4

Click here to load reader

Kerangka Teori Akuntabilitas

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Istilah akuntabilitas, dari sisi semantik, sangat berkaitan dengan akuntansi atau yang lebih dikenal dengan istilah pembukuan (Boven, 2008)1. Penelusuran akar sejarah konsep akuntabilitas merujuk pada masa William I, suatu dekade setelah penguasaan Norman di tanah Inggris pada tahun 1066. Pada tahun 1085 William mensyaratkansemua pemilik properti di wilayah kekuasaannya untuk membuat perhitungan atas apa yang mereka miliki.

Citation preview

Page 1: Kerangka Teori Akuntabilitas

  1  

Mencermati Akuntabiltas Alamsyah Saragih Sejarah Istilah  akuntabilitas, dari sisi semantik, sangat berkaitan dengan akuntansi atau yang lebih dikenal dengan istilah pembukuan (Boven, 2008)1. Penelusuran akar sejarah konsep akuntabilitas merujuk pada masa William I, suatu dekade setelah penguasaan Norman di tanah Inggris pada tahun 1066. Pada tahun 1085 William mensyaratkan semua pemilik properti di wilayah kekuasaannya untuk membuat perhitungan atas apa

yang mereka miliki. Kepemilikan tersebut ditaksir dan didaftar oleh para agen kerajaan dalam sesuatu yang disebut sebagai ‘Buku Perhitungan’ (Domesday Books). Buku ini mencatat apa saja yang dikuasai oleh raja, bahkan juga termasuk tentang sumpah setia pemilik lahan terhadap raja yang berkuasa (Dubnick, 2007). Sejarah tersebut merupakan suatu fakta bahwa akuntablitas dalam satu sisi adalah suatu hubungan antara pemegang kedaulatan (sovereign) dan pelaksana (subject ) atau apa yang sering dikenal sebagai hubungan antara principle dan agent atau forum dan aktor (Bovens, 2008).

Penelusuran atas penggunaan istilah Accountability di Kongres Amerika Serikat menunjukkan sesuatu yang ironis (Dubnick, 2002)2:

A quick count of titles placed in the House and Senate hoppers for the past several sessions of Congress indicate that the word is applied to 50-70 distinct proposals each two-year term. As reflected in the list from the current (107th) Congress, the focus of “ACCOUNTABILITY” bills can range from specific individuals (Yasir Arafat) and nations (Syria) to industries (electricity providers), agencies (the IRS and the INS), professionals (accountants and pharmacists), and the members of Congress themselves. When examined in detail, the content of the proposed legislation rarely mentions the term again, except in provisions designed to change the titles of current laws so that they too can be adorned with the “ACCOUNTABILITY” élan.

Kesulitan lain yang dialami dalam penggunaan istilah akuntablitas adalah apa yang disebut oleh Dubnick (2002), sebagai “incommensurability”— istilah geometry yang diperkenalkan oleh Thomas Kuhn – sebagai metafora untuk kesenjangan inheren dari suatu kata dimana tak mudah untuk menterjemahkannya ke dalam kata-kata lintas konteks dan kultur. Dengan demikian akan lebih mudah memahami akuntabilitas sebagai suatu konsep daripada sebuah upaya untuk mencari kata terjemahan yang pas. Di Indonesia, beberapa pihak telah mencoba menerjemahkannya sebagai ‘tanggung gugat’. Namun demikian terjemahan tersebut tetap memerlukan penjelasan yang cukup mendalam secara keseptual untuk memahaminya. Kata akuntabilitas semakin sering digunakan dan telah menjadi konsumsi publik luas sejak isu tata pemerintahan

Page 2: Kerangka Teori Akuntabilitas

  2  

yang baik (good governance) menjadi cukup dominan di era rezim reformasi, sebagaimana halnya kata partisipasi dan transparansi.

