Upload
votram
View
243
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
TESIS
KEPASTIAN PENEGAKAN HUKUM PERATURAN
DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 10 TAHUN 2011
TENTANG KAWASAN TANPA ROKOK DALAM
RANGKA MENINGKATKAN KUALITAS
PARIWISATA BALI
I GUSTI AGUNG NGURAH IRIANDHIKA PRABHATA
NIM: 1390561017
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2015
KEPASTIAN PENEGAKAN HUKUM PERATURAN
DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 10 TAHUN 2011
TENTANG KAWASAN TANPA ROKOK DALAM
RANGKA MENINGKATKAN KUALITAS
PARIWISATA BALI
Tesis Untuk Memperoleh Gelar Magister
Pada Program Magister Program Studi Ilmu Hukum
Program Pascasarjana Universitas Udayana
I GUSTI AGUNG NGURAH IRIANDHIKA PRABHATA
NIM: 1390561017
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2015
Lembar Pengesahan
TESIS INI TELAH DISETUJUI
PADA TANGGAL 10 MARET 2015
Pembimbing I Pembimbing II
Prof. Dr. I Made Arya Utama, SH.,MH Dr. Ni Ketut Sri Utari, SH.,MH
NIP. 196502211990031005 NIP. 195609021985032001
Mengetahui
Dr. Ni Ketut Supasti Dharmawan, SH.,M.Hum.,LLM Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K)
NIP. 196111011986012001 NIP. 195902151985102001
Direktur Program Pascasarjana
Universitas Udayana
Ketua Program Studi Magister (S2)
Ilmu Hukum Program Pascasarjana
Universitas Udayana
Tesis ini Telah Diuji
Pada Tanggal 17 Februari 2015
Panitia Penguji Tesis
Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana
Nomor 602/UN14.4/HK/2015 Tanggal 16 Februari 2015
Ketua : Prof. Dr. I Made Arya Utama, SH.,MH
Sekretaris : Dr. Ni Ketut Sri Utari, SH.,MH
Anggota : 1. Prof. Dr. I Wayan Parsa, SH.,M.Hum
2. Dr. Putu Tuni Cakabawa Landra, SH.,M.Hum
3. Dr. Ni Ketut Supasti Dharmawan, SH.,M.Hum.,LLM
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : I Gusti Agung Ngurah Iriandhika Prabhata
Program Studi : Ilmu Hukum
Judul Tesis : Kepastian Penegakan Hukum Peraturan Daerah
Provinsi Bali Nomor 10 Tahun 2011 Tentang
Kawasan Tanpa Rokok Dalam Rangka
Meningkatkan Kualitas Pariwisata Bali
Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah Tesis ini bebas plagiat. Apabila
dikemudian hari terbukti plagiat dalam karya ilmiah ini maka saya bersedia
menerima sanksi sebagaimana diatur dalam Peraturan Mendiknas RI Nomor 17
Tahun 2010 dan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku.
Denpasar, 23 Januari 2015
Yang menyatakan
I.G.A Ngurah Iriandhika Prabhata
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur kepada Ida Sang Hyang Widi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa
karena berkat rahmat dan karunia beliau penulis berhasil menyelesaikan Tesis
dengan judul “KEPASTIAN PENEGAKAN HUKUM PERATURAN DAERAH
PROVINSI BALI NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG KAWASAN TANPA
ROKOK DALAM RANGKA MENINGKATKAN KUALITAS PARIWISATA
BALI”.
Selesainya penyusunan Tesis ini tentu tidak lepas dari dorongan, bimbingan
dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu melalui kesempatan ini ijinkan
penulis menyampaikan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD KEMD, Rektor Universitas Udayana, yang
telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan
lanjutan pada Program Magister (S2) Ilmu Hukum Universitas Udayana;
2. Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S (K), Direktur Program Pascasarjana
Universitas Udayana, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk
mengikuti pendidikan pada Program Studi Magister (S2);
3. Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, SH.,MH, Dekan Fakultas Hukum
Universitas Udayana, yang dengan sabar memberikan nasehat dan masukan
kepada penulis;
4. Dr. Ni Ketut Supasti Dharmawan, SH.,M.Hum.,L.LM, Ketua Program Studi
Magister (S2) Ilmu Hukum Universitas Udayana, yang senantiasa memberikan
bimbingan dan motivasi untuk menyelesaikan Tesis ini;
5. Dr. Putu Tuni Cakabawa Landra, SH.,M.Hum, Sekretaris Program Studi
Magister (S2) Ilmu Hukum Universitas Udayana yang senantiasa memberikan
bimbingan dan motivasi untuk menyelesaikan Tesis ini
6. Prof. Dr. I Made Arya Utama, SH.,MH, Pembimbing I, yang penuh kesabaran
dan pengertian dalam membimbing dan memberikan motivasi bagi penulis
sehingga Tesis ini dapat terselesaikan;
7. Dr. Ni Ketut Sri Utari, SH.,MH, Pembimbing II, yang dengan kesabarannya
memberikan masukan, saran, kritik, serta membimbing dengan penuh ketelitian
sehingga Tesis ini dapat terselesaikan;
8. Para penilai usulan penelitian Tesis ini, Bapak/Ibu Prof. Dr. I Made Arya
Utama, SH.,MH; Dr. Ni Ketut Sri Utari, SH.,MH; Prof. Dr. I Wayan Parsa,
SH.,M.Hum; Dr. I Dewa Gede Palguna, SH.,M.Hum; Dr. Ni Ketut Supasti
Dharmawan, SH.,M.Hum.,LLM yang telah berkenan memberikan penilaian
atas usulan penelitian Tesis ini;
9. Para penguji Tesis ini, Bapak/Ibu Prof. Dr. I Made Arya Utama, SH.,MH; Dr.
Ni Ketut Sri Utari, SH.,MH; Prof. Dr. I Wayan Parsa, SH.,M.Hum; Dr. Putu
Tuni Cakabawa Landra, SH.,M.Hum; Dr. Ni Ketut Supasti Dharmawan,
SH.,M.Hum.,LLM yang telah berkenan memberikan penilaian atas Tesis ini;
10. Para guru besar dan dosen penanggung jawab mata kuliah Program Magister
Ilmu Hukum Konsentrasi Hukum Kepariwisataan yang tidak dapat penulis
sebutkan satu persatu, penulis ucapkan terima kasih yang tak terhingga atas
wawasan keilmuan yang telah diberikan selama mengikuti perkuliahan dan
memberikan dukungan sehingga dapat membantu terselesaikannya Tesis ini;
11. Para Staf Administrasi Program Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana,
yang telah memberikan pelayanan dengan penuh kesabaran selama penulis
mengikuti perkuliahan hingga penyelesaian Tesis;
12. Ayahnda I.G.Ngurah Arthanaya, S.H., M.Hum dan Ibunda I.G.A. Pandi Darini,
yang senantiasa tanpa letih dan jemu memberikan kasih sayang dan bimbingan
serta dukungan baik secara materiil maupun imateriil kepada penulis sehingga
Tesis ini bisa terselesaikan;
13. Saudara-saudara terkasih Ir. I.G.A Ngurah Jaya Atmaja, I.G.A Ratna Artha
Windari, SH.,MH, I.G.A Ngurah Pramana Adyaksa, dan seluruh keluarga besar
Arya Kepakisan Dawuh Baleagung, yang selalu memberikan dukungan bagi
penulis dalam pengerjaan Tesis ini;
14. Rekan-rekan mahasiswa konsentrasi Hukum Kepariwisataan angkatan 2013,
Eva Laheri, Ditha Praja, Sukma Sanjiwani, Amila Faizal, Andika Wahyu, Intan
Permatasari, Agus Indra, Innez Primantara, Ketut Sukarta yang senantiasa
memberikan masukan dan dukungan bagi penulis dalam pengerjaan Tesis ini;
15. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah banyak
memberikan dukungan serta bantuan dalam menyelesaikan Tesis ini;
Akhirnya, semoga Tesis ini dapat bermanfaat serta mampu memberikan
sumbangan ilmiah bagi perkembangan ilmu hukum.
Denpasar, 23 Januari 2015
Penulis
ABSTRAK
Pariwisata secara global dipandang sebagai bagian dari hak asasi manusia,
tidak terkecuali hak untuk memperoleh lingkungan hidup yang baik dan sehat
dalam kegiatan pariwisata. Kepariwisataan di Indonesia diselenggarakan
berdasarkan prinsip menjunjung tinggi hak asasi manusia, tidak terkecuali Bali
yang bergerak dalam sektor pariwisata. Terkait hal tersebut Pemerintah Provinsi
Bali membuat kebijakan yang mengatur mengenai perlindungan hak asasi manusia
untuk memperoleh lingkungan yang baik dan sehat, melalui Perda Provinsi Bali
No. 10 Tahun 2011 Tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR). Perda Provinsi Bali
tentang KTR belum dapat ditegakkan secara efektif akibat adanya kekaburan norma
hukum terkait prosedur penegakan hukum dan sanksi hukum dalam Perda tersebut
yang belum mampu memberikan efek jera. Berdasarkan hal tersebut, adapun
permasalahan yang dikemukakan dalam penelitian ini adalah: a). Bagaimana
pengaturan mengenai penegakan hukum KTR di Bali?, b). Bagaimana keterkaitan
antara kepastian penegakan hukum KTR dengan upaya meningkatkan kualitas
pariwisata Bali?
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian hukum normatif yang
berdasarkan adanya kekaburan norma hukum mengenai substansi hukum Perda
Provinsi Bali tentang KTR. Pendekatan yang digunakan dalam mengkaji
permasalahan adalah melalui pendekatan peraturan perundang-undangan (statute
approach) dan dibantu pula oleh pendekatan analisis konsep (legal analitical and
conceptual approach) terkait KTR, serta pendekatan perbandingan (comparative
approach).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaturan mengenai kebijakan KTR
di Bali perlu dilakukan perubahan, khususnya dalam substansi hukum Perda
Provinsi Bali tentang KTR, dengan merumuskan prosedur penegakan hukum yang
jelas dan penerapan sanksi hukum yang mampu memberikan efek jera, sehingga
mampu memberikan kepastian dalam penegakan hukum. Melalui kepastian
penegakan hukum KTR, maka akan mampu meningkatkan kualitas pariwisata Bali
khususnya dalam hal Cleanliness and Personality comfort.
Kata Kunci: Kawasan Tanpa Rokok, Hak Asasi Manusia, Kepastian Hukum,
Penegakan Hukum, Kualitas Pariwisata.
ABSTRACT
Global tourism is seen as part of human rights, not least the right to obtain
a good and healthy environment in tourism. Tourism in Indonesia held on the
principle of upholding human rights, especially Bali which engaged in the tourism
sector. In response to the Bali Provincial Government policies governing the
protection of human rights to obtain a good and healthy environment, through the
Bali Local Regulation No. 10 Year 2011 on No Smoking Area. The policy can not
work effectively due to the vagueness of legal norms related enforcement
procedures, and legal sanction that have not been able to provide a deterrent effect.
Accordingly, while the issues raised in this study are: a). How the provisions of the
law enforcement No Smoking Area in Bali?, b). How is the relationship between
law enforcement certainty No Smoking Area with efforts to improve quality tourism
in Bali ?
This research uses normative legal research which is based on the
vagueness of legal norms of the local regulation of Bali Province perceived No
Smoking Area. The approach used to study the problem is through the statute
approach, analitical legal and conceptual approach, as well as the comparative
approach.
The results showed that the provisions of No Smoking Area policy in Bali
need to be changed, especially in the legal substance of the Bali Local Regulation
on No Smoking Area, by inserting a clear formulation of the law enforcement
procedures, and to implement legal sanctions that can provide a deterrent effect,
so as to provide certainty in law enforcement. Through the certainty in law
enforcement, it will be able to improve the quality of tourism in Bali, especially in
terms of Cleanliness, Personality and comfort.
Keywords: No Smoking Area, Human Rights, Legal Certainty, Law Enforcement,
Quality in Tourism.
RINGKASAN
Penelitian dengan judul Kepastian Penegakan Hukum Peraturan Daerah
Provinsi Bali No. 10 Tahun 2011 Tentang Kawasan Tanpa Rokok Dalam Rangka
Meningkatkan Kualitas Pariwisata Bali, telah penulis selesaikan dengan sebaik-
baiknya. Tesis ini selanjutnya akan diuraikan secara lengkap ke dalam lima (5) Bab.
BAB I: PENDAHULUAN, berisi tentang latar belakang masalah yang
menguraikan mengenai Hak Asasi Manusia untuk memperoleh lingkungan yang
baik dan sehat serta bebas dari asap rokok, dimana asap rokok dapat berdampak
buruk bagi kesehatan manusia khususnya perokok aktif. Sejalan dengan itu
pariwisata di Bali yang merupakan bagian dari pariwisata Indonesia wajib
menerapkan prinsip menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia. Melalui suatu
kebijakan yang mengatur mengenai penghormatan HAM bagi wisatawan, akan
mampu meningkatkan kualitas pariwisata Bali itu sendiri. Adapun salah satu upaya
yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah Provinsi Bali adalah dengan membuat
Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 10 Tahun 2011 tentang Kawasan Tanpa Rokok.
Terkait hal tersebut Perda Provinsi Bali tentang KTR dalam penegakannya masih
belum efektif akibat masih memuat kekaburan norma hukum khususnya yang
mengatur mengenai prosedur penegakan hukum dan ketentuan sanksi yang tidak
mampu memberikan efek jera. Dalam bab ini juga diuraikan tentang: Rumusan
Masalah; Tujuan Penelitian; Manfaat Penelitian; Landasan Teoritis; dan Metode
Penelitian.
BAB II: TINJAUAN UMUM TENTANG KAWASAN TANPA ROKOK,
berisi uraian tentang Pengertian Kawasan Tanpa Rokok; Hak Asasi Manusia Dalam
Kebijakan KTR, dimana HAM merupakan dasar filosofis dibentuknya kebijakan
mengenai KTR; Teori Negara Hukum Dalam Kebijakan KTR, dimana setiap
perbuatan yang dilakukan oleh masyarakat maupun pemerintah harus berdasarkan
atas hukum, sehingga hak asasi untuk memperoleh lingkungan yang baik dan sehat
serta bebas dari asap rokok harus diatur di dalam aturan hukum; Aspek Sosiologis
Kebijakan KTR, dimana kebijakan KTR tersebut diarahkan agar dapat memberikan
kemanfaatan bagi masyarakat; dan Pengaturan Hukum Kebijakan KTR, yaitu
mengenai dasar hukum pengaturan mengenai KTR, dari UUD Negara RI Tahun
1945 hingga pengaturan yang berkedudukan lebih rendah.
BAB III: KETENTUAN DAN KEWENANGAN PENEGAKAN HUKUM
KAWASAN TANPA ROKOK DI BALI, yang berisi uraian tentang penafsiran
hukum terhadap substansi Perda Provinsi Bali tentang KTR, dimana penafsiran
tersebut dilakukan terhadap substansi aturan Perda Provinsi Bali tentang KTR,
terhadap penegak hukum, maupun sarana prasarana terkait penegakan hukum Perda
Provinsi Bali tentang KTR. Adapun penafsiran yang dilakukan adalah melalui:
penafsiran sistematis, yaitu memandang bahwa suatu aturan tidak berdiri sendiri
melainkan berada dalam suatu sistem perundang-undangan; penafsiran gramatikal,
yaitu menafsirkan terhadap bahasa dalam suatu aturan; penafsiran perbandingan,
yaitu melakukan perbandingan dengan hukum negara lain yang mengatur hal yang
sama, dalam hal ini terkait KTR; dan penafsiran teleologis/sosiologis, yaitu tentang
tujuan dari aturan tersebut agar bermanfaat bagi masyarakat. Di samping itu dalam
bab ini, diuraikan mengenai kewenangan penegakan hukum KTR dan alternatif
sanksi dalam penegakan hukum KTR.
BAB IV: KETERKAITAN ANTARA KEPASTIAN PENEGAKAN
HUKUM KTR DENGAN UPAYA MENINGKATKAN PARIWISATA BALI,
yang berisi uraian tentang profil pariwisata Bali, dimana Bali merupakan pariwisata
andalan bagi bangsa Indonesia, dan juga Bali menjadikan pariwisata sebagai
lokomotif ekonomi. Dalam bab ini, juga menguraikan tentang meningkatkan
pariwisata Bali melalui penegakan Perda Provinsi Bali tentang KTR, serta
keterkaitan antara kepastian penegakan hukum Perda Provinsi Bali tentang KTR
dengan meningkatkan pariwisata Bali.
BAB V: PENUTUP, yang berisi simpulan dari hasil penelitian dan saran atau
rekomendasi yang bisa penulis rumuskan sebagai masukan bagi para pembuat
kebijakan dan semua stakeholder.
DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL DALAM.......................................................................................... i
PRASYARAT GELAR ................................................................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN .............................................................................. iii
PENETAPAN PANITIA PENGUJI ................................................................. iv
SURAT PERNYATAAN KEASLIAN ............................................................ v
UCAPAN TERIMA KASIH ............................................................................ vi
ABSTRAK ...................................................................................................... ix
ABSTRACT .................................................................................................... x
RINGKASAN TESIS ...................................................................................... xi
DAFTAR ISI .................................................................................................. xiii
DAFTAR TABEL ........................................................................................... xv
BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. 1
1.1 Latar Belakang Masalah .................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................ 12
1.3 Ruang Lingkup Masalah .................................................................... 12
1.4 Tujuan Penelitian .............................................................................. 12
1.4.1 Tujuan Umum ........................................................................... 12
1.4.2 Tujuan Khusus .......................................................................... 13
1.5 Manfaat Penelitian ............................................................................ 13
1.5.1 Manfaat Teoritis ....................................................................... 13
1.5.2 Manfaat Praktis ......................................................................... 14
1.6 Orisinalitas Penelitian ........................................................................ 14
1.7 Landasan Teoritis ............................................................................. 16
1.8 Metode Penelitian ............................................................................. 31
1.8.1 Jenis Penelitian ........................................................................ 31
1.8.2 Jenis Pendekatan ...................................................................... 32
1.8.3 Sumber Bahan Hukum ............................................................. 33
1.8.4 Bahan Hukum Penunjang ...................................................... 35
1.8.5 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum .................................... 35
1.8.6 Teknik Analisis Bahan Hukum .............................................. 36
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KAWASAN TANPA ROKOK ... 39
2.1 Pengertian Kawasan Tanpa Rokok (KTR) ........................................ 39
2.2 Hak Asasi Manusia Dalam Kebijakan KTR ...................................... 42
2.3 Teori Negara Hukum Dalam Kebijakan KTR ................................... 46
2.4 Aspek Sosiologis Dalam Kebijkan KTR ........................................... 51
2.5 Pengaturan Kawasan Tanpa Rokok di Bali ....................................... 62
BAB III KETENTUAN DAN KEWENANGAN PENEGAKAN HUKUM
KAWASAN TANPA ROKOK DI BALI ........................................ 71
3.1 Penafsiran Hukum Terhadap Perda KTR ........................................... 71
3.2 Kewenangan Penegakan Hukum Kawasan Tanpa Rokok ................... 90
3.3 Alternatif Pengaturan Dalam Penegakan KTR ................................... 98
BAB IV KEPASTIAN DALAM PENEGAKAN HUKUM KAWASAN
TANPA ROKOK DIKAITKAN DENGAN PENINGKATAN
KUALITAS PARIWISATA BALI ................................................. 109
4.1 Profil Pariwisata Bali ......................................................................... 109
4.2 Peningkatan Kualitas Pariwisata Bali Melalui Kebijakan KTR ......... 111
4.3 Keterkaitan Antara Kepastian Penegakan Hukum KTR Dengan
Upaya Meningkatkan Kualitas Pariwisata Bali .................................. 116
BAB V PENUTUP......................................................................................... 122
5.1 Kesimpulan ...................................................................................... 122
5.2 Saran ................................................................................................ 123
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 124
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. 131
Lampiran 1 Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 10 Tahun 2011 Tentang
Kawasan Kawasan Tanpa Rokok ......................................... 131
Lampiran 2 Peraturan Gubernur Bali Nomor 8 Tahun 2012 Tentang
Pelaksanaan Pelaksanaan Kawasan Tanpa Rokok .................. 142
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1 Orisinalitas Penelitian .............................................................. 15
Tabel 2 Perbandingan Pengaturan KTR ................................................ 87
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Setiap orang dilahirkan bebas dan merdeka serta memiliki hak-hak tertentu
yang bersifat alamiah, inherent, dan tidak dapat dikurangi, salah satunya adalah hak
untuk mendapatkan kebahagiaan hidup dan keselamatan.1 Hak asasi manusia dalam
hal memperoleh kesehatan merupakan bagian dari hak asasi manusia yang
berkedudukan setara bagi semua orang tanpa terkecuali.
Di sisi lain, kesehatan merupakan hak bagi semua orang dimana hak tersebut
harus pula diposisikan setara antara tiap-tiap orang di dalam masyarakat serta tidak
ada kesenjangan antara satu dengan yang lainnya.2 Dalam kaitannya dengan hal
tersebut, Michael J. Perry mengemukakan bahwa “we should live in accordance
with the fact that every human being has inherent dignity”.3
Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan
yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia, sebagaimana
dimaksud dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945
(selanjutnya disingkat UUD 1945). Di dalam ketentuan Pasal 28 H ayat (1) UUD
1945, dinyatakan bahwa “Setiap orang memiliki hak yang sama untuk memperoleh
kehidupan yang sejahtera baik lahir maupun batin, memperoleh tempat tinggal, dan
1Feri Amsari, 2009, Satjipto Rahardjo Dalam Jagat Ketertiban Hukum Progresif, Jurnal
Konstitusi: Vol. 6. NO. 2, Jakarta, h. 170. 2Pan Mohamad Faiz, 2009, Teori Keadilan John Rawls, Jurnal Konstitusi: Vol. 6. NO. 1,
Jakarta, h. 140. 3Micheal J. Perry, 2007, Toward a Theory of Human Rights, Cambridge University Press,
New York, h. 5.
1
mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh
layanan kesehatan”. Hal tersebut adalah salah satu bentuk kebijakan negara dalam
hal perlindungan hak asasi manusia di bidang kesehatan.
Adapun peraturan perundang-undangan yang dimiliki oleh bangsa Indonesia
dalam hal menjamin perlindungan hak asasi manusia dalam bidang kesehatan
antara lain: Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (LN
No. 165 Tahun 1999-TLN No. 3886), Pasal 9 ayat (3) UU 39 Tahun 1999
dinyatakan bahwa “Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan
sehat”. Di samping itu Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (LN
No. 144 Tahun 2009-TLN No. 5063), di dalam ketentuan Pasal 6 menyatakan
bahwa “Setiap orang berhak mendapatkan lingkungan yang sehat bagi pencapaian
derajat kesehatan”.
Dalam perkembangannya dewasa ini, masih sering dijumpai pelanggaran-
pelanggaran terhadap hak seseorang di bidang kesehatan. Salah satu hal yang aktual
adalah pola hidup masyarakat Indonesia dalam kegiatan merokok, dimana selain
berdampak negatif bagi kesehatan perokok juga bagi kesehatan orang lain yang
terpaksa harus terkena paparan asap rokok tersebut. Di Indonesia kegiatan merokok
itu sendiri masih menjadi sebuah fenomena sosial yang luar biasa dan para pecandu
rokok pun baik dari mereka yang tergolong miskin hingga terkaya, mereka yang
berpendidikan maupun yang tidak berpendidikan.
Setiap waktu dapat ditemukan seseorang sedang merokok di sembarang
tempat tanpa mempertimbangkan aspek negatif yang ditimbulkan dari gaya hidup
tersebut. Masyarakat khususnya para perokok yang merokok tanpa memperhatikan
lingkungan sekitarnya seperti telah kehilangan pemahaman akan nilai-nilai
masyarakat yang dengan kata lain, telah kehilangan kemampuan untuk menilai.
Menilai dalam arti kemampuan untuk menimbang terhadap suatu kegiatan manusia
yang berhubungan satu dengan yang lain, sehingga mampu mengambil suatu
keputusan, dan keputusan tersebut merupakan keputusan nilai yang menyatakan
apakah nantinya memiliki kegunaan atau tidak, baik atau tidak baik, indah ataupun
tidak indah.4
Menurut World Health Organization (WHO), manusia bumi masih jauh dari
kata sadar akan dampak negatif yang juga mematikan, akibat dari tembakau atau
rokok. WHO juga mencatat adanya jumlah kematian yang sangat tinggi sekitar
11.000 orang tewas setiap harinya akibat terkena penyakit dari tembakau. Bahkan
tembakau setiap tahunnya menewaskan 4 juta orang di seluruh dunia dan ironisnya
angka tersebut diperkirakan akan meningkat menjadi 10 juta dalam 25 tahun
mendatang,5 padahal penyakit akibat tembakau adalah penyakit yang paling dapat
dicegah.
Penyakit berbahaya yang ditimbulkan akibat tembakau seperti impotensi,
kemandulan, gangguan janin, enfisema, bronhitis kronis sampai berbagai jenis
kanker. Kanker yang dimaksud seperti kanker paru-paru, mulut, tenggorokan,
pankreas, kandung kemih, mulut rahim bahkan leukimia, serta kanker
kardiovaskular dan stroke adalah berbagai penyakit yang juga telah menimpa
sejumlah masyarakat Indonesia hingga detik ini. Bagi para wanita hamil, merokok
4Kaelan MS, 2010, Pendidikan Pancasila, Paradigma, Yogyakarta, h. 87. 5URL: http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs339/en/, Diakses Pada Tanggal 14
Pebruari 2014.
tidak hanya menyebabkan kelainan pada fisik, seperti resiko terserang asma,
epilepsi, bronhitis dan pneumonia, melainkan juga kelainan psikologis pada anak
yang dapat berupa depresi, hiperaktif atau imatur.6
WHO telah mengeluarkan Framework Convention on Tobacco Control
(FCTC) yang merupakan perjanjian internasional berlaku sejak tanggal 27 Pebruari
2005, dengan bertujuan untuk melindungi generasi saat ini dan yang akan datang
dari kehancuran kesehatan, konsekuensi sosial, lingkungan dan ekonomi yang
diakibatkan oleh rokok dan paparan asapnya.7 Meskipun tidak dapat dipungkiri pula
bahwa dalam beberapa kasus seorang perokok menjadi dapat dikatakan sebagai
pecandu adalah berawal dari alasan kesehatan, dimana dengan merokok seseorang
yang bersangkutan menjadi merasa lebih sehat.
Di sisi lain kegiatan merokok akan mengakibatkan pencemaran udara
dimana hal tersebut merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak asasi manusia
dalam hal memperoleh lingkungan hidup yang baik dan sehat. Di samping itu
pencemaran terhadap lingkungan kerap kali mengandung adanya risiko terhadap
kesehatan manusia.8 Ketika mengkaji mengenai bidang kesehatan, maka akan
mencakup aspek sosial dan kemasyarakatan. Hal ini yang menjadi dasar pentingnya
kajian terhadap bidang hukum kesehatan, karena tujuan hukum kesehatan tidak
berbeda dengan tujuan hukum pada umumnya, yaitu menciptakan ketertiban dan
6URL: http://www.who.int/ tobacco/ research/ youth/ health_effects/ en/, Diakses Pada
Tanggal 14 Pebruari 2014. 7WHO Framework Convention on Tobacco Control, Fifty-Sixth World Health Assembly,
27 February 2005, Available at www.ino.searo.who.intl. Diakses Pada Tanggal 19 September 2013,
h.1 8Takdir Rahmadi, 2012, Hukum Lingkungan di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, h. 4.
keseimbangan di dalam masyarakat sehingga mampu melindungi kepentingan
masyarakat, khususnya dalam hal memperoleh kesehatan.9
Terhadap pelanggaran di bidang kesehatan tersebut, selain pola prilaku
masyarakat yang belum sadar terhadap arti pentingnya melakukan penghormatan
terhadap hak-hak asasi manusia untuk memperoleh lingkungan hidup yang bersih
dan sehat. Hal ini tidak terlepas dari tingkat keefektifan hukum positif yang
mengatur tentang kesehatan di Indonesia khususnya yang mengatur tentang rokok,
baik dilihat dari segi substansi hukum (legal substance), struktur hukum (legal
structure) maupun budaya hukum (legal culture).
Universal Declaration of Human Rights (UDHR) khususnya Generasi ketiga
mengkaji Hak-Hak masyarakat di dalam Pembangunan yang meliputi: the right to
peace, the right to development, and the right to clean environment.10 Pemerintah
Indonesia sudah sepatutnya memberikan perhatian bagi perlindungan hak asasi
manusia untuk memperoleh lingkungan hidup yang bersih bebas dari sampah,11
serta udara yang sehat bebas dari asap rokok.
Mengenai pengaturan tentang rokok, salah satunya berkenaan dengan
peraturan tentang kawasan tanpa rokok. Produk hukum yang mengatur tentang
tempat atau area tertentu yang ditetapkan sebagai kawasan dimana seseorang
dilarang untuk merokok. Di Indonesia hal tersebut masih belum mendapatkan
9Alexandra Indriyanti Dewi, 2008, Etika dan Hukum Kesehatan, Pustaka Publisher,
Yogyakarta, h. 242. 10Ni Ketut Supasti Dharmawan, 2011, ”The Right To Tourism” Dalam Perspektif Hak Asasi
Manusia Di Indonesia, Jurnal Ilmiah Fakultas Hukum Universitas Udayana: Vol. 36. N0. 2.,
Denpasar, h. 6. 11Mohammad Taufik Makarao, 2011, Aspek-Aspek Hukum Lingkungan, Indeks, Jakarta, h.
155.
perhatian baik dari pemerintah maupun masyarakat. Padahal dalam hal ini dengan
peraturan kawasan tanpa rokok maka akan mampu melindungi hak-hak masyarakat
khususnya para perokok pasif, sehingga perlu adanya pengaturan yang tegas
mengenai kawasan tanpa rokok tersebut.
Kegiatan pariwisata yang notabene adalah salah satu andalan bangsa
Indonesia pun tidak bisa terlepas dari jaminan perlindungan hak asasi manusia baik
yang melekat pada masyarakat Indonesia maupun pelaku pariwisata asing, karena
dalam ketentuan Pasal 5 huruf b Undang-Undang No. 10 Tahun 2009 tentang
Kepariwisataan (LN No. 11 Tahun 2009-TLN No. 4966), dinyatakan bahwa
“Kepariwisataan diselenggarakan berdasarkan prinsip menjunjung tinggi hak asasi
manusia”. Oleh sebab itu Pemerintah Indonesia sudah sepatutnya memberikan
perhatian terhadap kawasan-kawasan yang menjadi objek pariwisata Internasional,
sebagaimana yang telah diterapkan pada negara-negara lainnya yang juga bergerak
pada sektor pariwisata, khususnya dalam hal ini yang menjadi objek kajian peneliti
adalah pariwisata di Bali.
