15

Click here to load reader

Kedudukan Korporsai Sebagai Subyek Hukum

  • Upload
    lukas

  • View
    936

  • Download
    4

Embed Size (px)

DESCRIPTION

KEDUDUKAN KORPORASI SEBAGAI SUBYEK HUKUM DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1955 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA EKONOMIUntuk Memenuhi Tugas Kelompok Mata Kuliah Hukum Pidana KhususDisusun Oleh : Oktagape Lukas B2A004179FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2008BAB I PENDAHULUAN1.1.PENGANTAR Negara Kesatuan Republik Indonesia bertanggung jawab atas kesejahteraan perekonomian Bangsa Indonesia. Tanggung jawab ini dapat kita lihat dalam Pembukaan Undang Undang Dasar 1945 Amande

Citation preview

Page 1: Kedudukan Korporsai Sebagai Subyek Hukum

KEDUDUKAN KORPORASI SEBAGAI SUBYEK HUKUMDALAM

UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1955 TENTANGPEMBERANTASAN TINDAK PIDANA EKONOMI

Untuk Memenuhi Tugas Kelompok

Mata Kuliah Hukum Pidana Khusus

Disusun Oleh :Oktagape Lukas

B2A004179

FAKULTAS HUKUMUNIVERSITAS DIPONEGORO

SEMARANG2008

KEDUDUKAN KORPORASI SEBAGAI SUBYEK HUKUMDALAM

UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1955 TENTANGPEMBERANTASAN TINDAK PIDANA EKONOMI

Untuk Memenuhi Tugas Kelompok

Mata Kuliah Hukum Pidana Khusus

Disusun Oleh :Oktagape Lukas

B2A004179

FAKULTAS HUKUMUNIVERSITAS DIPONEGORO

SEMARANG2008

KEDUDUKAN KORPORASI SEBAGAI SUBYEK HUKUMDALAM

UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1955 TENTANGPEMBERANTASAN TINDAK PIDANA EKONOMI

Untuk Memenuhi Tugas Kelompok

Mata Kuliah Hukum Pidana Khusus

Disusun Oleh :Oktagape Lukas

B2A004179

FAKULTAS HUKUMUNIVERSITAS DIPONEGORO

SEMARANG2008

Page 2: Kedudukan Korporsai Sebagai Subyek Hukum

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.PENGANTAR

Negara Kesatuan Republik Indonesia bertanggung jawab atas kesejahteraan

perekonomian Bangsa Indonesia. Tanggung jawab ini dapat kita lihat dalam Pembukaan

Undang Undang Dasar 1945 Amandemen dan kemudian dijabarkan secara lebih jelas

dalam Pasal 33 Undang Undang Dasar 1945 Amandemen, yang menyatakan bahwa :

“Perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan demokrasi ekonomi dengan

prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan,

kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan persatuan ekonomi

nasional.”1

Lewat amanat Undang-Undang Dasar tadi, dapatlah kita lihat secara jelas betapa besar

tanggung jawab pemerintah di bidang ekonomi. Konsep pertanggung jawaban pemerintah

di bidang ekonomi ini sendiri sebenarnya bukanlah hal baru. Konsep ini telah diterapkan

di Indonesia sejak masa pra-kemerdekaan dalam Ordonantie-Ordonatie maupun berbagai

keputusan lainnya dari Pemerintah Hindia Belanda maupun Pemerintah Pendudukan

Jepang untuk menjaga jalannya roda ekonomi untuk kepentingan Kolonial mereka.

Namun yang membedakan dengan para penjajah tersebut, tanggung jawab pemerintah di

bidang ekonomi ditujukan demi kepentingan rakyat Indonesia dan bukan kepentingan

Penguasa.

