Upload
others
View
7
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
“KEDUDUKAN SULTAN HAMENGKU BUWONO DAN ADIPATI PAKU ALAM
SEBAGAI GUBERNUR DAN WAKIL GUBERNUR
PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA”
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar
Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
WALDAN MUFATHIR
NIM: 1111048000050
KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA
P R O G R A M S T U D I I L M U H U K U M
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1436 H/2015 M
i
“KEDUDUKAN SULTAN HAMENGKU BUWONO DAN ADIPATI PAKU ALAM
SEBAGAI GUBERNUR DAN WAKIL GUBERNUR
PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA”
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
Waldan Mufathir
NIM: 1111048000050
Pembimbing I Pembimbing II
Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si. Dwi Putri Cahyawati, S.H., M.H.
NIP. 19741213 200312 1 002 NIP.
KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA
P R O G R A M S T U D I I L M U H U K U M
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1436H/2015M
iv
ABSTRAK
Waldan Mufathir. NIM 1111048000050. KEDUDUKAN SULTAN HAMENGKU
BUWONO DAN ADIPATI PAKU ALAM SEBAGAI GUBERNUR DAN
WAKIL GUBERNUR PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA.
Program Studi Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum Kelembagaan Negara, Fakultas
Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1436
H/2015 M. viii + 92 halaman + 35 halaman lampiran. Skripsi ini bertujuan untuk
mengetahui pengaturan mekanisme pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur
di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan untuk mengetahui hak politik warga
negara dalam pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur di Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta. Latar belakang skripsi ini adalah pemilihan kepala daerah
diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 18 ayat (4). Aturan ini juga sebagai
bentuk pelaksanaan hak asasi manusia secara khusus hak politik warga negara yang
juga tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28D ayat (3). Namun
Undang-Undang No. 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa
Yogyakarta pada beberapa aturannya khusus mengenai pegaturan mekanisme
pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur tidak sesuai dengan pasal-pasal
dalam Undang-Undang Dasar 1945 tersebut di atas. Penelitian ini menggunakan tipe
penelitian library research, yang mengkaji berbagai dokumen terkait dengan
penelitian. Metode yang digunakan penulis adalah metode penelitian hukum normatif
dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach),
pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis (historical approach)
Selanjutnya ada tiga bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini, yakni bahan
hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan non-hukum. Hasil penelitian
menunjukan bahwa pengaturan mekanisme pengisian jabatan Gubernur dan Wakil
Gubernur berdasarkan Undang-Undang No. 13 Tahun 2012 pasal 20 ayat (1)
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 pasal 18 ayat (4) bahwa pengisian
jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur melalui pemilihan umum. Kemudian
persyaratan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur berdasarkan Undang-Undang No. 13
Tahun 2012 pasal 18 ayat (1) huruf (c) juga bertentangan dengan Undang-Undang
Dasar 1945 pasal 28D ayat (3) bahwa setiap orang berhak memperoleh kesempatan
yang sama dalam pemerintahan.
Kata Kunci : Sultan Hemangku Buwono, Adipati Paku Alam, Gubernur,
Wakil Gubernur, Keistimewaan Daerah Istimewa
Yogyakarta, Demokrasi, Demokratis, Pemilihan Umum,
Hak Politik, Ambivalensi Hukum,
Pembimbing : 1. Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si.
2. Dwi Putri Cahyawati, S.H., M.H.
Daftar Pustaka : Tahun 1950 s.d. Tahun 2014.
v
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim…
Alhamdulillah, puji syukur kepada Allah SWT yang masih memberikan umur
dan kesehatan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul
“KEDUDUKAN SULTAN HAMENGKU BUWONO DAN PAKU ALAM
SEBAGAI GUBERNUR DAN WAKIL GUBERNUR PROVINSI DAERAH
ISTIMEWA YOGYAKARTA”. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad SAW,
keluarga, sahabat, dan kepada kita selaku umatnya semoga senantiasa melaksanakan
ajarannya. Penulisan skripsi ini dalam perjalanannya banyak mendapatkan bantuan,
arahan, dan bimbingan dari berbagai pihak, karena itu penulis ingin menyampaikan
ucapan terima kasih kepada:
1. Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A. selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Drs. H. Asep Syarifuddin Hidayat, S.H., M.H. selaku ketua Program Studi
Ilmu Hukum dan Drs. Abu Thamrin, M.Hum. selaku sekretaris Program Studi
Ilmu Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si dan Dwi Putri Cahyawati, S.H., M.H selaku
dosen pembimbing yang penuh kesabaran, perhatian, dan ketelitian
memberikan masukan serta meluangkan waktunya untuk memberikan
bimbingan kepada penulis sampai dengan skripsi ini selesai.
vi
4. Hotnidah Nasution, M.A. dan Dedy Nursamsi, S.H., M.Hum. selaku dosen
penguji skripsi yang dengan ketelitian memberikan kesempurnaan pada
penulisan skripsi ini.
5. Segenap Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
khususnya Dosen Program Studi Ilmu Hukum yang telah memberikan ilmu
pengetahuan dengan tulus ikhlas, semoga ilmu pengetahuan yang diajarkan
dapat bermanfaat dan menjadi keberkahan bagi penulis.
6. Kedua orang tua tercinta dan tersayang Abi Muhamad Soleh Aceng, S.H dan
Umi Elis Hasanah atas kasih sayang, motivasi, dukungan, doa, perhatian, ilmu
pengetahuan, arti kedisiplinan, serta segala hal yang selalu diberikan dengan
tulus sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan pada jenjang
Perguruan Tinggi Negeri Strata 1 ini. Begitu pula untuk kakak dan adik
tercinta dan tersayang, Qoriati Hikmah, Fitri Robbany, Syarah Shabrina,
Michael Jawwad Husein. Terima kasih atas segala dukungan, perhatian, dan
kasih sayang yang telah kalian berikan.
7. Teman hidup penulis, Shinta Dwiningthyas yang telah membantu, memberi
semangat, serta menemani penulis setiap waktu baik suka maupun duka.
Terima kasih atas perhatian, cinta, kasih sayang, dan waktunya yang diberikan
kepada penulis. Semoga Allah senantiasa memberkahi dan meridhai
kebersamaan kita.
vii
8. Sahabat-sahabat tersayang Fanny Fatwati Putri, S.H., Juli Andreansyah, S.H.,
Sri Andriyani, S.H., Lisanul Fikri, dan M. Caesal Regia sebagai keluarga
kedua penulis. Sukses untuk kita semua.
9. Teman-teman seperjuangan Ilmu Hukum angkatan 2011 dan keluarga Ilmu
Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, semoga ilmu
yang kita dapatkan bermanfaat untuk siapapun, kapanpun, dan dimanapun kita
berada.
10. Keluarga Himpunan Mahasiswa Islam Komisariat Fakultas Syariah dan
Hukum Cabang Ciputat, selalu yakin atas usaha kita untuk sampai pada tujuan.
11. Keluarga Santriwan Santriwati Angkatan Tujuh Pondok Pesantren Al-Zaytun
Indonesia, khusus kepada Aesta Fajar, Halim Sulistianto, Muhammad Hidayat,
dan Ikhwan Batu Bara.
Atas bantuan dari semua pihak baik material maupun immaterial, penulis
berdoa semoga Allah SWT memberikan balasan kebaikan untuk seluruhnya. Penulis
berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi
pembaca umumnya.
Jakarta, 26 Agustus 2015
Waldan Mufathir
viii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING .................................................. i
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI .............................................................. ii
LEMBAR PERNYATAAN ............................................................................... iii
ABSTRAK .......................................................................................................... iv
DAFTAR ISI ....................................................................................................... viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ........................................................................... 1
B. Pembatasan Dan Rumusan Masalah ........................................................ 6
C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian ............................................................... 6
D. Tinjauan (Review) Studi Terdahulu .......................................................... 8
E. Metode Penelitian ..................................................................................... 9
F. Sistematika Penulisan ............................................................................... 15
BAB II STATUS BUDAYA DAN STATUS PEMERINTAHAN
A. Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta ............................. 17
B. Teori Kekuasaan ....................................................................................... 21
C. Sultan Hamengku Buwono ...................................................................... 29
D. Adipati Paku Alam ................................................................................... 34
E. Kepala Daerah Dan Wakil Kepala Daerah ............................................... 39
BAB III TINJAUAN UMUM HAK POLITIK WARGA NEGARA
A. Hak Politik Warga Negara Dalam Konstitusi Indonesia .......................... 43
B. Bentuk Hak Politik Warga Negara ........................................................... 51
C. Hak Konstitusional Warga Negara ........................................................... 53
ix
BAB IV. AMBIVALENSI HUKUM DALAM STATUS POLITIK
A. Pengaturan Mekanisme Pengisian Jabatan Gubernur Dan Wakil Gubernur Di
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta ..................................................... 56
B. Hak Politik Warga Negara Di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta .... 64
C. Masa Depan Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta Di Tengah Negara
Hukum ...................................................................................................... 80
BAB V. PENUTUP
A. Kesimpulan .............................................................................................. 84
B. Saran ......................................................................................................... 86
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 88
LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Undang-Undang Dasar 1945 telah mengalami empat kali perubahan, yaitu
perubahan pertama pada tahun 1999, perubahan kedua tahun 2000, perubahan
ketiga tahun 2001, dan perubahan keempat tahun 2002. Dalam empat kali
perubahan itu, materi Undang-Undang Dasar 1945 yang asli telah mengalami
perubahan besar-besaran dan dengan perubahan materi yang dapat dikatakan
sangat mendasar. Secara substantif, perubahan yang telah terjadi atas Undang-
Undang Dasar 1945 telah menjadikan konstitusi proklamasi itu menjadi
konstitusi yang baru sama sekali, meskipun tetap dinamakan sebagai Undang-
Undang Dasar 1945.1
Dari keempat amandemen Undang-Undang Dasar 1945 tersebut di atas,
amandemen kedua pada tahun 2000 berimplikasi luas terhadap sistem
ketatanegaraan Indonesia, salah satunya mengenai pemerintahan daerah.
Amandemen ini menghasilkan rumusan baru yang mengatur pemerintahan di
daerah terutama mengenai pemilihan kepala daerah. Rumusan tersebut terdapat
dalam pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945 bahwa “Gubernur, Bupati,
dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi,
1 Jimly Ashiddiqie, Konstitusi Dan Konstitusionalisme Indonesia, Ed. Revisi, (Jakarta:
Sekretariat dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2006), h. 47.
2
kabupaten dan kota dipilih secara demokratis”. Frasa “dipilih secara demokratis”
memiliki makna demokratisasi menurut Undang-Undang Dasar 1945. Demokrasi
yang dimaksud adalah dipilih secara langsung oleh rakyat. Hal ini merujuk
kembali pada pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, yaitu “kedaulatan
berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”.2
Dalam hal pemilihan kepala daerah ini, Indonesia sendiri baru memberlakukan
pemilihan kepala daerah secara langsung sejak dikeluarkannya Undang-Undang
No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah No.
6 Tahun 2005 tentang Tata Cara Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan
Pemberhentian Kepala Daerah.3
Secara umum dikatakan bahwa pemilihan kepala daerah secara langsung
itu lebih demokratis. Terdapat dua alasan mengapa gagasan pemilihan langsung
dianggap perlu. Pertama, untuk lebih membuka pintu bagi kepala daerah yang
sesuai dengan kehendak mayoritas rakyat. Maksudnya adalah kepala daerah yang
menjabat merupakan hasil keinginan terbanyak secara langsung dari rakyat
dalam suatu daerah. Kedua, untuk menjaga stabilitas pemerintahan agar tidak
mudah dijatuhkan ditengah jalan,4 karena kepala daerah yang tidak dipilih secara
2 Sodikin, Hukum Pemilu, Pemilu Sebagai Praktek Ketatanegaraan, (Bekasi: Gramata
Publishing, 2014), h. 173.
3 Sodikin, Hukum Pemilu, Pemilu Sebagai Praktek Ketatanegaraan, (Bekasi: Gramata
Publishing, 2014), h. 178.
4 Mexsasai Indra, Dinamika Hukum Tata Negara Indonesia, (Bandung: Refika Aditama,
2011), h. 240.
3
langsung tidak mendapatkan pengakuan dari rakyat dan dengan alasan itu kepala
daerah dapat diturunkan dari jabatannya sebelum masa jabatannya berakhir.
Pemilihan kepala daerah secara langsung merupakan proses politik yang tidak
saja merupakan mekanisme politik untuk mengisi jabatan demokratis (melalui
pemilu), tetapi juga sebuah implementasi pelaksanaan otonomi daerah atau
desentralisasi politik yang sesungguhnya.5
Pemilihan kepala daerah secara langsung dilandasi semangat yang kuat
untuk mengoreksi apa yang terjadi selama periode berlakunya Undang-Undang
No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Dengan kata lain, semangat
dilaksanakannya pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung adalah koreksi
terhadap sistem demokrasi tidak langsung (perwakilan) di era sebelumnya,
dimana kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih oleh DPRD, menjadi
demokrasi yang berakar langsung pada pilihan rakyat. Oleh karena itu, keputusan
politik untuk menyelenggarakan pilkada adalah sebuah langkah strategis dalam
rangka memperluas, memperdalam, dan meningkatkan kualitas demokrasi.6 Pada
tahun 2014, tepat sejak disahkannya Undang-Undang No. 22 Tahun 2014 tentang
Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota sempat diatur lagi mengenai
pemilihan kepala daerah secara tidak langsung yang dipilih oleh DPRD. Namun
5 Mochamad Isnaeni Ramdan, Laporan Akhir Kompendium Pilkada, (Jakarta:
Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementrian
Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, 2011), h. 69.
6 Suharizal, Pemilukada, Regulasi, Dinamika dan Konsep Mendatang, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2011), h. 42.
4
dengan berbagai permasalahan dan penolakan yang terjadi di dalam masyarakat,
kemudian dikembalikan menjadi pemilihan secara langsung oleh rakyat
berdasarkan Perppu No. 1 Tahun 2014 yang kemudian dijadikan Undang-
Undang No. 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 1 Tahun
2015 tentang Penetapan Perppu No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur,
Bupati, dan Walikota dengan aturannya pada pasal 1 ayat (1) yang secara
eksplisit menyebutkan “Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan
Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota yang selanjutnya disebut
pemilihan adalah pelaksanaan kedaulatan rakyat di wilayah provinsi dan
kabupaten/kota untuk memilih Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil
Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota secara langsung dan demokratis”.
Selain itu pemilihan kepala daerah secara langsung merupakan
implementasi pasal 28D ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 bahwa “Setiap
warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan”.
Hak turut serta dalam pemerintahan (hak politik) yang dilindungi hukum
internasional pada Kovenan Hak Asasi Manusia mengenai Hak Sipil dan Politik
maupun hukum nasional pada Undang-Undang Dasar 1945 intinya terdiri dari
empat bagian, yakni: pertama, hak masyarakat untuk memilih dan dipilih dalam
pemilihan umum; kedua, hak untuk turut serta dalam pemerintahan dengan
langsung atau dengan perantara wakil yang dipilihnya; ketiga, hak untuk
mengajukan pendapat, permohonan, pengaduan, dan atau usulan kepada
5
pemerintah baik dengan lisan maupun dengan tulisan; keempat, hak untuk duduk
dan diangkat dalam setiap jabatan publik di dalam pemerintahan.7
Disahkannya Undang-Undang No.13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan
Yogyakarta telah menghilangkan aturan-aturan yang telah dijelaskan di atas.
Karena di dalam pasal 18 ayat (1) huruf (c) Undang-Undang No.13 Tahun 2012
tertulis “Calon Gubernur dan calon Wakil Gubernur adalah warga negara
Republik Indonesia yang harus memenuhi syarat bertakhta sebagai Sultan
Hamengku Buwono untuk calon Gubernur dan bertakhta sebagai Adipati Paku
Alam untuk calon wakil Gubernur”. Kemudian Pasal 20 ayat (1) menyebutkan
“Dalam penyelenggaraan penetapan Gubernur dan Wakil Gubenur.......”. Ini
berarti Sultan Hamengku Buwono dan Adipati Paku Alam tanpa melalui
pemilihan secara langsung oleh rakyat secara otomatis diangkat sebagai
Gubernur dan Wakil Gubernur. Tentunya hal ini menjadi permasalahan, karena
selain menghilangkan pemilihan umum Gubernur dan Wakil Gubernur secara
langsung oleh rakyat, juga telah meniadakan hak politik warga negara yang
seluruhnya diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945.
Berlatar belakang dari permasalahan di atas maka penulis mengambil
inisiatif untuk meneliti lebih dalam tentang permasalahan ini yang kemudian
diberi judul “Kedudukan Sultan Hamengku Buwono Dan Adipati Paku
7 Nur Widyastanti, Kedudukan Hak Turut Serta Dalam Pemerintahan Dalam Tatanan
Konsep Demokrasi Di Indonesia, (Jakarta: Tesis Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia,
2009), h. 2.
6
Alam Sebagai Gubernur Dan Wakil Gubernur Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta”.
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Mengingat luasnya cakupan mengenai permasalahan tentang Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta, maka ruang lingkup permasalahan penulis
batasi hanya dilihat dari kedudukan Sultan Hamengku Buwono dan Adipati
Paku Alam sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur, pengaturan mekanisme
pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur di Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta, Hak Politik Warga Negara di Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta, dan teori-teori yang berkaitan dengan permasalahan.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah dan pembatasan masalah di atas,
maka permasalahan yang dapat dirumuskan sebagai berikut:
a. Bagaimana pengaturan mekanisme pengisian jabatan Gubernur
dan Wakil Gubernur di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta?
b. Bagaimana hak politik warga negara dalam pengisian jabatan
Gubernur dan Wakil Gubernur di Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta ?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
7
Setiap penelitian memerlukan suatu penelitian yang dapat memberikan
arah pada penelitian yang dilakukan. Berdasarkan uraian latar belakang dan
permasalahan di atas, maka disusun tujuan penelitian sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui pengaturan mekanisme pengisian jabatan
Gubernur dan Wakil Gubernur di Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta.
b. Untuk mengetahui hak politik warga negara dalam pengisian
jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur di Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta.
2. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian yang dilakukan terkait dengan
nilai guna dari penelitian dibedakan menjadi dua, yaitu:
a. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat teoritis
berupa sumbangan bagi pengembangan ilmu pengetahuan hukum,
khususnya bidang hukum tata negara.
b. Manfaat Praktis
Penulisan penelitian ini diharapkan dapat membantu jika suatu
saat dihadapkan pada kasus serupa yang berkaitan dengan
pemerintahan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, sehingga
dapat dimengerti mengenai pengaturan-pengaturan yang terdapat
8
didalamnya dan menjadi jalan keluar untuk menyelesaikan
masalah yang terkait dengan hal tersebut di atas.
D. Tinjauan (Review) Studi Terdahulu
Sebagai bahan pertimbangan dalam penelitian ini, penulis menyertakan
beberapa hasil penelitian terdahulu sebagai perbandingan tinjauan kajian materi
yang akan dibahas, sebagai berikut:
Skripsi yang disusun oleh Miftahul Jannah, tahun 2014, yang berjudul
“Sistem Tata Pemerintahan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Pasca
Undang-Undang No. 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta.” Skripsi tersebut menjelaskan hubungan pemerintah pusat
dan pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta setelah berlakunya
Undang-Undang No. 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Yogyakarta.
Perbedaan skripsi penulis dengan skripsi yang disusun oleh Mifathul Jannah
terdapat pada penelitiannya. Pada skripsi Miftahul Jannah meneliti tentang
hubungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah, sedangkan penulis meneliti
pengaturan mekanisme pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur dan hak
politik warga negara dalam pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur di
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Penelitian yang disusun oleh Fahmi Muhammad Ahmadi, tahun 2001,
yang berjudul “Status Tanah Di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta”.
Penelitian ini meneliti status tanah di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria.
9
Perbedaan penelitian yang disusun oleh Fahmi Muhammad Ahmadi dan skripsi
penulis terdapat hal yang diteliti. Fahmi Ahmadi Muhammad meneliti tentang
status tanah, sedangkan penulis meneliti pengaturan mekanisme pengisian
jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur dan hak politik warga negara dalam
pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur di Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta.
E. Metode Penelitian
Metode Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas:
1. Jenis dan Sifat Penelitian
Ditinjau dari sudut penelitian hukum terdapat dua jenis metode
penelitian, yaitu penelitian hukum normatif atau kepustakaan dan penelitian
hukum sosiologis atau empiris. Penelitian hukum normatif yang diteliti
hanya bahan pustaka atau data sekunder. Sedangkan pada penelitian hukum
sosiologis atau empiris yang diteliti adalah data sekunder, untuk kemudian
dilanjutkan dengan penelitian terhadap data primer di lapangan atau terhadap
masyarakat.8
Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode penelitian
hukum normatif yaitu suatu penelitian yang ditinjau melalui aspek hukum,
peraturan-peraturan yang kemudian dihubungkan dengan kenyataan atau
praktek yang terjadi di lapangan. Penulis juga mencari fakta-fakta yang
8 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Cet. 3, (Jakarta: Penerbit
Universitas Indonesia, 1942), h. 51.
10
akurat tentang peristiwa konkrit yang menjadi objek penelitian. Penelitian ini
dilakukan dan ditujukan pada peraturan-peraturan tertulis dan bahan-bahan
lain, serta menelaah peraturan perundang-undangan yang berhubungan
dengan penulisan skripsi ini.
Sedangkan, bila dilihat dari sifatnya adalah penelitian deskriptif.
Penelitian deskriptif adalah penelitian yang bertujuan menggambarkan
secara tepat sifat suatu individu, keadaan, gejala, atau kelompok tertentu,
atau untuk menentukan frekuensi suatu gejala,9 yang dalam hal ini yaitu
memberikan data mengenai pemerintahan Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta.
2. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode pengumpulan data
melalui studi dokumen atau kepustakaan (library research) yaitu dengan
melakukan penelitian terhadap berbagai sumber bacaan seperti buku-buku
yang berkaitan dengan hukum tata negara Indonesia, pemerintahan daerah,
otonomi daerah, keistimewaan daerah istimewa Yogyakarta, hak asasi
manusia, hak politik warga negara, ilmu perundang-undangan, dan
peraturan-peraturan mengenai pemerintahan Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta, pendapat sarjana, surat kabar, artikel, kamus, dan juga berita
dari internet.
9 Sri Mamuji, et.al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, (Jakarta: Badan
Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), h. 4.
11
3. Pendekatan Penelitian
Di dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan. Dengan
pendekatan tersebut, peneliti akan mendapatkan informasi dari beberapa
aspek mengenai isu yang sedang dicoba untuk dicari jawabannya.
Pendekatan-pendekatan yang digunakan di dalam penelitian hukum adalah
pendekatan undang-undang (statue approach), pendekatan kasus (case
approach), pendekatan historis (historical approach), pendekatan
komparatif (comparative approach), dan pendekatan konseptual (conceptual
approach).10
Pada penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan
perundang-undangan (statue approach), pendekatan kasus (case approach),
dan pendekatan historis (historical approach).
a. Pendekatan Perundang-Undangan (Statute Approach)
Pendekatan perundang-undangan disini yakni Undang-Undang
Dasar 1945, Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia, Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Undang-Undang
No.15 Tahun 2011 tentang Pemilihan Umum, Undang-Undang
No. 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta, Undang-Undang No.17 Tahun 2014
tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, Undang-Undang No. 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang No.
10
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2010), h. 93.
12
8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 1
Tahun 2015 tentang Penetapan Perppu No. 1 Tahun 2014 tentang
Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, dan Kovenan Hak
Asasi Manusia mengenai Hak Sipil dan Politik.
b. Pendekatan Kasus (Case Approach)
Pendekatan kasus disini yakni meneliti kasus yang terjadi di
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dalam hal mekanisme
pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur, dan hak politik
warga negara, juga melihat pendapat umum dari tokoh-tokoh di
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
c. Pendekatan Historis (Historical Approach)
Pendekatan historis ini dengan melihat kembali sejarah
keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
4. Data dan Sumber Penelitian
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer, data
sekunder, dan data tersier. Pada umumnya data primer mengandung data
aktual yang didapat dari penelitian lapangan dengan berkomunikasi dengan
anggota-anggota masyarakat dilokasi tempat penelitian dilakukan. Termasuk
di dalamnya yaitu buku-buku atau dokumentasi yang diperoleh peneliti di
13
lapangan serta peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan
kajian studi kasus.11
Data sekunder adalah data-data yang diperoleh peneliti dari penelitian
kepustakaan dan dokumentasi yang merupakan hasil penelitian dan
pengolahan orang lain, yang sudah tersedia dalam bentuk buku-buku atau
dokumentasi yang biasanya disediakan di perpustakaan atau milik pribadi
peneliti.12
Ciri-ciri umum dari data sekunder adalah:
a. Pada umumnya data sekunder dalam keadaan siap terbuat dan
dapat dipergunakan dengan segera.
b. Baik bentuk maupun isi data sekunder, telah dibentuk dan diisi
oleh peneliti-peneliti terdahulu, sehingga peneliti kemudian tidak
mempunyai pengawasan terhadap pengumpulan, pengolahan,
analisa, maupun konstruksi data.
c. Tidak terbatas oleh waktu maupun tempat.
Data sekunder antara lain mencakup dokumen resmi, buku-buku, hasil-
hasil penelitian yang berwujud laporan, buku harian, dan seterusnya.13
11
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Cet. 3, (Jakarta: Penerbit
Universitas Indonesia), 1942, h. 65.
12
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat, Cet. 3, (Jakarta: Rajawali Pers, 1990), h. 1.
13
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia,
2005), h. 12.
14
Data tersier yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan atas data primer dan sekunder, misalnya ensiklopedia, kamus,
website, atau sumber yang lain yang mencakup pada pokok permasalahan
materi.
5. Teknik Pengolahan Dan Analisis Data
Teknik pengolahan data dilakukan secara komprehensif tentang
kedudukan Sultan Hamengku Buwono dan Adipati Paku Alam sebagai
Gubernur dan Wakil Gubernur dikaitkan dengan pegaturan mekanisme
pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur, juga hak politik warga
negara di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang selanjutnya diteliti
dengan pendekatan yang digunakan. Teknik analisis data yang digunakan
dalam penulisan skripsi ini adalah teknik analisis data sinkronisasi hukum
dan kualitatif. Teknik sinkronisasi hukum adalah dengan menghubungan
secara horisontal antara undang-undang dengan undang-undang dan secara
vertikal antara Undang-Undang Dasar 1945 dengan undang-undang. Teknik
analisis kualitatif adalah bekerja dengan data, mengorganisasikan data,
memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintetiskannya,
mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang
dipelajari dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain.
Sehingga dapat ditarik kesimpulan untuk menjawab permasalahan yang ada.
15
6. Teknik Penulisan Skripsi
Dalam penyusunan skripsi ini penulis menggunakan teknik penulisan
sesuai dengan sistematika penulisan yang ada pada Buku Pedoman Penulisan
Skripsi, Fakultas Syari’ah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, tahun 2012.
