Upload
phungngoc
View
236
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
39
KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN
Karakteristik Wilayah Penelitian
Letak dan luas daerah tangkapan air Danau Singkarak
Daerah Tangkapan Air (DTA) Danau Singkarak terletak pada Kabupaten
Tanah Datar dan Kabupaten/Kota Solok. S. Lembang, S. Sumani, S. Kuok dan S.
Paninggahan adalah sungai-sungai yang berada diwilayah Kabupaten/Kota Solok.
S. Ombilin adalah pengeluaran (output) Danau alami, dan PLTA adalah output
buatan, yang dioperasikan sejak tahun 1999. S. Sumpur dan output Danau
Singkarak berada di wilayah Kabupaten Tanah Datar.
Peta lokasi DTA Singkarak memperlihatkan DAS dan sub DAS yang
menjadi fokus aplikasi model. DTA terdiri dari tiga DAS dan beberapa SubDAS.
DAS tersebut adalah DAS Sumpur Kudus, Singkarak dan DAS Sumani. SubDAS
sebagai objek penelitian adalah Paninggahan di DAS Singkarak dan Malakotan di
DAS Sumani. Kedua subDAS merupakan lokasi yang dipakai untuk
mengaplikasikan model aliran permukaan.
Peta DTA Singkarak dengan skala gambar 1 : 20.000, dengan luas 1.141,72
Km2terletak dalam SWS Indragiri. Luas DAS, Sub DAS serta panjang sungai
dapat dilihat pada Tabel 1 dan Gambar 14 sebagai berikut.Gambar 13adalah
photo sungai utama yang mengalir ke Danau Singkarak. Sungai tersebut adalah S.
Sumani/Lembang, S. Kuok, S.Paninggahan dan S. Sumpur kudus. Lebar sungai
lebih dari 10 M dengan kedalaman maksimum diatas 1 M. Ganbar 14
memperlihatkan lokasi penelitian, yang menginformasikan letak DAS
Paninggahan dan Malakotan, stasiun hujan, iklim dan debit yang terdapat di
sekitar DTA Singkarak, cek dam dan embung existing, sungai, jalan danau yang
terdapat pada DTA Singkarak.
Penelitian banyak dilakukan pada DASSumani, karena selain DAS terbesar
pada DAS ini sudah terpasang alat pengukur tinggi muka air dan pencatat hujan
dan iklim. Daerah DAS Sumani juga merupakan pusat pemerintahan pemerintah
Kabupaten dan Kota Solok dan pusat pertanian.
40
Tabel 1 Luas DAS/SubDAS dan panjang sungai pada DTA Singkarak
Gambar 13 Kondisi Sungai pada DTA Singkarak.
No DAS/Sub DAS Luas Km
2 Panjang Keterangan
Sungai Km
I DAS Sumpur 168.5
1. S.Sumpur
19 outlet Danau
II DAS Singkarak 392.05
1.S.Kuok
12.7 outlet Danau
Sub DAS Paninggahan 57.70
2. S.Paninggahan
15.24 outlet Danau
III DAS Sumani 556.94
1. S.Sumani
57.10 outlet Danau
2. S. Lembang
24.7 AWLR
SubDAS Malakotan 70.24
3. S. Malakotan
26.70 AWLR
Sungai Sumani Sungai Kuok
Sungai Sumpur Sungai Paninggahan
41
Gambar 14 Peta lokasi penelitian.
Karakteristik Biofisik DAS
Karakteristik DAS Paninggahan dan Malakotan adalah 2 hal yangberbeda.
Hal ini menyatakan akan perbedaan karakteristik biofifik yang berbeda pula.
42
Karekteristik DAS yang dilihat dari parameter yang dapat menentukan bentuk
DAS tidak terlepas dari analisa hujan, iklim dan lahan.
SubDAS Malakotan bercorak sempit dan memanjang, sedangkan SubDAS
Paninggahanpersegi dan agak lebar. Dari indek Gravelius semakin bulat
corak/bentuk DAS semakin singkat waktu konsentrasi yang diperlukan, sehingga
semakin tinggi fluktuasi banjir yang terjadi. Sebaliknya semakin
lonjong/memanjang DAS, waktu konsentrasi yang diperlukan semakin lama
sehingga fluktuasi banjir semakin rendah.
Linsley (1949), menyatakan bahwa jika nilai kerapatan drainase lebih kecil
dari 1 mile.mile-2
(0,62 km.km-2
) DAS akan mengalami penggenangan,
sedangkan jika nilai kerapatan aliran lebih besar dari 5 mile.mile2 (3,10 km.km
2),
DAS sering mengalami kekeringan. Dalam arti lain semakin besar angka
kerapatan maka makin memperpendek waktu konsentrasi, sehingga memperbesar
laju aliran permukaan. Sosrodarsono (1999), mengatakan harga kerapatan sungai
berkisar 0.3 - 0.5 yang dianggap sebagai indek topografi dan geologi daerah
pengaliran. Kerapatan sungai itu adalah kecil di geologi yang permeabel,
dipegunungan dan dilereng-lereng, tetapi besar untuk daerah yang banyak curah
hujannya. Pada SubDAS diatas nilai kerapatan drainase dibawah 0.62 kmkm-2
,
dan dapat dikatakan bahwa lokasi mengalami pengenangan. Pada Paninggahan
lebih permeable dan berlereng dari Malakotan, karakteristik biofisik DAS dapat
dilihat pada Tabel 2.