Tanggung jawab Pemerintah di bidang perekonomian salah satunya dapat

diwujudkan dalam bentuk campur tangan pemerintah di bidang ekonomi. Campur tangan

ini tidak harus diwujudkan dengan partisipasi langsung pemerintah, namun dapat

diwujudkan bentuk hukum yang bergerak di bidang Sosial Ekonomi.Hukum Sosial

Ekonomi ini menurut Sudarto dapat dirumuskan sebagai:

“Keseluruhan Peraturan yang dibuat oleh Pemerintah dan organ-organ dibawahnya,

misalnya Peraturan Menteri yang bertujuan secara langsung maupun tidak langsung

mempengaruhi penawaran dan permintaan.”2

1 Lihat Pasal 33(4) UUD 1945 Amandemen2 Lihat kutipan dari Sudarto dalam Tjipto Soeroso, Hukum Pidana Khusus-Materi: Hukum Pidana Perekonomian

Page 3: Kedudukan Korporsai Sebagai Subyek Hukum

Dari sini dapat kita pahami bahwa bentuk tanggung jawab pemerintah dapat terwujud

dalam Peraturan-Peraturan dan Kebijakan yang dibuatnya demi kesejahteraan dan

kemakmuran Bangsa Indonesia

Salah satu bentuk tanggung jawab Pemerintah adalah dengan memberi perlindungan

terhadap jalannya roda ekonomi masyarakat. Perlindungan ini dirasa sangat perlu karena

adanya kejahatan-kejahatan ekonomi yang bermotif keuntungan dan merugikan roda

perekonomian masyarakat serta sedikit banyak memberi pengaruh terhadap

perekonomian bangsa Indonesia. Karena itu muncul pertimbangan dari Pemerintah

bahwa: “... perlu diadakan peraturan yang efektif tentang pengusutan, penuntutan dan

pengadilan terhadap perbuatan-perbuatan yang merugikan perekonomian.”3 Maka

untuk itulah pertama kalinya Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi disusun untuk

melindungi kepentingan ekonomi masyarakat dan bangsa Indonesia.

1.2.KELAHIRAN UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA EKONOMI

Sebelum ada Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi, sebenarnya telah ada berbagai

Kebijakan yang digunakan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda maupun Pemerintah

Pendudukan Jepang untuk melindungi roda perekonomiannya. Kebijakan itu muncul

dalam berbagai bentuk, mulai dari Ordonantie, Verordening, sanpai pada Peraturan

Menteri Urusan Ekonomi.

Pemerintah Indonesia sendiri sebagai pewaris tata hukum Kolonial, merasa perlu

memunculkan suatu tatanan perundang-undangan baru yang melindungi masyarakat dari

kejahatan-kejahatan ekonomi. Tatanan perundang-undangan baru ini dimunculkan tidak

hanya karena Pemerintah tidak ingin lagi bersandar pada tatanan perundang-undangan

warisan Kolonial, tapi juga karena situasi zaman yang telah berubah hingga diperlukan

Peraturan Perundang-undangan baru yang sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan

ekonomi masyarakat Indonesia.

Karena itulah pada tanggal 13 Mei 1955, maka Pemerintah mengundangkan Undang-

Undang Darurat Nomor 7 Tahun 1955 Tentang pemberantasan Tindak Pidana Ekonomi

(UUTPE), yang disahkan dalam Lembar Negara Nomor 27 Tahun 1955. Undang-

3 Lihat Pertimbangan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1955 Tentang pemberantasan Tindak Pidana Ekonomi(UUTPE)

Page 4: Kedudukan Korporsai Sebagai Subyek Hukum

undang ini sendiri diadaptasi dari Perundang-undangan Belanda yakni Wet op de

Economische Delicten (Undang-Undang tentang Delik Ekonomi) yang selanjutnya

disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat Indonesia.

Ada dua pertimbangan utama bagi pemerintah untuk menghadirkan Undang-Undang

Darurat Nomor 7 Tahun 1955 Tentang pemberantasan Tindak Pidana Ekonomi (UUTPE)

di tengah masyarakat Indonesia yang baru merdeka, yaitu:

1. Bahwa perlu diadakan peraturan yang efektif tentang pengusutan, penuntutan dan

pengadilan terhadap perbuatan-perbuatan yang merugikan perekonomian;

2. Bahwa berhubungan dengan itu untuk mempermudah penyelenggaraannya,

dianggap perlu diadakan kesatuan dalam perundang-undangan ekonomi;