F. Sistematika Penulisan
Skripsi ini disusun menjadi lima bab, masing-masing bab terdiri dari
beberapa sub bab, diawali dengan pendahuluan dan diakhiri dengan kesimpulan
serta saran-saran yang dianggap perlu. Adapun penyusunan skripsi ini adalah
sebagai berikut:
BAB I. Pendahuluan. Bab ini berisi mengenai latar belakang masalah yang akan
menjelaskan alasan pemilihan judul penulisan hukum. Bab ini juga memaparkan
pembatasan dan rumusan masalah yang akan diteliti, tujuan dan manfaat
penelitian, tinjauan (review) studi terdahulu, metode penelitian serta sistematika
penulisan.
BAB II. Status Budaya Dan Status Politik. Dalam bab ini akan diuraikan
mengenai gambaran secara lebih mendalam terhadap kajian teoritis yang akan
digunakan dalam menganalisa data pustaka yang diperoleh dari penelitian.
Dengan menjelaskan mengenai sejarah Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta, teori kekuasaan, sejarah Sultan Hamengku Buwono dan Paku Alam,
serta undang-undang terkait pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur.
16
BAB III. Tinjauan Umum Tentang Hak Politik Warga Negara. Dalam bab
ini akan diuraikan mengenai gambaran secara lebih mendalam terhadap kajian
teoritis yang akan digunakan dalam menganalisa data pustaka yang diperoleh
dari penelitian. Dengan menjelaskan undang-undang, dan teori-teori tentang hak
politik warga negara.
BAB IV. Ambivalensi Hukum Dalam Status Politik. Dalam bab ini berisi
pembahasan dan analisa data yang berusaha dikumpulkan untuk mengkaji secara
ilmiah terhadap data yang telah dikumpul selama penelitian dilakukan, di mana
pada bab ini ditelaah dan dianalisa mengenai pengaturan mekanisme pengisian
jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur dan hak politik warga negara dalam
pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur di Daerah Istimewa
Yogyakarta.
BAB V. Penutup. Dalam bab ini berisi mengenai kesimpulan yang dapat ditarik
yang mengacu pada hasil penelitian sesuai dengan perumusan masalah yang telah
ditetapkan dan saran-saran yang akan lahir setelah pelaksanaan penelitian dan
pengulasannya dalam skripsi.
17
BAB II
STATUS BUDAYA DAN STATUS POLITIK
A. Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
Ketika dwi-tunggal Sukarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan
Republik Indonesia, 17 Agustus 1945, status dan posisi Kesultanan Yogyakarta
adalah kerajaan merdeka. Kerajaan yang oleh kolonial Belanda diberi otoritas
penuh untuk mengurus wilayahnya sendiri. Ini berbeda dengan kerajaan lain di
Nusantara yang setelah ditaklukan Belanda langsung dihilangkan kewenangan
dan kedaulatannya. Merujuk ketentuan hukum internasional, Yogyakarta
sebenarnya memiliki hak untuk membentuk sebuah negara baru setelah tidak
adanya Belanda. Sukarno sebagai Presiden Indonesia saat itu mengerti sekali
situasi ini dan berpikir bahwa Yogyakarta bisa lepas dari kesatuan Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Melalui salah seorang anggota PPKI GBPH Purboyo diperoleh informasi
bahwa Sultan tetap setia kepada Republik Indonesia. Berdasarkan informasi
tersebut dua hari setelah proklamasi tepatnya pada tanggal 19 Agustus 1945,
Sukarno mengirimkan surat kepada Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku
Alam VIII yang isinya sebagai berikut:
“Kami, Presiden Republik Indonesia, menetapkan: Ingkeng Sinuwan
Kangjeng Sultan Hamengku Buwono, Senopati Ing Ngalongo,
Abdurrahman Sayidin Panatogomo, Kalifatullah Ingkang Kaping IX Ing
18
Ngayogyakarta Hadiningrat, pada kedudukannya, Dengan kepercayaan
bahwa Sri Paduka Kangjeng Sultan akan mencurahkan segala pikiran,
tenaga, jiwa, dan raga, untuk keselamatan Daerah Yogyakarta sebagai
bagian daripada Republik Indonesia.”
“Kami, Presiden Republik Indonesia, menetapkan: Kangjeng Gusti
Pangeran Adipati Ario Paku Alam VIII Ingkang Kapi VIII, pada
kedudukannya, Dengan kepercayaan bahwa Sri Paduka Kangjeng Gusti
akan mencurahkan segala pikiran, tenaga, jiwa, dan raga, untuk
keselamatan Daerah Yogyakarta sebagai bagian daripada Republik
Indonesia
Tetapi, surat yang kemudian dikenal sebagai Piagam Kedudukan ini ditahan
selama 18 hari, menunggu sikap Sultan dan Paku Alam, apakah akan bergabung
menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia atau membentuk
negara baru seperti yang dipikirkan oleh Sukarno.
Tanggal 5 September 1945, setelah mendengarkan pendapat Komite
Nasional Indonesia Daerah Yogyakarta (KNID) Sultan Hamengku Buwono IX
dan Paku Alam VIII (dengan isi yang sama, berbeda dalam hal subjek dan
kedudukan) mengeluarkan amanat yang menyatakan bergabung dengan Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Isi dari amanat tersebut adalah:
“Sri Paduka Ingkeng Sinuwun Kangdjeng Sultan Kami Hemengku
Buwono IX, Sultan Ngeri Ngajogjakarta Hadiningrat menjatakan: 1.
Bahwa Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat jang bersifat keradjaan adalah
daerah istimewa dari Negara Republik Indonesia, 2. Bahwa kami sebagai
Kepala Daerah memegang segala kekuasaan dalam Negeri Ngajogjakarta
Hadiningrat, dan oleh karena itu berhubung dengan keadaan pada dewasa
ini segala urusan pemerintahan dalam Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat
mulai saat ini berada di tangan Kami dan kekuasaan-kekuasaan lainnja
Kami Pegang Seluruhnja, 3. Bahwa perhubungan antara Negeri
Ngajogjakarta Hadiningrat dengan Pemerintah Pusat Negara Republik
Indonesia, bersifat langsung dan Kami bertanggung djawab atas Negeri
Kami langsung kepada Presiden Republik Indonesia. Kami
19
memerintahkan supaja segenap penduduk dalam Negeri Ngajogjakarta
Hadiningrat mengindahkan Amanat Kami ini.”1
Sukarno setuju dengan amanat tersebut, dan kemudian pada tanggal 6
September 1945 oleh Menteri Negara Sartono dan A.A Maramis piagam
kedudukan tersebut di atas disampaikan, dan inilah awal mula pengakuan
keistimewaan Yogyakarta sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik
Indonesia.2 Sebagai pijakan hukum yang lebih kuat, Pemerintah tertanggal 4
Maret 1950, mengeluarkan Undang-Undang No. 3 Tahun 1950 tentang
Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta, yang kemudian mengalami dua kali
perubahan, yakni dengan Undang-Undang No. 19 Tahun 1950 dan Undang-
Undang No. 9 Tahun 1955.
Fakta sejarah ini membuktikan bahwa keistimewaan Yogyakarta,
pertama, bukan hadiah dari negara Indonesia. Kedua, sebagaimana istilah yang
digunakan pihak Keraton Yogyakarta selama ini, keistimewaan adalah ijab kabul
antara para penguasa Yogyakarta dengan para pendiri Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Berdasarkan ijab kabul ini pula kedudukan gubernur dan wakil
gubernur otomatis melekat pada Sultan dan Paku Alam yang bertakhta.3
1 Aloysius Soni BL de Rosari, Sebuah Ijab Kabul “Monarki Yogya” Inkonstitusional?,
Cet. 1, (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2011), h. 62-66.
2 Atmakusumah, Tahta Untuk Rakyat, (Jakarta: Gramedia, 1982), h. 64-65.
3 Aloysius Soni BL de Rosari, Sebuah Ijab Kabul “Monarki Yogya” Inkonstitusional?,
Cet. 1, (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2011), h. 66.
20
Dalam perjalanannya, perumusan regulasi mengenai keistimewaan
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta semakin mendesak dengan pertimbangan-
pertimbangan sebagai berikut:
1. Pengisian jabatan gubernur dan wakil gubernur yang masih melahirkan
kontroversi karena tidak memiliki kejelasan aturan, sehingga
membutuhkan instrumen hukum baru yang jelas;
2. Pengaturan mengenai substansi keistimewaan masih belum dirumuskan
secara jelas, karena di Undang-Undang Pembentukan Daerah Istimewa
Yogyakarta lebih pada label dibandingkan substansi;
3. Perkembangan politik Indonesia pada aras-aras nasional menunjukan
masih tersendat-sendatnya proses reformasi.4
Dengan alasan itu kemudian terdapat usaha-usaha untuk membuat draf
RUU terkait keistimewaan Yogyakarta. Pertama berasal dari DPRD Daerah
Istimewa Yogyakarta yang mencoba menampung aspirasi rakyatnya, kemudian
draf dari tim yang dipimpin Almarhum Afan Gaffar, draf dari Keluarga Alumni
Universitas Gadjah Mada (Kagama), dan terakhir draf tim Jurusan Ilmu
Pemerintahan Fisipol Universitas Gadjah Mada yang dipimpin oleh Cornelis
Lay.
4 Naskah Akademik dan Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta,
Monograph on Politics And Government Vol. 2, (Yogyakarta: Jurusan Ilmu Pemerintahan
Universitas Gadjah Mada dan Program S2 Politik Lokal dan Otonomi Daerah, 2008), h. 8.
21
Draf tim Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisipol Universitas Gadjah Mada
yang dipimpin oleh Cornelis Lay kemudian diajukan ke DPR tahun 2003. Setelah
melalui proses panjang dengan menuai pro-kontra dan perdebatan publik salah
satunya mengenai tata cara pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur dari
berbagai pihak termasuk dari Presiden Indonesia saat itu Susilo Bambang
Yudhoyono yang menyatakan bahwa RUUK Daerah Istimewa Yogyakarta yang
diajukan tidak sesuai dengan nilai demokrasi dan arus reformasi karena masih
berdasarkan monarki absolut, akhirnya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012
Tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (UUK DIY) disahkan oleh
DPR dalam sidang paripurna yang diselenggarakan pada hari Kamis, 30 Agustus
2012. Berbeda dengan peraturan-peraturan sebelumnya, undang-undang yang
terdiri dari atas 16 bab dan 51 pasal ini mengatur keistimewaan Daerah Istimewa
Yogyakarta secara menyeluruh.
B. Teori Kekuasaan
Pada beberapa konsep politik, salah satu konsep yang banyak dibahas dan
dipermasalahkan adalah konsep kekuasaan. Karena politik dianggap identik
dengan kekuasaan. Hal tersebut tidak mengherankan oleh karena Machiavelli,
seorang pemikir filsafat politik dari Florence, Italia, pernah mengatakan bahwa,
“politik adalah sejumlah sarana yang dibutuhkan untuk mendapat kekuasaan,
mempertahankan kekuasaan, dan memanfaatkan kekuasaan untuk mencapai
kegunaan yang maksimal.” Bahkan kekuasaan dipandang sebagai gejala yang
22
selalu terdapat (serba hadir) dalam proses politik.5 Telah muncul begitu banyak
definisi lain sehingga beberapa ahli, seperti W. Connoly dan S. Lukes
menganggap kekuasaan sebagai suatu konsep yang dipertentangkan (a contested
concept)6 yang artinya merupakan hal yang tidak dapat dicapai suatu konsensus.
Perumusan yang umumnya dikenal ialah bahwa kekuasaan adalah kemampuan
seorang pelaku untuk memengaruhi perilaku seorang lain, sehingga perilakunya
menjadi sesuai dengan keinginan dari pelaku yang mempunyai kekuasaan.
Kebanyakan sarjana berpangkal tolak dari perumusan sosiolog Max
Weber yang mengatakan bahwa kekuasaan adalah kemampuan untuk, dalam
suatu hubungan sosial, melaksanakan kemauan sendiri sekalipun mengalami
perlawanan, dan apa pun dasar kemampuan ini. Sarjana lain yang memiliki
pemikiran sama dengan Max Weber yakni Harold D. Laswell dan Abraham
Kaplan mendefinisikan kekuasaan adalah suatu hubungan di mana seseorang atau
sekelompok orang dapat menentukan tindakan seseorang atau kelompok lain ke
arah tujuan dari pihak pertama.7 Definisi serupa dirumuskan oleh seorang ahli
kontemporer Barbara Goodwin bahwa kekuasaan adalah kemampuan untuk
mengakibatkan seseorang bertindak dengan cara yang oleh bersangkutan tidak
akan dipilih, seandainya tidak dilibatkan. Dengan kata lain memaksa seseorang
5 Leo Agustino, Perihal Ilmu Politik, Cet. 1, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007), h. 70-71.
6 Norman Barry, An Introduction to Modern Theory, Ed. 4, (London: Macmillan Press,
2000), h. 84.
7 Harold D. Laswell, Abraham Kaplan, Power and Society, (New Heaven: Yale
University Press, 1950), h. 74.
23
untuk melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kehendaknya.8 Menurut
Robert M. Mac Iver kekuasaan adalah kemampuan untuk mengendalikan
kelakuan orang lain, baik secara langsung dengan jalan memberikan perintah,
maupun secara tidak langsung dengan jalan mempergunakan segala alat dan cara
yang ada.9
Dengan adanya beberapa penjelasan di atas, maka dikemukakan bahwa
setiap hubungan kekuasaan harus memenuhi dua persyaratan, yakni: pertama,
tindakan itu dilaksanakan baik oleh yang memengaruhi atau dipengaruhi, kedua,
terdapat kontak atau komunikasi antara keduanya baik langsung maupun tidak
langsung.
Terdapat beberapa konsep yang berkaitan erat dengan kekuasaan (power)
yaitu wewenang (authority) dan legitimasi (legitimacy atau keabsahan). Seperti
dengan konsep kekuasaan, di sini pun bermacam-macam perumusan ditemukan.
Perumusan yang mungkin paling mengenai sasaran adalah definisi yang
dikemukakan oleh Robert Bierstedt yang mengatakan bahwa wewenang
(authority) adalah institutionalized power (kekuasaan yang dilembagakan).10
Hal
yang sama dikatakan oleh Harold D. Laswell dan Abraham Kaplan bahwa
8 Barbara Goodwin, Using Political Ideas, Ed. 4, (England: Barbara Goodwin, 2003),
h. 307.
9 Robert M. Mac Iver, The Web Goverment, (New York: The Mac Millan Company,
1947), h. 87.
10
Robert Bierstedt, An Analysis of Social Power, (New York: Amerikan Sociological
Review, 1950), h. 732.
24
wewenang (authority) adalah kekuasaan formal. Dianggap bahwa yang
mempunyai wewenang (authority) berhak untuk mengeluarkan perintah dan
membuat peraturan-peraturan serta berhak untuk mengharapkan kepatuhan
terhadap peraturan-peraturannya.
Dalam rangka pembahasan mengenai wewenang perlu disebut
pembagiannya menurut Max Weber dalam tiga wewenang, yaitu tradisional,
kharismatik, dan rasional-legal. Wewenang tradisional berdasarkan kepercayaan
di antara anggota masyarakat bahwa tradisi lama serta kedudukan kekuasaan
yang dilandasi oleh tradisi itu adalah wajar dan patut dihormati. Wewenang
kharismatik berdasarkan kepercayaan anggota masyarakat pada kesaktian dan
kekuatan mistik atau religius seorang pemimpin. Wewenang rasional-legal
berdasarkan kepercayaan pada tatanan hukum rasional yang melandasi
kedudukan seorang pemimpin.11
Selain itu menurut Charles Andrain terdapat lima sumber kewenangan
untuk memerintah, yakni : a. Hak memerintah berasal dari sumber-sumber
primordial atau tradisi. Artinya kepercayaan yang telah berakar dipelihara secara
terus menerus dalam masyarakat. Orang yang berkuasa menunjukan sumber
kewenangannya memerintah sebagai tradisi karena dia keturunan dari pemimpin
terdahulu; b. Hak memerintah berasal dari sumber yang dianggap suci
11
S.N Eisenstadt, Max Weber on Charisma and Institution Building, (Chicago:
University Chicago Press, 1968), h. 46.
25
(pewahyuan). Atas dasar perwahyuan inilah seseorang atau kelompok penguasa
memerintah, dan hak memerintah yang dimilikinya dianggap bersifat sakral dan
pantas untuk diikuti; c. Hak memerintah berasal dari sumber-sumber pribadi atau
berasal dari kualitas pribadi, baik penampilannya yang agung dan pribadinya
yang popular maupun karena memiliki kharisma; d. Hak memerintah berasal dari
sumber-sumber instrumental seperti keahlian dan kekayaan. Keahlian yang
dimaksud terletak pada keahlian dalam ilmu pegetahuan dan teknologi; e. Hak
memerintah masyarakat berasal dari sumber-sumber legal atau peraturan
perundang-undangan yang mengatur prosedur-prosedur dan syarat-syarat
menjadi pemimpin pemerintahan. Undang-Undang Dasar 1945 misalnya tidak
hanya mengatur tugas dan kewenangan Presiden dan Wakil Presiden, tetapi juga
mengatur prosedur dan syarat-syarat menjadi Presiden dan Wakil Presiden.
Kelima sumber kewenangan tersebut di atas (sumber primordial, sumber
yang dianggap suci, sumber pribadi, sumber instrumental, dan sumber legal
formal) dapat dikategorikan ke dalam dua tipe kewenangan utama, yaitu
kewenangan yang bersifat prosedural dan kewenangan yang bersifat substansial.
Kewenangan yang bersifat prosedural adalah hak memerintah berdasarkan
sumber-sumber legal atau peraturan perundang-undangan yang bersifat tertulis
maupun tidak tertulis. Sedangkan kewenangan yang bersifat substansial adalah
hak memerintah berdasarkan pada faktor-faktor yang melekat pada diri
pemimpin, seperti tradisi, sakral, kualitas pribadi, dan sumber instrumental.
Semakin kompleks struktur masyarakat suatu negara maka tipe kewenangan yang
26
digunakan cenderung bersifat prosedural. Sebaliknya, di masyarakat yang
strukturnya masih sederhana cenderung menggunakan tipe kewenangan
substansial karena kehidupan lebih banyak berdasarkan pada tradisi, kepercayaan
kepada kekuatan supranatural, dan kesetiaan pada tokoh pemimpin.12
Selanjutnya konsep legitimasi (legitimacy atau keabsahan) yang terutama
penting dalam suatu sistem politik. Keabsahan adalah keyakinan anggota-
anggota masyarakat bahwa wewenang yang ada pada seseorang, kelompok
adalah wajar dan patut dihormati. Kewajaran ini berdasarkan persepsi bahwa
pelaksanaan wewenang itu sesuai dengan asas-asas dan prosedur yang sudah
diterima secara luas dalam masyarakat dan sesuai dengan ketentuan-ketentuan
dan prosedur yang sah. Sehingga, mereka yang diperintah menganggap bahwa
sudah wajar peraturan-peraturan dan keputusan-keputusan yang dikeluarkan oleh
penguasa dipatuhi. Dalam hubungan ini dikatakan oleh David Easton bahwa
keabsahan adalah: “Keyakinan dari pihak anggota (masyarakat) bahwa sudah
wajarnya untuk menerima baik dan menaati penguasa dan memenuhi tuntutan-
tuntutan dari rezim itu.”13
Secara sederhana ada tiga azas legitimasi yang diterima masyarakat
secara luas (legitimasi subyek kekuasaan menurut istilah dari Franz Magnis
12
Charles Andrain, Kehidupan Politik dan Perubahan Sosial, (Yogyakarta: Tiara
Wacana, 1992), h. 194-197.
13
David Easton, A System Analysis of Political Life, (New York: John Willey and Sons,
1965), h. 273.
27
Suseno). Pertama, legitimasi religios, yang mendasarkan bahwa hak untuk
memerintah dilandasi pada faktor-faktor yang adi-kodrati. Dalam paham ini
penguasa dipandang sebagai manusia yang memiliki kekuatan adikodrati (ilahi,
ghaib, supranatural) sehingga ia mendapat hak ketuhanan (the devine right) untuk
menjadi pemimpin.
Kedua, legitimasi elite, legitimasi ini mendasarkan kekuasaan penguasa
pada kemampuan khusus yang dimiliki oleh aktor (individu ataupun kelompok)
untuk memerintah. Dalam konteks ini dipahami bahwa penguasa haruslah aktor-
aktor yang memiliki kualifikasi khusus atau kualifikasi yang melebihi
kualifikasi-kualifikasi aktor lainnya. Terdapat empat macam legitimasi elite yang
berkembang: a. Legitimasi aristokratis, legitimasi relatif nihil pada abad modern
sekarang. Namun secara sederhana legitimasi aristrokasi hendak mengatakan
bahwa satu golongan dalam masyarakat dianggap memiliki hak untuk berkuasa
dibandingkan dengan golongan lain karena mereka dianggap lebih unggul
daripada yang lainnya; b. Legitimasi teknoratis, kekuasaan penguasa terbangun
oleh karena terbentuknya argumen yang menyatakan bahwa dalam dunia yang
serba modern serta kompleks seperti saat ini dibutuhkan penguasa-penguasa atau
pemimpin-pemimpin yang betul-betul ahli, sehingga mampu beradaptasi dengan
perubahan yang sangat cepat. Pemimpin-pemimpin atau penguasa-penguasa yang
sangat ahli dan mampu menerima tanggungjawab tersebut termanifestasi dalam
diri para kaum teknokrat; c. Legitimasi ideologis, legitimasi ini mendasarkan
kepemilikan kekuasaan pada suatu ideologi negara yang mengikat setiap warga
28
negaranya. Maksudnya, setiap warga negara harus mengakui hak istimewa yang
dimiliki oleh aktor-aktor yang mengembangkan ideologi negara untuk menjadi
penguasa, oleh karena merekalah yang mengerti betul bagaimana strategi, atau
harus dibawa ke mana negara ini mengikuti ideologi yang mereka kembangkan;
d. legitimasi pragmatis, adalah bentuk legitimasi yang menempatkan aktor-aktor
tertentu yang menganggap dirinya cocok untuk memegang kekuasaan negara dan
sanggup mengelola kekuasaan tersebut.14
Namun kekuasaan berdasarkan legitimasi-legitimasi tersebut dengan
sendirinya mengingkari kesamaan dan kesederajatan manusia, karena kedudukan
lebih tinggi sekelompok manusia dari manusia lainnya. Selain itu, kekuasaan
yang berdasarkan legitimasi-legitimasi di atas akan menjadi kekuasaan yang
absolut, karena asumsi dasarnya menempatkan kelompok yang memerintah
sebagai pihak yang berwenang secara istimewa dan lebih tahu dalam
menjalankan urusan kekuasaan negara. Kekuasaan yang didirikan berdasarkan
ketiga legitimasi tersebut bisa dipastikan akan menjadi kekuasaan yang otoriter.
Maka dari itulah adanya konsepsi demokrasi memberikan landasan dan
mekanisme kekuasaan berdasarkan prinsip persamaan dan kesederajatan
manusia.15
14
S.N Eisenstadt, Max Weber on Charisma and Institution Building, (Chicago:
University Chicago Press, 1968), h. 46.
15
Jimly Ashiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, Ed. 2, Cet. 1
(Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h. 198-199.
29
C. Sultan Hamengku Buwono
Sebelum Indonesia merdeka, Yogyakarta sudah mempunyai tradisi
pemerintahan yakni kesultanan termasuk di dalamnya Kadipaten Pakualaman.
Daerah yang mempunyai asal usul dengan pemerintahannya sendiri, di zaman
penjajahan Hindia Belanda disebut Zelffbestrurende Landschappen. Di zaman
kemerdekaan disebut dengan nama Swapraja.16
Sudah menjadi pengetahuan
umum bahwa pendiri Kesultanan Yogyakarta adalah Pangeran Mangkubumi,
terlahir sebagai Raden Mas Sujono. Dari sejarah dapat kita membuktikan bahwa
berdirinya Kesultanan Yogyakarta melewati perjuangan yang ulet dan
memerlukan waktu sekitar 9 tahun. Perjuangan ini diawali dari protes
Mangkubumi, baik kepada kakaknya sendiri, Paku Buwono II, maupun kepada
VOC. Protes ini dilatar belakangi dari sesudah Gegeran Pacina (1740-1743)
dapat diselesaikan, masih ada beberapa pemberontak yang meneruskan
perjuangan. Diantaranya adalah Raden Mas Said yang masih menguasai daerah
Sukawati (sekarang Sragen). Said terkenal sakti, karena itu tidak ada satria
Mataram yang berani menghadapinya. Kemudian Susuhunan Paku Buwono II
kemudian mengeluarkan maklumat, barang siapa yang dapat mengalahkan Said
akan diberikan tanah Sukawati.17
16
Sujanto, Daerah Istimewa Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, (Jakarta:
Bina Aksara, 1998), h. 162.
17
G. Moedjanto, Kasultanan Yogyakarta Dan Kadipaten Pakualaman, (Yogyakarta:
Kanisius, 1994), h. 11-12.
30
Satu-satunya bangsawan yang memberanikan diri untuk mengahadapi
Said adalah Mangkubumi. Setelah mendapat persetujuan raja dengan
memperoleh pusaka Kyai Plered, Mangkubumi bergerak dengan pasukannya
untuk menghadapi Said, namun pemberontak ini berhasil meloloskan diri.
Dengan demikian Mangkubumi berhak menerima hadiah tanah Sukawati yang
dijanjikan oleh raja. Bersama dengan itu datanglah ke Surakarta Gubernur
Jenderal VOC, Van Imhoff yang terkenal licik. Sama halnya dengan Pepatih
Dalem Surakarta, Pringgoloyo, ipar Susuhunan dan Mangkubumi. Pringgoloyo
digambarkan sebagai patih yang licik, selain juga pengecut (ia meninggal dengan
bunuh diri). Pringgoloyo pernah menghasut Susuhunan agar tidak menyerahkan
tanah Sukawati kepada Mangkubumi karena akan membuat iri para bangsawan
lain, juga dapat membahayakan kedudukan Susuhunan sendiri. Namun
Susuhunan tidak mengikuti nasihat patihnya, dan tetap berpegang pada prinsip
sabda pandhita ratu tan kena wola-wali (raja dan pendeta tidak boleh ingkar
janji).18
Van Imhoff yang terkena bujukan Pringgoloyo mengecam Mangkubumi
di Paseban. Van Imhoff yang memiliki kesempatan berpidato mengkritik
Mangkubumi sebagai bangsawan yang tidak tahu berterima kasih kepada
Susuhunan, karena telah menuntut hadiah. Kecaman di muka umum oleh Van
Imhoff sangat menyinggung kehormatan Mangkubumi. Oleh karena itu, pada
18
G. Moedjanto, Kasultanan Yogyakarta Dan Kadipaten Pakualaman, (Yogyakarta:
Kanisius, 1994), h. 12.
