16
Defri Elias Simatupang, Kearifan Lokal Dahilan Natolu Sebagai Bingkai Tiga Pilar Pembangunan Berkelanjutan Kawasan Danau Toba 95 KEARIFAN LOKAL DALIHAN NATOLU SEBAGAI BINGKAI TIGA PILAR PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN KAWASAN DANAU TOBA DALIHAN NATOLU, A LOCAL WISDOM AS FRAMING OF THREE PILLARS FOR SUSTAINABILITY DEVELOPMENT AT TOBA LAKE AREA Defri Elias Simatupang Balai Arkeologi Medan Jl. Seroja Raya, Medan, Sumatera Utara 20134 E-mail: [email protected] Naskah diterima: 11 September 2017; direvisi: 20 Oktober 2017; disetujui: 27 November 2017 Abstract This article studied about one of cultural heritage of Batakneese People, i.e.: dalihan natolu, that associated with the development of Lake Toba. It has been several years stretching development Toba lake area more increased fastly, but created worries about the damage of the environmental who can just show up. As has legalizated of Presidential Decree of Republic of Indonesia Number 49 (2016) about Management agency otorita Toba Lake tourism area, felt it is important to see the Toba Lake tourism area in a frame of three pillars of sustainable development: economic- environmental-social cultural. The problem of this article is: How the role of Dalian Natolu as Bataknese local wisdom is, in the frame of three pillars of sustainable development of Toba Lake? The research method using analysis method social network,who want to frame and explaining how relations so that dalihan natolu can have vital position in the three pillars of sustainable development of Toba Lake area. The result of this research, showing that dalihan natolu as a group of social, have a vital potition. It will be implemented, if that laws can be compromised – becoming a good cooperation model in the sustainable development of Toba Lake Area. Keywords :dalihan natolu, Toba Lake, sustainability development Abstrak Tulisan ini bertujuan mengkaji salah satu warisan budaya etnik Batak, yaitu kearifan lokal dalihan natolu, yang dikaitkan dengan pembangunan kawasan Danau Toba. Sudah sejak beberapa tahun ini geliat pembangunan kawasan Danau Toba semakin ditingkatkan secara lebih pesat, namun menimbulkan kekhawatiran akan dampak kerusakan lingkungan yang bisa saja muncul. Seiring telah disahkannya Peraturan Presiden RI Nomor 49 tahun 2016 tentang Badan Otorita Pengelola Kawasan Pariwisata Danau Toba, dirasakan penting untuk melihat kawasan Danau Toba dalam bingkai tiga pilar pembangunan berkelanjutan, yakni: ekonomi, lingkungan, dan sosial budaya. Permasalahan yang diangkat adalah: Bagaimana peranan kearifan lokal dalihan natolu dalam bingkai tiga pilar pembangunan berkelanjutan kawasan Danau Toba?. Metode penelitian yang digunakan adalah metode analisis jaringan sosial, mencoba menempatkan dan menjelaskan posisi penting sistem kekerabatan dalihan natolu masyarakat sekitar kawasan Danau Toba. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalihan natolu sebagai bagian dari aspek budaya, memiliki posisi penting dalam bingkai tiga pilar pembangunan berkelanjutan kawasan Danau Toba. Kata kunci: Dalihan Natolu, Danau Toba, pembangunan berkelanjutan A. PENDAHULUAN Dalam masyarakat majemuk seperti Bangsa Indonesia, berbagai bentuk kearifan lokal, bisa saja digunakan sebagai instrumen pemandu dalam pemecahan potensi konflik atau bahkan konflik. Hal itu karena kearifan lokal sarat akan perangkat- perangkat kebijaksanaan yang bernilai baik, dan sudah terbukti dipercayai dan diikuti oleh

KEARIFAN LOKAL DALIHAN NATOLU SEBAGAI BINGKAI TIGA …

  • Upload
    others

  • View
    8

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: KEARIFAN LOKAL DALIHAN NATOLU SEBAGAI BINGKAI TIGA …

Defri Elias Simatupang, Kearifan Lokal Dahilan Natolu Sebagai Bingkai Tiga Pilar Pembangunan Berkelanjutan Kawasan Danau Toba

95

KEARIFAN LOKAL DALIHAN NATOLU SEBAGAI BINGKAI TIGA PILAR PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN

KAWASAN DANAU TOBA

DALIHAN NATOLU, A LOCAL WISDOM AS FRAMING OF THREE PILLARS FOR SUSTAINABILITY DEVELOPMENT

AT TOBA LAKE AREA

Defri Elias SimatupangBalai Arkeologi Medan

Jl. Seroja Raya, Medan, Sumatera Utara 20134 E-mail: [email protected]

Naskah diterima: 11 September 2017; direvisi: 20 Oktober 2017; disetujui: 27 November 2017

Abstract This article studied about one of cultural heritage of Batakneese People, i.e.: dalihan natolu, that

associated with the development of Lake Toba. It has been several years stretching development Toba lake area more increased fastly, but created worries about the damage of the environmental who can just show up. As has legalizated of Presidential Decree of Republic of Indonesia Number 49 (2016) about Management agency otorita Toba Lake tourism area, felt it is important to see the Toba Lake tourism area in a frame of three pillars of sustainable development: economic-environmental-social cultural. The problem of this article is: How the role of Dalian Natolu as Bataknese local wisdom is, in the frame of three pillars of sustainable development of Toba Lake? The research method using analysis method social network,who want to frame and explaining how relations so that dalihan natolu can have vital position in the three pillars of sustainable development of Toba Lake area. The result of this research, showing that dalihan natolu as a group of social, have a vital potition. It will be implemented, if that laws can be compromised – becoming a good cooperation model in the sustainable development of Toba Lake Area.

Keywords :dalihan natolu, Toba Lake, sustainability development

Abstrak Tulisan ini bertujuan mengkaji salah satu warisan budaya etnik Batak, yaitu kearifan lokal dalihan

natolu, yang dikaitkan dengan pembangunan kawasan Danau Toba. Sudah sejak beberapa tahun ini geliat pembangunan kawasan Danau Toba semakin ditingkatkan secara lebih pesat, namun menimbulkan kekhawatiran akan dampak kerusakan lingkungan yang bisa saja muncul. Seiring telah disahkannya Peraturan Presiden RI Nomor 49 tahun 2016 tentang Badan Otorita Pengelola Kawasan Pariwisata Danau Toba, dirasakan penting untuk melihat kawasan Danau Toba dalam bingkai tiga pilar pembangunan berkelanjutan, yakni: ekonomi, lingkungan, dan sosial budaya. Permasalahan yang diangkat adalah: Bagaimana peranan kearifan lokal dalihan natolu dalam bingkai tiga pilar pembangunan berkelanjutan kawasan Danau Toba?. Metode penelitian yang digunakan adalah metode analisis jaringan sosial, mencoba menempatkan dan menjelaskan posisi penting sistem kekerabatan dalihan natolu masyarakat sekitar kawasan Danau Toba. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalihan natolu sebagai bagian dari aspek budaya, memiliki posisi penting dalam bingkai tiga pilar pembangunan berkelanjutan kawasan Danau Toba.

Kata kunci: Dalihan Natolu, Danau Toba, pembangunan berkelanjutan

A. PENDAHULUAN Dalam masyarakat majemuk seperti Bangsa

Indonesia, berbagai bentuk kearifan lokal, bisa saja digunakan sebagai instrumen pemandu dalam

pemecahan potensi konflik atau bahkan konflik. Hal itu karena kearifan lokal sarat akan perangkat-perangkat kebijaksanaan yang bernilai baik, dan sudah terbukti dipercayai dan diikuti oleh

Page 2: KEARIFAN LOKAL DALIHAN NATOLU SEBAGAI BINGKAI TIGA …

Jurnal Kebudayaan, Volume 12, Nomor 2, Desember 2017

96

masyarakat di suatu tempat secara turun temurun. Salah satu di antaranya adalah adat dalihan natolu yang dalam masyarakat Etnis Batak (Toba), yang sejak dahulu bermukim di tepian Danau Toba. Konsep dalihan natolu juga berlaku pada masyarakat etnis lain yang bertetangga di sekitar Danau Toba (Karo, Simalungun, Mandailing/ Angkola, dan Pakpak). Karo menyebut dengan istilah rakut sitelu atau daliken sitelu. Istilah daliken sitelu juga dipakai masyarakat Pakpak, Simalungun menyebutnya tolu sahundulan, dan Mandailing/ Angkola tetap menyebutnya dalihan natolu. Adat dalihan natolu yang secara harafiah berarti ”tungku berkaki tiga”, adalah produk sistem pengetahuan terkait hubungan kekerabatan antar individu (dewasa usia) yang dibagi ke dalam tiga kelompok, yaitu: hula-hula, dongan tubu, dan boru. Hula-hula merupakan kelompok orang, yang posisinya dianggap “di atas”, yaitu keluarga marga pihak istri sehingga disebut “Somba-somba marhula“ yang berarti harus hormat kepada keluarga pihak istri agar memperoleh kesejahteraan. Dongan tubu merupakan kelompok orang-orang yang posisinya “sejajar”, yaitu teman atau saudara semarga sehingga ada ungkapan menyebutkan: “manat mardongan tubu“, yang artinya menjaga persaudaraan agar terhindar dari perseteruan. Boru merupakan kelompok orang-orang yang posisinya “di bawah”, yaitu saudara perempuan kita dengan pihak marga suaminya, keluarga perempuan pihak ayah. Sehingga sering disebut ”elek marboru“, yang artinya mengasihi pihak boru (Siahaan, 1964: 36-38, Simandjuntak, 2002: 93-102).

