Upload
others
View
4
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
V o l u m e 3 , N o m o r 2 , J u l i 2 0 2 0 |
Jurnal Agrowiralodra | 60
KEEFEKTIFAN BAKTERI Serratia ENDOSIMBION WBC TERHADAP
LALAT BUAH MELON (Bactrocera cucurbitae)
Maya Astriani1, Rostaman
2, Ismangil
3
1,2,3
Fakultas Pertanian, Universitas Jenderal Soedirman
Abstrak
Lalat buah (Bactrocera spp.) merupakan salah
satu hama penting pada tanaman buah-buahan dan
sayuran di Indonesia. Hama ini bersifat polifag,
menyerang berbagai jenis tanaman demi kelangsungan
hidupnya. Di alam, bakteri Serratia mengakibatkan
kematian wereng batang coklat. Penelitian ini bertujuan
untuk: 1) mengetahui keefektifan bakteri Serratia
Endosimbion WBC berdasarkan mortalitas lalat buah
Bactrocera cucurbitae, 2) memastikan penularan
bakteri tersebut secara transovarial, 3) mengetahui
abnormalitas imago keturunan pertama (G1) akibat
perlakuan bakteri tersebut. Penelitian ini dilaksanakan
pada bulan Maret – Juni 2014 di BBPOPT Jatisari,
Karawang dengan rancangan percobaan. Rancangan
Acak Lengkap (RAL) dengan 5 perlakuan dan 5
ulangan. Perlakuan tersebut antara lain: 1) Kontrol atau
tanpa Bakteri Serratia (B0), 2) B1 : 3,09 x 1046 sel/mL
bakteri Serratia, 3) B2 : 2,16 x 1052 sel/mL bakteri
Serratia, 4) B3 : 1,73 x 1061 sel/mL bakteri Serratia, 5)
B4 : 4,5 x 1066 sel/mL bakteri Serratia. Data dianalisis
menggunakan ANOVA dan dilanjutkan dengan DMRT.
Hasil penelitian mengungkapkan mortalitas imago
sangat rendah yaitu 4 %, bakteri bersifat transovarial,
tidak mengakibatkan abnormalitas imago keturunan
pertama. Bakteri ini belum dapat digunakan sebagai
agen pengendali hayati lalat buah yang potensial.
Kata kunci : Bactrocera cucurbitae, Serratia,
transovarial
Abstract
Bactrocera spp. is one of the important pests of fruit
and vegetable crops in Indonesia. This pest is
polyphagous has many hosts plants for survival. In the
nature, the bacteria Serratia cause mortality of brown
planthopper. The goals of the research were to: 1) find
out the effectiveness of Bacteria Serratia Endosimbion
WBC based on mortality of fruit flies Bactrocera
cucurbitae, 2) examine bacterial transmission that is
transovarial, 3) know abnormality of imago at the first
generation (G1). This research was conducted onMarch
until June 2014 in BBPOPT Jatisari, Karawang, using a
complete randomized design (CRD) with 5 treatments
and 5 replications. The treatments were: 1) Control
(B0), 2) B1 : 3,09 x 1046 cells/mL bacterium Serratia,
3) B2 :2,16 x 1052 cells/mL bacterium Serratia, 4) B3 :
1,73 x 1061 cells/mL bacterium Serratia, 5) B4 :4,5 x
1066 cells/mL bacterium Serratia. Data were analyzed
using ANOVA and followed with DMRT. The result
showed mortality of imago was very low, only 4 %, the
bacteria are transovarial, there were not effect for
abnormality imago at the first generation. This
bacterium is not recommended as a biological agent of
fruit flies.
Keyword: Bactrocera cucurbitae, Serratia, transovarial
Pendahuluan
Lalat buah merupakan salah satu hama yang
paling merugikan dalam budidaya tanaman buah-
buahan maupun sayuran di dunia (Herlinda et al., 2007).
Lebih lanjut Herlinda et al. (2007) menyatakan bahwa,
hama ini merugikan karena menyerang langsung produk
pertanian, yaitu buah. Masih menurut Herlinda et al.
(2007), hama lalat buah ini bersifat polifag karena
menyerang berbagai macam buah seperti melon, cabai,
belimbing, semangka, dan lain-lain. Menurut Sukarmin
(2011) lebih kurang 75 % dari tanaman buah dapat
diserang oleh hama ini. Muryati (2008) menyatakan
bahwa lalat buah dapat menyebabkan kerusakan
langsung terhadap 150 spesies buah dan sayur-sayuran
baik di daerah tropis maupun subtropis. Menurut Pena
et al. (1998), hama ini menjadi key pest pada buah-
buahan di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Lebih
lanjut Pena et al. (1998) menyatakan akibat serangan
lalat buah ini, beberapa jenis buah-buahan yang
diekspor ke Jepang pada tahun 1981 semuanya ditolak
karena terinfestasi hama lalat buah. Kuswadi (2011)
menyatakan bahwa buah yang diserang akan rusak, lalu
gugur sebelum dipanen dan membusuk. Pada buah yang
terserang biasanya terdapat lubang kecil di bagian
tengah kulitnya (Anonim, 2014). Lebih lanjut Anonim
(2014) menyatakan bahwa serangan lalat buah
V o l u m e 3 , N o m o r 2 , J u l i 2 0 2 0 |
Jurnal Agrowiralodra | 61
ditemukan terutama pada buah yang hampir masak.
