Upload
hakhanh
View
234
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Spirit Publik Volume 9, Nomor 1 Halaman: 51 - 76
ISSN. 1907 - 0489 Oktober 2014
51
KEARIFAN LOKAL DALAM PEMANFAATAN SULTANAAT GROUND DI KECAMATAN GAMPING KABUPATEN SLEMAN
The Local Wisdom in Utilizing Sultanaat Ground in District Gamping, Sleman
Marsudi
Jurusan Ilmu Adminitrasi FISIP Universitas Sebelas Maret Surakarta
( Diterima tanggal 3 Maret 2014 , disetujui 29 Maret 2014)
Abstract
The problem in this research is how the local wisdom makes utilizing of Sultanaat Ground in District Gamping, Sleman. For the analitical data, it is used Qualitative Inductive Method, based on the fenomology paradigm.
The invention of this research is that the management of Sultanaat Ground done by the Palace is through the local wisdom. The utilization of Sultanaat Ground is by publishing a letter of a long term rent land approvement. The Palace also gives authority to the local government for managing the Sultanaat Ground through special authority letter, as giving permission to build a building. Then the Palace implements local wisdom principal which is “ a shelter “, or a kind from the Palace for its people.
Key words : Local Wisdom, Utilizing Sultanaat Ground
I. PENDAHULUAN
Latar Belakang
Propinsi DIY merupakan salah satu
daerah yang istimewa di Indonesia. Salah
satu fakta sejarah yang memperkuat status
keistimewaan DIY diantaranya adalah
adanya Maklumat Hamengku Buwono IX
dan Paku Alam VII yang dikeluarkan 5
September 1945 dan 30 Oktober 1945,
yang merupakan titik tolak integrasi
Keraton Yogyakarta dan Kadipaten
Pakualaman ke Negara Kesatuan Republik
Indonesia, dimana di dalam maklumat
tersebut disebutkan “Bahwa Negeri
Ngajogjakarta Hadiningrat jang bersifat
keradjaan adalah daerah istimewa dari
Negara Republik Indonesia”. Di samping
itu, keistimewaan DIY diperkuat lagi
dengan adanya Undang-Undang Nomor 3
Tahun 1950 tentang Pembentukan DIY,
yang di dalam undang-undang tersebut
dijelaskan bahwa Propinsi DIY diberi
Spirit Publik Vol. 9, No. 1, Oktober 2014 Hal. 51 – 76
52
kewenangan untuk mengurus rumah
tangganya sendiri.
Keistimewaan itu salah satunya
terlihat pada status kepala daerah, dimana
sejak kemerdekaan RI, kepala daerah di
DIY selalu dipegang oleh Sultan
Yogyakarta. Tidak hanya terbatas pada itu,
keistimewaan tersebut juga mencakup
pemerintahan, pendidikan, kebudayaan,
anggaran keistimewaan, dan posisi
keraton. Di samping itu, aspek pertanahan
juga menjadi salah satu simbol
keistimewaan, dimana pada awalnya di
Propinsi DIY tidak pernah ada tanah
negara. Semua tanah di DIY merupakan
Sultanaat Ground (tanah milik Kasultanan
sebagai lembaga kraton), yang sejak
kemerdekaan diberikan kepada pemerintah
daerah. Selain yang diberikan kepada
pemerintah daerah, masih terdapat tanah
milik Keraton Yogyakarta (Sultanaat
Ground) dan tanah milik Puro Pakualaman
(Paku Alamanaat Ground). Status tanah ini
dapat dikategorikan sebagai tanah Ulayat
(tanah adat), karena merupakan
peninggalan leluhur yang dimiliki lembaga
Keraton dan Pakualaman.
Sultanaat Ground (SG) dan Paku
Alamanaat Ground (PAG) ini luasnya
mencapai ribuan hektar (yang sampai saat
ini belum ada pendataan pasti dari luas
keseluruhan) dan tersebar di mana-mana,
antara lain di Bantul, Kulonprogo, Sleman
dan Kota Yogya.
Pada dasarnya, tanah ini tidak
memiliki kepastian hukum formal. Hal ini
dapat dilihat dari sejarah aturan pertanahan
di DIY, terkait dengan Undang-Undang
No.5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok
Agraria, dimana setelah itu pada tahun
1984, keluar Keppres No. 33 Tahun 1984
tentang Pemberlakuan Sepenuhnya UUPA
di DIY yang diikuti beberapa
Kepmendagri, diantaranya Kepmendagri
No. 69 Tahun 1984 tentang Penegasan
Konversi dan Pendaftaran Hak Atas Tanah
hak Milik Perorangan Berdasarkan Perda
No. 5 Tahun 1954. Mengacu pada
kepmendagri tsb, semua tanah di DIY
sudah dapat diberlakukan UUPA, kecuali
tanah SG dan PAG (yang masih harus
ditetapkan secara khusus)
Meskipun demikian, dari pihak
keraton sendiri telah mengeluarkan
kebijakan mengenai pemanfaatan dan
pengelolaan Sultanaat Ground tersebut,
yang dalam pelaksanaannya dilakukan oleh
Paniti Kismo yang merupakan lembaga
keraton. Salah satunya adalah dengan
memberikan status ngindung atau
magersari bagi tanah yang dimanfaatkan
oleh masyarakat dengan ketentuan-
ketentuan tertentu. Status ngindung atau
magersari ini diperkuat dengan adanya
bukti surat kekancingan magersari yang
Marsudi : Kearifan Dalam Pemanfaatan Sultanaat Ground Di Kecamatan Gamping Kabupaten Sleman
53
dikeluarkan pihak keraton, namun tidak
bersertifikat resmi dari pemerintah.
Sedangkan untuk mendirikan bangunan
permanen di atas tanah magersari ini
diperlukan izin dari BPN, sehingga meski
tanahnya merupakan tanah kraton dan izin
pemanfaatannya melalui lembaga di
kraton, untuk urusan mendirikan bangunan
tetap dibutuhkan IMB dari pemerintah
daerah.
Tidak adanya kepastian hukum
yang formal mengenai tanah ini dan
adanya kebijakan-kebijakan diluar
kebijakan kraton mengenai pemanfaatan
tanah, baik dari pemerintah pusat maupun
yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah,
membuat kebijakan yang dikeluarkan oleh
pihak kraton menjadi kebijakan tunggal
dalam pemanfaatan Sultanaat Ground di
DIY pada umumnya, dan juga di
Kecamatan Gamping khususnya yang juga
terdapat Sultanaat Ground di wilayahnya.
Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian yang sudah
dijelaskan pada latar belakang diatas, maka
masalah yang akan dikaji adalah :
‘Bagaimana kearifan lokal dalam
penggunaan Sultanaat Ground di
Kecamatan Gamping, Kabupaten Sleman’
?
II. TINJAUAN PUSTAKA
Kearifan Lokal
Dalam pengertian kamus, kearifan lokal
(local wisdom) terdiri dari dua kata:
kearifan (wisdom) dan lokal (local). Dalam
Kamus Inggris Indonesia John M. Echols
dan Hassan Syadily, local berarti setempat,
sedangkan wisdom (kearifan) sama dengan
kebijaksanaan. Secara umum maka local
wisdom (kearifan setempat) dapat
dipahami sebagai gagasan-gagasan
setempat (local) yang bersifat bijaksana,
penuh kearifan, bernilai baik, yang
tertanam dan diikuti oleh anggota
masyarakatnya. Sedangkan menurut I
Ketut Gobyah (dalam Sartini, 2004),
mengatakan bahwa kearifan lokal (local
genius) adalah kebenaran yang telah
mentradisi atau ajeg dalam suatu daerah.
Kearifan lokal terbentuk sebagai
keunggulan budaya masyarakat setempat
maupun kondisi geografis dalam arti luas,
dimana biasanya merupakan produk
budaya masa lalu yang patut secara terus-
menerus dijadikan pegangan hidup.
Meskipun bernilai lokal tetapi nilai yang
terkandung di dalamnya dianggap sangat
universal. Sedangkan Imam mengatakan,
secra substabsial local wisdom merupakan
norma yang berlaku dalam dalam suatu
masyarakat yang diyakini kebenaranya dan
Spirit Publik Vol. 9, No. 1, Oktober 2014 Hal. 51 – 76
54
menjadi acuan dalam bertindak dan
berperilaku sehari-hari.
Sejalan dengan pengertian di
atas, menurut Nurma Ali Ridwan (2007),
kearifan lokal merupakan akumulasi dari
hasil aktivitas budi dalam menyikapi dan
memperlakukan lingkungan atau disebut
juga sebagai pengetahuan lokal, dimana
hal tersebut menggambarkan cara bersikap
dan bertindak kita untuk merespon
perubahan-perubahan yang khas dalam
lingkup lingkungan fisik maupun kultural.