Jadi secara sederhana dipahami bahwa ‘dalihan’ adalah tungku tempat memasak yang terdiri dari tiga (tolu) batu. Ketiga dalihan yang ditanam berdekatan ini berfungsi sebagai tungku tempat memasak. Dalihan harus dibuat sama besar dan ditanam sedemikian rupa sehingga jaraknya simetris satu sama lain serta tingginya sama dan harmonis. Falsafah yang lebih lengkap berbunyi: ‘dalihan natolupaopat sihal-sihal’, dimaknakan sebagai kebersamaan yang cukup adil dalam kehidupan masyarakat Batak. Tungku merupakan bagian peralatan rumah yang sangat vital. Karena

menyangkut kebutuhan hidup anggota keluarga, biasa digunakan untuk memasak makanan dan minuman yang terkait dengan kebutuhan untuk hidup orang banyak. Dalam praktiknya, kalau memasak di atas tungku, terkadang ada ketimpangan karena bentuk batu ataupun periuk. Untuk menyejajarkannya, digunakan benda lain untuk mengganjal. Dalam bahasa Batak, benda itu disebut sihal-sihal. Apabila sudah pas letaknya, maka siap untuk memasak. Dalihan natolu bukan kasta karena setiap orang Batak memiliki ketiga posisi tersebut. Ada saat menjadi hula-hula, menjadi dongan tubu dan menjadi boru. Dengan dalihan natolu, seorang gubernur harus siap bekerja mencuci piring atau memasak untuk melayani keluarga pihak istri yang kebetulan seorang camat. Lebih tepat dikatakan bahwa dalihan na tolu merupakan sistem demokrasi karena mengandung nilai-nilai yang universal.

Permasalahan dalam tulisan ini, terkait keberadaan kawasan Danau Toba terkini yang sedang gencar dilakukan pembangunan perekonomian namun berpotensi merusak sektor lingkungan dan sosial masyarakat yang dikenal sejak dahulu tinggal di kawasan pesisir danau ini. Siklus Daerah Tangkapan Air (DTA) Danau Toba terletak antara 2o 10’ LU s.d. 3o 0’ LU dan 98o 20’ BT s.d. 99o 50’ BT. Total luas DTA Danau Toba adalah 379.940,35 ha, yang terdiri dari luas perairan Danau Toba sebesar 104.528,25 ha (27.51%) dan luas daratan sebesar 275.412,10 ha (72.49%). Dengan ketinggian 906 meter di atas permukaan laut, dan kedalaman rata-rata sekitar 450 meter (Sihotang, 2012), Danau Toba telah sejak lama menjadi lalu-lintas air bagi setiap orang yang datang dan pergi ke Pulau Samosir. Adanya isu pengelolaan kawasan Danau Toba sebagai Geopark Kaldera Danau Toba (GKDT) atau Monaco of Asia (MOA), menjadi pembicaraan publik yang tentunya perlu dikaji lebih mendalam. Geopark adalah sebuah kawasan yang memiliki unsur-unsur geologi terkemuka (outstanding) termasuk nilai arkeologi; ekologi dan budaya yang ada di dalamnya, di mana masyarakat setempat diajak berperan melindungi dan meningkatkan fungsi warisan alam. MOA

Page 3: KEARIFAN LOKAL DALIHAN NATOLU SEBAGAI BINGKAI TIGA …

Defri Elias Simatupang, Kearifan Lokal Dahilan Natolu Sebagai Bingkai Tiga Pilar Pembangunan Berkelanjutan Kawasan Danau Toba

97

adalah bagian dari Geopark yang dikenal sebagai geo wisata yang juga di-branding oleh pemerintah. Letak perbedaan MOA dan Geopark Kaldera Danau Toba ialah pada nilai jual namanya. MOA idealnya menekankan pembangunan ekonomi berkelanjutan, dan GKDT pada aspek lingkungan dan sosial.

Makna pembangunan berkelanjutan secara umum adalah “upaya untuk mencipta kan suatu kondisi, berbagai kemungkinan, dan peluang bagi tiap anggota atau kelompok masyarakat dari tiap lapisan sosial, ekonomi dan budaya untuk meningkatkan kesejahteraan hidup tanpa menimbulkan dampak negatif terhadap alam” (Rahadian, 2016). Konsep ini pertama datang dari World Commission on Environment and Development (WCED) yang dikenal dengan Komisi Brundltland ke PBB tahun 1990. Dalam Konferensi Rio tahun 1994[3] tercantum upaya terencana untuk menjamin kesejahteraan umat manusia secara adil dan merata antara generasi sekarang dan yang akan datang (Mitchell, 2007). Revitalisasi sebagai proses untuk menghidupkan kembali suatu hal yang sebelumnya tidak berdaya sehingga menjadi sangat diperlukan kembali (Tim Penyusun Kamus Bahasa Indonesia, 2013: 1549). Nilai penting dalihan natolu tentu harus dilihat kemanfaatannya, bila tidak maka konsep tiga pilar pembangunan berkelanjutan (ekonomi-lingkungan-dan sosial) tidak dapat berjalan dengan normal, ada aspek sosial yang akan tergerus bahkan berpotensi hilang.

Alokasi dana tidak selamanya untuk membangun infrastruktur saja, diharapkan dukungan dana mampu menawarkan solusi terhadap kerusakan lingkungan kawasan danau toba itu sendiri. Namun bisa saja ada cara pandang yang melihat kearifan lokal dalihan natolu negatif, maka dalam bentuk skema permodelan coba dibuatkan posisi secara jelas permasalahan tersebut dirumuskan dalam sebuah rumusan masalah: “Bagaimana peranan kearifan lokal dalihan natolu dalam bingkai tiga pilar pembangunan berkelanjutan kawasan Danau Toba?”. Maka tujuan penelitian dalam tulisan ini sesuai dengan rumusan masalah, lebih untuk

melihat sejauh mana kearifan lokal dalihan natolu dapat ditempatkan dalam bingkai tiga pilar pembangunan berkelanjutan kawasan Danau Toba. Hal ini dianggap penting karena apabila warisan kearifan lokal tersebut berangsur-angsur hilang, maka kekhasan dari masyarakat sosial pendukung di kawasan Danau Toba tersebut tentu akan semakin hilang dan mengurangi nilai jual dari kawasan tersebut. Melalui penggunaan metode penelitian yang tepat, diharapkan dapat melihat, menempatkan, dan menjelaskan posisi penting sistem kekerabatan dalihan natolu masyarakat sekitar kawasan Danau Toba.

B. KAJIAN LITERATURRismawati menyatakan bahwa sistem

kekerabatan dalihan natolu dilatarbelakangi oleh tolak ukur soliditas menjalin struktur perkawinan masyarakat Batak Toba yang menghubungkan tiga kelompok marga besar, biasanya sampai 3-5 generasi, agar masih dapat mengidentifikasi dengan jelas garis keturunannya masing-masing. Ketiga marga besar tersebut akan saling terikat dan saling membutuhkan, agar tetap eksis mengatasi potensi konflik yang ada (Rismawati, 2011). Namun fenomena yang dialami masyarakat Batak Toba yang merantau, dengan melahirkan keturunan-keturunan yang tumbuh, dan berkembang di daerah yang heterogen yang memiliki lingkungan sosial yang plural, menyebabkan kemungkinan yang besar lunturnya tradisi dalam perkawinan adat Batak Toba akibat interaksi antar kelompok sosial yang berbeda. semakin lama tinggal di Kota Medan, semakin rendah identitas budayanya (Nauly, 2015). Salah satu usaha dalam mempertahankan identitas dengan melakukan perkawinan sesama suku Batak Toba di perantauan agar identitas sebagai masyarakat Batak Toba tetap berinteraksi dengan komunitasnya di tengah masyarakat heterogen, maka identitas mereka sebagai “orang Batak” akan semakin melekat dalam batin (Manik, 2012). Identitas kebatakan menjadi sebuah kajian menarik pada kalangan masyarakat Batak di kala globalisasi semakin membuat pembangunan dunia ditentukan oleh negara-negara yang kuat

Page 4: KEARIFAN LOKAL DALIHAN NATOLU SEBAGAI BINGKAI TIGA …

Jurnal Kebudayaan, Volume 12, Nomor 2, Desember 2017

98

mengendalikan ekonomi dunia. Kajian revitalisasi identitas sebagai bentuk kearifan lokal, dianggap mampu menahan masyarakat untuk tergoda menjadi pengikut gaya hidup kekinian yang semakin seragam akibat globalisasi tersebut.

