Upload
others
View
16
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
KERANGKA KUALIFIKASI NASIONAL INDONESIA
Dokumen 001
Direktorat Jendral Pembelajaran dan Kemahasiswaan
Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi
Republik Indonesia
2015
2
Liberalisasi Pasar Kerja
Globalisasi yang terjadi pada abad ini berakibat pada perubahan keseluruhan kehidupan
bermasyarakat, tidak terkecuali sektor pendidikan. Pada era ini, pendidikan harus dapat
menyikapi dan mengantisipasi perkembangan liberalisasi pasar kerja dan perkembangan
masyarakat berbasis ilmu pengetahuan. Oleh sebab itu inovasi berbagai metoda dan model
pendidikan harus juga dikembangkan (UNESCO: 2006). Mobilitas mahasiswa dan tenaga kerja
antar negara juga memberikan tantangan bagi dunia pendidikan untuk melakukan komparasi
mutu antar negara. Pada pertengahan tahun 1990, pengklasifikasian pekerjaan berkembang
pesat untuk menciptakan keselarasan antara permintaan dan penyediaan tenaga kerja yang
berkompetensi (competence) sebagai faktor yang sangat penting. Untuk keperluan pasar
tenaga kerja, sejumlah negara kemudian membangun sistem deskriptor keahlian dan
kompetensi. Misalnya di Austria, dibangun sistem yang dikenal dengan nama “AMS-
Qualifikation-klassifakation”, di Jerman dengan sistem “Kompetenzenkatalog”, di Perancis
dikenal dengan “ROME”, di Amerika dengan nama “O*NET”, di Swedia dinamai Taxonomy-DB,
dan di Eropa disebut “Job Mobility Portal”.
Semua sistem di atas dimaksudkan untuk membuat “ontologi kompetensi” yang bertujuan
untuk mendapatkan standar deskriptor profil kompetensi (dalam bentuk pekerjaan atau
kesempatan kerja). Kegunaan ontologi kompetensi sangat jelas, yaitu: (1) menjembatani
perbedaan "bahasa" antara dunia ketenagakerjaan dengan dunia pendidikan dan pelatihan; (2)
mendeskripsikan capaian pembelajaran suatu pendidikan atau pelatihan; (3) membandingkan
kualifikasi antarkerangka kualifikasi nasional atau internasional; (4) menganalisis bakat
(aptitude) dan minat dalam pendidikan atau bimbingan karir; dan (5) membantu perbaikan
layanan penempatan tenaga kerja pada perusahaan atau instansi pemerintah.
Dalam upaya mengantisipasi globalisasi, Indonesia telah meratifikasi berbagai konvensi
internasional dalam berbagai sektor, seperti perdagangan, ekonomi, lingkungan dan
pendidikan. Konvensi internasional yang telah diratifikasi oleh Indonesia antara lain adalah
GATS (General Agreement on Trade in Services – 5 April 1994), WTO (World Trade Organization
– 1 Januari 1995), AFTA (Asean Free Trade Area - 1992 ), Regional Convention, serta the
Recognition of Studies, Diplomas and Degrees In Higher Education in Asia and the Pacific (16
Desember 1983 yang kemudian diperbaharui pada tanggal 30 Januari 2008).
Cakupan konvensi internasional tersebut menunjukkan secara jelas perlunya kesepamahaman
masyarakat internasional dalam hal kualifikasi ketenagakerjaan. Untuk itu, setiap negara
peserta konvensi memerlukan suatu sistem kualifikasi ketenagakerjaan yang dapat dipahami
bersama, yang disebut kerangka kualifikasi. Kerangka kualifikasi merupakan suatu instrumen
yang mengklasifikasikan kualifikasi seseorang berdasarkan seperangkat kriteria yang dikaitkan
dengan jenjang capaian pembelajaran1 (learning outcomes) yang telah diperolehnya.
1 Capaian Pembelajaran (learning outcomes) merupakan internasilisasi dan akumulasi ilmu pengetahuan, pengetahuan,
ketrampilan, afeksi, dan kompetensi yang dicapai melalui proses pendidikan yang terstruktur dan mencakup suatu bidang
ilmu/keahlian tertentu atau melalui pengalaman kerja
3
Keberadaan kerangka kualifikasi secara nasional diharapkan akan mendorong pengembangan
keterampilan para pekerja, memfasilitasi mobilitas peserta didik dan tenaga kerja, dan akan
meningkatkan akses seseorang untuk mengikuti jenjang pendidikan serta pelatihan lebih tinggi
sepanjang hidupnya (Tuck , 2007: 2-3).
Kesetaraan sistem kualifikasi antar negara peserta konvensi akan memberikan mobilitas yang
lebih luas, menciptakan pengakuan kesetaraan internasional terhadap ijazah atau sertifikat
kompetensi yang dihasilkan oleh institusi pendidikan dan pelatihan, serta akan mempermudah
pertukaran pelajar, mahasiswa atau pakar.
Tantangan Ketenagakerjaan
Pada saat ini dengan populasi penduduk lebih dari 230 juta, Indonesia telah mengelola lebih
dari 20.000 SMA dan SMK serta 4.255 perguruan tinggi dengan 22.036 program studi (data
2014). Jumlah institusi pendidikan formal ini masih ditambah lagi dengan sejumlah institusi
atau lembaga pendidikan nonformal dan informal serta lembaga-lembaga pelatihan
ketenagakerjaan yang tersebar di seluruh tanah air. Dengan jumlah institusi yang massif seperti
ini, penyetaraan kualifikasi ketenagakerjaan di Indonesia harus memperhatikan beberapa
aspek, antara lain (1) kesenjangan mutu atau capaian pembelajaran antar lulusan sekolah
menengah atas atau peguruan tinggi, (2) kompleksitas koordinasi antara pemerintah pusat dan
daerah dalam sinkronisasi capaian pembelajaran antara sekolah menengah atas dan perguruan
tinggi secara berkelanjutan, (3) ragam jalur pendidikan dan pelatihan yang ada di Indonesia
dengan karakteristik serta capaian pembelajaran yang beragam pula, (4) belum terbangunnya
saling pengakuan atau kesetaraan kualifikasi antar institusi penyelenggara pendidikan atau
pelatihan, (5) keterbatasan yang dimiliki oleh lembaga-lembaga penjaminan mutu internal
maupun eksternal untuk melakukan kajian mutu (quality assessment) secara periodik, dan (6)
kesenjangan komunikasi, informasi atau umpan balik dari pihak pengguna lulusan dengan
institusi penyelengara pendidikan dan pelatihan.
Fenomena ini menunjukkan bahwa pengembangan sistem kesetaraan kualifikasi dari semua
luaran pendidikan dan pelatihan di Indonesia harus dapat mengantisipasi 4 (empat) hal pokok
yaitu (1) sinkronisasi kebijakan lintas kementerian serta antar lembaga atau asosiasi yang
terkait dengan ketenagakerjaan (2) penyelarasan mutu capaian pembelajaran dari institusi atau
lembaga penyelenggara pendidikan dan pelatihan (3) koordinasi dan sinkronisasi lembaga-
lembaga penjaminan mutu yang telah ada maupun yang akan dikembangkan kemudian (4)
menjamin terbentuknya kerjasama dan komunikasi yang berkesinambungan antar stakeholders
ketenagakerjaan di Indonesia.
Di sisi lain, relevansi pendidikan juga dihadapkan pada keterbatasan informasi dan sosialisasi
tentang perencanaan kebutuhan sumberdaya manusia yang komprehensif. Akibatnya,
informasi menyangkut jumlah, mutu dan kualifikasi lulusan yang dibutuhkan oleh setiap jenis
dan jenjang pekerjaan menjadi sangat terbatas pula. Dampak lainnya, ketersediaan informasi
tentang kebutuhan sumberdaya manusia yang dikaitkan dengan proyeksi pengembangan
industri, teknologi, dan riset di Indonesia baik untuk jangka pendek, menengah, maupun jangka
panjang sangat tidak memadai. Keterbatasan ini telah menimbulkan masalah lainnya, antara
lain seperti terjadinya penumpukan lulusan atau pengangguran pada bidang-bidang keahlian
4
tertentu karena jumlah lulusan melebihi kapasitas serapan pengguna lulusan (over supply),
terjadinya kesulitan dalam pengendalian pertumbuhan sekolah atau perguruan tinggi, serta
adanya gejala pendidikan yang berorientasi pada ijasah atau gelar dibandingkan mutu.
Permasalahan-permasalahan tersebut diatas memberi sinyal bahwa upaya untuk meningkatkan
mutu ketenagakerjaan melalui program penyetaraan kualifikasi akan mencakup aspek-aspek
yang cukup luas dan memerlukan program-program lintas kementerian, kerjasama antara
pemerintah dengan asosiasi industri, asosiasi profesi dan kelompok masyarakat pengguna
luaran pendidikan.
Permasalahan lain yang dihadapi oleh para pemaengku kepentingan adalah
mengimplementasikan sistem pendidikan di Indonesia yang menganut Sistem Terbuka (UU No.
20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 12 ayat (1) huruf e dan f).
Berdasarkan Sistem Terbuka, pendidikan harus diselenggarakan dengan fleksibilitas dalam
pemilihan jalur pendidikan dan waktu penyelesaian program lintas satuan atau jalur pendidikan
(multi entry-multi exit system). Peserta didik dapat belajar sambil bekerja serta mengikuti
pembelajaran tatap muka atau jarak jauh. Pelaksanaan mandat undang-undang tersebut
menimbulkan konsekuensi untuk memberi peluang seluas-luasnya bagi setiap individu untuk
memperoleh kesetaraan jenjang kualifikasi melalui setiap jalur atau berpindah jalur pendidikan
sesuai dengan pilihanya masing-masing.
Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI)
Menanggapi berbagai permasalahan dan tantangan ke depan yang akan dihadapi oleh
Indonesia di sektor pendidikan dan ketenagakerjaan tesebut maka pada akhir Tahun 2009
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi KEMENDIKBUD, melalui kegiatan yang dikembangkan di
dalam lingkungan Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan (BELMAWA), mengambil
inisiatif yang sejalan dengan gagasan Direktorat Bina Instruktur dan Tenaga Kepelatihan,
KEMENNAKERTRANS untuk mengembangkan kerangka kualifikasi di tingkat nasional yang
kemudian diberi nama Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia atau disingkat dengan KKNI.
Selama periode pengembangan konsep-konsep dasar KKNI tersebut, pihak-pihak di dalam
lingkungan KEMENDIKBUD dan KEMENNAKERTRANS serta pihak-pihak lain yang terkait seperti
misalnya asosiasi industri, asosiasi profesi, badan atau lembaga sertifikasi profesi, institusi
pendidikan dan pelatihan tingkat menengah dan tinggi, badan atau lembaga akreditasi, telah
diikutsertakan secara intensif untuk menjamin terciptanya suatu landasan pengembangan KKNI
yang handal dan komprehensif. KKNI diatur dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia
Nomor 8 tahun 2012.
KKNI merupakan perwujudan mutu dan jati diri bangsa Indonesia terkait dengan sistem
pendidikan nasional, sistem pelatihan kerja nasional dan sistem penilaian kesetaraan nasional,
yang dimiliki Indonesia untuk menghasilkan sumberdaya manusia dari capaian pembelajaran,
yang dimiliki setiap insan pekerja Indonesia dalam menciptakan hasil karya serta kontribusi
yang bermutu di bidang pekerjaannya masing-masing.
Prinsip dasar yang dikembangkan dalam KKNI adalah menilai unjuk kerja seseorang dalam
aspek-aspek keilmuan, keahlian dan keterampilan sesuai dengan capaian pembelajaran
5
(learning outcomes) yang diperoleh melalui proses pendidikan, pelatihan atau pengalaman
yang telah dilampauinya, yang setara dengan deskriptor kualifikasi untuk suatu jenjang
tertentu. Terkait dengan proses pendidikan, capaian pembelajaran merupakan hasil akhir atau
akumulasi proses peningkatan keilmuan, keahlian dan keterampilan seseorang yang diperoleh
melalui pendidikan formal, informal atau nonformal. Dalam arti yang lebih luas, capaian
pembelajaran juga diartikan sebagai hasil akhir dari suatu proses peningkatan kompetensi atau
karir seseorang selama bekerja. Pinsip dasar ini sesuai dengan pendekatan yang dilakukan oleh
negara-negara lain dalam mengembangkan kerangka kualifikasi masing-masing.
Pada proses penyusunan konsep-konsep KKNI, studi banding juga telah dilakukan ke berbagai
negara untuk dapat mengembangkan KKNI yang sebanding dengan kerangka kualifikasi negara-
negara lain. Kesepadanan antara KKNI dengan kerangka kualifikasi negara-negara lain sangat
diperlukan agar KKNI dapat dipahami dan diakui sebagai sebuah sistem kualifikasi yang handal
dan terpercaya. Selanjutnya, dengan adanya pengakuan dan kepercayaan terhadap KKNI maka
kerjasama atau program penyetaraan kualifikasi ketenagakerjaan antara Indonesia dengan
negara-negara lain akan lebih mudah diwujudkan.
Indonesia menganut unified system atau sistem terpadu. Capaian pembelajaran untuk jenis
pendidikan akademik, vokasi maupun profesi untuk jenjang kualifikasi yang sama atau setara,
bahkan dapat disetarakan dengan hasil pendidikan nonformal atau informal, mendapat
perhatian dalam KKNI. Oleh karena itu, KKNI di Indonesia disusun sebagai satu kesatuan
kerangka kualifikasi untuk seluruh sektor pendidikan, pelatihan, dan ketenagakerjaan.
Sebagai sebuah kebijakan yang memiliki implikasi luas di masyarakat, KKNI harus dikembangkan
dengan teliti, disertai dengan tahapan-tahapan yang jelas dan mendorong keikutsertaan semua
pihak yang berkepentingan dalam mengambil keputusan sehingga hasil-hasil yang dicapai
merupakan kesepakatan bersama. Implementasi KKNI diharapkan dapat: (a) meningkatkan
mutu pendidikan dan pelatihan nasional; (b) meningkatkan pengakuan masyarakat
internasional terhadap hasil pendidikan dan pelatihan nasional; (c) meningkatkan pengakuan
terhadap hasil pendidikan nonformal dan informal oleh sistem pendidikan formal; serta (d)
meningkatkan kepercayaan para pemangku kepentingan terhadap kualitas dan relevansi tenaga
kerja yang dihasilkan oleh sistem pendidikan dan pelatihan nasional.
Peran KKNI
Secara umum KKNI diharapkan dapat melahirkan suatu sistem penyetaraan kualifikasi
ketenagakerjaan di Indonesia dan memiliki peran sebagai berikut :
• KKNI harus mampu secara komprehensif dan berkeadilan menampung kebutuhan
semua pihak yang terkait dengan ketenagakerjaan serta memperoleh kepercayaan
masyarakat luas
• KKNI diharapkan memiliki jumlah jenjang dan deskripsi kualifikasi yang jelas dan terukur
serta secara transparan dapat dipahami oleh pihak penghasil dan pengguna tenaga kerja
baik di tingkat nasional, regional maupun internasional
6
• KKNI yang akan dikembangkan harus bersifat lentur (flexible) sehingga dapat
mengantisipasi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, kebutuhan keilmuan,
keahian dan keterampilan di tempat kerja serta selalu dapat diperbaharui secara
berkelanjutan. Sifat lentur yang dimiliki KKNI harus dapat pula memberikan peluang
seluas-luasnya bagi seseorang untuk mencapai jenjang kualifikasi yang sesuai melalui
berbagai jalur pendidikan, pelatihan atau pengalaman kerja termasuk perpindahan dari
satu jalur ke jalur kualifikasi yang lain.
• KKNI hendaknya menjadi salah satu pendorong program-program peningkatan mutu
baik dari pihak penghasil maupun pengguna tenaga kerja sehingga kesadaran terhadap
peningkatan mutu sumber daya manusia dapat diwujudkan secara nasional.
• KKNI harus mencakup pengembangan sistem penjaminan mutu yang memiliki fungsi
pemantauan (monitoring) dan pengkajian (assessment) terhadap badan atau lembaga
yang terkait dengan proses-proses penyetaraan capaian pembelajaran dengan jenjang
kualifikasi yang sesuai.
• KKNI harus secara akuntabel dapat memberikan peluang pergerakan tenaga kerja dari
Indonesia ke negara lain atau sebaliknya.
• KKNI harus dapat menjadi panduan bagi para pencari kerja yang baru maupun lama
dalam upaya meningkatkan taraf hidup atau karir ditempat kerja masing-masing.
• KKNI diharapkan dapat menguatkan integrasi dan koordinasi badan atau lembaga
penjaminan atau peningkatan mutu yang telah ada, seperti Badan Standar Nasional
Pendidikan (BSNP), Badan Akreditasi Nasional (BAN), Badan Nasional Sertifikasi Pekerja
(BNSP), Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) dan lain-lain.
• KKNI diharapkan mencakup sistem Rekognisi Pembelajaran Lampau (RPL) sedemikian
sehingga dapat menjamin terjadinya fleksibilitas pengembangan karir atau peningkatan
jenjang kualifikasi.
Jenjang Kualifikasi pada KKNI
KKNI menyediakan sembilan jenjang kualifikasi, dimulai dari Kualifikasi jenjang 1 sebagai
kualifikasi terendah dan kualifikasi jenjang 9 sebagai kualifikasi tertinggi. Penetapan jenjang 1
sampai 9 dilakukan melalui pemetaan komprehensif kondisi ketenagakerjaan di Indonesia
ditinjau dari sisi penghasil (supply push) maupun pengguna (demand pull) tenaga kerja.
Diskripsi setiap jenjang kualifikasi juga disesuaikan dengan mempertimbangkan kondisi negara
secara menyeluruh, termasuk perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni,
perkembangan sektor-sektor pendukung perekonomian dan kesejahteraan rakyat seperti
perindustrian, pertanian, kesehatan, hukum, dan lain-lain, serta aspek-aspek pembangun jati
diri bangsa yang tercermin dalam Bhineka Tunggal Ika, yaitu komitmen untuk tetap mengakui
keragaman agama, suku, budaya, bahasa dan seni sebagai ciri khas bangsa Indonesia.
Penjenjangan kualifikasi pada KKNI dengan jenjang sembilan sebagai jenjang tertinggi tidak
serta-merta berarti bahwa jenjang tertinggi KKNI tersebut lebih tinggi dari jenjang kualifikasi
7
yang berlaku di Eropa (8 jenjang) dan Hongkong (7 jenjang) atau sebaliknya lebih rendah dari
jenjang kualifikasi yang berlaku di Selandia Baru (10 jenjang). Hal ini lebih tepat dimaknai
bahwa jenis kualifikasi pada KKNI dirancang untuk memungkinkan setiap jenjang kualifikasinya
bersesuaian dengan kebutuhan bersama antara penghasil dan pengguna lulusan, kultur
pendidikan/pelatihan/kursus di Indonesia saat ini dan gelar lulusan setiap jalur pendidikan yang
berlaku di Indonesia.
Di dalam pengembangannya, jenjang-jenjang kualifikasi pada KKNI merupakan jembatan untuk
menyetarakan capaian pembelajaran yang diperoleh melalui pendidikan formal, informal, dan
nonformal dengan kompetensi kerja yang dicapai di dunia kerja, melalui pelatihan berbasis
kompetensi (Competence Based Training = CBT) atau program peningkatan jenjang karir. Secara
skematik pencapaian setiap jenjang atau peningkatan ke jenjang yang lebih tinggi pada KKNI
dapat dilakukan melalui empat tapak jalan (pathways) atau kombinasi dari keempatnya. Tapak
jalan tersebut seperti diilustrasikan pada Gambar-1 terdiri dari tapak jalan melalui pendidikan
formal, pengembangan profesi, peningkatan karir di industri, dunia kerja atau melalui
akumulasi pengalaman individual.