Dalam perkembangan selanjutnya, UUTPE mengalami beberapa perubahan antara

lain lewat Perpu Nomor 21 tahun 1959, Perubahan dan Tambahan Undang-Undang

Darurat Nomor 7 Tahun 1955: Tentang Memperberat Ancaman Hukuman Terhadap

tindak Pidana Ekonomi dan Perpu Nomor 36 tahun 1960, Perubahan dan Tambahan

Undang-Undang Darurat Nomor 7 Tahun 1955: Tentang Pengusutan, Penuntutan dan

Peradilan Tindak Pidana Ekonomi. Selain itu dengan keluarnya Undang-Undang Nomor

1 tahun 1961, maka status Undang-Undang Darurat Nomor 7 Tahun 1955 Tentang

pemberantasan Tindak Pidana Ekonomi (UUTPE) dinaikkan menjadi Undang-Undang.

Page 5: Kedudukan Korporsai Sebagai Subyek Hukum

BAB II

PERUMUSAN MASALAH

2.1.PENGERTIAN TINDAK PIDANA EKONOMI

Sebelum lebih jauh membahas mengenai UUTPE, maka sebaiknya kita memahami

terlebih dahulu apa itu pengertian Tindak Pidana Ekonomi. Secara umum dalam

pertimbangan UUTPE 1955, didefinisikan secara sangat sederhana bahwa Tindak Pidana

Ekonomi adalah “...perbuatan-perbuatan yang merugikan perekonomian;” Lebih lanjut

pengertian ini dijabarkan dalam pasal 1 UUTPE yang menyebutkan bahwa yang

didefinisikan sebagai Tindak Pidana Perekonomian adalah4:

1. Pelanggaran berbagai ketentuan yang terdapat dalam atau berdasarkan berbagai

peraturan dan ordonantie yang dicantumkan pada Pasal 1(1) UUTPE (lihat pasal

1(1) UUTPE)

2. Tindak-tindak pidana tersebut dalam Pasal 26, pasal 32 dan pasal 33 UUTPE

(lihat pasal 1(2) UUTPE)

3. Kejahatan atau pelanggaran terhadap suatu ketentuan atau perarturan dalam

perundang-undangan lain, dimana disitu disebutkan bahwa kejahatan atau

pelanggaran itu merupakan Tindak Pidana Ekonomi. (lihat pasal 1(3) UUTPE)

Jadi, dari apa yang dijabarkan pada Pasal 1 UUTPE diatas, maka dapat disimpulkan

bahwa apa yang dimaksud sebagai Tindak Pidana Ekonomi dalam UUTPE merupakan

suatu perumusan kategoris, yang terdiri atas5:

1. Pelanggaran terhadap peraturan-peraturan yang tercantum pada pasal 1(1)

UUTPE.

2. Pelanggaran terhadap peraturan-peraturan lain. Diluar daftar Pasal 1(1)dimana

dinyatakan oleh peraturan bahwa pelanggaran terhadapnya dapat dikategorikan

sebagai tindak pidana ekonomi.

3. Pelanggaran terhadap peraturan-peraturan pelaksana (organik) dari apa yang

ditentukan pada angka 1 dan 2.

4. Pelanggaran terhadap Pasal 26, pasal 32 dan pasal 33 UUTPE

4 Lihat Pasal 1 ayat 1-3 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1955 Tentang pemberantasan Tindak Pidana Ekonomi(UUTPE)5 Tjipto Soeroso, Hukum Pidana Khusus-Materi: Hukum Pidana Perekonomian

Page 6: Kedudukan Korporsai Sebagai Subyek Hukum

Dari penjabaran pengertian Tindak Pidana Ekonomi pada pasal 1 UUTPE, dapat kita

pahami bahwa bahwa pengertian Tindak Pidana Ekonomi bersifat prospektif. Artinya

tidak ada definisi bersifat limitatif mengenai Tidak Pidana Ekonomi ini. Hingga apabila

dikemudian hari diperlukan adanya pengaturan mengenai suatu perbuatan atau

pelanggaran tertentu sebagai tindak pidana ekonomi, hal itu dapat dilakukan dengan

mudah.