Balipos terbitan 4 September
2003 memuat tulisan “Pola Perilaku Orang
Bali Merujuk Unsur Tradisi”, antara lain
memberikan informasi tentang beberapa
fungsi dan makna kearifan lokal, yaitu:
1. Berfungsi untuk konservasi dan
pelestarian sumber daya alam.
2. Berfungsi untuk pengembangan
sumber daya manusia, misalnya
berkaitan dengan upacara daur
hidup, konsep kanda pat rate.
3. Berfungsi untuk pengembangan
kebudayaan dan ilmu pengetahuan,
misalnya pada upacara saraswati,
kepercayaan dan pemujaan pada
pura Panji.
4. Berfungsi sebagai petuah,
kepercayaan, sastra dan pantangan.
5. Bermakna sosial misalnya upacara
integrasi komunal/kerabat.
6. Bermakna sosial, misalnya pada
upacara daur pertanian.
7. Bermakna etika dan moral, yang
terwujud dalam upacara Ngaben
dan penyucian roh leluhur.
8. Bermakna politik, misalnya
upacara ngangkuk merana dan
kekuasaan patron client
Dari penjelasan fungsi-fungsi tersebut
tampak betapa luas ranah kearifan lokal,
mulai dari yang sifatnya sangat teologis
sampai yang sangat pragmatis dan teknis.
Dari beberapa hal tersebut, maka dapat
dikatakan bahwa Kearifan lokal
merupakan suatu gagasan konseptual yang
hidup dalam masyarakat, tumbuh dan
berkembang secara terus-menerus dalam
kesadaran masyarakat, yang berfungsi
dalam mengatur hampir semua ranah
kehidupan masyarakat.
Pengertian Lahan
Menurut Jayadinata, lahan berarti tanah
yang sudah ada peruntukannya dan
umumnya ada pemiliknya (perorangan atau
lembaga). Sedangkan dalam penguasaan
atau pemilikan tanah oleh rakyat di suatu
negara, terdapat dua prinsip yang berbeda:
a. Di suatu negara agraris, dimana
nafkah sebagian besar rakyat adalah
pertanian, sehingga mereka
bergantung kepada tanah, untuk
keadilan, maka prinsipnya: tanah itu
Marsudi : Kearifan Dalam Pemanfaatan Sultanaat Ground Di Kecamatan Gamping Kabupaten Sleman
55
oleh negara dibagikan kepada
sebanyak mungkin penduduk
(dengan hak milik, hak guna
bangunan, hak guna usaha, dsb),
sehingga pemilikan/penguasaan
tanah bagi keluarga/pengusaha
adalah terbatas/kecil.
Salah satu contohnya adalah Indonesia.
b. Di suatu negara industri, dimana
nafkah sebagian besar penduduk
adalah industri, maka hanya sedikit
saja rakyat yang bertani atau yang
bergantung kepada tanah, sehingga
untuk memudahkan pengelolaan,
prinsipnnya: tanah oleh negara
dibagikan kepada sebagian kecil dari
penduduk, sehingga
pemilikan/penguasaan tanah per
keluarga/perusahaan dapat luas. Hal
ini dapat memungkinkan adanya
sistem-sistem tuan-tuan tanah yang
memiliki/menguasai tanah yang luas
sekali.
Contohnya negara-negara di Eropa dan
Amerika.
Pemanfaatan Lahan
Berdasarkan kamus penataan
ruang, pemanfaatan lahan merupakan
penggunaan tanah untuk aktivitas atau
kegiatan orang atau badan hukum yang
dapat ditunjukkan secara nyata. Sedangkan
penggunaan lahan adalah wujud kegiatan
penguasaan tanah supaya dapat memberi
manfaat berupa hasil dan/atau jasa tertentu,
mewujudkan tata ruang, dan menjaga
kelestarian fungsi lingkungan hidup.
Di dalam penggunaan lahan,
menurut Steigenga dalam Jayadinata, Firey
menunjukkan pengaruh budaya yang besar
dalam adaptasi ruang, dan ia
berkesimpulan bahwa: ruang dapat
merupakan lambang bagi nilai-nilai sosial
(misalnya penduduk sering memberikan
nilai sejarah yang besar kepada sebidang
tanah). Berhubung dengan pendapat Firey
itu, Chapin menggolongkan tanah dalam
tiga kelompok, yaitu yang mempunyai:
a. nilai keuntungan, yang
dihubungkan dengan tujuan
ekonomi, dan yang dapat dicapai
dengan jual – beli tanah di
pasaran bebas;
b. nilai kepentingan umum, yang
berhubungan dengan pengaturan
untuk masyarakat umum dalam
perbaikan kehidupan masyarakat;
c. nilai sosial, yang merupakan hal
yang mendasar bagi kehidupan
(misalnya sebidang tanah yang
dipelihara, peninggalan, pusaka,
dsb), dan yang dinyatakan oleh
penduduk dengan perilaku yang
berhubungan dengan pelestarian,
Spirit Publik Vol. 9, No. 1, Oktober 2014 Hal. 51 – 76
56
tradisi, kepercayaan, dan
sebagainya.
Menurut Chapin (1979), ada 2
aspek yang mempengaruhi penggunaan
lahan, yaitu aspek aspasial (perekonomian-
kependudukan) dan spasial (sistem
aktifitas, sistem pengembangan lahan dan
sistem lingkungan). Dimana kependudukan
terkait dengan perkembangan penduduk
yang berkaitan dengan kualitas, kuantitas,
dan mobilitas penduduk. Kualitas
penduduk berkaitan dengan keadaan
masyarakat dan masalah sosial, sedangkan
kuantitas penduduk berkaitan dengan
meningkatnya jumlah penduduk baik
secara umum maupun dilihat dari
komposisi penduduknya. Mobilitas
penduduk berkaitan dengan
migrasi/urbanisasi.
Sedangkan perekonomian,
menyangkut perkembangan kegiatan
ekonomi yang diindikasikan dengan
bertambahnya jumlah produksi dan
distribusi yang dilakukan sektor industri,
perdagangan dan jasa, dimana sektor-
sektor tersebut dalam perkembangan
kegiatannya memerlukan lahan di
lingkungan perkotaan. Kegiatan-kegiatan
tersebut memerlukan lokasi lahan yang
strategis untuk menjalankan kegiatannya.
Posisi tersebut akhirnya membentuk pola
penggunaan lahan yang dipergunakan oleh
berbagai aktivitas perekonomian.
Sistem kegiatan/aktifitas, dalam hal ini
berkaitan dengan cara manusia dan
kelembagaannya mengatur urusannya
sehari-hari untuk memenuhi kebutuhannya
dan saling berinteraksi dalam waktu dan
ruang. Interaksi antara berbagai aktifitas
tersebut dilakukan melalui komunikasi
dengan menggunakan sistem transportasi
berupa jaringan jalan yang banyak
mempengaruhi pemanfaatan ruang, yang
biasanya jika di suatu tempat dibangun
jalan baru, maka akan diikuti oleh
berkembangnya lahan-lahan terbangun
baru untuk berbagai aktivitas manusia di
sisi kiri-kanan jalan. Sistem
pengembangan lahan berfokus pada proses
pengubahan ruang dan penyesuaiannya
untuk kebutuhan manusia dalam
menampung kegiatan yang ada dalam
susunan sistem kegiatan.
Tanah Adat/Tanah Ulayat
Tanah ulayat merupakan bidang
tanah yang diatasnya terdapat hak ulayat
dari suatu masyarakat hukum adat tertentu.
Sedangkan hak ulayat adalah kewenangan,
yang menurut hukum adat, dimiliki oleh
masyarakat hukum adat atas wilayah
tertentu yang merupakan lingkungan
warganya, dimana kewenangan ini
memperbolehkan masyarakat untuk
mengambil manfaat dari sumber daya
alam, termasuk tanah, dalam wilayah
tersebut bagi kelangsungan hidupnya.
Marsudi : Kearifan Dalam Pemanfaatan Sultanaat Ground Di Kecamatan Gamping Kabupaten Sleman
57
Masyarakat dan sumber daya yang
dimaksud memiliki hubungan secara
lahiriah dan batiniah turun temurun dan
tidak terputus antara masyarakat hukum
adat tersebut dengan wilayah yang
bersangkutan.
("http://id.wikipedia.org/wiki/Tanah_ulaya
t")
Sejarah Pertanahan di DIY
dalam Kaitannya dengan Sultanaat
Ground
Kasultanan Yogyakarta
sebagai suatu negara kecil juga memiliki
kekuasaan yang besar atas tanahnya. Pada
jaman dahulu, ketika Kerajaan Mataram
masih sebagai negara berdaulat dan belum
dibawah kekuasaan penjajah Belanda, pada
prinsipnya, semua tanah yang ada dalam
wilayah kerajaan adalah milik raja. Pada
waktu itu, rakyat hanya diberi
hak/wewenang untuk meminjam tanah
tersebut dari raja (hanggaduh), sekalipun
meminjamnya turun temurun (hanggaduh
run-temurun).
