pebayuran Kab. Bekasi, namun melihat kekuatan
hukumnya masih ditangguhkan. Karena peraturan perundangan Indonesia
mensyaratkan pendaftaran wakaf menjadi salah satu sahnya perbuatan wakaf itu
sendiri sesuai pasal 69 UU No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf. Rukun wakaf
dalam perspektif UU No. 41 Tahun 2004 juga berbeda dengan perspektif fiqh,
yang mana dilaksanakannya dengan harus memenuhi unsur wakaf, yaitu: a).
Wakif; b). Nazhir; c). Harta Benda Wakaf; d). Ikrar Wakaf; e). peruntukan harta
benda wakaf; dan f). jangka waktu wakaf. Jadi bisa disimpulkan syarat
administrasi merupakan faktor penentu sah tidaknya sebuah perbuatan hukum,
dalam hal ini yaitu perbuatan wakaf harus didaftarakan, karena prinsip dasar
peraturan perundang-undangan Indonesia menjaga persengketaan dikemudian
hari. Hal itu juga bisa dilihat dengan jelas pada Pasal 3 Peraturan Pemerintah
tentang Pelaksanaan UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf yang berbunyi:
79
(1) Harta benda wakaf harus didaftarkan atas nama Nazhir untuk kepentingan
pihak yang dimaksud dalam AIW sesuai dengan peruntukannya.
(2) Terdaftarnya harta benda wakaf atas nama Nazhir tidak membuktikan
kepemilikan Nazhir atas harta benda wakaf.
Di lain pihak urgensitas terpenuhinya faktor administrasi, kecermatan, dan
ketelitian dalam mewakafkan harta wakaf menjadi sangat penting, hal itu demi
keberhasilan tujuan dan manfaat wakaf itu sendiri. Alangkah ruginya, jika niat
yang baik untuk mewakafkan hartanya, tetapi kurang cermat dalam tertib
administrasinya, mengakibatkan tujuan wakaf menjadi terabaikan. Jika tertib
administrasi ini ditempatkan sebagai wasilah (penghubung) hukum, maka
hukumnya bisa menjadi wajib.37
Hal ini senada dengan kaidah ushuliyyah yang
mengatakan:
واالتم الواجب االبه فهو واجب38
Artinya: Sesuatu yang menjadikan kewajiban sempurna karenanya adalah
wajib adanya.
Begitu juga dengan prinsip sadd adz-dzari‟ah,39
yang kurang lebih
berprinsip seperti di bawah ini:
ء الوفاسد أولى هي جلب الوصالح.در40
Artinya: Menolak keburukan (mafsadah) lebih diutamakan daripada meraih
kebaikan (maslahah).
37
Ahmad Rofiq, Fiqih Kontekstual dari Normatif ke Pemaknaan Sosial. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 324
38
Muchtar Yahya dan Fatchur Rahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh
Islami,(Bandung: Al-Ma‟arif, 1993), hlm. 344
39
Metode sadd adz-dzari‟ah merupakan upaya pencegahan (preventif) agar tidak terjadi
sesuatu yang menimbulkan dampak negatif dikemudian hari.
40 Jalaluddin as-Suyuthi, al-Asybah wa an-Nazhair, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah,
t.th), hlm. 176
80
Pendaftaran tanah merupakan sesuatu yang penting (urgent), karena
melihat kondisi sekarang dituntut untuk serba dicatat dan didaftarkan kepada
badan yang berwenang, tak lain demi terwujudnya kedamaian serta
meminimalisir sengketa pertanahan.
Melihat lebih jauh lagi, sebetulnya prinsip hukum Islam juga
mengedepankan kepatuhan pada ulul amri (pemerintah). Jadi secara tidak
langsung masyarakat berkewajiban menaati peraturan pemerintah dalam hal
pendaftaran tanah wakaf. Berdasar pada dalil al-Qur‟an:
عىا عىا اهلل وأط ي آهىا أط كن.....ا أها الذ الزسىل وأول األهز ه41
Arinya: Wahai mereka yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul dan uli
al-Amr dari kalangan kamu.
Adapun masalah yang kedua, nadzir (pengelola wakaf) dari praktek wakaf
di daerah ini yaitu wakif (H. M. Yasin) menyerahkan kepada Yayasan
Hidayatunnajah, sedangkan Yayasan Hidayatunnajah pengurusnya merupakan
wakif (H.M. Yasin) sendiri dengan yang lainnya. Apakah secara hukum
Indonesia sah. Melihat hal itu, perundangan Indonesia membolehkan seorang
wakif menyerahkan pengelolaannya (nadzirnya) kepada wakif itu sendiri, namun
harus terpunuhi syarat dan kriteria:
a. warga negara Indonesia;
b. beragama Islam;
c. dewasa;
d. amanah;
e. mampu secara jasmani dan rohani; dan
f. tidak terhalang melakukan perbuatan hukum.42
41
Q.S: an-Nisa : 59
42
Pasal 9 Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf
81
Selama terpenuhinya syarat atau kriteria nadzir di atas, maka siapapun
boleh menjadi nadzir wakaf. Selama bisa mengamankan dan kompeten mengelola
harta benda wakaf maka itu sah-sah saja. Yang terpenting adalah terlaksananya
inti ajaran wakaf itu sendiri agar harta wakaf tidak boleh hanya dipendam tanpa
hasil apapun. Semakin banyak manfaat atau hasil harta wakaf yang dapat
dinikmati orang, semakin besar pula pahala yang akan mengalir kepada pihak
wakif.
Mengenai peran PPAIW (pejabat pembuat akta akrar wakaf) dalam
pendaftaran tanah seperti yang diamanatkan dalam peraturan perundang-
undangan Indonesia harus berperan aktif ketika mendaftarkan tanah wakaf
kepada instansi yang berwenang, ini sesuai dengan Pasal 14 Ayat (1) UU No. 41
Tentang Wakaf. Namun jika PPAIW tidak segera mendaftarkan tanah wakaf
dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak penandatanganan Akta
Pejabat Ikrar Wakaf (APAIW) maka dapat PPAIW Kec. Pebayuran berhak
dikenakan sanksi administratif sesuai Pasal 68 UU No. 41 Tentang Wakaf yaitu:
(1) Menteri dapat mengenakan sanksi administratif atas pelanggaran tidak
didaftarkannya harta benda wakaf oleh lembaga keuangan syariah dan
PPAIW sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 dan Pasal 32.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. peringatan tertulis;
b. penghentian sementara atau pencabutan izin kegiatan di bidang
wakaf bagi lembaga keuangan syariah;
c. penghentian sementara dari jabatan atau penghentian dari jabatan
PPAIW.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan sanksi administratif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Namun dalam kasus ini, PPAIW tidak serta merta lalai dalam
melaksanakan tugasnya secara penuh, fakta tersebut bisa dilihat dari pengakuan
PPAIW Kec. Pebayuran ketika menjelaskan kronologis kasus sebenarnya.