Selain itu, kerapatan aliran dapat dihitung dengan cara mengoverlay
(tumpang-susun) peta jaringan sungai dengan peta grid bujursangkar dengan
ukuran tertentu. Dalam studi ini digunakan peta grid ukuran 90m x 90m.
Kemudian dihitung panjang aliran dalam setiap grid sehingga diperoleh hasil
panjang aliran per m2. Nilai kerapatan aliran yang diperoleh dalam tiap grid yang
kemudian dikelaskan dengan kelas kerapatan yang sama akan digabungkan. Cara
ini menghasilkan peta kelas kerapatan aliran yang disebut juga dengan pola aliran
sebagaimana. Pola aliran (drainage pattern) berpengaruh pada efsiensi sistem
drainase dan karakteristik hidrograf sungai terutama pada kecepatan aliran. Peta
kecepatan aliran dapat dilihat pada Gambar 15 s.d 18.
43
Tabel 2 Karakteristik DAS/SubDAS
Gambar 15 Peta kecepatan aliran DAS Paninggahan.
Parameter Satuan SubDAS
Malakotan Paninggahan
Luas (A) km2 70.24 57.70
Keliling (P) Km 58.20 37.77
Indeks Gravelius (Kc) - 1.96 1.40
Persegi Ekuivalen
- Panjang (L) Km 26.70 15.24
- Lebar (l) Km 2.63 3.78
Orde Maksimum (n) - 4 5
Koefisien Corak (F) - 0.10 0.25
Kerapatan Drainase (D) m/ha 3.80 2.64
45
Gambar 18 Peta kecepatan lereng DAS Malakotan.
Geomarfologi, Pedologi dan Marfologi
Geomorfologi merupakan ilmu yang mempelajari formasi bentang lahan
dan susunannya, yang meliputi bentuk muka bumi sebagai suatu kenampakan
bentang alam pada satu cakupan yang luas sampai cakupan yang lebih detail
berupa bentuk lahan dan pola topografinya. Pedologi adalah ilmu yang
mempelajari berbagai aspek geologi tanah dengan tinjauan berbagai hal tentang
pembentukan tanah (pedogenesis), marfologi tanah (sifat dan ciri fisik dan kimia
tanah), dan klasifikasi tanah.
Proses pelapukan batuan induk (geologi), erosi, pengendapan dan
vulkanisme yang menghasilkan bentuk muka bumi berupa pegunungan,
perbukitan dan dataran tidak terlepas dari ilmu geomarfologi dan pedologi.
Pengenalan kedua ilmu ini sangat diperlukan dalam mempelajari karakteristik
biofisik DAS, khususnya karakteristik yang mempengaruhi besarnya potensi
limpasan permukaan, erosi, banjir dan tanah longsor. Unsur-unsur seperti
46
kemiringan lereng, panjang lereng, dan keseragaman lereng sangatlah penting
dalam membahas karakteristik biofisik DAS untuk suatu pengelolaan DAS.
Morfometri DAS berupa karakteristik yang menentukan banyaknya air
hujan yang dialirkan atau tertahan, kecepatan aliran, dan waktu tempuh air dari
tempat terjauh sampai di outlet (waktu konsentrasi) yang akan berpengaruh pada
kejadian banjir, baik banjir yang berbentuk genangan (inundasi) maupun banjir
bandang pada DAS tersebut. Morfometri DAS adalah ukuran kuantitatif
karakteristik DAS yang terkait dengan aspek geomorfologi suatu daerah dan
drainase air hujan yang jatuh di dalam DAS. Parameter tersebut adalah luas DAS,
bentuk DAS, jaringan sungai, kerapatan aliran, pola aliran, dan gradien
kecuraman sungai.
Pola aliranatau susunan jaringan sungai merupakan karakteristik fisik
drainase DAS yang penting, karena pola aliran sungai mempengaruhi efisiensi
sistim drainase dan karakteristik hidrografis serta untuk mengetahui kondisi tanah
dan permukaan DAS khususnya tenaga erosi. Soewarno (1991), menyatakan
bahwa beberapa pola aliran yang ada adalah: a) Dendritrik, pada umumnya
terdapat pada daerah dengan batuan sejenis dan penyebarannya luas, misalnya
suatu daerah ditutupi oleh endapan sedimen yang luas dan terletak pada suatu
bidang horizontal di daerah dataran rendah. b) Radial, pola ini biasanya dijumpai
di daerah lereng gunung api atau daerah dengan topografi berbentuk kubah. c)
Rektangular, terdapat di daerah batuan kapur. d) Trellis, biasanya dijumpai pada
daerah dengan lapisan sedimen di daerah pegunungan lipatan.