Setelah adanya Perjanjian
Giyanti dan lahirnya Kasultanan
Ngayogyokarto, prinsip dasar mengenai
pertanahan tersebut tetap dianut. Perjanjian
Giyanti yang terjadi antara Pangeran
Mangkubumi, Sri Susuhunan Paku
Buwono III (pengganti Paku Buwono II)
dan Pemerintah Belanda menjadikan dasar
bahwa untuk Kasultanan Yogyakarta,
pemilik sebenarnya dari seluruh aset yang
ada di Kasultanan adalah Sultan
Hamengku Buwono I, di samping karena
adanya prinsip mengenai pertanahan
tersebut, juga karena pada dasarnya
perjanjian itu merupakan perjanjian pribadi
Pangeran Mangkubumi dengan pihak
Kasunanan dan Belanda sebelum diangkat
menjadi sultan.
Setelah diangkat menjadi sultan,
secara yuridis, antara pribadi dengan
negara akan menjadi satu lembaga
kerajaan dan nantinya akan memiliki
konsekuensi-konsekuensi logis, aset yang
tadinya milik pribadi secara otomatis akan
menjadi milik kerajaan juga. Oleh
karenanya, ada pelimpahan kewenangan
dan sistem yang mendukung pengelolaan
aset tersebut, yaitu adanya “sistem waris
inti”, yang merupakan sistem pewarisan
aset di kraton, yang mana walaupun aset-
aset itu pada mulanya adalah milik HB I
secara pribadi, namun secara yuridis
hukum adat, diatur kepemilikan dan
kewenangan terhadap aset tersebut ada
pada pengganti setiap sultan. Dengan
begitu,nantinya sebagian dari aset akan
dibagi dan diwariskan kepada keturunan
tiap sultan,sedangkan yang sebagian lagi
tetap menjadi aset sultan tapi dikelola oleh
kraton sebagai lembaga dan seperti itu
berlaku seterusnya pada tiap sultan. Oleh
Spirit Publik Vol. 9, No. 1, Oktober 2014 Hal. 51 – 76
58
karena itu, sebagai intepretasi milik
pribadi, untuk tanahnya disebut sebagai
“tanah sultan (sultan ground)”. Di samping
itu karena besarnya kepercayaan pengikut
setianya, pengaturan tanah seisinya
dipercayakan kepada beliau sultan sebagai
Kagungan Dalem Noto.
Pada masa setelah pemerintahan
HB I, terjadi pergolakan politik &
kekuasaan, dimana Belanda mulai
melakukan intervensinya terhadap
Kasultanan, akan tetapi ditentang oleh HB
II dan juga keturunan-keturunannya.
Sampai ketika Raffles (penjajahan oleh
Inggris) berkuasa pada tahun 1813, politik
adu domba dijalankan hingga Pangeran
Notokusumo (yang merupakan saudara HB
II) memisahkan diri dan mendirikan
Kadipaten Pakualaman. Pergolakan-
pergolakan semacam itu terus berlangsung
hingga jaman Perang Diponegoro usai,
kira-kira setelah masa pemerintahan HB
VI – VII.
Dengan adanya berbagai pergolakan
tersebut, muncul kekhawatiran Belanda
terhadap kekuatan Kasultanan, sehingga
politik kontrak semakin diperketat hingga
mengatur masalah kewilayahan, terutama
pertanahan. Dan pada abad 19, ketika
Belanda membutuhkan tanah untuk
perusahaan-perusahaannya, menjadi lebih
mudah karena cukup meminta tanah dari
sultan, baik dalam bentuk meminjam,
menyewa, ataupun hak milik. Mengingat
hal ini, maka perusahaan Belanda dapat
menguasai tanah dalam bentuk Recht van
Opstall (R.v.O) – pada jaman republik
dikonversi menjadi Hak Guna Bangunan,
Recht van Eigendom (R.v.E) – pada jaman
republik dikonversi menjadi hak milik, dan
sebagainya.
Dengan demikian, berdasar politik
kontrak tersebut, tanah sultan (Sultan
Ground) itu sendiri terdiri dari dua jenis:
(1) Tanah Mahkota (Crown
Domain), yaitu Sultan Ground
yang diperuntukkan dan diatasnya
berdiri bangunan-bangunan atau
suatu lahan terbuka yang digunakan
untuk atribut kerajaan dan tidak
bisa diwaris, yang disebut dengan,
seperti kraton, alun-alun, kepatihan,
Pasar Beringharjo, masjid besar,
Pesanggrahan Ambarukmo,
Ambarbinangun, hutan jati di
Karang Asem – Gunung Kidul;
(2) Sultanaat Ground, yaitu Sultan
Ground yang dikelola oleh kraton
sebagai lembaga Kraton
Ngayogyokarto Hadiningrat,
dimana diatasnya bisa diberikan
hak, baik yang tunduk pada hak-
hak barat maupun hak-hak pribumi.
Tanah ini merupakan Sultan
Ground yang bisa diakses oleh
rakyat.
Marsudi : Kearifan Dalam Pemanfaatan Sultanaat Ground Di Kecamatan Gamping Kabupaten Sleman
59
Untuk Sultanaat Ground, dengan jelas
terbagi menjadi dua, yaitu:
(1) Tanah-tanah yang tetap dikuasai
oleh hukum adat (tanah-tanah yang
berada di tangan rakyat – tunduk
pada hak-hak pribumi), yang dalam
bahasa Belanda disebut
“Inlandsche-gronden”, dan
(2) Tanah-tanah yang tetap dikuasai
oleh hukum Eropa (tanah-tanah
yang diberikan pada orang-orang
atau perusahaan-perusahaan
Belanda), yang disebut dengan
istilah “Europesche-gronden”.
Kemudian, untuk mengurangi
beban rakyat dengan masuknya
perusahaan-perusahaan Belanda, maka
diadakan reorganisasi dengan dikeluarkan
Rijksblaad Kasultanan Yogyakarta
1918/16 dan Rijksblaad Kadipaten Paku
Alaman 1918/18 yang lebih kurang isinya
“Sakabehing bumi kang ora ono tondho
yektine kadarbe ing liyan mowo
wewenang eigendom, dadi bumi kagungan
Kraton Ingsun” (semua tanah yang tidak
ada tanda bukti kepemilikannya selain
yang dikenai hak eigendom, menjadi tanah
milik Kraton). Selanjutnya, setelah seluruh
tanah selain yang dikenai hak eigendom
dinyatakan menjadi milik Kraton,
kemudian diberikan haknya, berupa:
(1) Hak anganggo turun-temurun
kepada masyarakat di luar
Kotapraja;
(2) Hak andarbe kepada kelurahan
(disebut tanah desa); dan
(3) Untuk masyarakat Kotapraja,
berdasarkan Rijksblaad Kasultanan
Yogyakarta 1925/23 dan
Rijksblaad Kadipaten Paku Alaman
1925/25, diberikan hak andarbe;
(4) Lalu sisanya, yang berupa tanah
liar kosong, hutan belukar, dan
sebagainya merupakan tanah
domein bebas dari Kasultanan
Yogyakarta – Kadipaten Paku
Alaman.
Dengan dibentuknya Daerah
Istimewa Yogyakarta berdasarkan
Undang-Undang No. 3 Tahun 1950,
Propinsi DIY diberi kewenangan untuk
mengurus rumah tangganya sendiri, salah
satunya dalam bidang pertanahan. Untuk
itu, dikeluarkan Perda No. 5 Tahun 1954
tentang Hak Atas Tanah di DIY, dimana
hak atas tanahnya adalah sebagai berikut:
(1) Kotamadya
a) Tanah hak milik rakyat (hak
andarbe) bds Rijksblaad No. 23
dan 25 Tahun 1925
b) Tanah hak barat (eigendom,
opstal, dan hak pakai menurut
hukum barat)
c) Tanah SG dan PAG
Spirit Publik Vol. 9, No. 1, Oktober 2014 Hal. 51 – 76
60
d) Tanah pemerintah daerah
(2) Kabupaten
a. Tanah hak milik bds Perda No.