Menurut PPAIW Kec. Pebayuran, kendala yang dihadapi adalah balik nama akta
82
jual beli (AJB) menjadi sertifikat hak milik (SHM) pemilik ketika hendak
diwakafkan. Yang mana H.M. Yasin selaku pembeli ketiga bidang tanah tersebut
telah melewati batas maksimum kepemilikan tanah yang dimilikinya. Disamping
keterlambatan pemberian berkas oleh pihak yang mewakafkan kepada nazir
setelah ikrar wakaf.
Jadi kesimpulan dalam kasus ini menurut penulis adalah perlunya upaya
penyatuan (integrasi) pendaftaran wakaf dalam satu badan atau lembaga, karena
proses sertifikasi wakaf di Indonesia terdapat dua badan dalam memproses
terdaftarnya harta wakaf. Pertama kepada PPAIW selaku badan yang berwenang
membuat akta ikrar wakaf. Kedua BPN daerah selaku pembuat sertifikat tanah
wakaf. Dua badan tersebut menjadi kendala tersendiri bagi masyarakat ketika
hendak mendaftarkan tanah wakafnya. Hal itu tidak senada dengan prinsip dasar
hukum yang seharusnya mempermudah proses administrasi.
Pendapat lain dari penulis adalah perlunya penghapusan aturan batas
maksimal kepemilikan tanah jika diperuntukan untuk wakaf, karena hal ini akan
mempersulit orang yang hendak mewakafkan tanah wakafnya. Seperti yang
terjadi di daerah Pebayuran. Dan yang paling terpenting menurut penulis adalah
ahli waris melakukan ikrar wakaf kembali kepada PPAIW karena wakif telah
meninggal dunia pada tahun 2013. Hal demikian agar tidak terjadinya sengketa
dikemudian hari. Sesuai kaidah Islam yaitu masalah atau kemudaratan harus
dicegah sedini mungkin:
انضرر دفع ثمدر اإلمكبن43
Artinya: “Kemudaratan harus dicegah sebisa mungkin”.
43
Izt Ubaid al-Du‟as, al-Qawaid al-Fiqhiyah ma‟ Syarh al-Mujaz, (Dimsyiq: Dar al-
Tirmizdi, 1989), Hal.31.
83
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dari skripsi ini, penulis menemukan beberapa
kesimpulan yang didapat dari keabsahan praktik wakaf di Daerah Pebayuran
Kab. Bekasi. Sesuai dengan rumusan masalah pada bab pertama maka
kesimpulannya adalah:
1. Keabsahan wakaf tidak terlepas dari segi legalitas (sah atau tidaknya) sebuah
praktik wakaf secara hukum. Dalam hal ini kesahihan praktik wakaf dilihat
dari pandangan hukum Islam (fiqh), hal tersebut juga tidak terlepas dari
kebenaran menurut hukum secara tertulis ataupun pada tataran ijtihad para
ulama. Untuk itu diperlukan penelahaan pada kajian normatif (hukum)
maupun segi kesejarahan praktik wakaf. Ulama klasik dalam menetapkan
sebuah keabsahan wakaf dilihat dari keberadaan syarat dan rukun itu pada
praktiknya. Adapun Rukun wakaf menurut mayoritas ulama selain Hanafi
adalah orang yang mewakafkan (fikaw), tujuan diwakafkan (maukuf ‘alahi),
barang wakafan (maukuf bih), dan sighat wakaf. Sedangkan menurut mazhab
Hanafi, rukun wakaf itu hanya ada satu, yaitu shighat. Shighat di sini adalah
lafaz-lafaz yang menunjukkan kepada makna wakaf atau pelafalan yang
menunjukan makna (substansi) wakaf. Dan tidak ditemukannya persyaratan
keharusan pencatatan ataupun pendaftaran wakaf seperti dalam perundangan
Indonesia.
84
2. Setelah adanya UU No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok
Agraria dan PP (Peraturan Pemerintah) No. 28 Tahun 1977 Tentang
perwakafan Tanah Milik, Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum
Islam dan Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf. Bahwa
praktik wakaf bisa dikatakan sah dan kuat secara hukum bila unsur-unsur
rukun-syarat wakaf terpenuhi dan didaftarkan kepada pihak yang berwenang,
dalam hal ini wakaf yang tidak bergerak kepada PPAIW (Pejabat Pembuat
Akta Ikrar Wakaf) daerah dan Badan Pertanahan setempat. Jika tidak
terpenuhi maka sah saja wakaf jika praktik wakaf dilakukan sebelum UU. No.
41 Tahun 2004 Tentang Wakaf berlaku. Namun terdapat praktik wakaf setelah
lima tahun diberlakukan undang-undang ini maka praktik wakaf tersebut
secara hukum tidak mempunyai kekuatan mengikat (sah). Pasal 69 undang-
undang ini menegaskan: (1) Dengan berlakunya Undang-Undang ini,wakaf
yang dilakukan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku sebelum diundangkannya Undang-Undang ini, dinyatakan sah sebagai
wakaf menurut Undang-Undang ini. (2) Wakaf sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib didaftarkan dan diumumkan paling lama 5 (lima) tahun sejak
Undang-Undang ini diundangkan.
3. Setelah dilakukan analisis, dari segi keabsahannya praktik wakaf di daerah
Kertasari Kec. Pebayuran Kab. Bekasi adalah sah secara fiqh. Karena
terkumpulnya syarat dan rukunya seperti wakifnya adalah H. Muhammad
Yasin, tujuan wakaf (mauquf ‘alahi) yaitu sebagai balai pendidikan Islam,
85
barang wakafnya (maukuf bih) yaitu tanah dengan luas 84.000 M2
(Delapan
Puluh Empat Ribu Meter Persegi) dan tiga buah bangunan di atasnya, ikrar
wakaf telah dilakukan oleh wakif baik dengan lisan maupun dengan tulisan
tanpa mengandung kesamaran. Untuk masalah pendaftaran wakafnya sendiri
demi kepentingan pencatatan administratif, jika dilihat dari perspektif
perundangan Indonesia maka belum dikatakan sah sebagai tanah wakaf,
karena belum terselesaikannya pendaftaran wakaf itu sendiri. Pendaftaran
wakaf merupakan hal terpenting dalam peraturan perundangan Indonesia,
karena pencatatan dan pendaftaran menyulitkan sengketa pertanahan (wakaf)
dikemudian hari.
