18
NILAI-NILAI BUDAYA CAP GO MEH DAN RELEVANSINYA TERHADAP PENELUSURAN BUDAYA DALAM MENGHADAPI GLOBALISASI Kearifan Lokal Disusun oleh : Tri Utami Oktafiani (11/316433/FI/03621) Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada Yogyakarta 2013

Kearifan Lokal Festival cap Goo Meh

Embed Size (px)

DESCRIPTION

kearifan lokal, festival cap go meh, Tionghoa, filsafat kebudayaan, kebudayaan Indonesia, singkawang

Citation preview

Page 1: Kearifan Lokal Festival cap Goo Meh

NILAI-NILAI BUDAYA CAP GO MEH DAN RELEVANSINYA

TERHADAP PENELUSURAN BUDAYA DALAM MENGHADAPI

GLOBALISASI

Kearifan Lokal

Disusun oleh :

Tri Utami Oktafiani (11/316433/FI/03621)

Fakultas Filsafat

Universitas Gadjah Mada

Yogyakarta

2013

Page 2: Kearifan Lokal Festival cap Goo Meh

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Identitas suatu bangsa terlihat dari berbagai kebudayaan yang dimiliki. Indonesia

terdiri dari beberapa pulau besar seperti Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Irian

Jaya, dan beribu pulau kecil, menghasilkan kearifan lokal yang perlu dijaga. Kearifan

lokal berbentuk keanekaragaman budaya, seperti pandangan hidup, mata pencaharian,

sosialitas dalam bermasyarakat. Kebudayaan daerah terutama yang mengandung nilai

perjuangan, persatuan, semangat patriotisme, merupakan pendorong timbulnya kesatuan

perasaan sebagai satu bangsa. Jelaslah bahwa kebudayaan nasional berakar pada

kebudayaan daerah (Parmono, 1985: 18). Setiap suku menyumbangkan nilai budaya

seperti ritual adat tradisi, bahasa & sastra, kesenian, dan rumah adat.

Suku Tionghoa merupakan salah satu suku yang populasinya cukup besar di

Kalimantan Barat. Jumlah masyarakat suku Tionghoa sebanyak 13% dari total

penduduk di Kalimantan Barat dan 39,38% dari total penduduk di Singkawang. Hal ini

menjadikan suku Tionghoa sebagai suku mayoritas di Singkawang. Tionghoa memiliki

beranekaragam pesona dalam bingkai kekayaan budaya Nusantara.

Sebagai sebuah salah satu tradisi, festival Cap Go Meh merupakan suatu adat

yang sangat dikenal pada masyarakat karena banyak menceritakan dan mengangkat

sebagian upacara adat Tionghoa. Walaupun demikian, kearifan lokal tersebut

mengalami pergeseran makna karena arus globalisasi dan perkembangan tekonologi

yang membuat masyarakat 'termodernisasi'. Namun, masih menjadi sebuah tradisi yang

penting dalam sosialitas masyarakat ditingkat lokal.

Kebudayaan nasional berakar dari kebudayaan daerah, yang dibina oleh seluruh

masyarakat Indonesia yang dapat memperkuat identitas kepribadian bangsa. Menurut

Parmono (1985: 18), kita menerima budaya asing secara selektif, dengan tidak

mengambil yang buruk atau tidak sesuai dengan kepribadian rakyat Indonesia.

B. Tujuan

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan, adapun tujuan

mengangkat festival Cap Go Meh adalah untuk memperkenalkan dan melestarikan

salah satu budaya Tionghoa yang mulai terkikis oleh arus globalisasi dan modernisasi.

1

Page 3: Kearifan Lokal Festival cap Goo Meh

Penulis mencoba untuk mendeskripsikan pengertian dan tujuan Cap Go Meh, sehingga

dapat menghasilkan pemahaman atau pengetahuan tentang tradisi yang menjadi salah

satu kebudayaan khas Indonesia, khusunya Singkawang.

Perlunya mempelajari nilai budaya Indonesia dapat mencerminkan nilai luhur

bangsa. Budaya Indonesia harus dibina dan dikembangkan guna memperkuat

kepribadian bangsa, memperkokoh jiwa kesatuan, yang menerapkan nilai-nilai yang

berlandaskan Pancasila. (Parmono, 1985: 19)

Tujuan berikutnya ialah sebagai upaya reflektif antara nilai-nilai budaya terhadap

permasalahan aktual. Dengan upaya ini, maka diketahui relevansi antara nilai-nilai

budaya dengan permasalahan penelusuran budaya dalam menghadapi arus globalisasi.