Dengan pendekatan tersebut maka KKNI dapat dijadikan rujukan oleh 4 (empat) pemangku
kepentingan yang menggunakan pendekatan masing-masing dalam peningkatan jenjang
kualifikasi. Misalnya, sektor pendidikan formal dapat menggunakan KKNI sebagai rujukan
dalam merencanakan sistem pembelajaran perguruan tinggi di Indonesia sehingga dapat
dengan tepat memposisikan kemampuan lulusannya pada salah satu jenjang kualifikasi KKNI
dan memperkirakan kesetaraannya dengan jenjang karir di dunia kerja. Dari sisi lain, pengguna
lulusan, asosiasi industri atau dunia kerja secara umum juga dapat merujuk KKNI untuk
memperkirakan kualifikasi yang dimiliki oleh pencari kerja dan memposisikannya pada jenjang
karir serta memberikan remunerasi yang sesuai. Hal yang sama juga dapat dilakukan oleh
penjenjangan keprofesian di ranah asosiasi profesi. Pemangku kepentingan dari kelompok
masyarakat luas juga diakui memiliki jenjang kualifikasi tertentu dalam KKNI karena memiliki
pengalaman otodidak yang memenuhi atau sesuai dengan deskripsi kualifikasi pada jenjang
tertentu.
Konsep dasar KKNI tersebut mengandung makna kesetaraan dan pengakuan yang disepakati
bersama antar pemangku kepentingan. Oleh karena itu KKNI harus dilengkapi dengan
mekanisme dan aturan-aturan yang diperlukan untuk mewujudkan kesetaraan dan adanya
saling pengakuan. Dalam ranah pendidikan, dunia kerja dan keprofesian, mekanisme dan
aturan-aturan tersebut mungkin telah ada dan disusun dengan baik, akan tetapi untuk ranah
masyarakat luas hal ini memerlukan panataan yang komprehensif dengan memperhatikan
unsur-unsur mutu, akuntabilitas dan integritas.
8
PROFESI :
SERTIFIKAT PROFESI (PII)
INDUSTRI :
FUNGSI JABATAN KERJA
PENDIDIKAN :
GELAR AKADEMIS
OTODIDAK :
PENGALAMAN
KEAHLIAN
KHUSUS
SMP SMA D1 D2 D3 S1 PRO S2 S3
9
U 8
M D 7
M 6
5
4
3
2
1
OPERATOR ANALIS AHLI
Gambar 1: Penjenjangan KKNI melalui 4 jejak jalan (pathways) serta kombinasi ke-empatnya
(Ilustrasi oleh : Rudy Handojo – PII)
Secara konseptual, setiap jenjang kualifikasi dalam KKNI disusun oleh enam parameter utama
yaitu (a) Ilmu pengetahuan (science), (b) pengetahuan (knowledge), (c) pengetahuan prakatis
(know-how), (d) keterampilan (skill), (e) afeksi (affection) dan (f) kompetensi (competency)2.
Ke-enam parameter yang terkandung dalam masing-masing jenjang disusun dalam bentuk
deskripsi yang disebut Deskriptor Kualifikasi. Dengan demikian ke-9 jenjang kualifikasi dalam
1. 2 llmu pengetahuan (science) dideskripsikan sebagai suatu sistem berbasis metodologi ilmiah untuk membangun
pengetahuan (knowledge) melalui hasil-hasil penelitian di dalam suatu bidang pengetahuan (body of knowledge).
Penelitian berkelanjutan yang digunakan untuk membangun suatu ilmu pengetahuan harus didukung oleh rekam data,
observasi dan analisa yang terukur dan bertujuan untuk meningkatkan pemahaman manusia terhadap gejala-gejala alam
dan sosial.
2. Pengetahuan (knowledge) dideskripsikan sebagai penguasaan teori dan keterampilan oleh seseorang pada suatu bidang
keahlian tertentu atau pemahaman tentang fakta dan informasi yang diperoleh seseorang melalui pengalaman atau
pendidikan untuk keperluan tertentu.
3. Pemahaman (know-how) dideskripsikan sebagai penguasaan teori dan keterampilan oleh seseorang pada suatu bidang
keahlian tertentu atau pemahaman tentang metodologi dan keterampilan teknis yang diperoleh seseorang melalui
pengalaman atau pendidikan untuk keperluan tertentu.
4. Keterampilan (skill) dideskripsikan sebagai kemampuan psikomotorik (termasuk manual dexterity dan penggunaan
metode, bahan, alat dan instrumen) yang dicapai melalui pelatihan yang terukur dilandasi oleh pengetahuan (knowledge)
atau pemahaman (know-how) yang dimiliki seseorang mampu menghasilkan produk atau unjuk kerja yang dapat dinilai
secara kualitatif maupun kuantitatif.
5. Afeksi (Affection) dideskripsikan sebagai sikap (attitude) sensitif seseorang terhadap aspek-aspek di sekitar kehidupannya
baik ditumbuhkan oleh karena proses pembelajarannya maupun lingkungan kehidupan keluarga atau mayarakat secara
luas.
6. Kompetensi (competency) adalah akumulasi kemampuan seseorang dalam melaksanakan suatu deskripsi kerja secara
terukur melalui asesmen yang terstruktur, mencakup aspek kemandirian dan tanggung jawab individu pada bidang kerjanya.
9
KKNI memuat deskriptor-deskriptor yang menjelaskan kemampuan di bidang kerja, lingkup kerja
berdasarkan pengetahuan yang dikuasai dan kemampuan manjerial.
Uraian tentang parameter pembentuk setiap Deskriptor KKNI adalah sebagai berikut:
1. Kemampuan di bidang kerja. Komponen ini menjelaskan kemampuan seseorang yang sesuai
dengan bidang kerja terkait, mampu menggunakan metode/cara yang sesuai dan mencapai
hasil dengan tingkat mutu yang sesuai dan memahami kondisi atau standar proses
pelaksanaan pekerjaan tersebut.
2. Lingkup kerja berdasarkan pengetahuan yang dikuasai, dimaksudkan bahwa deskriptor
kualifikasi harus menjelaskan cabang keilmuan yang dikuasai seseorang dan mampu
mendemonstrasikan kemampuan berdasarkan cabang ilmu yang dikuasainya tersebut.
3. Kemampuan manajerial, menunjukkan bahwa deskriptor kualifikasi harus menjelaskan
lingkup tanggung jawab seseorang dan standar sikap yang dimilikinya untuk melaksanakan
pekerjaan di bawah tanggung jawabnya tersebut.
Penjenjangan dalam KKNI memiliki karakteristik. dimana dalam sSetiap deskriptor KKNI untuk
pada jenjang kualifikasi yang sama dapat mengandung atau terdiri dari komposisi unsur-unsur
keilmuan (science), pengetahuan (knowledge), pemahaman (know-how atau understanding)
dan keterampilan (skill) yang bervariasi satu dengan yang lain. Hal ini berarti pula bahwa setiap
capaian pembelajaran suatu pendidikan dapat memiliki kandungan keterampilan (skill) yang
lebih menonjol dibandingkan dengan keilmuan-nya (science), akan tetapi diberikan pengakuan
penjenjangan kualifikasi yang setara. Karakteristik lainnya adalah jenjang kualifikasi yang
semakin tinggi akan memiliki deskriptor KKNI yang semakin berkarakter keilmuan (science),
sedangkan semakin rendah suatu kualifikasi akan semakin menekankan pada penguasaan
keterampilan (skill).
Disusun oleh Tim KKNI
Megawati Santoso, Ardhana Putra, Junaedi Muhidong,
Illah Sailah, SP Mursid, Achmad Rifandi, Susetiawan, Endrotomo
Editor: Yusring Baso
1
LANDASAN HUKUM
KERANGKA KUALIFIKASI NASIONAL INDONESIA
Dokumen 002
Direktorat Jendral Pembelajaran dan Kemahasiswaan
Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi
Republik Indonesia
2015
2
Penyusunan KKNI mempunyai landasan hukum, yang tercakup di dalam Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun
2006 tentang Sistem Pelatihan Kerja Nasional dan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun
2004 tentang Badan Nasional Sertifikasi Profesi. Selain itu KKNI ini juga disusun untuk
memenuhi amanat Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional. Dalam Pasal 4 ayat (2) undang-undang tersebut menyatakan bahwa pendidikan
diselenggarakan sebagai satu kesatuan yang sistemik dengan sistem terbuka dan
multimakna.
Beberapa landasan hukum lainnya yang dapat dijadikan rujukan dalam penyusunan KKNI
antara lain: Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999, Pasal 33 ayat (2), tentang Jasa
Konstruksi yang memberikan kewenangan kepada Masyarakat Jasa Konstruksi untuk
berperan dalam menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan di bidang jasa konstruksi;
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris; Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2009 tentang Kesehatan yang mengatur tentang kategori, jenis dan kualifikasi tenaga
kesehatan; dan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, yang
mengatur tentang kualifikasi dan kompetensi dosen dan guru. Selain peraturan-peraturan
tersebut di atas, masih terdapat beberapa peraturan yang terkait dengan aspek mutu dan
kualifikasi ketenagakerjaan, yang diterbitkan oleh kementerian atau lembaga-lembaga
pemerintah lainnya, termasuk perusahan-perusahaan swasta dan BUMN. Sebagian besar
peraturan-peraturan tersebut diberlakukan secara terbatas di lingkungan setiap lembaga
pemerintah. Misalnya BUMN atau perusahan swasta mengatur aspek-aspek yang
menyangkut penetapan jenjang kualifikasi dan kemampuan kerja yang dibutuhkan pada
setiap jenjang karir di lingkungan lembaganya, yang pada umumnya dikaitkan dengan
pangkat, golongan dan remunerasi. Dalam hal ini, perusahan sebagai sebuah lembaga juga
menetapkan pengakuan terhadap hasil pembelajaran atau pelatihan kerja, baik dilakukan di
lingkungan sendiri maupun di lembaga-lembaga pelatihan dan kursus yang terpercaya
lainnya.
Selanjutnya KKNI dipertegas dengan Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2012, yang
merupakan penjabaran dari peraturan-peraturan yang lebih tinggi. Dalam peraturan
tersebut, pada Pasal 1 ayat (1), dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan Kerangka Kualifikasi
Nasional Indonesia (KKNI) adalah kerangka penjenjangan kualifikasi kompetensi yang dapat
menyandingkan, menyetarakan, dan mengintegrasikan antara bidang pendidikan dan bidang
pelatihan kerja serta pengalaman kerja dalam rangka pemberian pengakuan kompetensi
kerja sesuai dengan struktur pekerjaan di berbagai sektor .
Maksud dan Tujuan Kerangka Kualifikasi Nasional
3
Sebagai perwujudan mutu dan jati diri bangsa Indonesia dalam sistem pendidikan dan
pelatihan serta sistem pengakuan kompetensi kerja secara nasional, KKNI dimaksudkan
menjadi pedoman untuk:
a. menetapkan kualifikasi capaian pembelajaran yang diperoleh melalui pendidikan
formal, non-formal, informal, pelatihan atau pengalaman kerja;
b. menetapkan skema pengakuan kualifikasi capaian pembelajaran yang diperoleh
melalui pendidikan formal, non-formal, informal, pelatihan atau pengalaman kerja;
c. menyetarakan kualifikasi antara capaian pembelajaran yang diperoleh melalui
pendidikan formal, non-formal, informal, pelatihan atau pengalaman kerja dengan
kebutuhan keilmuan, keahlian dan keterampilan di tempat kerja;
d. mengembangkan metode dan sistem pengakuan kualifikasi sumberdaya manusia dari
negara lain yang akan bekerja di Indonesia serta menjamin pengakuan yang setara
bagi sumber daya manusia Indonesia yang akan bekerja di negara lain.
Dalam fungsinya sebagai regulator dan fasilitator, Kementerian Riset, Teknologi dan
Pendidikan Tinggi (dahulu Kementerian Pendidikan Nasional) selain mempunyai tanggung
jawab dalam melaksanakan pengembangan Ilmu pengetahuan, teknologi dan seni, juga
mengemban tugas menghasilkan sumberdaya manusia yang bermutu bagi sektor-sektor
industri, dunia usaha atau pemerintahan. Oleh karena itu kontribusi Kementerian Riset,
Teknologi dan Pendidikan Tinggi dalam usaha meningkatkan daya saing bangsa menjadi
sangat penting. Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi, bersama-sama
perguruan tinggi di seluruh Indonesia yang berjumlah 4.255 perguruan tinggi dengan 22.036
program studi (data 2014), secara berkelanjutan mendorong peningkatan kapabilitas dan
kapasitas setiap perguruan tinggi untuk mengembangkan, mengelola serta
menyelenggarakan kegiatan akademik yang bermutu tinggi. Walaupun demikian, sampai saat
ini, kesenjangan mutu penyelenggaraan maupun capaian pembelajaran perguruan tinggi di
Indonesia masih cukup besar. Evaluasi secara terukur terhadap penyelenggaraan dan
pengelolaan kegiatan akademik sampai saat ini dilakukan secara internal oleh unit-unit
Sistem Penjaminan Mutu Internal di perguruan tinggi masing-masing dan secara eksternal
dilakukan oleh BAN PT melalui skema akreditasi.
Pengguna lulusan yang terdiri dari perusahan, industri dan berbagai sektor formal maupun
informal lainnya merupakan garda terdepan yang akan berhadapan secara langsung dengan
berbagai bentuk tantangan global. Oleh karena itu sektor pengguna lulusan harus mendapat
pasokan yang berkualitas dari hasil-hasil pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan
seni, lulusan yang bermutu tinggi, berdasarkan capaian pembelajaran yang sesuai dengan
keilmuan, keahlian dan keterampilan yang dibutuhkan. Hal ini merefleksikan bahwa interaksi
timbal balik antara penghasil dan pengguna lulusan perguruan tinggi sangat diperlukan guna
mewujudkan ketahanan dan daya saing bangsa secara menyeluruh. Walaupun demikian,
sampai saat ini mekanisme interaksi dan koordinasi antarinstitusi penghasil dan pengguna
lulusan perguruan tinggi di tingkat nasional maupun di daerah belum terbangun dengan
seutuhnya.
4
Ratifikasi tentang pengakuan pendidikan diploma dan pendidikan tinggi (UNESCO Regional
Convention on the Recognition of Studies, Diplomas and Degrees in Higher Education in Asia
and the Pasific –the “1983 Convention”) dilakukan Indonesia pada tanggal 30 Januari 2008.
Langkah strategis tersebut mempercepat proses pengembangan pedoman tentang
peningkatkan, penyetaraan mutu dan kualifikasi lulusan perguruan tinggi di tingkat nasional
yang akan memasuki dunia kerja.
Saling pengakuan dan penyetaraan kualifikasi lulusan perguruan tinggi antar negara
mendorong terjadinya interaksi yang lebih efektif antara institusi penghasil dan pengguna
lulusan pendidikan tinggi, serta menginspirasi sektor-sektor lain untuk membangun kerangka
kualifikasi SDM yang diakui di tingkat nasional maupun internasional.
Pengembangan KKNI memiliki tujuan yang bersifat umum dan khusus. Tujuan umum
mencakup hal-hal yang dapat mendorong integrasi antara sektor-sektor terkait, sedangkan
tujuan khusus mencakup aspek-aspek strategis pengembangan kerangka dan jenjang
kuaifikasi tersebut. Kedua tujuan tersebut diuraikan berikut ini:
Tujuan Umum:
1. Meningkatkan komitmen nasional untuk menghasilkan sumberdaya manusia Indonesia
yang bermutu dan berdaya saing internasional;
2. Mendorong peningkatan mutu dan aksesibilitas sumberdaya manusia Indonesia ke pasar
kerja nasional dan internasional;
3. Membangun proses pengakuan dan kesetaraan kualifikasi yang akuntabel dan transparan
terhadap capaian pembelajaran yang diperoleh melalui pendidikan formal, nonformal,
informal, pelatihan atau pengalaman kerja yang diakui oleh dunia kerja nasional dan
internasional;
4. Meningkatkan kontribusi capaian pembelajaran yang diperoleh melalui pendidikan
formal, nonformal, informal, pelatihan atau pengalaman kerja dalam pertumbuhan
ekonomi nasional;
5. Mendorong meningkatnya mobilitas pelajar, mahasiswa, dan tenaga kerja antara negara
berbasis kesetaraan kualifikasi.
Tujuan Khusus:
1. Memperoleh korelasi positif antara mutu luaran, capaian pembelajaran dan proses
pendidikan di semua tingkat termasuk di tingkat perguruan tinggi;
2. Mendorong penyesuaian capaian pembelajaran dan penyetaraan mutu lulusan
pendidikan terhadap tingkat kualifikasi yang sesuai dan diakui oleh pengguna lulusan;
3. Menciptakan pedoman-pedoman pokok bagi sekolah dan perguruan tinggi dalam
mengembangkan aturan dan mekanisme pengakuan terhadap hasil pembelajaran
lampau (Recognition of Prior Learning) atau kekayaan pengalaman yang dimiliki
seseorang;
5
4. Menciptakan jembatan saling pengertian antara penghasil dan pengguna lulusan dari
proses pendidikan dan pelatihan sehingga secara berkelanjutan dapat membangun
kapasitas dan maningkatkan daya saing bangsa dalam sektor sumberdaya manusia;
5. Memberi panduan bagi pengguna lulusan untuk melakukan penyesuaian kualifikasi
dalam mengembangkan program-program pendidikan berkelanjutan (continuing
education programs) atau belajar sepanjang hayat (life-long learning programs);
6. Menjamin terjadinya peningkatan mobilitas dan aksesibilitas tenaga kerja Indonesia ke
pasar kerja nasional dan internasional;
7. Memperoleh pengakuan terhadap KKNI dari negara-negara lain baik secara bilateral,
regional maupun internasional tanpa meninggalkan ciri dan kepribadian bangsa
Indonesia;
8. Mendorong peningkatan mobilitas dan kerjasama akademik antara pendidikan tinggi di
Indonesia dengan pendidikan tinggi negara-negara lain untuk mencapai saling
pengertian, solidaritas dan perdamaian dunia.
Disusun oleh Tim KKNI
Megawati Santoso, Ardhana Putra, Junaedi Muhidong,
Illah Sailah, SP Mursid, Achmad Rifandi, Susetiawan, Endrotomo
Editor: Yusring Baso
1
STRATEGI IMPLEMENTASI KKNI SECARA NASIONAL
Dokumen 003
Direktorat Jendral Pembelajaran dan Kemahasiswaan
Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi
Republik Indonesia
2015
STRATEGI IMPLEMENTASI KKNI SECARA NASIONAL
Pengelolaan dan peningkatan mutu tenaga kerja nasional secara strategis harus
ditempatkan sebagai fokus kepedulian semua pihak yang berkepentingan seperti industri
dan dunia usaha, lembaga pemerintah dan non-pemerintah, institusi pendidikan, serta
masyarakat luas. Dalam kondisi perekonomian negara dengan jumlah penganggur dari
angkatan kerja yang masih cukup signifikan, maka tidak dapat dipungkiri adanya kondisi
tenaga kerja maupun para penganggur belum memiliki kualifikasi yang memadai atau
yang sesuai dengan kualifikasi KKNI. Gambar 1 di bawah ini secara skematik memberikan
ilustrasi tentang kondisi tenaga kerja saat ini dan dapat digunakan sebagai pedoman
dasar menyusun strategi implementasi KKNI. Dari gambar tersebut dapat dilihat kondisi
tenaga kerja Indonesia dan kesesuaiannya dengan kualifikasi yang diharapkan memenuhi
KKNI sebagai berikut:
Penganggur yang
seharusnya ditingkatkan
kemampuannya oleh
masyarakat dan lembaga
pendidikan informal
Penganggur yang
seharusnya ditingkatkan
kemampuannya oleh
lembaga pendidikan
non formal
Penganggur yang
seharusnya ditingkatkan
kemampuannya oleh
dunia industri dan
pemangku kepentingan
lainnya
Penganggur yang
seharusnya ditingkatkan
kemampuannya oleh
lembaga pendidikan
formal
KKNI
Tenaga kerja yang
sudah terkualifikasi KKNI
Gambar 1. Peran para stakeholder Tenaga Kerja Indonesia dalam pengelolaan SDM nasional.9
a. Kelompok penganggur selayaknya dapat ditanggulangi secara sistematik melalui
kerja sama yang sinergis antara semua pihak yang bertanggung jawab, berwenang
dan berkepentingan.
b. Tenaga kerja yang belum memenuhi kualifikasi KKNI di mana mutu dan kinerja
yang dihasilkan tidak terukur atau belum sesuai dengan yang dipersyaratkan oleh
pengguna tenaga kerja, dapat mengakibatkan hal-hal yang merugikan baik bagi
tenaga kerja itu sendiri maupun pengguna tenaga kerja, atau bagi pemerintah
dalam menyusun strategi pengelolaan tenaga kerja nasional.