5 tahun 1954 Pasal 4
b. Tanah hak barat
c. Tanah SG dan PAG
d. Tanah Pemerintah daerah
(3) Kelurahan/desa dengan
penggunaan sebagai :
a. Kas desa
b. Tanah bengkok/lungguh
c. Pengarem-arem
d. Kepentingan umum
Dilanjutkan dengan keluarnya
Undang-Undang No.5 Tahun 1960 tentang
Pokok-pokok Agraria yang bersifat
nasional, mendasarkan Diktum Ke-empat
A yang menyatakan : “hak-hak dan
wewenang-wewenang atas bumi dan air
dari Swapraja atau bekas Swapraja yang
masih ada pada waktu mulai berlakunya
undang-undang ini dihapus dan beralih
kepada negara”, dan menurut Diktum Ke-
empat B menyatakan bahwa
“pelaksanaannya diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah”, namun sampai
sekarang belum pernah ada, maka baru
berlaku sebatas (1) tanah hak barat dan (2)
selain ketentuan-ketentuan yang mengatur
hak atas tanah dan pendaftaran tanah adat.
Kemudian, pada tahun 1984, keluar
Keppres No. 33 Tahun 1984 tentang
Pemberlakuan Sepenuhnya UUPA di DIY
yang diikuti beberapa Kepmendagri,
diantaranya Kepmendagri No. 69 Tahun
1984 tentang Penegasan Konversi dan
Pendaftaran Hak Atas Tanah Hak Milik
Perorangan Berdasarkan Perda No. 5
Tahun 1954. Mengacu pada Kepmendagri
tersebut, maka semua tanah di DIY sudah
dapat diberlakukan UUPA, kecuali tanah
SG dan PAG.
III. METODE PENELITIAN
Pendekatan Penelitian
Di dalam bukunya, Lexy J.
Moleong (2001) menjelaskan bahwa dalam
sebuah penelitian ada dua metode yang
dapat digunakan, yaitu metode kualitatif
dan metode kuantitatif. Metode kuantitatif
adalah metode penelitian yang didasarkan
pada analisa perhitungan secara statistikal.
Sedangkan metode kualitatif adalah
metode penelitian yang analisanya
didasarkan pada olah data, ditambah
pengamatan dan wawancara yang
outputnya berupa data diskriptif.
Dengan mempertimbangkan
tujuan, subyek, dan obyek studi yang
ditetapkan, maka penelitian ini
menggunakan metode pendekatan
INDUKTIF – KUALITATIF, dengan
bertumpu pada paradigma
FENOMENOLOGI. Hal ini didasarkan
Marsudi : Kearifan Dalam Pemanfaatan Sultanaat Ground Di Kecamatan Gamping Kabupaten Sleman
61
pada penelitian yang dilakukan berawal
dari pengamatan kasus di lapangan (dalam
hal ini implementasi kebijakan mengenai
sultanaat ground), bersifat eksploratif,
dimana teori-teori tidak digunakan untuk
melakukan analisis, melainkan sekedar
sebagai background untuk memahami dan
mengarahkan fokus penelitian.
Gambar 1 Analisis Metode Induktif Kualitatif
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN PENGELOLAAN SULTANAAT GROUND
Sultanaat Ground sebagai bagian
dari Sultan Ground milik Kasultanan
Yogyakarta yang dapat diakses oleh
masyarakat umum, baik itu rakyat biasa,
pihak swasta, maupun pemerintah,
pengelolaannya merupakan kewenangan
kraton sebagai lembaga Kraton
Ngayogyokarto Hadiningrat. Dalam
penelitian ini, dapat diketahui bahwa
semua tanah di DIY sudah dapat
diberlakukan UUPA, kecuali sultanaat
ground dan PAG. Berdasarkan hal
tersebut, maka pengelolaan Sultanaat
Ground sepenuhnya berdasarkan pada
kebijakan yang dikeluarkan oleh
Kasultanan Yogyakarta.
Pengelolaan sultanaat ground yang
akan dibahas pada subbab ini merupakan
proses pengelolaan secara umum yang
diterapkan kraton terhadap sultanaat
ground di DIY.
Bentuk Pengelolaan oleh
Kasultanan Yogyakarta dan Prinsip
Hubungan Kraton dengan Pemakai
Sultanaat Ground adalah “Pengakuan”
Secara mendasar, prinsip hubungan
antara kraton dengan pihak pemakai
sultanaat ground tersebut adalah adanya
TEORI
TEORI
TEORI TEORI
TEORI TEORI
TEORI
TEORI
KONSEP KONSEP
TEMA TEMA TEMA
ui ui ui ui ui ui
EMPIRIS
ABSTRAK
Ui : unit informasi
Spirit Publik Vol. 9, No. 1, Oktober 2014 Hal. 51 – 76
62
pengakuan bahwa tanah yang ditempati
oleh masyarakat itu adalah sultanaat
ground. Intinya adalah sepanjang pemakai
tanah itu mengaku bahwa tanah itu milik
keraton. Hal ini sejalan dengan filosofi
budaya jawa yang dianut oleh kraton, yaitu
“hamemayu hayuning bawono”, yang
secara harafiah diartikan mempercantik
indahnya dunia. Dalam pengertian yang
lebih hakiki adalah menjaga dan
membangun keharmonisan kehidupan.
Hamemayu Hayuning Bawono
mengandung makna sebagai kewajiban
melindungi, memelihara, serta membina
keselamatan dunia dan lebih
mementingkan berkarya untuk masyarakat
dari pada memenuhi ambisi pribadi. Di
dalam kaitannya dengan sultanaat ground
ini memiliki makna bahwa kraton
mempersilahkan tanah tersebut digunakan
oleh siapa saja yang membutuhkan demi
kesejahteraan rakyatnya, sehingga muncul
ungkapan “tanah untuk rakyat”.
Meskipun demikian, di dalam
mengelola sultanaat ground, kraton
memiliki beberapa kebijakan, terutama
yang berkaitan dengan pemanfaatannya
oleh masyarakat, seperti dalam ijin
pemanfaataan dan ketertiban administrasi
pemanfaatan atas tanah tersebut.
Sebagai bagian dari Sultan Ground
yang diatasnya dapat diberikan hak dan
dimanfaatkan oleh masyarakat umum,
Sultanaat Ground dapat diakses secara
luas oleh masyarakat yang membutuhkan
tanah, dengan status hak pakai atau pinjam
pakai, jadi seolah-olah yang akan
menggunakan itu menyewa pada kraton
atau meminjam tanahnya untuk suatu
kepentingan tertentu. Hal ini dapat dilihat
pada ketentuan yang dikeluarkan kraton
yang tertuang di dalam perjanjian antara
pihak kraton dengan pihak pemakai yang
akan memanfaatkan Sultanaad Ground,
yaitu “Surat Perjanjian Pinjam Pakai
Tanah Milik Sri Sultan Hamengku
Buwono Karaton Ngayogyokarto
Hadiningrat” atau yang biasa disebut
dengan “Surat Kekancingan Magersari”.
Surat Kekancingan Magersari ini
merupakan bentuk pengikat antara
pemakai dengan empunya tanah, yaitu
Kasultanan Yogyakarta, yang berisi
ketentuan-ketentuan yang mengatur
hubungan di antara keduanya, mengenai
hak dan kewajiban yang harus dipenuhi
oleh masing-masing pihak. Perjanjian
magersari ini merupakan wujud
pengelolaan yang dilakukan oleh
Kasultanan terhadap tanah-tanah yang
dimilikinya untuk mengontrol
pemanfaatannya.
Untuk mendapatkan surat
perjanjian magersari tersebut, ada
prosedur-prosedur tertentu yang harus
dilalui oleh pihak calon pemakai melalui
Marsudi : Kearifan Dalam Pemanfaatan Sultanaat Ground Di Kecamatan Gamping Kabupaten Sleman
63
Paniti Kismo. Begitu juga sebelum
mengeluarkan surat kekancingan, ada
beberapa pertimbangan yang dilakukan
oleh pihak kraton sebelum memberikan
ijin pemanfaatan terhadap sultanaat
ground yang dipilih bagi calon pemakai,
seperti kondisi tanah setempat, kegiatan
yang akan dilakukan di atas tanah itu, dan
juga pertimbangan dari segi tata ruang
daerah setempat.
Dalam hal ini, kondisi sultanaat
ground yang dipilih oleh calon pemakai
akan mempengaruhi jenis kegiatan yang
dapat atau akan dilakukan di atasnya,
apakah tanah tersebut cocok untuk
pertanian, permukiman, atau usaha
produktif yang lain. Dengan demikian,
ketika kondisi tanahnya dirasa tidak sesuai
untuk ijin pemanfaatan tertentu yang
diajukan calon pemakai, maka bisa jadi ijin
tersebut tidak akan turun, atau perlu
ditinjau ulang maupun direkomendasikan
untuk pemanfaatan yang lain.