2

Page 4: Kearifan Lokal Festival cap Goo Meh

BAB II

PEMBAHASAN

A. Historisitas Cap Go Meh

Cap-Go-Meh, yang berasal dari istilah Hokkian, mempunyai arti “malam 15.” Di

daratan Tiongkok sendiri, perayaan ini dinamakan Yuan Xiau Jie, yang dalam bahasa

Mandarin, berarti festival malam bulan pertama. Dulu, ketika dinasti Han memerintah

(202 SM – 220 M), sang kaisar khusus pergi keluar istana untuk turut merayakan malam

Cap Go Meh bersama rakyatnya.

Cap Go Meh memiliki dua versi. Versi pertama adalah versi intelek Yuan Shiau

Ciek yaitu satu di antara festival yang dirayakan sejak Dinasti Xie Han (206 SM-24 M)

untuk menandakan berakhirnya perayaan tahun baru Imlek. Oleh karena itu, Kaisar juga

memerintahkan rakyatnya sembahyang syukuran, arak-arakan, memasang lampion, dan

atraksi kesenian rakyat pada malam hari tepatnya Cap Go Meh.

Sementara versi lainnya, menurut Asali adalah cerita rakyat pada Dinasti Tung

Zhou (770 SM - 256 SM) yaitu para petani pada tanggal 15 bulan 1 Imlek memasang

lampion yang disebut Chau Tian Can di sekeliling ladang untuk mengusir hama dan

menakuti binatang perusak tanaman. Petani saat itu juga melihat perubahan warna api

dalam lampion (Ten Lung) yang dipercaya dari perubahan warna api dalam lampion

pada malam itu dapat diketahui cuaca yang akan datang, yaitu apakah kemarau panjang

atau lebih banyak hujan sepanjang tahun.

Selain itu, untuk memperingati Cap Go Meh, biasanya dipasang lampion, bunyi-

bunyi yang meriah seperti petasan, serta pertunjukkan barongsai. Barongsai yang

dimaksudkan untuk mengusir binatang perusak tanaman dan agar hasil panen lebih

bermanfaat bagi petani pada zaman pemerintahan dinasti Zhou (770 – 256 SM).

Di negara barat, Cap Go Meh ditandai dengan pawai arak-arakan etnis Tionghoa,

yang dimulai dari Kelenteng. Di Indonesia sendiri, perayaan ini ditandai dengan adanya

pawai arak-arakan keliling dan makanan lontong Cap Go Meh, yang terdiri dari lodeh,

opor, sate kambing, ditambah lontong dan bubuk kedelai.

http://www.langitberita.com/lifestyle/41071/inilah-asal-usul-perayaan-cap-go-meh/

3

Page 5: Kearifan Lokal Festival cap Goo Meh

B. Pelaksanaan Festival Cap Go Meh

Upacara ini harus dilakukan pada malam hari, maka harus disiapkan penerangan

dengan lampu-lampu dari senja hari hingga keesokan harinya. Inilah yang kemudian

menjadi lampion-lampion dan lampu-lampu berwarna-warni yang menjadi pelengkap

utama dalam perayaan Cap Go Meh. Festival ini adalah sebuah festival dimana

masyarakat diperbolehkan untuk bersenang-senang. Saat malam tiba, masyarakat akan

turun ke jalan dengan berbagai lampion berbagai bentuk yang telah diberi variasi.

Di malam yang disinari bulan purnama sempurna, masyarakat akan menyaksikan

tarian naga (masyarakat Indonesia mengenalnya dengan sebutan Liong) dan tarian

Barongsai. Mereka juga akan berkumpul untuk memainkan sebuah permainan teka-teki

dan berbagai macam permainan lainnya, sambil menyantap sebuah makanan khas

bernama Yuan Xiao. Setiap orang membawa satu lampion dan di lampion itu sudah

ditempeli dengan kertas yang berisi teka-teki (biasanya 4 huruf). Yang wanita

memberikan tebakan kepada yang pria dan sebaliknya. Tentu saja, malam tidak akan

menjadi meriah tanpa kehadiran kembang api dan petasan. Pada malam itu, para tua dan

muda seolah “diwajibkan” untuk bersenang-senang.

Yuan Xiao sendiri adalah sebuah makanan yang menjadi bagian penting dalam

festival tersebut. Yuan Xiao, atau juga kerap disebut Tang Yuan, adalah sebuah

makanan berbentuk bola-bola yang terbuat dari tepung beras. Bila ditilik dari namanya,

Yuan Xiao mempunyai arti “malam di hari pertama”. Makanan ini melambangkan

kebersatuannya sebuah keluarga besar yang memang menjadi tema utama dari perayaan

hari raya Imlek.