2.2.POKOK PERMASALAHAN

Salah satu kelebihan UUTPE dibandingan dengan KUHP adalah banyaknya

ketentuan-ketentuan UUTPE yang menyimpang dari asas-asas KUHAP. Hal ini dianggap

wajar karena UUTPE mengatur tindak pidana yang lebih spesifik yaitu Tindak Pidana

Ekonomi. Salah satu penyimpangan itu adalah kedudukan Korporasi sebagai subyek

hukum.

Inilah yang akan menjadi pokok utama makalah ini. Makalah secara pada umumnya

akan membahas mengenai subyek hukum dalam Tindak Pidana Ekonomi. Pembahasan

sendiri akan secara spesifik mengacu pada kedudukan korporasi sebagai subyek hukum

tersebut. Ada dua pokok utama mengenai makalah ini:

1. Apa yang dimaksud sebagai Korporasi dan apa yang dimaksud sebagai kejahatan

Korporasi dan hubungannya dengan Tindak Pidana Ekonomi?

2. Bagaimana kedudukan Korporasi sebagai subyek hukum dalam Undang-Undang

Nomor 7 Tahun 1955 Tentang pemberantasan Tindak Pidana Ekonomi (UUTPE)?

Dari pembahasan akan pokok permasalahan ini, akan dapat kita tarik kesimpulan yang

berguna bagi pembelajaran Hukum Pidana Khusus, terutama dalam hal ini kaitannya

dengan Tindak Pidana Ekonomi.

Page 7: Kedudukan Korporsai Sebagai Subyek Hukum

BAB III

PEMBAHASAN

3.1.PENGERTIAN KORPORASI DAN KEJAHATAN KORPORASI

Pada awalnya Korporasi atau biasa disebut Perseroan Perdata hanya dikenal dalam

Hukum Perdata. Dalam Pasal 1654 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, disebutkan

bahwa Korporasi dapat didefinisikan sebagai:

“Perseroan perdata adalah suatu persetujuan antara dua orang atau lebih, yang

berjanji untuk memasukkan sesuatu ke dalam perseroan itu dengan maksud supaya

keuntungan yang diperoleh dari perseroan itu dibagi di antara mereka.”

Maka dari sini dapat kita simpulkan bahwa Korporasi juga termasuk Badan Hukum

(rechtpersoon), yaitu dengan menunjuk kepada adanya suatu badan yang diberi status

sebagai subjek hukum, di samping subjek hukum yang berwujud manusia alamiah

(natuurlijk persoon).

Kemudian hari, Korporasi mulai memasuki lingkup Hukum Pidana sebagai subyek

hukum sejak munculnya fenomena corporate crime. Fenomena ini mulai muncul di

negara maju pada abad ke 19. Kejahatan Korporasi sendiri dapat didefinisikan sebagai6:

“...crimes committed either by a corporation (i.e., a business entity having a separate

legal personality from the natural persons that manage its activities), or by individuals

that may be identified with a corporation or other business entity.” Tindak kejahatn yang

dilakukan Korporasi ini sendiri sering terjadi dalam skala besar dan merugikan

masyarakat. Seperti yang dikutip dari The Law Reform Commission of New South

Wales, Australia7:

"Corporate crime poses a significant threat to the welfare of the community. Given

the pervasive presence of corporations in a wide range of activities in our society,

and the impact of their actions on a much wider group of people than are affected by

individual action, the potential for both economic and physical harm caused by a

corporation is great."

Melihat fenomena inilah kemudian muncul tuntutan akan pertanggung jawaban korporasi

(corporate liability) di bidang Hukum Pidana.

6 Wikipedia, the free encyclopedia, Corporate Crime,7 Lihat kutipan dari The Law Reform Commission of New South Wales dalam Wikipedia, the free encyclopedia,Corporate Crime,

Page 8: Kedudukan Korporsai Sebagai Subyek Hukum

Kejahatan korporasi sendiri bukan tidak dikenal oleh ahli hukum Indonesia. Menurut

Mardjono Reksodiputro ada dua hal yang harus diperhatikan dalam menentukan tindak

pidana korporasi yaitu8:

1. Tentang perbuatan pengurus (atau orang lain) yang harus dikonstruksikan sebagai

perbuatan korporasi dan kedua tentang kesalahan pada korporasi. Menurut

pendapat beliau, hal yang pertama untuk dapat dikonstruksikan suatu perbuatan

pengurus adalah juga perbuatan korporasi maka digunakanlah “asas identifikasi” .