Bali merupakan pariwisata andalan bagi negara Indonesia, tercatat jumlah
kunjungan wisatawan mancanegara ke pulau Bali pada bulan Pebruari 2014
mencapai 275.795 orang.12 Meningkatnya kualitas pariwisata di Bali juga akan
memberikan dampak positif bagi Indonesia itu sendiri, oleh karena itu maka pada
hakekatnya pengelolaan lingkungan hidup yang dilakukan oleh manusia adalah
dengan melakukan upaya untuk meningkatkan kualitas hidup manusia itu sendiri
12Parwata, 2014, Dilema Pariwisata Bali 2014, Bali Post, Edisi Tgl. 28 April-Mei 2014,
Denpasar, h. 38.
terlebih dahulu, yang salah satunya dengan memperhatikan kesehatan sehingga
nantinya dapat pula meningkatkan kualitas lingkungan hidup, dalam hal ini adalah
destinasi pariwisata itu sendiri.13 Sebagai akibat meningkatnya kualitas pariwisata
Bali dengan menerapkan aturan yang baik dan mampu memberikan kepastian
hukum mengenai kawasan tanpa rokok, maka nantinya diharapkan akan mampu
meningkat pula kuantitas pariwisata Bali itu sendiri, baik dari segi peningkatan
jumlah wisatawan maupun peningkatan jumlah pendapatan dari hotel, bar, restoran,
dan sarana pariwisata lainnya.
Mengenai salah satu bentuk tindakan pemerintah khususnya dalam hal ini
Pemerintah Provinsi Bali dalam menghadapi masalah tersebut adalah dengan
membuat produk hukum berupa Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 10 Tahun 2011
tentang Kawasan Tanpa Rokok (Lembaran Daerah Provinsi Bali Tahun 2011
Nomor 10 Tahun 2011-TLD No. 10), selanjutnya disingkat Perda Provinsi Bali
tentang KTR. Perda Provinsi Bali tentang KTR dibentuk dengan tidak
mengesampingkan peraturan perundang-undangan diatasnya sesuai dengan hierarki
peraturan perundang-undangan di Indonesia. Adapun peraturan yang menyangkut
tentang pelaksanaan pengaturan dan perlindungan HAM akan lingkungan hidup
yang baik dan sehat serta bebas dari asap rokok meliputi :
1. Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945,
2. Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,
3. Undang-Undang No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan,
13Moh. Soerjani, dkk. 2008, Lingkungan: Sumberdaya Alam Dan Kependudukan Dalam
Pembangunan, Universitas Indonesia Press, Jakarta, h. 13.
4. Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup,
5. Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan,
6. Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukkan Peraturan
Perundang-undangan,
7. Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian
Pencemaran Udara,
8. Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2003 tentang Pengamanan Rokok
Bagi Kesehatan,
9. Peraturan Pemerintah No. 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan
Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi
Kesehatan,
10. Peraturan Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Dalam Negeri No. 7
Tahun 2011 tentang Pedoman Pelaksanaan Kawasan Tanpa Rokok,
11. Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 10 Tahun 2011 tentang Kawasan
Tanpa Rokok.
Ketentuan Perda Provinsi Bali tentang KTR secara jelas mengatur tentang
kawasan yang terkena kebijakan sebagai KTR, namun demikian di dalam hal
penegakan hukumnya masih terdapat permasalahan akibat adanya kekaburan
norma hukum dalam Perda tersebut. Di dalam ketentuan Pasal 13 ayat (1)
dinyatakan bahwa “Setiap orang dilarang merokok di kawasan tanpa rokok”.
Sebagai sanksi terhadap pelanggaran Pasal 13 tersebut maka dalam ketentuan Pasal
18 ayat (1) dinyatakan bahwa ”Setiap orang dan/atau badan yang melanggar
ketentuan Pasal 12 dan Pasal 13 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 3
(tiga) bulan atau denda paling banyak Rp.50.000,00 (lima puluh ribu rupiah)”.
Meski telah diatur mengenai sanksinya namun dalam Perda tersebut tidak secara
jelas diatur mengenai prosedur penegakan hukum terkait pelanggaran di lapangan,
di sisi lain dengan denda yang tergolong rendah tersebut dianggap tidak akan
memberikan efek jera.
Berdasarkan hal tersebut, proses penegakan hukum Perda Provinsi Bali
Tentang KTR tersebut belum dapat ditegakkan sebagaimana mestinya, mengingat
masih banyak ditemukan perokok aktif yang merokok di kawasan bebas asap rokok.
Di samping itu terhadap ketentuan yang mengatur tentang sanksi pidana
sebagaimana Pasal 18 ayat (1) “Setiap orang dan/atau badan yang melanggar
ketentuan Pasal 12 dan Pasal 13 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 3
(tiga) bulan atau denda paling banyak Rp. 50.000,00 (lima puluh ribu rupiah)”,
dianggap belum mampu memberikan efek jera.14
Di sisi lain, ketika mengkaji mengenai kebijakan yang dilakukan oleh
pemerintah, maka tidak dapat dilepaskan dari prinsip Good Governance itu sendiri,
karena ketika kebijakan yang dibuat tidak mencerminkan prinsip tersebut maka
kebijakan itu nantinya akan menimbulkan berbagai permasalahan. Di dalam buku
Legislative Drafting for Democratic Social Change keefektifan implementasi
kebijakan Good Governance dapat dilihat dalam beberapa elemen antara lain:15
14I Nyoman Mudana, 2014, Pelaksanaan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 10 Tahun
2011 Tentang Kawasan Tanpa Rokok Dalam Rangka Perlindungan Terhadap Perokok Pasif, Jurnal
Ilmiah Fakultas Hukum Universitas Udayana Kertha Negara: Vol. 2. NO. 1., Denpasar, h. 4. 15Ann Seidman, et. Al. 2001, Legislative Drafting for Democratic Social Change, Kluwer
Law International. London, h. 8.
1. Governance by rule: decision-makers decide, not pursuant to the decision-
maker’s intuition or passing fancy, but according to agreed-upon norms
grounded in reason and experience.
2. Accountability: decision-makers justify their decisions publicly, subjecting
their decisions to review by recognized higher authority, and ultimately by
the electorate.
3. Transparency: officials conduct government business openly so that the
public and particularly the press can learn abaout and debate its details.
4. Participation: persons affected by a potential decision-the stakeholders-
have the maximum feasible opportunity to make inputs and otherwise take
part in governmental decisions.
Dengan kata lain elemen-elemen yang harus dipenuhi dalam menerapkan
pemerintahan yang baik adalah meliputi:
1. Pemerintah berdasarkan undang-undang: bahwa pengambil keputusan dalam
keputusanannya tidak didasarkan atas intuisi dan imajinasi, melainkan
didasarkan pada alasan dan pengalaman yang telah disepakati oleh norma
yang berlaku.
2. Akuntabilitas: pengambil keputusan dapat menunjukkan bahwa keputusan
yang mereka ambil bersifat publik, diakui oleh otoritas yang lebih tinggi, dan
diakui pula oleh para pemilih (dalam hal ini masyarakat).
3. Transparansi: bahwa pejabat pemerintah dalam melakukan urusan
pemerintahan harus secara terbuka, sehingga masyarakat dan pers dapat
mempelajari mengenai hal tersebut.
4. Partisipasi: bahwa masyarakat yang terkena dampak potensial dari keputusan
yang dikeluarkan oleh pemangku kepentingan, memiliki kesempatan untuk
memberikan masukan dan turut menjadi bagian dalam keputusan yang
dikeluarkan oleh pemerintah.
Hukum pada dasarnya adalah tatanan objektif untuk mencapai kebajikan dan
keadilan umum.16 Di samping itu proses penegakan hukum khususnya dalam hal
pelanggaran terhadap kebijakan KTR ini masih belum mendapatkan tempat dalam
ruang Kepastian, Keadilan, dan Kemanfaatan hukum, sebagaimana yang
dikemukakan oleh Gustav Radbruch.17 Berpijak dari latar belakang masalah
tersebut, maka penting kiranya bagi peneliti untuk mengkaji mengenai “Kepastian
Penegakan Hukum Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 10 Tahun 2011 Tentang
Kawasan Tanpa Rokok Dalam Rangka Meningkatkan Kualitas Pariwisata Bali”.
16Bernard L. Tanya. Dkk, 2010, Teori Hukum (Strategi tertib Manusia Lintas Ruang dan
Generasi), Genta Publishing, Yogyakarta, h. 31. 17Bernard Arief Sidharta, 2008, Meuwissen Tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum,
Teori Hukum, dan Filsafat Hukum, Rafika Aditama, Bandung, h. 20
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka permasalahan yang dapat
dirumuskan adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana pengaturan mengenai penegakan hukum Kawasan Tanpa Rokok
di Bali?
2. Bagaimana keterkaitan antara kepastian penegakan hukum Kawasan Tanpa
Rokok dengan upaya meningkatkan kualitas pariwisata Bali?
1.3 Ruang Lingkup Masalah
Untuk memperoleh uraian yang lebih jelas, terarah dan sistematis, maka
perlu diadakan pembatasan terhadap ruang lingkup masalah. Hal ini untuk
menghindari adanya pembahasan yang menyimpang dari permasalahan yang
dikemukakan. Permasalahan yang terkait dengan judul akan diteliti mengenai
kepastian penegakan hukum Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 10 Tahun 2011
Tentang Kawasan Tanpa Rokok dalam rangka meningkatkan kualitas pariwisata
Bali.
1.4 Tujuan Penelitian
Penelitian ini memiliki tujuan yang terdiri dari tujuan umum dan tujuan
khusus. Adapun tujuan tersebut adalah sebagai berikut:
1.4.1 Tujuan Umum
Dalam dunia keilmuan dikenal adanya paradigma ilmu sebagai proses. Hal
ini tentunya menjadi landasan bahwa pengkajian terhadap berbagai produk hukum
khususnya terhadap Perda Provinsi Bali tentang KTR harus dilakukan, mengingat
pentingnya jaminan perlindungan hukum terhadap hak asasi manusia khususnya
dalam memperoleh lingkungan hidup yang baik dan sehat serta bebas dari asap
rokok. Oleh karena itu, maka penelitian ini secara umum bertujuan untuk
pengembangan ilmu hukum, terutama terkait upaya meningkatkan kualitas
pariwisata di Bali. Di samping itu penulisan hukum yang representatif dan akurat
merupakan faktor strategis bagi berperannya hukum dalam masyarakat yang
mendambakan ketertiban, keadilan, kedamaian, dan kesejahteraan.18
1.4.2 Tujuan Khusus
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka secara khusus tujuan dari
penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui dan menganalisis bagaimana pengaturan mengenai
penegakan hukum Kawasan Tanpa Rokok di Bali.
2. Untuk mengetahui dan menganalisis bagaimana keterkaitan antara
kepastian penegakan hukum Kawasan Tanpa Rokok dengan upaya
meningkatkan kualitas pariwisata Bali.
1.5 Manfaat Penelitian
Penelitian ini memiliki manfaat yang terdiri dari manfaat teoritis dan manfaat
praktis. Adapun manfaat tersebut adalah sebagai berikut:
1.5.1 Manfaat Teoritis
Secara teoritis hasil penelitian ini dapat digunakan untuk perluasan wawasan
ilmu hukum. Ilmu hukum yang dimaksud adalah dalam penggunaan teori-teori
hukum dan asas-asas hukum terhadap permasalahan normatif yang ditimbulkan
sebagai akibat terjadinya kekaburan norma hukum (vague van normen), di dalam
18Zainuddin Ali, 2010, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, h. 166.
peraturan perundang-undangan yang menjadi fokus peneliti dalam hal ini adalah
Perda Provinsi Bali No. 10 Tahun 2011 Tentang Kawasan Tanpa Rokok.
1.5.2 Manfaat Praktis
Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan nantinya akan memberikan
manfaat dan kontribusi antara lain:
a. Bagi pemerintah, diharapkan dapat memberikan kontribusi sebagai
perumus dan pelaksana kebijakan agar melakukan penegakan hukum yang
tegas terhadap pelanggaran kebijakan tersebut.
b. Bagi kalangan akademisi, diharapkan dapat bermanfaat dalam
memberikan tambahan pengetahuan dan memberikan kontruksi berpikir
yang metodis atas permasalahan normatif yang ditimbulkan akibat adanya
kekaburan norma hukum dalam Perda Provinsi Bali tentang KTR.
c. Bagi masyarakat, diharapkan dapat bermanfaat dalam memberikan
pemahaman terhadap kesadaran dalam mentaati aturan hukum serta
kepedulian terhadap kesehatan dan lingkungan hidup yang baik dan sehat
serta bebas dari asap rokok.
1.6 Orisinalitas Penelitian
Masalah rokok merupakan masalah yang begitu kompleks sehingga hal ini
menyebabkan berbagai kalangan tertarik untuk mengangkat topik ini menjadi objek
penelitian. Adapun beberapa penelitian yang juga mengangkat isu mengenai
kawasan tanpa rokok antara lain:
Tabel 1. Orisinalitas Penelitian
Nama/Tahun/
Universitas
Judul Penelitian
Rumusan Masalah
Jenis
Penelitian
Perbedaan
Andi
Mariani/2009/
Universitas
Katolik Soegijapranata
Semarang
Pemberlakuan
Larangan Merokok
Di Tempat Umum
dan Hak Atas Derajat Kesehatan
Maksimal
1. Apakah yang
dimaksud dengan
hak atas derajat
kesehatan optimal? 2. Bagaimanakah
ketentuan tentang
pemberlakuan
larangan merokok
di tempat umum?
3. Apakah
pemberlakuan
larangan merokok
di tempat umum
telah memenuhi
hak atas derajat
kesehatan optimal?
Penelitian
Hukum
Normatif
Penelitian ini
tidak mengkaji
mengenai
kepastian dalam hal penegakan
hukum, hanya
mengenai
ketentuan
pengaturan
larangan
merokok
terhadap
pemenuhan hak
atas kesehatan
Iswanti/2013/
Universitas
Negeri
Surabaya
Implementasi
Peraturan Daerah
Kota Surabaya
Nomor 5 Tahun
2008 Tentang
Kawasan Tanpa
Rokok dan
Kawasan Terbatas
Merokok di
Terminal Joyoboyo Surabaya
1. Bagaimana
implementasi
Perda No. 5/2008?
2. Bagaimana upaya
mengatasi kendala
dalam
pemberlakuan
Perda 5/2008?
Penelitian
Hukum
Empiris
Mengkaji
mengenai
implementasi
Perda Kota
Surabaya, faktor
yang
mempengaruhi
implementasi
serta upaya
yang dilakukan terhadap
kendala dalam
pemberlakuan
Perda Kota
Surabaya No.
5/2008
Agil
Prianggara/201
3/Universitas
Brawijaya
Malang
Pelaksanaan Pasal
7 Peraturan Daerah
Kota Surabaya
Nomor 5 Tahun
2008 Tentang
Kawasan Tanpa
Rokok Dan Kawasan Terbatas
Merokok (Studi Di
Dinas Kesehatan
Kota Surabaya)
1. Bagaimana
Pelaksanaan Pasal
7 Peraturan Daerah
Kota Surabaya
Nomor 5 Tahun
2008 tentang
kawasan tanpa rokok dan kawasan
terbatas merokok?
2. Apakah hambatan-
hambatan yang
Penelitian
Hukum
Empiris
Mengkaji
mengenai
keefektivitasan
dalam
impementasi
ketentuan
Pasal 7 terkait pembinaan dan
pengawasan
Perda Kota
Surabaya, serta
timbul dalam
Pelaksanaan Pasal
7 Peraturan Daerah
Kota Surabaya
Nomor 5 Tahun
2008 tentang kawasan tanpa
rokok dan kawasan
terbatas merokok
dan Bagaimana
cara mengatasinya?
hambatan yang
terjadi dalam
penegakan di
lapangan
1.7 Landasan Teoritis
Teori ilmu hukum dapat diartikan pula sebagai disiplin ilmu hukum yang
dalam perspektif interdisipliner dan eksternal secara kritis menganalisis berbagai
aspek gejala hukum, baik dalam konsepsi teoritisnya maupun dalam penerapan
praktisnya, dengan tujuan untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik dan jelas
tentang bahan hukum yang tersaji dan kegiatan yuridis dalam kemasyarakatan.
Adapun dalam penelitian ini menggunakan beberapa teori hukum sebagai berikut:
1) Teori Negara Hukum
Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 menyatakan
bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Pernyataan ini secara eksplisit
memberi isyarat bahwa hukum di dalam negara Indonesia berkedudukan sangat
mendasar dan tertinggi (supreme).19 Oleh sebab itu sudah tentu setiap perbuatan
baik yang dilakukan oleh penguasa maupun rakyat Indonesia haruslah berlandaskan
atas koridor hukum.20
19Imam Syaukani, 2007, Dasar-Dasar Politik Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 83. 20Ahmad Kamil, 2008, Kaidah-Kaidah Hukum Yurisprudensi, Kencana, Jakarta, h. 19.
Berdasarkan pandangan dari Friedrich J. Stahl, menyatakan bahwa mengenai
negara hukum ditandai oleh empat unsur pokok yaitu:21
a. Adanya jaminan atas hak-hak asasi manusia;
b. Adanya pembagian kekuasaan;
c. Pemerintahan haruslah berdasarkan peraturan-peraturan hukum (wetmatig
van bestuur); dan
d. Adanya peradilan administrasi negara (PTUN) yang bertugas menangani
kasus perbuatan melanggar hukum oleh pemerintah (onrechtmatige
overheidsdaad).
Di samping itu Ismail Suny dalam tulisannya “Mekanisme Demokrasi Pancasila”
memiliki pandangan bahwa suatu negara dapat dikatakan sebagai negara hukum
harus memenuhi unsur-unsur tertentu yang meliputi:22
a. Menjunjung tinggi hukum;
b. Adanya pembagian kekuasaan;
c. Adanya perlindungan terhadap HAM serta remedy-remedy procedural
untuk mempertahankannya;
d. Dimungkinkan adanya peradilan administrasi.
Suatu negara dapat dikatakan sebagai negara hukum ketika kedaulatan atau
supremasi hukum atas orang dan pemerintah terikat oleh hukum. Disamping itu
21Dasril Radjab, 2005, Hukum Tata Negara Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, h. 77. 22C.S.T. Kansil, et. Al, 2008, Hukum Tata Negara Republik Indonesia, Rineka Cipta,
Jakarta, h. 87.
suatu negara juga haruslah memenuhi setidak-tidaknya ciri atau unsur sebagai
negara hukum. Adapun ciri atau unsur tersebut adalah sebagai berikut:23
a. Constitutionalism, bahwa konstitusionalisme diterima sebagai syarat
baik bagi demokrasi maupun negara hukum, karena konstitusi dipandang
sebagai bentuk kesepakatan, baik kesepakatan bersama terhadap tujuan
dan cita-cita, kesepakatan bahwa rule of law merupakan landasan
penyelenggaraan negara, maupun kesepakatan tentang bentuk institusi
dan prosedur ketatanegaraan.
b. Law Governs the Government, bahwa dalam membuat undang-undang,
pembentuk undang-undang terikat oleh pembatasan-pembatasan yang
ditentukan dalam konstitusi, tidak terkecuali semua cabang pemerintahan
yang bertindak berdasarkan hukum.
c. An Independent Judiciary, bahwa kekuasaan peradilan haruslah merdeka
dengan diberikannya kewenangan untuk melakukan judicial review
terhadap tindakan legislatif maupun eksekutif, serta menjamin tegaknya
rule of law melalui pemisahan kekuasaan dan check and balances.
d. Law Must be Fairly and Consistently Applied, bahwa hukum harus
diterapkan secara adil dan konsisten tanpa adanya diskriminasi.
e. Law is Transparent and Accessible to All, bahwa hukum harus bersifat
transparan dan dapat diakses oleh semua orang, dalam hal ini transparan
yang dimaksud adalah bahwa hukum haruslah dibuat secara tranparan
23I Dewa Gede Palguna, 2013, Pengaduan Konstitusional (Constitutional Complaint):
Upaya Hukum Terhadap Pelanggaran Hak-Hak Konstitusional Warga Negara, Sinar Grafika,
Jakarta, h. 30.
dimana pembentuk undang-undang diharapkan bersifat terbuka terhadap
pendapat publik dalam pembahasan suatu rancangan peraturan
perundang-undangan, di samping itu transparan yang dimaksud juga
bahwa suatu peraturan perundang-undangan dapat dimengerti dengan
baik dan dipublikasikan secara luas sehingga masyarakat mendapatkan
cukup peringatan terhadap tindakan yang dapat melahirkan sanksi dan
juga agar mereka dapat menuntut hak-hak hukumnya pada saat yang
tepat dan dihormati oleh pihak-pihak lain yang memiliki akses serupa
terhadap keberadaan hukum yang berlaku.
f. Application of Law is Efficient and Timely, bahwa hukum haruslah
diterapkan secara efisien dan tepat waktu.
g. Property and Economic Rights are Protected, including Contracts,
bahwa harus adanya perlindungan terhadap pembangunan di bidang
ekonomi, adapun hal yang dianggap penting dalam pembangunan
ekonomi adalah adanya perlindungan terhadap hak atas kekayaan
intelektual, terhadap kebebasan berkontrak, serta kedudukan yang sama
dalam hukum bagi semua orang.
h. Human and Intellectual Rights are Protected, bahwa salah satu landasan
perkembangan teori hukum mengenai Rule of Law adalah konsepsi
tentang keberadaan hak-hak individu dan berbagai asas bahwa
pemerintahan harus menghormati hak-hak yang dimaksud, sebagaimana
yang tertuang dalam sejumlah dokumen, yang bukan hanya mencakup
hak-hak sipil dan politik tetapi juga hak ekonomi.
i. Law can be Changed by An Established Process which itseft is
Transparent and Accessible to All, bahwa hukum dapat diubah ketika
hukum tersebut tidak lagi mampu memenuhi kebutuhan guna
memberikan jaminan dan perlindungan terhadap hak-hak individu,
namun demikian prosedur perubahan tersebut haruslah bersifat
transparan dan dapat diakses oleh semua orang.
Hukum menjadi dasar suatu tindakan itu dilarang atau tidak di masyarakat
sehingga hukum itu sendiri juga dipandang sebagai suatu perintah. Hukum yang
didalamnya memuat tentang kaidah-kaidah atau norma yang berlaku di dalam suatu
waktu tertentu, dalam suatu masyarakat tertentu, ditetapkan oleh pengemban
kekuasaan yang berwenang akan memberikan gambaran bahwa kaidah hukum yang
“positif” sebagai suatu perintah. Sejalan dengan itu Hans Kelsen dalam bukunya
General Theory of Law and State menjelaskan, “in our attempt to explain about the
nature of the norm, let us provisionally assume that norm is a command”24. Jika
dilihat dari segi arti bahasa dikatakan bahwa “the word ‘norm’ comes from the Latin
norma, and has been adopted in German to refer primarily, though not exclusively,
to a command, a prescription, an order”.25
2) Teori Kewenangan
Fokus kajian teori kewenangan adalah berkaitan dengan sumber kewenangan
dari pemerintah dalam melakukan perbuatan hukum, baik dalam kaitannya dengan
24Hans Kelsen, 1945, General Theory of Law and State, Russel & Russel The Division of
Atheneum Publisher Inc. United Stated of America (Selanjutnya disebut Hans Kelsen I), h. 30. 25Hans Kelsen, 1973, General Theory of Norms, Clarendon Press Oxford. New York
(Selanjutnya disebut Hans Kelsen II), h. 1.
hukum publik maupun hukum privat.26 Setiap tindakan pemerintah ataupun suatu
kebijakan harus bersumber dan bertumpu atas kewenangan yang sah. Kewenangan
yang sah jika ditinjau dari mana kewenangan itu diperoleh, maka ada tiga kategori
kewenangan, yaitu: atributif, delegasi, maupun mandat.27
Kewenangan tidak hanya diartikan sebagai hak untuk melakukan praktik
kekuasaan, namun adapun pengertian kewenangan (authority) berdasarkan Black’s
Law Dictionary adalah “Right to exercise powers; to implement and enforce laws;
to exact obedience; to command; to judge. Control over; jurisdiction. Often
synonymous with power”.28 Dapat diartikan bahwa kewenangan adalah bagaimana
menerapkan dan menegakkan hukum. Dalam kaitannya terhadap kepastian
penegakan hukum Perda Provinsi Bali tentang KTR, maka perlu diatur secara
khusus dan jelas mengenai kewenangan penegakan hukum ketika terjadi
pelanggaran terhadap kebijakan KTR, sehingga kebijakan KTR Bali dapat
diterapkan dengan baik, tentunya kewenangan yang diberikan harus berdasarkan
atas peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3) Konsep Kepastian Hukum
Kepastian hukum merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam
hal penegakan hukum, dimana kepastian hukum yang dimaksud adalah
perlindungan hukum terhadap tindakan sewenang-wenang, yang berarti bahwa
seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan
26Salim HS, 2013, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis dan Disertasi, Raja
Grafindo Persada, Jakarta, h. 193. 27Ridwan HR, 2008, Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 104. 28Henry Campbell Black, 1978, Black’s Law Dictionary, West Publishing, USA, h. 121.
tertentu.29 Kepastian hukum itu sendiri tidak hanya mempersoalkan hubungan
hukum antara warga negara dan negara, karena sebagai sebuah nilai, esensi dari
kepastian hukum adalah masalah perlindungan terhadap warga negara dari tindakan
kesewenang-wenangan.
Pendapat mengenai kepastian hukum dikemukakan pula oleh Jan M. Otto
sebagaimana dikutip oleh Sidharta, yaitu bahwa kepastian hukum dalam situasi
tertentu mensyaratkan sebagai berikut:30
1) Tersedia aturan-aturan hukum yang jelas atau jernih, konsisten dan mudah
diperoleh (accesible), yang diterbitkan oleh kekuasaan negara;
2) Bahwa instansi-instansi penguasa (pemerintahan) menerapkan aturan-
aturan hukum tersebut secara konsisten dan juga tunduk dan taat kepadanya;
3) Bahwa mayoritas warga pada prinsipnya menyetujui muatan isi dan karena
itu menyesuaikan perilaku mereka terhadap aturan-aturan tersebut;
4) Bahwa hakim-hakim (peradilan) yang mandiri dan tidak berpihak
menerapkan aturan-aturan hukum tersebut secara konsisten sewaktu mereka
menyelesaikan sengketa hukum; dan
5) Bahwa keputusan peradilan secara konkrit dilaksanakan.
Kelima syarat yang dikemukakan Jan M. Otto tersebut menunjukkan bahwa
kepastian hukum dapat dicapai jika substansi hukumnya sesuai dengan kebutuhan
masyarakat. Aturan hukum yang mampu menciptakan kepastian hukum adalah
hukum yang lahir dari dan mencerminkan budaya masyarakat. Kepastian hukum
29E. Fernando M. Manullang, op.cit, h. 92. 30Shidarta, 2006, Moralitas Profesi Hukum: Suatu Tawaran Kerangka Berpikir, Refika
Aditama, Bandung, h. 85.
yang seperti inilah yang disebut dengan kepastian hukum yang sebenarnya
(realistic legal certainty), yaitu mensyaratkan adanya keharmonisan antara negara
dengan rakyat dalam berorientasi dan memahami sistem hukum.
4) Konsep Penegakan Hukum
Penegakan hukum dalam suatu negara memiliki kaitan yang erat terhadap
sistem hukum negara tersebut, sesuai pandangan Lawrence Meir Friedman ”The
substance is composed of substantive rules and rules about how institutions should
behave”.31 Terkait hal tersebut peneliti mengkaji penegakan hukum dari segi aturan
hukum (legal substance) yakni berupa Perda Provinsi Bali tentang KTR, dimana
proses penegakan hukum Perda tersebut dianggap lemah akibat dari adanya
kekaburan norma hukum dalam substansi hukum Perda Provinsi Bali tentang KTR
tersebut, sehingga penegakan hukum Perda tersebut tidak dapat berjalan secara
efektif.
Di sisi lain mengkaji mengenai penegakan hukum, Soerjono Soekanto
berpandangan bahwa terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan
hukum, yaitu meliputi:32
1. Faktor hukumnya sendiri, dimana terdapat ketidakjelasan substansi di
dalam suatu peraturan sehingga menimbulkan multi tafsir, serta belum
adanya aturan pelaksana yang dibutuhkan untuk menerapkan peraturan
tersebut;
2. Faktor penegak hukum, yaitu pihak-pihak yang membentuk maupun
yang menerapkan hukum;
3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum, yaitu
mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil maupun
organisasi yang baik;
31Lawrance M. Friedman, 1975, The Legal System: a Social Science Perspective, Russel
Sage Foundation, New York, h. 14. 32Soerjono Soekanto, 2012, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum,
Rajawali Grafindo Persada, Jakarta, h. 17-18.
4. Faktor masyarakat, yaitu lingkungan dimana hukum tersebut diterapkan;
dan
5. Faktor budaya, yaitu hasil karya cipta dan rasa yang didasarkan pada
karsa manusia dalam di dalam pergaulan hidup.
Mengenai penegakan hukum, Andi Hamzah menjelaskan bahwa proses
penegakan hukum dibagi menjadi dua, yaitu tindakan represif dan tindakan
preventif.33 Adapun tindakan preventif disini adalah tindakan yang dilakukan
sebelum dilakukannya penegakan secara repesif baik dengan cara diadakannya
negosiasi, persuasi, dan supervisi agar peraturan hukum atau syarat-syarat izin
ditaati. Sedangkan tindakan represif adalah tindakan menerapkan hukum atau
instrumen sanksi ketika terjadi pelanggaran terhadap norma hukum yang berlaku,
biasanya hal ini dikenal dengan istilah law enforcement atau penegakan hukum
dalam arti sempit. Kedua fase tersebut baik tindakan preventif maupun represif
diartikan sebagai penegakan hukum secara luas (rechthandhaving). Berdasarkan
pandangan mengenai penegakan hukum tersebut diatas maka penting untuk
menerapkan tindakan baik represif maupun peventif terhadap proses penegakan
hukum Perda Provinsi Bali tentang KTR tersebut.
5) Konsep Pariwisata Berkualitas
Pergeseran pasar dari mass tourism ke quality tourism menjadikan berbagai
produk pariwisata mengalami modifiksi.34 Kualitas merupakan suatu kondisi
dinamis yang berhubungan dengan produk, jasa, manusia, proses, dan lingkungan
yang memenuhi atau melebihi harapan. Kualitas bukan hanya menekankan pada
33Andi Hamzah, 2005, Penegakan Hukum Lingkungan, Sinar Grafika, Jakarta, h. 48. 34URL: http://ojs.unud.ac.id/ index.php /piramida/ article/ download/ 3002/ 2160. Diakses
Pada Tanggal 24 September 2014.
aspek hasil akhir, yaitu produk dan jasa tetapi juga menyangkut kualitas manusia,
kualitas lingkungan, karena sangatlah mustahil menghasilkan produk dan jasa yang
berkualitas tanpa melalui manusia dan proses yang berkualitas.35
Mengkaji mengenai kualitas pariwisata, UNWTO dalam Quality Support
Committee yang diselenggarakan di Varadero Cuba, 9-10 Mei 2003, menyatakan
bahwa kualitas pariwisata menentukan keberlanjutan pembangunan suatu
pariwisata (Sustainable Development on Tourism), adapun yang dimaksud dengan
kualitas pariwisata (quality in tourism) adalah: 36
….the result of a process which implies the satisfaction of all the legitimate
product and service needs, requirements and expectations of the consumer, at
an acceptable price, in conformity with mutually accepted contractual
conditions and the underlying quality determinants such as safety and security,
hygiene, accessibility, transparency, authenticity and harmony of the tourism
activity concerned with its human and natural environment.