Masih menurut Anonim (2014), gejala awal ditandai
dengan noda/titik bekas tusukan ovipositor (alat peletak
telur) lalat betina saat meletakkan telur ke dalam buah.
Selanjutnya Anonim (2014) juga menyatakan karena
aktivitas hama di dalam buah, noda tersebut
berkembang menjadi meluas. Menurut Anonim (2014),
larva memakan daging buah sehingga menyebabkan
buah busuk sebelum masak dan menyebabkan kerugian
mencapai 30-60 %. Kuswadi (2011) juga menyatakan
bahwa membusuknya buah terjadi karena kerusakan
jaringan akibat dimakan larva lalat dan aktifitas bakteri
pembusuk yang bersimbiose dengan larva tersebut.
Menurut Anonim (2006), lalat buah selama ini
merupakan hama pengganggu yang menurunkan
produksi dan merusak buah segar nasional. Lebih lanjut
Anonim (2006) menyatakan bahwa berdasarkan survei
lapang kerugian yang diakibatkan oleh hama ini
mencapai sekitar Rp 2,49 Milyar. Menurut Staff Balai
Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (2003),
berdasarkan berita yang dimuat dalam Media Bisnis
Indonesia tanggal 2 Maret 2003, luas serangan lalat
buah diperkirakan mencapai 4.790 ha dengan kerugian
Rp 21,99 Milyar. Menurut Tarigan (2012), beberapa
tahun terakhir (2009-2010), rata-rata tingkat kehilangan
hasil buah jeruk di kecamatan Tigapanah dan Barusjahe
mencapai 30 % dan Kecamatan Simpang Empat
mencapai 60 %. Lebih lanjut Tarigan (2012)
menyatakan bahwa, dari produksi jeruk tahun 2010
sebesar 359.445 ton dan buah jeruk yang gugur akibat
hama lalat buah adalah 154.022,18 ton (42,85 %).
Menurut Staff Ditbuah Hortikultura (2006), cara
pengendalian lalat buah yang telah dilakukan selama ini
antara lain yaitu dengan sanitasi lingkungan
(mengumpulkan buah yang terserang), pembungkusan
buah dengan kertas/kantong plastik, penggunaan
perangkap atraktan (bahan pemikat lalat buah) dan
insektisida. Pengendalian serangga hama merupakan
masalah utama yang dihadapi oleh para petani
Indonesia, namun belum ada solusi tepat dalam
penanganannya (Jumiarti, 2012). Selama ini, petani
sangat tergantung kepada pestisida kimia untuk
mengendalikan hama dan penyakit tanaman. Menurut
Samsudin (2008), penggunaan pestisida yang
berlebihan, tidak saja akan meningkatkan biaya
produksi, tetapi juga berdampak buruk bagi kesehatan
petani, konsumen maupun keseimbangan hayati
sekitarnya. Lebih lanjut Samsudin (2008) menyatakan
bahwa beberapa pengaruh negatif yang akan timbul
akibat penggunaan pestisida kimia sintetis adalah hama
menjadi resisten (kebal), peledakan hama akibat tidak
efektifnya pemakaian pestisida, penumpukan residu
yang dapat membahayakan petani/pengguna dan
konsumen, ikut terbunuhnya musuh alami, terjadinya
polusi lingkungan, dan perubahan status hama dari
hama minor menjadi hama utama. Jumiarti (2012)
menyatakan bahwa, pemanfaatan protein insektisidal
dari bakteri entomopatogen Serratia berpotensi dalam
menekan pertumbuhan serangga hama. Serratia adalah
bakteri gram negatif famili Enterobateriaceae yang
memiliki flagella peritrik, sehingga bersifat motil
(Priyatno et al., 2011). Lebih lanjut Priyatno et al.
(2011) menyatakan bahwa habitat Serratia terutama di
air dan tanah, pada permukaan daun, serta di dalam
tubuh serangga, hewan, dan manusia. Hasil penelitian
Priyatno et al. (2011) membuktikan bahwa bakteri
merah yang diisolasi dari wereng batang coklat (WBC)
terbukti bersifat patogenik terhadap WBC dan serangga
lainnya. Lebih lanjut Priyatno et al. (2011) menyatakan
sel bakteri yang diaplikasikan dengan konsentrasi 106 -
107 sel/mL mematikan WBC 65,6-78,2 %. BBPOPT
berhasil menemukan bakteri Serratia yang telah
diidentifikasi sebagai bakteri Serratia Endosimbion
WBC. Bakteri ini terbukti dapat membunuh ulat
Spodoptera exigua mencapai 100 % atau hasil paling
sempurna dalam hal membunuh hama. Selain S. exigua,
bakteri ini telah diuji keefektifannya terhadap beberapa
hama, antara lain Plutella xylostella, Crocidolomia
pavonana (binotallis), kutu daun mangga dan belalang
kembara (Wibowo et al., 2002). Untuk mengetahui
efektifitas bakteri Serratia sebagai patogen hama
tanaman, diperlukan uji coba terhadap hama lain, yaitu
lalat buah Bactrocera.