B. Saran-saran
1. Saran penulis terkait masalah ini perlu dilakukannya pendaftaran wakaf
kembali oleh pihak yang berwenang setelah mendapatkan akta ikrar wakaf,
dalam hal ini PPAIW (pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf) daerah Kec.
Pebayuran Kab. Bekasi bersama dengan nadzir dari Yayasan Hidayatunnajah
untuk memberikan berkas-berkas persyaratan sertifikasi wakaf kepada Badan
Pertanahan setempat.
2. Jika terdapat kendala dalam pendaftaran wakaf karena status pemindah-
alihan hak atas tanah belum terselesaikan sebelumnya, maka seharusnya ahli
waris dari wakif menyelesaikan pemindahalihan hak milik dari tiga tanah
86
yang sebelumnya dimiliki orang lain. Karena itulah yang menjadikan susah
tidaknya diterbitkannya sertifikat tanah wakaf, karena telah melewati batas
maksimal kepemilikan tanah.
3. Agar cepat terselesaikannya masalah dalam kasus ini, saran penulis sesegera
mungkin permasalahan ini diselesaikan sedini mungkin, agar tidak berlarut-
larut dalam ketidakjelasan status tanah wakaf itu.
87
87
DAFTAR PUSTAKA
Al-Quran Al-Karim
Abbas, Afifi Fauzi. Metodologi Penelitian. Jakarta: Adelina Offset. 2010.
Al-Alabiji, Adijani. Perwakafan Tanah di Indonesia dalam Teori dan Praktek.
Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2002.
Al-Anshary Abi Yahya Zakariya. Fath al-Wahhab. Juz I. Beirut: Dar al-Fikr.
t.th.
al-Hussain, Imam Taqiyuddin Abu Baakar ibn Muhammad. Kifayah al-Akhyar.
Juz 1. Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiah. t,th.
Ali, Muhammad Daud. Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf. Jakarta: UI
Press. 1988.
Al-Kabisi, M. Abid Abdullah. Ahkam al-Waqf fi al-Syari’ah al-Islamiyyah.
edisi terjemahan Hukum Wakaf. Depok: Dompet Dhuafa Republika dan
IIMan. 2004.
Al-maliabary, Zainuddin Ibn Abd. Aziz. Fath al-Mu’min. Semarang: Toha
Pura. Tth.
Al-Mughniyah, Muhammad Jawad. al-Fiqh ala al-Mazahib al-Khamsah, terj.
Masykur Afif Muhammad, Idrus al-kaff. Fiqih Lima Mazhab. Jakarta:
Lentera. 2001.
Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta:
Rineka Cipta. 2006
Asmuni, Mth. Wakaf: Seri Tuntunan Praktis Ibadah. Yogyakarta: PT. Pustaka
Insan Madani. 2007.
As-San’ani, Muhammad bin Ismail al-Kahlani, Subul as-Salam. Juz 3. Cairo:
Syirkah Maktabah Mustafa al-babi al-Halabi. tth.
As-Shan’ani, alih bahasa Drs. Abu Bakar Muhammad, Subulus Salam III.
Surabaya: Al-Ikhlas. 1995.
88
88
As-Suyuthi, Jalaluddin, al-Asybah wa an-Nazhair. Beirut: Dar al-Kutub al-
Ilmiyyah. t.th.
As-Syaukani. Nail al-Authar. Mesir: Musthafa al-Baby al-Halabi. t. thh.
Departemen Agama. Perkembangan Pengelolaan Wakaf di Indonesia. Jakarta:
Proyek Peningkatan Zakat dan Wakaf Dirjen Bimas dan Penyelenggaraan
Haji. 2003
Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:
Balai Pustaka. 2004.
Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam. Peraturan Perundangan
Perwakafan. Departemen Agama RI. 2006.
Direktorat Pemberdayaan Wakaf Dirjen BIMAS (Bimbingan Masyarakat
Islam). Panduan Pemberdayaan Tanah Wakaf Produktif Strategis di
Indonesia. Jakarta: Dirjen BIMAS. 2008.
Direktorat Pemberdayaan Wakaf: Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam Depag
RI. Fiqih Wakaf. Dirjen BIMAS Depag RI. 2006.
Djunaidi, Achmad dan Tbobieb. Menuju Era Wakaf Produktif. Depok: Mumtaz
Publishing. 2008. cet. Ke- 5.
Hafidhuddin, Didin. Islam Aplikatif. Jakarta: Gema Insani Press. 2003.
Haq, Faisal dan Saiful Anam. Hukum Wakaf dan Perwakafan di Indonesia.
Pasuruan Jawa Timur: GBI. 1994
Ibrahim, Johnny. Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum Normati. Malang:
Bayumedia Publishing. 2008
Khalaf, Abdul Wahhab. ‘Ilm Usul al-Fiqh. Kuwait: Dar al-Qalam. 1978.
Lubis, Suhrawardi K, dkk. Wakaf dan Pemberdayaan Umat. Jakarta: Sinar
Grafika. 2010.
Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana. 2011. cet. Ke-7.
Munawir, Ahmad Warson. al-Munawir. Surabaya: Pustaka Progressif. 1997.
edisi ke-2.
89
89
Rofiq, Ahmad. Fiqih Kontekstual dari Normatif ke Pemaknaan Sosial.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2004.
Rofiq, Ahmad. Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
1997
Romy, Soemitro H. Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta: Ghalia Indonesia.
1990.
Sabiq, Sayyid. Fiqh al-Sunah. Beriut: Dar al-Fikr. Tth.
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif Suatu
Tinjauan Singkat. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2003.
Syarifuddin Amir. Garis-Garis Besar Fiqih. Jakarta: Peranada Media. 2003.
Yahya, Muchtar dan Fatchur Rahman. Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh
Islami. Bandung: Al-Ma’arif. 1993.