31
malam harinya Mangkubumi beserta para pengikutnya meninggalkan Surakarta
menuju Sukawati untuk memulai perlawanan. Sasaran Mangkubumi adalah
Susuhunan yang ingkar janji dan Belanda yang dianggap Murang Tata (kurang
ajar).19
Dengan perjuangan selama 9 tahun, baik Susuhunan Paku Buwono III
maupun VOC dipaksa untuk memberikan separuh Mataram kepada
Mangkubumi, lewat perjanjian Gianti pada tahun 1755. Dalam perjanjian itu
Mangkubumi diakui menjadi Sultan Hamengku Buwono I dengan keratonnya di
Yogyakarta. Gelarnya Senopati Ing Ngalogo Sayidin Panatogomo Khalifatullah
memang masih berarti raja besar, namun dalam kenyataanya ia terikat oleh
kontrak politik antara lain mengakui kalau Kesultanan Yogyakarta adalah
kerajaan bawahan dari kerajaan Netherland, sebagai pemegang kedaulatan.
Meskipun demikian terhadap rakyat di wilayah Kesultanan, raja tetap diakui
sebagai raja Gung Binathara (raja besar).20
Adapun pembagian wilayah kerajaan tersebut menurut perjanjian Gianti
adalah, untuk wilayah negara agung, yang masing-masing di sekitar Keraton
Surakarta dan Yogyakarta. Susuhunan menerima 53.100 karya bahu atau cacah,
sedangkan Sultan menerima luas yang sama. Untuk daerah–daerah yang disebut
19
G. Moedjanto, Kasultanan Yogyakarta Dan Kadipaten Pakualaman, (Yogyakarta:
Kanisius, 1994), h. 12.
20
G. Moedjanto, Kasultanan Yogyakarta Dan Kadipaten Pakualaman, (Yogyakarta:
Kanisius, 1994), h. 13.
32
mancanegara (daerah kekuasaan di luar negara agung), Sultan menerima daerah
yang sedikit lebih luas dibandingkan dengan Susuhunan karena daerah yang
diterima Sultan kurang subur. Menurut Prof Sukanto, dalam bukunya
Perdjanjian Gianti, daerah-daerah mancanegara yang masuk ke Kesunanan
Surakarta adalah : Jagaraga, Panaraga, separuh Pacitan, Kediri, Blitar, Ladaya,
Srengat, Pace (Nganjuk-Berbek), Wirasaba (Majaagung) Blora, Banyumas, dan
Kaduwang. Sedangkan daerah Sultan adalah : Madiun, Magetan, Caruban,
separuh Pacitan, Kertasana, Kalangbret, Ngrawa (Tulungagung), Japan
(Mojokerto), Jipang (Bojonegoro), Teras Karas (Ngawen), Kedu, Sela, dan
Warung (Kuwu Wirasari), dan Grobogan.21
Pembagian daerah tersebut tidak
menguntungkan Kesunanan maupun Kesultanan, melainkan lebih
menguntungkan VOC. Dengan pembagian daerah yang terpencar, komunikasi
yang menjamin kesatuan tidak mungkin dibangun, sebaliknya perselisihan antara
Kesunanan dan Kesultanan mudah sekali ditimbulkan, seperti yang terjadi antara
daerah Panaraga (Kesunanan) dan Madiun (Kesultanan).
Kesultanan ini berturut-turut mengalami pergantian dalam perjalanannya.
Sultan Hamengku Buwono I digantikan oleh putranya Hamengku Buwono II
pada tahun 1792. Hamengku Buwono II digantikan oleh putra mahkota kedua
yang kemudian diberi gelar Hamengku Buwono III pada tahun 1812, Hamengku
Buwono III digantikan oleh putra mahkota ketiga yang kemudian diberi gelar
21
G. Moedjanto, Kasultanan Yogyakarta Dan Kadipaten Pakualaman, (Yogyakarta:
Kanisius, 1994), h. 13.
33
Hamengku Buwono IV pada tahun 1814 yang dalam pemerintahannya dibantu
wali Paku Alam I. Hamengku Buwono IV digantikan oleh putra mahkota
keempat yang kemudian diberi gelar Hamengku Buwono V pada tahun 1822
yang dalam pemerintahannya dibantu Dewan Perwalian salah satunya Pangeran
Diponegoro, Hamengku Buwono V karena tidak memiliki putra digantikan oleh
adiknya Pangeran Adipati Mangkubumi yang kemudian diberi gelar Hamengku
Buwono VI pada tahun 1855. Hamengku Buwono VI digantikan oleh putra
mahkota kelima yakni Gusti Pangeran Hangabehi yang merupakan putra tertua
dari selir yang diangkat menjadi parameswari yang kemudian diberi gelar
Hamengku Buwono VII pada tahun 1877, Hamengku Buwono VII digantikan
oleh putra mahkota keenam yang saat itu sedang studi di Belanda yang kemudian
diberi gelar Hamengku Buwono VIII pada tahun 1921. Hamengku Buwono VIII
digantikan oleh putra mahkota ketujuh yakni Dorojatun yang kemudian diberi
gelar Hamengku Buwono IX pada tahun 193922
dengan sejarah panjangnya
melakukan usaha-usaha mengubah birokrasi pemerintahan untuk melepaskan diri
dari kontrol penjajah dimulai pada waktu dinobatkan sebagai sultan,23
Hamengku
22
G. Moedjanto, Kasultanan Yogyakarta Dan Kadipaten Pakualaman, (Yogyakarta:
Kanisius, 1994), h. 14-22.
23
P. J. Suwarno, Hemangku Buwono IX Dan Sistem Birokrasi Pemerintahan
Yogyakarta, (Yogyakarta: Kanisius, 1994), h. 22.
34
Buwono IX digantikan oleh putra mahkota kedelapan yang kemudian diberi gelar
Hamengku Buwono X pada tahun 1988.24
Selanjutnya syarat menjadi pengganti raja harus seorang putra mahkota,
yang dalam bahasa Jawa dikenal sebagai Pangeran Adipati Anom. Menurut
pranata praja kejawen (peraturan dalam kerajaan Jawa) yang berhak menjadi
Pangeran Adipati Anom adalah putra tertua parameswari, yang dalam bahasa
Jawa disebut garwa padmi. Namun apabila garwa padmi hanya mempunyai putri
saja, kemungkinan pertama, yang diangkat menjadi Pangeran Adipati Anom
adalah adik laki-laki Sultan yang memerintah yang dilahirkan oleh parameswari
(seibu dengan sultan). Kemungkinan kedua, mengangkat seorang selir menjadi
parameswari, sehingga putra tertuanya diangkat menjadi Pengeran Adipati
Anom. Menurut pertimbangan kelayakan berdasar pranatan, yang harus diangkat
bukan putra parameswari yang tertua, melainkan putra yang lain yang diangkat.
Contohnya adalah Sultan hamengku Buwono VII yang merupakan putra keempat
Sultan Hamengku Buwono VII yang dilahirkan oleh parameswari.25
D. Adipati Paku Alam
Kadipaten Pakualaman merupakan hadiah pemerintah Inggris pimpinan
Letnan Gubernur Raffles (1811-1815) kepada Pangeran Notokusumo, putra
24
G. Moedjanto, Kasultanan Yogyakarta Dan Kadipaten Pakualaman, (Yogyakarta:
Kanisius, 1994), h. 23-25.
25
G. Moedjanto, Kasultanan Yogyakarta Dan Kadipaten Pakualaman, (Yogyakarta:
Kanisius, 1994), h. 99-100.
35
Hamengku Buwono I, yang kemudian bergelar Paku Alam I. Pangeran
Notokusumo berjasa kepada Inggris karena ia berusaha melunakan hati
Hamengku Buwono II, yang sebenarnya saudara se-ayah. Pendirian Pakualaman
sebenarnya merupakan situasi disintegrasi lebih lanjut bagi kerajaan Mataram.
Pada tahun 1755 lewat perjanjian Gianti yang ditanda tangani oleh Pangeran
Mangkubumi atau Sultan Hamengku Buwono I, Mataram telah terbagi dua, yaitu
Kesunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta,26
disintegratif ini merupakan
hal yang dikehendaki oleh VOC pada saat itu, dengan tujuan agar VOC menjadi
yang terkuat. Kadipaten Pakualaman merupakan proses intergrasi dari wilayah
Kesultanan Yogyakarta yang berwilayah satu kecamatan di dalam kota
Yogyakarta dan empat kecamatan di wilayah Kulon Progo, yaitu daerah yang
bernama Kabupaten Adikarto.27
Pada abad ke-19 berbagai kerajaan yang pada hakikatnya merupakan
kesatuan politik (pusat kekuasaan) di berbagai daerah mengalami integrasi,28
dan
dilanjutkan pada abad ke-20 dengan semakin kuatnya koloni Nederlansch Indie
atau India-Belanda. Sehingga pada tahun 1813 kesultanan Yogyakarta tidak
kuasa menolak kehadiran Kadipaten Pakualaman. Lahirnya Kadipaten
Pakualaman dengan status penguasanya sebagai Pangeran Merdiko ditentukan
26
M.C Riklefs, Yogyakarta Under Sultan Mangkubumi 1749-1792, (New York-Toronto-
Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1974), h. 42.
27
Soedarisman Poerwokoesoemo, Kadipaten Pakualaman, (Yogyakarta: Gajah Mada
University Press, 1985), h. 223.
28
Sartono Kartodirjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru 1500-1900, (Jakarta:
Gramedia, 1987), h. 9.
36
oleh pihak penjajah, semula Inggris dan kemudian Belanda. Dipandang dari
konsep kekuasaan Jawa, terpecahnya Mataram menjadi Kesunanan Surakarta dan
Kesultanan Yogyakarta, serta Kesultanan Yogyakarta menjadi Kesultanan
Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman, merupakan perkembangan atau situasi
yang tidak berkesesuaian.
Anggapan umum tentang berdirinya Kadipaten Pakualaman adalah bahwa
Kadipaten Pakualaman itu proyek penjajahan, yang ada kaitannya dengan prinsip
pecah belah dan kuasai. Akan tetapi menurut sumber Jawa, berdirinya Kadipaten
Pakualaman adalah kehendak Hamengku Buwono III, yang diindikasi merupakan
bentuk dukungan Notokusumo terhadap Hemengku Buwono III dalam
menjatuhkan Hamengku Buwono II.
Sebagai suatu kadipaten, suatu kerajaan yang kecil, Pakualaman tidak
dapat berbuat banyak untuk mengubah dirinya menjadi kerajaan yang besar.
Peluang untuk itu tidak ada, suatu hal yang sangat berbeda dengan moyangnya
dulu, Panembahan Senapati yang dapat mengubah statusnya dari kadipaten
bawahan Pajang menjadi kerajaan yang membawahkan Pajang dan banyak
daerah lain. Pemerintah Belanda tentu tidak akan membiarkan peluang itu
muncul dan dimanfaatkan oleh Pakualaman.29
Akan tetapi justru karena
29
G. Moedjanto, Kasultanan Yogyakarta Dan Kadipaten Pakualaman, (Yogyakarta:
Kanisius, 1994), h. 30.
37
kekecilannya, dari kalangan pura Pakualaman muncul banyak kaum terpelajar,
yang meminjam istilah Van Niel, disebut elite modern Indonesia.30
Karena mereka berasal dari keluarga raja kecil, maka dari kalangan
mereka kemudian muncul kesadaran akan perlunya pembaharuan di kalangan
masyarakat Jawa. Mereka benar-benar sadar, bahwa suasana Jawa sudah
berubah. Dengan kekecilannya, bahkan mungkin sekali para bangsawan
Pakualaman tidak akan dapat mempertahankan statusnya sebagai kaum elite.
Mereka hanya akan dapat menjalankan peranannya dalam masyarakat Jawa yang
berubah kalau mereka mengikuti perubahan zaman. Bagi mereka mengikuti
perkembangan modern adalah suatu hal yang mutlak. Intelektualisasi keluarga
Pakualaman dimulai pada masa Sri Paku Alam V (1878-1900).31
Oleh karena itu
tidak mustahil kalau dari kalangan putra atau keluarga Pakualaman muncul
tokoh-tokoh awal pergerakan kebangsaan seperti Kusumoyudo, Notosuroto,
Notodiningrat (Wreksodiningrat), Suryapranata, dan yang paling terkenal,
Suwardi Suryaningrat atau Ki Hajar Dewantara. Kedua tokoh terakhir sanggup
menggocangkan pemerintah kolonial; Suryapranata lewat SI dan Sarekat Buruh
yang dipimpinnya, sedangkan Suwardi Suryaningrat lewat Indische Partij,
Komite Bumi Putera dan Tamansiswa yang digerakannya. Dari keterangan di
atas nyatalah bahwa nasionalisme adalah paham yang telah “menjangkiti”
30
R Van Niel, Munculnya Elit Modern Indonesia, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1984), h. 30.
31
Soedarisman Poerwokoesoemo, Kadipaten Pakualaman, (Yogyakarta: Gajah Mada
University Press, 1985), h. 245.
38
keluarga Pakualaman. Modernisasi yang diselenggarakan atau diikuti oleh
Kadipaten Pakualaman dan Keluarga Pakualaman, serta partisipasi bangsawan
Pakualaman merupakan sumbangan bagi proses integrasi bangsa.
Di Kadipaten Pakualaman kepala kadipaten disebut sebagai Paku Alam.
Pemakaian nama Paku Alam dapat dipandang sebagai salah satu wujud dari
harapan untuk melepaskan diri dari ikatan penjajah. Pemberian nama Paku Alam
untuk kepala Kadipaten Pakualaman haruslah seizin atau dengan keputusan dari
Gubernur Jendral.32
Gelar itu diberikan kepada kepala Kadipaten Pakualaman
jika sudah berumur 40 tahun. Sebelum berusia 40 tahun mereka bergelar Suryo
Sasraningrat, atau sejak Paku Alam V, Suryodilogo. Akan tetapi kepala
Kadipaten Pakualaman yang sekarang menggunakan nama Paku Alam VIII pada
usia 32 tahun (4 windu), pada saat Belanda sudah dikalahkan dan Indonesia
diduduki oleh Jepang.
Pada zaman Jepang nasionalisme Indonesia memasuki fase pematangan.
Masa penindasan dan pemerasan pada zaman Jepang begitu mencekam, sehingga
rasa senasib dan sepenangguhan di kalangan rakyat Indonesia begitu kuat
mendorong lajunya proses penyatuan bangsa (nation building). Wawasan
kedaerahan sudah begitu jauh tersingkir, dibarengi dengan merasuknya semangat
kebangsaan di seluruh lapisan masyarakat, tidak terkecuali Sri Paduka Alam VIII
dan Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Baik Sri Paku Alam VIII maupun Sri
32
Soedarisman Poerwokoesoemo, Kadipaten Pakualaman, (Yogyakarta: Gajah Mada
University Press, 1985), h. 223, 233, 351.
39
Sultan Hamengku Buwono IX tidak lagi berwawasan sempit, terbatas pada
kerajaan masing-masing, melainkan sudah berwawasan Indonesia. Mereka tidak
lagi berjuang untuk memulihkan kejayaan masing-masing, melainkan untuk
kejayaan seluruh Indonesia. Dalam bahasa konsep kekuasaan Jawa, mereka
berjuang bukan lagi untuk keagungbinateraan kerajaan Jawa atau diri mereka
masing-masing, melainkan telah beralih untuk negara kebangsaan Indonesia,
yang berkedaulatan rakyat.33
Dengan alasan itu Sri Paduka Alam VIII
“mengembalikan” Kadipaten Pakualaman kepada “induknya”, Kesultanan
Yogyakarta. Sri Paduka Alam VIII sangat sadar apalah artinya Kadipaten
Pakualaman dengan empat kecamatan di Kulon Progo dan satu kecamatan di
dalam kota untuk memainkan peranan yang berarti jika sendiri. Oleh karena itu
sejak Jepang berkuasa Sri Paku Alam bergabung dengan Sri Sultan Hamengku
Buwono IX berkantor di Kepatihan.
E. Kepala Daerah Dan Wakil Kepala Daerah
Sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut
Undang-Undang Dasar 1945 memberikan keleluasaan kepada daerah untuk
menyelenggarakan otonomi daerah. Otonomi daerah dimaksudkan untuk lebih
menekankan prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan
33
Ceramah Gubernur Kepala Daerah Provinsi DIY dalam Sarasehan tentang Makna
Kepahlawanan Sri Sultan Hamengku Buwono IX, di Universitas Widya Mataram, 16 November
1990, h. 8.
40
keadilan serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah.34
Pelaksanaan otonomi daerah ini dilaksanakan oleh pemerintah daerah yang
terdiri dari kepala daerah dan wakil kepala daerah. Pada tingkat daerah provinsi
disebut sebagai Gubernur dan Wakil Gubenur, dan pada tingkat daerah
kabupaten/kota disebut bupati atau wali kota dan wakil bupati atau wakil wali
kota.35
Kepala daerah sesuai dengan Pasal 65 Undang-Undang No. 23 Tahun
2014 tentang Pemerintahan Daerah mempunyai tugas dan wewenang sebagai
berikut : mempimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan derah berdasarkan ketentuan perundang-undangan dan kebijakan
yang ditetapkan bersama DPRD, memelihara ketentraman dan ketertiban
masyarakat, menyusun dan mengajukan rancangan perda tentang RPJPD dan
rancangan peraturan daerah (Perda) tentang RPJMD kepada DPRD untuk
dibahas bersama DPRD serta menyusun dan menetapka RKPD, menyusun dan
mengajukan rancangan Perda tentang APBD, rancangan Perda tentang perubahan
APBD, dan rancangan Perda tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBD
kepada DPRD untuk dibahas bersama, mewakili daerahnya di dalam dan di luar
pengadilan, dan dapat menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan, mengusulkan pengangkatan wakil
34
HAW. Widjaja, Penyelenggaraan Otonomi Di Indonesia, (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2005), h. 36.
35
Rozali Abdullah, Pelaksanaan Otonomi Luas Dengan Pemilihan Kepala Daerah
Secara Langsung, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005), h. 30.
41
kepala daerah, dan melaksanakan tugas lain sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Dalam melaksanakan tugas tersebut kepala daerah
memiliki wewenang mengajukan rancangan Perda, menetapkan Perda yang telah
mendapat persetujuan bersama DPRD, menetapkan Perkada dan keputusan
Kepala Daerah, mengambil tindakan tertentu dalam keadaan mendesak yang
sangat dibutuhkan oleh daerah/atau masyarakat, melaksanakan wewenang lain
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Selanjutnya pada Pasal 66 wakil kepala daerah mempunyai tugas
membantu kepala daerah dalam memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan
yang menjadi kewenangan daerah, mengoordinasikan kegiatan perangkat daerah
dan menindaklanjuti laporan dan/atau temuan hasil pengawasan aparat
pengawasan, memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan pemeritahan daerah
dilaksanakan oleh perangkat daerah provinsi bagi wakil gubernur, memantau dan
mengevaluasi penyelenggaraan pemerintahan yang dilaksanakan oleh perangkat
daerah kebupaten/kota,kelurahan, dan /atau desa bagi wakil bupaten/wali kota,
meberikan saran dan pertimbangan kepada kepala daerah dalam pelaksanaan
pemerintahan daerah, melaksanakan tugas dan wewenang kepala daerah apabila
kepala daerah menjalani masa tahanan atau berhalangan sementara, dan
melaksanakan tugas lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Pengisian jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah di Indonesia
dilakukan melalui pemilihan umum secara langsung, yang mana dalam pemilihan
42
kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung ini diatur dalam UUD
1945 Pasal 18 ayat (4) dan Undang-Undang No. 8 Tahun 2015 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang No. 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perppu
No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Tentang
Pemilihan Gubernur, Bupati, Walikota. Tahapan pengisian jabatan kepala daerah
dan wakil kepala daerah ini meliputi beberapa tahapan, adapun tahapan tersebut
adalah pemberitahuan DPRD kepala daerah wakil kepala daerah mengenai
berakhirnya masa jabatan, pemberitahuan DPRD kepada kepala daerah dan wakil
kepala daerah mengenai berakhirnya masa jabatan, pemberitahuan DPRD kepada
KPUD mengenai berakhirnya masa jabatan kepala daerah dan wakil kepala
daerah, perencanaan penyelenggaraan meliputi mengenai penetapa tata cara dan
jadwal tahapan pelaksanaan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah,
pembentukan panitia pengawas, PPK, PPS, dan KPPS, pemberitahuan dan
pendaftaran pemantau. Sementara itu dalam tahapan pelaksanaan meliputi
penetapan daftar pemilih, pendaftaran dan penetapan calon kepala daerah dan
wakil kepala daerah, kampanye, pemungutan suara, penghitungan suara, dan
penetapan pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah.36
36
Rozali Abdullah, Pelaksanaan Otonomi Luas Dengan Pemilihan Kepala Daerah
Secara Langsung, (Jakarta: Rajawali Pers, 2005), h. 64.
43
BAB III
TINJAUAN UMUM HAK POLITIK WARGA NEGARA
A. Hak Politik Warga Negara Dalam Konstitusi Indonesia
Hak asasi (fundamental rights) adalah hak yang bersifat mendasar
(grounded). Hak asasi manusia (HAM) adalah hak-hak yang bersifat mendasar
dan inhern dengan jati diri manusia secara universal.1 Menurut Teaching Human
Rights yang diterbitkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Hak Asasi
Manusia (HAM) adalah hak-hak yang melekat pada setiap manusia,2 karena dia
adalah manusia. Dalam Mukadimah Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik
(1966), dirancangkan: “Hak-hak ini berasal dari harkat dan martabat yang
melekat pada manusia (these rights device from the inherent dignity of the human
person)”. Hak ini sangat mendasar atau asasi (fundamental) sifatnya, yang
mutlak diperlukan agar manusia dapat berkembang sesuai dengan bakat, cita-cita,
serta martabatnya. Hak ini juga bersifat universal, artinya dimiliki semua
manusia tanpa perbedaan berdasarkan bangsa, ras, agama, atau gender.3 Tanpa
hak tersebut eksistensinya sebagai manusia akan hilang. Menurut Tudong Mulya
1 Arend Soeteman, Pluralisme And Law, (London: Kluwer Academi Publishers, 2001),
h. 63.
2 A Ubaedillah, Abdul Razak, Pancasila, Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani,
(Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2014), h. 148.
3 Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
2008), h. 211-212.
44
Lubis sesungguhnya menelaah hak asasi manusia adalah menelaah totalitas
kehidupan; sejauh mana kehidupan kita memberi tempat yang wajar kepada
kemanusiaan.4
Pada tahun 1944 dalam Konferensi Buruh Internasional di Philadelphia,
Amerika Serikat, dihasilkan sebuah deklarasi hak asasi manusia. Deklarasi
Philadelphia ini memuat pentingnya menciptakan perdamaian dunia berdasarkan
keadilan sosial dan perlindungan seluruh manusia apapun ras, kepercayaan, dan
jenis kelaminnya. Deklarasi ini juga memuat prinsip hak asasi manusia yang
menyerukan jaminan setiap orang untuk mengejar pemenuhan kebutuhan materiil
dan spiritual secara bebas dan bermartabat serta jaminan keamanan ekonomi dan
kesempatan yang sama. Hak-hak tersebut kemudian dijadikan dasar perumusan
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang dikukuhkan oleh PBB
dalam Universal Declaration of Human Rights (UDHR) pada 1948. DUHAM
dinilai sebagai generasi hak asasi manusia pertama yang dianggap sebagai
puncak konseptualisasi hak asasi manusia sejagat. Menurut DUHAM, terdapat
lima jenis hak asasi yang dimiliki oleh setiap individu: hak personal (hak jaminan
kebutuhan pribadi); hak legal (hak jaminan perlindungan hukum); hak sipil dan
4 Tudong Mulya Lubis, Bantuan Hukum dan Kemiskinan Struktural, (Jakarta: LP3ES,
1984), h. 14.
45
politik, hak subsistensi (hak jaminan adanya sumber daya untuk menunjang
kehidupan); dan hak ekonomi, sosial, sosial budaya.5
Generasi hak asasi manusia kedua menyusul pada keinginan yang kuat
masyarakat global untuk memberikan kepastian terhadap masa depan hak asasi
manusia yang melebar pada aspek sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Dalam
sidang umum PBB 16 Desember 1966 kemudian dirumuskan dua buah Kovenan,
yakni Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (International
Covenant on Economic Social, and Cultural Rights, dan Kovenan Internasional
Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Politic Rights).
Perkembangan pemikiran hak asasi manusia juga mengalami peningkatan ke arah
kesatupaduan antara hak-hak ekonomi, sosial, budaya, politik, dan hukum dalam
“satu keranjang” yang disebut dengan hak-hak melaksanakan pembangunan (the
Rights of Development). Inilah generasi hak asasi manusia ketiga. Sebagai proses
dialektika, pemikiran hak asasi manusia akhirnya memasuki tahap
penyempurnaan sampai munculnya generasi hak asasi manusia keempat yang
mengkritik peranan negara yang sangat dominan dalam proses pembangunan
ekonomi, sehingga menimbulkan dampak negatif seperti diabaikannya berbagai
aspek kesejahteraan rakyat. Munculnya generasi keempat hak asasi manusia ini
dipelopori oleh negara-negara di kawasan Asia yang pada tahun 1983 melahirkan
deklarasi hak asasi manusia yang dikenal dengan Deklarasi Dasar Masyarakat
5 A Ubaedillah, Abdul Razak, Pancasila, Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani,
(Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2014), h. 151.
46
Asia dan Pemerintah (Declaration of The Basic Duties of Asia People and
Goverment).6
Wacana hak asasi manusia bukanlah wacana yang asing dalam diskursus
politik dan ketatanegaraan Indonesia. Diskursus mengenai hak asasi manusia
ditandai dengan perdebatan yang sangat intensif dalam tiga periode sejarah
ketatanegaraan, yaitu mulai dari tahun 1945, sebagai awal periode perdebatan
hak asasi manusia, diikuti dengan periode Konstituante (tahun 1957-1959) dan
periode awal bangkitnya Orde Baru (1966-1968). Dalam ketiga periode ini
perjuangan untuk menjadikan hak asasi manusia sebagai sentral dari kehidupan
berbangsa dan bernegara berlangsung dengan sangat serius. Tetapi pada periode-
periode tersebut wacana hak asasi manusia gagal dituangkan ke dalam hukum
dasar negara atau konstitusi. Perjuangan itu memerlukan waktu lama untuk
berhasil, yaitu sampai datangnya periode reformasi (tahun 1998-2000).
Pada periode reformasi ini lahir Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998
tentang Hak Asasi Manusia, yang isinya tidak hanya memuat Piagam Hak Asasi
Manusia, tetapi juga memuat amanat kepada presiden dan lembaga-lembaga
tinggi negara untuk memajukan perlindungan hak asasi manusia, termasuk untuk
meratifikasi instrumen-instrumen internasional hak asasi manusia. Presiden B.J
Habibie sebagai presiden saat itu dan DPR sangat terbuka dengan tuntutan
reformasi, sebelum proses amandemen konstitusi bergulir, Presiden mengajukan
6 Majda El Muhtaj, Hak Asasi Manusia Dalam Konstitusi Indonesia, (Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2007), h. 55.
