Upload
vuongkhuong
View
214
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
KEPUASAN PERKAWINAN PADA ISTRIYANG MENJALANI
PERKAWINAN JARAK JAUH
OLEH
NAOMI WIDYASWORO
802008601
TUGAS AKHIR
Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian dari Persyaratan
Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2015
Abstrak
Individu dalam memasuki sebuah perkawinan mempunyai harapan jika perkawinan
yang di bangun berjalan seumur hidup dan bertahan selamanya. Membangun rumah
tangga bersama-sama sehingga mendapatkan kebahagian dalam rumah tangga. Namun
tidak jarang, Fenomena yang terjadi dalam kehidupan perkawinan saat ini Istri harus
berpisah dari suami karena pekerjaan yang diambilnya sebelum menikah. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui kepuasan perkawinan pada istri yang sedang menjalani
perkawinan jarak jauh. Partisipan penelitian ini adalah wanita yang sudah menikah dan
perkawinan di tempuh dalam kondisi jarak jauh dimana suami berada di luar pulau jauh
dari keberadaan istri. Karakteristik lain yang terdapat pada partisipan adalah usia
perkawinan satu sampai lima tahun. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif
fenomenologi dengan teknik pengumpulan data menggunakan hasil wawancara dan
observasi. penelitian ini menggunakan aspek-aspek kepuasan perkawinan dalam Fowers
dan Olson (1989, 1993). Dari hasil penelitian ini menunjukkan adanya ketidak puasaan
partisipan dalam hal komunikasi dengan suami yang terkadang membuat masalah dalam
rumah tangga, kepercayaan kepada suami membuat keterbukaan, dukungan teman dan
keluarga dapat memberi motivasi pada partisipan.
Kata kunci : Kepuasan Perkawinan, Perkawinan Jarak Jauh
Abstract
Someone who enters a marriage has hopes that the marriage they built can last for life
and forever. They hope that they can get happiness in their marriage. In other hands,
the phenomena that occur in life in today's marriages is when wife must be separated
from her husband because her husband took a job before their marriage. This study
aims to determine marital satisfaction on wife who is undergoing a long-distance
marriage. Participants of this study were women who were married and marriage in
distance marriage in a state in which the husband was work outside the island away
from his wife.Data collection techniques will be undertaken using a qualitative method
of interviews and observations. This research uses aspects of marital satisfaction by
Fowers and Olson(1989, 1993). The results of this study indicate dissantisfaction in
communication sometimes create problems in the family, husband’s trust make openess,
the support of friends and family give motivation to the participants.
Keyword : marriage satisfaction, long distance marriage
1
PENDAHULUAN
Kehidupan manusia tidak terlepas dari kebergantungan dan saling membutuhkan
satu dengan yanglain dan perkawinan merupakan pemersatu antara pria dan wanita
dalam sebuah keluarga. Pernikahan merupakan hubungan antara pria dan wanita yang
secara sosial diakui dan ditujukan untuk melegalkan hubungan seksual, melegitimasi
dalam membesarkan anak dan membangun pembagian peran antara sesama pasangan
menurut Duvall &Miller (dalam Wisnuwardani &Fatmawati, 2012). Keluarga sebagai
sebuah sistem memiliki karakteristik yang terkait dengan kemampuan keluarga dalam
beradaptasi untuk meraih kepuasan hidup keluarga Henry (dalam Lestari, 2012).
Dua pribadi yang memasuki jenjang perkawinan merupakan dua pribadi yang
berbeda satu sama lain. Meninggalkan rumah menjadi orang dewasa yang hidup sendiri
adalah fase pertama dalam siklus kehidupan keluarga dan melibatkan pelepasan.
Pelepasan adalah proses orang dewasa muda menjadi orang dewasa dan keluar dari
keluarga asalnya.Orang dewasa akan menjadi satu dengan pasangannya dalam
membentuk satu rumah tangga yang baru melalui perkawinan. Fase kedua dalam
menempuh suatu kehidupan perkawinan adalah fase dimana individu membentuk suatu
keluarga baru yaitu individu dari dua keluarga yang berbeda bersatu untuk membentuk
suatu sistem keluarga yang baru. Fase kedua ini merupakan penyatuan dua sistem
keluarga untuk membangun sistem keluarga yang baru, selain itu dalam fase ini
pasangan satu sama lain melibatkan diri dalam menjalin relasi dengan keluarga kerabat.
Fase yang ketiga dimana pasangan memiliki anak-anak.Kondisi ini menuntut mereka
memberikan kasih sayang kepada anak. Selain pasangan harus memahami peran mereka
2
sebagai orangtua itu sehingga dapat berkomitmen yang dapat menyesuaikan diri dalam
proses perkembangan anak (Santrock,2002).
Perkawinan merupakan penyatuan dua orang yang saling merindukan, saling
menginginkan kebersamaan, saling membutuhkan, saling memberi dukungan, dorongan
dan saling melayani, semuanya diwujudkan dalam kehidupan yang dinikmati secara
bersama (Gunarsa, 2003). Dengan adanya kebersamaan dan saling melengkapi,
kepuasan perkawinan dapat tercapai sejauh mana kedua pasangan perkawinan dapat
memenuhi kebutuhan pasangan masing-masing dan sejauh mana kebersamaan,
kebebasan dari hubungan yang mereka ciptakan memberikan peluang bagi mereka
untuk memenuhi kebutuhan dan harapan-harapan yang mereka bawa sebelum
perkawinan terlaksana (Sudarjoen dalam Wardani, 2012).
Kepuasan perkawinan adalah komponen dari penyesuaian perkawinan dan
asumsinya, seseorang dengan penyesuaian perkawinan yang baik akan menggambarkan
kepuasan yang baik, kebalikannya jika seseorang dengan penyesuaian perkawinan yang
buruk dapat menggambarkan ketidakpuasan dalam perkawinan menurut (Spainer dalam
Rachmawati, 2013). Kepuasan perkawinan menurut Olson dan Fower (1993) adalah
evaluasi secara menyeluruh mengenai kehidupan perkawinan, ada 10 aspek kepuasan
perkawinan yang di ungkapan oleh Olson dan Fower (1989) yaitu isu kepribadian,
kesamaan peran, komunikasi, aktivitas bersama, orientasi agama, pengelolaan keuangan, solusi
masalah, orientasi seksual, anak dan orangtua, keluarga dan teman. Faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi dalam kepuasan perkawinan (Papalia dalam Wismanto, 2012) antara lain
usia saat menikah, agama, dukungan emosional, latar belakang pendidikan dan
3
perbedaan harapan. Boettcher (dalam Wismanto, 2012) berpendapat bahwa empati dan
keintiman juga menjadi faktor dari kepuasaan perkawinan.