Mufid mengatakan kajian revitalisasi kearifan lokal sesungguhnya harus men cipta kan sebuah model yang mengako modasi berbagai pendekatan dan strategi pemberdayaan masyarakat. Peneliti yang datang ke wilayah penelitian tidak memiliki rencana yang standar untuk melakukan perubahan. Peneliti bersama-sama dengan masyarakat setempat melakukan pemetaan (maping) permasalahan yang dihadapi. Hasil pemetaan adalah identifikasi berbagai kearifan lokal (local wisdoms). Setelah terhimpun beberapa kearifan lokal, masyarakat dan peneliti bersama-sama melakukan analisis kearifan lokal yang masih fungsional dan yang tidak.Apa sebab pranata dan lembaga yang di dalamnya terkandung kearifan lokal tidak lagi berfungsi dalam kehidupan sosial? Bagaimana kira-kira kalau pranata dan atau lembaga tersebut dihidupkan kembali? Hasil analisis ini kemudian dirumuskan dalam bentuk rencana kerja (action plan) baik yang berupa revitalisasi. Pranata yang sudah tidak berdaya dalam menghadapi perubahan sosial budaya yang cepat perlu dilihat kembali kemungkinan untuk memberdayakan, merevitalisasi atau mengkonstruksi ulang. Kegiatan ini dilakukan secara terus menerus, dimonitor dan dievaluasi setiap saat. Akhirnya masyarakat mengetahui telah terjadi perubahan, baik yang menyangkut konservasi maupun revitalisasi dengan semakin menguatnya kearifan lokal atau diperkenalkannya kearifan lokal baru (Mufid, 2010: 83-92).

Pembangunan berkelanjutan di Indonesia sebagai negara yang memiliki potensi pertanian yang cukup besar, idealnya pengembangan pertanian menjadi bagian strategi pembangunan tersebut. Rozikin menyatakan bahwa awalnya faktor sosial dan lingkungan diletakkan pada posisi yang kurang penting. Namun setelah paradigma pembangunan bergeser ke pembangunan berkelanjutan, salah satu wujud dari pembangunan bidang pertanian yang berkelanjutan adalah

kebijakan pengembangan kawasan agropolitan, di mana dalam kebijakan agropolitan, penetapan harga produk hasil pertanian dilakukan secara langsung oleh petani dan pembeli. Meskipun kebijakan agropolitan merupakan kebijakan yang menekankan pada pertumbuhan ekonomi melalui berbagai program seperti penataan kawasan, pembuatan fasilitas, pembentukan komoditi unggulan, namun program-program tersebut tidak sesuai dengan sejumlah indikator pembangunan berkelanjutan. Sehingga keberlanjutan ekonomi dalam konsep pembangunan agropolitan masih belum terjamin secara optimal. Ketiga, keberlanjutan sosial budaya yang sasarannya adalah stabilitas penduduk, pelaksanaannya mensyaratkan komitmen yang kuat, kesadaran, dan partisipasi masyarakat, memperkuat peranan dan status wanita, meningkatkan kualitas, efektivitas, dan lingkungan keluarga (Rozikin, 2012: 219-243). Dari berbagai konsep yang ada, dapat dirumuskan ada empat komponen yang perlu diperhatikan sebagai prinsip dasar dari setiap elemen pembangunan berkelanjutan: pemerataan ekonomi, partisipasi sosial, keanekaragaman lingkungan, integrasi ketiga pilar, dan perspektif jangka panjang. Keempatnya dapat dibuatkan strategi masing-masing, yang pada muaranya agar generasi sekarang dan yang akan datang tetap dapat, menikmati kekayaan tersebut (Rahadian, 2016: 46-56).

C. METODEMetode penelitian yang digunakan tulisan ini

adalah melalui pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian terapan untuk menghasilkan model hubungan sosial yang dianggap lebih ideal terhadap data-data yang dikaji. Data tentang fenomena masyarakat adat dalihan natolu di kawasan Danau Toba, dianalisis menggunakan analisis pemetaan jaringan sosial. Analisis pemetaan jaringan sosial adalah pengukuran posisi hubungan-hubungan sosial di antara para anggota kelompok atau komunitas yang diamati. Gambaran ini penting bagi peneliti untuk melihat potensi kerekatan hubungan yang ada, sehingga peta kekuatan yang berisi tentang dominasi, pertemanan, diskriminasi

Page 5: KEARIFAN LOKAL DALIHAN NATOLU SEBAGAI BINGKAI TIGA …

Defri Elias Simatupang, Kearifan Lokal Dahilan Natolu Sebagai Bingkai Tiga Pilar Pembangunan Berkelanjutan Kawasan Danau Toba

99

dari masing-masing individu terhadap kelompok lain dapat terlihat (Rudito, 2013: 141). Analisis jaringan sosial menghasilkan pandangan alternatif, di mana atribut individu kurang penting ketimbang hubungan mereka dan hubungan dengan individu-individu lain dalam jaringan. Pendekatan ini diyakini bermanfaat terhadap rumusan masalah tulisan ini, terkait menjelaskan hubungan-hubungan yang bagaimana agar dalihan natolu dapat posisi penting dalam bingkai tiga pilar pembangunan berkelanjutan kawasan Danau Toba. Setelah mengalami proses, posisi penting dalihan natolu bisa saja menjadi sangat penting atau justru sebaliknya. Maka dibutuhkan usaha-usaha untuk menjadikan dalihan natolu itu menjadi penting / perlu sekali dalam bingkai tiga pilar pembangunan berkelanjutan.

Analisis pemetaan jaringan sosial melihat sejauh mana struktur dan komposisi hubungan mempengaruhi norma-norma. Model-model jaringan sosial yang dihasilkan diharapkan dapat membantu menentukan langkah paling tepat dalam usaha merevitalisasi kearifan lokal dalihan natolu pada masyarakat di kawasan Danau Toba. Jaringan sosial yang lebih ketat bisa kurang berguna daripada jaringan dengan banyak koneksi longgar (ikatan lemah) atau sebaliknya. Jaringan yang lebih terbuka, dengan ikatan lemah banyak dan hubungan sosial, lebih cenderung untuk memperkenalkan ide-ide baru dan peluang kepada anggota mereka daripada jaringan tertutup dengan ikatan banyak. Jaringan sosial digunakan untuk mengelompokkan tiap stakeholder dari hasil pemetaannya dalam empat tingkatan dengan urutan: sekedar menyapa - berbagi informasi – menjadi mitra kunci – kewaspadaan membangun relasi. Tiap stakeholder dikelompokkan berdasarkan rendah tinggi power/ pengaruhnya terhadap komunitas dan tingkat kepentingannya terhadap isu yang sedang menjadi pengamatan (Rudito, 2013: 155-156). Misalnya, kepentingan seorang kepala daerah melakukan pembebasan lahan di tanah ulayat marga istrinya. Secara kekuatan kepala daerah tinggi, tetapi secara kepentingan dia pasti akan berpikir lebih dari sekali menghadapi kepentingan para hula-hula-

nya yang tinggi (apalagi bukan satu individu saja), dan secara power juga relatif tinggi (karena tanah milik mereka).

Langkah teknis tulisan ini, sebagai berikut: Pertama, reduksi data dengan menyusun data primer maupun sekunder. Kedua, pengklasifikasian data berdasarkan tiga parameter pembangunan berkelanjutan (lingkungan, ekonomi, dan sosial). Ketiga, melakukan analisis jaringan sosial terhadap masyarakat adat dalihan natolu yang tinggal di kawasan Danau Toba. Penekanan terhadap ketat-longgarnya jaringan mereka ketika dimasukkan dalam parameter pembangunan berkelanjutan. Untuk mempermudah pengamatan penulis memfokuskan pada proyek terkini Danau Toba sebagai GKDT atau MOA. GKDT dan MOA untuk dilihat penting tidaknya peranan masyarakat adat dalihan natolu terutama yang tinggal di kawasan Danau Toba. Paling tidak dari observasi awal, penulis mengidentifikasi tiga fenomena sosial budaya masyarakat adat dalihan natolu terutama yang tinggal di kawasan Danau Toba dikaitkan proyek Danau Toba sebagai GKDT atau MOA, sebagai berikut:1. Sulit membedakan "apa itu GKDT dan

MOA". Pembentukan Badan Otoritas Pengelolaan Danau Toba dianggap berpotensi menghilangkan hak kewenangan secara hukum adat.

2. Pelaksanaan GKDT dan MOA akan menciptakan aset-aset proyek perputaran ekonomi besar namun memilikipotensi konflik benturan dengan tanah ulayat.

3. Pelaksanaan GKDT dan MOA akan menggurus terjadinya potensi kerusakan lingkungan yang selama ini dapat diselesaikan dengan hukum adat masyarakat adat dalihan natolu.Data yang diteliti dalam penelitian ini

adalah data kualitatif hasil penelitian Balai Arkeologi Medan (data primer), dan data sekunder (tinjauan pustaka dan laman di internet), yang bisa dijadikan sebagai pembanding untuk menilai apakah kearifan lokal dalihan natolu berpotensi mendukung pembangunan tersebut. Dibutuhkan wawasan sejarah kebudayaan Batak

Page 6: KEARIFAN LOKAL DALIHAN NATOLU SEBAGAI BINGKAI TIGA …

Jurnal Kebudayaan, Volume 12, Nomor 2, Desember 2017

100

dan kajian pembangunan yang dalam agar dapat menghasilkan sebuah kesimpulan dan rekomendasi yang kuat sesuai tujuan penelitian dalam tulisan ini. Jangan sampai pembangunan kawasan Danau Toba, para stakeholder (pemangku kepentingan) mengesampingkan analisis dan penyelesaian potensi masalah yang disebabkan faktor kebutuhan-kebutuhan individu dan kelompok akibat perubahan-perubahan institusi dengan segala perangkatnya (resolusi konflik). Wirawan (2010) memaparkan bahwa resolusi konflik dapat dicapai dengan pengaturan sendiri oleh pihak-pihak yang berkonflik (self regulation), dan melalui intervensi pihak ketiga (third party intervention). Dalam pengaturan sendiri, pihak-pihak terlibat menyusun strategi untuk mencapai tujuannya. Sementara apabila melibatkan pihak ketiga, terdiri atas; resolusi melalui pengadilan, proses administrasi, dan resolusi perselisihan alternatif (Wirawan, 2010: 177).

