Upload
dara-purnamasari-dersya
View
127
Download
19
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
Kejang demam merupakan bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan
suhu tubuh di atas 38oC yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium. Kejang
demam adalah suatu kejadian pada bayi dan anak biasanya terjadi antara umur 3
bulan dan 5 tahun berhubungan dengan demam tetapi tidak terbukti adanya
infeksi intrakranial atau penyebab tertentu.1
Kejadian kejang sangat tergantung kepada umur, 85% kejang pertama
sebelum berumur 4 tahun yaitu terbanyak di antara umur 17-23 bulan. Hanya
sedikit yang mengalami kejang demam pertama sebelum berumur 5-6 bulan atau
setelah berumur 5-8 tahun. Biasanya setelah berumur 6 tahun pasien tidak kejang
demam lagi. Namun, beberapa pasien masih dapat mengalami kejang demam
sampai umur lebih dari 5-6 tahun.1
Di Amerika Serikat insiden kejang demam berkisar antara 2-5% pada anak
umur kurang dari 5 tahun. Di Asia angka kejadian kejang demam dilaporkan lebih
tinggi dan sekitar 80-90% dari seluruh kejang demam adalah kejang demam
sederhana. Di Jepang angka kejadian kejang demam adalah 9-10%.3
Kejang demam umumnya berlangsung singkat, berupa serangan kejang
klonik atau tonik-klonik bilateral. Seringkali kejang berhenti sendiri. Setelah
kejang berhenti, anak tidak memberi reaksi apapun untuk sejenak, tetapi setelah
beberapa detik atau menit anak terbangun dan sadar embali tanpa defisit
neurologis. Kejang demam kompleks dapat diikuti oleh hemiparesis sementara
(hemiparesis Todd) yang berlangsung beberapa jam sampai beberapa hari.1,3,4
Infeksi saluran pernafasan atas menyebabkan sebagian besar kunjungan
pasien ke dokter anak. Sekitar sepertiga dari penyakit tersebut ditandai dengan
nyeri tenggorokan sebagai gejala utama. Pemeriksaan pasien anak yang datang
dengan keluhan nyeri tenggorokan dapat mengungkapkan adanya tonsilitis,
tonsillopharyngitis, atau nasofaringitis. Tidak adanya peradangan faring atau
adanya rhinorrhea jauh lebih mungkin untuk dihubungkan dengan infeksi virus.
Namun, tidak ada temuan fisik yang jelas membedakan penebab streptokokus beta
1
hemolitik kelompok A (GABHS) dari virus, bakteri atau penyebab yang
noninfeksi lainnya.9,10
Perhatian utama untuk faringitis pada anak usia 2 tahun atau lebih adalah
bahwa faringitis GABHS yang tidak diobati selanjutnya dapat menyebabkan
demam rematik. Untuk mencegah hal tersebut, maka diberikan terapi antimikroba
yang memadai dalam 9 hari infeksi. Tes deteksi antigen rapid untuk GABHS
dapat mendiagnosis jika hasilnya positif karena spesifisitas tes tersebut adalah
sebesar 98-99 % (yaitu, hanya 1-2 % hasilnya yang positif palsu), namun
sensitivitasnya hanya 70 % (yaitu, 30 % hasilnya negatif palsu), yang memerlukan
kultul tindak lanjut untuk hasil yang negatif.10
Dalam referat ini akan dibahas tentang bagaimana tentang kejang demam
dan penyakit faringitis, dan akan dibahas mendalam tentang gejala klinis, faktor
risiko dan penatalaksanaan kedua penyakit ini.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 KEJANG DEMAM
2.1.1 Definisi
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu
tubuh (suhu rektal >38oC) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium.
Menurut consensus statement on febrile seizures, kejang demam adalah suatu
kejadian pada bayi dan anak biasanya terjadi antara umur 3 bulan dan 5 tahun
berhubungan dengan demam tetapi tidak terbukti adanya infeksi intrakranial atau
penyebab tertentu.1
Definisi kejang demam menurut International League Against Epilepsy
(ILAE) adalah kejang yang terjadi setelah usia 1 bulan yang berkaitan dengan
demam yang bukan disebabkan oleh infeksi susunan saraf pusat, tanpa riwayat
kejang sebelumnya pada masa neonatus dan tidak memenuhi kriteria tipe kejang
akut lainnya misalnya karena keseimbangan elektrolit akut.5
Kejang demam terjadi pada 2-4% anak berumur 6 bulan sampai 5 tahun.
Bila anak berumur kurang dari 6 bulan atau lebih dari 5 tahun mengalami kejang
didahului dengan demam pikirkan kemungkinan lain misalnya infeksi susunan
saraf pusat atau epilepsi yang kebetulan terjadi bersama demam. 1,2
Anak yang pernah kejang tanpa demam kemudian mengalami kejang
demam kembali dan bayi yang berumur kurang dari 4 minggu tidak termasuk
dalam definisi kejang demam. Derajat tingginya demam yang dianggap cukup
untuk diagnosis kejang demam ialah 38 oC atau lebih, tetapi suhu sebenarnya saat
kejang berlangsung sering tidak diketahui.1,2
Kejang demam kompleks ialah kejang demam yang lebih lama dari 15
menit, fokal atau multipel (lebih daripada 1 kali kejang per episode demam)
sedangkan kejang demam sederhana ialah kejang demam yang berlangsung
singkat, kurang dari 15 menit dan umumnya akan berhenti sendiri. Kejang
berbentuk umum tonik dan atau klonik tanpa gerakan fokal, kejang tidak berulang
dalam waktu 24 jam. Kejadian kejang demam sederhana yaitu 80% di antara
seluruh kejang demam. 1,2
3
2.1.2 Epidemiologi
Kejang sangat tergantung kepada umur, 85% kejang pertama sebelum
berumur 4 tahun yaitu terbanyak di antara umur 17-23 bulan. Hanya sedikit yang
mengalami kejang demam pertama sebelum berumur 5-6 bulan atau setelah
berumur 5-8 tahun. Biasanya setelah berumur 6 tahun pasien tidak kejang demam
lagi. Namun, beberapa pasien masih dapat mengalami kejang demam sampai
umur lebih dari 5-6 tahun.1
Di Amerika Serikat insiden kejang demam berkisar antara 2-5% pada anak
umur kurang dari 5 tahun. Di Asia angka kejadian kejang demam dilaporkan lebih
tinggi dan sekitar 80-90% dari seluruh kejang demam adalah kejang demam
sederhana. Di Jepang angka kejadian kejang demam adalah 9-10%.3
Prognosis kejang demam baik, kejang demam bersifat benigna.