Dalam suatu perkawinan menurut Tylor (dalam Wardani, 2012) dibutuhkan
komunikasi yang baik diantara pasangan suami istri.Luasnya komunikasi yang intim
bagi kedua pasangan memberikan efek yang signifikan pada kedua pasangan dalam
tingkat kepuasan relasi mereka.Selain komunikasi yang baik, keintiman dan kedekatan,
seksualitas, kejujuran dan kepercayaan, semuanya itu menjadi sangat penting untuk
menjalin relasi perkawinan yang memuaskan.
Setiap kehidupan rumah tangga tidak selalu akan berjalan dengan mulus seperti
yang seringkali didambakan setiap pasangan. Ada saja kendala yang dialami oleh
pasangan. Menurut Hurlock (1997) kehidupan perkawinan pada awal tahun pertama dan
kedua merupakan masa-masa pasangan menyesuaikan satu sama lain. Pasangan suami
istri sering kali mengalami permasalahan yang terkadang menimbulkan ketegangan
emosional. Dalam kehidupan perkawinan pasangan akan mengalami konflik dan
masalah yang harus mereka hadapi dan selesaikan secara bersama sama.
Pasangan suami istri pada umumnya menginginkan dapat tinggal bersama dalam
tempat tinggal yang sama, namun tidak semua keluarga dapat mewujudkannya. Ada
beberapa keluarga yang tidak tinggal dalam satu rumah dikarenakan berbagai alasan.
Menurut Scott (2002) Perkawinan jarak jauh adalah pola hubungan jarak jauh yang di
tandai jarangnya pertemuan atau tatap muka antara suami istri dan biasanya pasangan
tersebut tinggal di kota yang berbeda. Hubungan jarak jauh diartikan sebagai hubungan
yang disebabkan oleh sesuatu hal sehingga menyebabkan pasangan suami istri harus
4
tinggal terpisah, mereka yang menjalani perkawinan jarak jauh misal suami di mutasi
atau dipindahkan kekota lain oleh tempat kerjanya namun istri tetap tinggal di kota
asalnya karena tidak memungkinkan untuk ikut hal ini di kemukakan oleh (Wardani
dkk, 2013).
Pasangan yang menjalani perkawinan jarak jauh (long distance marriage) tentu
saja akan menghadapi masalah yang berbeda dengan pasangan yang tinggal bersama.
Masalah utama dilihat dalam komunikasi jika dibanding dengan pasangan yang tinggal
serumah (Rachmawati dan Endah, 2013) selain masalah komunikasi, pengambilan
keputusan, kelelahan terhadap peran, kurangnya kebersamaan seringkali menjadi
masalah dalam menjalani perkawinan jarak jauh.
Pasangan yang melakukan perkawinan jarak jauh akan jarang bertemu sehingga
ini memungkinkan menimbulkan permasalahan pada pasangan.Menurut Ibrahim (dalam
Handayani, 2008) masalah rumah tangga umumnya terjadi karena lunturnya tingkat
kepercayaan. Pernikahan yang berkisar 5-10 tahun adalah pernikahan yang rawan
karena beradaptasi dengan pasangannya.Pernikahan jarak jauh semakin marak
dilakukan oleh pasangan suami istri dan pemenuhan kebutuhan terkadang menjadi
alasan utama menjalani pernikahan jarak jauh. Pada hubungan jarak jauh ini terkendala
jarak sehingga komunikasi merupakan hal yang penting bagi pasangan.
Perkawinan jarak jauh membatasi khususnya dalam aspek komunikasi secara
langsung, pemecahan masalah dalam rumah tangga hanya dirasakan oleh salah satu
pasangan saja, seperti yang diungkapkan Nova (wawancara pribadi, 5 September 2014),
Nova dan suami bertemu hanya 6 bulan sekali karena suami bekerja sebagai pelaut di
5
sebuah kapal pesiar. Ketika anaknya sakit, Nova kewalahan dan sangat membutuhkan
suami. Sebagai istri yang juga harus bekerja ia harus mengasuh anak yang menjadi
tanggung jawab seorang istri. Menurut Santrock (2002) dalam pengasuhan anak
menuntut komitmen sebagai orang tua meliputi suami dan istri, memahami peran
sebagai orangtua dan mengetahui perkembangan anak secara bertahap, juga menyatakan
bahwa tugas-tugas berkaitan pekerjaan dan kehidupan keluarga merupakan tugas yang
sangat banyak, sangat penting dan sangat sulit diatasi.
Dalam penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Setyaningrum (2006) pada
partisipan istri pelaut, mengatakan bahwa keharmonisan hubungan rumah tangga sangat
diperlukan untuk menunjang kepuasan dalam pernikahan.Karena kurangnya waktu
bertemu yang dialami oleh istri pelaut, maka istri harus pandai menjaga komunikasi
dengan suaminya, harus menjaga hubungan dengan mertua dan ipar selain itu juga harus
ada penyesuaian seksual yang baik dan penyesuaian keuangan yang mencukupi.
Dalam penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Meinatun (2013) penelitian
ini mengungkapkan bahwa 1 dan 3 subjek merasakan kepuasan pernikahan ditunjukkan
dengan komunikasi, kepercayaan dan kesetiaan, saling pengertian, kerjasama mengasuh
anak, pemenuhan materi dan rasa empati. Subjek 2 merasakan kurang puas dengan
pernikahannya karena kasih sayang yang diberikan suami kurang dan perasaan kecewa
terhadap suami yang kurang peka terhadap subjek, serta kualitas kebersamaan kurang
optimal dan juga ada campur tangan keluarga suami dalam rumah tangga subjek.