Toba, dan Mandailing. Toba awalnya berorientasi ke pantai barat, sebagai pintu masuk pengaruh luar sepanjang zaman mengikuti arus perdagangan antar benua dan se-Asia yang dulu masuk di Barus sebagai pengekspor kemenyan dan kapur barus (Situmorang, 2004: 16). Sejak terjadinya interaksi sosial dengan motivasi ekonomi tentunya dapat memunculkan dinamika dalam masyarakat di sekitar Danau Toba. Kesalahan dalam berkomunikasi antara pemangku kebijakan pemerintah dengan masyarakat Batak Toba setempat akan berpotensi menimbulkan konflik. Maka perlu melihat dari masa lalu data yang relevan dan dapat direkonstruksi demi terhindarnya konflik kepentingan masyarakat adat dalihan natolu dengan kebijakan pemerintah meskipun tujuannya demi percepatan pembangunan.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang LKMD telah menempatkan dalihan natolu sebagai suatu lembaga yang dapat

Gambar 1. Program pemerintah menjadikan Danau Toba sebagai “Monaco of Asia” dan Geopark Kaldera Danau Toba (kiri atas). Monaco adalah sebuah kawasan di daratan Eropa (kiri bawah). Kearifan lokal “dalihan natolu”

bersumber dari nilai filosofis tiga tungku dengan satu penyangga bila dibutuhkan (kanan).

D. HASIL DAN PEMBAHASANDalihan Natolu menjadi penting dikaji seiring

pembangunan nasional di berbagai wilayah yang bersinggungan dengan budaya setempat kawasan Danau Toba yang secara fakta meliputi wilayah tujuh kabupaten (Simalungun, Tapanuli Utara, Dairi, Karo, Humbang Hasundutan, Toba Samosir, dan Samosir), dengan enam sub suku Batak (istilah antropologis): Pakpak, Karo, Simalungun,

menyelesaikan sengketa yang terjadi di masyarakat Batak Toba, hal ini dapat dilihat dengan keluarnya Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 1990 tentang Lembaga adat Dalihan Natolu yang diberlakukan di seluruh kabupaten di Tapanuli (Pasaribu, 2008). Lembaga ini memiliki tugas melaksanakan berbagai usaha/ kegiatan dalam rangka menggali, memelihara, melestarikan, dan mengembangkan kebudayaan daerah, termasuk di dalamnya adat-

Page 7: KEARIFAN LOKAL DALIHAN NATOLU SEBAGAI BINGKAI TIGA …

Defri Elias Simatupang, Kearifan Lokal Dahilan Natolu Sebagai Bingkai Tiga Pilar Pembangunan Berkelanjutan Kawasan Danau Toba

101

istiadat dan kesenian untuk tujuan pembangunan dan sifatnya konsultatif terhadap pemerintah.

Berbagai program pembangunan berkelanjutan sebenarnya telah dicoba dibuat untuk melestarikan ekosistem Danau Toba. Tetapi kenyataannya, kerusakan atau degradasi ekosistem Danau Toba masih terus terjadi. Demikian juga program pemenuhan ketersediaan lapangan kerja, melalui pembangunan industri. Sayangnya kehadiran industri cenderung lebih mendatangkan kerugian lingkungan dibanding keuntungan ekonomi. Bukan rahasia, sejak lama para pemilik modal (kapitalis) menghasilkan akumulasi keuntungan dari tanah dan alat-alat industri yang mereka kuasai. Mereka yang tidak memilikinya terpaksa menjual tenaga kepada pihak kapitalis dengan secara sadar dieksploitasi sumber daya alam dan manusia dengan prinsip ekonomi yang ketat, demi keberlangsungan keluarga kapitalis yang berkelanjutan membentuk “kaum bangsawan”, diwariskan ke generasi berikutnya (Webber, 2002: 245-246). Danau Toba memiliki keanekaragaman fitoplankton yang rendah dan keseragaman yang rendah hingga merata yang menunjukkan kondisi kualitas air di Danau Toba tidak baik sehingga perlu rencana pengelolaan yang baik untuk memperbaiki kondisi kualitas air Danau Toba (Rahman, 2016). “Potensi konflik” tersebut semakin tercermin melalui Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 49 Tahun 2016 yang memberikan kewenangan kepada Badan Otorita Pengelola Pariwisata Danau Toba untuk mengelola paling sedikit 500 hektar tanah.1 Tanah seluas itu bisa saja merupakan tanah/ hutan adat, yang justru akan merusak lingkungan.

Danau Toba dengan Pulau Samosir, memiliki karakteristik yang khas dilihat dari segi ekosistem lingkungannya. Misalnya dari segi geografis, iklim (klimatologi), geologi, maupun dari segi kultural masyarakat yang tinggal di sekitar Danau Toba. Pada aspek hidrologis, Danau Toba merupakan sebuah kawasan Daerah Tangkapan Air yang sangat vital bagi kehidupan masyarakat di sekitarnya. Adapun luas kawasan lindung

1 Lihat Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 49 tahun 2016 tentang Badan Otorita Pengelola Kawasan Pariwisata Danau Toba.

pada Daerah Tangkapan Air Danau Toba adalah 121.397,41 ha atau 46.04% dari luas daratan dan kawasan budidaya adalah sebesar 142.254,23 ha atau 53.96% dari luas daratan. Data hasil rekaman Citralandsat pada tahun 2007, ditemukan jumlah luas penggunaan lahan yang sesuai dengan fungsi kawasan lindung yaitu hutan adalah 33.720,69 ha atau 12.79 % dari luas daratan dan jumlah luas penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan fungsi kawasan lindung adalah seluas 87.676,72 ha atau 33.25% dari luas daratan. Sementara itu, pada kawasan budidaya ditemukan penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan fungsi kawasan budidaya, yaitu hutan seluas 26.266,58 ha atau 9.97% dari luas daratan. Dengan demikian, luas penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan fungsi kawasan pada DTA Danau Toba menurut RTRW Propinsi Sumatera Utara ditemukan seluas 113.943,30 ha atau 43.22% dari luas daratan (Sihotang, 2012). Luasnya lahan tersebut menggoda para pemilik modal

Pengembangan sektor pariwisata yang tidak memperhatikan aspek lingkungan hidup dapat berdampak negatif pada perkembangan pariwisata itu sendiri pada masa yang akan datang. Hal mendasar yang mesti diubah adalah cara pandang terhadap keberadaan alam/ lingkungan Danau Toba. Apabila lingkungan Danau Toba hanya dilihat demi kepentingan manusia dan melihat alam sebagai sebuah obyek, maka cara pandang tadi sudah saatnya diubah menjadi ekosentrisme, yaitu cara pandang yang memusatkan pada pelaksanaan organisasi kerja paham dalihan natolu agar tercipta pertanggungjawaban bersama dalam menyelamatkan lingkungan. Pemerintah kelihatannya cenderung memiliki orientasi jangka pendek dan sangat pragmatis. Sehingga kebijakan yang dikeluarkan cenderung hanya memikirkan kepentingan pemilik modal. Masyarakat adat dalihan natolu terindikasi kurang dilibatkan baik secara organisasi atau perorangan. Hal ini bisa menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat sekitar Danau Toba. Melemahnya keyakinan publik akan kejujuran (etika komunikasi) pemerintah membuat komunikasi manusia yang pada dasarnya tulus, menjadi terhambat.

Page 8: KEARIFAN LOKAL DALIHAN NATOLU SEBAGAI BINGKAI TIGA …

Jurnal Kebudayaan, Volume 12, Nomor 2, Desember 2017

102

Menggunakan bukti paling baik dalam menyaring komunikasi dari pemerintah. Penolakan suatu pesan, jika hal itu menjadi penilaian kita, haruslah terjadi setelah (bukan sebelum) pemahaman dan pengevaluasian kita terhadap pesan pemerintah itu (Johannesen, 1996: 34-38). Tingkat kepercayaan akhirnya kembali dilihat dari penilaian sejauh mana kedekatan secara hubungan kekerabatan. Di sinilah perihal pentingnya kearifan lokal yang ada perlu dikaji, mungkin dapat berkontribusi dari aspek sosial budaya (tidak hanya aspek ekonomi dan lingkungan).