Angkatan kerja tersebut di atas perlu dipersiapkan oleh lembaga pendidikan formal,
informal, nonformal, pelatihan kerja swasta atau pemerintah dengan tetap berorientasi
pada pencapaian jenjang kualifikasi KKNI yang sesuai. Dalam hal ini pihak-pihak yang
berwenang termasuk lembaga-lembaga penjaminan mutu harus dapat memastikan
bahwa lembaga pendidikan/pelatihan/kursus yang tersedia memiliki kualitas yang relevan
dan dapat dipertanggung-jawabkan.
Secara keseluruhan strategi implementasi KKNI harus dapat mencerminkan beberapa hal
berikut:
• menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari strategi pengelolaan dan peningkatan
mutu sumberdaya manusia nasional;
• menjadi acuan pengembangan dan peningkatan mutu pendidikan nasional
umumnya dan pendidikan tinggi pada khususnya;
• menjadi panduan bagi industri, dunia usaha, dan institusi pemerintah untuk
merencanakan dan mengembangkan jenjang karir;
• menjadi pedoman dan acuan pengembangan dan peningkatan mutu lembaga-
lembaga pelatihan swasta maupun pemerintah;
• menjadi pedoman bagi asosiasi profesi untuk menyusun pengembangan jenjang
profesi; dan
• menjadi pedoman para tenaga kerja atau masyarakat luas untuk mengembangkan
diri dan karir.
Pada kondisi yang ideal, KKNI merupakan acuan bagi semua pihak yang berkepentingan
termasuk pihak penghasil dan pengguna tenaga kerja serta masyarakat luas. Selain itu
dalam era mobilitas dan perpindahan tenaga kerja secara internasional, KKNI harus dapat
pula menjadi pedoman untuk melakukan penyetaraan jenjang kualifikasi tenaga kerja
negara lain yang hendak bekerja di Indonesia maupun sebaliknya.
Badan Kualifikasi Nasional Indonesia (BKNI)
Peraturan Presiden tentang KKNI memberikan landasan hukum yang dapat bersifat
memaksa pada sistem ketenagakerjaan dan mekanisme penyiapannya di wilayah hukum
Indonesia. Kelengkapan peraturan dan konstruksi KKNI memberikan peluang penataan
dan penyiapan serta peningkatan daya saing ketenagakerjaan di Indonesia, baik di dalam
maupun di luar negeri. Walaupun demikian, efektifitas KKNI sebagai acuan utama
penataan kualifikasi ketenagakerjaan tidak serta merta dapat dicapai hanya dengan
diterbitkannya Peraturan Presiden. Implementasi KKNI secara efektif harus dilakukan
secara terencana, sistematis, dan terorganisasi. Kualitas implementasi seperti ini hanya
dapat terwujud jika terdapat lembaga khusus yang mampu melaksanakan implementasi
KKNI secara lengkap dan menyeluruh. Lembaga ini dapat dinamai Badan Kualifikasi
Nasional Indonesia (BKNI).
Peran BKNI
Secara garis besar BKNI memiliki 2 (dua) peran utama, yaitu: 1) melakukan koordinasi
antara semua pemangku kepentingan yang terkait dengan KKNI; dan 2) melaksanakan
KKNI dalam konteks nasional maupun internasional.
Untuk memenuhi peran pelaksana koordinasi antara pemangku kepentingan, maka
keanggotaan BKNI hendaknya menyertakan unsur-unsur regulator, penghasil dan
pengguna lulusan, asosiasi profesi serta lembaga-lembaga independent yang bergerak
dalam akreditasi maupun sertifikasi. Sedangkan dalam kaitannya dengan pelaksanaan
KKNI, maka BKNI perlu menyusun struktur organisasi dengan deskripsi kerja mencakup
semua sasaran KKNI sehingga dapat menjamin pelaksanaan KKNI yang trasparan dan
akuntabel serta menjamin terjadinya peningkatan mutu yang berkelanjutan.
Cakupan Kerja BKNI
Secara umum BKNI mempunyai cakupan kerja dan penanganan masalah yang cukup luas
seperti yang di-ilustrasikan pada Gambar 2 berikut ini.
Gambar 2. Cakupan kerja BKNI serta hubungannya dengan institusi atau badan terkait
Pada tahap awal BKNI perlu melakukan berbagai pengembangan model atau sistem yang
tekait dengan aspek-aspek pengkajian (assessment) serta pengakuan (recognition) yang
disepakati oleh pihak-pihak berkepentingan sehingga dalam implementasinya sistem atau
proses pengkajian tersebut dapat diterima oleh semua pemangku kepentingan serta
masyarakat luas. Pada Gambar 2 dijelaskan 5 (lima) cakupan pokok yang dianggap perlu
untuk dipersiapkan oleh BKNI sebelum KKNI dapat diimplementasikan secara penuh. Pada
gambar tersebut juga dijelaskan keterkaitan pihak-pihak yang berkepentingan terhadap
cakupan kerja BKNI.
Struktur Organisasi Pokok BKNI
Secara skematik struktur organisasi BKNI paling tidak mencakup bagian-bagian seperti
yang dicantumkan pada Gambar 3. Struktur organisasi ini merupakan bentuk awal yang
dapat dikembangkan lebih lanjut sesuai dengan kebutuhan untuk memperlancar
implementasi KKNI oleh BKNI.
Gambar 3. Kerangka dan struktur dasar organisasi BKNI
Sebagai suatu badan yang mempunyai tugas koordinatif dengan badan, lembaga atau
institusi yang telah ada, maka unsur Dewan Penyantun dianggap perlu untuk menampung
kepentingan para stakeholder. Keberadaan Dewan Penyatun juga diharapkan dapat
memberi dukungan kepada Direktur untuk mengembangkan KKNI secara berkelanjutan
sesuai dengan kebutuhan semua pemangku kepentingan. Direktur Eksekutif diperlukan
untuk melaksanakan implementasi KKNI yang bersifat operasional. Bidang-bidang yang
diuraikan dalam Gambar 3 dapat disesuaikan dengan cakupan pekerjaan yang dibebankan
kepada BKNI oleh undang-undang atau peraturan pemerintah yang membentuknya.
Penjaminan Mutu Berkaitan dengan BKNI
Untuk mencapai pelaksanaan KKNI yang transparan dan akuntabel maka diperlukan suatu
sistem penjaminan mutu yang bersifat independent dan memiliki kredibilitas yang diakui
oleh masyarakat luas. Sampai saat ini telah dibentuk beberapa badan akreditasi institusi
atau sertifikasi yang melakukan penjaminan mutu eksternal pada bidang-bidang tertentu
seperti misalnya:
DIREKTUR
DEWAN PENYANTUN Terdiri dari unsur regulator, aso-
siasi institusi penghasil dan peng-
guna lulusan, asosiasi profesi, aso-
siasi kemasyarakatan
DIREKTUR
EKSEKUTIF
Bidang penyetaraan
kualifikasi dan
sertifikasi nasional/
internasional; PPL,
Credit Transfer
Bidang penyetaraan
capaian pembela-
jaran pendidikan
formal/nonformal/
informal
Bidang penyetaraan
karir dan capaian pem-
belajaran pendidikan
dan pelatihan di dunia
kerja
Bidang perenca-
naan dan pengem-
bangan organisasi
dan pusat informasi
• BAN (Badan Akreditasi Nasional) yang melakukan akreditasi terhadap institusi
pendidikan tinggi dan program studi. BAN telah memiliki pengalaman yang cukup
lama dan telah memperoleh pengakuan masyarakat sebagai unsur penjaminan
mutu eksternal di bidang pendidikan tinggi.
• LSP (Lembaga Sertifikasi Profesi) yang merupakan bagian dari BNSP (Badan
Nasional Sertifikasi Profesi) telah dibentuk dan bertugas untuk menjamin mutu
sertifikat yang dihasilkan oleh suatu institusi pendidikan atau pelatihan profesi dan
tenaga kerja di Indonesia.
• BSNP (Badan Standarisasi Nasional Pendidikan), sebagai badan yang mendapat
mandat untuk melakukan standarisasi mutu penyelenggaraan pendidikan di
seluruh Indonesia.
• Badan-badan lain yang didukung oleh peraturan perundang-undangan sebagai
badan untuk mengawasi mutu program pendidikan dan pelatihan profesi di
bidang-bidang keahlian tertentu.
Dalam hal ini BKNI harus dapat menghimpun kapasitas, pengalaman serta menjalin
kerjasama dengan badan-badan akreditasi, sertifikasi maupun standarisasi tersebut untuk
menyesuaikan sistem serta instrumen pengkajian (assessment) yang telah dimiliki
menjadi berbasis KKNI. Oleh karena itu, BKNI harus mengarahkan program kerja awalnya
untuk melakukan sosialisasi kepada badan-badan yang melakukan kegiatan penjaminan
mutu di bidang ketenagakerjaan baik pada institusi pendidikan, pelatihan, sertifikasi
kompetensi maupun profesi.
Pada Gambar 4 dibawah ini dijelaskan keterkaitan antara badan atau lembaga yang
melakukan kegiatan penjaminan mutu di bidang pendidikan dan pelatihan dengan BKNI.
Diagram tersebut menunjukkan bahwa kerjasama dan saling pengakuan antar badan atau
lembaga tersebut dengan BKNi sangat penting untuk mencapai sasaran implementasi
KKNI yang efisien dan efektif.
Gambar 4. Keterkaitan badan atau lembaga penjaminan mutu untuk bidang-bidang pendidikan dan
pelatihan
Tugas dan Kewenangan BKNI
1. Pada tahap operasional, BKNI dapat memposisikan diri sebagai lembaga yang
memberikan masukan, konsultasi, pembimbingan/pendampingan, mendorong
dan memfasilitasi terjadinya proses penerapan KKNI pada institusi-institusi yang
akan membutuhkannya secara nasional.
2. BKNI melalui bidang-bidang dalam struktur organisasi (Gambar 3) secara berkala
akan meninjau perangkat KKNI seperti peraturan, diskriptor, panduan, mekanisme
sosialisasi, dokumen standar implementasi dan aspek pendukung lainya, dan
melakukan penyesuaian, pengubahan atau pengembangan.
3. BKNI juga bertugas untuk aktif mengkaji dan meninjau ulang deskriptor untuk ke 9
(sembilan) jenjang kualifikasi yang terdapat dalam KKNI dengan memperhatikan
dan mengantisipasi perkembangan yang terjadi pada bidang ketenagakerjaan di
dalam dan di luar negeri.
4. Sebagai pusat pelayanan dan informasi, BKNI bertugas menerbitkan panduan-
panduan yang dianggap perlu bagi kebutuhan pemangku kepentingan baik berupa
informasi tentang mekanisme penerapan KKNI, pedoman PPL, trasfer kredit
maupun program-program sertifikasi yang terkait dengan KKNI.
5. BKNI bertanggung jawab untuk melakukan sosialisasi KKNI serta program
penerapannya kepada semua pemangku kepentingan sehingga sasaran utama
KKNI yaitu meningkatkan mutu dan daya saing tenaga kerja Indonesia dapat
dicapai dalam waktu yang telah direncanakan. Sosialisasi kepada badan serta
lembaga yang melakukan akreditasi institusi pendidikan/pelatihan penghasil
tenaga kerja atau kepada insitusi penyelenggara program sertifikasi
kompetensi/profesi juga menjadi cakupan wewenang dan tanggung jawab BKNI
sehingga adopsi KKNI kedalam program-program pendidikan/pelatihan tersebut
dapat segera terjadi secara nasional.
6. Untuk menjamin pelaksanaan KKNI yang transparan, akuntabel dan memperoleh
pengakuan masyarakat luas di dalam maupun di luar negeri, BKNI harus dapat
membangun kemitraan dengan BAN, BSNP, BNSP/LSP, asosiasi profesi, asosiasi
industri serta badan atau lembaga lain yang terkait dengan penghasil dan
pengguna tenaga kerja Indonesia sedemikian sehingga terbangun sebuah
koordinasi yang simbiotik mutualistis dalam melakukan program penjaminan
mutu berbasis KKNI yang berkelanjutan di bidang-bidang masing-masing. Secara
keseluruhan kegiatan penjaminan mutu yang dilakukan masing-masing lembaga
atau badan tersebut diharapkan akan mendukung pelaksanaan KKNI yang
bermutu pula.
7. BKNI sebagai badan pelaksana KKNI perlu mendapat dukungan legal yang tepat
untuk menyusun perencanaan dan program-program pelaksanaan serta
mengemban wewenang yang diberikan. KKNI pada dasarnya dirancang dan
disusun sesuai dengan landasan hukum Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003
Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279) dan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4301), sehingga struktur KKNI
sinkron dengan sistem pendidikan dan pelatihan maupun sistem ketenaga-kerjaan
di Indonesia. Sinkronisasi KKNI juga diharapkan terjadi dengan badan-badan yang
dibentuk berlandaskan perundang-undangan yang berkaitan dengan sistem
pendidikan, pelatihan ketenagakerjaan, sertifikasi kompetensi/profesi atau
pembentukan asosiasi profesi dan industri.
8. BKNI harus berperan aktif dalam membantu pengembangan sistim RPL (Rekognisi
Pembelajaran Lampau), transfer kredit atau pindah jenis pendidikan dalam sektor
pendidikan dan pelatihan. BKNI dapat menyiapkan tim pendamping bagi institusi
yang membutuhkan dan memberikan kebebasan penuh bagi institusi tersebut
untuk menyusun peraturan dan mekanisme yang diberlakukan secara internal di
institusi masing-masing sesuai ciri khas yang dimiliki namun tetap sinkron dengan
kaidah-kaidah mendasar yang dipersyaratkan oleh KKNI.
9. BKNI juga perlu berperan aktif untuk menyediakan tim pendampingan bagi
perusahaan, industri, institusi bisnis atau instansi pemerintah dalam
mengembangkan sistem karir atau struktur penggajian berbasis KKNI. Dalam hal
proses penyetaraan kualifikasi tenaga kerja asing yang bekerja di Indonesia atau
sebaliknya tenaga kerja Indonesia yang akan bekerja di luar negeri, maka BKNI
melalui bidang yang sesuai akan melakukan tindak lanjut termasuk mengeluarkan
sertifikat pengakuan kesetaraan kualifikasi yang diperlukan.
Walaupun demikian pada awal pembentukan BKNI, koordinasi, integrasi dan konsolidasi
berbagai pihak masih diperlukan. BKNI diharapkan menjalankan tugas-tugas pokok
sebagai berikut :
1. Mensosialisasikan KKNI kepada masyarakat dan komunitas internasional.
2. Menyusun pedoman rinci mengenai panduan, mekanisme dan tahapan penilaian
kesetaraan berbagai sektor ketenagakerjaan di tingkat nasional dan internasional.
3. Bersama-sama dengan lembaga penjaminan mutu di lingkungan KEMENRISTEK-
DIKTI, KEMNAKERTRANS dan asosiasi-asosiasi profesi untuk mengembangkan
sistem penjaminan mutu yang sesuai serta melakukan monitoring dan evaluasi
pelaksanaan KKNI di berbagai sektor.
4. Aktif mengkaji dan memberikan saran-saran pengembangan deskriptor pada
setiap jenjang kualifikasi KKNI sesuai dengan perkembangan kompetensi tenaga
kerja atau perkembangan kualifikasi kerja di dunia internasional.
5. Memberi saran-saran pengembangan jenjang kualifikasi kerja bagi pihak yang
berkepentingan baik dari dalam maupun luar negeri.
Diagram berikut merangkum wewenang, kewajiban dan peran pendampingan yang akan
dilakukan oleh BKNI.
BADAN
KUALIFIKASI
NASIONAL
INDONESIA
(BKNI)
KKNI
SEKOLAH & PT
PELATIHAN
KANTOR &
INSTANSI
INDUSTRI &
USAHA
BAN
BNSP
BSNP
Koordinasi
pengembangan
standar
Sistem Transfer
Kredit dan PPL
Model Uji
dan identifikasi
kualifikasi
BADAN
KUALIFIKASI
INTER
NASIONAL
Asesmen
kualifikasi ASOSIASI
PROFESI
Gambar 5. Wewenang, kewajiban dan peran pendampingan BKNI terkait dengan badan/lembaga lain
Disusun oleh Tim KKNI
Megawati Santoso, Ardhana Putra, Junaedi Muhidong,
Illah Sailah, SP Mursid, Achmad Rifandi, Susetiawan, Endrotomo
Editor: Yusring Baso
1
AKUNTABILITAS PENYELENGARAAN PENDIDIKAN TINGGI
Dokumen 004
Direktorat Jendral Pembelajaran dan Kemahasiswaan
Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi
Republik Indonesia
2015
2
Kesetaraan Jenjang Kualifikasi Untuk Ranah Pendidikan
Penilaian kesetaraan terhadap capaian pembelajaran yang dihasilkan pendidikan berbasis
keilmuan dan keahlian ditunjukkan pada Gambar 1. Penetapan kesetaraan jenjang kualifikasi
pada KKNI untuk masing-masing program pendidikan dilakukan melalui analisis terhadap
deskripsi capaian pembelajaran yang dikumpulkan dari kurang lebih 1000 program studi
berakreditasi A atau B pada 97 perguruan tinggi di seluruh Indonesia. Ke-97 perguruan tinggi
yang dipilih terdiri dari perguruan tinggi yang telah memiliki Sistem Penjaminan Mutu
Internasl (SPMI) berkategori baik atau memiliki rekam jejak kerjasama internasional yang
menonjol. Analisis dan penetapan jenjang kualifikasi dilakukan bersama-sama oleh program
studi sejenis sampai tercapai kesepakatan bersama baik untuk deskripsi capaian
pembelajaran maupun jenjang kualifikasi pada KKNI. Deskripsi kualifikasi untuk capaian
pembelajaran masing-masing program studi juga diperkaya dengan melakukan komparasi
dengan berbagai negara serta diskusi intensif dengan asosiasi profesi, kolegium keilmuan,
dan pengguna lulusan terkait.
Gambar 1. Kesetaraan capaian pembelajaran dan jenjang kualifikasi pada KKNI untuk masing-masing
program pendidikan dan jenis pendidikan berbasis keilmuan maupun keahlian.
Kualifikasi Jenjang 1 pada KKNI dimaksudkan untuk kualifikasi tenaga kerja Indonesia yang
sehat jasmani dan rohani, berpengetahuan faktual dasar, atau dalam ranah pendidikan
adalah luaran pendidikan wajib belajar 9-tahun atau lulusan tingkat SMP. Tujuan utama dari
3
penilaian kesetaraan jenjang sebagaimana dinyatakan dalam diagram di atas adalah agar
semua program pendidikan di Indonesia, dimulai dari sekolah menengah tingkat atas (SMA,
SMK) sampai pada pendidikan tinggi (sarjana, diploma, spesialis, pasca sarjana) wajib
menghasilkan lulusan dengan kualifikasi minimal setara dengan kualifikasi KKNI pada jenjang
yang sesuai.
Dalam naskah yang terpisah telah disusun secara lebih rinci, deskripsi capaian pembelajaran
serta kualifikasi untuk lulusan program studi yang dianggap penting atau diprioritaskan
dalam kaitan dengan pembangunan nasional seperti misalnya hukum, politik dan
pemerintahan, administrasi negara, kesehatan, teknik dan pertanian.