Dengan asas tersebut maka perbuatan pengurus atau pegawai suatu korporasi,

diidentifikasikan (dipersamakan) dengan perbuatan korporasi itu sendiri.

2. Memang selama ini dalam ilmu hukum pidana gambaran tentang pelaku tindak

pidana masih sering dikaitkan dengan perbuatan yang secara fisik dilakukan oleh

pembuat (fysieke dader) namun hal ini dapat diatasi dengan ajaran “pelaku

fungsional” (functionele dader) . Dengan kita dapat membuktikan bahwa

perbuatan pengurus atau pegawai korporasi itu dalam lalu lintas bermasyarakat

berlaku sebagai perbuatan korporasi yang bersangkutan maka kesalahan (dolus

atau culpa) mereka harus dianggap sebagai kesalahan korporasi.

3.2.KORPORASI SEBAGAI SUBYEK HUKUM DALAM UNDANG-UNDANG

NOMOR 7 TAHUN 1955 TENTANG PEMBERATASAN TINDAK PIDANA

KHUSUS

Hukum Pidana Indonesia sendiri pada awalnya tidak mengatur mengenai Korporasi

sebagai subyek hukum. Prinsip pertanggungjawaban korporasi (corporate liability)

sendiri tidak diatur dalam hukum pidana umum (KUHP). Namun seiring kesadaran akan

semakin sering terjadinya kejahatan ekonomi yang dilakukan oleh atau atas nama

Korporasi, maka muncul tuntutan agar Korporasi dapat muncul sebagai subyek hukum

pidana, terutama dalam konteks sebagai subyek dari Hukum yang mengatur Kejahatan

Ekonomi . Tuntutan ini muncul karena anggapan bahwa kejahatan korporasi sering kali

merugikan dan mengancam sendi-sendi perekonomian masyarakat. Korporasi dianggap

harus dapat dipertanggung jawabkan perbuatannya secara Pidana.

8 Lihat kutipan dari Mardjono Reksodiputro dalam Wikipedia, the free encyclopedia, PertanggungjawabanKorporasi

Page 9: Kedudukan Korporsai Sebagai Subyek Hukum

Prinsip pertanggungjawaban korporasi pertama kali diatur pada tahun 1951 yaitu

dalam UU tentang Penimbunan Barang, dan dikenal secara lebih luas lagi dalam UU No.

71 Drt Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi. Dalam perkembangannya kemudian,

prinsip pertanggungjawaban korporasi banyak diadopsi dalam peraturan perundang-

undangan, seperti9: UU 5/1984 tentang Perindustrian, UU 8/1985 tentang Pasar Modal,

UU 5/1997 tentang Psikotropika, UU 22/1997 tentang Narkotika, UU 23/1997 tentang

Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU 5/1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan

Persaingan Usaha Tidak Sehat, UU 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen, UU 20/2001

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU 22/2001 tentang Minyak dan Gas

Bumi, UU 15/2002 tentang Tindak Pidana Pencucuian Uang, dan UU 20/2002 tentang

Ketenagalistrikan.

Dalam literatur hukum pidana, penerapan prinsip pertanggungjawaban korporasi ini

telah mengalami perkembangan yang demikian pesat sejalan dengan meningkatnya

kejahatan korporasi itu sendiri. Pada awalnya, korporasi belum diakui sebagai pelaku

dari suatu tindak pidana, karenanya tanggungjawab atas tindak pidana dibebankan kepada

pengurus korporasi. Selanjutnya korporasi mulai diakui sebagai pelaku tindak pidana,

sementara tanggung jawab atas tindak pidana masih dibebankan kepada pengurusnya,

seperti dianut dalam UU No. 12/Drt/1952 tentang Senjata Api. Dalam perkembangan

terakhir, selain sebagi pelaku, korporasi juga dapat dituntut pertanggungjawabannya atas

suatu tindak pidana. Peraturan perundang-undangan yang menganut model ini

diantaranya UU No. 7 Drt Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi, UU 6/1984

tentang Pos, UU 23/1997 tentang Lingkungan Hidup, UU 31/1999 jo UU 20/2001 tentang

Tindak Pidana Korupsi, UU 15/2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, dll.