47
Rancangan Undang-Undang Hak Asasi Manusia ke DPR untuk dibahas. Yang
kemudian pada 23 September 1999 telah dicapai konsensus untuk mengesahkan
undang-undang tersebut yakni Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia. Hasil pemilu 1999 merubah peta kekuatan politik di MPR/DPR.
Selain berhasil mengangkat K.H Abdurrachman Wahid sebagai Presiden, pada
sidang tahunan MPR tahun 2000 perlindungan hak asasi manusia ke dalam
Undang-Undang Dasar 1945 akhirnya berhasil dicapai. MPR sepakat memasukan
hak asasi manusia ke dalam Bab XA, yang berisi 10 Pasal hak asasi manusia
(dari Pasal 28A-28J) pada Amandemen Kedua UUD 1945 yang ditetapkan pada
18 Agustus 2000. Hak-hak yang tercakup di dalamnya mulai dari kategori hak-
hak sipil politik, hingga pada kategori hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya.7
Dari sekian banyak hak-hak asasi manusia yang tercakup di dalam
Undang-Undang Dasar 1945, salah satu hak-hak penting di Indonesia sebagai
negara penganut sistem demokrasi adalah hak-hak sipil politik yang di dalamnya
terdapat hak politik warga negara. Sebelum membahas mengenai hak politik
warga negara, terlebih dahulu akan dibahas mengenai apa itu hak, konsep politik,
dan warga negara yang kemudian dijadikan pengertian utuh mengenai hak politik
warga negara serta pembahasanya. Sebagaimana dikemukakan oleh James W.
Nickel unsur-unsur hak itu antara lain: a. Masing-masing hak
mengidentifikasikan satu pihak sebagai pemilik atau pemegangnya, kondisi
7 Rhona K.M Smith, Njal Hostmaelinen, Christian Ranheim, d.k.k, Hukum Hak Asasi
Manusia, Cet.1, (Yogyakarta: PUSHAM UII, 2008), h. 237-244.
48
kepemilikan suatu hak juga bisa dilihat dengan prosedur-prosedur yang
merampas hak tersebut, misalnya menjual, mengingkari, atau menyitanya adalah
kata-kata prosedur yang menunjukan bahwa orang yang menjual, atau
mengingkari ataupun menyita barang tertentu misalnya, bisa disimpulkan orang
tersebutlah pemilih hak atas barang tersebut; b. Hak adalah untuk sesuatu
kebebasan atau keuntungan, dalam hal ini terlihat jelas bahwa ruang lingkup hak
menentukan kegunaan hak itu sendiri, ruang lingkup suatu hak juga meliputi
syarat-syarat operasionalnya yang menggunakan kapan suatu hak diterapkan dan
apa (jika memang ada) yang mesti dilakukan untuk pengoperasian hak tersebut;
c. Suatu hak yang ditetapkan secara lengkap akan mengidentifikasi pihak atau
pihak-pihak yang harus berperan mengusahakan tersedianya kebebasan atau
keuntungan yang diidentifikasikan oleh ruang lingkup hak tersebut. Pihak disini
diartikan sebagai pihak penanggung jawab atau pihak yang harus menghormati
hak tersebut.8
Dari ketiga unsur yang dikemukakan di atas diketahui menurut James W.
Nickel setiap hak pasti mengindikasikan kehadiran pemilik dari hak tersebut.
Tanpa pemilik, maka suatu hak diragukan statusnya sebagai hak. Karena hak
tidak bisa berdiri tanpa pemiliknya. Selain itu juga diketahui hak sebagai sesuatu
yang menghasilkan kebebasan atau keuntungan. Jika seseorang dikatakan
memiliki hak, maka sudah barang tentu kondisi tersebut menunjukan bahwa
8 James W. Nickel, Hak Asasi Manusia (Making Sense Of Human Rights, Philosophical
Reflection On The Universal Declaration Of Human Rights), diterjemahkan oleh Titis Eddy
Arini, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996), h. 20.
49
orang tersebut menunjukan bahwa orang tersebut mendapatkan keauntungan
bukan kerugian. Terakhir kepemilikan atas hak menghadirkan pula pihak terkait
lainnya yang bertanggung jawab untuk mengusahakan tersedianya keuntungan
yang muncul atas kepemilikan hak tersebut. Pihak terkait ini beragam
konteksnya, tergantung konteks substansi dari hak itu sendiri. Di dalam
demokrasi dalam hal politik berarti yang menjamin hak tersebut adalah negara.
Jadi hak adalah sesuatu yang dimiliki oleh seseorang dan dilaksanakan oleh
dirinya sendiri dengan melibatkan pihak yang bertanggung jawab akan
pelaksanaannya.
Selanjutnya melihat ruang lingkup konsepsi politik Miriam Budiarjo
segala kegiatan yang menyangkut pokok politik adalah Negara (State),
Kekuasaan (Power), Pengambilan keputusan (Decision Making), Kebijaksanaan
(Policy, Beleid), Pembagian (Distribution) atau alokasi (Allocation).9 Menurut
Ramlan Surbakti konsep politik mengandung tujuh istilah, yakni interaksi,
pemerintah, masyarakat, proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan yang
mengikat, kebaikan bersama, dan wilayah tertentu yang kemudian disimpulkan
dalam pengertian politik adalah interaksi antara pemerintah dan masyarakat
dalam rangka proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan yang tinggal dalam
suatu wilayah.10
Terakhir warga negara adalah sekelompok manusia yang ada
9 Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
2008), h. 17.
10
Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, (Jakarta: PT Grasinda, 2010), h. 14.
50
dalam wewenang suatu negara.11
Berangkat dari uraian di atas dapat diambil
garis pemahaman bahwa hak politik adalah segala sesuatu menyangkut politik
yang dapat dituntut oleh sekelompok manusia kepada negara untuk
memenuhinya. Dengan begitu bisa dipahami hak (entitlement) dalam konteks hak
politik warga negara adalah segala sesuatu yang dimiliki seseorang pada bidang
politik dan dilaksanakan oleh dirinya sendiri dimana negara berkewajiban
memenuhinya.
Hak politik warga negara di Indonesia diatur dalam Pasal 27 ayat (1),
Pasal 28, Pasal 28D ayat (3), dan Pasal 28 E ayat (3) Undang-Undang Dasar
1945 yang tertulis sebagai berikut: Pertama, Pasal 27 ayat (1) menyatakan
“Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak
ada kecualinya”. Rumusan pasal tersebut dengan jelas menegaskan bahwa
konstitusi Indonesia mengakui prinsip equality before the law atau persamaan
kedudukan dihadapan hukum dan siapapun orangnya memiliki kedudukan yang
sama untuk berada dalam pemerintahan; Kedua, Pasal 28 menyatakan
“Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan
tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”. Menurut Jimly
Ashiddiqie Pasal 28 ini sama sekali bukan jaminan hak asasi manusia seperti
yang seharusnya menjadi muatan konstitusi negara demokrasi karena hak
11 Hendra Nur Tjahjo, Politik Hukum Tata Negara Indonesia, Ed. 1, Cet. 1, (Jakarta:
Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004), h. 302.
51
tersebut ditetapkan dengan undang-undang. Karena itu sebenarnya ketentuan asli
Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 ini bukanlah rumusan hak asasi manusia
seperti umumnya dipahami; Ketiga, Pasal 28D ayat (3) menyatakan “Setiap
warga negara memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan”. Pasal
ini menegaskan bahwa akses publik kepada pemerintahan adalah hak setiap
warga negara. Dengan ketentuan ini setiap warga negara memiliki hak
memperoleh perlakuan dan pelayanan publik yang sama dalam pemerintahan,
termasuk pula hak untuk menduduki jabatan publik; Keempat, Pasal 28E ayat (3)
yang menyatakan “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul,
dan mengeluarkan pendapat. Sepintas bunyi pasal ini sama dengan rumusan
Pasal 28, namun sebagaimana dijelaskan oleh Jimly Ashiddiqie bahwa Pasal 28
bukanlah jaminan hak asasi manusia dalam konstitusi. Sedangkan bunyi Pasal
28E ayat (3) dengan tegas menjamin hak berserikat, berkumpul, dan
mengeluarkan pendapat itu.
B. Bentuk Hak Politik Warga Negara
Beberapa bentuk dari pelaksanaan hak politik warga negara tersebut di
atas adalah: Pertama, hak masyarakat untuk memilih dan dipilih dalam
pemilihan umum. Hak ini tercermin dalam partisipasi masyarakat untuk ikut
memberikan suara dalam pemilu dan mencalonkan diri menjadi pejabat publik
dalam pemilihan umum. Khusus hak politik untuk dipilih dan dipilih merupakan
ranah politik praktis dimana jabatan-jabatan politik yang tersedia antara lain :
52
jabatan sebagai Presiden dan Wakil Presiden, Gubernur, Bupati, Walikota beserta
masing-masing wakilnya, dan DPR, DPD, DPRD Provinsi, Kabupaten atau kota.
Kedua, hak untuk turut serta dalam pemerintahan dengan langsung atau
dengan perantaraan wakil yang dipilihnya. Hak politik masyarakat pada dasarnya
luas, namun kondisi yang dipahami masyarakat sekarang hak politik justru
direduksi hanya pada saat pemilihan umum saja. Padahal pemilihan umum
hanyalah mekanisme untuk memilih wakil rakyat dan merupakan salah satu dari
beberapa hak politik yang bisa di charge masyarakat. Terkait hak kedua ini
misalnya, masyarakat bisa turut serta dalam pemerintahan secara langsung.
Secara tidak langsung telah dilakukan dengan memilih wakil rakyat melalui
pemilu. Partisipasi masyarakat secara langsung misalnya dalam hal pemberian
inspirasi dan masukan-masukan terkait kerja-kerja badan legislatif dalam
pembuatan peraturan perundang-undangan. Pemberian masukan-masukan dari
masyarakat sangat penting bagi substansi produk badan legislatif. Hal ini karena
nantinya produk undang-undang itu akan berdampak secara luas kepada
kehidupan masyarakat. Selain itu juga pada dasarnya masyarakat punya hak
untuk mengawasi kerja badan legislatif selaku wakil yang mereka berikan
amanah jabatan parlemen.12
Ketiga, hak untuk mengajukan pendapat, permohonan, pengaduan, dan
atau usulan kepada pemerintah baik dengan lisan maupun dengan tulisan.
12
Gugum Ridho Putra, Hak Mantan Narapidana Untuk Dipilih Dalam Pemilihan
Umum Kepala Daerah, (Jakarta: Skripsi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012), h. 40.
53
Bentuknya adalah saluran apirasi masyarakat secara langsung kepada
pemerintah. Saluran aspirasi terkait pengaduan atas pelayanan publik yang
kurang memuaskan bisa diajukan kepada setiap lembaga pemerintah, termasuk
kepada lembaga yang secara khusus menangani pelanggaran administrasi
pelayanan publik.
Keempat, hak untuk duduk dan diangkat dalam setiap jabatan publik di
dalam pemerintahan. Hak atas jabatan publik adalah milik masyarakat. Sangat
logis bahwa hak untuk menduduki jabatan publik wajib dilindungi karena hak ini
adalah salah satu yang menjamin keberlanjutan negara demokrasi. Banyak posisi
jabatan yang dapat diduduki oleh masyarakat, beberapa jabatan publik salah
satunya telah disebutkan di atas. Menurut Jimly Ashiddiqie sekurang-kurangya
terdapat 34 jabatan publik yang dapat diduduki oleh masyarakat.13
C. Hak Konstitusional Warga Negara
Dengan dimasukannya hak-hak tersebut di atas ke dalam Undang-Undang
Dasar 1945, maka hak-hak tersebut juga dikatakan sebagai hak konstitusional
warga negara. Sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang
No. 8 Tahun tentang Mahkamah Konstitusi bahwa yang dimaksud dengan hak
konstitusional adalah “ hak-hak yag diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara
13
Gugum Ridho Putra, Hak Mantan Narapidana Untuk Dipilih Dalam Pemilihan
Umum Kepala Daerah, (Jakarta: Skripsi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012), h. 41.
54
Republik Indonesia Tahun 1945”.14
Oleh karena itu berarti negara tidak
diperkenankan mengeluarkan kebijaksanaan-kebijaksanaan baik berupa undang-
undang (legislative policy) maupun berupa peraturan pelaksanaan (bureaucratic
policy) yang dimaksudkan untuk mengurangi substansi dari hak-hak
konstitusional tersebut. Bahkan di dalam sebuah negara hukum negara
berkewajiban untuk menjamin pelaksanaan hak-hak konstitusional,15
dan disisi
lain antara warga negara juga memiliki kewajiban dasar terhadap penghormatan
hak-hak tersebut.
Adapun tanggung jawab negara dan kewajiban asasi manusia adalah: a.
Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; b. Dalam menjalankan hak
dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk pada pembatasan yang ditetapkan
oleh undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan
dan penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain serta untuk memenuhi
tuntutan keadilan sesuai dengan nilai-nilai agama, moralitas, dan kesusilaan,
keamanan, dan ketertiban umum dalam masyarakat yang demokratis; c. Negara
bertanggungjawab atas perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan
hak-hak asasi manusia; d. Untuk menjamin pelaksanaan hak asasi manusia,
14
Achmad Edi Subianto, Jurnal Konstitusi Perlindungan Hak Konstitusional Melalui
Pengaduan Konstitusional, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia, 2011), h. 716.
15
Abdul Hakim G Nusantara, Politik Hukum Indonesia, Cet. 1, (Jakarta: Yayasan
Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, 1998), h. 175.
55
dibentuk Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang bersifat independen dan
tidak memihak yang pembentukan, susunan, dan kedudukannya diatur dengan
undang-undang.16
Ketentuan-ketentuan yang memberikan jaminan konstitusional terhadap
hak-hak asasi manusia sangat penting dan bahkan dianggap merupakan salah satu
ciri pokok dianutnya prinsip negara hukum di suatu negara. Namun di samping
hak-hak asasi manusia, harus pula dipahami bahwa setiap orang memiliki
kewajiban dan tanggungjawab yang juga bersifat asasi. Setiap orang selama
hidupnya sejak sebelum kelahiran, memiliki hak dan kewajiban yang hakiki
sebagai manusia. Pembentukan negara dan pemerintahan, untuk alasan apapun
tidak boleh menghilangkan prinsip hak dan kewajiban yang disandang oleh
setiap manusia. Oleh karena itu jaminan hak dan kewajiban itu tidak ditentukan
oleh kedudukan orang sebagai warga suatu negara. Setiap orang dimanapun ia
berada harus dijamin hak-hak dasarnya. Pada saat yang bersamaan, setiap orang
di manapun ia berada juga wajib menjunjung tinggi hak-hak asasi orang lain
sebagaimana mestinya. Keseimbangan kesadaran akan adanya hak dan kewajiban
asasi ini merupakan ciri penting pandangan dasar bangsa Indonesia mengenai
manusia dan kemanusiaan yang adil dan beradab.17
16
Jimly Ashiddiqie, Konstitusi Dan Konstitusionalisme Indonesia, Ed. Revisi, (Jakarta:
Sekretariat dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2006), h. 89.
17
Jimly Ashiddiqie, Konstitusi Dan Konstitusionalisme Indonesia, Ed. Revisi, (Jakarta:
Sekretariat dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2006), h. 90.
56
BAB IV
AMBIVALENSI HUKUM DALAM STATUS POLITIK
A. Pengaturan Mekanisme Pengisian Jabatan Gubernur Dan Wakil Gubernur
Di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah
Istimewa Yogyakarta (UUK DIY) telah disahkan oleh DPR dalam sidang
paripurna yang diselenggarakan pada hari Kamis, 30 Agustus 2012. Undang-
undang ini merupakan bentuk pengakuan dan penghormatan negara terhadap
pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa sebagaimana tercantum
dalam Pasal 18B ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyebutkan
“Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang
bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dalam undang-undang”.
Dalam territoir Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250
zelfbesturendelandchappen dan volksgemeenschappen, seperti desa di Jawa dan
Bali, negeri di Minangkabau, dusun, dan marga di Palembang dan sebagainya.
Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli, dan oleh karenanya dapat dianggap
sebagai daerah yang bersifat istimewa. Negara Indonesia menghormati
kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan negara yang
mengenai daerah-daerah itu akan mengingati hak-hak asal-usul daerah tersebut.
Sebelum adanya negara Indonesia, lebih dulu terdapat daerah-daerah yang
memiliki ciri khas adat yang berlaku turun temurun, salah satunya adalah Daerah
57
Istimewa Yogyakarta. Sebagai salah satu daerah yang memiliki keistimewaan,
kemudian Negara Indonesia mengakui dan menghormati keistimewaan tersebut
dengan membentuk undang-undang yang khusus mengatur Daerah Istimewa
Yogyakarta dengan segala ke-khasan daerahnya. Oleh karena itu disahkan
Undang-Undang Keistimewan Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai salah satu
undang-undang yang berlaku di Indonesia.
Undang-undang keistimewaan ini pada beberapa aturannya secara jelas
mengatur kedudukan Sultan Hamengku Buwono dan Paku Alam dalam posisinya
yang tetap dan tidak tergantikan sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta. Disebutkan dalam Pasal 18 ayat (1) huruf (c)
Undang-Undang No.13 Tahun 2012 bahwa “Calon Gubernur dan calon Wakil
Gubernur adalah warga negara Republik Indonesia yang harus memenuhi syarat
bertakhta sebagai Sultan Hamengku Buwono untuk calon Gubernur dan
bertakhta sebagai Adipati Paku Alam untuk calon Wakil Gubernur”. Pasal ini
mengatur bahwa dalam pengisian jabatan calon gubernur dan wakil gubernur
Daerah Istimewa Yogyakarta, selain sebagai warga negara Indonesia, juga harus
memiliki takhta Sultan Hamengku Buwono untuk calon gubernur dan Adipati
Paku Alam untuk calon wakil gubernur. Maknanya adalah, karena takhta Sultan
dan Adipati Paku Alam diduduki masing-masing oleh satu orang saja, maka
jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur sepenuhnya adalah hak dari Sultan
Hamengku Buwono dan Paku Alam sebagai Raja di Kasultanan Yogyakarta.
58
Kemudian Pasal 20 ayat (1) menyebutkan “Dalam penyelenggaraan
penetapan Gubernur dan Wakil Gubenur.......”. Pasal ini mengatur bahwa dalam
pengisian jabatan gubernur dan wakil gubernur, karena hanya terdapat satu orang
Sultan Hamengku Buwono dan satu orang Adipati Paku Alam dilaksanakan
dengan cara penetapan terhadap keduanya sebagai Gubernur dan Wakil
Gubernur. Maknanya adalah kedudukan Sultan Hamengku Buwono dan Paku
Alam sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur tidak melalui pemilihan umum
yang dilaksanakan seperti halnya Gubernur dan Wakil Gubernur di daerah lain,
tetapi melalui penetapan. Aturan-aturan tersebut dalam hubungannya secara
vertikal dengan Pasal 18B ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 tentu telah
sesuai. Namun jika dikaitkan dengan beberapa pasal lain di dalam Undang-
Undang Dasar 1945, aturan-aturan yang terdapat pada pasal 18 ayat (1) huruf (c)
dan pasal 20 ayat (1) Undang-Undang No. 13 Tahun 2012 tersebut bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar 1945.
Pertentangan yang dimaksud di atas adalah, karena aturan dalam pasal 18
ayat (1) huruf (c) dan pasal 20 ayat (1) Undang-Undang No. 13 Tahun 2012 tidak
sejalan dengan beberapa pasal di dalam Undang-Undang Dasar 1945 sebagai
norma hukum yang lebih tinggi di atas undang-undang. Sebagaimana disebutkan
dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 bahwa “Gubernur, Bupati, dan Walikota
masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota
dipilih secara demokratis”. Ketentuan pasal tersebut memberikan pedoman dasar
59
bahwa Gubernur “dipilih secara demokratis”. Kata “dipilih” menunjukan harus
ada mekanisme dan proses pemilihan. Dalam pemilihan tentu harus ada calon
yang akan dipilih dan orang yang akan memilih serta tata cara menentukan calon
mana yang terpilih. Kata “secara” dalam frasa “dipilih secara demokratis”
mengandung arti adanya tata cara, prosedur, dan tahapan. Oleh karena itu kata
“secara demokratis” dimaknai sebagai keharusan adanya pemilihan dengan tata
cara demokratis yang tentu saja terkait dengan hak memilih dan dipilih, serta
prinsip-prinsip pemilihan yang jujur dan adil.1
Dalam keterangan yang diberikan oleh Patrialis Akbar dan Lukman
Hakim Saifuddin sebagai panitia Ad Hoc I BP MPR yang membahas amandemen
pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 pada perkara Nomor 072/PUU-II/2004
Pengujian Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah di
Mahkamah Konstitusi dijelaskan sebagai berikut. Latar belakang pemikiran Pasal
18 ayat (4) saat itu adalah bahwa sistem pemilihan yang akan diterapkan
disesuaikan dengan perkembangan masyarakat. Masyarakat mempunyai pilihan
apakah akan menerapkan sistem perwakilan (pemilihan dilakukan oleh DPRD)
atau melalui sistem pemilihan secara langsung (pemilihan dilakukan langsung
oleh rakyat). Hal itu terkait dengan penghargaan konstitusi terhadap keragaman
adat istiadat dan budaya masyarakat di berbagai daerah yang berbeda-beda. Ada
daerah yang lebih condong untuk menerapkan sistem pemilihan tidak langsung
1 Janedjri M Gaffar, Politik Hukum Pemilu, (Jakarta: Konstitusi Press, 2012), h. 131.
60
(demokrasi perwakilan) dan ada pula daerah yang cenderung menyukai sistem
pemilihan langsung (demokrasi langsung) dalam hal memilih gubernur, bupati,
dan walikota. Baik sistem pemilihan secara langsung (demokrasi langsung)
maupun sistem pemilihan secara tidak langsung (demokrasi perwakilan) sama-
sama masuk kategori sistem yang demokratis. Berdasarkan dua pandangan itu
kemudian disepakati menggunakan kata demokratis dalam artian karena ayat (7)
pada Pasal 18 itu susunan dan penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur
dalam undang-undang. Undang-undang yang menentukan apakah pemilihan
kepala daerah itu dilakukan langsung oleh rakyat atau sebagaimana sebelumnya
dilakukan oleh DPRD, yang penting prinsip dasarnya adalah demokratis.2
Dari keterangan tersebut di atas, tedapat dua tafsiran dari frasa “dipilih
secara demokratis”, yaitu dalam arti pemilihan kepala daerah secara langsung
oleh rakyat dan pemilihan yang dilakukan oleh DPRD. Akan tetapi bila merujuk
pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyebutkan bahwa
“kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang
Dasar”, maka lebih tepat jika frasa demokratis dimaknai pemilihan secara
langsung oleh rakyat (demokrasi langsung). Hal ini juga secara eksplisit
disebutkan dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 2015 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang No. 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perppu
2 Sodikin. Hukum Pemilu, Pemilu Sebagai Praktek Ketatanegaraan, (Bekasi: Gramata
Publishing, 2014), h. 174-175.
61
No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang
secara khusus mengatur tata cara pengisian jabatan Gubernur, Bupati, dan
Walikota bahwa “Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil
Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota yang selanjutnya disebut Pemilihan
adalah pelaksanaan kedaulatan rakyat di wilayah provinsi dan kabupaten/kota
untuk memilih Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta
Walikota dan Wakil Walikota secara langsung dan demokratis”. Bila melihat
aturan Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dalam
hal pengisian jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah, DPRD saat ini
hanya berwenang untuk melaksanakan pengangkatan dan pemberhentian kepala
daerah dan wakil kepala daerah, yang berarti tidak lagi memiliki kewenangan
untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah.
Pada dasarnya, pemilihan umum kepala daerah (pemilukada) merupakan
bentuk nyata dari asas desentralisasi dalam otonomi daerah yang sesungguhnya.
Pelaksanaan pemilihan umum kepala daerah secara langsung merupakan salah
satu wujud dan mekanisme demokrasi di daerah. Pemilukada merupakan sarana
manisfestasi kedaulatan dan pengukuhan bahwa pemilih adalah masyarakat di
daerah. Dalam fungsinya, pemilukada adalah memilih kepala daerah sesuai
dengan kehendak bersama masyarakat di daerah sehingga ia diharapkan dapat
memahami dan mewujudkan kehendak masyarakat di daerah. Kemudian melalui
pemilukada diharapkan pilihan masyarakat di daerah didasarkan pada visi, misi,
62
program serta kualitas dan integritas calon kepala daerah yang sangat
menentukan keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Selain itu
juga, pemilukada merupakan sarana pertanggungjawaban sekaligus sarana
evaluasi dan kontrol publik secara politik terhadap seorang kepala daerah dan
kekuatan politik yang menopang. Melalui pemilukada, masyarakat di daerah
dapat memutuskan apakah akan memperpanjang atau menghentikan mandat
seorang kepala daerah. Pengaturan mekanisme pengisian jabatan yang diatur
dalam Undang-Undang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta dengan
penetapan telah menjadikan sebuah pemerintahan daerah yang tidak terdapat
kontrol masyarakat di dalamnya. Bagaimana mungkin sebuah pemerintahan
dijalankan bukan berdasar pada keinginan rakyat sebagai hal yang sangat
mendasar. Tentu akan berdampak pada pemerintahan yang tidak sehat, dalam arti
hanya sesuai pada pemerintah saja tanpa memperdulikan apa yang menjadi
kebutuhan dan keinginan rakyat, dan ini jelas adalah sebuah ketimpangan
ketatanegaraan.
Menurut Nurcholish Madjid, dalam masyarakat demokratis (madani)
harus adanya komitmen, keterlibatan dan partisipasi yang diharapkan dari
seluruh lapisan anggota masyarakat, serta keterbukaan lembaga kepemimpinan
terhadap pengujian atas data kemampuan yang dicoba melembagakannya dalam
pola kepemimpinan yang tidak berdasar pertimbangan keturunan, melainkan
melalui permusyawaratan atau syura dan pemilihan. Artinya bahwa dalam negara
63
yang menganut paham demokrasi, mekanisme pemilihan kepemimpinan
ditentukan melalui dua cara, yaitu musyawarah atau pemilihan. Cara itu
mengedepankan prinsip akuntabilitas dan objektivitas dalam memilih pemimpin
serta menghindari pemilihan pemimpin secara subjektif berdasarkan penunjukan
dengan dasar keturunan (dinasti). Karena itu pada era sekarang, pemilihan
kepemimpinan dalam masyarakat yang demokratis, selain mendasarkan pada
aspek akuntabilitas dan objektifitas, tetapi juga bagaimana publik diberi ruang
untuk berpartisipasi secara luas untuk menentukannya. Pilihan ideal dalam
menentukan kepemimpinan sebagaimana dikemukakan di atas, hanya dapat
dilakukan dengan pemilihan secara langsung oleh rakyat, terutama berkaitan
dengan jabatan/pekerjaan yang langsung bersentuhan dengan kepentingan rakyat
banyak. Dimana rakyat sebagai pemegang kedaulatan mempunyai kepentingan
secara langsung untuk menentukan masa depannya sendiri.