Berdasarkan uraian di atas dapat kita simpulkan bahwa kehidupan berumah
tangga membutuhkan adanya kebersamaan antara suami dan istri sehingga dapat
6
mewujudkan kepuasan dalam mencapai pernikahan.Oleh karena itu penelitian tertarik
untuk melakukan penelitian dengan judul kepuasan perkawinan pada istri yang
menjalani perkawinan jarak jauh.
METODE PENELITIAN
Desain Penelitian
Desain penelitian mengunakan penelitian kualitatif fenomonologi menurut
Smith & Osborn (2007) fenomonologi adalah metode pemikiran untuk memperoleh ilmu
pengetahuan baru atau mengembangkan pengetahuan yang ada dengan langkah-langkah
logis, sistematis kritis, tidak berdasarkan apriori/prasangka, dan tidak dogmatis.
Teknik PengumpulanData
Menurut Moleong (2010) sumber data yang utama dalam penelitian kualitatif
adalah berupa kata-kata yaitu wawancara dan observasi. Tindakan selebihnya adalah
data tambahan seperti dokumen dan lain sebagainya.Untuk mendapatkan gambaran
kepuasan dari partisipan, penelitian yang dilakukan dengan menggunakan aspek-aspek
kepuasan perkawinan dari Fower dan Olson (1989;1993).Beberapa tahap dalam analisis
data yakni membahas seluruh data yang diperoleh, melakukan reduksi data, melakukan
kategorisasi dan penafsiran data. Untuk pengujian keabsahan data dalam penelitian ini
digunakan teknik triangulasi untuk pemeriksaan melalui sumber lain ( Moleong, 2010).
7
Teknik Analisis
Teknik analisis Interpretative Phenomenological Analysis (IPA) menurut Smith
& Osborn (2007)mengunakan tahapan sebagai berikut reading and reading , initial
noting, developing emergent Themes, Searching for connection a cross emergent
themes, Moving the next case, Looking for pattern accross area.
Gambaran Umum Partisipan
Partisipan 1 lahir di Salatiga 15 Januari 1986, partisipan 1 adalah orang asli
Salatiga, pendidikan terakhir partisipan 1 adalah SMK, partisipan adalah seorang
wiraswasta yang sehari-hari membuka salon. Partisipan 1 sudah menikah selama 3
tahun dan sudah dikaruniai seorang putri yang berumur 2,5 tahun. Suami partisipan 1
bekerja di pertambangan Kalimantan sejak mereka masih berpacaran.perbedaan usia
suami dan partisipan 1 adalah 3 tahun. Setelah menikah dengan suami partisipan 1
tinggal dengan mertuanya di Salatiga.
Partisipan 2 lahir di Salatiga 6 Januari 1988, partisipan 2 merupakan orang asli
Salatiga. Pendidikan terakhir partisipan 2 adalah SMK, partisipan adalah seorang ibu
rumah tangga dan wiraswasta dengan membuka warung kelontong. Partisipan 2 sudah
menikah selama 2 Tahun dan di karuniai seorang anak laki-laki berumur 12 bulan.
Suami partisipan 2 bekerja di sebuah perusahaan garmen yang berada dibatam , usia
perkawinan partisipan 2 dan suami adalah 2 tahun, saat ini partisipan 2 tinggal bersama
orangtuanya di Salatiga.
8
HASIL PENELITIAN
Isu Kepribadian
Berdasarkan hasil penelitian partisipan 1, terlihat komunikasi yang cukup lancar
antara partisipan 1 dan suami yang bekerja diluar pulau, karena dilakukan setiap hari
melalui telepon. Meskipun demikian seringkali terjadi kesalahpahaman dalam
komunikasi tersebut. Yang terjadi adalah suami merasa jengkel dengan beberapa
perilaku istri misalnya pada saat istri tidak mengangkat telpon darinya karena sedang
sibuk bekerja atau sedang mengurus anak atau ketika maksud dari suami tidak dapat
ditangkap baik oleh istri. Hal ini membuat istri merasa tidak puas dengan sikap suami
yang cenderung ingin di perhatikan terus menerus dan tidak sabaran saat menjalani
perkawinan jarak jauh.
Ya kadang ada sih mbak, kalo misal saat suami ngomong dia gak denger atau
saat dia ngomong akunya gak denger karena ngurus anak gitu kan sering salah
paham (106-109 P1 W1)
Pada partisipan 2 terlihat komunikasi yang kurang baik antara ia dan suami. Suami
jarang sekali menghubungi partisipan 2. Komunikasi hanya terjadi pada saat suami akan
mengirim uang dan apabila suami ingin menanyakan kondisi anak saja hal ini di
sebabkan karena suami kesal dengan istri yang selalu mengeluh dengan kondisinya
yang capek setelah bekerja atau mengurus anak. Hal tersebut membuat istri merasa
jengkel dan tidak mengalami kepuasan dalam perkawinannya khususnya pada sikap dan
perilaku suami yang tidak memperdulikan partisipan 2.
“aku pengennya itu namanya orang berumah tangga kan dimanapun kapanpun
sedikit punya waktu untuk menghubungi, tapi kan suamiku gak pernah
9
menghubungi , bok ya tanya kabarku atau kabar anak tpi kan suamiku
tanggapannya lain gitu (P2 W2 77-79)
Kesamaan Peran
Selama menjalani perkawinan jarak jauh partisipan 1 melakukan peran ganda
yang membuat ia sangat membutuhkan kehadiran suami khususnya pada saat ia
mengalami kerepotan dalam bekerja di salon, megerjakan pekerjaan rumah tangga,
mengasuh anak dan ketika anak sedang dalam keadaan sakit. Ia merasa puas pada saat
suami pulang dan membantunya mengerjakan pekerjaan rumah, seperti menemani anak
bermain, membantu dalam memasak dan juga mengantar jemput anak dan menemani
anak saat ia harus bekerja di salon.