Pada keesokan harinya, di hari puncak pelaksanaan biasanya dilakukan oleh umat

kelenteng-kelenteng atau vihara dengan melakukan kirab atau turun ke jalan raya,

sambil menggotong ramai-ramai Kio/usungan yang diisi/dimuat arca para Dewa. Ada

atraksi “lok thung” (loya/tatung) atau “thang sin“, dimana ada seseorang yang menjadi

medium perantara, dimana biasanya akan melakukan beberapa atraksi sayat lidah,

memotong lengan/badannya dengan sabetan pedang dsb, dan dipercaya telah dirasuki

roh Dewa/i untuk memberikan berkat bagi umatNya. Loya atau tatung dipercaya

mampu menyembuhkan orang yang sedang sakit.

4

Page 6: Kearifan Lokal Festival cap Goo Meh

C. Makna Pelaksanaan Festival Cap Go Meh

Makna upacara Cap Go Meh terbagi menjadi dua, sesuai dengan versinya. Versi

petani Cap Go Meh menandakan perayaan Imlek telah berakhir, keesokan harinya sudah

kembali ke ladang atau sawah untuk bekerja sehingga berakhirlah perayaan Imlek pada

Cap Go Meh itu. Sementara versi intelektual, Cap Go Meh adalah sebuah perayaan

yang ada nilai ritualnya di mana para tatung/loya atau dewa membuka kembali stempel

para tatungnya yang telah ditutup pada tanggal 23 bulan 12 penanggalan Imlek atau

sebelum perayaan Imlek sehingga setelah 15 hari dibuka kembali

Terdapat makna kebersamaan dalam permainan teka-teki yang dilakukan oleh

para remaja tionghoa. Hal ini menunjukkan sistem sosial yang kuat dalam suatu

kebudayaan. Makna kebersamaan juga ditemukan pada saat makan bersama. Simbol

yang terkandung dalam makanan Yuan Xiaojie ini melambangkan kebersatuannya

sebuah keluarga besar yang memang menjadi tema utama dari perayaan hari raya Imlek.

Kendati demikian, perkembangan tradisi Cap Go Meh di Singkawang ada

kaitannya dengan para tatung menjadi tabib menyembuhkan orang sakit. Penyembuhan

orang sakit dilakukan dengan pemasangan altar disebut Ta Ciau dengan tujuan mengusir

roh jahat dari perkampungan yang dilakukan dengan arak-arakan tatung.

Kebiasaan itulah yang dilakukan sampai sekarang, maka setiap ada festival Cap

Go Meh dilakukan arak-arakan dengan harapan dapat mengusir roh jahat dari seluruh

kehidupan masyarakat selama satu tahun. Dengan demikian, setelah perayaan Cap Go

Meh dianggap dapat membawa keselamatan bagi kita semua

5

Page 7: Kearifan Lokal Festival cap Goo Meh

BAB III

LANDASAN TEORI

A. Definisi

Aksiologi ialah ilmu pengetahuan yang menyelediki hakikat nilai, yang umumnya

ditinjau dari sudut pandang kefilsafatan. Didunia ini terdapat banyak cabang

pengetahuan yang bersangkutan dengan masalah-masalah nilai khusus, seperti ekonomi,

estetika, etika, filsafat agama dan epistemologi. Epistemologi bersangkutan dengan

masalah kebaikan (dalam arti kesusilaan), dan estetika bersangkutan dengan masalah

keindahan. (Kattsoff, 2004: 319).

Persoalan nilai membahas tentang apa sebenarnya nilai itu dan kaitannya dengan

kehidupan manusia, misalnya saja tentang nilai kebenaran, nilai kebaikan, nilai

keindahan, nilai kekudusan, relasi dan sifat dasar nilai, penilaian terhadap yang bernilai,

dan interaksi nilai-nilai manusiawi. (Parmono, 1985: 11).