Kraton Tunduk Pada Peraturan
Pemerintah Daerah
Di samping itu, jenis
kegiatan/aktivitas yang akan dilakukan
tersebut sangat erat kaitannya dengan jenis
pemanfaatan terhadap sultanaat ground
yang bersangkutan dan di sisi lain, jenis
pemanfaatan terhadap suatu lahan itu akan
mempengaruhi tata ruang wilayah
setempat. Oleh karena itu, ketika
mempertimbangkan ijin pemanfaatan
untuk permohonan surat kekancingan
magersari, pihak kraton juga berkoordinasi
dengan pemerintah daerah setempat dalam
hubungannya dengan tata ruang. Sebagai
pemilik tanah, pihak kraton menyadari
bahwa tanah miliknya secara administratif
berada di dalam wilayah suatu
pemerintahan tertentu. Mengingat luasan
tanah yang tetap, sedangkan penghuninya
terus bertambah dengan berbagai
aktivitasnya, maka pemanfaatan sultanaat
ground itu sendiri nantinya juga dapat
mempengaruhi tata ruang wilayah
setempat, sedangkan di sisi lain, yang
bertanggung jawab mengenai tata ruang
suatu wilayah adalah pemerintah daerah,
sehingga diperlukan adanya koordinasi
antara kraton dengan pemerintah daerah
yang menjadi lokasi dari sultanaat ground
yang bersangkutan supaya nantinya ijin
pemanfaatan tanah yang dikeluarkan
kraton tidak bertentangan dengan
kebijakan pemerintah daerah mengenai tata
ruang daerah setempat.
Jadi, ada kemungkinan surat
kekancingan magersari ini tidak dapat
turun/terpenuhi, apabila ketika ditinjau dari
sisi tata ruangnya, permohonan
pemanfaatannya tidak mendapatkan
rekomendasi berdasarkan kebijakan dari
pemerintah daerah setempat, atau bahkan
Spirit Publik Vol. 9, No. 1, Oktober 2014 Hal. 51 – 76
64
mungkin, tanah yang akan dimohon
tersebut direncanakan akan digunakan
untuk kepentingan pemerintah sendiri,
sehingga dengan pertimbangan lebih
memprioritaskan pemanfaatan yang untuk
kepentingan publik, maka ijin permohonan
magersari tidak dapat diproses.
Setelah calon pemakai mengurus
surat kekancingan magersari dan mulai
semacam membayar biaya sewa atas
pemanfaatan atas sultanaat ground yang
dipakainya (untuk ketentuan administrasi
dari pemakai kepada pemilik tanah. Hal ini
juga bagian dari kebijakan kraton dalam
mengelola tanahnya. Penertiban
administrasi dilakukan juga dengan tujuan
mengontrol perkembangan
pemanfaatannya, apabila mungkin terjadi
perubahan pemanfaatan ataupun adanya
pengalihan hak pakai dari pemakai
sebelumnya kepada pemakai yang baru.
Pemanfaatan Sultanaat Ground
Memerlukan Surat Kekancingan
Magersari dari Kraton
Telah dijelaskan pada bagian
sebelumnya, bahwa untuk mengakses
sultanaat ground diperlukan adanya
permohonan ijin pemanfaatan tanah
tersebut kepada pemilik tanah, yaitu
Kraton Ngayogyokarto, melalui lembaga
kraton Paniti Kismo. Ijin pemanfaatan
tersebut berupa Surat Kekancingan
Magersari. Untuk mendapatkan surat
perjanjian tersebut, ada prosedur-prosedur
tertentu yang harus dilalui oleh pihak calon
pemakai melalui Paniti Kismo. Dalam
kaitannya dengan pemanfaataan ruang
yang berdasarkan dengan kebijakan tata
ruang daerah setempat, berdasar ketentuan
dari Kasultanan, prosedur untuk mengurus
surat Kekancingan itu sebelumnya terbagi
menjadi dua, berdasar lokasi sultanaat
ground yang disesuaikan dengan
perkembangan ekonomi wilayahnya, yaitu
untuk wilayah dengan pertumbuhan
ekonomi cepat dan wilayah dengan
pertumbuhan ekonomi biasa. Tahapan
prosedurnya dapat dilihat pada bagan
berikut :
Untuk pemrosesan surat
permohonan kekancingan yang masuk ke
dalam paniti kismo itu sendiri, tahapannya
adalah sebagai berikut
Permohonan Penghageng Kawedanan Hageng Punokawan Wahono sarto Kriyo
Karaton Ngayogyokarto Paniti Kismo
disposisi cek lapangan (ukur)
Proses Surat Kekancingan
Marsudi : Kearifan Dalam Pemanfaatan Sultanaat Ground Di Kecamatan Gamping Kabupaten Sleman
65
Gambar 2. Bagan Pemrosesan Permohonan Surat Kekancingan Magersari di Paniti Kismo (Terbaru / 2009 – sekarang)
Setelah selesai permohonan
magersari diproses, calon pemakai dapat
menempati sultanaat ground yang dipilih
sesuai dengan jenis pemanfaatan yang
tertera dalam kekancingan dan pengelolaan
terhadap sultanaat ground itu sepenuhnya
ada di tangan pemakai. Surat Kekancingan
Magersari tersebut berlaku untuk
pemakaian selama 10 tahun, setelah 10
tahun, nantinya dapat diperpanjang lagi.
Hal tersebut ditetapkan seperti itu oleh
pihak kraton untuk mengontrol
pemanfaataan sultanaat ground yang
dipakai oleh masyarakat umum, apabila
terjadi perubahan dalam pemanfaatan
maupun pemegang hak pakai.
Selain itu, kewajiban pemakai tidak
hanya yang berhubungan dengan perijinan
itu saja. Masih ada urusan administrasi
dengan pihak kraton, sebagai pemilik
tanah, yang harus dipenuhi. Urusan
administrasi tersebut terkait dengan biaya
sewa/pemakaian terhadap sultanaat
ground , yang besarnya ditetapkan
berdasar pada NJOP (Nilai Jual Obyek
Pajak) setempat. Hal ini ditetapkan seperti
itu supaya lebih realistis dan mengikuti
perkembangan wilayah sekitar. Yaitu
berupa pisungsung dan penanggalan,
dimana pisungsung merupakan beaya suka
rela dari pemakai kepada keraton saat
mengajukan permohonan hak atas
sultanaat ground, sedangkan penanggalan
merupakan beaya sewa yang harus
dibayarkan per tahun dari pemakai kepada
keraton.
Sedangkan untuk yang berupa
lahan pertanian yang produktif dan
sejenisnya, diterapkan sistem bagi hasil
antara pemakai/penggarap dengan pihak
kraton tiap masa panen, yang besarnya
ditentukan berdasarkan kesepakatan kedua
belah pihak. Jadi, nanti sebagian hasil
panennya diserahkan penggarap kepada
kraton melalui lembaga pracimosono di
dalam kraton. Di samping kewajiban
administrasi kepada kraton, pemakai juga
masih tetap dibebani oleh adanya pajak
PBB, yang merupakan kewajiban terhadap
pemerintah daerah setempat karena tanah
dan bangunan yang ada di atasnya berada
dalam wilayah pemerintahan yang
bersangkutan.
Ketentuan Pemanfaatan
Sultanaat Ground Kraton Tidak
Membatasi Jenis Pemanfaatan
Sultanaat Ground
Pada dasarnya, dari pihak
Kasultanan Ngayogyokarto sendiri,
Spirit Publik Vol. 9, No. 1, Oktober 2014 Hal. 51 – 76
66
sebagai pemilik tidak membatasi jenis
pemanfaatan terhadap sultanaat ground
yang dimohon untuk digunakan oleh
masyarakat, baik itu untuk lahan terbangun
ataupun tidak terbangun, termasuk lokasi
dari sultanaat ground yang dimohon
tersebut. Sebagaimana yang telah
dijelaskan pada subbab sebelumnya,
selama lokasi dan pemanfaatan tanah
tersebut sesuai dengan tata ruang wilayah
setempat, mendapatkan rekomendasi dari
pemerintah daerah setempat dan lolos
pertimbangan dari kraton, maka pasti
diijinkan oleh kraton.
Hanya saja, untuk perubahan
pemanfaatan harus dilakukan dengan
sepengetahuan kraton. Hal ini, selain
hubungannya dengan tata ruang, juga
terkait dengan perubahan yang tertulis di
dalam lembar magersari, sebagai salah satu
kontrol dari kraton terhadap pemakaian
sultanaat ground dan juga demi
kepentingan pemakai sendiri ketika akan
mengurus ijin tertentu atas kegiatan yang
berlangsung di atas sultanaat ground
tersebut, seperti untuk ijin usaha yang
memerlukan rekomendasi pemilik.