“jadi pas anakku lepas ASI itu dia kan mengalami tantrum mbak, marah-marah
sendiri terus nangis gitu kan repot banget mbak, tak gendong aku kan juga capek
to, ya tapi mau gimana suami jauh dari rumah gak bisa bantu, ya aku urus sendiri
tapi lama-lama ya terbisa to mbak gak nangis lagi (P1 W2 199-203)”
Tidak hanya dalam mengasuh anak saja partisipan sangat mengharapkan kehadiran
suami untuk mendampinginya melalui masa-masa sulit mengatasi anak yang tantrum
akibat lepas ASI. Namun jarak yang jauh membuat suami hanya dapat menunjukkan
dukungannya dengan mendengarkan, menghibur dan memotivasi istri untuk lebih sabar
menghadapi anak.
Hal yang sama juga dirasakan partisipa 2 dalam menjalankan peran ganda. Tidak
mudah bagi partisipan 2 karena selain mengurus anak ia pun harus bekerja untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya,dan saat-saat seperti ini ia sangat mengharapkan
10
kehadiran suami. Karena kelelahan fisik, maka partisipan 2 memutuskan untuk berhenti
bekerja dan fokus pada mengasuh anak. Partisipan 2 merasa tidak puas karena tidak ada
keterlibatan suami dalam mengurus anak mereka.
Komunikasi
Partisipan 1 menggunakan media telepon dalam berkomunikasi dengan suami
yang berada diluar pulau. Komunikasi melalui telepon ini dilakukan setiap hari. Suami
sering menghubungi istri saat ia sedang tidak bekerja dan selalu memperhatikan
keadaan istri, sebaliknyapun demikian partisipan 1 juga selalu menanyakan keadaan
suami dan pekerjaannya disana. Ada keterbukaan yang terjadi antara suami dan
partisipan 1. Setiap kali berkomunikasi partisipan 1 selalu menceritakan segala sesuatu
yang ia alami, baik itu masalah yang ia hadapi dengan mertua maupun anak mereka,
sebaliknya suami pun selalu menceritakan keadaannya dengan terbuka mengenai
masalah pekerjaan yang sedang di hadapi. Keterbukaan antara partisipan 1 dengan
suami dirasa semakin berkembang semenjak pacaran sehingga partisipan 1 makin
mengenal suami. Keterbukaan dengan suami juga membuat partisipan 1 merasa dekat
dengan suaminya walaupun mereka terpisah jarak. Keterbukaan ini menimbulkan
kepuasanan partisipan 1 dalam perkawinannya.
“mbak karena aku setuju apa gak suami setuju apa gak gitu jadi kita
ngomongnya di bicarakan dulu, ini ada yang mau dibahas, nah kalo kita berdua
sepakat kamu setuju aku setuju gimana baiknya gitu mbak (P1 W2 68-71)”
11
Pada partisipan 2, tidak terlihat komunikasi yang baik antara ia dan suami, hal
ini tampak dalam jarangnya komunikasi yang terjadi antara suami dan partisipan 2. Ada
masalah yang melatarbelakanginya, yaitu saat sebelum suami kembali untuk bekerja ke
luar pulau, didapati suami masih menghubungi mantan pacarnya, hal ini memicu
kemarahan besar partisipan 2, namun tidak keluar sedikitpun penjelasan dari sang
suami. Masalah yang tidak terselesaikan ini membuat hubungan partisipan 2 dan suami
kurang harmonis, setiap berkomunikasi hanya berakhir dengan pertengkaran sehingga
membuat suami enggan untuk berkomunikasi dengan istri. Partisipan 2 menyadari hal
tersebut namun suami sudah tidak mau lagi berkomunikasi dengannya. Komunikasi
seperti ini membuat partisipan 2 merasa tidak puas dengan keadaannya.
“gak puas to mbak, pastinya kan kalo kelurga ada kerja capek, dia walaupun gak sama
suami, suami masih menanyakan, ya gak usah nanyakan istri nanyakan anak aja aku
dah seneng mbak, gimana kabarnya gimana kabar kondisi anak. Gak usah dia itu mau
atau egois, tapi kan dia yang di timbulkan egois, ya istri kan juga jengkel mbak (P2 W2
160-163)”
Aktivitas Bersama
Jarak yang memisahkan partisipan 1 dan suami tidak membuat suami berhenti
mengingatkan istri agar selalu sholat bersama. Partisipan 1 senang karena mengetahui
suaminya pun melakukan waktu ibadah yang teratur. Hal ini diperkuat oleh kesaksian
adik partisipan 1 yang tinggal satu kota dengan suami karena dari adik itu juga
partisipan 1 dapat mengetahui semua yang dilakukan suami. Quality time juga
terbangun apabila suami partisipan 1 pulang, mereka menghabiskan waktu bersama
dengan makan bersama bertiga atau dengan berbelanja kebutuhan bersama.
12
“Paling main gitu bareng-bareng, kalo bertiga aja biasanya makan gitu, gak
sering ngajak-ngajak gitu, biasanya bertiga seringnya makan atau waktu
belanja begitu. (176-178) “
Pada partisipan 2, partisipan tidak mengetahui kegiatan suami yang tinggal
terpisah darinya karena suami tidak pernah menceritakan mengenai pekerjaannya dan
aktivitas apa saja yang ia lakukan disana. Kegiatan bersama partisipan 2 dalam
menghabiskan waktu luang di lakukan bersama kakak dan anaknya seperti berjalan-
jalan bersama. Kondisi ini membuat partisipan 2 tidak mengalami kepuasan terhadap
aktivitas yang sedang di jalani suaminya.
“pergi sama anak refreshing ya mainlah sama anak supaya gak sumpek gitu
terus anak ya dapet pemandangan hawa yang segar, sama kakak sama keluarga ya gitu
(P1 W2 370-372)”
Orentasi Agama
Partisipan 1 merasa bahwa suaminya bukan orang yang dalam mempelajari
agama terlalu dalam namun suami partisipan 1 punya kemauan mempelajari aturan-
aturan yang ada didalam agama yang mereka anut. Saat partisipan 1 memutuskan untuk
berhijab, suaminya pun mendukung dalam beragama. Suami tidak pernah melarang
keputusan partisipan 1 sebaliknya suami mencarikan informasi apa-apa saja yag harus
dilakukan dalam proses berhijab sehingga istri merasa puas dengan dukungan yang
diberikan suaminya dalam melakukan aturan agamanya.