Asesmen Capaian Pembelajaran
Kamus Longman Bahasa Inggris (1984) mendefinisikan kata kerja 'to assess' sebagai' ... untuk
menentukan pentingnya, ukuran, atau nilai (1984:86). Kata benda 'assessment' berasal dari
kata kerja ini, dan mengacu untuk proses menentukan pentingnya, ukuran atau nilai, atau
nilainya (ukuran, dll) itu sendiri. Penggunaan teknis dari istilah tersebut dalam bidang
pendidikan dan pelatihan ini berasal dari makna umum tersebut. Oleh sebab itu asesmen
(assessment) dalam bidang pendidikan dan pelatihan adalah tentang bagaimana kita menilai
apakah (dan apa) pembelajaran telah terjadi.
Asesmen memegang peran penting dalam kurikulum dan memiliki berbagai manfaat - untuk
siswa, guru dan lembaga secara keseluruhan.
Manfaat
Bagi siswa,
- Memungkinkan mereka untuk menunjukkan pembelajaran mereka
- Memungkinkan mereka untuk meningkatkan pembelajaran mereka dan belajar
- Bertindak sebagai faktor pendorong dengan memberikan fokus Mendukung belajar
untuk kegiatan belajar mereka dengan rentang waktu dan tenggat waktu untuk
bekerja
- Memberikan tantangan intelektual dan dapat merangsang minat mereka
- Dapat memberikan kesempatan bagi siswa untuk bekerja bersama-sama untuk
mencapai tujuan bersama
- Pada akhirnya memutuskan klasifikasi gelar yang mereka peroleh
Untuk staf,
- Memberikan kesempatan untuk memberikan konstruktif dan mendorong
memberikan umpan balik kepada siswa
- Memungkinkan mereka untuk memantau efektivitas pengajaran
4
- Memungkinkan mereka untuk membuat keputusan tentang apakah siswa dapat
melanjutkan ke tingkat yang lebih tinggi
- Membantu mereka untuk memutuskan klasifikasi gelar yang dapat mereka peroleh
Untuk Institusi,
- Menjamin dan menjunjung tinggi standar lembaga
- Memungkinkan lembaga untuk memperoleh pengakuan publik
Dalam konteks perancangan kurikulum, asesmen harus dilihat sebagai bagian penting dan
tak terpisahkan dari proses pembelajaran dan bukan sesuatu yang dilakukan di akhir
perkuliahan sebagai suatu hasil pembelajaran, atau hanya untuk mengukur hasil
pembelajaran setelah menyelesaikan suatu periode belajar. Asesmen harus direncanakan ke
dalam kurikulum pada tahap awal. Seperti dikemukakan Ramsden (2003), penilaian
mendefinisikan kurikulum untuk mereka, dan menentukan bagaimana mereka akan
menggunakan waktu dan mengatur studi mereka. Sebagai tekanan meningkat pada siswa,
mereka mungkin menjadi lebih dan lebih strategis, dan penilaian kemudian dapat
menentukan apa dan bagaimana siswa belajar.
Asesmen Formatif dan sumatif
Asesmen dibedakan antara asesmen formatif dan sumatif. Asesmen formatif dilakukan untuk
membantu rencana bagaimana mengajar atau belajar harus dilakukan, atau untuk mengubah
cara mengajar atau belajar ketika sedang terjadi. Penilaian sumatif hanya memberitahu kita
apa yang telah dipelajari pada akhir belajar atau proses mengajar. Dalam prakteknya, banyak
latihan penilaian dilakukan sebagian dalam bentuk formatif, dan sebagian sumatif.
Pengukuran (measuremet)
Penilaian pembelajaran melibatkan beberapa jenis pengukuran. Ini mungkin diungkapkan
dengan cara kuantitatif (seperti ketika siswa mendapatkan 7 pertanyaan benar dari 10
pertanyaan yang diberikan, maka diberi penghargaan tanda 70 persen). Atau bisa juga
menggunakan beberapa sistem lain dengan cara kode. Yang umum digunakan adalah A, B,
dan C.
Penilaian (judgement)
Untuk mengukur sesuatu (misalnya seberapa banyak orang telah belajar). Kita harus
memutuskan bahwa esai siswa adalah B+ (bukan A, B atau C), atau bahwa kualitas
kemajuannya dalam matematika membenarkan alokasi ke Pythagoras kategori (bukan
Fibonacci atau Einstein). Dalam rangka untuk membuat penilaian ini, kita harus
membandingkan dengan beberapa cara. Beberapa literatur penilaian menjelaskan tiga hal
utama untuk membandingkan, yaitu:
• Pertama, kita dapat membandingkan kemajuan seorang pelajar dengan apa yang
diketahui sebelumnya.
5
• Kedua, kita dapat membandingkan dengan orang lain. Hal ini sangat umum di
pendidikan dan pelatihan.
• Ketiga, kita dapat membandingkan dengan beberapa kriteria dipilih atau kriteria
prestasi
Prinsip-prinsip asesmen (penilaian)
Prinsip-prinsip penilaian mengharuskan penilaian bersifat sahih, dapat diandalkan, fleksibel
dan adil.
• Kesahihan/validitas mengacu pada sejauh mana interpretasi dan penggunaan hasil
penilaian dapat didukung oleh bukti. Sebuah penilaian dinyatakan sahih apabila metode
dan bahan penilaian mencerminkan elemen, kriteria kinerja dan aspek kritis dari
kompetensi.
• Keandalan mengacu pada tingkat konsistensi dan akurasi dari hasil penilaian. Artinya,
sejauh mana penilaian akan memberikan hasil yang serupa untuk calon dengan
kompetensi yang sama pada waktu atau tempat yang berbeda, terlepas dari siapa yang
melakukan penilaian.
• Fleksibilitas mengacu pada kesempatan bagi seorang kandidat untuk menegosiasikan
aspek-aspek tertentu dari penilaian (misalnya, waktu) dengan asesor. Semua calon harus
sepenuhnya diinformasikan (misalnya, melalui Rencana Penilaian) dari tujuan penilaian,
kriteria penilaian, metode dan alat yang digunakan, dan konteks dan waktu penilaian.
• Penilaian yang adil tidak merugikan kandidat atau kelompok tertentu. Ini berarti bahwa
metode penilaian harus disesuaikan untuk kandidat tertentu (seperti orang cacat atau
perbedaan budaya) untuk memastikan bahwa metode tersebut tidak merugikan mereka
karena situasi mereka. Sebuah penilaian tidak harus menempatkan tuntutan yang tidak
perlu pada calon yang dapat mencegah calon untuk mendemonstrasikan kompetensi
(misalnya, penilaian tidak harus menuntut kemampuan bahasa Inggris yang lebih tinggi
atau literasi yang lebih tinggi daripada yang diperlukan untuk melakukan standar kerja
yang digariskan dalam kompetensi yang dinilai).
Penilaian Pengalaman Belajar Lampau (Assessment of Prior Experiential
Learning)
Menempatkan kompetensi atau kinerja pada konteks mengajar dan belajar memiliki
implikasi lain. Belajar tidak lagi dipikirkan dalam konteks proses dimana pengetahuan,
keterampilan atau sikap dikembangkan, tetapi sebaliknya, dlihat dalam hal apa yang dapat
dilakukan seseorang ketika proses pembelajaran selesai. Pada saat yang sama, kita
menekankan pada belajar bukan pada mengajar, yaitu menekankan pada peran siswa
bukannya pada peran guru/pengajar. Apabila kita tertarik tidak kepada apa yang seseorang
telah pelajari, tetapi kepada apa yang seseorang tahu (atau bisa lakukan), mengapa kita
harus tertarik pada bagaimana pengetahuan, keterampilan atau sikap itu dicapai? Apabila
seseorang tahu sesuatu, apakah penting mengetahui bagaimana mereka sampai ke tahu itu?
6
Pandangan bahwa apa yang orang tahu atau dapat lakukan daripada bagaimana mereka
mencapai pengetahuan itu mendasari gerakan yang dikenal sebagai 'assessment of prior
experential learning '(APEL). Sangat sering terjadi diskusi yang mencampuradukkan istilah ini
dengan gerakan pengalaman belajar secara keseluruhan, dan dengan slogan-slogan seperti
'membuat pengalaman dapat dihitung'. Hal ini dapat dimengerti. Belajar dari pengalaman
adalah fakta, setiap orang belajar dari pengalaman mereka. Masalahnya adalah bagaimana
membuat belajar dari pengalaman ini 'dihitung' sejauh sistem pendidikan dan lembaga yang
bersangkutan tertarik.
Tentu saja, dalam arti mendasar penilaian pembelajaran lampau (atau pengalaman belajar
lampau) telah lama ada setidaknya selama penilaian itu sendiri. Sistem penilaian luar telah
lama menyediakan metode bagaimana pembelajaran lampau dinilai. Selama lebih dari satu
abad, misalnya, University of London telah menawarkan ujian terbuka untuk semua itu.
Biasanya para siswa mengikuti belajar secara pribadi dan menghadiri kelas-kelas yang
diselenggarakan oleh lembaga pendidikan, namun biasanya jarang menjadi persyaratan
untuk melakukan hal tersebut. Atas dasar “hanya” pengalaman, seseorang dapat mengikuti
ujian dan dinilai kemampuannya.
Hanya sedikit pendukung pembelajaran lampau senang dengan hal ini, namun mereka
umumnya berpendapat bahwa silabus dikenakan untuk pemeriksaan tersebut, dan gagasan
tentang 'penilaian tak terlihat', mencerminkan jenis pengetahuan dihargai di lembaga-
lembaga pendidikan tradisional. Sementara beberapa pengetahuan ini mungkin berguna,
sebagian besar dipandang sebagai overspecialized. Yang penting adalah keterampilan yang
dapat ditunjukkan oleh siswa, daripada konten yang spesifik. Sebagai hasilnya, gerakan
pengalaman pembelajaran lampau telah mencoba untuk menentukan mekanisme di mana
individu dapat belajar tidak saja dari pengalaman mereka, tetapi mereka dapat pula
menunjukkannya.
Pendekatan yang paling umum adalah pendekatan 'portofolio'. Pengalaman memiliki arti
yang beragam, yang penting dalam hal ini adalah bukan apa pengalaman tersebut, tapi apa
yang telah dipelajari seseorang dari pengalaman. Evans (1987, 1992) menyarankan empat
tahap pendekatan:
• 'Sistematis refleksi atas pengalaman untuk belajar yang signifikan. "Evans (1987:13)
menggambarkan tahap ini sebagai 'latihan brainstorming'. Titik awal mungkin anak,
hubungan, foto, gambar, tulisan, musik, dan sebagainya.
• Identifikasi belajar yang signifikan, dinyatakan dalam pernyataan yang tepat,
merupakan pernyataan kepada kepemilikan pengetahuan dan keterampilan.
Kuncinya, di sini adalah untuk berpindah dari ciri umum pengalaman belajar kepada
suatu perincian dari rincian pembelajaran yang tepat yang telah terjadi. Biasanya,
kategori pengetahuan atau keterampilan dapat digunakan dalam proses ini, seperti,
penanganan informasi, analisis, membaca, menulis, dan sebagainya.
7
• "Sintesis bukti untuk mendukung pernyataan pengetahuan dan keterampilan Yang
dimiliki". Ini melibatkan pemeriksaan rinci bukti untuk mendukung pernyataan telah
belajar, biasanya dalam bentuk portofolio. Dalam hal ini sering diperlukan bimbingan
dari tutor dan konselor.
• "Penilaian akreditasi." Ini dimulai dengan penilaian diri, karena ini dapat
mempengaruhi bagaimana seorang siswa ingin menggunakan bukti (misalnya untuk
pendidikan atau pekerjaan). Kemudian dilakukan asesmen oleh staf dari lembaga
pendidikan yang berkaitan dengan pengetahuan dan keterampilan yang sesuai
dengan situasi, dan berdasarkan bukti-bukti yang diajukan oleh pemohon.
Pada tanggal 30 Januari 2008 Indonesia telah menandatangani UNESCO ‘Regional
Convention on the Recognition of Studies, Diplomas and Degrees in Higher Education in
Asia and the Pacific’ (Konvensi) yang antara lain terdiri dari bagian kewenangan otoritas
penilaian ijazah dan kualifikasi (Section II), prinsip dasar penilaian kualifikasi (Section III),
pengakuan kualifikasi untuk memasuki perguruan tinggi (Section IV), pengakuan masa studi
(Section V), pengakuan kualifikasi pendidikan tinggi (Section VI),pengakuan kualifikasi
pengungsi (Section VII), informasi tentang asesmen, akreditasi, dan pengakuan (Section VIII),
dan implementasi (Section IX).
Konvensi ini mensyaratkan adanya suatu badan yang berwenang melakukan
pengakuan/penyetaraan ijazah di setiap negara anggota (Competent Recognition Authority)
(Konvensi Article II.2). Untuk pendidikan tinggi di Indonesia pada saat ini sudah ada suatu
unit penyetaraan ijazah luar negeri yang diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Selain itu juga telah ada suatu
Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT) yang independen.
Sebagai negara yang telah menandatangani Konvensi tersebut di atas Indonesia harus
mempersiapkan perangkat keras maupun lunak yang diperlukan untuk melaksanakan
Konvensi itu. Peraturan-peraturan yang disusun, setelah disetujui bersama, adalah mengikat
(Konvensi Article II.3).
Konvensi juga menyatakan bahwa semua orang yang mempunyai ijazah dari salah satu
negara penandatangan Konvensi berhak mengajukan ijazahnya untuk dinilai kesetaraannya
oleh badan yang berwenang di negara penandatangan Konvensi (Konvensi Article III.1). Hal
itu mengharuskan Indonesia untuk segera menunjuk atau membentuk suatu Badan yang
berwenang melakukan penilaian ijazah dari anggota Konvensi secara transparan, koheren,
dan terpercaya (Konvensi Article III.2).
Keputusan tentang pengakuan kesetaraan ijazah dibuat berdasarkan informasi yang sahih
terhadap kualifikasi yang dimintakan pengakuannya. Keabsahan informasi merupakan
tanggungjawab pemohon penyetaraan dan perguruan tinggi yang menerbitkan ijazah
tersebut. Keputusan pengakuan kesetaraan ijazah harus dibuat oleh badan yang berwenang
dalam waktu yang tidak terlalu lama. Jika terjadi ketidaksesuaian antara pemohon dan badan
penilai kesetaran ijazah, maka alasan penolakan perlu diberikan. Pemohon juga diberi
8
kesempatan untuk melakukan peninjauan kembali keputusan tersebut (Konvensi Article
III.5).
Penjaminan Mutu Kerangka Kualifikasi
Sistem penjaminan mutu kerangka kualifikasi serta proses penilaian kesetaraan kualifikasi
harus memenuhi aspek perbaikan mutu berkesinambungan yang bermuara pada
peningkatan kepercayaan masyarakat dalam dan luar negeri. Sistem ini juga wajib memenuhi
kriteria efisiensi dan mempertimbangkan berbagai kepentingan.
Penjaminan mutu kerangka kualifikasi merupakan tugas penting dari BKNI dengan
melakukan penilaian berkala terhadap keabsahan dan keberlakuan kualifikasi yang selaras
dengan tuntutan dunia kerja serta kemajuan ilmu dan teknologi.
Dalam sistem penjaminan mutu KKNI yang berkaitan langsung dengan sistem pendidikan
nasional, maka BSNP akan mengadopsi deskripsi masing-masing jenjang kualifikasi sebagai
rujukan dalam menyusun Standar Pendidikan Nasional. Selanjutnya sistem penjaminan mutu
internal di institusi penyelenggara pendidikan melakukan proses penjaminan mutu terhadap
kualifikasi capaian pembelajaran dari lulusan yang dihasilkan. BAN sebagai badan eksternal
penjaminan mutu tidak hanya melakukan assesment pada input dan proses pendidikan,
tetapi menekankan pula pada assesment terhadap capaian pembelajaran merujuk deskriptor
KKNI (lihat Gambar 2).
Sistem penjaminan mutu internal dan eksternal
untuk mecapai kualifikasi capaian pembelajaran
Standarisasi isi dan
pelaksanaan
kurikulum
berbasiskan KKNI
BSNP
Pelaksanaan kurikulum
melalui proses
penyelenggaraan
pendidikan
•Sistem
Penjaminan Mutu
Internal
•Tracer Study
Institusi Pendidikan formal,
non formal informal
BAN
Deskriptor
Kualifikasi
KKNI
Gambar 2. Sistem penjaminan mutu internal dan eksternal untuk mecapai kualifikasi capaian pembelajaran
9
Disusun oleh Tim KKNI
Megawati Santoso, Ardhana Putra, Junaedi Muhidong,
Illah Sailah, SP Mursid, Achmad Rifandi, Susetiawan, Endrotomo
Editor: Yusring Baso
PARADIGMA CAPAIAN PEMBELAJARAN
Dokumen 005
Direktorat Jendral Pembelajaran dan Kemahasiswaan
Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi
Republik Indonesia
2015
PARADIGMA CAPAIAN PEMBELAJARAN
Capaian Pembelajaran Dan Kompetensi
Capaian pembelajaran (learning outcomes) adalah suatu ungkapan tujuan pendidikan, yang
merupakan suatu pernyataan tentang apa yang diharapkan diketahui, dipahami, dan dapat
dikerjakan oleh peserta didik setelah menyelesaikan suatu periode belajar. Capaian
pembelajaran adalah kemampuan yang diperoleh melalui internalisasi pengetahuan, sikap,
keterampilan, kompetensi, dan akumulasi pengalaman kerja.
Istilah capaian pembelajaran kerapkali digunakan bergantian dengan kompetensi, meskipun
memiliki pengertian yang berbeda dari segi ruang lingkup pendekatannya. Allan dalam
Butcher (2006) menjelaskan bahwa banyak terminologi digunakan untuk menjelaskan
educational intent, di antaranya adalah; learning outcomes; teaching objectives;
competencies; behavioural objectives; goals; dan aims.
Menurut Butcher (2006), “aims” merupakan ungkapan tujuan pendidikan yang bersifat luas
dan umum, yang menjelaskan informasi kepada siswa tentang tujuan suatu pelajaran,
program atau modul dan umumnya ditulis untuk pengajar bukan untuk siswa. Sebaliknya
capaian pembelajaran (learning outcomes) lebih difokuskan pada apa yang diharapkan dapat
dilakukan oleh siswa selama atau pada akhir suatu proses belajar. Sedangkan “objectives”
cakupannya meliputi belajar dan mengajar, dan kerapkali digunakan dalam proses asesmen.
Kompetensi adalah suatu bentuk capaian pembelajaran, bersifat lebih terbatas.
Ketercapaiannya biasanya dinyatakan dengan kompeten atau tidak kompeten, lulus atau
tidak lulus, dan bukan dalam bentuk peringkat (grade). Capaian pembelajaran dapat dicapai
dalam bentuk berbagai tingkatan, bahkan dengan berbagai cara, dan hasilnya dapat diukur
dengan berbagai cara pula, tidak hanya dengan observasi langsung. Bentuk lain dari capaian
pembelajaran adalah “behavioural objectives”, dimana pencapaiannya dapat diamati secara
langsung.
Capaian pembelajaran menunjukkan kemajuan belajar yang digambarkan secara vertikal dari
satu tingkat ke tingkat yang lain serta didokumentasikan dalam suatu kerangka kualifikasi.
Capaian pembelajaran harus disertai dengan kriteria penilaian yang tepat yang dapat
digunakan untuk menilai bahwa hasil pembelajaran yang diharapkan telah dicapai.
Capaian pembelajaran, bersama dengan kriteria penilaian, dapat menentukan persyaratan
untuk pemberian kredit (Butcher dan Highton, 2006). Akumulasi dan transfer kredit dapat
dilakukan apabila terdapat capaian pembelajaran yang jelas untuk menunjukkan secara tepat
atas kredit yang diberikan (Gonzale'z dan Wagenaar, 2005). Hal ini mengidentifikasi capaian
pembelajaran sebagai tujuan belajar yang terukur.
