23
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menurut Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tentang pendidikan nasional pasal 3, dijelaskan bahwa Pendidikan Nasional berfungsi sebagai pengembang kemampuan dan pembentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, dan bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Di samping itu, pendidikan pada dasarnya merupakan suatu usaha pengembangan sumber daya manusia, walaupun usaha pengembangan SDM tidak hanya dilakukan melalui pendidikan khususnya pendidikan formal dalam hal ini sekolah, tetapi sampai detik ini, pendidikan masih dipandang sebagai sarana dan wahana utama untuk pengembangan SDM yang dilakukan dengan sistematis, programatis, dan berjenjang. Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia kini berada di posisi dibawah Negara Vietnam, padahal, seperti yang

Kebijakan Pendidikan Tinggi Dalam Pelaksanaan Pendidikan Di Perguruan Tinggi

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Kebijakan Pendidikan Tinggi Dalam Pelaksanaan Pendidikan Di Perguruan Tinggi

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Menurut Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tentang pendidikan

nasional pasal 3, dijelaskan bahwa Pendidikan Nasional berfungsi sebagai

pengembang kemampuan dan pembentuk watak serta peradaban bangsa yang

bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, dan bertujuan untuk

berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan

bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,

kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung

jawab.

Di samping itu, pendidikan pada dasarnya merupakan suatu usaha

pengembangan sumber daya manusia, walaupun usaha pengembangan SDM tidak

hanya dilakukan melalui pendidikan khususnya pendidikan formal dalam hal ini

sekolah, tetapi sampai detik ini, pendidikan masih dipandang sebagai sarana dan

wahana utama untuk pengembangan SDM yang dilakukan dengan sistematis,

programatis, dan berjenjang.

Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia kini berada di posisi dibawah

Negara Vietnam, padahal, seperti yang diketahui bahwa Vietnam adalah negara

yang baru saja merdeka. Indikasi pemicu dari keterpurukan ini disebabkan oleh

banyak faktor, akan tetapi yang paling bertanggung jawab adalah bidang

pendidikan, khususnya Perguruan Tinggi ( PT ).

Untuk mengatasi setiap masalah pendidikan seperti yang telah

dikemukakan di atas, maka pemerintah melalui lembaga kepemerintahannya,

khususnya Menteri Pendidikan berusaha membuat berbagai kebijakan yang

dituangkan dalam Undang-Undang. Saat ini, peraturan yang mengatur tentang

sistem pendidikan tinggi di indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 20

tahun 2003 bagian keempat.

Page 2: Kebijakan Pendidikan Tinggi Dalam Pelaksanaan Pendidikan Di Perguruan Tinggi

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana gambaran kebijakan pendidikan tinggi di Indonesia sesuai dengan

Undang-Undang No.20 tahun 2003?

2. Bagaimana paradigma penataan sistem perguruan tinggi di Indonesia?

3. Bagaimana peran kebijakan pendidikan tinggi dalam peningkatan mutu

pendidikan di Indonesia, khususnya dalam ruang lingkup perguruan tinggi?

Page 3: Kebijakan Pendidikan Tinggi Dalam Pelaksanaan Pendidikan Di Perguruan Tinggi

ANALISIS DAN PEMBAHASAN

A. Analisis Kebijakan Pendidikan Tinggi dalam UU No. 20 tahun 2003

Banyak usaha yang dilakukan pemerintah dalam rangka meningkatkan

mutu dan mengatur pendidikan perguruan tinggi. Salah satunya dengan

dikeluarkannya Undang-Undang no. 20 tahun 2003.