Penelitian ini bertujuan untuk : 1. mengetahui
keefektifan bakteri Serratia berdasarkan mortalitas lalat
buah Bactrocera cucurbitae, 2. memastikan penularan
bakteri tersebut secara transovarial, 3. mengetahui
tingkat abnormalitas imago keturunan pertama (G1)
yang akibat perlakuan bakteri tersebut.
V o l u m e 3 , N o m o r 2 , J u l i 2 0 2 0 |
Jurnal Agrowiralodra | 62
Bahan dan Metode
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium
Vapor Heat Treatment (VHT) dan Laboratorium
Fitopatologi Balai Besar Peramalan Organisme
Pengganggu Tumbuhan (BBPOPT) Jatisari, Karawang,
pada bulan Maret – Juni 2014.
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian
ini terdiri dari :
imago lalat buah Bactrocera cucurbitae sebanyak 500
ekor lalat buah (250 jantan dan 250 betina), timun, air
steril, kentang, gula pasir, Nutrient Agar, alkohol 70 %,
isolat murni bakteri Serratia. Alat-alat yang digunakan
dalam penelitian ini antara lain panci berdiameter 25
cm, pengaduk, jarum ose, gunting, api bunsen, Laminar
Air Flow (LAF), kompor gas, corong berdiameter 10
cm, timbangan analitik dengan ketelitian 0,001 mg,
gelas ukur 500 mL dan 1000 mL, pisau, spidol, cawan
petri berdiameter 9,5 cm, tabung reaksi 50 mL,
autoclave 24 liter, erlenmeyer 1000 mL, mikroskop
cahaya (perbesaran maksimum 1000 kali), kurungan
dan rangka besi berbentuk kubus dengan ukuran 30 x 30
x 30 cm, jarum suntik 100 cc, saringan dengan diameter
20 cm, gelas peneluran lalat buah, Gauze (kain hitam
untuk peneluran lalat buah), kuas kecil (untuk
menghitung telur lalat buah), kuas sedang (untuk
mengolesi gauze dengan jus buah), pinset, handcounter,
toples sedang berdiameter 15 cm dan tinggi 25 cm,
kertas label, kapas, botol vial.
Rancangan yang digunakan adalah rancangan
acak lengkap (RAL) dengan 5 perlakuan yang didasari
oleh uji pendahuluan, yaitu :
1. Kontrol atau tanpa Bakteri Serratia (B0),
2. B1 : Bakteri Serratia/50 mL air (3,09 x 1046 sel/mL);
3. B2 : Bakteri Serratia/50 mL air (2,16 x 1052 sel/mL);
4. B3 : Bakteri Serratia/50 mL air (1,73 x 1061 sel/mL);
5. B4 : Bakteri Serratia/50 mL air (4,5 x 1066 sel/mL).
Masing-masing perlakuan tersebut diulang sebanyak 5
kali dan pengamatan variabel dilakukan selama 25 hari.
Variabel Pengamatan
1. Mortalitas imago B. Cucurbitae
Cara mengukur mortalitas imago adalah melihat jumlah
imago lalat yang mati dan jumlah seluruh lalat dalam
perlakuan yang sama dengan menggunakan rumus
sebagai berikut. Mortalitas imago = jumlah imago mati
jumlah imago yang di uji x 100 %
𝑀𝑜𝑟𝑡𝑎𝑙𝑖𝑡𝑎𝑠 =𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑖𝑚𝑎𝑔𝑜 𝑚𝑎𝑡𝑖
𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑖𝑚𝑎𝑔𝑜 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑢𝑗𝑖× 100%
2. Jumlah telur yang dihasilkan
Mencatat banyaknya telur yang dihasilkan selama
periode peneluran. Periode peneluran dilakukan
sebanyak 5 kali setelah lalat dewasa, dengan rentang
waktu 5 hari (5 hari, 10 hari, 15 hari, 20 hari, dan 25
hari setelah lalat dewasa). Peneluran dilakukan selama 1
jam setelah peletakan gelas peneluran
3. Daya tetas telur (Hatchability)
Menghitung banyaknya telur yang menetas dan
membandingkan dengan jumlah seluruh telur yang
dihasilkan lalat buah, dengan rumus: Daya tetas telur =
jumlah telur yang menetas jumlah telur yang di uji x
100 %
𝑑𝑎𝑦𝑎 𝑡𝑒𝑡𝑎𝑠 =𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑡𝑒𝑙𝑢𝑟 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑚𝑒𝑛𝑒𝑡𝑎𝑠
𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑡𝑒𝑙𝑢𝑟 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑢𝑗𝑖× 100%
4. Abnormalitas keturunan
Melakukan pengamatan terhadap morfologi imago yang
tidak normal
Analisis data
Data hasil pengamatan dianalisis keragamannya
menggunakan uji F (Analisis Varians) dengan taraf
kesalahan (error) ὰ = 5 %. Apabila ada pengaruh
perlakuan yang berbeda nyata dilanjutkan dengan uji
Duncan (DMRT = Duncan Multiple Range Test) dengan
taraf kesalahan 5 %.