Kompetensi berasal dari kata bahasa Latin ‘competere’, yang memiliki arti kesesesuaian.
Kompetensi umumnya direferensikan sebagai kesesuaian dengan pekerjaan tertentu
(Nordhaug dan Gronhaug dalam Nilsson, 1994). Di bidang pendidikan vokasi dan pelatihan,
seseorang dinyatakan kompeten apabila ia dapat secara konsisten menerapkan pengetahuan
dan keahliannya ke dalam standar kinerja yang diperlukan di tempat kerja (Department of
Education and Training, Western Australia, 2008). Kompetensi yang dicapai seseorang
merupakan hasil belajar yang terstruktur dan berjenjang, yang dicapai dalam kurun waktu
tertentu.
Model kompetensi menurut Burke (2005) dapat dikelompokkan ke dalam beberapa model.
Model pertama adalah model “input” yang didasarkan pada asumsi mengenai sikap,
pengetahuan dan ketrampilan yang dimiliki seseorang (individual attribute). Model ini
diasumsikan sebagai konsep model yang memiliki pengertian luas (broaden), di mana kinerja
dilihat sebagai elemen yang merupakan ciri-ciri atau elemen isi (ketrampilan, tugas dll.).
Model berikutnya adalah model “outcome” yang didasarkan atas deskripsi aspek
karakteristik pekerjaan (work role), atau hasil dari kinerja (outcomes of performance) yang
memiliki ciri-ciri antara lain; didasarkan atas deskripsi hasil pekerjaan, interaksi antara
ketrampilan teknis dan lingkungan organisasi, dan dinamis terhadap perubahan organisasi
dan teknologi. Model lainnya adalah model kompetensi kerja (job competence model).
Model ini didasarkan pada standar input yang sempit yang menekankan deskripsi tugas dan
ketrampilan kepada prosedur kerja.
Gonczi dalam Velde (2009) membedakan kompetensi ke dalam tiga konsep dasar, yakni: 1)
the ‘behaviourist’ dimana kompetensi dikonsepsikan dalam terminologi perilaku diskrit atau
discrete behaviours yang diasosiasikan dengan penyelesaian berbagai tugas; 2) the ‘generic’
yang mengkonsentrasikan pada atribut seperti antara lain critical thinking capacity; dan 3)
the ‘integrated’ yang merupakan kombinasi dari pendekatan the ‘behaviourist’ dan the
‘generic’.
Kompetensi menurut Ellstrom dalam Nilsson (2007) merupakan atribut individu/modal
insani, berupa kemampuan yang dihasilkan dari semua pengetahuan yang telah diakuisisi
oleh seseorang (pengetahuan, afektif dan keterampilan sosial). Kompetensi dapat juga
dinyatakan sebagai ----------- broaden concept, can be transferred into productivity----------,
serta merupakan atribut dari suatu pekerjaan, potensi individu atau kebutuhan tugas
(kualifikasi). Kombinasi dari keduanya adalah kompetensi yang benar-benar digunakan di
tempat kerja yang merupakan interaksi antara individu dan pekerjaan.
LANDASAN HUKUM KOMPETENSI DAN CAPAIAN PEMBELAJARAN
Dalam Penjelasan UU No.: 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 35 ayat
1, disebutkan bahwa kompetensi lulusan merupakan kualifikasi kemampuan lulusan yang
mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan sesuai dengan standar nasional yang telah
disepakati. Sedangkan dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun
2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan, pasal 1 ayat 4, standar kompetensi lulusan
adalah kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan, dan
keterampilan. Sebagaimana telah diuraikan di atas, pengertian kompetensi dalam pendidikan
formal nampaknya lebih tepat diungkapkan dalam bentuk capaian pembelajaran. Alasan
yang mendasarinya adalah hasil pembelajaran pendidikan formal tidak semata-mata
dimaksudkan untuk memenuhi standar kompetensi yang diperlukan di tempat kerja, akan
tetapi lebih luas lagi untuk menghasilkan insan Indonesia yang cerdas spiritual, cerdas
emosional, cerdas sosial, cerdas intelektual, dan cerdas kinestetis, sebagaimana diungkapkan
dalam visi pendidikan nasional yang tertuang dalam Rencana Strategis Pendidikan Nasional
2010-2025.
Kompetensi memiliki ruang lingkup pengertian luas dan sempit tetapi, sedang capaian
pembelajaran (CP) adalah identik dengan kompetensi yang memiliki ruang lingkup luas.
Dengan demikian, dalam uraian selanjutnya istilah kompetensi akan digunakan secara
bergantian dengan capaian pembelajaran sesuai konteks kalimat yang akan diuraikan.
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Kerangka Kualifikasi
Nasional Indonesia, pasal 1 ayat (2), menjelaskan bahwa capaian pembelajaran adalah
kemampuan yang diperoleh melalui internalisasi pengetahuan, sikap, ketrampilan,
kompetensi, dan akumulasi pengalaman kerja. Sedangkan pengakuan terhadap capaian
pembelajaran dijelaskan dalam pasal 4, ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan ayat (5)
sebagai berikut:
1) Capaian pembelajaran yang diperoleh melalui pendidikan atau pelatihan kerja
dinyatakan dalam bentuk sertifikat.
2) Sertifikat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbentuk ijazah dan sertifikat
kompetensi.
3) Ijazah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan bentuk pengakuan atas capaian
pembelajaran yang diperoleh melalui pendidikan.
4) Sertifikat kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan bentuk
pengakuan atas capaian pembelajaran yang diperoleh melalui pendidikan atau pelatihan
kerja.
5) Capaian pembelajaran yang diperoleh melalui pengalaman kerja dinyatakan dalam
bentuk keterangan yang dikeluarkan oleh tempat yang bersangkutan bekerja.
Selanjutnya dalam Undang-undang Pendidikan Tinggi Nomor 12 Tahun 2012 Tentang
Pendidikan Tinggi pasal 42 ayat (1) dijelaskan bahwa, ijazah diberikan kepada lulusan
pendidikan akademik dan pendidikan vokasi sebagai pengakuan terhadap prestasi belajar
dalam penyelesaian program studi tertentu, yang terakreditasi diselenggarakan oleh
Perguruan Tinggi. Selanjutnya dalam pasal 44 ayat (1) dinyatakan bahwa sertifikat
kompetensi merupakan pengakuan kompetensi atas prestasi lulusan yang sesuai dengan
keahlian dalam cabang ilmunya dan/atau memiliki prestasi di luar program studinya.
CAPAIAN PEMBELAJARAN PENDIDIKAN FORMAL
Deskripsi capaian pembelajaran untuk masing-masing jenjang kualifikasi lulusan pendidikan
tinggi dapat ditemukan dalam Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia
Nomor 232/U/2000 Tentang Pedoman Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi dan
Penilaian Hasil Belajar, pasal 3 (ayat (2), ayat (3), dan ayat (4)), dan pasal 4 (ayat (2), ayat (3),
ayat (4), dan ayat (5)). Dalam Keputusan Menteri tersebut uraian hasil pembelajaran
dijelaskan sebagai berikut:
1) Program Diploma I diarahkan pada hasil lulusan yang menguasai kemampuan dalam
melaksanakan pekerjaan yang bersifat rutin, atau memecahkan masalah yang sudah
akrab sifat-sifat maupun kontekstualnya di bawah bimbingan, melaksanakan pekerjaan
yang kompleks, dengan dasar kemampuan profesional tertentu, termasuk keterampilan
merencanakan, melaksanakan kegiatan, memecahkan masalah dengan tanggungjawab
mandiri pada tingkat tertentu, memiliki ketrampilan manajerial, serta mampu mengikuti
perkembangan, pengetahuan, dan teknologi di dalam bidang keahliannva.
2) Program Diploma II diarahkan pada hasil lulusan yang menguasai kemampuan dalam
melaksanakan pekerjaan yang bersifat rutin, atau memecahkan masalah yang sudah
akrab sifat-sifat maupun kontekstualnya secara mandiri, baik dalam bentuk pelaksanaan
maupun tanggungjawab pekerjaannya.
3) Program Diploma III diarahkan pada lulusan yang menguasai kemampuan dalam bidang
kerja yang bersifat rutin maupun yang belum akrab dengan sifat-sifat maupun
kontekstualnya, secara mandiri dalam pelaksanaan maupun tanggungjawab
pekerjaannya, serta mampu melaksanakan pengawasan dan bimbingan atas dasar
keterampilan manajerial yang dimilikinya.
4) Program Diploma IV diarahkan pada hasil lulusan yang menguasai kemampuan dalam
melaksanakan pekerjaan yang kompleks, dengan dasar kemampuan professional
tertentu termasuk keterampilan merencanakan, melaksanakan kegiatan, memecahkan
masalah dengan tanggungjawab mandiri pada tingkat tertentu, memiliki keterampilan
manajerial serta mampu mengikuti perkembangan, pengetahuan, dan teknologi di
dalam bidang keahliannva.
5) Program Sarjana hasil lulusan diarahkan memiliki kualifikasi sebagai berikut:
a. menguasai dasar-dasar ilmiah dan keterampilan dalam bidang keahlian tertentu
sehingga mampu menemukan, memahami, menjelaskan, dan merumuskan cara
penyelesaian masalah yang ada di dalam kawasan keahliannya;
b. mampu menerapkan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang dimilikinya sesuai
dengan bidang keahliannya dalam kegiatan produktif dan pelayanan kepada
masyarakat dengan sikap dan perilaku yang sesuai dengan tata kehidupan bersama;
c. mampu bersikap dan berperilaku dalam membawakan diri berkarya di bidang
keahliannya maupun dalam kehidupan bersama di masyarakat;
d. mampu mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau kesenian
yang merupakan keahliannya.
6) Program Magister diarahkan pada hasil lulusan yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a. mempunvai kemampuan mengembangkan dan memutakhirkan ilmu pengetahuan,
teknologi, dan/atau kesenian dengan cara menguasai dan memahami pendekatan,
metode, kaidah ilmiah disertai keterampilan penerapannya;
b. mempunyai kemampuan memecahkan permasalahan di bidang keahliannya melalui
kegiatan penelitian dan pengembangan berdasarkan kaidah ilmiah;
c. mempunyai kemampuan mengembangkan kinerja profesionalnya yang ditunjukkan
dengan ketajaman analisis permasalahan, keserbacakupan tinjauan, kepaduan
pemecahan masalah atau profesi yang serupa;
7) Program Doktor diarahkan pada hasil lulusan yang memiliki kualifikasi sebagai berikut:
a. mempunyai kemampuan mengembangkan konsep ilmu, teknologi, dan/atau kesenian
baru di dalam bidang keahliannya melalui penelitian;
b. mempunyai kemampuan mengelola, memimpin, dan mengembangkan program
penelitian:
c. mempunyai kemampuan pendekatan interdisipliner dalam berkarya di bidang
keahliannya.
CAPAIAN PEMBELAJARAN PENDIDIKAN NON-FORMAL
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan dan
Penyelenggaraan Pendidikan, pasal 102 ayat (2) menyatakan bahwa Pendidikan non-formal
bertujuan untuk membentuk manusia yang memiliki kecakapan hidup, keterampilan
fungsional, sikap dan kepribadian profesional, dan mengembangkan jiwa wirausaha yang
mandiri, serta kompetensi untuk bekerja dalam bidang tertentu, dan/atau melanjutkan
pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi dalam rangka mewujudkan tujuan pendidikan
nasional.
Sementara itu, capaian pembelajaran pendidikan non-formal dalam lingkup ketenagakerjaan
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2006 Tentang Sistem Pelatihan Kerja
Nasional, pasal 1 ayat (4) menyatakan bahwa kompetensi kerja adalah kemampuan kerja
setiap individu yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan, dan sikap kerja yang
sesuai dengan standar yang ditetapkan. Rumusannya dijelaskan dalam pasal (5), berupa
Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia yang selanjutnya disingkat SKKNI. Rumusan
kemampuan kerja mencakup aspek pengetahuan, keterampilan dan/atau keahlian sikap
kerja yang relevan dengan pelaksanaan tugas dan syarat jabatan yang ditetapkan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
CAPAIAN PEMBELAJARAN PENDIDIKAN INFORMAL
Pendidikan informal dilakukan oleh keluarga dan lingkungan yang berbentuk kegiatan belajar
secara mandiri. Werquin (2010) menyebutkan bahwa belajar informal adalah belajar yang
dihasilkan dari kegiatan sehari-hari yang berkaitan dengan pekerjaan, keluarga atau
kesenangan. Dalam hal ini tujuan belajar, waktu dan fasilitas belajarnya tidak terorganisasi
atau tidak terstruktur. Dalam banyak kasus, ditinjau dari perspektif pembelajar, belajar
informal ini tergolong belajar yang tidak disengaja (Cedefop1, 2008). Kerapkali pembelajaran
informal disebut sebagai "pembelajaran melalui pengalaman" atau sebagai "pengalaman".
Idenya adalah bahwa manusia, berdasarkan dari keberadaannya, secara terus-menerus
berada dalam situasi belajar.
Seperti sudah diketahui bahwa kesulitan pertama dalam proses pengakuan hasil
pembelajaran informal adalah calon yang akan diberikan pengakuan belum tentu
sepenuhnya menyadari sifat dan ruang lingkup pembelajaran informal yang telah mereka
alami. Masalah kedua adalah kenyataan bahwa hasil pembelajaran informal tidak dapat
memperoleh pengakuan apapun jika hasil pembelajarannya jauh di bawah standar yang
ditetapkan oleh evaluator atau badan penilai.
McGivney mendefinisikan pembelajaran informal sebagai berikut:
• Belajar yang terjadi di luar lingkungan belajar dan timbul dari kegiatan dan
kepentingan individu dan kelompok, tetapi tidak dapat diakui sebagai proses
pembelajaran.
• Kegiatan tidak berbasis mata pelajaran (yang mungkin termasuk diskusi, pembicaraan
atau presentasi, informasi, saran dan bimbingan) yang disiapkan atau difasilitasi
dalam rangka menanggapi kebutuhan dari berbagai sektor dan organisasi (kesehatan,
perumahan, pelayanan sosial, pelayanan ketenagakerjaan, pendidikan dan jasa
pelatihan, dan pelalayanan bimbingan).
• pembelajaran yang direncanakan dan terstruktur seperti kursus singkat yang
diselenggarakan dalam menanggapi kepentingan dan kebutuhan yang teridentifikasi,
tetapi disampaikan dengan cara yang fleksibel dan informal serta dalam pengaturan
masyarakat informal.
Berbeda halnya dengan McGivney, Dale dan Bell (1999) mendefinisikan pembelajaran
informal agak lebih sempit yakni sebagai proses belajar yang berlangsung dalam konteks
kerja, berkaitan dengan kinerja seseorang pada pekerjaannya, namun tidak secara resmi
diatur dalam sebuah program atau kurikulum.
PENYETARAAN CAPAIAN PEMBELAJARAN ANTARA JALUR PENDIDIKAN
Kebijakan pendidikan pada saat ini semakin fokus pada capaian pembelajaran dan mengacu
kepada perspektif belajar sepanjang hayat. Pengakuan kompetensi yang diperoleh seseorang
dari pembelajaran non-formal atau pembelajaran informal berfokus pada capaian
pembelajaran dan penyediaan kesempatan lintas jalur untuk melanjutkan ke pendidikan
1 1 The European Centre for the Development of Vocational Training (Cedefop) is the European Union's
reference Centre for vocational education and training. It provides information on and analyses of vocational
education and training systems, policies, research and practice.Cedefop was established in 1975 by Council
Regulation (EEC) No 337/75.
formal atau kualifikasi yang memiliki penghargaan di pasar tenaga kerja. Fokus utama
pengakuan adalah untuk membuat capaian pembelajaran itu terlihat, sehingga capaian
pembelajaran pendidikan non-formal dan pendidikan informal dapat dilegitimasi dan dapat
diakui pada kualifikasi yang sesuai.
Meskipun pembelajaran sering terjadi dalam kondisi formal pada lingkungan belajar yang
tertata, tetapi banyak pula pembelajaran yang berharga berlangsung dalam kehidupan
sehari-hari secara informal. Dalam banyak kasus, capaian pembelajaran pendidikan informal
ini diakui melalui pemberian upah yang lebih tinggi kepada mereka yang sudah
berpengalaman. Pengakuan tersebut telah membuat sumber daya manusia lebih terlihat dan
lebih bermanfaat bagi masyarakat pada umumnya (Werquin, Patric: Recognising Non-Formal
and Informal Learning, Outcomes, Policies and practice, OECD 2010).
Pengakuan capaian pembelajaran pendidikan non-formal dan informal berperan penting di
sejumlah negara dengan cara menyediakan validasi kompetensi untuk memfasilitasi akses
menjadi mahasiswa di pendidikan tinggi. Hal ini sering kali dilakukan melalui pembebasan
mata kuliah tertentu atau bagian dari kurikulum sebuah program studi. Pendekatan ini
memungkinkan seseorang menyelesaikan pendidikan formal dengan lebih cepat, efisien dan
murah tanpa harus menempuh mata kuliah yang telah dipahami dan dikuasainya.
Kesempatan untuk pengakuan capaian pembelajaran pendidikan non-formal dan informal
juga dapat membuat seseorang tertarik untuk terlibat dalam kegiatan belajar secara mandiri.
Peyetaraan dan pengakuan capaian pembelajaran antar jalur pendidikan dapat dilakukan
dengan adanya Kerangka Kualifikasi Nasional. UU No. 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan
Tinggi, pasal 29 ayat (1) menjelaskan bahwa Kerangka Kualifikasi Nasional merupakan
penjenjangan capaian pembelajaran yang menyetarakan luaran bidang pendidikan formal,
non-formal, informal, atau pengalaman kerja dalam rangka pengakuan kompetensi kerja
sesuai dengan struktur pekerjaan diberbagai sektor. Selanjutnya, Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia No. 17 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan
Pendidikan, pasal 115 ayat (1) menyatakan bahwa hasil pendidikan non-formal dapat
dihargai setara dengan hasil pendidikan formal setelah melalui uji kesetaraan yang
memenuhi Standar Nasional Pendidikan oleh lembaga yang ditunjuk oleh Pemerintah atau
pemerintah daerah sesuai kewenangan masing-masing, dan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan. Sementara itu, pasal 117 ayat (1) menjelaskan bahwa hasil
pendidikan informal dapat dihargai setara dengan hasil pendidikan non-formal dan formal
setelah melalui uji kesetaraan yang memenuhi Standar Nasional Pendidikan oleh lembaga
yang ditunjuk oleh Pemerintah atau pemerintah daerah sesuai kewenangan masing-masing,
dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Secara konseptual, penyetaraan antara jalur pendidikan tersebut di atas terhadap Kerangka
Kualifikasi Nasional dapat digambarkan sebagai berikut:
SMP
SMA/
MA/SMK
D1
D2
D3
S1/D4
S3/Sp
Sp -U
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Gambar 1: Penyetaraan antar jalur pendidikan terhadap Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesian
(Ilustrasi oleh Rudy Handojo, PII)
Werquin (2010) menjelaskan beberapa manfaat dari pengakuan capaian pembelajaran
pendidikan non-formal dan informal seperti antara lain:
a) Pengakuan menjadikan capaian pembelajaran pendidikan non-formal dan informal
berguna untuk belajar lanjut pada jalur pendidikan formal.
b) Pengakuan menjadikan capaian pembelajaran non-formal dan informal berguna untuk
bursa ketenagakerjaan.
c) Pengakuan dapat memperbaiki kesetaraan.
REFERENSI
Burke, Travis B (2005). Defining Competency and Reviewing Factors That May Impact the
Perceived Importance, Knowledge and Use of Competencies in The 4- H Professional's
Job. Dissertation, Department of Adult and Community College Education, Caroline
State University.