Segala sesuatu dalam alam dan kebudayaan dipandang dari segi manusia. Manusia

yang berpengetahuan itu adalah manusia yang hidup. Manusia bertindak digerakkan

oleh nilai-nilai. Dua tindakan yang sama, tapi berbeda nilai yang dikandungnya, berbeda

pula penghargaan terhadap tindakan tersebut. Manusia mengetahui sesuatu untuk

bertindak, yang biasanya telah direncanakan. (Gazalba, 1973: 440)

Kebudayaan berasal dari perwujudan nilai atau norma-norma nilai. Semenjak

seseorang lahir, adat dan kebudayaan menanamkan kepadanya ide-ide nilai melalui

orang tua, kakak, anggota masyarakat, dll. Penanaman itu didalam alam perasaan yang

biasa disebut sebagai pendidikan. Melalui sosialisasi dan enkulturasi, orang orang dapat

mewarisi tata masyarakatnya.

Kebudayaan berasaskan pandangan atau sikap nilai. Kebudayaan dikendalikan

oleh tata nilai hidup dalam masyarakat. Berbeda kebudayaan, berbeda pula tata-

nilainya, yang mrmbawa kepada perbedaan pandangan dan sikap hidup, yang berujung

pada kemauan, keinginan dan cita, dan perbedaan cara berlaku dimsyarakat. Dengan

demikian, apa yang baik bagi suatu kebudayaan, mungkin buruk bagi kebudayaan lain

(Gazalba, 1973: 447).

B. Hierarki Nilai dalam Aksiologi

Dalam memaknai hasil budaya, terdapat nilai-nilai filosofis yang terkandung

didalamnya. Menurut Van Peursen (1990: 58) setiap kebudayaan memiliki nilai-nilai

sebagai akibat perilaku khusus setiap orang dalam kebudayaan tersebut. Salah satu ciri

6

Page 8: Kearifan Lokal Festival cap Goo Meh

khas yang hakiki dari nilai, menurut Frondizi (2001: 129) adalah penampakannya

dalam urutan yang herarkis. Nilai tersusun secara hierarkis, yakni ada nilai yang lebih

tinggi dan ada nilai yang lebih rendah. Susunan tingkat nilai tidak bisa disatukan dengan

sistem klarifikasi nilai, karena klasifikasi tidak berarti urutannya penting.

Berdasarkan prefensi dan penerapan lima kriteria tersebut, Scheler lalu menyusun

tabel hierarki nilai (Frondizi, 2001: 138-140)

Pertama, pada tingkat yang terendah yaitu nilai “kenikmatan” dan

“ketidaknikmatan”, yang sesuai dengan suasana afektif nikmat dan rasa sakit yang

bersifat inderawi. Scheler menegaskan, nilai terendah dari semua nilai merupakan nilai

yang pada dasarnya “fana”

Kedua, adalah nilai vital yang tidak tergantung dan tidak direduksi dengan

kenikmatan dan ketidaknikmatan. Suatu nilai dapat berada lebih tinggi dari nilai lain

bila nilai tersebut merupakan dasar bagi nilai yang lain, adalah alasan Scheler

menjadikan nilai vital lebih tinggi tingkatannya dari nilai kenikmatan.

Ketiga, kawasan nilai spiritual. Dalam kehadiran nilai spiritual, nilai vital maupun

nilai kenikmatan harus dikorbankan. Kita menangkap nilai melalui presepsi sentimental

“spiritual”, dan didalam kegiatan seperti misalnya preferensi spiritual, cinta dan benci,

yang seharusnya tidak dikacaukan dengan tindakan vital yang sesuai dengan nama yang

sama. Nilai spiritual dapat dibedakan secara hierarki : (a). Nilai keindahan dan

kejelekan, dan berbagai nilai estetik murni yang lain; (b). Nilai keadilan dan

ketidakadilan, yang mengacu pada satu urutan yang ditetapkan oleh hukum; (c). Nilai

“pengetahuan murni tentang kebenaran”, yang diusahakan untuk direalisasikan oleh

filsafat, yang dilawankan dengan ilmu positif.

Keempat, nilai kekudusan dan nilai profan. Nilai-nilai religius tidak dapat

direduksi menjadi nilai spiritual, dan memiliki keberadaan yang khas menyatakan diri

kepada kita didaam berbagai objek yang hadir untuk kita sebagai yang mutlak. Nilai

religius bersifat independen dalam kaitannya dengan segala sesuatu yang sejak semula

dipandang suci dalam perjalanan sejarah, termasuk bagian “konsep Tuhan yang paling

murni”. Bagi Scheler, hubungan hierarkis nilai dimulai dari kenikmatan menuju

kekudusan, dengan menggunakan nilai vital dan spiritual, adalah aprioristik dan dengan

demikian mendahului hubungan yang ada diantara benda-benda. Semua nilai didasarkan

pada nilai yang lebih tinggi, meenurut Scheler nilai keagamaan. Nilai yang tertinggi dari

semua nilai adalah nilai yang sifatnya abadi.