Dengan kata lain bahwa yang dimaksud dengan kualitas pariwisata adalah
hasil dari suatu proses yang menunjukkan kepuasan terhadap semua produk dan
layanan, sesuai dengan persyaratan dan harapan konsumen, dengan harga yang
dapat diterima, serta sesuai dengan kondisi kontrak dan penentu kualitas yang
mendasarinya, seperti halnya keselamatan dan keamanan, kebersihan, aksesibilitas,
transparansi, keaslian dan harmoni kegiatan pariwisata yang bersangkutan dengan
lingkungan manusia dan alam. Oleh sebab itu, suatu destinasi pariwisata tidak
terkecuali Bali, haruslah menerapkan prinsip kualitas pariwisata tersebut, yang
salah satunya melalui meningkatkan kebersihan lingkungan.
35URL: http://thesis.binus.ac.id/doc/Bab2/Bab%202__10-63.pdf. Diakses Pada Tanggal 24
September 2014. 36URL: http://sdt.unwto.org/ en/ content/ quality-t ourism. Diakses Pada Tanggal 24
September 2014.
Kegiatan pariwisata yang juga meliputi industri jasa modern (modern
hospitality industry) memandang bahwa kunci kesuksesan suatu pariwisata adalah
kualitas pariwisata itu sendiri. Terkait hal tersebut, Walter Jamieson37
mengemukakan bahwa faktor-faktor yang perlu diperhatikan untuk meningkatkan
kualitas pariwisata yaitu: 38
1. Condition, dilakukannya perawatan (maintenance) dan menjaga sebaik
mungkin apa yang menjadi daya tarik pariwisata.
2. Physical and personal comfort, perlu menjaga kenyamanan bagi
wisatawan yang berkunjung di destinasi pariwisata.
3. Service and Hospitality afforded to guests, pelayanan dan keramah-
tamahan kepada wisatawan merupakan salah satu faktor yang perlu
diperhatikan di dalam menyelenggarakan kegiatan pariwisata.
4. Attention to detail, memastikan bahwa setiap wisatawan memiliki hak
yang sama untuk memperoleh standar tertentu dalam kegiatan
pariwisata.
5. Guest choice and ease of use, menyerahkan sepenuhnya kepada
wisatawan untuk memilih fasilitas yang terbaik untuk diri wisatawan,
dan tidak adanya pemaksaan untuk memilih layanan jasa tertentu.
37UNWTO Expert Dean, Professor of Tourism and Travel Industry Management School of
Travel Industry Management University of Hawaii at Manoa. 38World Tourism Organization (UNWTO), 2007, Workshop on Indicators of Sustainable
Development for Tourism, World Tourism Organization, Madrid Spain, h. 11.
6. Cleanliness, merupakan faktor terpenting untuk mengukur kualitas suatu
pariwisata, yang dimaksud kebersihan dalam destinasi pariwisata adalah
kebersihan lingkungan itu sendiri, tidak terkecuali kebersihan udara.
Disamping itu, untuk menjaga atau bahkan meningkatkan kualitas
pariwisata, maka perlu memahami pula terhadap faktor-faktor eksternal yang dapat
mempengaruhi pariwisata. Adapun yang menjadi faktor-faktor eksternal yang dapat
memberikan dampak bagi pariwisata antara lain:39
a. Changing Demographics, peningkatan jumlah populasi dunia
berpengaruh terhadap kegiatan pariwisata, dimana semakin tinggi jumlah
populasi manusia di dunia maka semakin tinggi pula tingkat konsumsi
terhadap pariwisata.
b. Technological Advances, teknologi berpengaruh terhadap kegiatan
pariwisata, sebagai contoh dalam hal transportasi, dengan adanya
teknologi pesawat dan kereta api dengan kecepatan tinggi maka laju
dinamika perpindahan orang dari satu negara/wilayah ke negara/wilayah
lain akan semakin tinggi pula sehingga memudahkan orang untuk
melakukan kegiatan pariwisata.
c. Political Change, sistem politik suatu negara berpengaruh terhadap
pariwisata khususnya di bidang ekonomi, dimana pemerintahan
demokratis yang menerapkan perdagangan bebas akan berdampak bagi
39WTO Tourism Education and Training Series, 1997, International Tourism: A Global
Perspective, World Tourism Organization, Madrid Spain, h. 33.
pasar pariwisata karena akan mempengaruhi negara lain untuk
melakukan kegiatan investasi di bidang pariwisata pada negara tersebut.
d. Sustainable Tourism and the Environment, lingkungan hidup merupakan
wadah bagi kegiatan pariwisata, oleh sebab itu pembangunan pariwisata
berkelanjutan dianggap penting dan mampu memberikan pengaruh yang
besar bagi pariwisata karena dengan menerapkan prinsip keberlanjutan
di bidang lingkungan hidup, maka kegiatan pariwisata juga akan
dirasakan manfaatnya bagi generasi mendatang.
e. Safety and Health, jaminan keselamatan dan kesehatan merupakan salah
satu faktor yang berpengaruh besar bagi suatu destinasi pariwisata,
ancaman akan terjangkit penyakit ketika melakukan kegiatan pariwisata
dalam suatu negara tertentu akan berdampak bagi pariwisata tersebut,
sehingga perlu adanya jaminan bagi wisatawan untuk dapat melakukan
kegiatan pariwisata dengan sehat termasuk memperoleh lingkungan
hidup yang bersih dan udara yang sehat.
f. Human Resource Development, terhadap negara-negara berkembang
khususnya, dianggap perlu meningkatkan kualitas sumber daya manusia
melalui pendidikan dan pelatihan di bidang pariwisata sehingga dapat
menyelenggarakan pariwisata dengan baik.
g. Tourism Market Trends, perlu adanya perencanaan yang matang
terhadap pasar pariwisata di masa yang akan datang, sehingga mampu
mencegah atau menanggulangi permasalahan tersebut dengan baik.
h. Changing Consumer Preferences, memandang bahwa negara-negara
yang memiliki jumlah populasi yang besar dimana masyarakatnya
membutuhkan liburan dan beristirahat dari rutinitas pekerjaan yang padat
sangat membutuhkan destinasi-destinasi pariwisata yang mampu
memberikan fasilitas untuk menghilangkan stres.
i. Product Development and Competition, destinasi pariwisata semakin
berkembang akibat pengaruh persaingan di bidang pariwisata baik
regional maupun internasional. Masing-masing negara berupaya untuk
mengembangkan pariwisatanya agar mampu bersaing di pasar global.
Mengacu pada faktor-faktor yang mampu mempengaruhi pariwisata
tersebut, maka dengan menerapkan kebijakan kawasan tanpa rokok, diharapkan
akan memberikan dampak positif terhadap kualitas pariwisata Bali. Disamping
mampu menjamin kenyamanan para wisatawan juga mampu memberikan jaminan
terhadap kebersihan lingkungan dalam hal ini memperoleh udara yang sehat bebas
dari asap rokok, yang notabene merupakan faktor dari meningkatnya kualitas
pariwisata.
6) Konsep Penafsiran Hukum
Dalam kaitan terjadinya suatu kekaburan norma hukum pada suatu produk
perundang-undangan, diperlukan adanya penafsiran hukum, dimana penafsiran
hukum merupakan suatu kegiatan yang terjadi dalam praktek hukum, namun tidak
dapat dipisahkan dari teori hukum yang ada. Lebih lanjut dapat juga dikatakan
bahwa penafsiran hukum yang merupakan bagian dari penemuan hukum adalah
proses konkretisasi atau individualisasi peraturan hukum (das sollen) yang bersifat
umum dengan mengingat akan peristiwa konkret (das sein) tertentu.40 Dalam
kaitannya dengan interpretasi, terdapat tiga asas yang perlu diperhatikan dalam
contextualism yang dikemukakan oleh McLeod sebagaimana dikutip oleh Philipus
M. Hadjon, sebagai berikut:41
1. Asas Noscitur a Sociis, artinya suatu kata harus diartikan dalam
rangkaiannya;
2. Asas Ejusdem Generis, artinya satu kata dibatasi makna secara khusus dalam
kelompoknya;
3. Asas Expressio Unius Exclusio Alterius, artinya jika satu konsep sudah
digunakan untuk satu hal maka belum tentu berlaku untuk hal lain. Contoh:
konsep Rechtmatigheid yang digunakan dalam Hukum Tata Usaha Negara,
maka konsep yang sama belum tentu berlaku untuk kalangan hukum perdata
atau pidana.
Metode interpretasi hukum, dilakukan dalam hal peraturannya ada namun
tidak jelas sehingga tidak mampu diterapkan dalam peristiwa hukum konkrit.42
Tujuan utama dari penemuan hukum adalah untuk memberikan rasa keadilan dan
jaminan kepastian hukum bagi kepentingan proses hukum yang berkeadilan dan
penerapan ketentuan hukum yang adil.43 Dalam kaitannya terhadap hal tersebut,
peneliti menggunakan teknik interpretasi sistematis; teknik interpretasi gramatikal;
40Sudikno Mertokusumo, 2007, Penemuan Hukum: Sebuah Pengantar, Liberty,
Yogyakarta, h. 37. 41Philipus M.Hadjon, 2008, Argumentasi Hukum, Gajah Mada University Press,
Surabaya, h. 26. 42Asep Dedi Suwasta, 2012, Tafsir Hukum Positif Indonesia, Alia Publishing, Bandung,
h. 53. 43H.F. Abraham Amos, 2007, Legal Opinion: Aktualisasi Teoritis dan Empirisme,
Rajawali Pers, Jakarta, h. 23.
teknik interpretasi perbandingan; dan teknik interpretasi teleologis/sosiologis. Hal
ini nantinya akan dijadikan kajian bagi peneliti untuk mengkaji kebijakan Kawasan
Tanpa Rokok guna meningkatkan kualitas kepariwisataan di Bali.
1.8 Metode Penelitian
1.8.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah penelitian hukum
normatif. Penelitian hukum normatif disebut juga sebagai penelitian hukum teoritis,
dimana fokus kajian dalam penelitian ini adalah dengan inventarisasi hukum positif,
asas-asas dan doktrin hukum, penemuan hukum dalam perkara in concreto,
sistematik hukum, taraf sinkronisasi hukum, perbandingan hukum, dan sejarah
hukum.44 Penelitian ini juga sering disebut penelitian hukum doktrinal, yang
berangkat dari masalah adanya kekaburan norma hukum dalam Perda Provinsi Bali
tentang KTR, khususnya ketentuan yang mengatur mengenai penegakan hukum
terhadap pelanggaran Perda tersebut. Pada jenis penelitian ini, hukum sering
dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan (law
in books), di sisi lain hukum juga dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang
merupakan patokan berprilaku manusia yang dianggap pantas.
44Bambang Sunggono, 2009, Metodologi Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta,
h. 81-99.
1.8.2 Jenis Pendekatan
Merupakan proses pemecahan masalah melalui tahap-tahap yang telah
ditentukan, sehingga mencapai tujuan penelitian.45 Dalam penelitian ini, peneliti
menggunakan beberapa jenis pendekatan diantaranya:
1) Pendekatan Perundang-undangan (The Statute Approach). Pendekatan
Perundang-undangan dilakukan dengan menelaah semua peraturan
hukum maupun regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang
diteliti.46 Dalam hal ini peneliti melakukan analisis terhadap peraturan-
peraturan yang terkait dengan kebijakan tentang kawasan tanpa rokok,
serta kebijakan di bidang kepariwisataan;
2) Pendekatan Analisis Konsep Hukum (Analitical and Conceptual
Approach). Dalam hal ini peneliti melakukan analisis terhadap konsep-
konsep hukum yang berhubungan dan menjadi dasar adanya kebijakan
tentang kawasan tanpa rokok, serta hak asasi manusia untuk memperoleh
lingkungan hidup yang bersih dan sehat dalam perspektif kepariwisataan;
3) Pendekatan Perbandingan (Comparative Approach). Kaitannya dalam
kekaburan norma, salah satu upaya peneliti untuk melakukan penemuan
hukum adalah dengan melakukan perbandingan hukum. Terkait hal
tersebut perbandingan hukum yang dilakukan dalam penelitian ini adalah
dengan melakukan perbandingan atas dua atau lebih hukum positif yang
45Abdulkadir Muhammad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti,
Bandung, h. 112. 46Dyah Ochtorina Susanti, 2014, Penelitian Hukum (Legal Research), Sinar Grafika,
Jakarta, h. 110.
berbeda.47 Disamping itu perbandingan hukum merupakan metode
penyelidikkan dengan tujuan untuk memperoleh pengetahuan yang lebih
mendalam terhadap suatu bahan hukum tertentu, serta merupakan suatu
cara untuk mengkaji unsur hukum asing yang aktual dalam suatu masalah
hukum.48 Dalam hal ini peneliti melakukan perbandingan hukum tentang
aturan larangan merokok di Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota
Jakarta melalui Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta No. 75 Tahun
2005 Tentang Kawasan Larangan Merokok dan perbandingan hukum
terhadap aturan larangan merokok di Pemerintah Kota Surabaya melalui
Peraturan Daerah Kota Surabaya No. 5 Tahun 2008 Tentang Kawasan
Tanpa Rokok dan Kawasan Terbatas Merokok. Dalam kaitan hal tersebut
peneliti melakukan perbandingan terhadap prosedur dan kewenangan
penegakan hukum dan instrumen sanksi yang digunakan sebagai salah
satu upaya untuk memberikan efek jera bagi yang melanggar ketentun
tersebut. Dalam hal perbandingan hukum, maka metode yang dapat
digunakan adalah dengan membandingkan baik melalui aturan hukum,
penegak hukum, ataupun budaya hukum masyarakat yang mencakup
perangkat kaidah atau perilaku dalam suatu negara atau daerah tertentu.49
1.8.3 Sumber Bahan Hukum
Sumber bahan hukum yang digunakan di dalam penulisan tesis ini diperoleh
melalui :
47Satjipto Rahardjo, 2006, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 354. 48Soedjono Dirdjosisworo, 2013, Pengantar Ilmu Hukum, Rajawali Grafindo, Jakarta, h. 60. 49Soeratman, 2014, Metode Penelitian Hukum, Alfabeta, Bandung, h. 65.
1) Bahan hukum Primer, yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat
umum dengan kata lain merupakan asas dan kaidah hukum. Adapun bahan hukum
primer yang digunakan dalam penelitian ini antara lain :
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia;
c. Undang-Undang No. 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan;
d. Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup;
e. Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan;
f. Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukkan Peraturan
Perundang-Undangan;
g. Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 1999 Tentang Pengendalian
Pencemaran Udara;
h. Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2003 Tentang Pengamanan Rokok
Bagi Kesehatan;
i. Peraturan Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Dalam Negeri No. 7
Tahun 2011 Tentang Pedoman Pelaksanaan Kawasan Tanpa Rokok;
j. Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 10 Tahun 2011 Tentang Kawasan
Tanpa Rokok;
k. Peraturan Gubernur Bali No. 8 Tahun 2012 Tentang Pedoman KTR.
2) Bahan hukum Sekunder, yaitu bahan hukum yang bersumber dari buku-buku
dan artikel-artikel hukum yang mempunyai relevansi dengan masalah yang
diteliti50. Bahan hukum Sekunder terdiri atas:
a) Buku-buku Hukum (text book), khususnya yang berkaitan dengan
hukum kepariwisataan dan teori-teori hukum;
b) Jurnal-jurnal hukum atau pandangan ahli hukum yang termuat dalam
media massa terkait penelitian tesis ini;
c) Kamus dan ensiklopedia hukum (beberapa penulis hukum
menggolongkan kamus dan ensiklopedi hukum ke dalam bahan hukum
tertier), dan Internet dengan menyebut nama situsnya.
1.8.4 Bahan Hukum Penunjang
Bahan hukum penunjang adalah bahan hukum yang berupa hasil wawancara
mendalam dari pihak-pihak terkait. Dalam hal ini yang menjadi bahan hukum
penunjang dalam penelitian ini adalah data dan informasi yang peneliti peroleh dari
pihak terkait kebijakan KTR sehingga nantinya akan memberikan data yang valid,
disamping itu juga bahan hukum penunjang digunakan untuk mencari faktor-faktor
non hukum dalam proses penegakan Perda Provinsi Bali tentang KTR.
1.8.5 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Teknik pengumpulan bahan hukum dalam penelitian ini menggunakan
snowball method (metode bola salju).51 Adapun yang dimaksud dengan metode
bola salju adalah metode menggelinding secara terus menerus yang mengacu
50Peter Mahmud Marzuki, 2010, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, h. 155. 51Djam’an Satori, 2010, Metodelogi Penelitian Kualitatif, Alfabeta, Bandung, h. 18.
kepada peraturan perundang-undangan, dan buku-buku hukum dalam daftar
pustaka yang berkaitan dengan penegakan hukum Perda Provinsi Bali tentang KTR.
Selanjutnya bahan hukum yang terdiri dari aturan perundang-undangan, buku-buku
hukum, jurnal hukum, dan lainnya akan diinventarisasi dan dilakukan
pengklasifikasian sesuai dengan permasalahan yang dibahas. Dengan kata lain,
bahan hukum yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan tersebut selanjutnya
akan dipilah-pilah, disistematisasi dan dianalisis, sehingga pokok permasalahan
yang ditelaah dalam penelitian ini akan terjawab.
1.8.6 Teknik analisis Bahan Hukum
Dalam hal menganalisis bahan-bahan hukum yang telah terkumpul, peneliti
menggunakan beberapa teknik analisis, antara lain:
1) Deskripsi, dengan menguraikan suatu kondisi atau posisi dari proposisi-
proposisi hukum atau non hukum;
2) Interpretasi, berupa penggunaan jenis-jenis penafsiran dalam ilmu
hukum. Dalam penelitian ini Interpretasi hukum digunakan terhadap
permasalahan akibat adanya kekaburan norma hukum dalam Perda
Provinsi Bali tentang KTR. Adapun Interpretasi yang digunakan antara
lain: Interpretasi Gramatikal/Bahasa, metode penafsiran ini memegang
peranan penting pada penemuan makna dari sebuah teks undang-
undang, adapun untuk mengetahui makna dari ketentuan suatu aturan
hukum maka ketentuan tersebut harus ditafsirkan atau dijelaskan dengan
cara menguraikan makna dari aturan hukum tersebut. Disamping itu
metode interpretasi gramatikal tersebut dilakukan melalui penalaran
hukum untuk diterapkan pada teks yang kabur atau kurang jelas
(applaying the obscure texts the multiple resources of judicial
reasoning);52 Interpretasi Teleologis/Sosiologis, metode penafsiran ini
digunakan untuk mengetahui tujuan suatu aturan hukum yang hendak
dicapai dalam masyarakat, serta hubungan antara peraturan perundang-
undangan dengan situasi sosial masyarakat,53 dalam hal ini tujuan yang
hendak dicapai dengan menerapkan kebijakan KTR terhadap
manfaatnya bagi masyarakat khususnya di Bali; Interpretasi
Komparatif, yaitu metode penafsiran yang digunakan untuk
membandingkan aturan hukum suatu negara dengan aturan hukum di
negara lain,54 dalam hal ini perbandingan hukum tersebut digunakan
untuk menyelesaikan isu hukum,55 terkait dengan hal tersebut dalam
penelitian ini, peneliti melakukan penafsiran perbandingan dengan
membandingkan aturan larangan merokok di negara lain yang juga
bergerak di sektor pariwisata dengan kebijakan KTR di Bali; Interpretasi
Sistematis, pada metode sistematis ini, makna dari formulasi sebuah
kaidah hukum atau makna dari sebuah istilah yang ada di dalamnya
ditetapkan dengan menunjuk (mengacu) pada hukum sebagai suatu
sistem, dengan kata lain metode ini memandang bahwa tak ada satupun
dari peraturan perundang-undangan yang dapat ditafsirkan seakan-akan
berdiri sendiri. Dalam kaitannya terhadap penelitian ini, penafsiran
52Asep Dedi Suwasta, op.cit, h. 59. 53Asep Dedi Suwasta, op.cit, h. 64. 54Asep Dedi Suwasta, op.cit, h. 65. 55Amiruddin, 2010, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, h. 166
dilakukan tidak hanya terhadap isi dari substansi Perda Provinsi Bali
tentang KTR, melainkan juga tentang hubungan Perda tersebut baik
secara vertikal maupun horizontal terhadap peraturan perundang-
undangan yang lain.
3) Evaluasi, berupa penilaian tepat atau tidak tepat terhadap suatu
pandangan, proposisi, pernyataan rumusan norma, keputusan, baik yang
tertera dalam bahan hukum primer maupun sekunder;
4) Argumentasi, berupa suatu argumen yang diakukan guna memperkuat
penilaian, serta melakukan penalaran hukum;
5) Sistematisasi, mencari kaitan rumusan suatu konsep hukum atau
proposisi hukum antara peraturan perundang-undangan yang sederajat
maupun antara yang tidak sederajat.
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG KAWASAN TANPA ROKOK
2.1 Pengertian Kawasan Tanpa Rokok (KTR)
Pembangunan kesehatan sebagai salah satu upaya pembangunan nasional
diarahkan guna tercapainya kesadaran, kemauan dan kemampuan untuk hidup sehat
bagi setiap penduduk, agar dapat mewujudkan derajat kesehatan yang optimal.
Untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat tersebut,
diselenggarakan berbagai upaya kesehatan dimana salah satu upaya dimaksud
adalah pengamanan zat adiktif sebagaimana diatur di dalam Pasal 113 Undang-
Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan.
Rokok mengandung zat adiktif yang sangat berbahaya bagi kesehatan
manusia. Zat adiktif adalah zat yang jika dikonsumsi manusia akan menimbulkan
adiksi atau ketagihan, dan dapat menimbulkan berbagai penyakit seperti penyakit
jantung dan pembuluh darah, stroke, penyakit paru obstruktif kronik, kanker paru,
kanker mulut, impotensi, kelainan kehamilan dan janin. Rokok itu sendiri
merupakan hasil olahan tembakau terbungkus termasuk cerutu atau bentuk lainnya
yang dihasilkan dari tanaman Nicotiana Tabacum, Nicotiana Rustica dan spesies
lainnya atau sintetisnya yang mengandung nikotin dan tar dengan atau tanpa bahan
tambahan.
Berdasarkan Perda Provinsi Bali tentang KTR, di dalam penjelasan umum,
dijelaskan bahwa asap rokok tidak hanya membahayakan perokok, tetapi juga orang
lain disekitar perokok (Perokok pasif). Asap rokok tersebut terdiri dari asap rokok
39
utama (main stream) yang mengandung 25% kadar bahan berbahaya dan asap
rokok sampingan (side stream) yang mengandung 75% kadar berbahaya. Asap
rokok mengandung lebih dari 4000 jenis senyawa kimia. Sekitar 400 jenis
diantaranya merupakan zat beracun (berbahaya) dan 69 jenis tergolong zat
penyebab kanker (karsinogenik).56 Asap rokok pasif merupakan zat sangat
kompleks berisi campuran gas, partikel halus yang dikeluarkan dari pembakaran
rokok.
Zat karsinogen Benzo (A) Pyrene merupakan salah satu kandungan asap
rokok, merupakan salah satu zat pencetus kanker. Zat ini banyak ditemukan pada
orang bukan perokok aktif, tetapi kehidupan mereka bersentuhan dengan perokok
aktif. Dalam kaitannya terhadap hal tersebut diatas dalam ketentuan Pasal 3 huruf
d Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2003 tentang
Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan (LN No. 36-TLN No. 4276), selanjutnya
disingkat PP 19/2003, dinyatakan bahwa dianggap perlu adanya suatu kegiatan atau
serangkaian kegiatan dalam rangka mencegah dan/atau menangani dampak
penggunaan rokok baik langsung maupun tidak langsung terhadap kesehatan, salah
satunya dengan menetapkan pengaturan Kawasan Tanpa Rokok.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 3 Perda Provinsi Bali tentang KTR,
adapun yang dimaksud dengan KTR adalah ruangan atau area yang dinyatakan
dilarang untuk kegiatan merokok atau kegiatan memproduksi, menjual,
mengiklankan, dan/atau mempromosikan produk tembakau. Adapun kawasan yang
dimasukkan dalam kategori KTR berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Pasal 2
56URL: http://id.wikipedia.org/wiki/Karsinogen, Diakses Pada Tanggal 27 Januari 2015.
Perda Provinsi Bali tentang KTR meliputi: Fasilitas pelayanan kesehatan; Tempat
proses belajar mengajar; Tempat anak bermain; Tempat ibadah; Angkutan umum;
Tempat kerja; Tempat umum; dan Tempat lain yang ditetapkan. Dalam hal ini
tempat umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf g meliputi : Pasar
modern; Pasar tradisional; Tempat wisata; Tempat hiburan; Hotel; Restoran;
Tempat rekreasi; Halte; Terminal angkutan umum; Terminal angkutan barang;
Pelabuhan; dan Bandara.
Kawasan Tanpa Rokok merupakan tanggung jawab seluruh komponen
bangsa, baik individu, masyarakat, lembaga-lembaga pemerintah dan non-
pemerintah, untuk melindungi hak-hak generasi sekarang maupun yang akan
datang atas kesehatan diri dan lingkungan hidup yang sehat. Komitmen bersama
dari lintas sektor dan berbagai elemen akan sangat berpengaruh terhadap
keberhasilan kawasan tanpa rokok.
Adapun yang menjadi tujuan penetapan Kawasan Tanpa Rokok sebagaimana
yang termuat dalam buku pedoman penetapan Kawasan Tanpa Rokok yang
diterbitkan oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia antara lain, untuk
menurunkan angka kesakitan dan/atau angka kematian dengan cara mengubah
perilaku masyarakat untuk hidup sehat; meningkatkan produktivitas kerja yang
optimal; mewujudkan kualitas udara yang sehat dan bersih, bebas dari asap rokok;
menurunkan angka perokok dan mencegah perokok pemula; mewujudkan generasi
muda yang sehat. Disamping itu penetapan Kawasan Tanpa Rokok merupakan
upaya perlindungan untuk masyarakat terhadap risiko ancaman gangguan
kesehatan karena lingkungan tercemar asap rokok.57
2.2 Hak Asasi Manusia Dalam Kebijakan KTR
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 1 UU No. 39 Tahun 1999, Hak Asasi
Manusia (HAM) adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan
keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan
anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara,
hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat
dan martabat manusia. Oleh sebab itu untuk memperoleh jaminan atas kehidupan
yang sehat serta lingkungan hidup yang bersih bebas dari asap rokok merupakan
bagian dari HAM sehingga negara memiliki kewajiban untuk melindunginya.
Disamping itu pengakuan terhadap HAM untuk memperoleh lingkungan
hidup yang bersih dan sehat juga diatur di dalam prinsip-prinsip global, adapun
prinsip-prinsip tersebut meliputi:
a. Universal Declaration of Human Rights 1948, yang selanjutnya dikenal
dengan istilah Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (DUHAM), di dalam
Article 25 paragraph 1 dinyatakan bahwa:
Everyone has the right to a standard of living adequate for the health and
well-being of himself and of his family, including food, clothing, housing and
medical care and necessary social services, and the right to security in the
event of unemployment, sickness, disability, widowhood, old age or other
lack of livelihood in circumstances beyond his control.
57Kementerian Kesehatan, 2011, Pedoman Pengembangan Kawasan Tanpa Rokok, Pusat
Promosi Kesehatan, Jakarta, h. 16-17.
Dengan kata lain telah adanya pengakuan secara internasional bahwa untuk
memperoleh standar kehidupan yang baik serta derajat kesehatan maksimal
merupakan bagian dari hak asasi manusia. UDHR menjadi contoh bagi
semua negara yang hendak membangun dan mengembangkan diri sebagai
negara demokrasi yang menghormati dan melindungi hak-hak asasi
manusia.58
b. International Covenant on Social, Economic and Cultural Rights 1966, yang
lebih dikenal sebagai generasi HAM ke-2, di dalam Article 12 paragraph 1
dinyatakan bahwa “The States Parties to the present Covenant recognize the
right of everyone to the enjoyment of the highest attainable standard of
physical and mental health”. Pengaturan terhadap kawasan tanpa rokok
bertujuan untuk menjauhkan masyarakat dari ancaman bahaya rokok
terhadap kesehatan manusia, baik kesehatan fisik maupun mental, dimana
hal tersebut merupakan bagian dari hak asasi manusia yang wajib diakui oleh
setiap negara. Adapun langkah-langkah yang dapat diambil oleh negara guna
mewujudkan hak atas kesehatan tersebut salah satunya dengan
mengupayakan perbaikan segala aspek kesehatan lingkungan dan industri.59
c. African Charter 1981, yang selanjutnya dikenal sebagai produk dari HAM
generasi ke-3, dimana mengutamakan hak-hak kolektif salah satunya hak di
bidang pariwisata (tourism rights), di dalam ketentuan Article 16 dinyatakan
bahwa “Every individual shall have the right to enjoy the best attainable state
58Jimly Asshiddiqie, 2006, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Sekretariat Jenderal dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, h. 91. 59H. Ahmad Sukardja, 2013, Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara Dalam
Perspektif Fikih Siyasah, Sinar Grafika, Jakarta, h. 215.
of physical and mental health”, disamping itu dalam Article 24 juga
dinyatakan bahwa “All peoples shall have the right to a general satisfactory
environment favourable to their development”. Jadi dengan kata lain
pelaksanaan kebijakan KTR itu sendiri bertujuan untuk melindungi hak asasi
manusia dalam memperoleh standar kesehatan, serta bertujuan pula untuk
menjamin hak asasi manusia untuk memperoleh lingkungan hidup yang baik
dan sehat.
d. Rio Declaration on Environtment and Development 1992, yang lebih dikenal
dengan Deklarasi Rio, dimana deklarasi ini menjadi dasar terhadap
pembentukkan produk hukum nasional di bidang lingkungan hidup.
Deklarasi Rio tidak secara implisit mengatur mengenai HAM, meskipun
demikian deklarasi Rio memuat prinsip mengenai kewajiban bagi setiap
negara untuk menjaga lingkungan hidup dari ancaman polusi yang akan
berdampak bagi ekosistem alam serta kesehatan manusia itu sendiri, baik
polusi yang terjadi akibat bencana alam maupun akibat tindakan manusia
secara berkelanjutan. Polusi yang dimaksud tidak hanya menyangkut air dan
tanah melainkan juga polusi udara. Di dalam Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (LN
No. 140-TLN No. 5059, selanjutnya disingkat UUPPLH) diatur mengenai
kriteria pencemaran lingkungan hidup yang mampu mempengaruhi baku
mutu lingkungan hidup salah satunya meliputi baku mutu udara ambien,
dalam hal ini yang dimaksud pencemaran lingkungan hidup adalah masuk
atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke
dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku
mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan. Di sisi lain terhadap
pencemaran udara secara khusus diatur dalam Peraturan Pemerintah RI
Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara, dalam
ketentuan Pasal 1 angka 1 yang dimaksud dengan pencemaran udara adalah
masuknya atau dimasukkannya zat, energi, dari komponen lain ke dalam
udara ambien oleh kegiatan manusia, sehingga mutu udara turun sampai ke
tingkat tertentu yang menyebabkan udara ambien tidak dapat memenuhi
fungsinya. Dalam kaitannya terhadap hal tersebut asap rokok dapat
dikategorikan sebagai bahan berbahaya dan beracun, adapun yang dimaksud
dengan bahan berbahaya dan beracun yang selanjutnya disingkat B3 adalah
zat, energi, dan/atau komponen lain yang karena sifat, konsentrasi, dan/atau
jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat
mencemarkan dan/atau merusak lingkungan hidup, dan/atau membahayakan
lingkungan hidup, kesehatan, serta kelangsungan hidup manusia dan
makhluk hidup lain. Oleh sebab itu masyarakat memiliki hak yang sama
berdasarkan undang-undang untuk memperoleh lingkungan yang bebas dari
ancaman penyakit yang dapat membahayakan kesehatan manusia itu sendiri.