DAS Malakotan dan DAS Paninggahan mempunyai pola aliran dendritik
(menyerupai percabangan pohon). Pola aliran ini mempunyai peranan besar
terhadap debit puncak dan waktu konsentrasi. Waktu konsentrasi pada DAS
Malakotan ± 14 Jam dan Paninggahan ± 8 Jam. Luas DAS masing-masing DAS
adalah 70.24 km2, dan 57.70 km
2. Gradien kecuraman sungai rata-rata di hulu
adalah 0.4 dan 0.12 dan dihilir adalah 0.0012 dan 0.07.
Topografi DTA Singkarak merupakan daerah yang bergunung dan
berbukit. Dimana pada utara terdapat Gunung Merapi dan diselatan terdapat
gunung Talang, sedangkan bagian barat dan timur merupakan jejaran bukit
barisan. Berdasarkan peta lereng dengan pembagaian kelas lereng berdasarkan
47
peta berskala 1 : 50000 dan interval kontur 25 meter. Kelas lereng tersebut dapat
dilihat pada Tabel 3 berikut. Pembagian kelas lereng mengacu pada pedoman
penyusunan rencana teknik lapangan rehabilitas lahan dan konservasi tanah
daerah aliran sungai (RTL RLKT).
Berdasarkan analisa SIG kemiringan lereng 0-15% yang merupakan
topografi datar, landai dan bergelombang sekitar 69.25% dan 15-100% yang
merupakan topografi curam dan sangaat curam 30.75 %. Pada DTA Singkarak
terdapat badan air yaitu Danau Singkarak, Talang dan D.Bawah yang jumlahnya
sekitar 10.6%, yang terletak pada 0-15%, sehingga jumlah daerah yang
topografinya datar, landai dan bergelombang yang dapat dimanfaatkan untuk
pemukiman, dan pertanian adalah sekitar 58,7%.
Abdurachman et al. (2005) menyatakan bahwa kebanyakan budidaya
pertanian menggunakan lahan datar-berombak, namun tidak sedikit juga petani
yang menggarap lahan berombak bergelombang. Lahan yang berbukit –
bergunung seharusnya dihutankan agar erosi tanah dapat terkendali. Namun pada
kenyataannya lahan seperti ini yang dijadikan lahan budidaya, atau tetap berstatus
hutan tapi vegetasinya rusak dan tanahnya mengalami erosi berat. Pada
Abdurachman (2008) juga menyatakan tingkat laju erosi tanah pada lahan
pertanian berlereng antara 3-15% di Indonesia tergolong tinggi, yaitu berkisar
antara 97,5-423,6 ton/ha/tahun.
Tabel 3 Kelas lereng DTA Singkarak
No Kemiringan Luas Persen
% Km2
1 0% - 3% 304.11 26.64
2 3% - 8% 204.4 17.9
3 8% - 15% 282.07 24.71
4 15% - 25% 232.11 20.33
5 25% - 40% 104.6 9.16
6 40% - 100% 14.43 1.26
Total 1141.72 100
Sumber: Analisis SIG, 2009
48
Tanah dan Geologi DTA Singkarak
Tanah yang dominan pada lokasi penelitian adalah tanah mineral dengan
ketebalan bervariasi antara 50 s.d 150 mm. Jenis tanah mineral meliputi seluruh
lokasi pengembangan kawasan DTA, yang menyebar dari Danau Dibawah ke
utara sampai ke timur kawasan Sirukam dan barat Gunung Talang dan Bukit
Barisan. Adapun tanah mineral tersebut meliputi sebagian besar dari areal
persawahan DTA Singkarak. Tekstur tanah sebagian besar berupa liat, lempung
berliat, Liat berpasir pada bagian top soil (bagian atas). Tanah-tanah tersebut
umumnya belum mengalami perkembangan secara sempurna (medium weathered
soil) terbentuk dari bahan induk abu vulkanik dan endapan aluvium, diduga
merupakan bahan-bahan erosi yang dibawa oleh aliran sungai Batang Lembang,
dan Batang Sumani beserta anak sungainya.
Endapan halus (liat debu, lumpur) dideposisikan disepanjang sungai dan
diselingi oleh endapan pasir di beberapa tempat, sehingga tanah-tanah yang
terbentuk dikawasan DTA ini ialah: Andosol, Inseptisol/Podzolik, dan Ultisol.
Jenis tanah Andosol bertekstur tanah liat serta lempung berpasir dengan tingkat
plastisitas tergolong tidak plastis (non-plastis). Peta tematik satuan tanah terdapat
padaGambar 19.
Geologi adalah ilmu terapan, yang berfungsi sebagai penuntun dalam suatu
perencanaan kesipilan dan pembagunan wilayah. Pada perencanaan teknik sipil
khususnya sipil basah geologi sangat dibutuhkan untuk pengembangan ilmu
dibidang pembagunan bendungan/waduk, bendung, terowongan, jembatan, jalan
dan lainnya. Penyelidikan geologi tujuannya adalah untuk memperoleh gambaran
mengenai sifat–sifat fisik dan teknis pelapisan tanah/batuan yang dijumpai
dilokasi penyelidikan ditinjau dari segi geologi teknik maupun mekanika tanah
dimana data–data tersebut dapat digunakan untuk menunjang tahap tahap
perencanaan selanjutnya.