7

Page 9: Kearifan Lokal Festival cap Goo Meh

C. Nilai-nilai filosofis budaya Cap Go Meh

Terdapat tiga nilai filosofis dalam festival Cap Go Meh, yaitu unsur kesenangan

(vitalitas), unsur kebersamaan (sosial), dan unsur spiritual. Unsur kesenangan terlihat

pada malam sebelum puncak Cap Go Meh, pada saat pemasangan lampion. Masyarakat

Tionghoa dipersilahkan bersenang-senang dalam artian tidak melanggar norma-norma.

Tradisi pemasangan lampion ini berasal dari Daoism, yaitu ajaran tentang ‘3 unsur

utama’, yaitu malam purnama di bulan pertama merupakan bulan naik yang

melambangkan unsur ketuhanan, purnama di bulan ke-7 adalah bulan pertengahan yang

melambangkan unsur bumi, dan purnama di bulan ke-10 merupakan bulan turun yang

mewakili unsur kemanusiaan. Oleh sebab itu di setiap purnama di 3 waktu itu harus

memasang lampion. Maksudnya untuk menghormati ketiga unsur terpenting itu.

Unsur kebersamaan sangat terlihat pada pemasangan lampion dan acara makan

Yuan Xiao. Mengenai tradisi makan Yuan Xiao tak lain untuk melambangkan

berkumpulnya seluruh anggota keluarga. Semua berkumpul di rumah yang tertua untuk

makan makanan yang disebut ‘tangtuan’, ‘tang’ artinya soup, sedangkan ‘tuan’ artinya

berkumpul. Jadi, acara makan Yuan Xiao juga sangat penting karena dengan adanya

hari besar ini, meski berada jauh dari sanak keluarga, diusahakan untuk pulang,

berkumpul bersama.

Unsur spiritual terdapat dalam puncak hari pelaksanaan, pada saat semua

masyarakat Tionghoa bersama-sama pergi ke kelenteng atau vihara untuk

menyampaikan doa. Selain pada penyampaian doa, atraksi tatung atau loya pada festival

Cap Go Meh juga terdapat unsur spiritual. Masyarakat Tionghoa meyakini arwah yang

masuk ke tatung atau loya merupakan arwah yang ingin membantu manusia dalam

menyembuhkan penyakit.

8

Page 10: Kearifan Lokal Festival cap Goo Meh

BAB IV

PENELUSURAN BUDAYA DALAM MENGHADAPI GLOBALISASI

Arus globlisasi yang begitu cepat dan dibarengi dengan perkembangan teknologi

yg pesat menjadikan budaya asli setiap daerah mulai terkikis. Karena manusia kurang

peka dalam menghadapi modernisasi, sehingga budaya asing dengan mudah masuk ke

Indonesia tanpa disaring terlebih dahulu. Penelusuran budaya merupakan hal lumrah

bagi setiap suku di dunia untuk tidak menghilangkan sejarah yang pernah ada di leluhur

mereka.

Upaya itulah yang kini sedang dilakukan oleh masyarakat Tionghoa dewasa ini.

Baik masyarakat, tokoh, para elit dari suku Tionghoa di pulau Kalimantan Barat

tersebut, menaruh harapan besar agar adat budaya leluhur mereka tetap dipertahankan.

Modernitas menjadi relevan bagi proses kemasyarakatan yang terjalin dalam

kebudayaan, yang tak lain karena proses mengimplikasikan perubahan, kemajuan,

revolusi, dan pertumbuhan yang merupakan istilah kunci dari kesadaran moral.

(Hardiman, 2004 : 3)

Upacara Cap Go Meh bukan hanya bersenang-senang pada malam sebelum

pelaksanaan sehingga lupa diri. Bukan pula sebagai ajang kesombongan dalam

mempertontonkan keahlian. Tetapi, dalam perjalanan beberapa tahun belakangan,

kegiatan itu menjadi momen penting orang Tionghoa Kalbar untuk menelusuri jejak

budaya leluhur mereka. Juga sebagai ajang meningkatkan eksistensi suku Tionghoa

dalam tingkat nasional. Cap Go Meh bisa diakui sebagai kegiatan rutin setiap tahun.

Tetapi kali ini maknanya menjadi luas seiring dengan semakin berkembangnya zaman.

Makna lain dari perayaan Cap Go Meh adalah juga untuk menjawab tantangan ke depan

sebagai bangsa yang memiliki identitas dan kebudayaan yang beraneka ragam.