Sudah menjadi konsensus dalam konstitusi Indonesia bahwa hak atas
kesehatan merupakan hak mendasar bagi manusia. Falsafah dasar dari jaminan hak
kesehatan sebagai HAM merupakan raison d ‘etre kemartabatan manusia (human
dignity).60 Dimensi politik, ekonomi, hukum, sosial dan budaya serta pendidikan
memberikan pengaruh signifikan terhadap kualitas kesehatan individu dan
masyarakat di sebuah negara. Oleh sebab itu proteksi kesehatan tidak akan bisa
dilepaskan dari persoalan hak asasi manusia atas kesehatan, karena bidang
kesehatan telah dinyatakan sebagai fundamental rights of every human being.61
Dalam kaitannya terhadap kebijakan KTR, konsepsi hak asasi manusia tidak
hanya sebatas pemahaman akan pentingnya jaminan atas hak asasi manusia untuk
memperoleh lingkungan hidup yang bersih dan sehat, melainkan juga “The rights
conception of the rule of law assumes that citizens have moral rights and duties
with respect to one another, and political rights against the state as a whole”.62
Dengan kata lain menekankan bahwa setiap orang memiliki kewajiban yang sama
untuk menghormati hak asasi orang lain.
2.3 Teori Negara Hukum Dalam Kebijakan KTR
Dalam kaitannya terhadap hak asasi manusia, hukum berfungsi sebagai
pembatas sehingga hak asasi manusia tidak lagi dipandang sebagai hak masyarakat
untuk bertindak sebebas-bebasnya, karena melalui hukum pula hak asasi manusia
tersebut mendapatkan pengakuan dan perlindungan. Oleh sebab itu hukum menjadi
dasar bertindaknya masyarakat maupun pemerintah dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara.
60Majda El Muhtaj, 2009, Dimensi-Dimensi HAM: Mengurai Hak Ekonomi, Sosial, dan
Budaya, Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 152 61Roberia, 2012, Hak Atas Kesehatan dan Urgensi Proteksinya Dalam Rangka Kontinuitas
Pembangunan Hukum Kesehatan, Jurnal Hukum Kesehatan: Vol. 4. NO. 6, Jakarta, h. 126. 62URL: https://www.law.utoronto.ca/documents/Dyzenhaus/rule_law_as_ rule_ liberal_
principle. Diakses Pada Tanggal 16 Oktober 2014.
Dampak sosial yang diakibatkan oleh asap rokok yang secara langsung
bersinggungan dengan hak asasi manusia, maka terhadap manfaat dan tujuan untuk
melakukan pengendalian terhadap pencemaran udara yang dihasilkan oleh asap
rokok perlu memperoleh pengaturan dalam kebijakan kawasan tanpa rokok.
Kebijakan KTR yang dikeluarkan oleh pemerintah yang dalam hal ini merupakan
pejabat yang memiliki kewenangan berdasarkan undang-undang untuk menetapkan
suatu kebijakan daerah, harus berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berkedudukan diatasnya yang nantinya menjadi dasar yuridis pembentukan
kebijakan KTR.
Doktrin tentang HAM sekarang ini sudah diterima secara universal sebagai
a moral, political, legal framework and as a guideline dalam membangun dunia
yang lebih damai dan bebas dari perlakuan yang tidak adil.63 Oleh karena itu, dalam
paham negara hukum, jaminan perlindungan hak asasi manusia dianggap sebagai
ciri yang mutlak harus ada di setiap negara yang dapat disebut sebagai rechtsstaat.
Suatu negara dapat dikatakan sebagai negara hukum ketika kedaulatan atau
supremasi hukum atas orang dan pemerintah terikat oleh hukum, tidak terkecuali
menyangkut kebijakan KTR, adapun ciri atau unsur negara hukum dalam kaitannya
terhadap kebijakan KTR meliputi:64
a. Constitutionalism, konstitusi dipandang sebagai bentuk kesepakatan, baik
kesepakatan bersama terhadap tujuan dan cita-cita, kesepakatan bahwa rule
of law merupakan landasan penyelenggaraan negara, maupun kesepakatan
63Jimly Asshiddiqie, op.it, h. 85. 64I Dewa Gede Palguna, loc.cit.
tentang bentuk institusi dan prosedur ketatanegaraan. HAM tidak akan
mampu berdiri tegak dan terlindungi dengan baik apabila hak asasi yang
telah dideklarasikan dan disetujui dalam perjanjian internasional tersebut
tidak diletakkan dasar hukumnya dalam konstitusi masing-masing negara.
Oleh sebab itu pelaksanaan atau implementasi HAM yang dilakukan oleh
setiap negara harus berdasarkan proses konstitusional.65 Disamping itu
kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah haruslah berdasarkan atas
konstitusi tidak terkecuali kebijakan KTR. Dengan alasan untuk melindungi
hak asasi manusia untuk memperoleh lingkungan hidup yang baik dan sehat
sebagaimana termuat dalam ketentuan Pasal 28 H ayat (1) UUD 1945 maka
kebijakan KTR dianggap telah berdasarkan atas amanat konstitusi terkait
HAM.
b. Law Governs the Government, bahwa dalam membuat undang-undang,
pembentuk undang-undang terikat oleh pembatasan-pembatasan yang
ditentukan dalam konstitusi, tidak terkecuali semua cabang pemerintahan
yang bertindak berdasarkan hukum. Tidak terkecuali Pemerintah Daerah
Provinsi Bali yang telah membuat suatu produk hukum berupa kebijakan
KTR.
c. An Independent Judiciary, bahwa kekuasaan peradilan haruslah merdeka
dengan diberikannya kewenangan untuk melakukan judicial review terhadap
65Siti Maimunah, 2009, Cakupan Hak Asasi Manusia Bidang Kesehatan, Jurnal Hukum
Kesehatan: Vol. 2. NO. 4.,Jakarta, h. 77.
tindakan legislatif maupun eksekutif, serta menjamin tegaknya rule of law
melalui pemisahan kekuasaan dan check and balances.
d. Law Must be Fairly and Consistently Applied, bahwa hukum harus
diterapkan secara adil dan konsisten tanpa adanya diskriminasi. Dalam
kaitannya terhadap kebijakan KTR, penegakan hukum ketika terjadi
pelanggaran, aparatur penegak hukum wajib menindak secara tegas baik
masyarakat yang merupakan WNI maupun warga negara asing dalam
kaitannya sebagai wisatawan tanpa adanya diskriminasi.
e. Law is Transparent and Accessible to All, bahwa hukum harus bersifat
transparan dan dapat diakses oleh semua orang, dalam hal ini transparan yang
dimaksud adalah bahwa hukum haruslah dibuat secara tranparan dimana
pembentuk undang-undang diharapkan bersifat terbuka terhadap pendapat
publik dalam pembahasan suatu rancangan peraturan perundang-undangan,
disamping itu transparan yang dimaksud juga bahwa suatu peraturan
perundang-undangan dapat dimengerti dengan baik dan dipublikasikan
secara luas sehingga masyarakat mendapatkan cukup peringatan terhadap
tindakan yang dapat melahirkan sanksi dan juga agar mereka dapat menuntut
hak-hak hukumnya pada saat yang tepat dan dihormati oleh pihak-pihak lain
yang memiliki akses serupa terhadap keberadaan hukum yang berlaku. Ciri
tersebut erat kaitannya terhadap kebijakan KTR, dimana jauh sebelum
Pemerintah Provinsi Bali membuat kebijakan KTR dianggap perlu terlebih
dahulu dilakukan kegiatan sosialisasi atas kebijakan tersebut, sehingga
masyarakat maupun wisatawan dapat memahami bahwa suatu perbuatan
tertentu yang dilakukannya akan mendapatkan sanksi, serta tindakan apa saja
yang dapat dilakukan untuk menuntut hak-hak hukumnya.
f. Application of Law is Efficient and Timely, bahwa hukum haruslah
diterapkan secara efisien dan tepat waktu. Agar suatu kebijakan dapat
diterapkan dengan baik dalam masyarakat, maka kebijakan tersebut harus
diberlakukan secara efektif dan juga memperhatikan perkembangan
dinamika di masyarakat. Tidak terkecuali kebijakan KTR yang perlu
diberlakukan secara efektif sehingga proses penegakkan hukumnya pun
dapat dilakukan dengan baik, mengingat untuk memperoleh lingkungan
hidup yang bersih dan udara yang sehat merupakan isu hak asasi manusia.
Hak asasi manusia yang dimaksud di sini juga termasuk hak asasi bagi
wisatawan.
g. Property and Economic Rights are Protected, including Contracts, bahwa
harus adanya perlindungan terhadap pembangunan di bidang ekonomi,
adapun hal yang dianggap penting dalam pembangunan ekonomi adalah
adanya perlindungan terhadap hak atas kekayaan intelektual, terhadap
kebebasan berkontrak, serta kedudukan yang sama dalam hukum bagi semua
orang.
h. Human and Intellectual Rights are Protected, bahwa harus adanya
penghormatan terhadap hak-hak individu tidak hanya hak sipil dan politik
melainkan juga hak ekonomi.
i. Law can be Changed by An Established Process which itseft is Transparent
and Accessible to All, bahwa hukum dapat diubah ketika hukum tersebut
tidak lagi mampu memenuhi kebutuhan guna memberikan jaminan dan
perlindungan terhadap hak-hak individu, namun demikian prosedur
perubahan tersebut haruslah bersifat transparan dan dapat diakses oleh semua
orang. Ketika suatu kebijakan dianggap tidak lagi mampu diterapkan secara
efektif di masyarakat maka perlu dilakukannya perubahan atas peraturan
tersebut. Dalam kaitannya terhadap hal tersebut diatas maka kebijakan KTR
yang diangap masih memuat instrumen sanksi yang lemah sehingga tidak
mampu memberikan efek jera serta kewenangan penegakkan yang tidak
secara jelas mendapatkan pengaturan, maka perlu dilakukannya perubahan
agar dapat berjalan efektif dan mampu memberikan jaminan atas kepastian
hukum, sehingga nantinya dapat bermanfaat bagi masyarakat.
2.4 Aspek Sosiologis Kebijakan KTR
Kebiasaan yang buruk bagi kesehatan, seperti merokok, adalah penyebab
utama dari penyakit dan kematian di banyak negara. Sayangnya, prilaku ini sering
sudah dimulai sejak dini, sebelum orang menyadari bahaya dari tindakan mereka.66
Bahaya asap rokok orang lain dihadapi salah satunya bagi bayi dalam kandungan
ibu yang merokok dan orang-orang yang berada dalam ruangan yang terdapat asap
rokok yang telah ditinggalkan perokok. Dampak langsung setelah terpapar asap
rokok orang lain adalah batuk, bersin, sesak napas, pusing, sedangkan efek jangka
panjang akan menimbulkan masalah kesehatan yang serius. Dampak kesehatan
asap rokok orang lain terhadap orang dewasa antara lain menyebabkan penyakit
66Shelley E. Taylor.,et.al, 2009, Psikologi Sosial, Kencana, Jakarta, h. 539.
jantung dan pembuluh darah, kanker paru dan payudara, dan berbagai penyakit
saluran pernafasan.
Perempuan yang tinggal bersama orang yang merokok mempunyai risiko
tinggi terkena kanker payudara. Asap rokok orang lain akan memicu serangan
asthma serta menyebabkan asthma pada orang sehat. Ibu hamil yang merokok
selama kehamilan akan mempengaruhi pertumbuhan bayi, kelahiran prematur dan
kematian. Bayi dan anak-anak para perokok yang terpapar asap rokok orang lain
akan menderita sudden infant death syndrome, infeksi saluran pernafasan bawah
(ISPA), asthma, bronchitis, dan infeksi telinga bagian tengah yang dapat berlanjut
hilangnya pendengaran. Mereka juga akan menderita terhambatnya pertumbuhan
fungsi paru, yang akan menyebabkan berbagai penyakit paru ketika dewasa.
Anak para perokok mempunyai risiko lebih besar untuk mengalami kesulitan
belajar, masalah perilaku seperti hiperaktif dan penurunan konsentrasi belajar
dibanding dengan yang orang tuanya tidak merokok. Padahal anak pun memiliki
HAM yang sama untuk memperoleh jaminan akan kesehatan yang dikemukakan
oleh Kofi A. Annan sebagaimana dikutip oleh Majda El Muhtaj, bahwa ”if we can
get it right for children – if we can deliver on our commitments and enable every
child to enjoy the right to a childhood, to health, education, equality and protection
– we can get it right for people of all ages”.67
67Majda El Muhtaj, 2012, Hak Asasi Manusia Dalam Konstitusi Indonesia, Kencana,
Jakarta, h. 225.
Selain dampak kesehatan asap rokok orang lain juga akan berdampak
terhadap ekonomi individu, keluarga dan masyarakat akibat hilangnya pendapatan
karena sakit dan tidak dapat bekerja, pengeluaran biaya obat dan biaya perawatan.
Kesehatan merupakan hak asasi manusia setiap orang. Hak asasi masyarakat bukan
perokok atas lingkungan hidup yang sehat, termasuk bersih dari cemaran dan risiko
kesehatan dari asap rokok juga harus dilindungi. Demikian juga dengan perokok
aktif, perlu disadarkan dari kebiasaan merokok yang dapat merusak kesehatan diri
dan orang lain disekitarnya.
Hal tersebut diatas menjadi landasan sosiologis bagi Pemerintah Provinsi
Bali untuk membuat pengaturan tentang Kawasan Tanpa Rokok, dimana
memberikan batasan bagi orang untuk tidak merokok di area tertentu yang
ditetapkan sebagai Kawasan Tanpa Rokok. Meski demikian masih banyaknya
pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh masyarakat tidak terkecuali
wisatawan asing dikarenakan ketidaktahuan masyarakat karena kurangnya
sosialisasi, dan dalam beberapa kasus banyak dijumpai orang yang masih merokok
meski telah mengetahui bahwa area tersebut merupakan KTR, hal tersebut
dikarenakan karena selama ini tidak ada penegakan yang dilakukan bagi para
pelanggar kebijakan. Dengan kata lain tidak adanya kepastian penegakan hukum
ketika terjadi pelanggaran dilapangan.
Pertumbuhan jumlah penduduk yang demikian cepat, masalah-masalah
sosial yang baru dan banyak ditimbulkan oleh perkembangan industri merupakan
faktor-faktor yang bisa disebut sebagai penyebab munculnya suatu gambaran sosial
baru. Oleh sebab itu negara memiliki kewajiban untuk mencampuri urusan-urusan
seperti kesehatan, pendidikan, dan ekonomi. Perkembangan yang demikian itu
membawa serta peranan dan pengaturan melalui hukum dan melontarkan suatu
bahan baru untuk dikerjakan oleh para pakar hukum. Kebijakan KTR lahir dengan
tujuan untuk memberikan jaminan perlindungan HAM bagi masyarakat dalam
kaitannya terhadap bidang kesehatan yang merupakan salah satu aspek sosial
masyarakat. Dalam bidang ekonomi, bahkan penerapan kebijakan KTR dianggap
mampu memberikan efek positif terhadap jumlah pendapatan dari sektor
pariwisata, akibat kualitas pariwisata yang meningkat setelah diterapkannya aturan
larangan merokok di berbagai negara. Di sisi lain pengaturan mengenai kebijakan
KTR ini diharapkan akan memberikan ketertiban di dalam masyarakat, dimana
ketertiban merupakan nilai yang mengarahkan pada tiap-tiap individu untuk
bersikap dan bertindak yang seharusnya agar keadaan yang teratur tersebut dapat
dicapai dengan baik.
Di sisi lain, tidak berbeda halnya dengan kebijakan pemerintah lainnya,
dimana kebijakan KTR secara nasional juga mengalami pro dan kontra. Tidak
sedikit mitos yang berkembang di masyarakat yang justru merugikan masyarakat
sendiri, dan terus dilakukan oleh industri tembakau untuk menghalangi
perlindungan kesehatan masyarakat. Beberapa mitos yang sering dijumpai di
masyarakat adalah sebagai berikut: 68
68URL: http://www.ino.searo.who.int/LinkFiles/Tobacco _ Initiative _ Bab _ 8 -
Perlindungan _ Terhadap _ Paparan _ Asap _ Rokok _ Orang_ Lain. Diakses Pada Tanggal 15
Oktober 2014.
1) Asap rokok orang lain tidak membahayakan kesehatan:
Industri rokok sering melawan bukti ilmiah, yang menganggap asap rokok
orang lain sekedar gangguan, bukan masalah kesehatan. Faktanya, penelitian
ilmiah sudah sangat jelas bahwa asap rokok orang lain mematikan. Asap
yang mengandung berbagai bahan kimia berbahaya dapat berdampak buruk
bagi kesehatan manusia.
2) Tidak diperlukan Undang-Undang atau Peraturan Daerah karena kebijakan
yang bersifat sukarela dianggap sudah cukup:
Industri tembakau menyukai konsep kebijakan yang bersifat kesukarelaan
tanpa sanksi hukum dari pada undang-undang atau peraturan daerah, karena
hal tersebut bisa menjadi alasan tidak perlu tindakan hukum bagi
pelanggaran. Skema pilihan bebas yang mengakomodir keinginan perokok
dan bukan perokok dengan mempertahankan ”smoking area” dan ”non
smoking area” dalam ruang yang sama adalah konsep yang diinginkan
industri rokok.
3) Sistem ventilasi akan mengatasi masalah asap rokok orang lain:
Baik ruang merokok maupun sistem ventilasi tidak memberikan
perlindungan dari paparan asap rokok orang lain. Studi di Amerika
menunjukkan tidak ada perbedaan tingkat asap tembakau di udara dan
jumlah nikotin yang diserap pekerja di ruang merokok dan tanpa asap rokok
karena ruang merokok tetap akan mengkontaminasi ruang tanpa asap rokok.
Sangat mustahil bahwa ruangan merokok tidak akan dimasuki petugas
kebersihan ataupun petugas keamanan, dan ini akan menempatkan mereka
pada resiko. Berbagai studi lain menunjukkan zat penyebab kanker pada asap
rokok yang disaring sama dengan yang tidak mengalami penyaringan udara,
dan ventilasi tidak menghilangkan gas dan partikel beracun dari udara. Asap
tembakau mengandung partikel padat dan gas. Sistem ventilasi tidak dapat
menghilangkan partikel dan gas beracun di udara. Berbagai partikel terhirup
dan tertinggal di baju, furnitur, dinding, langit-langit dan sebagainya.
4) Undang-Undang atau Peraturan Daerah tentang Kawasan Tanpa Rokok
melanggar hak asasi. Perokok harus diizinkan mengisap produk legal dan
perusahaan harus bisa menentukan akan menerapkan kawasan tanpa rokok
atau tidak:
Undang-undang Dasar 1945 Pasal 28 H ayat (1) menyatakan bahwa setiap
orang memiliki hak asasi untuk hidup sehat dan lingkungan sehat. Paparan
asap rokok orang lain melanggar hak asasi manusia. Hak bukan perokok
untuk menghirup udara bersih melebihi hak perokok untuk mencemari udara
yang akan dihirup orang lain. Kebijakan kawasan tanpa rokok bukan tentang
apakah orang merokok tetapi dimana orang merokok. Mereka meninggalkan
resiko kesehatan bagi orang lain yang menghirup asap rokoknya.
5) Undang-Undang atau Peraturan Daerah mengenai lingkungan bebas asap
rokok tidak populer. Masyarakat pada umumnya tidak menginginkannya:
Sebaliknya, kebijakan ini sangat populer di banyak negara dan semakin
banyak orang yang menyadari bahwa mereka berhak dilindungi dari paparan
asap rokok orang lain. Kepatuhan masyarakat terhadap kebijakan ini adalah
tertinggi di tempat dimana kesadaran akan bahaya kesehatan adalah tinggi.
6) Undang-Undang atau Peraturan Daerah yang melarang orang merokok pada
waktu santai tidak bisa diterapkan:
Bukti di negara-negara di dunia ini menunjukkan bahwa perokok maupun
pelaku bisnis patuh pada Undang-Undang atau Peraturan Daerah Kawasan
Tanpa Rokok. Tingkat kepatuhan rata-rata 90%.
7) Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok tidak tepat untuk negeri ini:
Pengalaman di dunia menunjukkan bahwa undang-undang atau aturan
Kawasan Tanpa Rokok cukup berhasil diterapkan baik di negara besar atau
kecil, perkotaan atau pedesaan, negara kaya ataupun miskin. Kebijakan
Kawasan Tanpa Rokok semakin populer di banyak negara, karena semakin
banyak orang menyadari haknya untuk menghirup udara bersih dan sehat.
Polling pendapat masyarakat yang dilakukan di 8 kota besar di Indonesia
tahun 2008, menyatakan 84% responden menyatakan adalah hak pengunjung
dan pekerja untuk menghirup udara bersih dan sehat. Hanya 16% responden
yang menyatakan bahwa perokok punya hak untuk mengisap rokok di dalam
gedung.69
8) Jika orang tidak diperbolehkan merokok di tempat umum, mereka akan lebih
banyak merokok di rumah masing-masing dan resiko paparan pada anak-
anak akan lebih besar:
Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok mendorong orang dewasa untuk berhenti
merokok. Dengan demikian anak-anak yang terpapar asap rokok di rumah
juga turut berkurang. Undang Undang ini membuat perokok meneruskan
69 URL: http://www.ino.searo.who.int/LinkFiles/Tobacco, Ibid.
kebiasaannya di rumah dan membuat rumahnya bebas asap rokok secara
sukarela. Di New Zealand dilaporkan bahwa paparan asap rokok orang lain
di rumah tangga berkurang 50% selama 3 tahun setelah Undang Undang
Tanpa Rokok diberlakukan.
9) Jika Undang-Undang atau Peraturan Daerah Kawasan Tanpa Rokok
diterapkan, industri jasa dan industri pariwisata akan merugi:
Penelitian independen berulang kali membuktikan tidak adanya efek
ekonomi yang negatif dari aturan KTR pada industri jasa dan turisme. Studi
yang dilakukan di Kanada, Italia, Norwegia dan beberapa kota seperti El
Paso dan New York memperlihatkan bila dilihat secara rata-rata, bisnis tetap
seperti biasa bahkan ada yang meningkat setelah diberlakukan pelarangan
merokok. Di Australia Selatan pada tahun 1991 – 2001, ratio omzet restoran
terhadap omzet penjualan tetap. Undang-Undang Kawasan Tanpa rokok di
Australia Selatan diterapkan pada tahun 1999. Di Kota New York,
penerimaan pajak bar dan restoran naik 8,7% sementara tenaga kerja sektor
jasa naik lebih dari 10.000 orang. Angka Kunjungan hotel (Hotel occupancy
rate) di Kota Davao naik 12,59% dalam kurun waktu lima tahun setelah
diterapkannya undang-undang Kawasan Tanpa Rokok.
10) Peraturan Kawasan Tanpa Rokok tidak penting karena akan meningkatkan
masalah sosial termasuk kekerasan dan keributan di jalanan:
Tidak ada bukti yang menunjukkan hal tersebut. Seandainya ada, maka hal
ini relatif kecil dibandingkan dengan dampak resiko kesehatan yang
diakibatkan asap rokok orang lain. Hal ini diatasi secara terpisah dengan
peraturan yang sesuai.
Talcott Parsons mengemukakan pandangan mengenai fungsi dari struktur
sosial atau institusi sosial dan tipe prilaku/tindakan sosial tertentu dalam sebuah
masyarakat dan pola hubungannya dengan elemen lainnya. Menurutnya
keberlangsungan masyarakat sebagai sistem dan bertahan dari berbagai perubahan
internal dan eksternal.70 Adapun elemen-elemen dari perubahan sosial dalam
masyarakat meliputi: nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat; lembaga/institusi
sosial masyarakat; dan prilaku masyarakat. Dalam kaitan terhadap penegakan
kebijakan KTR, maka pemahaman masyarakat terhadap bahaya rokok dan
kesadaran masyarakat untuk mematuhi aturan hukum berperan penting dalam
proses penegakan tersebut.
Mengenai penegakan hukum, Satjipto Rahardjo sebagaimana dikutip oleh
Moh. Mahfud MD,71 mengemukakan bahwa penegakan hukum pada hakekatnya
adalah penegakan ide-ide serta konsep-konsep yang abstrak, seperti ide tentang
keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan sosial. Dapat dikatakan pula bahwa
penegakan hukum merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide atau
keinginan-keinginan menjadi kenyataan. Disamping itu, penegakan hukum
menurut Jimly Asshiddiqie adalah suatu proses dilakukannya upaya untuk tegaknya
atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman prilaku
dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum masyarakat dalam kehidupan
70George Ritzer, et.al, 2007, Teori Sosiologi Modern, Prenada Media Group, Jakarta, h. 118. 71Moh. Mahfud MD,.et.al, 2013, Dekonstruksi dan Gerakan Pemikiran Hukum Progresif,
Thafa Media, Yogyakarta, h. 160.
berbangsa dan bernegara.72 Oleh sebab itu, agar norma-norma hukum di dalam
Perda Provinsi Bali tentang KTR dapat berfungsi sebagaimana mestinya di dalam
masyarakat, maka perlu adanya perumusan yang jelas di dalam substansi hukumnya
sehingga mampu memberikan kepastian dalam penegakkannya.
M. Laica Marzuki menguraikan masing-masing unsur sistem hukum pada
dasarnya juga berkaitan dengan penegakan hukum (law enforcement), yaitu
bagaimana substansi hukum ditegakkan serta dipertahankan. Dengan demikian
struktur hukum merupakan institusionalisasi ke dalam entitas-entitas hukum.73
Oleh sebab itu, Friedman menambahkan bahwa, bagaimanapun baiknya norma
hukum suatu undang-undang tanpa didukung penegak hukum yang handal dan
dipercaya serta budaya masyarakat, hukum tidak akan efektif mencapai
tujuannya.74
Dalam mewujudkan aturan hukum yang mampu bekerja secara efektif di
masyarakat, maka ketiga hal tersebut tentunya harus terpenuhi. Produk hukum yang
dapat menciptakan kepastian hukum adalah produk hukum yang pelaksanaannya
tidak menimbulkan multi tafsir akibat adanya inkonsistensi antar pasal dalam suatu
undang-undang atau munculnya kekaburan norma dalam peraturan perundang-
undangan tersebut.
Mengkaji suatu aturan hukum yang berlaku efektif, Hans Kelsen dalam
bukunya Pure Theory of Law menjelaskan bahwa:75
72Ibid. 73Yuliandari, op.cit, h. 32. 74I Gde Pantja Astawa, 2008, Dinamika Hukum Dan Ilmu Perundang-Undangan Di Indonesia,
Alumni, Bandung, h. 43-44. 75Hans Kelsen, 1967, Pure Theory of Law, University of California Press, California USA, h. 11.
A legal norm becomes valid before becomes effective, that is, before it is
applied and obeyed; a law court that applies a statute immediately after
promulgation – therefore before the statute had a chance to become
“effective” – applies a valid legal norm. But a legal norm is no longer
considered to be valid, if it remains permanently ineffective. Effectiveness is a
condition of validity in the sense that effectiveness has to join the positing of a
legal norm if the norm is not to lose its validity.
Dengan kata lain, Hans Kelsen mempersyaratkan hubungan timbal balik antara
unsur validitas dan keefektifan dari suatu kaidah hukum. Sebelum berlaku secara
efektif, suatu norma hukum harus terlebih dahulu valid, karena jika suatu kaidah
hukum tidak valid maka hukum tersebut tidak dapat diterapkan, sehingga kaidah
hukum tersebut tidak pernah efektif berlaku. Tetapi sebaliknya bahwa keefektifan
merupakan syarat mutlak bagi sebuah kaidah hukum yang valid. Adapun agar suatu
kaidah hukum dapat efektif, haruslah memenuhi dua syarat utama, yaitu: (1) kaidah
hukum tersebut harus dapat diterapkan; dan (2) kaidah hukum tersebut harus dapat
diterima oleh masyarakat.76
Hukum bukanlah gejala yang netral, yang semata-mata merupakan hasil
rekaan bebas manusia, tetapi berada dalam jalinan yang sangat erat dengan
masalah-masalah dan perkembangan kemasyarakatan. Pada satu sisi, hukum
dijelaskan dengan bantuan faktor-faktor kemasyarakatan, dan pada sisi lain gejala-
gejala kemasyarakatan dapat dijelaskan dengan bantuan hukum.77 Oleh sebab itu
keefektifan penerapan kebijakan KTR di dalam masyarakat sangat ditentukan oleh
pengaturan substansi yang mampu memberikan kepastian hukum dalam Perda
Provinsi Bali tentang KTR.
76Munir Fuady, 2013, Teori-Teori Besar (Grand Theory) Dalam Hukum, Kencana, Jakarta,
h. 116-117. 77Khudzaifah Dimyati, 2014, Pemikiran Hukum: Konstruksi Epistemologis Berbasis Budaya
Hukum Indonesia, Genta Publishing, Yogyakarta, h. 37.
2.5 Pengaturan Kawasan Tanpa Rokok di Bali
Pembuatan hukum yang dilakukan oleh badan yang berwenang merupakan
sumber hukum yang besifat utama. Suatu perundang-undangan menghasilkan
peraturan yang memiliki ciri-ciri:78
1. Bersifat umum dan komprehensif, yang dengan demikian merupakan
kebalikan dari sifat-sifat yang khusus dan terbatas;
2. Bersifat universal, yang diciptakan untuk menghadapi peristiwa-peristiwa
yang akan datang yang belum jelas bentuk konkritnya. Oleh karena itu ia
tidak dapat dirumuskan untuk mengatasi peristiwa-peristiwa tertentu saja;
3. Ia memiliki kekuatan untuk mengoreksi dan memperbaiki dirinya sendiri.
Oleh sebab itu merupakan hal yang lazim bahwa suatu peraturan untuk
mencantumkan klausul yang memuat kemungkinan dilakukannya
peninjauan kembali.
Jika dibandingkan dengan aturan kebiasaan, maka perundang-undangan
memperlihatkan karakteristik, suatu norma bagi kehidupan sosial yang lebih
matang, khususnya dalam hal kejelasan dan kepastiannya. Sebagai sumber hukum,
peraturan perundang-undangan mempunyai kelebihan dibandingkan norma-norma
sosial yang lain, karena ia dikaitkan pada kekuasaan yang tertinggi di suatu negara
dan karenanya pula memiliki kekuasaan memaksa yang besar. Di sisi lain ciri
demokratis masyarakat-masyarakat dunia sekarang ini memberikan capnya sendiri
terhadap cara perundang-undangan itu diciptakan, yaitu dengan menghendaki
78Satjipto Rahardjo, op.cit, h. 83.
masuknya unsur-unsur sosial ke dalam perundang-undangan.79 Tidak terkecuali
lahirnya Perda Provinsi Bali tentang KTR ini juga dipengaruhi oleh aspek sosial
terkait bidang kesehatan. Masyarakat dianggap memiliki hak untuk memperoleh
lingkungan hidup yang bersih dan udara yang sehat bebas dari asap rokok. Oleh
sebab itu lahirnya kebijakan KTR tersebut untuk memberikan ketegasan dan
jaminan kepastian hukum yang mengatur terhadap hal tersebut.