Kedudukan Korporasi sebagai Badan Hukum yang dapat dipertanggung jawabkan

dibidang Tindak pidana Ekonomi dijabarkan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun

1955 Tentang pemberantasan Tindak Pidana Ekonomi (UUTPE) yang mengatur

mengenai kejahatan ekonomi yang dilakukan oleh Korporasi, disebutkan pada Pasal 15(1)

bahwa:

“Jika suatu Tindak Pidana Ekonomi dilakukan oleh atau atas nama suatu badan

hukum, suatu perseroan, suatu perserikatan orang atau yayasan, maka tuntutan

9 Rusmana, Pertanggung Jawaban Korporasi Dalam Tindak Pidana Perikanan,

Page 10: Kedudukan Korporsai Sebagai Subyek Hukum

pidana dilakukan & hukum pidana serta tindakan tata tertib dijatuhkan, baik

terhadap badan hukum perseroan, perserikatan atau yayasan itu, baik terhadap

mereka yang memberi perintah melakukan Tindak Pidana Ekonomi atau yg bertindak

sebagai pimpinan dalam perbuatan kelalaian itu maupun terhadap kedua-duanya.”

Dari penjelasan diatas, dapat kita simpulkan bahwa dalam hal Tindak Pidana

Ekonomi dilakukan oleh Korporasi, maka yang bertanggung jawab secara pidana

adalah10:

1. Badan hukum atau Korporasi tersebut

2. Orang yang memberi perintah atau pemimpin dalam suatu perbuatan

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1955 Tentang pemberantasan Tindak Pidana

Ekonomi (UUTPE) sendiri belum secara rinci menjabarkan mengenai Kejahatan

Korporasi. Namun sebaliknya menyamaratakan bahwa Kejahatan Korporasi merupakan

sama dengan Tindak Pidana Ekonomi berdasar definisi yang diatur dalam Undang-

Undang Nomor 7 Tahun 1955 Tentang pemberantasan Tindak Pidana Ekonomi

(UUTPE). Hal ini didasarkan pada pemikiran bahwa Tindak Pidana Ekonomi selain dapat

dilakukan oleh orang-perorangan atau sekelompok orang dan korporasi berbadan hukum

resmi.

Pengaturan selanjutnya mengenai Korporasi sebagai subyek hukum dalam Undang-

Undang Nomor 7 Tahun 1955 Tentang pemberantasan Tindak Pidana Ekonomi (UUTPE)

dijabarkan dalam Pasal 15 ayat 2 sampai ayat 4, yaitu:

Pasal 15(2)

Suatu TPE dilakukan juga oleh atau atas nama suatu badan hukum, suatu perseroan,

suatu perserikatan orang atau suatu yayasan, jika tidak itu dilakukan oleh orang-

orang yang baik berdasar hubungan kerja maupun berdasar hubungan lain,

bertindak dalam lingkungan badan hukum, perseroan, perserikatan atau yayasan itu

tidak peduli apakah orang-orang itu masing-masing tersendiri melakukan Tindak

Pidana Ekonomi itu atau pada mereka bersama ada anasir-anasir tindak pidana tsb.

Pasal 15(3)

10 Tjipto Soeroso, Hukum Pidana Khusus-Materi: Hukum Pidana Perekonomian

Page 11: Kedudukan Korporsai Sebagai Subyek Hukum

Jika suatu tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu badan hukum, suatu perseroan,

suatu perserikatan orang-orang atau yayasan itu maka badan hukum, perseroan,

perserikatan org atau yayasan itu pada waktu penuntutan itu diwakili oleh seorang

pengurus atau jika ada lebih dari seorang pengurus oleh salah seorang dari mereka

itu.