Hasil dan Pembahasan
Hasil uji pendahuluan dengan menggunakan 3
perlakuan yaitu 0 (kontrol) dengan simbol L0, 1,53 x
1040 sel/mL Serratia (L1), dan 3,09 x 1046 sel/mL
bakteri Serratia (L2) didapatkan hasil bahwa tidak
adanya kematian pada perlakuan (L1) yaitu 1,53 x 1040
sel/mL bakteri Serratia. Kematian imago lalat buah ini
didapatkan pada perlakuan L2 pada hari kesepuluh
setelah aplikasi dan hanya 5 lalat saja yang mati.
Berdasarkan hasil uji pendahuluan tersebut dapat
disimpulkan bahwa konsentrasi yang menjadi
konsentrasi awal dilakukannya penelitian ini yaitu pada
konsentrasi 3,09 x 1046 sel/mL bakteri Serratia (L2)
dan akan dinaikkan konsentrasi bakteri Serratia ini
untuk uji lanjutnya. Pada pengujian keefektifan bakteri
Serratia ini dilakukan kenaikan konsentrasi yaitu 1)
Kontrol atau tanpa Bakteri Serratia (B0), 2) B1 : 3,09 x
1046 sel/mL bakteri Serratia, 3) B2 : 2,16 x 1052
sel/mL bakteri Serratia, 4) B3 : 1,73 x 1061 sel/mL
bakteri Serratia, 5) B4 : 4,5 x 1066 sel/mL bakteri
Serratia. Mekanisme kerja dari bakteri patogen terhadap
lalat buah Bactrocera cucurbitae, harus melalui oral.
Hal ini mengharuskan populasi bakteri patogen tersebut
masuk ke dalam sistem pencernaan makanan lalat buah
agar dapat menginfeksinya. Di dalam abdomen, bakteri
tersebut akan bekerja dan akan merusak sistem
pencernaan makanan serangga tersebut (Wibowo et al.,
2001). Oleh karena itu dalam penelitian ini bakteri
Serratia dicampurkan ke dalam air minum lalat buah.
V o l u m e 3 , N o m o r 2 , J u l i 2 0 2 0 |
Jurnal Agrowiralodra | 63
Air minum lalat buah ini disimulasikan sebagai sari
buah yang biasa di konsumsi oleh lalat buah.
A. Pengaruh Bakteri Serratia Terhadap
Mortalitas Lalat Buah
Data diperoleh dari hasil pengamatan selama 25
hari setelah dilakukannya aplikasi. Data disajikan dalam
bentuk tabel dan gambar (Tabel 1 dan Gambar 3).
Tabel 1 dan Gambar 3 menunjukkan bakteri
Serratia dapat mematikan imago lalat buah Bactrocera
cucurbitae. Dari hasil pengamatan menunjukkan bakteri
Serratia memiliki daya mematikan yang sangat rendah.
Dapat mematikan lalat buah artinya, bakteri ini dapat
merusak alat pencernaan lalat buah. Hal ini disebabkan
oleh prodigiosin pada bakteri Serratia yang merupakan
racun mematikan bagi lalat tersebut. Menurut Wibowo
et al. (2002), warna merah pada tubuh hama yang
terinfeksi oleh bakteri Serratia ini merupakan indikator
adanya produksi prodigiosin. Menurut Grimont and
Grimont (1978), bakteri Serratia adalah patogen
serangga yang dapat menghasilkan beberapa enzim
hidrolitik (contoh : protease dan kitinase a), yang
beberapa diantaranya telah terbukti sebagai racun.
Pada penelitian sebelumnya, bakteri ini telah di
uji di berbagai macam hama, salah satunya adalah ulat
Spodoptera exigua. Menurut Wibowo et al. (1999) pada
hasil kajian Balai Besar Peramalan Organisme
Pengganggu Tumbuhan (BBPOPT) ini dihasilkan
bahwa bakteri Serratia ini berpengaruh terhadap
mortalitas larva S. exigua. Lebih lanjut Wibowo et al.