Angka kematian hanya 0,64% - 0,75%. Sebagian besar penderita kejang
demam sembuh sempurna, sebagian berkembang menjadi epilepsi sebanyak
2-7%. Kejang demam juga dapat mengakibatkan gangguan tingkah laku serta
penurunan intelegensi dan pencapaian tingkat akademik.4
2.1.3 Gejala Klinis
Umumnya kejang demam berlangsung singkat, berupa serangan kejang
klonik atau tonik-klonik bilateral. Seringkali kejang berhenti sendiri. Setelah
kejang berhenti, anak tidak memberi reaksi apapun untuk sejenak, tetapi setelah
beberapa detik atau menit anak terbangun dan sadar embali tanpa defisit
neurologis. Kejang demam kompleks dapat diikuti oleh hemiparesis sementara
(hemiparesis Todd) yang berlangsung beberapa jam sampai beberapa hari.1,3,4
Perbedaan kejang demam sederhana (KDS) dan kompleks (KDK) dapat
dilihat pada tabel berikut 4:
4
Tabel 2.1. Perbedaan kejang demam sederhana dan kompleks
2.1.4 Faktor Risiko
Terdapat enam faktor yang berperan dalam etiologi kejang demam, yaitu:
demam, usia, riwayat keluarga, faktor prenatal (usia saat ibu hamil, riwayat pre-
eklamsi pada ibu, hamil primi/multipara, pemakaian bahan toksik), faktor
perinatal (asfiksia, bayi berat lahir rendah, usia kehamilan, partus lama, cara lahir)
dan faktor paskanatal (kejang akibat toksik, trauma kepala).3,4
1. Faktor Demam
Demam ialah hasil pengukuran suhu tubuh di atas 37,8oC aksila atau di
atas 38,3oC rektal. Demam dapat disebabkan oleh berbagai sebab, tetapi yang
tersering pada anak disebabkan oleh infeksi dan infeksi virus merupakan
penyebab terbanyak. Demam merupakan faktor utama timbulnya bangkitan
kejang. 4
Kenaikan temperatur tubuh berpengaruh terhadap nilai ambang kejang dan
eksitabilitas neural, karena kenaikan suhu tubuh berpengaruh pada kanal ion dan
metabolisme seluler serta produksi ATP. Setiap kenaikan suhu tubuh satu derajat
celsius akan meningkatkan metabolisme karbohidrat sebesar 10-15%, sehingga
meningkatkan kebutuhan glukosa dan oksigen. 4
Demam tinggi akan mengakibatkan hipoksia jaringan termasuk jaringan
otak. Pada keadaan hipoksia, otak akan kekurangan energi sehingga menggangu
fungsi normal pompa Na+. Permeabilitas membran sel terhadap ion Na+
meningkat, sehingga menurunkan nilai ambang kejang dan memudahkan
timbulnya bangkitan kejang. Demam juga dapat merusak neuron GABA-ergik
sehingga fungsi inhibisi terganggu. 4
5
Bangkitan kejang demam terbanyak terjadi pada kenaikan suhu tubuh
berkisar 38,9°C-39,9°C (40 -56%). Bangkitan kejang terjadi pada suhu tubuh
37°C-38,9°C sebanyak 11% dan sebanyak 20% kejang demam terjadi pada suhu
tubuh di atas 40oC. 4
2. Faktor Usia
Tahap perkembangan otak dibagi 6 fase yaitu:4
1. Neurulasi
2. Perkembangan prosensefali
3. Proliferasi neuron
4. Migrasi neural
5. Organisasi
6. Mielinisasi.
Tahapan perkembangan otak intrauteri dimulai fase neurulasi sampai
migrasi neural. Fase perkembangan organisasi dan mielinisasi masih berlanjut
sampai tahun-tahun pertama paskanatal. Kejang demam terjadi pada fase
perkembangan tahap organisasi sampai mielinisasi. Fase perkembangan otak
merupakan fase yang rawan apabila mengalami bangkitan kejang, terutama fase
perkembangan organisasi.4
Pada keadaan otak belum matang (developmental window), reseptor untuk
asam glutamat sebagai reseptor eksitator padat dan aktif, sebaliknya reseptor
GABA sebagai inhibitor kurang aktif, sehingga otak belum matang eksitasi lebih
dominan dibanding inhibisi. 4
Corticotropin releasing hormon (CRH) merupakan neuropeptid eksitator,
berpotensi sebagai prokonvulsan. Pada otak belum matang kadar CRH di
hipokampus tinggi dan berpotensi untuk terjadi bangkitan kejang apabila terpicu
oleh demam. 4
Anak pada masa developmental window merupakan masa perkembangan
otak fase organisasi yaitu saat anak berusia kurang dari 2 tahun. Pada masa ini,
apabila anak mengalami stimulasi berupa demam, maka akan mudah terjadi
bangkitan kejang. 4
6
Sebanyak 4% anak akan mengalami kejang demam dan 90% kasus terjadi
pada anak antara usia 6 bulan sampai dengan 5 tahun, dengan kejadian paling
sering pada anak usia 18 sampai dengan 24 bulan.4
3. Riwayat Keluarga
Belum dapat dipastikan cara pewarisan sifat genetik terkait dengan kejang
demam. Pewarisan gen secara autosomal dominan paling banyak ditemukan
sekitar 60-80%.
Apabila salah satu orang tua memiliki riwayat kejang demam maka
anaknya beresiko sebesar 20-22%. Apabila kedua orang tua mempunyai riwayat
pernah menderita kejang demam maka resikonya meningkat menjadi 59-64%.