Di samping itu, perubahan fungsi
pemanfaatan nantinya juga akan
berpengaruh terhadap kewajiban pemakai
kepada kraton, yaitu dalam hal besaran
penanggalan per tahunnya yang
perhitungannya didasarkan pada besarnya
NJOP setempat. Oleh karena itu,
perubahan pemanfaatan harus
diberitahukan terlebih dahulu kepada pihak
kraton, minimal pada saat pengurusan
perpanjangan surat kekancingan magersari.
Selain perubahan pemanfaatan, hak
pakai bagi pemegang surat kekancingan
magersari dapat dipindah
tangankan/dialihkan tapi harus dengan
sepengetahuan kraton sebagai pemilik
tanah. Jadi yang dapat berpindah hanya
hak atas pakai tanahnya saja, bukan
kepemilikan sultanaat ground . Ada dua
macam mekanisme perpindahan
/pengalihan hak pakai ini, yaitu lintir dan
liyer.
Tidak Adanya Sanksi Terhadap
Pelanggaran Kebijakan Kraton
Mengenai Pemanfaatan Sultanaat
Ground
Meskipun pihak kraton telah
menetapkan beberapa kebijakan terkait
dengan pengelolaan dan pemanfaatan
sultanaat ground miliknya, tetapi di dalam
kenyataannya, kebijakan tersebut belum
dapat berlaku secara sempurna di
lapangan. Masih banyak terdapat proses-
proses yang tidak sesuai dengan yang telah
ditentukan kraton, baik itu karena faktor
pengelolaan dari kraton sendiri, maupun
dari faktor masyarakat sebagai pengguna
tanah tersebut. Dikatakan oleh salah satu
Marsudi : Kearifan Dalam Pemanfaatan Sultanaat Ground Di Kecamatan Gamping Kabupaten Sleman
67
staff Paniti Kismo, bahwa hal tersebut
merupakan salah satu kelemahan dari
pihak kraton yaitu sistem yang ada sampe
saat ini masih longgar. Kraton kesulitan
ngecek langsung ke lapangan, sumber daya
pihak kraton terbatas, belum lagi tanah SG
kan juga luas.
Di samping itu, faktor kurangnya
informasi kepada masyarakat mengenai
prosedur pemanfaatan dan juga bahkan
ketidaktahuan masyarakat mengenai status
tanah yang dipakainya tersebut juga
berpengaruh terhadap tidak sempurnanya
pelaksanaan kebijakan yang telah
ditetapkan oleh kraton. Sebagian besar
kasus yang terdapat di lapangan adalah
bahwa sultanaat ground tersebut sudah
dihuni terlebih dahulu oleh para pemakai,
tanpa mengikuti prosedur yang sudah ada,
baru kemudian, apabila tersedia informasi
ataupun terjadi masalah yang berhubungan
dengan tanah yang mereka tempati,
pengajuan surat kekancingan magersari
baru diurus.
Tidak adanya sanksi bagi pelanggaran-
pelanggaran yang terjadi di lapangan juga
menyebabkan rendahnya kesadaran
masyarakat dalam mematuhi kebijakan-
kebijakan dalam pemanfaatan sultanaat
ground itu. Karena prinsip yang dipegang
keraton adalah keraton itu tidak akan
meminta kecuali dikembalikan itulah yang
disebut ‘sabda Pandita ratu’ ini secara
hukum mengikat, tapi yang jelas tidak
tegas dalam pemberian sanksi.
Hal tersebut sejalan dengan yang
disampaikan oleh staff paniti kismo
sebagaimana telah dikemukakan di awal,
bahwa pada dasarnya, prinsip hubungan
antara kraton dengan pihak pemakai
sultanaat ground tersebut adalah adanya
pengakuan bahwa tanah yang ditempati
oleh masyarakat itu adalah sultanaat
ground, itu sudah cukup bagi pihak kraton
sebagai pemilik. Sebagai catatan,
penempatan dan pemanfaatan sultanaat
ground tanpa ijin dari kraton, disebut
dengan “penguasaan”.
Hak dan Kewajiban Pemakai
Sultanaat Ground
Salah satu kewajiban para pemakai
sultanaat ground adalah memiliki Surat
Kekancingan Magersari, dimana di
dalamnya tercantum mengenai beberapa
kewajiban dan hak pemakai. Di antaranya
adalah:
a. Menerima sultanaat ground yang
dimohon beserta segala keuntungan
dan kerugian, serta beban-beban yang
berhubungan dengan tanah tersebut;
b. Menggunakan sultanaat ground yang
dimohon sesuai dengan ijin yang
Spirit Publik Vol. 9, No. 1, Oktober 2014 Hal. 51 – 76
68
diminta terhadap kraton sebagai
pemilik dan dengan menjaga
kepentingan pihak-pihak terkait;
c. Berhak mendirikan bangunan di
atasnya sesuai dengan kepentingan
yang ada;
d. Berkewajiban membayar administrasi
per tahun kepada kraton selama
memanfaatkan tanah tersebut.
Berkaitan dengan pembayaran
administrasi tersebut, pihak kraton
menentukan beberapa jenis biaya yang
harus dipenuhi oleh pemakai, yaitu:
a. Pisungsung, merupakan biaya suka
rela dari pemakai kepada kraton saat
pertama kali mengajukan permohonan
hak pakai atas sultanaat ground.
Selama memanfaatkan sultanaat
ground tersebut, pembayaran
pisungsung hanya satu kali yang
besarnya tergantung dari luas tanah
dan lokasi tanah (kaitannya dengan
NJOP setempat).
b. Penanggalan, merupakan biaya sewa
yang harus dibayarkan per tahun dari
pemakai kepada kraton. Perhitungan
besarnya biaya sewa ini adalah
sebagai berikut:
Pegangan Penghitungan Tarip Baru
Penanggalan Magersari
(terhitung 23 November 2005)
a. Untuk luasan tanah kurang dari 150
m2, besarnya penanggalan setiap tahun
adalah sebagai berikut :
b. Untuk luasan tanah lebih dari 150 m2,
besarnya penanggalan setiap tahun
adalah sebagai berikut :
Besarnya penanggalan ini
ditetapkan sejak awal perjanjian magersari
dibuat, jadi NJOP yang digunakan selama
10 tahun berikutnya adalah NJOP pada
saat awal dikeluarkannya surat
kekancingan magersari tersebut. Baru nanti
setelah 10 tahun, apabila ada perubahan
NJOP maka akan ditetapkan kembali
sekaligus pada saat memperpanjang surat
kekancingan magersari.
Selain penanggalan dan
diijinkannya adanya perubahan
pemanfaatan, seperti pendirian bangunan
di atasnya dengan sepengetahuan pihak
kraton, hak pakai bagi pemegang surat
kekancingan magersari dapat
dipindahtangankan/dialihkan tapi harus
dengan sepengetahuan kraton sebagai
Marsudi : Kearifan Dalam Pemanfaatan Sultanaat Ground Di Kecamatan Gamping Kabupaten Sleman
69
pemilik tanah. Jadi yang dapat berpindah
hanya hak atas pakai tanahnya saja, bukan
kepemilikan sultanaat ground. Ada dua
macam mekanisme
perpindahan/pengalihan hak pakai ini,
yaitu:
a. Lintir, yaitu melalui proses turun
waris, dimana orang tuanya
sebelumnya telah memiliki hak pakai
atas sultanaat ground kemudian hak
pakainya tersebut diwariskan kepada
anaknya. Dari segi administrasi,
proses lintir ini tidak memerlukan
banyak biaya, hanya biaya untuk
proses balik nama surat kekancingan
magersari saja.
Untuk ketentuan mekanisme lintir
selengkapnya, dapat dilihat pada
bagian lampiran.
b. Liyer, ada dua proses untuk
mekanisme liyer ini, yaitu sebagai
berikut:
1) Jual beli; dalam hal ini, yang
diperjualbelikan bukan
tanahnya, melainkan hak pakai
atas sultanaat ground.
Perpindahan hak pakai atas
sultanaat ground melalui proses
ini cukup mahal dari segi
administrasi, karena di samping
biaya jual beli antara pemakai
lama dengan pemakai baru, juga
dikenakan biaya dari kraton
sebesar 15% dari harga jual beli
hak pakai pada saat proses
permohonan perubahan balik
nama surat kekancingan
magersari.
2) Turun waris; hampir sama dengan
proses lintir, hanya saja dalam
kondisi orang tua yang memiliki
hak pakai asli atas sultanaat
ground masih hidup, kemudian
mewariskan hak pakainya
kepada anaknya. Oleh karena
faktor pemegang surat
kekancingan magersari yang asli
masih hidup, maka proses ini
disejajarkan dengan proses
pengalihan hak pakai secara jual
beli. Sedangkan untuk biaya
administrasi yang harus dipenuhi
kepada kraton, karena proses ini
adalah diwariskan dan bukan
jual beli, maka untuk penentuan
nominalnya adalah 15% dari
NJOP setempat, tapi tidak harus
besaran NJOP pada tahun yang
sama saat proses turun waris itu
dilangsungkan, melainkan dapat
ditetapkan dari NJOP tahun-
tahun sebelumnya, berdasarkan
proses mufakat secara
kekeluargaan.