Pada penelitian ini tidak dilakukan penyelidikan geologi, sebagai gambaran
dipakai peta geologi tematik dari Puslitbang Geologi, 1995; 1996 dengan skala
peta 1: 250000. Peta memperlihatkan keadaan geologi yang terdapat didaerah
pelitian seperti jenis batuan, nama lapisan, formasi pelapisannya, tingkat
pelapukan serta penyebarannya, asal batuan, adanya patahan–patahan serta
49
retakan–retakan dan kontinuitas daripada suatu lapisan struktur geologi dan lain–
lain.
Berdasarkan peta tematik bahwa daerah sekitar danau terbentuk dari batuan
breaksi dan tuffaan terutama dilembah-lembah sungai banyak dijumpai joint serta
kekar yang sifatnya kekar yang saling berhubungan rapat dan berpola tidak teratur
kadang berpola berlapis-lapis sehingga menambah nilai permeabilitas di kawasan
tersebut. Hal ini diinterprestasikan dari adanya Escarpment; Pola aliran serta mata
air searah yang dijumpai di kawasan ini. jenis batuan yang berada di kawasan
tersebut, secara umum dibedakan menjadi 3 satuan batuan yaitu : Batuan lava
andesit, Breksi tuffaan, dan breksi vulkanik, dalam peta daerah penelitian disebut
dengan Aluvium sungai (Qaf), berupa lempung, pasir, kerikil, bongkah batuan
beku, Kipas Aluvium (Qf) yang kebanyakan berupa rombakan andessit dari
gunung api dan Andesit Gunung Talang (Qatg) yang terdiri dari breksi, endapan
lahar, aliran lava, lapili, tuff bersusunan basal dan andesit. Susunan Geologi DTA
Singkarak dapat dilihat pada Gambar 20.
Kondisi Hidrologi dan Iklim DTA Singkarak
Kondisi Debit Sumani
Data debit yang bersumber dari dinas PSDA Propinsi Sumatera Barat adalah
berupa data debit sungai harian pada stasiun AWLR Sumani dan Lembang. Data
debit harian stasiun Sumani periode 1992-2009 adalah:
debit rerata bekisar 7 s.d 24 m3dtk
-1
debit maksimum 26 s.d 242m3dtk
-1
debit minimum 0.01 s.d 14m3dtk
-1
debit tahunan 2690 s.d 10088m3dtk
-1
Ddebit harian stasiun Lembang periode 1992-2009 adalah;
debit rerata bekisar 2.5 s.d 9.7m3dtk
-1
debit maksimum 18 s.d 176m3dtk
-1
debit minimum 0.01 s.d 2.3m3dtk
-1
debit tahunan 545 s.d 3554 m3dtk
-1
50
Fluktuasi debit sungai harian stasiun AWLR Sumani dan Lembang dapat dilihat
pada Gambar 21 dan 22.
Gambar 19 Peta tanah DTA Singkarak.
52
0.0
5.0
10.0
15.0
20.0
25.0
1
13
25
37
49
61
73
85
97
109
121
133
145
157
169
181
193
205
deb
it (
m3
/dt)
tahun
0.0
10.0
20.0
30.0
40.0
50.0
60.0
70.0
1
10
19
28
37
46
55
64
73
82
91
10
0
10
9
11
8
12
7
13
6
14
5
15
4
16
3
17
2
18
1
19
0
19
9
20
8
deb
it (
m3
/dt)
tahun
Gambar 21 Fluktuasi debit harian rata-rata bulanan S. Sumani
tahun 1992-2009.
Gambar 22 Fluktuasi debit harian rata-rata bulanan S. Lembang
tahun 1992-2009.
Karakteristik Debit Sumani
Karakterisasi debit dilakukan terhadap data yang terekam di 2 stasiun
pengukur debit harian yang dipasang oleh Balai PSDA Sumatera Barat pada 30
Desember 1978 di Sumani (Simpang AA) dan 17 Oktober 1984 di Lembang (Batu
kudo). Pengelolaan dan pengumpulan data tercatat dari tahun 1992. Walaupun
data yang terkumpul memiliki periode pencatatan cukup panjang lebih kurang 17
tahun, akan tetapi data-data tersebut tidak ditunjang oleh kualitas data yang
memadai bila dipasangkan dengan stasiun hujan yang ada pada lokasi. Hal ini
karena terdapatnya pencatatan data yang terputus dan kendala lainnya.
Sileksi data penting sekali dilakukan, karena merupakan salah satu cara
untuk menghindari kesalahan analisis yang diakibatkan oleh kualitas data yang
53
0
20
40
60
80
100
120
140
160
180
2000
20
40
60
80
100
120
140
Hu
jan
(m
m)
deb
it (
m3
/dt)
Waktu
hujan debit
tidak baik. Data debit dan hujan harian dipilih perekaman data yang kontinyu
selama 1 tahun yang dianggap kondisi hujan dan debit saling berhubungan. Pada
analisa hujan dan debit ini data yang diambil untuk analisa adalah data tahun 1994
dan data tahun 2009. Data ini dianggap mewakili periode tahun 1990 - 1999 dan
periode tahun 2000 - 2010.