Sebaliknya apabila kedua orangtuanya tidak mempunyai riwayat kejang demam
maka risiko terjadi kejang demam hanya 9%. Pewarisan kejang demam lebih
banyak oleh ibu dibandingkan ayah yaitu 27% berbanding 7%.4
4. Faktor Prenatal dan Perinatal
Usia ibu kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun dapat
mengakibatkan berbagai komplikasi kehamilan dan persalinan. Komplikasi
kehamilan diantaranya hipertensi dan eklamsia, sedangkan gangguan pada
persalinan diantaranya trauma persalinan. Hipertensi pada ibu dapat
menyebabkan aliran darah ke plasenta berkurang sehingga berakibat
keterlambatan pertumbuhan intrauterin, prematuritas dan BBLR. Komplikasi
persalinan diantaranya partus lama. Keadaan tersebut dapat mengakibatkan janin
dengan asfiksia sehingga akan terjadi hipoksia dan iskemia. Hipoksia
mengakibatkan lesi pada daerah hipokampus, rusaknya faktor inhibisi dan atau
meningkatnya fungsi neuron eksitasi, sehingga mudah timbul kejang bila ada
rangsangan yang memadai seperti demam.4
5. Faktor Postnatal
Risiko untuk perkembangan kejang akan menjadi lebih tinggi bila
serangan berlangsung bersamaan dengan terjadinya infeksi sistem saraf pusat
seperti meningitis, ensefalitis, dan terjadinya abses serta infeksi lainnya.
7
Ensefalitis virus berat seringkali mengakibatkan terjadinya kejang. Di negara-
negara barat penyebab yang paling umum adalah virus Herpes simplex (tipe l)
yang menyerang lobus temporalis.4
Selain infeksi, ditemukan bukti bahwa cedera kepala memicu kejadian
kejang demam pada anak sebesar 20,6%.
2.1.5 Patogenesis Kejang Demam
Kejang merupakan manifestasi klinik akibat terjadinya pelepasan muatan
listrik yang berlebihan di sel neuron otak karena gangguan fungsi pada neuron
tersebut baik berupa fisiologi, biokimiawi, maupun anatomi. Sel syaraf, seperti
juga sel hidup umumnya, mempunyai potensial membran. Potensial membran
yaitu selisih potensial antara intrasel dan ekstrasel. Potensial intrasel lebih negatif
dibandingkan ekstrasel. Dalam keadaan istirahat potensial membran berkisar
antara 30-100 mV, selisih potensial membran ini akan tetap sama selama sel tidak
mendapatkan rangsangan.3,4
Mekanisme terjadinya kejang ada beberapa teori yaitu:4
- Gangguan pembentukan ATP dengan akibat kegagalan pompa Na-K,
misalnya pada hipoksemia, iskemia, dan hipoglikemia. Sedangkan
pada kejang sendiri dapat terjadi pengurangan ATP dan terjadi
hipoksemia.
- Perubahan permeabilitas sel syaraf, misalnya hipokalsemia dan
hipomagnesemia.
- Perubahan relatif neurotransmiter yang bersifat eksitasi dibandingkan
dengan neurotransmiter inhibisi dapat menyebabkan depolarisasi yang
berlebihan. Misalnya ketidakseimbangan antara GABA atau glutamat
akan menimbulkan kejang.
Patofisiologi kejang demam secara pasti belum diketahui, diperkirakan
bahwa pada keadaan demam terjadi peningkatan reaksi kimia tubuh. Dengan
demikian reaksi-reaksi oksidasi terjadi lebih cepat dan akibatnya oksigen akan
lebih cepat habis, terjadilah keadaan hipoksia. Transport aktif yang memerlukan
ATP terganggu, sehingga Na intrasel dan K ekstrasel meningkat yang akan
8
menyebabkan potensial membran cenderung turun atau kepekaan sel saraf
meningkat. 4
Saat kejang demam akan timbul kenaikan konsumsi energi di otak,
jantung, otot, dan terjadi gangguan pusat pengatur suhu. Demam akan
menyebabkan kejang bertambah lama, sehingga kerusakan otak makin bertambah.
Pada kejang yang lama akan terjadi perubahan sistemik berupa hipotensi arterial,
hiperpireksia sekunder akibat aktifitas motorik dan hiperglikemia. Semua hal ini
akan mengakibatkan iskemi neuron karena kegagalan metabolisme di otak.4
Demam dapat menimbulkan kejang melalui mekanisme sebagai berikut:4
- Demam dapat menurunkan nilai ambang kejang pada sel-sel yang
belum matang/immatur.
- Timbul dehidrasi sehingga terjadi gangguan elektrolit yang
menyebabkan gangguan permiabilitas membran sel.
- Metabolisme basal meningkat, sehingga terjadi timbunan asam laktat
dan CO2 yang akan merusak neuron.
- Demam meningkatkan Cerebral Blood Flow (CBF) serta
meningkatkan kebutuhan oksigen dan glukosa, sehingga menyebabkan
gangguan aliran ion-ion keluar masuk sel.
Gambar 2.1 Mekanisme terjadinya kejang demam
9
2.1.6 Diagnosis
Diagnosis kejang demam ditegakkan setelah penyebab kejang yang lain
dapat disingkirkan yaitu meliputi meningitis, ensefalitis, trauma kepala,
ketidakseimbangan elektrolit, dan penyebab kejang akut lainnya. Dari beberapa
diagnosis banding tersebut, meningitis merupakan penyebab kejang yang lebih
mendapat perhatian. Angka kejadian meningitis pada kejang yang disertai demam
yaitu 2-5%. 6
Kejadian demam pada kejang demam biasanya dikarenakan adanya infeksi
pada sistem respirasi atas, otitis media, infeksi virus herpes termasuk roseola.
Lebih dari 50% kejadian kejang demam pada anak kurang dari 3 tahun
berhubungan dengan infeksi virus herpes (Human Herpes Virus 6 dan 7).6
Pemeriksaan laboratorium seperti darah rutin tidak begitu bermanfaat
untuk dilakukan pada pasien dengan kejang demam sederhana kecuali jika
terdapat komplikasi atau penyakit lain yang mendasari seperti gangguan
keseimbangan elektrolit yang berkaitan dengan dehidrasi akibat infeksi saluran
gastrointestinal. Pemeriksaan laboratorium sebaiknya dilakukan untuk mencari
penyebab demam diantaranya pemeriksaan kultur urin untuk melihat ada tidaknya
infeksi saluran kemih jika ternyata tidak ditemukan fokus infeksi dari
pemeriksaan fisik. Pemeriksaaan kadar elektrolit seperti kalsium, fosfor,
magnesium dan glukosa yang biasa dilakukan pada pasien kejang tanpa demam
juga kurang memberikan arti yang bermakna jika dilakukan pada pasien kejang
demam sederhana.7
Beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan ialah EEG
(elektroensefalogram). EEG dapat memperlihatkan gelombang lambat di daerah
belakang yang bilateral, sering asimetris kadang-kadang unilateral. Perlambatan
ditemukan pada 88% pasien bila EEG dikerjakan pada hari kejang dan ditemukan
pada 33% pasien bila EEG dilakukan 3 sampai 7 hari setelah serangan kejang.