“dalam Islam kan banyak banget itu mbak yang gak boleh kayak gini gak boleh
kayak gini ya kita diajarin pelan-pelan dari sebelum berhijab sampai berhijab gitu, ya
nanti kalo sudah berhijab tidak terbuka tapi benar-benar tertutup, belajarnya baru
13
awal nah kan ada prosesnya ya InsaAllah lah nanti bisa lebih dalam lagi, suamiku juga
kayak gitu disana juga mencoba lebih baik lagi (P1 W2 145-150)”
Sedangkan pada partisipan 2, ia merasa bahwa suaminya belum dapat menjadi
imam dalam rumah tangga dan teladan yang baik. Hal ini disebabkan suami tidak
pernah menuntun istrinya melakukan hal yang benar dan tidak dapat menjadi contoh
yang baik bagi anaknya. Dalam hal ini partisipan 2 merasa tidak puas dengan apa yang
di lakukan oleh suaminya karena ketidakadaan dukungan suami dalam.
“kurang baik mbak bagi aku soalnya belum jadi imam yang baik gitu low
(287-288 P2 W2)”
Penglolaan Keuangan
Dari hasil penelitian partisipan 1, terlihat suami adalah pencari nafkah utama
dalam rumah tangga, walaupun istri juga berwirausaha salon, penghasilan dari salon
bukan untuk membiayai kebutuhan rumah tangga mereka. Pengaturan keuangan tiap
bulan diserahkan kepada partisipan 1 dan selalu diawali dengan diskusi terbuka dan
kesepakatan antara suami dan partisipan 1. Yang dilakukan adalah partisipan sudah
mempunyai budget untuk tiap-tiap pengeluaran seperti misalnya berapa untuk anak,
untuk ditabung dan untuk kebutuhan sehari-hari dan untuk pembangunan rumah.
Partisipan 1 merasa puas karena ada pengaturan yang jelas mengenai keuangan mereka.
Hal ini di dukung dengan penjelasan suami yang memang selalu membicarakan
mengenai pengaturan keuangan mereka melalui telephone atau saat bertemu secara
langsung.
14
“jadi ya ini kan gaji suami nah gaji suami sudah ada pos-pos nya sendiri mbak ini buat
ibu ,buat anak ku, sama buat nabung sama ini sisanya buat pengeluaran buat ini kita
kan ada tanggungan di bank juga (P1 W1134-136)”
Berbeda dengan partisipan 1, partisipan 2 tidak merasa puas dengan pembagian
keuangan dalam rumah tangga karena walaupun suami memberi nafkah setiap bulan,
namun yang di berikan suami tidak cukup untuk memenuhi semua kebutuhan partisipan
2 dan anaknya, sehingga partisipan 2 harus mencari uang tambahan untuk memenuhi
kebutuhan rumah tangga ditengah kesibukannya mengurus anak sedangkan membagi
perhatian kepada pekerjaan dan anak bukan hal yang mudah bagi partisipan 2. Ia pun
merasa suami tidak menunjukkan kepeduliannya terhadap kesulitan yang ia hadapi.
Pengaturan keuangan dilakukannya sendiri tanpa ada pembicaraan dengan suami.
“kalo pemberian suami secara finansial ya pastilah kurang mbak, untuk
memenuhi kebutuhan susu anak, belum lagi kita hidup bermasyarakat ada
sosialisasi ada segala hal yang tidak kita tahu secara tiba-tiba (P2 W2 134-
136”
Solusi Masalah
Semenjak awal perkawinan sampai saat ini Partisipan 1 tinggal satu atap dengan
mertua. Itu bukan hal yang mudah bagi partisipan 1, karena ia harus menyesuaikan
dengan sifat dan pola hidup mertua. Tidak jarang terjadi pertengkaran kecil antara
partisipan 1 dan ibu mertua, dan seringkali yang memicu pertengkaran itu adalah karena
ibu mertua yang sering berkomentar negatif dan mencampuri urusannya sehingga
membuat partisipan 1 merasa tidak nyaman. Dalam masalah ini, suamilah yang menjadi
penengah dan pendamai antara partisipan 1 dan ibu mertua. Konflik lain yang terjadi
15
antara partisipan dan suami adalah dalam proses pembangunan rumah. Seringkali
partisipan 1 tidak menangkap dengan baik keinginan suami mengenai rumah mereka,
sehingga ia tidak dapat menyampaikan dengan jelas kepada tukang yang mengerjakan.
Kondisi seperti ini seringkali menimbulkan pertengkaran antara partisipan 1 dan suami.
Namun pertengkaran mereka tidak berlangsung lama karena setelah itu selalu
dibicarakan dan diselesaikan. Partisipan 1 merasa puas karena walaupun mereka
menjalani perkawinan jarak jauh masalah yang terjadi antara mereka selalu dapat
diselesaikan dengan baik karena selalu dibicarakan bersama.
“iya puas sie mbak, soalnyakan suamiku nanyain aku gantian gitu loh mbak,
kalo gini terus gimana kalo sedang ada masalah, dia keberatan apa gak, dia
selalu menanyakan nah kalo misal aku keberatan dia selalu menawarkan
enaknya gimana. Yang penting kita mencari solusi bersama-sama (172-176)”
Dalam hal penyelesaian masalah partisipan 2 tidak mendapatkan kepuasan dari
suami dalam hal penyelesaian konflik yang sedang mereka alami, karena suami tidak
mau terbuka dengan masa lalu nya saat sebelum menikah dengan partisipan 2, sehingga
saat partisipan 2 tahu bahwa suaminya masih menghubungi mantan pacar partisipan 2
marah namun suami partisipan tidak mau menyelesaikan atau menjelaskan untuk
menyelesaikan masalah. Yang di lakukan suami partisipan 2, suami meminta partisipan
2 mengurus perceraian mereka untuk penyelesaian masalah namun partisipan 2 menolak
untuk bercerai. Permintaan suami yang meminta partisipan 2 untuk mengurus surat
perceraian di benarkan oleh teman partisipan 2 yang mengatakan hal yang sama.