Secara teoritis, pembahasan tentang bentuk-bentuk peraturan perundang-
undangan, pada dasarnya tidak dapat dilepaskan dari konsep hierarki norma hukum.
Konsep ini merujuk pada pandangan Hans Kelsen yang lebih dikenal dengan teori
hierarki norma hukum (stufenbau des rechts). Berkaitan dengan kedudukan dan
keberadaan norma hukum, Hans Kelsen menjelaskan bahwa: 80
The unity of these norms is constituted by the fact that the creation of one norm,
the lower one is determined by another, the higher, the creation of which
determined by a still higher norm, and that this regressus is terminated by a
highest, the basic norm which, being the supreme reason of validity of the
whole legal order, constitutes its unity.
Dengan kata lain bahwa norma-norma (termasuk norma hukum) itu berjenjang dan
berlapis dalam suatu hierarki tata susunan, dimana suatu norma yang lebih rendah
berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, dan norma yang
lebih tinggi berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi,
demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih
lanjut dan bersifat hipotetis dan fiktif, yaitu grundnorm (norma dasar).81
79Satjipto Rahardjo, op.cit, h. 85. 80Hans Kelsen, op.cit, h. 124. 81Yuliandari, 2013, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang Baik:
Gagasan Pembentukan Undang-Undang Berkelanjutan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 47.
Di dalam Perda Provinsi Bali tentang KTR tersebut telah ditentukan
mengenai area tertentu yang ditetapkan sebagai kawasan tanpa rokok, sebagaimana
diatur dalam ketentuan Pasal 2 bahwa tempat umum merupakan kawasan yang
ditetapkan sebagai KTR, tempat umum yang dimaksud tersebut sebagaimana yang
diatur dalam ketentuan Pasal 6 salah satunya adalah tempat wisata.
Dalam hal ini kebijakan KTR tersebut memiliki tujuan untuk melindungi
hak-hak wisatawan untuk memperoleh lingkungan hidup yang bersih serta agar
wisatawan dapat berwisata dengan baik tanpa khawatir akan ancaman penyakit
akibat paparan asap rokok. Oleh sebab itu dalam ketentuan Pasal 13 secara tegas
dalam ayat (1) dinyatakan bahwa “setiap orang dilarang untuk merokok di kawasan
sebagaimana ditentukan sebagai kawasan tanpa rokok”, dan dalam ayat (2) “setiap
orang/badan dilarang mempromosikan, mengiklankan, menjual, dan/atau membeli
rokok di KTR”.
Perda Provinsi Bali tentang KTR dibentuk dengan tidak mengesampingkan
peraturan perundang-undangan diatasnya sesuai dengan hierarki peraturan
perundang-undangan di Indonesia. Adapun peraturan yang menyangkut tentang
pelaksanaan pengaturan dan perlindungan HAM akan lingkungan hidup yang baik
dan sehat serta bebas dari asap rokok meliputi:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, di dalam
ketentuan Pasal 28 H ayat (1) dinyatakan bahwa “setiap orang memiliki hak
yang sama untuk memperoleh kehidupan yang sejahtera baik lahir maupun
batin, memperoleh tempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang
baik dan sehat serta berhak memperoleh layanan kesehatan”. Pada prinsipnya
kebijakan KTR tersebut bertujuan untuk melindungi hak asasi manusia
(khususnya perokok pasif) untuk memperoleh kesehatan, karena dengan
melakukan pengaturan terhadap kegiatan merokok tersebut, maka
diharapkan masyarakat (perokok aktif) tidak lagi merokok di sembarang
tempat sehingga melanggar hak asasi manusia orang lain untuk memperoleh
lingkungan hidup yang bersih dan sehat;
b. Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, di dalam
ketentuan Pasal 9 ayat (3) dinyatakan bahwa setiap orang berhak atas
lingkungan hidup yang baik dan sehat. Pengaturan kebijakan KTR
merupakan salah satu upaya untuk menjamin HAM guna memperoleh
lingkungan hidup yang baik dan sehat, serta mencegah masyarakat dari
ancaman penyakit akibat paparan asap rokok.
c. Undang-Undang No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, dalam
ketentuan Pasal 5 huruf b dinyatakan bahwa kepariwisataan diselenggarakan
berdasarkan prinsip menjunjung tinggi hak asasi manusia, serta dalam
ketentuan Pasal 20 huruf b menyatakan pula bahwa wisatawan memiliki hak
untuk memperoleh layanan pariwisata yang memenuhi standar, dalam hal ini
standar-standar yang dimaksud tersebut adalah antara lain standar yang
menjamin wisatawan untuk memperoleh udara yang sehat dan bebas dari
ancaman penyakit akibat asap rokok. Kebijakan KTR di Bali dianggap
memiliki keterkaitan secara langsung terhadap kegiatan pariwisata Bali,
karena pariwisata yang merupakan lokomotif perekonomian di Bali tentu
akan terpengaruh oleh kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh
Pemerintah. Melalui kebijakan KTR dianggap akan mampu memberikan
dampak positif bagi kepariwisataan Bali.
d. Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup, dalam ketentuan Pasal 13 ayat (1) dinyatakan bahwa
Pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup
dilaksanakan dalam rangka pelestarian fungsi lingkungan hidup, dalam
penjelasan terhadap ketentuan pasal tersebut dimana Pengendalian
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang dimaksud dalam
ketentuan ini, antara lain pengendalian di bidang pencemaran udara.
Disamping itu dalam ketentuan Pasal 20 ayat (2) huruf d, menjelaskan
bahwa baku mutu lingkungan hidup salah satunya adalah baku mutu udara
ambien, dalam penjelasan terhadap ketentuan pasal tersebut dijelaskan
bahwa yang dimaksud dengan “baku mutu udara ambien” adalah ukuran
batas atau kadar zat, energi, dan/atau komponen yang seharusnya ada,
dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam udara
ambien. Jadi kaitannya terhadap kebijakan KTR adalah bahwa kegiatan
merokok di tempat-tempat tertentu seperti misalnya tempat wisata, dimana
akan mengakibatkan berkurangnya kualitas udara yang di hirup oleh orang
(wisatawan) lain yang berada dalam satu area yang sama.
e. Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, menjadi dasar
pengaturan KTR, dimana dalam ketentuan Pasal 115 ayat (1) mengatur
tentang kawasan mana saja yang menjadi ruang lingkup KTR antara lain:
tempat proses belajar mengajar; tempat anak bermain; tempat ibadah;
angkutan umum; tempat kerja; dan tempat umum dan tempat lain yang
ditetapkan. Disamping itu dalam ketentuan Pasal 115 ayat (2) mewajibkan
pemerintah daerah untuk menetapkan kawasan tanpa rokok di wilayahnya
masing-masing. Oleh sebab itu pembentukan kebijakan KTR di sini
merupakan kewajiban bagi pemerintah daerah tidak terkecuali Pemerintah
Provinsi Bali, serta mengupayakan agar kebijakan mengenai KTR dapat
diterapkan dengan baik di wilayahnya masing-masing.
f. Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukkan Peraturan
Perundang-undangan menjadi dasar pembentukkan kebijakan kawasan tanpa
rokok, dalam hal ini lahirnya Perda Provinsi Bali tentang KTR adalah
berdasarkan ketentuan peraturan yang berada di atasnya sebagaimana yang
termuat dalam ketentuan Pasal 7 ayat (1), disamping itu Undang-Undang ini
memberikan dasar hukum pemberlakuan sanksi pidana di dalam suatu
Peraturan Daerah, dalam ketentuan Pasal 15 ayat (1) menyatakan bahwa
materi muatan berupa sanksi pidana hanya dapat dimuat dalam Undang-
Undang, Peraturan Daerah Provinsi, dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Serta dalam ketentuan Pasal 15 ayat (2) menyatakan bahwa ketentuan pidana
dalam Perda tersebut sebagaimana dalam ayat (1) adalah berupa ancaman
pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling
banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
g. Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran
Udara, memberikan penjelasan di dalam ketentuan Pasal 1 angka 1 bahwa
yang dimaksud dengan pencemaran udara adalah masuknya atau
dimasukkannya zat, energi, dari komponen lain ke dalam udara ambien oleh
kegiatan manusia, sehingga mutu udara turun sampai ke tingkat tertentu yang
menyebabkan udara ambien tidak dapat memenuhi fungsinya. Jadi dalam hal
ini merokok dapat dikategorikan sebagai kegiatan manusia yang memberikan
dampak pencemaran bagi udara, dimana zat beracun yang terdapat dalam
asap rokok dapat mengurangi kualitas udara yang dihirup oleh orang yang
berada disekitarnya. Oleh sebab itu salah satu upaya yang dilakukan untuk
mencegah hal tersebut salah satunya adalah dengan mengupayakan dan
menerapkan kebijakan KTR.
h. Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2003 tentang Pengamanan Rokok Bagi
Kesehatan, secara jelas menjadi dasar kebijakan KTR dimana dalam
peraturan ini pemerintah memandang perlu adanya perhatian untuk
melakukan sosialisasi bahwa rokok dapat memberikan dampak negatif bagi
kesehatan. Salah satunya dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 2 yang
menyatakan bahwa penyelenggaraan pengamanan rokok bagi kesehatan
bertujuan untuk mencegah penyakit akibat penggunaan rokok bagi individu
dan masyarakat dengan :
1) melindungi kesehatan masyarakat terhadap insidensi penyakit yang
fatal dan penyakit yang dapat menurunkan kualitas hidup akibat
penggunaan rokok;
2) melindungi penduduk usia produktif dan remaja dari dorongan
lingkungan dan pengaruh iklan untuk inisiasi penggunaan dan
ketergantungan terhadap rokok;
3) meningkatkan kesadaran, kewaspadaan, kemampuan dan kegiatan
masyarakat terhadap bahaya kesehatan terhadap penggunaan rokok
i. Peraturan Pemerintah No. 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang
Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan atau
yang lebih dikenal dengan PP Tembakau dilahirkan (sejak ditandatangani
Presiden RI pada 24 Desember 2012) bertujuan untuk melindungi kesehatan
perseorangan/individu, keluarga, masyarakat, dan lingkungan; melindungi
penduduk usia produktif, terutama pada anak-anak, remaja, dan perempuan
hamil dari dorongan lingkungan dan pengaruh iklan; meningkatkan
kesadaran dan kewaspadaan masyarakat terhadap bahaya merokok; serta
melindungi kesehatan masyarakat dari asap rokok orang lain. PP 109/2012
terdiri atas 8 Bab dan 65 pasal. Hal-hal yang diatur secara spesifik pada PP
ini, diantaranya: Pencantuman Informasi kadar nikotin dan tar serta bahan
tambahan lainnya (dilarang mencantumkan kata-kata yang menyesatkan);
Pencantuman peringatan kesehatan berbentuk gambar dan tulisan seluas 40%
kemasan depan dan belakang; Kawasan Tanpa Rokok (KTR); Perlindungan
anak dan wanita hamil; Pengendalian Iklan Rokok; Pengawasan terhadap
Perusahaan Rokok; dan lain-lain. Disamping itu juga PP 109/2012 ini
mampu memberikan pemahaman bahwa petani tidak dilarang untuk
menanam tembakau. PP menjamin kelestarian tanaman tembakau dengan
tetap mengupayakan pengembangan mutu tanaman tembakau agar dapat
bersaing dengan mutu tembakau impor dan mampu memenuhi kebutuhan
tembakau bagi industri rokok dalam negeri. PP ini justru mendorong
pengembangan diversifikasi produk tembakau, serta memberikan
kemudahan bagi produk rokok nasional dan industri kecil. Selain itu, PP ini
tidak melarang iklan secara total, hal tersebut diatur dalam ketentuan Pasal
6, 7 dan 8. Terhadap hal tersebut maka PP ini mendorong untuk dilakukannya
kegiatan ekspor tembakau, sehingga negara dan petani tidak mengalami
kerugian terhadap hal tersebut, bahkan melalui pengoptimalan kegiatan
ekspor maka produk tembakau Indonesia akan mampu bersaing secara global
dan mampu meningkatkan devisa negara.82
j. Peraturan Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Dalam Negeri No. 7
Tahun 2011 tentang Pedoman Pelaksanaan Kawasan Tanpa Rokok,
memberikan pengaturan tentang pedoman pelaksanaan KTR, secara filosofis
dan sosiologis, peraturan ini memberikan pemahaman bahwa asap rokok
dapat membahayakan kesehatan individu, masyarakat, dan lingkungan,
sehingga perlu adanya perlindungan terhadap paparan dari asap rokok
melalui kebijakan KTR. Di dalam ketentuan Pasal 6 ayat (2) dinyatakan
bahwa di dalam Perda Provinsi tentang KTR harus memuat mengenai:
pengaturan tentang KTR; peran serta masyarakat; pembentukan satuan tugas
khusus penegak KTR; larangan dan kewajiban; serta sanksi.
82Adrian Sutedi, 2014, Hukum Ekspor Impor, Raih Asa Sukses, Jakarta, h. 14-15.
BAB III
KETENTUAN DAN KEWENANGAN PENEGAKAN HUKUM KAWASAN
TANPA ROKOK DI BALI
3.1 Penafsiran Hukum Terhadap Perda Provinsi Bali tentang KTR
Substansi hukum adalah seperangkat kaidah hukum (set of rules and norms),
lazim disebut peraturan perundang-undangan. Substansi hukum tidak hanya
mencakupi pengertian kaidah hukum tertulis (written law), tetapi termasuk kaidah-
kaidah hukum kebiasaan (adat) yang tidak tertulis.83 Dalam substansi Perda
Provinsi Bali tentang KTR masih memuat adanya kekaburan norma hukum
sehingga belum adanya jaminan kepastian hukum dalam penerapannya.
Terkait hal tersebut dalam prinsip penyelenggaraan tata pemerintahan yang
baik, prinsip kepastian hukum menjadi dasar dalam pembuatan kebijakan publik.
Oleh karena itu setiap kebijakan publik dan peraturan-perundang-undangan harus
selalu dirumuskan, ditetapkan, dan dilaksanakan berdasarkan prosedur baku yang
telah melembaga dan diketahui oleh masyarakat umum, serta terdapat ruang untuk
mengevaluasinya. Terhadap hal tersebut maka suatu peraturan perundang-
undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan peraturan perundang-
undangan, sistematika dan pilihan kata atau terminologi, serta bahasa hukumnya
jelas dan dapat dimengerti, sehingga tidak menimbulkan berbagai macam
interpretasi dalam pelaksanaannya.
83Yuliandari, op.cit, h. 33.
71
Terkait dengan kekaburan suatu norma hukum maka perlu adanya
penafsiran/interpretasi hukum. Machtel Boot sebagaimana dikutip oleh Asep Dedi
Suwasta, berpandangan bahwa “Every legal norm needs interpretation”, yang
berarti bahwa setiap norma hukum membutuhkan penafsiran.84 Sejalan dengan hal
tersebut Van Bemmelen dan Van Hattum secara tegas menyatakan “Elke
geschreven wetgeving behoeft interpretatie”, dengan kata lain bahwa setiap aturan
perundang-undangan tertulis membutuhkan penafsiran.85 Sementara Satjipto
Rahardjo berpendapat bahwa hukum tidak dapat berjalan tanpa penafsiran, oleh
karena hukum membutuhkan pemaknaan lebih lanjut agar menjadi lebih adil dan
membumi. Membuat hukum adalah suatu hal dan menafsirkan hukum yang sudah
dibuat merupakan keharusan berikutnya.86
Di dalam Perda Provinsi Bali tentang KTR terdapat kekaburan norma hukum
dalam hal kewenangan penegakan hukum khususnya yang mengatur mengenai
prosedur penegakan. Di dalam ketentuan Pasal 17 ayat (1) Perda Provinsi Bali
tentang KTR dinyatakan bahwa “Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil di
lingkungan Pemerintah Provinsi berwenang untuk melakukan penyidikan terhadap
pelanggaran Peraturan Daerah ini”, namun terkait hal tersebut tidak secara jelas
mengatur mengenai prosedur penegakan ketika terjadi pelanggaran di lapangan.
Di sisi lain pengaturan mengenai sanksi masih belum mampu memberikan
efek jera, sebagaimana ketentuan Pasal 12 dinyatakan bahwa setiap pengelola,
pimpinan dan/atau penanggung jawab KTR wajib untuk:
84Asep Dedy Suwasta, op.cit, h. 55. 85Asep Dedy Suwasta, loc.cit. 86Eddy O.S. Hiariej, 2009, Asas Legalitas dan Penemuan Hukum Dalam Hukum Pidana,
Erlangga, Jakarta, h. 65.
a. melakukan pengawasan internal pada tempat dan/atau lokasi yang
menjadi tanggung jawabnya;
b. melarang semua orang untuk tidak merokok di KTR yang menjadi
tanggung jawabnya;
c. menyingkirkan asbak atau sejenisnya pada tempat dan/atau lokasi yang
menjadi tanggung jawabnya; dan
d. memasang tanda-tanda dan pengumuman dilarang merokok sesuai
persyaratan di semua pintu masuk utama dan di tempat-tempat yang
dipandang perlu dan mudah terbaca dan/atau didengar baik.
Disamping itu dalam ketentuan Pasal 13 dinyatakan bahwa:
(1) Setiap orang dilarang merokok di KTR.
(2) Setiap orang/badan dilarang mempromosikan, mengiklankan, menjual,
dan/atau membeli rokok di KTR.
(3) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikecualikan untuk
tempat umum yang ditetapkan dengan Peraturan Gubernur dan/atau
Peraturan Bupati/Walikota.
Terkait hal tersebut, di dalam ketentuan Pasal 18 ayat (1) dinyatakan bahwa “Setiap
orang dan/atau badan yang melanggar ketentuan Pasal 12 dan Pasal 13 dipidana
dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda paling banyak
Rp.50.000,00 (lima puluh ribu rupiah)”. Dalam memahami Perda Provinsi Bali
tentang KTR yang memuat kekaburan norma hukum dalam hal penegakan, maka
teknik interpretasi yang relevan digunakan meliputi:
3.1.1 Interpretasi Sistematis terkait Kewenangan dan Sanksi dalam penegakan
Perda Provinsi Bali tentang KTR
Penafsiran sistematis ini dilakukan dengan memandang bahwa tak satupun
dari peraturan perundang-undangan dapat ditafsirkan seakan-akan berdiri sendiri,
tetapi harus dipahami dalam kaitannya dengan jenis peraturan yang lainnya, atau
dengan kata lain bahwa metode ini melihat hukum sebagai satu kesatuan yang utuh,
tidak merupakan bagian yang berdiri sendiri tetapi merupakan bagian dari satu
sistem.87 Sejalan dengan hal tersebut, Andrei Marmor berpandangan bahwa “a
norm can only be legally valid even if it belongs to a system”.88 Adapun tujuan dari
penafsiran ini adalah untuk mengidentifikasi tentang pengelompokan dan
penggolongan asas-asas hukum, serta kaidah hukum atau aturan hukum. Dari tujuan
tersebut, interpretasi ini dapat menyebabkan kata-kata dalam undang-undang diberi
pengertian yang lebih luas atau lebih sempit. Perda Provinsi Bali tentang KTR tidak
berdiri sendiri, melainkan lahir atas perintah UU No. 36 Tahun 2009 Tentang
Kesehatan yang mewajibkan Pemerintah Daerah untuk menerapkan kawasan tanpa
rokok di daerahnya masing-masing dengan baik. Hal tersebut didasarkan atas
pemikiran bahwa masyarakat perlu memperoleh derajat kesehatan yang optimal,
dengan salah satunya melalui pengaturan atas rokok. Disamping itu UUD Negara
RI Tahun 1945 memberi penekanan bahwa untuk memperoleh lingkungan hidup
yang bersih dan sehat merupakan bagian dari hak asasi manusia yang diatur dalam
konstitusi, serta dalam UU No. 39 Tahun 1999 Tentang HAM juga menjelaskan
terhadap hal tersebut. Oleh sebab itu lahirnya Perda Provinsi Bali tentang KTR
tersebut dengan bertujuan untuk menjamin hak asasi masyarakat maupun
wisatawan untuk memperoleh lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Dalam upaya menerapkan Perda Provinsi Bali No. 10 Tahun 2011 tentang
KTR, sebagaimana yang tertuang dalam ketentuan Pasal 15 ayat (4), bahwa
“Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembinaan dan pengawasan diatur
dengan Peraturan Gubernur", Pemerintah Provinsi Bali mengeluarkan Peraturan
87Asep Dedi Suwasta, op.cit, h. 9. 88Andrei Marmor, 2011, Philosophy of Law, Princeton University Press, New Jersey, h. 19.
Gubernur Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Pelaksanaan Kawasan Tanpa Rokok
(Berita Daerah No. 8 Tahun 2012-TLD No. 8). Adapun dalam ketentuan Pasal 5
dan Pasal 6 dijelaskan terkait tata cara pembinaan dan pengawasan KTR, yaitu
pembinaan dan pengawasan KTR dilaksanakan oleh SKPD yang mempunyai tugas
pokok dan fungsi sesuai dengan tempat yang dinyatakan sebagai KTR. Berdasarkan
ketentuan Pasal 1 angka 14 Peraturan Gubernur Nomor 8 Tahun 2012 Tentang
Pelaksanaan Kawasan Tanpa Rokok, dinyatakan bahwa “Satuan Kerja Perangkat
Daerah yang selanjutnya disebut SKPD Provinsi Bali adalah Unit Kerja Pemerintah
Daerah di Provinsi Bali yang mempunyai tugas mengelola anggaran dan barang
daerah”.
Salah satu SKPD yang tugas pokok dan fungsinya di bidang pariwisata dan
bidang perhubungan melakukan pembinaan dan pengawasan KTR di tempat umum,
di sisi lain SKPD yang tugas pokok dan fungsinya di bidang ketertiban umum
melakukan pembinaan dan pengawasan di seluruh KTR. Berdasarkan ketentuan
Pasal 1 angka 15 Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2013 Tentang
Organisasi Dan Tata Kerja Perangkat Daerah (LD No. 4 Tahun 2013-TLD No. 4),
dinyatakan bahwa ”Satuan Polisi Pamong Praja, yang selanjutnya disebut Satpol
PP adalah bagian perangkat daerah dalam penegakan Perda, penyelenggaraan
ketertiban umum, dan ketenteraman masyarakat”.
Sementara itu dalam ketentuan Pasal 15 dijelaskan mengenai mekanisme
pengawasan internal di tempat umum yang ditetapkan sebagai KTR, yaitu meliputi:
(1) Pengelola, pimpinan dan/atau penanggung jawab tempat umum, wajib
melarang pengguna tempat umum dan/atau pengunjung merokok di
tempat umum.
(2) Pengelola, pimpinan dan/atau penanggung jawab tempat umum
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib menegur, memperingatkan
dan/atau mengambil tindakan kepada pengguna tempat umum dan/atau
pengunjung apabila terbukti merokok di tempat umum.
(3) Pengguna tempat dan/atau pengunjung berkewajiban melaporkan
kepada pengelola, pimpinan dan/atau penanggung jawab tempat umum
apabila ada yang merokok di tempat umum.
(4) Pengelola, pimpinan dan/atau penanggung jawab tempat umum wajib
memperingatkan pelanggar dan mengambil tindakan atas laporan yang
disampaikan oleh pengguna tempat dan/atau pengunjung sebagaimana
dimaksud pada ayat (3).
Berdasarkan ketentuan tersebut diatas diatur mengenai kewenangan untuk
melakukan proses pembinaan dan pengawasan KTR, maka Satpol PP yang
memiliki tugas di bidang ketertiban umum dapat melakukan proses penegakan yang
meliputi pembinaan dan pengawasan di seluruh kawasan yang ditetapkan sebagai
KTR. Oleh sebab itu proses penegakan hukum di tempat wisata dapat dilakukan
oleh SKPD di bidang pariwisata bersama-sama dengan Satpol PP, serta untuk
pengawasan internal dapat dilakukan oleh pengelola tempat tersebut.
Sementara dalam penegakannya di daerah Kabupaten/Kota, Pemerintah
Daerah Kabupaten Badung mengeluarkan Peraturan Daerah Kabupaten Badung
Nomor 8 Tahun 2013 Tentang Kawasan Tanpa Rokok (LD No. 8-TLD No. 8), di
dalam ketentuan Pasal 19 ayat (1) dinyatakan bahwa “Dalam rangka menegakkan
pelaksanaan KTR, Bupati membentuk satuan tugas penegak KTR di wilayah
Daerah”. Satuan tugas tersebut dilaksanakan oleh SKPD yang melaksanakan tugas
penegakan Peraturan Daerah. Dengan kata lain, dalam proses penegakan kebijakan
KTR tersebut, Pemerintah Kabupaten Badung dapat membuat satuan tugas khusus
penegak KTR untuk menjalankan proses penegakan di wilayah hukum Kabupaten
Badung. Berdasarkan ketentuan tersebut diatas, Perda Provinsi Bali tentang KTR
sebaiknya memuat rumusan mengenai pembentukan satuan tugas penegakan KTR,
sehingga nantinya, Kabupaten/Kota lainnya di Bali yang saat ini belum memiliki
pengaturan terhadap kebijakan KTR, akan meletakkan rumusan mengenai satuan
tugas penegakan KTR tersebut di dalam substansi Perda masing-masing wilayah,
sehingga penegakan KTR di Bali akan berjalan efektif.
Di dalam ketentuan yang mengatur mengenai sanksi sebagaimana diatur di
dalam ketentuan Pasal 18 ayat (1), Perda Provinsi Bali tentang KTR masih memuat
sanksi yang tergolong rendah sehingga belum mampu memberikan efek jera bagi
pelanggar. Terkait hal tersebut guna memberikan efek jera maka sebaiknya dalam
proses penegakannya lebih mengutamakan pidana kurungan atau merumuskan
mengenai sanksi administratif khususnya bagi pengelola yang melakukan
pelanggaran terhadap KTR, sehingga efek jera yang ditimbulkan bagi pelanggaran
atas KTR dapat lebih optimal.
3.1.2 Interpretasi Gramatikal/Bahasa terkait Kewenangan dan Sanksi dalam
penegakan Perda Provinsi Bali tentang KTR
Metode penafsiran ini dilakukan dengan menuangkan isi peraturan
perundang-undangan dalam bentuk bahasa tertulis. Untuk mengetahui makna
ketentuan peraturan perundang-undangan yang belum jelas perlu ditafsirkan
dengan menguraikannya melalui bahasa yang baik. Jika ditinjau dari segi definisi,
adapun yang dimaksud dengan Kawasan Tanpa Rokok yang selanjutnya disingkat
KTR adalah ruangan atau area yang dinyatakan dilarang untuk kegiatan merokok
atau kegiatan memproduksi, menjual, mengiklankan, dan/atau mempromosikan
produk tembakau. Berdasarkan definisi tersebut telah jelas bahwa setiap orang
dilarang atau tidak diperbolehkan secara hukum untuk merokok, menjual, bahkan
memproduksi produk olahan tembakau. Di sisi lain terhadap perbuatan
mengiklankan/mempromosikan, dalam proses penegakan masih menimbulkan
multi tafsir, karena dalam beberapa kasus, seseorang yang membawa rokok di
kawasan yang ditetapkan sebagai KTR akan tetap ditindak oleh tim penegakan
hukum KTR meskipun hanya dalam maksud konsumsi pribadi. Oleh sebab itu
masih terdapat perbedaan pandangan oleh masyarakat maupun petugas yang
melakukan penegakan.
Terkait hal tersebut, substansi Perda Provinsi Bali tentang KTR dianggap
masih mengandung kekaburan/ketidak jelasan dalam hal pengaturan tentang
penegakan hukumnya. Berdasarkan ketentuan Pasal 2 dinyatakan bahwa kawasan
yang termasuk KTR meliputi:
1) Fasilitas pelayanan kesehatan, dalam Pasal 3 menyatakan bahwa, fasilitas
pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a
meliputi: rumah sakit; rumah bersalin; poliklinik; puskesmas; balai
pengobatan; laboratorium; posyandu; dan tempat praktek kesehatan
swasta;
2) Tempat proses belajar mengajar, dalam Pasal 4 dinyatakan bahwa,
tempat proses belajar mengajar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
huruf b meliputi: sekolah; perguruan tinggi; balai pendidikan dan
pelatihan; balai latihan kerja; bimbingan belajar; dan tempat kursus.
3) Tempat anak bermain, dalam Pasal 5 dinyatakan bahwa, tempat anak
bermain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf c meliputi:
kelompok bermain; penitipan anak; Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD);
dan Taman Kanak-Kanak.
4) Tempat ibadah, dalam Pasal 6 dinyatakan bahwa, tempat ibadah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf d meliputi: pura;
masjid/mushola; gereja; vihara; dan klenteng.
5) Angkutan umum, dalam Pasal 7 dinyatakan bahwa, angkutan umum
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf e meliputi: bus umum; taxi;
angkutan kota termasuk kendaraan wisata, bus angkutan anak sekolah
dan bus angkutan karyawan; angkutan antar kota; angkutan pedesaan;
dan angkutan air.
6) Tempat kerja, dalam Pasal 8 dinyatakan bahwa, tempat kerja
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf f meliputi: perkantoran
pemerintah baik sipil maupun TNI dan POLRI; perkantoran swasta;
industri; dan bengkel.
7) Tempat umum; dalam Pasal 9 dinyatakan bahwa, tempat umum
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf g meliputi: pasar modern;
pasar tradisional; tempat wisata; tempat hiburan; hotel; restoran; tempat
rekreasi; halte; terminal angkutan umum; terminal angkutan barang;
pelabuhan; dan bandara.
Berdasarkan ketentuan Pasal 2 tersebut diatas, sudah secara jelas mengatur
mengenai area/tempat yang termasuk sebagai kawasan tanpa rokok, tidak terkecuali
tempat wisata dan penunjang pariwisata lainnya seperti tempat hiburan, hotel,
restoran, dan tempat rekreasi. Terhadap hal tersebut di dalam ketentuan Pasal 11
ayat (1) menyatakan bahwa “pengelola, pimpinan dan/atau penanggung jawab
tempat kerja dan tempat umum dapat menyediakan tempat khusus merokok”, dan
di dalam ketentuan ayat (2) menyatakan bahwa “tempat khusus merokok
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan: a. merupakan
ruang terbuka atau ruang yang berhubungan langsung dengan udara luar sehingga
udara dapat bersirkulasi dengan baik; b. terpisah dari gedung/tempat/ruang utama
dan ruang lain yang digunakan untuk beraktifitas; c. jauh dari pintu masuk dan
keluar; dan d. jauh dari tempat orang berlalu-lalang”. Terkait hal tersebut, dalam
Pasal 12 menyatakan bahwa setiap pengelola, pimpinan dan/atau penanggung
jawab KTR wajib untuk:
a. Melakukan pengawasan internal pada tempat dan/atau lokasi yang
menjadi tanggung jawabnya;
b. melarang semua orang untuk tidak merokok di KTR yang menjadi
tanggung jawabnya;
c. menyingkirkan asbak atau sejenisnya pada tempat dan/atau lokasi yang
menjadi tanggung jawabnya; dan
d. memasang tanda-tanda dan pengumuman dilarang merokok sesuai
persyaratan di semua pintu masuk utama dan di tempat-tempat yang
dipandang perlu dan mudah terbaca dan/atau didengar baik.