Spirit Publik Vol. 9, No. 1, Oktober 2014 Hal. 51 – 76
70
Hubungan Pemakai dengan
Pemerintah Daerah dalam Beraktivitas
di Atas Tanah Sultanaat Ground
(Cenderung Terabaikan)
Walaupun sultanaat ground
merupakan tanah milik kasultanan, namun
masyarakat yang memanfaatkan tanah
tersebut beraktivitas di dalam suatu
wilayah administratif pemerintahan
tertentu. Oleh karenanya, dalam
melakukan kegiatan yang berhubungan
dengan sultanaat ground, selain harus
diketahui oleh pemilik tanah, juga ada
beberapa ketentuan yang mengharuskan
pemakai tanah untuk berhubungan dengan
pemerintah daerah setempat.
Beberapa ketentuan tersebut diantaranya
adalah untuk kegiatan berikut:
a. Izin Mendirikan Bangunan
Termasuk di dalamnya adalah
kegiatan mendirikan, mengubah, dan
membongkar bangunan. Baik untuk
bangunan perumahan maupun non
perumahan.
b. Izin Gangguan
Merupakan izin tempat usaha orang
pribadi/badan hukum di lokasi tertentu
yang dapat menimbulkan bahaya,
gangguan dan kerugian. Biasanya
untuk kegiatan-kegiatan non-rumah
tangga.
c. Izin Usaha
Merupakan izin yang diberikan kepada
orang pribadi atau badan untuk
mendirikan dan menjalankan tempat
usaha komersial ataupun industri.
d. Izin Pemanfaatan Tanah
Yaitu izin peruntukan penggunaan
tanah yang wajib dimiliki orang
pribadi dan atau badan yang akan
melaksanakan kegiatan dan atau
kegiatan yang mengakibatkan
perubahan peruntukan tanah pada
bangunan/usaha yang dilakukan.
Jadi, setelah calon pemakai selesai
mengurus permohonan surat kekancingan
magersari di kraton, maka beberapa
ketentuan dari pemerintah di atas
seharusnya dipenuhi terlebih dahulu
sebelum melakukan dan atau merubah
kegiatan di atas sultanaat ground yang
bersangkutan. Hal ini salah satunya
sebagai fungsi kontrol pemanfaatan ruang
dalam wilayah pemerintahan yang
bersangkutan.
Demikian, adanya berbagai
koordinasi tersebut ditujukan sebagai
upaya pengendalian pemanfaatan lahan,
terutama untuk wilayah dengan
perkembangan ekonomi cepat dan juga
agar tidak terjadi kesalahpahaman
(terutama dalam hal kepentingan
Marsudi : Kearifan Dalam Pemanfaatan Sultanaat Ground Di Kecamatan Gamping Kabupaten Sleman
71
pemanfaatan) antara pihak kraton,
pemakai, dan juga pemerintah sendiri.
PEMANFAATAN SULTANAAT
GROUND DI KECAMATAN
GAMPING
Pada dasarnya, pemanfaatan
sultanaat ground ini merupakan salah satu
bentuk pengelolaan dari tanah itu sendiri
yang dilakukan oleh masyarakat.
Sebagaimana yang telah dijelaskan pada
sub bab pengelolaan sultanaat ground,
bahwa ketika tanah itu telah dipakai atau
dimanfaatkan oleh masyarakat umum,
maka secara otomatis, hak pengelolaan
terhadap tanah itu sepenuhnya ada di
tangan pemakai, tentu saja seharusnya
dengan sepengetahuan pihak pemilik, yaitu
Kraton Ngayogyokarto Hadiningrat.
Pemanfaatan sultanaat ground ini pada
dasarnya tidak dibatasi oleh pemiliknya,
selama sesuai dengan aturan tata ruang
yang berlaku di daerah setempat dan juga
tidak menimbulkan konflik kepentingan
dengan berbagai pihak. Untuk dapat
mengakses sultanaat ground ini,
seharusnya calon pemakai memohon ijin
terlebih dahulu kepada pemiliknya,
sehingga memperoleh Surat Kekancingan
Magersari yang dikeluarkan oleh kraton
melalui lembaga paniti kismo, sebagai
tanda bukti yang sah atas ijin pemakaian
tanah tersebut. Namun, meskipun
demikian, melihat dari luasnya sultanaat
ground yang ada
Merupakan izin yang diberikan kepada
orang pribadi atau badan untuk mendirikan
dan menjalankan tempat usaha komersial
ataupun industri. Hubungan Pemakai
dengan Pemerintah Daerah dalam
Beraktivitas di Atas Tanah Sultanaat
Ground (Cenderung Terabaikan)
Walaupun sultanaat ground
merupakan tanah milik kasultanan, namun
masyarakat yang memanfaatkan tanah
tersebut beraktivitas di dalam suatu
wilayah administratif pemerintahan
tertentu. Oleh karenanya, dalam
melakukan kegiatan yang berhubungan
dengan sultanaat ground, selain harus
diketahui oleh pemilik tanah, juga ada
beberapa ketentuan yang mengharuskan
pemakai tanah untuk berhubungan dengan
pemerintah daerah setempat.
Ragam Pemanfaatan Sultanaat
Ground
Berdasarkan data dan pengamatan
di lapangan, sultanaat ground yang ada di
Kecamatan Gamping dimanfaatkan dalam
berbagai bentuk di dalam fungsi sebagai
kawasan budidaya, baik itu terbangun
maupun tidak terbangun. Sedangkan untuk
kawasan lindung adalah sultanaat ground
Spirit Publik Vol. 9, No. 1, Oktober 2014 Hal. 51 – 76
72
yang terletak di pinggir bantaran sungai
ataupun pinggir jalur rel kereta api yang
berfungsi sebagai sempadan sungai atau
sempadan rel. Beberapa sultanaat ground
yang tercatat di data sekunder dan peta
desa lama ada yang sudah berkurang
luasnya atau bahkan hilang sama sekali
karena terkena erosi sungai ataupun
pelebaran jalan. Di samping itu, ada juga
beberapa pemakaman umum yang tercatat
sebagai sultanaat ground pada data
sekunder.
Masyarakat Memanfaatkan
Sultanaat Ground untuk Berbagai
Kegiatan
Sultanaat ground dalam bentuk
terbangun sebagian besar dimanfaatkan
dengan fungsi permukiman. Selain itu, ada
juga yang digunakan sebagai tempat usaha,
fungsi mix-use antara rumah tinggal –
tempat usaha atau rumah tinggal – kantor,
dan ada juga yang dimanfaatkan sebagai
fasilitas sosial, seperti tempat ibadah.
1) Permukiman
Kecenderungan pemanfaatan
sultanaat ground di Kecamatan
Gamping dengan fungsi ini dapat
terlihat pada beberapa blok yang
di sekitarnya padat permukiman
ataupun dekat dengan pusat
aktivitas ekonomi, pendidikan,
dan kemudahan akses transportasi
utama, seperti yang ada di sekitar
ringroad barat dan selatan (dekat
dengan Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta dan
berbatasan langsung dengan
STIKES A. Yani Yogyakarta),
sekitar Pasar Gamping dan Pasar
Induk Buah dan Sayur Gamping.
Di samping itu, ada pula
perumahan di Desa Balecatur
yang didirikan oleh
pengembang/developer
perumahan di atas satu blok
sultanaat ground, hanya saja
letaknya cukup jauh dari jalan
utama (Jalan Wates) dan berada di
lereng pegunungan, yang jika
ditinjau dari segi ekonomis, akan
lebih murah jika dibandingkan
dengan perumahan yang terletak
di dekat jalan utama.
2) Tempat usaha
Pemanfaatan sultanaat ground
sebagai tempat usaha pada
dasarnya letaknya menyatu
dengan kawasan permukiman di
sekitarnya karena tidak begitu
dominan di Kecamatan Gamping.
Adapun usahanya, diantaranya
adalah industri kecil, seperti
bakpia dan oleh-oleh khas jogja
yang terletak di Desa
Ambarketawang, dimana
Marsudi : Kearifan Dalam Pemanfaatan Sultanaat Ground Di Kecamatan Gamping Kabupaten Sleman
73
pemiliknya memasarkan hasil
produksinya dengan membuka
toko sendiri di dekat pasar
Gamping di pinggir Jalan Wates,
tapi dengan status tanah hak
milik. Selain itu, ada juga
perusahaan furniture “Matarindo,
Kontraktor Interior dan
Furniture” yang berada di Dusun
Dowangan, Desa Banyuraden,
terletak di pinggir jalan ringroad
barat.