Butcher, C., Davies, C. and Highton, M. (2006) Designing Learning. From module outline to
effective teaching. London and New York: Routledge
McGivney, Veronica (1999) Informal learning in the community: a trigger for change and
development. Published: Leicester, England: National Institute of Adult Continuing
Education (England and Wales)
Nilsson, Staffan and Kerstin Ekberg, (2013) Employability and work ability: returning to the
labour market after long-term absence, A Journal of Prevention, Assesment and
rehabilitation, (44), 4, 449-457.
Velde, Christine (1999). An Alternative Conception of Competence: implications for
vocational education, Journal of Vocational Education and Training, Vol. 51, No. 3
Werquin, Patrick (2010). Recognising Non-Formal andInformal Learning; Outcomes, Policies
And Practices. www.oecd.org/publishing/corrigenda
Disusun oleh Tim KKNI
Megawati Santoso, Ardhana Putra, Junaedi Muhidong,
Illah Sailah, SP Mursid, Achmad Rifandi, Susetiawan, Endrotomo
Editor: Yusring Baso
1
ALUR PERPINDAHAN ANTAR JENIS PENDIDIKAN
Dokumen 006
Direktorat Jendral Pembelajaran dan Kemahasiswaan
Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi
Republik Indonesia
2015
2
ALUR PERPINDAHAN ANTAR JENIS PENDIDIKAN
Indonesia mengenal berbagai jalur dan jenjang pendidikan. Sesuai dengan UU No. 20 Sisdiknas,
jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, nonformal, dan informal. Sedang jenis
pendidikan mencakup pendidikan akademik, vokasi, dan profesi. Perpindahan jenis pendidikan
pada jalur pendidikan formal dapat terjadi sebagaimana diperlihatkan pada Gambar 1.
Gambar 1. Pola umum perpindahan jalur pendidikan antara akademik, vokasi dan profesi.
Kebijakan yang diambil untuk mendukung skema perpindahan jenis pendidikan adalah bahwa
pendidikan akademik mempunyai capaian pembelajaran yang lebih generik dibandingkan
pendidikan vokasi maupun profesi. Berdasarkan klasifikasi ISCED 97 (International Standard
Classification of Education) oleh UNESCO, jalur pendidikan akademik menghasilkan lulusan
dengan “keahlian atau kompetensi” yang lebih umum, yang dapat dikembangkan lebih lanjut
menjadi keahlian khusus bergantung pada bidang pekerjaan atau lingkungan lulusan tersebut
bekerja. Sementara itu, pendidikan vokasi dan profesi merupakan pendidikan yang sejak awal
dirancang untuk membangun keahlian khusus bagi peserta pendidikan tersebut.
Dengan pertimbangan tersebut di atas, seseorang yang sudah mengakumulasikan keahlian
khusus diharapkan semakin mendalami keahliannya dan tidak menjadi generalis. Perpindahan
jenis pendidikan dari keahlian khusus (vokasi/profesi) ke jenis pendidikan akademik dapat
dilakukan oleh seseorang yang telah menjalani pendidikan D3. Yang bersangkutan dapat
berpindah jenis pendidikan setelah dinyatakan mampu oleh institusi pendidik untuk mengikuti
3
pendidikan kesarjanaan. Besarnya pengakuan kredit akan menentukan bridging program yang
wajib dijalani oleh peserta didik tersebut. Seseorang yang sudah memiliki pendidikan D4
diharapkan melanjutkan ke jenis pendidikan profesi dengan jenjang profesi umum, spesialis dan
super spesialis. Lulusan pendidikan tersebut dapat masuk ke jenis pendidikan Magister
Terapan, bukan magister yang bersifat umum, dan membangun “maestro” keahlian pada
bidangnya. Misal, lulusan D4 Teknik Mesin khusus turbin melanjutkan ke Magister Terapan
untuk menjadi maestro di bidang turbin uap. Bilamana yang bersangkutan akan melanjutkan ke
program pendidikan Doktor Terapan, maestro ini wajib mengambil bridging program untuk
melengkapi dirinya dengan sains yang memadai.
Seorang lulusan sarjana dapat menempuh pendidikan profesi maupun akademik sebagaimana
dikehendaki. Namun apabila yang bersangkutan menghendaki untuk menjadi “maestro” atau
lulusan Magister Terapan, yang bersangkutan juga wajib menjalani bridging program untuk
melengkapi dirinya dengan keterampilan atau keahlian khusus di bidang yang akan
ditempuhnya.
Disusun oleh Tim KKNI
Megawati Santoso, Ardhana Putra, Junaedi Muhidong,
Illah Sailah, SP Mursid, Achmad Rifandi, Susetiawan, Endrotomo
Editor: Yusring Baso
1
REKOGNISI PEMBELAJARAN LAMPAU
Dokumen 007
Direktorat Jendral Pembelajaran dan Kemahasiswaan
Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi
Republik Indonesia
2015
2
KONDISI KETENAGAKERJAAN NASIONAL sebagai BASIS STRATEGI
Analisis terhadap kondisi dan perkembangan tenaga kerja di Indonesia perlu dilakukan untuk
memberikan gambaran jelas tentang beberapa aspek, seperti mutu, kemampuan menempati
posisi kerja yang sesuai dengan pendidikan dan atau pelatihan yang telah ditempuh. Secara
khusus analisisnya difokuskan pada kinerja pendidikan secara umum dalam mempersiapkan
tenaga kerja bermutu di tingkat nasional. Dalam hal ini data dan informasi yang digunakan
sering diunduh dari Badan Pusat Statistik RI dan tidak dilakukan pemeriksaan silang (cross
check) terhadap data sejenis yang tersedia di instansi lain.
Gambar 1 di bawah ini menunjukkan persentase penduduk yang bekerja relatif tinggi yaitu
berkisar 90% dari jumlah Angkatan Kerja secara keseluruhan. Nampak pula bahwa lebih dari
separuh Angkatan Kerja Indonesia berasal dari kelompok penduduk berumur di atas 15
tahun. Sebagian dari kelompok tersebut juga merupakan kelompok generasi muda yang
harus berada di bangku sekolah terutama di perguruan tinggi (19 – 24 tahun). Besar kecilnya
kontribusi kelompok generasi muda ke dalam Angkatan Kerja akan mempengaruhi angka
partisipasi kelompok generasi muda tersebut dalam angka partisipasi pendidikan generasi
muda secara keseluruhan (APK, APM atau APS).
Gambar 1. Perbandingan persentase penduduk bekerja, tahun 2004-2009.
Meskipun persentase penduduk yang bekerja relatif tinggi, sebaran tingkat pendidikan
mereka masih sangat jauh dari ideal. Sekitar 70.20% dari penduduk bekerja hanya memiliki
pendidikan setingkat SD dan SMP, 22.40% dengan sekolah menengah dan hanya sekitar
7.40% yang perpendidikan tinggi. Fenomena ini jauh berbeda dengan kondisi
ketenagakerjaaan di negara-negara yang tergabung dalam kelompok OECD. Bahkan, tingkat
pendidikan tenaga kerja di Malayisia masih lebih baik dari Indonesia. Perbandingan situasi
3
ketenagakerjaan antara Indonesia, Malaysia dan negara-negara OECD dapat dilihat pada
Gambar 2.
Proporsi SDM vs Tingkat
Pendidikan
70.40%
22.40%
7.20% Tinggi
Menengah
Dasar
INDONESIA
24.30%
56.30%
20.30%Tinggi
Menengah
Dasar
MALAYSIA
20.40%
39.30%
40.30% Tinggi
Menengah
Dasar
OECD
Tin
gk
at
Pe
nd
idik
an
Indonesia
Malaysia
OECD
Jumlah Tenaga Kerja
INDUSTRI BERBASIS
RISET
INDUSTRI MENENGAH
- BERAT
INDUSTRI MENENGAH
- RINGAN
70.40%
22.40%
7.20% Tinggi
Menengah
Dasar
24.30%
56.30%
20.30%Tinggi
Menengah
Dasar
20.40%
39.30%
40.30% Tinggi
Menengah
Dasar
INDONESIA
MALAYSIA
OECD
63.00%
17.70%
10.30%
5.50%
1.60%
1.80%
55.50%
20.20%
12.70%
6.20%
2.20%
3.20%
51.50%
18.90%
14.60%
7.80%
2.70%
4.60%
0.00% 20.00% 40.00% 60.00% 80.00%
SD atau tidak tamat SD
SMP
SMA
SMK
Diploma I,II,III
Universitas
2010
2006
2001
HIGHER
SECONDARY
PRIMARY
2010 Education Level
Dari 22,4% menjadi 44% di
tahun 2025
96%
Dari 7,2% menjadi 19% di
tahun 2025
164%Ta
rge
t
Gambar 2. Perbandingan situasi ketenaga kerjaan antara Indonesia, Malaysia dan negara-negara kelompok
OECD.
Secara ideal kelompok penduduk bekerja yang berasal dari generasi muda berumur antara
15 - 24 tahun harus memperoleh kesempatan dan akses yang mudah ke dunia pendidikan
4
atau pelatihan sedemikian rupa sehingga pengetahuan dan keterampilan yang dicapai dari
pendidikan atau pelatihan tersebut dapat meningkatkan karir dan kualitas kontribusinya
pada dunia kerja. Pendidikan atau pelatihan tersebut selayaknya dapat dilakukan di
lingkungan tempat kerja maupun melalui lembaga-lembaga pendidikan dan atau pelatihan
formal. Kondisi tidak ideal dapat terjadi apabila kelompok bekerja yang berumur 15 - 24
tahun tersebut tidak memperoleh akses pendidikan dan atau pelatihan dan secara
akumulatif jumlahnya bertambah setiap tahun.
Keterbatasan akses di atas dapat menyebabkan penurunan Angka Partisipasi Kasar (APK),
Angka Partisipasi Murni (APM) maupun Angka Partisipasi Sekolah (APS) di perguruan tinggi
atau bahkan mendorong peningkatan jumlah pengangguran terbuka apabila ketersediaan
kesempatan kerja tetap atau menurun. Oleh karena itu peran lembaga
pendidikan/pelatihan/kursus menjadi sangat penting baik untuk meningkatkan mutu tenaga
kerja maupun untuk menjaga keseimbangan antara generasi muda yang bekerja dengan
yang menempuh pendidikan lanjut. Meskipun demikian, data tentang kelompok penduduk
bekerja dengan usia 15 - 24 tahun saat ini tidak dapat dianalisis secara komprehensif untuk
melihat gejala inter-relasi antara generasi muda yang bekerja dan yang melanjutkan
pendidikan/pelatihan.
Gambar 3 (a), (b) dan (c) menunjukkan bahwa APK/APM/APS perguruan tinggi (jenjang
diploma dan sarjana) masih sangat rendah berkisar antara 10% - 15%1 dibandingkan APM
SMTA yang berkisar antara 40% - 55% sejak tahun 2004 sampai 2009. Hal ini dapat
memberikan indikasi bahwa jumlah generasi muda yang diharapkan memasuki untuk
pertama kali atau melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi masih sangat rendah
dan sangat dimungkinkan bahwa kelompok tersebut memasuki dunia kerja atau menganggur
sama sekali. Tanpa upaya yang lebih sistematis dan berkelanjutan maka kondisi ini dapat
menyebabkan ketidakseimbangan antara kelompok generasi muda yang memasuki
pendidikan SMTA dan perguruan tinggi di satu sisi dengan yang memasuki dunia kerja di sisi
yang lain. Hal ini juga dapat menimbulkan menurunnya persentase tenaga kerja dengan latar
belakang pendidikan atau kualifikasi pengetahuan/keterampilan yang tinggi.
1 Belum termasuk jumlah mahasiswa yang kuliah pada perguruan tinggi yang berada di bawah koordinasi kementerian
lain seperti IAIN, IAIS, STAIN, STAIS, IPDN, STIA-LAN, STAN, dll.
5
Gambar 3 (a). Angka Partisipasi Kasar (APK) SMTA
dan Perguruan Tinggi (PT).
Gambar 3 (b). Angka Partisipasi Murni (APM)
SMTA da Perguruan Tinggi (PT).
Gambar 3 (c). Angka Partisipasi Sekolah (APS) usuia 16-24 tahun.
Gambar 4 (a). Perbandingan penganggur perguruan tinggi antara Diploma dan Sarjana
6
Pendidikan tinggi sebagai salah satu penghasil tenaga kerja Indonesia diharapkan menempati
jenjang kualifikasi yang tinggi di tempat kerja. Walaupun demikian, selain ketersediaan
kesempatan kerja yang mungkin terbatas, relevansi dan mutu proses pendidikan menjadi
faktor penting yang harus mendapat perhatian dari penyelenggara pendidikan tinggi.
Rendahnya relevansi atau mutu proses pendidikan tersebut dapat menjadi penyebab
ketidakmampuan lulusan pendidikan tinggi untuk memenuhi kualifikasi kerja yang
dipersyaratkan pada jenjang tertentu. Akibatnya, jumlah pengangguran dari lulusan
perguruan tinggi akan meningkat dari waktu ke waktu. Perbaikan kualitas Angkatan Kerja
Indonesia yang diakibatkan oleh perbaikan kualitas pendidikan yang semakin terstandarisasi,
hal ini semakin memberi keuntungan bagi Angkatan Kerja untuk memasuki pasar kerja tidak
hanya pasar kerja nasional melainkan juga pasar kerja internasional dengan penghargaan
yang lebih baik. Gambar 4 (a) menunjukkan perbandingan antara jumlah penganggur dari
kelompok lulusan sarjana, yang selalu lebih tinggi dibandingkan dengan lulusan diploma.
Fenomena ini dapat mengindikasikan rendahnya mutu atau relevansi proses pendidikan
tinggi jenis pendidikan akademik di universitas.
Selanjutnya Gambar 4 (b) dan 4 (c) memberikan ilustrasi posisi penganggur perguruan tinggi
dibandingkan jumlah penganggur keseluruhan dari tahun 2004 sampai 2009. Walaupun
jumlah penganggur secara keseluruhan mengalami penurunan sejak tahun 2005, akan tetapi
penganggur lulusan perguruan tinggi (diploma dan sarjana) mengalami peningkatan secara
konsiten.
Gambar 4 (b). Trend peningkatan penganggur
perguruan tinggi
Gambar 4 (c). Perbandingan penganggur perguruan
tinggi dengan penganggur total
Gambar 5 memberikan ilustrasi penyerapan tenaga kerja nasional ke dalam beberapa
kelompok jenis usaha. Nampak bahwa jenis usaha sendiri menyerap tenaga kerja yang paling
tinggi dibandingkan dengan perusahan, industri, kantor, atau jenis usaha keluarga. Kondisi ini
di satu sisi menunjukkan kondisi ketenagakerjaan yang positif dimana tenaga kerja akan
memiliki fleksibilitas yang lebih tinggi dalam memasuki dunia kerja. Walaupun demikian,
7
tanpa penetapan kualifikasi yang jelas dan terukur maka tenaga kerja yang memasuki tempat
kerja dalam kelompok “Berusaha Sendiri” dapat menimbulkan permasalahan yang serius
terutama pada bidang-bidang pekerjaan yang berkaitan dengan kesehatan, makanan dan
minuman, transportasi, lingkungan dan lain-lain. Oleh karena itu, kualifikasi tenaga kerja
yang mencakup pengakuan terhadap pengetahuan, keterampilan, hak serta kewajiban
seorang pekerja sangat perlu ditetapkan dan diberlakukan secara ketat tanpa membedakan
jenis usaha tempat seseorang bekerja.
Secara keseluruhan, data dan informasi tentang kondisi tenaga kerja di Indonesia
menunjukkan perlunya kerjasama yang intensif dan berkelanjutan dalam skala nasional
antara pihak providers (KEMDENRISTEK-DIKTI, KEMENAKER, badan atau lembaga pelatihan,
lembaga kursus, asosiasi profesi, dll.) serta users (industri, sektor-sektor usaha, masyarakat
luas) untuk membangun suatu pedoman yang menyangkut aspek-aspek capaian
pembelajaran serta hak dan kewajiban yang dimilki oleh setiap tenaga kerja Indonesia.
Dalam hal ini pengembangan KKNI yang mencakup aspek-aspek tersebut sangat diperlukan
dan merupakan langkah awal untuk membangun SDM Indonesia yang bermutu dan berdaya
saing di waktu yang akan datang. Dengan demikian KKNI harus dapat menjawab
permasalahan ketenagakerjaan di Indonesia secara berkelanjutan dan menjadi rujukan
utama rencana pengembangan SDM di tingkat nasional, selain sebagai perwujudan mutu dan
jatidiri bangsa.
Gambar 5. Persentase penyerapan tenaga kerja pada setiap sektor usaha
Gambar 6 menunjukkan manfaat dikembangkannya KKNI untuk sektor-sektor kehidupan
bermasyarakat dan berbangsa. Pada gambar ini ditunjukkan bahwa KKNI diharapkan menjadi
jembatan penyetaraan berbagai aspek. Di satu sisi menghubungkan pendidikan dan
pelatihan untuk menyetarakan capain pembelajaran yang dihasilkan oleh kedua aspek
tersebut dan selanjutnya menyetarakan capaian pembelajaran tersebut dengan kompetensi
yang dibutuhkan di tempat kerja. Pada gambar tersebut juga dijelaskan berbagai sektor yang
8
membutuhkan KKNI sebagai sebuah rujukan untuk mengembangkan sistem kepegawaian,
remunerasi, karir atau peningkatan mutu sumber daya manusia secara umum.
Untuk menjaga KKNI agar selalu up to date dan adaptif terhadap perkembangan global ilmu
pengetahuan, teknologi dan seni, maka diskriptor kualifikasi yang tercantum dalam KKNI
secara berkala harus ditinjau ulang dan disesuaikan bilamana perlu. Perkembangan
kehidupan bermasyarakat dan berbangsa, yang mencakup setidaknya aspek ekonomi, sosial,
politik, budaya, pendidikan, ketenagakerjaan, teknologi, industrI, dan aspek-aspek lain juga
harus dijadikan pertimbangan-pertimbangan penting dalam melakukan pengembangan
deskriptor kualifikasi di dalam KKNI secara berkelanjutan. Pendekatan ini sangat diperlukan
agar deskriptor kualifikasi yang ada di dalam KKNI mengalami proses perbaikan mutu secara
berkelanjutan (continuous quality improvement). Sangat diharapkan pula agar KKNI dapat
mendorong terjadinya proses peningkatan mutu yang sama pada institusi maupun lembaga-
lembaga lain yang terkait.
Gambar 6. Sektor-sektor berkehidupan bermasyarakat dan berbangsa yang terkait dengan KKNI
STRATEGI IMPLEMENTASI KKNI DI LINGKUNGAN KEMENRISTEK-DIKTI
PENDIDI
KAN
PELATIH
AN
• sertifikasi tenaga asing
• ijin kerja
• pengakuan ijasah & sertifikat
nasional oleh internasional
• sistem gaji
• jenjang karier
• standar kompetensi
• sistem gaji
• jenjang karir
• standar kompetensi
• uji kompetensi
• sertifikasi
• standar kompetensi
Recognition of Prior
Learning (RPL)
• capaian pembelajaran
• akreditasi
• kualifikasi ijazah
• perolehan kredit
9
Strategi yang perlu segera dikembangkan terkait ranah pendidikan nasional dalam hal
implementasi KKNI adalah:
1. Rekognisi Pembelajaran Lampau (RPL) atau Recognition of Prior Learning (RPL) adalah
proses pengakuan atas capaian pembelajaran seseorang yang dicapai sebelumnya baik
melalui pendidikan formal, non-formal, informal atau pelatihan-pelatihan terkait dengan
pekerjaannya maupun dilakukan secara otodidak melalui pengalaman hidupnya.
Pengakuan atas capaian pembelajaran ini dimaksudkan untuk menempatkan seseorang
pada jenjang kualifikasi (jenjang KKNI) yang sesuai, Gambar 7.