Eksistensi keberadaan lembaga adat dalihan natolu sesuai Peraturan Daerah Nomor 10 tahun 1990 masih dipertanyakan karena kekuatan hukumnya hanya setingkat peraturan daerah.2 Walaupun secara formal berada di tangan tiga atau lebih raja berdaulat, masyarakat Batak terbagi menjadi begitu banyak raja-raja kecil, semuanya bergelar raja. Sepertinya dari tata krama dan watak penduduknya, kecil kemungkinan seluruh negeri bersatu di bawah serang pemimpin tertinggi. Namun ada hakim yang diangkat untuk mengadili perselisihan dan proses pengadilan dalam bentuk apapun yang terjadi antar satu kampung (Marsden, 2013: 450-451). Hakim itu tentunya harus berasal dari pihak hula-hula yang sedang berselisih, agar derajat dan sikapnya sesuai filosofi dalihan natolu. tanah adat selalu dikuasai oleh hula-hula. Sehingga boru yang tinggal di kampung hula-hula-nya akan kesulitan mencari nafkah apabila tidak menghormati hula-hula. Sebagaimana diketahui, pada hakikatnya setiap laki-laki dalam adat batak mempunyai tiga status yang berbeda pada tempat atau adat yang diselenggarakan, misalnya: waktu anak dari saudara perempuannya menikah maka posisinya sebagai hula-hula, dan sebaliknya jika marga dari istrinya mengadakan pesta adat, maka posisinya sebagai boru dan sebagai dongan tubu saat teman semarganya melakukan pesta. Kepatuhan kepada hula-hula adalah kepatuhan religius. Idealnya status dan prestasi pribadi tidak berfungsi di luar dari ritus. Misalkan seseorang yang memiliki peranan penting di Badan Otoritas

2 Lihat Peraturan Daerah Nomor 10 tahun 1990 tentang Lembaga Adat Dalihan Natolu.

Danau Toba tidak mengakui tanah ulayat pihak boru-nya dengan menghilangkan hak kepemilikan lahan masyarakat melalui Badan Otoritas Pengelolaan Danau Toba, karena merasa itu negara tidak menghormati hak asasi masyarakat Batak yang dikenal sebagai masyarakat yang menjunjung tinggi warisan leluhurnya dalam bentuk tanah. Pelaksanaan GKDT dan MOA akan menciptakan aset-aset proyek perputaran ekonomi besar, dan mengurus terjadinya potensi kerusakan lingkungan. Hal ini dapat dihindari dengan menyelesaikannya dengan hukum adat masyarakat adat dalihan natolu. Misalkan ide Pelaksanaan GKDT dan MOA, ditanyakan dulu idealnya bagi masyarakat dalihan natolu. Di sini yang merasa dirinya sebagai dongan tubuh dapat mengangkat isu ini.

Posisi dongan tubuh seperti ungkapan manat mardongan tubu. Dongan tubu dalam adat Batak adalah kelompok masyarakat dalam satu rumpun marga. Rumpun marga suku Batak mencapai ratusan marga induk. Silsilah marga-marga Batak hanya diisi oleh satu marga. Namun dalam perkembangannya, marga bisa memecah diri menurut peringkat yang dianggap perlu, walaupun dalam kegiatan adat menyatukan diri. Gambaran dongan tubu adalah sosok abang dan adik. Secara psikologis dalam kehidupan sehari-hari hubungan antara abang dan adik sangat erat. Namun satu saat hubungan itu akan renggang, bahkan dapat menimbulkan perkelahian, seperti umpama “Angka naso manat mardongan tubu, na tajom ma adopanna’. Ungkapan itu mengingatkan, na mardongan tubu (yang semarga) berpotensi terjadi pertikaian. Pertikaian yang sering berakhir dengan adu fisik. Dalam adat Batak, ada istilah panombol atau parhata yang menetapkan perwakilan suhut (tuan rumah) dalam adat yang dilaksanakan. Itulah sebabnya, untuk merencanakan suatu pesta/ kegiatan adat namardongan tubu selalu membicarakannya terlebih dahulu secara hati-hati dan bisa saja meminta pendapat pihak hula-hulanya, sebelum mendelegasikan hal teknis ke pihak borunya. Hal itu berguna untuk menghindarkan kesalahan-kesalahan dalam pelaksanaan pesta/ kegiatan adat.

Page 9: KEARIFAN LOKAL DALIHAN NATOLU SEBAGAI BINGKAI TIGA …

Defri Elias Simatupang, Kearifan Lokal Dahilan Natolu Sebagai Bingkai Tiga Pilar Pembangunan Berkelanjutan Kawasan Danau Toba

103

Berbicara tentang pihak boru dalam pelaksanaan pesta/ kegiatan adat, berkaitan tentang posisi perempuan. Dalam adat Batak Toba, di sebuah keluarga, perempuan disebut sebagai “boru”, sedangkan laki-laki disebut sebagai “anak”. Rendahnya posisi perempuan ditandai dengan berbagai hal, seperti: marga diturunkan oleh laki-laki, keluarga boru harus tunduk dan menghormati “dalam segala aspek” kepada keluarga anak, dan sebagainya. Namun tidak serta-merta perempuan menjadi rendah, karena ketika menikah, posisinya berubah menjadi pihak “anak”. Perubahan tersebut hanya berlaku di keluarga suaminya, sedangkan di keluarga si perempuan, posisinya tetap menjadi pihak “boru”. Selanjutnya letak masalahnya adalah ketika posisi boru tidak akan mungkin bisa berubah ke arah persamaan kedudukan dengan “anak” atau lebih tinggi daripada kedudukan anak. Padahal dalam realitasnya perempuan Batak dikenal dari dulu berperan penting dalam segala hal termasuk menafkahi keluarga dan rumah tangganya. Maka perempuan dalam masyarakat Batak Toba tetap diperhitungkan dalam kesetaraan termasuk dalam pembagian warisan, mengingat pentingnya keberadaan perempuan dalam setiap aspek kultural kehidupan masyarakat Batak Toba (Baiduri, 2015: 51-60).

Kemutlakan menghormati “dalam segala aspek”, pada akhirnya sering memunculkan konflik. Maka dibutuhkan pihak netral yang disebut sihal-sihal. Adapun sihal-sihal berfungsi sebagai penyeimbang dalihan natolu (bila diperlukan ketika masalah). Dalam contoh kongkrit, sihal-sihal sangat diperlukan sebagai pihak yang netral dalam musyawarah mengkaji pentingnya revitalisasi dalihan natolu dikarenakan ketidakseimbangan tiga pilar pembangunan berkelanjutan. Begitu penting peranan sihal-sihal sehingga idealnya diwakili perwakilan pemerintahan setempat yang kedudukannya tidak terikat pada salah satu unsur dalihan natolu. Keseimbangan ketiga pilar dapat digarap misalkan dalam setiap pergelaran event tahunan Pesta Danau Toba merupakan usaha untuk menggalakkan pariwisata Danau Toba

dengan mengandalkan budaya lokal. Event ini terindikasi bisa menggerakkan pariwisata dengan tawaran memperjuangkan semangat pelestarian lingkungan dan memvitalkan kembali kearifan lokal warisan leluhur. Keindahan alam dan lingkungan harus ditunjang dengan kesiapan masyarakat adat dalam menerima wisatawan. Jangan kiranya pengadaan kembali event seperti Pesta Danau Toba dianggap hanya berorientasi menghabiskan anggaran yang sudah ditetapkan pemerintah. Asumsinya bisa dilihat dari pelaksanaan yang misalnya dilakukan di bulan-bulan yang bukan musim libur anak sekolah. Perlu banyak usaha agar masyarakat kawasan Danau Toba bisa menjadi komponen industri wisata yang vital seperti di Negara Singapura yang relatif tidak punya banyak keindahan panorama alam dibanding yang dimiliki Indonesia, namun lebih banyak dikunjungi wisatawan.

Sektor pariwisata dalam urutan Country Brand Strategy Rating 2015, Indonesia menempati posisi 47, sedangkan Singapura lebih unggul di posisi 41. Country Brand menjadi patokan penting bagi wisatawan melihat suatu negara sebagai tujuan wisata Brand suatu negara dibentuk sejak lama dengan menggabungkan berbagai elemen, seperti manusianya, panorama alam, budaya dan bahasa, sejarah, makanan, fashion, dan sebagainya. Singapura memang tidak memfokuskan menjual panorama alam, namun membentuk ‘brand-nya’ dengan fokus menjual produk lokal, infrastruktur, strategi promosi, dan budaya kedisiplinan masyarakatnya yang sangat terkenal taat peraturan. Sudah bukan rahasia bila di Singapura jangan sekali-kali membuang sampah sembarangan, karena akan didenda oleh pihak yang berwajib. Inilah salah satu peraturan kecil yang berandil besar membawa Singapura menjadi nyaman, kota yang modern dengan pedestrian yang rapi meninggalkan kesan baik bagi wisatawan yang datang. Namun keberhasilan itu tentu bisa gagal kalau pemerintahannya tidak tegas dan sigap menegakkan peraturan hukum. Ada indikasi masyarakat patuh hukum karna takut dihukum, juga bukan kesadaran yang tumbuh sendiri. Sedangkan kearifan lokal seperti dalihan

Page 10: KEARIFAN LOKAL DALIHAN NATOLU SEBAGAI BINGKAI TIGA …

Jurnal Kebudayaan, Volume 12, Nomor 2, Desember 2017

104

natolu lebih menuntut kesadaran yang tinggi untuk menjalankannya demi kebaikan bersama.