Berdasarkan analisa regresi hujan dan debit tahun 1994 dan 2009 adalah
lebih baik dari tahun lainnya. Persamaan regresi untuk tahun 1994 adalah y =
9.3149 X0.7145
dengan R2 adalah 0.7244 (72.44%) dan pada tahun 2009 adalah y =
93.3149 X0.2534
dengan R2 = 0.5163 (52%). Hubungan hujan dan debit dapat
dilihat pada Gambar 23 dan 24sedangkan regresi linear dapat dilihat pada Gambar
25 dan 26.
Gambar 23 Hujan dan debit DAS Sumani tahun 1994.
Gambar 23 menunjukkan bahwa hujan dan debit harian DAS Sumani tahun
1994 terdapat 3 puncak hujan yaitu pada bulan Januari sebesar ±60 mm, Juni
±170mm dan Desember sebesar ±80 mm. Debit pncak pada tahun 1994 yaitu
pada bulan Januari sebesar ± 60m3dtk
-1, April ± 50 m
3dtk
-1 dan Desember ±
50m3dtk
-1.
54
0
20
40
60
80
100
120
140
160
180
2000
20
40
60
80
100
120
140
Hu
jan
(m
m)
deb
it (
m3/d
t)
Waktu
hujan
debit
y = 9.3149x0.7145 R² = 0.7244
0
200
400
600
800
1000
0 200 400 600 800
De
bit
Hujan
Gambar 24 Hujan dan debit DAS Sumani tahun 2009.
Gambar 24 menunjukkan bahwa hujan dan debit harian DAS Sumani tahun
2009 memperlihatkan 4 puncak hujan yaitu pada bulan Februari sebesar ±58 mm,
April ±145 mm dan September sebesar ±60 mm serta November ± 45 mm. Ada
3 puncak debit pada tahun 2009 yaitu pada bulan April ± 30 m3dtk
-1, Oktober ± 28
m3dtk
-1 dan Desember ± 25 m
3dtk
-1.
Gambar 25 Regresi hujan dan debit DAS Sumani tahun 1994.
Gambar 25menunjukkan regresi hujan dan debit bulanan DAS Sumani
tahun 1994 yang memperlihatkan nilai regresi cukup baik sebesar 72 % untuk
menyatakan hubungan hujan dan debit pada suatu daerah penelitian. Regresi
hujan dan debit adalah salah satu cara untuk melihat keterkaikan hujan dan debit
55
y = 93.805x0.2534 R² = 0.5163
0
100
200
300
400
500
600
0 100 200 300 400
De
bit
Hujan
satu sama lain yang dinyatakan dalam nilai R2. Gambar 26 menunjukkan nilai
regresi R2 sebesar 52 %. Nilai ini dapat dikatakan baik karena besar dari 40%.
Gambar 26 Regresi hujan dan debit DAS Sumani tahun 2009.
Hidrologi, Iklim dan lahan adalah merupakan bagian dari aspek-aspek
biofisik DAS. Informasi tentang hidrologi, iklim dan lahan adalah unsur penting
dalam perencanaan pada bagunan sipil seperti perencanaan bagunan-bagunan air
(bendung/cek dam, waduk/bendungan/embung, saluran irigasi), jembatan dan
jalan. Embung merupakan bagunan air yang dibahas pada penelitian ini. Embung
adalah bagunan yang difungsikan untuk dapat menampung kelebihan air pada
suatu lahan dan akan dimanfaatkan pada waktu musim kering. Perlu pembahasan
untuk penempatan dan jumlah dari embung tersebut pada suatu DAS. Oleh sebab
itu aspek biofisik DAS perlu diketahui agar analisa yang dilakukan lebih baik dan
sesuai dengan kondisi Suatu DAS.
Elevasi Muka Air Danau Singkarak
Data Elevasi Danau Singkarak merupakan data penting lainya yang harus
ada pada DTA Danau ini. Menurut Laporan Hasil Penelitian Pengembangan
Kawasan Terpadu Danau Singkarak yang dilakukan oleh Balitbang kerjasama
dengan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Barat tahun 2003, bahwa
pengamatan tinggi muka air danau selama 20 tahun , tahun 1931 sampai dengan
tahun 1950, tinggi permukaan maksimum ± 363 m dari permukaan laut (dpl), dan
tinggi permukaan minimum ± 360 m dpl, dan hanya pada tahun 1932 yang terjadi
56
360
360.5
361
361.5
362
362.5
363
363.5
364
Jan-
99
Jan-
00
Jan-
01
Jan-
02
Jan-
03
Jan-
04
Jan-
05
Jan-
06
Jan-
07
Jan-
08
Jan-
09
M (
md
pl)
Waktu
Elevasi
elevasi
lebih rendah dari 360 m dpl (dalam PSDA Sumbar 2004). Setelah PLTA
beroperasi pengamatan tinggi muka air danau dilakukan oleh pihak PLN sebagai
salah satu instansi yang terkait langsung terhadap Danau Singkarak. Berdasarkan
pencatatan dari PT. PLN Sektor Bukittinggi, yang dilaporkan ke Balai PSDA
Indragiri berupa data bulanan sampai 2007. Data tinggi muka air 2008-2009
adalah hasil pengumpulan data lapang dan pencatatan lapangan yang dilakukan
peneliti. Data elevasi dan kedalamam danau dapat dilihat pada Lampiran 1.