Yayasan Penterjemah/Penafsir al-Qur’an. Al-Qur’an dan Terjemahnya.
Surabaya: DEPAG RI. 1978.
Peraturan Perundangan Indonesia
Undang-Undang Nomor. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf
Undang-Undang Nomor. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok
Agraria
Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-
Undang Nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf
Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 Tentang perwakafan Tanah Milik
Instruksi Presiden (Inpres )No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam
Peraturan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 2010 tentang Perubahan Penyebutan
Departemen Agama Menjadi Kementerian Agama
Peraturan Kepala BPN (Badan Pertanahan Nasional) Nomor 6 Tahun 2008
tentang Penyederhanaan dan Percepatan Standar Prosedur Operasi
90
90
Pengaturan dan pelayanan Pertanahan untuk Jenis Pelayanan Pertanahan
Tertentu
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1997 tentang
Ketentuan Pelaksanaan PP No. 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah
Wakaf
Peraturan Menteri Agama No. 1 Tahun 1978 tentang Peraturan Pelaksanaan
(PP) No. 28 tahun 1997 tentang Perwakafan Tanah milik
SKB (Surat Keputusan Bersama) Menteri Agama dan Kepala BPN (Badan
Pertanahan Nasional) Nomor 03 Tahun 2004 tentang Sertifikasi
Hasil Wawancara:
Hasil Wawancara bersama Ust. Mustofa (saksi), di Pondok Pesantren Darun
Najjah (Jl. Ulujami Raya No. 86 Pesanggrahan - Jakarta Selatan), 23 Desember
2013. Pukul 16.05 – 16.35 WIB
Hasil Wawancara bersama Drs. H. Kepala selaku KUA / PPAIW Kec.
Pebayuran di Kantor Urusan Agama (KUA) Kec. Pebayuran pada tanggal 23
Desember 2013 pukul 16.05 – 16.35 WIB.
Hasil Wawancara dengan Drs. KH. Mahrus Amin selaku nadzir di Pondok
Pesantren Darun Najjah, Jl. Ulujami Raya No. 86 Pesanggrahan - Jakarta
Selatan, Pada tanggal 23 Desember 2013 Pukul 10.55 – 11.15 WIB
91
LAMPIRAN 1
SURAT WAWANCARA
92
LAMPIRAN 2
HASIL WAWANCARA I
Penulis :Mochamad Awaludin Romdoni
(108044100034)
Narasumber I : Drs. KH.Mahrus Amin
Tempat dan tanggal Wawancara : PondokPesantrenDarunNajjah (Jl. Ulujami
Raya No. 86Pesanggrahan - Jakarta Selatan)
Tanggal/Waktu :23Desember 2013 / 10.55 – 11.15 WIB
Penulis:Bagaiman awal mula terjadinya perwakafan tanah tersebut?
KH. Makrus: Memang sejarahnya panjang dulu Darunnajah itu mengirimkan
santri-santri untuk PPM (Peraktek Pengabdian Pasyarakat) diantaranya di
Kertasari di Pekasi sana yah diantaranya Muhamad Ali qori itu kan jadi tau
bahwa masyarakat sana tentang keunggulan darunnajah sehingga pak haji
Yasin ingin membangun dan ingin dikelola oleh Darunnajah oleh ustad
Makhrus lah gitu ya, nah ustad Makhrus pada waktu itu juga mengembangkan
pesantren agar pesantren itu tidak di ulujami itu saja mana yang ada
memberikan wakaf sesuai dengan keinginannya kita bangun, pak haji Yasin
ngasih uang sekitar Rp. 200 Juta kalo ga salah, ya dalam jangka dua bulan kita
nampung duaratus santri, waktu itu ikrarnya sudah ada lima hektar kemudian
ditambah lagi sekitar delapan hektar gituyah tambah lagi dengan bangunan
modal pertama dari Mei, Juni, Juli Agustus kita sudah ada santri sekitar
duaratus santri, santri yang mereka tidak di terima di darunnajah saya bawa ke
annajah pada waktu itu, nah kemudian perkembangannya kita juga dapat
masjid dapat juga gedung sekolah dari Saudi yang ustad Makhrus cari yah
sehingga pesantren itu semaju maju-maju dan terkenal diantaranya pernah di
kunjungi oleh ribuan yah pengunjung terutama pada waktu panen raya padi
percontohan dan datang pada waktu itu wakil presiden ibu Megawati
kemudian datang ada dari Saudi orang minta kepada ustad Makhrus untuk
membangun pesantren, waktu itu saya minta ke H. Yasin yah dan disediakan
tanah kalo ga salah sekitar tiga atau empat hektar gitu, nah itulah yang
sekarang yang dihuni al-Bina, dan ikrar wakaf sudah ada heeh ikrar wakaf
tetapi mungkin belum dilanjutinya sehingga menjadi buku wakaf, nah sayah
ga tau perkembangan sekarang apa selesai apa belum, disamping itu waktu itu
juga ada keluarga atau pak camat pada waktu itu euuuu ngasih ke ustad
93
Makhrus tapi ustad Makhrus waktu itu mungkin ada sekitar dua ribu meter
mungkin yah ada ada apa namanya empang gitu, ikrarnya saya pengen punya
rumah disana bukan wakaf jadi hibbah jadi waktu itu ikrarnya di berikan aja
ustad Makhrus terserah gitu tapi kalo dari haji Yasin ikrarnya itu wakaf nah
ustad Makhrus bikin rumah bikin apa di empang, ga tau sekarang mungkin
keluarganya maunya wakaf tapi waktu itu ustad Makhrus tidak numpang di
wakaf mintanya yaitu hibbah gitu tapi usatd Makhrus tentunya hibbah itu
karena memimpin pesantren sama dengan di Darunnajah pimpinannya itu ga
numpang di tanah wakaf tapi yaitu membeli tanah satu hektar.
Penulis:Siapa yang menjadi nadjir wakif dan maukuf alaih?
KH Makrus:Nadzir ya saya sama ustad Makhrus, wakifnya haji Yasin dan
haji Yasin itu dari beberapa namanya dari beberapa orang mungkin faham
saya tanah itu dari haji Yasin tapi haji Yasin wakaf harga dari nama yang dia
sudah beli yah itu sudah ada ikrar wakaf. Ikrar wakaf baru di KUA tapi belum
jadi buku sertifikat.