Secara umum, Undang-Undang ini memuat beberapa aspek. Aspek-aspek

tersebut di antaranya yaitu

1. Maksud Undang-Undang (pasal 1)

2. Dasar, fungsi dan tujuan Undang-Undang (Pasal 2 s.d 3)

3. Prinsip penyelenggaraan pendidikan (Pasal 4)

4. Hak dan kewajiban warga negara, orang tua, masyarakat, dan

pemerintah (Pasal 5 s.d 11)

5. Jalur, jenjang, dan jenis pendidikan (Pasal 13 s.d 32)

Di dalam aspek inilah, Undang-Undang mengenai kebijakan pendidikan

tinggi diutarakan. Secara spesifik, undang-undang mengenai kebijakan

pendidikan tinggi diatur dalam pasal 19 sampai dengan pasal 25.

Pada pasal 19, dijelaskan bahwa perguruan tinggi diselenggarakan dengan

sistem terbuka dan terdiri dari beberapa program pendidikan, yaitu diploma,

sarjana, magister, spesialis dan doktor. Sedangkan pada pasal 20, dijelaskan

bahwa perguruan tinggi berbentuk akademi, politeknik, sekolah tinggi, institut

atau universitas serta kewajiban perguruan tinggi untuk mengabdi kepada

masyarakat.

Pasal 21 dijelaskan tata cara perguruan tinggi dalam memberikan gelar

kepada para peserta didik mereka. Pada pasal 22 dijelaskan tentang pemberian

gelar doktor kehormatan. Pasal 23 menjelaskan tentang undang-undang

pengangkatan guru besar.

Page 4: Kebijakan Pendidikan Tinggi Dalam Pelaksanaan Pendidikan Di Perguruan Tinggi

Pasal 24 menjelaskan tentang hak otonomi perguruang tinggi dalam

menyelenggarakan proses pendidikan. Pada Pasal 25, dijelaskan tentang

ketentuan mengenai persyaratan kelulusan dan pencabutan gelar

B. Paradigma Penataan Sistem Perguruan Tinggi di Indonesia

Apapun yang akan dinyatakan sebagai tujuan pendidikan, fungsi dasarnya

di setiap masyarakat adalah sosialisasi, dalam arti menyiapkan generasi muda

untuk menghadapi dan mengatasi masalah-masalah pembangunan masyarakat di

kemudian hari.

Masyarakat Indonesia tidak terkecuali dari masalah-masalah yang

dihadapi oleh masyarakat dunia, di mana pergaulan antar bangsa akan dilandasi

oleh mekanisme pasar yang disertai mobilitas barang dan jasa secara global.

Dengan penataan sistem pendidikan tinggi dimaksud dapat dikembangkan

suatu pola manajemen yang akan dipergunakan sebagai acuan dasar untuk:

1. Penyelenggaraan pendidikan tinggi sebagai bagian dari sistem pendidikan di

Indonesia.

2. Pelaksanaan pembangunan dan pengembangan masing-masing perguruan

tinggi.

Pada dasarnya, penataan tersebut tidak dapat dianggap sebagai tujuan

dalam arti harafiah, karena yang patut dijadikan indikator pencapaian

keberhasilan, bukanlah penataan itu sendiri, melainkan keluaran (baik hasil

maupun dampak) yang lebih sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan

pembangunan, sebagai akibat penataan tersebut.

Pada tingkat penyelenggaraan sistem pendidikan tinggi, penataan

menghasilkan kerangka landasan atau kerangka acuan yang dapat digunakan

untuk mengembangkan seperangkat peraturan, pengaturan dan kesepakatan, yang

Page 5: Kebijakan Pendidikan Tinggi Dalam Pelaksanaan Pendidikan Di Perguruan Tinggi

pada tingkat pelaksanaan perguruan tinggi digunakan sebagai acuan untuk

merencanakan program pembangunan dan kegiatan dengan tujuan untuk

meningkatkan kualitas keluarannya.

Penataan sistem pendidikan tinggi sewajarnya bertolak dari hal-hal yang

secara idiil melandasi penyelenggaraannya, dan secara normatif juga sesuai

dengan perundangan yang berlaku di Indonesia.