Pengaturan penetapan Sultan Hamengku Buwono dan Paku Alam secara
otomatis sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur pada pasal 20 ayat (1) Undang-
Undang No. 13 Tahun 2012 tentu tidak memiliki sifat demokratis karena sama
sekali tidak ada unsur pemilihan didalamnya, apalagi tata cara yang demokratis.
Disana hanya ada satu calon yang mau tidak mau harus ditetapkan sebagai
Gubernur dan Wakil Gubernur dan tidak ada yang dapat menolak penetapan itu.
Hal itu jelas menunjukan bahwa penetapan Sultan Hamengku Buwono dan Paku
Alam tidak sesuai dengan ketentuan “dipilih secara demokratis”. Jika kemudian
64
demokratis yang dimaksud adalah pemilihan melalui DPRD, DPRD tidak
melakukan pemilihan dalam proses pengisian jabatan Gubernur dan Wakil
Gubernur, melainkan hanya berwenang dalam proses penetapan saja.
Selanjutnya penetapan dalam pengisian jabatan Gubernur dan Wakil
Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta tentu sangatlah jauh dari prinsip
demokrasi yaitu that government of the people, by the people and for the people.
Rakyat merupakan pusat dalam proses pemerintahan, yang kemudian
menempatkan rakyat bukan sebagai subjek yang didikte oleh sesuatu di luar
dirinya, melainkan bersama-sama dengan penguasa turut ke dalam proses
pemerintahan tersebut. Jimly Ashiddiqie mengatakan lebih rinci bahwa
sesungguhnya rakyat yang menyelenggarakan kehidupan kenegaraan.
Disimpulkan pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat adalah
bentuknya bukan melalui penetapan. Hilangnya partisipasi masyarakat dalam
pemilihan umum dapat dikatakan hilangnya demokrasi itu sendiri dalam suatu
pemerintahan, dan ini terjadi di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
B. Hak Politik Warga Negara Di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
Kita ketahui bahwa pemilihan umum kepala daerah merupakan salah satu
pelaksanaan dari hak politik sekaligus hak konstitusional warga negara. Hak
politik atau hak konstitusional ini dijamin kedudukannya baik di dunia
internasional maupun nasional oleh konstitusi dan undang-undang Indonesia.
65
Pasal 21 Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (DUHAM) PBB Tahun 1948
menyebutkan “(1) Setiap orang berhak turut serta dalam pemerintahan negerinya
sendiri, baik dengan langsung maupun dengan perantaraan wakil-wakil yang
dipilih dengan bebas; (2) Setiap orang berhak atas kesempatan yang sama untuk
diangkat dalam jabatan pemerintahan negerinya, Undang-Undang Dasar 1945
Pasal 27 ayat (1) menyebutkan “Segala warga negara bersamaan kedudukannya
di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan
pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”; Pasal 28D ayat (3) menyebutkan
“Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam
pemerintahan”. Selain itu Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia Pasal 5 ayat (1) menyebutkan “Setiap orang diakui sebagai
manusia pribadi yang berhak menuntut dan memperoleh perlakuan serta
perlindungan yang sama sesuai dengan martabat kemanusiaannya di depan
hukum”; Pasal 15 menyebutkan “Setiap orang berhak memperjuangkan hak
pengembangan dirinya, baik secara pribadi maupun kolektif, untuk membangun
masyarakat, bangsa, dan negaranya”; Pasal 43 ayat (1) menyebutkan “Setiap
warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum
berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum,
bebas, rahasia, jujur, dan adil, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan”.
66
Pasal-pasal ini secara umum dimaknai bahwa setiap warga di dalam
sebuah negara berhak untuk memilih dan dipilih, dalam kedudukan yang sama
berhak diangkat menjadi pejabat pemerintahan, serta mengajukan pendapatnya
melalui perwakilan di parlemen. Sebagai hak asasi manusia, hak politik ini
memiliki sifat universal, artinya dimiliki semua manusia tanpa perbedaan
berdasarkan bangsa, ras, agama, atau gender. Prinsip-prinsip fundamentalnya
melampaui batasan-batasan primordial, geografis, maupun strata kelas sosial.3
Hak politik ini dalam deklarasi internasionalnya merupakan kemauan rakyat
harus menjadi dasar kekuasaan pemerintah; kehendak ini harus dinyatakan dalam
pemilihan umum yang dilaksanakan secara berkala dan murni, hak pilih yang
bersifat umum dan setara, dengan pemungutan suara secara rahasia ataupun
dengan prosedur lain yang menjamin kebebasan memberikan suara.
Pasal-pasal terkait pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur
dalam undang-undang keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta khususnya
pada pasal 18 ayat (1) huruf (c) jelas telah meniadakan hak politik warga negara
secara khusus masyarakat Yogyakarta untuk memilih, dan secara umum seluruh
warga negara Indonesia untuk dipilih, karena hanya Sultan dan Paku Alam yang
memiliki hak penuh atas jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur, diangkat melalui
penetapan, dan tidak terikat periodesasi seperti halnya Gubernur dan Wakil
3 Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
2008), h. 212.
67
Gubernur di daerah lain. Ini merupakan pelanggaran hak asasi manusia mengacu
pada putusan nomor 011-017/PUU-If/2003 tertanggal 24 Februari 2004,
Mahkamah Konstitusi secara tegas mempertimbangkan bahwa hak konstitusional
warga negara untuk memilih dan dipilih (right to be vote and right to be
candidate) adalah hak yang dijamin oleh konstitusi, undang-undang maupun
konvensi internasional, maka pembatasan, penyimpangan, peniadaan dan
penghapusan akan hak dimaksud merupakan pelanggaran terhadap hak asasi dari
warga negara.
Hak asasi manusia memang memiliki dua kategori hak, hak yang tidak
dapat diderogasi dan hak yang dapat diderogasi. Hak yang tidak dapat diderogasi
yakni hak untuk hidup, pelarangan penyiksaan, larangan perbudakan dan
peraturan perundang-undangan pidana yang menyangkut persoalan masa lalu,
kebebasan pikiran, hati nurani, dan agama. Sementara hak lainnya selain yang
disebutkan, adalah hak asasi manusia yang dapat diderogasi termasuk hak politik
warga negara. Namun, dalam penderogasian hak harus memiliki ketentuan-
ketentuan untuk kemudian dapat diderogasi. Ketentuan-ketentuan tersebut adalah
bilamana negara memerlukan beberapa fleksibilitas dalam keadaan darurat
nasional, kemudian hak tersebut menghilangkan pengakuan dan penghormatan
atas hak dan kebebasan orang lain untuk memenuhi tuntutan keadilan sesuai
dengan nilai-nilai agama, moralitas, dan kesusilaan, keamanan, dan ketertiban
umum dalam masyarakat yang demokratis.
68
Lebih jelas dalam putusan Mahkamah Konsitutusi Nomor 011-017/PUU-
1/2003 menyebutkan “Pasal 28J ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945
memungkinkan pembatasan hak dan kebebasan seseorang dengan undang-
undang, tetapi pembatasan terhadap hak-hak tersebut harus didasarkan atas
alasan-alasan yang kuat, masuk akal dan proporsional serta tidak berkelebihan.
Pembatasan itu hanya dapat dilakukan dengan maksud "semata-mata untuk
menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan
untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-
nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat
demokratis"; Pembatasan hak pilih (aktif maupun pasif) dalam proses pemilihan
lazimnya hanya didasarkan atas pertimbangan ketidakcakapan misalnya faktor
usia dan keadaan jiwa, serta ketidakmungkinan (impossibility) misalnya karena
telah dicabut hak pilihnya oleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum
tetap dan pada umumnya bersifat individual dan tidak kolektif. Dengan melihat
penjelasan ini, maka hak politik warga negara untuk memilih dan menjadi
Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta tidak dapat
diderogasi, karena pelaksanaan hak politiknya tidak masuk ke dalam ketentuan-
ketentuan hak yang dapat diderogasi.
Kemudian undang-undang keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta
yang mengatur persyaratan calon Gubernur Sultan dan calon Wakil Gubernur
Paku Alam jelas telah melakukan diskriminatif terhadap warga negara Indonesia.
69
Terlihat bagaimana undang-undang keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta
membedakan antara keluarga kerajaan secara khusus Sultan dan Paku Alam
dengan masyarakat biasa. Pasal 1 angka (3) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia menyatakan diskriminasi adalah setiap pembatasan,
pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tidak langsung didasarkan
kepada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok,
golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, dan keyakinan
politik yang berakibat pengurangan, penyimpangan, atau penghapusan
pengakuan, pelaksanaan, atau penggunaan hak asasi manusia dalam kebebasan
dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik,
ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya. Persyaratan ini
bertentangan dengan pasal 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 bahwa
“Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar
apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat
diskriminatif itu”, dan pasal 3 ayat (3) Undang-Undang Hak Asasi Manusia
bahwa “Setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan
dasar manusia, tanpa diskriminasi”. Selain itu juga Pasal 26 ICCPR
(International Covenant on Civil and Political Rights) yang tegas menyatakan,
“All persons are equal before the law and are entitled to the equal protection of
the law. In this respect, the law shall prohibit any discrimination and guarantee
to all persons equal and effective protection against discrimination on any
70
ground such as race, colour, sex, language, religion, political or other opinion,
national or social origin, property, birth or other status.”
Dalam rumusan sila kedua Pancasila, “Kemanusiaan yang adil dan
beradab”, prinsip kemanusiaan yang dianggap ideal adalah kemanusiaan yang
“adil” yang langsung dirangkaikan dengan kata “beradab”. Peradaban tidak
mungkin tumbuh dalam struktur sosial yang tidak berkeadilan. Jika struktur
sosial timpang, maka di dalamnya akan terjadi penindasan antar sesama manusia.
Dalam kondisi semacam itu, peradaban umat manusia tidak akan berkembang
sehat. Sebabnya ialah bahwa dalam struktur yang menindas itu, kebebasan atau
kemerdekaan berpikir tidak akan tumbuh dan karena itu, ilmu pengetahuan juga
tidak akan berkembang. Akibatnya, perkembangan peradaban masyarakat atau
bangsa yang bersangkutan tidak dapat tumbuh secara sehat.
Oleh karena hubungan di antara kedua begitu terkait satu sama lain, maka
sila kedua Pancasila dirumuskan oleh the founding fathers dalam satu konsepsi
tentang sila kemanusiaan yang adil dan beradab. Tidak akan ada peradaban yang
tidak didasarkan atas peri kehidupan yang berkeadilan, dan tidak akan ada
keadilan jika peradaban dalam kehidupan masyarakat dan berbangsa tidak
berkembang. Oleh karena itu, dalam upaya membangun peradaban bangsa kita
yang tinggi dan bermartabat, penting sekali menegakan keadilan dalam
kehidupan berbangsa dan bermasyarakat. Sejarah umat manusia pada masa lalu
juga mengajarkan betapa banyaknya bangsa-bangsa besar yang timbul tenggelam
71
karena terjadinya perubahan dalam kualitas peradabannya, dan kualitas
peradabannya itu berubah karena terjadinya perubahan dalam struktur keadilan
dalam peri kehidupan bermasyarakat dan berbangsa itu sendiri. Begitu tinggi
peradaban bangsa-bangsa besar dalam sejarah dapat berkembang dikarenakan
tegaknya keadilan dalam kehidupan.4 Tetapi, tatkala struktur keadilan mengalami
keruntuhan, seperti halnya pengaturan pengisian Jabatan Gubernur dan Wakil
Gubernur Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, itulah yang kemudian menjadi
pertanda merosotnya peradaban yang bahkan pada akhirnya mengahancurkan
keseluruhan eksistensi bangsa itu sendiri.
Hak politik juga merupakan hak konstitusional warga negara. Adanya hak
konstitusional ini, maka negara tidak diperkenankan mengeluarkan
kebijaksanaan-kebijaksanaan baik berupa Undang-Undang (legislative policy)
maupun berupa peraturan pelaksanaan (beraucratic policy) yang dapat
mengurangi substansi dari hak tersebut. Lalu kemudian apa yang menjadi dasar
disahkannya Undang-Undang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta oleh
DPR dan disetujui oleh Presiden. Daerah Istimewa Yogyakarta memang
merupakan daerah yang memiliki sejarah tersendiri dalam kemerdekaan
Indonesia. Sejarah saat itu mencatat, sebagaimana istilah yang digunakan oleh
pihak keraton, bahwa keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta bukan
4 Jimly Ashiddiqie, Konstitusi Dan Konstitusionalisme Indonesia, Ed. Revisi, (Jakarta:
Sekretariat dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2006), h. 90-91.
72
merupakan pemberian Indonesia, melainkan ijab qabul antara pemerintah
Indonesia saat itu dengan kasultanan Yogyakarta. Hingga kemudian sampai
dengan saat ini negara terus “melindungi” keistimewaan Daerah Istimewa
Yogyakarta dalam Undang-Undang Dasar 1945. Apakah kemudian dengan
adanya keistimewaan tersebut, negara melupakan bahwa ada hak konstitusional
yang jauh lebih mendasar dalam kehidupan bernegara dan harus dilindungi,
bahkan dipenuhi oleh negara.
DPR dan Presiden adalah warga negara yang dipilih dari rakyat. Tanpa
ditanya lebih mendalam, pastinya DPR dan Presiden juga mengetahui hak
konstitusionalnya sebagai warga negara. Harusnya hal ini dapat diresapi sebagai
pelaksanaan pemerintahan terutama dalam pembentukan undang-undang.
Rancangan undang-undang yang berpotensi secara jelas mengurangi atau
menghilangkan substansi dari hak konstitusional warga negara menjadi
kewajiban pemerintah untuk kemudian secara tegas menolak membahas undang-
undang ini apalagi mengesahkannya menjadi undang-undang.
Pernyataan lain disampaikan oleh Zuhrif Hudaya selaku anggota DPRD
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Komisi D sekaligus Ketua Badan
Legislasi DPRD Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta pada tanggal 6 Juni 2015,
bahwa hak konstitusional warga negara Daerah Istimewa Yogyakarta telah
73
diberikan sepenuhnya kepada Sultan dan Paku Alam.5 Pertanyaan kemudian, apa
yang menjadi dasar dari pernyataan ini. Sejarah tidak pernah mencatat bahwa
secara keseluruhan masyarakat Yogyakarta telah memberikan hak
konstitusionalnya kepada Sultan Hamengku Buwono dan Paku Alam. Memang
dalam survei yang telah banyak dilakukan salah satunya oleh Kompas pada tahun
2010 bersumber pada buku Monarki Yogyakarta Inkonstitusional yang
diterbitkan oleh Kompas, menunjukan mayoritas warga negara di Daerah
Istimewa Yogyakarta masih menginginkan Sultan dan Paku Alam tetap menjadi
gubernur dan wakil gubernur seperti pada kondisi saat ini. Tetapi di lain pihak,
terdapat juga warga negara yang tidak menginginkan Sultan dan Paku Alam tetap
menjadi gubernur dan wakil gubernur dengan segala keberpihakannya. Jika yang
menjadi acuan adalah mayoritas warga Daerah Istimewa Yogyakarta yang masih
menginginkan Sultan dan Paku Alam sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur,
bukan berarti mengesampingkan warga negara lain yang secara minoritas tidak
menginginkan itu. Lagipula keinginan mayoritas tersebut juga hanya berdasar
pada survei, dan belum terbukti secara langsung dari masyarakat. Bukan tidak
mungkin malah justru banyak yang lebih menginginkan Sultan dan Paku Alam
tidak menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur di Yogyakarta
Hak dalam pengertiannya mengindikasikan kehadiran pemilik dari hak
tersebut. Tanpa pemilik, maka suatu hak diragukan statusnya sebagai hak.
5 Zuhrif Hudaya, Hasil Wawancara Dengan Penulis, (Yogyakarta: Kantor Dewan
Pengurus Wilayah Partai Keadilan Sejahtera), 6 Juni 2015.
74
Karena hak tidak bisa berdiri tanpa pemiliknya. Selain itu juga diketahui hak
sebagai sesuatu yang menghasilkan kebebasan atau keuntungan. Jika seseorang
dikatakan memiliki hak, maka sudah barang tentu kondisi tersebut menunjukan
bahwa orang tersebut mendapatkan keuntungan bukan kerugian. Terakhir
kepemilikan atas hak menghadirkan pula pihak terkait lainnya yang bertanggung
jawab untuk mengusahakan tersedianya keuntungan yang muncul atas
kepemilikan hak tersebut. Disimpulkan hak tidak bisa dimayoritaskan dan
diminoritaskan, harus dipenuhi seluruhnya sebagai satu kesatuan utuh
pemenuhan hak. Maka secara bijaksana pemilihan umum kepala daerah secara
langsung oleh rakyat yang tepat untuk memenuhi pemenuhan hak politik
tersebut.
Di sisi lain, berbicara mengenai Sultan dan Paku Alam, takhta Sultan dan
Paku Alam adalah takhta turun temurun dalam kerajaan yang diberikan kepada
keturunan atau adik laki-laki dari raja yang memiliki takhta tersebut sebelumnya.
Takhta ini disebut sebagai kekuasaan berdasarkan wewenang tradisional yakni
kepercayaan di antara anggota masyarakat bahwa tradisi lama serta
kedudukannya harus dihormati dan bersumber pada primordial atau tradisi.
Artinya kepercayaan yang telah berakar dipelihara secara terus menerus dalam
masyarakat dan orang yang berkuasa memerintah sebagai tradisi karena dia
keturunan dari pemimpin terdahulu. Takhta Sultan dan Paku Alam juga berdasar
pada legitimasi religios, yang mendasarkan bahwa hak untuk memerintah
75
dilandasi pada faktor-faktor yang adi-kodrati. Sehingga ia mendapat hak
ketuhanan (the devine right) untuk menjadi penguasa. Maka di dalam
kedudukannya Sultan disebut juga sebagai khalifatullah (wakil tuhan).
Sementara itu Gubernur dan Wakil Gubernur disebut sebagai kekuasaan
berdasarkan wewenang rasional-legal yakni kepercayaan pada tatanan hukum
rasional yang melandasi kedudukan seorang pemimpin. Sebagaimana pasal 18
ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan “ Gubernur, Bupati, dan
Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten,
dan kota dipilih secara demokratis”. Hak memerintahnya berasal dari sumber-
sumber legal atau peraturan perundang-undangan yang mengatur prosedur-
prosedur dan syarat-syarat menjadi pemimpin pemerintahan.
Antara Sultan dan Paku Alam dengan Gubernur dan Wakil Gubernur
adalah dua bentuk kekuasaan yang berbeda. Seharusnya dua kekuasaan yang
berasal dari wewenang dan hak memerintah yang bertolak belakang ini tidak bisa
dijadikan sebagai satu kesatuan kekuasaan. Hal ini akan menimbulkan kerancuan
dalam pelaksanaan pemerintahan yang dijalankannya. Dengan penyatuan
tersebut kita tidak bisa membedakan, mana yang merupakan perilaku kerajaan
dan mana yang merupakan perilaku pemerintahan. Di dalam undang-undang
keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta pun tidak ada pasal yang
membedakan antara keduanya. Imbasnya adalah, bisa dibayangkan bagaimana
dalam pelaksanaan pemerintahan aturan pemerintahnya bersifat mutlak dan tak
76
terbantahkan seperti halnya titah raja Sultan yang tidak bisa dibantah. Tentu
pemerintahan tersebut akan menjadi pemerintahan yang absolut (Absolute Of
Power), dan ini tidak dikehendaki berlaku di Indonesia.
Sejak bangsa Indonesia merdeka dan membentuk negara modern yang
diproklamasikan pada tanggal 17 agustus 1945 bentuk pemerintahan yang dipilih
adalah republik. Karena itu, falsafah dan kultur politik yang bersifat “kerajaan”
yang didasarkan atas sistem feodalisme dan paternalisme, tidaklah dikehendaki
oleh bangsa Indonesia modern. Bangsa Indonesia menghendaki negara modern
dengan pemerintahan “res publica”.
Berlakunya undang-undang keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta
telah menjadikan pasal-pasal dalam Undang-Undang Dasar 1945, yakni pasal
18B ayat (1) dengan pasal 18 ayat (4), pasal 27 ayat (1), pasal 28D ayat (3), pasal
28I ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 berjalan dengan saling bertentangan,
juga antara undang-undang keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta dengan
undang-undang hak asasi manusia. Hal ini tentu menimbulkan ambivalensi
hukum dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Pangkal permasalahannya adalah
dimulai dari disahkannya undang-undang keistimewaan Daerah Istimewa
Yogyakarta oleh DPR sebagai undang-undang yang berlaku di Indonesia.
Terutama terletak pada pengaturan pengisian jabatan Gubernur dan Wakil
Gubernur yang berpihak sepenuhnya kepada Sultan Hamengku Buwono dan
Paku Alam yang tidak dikehendaki berlaku di Indonesia.
77
Sebagai negara hukum, konstitusi negara ditegakkan pada posisi tertinggi
dalam hierarki peraturan perundang-undangan. Dalam konteks hierarki, tata
hukum digambarkan sebagai sebuah piramida dengan konstitusi sebagai hukum
tertinggi, dan peraturan yang berada di bawahnya merupakan penjabaran dari
konstitusi itu. Pandangan ini bersifat struktural karena memosisikan konstitusi di
puncak piramida. Sementara itu, pandangan kedua digagas Satjipto raharjo, yang
mengutip pendapat Hans Kelsen yang menyatakan bahwa, “this regressus is
terminated by highest, the basic norm...” (rangkaian pembentukan hukum
diakhiri oleh norma dasar yang tertinggi). Hierarki tata hukum digambarkan
sebagai piramida terbalik, dengan konstitusi sebagai hukum tertinggi berada di
dasar piramida. Pandangan ini lebih bersifat fungsional. Meskipun melihat dari
perspekif yang berbeda, namun kedua pandangan ini memiliki benang merah
yang sama bahwa pembentukan norma lebih rendah, ditentukan oleh norma lain
yang lebih tinggi, yang pembentukannya ditentukan oleh norma lain yang lebih
tinggi lagi dan rangkaian pembentukan hukum ini diakhiri oleh suatu norma
dasar tertinggi, yakni konstitusi. Artinya konstitusi merupakan norma abstrak
yang perlu dijabarkan dan diuraikan dalam produk-produk hukum yang berada di
bawahnya (concretiserung process).
Produk-produk hukum yang berada di bawah konstitusi tidak boleh
bertentangan dengan konstitusi. Dalam upaya menjaga agar produk hukum yang
berada di bawah konstitusi, maka terdapat kaidah-kaidah yang berfungsi untuk
78
menjaga agar produk hukum yang dibuat memiliki koherensi, konsistensi, dan
korespondensi serta tidak bertentangan dengan konstitusi baik dalam perspektif
formil maupun materil. Keseluruhan produk hukum harus merupakan satu
kesatuan yang harmonis (karena sinkron atau konsisten secara vertikal dan
horizontal) baik dari aspek materiil yang meliputi asas hukum karena memenuhi
asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, dan asas materi
muatan), serta sesuai dengan asas hukum yang merupakan latar
belakang/alasan/ratio legis dari pembentukan hukum, makna (baik makna yang
tersurat maupun yang tersirat), hingga penggunaan peristilahannya; maupun dari
aspek formil di mana cara penyusunannya harus sesuai dengan ketentuan yang
berlaku.
Perlu diketahui juga, bahwa berlakunya Undang-Undang Keistimewaan
Daerah Istimewa Yogyakarta memperlihatkan bagaimana politik telah
mempengaruhi hukum itu sendiri. Undang-Undang Keistimewaan Daerah
Istimewa Yogyakarta dapat dikatakan sebagai hasil atau kristalisasi dari
kehendak-kehendak politik yang saling berinteraksi dan (bahkan) saling
bersaingan. Terlihat disini bahwa dilihat dari hubungannya antara politik dan
hukum, hukum yang terpengaruh oleh politik, karena subsistem politik memiliki
konsentrasi energi yang lebih besar daripada hukum. Sehingga jika harus
berhadapan dengan politik, maka hukum berada dalam kedudukan yang lebih
lemah. Lebih kuatnya konsentrasi energi politik, menjadi beralasan adanya
79
konstatasi bahwa kerapkali otonomi hukum di Indonesia ini diintervensi oleh
politik, bukan hanya dalam proses pembuatannya, tetapi juga dalam
implementasinya.
Prinsip (atau sekedar semboyan) yang menyatakan politik hukum harus
bekerja sama dan saling menguatkan melalui ungkapan “hukum tanpa kekuasaan
adalah angan-angan, kekuasaan tanpa hukum adalah kelaliman, menjadi
semacam utopi belaka. Hal itu terjadi karena dalam praktiknya hukum kerap kali
menjadi cerminan dari kehendak pemegang kekuasaan politik sehingga tidak
sedikit orang yang memandang bahwa hukum sama dengan kekuasaan. Jelas
terlihat bagaimana Undang-Undang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta
yang merupakan hukum, telah melegitimasi kekuasaan secara penuh yang
dimiliki oleh Sultan Hamengku Buwono dan Paku Alam.
Melihat seluruh uraian yang telah dipaparkan di atas, dapat penulis
simpulkan bahwa Undang-Undang No.13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan
Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai perundang-undangan di Indonesia demi
menghasilkan produk hukum yang satu kesatuan dan harmonis seharusnya dalam
aturannya menyelaraskan baik hubungannya secara horisontal antara Undang-
Undang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta secara khusus pasal 18 ayat
(1) huruf (c) dan pasal 20 ayat (1) dengan undang-undang lain yang berlaku, juga
hubungannya secara vertikal dengan Undang-Undang Dasar 1945.
80
C. Masa Depan Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta Di Tengah Negara
Hukum
Indonesia secara eksplisit telah menyatakan sebagai negara hukum. Hal
ini secara jelas disebutkan dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 yang
mengatakan bahwa Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum
(Rechtsstaat) dan tidak berdasar pada kekuasaan belaka (Machtsstaat). Selain itu
disebutkan juga pada pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 bahwa
“Negara Indonesia adalah negara hukum”. Negara hukum dalam berbagai cirinya
telah banyak diungkapkan. Beberapa hal penting yang tidak bisa dihilangkan
dalam ciri negara hukum tersebut adalah perlindungan terhadap hak asasi
manusia, pemisahan kekuasaan, setiap tindakan pemerintah harus didasarkan
pada peraturan perundang-undangan, persamaan kedudukan dalam hukum dan
pemerintahan, serta menjamin keadilan bagi setiap orang termasuk terhadap
penyalahgunaan wewenang oleh pihak yang berkuasa. Dalam paham Negara
Hukum itu, hukum yang memegang komando tertinggi dalam penyelenggaraan
negara. Sesungguhnya yang memimpin dalam penyelenggaraan negara itu adalah
hukum itu sendiri sesuai dengan prinsip “the Rule of Law, and not of Man’, yang
sejalan dengan pengertian ‘nomocratie’, yaitu kekuasaan yang dijalankan oleh
hukum, ‘nomos’.