Penulis:Berapa luas tanah yang di wakafkan waktu itu?
KH. Makrus:Ya waktui itu sampe delapan hektarlah kalo ga berkurang
delapan hektar dari lima hektar tambah lagi tambah lagi, jadi waktu itu ustad
sengaja bikin dua pintu gerbang pintu gerbang yang sebelah kiri pintu gerbang
yang melalui poloisi dengan harapan nantinya putra putri itu masuknya lain,
jadi makannya ustad Makhrus waktu itu beli yah tanah untuk jalan tapi
terakhir jalan itu sudah di anu apa di beli jualbelikan artinya d bayar oleh
keluarga haji yasin hingga ustad Makhrus tidak punya lagi.
Penulis:Bagaimana Ikra wakafnya waktu itu?
KH. Makrus:Tanah-tanah di kumpulkan haji Yasin kemudian euu
tandatangan masing masing ke KUA heeh jadi mungkin arsipnya apa di KUA
dan di saya juga mungkin ada kalo di cari yang sudah di wakafkan, tetapi
waktu waktu terakhir setelah waktu itu kan saya yang mewakili atas nama
saya kan anak Mustofa, begitu Mustofa kemudian suruh pindah maka saya
tidak mau ngurusin lagi gitu jadi akhirnya Mustofa suruh membantu
darunnajah yang di serang, kemudian di sana di ambil alih oleh ustad Ansori
atau yang lain dan yayasanya juga masaih keluarga pak haji Yasin yang
sampai sekarang kemudian euu pesantren itu di iman itu alumni.
94
Penulis:Pada waktu ikrar wakaf, apakah ikrar wakaf di daftarkan?
KH. Makrus: Ya ikrar wakaf kan ya saya minta tanda wakaf kemudian di
serahkan gitu kemudian waktu waktu tertentu kita umumkan bahwa ini tanah
ini sudah wakaf, tapi waktu serah terima euu bahwa saya sudah tidak sana lagi
ada penghargaan ke ustad Makhrus di antaranya sekitar Sembilan milyar
nilainya yang kita bangun mungkin ustad Makhrus sekitar empat milyaran pak
haji Yasin sekitar tiga milyaran nilai nilai yang di ikrar wakafkan.
Penulis: Apakah pada waktu terjadinya ikrar wakaf terdapat sengketa pertanahan?
KH. Makrus: Engga keinginan pak haji yasin pengen membangun pesantren
diserahkan pembangunannya tanahnya uangnya sekitar dua ratus juta itu di
berikan ke ustad Makhrus kemudian ustad makhrus membangun beberapa
gedung sedangkan mesjid dari Saudi Arabia kemudian gedung madrosah yang
ustad Makhrus bangun dari Saudi ada lagi wisma yang si bangun oleh pak
Zarkasih itu mentri koprasi.
Penulis: Bagaimanakah respon keluarga si wakif?
KH. Makrus: Kalo yang dulu keluarganya banyak jadi begitu pak haji Yasin
meninggal ya nanti kalo memang masing-masing mungkin yang lebih tau
yaitu tim yang sekarang ini yang Lain dan skarang ini dari keluarganya ada
yang jadi bupati gitu.
Penulis: Hingga sekarang bagai mana kedudukan tanah wakaf tersebut?apakah
statusnya masih hak milik atau sudah menjadi tanah wakaf?
KH. Makrus: Saya kira sekarang ini masih wakaf keinginan dari keluarganya
juga agar menjadi wakaf diantara tanah tanah milik wakafnya itu hanya
mungkin jumlahnya sudah berkurang dari yang dulu kemungkinan ya dulukan
sekitar enam sampai delapan hektar yang direncanakan untuk kita ya nah
mungkin sekarang ini sudah berkurang atau mungkin bertambah.
Penulis: Apakah tanah wakaf sudah di daftarkan kepada pihak yang berwenang?
KH. Makrus:Saya ga tau apa sudah di daftar apa belum.
Penulis: Siapa saja yang berperan pada waktu itu?
95
KH. Makrus: Ya sebenarnya haji Yasin saja haji Yasin sebagai wakif gitu
kan dan tanahnya juga si wakif haji Yasin itu hanya euu dalam kehidupan
sehari harinya kan ibu lan itu yang lebih deket dengan pak haji Yasin ya
mungkin juga membangun kolam renang ya ga tau apa d lola oleh pesantren
oleh dia mungkin itu, mungkin juga ada banguna bangunan yang lain.
Penulis: Siapa saja yang menjadi saksi pada waktu akad?
KH. Makrus:Yang tertulis itu di KUA jadi kanada saksi saksi tidak di muka
umum banyak, setelah di bangun perlu surat suratnya bertahap di usahakan
ikrar wakaf.
Mengetahui,
Penulis Narasumber I
(M. Awaludin Romdoni) (KH. Makrus)
96
LAMPIRAN 3
HASIL WAWANCARA II
Penulis :Mochamad Awaludin Romdoni
(108044100034)
Narasumber II : Ust. Mustofa
Tempat dan tanggal Wawancara : PondokPesantrenDarunNajjah (Jl. Ulujami
Raya No. 86Pesanggrahan - Jakarta Selatan)
Tanggal/Waktu :23Desember 2013 / 16.05 – 16.35 WIB
Penulis:Bagaimana awal mula terjadinya perwakafan tanah ?