2. Proses RPL dapat diimplementasikan pada sektor pendidikan dan dunia kerja. Untuk itu,
implementasi RPL pada jalur pendidikan dan dunia kerja didasarkan pada penyetaraan
kualifikasi sesuai dengan KKNI. Karakteristik ketiga jenis RPL ini diuraikan secara detail
berikut ini. Walaupun demikian, semua proses dan mekanisme pelaksanaan RPL tersebut
harus didasarkan pada KKNI dan harus dilakukan oleh badan atau institusi yang
berkepentingan secara bertanggung jawab, berlandasakan aturan yang transparan,
rasional, objektif, dan akuntabel. Inti program RPL di tingkat nasional harus mencakup
aspek peningkatan mutu sumberdaya manusia nasional agar tujuan untuk menjembatani
dan membangun kesetaraan antara kepentingan penghasil dan pengguna tenaga kerja
tetap dapat tercapai. Oleh sebab itu, penyusunan kebijakan dan aturan nasional RPL ini
sangat perlu mempertimbangkan kepentingan semua pihak yang terkait.
RPL BERBASIS KKNI
• IJASAH
• DIPLOMA
SUPPLEMENT
• SERTIFIKAT JENJANG KARIR
• SERTIFIKAT KOMPETENSI
• SERTIFIKAT REKOMENDASI
• SERTIFIKAT PENGHARGAAN
• SERTIFKAT ASOSIASI
• SERTIFIKAT
PENGHARGAAN
• SERTIFIKAT KOMPETENSI
• SERTIFIKAT PENGHARGAAN
Gambar 7. Rekognisi Pembelajaran Lampau berbasis KKNI.
10
RPL PADA JALUR PENDIDIKAN
Dalam rangka memenuhi amanat UU Sistem Pendidikan Nasional tentang pembelajaran
sepanjang hayat, RPL pada jalur pendidikan dimaksudkan untuk memberikan kesempatan
yang lebih luas bagi setiap individu untuk menempuh pendidikan sampai ke pedidikan tinggi.
KEMENRISTEK-DIKTI akan menerbitkan kebijakan, peraturan, pedoman, dan standar
prosedur operasi penilaian kesetaraan terkait dengan implementasi RPL yang bertujuan
untuk memfasilitasi masyarakat menempuh pendidikan formal pada jenjang yang lebih tinggi
(pembelajaran sepanjang hayat).
RPL juga harus mampu mengakui capaian pembelajaran lampau seseorang tanpa
mempertimbangkan proses peningkatan capaian pembelajaran seseorang, waktu, atau
tempat. Walaupun demikian, RPL wajib mempertimbangkan kebijakan-kebijakan nasional
tentang pendidikan seperti misalnya kewajiban belajar dubelas tahun, kesetaraan mutu dan
pengakuan terhadap capaian pembelajaran yang diakui secara nasional, dan lain-lain. Pada
sisi lain, RPL harus dapat diakses oleh setiap individu yang membutuhkan.
Mengingat RPL akan berbeda untuk satu bidang keilmuan dan atau keahlian dengan yang
lain, maka RPL bersifat khas. Dengan demikian RPL dapat disusun atau dikembangkan
dengan mempertimbangkan jalur pendidikan (formal, nonformal, informal) dan jenis
pendidikan (pendidikan vokasi, profesi, akademik). Oleh karena itu pula perbedaan
peraturan atau pedoman penilaian kesetaraan melalui skema RPL perlu menjadi
pertimbangan bagi institusi pendidikan penyelenggara RPL karena pengakuan pada jenis
pengalaman atau pembelajaran lampau yang tidak sesuai dengan yang dimiliki seseorang
akan menyebabkan inefficiency proses pendidikan.
Secara khusus, RPL di sektor pendidikan tinggi merupakan pengakuan atau penyetaraan
pengalaman dengan kemampuan dan atau keahlian yang dimiliki seorang peserta didik pada
jenjang pendidikan sebelumnya. Pengakuan terhadap RPL tidak sama dengan pengakuan
terhadap perolehan gelar (degree). Di berbagai negara RPL digunakan sebagai pertimbangan
memasuki sebuah program pendidikan (entry requirement) pada jenjang yang lebih tinggi
dalam bentuk pengurangan jumlah SKS, transfer kredit atau pembebasan sebagian SKS mata
kuliah tertentu (exemption).
Suatu institusi pendidikan formal, yang oleh KEMENRISTEK-DIKTI dinyatakan memiliki
kualifikasi untuk melakukan RPL, dapat melakukan proses asessment RPL terhadap calon
peserta program pendidikan. Peserta program RPL harus mengajukan permintaan tertulis
dilengkapi dengan portofolio yang disusun sesuai dengan pengalaman atau hasil-hasil
pembelajaran lampau yang dimiliki berserta bukti-bukti terkait yang valid dan diakui oleh
institusi pendidikan penyelenggara RPL tersebut.
Seseorang dapat menggunakan RPL sebagai pengakuan untuk mengikuti pendidikan formal
pada jenjang tertentu di sebuah perguruan tinggi jika yang bersangkutan telah memperoleh
pendidikan minimal SMA/paket C. Pengakuan atas capaian pembelajaran juga dilakukan
11
berjenjang dengan dibatasi adanya pengakuan maksimum pada setiap jenjang atau program
pendidikan. Hal ini dimaksudkan untuk tetap menjaga kualitas yang dihasilkan oleh masing-
masing jenjang atau program pendidikan tersebut.
RPL PADA JALUR KARIR
Implementasi RPL pada jalur karir atau jabatan merupakan domain KEMENAKER atau
KEMENPAN, sehingga tidak dibahas secara rinci pada naskah ini. Prinsip dasar pelaksanaan
RPL untuk penilaian karir/jabatan seseorang di dunia kerja mempunyai makna bahwa
peningkatan karir atau jabatan seseorang didasarkan pada merit system atau penilaian
kelebihan kemampuan dan keahlian yang ditunjukkannya dalam bekerja. Hal ini diharapkan
dapat mengubah paradigma penilaian terhadap pekerja sesuai dengan unjuk kerja yang
dihasilkan dibandingkan ijazah atau sertifikat yang dimilikinya.
Peraturan atau mekanisme pengkajian terhadap capain pembelajaran lampau seorang
pekerja disusun dan diberlakukan secara internal oleh masing-masing perusahaan, industri
atau instansi pemerintah dengan tetap memperhatikan deskripsi kualifikasi pada KKNI untuk
jenjang yang sesuai sebagai basis penyetaraan peningkatan karir/jabatan.
RPL PADA JALUR PELATIHAN DAN OTODIDAK
Proses peningkatan jenjang kualifikasi sesuai dengan KKNI dapat dilakukan di institusi yang
memiliki wewenang untuk penerapan KKNI. Dalam proses peningkatan jenjang kualifikasi
tersebut, selain penilaian terhadap pendidikan lanjut atau pelatihan-pelatihan terstruktur
yang telah diikuti oleh seseorang, penjenjangan kualifikasi tersebut juga dapat
mempertimbangkan keahlian tambahan lainnya yang dicapai melalui pengalaman hidup
secara otodidak dan tidak terstruktur. Walaupun demikian penilaian terhadap pengalaman
hidup yang dianggap layak diperhitungkan dalam proses peningkatan jenjang kualifikasi
harus dapat dievaluasi atau dikaji dengan instrumen yang sahih dan objektif. Oleh karena itu
badan atau lembaga penilai jenjang kualifikasi harus mengembangkan isntrumen-instrumen
penilaian RPL yang diakui dan disepakati oleh para pemangku kepentingan.
Program RPL akan dikembangkan secara berkelanjutan sesuai dengan perkembangan sistem
pendidikan dan ketenagakerjaan di Indonesia, serta di luar negeri. Program RPL ini
memegang peranan penting dalam pengembangan sistem kesetaraan kualifikasi pendidikan
maupun ketenagakerjaan secara bilateral, regional maupun internasional dengan negara-
negara lain. Oleh karena itu sistem dan mekanisme pelaksanaan RPL harus dirancang secara
komprehensif dengan memperhatikan aspek-aspek yang dianggap perlu baik bagi pemangku
kepentingan di dalam maupun di luar negeri.
PENILAIAN PENGALAMAN BELAJAR LAMPAU
(Assessment of Prior Experiential Learning)
12
Sistem penilaian hasil pembelajaran lampau (atau pengalaman belajar lampau) telah lama
ada, khususnya di luar negeri. Selama lebih dari satu abad, misalnya, University of London
telah menawarkan ujian terbuka untuk penilaian semacam ini. Meskipun para siswa belajar
secara pribadi dan menghadiri kelas-kelas yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan,
namun biasanya kegiatan para siswa ini jarang dijadikan persyaratan untuk mengikuti proses
penilaian pembelajaran lampau. Atas dasar “hanya” pengalaman, siswa atau seseorang
dapat mengikuti ujian dan dinilai kemampuannya.
Pendekatan yang paling umum digunakan untuk penilaian hasil pembelajaran lampau adalah
pendekatan 'portofolio'. Pada pendekatan ini, pengalaman memiliki arti yang beragam,
namun yang terpenting adalah apa yang telah dipelajari dari pengalaman, bukan apa
pengalaman tersebut. Evans (1987, 1992)2 menyarankan empat tahap pendekatan pada
sistem penilaian ini, yakni:
• Refleksi sistematis atas pengalaman belajar yang signifikan. "Evans (1987:13)
menggambarkan tahap ini sebagai latihan brainstorming”.
• Identifikasi belajar yang signifikan, dinyatakan dalam pernyataan yang tepat tentang
kepemilikan pengetahuan dan keterampilan. Biasanya, kategori pengetahuan atau
keterampilan yang dapat digunakan dalam proses identifikasi ini adalah penanganan
informasi, analisis, membaca, menulis, dan sebagainya.
• Sintesis bukti untuk mendukung pernyataan pengetahuan dan keterampilan Yang
dimiliki. Ini melibatkan pemeriksaan rinci bukti pendukung pernyataan telah belajar,
yang biasanya dinyatakan dalam bentuk portofolio. Pada tahapan ini, sering kali
diperlukan bimbingan dari tutor dan konselor.
• Penilaian akreditasi. Ini dimulai dengan penilaian diri, karena hal ini dapat
mempengaruhi bagaimana seseorang ingin menggunakan bukti pengetahuan dan
keterampilan yang dimilikinya. Penilaian kemudian dilakukan oleh lembaga
pendidikan yang berkaitan dengan pengetahuan dan keterampilan, sesuai dengan
bukti-bukti yang diajukan.
Disusun oleh Tim KKNI
Megawati Santoso, Ardhana Putra, Junaedi Muhidong,
Illah Sailah, SP Mursid, Achmad Rifandi, Susetiawan, Endrotomo
Editor: Yusring Baso
2 Referensi: Evans. 1987. A Portfolio of Brainstorming Techniques
SURAT KETERANGAN PENDAMPING IJAZAH
Dokumen 008
Direktorat Jendral Pembelajaran dan Kemahasiswaan
Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi
Republik Indonesia
2015
SURAT KETERANGAN PENDAMPING IJAZAH
Dalam upaya menciptakan kesetaraan serta pengakuan internasional maka Indonesia telah
meratifikasi berbagai konvensi internasional dalam berbagai sektor, misalnya perdagangan,
ekonomi, lingkungan dan pendidikan. Beberapa konvensi internasional yang telah diratifikasi
oleh Indonesia, seperti GATS (General Agreement on Trade in Services – 5 April 1994), WTO
(World Trade Organization – 1 Januari 1995), AFTA (Asean Free Trade Area - 1992 ), Regional
Convention, serta the Recognition of Studies, Diplomas and Degrees In Higher Education in
Asia and the Pacific (16 Desember 1983 yang kemudian diperbaharui tanggal 30 Januari
2008) mempunyai cakupan yang jelas tentang perlunya kesepamahaman internasional dalam
sektor ketenagakerjaan yang terkait dengan sektor-sektor ekonomi, perdagangan serta
pendidikan.
Atas dasar prinsip kesetaraan internasional untuk sektor ketenagakerjaan dan pendidikan,
maka Indonesia didorong untuk mengembangkan suatu sistem kualifikasi ketenagakerjaan
yang dapat dipahami dan disepakati oleh negara-negara yang tercakup dalam konvensi-
konvensi internasional tersebut. Di satu sisi kesetaraan internasional ini akan memberikan
kesempatan mobilitas yang lebih luas bagi tenaga kerja Indonesia untuk bekerja di negara-
negara lain, menciptakan pengakuan kesetaraan internasional terhadap ijazah atau sertifikat
kompetensi yang dihasilkan oleh institusi pendidikan dan pelatihan di dalam negeri, serta
mempermudah pertukaran pelajar, mahasiswa atau pakar dari Indonesia ke negara lain.
Akan tetapi di sisi lain penetrasi tenaga kerja dan pakar asing ke Indonesia juga tidak dapat
dibendung lagi. Kondisi ini mendorong Indonesia untuk segera mengambil langkah-langkah
strategis dalam mengantisipasi implikasi merugikan dari ratifikasi konvensi-konvensi
internasional tersebut.
Salah satu langkah strategis dalam mengantisipasi pengakuan kualifikasi ketenagakerjaan
dan pendidikan, pemerintah Indonesia telah menyusun Kerangka Kualifikasi Nasional
Indonesia (KKNI) dalam bentuk Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 8 tahun 2012
dan kemudian diperkuat oleh UU Nomor 12 tahun 2012 tentang Pendididikan Tinggi.
Dalam Nomor 8 tahun 2012 tentang KKNI Pasal 5 Peraturan Presiden Republik Indonesia,
dinyatakan bahwa:
Penyetaraan capaian pembelajaran yang dihasilkan melalui pendidikan dengan jenjang
kualifikasi pada KKNI terdiri atas:
a. lulusan SMA dan SMK paling rendah setara dengan jenjang 2;
b. lulusan Diploma 1 paling rendah setara dengan jenjang 3;
c. lulusan Diploma 2 paling rendah setara dengan jenjang 4;
d. lulusan Diploma 3 paling rendah setara dengan jenjang 5;
e. lulusan Diploma 4, Sarjana, dan Sarjana Terapan paling rendah setara dengan
jenjang 6;
f. lulusan Magister dan Magister Terapan paling rendah setara dengan jenjang 8;
g. lulusan Doktor dan Doktor Terapan paling rendah setara dengan jenjang 9;
h. lulusan pendidikan profesi setara dengan jenjang 7 atau 8;
i. lulusan pendidikan spesialis setara dengan jenjang 8 atau 9.
Selanjutnya Pasal 29 UU Nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi menyatakan
bahwa:
(1) Kerangka Kualifikasi Nasional merupakan penjenjangan capaian pembelajaran
yang menyetarakan luaran bidang pendidikan formal, nonformal, informal, atau
pengalaman kerja dalam rangka pengakuan kompetensi kerja sesuai dengan
struktur pekerjaan di berbagai sektor.
(2) Kerangka Kualifikasi Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi
acuan pokok dalam penetapan kompetensi lulusan pendidikan akademik,
pendidikan vokasi, dan pendidikan profesi.
(3) Penetapan kompetensi lulusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan
oleh Menteri.
Keberadaan regulasi yang dapat menjamin akuntabilitas penyelenggaraan pendidikan sangat
penting mengingat besarnya jumlah institusi pendidikan di Indonesia. Terdapat lebih dari
18.000 SMA dan SMK serta 3.216 perguruan tinggi dengan 17.000 program studi (data tahun
2011-2012) yang beroperasi di Indonesia. Jumlah institusi pendidikan formal ini masih
ditambah lagi dengan ribuan institusi atau lembaga pendidikan informal, nonformal serta
lembaga-lembaga pelatihan ketenagakerjaan yang tersebar di seluruh tanah air.
Kedua pasal yang diutarakan di atas relevan untuk mengatur accountability dan
compatibility dari luaran beragam pendidikan yang diselenggarakan. Upaya-upaya untuk
memperbaiki akuntabilitas penyelenggaraan pendidikan dan penyetaraan kualifikasi lulusan
di Indonesia semakin dituntut karena masih ditengarainya hal-hal berikut:
(1) adanya kesenjangan mutu atau capaian pembelajaran antar lulusan sekolah menengah
atas atau lulusan peguruan tinggi;
(2) masalah koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah dalam sinkronisasi capaian
pembelajaran antara sekolah menengah atas dan perguruan tinggi secara berkelanjutan;
(3) ragam jalur pendidikan dan pelatihan yang ada di Indonesia dengan karakteristik serta
capaian pembelajaran yang beragam pula;
(4) belum terbangunnya saling pengakuan atau kesetaraan kualifikasi antara institusi
penyelenggara pendidikan atau pelatihan yang memiliki kebutuhan serta sasaran yang
berbeda-beda;
(5) keterbatasan yang dimiliki oleh lembaga-lembaga penjaminan mutu internal maupun
eksternal untuk melakukan kajian mutu (quality assessment) secara periodik; dan
(6) kesenjangan komunikasi, informasi atau umpan balik dari pihak pengguna lulusan.
Permasalahan-permasalahan tersebut di atas menunjukkan bahwa pengembangan suatu
sistem kesetaraan kualifikasi dari semua luaran pendidikan dan pelatihan di Indonesia harus
dapat mengantisipasi 4 (empat) hal pokok yaitu:
(1) sinkronisasi kebijakan lintas kementerian serta antar lembaga atau asosiasi yang terkait
dengan ketenagakerjaan;
(2) penyelarasan mutu capaian pembelajaran dari institusi atau lembaga penyelenggara
pendidikan dan pelatihan;
(3) koordinasi dan sinkronisasi lembaga-lembaga penjaminan mutu yang telah ada maupun
yang akan dikembangkan kemudian; dan
(4) menjamin terbentuknya kerjasama dan komunikasi yang berkesinambungan antar
stakeholders ketenagakerjaan di Indonesia.
Dalam lingkungan KEMENRISTEK-DIKTI sendiri dibutuhkan pula adanya sinkronisasi luaran
antara jenis pendidikan formal, nonformal, informal termasuk kesetaraannya dengan kriteria
dan kebutuhan dunia kerja. Karakteristik serta proses pendidikan pada jenis-jenis pendidikan
tersebut perlu dikaji secara lebih komprehensif melalui program-program kegiatan lintas
direktorat jenderal.
Selain itu kriteria yang ditetapkan oleh pengguna lulusan untuk berbagai jenis pendidikan
yang ada juga beragam sehingga secara paralel diperlukan pula kerjasama lintas
kementerian, kerjasama antara pemerintah dengan industri, asosiasi profesi dan kelompok
masyarakat pengguna lulusan.
Berdasarkan aspek legal UU no 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 12 ayat
(1) huruf e dan f dan UU no 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, Pasal 6 huruf h dimana
ditetapkan bahwa sistem pendidikan di Indonesia menganut Sistem Terbuka yaitu
pendidikan harus diselenggarakan dengan fleksibilitas dalam pemilihan jalur pendidikan dan
waktu penyelesaian program lintas satuan atau jalur pendidikan (multi entry-multi exit
system). Peserta didik dapat belajar sambil bekerja serta mengikuti pembelajaran tatap muka
atau jarak jauh. Pelaksanaan undang-undang ini menimbulkan konsekuensi bahwa
pengembangan kerangka kualifikasi yang mencakup bidang pendidikan hendaknya mampu
pula memberi peluang seluas-luasnya bagi setiap individu untuk memperoleh kesetaraan
jenjang kualifikasi melalui setiap jalur atau berpindah jalur pendidikan sesuai dengan
pilihanya masing-masing. Oleh karena itu kerangka kualifikasi yang akan dikembangkan
hendaknya mencakup pula sistem Rekognisi Pembelajaran Lampau atau RPL (Recognition of
Prior Learning) sedemikian sehingga dapat menjamin terjadinya fleksibilitas pengembangan
karir atau peningkatan jenjang kualifikasi.