Namun, perlambatan EEG ini kurang mempunyai nilai prognostik dan kejadian
kejang berulang dikemudian hari atau perkembangan ke arah epilepsi. Saat ini
sudah tidak dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan EEG pada pasien kejang
demam sederhana karena hasil pemeriksaan yang kurang bermakna.1,2
10
Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menyingkirkan
kemungkinan meningitis, terutama pada pasien kejang demam yang pertama. Pada
bayi kecil seringkali sulit untuk menegakkan diagnosis meningitis karena
manifestasi klinisnya tidak jelas, oleh karena itu pemeriksaan pungsi lumbal harus
dilakukan pada bayi berumur < 6-12 bulan, sangat dianjurkan pada bayi berumur
12-18 bulan dan tidak rutin dilakukan pada bayi berumur >18 tahun jika tidak
disertai riwayat dan gejala klinis yang mengarah ke meningitis.1,2,6
Pemeriksaan radiologi tidak begitu memberikan manfaat dalam evaluasi
kejang demam sederhana dan masih kontroversial untuk dilakukan pada kejang
demam kompleks sekalipun. Pemeriksaan radiologi misalnya Magnetic resonance
imaging (MRI) dapat dilakukan untuk mengevaluasi ada tidaknya kerusakan di
otak misalnya di daerah hipokampus jika penyebab kejang masih belum
diketahui.2
Pada kejang demam sederhana tidak diperlukan pemeriksaan penunjang
baik berupa pungsi lumbal, EEG, radiologi maupun biokimia darah karena kejang
demam sederhana didiagnosis berdasarkan gambaran klinis. Pemeriksaan
penunjang dilakukan untuk menyingkirkan diagnosis banding kejang yang disertai
dengan demam seperi meningitis.8 Diagnosis kejang demam sederhana menurut
konsensus ikatan dokter anak Indonesia yaitu jika memenuhi kriteria sebagai
berikut:1
- Terjadi pada anak usia 6 bulan - 5 tahun
- Kejang berlangsung singkat, tidak melebihi 15 menit
- Kejang umumnya berhenti sendiri
- Kejang berbentuk umum tonik dan atau klonik tanpa gerakan fokal
- Kejang tidak berulang dalam 24 jam
2.1.7 Penatalaksanaan
Pada tatalaksana kejang demam ada 3 hal yang perlu diperhatikan yaitu:1,8
1. Pengobatan fase akut
2. Mencari dan mengobati penyebab
3. Pengobatan profilaksis terhadap berulangnya kejang demam
11
Pada waktu pasien datang dalam keadaan kejang maka hal yang harus
dilakukan ialah membuka pakaian yang ketat dan posisi pasien dimiringkan
apabila muntah untuk mencegah aspirasi. Jalan napas harus bebas agar oksigenasi
terjamin. Pengisapan lendir dilakukan secara teratur, diberikan terapi oksigen dan
jika perlu dilakukan intubasi.1,8
Awasi keadaan vital seperti kesadaran, suhu, tekanan darah, pernapasan
dan fungsi jantung. Suhu tubuh yang tinggi diturunkan dengan kompres air hangat
dan pemberian antipiretik. Tidak ditemukan bukti bahwa penggunaan antipiretik
mengurangi resiko terjadinya kejang demam, namun para ahli di Indonesia
sepakat bahwa antipiretik tetap dapat diberikan ketika anak demam (> 38,5oC).
Dosis parasetamol yang digunakan ialah 10-15 mg/kgBB/kali diberikan 4 kali
sehari dan tidak lebih dari 5 kali. Dosis ibuprofen 5-10 mg/kgBB/kali diberikan 3-
4 kali sehari.1,2,8
Obat yang paling cepat untuk menghentikan kejang adalah diazepam yang
diberikan secara intravena atau intrarektal. Kadar diazepam tertinggi dalam darah
akan tercapai dalam waktu 1-3 menit apabila diazepam diberikan secara intravena
dan dalam waktu 5 menit apabila diberikan secara intrarektal. Dosis diazepam
intravena 0,3-0,5 mg/kgBB, diberikan perlahan-lahan dengan kecepatan 1-2
mg/menit atau dalam waktu 3-5 menit dengan dosis maksimal 20 mg. Untuk
memudahkan orangtua di rumah dapat diberikan diazepam rektal dengan dosis:1,8
- 5 mg pada anak dengan berat badan < 10 kg
- 10 mg untuk berat badan anak > 10 kg
Buccal midazolam (0.5 mg/kg; dosis maximal 10 mg) dikatakan lebih
efektif daripada diazepam per rektal pada anak.2
Tabel 2.2 Dosis obat anti konvulsi untuk kejang demam2
12
Pencegahan berulangnya kejang demam perlu dilakukan karena sering
berulang dan menyebabkan kerusakan otak yang menetap. Ada 2 cara profilaksis
yaitu proflaksis intermiten pada waktu demam dan profilaksis terus-menerus
dengan antikonvulsan setiap hari.1,2,8
Untuk profilaksis intermiten, antikonvulsan hanya diberikan pada waktu
pasien demam. Obat yang diberikan harus cepat diabsorpsi dan cepat masuk ke
jaringan otak. Diazepam intermiten memberikan hasil lebih baik karena
penyerapannya lebih cepat. Dapat digunakan diazepam intrarektal tiap 8 jam pada
kenaikan suhu mencapai 38,5oC atau lebih yaitu dengan dosis:1,2,8
- 5 mg untuk pasien dengan berat badan < 10 kg
- 10 mg untuk pasien dengan berat badan > 10 kg
Diazepam dapat pula diberikan secara oral dengan dosis 0,5 mg/kgBB/hari
dibagi dalam 3 dosis pada waktu pasien demam. Efek samping diazepam ialah
ataksia, mengantuk dan hipotonia.1,2,8
Untuk profilaksis terus-menerus dilakukan dengan pemberian fenobarbital
4-5mg/kgBB/hari dengan kadar obat dalam darah sebesar 16µg/ml menunjukkan
hasil yang bermakna untuk mencegah berulangnya kejang demam. Efek samping
fenobarbital berupa kelainan watak yaitu iritabel, hiperaktif, pemarah dan agresif
ditemukan pada 30-50% pasien. Efek samping dapat dikurangi dengan
menurunkan dosis fenobarbital.8
Obat lain yang dapat digunakan yaitu asam valproat dengan dosis 15-40
mg/kgBB/hari. Fenitoin dan carbamazepin tidak efektif untuk pencegahan kejang
demam. Antikonvulsan profilaksis terus-menerus diberikan selama 1-2 tahun
setelah kejang terakhir kemudian dihentikan secara bertahap selama 1-2 bulan.1,2,8
Adapun indikasi profilaksis terus-menerus yaitu sebagai berikut:1,8
- Sebelum kejang demam yang pertama sudah ada kelainan neurologis
atau perkembangan
- Ada riwayat kejang tanpa demam pada orangtua atau saudara
kandung
- Kejang demam lebih lama dari 15 menit, fokal atau diikuti kelainan
neurologis sementara dan menetap
13
- Kejang demam terjadi pada bayi berumur < 12 bulan atau terjadi
kejang multipel dalam satu episode demam
2.1.8 Prognosis
Kejadian kecacatan sebagai komplikasi kejang demam tidak pernah
dilaporkan. Kematian akibat kejang demam juga tidak pernah dilaporkan.