Dalam paham Negara Hukum yang demikian, harus diadakan jaminan
bahwa hukum itu sendiri dibangun dan ditegakkan menurut prinsip-prinsip
81
demokrasi. Karena prinsip supremasi hukum dan kedaulatan hukum itu sendiri
pada pokoknya berasal dari kedaulatan rakyat. Oleh sebab itu, prinsip negara
hukum hendak dibangun dan dikembangkan menurut prinsip-prinsip demokrasi
atau kedaulatan rakyat (Democratische Rechtsstaat). Hukum tidak boleh dibuat,
ditetapkan, ditafsirkan, dan ditegakkan dengan tangan besi berdasarkan
kekuasaan belaka (Mactsstaat).
Daerah Istimewa Yogyakarta dengan Undang-Undangnya kita yakini
sebagai usaha untuk tetap mempertahankan ketradisonalan khas daerah yang
dimiliki Yogyakarta sejak dahulu. Tetapi tidak tepat, jika aturan yang berlaku di
Kasultanan Yogyakarta dalam pengisian jabatan Sultan dan Paku Alam juga
diberlakukan untuk pemerintahan dalam pengisian jabatan Gubernur dan Wakil
Gubernur. Jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur dengan aturan pengisian
jabatannya telah mencakup ciri-ciri negara hukum yang dijalankan oleh
Indonesia. Sementara kedudukan Sultan Hamengku Buwono dan Paku Alam
tidak menghendaki adanya ciri-ciri negara hukum tersebut. Akan menjadi bom
waktu yang sedikit demi sedikit mengikis keistimewaan Yogyakarta, bila tetap
dipertahankan seperti saat ini. Karena tidak dapat dipungkiri kebijakan Sultan
dan Paku Alam sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur dengan segala
kemajuannya, memengaruhi juga dalam kebijakannya di kasultanan yang
seharusnya bersifat statis dan tetap secara turun temurun. Contoh nyata hal ini
adalah Titah Sabda Raja yang dikeluarkan oleh Sultan Hamengku Buwono X
82
yang menimbulkan konflik di dalam kerajaan Yogyakarta karena tidak sesuai
dengan aturan kerajaan yang telah berlaku turun temurun.6
Dari penjelasan di atas, saran yang baik bagi keberlangsungan
keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta tidak lagi seperti saat ini. Sultan dan
Paku Alam tetap dalam kedudukannya di Kasultanan Yogyakarta, namun tidak
lagi otomatis sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur. Gubernur dan Wakil
Gubernur dalam pengisian jabatannya berlaku aturan umum seperti daerah lain
dengan dilaksanakannya pemilihan umum kepala daerah secara bebas, adil, dan
berkala. Saran ini memang terlihat sulit untuk dilaksanakan, namun perlu
menjadi pertimbangan apabila keistimewaan Yogyakarta yang bersifat statis dan
turun temurun tidak ingin hilang keberadaannya di Indonesia sebagai negara
hukum yang terus berubah masyarakatnya seiring dengan perkembangan zaman
dan telah meninggalkan sistem monarki absolut seperti halnya Daerah Istimewa
Yogyakarta. Pasal 28I Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan “Identitas
budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan
zaman”. Maknanya, ketradisionalan dalam suatu daerah memang harus dihormati
6 Sultan HB X mengeluarkan sabda sebagai dhawuh, sabda tersebut adalah: (1) kata
Buwono menjadi Bawono; (2) Gelar Khalifatullah dihilangkan; (3) kata kaping Sedoso diganti
menjadi kaping Sepuluh; (4) Mengubah perjanjian pendiri Mataram antara Ki Ageng Giring dan
Ki Ageng Pemanahan; (5) menyempurnakan Keris Kiai Ageng Kopek dengan Kiai Ageng Joko
Piturun. Sebagai dhawuh, yang didapatkan melalui datangnya bisikan (wangsit), dan dapat pula
berupa isyarat (sasmito) dari para leluhur sebagai hasil sinergi antara ketajaman intuisi, olah
batin, dan olah rasa yang dilakukan terus menerus, sabda ini hanya dapat dilaksanakan dan tidak
dapat dibantah terlebih lagi kalau melulu mengandalkan rasionalitas. Perspektif publik dan
sementara anggota kerabat keraton melihat dari sisi rasional. Sehingga menjadi kontroversi dalam
menyikapi sabda ini.
83
oleh negara, namun tetap harus disesuaikan dengan perkembangan zaman yang
terus berkembang.
84
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian-uraian yang telah dipaparkan, dapat penulis kemukakan
kesimpulan sebagai jawaban atas dua pertanyaan yang terdapat pada Bab I
bagian rumusan masalah sebagai berikut:
1. Pengaturan mekanisme pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur
Daerah Istimewa Yogyakarta berdasarkan Undang-Undang No. 13 Tahun
2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (UUK DIY)
secara khusus Pasal 20 ayat (1) yang menyebutkan bahwa “Dalam
penyelenggaraan penetapan Gubernur dan Wakil Gubenur.......”. Satu sisi
merupakan amanat Pasal 18B ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang
menyebutkan bahwa “Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan
pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang
diatur dalam undang-undang”. Namun di sisi lain bertentangan dengan
Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945 bahwa “Gubernur, Bupati,
dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi,
kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis” yang menghendaki
pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur secara langsung.
2. Kemudian pengaturan mekanisme pengisian jabatan Gubernur dan Wakil
Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta berdasarkan Undang-Undang No.
85
13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta
secara khusus pada aturan lain yakni Pasal 18 ayat (1) huruf (c) yang
menyebutkan bahwa “Calon Gubernur dan calon Wakil Gubernur adalah
warga negara Republik Indonesia yang harus memenuhi syarat bertakhta
sebagai Sultan Hamengku Buwono untuk calon Gubernur dan bertakhta
sebagai Adipati Paku Alam untuk calon Wakil Gubernur” satu sisi juga
merupakan amanat Pasal 18B ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang
menyebutkan bahwa “Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan
pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang
diatur dalam undang-undang”. Namun disisi lain bertentangan dengan
Pasal 28D ayat (3) yang menyebutkan bahwa “Setiap warga negara
berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan” yang
melindungi hak politik warga negara untuk memilih kepada masyarakat
Yogyakarta dan dipilih untuk seluruh warga negara Indonesia.
3. Kemudian pengaturan mekanisme pengisian jabatan Gubernur dan Wakil
Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta telah menimbulkan ambivalensi
hukum dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Karena antara pasal-pasal
dalam Undang-Undang Dasar 1945 yakni pasal 18B ayat (1) dengan pasal
18B ayat (1) pasal 18 ayat (4), pasal 27 ayat (1), pasal 28D ayat (3), pasal
28I ayat (3) dan antara undang-undang yakni Undang-Undang No. 13
tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta dengan
86
Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia berjalan
dengan saling bertentangan satu sama lain.
B. Saran
1. Undang-Undang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta demi
menghasilkan produk hukum yang satu kesatuan dan harmonis
seharusnya dalam aturannya menyelaraskan hubungannya baik secara
horisontal antara Undang-Undang Keistimewaan Daerah Istimewa
Yogyakarta secara khusus pasal 18 ayat (1) huruf (c) dan pasal 20 ayat (1)
dengan undang-undang lain yang berlaku, juga hubungannya secara
vertikal dengan Undang-Undang Dasar 1945.
2. Undang-Undang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta demi
terbentuknya sebuah pemerintahan yang baik, maka perlu diubah
aturannya khusus dalam pengisian jabatan Gubernur dan Wakil
Gubernurnya tidak lagi melalui proses penetapan melainkan pemilihan
umum dan dapat diduduki jabatanya oleh seluruh warga negara di
Indonesia.
3. Warga negara sebagai pemilik dari hak politik harusnya lebih kritis lagi
terhadap hak-hak yang dimilikinya. Jika kemudian menemukan
perundang-undangan yang melanggar bahkan menghilangkan substansi
dari hak-hak yang dimiliki, dengan tegas menolak untuk kemudian
melakukan judicial review atas undang-undang tersebut.
87
4. Pemerintah dan DPR tidak lagi mengesahkan Undang-Undang yang
berpotensi mengurangi dan bahkan menghilangkan substansi hak-hak
warga negara yang merupakan hal yang sangat mendasar dalam
bernegara.
88
DAFTAR PUSTAKA
BUKU:
Abdullah, Rozali. Pelaksanaan Otonomi Luas Dengan Pemilihan Kepala Daerah
Secara Langsung. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005.
Agustino, Leo. Perihal Ilmu Politik, Cet. 1. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007.
Andrain, Charles. Kehidupan Politik dan Perubahan Sosial. Yogyakarta: Tiara
Wacana, 1992.
Ashiddiqie, Jimly. Konstitusi Dan Konstitusionalisme Indonesia, Ed. Revisi. Jakarta:
Sekretariat dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia,
2006.
Ashiddiqie, Jimly. Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, Ed. 2, Cet. 1.
Jakarta: Sinar Grafika. 2011.
Ashiddiqie, Jimly. Konstitusi Dan Konstitusionalisme Indonesia, Ed. Revisi. Jakarta:
Sekretariat dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia,
2006.
Atmakusumah, Tahta Untuk Rakyat. Jakarta: Gramedia, 1982.
Barry, Norman. An Introduction to Modern Theory, Ed. 4. London: Macmillan Press,
2000.
Bierstedt, Robert. An Analysis of Social Power. New York: Amerikan Sociological
Review, 1950.
Budiarjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
2008.
D. Laswell, Harold. Abraham Kaplan. Power and Society. New Heaven: Yale
University Press, 1950.
Easton, David. A System Analysis of Political Life. New York: John Willey and Sons,
1965.
89
Edi Subianto, Achmad. Jurnal Konstitusi Perlindungan Hak Konstitusional Melalui
Pengaduan Konstitusional. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2011.
Eisenstadt, S.N. Max Weber on Charisma and Institution Building. Chicago:
University Chicago Press, 1968.
El Muhtaj, Majda. Hak Asasi Manusia Dalam Konstitusi Indonesia. Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2007.
Goodwin, Barbara. Using Political Ideas, Ed. 4. England: Barbara Goodwin, 2003.
Hakim G Nusantara, Abdul. Politik Hukum Indonesia, Cet. 1. Jakarta: Yayasan
Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, 1998.
Indra, Mexsasai. Dinamika Hukum Tata Negara Indonesia. Bandung: Refika
Aditama, 2011.
Isnaeni Ramdan, Mochamad. Laporan Akhir Kompendium Pilkada. Jakarta:
Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Badan Pembinaan Hukum
Nasional Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia,
2011.
K.M Smith, Rhona, Njal Hostmaelinen, Christian Ranheim, d.k.k. Hukum Hak Asasi
Manusia, Cet.1. Yogyakarta: PUSHAM UII, 2008.
Kartodirjo, Sartono. Pengantar Sejarah Indonesia Baru 1500-1900. Jakarta:
Gramedia, 1987.
M Gaffar, Janedjri. Politik Hukum Pemilu. Jakarta: Konstitusi Press, 2012.
M. Mac Iver, Robert. The Web Goverment. New York: The Mac Millan Company,
1947.
Mahfud MD, Moh. Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi.
Jakarta: Rajawali Pers, 2011.
Mamuji, et.al., Sri. Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. Jakarta: Badan Penerbit
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005.
Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana, 2010.
90
Mexsasai Indra, Dinamika Hukum Tata Negara Indonesia. Bandung: Refika Aditama,
2011.
Moedjanto, G. Kasultanan Yogyakarta Dan Kadipaten Pakualaman. Yogyakarta:
Kanisius, 1994.
Mulya Lubis, Tudong. Bantuan Hukum dan Kemiskinan Struktural. Jakarta: LP3ES,
1984.
Nur Tjahjo, Hendra. Politik Hukum Tata Negara Indonesia, Ed. 1, Cet. 1, Jakarta:
Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia,
2004.
Poerwokoesoemo, Soedarisman. Kadipaten Pakualaman. Yogyakarta: Gajah Mada
University Press, 1985.
Riklefs, M.C. Yogyakarta Under Sultan Mangkubumi 1749-1792. New York-
Toronto-Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1974.
Ubaedillah, A. Abdul Razak. Pancasila, Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani.
Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2014.
Seno Adji, Oemar. Peradilan Bebas Negara Hukum. Jakarta: Erlangga, 1980.
Sodikin. Hukum Pemilu, Pemilu Sebagai Praktek Ketatanegaraan. Bekasi: Gramata
Publishing, 2014.
Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum Cet. 3. Jakarta: Penerbit
Universitas Indonesia, 1942.
______________. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Universitas Indonesia,
2005.
______________ dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat Cet. 3. Jakarta: Rajawali Pers, 1990.
Soeteman, Arend. Pluralisme And Law. London: Kluwer Academi Publishers, 2001.
Soni BL de Rosari, Aloysius. Sebuah Ijab Kabul “Monarki Yogya”
Inkonstitusional?, Cet. 1. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2011.
91
Suharizal. Pemilukada, Regulasi, Dinamika dan Konsep Mendatang. Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2011.
Sujanto. Daerah Istimewa Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jakarta:
Bina Aksara, 1998.
Surbakti, Ramlan. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: PT Grasinda, 2010.
Suwarno, P. J. Hemangku Buwono IX Dan Sistem Birokrasi Pemerintahan
Yogyakarta. Yogyakarta: Kanisius, 1994.
Van Niel, R. Munculnya Elit Modern Indonesia. Jakarta: Pustaka Jaya, 1984.
W. Nickel, James. Hak Asasi Manusia (Making Sense Of Human Rights,
Philosophical Reflection On The Universal Declaration Of Human Rights),
diterjemahkan oleh Titis Eddy Arini. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996.
Widjaja, HAW. Penyelenggaraan Otonomi Di Indonesia. Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2005.
DOKUMEN:
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 011-017/PUU-I/2003
Ceramah Gubernur Kepala Daerah Provinsi DIY dalam Sarasehan tentang Makna
Kepahlawanan Sri Sultan Hamengku Buwono IX, di Universitas Widya
Mataram, 16 November 1990.
Naskah Akademik dan Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta,
Monograph on Politics And Government Vol. 2. Yogyakarta: Jurusan Ilmu
Pemerintahan Universitas Gadjah Mada dan Program S2 Politik Lokal dan
Otonomi Daerah, 2008.
SKRIPSI DAN TESIS:
Ridho Putra, Gugum. Hak Mantan Narapidana Untuk Dipilih Dalam Pemilihan
Umum Kepala Daerah. Jakarta: Skripsi Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, 2012.
92
Widyastanti, Nur. Kedudukan Hak Turut Serta Dalam Pemerintahan Dalam Tatanan
Konsep Demokrasi Di Indonesia, Jakarta: Tesis Program Pasca Sarjana
Universitas Indonesia, 2009.
PERUNDANG-UNDANGAN:
Undang-Undang Dasar 1945.
Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.
Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.
Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan.
Undang-Undang No.15 Tahun 2011 Tentang Pemilihan Umum.
Undang-Undang No. 13 Tahun 2012 Tentang Keistimewaan Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta.
Undang-Undang No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD.
Kovenan Hak Asasi Manusia Mengenai Hak Sipil Dan Politik
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 13 TAHUN 2012
TENTANG
KEISTIMEWAAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa negara mengakui dan menghormati satuan-satuan
pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang;
b. bahwa Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan
Kadipaten Pakualaman yang telah mempunyai wilayah, pemerintahan, dan penduduk sebelum lahirnya
Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 berperan dan memberikan sumbangsih yang besar dalam mempertahankan,
mengisi, dan menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
c. bahwa Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang
Pembentukan Daerah Istimewa Jogjakarta sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1955 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 3 jo. Nomor 19 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta belum
mengatur secara lengkap mengenai keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu membentuk Undang-Undang tentang Keistimewaan Daerah Istimewa
Yogyakarta; Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 18B, dan
Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang . . .
- 2 -
2. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Jogjakarta (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 1950 Nomor 3) sebagaimana
telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1955 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 3 jo. Nomor 19 Tahun 1950
tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1955
Nomor 43, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 827);
3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4844);
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG KEISTIMEWAAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Daerah Istimewa Yogyakarta, selanjutnya disebut DIY,
adalah daerah provinsi yang mempunyai keistimewaan dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan dalam
kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2. Keistimewaan . . .
- 3 -
2. Keistimewaan adalah keistimewaan kedudukan hukum yang dimiliki oleh DIY berdasarkan sejarah dan hak asal-usul menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 untuk mengatur dan mengurus kewenangan istimewa.
3. Kewenangan Istimewa adalah wewenang tambahan tertentu
yang dimiliki DIY selain wewenang sebagaimana ditentukan dalam undang-undang tentang pemerintahan daerah.
4. Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, selanjutnya disebut Kasultanan, adalah warisan budaya bangsa yang berlangsung secara turun-temurun dan dipimpin oleh
Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senapati Ing Ngalaga
Ngabdurrakhman Sayidin Panatagama Kalifatullah, selanjutnya disebut Sultan Hamengku Buwono.
5. Kadipaten Pakualaman, selanjutnya disebut Kadipaten,
adalah warisan budaya bangsa yang berlangsung secara turun-temurun dan dipimpin oleh Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Paku Alam, selanjutnya disebut Adipati Paku
Alam.
6. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah
Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
7. Pemerintahan Daerah DIY adalah pemerintahan daerah
dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan dan urusan keistimewaan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah DIY dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DIY.
8. Pemerintah Daerah DIY adalah unsur penyelenggara pemerintahan yang terdiri atas Gubernur DIY dan
perangkat daerah.
9. Gubernur DIY, selanjutnya disebut Gubernur, adalah Kepala Daerah DIY yang karena jabatannya juga
berkedudukan sebagai wakil Pemerintah.
10. Wakil Gubernur DIY, selanjutnya disebut Wakil Gubernur,
adalah Wakil Kepala Daerah DIY yang mempunyai tugas membantu Gubernur.
11. Dewan . . .
- 4 -
11. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DIY, selanjutnya disebut DPRD DIY, adalah lembaga perwakilan rakyat daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah DIY.
12. Peraturan Daerah DIY, selanjutnya disebut Perda, adalah Peraturan Daerah DIY yang dibentuk DPRD DIY dengan persetujuan bersama Gubernur untuk mengatur
penyelenggaraan urusan pemerintahan provinsi sebagaimana diatur dalam undang-undang tentang
pemerintahan daerah.
13. Peraturan Daerah Istimewa DIY, selanjutnya disebut Perdais, adalah Peraturan Daerah DIY yang dibentuk oleh
DPRD DIY bersama Gubernur untuk mengatur penyelenggaraan Kewenangan Istimewa.
14. Menteri adalah Menteri Dalam Negeri.
BAB II
BATAS DAN PEMBAGIAN WILAYAH
Bagian Kesatu Batas Wilayah
Pasal 2
(1) DIY memiliki batas-batas:
a. sebelah utara dengan Kabupaten Magelang dan Kabupaten Boyolali, Provinsi Jawa Tengah;
b. sebelah timur dengan Kabupaten Klaten dan
Kabupaten Wonogiri, Provinsi Jawa Tengah;
c. sebelah selatan dengan Samudera Hindia; dan
d. sebelah barat dengan Kabupaten Purworejo, Provinsi Jawa Tengah.
(2) Batas wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dituangkan ke dalam peta yang tercantum pada Lampiran sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari
Undang-Undang ini.
Bagian Kedua . . .
- 5 -
Bagian Kedua Pembagian Wilayah
Pasal 3
Wilayah DIY terdiri atas:
a. Kota Yogyakarta;
b. Kabupaten Sleman;
c. Kabupaten Bantul;
d. Kabupaten Kulonprogo; dan
e. Kabupaten Gunungkidul.
BAB III ASAS DAN TUJUAN
Bagian Kesatu
Asas
Pasal 4
Pengaturan Keistimewaan DIY dilaksanakan berdasarkan asas:
a. pengakuan atas hak asal-usul;
b. kerakyatan;
c. demokrasi;
d. ke-bhinneka-tunggal-ika-an;
e. efektivitas pemerintahan;
f. kepentingan nasional; dan
g. pendayagunaan kearifan lokal.
Bagian Kedua Tujuan
Pasal 5
(1) Pengaturan Keistimewaan DIY bertujuan untuk:
a. mewujudkan pemerintahan yang demokratis;
b. mewujudkan kesejahteraan dan ketenteraman masyarakat;
c. mewujudkan . . .
- 6 -
c. mewujudkan tata pemerintahan dan tatanan sosial yang menjamin ke-bhinneka-tunggal-ika-an dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia;
d. menciptakan pemerintahan yang baik; dan
e. melembagakan peran dan tanggung jawab Kasultanan dan Kadipaten dalam menjaga dan mengembangkan
budaya Yogyakarta yang merupakan warisan budaya bangsa.
(2) Pemerintahan yang demokratis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diwujudkan melalui:
a. pengisian jabatan Gubernur dan jabatan
Wakil Gubernur;
b. pengisian keanggotaan DPRD DIY melalui pemilihan
umum;
c. pembagian kekuasaan antara Gubernur dan Wakil Gubernur dengan DPRD DIY;
d. mekanisme penyeimbang antara Pemerintah Daerah DIY dan DPRD DIY; dan
e. partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan
pemerintahan.
(3) Kesejahteraan dan ketenteraman masyarakat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diwujudkan melalui kebijakan yang berorientasi pada kepentingan masyarakat dan pengembangan kemampuan masyarakat.
(4) Tata pemerintahan dan tatanan sosial yang menjamin ke-bhinneka-tunggal-ika-an dalam kerangka Negara
Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c diwujudkan melalui:
a. pengayoman dan pembimbingan masyarakat oleh
Pemerintahan Daerah DIY; dan
b. pemeliharaan dan pendayagunaan nilai-nilai musyawarah, gotong royong, solidaritas, tenggang
rasa, dan toleransi oleh Pemerintahan Daerah DIY dan masyarakat DIY.
(5) Pemerintahan yang baik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d diwujudkan melalui:
a. pelaksanaan prinsip efektivitas;
b. transparansi;
c. akuntabilitas . . .
- 7 -
c. akuntabilitas;
d. partisipasi;
e. kesetaraan; dan
f. penegakan hukum.
(6) Pelembagaan peran dan tanggung jawab Kasultanan dan Kadipaten dalam menjaga dan mengembangkan
budaya Yogyakarta yang merupakan warisan budaya bangsa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e
diwujudkan melalui pemeliharaan, pendayagunaan, serta pengembangan dan penguatan nilai-nilai, norma, adat istiadat, dan tradisi luhur yang mengakar dalam
masyarakat DIY.
BAB IV
KEWENANGAN
Pasal 6
Kewenangan Istimewa DIY berada di Provinsi.
Pasal 7
(1) Kewenangan DIY sebagai daerah otonom mencakup kewenangan dalam urusan Pemerintahan Daerah DIY sebagaimana dimaksud dalam undang-undang tentang
pemerintahan daerah dan urusan Keistimewaan yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini.
(2) Kewenangan dalam urusan Keistimewaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. tata cara pengisian jabatan, kedudukan, tugas, dan
wewenang Gubernur dan Wakil Gubernur;
b. kelembagaan Pemerintah Daerah DIY;
c. kebudayaan;
d. pertanahan; dan
e. tata ruang.
(3) Penyelenggaraan kewenangan dalam urusan Keistimewaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) didasarkan pada nilai-nilai kearifan lokal dan
keberpihakan kepada rakyat.
(4) Ketentuan . . .
- 8 -
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai kewenangan dalam urusan Keistimewaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Perdais.
BAB V
BENTUK DAN SUSUNAN PEMERINTAHAN
Bagian Kesatu Umum
Pasal 8
(1) DIY memiliki bentuk dan susunan pemerintahan yang
bersifat istimewa.
(2) Pemerintahan Daerah DIY terdiri atas Pemerintah Daerah DIY dan DPRD DIY.
Bagian Kedua
Pemerintah Daerah DIY
Pasal 9
(1) Pemerintah Daerah DIY dipimpin oleh Gubernur.
(2) Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, Gubernur
dibantu oleh Wakil Gubernur.
Pasal 10
(1) Gubernur bertugas:
a. memimpin penyelenggaraan urusan pemerintahan dan urusan Keistimewaan berdasarkan peraturan
perundang-undangan, dan kebijakan yang ditetapkan bersama DPRD DIY;
b. mengoordinasikan tugas satuan kerja perangkat daerah dan instansi vertikal di daerah;
c. memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat;
d. menyusun dan mengajukan rancangan Perda tentang rencana pembangunan jangka panjang daerah dan rencana pembangunan jangka menengah daerah
kepada DPRD DIY untuk dibahas bersama serta menyusun dan menetapkan rencana kerja perangkat
daerah;
e. menyusun . . .
- 9 -
e. menyusun dan mengajukan rancangan Perda tentang anggaran pendapatan dan belanja daerah, rancangan Perda tentang perubahan anggaran pendapatan
dan belanja daerah, dan rancangan Perda tentang pertanggungjawaban pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja daerah kepada DPRD DIY
untuk dibahas bersama;
f. mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan;
g. melakukan pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan urusan Pemerintahan Daerah DIY di kabupaten/kota;
h. melakukan pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah
kabupaten/kota di wilayahnya; dan
i. melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Gubernur berwenang:
a. mengajukan rancangan Perda dan rancangan Perdais;
b. menetapkan Perda dan Perdais yang telah mendapat
persetujuan bersama DPRD DIY;
c. menetapkan peraturan Gubernur dan keputusan
Gubernur;
d. mengambil tindakan tertentu dalam keadaan mendesak yang sangat dibutuhkan oleh daerah dan
masyarakat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
e. melaksanakan wewenang lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 11
Gubernur berhak:
a. menyampaikan usul dan/atau pendapat kepada Pemerintah dalam rangka penyelenggaraan Kewenangan
Istimewa;
b. mendapatkan informasi mengenai kebijakan dan/atau informasi yang diperlukan untuk perumusan kebijakan
mengenai Keistimewaan DIY;
c. mengusulkan perubahan atau penggantian Perdais; dan
d. mendapatkan . . .
- 10 -
d. mendapatkan kedudukan protokoler dan keuangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 12
(1) Gubernur karena jabatannya berkedudukan juga sebagai
wakil Pemerintah.
(2) Dalam kedudukan sebagai wakil Pemerintah, Gubernur
bertanggung jawab kepada Presiden.
(3) Ketentuan mengenai kedudukan, tugas, dan wewenang Gubernur sebagai wakil Pemerintah berlaku ketentuan
sebagaimana diatur dalam undang-undang tentang pemerintahan daerah.