Ust. Mustofa: Ya pertama kalo secara aslinya yakan saya memang tidak tau
secara langsung yah jalan aja jadi yang anu persis sumber pokok ya ustad
Makhrus yang kedua mungkin ada beberapa orang sebagai saksi sejarah yang
di sana yang memang anu emang pak Yumi yakan umpamanya narasumber
yang kira kira pak Dedeng kemudian pak Didin iyakan munculakan orang pak
anu yah pak haji yasin yah anu yah ustad Makhrus awalnya bikin sendiri tapi
pas ketika mulai berjalan yakan mulai yak kemudian ada saya utad Kholid
ustad di sana tuh yah ustad Kholid dan yang lainya, kalo dari yang muda
dalam artian yang di lapangan ya mungkin yang di sana ya mungkin ustad
Alam muda ya dalam artian anak anak santri ya, tapi ya kita tangkap ya
informasinya sebetulnya beberapa pak Haji Yasin dengan Darunnajah tapi itu
kan sudah adain komunikasi khususnya kalo permasalahan qori atau qoriah
lomba MTQ nah khususnya dulu sering qori dari sini di bawa kesana nah dari
situ mungkin apah ya dari komunikasi kemudian ada keinginan mendirikan
pesantren waktu itu inikan menurut riwayat yang saya dengar dari ustad
Makhrus dulu punya niat pesantrennya kan depan rumahnya ya tapi kalo ustad
makhrus kan sudah tau alasannya kalo pesantren masa depan itu adalah
minimal kan tujuh hektar jadi kalo itu ga ini jadi kalo ga setuju juga ga apa
apa yakan nah terus di tunjukan sawah iya kan yak an itu sawah itu, itukan
memang sawah basah yah artinya sawah produktif iya kan sawah produktif
yah sawah ga apa apa kan gitu yah. Maka dalam riwayat itu kan tanggal 19 itu
apa terjadi mufakat oke bangun pesantren nah terus tanggal 20 mei 89 mulai
didirikan yakan maka gedung yang pertama yang depan yang samping gor kan
gedung itu gedung 20 mei, 20 mei hari kebangkitan nasional sekaligus
menjadi hari jadi Annajah yaitu tentang setatus tanahnya ya dulu pokoknya
97
tanahnya pak haji Yasin ya, ya kalo formal legal ya mungkin ya harus di liat
catatan catatannya yah tapi kalo yang umum publik yakan begitu jadi wakaf
itu ketika di telusuri mungkin yang euu sekarang ada kolam yah dengan
dengan rumah sampingnya belakang gerbang itu dulu yang saya dengar
riwayatnya itu belum punya pak haji Yasin artinya pak wakil camat atau siapa
terus di beli oleh haji Yasin ya kitasecara lisannya yang kita dengar itu tanah
di berikan kepada ustad Makhrus kemudian beliau mau tinggal di situ jadi itu
intinya begitu di mulaimakaitu jalan dibuat aga lebar kan depan gerbang lebar
di banding nah tapi kalo ustad Makhrus inginnya jalannya ingin lebar tapi kan
depannya belum bisa jadikan ada trek-trek tanah uyuk sampai ke depan itu
yah yakan dari gerbangkan lebar terus aga menyempit nah itukan memang
begitu pada jadi kalo, kalo istilahnya ikrar dalam pengertian apa non formal
sudah di ucapkan orangnya dan itukan rapat dirikan pesantren itukan di
kecamatan ada juga hadir dari kita tu euu Supriadi dia juga dosen di syariah
yah dia ikut kalo ga salah tapi ya waktu itu ustad Ashari, Ashari Baedowi,
intinya rapat di kecamatan euu tanggal 19 itu kalo ustad makhrus kalo
memang niat anu pesantren ya besok kita mulai itukan 29 mei sekolah kan juli
tapi kalo ga kita mulai ini ya setaun yang akan datang dan mungkin takut kalo
ustad makhrus kan maunya cepet supaya niatannya ga berubah, maka begitu
tanggal 19 rapat 20 ya itu langsung, nah ketika hari pertama kan seperti di
maklumi ya kalo seperti orang yang awal sekali tau persis kan itukan ya
sawah sepenuhnya jadi yang aga kering kan ya memang yaitu untuk, ya
efeksamping gor yah ada jemuran itu jemuran padi dulunya yang menuju ke
masjid gor masjid itukan dulunya itu jemuran kan pabrik gudang setelah di
bangun kan 21 mei ketika awal kalo itu perkiraan saya ber dua kemudian supir
ke Bupati intinya waktu itu sebenarnya pengen minjem tanah puskesmas
waktu itu puskesmas kan sudah mati yakan sebenernya ga dipake bukan kiran
sono yaitukan tanah kering gitu, pengennya kan mungkin atau kita bisa masuk
dulu untuk bisa sudah karena sudah masuk juli yah tapi keliatanya waktu itu
bupati ya ga membayangkan kalo sanggup dan bisa yah, nah pebayuran mau
ada pesantren dan gimana itu ga, ya intinya ya pokonya waktu itu mau liat kan
banyak tanahnya di biyarkan dulu lah yakan ya yantaah ga usah minta bantuan
siapa-siapa gitu jadi yang kita anu kalo ini secara lisan dan diumumkan
kepada masyarakat memang beliau sudah di sebutkan titiknya juga jumlahnya
itukan kalo ga salah Sembilan hektar, Sembilan hektaran hanya secara surat
suratnya padanya memang sampai pada akhir ketika kita ini bahkan termasuk
ketika yayasan gantipun itu kan belum di apa belum diproses menuju itu apa
98
pewakafan jadi kan baru sampe KUA tapi belum ditindaklanjuti lagi apa dan
bagai mana kita ga tau persis sampai sekarang pun persisnya seperti apa saya
tidak tahu.
Penulis: Mengapa itu sampai terjadi?
Ust. Mustofa: Euu ya kalo umpamanya pada saat ini si sebetulnya karna
anunya dulu namanya juga ajang pendidikan kan karna ustad Makhrus iya kan
ya ustad Makhrus memaklumi kan juga dia di sini dia di Cirebon ada tanah,
kita ga tau persis apa yang dimau sama ustad Makhrus tu ke san terus harus
rumahnya pindah kesini yakan, tapi yang pasti faktanya kan ustad Makhrus
sudah menanam istilahnya saya dan ustazah Ema iya kan artinya apa dan
sebagainya saya kan melaksanakan kebijakannya ya saya juga melaporkan
perkembangannya dan ini juga langkah-langkahya juga apa yang, istilahnya
kalo dari kita pelaksana lah sehingga wakif kan menyerahkan kalo kita, wakif
kalo sudah menyerahkan selanjutnya kan tanggung jawab nadzir yakan
tangung jawab karena ya mungkin sebetulnya seperti itu adanya sareat da
ruban dan sebagainya tu secara umum lah pesantren pesantren sama dengan
gontor awalnya mungkin ga ada pesantren setelah di masuki gontor berjalan
telah maju ya mereka mungkin ingin keterlibatanya mungkin dan sebagainya
terjadi pandangan yang berbeda tentang ini yang apa yang sini giman yang
sana maksudnya gimana ya terus pisah lah kalo kita ya memang sudah ya
dengan beberapa ini kalo istilahnya ga percaya atau ga ini ya sebaiknya ustad
Makhrus juga banyak pekerjaan lain ya,
Penulis: Apakah nadzir sudah tidak mengurus tanah wakaf?