Adapun dalam ketentuan Pasal 13 ayat (1) Perda Provinsi Bali tentang KTR
dinyatakan bahwa setiap orang dilarang merokok di KTR, dan dalam ayat (2) bahwa
setiap orang/badan dilarang mempromosikan, mengiklankan, menjual, dan/atau
membeli rokok di KTR. Disamping itu pengelola yang melanggar ketentuan Pasal
12 tersebut maka akan dijatuhi sanksi sebagaimana yang termuat dalam ketentuan
Pasal 18 yang menyatakan bahwa, setiap orang dan/atau badan yang melanggar
ketentuan Pasal 12 dan Pasal 13 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 3
(tiga) bulan atau denda paling banyak Rp.50.000,00 (lima puluh ribu rupiah).
Mengenai pemberian sanksi denda bagi pengelola tempat umum misalnya restoran,
sanksi yang diatur adalah hanya sebesar Rp.50.000,00 (lima puluh ribu rupiah),
sedangkan setiap individu yang pelanggar juga dijatuhi sanksi pidana denda yang
sama. Hal tersebut menjadi tidak sesuai oleh karena pengelola memiliki peran yang
lebih besar dalam menyediakan ruang bagi terjadinya pelanggaran, serta memiliki
kewajiban yang berbeda pula, karena seakan pengelola menjalankan usahanya
tersebut hanya mementingkan keuntungan pribadi tanpa turut peduli akan hak asasi
manusia perokok pasif yang terpaksa harus turut terkena dampak negatif dari
paparan asap rokok.
Disamping itu terhadap prosedur pemberian sanksi bagi pengelola yang tidak
memenuhi kewajiban sebagaimana Pasal 12, tidak diatur secara jelas dalam
ketentuan pasal lainnya dalam Perda tersebut, dan hanya merujuk pada ketentuan
sanksi pidana denda atau kurungan. Padahal jika dikaitkan dengan kegiatan usaha
yang mengutamakan laba/keuntungan, dengan dijatuhi pidana denda yang begitu
rendah tersebut, maka tidak samasekali mampu memberikan efek jera. Oleh sebab
itu, maka terhadap pengelola perlu diberikan ancaman sanksi yang berbeda dengan
individu pelanggar, baik berupa ancaman sanksi administratif pencabutan izin
usaha, sanksi denda yang lebih besar, maupun sanksi paksa badan yang
mengharuskan pengelola usaha untuk melakukan kegiatan sosial.
Dalam ketentuan Pasal 15 ayat (1) Perda Provinsi Bali tentang KTR
menyatakan bahwa “Gubernur berwenang melakukan pembinaan dan pengawasan
sebagai upaya untuk mewujudkan KTR di daerah”. Dalam ayat (2) dinyatakan
bahwa “pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. sosialisasi dan koordinasi; b. pemberian pedoman; c. konsultasi; dan d.
monitoring dan evaluasi. Berdasarkan hal tersebut secara jelas diatur mengenai
pencegahan salah satunya melalui sosialisasi”.
Berdasarkan ketentuan tersebut, maka Perda Provinsi Bali tentang KTR
hanya sebatas mengatur tanpa mewajibkan Pemerintah Daerah beserta Dinas terkait
untuk melakukan upaya pencegahan, sehingga jarang kita jumpai sosialisasi-
sosialisasi tehadap kebijakan KTR tersebut. Padahal jika mengacu pada pandangan
Andi Hamzah tentang penegakan hukum yang baik, maka sebelum dilakukannya
tindakan represif maka perlu terlebih dahulu mengoptimalkan peran dari instrumen
pencegahan, sehingga suatu kebijakan akan dikenal oleh masyarakat dan dapat
diterapkan secara efektif di lapangan.
3.1.3 Interpretasi Komparatif/Perbandingan terkait Kewenangan dan Sanksi dalam
penegakan Perda Provinsi Bali tentang KTR
Istilah comparative itu sendiri memberikan sifat kepada hukum yang
dibandingkan. Maka dengan demikian, istilah perbandingan hukum lebih menitik
beratkan kepada membandingan antara satu aturan hukum suatu negara tertentu
dengan aturan hukum negara lain, dimana merupakan aturan hukum yang mengatur
suatu hal yang sama. Terkait dengan masalah substansi Perda Provinsi Bali tentang
KTR yang masih belum mampu diterapkan dengan baik akibat keberlakuan sanksi
hukum yang lemah (belum mampu memberikan efek jera), maka berdasarkan
perbandingan hukum yang dilakukan terhadap pengaturan tentang KTR di DKI
Jakarta dan Surabaya, dimana kedua aturan tersebut masing-masing dapat berlaku
cukup efektif di lapangan. Hal tersebut tidak terlepas dari ketetuan yang mengatur
mengenai penegakan hukum telah diatur dengan jelas, serta pengaturan mengenai
sanksi bagi yang melanggar kebijakan KTR tersebut, mampu memberikan efek jera.
Mengkaji mengenai sanksi adapun daerah di luar Bali yang telah menerapkan
kebijakan KTR salah satunya adalah Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Adapun
Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta menerapkan sanksi
administratif bagi pimpinan/penanggungjawab tempat yang ditetapkan sebagai
KTR. Dalam ketentuan Pasal 3 Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta No. 75
Tahun 2005 Tentang Kawasan Larangan Merokok dinyatakan bahwa “Sasaran
kawasan dilarang merokok adalah tempat umum, tempat kerja, tempat proses
belajar mengajar, tempat pelayanan kesehatan, arena kegiatan anak-anak, tempat
ibadah, dan angkutan umum”, terkait pelanggaran sebagaimana yang diatur dalam
ketentuan Pasal 27 ayat (1), dinyatakan bahwa:
Pimpinan dan/atau penanggung jawab tempat yang ditetapkan sebagai
kawasan dilarang merokok, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, apabila
terbukti membiarkan orang merokok di kawasan dilarang merokok, dapat
dikenakan sanksi administrasi berupa:
a. peringatan tertulis;
b. penghentian sementara kegiatan atau usaha;
c. pencabutan izin.
Sejalan dengan itu Pemerintah Kota Surabaya yang juga menerapkan
kebijakan KTR melalui Peraturan Daerah Kota Surabaya No. 5 Tahun 2008
Tentang Kawasan Tanpa Rokok dan Kawasan Terbatas Merokok, memberikan
pengaturan mengenai sanksi dalam ketentuan Pasal 9 ayat (1) yang dinyatakan
bahwa “Pimpinan atau penanggung jawab Kawasan Tanpa Rokok atau Kawasan
Terbatas Merokok apabila terbukti membiarkan orang merokok di kawasan
dilarang merokok dapat dikenakan sanksi berupa: peringatan tertulis; penghentian
sementara kegiatan; pencabutan izin; dan/atau denda paling banyak Rp.
50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah)”.
Dalam proses penegakan hukumnya terkait kebijakan KTR, Pemerintah DKI
Jakarta mengatur sejara jelas mengenai kewenangan dan prosedur penegakan
hukum ketika terjadi pelanggaran di lapangan, yang diatur dalam Peraturan Daerah
Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 2 Tahun 2005 Tentng
Pengendalian Pencemaran Udara. Di dalam ketentuan Pasal 40 ayat (1), dinyatakan
bahwa “Selain Pejabat Penyidik POLRI yang bertugas menyidik tindak pidana,
penyidik tindak pidana sebagai dimaksud dalam Peraturan Daerah ini dapat
dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) di lingkungan Pemerintah
Daerah yang pengangkatannya ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku”. Selanjutanya dalam ketentuan Pasal 40 ayat (2),
dinyatakan bahwa “Dalam melaksanakan tugas penyidikan para Pejabat Penyidik
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berwenang:
a. menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak
pidana;
b. melakukan tindakan pertama pada saat itu di tempat kejadian dan
melakukan pemeriksaan;
c. menyuruh berhenti seseorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal
diri tersangka;
d. melakukan penyitaan beda dan/atau surat;
e. mengambil sidik jari dan memotret seseorang;
f. memanggil seseorang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka
atau saksi;
g. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan
pemeriksaan perkara;
h. mengadakan penghentian penyidikan setelah mendapat petunjuk bahwa
tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut bukan merupakan
tindak pidana dan selanjutnya memberitahukan hal tersebut kepada
Penuntut Umum, tersangka atau keluarganya;
i. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang dapat
dipertanggungjawabkan.
Terkait kewenangan yang diberikan kepada Penyidik sebagaimana tersebut
diatas, maka di dalam ketentuan 40 ayat (4), dinyatakan bahwa “Penyidik membuat
berita acara setiap tindakan tentang:
a. pemeriksaan tersangka;
b. pemasukan rumah;
c. penyitaan benda;
d. pemeriksaan surat;
e. pemeriksaan saksi;
f. pemeriksaan di tempat kejadian; dan
g. mengirimkan berkasnya kepada Penuntut Umum melalui Penyidik
POLRI.
Terkait kebijakan KTR, Perda KTR Surabaya juga telah secara jelas
mengatur mengenai kewenangan dan prosedur penegakan hukum ketika terjadi
pelanggaran di lapangan. Dalam ketentuan Pasal 10 ayat (1), dinyatakan bahwa
“Penyidikan terhadap tindak pidana pelanggaran Peraturan Daerah ini dilakukan
oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil Daerah”. Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 10
ayat (2), dinyatakan bahwa “Penyidik dalam melaksanakan tugas sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) mempunyai wewenang:
a. menerima laporan atau pengaduan dari seseorang mengenai adanya
tindak pidana atas pelanggaran Peraturan Daerah;
b. melakukan tindakan pertama dan pemeriksaan di tempat kejadian;
c. menyuruh berhenti seseorang dan memeriksa tanda pengenal diri
tersangka;
d. melakukan penyitaan benda atau surat;
e. mengambil sidik jari dan memotret seseorang;
f. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau
saksi;
g. mendatangkan ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan
pemeriksaan perkara;
h. mengadakan penghentian penyidikan setelah mendapat petunjuk dari
penyidik POLRI bahwa tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut
bukan merupakan tindak pidana dan selanjutnya melalui penyidik
memberitahukan hal tersebut kepada penuntut umum, tersangka atau
keluarganya;
i. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang dapat
dipertanggungjawabkan.
Terkait kewenangan yang diberikan kepada Penyidik sebagaimana tersebut
diatas, maka di dalam ketentuan Pasal 10 ayat (4), dinyatakan bahwa, “Penyidik
Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1), membuat berita acara
setiap tindakan dalam hal:
a. pemeriksaan tersangka;
b. memasuki tempat tertutup;
c. penyitaan barang;
d. pemeriksaan saksi;
e. pemeriksaan di tempat kejadian;
f. pengambilan sidik jari dan pemotretan.
Berdasarkan ketentuan yang mengatur mengenai kewenangan dan prosedur
penegakan sebagaimana yang termuat dalam kebijakan KTR di Jakarta dan
Surabaya, maka dapat dilihat bahwa penegakan hukum terkait kebijakan KTR
ketika terjadi pelanggaran di lapangan telah diatur secara jelas sehingga mampu
memberikan kepastian dalam hal penegakan. Disamping itu terkait sanksi, baik
Jakarta dan Surabaya telah memuat ketentuan sanksi yang besar, sehingga mampu
memberikan efek jera bagi pelanggar, serta rumusan mengenai sanksi administratif
bagi pengelola tempat yang telah ditetapkan sebagai KTR. Adapun perbandingan
terkait kewenangan dan sanksi dapat dilihat dalam tabel sebagai berikut:
Tabel 2. Perbandingan Pengaturan KTR
Substansi
Perda Provinsi Bali No.
10 Tahun 2011 Tentang
Kawasan Tanpa Rokok
Perda Kota Surabaya
No. 5 Tahun 2008
Tentang Kawasan
Tanpa Rokok Dan
Kawasan Terbatas
Merokok
Peraturan Gubernur
Provinsi Daerah
Khusus Ibukota
Jakarta No. 75 Tahun
2005 Tentang
Kawasan Larangan
Merokok
Sanksi
a. Bagi Individu: Sanksi
pidana kurungan kaling
lama 3 Bulan atau denda
paling Banyak Rp. 50.000
(lima puluh ribu rupiah)
b. Bagi Pengelola: Sanksi
pidana kurungan paling
lama 3 Bulan atau denda
paling banyak Rp. 50.000 (lima puluh ribu rupiah)
c. Bagi yang menjual
produk rokok: Sanksi
pidana kurungan paling
lama 3 Bulan atau denda
paling banyak Rp. 50.000
(lima puluh ribu rupiah)
a. Bagi Individu: Sanksi
pidana kurungan paling
lama 3 Bulan atau denda
paling banyak Rp.
50.000.000 (lima puluh
juta rupiah)
b. Bagi Pengelola:
Sanksi administratif
berupa peringatan tertulis; penghentian
sementara kegiatan;
pencabutan izin;
dan/atau denda Paling
Banyak Rp. 50.000.000
(lima puluh juta rupiah)
c. Bagi yang menjual
produk rokok: Sanksi
pidana kurungan paling
lama 3 Bulan atau denda paling banyak Rp.
50.000.000 (lima puluh
juta rupiah)
a. Bagi Individu: Sanksi
pidana kurungan paling
lama 6 Bulan atau
denda paling banyak
Rp. 50.000.000 (lima
puluh juta rupiah)
b. Bagi Pengelola:
Sanksi administratif
berupa peringatan tertulis; penghentian
sementara kegiatan atau
usaha; pencabutan izin.
c. Bagi yang menjual
produk rokok: Sanksi
pidana kurungan paling
lama 6 Bulan atau
denda paling banyak
Rp. 50.000.000 (lima
puluh juta rupiah)
Badan
Penegakan
Dilaksanakan oleh Pejabat
Penyidik Pegawai Negeri
Sipil
Dilaksanakan oleh
Pejabat Penyidik
Pegawai Negeri Sipil
Dilaksanakan oleh
Pejabat Penyidik
Pegawai Negeri Sipil
Sumber: Diolah Sendiri
3.1.4 Interpretasi Sosiologis/Teleologis terkait Kewenangan dan Sanksi dalam
penegakan Perda Provinsi Bali tentang KTR
Interpretasi ini identik dengan tujuan kemasyarakatan, maka disebut juga
dengan interpretasi sosiologis. Di sisi lain I Dewa Gede Atmadja menjelaskan
bahwa Teleologis merupakan metode yang mengkaji perihal ajaran atau teori tujuan
hukum, dengan kata lain teleologi hukum merujuk pada hal yang ideal yakni
mengarah kepada sesuatu yang hendak dicapai.89 Metode ini digunakan, apabila
pemaknaan hukum ditafsirkan sesuai dengan tujuan dari pembuatan aturan hukum
tersebut dan apa yang hendak dicapai dalam masyarakat. Dengan kata lain dapat
juga dimaknai bahwa interpretasi ini terjadi apabila makna suatu undang-undang
ditetapkan berdasarkan tujuan kemasyarakatan, peraturan perundang-undangan
disesuaikan dengan hubungan dan situasi sosial yang baru. Ketentuan undang-
undang yang masih berlaku namun tidak sesuai lagi dengan realitas
kemasyarakatan, jika diterapkan pada peristiwa hukum konkrit, maka undang-
undang tersebut harus ditafsirkan ulang. Terkait dengan Perda Provinsi Bali tentang
KTR yang belum mampu memberikan jaminan akan kepastian penegakan hukum,
maka perlu dilakukan penafsiran terhadap Perda tersebut.
Secara sosiologis Perda Provinsi Bali tentang KTR tersebut dibuat untuk
melindungi masyarakat dari ancaman penyakit yang dihasilkan dari paparan asap
rokok, dan tujuan yang hendak dicapai adalah agar masyarakat mampu memperoleh
derajat kesehatan yang optimal sehingga menganggap perlu adanya kebijakan
mengenai kawasan tanpa rokok. Namun jika dikaitkan dengan dinamika sosial
masyarakat maka dapat dilihat bahwa masih banyak terjadi pelanggaran di
lapangan.90 Seiring dengan perkembangan jaman dan meningkatnya produktivitas
ekonomi suatu individu, maka semakin tinggi pula tingkat konsumsi masyarakat
89I Dewa Gede Atmadja, 2013, Filsafat Hukum: Dimensi, Tematis & Historis, Setara Press,
Malang, h. 36. 90URL: http://news.okezone.com/read/2013/07/16/340/837566/ setahun- diberlakukan-
perda- ktr- di- bali- belum- efektif. Diakses Pada Tanggal 20 Desember 2014.
terhadap rokok dan produk olahan tembakau lainnya. Oleh karena itu denda yang
termuat dalam ketentuan Pasal 18 Perda Provinsi Bali tentang KTR terhadap
pelanggaran masih merupakan batasan terendah ketentuan sanksi denda jika
dikaitkan dengan Pasal 15 ayat (2) UU No. 12 tahun 2011, belum mampu
memberikan efek jera dan dengan kata lain Perda tersebut masih berlaku lemah di
dalam masyarakat.
Pengaturan mengenai kewenangan penegakan hukum dalam hal prosedur
penegakan Perda Provinsi Bali tentang KTR, masih belum mampu memberikan
kepastian dalam hal penegakan di lapangan akibat adanya kekaburan norma hukum.
Terkait hal tersebut salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam proses penegakan
hukum di masyarakat menurut Soedikno Mertokusumo adalah kepastian hukum.91
Adapun kepastian hukum yang dimaksud adalah suatu aturan hukum yang di
dalamnya tidak mengandung kekaburan norma, kekosongan norma, maupun
konflik norma, sehingga mampu memberikan kepastian pula bagi masyarakat
dalam melaksanakan aturan hukum yang berlaku. Untuk mewujudkan ketertiban
dan keadilan, maka hukum memiliki tugas untuk menciptakan keteraturan dan
kepastian hukum, tidak hanya kepastian yang diciptakan oleh hukum itu sendiri,
melainkan juga kepastian di dalam substansi hukumnya.92
Bali yang bergerak dalam sektor pariwisata harus mampu melindungi
pariwisatanya melalui kebijakan-kebijakan. Jika ditinjau dari prinsip
penyelenggaraan pariwisata di Indonesia yang berdasarkan atas menjunjung tinggi
91E. Fernando M. Manullang, 2007, Menggapai Hukum Berkeadilan: Tinjauan Hukum
Kodrat dan Antinomi Nilai, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, h. 92. 92Soediman Kartohadiprodjo, 2010, Pancasila Sebagai Pandangan Hidup Bangsa
Indonesia, Gatra Pustaka, Jakarta, h. 49.
hak asasi manusia, maka Perda Provinsi Bali tentang KTR merupakan kebijakan
yang dikeluarkan oleh Pemerintah Provinsi Bali memiliki hubungan secara
langsung dengan kegiatan pariwisata di Bali. Oleh sebab itu penegakan atas Perda
tersebut haruslah dapat dilaksanakan dengan baik.
3.2 Kewenangan Penegakan Hukum Kawasan Tanpa Rokok
Asas pemerintahan berdasarkan undang-undang, secara historis berasal dari
pemikiran hukum abad ke-19 yang berjalan seiring dengan keberadaan negara
hukum klasik atau negara hukum liberal (de liberale rechtsstaatidee) dan dikuasai
oleh berkembangnya pemikiran hukum legalistic-positivistik, terutama pengaruh
aliran hukum legisme, yang menganggap hukum hanya apa yang tertulis dalam
undang-undang.93 Oleh sebab itu, undang-undang dijadikan sebagai sendi utama
penyelenggaraan kenegaraan dan pemerintahan. Secara normatif, prinsip bahwa
setiap tindakan pemerintah harus berdasarkan peraturan perundang-undangan atau
berdasarkan pada kewenangan ini memang dianut di setiap negara hukum. Sejalan
dengan hal tersebut Rene J.G.H. Seerden berpandangan bahwa “All act of
administrative authorities are subject to the principle of legality, this implies that
no organ of state has any authority unless it has been attributed to it explicitly by a
norm it did not make itself”.94 Disamping itu H.W.R. Wade mengemukkan bahwa
“An element which is essential to the lawful exercise of power is that it should be
exercised by authority upon whom it is conferred, and by no one else”.95
93Ridwan HR, op.cit, h. 95. 94Rene J.G.H. Seerden, 2007, Administrative Law of the European Union, its Member States
and the United States: A Comparative Analysis, Intersentia Antwerpen, Oxford, h. 26. 95H.W.R. Wade, 1977, Administrative Law, Oxford University Press, London, h. 305.
Sumber wewenang bagi pemerintah adalah peraturan perundang-undangan.
Secara teoritis, kewenangan yang bersumber dari peraturan perundang-undangan
tersebut dapat diperoleh melalui tiga cara yaitu atribusi, delegasi, dan mandat. Pada
kewenangan atribusi terjadi pemberian wewenang pemerintah yang baru oleh suatu
ketentuan dalam peraturan perundang-undangan, dengan kata lain di sini dilahirkan
suatu wewenang baru. Sedangkan mandat terjadi ketika organ pemerintahan
mengizinkan kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas namanya. Di dalam
kewenangan mandat tidak terjadi suatu pemberian wewenang baru maupun
pelimpahan wewenang dari Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang satu
kepada yang lain, dengan kata lain tanggung jawab kewenangan atas dasar mandat
masih tetap pada pemberi mandat, tidak beralih kepada penerima mandat. Pada
delegasi terjadi pelimpahan suatu wewenang yang telah ada oleh badan atau jabatan
tata usaha negara yang telah memperoleh wewenang pemerintahan secara atributif
kepada badan atau jabatan tata usaha negara lainnya. Jadi suatu delegasi selalu
didahului oleh adanya suatu atribusi wewenang. Disamping itu delegasi diartikan
sebagai penyerahan wewenang untuk membuat besluit oleh pejabat pemerintahan
kepada pihak lain tersebut. Dengan kata penyerahan, ini berarti adanya perpindahan
tanggung jawab dari yang memberi delegasi (delegans) kepada yang menerima
delegasi (delegetaris). Adapun suatu delegasi harus memenuhi syarat-syarat
tertentu, yang meliputi:96
1) Delegasi harus definitif, artinya delegans tidak dapat lagi menggunakan
sendiri wewenang yang telah dilimpahkan itu;
96H. Salim. HS, op.cit, h. 195.
2) Delegasi harus berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan,
artinya delegasi hanya bisa dimungkinkan jika ada ketentuan untuk itu
dalam peraturan perundang-undangan;
3) Delegasi tidak kepada bawahan, artinya dalam hubungan hierarki
kepegawaian tidak diperkenankan adanya delegasi;
4) Kewajiban memberi keterangan (penjelasan), artinya delegasi
berwewenang untuk meminta penjelasan tentang pelaksanaan wewenang
tersebut;
5) Peraturan kebijakan (beleidsregel) artinya delegasi memberikan instruksi
(petunjuk) tentang penggunaan wewenang tersebut.
Dalam kajian Hukum Administrasi Negara, mengetahui sumber dan cara
memperoleh wewenang organ pemerintahan ini penting, karena berkenaan dengan
pertanggungjawaban hukum (rechtelijke verantwording) dalam penggunaan
wewenang tersebut, seiring dengan salah satu prinsip dalam negara hukum “geen
bevoegdheid zonder verantwoordelijkheid atau there is no authority without
responsibility” (tidak ada kewenangan tanpa pertanggungjawaban).97
Di dalam setiap pemberian kewenangan kepada pejabat pemerintahan
tertentu tersirat pertanggungjawaban dari pejabat yang bersangkutan. Berdasarkan
keterangan tersebut diatas, tampak bahwa wewenang yang diperoleh secara atribusi
itu bersifat asli yang berasal dari peraturan perundang-undangan. Dengan kata lain,
organ pemerintahan memperoleh kewenangan secara langsung dari redaksi pasal
tertentu dalam suatu peraturan perundang-undangan. Dalam hal atribusi, penerima
97Ridwan HR, op.cit, h. 108
wewenang dapat menciptakan wewenang baru atau memperluas wewenang yang
sudah ada dengan tanggung jawab intern dan ekstern pelaksanaan wewenang yang
diatribusikan sepenuhnya berada pada penerima wewenang (atributaris).
Atribusi merupakan merupakan wewenang untuk membuat keputusan
(besluit) yang langsung bersumber kepada undang-undang dalam arti materiil.
Atribusi juga dikatakan sebagai suatu cara normal untuk memperoeh wewenang
pemerintahan. Sehingga tampak jelas bahwa kewenangan yang didapat melalui
atribusi oleh organ pemerintahan adalah kewenangan asli, karena kewenangan itu
diperoleh langsung dari peraturan perundang-undangan.
Penerapan Perda Provisi Bali tentang KTR masih belum dapat ditegakkan
secara baik dengan masih banyak terjadinya pelanggaran terhadap KTR dan peran
serta masyarakat yang belum optimal. Selama ini dalam proses penegakan hukum
dilaksanakan oleh Satpol PP Provinsi Bali yang memperoleh kewenangan
berdasarkan undang-undang (atribusi). Mengacu pada pandangan Friedman bahwa
penegakan hukum ditentukan oleh seberapa efektif aparat penegak hukum mampu
menjalankan prosedur penegakan, dan jika dikaitkan dengan ketentuan penegakan
hukum dalam Perda tersebut, maka substansi Perda Provinsi Bali tentang KTR
belum memberikan kepastian dalam hal kewenangan penegakan hukumnya.
Berdasarkan Pasal 17 ayat (1) Perda Provinsi Bali tentang KTR, menyatakan
bahwa Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Pemerintah Provinsi
berwenang untuk melakukan penyidikan terhadap pelanggaran Peraturan Daerah
ini. Sementara itu dalam ayat (2) menyatakan bahwa, wewenang sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan serta keterangan
tentang pelanggaran ketentuan KTR;
b. melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan
pelanggaran ketentuan KTR;
c. meminta keterangan dan barang bukti dari orang sehubungan dengan
pelanggaran ketentuan KTR;
d. melakukan pemeriksaan atas surat dan/atau dokumen lain tentang
pelanggaran ketentuan KTR;
e. melakukan pemeriksaan atau penyitaan bahan atau barang bukti dalam
pelanggaran ketentuan KTR;
f. meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan
pelanggaran ketentuan KTR; dan
g. menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti yang
membuktikan tentang adanya pelanggaran ketentuan KTR.
Terkait hal tersebut, di dalam ketentuan Pasal 255 Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah (LN No. 244 Tahun 2014-TLN No.
5587), dinyatakan bahwa untuk membantu kepala daerah dalam menegakkan Perda
dan penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat dibentuk
Satuan Polisi Pamong Praja (selanjutnya disebut Satpol PP). Dengan kata lain
bahwa Satpol PP memiliki wewenang berdasarkan undang-undang untuk
melakukan penegakan atas Peraturan Daerah. Terhadap hal tersebut, berdasarkan
Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2010 Tentang Satuan Polisi Pamong Praja (LN
No. 9 Tahun 2010-TLN No. 5094), adapun yang menjadi kewenangan Satuan Polisi
Pamong Praja, sebagaimana dinyatakan dalam ketentuan Pasal 6 adalah meliputi:
a. melakukan tindakan penertiban nonyustisial terhadap warga
masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang melakukan pelanggaran
atas Perda dan/atau peraturan kepala daerah;
b. menindak warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang
mengganggu ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat;
c. fasilitasi dan pemberdayaan kapasitas penyelenggaraan perlindungan
masyarakat;
d. melakukan tindakan penyelidikan terhadap warga masyarakat,
aparatur, atau badan hukum yang diduga melakukan pelanggaran atas
Perda dan/atau peraturan kepala daerah; dan
e. melakukan tindakan administratif terhadap warga masyarakat,
aparatur, atau badan hukum yang melakukan pelanggaran atas Perda
dan/atau peraturan kepala daerah.
Mengacu pada ketentuan di dalam UU No. 23 Tahun 2014 dan PP No. 6
Tahun 2010 mengenai kewenangan, sudah diatur secara jelas bahwa kewenangan
untuk menegakan Perda adalah diberikan kepada Satpol PP, tidak terkecuali Perda
Provinsi Bali tentang KTR, namun di dalam kenyataannya (das sein), Satpol PP
tidak mampu melaksanakan tugas sebagaimana mestinya diakibatkan belum adanya
pemahaman yang baik atas prosedur penegakan ketika terjadi pelanggaran KTR
akibat tidak diaturnya secara jelas mengenai hal tersebut di dalam substansi Perda.
Oleh sebab itu menjadi penting bagi Perda Provinsi Bali tentang KTR untuk
merumuskan secara jelas mengenai kewenangan dan prosedur penegakan di dalam
substansi hukum.
Berdasarkan ketentuan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2013
Tentang Organisasi Dan Tata Kerja Perangkat Daerah, dalam Pasal 140 dinyatakan
bahwa “Susunan Organisasi Satpol PP terdiri dari: a. Sekretariat; b. Bidang; c. Sub
Bagian; d. Seksi; dan e. Kelompok Jabatan Fungsional”. Adapun dalam ketentuan
Pasal 142 ayat (1) dinyatakan bahwa, “Bidang sebagaimana dimaksud dalam Pasal
140 huruf b, terdiri dari: a. Bidang Penegakan Perundang-undangan Daerah; b.
Bidang Ketertiban Umum dan Ketertiban Masyarakat; c. Bidang Sumber Daya
Aparatur; dan d. Bidang Perlindungan Masyarakat. Bidang sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d dipimpin Kepala Bidang, berada
di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Kepala Satuan. Mengenai bidang
penegakan, dalam ketentuan Pasal 143 ayat (1) dinyatakan bahwa “Bidang
Penegakan Perundang-undangan Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 142
ayat (1) huruf a, terdiri dari: a. Seksi Pembinaan, Pengawasan dan Penyuluhan; dan
b. Seksi Penyelidikan dan Penyidikan. Berdasarkan ketentuan sebagaimana tersebut
diatas, maka dalam hal melakukan penegakan atas Perda Provinsi Bali tentang
KTR, maka menjadi tugas bagi Kepala Bidang Penegakan untuk membentuk tim
penegakan di lapangan.
Terkait hal tersebut, mengenai tugas pokok dan fungsi (tupoksi) Satpol PP
diatur di dalam PP No. 6 Tahun 2010 tentang Satuan Polisi Pamong Praja. Di dalam
ketentuan Pasal 4 dinyatakan bahwa “Satpol PP mempunyai tugas menegakkan
Perda dan menyelenggarakan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat serta
perlindungan masyarakat”. Disamping itu dalam ketentuan Pasal 5 dinyatakan
bahwa dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Satpol PP
mempunyai fungsi:
a. penyusunan program dan pelaksanaan penegakan Perda,
penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat serta
perlindungan masyarakat;
b. pelaksanaan kebijakan penegakan Perda dan peraturan kepala daerah;
c. pelaksanaan kebijakan penyelenggaraan ketertiban umum dan
ketenteraman masyarakat di daerah;
d. pelaksanaan kebijakan perlindungan masyarakat;
e. pelaksanaan koordinasi penegakan Perda dan peraturan kepala daerah,
penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat
dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia, Penyidik Pegawai
Negeri Sipil daerah, dan/atau aparatur lainnya;
f. pengawasan terhadap masyarakat, aparatur, atau badan hukum agar
mematuhi dan menaati Perda dan peraturan kepala daerah; dan
g. pelaksanaan tugas lainnya yang diberikan oleh kepala daerah.
Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan pejabat terkait penegakan
kebijakan KTR,98 menyatakan bahwa terhadap pelanggaran atas Kawasan Tanpa
Rokok maka dibentuk tim penegak hukum yang dapat terdiri dari Satpol PP
Provinsi Bali, Penyidik PNS Provinsi Bali, Dinas Kesehatan Provinsi Bali,
POMDAM IX Udayana, Korwas Polda Bali. Mengenai prosedur penegakan di
lapangan bagi pelanggar maka akan langsung ditindak oleh tim penegak, diawali
dari dibuatkannya BAP, penyitaan KTP sebagai barang bukti untuk sidang. Adapun
terkait proses sidang, beliau menambahkan bahwa jika memungkinkan sidang dapat
dilakukan di tempat disesuaikan dengan situasi yang ada, disamping itu juga sidang
ditempat dimaksudkan untuk mempercepat proses persidangan dan juga berupaya
untuk memberikan efek jera bagi pelanggar di lapangan.
Terkait hal tersebut, maka Satpol PP Provinsi Bali bekerja sama dengan
Kejaksaan Negeri dan Pengadilan Negeri. Di sisi lain, proses penegakan tersebut
masih mengalami kendala dikarenakan masih kurangnya jumlah personel (SDM)
untuk menegakan Perda tersebut, terhitung penyidik Satpol PP Provinsi Bali hanya
berjumlah 11 personel. Dalam hal kawasan/tempat yang dapat dilakukan proses
penegakan oleh Satpol PP Provinsi, dinyatakan bahwa adapun tempat-tempat yang
dilakukannya proses penegakan adalah tempat-tempat yang merupakan area yang
ditetapkan sebagai Kawasan Tanpa Rokok berdasarkan Perda Provinsi Bali tentang
KTR, sementara tempat-tempat sebagaimana yang ditetapkan sebagai KTR yang
98Kepala Seksi Penegak Hukum Satuan Polisi Pamong Praja Provinsi Bali, I Ketut Pongres
Language, pada tanggal 10 Desember 2014, Pukul 09.00 waktu setempat, bertempat di Kantor Polisi
Pamong Praja Provinsi Bali yang berlokasi di Jalan D.I. Panjaitan No. 10 Niti Mandala Renon
Denpasar.
berada dalam wilayah hukum Kabupaten/Kota dapat ditegakkan oleh Satpol PP
Kabupaten/Kota.
Kabupaten/Kota yang masih belum memiliki Perda tentang KTR atau masih
dalam tahap sosialisasi maka penegakan dapat dilakukan oleh Satpol PP Provinsi
dengan koordinasi kepada Satpol PP daerah masing-masing. Dengan kata lain,
Satpol PP Provinsi masih bersifat fungsional, sehingga dalam proses penegakan
hukumnya masih belum berjalan secara efektif, oleh sebab itu perlu adanya
kepastian dalam pengaturan mengenai kewenangan penegakan hukum Perda
Provinsi Bali tentang KTR.
3.3 Alternatif Pengaturan Dalam Penegakan Hukum KTR
Dalam penjelasan Pasal 5 UU No. 12 Tahun 2011, bahwa suatu peraturan
perundang-undangan harus berdasarkan atas asas pembentukan peraturan
perundang-undangan yang baik, salah satunya adalah bahwa peraturan perundang-
undangan harus dapat dilaksanakan, serta harus mampu memperhitungkan
efektivitas keberlakuannya di dalam masyarakat, baik secara filosofis, yuridis,
maupun sosiologis. Disamping itu suatu peraturan perundang-undangan harus
mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai, serta mampu menunjukkan
bahwa dibuatnya peraturan tersebut atas dasar dapat bermanfaat bagi masyarakat
dalam mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara.
Perda Provinsi Bali tentang KTR belum dapat ditegakkan sebagaimana
mestinya karena belum adanya kepastian dalam hal penegakan hukum terhadap
kawasan tanpa rokok. Jika dibandingkan dengan pengaturan di Jakarta dan
Surabaya, maka di Bali sendiri masih banyak terjadi pelanggaran, bahkan meski
masyarakat telah mengetahui adanya aturan mengenai KTR mereka tetap saja
melakukan pelanggaran karena ketika mereka melakukan pelanggaran tersebut
tidak adanya petugas yang melakukan tindakan represif, selama ini proses
penegakan hanya sebatas tindakan inspeksi mendadak (sidak) saja, sehingga proses
penegakan masih belum efektif, bahkan ancaman sanksi pidana denda tergolong
masih sangat rendah sehingga masyarakat (perokok aktif) tidak khawatir untuk
merokok di kawasan yang telah ditetapkan sebagai KTR.
Sejalan dengan itu berdasarkan ketentuan Pasal 6 ayat (2) Peraturan Bersama
Menteri Kesehatan dan Menteri Dalam Negeri No. 7 Tahun 2011, dinyatakan
bahwa di dalam Perda Provinsi tentang KTR harus mengenai: pengaturan tentang
KTR; peran serta masyarakat; pembentukan satuan tugas khusus penegak KTR;
larangan dan kewajiban; serta sanksi. Oleh sebab itu untuk menjamin adanya
kepastian penegakan hukum Perda tersebut, maka perlu adanya perumusan yang
jelas dalam Perda untuk membentuk satuan tugas khusus penegak KTR. Jika peran
penegakan Perda hanya dibebankan kepada Satpol PP semata, maka penegakan
hukum di lapangan akan terus mengalami permasalahan akibat begitu banyaknya
aturan Perda yang harus ditegakkan oleh Satpol PP dan masih kurangnya SDM
terkait hal tersebut.
Berdasarkan hal tersebut diatas, menurut Ketut Pongres selaku Kepala Seksi
Penegakan Hukum Satpol PP Provinsi Bali,99 penerapan Perda Provinsi Bali
tentang KTR masih belum dapat berjalan dengan efektif, selain kurangnya SDM
99Kepala Seksi Penegak Hukum Satuan Polisi Pamong Praja Provinsi Bali, I Ketut Pongres
Language, pada tanggal 10 Desember 2014, Pukul 09.00 waktu setempat, bertempat di Kantor Polisi
Pamong Praja Provinsi Bali yang berlokasi di Jalan D.I. Panjaitan No. 10 Niti Mandala Renon
Denpasar.
dalam penegakan, juga pemahaman masyarakat maupun pengelola tempat akan
kesadaran untuk mematuhi aturan hukum masih cukup rendah sehingga peluang
untuk terjadinya pelanggaran atas Perda tersebut masih cukup tinggi. Beliau turut
menambahkan terkait substansi Perda, bahwa ketentuan sanksi masih sangat rendah
sehingga masih belum mampu memberikan efek jera.
Dalam kaitannya terhadap proses sidang ditempat, yang dianggap akan
mampu memberikan efek jera bagi pelanggar, namun dalam kenyataannya hal
tersebut masih mengalami kendala, dikarenakan menurut pengalaman beliau bahwa
perlu koordinasi yang panjang untuk meminta pihak terkait dari Pengadilan Negeri
dan Kejaksaan Negeri dalam hal sidang ditempat. Oleh sebab itu beliau
berpandangan bahwa perlu pengaturan mengenai satuan tugas khusus dalam
substansi Perda Provinsi Bali tentang KTR sehingga proses penegakan akan lebih
efektif.
Berdasarkan perbandingan pengaturan terkait kebijakan KTR di Jakarta dan
Surabaya, maka terlihat bahwa perlu dilakukan perubahan pada Perda Provinsi Bali
tentang KTR. Terkait hal tersebut, perubahan khususnya yang mengatur mengenai
kewenangan penegakan hukum dan sanksi bagi pelanggaran Perda tersebut perlu
dilakukan, agar nantinya mampu memberikan kepastian hukum di masyarakat.
Lon Fuller memandang bahwa hukum merupakan suatu keterampilan dan
seni, yang dimaksud dengan ketrampilan dan seni di sini adalah ketrampilan
membuat undang-undang. Ketrampilan membentuk undang-undang merupakan
kewajiban moral (moral duty) dengan memperhatikan aspirasi moral (moral
aspiration). Dengan demikian setiap sistem hukum selalu terikat pada prinsip-
prinsip moral yang disebut dengan inner morality.100 Prinsip moral inilah menurut
Fuller, menjadi prima facie peletakan kewajiban setiap warga negara untuk
menghormati hukum.
Berdasarkan inner morality sebagaimana pandangan Lon Fuller diatas, suatu
aturan haruslah memperhatikan delapan (8) kriteria agar tidak menghasilkan
peraturan perundang-undangan yang gagal (eight ways to fail to make law).101
Adapun alternatif kebijakan KTR yang baik di Bali jika dikaitkan terhadap kriteria
tersebut meliputi:
1) Failure to establish rules at all, leading to absolute uncertainty, yaitu
peraturan harus bersifat umum, dimana peraturan harus tidak memuat suatu
keistimewaan atau kekhususan seseorang. Terkait kebijakan KTR di Bali,
maka perubahan atas Perda tersebut harus memuat kepentingan bagi
masyarakat luas, tidak hanya bagi masyarakat termasuk wisatawan yang
tergolong sebagai perokok pasif tetapi juga bagi perokok aktif, melalui
perumusan kebijakan untuk membuat ruangan khusus bagi perokok di
berbagai tempat tertentu. Hal tersebut menjadikan penerapan kebijakan KTR
dapat lebih efektif, oleh sebab itu perlu adanya rumusan dalam substansi
Perda tersebut untuk menekankan kepada Pemerintah Daerah, agar
membangun sarana atau fasilitas publik berupa ruangan khusus merokok,
khususnya di area yang ditetapkan sebagai kawasan tanpa rokok.
100Dewa Gede Atmadja, op.cit, h. 129. 101Hilaire McCoubrey.,et.al, 1996, Jurisprudence, Blackstone Press Limited, London, h.
89.
2) Failure to make rules public to those required to observe them, yaitu suatu
peraturan harus diumumkan atau diundangkan, karena hal tersebut
merupakan syarat mengikatnya suatu peraturan. Masih banyaknya
pelanggaran yang terjadi di lapangan salah satunya disebabkan pula oleh
ketidaktahuan masyarakat maupun wisatawan akan kebijakan KTR di Bali.
Oleh karena itu, perlu adanya berbagai kegiatan pencegahan yang dapat
berupa sosialisasi dimasyarakat, dan pendidikan sejak dini akan bahaya
rokok, serta menambah iklan/himbauan berupa poster, spanduk maupun
tanda larangan merokok (no smoking signs) di berbagai tempat. Dengan kata
lain, peran dari pengelola tempat tertentu sangatlah penting untuk mencegah
terjadinya pelanggaran terhadap aturan tersebut, dengan mewajibkan
pengelola tempat untuk memasang tanda larangan merokok yang jelas.
Terhadap pengelola yang tidak memasang tanda larangan merokok dapat
diberikan sanksi.
3) Improper use of retroactive lawmaking, yaitu suatu peraturan tidak boleh
berlaku surut, suatu peraturan tidak boleh bersifat mengatur prilaku
seseorang ke belakang (non-retroactive);
4) Failure to make comprehensible rules, yaitu peraturan harus jelas dan mudah
dimengerti serta tidak multi tafsir, karena akan menjadi pegangan bagi
pencari keadilan (justifiabel). Perubahan atas substansi Perda Provinsi Bali
tentang KTR nantinya harus memuat ketentuan yang tidak mengandung
kekaburan, konflik maupun kekosongan norma hukum, untuk menjamin
kepastian penegakan hukum di lapangan. Dengan munculnya aturan hukum
yang memuat kekaburan norma tentunya juga akan berdampak pada
rendahnya daya kerja hukum bagi perubahan masyarakat, sebagaimana
dikemukakan oleh Jay A. Sigler,102 bahwa kebanyakan hukum hanya
memiliki sedikit pengaruh atas perubahan masyarakat akibat tidak jelasnya
pelaksanaan dan sulitnya penerapan dari hukum itu sendiri. Oleh sebab itu,
perumusan mengenai ketentuan kewenangan dan prosedur penegakan
hukum haruslah dirumuskan secara jelas dalam substansi hukum Perda
tersebut.
5) Making rules which contradict each other, yaitu suatu peraturan tidak boleh
bertentangan, karena itu tidak boleh memerintahkan sesuatu dan pada saat
yang bersamaan melarang pula hal yang sama. Agar perubahan Perda
Provinsi Bali tentang KTR tersebut tidak mengalami tumpang tindih dengan
peraturan lainnya khususnya dalam hal kewenangan penegakan hukum,
maka pengaturan substansi yang jelas terhadap hal tersebut harus dilakukan
mengingat sebagai Autonome Satzung, Peraturan Daerah harus mampu
menjadi lex specialis yang dapat ditegakkan secara konkrit di lapangan.
Kewenangan penegakan hukum terhadap Perda Provinsi Bali tentang KTR
seharusnya tidak hanya dibebankan kepada Satpol PP saja, melainkan perlu
dibentuk satuan tugas khusus KTR yang berwewenang melakukan tindakan
di lapangan, serta mengoptimalkan peran dari Dinas Kesehatan dan Dinas
Pariwisata di Daerah Provinsi Bali.
102Jay A.Sigler, 1977, The Legal Sources of Public Policy, Lexington Books, D.C Heath and
Company Lexington, Massaehusetts, Toronto, h. 7.
6) Making rules which impose requirements with which compliance is
impossible, yaitu suatu peraturan tidak boleh memuat persyaratan yang tidak
mungkin dipenuhi, karena peraturan meletakan kewajiban dan penilaian
moral yang manusiawi.
7) Changing rules so frequently that the required conduct becomes wholly
unclear, yaitu suatu peraturan tidak boleh terlalu sering diubah atau direvisi,
hal tersebut dikarenakan subyek hukum akan kesulitan menyesuaikan
tindakannya. Oleh sebab itu, perumusan substansi hukum nantinya harus
lebih menjamin kepastian hukum agar tidak berpeluang untuk terjadinya
perubahan terhadap aturan hukum KTR, namun apabila perubahan dianggap
perlu, maka sosialisasi adalah tindakan yang wajib dilakukan oleh
pemerintah agar masyarakat memahami bahwa perubahan atas aturan hukum
tersebut bertujuan untuk memberikan manfaat bagi masyarakat.
8) Discontinuity between the stated content of rules and their administration in
practice, yaitu suatu peraturan berlaku baik bagi pencari keadilan
(justifiable) maupun pemerintah (administration/official), karena peraturan
haruslah tidak memuat unsur diskriminatif dan harus bersifat adil.
Moral merupakan dasar dari otoritas hukum, karena jika otoritas hukum atau
kekuasaan negara hanya didasari paksaan atau undang-undang yang dogmatis saja,
maka hukum yang demikian akan sulit untuk bertahan di masyarakat. Dalam hal
ini, agar lebih dipatuhi oleh masyarakat, dan agar kekuasaan dari otoritas tersebut
dapat bertahan lama, maka hukum dapat bersandarkan juga kepada unsur moral.103
103Munir Fuady, Op.cit, h. 84.
Disamping itu, ketika ada penafsiran hukum, maka moral adalah salah satu sumber
yang dapat digunakan. Munir Fuady berpandangan bahwa adanya hubungan
fungsional antara moral dan hukum yaitu:104
1. Moral diperlukan ketika hukum menjadi sempit dan kaku.
2. Moral merupakan dasar dari otoritas hukum.
3. Moral menyediakan kaidahnya dalam penciptaan hukum.
4. Moral mengisi kekosongan hukum dan membantu penafsiran hukum.
5. Moral mengarahkan hukum ketika hukum mengalami kontradiksi
internal, dogmatisme, dan irasionalitas.
6. Pemenuhan unsur moral merupakan kriteria bagi suatu kaidah hukum
yang baik.
Agar fungsi hukum dapat terlaksana dengan baik, maka bagi para penegak
hukum dituntut kemampuannya untuk melaksanakan dan menerapkan hukum
dengan baik, dengan seni yang dimiliki masing-masing petugas, misalnya dengan
melakukan penafsiran hukum sesuai dengan nilai keadilan.105 UU No. 12 Tahun
2011 dalam ketentuan Pasal 15 ayat (2) telah memberikan legitimasi untuk
dilakukannya perubahan atas rumusan sanksi bagi Perda Provinsi Bali tentang
KTR, agar mampu memberikan efek jera. Dengan kata lain dalam pembentukan
peraturan perundang-undangan harus benar-benar memerhatikan materi muatan
yang tepat sesuai dengan hierarki peraturan perundang-undangan. Menurut Hans
Kelsen, hukum tidak lain merupakan norma utama yang mengandung sanksi di
104Ibid. 105R. Soeroso, 2013, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, h. 55.
dalamnya. Law is the primary norm which stipulates the sanction.106 Sanksi-sanksi
merupakan bagian penutup yang penting di dalam hukum, oleh karena kewajiban
atau larangan yang termuat di dalam suatu peraturan perundang-undangan tidak
akan berguna jika aturan mengenai tingkah laku itu tidak dapat dipaksakan.107
Pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan menuntut untuk terciptanya suasana
tertib, termasuk tertib hukum. Pembangunan negara merupakan bagian mendasar
dari pelaksanaan tugas pemerintahan karena hal tersebut tidak terlepas dari upaya
pemberian pelayanan pada warga. Di dalam rangka mewujudkan suasana tertib itu,
maka berbagai program dan kebijakan pembangunan negara perlu didukung dan
ditegakkan oleh seperangkat kaidah peraturan perundang-undangan yang memuat
aturan dan pola perilaku tertentu, berupa larangan, kewajiban, dan anjuran. Salah
satu upaya pemaksaan hukum adalah melalui pemberlakuan sanksi pidana terhadap
pelanggar, mengingat sanksi pidana membawa serta akibat hukum yang berpaut
dengan kemerdekaan pribadi, yang dapat meliputi pidana penjara, kurungan, dan
berupa denda dari pelanggar.108
Berbagai ketentuan kaidah peraturan perundang-undangan selalu disertai
dengan pemberlakuan sanksi pidana tersebut, dimana terhadap ketentuan sanksi
pidana tersebut diberlakukan baik terhadap produk hukum berupa Undang-Undang,
maupun peraturan yang memiliki kedudukan lebih rendah, dalam hal ini berupa
Peraturan Daerah.109 Oleh karena itu mengingat pengaturan mengenai kawasan
106H.L.A. Hart, 1997, The Concept of Law, Oxford University Press, New York, h. 35. 107Philipus M. Hadjon.,et.al, 2011, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia: Introduction
to the Indonesian Administrative Law, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, h. 245. 108Ibid, h. 262. 109Ibid, h. 263
tanpa rokok di Bali berupa Perda Provinsi Bali tentang KTR tidak dapat tegak dan
diterapkan sebagaimana mestinya, maka perlu adanya perubahan atas Perda
tersebut yang memuat ketentuan sanksi yang lebih memberikan efek jera. Menurut
Bagir Manan sebagaimana yang dikutip oleh I Gede Pantja Astawa, adapun sistem
hukum setidaknya mencakup 3 (tiga) subsistem penting, yaitu:110
1) Subsistem penciptaan atau pembentukan hukum;
2) Subsistem yang berkaitan dengan isi atau materi hukum, baik berupa
asas-asas hukum maupun kaidah-kaidah hukum;
3) Subsistem penerapan hukum dan penegakan hukum.
Berdasarkan pandangan tersebut diatas, maka perubahan atas Perda Provinsi
Bali tentang KTR selanjutnya harus mengatur secara jelas mengenai kewenangan
penegakan hukum ketika terjadi pelanggaran atas kebijakan KTR. Secara
konsepsional, maka inti dan arti penegakan hukum terletak pada kegiatan
menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah hukum
yang baik.111 Oleh sebab itu, rumusan mengenai kewenangan yang diberikan
kepada Satpol PP maupun nantinya kepada satuan tugas khusus KTR atau organ
pemerintah lainnya, harus secara jelas diatur di dalam substansi Perda tersebut,
karena berdasarkan teori hirarki norma, UU No. 23 Tahun 2014 dan PP No. 6 Tahun
2010 telah memberikan legitimasi terhadap kewenangan penegakan hukum,
sehingga nantinya perubahan atas Perda tersebut tidak menjadi peraturan yang
bertentangan (invalid) dengan peraturan yang berkedudukan diatas.
Asas legalitas merupakan dasar dalam setiap penyelenggaraan kenegaraan
dan pemerintahan. Dengan kata lain, setiap penyelenggaraan kenegaraan dan
110I Gde Pantja Astawa, op.cit, h. 43. 111Soerjono Soekanto, op.cit. h. 5.
pemerintahan harus memiliki legitimasi, yaitu kewenangan yang diberikan oleh
undang-undang. Dengan demikian, substansi asas legalitas adalah wewenang, yakni
“Het vermogen tot het verrichten van bepaalde rechtshandelingen”,112 yaitu
kemampuan untuk melakukan tindakan-tindakan hukum tertentu. Wewenang
merupakan pengertian yang berasal dari hukum organisasi pemerintahan, yang
dapat dijelaskan sebagai keseluruhan aturan-aturan yang berkenaan dengan
perolehan dan penggunaan wewenang pemerintahan oleh subjek hukum publik di
dalam hubungan hukum publik, dan kewenangan pemerintah dalam kaitan ini
dianggap sebagai kemampuan untuk melaksanakan hukum positif, dan dengan
begitu, dapat diciptakan hubungan hukum antara pemerintah dengan warga negara.
112Ridwan HR, op.cit, h. 101.
BAB IV
KEPASTIAN DALAM PENEGAKAN HUKUM KAWASAN TANPA
ROKOK DIKAITKAN DENGAN PENINGKATAN KUALITAS
PARIWISATA BALI
4.1 Profil Pariwisata Bali
Bali adalah nama salah satu provinsi di Indonesia dan juga merupakan nama
pulau yang menjadi bagian dari Provinsi tersebut. Selain terdiri dari Pulau Bali,
wilayah Provinsi Bali juga terdiri dari pulau-pulau yang lebih kecil di sekitarnya,
yaitu Pulau Nusa Penida, Pulau Nusa Lembongan, Pulau Nusa Ceningan dan Pulau
Serangan. Bali terletak di antara Pulau Jawa dan Pulau Lombok.
Denpasar merupakan ibu kota Provinsi Bali yang terletak di bagian selatan pulau
ini. Mayoritas penduduk Bali adalah pemeluk agama Hindu. Di dunia, Bali terkenal
sebagai tujuan pariwisata dengan keunikan berbagai hasil seni-budayanya,
khususnya bagi para wisatawan Jepang danAustralia. Bali juga dikenal dengan
sebutan Pulau Dewata dan Pulau Seribu Pura. Secara administratif Provinsi Bali
terbagi atas 8 Kabupaten dan 1 Kota.
Selain dari sektor pariwisata, penduduk Bali juga hidup dari pertanian dan
perikanan, yang paling dikenal dunia dari pertanian di Bali ialah sistem Subak.
Sebagian juga memilih menjadi seniman. Saat ini, industri pariwisata menjadi objek
pendapatan terbesar bagi Bali. Hasilnya, Bali menjadi salah satu daerah terkaya di
Indonesia. Pada tahun 2003, sekitar 80% perekonomian Bali bergantung pada
industri pariwisata. Pada akhir Juni 2011, non-performing loan dari semua bank di
109
Bali adalah 2,23%, lebih rendah dari rata-rata non-performing loan industri
perbankan Indonesia (sekitar 5%).113
Bali merupakan destinasi yang tidak asing lagi bagi sebagian besar
wisatawan. Bali selalu disanjung sebagai destinasi wisata yang terkenal bahkan
dapat dikatakan tersukses dibandingkan wilayah lainnya di Indonesia. Keindahan
Bali selalu menjadi buah bibir dan kenangan yang eksotis. Bali dengan pantainya
yang indah, penduduknya yang terkenal ramah, dan budayanya yang unik. Semua
itu sudah menjadi daya tarik sejak dahulu kala. Dengan jumlah wisatawan asing
dan domestik yang rata-rata mencapai 1,5 juta orang per-tahunnya, sehingga tidak
berlebihan kalau majalah Time and Travel Leisure menganugerahkan Bali sebagai
pulau wisata terbaik di dunia.114
Bali dan pariwisata adalah dua hal yang saling melekat satu dengan yang
lain. Namun di tengah geliat pariwisata sebagai lokomotif perekonomian Bali, aksi
terorisme yang tidak bertanggung jawab pada tahun 2002 dan 2005 mengakibatkan
merosotnya jumlah wisatawan yang datang ke Bali secara signifikan. Keadaan
tersebut bahkan diperburuk oleh travel warning, travel advisory, hingga travel ban
dari sejumlah negara pemasok wisatawan asing, seperti Amerika Serikat dan
Australia. Hingga saat ini berbagai upaya telah dilakukan pemerintah guna
mengembalikan citra pariwisata Bali. Mengenai upaya mengembalikan citra
pariwisata dapat dilakukan salah satunya melalui branding. Dalam membentuk
sebuah brand yang nantinya diharapkan dapat membawa perubahan kearah yang
113URL: http://id.wikipedia.org/wiki/Bali, Diakses Pada Tanggal 20 Desember 2014. 114I Putu Anom, et.al, 2010, Pariwisata Berkelanjutan Dalam Pusaran Krisis Global,
Udayana University Press, Denpasar, h. 218.
lebih baik bagi Bali, maka salah satu hal yang harus diperhatikan adalah mengenai
personality.115 Perilaku masyarakat dan kepribadian yang baik dari masyarakat Bali
merupakan hal yang penting karena sebuah brand hanyalah kata-kata ketika tidak
didukung oleh budaya masyarakat yang baik.
Adapun personality yang dimaksud meliputi keramah tamahan masyarakat,
jaminan keamanan, serta prilaku masyarakat yang menjaga kebersihan lingkungan
pariwisata (cleanliness). Disamping itu, mengkaji mengenai kepariwisataan yang
berkelanjutan maka salah satu hal yang perlu menjadi perhatian adalah mengenai
kebersihan lingkungan (environment purity), hal tersebut menjadi kewajiban semua
stakeholders untuk melakukan tindakan to minimize the pollution of air, water and
land and the generation of waste by tourism enterprises and visitor.116
4.2 Peningkatan Kualitas Pariwisata Bali Melalui Penegakan KTR
Sejalan dengan kecenderungan perkembangan HAM yang telah menyentuh
generasi ketiga, kegiatan berwisata telah mendapatkan pengakuan sebagai HAM.
Secara implisit pengakuan ini bertitik tolak pada rumusan Artikel 24 UDHR yang
menyatakan bahwa “everyone has the right to rest and leisure, including
reasonable limitation of working hours and periodic holidays with pay”.117
Konstruksi realitas di atas menunjukkan begitu pesatnya perkembangan pariwisata
dunia dan bahkan telah menjadi fenomena global. Pariwisata kini telah menjadi
115I Putu Anom, et.al, Ibid, h. 224 116World Tourism Organization (UNWTO), 2011, Policy and Practice for Global Tourism,
World Tourism Organization, Madrid Spain, h. 40-41. 117IGN Parikesit Widiatedja, 2011, Kebijakan Liberalisasi Pariwisata: Konstruksi Konsep,
Ragam Masalah dan Alternatif Solusi, Udayana University Press, Denpasar, h. 64.
kebutuhan dasar dan merupakan bagian dari HAM yang harus dihormati,
dilindungi, dan dipenuhi.
Secara progresif, pemerintah, pemangku kepentingan, dan masyarakat
berkewajiban untuk dapat mempromosikan dan memenuhi hak berwisata tersebut
sehingga pada gilirannya mendukung tercapainya peningkatan harkat dan martabat
manusia, peningkatan kesejahteraan, serta persahabatan antar bangsa dalam koridor
perdamaian dunia. Oleh sebab itu, sustainable tourism should also maintain a high
level of tourist satisfaction and ensure a meaningful experience to the tourists,
raising their awareness about sustainability issues and promoting sustainable
tourism practices.118 Dengan kata lain, hak atas lingkungan hidup yang baik
merupakan salah satu syarat bagi negara-negara berkembang, untuk terciptanya
suatu tatanan ekonomi dan hukum internasional yang kondusif, dimana hal tersebut
merupakan tuntutan atas hak solidaritas atau hak bersama (kolektif) yang
terpresentasikan dari hak-hak pada generasi HAM ketiga.119 Agar permasalahan
dan kondisi tersebut di atas dapat dikendalikan maka perlu dilakukan upaya
pengamanan terhadap bahaya merokok melalui penetapan Kawasan Tanpa Rokok
dan juga membatasi ruang gerak para perokok
Berbagai kebijakan telah dikeluarkan oleh Pemerintah Provinsi Bali terkait
dengan kepariwisataan, karena melalui suatu kebijakan pula, sektor pariwisata akan
berjalan secara berkelanjutan, sehingga manfaat dari pariwisata tidak hanya akan
dirasakan oleh generasi saat ini melainkan juga generasi yang akan datang. Melalui
118World Tourism Organization (UNWTO), loc.cit. 119IGN Parikesit Widiatedja, op.cit, h. 69.
penegakan hukum KTR, maka faktor meningkatnya kualitas suatu pariwisata akan
terpenuhi. Oleh sebab itu, penting kiranya untuk menegakan aturan hukum yang
berkaitan baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap kepariwisataan di
Bali.
Terkait hal tersebut diatas, selain dikenal sebagai kota industri, Jakarta juga
bergerak pada sektor pariwisata.120 Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah
DKI Jakarta untuk meningkatkan kualitas pariwisata, adalah dengan
memperhatikan faktor keamanan dan kenyamanan bagi wisatawan (physical and
personal comfort) dalam melakukan kegiatan pariwisata. Beberapa upaya yang
dilakukan adalah dengan meletakkan Camera Circuit Television (CCTV) di
berbagai area pariwisata, dan juga menambah jumlah personel dari polisi pariwisata
untuk melakukan pengamanan. Di sisi lain dengan menerapkan kebijakan larangan
merokok di kawasan wisata, salah satunya di dalam bus tingkat wisata city tour, 121
maka pemerintah DKI Jakarta berupaya untuk meningkatkan kualitas dari
pariwisata Jakarta dalam hal kebersihan (cleanliness) khususnya kebersihan udara.
Pemerintah Kota Surabaya telah menerapkan kebijakan KTR sejak tahun
2008, adapun salah satu sasaran kebijakan tersebut adalah tempat wisata. Dari segi
pariwisata, layaknya kota yang sarat akan sejarah, Surabaya memiliki beberapa
obyek wisata yang bisa dikunjungi yang berhubungan dengan sejarah masa lampau.