Pudarnya kearifan lokal masyarakat di kawasan Danau Toba sudah lama menjadi pembicaraan hangat dan perlu tindak lanjut solusi yang dibutuhkan. Kawasan hutan hingga kualitas air Danau Toba menjadi sorotan yang paling utama. Kearifan lokal itu dinilai sudah pudar hingga membuat sebagian lahan hijau di kawasan tepian Danau Toba ‘dirusak’ oleh masyarakat setempat karena lebih mementingkan eksploitasi demi mendapatkan sejumlah uang. Jika dahulu ada istilah rimba larangan untuk kawasan hutan yang tidak boleh disentuh manusia (yang diatur oleh lembaga adat dalihan natolu), kini sudah tidak ada lagi. Karena itu wajar saja sebagian pepohonan hijau di kawasan tepian Danau Toba semakin rusak, karena manusia menginginkan sumber daya hutan dieksploitasi secara ekonomi. Sedangkan persoalan air Danau Toba terpantau melalui fenomena menjamurnya usaha keramba ikan di danau. Usaha keramba ikan akan meracuni kualitas air Danau Toba sehingga tidak sehat lagi. Persoalan ini sudah seharusnya sorotan pemerintah dan masyarakat, terutama karena akan mengganggu target pengembangan Danau Toba untuk kembali menjadi daerah tujuan wisata andalan.

Hambatan lainnya terkait motivasi terselubung dalam membuat jaringan kekerabatan dengan pihak yang berkuasa. Seperti contoh dalam masyarakat Adat Batak dulu dan masih banyak mempercayai hingga kini mertua dianggap sebagai “Tuhan” yang kelihatan atau setidaknya wakil terdekat Tuhan. Suatu jabatan spiritual paling tinggi. Motivasi pihak yang menjadikan anaknya menjadi menantu lelaki (boru) dari pihak keluarga yang dikenal memiliki kuasa. Sebaliknya contoh lain, “pemberian” seorang puteri Batak pada orang yang menerima adalah pernyataan tunduk pihak laki-laki yang menerima (bukan pihak perempuan yang tunduk). Memang pada dasarnya anak perempuan dalam adat Batak tidak pernah jadi persembahan sebagai pengakuan atas kedaulatan yang menikahinya. Ini jadi masalah, karena bisa menjadi sebuah trik diplomasi seperti

contoh zaman dulu, Sitor Situmorang dalam bukunya, Toba Na Sae, menggambarkan konsep dalihan natolu dapat memberikan dukungan politik karena kedekatan kekerabatan tersebut. Dia mencontohkan dinasti Sisingamangaraja XII yang turun-temurun mengambil istri dari marga kelompok Tateabulan Situmorang. Ketika Sisingamangaraja XII bergerilya pada tahun 1883-1907, dia mendapat dukungan dari keluarga Horja Situmorang (bagian dari kelompok marga Tateabulan. Dukungan ini karena jalinan perkawinan antara Sisingamangaraja dan keluarga Situmorang (Situmorang, 2004). Hal-hal demikian dulu lazim dilakukan sebagai media diplomasi dan seluruh sendi kehidupan (termasuk politik) untuk mengikat persaudaraan, mengembangkan daerah kekuasaan atau mendapat bagian dari warisan, atau agar warisan tanah tidak jatuh ke Marga lain.

Ada fenomena Suku Batak terindikasi sangat mencintai tanah sebagai aset, tetapi tanah leluhurnya (tanah ulayat) jangan ada coba-coba mengganggu. Tanah ulayat sebagai identitas kebatakan, sejatinya memang tidak dapat dialihkan menjadi tanah hak milik personal, selama bisa dibuktikan dengan adanya masyarakat hukum adat bersangkutan atau kepala adat bersangkutan (Situmorang, 2004: 14-15). Di dalam sebuah penelitian terkait identitas kebatakan bagi mereka yang sudah tinggal di perantauan, menyatakan identitas budaya mereka tidak luntur sepanjang masih menjaga dan menjalankan keterikatan mereka dengan sistem kekerabatan (salah satunya dalihan natolu) yang berasal dari kampung halaman marga mereka (Nauly, 2015: 364-380). Misalkan di Kota Medan dengan kekhasan tidak adanya budaya dominan, justru identitas budaya masyarakat Batak sangat kuat karena praktek-praktek adat-istiadat masih umum dijalankan, kebanggaan tersendiri apabila masih memiliki tanah ulayat di kampung mereka. Masalahnya muncul permainan oknum dari dalam menjadikannya hak milik perorangan dengan terlebih dahulu memprosesnya menjadi “tanah negara” (tanah bekas ulayat). Potensi hilangnya status tanah ulayat tinggi, melalui kebijakan yang menguntungkan sepihak organisasi masyarakat

Page 11: KEARIFAN LOKAL DALIHAN NATOLU SEBAGAI BINGKAI TIGA …

Defri Elias Simatupang, Kearifan Lokal Dahilan Natolu Sebagai Bingkai Tiga Pilar Pembangunan Berkelanjutan Kawasan Danau Toba

105

hukum adat (oknum pengurus di dalamnya). Bisa saja muncul pemikiransederhana bahwa misalkan proyek GKDT dan MOA menuju ke daerah yang menjadi cakupannya menjadi bagus, maka wajar tanah ulayat dibebaskan. Namun bila harus mengenai objek-objek vital aset seperti kuburan sekunder tentu posisi tawar ada pada masyarakat adat. Keberadaan kubur-kubur sekunder sebagai bentuk permintaan dan harapan agar arwah nenek moyang tetap memberi berkat pada keturunannya (Wiradnyana dan Koestoro, 2005).

Perilaku tradisional pasti butuh waktu untuk mengubahnya menjadi modern. Masalahnya seberapa pentingkah konsep tradisionalisme harus diganti dengan yang biasa disebut modernisme? MOA berkonsep hedonisme (modernisme dengan ciri kehidupan gemerlap hiburan yang penuh daya pikat, sangat dekat, bebas, terjangkau, dan menghibur). Mungkin ini sangat bertentangan dengan nilai budaya Batak. Tahun 2007, pernah diberitakan, ada investor Korea Selatan yang datang ke Samosir. Tapi, untuk pembukaan lahan kebun bunga itu, lebih dari 2000 hektar hutan alam di kawasan Tele akan dibabat untuk dijadikan taman bunga. Tele dikenal sebagai daerah tangkapan air, sangat ringkih dan rawan longsor. Melihat proyeknya yang tidak jalan hingga masa terkini, besar kemungkinan rencana membuat kebun bunga di bekas areal hutan seluas 2.250 hektar itu hanya kedok. Hutan dibabat, katanya mau buat kebun kelapa sawit atau kebun bunga. Tapi, setelah hutan dibabat dan kayunya dijual, investornya kabur. Mau diangkut pakai apa bunga-bunga itu ke Medan? Dan kalaupun bisa, biaya transportasinya pasti sangat mahal, apa masih kurang kebun bunga di Berastagi yang tentunya biaya lebih murah karena lebih dekat dengan Medan. Sangat meragukan, sehingga lebih masuk akal kalau investor hanya mengincar kayunya, meski diberitakan bupati mengatakan investor datang demi peningkatan potensi wisata (ekonomi).

Peningkatan ekonomi masyarakat pada dasarnya tidak harus ditopang dari investor luar saja. Penerapan kekerabatan dalihan natolu yang baik dapat menciptakan kerjasama ekonomi

yang solid. Misalkan usaha keramba tradisional non pupuk kimia yang berada di tepian pantai Danau Toba, umumnya dikelola secara bersama oleh kampung-kampung semarga dengan sistem kekerabatan dalihan natolu. Wilayah-wilayah keramba ada ratusan kampung yang memakai nama marga yang memilikinya, kemudian marga-marga yang mengelola teknis usaha kerambanya biasanya merupakan pihak boru dari pemilik marga dari kampung-kampung tersebut. Artinya untuk mengelola usaha-usaha ekonomi mikro sebenarnya tidak sulit dengan penerapan aturan main adat dalihan natolu. Untuk usaha yang lebih besar melalui investor luar, pemerintah hendaknya melibatkan masukan para pemangku adat untuk merumuskan kerja sama yang menguntungkan semua pihak/ aspek yang terkait. Investasi usaha yang besar pasti berhubungan dengan pemilihan lokasi tanah yang dianggap strategis, namun bisa saja tanah adat. Karena ada saja tanah adat yang kepemilikannya tidak ditempat namun tanah tetap digarap oleh pihak boru/ anak yang lain. Pelimpahan tugas sementara itu diberlakukan apabila si pemilik tanah meninggalkan kampungnya tersebut untuk sementara waktu (Vergouwen, 1985: 47).