Pasal 13
(1) Wakil Gubernur bertugas:
a. membantu Gubernur dalam:
1) memimpin penyelenggaraan urusan pemerintahan dan urusan Keistimewaan;
2) mengoordinasikan kegiatan satuan kerja perangkat daerah dan instansi vertikal di daerah;
3) menindaklanjuti laporan dan/atau temuan hasil
pengawasan aparat pengawasan; dan
4) memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah kabupaten/kota.
b. memberikan saran dan pertimbangan kepada Gubernur dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan dan urusan Keistimewaan;
c. melaksanakan tugas sehari-sehari Gubernur apabila Gubernur berhalangan sementara; dan
d. melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
(2) Selain melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Wakil Gubernur melaksanakan tugas pemerintahan lainnya yang diberikan oleh Gubernur yang ditetapkan dengan keputusan Gubernur.
(3) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Wakil Gubernur bertanggung
jawab kepada Gubernur.
Pasal 14 . . .
- 11 -
Pasal 14
Wakil Gubernur berhak mendapatkan kedudukan protokoler dan keuangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Pasal 15
(1) Gubernur dan Wakil Gubernur berkewajiban:
a. memegang teguh dan mengamalkan Pancasila,
melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia;
b. meningkatkan kesejahteraan rakyat;
c. memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat;
d. melaksanakan kehidupan berdemokrasi;
e. menaati dan menegakkan semua peraturan
perundang-undangan;
f. menjaga etika dan norma dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah;
g. memajukan dan mengembangkan daya saing daerah;
h. melaksanakan prinsip tata pemerintahan yang baik
dan bersih;
i. melaksanakan dan mempertanggungjawabkan pengelolaan keuangan daerah;
j. menjalin hubungan kerja dengan semua perangkat daerah dan instansi vertikal di daerah; dan
k. melestarikan dan mengembangkan budaya Yogyakarta serta melindungi berbagai budaya masyarakat daerah lainnya yang berada di DIY.
(2) Selain berkewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Gubernur berkewajiban:
a. menyampaikan laporan penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah DIY kepada Pemerintah;
b. menyampaikan laporan keterangan
pertanggungjawaban tahunan dan akhir masa jabatan kepada DPRD DIY; dan
c. menginformasikan . . .
- 12 -
c. menginformasikan laporan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah DIY dan laporan keterangan pertanggungjawaban tahunan dan akhir masa jabatan
kepada masyarakat.
(3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a disampaikan kepada Presiden melalui Menteri setiap
1 (satu) tahun sekali.
(4) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) digunakan
Pemerintah sebagai dasar melakukan evaluasi penyelenggaraan Pemerintahan Daerah DIY sebagai bahan pembinaan lebih lanjut sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 16
Gubernur dan Wakil Gubernur dilarang:
a. membuat keputusan yang secara khusus memberikan keuntungan kepada diri sendiri, anggota keluarga, atau kroni, merugikan kepentingan umum, dan meresahkan
sekelompok masyarakat, atau mendiskriminasi warga negara atau golongan masyarakat tertentu;
b. turut serta dalam perusahaan, baik milik swasta maupun milik negara/milik daerah, atau dalam yayasan bidang apa pun;
c. melakukan pekerjaan lain yang memberikan keuntungan kepada dirinya, baik secara langsung maupun tidak
langsung, yang berhubungan dengan daerah yang bersangkutan;
d. melakukan korupsi, kolusi, nepotisme, atau menerima
uang, barang dan/atau jasa dari pihak lain yang memengaruhi keputusan atau tindakan yang akan dilakukannya;
e. menjadi advokat atau kuasa hukum dalam perkara di pengadilan;
f. menyalahgunakan wewenang dan melanggar sumpah/janji jabatan; dan
g. merangkap jabatan sebagai pejabat negara lainnya atau
sebagai anggota DPRD DIY sebagaimana yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Bagian Ketiga . . .
- 13 -
Bagian Ketiga DPRD DIY
Pasal 17
(1) DPRD DIY mempunyai kedudukan, susunan, tugas, serta wewenang sebagaimana ditentukan dalam peraturan
perundang-undangan.
(2) Selain bertugas dan berwenang sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), DPRD DIY bertugas dan berwenang:
a. menetapkan Gubernur dan Wakil Gubernur; dan
b. membentuk Perda dan Perdais bersama Gubernur.
(3) Pelaksanaan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam peraturan tata
tertib DPRD DIY yang disusun dan ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
BAB VI PENGISIAN JABATAN GUBERNUR DAN WAKIL GUBERNUR
Bagian Kesatu Persyaratan
Pasal 18
(1) Calon Gubernur dan calon Wakil Gubernur adalah warga
negara Republik Indonesia yang harus memenuhi syarat:
a. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
b. setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945,
dan Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta Pemerintah;
c. bertakhta sebagai Sultan Hamengku Buwono untuk
calon Gubernur dan bertakhta sebagai Adipati Paku Alam untuk calon Wakil Gubernur;
d. berpendidikan sekurang-kurangnya sekolah lanjutan tingkat atas atau sederajat;
e. berusia sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) tahun;
f. mampu secara jasmani dan rohani berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan menyeluruh dari tim
dokter/rumah sakit pemerintah;
g. tidak . . .
- 14 -
g. tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang
diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali yang bersangkutan telah selesai menjalani pidana lebih dari 5 (lima) tahun dan
mengumumkan secara terbuka dan jujur kepada publik bahwa dirinya pernah menjadi terpidana serta
tidak akan mengulangi tindak pidana;
h. tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap;
i. menyerahkan daftar kekayaan pribadi dan bersedia
untuk diumumkan;
j. tidak sedang memiliki tanggungan utang secara perseorangan dan/atau secara badan hukum yang
menjadi tanggung jawabnya yang merugikan keuangan negara;
k. tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
l. memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP);
m. menyerahkan daftar riwayat hidup yang memuat, antara lain riwayat pendidikan, pekerjaan, saudara
kandung, istri, dan anak; dan
n. bukan sebagai anggota partai politik.
(2) Kelengkapan persyaratan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) meliputi:
a. surat pernyataan bermeterai cukup dari yang bersangkutan yang menyatakan dirinya setia kepada
Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
cita-cita Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta Pemerintah, sebagai bukti pemenuhan syarat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b;
b. surat . . .
- 15 -
b. surat pengukuhan yang menyatakan Sultan Hamengku Buwono bertakhta di Kasultanan dan surat pengukuhan yang menyatakan Adipati Paku Alam
bertakhta di Kadipaten, sebagai bukti pemenuhan syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c;
c. bukti kelulusan berupa fotokopi ijazah atau sebutan
lain dari tingkat dasar sampai dengan sekolah lanjutan tingkat atas (dan/atau tingkatan yang lebih tinggi),
sertifikat, atau surat keterangan lain yang dilegalisasi oleh instansi yang berwenang, sebagai bukti pemenuhan syarat sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf d;
d. akta kelahiran/surat kenal lahir warga negara
Indonesia, sebagai bukti pemenuhan syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e;
e. surat keterangan kesehatan dari tim dokter/rumah
sakit pemerintah yang menerangkan bahwa yang bersangkutan mampu secara jasmani dan rohani melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Gubernur
dan Wakil Gubernur, sebagai bukti pemenuhan syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f;
f. surat keterangan pengadilan negeri atau kementerian yang menangani urusan pemerintahan di bidang hukum, sebagai bukti pemenuhan syarat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf g;
g. surat keterangan pengadilan negeri yang menyatakan
tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, sebagai bukti pemenuhan syarat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h;
h. surat tanda terima atau bukti penyampaian laporan harta kekayaan pribadi kepada lembaga yang
menangani pemberantasan korupsi dan surat pernyataan bersedia daftar kekayaan pribadinya
diumumkan, sebagai bukti pemenuhan syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf i;
i. surat keterangan pengadilan niaga/pengadilan negeri
yang menerangkan tidak sedang memiliki tanggungan utang secara perseorangan dan/atau secara badan
hukum yang menjadi tanggung jawabnya yang merugikan keuangan negara, sebagai bukti pemenuhan syarat sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf j;
j. surat . . .
- 16 -
j. surat keterangan pengadilan niaga/pengadilan negeri yang menerangkan bahwa yang bersangkutan tidak sedang dalam keadaan pailit, sebagai bukti
pemenuhan syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf k;
k. fotokopi kartu NPWP, sebagai bukti pemenuhan syarat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf l;
l. daftar riwayat hidup yang ditandatangani calon,
sebagai bukti pemenuhan syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf m; dan
m. surat pernyataan bukan sebagai anggota partai politik,
sebagai bukti pemenuhan syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf n.
Bagian Kedua
Tata Cara Pengajuan Calon
Pasal 19
(1) DPRD DIY memberitahukan kepada Gubernur dan Wakil Gubernur serta Kasultanan dan Kadipaten tentang
berakhirnya masa jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur paling lambat 3 (tiga) bulan sebelum berakhirnya masa jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur.
(2) Berdasarkan pemberitahuan dari DPRD DIY sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kasultanan mengajukan
Sultan Hamengku Buwono yang bertakhta sebagai calon Gubernur dan Kadipaten mengajukan Adipati Paku Alam yang bertakhta sebagai calon Wakil Gubernur paling
lambat 30 (tiga puluh) hari setelah surat pemberitahuan DPRD DIY diterima.
(3) Kasultanan dan Kadipaten pada saat mengajukan calon
Gubernur dan calon Wakil Gubernur kepada DPRD DIY menyerahkan:
a. surat pencalonan untuk calon Gubernur yang ditandatangani oleh Penghageng Kawedanan Hageng Panitrapura Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat;
b. surat pencalonan untuk calon Wakil Gubernur yang ditandatangani oleh Penghageng Kawedanan Hageng
Kasentanan Kadipaten Pakualaman;
c. surat . . .
- 17 -
c. surat pernyataan kesediaan Sultan Hamengku Buwono yang bertakhta sebagai calon Gubernur dan
Adipati Paku Alam yang bertakhta sebagai calon Wakil Gubernur; dan
d. kelengkapan persyaratan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 18 ayat (2).
Pasal 20
(1) Dalam penyelenggaraan penetapan Gubernur dan Wakil Gubernur, DPRD DIY membentuk Panitia Khusus
Penyusunan Tata Tertib Penetapan Gubernur dan Wakil Gubernur paling lambat 1 (satu) bulan setelah pemberitahuan berakhirnya masa jabatan Sultan
Hamengku Buwono yang bertakhta sebagai Gubernur dan Adipati Paku Alam yang bertakhta sebagai Wakil Gubernur.
(2) Panitia Khusus Penyusunan Tata Tertib Penetapan Gubernur dan Wakil Gubernur sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dibentuk dengan keputusan pimpinan DPRD DIY.
(3) Panitia Khusus Penyusunan Tata Tertib Penetapan
Gubernur dan Wakil Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bertugas menyusun tata tertib penetapan
Gubernur dan Wakil Gubernur.
(4) Tata tertib penetapan Gubernur dan Wakil Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus sudah
ditetapkan paling lambat 7 (tujuh) hari setelah Panitia Khusus Penyusunan Tata Tertib Penetapan Gubernur dan Wakil Gubernur dibentuk.
(5) Anggota Panitia Khusus Penyusunan Tata Tertib Penetapan Gubernur dan Wakil Gubernur terdiri atas
wakil fraksi-fraksi.
(6) Tugas Panitia Khusus Penyusunan Tata Tertib Penetapan Gubernur dan Wakil Gubernur berakhir pada saat tata
tertib penetapan Gubernur dan Wakil Gubernur ditetapkan.
Bagian Ketiga . . .
- 18 -
Bagian Ketiga Verifikasi dan Penetapan
Paragraf 1 Verifikasi
Pasal 21
DPRD DIY melakukan verifikasi terhadap dokumen
persyaratan Sultan Hamengku Buwono sebagai calon Gubernur dan Adipati Paku Alam sebagai calon Wakil Gubernur.
Pasal 22
(1) Dalam melakukan verifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, DPRD DIY membentuk Panitia Khusus Penetapan Gubernur dan Wakil Gubernur.
(2) Panitia Khusus Penetapan Gubernur dan Wakil Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk dengan keputusan pimpinan DPRD DIY.
(3) Panitia Khusus Penetapan Gubernur dan Wakil Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bertugas sebagai
penyelenggara dan penanggung jawab penetapan Gubernur dan Wakil Gubernur.
(4) Anggota Panitia Khusus Penetapan Gubernur dan Wakil
Gubernur terdiri atas wakil fraksi-fraksi.
(5) Ketua dan Wakil Ketua DPRD DIY karena jabatannya
adalah Ketua dan Wakil Ketua Panitia Khusus Penetapan Gubernur dan Wakil Gubernur merangkap anggota.
(6) Sekretaris DPRD DIY karena jabatannya adalah sekretaris
Panitia Khusus Penetapan Gubernur dan Wakil Gubernur dan bukan anggota.
(7) Tugas Panitia Khusus Penetapan Gubernur dan Wakil
Gubernur diatur dalam tata tertib penetapan Gubernur dan Wakil Gubernur.
(8) Panitia Khusus Penetapan Gubernur dan Wakil Gubernur mengumumkan jadwal penetapan yang meliputi tahapan pengajuan calon Gubernur dan calon Wakil Gubernur
sampai dengan rencana pelaksanaan pelantikan.
(9) Pengumuman jadwal penetapan dilaksanakan melalui
media massa yang ada di daerah setempat.
(10) Tugas . . .
- 19 -
(10) Tugas Panitia Khusus Penetapan Gubernur dan Wakil Gubernur berakhir pada saat Gubernur dan Wakil Gubernur dilantik.
(11) Menteri melakukan fasilitasi dan supervisi dalam pelaksanaan penetapan Gubernur dan Wakil Gubernur.
Pasal 23
(1) Panitia Khusus Penetapan Gubernur dan Wakil Gubernur melakukan verifikasi atas usul calon Gubernur dari
Kasultanan dan calon Wakil Gubernur dari Kadipaten.
(2) Panitia Khusus Penetapan Gubernur dan Wakil Gubernur melakukan verifikasi calon Gubernur dan calon Wakil
Gubernur dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari.
(3) Apabila terdapat syarat yang belum terpenuhi sebagai
calon Gubernur dan calon Wakil Gubernur, Panitia Khusus Penetapan Gubernur dan Wakil Gubernur menyampaikan pemberitahuan kepada Kasultanan dan
Kadipaten untuk melengkapi syarat paling lambat 7 (tujuh) hari setelah selesainya verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Jika Panitia Khusus Penetapan Gubernur dan Wakil Gubernur menyatakan persyaratan sudah terpenuhi,
Panitia Khusus Penetapan Gubernur dan Wakil Gubernur menetapkan calon Gubernur dan calon Wakil Gubernur dalam berita acara untuk selanjutnya disampaikan
kepada Pimpinan DPRD DIY dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari.
Paragraf 2 Penetapan
Pasal 24
(1) DPRD DIY menyelenggarakan rapat paripurna dengan
agenda pemaparan visi, misi, dan program calon Gubernur paling lama 7 (tujuh) hari setelah diterimanya
hasil penetapan dari Panitia Khusus Penetapan Gubernur dan Wakil Gubernur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (4).
(2) Visi, misi, dan program sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berpedoman pada rencana pembangunan jangka panjang daerah DIY dan perkembangan lingkungan
strategis.
(3) Setelah . . .
- 20 -
(3) Setelah penyampaian visi, misi, dan program sebagaimana dimaksud pada ayat (1), DPRD DIY menetapkan Sultan Hamengku Buwono yang bertakhta sebagai
Gubernur dan Adipati Paku Alam yang bertakhta sebagai Wakil Gubernur.
(4) Berdasarkan penetapan sebagaimana dimaksud pada
ayat (3), DPRD DIY mengusulkan kepada Presiden melalui Menteri untuk mendapatkan pengesahan penetapan
Sultan Hamengku Buwono yang bertakhta sebagai Gubernur dan Adipati Paku Alam yang bertakhta sebagai Wakil Gubernur.
(5) Presiden mengesahkan penetapan Gubernur dan Wakil Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
berdasarkan usulan Menteri.
(6) Menteri menyampaikan pemberitahuan tentang pengesahan penetapan Gubernur dan Wakil Gubernur
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) kepada DPRD DIY serta Sultan Hamengku Buwono dan Adipati Paku Alam.
Pasal 25
(1) Masa jabatan Sultan Hamengku Buwono yang bertakhta
sebagai Gubernur dan Adipati Paku Alam yang bertakhta sebagai Wakil Gubernur selama 5 (lima) tahun terhitung sejak pelantikan.
(2) Sultan Hamengku Buwono yang bertakhta sebagai Gubernur dan Adipati Paku Alam yang bertakhta sebagai
Wakil Gubernur tidak terikat ketentuan 2 (dua) kali periodisasi masa jabatan sebagaimana diatur dalam undang-undang tentang pemerintahan daerah.
Pasal 26
(1) Dalam hal Sultan Hamengku Buwono yang bertakhta
memenuhi syarat sebagai calon Gubernur dan Adipati Paku Alam yang bertakhta tidak memenuhi syarat sebagai calon Wakil Gubernur, DPRD DIY menetapkan Sultan
Hamengku Buwono yang bertakhta sebagai Gubernur.
(2) Sebagai Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Sultan Hamengku Buwono yang bertakhta sekaligus
melaksanakan tugas Wakil Gubernur sampai dengan dilantiknya Adipati Paku Alam yang bertakhta sebagai
Wakil Gubernur.
(3) Dalam . . .
- 21 -
(3) Dalam hal Sultan Hamengku Buwono tidak memenuhi syarat sebagai calon Gubernur dan Adipati Paku Alam memenuhi syarat sebagai calon Wakil Gubernur,
DPRD DIY menetapkan Adipati Paku Alam sebagai Wakil Gubernur.
(4) Sebagai Wakil Gubernur sebagaimana dimaksud pada
ayat (3), Adipati Paku Alam yang bertakhta sekaligus melaksanakan tugas Gubernur sampai dengan dilantiknya
Sultan Hamengku Buwono yang bertakhta sebagai Gubernur.
(5) Berdasarkan penetapan Sultan Hamengku Buwono yang
bertakhta sebagai Gubernur atau Adipati Paku Alam yang bertakhta sebagai Wakil Gubernur sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (3), DPRD DIY mengusulkan kepada Presiden melalui Menteri untuk mendapatkan pengesahan penetapan.
(6) Presiden mengesahkan penetapan Gubernur dan Wakil Gubernur berdasarkan usulan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (5).
(7) Dalam hal Sultan Hamengku Buwono yang bertakhta tidak memenuhi syarat sebagai Gubernur dan
Adipati Paku Alam yang bertakhta tidak memenuhi syarat sebagai Wakil Gubernur, Pemerintah mengangkat Penjabat Gubernur setelah mendapatkan pertimbangan
Kasultanan dan Kadipaten sampai dilantiknya Sultan Hamengku Buwono yang bertakhta sebagai
Gubernur dan/atau Adipati Paku Alam yang bertakhta sebagai Wakil Gubernur.
(8) Pengangkatan Penjabat Gubernur sebagaimana dimaksud
pada ayat (7) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian Keempat
Pelantikan Gubernur dan Wakil Gubernur
Pasal 27
(1) Pelantikan Gubernur dan/atau Wakil Gubernur dilakukan oleh Presiden.
(2) Dalam . . .
- 22 -
(2) Dalam hal Presiden berhalangan, pelantikan Gubernur dan/atau Wakil Gubernur dilakukan oleh Wakil Presiden.
(3) Dalam hal Presiden dan Wakil Presiden berhalangan,
pelantikan Gubernur dan/atau Wakil Gubernur dilakukan oleh Menteri.
BAB VII GUBERNUR DAN/ATAU WAKIL GUBERNUR BERHALANGAN
Pasal 28
(1) Dalam hal Gubernur berhalangan tetap atau tidak
memenuhi persyaratan lagi sebagai Gubernur atau diberhentikan sebelum berakhirnya masa jabatan Gubernur, Wakil Gubernur sekaligus juga melaksanakan
tugas Gubernur.
(2) Wakil Gubernur melaksanakan tugas Gubernur
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berakhir pada saat dilantiknya Gubernur definitif.
(3) Dalam hal Wakil Gubernur berhalangan tetap atau tidak
memenuhi persyaratan lagi sebagai Wakil Gubernur atau diberhentikan sebelum berakhirnya masa jabatan Wakil Gubernur, Gubernur sekaligus juga melaksanakan
tugas Wakil Gubernur.
(4) Gubernur melaksanakan tugas Wakil Gubernur
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berakhir pada saat dilantiknya Wakil Gubernur definitif.
(5) Pengisian jabatan Gubernur atau Wakil Gubernur
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4) dilaksanakan menurut tata cara:
a. Kasultanan atau Kadipaten memberitahukan kepada DPRD DIY mengenai pengukuhan Sultan Hamengku Buwono yang bertakhta atau pengukuhan Adipati
Paku Alam yang bertakhta;
b. berdasarkan pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada huruf a, DPRD DIY membentuk Panitia
Khusus Penetapan Gubernur dan Wakil Gubernur yang beranggotakan wakil fraksi-fraksi;
c. Kasultanan . . .
- 23 -
c. Kasultanan mengajukan Sultan Hamengku Buwono yang bertakhta sebagai calon Gubernur atau Kadipaten mengajukan Adipati Paku Alam yang
bertakhta sebagai calon Wakil Gubernur kepada DPRD DIY melalui Panitia Khusus Penetapan Gubernur dan Wakil Gubernur dengan menyertakan
dokumen persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) dan Pasal 19 ayat (3);
d. Panitia Khusus Penetapan Gubernur atau Wakil Gubernur melakukan verifikasi atas dokumen persyaratan sebagaimana dimaksud pada huruf c
dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari;
e. hasil verifikasi Panitia Khusus Penetapan Gubernur
atau Wakil Gubernur dituangkan ke dalam berita acara verifikasi dan selanjutnya disampaikan kepada DPRD DIY dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari;
f. dalam hal hasil verifikasi sebagaimana dimaksud pada huruf e dinyatakan memenuhi syarat, DPRD DIY menetapkan Sultan Hamengku Buwono yang
bertakhta sebagai Gubernur atau Adipati Paku Alam yang bertakhta sebagai Wakil Gubernur dalam rapat
paripurna DPRD DIY, paling lama 7 (tujuh) hari setelah diterimanya hasil verifikasi dari Panitia Khusus Penetapan Gubernur atau Wakil Gubernur;
g. DPRD DIY mengusulkan kepada Presiden melalui Menteri, untuk mendapatkan pengesahan penetapan
Sultan Hamengku Buwono yang bertakhta sebagai Gubernur atau Adipati Paku Alam yang bertakhta sebagai Wakil Gubernur;
h. Menteri menyampaikan usulan pengesahan penetapan Sultan Hamengku Buwono yang bertakhta sebagai Gubernur dan Adipati Paku Alam yang bertakhta
sebagai Wakil Gubernur kepada Presiden;
i. Presiden mengesahkan penetapan Gubernur atau
Wakil Gubernur berdasarkan usulan Menteri sebagaimana dimaksud pada huruf h;
j. Menteri menyampaikan pemberitahuan tentang
pengesahan penetapan Gubernur atau Wakil Gubernur kepada DPRD DIY serta
Sultan Hamengku Buwono dan Adipati Paku Alam; dan
k. pelantikan . . .
- 24 -
k. pelantikan Gubernur atau Wakil Gubernur sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 27.
(6) Masa jabatan Gubernur atau Wakil Gubernur
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) berakhir sampai habis masa jabatannya.
(7) Dalam hal Gubernur dan Wakil Gubernur berhalangan
tetap atau tidak memenuhi persyaratan sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur, Sekretaris Daerah melaksanakan
tugas sehari-hari Gubernur sampai dengan Presiden mengangkat penjabat Gubernur.
(8) Masa jabatan penjabat Gubernur sebagaimana dimaksud
pada ayat (7) berakhir pada saat dilantiknya Gubernur atau Wakil Gubernur yang definitif.
Pasal 29
Tata cara pengangkatan penjabat Gubernur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (7) dan ayat (8) berpedoman pada peraturan perundang-undangan.
BAB VIII KELEMBAGAAN
Pasal 30
(1) Kewenangan kelembagaan Pemerintah Daerah DIY sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf b diselenggarakan untuk mencapai efektivitas dan efisiensi
penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan masyarakat berdasarkan prinsip responsibilitas,
akuntabilitas, transparansi, dan partisipasi dengan memperhatikan bentuk dan susunan pemerintahan asli.
(2) Ketentuan mengenai penataan dan penetapan
kelembagaan Pemerintah Daerah DIY sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Perdais.
BAB IX . . .
- 25 -
BAB IX KEBUDAYAAN
Pasal 31
(1) Kewenangan kebudayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf c diselenggarakan untuk
memelihara dan mengembangkan hasil cipta, rasa, karsa, dan karya yang berupa nilai-nilai, pengetahuan, norma,
adat istiadat, benda, seni, dan tradisi luhur yang mengakar dalam masyarakat DIY.
(2) Ketentuan mengenai pelaksanaan kewenangan
kebudayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Perdais.
BAB X
PERTANAHAN
Pasal 32
(1) Dalam penyelenggaraan kewenangan pertanahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf d, Kasultanan dan Kadipaten dengan Undang-Undang ini
dinyatakan sebagai badan hukum.
(2) Kasultanan sebagai badan hukum merupakan subjek hak yang mempunyai hak milik atas tanah Kasultanan.
(3) Kadipaten sebagai badan hukum merupakan subjek hak yang mempunyai hak milik atas tanah Kadipaten.
(4) Tanah Kasultanan dan tanah Kadipaten sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) meliputi tanah keprabon dan tanah bukan keprabon yang terdapat
di seluruh kabupaten/kota dalam wilayah DIY.
(5) Kasultanan dan Kadipaten berwenang mengelola dan memanfaatkan tanah Kasultanan dan tanah Kadipaten
ditujukan untuk sebesar-besarnya pengembangan kebudayaan, kepentingan sosial, dan kesejahteraan
masyarakat.
Pasal 33
(1) Hak milik atas tanah Kasultanan dan tanah Kadipaten sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) dan ayat (3) didaftarkan pada lembaga pertanahan.
(2) Pendaftaran . . .
- 26 -
(2) Pendaftaran hak atas tanah Kasultanan dan tanah Kadipaten sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Pendaftaran atas tanah Kasultanan dan tanah Kadipaten sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang dilakukan oleh pihak lain wajib mendapatkan persetujuan tertulis dari
Kasultanan untuk tanah Kasultanan dan persetujuan tertulis dari Kadipaten untuk tanah Kadipaten.
(4) Pengelolaan dan pemanfaatan tanah Kasultanan dan tanah Kadipaten oleh pihak lain harus mendapatkan izin persetujuan Kasultanan untuk tanah Kasultanan dan izin
persetujuan Kadipaten untuk tanah Kadipaten.
BAB XI
TATA RUANG
Pasal 34
(1) Kewenangan Kasultanan dan Kadipaten dalam tata ruang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf e terbatas pada pengelolaan dan pemanfaatan
tanah Kasultanan dan tanah Kadipaten.