“pernah mbak suamiku bilang, kita akan selesaikan biar cepat selesai kita
akhiri aja, kalo kamu lama nunggu aku kamu urus aja sendiri, kamu ngurus
16
surat-suratnya dulu nanti waktu aku pulang tinggal kita urus, nah itu mbak
penyelesaiannya dia ingin pisah tapi aku gak ada niat (P2 W2 290-293)”
Orentasi Seksual
Dalam membangun hubungan seksual partisipan 1 dan suami, selalu
membicarakan mengenai hal tersebut bersama. Terkadang suami meminta foto istri
ataupun menyatakan kerinduannya pada istri. Partisipan 1 percaya penuh pada suami
dan tidak mencurigai apapun yang dilakukan suami disana.
“kalo pas kita telpon ya di bahas itu hahaha... ya gitupuas aja sie mbak selama
ini dalam menjalani hubungan intim hehehe (P1 W2 323)”
Sedangkan pada partisipan 2, waktu suami ada di didekatnya, ia masih
merasakan kehangatan suami, juga dalam hubungan seksual partisipan 2 masih
melakukan kewajibannya sebagai istri. Namun setelah ada konflik yang terjadi dan tidak
terselesaikan itu partisipan 2 menolak permintaan seksual suami walaupun partisipan 2
pun membutuhkannya. Setelah suami pergi partisipan 2 tidak pernah merasakan relasi
seksual dalam bentuk apapun. Partisipan 2 berusaha mengalihkannya dengan
menyibukkan diri bekerja dan mengurus anak. Partisipan 2 merasa tidak puas dengan
relasi seksualnya dengan suami khususnya pada saat suami pergi kembali bekerja di
Batam.
“baik-baik aja mbak biasa aja gitu sewaktu dirumah biasa sewajibnya istri
melayani suami tapi setelah mau pergi ya beda lagi mbak, kan namanya hati dia
mau tapi aku gak mau kan itu, namanya orang jengkel mau diajak apapun ya
gak mau (344-347 P2 W2)
17
Anak dan Orangtua
Dari hasil penelitian pada partisipan 1, terlihat suami berperan dengan baik,
suami dirasa bertanggung jawab dengan perkembangan anak. Hal ini terlihat dari
kesediaan suami untuk berdiskusi dengan partisipan 1 mengenai pertumbuhan, masa
depan sekolahnya pada saat putri mereka akan masuk PAUD mereka membicarakan
bersama dan cara yang tepat dalam mendidik anak. Dalam hal ini partisipan 1 merasa
suami melakukan perannya dengan bertanggung jawab sebagai seorang ayah dan suami
yang baik sehingga walaupun mereka menjalani perkawinan jarak jauh istri tetap
merasa puas.
“aku sering mengkomunikasikan itu sama suami, misal kayak rencana mau
sekolah gitu. Aku membicarakan dulu, kan anak ku baru masih 2 tahun ya udah
tak masukin PAUD, 2 tahun lebih mbak dia masuk PAUD karena udah mau tiga
tahun. (P1 W2 226-229)”
Pada partisipan 2, suami dirasa kurang bertanggung jawab dalam memainkan
peran sebagai seorang ayah. Terlihat dari kurang besarnya perhatian suami terhadap
perkembangan anak, karena ia tidak selalu berinisiatif untuk menanyakan kondisi anak
maupun mendiskusikan mengenai masa depan bagi sang anak. Peran ayah di gantikan
oleh kakak partisipan 2 karena tidak adanya sosok ayah untuk anaknya. Partisipan 2
juga berusaha mendekatkan suami dengan anak dengan menceritakan perkembangan
anak mereka juga mengirimkan foto perkembangan anak mereka sehingga suami juga
terkadang menanyakan anak, namun sebatas hanya menanyakan saja. Sebagai istri,
partisipan 2 pun tidak merasa puas dengan sikap suami tersebut, ditambah suami yang
tidak dapat menjadi teladan yang baik bagi dia dan anak. Kehadiran orang ketiga dalam
18
rumah tangga mereka semakin membuat partisipan 2 menjadi tidak puas dengan peran
suami perkawinannya. Hal inipun dibenarkan oleh teman partisipan 2 bahwa suami
partisipan 2 mempunyai wanita lain selain dia.
“gak ada mbak cuman kasih nafkah yang di jatahnya aja udah itu aja, namanya
hubungan apa tanya apa apa enggak gak pernah sama sekali gak ada mbak.
Malah dia dapatnya dari omnya dari kakakku gitu dianggap seperti anaknya
sendiri to, jadi dia tahunya kakaku itu papahnya ayahnya (252-256 P2 W2)”
Keluarga dan Teman
Kebutuhan yang kecil akan teman dan keluarga pada partisipan 1 dikarenakan
kedekatan dan keterbukaan dengan suami sehingga partisipan 1 lebih suka menceritakan
segala sesuatu pada suaminya. Kesenangan akan kehadiran teman dan keluarga pada
partisipan 2 sangat membantu membuat partisipan 2 tetap bertahan dan ingin
mempertahankan rumah tangganya. Keluarga menyerahkan semua keputusan kepada
partisipan 2 namun keluarga dan teman ingin partisipan 2 tetap menyelesaikan masalah
rumah tangganya dengan di bicarakan baik-baik demi anak mereka. Hal tersebut di
benarkan oleh teman sekat wanita partisipan 2 yang menjadi teman cerita bagi
partisipan 2 selama ini.
“mereka ya sama kayak aku, sama kalo bisa dipertahankan, kalo bisa jangan egoislah,
soalnya yang menang itu kamu, kamu yang resmi bukan mereka pacar lama kan gitu kan
mereka apa-apa, kecuali dia udah nikah sama suamiku nah dia cuman pacaran aja kan
mbak..masih menang aku mbak kan gitu (240-244 P2 W2)”
19
PEMBAHASAN
Perkawinan jarak jauh membuat ketidak hadiran suami di tengah keluarga
sehingga tanggung jawab partisipan sebagai istri dalam menjalani perannya menjadi
lebih besar. Peran ganda merupakan hal yang harus di jalani partisipan selain mengurus
rumah tangga, partisipan juga mempunyai tanggung jawab dalam membesarkan dan
mengurus anak di saat suami tidak ada dirumah karena harus bekerja di luar rumah.
peran ganda bukanlah sesuatu yang mudah karena selain bekerja di luar rumah
partisipan masih mempunyai tanggung jawab dalam mengurus anak dan melakukan
pekerjaan rumah sehingga partisipan sangat membutuhkan kehadiran suami dalam
pembagian peran.