Berikut ini adalahgambar fluktuasi muka air Danau Singkarak, data lengkapnya
pada lampiran. Elevasi danau dapat dilihat pada Gambar 27 dan 28.
Gambar 27 Fluktuasi muka air danau Singkarak.
Sumber : diolah dari data PSDA Propinsi Sumatera Barat dan pencatatan
lapang
Gambar 28 Elevasi muka air Danau Singkarak.
57
Karakteristik Iklim
Curah hujan, Stasiun pencatat curah hujan dan tinggi muka air pada daerah
penelitian dan sekitarnya sudah dibangun semenjak tahun 1984. Berdasarkan hasil
inventarisasi data yang dikumpul, data yang memiliki periode pencatatan
panjang, akan tetapi data-data tersebut tidak ditunjang oleh kualitas data yang
memadai. Ini disebabkan banyaknya pencatatan data yang terputus dan tidak
terdapatnya pasangan data untuk kebutuhan analisa model. Tabel 4 disajikan
yang memperlihatkan data stasiun hujan, tinggi muka air dan klimatologi DTA
Singkarak.
Tabel 4 Nama stasiun hujan dan klimatologi DTA Singkarak
Sumber: BMG Sicincin, BPTP Sukarami, BPSDA Sumbar, Balitklimat Bogor
Berikut adalah data hujan tahunan pada stasiun klimatologi yang datanya
dipakai untuk analisa model pada penelitian ini. Data tersebut adalah data dari
stasiun yang terletak pada DAS Sumani yang terdiri dari Stasiun Bukit sundi,
Lembang Jaya, Saniang bakar, Sukarami dan Sumani. Pengamabilan Stasiun ini
dicocokan dengan keberadaan data debit daerah tersebut, dimana data debit yang
tersedia berada disekitar stasiun hujan tersebut diatas. Pencatatan data cukup
No Nama Stasiun Desa Kecamatan Jenis Stasiun
1 Lembang Jaya
Lembang
Jaya Lembah Gumanti Curah Hujan
2 Sukarami Sukarami Gunuang Talang Curah Hujan
3 Sumani Sumani X Koto Singkarak Curah Hujan
4 Bukit Sundi Bukit Sundi Lembang Jaya Curah Hujan
5 Saniang Bakar
Saniang
Bakar X Koto Singkarak Iklim dan CH
6 Sumani2 Simpang AA Lubuak Sirakah AWLR
7 Lembang Batu Kudo Koto Baru AWLR
8 Malakotan
Jorong
Masajik Kubung CH dan AWLR
9 Aro Paninggahan Junjuang Siriah Iklim dan CH
10 Subarang Paninggahan Junjuang Siriah
Iklim, CH dan
AWLR
11
Padang
Panjang
Padang
Panjang
Kota Padang
Panjang Curah Hujan
12 Kandang IV Kandang IV Koto Tangah Curah Hujan
13 Kayu Tanam Kayu Tanam 6 X 11 Lingkung Curah Hujan
58
panjang yaitu dimulai pada tahun 1984, tapi pada penelitian ini pencatatan data
yang disajikan di mulai dari tahun 1992 karena data debit dimulai dari tahun 1992.
Data tersebut dapat dilihat pada Lampiran 2.
Sebagai informasi awal curah hujan tahunan pada daerah studi yaitu berkisar
antara 1694 mm sampai dengan 3278 mm. Curah hujan tahunan rata-rata untuk
tiap-tiap stasiun adalah:
Stasiun Bukit Sundi sebesar 2468 mm per tahun
Stasiun Lembang Jaya sebesar 1694 mm per tahun
Stasiun Saning Bakar sebesar 3278 mm per tahun
Stasiun Sukarami sebesar 2538 mm per tahun,
Stasiun Sumani sebesar 2136 mm per tahun.
Berdasarkan data curah hujan yang dikumpulkan dapat diketahui bahwa di
daerah studi, curah hujan rata-rata bulanan disetiap stasiun adalah lebih besar dari
100 mm, kecuali di stasiun Saniang Bakar, curah hujan rerata bulanan hanya
sebesar 93 mm pada bulan Juni.
Data curah hujan harian hanya pada stasiun sumani dan Saniang bakar
sedangkan pada stasiun lain tidak terdapat data harian, yang ada hanya data
bulanan yang di himpun dari Balitklimat Bogor. Berdasarkan informasi dari
Balitklimat data curah hujan tersebut di kumpulkan dari BMG dan Dinas Peranian
Sukarami Solok.