Perkembangan mental dan neurologis umumnya tetap normal pada pasien yang
memang sebelumnya normal. Penelitian lain secara retrospektif melaporkan
kelainan neurologis pada sebagian kecil kasus dan kelainan ini biasanya terjadi
pada kasus kejang yang lama atau kejang berulang baik fokal atau kejang
umum.1,5
Kejang demam akan berulang kembali pada sebagian kasus. Faktor resiko
berulangnya kejang yaitu riwayat kejang demam dalam keluarga, usia saat kejang
pertama < 12 bulan, temperatur yang rendah saat kejang (<40°C) dan timbulnya
kejang yang cepat setelah demam. Bila semua faktor tersebut terpenuhi maka
resiko berulangnya kejang demam 80 % sedangkan bila tidak terdapat faktor
tersebut resikonya 10-15%. Kemungkinan berulangnya kejang paling besar pada
tahun pertama.1,5
14
2.2 FARINGITIS
2.2.1 Pendahuluan tentang Faringitis
Infeksi saluran pernafasan atas menyebabkan sebagian besar kunjungan
pasien ke dokter anak. Sekitar sepertiga dari penyakit tersebut ditandai dengan
nyeri tenggorokan sebagai gejala utama.9
Pemeriksaan pasien anak yang datang dengan keluhan nyeri tenggorokan
dapat mengungkapkan adanya tonsilitis, tonsillopharyngitis, atau nasofaringitis.
Tidak adanya peradangan faring atau adanya rhinorrhea jauh lebih mungkin untuk
dihubungkan dengan infeksi virus. Namun, tidak ada temuan fisik yang jelas
membedakan penebab streptokokus beta hemolitik kelompok A (GABHS) dari
virus, bakteri atau penyebab yang noninfeksi lainnya.10
Perhatian utama untuk faringitis pada anak usia 2 tahun atau lebih adalah
bahwa faringitis GABHS yang tidak diobati selanjutnya dapat menyebabkan
demam rematik. Untuk mencegah hal tersebut, maka diberikan terapi antimikroba
yang memadai dalam 9 hari infeksi. Tes deteksi antigen rapid untuk GABHS
dapat mendiagnosis jika hasilnya positif karena spesifisitas tes tersebut adalah
sebesar 98-99 % (yaitu, hanya 1-2 % hasilnya yang positif palsu), namun
sensitivitasnya hanya 70 % (yaitu, 30 % hasilnya negatif palsu), yang memerlukan
kultul tindak lanjut untuk hasil yang negatif.10
Obat pilihan untuk pengobatan faringitis GABHS masih tetap penisilin V,
meskipun banyak ahli merekomendasikan dosis yang lebih tinggi daripada yang
digunakan di masa lalu. Bakteri lain yang kadang-kadang menyebabkan faringitis
dan memerlukan terapi antimikroba termasuk gonococcus, Francisella tularensis,
streptokokus kelompok B, C, dan G, Arcanobacterium hemolyticum, dan
Treponema pallidum. Tidak ada pengobatan yang manfaat untuk faringitis
penyebab virus.10,11
15
Gambar 2.1 Faring posterior dengan petechiae dan eksudat pada seorang anak berusia 12 tahun. Tes deteksi antigen rapid dan kultur tenggorokan hasilnya
positif untuk streptokokus beta - hemolitik grup A.10
2.2.2 Epidemiologi
Infeksi saluran pernapasan atas virus terjadi paling sering pada musim
dingin dan musim semi dan ditularkan melalui kontak langsung yang dekat.
Faringitis streptokokus jarang terjadi sebelum usia 2-3 tahun. Insiden meningkat
di kalangan anak-anak dan kemudian menurun pada akhir masa remaja dan
dewasa. Penyakit ini terjadi sepanjang tahun tetapi dilaporkan paling sering
selama musim dingin dan musim semi. Penyakit ini sering menyebar pada saudara
kandung dan teman sekelas. Faringitis dari grup Streptococcus C dan A.
haemolyticum paling sering terjadi di kalangan remaja dan orang dewasa.10,12
2.2.3 Etiologi
Mikroorganisme yang paling sering menyebabkan faringitis adalah virus
dan Streptococcus β-hemolitik grup A (GABHS). Organisme lain yang kadang-
kadang dikaitkan dengan faringitis termasuk kelompok Streptococcus C,
Arcanobacterium haemolyticum, Francisella tularensis, Mycoplasma
pneumoniae, Neisseria gonorrhoeae, dan Corynebacterium diphtheriae. Bakteri
lain, seperti Haemophilus influenzae dan Streptococcus pneumoniae, didapatkan
pada kultur tenggorokan anak yang mengalami radang tenggorokan, tetapi peran
mikroba tersebut dalam menyebabkan faringitis belum diketahui.10,12
16
Beberapa mikroorganisme dapat menyebabkan iritasi dan radang faring.