Festival Cap Go Meh, yang menandai akhir dari rangkaian perayaan tahun baru

Imlek, tak ada di negeri China setelah dihapuskan selama Revolusi Kebudayaan.

Namun, di Indonesia, festival itu tetap digelar dalam semangat keindonesiaan. Adanya

festival Cap Go Meh menjadi kesempatan yang berarti bagi masyarakat Tionghoa untuk

menghimpun hasil budaya yang masih tersisa dari peninggalan generasi tua, atau

tercerai berai pada tiap-tiap generasi. Adat istiadat leluhur yang masih bisa dikumpulkan

mesti diketahui oleh generasi muda. Agar mereka dapat menjaga dan melestarikan pada

masa berikutnya. Kebudayaan yang dijaga dengan baik oleh masyarakatnya, dapat

menjadi “alat” komunikasi antarsuku bangsa.

9

Page 11: Kearifan Lokal Festival cap Goo Meh

BAB V

PENUTUP

Hasil budaya yang ada disetiap daerah memiliki nilai-nilai filosofis bagi manusia.

Hasil budaya yang tercipta merupakan perkembangan pemikiran manusia dari alam

pikiran mitis, alam pemikiran ontologis, dan alam pemikiran fungsional. Sebagai bagian

dari hasil budaya, Cap Go Meh mengalami proses evaluasi dari waktu ke waktu, dan

kecenderungan penurunan intensitas pelaksanaan ritual.

Kearifan lokal Festivsl Cap Go Meh merupakan upacara adat tradisi sebagai

peringatan hari kelima belas setelah tahun baru, yang menjadi penutup acara tahun baru.

Festival Cap Go Meh adalah salah satu hasil budaya yang harus ditelusuri,

diperkenalkan dan dilestarikan karena mulai terkikis oleh arus globalisasi dan

modernisasi. Menurut Sapta, “Di Singkawang festival ini tumbuh subur sebagai bagian

dari upaya adat mengenal identitas budaya China, dan meneguhkan spiritualitas, tanpa

kehilangan identitas nasional sebagai warga negara Indonesia. Kami berusaha agar

festival ini bukan hanya milik etnis Tionghoa, tetapi milik dunia”.

Upaya reflektif adalah relevansi antara nilai-nilai budaya dengan permasalahan

penelusuran budaya dalam menghadapi arus globalisasi. Adanya festival Cap Go Meh

menjadi kesempatan yang berarti bagi masyarakat Tionghua untuk menghimpun hasil

budaya yang masih tersisa dari peninggalan generasi tua, Adat istiadat leluhur yang

masih bisa dikumpulkan mesti diketahui oleh generasi muda. Agar mereka dapat

menjaga dan melestarikan pada masa berikutnya. Festival Cap Go Meh itu

dipromosikan oleh Pemerintah Kota Singkawang, Pemerintah Provinsi Kalbar, dan

Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif sebagai festival internasional dengan

menghadirkan wisatawan mancanegara, termasuk duta besar dari sejumlah negara

sebagai bentuk pengenalan identitas kebudayaan Tionghoa.

10

Page 12: Kearifan Lokal Festival cap Goo Meh

DAFTAR PUSTAKA

Frondizi, Risieri, 1963. Pengantar Filsafat Nilai, diterjemahkan oleh Cuk Ananta,

Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Gazalba, Sidi, 1973. Sistematika Filsafat, Jakarta: Penerbit Bulan Bintang.

Hardiman, F. Budi, 2004. Filsafat Modern, dari Machiavelli Sampai Nietzsche, Jakarta:

PT Gramedia Pustaka Utama.

Katsoff, Louis O, 2004. Pengantar Filsafat, Yogyakarta: Tiara Wacana.

Kusumohamidjojo, Budiono, 2009. Filsafat Kebudayaan, Yogyakarta: Jalasutra.

Lontaan, J. U., 1975. Sejarah Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan Barat, Jakarta:

Bumirestu.

Parmono, R., 1985. Menggali Unsur-unsur Filsafat Indonesia, Yogyakarta: Andi

Offset.

Peursen, C. A. Van, 1990. Fakta, Nilai, Peristiwa Tentang Hubungan antara Ilmu

Pengetahuan dan Etika, Jakarta: PT Gramedia.

http://www.langitberita.com/lifestyle/41071/inilah-asal-usul-perayaan-cap-go-meh/

diakses pada 19 Maret 2013, pukul 21.30

11