Zona Iklim,ditentukanberdasarkan data hujan pada stasiun hujan dan iklim
yang terdapat di sekitar DTA Singkarak. Zona ditentukan menurut LR Oldeman
(1975) bulan basah ialah curah hujan rata-rata jangka panjang lebih dari 200 mm
tiap bulan, sedangkan bulan kering adalah bila rata-rata curah hujan kurang dari
100 mm tiap bulan. Beberapa bulan basah yang terjadi secara berturut-turut
disebut periode basah, begitu juga dengan periode kering. Selanjutnya bila
penggolongan zona iklim dihubungkan dengan periode masa pertumbuhan
tanaman yang didefinisikan oleh LR Oldeman sebagai periode hujan yang lebih
dari 100 mm per bulan, maka suatu wilayah dapat dikelompokkan kedalam zona-
zona agroklimat.
59
Pada DTA Singkarak terdapat 3 zona iklim. Wilayah Stasiun hujan Sumani
digolongkan ke dalam Zona D1, yang merupakan bulan basah karena terdapat
hujan rata-rata diatas 200 mm dan tidak mempunyai curah hujan bulanan dibawah
100 mm. Daerah stasiun penakar hujan Saniang Bakar, Kandang IV, dan Stasiun
Kayu Tanam merupakan zona A dengan bulan basah. Pada daerah stasiun hujan
terdapat bulan basah yang berturut-turut yang didefenisikan sebagai periode
basah. Periode basah selama 7 bulan di stasiun Saniang Bakar, 12 bulan pada
stasiun Kandang IV dan 11 bulan pada Stasiun Kayu Tanam. Pada Stasiun hujan
Padang Panjang dan Bukit Sundi merupakan zona C1 yang merupakan bulan
basah dan periode basah dengan bulan basah beturut-turut selama 4 bulan untuk
stasiun Padang panjang dan 5 bulan pada stasiun Bukit Sundi, dan tidak terdapat
bulan kering. Pada Stasiun Hujan Sukarami merupakan zona B1 dengan kondisi
bulan basah selama 5 bulan hujan rerata yang berturut-turut dan tidak terdapat
bulan kering. Pada Stasiun hujan Lembang Jaya rerata hujannnya tidak
mengambarkan zona karena tidak lengkapnya data pada stasiun. Perhitungan
untuk analisa zona agroklimat ada padaLampiran 3.
Temperatur daerah DTA yang dilihat dari pengukuran iklim pada stasiun
Saniang Bakar, mempunyai temperatur harian rata-rata yang bervariasi. Data
stasiun klimatologi tersebut, memperlihatkan data temperatur rata–rata harian
didaerah kajian adalah berkisar dari 26.94°C sampai dengan 27.65°C. Nilai rata-
rata temperatur tahunan berkisar 26.740C – 30.17
0C. Temperatur tahunan DTA
Singkarak dapat dilihat pada Gambar 29.
Evapotranspirasi (ETp)dihitung berdasarkan persamaan empiris
Thornthwaite. Persamaan yang dikemukakan dapat digunakan pada daerah basah.
Perhitungan evapaotranspirasi terdapat pada Lampiran 4, yang dibuat dalam
tabelaris. Hasil perhitungan evapotranspirasi memperlihatkan ada tanda tanda
kekeringan pada daerah penelitian. Tanda itu diperlihatkan dengan tingginya nilai
Evapotranspirasi potensial, dan ini juga terlihat pada suhu. Walaupun secara
umum curah hujan dari pencatatan tahun 1990-2009 adalah memperlihatkan
bulan basah dengan curah hujan rata-rata dari 8 stasiun hujan 2832 mm.
60
050
100150200250300350
199
01
99
11
99
21
99
31
99
41
99
51
99
61
99
71
99
81
99
92
00
02
00
12
00
22
00
32
00
42
00
52
00
62
00
72
00
82
00
9
ET
P (
mm
)
Tahun
Jan Feb Mar Apr Mei Jun
25
26
27
28
29
30
31
19
90
19
91
19
92
19
93
19
94
19
95
19
96
19
97
19
98
19
99
20
00
20
01
20
02
20
03
20
04
20
05
20
06
20
07
20
08
20
09
celc
ius
Tahun
Tmp
Evapotranspirasi ini adalah evaporasi dari permukaan lahan yang
ditumbuhi tanaman yang merupakan kebutuhan air konsumtif yang didefinisikan
sebagai penguapan total dari lahan dan air yang diperlukan tanaman.
Evapotranspirasi adalah sangat penting dalam pengembangan model-model
hidrologi terutama untuk aplikasi model di bidang irigasi pengairan. Data
evapotranspirasi bulanan untuk DTA Singkarak adalah sebagaimana yang
diilustrasikan pada Gambar 30.
Gambar 29 Temperatur DTA Singkarak tahun 1990 – 2009
Gambar 30 Evapotranspirasi DTA Singkarak tahun 1990-2009.