Pada anak-anak, penyebab dapat disebabkan oleh virus (misalnya, adenovirus,
enterovirus, dan virus Epstein-Barr [EBV]), yang sering hanya memerlukan terapi
suportif, untuk bakteri patogen (misalnya, GABHS), membutuhkan terapi
antibiotik. Untuk semua kasus faringitis pediatrik, apakah yang berasal dari
bakteri atau virus, diperlukan perawatan suportif untuk mencegah gejala yang
terkait seperti dehidrasi.10
Bakteri patogen utama yang menyebabkan sekitar 30 % dari semua kasus
faringitis pada anak-anak meliputi:10
• GABHS (sering)
• Streptokokus Grup C (jarang)
• Streptokokus Grup G (jarang)
• Neisseria gonorrhoeae (jarang)
• Corynebacterium diphtheriae (jarang)
• Corynebacterium hemolyticum (sangat jarang)
Tidak ada patogen yang terisolasi pada hampir 30 % kasus, dan virus yang
terisolasi pada sekitar 40 % kasus. Kemungkinan kopatogen lain pada anak-anak
meliputi:2
• Staphylococcus aureus
• Haemophilus influenzae
• Moraxella (Branhamella) catarrhalis
• Bacteroides fragilis
• Bacteroides oralis
• Bacteroides melaninogenicus
• Spesies Fusobacterium
• Spesies Peptostreptococcus
• Chlamydia trachomatis (jarang)
• Mycoplasma pneumoniae (jarang)
GABHS adalah organisme utama yang menjadi perhatian pada
kebanyakan kasus faringitis pediatrik karena terapi antibiotik yang tepat akan
efektif dan dapat menghilangkan komplikasi jantung demam rematik. Lebih dari
17
80 jenis protein M dari GABHS telah diisolasi. Serotipe 1, 3, 5, 6, 18, 19, dan 24
berhubungan dengan demam rematik (dan dengan demikian disebut sebagai
bentuk rheumatogenik), sedangkan yang lain, seperti serotipe 49, 55, dan 57,
berhubungan dengan pioderma dan akut glomerulonefritis poststreptococcal.10
Faringitis GABHS menyebar melalui droplet pernapasan melalui kontak
yang dekat. Bakteri ini memiliki masa inkubasi selama 2-5 hari.10,12
Virus yang dapat menyebabkan faringitis virus akut adalah sebagai
berikut:10
• Rhinovirus
• Adenovirus
• Virus parainfluenza
• Coxsackievirus
• Coronavirus
• Echovirus
• EBV (mononukleosis)
• Cytomegalovirus (CMV)
Penyebab faringitis kronis (biasanya tidak menular) meliputi:10
• Iritasi dari postnasal discharge rhinitis alergi kronis
• Iritasi bahan kimia
• Neoplasma dan vaskulitis
2.2.4 Patogenesis
Kolonisasi GABHS pada faring dapat mengakibatkan keadaan
asimptomatik maupun infeksi akut. Protein M adalah faktor virulensi utama dari
GABHS dan memfasilitasi resistensi terhadap fagositosis oleh neutrofil
polimorfonuklear. Imunitas tipe spesifik berkembang selama infeksi dan
memberikan kekebalan protektif terhadap infeksi berikutnya dengan serotipe M
tertentu.9,12
Demam scarlet yang disebabkan oleh GABHS mengakibatkan salah satu
dari tiga eksotoksin pirogenik streptokokus (SPE) --A, B, dan C-- dapat
menyebabkan ruam papular. SPE-A tampaknya paling kuat terkait dengan demam
18
scarlet. Paparan SPE hanya menghasilkan kekebalan khusus untuk toksin
tersebut, dan karenanya demam scarlet dapat terjadi sampai tiga kali.9
2.2.5 Manifestasi Klinis
Terjadinya faringitis streptokokus sering cepat dengan ditandai oleh gejala
nyeri tenggorokan dan demam yang menonjol. Sakit kepala dan gejala
gastrointestinal sering terjadi. Faring terlihat hiperemis, dan tonsil membesar dan
secara klasik ditutupi dengan warna eksudat kuning, darah yang kebiruan.
Mungkin bisa terdapat peteki atau lesi "donat" pada palatum mole dan faring
posterior, dan uvula mungkin memerah dan membengkak. Kelenjar getah bening
leher anterior membesar dan lunak. Beberapa pasien menunjukkan stigmata
tambahan demam scarlet, berupa: pucat circumoral, lidah berwarna ‘stroberi’, dan
ruam papular halus berwarna merah yang terasa seperti amplas dan menyerupai
kulit terbakar dengan adanya bintik ‘angsa’.9,10,12
Onset faringitis virus mungkin lebih bertahap, dan gejala yang lebih sering
terjadi berupa rhinorrhea, batuk, dan diare. Pada faringitis Adenovirus dapat
terdapat gejala konjungtivitis dan demam yang bersamaan (fever
pharyngoconjunctival). Faringitis coxsackievirus dapat menyebabkan timbulnya
vesikel abu-abu kecil (1-2 mm) dan ulkus yang menekan pada faring posterior
(herpangina), atau nodul putih kekuningan kecil (3-6 mm) pada faring posterior
(faringitis lymphonodular akut). Pada faringitis akibat virus Epstein-Barr (EBV),
mungkin ada pembesaran tonsil yang menonjol dengan eksudat, serviks
limfadenitis, hepatosplenomegali, ruam, dan terjadinya kelelahan umum pad anak
sebagai bagian dari sindrom mononukleosis infeksius. Herpes simpleks infeksi
virus primer pada anak-anak sering menyebabkan demam tinggi dan
gingivostomatitis.9,10
Penyakit faringitis yang dikaitkan dengan Streptococcus haemolyticum
kelompok C dan A umumnya mirip dengan yang disebabkan oleh GABHS.