Wakil diwakili oleh orang lain, Hakim dapat memerintahkan supaya seorang

pengurus menghadap sendiri di Pengadilan dan dapat pula memerintahkan supaya

pengurus itu dibawa ke muka Hakim.

Pasal 15(4)

Jika suatu tuntutan pidana dilakukan terhadap badan hukum suatu perseroan, suatu

perserikatan orang atau suatu yayasan, maka segala panggilan untuk menghadap

dan segala penyerahan surat-surat panggilan itu akan dilakukan kepada kepala

pengurus atau di tempat tinggal kepala pengurus itu atau tempat pengurus bersidang

atau berkantor.

Page 12: Kedudukan Korporsai Sebagai Subyek Hukum

BAB IV

KESIMPULAN

Dari makalah diatas, maka dapat disimpulkan bahwa Korporasi merupakan subyek

hukum yang dapat dipertanggung jawabkan secara hukum dalam Undang-Undang Nomor

7 Tahun 1955 Tentang pemberantasan Tindak Pidana Ekonomi (UUTPE). Pertanggung

jawaban korporasi sebagai subyek hukum ini muncul karena tuntutan bahwa ketika

Korporasi melakukan Tindak Pidana Ekonomi, maka seringkali Tindak Pidana itu

dilakukan dalam skala besar dan dan sangat merugikan bagi roda perekonomian

masyarakat.

Kembali pada dua pokok utama mengenai makalah ini, sesuai dengan yang dijabarkan

pada Bab II, yaitu:

1. Apa yang dimaksud sebagai Korporasi dan apa yang dimaksud sebagai kejahatan

Korporasi dan hubungannya dengan Tindak Pidana Ekonomi?

2. Bagaimana kedudukan Korporasi sebagai subyek hukum dalam Undang-Undang

Nomor 7 Tahun 1955 Tentang pemberantasan Tindak Pidana Ekonomi (UUTPE)?

Ada beberapa kesimpulan yang dapat kita ambil dalam kaitannya untuk menjawab

pokok permasalahan yang dijabarkan dalam hal. Kesimpulan itu meliputi:

1. Pada awalnya Korporasi atau biasa disebut Perseroan Perdata hanya dikenal dalam

Hukum Perdata. Dalam Pasal 1654 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,

disebutkan bahwa Korporasi dapat didefinisikan sebagai:

“Perseroan perdata adalah suatu persetujuan antara dua orang atau lebih, yang

berjanji untuk memasukkan sesuatu ke dalam perseroan itu dengan maksud supaya

keuntungan yang diperoleh dari perseroan itu dibagi di antara mereka.”

Maka dari sini dapat kita simpulkan bahwa Korporasi juga termasuk Badan Hukum

(rechtpersoon), yaitu dengan menunjuk kepada adanya suatu badan yang diberi status

sebagai subjek hukum, di samping subjek hukum yang berwujud manusia alamiah

(natuurlijk persoon). Kemudian hari, Korporasi mulai memasuki lingkup Hukum

Pidana sebagai subyek hukum sejak munculnya fenomena corporate crime. Fenomena

ini mulai muncul di negara maju pada abad ke 19. Melihat fenomena inilah kemudian

Page 13: Kedudukan Korporsai Sebagai Subyek Hukum

muncul tuntutan akan pertanggung jawaban korporasi (corporate liability) di bidang

Hukum Pidana.

2. Kejahatan Korporasi sendiri dapat didefinisikan sebagai: “...crimes committed either

by a corporation (i.e., a business entity having a separate legal personality from the

natural persons that manage its activities), or by individuals that may be identified

with a corporation or other business entity.” Tindak kejahatan yang dilakukan

Korporasi ini sendiri sering terjadi dalam skala besar dan merugikan masyarakat.

Menurut Mardjono Reksodiputro ada dua hal yang harus diperhatikan dalam

menentukan tindak pidana korporasi yaitu:

a. Tentang perbuatan pengurus (atau orang lain) yang harus dikonstruksikan sebagai

perbuatan korporasi dan kedua tentang kesalahan pada korporasi. Menurut

pendapat beliau, hal yang pertama untuk dapat dikonstruksikan suatu perbuatan

pengurus adalah juga perbuatan korporasi maka digunakanlah “asas identifikasi” .