Pada saat suami berada dirumah partisipan merasa sangat terbantu dengan
kehadiran suami karena dapat saling berbagi tugas dan tanggung jawab bersama dalam
mengerjakan pekerjaan rumah tangga dan mengurus anak hal ini seperti yang
diungkapkan oleh Gunarsa (2003) bahwa dalam perkawinan pasangan saling
membutuhkan, saling memberi dukungan, dorongan dan saling melayani, semuanya di
wujudkan dalam kehidupan yang dinikmati secara bersama. Sehingga saat mereka
saling melayani dan melakukan hal bersama dalam dalam perannya akan membuat istri
puas dengan perkawinan mereka. Selain adanya pembagian peran, perkawinan jarak
jauh juga membutuhkan waktu dimana pada saat pasangan bertemu dan menghabiskan
waktu bersama-sama dengan keluarga hal ini di butuhkan untuk lebih memahami
pasangan dan mendekatkan pasangan satu dengan yang lain menurut Baron dan Byrne
(dalam Srisusanti, 2013) pasangan yang sering melakukan kegiatan secara bersama-
20
sama diasumsikan akan merasakan kebahagiaan dalam perkawinannya karena mereka
akan saling lebih memahami satu sama lain. Pada saat suami partisipan pulang kerumah
mereka bersama-sama menghabiskan waktu seperti berbelanja kebutuhan rumah tangga,
makan bersama dan ngobrol bersama sehingga partisipan dan suami merasakan adanya
kebersamaan bersama yang membuat partisipan menjadi puas dengan kehadiran suami.
Keterbukaan komunikasi pada pasangan suami istri sangat di perlukan dalam
menjalani perkawinan jarak jauh karena dari keterbukaan pada pasangan dapat
menumbuhkan rasa percaya kepada pasangan saat pasangan tidak berada di rumah.
Menurut Simanjuntak (2012) mengkomunikasikan permasalahan ataupun kegiatan
sehari-hari merupakan wujud dari keterbukaan pada pasangan, keterbukaan dalam
komunikasi membuat partisipan merasa semakin dekat dengan suami, sehingga relasi
dapat terjaga, dengan adanya kejujuran dan keterbukaan merupakan suatu cara untuk
dapat mengerti pasangan.
Keterbukaan partisipan dengan suami membuat mereka saling bisa
mengkomukasikan setiap permasalahan yang ada dalam rumah tangga seperti masalah
dengan mertua ataupun masalah pekerjaan dan masalah anak, sehingga walaupun
menjalani perkawinan jarak jauh namun partisipan dan suami tetap dapat merasa puas di
karenakan adanya rasa saling terbuka sehingga dapat meminimalkan rasa curiga pada
pasangan. hal ini sama seperti yang diungkapkan oleh (Devinto dalam Wisnuwardani &
Fatmawati, 2012) dalam hubungan komunikasi interpersonal dapat mengalami
pemudaran saat tejadi konflik-konflik kecil yang tidak terselesaikan sampai akhirnya
muncul konflik yang cukup besar dan muncul ketidak puasan pada pasangan yang
21
membuat hubungan keduanya menjadi lemah. Berbeda dengan partisipan 2 minimnya
komunikasi dengan suami membuat masalah yang ada cenderung tidak terselesaikan
dan membuat masalah baru dalam rumah tangga, sehingga membuat partisipan menjadi
tidak puas dikarenakan tidak adanya inisiatif dari suami untuk menyelesaikan masalah
membuat komunikasi partisipan 2 semakin memburuk. Sehingga pada perkawinan jarak
jauh dibutuhkan rasa saling terbuka dan percaya dalam mengkomunikasikan segala
sesuatu sehingga dapat terwujud kepuasan dalam perkawinan.
Menjalani perkawinan jarak jauh ketaatan kepada agama dapat menolong
pasangan dalam membangun rumah tangga menurut (Gymnastiar dalam Srisusanti,
2013) agama merupakan pondasi awal untuk membangun rumah tangga yang penuh
dengan ketenteraman, kebahagiaan dan kesejahteraan. Hal ini terbukti pada saat
partisipan merasa puas dalam perkawinannya, karena mendapat bimbingan dari suami
dalam menjalankan ajaran agama dan suami juga saling memberi dukungan mengenai
agama sehingga istri merasa lebih puas dalam menjalani rumah tangganya. Adanya
kehidupan agama yang benar dapat membuat suami partisipanberinisiatif mengambil
keputusan yang baik dalam rumah tangga, hal ini sesuai yang diungkapkan oleh
(Christiano dalam Julinda, 2009) bahwa agama secara langsung mempengaruhi kualitas
pernikahan dengan memelihara nilai-nilai suatu hubungan norma dan dukungan sosial
yang turut memberikan pengaruh yang besar dalam pernikahan, mengurangi perilaku
yang berbahaya dalam pernikahan.
22
Keluarga dan teman dalam kehidupan rumah tangga dapat menolong partisipan
dalam menjalani perkawinan jarak jauh karena menurut (Devinto dalam Wisnuwardani
& Fatmawati, 2012) manusia adalah mahluk sosial yang membutuhkan orang lain untuk
berbagi dalam tawa, menangis, merasakan kehangatan, persahabatan dan cinta juga
dengan adanya orang lain dapat menumbuhkan pertumbuhan dan perkembangan diri.
Adanya teman dan keluarga membuat partisipanmendapat dukungan dalam kehidupan
berumah tangga pada saat partisipan sedang mengalami permasalahan. Mempunyai
teman yang juga mengalami hal yang sama dapat saling mendukung satu sama lain dan
saling berbagi. Namun kedekatan dan keterbukaan suami dalam kehidupan rumah
tangga dapat membuat kebergantungan partisipan pada teman dan keluarga berkurang
karena suamilah orang yang dapat di percaya, terdekat dan saling berbagi masalah
dalam kehidupan rumah tangga mereka.