Suatu perguruan tinggi selalu bercirikan suatu organisasi profesional,

dimana hasil dan dampak yang tersalurkan ke masyarakat sangat ditentukan oleh

kemampuan dan kinerja sivitas akademika yang dilandasi oleh kreativitas dan

ingenuitas.

Hal tersebut memerlukan adanya suasana kerja yang berbeda dari

organisasi yang bergerak di bidang manufaktur, di mana kualitas kerja sangat

ditentukan oleh ketepatan melaksanakan prosedur, yang menyangkut cara, urutan,

dan waktu.

Penelaahan dan pengalaman lapangan tentang organisasi kerja

menyimpulkan bahwa kreativitas, ingenuitas, dan produktivitas suatu organisasi

profesional lebih terangsang oleh pola kerja yang luwes dan mandiri dari pada

pola kerja yang terstruktur secara kaku. Hal ini dapat dijadikan salah satu alasan

kuat agar perguruan tinggi dapat dikelola berdasarkan asas otonomi.

Namun perguruan tinggi tidak diselenggarakan dalam 'suatu ruang hampa',

perguruan tinggi selalu terkait dan tergantung pada lingkungan dan masyarakat

sekitarnya. Hal tersebut mengakibatkan bahwa tata nilai, norma, perundangan dan

peraturan yang menjadi rambu-rambu dan memandu perkembangan masyarakat,

selalu harus diperhatikan dan menjadi acuan dalam pengelolaan perguruan tinggi.

Sehingga asas otonomi yang diberlakukan dalam pengelolaan perguruan tinggi,

selalu harus disertai dengan pertanggung jawaban atau akuntabilitas.

Perguruan tinggi memiliki fungsi tertentu di masyarakat, yang dapat

disimpulkan sebagai kegunaan bagi masyarakat. Beberapa fungsi yang dianggap

melekat pada perguruan tinggi adalah pendidikan, penelitian serta pengabdian

Page 6: Kebijakan Pendidikan Tinggi Dalam Pelaksanaan Pendidikan Di Perguruan Tinggi

kepada masyarakat, yang apabila dilaksanakan akan menghasilkan lulusan yang

terdidik, ilmu pengetahuan baru (hasil penelitian) dan jasa pembangunan

masyarakat (hasil pengabdian kepada masyarakat).

Masyarakat sebagai penyandang aliran sumberdaya yang memungkinkan

terselenggaranya perguruan tinggi, berhak untuk memperoleh informasi dan

menuntut kualitas kinerja perguruan tinggi. Untuk hal itu diperlukan adanya suatu

badan yang secara mandiri dapat menilik dan mem-'verifikasi' kinerja setiap

perguruan tinggi yang diselenggarakan di masyarakat.

Di hampir semua negara terdapat badan seperti itu, dan untuk keperluan

tersebut pemerintah sudah membentuk Badan Akreditasi Nasional.

Untuk dapat menyelenggarakan pengelolaan perguruan tinggi yang baik,

pengambilan keputusan manajerial di perguruan tinggi harus dapat ditunjang dan

dilandasi oleh fakta, data dan informasi yang dikumpulkan, diolah dan

disimpulkan melalui proses evaluasi.

Kelima hal yang disebutkan di atas : kualitas, otonomi,

akuntabilitas/pertanggungjawaban, akreditasi dan evaluasi dapat digunakan

sebagai lima komponen acuan dasar atau Paradigma Penataan Sistem Pendidikan

Tinggi sebagai berikut :

1. Hasil dan kinerja perguruan tinggi harus selalu mengacu pada kualitas yang

berkelanjutan.

2. Kualitas berkelanjutan, yang dilandasi kreativitas, ingenuitas dan

produktivitas pribadi sivitas akademika dapat dirangsang oleh pola

manajemen yang berasaskan otonomi.

3. Otonomi perguruan tinggi harus senafas dengan

akuntabilitas/pertanggungjawaban mengenai penyelenggaraan, kinerja dan

hasil perguruan tinggi.

4. Hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang handal dan syahih

mengenai penyelenggaraan, kinerja dan hasil perguruan tinggi, diaktualisasi

melalui proses akreditasi oleh Badan Akreditasi Nasional.

Page 7: Kebijakan Pendidikan Tinggi Dalam Pelaksanaan Pendidikan Di Perguruan Tinggi

5. Tindakan manajerial utama yang melandasi pengambilan keputusan dan

perencanaan di perguruan tinggi adalah proses evaluasi.

Secara visual Paradigma Manajemen Pendidikan Tinggi itu dapat

digambarkan sebagai suatu tetrahedron dengan Otonomi, Akuntabilitas,

Akreditasi dan Evaluasi masing-masing sebagai salah satu dari ke-empat

sudutnya, dan kualitas di titik pusat badan tetrahedron.

Kelima komponen paradigma tersebut di atas, secara tersirat dan tersurat

disebut dalam UU No. 2/1989 dan PP No. 30/1990. Di samping itu kelima

komponen tersebut pada umumnya secara mondial juga menjadi acuan dalam

penyelenggaraan dan pelaksanaan pendidikan tinggi yang dianggap baik.

Paling tidak, berdasar hal-hal di atas, kesyahihan Paradigma Manajemen

Pendidikan Tinggi dengan empat unsurnya (otonomi, akuntabilitas, akreditasi dan

evaluasi) yang ditujukan kepada peningkatan kualitas secara berkelanjutan dapat

digunakan sebagai titik tolak penataan Sistem Pendidikan Tinggi.

C. Upaya Pemerataan Pendidikan Tinggi di Indonesia

Penyelenggara pendidikan tinggi bertanggungjawab melaksanakan

kebijakan dalam meningkatkan pemerataan pendidikan tinggi agar mampu

memenuhi tuntutan untuk memperoleh kesempatan mengikuti pendidikan tersier,

dengan mengusahakan penyebaran geografis lembaga pendidikan tinggi secara

memadai di wilayah tanah air.

Tanggung jawab tersebut bertopang pada Asas Adil dan Merata yang

harus diterapkan dalam perencanaan Pembangunan Nasional seperti digariskan

dalam GBHN 1993; yaitu asas bahwa pembangunan nasional yang

diselenggarakan sebagai usaha bersama harus merata di semua lapisan masyarakat

di seluruh tanah air.

Pemerataan pendidikan tinggi diselenggarakan dengan meluaskan sistem

secara kuantitatif meliputi dua segi berikut:

Page 8: Kebijakan Pendidikan Tinggi Dalam Pelaksanaan Pendidikan Di Perguruan Tinggi

1. Pemerataan kesempatan dalam memperoleh pendidikan tinggi. Hal ini

berhubungan dengan peran pendidikan tinggi sebagai wahana mobilitas sosial;

2. Pemerataan dalam penyebaran pendidikan tinggi secara geografis, yang terkait

dengan peran pendidikan tinggi sebagai sumberdaya pembangunan di wilayah

kedudukannya.

Meskipun bersifat kuantitatif, ada beberapa hal kualitatif yang harus

dipertimbangkan dalam merencanakan dan melaksanakan perluasan sistem, yaitu:

jenis program studi, jalur pendidikan tinggi, dan mutu program, yang diperlukan

sebagai bekal pengetahuan dan keterampilan lulusan untuk memasuki dunia kerja.

Perlunya pertimbangan segi kualitatif di atas adalah karena alasan berikut:

1. Bagi peserta, adalah harapan bahwa setelah lulus dirinya dapat memperoleh

nafkah dari peran produktif yang dijalankannya di dunia kerja sesuai dengan

tingkat dan bidang pendidikan yang telah ditempuh; dan

2. Bagi keseluruhan masyarakat yang membiayai pendidikan tinggi, adalah

tingkat pengembalian investasi serta manfaat makro-ekonomik para lulusan

dalam penyelenggaraan kegiatan di sektor produktif.