3) Mix-use
Sama halnya dengan sultanaat
ground yang dimanfaatkan
sebagai tempat usaha, fungsi mix-
use yang dipilih oleh pemakai
letaknya menyatu dengan
kawasan permukiman. Sebagian
besar yang memanfaatkan dengan
bentuk ini biasanya berupa
perpaduan tempat usaha
(perdagangan/jasa) dengan tempat
tinggal, dimana usahanya adalah
sektor informal, seperti toko-toko
kecil yang menyediakan
kebutuhan bagi masyarakat
sekitar, sebagai contohnya adalah
yang berada di kompleks
permukiman sultanaat ground di
berbatasan dengan STIKES A.
YANI (Dusun Gamping Kidul),
ada yang memanfaatkannya
sebagai tempat tinggal sekaligus
warung makan dan wartel yang
salah satunya menyediakan
kebutuhan bagi mahasiswa
STIKES dan juga untuk warga
sekitar.
Selain perpaduan tempat usaha
(perdagangan/jasa) dengan tempat
tinggal, ada juga yang berupa
perpaduan antara kantor dengan
tempat tinggal, seperti yang ada di
pinggir jalan ringroad barat Dusun
Dowangan, Desa Banyuraden,
Law Office Achiel Suyanto, S. &
Partner, yang juga digunakan
sebagai tempat tinggal.
4) Fasilitas sosial
Fasilitas sosial yang didirikan di
atas sultanaat ground diantaranya
berupa bangunan tempat ibadah,
seperti masjid yang ada di Dusun
Gamping kidul dan gereja di
Dusun Gamping Tengah, Desa
Ambarketawang. Untuk
pemanfaatan dalam bentuk ini,
biasanya merupakan koordinasi
bersama antarwarga setempat.
Selain tempat ibadah, di Dusun
Jatisawit, Desa Balecatur ada
beberapa blok sultanaat ground
yang dikelola oleh Yayasan
Taman Makam Wiratama 45 yang
Spirit Publik Vol. 9, No. 1, Oktober 2014 Hal. 51 – 76
74
dimanfaatkan sebagai Taman
Makam Pejuang 45 (TMP 45).
Di Desa Trihanggo, ada juga
sultanaat ground yang
dimanfaatkan sebagai fasilitas
pendidikan, yaitu Sekolah Dasar,
dimana dulunya tempat tersebut
dimanfaatkan sendiri oleh pihak
kraton, “Sultanaat School”.
Begitu juga dengan yang di Desa
Ambarketawang, ada blok
sultanaat ground yang
peruntukannya sebagai fasilitas
pendidikan, yaitu Sekolah Dasar
Gamping 1.
Pemanfaatan Sultanaat Ground
dalam Bentuk Pertanian Tidak
Memerlukan Surat Kekancingan
Magersari
Sultanaat ground dalam bentuk
tidak terbangun biasanya digunakan
dengan fungsi pertanian, yang dapat
berupa pertanian lahan basah, seperti
sawah (padi), maupun pertanian lahan
kering, seperti ladang ataupun tegalan.
Selain itu, ada beberapa sultanaat ground
yang digunakan sebagai kolam ikan yang
dikelola oleh warga setempat dengan
memanfaatkan lahan pertanian yang sudah
tidak produktif. Pemanfaatan sultanaat
ground yang seperti ini biasanya tidak
memerlukan surat kekancingan magersari
untuk dapat mengaksesnya, cukup dengan
meminta ijin ke kraton ataupun pemerintah
desa untuk dapat menggarapnya.
Sedangkan sebagai timbal baliknya,
diadakan pembagian hasil dari pengelolaan
pertanian tersebut, antara penggarap
dengan pihak kraton sebagai pemilik
ataupun pemerintah desa sebagai salah satu
bentuk pengakuan bahwa tanah yang
digarapnya bukan tanah milik pribadi.
V. KESIMPULAN
1. Pengelolaan sultanaat ground yang
dilakukan oleh kraton meliputi
menetapkan kebijakan (kearifan lokal)
pemanfaatan sultanaat ground,
diantaranya dengan mengeluarkan
surat kekancingan magersari sebagai
pemberian hak pemanfaatan atas tanah
tersebut. Di samping itu, kraton juga
memberikan beberapa kewenangan
kepada pemerintah daerah untuk
membantu pengelolaan sultanaat
ground melalui surat kewenangan
khusus, seperti memberikan
rekomendasi ijin pemanfaatan atas
sultanaat ground. Namun secara
khusus, kraton tidak mengawasi
pemanfaatan tanahnya, karena setelah
tanah itu digunakan oleh masyarakat,
maka kewajiban terhadap tanah
tersebut menjadi tanggung jawab
pemakai.
Marsudi : Kearifan Dalam Pemanfaatan Sultanaat Ground Di Kecamatan Gamping Kabupaten Sleman
75
2. Adanya kemudahan akses terhadap
tanah tersebut jika dibandingkan
dengan tanah biasa pada umumnya
menyebabkan pemakai lebih tunduk
kepada kraton dibanding pemerintah
setempat, sehingga tidak terlalu
mementingkan aspek legalitas.
Kemudahan tersebut menjadi salah satu
bentuk konkret dari prinsip “tanah
untuk rakyat” yang dianut kraton
sebagai pemilik tanah. Secara umum,
masyarakat mengakui tanah tersebut
sebagai tanah kagungan dalem dan
meskipun kebijakan (kearifan lokal)
pemanfaatannya tidak dijalankan
sepenuhnya oleh pemakai.
3. Pada dasarnya, selain adanya bentuk
“pengakuan” yang dikehendaki oleh
kraton bagi siapapun yang
memanfaatkan tanahnya, kraton sendiri
tidak akan meminta tanah itu kembali
kecuali dikembalikan oleh pemakainya.
Dengan prinsip kraton tersebut,
masyarakat pengguna merasa
dilindungi oleh kraton ketika
memanfaatkan sultanaat ground,
terutama bagi yang memiliki surat
kekancingan magersari, karena dengan
memiliki surat tersebut sudah dapat
dianggap legal memempati tanah itu
dan pemerintah daerah sendiri juga
tidak dapat mengusik hak atas tanah
itu, kecuali pemanfaatannya
bertentangan dengan aturan tata ruang.
Bahkan, sekalipun mereka mengakses
tanah itu dengan cara yang
bertentangan dengan kebijakan
(kearifan lokal) yang telah ditentukan
kraton, pemakai masih merasa
terlindungi. Tidak adanya sanksi
terhadap pelanggaran yang ada
dianggap sebagai bentuk penjamin
keamanan menempati sultanaat
ground, yang oleh pemiliknya
dibebaskan untuk jenis kegiatan
apapun selama tidak bertentangan
dengan tata ruang setempat.
4. Di dalam implementasinya, prinsip
kearifan lokal yang dilakukan oleh
kraton ini merupakan salah satu bentuk
“pengayoman” atau kebaikan kraton
terhadap rakyatnya dan diterima oleh
rakyatnya. Hal ini sebagai bentuk
identitas kraton terhadap
keberadaannya.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2002. Hak Atas Tanah Kraton
Kasultanan Yogyakarta- Kadipaten
Pakualaman.
BPN, Yogyakarta.
Anonim. 2002. Kronologis Riwayat
Pertanahan di Propinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta.
Spirit Publik Vol. 9, No. 1, Oktober 2014 Hal. 51 – 76
76
BPN. Yogyakarta.
Anonim. 2002.Sejarah dan Struktur
Pertanahan di Propinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta.
BPN. Yogyakarta.
Chapin, F. Stuart Jr, Edwar J. Kaise.
1979. Urban Land Use Planning,
University of
Illionis Press Urban Chicago.
London.
Geertz , C. 1992. Kebudayaan dan
Agama, Kanisius Press, Yogyakarta.
Gobyah. I. Ketut 2003. Berpijak Pada
Kearipan Lokal, www.bali pos.co.id.
Imam.S.Ernawi.Makalah Seminar
Nasional “Urban Culture, Urban Future :
Hermonisasi
Penataan Ruang dan Budaya
Untuk Mengoftimalkan Potensi kota.
Maleong Lexy.K.2006. Metodologi
Penelitian Kualitatif.PT. Remaja
Rosdakarya.Bandung
Ridwan, NA. 2007. Landasan Keilmuan
Kearifan Lokal . IBDA,Vol 5, No,1
Januari-Juni
P3M STAIN Purwokerto.
Marsudi : Kearifan Dalam Pemanfaatan Sultanaat Ground Di Kecamatan Gamping Kabupaten Sleman
77