(1999) menyatakan bahwa, jumlah populasi rata – rata
larva rendah yaitu berkisar antara 2,5 ekor/rumpun
sampai dengan 8,8 ekor/rumpun. Masih menurut
Wibowo et al. (1999), populasi menurun rata – rata lima
hari setelah aplikasi, kecuali perlakuan kontrol. Wibowo
et al. (1999) juga menyatakan, tingkat mortalitas ulat
daun bawang merah (S.exigua) yang terinfeksi oleh
bakteri patogen dapat mencapai 100% dalam waktu 16
hari setelah aplikasi. Adanya perbedaan yang sangat
drastis antara persentase mortalitas S. exigua dengan
lalat buah Bactrocera ini diduga dipicu karena
perbedaan strain bakteri Serratia yang digunakan. Strain
bakteri yang digunakan untuk mengendalikan S. exigua
merupakan strain bakteri yang diisolasi dari abdomen
wereng batang coklat, sedangkan yang digunakan untuk
mengendalikan lalat buah Bactrocera ini merupakan
strain bakteri yang diisolasi dari abdomen lalat buah
yang bergejala bakteri Serratia. Lemahnya strain bakteri
Serratia yang diisolasi dari abdomen lalat buah ini
diduga karena adanya antibiotik di dalam tubuh lalat
tersebut yang berfungsi untuk memfagositasi bahan
asing yang dapat menghambat pertumbuhan dan
perkembangan bakteri Serratia, sehingga bakteri
Serratia yang masuk ke dalam tubuh lalat buah ini
hancur dan terbuang.
Lalat buah yang terinfeksi oleh bakteri Serratia
menunjukkan gejala yang sama dengan serangga –
serangga lain yang telah diuji sebelumnya. Gejala yang
ditimbulkan adalah ketahanan tubuh yang semakin
melemah setelah diperlakukan dengan bakteri Serratia,
nafsu makan dan minum yang berkurang dibandingkan
dengan lalat yang tidak diperlakukan bakteri ini, tubuh
V o l u m e 3 , N o m o r 2 , J u l i 2 0 2 0 |
Jurnal Agrowiralodra | 64
lalat yang berubah warna menjadi merah kecuali sayap
dan kemudian mati. Ketika abdomen lalat buah ini
dibedah, cairan dari abdomen yang keluar berwarna
merah, kemudian cairan ini di eksplorasi ke dalam
media PSA, dan muncul koloni bakteri Serratia
(Lampiran 1 Gambar 2). Dengan munculnya koloni
bakteri ini dari abdomen lalat buah yang bergejala,
dapat disimpulkan bahwa lalat buah Bactrocera
cucurbitae ini mati memang akibat terinfeksi bakteri
Serratia. Bakteri Serratia memiliki daya mematikan
yang sangat rendah artinya, adanya kandungan zat yang
dapat menghambat infeksi dari prodigiosin untuk
merusak organ pencernaan lalat buah. Penyebabnya
adalah karakteristik bakteri Serratia yang merupakan
patogen lemah dan hanya dapat menyerang serangga
sasaran ketika serangga tersebut dalam keadaan tertekan
(Khannafari et al., 2006). Menurut Bagariang (2014),
lalat buah ini merupakan salah satu serangga yang
memiliki ketahanan tubuh (imunitas) yang cukup kuat.
Lebih lanjut Bagariang (2014) menyatakan bahwa pada
uji perendaman dengan air panas (hot water immersion
test) terhadap telur B. cucurbitae di Balai Besar
Peramalan organisme Pengganggu Tumbuhan
(BBPOPT) Jatisari, telur lalat buah ini masih dapat
menetas sampai suhu diatas 48ºC (Bagariang, 2014).
Dapat disimpulkan bahwa, bakteri Serratia ini tidak
efektif dalam mematikan lalat buah Bactrocera
cucurbitae, karena memiliki persentase kematian
(mortalitas) yang sangat rendah. Menurut Staff Dinas
Perlindungan Tanaman Hortikultura (2013) syarat suatu
patogen serangga dikatakan efektif apabila memiliki
nilai LD50 pada kepadatan 106 dan nilai LT50 dalam
waktu kurang dari empat hari, sedangkan bakteri
Serratia ini hanya dapat mematikan 4 % populasi lalat
buah selama kurun waktu 25 hari.
B. Pengaruh Bakteri Serratia Terhadap
Kemampuan Bertelur Lalat Buah
Data disajikan dalam bentuk gambar dan tabel.
Gambar 5 menunjukkan terjadi peningkatan jumlah
telur yang dihasilkan lalat buah selama 5 periode
peneluran. Peningkatan jumlah telur yang dihasilkan
artinya, semakin bertambahnya umur lalat buah maka
jumlah telur yang dihasilkan akan semakin banyak. Hal
ini disebabkan oleh proses fisiologi yang berlangsung
dalam tubuh lalat buah tidak mengalami hambatan serta
semakin bertambahnya umur lalat buah proses
reproduksi akan berjalan sempurna karena organ-organ
reproduksi yang semakin matang.
Gambar 5 juga menunjukkan pada periode
peneluran pertama (5 hari setelah lalat dewasa) lalat
tidak menghasilkan telur sama sekali. Tidak
menghasilkan telur sama sekali artinya, adanya
penghambatan proses reproduksi yang mengakibatkan
lalat tersebut tidak dapat memproduksi telur. Hal ini
disebabkan oleh umur lalat yang masih terlalu muda
dalam berkopulasi serta organ reproduksi yang dimiliki
lalat tersebut belum sempurna. Menurut Bagariang
(2014) lalat buah sudah mulai bertelur pada umur 7 hari
setelah dewasa, karena pada umur 7 hari tersebut lalat
sudah memiliki masa kematangan seksual, dibawah 7
hari lalat buah masih belum dapat menghasilkan telur.