Berkenaan dengan segi kualitatif di atas dalam menanggapi pemerataan

kesempatan mengikuti pendidikan tinggi, harus diusahakan agar proporsi populasi

mahasiswa baik menurut bidang keahlian maupun jalur pendidikan sesuai dengan

keperluan bidang dan jenjang keahlian dalam dunia kerja, tepatnya kesesuaian

dalam:

1. Proporsi antara populasi mahasiswa yang mempelajari bidang teknologi dan

eksakta lain dibandingkan dengan bidang sosial dan pendidikan; dan sekaligus

2. Proporsi antara jumlah mahasiswa jalur S-1 dibandingkan dengan jumlah

mahasiswa jalur diploma

Berbagai bentuk langkah dapat ditempuh dalam upaya memeratakan

kesempatan untuk memperoleh pendidikan tinggi, di samping perluasan kapasitas

tampung perguruan tinggi yang telah ada, atau pendirian perguruan tinggi yang

Page 9: Kebijakan Pendidikan Tinggi Dalam Pelaksanaan Pendidikan Di Perguruan Tinggi

baru sama sekali, kebijakan yang menuju ke pemerataan pendidikan tinggi dapat

berbentuk antara lain:

1. Perluasan penyelenggaraan program-program pendidikan berjangka waktu

kurang dari 3 tahun di jalur pendidikan diploma di masa depan untuk

persiapan kerja di luar sektor publik, seperti di industri manufaktur dan jasa.

2. Pendidikan jarak jauh yang lebih rendah biayanya dibandingkan dengan

penyebaran lembaga pendidikan tinggi dapat efektif dalam meningkatkan

akses ke pendidikan tersier kepada kelompok penduduk yang kurang terwakili

di perguruan tinggi.Pendidikan jarak-jauh yang mampu menarik kelompok

usia 19-24 tahun perlu dikaji lagi sebagai wahana penting dalam meluaskan

akses ke pendidikan tinggi.

3. Perluasan perguruan tinggi swasta paling potensial dalam meningkatkan akses

ke pendidikan tinggi. Perkembangannya dapat didukung dengan penerapan

sistem akreditasi, dan insentif untuk membuka program S-1 atau diploma

dalam bidang-bidang relevan yang memerlukan investasi besar, seperti

umpamanya bidang teknologi.

4. Pinjaman dan beasiswa untuk mengikuti pendidikan tinggi khusus bagi

peserta dan calon peserta dengan latar belakang kemampuan ekonomi yang

terbatas.

D. Peran Kebijakan Pendidikan Tinggi Bagi Perguruan Tinggi

Kebijakan pendidikan tinggi yang diatur dalam Undang-Undang No. 20

tahun 2003 pasal 19 s. d 25 memiliki peran yang yang cukup penting bagi

perguruan tinggi. Peran-peran tersebut yaitu bahwa kebijakan-kebijakan itu

mengatur tentang tata cara pelaksanaan sistem pendidikan di pergurun tinggi.

Kebijakan itu cukup membantu perguruan tinggi, terutama dalam memberi

perlindungan hukum bagi pelaksanaan sistem pendidikan perguruan tinggi.

Perguruan Tinggi sendiri memiliki peran yang besar dalam upaya

mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas. Melalui fungsi transformasi

Page 10: Kebijakan Pendidikan Tinggi Dalam Pelaksanaan Pendidikan Di Perguruan Tinggi

sumber daya manusia, IPTEKS, sosial dan budaya, perguruan tinggi menepati

posisi yang strategis dalam perubahan masyarakat.

Peran pendidikan tinggi juga memiliki posisi strategis dalam menjaga

persatuan dan kesatuan bangsa. Sejarah Indonesia telah mencatat kontribusi

pendidikan dan gerakan mahasiswa dalam membentuk dan mempertahankan

Indonesia sebagai negara bangsa yang majemuk.