Kondisi ini jauh berbeda dengan puluhan tahun silam, ketika kawasan Danau Toba masih terjaga hutannya. Kaitan adat dalihan natolu dalam pelestarian lingkungan merupakan sebuah tawaran solusi di mana kelompok masyarakat bekerja sama sesuai fungsinya masing-masing dalam adat, baik sebagai hula-hula, dongan tubu, ataupun boru. Sistem adat akan bekerja ketika masyarakat Batak menyelenggarakan sebuah kegiatan. Penulis melihat adat dalihan natolu sebagai bagian dari elemen-elemen kearifan lokal masyarakat Batak di kawasan Danau Toba, dapat diperdayakan sebagai tawaran solusi untuk menangani persoalan lingkungan tersebut. Adat dalihan natolu dapat diadopsi dalam usaha mengkampanyekan pelestarian lingkungan karena sifat suka bergotong royong dalam adat dalihan natolu, yang didahului sebelumnya dengan melakukan rapat dengan melibatkan unsur kekerabatan tersebut. Elemen-elemen dalihan

Page 12: KEARIFAN LOKAL DALIHAN NATOLU SEBAGAI BINGKAI TIGA …

Jurnal Kebudayaan, Volume 12, Nomor 2, Desember 2017

106

natolu mampu melingkupi sistem sosial hubungan masyarakat melalui konsep hubungan antar marga, dan beberapa upacara-upacara warisan sistem religi. Masing-masing elemen tersebut amat penting untuk saling terkait satu sama lain. Untuk mendukung penerapannya, dengan pembuatan model agar daliha natolu tersebut kembali memiliki nilai penting dan bermanfaat.

Pentingnya pembuatan model pemetaan jaringan sosial masyarakat sekitar Danau Toba, dalam upaya merevitalasi dalihan natolu yang tujuannya berkontribusi terhadap pembangunan berkelanjutan. Bila tidak dibuatkan, mengakibatkan lemahnya pengukuran posisi hubungan-hubungan sosial diantara para anggota kelompok atau komunitas yang diamati. Grand design yang dibuat idealnya mengangkat filosofi adat dalihan natolu tersebut, agar menjadikan masyarakat di sekitar Danau Toba mulai terpengaruh hingga dapat menghidupkan kembali kearifan lokal yang ada. Salah satu upaya dapat dilakukan adalah dengan merevisi Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 1990 tentang tentang Lembaga adat dalihan natolu, agar semakin mengikutsertakan para penatua adat yang benar-benar memahami, menguasai, dan menghayati adat istiadat di lingkungannya. Perda ini tidak relevan lagi seiring dengan pemekaran wilayah tingkat II menjadi beberapa Kabupaten. Seharusnya setiap kabupaten yang berada di tepian Danau Toba perlu membuat kembali perda tersebut dengan melibatkan lembaga adat dalihan natolu dengan melibatkan lintas instansi seperti Dinas Perikanan dan Kelautan, Badan Investasi dan Promosi (Bainprom), dan Bappedalda.

Model pengembangan kearifan lokal menghasilkan pandangan alternatif yang relevan dan kontekstual bagi pemeliharaan Lingkungan Danau Toba. Hubungan dengan individu-individu lain dalam jaringan yang memiliki ketahanan budaya, di samping juga mempunyai arti penting bagi identitas daerah. Dalam kaitan ini, kearifan lokal dalihan natolu dapat diupayakan untuk terintegrasi menjadi budaya baru yang berkontribusi dalam pembangunan berkelanjutan kawasan Danau Toba. Bila pendekatannya

melalui “kebijakan nasional”, penulis melihat ada kemungkinan tidak akan semakin baik, karena hasilnya hanya akan bisa dinikmati oleh sekelompok orang yang tidak berhasil melihat kepentingan dari masyarakat yang tinggal di sana. Ketujuh kabupaten yang wilayahnya masuk ke area Danau Toba idealnya saling bersinergi, memenuhi hambatan konflik kepentingan. Kabupaten Samosir misalnya terindikasi menjadi titik sentral kawasan karena memiliki jaringan langsung dari enam kabupaten lainnya (dermaga penyeberangan). Maka dapat dipikirkan untuk berkoordinasi untuk sektor sarana prasarana yang baik terkait transportasi kapal (tidak hanya melalui Parapat selama ini). Sebenarnya potensi pengadaan ‘even–even tandingan’ di luar Pesta Danau Toba tidak seharusnya dibuat oleh setiap kabupaten dengan mengangkat view Danau Toba yang mungkin saja akan justru membuat kecemburuan satu sama lain hingga tidak saling berkoordinasi dengan baik. Idealnya saling berbagi info untuk skala prioritas masing-masing kabupaten yang bisa dikerjakan. Misalkan Kabupaten Samosir dengan wisata ziarah kuburan sekundernya. Kabupaten Karo dengan perkebunan buahnya memprioritaskan pertanian melalui program wisata agropolitan. Tapanuli Utara bisa mengandalkan melalui Bandara Silangit, sektor pendidikan dan kesehatan juga tidak luput dari perhatian pemerintah kabupaten. Di kabupaten Toba Samosir berdiri dua perusahaan raksasa perusahaan bubur kertas dan perusahaan aluminium. Di sana berada lembaga pendidikan Soposurung dan Politeknik Del dan Bandara Sibisa. Dairi dengan citarasa kopinya. Dan semua kabupaten harus memiliki sarana- prasarana dermaga Danau Toba yang standar dunia. Memang sudah lazim diketahui masyarakat Batak, punya stereotip yang mungkin sudah menjadi umum dikenal, keras kepala, suka berdebat, dan tidak mau diatur.

Berangkat dari persoalan nilai budaya dalihan natolu dan birokrasi publik yang dilandasi dengan prinsip tata kelola yang baik (good governance) dalam konteks kearifan lokal tentu menimbulkan masalah bagi ketujuh kabupaten tersebut.

Page 13: KEARIFAN LOKAL DALIHAN NATOLU SEBAGAI BINGKAI TIGA …

Defri Elias Simatupang, Kearifan Lokal Dahilan Natolu Sebagai Bingkai Tiga Pilar Pembangunan Berkelanjutan Kawasan Danau Toba

107

Lembaga adat dalihan natolu dapat ambil bagian melihat sejauh mana struktur karakter individu dan komposisi hubungan sosial mempengaruhi norma-norma.Pembuatan model-model jaringan sosial dapat membantu menentukan langkah paling tepat dalam mengatur antara hak dan kewajiban ketujuh kabupaten tersebut. Oleh karena itu, kearifan lokal tidak dengan serta merta dapat memecahkan persoalan lokal dalam pluralitas yang kompleksitasnya tinggi seperti yang terjadi di kalangan orang Batak Toba sendiri yang marganya begitu banyak, yang ikatan kekerabatan semarga ditentukan oleh hubungan sedarah atau genealogis. Dengan demikian kearifan lokal dalam konteks kebudayaan hanya dapat menopang kelompoknya sendiri, dan apabila berhadapan dengan kelompok budaya lain maka tentu akan terjadi distorsi budaya. Untuk menghindari terjadinya friksi budaya tersebut maka diperlukan satu kearifan budaya yang lebih sublim untuk menopang struktur masyarakat yang lebih besar tersebut dengan melahirkan satu bentuk reproduksi budaya yang kreatif dan cerdas (Armawi, 2008: 157-166). Dengan nilai universalnya, dalihan natolu bisa juga menyelesaikan konflik, asalkan jaringannya yang lebih terbuka, dengan ikatan lemah namun banyak (bukan jaringan tertutup meskipun ikatan tetap banyak).

Pembuatan model jaringan sosial berbasis revitalisasi dalihan natolu, dengan proyek GKDT dan MOA bermuara sebagai proyek Green Tourism, bisnis pariwisata yang menggunakan konsep pembangunan berkelanjutan dengan motif penggerakan secara bersamaan ekonomi sosial masyarakat dan konservasi lingkungan. Analisis jaringan sosial yang digunakan mengelompokkan delapan stakeholder pemerintah, empat indikator tingkatan parameter longgar-ketatnya pengaruh dan kepentingan para stakeholder dengan urutan: sekedar menyapa - berbagi informasi – menjadi mitra kunci – kewaspadaan membangun relasi. Didapati sebuah hubungan simbiosis yang kompleks antara lingkungan dan pemberdayaan ekonomi masyarakat dalihan natolu ketika konsep ini dapat diterjemahkan ke dalam model

kebijakan yang tepat, perencanaan yang matang dan praktik yang bijaksana (lihat gambar 2). Maka pemasaran pariwisatanya fokus pada wisata yang meminimalkan dampak negatif terhadap lingkungan alam. Semakin dapat dimengerti bahwa Green Tourism memiliki pencapaian untuk menumbuhkan wawasan kepedulian publik terhadap lingkungan, sehingga diharapkan mampu meningkatkan apresiasi yang lebih besar (Hasan, 2015: 504-505).