Ust. Mustofa: Ya secara defacto begitu, defacto begitu tapi justru kan
sebetulnya beliau kan di dalam Pembina kan karna kan beliau pendiri, pendiri
kan pebina pendiri kan ga bisa di gantikan, pendri itu defacto pendiri juga bisa
digantikan yak an nah kemudian ya artinya awalnya kan nadzir yah artinya
nadzir kan kalo di buat kan ini wakif ini nadzir kan secara organisasi kan ada
biasanya ya kan, ya faktanya ya begitu lah ini problem antara defacto dengan
dejure iya kan jadi kalo dari ustad Makhrus ya kalo ga bisa kerjakan ya ga
usah lah.
99
Mengetahui,
Narasumber II
(Ust.Mustofa)
100
LAMPIRAN 4
HASIL WAWANCARA III
Penulis :Mochamad Awaludin Romdoni
(108044100034)
Narasumber II : Drs. H. Kepala KUA / PPAIW Kec.Pebayuran
Tempat Wawancara : Kantor Urusan Agama Kec. Pebayuran
Tanggal/Waktu :23Desember 2013 / 16.05 – 16.35 WIB
P: Bisadijelaskankronologismasalahpraktikwakaf yang dilakukanoleh H. M
Yasinkepadayayasanhidayatunnajah?
N (Udin) : Ikrar wakaf ya setelah ada orang datang ke sini memberikan akta ikrar
wakaf dengan catatan kan tanahnya udah lengkap surat-suratnya udah sertifikat dari
awalnya ini orang jual tanah dari si A ke si B si A orang lain si B pak H Yasin nah
dari sini di jual ke si B ini, ini sudah di balik nama masih nama asal disananya
sertifikatnya nah kalo yang seharusnya walaupun ini ga di balik nama tapi kalo ini
yang pembelinya mau pake nama ini, inikan bisa jalan ini kan ga mau harusnya pake
nama iniii nama haji yasin tapin si sini kan gak di balik nama dulu “kata pak agus” ga
mau itu “pak udin” gak mau sedangkan di boleh lah seolah olah dia si pemilik awal
yang mewakafkan sini atas nama diri wakifnya kan ga boleh sama ini harusnya ini si
pembeli segala sipembeli harusnya di balik nama dulu di sertifikat di balik setelah
nama haji yasin almarhum baru di buat akta wakaf atas nama PPAIW atas nama itu
P: Lalu belum sampainya k BPNnya itu kenapa ?
N:Boro boro ke BPN boro borro kita beralih ke yang lain dari awalnya saja sudah
sulit sih.
P: Bagaimanadenganpristiwasetelah dibuatkannya akta ikrar wakaf itu?
N (Udin) : Nah itu kan setelah beberapa tahun baru tembus lagi ke KUA kalo di sini
kan yang apa pembimbing tujuh hari setelah itu kan harus jadi boro boro jadi lapor ke
KUAnya juga lambat ga ada orang yang bersangkutanpun ga tembus lagi setelah
tahun berapa itu setelah di tandatangani pak deden yang di belakang itu pakgada
tembusannya lagi jadi seharusnya mah balik nama dulu ke pak haji yasin kalo
memang sertifikat wakafnya itu akan nama pak haji yasinnya sendiri awalnya juga
ada kendalanya sampai saat ini sertifikat fotokopinya ga boleh beli tanah beli tanah
101
ini kan wajib atas nama orang lain bgitu dari awalnya saja sudah susah apah
hidayatunnajah itu cuamn secara global kemarin yang awal copy kmaren itu di
wakafkan itu ini aja global aja wakaf ini “pak agus” ada tiga nama “pak udin “
iyaada tiga nama itu “pak agus” yang tau persoalan ini sbenarnya awalnya
P:Bagaimnakah ke absahan wakaf menirut PPAIW? Apakah yang dikatakan wakaf
itu ketika telah melakukan ikrar wakaf ataukah yang telah di daftarkan ke BPN
setempat?
N: ya secara keseluruhan sudah di daftarkan ke BPN dan keluar sertifikat wakaf itu
udah uadah apa ga bakalan ragu ragu lagi gitu ya walaupun di sini di tunjang oleh
PPAIW di buatkan akte ikrar wakafnya disini ditandatangani oleh PPAIW pa kepala
sebagai penanggung jawab PPAIW yang tandatangan itunya
P:Dalam PP. NO. 28 tahun 1977 tentang pertanahan tanah milik, dikatakan bahwa
setelah ikrar wakaf dilakasanakan maka pejabat pembuat akta ikrar wakaf atasnama
nadzir yang bersangkutan, di haruskan mengajukan permohonan kepada
bupati/wlikotamadya kepala daerah, kepala sub direktorat agraria setempat untuk
mendaftar perwakafan tanah milik yang bersangkutan menurut ketentuan peraturan
pemerintah nomor 10 tahun 1961? Bagaimna menurut bapak?
N:Betul ini juga cuman disini kebanyakannya setelah di daftarkan disini
ditandatangani oleh PPAIW udah di pegang aja bukti wakafnya jangan jangan jangan
di naikin langsung kesana sama nadzirnya ga hanya di annajah saja disini udah ada
yang sudah di buatkan akte ikrar wakaf sam pai kepala ya cuman mereka ya sudah
lah fikirannya sudah ada akta ikrar wakafnya gitu nanya nya kan masalah ke biyaya
larinya kan wakaf katanya gratis “pak agsus” dia pengen turun lagi kan ngurus harus
ngukur lagi “pak udin” sampe sampe waaal pak udin bikinin wakaf di daerah
pabrikan udah dibuat ni ikrar wakaf kapan gratisnya pak skarang gini aja dah kalo
kata saya ngomong begini begini takutnya silahkan datang ke kantor akta ikrar
wakafnya sudah saya ketik sudah di tandatangan sama orang yang bersangkutan yang
punya tanah itu sampai saat ini ga datang pak saya suruh ngadep bapak silahkan kan
mau lanjut ke BPN udah setahun lebih ga dateng . dan tidak ada serang nadzir yang
mengajak ke BPN “pak agus” malah mereka seolah olah klimpungan masalah biyaya.
P:Bagaimnakah setatus tanah wakaf tersebut hingga saat ini? Apakah telah berstatus
wakaf yang belum terdaftarkan ataukah sudah terdaftarkan?