Dengan asas tersebut maka perbuatan pengurus atau pegawai suatu korporasi,

diidentifikasikan (dipersamakan) dengan perbuatan korporasi itu sendiri.

b. Memang selama ini dalam ilmu hukum pidana gambaran tentang pelaku tindak

pidana masih sering dikaitkan dengan perbuatan yang secara fisik dilakukan oleh

pembuat (fysieke dader) namun hal ini dapat diatasi dengan ajaran “pelaku

fungsional” (functionele dader) . Dengan kita dapat membuktikan bahwa

perbuatan pengurus atau pegawai korporasi itu dalam lalu lintas bermasyarakat

berlaku sebagai perbuatan korporasi yang bersangkutan maka kesalahan (dolus

atau culpa) mereka harus dianggap sebagai kesalahan korporasi.

3. Kedudukan Korporasi sebagai Badan Hukum yang dapat dipertanggung jawabkan

dibidang Tindak pidana Ekonomi dijabarkan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun

1955 Tentang pemberantasan Tindak Pidana Ekonomi (UUTPE) yang mengatur

mengenai kejahatan ekonomi yang dilakukan oleh Korporasi, disebutkan pada Pasal

15(1) bahwa:

“Jika suatu Tindak Pidana Ekonomi dilakukan oleh atau atas nama suatu badan

hukum, suatu perseroan, suatu perserikatan orang atau yayasan, maka tuntutan

pidana dilakukan & hukum pidana serta tindakan tata tertib dijatuhkan, baik

terhadap badan hukum perseroan, perserikatan atau yayasan itu, baik terhadap

mereka yang memberi perintah melakukan Tindak Pidana Ekonomi atau yg bertindak

sebagai pimpinan dalam perbuatan kelalaian itu maupun terhadap kedua-duanya.”

Page 14: Kedudukan Korporsai Sebagai Subyek Hukum

Dari penjelasan diatas, dapat kita simpulkan bahwa dalam hal Tindak Pidana

Ekonomi dilakukan oleh Korporasi, maka yang bertanggung jawab secara pidana

adalah:

a. Badan hukum atau Korporasi tersebut

b. Orang yang memberi perintah atau pemimpin dalam suatu perbuatan

4. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1955 Tentang pemberantasan Tindak Pidana

Ekonomi (UUTPE) sendiri belum secara rinci menjabarkan mengenai Kejahatan

Korporasi. Namun sebaliknya menyamaratakan bahwa Kejahatan Korporasi

merupakan sama dengan Tindak Pidana Ekonomi berdasar definisi yang diatur dalam

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1955 Tentang pemberantasan Tindak Pidana

Ekonomi (UUTPE). Hal ini didasarkan pada pemikiran bahwa Tindak Pidana

Ekonomi selain dapat dilakukan oleh orang-perorangan atau sekelompok orang dan

korporasi berbadan hukum resmi.

Sekian makalah ini saya susun, lewat makalah ini, diharapkan dapat memberikan

sumbangsih bagi pembelajaran Hukum Pidana Khusus secara umum dan Tindak Pidana

Ekonomi pada khususnya.

Page 15: Kedudukan Korporsai Sebagai Subyek Hukum

PERATURAN PERUNDANGAN

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1955 Tentang pemberantasan Tindak Pidana Ekonomi

(UUTPE) beserta Penjelasan

DAFTAR PUSTAKA

1. Tjipto Soeroso, Hukum Pidana Khusus-Materi: Hukum Pidana Perekonomian,

Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 1990

2. Rusmana, Pertanggung Jawaban Korporasi Dalam Tindak Pidana Perikanan,

diambil dari http://www.solusihukum.com/artikel/artikel45.php

3. Wikipedia, the free encyclopedia, Corporate Crime, diambil dari

http://en.wikipedia.org/wiki/Corporate_crime

4. Wikipedia, the free encyclopedia, Pertanggungjawaban Korporasi, diambil dari

http://id.wikipedia.org/wiki/Pertanggungjawaban_korporasi