Tabel 2 menunjukkan bakteri Serratia
menyebabkan penurunan jumlah telur yang dihasilkan
lalat buah. Penurunan jumlah telur artinya adanya
penghambatan proses reproduksi telur lalat buah karena
adanya perusakan saluran reproduksi oleh bakteri
Serratia. Hal ini disebabkan oleh menurunnya
ketahanan tubuh lalat buah yang menyebabkan
V o l u m e 3 , N o m o r 2 , J u l i 2 0 2 0 |
Jurnal Agrowiralodra | 65
munculnya prodigiosin yang dimiliki bakteri Serratia
sehingga proses reproduksi lalat buah tersebut menjadi
terganggu. Bakteri Serratia masuk melalui oral ke
dalam tubuh lalat buah dan menyebar melalui saluran
pencernaan serta merusak saluran pencernaan lalat
tersebut. Rusaknya saluran pencernaan ini diikuti oleh
terganggunya proses reproduksi yang dialami lalat buah,
karena adanya saluran yang menghubungkan saluran
pencernaan dengan saluran reproduksi lalat buah
tersebut. Saluran tersebut membawa prodigiosin yang
dimiliki bakteri Serratia masuk ke dalam saluran
reproduksi lalat dan merusaknya. Munculnya
prodigiosin ini disebabkan oleh menurunnya ketahanan
tubuh lalat buah. Apabila ketahanan tubuh (imunitas)
lalat menurun, tubuh lalat tersebut mudah terserang
berbagai penyakit, salah satunya yaitu infeksi dari
bakteri. Kondisi tertekan suatu serangga merupakan
peluang bagi bakteri Serratia untuk merusak proses
fisiologi serangga tersebut.
Tabel 2 menunjukkan adanya persamaan jumlah
telur yang dihasilkan lalat buah pada perlakuan B1, B2
dan B3. Adanya persamaan telur yang dihasilkan
artinya, jumlah prodigiosin yang mengganggu proses
reproduksi lalat buah pada ketiga perlakuan tersebut
sama. Hal ini disebabkan oleh ketahanan tubuh lalat
lalat ketika aplikasi pada ketiga perlakuan tersebut
menurun sehingga memberi peluang bagi prodigiosin
untuk mengganggu proses reproduksi lalat tersebut.
Tabel 2 juga menunjukkan peningkatan jumlah
telur yang dihasilkan lalat buah pada perlakuan bakteri
Serratia yaitu B4, sedangkan pada perlakuan B1, B2,
B3 terjadi penurunan jumlah telur. Terjadinya
perbedaan jumlah telur yang dihasilkan lalat buah pada
perlakuan Serratia ini artinya, adanya faktor
pengganggu munculnya prodigiosin yang dimiliki oleh
bakteri Serratia sehingga banyaknya prodigiosin pada
perlakuan tertinggi (B4) lebih sedikit mucul
dibandingkan perlakuan bakteri Serratia lainnya. Hal ini
disebabkan oleh habitat bakteri Serratia yang kurang
sesuai untuk memunculkan prodigiosin. Pada perlakuan
B4 lalat yang diaplikasi memiliki ketahanan tubuh yang
lebih kuat dibanding lalat yang diperlakukan pada
perlakuan B1, B2 dan B3. Bakteri Serratia ini hanya
dapat menyerang ketika serangga sasaran mengalami
tekanan atau kondisi tubuh dan lingkungan yang tidak
sesuai.
Dapat disimpulkan bahwa bakteri Serratia dapat
mengganggu proses reproduksi lalat buah apabila lalat
mengalami kondisi yang tertekan sehingga bersifat
transovarial. Transovarial adalah penularan mikroba
secara vertikal dari induk kepada anak keturunannya
melalui telur (Rahayu, 2014). Apabila lalat tersebut
berada pada kondisi yang sesuai dan memiliki
kekebalan tubuh yang kuat bakteri tersebut tidak
berpengaruh apapun terhadap lalat tersebut.
C. Pengaruh Bakteri Serratia Terhadap Daya
Tetas Telur (Hatchability) Lalat Buah
Data diperoleh dari hasil pengamatan setelah 48
jam dilakukannya peneluran. Data disajikan dalam
bentuk tabel dan gambar (Tabel 3 dan Gambar 6).
Tabel 3 dan Gambar 6 menunjukkan bakteri
Serratia dapat menurunkan persentase daya tetas telur
dilihat dari lebih besarnya daya tetas telur lalat buah
pada kontrol dibandingkan dengan lalat buah yang
diperlakukan bakteri Serratia. Artinya, bakteri ini dapat
merusak produktivitas telur yang dihasilkan lalat buah.