Ditambah lagi, Surabaya memiliki keanekaragaman kuliner yang selalu dicari oleh
120URL:http://id.wikipedia.org/wiki/ Daftar_ tempat_ wisata_ di_ Jakarta, Diakses Pada
Tanggal 7 Februari 2015. 121URL: http:// tribunnews.com/ metropolitan/ 2014/ 02/ 24/ bus-wisata-beri-pelayanan-
terbaik, Diakses Pada Tanggal 7 Februari 2015.
wisatawan yang datang.122 Saat ini pemerintah Kota Surabaya memberikan
perhatian bagi sektor pariwisata salah satunya dengan mengupayakan rasa nyaman
bagi wisatawan dalam berwisata serta meningkatkan kebersihan di destinasi
pariwisata.123 Terkait hal tersebut maka pemerintah Kota Surabaya telah melakukan
upaya untuk meningkatkan kualitas pariwisata khususnya dari faktor kenyamanan
(physical and personal comfort) dan kebersihan (cleanliness) bagi wisatawan.
Disamping itu, Kota Surabaya merupakan kota pertama yang mempunyai
Peraturan Daerah Kawasan Tanpa Rokok secara eksklusif, yaitu Peraturan Daerah
Kota Surabaya No. 5 Tahun 2008 tentang Kawasan Tanpa Rokok dan Kawasan
Terbatas Merokok. Perda ini membagi 2 kawasan yaitu Kawasan Tanpa Rokok
yang menerapkan 100% Kawasan Tanpa Rokok dan Kawasan Terbatas Merokok
yang menyediakan ruang khusus untuk merokok. Terkait hal tersebut maka salah
satu faktor meningkatnya kualitas pariwisata yaitu faktor Attention to detail telah
dilakukan, dimana faktor tersebut memastikan bahwa setiap wisatawan memiliki
hak yang sama untuk memperoleh standar tertentu dalam kegiatan pariwisata, baik
bagi wisatawan sebagai perokok pasif dengan menerapkan larangan merokok di
area tertentu, dan wisatawan sebagai perokok aktif untuk dibuatkan fasilitas
ruangan khusus merokok. Salah satu tempat wisata populer di Surabaya yang
menerapkan kebijakan KTR secara tegas adalah Kebun Binatang Surabaya.
122URL: http://www.eastjava.com/tourism/surabaya/ina/, Diakses Pada Tanggal 9 Februari
2015. 123URL: http://surabaya.tribunnews.com/ tag/ tempat- wisata, Diakses Pada Tanggal 9
Februari 2015.
Aturan larangan merokok telah diterapkan tidak hanya di Indonesia
melainkan di berbagai negara. Di negara-negara lain yang juga bergerak pada sektor
pariwisata telah menerapkan aturan larangan merokok secara tegas di negaranya
masing-masing. Penelitian independen berulang kali membuktikan bahwa suatu
negara atau wilayah dalam suatu negara tertentu yang menerapkan aturan mengenai
larangan merokok, tidak memberikan efek negatif pada sektor ekonomi, bahkan
mengalami peningkatan di sektor pariwisata dan industri jasa lainnya. Studi yang
dilakukan di California dan San Fransisco bahkan menunjukkan adanya
peningkatan pendapatan di bidang pariwisata setelah menerapkan aturan kawasan
tanpa rokok.124 Menguatkan hal tersebut American Medical Association melakukan
penelitian dari beberapa kota besar di Amerika yang juga berjalan di sektor
pariwisata seperti misalnya New York, Los Angeles, California, dll, mengalami
peningkatan jumlah wisatawan dan pendapatan setelah menerapkan pengaturan
tentang larangan merokok.125
Disamping itu berdasarkan berita yang dimuat oleh New York Times, di
Irlandia terdapat peningkatan yang pesat di bidang pariwisata setelah negara
tersebut menerapkan aturan larangan merokok di kawasan tertentu, seperti di
kawasan pariwisata.126 Study of the effect of the International Smoking Ban on
World Wide Tourism juga dalam penelitiannya memperoleh kesimpulan bahwa
penerapan aturan mengenai larangan merokok tidak berdampak negatif bagi bisnis
124URL: http://www.cleanlungs.com/education/features/tourism2.html, Diakses Pada
Tanggal 11 Agustus 2014. 125URL: http://www.lphi.org/LPHIadmin/uploads/Tourism%20Study-32064.pdf, Diakses
Pada Tanggal 11 Agustus 2014. 126URL: http://www.nytimes.com/2014/06/15/travel/in-ireland-10-years-of-fresh-air.html,
Diakses Pada Tanggal 11 Agustus 2014.
pariwisata, bahkan terjadi peningkatan setelah memberlakukan aturan mengenai
larangan merokok di kawasan tertentu.127
Penetapan Kawasan Tanpa Rokok sebenarnya selama ini telah banyak
diupayakan oleh berbagai pihak baik lembaga/institusi pemerintah maupun swasta
dan masyarakat. Namun pada kenyataannya upaya yang telah dilakukan tersebut
jauh tertinggal dibandingkan dengan penjualan, periklanan/promosi dan atau
penggunaan rokok. Asumsi lain adalah perokok membebankan biaya keuangan dan
risiko fisik kepada orang lain yang berarti bahwa seharusnya perokoklah yang
menanggung semua ”biaya” atau kerugian akibat merokok. Tetapi pada
kenyataannya perokok membebankan secara fisik dan ekonomi kepada orang lain
juga. Beban ini meliputi risiko orang lain yang terkena asap rokok di lingkungan
sekitarnya dan biaya yang dibebankan pada masyarakat untuk pelayanan kesehatan.
4.3 Keterkaitan Antara Kepastian Penegakan Hukum KTR Dengan Upaya
Meningkatkan Kualitas Pariwisata Bali
Pariwisata dewasa ini dianggap sebagai ladang emas baru, karena begitu
besarnya potensi yang dimiliki. Tidak hanya sebagai aktivitas tertier yang bersifat
sampingan, tetapi pariwisata merupakan sebuah industri jasa yang dinilai dari
berbagai faktor produksi seperti: modal, tanah, tenaga kerja, teknologi, manajemen
dan keragaman inovasi, serta menjanjikan keuntungan yang maksimal.
Di dalam konsideran UU No. 10 Tahun 2009, pemerintah menempatkan
pariwisata sebagai bagian integral dari pembangunan nasional yang dilakukan
secara sistematis, terencana dan terpadu, berkelanjutan, dan bertanggung jawab,
127URL: http://www.undpi.am/node/28, Diakses Pada Tanggal 11 Agustus 2014.
dengan tetap memberikan perlindungan terhadap nilai-nilai agama, budaya yang
hidup dalam masyarakat, kelestarian dan mutu lingkungan hidup serta kepentingan
nasional. Undang-undang yang mulai berlaku sejak 16 Januari 2009 tersebut juga
menyatakan bahwa pembangunan kepariwisataan diperlukan untuk mendorong
pemerataan kesempatan berusaha dan memperoleh manfaat serta mampu
menghadapi tantangan perubahan kehidupan lokal, nasional dan global.
Ditinjau dari sisi definisi, Pasal 1 angka 1 Undang-undang Kepariwisataan
menyebutkan bahwa wisata merupakan kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh
seseorang atau sekelompok orang dengan mengunjungi tempat tertentu untuk
tujuan rekreasi, pengembangan pribadi atau mempelajari keunikan daya tarik
wisata yang dikunjungi dalam jangka waktu sementara. Sementara Pariwisata
sendiri seperti yang tersebut dalam Pasal 1 angka 3 merupakan berbagai macam
kegiatan wisata dan didukung berbagai fasilitas serta layanan, yang disediakan oleh
masyarakat, pengusaha, pemerintah dan pemerintah daerah. Kemudian
kepariwisataan diartikan sebagai keseluruhan kegiatan yang terkait dengan
pariwisata dan bersifat multidimensi serta multidisiplin yang muncul sebagai wujud
kebutuhan setiap orang dan negara serta interaksi antara wisatawan dan masyarakat
setempat, sesama wisatawan, pemerintah, pemerintah daerah dan pengusaha.
Penerapan aturan larangan merokok yang tegas dan mampu memberikan
kepastian dalam hal penegakan akan memberikan dampak bagi kualitas pariwisata,
karena destinasi pariwisata tersebut mampu menjamin perlindungan HAM bagi
masyarakat dalam hal ini wisatawan, serta memberikan perhatian juga terhadap
kualitas lingkungan hidup. Norma hukum mengatur secara nyata internal kehidupan
pribadi dan juga mengatur hubungan antara pribadi dalam proses-proses sosial, baik
secara langsung maupun tidak. Adapun fungsi dari norma hukum mencakup 2 (dua)
hal, yaitu:
1) Berfungsi untuk menciptakan ketertiban, keamanan, dan ketenangan, dan
2) Berfungsi untuk memperbaharui prilaku masyarakat.
Berdasarkan hal tersebut, maka dengan menerapkan kebijakan KTR yang
baik, faktor-faktor yang mempengaruhi meningkatnya kualitas pariwisata di Bali
akan terpenuhi, antara lain:
1. faktor Physical and personal comfort, yaitu perlu menjaga kenyamanan
bagi wisatawan yang berkunjung di destinasi pariwisata, dengan
melindungi wisatwan dari paparan asap rokok sehingga wisatawan akan
merasa nyaman tanpa khawatir akan ancaman penyakit yang diakibatkan
oleh asap rokok;
2. faktor Attention to detail, memastikan bahwa setiap wisatawan memiliki
hak yang sama untuk memperoleh standar tertentu dalam kegiatan
pariwisata, baik bagi wisatawan sebagai perokok pasif dengan
menerapkan larangan merokok di area tertentu, dan wisatawan sebagai
perokok aktif untuk dibuatkan fasilitas ruangan khusus merokok; serta
3. faktor Cleanliness, merupakan faktor terpenting untuk mengukur kualitas
suatu pariwisata, yang dimaksud kebersihan dalam destinasi pariwisata
adalah kebersihan lingkungan itu sendiri, tidak terkecuali kebersihan
udara.
Melalui kepastian penegakan hukum Perda Provinsi Bali tentang KTR, maka
kebijakan KTR akan mampu diterapkan dengan baik, sehingga kualitas pariwisata
Bali akan meningkat seiring berlakunya aturan KTR secara efektif di lapangan. Bali
yang mengandalkan sektor jasa perlu menjaga keberlangsungan pariwisata
(sustainable tourism) dengan meningkatkan kualitas pariwisata (quality
tourism).128
Sejalan dengan hal tersebut diatas, peran budaya hukum dalam hal ini
masyarakat, memiliki kedudukan yang tidak kalah penting untuk turut memajukan
pariwisata Bali, salah satunya melalui dukungan dan peran serta dalam berbagai
kebijakan pemerintah untuk meningkatkan pariwisata Bali. Masyarakat merupakan
sekelompok orang yang berada di suatu wilayah geografi yang sama dan
memanfaatkan sumber daya alam lokal yang ada di sekitarnya.
Di negara-negara maju dan berkembang pada umumnya pariwisata dikelola
oleh kalangan swasta yang memiliki modal usaha yang besar yang berasal dari luar
daerah dan bahkan luar negeri. Sehingga masyarakat lokal yang berada di suatu
daerah destinasi pariwisata tidak dapat terlibat langsung dalam kegiatan pariwisata.
Ketidakterlibatan masyarakat lokal dalam kegiatan pariwisata sering kali
menimbulkan opini bahwa masyarakat lokal bukan termasuk stakeholders dari
pariwisata dan merupakan kelompok yang termarjinalisasi dari kesempatan bisnis
dalam bidang pariwisata.
128Parwata, 2015. Mass Tourism atau Quality Tourism?. Bali Post, Edisi 76, Tgl. 9-15
Februari 2015, h. 38.
Pada dasarnya masyarakat lokal memiliki pengetahuan tentang fenomena
alam dan budaya yang ada di sekitarnya. Namun mereka tidak memiliki
kemampuan secara finansial dan keahlian yang berkualitas untuk mengelolanya
atau terlibat langsung dalam kegiatan pariwisata yang berbasiskan alam dan
budaya. Sejak beberapa tahun terakhir ini, potensi-potensi yang dimiliki oleh
masyarakat lokal tersebut dimanfaatkan oleh para pengelola wilayah yang
dilindungi (protected area) dan pengusaha pariwisata untuk diikutsertakan dalam
menjaga kelestarian alam dan biodiversitas yang ada di daerahnya.
Masyarakat lokal harus terlibat secara aktif dalam pengembangan pariwisata.
Lebih jauh, pariwisata juga diharapkan memberikan peluang dan akses kepada
masyarakat lokal untuk mengembangkan usaha pendukung pariwisata seperti; toko
kerajinan, toko cindramata (souvenir), warung makan dan lain-lain agar masyarakat
lokalnya memperoleh manfaat ekonomi yang lebih banyak dan secara langsung dari
wisatawan yang digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan dan taraf hidupnya.
Melalui masyarakat maka pengendalian sosial dapat dilakukan, baik antara
individu maupun kelompok. Soerjono Soekanto berpandangan bahwa terhadap
pengendalian sosial tersebut memiliki tujuan untuk mencapai keserasian antara
stabilitas dengan perubahan-perubahan dalam masyarakat. Dari sudut sifatnya
maka dapat dikemukakan bahwa pengendalian sosial dapat bersifat preventif
maupun represif, atau bahkan kedua-duanya. Preventif di sini berarti bahwa adanya
usaha untuk melakukan pencegahan terhadap terjadinya gangguan-gangguan pada
keserasian antara kepastian dengan keadilan, sementara tindakan represif meliputi
usaha yang bertujuan untuk mengembalikan keserasian yang pernah mengalami
gangguan.129
Tuntutan perubahan sosial memberikan dampak pada keberadaan sistem
hukum yang selama ini berlangsung dalam keajegannya. Jika hukum tidak
mengalami perubahan maka akan menemui berbagai kendala baik itu yang
berhadapan langsung dengan rasa keadilan masyarakat maupun persoalan
penegakan hukum. Tuntutan yang terjadi pada substansi hukum yang harus
melakukan pemulihan-pemulihan terhadap eksistensinya dalam masyarakat akan
memberikan konsekuensi berbeda pada perubahan hukum yang akan dilakukan.
Selama perubahan hukum dilakukan responsif dan mengikuti hukum yang hidup di
dalam masyarakat, maka hukum akan selalu selaras dengan kehidupan
masyarakat.130
Gustav Radbruch mengidentifikasikan tiga tujuan keberadaan hukum.
Menurutnya, hukum dibuat untuk mencapai tujuan keadilan, kepastian, dan
kemanfaatan (Gerechtigkeit, Rechtssicherheit, und Zweckmachtigkeit). Melalui
penegakan hukum, maka dapat memberikan kepastian hukum maupun keadilan
bagi masyarakat.131 Oleh sebab itu dengan adanya kepastian hukum dalam hal
penegakan Perda Provinsi Bali tentang KTR, maka Perda tersebut dapat
memberikan kemanfaatan dan rasa adil bagi masyarakat maupun wisatawan.
129Soerjono Soekanto, 2010, Sosiologi Suatu Pengantar, Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.
179-180. 130Saifullah, 2007, Refleksi Sosiologi Hukum, Refika Aditama, Bandung, h. 26. 131Antonius Cahyadi, 2009, Sosiologi Hukum Dalam Perubahan, Buku Obor, Jakarta, h.
249.
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan uraian pembahasan tersebut, maka dapat ditarik beberapa
kesimpulan guna menjawab permasalahan yang dikemukakan dalam penelitian ini
sebagai berikut:
1. Melalui interpretasi sistematis; interpretasi gramatikal; interpretasi
perbandingan; dan interpretasi teleologis terkait prosedur penegakan dan
sanksi hukum, dapat dilihat bahwa Perda Provinsi Bali tentang KTR tidak
secara jelas mengatur mengenai prosedur penegakan hukum, dengan kata
lain memuat suatu kekaburan norma hukum, sehingga belum mampu
memberikan kepastian dalam penegakan hukumnya. Disamping itu sanksi
hukum terhadap pelanggaran Perda Provinsi Bali tentang KTR belum
mampu memberikan efek jera.
2. Melalui jaminan kepastian hukum dalam hal penegakan kebijakan KTR,
maka akan meningkatkan kualitas pariwisata Bali, sebagaimana yang telah
diterapkan di DKI Jakarta dan Surabaya, khususnya terpenuhinya faktor
kebersihan dan kenyamanan dalam berwisata (cleanliness and personality
comfort) yang merupakan faktor meningkatnya kualitas suatu pariwisata.
122
5.2 Saran
Berdasarkan uraian pembahasan tersebut diatas, maka adapun yang menjadi
saran dalam penelitian ini sebagai berikut:
1. Perlu adanya perubahan substansi dalam Perda Provinsi Bali tentang KTR,
dengan merumuskan secara jelas mengenai prosedur penegakan hukum
sehingga tidak menimbulkan multi tafsir, serta membentuk satuan tugas
khusus penegak KTR. Disamping itu, dalam penerapan sanksi lebih
diutamakan untuk menerapkan pidana kurungan dan denda yang lebih besar,
maupun sanksi administratif agar dapat memberikan efek jera bagi
pelanggar, sekaligus menjadi upaya untuk mencegah seseorang melakukan
pelanggaran.
2. Pariwisata di Indonesia diselenggarakan dengan prinsip menjunjung tinggi
HAM, dan secara global kegiatan pariwisata saat ini menjadi bagian dari
HAM. Oleh sebab itu sudah sepatutnya Pemerintah Provinsi Bali
memberikan perhatian yang lebih terhadap sektor pariwisata yang notabene
merupakan lokomotif ekonomi Bali. Melalui kebijakan-kebijakan agar
pariwisata Bali dapat berlangsung secara berkelanjutan. Salah satunya
dengan menerapkan kebijakan KTR yang mampu memberikan kepastian
hukum, sehingga citra pariwisata Bali yang berkualitas akan semakin dikenal
di mata dunia akibat terjaminnya HAM wisatawan untuk memperoleh
lingkungan hidup yang baik dan sehat.
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Ali, Zainuddin, 2010, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta.
Amiruddin, 2010, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Rajawali Pers, Jakarta.
Amos, H.F. Abraham, 2007, Legal Opinion: Aktualisasi Teoritis dan Empirisme,
Rajawali Pers, Jakarta.
Anom, I Putu, et.al, 2010, Pariwisata Berkelanjutan Dalam Pusaran Krisis Global,
Udayana University Press, Denpasar.
Asshiddiqie, Jimly, 2006, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Sekretariat
Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta.
Astawa, I Gde Pantja, 2008, Dinamika Hukum Dan Ilmu Perundang-Undangan Di
Indonesia, Alumni, Bandung.
Atmadja, I Dewa Gede, 2013, Filsafat Hukum: Dimensi, Tematis & Historis, Setara
Press, Malang.
Black, Henry Campbell, 1978, Black’s Law Dictionary, West Publishing, USA.
Cahyadi, Antonius, 2009, Sosiologi Hukum Dalam Perubahan, Buku Obor,
Jakarta.
Dewi, Alexandra Indriyanti, 2008, Etika dan Hukum Kesehatan, Pustaka Publisher,
Yogyakarta.
Dimyati, Khudzaifah, 2014, Pemikiran Hukum: Konstruksi Epistemologis Berbasis
Budaya Hukum Indonesia, Genta Publishing, Yogyakarta.
Dirdjosisworo, Soedjono, 2013, Pengantar Ilmu Hukum, Rajawali Grafindo,
Jakarta.
Friedman, Lawrance M, 1975, The Legal System: a Social Science Perspective,
Russel Sage Foundation, New York.
Fuady, Munir, 2013, Teori-Teori Besar (Grand Theory) Dalam Hukum, Kencana,
Jakarta.
Hadjon, Philipus M, 2008, Argumentasi Hukum, Gajah Mada University Press,
Surabaya.
124
, 2011, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia: Introduction to the
Indonesian Administrative Law, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.
Hamzah, Andi, 2005, Penegakkan Hukum Lingkungan, Sinar Grafika, Jakarta.
Hart, H.L.A, 1997, The Concept of Law, Oxford University Press, New York.
Hiariej, Eddy O.S, 2009, Asas Legalitas dan Penemuan Hukum Dalam Hukum
Pidana, Erlangga, Jakarta.
HR, Ridwan, 2008, Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
HS, Salim, 2013, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis dan Disertasi,
Raja Grafindo, Jakarta.
Kaelan, MS, 2010, Pendidikan Pancasila, Paradigma, Yogyakarta.
Kamil, Ahmad, 2008, Kaidah-Kaidah Hukum Yurisprudensi, Kencana, Jakarta.
Kansil, C.S.T. et. al, 2008, Hukum Tata Negara Republik Indonesia, Rineka Cipta,
Jakarta.
Kartohadiprodjo, Soediman, 2010, Pancasila Sebagai Pandangan Hidup Bangsa
Indonesia, Gatra Pustaka, Jakarta.
Kelsen, Hans, 1945, General Theory of Law and State, Russel & Russel The
Division of Atheneum Publisher Inc. United Stated of America.
______, 1967, Pure Theory of Law, University of California Press, USA.
Kementerian Kesehatan, 2011, Pedoman Pengembangan Kawasan Tanpa Rokok,
Pusat Promosi Kesehatan, Jakarta.
Makarao, Mohammad Taufik, 2011, Aspek-Aspek Hukum Lingkungan, Indeks,
Jakarta.
Manullang, E. Fernando M, 2007, Menggapai Hukum Berkeadilan: Tinjauan
Hukum Kodrat dan Antinomi Nilai, Penerbit Buku Kompas, Jakarta.
Marmor, Andrei, 2011, Philosophy of Law, Princeton University Press, New Jersey.
Marzuki, Peter Mahmud, 2009, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group,
Jakarta.
McCoubrey, Hilaire.,et.al, 1996, Jurisprudence, Blackstone Press Limited,
London.
Mertokusumo, Sudikno, 2007, Penemuan Hukum: Sebuah Pengantar, Liberty,
Yogyakarta.
Muhammad, Abdulkadir, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti,
Bandung.
Muhtaj, Majda El, 2009, Dimensi-Dimensi HAM: Mengurai Hak Ekonomi, Sosial,
dan Budaya, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
, 2012, Hak Asasi Manusia Dalam Konstitusi Indonesia, Kencana, Jakarta.
Palguna, I Dewa Gede, 2013, Pengaduan Konstitusional (Constitutional
Complaint): Upaya Hukum Terhadap Pelanggaran Hak-Hak
Konstitusional Warga Negara, Sinar Grafika, Jakarta.
Perry, Micheal J, 2007, Toward a Theory of Human Rights, Cambridge University
Press, New York.
Radjab, Dasril, 2005, Hukum Tata Negara Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta.
Rahardjo, Satjipto, 2006, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung.
Rahmadi, Takdir, 2012, Hukum Lingkungan di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta.
Ritzer, George, et.al, 2007, Teori Sosiologi Modern, Prenada Media Group, Jakarta.
Saifullah, 2007, Refleksi Sosiologi Hukum, Refika Aditama, Bandung.
Satori, Djam’an, 2010, Metodelogi Penelitian Kualitatif, Alfabeta, Bandung.
Seidman, Ann, et. al. 2001, Legislative Drafting for Democratic Social Change,
Kluwer Law International, London.
Seerden, Rene J.G.H, 2007, Administrative Law of the European Union, its Member
States and the United States: A Comparative Analysis, Intersentia
Antwerpen, Oxford.
Shidarta, 2006, Moralitas Profesi Hukum: Suatu Tawaran Kerangka Berpikir,
Refika Aditama, Bandung.
Sidharta, Bernard Arief, 2008, Meuwissen Tentang Pengembanan Hukum, Ilmu
Hukum, Teori Hukum, dan Filsafat Hukum, Bandung: Rafika Aditama.
Sigler, Jay A, 1977, The Legal Sources of Public Policy, Lexington Books, D.C
Heath and Company Lexington, Massaehusetts, Toronto.
Soeratman, 2014, Metode Penelitian Hukum, Alfabeta, Bandung.
Soerjani, Moh. Dkk. 2008, Lingkungan: Sumberdaya Alam Dan Kependudukan
Dalam Pembangunan, Universitas Indonesia Press, Jakarta.
Soekanto, Soerjono, 2010, Sosiologi Suatu Pengantar, Rajawali Grafindo Persada,
Jakarta.
______, 2012, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Rajawali
Grafindo Persada, Jakarta.
Soeroso, R, 2013, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta.
Sukardja, H. Ahmad, 2013, Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara
Dalam Perspektif Fikih Siyasah, Sinar Grafika, Jakarta.
Sunggono, Bambang, 2009, Metodologi Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada,
Jakarta.
Sutedi, Adrian, 2014, Hukum Ekspor Impor, Raih Asa Sukses, Jakarta.
Suwasta, Asep Dedi, 2012, Tafsir Hukum Positif Indonesia, Alia Publishing,
Bandung.
Syaukani, Imam, 2007, Dasar-Dasar Politik Hukum, Raja Grafindo Persada,
Jakarta.
Tanya, Bernard L. Dkk, 2010, Teori Hukum (Strategi tertib Manusia Lintas Ruang
dan Generasi), Genta Publishing, Yogyakarta.
Taylor, Shelley E.,et.al, 2009, Psikologi Sosial, Kencana, Jakarta.
Wade, H.W.R, 1977, Administrative Law, Oxford University Press, London.
Widiatedja, IGN Parikesit, 2011, Kebijakan Liberalisasi Pariwisata: Konstruksi
Konsep, Ragam Masalah dan Alternatif Solusi, Udayana University Press,
Denpasar.
WTO Tourism Education and Training Seris, 1997, International Tourism: A
Global Perspective, World Tourism Organization, Madrid Spain.
World Tourism Organization (UNWTO), 2011, Policy and Practice for Global
Tourism, World Tourism Organization, Madrid Spain.
World Tourism Organization (UNWTO), 2007, Workshop on Indicators of
Sustainable Development for Tourism, World Tourism Organization,
Madrid Spain.
Yuliandari, 2013, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang
Baik: Gagasan Pembentukan Undang-Undang Berkelanjutan, Raja
Grafindo Persada, Jakarta.
Karya Ilmiah:
Faiz, Pan Mohamad, 2009, Teori Keadilan John Rawls, Jurnal Konstitusi: Vol. 6.
NO. 1, Jakarta.
Feri Amsari, 2009, Satjipto Rahardjo Dalam Jagat Ketertiban Hukum Progresif,
Jurnal Konstitusi: Vol. 6. NO. 2, Jakarta.
Maimunah, Siti, 2009, Cakupan Hak Asasi Manusia Bidang Kesehatan, Jurnal
Hukum Kesehatan: Vol. 2. NO. 4, Jakarta.
Parwata, 2014. Dilema Pariwisata Bali 2014. Bali Post, Edisi Tgl. 28 April-Mei
2014.
______, 2015. Mass Tourism atau Quality Tourism?. Bali Post, Edisi 76, Tgl. 9-15
Februari 2015.
Roberia, 2012, Hak Atas Kesehatan dan Urgensi Proteksinya Dalam Rangka
Kontinuitas Pembangunan Hukum Kesehatan, Jurnal Hukum Kesehatan:
Vol. 4. NO. 6, Jakarta.
Supasti Darmawan, Ni Ketut, 2011, ”The Right To Tourism” Dalam Perspektif Hak
Asasi Manusia Di Indonesia, Jurnal Ilmiah Fakultas Hukum Universitas
Udayana: Vol. 36. NO. 2, Denpasar.
Mudana, I Nyoman, 2014, Pelaksanaan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 10
Tahun 2011 Tentang Kawasan Tanpa Rokok Dalam Rangka Perlindungan
Terhadap Perokok Pasif, Jurnal Ilmiah Fakultas Hukum Universitas
Udayana Ketha Negara: Vol. 2. NO. 1., Denpasar.
Artikel Internet:
WHO Framework Convention on Tobacco Control, Fifty-Sixth World Health
Assembly, 21 May 2003, Available at www.ino.searo.who.intl. Accessed
19 September 2013.
URL: http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs339/en/, Diakses Pada Tanggal
14 Pebruari 2014.
URL: http://www.who.int/tobacco/research/youth/health_effects/en/, Diakses Pada
Tanggal 14 Pebruari 2014.
URL: http://www.cleanlungs.com/education/features/tourism2.html, Diakses Pada
Tanggal 11 Agustus 2014.
URL: http://www.lphi.org/LPHIadmin/uploads/Tourism%20Study-32064.pdf.
Diakses Pada Tanggal 11 Agustus 2014.
URL:http://www.nytimes.com/2014/06/15/travel/in-ireland-10-years-of-fresh-
air.html, Diakses Pada Tanggal 11 Agustus 2014.
URL: http://www.undpi.am/node/28, Diakses Pada Tanggal 11 Agustus 2014.
URL: http://sdt.unwto.org/en/content/quality-tourism, Diakses Pada Tanggal 24
September 2014.
URL: http://ojs.unud.ac.id/ index.php / piramida / article / download/ 3002/2160.t
Diakses Pada Tanggal 24 September 2014.
URL: http://thesis.binus.ac.id/doc/Bab2/Bab%202__10-63.pdf. Diakses Pada
Tanggal 24 September 2014.
URL: https://www.law.utoronto.ca/documents/Dyzenhaus/rule_ law_ as_ rule_
liberal_ principle. Diakses Pada Tanggal 16 Oktober 2014.
URL: http://www.antaranews.com/berita/417190/88- juta- wisatawan- asing-
kunjungi-indonesia- selama- 2013, Diakses pada tanggal 13 November
2014.
URL: http://id.wikipedia.org/wiki/Karsinogen, Diakses Pada Tanggal 27 Januari
2015.
URL: http://id.wikipedia.org/wiki/ Daftar_ tempat_ wisata_ di_ Jakarta, Diakses
Pada Tanggal 7 Februari 2015.
URL: http:// tribunnews.com/ metropolitan/ 2014/ 02/ 24/ bus-wisata-beri-
pelayanan-terbaik, Diakses Pada Tanggal 7 Februari 2015.
URL: http://www.eastjava.com/tourism/surabaya/ina/, Diakses Pada Tanggal 9
Februari 2015.
URL: http://surabaya.tribunnews.com/ tag/ tempat- wisata, Diakses Pada Tanggal
9 Februari 2015.
Peraturan Perundang-undangan:
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165 TLN No. 3886).
Undang-Undang No. 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 11 TLN No. 4966).
Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 140 TLN No. 5059).
Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144 TLN No. 5063).
Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukkan Peraturan Perundang-
Undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82
TLN No. 5234).
Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244 TLN No. 5587)
Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 1999 Tentang Pengendalian Pencemaran
Udara.
Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2003 Tentang Pengamanan Rokok Bagi
Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 36
TLN No. 4276).
Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2010 Tentang Satuan Polisi Pamong Praja
(Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 9 TLN No. 5094).
Peraturan Pemerintah No. 109 Tahun 2012 Tentang Pengamanan Bahan Yang
Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 278 TLN No.
5380)
Peraturan Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Dalam Negeri No. 7 Tahun
2011 Tentang Pedoman Pelaksanaan Kawasan Tanpa Rokok (Berita
Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 49).
Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 10 Tahun 2011 Tentang Kawasan Tanpa Rokok
(Lembaran Daerah Provinsi Bali Tahun 2011 Nomor 10 TLD No. 10).
Peraturan Daerah Kabupaten Badung No. 8 Tahun 2013 Tentang Kawasan Tanpa
Rokok (Lembaran Daerah Kabupaten Badung Tahun 2013 Nomor 8 TLD
No. 8).