Bangsa Indonesia saat ini sedang menghadapi tantangan besar dengan

datangnya era globalisasi dan liberalisasi ekonomi. Oleh karena itu, perguruan

tinggi harus mampu menjawab tantangan masa depan tersebut dengan

melaksanakan peran yang sebaik-baiknya.

Page 11: Kebijakan Pendidikan Tinggi Dalam Pelaksanaan Pendidikan Di Perguruan Tinggi

PENUTUP

A. Simpulan

Dari pembahasan yang telah disampaikan di atas dapat disimpulkan

bahwa:

1. Peraturan mengenai kebijakan Pendidikan tinggi tercantum dalam Undang-

Undang No. 20 tahun 2003 pasal 19 sampai dengan pasal 25. undang-undang

ini memuat tentang dasar arah kebijakan yang dapat digunakan oleh

perguruan tinggi.

2. Penataan sistem pendidikan tinggi di Indonesia tidak dapat dianggap patut

dijadikan indikator pencapaian keberhasilan, bukanlah penataan itu sendiri,

melainkan keluaran (baik hasil maupun dampak) yang lebih sesuai dengan

kebutuhan masyarakat dan pembangunan, sebagai akibat penataan tersebut.

3. Penyelenggara pendidikan tinggi bertanggungjawab melaksanakan kebijakan

dalam meningkatkan pemerataan pendidikan tinggi agar mampu memenuhi

tuntutan untuk memperoleh kesempatan mengikuti pendidikan tersier, dengan

mengusahakan penyebaran geografis lembaga pendidikan tinggi secara

memadai di wilayah tanah air.

4. Kebijakan Pendidikan tinggi cukup berperan bagi berlangsungnya sistem

pendidikan dan perlindungan hukum perguruan tinggi

5. Pendidikan bukan saja patut mendapat perhatian amat serius, tetapi juga harus

menjadi perhatian utama seluruh bangsa. Dengan demikian, pendidikan akan

berkontribusi secara signifikan dalam memantapkan nasionalisme baru.

B. Saran

1. Sebaiknya dilakukan perbaikan sistem pendidikan tinggi di indonesia,

khususnya dalam HAL pengelolaan sumber daya manusia

Page 12: Kebijakan Pendidikan Tinggi Dalam Pelaksanaan Pendidikan Di Perguruan Tinggi

2. Sebaiknya pemerintah lebih tanggap akan kebutuhan masyarakat dalam

pemenuhan pendidikan di tingkat pendidikan tinggi dan lebih memperhatikan

akan peningkatan sarana dan prasarana demi peningkatan kualitas sumber

Daya Manusia indonesia sehingga tidak tertinggal dengan bangsa lain.

Page 13: Kebijakan Pendidikan Tinggi Dalam Pelaksanaan Pendidikan Di Perguruan Tinggi

MAKALAH

KEBIJAKAN PENDIDIKAN TINGGI DALAM PELAKSANAAN

PENDIDIKAN DI PERGURUAN TINGGI

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pengantar Ilmu Pendidikan

Dosen Pengmpu : Drs. Sawa Suryana

Disusun Oleh:

1. Eko Sandhi Purnomo 7101406059

2. Syaeful Rizal 7101406072

3. Fariza Budi M. 7101406075

4. Alvian Ega Nugraha 7101406092

5. Jangkung Riyanto 7101406098

Pendidikan Koperasi Reg. II

EKONOMI PEMBANGUNAN

FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

2007

Page 14: Kebijakan Pendidikan Tinggi Dalam Pelaksanaan Pendidikan Di Perguruan Tinggi

DAFTAR PUSTAKA

www.dikti.go.id

www.dikti.org

www.pikiran-rakyat.go.id

www.wikipedia.org.id

Page 15: Kebijakan Pendidikan Tinggi Dalam Pelaksanaan Pendidikan Di Perguruan Tinggi

UU NO. 20 TAHUN 2003

Pendidikan Tinggi 

Pasal 19

(1)  Pendidikan tinggi merupakan jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup program pendidikan diploma, sarjana, magister, spesialis, dan doktor yang diselenggarakan oleh pendidikan tinggi. 