Perdebatan di Seputar Akuntabilitas Debat akademik tentang akuntabilitas di wilayah ilmu administrasi publik paling tidak dapat diikuti sejak sebelum perang dunia kedua. Perdebatan terjadi antara Carl Friedrich (1940)3 dan Herman Finner (1941)4 dalam melihat relasi antara publik dan birokrat dengan terminologi pertanggungjawaban (responsibility). Perdebatan antara Friedrich dan Finner berkisar pada tarik menarik antara keharusan seorang pelayan publik untuk bertumpu pada profesionalisme dan moralitas personal di satu sisi dengan keharusan untuk mengikuti perintah dari pihak yang disebut sebagai ‘Political Maters’ di sisi lain. Friedrich lebih menekankan tanggung jawab internal birokrat terhadap standar profesional dan nilai-nilai, sedangkan Finner menegaskan keutamaan tanggung jawab terhadap perintah politik eksternal (Mulgan, 2000)5. Keberadaan dua cara pandang tersebut telah menyebabkan akuntabilitas mengalami apa yang disebut sebagai: an ever-expanding concept (Mulgan, 2000), yang mengarah pada tema umum untuk menjelaskan berbagai mekanisme agar suatu institusi responsif kepada publik tertentu (Mulgan, 2003)6. Zona Akuntabilitas Dalam perkembangan wacana tentang akuntabilitas mengarah kepada upaya-upaya penggalian skema internal organisasi yang bersandar pada aspek profesionalisme di satu sisi dan relasi eksternal yang mengarah pada pertanggungjawaban sosial dan politik di sisi lain. Upaya untuk membedakan kedua hal tersebut telah pula dilakukan oleh Boven (2008) dengan membedakan akuntabilitas sebagai kebajikan (as a virtue) dan akuntabilitas sebagai suatu hubungan sosial (as a social relation).

However, there is a pattern to the expansion. Particularly, but not exclusively, in American academic and political discourse, accountability is used mainly as a normative concept, as a set of standards for the evaluation of the behaviour of public actors. Accountability or, more precisely, ‘being accountable’, is seen as a virtue, as a positive quality of organizations or officials. Hence, accountability studies often focus on normative issues, on the assessment of the actual and active behaviour of public agents.

On the other side of the Atlantic, in British, Australian, and continental European scholarly debates, accountability is often used in a more narrow, descriptive sense. Accountability is seen as a social ‘mechanism’, as an institutional relation or arrangement in which an actor can be held to account by a forum (Day and Klein 1987; Mulgan 2003; Bovens 2007). Hence, the locus of accountability studies is not the behaviour of public agents, but the way in which these institutional arrangements operate. And the focus of accountability studies is not whether the agents have acted in an accountable way, but whether they are or can be held accountable ex post facto by accountability forums.

Di tataran parkatik, penerapan mekanisme akuntabilitas kepada siapa suatu pertanggungjawaban diberikan telah melahirkan berbagai zona akuntabilitas. Ketika meknisme akuntabilitas memasuki wilayah parlemen, dikenal istilah akuntabilitas politik. Untuk wilayah peradilan dikenal istilah akuntabilitas legal. Pada saat mekanisme memasuki wilayah-wilayah administratif dikenal istilah akuntabilitas

Page 3: Kerangka Teori Akuntabilitas

  3  

administratif. Sebagai contoh, akuntabilitas administratif dapat ditemukan ketika lembaga publik harus mempertanggungjawabkan konsistensi mereka atas prosedur administratif pelayanan di hadapan obudsmen, atau terkait pengelolaan keuangan dihadapan auditor. Pada saat akuntabilitas memasuki mekanisme yang mengarah kepada relasi antara lembaga publik terhadap warga negara atau masyarakat sipil, dikenal istilah akuntabilitas sosial (Bovens, 2008).

Beberapa Lembaga Internasional juga berusaha untuk membangun definisi tentang akuntabilitas. Satu di antaranya adalah The World Bank yang menyebutnya sebagai bentuk pertanggungjawaban pemegang kuasa (World Bank, 2004)7:

Accountability can be defined as the obligation of power-holders to account for or take responsibility for their actions. “Power-holders” refers to those who hold political, financial or other forms of power and include officials in government, private corporations, international financial institutions and civil society organizations.

Paradoks Akuntabilitas Suatu tata pemerintahan yang demokratis membutuhkan akuntabilitas sebagai salah satu prasyarat bagi kelangsungan suatu sistem pemerintahan yang efektif. Namun demikian, akuntabilitas hanyalah satu dari sekian prasyarat kualitas. Membangun sistem akuntabiltas dalam banyak hal dipandang sebagai suatu keharusan agar sistem pemerintahan dapat tehindar dari korupsi, nepotisme dan diskresi yang merugikan publik terkait tujuan dari penyelenggaraan pemerintahan itu sendiri. Tarik menarik antara akuntabilitas yang bertujuan agar penyimpangan dapat dibatasi di satu sisi dengan kebutuhan untuk berperilaku inovatif dalam pengambilan keputusan di sisi lain, telah melahirkan sutu trade-off yang sering disebut sebagai ‘paradoks akuntabilitas’ (Jos and Tompkins, 2004)8.