Bangunan Panen Hujan Embung dan Chek dam
Embung adalah bagunan penyimpan air yang banyak di bangun didaerah
depresi, biasanya di luar sungai. Embung akan menyimpan air di musim hujan dan
akan dimanfaatkan pada musim kemarau untuk memenuhi kebutuhan masyarakat
suatu daerah. Sebaiknya pada suatu daerah yang sumber airnya dari embung telah
61
membuat perioritas kebutuhan seperti: untuk penduduk, ternak, dan kebun, karena
jumlah kebutuhan akan menentukan tinggi tubuh embung dan kapasitas tampung
dari embung.
Bentuk embung alami dan buatan yang dijumpai dilapangan mendekati
bujur sangkar, yang berada pada tanah yang liat. Embung buatan juga dibagun
didaerah tanah liat dan pada daerah yang tanahnya kurang liat, daerah tersebut di
lapisi dengan pengeras seperti semen atau tanah liat (lempung) yang diolah seperti
bubur lalu ditempel pada daerah yang ditentukan. Ini dilakukan agar embung
kedap dan air tidak mudah hilang dan embung bobol.
Ditinjau dari sudut konservasi upaya pembagunan embung merupakan suatu
sikap bijak lingkungan (environmental wisdom), karena sesungguhnya
memanfaatkan suatu sumberdaya alam yang melimpah, dan secara ekonomis air
hujan tidak memiliki nilai tukar/jual beli apapun (Naiola 1993)
Manafe et al (1993) mencatat sejumlah dampak positif kehadiran pembuatan
embung di NTT yaitu mengurangi peluang banjir, menekan proses pemiskinan
hara tanaman dan meningkatkan peresapan air tanah. Niola (1993)
mengindentifikasi fungsi dan peranan embung dari sudut biologis-lingkungan dan
konservasi: air deposit embung dapat dimanfaatkan oleh satwa liar savanna
dimusim kemarau, yang berarti kelangsungan (konservasi) rantai makanan
setempat. Terjaminnya kelangsungan hidup burung-burung pemencar biji (yang
minum air embung) berarti menjamin dan meningkatkan stabilitas vegetasi
savanna.
Cek dam atau dam pengendali merupakan salah satu bangunan fisik yang
dibangun dalam rangka menampung sedimen dan sekaligus meningkatkan dan
mengembangkan daya guna air secara maksimal. Sebelum terisi penuh dengan
sedimen, air yang tertahan di check-dam dapat dimanfaatkan untuk irigasi,
pariwisata, perikanan dll. Dam pengendali pada umumnya dibangun pada daerah
hulu sebagai upaya pengamanan proyek-proyek yang lebih besar yang berada di
bawahnya. Walaupun dengan dimensi yang relatif kecil, apabila dibangun dalam
jumlah banyak di daerah hulu yang rawan erosi, bangunan ini cukup efektif dalam
upaya pengendalian sedimentasi yang menimbulkan pendangkalan Sungai, Danau,
Waduk, atau bendungan yang berada di bawahnya dapat ditekan sekecil mungkin.
62
Pada daerah studi sudah terdapat bangunan alami yang fungsinya sama
dengan embung. Bangunan tersebut disebut dengan telaga, tabek, rawang,
empang, dan danau Bagi pemerintah Sumatera Barat pada bagunan ini dibuat
pintu pengambilan untuk mengatur pemanfaatan air untuk memenuhi kebutuhan
air suatu daerah dan sebagai data informasi dari BAPEDALDA Sumatera Barat,
bahwa di Solok terdapat embung dan cek dam sebanyak 64 buah, data pada
Lampiran 5. Foto embung dan cek dam pada daerah penelitian dapat dilihat pada
Gambar 31 dan 32.
Gambar 31Embung di DTA Singkarak
Kondisi bangunan chek dam/bendung yang dijumpai di lapangan telah
banyak mengalami kerusakan. Perkiraan dari jumlah yang ada sekitar 70 persen
sudah rusak. Kerusakan di jumpai pada pintu air yang digunakan sebagai bagunan
yang mengatur tinggi muka air di chek dam/bendung. Selain pintu air kerusakan
pada tubuh bendung, seperi retak, patah dan bahkan sudah hilang hanyut terbawa
arus.
Embung Ujang Juaro Embung Jilatang
Embung Sok Panjang Embung Sawah Bilo
63
Gambar 32 Cek dam di DTA Singkarak.
Hasil survey lapangan pada daerah penelitian banyak terdapat embung
(telaga atau waduk waduk kecil baik yang alami maupun buatan. Hal ini
mengindikasikan bahwa pada daerah perlu bagunan bagunan tersebut diatas
karena pada kenyataannya bangunan tersebut sangat membantu masyarakat
setempat dalam memenuhi kebutuhan air baik untuk kehidupan sehari hari
maupun untuk pertanian.
Walaupun sudah terdapat bangunan yang berfungsi sebagai cadangan air
namun pada daerah masih ada beberapa daerah yang mengalami kekeringan dan
juga ada daerah yang mengalami banjir dari tahun ketahun. Oleh sebab itu perlu
dilakukan suatu analisa untuk menentukan jumlah bangunan dan posisi bangunan
yang tepat agar bangunan lebih efektif.
Cek dam Aro Talang Cek dam Andaleh
Cek dam Bukik Jaliang Cek dam Tabek Dangka