Untuk mempertegas pengakuan terhadap aplikasi dari Sistem Terbuka, maka Pasal 38-40 UU
nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi menyatakan bahwa:
Perpindahan dan Penyetaraan
Pasal 38
(1) Perpindahan Mahasiswa dapat dilakukan antar Program Studi pada program
Pendidikan yang sama; jenis Pendidikan Tinggi; dan/atau Perguruan Tinggi.
(2) Ketentuan mengenai perpindahan Mahasiswa sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur dalam Peraturan Menteri.
Pasal 39
(1) Lulusan pendidikan vokasi atau lulusan pendidikan profesi dapat melanjutkan
pendidikannya pada pendidikan akademik melalui penyetaraan.
(2) Lulusan pendidikan akademik dapat melanjutkan pendidikannya pada pendidikan
vokasi atau pendidikan profesi melalui penyetaraan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyetaraan lulusan pendidikan vokasi atau lulusan
pendidikan profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan penyetaraan lulusan
pendidikan akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam
Peraturan Menteri.
Pasal 40
(1) Lulusan Perguruan Tinggi negara lain dapat mengikuti Pendidikan Tinggi di Indonesia
setelah melalui penyetaraan.
2) Ketentuan mengenai penyetaraan lulusan Perguruan Tinggi negara lain sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri.
Sampai saat ini secara terpisah-pisah proses penyelarasan awal telah dilakukan dan
melahirkan beberapa kesepakatan antara KEMENRISTEK-DIKTI dengan kementerian lain
seperti misalnya KEMNAKER atau KEMENKES. Hal yang sama juga telah dilakukan secara
terpisah tentang penyetaraan kualifikasi capaian pembelajaran jenis pendidikan vokasi untuk
tingkat SMK atau Diploma dengan asosiasi profesi atau asosiasi industri tertentu. Proses
penyelarasan tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan deskripsi KKNI dalam bentuk
persandingan capaian pembelajaran.
Mengkaji pendidikan antar Negara, maka kondisi berikut semakin menguatkan perlunya
Kerangka Kualifikasi Nasional yang levelnya dideskripsikan dalam bentuk suatu capaian
pembelajaran (learning outcomes) yang berhasil diperoleh peserta didik dari suatu program
pendidikan.
Country Bachelor Master
Cycle length Credit range Cycle length Credit range
EU 3–4 years 180–240 1.5–2 years 90–120
China 4 years 140–180 2 years 15
Indonesia 4 years 144–166 2 years 36–50
Japan 4 years 124 2 years 30
R. of. Korea 4 years 130–140 2 years
Malaysia 3 years 120 1 year 40
Singapore 3–4 years 1–3 years
Thailand 4 years 120–180 2 years 36
Vietnam 4 years 120–220 3 years 30–55
Sumber: First Draft Stocktaking Report of the ASEM Education Secretariat
Perbedaan durasi studi telah menyebabkan kesulitan dalam saling pengakuan dan dalam
melakukan program kerja sama bergelar. Untuk itu, deskripsi capaian pembelajaran yang
dituangkan dalam suatu Surat Keterangan Pendamping ijazah (SKPI) menjadi sangat penting
sebagai metode atau alat berkomunikasi antar kualifikasi.
Dari sisi KEMENRISTEK-DIKTI, implementasi KKNI dimulai dengan proses mendeskripsikan
kualifikasi lulusan suatu program pendidikan secara jelas dan terukur serta secara transparan
dapat dipahami oleh pihak penghasil dan pengguna tenaga kerja baik di tingkat nasional,
regional maupun internasional. Luaran dari proses ini adalah deskripsi capaian pembelajaran
dari program studi yang kemudian secara legal dituangkan dalam SKPI.
Dengan terbitnya SKPI, maka implementasi kebijakan KKNI tersebut akan secara substansial
mendorong pengembangan sistem penjaminan mutu yang mampu melakukan fungsi
pemantauan (monitoring) dan pengkajian (assessment) terhadap PT penghasil lulusan serta
badan atau lembaga yang terkait dengan proses-proses penyetaraan capaian pembelajaran
dengan jenjang kualifikasi yang sesuai. Dampak lebih lanjut dari pengembangan sistem
penjaminan mutu yang mengevaluasi outcomes dari suatu program pendidikan adalah
peningkatan integrasi dan koordinasi badan atau lembaga penjaminan atau peningkatan
mutu yang telah ada, baik SPMI maupun yang bersifat eksternal seperti misalnya BSNP, BAN,
BNSP, LSP dan lain-lain.
Surat Keterangan Pendamping Ijazah (SKPI) atau Diploma Supplement adalah surat
pernyataan resmi yang dikeluarkan oleh Perguruan Tinggi, berisi informasi tentang
pencapaian akademik atau kualifikasi dari lulusan pendidikan tinggi bergelar. Kualifikasi
lulusan diuraikan dalam bentuk narasi deskriptif yang menyatakan capaian pembelajaran
lulusan pada jenjang KKNI yang relevan, dalam suatu format standar yang mudah dipahami
oleh masyarakat umum. SKPI bukan pengganti dari ijazah dan bukan transkrip akademik. SKPI
juga bukan media yang secara otomatis memastikan pemegangnya mendapatkan
pengakuan.
SKPI mula-mula dikembangkan oleh UNESCO pada tahun 1979. Selanjutnya, pada tahun
2003, ENQA menyatakan bahwa SKPI yang dikembangkan oleh European Commission,
Council of Europe dan UNESCO mempunyai tujuan untuk meningkatkan transparansi
kualifikasi akademik dan profesi yang dihasilkan oleh perguruan tinggi. Selanjutnya, ijazah
lulusan perguruan tinggi di Eropa yang lulus pada tahun 2005 sudah dilengkapi oleh SKPI.
Mahasiswa di Eropa yang lulus dari Sekolah Vokasi atau peserta Program Pelatihan juga
menerima sejenis SKPI yang disebut dengan Europass Certificate Supplement.
Para pemberi kerja atau institusi pendidikan tinggi di luar Eropa sangat terbantu dengan
adanya Europass Certificate Supplement dalam memahami kemampuan kerja dari pemegang
sertifikat tersebut atau posisi kualifikasinya dalam Eropean Qualification Framework
sehingga mudah dipersandingkan dengan kualifikasi orang lain yang berasal dari sistem
pendidikan yang berbeda.
Manfaat SKPI
Untuk lulusan
1. Merupakan dokumen tambahan yang menyatakan kemampuan kerja, penguasaan
pengetahuan, dan sikap/moral seorang lulusan yang lebih mudah dimengerti oleh
pihak pengguna di dalam maupun luar negeri dibandingkan dengan membaca
transkrip;
2. Merupakan penjelasan yang obyektif dari prestasi dan kompetensi pemegangnya;
dan
3. Meningkatkan kelayakan kerja (employability) terlepas dari kekakuan jenis dan
jenjang program studi.
Untuk institusi pendidikan tinggi
1. Menyediakan penjelasan terkait dengan kualifikasi lulusan, yang lebih mudah
dimengerti oleh masyarakat dibandingkan dengan membaca transkrip;
2. Meningkatkan akuntabilitas penyelenggaraan program dengan pernyataan capaian
pembelajaran suatu program yang transparan. Pada jangka menengah dan panjang,
hal ini akan meningkatkan “trust” dari pihak lain dan sustainability dari institusi;
3. Menyatakan bahwa institusi pendidikan berada dalam kerangka kualifikasi nasional
yang diakui secara nasional dan dapat disandingkan dengan program pada institusi
luar negeri melalui qualification framework masing-masing negara;
4. Meningkatkan pemahaman tentang kualifikasi pendidikan yang dikeluarkan pada
konteks pendidikan yang berbeda-beda.
Manfaat lainnya, SKPI juga membantu pemegangnya dalam:
1. Meningkatkan transparansi dan pengakuan (rekognisi)
2. Kemudahan dibaca dan diperbandingkan antar negara
3. Memberikan rekaman karir akademik, keterampilan, dan prestasi mahasiswa selama
masa kuliah
4. Menekankan pada kelayakan bekerja di dalam dan luar negeri
5. Menekankan pembelajaran sepanjang hayat
6. Memfasilitasi mobilitas mahasiswa
7. Meningkatkan kelayakan bekerja lulusan di pasaran kerja internasional
8. Memperlancar penerimaan mahasiswa baru
9. Meningkatkan profil institusi PT ke dunia internasional
Substansi Pokok SKPI
SKPI pada intinya akan menjabarkan pemenuhan Standard Kompetensi Lulusan (SKL)
sebagaimana diamanahkan oleh Pasal 52 ayat (3) dan Pasal 54 ayat (1) huruf a Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. SKL merupakan Capaian
Pembelajaran Minimum (CPM) lulusan.
Capaian Pembelajaran menurut Peraturan Presiden no 8
tahun 2012 tentang KKNI adalah kemampuan yang
diperoleh melalui internalisasi pengetahuan, sikap,
keterampilan, kompetensi, dan akumulasi pengalaman
kerja. Uraian tersebut memuat uraian outcome dari
semua proses pendidikan baik formal, nonformal,
maupun informal, yaitu suatu proses internasilisasi dan
akumulasi empat parameter utama yaitu: (a) Ilmu
pengetahuan (science), atau pengetahuan (knowledge)
dan pengetahuan prakatis (know-how), (b) keterampilan
(skill), (c) afeksi (affection) dan (c) kompetensi kerja
(competency) sebagaimana diilustrasikan pada diagram
Capaian Pembelajaran / Kompetensi Lulusan.
Untuk mempermudah pemahaman, berikut disajikan deskripsi dari parameter yang diuraikan
sebelumnya:
1. llmu pengetahuan (science) dideskripsikan sebagai suatu sistem berbasis metodologi
ilmiah untuk membangun pengetahuan (knowledge) melalui hasil-hasil penelitian di
dalam suatu bidang pengetahuan (body of knowledge). Penelitian berkelanjutan yang
digunakan untuk membangun suatu ilmu pengetahuan harus didukung oleh rekam
data, observasi dan analisis yang terukur dan bertujuan untuk meningkatkan
pemahaman manusia terhadap gejala-gejala alam dan sosial.
2. Pengetahuan (knowledge) dideskripsikan sebagai penguasaan teori dan keterampilan
oleh seseorang pada suatu bidang keahlian tertentu atau pemahaman tentang fakta
dan informasi yang diperoleh seseorang melalui pengalaman atau pendidikan untuk
keperluan tertentu.
3. Pemahaman (know-how) dideskripsikan sebagai penguasaan teori dan keterampilan
oleh seseorang pada suatu bidang keahlian tertentu atau pemahaman tentang
metodologi dan keterampilan teknis yang diperoleh seseorang melalui pengalaman
atau pendidikan untuk keperluan tertentu.
4. Keterampilan (skill) dideskripsikan sebagai kemampuan psikomotorik (termasuk
manual dexterity dan penggunaan metode, bahan, alat dan instrumen) yang dicapai
melalui pelatihan yang terukur dilandasi oleh pengetahuan (knowledge) atau
pemahaman (know-how) yang dimiliki seseorang mampu menghasilkan produk atau
unjuk kerja yang dapat dinilai secara kualitatif maupun kuantitatif.
5. Afeksi (Affection) dideskripsikan sebagai sikap (attitude) sensitif seseorang terhadap
aspek-aspek di sekitar kehidupannya baik ditumbuhkan oleh karena proses
pembelajarannya maupun lingkungan kehidupan keluarga atau mayarakat secara
luas.
6. Kompetensi (competency) adalah akumulasi kemampuan seseorang dalam
melaksanakan suatu deskripsi kerja secara terukur melalui asesmen yang terstruktur,
mencakup aspek kemandirian dan tanggung jawab individu pada bidang kerjanya.
Untuk Pendidikan Tinggi, penyesuaian terhadap definisi Capaian Pembelajaran berdasarkan
Peraturan Presiden No. 8 tahun 2012 yang luas dan komprehensif perlu dilakukan agar
sejalan dengan karakteristik pendidikan tinggi. Penyesuaian ini menghasilkan definisi CPM
dan digunakan sebagai ukuran untuk menilai kompetensi lulusan suatu program studi.
Standar Kompetensi Lulusan merupakan Capaian Pembelajaran Minimum yang diperoleh
melalui internalisasi: a. pengetahuan; b. sikap; dan c. keterampilan. Sedangkan perumusan
standar kompetensi lulusan mengacu pada Kerangka Kualifikasi Nasional dengan
melibatkan kelompok ahli yang relevan dan dapat melibatkan asosiasi profesi, instansi
pemerintah terkait, dan/atau pengguna lulusan. Pengetahuan, sikap, dan keterampilan dapat
dinyatakan sebagai berikut:
• Pengetahuan merupakan penguasaan teori oleh mahasiswa dalam bidang ilmu dan
keahlian tertentu, atau penguasaan konsep, fakta, informasi, dan metode dalam
bidang pekerjaan tertentu.
• Sikap merupakan penghayatan mahasiswa tentang nilai, norma, dan aspek kehidupan
yang terbentuk dari proses pendidikan, lingkungan kehidupan keluarga, masyarakat,
atau pengalaman kerja mahasiswa.
• Keterampilan merupakan kemampuan psikomotorik dan kemampuan menggunakan
metode, bahan, dan instrumen, yang diperoleh melalui pendidikan, pelatihan, atau
pengalaman kerja mahasiswa. Pengalaman kerja mahasiswa merupakan internalisasi
kemampuan dalam melakukan pekerjaan di bidang tertentu dan jangka waktu
tertentu yang dapat diperoleh melalui pelatihan kerja, magang, simulasi pekerjaan,
kerja praktek, atau praktek kerja lapangan.
Secara konseptual, pada setiap jenjang pendidikan yang berkesesuaian dengan jenjang KKNI
tertentu, pernyataan kualifikasi lulusan (CPM atau SKL) disusun dalam bentuk deskripsi yang
disebut Deskriptor Kualifikasi. Ke tiga parameter dari CPM atau SKL diterjemahkan dalam
empat jenis uraian sikap dan tata nilai, kemampuan di bidang kerja, pengetahuan yang
dikuasai dan hak/wewenang dan tanggung jawab. Uraian tentang parameter pembentuk
setiap Deskriptor KKNI adalah sebagai berikut:
1. Sikap dan tata nilai: Komponen ini menjelaskan moral, etika, dan nilai-nilai yang menjadi
jati diri setiap SDM produktif Indonesia. Komponen ini tidak berkorelasi dengan jenjang
kualifikasi namun merupakan fondasi karakter dari setiap SDM produktif Indonesia,
mengandung aspek-aspek pembangun jati diri bangsa yang tercermin dalam Pancasila,
UUD 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika.
2. Kemampuan di bidang kerja: Komponen ini menjelaskan kemampuan seseorang yang
sesuai dengan bidang kerja terkait, mampu menggunakan metode/cara yang sesuai dan
mencapai hasil dengan tingkat mutu yang sesuai serta memahami kondisi atau standar
proses pelaksanaan pekerjaan tersebut.
3. Pengetahuan yang dikuasai: dimaksudkan bahwa deskriptor kualifikasi harus
menjelaskan cabang keilmuan yang dikuasai seseorang dan mampu mendemonstrasikan
kemampuan berdasarkan cabang ilmu yang dikuasainya tersebut.
4. Hak/wewenang dan tanggung jawab: menunjukkan bahwa deskriptor kualifikasi harus
menjelaskan lingkup tanggung jawab seseorang dan standar sikap yang dimilikinya untuk
melaksanakan pekerjaan dibawah tanggung jawabnya tersebut.
Data SKPI
SKPI1 minimal wajib memuat data berikut:
1. Logo dan Kop Surat Perguruan tinggi
2. Informasi tentang identitas diri pemegang SKPI
– Nama Lengkap
– Tempat dan tanggal lahir
– Nomor Induk Mahasiswa
– Tahun Masuk
– Tahun Lulus
– Nomor Ijazah
– Gelar/sebutan lulusan
3. Informasi tentang identitas Penyelenggara Program
• Nama Perguruan Tinggi
• Status Akreditasi Perguruan Tinggi saat SKPI ditandatangani
• Nomor SK Akreditasi Perguruan Tinggi saat SKPI ditandatangani
1 SKPI dikeluarkan oleh institusi pendidikan tinggi yang berwenang mengeluarkan ijazah sesuai dengan paraturan
perundang-undangan yang berlaku.
SKPI hanya diterbitkan setelah mahasiswa dinyatakan lulus dari suatu program studi secara resmi oleh Perguruan Tinggi.
SKPI diterbitkan dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris.
SKPI yang asli diterbitkan mengunakan kertas khusus (barcode/hallogram security paper) berlogo Perguruan Tinggi, yang
diterbitkan secara khusus oleh Perguruan Tinggi
Penerima SKPI dicantumkan dalam situs resmi Perguruan Tinggi
• Nama Program Studi
• Status Akreditasi Program Studi saat SKPI ditandatangani
• Nomor SK Akreditasi Program Studi saat SKPI ditandatangani
• Jenis pendidikan (akademik, vokasi, atau profesi)
• Jenjang pendidikan
� Jenjang kualifikasi sesuai KKNI
� Persyaratan penerimaan
� Bahasa pengantar kuliah
� Sistem penilaian (Uraian gradasi penilaian dan penjelasannya)
� Lama studi reguler
� Jenis dan jenjang pendidikan lanjutan
� Status profesi (bila ada)
4. Informasi tentang isi kualifikasi dan hasil yang dicapai
Bagian ini berisi Capaian Pembelajaran (CP) lulusan yang berdasarkan UU no 20
tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan UU no 12 tahun 2012 tentang
Pendidikan Tinggi dinyatakan sebagai Kompetensi Lulusan (KP), dituangkan dalam
deskripsi sikap dan tata nilai, kemampuan di bidang kerja, pengetahuan yang
dikuasai dan hak/wewenang dan tanggung jawab.
Tambahan informasi terkait dengan prestasi lulusan (selama menjadi mahasiswa)
dapat ditambahkan di SKPI ini seperti perolehan penghargaan, sertifikat, atau
keikutsertaan yang bersangkutan dalam berbagai organisasi yang kredibel.
5. Sistem pendidikan tinggi di Indonesia dan Kerangka kualifikasi Nasional Indonesia
6. Pengesahan SKPI
– Tanggal
– Tandatangan
– Nama Jelas
– Jabatan (minimal Dekan)
– Nomor Identifkasi pejabat penandatangan
– Cap PT (official stamp)
7. Akuntabilitas SKPI
PT bertanggung jawab sepenuhnya atas semua informasi yang disampaikan pada SKPI
ini
8. Lampiran
Lampiran ini bersifat pilihan yang berisi tambahan informasi terkait dengan prestasi
lulusan (selama menjadi mahasiswa) seperti perolehan penghargaan, sertifikat atau
keikutsertaan yang bersangkutan dalam berbagai organisasi yang kredibel.
9. Akuntabilitas Lampiran SKPI
Lulusan bertanggung jawab sepenuhnya atas semua informasi yang disampaikan
pada Lampiran SKPI.
Bahan Bacaan
(a) http://ec.europa.eu/education/policies/rec_qual/recognition/ds_en.pdf
(b) Jo¨rg Markowitsch and Claudia Plaimauer, Descriptors for competence: towards an
international standard classification for skills and competences, Journal of European
Industrial Training Vol. 33 No. 8/9, 2009, pp. 817-837
(c) http://ec.europa.eu/education/lifelong-learning-policy/ds_en.htm
(d) http://unic.ac.cy/study-with-us/diploma-supplement/
(e) http://www.i-b-h-consulting.com/pdf/diploma-supplement.pdf
(f) http://europass.cedefop.europa.eu/en/documents/european-skills-
passport/diploma-supplement/examples
(g) http://www.nzqa.govt.nz/assets/About-us/Our-role/consdipsupp.pdf
(h) http://www.asean.org/news/item/declaration-of-asean-concord-ii-bali-concord-ii
Disusun oleh Tim KKNI
Megawati Santoso, Ardhana Putra, Junaedi Muhidong,
Illah Sailah, SP Mursid, Achmad Rifandi, Susetiawan, Endrotomo
Editor: Yusring Baso