Hal ini disebabkan oleh infeksi dari metabolit sekunder
V o l u m e 3 , N o m o r 2 , J u l i 2 0 2 0 |
Jurnal Agrowiralodra | 66
yang terkandung di dalam bakteri Serratia yang berupa
prodigiosin. Metabolit sekunder ini diturunkan dari
imago lalat buah yang diperlakukan oleh bakteri
Serratia kepada keturunan selanjutnya. Metabolit
sekunder ini mengganggu produktivitas lalat buah
dalam menghasilkan telur sehingga telur yang
dihasilkan tersebut tidak dapat menetas dan tidak dapat
melanjutkan siklus hidupnya. Gangguan dari bakteri
Serratia ini yaitu bakteri merusak saluran reproduksi
lalat buah tersebut. Walaupun saluran reproduksi lalat
ini dirusak, telur masih bisa dibuahi oleh sel sperma
lalat jantan dan lalat ini dapat menghasilkan telur, hanya
saja telur yang dihasilkan akan bersifat steril sehingga
tidak dapat menetas.
Tabel 3 menunjukkan perlakuan B1 memiliki
persentase daya tetas yang paling tinggi dibandingkan
kontrol dan perlakuan lainnya. Artinya, bakteri tersebut
tidak mengganggu saluran reproduksi lalat buah. Hal ini
disebabkan oleh jumlah metabolit sekunder yang
menginfeksi keturunan lalat tersebut lebih sedikit
dibandingkan perlakuan lainnya. Sedikitnya kandungan
metabolit sekunder ini disebabkan oleh kuatnya
ketahanan tubuh pada perlakuan B1 ini sehingga
menyebabkan metabolit sekunder tidak muncul
sebanyak perlakuan lainnya. Metabolit sekunder ini
akan muncul apabila serangga sasaran dalam keadaan
yang tertekan atau kondisi yang tidak sesuai dengan
habitat serangga tersebut (Khannafari et al., 2006).
Selain itu, telur lalat buah ini memiliki ketahanan tubuh
yang kuat karena adanya lapisan kulit telur yang dilapisi
oleh senyawa kitin. Senyawa kitin ini tidak dapat
ditembus oleh bakteri Serratia karena adanya pengujian
yang menunjukkan bahwa bakteri ini tidak mengandung
enzim kitinolisis yang tidak mampu mendegradasi kitin
(Dwimartina, 2014).
Tabel 3 menunjukkan perlakuan B2 dan B3
memiliki daya tetas yang sama. Artinya, pada kedua
perlakuan tersebut memiliki daya infeksi yang sama.
Hal ini disebabkan oleh terganggunya proses reproduksi
yang dialami oleh lalat buah karena adanya peran serta
metabolit sekunder yang merusak sistem reproduksi
lalat buah tersebut. Metabolit sekunder yang berupa
prodigiosin ini bersifat racun bagi lalat buah.
D. Pengaruh Bakteri Serratia Terhadap
Abnormalitas Imago Keturunan Pertama (G1)
Lalat Buah Data disajikan dalam bentuk tabel
(Tabel 4). Tabel 4 menunjukkan bakteri Serratia tidak
mengakibatkan abnormalitas imago keturunan lalat
buah Bactrocera cucurbitae.
Tidak mengakibatkan abnormalitas imago
keturunan lalat buah artinya, bakteri Serratia tidak
mengubah material genetik lalat buah. Hal ini
disebabkan oleh kandungan metabolit sekunder yang
tidak berhasil lolos dalam merusak jaringan
pertumbuhan lalat buah. Kemungkinan tidak lolosnya
bakteri ini dalam merusak jaringan pertumbuhan lalat
buah yaitu karena terfagositasinya bakteri pada saat lalat
mencapai fase larva menjadi pupa, sehingga imago yang
dihasilkan normal.
Kesimpulan
1. Bakteri Serratia dapat mematikan lalat buah dengan
tingkat mortalitas sangat rendah maksimal 4 % (pada
perlakuan B3).
2. Bakteri Serratia bersifat transovarial.
3. Bakteri Serratia tidak mengakibatkan abnormalitas
imago keturunan pertama lalat buah karena tidak
merusak material genetik lalat buah.
4. Bakteri Serratia belum dapat dikategorikan sebagai
agensia hayati pengendali hama lalat buah yang
efektif.
Daftar Pustaka
Anonim. 2006. Kerugian akibat lalat buah Rp 2,49
milyar (On-line).
http://www.balipost.co.id/balipostcetak/200
6/4/28/e3.htm. Diakses pada tanggal 22
Juni 2014.
Anonim. 2014. Lalat buah (Bactrocera sp.).
http://www.bkp-
pangkalpinang.deptan.go.id/download/Lalat
%20Buah.htm. Diakses pada tanggal 10
Oktober 2014.
Bagariang, W. 2014. Uji perendaman telur lalat buah
dengan air panas (hot water immersion
test). Komunikasi Pribadi. Laboratorium
VHT BBPOPT Jatisari.