102
N (Udin):Statusnya tanah wakaf belum terdaftar baik di KUA apalagi kesana ke BPN
masalah nama apalagi sekarang orangnya udah pada ga ada almarhum iya
P: Seperti yang di dapat dari beberapa narasumber dan para saksi , mengapa hingga
saat ini wakaf tersebut belum mendapatkan sertifikat? Padahal dalam pasal 32
undang-undang No. 41 tentang wakaf mengatakan bahwa PPAIW atas nama nadzir
mendaftarkan harta benda wkaf kepada instansi yang berwenang paling lambat
7(tujuh) hari kerja sejak akta ikrar wakaf ditandatangani. Mengapa hingga kini belum
mendapatkannya?
N (Udin): Boro boro anu ininya bgini “pak agus” pernah dulu sama pak misradi
pernah di kondisikan Cuma memang kalo pak haji yasin harus orang tertentukan
masuknya juga masuknya itu berkelimpungan aga susah artinya mau pak misradi
biyar wakaf itu di selesaikan mau siapapun namanya asalkan ada kebersamaan orang
yang yang atas namakan PPAIW mun ada akhirnya menghadap ke pak haji yasin
tidak juga di acungkan tidak tidak tidak terseleseykan akhirnya memang kisruh
awalnya yang yang tiga sertifikat itu “pak udin” itu waaalll dari awalnya udah udah
anuuu
P: Alasan apa yang menjadi kendala PPAIW kec. Pebayuran ketika hendak
mendaftarkan harta wakaf (tanah wakaf) tersebut?
N (Udin): ya masalah nama iya masalah balik nama “pak agus” BBNnya itu balik
nama itu orangnya “pak udin” kalo PPAIW dengan kepala KUA di sini kalo udah
dibalik nama sudah sertifikat yah nama haji yasin dan haji yasin mohon di anukan
secara wakaf pake namanyakan haji yasin wakifnya kalo ini kan masih nama orang
lain belum dibalik nama, nama orang lain juga ga boleh harus nama di yayasan
secara global itu kan ituu “pak agus” tanah itu sudah dibeli nama seseorang yang asal
oleh haji yasin tidak boleh nama haji yasin juga susah itu kendalanya apalagi
sekarang sudah meninggal katakanlah kalo memang kita ada kebersamaan keluarga
semua haji yasin kumpul dengan orang yang atas nama tadi kita pertemukan itu sulit
memang tidakada orangnya berat “pak udin” nih wal kalo pengen tau ya pernah
ngobrol sama pak kesra nama sertifikat yang ada disini bukan nama atas haji yasin
semua itumah nama si anu ga dibalik nama nah itu kendalanya orang annajah nya
sendiri itu gmnana status tanahnya itu katanya yaudah megang ini aja katanya
yaudah pak pegang aja ini yang aslinya ya jangn sampe kmanamana yang asli itu
seertifikt “pak agus” pakesrakan kamari kan ada orang bogor yah saya tolak dia mau
bikin akta ikrar wakaf soalnya apah eeeuuu dia beli tanah disini masih nama si A
yang di sini nama asli pemilik pertama apa namanya semu surat surat memang
103
pemilik yang pertama informasi dari bogor udah ga apa apa eu eu nama aslinya juga
ga persoalan gitu kan nama orang sini nanti itu di bikinkan surat sertifikat saya tidak
mau begitu karna itu ada akta jual belinya “pak udin” hoh udah ada akta jual belinya
mah akte jual belinya diajukan “pak agius” iyah maka kita anukan akte jual belinya
ada akte jual beli wakaf ini dia mewakafkan disini sementara disini mau mengatas
namakan memang instruksi dari sana ya saya bilang orang bogornya saja suruh kesini
belum saya tangani itu “pak udin” eeemmm kalo pake akte jual beli bisa sesuai
dengan sertifikat ya otomatis mau di bawa ke KUA KUA atas nama siapa ini katanya
atas nama saya yang di global itukan yang sekian puluh ribu meter yang pernyataan
wakafnya di tandatangani sama keluarganya semua mau gimana jadinya awalnya
memang sudah rancu ini bukan rancu ga bener si benermah bener tanah itu di
wakafkan tapi masalah namanya itu “pak agus” itu sama orang dalemnya juga susah
sama orang annajahnya entah ini orangnya kemana yang punya seertifikat dan tiga
orang kan namanya “pak udin” tiga orang nama di bikin nadzirnya satu sesuai
keterangan pak dede itu yang di tulis di belakang yang jadi nadzirnya mantunya pak
haji yasin mantunya sekarang ga di sini tugasnya dimna mana seharusnya mah
nadzirnya yang mendaftarkan kemari itu jadi kendala juga tu waall.
P: Bagaiman seharusnya yang di lakukan PPAIW dalam melihat hal itu?
N (Agus):kalo saran barangkali euuu hemat saya penyelesayan ini sangat sulit yah
kesulitan buat buat kami selaku PPAIW untuk di inginkannya iya kan persoalan ini
satu memang eu eu orang yang pertama mewakafkan tidak ada kemudian pak haji
yasinya pun sudah almarhum keluarganya kalo kita kumpulkan kepada mereka
memang orang yang pertama sudah almarhum itu sangat kesulitan kalo saran saran
saya kalo ini kita di mentokan kan tidak mungkin memang sudah masuknya tanah ini.
Kasus ini penyelesaiannya amat dan sangat berat penyelesaiannya jadi
penyelesaiannya mah di bawah mah sebetulnya tidak bisa di selesaikan yang penting
kita bisa menangani hal ini gitu aja udah intinya begitu kalo ini mah di selesaikan
cukup sulit penyelesaian yang penting kita bisa membackup.kalo untuk di selesaikan
ini masalah ga mungkin memang ini persoalan yang sangat rumit .
P: Dalam peraturan perundangan indonesia, khususnya pasal 68 uu No. 41 tentang
wakaf yang menyebutkan mengenai sangsi administratif kepada PPAIW jika
ditemukan pelanggaran atas tidak didaftarkannya harta benda wakaf oleh lembhga
seperti PPAIW ? bagai mana pandangan bapak dalam hal ini?
N (Udin): sudah lama wal berarti dari tahun 2003 baru ketemu pak kepala kemaren
saya tahun 2010 7 tahun itu gada gakada kesini iya gada reaksi itupun reaksi ketemu
104
105