23
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Adanya kehadiran pasangan menentukan ada tidaknya peran ganda yang di
jalani oleh istri sehingga hal ini membuat kepuasan perkawinan ada istri yang
menjalani perkawinan jarak jauh.
2. Ketaatan pada agama menentukan ada tidaknya inisiatif dalam penyelesaian
masalah dan pengambilan keputusan. Sehingga keputusan dalam rumah tangga
dapat di bicarakan bersama yang membuat istri merasa puas.
3. Keterbukaan membuat pasangan saling percaya dan dapat mengkomunikasikan
masalah secara bersama-sama dapat menjadi hal yang membuat istri merasa
puas dalam menjalani perkawinan jarak jauh.
4. Kehadiran keluarga dan temandapat memberikan dukungan dan dorongan bagi
istri yang sedang menjalani perkawinan jarak jauh
Saran
1. Untuk penelitian selanjutnya dapat diteliti mengenai bagaimana gambaran
kepuasan perkawinan pada suami yang menjalani perkawinan jarak jauh.
2. Untuk pasangan yang akan menjalani perkawinan jarak jauh, perlu
mempertahankan kehadiran pasangan, ketaatan pada agama dan keterbukaan
satu sama lain.
24
DAFTAR PUSTAKA
Fower, B. J., & Olson, D. H. (1989). ENRICH marital inventory: A discriminate
validity and cross-validity assessment. Journal of Marital and Family Therapy,
13, 65-79.
http://www.prepare-erich.com/pe_main_site_content/pdf/research/study3.pdf.
Diunduh tanggal 13 Agustus 2013
Fower, B. J., & Olson, D. H. (1993). ENRICH marital satisfaction scale: A brief
research and clinical tool. Jurnal of Family Psychology, 7, 176-185.
http://citesserx.ist.psu.edu/viewdoc/summary?doi=10.1.1.201.2.Diunduh tanggal
14 Agustus 2013
Gunarsa, D. S. (2003).Psikologi untuk keluarga. Jakarta: PT.BPK Gunung Mulia.
Handayani, H . M. (2009). Kualitas cinta pada perkawinan jarak jauh ditinjau dari
teori segitiga cinta sternberg. Sekripsi (tidak diterbitkan). Salatiga: Fakultas
Psikologi UKSW.
Hurlock, E. B. (1997). Psikologi perkembangan: suatu sendekatan sepanjangrentang
kehidupan. Jakarta:Penerbit Erlangga.
Julinda, (2009).Gambaran kepuasan pernikahan istripada pasangan commuter
marriage.
http://fpsi.www.mercubuana-yogya.ac.id/wp-content/.../Jurnal-Liza-Julinda-
2.pd.Diunduh tanggal 26 Januari 2014
Lestari, S. (2012).Psikologi keluarga. Jakarta: Kencana Prenanda Media Group
Maleong, L. J. (2010). Metode penelitian kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Meinatun, M. (2013) kepuasan pernikahan pada istri yang menjalani mernikahan jarak
jauh (long distance marriage).
http://www.eprints.undip.ac.id/38260/. Diunduh tanggal 3 Januari 2014
Rahmawati, D., & Endah, M. (2013).Perbedaan tingkat kepuasan perkawinan ditinjau
dari tingkat penyesuaian perkawinan pada istri brigif, marinir TNI-AL
menjalani long distance marriage.Jurnal Psikologi Pendidikan dan
Perkembangan.Vol 02, No. 01.
http://www.journal.unair.ac.id/.../Dwi%20Rachmawati_110810051_ringkasan.p
df. Diunduh tanggal 3 Febuari 2014
25
Santrock, J. W. (2002). Life-Span development perkembangan masa hidup. Alih bahasa
: Ahmad Chuisairi. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Scott, A.T. (2002) Communication characterizing successful long distance
marriages.(Tesis, Louisiana State University).
http://etd.lsu.edu/docs/available/etd-0416102-172102/unrestricted/Scott_dis.pdf.
Diunduh tanggal 11 Desember 2013
Setyaningrum,V. (2006). Kepuasaan perkawinan istri pelaut.
http://www.ebookbrowsee.net/gunadarma-10599233-skripsi-fpsi-pdf-d1570846.
Diunduh tanggal 15 September 2014
Simanjuntak, J.,& Roswitha, D. (2012). Keterampilan perkawinanseni merawat cinta
dan mewariskan pernikahan. Jakarta: Yayasan Perduli Konseling Nusantara
(PELIKAN).
Smith, J. A., & Osbron Mike (2007). Qualitative psychology: Interpretative
phenomenological analysis. 53-80
http://www. sagepub.com/..../17418_04_smith_2e_ch_04.pdf. Diunduh tanggal 23
September 2015
Srisusanti, S. (2013) Studi deskriptif mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi
kepuasan perkawinan pada istri. Jurnal Universitas Gunadarma,7(6)
http://library.gunadarma.ac.id/repository/view/9039/studi-deskriptif-mengenai-
faktor-faktoryang-mempengaruhi-kepuasan-perkawinan-pada-istri.html/. Diunduh
pada 20 September 2015
Wardani, N. A. K. (2012). Self Disclosure dan Kepuasan Perkawinan Pada Usia Awal
Perkawinan
http://www.journal.ubaya.ac.id/index.php/jimus/article/view/55.Diunduh tanggal
23 September 2014
Wardani, Zulputri, Rina. M., & Ifani C. (2013) Gambaran trust pada istri yang
menjalani commuter marriage
http://www.sisfo.upiyptk.ac.id/ejournal/ourwork.php. diunduh pada 14 agustus
2014
Wismanto, B. Y. (2012, Oktober).Multi faktor yang mempengaruhi kepuasan pasangan
perkawinan jawa tengah.National Conference 30 tahun Fakultas Psikologi,
Surabaya 3-4 Oktober 2012.
http://eprints.unika.ac.id/230/. Di unduh tanggal 24 Agustus 2014