Pilihan revitalisasi terhadap kearifan lokal itu sendiri dapat dilakukan dengan banyak cara sesuai kecocokan masyarakat setempat. Mulai dari kegiatan pertemuan (seminar/ musyawarah), hingga pelatihan yang difasilitasi oleh pemerintah atau stakeholder terkait, selebihnya dalam bidang pendidikan (formal dan informal). Pengembangan kurikulum muatan lokal hendaknya memperhatikan kearifan lokal ini. Lembaga adat dalihan natolu idealnya turut berkontribusi mendidik para wisatawan (idealnya masyarakat etnis Batak perantau) untuk menyediakan pos dana wisatanya untuk turut menjaga keberlangsungan operasional lembaga tersebut sehingga secara langsung bermanfaat bagi pembangunan ekonomi dan pemberdayaan politik masyarakat lokal, serta mendorong rasa hormat terhadap budaya yang berbeda di mata wisatawan. Sebagaimana watak dari kearifan lokal sendiri yang merupakan sendimentasi dari proses dinamika masyarakat dalam kurun waktu yang lama. Maka eksistensinya akan sangat tergantung dari kesediaan para aktor lokal dalam merawat dan mentransmisikan nilai-nilai tersebut dari generasi ke generasi (Suprapto, 2013: 19-38). Mempraktekkan sistem kekerabatan dalihan natolu pada mayoritas masyarakat sekitar Danau Toba pada proyek green tourism-nya berarti turut menjaga peluang keberlanjutan akan lingkungan, kebudayaan, dan juga pemberdayaan ekonomi masyarakat. Green Tourism ini bisa jadi di antaranya adalah kegiatan menghadiri pesta adat yang sekalian berwisata seperti: hiking (gerak jalan dan mendaki), trekking, birdwatching (pengamatan burung), dan snorkeling dan diving. Catatan penting aspek berkelanjutan dalam hal ini

Page 14: KEARIFAN LOKAL DALIHAN NATOLU SEBAGAI BINGKAI TIGA …

Jurnal Kebudayaan, Volume 12, Nomor 2, Desember 2017

108

E. PENUTUPE.1. Kesimpulan

Revitalisasi kearifan lokal dalihan natolu dalam bingkai tiga pilar pembangunan berkelanjutan kawasan Danau Toba adalah sebuah keniscayaan. Hal ini dapat terwujud apabila model pemetaan jaringan sosial yang berpijak pada penetapan grand design yang terukur pengerjaannya. Pemerintah harus menetapkan rencana dasar kebijakan lingkungan hidup terhadap kawasan Danau Toba, dengan mendorong partisipasi aktif dari tiap stakeholder, terutama mayoritas masyarakat adat batak dengan mengangkat kembali kearifan lokal nilai-nilai luhur budaya mereka. Koordinasi peran dan tanggung jawab antara pemerintah daerah yang ada di sekitar Danau Toba sangat perlu secara jelas dengan pihak pemerintah pusat. Dengan mengedepankan nilai-nilai positip kearifan lokal dalihan natolu, diyakini akan menghasilkan hubungan kerjasama yang baik dalam kaitannya terhadap pembangunan berkelanjutan kawasan Danau Toba. Sasaran tersebut di atas dapat tercapai melalui pengelolaan dan pengusahaan yang benar dan terkoordinasi, baik lintas sektoral maupun swasta yang berkaitan dengan pengembangan kegiatan Green Tourism. Dalihan Natolu menjadi kerangka jaringan sosial menyadarkan warga

Batak bahwa mereka memiliki keluarga besar yang terajut jalinan kawin-mawin.

E.2. SaranInternasionalisasi konsep dalihan natolu

pada dasarnya dapat dilakukan secara dinamis. Kawin-mawin antarsuku atau menjadikan konsep itu bukan hanya bagi orang Batak terhadap sesama orang Batak. Pria Batak yang menikahi gadis Jawa, keluarga mempelai prianya pun tetap melihat keluarga perempuan sebagai hula-hula. Disarankan agar terselenggaranya event seperti pesta Danau Toba merupakan semangat baru dalam membangkitkan warisan kearifan lokal yang telah ada. Motivasi pendekatan adat dalihan natolu merupakan sebuah tawaran solusi yang diharapkan mampu diterapkan. Terkait dengan keberadaan lingkungan Danau Toba yang saat ini sudah sangat memprihatinkan, arti dan fungsi keberadaan Ekosistem Danau Toba menjadi amat penting untuk dikampanyekan tidak hanya melalui even ini. Kearifan lokal yang juga meniscayakan adanya muatan budaya masa lalu, dengan demikian, juga berfungsi untuk membangun kerinduan pada kehidupan nenek moyang, yang menjadi tonggak kehidupan masa sekarang. Dengan cara demikian, situasi sadar budaya dapat ditumbuhkan, kesadaran masyarakat terhadap

tidak mengakibatkan kerusakan/ meminimalkan aspek-aspek negatif dari pariwisata konvensional te

rhadap lingkungan dan masyarakat setempat.

Gambar 2. Contoh model pemetaan jaringan sosial revitalisasi dalihan natolu oleh delapan stakeholder dalam hal pembangunan sarana dermaga Green Tourism.

Page 15: KEARIFAN LOKAL DALIHAN NATOLU SEBAGAI BINGKAI TIGA …

Defri Elias Simatupang, Kearifan Lokal Dahilan Natolu Sebagai Bingkai Tiga Pilar Pembangunan Berkelanjutan Kawasan Danau Toba

109

sejarah pembentukan bangsa dapat ditumbuhkan. Anggapan bahwa yang relevan dengan kehidupan hanyalah masa kini dan di sini, juga dapat dihindari.

DAFTAR PUSTAKA Armawi, 2008. “Kearifan Lokal Batak Toba

Dalihan Na Tolu dan Good Governance dalam Birokrasi Publik”. Jurnal Filsafat Vol.18, No 2. Agustus 2008. Hlm. 157-166.

Baiduri, R. 2015. “Paradoks Perempuan Batak Toba: Suatu Penafsiran Hermeneutik terhadap Karya Sastra Ende Siboru Tombaga”. Jurnal Mimbar. Vol. 31. No.1, Juni 2015. Hlm. 51-60.

Hasan, Ali. 2015. Tourism Marketing. Yogyakarta: CAPS.

Marsden, W. 2013. Sejarah Sumatra. Jakarta: Komunitas Bambu.

Mufid, S. 2010. “Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Pemberdayaan Masyarakat”. Jurnal Harmoni Vol IX, Nomor 34, Juni, hlm. 83-92.

Johannesen, L. R. 1996. Etika Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Manik, S. Helga. 2012. “Makna dan Fungsi Tradisi Sinamot dalam Adat Perkawinan Sukubangsa Batak Toba di Perantauan Surabaya”. Jurnal BioKultur, Vol. I, No.1, Juni 2012. Hlm. 19-32.

Mitchell, Bruce. 2007. Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Nauly, M. 2015. “Identitas Budaya pada Mahasiswa Batak yuang Kuliah di Medan”. Jurnal Psikologi Ulayat, Vol. 2, No. 1. Juni, 2015. hlm. 364-380.

Pasaribu T. 2008. “Kewenangan Dalihan Natolu Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Secara Hukum Adat Batak Toba (Studi di Kecamatan Borbor, Kabupaten Toba Samosir)”. Skripsi. Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Medan.

Rahadian. 2016. “Strategi Pembangunan Berkelanjutan”. Prosiding Seminar STIAMI . Volume III, No. 01. Februari. hlm. 46-56.

Rahman, A dkk. 2016. “Struktur Komunitas Fitoplankton di Danau Toba”, Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia . Vol. 21 No. 2, Agustus 2016. Hlm. 120-127.

Rozikin.M. 2012. “Analisis Pelaksanaan Pembangunan Berkelanjutan di Kota Batu” .Jurnal Review Politik.Volume 02, Nomor 02 Desember 2012. Hlm. 219-243.

Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 49 Tahun 2016 tentang Badan Otorita Pengelola Kawasan Pariwisata Danau Toba

Peraturan Daerah Nomor 10 tahun 1990 tentang Lembaga Adat Dalihan Natolu.

Rismawati. 2011. “Perkawinan dan Pertukaran Batak Toba (Sebuah Tinjauan Strukturalisme Antropologi)”. Jurnal Academica, Fisip Untad, Vol. 03 No. 02. Oktober 2011. Hlm. 697–716.

Rudito, B. dan Famiola M. 2013. Sosial Mapping–Metode Pemetaan Sosial: Tehnik Memahami Suatu Masyarakat atau Komuniti. Bandung: Rekayasa Sains.

Siahaan, N. 1964. Sedjarah Kebudajaan Batak. Medan: C.V. Napitupulu.

Sihotang, H. 2012, “Model Konservasi Sumberdaya Air Danau Toba”. Jurnal Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Vol. 2 No. 2, Desember. Hlm. 65-72.

Simandjuntak, Bungaran. 2002. Konflik, Status, dan Kekuasaan Orang Batak Toba. Jakarta: Jendela.

Situmorang, Sitor. 2004. Toba Na Sae, Sejarah Lembaga Sosial Politik Abad XIII – XX. Jakarta: Komunitas Bambu.

Suprapto. 2013. “Revitalisasi Nilai-Nilai Kearifan Lokal bagi Upaya Resolusi Konflik”. Jurnal Walisongo Walisongo, Volume 21, Nomor 1, Desember 2013. Hlm. 19-38.

Tim Penyusun Kamus Bahasa Indonesia. 2013. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia Utama.

Wirawan. 2010. Konflik dan Manajemen Konflik: Teori, Aplikasi, dan Penelitian. Jakarta: Salemba Humanika.

Wiradnyana, I Ketut. dan Lucas Partanda

Page 16: KEARIFAN LOKAL DALIHAN NATOLU SEBAGAI BINGKAI TIGA …

Jurnal Kebudayaan, Volume 12, Nomor 2, Desember 2017

110

Koestoro. 2005. “Situs dan Objek Arkeologi di Kabupaten Samosir, Provinsi Sumatera Utara”. Berita Penelitian Arkeologi No. 14. Medan: Balai Arkeologi Medan.

Vergouwen, J.C. 1985. Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba. Jakarta: Pustaka Azet.

Webber, Max. 2002. Teori Dasar Analisis Kebudayaan. Yogyakarta: IRCiSoD.