Sistem akuntabilitas di satu sisi dimaksudkan untuk mengurangi berbagai penyimpangan terse-but, namun di sisi lain juga mengurangi indepedensi dan diskresi dalam pengambilan keputusan dan tindakan. Pengurangan diskresi secara alamiah dapat menghambat pengambilan keputusan dan kelambanan dalam mengatasi situasi yang khusus. Tanpa transparansi, kecen-derungan tersebut berpeluang untuk tak terekspos dan memperburuk keadaan. Namun demikian transparansi juga akan dirasakan sebagai suatu ancaman bagi pola-pola pengambilan keputusan yang konvensional akibat meningkatnya resiko (Anechiarico and Jacobs, 1996).9 Pengawasan yang berlebihan akan menyebabkan kekacauan administratif dan melahirkan ketidak-

seimbangan. Selain menambah biaya, pengawasan yang berlebihan akan merusak sifat responsif suatu kerja-kerja administratif terhadap publik yang dilayani (Fesler and Kettl, 1991)10. Pengawasan yang begitu ketat akan melahirkan barisan pelayan publik yang lebih piawai dalam mengelola akuntabilitas administratif daripada memutuskan suatu pilihan skema layanan yang tepat sesuai situasi dan kebutuhan publik.

Page 4: Kerangka Teori Akuntabilitas

  4  

Untuk menjalankan suatu layanan yang responsif pada wialayah-wilayah situasi sosial yang beragam dan lebih kompleks diperlukan inovasi dan inovasi mengandung resiko. Otoritas publik dengan tingkat akuntabilitas yang begitu tinggi akhirnya ditandai dengan karakter inovasi dan fleksibilitas yang rendah (Radin, 2006) 11 . Pada organisasi-organisasi tersebut perhatian lebih tertuju pada upaya untuk mencermati kesalahan administratif daripada keberhasilan dalam memecahkan masalah layanan secara langsung. Berbagai kondisi di atas mengindikasikan perlunya suatu cara pandang dan standar akuntabilitas baru yang boleh jadi relatif beragam untuk menyelenggarakan suatu proses bisnis yang responsif terhadap situasi dan kebutuhan publik di satu sisi dengan upaya-upaya untuk mengurangi peluang penyimpangan dalam pengambilan keputusan publik maupun penyelenggaraan layanan. Untuk negara seperti indonesia hal ini menjadi penting mengingat di satu sisi isu korupsi dan mal-administrasi begitu dominan dan penyelenggaraan urusan publik, sementara di sisi lain dperlukan inovasi untuk merespon situasi yang kompleks dan struktur sosial yang beragam.

                                                                                                               1 Bovens, Mark. 2008, Two concepts of accountability, Utrecht School of Governance

Utrecht University

2 Dubnick, M. 2002, Seeking Salvation for Accountability, American Political Science 2 Dubnick, M. 2002, Seeking Salvation for Accountability, American Political Science Association, Boston.

3 Friedrich, C.J. 1940, Public Policy and The nature of Administrative Responsibility, pp.3-24, Public Policy, Cambride: Havard University Press.

4 Finner, H. 1941, ‘Administrative Responsibility and Democratic Government’, Public Administration Review 1, 335-50

5 Mulgan, R. 2000, ‘Accountability”: An ever expanding Concept?’, Public Administration, 78: 555.

6 Mulgan, R. 2003, Holding Power to Account: Accountability in Modern Democracies, Basingstoke: Pelgrave.

7 The World Bank. 2004, Social Accountability, An Introduction To The Concept And Emerging Practice, Social Development Papers.

8 Jos, P.H. and Tompkins, M.E. 2004, “The Accountability Paradox in an Age of Reinvention.” Administration & Society 36(3): 255-281

9 Anechiarico, F. and Jacobs, J. 1996, The Pursuit of Absolute Integrity: How Corruption Control Makes Government Ineffective, University of Chicago Press, Chicago, especially, pp. 174–176

10 Fesler, J.W & Kettl, D.F. 1991, The Politics of the Administrative Process, Chatham House Publishers, Chatham, NJ, p. 321

11 Radin, B.A. 2006, Challenging the Performance Movement: Accountability, Complexity and Democratic Values, Georgetown University Press, Washington, D.C., pp. 44–45.