(2)  Pendidikan tinggi diselenggarakan dengan sistem terbuka.

Pasal 20

(1)  Perguruan tinggi dapat berbentuk akademi, politeknik, sekolah tinggi, institut, atau universitas.

(2)  Perguruan tinggi berkewajiban menyelenggarakan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.

(3)  Perguruan tinggi dapat menyelenggarakan program akademik, profesi, dan/atau vokasi.

(4)  Ketentuan mengenai perguruan tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. 

Pasal 21

(1)  Perguruan tinggi yang memenuhi persyaratan pendirian dan dinyatakan berhak menyelenggarakan program pendidikan tertentu dapat memberikan gelar akademik, profesi, atau vokasi sesuai dengan program pendidikan yang diselenggarakannya.

(2)  Perseorangan, organisasi, atau penyelenggara pendidikan yang bukan perguruan tinggi dilarang memberikan gelar akademik, profesi, atau vokasi.

(3)  Gelar akademik, profesi, atau vokasi hanya digunakan oleh lulusan dari perguruan tinggi yang dinyatakan berhak memberikan gelar akademik, profesi, atau vokasi.

(4)  Penggunaan gelar akademik, profesi, atau vokasi lulusan perguruan tinggi hanya dibenarkan dalam bentuk dan singkatan yang diterima dari perguruan tinggi yang bersangkutan.

(5)  Penyelenggara pendidikan yang tidak memenuhi persyaratan pendirian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau penyelenggara pendidikan bukan perguruan tinggi yang melakukan tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenakan sanksi administratif berupa penutupan penyelenggaraan pendidikan.

(6)  Gelar akademik, profesi, atau vokasi yang dikeluarkan oleh penyelenggara pendidikan yang tidak sesuai dengan ketentuan ayat (1) atau penyelenggara

Page 16: Kebijakan Pendidikan Tinggi Dalam Pelaksanaan Pendidikan Di Perguruan Tinggi

pendidikan yang bukan perguruan tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dinyatakan tidak sah.

(7)  Ketentuan mengenai gelar akademik, profesi, atau vokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Pasal 22

Universitas, institut, dan sekolah tinggi yang memiliki program doktor berhak memberikan gelar doktor kehormatan (doktor honoris causa) kepada setiap individu yang layak memperoleh penghargaan berkenaan dengan jasa-jasa yang luar biasa dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi, kemasyarakatan, keagamaan, kebudayaan, atau seni. 

Pasal 23

(1)  Pada universitas, institut, dan sekolah tinggi dapat diangkat guru besar atau profesor sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(2)  Sebutan guru besar atau profesor hanya dipergunakan selama yang bersangkutan masih aktif bekerja sebagai pendidik di perguruan tinggi.

 Pasal 24

(1)  Dalam penyelenggaraan pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan, pada perguruan tinggi berlaku kebebasan akademik dan kebebasan mimbar akademik serta otonomi keilmuan.

(2)  Perguruan tinggi memiliki otonomi untuk mengelola sendiri lembaganya sebagai pusat penyelenggaraan pendidikan tinggi, penelitian ilmiah, dan pengabdian kepada masyarakat.

(3)  Perguruan tinggi dapat memperoleh sumber dana dari masyarakat yang pengelolaannya dilakukan berdasarkan prinsip akuntabilitas publik.

(4)  Ketentuan mengenai penyelenggaraan pendidikan tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. 

Pasal 25

(1)  Perguruan tinggi menetapkan persyaratan kelulusan untuk mendapatkan gelar akademik, profesi, atau vokasi.

(2)  Lulusan perguruan tinggi yang karya ilmiahnya digunakan untuk memperoleh gelar akademik, profesi, atau vokasi terbukti merupakan jiplakan dicabut gelarnya.

(3)  Ketentuan mengenai persyaratan kelulusan dan pencabutan gelar akademik, profesi, atau vokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.