V o l u m e 3 , N o m o r 2 , J u l i 2 0 2 0 |
Jurnal Agrowiralodra | 67
Dwimartina, Fina. 2019. Keefektifan Bakteri Serratia
Endosimbion WBC terhadap Ulat Grayak
(Spodoptera litura L) di Laboratorium.
Jurnal Agro Wiralodra. 3(1): 29-35.
Grimont, P. A. D and F. Grimont. 1978. The genus
Serratia. Annual Review of Microbiology.
32: 221-248.
Herlinda, S., Zuroaidah, Y. Pujiastuti, S. Samad, dan T.
Adam. 2007. Spesies lalat buah yang
menyerang sayuran Solanaceae dan
Cucurbitaceae di Sumatera Selatan. J. Hort.
18 (2): 212-220.
Jumiarti, P. 2012. Pemurnian dan Karakterisasi Protein
Insektisidal dari Bakteri Entomopatogen.
Skripsi. Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam, Institut Pertanian
Bogor, Bogor.
Kuswadi, A. N. 2011. Kerusakan morfologis dan
histologis organ reproduksi lalat buah
Bactrocera carambolae (Drew and
Hancock) (Diptera; Tephritidae) jantan
yang dimandulkan dengan iradiasi gamma.
Jurnal Ilmiah Aplikasi Isotop dan Radiasi .
7 (1):1-2.
Muryati, A. Hasyim, dan Riska. 2008. Preferensi spesies
lalat buah terhadap atraktan metil eugenol
dan cue-lure dan populasinya di Sumatera
Barat dan Riau. J. Hort. 18(2): 227-233.
Pena J. E., A. I. Mohyoudin and M. Wysoki. 1998. A
review of the pest management situation in
mango agroecosystems. J. Phytoparasitica.
26(2):1-20.
Priyatno, T. P., Y. A. Dahliani, Y. Suryadi, I. M.
Samudra, D. N. Susilowati, I. Rusmana, B.
S. Wibowo, dan C. Irwan. 2011.
Identifikasi entomopatogen bakteri merah
pada wereng batang coklat (Nilaparvata
lugens Stal.). Jurnal AgroBiogen. 7 (2): 85-
95.
Rahayu, I. 2014. Faktor-faktor Pengaruh, Agen
Penyebab dan Cara Penularan Penyakit
pada Ternak. Skripsi. Universitas
Muhammadiyah. Malang.
Samsudin. 2008. Pengendalian hama dengan insektisida
botani. http://pertaniansehat.go.id. Di akses
tanggal 18 September 2014.
Staff Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat.
2013. Perangkap Lalat Buah. Balittro,
Bogor. Hal. 1-2.
Staff Ditbuah Hortikultura. 2006. SOP Melon
Pekalongan (On-line).
http://ditbuah.hortikultura.deptan.go.id/adm
in/layanan/SOP_Melon_Peka longan.pdf.
Diakses pada tanggal 24 Februari 2014.
Staff Direktorat Perlindungan Hortikultura. 2013.
Pedoman Standar Mutu Agens Hayati dan
Biopestisida pada Tanaman Hortikultura.
Direktorat Jenderal Hortikultura, Jakarta.
Hal. 12-13.
Sukarmin. 2011. Teknik identifikasi lalat buah di Kebun
Percobaan Aripan dan Sumani, Solok,
Sumatera Barat. Buletin Teknik Pertanian.
16 (1): 24-27.
Tarigan, A. 2012. Pengendalian Lalat Buah. Laporan
hasil. Dinas Pertanian dan Perkebunan,
Kab. Karo, Sumatera Utara. Hal. 1-2.
Uniprot, Consortium. 2011. Taxonomy
(On-line).
http://www.uniprot.org/taxonomy/616.
Diakses pada tanggal 20 September 2014.
Wibowo, B. S., L. Retnowati, C. Irwan, dan Y.
Kurniadi. 1999. Kumpulan Laporan Kajian
Kelompok Agens Hayati. Jatisari-
Karawang. Hal. 1-15.
Wibowo, B. S., L. Retnowati, dan C. Irwan. 2001.
Evaluasi cara Aplikasi bakteri Pato-gen
Serangga terhadap Serangga Pemakan dan
Pengisap Tanaman. Laporan Kajian.
BBPOPT, Jatisari. Hal. 23.
Wibowo, B.S., L. Retnowati, A. Sutaryat, C. Irwan, dan
Y. Kurniadi. 2002. Uji Lapang Bakteri
Merah terhadap Wereng batang Coklat (Di
Daerah Endemis). Laporan Kajian.
BBPOPT. Hal. 21.
Wibowo, B. S., H. Lanya, dan E. Suwardiwijaya. 2005.
Bakteri Patogen Serangga Harapan dari
Tengah Sawah. Laporan Kajian. Jatisari,
Karawang. Hal. 1- 5.
Wibowo, B. S. 2014. Bakteri Serratia Endosimbion
WBC. Komunikasi pribadi. Jatisari,
Karawang.