(2) Dalam pelaksanaan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kasultanan dan Kadipaten menetapkan
kerangka umum kebijakan tata ruang tanah Kasultanan dan tanah Kadipaten sesuai dengan Keistimewaan DIY.
(3) Kerangka umum kebijakan tata ruang tanah Kasultanan dan tanah Kadipaten sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan memperhatikan tata ruang nasional
dan tata ruang DIY.
Pasal 35
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan dan pemanfaatan
tanah Kasultanan dan tanah Kadipaten serta tata ruang tanah Kasultanan dan tanah Kadipaten diatur dalam Perdais, yang penyusunannya berpedoman pada peraturan
perundang-undangan.
BAB XII . . .
- 27 -
BAB XII PERDA, PERDAIS, PERATURAN GUBERNUR,
DAN KEPUTUSAN GUBERNUR
Pasal 36
(1) Perda dibentuk dan ditetapkan dengan persetujuan
bersama DPRD DIY dan Gubernur.
(2) Pembentukan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berpedoman pada peraturan perundang-undangan.
Pasal 37
(1) Perdais dibentuk oleh DPRD DIY dan Gubernur untuk
melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2).
(2) Rancangan Perdais dapat diusulkan oleh DPRD DIY atau
Gubernur.
(3) Apabila dalam suatu masa sidang DPRD DIY dan Gubernur menyampaikan rancangan Perdais mengenai
materi yang sama, yang dibahas adalah rancangan Perdais yang disampaikan oleh DPRD DIY dan rancangan Perdais
yang disampaikan Gubernur digunakan sebagai bahan sandingan.
(4) Dalam penyiapan dan pembahasan rancangan Perdais,
DPRD DIY dan Gubernur mendayagunakan nilai-nilai, norma, adat istiadat, dan tradisi luhur yang mengakar
dalam masyarakat dan memperhatikan masukan dari masyarakat DIY.
(5) Rancangan Perdais yang telah disetujui bersama oleh
DPRD DIY dan Gubernur, disampaikan oleh pimpinan DPRD DIY kepada Gubernur paling lama 7 (tujuh) hari sejak tanggal persetujuan untuk ditetapkan sebagai
Perdais.
(6) Rancangan Perdais sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
ditetapkan oleh Gubernur dengan membubuhkan tanda tangan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak rancangan Perdais tersebut disetujui bersama oleh
DPRD DIY dan Gubernur.
(7) Dalam . . .
- 28 -
(7) Dalam hal rancangan Perdais tidak ditetapkan oleh Gubernur dalam waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (6), rancangan Perdais tersebut sah menjadi Perdais
dan wajib diundangkan dengan penempatannya dalam lembaran daerah.
(8) Dalam hal sahnya rancangan Perdais sebagaimana
dimaksud pada ayat (7), rumusan kalimat pengesahannya berbunyi: Peraturan Daerah Istimewa ini dinyatakan sah.
(9) Kalimat pengesahan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) harus dibubuhkan pada halaman terakhir Perdais sebelum pengundangan naskah Perdais ke dalam
lembaran daerah.
(10) Perdais disampaikan kepada Menteri.
Pasal 38
(1) Perdais yang bertentangan dengan kepentingan umum, kesusilaan, nilai dan budaya masyarakat DIY atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat
dibatalkan oleh Menteri.
(2) Pembatalan Perdais sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
(3) Gubernur harus menghentikan pelaksanaan Perdais dan selanjutnya DPRD DIY bersama Gubernur mencabut
Perdais dimaksud paling lambat 7 (tujuh) hari sejak diterbitkannya Keputusan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Apabila Pemerintahan Daerah DIY tidak dapat menerima keputusan pembatalan Perdais sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) dengan alasan yang dapat dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan, Gubernur dapat mengajukan keberatan kepada Presiden paling lambat
14 (empat belas) hari sejak diterimanya keputusan pembatalan.
(5) Presiden memberikan keputusan atas pengajuan
keberatan pembatalan Perdais sebagaimana dimaksud pada ayat (4) paling lama 30 (tiga puluh) hari.
(6) Apabila dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sebagaimana dimaksud pada ayat (5) Presiden tidak memberikan keputusan, Perdais tetap berlaku dan mempunyai
kekuatan hukum mengikat.
Pasal 39 . . .
- 29 -
Pasal 39
(1) Gubernur berwenang membentuk peraturan Gubernur dan keputusan Gubernur.
(2) Untuk melaksanakan Perda dan Perdais, Gubernur dapat membentuk peraturan Gubernur dan/atau menetapkan keputusan Gubernur.
(3) Peraturan Gubernur dan keputusan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum, nilai-nilai luhur, budaya, atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
(4) Peraturan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diundangkan dalam Berita Daerah.
(5) Peraturan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) disampaikan kepada Menteri.
Pasal 40
Perda, Perdais, dan peraturan Gubernur wajib disebarluaskan oleh Pemerintah Daerah DIY.
BAB XIII PENDANAAN
Pasal 41
Semua peraturan perundang-undangan yang mengatur
keuangan daerah berlaku bagi Pemerintahan Daerah DIY.
Pasal 42
(1) Pemerintah menyediakan pendanaan dalam rangka penyelenggaraan urusan Keistimewaan DIY sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) dalam Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara sesuai dengan kebutuhan DIY dan kemampuan keuangan negara.
(2) Dana dalam rangka pelaksanaan Keistimewaan Pemerintahan Daerah DIY sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibahas dan ditetapkan oleh Pemerintah
berdasarkan pengajuan Pemerintah Daerah DIY.
(3) Dana . . .
- 30 -
(3) Dana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa dana Keistimewaan yang diperuntukkan bagi dan dikelola oleh
Pemerintah Daerah DIY yang pengalokasian dan penyalurannya melalui mekanisme transfer ke daerah.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengalokasian
dan penyaluran dana Keistimewaan diatur dengan peraturan Menteri Keuangan.
(5) Gubernur melaporkan pelaksanaan kegiatan Keistimewaan DIY kepada Pemerintah melalui Menteri pada setiap akhir tahun anggaran.
BAB XIV KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 43
Gubernur selaku Sultan Hamengku Buwono yang bertakhta dan/atau Wakil Gubernur selaku Adipati Paku Alam yang
bertakhta berdasarkan Undang-Undang ini bertugas:
a. melakukan penyempurnaan dan penyesuaian peraturan di lingkungan Kasultanan dan Kadipaten;
b. mengumumkan kepada masyarakat hasil penyempurnaan
dan penyesuaian peraturan sebagaimana dimaksud pada huruf a;
c. melakukan inventarisasi dan identifikasi tanah Kasultanan
dan tanah Kadipaten;
d. mendaftarkan hasil inventarisasi dan identifikasi tanah
Kasultanan dan tanah Kadipaten sebagaimana dimaksud pada huruf c kepada lembaga pertanahan;
e. melakukan inventarisasi dan identifikasi seluruh kekayaan
Kasultanan dan Kadipaten selain sebagaimana dimaksud pada huruf c yang merupakan warisan budaya bangsa; dan
f. merumuskan dan menetapkan tata hubungan antara Sultan Hamengku Buwono dan Adipati Paku Alam sebagai satu kesatuan.
Pasal 44 . . .
- 31 -
Pasal 44
Biaya yang diperlukan bagi pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 dibebankan pada Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah DIY.
BAB XV
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 45
(1) Ketentuan mengenai tata cara pengisian jabatan Gubernur
dan Wakil Gubernur dalam Undang-Undang ini tidak berlaku untuk pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur untuk pertama kali berdasarkan
Undang-Undang ini, kecuali ketentuan Pasal 18, Pasal 19 ayat (3), Pasal 25, dan Pasal 27.
(2) Pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan tata cara:
a. DPRD DIY memberitahukan kepada Gubernur dan Wakil Gubernur serta Kasultanan dan Kadipaten tentang berakhirnya masa jabatan Gubernur dan
Wakil Gubernur paling lambat 2 (dua) hari sejak Undang-Undang ini diundangkan;
b. berdasarkan pemberitahuan sebagaimana dimaksud
pada huruf a, Gubernur wajib menyampaikan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah DIY akhir
masa jabatan kepada Pemerintah paling lambat 14 (empat belas) hari sebelum berakhirnya masa jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur;
c. DPRD DIY menetapkan Tata Tertib Penetapan Gubernur dan Wakil Gubernur dan membentuk
Panitia Khusus Penetapan Gubernur dan Wakil Gubernur yang beranggotakan wakil fraksi-fraksi paling lambat 2 (dua) hari sejak Undang-Undang ini
diundangkan;
d. Kasultanan . . .
- 32 -
d. Kasultanan mengajukan Sultan Hamengku Buwono yang bertakhta sebagai calon Gubernur dan Kadipaten mengajukan Adipati Paku Alam yang bertakhta sebagai
calon Wakil Gubernur kepada DPRD DIY melalui Panitia Khusus Penetapan Gubernur dan Wakil Gubernur paling lambat 5 (lima) hari sejak diterimanya
pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada huruf a, dengan menyertakan dokumen persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) dan Pasal 19 ayat (3);
e. Panitia Khusus Penetapan Gubernur dan Wakil
Gubernur melakukan verifikasi atas dokumen persyaratan sebagaimana dimaksud pada huruf d
paling lama 4 (empat) hari sejak dokumen persyaratan diterima dengan lengkap;
f. hasil verifikasi Panitia Khusus Penetapan Gubernur
dan Wakil Gubernur dituangkan ke dalam berita acara verifikasi dan selanjutnya disampaikan kepada DPRD DIY paling lambat 1 (satu) hari sejak selesainya
verifikasi;
g. dalam hal hasil verifikasi sebagaimana dimaksud pada
huruf f dinyatakan memenuhi syarat, DPRD DIY menetapkan Sultan Hamengku Buwono yang bertakhta sebagai Gubernur dan Adipati Paku Alam
yang bertakhta sebagai Wakil Gubernur dalam rapat paripurna DPRD DIY, yang didahului dengan
pemaparan visi, misi, dan program calon Gubernur paling lama 3 (tiga) hari setelah diterimanya hasil verifikasi dari Panitia Khusus Penetapan Gubernur
dan Wakil Gubernur;
h. DPRD DIY mengusulkan kepada Presiden melalui Menteri, untuk mendapatkan pengesahan penetapan
Sultan Hamengku Buwono yang bertakhta sebagai Gubernur dan Adipati Paku Alam yang bertakhta
sebagai Wakil Gubernur paling lama 2 (dua) hari setelah penetapan sebagaimana dimaksud pada huruf g;
i. Menteri . . .
- 33 -
i. Menteri menyampaikan usulan pengesahan penetapan Sultan Hamengku Buwono yang bertakhta sebagai Gubernur dan Adipati Paku Alam yang bertakhta
sebagai Wakil Gubernur kepada Presiden paling lama 2 (dua) hari setelah diterimanya surat usulan dari DPRD DIY sebagaimana dimaksud pada huruf h;
j. Presiden mengesahkan penetapan Gubernur dan Wakil Gubernur berdasarkan usulan Menteri paling
lama 5 (lima) hari sejak diterimanya surat usulan dari Menteri sebagaimana dimaksud pada huruf i;
k. Menteri menyampaikan pemberitahuan tentang
pengesahan penetapan Gubernur dan Wakil Gubernur kepada DPRD DIY serta Sultan Hamengku Buwono
dan Adipati Paku Alam paling lama 2 (dua) hari setelah diterimanya keputusan Presiden tentang pengesahan penetapan Gubernur dan Wakil Gubernur; dan
l. pelantikan Gubernur dan Wakil Gubernur sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 27.
Pasal 46
Selain bertugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dan
Pasal 13, Gubernur dan Wakil Gubernur masa jabatan Tahun 2012 sampai dengan Tahun 2017 bertugas:
a. menyiapkan perangkat Pemerintah Daerah DIY untuk melaksanakan Keistimewaan DIY berdasarkan Undang-Undang ini;
b. menyiapkan arah umum kebijakan penataan dan penetapan kelembagaan Pemerintah Daerah DIY
sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang ini;
c. menyiapkan kerangka umum kebijakan di bidang kebudayaan;
d. menyiapkan kerangka umum kebijakan pengelolaan dan pemanfaatan pertanahan dan tata ruang tanah Kasultanan
dan tanah Kadipaten sesuai dengan Keistimewaan DIY;
e. bersama DPRD DIY membentuk Perda tentang tata cara pembentukan Perdais; dan
f. menyiapkan masyarakat DIY dalam pelaksanaan Keistimewaan sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang ini.
Pasal 47 . . .
- 34 -
Pasal 47
Pengelolaan dan/atau pemanfaatan tanah Kasultanan dan tanah Kadipaten yang dilakukan oleh masyarakat atau
pihak ketiga dapat dilanjutkan sepanjang pengelolaan dan/atau pemanfaatannya sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.
Pasal 48
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, susunan organisasi Pemerintah Daerah DIY, perangkat Pemerintah Daerah DIY, dan jabatan dalam Pemerintah Daerah DIY yang
sudah ada pada saat berlakunya Undang-Undang ini, tetap menjalankan tugasnya sampai dengan terbentuknya
Pemerintahan Daerah DIY berdasarkan Undang-Undang ini.
BAB XVI KETENTUAN PENUTUP
Pasal 49
Semua ketentuan dalam undang-undang tentang
pemerintahan daerah berlaku bagi Pemerintahan Daerah DIY sepanjang tidak diatur secara khusus dalam Undang-Undang ini.
Pasal 50
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Jogjakarta (Berita Negara
Republik Indonesia Tahun 1950 Nomor 3) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1955 tentang Perubahan Undang-Undang
Nomor 3 jo. Nomor 19 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1955 Nomor 43, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 827) tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini.
Pasal 51
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar . . .
- 35 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 31 Agustus 2012
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 3 September 2012
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
AMIR SYAMSUDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2012 NOMOR 170
Salinan sesuai dengan aslinya
KEMENTERIAN SEKRETARIAT NEGARA RI Asisten Deputi Perundang-undangan
Bidang Politik dan Kesejahteraan Rakyat,
Wisnu Setiawan
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 13 TAHUN 2012
TENTANG
KEISTIMEWAAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
I. UMUM
Status istimewa yang melekat pada DIY merupakan bagian integral dalam sejarah pendirian negara-bangsa Indonesia. Pilihan dan keputusan Sultan
Hamengku Buwono IX dan Adipati Paku Alam VIII untuk menjadi bagian dari Republik Indonesia, serta kontribusinya untuk melindungi simbol negara-bangsa pada masa awal kemerdekaan telah tercatat dalam sejarah
Indonesia. Hal tersebut merupakan refleksi filosofis Kasultanan, Kadipaten, dan masyarakat Yogyakarta secara keseluruhan yang
mengagungkan ke-bhinneka-an dalam ke-tunggal-ika-an sebagaimana tertuang dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Masyarakat Yogyakarta yang homogen pada awal kemerdekaan meleburkan diri ke dalam masyarakat Indonesia yang majemuk, baik etnik, agama
maupun adat istiadat. Pilihan itu membawa masyarakat Yogyakarta menjadi bagian kecil dari masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, Keistimewaan DIY harus mampu membangun keharmonisan dan kohesivitas sosial yang
berperikeadilan.
Sentralitas posisi masyarakat DIY dalam sejarah DIY sebagai satu kesatuan masyarakat yang memiliki kehendak yang luhur dalam berbangsa dan
bernegara dan keberadaan Kasultanan dan Kadipaten sebagai institusi yang didedikasikan untuk rakyat merupakan satu kesatuan yang tidak
terpisahkan.
Setelah Proklamasi 17 Agustus 1945, Sultan Hamengku Buwono IX dan Adipati Paku Alam VIII memutuskan untuk menjadi bagian dari Indonesia.
Kedua tokoh itu masing-masing secara terpisah, tetapi dengan format dan isi yang sama, mengeluarkan Maklumat pada tanggal 5 September 1945 yang kemudian dikukuhkan dengan Piagam Kedudukan Presiden Republik
Indonesia tanggal 6 September 1945 menyatakan integrasi Yogyakarta ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan status daerah istimewa.
Keputusan . . .
- 2 -
Keputusan kedua tokoh tersebut memiliki arti penting bagi Indonesia
karena telah memberikan wilayah dan penduduk yang nyata bagi Indonesia yang baru memproklamasikan kemerdekaannya. Peran Yogyakarta terus berlanjut di era revolusi kemerdekaan yang diwujudkan melalui upaya
Kasultanan dan Kadipaten serta rakyat Yogyakarta dalam mempertahankan, mengisi, dan menjaga keutuhan Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
DIY pada saat ini dan masa yang akan datang akan terus mengalami perubahan sosial yang sangat dinamis. Masyarakat Yogyakarta dewasa ini
memasuki fase baru yang ditandai oleh masyarakat yang secara hierarkis tetap mengikuti pola hubungan patron-klien pada masa lalu dan di sisi lain
masyarakat memiliki hubungan horizontal yang kuat. Perkembangan di atas, sekalipun telah membawa perubahan mendasar, tidak menghilangkan posisi Kasultanan dan Kadipaten sebagai sumber rujukan
budaya bagi mayoritas masyarakat DIY. Kasultanan dan Kadipaten tetap diposisikan sebagai simbol pengayom kehidupan masyarakat dan tetap sebagai ciri keistimewaan DIY.
Pengaturan Keistimewaan DIY dalam peraturan perundang-undangan sejak berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia tetap konsisten dengan
memberikan pengakuan keberadaan suatu daerah yang bersifat istimewa. Bahkan, Pasal 18B ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 memberikan pengakuan terhadap eksistensi suatu
daerah yang bersifat istimewa dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun, konsistensi pengakuan atas status keistimewaan suatu
daerah belum diikuti pengaturan yang komprehensif dan jelas mengenai keistimewaannya. Kewenangan yang diberikan kepada DIY melalui Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 semata-mata mengacu pada
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Pemerintahan Daerah yang memperlakukan sama semua daerah di Indonesia. Hal yang sama juga terjadi pada masa berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957
tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah sampai dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Hal di atas telah
memunculkan interpretasi bahwa Keistimewaan DIY hanya pada kedudukan Gubernur dan Wakil Gubernur.
Oleh karena itu, diperlukan perubahan, penyesuaian dan penegasan
terhadap substansi keistimewaan yang diberikan kepada Daerah Istimewa melalui Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta sebagaimana telah diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1955 dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Untuk itu, dalam rangka
perubahan dan penyesuaian serta penegasan Keistimewaan DIY, perlu dibentuk undang-undang tentang keistimewaan DIY.
Pengaturan . . .
- 3 -
Pengaturan Keistimewaan DIY bertujuan untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik dan demokratis, ketenteraman dan kesejahteraan masyarakat, menjamin ke-bhinneka-tunggal-ika-an, dan melembagakan
peran dan tanggung jawab Kasultanan dan Kadipaten dalam menjaga dan mengembangkan budaya Yogyakarta yang merupakan warisan budaya
bangsa. Pengaturan tersebut berlandaskan asas pengakuan atas hak asal-usul, kerakyatan, demokrasi, ke-bhinneka-tunggal-ika-an, efektivitas pemerintahan, kepentingan nasional, dan pendayagunaan kearifan lokal.
Oleh karena itu, dengan memperhatikan aspek historis, sosiologis, dan yuridis, substansi Keistimewaan DIY diletakkan pada tingkatan
pemerintahan provinsi.
Kewenangan istimewa meliputi tata cara pengisian jabatan, kedudukan, tugas, dan wewenang Gubernur dan Wakil Gubernur, kelembagaan
Pemerintah Daerah DIY, kebudayaan, pertanahan, dan tata ruang. Dengan demikian, Pemerintahan Daerah DIY mempunyai kewenangan yang meliputi kewenangan istimewa berdasarkan Undang-Undang ini dan kewenangan
berdasarkan undang-undang tentang pemerintahan daerah. Namun, kewenangan yang telah dimiliki oleh pemerintahan daerah kabupaten/kota
di DIY tetap sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Dalam rangka mendukung efektivitas penyelenggaraan Keistimewaan DIY, Undang-Undang ini mengatur pendanaan Keistimewaan yang pengalokasian
dan penyalurannya melalui mekanisme transfer ke daerah.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1 Cukup jelas.
Pasal 2 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2) Yang dimaksud dengan "peta" dalam ketentuan ini adalah peta
rupabumi dengan sumber data minimal skala 1:250.000 yang dibuat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 3 Cukup jelas.
Pasal 4 . . .
- 4 -
Pasal 4 Huruf a
Yang dimaksud dengan “asas pengakuan atas hak asal-usul”
adalah bentuk penghargaan dan penghormatan negara atas pernyataan berintegrasinya Kasultanan dan Kadipaten ke dalam
Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk menjadi bagian wilayah setingkat provinsi dengan status istimewa.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “asas kerakyatan” adalah asas yang mengutamakan kepentingan rakyat dalam semua pengambilan
keputusan di DIY.
Huruf c Yang dimaksud dengan “asas demokrasi” adalah adanya
pengakuan, penghargaan, dan persamaan hak asasi manusia secara universal.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “asas ke-bhinneka-tunggal-ika-an” adalah asas yang menjamin ruang bagi setiap daerah untuk
menata daerahnya sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan lokal dengan tetap memperhatikan kepentingan nasional.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “asas efektivitas pemerintahan” adalah asas pemerintahan yang berorientasi pada rakyat, transparan,
akuntabel, responsif, partisipatif, dan menjamin kepastian hukum.
Huruf f
Yang dimaksud dengan “asas kepentingan nasional” adalah pengaturan mengenai Keistimewaan DIY harus sekaligus melayani kepentingan Indonesia, dan sebaliknya.
Huruf g Yang dimaksud dengan “asas pendayagunaan kearifan lokal”
adalah menjaga integritas Indonesia sebagai suatu kesatuan sosial, politik, ekonomi, budaya, pertahanan dan keamanan, serta pengakuan dan peneguhan peran Kasultanan dan
Kadipaten tidak dilihat sebagai upaya pengembalian nilai-nilai dan praktik feodalisme, melainkan sebagai upaya menghormati, menjaga, dan mendayagunakan kearifan lokal yang telah
mengakar dalam kehidupan sosial dan politik di Yogyakarta dalam konteks kekinian dan masa depan.
Pasal 5 . . .
- 5 -
Pasal 5
Cukup jelas. Pasal 6
Yang dimaksud dengan “Kewenangan Istimewa DIY berada di Provinsi” adalah penyelenggaraan urusan keistimewaan dilaksanakan
di provinsi bukan di kabupaten/kota. Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8 Cukup jelas.
Pasal 9 Cukup jelas.
Pasal 10 Cukup jelas.
Pasal 11 Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas. Pasal 13
Ayat (1) Huruf a Cukup jelas.
Huruf b Cukup jelas.
Huruf c Yang dimaksud dengan “melaksanakan tugas sehari-hari Gubernur” adalah tugas rutin pemerintahan yang tidak
berkaitan dengan pengambilan kebijakan yang bersifat strategis dalam aspek keuangan, kelembagaan, personel dan perizinan, serta kebijakan strategis lainnya.
Yang dimaksud dengan “berhalangan sementara” adalah keadaan tidak dapat melaksanakan tugas jabatan karena
sedang melakukan pendidikan, pelatihan, kursus, kunjungan ke luar negeri, kunjungan ke dalam negeri, menunaikan ibadah keagamaan, sakit, cuti, atau alasan
lain yang sejenis dengan itu.
Huruf d . . .
- 6 -
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.
Pasal 14 Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas. Pasal 16
Huruf a Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “turut serta dalam suatu perusahaan” adalah menjadi direksi atau komisaris perusahaan.
Huruf c Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f Cukup jelas.
Huruf g Cukup jelas.
Pasal 17 Cukup jelas.
Pasal 18 Cukup jelas.
Pasal 19 Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21 . . .
- 7 -
Pasal 21
Cukup jelas. Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23 Cukup jelas.
Pasal 24 Cukup jelas.
Pasal 25 Cukup jelas.
Pasal 26 Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas. Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29 Cukup jelas.
Pasal 30 Cukup jelas.
Pasal 31 Cukup jelas.
Pasal 32 Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “badan hukum” adalah badan hukum khusus bagi Kasultanan dan Kadipaten, yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang ini.
Ayat (2) Yang dimaksud dengan “tanah Kasultanan (Sultanaat Grond)”, lazim disebut Kagungan Dalem, adalah tanah milik Kasultanan.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “tanah Kadipaten (Pakualamanaat Grond)”, lazim disebut Kagungan Dalem, adalah tanah milik
Kadipaten.
Ayat (4) . . .
- 8 -
Ayat (4)
Tanah keprabon adalah tanah yang digunakan untuk bangunan istana dan kelengkapannya, seperti Pagelaran, Kraton, Sripanganti, tanah untuk makam Raja dan kerabatnya
(di Kotagede, Imogiri, dan Giriloyo), alun-alun, masjid, taman sari, pesanggrahan, dan petilasan.
Tanah bukan keprabon terdiri atas dua jenis tanah, yaitu tanah yang digunakan penduduk/lembaga dengan hak (magersari, ngindung, hak pakai, hutan, kampus, rumah sakit, dan
lain-lain) dan tanah yang digunakan penduduk tanpa alas hak.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 33 Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “lembaga pertanahan” adalah lembaga
pemerintah non-kementerian yang menangani bidang pertanahan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “pihak lain” adalah perseorangan, badan hukum, badan usaha, dan badan sosial yang mengelola dan memanfaatkan tanah Kasultanan dan tanah Kadipaten.
Ayat (4) Cukup jelas.
Pasal 34 Cukup jelas.
Pasal 35 Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas. Pasal 37
Cukup jelas. Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39 . . .
- 9 -
Pasal 39
Cukup jelas. Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41 Cukup jelas.
Pasal 42 Ayat (1)
Dalam rangka penyediaan pendanaan Keistimewaan DIY, Pemerintah Daerah DIY wajib menyampaikan rencana kebutuhan yang dituangkan dalam rencana program dan
kegiatan tahunan dan 5 (lima) tahunan.
Ayat (2) Mekanisme pembahasan pendanaan Keistimewaan DIY
dilakukan oleh Pemerintah Daerah DIY bersama dengan kementerian/lembaga pemerintah non-kementerian yang
menangani urusan pemerintahan bidang perencanaan pembangunan nasional, keuangan, pemerintahan daerah, dan kementerian/lembaga pemerintah non-kementerian yang
berkaitan dengan Keistimewaan DIY.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5) Cukup jelas.
Pasal 43 Cukup jelas.
Pasal 44 Cukup jelas.
Pasal 45 Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47 . . .
- 10 -
Pasal 47
Cukup jelas. Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49 Cukup jelas.
Pasal 50 Cukup jelas.
Pasal 51 Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5339
LAMPIRAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2012 TENTANG
KEISTIMEWAAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Salinan sesuai dengan aslinya
KEMENTERIAN SEKRETARIAT NEGARA RI Asisten Deputi Perundang-undangan
Bidang Politik dan Kesejahteraan Rakyat,
Wisnu Setiawan