Infeksi akibta A. haemolyticum kadang-kadang disertai dengan ruam
makulopapular eritematosa. Infeksi faring gonokokal biasanya tanpa gejala tetapi
dapat menyebabkan faringitis akut dengan demam dan limfadenitis servikal.9
19
2.2.6 Diagnosis
Tujuan dari diagnosis yang spesifik adalah untuk mengidentifikasi infeksi
GABHS. Manifestasi klinis dari faringitis streptokokus dan viral terlihat agak
tumpang tindih. Dokter yang melakukan penilaian klinis sering melebih-lebihkan
kemungkinan etiologi streptokokus, sehingga pengujian laboratorium yang
berguna untuk mengidentifikasi anak-anak akan paling mungkin untuk
memperoleh manfaat dari terapi antibiotik. Kultur tenggorokan tetap merupakan
gold standard yang kurang sempurna untuk mendiagnosis faringitis streptokokus.
Hasil kultur positif palsu dapat terjadi jika organisme lain salah diartikan sebagai
GABHS, dan anak-anak yang pembawa streptokokus juga memiliki hasil kultur
yang positif. Hasil kultur negatif palsu dikaitkan dengan berbagai penyebab,
termasuk spesimen usap tenggorok yang tidak memadai dan penggunaan
antibiotik oleh pasien secara diam-diam.9,10
Tes rapid/cepat untuk mendeteksi antigen streptokokus grup A
spesifisitasnya tinggi, jadi jika hasil tes rapidnya positif, kultur tenggorokan tidak
perlu dilakukan dan dapat dilakukan pengobatan yang tepat. Namun, tes rapid
umumnya kurang sensitif dibandingkan kultur, sehingga dianjurkan
mengkonfirmasikan tes rapid yang negatif dengan kultur tenggorokan, terutama
jika ada kecurigaan klinis yang tinggi terhadap GABHS. Diperlukan media kultur
khusus dan inkubasi berkepanjangan untuk mendeteksi A. haemolyticum. Kultur
virus seringkali tidak tersedia dan umumnya terlalu mahal dan lambat untuk
digunakan secara klinis. Pemeriksaan jumlah sel darah lengkap (CBC)
menunjukkan banyak limfosit atipikal dan tes aglutinasi slide (atau " spot") yang
positif ini dapat membantu untuk mengkonfirmasi diagnosis klinis EBV
mononukleosis yang infeksius.9,12
2.2.7 Penatalaksanaan
Episode faringitis streptokokus paling sering tidak diobati biasanya
sembuh dalam beberapa hari, tetapi terapi antibiotik awal mempercepat pemulihan
klinis selama 12-24 jam. Manfaat utama dari pengobatan faringitis adalah
pencegahan demam rematik akut, yang hampir sepenuhnya berhasil diobati jika
pengobatan antibiotik diberikan dalam 9 hari saat sakit. Terapi antibiotik harus
20
dimulai segera tanpa kultur pada anak-anak dengan gejala faringitis streptokokus
dan hasil tes rapid antigen positif, diagnosis klinis adanya demam scarlet, kontak
di rumah dengan faringitis streptokokus yang terdiagnosis sebelumnya, riwayat
demam rematik akut, atau riwayat anggota keluarga yang demam rematik akut.9
Berbagai obat antimikroba efektif untuk pengobatan faringitis. GABHS
secara umum tetap bisa diobati dengan penisilin, yang spektrumnya sempit dan
memiliki sedikit efek samping. Penisilin V harganya murah dan diberikan selama
10 hari: 250 mg/dosis untuk anak-anak dan 250-500 mg/dosis untuk remaja dan
orang dewasa. Amoksisilin oral sering dipilih untuk anak-anak karena rasanya dan
tersedia dalam sediaan tablet kunyah.9
Studi menunjukkan bahwa amoksisilin dosis 750 mg sekali sehari yang
diberikan per oral selama 10 hari sama efektifnya dengan penisilin 250 mg yang
diberikan selama 10 hari. Studi lain menunjukkan bahwa pemberian amoksisilin
oral dalam waktu yang lebih singkat yaitu 6 hari (50 mg/kg/hari dosis dibagi)
sama efektifnya dengan pemberian penisilin V 10 hari. Jika dikonfirmasi,
keunggulan ini akan membuat amoksisilin menjadi pilihan yang lebih populer.
Pemberian penisilin benzatin intramuskular dosis tunggal (600.000 U untuk anak-
anak < 27 kg); 1,2 juta U untuk anak-anak yang lebih besar dan orang dewasa),
atau kombinasi penisilin G benzatin-prokain, terasa perih, tetapi menjamin
kepatuhan obat dan memberikan kadar darah yang memadai untuk lebih dari 10
hari.9
Eritromisin (eritromisin etil suksinat 40 mg/kg/hari dosis dibagi per oral
selama 10 hari, atau eritromisin estolate 20-40 mg/kg/hari dosis bagi per oral
selama 10 hari) direkomendasikan untuk pasien yang alergi terhadap antibiotik β-
laktam. Laporan penelitian bahwa banyak pasien yang diobati dengan penisilin
per oral atau intramuskular kulturnya tetap positif setelah pengobatan dengan
evaluasi lebih lanjut. Berdasarkan proporsi kultur GABHS yang tetap positif
setelah terapi, beberapa obat (misalnya, sefalosporin generasi pertama) tampaknya
sama baiknya, atau lebih baik dari, penisilin, mungkin karena obat ini lebih efektif
dalam menangani streptokokus. Beberapa obat yang lebih baru seperti azitromisin
memberikan kenyamanan pada pemberian yaitu sekali sehari atau terapi yang
lebih pendek, yang dapat meningkatkan kepatuhan obat, tetapi obat ini umumnya
21
lebih mahal daripada penisilin dan lebih sering memberikan efek samping. Bukti
tidak cukup untuk merekomendasikan pemberian sefalosporin jangka pendek
untuk terapi rutin saat ini.9
Kultur tindak lanjut tidak diperlukan kecuali gejalanya kambuh. Beberapa
pasien yang diobati secara kontinu masih memiliki GABHS di tenggorokan
mereka dan menjadi pembawa streptokokus. Karier ini umumnya menimbulkan
sedikit risiko untuk pasien dan yang kontak dengan mereka, tapi hal ini mungkin
mengacaukan hasil tes yang digunakan untuk menentukan etiologi dari nyeri
tenggorokan. Rejimen pengobatan yang paling efektif untuk menangani
streptokokus adalah klindamisin, 20 mg/kg/hari dibagi dalam tiga dosis (dosis
dewasa: 150-300 mg) per oral selama 10 hari.9,10
Terapi spesifik tidak tersedia untuk kebanyakan faringitis virus. Atas dasar
data kerentanan in vitro, penisilin per oral sering diberikan untuk pasien dengan
isolat streptokokus grup C dan eritromisin oral direkomendasikan untuk pasien
dengan A. haemolyticum, tetapi manfaat klinis pengobatan tersebut belum pasti.9
Terapi simtomatis yang nonpesifik dapat menjadi bagian penting dari
rencana pengobatan keseluruhan. Obta antipiretik/ analgesik oral (misalnya
acetaminophen atau ibuprofen) bisa meringankan demam dan nyeri tenggorokan.
Berkumur dengan air garam hangat sering dapat mengurangi nyeri, dan anestesi
spray dan pelega tenggorokan (sering mengandung benzokain, fenol, atau
menthol) dapat memberikan penyembuhan lokal.9
2.2.8 Faringitis Berulang
Faringitis streptokokus berulang dapat kambuh dengan strain yang sama.
Jika kepatuhan antibiotik berkurang, disarankan pemberian penisilin benzatin
intramuskular. Kemungkinan resistansi harus dipertimbangkan jika diberikan
pengobatan nonpenicillin seperti eritromisin. Kekambuhan mungkin juga
disebabkan oleh strain yang berbeda yang dihasilkan dari paparan baru atau
mungkin karena faringitis dari penyebab lain disertai dengan streptokokus.
Kemungkinan terakhir ini mungkin terjadi jika penyakitnya ringan dan sebaliknya
atipikal untuk faringitis streptokokus. Jika GABHS terdeteksi dengan kultur yang
22
diulangi beberapa hari setelah menyelesaikan pengobatan, dianjurkan pemberian
terapi untuk mengeliminasi carier.9
Tonsilektomi dapat menurunkan kejadian faringitis selama 1-2 tahun pada
anak-anak yang mengalami berulang faringitis GABHS dengan hasil kultur
positif, yang sudah parah dan sering (lebih dari tujuh episode pada tahun
sebelumnya, atau lebih dari lima pada setiap tahun dalam 2 tahun sebelumnya).
Namun, kebanyakan anak mengalami episode spontan yang lebih sedikit dari
waktu ke waktu, jadi manfaat klinis yang diantisipasi harus seimbang terhadap
risiko anestesi dan bedah. Riwayat faringitis berulang yang tidak tercatat
merupakan dasar yang tidak memadai untuk merekomendasikan tonsilektomi.9
2.2.9 Komplikasi dan Prognosis
Infeksi saluran pernapasan karena virus mungkin dapat menjadi
predisposisi infeksi bakteri telinga tengah. Komplikasi dari faringitis streptokokus
termasuk komplikasi supuratif lokal, seperti abses parapharyngeal, dan penyakit
non supuratif yang tejadi kemudian, seperti demam rematik akut dan
glomerulonefritis akut pascainfeksi.9
2.2.10 Pencegahan
Vaksin streptokokus multivalen berdasarkan peptida protein M sedang
masih dalam pengembangan. Profilaksis antimikroba dengan penisilin oral setiap
hari dapat mencegah infeksi GABHS berulang tetapi hanya dianjurkan untuk
mencegah kekambuhan demam rematik akut.9
DAFTAR PUSTAKA
23
1. Hayden GF, Turner RB, Kliegman RM. 2007. Acute Pharyngitis, in
Nelson Textbook of Pediatrics, 18th ed. Philadelphia: WB Saunders Inc;
1393-1395.
2. Simon HK. 2012. Pediatric Pharyngitis. Medscape Reference. Diakses
dari http://emedicine.medscape.com/article/967384. Tanggal akses 6
September 2013.
3. Fretzayas A, Moustaki M, Kitsiou S, Nychtari G, Nicolaidou P. The
clinical pattern of group C streptococcal pharyngitis in children. J Infect
Chemother. Aug 2009;15(4):228-32c
4. Bisno AL: Acute pharyngitis. N Engl J Med 2001;344:205-11.
24
DAFTAR PUSTAKA
1. Pusponegoro HD, Widodo DP, Ismael S. 2008. Konsensus Penatalaksanaan
Kejang Demam. Jakarta: Unit Kerja Koordinasi Neurologi, Ikatan Dokter
Anak Indonesia (IDAI).
2. Ministry of Health Service. 2010. Guidelines and Protocols: Febrile seizures.
British Columbia Medical Assosiation.
3. Kusuma D, Yuana I. 2010. Korelasi antara Kadar Seng Serum dengan
Bangkitan Kejang Demam (Tesis). Semarang: Universitas Diponegoro.
4. Fuadi F. 2010. Faktor Risiko Bangkitan Kejang Demam pada Anak (Tesis).
Semarang: Universitas Diponegoro.
5. Jones T, Jacobsen SJ. Childhood Febrile Seizures: Overview and Implications,
Int. J. Med. Sci. 2007; 4(2):110-114.
6. Wolf P, Shinnar S. 2005. Febrile Seizures in Current Management in Child
Neurology, Third Edition. BC Decker Inc.
7. Srinivasan J, Wallace KA, Scheffer IE. Febrile Seizures. Australian Family
Physician, 2005; 34(12):1021-1025.
8. Deliana M. Tata Laksana Kejang Demam pada Anak. Sari Pediatri, 2002;
4(2): 59 – 62.
9. Hayden GF, Turner RB, Kliegman RM. 2007. Acute Pharyngitis, in Nelson
Textbook of Pediatrics, 18th ed. Philadelphia: WB Saunders Inc; 1393-1395.
10. Simon HK. 2012. Pediatric Pharyngitis. Medscape Reference. Diakses dari
http://emedicine.medscape.com/article/967384. Tanggal akses 6 September
2013.
11. Fretzayas A, Moustaki M, Kitsiou S, Nychtari G, Nicolaidou P. The clinical
pattern of group C streptococcal pharyngitis in children. J Infect Chemother.
Aug 2009;15(4):228-32c
12. Bisno AL: Acute pharyngitis. N Engl J Med 2001;344:205-11.
25